Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Hitler pengagum sukarno

$
0
0

Hitler pengagum sukarno

FB_IMG_1593035959441

Pembunuhan Yahudi secara massal adalah merupakan satu konspirasi dan pembohongan paling besar yang mereka rancang sebelum berdirinya negara Israel. Dengan adanya pembunuhan massal maka dunia akan jatuh simpati pada kaum Yahudi yang konon ditindas.

Tetapi hakikatnya orang Yahudi ini perangainya, mereka sanggup berkorban apa saja demi kepentingan kaum mereka walaupun terpaksa menggadaikan nyawanya. Setelah kejadian pembunuhan missal itu, mereka pergi ke Palestina dan setelah itu berdiri negara Israel yang mereka dirikan di atas tanah Palestina dengan merampas hak Palestina.

Jadi, siapa yang sebenarnya dibantai oleh NAZI? Yahudi yang mana?

Itu yang menjadi persoalannya sekarang. Illuminati pun ada yang mengaku bahwa mereka keturunan Yahudi tetapi sebaliknya kebanyakan mereka adalah keturunan Namrud dan Firaun, bukannya Yahudi tulen. Apakah semua Yahudi itu jahat?.

Tapi kenapa dunia hanya menghukum Hitler dan meletakkan kesalahan bahkan memburuk-burukkan nama Nazi seolah-olah Nazi masih ada hingga hari ini. Sedangkan mereka melupakan kesalahan pihak Inggris kepada Scotlandiayang lebih dahsyat dari itu.

Ada dua sebab mengapa Hitler/Nazi selalu di pojokkan, yaitu: 1. Prinsip Hitler berkaitan dengan Yahudi, Zionisme dan berdirinya negara Israel. Hitler pun di tuduh telah melancarkan Holocaust untuk menghapus Yahudi karena beranggapan Yahudi akan menghancurkan dan menguasai dunia pada suatu hari nanti. Padahal Holocaust sendiri hingga kini masih menjadi pertanyaan besar, apakah memang benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Nazi.
2.Prinsip Hitler berkaitan dengan Islam. Hitler telah mempelajari sejarah kerajaan terdahulu dan umat yang lampau, bahkan beliau telah menyatakan bahwa ada tiga pengaruh yang terkuat, yaitu Persia, Romawi dan Arab. Ketiga pengaruh ini telah menguasai dunia di masa lalu bahkan Persia serta Romawi telah mengembangkan pengaruh mereka hingga hari ini, sedangkan Arab sendiri sungguh sangat di sayangkan masih lebih kepada persengketaan sesama mereka saja.Dia melihat ini sebagai satu masalah yang besar, karena Arab akan merusak pengaruh Islam yang menurutnya dulu begitu hebat.

Atas rasa kagumnya Hitler pada pengaruh Islam, ia telah mencetak risalah yang berkaitan dengan Islam dan disebarkan kepada tentara Nazi semasa perang, bahkan kepada tentara yang bukan Islam. Hitler juga telah memberi peluang kepada tentara Jerman yang beragama Islam untuk menunaikan shalat ketika masuk waktunya dimana saja, bahkan tentara Jerman pernah shalat di dataran Berlin dan Hitler ketika itu menunggu mereka sampai selesai shalat berjama`ah untuk menyampaikan pidatonya. Hitler juga sering bertemu dengan para ulama Islam dan meminta pendapat mereka serta belajar dari mereka tentang agama atau bagaimana kisah Rasulullah SAW dan para sahabat. Beliau juga meminta para Syeikh agar mendampingi tentaranya (Nazi) untuk mendoakan mereka yang bukan Islam dan memberi semangat kepada yang beragama Islam untuk melawan Yahudi.

Pengaruh Al-Quran di dalam ucapan Hitler. Ketika tentara Nazi tiba di Moscow, Hitler hendak menyampaikan pidato. Dia pun memerintahkan penasihat-penasihatnya untuk mencari kata-kata pembukaan yang paling cocok dan mengandung arti yang luar biasa dari kitab agama, kata-kata ahli filsafat ataupun dari bait syair. Seorang sastrawan Iraq yang tinggal di Jerman lalu mengusulkan ayat Al-Qur`an berikut ini: “Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan.
Hitler di dalam bukunya yang berjudul Mein Kampf, yang ditulis di dalam penjara. Dia menjelaskan bahwa banyak aspek tindakannya berdasarkan ayat Al-Qur`an.

Hitler bersumpah dengan nama Allah yang Maha Besar Hitler telah memasukkan sumpah dengan nama Allah yang Maha Besar di dalam ikrar para tentaranya yang akan tamat belajar di akademi tentara Jerman. Berikut isinya: ”Aku bersumpah dengan nama Allah (Tuhan) yang Maha Besar dan ini adalah sumpah suciku, bahwa aku akan mentaati semua perintah komandan tentera Jerman dan pemimpinnya Adolf Hitler, pemimpin bersenjata tertinggi, bahwa aku akan senantiasa bersedia untuk berkorban dengan nyawaku kapanpun demi pemimpinku”

Hitler yang enggan meminum beer (arak) Hitler tidak mau meminum beer (arak) pada saat dia cemas dalam keadaan Jerman yang agak goyah dan bermasalah. Contohnya adalah ketika para dokter meminta dia minum beer sebagai obat tapi dia tidak mau, sambil mengatakan; ”Bagaimana Anda ingin agar seseorang itu minum arak untuk tujuan pengobatan sedangkan dia tidak pernah seumur hidupnya mennyentuh arak !.

KGPH Soeryo Goeritno Msc menulis dalam buku berjudul Rahasia yang terkuak, Hitler mati di Indonesia.
Saat itu Hitler melihat Indonesia anti-Barat. Soekarno tegas melawan Belanda dan Inggris, yang mencoba kembali ke Indonesia. Kedua negara itu adalah sekutu yang merupakan musuh Hitler.

Pribadi Soekarno pun memikat Hitler yang menyamar menjadi Dr Poch. Hitler betah berjam-jam mendengar pidato Soekarno . Menurut pembantu Dr Poch, bosnya tak mau diganggu kalau sudah mendengar pidato berorasi.Dia sering memuji-muji Bung Karno sambil memberikan analisanya soal politik,” kata Syamsuddin, pembantu Dr Poch.

Karena itu Hitler alias Dr Poch kerasan tinggal di Indonesia sampai akhir hayatnya. Dr Poch meninggal di Surabaya tanggal 16 Januari 1970.


PBNU: HIZBUT TAHRIR SAMA DENGAN GAGASAN KOMUNIS INTERNASIONAL.

$
0
0

PBNU: HIZBUT TAHRIR SAMA DENGAN GAGASAN KOMUNIS INTERNASIONAL.

 

Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf menyebut organisasi pengusung khilafah seperti Hizbut Tahir dan Ikhwanul Muslimin tak beda dg gagasan komunis internasional.

Katib Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyebut organisasi yg mencita2kan khilafah, seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin, tak beda dg gerakan komunis internasional yg menghendaki rezim tunggal di dunia.

Menurutnya, gerakan yg bercita2 tentang khilafah itu tergolong gagasan baru yg sedang dipaksakan pada dunia Islam.

“Jadi mereka sama dg gagasan komunis internasional yg memungkinkan satu rezim komunis untuk satu dunia,” ujar pria yg akrab dipanggil Gus Yahya, di sela2 Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU), di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).

Gus Yahya mengatakan ideologi dan gerakan yg membawa gagasan secara universal seperti khilafah maupun komunis hanya menghasilkan kemelut dan kekacauan di seluruh dunia.

“Maka harus ditolak dan kembali pada asal dari nilai agama yaitu rahmah, kemanusiaan, dan akhlaqul karimah,” katanya, yg juga merupakan anggota Wantimpres itu.

Spanduk mendukung ajaran khilafah yg terpasang di sekitar PTUN saat sidang putusan HTI di PTUN, Jakarta Timur, Senin (7/5/2018).

Menurut Gus Yahya, NU sendiri sudah memiliki sikap lewat Khittah NU 1984. Bahwa, NU memutuskan untuk menjaga ukhuwah Islamiyah, wathoniyah, insaniyah, serta menerima NKRI berdasarkan UUD 1945.

“Kami hanya melengkapi argumen agama,” lanjutnya.

Gus Yahya mengaku bahwa tidak ada perintah syariat ataupun dalil sebagai landasan legitimasi keberadaan sebuah negara. Menurutnya, itu berarti boleh membangun negara atas legitimasi apapun, termasuk konsep negara-bangsa.

Namun, Gus Yahya juga menyebut tak ada kewajiban umat Islam untuk menerapkan sistem khilafah yg mencakup seluruh dunia dalam satu kekuasaan sistem politik.

Ia pun meminta umat Islam di seluruh dunia menerima keberadaan negara-bangsa yg merdeka dan berdaulat serta tak mengintervensi urusan negara lain.

“Kita sekarang umat Islam di seluruh dunia harus terima keberadaan negara-bangsa yg ada sebagai [negara] merdeka, berdaulat masing2 dan tidak boleh mengintervensi urusan negara lain,” katanya.

Diketahui, pembahasan konsep negara masuk di Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU. Ketua PBNU Said Aqil Siroj juga ikut dalam pembahasan konsep negara, kewarganegaraan, dan hukum negara di Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah.

(fra/arh)  https://www.hwmi.or.id/2020/06/pbnu-hizbut-tahrir-sama-dengan-gagasan.html?m=1

#SaveNKRI

Penyimpangan Sejarah Hubungan Islam dan Pancasila

$
0
0

Penyimpangan Sejarah Hubungan Islam dan Pancasila

Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
Republika.co.id, 25 Juni 2020

Problem utama bangsa ini ialah deviasi (penyimpangan) dari semangat kebangsaan pendiri bangsa. Dalam proses deviatif ini, muncul berbagai simplifikasi atas fakta sejarah. Hasilnya, sebuah pengerasan sektarianisme yang bertentangan, terutama dengan visi para pendahulu yang saleh.

Simplifikasi atas fakta sejarah ini misalnya terdapat pada kesimpulan bahwa di dalam rapat-rapat perumusan dasar negara, mulai dari Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Panitia Sembilan hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI); hanya terdapat dua kelompok ideologis, yakni Islam berhadapan dengan nasionalis. Kelompok Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Kelompok nasionalis memperjuangkan nasionalisme sebagai dasar negara. Dalam perjalanan, ideologi nasional ini lalu disebut Pancasila.

Dipahami bahwa kelompok nasonalis tersebut bersifat sekular, karena bagi kaum devianis ini, penganjur dasar negara non-Islam, pastilah otomatis sekular. Mereka tidak mampu membaca fakta subtil, bahwa tidak ada kelompok sekular di dalam Sidang BPUPK, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Hingga 1945, PKI masih dilarang (ilegal) oleh pemerintahan Jepang akibat pemberontakan pada 1926. Dengan ketiadakan anggota PKI dalam Sidang BPUPK, otomatis tidak ada penganjur sekularisme dalam perumusan dasar negara.

Alhasil, hanya ada dua kelompok besar dalam sidang tersebut. Pertama, kelompok Islam-nasionalis. Kedua, kelompok nasionalis-religius. Kelompok pengajur dasar negara Islam, bagaimanapun tetap nasionalis karena imaji kenegaraannya mengacu pada negara-bangsa, bukan misalnya Pan-Islamisme dalam bentuk kekhilafahan global. Untuk cita-cita khilafah ini, para aktivis Islam di Indonesia telah menguburnya setelah perselisihan antara kaum modernis dan tradisionalis dalam Kongres Al-Islam IV pada 1925. Di dalam kongres itu, tidak ada kesepakatan apakah Muslim Indonesia harus mengikuti Kongres Khilafah di Mesir atau Arab Saudi. Ketidaksepakatan ini akhirnya membuyarkan agenda respon umat Islam atas runtuhnya Turki Usmani. Fokus umat Islam kembali pada hajat hidup dalam negeri: mengusir penjajahan.

Maka, bukannya Pan-Islamisme yang digaungkan sebagaimana para pengusung khilafah hari ini. Melainkan nasionalisme Islam. Kiai Wahab Hasbullah lalu mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1914 yang berprogram sekolah kebangsaan bagi kalangan pesantren, aktivis Islam di Kairo dan Mekkah mendirikan Partai Muslimin Indonesia pada 1932, dan Sarekat Islam (1912) mengembangkan nasionalisme berhaluan sosialisme Islam. Berdasarkan pengalaman melawan penjajahan inilah, nasionalisme lalu menjadi perspektif keislaman.

Dalam konteks inilah, wakil Muhammadiyah di BPUPK, Ki Bagoes Hadikoesoemo (31 Mei 1945) mengajukan Islam sebagai dasar negara. Karena menurutnya, “Islam tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan nasionalisme; agama merupakan pangkal persatuan; serta Islam menegakkan pemerintahan yang adil berdasar kerakyatan dan musyawarah”.

Hanya saja peletakan Islam sebagai dasar negara mendapat kritikan dari penganjur nasionalisme. Bung Hatta yang berpidato pada 30 Mei 1945 mengritik paradigma Islamis yang mengandaikan kesatuan Islam dan negara. Menurutnya, paradigma ini mengalami bias hubungan Gereja dan negara di Eropa. Bagi Bung Hatta, hubungan “Ker ken Staat” (Gereja dan negara) berbeda dengan hubungan Islam dan negara. Baik Gereja maupun negara sama-sama “berbentuk negara”, sehingga ingin berkuasa atas umat yang sama. Sedangkan Islam menurutnya, adalah pimpinan jiwa, bukan negara. Oleh karenanya, ia merekomendasikan pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Bukan pemisahan agama dari negara, pun penyatuan keduanya.

Pemisahan urusan agama dan urusan negara menganut prinsip diferensiasi: pembedaan, antara wilayah agama yang berada di masyarakat, dengan negara yang berada di ranah politik. Ini berarti, Bung Hatta tidak menganut prinsip lainnya, seperti sekularisasi maupun islamisasi.

Demikian Soepomo yang menegaskan sifat religius dari negara-nasional. Berpidato pada 31 Mei 1945, Soepomo melakukan pemilahan antara Negara Islam dengan negara berdasarkan nilai-nilai luhur Islam. Menurutnya, negara-nasional bukan a-religius, sebaliknya ia merupakan negara yang memuliakan nilai-nilai luhur Islam, meskipun tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Kesadaran akan peran penting religiusitas dan ketuhanan dalam dasar negara ini lalu ditandaskan oleh Soekarno. Dalam pidato 1 Juni 1945, ia menyatakan, “Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan!” Selanjutnya ia menambahkan, “Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan… ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” Tekanan ketuhanan sebagai dasar negara ini ia tegaskan melalui kalimat, “Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!”

Dengan demikian, ketuhanan menjadi kalimat bersama (kalimatun sawa’) antar-kelompok nasionalis-religius dengan Islam-nasionalis. Keduanya berbeda soal posisi Islam dalam dasar negara, namun satu kata soal keharusan ketuhanan sebagai bagian utama dari dasar negara. Ketika menempatkan ketuhanan sebagai sila kelima, maksud Soekarno ialah menempatkannya sebagai “akar tunggang” Pancasila. Artinya, sila kebangsaan, kemanusiaan, musyawarah dan kesejahteraan sosial dibangun di atas akar ketuhanan.

Dalam kaitan ini, ketuhanan yang digagas Soekarno ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diamalkan secara beradab dan berbudaya. Sehingga maksud dari frasa “ketuhanan yang berkebudayaan”, ialah pengamalan dari iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bertuhan secara kebudayaan artinya beragama secara beradab dan toleran. Menurut As’ad Said Ali dalam Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009: 160), karena menggagas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu sila dalam Pancasilanya, pidato Soekarno lalu diterima secara aklamasi sebagai bahan baku bagi perumusan dasar negara. Mengapa? Karena sila ketuhanan ini melegakan dua kelompok. Kelompok Islam sepakat sebab di dalam dasar negara memuat ketuhanan yang merupakan cerminan dari tauhid. Demikian pula kelompok nasionalis menerima karena ketuhanan tersebut merupakan prinsip umum keagamaan yang tidak mewakili doktrin agama tertentu.

Piagam Jakarta

Visi ketuhanan baik dari kelompok Islam maupun nasionalis ini berjalin kelindan dengan spirit kebangsaan. Inilah yang membuat tokoh-tokoh Islam bersedia mencoret tujuh kata “dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta, karena pertimbangan persatuan nasional. Pagi hari menjelang Sidang PPKI, 18 Agustus 1945, Bung Hatta melobi Ki Bagus Hadikoesoemo, Kiai Wahid Hasyim, Kasman Singedimedjo dan Teuku Hasan. Tokoh-tokoh Islam ini sepakat mengganti “tujuh kata” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena mengutamakan persatuan, apalagi kemerdekaan bangsa sedang di bawah ancaman Sekutu.

Spirit kebangsaan ini juga dikembangkan oleh Soekarno. Banyak orang tidak mengetahui, bahwa Soekarno bersikukuh dengan “tujuh kata” tersebut demi terjaganya persatuan. Ketika perdebatan tentang “tujuh kata” ini mengalami kebuntuan, pada Sidang Kedua BPUPK, 16 Juli, dengan berlinang air mata ia menghimbau kelompok nasionalis agar menerima Piagam Jakarta demi tercapainya kesepakatan tentang dasar negara (Yudi Latif, 2011: 81). Konsen Soekarno terhadap aspirasi Islam ini ia lanjutkan dengan menempatkan Piagam Jakarta sebagai nilai yang menjiwai UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 1959.

Dengan demikian, jika saat ini terdapat tuduhan sekularisasi terhadap Pancasila, atau Soekarno; maka tuduhan tersebut tidak berpijak pada fakta sejarah yang tepat. Kita harus belajar dari para perumus Pancasila yang mengimani ketuhanan pada satu sisi, namun tetap membangun nasionalisme pada saat bersamaan. Tidak ada paradigma sekular di dalam Pancasila, karena tokoh-tokoh Islampun selalu mengutamakan persatuan bangsa di atas kepentingan kelompok.

Dalam konteks inilah, perdebatan terkini tentang Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) selayaknya tidak membangkitkan konflik ideologi antar-anak bangsa. Sebab konflik tersebut sebenarnya berangkat dari pemahaman deviatif atas hubungan Pancasila, ketuhanan dan Islam. Semua pihak harus kembali pada spirit awal pendiri bangsa yang mengutamakan persatuan di atas perbedaan.

https://m.republika.co.id/berita/qch640320/penyimpangan-sejarah-hubungan-islam-dan-pancasila

 

Kearifan Gus Dur Membaca Masa Depan Indonesia

$
0
0

SALAHKAH BILA ISLAM DIPRIBUMIKAN

FB_IMG_1593191268786

Tubuh masih di KM 10 tapi jangkauan akal pikir sudah di kilo meter 40,itulah cerdasnya anak emas NU.

Luar biasa Gus Dur menuliskan ini 36 tahun silam. Dan, tulisan ini menemukan relevansinya saat ini. Saya awalnya mengira ini ditulis pada saat sekarang atau beberapa tahun belakangan karena begitu mewakili kondisi terkini. Tapi salah sangka. Tahun 83 belum ada wanita Jawa kerudungan (sangat sangat jarang), apalagi bercadar, belum populer istilah ummi, akhi, iftar, dsb. Belum juga ada trend umroh bolak balik tiap tahun. Rasanya semua masih serba Indonesia, sangat kultural. Gus Dur sudah merasakan gejalanya. Kini semua menjadi nyata.

Gus Dur: Salahkah Jika Dipribumikan*

Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti khalifah meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.

Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.

Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.

Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.

Kalau di bidang politik -termasuk doktrin kenegaraan- dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi di bidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam.

Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.

Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Al-Qur’an dan hadis, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah.

Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum Muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang Nasionalisme Arab – yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.

Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif—yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.

Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?

Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?

Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam’ terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.

Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?

*) Tulisan ini dimuat di majalah Tempo, 16 Juli 1983

Pidato Bung Karno Pada Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Pada Tanggal 17 Juni 1954*

$
0
0

*Pidato Bung Karno Pada Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Pada Tanggal 17 Juni 1954*

FB_IMG_1593035959441

https://dip4news.com/pidato-bung-karno-pada-pertemuan-gerakan-pembela-pancasila-di-istana-pada-tanggal-17-juni-1954/

16/01/2019By Dip4news.Com

Pidato Bung Karno Pada Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Pada Tanggal 17 Juni 1954
Dip4news.Com-Editorial, Events, Featured, Home, Inspirator, Internasional, Nasional, News, Redaksi, Topik Utama-353 Views

*Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia*

_Pidato Bung Karno pada pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana pada tanggal 17 Juni 1954_

 

 

Saudara-saudara sekalian

Lebih dahulu saya mengucap banyak-banyak terima kasih kepada Saudara-saudara sekalian, bahwa Saudara-saudara pada malam ini memerlukan datang di sini untuk bersilaturahmi dengan kepala negara serta Ibu Soekarno.

Sekarang saya diminta untuk membuat ceramah. Ceramah yang terutama sekali mengenai hal Pancasila dasar dan asas negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agus­tus 1945. Kadang-kadang saya mendengar sebutan “Gerakan Pembela Pancasila”.

Sebenarnya sebutan yang demikian itu kurang lengkap. Harusnya, ialah “Gerakan Pembela Pancasila Sebagai Dasar Negara”. Kalau sekadar dinamakan “Pembela Pancasila”, maka berarti bahwa Pancasila itu harus dibela. Dan dengan sendirinya timbullah pertanyaan: Apakah Pancasila itu harus dibela? Perta­nyaan ini ada hubungannya dengan paham atau pendapat yang pernah dikemukakan oleh salah seorang Saudara bangsa kita, bahwa Pancasila adalah buatan manusia.

Saudara-saudara,

Dalam hubungan ini buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformulir perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rak­yat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu lain pertanyaan.

Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hijau itu bukan buatanku, bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah kepada Saudara-saudara untuk menjawabnya. Aku sekadar konstateren, menetapkan dengan kata-kata satu keadaan.

Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan di hadapan resepsi para penderita cacat beberapa pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekadar menggali di dalam bumi Indonesia dan men­dapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah-indahnya. Aku bukan pembuat berlian ini; aku bukan pencipta dari berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu. Padahal aku menemukan itu ada daun hijau. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa Pancasila adalah buatan manusia, aku sekadar menjawab: “Aku tidak merasa membuat Pancasila itu; tidak merasa mencipta Pancasila itu”.

Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan dari­pada manusia. Malahan manusia yang tidak lebih daripada Saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekadar memformulirkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakkan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu.

Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh-puluh pulau yang besar-besar, beratus-ratus, beribu-ribu bahkan berpuluh-puluh ribu pulau-pulau yang kecil-kecil. Di atas kepulauan yang berpuluh-puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna adat-istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara berpikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu bangsa yang beraneka warna agama-nya.

Bangsa yang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu negara yang kuat. Maksud kita yang pertama sejak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan bangsa yang 80 juta ini, dan kemudian memerdekakan. Menggabungkan bangsa yang 80 juta ini di dalam satu negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografi, kuat pula oleh karena berdiri di atas kesatuan tekad.

Pada saat kita menghadapi kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, – dan alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian -, kita meng­hadapi soal bagaimanakah negara yang hendak datang ini, kita letakkan di atas dasar apa. Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, dipikir-pikirkan soal ini dengan cara yang sedalam-dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali sayan formuleren apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan “Pancasila”. Sekadar formuleren, oleh karena lima perasaan ini telah hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ra­tus tahun di dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indo­nesia akan perasaan-perasaan ini? Saya sebagai orang yang percaya kepada Allah SWT. berkata: “Sudah barang tentu yang memberikan perasaan-perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Allah SWT. pula”.
Lima perasaan yang Saudara-saudara kenal dengan perkataan-perkataan:
Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kebangsaan Indonesia yang Bulat,
Perikemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat,
Keadilan Sosial,

Kelima perasaan ini hidup di dalam kalangan bangsa Indone­sia. Hidup di dalam kalangan bangsa Indonesia sebelum aku dan engkau ada. Lima perasaan ini hanyalah belum pernah diformulir. Aku mempunyai keyakinan, bahwa kalau negara kita didasarkan di atas lima perasaan ini, maka negara kita dapatlah mempunyai territour (wilayah) dari Sabang sampai ke Merauke.

Saudara-saudara mengetahui bahwa tiap-tiap negara barulah boleh disebut negara, jika negara itu memenuhi syarat paling sedikit tiga buah.

Syarat pertama, ialah bahwa negara itu tegas harus mempu­nyai wilayah. Tegas harus mempunyai territour. Tegas harus orang dapat melihat, bahwa ini wilayah negara itu. Sesuatu gerombolan manusia yang tidak tegas akan territournya, yang tidak tegas akan wilayahnya, dan tidak tegas akan batas-batas wilayahnya, gerom­bolan manusia yang demikian itu tidak dapat dinamakan rakyat daripada suatu negara. Syarat yang pertama ini adalah syarat yang mutlak.

Syarat yang kedua, ialah di atas territour tadi, harus ada rakyatnya. Dan rakyatnya ini harus berasa sebagai satu bangsa. Satu bangsa yang di dalam bahasa Jerman dinamakan satu Staat Nation. Meskipun territournya tegas, tetapi jika di atas territour itu rakyatnya hidup tidak karuan, tidak mempunyai hubungan batin satu sama lain, tidak merasakan dirinya sebagai satu Staat Nation, maka bangsa yang demikian itu tidak dapat disebutkan bangsa daripada satu negara. Sebaliknya, walaupun bahasanya berupa-­rupa, seperti bangsa Swiss, ada yang berbahasa Perancis, ada yang berbahasa Jerman, ada yang berbahasa Italia. tetapi karena mereka merasakan dirinya scbagai satu Staat Nation, dan mempunyai territour yang tegas nyata wilayahnya, maka bangsa yang demikian itu dapat menjadi satu negara.

Syarat yang ketiga, ialah adanya Pemerintah yang ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi. Bagi sesuatu bangsa yang telah mempunyai wilayah yang tegas, dan rasa Staat Nation yang tegas, tetapi bilamana tidak ada Pemerintah di puncaknya yang mengereh segenap Staat Nation ini di atas segenap wilayah ini, dan kalau Pemerintah ini tidak ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi, maka di sini perkataan negara pun tidak boleh dipakai.

