Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Kenapa Mekah Jadi Begini Sekarang ?

$
0
0

OPINI – Makkah dalam Renungan

Betapa berubahnya Makkah. Duduk di salah satu sudut Masjidil Haram ketika matahari meredakan panasnya, kita bisa merasakan bayang-bayang sebuah bangunan yang menjangkau langit dari arah Selatan.

Memang: di seberang gerbang Istana Baginda Abdul Aziz, berdiri sebuah super-gedung, (baru diresmikan Agustus tahun ini), yang disebut Abraj al Bait. Raksasa ini lebih dari 600 meter tingginya: menara waktu yang paling jangkung sedunia. Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 m, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter. Dan berbeda dari Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulis الله أكبر, “Allahu Akbar.”

Di Abraj al Bait ada 20 lantai pusat perbelanjaan dan sebuah hotel dengan 800 kamar. Juga tempat tinggal. Garasenya bisa menampung 1.000 mobil. Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesawat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu. Ongkos semalam di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai 7.000.000 rupiah.

Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan duwit berlimpah bisa memandang ke bawah — ya, jauh ke bawah — mengamati ribuan muslimin yang bertawaf mengelilingi Kaabah bagai semut yang berputar mengitari sekerat coklat.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang bisa menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa kini artinya “di bawah lindungan Kaabah”? Justru kubus sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi gedung-gedung jangkung, terutama Abraj al Bait yang begitu megah dan gemerlap — dengan 21.000 lampunya yang memancar sampai sejauh 30 km dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.

Betapa berubahnya Makkah. Atau jangan-jangan malah berakhir. “It is the end of Makkah“, kata Irfan al-Alawi, direktur pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London kepada The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga suara Sami Angawy.

Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan transformasi Makkah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang. “Mereka ubah tempat ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan dan tanpa lingkungan alam. Bahkan mereka renggut gunung dan bukit.

Angawy, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik; kalkulasi masa depan mendesak. Makkah harus siap. Tapi Angawy justru melihat di situlah perkaranya. Ia menyaksikan “lapisan-lapisan sejarah” Makkah dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.

Akhirnya ia, yang lahir di Makkah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ketika Abraj al Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan (“meniru seperti monyet”, kata Angawy) ia merasa kalah total. Ia lebih suka tinggal di Kairo.

Tapi bisakah transformasi Makkah dicegah? Kapitalisme membuat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga. Dengan catatan: dalam hal Makkah, bukan hanya karena “komersialisasi Baitullah” kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawy menyebut satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.

Wahabisme, kata Angawy, adalah kekuatan di belakang dihancurkannya sisa-sisa masa lalu. Dalam catatannya, selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan. Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi “syrik” bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah — dan sebab itu harus disembah.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian qasidah karya al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne pujaan ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca. Di Makkah, makam Khadijjah, isteri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum.

Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan penguasa Wahabi itu. Di awal 1926, di Indonesia berdiri “Komite Hijaz” di kediaman K. H. Abdul Wahab Khasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.

Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan destruksi itu. Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalisme bertaut, dan Makkah berubah.

Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkarim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams. Di sana Bung Karno menggambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan keras dan angker mencurigai “kemoderenan”; mereka bahkan membongkar antena radio dan menolak lampu listrik. Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al Bait bukan hanya lampu listrik yang diterima, tapi juga transformasi Makkah jadi semacam London & Las Vegas. Apa yang terjadi?

Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapuskan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik “kemoderenan”, (menidakkan masa depan) adalah sikap yang anti-Waktu. Jam besar di Abraj al Bait itu akhirnya hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah.

Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam?

Mungkin piknik instan ke kemewahan.

***Sumber: “Catatan Pinggir” Goenawan Mohamad, November 2012.

 


Agama Bukan Sebab Munculnya Intoleransi menurut Indosianis Hefner, tetapi Sekularisme lah penyebabnya

$
0
0
15 June 2019

Agama Bukan Sebab Munculnya Intoleransi: Indonesianis Hefner

islamindonesia.id– Agama Bukan Sebab Munculnya Intoleransi: Indonesianis Hefner

Indonesianis Robert William Hefner tidak setuju agama dijadikan sebab menguatnya intoleransi di Indonesia, khususnya pascareformasi 1998. Hal ini karena pada dasarnya fenomena ekspresi kebencian bertentangan dengan ajaran agama.

“Bagi saya ini bukan soal agama, bukan soal Islam atau Kristen,” kata Antropolog asal Universitas Boston Amerika Serikat ini seperti dikutip dari laman GanaIslamika.com, 8 Juni.

Jika agama tertentu dianggap sebagai akar masalah, fenomena ini hanya terjadi pada kalangan agama tertentu saja. “Tapi saya mohon maaf kepada teman-teman saya yang beragama Kristen dan Hindu. Kalau ke Manado dan Bali, kita pun menemukan laskar di sana.”

Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa masalah ini akibat kebebasan yang terlalu liberal. Menurut Hefner, tidak sesederhana itu kesimpulannya.

Alih-alih mengkambinghitamkan pengaruh agama, penulis buku Civil Islami ini menilai pengaruh sekuler justru yang menjadi akar masalah. Meningkatnya polarisasi akibat ekspresi kebencian lebih diakibatkan oleh nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan agama tapi kadang ditafsirkan sebagai hal agamais.

“Maka terlihatlah (seolah ada) kebencian Islam kepada Kristen, begitu juga sebaliknya. Padahal tidak demikian,” tegasnya. “Ini terjadi karena adanya politik yang melanggar sopan santun agama.”

Persoalan ini justru menceriminkan proses politik yang menggunakan bahasa agama untuk kepentingan yang bertetangan dengan agama.  Salah satu ciri dari proses itu adalah kembalinya individualisme.

“Memang ada sisi baiknya. Misalnya, saya adalah Kristen dan saya bertanggungjawab atas agama saya. Proses ini juga pernah terjadi ratusan tahun silam ketika naiknya protestanisme di Eropa Barat,”ujarnya.

Tapi di sisi lain, kata pria lulusan Universitas Michigan ini, ada juga orang-orang yang tidak begitu peduli pada ilmu agama yang benar-benar berakar pada khazanah keagamaan masing-masing, baik dalam tradisi Islam maupun Kristen. Orang-orang inilah yang mengendapankan tafsir mereka.

“Merekalah yang menilai hal ini yang harus diperjuangkan dibandingkan yang lain. Padahal ini hanyalah dampak dari persaingan politik yang intinya adalah sekuler, bukan agama,” katanya.

Pria yang akrab disapa Bob Hefner ini telah menginjakkan kakinya di Indonesia sejak 1987. Ketika itu, ia memulai risetnya dalam bidang antropologi di pegunungan Tengger, Jawa Timur.

Sedemikian akrabnya dengan Indonesia, Bob Hefner tidak hanya menguasai bahasa Indonesia tapi juga bahasa Jawa termasuk suku Tengger. Hingga usia ke-67 tahun, ia masih berkunjung ke Indonesia dalam rangka penelitian.

Dari tangannya, ratusan karya ilmiah terbit dan dinikmati oleh banyak pembaca. Salah satu karya monumentalnya ialah Civil Islam, sebuah buku tentang muslim dan demokratisasi di Indonesia. []

YS/IslamIndonesia/ Foto: Gana Islamika

Agama Bukan Sebab Munculnya Intoleransi: Indonesianis Hefner

 

Tiga Syarat Terwujudnya Moderasi Agama

$
0
0
Saturday, 15 June 2019

Tiga Syarat Terwujudnya Moderasi Agama Menurut Quraish Shihab

islamindonesia.id – Tiga Syarat Terwujudnya Moderasi Agama Menurut Quraish Shihab

Ulama sekaligus pakar tafsir Alquran Indonesia, Quraish Shihab, mengungkapkan tiga syarat yang perlu dipenuhi untuk mewujudkan moderasi beragama. Dia mengemukakan tiga syarat tersebut saat memberikan tausiyah pada halal bi halal Kementerian Agama di Auditorium HM Rasjidi, Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Jumat (14/06).

Wasathiyah atau moderat menurutnya adalah salah satu ciri agama. Dan orang yang beragama perlu bersikap moderat. “Lalu bagaimana mewujudkan moderasi? Ada tiga syaratnya,” ujar Quraish Shihab mengawali tausiyahnya, sebagaimana dilansir dari Website Kementrian Agama RI.

Pertama, untuk berada di tengah-tengah seseorang harus memiliki pengetahuan, “Kalau saya ingin mengetahui siapa yang di tengah, saya harus tahu berapa orang yang di sini. Maka kemudian saya bisa menentukan orang ke berapa yang ada di tengah. Tanpa pengetahuan, Anda tidak bisa melaksanakan moderasi,” ujarnya.

Kedua, mengendalikan emosi, “Untuk melakukan moderasi, syaratnya mampu mengendalikan emosi. Jangan melewati batas,” imbuh Quraish.

“Syarat ketiga, harus terus menerus berhati-hati,” ujarnya.

Menag Lukman Saifuddin mengungkapkan, dia sengaja meminta Quraish Shihab untuk mengisi tausiyah tentang moderasi beragama untuk memberikan pengetahuan bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) tentang pentingnya moderasi beragama.

Menag menyampaikan moderasi beragama telah diusung oleh Kemenag dalam beberapa tahun terakhir. Dia berharap ASN di bawah kepemimpinannya dapat memahami dengan baik apa itu moderasi beragama.

“Saat ini, moderasi beragama bukan saja relevan dalam konteks Indonesia, tetapi juga sangat signifikan dalam konteks global,” ujar Menag saat memberikan sambutannya.

Ada peristiwa menarik sebelum dimulainya acara ini, ternyata Quraish datang ke Kantor Kementerian Agama menggunakan ojek online karena terjebak macet.

Quraish Shihab turun dari ojek online. Foto: Wildan Hasan Syadzili/Twitter

Menag menyampaikan kesannya terkait peristiwa ini dalam akun Twitternya, “Beberapa saat saya tercengang menyaksikan beliau yang tak mudah turun dari goncengan motor. Belakangan beliau berbisik ke saya, ‘Tadi itu pengalaman pertama saya naik ojek.’ Amat terharu.”

Netizen yang juga menyaksikan peristiwa itu, Wildan Hasan Syadzili, dalam akun Twitternya sambil mengunggah foto kejadian memberikan komentarnya, “Yaa rabb…. Keluhuran ilmu, Prof. @quraishihab ini, dibalut keagungan akhlaq. Beliau hadir ke acara halal bihalal @Kemenag_RI berkendarakan ojek online, gegara macet berat sktr jakpus efek sidang MK.”

PH/IslamIndonesia/Foto Fitur: Kementerian Agama RI

 

Bung Karno: “Boleh Beragama masing-masing Tapi Tetaplah Berbudaya Nusantara”

$
0
0

Beragama dengan cara meniru mentah-mentah plek budaya asing negeri tempat lahirnya Agama tersebut, sambil mengabaikan dan melecehkan budaya asli sendiri tanah air ibu pertiwi, adalah sikap dan perilaku anti Pancasila Dan anti kedaulatan NKRI. (inspirasi Bung Karno, Lembaga Pemikiran Islam Bung Karno/LPI-BK)

 

Menolak secara Gebyah Uyah terhadap setiap kebenaran dan keindahan Ilahiyah di alam semesta-Nya ini hanya karena semangat fanatisme radikal chauvinistic (ashyobiyah) sempit, bukanlah kebijaksanaan Pancasilais. (Inspirasi Bung Karno, Lembaga Pemikiran Islam Bung Karno-LPI-BK)

Seminar Persatuan dan Kesatuan Bangsa Ustadz Dr. Menachem Ali di Jember

$
0
0

Gerakan Nusantara Bangkit (GNB) adakan Seminar Persatuan Bangsa di Jember.

Shalom ‘aleychem

“Semoga video ini dapat mencerahkan cara mengekspresikan keagamaan kita dalam konteks keberagaman. Be ezrat HaShem. Insya Allah.”

Apa makna “Bali Ka Hyang”, menurut Sunda Wiwitan?

$
0
0

Menurut Sunda Wiwitan, Apa Balik Ka Hyang Itu?

Keyakian urang Sunda buhun sampai saat ini masih hangat dan menarik untuk diperbincangkan, adakalanya disebut agama Budha, atau agama Hindu, animisme, bahkan ada yang menyebut agama islam Wiwitan. Sedangkan para filolog, seperti Ekadjati (2005), Atja dan Saleh Danasismita (1987) menyebutnya ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Istilah aga ma Jati Sunda ditemukan didalam naskah Carita Parahiyang an. Naskah tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 1580 masehi, menurut CM. Pleyte 1500 AD. Istilah Jati atau Wiwi tan memiliki makna yang sama, yakni mula; pertama; asli, dengan demikian pengertian agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan bermakna agama (urang Sunda) asli atau tulen. (Ekadjati: 2005, hal. 181).

Beberapa Sumber

Adanya beberapa perbedaan penafsiran tentang inti dan pemahaman Sunda sebagaimana diatas, disebabkan adanya alur sumber informasi yang berbeda.

1. Pertama sumber yang berasal dari tutur tinular, pada umumnya di sampaikan secara lisan oleh para penganut ajaran SUNDA WIWITAN, namun masih sangat tertutup bagi orang-orang diluar penganut ajaran tersebut.

2. Kedua, penemuan sejarawan, filolog, arkeolog, akhli kepurbakalaan yang menafsirkan dari temuan ilmiah, dan diuji mengggunakan data ilmu pengetahuan, seperti naskah-naskah; prasasti-prasasti dan lain sebagainya.

Sayangnya dari acuan sumber yang berbeda ini jarang menemukan titik temu, karena masaing-masing memiliki alasan pembenar, dan sulitnya menemukan data primer.

Hal yang tidak mustahil, kegelapan ajaran Ki Sunda disebab kan Ki Sunda pada masa lalu kurang menyukai untuk mendokumentasikan ajajarannya yang dianggap tabu (pamali), sementara ajaran lainnya yang juga berkembang mendokumen tasikan ajarannya dalam bentuk naskah maupun prasasti. Hal paling mungkin mengambil kesimpuan para ahli, yang menyebutkan, bahwa : “ajaran yang berkembang dimasyarakat belum tentu sama dengan ajaran yang dianut keratonnya”. Karena penghuni keraton pada umumnya sudah bersen tuhan dengan budaya luar, yakni sejak masa lengsernya AKI TIREM di SALAKANAGARA.

Sumber-sumber sejarah menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang berlangsung lama didalam kehidupan masyarakat Sunda, baik sesudah maupun sebelum masa Pajajaran terbentuk. Naskah CARITA PARAHYANGAN mendeskripsi kan adanya KAUM PENDETA SUNDA yang menganut ageman asli Sunda (NU NGAWAKAN JATI SUNDA). Mereka mempunyai tempat kegiatan, atau semacam tempat suci yang bernama KABUYUTAN PARAHYANGAN, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama lain, bahkan dibedakan dengan KABUYUTAN LEMAH DEWASASANA, yang dianggap sebagai pusat kegiatan ke agamaan Budha. Naskah Carita Parahyangan menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah SEWABAKTI RING BATARA UPATI dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.

Selain naskah Carita Parahyangan, keyakinan Jati Sunda pada masa lampau dikisahkan para prepantun Bogor, seperti oleh AKI BUYUT BAJU ROMBENG. Menurut Ki Panjak (1970), Pantun Bogor (Pajajaran Tengah) berisi tentang Uga yang hanya dapat dibaca (dipahami) kisahnya jika dikalbunya tertanam rasa kasundan.

Masalah ini dikisah didalam kisah Curug Si Pada Weruh, bahwa :

“Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea”. (Sebelum orang Hindi/Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda).

Kisah dan istilah urang Hindi di Kaju Hejo dimaksudkan kepada para penguasa Salakanagara pasca pelengseran AKI TIREM lebih tepatnya jika disebutkan untuk DEWAWARMAN, peng ganti Aki Tirem. Tentang penggantian Aki Tirem oleh Dewa warman ada pula yang memahami sebagai apa yang disimbulkan didalam kisah AJI SAKA dan DEWATA CENGKAR.

Aji Saka dilambangkan sebagai seorang pemuda sakti yang berwajah tampan, sedangkan Dewata Cengkar dilambangkan sebagai seorang buta (cakil). Aji Saka dianggap budaya baru beragama, mewakili pendobrak tradisi pribumi (Aki Tirem). Oleh karenanya para pendatang itu sendiri menggambarkan dirinya sebagai manusia tampan, agar menarik simpati, sedangkan Dewata Cengkar mewakili entitas pribumi dilambangkan sebagai sesuatu yang buruk, agar dijauhi. Demikianlah hukum penulisan sejarah, siapa yang kalah diniscayakan berposisi sebagai yang buruk, sedangkan yang menang adalah yang baik. Sama halnya dengan mengisahkan sejarah jaman orde lama oleh para penulis orde baru, yang selalu diposisikan sebagai si ‘salah’, bertujuan agar rezim orde baru memiliki legalitas, atau dukungan dari rakyat.

Pada masa Aji Saka terjadi pergantian penguasa dan status wilayah, dari nama kota yang dipimpin seorang penghulu (Aki Tirem) menjadi kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Dewawarman. Kisah kerajaan Salakanagara pada akhirnya dianggap sebagai kota dan kerajaan tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara. Pada masa ini pula diyakini sebagai awal mula budayaan Nusantara mulai bersentuhan dengan budaya dari India.

Peninggalan Salakanagara, berikut kisah Aji Saka dan Dewata Cengkarnya sangat dimungkinkan terkait dengan keberadaan Krakatau. Pada masa itu disebut sebagai NUSA APUY. Salakanagara pada masa Tarumanagara, khususnya pada masa kejayaan Purnawarman sudah menjadi negara di bawah daulat Tarumanagara. Salakanagara, berikut kisah Dewata Cengkar tentunya habis dimusnahkan Gunung Krakatau, yang telah beberapa kali mengeluarkan letusan dahsyat.

Kedahsyatan Letusan Gunung Krakatau antara lain ditemukan di dalam cuplikan tulisan dari KITAB RAJA PURWA, dibuat oleh pujangga Jawa dari Kesultanan Surakarta, RONGGO WARSITO. Salinan kitab itu masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Cuplikan dari Kitab tersebut bertuliskan. :

“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air hujan itu bukannya mematikan ledakan api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin mengobarkannya, suaranya mengerikan, akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam keba gian terdalam dari bumi”.

Kitab tersebut diterbitkan tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan Krakatau (Inggris: Krakatoa volcanoes) pada 27 Agustus 1883. Penyebutan “Gunung Kapi” atau dalam bahasa Sunda “Nusa Apuy” tak banyak dikenal pada periode itu, sehingga tulisan Ronggowarsito dianggap membingungkan banyak kalangan. Namun, deskripsi berikutnya dalam buku itu semakin mirip dengan peristiwa tsunami saat Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883:

Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka.

Kemudian dalam edisi kedua yang diterbitkan pada 1885 atau dua tahun setelah letusan Krakatau, Ronggowarsito menulis penanda tahun dan deskripsi lokasi Gunung Kapi yang bisa dipastikan adalah Krakatau, pernah meletus sebelum tahun 1883. Naskah tersebut mengungkapkan :

” …di tahun Saka 338 (416 Masehi) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang di jawab dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi yang terletak di sebelah barat Banten baru…”.

Masyarakat dan para sejarawan banyak mempersepsi agama Sunda buhun dari agama yang dianut keratonnya, seperti Tarumanagara yang meninggalkan prasasti, atau menarik kesimpulan dari tradisi yang dilakukan orang Sunda dalam kesehariannya dianggap sama dengan saudara-saudaranya yang beragama baru (Hindu atau Buda), apalagi sejarah di tatar Pasundan, sejak Dewawarman I berkuasa bersentuhan dengan agama para pedagang India. Tapi jika ditelusuri dan dipilah perkembangan agama yang dianut keraton dengan yang dianut rakyatnya, niscaya akan ditemukan perbedaannya. Sampai saat ini para penganut Sunda Wiwitan sangat tidak memahami tradisi Hindu maupun Budha.

Sumber yang berasal dari keterangan FA-SHIEN, pendeta Budha dari Cina, dalam buku berjudul FA-KAO-CHI, menjelaskan kondisi sosial kemasyarakatan di ibukota Tarumanagara. Menurutnya, selain banyak penganut Hindu juga masih banyak penduduk yang menganut agama leluluhurnya. Contoh yang kedua, pada masa Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (diperkirakan tahun 382 masehi), pada masa itu pemerintahannya berupaya merubah keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi agama yang dianut Rajaresi, namun masih banyak penduduk disekitar kerajaan yang tetap menganut agama nenek moyangnya.

Pendapat tentang adanya perbedaan agama yang dianut penghuni keraton dengan agama yang dianut rakyatnya di tulis di dalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). Menurut para penyusun buku tersebut: agama orang Sunda adalah hasil bauran dari agama Hindu dan Budha yang diracik dalam konsep agama asli (Nusantara). Menurut buku tersebut, baik pendapat Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905) sama-sama menjelaskan, bahwa hal itu hanya berlaku dalam lingkungan keraton dan para pejabatnya, sedangkan rakyat masih tetap setia kepada agama ajaran leluhur. Konon menurut penulis sejarah, didalam naskah Wangsakerta agama ini disebut PITARAPUJA.

Pengecualiannya terjadi pada masa penyatuan Sunda dan Galuh, atau banyak juga yang menyebutkan masa Pajdadjaran. Penyatuan entitas Sunda dengan Galuh mulai cair dan menjadi hanya sebutan Sunda pada abad ke-16. Pada masa penyatuan Sunda dan Galuh nampak ada pembauran keyakinan keraton dengan keyakinan rakyat, sebagai mana ditulis dalam naskah KAWIH PANINGKES, yang menerangkan telah kembalinya keraton dan masyarakat Sunda menganut agama asli (leluhur) urang Sunda.

Pada masa kerajaan Sunda dan Galuh sampai dengan Pajajaran Sirna Hing Bumi Pasundan, masyarakat Sunda dan keraton sudah mulai nampak kebersamaan dalam beragama, namun pengaruh dari agama Budha dan Hindu masih ada dan masih melekat.

Pengaruh demikian dicatat dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan yang banyak menjelaskan tentang pedoman hidup Ki Sunda pada masa itu (KUNDANGAN URANG REYA). Naskah ini mengakui adanya ajaran leluhur dan menyebutkan adanya BATARA SEDA NISKALA, yang dianggap YANG HAK DAN YANG WUJUD, bahkan didalam Hirarki Pembaktian, yang disebut DASA PERBAKTI, menempatkan HYANG diatas DEWA. Penemuan Tuhan semacam keyakinan terhadap Hyang bagi masyakat Sunda lama bukan penemuan baru, namun dilingkungan keraton keyakinan terhadap sesuatu yang maha tinggi pernah kasilih setelah masuknya budaya dari luar (Jati Kasilih Ku Junti).

PENEMUAN AWAL

Dari data-data sejarah, arkeologi dan filologi, terutama dari sisa peninggalan megalitik dan naskah-naskah buhun, para arkeolog dan sejarawan membahas tentang adanya keyakinan masyarakat Sunda Buhun terhadap kekuatan “nu gaib”. Persepsi dan kesimpulan demikian dimungkinkan berdasarkan pada sejarah pemikiran manusia ketika menemukan Tuhan.

Munandar (2010 : 7) didalam memahami bentu-bentuk banguan suci di Tatar Sunda, menguraikan tentang cara melakukan kajian agama yang mengenal adanya lima butir pem bentuk religi yang saling berkaitan, yakni :

1. Emosi keagamaan, yang menyebabkan manusia memiliki sikap yang religius, dan menggerakan jiwa manusia. Emosi keagamaan juga merupakan sikap takut dan bercampur percaya kepada hal-hal yang gaib dan keramat. Namun hemat penulis, ada juga yang bersumber dari keikhlasan dan kesadaran, bukan karena adanya rasa takut.

2. Peralatan ritus dan upacara, berupa sarana dan peralatan, antara lain berupa bangunan suci, arca-arca dewa, alat bunyi-bunyian, altar, dan piranti lain yang berkenaan dengan upacara.

3. Sistim kepercayaan, berupa pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, dewa-dewa, alam gaib, asal-usul terjadinya alam semesta, estakologi, serta sistim nilai dan norma agama.

4. Sistim ritus dan upacara, dalam sistim religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap alam gaib (Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk gaib lainnya).

5. Umat Agama, adalah pemeluk suatu religi atau suatu kesatuan sosial yang menganut sistim keyakinan dan yang melaksanakan sistim ritus serta upacara.

Sistim kepercayaan Sunda yang mungkin dapat dikaji, selain bersumber dari para penganut ajaran Sunda Wiwitan, juga dapat diteliti, didalami, dihayati dari naskah-naskah Sunda Buhun, seperti naskah SangHyang SiksaKandaNg Karesyan, Jatiniskala, Jatiraga, Kosmologi Sunda dan Bujangga Manik, serta artefak-artefak lainnya, seperti prasasti dan peninggalan ditempat-tempat yang pernah digunakan untuk melaku kan ritual keagamaan. Dari naskah inilah dapat ditemukan hakekat keyakinan dan yang berhak disebut ditempatkan sebagai adikodrati.

Ekadjati (2005) menguraikan penemuan istilah nu Gaib, bermula dari rasa hormat ki Sunda terhadap para pemimpinnya dan orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan. Penghormatan demikian rupanya tidak mengenal batas waktu, bahkan setelah meninggalpun masih tetap dihormati, akhirnya menjadi tradisi. Kebiasaan menghormati leluhur demikian di dalam paradigma barat dikatagorikan sebagai penyembah roh nenek moyang atau animisme.

Pendapat tentang katagorisasi animisme terhadap keyakinan leluhur Ki Sunda, menurut Engkus Ruswana di dalam Pikiran Rakyat Sabtu 14 Juni 2003, dijelaskan sebagai berikut :… mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan ke percayaan leluhur, yang pengertian secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan.

Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi yang subur makmur Loh Jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.

Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (Wanda Aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan matahari (kala Sunda), perhitungan bulan (kala Candra) dan perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.

Menurut Ekadjati (2005), keinginan untuk menghormati arwah leluhur dan kekuatan gaib lainnya diwujudkan dalam bentuk bangunan batu besar (megalitik). Sekalipun demikian, bukan berarti ki Sunda menyembah batu, sebagaimana yang ditafsirkan orang lain, namun batu tersebut hanya di gunakan semacam mediator, untuk membantu konsentrasi. Dalam penemuan terakhir dikomplek Kawali diketahui adanya BATU KOLENJER, alat untuk menentukan waktu, sebagai mana yang digunakan masyarakat Baduy, namun menurut beberapa pendapat, batu tersebut adalah YANTRA, suatu alat yang biasa digunakan untuk membantu mengkonsentrasikan diri dalam melakukan ritual terhadap Tuhan, lebih jauh dapat ditelisik dari fungsi Gunung Padang Cianjur dan situs-situs peninggalan sunda buhun, yang memiliki tiga batu berun dak. Namun menurut Ekadjati, suatu hal yang patut dipahami, modal penting untuk menjalin hubungan dengan YANG GAIB bagi urang Sunda Buhun, adalah kesungguhan hati, kekhidmatan didalam keheningan alam sekitar. Ditempat-tempat itulah penghormatan dilakukan.

