WARISAN FILOSOFIS-IDEOLOGIS DAN SPIRITUALITAS ATLANTIS NUSANTARA

Oleh: Ahmad Y. Samantho

Konteks Keindonesiaan: Warisan Filosofis, Kenabian dan Spiritualitas Atlantis

Secara umum, setelah mengkaji sekitar belasan tahun, penulis sampai pada suatu hipotesis bahwa secara filosofis dan historis, apa yang telah dirumuskan oleh para Founding Fathers Republik Indonesia menjadi Panca Sila, baik secara langsung atau tidak, kemungkinan besar juga terinspirasi atau ada kemiripan (paralelisme) dengan konsep teoritis Plato tentang “Negara Ideal” yang tertulis dalam karyanya “Republic”.

Konsep Plato tentang sistem kepemimpinan masyarakat dan siapa yang berhak memimpin bangsa, bukanlah berdasarkan sistem demokrasi formal-prosedural one man one vote yang liberal ala demokrasi Barat (Amerika) seperti saat ini. Secara sederhana konsep kepemimpinan Platonis adalah “King Philosopher” atau “Philospher King”. Konsep Plato ini ia dapatkan dari kisah tentang sistem pemerintahan dan negara Atlantis (Sundaland/Nusantara), yaitu konsep kepemimpinan masyarakat Sundaland: “Tritangtu di Buana”, Reshi-Ratu-Rama Hyang (Si-Tu-Ma-Ng).

Menurut Plato suatu bangsa hanyalah akan selamat hanya bila dipimpin oleh orang yang dipimpin oleh “kepala-nya” (oleh akal sehat, ilmu pengetahuan, fisafat /Rasionalitas dan hati nuraninya), dan bukan oleh orang yang dipimpin oleh orientasi “otot dan dada” (arogansi kekuatan fisikal), bukan pula oleh “perut” (ambisi keserakahan), atau oleh “apa yang ada di bawah perut” (hawa nafsu).

Hanya para filosof, yang dipimpin oleh kepalanya (akal sehatnya), yaitu para pecinta kebenaran dan hikmah kebijaksanaan-lah yang layak dan dapat memimpin dengan selamat, dan bukan pula para sophis (para intelektual pelacur, demagog) tipe Bal’am (ulama-intelektual-penyihir yang melacurkan ilmunya kepada tiran Fir’aun, atau seperti orang kaya yang serakah (tipe Qarun, “manusia perut” zaman Nabi Musa). Plato membagi jenis karakter manusia menjadi 3: “manusia kepala” (para filosofof-cendikiawan-arif bijaksana), “manusia otot dan dada” (militer), dan “manusia perut” (para pedagang, bisnisman-konglomerat). Negara akan hancur dan kacau bila diserahkan kepemimpinannya kepada “manusia otot-dada” atau “manusia perut”, menurut Plato.

Dr. Jalaluddin Rakhmat, Cendikiawan Muslim menjelaskan dalam konteks terminologi agama mutakhir Islam, istilah Philosophia atau Sapientia, era Yunani itu identik dengan terminologi Hikmah dalam al-Quran. Yang kemudian digunakan dalam rumusan sila keempat Pancasila. Istilah Hikmah terkait dengan Hukum (hukum-hukum Tuhan Allah SWT yang tertuang dalam Kitab-Kitab Suci para Nabi dan para Rasul Allah, utamanya Al-Quran al-Karim, dan Sunnah Rasulullah terakhir Muhammad SAW, yang telah merangkum dan melengkapi serta menyempurnakan ajaran dan hukum rangkaian para Nabi dan Rasul Allah sebelumnya, maupun hukum buatan manusia berakal sehat dan ber-nurani ilahiyah yang terpimpin oleh HIkmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan).

Hukum yang berdasarkan dan bergandengan dengan Hikmah, bila ditegakkan oleh para Hakim dalam sebuah sistem Hukumah (pemerintahan) inilah yang akan benar-benar dapat merealisasikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Istilah/kata Hikmah, Hukum, Hakim, Hukumah (pemerintahan) adalah mempunyai genesis satu akar kata (masdar): h-k-m. artinya mempunyai makna yang saling terkait satu sama lain dalam kesatuan Hikmah.

Maka NKRI adalah RechtStaat (negara Hukum), bukan negara kekuasaan semata (machstaat). Kekuasaan negara harus dijalankan berdasarkan hukum yang terpimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan.

Maka semakin jelaslah mengapa konsep kepemimpinan berdasarkan Panca Sila itu terkait erat dengan konsep kepemimpinan negara versi Plato, karena ia mengambilnya dari peradaban tertua yang luhur dari peradaban umat manusia pertama (Adam As dan para bijak keturunannya) yang mendapat hidayah dan ilmu langsung dari Tuhan YME: Allah SWT. Yang kini , lokasinya adalah diketemukan di Nusantara (Asia Tenggara) pada zaman yang sangat kuno ( sekitar 70.000 -10.000 tahun lalu).