Maka untuk memenuhi tiga syarat inilah kami tempo hari menggali-gali di dalam bumi Indonesia ini untuk mendapatkan berlian-berlian yang indah, berlian untuk dijadikan hiasan dari­pada negara. Tegasnya untuk mendapat dasar agar supaya negara ini bisa teguh dan selamat. Lebih daripada siapapun juga di kalan­gan bangsa Indonesia ini, aku yang dikaruniai Allah SWT. di dalam beberapa tahun ini menjadi Presiden Republik Indonesia, hingga aku telah banyak mengunjungi daerah-daerah daripada tanah air kita ini, mengenal rakyat Indonesia ini di pelbagai daerah itu. Lebih daripada siapapun juga, aku melihat bahwa bangsa Indone­sia ini adalah bangsa yang terdiri daripada aneka warna adat-is­tiadat, aneka warna cara hidup, aneka warna paham keseniannya, aneka warna agamanya. Dan bangsa yang demikian ini memer­lukan satu dasar negara yang dapal menipersatukannya.

Dan alhamdulllah sebagai tadi kukatakan ternyata dasar Pan­casila ini dapat dipakai untuk mempersatukan segenap bangsa Indonesia yang 80 juta dan beraneka warna itu. Di wilayah-­wilayah yang jauh-jauh, orang-orang dengan tegas mengatakan bahwa Pancasila adalah satu-satunya dasar yang dapat dipakai untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini. Dan oleh karena kita tidak ingin mempunyai negara dua atau tiga, tetapi kita ingin negara satu (negara kesatuan), maka marilah kita pergunakan Pancasila itu sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara. kita harus bela Pancasila ini. Jika kita tidak mau menghadapi ke­mungkinan bangsa Indonesia ini terpecah-belah berantakan.

Beberapa minggu yang lalu, aku telah mengunjungi daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Aku melihat, sebagian besar dari rakyat di Maluku dan Nusa Tenggara itu menghendaki dasar Pancasila tetap sebagai dasarnya Republik Indonesia kelak ke­mudian hari. Tadi aku katakan bahwa aku hanya sekadar penggali, kemudian sekadar memformuleer, karena kelima perasaan itu memang telah ada di kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh­puluh bahkan beratus-ratus tahun.

Ketuhanan Yang Maha Esa

Aku hendak menceritakan kepada Saudara-saudara lebih da­hulu asalnya istilah Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Tatkala pemimpin-pemimpinmu pada pertengahan tahun ’45 mempikir-­pikirkan dasar apakah yang pantas dipakai untuk menjadi dasar dari Republik Indonesia yang akan datang, maka mula-mula aku menganjurkan sebagai sila yang pertama, Ketuhanan. Kemudian datanglah perbincangan yang hebat, terutama sekali daripada saudara-saudara pihak Islam yang menghendaki dengan tegas jangan sekadar dinamakan “Ketuhanan” saja tetapi ditambah de­ngan perkataan “Yang Maha Esa”. Dan usul daripada saudara­-saudara dari pihak Islam ini, diterima oleh kami semua. Jadi perkataan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah hasil daripada perundingan. Hasil daripada usul dari saudara-saudara pihak Islam yang memang usul itu kami terima dengan segala senang hati. Dari ini saja sudah nyata bahwa Pancasila bukan kuberikan kepada bangsa Indonesia sebagai aku ini diktator. Tidak!!! Dirundingkan. dibicarakan bersama. Dan spesial yang mengenai sila yang per­tama malahan dipersempurnakan oleh saudara-saudara dari pihak Islam dengan perkataan “Yang Maha Esa” itu tadi.

Ketuhanan, (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti re­ligieusiteit) itu memang sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus dan beribu-ribu ta­hun. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama-tama hal yang aku lihat ialah religieusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas tarafiiya agraria, taraf pertanian. Semua bangsa yang masih hidup di atas taraf agraria, tentu religius. (Saya belum memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa) tetapi baru saya memakai perkataan religieusiteit atau kepercayaan kepada suatu hal yang gaib yang menguasai hidup kita ini semua. Perasaan atau keper­cayaan yang demikian itu hidup di dalam kalbunya bangsa-bangsa yang masih hidup di dalam taraf agraria.

Betapa tidak?

Orang yang masih bercocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk mencari makan ini sama sekali tergan­tung daripada satu hal yang gaib. Orang yang bertani memohon supaya turun hujan misalnya. Dari mana hujan harus diminta? Kita mempunyai sawah dan ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau jagung. Padi akan mati, jika tidak dapat air hujan. Bangsa yang bertani tidak boleh tidak, lantas: “ah, ada satu hal yang gaib, kepada Nya aku mohon supaya diturunkan hujan”. Demikian pula jikalau buah padinya telah hampir tua, sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia berhadapan dengan satu hal yang gaib. Mungkin dia belum dapat mengatakan bahwa itu yang dinamakan Allah. Atau Tuhan pun mungkin belum ada perkataan itu padanya. Tetapi sekadar kal­bunya penuh dengan permohonan kepada satu zat yang gaib: “Ya gaib, ya gaib, jangan diturunkan hujan, lagi aku sekarang membu­tuhkan kering”. Hujan dan kering tidak dapat dibuat oleh manusia. Hujan clan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada sesuatu zat yang gaib.

Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah. hama belalangkah, hama baksil-baksilkah. Sama sekali itu di luar perhi­tungan manusia. Lagi dia mohon kepada satu hal yang gaib: “Ya, gaib berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu oleh hama. tikus”. Ya, barangkali dia belum tahu hal-hal kuman-kuman kecil yang dapat membikin sakitnya padi atau jagungnya itu.

Bangsa yang demikian, yang masih di atas taraf agraria, tidak boleh tidak mesti religius. Sebaliknya bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak sekali yang meninggalkan religieusiteit itu. Aku tidak berkata bahwa itu adalah baik, me­ninggalkan religieusiteit. Tidak! Lagi-lagi aku sekadar kon­stateren. Bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit. Apa sebab? Sebabnya ialah karena ia berhadapan – banyak sekali – dengan kepastian­kepastian. Perlu listrik, tidak perlu “oh ya gaib, oh ya gaib”, dengan tekan knop saja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu dia memohon ya gaib ya gaib aku ingin tenaga. Dia punya mesin; mesin dia gerakkan, mesin itu bergerak. Di dalam tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin perang aku dapat mengadakan perang. Ingin tenaga aku bisa menggerakkan ini mesin. Oleh karena itulah rakyat yang sudah hidup di dalam alam industrialisme banyak yang meninggalkan religieusiteit itu tadi.

Memang pernah kukupas di dalam satu ceramah yang mengenai religieusiteit ini, bahwa religieusiteit ini melewati be­berapa fase pula. Sebab memang masyarakat manusia adalah dinamis. Dinamis di dalam arti selalu bergerak. Masyarakat manusia tidak berhenti pada satu taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan (berevolusi). Masyarakat manusia dinamis. Cara hidup manusia berganti-ganti. Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religieusiteit pun berganti-ganti warna. Tatkala dia masih hidup di dalam hutan rimba-raya, belum dia bertani. Dia hidup di rimba-raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup di dalam gua-gua, di bawah pohon-pohon. Sekadar mencari makan dengan memburu atau mencari ikan. la sudah religius, tetapi apa yang dia sembah? Dia menyembah petir. Oleh karena dia menge­tahui, kalau memerlukan api: “itu dia, petir itu bisa menyembar pohon dan dia memberi api kepadaku”. Dia menyembah sungai, oleh karena sungailah memberi ikan kepadanya. Bahkan dia menyembah batu, karena batu itulah yang memberi perlindungan kepadanya. Dia menyembah geledek, dalam pikirnya geledek inilah satu zat yang gaib. Pikirannya ada satu zat yang gaib yang turun dari satu mega ke lain mega, dengan mengeluarkan suara gemuruh. Dia adalah religius, dengan cara dia sendiri.

Tatkala manusia kemudian dari itu tidak lagi hidup di dalam rimba-raya, di dalam gua-gua tetapi hidup dengan beternak, pada waktu itu dia religius, tetapi ciptaan daripada zat gaib ini lain lagi. Bukan lagi geledek, bukan lagi sungai atau pohon-pohon besar yang rindang-rindang dia sembah, tetapi dia menyembah zat yang berupa binatang-binatang sebagai yang sekarang ini masih ada sisa-sisanya di beberapa bangsa yang menyembah sapi atau bi­natang ternak.

Tatkala manusia hidup di atas taraf pertanian, makin religius dia tetapi ciptaannya juga berubah daripada bangsa yang masih hidup di rimba-raya dengan memburu dan mencari ikan daripada bangsa yang hidup dengan berternak saja. Tetapi nyata bangsa yang di atas taraf agraria, bangsa yang demikian itu adalah re­ligius. Terutama sekali karena tanam-tanamannya tergantung sama sekali dari gerak-gerik iklim.

Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agraria dan sudah masuk taraf industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit seperti kukatakan tadi, oleh karena dia hidup di dalam alam kepastian. Malah di dalam taraf inilah timbul aliran-aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan. Di dalam taraf inilah timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi jikalau Saudara-saudara bertanya kepada Bung Karno persoonlijk apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan, Bung Karno berkata: “Ya aku percaya kepada Tuhan”. Malahan aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua bukan tiga. Tuhan yang satu. Tuhan yang menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah-ubah. Pikiran manusia yang berubah-ubah.

Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba-raya di bawah pohon-pohon dan di gua-gua, dia mengira bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu tatkala manusia hidup dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangsa-bangsa yang menyembah kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup di dalam taraf agraria, terutama sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala manusia masuk di dalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui kepada Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering menceritakan tentang hal orang buta yang ingin meli­hat rupanya gajah. Ada empat orang buta, semuanya belum pernah melihat rupanya gajah. Datanglah seorang kawan yang hendak menunjukkan kepada mereka itu apa gajah itu. Si Buta yang pertama disuruh maju ke muka, dia meraba-raba dan dia mendapat belalai gajah. Dia berkata: “Oh aku sekarang sudah tahu rupanya gajah, rupanya sebagai ular besar yang bisa dibengkok-bengkok­kan”.

Si Buta nornor dua disuruh tampil ke muka dan dia mencari­-cari gajah dan mendapat ekor daripada gajah itu. Lalu dia berkata: “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu seperti cambuk”.

Si nomor tiga lagi maju ke muka. Cari-cari gajah, lalu me­megang kaki gajah. Katanya: “Oh aku sudah tahu gajah rupanya seperti pohon kelapa”. Si nomor empat tampil ke muka (dia cebol) pendek sekali dia punya badan. datang di bawah gajah itu, pegang­-pegang tak dapat apa-apa. Katanya: “O aku sudah tahu, gajah rupanya seperti hawa. Gajah tidak ada. Gajah itu seperti hawa ini”.

Seperti orang di dalam dunia industrialisme mengatakan bah­wa Tuhan tidak ada. Padahal gajah ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti-ganti. Saudara-saudara.

Aku menceritakan hal ini, untuk mengatakan bahwa bangsa kita yang terutama sekali hidup di atas taraf agraria ini, bahwa bangsa Indonesia itu reliegius. Oleh karena itulah maka sila yang pertama tergalilah olehku hal perasaan ini: Ketuhanan di dalam arti relegieusiteit. Tetapi oleh Saudara-saudara pihak Islam diusul­kan supaya ditambah dengan perkataan: Yang Maha Esa. Dan itu kami terima dengan segala senang hati.

Maka oleh karena itulah sila yang pertama sekarang itu, berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kebangsaan

Sudah barang tentu kita yang ingin menjadi bangsa yang satu, harus mengemukakan sila kebangsaan itu. Dan sudah barang tentu rasa kebangsaan itu hidup berkobar-kobar di dalam dada kita. Ialah oleh karena kita sudah 350 tahun dijajah oleh bangsa lain. Sosio­logis, semua bangsa yang lama dijajah oleh bangsa asing, mesti kalbunya itu berkobar-kobar dengan rasa kebangsaan. Ini boleh dinamakan adalah satu perasaan negatif, reaksi kepada imperial­isme atau kolonialisme. Tetapi rasa kebangsaan ada di dalarn kalbunya tiap-tiap bangsa yang telah lama dijajah oleh bangsa lain. Tetapi seperti Saudara-saudara mengetahui, kebangsaan yang kita kemukakan bukan sekadar kebangsaan negatif. Tetapi juga ke­bangsaan positif. Kebangsa-an yang ingin mengemukakan segala rasa-rasa yang mulia dan luhur yang ada di dalam kalbunya bangsa kita.

Bahkan aku berkata, di dalam hal ini bangsa Indonesia telah memberi contoh yang sebaik-baiknya. Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia ini yang belum pernah menjajah bangsa lain. Bangsa Iain pernah menjajah Indonesia. Tetapi bukalah kitab sejarah. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang engkau tidak akan mendapat sesuatu bukti bahwa bangsa Indonesia itu pernah menjajah bangsa lain. Tidak! Kita bangsa Indonesia di dalam rasa nasionalismne kita suci murni sebagai satu bangsa yang bukan saja menjunjung tinggi kepada nasionalisme atau kebangsaan, tetapi juga sebagai satu bangsa yang hidup di dalam alam perikemanu­siaan sebagai yang terlukiskan di dalam sila ketiga daripada Pan­casila itu.

Seluruh bangsa di Asia sekarang masih hidup di dalam rasa kebangsaan itu. Nasionalisme adalah salah satu faktor mental yang penting sekali di dalam segenap dunia dari Magribi (daerah paling Barat dari Afrika) sampai ke daerah Pasifik. Apa sebab? Ialah karena bangsa-bangsa yang dinamakan bangsa Afrika dan Asia ini tidak berselang lama masih hidup di dalam alam penjajahan, dijajah oleh kolonialisme, diperintah oleh bangsa lain, ditindas oleh bangsa asing, dihisap oleh kekuasaan-kekuasaan dari luar. Bangsa-bangsa yang demikian itu tidak boleh tidak tentu kalbunya itu hidup dengan keinginan kembali kepada pribadi sendiri, yaitu yang dinamakan kebangsaan. Tetapi bangsa Indonesia adalah istimewa. Ialah oleh karena bangsa Indonesia ini terutama sekali hidupnya di persimpangan jalan. Persimpangan jalan dari Asia ke Australia, dari lautan Teduh ke lautan Hindia. Bangsa yang dari zaman purbakala sudah belajar kenal dengan bangsa-bangsa yang lain. Bangsa yang tidak pernah hidup eksklusif. Bangsa yang tidak pernah hidup isolationistis. Bangsa yang tidak pernah hidup menyen-diri. Bangsa yang merasa dirinya tertindas benar. Bangsa yang merasa dirinya terjajah benar. Bangsa yang ingin merdeka benar. Bangsa yang ingin bersatu benar. Bangsa yang dus ber­nasionalisme benar. Tetapi nasionalismenya tidak pernah sekadar negatif, tetapi positif. Ialah karena bangsa Indonesia itu sebagai tadi kukatakan tidak pernah terpencil daripada bangsa-bangsa yang lain.

Perikemanusiaan

Rasa perikemanusiaan antara lain-lain bisa diterangkan daripada inilah yang bangsa Indonesia tidak pernah hidup isola­tionistis, yang bangsa Indonesia seperti hidup di dalam satu gedung yang pintu-pintunya terbuka, jendela-jendelanya terbuka. Hawa segar dapat masuk ke dalam gedung bangsa Indonesia itu. (Dengan demikian, bangsa Indonesia itu tidak pernah di dalam kalbunya pula, isolationistis). Selalu mem-punyai rasa manusia dengan manusia dengan manusia dengan bangsa apapun. Apalagi kita sejak daripada zaman dulu mendapat didikan-didikan perike­manusiaan yang beraneka warna.

Ambil misalnya agarna Hindu, yang sudah ribuan tahun yang lalu datang di Indonesia. Apa ajaran agarna Hindu, yang dulu itu boleh dikatakan agana dari sebagian besar daripada bangsa Indo­nesia ini? Apa ajaran agarna Hindu yang telah memasuki jiwa Indonesia beratus-ratus tahun lamanya. Di dalam agama Hindu ada satu ajaran dalam bahasa Sanskritnya berbunyi: Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Sering di zarnan Hindu orang menun­juk dirinya dan diri orang lain Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Dia adalah aku, aku adalah dia. Itulah artinya Tat Twam Asi. Aku adalah dia, dia adalah aku, ini adalah rasa peri­kemanusiaan. Yang sudah di-cekokkan ke dalam jiwa kita beratus-­ratus tahun bahkan beribu-ribu tahun yang lalu.

Kemudian kita mendapat pula didikan agama Islam. Tidak-kah agama Islam itu justru satu agama perikemanusiaan? Tidak-kah agama Islam itu sejak dari dahulu memberi pengajaran kepada kita hal kifayah, hal kemasyarakatan, sampai misalnya diadakan fardhu kifayah. Jangan sekadar memikirkan saja kepada diri sendiri, tetapi ingat kepada kifayah, fardhu kifayah. Masyarakat, masyarakat. Dan tidakkah ajaran daripada Islam ini telah menye­rak pula di dalarn darah-daging bangsa Indonesia?

Engkau menghendaki agama Kristen, tidakkah agama Kristen pula mengajarkan hal perikemanusiaan itu? Tidakkah agama Kris­ten pula mengajarkan het God lccft bovcn alles, en Uw naasten ggelijk U zelven.

Sesama manusia harus dicintai, seperti mencintai diri kita sendiri. Jadi jikalau aku menggali rasa perikemanusiaan di dalam bumi Indonesia, itu adalah satu hal yang tidak meng-herankan. Sebagaimana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa Ketuhanan di dalam bumi Indonesia. Sebagai-mana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa kebangsaan di dalam kalbunya bangsa Indonesia.
Kedaulatan Rakyat
Demikian pula kalau aku menggali kecintaan kepada Kedau­latan Rakyat di dalam kalangan bangsa Indonesia. Itupun tidak mengherankan, bahwa bangsa Indonesia ini memang beribu-ribu tahun hidup di dalam alam demokrasi itu, walaupun demokrasi kita tidak sebagai apa yang dinamakan parlementaire atau Westerse democratie sekarang ini. Sejak zaman dahulu kita ini adalah bangsa yang demokratis. Sejak zaman dahulu kita memu­syawaratkan segala sesuatu yang mengenai masyarakat kita. Se­belum ada teori-teori Montesqieu, Voltaire, Rousseau, sebelum teori trias-politica, sebelum ada parlemen-parlemen di dunia barat, kita sudah menjalankan demokrasi di dalam bentuk secara kuno. Tetapi demokrasi telah ada. Oleh karena itu rasa demokrasi ini tidak asing lagi bagi kita.

Sebelum ada parlemen-parlemen, kita telah mempunyai cara berpernerintah di desa-desa, dan di negara-negara yang demokrasi, walaupun demokrasinya itu adalah demokrasi yang sesuai dengan zaman itu.

Keadilan Sosial

Demikian pula kalau aku menggali di dalam bumi Indonesia ini perasaan Keadilan Sosial. Tidaklah mengherankan pula, terutama sekali di dalam alam imperialisme kita gandrung kepada keadilan sosial. Kita gandrung kepada satu keadaan yang mem­berikan nyaman hidup kepada kita. Kita gandrung kepada cukup makan, cukup pakaian, cukup perumahan yang layak. Tidak perlu kuceritakan kepada Saudara-saudara betapa akibatnya imperial­isme, kolonialisme, penjajahan kepada kehidupan dan perikehi­dupan kita. Kita bangsa Indonesia yang dahulu hidup di dalam alam kemakmuran, kita menjadi satu bangsa yang miskin di dalam alam imperialisme itu. Tidakkah dulu Saudara mengenal ucapan bahwa bangsa Indonesia dapat hidup dari uang 2 sen atau sebeng­gol seorang sehari karena isapan daripada kaum imperialisme itu. Padahal kalau kita melihat kitab-kitab zaman kuno yang meng­ingatkan kita akan zaman yang makmur itu: gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo. Diceritakan masyarakat kita di zaman dahulu sampai poezie kita membawa alam yang seindah­indahnya mengenai keadilan sosial itu. Kadang-kadang aku menyuruhkan dalang, jika dalang telah menceritakan kemakmur­an bangsa kita di zaman dahulu, toto tentrem kartoraharjo katanya, gemah ripah loh jinawi, poro kawulo ijeg rumagang ing gawe, tebih saking cecengilan, adoh saking laku juti, bebek ayam rajo­koyo enjang medal ing pangonan surup bali ing kandange dewe­dewe.

Sampai bebek dan ayam dikatakan pagi-pagi keluar sendiri ke tempat penggembalaan. Pada waktu magrib ternak ayam bebek ini pulang ke kandangnya masing-masing.

Kemudian datang imperialisme hidup di dalam alam kemis­kinan. hidup dari sebenggol seorang sehari. Sebagai Dr Huender mengatakan een natie van loontrekkers en een koelie onder de naties. Hidup dalam alam kesederhanaan, hidup di dalam alam kepapaan, kekurangan. Herankah kita bahwa kita lantas hidup di dalam alam idealisme ini ingin kepada keadilan sosial? Bahwa bangsa Indonesia gandrung kepada keadilan sosial itu? Heran-kah kita bahwa bangsa Indonesia itu mengenang-ngenangkan akan datangnya seseorang ratu adil yang bisa memberi “sandang pa­ngan” yang layak kepada bangsa Indonesia itu? Dan herankah kita kalau aku menggali sila kelima ini dari buminya bangsa Indonesia yang hidup papa sengsara dan gandrung kepada keadilan sosial itu? Tidak!

Maka sekali lagi Saudara-saudara dan adik-adikku aku sekadar menggali keadaan-keadaan yang nyata, kemudian aku formuleer dan formuleer inilah dinamakan Pancasila. Kemudian tatkala aku menjadi Presiden Republik Indonesia dan mengun­jungi daerah-daerah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai hampir ke Merauke makin teguh perasaanku bahwa hanya Pan­casila inilah harus kita pertahankan sebagai dasar negara. Aku melihat bahaya yang besar mengancam keruntuhan negara kita ini jikalau dasar Pancasila tidak kita pertahankan untuk dasar negara kita. Jangan Pancasila diaku oleh sesuatu partai! Jangan ada se­suatu partai berkata: Pancasila adalah azasku.

PNI tetaplah kepada asas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berasas Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau di­katakan Pancasila adalah ideologi satu partai, lalu partai-partai lain tidak mau.

Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini. Saudara-saudara.

Hal negara, jagalah negara jangan sampai negara ini pecah. Untuk apa kita berjuang berpuluh-puluh tahun, tidakkah untuk negara ini? Dan tadi sebagai kuterangkan tidakkah kita telah gandrung kepada kesatuan dari Sabang sampai ke Merauke? Menggandrungi satu negara yang meliputi satu territour dari Sabang sampai ke Merauke itu? Tidakkah itu tujuan perjuangan kita, hal yang baginya kita telah rela berkorban? Tidakkah untuk itu pemuda-pemuda kita rela mati di medan pertempuran? Tidak­kah untuk itu kita mempunyai bangsa berkorban sampai sudah tidak bisa dinamakan pengorbanan lagi, karena pedihnya sudah tiada hingga lagi? Tidakkah untuk negara yang satu ini kita ber­juang berpuluh-puluh tahun dan kemudian kita bertempur di dalam revolusi bertahun-tahun pula?

Negara adalah “wadah”. Dari territour Sabang sampai ke Merauke ini adalah harus terbentang satu wadah yang besar. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Dan kalau Saudara-saudara atau siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat ini! Ini tegas kukatakan beda antara wadah dengan masyarakat yang di dalam wadah ini.

Yang harus di sini itu, masyarakatnya. Wadahnya ini, jangan sampai retak. Engkau mempunyai wadah yang berupa piring, berupa gelas ataupun berupa bejana. Di dalam wadah itu dapat engkau isikan air, bier, stroop, kecap, segala apa yang dapat. Tetapi janganlah wadah ini retak. Negara menurut teori populer, adalah wadah. Menurut teori lain-lain, macam-macam. Misalnya salah satu teori yang amat terkenal, ialah teori daripada Marx. Karl Marx berkata bahwa negara adalah sekadar satu organisasi. Organisasi kekuasaan (macht organisatie) kata Marx. Apa sebab katanya, karena di dalam masyarakat selalu ada dua kelas yang bertentang­an satu sarna lain. Kelas yang satu menundukkan kelas yang lain dan ingin mengekalkan penundukannya ini dan untuk menunduk­kan itu, kata Marx, maka kelas yang menang ini mengadakan macht-organisatie yang dinamakan negara. Ini teori Marx tentang negara.

Lenin. komunis yang terkenal malahan lebih populer Iagi mengatakan. Pernah orang bertanya kepada Tovarich Lenin, apa negara itu? Lenin menjawab “de staat is een knuppel” (negara adalah pentung). Di dalam cara berpikir kaum Marxist memang negara adalah satu pentung. Negara adalah macht organisatie kata Marx sendiri. (organisasi kekuasaan daripada satu kelas yang berkuasa). Organisasi kekuasaan ini bisa dipakai untuk memen­tung ke luar, dapat dipakai untuk mementung ke dalam. Memen­tung ke luar, yaitu kalau ada musuh dari luar datang hendak menyerbu. Maka dihadapi dengan organisasi negara ini, dihadapi dengan alat-alat kekuasaan daripada macht organisatie ini. Dan alat kekuasaan itu berupa tentara, armada dan lain-lain sebagainya. Negara adalah macht organisatie yang mempunyai alat-alat kekuasaan untuk menahan musuh yang datang dari luar. Tetapi negara juga macht organisatie yang mempunyai alat-alat kekuasaan untuk mementung memukul musuh-musuh dari dalam. Yang dari dalam itu apa, pencuri-pencuri dan lain-lain sebagainya. Alat-alatnya ke dalam yang berupa hakim-hakim, penjara-penjara dan lain-lain.

Dia membantah pendapatnya kaum idealis yang mengata-kan bahwa negara adalah: de tot werkelijkheid van geworden idee. Kaum idealis, kaum yang disebut oleh Marx tidak berdiri di atas realiteit. Kaum idealis itu berkata bahwa negara adalah de tot werkelij kheid geworden idee. Jadi seperti satu pengelamunan, satu cita-cita kemudian terselenggara. Marx membantah akan hal itu, dan mengatakan akan hal itu, dan mengatakan negara adalah satu macht-organisatie, yang bukan timbul sebenarnya daripada idee, tetapi daripada verhoudingen, daripada klassen-strijd, perbanding­an-perbandingan di dalarn masyarakat yang bertabrakan satu sama lain ini memaksa kepada keadaan terbentuknya macht-organisatie sebagai kelas yang menang.