Dari upacara ritual diharapkan muncul tenaga-tenaga gaib yang dipancarkan oleh alam yang memberikan kekuatan serta kesejahteraan hidup; kesuburan tanah; serta keselama tan dalam mencari nilai-nilai hidup yang baru (Asmar 1970; 1975).

Tradisi menghormati nenek moyang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Sunda selanjutnya. Sampai sekarang batu menhir yang ada di Kabuyutan Kanekes dipercaya sebagai awal mula kehidupan masyarakat Baduy (Ekadjati: 2005). Peninggalan megalitik masih terlihat di tatar Sunda, seperti Arca Domas, Cibedug, Pasir Angin, Kampung Muara, Bukit Kasur, Gunung Padang dan tempat lainnya. Khususnya Gunung Padang sudah banyak yang meyakini keberadaan sejak masa Pra sejarah, dan terbesar di Asia Tenggara, bahkan berdasarkan penelitian terakhir diketahui telah berumur 10.900 SM.

Tempat-tempat dimaksud umumnya berada didaerah dan tempat yang tinggi. Bangunan megalitik disusun menurut sistim timur-barat yang melambangkan perjalanan hidup manusia. Timur adalah tempat matahari terbit yang melambang kan kelahiran; barat tempat matahari terbenam melambangkan kematian. Perjalanan matahari dari timur kebarat melambangkan perjalanan hidup manusia.

Dari hal diatas para ahli menyimpulkan, bahwa SEJAK MASA NEOLITIKUM MASYARAKAT DI TANAH SUNDA SUDAH MEMILIKI PEMAHAMAN TENTANG YANG GAIB sebagai jiwa yang lepas dari raga manusia yang meninggal, namun tidak pergi jauh, berada di sekitar tempat tinggal sewaktu masih hidup, hanya sebagai roh yang gaib. Arwah leluhur diyakini dapat memancar kan kekuatan gaib yang berdampak baik maupun buruk, sangat tergantung kepada cara perlakuan manusia yang masih hidup terhadap arwahnya. Agar arwah memancarkan kebaikan dan dapat mencegah kekuatan gaib yang bersifat buruk maka dilakukan acara acara ritual penghormatan. Penghormatan demikian sangat tergantung kepada masing-masing kelompok atau individu, karena sampai sekarang tidak diketahui, cara-cara ritual yang dilakukan pada masa lalu, kecuali dari upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Baduy.

Pada periode selanjutnya di tanah Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Budha. Periode ini secara resmi dapat diketahui dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Pasundan awal, seperti SALAKANAGARA, TARUMANAGARA dan KENDAN. Sekalipun demikian, masyarakat asli masih banyak yang tetap tuhu menganut keyakinan yang dianut leluhurnya.

Keterangan tentang kukuhnya masyarakat pribumi terhadap keyakinan leluhurnya antara lain berdasarkan keterangan :

1. Berita Fashien, seorang pendeta Budha dari Cina yang terdampar di Tarumanagara pada tahun 413 M, selama lima bulan menetap di Ya-va-di (pulau Jawa). Fashien lebih banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Bu dha, bahkan menyebut masih banyaknya penduduk yang menganut agama nenek moyangnya. Kisahnya ditulis dalam buku yang berjudul Fa-Kao-Chi.

2. Pada masa pemerintahan Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (382 M), berupaya merubah cara keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi aga ma yang dianut Rajaresi, namun tidak membuahkan hasil. Padahal Rajaresi mengajarkannya kepada para penghulu desa, dan mendatang kan para brahmana dari India, namun rakyat masih banyak yang tetap setia kepada ajaran leluhurnya.

3. Naskah-naskah yang menempatkan hirarki Hyang diatas panteon agama lainnya, seperti DASA PERBAKTI, didalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan, Jatiraga dan Kawih Paningkes.

Jika saja ageman Sunda Wiwitan sebagaimana yang nampak dari anutan warga Baduy dikaitkan dengan peradaban megalitik, maka akan diketahui, bahwa prinsip warga Baduy percaya kepada satu yang kuasa, Batara Tunggal, pemilik karakteristik satu kekuasaan dan kekuatan yang tak tampak (Maha Gaib), tetapi berada di mana-mana, dan sangat bijaksana dan suci.

Istilah Batara di mungkinkan sebagai bentuk adaptasi dari bahasa keyakian sesudahnya, tanpa merubah substansi atau maksud. Istilah Batara kemudian ditambahkan kepada Tunggal, sehingga menjadi BATARA TUNGGAL (Judistira K. Garna : 2006).

Penggunaan bahasa, seperti dalam menyebutkan nama BATA RA CIKAL digantikan dengan sebutan ADAM TUNGGAL, atau menyisipkan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah islam wiwitan untuk sebutan agama Sunda Wiwitan (lihat Asep Kurnia dkk : 21010), hal ini dimungkinkan karena adap tifnya bahasa keyakinan urang Sunda Buhun terhadap istilah-istilah yang digunakan pada jamannya, namun memiliki maksud dan substansi yang sama dengan paradigmanya, untuk menyebut pemilik adikodrati.

PENGARUH BUDAYA INDIA

Kepercayaan agama Hindu dan Budha mengenal adanya istilah yang Gaib lainnya, yakni dewa-dewa. Panteon Hindu ini mempunyai cara hidup dan tempat tersendiri diluar kehidup an manusia, yakni di nirwana atau sorga. Dewa-dewa dalam agama Hindu jumlahnya banyak (politheis) dan memiliki fungsi dan tugas masing-masing.

Di dalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984), yang banyak merujuk kedalam naskah Carita Parahyangan disebutkan, bahwa pada masa Salakanagara dapat diduga bahwa agama resmi negara adalah agama Siwa, termasuk di dalamnya madhab Ganapatya (pemuja Ganesa), mengingat Dewawarman I dianggap asli keturunan dari India, sedangkan pada masa Tarumanagara, seperti nampak dari prasasti peninggalan masa Purnawarman, menganut agama Wisnu, termasuk madzhab Saura (Pemuja Surya). Anutan terhadap madzhab masing masing berhubungan dengan keyakinan, bahwa raja adalah titisan Wisnu yang menjaga dan melihara ketertiban Jagat raya. Di tatar Sunda yang disebutkan titisan Sanghyang Wisnu adalah Prabu Dharmasiksa. Hal demikian sebagaimana disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan, yaitu :

Diganti ku sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nyaeta nu ngawangun sanghyang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahantina Parahiangan. “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa. (Atja : 1968).

Banyak pula raja-raja dahulu yang menganggap dirinya keturunan Dharmaraja, sehingga menggunakan gelar Dharma untuk nama nobatnya.

Kisah Dharmaraja dapat ditelusuri dari kisah Satria Piningit dan Ratu Adil. Sumber ajaran ini berasal dari KITAB TANTU PAGELARAN. Kitab ini mengisahkan tentang Siwa atau Batara Guru nu ngayuga Dewa Dharmaraja. Keduanya memiliki kemiripan dalam bertapa dan memancarkan kebajikan-kebajikan yang bersifat ilahiyah. Kelak ratu Adil akan muncul dalam wujudnya sebagai resi. Inilah yang menunjukan adanya pengaruh India didalam sistim kepercayaan diwilayah Pasundan.

Pada masa selanjutnya, didalam Naskah Sanghiyang Siksa KandaNg Karesiyan tersurat jejak keyakinan agama Siwa dan Budha sekaligus, seperti pada kata :

Hong kara namo sewa ya baktining huluan di Sanghi yang Panca Tatagata … Panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga. (sesungguhnya puji dan sembahku untuk Siwa, baktiku kepada Sanghyang Panca Tatagata …. Panca berarti lima, tata berarti ucapan, gata berarti wujud).

Dari naskah di atas nampak penggunaan simbol-simbol hindu dengan mengistilahkan Siwa, serta agama Buda Mahayana. Tataga dalam agama Buda adalah gelar untuk Budha. Panca Tataga adalah lima orang Dyani Buda atau Buda yang merenung sebagai Lokapala, pelindung dunia. Paradigma ini tetap hidup dan tertransformasikan kedalam istilah Buana Panca Tengah, untuk istilah bumi atau dunia.

Jejak lainnya saat ini ada dalam pemahaman tentang kalimat Opat Kalima Pancer, seperti dalam pepatah orang tua :

Coba riksa anu opatnu jadi bakal manusa bumi, geni, banyu jeung angin. Bumi metukeun cahaya hideung, nu nyata jadi pangucap. Geni metukeun cahaya beureum, nu nyata jadi panguping. Angin metukeun cahaya koneng, nu nyata jadi pangangseu. Banyu metukeun cahaya bodas, nu nyata jadi paningal.

Nu metukeun cahaya hideung, tina bumi malaikat sawiah. Nu metukeun cahaya beureum, tina geni malaikat tamarah. Nu metukeun cahaya koneng, tina angin na malaikat mutmainah, nu metukeun cahaya bodas, tina banyu malaikat loamah. Anu opat ngalebur ngaja di hiji, ngajadi papancer ning manusa. Artinya : Coba periksa yang empat cikal bakal manusia, tanah, api, air dan angin. Tanah menimbulkan cahaya hitam, menjadikan bisa mengucap. Api menimbulkan cahaya merah, yang menjadikan bisa mendengar. Angin menimbulkan cahaya kuning, menjadikan bisa mencium. Air yang menimbulkan cahaya putih, yang menjadikan bisa melihat.

Yang melahirkan cahaya hitam dari bumi malaikat sawiah. Yang melahirkan cahaya merah dari api ada lah malaikat tamarah. yang melahirkan cahaya kuning dari angin adalah malaikat loamah. Yang melahirkan cahaya putih dari air adalah malaikat loamah. Yang empat melebur menjadi satu, menjadi pertandanya manusia.

Paradigma tentang kalimat diatas diabadikan dalam setiap gerak hidupnya, seperti yang diabadikan dalam bentuk jurus Tepak Hiji dalam Ilmu Silat Cimande, jurus empat (mata angin) ditambah satu pancernya (tengah), atau opat kalima pancer (empat yang kelimanya pancer). Pada masa lalu, maksud yang sama menunjukkan lima huruf didalam kepercayaan Hindu, yang disebut panca aksara, yaitu Na~Mo~Si~Wa~Ya. Aksara tersebut dianggap perwujudan Siwa :

NA Siwa sebagai Iswara di timur, MO Siwa sebagai Brahma di selatan, SI Siwa sebagai Mahadewa di barat, WA Siwa sebagai Wisnu di utara, YA Siwa sebagai Siwa di tengah (Pancer).

Tentang naskah dimaksud, selengkapnya sebagai berikut :

Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwa na, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngara nya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya; daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon) kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya); utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya; madya, tengah, kahanan Hyang Siwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana. (Kalau terpahami sanghyang wuku lima di bumi tentu semua tempat menyenangkan. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Puwa yaitu timur tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang Brahma merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hyang Mahadewa kuning warnanya. Utara tempat Hiyang Wisnu hitam warnanya Madya di tengah tempat Hyang Siwa aneka macam warna. Yaitulah wuku lima di bumi).

Masyarakat dahulu meyakini, dari sorga para dewa mengatur dan mengawasi kehidupan manusia. Tiap pemeluk agama Hindu dan Budha meyakini, jika mereka mengindahkan tuntunan moral dan agama maka akan masuk sorga, bersatu di alam kehidupan dewa-dewa. Sebaliknya, akan masuk neraka dan mengalami samsara, jika tekad dan perilakunya buruk.

Jejak lainnya terdapat didalam naskah Sewaka Darma (kebaktian terhadap darma). Hal ini menunjukan bahwa Tantra yana di wilayah Sunda sudah terpengaruh oleh ajaran Budha Mahayana. Pengaruh tersebut masih terjalin dengan agama leluhur Sunda. Seperti unsur Hyang dibedakan dari dewa, sekalipun keduanya tinggal di Kahyangan atau Parahyangan.

Dari sudut pernaskahan, seperti naskah Jatiniskala mengandung embaran mengenai ajaran keagamaan yang memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu, Budha dengan ajaran Pribumi. Naskah Jatiniskala lebih banyak menyebutkan nama-nama kuasa imajiner pribumi. Mereka disederajatkan dengan apsari, makhluk kahyangan, pendamping para Dewa. Seperti tujuh pohaci, yaitu : Pwah Sri Tunjungherang, Pwah Sri Tun junglenggang, Pwah Sri Tunjunghanah, Pwah Sri Tunjungmanik, Pwah Sri Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, Pwah Sri Tunjungbwana. Kesemuanya berada didalam kurungan dan masing-masing mempunyai apsari, yaitu : Aksari Tunjungnaba, Tunjungmabra, Tunjungsiang, Tunjungkuning, Nagawali dan Nagagini. Kemudian ada juga apasari Manikmaya, Maya lara, dan lainnya.

Dari uraian diatas memang kedua agama diatas dikenal dalam kehidupan masyarakat Sunda Buhun, bahkan diabadikan didalam naskah-naskahnya. Namun perlu juga dikaji tentang silib, sampir, siloka dan apapun yang tersirat didalam setiap kalimatnya lebih dalam. Seperti dari naskah Sanghiyang KandaNg Karesiyan (1518 m), tentang DASA (10) PERBAKTI yang menempatkan hirarki HIYANG diatas DEWA. Nakah tersebut menyebutkan, bahwa “… mangkubumi bakti di ratu, ratu bak ti di dewata, dewata bakti di hiyang …“ (mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada Hyang) (Danasamita dkk. 1987 : 74,96). Hal ini mengandung makna, bahwa hirarki Hyang atau Sang Hyang Tunggal tidak sama dengan Siwa (dewa), Sanghyang Wenang tidak sama dengan Brahma (dewa). Sanghyangg Wening tidak sama dengan Wisnu (dewa). Oleh karena itu, didalam cara memahami konsepsi ajaran Sunda Wiwitan, tidak dapat dicampuradukan dengan Panteon lain. Konon menurut Jurupantun : “ti baheula mula, urang sunda mah geus miboga Hi yang Tunggal, nu teu bisa dibandingkeun jeung ciptaannana”.

BEBERAPA ISTILAH

Dalam perspekrif penggalian ajaran Sunda di dunia maya, istilah Sunda, sebagaimana pendapat Lucky Darmawan disebutkan sebagai nama agama didunia. SU artinya Abadi atau Sejati; NA artinya Api ; DA artinya Besar atau Agung, sehingga Sunda diartikan sebagai Api Abadi Yang Agung atau Mata hari, karena matahari dianggap lambang Hyang Maha Kuasa (di langit), pemberi kehidupan di Bumi. Sunda adalah Maha Cahaya, pusat dari segala Cahaya; Sang Hyang Tunggal, ada juga yang menyebut Sanghyang Syiwa. Sunda juga disebut Sang Hyang Manon; Sang Batara Guru; Sang Guru Hyang; Sang Guriang (Sangkuriang); Sang Surya; Sura; Ra. Konon kabar ada kaitan nya juga dengan di Mesir dan Jepang. Sunda atau Sang Hyang Manon dikenal sebagai Dewa Matahari Amon–Ra. Sunda/Matahari di eropa disebut Sun, hari pemuja an Sunda/Matahari disebut Sunday. Ajaran Sunda atau agama Matahari berkembang ke seluruh dunia pusatnya di Jawa Barat, oleh sebab itu di Jawa Barat nama daerah diawali dengan ‘Ci’ yang artinya Cahaya. Pusat Pa–Ra-Hyang pertama terletak di Gunung Parang, Purwakarta. Ajaran Sunda telah menjadi agama dunia yang dianut oleh segala bangsa, membangun peradaban dunia menuju bangsa unggul paripurna.

Sunda bukan nama Etnis atau ras manusia yang tinggal di Jawa Barat. Sunda dianggap nama agama yang tertua dan pertama, mengajarkan segala bangsa Cinta Kasih dan berterima kasih. Sebagai inti ajaran Sunda yakni Penghormatan dan Kehormatan; budhi bahasa; budhi dharma–tata karma (sopan santun); tata dharma (bakti); kenegaraan, kebangsaan, kebudayaan dan Jatidiri. Ajaran Sunda telah membentuk kelembutan sikap Sopan Santun dan perilaku berbudhi pada setiap diri bangsa Indonesia. Sunda mengajarkan bentuk untuk berterima kasih kepada segala yang telah memberi kehidupan. Oleh sebab itu Sembah-Hyang dilakukan dalam upacara Bende–Ra (panji matahari) untuk menghormati Negeri dan Sang Guru Hyang (Sunda). Istilah Sang Guru Hiyang kemudian mengalami perubahan ucapan menjadi Sang Guriang atau Sang Kuriang, namun apakah demikian?.

Jawaban yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan diatas dapat dikaji antara lain dari pendapat AGUS ARIS-MUNANDAR DKK, didalam bukunya tentang BANGUNAN SUCI SUNDA KUNA (2011). Munandar mengungkapkan tentang berita dari sumber PANTUN BOGOR dan NASKAH JATIRAGA (Koropak 422), diperkirakan naskah ini seumur dengan naskah SERAT BUDA, berbahasa Jawa Kuno, yang dibuat pada tahun 1357 saka, atau 1435 M, atau pada abad ke-15, sejaman dengan masa Padjadjaran. KITAB JATIRAGA antara lain menguraikan tentang adanya kekuatan adikodrati dalam agama masa kerajaan Sunda, yang disebut BATARA JATINISKALA, yang memiliki julukan lain, yakni JATINISKALA yang bersifat KEMAHAGAIBAN. Ia menjelma (mengejewantah) menjadi tujuh sanghiyang, dengan sebutan GURIANG TUJUH. Munandar pada akhirnya menyimpulkan, bahwa SANGHIYANG JATINISKALA benar-benar NISKALA, gaib, tidak terbayangkan, tidak mungkin dikonkretkan.

Hiyang atau Sanghiyang didalam Ensiklopedia Sunda, ditujukan untuk menyebutkan para penghuni kahyangan. Hal yang tentunya berbeda dalam cerita wayang, karena kahyangan di huni oleha para dewa. Menurut pendapat lain, Parahyangan adalah istilah untuk tempat tinggalnya para Hiyang, sedang kan Nirwana tempat tinggal para Dewa. Yang Maha kuasa menurut kepercayaan Sunda lama adalah SANGHYANG KERESA, yang menghendakai atau sang Maha Pencipta, disebut juga BATARA TUNGGAL atau BATARA SEDA NISKALA (YANG GAIB). Semua Dewa yang datang kemudian diposisikan berada dialam Nis kala, sedangkan Hiyang berada dialam Jatiniskala. Oleh karena itu didalam DASA PREBAKTI, Sanghiyang lebih tinggi hirarkinya dari Dewa-dewa atau Batara.

Istilah Sanghiyang adakalanya digunakan pula untuk menyebut orang atau makhluk yang dihormati, seperti Sanghiyang Lutung Kasarung, Sanghiyang Sri, Sanghiyang Borosngora dan lain-lain. Namun bisa saja sebutan itu untuk menyebut kan pengejawantahan dari Hiyang, yang memang tidak berwujud.

KONSEP HIYANG

Perkembangan selanjutnya menurut Ekadjati (2005), konsep banyaknya dewa-dewa (politheis), pada masa kerajaan Sunda dan Galuh menimbulkan kecenderungan untuk mengutamakan roh dan dewa (Tuhan) tertentu, namun mengabaikan dewa lainnya. Selain itu di dalam upacara keagamaan lain yang sarat tatacara, dan urutan yang ketat serta mantera-mantera yang tidak boleh salah ucap atau salah susun, dianggap kurang sesuai dengan watak agama asli leluhurnya. Oleh karena itu mereka mencari konsep alternatif lain untuk menemukan Tuhan yang sesuai dengan karakternya yang berpindah-pindah setiap musim panen. Sehingga perlu praktis, akrab dengan alam, mengutamakan isi dari pada bentuk, cara memuja dapat dilakukan dimana saja, karena Tuhan itu lebih dekat dari apapun, bahkan masih jauh urat di leher kita dibandingkan dengan Tuhan.

Bagi masyarakat Sunda waktu itu, sebongkah batu alam yang agak aneh bentuknya sudah cukup untuk dijadikan titik pusat upacara ritual. Setelah usai batu tersebut ditinggalkannya karena di tempat lain pun masih mudah memperoleh jenis batu yang sama. Modal penting untuk menjalin hubungan dengan yang Gaib adalah kesungguhan hati, kekhidmatan di dalam keheningan alam sekitar. Sedangkan bongkahan batu hanya sekedar Yantra, pembantu konsentrasi, bukan sesuatu yang harus disembahnya.

Konsep Hyang menurut Ekadjati (2005, hal 178) baru diketahui pada masa pemerintahan Sri Jayabupati (abad ke-11), namun baru pada tahap menggunakan pengertian yang gaib atau yang suci. Sang Hyang sudah mulai diletakan ditempat suci, yakni Kabuyutan Sang Hyang Tapak. Pada masa sesudah nya, konsep Hiyang dengan Dewa dapat ditemukan pada saat memfungsikan kabuyutan, seperti Kabuyutan Lemah Dewasasana, tempat kegiatan menurut agama Hindu (Kabuyutan Sundasembawa dan Gunung Samaya) dengan Kabuyutan Lemah Parahyangan, tempat kegiatan agama Sunda Buhun, atau agama Jatisunda (Kabuyutan Kanekes). Sekalipun disebutkan agama Hindu berinteraksi di Kabuyutan, namun di tatar Sunda sulit untuk menemukan candi, termasuk di kabuyutan Dewasasana. Pendapat Ekadjati tersebut rupanya berasal dari dokumen-dokumen tertulis, seperti prasasti Sanghiyang Tapak. Suatu hal yang perlu diteliti lebih jauh dari sumber lisan, yang mungkin akan berbeda makna dengan tafsiran para filolog.

Buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) menyebutkan, bahwa agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Ketiga kitab suci tersebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darma-siksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa di Tatar Sunda pada periode 1175-1297 M. Hemat penulis, kitab ini merupakan bentuk pengulangan dan penegasan, karena Prabu Darmasiksa bukanlah penganut agama Sunda yang pertama, bahkan keberadaan ageman Jati Sunda sudah diketahui pada masa Aki Tirem, untuk kemudian jati kasilih dan bersentuhannya dengan budaya dari India (Jati ka silih ku junti). Namun memang setelah masa Prabu Darmasiksa agama Sunda Wiwitan menjadi agama resmi kerajaan.

Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada paham Monoteisme atau percaya akan adanya keberadaan Hyang itu gaib dan Tunggal, tidak jamak. Hyang atau Sanghiyang di dalam Ensiklopedia Sunda ditujukan untuk menyebutkan Yang Maha kuasa, menurut kepercayaan Sunda lama adalah Sang hyang Keresa (Maha Pencipta), disebut juga Batara Tunggal (Yang Esa), atau Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Semua Dewa yang datang kemudian, tunduk kepadanya. Oleh karenanya Sanghyang dianggap memiliki hirarki tertinggi di bandingkan para dewa.

Paradigma yang menempatkan Hiyang sebagai hiraki pembaktian tertinggi di temukan, antara lain didalam naskah-naskah :

1. Uraian tentang Dasa Prebakti yang ditulis didalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan, yang menyebutkan : “Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa; ewe bakti di laki; hulun bakti di pacandaan; sisya bakti di guru; wang tani bakti di wado; wado bak ti di mantri; mantri bakti di nu nangganan; nu nangga nan bakti di mangkubumi; mangku bumi bakti di ratu; ratu bakti di dewata; dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebakti”. (Dana Sasmita,dkk. 1987: 74,96). Artinya : “ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; isteri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan; siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hiyang. Yaitulah yang disebut dasa prebakti”.

2. Naskah Paningkes, atau Naskah Panikis menyebutkan :
“…katanya, jika wiku ‘pendeta’ bersamadi (memuja) dewata, hilanglah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri ….”. (… baruk da sang wiku lamun muja ka dewata langit kawikwana ma pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na kapanditaan ja kassarkon kati nong sarwa dingan trisna bala swarangan …”). (Ayatrohaedi, :15,33)

Nakah ini berhubungan pula dengan naskah terakhir dari Sanghyang Siksa Kanda-Ng Karesyan, bahwa ketentuan ini sudah ditentukan sejak alam diciptakan oleh Batara Seda Niskala, sebagai Yang Hak dan Yang Wujud. Naskah tersebut berbunyi demikian :

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besa warma, bakti ka Batara! Basana : Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara : Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahimanggih keun situhu lawan preityaksa. (Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya : Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwah, baktilah kepada Batara! Ujarnya : India. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya : Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Semua menemukan Yang Hak dan Yang Wujud)

3. Naskah Jatiraga menyebutkan Batara Jati Niskala, sebagai kekuatan adikodrati :
“Batara Jati Niskala, Tema(h)han Batara Niskala, Yata dewata niskala, Pitu racok jadi tunggal, Mari sirnanan tu.”
Artinya : Batara Jatiniskala adalah penjelmaan Batara Niskala yakni yang bersifat gaib, tampil tujuh menjadi tunggal, demikian semuanya itu. (Darsa dan Edi S. Eka djati, 2006: 129 dan 149).

Sifat Hyang tercermin dari nama-nama yang diberikan kepadanya, yaitu BATARA NISKALA ATAU JATNISKALA yang bersifat gaib, SANGHYANG JATINESTEMEN (hakikat keteguhan), didalam naskah Serat Dewa Buda disebut SANGHYANG TAYA. Ia menjelma menjadi tujuh sanghiyang, dengan sebutan TUJUH GURIANG. Tujuh Guriang ini dapat ditemukan didalam naskah Jatiraga (koropak 422), yakni :

1. Sang Hyang Ijuna Jati
2. Sang Hyang Tunggal
3. Sang Hyang Batara Lenggang Buana
4. Sang Hyang Aci Wisesa
5. Sang Hyang Aci Larang
6. Sang Hyang Aci Kumara
7. Sang Hiyang Manwan (Melihat/Manon).

Guriang Tujuh saat ini banyak ditafsirkan sebagai indra manusia, yakni mata (penglihatan); hidung (pencium); mulut (pengucap); telinga (pendengar); pikir; hati (rasa); dan birahi, yang harus dikendalikan agar bermanfaat dan tidak menjadi sumber malapetaka.

Naskah JATIRAGA menyebutkan pula :
“Berhasilah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan ….” (Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 149).

Inilah yang disimpulkan Munandar (2010 : 41), bahwa Sang Hyang Jatiniskala benar-benar bersifat niskala, tidak dapat terbayangkan, tidak dapat dikonkritkan. Kalaupun dikonkret kan harus diambil dari alam dalam wujud aslinya, “sebab aku adalah asli dan dari keaslian’, tidak perlu dirubah dalam bentuk benda alam, yang tidak asli dan tidak jujur, sebab “aku adalah jujurnya dari kejujuran”. SANGHIYANG NISKALA tidak muncul dalam bentuk nyata, tidak berwujud, atau tidak seperti SIWA MAHA DEWA yang masih dibayangkan dalam ben tuk arca bertangan empat, memiliki mata ketiga didahi, memakai UPAVITA (tali kasta) naga dipuncak kepala. SANG HYANG TUNGGAL atau SANGHYANG JATINISKALA bukan menunjukan Siwa.