Filsafat dan Tradisi Kenabian

Seyyed Hossein Nasr ketika ia menulis dalam kata pengantar bukunya yang berjudul: Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, Philosophy in the Land of Propphecy, tentang hubungan antara Filsafat dan Kenabian menjelaskan: “Dalam iklim budaya saat ini di Barat serta bagian lain dari dunia yang dipengaruhi oleh modernisme dan postmodernisme, filsafat dan kenabian dipandang sebagai dua hal yang sangat yang berbeda, dan di mata banyak orang, itu adalah pendekatan yang bertentangan dengan pemahaman sifat realitas.

Hal tersebut sebenarnya bukanlah masalah pada berbagai peradaban tradisional sebelum kedatangan dunia modern. Juga bukanlah masalah bahkan untuk hari ini sepanjang pandangan dunia tradisional masih selamat.

Tak perlulah dikatakan, dengan “Kenabian/Nubuwah” kita tidak bermaksud meramalkan masa depan, tetapi membawa pesan dari Tatanan yang lebih tinggi atau realitas yang lebih dalam dari “Kenabian/Nubuwah” yang jelas telah terbukti dalam dunia seperti pada Peradaban Mesir kuno, Yunani klasik, dan Hindu, untuk tidak hanya berbicara pada lingkungan Monoteisme Ibrahim di mana peran kenabian sangatlah sentral. Jika kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kenabian hanya pada agama-agama Ibrahimik itu, kita dapat melihat adanya kenabian dalam setiap di hampir semua lingkungan agama-agama yang sangat beragam, yang tidak hanya mengenai signifikansi hukum, etika dan spiritual, tetapi juga mengenai suatu kebijaksanaan yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan.

Kita melihat realitas di dunia Rhesi di India dan dukun Shaman pada agama-agama Shamanisme dan kearifan asli Leluhur Nusantara yang beragam serta dalam para bijak agama Yunani dan ajaran abadi dari Taoisme, dalam pencerahan Sang Buddha dan kemudian pada master Zen Buddhis yang telah mengalami pencerahan (iluminasi) atau satori ,sebagaimana juga pada para nabi dari agama-agama Iran seperti Zoroaster dan tentu saja di Nabi Ibrahim AS. Akibatnya di seluruh dunia ini, kapanpun dan di mana pun filsafat dalam arti universal telah berkembang, telah berhubungan erat dengan kenabian dalam berbagai cara.”

Bahkan jika kita membatasi definisi Filsafat dengan aktivitas intelektual di Yunani kuno yang dikenal dengan nama itu, suatu kegiatan yang oleh sejarah pemahaman Barat modern dianggap sebagai asal spekulasi filosofis, hubungan antara filsafat dan kenabian dapat dilihat menjadi sangat dekat pada saat kelahiran filsafat Yunani. Kami juga menyadari bahwa keduanya hanya berpisah di masa di kemudian hari, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain di awal tradisi filsafat Yunani.

Hasil gambar untuk pythagoras

Pythagoras (lahir sekitar tahun 570 SM – meninggal sekitar tahun 495 SM)

Mari kita hanya mempertimbangkan tiga tokoh yang paling penting mengenai tokoh pemikiran spekulasi filosofis asal Yunani. Pythagoras, yang dikatakan memiliki menciptakan istilah Filsafat, tentu bukanlah filsuf biasa seperti Descartes atau Kant. Dia dikatakan memiliki kekuatan kenabian yang luar biasa dan dia sendiri seperti nabi, yang mendirikan suatu komunitas religius baru. Bahkan kaum Muslim menyebutnya sebenarnya sebagai monoteis (muwahhid) dan beberapa orang menyebutnya sebagai nabi.

Orang yang sering disebut sebagai “Bapak logika Barat dan Filsafat” yaitu Parmenides. Yang biasanya ditampilkan sebagai seorang rasionalis yang kebetulan telah menulis puisi yang berkualitas biasa-biasa saja. Tetapi sebuah kajian brilian baru-baru ini dari Peter Kingsley telah jelas menunjukkan, jauh dari sekedar menjadi rasionalis dalam pengertian modern, ia telah terbenam dalam dunia kenabian dalam arti agama Yunani dan merupakan peramal dan visioner. Dalam puisinya, yang berisi pesan-pesan filosofisnya, Parmenides dibimbing ke dunia lain oleh Putri Matahari yang datang dari Mansion Cahaya terletak pada derajat terjauh dari keberadaan. Jawaban untuk Pertanyaan mengenai bagaimana perjalanan ini terjadi adalah “inkubasi”, “latihan spiritual terkenal dalam agama Yunani, suatu di mana seseorang masih akan beristirahat sepenuhnya sampai jiwanya akan dibawa ke tingkat yang lebih tinggi dari realitas, dan misteri keberadaan akan terungkap.