Dan oleh karena negara menurut anggapan Marx adalah macht organisatie daripada kelas yang menang, maka Marx berkata: di kelak kemudian hari jika telah tercapai satu masyarakat yang tidak berkelas (sekarang ini masih ada kelas kapitalis, kelas proletar), tetapi di kelak kemudian hari jikalau kelas kapitalis sudah hilang, tinggal satu masyarakat yang tidak berkelas katanya, semuanya itu satu golongan saja tidak ada kapitalis, proletar, tidak ada feodal tidak ada horige, di dalam masyarakat yang tidak ada berkelas lagi, kata Marx, dengan sendirinyapun negaranya lenyap. Satu maatschappij yang klassenloos akan menjelmakan juga satu maatschappij yang staatloos. Itu anggapan Marx.

Tetapi bagi kami, terutama sekali untuk menyelamatkan kita punya Republik Indonesia ini, kami menggambarkan negara ini dengan cara yang populer, yaitu menggambarkan gambaran wadah, agar supaya bangsa Indonesia mengerti bahwa wadah inilah yang harus dijaga jangan sampai retak. Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak, jikalau wadah ini didasarkan di atas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen-elemen yang tersusun daripada Pan­casila. Gelas terbuat dari gelas, cangkir terbuat dari porselen, keranjang terbuat dari anyaman bambu, periuk terbuat daripada tanah, belanga terbuat daripada tanah atau tembaga.

Wadah kita yang bernama negara ini, terbuatlah hendaknya daripada elemen-elemen yang tersusun dari Pancasila. Sebab hanya jikalau wadah ini terbuat daripada elemen-elemen itu saja, dan hanya kalau wadah ini ditaruhkan di atas dasar Pancasila itu maka wadah ini tidak retak, tidak pecah.

Aku berani mengatakan ini karena aku telah melihat sendiri di beberapa daerah daripada tanah air kita ini manakala sesuatu ide saja dipakai sebagai dasar, datanglah perpecahan. Ada daerah yang dengan tegas menyatakan mau tidak mau ikut itu aku hanya mau Pancasila. Pancasila itu sajalah yang bisa mempersatukan kami semuanya.

Oleh karena itu aku masih yakin baiknya Pancasila sebagai dasar negara. Ini wadah bisa diisi, dan memang wadah ini telah terisi masyarakat. Masyarakat ini yang harus diisi. Orang Islam isilah masyarakat ini dengan Islam. Orang komunis, masukkanlah atau isilah masyarakat ini dengan komunisme. Orang Kristen, masukkanlah kekristenan di dalam masyarakat ini. PNI yang berdasar di atas marhaenisme, isilah masyarakat ini dengan marhaenisme, dengan satu masyarakat yang berdasar dengan marhaenisme. Masyarakatnya yang harus diisi. Tempo hari aku menggambarkan dengan tamzil lain, ini wadah diisi air, engkau mau apa, airnya diisi dengan warna apa, warna hijau, ya isilah dengan hijau air ini. Engkau senang warna merah, isilah dengan warna merah. Engkau senang dengan warna kuning, isilah air ini dengan warna kuning. Engkau senang kepada warna hitam, isilah air ini dengan warna hitam. Airnya yang harus diisi, bukan wadahnya. Wadahnya biar tetap dengan berdasarkan Pancasila, tetap terbuat daripada elemen-elemen Pancasila ini. Sebab bila­mana tidak, maka wadahnya retak. Kalau retak, bocor. Bisakah kita mengisikan air di dalam beker yang retak? Tidak! Bisakah kita mengisikan susu di dalam beker yang retak? Tidak! Oleh karena itu kita harus jaga jangan sampai wadah ini retak.

Saudara-saudara

Inilah pokok daripada anjuranku kepada segenap bangsa Indonesia supaya mengerti betul-betul akan hal ini. Orang berkata aku diktator katanya memaksakan orang memakan Pancasila. Tidak! Aku tidak berdiktator. Pertama aku sekadar menjaga jan­gan sampai negara ini pecah. Dan sebagai telah kukatakan di satu tempat aku berbicara sebagai Presiden Republik Indonesia dan tat­kala aku dijadikan Presiden Republik Indonesia aku harus meng­ucapkan sumpah. sumpah mempertahankan dan setia kepada UUD. Dan di dalain UUD ini Mukaddimahnya dengan tegas me­ngatakan hal Pancasila itu. Kita telah mengalami beberapa UUD Sementara. Bahkan sebelum ada UUD Sementara itu kita telah mengalami apa yang dinamakan Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter telah disebutkan lima sila itu.

Kemudian di dalam UUD daripada Negara Republik Indonesia yang pertama, Pancasila sebagai Mukaddimah, kemudian di dalam UUD RIS. Mukaddimah-nyapun berisikan Pancasila. Kemudian di dalam UUD Semen­tara yang sekarang ini, lagi-lagi Pancasila. Di atas UUD ini aku harus mengadakan sumpah. Tidakkah sudah sebaiknya sepantas­nya seyogyanya seharusnya semestinya aku tidak berhenti-henti membela kepada Pancasila ini sebagai dasar negara. Dasar negara yang UUD-nya telah kusumpah. Dan bukan saja oleh karena aku telah bersumpah, tidak! Lebih daripada sumpah itu, ialah keyakin­an di dalam dadaku bahwa Pancasila ini adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan Negara Republik Indonesia ini. Oleh karena itu aku dengan yakin pula berkata kepada semua orang harap Pancasila ini dipertahankan. Sebab jikalau Pancasila tidak diper­tahankan sebagai dasar negara kita, kita nanti mengalami bencana. Bolehkah kita mempropaganda-kan ideologi kami? Boleh semer­deka-merdekanya. Tetapi negara, tetaplah letakkan di atas Pan­casila.

Beberapa kali di dalam waktu yang akhir-akhir ini malahan aku berkata kita hendak mengadakan konstituante, hendak meng­adakan pemilihan umum untuk konstituante dan DPR. Aku de­ngan tegas selalu berkata pemilihan umum buat apa, untuk memilih konstituante. Konstituante untuk apa, untuk menyusun UUD tetap. Apa sebab tetap, oleh karena UUD kita sekarang ini masih sementara. UUD tetap untuk apa, kataku untuk negara yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak untuk negara lain, negara baru. Tegas kataku, adakah orang yang hendak mau diajak membikin UUD baru bagi sesuatu negara lain sesuatu negara baru yang bukan negara 17 Agustus 1945?

Mungkin ada orang-orang yang demikian itu. Tetapi aku yakin Saudara-saudara tidak mau. Sebab itu aku berkata dan menganjurkan kalau diajak oleh seseorang mengadakan UUD tetap untuk sesuatu negara lain. negara baru, bukan negara yang kita proklamirkan bersama pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan tegas aku berkata jangan mau!

Tidakkah kita untuk itu kita berjuang untuk negara yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945? Kalau kita tidak berjuang lagi untuk negara yang 17 Agustus 1945, kalau tidak sekarang ini masih kita membanting tulang mengulur kita punya tenaga, me­meras kita punya keringat untuk negara 17 Agustus ini lebih baik kita tidur, jangan bekerja jangan berjuang. Sebab negara ini yang kita cita-citakan sejak dari dahulu. Negara ini pemuda-pemuda kita telah mengorbankan dia punya jiwa dan raga. Untuk negara ini bapak kita telah membakar dia punya rumah. Untuk negara ini kita punya pelayan-pelayan ikut berjuang menderita sehebat-he­batnya. Untuk negara ini kita pegawai-pegawai mengungsi ke gunung-gunung. Untuk negara ini kita punya gerilya kita punya TNI hancur habis-habisan. Untuk negara ini kita punya bumi hangus. Untuk negara ini kita punya pemimpin-pemimpin beribu­ribu masuk penjara ada yang digantung oleh Belanda. Tidakkah benar kataku ini?

Apa sebab sekarang kita mau membuat Undang-Undang Dasar tetap bagi sesuatu negara lain atau negara baru. Jangan! Jangan!

Adakah yang mengadakan negara lain? Ya ada, antara lain, Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh. Dan ada orang-­orang yang simpati kepada Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh. Tetapi kita tidak mau dan kita mohon kepada Allah SWT ya Allah ya Rabbih, semoga kita tetap kepada tekad yang semula yaitu setia kepada Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Saudara-saudara

Sekarang kita menghadapai soal ini: “Pancasila tetap sebagai dasar negara atau tidak”. Aku sebagai Presiden Republik Indonesia dan lebih-lebih pula sebagai Bung Karno. aku tetap menganjurkan pakailah Pancasila ini tetap sebagai dasar negara kalau kita tidak ingin negara ini menjadi pecah.

Ini satu perjuangan yang mengenai dasar. Ini menjadi satu perjuangan untuk meyakinkan Saudara-saudara kita yang lain-lain yang belum yakin. Dan perjuangan yang demikian ini tidak bisa kita jalankan dengan diam-diam. Perjuangan yang demikian ini meminta kita mencurahkan segenap kita punya tenaga segenap kita punya daya penarik, segenap kita punya daya meyakinkan kepada orang lain. Kita harus bekerja keras sekeras-kerasnya. Tatkala dulu pemimpin-pemimpin menyebar-kan paham entah pa­ham ke Islaman, entah paham kesatuan Indonesia, entah paham sosialisme, entah paham komunisme, entah paham Markhaen­isme, mereka tidak duduk memeluk lutut. Mereka bergerak, me­ninggalkan kursi yang empuk-empuk, mereka masuk kampung keluar kampung, masuk desa keluar desa. Mereka menjalankan darma baktinya dengan memberikan tenaga yang 100%.

Kita sekarang menghadapi konstituante, pemilihan umum. Segenap jiwa ragaku ingin agar dasar Pancasila ini tetap dipakai oleh bangsa Indonesia. Aku sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sering bisa meninggalkan Istana Negara atau Istana Merdeka ini. Kalau umpamanya aku manusia biasa bukan Presiden, insya Allah SWT. tiap hari aku akan masuk kampung dan desa. Tiap hari suaraku kugunturkan dan isinya suaraku tak lain tak bukan, hai bangsa Indonesia jangan negara kita ini sampai retak. Jangan negara Republik Indonesia ini sampai terpecah belah. Marilah kita selamatkan negara ini, dan selamatnya hanya bisa di atas dasar Pancasila.

Aku minta kepadamu sekalian. untuk betul-betul mengan­jurkan hal Pancasila ini kepada segenap rakyat agar supava sela­matlah negara kita ini.

Sekian, terima kasih.

Siwa, buda, Muhammad rasululah Dan bahtera peradaban (bagian I)

$
0
0

By Asep Kurniawan

Siwa, buda, Muhammad rasululah Dan bahtera peradaban (bagian I)

Dimasa lalu. Ini hanyalah satu gunung. Yang kemudian meletus.

Dibekas gunung purba ini kemudian Muncul belasan gunung baru.

Gunung purba ini jelas amat besar, membentang dari pantai selatan hingga utara. Dari pekalongan hingga magelang dan kebumen.

Gunung ini, boleh jadi tingginya melebihi 10ribu meter. Meski saat ini telah tercerai berai menjadi banyak gunung kecil. Namun akar gunung ini jelas amat dalam menghunjam ke dalam bumi.

Dan dalam legenda tantu panggelaran menjadi pasak, yang menahan bumi dari guncangan.

Mantan gunung besar ini kemudian menjadi semacam mitologi.

Yang cerita tentangnya membentang ke lebih dari separuh dunia, menjejah masa hingga lebih dari 6 ribu tahun silam.

Orang orang akaddia menyebut sebagai SuMeru, sebagai lokasi asal leluhur mereka, sehingga sejarah mencatat mereka sebagai orang sumeria.

Dalam tradisi yang berbeda disebut meru yang agung (mahameru) yang dianggap cikal bakal dari gunung gunung lain.

Tradisi Islam menyebut sebagai Jabal Qaf. Nenek moyang dari semua gunung.

Sebagai mantan bekas gunung, wonosobo dan sekitarnya menunjukan tanda tanda bekas lava di seluruh wilayahnya. Gundukan tanah tipis diatas pasir dan bebatuan dari lava yang membeku.

Kondisi ini menjadikan wonosobo sebagai lembah super subur sekaligus tempat cadangan air terbaik. Sampai sampai pabrik Aqua yang amat rakus air itupun membangun pabrik pertamanya diwilayah ini.

Pada sekitar tahun 622 Masehi, saat mengalami perjalanan spiritual ‘Isra Mi’raj.

Nabi muhammad singgah di satu desa terpencil diketinggian sekitar 2200 meter.

Satu desa yang selama ratusan tahun tersembunyi dan diapit bukit bukit.

Di desa ini lah beliau bertemu pengikut ajaran Siwa buda

‘Aku melihat sebuah desa kecil yang Indah. Tanahnya berdebu putih seperti perak. Berkilau seperti kaca. Desa itu hunian bagi manusia seperti umumnya.

Tatkala penghuni itu melihatku, mereka serempak berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kesempatan bisa melihat secara langsung wajahmu, Wahai Nabi Muhammad. Mereka kemudian menyatakan keimanannya kepadaku’

Demikian kalimat pembuka, nabi muhammad dalam cerita perjumpaan itu.

Satu desa yang memiliki lapisan batu dan tanah yang memiliki kristal kristal kecil seperti kaca, yang secara geologis termasuk batuan intrusif

Ptolomeus menyebut desa ini sebagai desa perak karena kilau batuannya jika terkena sinar matahari.

Ditempat inilah kelak, dan ini berulangkali dalam sejarah. Setelah 1500 tahun sebelumnya pernah dibangun padepokan untuk menyiapkan kader penataan nusantara antara pengikut siwa dan buda. Kembali terjadi kesepakatan antara siwabuda dan Islam yang di bawa oleh malik bin nadhar dan abdurahman bin muadz. Untuk membangun padepokan dan kembali menata ulang nusantara. Paska mahapralaya letusan krakatau yang memisahkan jawa sumatra. Dan tsunami yang menghantam seluruh pesisir selatan antara tahun 415-420 masehi.

Dalam perjumpaan tersebut. Pengikut bhatara guru. Bercerita bahwa sepeninggal sang Guru. Nusantara dilanda perang terus menerus. Mereka yang tetap memegang ajaran, diburu oleh pemegang kekuasaan. Hingga suatu saat mereka terjepit didekat laut. Dan tak ada lagi jalan untuk lari. Saat itulah mereka berdoa dan menyerahkan nasib sepenuhnya pada yang kuasa.

‘Pada saat kami berjalan di rerumputan dekat pantai, tiba tiba kami terperosok. Tanah yang kami pijak amblas. Dan ternyata kami ada di sebuah gua. Dan ternyata ini adalah gua yang sangat panjang. Selama 18 bulan lamanya, kami berdiam di gua ini, menyusuri jalan di gua ini. Hingga kami menemukan lubang keluar yang ternyata ada di puncak gunung’ demikian mereka cerita kepada nabi Muhammad, Asal mula mereka menghuni tempat terpencil ini.

Kelak sekelompok orang yang selamat dari perang besar ini. Dikenal dalam pewayangan sebagai rombongan PARIKESIT.

Dan pintu keluar mereka di gunung, saat ini dikenal sebagai ‘GANGSIRAN ASWATAMA’

Pada masa kolonial inggris. RAFLES diketahui pernah memerintahkan para serdadunya untuk menyusuri jalan purba ini. Yang memiliki jalan tembus hingga ke pantai utara dan selatan jawa. Namun upaya itu gagal. Puluhan serdadu yang masuk melalui gangsiran aswatama, tidak pernah keluar dari lubang itu selama lamanya. Kabar yang menjadi cerita dimasyarakat. Situasi gua sudah banyak dipenuhi lumpur dan mereka terperangkap.

Dan memang demikianlah. Sebagaimana yang banyak diketahui masyarakat setempat. Gangsiran aswatama kemudian dipakai sebagai lubang pembuangan air. Untuk menguras air dari rawa rawa yang sebelumnya menenggelamkan kawasan candi dieng.

Masyarakat desa siwa buda ini, terlihat begitu menakjubkan bagi Nabi Muhammad. Beliau kemudian mengajukan beberapa pertanyaan pada mereka.

” aku melihat rumah kalian tidak ada pintunya, kenapa?”

Mereka menjawab:” kami walaupun bukan saudara, tapi kami seperti saudara. Hati dan jiwa kami terpatri dalam satu perasaan yang sama. Kami tidak pernah khawatir akan terjadi tindak kejahatan di antara kami.

Kenapa rumah ibadah kalian bangun jauh dari rumah rumah kalian? Tanya Rasul.

Dalam keyakinan kami, seseorang yang mendatangi rumah ibadah dari tempat yang jauh, akan mendapatkan karma baik yang jauh lebih banyak dari pada seseorang yang mendatangi rumah ibadah dari tempat yang dekat. Jawab mereka.

Aku melihat kuburan di tempat ini sangat dekat dengan rumah-rumah penduduk, bahkan, ada di depan bangunan rumah mereka? Tanya rasul. “Agar kami setiap saat dapat melihat kuburan itu, hingga kami tidak disibukkan lagi dengan dunia dan melupakan kematian” jawab mereka.

“Kenapa penduduk kota ini jarang tertawa terbahak bahak” rasul kembali bertanya.

“Bagi kami tertawa terbahak-bahak hanya akan membuat hati kami gelap gulita. Oleh karena itu kami tidak pernah tertawa terbahak bahak” itulah jawaban mereka.

Rasul kembali bertanya : apakah penduduk kota ini ada yang terserang penyakit?

Penyakit itu penebus dosa, kami tidak pernah melakukan dosa.

Apakah kalian bercocok tanam?

Ya wahai Rasul, namun kami mendatangi sawah kami saat tanam saja. Sehabis itu, kami biarkan tanaman kami, kami pasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Saat panen tiba, baru kami beramai ramai mendatangi sawah kami. (Syarah Hamami Yasin, Hamami Zadah, 11-12, dgn perbaikan konteks).

Catatan diatas meninggalkan beberapa jejak yang masih tersisa hingga kini. Walaupun pemahaman terhadap hal tersebut nyaris telah hancur saat ini.

Sasi, salah satu sebutan panen bersama, dalam satu lingkup kumunal yang pada awalnya berlangsung secara bulanan dan pernah eksis di nusantara dimasa lalu.

Ini meliputi tidak hanya area hutan larangan. Namun juga, sawah dan ladang yg pada masa selanjutnya berubah menjadi semacam bengkok. Hasil hasil sungai, dan lainnya, secara bergantian tiap bulannya. Untuk kemudian dibagikan kepada tiap keluarga sesuai kebutuhan.

Konsep ini mengalami kehancuran di era kolonial dan musnah total pasca reformasi

MOU antara Nabi muhamad dgn penganut siwa buda kemudian, menghasilkan kesepakatan untuk membangun ulang desa/wanua berdasar konsep desa terpencil tadi. Plus hukum adat yang berlaku di tiap desa/nagari disesuaikan dengan ajaran masing masing. Dimana desa siwa, buda dan islam berdiri sendiri.

Dan menentukan adat yang sesuai ajaran masing masing.

Tidak lama setelah itu menjelang pertengahan tahun 600an, dibangunlah semacam padepokan di desa itu. Dimana, para murid belajar dan menjalani kehidupan yang lengkap dgn adat yang nantinya bisa mereka terapkan di wilayah masing masing.

Dimana tiap murid belajar, untuk bagaimana mampu membangun sebuah desa atau wanua dari Nol/babat alas. Sekaligus memiliki pemahaman yang baik terhadap ajaran masing masing.

‘Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya’

‘Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’
(Bersambung)

Mataram Islam Bukan Pewaris Sah Majapahit ?

$
0
0

Mataram Islam Bukan Pewaris Sah Majapahit ?

IMG-20200708-WA0011

Berdirinya Kerajaan Mataram Islam sesungguhnya tidak memiliki pijakan yang kuat dari segi legalitas sejarah. Penguasa Kerajaan Mataram Yogyakarta yang pertama yakni Panembahan Senapati atau Sutawijaya tidak memiliki keterkaitan dari segi silsilah dengan Raja Majapahit Kertabumi atau Brawijaya V atau Dyah Kertawijaya (1453-1478).

Klaim Babad Tanah Jawi yang menjadi landasan legitimasi bahwa Kerajaan Mataram Islam merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit tidak memiliki pijakan yang kuat dan cenderung ahistoris. Babad Tanah Jawi disusun pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma dimana penguasa membutuhkan legitimasi kuat bagi Kesultanan Mataram agar masyarakat Jawa mau menerima Panembahan Senapati dan keturunannya sebagai penguasa sah Tanah Jawa sebagai pewaris atau penerus Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha.

Terlebih lagi jika mengkaitkan hubungan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Mataram kuno baik Dinasti Sanjaya (Badra), Dinasti Syailendra ataupun Dinasti Isyana maka semakin ahistoris. Karena Mataram Kuno dan Mataram Islam terpaut lebih dari 6 abad tanpa ada silsilah yang bisa menghubungkan diantara keduanya. Jika mengklaim pewaris Medhang i Matriam (Mataram), dari jalur manakah Panembahan Senapati berasal ?

Panembahan Senapati atau Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan adalah tangan kanan sekaligus guru spiritual Hadi Wijaya atau Jaka Tingkir atau Raja Kerajaan Pajang. Jaka Tingkir adalah putra Bupati Pengging Kebo Kenanga. Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Andayaningrat atau Dyah Wijayakusama, inilah putra bungsu Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V yang gugur di tangan Girindrawardhana pada perang yang terjadi pada 1486

Ki Ageng Pemanahan sendiri dengan demikian bukan keturunan trah Majapahit seperti Hadi wijoyo. Babad Tanah Jawi berupaya menjustifikasi bahwa Suta Wijaya berasal dari keturunan raja Majapahit tanpa alur sejarah yang jelas.

Sejarawan G Moedjanto dalam buku yang berjudul Konsep Kekuasaan Jawa: penerapannya oleh raja-raja Mataram, terbitan Kanisius (1987) menyatakan seluruh keturunan Raja Mataram Islam berasal dari petani sehingga dibutuhkan gelar sebagai basis legitimasi kekuasaan. Gelar Panembahan yang digunakan Senapati sebenarnya bukan gelar untuk golongan ningrat.

Dengan demikian keturunan raja-raja Mataram adalah keturunan yang mencoba terus memburu gelar sebagai basis penguat legitimasi kekuasaan di Jawa. Istilahnya raja-raja Mataram tetap ingin mendapatkan: “trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih”. Saat berubah menjadi Mataram Islam, gelar Sultan dipakai karena menunjukkan adanya legitimasi atas Islam yang mulai menyebar di Jawa dan merupakan gelar pemberian dari Turki Utsmani (Ottoman).

Keabsahan Panembahan Senapati dan keturunannya yang mengklaim sebagai pewaris sah Majapahit inilah yang juga dipertanyakan Sunan Giri V, (Sunan Kawis Guwa) sewaktu pertemuan Sultan Agung Anyakrakusuma dengan para Bupati se pulau Jawa dan Madura. Dalam kutipan kitab musarar ia menyindir raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senapati itu ibarat buah tebu.

“Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi”. (Raja Mataram itu saya umpamakan tebu, meskipun ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi) (Medjanto 1987, halaman 84).

Karena kesal dengan ejekan ini, Giri Kedaton diratakan dengan tanah, putranya beserta pengikutnya melarikan diri ke Kutawaringin, dipimpin oleh putra beliau, Panembahan Giri Kusuma.

Pada kesempatan yg lain, seorang murid beliau, pangeran dari madura, Trunajaya juga melontarkan ejekan senada ketika berhasil menjebol bemteng keraton plered. Kemudian Trunajaya kemudian ditangkap atas bantuan VOC. Amangkurat II dan keluarga Mataram beramai-ramai mencincang Trunajaya, kepalanya dipenggal dan dikubur di bawah anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri. “Siapapun yang akan berziarah ke Makam Imogiri akan menginjak kepala Trunajaya”.

Demikian Raja Mataram yang marah besar atas penghinaan Sunan Giri V dan muridnya Raden Trunajaya yang masih merupakan trah keturunan Majapahit.

*Apa Yang Akan Terjadi Jika Semua Orang Benar-Benar Memercayai Tauhid?*

$
0
0

*Apa Yang Akan Terjadi Jika Semua Orang Benar-Benar Memercayai Tauhid?*
Baru-baru ini seorang psikolog bernama Scott Barry Kaufman (sepertinya dia keturunan Yahudi) melakukan penelitian apa implikasinya bilamana semua orang benar-benar memercayai tauhid. Tauhid di sini bahasa lainnya adalah kesatuan, keesaan, oneness, atau unity. SB Kaufmann secara menarik menjelaskan penelitian tersebut sebagai berikut:

Penelitian tersebut ternyata menunjukkan kepercayaan pada tauhid memiliki implikasi luas bagi berperannya fungsi kejiwaan dan welas asih kita terhadap mereka yang berada di luar lingkaran kehidupan kita sehari-hari.

Keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah bagian dari keseluruhan fundamental yang sama, memang ada di banyak budaya dan tradisi filosofis, religius, spiritual, dan ilmiah, sebagaimana ditangkap oleh ungkapan “all that is”. Pemenang Nobel Erwin Schrodinger pernah mengamati bahwa fisika kuantum cocok dengan anggapan bahwa memang ada kesatuan dasar alam semesta. Oleh karena itu, meskipun tampak seolah-olah dunia penuh dengan kepingan-kepingan yang berserakan, banyak orang sepanjang sejarah manusia dan bahkan sampai hari ini benar-benar percaya bahwa hal-hal individual adalah bagian dari suatu entitas fundamental.

Terlepas dari betapa keyakinan in ada di mana-mana, masih kurang ukuran yang dapat divalidasi dengan baik dalam bidang psikologi untuk memotret keyakinan tauhid ini. Sementara langkah-langkah tertentu dari spiritualitas memang ada, kepercayaan pada pertanyaan tauhid biasanya dikombinasikan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang menilai aspek-aspek lain dari spiritualitas, seperti makna, tujuan, kesakralan, atau memiliki hubungan dengan Tuhan.
Nah, sekarang. Apa yang terjadi ketika kita men-sekuler-kan kepercayaan pada tauhid?