Tentang dzat pencipta yang tunggal ditemukan pula didalam naskah SANG HYANG RAGA DEWATA, yang menuliskan :
“Hanteu nu ngayuga aing, Hanteu manggawe aing, Aing ngarana maneh, Sanghiyang raga dewata”. (Ekadjati dan Endang Undang A. Darsa 2004, 2004).
Artinya : “…Tidak ada yang menjadikan Aku, Tidak ada yang menciptakan Aku, Aku menamai diri sendiri, Sang Hiyang Raga Dewata ….”

Naskah tersebut menjelaskan pula tentang sifat-sifat Sang Hiyang Raga Dewata, yakni :
“…datang tanpa rupa, tanpa raga, tak terlihat perkataan (senantiasa) benar, rupa direka, karena ada. Akulah yang menciptakan tetapi tak terciptakan, Akulah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Akulah yang menggunakan tetapi tidak digunakan ….”. (ibid).

Sifat-sifat Sang Hiyang Raga Dewata tersebut sama dengan Sang Hiyang Jatiraga atau julukan lainnya Jatniskala, Jatinistemen, atau Sang Hyang Tunggal. (Munandar, 2010). Itulah hakekat tertinggi dalam sistim keyakinan Sunda Buhun. Dan inilah konsep HYANG dalam agama Sunda Buhun.

BALIK KA HYANG

Menurut Engkus Ruswana, salah satu tokoh penganut ajaran Sunda Wiwitan mengemukakan, bahwa: Gambaran Kahyangan terungkap dalam Pantun Langgasari Kolot, yang menyebut tiga alam atau tiga buana, yakni :

~ Buana Nyungcung, yaitu tempat bersemayamnya SangHyang keresa.
~ Buana Pancatengah tempat berdiamnya manusia dan mahluk lainnya.
~ Buana Larang atau neraka.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah.
Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang.
Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana.
Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes.
Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda.
Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.

Diantara Buana Nyungcung dan Buana Pancatengah terdapat 18 lapisan alam atau Mandala, yang dilalui Manusia setelah meninggal dunia.
Tingkatan alam tersebut sebagai berikut :
01. Bumi Suci Alam Padang.
02. Sang Hyang Burung Ribut.
03. Sang Hyang Sorong Kancana
04. Bumi cengcerengan.
05. Bumi Putih.
06. Bumi Hawuk.
07. Bumi koneng.
08. Bumi Hejo.
09. Bumi Hideung.
10. Bumi Beureum.
11. Bumi Pohaci, kerepek seah patapan Hujan.
12. Paguruh Paguntur Patapan Gugur.
13. Mega Siantrawela.
14. Mega Sikareumbingan.
15. Mega Sikarambangan
16. Mega beureum.
17. Mega Malang.
18. Mega Manggul

Didalam tradisi para prepantun Bogor (Ki Panjak) mengenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan alam (mandala), sejak di dunia fana dan alam baka. Ke sembilan mandala tersebut adalah:
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Parmana
3. Mandala Karna
4. Mandala Rasa
5. Mandala Seba
6. Mandala Suda
7. Jati Mandala
8. Mandala Samar
9. Mandala Agung.

Sejak dari Jati Mandala maka wilayah tersebut sudah termasuk Mandala Kasucian, tempat berdiamnya para Karuhun (leluhur) yang sudah dapat turun kebumi serta menitis. Namun Manadala Agung diyakini sebagai :

“…nyaeta mandala anu disebut Mandala Agung tea…! nya di dinya ayana : Sanghiyang Tunggal…anu Nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat.”

Naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga, sebagaimana ditulis oleh Undang A Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006), pada intinya membagi jagat raya menjadi tiga, yaitu SAKALA; NISKALA dan JATINISKALA. Sakala atau dunia nyata dihuni oleh berbagai makhluk yang memiliki jasmani dan rohani. Mereka disebut manusia, hewan, tumbuhan, serta benda-benda lain yang dapat dilihat, bergerak dan yang diam. Niskala atau Dunia gaib, dihuni oleh berbagai makhluk yang tak berjasad, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, ruh-ruh netral atau syanu, BAYU (KEKUATAN), SABDA (SUARA) dan HEDAP (ITIKAD). Semua memiliki tugas di neraka maupun di sorga. Jatiniskala, atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon (Melihat), Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijunati Nistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia ada dalam Dzatnya.

Munandar (2010) sama halnya dengan diatas, membagi menguraikan alam menjadi tiga. Dan menghubungkan dengan makna dari pantun Bogor, tentang perumpamaan “Pamujan batu nu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan”, serta undakan suci yang ada dikampung Sindangbarang. Undakan ini sama hal dengan posisi tanah di setiap kabuyutan, yang memiliki tiga undakan.

Inilah penggambaran jagat raya, dimana posisi Jatiniskala dihuni oleh Sanghyang Jatiniskala, atau didalam pantun Bogor disebut : “Mandala Agung tea. Nya didinya ayana Sanghiyang Tunggal, anu nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat”.

Sedangkan : “pamujaan batu nu tujuh” menggambarkan Guriang Tujuh, sebagai pengejawantahan dari Sanghiyang Jatniskala.

Pemujaan terhadap Hyang tidak menghilangkan fungsi dari dewa-dewa lainnya, namun tetap ditempatkan di bawah Hyang. Tempat Hyang berada di Parahiyangan bukan di dunia. Parahiyangan memiliki beberapa tingkatan. Tingkat paling bawah dihuni oleh para dewa Panteon lain. Di atasnya di tempati Dewa dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati. Di atasnya lagi dihuni oleh Dewi Sri (Pwa Sanghyang Sri), Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini), Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini). Posisi ini berada pada tataran alam Sakala Niskala.

Lebih jauh Munandar menjelaskan pula, bahwa tataran dalam bentuk konkrit, seperti arca batu, yantra, kitab agama, batu tertentu, ekagantra dan lain-lainnya yang sifatnya fisik, seperti yang nampak di alam manusia, berada di tataran Sakala. Inilah pembagian jagat raya dalam paradigma agama Sunda Buhun.

Konsepsi keagaamaan Sunda Buhun pada dasarnya tidak mengenal bahwa Sang Hyang tidak muncul dalam bentuk nyata, namun untuk alasan apapun agak sulit mempertegas, bahwa sanghyang dapat dikonkretkan dalam bentuk apapun, se bagaimana yang nampak nyata dialam Sakala maupun Sakala Niskala. Jika pun mungkin tentunya harus diambil dari “alam dalam wujud aslinya”.

Naskah Jatiraga menjelaskan hal ini, sebagai berikut : “Hakekat Jatinistemen berkata, nah bayu sabda hedap, bagaimana mungkin muncul bentuk nyata, karena aku sebenarnya dalam hakikat Jati nistemen; sebab aku adalah bebasnya dari kebebasan, sebab aku adalah mustahilnya dari kemustahilan, sebab aku adalah mungkinnya dari kemungkinan, sebab aku adalah sirnanya dari kesirnaan, sebab aku adalah lepasnya dari kelepasan, sebab aku adalah aslinya dari keaslian, sebab aku adalah jujurnya dari kejujuran …”.

Hyang didalam naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga ditempat sebagai tujuan manusia yang paling tinggi, merupakan cita-cita jika atma (roh) manusia dikelak kemudian hari harus keluar dari kurungannya. Jatiniskala atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon, Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijunati Nistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia ada dalam Dzatnya.

Suasana di Jatiniskala digambarkan suka tanpa mengenal duka, kenyang tanpa mengenal lapar, hidup tanpa mengenal mati, bahagia tanpa mengenal nestapa, baik tanpa mengenal buruk, pasti tanpa mengenal kebetulan, lepas tanpa mengenal ulangan hidup. Menurut Saleh Danasasmita (1987) alam Jatiniskala, sebagai tempat : “Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik pati, sorga tanpa balik papa, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan, moksa tanpa balik wulan”.

Kembali ke Jatiniskala adalah cita-cita orang dahulu yang saleh, sehingga kematianpun disebut ngahyang, dari ada menjadi gaib, atma menuju tempat bersemayamnya Hyang. Peristiwa ngahiyang ada dua cara.

Pertama, Atma manusia menuju alam kalanggengan namun jasadnya masih tetap di dunia. Kedua jiwa dan raganya lenyap, ngahiyang atau tilem. Di dalam metologi urang Sunda dikenal dengan tilem, mendasar kan pada pemikiran bahwa manusia meminjam jasad dari yang berhak.

Seperti jika manusia meminjam barang maka harus dikembalikan seluruhnya kepada pemiliknya, termasuk raganya. Berdasarkan mitologi pula menyatakan, bahwa ngahiyang sebagaimana yang kedua sangat jarang terjadi, kecuali jika manusia semasa hidup dapat menghindarkan semua perbuatan (tapa) yang buruk.

Teks buhun umumnya mengabarkan perihal cita-cita urang sunda buhun jika meninggalkan alam dunya, yakni : “balik ka Hyang lain ka Dewa”. Kita harus memperteguh diri, menertibkan hasrat, ucap dan budi. Bila hal itu tidak diterapkan dan dilakukan oleh orang-orang dari golongan rendah, menengah dan tinggi semua akan dijerumuskan ke dalam neraka Si Tambra Gohmuka. Karena ilmu manusia terungguli oleh dewata. Demikianlah kata Sanghyang Siksa.

Uga Wangsit Siliwangi:

Carita Pantun Ngahiangna Pajajaran
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.

Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan…Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.

Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!

Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang..

REVOLUSI AKBAR SPIRITUAL NUSANTARA

$
0
0

REVOLUSI AKBAR SPIRITUAL NUSANTARA

 

 

ENERGI FREKUENSI

$
0
0

FREKUENSI

Catatan buat Kawanku Safari ANS (peneliti Komunikasi) tentang

FREKUENSI

Ini 7 Teori Mencengangkan soal UFO yang Diperdebatkan oleh Para Ahli

Untuk kasus Pesawat Piring Terbang (UFO), konon (menurut Ki Sinung Herman Janutama, Fisikawan UGM) dengan memanfaatkan gesekan medan energi elektromagnetik bumi dan juga planet lainnya yang berinteraksi dengan medan Gravitasinya, sehingga bisa melesat sedemikian rupa ke tempat yang dituju. Dan menurut bacaanku tentang teknologi Tesla, teknologi ini sudah diketemukan oleh para cendikiawan ilmuwan reshi sejak zaman peradaban Wedha (Vedic Culture) di Hindia Timur atau tepatnya Nusantara. Naskah naskah kuno Vedic inilah yang menginpirasi dan memasok iptek tingkat tinggi kepada Tesla, walau pun ia lallu dibunuh dan terknologinya berusaha disembunyikan pihak mafia keuangan kapitalis perbankan dunia (dajjal Zionis). Inilah asset warisan Peradaban Lemuria dan Atlantis, Mahabharata- Ramayana Nusantara. Wallahu alam bishawab.

FREKUENSI

by Safari ANS

Selamat pagi. Ternyata hidup di jagat raya ini, terdiri dari frekuansi. Ke depan, siapa yang menguasai teknologi frekuensi, dialah adidaya dunia.

Mesin masa depan bukan lagi digerakan oleh mesin motor. Tapi mesin frekuensi. Tuhan telah menciptakan magnetik pada semua planet. Tiap magnetik menghasil frekuensi yang bersifat elektromagnetik. Inilah yang menggerak mesin.

Mesin UFO dibuat gunakan elektromagnetik. Pesawat melesat ke atas secara vertikal. Lalu mencari frekuensi tempat yang dituju. Dalam hitungan detik UFO berhasil menemukan frekuensi tempat yang dituju. Dalam hitungan detik, elektromagnetik planet tadi menarik pesawat dalam kecepatan cahaya. Melesat.

Di bumi pun sama. Sebentar lagi mobil tidak memerlukan ban. Mesin elektromagnet dapat dibuat anti gravitasi. Tinggi rendahnya pun bisa distel sesuai keinginan. Ada mobil dan motor sekedar mengambang dijalan 30 cm saja cukup. Tetapi yang ingin terbang mengangkasa. Semua bisa distel dengan sebuah tombol.

Amat mudah. Ketika frekuensi ditemukan. Ketika frekuensi telah dipakai manusia, maka material baterai menjadi mahal. Tapi entahlah. Di Indonesia banyak material baterai yang tidak perlu diisi ulang. Baterai berbahan khusus ini, akan terisi secara otomatis. Material itu disini.

Akibatnya, terjadi polarisasi hidup gaya baru manusia. Ada yang membuat rumah di dasar laut. Di angkasa. Tak hanya rumah, mungkin kerajaan. Inggris telah membuat kapal selam raksasa bertenaga ini. Kapal selam itu tak perlu muncul ke permukaan selama 50 tahun. Mereka memproduksi semua keperluan manusia sendiri.

Frekuensi Tuhan pun sama. Jika manusia ingin berkomunikasi dan berdoa kepada Tuhan, maka harus cari frekuensi Tuhan. Tiap agama, Tuhan telah memberi tau cara mencari frekuensi Tuhan. Jika sudah ketemu, disitulah berlaku “Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku kabulkan”. Dalam Islam; Isya (4), Subuh (2), Luhur (4), Ashar (4), dan Magrib (3). 42443, itulah nomor frekwensi Tuhan menurut Islam. Menurut Kristiani beda lagi. Budha beda lagi. Semua agama membuat frekuensi Tuhannya sendiri-sendiri. Itu hanya sebuah cara. Tuhan tetap sama. Sang Pencipta.

Hidup masa depan adalah voice command. Karena suara melahirkan frekuensi. Manusia tak perlu lagi pakai timbol. Cukup voice seperti mesin Google sekarang.

Ternyata kitab suci agama-agama itu melahirkan voice command yang memantulkan frekuensi. Karenanya jangan sembarangan baca. Ada aturan bacaan dan voice command menurut kitab-kitab suci itu. Karena muliakanlah dan bacalah selalu kitab suci. Karena bacaannya melahirkan frekuensi. Frekuensi kitab suci melahirkan energi positif. Sedangkan energi negatif hancur oleh frekuensi kitab suci. Manusia menjadi sehat jika frekuensi negatif tidak terlalu dominan.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk minum kopi bersama goreng singkong di
pagi nan cerah ini. Bravo Indonesia. Salam Safari Ans.***

LINK TERKAIT:

Vedic Wisdom : The knowledge source of Nicola Tesla

https://mayinetreeconsciousness.wordpress.com/2014/08/06/vedic-wisdom-the-knowledge-source-of-nicola-tesla/

 

https://www.idntimes.com/science/experiment/nena-zakiah-1/teori-ufo-di-internet

“Nicola Tesla & Piring Terbang (UFO)” by @UniversalIndigo

 

SILATURAHMI @sil4tur4hmi
Film “The Prestige” adalah film yang menceritakan tentang Nicola Tesla, semua kata-kata populernya semasa hidup yang berkaitan dengan penelitiannya disebutkan oleh aktor pemerannya, salah satunya adalah kalimat ini: “Earth Its An Realm, Not A Planet.” 1934. pic.twitter.com/mi8darf0ts
  Expand pic
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
Nikola Tesla dan Piring Terbang (UFO). – Sebuah Threads – cc: @M4ngU5il @chirpstory pic.twitter.com/nOip5Y2xl0
  Expand pic
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
1. Dari semua benda temuannya, sebenarnya Nikola Tesla pernah mengajukan paten atas desain pesawat dengan model piring terbang di tahun 1900-1910 ke berbagai negara pra Perang Dunia II. pic.twitter.com/i8b7m4K65I
  Expand pic
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
2. Pesawat Tesla ini tidak menggunakan bahan bakar minyak, namun menggunakan tenaga listrik serta direncanakan akan dapat terbang sempurna dengan bantuan tower pembangkit listrik yang hendak ia bangun di beberapa wilayah strategis dunia.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
3. Teknologi temuan Tesla memang tidak lazim dan lebih maju dari jamannya. Tower yang hendak dibangun ia rancang akan mentransfer listrik ke rumah-rumah penduduk, termasuk ke pesawat piring terbang ciptaannya dengan konsep wireless.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
4. Namun usaha briliannya tersebut tidak dapat terwujud setelah pembangkit listrik perdana yang ia ciptakan (wanderclyfe tower) di hancurkan oleh salah satu pentolan Elite Global, yakni JP Morgan atas dasar ketamakan bisnis.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
5. Tesla adalah ilmuan idealis dan Jenius yang di benci Elite Global. Ia tidak terlalu peduli dengan bisnis, apa lagi berniat meraup keuntungan dunia dengan keahliannya.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
6. Jika JP Morgan ingin listrik menjadi bisnis dunia, Tesla justru ingin membuat listrik gratis dengan sistem wireless untuk kepentingan manusia.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
7. Maka dari itu nama Tesla di kerdilkan di dunia pendidikan, dan temuannya di alihkan hak patennya kepada ilmuan Elite Global seperti Thomas A. Edison, Alexander Graham Bell, Guglielmo Marconi, Albert Einstein, dan lain-lainnya.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
8. Setelah Nicola Tesla wafat (1943), seluruh dokumennya di sita oleh pemerintah AS. Selanjutnya pemerintah AS di bawah kuasa Elite Global melakukan litbang terhadap semua temuan Tesla, termasuk pesawat dengan model piring terbang tersebut.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
9. Salah satu yang pernah di dokumentasikan adalah penelitian yang di lakukan di Canada, USA dengan nama project Avrocar.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
10. Sejak tahun 1938 NAZI Jerman sangat serius menjelajah Antartika. Bahkan di tahun 1942 NAZI memindahkan banyak ilmuan, insinyur serta anggota parlemen nya ke Antartika.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
11. Setelah NAZI kalah dari AS di tahun 1945, data-data mereka disita dan ditemukan dokumen penjelajahan Antartika NAZI, serta komunikasi dengan Nikola Tesla, jadi kemungkinan besar NAZI pernah melihat rancangan pesawat berbentuk piring terbang yang ditawarkan Nicola Tesla.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
12. Selain itu ditemukan pula data litbang mengenai pesawat terbang berbentuk piring yang belum sempurna, yang merupakan pengembangan dari pesawat temuan Nikola Tesla. Untuk dapat mengembangkan pesawat tersebut AS merekrut saintis NAZI dengan nama program Operation Paperclip.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
13. Hasilnya 1600 saintis NAZI bergabung, dan salah satu yang direkrut adalah Wernher Von Braun (Wernher), seorang Jerman yang akhirnya menjadi direktur pertama NASA.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
14. FYI, Wernher lah yang telah sukses membohongi public lewat peristiwa pendaratan manusia di bulan dengan Astronotnya, Neil Armstrong. pic.twitter.com/l84t5Q0vvQ
  Expand pic
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
15. Dan penampakan-penampakan apa yang disebut UFO kemudian adalah pesawat buatan yang dikembangkan atas hasil penemuan riset rancangan pesawat berbentuk piring terbang buatan Nicola Tesla.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
16. Perlu diingat sekali lagi, dia di bunuh dan seluruh rancangannya dinyatakan hilang, kemudian dikabarkan berada di salah satu badan organisasi buatan Amerika, salah satu rancangan yang kemudian dikembangkan adalah HAARP.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
17. Area 51 yang katanya sebuah lembaga penelitian terhadap mahluk luar angkasa atau UFO dan ALIEN, ternyata dibangun untuk membuat rancangan pesawat terbang model piring terbang. Sebuah propaganda.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
18. Menurut sejarah, penampakan UFO terlihat pertama kali di peristiwa The LA Battle 1942. Mengacu pada pembahasan diatas, dapat di tarik benang merah, bahwa penampakan UFO tersebut sebenarnya adalah Pesawat buatan NAZI yang menyerang AS pada PD II.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
19. Media inggris membuka dokumen PD II dan ditemukan dokumen pesawat buatan ilmuan NAZI jerman berbentuk UFO. Dua diantaranya pesawat yang diberi nama “HAUNEBU 1939” dan “DIE GLOCKE”. Penampakan UFO yang kedua di Roswell, New Mexico 1947.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
20. UFO ini pun sebenarnya adalah pesawat NAZI yang di sita, dan di uji coba oleh AS setelah menaklukan NAZI (1945). Dalam penampakan tersebut UFO terlihat jatuh di karenakan teknologi-nya yang belum sempurna.
SILATURAHMI @sil4tur4hmi
21. Berikut adalah dua video penampakan UFO yang dinyatakan sebagai uji coba setelah pengembangan rancangan dari Nicola Tesla.

Vedic Wisdom : The knowledge source of Nicola Tesla

$
0
0

via Vedic Wisdom : The knowledge source of Nicola Tesla

Kami telah melihat trend yang sangat menarik (terutama dalam dekade terakhir) dari ilmu pengetahuan modern yang mengejar pemahaman kuno tentang sifat sebenarnya dari realitas, susunannya, bagaimana fungsinya dan bagaimana kita dapat bekerja dengannya untuk membawa tentang perubahan di planet kita. Bagi siapa pun yang menyebut penggabungan ‘spiritualitas’ dan sains sebagai pseudosain berarti mereka belum menyelidikinya dengan benar. Konsep spiritual dari dunia kuno kita secara langsung terjalin dengan sains modern, lebih dari fisika kuantum, dan Nikola Tesla sangat menyadari hal ini.

“Semua materi yang kasat mata berasal dari substansi utama, atau ketahanan yang melebihi konsepsi, mengisi semua ruang, akasha atau eter yang bercahaya, yang ditindaklanjuti oleh kehidupan yang memberi Prana atau kekuatan kreatif, menyerukan keberadaan, dalam siklus tanpa akhir segala sesuatu dan fenomena. “- Nikola Tesla, Prestasi Terbesar Manusia, 1907 (1) (2)

Seperti yang dapat Anda lihat, Tesla sadar akan konsep-konsep kuno dan korelasinya dengan sains yang sedang dikerjakannya – menggunakan dunia bahasa Sansekerta seperti “akasha,” dan “prana” untuk menggambarkan kekuatan dan materi yang ada di sekitar kita. Kata-kata ini berasal dari Upanishad (kumpulan teks Veda)

“Aakaash tidak dapat dirusak, itu adalah substrat absolut primordial yang menciptakan materi kosmik dan karenanya sifat aakaash tidak ditemukan dalam sifat material yang dalam arti relatif. Aakaash adalah realitas superfluid yang selalu ada selamanya, untuk mana penciptaan dan kehancuran tidak dapat diterapkan. “- (Idham thadhakshare parame vyoman. Parame vyoman) – Paramahamsa Tewari, Insinyur, Fisikawan, dan Penemu. (sumber)

Nikola Tesla berkorelasi dengan Swami Vivekananda (1863-1902), yang merupakan salah satu pemimpin spiritual paling terkenal dan berpengaruh dari filosofi Vedanta (salah satu dari enam aliran filsafat Hindu, istilah yang awalnya disebut upanishad, kumpulan dari teks filosofis dalam agama Hindu) dan Yoga. Dia adalah murid utama Ramakrishna Paramahamsa dan pendiri Ramakrishna Math dan Ramakrishna Mission. Dia adalah tokoh raksasa dalam sejarah gerakan reformasi hindu.

Vivekananda menulis kemudian untuk Tesla di akhir 1800-an yang menyatakan:

“Bapak. Tesla berpikir dia dapat menunjukkan secara matematis bahwa kekuatan dan materi dapat direduksi menjadi energi potensial. Saya akan pergi dan menemuinya minggu depan untuk mendapatkan demonstrasi matematika baru ini. Dalam hal ini kosmologi Vedantic akan ditempatkan pada dasar-dasar yang paling pasti. Sekarang saya banyak bekerja pada kosmologi dan eskatologi Vedanta. Saya jelas melihat penyatuan mereka yang sempurna dengan sains modern, dan penjelasan tentang yang satu akan diikuti oleh yang lain. ”- Swami Vivekananda (Karya Lengkap, VOL. V, Edisi Kelima, 1347, hlm. 77). (1)

Tesla mulai menggunakan kata-kata Sanskerta setelah bertemu dengan Swami, dan setelah mempelajari pandangan Timur tentang sifat sejati dari kenyataan, tentang mekanisme yang menggerakkan dunia material. Akhirnya, itu membawanya ke dasar untuk transmisi nirkabel daya listrik, yang dikenal sebagai Tesla Coil Transformer. Selama tahun ini ia membuat komentar berikut selama pidatonya di Institut Insinyur Listrik Amerika. (Diberikan sebelum ia membiasakan diri dengan Veda yang tulus dari negara-negara paskah India, Tibet, dan Nepal.)

“Setelah beberapa generasi berlalu, mesin kita akan digerakkan oleh kekuatan yang dapat diperoleh di titik mana pun di alam semesta. Gagasan ini bukan novel … Kami menemukannya dalam mitos Antheus yang menyenangkan, yang memperoleh kekuasaan dari bumi; kami menemukannya di antara spekulasi halus dari salah satu ahli matematika hebat Anda …. Tanpa ruang ada energi. Apakah energi ini statis, atau kinetik? Jika statis harapan kita sia-sia; jika kinetik – dan ini kita tahu, pasti – maka itu hanyalah masalah waktu ketika manusia akan berhasil menempelkan mesin mereka ke roda yang sangat alami. “- Nikola Tesla (sumber)

Veda adalah kelompok tulisan yang terdiri dari nyanyian pujian, doa, mitos, akuntansi sejarah, sains dan sifat realitas. Mereka sudah ada sejak 5000 tahun yang lalu, dan tidak jauh berbeda dari teks-teks kuno lainnya yang menyelami masalah yang sama dari seluruh dunia. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sanskerta dan asalnya tidak diketahui.

“Swami Vivekananda berharap Tesla akan dapat menunjukkan bahwa apa yang kita sebut materi hanyalah energi potensial karena itu akan merekonsiliasi ajaran Veda dengan ilmu pengetahuan modern. Swami menyadari bahwa dalam kasus itu, kosmologi Vedantic (akan) diletakkan di atas fondasi yang paling pasti. Tesla memahami terminologi dan filsafat Sanskerta dan menemukan bahwa itu adalah sarana yang baik untuk menggambarkan mekanisme fisik alam semesta seperti yang terlihat melalui matanya. Itu akan mendorong mereka yang berusaha memahami sains di balik penemuan Nikola Tesla untuk mempelajari filsafat Sanskerta dan Veda. ”- Toby Grotz, Presiden, Teknik Nirkabel (sumber)

Rupanya, Tesla tidak dapat menunjukkan identitas energi dan materi, ini tidak datang sampai Albert Einstein menerbitkan pa-nya

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2016/07/14/cahaya-baru-tentang-asal-usul-budaya-vedic-wedha-india-dari-nusantara-indonesia-asia-tenggara/

Seminar Internasional dan Pameran Benda Sejarah Minanga Kanwa (Kampar) dan Dragon Boat Festival

$
0
0

KEBUDAYAAN INDONESIA DALAM DIMENSI KEKINIAN & PERSPEKTIF MASA DEPAN

$
0
0

Catatan kebangsaan & budaya (1)

KEBUDAYAAN INDONESIA DALAM DIMENSI KEKINIAN & PERSPEKTIF MASA DEPAN

ADA studi bahwa Indonesia merupakan sebuah negara namun belum terbentuk bangsanya. Tentunya bila dibandingkan dengan beberapa negara barat seperti Amerika, Perancis, Inggeris, Spanyol. Betulkah? Saya kita perlu ada beberapa kajian ilmiah.
Menarik mengikuti seminar dua hari -disponsori oleh Kemendikbud & Lemhanas- yg membicarakan masalah kebangsaan & kaitannya dengan budaya. Seminar besar ini diadakan untuk mencari jawaban atas munculnya kekuatan transnasional yg berusaha mengubah Pancasila padahal ideologi ini adalah azas kebangsaan Indonesia.Tema transnasional ini dibahas oleh Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo.