Hasil gambar untuk Parmenides

Parmenides lahir pada tahun 540 SM dan meninggal pada tahun 470 SM

Jadi Parmenides melakukan perjalanan batin sampai ia bertemu dengan dewi yang mengajarkan kepadanya segala sesuatu yang penting, yaitu, mengajarkan kepadanya apa yang dianggap menjadi asal atas pemikiran filsafat Yunani. Sungguh luar biasa bahwa ketika dewi menghadapi Parmenides, ia tunjuk dia sebagai Kouros, Artinya, anak muda. Fakta ini luar biasa dan menarik karena dalam tradisi Islam yang sangat panjang untuk ksatria rohani (Futuwwah dalam bahasa Arab, dan jawãnmardi di Persia) dikaitkan dengan kata untuk pemuda (fata / jawãn), dan ini adalah ksatria rohani yang dikatakan telah ada sebelum Islam serta telah diberikan kehidupan baru dalam Islam di mana sumbernya dikaitkan dengan Syayidina ‘Ali, yang menerimanya dari Nabi Muhammad dan di mana disiplin keruhanian itu diintegrasikan ke dalam tasawuf. Selanjutnya, Syayidina ‘Ali telah dikaitkan dengan sumber-sumber Islam tradisional dengan berdirinya metafisika Islam.

Hasil gambar untuk Epimendes

Epimenides dari Knossos (Kreta) (bahasa Yunani: Ἐπιμενίδης) adalah penyair, filsuf, dan peramal Yunani abad ke-6 SM yang semi-mitologis

Tokoh Yunani lain yang diberi gelar Kouros adalah Epimenides dari Kreta yang juga berangkat ke dunia lain di mana dia bertemu Keadilan (Justice) dan membawa kembali hukum ke dunia ini. Seperti Parmenides, ia juga menulis puisi.

Sekarang Epimenides dikenal sebagai nabi-penyembuh atau iatromantis untuk segala sesuatu yang telah diwahyukan melalui inkubasi, sementara ia berbaring tak bergerak di gua selama bertahun-tahun (Tapa Brata, dalam Tradisi Nusantara).

Parmenides dikaitkan dengan tradisi ini. Sebuah perjalanan iatromantis ke dunia lain seperti para dukun Shamans dan tidak hanya menggambarkan perjalanan mereka, tetapi juga menggunakan bahasa sedemikian rupa untuk membuat perjalanan ini mungkin dilakukan bagi yang lain. Mereka menggunakan mantra (doa-doa) dalam puisi mereka yang kami juga lihat pada Parmenides. Mereka juga memperkenalkan cerita dan legenda Timur bahkan sejauh Tibet dan India (terutama Hindia Kepulauan Timur/Indonesia), yang sangat menarik karena masyarakat Parmenides di Italia selatan itu sendiri awalnya berasal dari Timur di Anatolia di mana dewa Apollo diberi penghargaan khusus sebagai model ilahiyah dari iatromantis yang mana ia terinspirasi sebagai nabi yang menulis puisi hipnosis yang mengandung pengetahuan tentang Realitas.

Hasil gambar untuk apollo

Dewa Apolo

Pada penggalian arkeologis dalam beberapa dekade terakhir di Velia di Italia Selatan, pada situs yang merupakan rumah Parmenides, telah menyingkapkan prasasti (inskripsi) yang menghubungkan dia langsung ke Apollo dan iatromantis. Sebagaimana yang Kingsley tulis, “Kami sedang ditunjuki bahwa Parmenides adalah anak dewa Apollo, yang bersekutu dengan tokoh penyair iatromantis misterius yang ahli dalam penggunaan puisi incantory dan membuat perjalanan ke dalam dunia spiritual.” Jika kita ingat, berbicara secara esoteris, ” bahwa Apollo bukanlah Dewa Cahaya tetapi Cahaya Tuhan Allah, “menjadi jelas seberapa dalam filsafat, sebagaimana yang diuraikan oleh Bapak Filsafat Yunani Parmenides ini, terkait dengan genesis kenabian, bahkan yang dikandung dalam hal tradisi agama Abrahamik yang kita tahu, kita tidak dapat mengabaikan makna batin kenabian yang kita akan bahas. Tradisi para “imam penyembuh”sebagaimana terciptakan dalam pelayanan Oulios Apollo (Apollo Penyembuh), yang mana Parmenides adalah pendirinya. Sangat menarik untuk dicatat bahwa meskipun aspek Parmenides ini kemudian dilupakan di Barat, mereka malah diingat baik dalam tradisi filsafat Islam di mana sejarawan Muslim tergabung dalam asosiasi filsafat, tidak hanya filsafat Islam tetapi juga filsafat Yunani erat dengan kenabian (Nubuwah). Kita harus ingat di sini, Hikmah dalam bahasa Arab yang terkenal yaitu diktum “yanba ‘Mishkat al-nubuwwah”, yaitu “isu-isu filsafat dari ceruk kenabian.”