Dalam serangkaian penelitian, Kate Diebels dan Mark Leary memulainya untuk mencari tahu.
Dalam studi pertama mereka, mereka menemukan bahwa hanya 20,3% dari peserta telah berpikir tentang tauhid semua hal secara “sering” atau “berkali-kali”, sementara 25,9% orang “jarang” memikirkan tauhid dalam semua hal, dan 12,5% dari orang “tidak pernah” memikirkannya.
Para peneliti juga menciptakan 6 pokok “Skala Kepercayaan pada Tauhid” yang terdiri sebagai berikut:

(1) Di luar penampilan permukaan, semuanya pada dasarnya satu.
(2) Meskipun ada banyak hal yang tampaknya terpisah, mereka semua adalah bagian dari keseluruhan yang sama.
(3) Pada tingkat realitas paling dasar, semuanya adalah satu.
(4) Pemisahan antara hal-hal individual adalah ilusi; pada kenyataannya semuanya adalah satu.
(5) Segala sesuatu tersusun dari substansi dasar yang sama, apakah orang menganggapnya sebagai roh, kesadaran, proses kuantum, atau apa pun.
(6) Esensi dasar yang sama menembus segala sesuatu yang ada.

Mereka yang mendapat skor lebih tinggi dari skala ini jauh lebih besar memiliki identitas yang melebihi individu untuk aspek-aspek yang lebih luas mengenai manusia, kehidupan, alam, dan bahkan kosmos. Faktanya, kepercayaan pada kesatuan lebih kuat terkait dengan perasaan terhubung dengan orang-orang yang jauh dan aspek-aspek dunia alami daripada dengan orang-orang yang dekat dengannya! Selain itu juga, sementara kepercayaan di pedesaan terkait dengan pengalaman aktual tentang keesaan (“pengalaman mistis”), tetapi ini tidak ada hubunganyan antara keyakinan di pedesaan dengan perasaan lebih dekat dengan Tuhan selama pengalaman spiritual tersebut.

Dalam studi kedua mereka, para peneliti melihat nilai-nilai dan pandangan diri yang mungkin terkait dengan kepercayaan pada tauhid. Mereka menemukan kepercayaan pada keesaan terkait dengan nilai-nilai yang menunjukkan kepedulian universal terhadap kesejahteraan orang lain, serta welas asih yang lebih besar bagi orang lain.

Kepercayaan pada tauhid juga berasosiasi dengan persaaan terhubung dengan orang lain melalui pengakuan atas kemanusiaan atau hal-hal manusiawi yang umum, masalah yang umum dialami, dan ketidaksempurnaan umum yang dimiliki semua orang.

Pada saat yang sama, tidak ada hubungan antara keyakinan tauhid dengan nilai-nilai yang mendukung diri sendiri seperti hedonisme, pengarahan diri sendiri, rasa aman, atau prestasi. Ini berarti orang dapat memiliki kepercayaan pada tauhid dan masih memiliki kepedulian untuk perawatan diri, pembatasan diri yang sehat, dan pembimbingan diri sendiri dalam kehidupan.

*Implikasi dari Keyakinan pada Tauhid*
Orang-orang yang percaya bahwa segala sesuatu pada dasarnya satu berbeda secara krusial dengan mereka yang tidak memercayai tauhid. Secara umum, mereka yang memiliki kepercayaan pada tauhid memiliki identitas yang lebih inklusif yang mencerminkan rasa hubungan mereka dengan orang lain, hewan, bukan manusia, dan aspek alam yang semuanya dianggap bagian dari “satu hal” yang sama. Ini memiliki beberapa implikasi yang agak luas.

Pertama, temuan ini relevan dengan lanskap politik kita saat ini. Sangat menarik bahwa mereka yang melaporkan kepercayaan yang lebih besar pada tauhid juga lebih cenderung menganggap orang lain seperti anggota kelompok mereka sendiri dan untuk mengidentifikasi diri dengan semua umat manusia. Ada banyak politik identitas saat ini, dengan orang-orang percaya bahwa ideologi mereka sendiri adalah yang terbaik, dan keyakinan bahwa mereka yang tidak setuju dengan ideologi sendiri adalah jahat atau entah bagaimana dianggap lebih rendah daripada manusia.

Mungkin bermanfaat bagi orang-orang di seluruh spektrum politik untuk mengenali dan mengingat keyakinan akan tauhid meskipun mereka menegaskan nilai-nilai dan keyakinan politik mereka. Hanya memiliki “belas kasihan” bagi mereka yang ada di dalam kelompok Anda, dan menjelekkan atau bahkan menjadi kasar terhadap mereka yang Anda anggap sebagai kelompok luar, tidak hanya bertentangan dengan perdamaian dunia secara lebih luas, tetapi juga kontra-produktif dengan politik kemajuan yang memajukan kebaikan semua manusia di planet ini.

Saya juga berpikir temuan ini memiliki implikasi penting bagi pendidikan.

Sekalipun beberapa orang dewasa mungkin putus asa ketika harus mengubah keyakinan mereka, kebanyakan anak tidak. Keyakinan lain – seperti keyakinan bahwa kecerdasan dapat belajar dan tumbuh (“tatanan berpikir itu berkembang”) – sangat populer dalam pendidikan akhir-akhir ini.

Namun, saya bertanya-tanya apa implikasinya jika semua siswa juga secara eksplisit dilatih untuk percaya bahwa kita semua adalah bagian dari kemanusiaan fundamental yang sama, secara aktif menunjukkan kepada siswa melalui diskusi kelompok dan kegiatan bagaimana kita semua memiliki rasa tidak aman dan ketidaksempurnaan, dan bagaimana di bawah permukaan yang dangkal. perbedaan pendapat dan keyakinan politik, kita semua memiliki kebutuhan mendasar yang sama untuk koneksi, tujuan, dan masalah di alam semesta yang luas ini.

Mungkin sekarang, lebih dari sebelumnya dalam perjalanan sejarah manusia, kita akan mendapat manfaat lebih dari pola pikir kesatuan.

Diterjemahkan secara bebas oleh GWM dari:
https://getpocket.com/explore/item/what-would-happen-if-everyone-truly-believed-everything-is-one?utm_source=fbsynd&utm_medium=social&fbclid=IwAR0t8qZWo-0lsw-H4kWfMqDmaX5bLWTPtXC8GA_fMD3_vPd_GmUbz07PFfo

___

Scott Barry Kaufman, Ph.D., adalah seorang psikolog humanistik yang mengeksplorasi kedalaman potensi manusia. Dia telah mengajar mata pelajaran tentang kecerdasan, kreativitas, dan kesejahteraan di Universitas Columbia, NYU, Universitas Pennsylvania, dan di tempat lain. Selain menulis kolom “Beautiful Minds” untuk “Scientific American”, ia juga menjadi tuan rumah “The Psychology Podcast”, dan adalah penulis dan / atau editor dari 9 buku, termasuk “Transcend: The New Science of Self-Actualization, Wired to Create: Unravelling the Mysteries of the Creative Mind” (dengan Carolyn Gregoire), dan “Ungifted: Intelligence Redefined”. Pada 2015, ia dinobatkan sebagai “50 ilmuwan terobosan yang mengubah cara kita melihat dunia” oleh Business Insider. Cari tahu lebih lanjut di http://ScottBarryKaufman.com.

#TauhidIalahSatuKemanusiaan
#Dekalogisme


MESIN PENYEDOT UANG

$
0
0

MESIN PENYEDOT UANG

Oleh : Dwi Condro Triono, Ph.D.

Sistem Ekonomi Kapitalisme telah mengajarkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi hanya akan terwujud jika semua Pelaku Ekonomi terfokus pada akumulasi Kapital (modal).

Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan Lembaga Perbankan.

Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”.

Lalu, siapakah yang akan memanfaatkan uang di Bank tersebut?

Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari Bank, yaitu:

Fix Return dan Agunan.

Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini.

Siapakah mereka itu?

Mereka itu tidak lain adalah kaum Kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi.

Apakah adanya Lembaga Perbankan ini sudah cukup?

Bagi kaum Kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar.

Dengan cara apa?

Yaitu dengan Pasar Modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas Saham untuk dijual kepada masyarakat, dengan iming-iming akan diberi Deviden.

Siapakah yang memanfaatkan keberadaan Pasar Modal ini?

Dengan persyaratan untuk menjadi Emiten dan penilaian Investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja, yang akan dapat menjual sahamnya di Pasar Modal ini.

Siapa mereka itu?

Kaum Kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi.

Adanya tambahan Pasar Modal ini, apakah sudah cukup?

Bagi kaum Kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar.

Dengan cara apa lagi?

Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”.

Bagaimana caranya?

Menurut Teori Karl Marx, dalam pasar Persaingan Bebas, ada Hukum Akumulasi Kapital (The Law of Capital Accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil.

Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.

Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya?

Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Agar perusahaan Kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan Persaingan Pasar.

Persaingan Pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah.

Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menguasai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batu bara, air, dan sebagainya.

Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut?

Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika perusahaan Kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).

Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti:

Sektor Telekomunikasi, Transportasi, Pelabuhan, Keuangan, Pendidikan, Kesehatan, Pertambangan, Kehutanan, Energi, dan sebagainya.

Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi.

Lantas, bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mendorong munculnya:

Undang-Undang Privatisasi BUMN.

Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut.

Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika dengan cara ini kaum Kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan.

Bagaimana cara mengatasinya?

Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor Kekuasaan itu sendiri.

Kaum Kapitalis menjadi Penguasa, sekaligus tetap sebagai Pengusaha.

Untuk menjadi Penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya Kampanye itu tidak murah.

Bagi kaum Kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika kaum Kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka Hegemoni (pengaruh) Ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini.

Namun, apakah masalah dari kaum Kapitalis sudah selesai sampai di sini?

Tentu saja belum. Ternyata Hegemoni Ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup.

Mereka justru akan menghadapi problem baru.

Apa problemnya?

Problemnya adalah terjadinya ekses (kelebihan) produksi.

Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen.

Lantas, ke mana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya?

Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan Hegemoni di tingkat dunia.

Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang, yang padat penduduknya.

Teknisnya adalah dengan menciptakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan Perjanjian Perdagangan Bebas Dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya, tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).

Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum Kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Jika Kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya.

Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi objek ekspornya.

Yaitu dengan membuka Multi National Corporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya.

Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah.

Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan Kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Apakah dengan membuka MNC sudah cukup?

Jawabnya, tentu saja belum.

Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi.

Caranya?

Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.

Untuk melancarkan jalannya ini, Kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut.

Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya:

UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi).

Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah:

UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan sebagainya.

Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu.

Dengan cara apa?

Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah.

Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai Kurs Mata Uang lokalnya.

Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan Sistem Kurs Mengambang Bebas (Floating Rate) bagi mata uang lokal tersebut.

Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh Pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?

Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (Valas).

Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya.

Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.

Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya.

Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah.

Bagaimana caranya?

Yaitu dengan melakukan proses Liberalisasi Pendidikan di negara tersebut.

Teknisnya adalah dengan melakukan intervensi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya.

Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan Subsidi bagi pendidikannya.

Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi.

Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya.

_Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah._

Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan Sarjana.

Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara, dan maunya digaji tinggi.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara Hegemoni Kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan Intervensi UU.

Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi.

Nah, cara inilah yang akan menjamin proses Intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus.

Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menempatkan Penguasa Boneka.

Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum Kapitalis Dunia.

Bagaimana strateginya?

Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi Boneka.

Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survei, hingga intervensi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.

Apakah ini sudah cukup?

Tentu saja belum cukup.

Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru.

Apa problemnya?

Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru.

Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut.

Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni (dipengaruhi), maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat.

Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri.

Mengapa?

Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka.

Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua?

Di sinilah diperlukan cara berikutnya.

Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM.

Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan Pengembangan Masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisional, maupun industri kreatif lainnya.

Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.

Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit.

Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini.

Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu:

(1) Masyarakat akan tetap memiliki daya beli, (2) akan memutus peran pemerintah, dan yang terpenting adalah, (3) negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.

Sampai di titik ini Kapitalisme Dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”.

Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi?

Jawabnya, ternyata masih ada.

Apa itu?

Ancaman Krisis Ekonomi.

Sejarah panjang telah membuktikan bahwa Ekonomi Kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya Krisis ini.

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya.

Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya.

Apa itu?

Ternyata sangat sederhana.

Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bail-out) atau Stimulus Ekonomi.

Dananya berasal dari mana?

Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana kita pahami bahwa _sumber pendapatan negara adalah berasal dari Pajak Rakyat.

Dengan demikian, jika terjadi Krisis Ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya?

Jawabnya adalah:

Rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.

Bagaimana hasil akhir dari semua ini?

Kaum Kapitalis akan tetap jaya, dan rakyat selamanya akan tetap menderita.

Di manapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama.

Itulah produk dari Hegemoni Kapitalisme Dunia.

——

*Devide et Impera: Islam vs Nasionalis BK, Kepentingan Siapa?*

$
0
0

*Devide et Impera:
Islam vs Nasionalis BK, Kepentingan Siapa?*

Oleh: erros djarot
Mengkritisi Rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) setajam apa pun, pada hakekatnya tidak ada masalah. Menjadi masalah ketika polemik seputar RUU HIP dijadikan sebagai pintu masuk untuk menggelar gerakan politik, oleh kelompok politik tertentu, untuk kepentingan politik tertentu pula.

Sebagai langkah awal, desain politik lebelisasi PDIP sebagai tempat pengembangan faham komunisme, digulirkan. Disusul dengan tuntutan bahwa PDIP layak dibubarkan karena dicitrakan sebagai partai yang berpotensi menghidupkan kembali faham komunisme.PDIP adalah ‘PKI gaya baru’ pun disebar menjadi isu premier gerakan politik mereka.

Secara kebetulan, saya ikut mempersiapkan AD/ART saat PDI menjelma menjadi PDIP. Juga saat merumuskan garis-garis besar haluan perjuangan PDIP sebagai kendaraan politik perjuangan rakyat (wong cilik). Atas lebelisasi PDIP pro komunisme dan bahkan neo PKI, membuat saya geleng-geleng kepala dan bertanya; di mana Komunisme-nya? Maka jelas, upaya memainkan politik devide et impera dengan tujuan memecah belah rakyat ini, mengharap tergiringnya massa rakyat ke arena konflik horisontal yang sangat berbahaya.

Padahal kisruh RUU HIP ini bisa jadi timbulnya, hanya karena adanya kesoktahuan beberapa individu fungsionaris partai yang merasa ahli Pancasila, tapi melakukan blunder saat merumuskan pemahamannya terhadap Pancasila ke dalam bentuk Rencana Undang-Undang HIP. Tidak ada kaitannya dengan upaya menghidupkan kembali PKI, mensekulerkan negara Indonesia, dan apalagi mengganti Pancasila dengan Ekasila, dsb.

Di sisi lain, bila ada oknum yang terindikasi atau diduga keras berafiliasi dengan faham terlarang; dan individu tersebut terlibat dalam proses penyusunan RUU HIP yang menghebohkan, silahkan persoalkan individu dimaksud. Jangan kalau ada tikus di lumbung, untuk menangkap sang tikus lumbungnya yang dibakar! Kita semua tentunya tau bahwa PDIP sebagai partai, bukan dimiliki oleh oknum dan orang perorang, tapi jutaan massa rakyat.

Dan sepengetahuan saya, mereka hampir semuanya anti komunisme 100%! Secara institusi PDIP yang saya fahami dan saya kenal adalah kumpulan kaum nasionalis Bung Karno yang anti Komunisme! Jadi, siapa pun yang berkepentingan meng-komuniskan PDIP, perlu dicurigai sebagai agen dari kekuatan luar yang sengaja menebar politik devide et impera. Tujuannya ya melemahkan kekuatan rakyat bangsa Indonesia. Agar Indonesia dapat mereka kuasai. Bisa jadi bukan oleh mereka yang sekarang ribut, tapi oleh fihak ketiga yang justru tak muncul di lapangan konflik.

Untuk memprovokasi lebih jauh lagi, pembakaran bendera PDIP yang disandingkan dengan bendera PKI, dilakukan secara demonstratif. Ketersediaan bendera Palu Arit PKI yang masih tampak baru, fresh from the Oven, membuat saya tersenyum. Setiap akal waras pun akan menyimpulkan pasti lah ada fihak yang sengaja mempersiapkan dan merancang terjadinya peristiwa ini.

Ketika beberapa kawan bertanya kepada saya; siapa sebenarnya yang bermain api di belakang peristiwa ini? Spontan saya jawab..,,wah maaf, itu domain Badan Intelejen Negara (BIN) dan Kepolisian RI untuk menjawabnya..’’ Karena apa yang terlihat secara kasat mata oleh mata publik, biasanya hanyalah bayangan atau shadow puppet dari sang dalang yang sesungguhnya memainkan semua ini.

Saya jadi teringat kembali suasana saat prakondisi terjadinya G30S PKI. Saat itu kelompok kiri (PKI) dan konco-konconya tampil bringas, ganas, dan menakutkan. Pada akhirnya mereka tergiring dan terpancing melakukan gerakan politik ‘kudeta’. Maka terciptalah sejarah G30S PKI. Mereka pun terjebak dan terperangkap. Tentara dibantu rakyat pun, menumpas golongan kiri (PKI) sampai ke akar-akarnya. Selanjutnya, dengan sigap dan penuh kesiapan, tentara menguasai seluruh linie yang ada dalam bangunan politik di negeri ini. Berlanjut hingga tiga dekade lebih berkuasa

Ketika pemerintah Amerika membuka kotak pandora yang berisi dokumen sejarah G30S PKI, karena sudah melewati batas waktu kerahasiaan, terkuaklah dokumen bagaimana CIA mengambil peran sangat aktif (dalang) dalam upaya penumbangan Bung Karno dari kekuasaannya. Sementara Suharto oleh banyak pengamat ditempatkan hanya sebagai pelaksana proyek politik Amerika dalam konteks perang dingin saat itu (kepentingan geopolitik).

Hembusan Poros Jakarta-Peking pun ampuh meluluh lantakan kekuasaan Bung Karno dan barisan pendukungnya yang dilebelisasi sebagai barisan pro komunis. Kekuatan rakyat dipecah belah. Selanjutnya Amerika pun menjadi perancang tunggal bagaimana Indonesia seharusnya berdiri sebagai sebuah negara yang siap menjadi kompradornya kaum kapitalis. Kekayaan negara dan kekayaan yang terpendam dalam perut bumi di seluruh Nusantara, di bawah kontrol mereka sepenuhnya. Sebagian besar menjadi ‘bancakan’ kroni penguasa Orba dan para cukong yang sekarang dikenal dengan istilah konglomerat.

Dengan munculnya demo mirip-mirip desain masa lalu, saya jadi miris bila ternyata akan melahirkan pengulangan sejarah yang sangat buruk. Hanya bedanya dulu ekstrim kiri yang dihabisi, kali ini ekstrim kanan yang dijadikan alat untuk masuk dalam wilayah ‘jebakan Batman’. Walau tanda-tanda ke arah sana masih jauh dan samar, trauma masa lalu menggeret saya ke ruang imajinasi di mana gambaran kekalahan rakyat untuk ke sekian kalinya bakal terjadi.

Belajar dari sejarah, komponen masyarakat yang bisa dinyatakan sebagai bonggolnya kekuatan massa rakyat Indonesia adalah ketika massa kaum Banteng (Marhaen) Nasionalis, kaum Nahdliyin, dan massa rakyat pengikut Muhammadiyah, bersatu dan bergandeng tangan erat saling bahu membahu sebagai satu kesatuan rakyat. Ketika dua kekuatan Nasionalis-Islam ini dihancurkan, hancur pula lah kekuatan rakyat Indonesia. Itu lah (politik devide et impera) yang digunakan kaum penjajah yang jeli, termasuk apa yang dilakukan semasa pra dan saat terjadinya G30S PKI.

Oleh karenanya, ketika saya mendampingi Mbak Mega, sebagai the leader of opositition terhadap rezim Orde Baru, beliau dan sejumlah sesepuh menugasi saya untuk merajut dan membangun barisan perlawanan. Menjalankan tugas ini, sejarah kekuatan rakyat di masa pra hingga pasca Kemerdekaan berikut saat terjadinya peristiwa G30S PKI, saya jadikan referensi dasar dalam menyusun strategi perlawanan.

Maka muncul kesimpulan bahwa PDIP tidak bisa memenangkan apa-apa bila hanya berjalan sendiri. Saya tawarkan agar kita (PDIP) merapat dan merangkul Gus Dur sebagai pemimpin barisan rakyat Nahdliyin. Maka pertemuan pertama antara mbak Mega dan Gus Dur pun terjadi untuk pertama kali di rumah mertua, Ilen Surianegara, Di Jl. Teuku Umar no.6. Terjadinya pertemuan ini atas bantuan Syaifulah Yusuf, keponakan Gus Dur.

Dalam perjalanannya terbangun kebutuhan agar PDIP membangun sinergi dengan pemimpin Muhammadiyah yang saat itu melembaga dalam diri mas Amin Rais. Pertemuan pun terjadi di rumahku Jl, Deplu Raya no.9. Bintaro. Saat itu mas Amin didampingi mas Abdilah Toha dan mas Mudrik, tokoh PPP Solo. Berlanjut dengan lahirnya gerakan Mega Bintang. Dengan pertemuan ini, maka gerakan perlawanan semakin terasa greget dan gigitannya terasakan secara lebih meluas.

Dengan bergabungnya tiga pilar kekuatan massa rakyat Indonesia ini, maka perlawanan terhadap rezim Orde Baru mulai mendapatkan bentuk dan kekuatan sejatinya rakyat Indonesia. Dan sejak itu lah, gempuran terhadap bangunan rezim Orde Baru datang dari berbagai penjuru. Karena massa rakyat dari golongan minoritas pun bergabung dalam satu kekuatan massa rakyat anti Orde Baru. Alhasil, Orde Baru pun melemah dan krisis ekonomi 98 mengantar kejatuhan rezim Orde Baru.

Namun sayangnya, ketika rezim Orde Baru berhasil ditumbangkan, ketiga pilar kekuatan rakyat; massa Marhaen-Nahdliyin-Muhammadiyah, kembali terpecah menjadi tiga bagian yang berjalan sendiri-sendiri. Terjadinya terlalu cepat dan saat itu kita belum sempat membangun konsolidasi kekuatan nasional pasca Orde Baru. Kekompakan dan kobaran semangat kebersamaan pun perlahan lenyap tersapu gelombang ego sektoral dan nafsu kekuasaan yang menggiurkan tapi sekaligus menjadi ‘jebakan Batman’ yang memilukan dan menyakitkan. Sebagai akibat, kekalahan substansial sangat dirasakan oleh massa rakyat di tiga kelompok ini hingga sekarang.

Memaknai gencarnya manuver politik devide et impera belakangan ini, pertanyaan saya sangat sederhana; kapan kita akan bangkit dalam kesadaran untuk memilih jalan yang benar-benar dapat membawa bangsa ini hadir sebagai bangsa pemenang yang sejati dan sesungguhnya? Bukan sebuah kemenangan yang berada di garis maya , padahal realitanya tetap berada dalam kekalahan nyata di wilayah substansial kehidupan sebuah bangsa dan negara! Seperti yang kita alami selama ini, sejak rezim Orde Baru berkuasa hingga sekarang.

Kemenangan yang diimpikan itu baru akan kita alami dan rasakan ketika terjadi kebangkitan kesadaran untuk mengenali betul; siapa musuh dan siapa kawan sesungguhnya, secara substansial. Sehingga tidak mudah diadu domba! Massa di bawah panji dan bendera Islam (Nahdliyin-Muhammadiyah) dan massa Nasionalis BK, jangan pernah lagi diperhadapkan! Tiga bersatu, rakyat pasti menang. Dan politik devide et impera pun, akan mati kehilangan ruang hidupnya!

Artikel ini terbit juga di WATYUTINK.Com

Sebarluasksn bila setuju!

Sejarah Filsafat Bhineka Tunggal Ika

$
0
0

Prolog oleh : Ahmad Yanuana Samantho

Filsafat dan Budaya Bhineka Tunggal Ikasebagai Basis Pertahanan Ideologis Peradaban NKRI[1]

Gambar mungkin berisi: 2 orang

 Sebagaimana keprihatinan yang kita pahami bersama, dinamika kondisi  Ipoleksosbud-Hankamnas Indonesia  beberapa tahun belakang ini semakin memanas dan akan segera mulai memasuki  tahap kritikalnya, bila tak segera diantisipasi secara  tepat oleh seluruh pemangku kepentingan kebangsaan dan kenegaraan kita.

Setelah 72 tahun “merdeka secara formal” dari penjajahan kolonialisme dan imperialisme asing atas negeri ini, kita rasakan sebagian putra bangsa Indonesia ternyata masih  belum sepenuhnya 100 % merdeka dari efek penjajahan berbagai falsafah-ideologi asing, serta dominasi mindset (paradigma) mental dan praksis ipoleksosbud hankamnas yang tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 sebagaimana yang tercantum dalam naskah suci Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Sebagian besar rakyat kita dan elite politik-ekonomi, intelektual dan budaya putra bangsa kita, selama periode panjang puluhan tahun pasca Proklamasi Kemerdekan RI sampai kini, masih kerap tercerai-berai dan semakin teracak-acak, oleh berbagai konflik kepentingan global dan falsafah ideologis asing yang menjadi perpanjangan atau ekses dari perang dingin pasca kemenangan pihak Barat Liberal-Kapitalis pada Perang Dunia ke II, dan hegemoni neo/paska kolonialisme berlabel kemasan agamis (SARA) Berbagai problem kritis dan eksesnya masih membelengu alam pikir dan kebatinan mayoritas bangsa kita. Peran Fundamental Falsafah Ideologi Pancasila dan Asas Bhineka Tunggal Ika pun kini menghadapi ancaman serius.

Mempertimbangkan latar problem di atas, maka sudah saatnya kini kaum intelektual, para rohaniawan-ulama, dan budayawan-negarawan bersatu padu menyelaraskan kesadaran dan pola pikir dan pola tindak untuk segera -secara revolusioner-restoratif-, (karena terbukti dengan gerakan reformasi saja sangatlah tidak mencukupi)  melakukan Gerakan Penyadaran dan Revolusi Mental-Budaya, sebagaimana yang sudah menjadi kebutuhan bangsa dan telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo sejak awal masa bhaktinya.