Gubernur Lemhanas Jenderal Agus Widjojo menegaskan bangsa Indonesia bersifat majemuk, terbuka & memilih Pancasila berdasarkan kajian saintifik.
Kepala Bekraf Triawan Munaf menyampaikan bahwa ekonomi kreatif adalah bagian dari kebudayaan bersifat kekinian & memiliki perspektif masa depan. Baginya ekonomi kreatif tidak tumbuh di lahan intoleran.

Bagi Sukmawati Soekarno tidak mungkin kebudayaan akan maju bila tidak diberikan bantuan pendanaan dari pemerintah. Begitu juga pendapat dari seorang Raja dari Cerbon di forum itu.
Karena itu, kata Jenderal Sidarto Danusubroto sudah semestinya di Kabinet y.a.d ada Kementerian Kebudayaan yg akan mengkelola dana abadi untuk berbagai kegiatan kebudayaan sebesar Rp5 trilyun yg dijanjikan Presiden.
Beliau juga menyarankan agar Presiden tidak lagi dipilih secara langsung tetapi oleh lembaga seperti MPR. Ada pun Gubernur & Bupati dipilih oleh DPRD.
Sistem yg sekarang membuat Indonesia terpecah, memungkinkan orang yg punya uang mengontrol partai & membuat pasal-pasal yg menguntungkan pemilik modal. Seminar yg menarik ini dilanjutkan besok.

Catatan kebangsaan & budaya (2)
oleh Nasir Tamara

MENDENGAR GENERASI MILLENIAL BICARA DIMENSI KEKINIAN BUDAYA & MASA DEPAN

BUDAYAWAN tradisional sering berdebat tentang definisi & problem kebudayaan.
Pada hari kedua Seminar Kebudayaan peserta yg mendengar generasi milenial yg sukses dalam usia muda.

Pendiri Go-Jek Nadim Makarim bercerita tentang bagaimana ia mendirikan perusahaannya. Berbekal pengetahuan manajemen & bisnis sebagai
MBA dari Harvard University ia berani mengambil resiko mendirikan perusahaan. Ia sukses membuat unicorn pertama di Indonesia (kini ada empat dg valuasi trilyunan USD) berbasis aplikasi karena memiliki critical thinking & selalu melihat setiap masalah dari dua sisi. Selain itu karena di Indonesia ada budaya gotong royong yg mendukung. ‘Di USA, orang miskin kelaparan & tanpa hunian dibiarkan hidup di jalanan. Di Indonesia selalu ada yg membantu memberi makan & tempat tidur’, katanya.

Pembicara berikutnya Nadina Nasution yg berjilbab bicara tentang suksesnya menjadi perancang mode yg meskipun membuat modest fashion tidak melupakan kebutuhan fashion untuk non Muslim.

Diteruskan oleh Direktur NU Online yg merujuk pada riset lembaga PEW dari USA bahwa agama penting bagi orang Indonesia sehingga ia membuat situs untuk komunitas Islam berbasis NU. Karena Indonesia tidak memiliki sejarah pemikiran & karya-karya sastera seperti di Barat maka ia tidak percaya pada bahwa tradisi sekuler -pemisahan antar negara & agama- bisa diterapkan di Tanah Air.
P

embicara terakhir bicara tentang tren pendidikan anak merdeka & demokratis terinspirasi oleh KH Dewantara & para pemikir Barat. Kurikulumnya berbasis pada art & science diajarkan dg memperhatikan kebutuhan anak didik dalam lingkungan sekolah yg mengajarkan creative thinking.
Anak-anak muda ini berani mengambil resiko berfikir out-of-the-box. Ketika bicara mereka percaya diri & optimis. Mereka ingin Indonesia yg maju, demokratis, plural, humanis & religius juga.
Ketika BEKRAF hanya sanggup menekuni enam sektor (kuliner,kriya, fashion, musik, film, games) dari 16 bidang ekonomi kreatif maka tampaknya keperluan memiliki sebuah Kementerian Kebudayaan yg bertaring menjadi mutlak. Tentunya dipimpin oleh menteri yg mumpuni. Di Perancis dulu ada penulis besar namanya Andre Malraux yg dekat dg Presiden de Gaulle. Ia mempunyai visi besar tentang kebudayaan sehingga menjadi kekuatan ekonomi di samping industri modern negeri itu.

Borobudur Produk Adil Masyarakat Makmur Sejahtera Penuh Welas Asih

$
0
0
Gambar mungkin berisi: luar ruangan
by Sony Waluyo  (FB)

Bangunan besar dan megah ini hanya mungkin bisa terwujud jika bangsa yang membuatnya hidup dalam damai. Konstruksi yang rumit, ukuran besar dan relief detil yang mengagumkan memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikannya.

Kemegahan maha karya ini hanya bisa dibuat oleh bangsa yang hidup menetap, hidup berkelimpahan dan memiliki cita rasa seni yang tinggi selain kesadaran spiritual yang tinggi. Mereka yang hidup di padang gurun, hidup nomaden, perang antar suku dan saling menjarah tidak akan sempat berpikir dan memiliki waktu untuk membangun, malah sebaliknya saling menghancurkan.

Pemujaan kepada tuhan yang maha kuasa, paling hebat, agama yang paling benar sesungguhnya lebih berlatar belakang kebutuhan untuk percaya diri dan mental perang. Suku padang gurun yang saling bersaing berebut lahan penggembalaan perlu keyakinan pada kekuatan yang melindungi untuk selalu bisa menang perang. Jika mental tanding mereka lemah, maka hanya akan menjadi bulan-bulanan di lingkungan yang keras cara hidupnya (jahiliah). Itulah mengapa mereka perlu mengklaim dan menanamkan pada kaumnya bahwa sesembahannya adalah paling kuat dan keyakinannya paling benar.

Nusantara adalah negeri yang subur dan masyarakat hidup menetap. Ini artinya masyarakat perlu mengembangkan budaya bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja budaya bercocok tanam ini menjadikan masyarakat menjadi cerdas dan kreatif serta mengenal dan mengetahui cara kerja alam.

Masyarakat agraris menyadari bahwa alam adalah satu kesatuan sistem penciptaan kehidupan berkelimpahan. Mereka sadar akan rahasia penciptaan kelimpahan hidup yang tersedia pada ekosistem. Mereka paham bagaimana tanah terpelihara kesuburannya yang melibatkan tanah, hewan, organisme, kontur tanah, jenis tanah, cuaca, iklim bahkan siklus perbintangan yang mempengaruhi kehidupan di bumi. Mereka menguasai musim tanam, masa tanam, masa panen, jenis tanaman yang cocok pada musim tertentu, kapan waktu memanen yang tepat dan cara mengolahnya.

Rasa syukur atas kehidupan menjadi budaya dan gerak hidup sehari-hari. Perayaan syukur diwujudkan dalam seni budaya musik, tari, pahat, kerajinan, ritual. Kedekatan dengan Sang Pencipta menjadi bagian hidup sehari-hari yang diwujudkan dengan saling menghormati satu sama lain dan bahkan menghormati alam tetumbuhan dan hewan sebab dalam dinamika alam itulah Sang Pencipta berkarya.

Relief candi Borobudur dengan begitu rupa menggambarkan refleksi akan evolusi kesadaran manusia akan kehidupan. Hanya masyarakat yang hidup damai dan tenang akan mampu mencapai refleksi kehidupan yang begitu dalam. Kehidupan damai membahagiakan dalam kelimpahan hanya akan terwujud dengan cara-cara cinta (welas asih), kreatif berkarya dan berbagi suka cita. Kesadaran spiritual yang tinggi itu dinyatakan dalam salam “Rahayu Sagung Dumadi”, semoga semua makhluk berbahagia, kesadaran menyatu dalam kesatuan dengan Sang Pencipta.

…(((  )))…

 

Mitreka Satata: Cara Majapahit Membentengi Nusantara

$
0
0
Gambar mungkin berisi: 1 orang, teks
OM Awighnamastu Namo Siwa-Budhaya Nusantara 

OM Awighnamastu Namo Sidhem 
HONG Rahayu Jagat Dewa Bhatara Langgeng Sabhuana

SALAM BUDHIDHAYA NAGARI NUSANTARA 
🙏🇮🇩🕉☸❤❤❤❤😇

Mitreka Satata dan Cara Majapahit Membentengi Nusantara

Seperti guntur akhir sesorah Gajah Mada dalam pelantikannya sebagai Mahapatih Amangkubumi itu benar-benar mengejutkan.

Ia bersumpah bakal berpuasa dengan sumpah amukti palapanya tanpa ujung demi kebesaran Majapahit.

“Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa,” suara getas menggelegar itu seketika menelikung riuh pendapa Bale Manguntur membuat suasana benar-benar tintrim.

Hening semua orang di pendapa yang sesak itu menyimak apa yang diucapkan Gajah Mada. Tak semuanya segera mencerna karena hampir semua yang hadir masih terperangah.

Mereka tak menyangka kegilaan apa yang sedang terjadi karena sumpah itu jelas tak masuk akal. Berlebihan.

Ibarat mimpi itu janji itu teramat muluk dan benar-benar tak masuk akal. Bahkan bagi mereka yang mengenal Gajah Mada.

Kitab Lontar Pararaton menulis sumpah itu diucapkan Gajah Mada pada tahun 1258 Saka atau 1336 M.

Hening itu pelan-pelan terusik ketika pecah suara tertawa yang ditahan. Ra Kembar mengikik perlahan dan langsung menulari sebelah-menyebelahnya, Jabung Krewes, Ra Banyak, Warak hingga Arya Tadah mulai tertawa.

Keterangan foto tidak tersedia.

Bahwa benar bahwa Gajah Mada adalah yang berjasa menyelamatkan Jayanagra ke Badander ketika Darmaputra memberontak. Juga benar bahwa dia yang menumpas Tanca sesaat setelah membunuh Jayanagara.

Juga ketika Keta dan Sadeng mengibarkan bendera kraman tahun 1331, ia tampil menjadi senopati yang menumpasnya. Penumpasan itulah yang membawa Gajah Mada pada jabatan mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah yang mulai uzur.

Bagi mereka yang jerih, menganggap tempat-tempat itu adalah tempat yang jauh, sangat luas, dan bahkan tidak diketahui di mana letaknya. Mengurus Jawa saja sudah menjadi kerja besar dan melelahkan bagaimana mengurus wilayah yang membentang di ujung timur matahari terbit hingga ujung barat?

Ya, hanya mereka yang tertawa karena selebihnya semua orang di balairung justru sama semangatnya Gajah Mada. Itu termasuk para prajurit-prajurit Bhayangkara hingga Prabu Putri Tribhuanatunggadewi.

Membayangkan kebesaran Majapahit sekaligus membendung pengaruh Cina dan kerajaan-kerajaan daratan Asia lainnya, Gajah Mada mengadopsi ide Mandala Dwipantara yang dicetuskan Kertanagara. Menurutnya, semua orang harus bersatu dan menjadi bagian dari yang satu itu.

Pengalaman diserbu Tartar, nusantara harus bersatu. Majapahit harus menggandeng dan memaksa wilayah-wilayah dari Onin di ujung timur hingga Tumasek di ujung barat menjadi satu persatuan dan kesatuan. Dan jikamana perlu dengan kekuatan.

Muhammad Yamin, Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara menulis Ra Kembar dan Ra Banyak dengan terus terang mengatakan tak mempercayai sumpah Gajah Mada dan terus memaki-maki dengan perkataan yang kasar.

“Jabung Krewes dan Lembupeteng tertawa-tawa mengejek Gajah Mada yang dianggapnya sombong dan tinggi hati,” kata Yamin.

Gajah Mada memulai Sumpah Palapa dengan mereka yang meremehkannya, Ra Kembar ditantang duel dan mati di tengah alun-alun.

Slamet Mulyana menyebut kematian Kembar dan Banyak tak semata-mata soal pelecehan pada Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada. Mereka sebelumnya memang sudah bertikai dengan sengit.

“Itulah kesempatan baik untuk melampiaskan dendamnya kepada Kembar yang mendahului pengepungan Sadeng. Hal tersebut dianggap sebagai suatu dosa terhadap Gajah Mada,” tulis Slamet dalam Menuju Puncak Kemegahan. “Kemenangan atas Keta dan Sadeng memberikan ilham untuk menjalankan politik Nusantara.”

Politik dan Ekonomi

Tentu saja saat mengucapkan Sumpah Palapa itu Gajah Mada tidak asal saja menyebut daerah-daerah itu. Semua wilayah tersebut merupakan daerah yang secara hati-hati dipilih dan mempunyai makna bagi penting bagi politik dan ekonomi Majapahit.

Keterangan foto tidak tersedia.

Bali yang dimaksud Pararaton adalah tempat berdiri Kerajaan Balidwipamandala yang beribukota di Singhadwala dengan penguasa Dinasti Warmadewa dari abad ke 8 hingga 10. Sementara Sunda di Jawa bagian barat yang dikenal sebagai tempat berdirinya kerajaan tertua yakni Tarumanagara di abad ke-4.

Tanjungpura masuk menjadi target Gajah Mada karena wilayah di Kalimantan itu pernah berdiri Kerajaan Kutai kuno dengan rajanya Mulawarmman di abad ke-4 sementara Palembang di Sumatra adalah bekas pusat kedudukan Sriwijaya yang berkembang di abad ke-8.

Menaklukkan daerah-daerah itu, Gajah Mada ingin menegaskan klaim bahwa Majapahit adalah pewaris sah dari kerajaan-kerajaan terdahulu.

Sementara itu, penyebutan Pahang dan Tumasik jelas menunjukkan niat Gajah Mada untuk menguasai rute dagang strategis sekaligus menetralisir pengaruh Cina.

Di sisi lain, Haru di Sumatra bagian utara merupakan salah satu simpul dagang di wilayah barat Nusantara yang memudahkan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Jambhudwipa atau India.

Dompo masuk menjadi target karena daerah ini merupakan wilayah penghasil cendana, sebuah komoditas yang sangat dibutuhkan dalam berbagai ritus keagamaan dan laku keras di luar Nusantara.

Sementara itu Seram dan pulau-pulau di sekitarnya merupakan penghasil rempah-rempah yang dalam abad ke-14 mulai dicari dan diminati oleh para pedagang India untuk dikirim ke kawasan Timur Tengah dengan harga yang tinggi.

Setelah menyingkirkan para penentangnya di lingkaran dalam Majapahit, Gajah Mada memulai pengiriman ekspedisi ke luar Jawa dengan Pabali di era Tribuanatunggadewi. Sumber-sumber Bali menyebut ekspedisi Majapahit itu berangkat ke Kerajaan Bali Kuno atau Bali Aga yaitu Kerajaan Bedahulu pada tahun 1343 M yang dipimpin langsung oleh Mahapatih Gajah Mada dan Pu Aditya yang diiringi oleh para Arya Majapahit.

Armada ini mendarat di pantai utara, timur, dan daerah pantai selatan Bali. Dari sanalah mereka berjalan kaki menyerang ibu kota Bali Kuno yang kemungkinan terletak di wilayah Gianyar sekarang. Hanya setelah peperangan lama dan melelahkan Bali akhirnya tunduk juga. Tak hanya ke Bali, Majapahit juga mengirim tentara ke Dompo.

Perluasan Mahapahit selanjutnya adalah mengincar wilayah di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga, Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Menggantikan ibunya, Hayam Wuruk melanjutkan kebijakan ekspansif Majapahit dan terus mengirim pasukan ke timur hingga tahun 1357. Beberapa daerah yang menjadi tujuan ekspedisi itu adalah Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar atau Saparua, Solor, Bima, Wandan atau Banda, Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Majapahit juga mengirim armada laut ke Swarnnabhumi, Bintan, Tumasik dan Semenanjung Malaya.

Gambar mungkin berisi: 2 orang

Abdullah bin Abdulkadir al-Munsyi dalam kitab Sejarah Melayu mencatat pengiriman tentara Majapahit ke Tumasik. Mereka berhasil menundukkan daera itu karena penghianatan salah seorang pembesar Tumasik yang bernama Rajuna Tapa.

Slamet Mulyana menyebut berkat Rajuna Tapa itulah Majapahit mengetahui kelemahan-kelemahan Tumasik. Setelah peperangan usai dan Tumasik mengakui kewibawaan Majapahit, konon Rajuna Tapa menuai kutukan negeri dan berubah menjadi batu di tepi sebuah kali di Singapura. Rumahnya roboh, dan beras simpanannya menjadi tanah.

Mitreka Satata

Selain mengirimkan kekuatan militer, Majapahit juga memperkuat wilayahnya dengan berbagai macam kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain.

Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama menyebut di era kejayaan Majapahit di bawah Hayam Wuruk, terdapat beberapa negara mitra satata di luar Nusantara, selain daerah-daerah yang telah mengakui Majapahit.

Pupuh 15 Nagarakrtagama menyatakan sebagai berikut; “nahan lwir ning di antara kacaya ri narapati tuhun tang syangkovad dapura kimutang dharmanagari, marutma mwang riang rajapura nguniweh singhanagari, campa, kambonyanyat i yawana mitreka satata.”

Di antara negara-negara yang bersekutu Majapahit dan dianggap sebagai Mitreka Satata dengan Majapahit itu adalah Syangka di Thailand, Dharmanagari di Kedah, Marutma, Campa, Kambonyanyat di Kamboja dan Yawana di Annam.

Bersama dengan Majapahit keedelapan negara itu bersama- terikat dalam suatu persahabatan kekal atau Mitreka Satata.

Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Pemikiran inilah yang diduga menjadi alasan Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi, putri Kerajaan Sunda sebagai permaisuri.

Secara umum sejarawan menyepakati konsep pembagian kekuasaan Majapahit secara kewilayahan. Wilayah Majapahit terbagi menjadi empat yakni negaragung, mancanegara, nusantara dan mitreka satata.

Negaragung merupakan wilayah ibukota Majapahit yang merupakan wilayah inti Majapahit sementara mancanegara umumnya dijalin dalam hubungan berbentuk vassal atau pernikahan.

Pada wilayah ini, Majapahit yang memiliki kepentingan biasanya menempatkan birokrat dan militer dengan tujuan memperkuat diri dan kerajaan setempat.

Sementara itu nusantara merupakan wilayah ekspansi Majapahit namun tetap memiliki otoritas luas tanpa penempatan birokrat dan militer Majapahit. Beberapa daerah itu tetap dikenakan pajak untuk Majapahit.

Mitreka Satata merupakan wilayah aliansi Majapahit dengan tetap mengakui kedaulatannya dan tak pernah melakukan intervensi politik. Secara umum luas wilayah Nusantara dan mitreka satata dinamis dan berubah-ubah.

Masa Surut

Mpu Prapanca dalam Nagarakartagama menggambarkan administrasi pemerintahan langsung oleh Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali. Di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka.

Tapi bagi segala pemberontakan atau tantangan pada Majapahit atas daerah tersebut bakal memicu reaksi sangat keras.

Beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit mengirim armada lautnya untuk menumpas pemberontakan di Palembang pada tahun 1377.

Sumber dari Kronik Cina dari era Dinasti Ming bercerita tahun 1377 Suwarnabhumi diserbu tentara Jawa. Menurut berita itu, putra mahkota Suwarnabhumi tak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina sementara di sisi lain ia jerih dengan Raja Jawa.

Meski tentara Jawa mencegat dan membunuh utusan Cina yang mengantar surat persetujuan pengangkatan putra mahkota itu. Kaisar Cina tak melakukan tindakan apapun terhadap pada Jawa. Bagi mereka tindakan balasan tidak bakal ada gunanya.

Menurut Slamet Mulyana, merujuk tahun penyerbuan itu bisa dipastikan Raja Jawa yang dimaksud adalah Hayam Wuruk. Penyerbuan itu dipicu pengiriman utusan Suwarnabhumi ke Cina tanpa izin. Bagi Majapahit tindakan itu adalah pelanggaran.

Mencapai puncaknya di abad ke-14, kejayaan Majapahit berangsur-angsur turun menyusul mangkatnya Hayam Wuruk di tahun 1389. Sejak saat itu Majapahit terus dirongrong konflik perebutan takhta.

Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani yang menikahi sepupunya sendiri, yakni Wikramawardhana. Di sisi lain, Hayam Wuruk memiliki seorang anak dari istri selirnya yakni Wirabhumi.

Tuntutan Wirabhumi atas tahta inilah yang kemudian memicu perang saudara yang dikenal sebagai Perang Paregreg pada tahun 1405-1406. Meski Wirabhumi kalah dan dipancung, perang saudara ini benar-benar melemahkan Majapahit pada daerah-daerah taklukannya.

Di sisi lain, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin Cheng Ho, jenderal muslim Cina beberapa kali tiba di Jawa pada periode 1405 hingga 1433.

Sejak tahun 1430, Cheng Ho bahkan telah menciptakan komunitas muslim Cina dan Arab di beberapa kota pelabuhan utama di pantai utara Jawa seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel. Wilayah-wilayah inilah yang menjadi pijakan Islam di masa-masa berikutnya.

Memerintah hingga tahun 1426, Wikramawardhana digantikan putrinya, Ratu Suhita yang berkuasa tahun 1426 sampai 1447.

Suhita adalah putri kedua Wikramawardhana dari selir yang merupakan putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya yang memerintah hingga 1451.

Bre Pamotan menggantikan menjadi Raja setelah Kertawijaya mangkat dan bergelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan dan mangkat tahun 1453.

Akibat krisis pewarisan takhta, tahta Majapahit sempat kosong hingga tiga tahun sebelum akhirnya Girisawardhana, anak Kertawijaya naik takhta pada 1456 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana 1466.

Dua tahun kemudian pemberontakan kembali terjadi ketika Kertabhumi mengangkat senjata melawan Singhawikramawardhana.

Kalah bersaing dari Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana melarikan diri ke pedalaman Daha di Kadiri dan melanjutkan pemerintahan dari tempat itu.

Singhawikramawardhana digantikan putranya Ranawijaya pada tahun 1474 dan berhasil mengalahkan Kertabhumi empat tahun kemudian sekaligus kembali mempersatukan Majapahit.

Sementara perang saudara terus melemahkan Majapahit, di pantai utara Demak makin kuat. Candrasengkala yang tertulis pada ‘Gapura Bajang’ berbunyi sirna ilang kretaning bumi menandai masa-masa akhir Mahapahit.

Candrasengkala yang berarti ‘sirna hilanglah kemakmuran bumi’ itu menunjuk kronogram 0041 yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Sebenarnya, yang digambarkan candrasengkala adalah waktu gugurnya Bhre Kertabumi raja ke-11 Majapahit oleh Girindrawardhana.

Bangsa kita adalah Bangsa atau Wangsa beaar dan leluhur kita orang hebat, hancur hanya karena diadu domba, digerogoti dari dalam oleh orang luar yang tampak seperti orang alim seperti negara kita Indonesia saat ini dan tersurat dalam babad tanah jawa dharma gandhul serta tutur tinular para tetua dulu maka disindur dalam berbagai ungkapan secara halus Majapahit / Majalengka hancur oleh 1 Lebah, 2 Tikus, 3 Hantu maksudnya adalah

1. Lebah yang bermulut manis namun dibelakang ekornya punya sengatan, karena membawa ajaran baru yang semula meminta ijin terhadap Maha Raja Keprabuan Majapahit dan Keprabuan Galuh Pakuan Pajajaran Sunda untuk mengembangkan ajaran baru lalu diijinkan dengan catatan tidak boleh mengganti agama atau kepercayaan masyarakatnya namun semua itu dilanggar, para alim tersebut dilindungi oleh yang punya negara bahkan diberi pesantian / pedharman / pesantren bahasanya sekarang layaknya para Pandita / Rsi / Dang Hyang / Wiku Siwa-Budha, makan, minum dan semua ditanggung oleh yang punya nagari namun setelah pengikutnya banyak mereka makar dgn mengangkat orang Cina ktrunan Majapahit mnjadi raja dan menciptakan negara yang bebas didalam negara tak ubahnya kalau dulu GAM Aceh merdeka adalah contoh Demak-Demak yang kedua yang ingin bebas merdeka dr Majapahit Nusantara / Indonesia saat ini dan mengganti agama orang Jawa sprti lebah yang bermulut manis namun dibelakang menyengat kepala negaranya.

2. Tikus maksudnya Majapahit digerogoti dengan mengadu Sang Ayah sbg kepala negara dengan anaknya hanya untuk mendirikan negara khilafah, tanpa harus mengeluarkan tenaga jadi hancur keduanya karena satu keluarga dari sebuah guru yang mengajarkan ajaran baru tersebut, itupun berlaku di Pajajaran ayahnya sendiri oleh anaknya sendiri sebuah ajaran yang membentuk seorang generasi bangsa untuk memerangi leluhurnya sendiri karena dianggap kafir karena berneda keyakinan, padahal kalau ditelaah adanya sekarang dan anak cucu genarasi sekarang berawal dari leluhurnya dan leluhur termasuk ayah dan ibu kita yang melahirkan kita sebuah ajaran masa lalu yang terlupakan yakni sebagai simbol nusantara yaitu ajaran penghormatan kpd leluhur Merah-Putih / Getah-Getih / Purwa-Daksina / Segara-Gunung / Lingga-Yoni / Bapa Akasa-Ibu Pertiwi sebagai simbol leluhur bangsa nusantara yang berkiblat kepada Matahari Bhatara Guru Hyang.

3. Hantu mempunyai maksud manusia yang bergentayangan seperti hantu karena dalam hidupnya bergentayangan tidak tentram mempengaruhi manusia lain untuk mengikuti seperti dirinya dan agemannya / pakaiannya (agamanya) maka dijawa ada pepatah “agomo ageming aji” dan Majapahit menyatukan Nusantara dengan berazaskan perbedaan yaitu “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangarwa” bukan bersatu karena sama namun bersatu karena berbeda untuk persatuan demi membentengi serangan dari luar baik Kekaisaran Tiongkok, India maupun yang lainnya, nah hebatnya negri luar menaklukkan nusantara bukan dengan perang sprti barat yang dulu menjajah kita tapi sekarang dengan dalih agama.

AUM Rahayu Nusantara Santih
HONG Rahayu sagung dumadi 🙏🇮🇩🕉☸❤❤❤❤😇

Gambar hanya pemanis

 

Senja Kala Wangsa Sanjaya di Bumi Jawa

$
0
0
Gambar mungkin berisi: langit, pohon, tanaman, luar ruangan dan alam

Nusantara Shanti

“SANDYAKALA ING WANGSA SANJAYA DI BHUMI JAWA”.