Juga menarik untuk dicatat bahwa guru Parmenides dikatakan hidup sangat sederhana, miskin dan bahwa apa yang diajarkan di atas segalanya kepada para mahasiswanya adalah menegnai keheningan atau hesychia. Hal ini begitu penting, sehingga kemudian tokoh seperti Plato, yang berusaha untuk memahami Parmenides menggunakan istilah hesychia yang lebih daripada kata lain untuk menggambarkan memahami realitas terakhir. “Parmenides melalui keheningan bahwa untuk itu kita datang ke dalam keheningan. Melalui keheningan kita mengerti keheningan. Melalui praktek keheningan kita sampai mengalami realitas yang ada di luar dunia indera ini “Sekali lagi. Ada hal yang menarik yang luar biasa untuk mengingat penggunaan hesychia terkait dengan mewujudkan ajaran esoteris Gereja Ortodoks, ajaran yang tujuannya adalah pencapaian kesucian dan gnosis. “Mengheningkan Cipta” sangat lekat dengan tradisi kebatinan Jawa-Sunda (Hening-Suwung).

Dalam puisi Parmenides ia menyatakan secara eksplisit telah mengambil apa yang telah diajarkan oleh Dewa kembali ke dunia dan menjadi utusan-Nya. Kingsley menjelaskan apa arti utusan dalam konteks ini. “Ada satu nama tertentu yang baik untuk menggambarkan jenis Rasul Utusan Parmenides menemukan dirinya menjadi: Nabi (Prophet). Arti sebenarnya dari ‘nabi’ (propechy), kata ini tidak ada hubungannya dengan kemampuan melihat (meramal) ke masa depan. Dalam asal makna kata itu hanya berarti seseorang yang tugasnya adalah untuk berbicara atas nama Kekuatan Yang Maha Besar, dari seseorang atau sesuatu fungsi kenabian yang lain.

Kinerja Parmenides mencakup tidak hanya menjadi filsuf, penyair, dan penyembuh tapi seperti Epimenides, seorang  pembawa risalah hukum.

Hubungan antara Parmenides dan kenabian, bagaimanapun, tidak terutama mengenai hal sosial, hukum, dan hal eksoteris tetapi lebih ke dalam aspek batin dan esoterik. puisi-puisi-Nya, jika benar dipahami, itu sendiri adalah inisiasi ke dunia lain, dan “semua adalah tanda bahwa hanya orang bodoh yang memilih untuk kehilangan spirit ini, adalah bahwa ini adalah teks untuk memulai perjalan batin (Spiritual Traveling).”

Dalam hal ini ia baik Filsafat Pythagoras maupun filsafat Empedokles, juga ditujukan hanya untuk orang mampu menerima pesannya dan itu berbicara benar terhubung dengan aspek esoteris (kebatinan), ketimbang dimensi eksoteris (syariat formal) agama Yunani, yang lebih membutuhkan inisiasi bagi pemahaman penuh. Sungguh bagaimana luar biasa lagi dalam pertanyaan ini menyerupai filsafat Islam dalam begitu banyak visi filsafat dari tokoh-tokoh pra-Socrates seperti Pythagoras, Parmenides, dan Empedokles, semuanya sangat dihormati oleh filsuf Islam, khususnya dari mazhab Isyaqiyahĩ (pencerahan/ illuminationism).

Empedokles lahir di Agrigentum, pulau Sisilia, pada abad ke-5 SM (495-435 SM). https://id.wikipedia.org/wiki/Empedokles

Kembali ke sosok Empedokles yang misterius, sekali lagi kita melihat seorang filsuf yang juga seorang penyair serta tabib penyembuh dan yang dianggap oleh banyak orang sebagai juga nabi. “Selain sebagai seorang ahli ilmu ghaib, dan penyair, ia juga seorang Nabi dan penyembuh. Salah satu nabi penyembuh- yang aku telah berbicara tentangnya.” Empedokles juga menulis tentang kosmologi dan ilmu alam seperti fisika, tetapi bahkan dalam hal ini domain karya-karya ini tidak ditulis hanya untuk memberikan fakta-fakta tapi “untuk menyelamatkan jiwa,” sangat mirip dengan kosmologi dari sejumlah filsuf Islam, termasuk Suhrawardi dan Ibnu Sina bahkan dalam resital visioner nya. Apa yang penting adalah untuk mewujudkan hampir semua yang Empedokles melihat dirinya sebagai seorang nabi dan puisi nya sebagai sebuah karya esoteric.