Kebijakan itu harus ditindaklanjuti  pemerintah dengan merencanakan dengan berbagai program kerja Pembangunan Karakter Bangsa berdasarkan orisinalitas Budaya-Peradaban Bangsa Nusantara/Indonesia berdasarkan Asas Filosofis-Idelogis Konstitusional Panca Sila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika NKRI, secara Komprehensif-Holistik-Integral. Program pembangunan tersebut harus dilakukan secara terencana, konseptual ilmiah sekaligus berlandaskankan pada warisan nilai-nilai tradisi suci asli adat-budaya-adab bangsa Indonesia di Nusantara Ibu Pertiwi, yang sudah terasimilasi dan terakulturasi secara harmonis dengan berbagai kearifan dunia dan pokok kebijaksanaan agama-agama besar selama berpuluh abad dan ribuan tahun lamanya.

Maka realisasi Visi dan Missi di atas harus didukung dan dilaksanakan secara nyata dengan program kerja pembangunan mental dan karakter bangsa yang terorganisir dan terkelola manajemen operasionalnya oleh sejumlah besar (massal) SDM yang rapih, kualified, fit and proper, efektif-effisien dan integratif.  Pemerintah juga perlu segera membina atau mewujudkan semacam forum bersama (plus teamwork-nya), di tingkat masyarakat sipil (Civil Society/Masyarakat Madani, misalnya dalam Bentuk DEWAN ADAT-BUDAYA DAN ADAB NUSANTARA (yang akan mempersatukan, mengkonsolidasi serta mensinergikan berbagai potensi SDM dan program kerja para Intelektual, Rohaniawan-Ulama, Negarawan dan Budayawan, sebagai wadah “Ka-Resi-an dan Ke-Rama-an” yang akan mendampingi para Prabu (Kerprabon/Karatuan atau Eksekutif-legislatif dan yudikatif).

Berbagai Program Pembangunan Karakter Bangsa dan Budaya-Peradaban Bangsa tersebut harus dilakukan secara terencana, konseptual komprehensif-holistik- ilmiah sekaligus berdasarkan pada tradisi suci adat-budaya-adab bangsa Indonesia di wilayah Ibu Pertiwi, yang sudah terasimilasi dan terakulturasi dengan berbagai kearifan dan kebijaksanaan perennial agama-agama besar dunia, berdasarkan Asas Filosofis-Idelogis Konstitusional, Panca Sila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika, NKRI, mengingat tantangan dan ancaman yang begitu Gawat Darurat (Krisis yang sangat Kritis).

Apa yang harus Kita Lakukan ?

  1. Mensosialisasikan ide gagasan dan membentuk dan mengorganisasikan kelembagaan Dewan Budaya dan Adab Republik Indonesia.
  2. Melakukan pengkajian, penelitian, invertarisasi nilai, sejarah dan ajaran, kompilasi dan analisis filosofis-ideologis untuk memperkuat dan revitalisasi Falsafah ideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dan Realisasi Amanat Pancasila dan UUD 1945.
  3. Menjalankan berbagai program Pendidikan dan Pelatihan dalam kerangka Pembudayaan/Pemberadaban Bangsa dalam berbagai tingkatan level strata sosial-budaya, (misalnya: TOT untuk Kader birokrat pemerintahan, para politisi, para pelaku ekonomi, para pendidik dan aktif is kebudayaan, kaum intelektual, gerakan pemuda, kewanitaan, pimpinan LSM serta Tokoh Masyarakat,  dll untuk dapat menularkannya kepada semua WNI sebagai basis Bela Negara dan pelaku Revolusi Mental bangsa).
  4. Menyelenggarakan berbagai event ilmiah-pendidikan kewargaan penunjang (seminar, lokakarya, konferensi) dan Gelaran Kebudayaan, serta produksi media kreatif untuk mendukung Visi-Missi dan Program di atas.
  5. Melakukan konsolidasi dan membangun jaringan kerjasama antar berbagai potensi kelembaga dan tokoh kebangsaan dan keumatan .

 Sejauh yang penulis survey sampai saat ini tampaknya belum ada literature yang membahas dan mengkaji secara mendalam dan komprehensif tentang penjabaran ideologi Panca Sila dari sudut pandang Filsafat Islam Nusantara, seperti yang ingin penulis lakukan saat ini

Namun demikian memang sudah ada beberapa karya rintisan maupun seminar-seminar dan penelitian yang mengarah kepada upaya penjabaran nilai-nilai prinsipil Pancasila dari berbagai sudut pandang filsafat maupun disiplin ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial

[1] Ini adalah Abstrak / Synopsis Usulan untuk  Bahan Seminat  Kementrian Pertahanan RI,1-  Agustus-Oktober  2017: (AYS, Bogor 17 Juli 2017)

 

JANGAN SEKALI-KALI MENINGGALKAN SEJARAH (JAS MERAH)

Ardhana Wijaya SaputraIkuti

Gambar mungkin berisi: 2 orang

Ajaran Siwa-Buddha yang berkembang pesat di zaman kerajaan Majapahit telah melahirkan konsep kebhinekaan dalam persatuan Indonesia.

      Penyatuan ajaran Siwa-Buddha dipertegas dengan kakawin naskah suci dari kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular. Ajaran Siwa-Buddha adalah agama nenek moyang orang Jawa pada masa Jawa kuno. Ajaran Siwa-Buddha Tantris hanya ada disini, di Indonesia, tidak ada lagi ditemukan di tempat lain.

      Hal ini sangat jelas memperlihatkan betapa para Rsi, Acharya, Mpu, di masa silam telah melahirkan sebuah karya yang agung di bidang agama, spiritual, seni, dan kebudayaan. Karya ini sungguh mengagumkan paling tidak bagi dia yang berjalan di jalan rohani dan bagi mereka yang masih bisa menghargai karya-karya besar leluhurnya atau bagi mereka yang masih tidak mau menghapus sejarah besar pendahulu-pendahulunya.

          Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan oleh para pendiri-pendiri negara yang berpikir arif dan bijaksana secara sadar dibangun dengan menggunakan nilai-nilai luhur kebudayaan nasional dengan memetik ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai motto dalam Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia dari sebuah karya sastra berbentuk kakawin berbahasa Jawa Kuno digubah oleh Mpu Tantular pada masa Majapahit pada abad ke-14. Pada karya ini diungkapkan bahwa sesungguhnya antara ajaran Siwa dan Buddha tunggal.

       Pada zaman itu “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” dimaknai dari perspektif agama, namun pada saat pendahulu-pendahulu kita membangun Indonesia raya ini dimaknai sebagai masyarakat bangsa yang pluralistik tidak hanya di dalam agama, tetapi juga yang lain, seperti kepercayaan, bahasa, etnis, kebudayaan, kesenian, makanan, busana, seni arsitektur, dan lain-lain. “Bhinneka Tunggal Ika”, bermakna bahwa bangsa ini berbeda-beda etnis suku bangsanya, namun satu dalam wadah Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

       Selanjutnya Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) Indonesia menggunakan kata-kata selanjutnya dari bait kakawin tersebut sebagai moto yang terdapat di dalam simbol organisasi ini, yaitu “Tan Hana Dharma Mangrwa”, tidak ada kebenaran yang mendua.

       Kebenaran itu selalu satu, kebenaran tidak pernah kontradiksi dengan kebenaran. Jika ada kebenaran yang saling kontradiksi itu bukanlah kebenaran (Dharma), karena kebenaran selalu satu. Dalam konteks LEMHANNAS, moto ini dimaknai ‘bertahan karena benar’. Barangsiapa yang taat dan melaksanakan Dharma, maka Dharma itu sendiri akan melindunginya. “Dharma Raksati Raksitah“. Orang yang taat dengan Dharma tidak pernah merasa takut, mundur menghadapi segala bentuk ancaman. Maka setiap bangsa Indonesia, khususnya mereka yang bertugas mengamankan bangsa dan negara ini sesungguhnya diajarkan kebenaran (Dharma) dalam setiap pikiran (manacika), perkataan (wacika) dan perbuatan (kayika), yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha.

      Negara kuat, bangsa besar, masyarakat sejahtera, aman dan sentosa kuncinya Dharma. Jika Dharma ditinggalkan maka Dharma itu sendiri juga akan meninggalkan kita. Dharma akan mengantarkan kepada kebahagiaan, Adharma mengantarkan menuju penderitaan.

       Bangsa Indonesia mampu memetik hal-hal positif dan mampu menggunakannya untuk mempertinggi dan mempermulia kebudayaan sendiri yang sudah juga maju. Hinduisme dan Buddhisme mengembangkan kebudayaan pluralisme. Kebhinnekaan dalam semangat pembebasan diri dari segala belenggu memang sangat dianjurkan.

    Dengan kata lain, bangsa Indonesia mampu mengambil hal-hal yang dirasakan terbaik, tidak hanya dari kebudayaan India tetapi juga dari seluruh dunia. Hal-hal seperti ini tentu saja dapat memperkaya kebudayaan sendiri tanpa harus kehilangan identitas budaya sendiri. Ini juga berarti karakter bangsa Indonesia sejak zaman kuno selalu terbuka dan bersahabat dengan hal-hal baik dari mana pun asalnya. Keterbukaan, toleransi, integrasi merupakan karakter dari masyarakat Indonesia sejak dulu.

       Indonesia ibarat air campuhan, bertemunya air-air sungai dari berbagai daratan. “Persatuan dalam kebhinnekaan” (unity in diversity) merupakan sebuah kenyataan sekaligus jargon yang harus terus dipelihara untuk mempersatukan wilayah daratan dan lautan Indonesia yang sangat luas dengan segala kebhinnekaannya. Dalam konteks kerajaan Sri Wijaya dipersatukan melalui nilai-nilai Buddha Mahayana; dalam konteks kerajaan Majapahit melalui agama Siwa-Buddha.

      Adalah sangat tepat Bapak Soekarno, tokoh-tokoh nasional saat ini mengambil ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika“, sebagai moto bangsa yang diharapkan dapat menyatukan segala bentuk perbedaan dalam spirit negara kebangsaan. Jika di zaman Mpu Tantular di kerajaan Majapahit pada abad ke-14 ungkapan ini dimaknai sebagai penyatuan agama Siwa-Buddha, maka dalam konteks perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Soekarno dan tokoh-tokoh bangsa pada saat itu memaknai dari perspektif pluralisme bangsa. Ia berpikiran cerdas dan jauh ke depan bahwa pembangunan bangsa dan negara yang besar ini dimulai dari kekuatan konsep kebhinnekaan dalam kesatuan. Membangun negeri yang luas ini dengan begitu banyak kebhinnekaan maka harus ada kekuatan pemersatu, yaitu filsafat yang tumbuh dari bumi Nusantara.

    Tinggi rendahnya martabat, kualitas suatu bangsa diukur dari ketinggian kebudayaannya. Jika menyelami kebudayaannya maka kita akan memahami dinamika pemikiran para pemikir, cerdik cendekia, filosof seperti terekam dalam karya-karya sastra.

         Sebelum membangun angkatan perang, gedung, jembatan, jalan raya, pabrik, hotel, sekolah dan lain-lain, yang paling penting adalah membangun konsep negara kesatuan yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sejarah telah mencatat membangun Negara Kebangsaan ini, bangsa yang terdiri dari berbagai etnis, agama, bahasa, budaya dan lain-lain telah banyak berkorban baik fisik non fisik dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Soekarno dalam beberapa kesempatan mengingatkan generasi muda, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (jasmerah).

Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.

OM Shanti.

 

Sejarah Bhineka Tunggal Ika-Semboyan Negara

Posted by Juan Dynash

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad XIV pada era Kerajaan Majapahit. Mpu Tantular merupakan seorang penganut Buddha Tantrayana, namun merasakan hidup aman dan tentram dalam kerajaan Majapahit yang lebih bernafaskan agama Hindu (Ma’arif A. Syafii, 2011). Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi bahan diskusi terbatas antara Muhammad Yamin, I Gusti Bagus Sugriwa, dan Bung Karno di sela-sela sidang BPUPKI sekitar 2,5 bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri mengemukakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciptaan Bung Karno pasca Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika mendesain Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk burung Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika disisipkan ke dalamnya.

Secara resmi lambang ini digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yg dipimpin oleh Bung Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang diciptakan oleh Sultan Hamid ke-2 (1913-1978). Pada sidang tersebut mengemuka banyak usulan rancangan lambang negara, selanjutnya yang dipilih adalah usulan yang diciptakan Sultan Hamid ke-2 & Muhammad Yamin, dan kemudian rancangan dari Sultan Hamid yang akhirnya ditetapkan (Yasni, Z, 1979).

Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri atas beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya dan  bahasa. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpajang melengkung dalam cengkeraman kedua cakar Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraan Dewa Vishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).

Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus diingat sebagai orang yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara. Muh. Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.” Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat intelektual Hindu Bali.

Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii, 2011).

Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Indonesia

Indonesia beruntung telah memiliki falsafah bhinneka tunggal ika sejak dahulu ketika negara Barat masih baru mulai memerhatikan tentang konsep keberagaman.

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman. Jika dilihat dari kondisi alam saja Indonesia sangat kaya akan ragam flora dan fauna, yang tersebar dari ujung timur ke ujung barat serta utara ke selatan di sekitar kurang lebih 17508 pulau. Indonesia juga didiami banyak suku(sekitar kurang lebih 1128 suku) yang menguasai bahasa daerah masing-masing (sekitar 77 bahasa daerah) dan menganut berbagai agama dan kepercayaan. Keberagaman ini adalah ciri bangsa Indonesia. Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan Hindu, Budha dan Islam tetap lestari dan berakar di masyarakat. Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu jua” sebagai semboyan negara.

Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing.

Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagaman dalam sebuah bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia.

Para pendiri negara juga mencantumkan banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang keberagaman. Salah satu pasal tersebut adalah  tentang pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman.

Sumber:

http://demokrasiindonesia.blogspot.co.id/2014/09/sejarah-bhineka-tunggal-ika-semboyan.html

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Jawa Kuna berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah-belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra. Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir).

Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika – Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila. Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.

Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan Nusantara raya. Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal – ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara.

Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu. Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat Majhapahit yang bersifat majemuk.

Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan sejarah sejak awal. Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Ketika itu masyarakat Majapahit terbagi:

  • Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majapahit;
  • Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut;
  • Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur

Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur di samping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya – tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis Tatar Sunda. Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya menjaga dan menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya di mana saja di dalam wilayah kekuasaan Majhapahit.

Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi penganut agama Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan yang pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur. Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah (rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan. Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti, sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau secara formal ke kalangan atas (bangsawan)

http://www.idsejarah.net/2014/01/sejarah-bhinneka-tunggal-ika.html

 

 

Nusantara: Tanah Jawi-Javana dulu-Kini dan Masa Depannya

$
0
0

Sebuah kitab yang dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib ra dengan judul “Al-Jifr A’zham” yang memuat pernyataan-pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib ra tentang akhir zaman yang diperolehnya dari Baginda Rasulullah saw, menyebutkan adanya sebuah negeri yang akan membawa Kejayaan Islam di akhir zaman bernama NEGERI AL-YABAN, yang disebutkan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Mayoritas penduduk negeri itu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Penduduk negeri itu berasal dari golongan ‘Ajam yakni orang-orang non Arab.
3. Penduduk negeri itu baik-baik dan banyak yang dapat membaca Al-Quran.
4. Negeri itu memiliki tanah yang sangat luas dan banyak orang yang hijrah (berpindah) ke negeri itu.
5. Negeri itu memiliki pulau yang jumlahnya lebih dari ratusan dan di negeri itu tinggal keturunan-keturunan Rasulullah (para habib dan sayyid).
6. Negeri itu banyak dinaungi oleh gunung-gunung yang besar dan di negeri itu sering terjadi gempa.
7. Negeri itu menjalin hubungan luar negeri dengan negeri-negeri yang ada di sekitarnya, yakni Negeri CHINA yang berada di Timur Jauh dan Negeri yang berada di belakang Laut Kuning yang namanya sesuai dengan nama rajanya yang dahulu, yang bernama KOREO (maksudnya Negeri KOREA).
8. Di akhir zaman, negeri ini akan menjadi Jaya (mencapai puncak kejayaannya), dimana semua pulau-pulau yang dimilikinya akan dibuka dan terbuka pada masa Imam Mahdi dan Nabi Isa as.

Dan Negeri yang memiliki delapan ciri-ciri di atas disebut dalam Kitab Al-Jifr A’zham dengan nama AL-YABAN, yang diterjemahkan dengan keliru ke dalam Bahasa Indonesia sebagai NEGERI JEPANG. Padahal jika kita mencermati kedelapan ciri-ciri yang disebutkan di atas, maka ciri-ciri tersebut jelas-jelas merujuk kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh INDONESIA dan bukan JEPANG.

Nah pertanyaannya adalah mengapa kata AL-YABAN dalam Kitab Al-Jifr A’zham tersebut bisa diterjemahkan sebagai NEGERI JEPANG?

Jawabnya karena kata AL-YABAN merupakan pelafalan dari kata AL-YAVAN dalam lisan orang Arab, sebagaimana nama SWARNADVIPA (nama Pulau Sumatera dalam Bahasa Sansekerta) diucapkan dalam lisan orang arab sebagai SUWARANDIB. Dan bukan sebuah kebetulan pula jika dalam Peta Kuno PULAU JAWA versi Belanda terdapat daerah yang bernama DJAPAN yang mirip dengan JEPANG.

DR. Menachem Ali dalam bukunya yang berjudul “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts” menyebutkan bahwa kata YAVAN merupakan istilah serapan dari Bahasa Vedic Sanskrit (Sansekerta), yang berasal dari kosakata “YAVA-DVIPAM” yang kemudian mengalami proses transliterasi menjadi “JAWA DWIPA” yang berarti PULAU JAWA.

Sehingga sampai disini, kita menjadi paham bahwa ternyata NEGERI AL-YABAN yang merupakan pelafalan dari kata AL-YAVAN dalam lisan orang Arab, yang disebutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib ra dalam Kitabnya yang berjudul Al-Jifr A’zham sebagai Negeri di Timur yang akan mengalami kejayaannya di akhir zaman, merujuk kepada NEGERI NUSANTARA dimana PULAU JAWA menjadi bagian darinya.

Dalam buku yang berjudul “Java: Past & Present A Description of The Most Beautiful Country In The World, Its Ancient History, People, Antiquities, And Products”, yang ditulis oleh Donald Maclaine Campbell pada tahun 1915 Masehi, disebutkan sbb,

“Javana or Yavana, or abridged Java, was also the name given only to Sumatra, but also to portions of Borneo and of the Malay Peninsula (probably Pahang) besides the whole of Indo-China.”

Terjemahan:
“JAVANA atau YAVANA, atau seringkali hanya disebut sebagai JAVA, adalah nama yang diberikan tidak hanya untuk Pulau Sumatera, tetapi juga untuk sebagian Pulau Borneo (Kalimantan) dan Semenanjung Malaysia (mungkin Pahang), disamping itu juga mencakup seluruh kepulauan Indo-China.”

Jadi jelas adanya bahwa yang dimaksud dengan YAVANA atau YAVAN atau AL-YAVAN sesungguhnya merujuk kepada wilayah teritori NUSANTARA yang mencakup Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Semenanjung Malaysia dan seluruh wilayah Indo-China.

Teritori wilayah Nusantara inilah yang pada masa penyebaran Islam oleh Syekh Jumadil Kubro (kakek Sunan Ampel), Syekh Maulana Ishaq (ayahanda Sunan Giri), dan Sunan Ampel (ayahanda Sunan Bonang) sebagai generasi pertama Wali Songo disebut sebagai “JAWI” yang merujuk kepada wilayah Nusantara yang mencakup Malaka (Malaysia), Pasai (Aceh) dan Ampeldenta (Surabaya). Baru kemudian pada masa Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri lah teritori “JAWI” ini meluas hingga wilayah Nusantara yang mencakup Aceh, Minangkabau, Palembang, Banjar (Kalimantan), Lombok (NTB), Timor (NTT), Makassar (Sulawesi) hingga Ambon (Maluku). Jangkauan teritori ini merupakan wilayah penyebaran Islam oleh Sunan Giri dan murid-muridnya, dimana keseluruhan teritori itu semua kemudian disebut sebagai “JAWI”.

Penyebutan YAVANA atau YAVAN atau AL-YAVAN sebagai wilayah teritori NUSANTARA yang mencakup Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Semenanjung Malaysia dan seluruh wilayah Indo-China dengan sebutan JAWI oleh Wali Songo ini tentunya bukan tanpa dasar.

Perhatikan ini …

Dalam buku “Historis of The Cultivated of Vegetables: Comprising Their Botanical, Medical, Edible and Chemical” yang ditulis oleh Hendry Philips pada tahun 1822 Masehi menyebutkan sbb,

“In old literature reference of the west, before 595 BC, mentioned ‘Calamus’ who traded in western market, that was from East Indies (Indonesia now) and/or also was mentioned term ‘JAVAN’ (‘JAVAN’ is grandson Noah namely) or western people call: ‘JAVA’ or now We know is Jawa Island and/or Java Island (in Sanscret: ‘YAVANA’ or ‘YAWANA’), which explained by Prophet Ezekiel 595 BC and also Alexander the Great era.”

Terjemahan:
“Dalam Literatur Kuno yang berasal dari tahun 595 Sebelum Masehi, disebutkan bahwa ‘CALAMUS’ (sejenis bambu) yang diperjualbelikan di Pasar Barat, berasal dari India Timur (Indonesia sekarang) dan atau juga disebut sebagai ‘JAVAN’ (JAVAN adalah cucu dari Nabi Nuh) atau orang-orang barat menyebutnya ‘JAVA’ atau sekarang kita menyebutnya sebagai ‘PULAU JAWA’ atau ‘PULAU JAVA’ (dalam Bahasa Sansekerta disebut ‘YAVANA’ atau ‘YAWANA’) sebagaimana disebutkan oleh Nabi Ezekiel pada tahun 595 Sebelum Masehi dan juga pada era Alexander Agung.”

Dan dalam buku “Java: Past & Present A Description Of The Most Beautiful Country In The World, Its Ancient History, People, Antiquities, And Products” yang ditulis olej Donald Maclaine Campbell pada tahun 1915, disebutkan bahwa:

“Pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan seni, berbicara secara luas tentang Japhetic, dan hanya tentang Japhetic saja. Hal ini menjadi alasan yang menjelaskan bahwa penduduk awal Pulau JAWA atau Pulau JAVA, saya ulangi, adalah ras asli yang muncul dari keempat putra JAPHET, dan suku atau masyarakat pulau itu disebut dengan memakai nama putranya. Ras JAWA atau Ras JAVAN ini, selain menyebar ke Hindia Timur, Kamboja, Siam, juga ditemukan di Suriah dan Yunani.”

Jadi dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa YAVAN atau YAVANA itu berasal dari nama cucu Nabi Nuh as yang bernama JAVAN bin JAPHET, yang kemudian menjadi Penduduk awal atau Ras Asli Pulau JAWA yang dalam bahasa sansekerta disebut sebagai YAVA-DVIPAM atau YAWA DWIPA.

Lantas bagaimana ceritanya, YAVAN atau YAVANA yang berasal dari nama cucu Nabi Nuh as yang bernama JAVAN bisa dikaitkan oleh para Wali Songo menjadi JAWI, sementara dalam penjelasan di atas hanya disebutkan bahwa JAVAN adalah penduduk awal atau Ras Asli Pulau JAWA, tanpa embel-embel kata JAWI.

Jawabnya ada dalam Teks Masoret Perjanjian Lama Berbahasa Ibrani berikut ini,

“Inilah keturunan Shem, Ham dan JAPETH, anak-anak Nuh. Setelah air bah itu, lahirlah anak-anak lelaki bagi mereka.”
( Teks Masoret Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 10:1 )

“(Sedangkan) Keturunan JAPETH adalah Gomer, Magog, Madai, JAVAN, Tubal, Mesekh dan Tiras.”
( Teks Masoret Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 10:2 )

“Inilah kepulauan GOWI dari keturunan JAPETH, yang masing-masing terbagi menurut tanah mereka, menurut bahasa mereka, dan menurut kaum mereka.”
( Teks Masoret Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 10:5 )

Teks Masoret Perjanjian Lama di atas, menyebutkan bahwa keturunan JAPETH bin NUH, termasuk JAVAN adalah penduduk awal Kepulauan GOWI. Nah kata GOWI disini ternyata dalam Bahasa Ibrani diutulis dengan huruf: GIMEL, VAV dan YOD yang jika ditulis dalam huruf Arab akan menjadi JIM, WAW dan YA yang akan dibaca sebagai JAWIYYI atau JAWI. Jadi para wali songo itu sebenarnya sudah sangat tepat jika mereka menyebut YAVAN atau YAVANA yang berasal dari kata JAVAN (yakni dari nama JAVAN bin JAPETH bin NUH) sebagai JAWI yang mencakup wilayah teritori NUSANTARA yang mencakup Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Semenanjung Malaysia dan seluruh wilayah Indo-China sebagai tempat tinggal keturunan JAPETH bin NUH.

Mudah-mudahan sampai disini bisa dipahami ya.

Sekarang kita kembali ke bahasan tentang Ramalan Negeri Timur…

Ramalan tentang Negeri di Timur yang akan mengalami kejayaannya di akhir zaman, ternyata tidak hanya disebutkan dalam Kitab Al-Jifr A’zham, namun juga disebutkan dalam Kitab yg ditulis oleh Sunan Sendang Duwur (nama aslinya adalah Raden Noer Rahmad, putra dari Abdul Kohar bin Malik bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad, Irak, lahir pada tahun 1520 Masehi dan wafat pada tahun 1585 Masehi).

Menurut penuturan Kyai Haji Abdul Ghafur, pengasuh pondok pesantren Sunan Drajad yang merujuk dari kitab yang ditulis oleh Sunan Sendang Duwur, disebutkan bahwa sekitar tahun 900-an Masehi, para wali allah yang disebut dengan Wali Abdal yang berjumlah 40 orang, berkumpul di Baghdad (Irak) melakukan rapat pleno untuk mengkaji salah satu hadits Rasulullah saw yang menubuwatkan kejayaan Islam akan bangkit dari Timur. Daerah timur sebelah mana, ternyata dalam hadits juga tidak dijelaskan oleh Rasulullah saw.

Setelah bermusyawarah, akhirnya para Wali Abdal ini memutuskan untuk mencari Negeri yang berada di timur. Tapi para Wali Abdal ini masih bingung tentang lokasi negeri yang dimaksud. Namun salah satu wali abdal berucap, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda bahwa ciri penduduk negeri itu ada dua, yakni pertama memiliki ciri-ciri fisik yang berada “di tengah-tengah”, dan yang kedua, penduduknya memiliki tingkah laku yang baik.