____________________________________

Menelisik literatur berjudul “Sandyakala Kejayaan & Kemasyhuran Kerajaan Nusantara”, (2018), ditulis oleh Jkd dan Rita. W. Astuti, (penerbit “Uwais Inpirasi Indonesia”). Ponorogo, Jawa Timur. Dalam buku itu, disebutkan tatkala Ratu Shima mangkat, roda pemerintahan di Kalinga dilanjutkan oleh puterinya “Parwati” bersama suaminya “Mandiminyak”.

Adapun tokoh Mandimiynak ini, berasal dari kerajaan di Tatar Sunda yang memerintah pada periode 703-710 M. Dengan demikian secara otomatis Mandiminyak menguasai dua imperium sekaligus, yakni di kerajaan Sunda Galuh, Jawa Barat dan di kerajaan Kalinga atau Bhumi Mataram Kuno alias Bhumi Mataram Hindu di Jawa Tengah.

Di kerajaan Sunda Galuh, ketika Mandiminyak wafat tahkta diteruskan oleh puteranya bernama “Bratasenawa”, yang memerintah pada periode 710-716 M. Akan tetapi, walaupun Bratasenawa berkedudukan di Sunda Galuh, namanya terpahat dalam Prasasti Canggal, berangka tahun 654 Caka atau 732 M yang terdapat di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jika ditelisik dari peristiwa tersebut, maka dapat diperkirakan adanya hubungan historis antara kerajaan Sundah Galuh yang berlokasi di Jawa Barat dan kerajaan Kalinga yang berada di Jawa Tengah.

Sumber seperti “Prasasti Sitirengga” dan “Prasasti Canggal”, berangka tahun 732 M, yang dibuat pada masa Sanjaya berkuasa (732-746), disebutkan dari perkawinan Parwati-Mandiminyak memiliki puteri bernama “Sannaha” yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan istana Kalinga. Sedangkan dari perkawinan Pwahaci-Mandiminyak memiliki putera bernama “Bratasenawa”, dan dibesarkan di istana Sunda Galuh.

Sannaha sekalipun memiliki hubungan “The big family” dengan Bratasenawa, (satu ayah tapi lain ibu), dalam istilah Inggrisnya disebut “one other father’s mother”, kemudian keduanya dinikahkan. Dengan adanya jalinan perkawinan itu, dimaksudkan untuk memperkokoh hubungan antara kerajaan Sunda Galuh di Jawa Barat dan Kalinga di Jawa Tengah.

Hasil dari perkawinan tersebut kemudian lahirlah seorang anak laki-laki bernama “Sanjaya”. Waktu demi waktu, hingga puluhan tahun lamanya dari sosok Sanjaya inilah kemudian menurunkan raja-raja di Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang dalam perkembangannya dikenal sebagai “Wangsa atau Dinasti Sanjaya” alias keturunan Sanjaya.

Sumber Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah menyebutkan sebagai penerus Sanjaya di Kalinga adalah puteranya bernama “Rakai Panangkaran”, bergelar “Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana”, yang memerintah pada periode 746-784 M.

Setelah itu, dilanjutkan oleh “Rakai Panunggalan” dan memerintah pada periode 784-803 M. Kemudian “Rakai Warak”, dengan gelar “Sri Maharaja Rakai Warak”, yang memerintah pada periode 803-828 M. Pengganti berikutnya adalah “Rakai Garung”, memerintah pada periode 828-847 M, yang selanjutnya digantikan oleh puteranya bernama “Rakai Pikatan” yang memerintah pada periode 847-856 M.

(Catatan : Penerus Rakai Pikatan dan seterusnya sampe Mpu Sendok, Dharmawangsa, Airlangga, Ken Arok, Kertanegara dan Raden Wijaya, sudah di ceritakan dan di posting dalam “Pecinta Budaya Nusantara”, beberapa waktu yang lalu).

Dari alur cerita di atas, setidaknya dapat digambarkan bahwa tokoh Sanjaya ini, merupakan sosok yang sangat fenomenal, sebabnya manakala raja ini berkuasa, berbagai wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah berada di bawah pengaruh kekuasaannya. Misalnya sebagai penguasa Sunda dari mertuanya, (raja Tarusbawa) wilayahnya mencakup mulai dari Banten, hingga sampai ke Bekasi.

Sedangkan sebagai penguasa Galuh (hak waris dari ayahnya dan neneknya Wretikandayun), wilayahnya mencakup Limbangan, Garut, Ciamis, Cianjur, Kuningan, Tasikmalaya dan sebagian wilayah di Kabupaten Bandung, diantaranya Bandung Selatan dan Bandung Utara.

Selain itu, Sanjaya juga menguasai kerajaan Mdang di Kalinga Utara (eks wilayah kekuasaan neneknya Ratu Shima) dan kerajaan Bhumi Sambara, Kalinga Selatan (eks wilayah kekuasaan mertuanya, Raja Dewa Singa). Diperkirakan kedua kerajaan itu, wilayahnya mencakup Pekalongan, Plawangan (nama tempo doeloe), Semarang, Pati, Temanggung, Wonosobo, Kedu, Jepara, Surakarta dan Yogyakarta.

Diraihnya berbagai wilayah kekuasaan di Bhumi Jawa, dapat diperkirakan dari tokoh Sanjaya inilah yang kelak keturunannya bakal saling meng-klaim trah dan dinastinya, misalnya ada nama “Wangsa Sanjaya” (penganut Hindu, cikal bakalnya dari negeri India), lalu ada “Wangsa Syailendra”, (penganut Budha, cikal bakalnya dari negeri Tiongkok). Trus adapula “Wangsa Isyana”, ditenggarai merupakan gabungan dua wangsa besar itu, lantas diinisiasi oleh koloni Mpu Sindok menjadi wangsa baru, yaitu “Wangsa Isyana”.

Adapun nama Isyana ini diambil dari gelar Mpu Sindok “Sri Isyana Wikramadharma Tunggadewa”, manakala raja ini berkuasa di Mdang I Watu Galuh, letaknya di lembah kali Taruman, desa Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dalam perjalanannya wangsa Isyana ini kemudian berkembang hingga merambah ke pulau Dewata (Bali) dan Lombok.

Sementara itu, tokoh Sanjaya ini, kurang disukai oleh para kerabat istana Sunda Galuh, penyebabnya aliran Hindu-Siwa yang dianutnya pada masa itu, dianggap menakutkan. Sedangkan di lingkungan kedhaton Sunda Galuh mayoritas-nya penganut Hindu Sriwisnu. Oleh karena kondisi di lingkungannya dianggap kurang bersahabat, akhirnya Sanjaya lebih memilih sebagai penerus di kerajaan Mdang, Kalinga Lor (Utara) atau Bumi Mataram Kuno alias Bhumi Mataram Hindu.

Untuk mengisi kekosongan di Sunda galuh, maka diangkatlah putranya bernama “Rakai Panaraban” atau disebut pula sebagai “Tamperan Barmawijaya” yang memerintah pada periode 732-739 M. Setelah Rakai Panaraban wafat, tahkta Sunda Galuh lantas diteruskan oleh “Rakai Kamarasa” atau disebut pula sebagai “Hariang Bangga”, bergelar “Prabu Krtabhuana Yasawiguna” yang memerintah pada periode 739-766 M.

Dari perkawinan Yasawiguna dengan Dewi Kancana Sari, dari keturunan Demuwarman, berasal dari Kuningan, Jawa Barat, pasangan ini memiliki putera bernama “Rakai Hulukujang”, dan ketika dinobatkan bergelar “Prabu Krtabhuana Hulukujang” yang memerintah pada periode 766-783 M. Namun, sayangnya, sang Prabu dan permaisurinya, hanya memiliki anak perempuan, oleh karena itu, takhta berikutnya jatuh pada menantunya yang berasal dari Galuh, yakni “Rakai Hujungkulon”, dan ketika dinobatkan bergelar “Prabu Krtabhuana Gilingwesi”, memerintah pada periode 783-795 M.

Salam. 🙏

Jakarta, 24 Juni 2019.

Penulis : Joko Darmawan.

…to be continued…..
#CandiCangkuang) is a small 8th-century Shivaist candi (Hindu temple) located in Kampung Pulo village, Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut Regency, West Java, Indonesia. [Courtesy : Wikipedia]. 🤷‍♂️

 

Situs Batu Jaya, Karawang

$
0
0

Situs Batujaya, tengkorak prasejarah & Tarumanagara. Terbesar di Asia Tenggara

with 7 comments

Kerangka prasejarah di kompleks situs Batujaya. Ada gerabah Buni yang menghubungkan tempat ini dengan India, Srilangka dan Bali. Ada candi, artefak budaya, tengkorak, dsb. Paket lengkap. Jawa Barat punya candi sekarang. Akhirnya ..

Candi Jiwa yang pertama kali ditemukan di Situs Batujaya. Ada 24 candi di kompleks ini, di permukaan. Belum yang rata/ bawah permukaan tanah. Teridentifikasi 30 umur, seluas 5 km2. Kolosal juga kerajaan Tarumanagara. Can you handle it ?

Jawa Barat garing. Dada anda sesak disentil begitu ? Cibiran ini khusus percandian, di mana provinsi gemah ripah loh jinawi ini belum punya temuan arkeologis yang monumental. Kalau soal ini, memang kita akui dan terpaksa manggut2 ( dengan hati gundah ). Tapi, Allah tak ingin kita berlama-lama ‘dirundung malu’. Jawa Tengah punya Borobudur dan Prambanan. Jawa Timur punya situs Majapahit ( Situs Trowulan disayangkan penataannya tidak memperhatikan khazanah arkeologis ) . Jawa Barat, sejak tahun 1985 punya situs Tarumanegara. Jaraknya  150 km dari Kota Bandung. ( walau di ujung laut pun kan kusebrangi ) 45 km dari Karawang Kota. Masih di areal persawahan, tepatnya di Desa Segaran, kecamatan Batujaya, dan Desa Teluk Buyung serta Telagajaya di Kecamatan Pakisjaya, kabupaten Karawang. Situs Batujaya. This is it.

Nggak tanggung2. 24 candi sekaligus. Itu baru di permukaan, belum yang di bawah permukaan. Bisa jadi yang terbesar di Asia Tenggara. ( kalau sabar, Allah takkan menyia-nyiakan kesabaran itu, kan ? Dihadiah full packed : candi, gerabah kuno, kerangka prasejarah, keramik, dll. You name it ). Situs Batujaya telah teridentifikasi 30 umur dengan luas sekitar 5 kilometer persegi. Dahulu di sepanjang pesisir Karawang berjejer bangunan tertua di Indonesia. Abad 4 Masehi. Warisan kerajaan Budha kuno, Tarumanegara.

Karawang = Kawasan Konservasi Strategis Nasional. Keren ..

Wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanagara. Dari Banten sampai Binong ( warna coklat di peta ). Wilayah pengaruhnya dari Ujung Kulon sampai sebagian Jawa Tengah ( coklat muda ). Urang Bandung dan anak Betawi/ Jakarta, sama2 keturunan Tarumanagara. Nggak nyangka ya ?

Masa kerajaan Tarumanagara, sesudah Salakanagara ( tahun 300-an M ) dan sebelum Galuh-Pakuan Padjadjaran ( tahun 600-an M ). Menyusul kemudian, Sumedang Larang, Cirebon dan Banten. Once upon a time in Karawang ..

Dari situs Buni ( kerangka manusia dalam gerabah, bersama benda kuburnya ) terlihat kompleks kebudayaan yang luas, mencakup pantura Jabar, aliran sungai Cisadane, Ciliwung, Bekasi, Citarum dan Cipagare, dengan sebaran Tangerang ( situs Serpong, Curug dan Mauk ), Bekasi ( situs  Buni, Kerangkeng, Puloglatik, Pulo Rengas, Kedungringin, Bulaktemu, Rawa Manembe, Batujaya dan Tugu ) dan Rengasdengklok ( Babakan Pedes, Tegalkunir, Kampung Krajan, Pulo Klapa, Cibutek, Kebakkendal, Karangjati dan Cilogo ).

Atas penemuan kolosal yang menggemparkan arkeolog nusantara dan internasional, pemerintah pusat menetapkan Karawang sebagai Kawasan Konservasi Strategis Nasional ( KSN ). Tahun ini, pemerintah Karawang dipercaya menata Situs Batujaya, lengkap dengan area parkir, gapura, panggung seni, auditorium, penelitian, serta sarana lainnya. Anggarannya dari APBD provinsi Jabar dan APBD Karawang. Penelitian, pemugaran dan penataan situs Batujaya melibatkan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala ( Direktorat Peninggalan Purbakala ), Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jurusan Arkeolog FIB UI, beberapa lembaga penelitian dan teknis lain. Pemprov Jabar menangani secara finansial tahun 2002, pemkab Karawang mulai 2008.

Gundukan misterius bernama unur-unur.

Tim peneliti dan ekskavasi kerangka dari BP3 Serang dan ITB. Didokumentasikan dulu, digambar dulu, dianalisis dulu, baru diangkat.

Lubang di salah satu candi Batujaya. Bekas apa ya dulu ? Misterius, mengundang rasa ingin tahu. Pengen ke sana ? Ayuk, nawar becak ..

Mulanya, warga desa menemukan unur-unur ( gundukan tanah berisi reruntuhan kuno ). Karena ketidaktahuan mereka, bata candi itu diambil untuk dudukan wc. Petani memanfaatkannya untuk menyambung pematang sawah yang putus ( belum tahu dia, itu bata mahakarya nenek moyangnya yang terbesar di Asia Tenggara ). Penggali liar membongkarnya untuk diambil benda kuburnya. Perhiasan atau emas.  Tim Survei Arkeologi FIB UI yang sedang meneliti Situs Cibuaya ( sekitar 20 km timur laut Batujaya ) dilapori warga yang membantu, tentang unur2 ini. Lalu, 11 unur mereka temukan. Itu tahun 1985.

Selanjutnya, muncullah dari unur2 itu 24 bangunan di kawasan seluas 25 km2. ( jumlah 24 baru yang berupa gundukan. Yang terkubur rata dalam tanah belum diketahui jumlahnya ). Dari 4 yang sudah diteliti, 2 sedang dipugar. Candi Jiwa dan Candi Blandongan. ( Candi Serut dan Candi Slender belum ). Masih banyak lahan yang belum dibebaskan sehingga belum bisa dipugar seluruhnya, kata Kaisin, juru pelihara senior sekaligus penanggungjawab lapangan. Areal yang baru dibebaskan seluas 10.700 meter. Sebagian rumah warga ternyata berdiri di atas candi. Masalah penataan candi masih terkendala, terutama masalah pembebasan lahan seluas 8000 m2 yang perlu dana sekitar Rp 3,3 miliar. Menurut Kaisin, dengan kompleks seluas ini, juru pelihara candi perlu ditambah. Untuk ukuran Candi Blandongan saja butuh 10 juru pelihara. Saat ini kesepuluh juru pelihara ini menangani 4 candi yang tengah diteliti. Baru 2 juru pelihara yang diangkat menjadi PNS, sisanya masih kontrak dengan honor Rp.1 juta per 3 bulan.

2014 ditargetkan selesai, tapi 8000 m2  lahan belum dibebaskan. Gimana atuh ?

Patung Budha, berlatar stupa2 di candi Borobudur. Di situs Batujaya tidak/ belum ditemukan adanya stupa ini, padahal sama2 candi Budha.

Candi Blandongan, yang terbesar saat ini di situs Batujaya. Ukurannya 120 x 120 meter, termasuk pelatarannya. Kerangka prasejarah ditemukan di sini. Candi Slender yang masih terkubur, diperkirakan lebih besar ( satu hektar ). Kompleks situs Batujaya dibangun setelah makam2 prasejarah.

Menurut Paiman, Ketua Tim Pemugaran Candi Blandongan, tanpa pembebasan lahan, pihaknya sulit menyelesaikan penataan candi tsb pada tahun 2014. Selasar Candi Blandongan telah mencapai 90 %. Kini, timnya sedang mengecek struktur bangunan di sekitar candi. Struktur bangunan candi utama di Jawa, biasanya dikelilingi candi2 kecil. Dari penelusuran Paiman, di sisi barat ada 2 bangunan tidak berstupa, di barat laut juga ada satu bangunan  begitu. Tidak seperti candi.

Dari udara, Candi Jiwa seperti bunga teratai sebesar 19 x 19 meter. Tak beruang, tak berpintu. Mana stupanya, para peneliti bertanya-tanya. Di mana gerangan ciri candi2 Budha di Jawa ? Permukaan atas Candi Jiwa membentuk pola melingkar berdiameter 6 meter. Candi yang sudah selesai dipugar ini sering jadi tempat perayaan Waisak.

And the biggest is Candi Blandongan. Bentuk denahnya bujur sangkar  berukuran 100 x 100 meter , ditambah pelataran menjadi 120 x 120 meter ( Candi Slender diperkirakan lebih luas, sayangnya masih terkubur dalam tanah seluas satu hektar ). Bangunan candinya sendiri berukuran 23 x 23 meter. Gerbang masuknya berukuran 2 x 2,3 meter. Batu kerikil bercampur adonan lepa putih dan kerang melapisi ruang dalam. Sudut luar bangunan berbentuk bak bastion benteng. Banyak amulet dari bahan tanah liat yang dibakar. Tertera relief mantera dan tokoh Budha. Candi Blandongan, awalnya dipugar Balai Kepurbakalaan Bandung, tahun 2009. Selanjutnya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala ( BP3 ) Serang, tahun 2002 hingga sekarang. Candi ini diperkirakan selesai ditata tahun 2014. Sayangnya, wilayah Batujaya langganan banjir Citarum dan pasang air laut, sehingga banyak bangunan yang rusak karena sering terendam air. ( apa perlu kincir dan pompa seperti di Amsterdam untuk menghalau air ? ).

Dari petani lugu menjadi pemugar terampil. Candi kok dijadikan dudukan wc.

Puing-puing candi, ada 10 warga Batujaya yang menjaganya. Pak Kaisin, warga setempat, sang penanggung jawab lapangan, merasa kekurangan orang untuk memaksimalkan penjagaan ( juga kesejahteraan mereka ). Mengingat banyak orang yang silau materi ( dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan keping sejarah yang tak ternilai ini ), maka keluhan juru pelihara senior tsb patut ditindaklanjuti. Dari lingkungannya, ada 15 petani yang beralih profesi menjadi pemugar trampil. Bisaan, ya.

Look the bright side. Para petani yang tadinya menggunakan bata untuk wc dan pematang sawah karena tidak tahu, sekarang beralih profesi menjadi peneliti dan pemugar terampil. Sekitar 15 petani menjadi tukang pugar sejak tahun 1985. Meski pendidikannya rendah, mereka ulet mengerjakan tugas arkeologis. Ketika kompleks percandian kolosal ini siap dikunjungi wisatawan, sewajarnya warga Batujaya mendapat porsi terbesar dalam manfaat dan pengerahan SDM-nya. Di mana pun ditemukan cagar budaya atau sumber alam, mestilah warga setempat yang lebih dulu disejahterakan. Sehingga mereka merasa memiliki tempat itu, merawat dan melindunginya dari tangan2 tak bertanggung jawab. Lebih manusiawi dan berkeadilan. Lebih ekonomis dan aman. Sehingga warga daerah lain pun ikut tergugah bila menemukan artefak budaya di daerahnya, apalagi yang membuat bangsa bangga. Dari sinilah jati diri bangsa bermula. Modal awal untuk maju.

(  jika kepulauan nusantara pernah didiami bangsa Atlantis yang peradaban termaju di jamannya, jika kerajaan2 maritim nusantara pernah menpengaruhi wilayah2 mancanegara, cepat atau lambat artefak peninggalan mereka akan ditemukan. Sangat mungkin, awalnya oleh warga desa di seluruh pelosok negeri. Kebesaran masa lalu bisa menginspirasi generasi masa kini untuk menjadi bangsa yang besar. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga prestasi dan tingkah laku manusia sejati. Tidak hanya di buku sejarah, atau dongeng2 masa lalu. Tapi mereka meraba bukti nyata di tangan mereka, menghirup antiknya aroma candi, luasnya area yang mereka tapaki, 3 dimensinya kemegahan yang mereka lihat, dst. Semua sel saraf dilibatkan untuk menakar kebesaran pencapaian leluhur kita. Akan malu kita jika hanya bisa begini2 saja. Kita terpacu untuk bekerja lebih giat dan cerdas. Anda ingin lebih hebat dari orang tua anda, kan ?  )

Bata lebih sulit dan lebih tua dari candi2 di Jawa. Incredible .. Tarumanagara

Prasasti Ciarunteun. Anda bisa membacanya ? Situs Batujaya berasal dari 2 tahap ; abad 5 – 7 M masa Kerajaan Tarumanagara dan abad 7 – 10 M dibawah pengaruh Sriwijaya yang menguasai Tatar Sunda ( tertuang dalam prasasti Rakryan Juru Penghambat/ Kebun Kopi II, tahun 932 M kekuasaan dikembalikan ke Raja Sunda )

Posisi ditemukan prasasti2 yang berkaitan dengan kerajaan Tarumanagara.

Pakar arkeologi Indonesia mengatakan, Situs Batujaya menggunakan material bata pada abad ke-5  Masehi, berdasar analisis pertanggalan Radiocarbon Dating C-14, analisa bentuk paleografi, analisis sumber2 berita Cina dan prasasti terkait masa Kerajaan Tarumanegara. Jadi, bata di Batujaya bisa lebih tua dari batu candi2 di Indonesia. Membuat bata lebih sulit daripada memahat batu. Penguasaan teknologi pembuatan bata,  dari sejak pemilihan jenis tanah, bentuk, ukuran dan pembakarannya, apalagi awet sampai hari ini, menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi. Bata berukuran 41 x 22 x 7 cm diolah sangat baik ; keras, bercampur ( temper ) pasir, kulit padi ( sekam ) dan dibakar sempurna. Dari mana mereka belajar teknologi ini ? Bukankah masa itu di nusantara tak ada bangunan dari bata ?

Kunci jawaban ada di “Budaya Buni”. Buni nama daerah di Babelan, Bekasi. Tahun 1958, seorang warga Buni, Dogol membuat kalenan ( selokan ) dari sungai Bekasi ke sawahnya, cangkulnya mengenai tengkorak manusia. Hii.. Jasadnya bertabur pecahan gerabah dan artefak. Tembikar Buni memiliki bentuk, teknologi dan pola hias yang spesifik. Situs Buni berasal dari masa perundagian, setingkat masa bercocok tanam, dengan subsistensi antara pertanian dan menangkap ikan. Ada kesinambungan dari prasejarah ( masa awal bercocok tanam ) ke masa Klasik ( Hindu-Budha ). Batujaya merupakan daerah penting masa Klasik juga pilihan perumahan, peribadatan masa prasejarah. Ditemukan batu datar, dolmen, batu bergores, dsb, disini.

Kerangka prasejarah dan ‘budaya Buni’ penghubung Srilangka & India. Bali ?

Candi Jiwa, melibatkan arkeolog dalam dan luar negeri saat pemugarannya. Situs Batujaya adalah surga arkeologi bagi mereka. Semua ingin terlibat. Tahun 2014, Insya Allah, bisa mulai dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Ditata secantik Borobudur atau Prambanan di samping ini. Ayo, warga Jabar, sukseskan ..

Gerbang masuk ke kompleks candi Prambanan, Jawa Tengah. Bergetar hati ketika memasukinya. Inikah karya adiluhung leluhur bangsa Indonesia ? Membuat kita merenung sejenak.

Masyarakat Sunda kuno pendukung tradisi prasejarah gerabah Buni, diduga sudah kontak dengan India, Srilangka dan Bali ( Situs Sembiran ) sejak awal Masehi. Dengan X-ray Diofraction ( XRD ), gerabah2 tsb mirip dengan gerabah di Situs Anuradhapura ( Srilangka ) dan Arikamedu ( India ). Tembikar Arikamedu mendapat pengaruh dari kebudayaan Buni. Gerabah di Candi Blandongan dibuat dari bahan setempat dengan teknologi dari persebaran “budaya Buni”.

Situs Batujaya berasal dari 2 tahap ; abad 5 – 7 M masa Kerajaan Tarumanagara dan abad 7 – 10 M dibawah pengaruh Sriwijaya yang menguasai Tatar Sunda ( tertuang dalam prasasti Rakryan Juru Penghambat/ Kebun Kopi II, tahun 932 M kekuasaan dikembalikan ke Raja Sunda ).

5 kerangka manusia akhir prasejarah ( sekitar abad ke-2 M ) yang ditemukan di pelataran Candi Blandongan akhir April lalu, akan diangkat oleh tim BP3 Serang. Dr.Johan Syarif, ahli kerangka dan tulang dari ITB yang akan menganalisis. Kerangka2 itu ditemukan ketika para pekerja sedang menggali / menelusuri struktur penghubung Candi Blandongan ke Candi Jiwa yang pertama kali ditemukan di kompleks situs Batujaya. 5 kerangka manusia dilengkapi bekal kubur dan 2 batu menhir berukuran 2,1 meter dan 2,2 meter ( jadi ingat komik Asterix dengan sahabatnya, Obelisk yang suka menggendong batu menhir ke mana2 ). Menurut Dedi Kusnadi, staf dokumentasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala ( BP3 ) Serang, sebelum diangkat kerangka manusia tersebut didokumentasikan dulu, lalu digambar dan dianalisis.

Kelima kerangka terkubur di kedalaman 93 meter, posisinya berjejer dengan kepala mengarah 60 derajat ke timur. Hanya satu yang utuh dari ujung batok kepala hingga ujung tulang kaki. Panjangnya 170 cm. Gerabah yang utuh dan pecah berada di antara tulang kaki kerangka. Ada yang disimpan di atas perut dan berdekatan dengan kerangka. Di tulang lengan, ada benda logam. Kerangka itu sudah ada sebelum muncul Kerajaan Tarumanagara, terlihat dari bekal kuburnya yang berupa gerabah dan persenjataan logam/ besi.

(  diramu dari artikel2 di PR, diantaranya tulisan Eddy Sunarto, anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Jawa Barat dan karyawan Disparbud Jabar, juga keterangan Amelia Driwantoro, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional ).

Anda tergetar jika diberitahu ;  ragam seni tradisi leluhur kita ( nusantara ) adalah yang terkaya di dunia ?  Di antara pembuat atau pelestarinya, terkubur di situs Batujaya. Kita bisa memelihara dan menghargainya lebih baik, kalau mau. My precious .. my precious …, versi Gholum.

So, watch out for unur2 in your neighbourhood, people ..

Borobudur, dari atas. Candi agama Budha, peninggalan wangsa Syailendra. Salah satu keajaiban dunia.

Candi Prambanan, ada arca Nyai Rorojonggrang di dalamnya. Membuat saya terkagum-kagum. Konon ibu saya salah satu keturunannya, katanya ..