Hal yang menarik untuk menyebutkan bahwa ketiga tokoh yang datang dari asal tradisi filsafat Yunani ini juga penyair (satrawan) . Hal tersebut merupakan karakteristik dari banyak filsafat yang berkembang selama berabad-abad di bawah matahari kenabian. Orang hanya perlu mengingat tokoh bijak Hindu kuno yang penyair dan juga Bapak pemikiran filsafat Hindu dalam arti tradisional atau banyak tokoh bijak Cina yang menyatakan ekspresi dirinya dalam puisi. Dalam dunia monoteisme Ibrahimik ini harus terlihat di antara sejumlah filsuf Yahudi dan Kristen tetapi lagi untuk dapat ditemukan terutama di kalangan filsuf Islam dari Ibnu Sina, Nasir-I Khusraw, Khayyam, dan Suhrawardi untuk Afdal al-Din Kashani, Mir Damad, Mulla Sadra, dan Haji Mulla Hadi Sabziwari, yang hidup pada abad ketiga belas.

Dalam dunia seperti di mana kita hidup sekarang ini di mana filsafat direduksi menjadi rasionalisme atau lebih berupa irrationalisme, dan di mana tidak hanya esoterisme tetapi agama itu sendiri pun ditolak atau terpinggirkan, penafsiran yang diberikan di atas satu pendiri Filsafat Barat ini akan ditolak dalam banyak lingkungan, dan perhubungan antara filsafat dan kenabian pada umumnya. Dan filsafat, puisi (sastra) dan esoterisme dalam tertentu akan diberhentikan atau dianggap sebagai konsekuensi kecil saja.

Tapi anehnya bagi pembaca Barat hubungan antar filsafat, kenabian dan esoterisme, ditegaskan oleh sejumlah sarjana Barat kontemporer, yang ditemukan di pusat tradisi filsafat Islam yang pada sebagian besar buku ini akan bersangkutan. Kita telah memasukkan pembahasan angka-angka Yunani di sini untuk menunjukkan bahwa hubungan antara filsafat dan kenabian, meskipun terputus semakin besar untuk sarjana di Barat dari akhir Abad Pertengahan dan seterusnya, adalah sangat penting tidak hanya untuk memahami Filsafat Islam tetapi juga untuk pemahaman yang lebih dalam tentang asal-usul filsafat Barat sendiri, asal-usul saham filsafat Barat dengan filsafat Islam, tetapi yang telah datang untuk dipahami dengan cara yang sangat berbeda dengan dua aliran pemikiran sebagai filsafat Barat telah datang untuk menjauhkan diri untuk semakin besar baik para sarjana dari filsafat abadi (perennial) dan teologi Kristen.

Tentu saja ada berbagai modus dan fakta derajat kenabian yang kita sadari kalau kita mempelajari berbagai tradisi agama dan bahkan jika kita membatasi diri ke tradisi tunggal seperti yang kita lihat dalam Yudaisme dan Islam di mana peran kenabian Daniel Yunus atau tidak sama seperti Nabi Musa atau Nabi Muhammad SAW. Namun ada unsur-unsur umum dalam berbagai pemahaman kenabian sejauh tantangan pose filsafat yang bersangkutan.

Pertama semua kenabian menyiratkan tingkat realitas apakah ini dipandang sebagai tujuan atau hirarki subjektif. Jika ada itu harus hanya satu tingkat realitas objektif yang terkait dengan dunia jasmani dan subjektif dengan kesadaran biasa kita dianggap sebagai satu-satunya bentuk yang sah dan diterima kesadaran, kenabian sebagai fungsi pembawa pesan dari dunia lain atau tingkat kesadaran yang lain, akan menjadi tidak berarti karena akan ada dunia lain atau tingkat kesadaran, dan setiap klaim terhadap keberadaan mereka akan ditolak dan dianggap sebagai halusinasi subyektif. Hal tersebut sebenarnya terjadi dengan saintisme modern dan umumnya pandangan dunia desacralization, baik dalam perspektif mereka yang mengecualikan Realitas transenden dan tingkat yang lebih tinggi dari keberadaan vis-à-vis dunia ini, serta Diri imanen dan tingkat kesadaran yang lebih dalam daripada biasanya. Tetapi dalam semua dunia di mana realitas kenabian telah bekerja dalam satu mode atau lainnya, penerimaan tingkat realitas yang lebih tinggi dan / atau tingkat kesadaran yang lebih telah diambil untuk diberikan sebagai cara yang benar memahami sifat realitas total di mana manusia hidup. Dirumuskan dalam cara ini, pernyataan ini termasuk tauhid Ibrahim bersama dengan agama-agama India (termasuk Hindia Timur/Indonesia), Taoisme dan Konfusianisme serta Mediterania kuno dan agama Iran, dan Shamanisme bersama dengan Buddhisme, yang menekankan tingkat kesadaran daripada derajat eksistensi objektif.