Akhirnya para wali melakukan kajian secara geografis, sosiologis dan antropologis. Dicarilah suatu daerah yang secara geografis strategis dan subur, secara sosiologis memiliki peradaban, akhlak dan kebudayaan yang baik, serta secara antropologis berperawakan sedang, tidak pendek dan juga tidak terlalu tinggi, kulitnya tidak hitam dan juga tidak terlalu putih, rambutnya tidak keriting dan juga tidak terlalu kaku, matanya tidak sipit dan juga tidak terlalu lebar.

Atas parameter tersebut, maka dipilihlah NEGERI NUSANTARA sebagai negeri yang berada di timur yang perlu digarap para Wali Abdal guna menyongsong kebangkitan Islam dari Timur.

Apa yang dituturkan oleh Kyai Haji Abdul Ghafur, yang merujuk dari kitab yang ditulis oleh Sunan Sendang Duwur ini, memiliki kemiripan konteks dengan apa yang pernah disampaikan Kyai Haji As’ad Syamsul Arifin dalam salah satu ceramahnya pada tahun 1980-an sebagai berikut,

“Dalam rapat para ulama di Kawatan, Surabaya, sekitar tahun 1925 Masehi, ada seorang ulama yang menyampaikan pendapatnya. Ulama tersebut mengatakan bahwa ia menemukan satu teks sejarah yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Ampel yang menyatakan demikian: ‘Waktu saya (Sunan Ampel) mengaji pada paman saya di Madinah, saya pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw seraya berkata pada saya (Sunan Ampel): Islam ahlussunnah wal jamaah ini bawalah hijrah ke INDONESIA karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam ahlussunnah wal jamaah. Bawalah ia ke INDONESIA’.”

Dan hal menariknya adalah bahwa ternyata Ramalan tentang Negeri di Timur ini, ternyata juga tidak hanya disebutkan dalam Kitab Al-Jifr A’zham dan Kitab yg ditulis oleh Sunan Sendang Duwur, melainkan juga disebut dalam Kitab Veda Bhavisya Purana, khususnya Bagian Pratisara Parwa yang berisikan berbagai ramalan tentang masa depan hingga akhir zaman. Dalam Kitab Veda Bhavisya Purana tersebut disebutkan bahwa orang-orang YAVANA akan menguasai peradaban dunia pada akhir Zaman Kaliyuga. Lagi-lagi kita dihadapkan pada kata kunci ”YAVANA”.

Saya ulangi sekali lagi ya…
Kata kuncinya disini adalah YAVANA …

Dalam penjelasan saya sebelumnya, sudah saya jelaskan bahwa kata YAVAN atau YAVANA merupakan istilah serapan dari Bahasa Vedic Sanskrit (Sansekerta), yang berasal dari kosakata “YAVA-DVIPAM” atau “YAVA DVIPA” yang kemudian mengalami proses transliterasi menjadi “JAVA DWIPA” atau “JAWA DWIPA” yang berarti PULAU JAWA.

Dalam Kitab Veda Ramayana, bagian Kiskinda-Khanda Bab 40, disebutkan:

“yatnavanto YAVA-DVIPAM sapta rajyopa-sobhitam”

Terjemahan:
“(Sugriva berkata): Selanjutnya kalian akan memasuki wilayah YAVA-DVIPAM (PULAU JAWA) yang termahsyur yang terdiri atas tujuh kerajaan.”
( Kitab Veda Ramayana, Kiskinda-Khanda, 40:30 )

Sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya bahwa Kitab Veda Ramayana, bagian Kiskinda-Khanda, mencatat bahwa pada Zaman Tetrayuga (900 ribu tahun yang lalu) telah berdiri Tujuh Kerajaan megah di Pulau JAWA, yang kemudian dimaknai sebagai teritori wilayah NUSANTARA yang terdiri atas Tujuh Pulau Utama, yakni:
1. Yava Dvipa (Pulau Jawa).
2. Kara Dvipa.
3. Hiranya Dvipa (Pulau Sumatera).
4. Malaya Dvipa (Semenanjung Melayu).
5. Varuna Dvipa (Pulau Kalimantan).
6. Varah Dvipa.
7. Sula Dvipa (Pulau Sulawesi).

Sementara Kitab Veda Mahabharata (Veda Mahabharata 6.604), yang ditulis pada 5000 tahun yang lalu, menyebutkan teritori wilayah NUSANTARA yang terdiri atas Tujuh Pulau Utama ini sbb:
1. Jambu Dvipa (Dataran India).
2. Plaksha Dvipa (Pulau Sulawesi).
3. Shalmali Dvipa (Pulau Papua).
4. Kusa Dvipa.
5. Krauncha Dvipa (Pulau Kalimantan).
6. Shaka Dvipa (Pulau Jawa).
7. Pushkara Dvipa.

Memaknai YAVAN atau YAVANA sebagai YAVA-DVIPAM yang mencakup wilayah teritori wilayah NUSANTARA yang terdiri atas tujuh pulau utama ini juga dijelaskan dalam penjelasan yang berbeda oleh Mas Oedi (Harunata Ra) sbb:

“Kisah pun berlanjut. Akhirnya Manusia diturunkan ke Bumi dan berkembang menjadi berbagai bangsa dengan ras yang berbeda. Sangat lama mereka hidup di periode zaman pertama (Purwa Duksina-Ra), lengkap dengan berbagai keunikan dan lika-liku kehidupannya. Dan periode zaman pertama (Purwa Duksina-Ra) pun harus berakhir lalu digantikan dengan periode zaman kedua (Purwa Naga-Ra). Setelah semuanya cukup waktu, maka periode zaman kedua itu pun harus berakhir dan digantikan dengan periode zaman ketiga (Dirganta-Ra). Nah, pada masa awal periode zaman ketiga (Dirganta-Ra) ini, setelah 1 miliar tahun berlalu, maka untuk pertama kalinya satu di antara kelima sosok dari bangsa Safaru turun ke Bumi. Ia bernama Amarun dan langsung membangun sebuah negeri di atas awan dengan nama YAVANA. Negeri ini (Negeri YAVANA) sangat tersembunyi (tak kasat mata) dan posisinya berada di antara Yava Dvipa (Pulau Jawa), Hiranya Dvipa (Pulau Sumatera), Varuna Dvipa (Pulau Kalimantan), dan Sula Dvipa (Pulau Sulawesi) sekarang. Lalu selang beberapa waktu kemudian, ke empat bangsa Safaru lainnya yang bernama Asorin, Hadirar, Kasibar, dan Giwasur, ikut-menyusul dan tinggal di negeri tersembunyi yang disebut YAVANA itu.”

Jadi apa yang disampaikan oleh Mas Oedi (Harunata Ra) tentang keberadaan NEGERI YAVANA di atas semakin menegaskan bahwa yang dimaksud dengan NEGERI YAVANA itu memang merujuk ke YAVA-DVIPAM atau YAVA DVIPA yang tidak hanya dimaknai sebagai Pulau JAWA saja tetapi juga mencakup teritori wilayah NUSANTARA yang terdiri atas tujuh pulau utama sebagaimana disebutkan dalam Kitab Veda Ramayana (900 ribu tahun yang lalu) dan Kitab Veda Mahabharata (5 ribu tahun yang lalu).

KESIMPULAN:

Kitab Hindu Veda Bhavisya Purana, bagian Pratisara Parwa yang berisikan ramalan-ramalan tentang masa depan, Kitab Al-Jifr A’zham yang berisi pernyataan-pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib ra tentang akhir zaman, dan Kitab Sunan Sendang Duwur yang berasal dari zaman Wali Songo, ketiganya sama-sama menubuwatkan tentang sebuah Negeri yang berada di Timur yang kelak akan mengalami kejayaannya dan menguasai peradaban dunia di akhir zaman. Dan Negeri itu dikenal dengan nama YAVAN, YAVANA, AL-YAVAN, AL-YABAN, dan YAVA DVIPA yang dapat diartikan sebagai teritori wilayah NUSANTARA yang terdiri atas tujuh pulau utama, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Veda Ramayana, dan Kitab Veda Mahabharata.

Wallahu ‘alam bishshawab.

Bukti bahwa SHIVA DAN VISHNU ADALAH EQUAL dan Isk’con Mis-interpretations TERUNGKAP

$
0
0

Bukti bahwa SHIVA DAN VISHNU ADALAH EQUAL dan Isk’con Mis-interpretations TERUNGKAP —

Krishna worships Shiva

1.
SB 4.7.54 Pernyataan ASLI — Dewa Wisnu memberi tahu Raja Daksha (ayah dari Sati) — “Dia yang bertiga ((Brahma, Wisnu dan Siwa)) memiliki SATU SIFAT, sesungguhnya, dari Supersoul dalam semua makhluk, TIDAK MELIHAT KEPISAHAN, o brahmana, menyadari kedamaian. ”

2.
GARIS SAMA disampaikan oleh Dewa Siwa kepada raja Daksha di SHIVA MAHA PURANA.
Selain itu, Dewa Siwa juga mengatakan –

“ORANG FOOLISH yang melihat keterpisahan di antara kita bertiga, PASTI tetap di NERAKA selama waktu selama bulan dan bintang-bintang di langit.

Daksha! jika seorang pemuja Wisnu menurunkan tuan Siwa dan jika seorang pemuja Siwa menurunkan tuan Wisnu, maka KEDUA JENIS PERANGKAT INI akan secara otomatis mendapatkan semua ‘kutukan’ yang telah diberikan kepadamu dan para bakta semacam ini akan tetap tanpa tattva gyaan. ” yaitu pengetahuan spiritual tertinggi.

Jadi, Anda dapat dengan jelas melihat, jika ada perbedaan di antara ketiganya, maka Dewa Wisnu atau Dewa Siwa akan menyebutkannya; tetapi tidak demikian.

3.
GARIS SIMILAR telah ditemukan dalam RAMAYANA yang ditulis oleh Goswami Tulsidas.

Di Lanka Kaanda, TUHAN RAMA MENDIRIKAN RAMESHWARA SHIVA LINGA DAN BERBASISAN TUHAN SHIVA sebelum melanjutkan pertempuran.

Dewa Rama menyatakan bahwa – “Jika seseorang menurunkan tuan Siwa dan menyebut dirinya penyembahku; dan jika seseorang merendahkan tuan Rama / Wisnu dan menyebut dirinya pemuja Siwa, MAKA ORANG ITU ADALAH SEBUAH ORANG, RESIDER NERAKA DAN MINOR-MINDED. ”

Jadi ini adalah garis CLEAR-CUT dan MAKNA TRANSPARAN dari Puranas Hindu Utama yang setiap orang ((pria & wanita dari setiap kelompok umur)) dari Sanatana Hindu Dharama AKAN MENERIMA SECARA UNCONDITIONAL.

………………………………………………….
Dan sekarang lihat Interpretasi Bengkok dari ISKCON mengenai poin-poin di atas.

1.
Menentang poin 1, Iskcon secara cerdik memberikan contoh dari Tulisan Sendiri mereka ‘Brahma-Samhita’.
Mereka mengatakan itu—

Dewa Wisnu adalah SUSU
Dewa Siwa & Brahma adalah YOGURT
Untuk mencapai perdamaian NYATA, AMBIL SUSU (Wisnu)

Dengan mengatakan demikian, Iskcon MEMPERTIMBANGKAN NON-KEPISAHAN yang dinyatakan oleh tuan Wisnu sendiri.

Sementara Yang Mulia Wisnu sedang menekankan “eka bhavanam – mis. One Nature”,
Iskcon MEMASUKI DI ANTARA mengatakan bahwa ada “SUSU & FILTER YOGURT.”

FAKTA ASLI —
Yogurt terbentuk ketika susu murni diserang oleh bakteri “Lactobacillus”.
JADI SUSU TIDAK TINGGAL DI ALAM YANG BENARNYA. Yaitu, 2 sifat dibuat.
Alam 1- Susu murni
Sifat 2 – Susu terinfeksi BACTERIA

Jadi setiap orang tidak akan pernah memiliki perasaan yang sama terhadap yogurt seperti susu.
Karena susu dan yogurt tidak dapat digunakan untuk tujuan yang sama pada saat yang bersamaan. ((Tidak ada yang makan yogurt sambil minum susu.))

FAKTA TERSEMBUNYI —

Sebenarnya, iskcon sedang mencoba untuk mengatakan — Karena Susu dan yogurt tidak dapat digunakan untuk tujuan yang sama;
Pembebasan yang Serupa Tidak Dapat Dicapai Dengan Menyembah Shiva, Tapi HANYA oleh Wisnu.

Anda dapat melihat BRAINWASH dilakukan di ‘Level Menit’.

PERTANYAAN muncul: —
Jika “Filsafat Susu dan Yogurt” benar, maka —

Mengapa Ved Vyas tidak memperkenalkannya dengan berkonsultasi dengan Iskcon dan mengapa Wisnu tidak mengajarkan filosofi yang sama ini ?????

2.
Menentang poin ke-2, Iskcon benar-benar menolaknya karena mereka mengatakan – “Fakta ini dari Tamasic Purana dan karenanya MEMIMPIN NERAKA.”
Jadi, BENAR-BENAR DITOLAK OLEH ISKCON. (Sungguh pikiran yang murah !!!)

3.
Menentang poin ke-3, Iskcon membuat 2 SILLY EXCUSES –-

1. Mereka TIDAK MENERIMA Goswami Tulsidas dan mengatakan bahwa “TIDAK ada kejadian seperti itu yang ditulis dalam Valmiki Ramayana.”

2.Bahkan jika seseorang bersikeras, maka Iskcon berkata —– “Jika seorang ayah mengambil anak di pundaknya, maka itu tidak berarti bahwa anak itu lebih penting daripada ayah.”

PERTANYAAN muncul —
Jika itu benar, maka Rama akan mengatakan: “Meskipun Aku Menyembahmu, Aku adalah Bapamu dan Kau adalah Putraku.”

Tetapi Lord Rama tidak mengatakan hal seperti ini.

MORAL PEMBAHASAN: (Pendapat pribadi)

1. Iskcon TIDAK siap untuk menerima bahwa Siwa sama dengan Wisnu; bukti apa pun yang mungkin Anda letakkan di depan mereka.

2. Mereka seperti katak di dalam sumur, yang sama sekali tidak siap untuk menerima bahwa ada sesuatu seperti Samudra.

3. Siapa pun yang memberi tahu mereka bahwa “Brahman” adalah yang tertinggi, Wisnu dan Siwa adalah sama; mereka mulai berteriak bahwa You Are Mayavadi demon !!!
Diposting oleh Unknown pada jam 7:10 pagi
6 komentar:

ShriOktober 22, 2013 jam 9:32 pagi
Terima kasih banyak atas tulisan ini. Saya baru saja membaca Brahma-samhita untuk memahami komentar Anda. Saya meminta waktu Anda untuk membaca pikiran saya.

Saya menulis semua ini sebagai kutipan Anda pada hasil yang diharapkan ketika para penyembah Dewa Wisnu dan Dewa Siwa saling menghina, menyentuh hati saya. Saya bisa mengerti ketidaksenangan beberapa kata yang disayangkan orang mengatakan penyebabnya dan itu menyedihkan. Saya akan membagi komentar saya menjadi dua.

Saya mengerti bahwa Anda mendasarkan komentar Anda tentang ISKCON berdasarkan kabar angin dan bacaan parsial dan tidak memiliki wawasan penuh dalam filosofi mereka, namun Anda telah benar memahami beberapa pemahaman mereka. Mereka tidak melihat Brahman sebagai yang tertinggi. Namun, mereka melihat Wisnu dan Siwa sama. Apakah mereka benar atau tidak, itu adalah keyakinan mereka bahwa yang lebih tinggi dari Brahman adalah kepribadian Ketuhanan yang merupakan sumber Brahman dan kepribadian asli dari mana Brahma, Wisnu dan Siwa (memiliki 60 dari 64 kualitas “Ketuhanan asli”) berasal dan siapa yang mereka wakili.

ISKCON sendiri datang dalam garis Brahma sampradaya dan Brahma dianggap menyembah Krsna dan melihat Wisnu sebagai ayah-Nya, sehingga Krsna menjadi yang tertinggi untuk menghormati ajaran-ajaran Brahma. (Mereka mengenali 4 sampradaya, Brahma, Shiva, Shri – yang berhubungan dengan Wisnu dan empat Kumara sebagai bonafide)

Dalam baris ini sebagai inkarnasi tersembunyi tiba Caitanya Mahaprabhu yang dikatakan telah membaca Brahma Samhita (awalnya diucapkan oleh Dewa Brahma) kepada teman-temannya. Saya sangat sadar bahwa ide ini kontroversial, tetapi saya berharap kita akan setuju bahwa setiap penyembah Tuhan memiliki hak untuk memilih apa yang cocok dengan hubungannya dengan Tuhan. Memang, ini agak sering dipikirkan juga di ISKCON. Masalah muncul sebagai berikut, Gaudiya Vaisnava percaya bahwa hubungan pribadi dengan bentuk Tuhan lebih unggul daripada gagasan tentang Tuhan dan mereka percaya bahwa Krsna memberikan rasa yang mereka anggap “yang terbaik” sehingga secara alami mereka di antara mereka sendiri berbicara sedemikian rupa untuk berbagi rasa mereka. Bahkan di sini ada nilai-nilai hubungan yang dipikirkan dan berkembang pada saat di mana beberapa orang akan melihat Allah sebagai ayah, saudara laki-laki, kekasih, tuan atau memiliki hubungan netral.

Balasan

ShriOktober 22, 2013 jam 9:34 pagi
Dalam tradisi Gaudiya sebenarnya ada gema tritunggal dalam sesuatu yang disebut Panca Tattva. Dalam buku Caitanya Caritamrta ini dijelaskan sebagai berikut: “Tidak ada perbedaan spiritual antara Kepribadian Panca Tattva, karena pada platform transendental semuanya mutlak. Namun, varietas ada di dunia spiritual, dan untuk mencicipi spiritual ini varietas yang harus dibedakan antara mereka. Izinkan saya mempersembahkan penghormatan saya kepada Tuhan Sri Krsna, yang telah memanifestasikan dirinya dalam lima, sebagai penyembah, perluasan penyembah, penyembah murni dan energi penyembahan. ” Berdasarkan ini, seharusnya tidak ada kesulitan dalam memahami apa yang Anda katakan benar juga. Terutama ketika diketahui bahwa salah satu dari lima teman terdekat dan wellwishers dari Lord Caitanya dianggap sebagai inkarnasi dari Dewa Siwa (Anda dapat membaca lebih lanjut tentang itu di buku yang sama tentang kehidupan Advaita Acharya).

Hati saya tertuju kepada para penyembah yang sangat menghina kepercayaan orang lain dan saya berdoa kepada Dewa Siwa untuk restu dan menghilangkan hambatan ketidaktahuan dari hati mereka sehingga mereka dapat memahami Kebenaran. Saya sendiri adalah seorang penyembah Panca Tattva dan dalam terang itulah saya berdoa dan inilah sebabnya.

Dikatakan bahwa Tuhan Caitanya telah diundang oleh seorang cendekiawan besar Sarvabauma Bhatacharya yang mengajarkan apa yang disebut filsafat “mayavadi” namun Dia dengan tenang mendengarkan selama beberapa hari dan menunjukkan kesopanan yang patut dicontoh kepada seseorang yang memiliki pemahaman berbeda dan hanya berbicara setelah ditanya setelah mana mereka menemukan kesamaan. Ketika orang bijak berbicara, mereka melakukannya dengan sopan dan penuh hormat dan dapat saling memahami dan belajar satu sama lain.

Alasan lain adalah, belum lama ini, di bawah waktu pelayan saya kepada Tuhanku Gaura (Caitanya Mahaprabhu) Lingam indah Siwa-Shakti (lingam dengan tanda yang mewakili shakti) telah ditolak masuk ke rumah Gauras (dan rumah Panca Tattva) oleh beberapa bakta-Nya. Saya telah memahami bahwa ini sangat tidak menyenangkan Tuhanku yang menunjukkan bahwa Dia menjaga Dewa Siwa di sisi-Nya di altar itu dan itu adalah permintaan-Nya yang Dia ikuti, ada ikatan kasih dan rasa saling menghormati di antara Mereka. Ini kemudian dikoreksi dan diketahui bahwa Lord Caitanya, sebelum mengunjungi Lord Jagannath yang kepadanya Dia memberikan hati-Nya, di Puri pertama kali memberikan hormat dan mengunjungi Dewa Siwa.

Sekali lagi, saya berterima kasih atas pekerjaan Anda dan berharap bahwa pekerjaan koreksi Anda juga akan melibatkan doa kepada Tuhan untuk para penyembah Vaisnava sehingga Dia dapat memberi mereka pintu masuk ke pengabdian atas pilihan mereka dan menganugerahkan kepada mereka kebijaksanaan memahami Kebenaran. dengan rendah hati, sri om tat sat

Balasan

UnknownDesember 28, 2013 at 8:37 AM
Sepenuhnya setuju dengan Anda

Balasan
Balasan

AC_PHY 6 Januari 2014 jam 9:30 malam
TIDAK ADA VERSE TERSEBUT padma purana uttara khanda (U.K) 236 chap (atau kadang-kadang U.K 6.25.5-7) seperti dikutip oleh situs iskcon di mayavadam. Bab (6) .236 adalah percakapan antara Mrikandu Vashishta dan parameshwara. Untuk konfirmasi, donwload Padma Purana yang diterbitkan oleh Anandashram Press yang sangat dihormati pada 1800-an. Pindai tersedia di archive.org: https://ia801704.us.archive.org/2/items/Anandashram_Samskrita_Granthavali_Anandashram_Sanskrit_Series/ASS_131_Padma_Puranam_Part_4_-_VN_Mandalik_1894.pdf

Balasan

NutritionatworkApril 27, 2014 jam 18:59
Mutlak

SUMBER:

http://sivapurana.blogspot.com/2013/10/iskcon-is-wrong-2.html

Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu

$
0
0

Pokok Pandangan Ajaran

Man ‘Arafa Nafsah…

Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
– Q.S. Asy-Syuura [42]: 11

MAN ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya”. Begitulah kurang lebih makna dari sabda Rasulullah SAW tersebut.
Kata-kata itu sangat masyhur di kalangan para penempuh jalan penyucian jiwa. Meski begitu, tidak semua orang meyakini kata-kata tersebut adalah sabda Rasulullah SAW. Sebagian bersikeras bahwa itu bukan hadits. Sebagian lagi mengatakan hadits itu dha’if, bahkan palsu.

Walau jarang terdapat di kitab-kitab hadits sunni, namun hadits ini—dengan teks yang sama—bisa kita dapatkan di kitab Misbah Syari’ah dari cicit Rasulullah SAW, Ja’far as-Shadiq.

Rasulullah SAW menyampaikan kata-kata agung tersebut kepada sahabat Ali r.a., dan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ja’far as-Shadiq, yang memperolehnya dari jalur kakeknya, Ali r.a. Lisan agung Rasulullah SAW pernah menyampaikan kalimat itu pada sahabat Ali r.a., yang disebut Rasulullah SAW sebagai “gerbang dari ilmu-ilmu Rasulullah SAW”.

Apa maksud presisi kalimat tersebut? Seperti apa “mengenal diri” itu? Dan, bagaimana bisa dengan mengenal diri sendiri lalu menjadi mengenal Rabb? Apakah diri ini adalah Rabb? Apakah ini terkait dengan pantheisme—menyatunya wujud Tuhan dan wujud manusia?

Mari kita perhatikan sabda Beliau SAW tersebut. “Man ‘arafa nafsahu”. Siapa yang ‘arif akan nafs-nya—jiwanya. Sebenarnya bukan sekadar mengenal, tapi ‘arif. ‘Arif akan jiwanya.

‘Arif kurang lebih bermakna “sangat memahami”, “paham dengan sebenar-benarnya”.

Sedangkan dalam “faqad arafa rabbahu”, kata “faqad” berarti “maka pastilah”, atau “sudah barang tentu”. Ada kadar kepastian yang tercakup di sana, jauh lebih pasti derajatnya dari sekadar “akan”. “Faqad ‘arafa rabbahu”, berarti “maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”.
“Siapa yang ‘arif akan jiwanya, maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”, begitu kira-kira maknanya. Apa maksudnya?

Diri Kita yang Sejati

Diri kita yang sejati sesungguhnya bukan diri kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog. Diri kita yang ini—yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan, orangtua, pemikiran, norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing. Dengan kata lain, diri kita yang ini adalah hasil bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita. Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”. Diri kita yang ini, meski unik, adalah diri yang semu. Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, sebenarnya.

Sementara, yang dimaksud dan dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.

Nafs-lah (jamak: anfus, jiwa-jiwa) yang dipanggil dan disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb-nya.

وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ

Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab: “Betul, sungguh kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini.” – Q.S. Al-A’raaf [7]: 172

Nafs kita sudah ada bahkan sebelum alam semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan dan semua gagasan yang menyertainya—dan semua dinamika psikis yang terkait dengannya—akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.

Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa. Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.

Nafs sendiri berbeda dengan hawwa nafs, atau yang biasa kita sebut hawa nafsu. Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah “hawa dari nafs”: hanya sekadar “hawa keinginan” dari jiwa. Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita, sehingga kehendak hawa nafsu tidak mudah dibedakan dari kehendak jiwa.

Yang dimaksud dan dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”. Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri kita masing-masing.

Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala dinamika psikis maupun psikologisnya. Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri kita masing-masing. Jiwa, namun bukan sembarang jiwa. Jiwa yang dimaksud sebagai diri manusia yang sejati adalah jiwa yang sudah terbebas dari dominasi hawa nafsunya, dari ikatan keduniawian, maupun dari daya-daya syahwati jasadnya. Nafs yang telah terbebas dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya inilah yang disebut “nafs yang tenang”.

Nafs yang tenang ini dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah”. Sebagaimana permukaan air yang telah tenang, pada kondisi nafs yang telah tenang inilah ia bisa melihat kembali pengetahuan tentang siapa dirinya, untuk apa dia diciptakan dan apa tugasnya—semua pengetahuan yang pernah Allah tanamkan kepadanya—pun akan terbuka kembali dan tampak dengan jelas baginya.