Pementasan sendratari epos Ramayana di depan candi Prambanan, sering memukau para tamu. Ada perasaan syahdu menyusup. Melihat besarnya candi, dahsyatnya tarian ( warisan budaya yang kaya, beraneka ragam di Indonesia, ribuan ) dan indahnya nusantara bak jamrud di khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke, membuat kita berpikir, apakah sedahsyat itu nenek moyong kita ? Negara2 lain tak ada yang sekaya ini. Mungkinkah sebagian budaya ini warisan Atlantis ? Bangsa berperadaban termaju saat itu, sebelum gunung Toba meletus menenggelamkan benua ini, menyisakan pucuk2-nya untuk kita diami. Can you imagine that ? I’m still curios ..

 


Nusantara Basis Pertama Peradaban Umat Manusia

$
0
0

Nusantara Basis Pertama Peradaban Manusia

Oleh: Agus Taruna Jaya

Nusantara, negeri terakhir yang dihuni mahluk purba, dan negeri pertama yang dihuni manusia pertama.

Saya sengaja menbedakan antara mahluk purba dengan manusia, agar tidak terjadi kerancuan semantik. Bahwa yang sering disebut-sebut sebagai manusia purba pra sejarah, pantasnya disebut mahluk purba. Sehingga kita bias membedakannya dengan manusia pertama, yang diyakini diawali dari Adam.

1. Mahluk Purba

Mahluk purba banyak ditemukan oleh ilmuwan berupa fosil, yang tersebar dibeberapa belahan bumi ini. Masa mahluk purba, dibagi menjadi tiga:

  • Zaman batu tua; Paleolitikum, (1 jt – 600.000 SM)
  • Zaman megalitikum, (500.000 SM) dan
  • Zaman batu muda; Neolitikum. (90.000 – 50.000 SM)

Mahluk purba paling muda, yakni dari kelompok Homo Sapiens, Homo Modernman, itu ditemukan di pulau jawa, tepatnya di Tulungagung. Dengan sebutan nama Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung).pada  45.000 tahun yang lalu.

2. “Manusia” Pertama (Adam)

Adam diyakini seluruh manusia –terutama yang beragama samawi—sebagai manusia pertama, yang ada di muka bumi ini. Adam diciptakan Tuhan, sebagai pemimpin atau wakil Tuhan untuk mengurus bumi. Mengenai kasus Adam melanggar buah larangan, kemudian dijatuhkan ke bumi sebagai sangsi sebuah dosa. Sebenarnya hanya berupa pelajaran berharga pada manusia agar mau mentaati apa yang diperintahkan Tuhan. Tanpa pelanggaran tersebut pun, rencana awal penciptaan Adam oleh Tuhan, jelas bukan untuk hidup kekal di surga, melainkan untuk menjadi khalifah/pemimpin/wakil Tuhan, di muka bumi. Tanpa melanggar mendekati buah larangan, Adam pasti akan diturunkan ke bumi. Karena memang itu tujuan Adam diciptakan.

Yang kemudian muncul pertanyaa, kapan Adam diciptakan?

Kapan Adam diturunkan ke bumi?

Di mana Adam pertama kali diturunkan ke bumi?

Dalam kitab-kitab agama samawi seperti Talmud (Yahudi), dan Holly Bible (Kristiani), serta Veda (Hindu), mencatat usia manusia pertama pertama kali ada di bumi ini sekitar 3.000 – 4.000 sebelum Masehi. Kristiani dengan tegas menuliskan bahwa Adam diciptakan pada tahun 4.026 sebelum Masehi. (Baca buku All Scripture is Inspired of God edisi 1963, halaman 292-296. Hasil studi International Bible Students Asociation – New York).

Upa-Purana, kitab suci agama Hindu mencatat, kalau tahap Kaliyuga, bermula ada pada tahun 3.094 sebelum masehi. (Baca Historians History of Word 1926, hal. 493-494)

Hanya kitab suci Al-Qur’an, yang tidak memberikan perincian tahun pertama Adam tercipta. Sehingga terbebas dari perdebatan dan multitafsir. Al-Qur’an hanya mencantumkan planning Tuhan akan menciptakan ‘Khalifah’ di bumi ini. (lihat QS.02:30), kemudian diprotes oleh Malaikat; “Bukankah mereka suka sekali merusak dan menumpahkan darah?” Dijawab dengan otoritas “Inni a’lamu ma-la ta’lamun”; kalian tahu apa, AKU lebih Maha Tahu, apa yang tidak kalian ketahui.

Pernahkah terbersit pertanyaan, darimana Malaikat bersikap ‘Sok tahu’ kalau manusia yang akan diciptakan Tuhan itu, akan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi? Jelas ini bukan semata asal protes tanpa dasar.

Protes malaikat disertai bukti empiris, bahwa sebelumnya, mereka melihat secara live, sudah ada kehidupan mahluk di bumi ini yang berlaku seperti itu. Melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Mereka itulah yang kita sebut ‘Mahluk purba’ yang punah pada 45.000 tahun sebelum Masehi. Jadi, protesnya Malaikat karena pernah menyaksikan langsung, bukan menghayal atau menduga-duga, tapi memang benar terjadi di bumi ini, yaitu pada masa zaman mahluk purba.

Usia Adam diperkirakan 930 – 1.000 tahun. Sedangkan Hawa diciptakan ketika Adam berusia 130 tahun. Berarti, Adam dan Hawa diturunkan ke bumi ini, diperkiran Adam busia sudah 150 tahun, atau lebih.

Selama 930 tahun, sangat tidak mungkin jika Adam dan Hawa hanya tinggal di suatu tempat saja. Mereka pasti melakukan perpindahan, dan memiliki keturunan yang cukup banyak. Untuk anak Adam-Hawa, kurang lebbih ada 40 anak kembar (laki-laki dan perempuan).

Anak-anak Adam adalah: Cayn/Qabil dan saudara perempuannya (ikrima), Abel/Habil dan Labuda, Ashut dan saudara perempuannya. Seth/Syits dan Hazura, Ayad dan saudara perempuannya, Balagh dan saudara perempuannya, Athati dan saudara perempuannya, Tawbah dan saudara perempuannya, Darabi dan saudara perempuannya, Hadaz dan saudara perempuannya, Yahus dan saudara perempuannya, Sandal dan saudara perempuannya, Baraq dan saudara perempuannya. Total keseluruhan anak Adam sejumlah 40 anak kembar. (Riwayat dari Ibnu Humayd, Salamah, Ibnu Ishaq).

Dari jumlah anak yang banyak tersebut, kemudian drama pembunuhan pertama kali terjadi antara Qabil terhadap Habil. Penulis tidak akan membahas tentang kisah pembunuhan pertama itu, tapi ada hal penting lainnya, dari keturunan mereka semua (anak-anak Adam yang 40 pasang itu), yang paling kuat adalah dari keturunan Set/Syits. Syits lah yang berhasil membalas kematian Habil, atas perintah Adam, Qabil pun ditangkap dan mati di Mesir. Ketika akan dikuburkan, Iblis menyuruh pengikut Qabil untuk membuat ramuan pengawet, dan memasukan Qabil ke dalam peti, kemudian tiap tahun diadakan pemujaan terhadapnya. Dari situ,mulai dikenal istilah mumi bagi bangsa Mesir kuno. Bukan Firaun yang pertama kali dimumikan, melainkan Qabil manusia pertama yang jasadnya dimumikan.

Syits memiliki wajah yang mirip sama dengan Adam. Dalam agama Islam, Set/Syits termasuk juga seorang nabi, namun tidak dimasukan dalam 25 nabi yang wajib diimani. Syits, menerima 50 shaf kitab, dan diturunkan semua ilmu Adam kepadanya. Dari keturunan Set/Syits inilah, berkembang manusia beragama (para Nabi) dan manusia petapa (para Dewa).

Setelah Adam diciptakan, dan diturunkan ke bumi ini sebagai khalifah / pemimpin / mandataris Tuhan di muka bumi. Adam diturunkan pertama kali menginjakan kakinya di negeri yang disebut Al-HIND, yakni Hindia, atau Nusantara, tepatnya di pulau Jawa bagian barat, atau di tataran sunda.

Kita lihat hasil penelitian ilmuwan dan sejarawan, umumnya menunjukan Adam pertama kali diturunkan di Srilangka, sebuah pulau di sebelah utara Samudera Hindia di pesisir tenggara India. Dengan alasan di sana ada telapak kaki raksasa, yang diperkiran adalah kaki nabi Adam.

Namun, tidak diketahui usianya tahun berapa telapak kaki itu ada. Yang bisa saja benar itu telapak kaki Adam, tapi bukan berarti Adam pertama kali diturunkan di sana. Karena setelah diturunkan ke bumi, Adam mencari istrinya Hawa yang diturunkan di Marwa (Turkmenistan). Agamawan menyebutkan kurang lebih waktu yang diperlukan oleh Adam selama 40 hari hingga bisa bertemu kembali dengan Hawa di Makah.

Setidaknya, telapak kaki Adam di pegunungan Srilangka tersebut bisa menyatukan keyakinan dari semua agama samawi di dunia. Yahudi, Hindu, Budha, Kristen dan Islam, semua percaya akan adanya nabi Adam. Meski orang Hindu lebih memuja kepada Dewa Syiwa. Karena dari keturunan Adam banyak yang menjadi Dewa-dewa yang kemudian dipuja oleh agama Hindu.

Dalam literasi agama Islam, sebuah hadits menyebutkan bahwa nabi Adam diturunkan di negeri bernama Al-Hind, disebut juga Hindia, atau Nusantara, lebih tepatnya lagi di pulau jawa sebelah barat, atau ditanah pasundan.

Dari Abu Hurairah ra, berkata : “Bahwa Nabi SAW, telah menjanjikan kepada kami tentang perang yang akan terjadi di AL HIND. Jika saya menemukan peperangan itu maka saya akan korbankan diri dan harta saya. Ketika saya terbunuh, maka saya akan menjadi salah satu syuhada yang paling baik dan jika saya kembali (dengan aman), maka saya (Abu Hurairah ra) adalah orang yang terbebas (dari neraka). (HR. An Nasai)

Dari Ali Ra, mengatakan “Bahwa dua lembah yang paling baik dikalangan manusia adalah lembah yang ada di MEKKAH dan lembah yang ada di AL HIND, dimana Nabi Adam as. diturunkan. Di dalam lembah itu ada satu bau yang wangi, yang darinya bisa membuat kamu jadi wangi”.

Bau wangi khas itu dari pohon gaharu, yang getahnya dijadikan menyan oleh tetua kita sebagai pengharum ruangan. Bahkan pada masa nabi, kerajaan di Indonesia sudah memberikan makanan JAHE kepada Rasul dan sahabat.

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. mengatakan : “Bahwa seorang raja dari AL HIND telah mengirimkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebuah tembikar yang berisi jahe. Lalu Nabi SAW, memberi makan kepada sahabat-sahabatnya sepotong demi sepotong dan Nabi SAW pun memberikan saya sepotong makanan dari dalam tembikar itu”. (HR. Hakim)

Nabi Muhammad ada pada tahun 570 M sama dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara seperti; Kerajaan Tarumanagara di jawa barat, Kerajaan Kalingga di jawa tengah , Kerajaan Kanjuruhan di jawa timur, Kerajaan Sawerigading di Sulawesi. Ketiga kerajaan itu ada pada tahun 500-600 Masehi.

Sedangkan kerajaan Hindu pertama di Nusantara adalah kerajaan SALAKANAGARA di Banten, tepatnya di kabupaten Pandeglang sebagai ibukotanya. Yang luas kekuasaannya meliputi banten dan jawa barat, sampai Cirebon, dan sebagian pulau sumatera dikuasai Salakanagara, yang kemudian berganti menjadi kerajaan Tarumanegara (345 M) beribukota di Bekasi.

Sebelum ada kerajaan pertama itu (Salakanagara) di Nusantara, jauh sebelum Masehi sudah berkembang banyak masyarakat asli sunda banten keturunan dari nabi Adam, yang mengajarkan nama-nama benda, dengan metoda suku kata; “Hanacarakadatasawalapadajayanyamagabathanga” untuk mempermudah mengenal nama-nama benda (Qs.2:31). Yang kemudian disebut kitab Sastra Jendra Rahayu Pangruwating Diyu. Penguasaan ilmu bahasa itu masih berupa kalam (ucapan/hapalan) belum mengenal tulisan, dan sudah membuat peradaban kuno di sunda sezaman dengan Mesir kuno sebelum masehi, yang letaknya di gunung Padang – Cianjur.

Peradaban manusia modern seperti piramida di Mesir kuno, pra kerajaan hindu di Nusantara, sudah ada peradaban terbesar di gunung Padang – Cianjur yang berusia lebih tua 15.250 SM.

Sebelum masehi, masyarakat sunda – jawa sudah berkembang pesat, dengan keyakinan monoteisme. Hal ini kerap dikaitkan dengan ajaran dari Adam, yang diyakini orang Sunda sebagai manusia pertama yang ada di Sunda. Dan juga berhubungan kuat dengan ajaran tauhid dari nabi Ibrahim (Islam), Abraham (Yahudi-Kristen), Brahma (Hindu). Yang memulai ajarannya pertama kali di daratan Mesopotamia (Irak) atau di lembah sungai Eufrat. Mesopotamia merupakan peradaban tertua di dunia yang sudah ada pada 10.000 tahun sebelum Masehi. Setelah itu Mesir Kuno (kota Firaun dan nabi Musa), dan Persia (kota nabi Daud dan Sulaiman).

Sebelum ajaran Tauhid Ibrahim menyebar luas menjadi agama samawi, di tataran Sunda, sudah lebih dulu dikenal keyakinan monoteisme; Sunda Wiwitan dan Kejawen.

Kita bisa lihat dari literatur dan keyakinan orang jawa (jatim-jateng) berkeyakinan ‘Kejawen” (kejawaan, kejiwaan), yang menuhankan Tuhan Semesta Alam dengan sebutan Sang Hiyang Widhi, atau Hiyang Dumadi. Dan di masyarakat sunda, sudah memegang keyakinan akan kepercayaan terhadap nabi Adam sebagai manusia pertama di tataran sunda, dengan keyakinan “Sunda Wiwitan” yang bermakna Di tanah Sunda pertama kali ada. Dengan menuhankan satu tuhan yakni Sang Hiyang Kersa (Pencipta/Yang Maha Agung), atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib).

Salah satu masyarakat peninggalan sejarah dari zaman nabi Adam pertama ada ini, adalah orang Baduy. Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang dilestarikan oleh kerajaan Banten Lama (sebelum Banten Islam-Maulana Hasanudin) lebih dulu ada Banten lama dengan rajanya yang dikenal dengan gelar Prabu Pucuk Umun, yang semuanya menganut keyakinan “Sunda Wiwitan”.

4. Mahluk Purba VS Manusia Pertama (Adam)

Melihat fakta sejarah di atas, dapat kita lihat, ada jurang menganga antara masa zaman keberadaan “Mahluk Purba” dengan “Manusia Pertama”.

> Mahluk Purba, Punah 45.000 tahun yang lalu. (paling muda).

> Manusia pertama (Adam) diciptakan Tuhan menurut beberapa literatur:

– Kitab Upa-purana – 3.094 tahun yang lalu

– Talmud Yahudi – 4.000 tahun sebelum masehi

– Holly Bible – 4.026 tahun sebelum masehi

– Sejarawan dan Ilmuwan modern – 9.000 – 10.000 tahun sebelum masehi (Peradaban Mesopotamia tertua)

– Penemuan Plato yang menulis tentang Peradaban Sundalandia di Benua Atlantis Nusantara tepatnya di laut jawa, dalam bukunya Timaeus dan Critias (360 SM). Atlantis Sundaland sudah ada sejak 11.600 tahun sebelum masehi.

  • Situs gunung Padang dan Sundalandia selain sebagai pusat benua Atlantis (11.600 – 15.250 SM), di dalamnya ditemukan peradaban Piramida terbesar dan tertua di dunia, yakni gunung Padang di Cianjur (Pa – Da – Hyang). Dan yang terbaru hasil riset penelitian ilmiah adalah, adanya peradaban tertua di dunia di tataran Sunda, pulau jawa. Tepatnya di Gunung Padang – Cianjur.

Dengan ditemukannya situs piramida terbesar melebihi Mesir Kuno. Situs piramida gunung Padang diperkirakan ada pada 11.000 – 15.250 tahun sebelum Masehi. Ini menjadi paradaban manusia tertua dan terbesar di dunia, mengalahkan Mesopatamia, dan Mesir, yang selama ini diagungkan sebagai peradaban manusia tertua. Di tanah sunda lah peradaban manusia pertama ada, karena Adam turun ke bumi di tanah Sunda, dan keturunannya, membangun peradaban di Sunda. (Bacaan)

Jadi, jika melihat dari peradaban Mesopotamia, ada jarak yang menjadi jurang menganga antara Mahluk purba dengan Manusia pertama, kurang lebih 35.000 tahun (30 Abad).

Jika mahluk purba punah di masa 45.000 SM, dan Peradaban manusia pertama dimulai di gunung Padang yang berusia 15.000 SM. Berarti ada jurang menganga sekitar 30.000 tahun, atau 30 Abad lamanya, bumi dalam kekosongan setelah kepunahan Mahluk purba.

4. Peradaban Manusia

Jika peradaban Mesopotamia di lembah sungai Eufrat dianggap sebagai peradaban tertua, sangat kurang tepat, karena seringkali dinisbatkan kepada masa adanya nabi Ibrahim as., Mesir kuno dinisbatkan pada masa nabi Musa as., lantas manusia sebelum nabi Ibrahim sampai Adam apakah mereka tidak membuat peradaban?

Dalam silsilah keturunan para nabi, setelah Adam, anaknya  Set / Syits melahirkan dua generasi, yakni generasi para nabi, dan generasi para dewa. Generasi para nabi setelah Syits yaitu Nabi Idris, dan nabi Nuh. Baru setelah itu kepada nabi Ibrahim. Berarti, sebelum ada peradaban Meopotamia di masa Ibrahim as. Sebelumnya sudah ada peradaban di masa Nuh, Idris, Syits dan Adam. Tentu masa usianya harus lebih tua dari peradaban Mesopotamia (7000-1.000 SM). Dan itu hanya ada di benua Atlantis, benua yang hilang dan tenggelam di masa nabi Nuh. Yang oleh Plato ditulis rinciannya dalam buku Timeous and Critas, dan dibenarkan oleh para peneliti lebih dari 50 tahun dalam banyak buku.

Hal ini mempertegas eksistensi benua Atlantis benar berada di Nusantara, Sundalandia merupakan tempat kebudayaan manusia pertama, dari masa nabi Adam sampai nabi Nuh. Hingga akhirnya benua ini tenggelam, dan menjadi kepulauan di Indonesia meliputi ; Semenanjung Melayu, P. Sumatera, P. Jawa, dan P. Kalimantan. Plato tidak berbohong, dan kita tidak boleh menutupi sejarah manusia di dunia berawal dari Sundalandia (Indonesia) yang sudah ada lebih awal 11.600 – 15.250 SM. https://www.youtube.com/watch?v=I-vJU_JQMGE&t=916s

Salah satu peradabannya yang masih tertimbun adalah piramida gunung Padang (Pa-Da-Hyang) di Cianjur Jawa Barat. Dari hasil penelitian para ahli ditemukan usia carbon di sana sudah ada sejak 11.000 – 25.000 SM. Inilah, peradaban dunia pertama, sekaligus peradaban manusia pertama kali ada, pada zaman nabi Adam, Syits, Idris, dan Nuh.

Peradaban dunia bila di rinci berurut sebagai berikut:

  • Sundalandia (Indonesia), termasuk gunung Padang di Cianjur. (11.600 – 15.250 SM) Zaman nabi Adam, Syits, Idris, dan Nuh. Hingga terjadinya banjir.
  • Masa skala waktu geologi Holosen (10.000-11.430 SM), disebut juga sebagai “Kala Alluvium”. Masa sebagian besar es di kutub sudah mulai lenyap sehingga permukaan air laut naik lagi. Tanah-tanah rendah di daerah paparan sunda dan paparan sahul tergenang air dan menjadi laut transgresi. Hingga muncullah pulau-pulau di nusantara.
  • Mesopotamia di Irak (7000  – 10.000 SM), zaman nabi Ibrahim
  • India Kuno, Mohenjodaro – Pakistan (6.000 SM), zaman para dewa keturunan nabi Syits dari Anwar.
  • Mesir Kuno, Sungai Nil (3.150 SM) Zaman nabi Musa as.
  • MesoAmerika, di Meksiko (1.200 – 5.100 SM)
  • China, (2700 SM) bahwa Kaisar Kuning, Dinasti Xia
  • Yunani kuno, peradaban Minoan (2700 SM – 1500 SM) Zaman nabi Daud
  • Persia (1.000 – 530 SM) Zaman Raja Solomo / Sulaiman

Candi Borobudur disinyalir salah satu buah peradaban nabi Sulaiman di negeri Saba’ (Wonosobo). Salah satu bukti paling kuat ditemukannya surat dari Nabi Sulaiman bertuliskan “Bismilllahirrahmanirrahim” di atas sebuah plat emas di dalam kolam pemandian Ratu Saba’ (Ratu Boko) di daerah Sleman, Jawa Tengah. (Dalam Buku Borobudur & peninggalan Nabi Sulaiman –  Fahmi Basya). Dan seterusnya, hingga sekarang.

5. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dan referensi sejarah juga peradaban manusia, penulis meyakini bahwa nabi Adam diturunkan ke bumi tepatnya di Al-Hind, Sundalandia benua Atlantis yang hilang, di pulau jawa, dengan keadaan alam seperti surganya dunia.
  • Peradaban manusia pertama kali ada di Benua Atlantis yang tenggelam yaitu Sundalandia yang menjadi negeri pertama tempat peradaban manusia pertama (11.600 – 15.250 SM). Pada zaman nabi Adam (930 tahun), Syits (912 tahun), Idris (865 tahun) dan Nuh ( 950 tahun). Hingga banjir, pada saat masuk skala waktu geologi Holosen. Sundalandia, berubah jadi kepulauan Melayu, Sumatera, Jawa, Kalimantan.
  • Diperkirakan Adam diciptakan oleh Tuhan pada abad ke-16 SM atau 15.500 SM. Diturunkan di Al-Hind, negeri Sundaland, di benua Atlantis. Atau di tataran Sunda.
  • Ditemukannya situs gunung Padang (Pa-Da-Hyang) di Cianjur yang cukup tua dari semua peradaban yang ada di dunia. Gunung Padang dijadikan tempat ritual ibadah dan juga peradaban manusia modern yang sudah ada 11.000 lebih SM. Bisa jadi, gunung Padang termasuk dalam peradaban Sundalandia benua Atlantis yang tenggelam di laut jawa. (11.600 – 15.250 SM) Di mana awal pertama kali Adam diturunkan ke bumi, dan berkembangnya anak-cucunya sampai zaman nabi Nuh.
  • Adanya kenyakinan “Sunda Wiwitan” pada masyarakat asli Sunda – Banten, yang menyakini akan keberadaan nabi Adam sebagai manusia pertama yang pertama kali ada di tanah Sunda. Dan mengajarkan keyakinan monoteis, terhadap Tuhan Semesta Alam. Mereka menyebutnya Sang Hyang Reksa (Yang Maha Kuasa/Agung/Pencipta). Juga, keyakinan orang jawa dengan kejawen (kejawaan/kejiwaan)

Dengan begitu, penulis menyimpulkan bahwa Nusantara, tepatnya tataran Sundaland merupakan tempat pertama nabi Adam sebagai manusia pertama diturunkan ke bumi oleh Tuhan Semesta Alam. Menggantikan zaman kepunahan mahluk purba. Di Sundalandia lah peradaban manusia pertama dimulai, dengan berdirinya negeri Atlantis yang pernah digambarkan oleh Plato dalam bukunya. Maka peradaban manusia tertua bukan lagi di Mesopotamia atau Mesir, melainkan di Indonesia.

Dan hal ini perlu terus dikaji ulang, diberi perhatian lebih, terutama oleh pemerintah untuk terus mensuport dan mendanai penelitian di gunung Padang-Cianjur. Hingga dunia benar-benar yakin dan percaya, bahwa Nusantara merupakan basis utama peradaban manusia di dunia.

Agus Taruna Jaya (Penulis adalah Sosiolog dan pecinta Sejarah)

Senin, 15-16 Mei 2017

https://www.kompasiana.com/agustarunajaya/591ad3af4ff9fda527c49e26/nusantara-basis-pertama-peradaban-manusia?page=all

Jejak Nabi Adam di Nusantara

$
0
0

Oleh: Sofia Abdullah

Allah SWT dalam al Qur’an surat Al Baqarah ayat 30, berfirman kepada para malaikat bahwa Allah SWT hendak menjadikan khalifah di bumi. Khalifah memiliki arti pengganti, pemimpin, penguasa yaitu makhluk yang akan menggantikan makhluk sebelumnya sebagai penguasa bumi yaitu dari golongan jin [1] yang telah melakukan perusakan di muka bumi.

Jelas dalam ayat 2:30 di atas Allah SWT akan menciptakan Khalifah di bumi yaitu Adam as. Adam as diciptakan Allah SWT dan bertempat tinggal di surganya Allah SWT yang ada di bumi. Seperti yang dijelaskan dalam hadits mutawattir yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far as Shadiq dari ayahnya Imam Muhammad al Baqir, dari ayahnya Imam Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Imam Hussain as, dari Rasulullah saw, bahwa Adam a.s. diciptakan Allah SWT dan ditempatkan di surga-Nya Allah yang ada di bumi. Bila surga Adam a.s. adalah surga yang abadi atau surga khuld, niscaya Adam a.s. tidak akan pernah turun ke bumi karena sifatnya yang kekal dan hanya diperuntukkan bagi makhluk Allah SWT setelah hari kebangkitan. Bumi tempat nabi Adam tinggal dikatakan surga karena keindahan alamnya dan segala kebutuhan yang dapat tercukupi di dalam surga-Nya yang ada di bumi tersebut.

Sekelompok ulama mengatakan surganya nabi Adam a.s. ini sebagai ‘Kebun Surga’ atau ‘al Jannah’ yang ada di bumi, karena ketika Adam a.s. melanggar perintah Allah SWT dengan memakan buah Khuldi, Allah SWT menggunakan kata ‘hubuth’ yang berarti perpindahan dari suatu negeri ke negeri yang lain, seperti dalam firman Allah SWT dalam Qs 2:61; “Ihbithu mishran” (pergilah kamu ke suatu kota).[2]

Peta kuno tahun 1109M  yang bertema “Garden in the East” berbahasa Arab dan Spanyol dibuat berdasarkan literatur dan kitab-kitab kuno tentang lokasi Taman Surganya nabi Adam dan Siti Hawa di bagian timur bumi.

peta versi berwarna

Berdasarkan perhitungan waktu yang diambil dari periodisasi dan kronologi peristiwa kejadian manusia yang diambil dari kitab-kitab agama-agama di dunia, jarak penciptaan Adam a.s. dengan masa kita sekarang kurang lebih 12000 tahun [3]. Allah SWT kemudian menciptakan Siti Hawa dan menikahkan nabi Adam dengan Siti Hawa untuk memenuhi bumi dengan keturunan mereka. Sesuai dengan firman Allah SWT, yaitu tujuan penciptaan Adam di muka bumi sebagai khalifah di bumi, sebagai nenek moyang manusia.