Dalam semua dunia kenabian ini, yang merupakan realitas sentral, yang harus berurusan menciptakan konsekuensi dengan filsafat. Kenabian memberikan hukum dan ajaran moral bagi masyarakat yang harus selalu mempertimbangkan filsafat etika, politik, dan hukum. Selain itu, klaim kenabian memberikan pengetahuan tentang hakikat realitas, termasuk pengetahuan tentang Asal atau Sumber dari segala sesuatu, tentang penciptaan kosmos dan struktur atau kosmogoni dan kosmologi, dan tentang sifat jiwa manusia, yang akan mencakup apa harus tepat disebut “pneumatologi” dan psikologi tradisional dan hal-hal akhirat atau eskatologi. Buah dari kenabian adalah pengetahuan tentang semua aspek utama realitas yang dialami atau tentang spekulasi manusia, termasuk tentang sifat waktu dan ruang, bentuk dan substansi, kausalitas (sebab-akibat), takdir, dan isu-isu lain pada umumnya yang juga banyak bersangkutan dengan filsafat.

Selain itu, bentuk-bentuk tertentu dari kenabian harus dilakukan dengan pengetahuan batin, dengan esoterisme dan mistik, dengan visi realitas tingkat lain yang tidak dimaksudkan bagi masyarakat luas. Kita telah melihat hubungan asal-usul filsafat Yunani ke dalam dimensi esoterik agama Yunani, dan kita bisa menemukan contoh lain di tradisi lain termasuk Buddhisme dan terutama Islam di mana filsafat menjadi terkait lebih dalam dimensi batin wahyu Quran di abad kemudian. Hubungan antara filsafat dan esoterisme, yang merupakan dimensi kenabian sebagaimana didefinisikan di sini dalam arti universal, juga memiliki sejarah panjang di Barat yang berlangsung sampai gerakan Romantis Jerman.

Dari abad ketujuh belas filsafat Barat merasa dipaksa maju untuk berfilosofi tentang pandangan dunia yang dilukis oleh ilmu pengetahuan modern dan menjadi lebih dan lebih merupakan hamba ilmu pengetahuan modern, terutama dengan teori Kant dan mencapai puncaknya dengan banyak filsafat Anglo-Saxon abad kedua puluh, yang lebih sedikit berupa logika yang terkait dengan pandangan dunia ilmiah.

Dalam cara yang analog, di berbagai dunia tradisional di mana realitas kenabian dan wahyu adalah pusat, apakah perwujudan dari kenabian ini telah menjadi buku/kitab atau bentuk lain dari pesan yang dibawa dari langit/surga atau utusan dirinya seperti dalam kasus avatar Hindu, Buddha, atau Kristus, filsafat memiliki pilihan selain mengambil realitas pusat menjadi pertimbangan. Filosof harus berfilsafat tentang sesuatu, dan di dunia tradisional pertanyaan bahwa sesuatu telah selalu disertakan sebagai realitas yang dinyatakan melalui kenabian, yang berkisar dalam bentuk dari iluminasi (pencerahan) dari Resi Hindu dan Buddha, sebagaimana Tuhan Allah kepada berbicara kepada Musa di Gunung Sinai atau malaikat Jibriel mengungkapkan Quran kepada Nabi Muhammad SAW.

Di dunia tradisional tersebut, filsafat tidak hanya berupa teologi sebagai mana beberapa pendapat orang, terkecuali satu dalam kasus batasan bahwa definisi filosof modern positivistik tidak ada ada dalam realitas filsafat non-Barat atau dalam hal filsafat Barat Abad Pertengahan tidak membicarakannya. Tetapi jika kita menerima definisi filsafat yang diberikan oleh tokoh Pythagoras yang dikatakan pertama kali yang telah menggunakan istilah filsafat – dan melihatnya sebagai bermakna“cinta kepada kebijaksanaan/Shopia”, atau jika kita menerima definisi menurut menurut filsafat Plato sebagai “praktek persiapan kematian” mencakup baik aktivitas intelektual dan praktek spiritual, maka tentu ada banyak mazhab filsafat di berbagai dunia tradisional, beberapa yang ada sampai sekarang ini yang disebarkan hanya dalam bentuk lisan seperti salah satu bangsa pribumi Australia (Aborigin) dan penduduk asli Amerika (Indian), sementara lain yang memiliki banyak volume yang dihasilkan tulisan filosofis selama berabad-abad.