‘Arafa Nafsahu

Nafs-lah yang dahulu mempersaksikan diri kepada Allah, berbicara dengan-Nya dan menerima seluruh pengetahuan untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus kita laksanakan di dunia. Sedangkan diri kita yang jasad—termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis, dan psikologisnya—sesungguhnya hanya kendaraan bagi sang jiwa untuk melaksanakan perannya di alam fisik ini. Diri kita yang ini usianya terbatas. Kelak, ia akan hancur menjadi tanah.
Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa, sang pengendaranya. Kecerdasan dan keindahan jiwa sesungguhnya jutaan kali lipat dibanding jasadnya—jika saja jiwa berhasil membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya, dan berhasil membuka kembali ilmu-ilmu ilahiah yang Allah tanamkan dalam dadanya.

Nafs inilah yang harus kita kenali dengan se-’arif-’arif-nya, karena di tataran nafs-lah Allah menanam bibit pengetahuan agung tentang siapa kita sebenarnya, untuk fungsi apa kita diciptakan-Nya, dan bagaimana memperoleh segala prasarana untuk menjalankan tugas penciptaan itu. Bukan di jasad, bukan di otak, tapi di tataran nafs.

Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa, sang pengendaranya.

Tentu, langkah awal untuk mengenal jiwa adalah dengan membebaskannya dulu dari waham, dari timbunan dosa, dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun dominasi syahwat dan hawa nafsu atas jiwa kita. Dalam bahasa agama, langkah ini disebut sebagai memulai perjalanan taubat—perjalanan kembali kepada Allah Ta’ala. Taubat berasal dari kata “taaba”, yang artinya kembali.

Sementara, alih-alih ‘arif akan jiwanya sendiri, sebagian besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya. Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terkubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri. Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh, buta dan tuli, sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya.

Pada umumnya, manusia sudah tidak lagi mampu membedakan mana suara hati nurani, mana kehendak hawa nafsu, mana keinginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa. Semua terdengar sama saja di hatinya.

Tujuan Penciptaan Manusia

Terkait dengan tujuan penciptaan manusia, kita biasanya selalu merujuk pada ayat berikut,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku. – Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56

Hanya sayangnya, kata “ya’bud” di sana biasanya hanya diterjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan semacamnya. Tujuan penciptaan kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal.

Dengan memahami makna kata “ya’bud” hanya seperti ini, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia dipahami hanya sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja.
Padahal, kata “ya’bud” di sana berasal dari kata ‘abid, kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi. Ya’bud, kata kerja, bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”. Itulah tujuan penciptaan kita: untuk melaksanakan sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.

Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rasulullah Muhammad SAW adalah melakukan apa saja yang diperintahkan dalam koridor syariat yang dibawa oleh Beliau. Kita melakukan shalat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang dimaksud “ya’bud”  (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang dilakukan seorang ‘abid, adalah melaksanakan perintah tuannya. Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘abid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu dilakukannya. Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya atas nama tuannya. Inilah inti dari menjadi seorang hamba: melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.

‘Arif akan nafs, ‘Arif akan Tujuan Penciptaan Diri

Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik, sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Allah, yang menjadi alasan penciptaannya. Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia diciptakan. Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—maka ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya—pelaksanaan pengabdian tersebut—akan Allah mudahkan baginya.

Dari Imran r.a., saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” – H.R. Bukhari no. 2026
“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” – H.R. Bukhari no. 1777

Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan bagimu. – Q.S. An-Nahl [16]: 69

“Tiap-tiap diri”, sabda Rasulullah SAW. Spesifik. Setiap orang. Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.

أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَالطَّيْرُ‌ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. – Q.S. An-Nuur [24]: 41

Inilah pengabdian hakiki seorang hamba pada Rabb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan “misi hidup’ atau “tugas kelahiran”.

Kebaktian tertinggi seorang ‘abid  adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya—melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala. Ia menyampaikan khazanah Rabb-nya bagi alam semestanya.

Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: menjadi “perpanjangan tangan Allah” untuk memakmurkan alam semestanya sendiri. Inilah makna sesungguhnya dari kata “khalifah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.

‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan amal tertinggi kita: untuk tugas dan peran apa kita diciptakan. ‘Arif terhadap nafs sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
Jadi, itulah makna “Man ‘Arafa Nafsahu”: siapa yang ‘arif akan nafs-nya, pada dasarnya sama artinya dengan “siapa yang memahami tujuan penciptaannya”.

Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya, melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala.

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani tentang ke-’arif-an seorang mukmin:

Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah SAW sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah al-Anshari r.a.

Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaanmu pagi ini, ya Haritsah?”
Haritsah menjawab, “Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min haqqan)”.

Rasulullah SAW menjawab, “Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab segala sesuatu ada hakikatnya (fa inna likulli syay’in haqiqatan). Lalu apa hakikat [yang Allah tampakkan sebagai bukti] dari keimananmu itu (fa ma haqiqatu imanika)?”
Jawabnya, “Jiwa hamba sudah lepas dari dunia. Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba kehausan di siang hari (karena berpuasa). Dan sekarang hamba melihat arsy Rabb hamba dengan nyata. Dan sekarang hamba melihat para ahli surga saling mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”

Dan berkata Rasulullah SAW “Engkau telah ‘arif (‘arafta), ya Haritsah. Maka jagalah keadaanmu itu.”
– H. R. At-Thabrani

 

Faqad ‘Arafa Rabbahu

Lalu apa hubungan ‘arif akan nafs  dengan ‘arif akan Rabb?

Makna “Rabb” tidak otomatis sama dengan kata “Allah”. Sedikit berbeda dengan makna Allah sebagai “ilah”  (sembahan, tempat penghambaan), makna Rabb adalah pangkat, peran Allah Ta’ala dalam memelihara —menjaga, memberi rizki, melindungi, memakmurkan— seluruh semesta alam-alam. Pendek kata, “Rabb” adalah sebutan bagi Allah dalam fungsi rububiyah-Nya. ‘Arif akan Rabb adalah ‘arif akan peran Allah Ta’ala dalam menghadapkan wajah-Nya pada makhluk.

Ketika seorang hamba telah menemukan tujuan penciptaan dirinya, lalu melaksanakan hal terbaik yang bisa dilakukannya sebagai sebuah pengabdian kepada Allah dan atas nama Allah, maka pada hakikatnya ia sedang menolong Allah dengan hal terbaik yang bisa ia lakukan. Dan barangsiapa yang menolong Allah, maka Allah pun pasti akan menolongnya pula.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُ‌وا اللَّـهَ يَنصُرْ‌كُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. – Q.S. Muhammad [47]: 7.

Apa pertolongan Allah yang terbesar pada seorang hamba? Yaitu dengan senantiasa memberi petunjuk pada si hamba tanpa henti-hentinya, baik diminta ataupun tidak. Dengan demikian, si hamba menjadi termasuk ke dalam golongan orang-orang Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung).

أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّ‌بِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya. Merekalah Al-Muflihun. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 5

Petunjuk yang tiada henti-hentinya ini adalah untuk mengukuhkan si hamba tetap dalam shirath Al-Mustaqim, jalan yang lurus, jalannya “orang-orang yang diberi nikmat”. Dengan demikian, si hamba memperoleh apa yang selalu diminta dalam setiap rakaat shalatnya.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَ‌اطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَ‌اطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ‌ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan: tunjukilah kami ke Shirath Al-Mustaqim, jalan mereka yang kepadanya Engkau anugerahkan nikmat, bukan jalannya mereka yang sesat. – Q.S. Al-Fatihah [1]: 5-7

Setelah si hamba kukuh menapaki  shirath Al-Mustaqim-nya, maka barulah ia akan mengenal Rabb-nya, karena sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an,

إِنَّ رَ‌بِّي عَلَىٰ صِرَ‌اطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shiratim-Mustaqim. – Q.S. Huud [11]: 56

Inilah makna kalimat Rasulullah SAW “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”: barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya (yang pengetahuan itu tersimpan dalam nafs-nya), maka ia akan Allah tetapkan di dalam shirath Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Rabb-nya sejak di dunia ini, karena Rabb ada di atas Shirath Al-Mustaqim).

Resume

Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya, maka ia akan Allah tetapkan di dalam Shirath Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Rabb-nya).

Copyright © 2020 Qudusiyah.

Cinta menurut Kitab Rasail Ikhwa al Shafa

$
0
0

Oleh Muhammad Abdullah Darraz

Selamat hari Senin, mari penuhi hari indah ini dengan cinta. Berikut sedikit rangkuman saya tentang Cinta dalam Kitab Rasail Ikhwan al-Safa.

“Cinta Semesta dalam pandangan Ikhwan al-Safa”

FB_IMG_1596498505513

Ikhwân al-Şafâ’ –sebuah kelompok teosof abad ke-10 M di Basrah/Irak– menyatakan, semesta ini hidup dan digerakkan oleh kekuatan inheren (batini) yang diberikan Tuhan pada seluruh elemen-elemennya. Ikhwân al-Şafâ’ menyebut kekuatan tersebut sebagai cinta atau al-‘isyq. Dalam satu risalah khusus dari Rasâil-nya, Ikhwân al-Şafâ’ memaparkannya secara mendalam mengenai tema ini, yakni tentang esensi cinta, cinta jiwa, dan demam cinta akan Tuhan. Tema ini menjadi perhatian khusus mereka, sebab bagi mereka realitas cinta ini ada pada semesta, terpusat dalam karakter berbagai jiwa, baik jiwa universal, maupun jiwa partikular. Dan keberadaannya ada sepanjang entitas-entitas semesta ini berada.

FB_IMG_1596498627671

Banyak pendapat para filosof yang memberikan definisi tentang hakikat cinta. Beberapa diantaranya dipaparkan dalam risalah fi mâhiyah al-‘isyq (tentang hakikat cinta). Namun pandangan tentang cinta yang dipegang oleh Ikhwân al-Şafâ’ adalah pandangan yang menyatakan bahwa cinta merupakan hasrat dan kerinduan yang kuat untuk menyatu (syiddah al-syawq ila al-ittihâd), yakni sebuah keadaan yang membuat seorang pecinta ingin lebih dekat dengan yang dicinta (Rasâil Ikhwân al-Safa, vol. III, hal. 272).

Untuk menggambarkan lebih mendalam tentang pengertian cinta ini, dalam risalah tersebut Ikhwân al-Şafâ’ mengutipkan sebuah sya’ir cinta yang ditenggarai berasal dari penyair-sufi Ibn al-Rumi sebagai berikut,
أُعانقها، والنفس بعد مشوقةٌ إليها، وهل بعد العناق تداني؟
وألثم فاها كي تزول صبابتي، فيزداد ما ألقى من الهيمان
كأن فؤادي ليس يشفي غليله، سوى أن يرى الروحين يمتزجان
“Aku memeluknya dan jiwa jatuh cinta padanya, apakah setelah berpelukan aku dijauhkan? Aku mengecup bibirnya agar rasa rinduku hilang tetapi rasa cintaku semakin bertambah. Seolah-olah hatiku tidak sembuh sakitnya, kecuali jika telah melihat dua jiwa menyatu” (Rasâil, vol. III, hal. 272-274)

Kata kunci dalam pengertian cinta di atas adalah penyatuan (al-ittihâd). Sedangkan penyatuan adalah keadaan yang berhembus dari jiwa dan bagian dari aktivitas ruhani. Karena ia hanya dapat dilakukan oleh entitas-entitas ruhani saja. Oleh karena itu keinginan untuk menyatu adalah bagian dari atribut yang dimiliki oleh jiwa-jiwa. Sedangkan entitas-entitas fisik tidak akan bisa melakukan penyatuan, sebab ia terbatas hanya mampu melakukan pendekatan (al-mujâwarah), percampuran (al-mumâzajah), dan persentuhan (al-mumâsah), dan tidak lebih dari itu (Rasâil, vol. III, hal. 273).

Namun demikian, jiwa-jiwa yang mampu melakukan penyatuan ini berada dan mengalir di seluruh raga semesta. Maka dari itu, melalui rasa cinta dan keinginan untuk menyatu, raga-raga semesta telah dihidupkan dan digerakkan oleh jiwa-jiwa ini. Namun siapakah objek cinta dari jiwa ini, siapakah dia yang dicinta dan diharapkan untuk bersatu oleh jiwa-jiwa ini?

Ikhwân al-Şafâ’ menyatakan bahwa keinginan untuk bersatu itu ditujukan kepada Tuhan sang Pencipta, baik itu yang dilakukan oleh jiwa-jiwa partikular maupun jiwa universal. Dialah objek cinta utama dan pertama (al-Ma’syûq al-Awwal). Tuhan adalah tempat lahirnya (al-mabdâ’) keberadaan cinta pada entitas semesta ini, sekaligus Dia adalah tempat kembalinya (al-ma’âd) cinta tersebut.

Cinta semesta –terutama entitas alam tinggi (‘âlam al-‘alawî) yang direpresentasikan oleh jiwa universal, terhadap Tuhan diibaratkan oleh Ikhwân al-Şafâ’ seperti cinta kalangan khawas yang terdiri dari para alim dan orang bijak (filosof). Tanda-tandanya adalah ketika mereka melihat keindahan dan kesempurnaan di alam dunia fisik ini, mereka mencintai keindahan itu karena keindahan dan kesempurnaan di dunia ini diciptakan dan berasal dari Penciptanya yang Maha Indah. Oleh karenanya kecintaan mereka pada keindahan dunia akan berpaling pada kecintaan mereka pada Tuhan sebagai Pencipta yang Maha Bijak dan Pembuat Yang Maha Mengetahui (Rasâil, vol. III, hal. 284). Mereka merasakan kedamaian dan ikatan yang kuat pada Tuhan ketika melihat ciptaan-Nya di dunia ini. Bahkan mereka berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meniru apa yang telah Tuhan lakukan di alam semesta ini melalui berbagai karya-karya yang mereka buat, meniru berbagai perbuatan baik Tuhan, baik ucapan, tindakan, ilmu, dan amal.

Oleh karenanya dasar dari cinta semesta ini adalah penyerupaan terhadap Realitas Tertinggi, yakni Tuhan Maha Pencipta. Jiwa partikular para filosof dan orang-orang bijak berupaya dengan sungguh-sungguh dan berharap untuk bisa melakukan apa yang telah dilakukan oleh jiwa universal dalam setiap perbuatan, ilmu, amal, dan akhlak mereka. Sedangkan jiwa universal bersungguh-sungguh agar bisa menyerupai Tuhan Penciptanya dalam aktivitasnya ketika menggerakkan orbit-orbit, menggerakkan bintang-bintang, dan membentuk seluruh entitas semesta. Semua itu dilakukan atas dasar kecintaan, ketaatan, dan penghambaan pada Allah Tuhan Pencipta Semesta.

Oleh karena itu, semua gerak dan aktivitas semesta ini didasari oleh rasa cinta dan harapan penyerupaan aktivitas diri mereka dengan “aktivitas” Tuhan. Cinta kepada Tuhanlah yang telah menggerakan dan menghidupkan seluruh entitas semesta ini. Dalam hal ini Ikhwân al-Şafâ’ mengutip pandangan para filosof yang menyatakan,

إن الله هو المعشوق الأول، والفلك إنما يدور شوقاً إليه، ومحبةً للبقاء والدوام المديد على أتم الحالات، وأكمل الغايات، وأفضل النهايات

“Sesungguhnya Allah merupakan objek cinta pertama, sedangkan orbit-orbit dan bintang-bintang berputar karena rindu pada-Nya, dan mencintai untuk tetap kekal dan abadi dalam keadaan yang paling utuh bersama-Nya, dalam tujuan yang paling sempurna menuju-Nya, dan kekal dalam akhir yang paling utama pada-Nya”. (Rasâil, vol. III, hal. 285)

Lebih jauh, Ikhwân al-Şafâ’ menjelaskan motivasi kuat mengapa rasa cinta yang dimiliki jiwa universal ini begitu kuat telah membuat dirinya menggerakkan semesta ini, menggerakkan orbit-orbit, menjalankan bintang-bintang dan planet-planet, serta menghidupkan berbagai entitas semesta baik di alam tinggi (outer space) maupun di alam rendah (alam sublunar). Jawabannya adalah karena hasrat dan keinginannya yang kuat untuk memanifestasikan segala kebaikan, keutamaan, kesempurnaan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang hanya terdapat di alam ruhani, yang tak dapat terungkapkan oleh kata-kata.

Aktivitasnya menggerakkan dan menghidupkan semesta ini merupakan bagian dari mewujudkan kebaikan dan keutamaan yang membuat dirinya merasakan kenikmatan dan kebahagiaan. Sumber dan muara dari semua kebaikan, keutamaan, kesempurnaan, kenikmatan dan kebahagiaan itu adalah berasal dari pancaran Tuhan (faydh Allâh).

Semua pergerakan dan kehidupan semesta ini sejak dari jiwa universal, dan Materi Orisinal (al-maddah al-ula) yang berada di alam tertinggi (’âlam al-a’lâ), benda-benda orbital di alam tinggi (‘âlam al-‘alawî), hingga pada entitas-entitas fisik di alam sublunar (‘âlam al-suflâ) tidak lain telah digerakkan oleh cinta yang tertanam pada seluruhnya terhadap objek cinta utama dan pertama, yakni Allah Sang Maha Pencipta.

Saya ingin mengakhiri pembahasan mengenai cinta semesta terhadap Allah Tuhan Maha Pemurah ini dengan mengutipkan kalimat inti Ikhwân al-Şafâ’ yang menyatakan,

فقد تبين بما ذكرنا أن الله هو المعشوق الأول، وأن كل الموجودات إليه تشتاق، ونحوه تقصد، وإليه يرجع الأمر كلّه. لأن به وجودها، وقِوامها، وبقاءَها، ودوامها، وكمالها. لأنه هو الموجود المَحض، وله البقاء والدوام السرمد، والتمام والكمال المؤيد.

“Maka telah jelas bahwa Allah adalah objek cinta pertama, dan segala entitas yang ada pada semesta ini berhasrat merindukan-Nya, bermuara menuju kepada-Nya, dan segala sesuatu akan kembali pada-Nya. Karena keberadaan-Nya lah, maka entitas-entitas wujud ini menjadi ada, abadi, kekal, langgeng dan sempurna. Karena Dia adalah wujud murni, yang pada-Nya melekat keabadian, kelanggengan, kekekalan, keutuhan, dan kesempurnaan yang kokoh”. (Rasâil, vol. III, hal. 286).

Sekian.

Cc. Prof. Mulyadhi Kartanegara Mulyadhi Kartanegara Iqbal Hasanuddin Yusuf Daud Aan Rukmana Humaidi As Siswanto Rusdi Rommy Fibri Pradhana Adimukti


Sejarah Sunda

$
0
0

SEJARAH SUNDA

By Aan Merdeka Permana
Part 6

islamnusantara
Di sekitar kota Bogor banyak “nama-nama lama” peninggalan bekas kerajaan Pajajaran pada saat masih berdiri, misalnya Lawang Gintung, Lawang Saketeng, Pamoyanan, Pasirkuda, Cibalagung, Pagentongan, Balekambang, Panaragan, Pagelaran dan lain-lain


Peninggalan kerajaan Pajajaran yang terkenal adalah prasasti Batutulis, isi prasasti ini kira-kira berarti: “Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.” Selain prasasti banyak pula peninggalan-peninggalan kerajaan Pajajaran yang ditemukan di sekitar komplek ini, salah satunya adalah bangunan sisa kerajaan Pajajaran (ditemukan oleh Scipio, seorang ekspedisi Belanda pada tahun 1687) pada saat sesudah dibumihanguskan pada tahun 1579 oleh Kerajaan Banten (Maulana Yusuf) yang berkoalisi dengan Kesultanan Cirebon (Syarief Hidayatullah).
Kerajaan Pajajaran dibumihanguskan oleh Kerajaan Banten dan Cirebon karena Raja Pajajaran pada saat itu menolak untuk di-Islamkan, agama “resmi” kerajaan yang dianut saat itu adalah agama Sunda (Sunda Wiwitan). Konon agama Sunda memang tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus, oleh karena itu maka sisa-sisa peninggalan yang berupa bangunan mirip candi hampir tidak ditemukan di Jawa Barat.
Pada saat pembumihangusan, raja terakhir kerajaan Pajajaran yang bernama Raga Mulya (1567 – 1579) ikut tewas terbunuh dan sebagian dari para pangeran yang tidak terbunuh lari menuju pakidulan, Selatan Bogor (desa Sirnaresmi di sekitar Pelabuanratu) untuk kemudian menuju ke arah pakulonan, menuju ke Barat (sekarang propinsi Banten), menurut cerita ada anggapan bahwa kemungkinan mereka inilah yang menjadi cikal bakal dari masyarakat Badui yang kita kenal sekarang.
Prasasti Batutulis dibuat oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 M dengan maksud memperingati jasa-jasa ayahandanya Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi yang sakti. Selain itu di Batutulis tersebut adalah tempat upacara dilantiknya raja-raja Pajajaran yang disebut dengan upacara Kuwerabhakti.
Sri Baduga Maharaja adalah raja Pajajaran terbesar yang memerintah dari tahun 1482 sampai 1521 M. Pelantikan Sri Baduga Maharaja sebagai raja Pajajaran itu sendiri dilakukan pada saat Sri Baduga Maharaja memindahkan ibukota kerajaan dari Galuh ke Pajajaran (Bogor) pada tanggal 3 Juni 1482. Maka tanggal itulah yang kemudian secara resmi oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari jadi kota Bogor, walapun ada juga yang mengganggap bahwa tanggal tersebut terlalu “muda” untuk dijadikan penetapan hari jadi sebuah kota sesusia kota Bogor.
Konon kehancuran kerajaan Pajajaran disebabkan pula oleh adanya penghianatan dari “orang dalam” yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Raga Mulya (Suryakancana). Setelah kehancuran kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 dan larinya para pangeran kerajaan maka terputuslah sejarah kerajaan ini. Sesuai tradisi, kursi singgasana milik kerajaan Pajajaran oleh Maulana Yusuf ikut diboyong menuju Banten yang secara simbolis menyatakan bahwa kerajaan Pajajaran tidak akan berdiri lagi. Inipun menandakan bahwa kekuasaan kerajaan Pajajaran sebenarnya telah beralih ke Maulana Yusuf dari Banten. Terlebih dengan berdirinya VOC beberapa tahun kemudian yaitu tahun 1602 yang memanfaatkan perbedaan pendapat dan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia, maka berakhirlah sudah masa kerajaan Pajajaran.
Pada tahun 1681 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Cirebon dan tahun 1684 Belanda menandatangani kesepakatan dengan kesultanan Banten. Maka ditetapkanlah batas wilayahnya yaitu sungai Cisadane, untuk itu dilakukan sebuah ekspedisi untuk mencari sisa-sisa kerajaan Pajajaran pada tahun 1687 seperti diceritakan di atas.
Cerita ini sebagian bersumber dari catatan dan fakta sejarah dan sebagian lagi dari sebuah cerita yang diceritakan dan diceritakan lagi serta diceritakan lagi secara turun temurun oleh para pangeran kerajaan yang berhasil melarikan diri hingga kemudian cerita ini berubah menjadi sebuah cerita rakyat dan kemudian ada yang berkembang menjadi sebuah mitos.
Tidak seperti kisah sejarah “versi pemerintah” yang terdapat dalam buku-buku sejarah SD, SMP dan SMA bahwa yang selama ini selalu disebut-sebut sebagai awal mula peradaban di Indonesia (pulau Jawa) adalah Kerajaan Mataram kuno. Dalam buku sejarah “versi pemerintah” tersebut sedikit sekali tulisan tentang kerajaan Tarumanagara bahkan kerajaan Pajajaran tidak disebutkan samasekali. Maka dalam uraian singkat ini kami mencoba menggali lebih dalam lagi ke masa sebelum adanya Kerajaan Mataram agar tidak ada fakta sejarah yang diputarbalikan hanya demi sebuah kepentingan segelintir orang.
Demikian sejarah singkat kota tua Bogor. Tulisan ini memang hanya menceritakan dari awal sejarah dapat terungkap sampai dengan hari jadi kota Bogor. Kesalahan serta kurang lengkapnya nama, tahun dan lokasi kejadian sejarah bukanlah sebuah kesengajaan tapi semata-mata karena kurang lengkapnya referensi kami.
#sejarah #sunda

RAJA RAJA PAJAJARAN

$
0
0

RAJA RAJA PAJAJARAN

(dok  Fauzi Salakanagara)

1. Sri Baduga Maharaja

Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 – 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.

(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):

“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Adakah diantara rekan-rekan yang bisa bercerita lebih jauh tentang peritiwa Bubat? Saya hanya dapat sekilas info dari Suaramerdeka yang menerangkan sbb.:

“Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rom an Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rom an punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang”.

Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. Dan bagi yang tinggal di USA, pustaka ini bisa dipinjam di Ohio University. Di Jerman mah masih gelap — belum diketahui).

Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama Kai Raga di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam a pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Naskah itu dapat ditemukan pada Koropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut (terjemahannya saja):

Tersebutlah Ngabetkasih bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton penenang hidup.

Bergerak barisan depan disusul yang kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke Pakuan.

Bergerak tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang bercungap singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang gading berpuncak getas yang bertiang berpuncak emas dan payung saberilen berumbai potongan benang tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang langkahnya terkedip sambil menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya tingkahnya seperti semut beralih.

Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang berlenggang di awang-awang pembawa gendi di belakang pembawa kandaga di depan dan ayam-ayaman emas kiri-kanan kidang-kidangan emas di tengah siapa diusun di singa barong.

Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi.

Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri Baduga yang pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain.

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

“Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk “rodi”. Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.

Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:

a. Carita Parahiyangan.

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :

“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”.

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut “loba” (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.

b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam (6) buah jung ukuran 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :

1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonsi d’Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya — Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara — diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

Melihat itu, jelas, bagaimana Rancamaya — terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor – memiliki nilai khusus bagi orang Sunda. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7,5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat pohon hampelas, patung badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.

Dewasa ini seluruh situs sudah “dihancurkan” orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai makam wali. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang “dijual” orang sebagai “makam Raja Galuh”.

Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). “Talaga” (Sangsakerta “tadaga”) mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti bendungan.

Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit.

Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit itu hampir “gersang” dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti “katel” (wajan) terbalik. Bukit-bukit di sekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu “dikerok” sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu tanah suburnya habis.

Badigul kemungkinan waktu itu dijadikan “bukit punden” (bukit pemujaan) yaitu bukit tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang = tabur bunga). Kemungkinan yang dimaksud dalam “rajah Waruga Pakuan” dengan Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini.

Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta (di Cire irang). Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.

Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula Sunda-Galuh.

2. Surawisesa (1521 – 1535)

Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.

Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”.

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal).

Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.

[Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).

Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).

Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah]

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.

Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.

Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.

Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.

Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.

Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.

Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.

Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.

Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.

Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].

Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan a cerita Panji.

3. Ratu Dewata (1535 – 1534)

Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah kiwari vegetarian.

Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.

Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.

Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).

Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya].

Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).

“Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran”

Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud “membuat parit” (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.

Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut “bovenvlakte”). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman “lemah duwur” sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.

{Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang yang sekarang}]

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)

“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”

(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).

Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah).

4. Ratu Sakti (1543 – 1551)

Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.

Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.

5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)

Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.

Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan minuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak.

“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar”

(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.

Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).

Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian).

Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.

6. Raga Mulya (1567 – 1579)

Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari].

Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :

“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala”

(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.

Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):

“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.

Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.

Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.

Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.

Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:

“Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.

(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah tahta penobatanyaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman. (sabagian di cutat tina Wikipedia)..cag

Jejak Khilafah di Nusantara ???

$
0
0

JEJAK KHILAFAH DI NUSANTARA?
Oleh: Makinuddin Samin
“Jejak”, apa artinya kata ini dalam perspektif sejarah? Jika menyangkut relasi antar negara, jejak bisa jadi tanda-tanda di masa lalu tentang sebuah relasi antar dua kekuasaan negara atau lebih, antar komunits politik, antar entitas diplomatik, atau antar kepentingan perdagangan. Sedangkan Nusantara, sampai kita menyakatan kemerdekaan sebagai bangsa, bukan entitas tunggal; baik kekuasaan negara, politik, diplomatik, perdagangan, maupun budaya. Nusantara meliputi puluhan negara dan komunitas politik. Kesultanan Aceh atau salah satu kekuasaan lainnya di Nusantara sebelum kemerdekaan, tak bisa disebut sebagai representasi Nusantara. Lalu apa makna kalimat “Jejak Khilafah di Nusantara”?

Seorang narasumber dalam diskusi “Jejak Khilafah di Nusantara” menyebut bahwa jejak Khilafah Utsmaniyah membentang dari Maroko sampai Meraoke. Jejak apa? Jejak perdagangan, relasi keagamaan, relasi diplomatik, atau jejak relasi kekuasaan antara negara vassal dengan negara induk?
.
Jika yang dimaksud adalah jejak perdagangan dengan Khilafah Utsmaniyah, apa hebatnya? Negara-negara di Nusantara sebelum abad 4 M telah memiliki jejak perdagangan dengan kekuasaan di luar Nusantara. Buku Raghuwamsa karya Kalidasa yang hidup ada abad ke-4 menyebut barang dagangan yang bernama lavanga (cengkih) adalah komoditas yang berasal dari dwipantara. O.W Wolters menyebut dwipantara yang dimaksud adalah kepulauan Indonesia (Sejarah Nasional Indonesia jilid II). Ini menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara telah memiliki relasi perdagangan Internasional, jauh sebelum Arab-Islam, Mongol Islam, dan Turki-Islam berkuasa.
.
Jika yang dimaksud adalah jejak relasi keagamaan dengan Utsmaniyah, apa yang luar biasa? Nusantara telah memiliki relasi keagamaan dengan India jauh lebih tua dari hubungan keagaaman dengan khilafah. Abad ke-2 M, saat bangsa Pallawa dan Salakanaya dari India Selatan mengungsi ke Jawa Barat dan mendirikan kerajaan Salakanagara sekaligus membawa kepercayaan mereka (Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara I.I), Jawa telah menjalin relasi keagamaan yang berasal dari seberang. Berlanjut pada abad 5, pada era Mulawarman di Borneo yang banyak meninggalkan jejak prasasti berbahasa Sansekerta. Bahkan, jika nama Swarnabhumi (pulau emas) adalah Sumatera, maka hubungan keagamaan dengan India jauh lebih tua, sebab Maharaja Ashoka tercatat pernah mengirim Buddhis Sora dan Uttara ke tempat yang disebut Swarabhumi pada abad ke-3 SM (Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha karya Goerge Coedes)
.
Khilafah Utsmaniyah juga bukan perintis penyebaran Islam di Nusantara. Sejarah menyebut Islam masuk di kepulauan Nusantara melalui jalur perdagangan dengan rute palayaran: Jazirah Arab (mungkin juga Mesir dan Afrika Utara), Yaman, India Selatan, Champa, Aceh dan Barus, selanjutanya menyebar ke kepulauan Nusantara lainya (Jawa, Kalimantan, Celebes, Bima, dan lain-lain), peritiswa itu terjadi pada abad 12 atau lebih tua dari itu. Padahal awal abad 13, para leluhur pendiri Khilafah Utsmaniyah dari Kabilah Turmaniyah masih menjadi pengembala di wilayah tandus Kurdistan dan ketika Kakek Utsman bin Urthughril (pendiri Utsmaniyah) lari pontang-panting menyelamatkan angggota klannya ke Anatolia ketika Jengis Khan memporak-porandakan Asia Kecil, sebagian pedagang “atas angin” telah memperkenallkan Islam kepada penguasa Nusantara. Khilafah Ustmaniyah sendiri baru berhasil menaklukan penguasa Islam di Jazirah Arab dari Dinasti Mamlukiyah pada abad 16 bersamaan dengan takluknya Dinasti Safawid yang berkuasa di Persia dan Dinasti Sa’diyah yang berkuasa di Afrika Utara (Kebangkitan dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah karya Ali Muhammad As-Shallabi). Artinya Utsmaniyah belum memasuki wilayah-wilayah itu hingga abad ke-16, apalagi merintis menyiaran agama Islam di Nusantara.
.
Bagaimana dengan relasi diplomatik, semacam persekutuan? Kepulauan Nusantara telah menjalin hubungan lebih tua dengan India jauh sebelum Kesultanan Aceh berkorespondensi dengan kekuasaan Utsmaniyah. Kisah-kisah pelaut dalam kitab Jataka telah menyebut Sumatera dan Jawa, pun begitu dengan Epos Ramayana (yang diperkirakan ditulis Walmiki pada abad ke-4 SM), juga telah menyebut dua pulau besar di Nusantara itu (Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha karya Goerge Coedes). Jadi soal persekutuan, tentu saja Nusantara tak perlu belajar dari Ustmaniyah.
.
Apakah negara-negara di Nusantara adalah bawahan (vassal) Khilafah Utsmaniyah, mungkin Kesultanan Aceh berdasarkan korespodensi antara Sultan Ala’al Din Al-Kahhar dengan penguasa Utsmaniyah (Khalifah Sulaiman Al-Qanuni)? Memang betul Sultan Al-Kahhar memohon agar Aceh menjadi vassal Utsmaniyah, namun berdasarkan surat jawaban Khalifah Salim II, pengganti Sulaiman Al-Qanuni, proposal sebagai vassal tidak mendapat respon. Bahkan bala bantuan yang dijanjikan dalam surat balasan itu juga tak pernah datang ke Aceh untuk melawan Portugis.
.
Deden dalam buku “Jejak Kekhilafahan Turki Utsmani di Nusantara” mengutip pendapat Baiquni Hasbi menyebut proposal tersebut disetujui oleh Salim II. Dalam tulisanku yang berjudul “Hubungan Mengecewakan dengan Khilafah Ustmaniyah”, aku sebut pendapat itu janggal sebab Sultan Ibrahim Masyur Syah juga mengajukan Aceh sebagai vassal Utsmaniyah dengan kalimat “Aceh bersedia membayar upeti tahunan kepada Turki Utsmani jika diterima sebagai daerah vassal.”
.
Kalau memang Aceh sudah menjadi salah satu provinsi Utsmaniyah di era Al-Kahhar, untuk apa Mansyur Syah mengajukan Aceh sebagai vassal lagi? Dan proposal yang diajukan Aceh kali kedua itu pun ditolak dengan alasan jarak antara Ustmaniyah dengan Aceh yang terlampau jauh, Turki Utsmani menganggap penerimaan Aceh sebagai wilayah vassal tidak akan memberikan manfaat bagi Khilafah (Jejak Kekhilafahan Turki Utsmani di Nusantara karya Deden A. Herdiansyah).
.
Jadi, baik Aceh maupun negara-negara lain di Nusantara dipastikan tak pernah menjadi bagian/vassal dari kekuasaan politik Khilafah Ustmaniyah. Apa buktinya: 1) Colin Imber dalam “Kerajaan Ottoman, Struktur Kerajaan: Sebuah Kerajaan Islam Terkuat dalam Sejarah” menyebut Ustmani sebaga imperium terkuat, terluas, dan terlama dalam sejarah peradaban dunia yang meliputi daratan Eropa, Asia, dan Afrika. Ketika menyebut Asia sebagai wilayah Utsmaniyah, Imber tak menyebut Nusantara, apalagi Aceh. Saat menyebut wilayah Utsmaniyah di Asia, dia hanya mengatakan “batas territorial memanjang ke timur melalui Bosphorus hingga perbatasan Iran, di bagian selatan dari teluk hingga Yaman dan Semenanjung Arab; 2) Mehrad Kia dalam “The Ottoman Empire” menyebut berbagai etnis dan bahasa dalam kekuasaan Utsmaniyah yang meliputi Yunani, Serbia, Bosnia, Hungaria, Albania, Bulgaria, Rumania, Arab, Turki, Armenia, dan Kurdi, tapi tidak pernah menyebut Nusantara, lebih-lebih Aceh; dan 3) Ali Muhammad As-Shallabi dalam “Kebangkitan dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah” menyebut puncak kekuasaan Khilafah Ustmaniyah berada pada masa Sulaiman Al-Qanuni, yang wilayahnya meliputi tiga benua, Asia, Afrika, dan Eropa, namun tak pernah menyinggung Asia Tenggara atau Nusantara.
.
Terkait dengan apa dan bagaimana relasi penguasa Nusantara, khususnya Aceh dengan Khilafah Ustmaniyah. Silakan baca artikelku berjudul: Hubungan Mengecewakan dengan Khilafah Utsmaniyah, Gaya Ustmaniyah dalam Pemberontakan di Jawa, dan Adakah Janissary dalam Perang Jawa?
———————–
Aku belum kenalan dengan salah satu artis tercantik Turki dari lifestyle.okezone ini, jadi tak tahu namanya 😂

Meneropong Teror Antisyiah di Solo

$
0
0

Meneropong Teror Antisyiah di Solo

Syaefudin Simon
Wartawan/Kolumnis Lepas

Gerombolan Laskar radikal, menyerang keluarga Almarhum Habib Segaf Aljufri di Solo. Habib Umar Assegaf (54 thn), Habib Hadi Umar (15 thn) dan Habib Husin Abdullah (57 thn) menjadi korban keberingasan mereka. Habaib ini dipukuli secara bringas oleh gerombolan laskar “Islam” tersebut. Islam tanda petik ini, diduga kuat berasal dari Kelompok Salafi Wahabi radikal di Solo.

Teror Solo, Sabtu (8/8/020) lalu ini menunjukkan betapa kelompok Salafi Wahabi tengah melakukan mazhab cleansing di Indonesia. Untuk saat ini, sasarannya Syiah. Sebelumnya Ahmadiyah. Ke depan, jika kelompok Salafi Wahabi yang didukung Kerajaan Saudi Arabia (KSA) berada di atas angin, mungkin Ahli Sunah Waljamaah (Aswaja) yang dianut jam’iyah NU akan jadi sasaran berikutnya. Ziarah kubur, tahlilan, maulidan, dan salawatan yang jadi “tradisi” NU pasti akan diobrak-abrik kalangan Wahabi radikal ini.

Salafi Wahabi ini kuat secara finansial karena didukung pendanaan dari KSA. Sekarang teror-teror Salafi-Wahabi sudah memuakkan umat Islam Indonesia. Mereka merusak toleransi beragama dan menghancurkan budaya Islam Indonesia.

Ahlusunah Was Syiah

Banyak orang menganggap bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah aliran Ahlus Sunnah mazhab Syafi’i. Tapi bila kita teliti mendalam, banyak adat istiadat umat Islam Indonesia bukan berasal dari Mazhab Ahlus Sunah, tapi Syiah. KH Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pernah menyatakan, Islam di Indonesia ini sebetulnya bermazhab Ahlus Sunah Was Syiah.

Benar apa kata Gus Dur. Sampai detik ini, banyak sekali “tradisi Syiah’ sudah menyatu dengan tradisi Islam di Indonesia, terutama di kalangan kaum Nahdhiyyin.

Contoh, tradisi mengusap kepala anak yatim piatu, memakai celak, membuat bubur Suro, manakiban, dan mengarak tabut pada bulan Asyura di beberapa daerah di Indonesia, jelas itu semua berasal dari Syi’ah.
Hadirnya mazhab Syi’ah dalam kehidupan Islam di Indonesia tak hanya terlihat dari tradisi-tradisi di atas, tapi juga dari sebagian akidahnya. Sebut saja kepercayaan datangnya Imam Mahdi di akhir zaman, salawatan, ziarah kubur, tahlilan, dan lain-lain — semuanya berasal dari tradisi Syiah.

Di Jawa, kepercayaan terhadap Imam Mahdi telah mengalamai transformasi kultural sehingga muncul sebutan Ratu Adil.
Dalam perjalanan sejarah, Ratu Adil ini kerap menjadi simbol gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Diponegoro, misalnya, memotivasi pasukannya dengan mengajak “perang sabil” melawan Belanda untuk menegakkan keadilan. Diponegoro sendiri dianggap pasukannya sebagai personifikasi Ratu Adil. Kyai Hasan Mu’min dari Sidoarjo pada tahun 1903 juga memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi dan berkhotbah akan perang jihad melawan Belanda. Bahkan Kartosuwiryo pun ketika memimpin DI TII di Malangbong, Garut menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi atau Ratu Adil.

Demikian besar kepercayaan orang Islam di Indonesia terhadap kedatangan Imam Mahdi atau Ratu Adil di akhir zaman, sehingga kedua nama itu sering dijadikan “icon” kesucian dan perjuangan kelompok tertentu untuk menarik simpati masyarakat. Harap tahu, semua kepercayaan tersebut sumbernya dari Mazhab Syi’ah. Hanya saja kondisinya disesuaikan dengan kebutuhan setempat.

Selain kepercayaan terhadap Imam Mahdi, pujian-pujian terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya juga mewarnai kegiatan keagamaan di Indonesia, khususnya di kalangan pengikut tarekat. Hampir semua gerakan tarekat atau tasawuf di Indonesia ujung wasilahnya tertuju kepada Ali. Ini artinya Ali adalah imam besar mereka. Itu semua menunjukkan dalamnya pengaruh Syiah.

Dari fakta-fakta di atas, Prof. Siti Baroroh Barid – satu-satunya ilmuwan Indonesia yang pernah meneliti sejarah kehadiran Syiah di Indonesia selama satu tahun di Belanda — menyatakan bahwa mazhab Syiah memang pernah sangat berpengaruh di Indonesia. Hal itu dipertegas oleh Ongan Parlindungan. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao menulis bahwa orang-orang Syiah dari aliran Qaramitah telah memerintah di Minangkabau selama 300 tahun. Orang-orang Syiah aliran Qaramitah, tulis Parlindungan, menguasai Kesultanan Pagaruyung di Minangkabau, antara 1513 sampai 1804 Masehi.

Di Kota Ulakan, orang-orang Syiah juga mendirikan sebuah perguruan tinggi di bawah binaan Tuanku Laksamana Syah Bandar Burhanuddin Awal yang datang dari Aceh. Di perguruan tinggi ini, sekitar 1.800 orang santri belajar tentang Syiah Qaramitah.

Perayaan Tabut yang masih berlangsung di Minangkabau tiap bulan Muharam sampai sekarang jelas berasal dari tradisi Syiah di Kesultanan Pagaruyung tersebut. Tak hanya di Minangkabau, perayaan Tabut juga ada di Bengkulu dan Aceh. Sekedar info: Tabut artinya peti mati. Perayaan Tabut adalah perayaan mengarak peti mati sebagai simbol kesyahidan Sayidina Husein, putra Sayidina Ali yang tewas di medan perang Karbala melawan pasukan Yazid. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Muharam atau Suro. Di Aceh bulan Maharam tersebut sering disebut sebagai buleun Asan-Usen. Perayaan Tabut di kedua wilayah tersebut mengindikasikan kuatnya pengaruh Syi’ah di Bengkulu dan Aceh.

Lalu, dari manakah asal usul tradisi Syiah di Sumatera itu? Thomas W Arnold menjawab, dari India dan Persia. Dalam catatan the greatest muslim traveler, Ibnu Batutah, Sultan Samudera Pasai di Aceh yang Syi’ah tak hanya dekat dengan Kesultanan Pagaruyung di Minangkabau, tapi juga dekat dengan Istana Maimun, Kesultanan Deli di Sumatera Utara. Kekedakatan hubungan ini juga terjadi karena kedua kesultanan tersebut bermazhab Syiah. Dari penelusuran mendalam, jelas terlihat bahwa pada awal abad 16 sampai awal abad 19, seluruh Kesultanan di Pulau Sumatera bermazhab Syiah.

Lantas, bagaimana Syi’ah di Pulau Jawa? Oemar Amin Hoesin menyatakan bahwa di Persia ada satu suku bernama “Leren”. Uniknya, di Giri, Jawa Tengah, ada sebuah kampung bernama Leren. Patut diduga, suku Leren inilah yang mungkin dahulu pernah datang ke tanah Jawa. Menariknya, tulis Oemar, ternyata di Persia juga ada suku bernama Jawi. Dengan demikian, di Persia ada suku Leren dan suku Jawi, sedangkan di Indonesia ada suku Jawa dan kampung Leren. Itukah sebuah koinsidensi?

Itulah fakta sejarah dan antropologi. Bagaimana kelanjutan proses syi’ahisasi, arabisasi, dan jawanisasi itu? Ternyata interaksi dari ketiganya menghasilkan huruf Arab Pegon yang populer di Jawa.

Kita tahu, banyak kitab-kitab fiqih, tauhid, tasawuf, dan sastra di masa Kerajaan Islam Jawa ditulis dengan huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon adalah simbol interaksi antara budaya Jawa, Islam Syiah, dan huruf Arab Persia.

Mengenai besarnya pengaruh Syi’ah di Indonesia ini, Prof. Dr. PA Hoesein Djajadiningrat menegaskan, kondisi tersebut terjadi karena Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Hal itu terlihat dari ejaan dalam tulisan Arab. Baris di atas dan di bawah disebut jabar (zabar) dan pes (pjes) – ini bahasa Iran. Sedang kalau bahasa Arab ejaannya adalah fathah dan kasroh. Begitu pula huruf sin yang tidak bergerigi menunjukkan sin dalam huruf Arab Persia. Sin dalam huruf Arab Arabiyah bergerigi.

Walhasil, pengaruh Syi’ah terhadap Islam di Indonesia memang sangat kuat. Itulah sebabnya, Hasan Al- Amin penyusun Ensiklopedi Syiah yang berjudul Dairatul Maarif al-Islamiyah as-Syi’iya yang terbit di Beirut, Libanon, tahun 1974, tanpa ragu menyatakan bahwa Indonesia termasuk kelompok negara-negara Syi’ah.

Tapi bagaimana kini? Dulu, memang mazhab Syi’ah sangat berpengaruh di Indonesia. Tapi dalam perjalanan sejarah, dominasi pengaruh Syi’ah itu menyusut karena datangnya mazhab Sunni di nusantara. Pengaruh mazhab Sunni ini makin besar seiring dengan makin banyaknya umat Islam yang belajar Islam di Mekah dan Madinah. Di sana, santri santri asal Indonesia ini “dicekoki” dengan ajaran Wahabi.

Setelah pulang ke Indonesia mereka menjadi da’i, ulama, pimpinan pesantren, dan tokoh masyarakat. Kondisi tersebut ditambah pula dengan banyaknya orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji, dan di Mekah, banyak yang terpengaruh aliran Wahabi.

Belakangan, gencarnya negara-negara Arab yang anti-Syiah, khususnya Saudi Arabia — yang berkampanye di Indonesia melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik — turut mengikis pengaruh Syi’ah di masyarakat Islam nusantara. Dengan biaya kampanye amat besar — 6 persen dari pendapatan minyak KSA — meteka ingin menghilangkan pengaruh Syiah di Indonesia. Kasus Solo meruoakan bagian dari skenario Wahabi untuk menghancurkan Syiah tersebut.

Sejumlah penceramah dan agen-agen yang dibayar Saudi mengkampanyekan bahwa Syiah itu kafir. Saudi mendirikan radio satelit Roja (juga tivi) di mana-mana yang jangkauan pancarnya amat luas untuk kampanye anti-Syiah.

Belum lama ini Raja Salman datang ke Indonesia dengan memamerkan kemewahan dan kebesaran, yang antara lain, misinya untuk menggusur Syiah di Indonesia. Berhasilkah?

Tidak. Tak akan pernah berhasil. Karena Syiah telah menyatu dengan Islam nusantara. Persis seperti dikatakan KH Abdurahman Wahid, Islam Indonesia sejatinya berbudaya Syiah. Aliran Wahabi (kini menyebut dirinya Salafi untuk kamufalase) yang kering, antimusik, radikal, antiseni lukis tidak kompatibel dengan karakter bangsa Indonesia yang halus, berjiwa seni, dan menghagai warisan leluhur.

Jadi jangan salahkan bila rakyat Indonesia dalam konflik Timur Tengah lebih pro-Iran ketimbang Saudi. Karena sejarah Islam Indonesia memang amat dekat dengan Syiah, ketimbang Wahabi. Syiah dengan sekian puluh alirannya, adalah mazhab yang sangat intelek, progresif, filosofis, dan fleksibel dengan budaya setempat. Itulah sebabnya kenapa Islam mudah tersebar di Nusantara. Beda sekali dengan Wahabi yang kaku, keras, antifilsafat, dan antibudaya lokal.

Hind dimanakah gerangan?

$
0
0

Hind dimanakah gerangan?

FB_IMG_1597232126527

Meski awalnya hanya sebutan dalam lafadz parsia untuk menyebut shin, yang bermakna laut. penamaan ini menjadi Agak ruwet, karena penulisan sejarah era kolonial yang kacau soal penamaan itu. Berlanjut dengan pembentukan negara bangsa versi kolonial. Dimana mau tidak mau setiap bangsa berburu identitas yang pas untuk bangsanya. Ini mendorong banyak bangsa terjebak untuk keluar dari identitas aslinya dan cenderung menjadi ‘bangsa yang lain’

Indonesia mentok di majapahit dari aspek sejarah. Dan penamaan Indonesia yang nggak berbau lokal blas.

India ambil dr cerita mahabharata dan ramayana. Tumplek blek semua tokoh dan kerajaan dalam kisah itu masuk dalam sejarah dan wilayah mereka. Meski misalnya sebutan ayodya lebih tua di thailand ketimbang mereka.

Dalam kosa kata aram, atau ibrani shin adalah inisial atau sebutan umum untuk kata shaddai. Yang artinya raja gunung, makna serupa dalam tradisi yang berbeda adalah Giripriya, Gelar untuk siwa.

Sebutan lain untuk siwa adalah bhatara guru, semakna dengan Rabbinu dalam bahasa aram yang artinya : Guru yang agung.

Jika ada kesamaan makna dalam sebutan dr tradisi yang tampak berjauhan itu. Boleh jadi karena kita melihat dalam perspektif negara bangsa saat ini, yang cenderung membelah dan memutus rantai budaya dan sejarah.

Karena kosa kata aram atau ibrani juga ada dalam sejarah kita. Tidak hanya kosa kata sansekerta.

Contohnya kata ‘Ara’ dalam prasasti ara hiwang. Yang sama maknanya dengan pohon bodhi dalam bahasa lain.

Ara, adalah sebutan dalam bahasa aram dan ibrani.

Suku adat parmalim pun punya kosa kata ‘ara’ untuk asal leluhur mereka bhatara guru. Yg disebutkan tinggal ditempat yang banyak ditumbuhi pohon ‘Ara’

Gagasan untuk menjadi ‘bangsa yang lain’ tidak hanya soal hind.

Fenisia atau kan’an yang dianggap sebagai nenek moyang para pelaut, kinipun mulai diragukan keberadaannya dilokasi saat ini (lebanon).
Ini terkait dengan ‘menjadi fenisia’ yang mulai muncul dalam klaim kekaisaran karthago hingga roma. Klaim yang lebih bersifat politis, dan konflik ajaran ketimbang fakta sejarah. Dengan demikian sebutan untuk syam, damsyik/damascus, bisa juga di pertanyakan kembali saat ini. Mengingat penamaan syam untuk wilayah sekarang baru muncul di masa muawiyah abad ke 7.
Itupun buah konflik dengan sayidina Ali. Yang memaksanya mencari legitimasi religius terkait syam yang di sebutkan dalam hadist sebagai tanah terbaik untuk hijrah.

Berikut saya kutipkan caption dari buku yang membahas masalah ‘nama’ yang membuat ruwet terkait fenesia. Nenek moyang para pelaut.

Who were the ancient Phoenicians, and did they actually exist? The Phoenicians traveled the Mediterranean long before the Greeks and Romans, trading, establishing settlements, and refining the art of navigation. But who these legendary sailors really were has long remained a mystery. In Search of the Phoenicians makes the startling claim that the “Phoenicians” never actually existed. Taking readers from the ancient world to today, this monumental book argues that the notion of these sailors as a coherent people with a shared identity, history, and culture is a product of modern nationalist ideologies―and a notion very much at odds with the ancient sources.Josephine Quinn shows how the belief in this historical mirage has blinded us to the compelling identities and communities these people really constructed for themselves in the ancient Mediterranean, based not on ethnicity or nationhood but on cities, family, colonial ties, and religious practices. She traces how the idea of “being Phoenician” first emerged in support of the imperial ambitions of Carthage and then Rome, and only crystallized as a component of modern national identities in contexts as far-flung as Ireland and Lebanon.In Search of the Phoenicians delves into the ancient literary, epigraphic, numismatic, and artistic evidence for the construction of identities by and for the Phoenicians, ranging from the Levant to the Atlantic, and from the Bronze Age to late antiquity and beyond. A momentous scholarly achievement, this book also explores the prose, poetry, plays, painting, and polemic that have enshrined these fabled seafarers in nationalist histories from sixteenth-century England to twenty-first century Tunisia.

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live