Selama di surganya-Allah yang ada di bumi ini, Nabi Adam a.s. bebas melakukan apapun dan menikmati apapun yang telah Allah sediakan, kecuali satu, yaitu dilarang memakan buah dari pohon khuldi (khuldi dari kata khulud, artinya keabadian). Karena bujukan setan [4], Nabi Adam dan Siti Hawa pun melanggar larangan Allah.

Akibatnya Allah mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga, Adam dikeluarkan (terusir) dari surga dan dibuang ke suatu daerah di India yg sekarang bernama Srilangka [5], di daerah ini pulalah terdapat peninggalan beliau berupa jejak kaki yang terawetkan dalam bentuk fosil. Jejak kaki ini kini berada di pegunungan Srilangka yang diberi nama sesuai nama beliau a.s., Adam’s Peak.

Adam’s Peak, Sri Langka, jejak kaki ini terdapat di dalam kuil di atas punak gunung SriPada, SriLangka, nama Sripada sendiri berarti Jejak Kaki Suci. Tempat ini dijadikan sebagai objek wisata religi bagi agama-agama besar didunia, agama Islam, Kristen dan Yahudi meyakini bahwa jejak kaki raksasa ini adalah jejak kaki Adam as, sebagai tempat pertama ketika dikeluarkan dari Surga yang ada di bumi, umat meyakini bahwa jejak kaki tersebut adalah jejak kaki Budha, dan bagi umat Hindu jejak kaki ini diyakini sebagai jejak kaki Shiwa.

Kuil di puncak gunung Sripada, Srilangka, tempat telapak kaki Nabi Adam as berada (http://www.awesomelanka.com/sripadaya/adams-peak/ )

Hawa terusir dan dibuang ke suatu daerah yang kini bernama Jiddah-Saudi Arabia. Jiddah dalam Bahasa Indonesia berarti nenek, kota ini dinamakan ‘Jiddah’ karena terdapat makam beliau, nenek seluruh umat manusia. Sementara itu, Iblis dikeluarkan dan dibuang ke daerah Persia.

Makam Siti Hawa di Jeddah, Saudi Arabia sebelum dibongkar oleh pemerintah Saudi, panjang 120m, lebar 6 m dan tinggi 3m, setelah dibongkar dengan alasan pengharaman ziarah, panjang makam ini hanya tinggal 3 m.

Allah SWT menerima tobat nabi Adam dan Siti Hawa, mereka pun dipertemukan kembali di Jabbal Rahmah, yaitu bukit yang berlokasi di padang pasir perbatasan Jiddah dan Mekkah.(LiputanIslam.com)

Bersambung

Catatan Kaki:

[1] Lihat Catatan kaki Qs 2:30 Al Qur’an dan terjemahannya terbitan Al Mizan

[2] Al Jaza’iri, Nikmatullah, Adam hingga Isa, hal 102, penerbit Lentera, jakarta 2009

[3] Berdasarkan perhitungan Human Era, yang dilakukan oleh peneliti Italia bernama Cesare Emiliani pada tahun 1993 dengan melakukan penelitian kronologi peristiwa dari tokoh-tokoh yang terdapat pada kitab-kitab agama di dunia.

[4]Setan atau Syaithan adalah sifat buruk dari makhluk Allah SWT bisa dari golongan Jin atau Manusia yang selalu membisikkan manusia untuk melakukan perbuatan buruk, lih. QS An Nas: 4,5,6. Kata Setan dalam kalimat ini mengacu pada sifat makhluk Allah SWT dari satu makhluk dari golongan Jinn yang hasad kepada Adam as dan sangat mengiinginkan agar Adam as dan Siti Hawa melanggar perintah Allah SWT yang akhirnya menyebabkan ia menjadi makhluk yang terkutuk (Iblis).

[5] Al Jaza’iri, Nikmatullah, Adam hingga Isa, hal.82, penerbit Lentera, Jakarta 2009

 

Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa dipertemukan kembali di Jabbal Rahmah, bukit yang berlokasi di padang pasir perbatasan Jiddah dan Mekkah. Mereka kemudian memiliki banyak anak. Dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa Siti Hawa melahirkan sebanyak 70 anak kembar berpasangan. Empat di antaranya dijadikan perumpamaan dalam kehidupan, pernikahan, dan yaitu Ataqah, Qobil, Habil, dan Nabi Sys. Ataqah adalah wanita pertama yang ingkar kepada Allah, kemudian dia wafat karena kemungkarannya kepada Allah SWT.

Mengenai pernikahan anak-anak Adam a.s. kita banyak membaca atau mendengar tentang hadits-hadits Israiliyyat yang mengatakan bahwa terjadi pernikahan silang di antara putra-putri Adam a.s.  Hal ini jelas bertentangan dengan Al Qur’an yang melarang pernikahan dengan saudara kandung. Allah SWT Maha Kuasa menciptakan makhluk-Nya, jadi tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT untuk menciptakan makhluk yang lain atau memerintahkan makhluk yang lain untuk taat pada perintah-Nya. Hal demikian juga terjadi pada kisah putra-putri Adam a.s. Ketika sudah waktunya bagi anak-anak Adam a.s. menikah, Allah SWT mengutus makhluk-Nya dari golongan jin dan bidadari untuk menikah dengan putra-putri Adam. Qobil memiliki sifat pemalas, pemarah dan selalu iri hati pada adiknya Habil. Allah SWT kemudian mengutus wanita dari golongan jin yang berwujud manusia berwajah cantik, bernama: Jehanna. Adam a.s. kemudian menikahkan Qobil dengan Jehanna. Sedangkan Habil yang memiliki sifat sabar, rajin, taat pada orang tuanya dinikahkan dengan jelmaan bidadari bernama Nazlah.

Kedua jodoh Qobil dan Habil ini disesuaikan dengan karakter dan akhlak keduanya. Walaupun kakak beradik, keduanya memiliki sifat yang sangat berbeda, Habil adalah pemuda yang sholeh, rajin, sabar dan berbakti pada orang tuanya sementara Qobil pemalas, dan pemarah. Qobil dan Habil merupakan dua contoh sifat anak Adam yang berlainan dan ditujukan sebagai pelajaran bagi umat manusia, yaitu bahwa perilaku seseorang tidak mengenal keturunan, semuanya mutlak karena pilihan pribadi masing-masing.

 

 

Karena sifat Habil yang baik, tentu saja Adam a.s. dan siti Hawa sangat menyayanginya. Qobil pun sangat iri pada adiknya. Rasa hasad Qobil mencapai puncaknya ketika mengetahui hikmah kenabian ayahnya diturunkan kepada Habil. Untuk meredakan rasa hasad dan iri pada diri Qobil, Adam a.s. memerintahkan mereka berdua untuk melaksanakan qurban kepada Allah SWT. Qobil karena malas, tidak memilih qurban-nya, ia hanya mengorbankan hasil panen yang layu. Sementara Habil mengorbankan hewan ternak terbaiknya yang dipersembahkan kepada Allah SWT, tentu qurban Habil-lah yang diterima. Peristiwa ini bukannya meredakan hasad Qobil dan menjadikan ia sadar atas kesalahannya, justru menambah iri hatinya kepada adiknya. Ia bahkan kemudian membunuh saudaranya itu dan terjadilah peristiwa pembunuhan pertama di muka bumi. Peristiwa ini diakui oleh semua agama samawi, dan semua agama samawi sepakat bahwa akar dari peristiwa ini adalah rasa hasad Qobil kepada Habil yang dibisikkan iblis. Setelah peristiwa ini, Qobil (Cain) beserta keluarganya lari dari Nabi Adam menuju ‘Tanah Nod’ (land of Nod), mendirikan kota di tanah tersebut dan menamakan kota tersebut ‘Henokh’, yang merupakan nama anak laki-laki pertama Qobil dan Jehanna.

Selama 40 hari Nabi Adam as menangisi terbunuhnya Habil. Beliau sangat berduka karena putranya yang sholeh Habil adalah adalah penerus kenabiannya. Kesedihan beliau juga disebabkan karena berpalingnya Qobil dari jalan Allah SWT. Atas musibah besar ini, Allah SWT, menghibur Adam a.s. dengan mengaruniainya seorang putra, Siti Hawa mengandung, lahirlah nabi Sys, pada saat Siti Hawa berusia 500 thn[1]

Nabi Sys inilah yang kemudian menjadi penerus Nabi Adam, sebagai nabi berikutnya dan dari beliau pula silsilah para Nabi dan Rasul berasal.

Ketika terjadi pembunuhan atas diri Habil oleh Qobil, Nazlah, istri Habil sedang mengandung putra pertama mereka, yang kemudian lahir diberi nama Habil II dalam beberapa riwayat disebut pula Yafat. Kemudian, tiba masanya bagi Nabi Sys dan Yafat untuk menikah. Allah SWT kemudian mengutus 2 orang bidadari yang menjelma menjadi wujud manusia yang cantik bernama Naimah yang menikah dengan Nabi Syis, dan Nazlah al Hawra yang menikah dengan Yafat. Pernikahan Nabi Sys dan Naimah melahirkan banyak anak, salah seorang putra di antaranya, yang juga penerus kenabian ayahnya adalah Syiban. Syiban menikah dengan Hurriyah putri Yafat dan Nazlah. Bila dibentuk dalam bagan silsilah akan terlihat seperti bagan di bawah ini:

Silsilah Keturunan Nabi Adam

Nabi Adam khawatir kasus yang dialami Habil terulang pada Nabi Sys, karena banyak di antara putra nabi Adam yang menginginkan posisi sebagai penerus kenabian, namun Allah-lah yang menetapkan urusan-Nya. Untuk mencegah rasa iri dan hasad timbul di benak putra-putra Adam, ia pun memerintahkan Nabi Sys untuk menyembunyikan kenabiannya. Namun karena hikmah kenabian tidak dapat disembunyikan, satu-satunya jalan bagi Sys adalah berhijrah. Maka ia pun dan keluarganya hijrah ke negeri yang berbeda. Di negeri itu mereka berketurunan. Kemudian keturunan-keturunan Nabi Sys bertemu dengan saudara-saudara mereka yang lain melalui hubungan pernikahan dan perdagangan.

Keterangan dari jalur Ahlul Bait mengenai Nabi Sys yang kami dapatkan hanya sampai pada perintah Nabi Adam untuk menyembunyikan hikmah kenabian Nabi Sys. Kami menarik kesimpulan bahwa Sys melakukan hijrah atau berpindah ke tempat lain karena tidak mungkin seorang Nabi, Rasul, Imam ataupun Washi’ menyembunyikan hikmah (ilmu) kenabiannya.

Kemanakah Hijrahnya Nabi Sys?

 

Dalam naskah-naskah kuno yang kita miliki baik dalam bahasa Sunda maupun Jawa kuno, seperti Babad Tanah Jawi, Manikmaya, dan lain sebagainya, sering kali ditemukan kisah tentang Nabi Sys putra nabi Adam yang hidup di tanah Jawa dan berketurunan di Jawa. Jawa pada masa itu sekitar 12.000 tahun yang lalu, memiliki struktur geologis yang tentunya berbeda dengan yang dimaksud Jawa saat ini. Jawa berdasarkan Babad Tanah Jawi dan kisah yang diambil dari naskah-naskah kuno, bukanlah Jawa yang meliputi Jawa Tengah sekarang ini, namun meliputi seluruh Nusantara, dari ujung Sabang sampai Merauke. Pembagian Jawa menjadi Jawa Barat, Tengah, dan Timur baru berlaku pada era kolonial untuk memudahkan sistem administrasi ekonomi dan politik.

Wayang Purwa dan Kaitannya dengan Nabi Adam, Nabi Sys, dan Leluhur Nusantara

Wayang adalah sarana bagi leluhur Nusantara untuk mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dengan sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh masyarakat awam. Seni wayang yang tertua di Nusantara adalah Wayang Purwa. Wayang Purwa mengisahkan leluhur Nusantara sejak masa Nabi Adam as dan keturunannya yang para tokohnya dikisahkan secara detail. Karena leluhur Nusantara beragama tauhid, sosok nabi Adam as telah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum Rasulullah lahir dengan nama Sang Hyang Adhama. Namun karena kisah ini dituturkan dari generasi ke generasi terdapat perbedaan-perbedaan prinsip antara kisah nabi Adam as versi Islam dengan Sang Hyang Adhama. Kisah nabi Adam juga dituturkan oleh leluhur Nusantara seperti yang terdapat pada salinan kitab Manikmaya, yang mengisahkan leluhur Nusantara sejak era Nabi Adam hingga era Mataram Baru.

wayang purwa

Di sinilah tugas para utusan Rasulullah saw dan para wali dengan cara meluruskan kembali kisah para nabi dan ajarannya yang hidup sebelum masa Rasulullah saw melalui media Wayang Purwa, babad, permainan anak dan seni budaya yang lain. Selain melalui seni budaya, para utusan Rasulullah saw yang diutus ke nusantara dan para wali juga mengajarkan ajaran Islam melalui jalur perdagangan, pemerintahan, dan pernikahan.

Salah satu kisah hikmah leluhur nusantara yang diwariskan para wali melalui seni budaya Wayang Purwa adalah Kisah Aki Tirem dan Dewi Sri. Aki Tirem atau Aki Tirem Luhur Mulya dan Dewi Sri adalah leluhur nusantara yang hanya berjarak 10 generasi dari Nabi Adam. Berdasarkan perbandingan silsilah yang kami miliki, Aki Tirem dan Dewi Sri adalah tokoh yang hidup sekitar 10.000-8000 tahun yang lalu atau satu masa dengan Nabi Idris a.s. dan termasuk di antara 80 orang nenek moyang manusia yang selamat pada peristiwa banjir Nabi Nuh a.s. yang mendunia. Aki Tirem memimpin satu negara atau wilayah yang kaya akan kekayaan alamnya, terutama emas dan perak, bernama Salaka Nagara. Dalam buku Geographia karya Claudius Ptolomeus yang ditulis tahun 161 M, Salaka Negara yang berarti Kota Perak dikenal juga sebagai Agryppa yang memiliki arti sama yaitu Kota Perak.

Peradaban Salaka Nagara musnah pada peristiwa banjir besar Nuh a.s. karena penduduknya yang menjadi sombong dan menyekutukan Allah SWT. Aki Tirem Luhur Mulya beserta keluarganya yang beriman selamat, dan membangun peradaban yang baru di Nusantara. Aki Tirem memiliki cucu bernama Dewi Sri. Dewi Sri pada kisah legenda masyarakat Jawa dikenal sebagai Dewi padi dan Dewi kesuburan gelar ini dikenal masyarakat karena Dewi Sri sebagai nenek moyang Nusantara memiliki andil yang sangat besar dalam mengenalkan ilmu bercocok tanam padi di wilayah Jawa sejak ribuan tahun yang lalu. Dikisahkan bahwa ribuan tahun yang lalu, ketika wilayah Sunda purba atau disebut juga dengan Jawa purba mengalami bencana kekeringan, Dewi Sri dan kakaknya berguru dan mencari pertolongan ke wilayah lain. Pada masa inilah Dewi Sri mempelajari ilmu bertani yang kemudian beliau ajarkan pada penduduk nusantara kuno.

lukisan dewi sri

Dewi Sri adalah leluhur Nusantara pertama yang mengajarkan ilmu pertanian kepada masyarakat nusantara kuno yang pada saat itu baru mengenal mata pencaharian berburu dan meramu makanan. Karena jasanya inilah Dewi Sri lebih dikenal sebagai Dewi Padi atau Dewi Kesuburan. Dewi Sri dan suaminya kemudian menggantikan kedudukan kakeknya Aki Tirem menjadi pemimpin dan sekaligus leluhur Nusantara. Kisah Aki Tirem, Dewi Sri, suaminya dan kakaknya yang bernama Sadhana tersebar luas diseluruh pelosok Nusantara dengan nama-nama yang berbeda namun memiliki kisah yang serupa. Kisah-kisah para leluhur Nusantara ini dapat tersebar luas dan dipahami berbagai golongan karena kesabaran dan kegigihan para Wali mengajarkan kebenaran melalui media Wayang Purwa.

Kesabaran dan kegigihan para utusan Rasulullah saw dan para wali dalam mengajarkan Islam dapat kita rasakan hingga kini, antara lain, Islam menjadi agama terbesar di Indonesia dan tradisi Islam telah menjadi darah daging bagi sebagian besar Muslim Nusantara. Fenomena ini terjadi karena para wali mengajarkan Islam melalui sisi terlembut manusia yaitu budaya. Budaya sendiri memiliki makna yang dalam, yaitu semua hasil asa dan karya manusia yang ditujukan bagi sang pencipta.

Oleh karena itu, generasi modern (masa kini) perlu melanjutkan metode ini. Pemahaman atas nilai-nilai Islam yang benar, yang diajarkan Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya serta para wali penerusnya, perlu dilanjurkan dengan memanfaatkan tradisi Nusantara. Hal ini sangat diperlukan sebagai penangkal asupan luar yang akan melemahkan umat Islam Nusantara dari dalam. (LiputanIslam.com)

Sumber:

-Jaza’iri, Sayid Nikmatulah. Adam Hingga Isa, hal 71-159

-Bagir, Hakim M, Ulumul Qur’an hal. 703

Children’s Bibel, the all color, hal. 17

-Park, Abraham, D. Min.,D.D, Silsilah Di Kitab Kejadian, hal. 68-71

-Al Jibouri, Yasin, T, Konsep Tuhan, hal.315-320

-Kermani, Abbas Rais, Kecuali Ali, hal. 37, Citra Publisher

-Naskah-naskah Kuno salinan, antara lain; Manikmaya, Babad Demak Pesisiran, Silsilah leluhur Cirebon, naskah Wangsakerta, Purwaka Caruban Nagari

Prasasti Canggal ini membuktikan bahwa Nusantara adalah sumber ajaran “Dharma” ,tertulis  angka  654  Saka  atau 1.187 SM,bukan 732 Masehi

$
0
0

PRASASTI ÇANGGAL

by Santo Saba Salomo

Hasil gambar untuk prasasti canggalPrasasti ini membuktikan bahwa nusantara adalah sumber ajaran “Dharma” ,tertulis  angka  654  Saka  atau 1.187 SM,bukan 732 Masehi

2 agama formal di india baru lahir 500 SM salah satu nya adalah Jainsm dengan tokoh nya Mahavira dan bersumber di Nusantara,Peradaban Nusantara sdh ada jauh sebelum nya

Catatan Yi tsing,Lokasi Fo che atau Che li fo che(Śrīvijaya), sebagaimana dibuktikan oleh tiga prasasti dalam bahasa Melayu kuno ditemukan di Palembang dan jawa yaitu “Canggal”.

Tafsir prasasti
Bait  1  :Pembangunan Lingga oleh Raja  Sanjaya di atas gunung

Bait  2–6  :Pujaan terhadap Dewa  Siwa,Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu

Bait  7 : Pulau Jawa yang sangat makmur,kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan Padi,Di Pulau itu didirikan bangunan suci Siwa demi  kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunja desa

Bait 8-9:Pulau Jawa yang dahulu di perintah oleh Raja Sanna,yang sangat bijaksana,adil dalam tindakan nya,perwira dalam peperangan,bermurah hati kepada rakyat  nya,Ketika wafat Negara  berkabung,sedih kehilangan pelindung

Bait 10–11:Pengganti Raja Sanna yaitu putranya  bernama Sanjaya yang di ibaratkan Matahari,Kekuasaan tidak langsung di serahkan kepadanya oleh Raja Sanna tetapi melalui kakak perempuan nya ,Sannaha

Bait 12 :Kesejahteraan,Ke amanan, dan Ketentraman Negara,Rakyat dapat tidur  di tengah jalan,tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadi kejahatan lain nya,Rakyat hidup serba senang

Hasil gambar untuk prasasti canggal

Pembangunan “Lingga” oleh Raja Sanjaya di atas gunung,Di sini menjelaskan bahwa Ia  Sanjaya “menandai” bangunan yang  sudah ada dengan membuat “Tanda” sebuah Batu “Lingga”

Artinya pada tahun 1.187 SM saat pembuatan tanda “Lingga” atau prasasti itu,sebelum nya telah ada bangunan sebagai tempat pemujaan

Pemujaan di lakukan kepada Dewa Siwa,Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu,ini menjelaskan bahwa Sanjaya  bukan menganut ajaran dari india yg lahir 500 SM

Di Pulau itu didirikan bangunan “Siwa” ,di sini kata “Didirikan” mempunyai  arti maksud “Telah” didirikan atau telah ada

Kemudian “Sanjaya” menandai dengan membuat lingga dan prasasti penerus kerajaan

Penghormatan Sanjaya kepada Sanna di ibarat kan seperti “Matahari” symbol ini adalah symbol imperium besar dan maju yang berpusat di Nusantara,Dinasti “Surya” yang wilayah nya 3/4 muka bumi

Maha Prajnaparamita Sastra tentang Śāriputra dan gurunya Sañjaya seperti yang ditulis oleh Nagarjuna dalam Maha-prajnaparamita-sastra,”Risalah tentang kebajikan kebijaksanaan”

Seorang brāhmin dari Suvarṇadvīpa bernama Kin fa(Suvarṇakeśa) salah satu dari enam guru besar non-Buddhis  Sanjaya

Datang ke Rājagṛha dan bertemu dengan Upatiṣya/Sariputra dia berasal dari Suvarṇadvīpa (Kin tcheou)

Seorang brāhmin dari Suvarṇadvīpa bernama Kin fa(Suvarṇakeśa) salah satu dari enam guru besar non-Buddhis
ini beliau meninggal sebelum Shakyamuni memasuki Nirvana

Catatan Yi tsing,Lokasi Fo che atau Che li fo che(Śrīvijaya), sebagaimana dibuktikan oleh tiga prasasti dalam bahasa Melayu kuno ditemukan di Palembang

Kin ti , “Tanah Emas” (Suvarṇabhūmi), Yi tsing, menerjemah kan dari Mūlasarvāstivādin Vinaya,mengartikan bahwa Kin tcheou adalah “Pulau Emas” (Suvarṇadvīpa) Sumatra

Suvarṇakeśa,Sañjaya berasal dari kaum Śākya,tertulis di relief dasar Borobudur dengan literasi kata Maheçakya dan lokasi (Suvarṇadvīpa) adalah Sumatra pra dan saat era Srivijaya

Śākya adalah Çaka leluhur Nusantara Indonesia terdahulu di tempat ini tersebar prasasti dengan angka tahun Çaka,tahun Çaka tdk di mula 78 M itu saat kaum Çaka leluhur kita menaklukan Raja Salivahana india

Prasasti Canggal Prasasti tertulis angka 654 Tahun Çaka atau 1.187 SM adalah pasti lebih dahulu dari Agama India yg lahir pada  9 Masehi

Ajaran Leluhur Sanjaya yg tumbuh dan berkembang  lebih dari 700 tahun lalu ,Svarnadvipa adalah tempat pusat pembelajaran nya…

Ajaran  “Dharmic” tergambar di Borobudur,terekam sempurna pada budaya Bali keduanya bukan berdasar salah satu dari 2 agama india,Tapi mendasarinya.

Pengertian Prasasti Canggal dan Isinya Secara Lengkap

INDONËSIARYĀ
By : Santosaba
santosaba234@gmail.com

Kapan secara Ilmiah Kisah Ramayana terjadi? Apakah Rama ada?

$
0
0

The Scientific Dating of the Ramayana

Satu miliar orang Hindu percaya dia menjalankan tradisi Rama yang tak terputus

by Rakesh Krishnan Simha @ByRakeshSimha
Indologi | 15-11-2015

Apakah Rama ada? Satu miliar umat Hindu percaya dia (Rama) melakukannya dan tradisi ibadah Rama yang tak terputus telah berlanjut selama ribuan tahun di India. Rama juga merupakan pahlawan di Indonesia (meskipun kini telah menjadi negara Muslim), Thailand dan di beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Tanpa beban tradisi historis, Ramayana akan tersapu oleh gelombang pasang penaklukan yang diderita India selama periode 1300 tahun.

 

Tarian Balet (Sendratari) Ramayana dari Indonesia

https://id.wikipedia.org/wiki/Sendratari_Ramayana_Prambanan

Sendratari Ramayana Prambanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Panggung Terbuka Sendratari Ramayana Prambanan, pertunjukan panggung terbuka hanya diselenggarakan dari bulan Mei-Oktober.

Sendratari Ramayana Prambanan merupakan sebuah pertunjukan yang menggabungkan tari dan drama tanpa dialog, diangkat dari cerita Ramayana dan dipertunjukkan di dekat Candi Prambanan di Pulau JawaIndonesia.[1][2] Sendratari Ramayana Prambanan merupakan sendratari yang paling rutin mementaskan Sendratari Ramayana sejak 1961.[3][4] Pemilihan bentuk sendratari sebagai penutur cerita pahlawan atau biasa disebut wiracarita Ramayana karena sendratari mengutamakan gerak-gerak penguat ekspresi sebagai pengganti dialog, sehingga diharapkan penyampaian wiracarita Ramayana dapat lebih mudah dipahami dengan latar belakang budaya dan bahasa penonton yang berbeda.[1] Cerita Ramayana adalah perjalan Rama dalam menyelamatkan istrinya Sita (di Jawa biasa disebut Sinta) yang diculik oleh raja Negara AlengkaRahwana.[1] Sendratari Ramayana Prambanan biasa digelar tiap hari SelasaKamis, dan Sabtu, pementasan di panggung terbuka hanya pada bulan kemarau, di luar itu pementasan diadakan di panggung tertutup.[5]

(Indikasi Bahwa Sebenaranya Kisah Ramayana itu berasal dari kejadian historis di Indonesia (Nusantara/Sundalandia/Jawa, AYS)

—————

Tetapi ada orang lain yang berpendapat bahwa tidak ada bukti Rama hidup. Mereka adalah orang yang sama yang dengan senang hati akan setuju bahwa seorang anak dapat dikandung tanpa konsepsi manusia. Meskipun ada banyak bukti ilmiah yang dihasilkan oleh orang-orang seperti Charles Darwin, mereka percaya bahwa bumi diciptakan pada 4004 SM dan bahwa seseorang yang disebut dewa menciptakan dunia dalam tujuh hari. (Atau apakah itu enam? Ya, dia begitu kuat sehingga dia perlu beristirahat pada hari Minggu.) Mereka tidak akan mempertanyakan mitos Kristen atau Muslim – bagaimana pun keterlaluan, aneh atau benar-benar lucu – tetapi tradisi Hindu adalah musim terbuka bagi mereka. Mereka ingin Anda membuat akta kelahiran Rama, dan kemungkinan bahkan jika Anda entah bagaimana mendapatkan salinannya, mereka akan meminta dokter yang membuktikannya.

Inggris dan pembantunya seperti Max Muller awalnya bertanggung jawab atas stereotip yang berlaku tentang sejarah, agama, dan budaya India. Muller, yang dibayar oleh East India Company, melangkah lebih jauh dengan menggambarkan Veda sebagai puisi kekanak-kanakan.