Bahkan jika ada orang yang memutuskan untuk hanya berurusan dengan karya-karya filsafat yang ditulis, orang bisa menulis jilid pada subjek filsafat di tanah kenabian berurusan dengan Tao dan Konfusianisme dalam tradisi filsafat Cina, dengan orang-orang Tibet dan Buddha Mahayana termasuk sekolah-sekolah (mazhab) di Jepang, semua yang memiliki karakteristik tersendiri, dan tentu saja dengan tradisi filosofis yang sangat kaya yaitu Hindu India dan Indonesia. Kita juga bisa dapat melihat ke dunia Ibrahim dan menulis di sekolah/mazhab filsafat Yahudi, Kristen dan Islam dari perspektif kegiatan filosofis dalam dunia yang didominasi oleh kenabian. Juga tidak akan perawatan semacam ini harus benar-benar paralel untuk tiga adik tradisi Ibrahimik meski terkenal kesamaan- karena sementara konsepsi kenabian dan kitab suci Yahudi dan Islam yang berdekatan, bahwa agama Kristen, di mana pendiri agama dilihat sebagai inkarnasi dari Ketuhanan/Divinity, berbeda dalam banyak hal materi, baik dari orang Yahudi dan pandangan Islam. Perbedaan filosofis sangat penting ini seperti yang kita lihat dalam perlakuan inkarnasi filosofis dalam filsafat Kristen dan “filsafat kenabian” dalam konteks Islam nya.

Dari abad ketujuh belas filsafat Barat maju merasa dipaksa untuk berfilosofi tentang gambaran dunia yang dilukis oleh ilmu pengetahuan modern dan menjadi lebih dan lebih merupakan hamba ilmu pengetahuan modern terutama dengan Kant dan mencapai puncaknya dengan banyak filsafat abad kedua puluh Anglo-Saxon, yang sedikit lebih dari logika terkait dengan pandangan dunia ilmiah. Dalam cara yang analog, di berbagai dunia tradisional di mana realitas nubuat dan wahyu adalah pusat, apakah perwujudan dari nubuat ini telah menjadi buku atau bentuk lain dari pesan yang dibawa dari surga atau utusan dirinya seperti dalam kasus avatar Hindu, Buddha, atau Kristus, filsafat memiliki pilihan selain mengambil realitas pusat menjadi pertimbangan. Filsafat harus berfilsafat tentang sesuatu, dan di dunia tradisional di pertanyaan bahwa sesuatu telah selalu disertakan realitas dinyatakan melalui nubuat, yang berkisar dalam bentuk dari iluminasi dari Resi Hindu dan Buddha, kepada Allah Berbicara kepada Musa di Gunung. Sinai atau malaikat Gabriel mengungkapkan dalam Quran kepada Nabi Islam.

Di dunia tradisional tersebut, filsafat tidak hanya teologi sebagai beberapa telah berpendapat kecuali satu filosofi batasan definisi modern positivistik dalam kasus ada dalam realitas tidak ada filsafat non-Barat atau dalam hal filsafat Barat Abad Pertengahan untuk berbicara off. Tetapi jika kita menerima definisi filsafat yang diberikan oleh orang yang dikatakan telah pertama kali menggunakan-istilah yang Pythagoras – dan melihatnya sebagai cinta kepada Shopia, atau jika kita menerima definisi menurut Plato sebagai “praktek kematian” menurut filsafat mencakup baik aktivitas intelektual dan praktek spiritual, maka tentu ada banyak sekolah filsafat di berbagai dunia tradisional, beberapa yang ada sampai sekarang hanya dalam bentuk lisan sebagai salah satu pribumi Australia dan penduduk asli Amerika, sementara lain yang memiliki volume yang dihasilkan tulisan filosofis selama berabad-abad.

Bahkan jika ada orang yang memutuskan untuk hanya berurusan dengan karya-karya filsafat yang ditulis, orang bisa menulis jilid pada subjek filsafat di tanah nubuatan berurusan dengan Tao dan Konfusianisme tradisi filsafat Cina, dengan orang-orang Tibet dan Buddha Mahayana termasuk sekolah-sekolah di Jepang, semua yang dimiliki karakteristik tersendiri, dan tentu saja dengan tradisi filosofis yang sangat kaya Hindu India. Satu juga bisa mengubah ke dunia Ibrahim dan menulis di sekolah filsafat Yahudi, Kristen dan Islam dari perspektif kegiatan filosofis dalam dunia yang didominasi oleh nubuat. Juga tidak akan perawatan semacam ini harus benar-benar paralel untuk tiga adik Ibrahim tradisi-meski terkenal kesamaan-karena sementara konsepsi Yahudi dan Islam nubuat dan kitab suci yang berdekatan, bahwa agama Kristen, di mana pendiri agama dilihat sebagai inkarnasi dari Divinity, berbeda dalam banyak hal baik dari orang Yahudi dan pandangan Islam materi. Perbedaan ini sangat penting filosofis seperti yang kita lihat dalam perlakuan filosofis inkarnasi dalam filsafat Kristen dan “filsafat kenabian” dalam konteks Islam nya.

Jejak Kearifan Perennial Atlantis:
Falsafah Hikmah dan Spiritualitas Ketuhanan

Mulai terungkap Misteri Peradaban Atlantis, setelah ribuan tahun menjadi pusat perhatian dan kajian banyak ilmuwan, filosof dan para peneliti, kemudian memunculkan hipotesa dan penemuan para peniliti sejarah filsafat-budaya dan peradaban, tentang adanya benang merah kebijaksanaan yang oleh para filosof kemudian disebut sebagai Sophia Perennialis (Kearifan/kebijaksaan abadi).

Pada sisi inilah sebenarnya concern utama penyusun lebih tercurah untuk mengungkap realitas warisan filsafat dan mysticism (kebatinan/spiritualitas) perennial yang universal, lintas zaman (abadi) dan lintas peradaban, yang diwariskan secara turun temurun dan dikembangkan melalui akal sehat dan pewahyuan serta berbagai tradisi kebudayaan-peradanan umat manusia sepanjang zaman.

Seperti yang kita percayai dalam Agama Islam, bahwa kebenaran dan kebijaksanaan (yaitu al-Hikmah, dalam bahasa Al-Qur’an atau Sophia dalam bahasa Latin) yang dapat dipahami oleh pemikiran dan kesadaran manusia, itu sebenarnya berasal dari sumber yang sama dan abadi ( perennial ) yaitu Sumber Ilahiyah, Tuhan (Allah) Yang Maha Mengetahui, The Ultimate Knowledgeable. Tentang keyakinan itu, kita bisa mengeksplorasi kebenaran faktanya di sepanjang sejarah filsafat, sejak zaman pra-Yunani (peradaban Bizantium), zaman Yunani Kuno dan Peradaban Islam dalam The Medieval sampai Sekarang.

Prof. Dr Mulyadi Kartanegara, MA, salah seorang dosen ahli sejarah filsafat dan tasawuf dari UIN Syarif Hidayatullah dan ICAS Jakarata, secara ringkas mengatakan bahwa Pythagoras (filosof Yunani yang hidup pada 570-497 SM) telah belajar banyak hal kearifan dan hikmah dari “Shahabat Nabi & Raja Sulaeman” (The Best Friends of Prophet & King Solomon). Dan pengikutnya, Empedokles (495-435 SM) juga belajar dari Lukman al-Hakim (Orang yang ‘Bijaksana’ yang disebutkan dalam al-Qur’an); dan Socrates (469-399 BC) belajar banyak tentang kebijaksanaan-kearifan hikmah dan ilmu pengetahuan dari Hermes (nama lain dari Nabiyullah Idris as,)

Oleh karena itu, kita dapat memahami mengapa sangat banyak filsuf dan ilmuwan Islam dapat menerima dan menyerap beberapa pemikiran tertentu (filsafat) dari para Filsuf Yunani Kuno, mengadopsinya, mencampurkanya, melakukan sintesa dan mengembangkan dengan ‘ajaran Islam’ (Al Qur’an & Sunnah Rasulullah Muhammad SAW ).

Jadi, kita dapat melihat adanya mata rantai para filosof sepanjang sejarah menunjukan adanya “benang merah” yang mempersatukan mereka, sejak para filosof Yunani Kuno seperti Hermes, Pythagoras, Empedocles, Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Al-Kindi, Ibnu Sina (Aviciena), Ibn Rusdh (Averous), Al-Farabi, Ibn Arabi, Ibnu Khaldun, Sukhrawardi, Mulla Shadra, Thabatabaei, Ayatullah Imam Khomeini, Murthada Muthahari, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Medi Hairi Yazdi, dll.

Untuk memperkuat hipotesa atau teori di atas, dalam buku ini, saya ingin menunjukkan dan memperlihatkan jejak langkah filsafat mistikal atau benang merah agama-agama dan falsafah ketuhanan yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, sepanjang sejarah umat manusia, melalu tulisan guru filsafat dan spiritual saya: Dr. Haidar Bagir di bawah ini. (Bersambung)