Dalam History of India-nya, akademisi Romilla Thapar menggambarkan Rig-Veda yang terkenal sebagai “animisme primitif”; Mahabharata sebagai pemujaan “perselisihan lokal” antara dua suku Arya; Ramayana sebagai “deskripsi konflik lokal antara petani di Lembah Gangga dan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan yang lebih primitif di wilayah Vindhyan” (sic).

Tetapi Ramayana, Mahabharata, dan teks-teks India kuno lainnya seperti Veda, Purana dan Upanishad adalah catatan nyata sejarah India, terjalin dengan mitologi, filsafat dan spiritualitas. Hanya karena mereka berbicara tentang pertempuran antara para dewa dan setan, tidak ada alasan untuk mengabaikan kisah raja dan perkembangan kontemporer lainnya hanya sebagai dongeng belaka. Sungguh menakjubkan bahwa Alkitab menyebutkan banyak peristiwa fantastis seperti Banjir Besar, Pilar Api, penyembuhan sesaat dari telinga yang terpotong, penuh dengan gambaran seksual termasuk inses dan belum dianggap sebagai sejarah Kristen dan Yahudi, sedangkan India kuno teks dianggap mitologi “belaka”.

Bagian yang disayangkan adalah bahwa banyak sekularis, Sahib coklat dan Macaulayites – kelas orang India yang berpandangan Inggris dan hanya berwajah India – dengan mudah setuju bahwa epos India adalah mitologi murni dan dengan senang hati tunduk pada putusan yang dikeluarkan oleh mantan penguasa kolonial kulit putih mereka. . Dalam pandangan mereka, karena orang Inggris rata-rata mengatakan bahwa epos India tidak ada sebelum Alkitab Kristen, maka itu pasti benar.

Ilmu pengetahuan datang untuk membantu sejarah

Namun, sains tidak parokial. Sama seperti hukum gerak yang tidak dapat dipertanyakan, bukti ilmiah tidak dapat disangkal. Ilmu pengetahuan juga memiliki kebiasaan mengguncang fondasi terdalam jika mereka bersandar di tempat tidur kebohongan. Orang-orang Kristen Katolik – atau lebih tepatnya bos mereka, Paus – akhirnya harus mengakui pada tahun 2009 bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta, sebuah penemuan yang dibuat oleh Galileo 400 tahun yang lalu (dan yang diketahui oleh umat Hindu ribuan tahun sebelumnya) ).

Hasil gambar untuk dwaraka

 

Reruntuhan Dwarka, bawah laut di Teluk Khambhat, India  

Pada akhir 1980-an penyelam dari National Institute of Oceanography, Goa, dipimpin oleh arkeolog terkemuka S.R. Rao menemukan ibu kota Krishna, Dwarka yang cekung, tepatnya di tempat di Gujarat tempat Krishna menyebutkannya. Istana, pilar, tembok benteng, pelabuhan, jangkar, dan berbagai artefak telah ditemukan. Ini adalah salah satu contoh langka di mana fakta sejarah telah ditetapkan melalui metode ilmiah. Ini membuktikan fakta bahwa Krishna ada. Jadi Mahabharata itu benar, dan karena menyebutkan insiden dari Ramayana, lalu bukankah itu membuktikan bahwa Rama juga ada?

Juga, rujukan sastra untuk tokoh-tokoh dari Era Ramayana memberikan batasan setelah mana Ramayana tidak mungkin terjadi. Sebagai contoh, Valmiki disebut dalam Taittiriya Brahmana (tanggal 4600 SM) dan karenanya Ramayana harus ditulis sebelum Taittiriya Brahmana disusun.

Ikuti petunjuknya

Hal yang luar biasa tentang Ramayana adalah ketika Valmiki menulis epos, ia membuatnya menjadi idiot-proof/Bukti Idiot. (Untuk bersenang-senang, mari kita asumsikan Valmiki menjadi seorang resi tahu bahwa sekularis, komunis, pembenci India, penjajah Inggris, dan Macaulayites akan ada di masa depan dan mencoba untuk menurunkan karya sejarahnya.) Dia mengemas begitu banyak informasi tentang berbagai posisi planet dari mereka. hari-hari, geografi dari daerah-daerah yang disebutkan dalam epik, peristiwa musiman, dan tentang silsilah berbagai raja bahwa astronom dan ilmuwan modern dapat memiliki celah pada tanggal di mana peristiwa itu terjadi.

Tautan silsilah dan temuan arkeologis memberikan petunjuk tentang penanggalan zaman Ramayana. Menurut jurnalis dan penulis B.R. Haran, “Tidak ada bangsa lain dan agama lain di dunia, sejarah sejatinya didokumentasikan dengan sangat cermat, didukung oleh sekian banyak bukti. Setiap sejarah kuno didukung dengan bukti arsitektur dan sastra. Literatur Sangam adalah bukti yang terdokumentasi tentang keberadaan dan aturan raja-raja Tamil, dan demikian pula, Ramayana dan Mahabharata adalah bukti yang terdokumentasi untuk keberadaan Rama dan Krishna. Mempertanyakan Ramayana dan Mahabharata seperti mempertanyakan keberadaan India (termasuk India Timur/Indonesia tempatv asalnya, AYS). ”

Metode arkeologis dan sastra hanya dapat memberikan perkiraan garis data. Untuk menentukan waktu yang tepat dari peristiwa Ramayana, para ilmuwan menggunakan perhitungan astronomi. Beberapa astronom, astrolog, dan pensiunan ilmuwan nuklir terkemuka India berkumpul untuk menentukan tanggal sejarah kuno India.

Perhatikan bahwa brigade “epos Hindu adalah mitos” dipimpin oleh akademisi komunis yang tidak tertarik pada kebenaran, pengrajin karpet keluarga Nehru, pekerja freeloader Kristen yang telah menembus pakaian budaya India, dan orang India yang tidur dengan panduan PhD Anglo-Amerika mereka untuk menjadi, dalam kata-kata Arun Shourie, “ilmuwan terkemuka”.

Dr Raja Ramanna

Di sisi lain, sebagian besar dari mereka yang berusaha membuktikan epos adalah sejarah adalah ilmuwan. Misalnya, di sebuah kolokium global (http://ignca.nic.in/nl002503.htm) yang diselenggarakan bersama oleh The Mythic Society, Bangalore, Pusat Seni Nasional Indira Gandhi dan Sir Babasaheb (Umakanth Keshav) Apte Smarak Samithi Percaya 5 dan 6 Januari 2003, almarhum Dr Raja Ramanna, bapak bom nuklir India, mengatakan “jam terbaik untuk kencan adalah langit itu sendiri dan posisi bintang-bintang”.

Para ilmuwan ini sedang mempelajari fakta, mereka melihat ke masa lalu pada presesi atau posisi bintang. Mereka tidak memuntahkan kembali tulisan-tulisan Karl Marx yang telah didiskreditkan, orang Jerman rasis yang mendukung pemerintahan Inggris atas India. Jadi Anda menilai sendiri siapa yang berbicara kebenaran dan siapa yang menjajakan minyak ular.

Pertanggalan Zaman Ramayana

Jadi bagaimana Pertanggalan (masa)  astronomi dilakukan? Sejarawan Dr P.V. Vartak mengatakan: “Sage Valmiki telah mencatat tanggal peristiwa secara rinci, meskipun dengan menggambarkan posisi bintang dan planet. Untuk menguraikan pengkodean astronomi bukanlah tugas yang sepele, dan tidak banyak yang berusaha melakukannya. Perlu dicatat bahwa orang India kuno memiliki metode pengukuran waktu yang sempurna. Mereka mencatat ‘tithis’ (hari) sesuai dengan nakshatra (bintang) di mana bulan menang, bulan, musim dan bahkan titik balik matahari yang berbeda. Dengan mencatat pengaturan tertentu dari benda-benda astronomi, yang terjadi sekali dalam ribuan tahun, tanggal peristiwa dapat dihitung. ”

Dr Vartak telah mengambil ratusan bagian ilustrasi dari epos untuk menetapkan tanggal. Dia menulis: “Valmiki mencatat kelahiran Rama sebagai Chaitra Shuddha Navami (ke-9), di Punarvasu Nakshatra dan lima planet ditinggikan saat itu; Sun di Mesha hingga 10 deg; Mars di Capricorn pada 28 derajat; Jupiter dalam Kanker pada 5 derajat; Venus di Pisces pada 27 derajat dan Saturnus di Libra pada 20 derajat. (Bala Kanda 18, Shloka 8.9). 4 Desember 7323 SM, oleh karena itu, adalah tanggal kelahiran Rama, ketika keempat planet itu ditinggikan. Ramayana terjadi lebih dari 9300 tahun yang lalu. ”

Sejujurnya, hanya seorang peramal astrolog atau astronom yang dapat memahaminya. Namun, bagian-bagian Dr Vartak menggambarkan bagaimana kencan dapat dilakukan dengan informasi yang cukup. Peristiwa – seperti gerhana, posisi planet atau astral atau penampakan komet – yang disebutkan dalam epik seperti Ramayana mungkin telah terjadi selanjutnya atau sebelumnya. Selama periode katakanlah, 20.000 tahun, jenis peristiwa tertentu bisa saja terjadi beberapa kali.

Posisi bintang juga bergeser berhadapan dengan bumi sehingga medan bintang yang kita lihat di langit malam tidak seperti yang dilihat orang dahulu pada 9000 tahun yang lalu. Ini disebut presesi dan harus diperhitungkan dalam semua perhitungan. Idenya adalah untuk mendukung data astronomi dengan titik referensi lain seperti geografi (misalnya

Posisi bintang juga bergeser berhadapan dengan bumi sehingga medan bintang yang kita lihat di langit malam tidak seperti yang dilihat orang dahulu pada 9000 tahun yang lalu. Ini disebut presesi dan harus diperhitungkan dalam semua perhitungan. Idenya adalah untuk mendukung data astronomi dengan titik referensi lain seperti geografi (misalnya, berapa banyak gerhana terjadi di atas Ayodhya) untuk mengurangi kemungkinan kesalahan.

Keturunan Raja Guha

The Daily Pioneer (http://www.dailypioneer.com/todays-newspaper/ramayana-not-a-work-of-fiction.html) melaporkan bahwa tim peneliti internasional yang terdiri dari ahli genetika, antropologi, arkeolog, dan sejarawan telah menemukan bahwa Ramayana adalah kronik peristiwa dan karakter yang direkam oleh Sage Valmiki dan bukan karya fiksi.

Tim yang dipimpin oleh Dr Gyaneshwer Chaubey, seorang ilmuwan genetika dari Estonia Biocentre di Estonia, termasuk ilmuwan dari Pusat Biologi Seluler dan Molekuler, Hyderabad; Universitas Delhi; Institut Teknologi India-Kharagpur; dan Institut Penelitian Ilmiah tentang Veda. Telah ditemukan bahwa komunitas Bhils, Gonds, dan Kols adalah keturunan sebenarnya dari karakter yang ditampilkan dalam Ramayana.

Suku Kol, ditemukan terutama di daerah-daerah seperti Mirzapur, Varanasi, Banda dan Allahabad di Uttar Pradesh, adalah keturunan Kol yang disebutkan dalam Ramayana, kata studi tersebut. Guha, raja Nishad, yang membantu Rama menyeberangi Gangga selama perjalanannya ke hutan, adalah leluhur suku Kol saat ini. “Kelompok-kelompok orang ini membawa sifat-sifat genetik asli pribumi India … mereka adalah keturunan sejati Rama dan orang-orang sezamannya,” kata Dr. Chaubey.

Siapa tahu, penelitian lebih lanjut bisa menghasilkan lebih banyak kejutan. Sebab, tidak seperti kaum sekuler, Macaulayites, dan komunis yang sepakat bahwa Rama tidak pernah ada, para ilmuwan tidak bersikukuh bahwa tanggal itu ditetapkan. Seperti semua ilmuwan yang baik, mereka hanya ingin terus mencari dengan harapan bahwa suatu hari mereka akan menemukan kebenaran.

“Ke mana kita akan pergi dari sini?” Tanya Dr Kalyan Raman, seorang ilmuwan yang berbasis di Chennai, dan menawarkan jawabannya: “Sampah karya indologis barat dilakukan dengan motivasi dan alih-alih menulis ulang sejarah India.” Kebenaran, katanya, harus dipahami secara istilah warisan nasional kita.

Epilog: Mengapa orang Hindu mencintai Rama

Tidak seperti Krishna, yang memiliki 16 kalas atau kualitas yang menjadikannya sempurna, Rama hanya menguasai 14 kalas. Pangeran Ayodhya, oleh karena itu, tidak sempurna dan dia menunjukkannya pada beberapa kesempatan, paling kejam ketika dia meminta istrinya untuk menjalani tes kesucian. Sekali lagi, ketika seorang warga negara yang tidak sopan mempertanyakan kesucian ratu, Rama mengirim istrinya yang sedang hamil ke hutan. Krishna mungkin akan secara terbuka mengejek dan mempermalukan warga negara itu daripada membuang ratu sendiri.

Mengesampingkan kekurangannya, Rama dicintai oleh orang India karena ia membawa pengorbanan ke tingkat yang baru. Dia adalah seorang pangeran prajurit yang dengan riang menyerahkan kerajaan terbesar pada hari itu sehingga ibu tirinya tidak akan memiliki alasan sedikit pun untuk mengeluh. Dia adalah seorang suami yang melepaskan istrinya karena satu pria – hanya satu – di antara jutaan rakyatnya yang keberatan. kehadirannya di kerajaan.

Melihat hal-hal dari perspektif era modern – di mana kita secara naluriah bersekongkol di hadapan para politisi – Rama mengambilnya terlalu jauh, tetapi bagi raja Ayodhya kenyamanannya sendiri atau keluarganya tidak penting. Sesuai dengan hukum Hindu kuno, ia tahu tugas utama raja adalah melayani rakyatnya. Jadi bagaimana mungkin dia memiliki satu warga negara yang tidak bahagia, betapapun menghina orang itu?

Dalam terjemahan Ramayana yang menyentuh hati dan cemerlang, William Buck dan B.A. van Nootena berkata: “Rama dapat menemukan kebenaran segala sesuatu, dan orang-orang memilihnya dari seluruh dunia, karena sungai-sungai di dunia mengalir ke laut. Rama sangat dihormati dan dicintai. Kehadirannya memenuhi hati.

“Rama cukup kuat untuk mendukung semua orang, dan selembut sinar bulan baru. Ketenaran dan kekayaan tidak pernah meninggalkannya. Ketika dia menjadi raja, pria berumur panjang, dan hidup dikelilingi oleh anak-anak dan cucu mereka dan semua keluarga mereka. Yang tua tidak pernah harus membuat pemakaman untuk anak muda. Ada hujan dan bumi yang subur; memang, bumi menjadi berlimpah.

“Damai dan Rama memerintah sebagai teman bersama, dan hal-hal buruk tidak terjadi. Pria tumbuh baik dan tanpa rasa takut. Setiap orang memiliki udara dan penampilan yang baik untuknya.

“Seorang raja seperti Rama tidak pernah terlihat sebelumnya dan tidak pernah diingat dari masa lalu di kerajaan mana pun, juga tidak ada yang seperti dia pernah mengikuti di zaman akhir dunia ini.”

Rakesh terutama adalah analis pertahanan. Artikel-artikelnya telah dikutip secara luas oleh universitas-universitas dan dalam buku-buku tentang diplomasi, anti-terorisme, peperangan, dan pengembangan selatan global; dan oleh jurnal pertahanan internasional.

Karya Rakesh telah dikutip oleh lembaga think tank dan organisasi terkemuka yang mencakup Naval Postgraduate School, California; Perguruan Tinggi Perang Tentara AS, Pennsylvania; Carnegie Endowment for International Peace, Washington DC; Universitas Negeri New Jersey; Institut Hubungan Internasional dan Strategis, Paris; BBC Vietnam; Universitas Federal Siberia, Krasnoyarsk; Pusat Studi Tenaga Udara, New Delhi; Institut Analisis Pertahanan, Virginia; Pusat Internasional untuk Hukum Nirlaba, Washington DC; Stimson Center, Washington DC; Lembaga Penelitian Kebijakan Luar Negeri, Philadelphia; dan Institut Konsultasi Strategis, Politik, Keamanan dan Ekonomi, Berlin.

Artikel-artikelnya telah diterbitkan oleh Pusat Studi Perang Tanah, New Delhi; Yayasan Lembaga Studi Timur, Warsawa; dan Lembaga Penelitian untuk Studi Eropa dan Amerika, Yunani, antara lain.

Rakesh is primarily a defence analyst. His articles have been quoted extensively by universities and in books on diplomacy, counter terrorism, warfare, and development of the global south; and by international defence journal

Rakesh’s work has been cited by leading think tanks and organisations that include the Naval Postgraduate School, California; US Army War College, Pennsylvania; Carnegie Endowment for International Peace, Washington DC; State University of New Jersey; Institute of International and Strategic Relations, Paris; BBC Vietnam; Siberian Federal University, Krasnoyarsk; Centre for Air Power Studies, New Delhi; Institute for Defense Analyses, Virginia; International Center for Not-for-Profit Law, Washington DC; Stimson Centre, Washington DC; Foreign Policy Research Institute, Philadelphia; and Institute for Strategic, Political, Security and Economic Consultancy, Berlin.
His articles have been published by the Centre for Land Warfare Studies, New Delhi; Foundation Institute for Eastern Studies, Warsaw; and the Research Institute for European and American Studies, Greece, among others.

Sumber:

http://indiafacts.org/the-scientific-dating-of-the-ramayana/

id Rama exist? A billion Hindus believe he did and an unbroken tradition of Rama worship has continued for thousands of years in India. Rama is also a hero in Indonesia (despite it being a Muslim country), Thailand and in several other South East Asian countries. Without the weight of historical tradition, the Ramayana would have been swept away by the tidal waves of conquests that India suffered over a period of 1300 years.

A Ramayana ballet from Indonesia

But there are others who argue that there is no proof Rama lived. These are the same people who will happily agree that a child can be conceived without human conception. Despite the overwhelming scientific evidence produced by the likes of Charles Darwin, they believe the earth was created in 4004 BC and that a certain being called god created the world in seven days. (Or was that six? Yes, he was so powerful he needed to rest on Sunday.) They won’t question any Christian or Muslim myths – howsoever outrageous, bizarre or downright funny – but Hindu traditions are open season for them. They want you to produce Rama’s birth certificate, and chances are even if you somehow get a copy, they will ask for the doctor who attested it.

The British and their acolytes like Max Muller are originally responsible for the prevailing stereotypes about Indian history, religion and culture. Muller, who was in the pay of the East India Company, went so far as to describe the Vedas as childish poetry.

In her History of India, academician Romilla Thapar describes the celebrated Rig-Veda as “primitive animism”; the Mahabharata as the glorification of a “local feud” between two Aryan tribes; the Ramayana as “a description of local conflicts between the agriculturists of the Ganges Valley and the more primitive hunting and food-gathering societies of the Vindhyan region” (sic).

But the Ramayana, Mahabharata, and other ancient Indian texts like the Vedas, Puranas and Upanishads are true records of Indian history, interwoven with mythology, philosophy and spirituality. Just because they talk about battles between gods and demons is no reason to dismiss their accounts of kings and other contemporary developments as mere story telling. It is indeed amazing that the Bible mentions numerous fantastic events like the Great Deluge, Pillar of Fire, instantaneous healing of cut-off ears, is full of sexual imagery including incest and is yet considered a history of Christianity and Jews, while the ancient Indian texts are considered “mere” mythology.

The unfortunate part is that many secularists, brown sahibs and Macaulayites – a class of Indians who are English in outlook and Indian only in looks – readily agree that India’s epics are pure mythology and gleefully bow down to the verdict passed by their former white colonial masters. In their view, because the British averred that Indian epics do not pre-date the Christian Bible, then it must necessarily be true.

Science comes to history’s aid

Science, however, is not parochial. Just like the laws of motion cannot be questioned, scientific evidence is incontrovertible. Science also has a habit of shaking up the deepest foundations if they rest on a bed of lies. Catholic Christians – or more accurately their boss, the Pope – had to admit at long last in 2009 that the Earth was not the centre of the universe, a discovery made by Galileo 400 years ago (and which the Hindus knew thousands of years before that).

Ruins of Dwarka, underwater at the Gulf of Khambhat

In the late 1980s divers of the National Institute of Oceanography, Goa, led by leading archaeologist S.R. Rao discovered Krishna’s sunken capital Dwarka, precisely at the place in Gujarat where Krishna mentioned it was located. Palaces, pillars, fort walls, a port, anchors and various artefacts have been discovered. This is among the rare instances where a historical fact has been established through scientific methods. It establishes the fact that Krishna existed. So the Mahabharata was true, and since it mentions incidents from the Ramayana, then doesn’t it prove that Rama also existed?

Also, literary references to the characters from the Ramayana Era provide limits after which the Ramayana could not have occurred. For example, Valmiki is referred to in the Taittiriya Brahmana (dated to 4600 BCE) and therefore Ramayana must have been written before the Taittiriya Brahmana was composed.

Follow the clues

The wonderful thing about the Ramayana is that when Valmiki wrote the epic, he made it idiot-proof. (For fun let’s assume Valmiki being a prescient sage knew that secularists, communists, India haters, British invaders and Macaulayites would exist in the future and try to run down his historical opus.) He packed so much information about the various planetary positions of those days, the geography of the areas mentioned in the epic, the seasonal events, and about the genealogy of various kings that modern astronomers and scientists can have a crack at the dates on which those events occurred.

Genealogical links and archaeological findings provide clues to the dating of the Ramayana era. According to journalist and author B.R. Haran, “In no other nation and no other religion in the world, true history is so meticulously documented, supported by umpteen evidences. Any ancient history is supported with evidences of architecture and literature. The Sangam literature is the documented evidence for the existence and ruling of Tamil kings, and similarly, Ramayana and Mahabharata are the documented evidence for Rama and Krishna. Questioning Ramayana and Mahabharata is like questioning the very existence of India.”

Archaeological and literary methods can only provide approximate datelines. For determining the precise time of the Ramayana events, scientists use astronomical calculations. Several of India’s leading astronomers, astrologers and retired nuclear scientists have come together to establish the dates of India’s ancient history.

Note that the “Hindu epics are myth” brigade is led by communist academicians who have zero interest in the truth, Nehru family carpet baggers, Christian freeloaders who have penetrated Indian cultural outfits, and Indians who have slept with their Anglo-American PhD guides to become, in Arun Shourie’s words, “eminent scientists”.

Dr Raja Ramanna

On the other hand, most of those trying to prove the epics are history are scientists. For instance, at a global colloquium (http://ignca.nic.in/nl002503.htm) jointly organised by The Mythic Society, Bangalore, Indira Gandhi National Centre for the Arts and Sir Babasaheb (Umakanth Keshav) Apte Smarak Samithi Trust on January 5 and 6, 2003, the late Dr Raja Ramanna, the father of the Indian nuclear bomb, said the “best clock for dating was the sky itself and the position of stars”.

These scientists are studying facts, they are looking back in time at precession or the position of stars. They are not regurgitating the discredited writings of Karl Marx, the racist German who supported English rule over India. So you judge for yourself who is speaking the truth and who’s peddling snake oil.

Dating the Ramayana

So how is astronomical dating done? Historian Dr P.V. Vartak says: “Sage Valmiki has recorded the dates of events in detail, albeit by describing the positions of stars and planets. To decipher the astronomical encodings has not been a trivial task, and not many have attempted to do so. It should be noted that the ancient Indians had a perfect method of time measurement. They recorded the ‘tithis’ (days) according to the nakshatra (star) on which the moon prevailed, the months, the seasons and even the different solstices. By noting a particular arrangement of the astronomical bodies, which occurs once in many thousand years, the dates of the events can be calculated.”

Dr Vartak has taken hundreds of illustrated passages from the epic to establish dates. He writes: “Valmiki records the birth of Rama as Chaitra Shuddha Navami (9th), on Punarvasu Nakshatra and five planets were exalted then; Sun in Mesha up to 10 deg; Mars in Capricorn at 28 deg; Jupiter in Cancer at 5 deg; Venus in Pisces at 27 degrees and Saturn in Libra at 20 degrees. (Bala Kanda 18, Shloka 8.9). December 4, 7323 BCE, therefore, is the date of birth of Rama, when the four planets exalted. Ramayana occurred over 9300 years ago.”

Frankly, only an astrologer or astronomer can make any sense of it. Still, Dr Vartak’s passages illustrate how dating can be done with sufficient information. Events – such as an eclipse, planetary or astral positioning or a comet sighting – mentioned in an epic like the Ramayana may have occurred subsequently or prior. Over a period of say, 20,000 years, a particular type of event could have happened several times.

Stars shift position too vis-a-vis the earth so the star field we see in the night sky is not what the ancients saw 9000 years ago. This is called precession and has to be factored into all calculations. The idea is to back astronomical data with other reference points such as geography (for instance, how many of those eclipses took place over Ayodhya) in order to reduce the probability of error.

King Guha’s descendants

The Daily Pioneer (http://www.dailypioneer.com/todays-newspaper/ramayana-not-a-work-of-fiction.html) reports that an international team of researchers consisting of geneticists, anthropologists, archaeologists and historians have found that Ramayana is a chronicle of events and characters recorded by Sage Valmiki and not a work of fiction.

The team, led by Dr Gyaneshwer Chaubey, a genetics scientist of the Estonian Biocentre in Estonia, included scientists from the Centre for Cellular and Molecular Biology, Hyderabad; Delhi University; Indian Institute of Technology-Kharagpur; and the Institute of Scientific Research on Vedas. It has found that the Bhils, Gonds and the Kols communities are the true descendants of characters featured in Ramayana.

The Kol tribe, found mainly in areas like Mirzapur, Varanasi, Banda and Allahabad in Uttar Pradesh, are the descendants of the Kol mentioned in the Ramayana, the study says. Guha, the Nishad king, who helped Rama cross the Ganga during his journey to the forests, is the ancestor of the present day Kol tribe. “These groups of people carry the basic indigenous genetic traits of India… they are the true descendants of Rama and his contemporaries,” Dr Chaubey said.

Who knows, further research could come up with more surprises. For, unlike the secularists, Macaulayites and communists who are unanimous that Rama never existed, the scientists are not adamant that the date is fixed. Like all good scientists, they just want to continue looking in the hope that one day they’ll nail the truth.

“Where do we go from here?” asks Dr Kalyan Raman, a Chennai-based scientist, and offers the answer: “Trash western Indological work done with motivation and instead rewrite Indian history.” Truth, he says, should be perceived in terms of our national heritage.

Epilogue: Why Hindus love Rama

Unlike Krishna, who had the 16 kalas or qualities that makes one perfect, Rama had mastered only 14 kalas. The prince of Ayodhya is, therefore, imperfect and he shows it on several occasions, most starkly when he asks his wife to undergo a chastity test. Again, when an uncouth citizen questions his queen’s chastity, Rama sends his pregnant wife off to the forest. Krishna would have probably publicly mocked and shamed the citizen instead of banishing his own queen.

Flaws aside, Rama is loved by Indians because he takes sacrifice to a new level. He is a warrior prince who cheerfully gives up the greatest empire of the day so his step mother would not have the slightest reason to complain.He is a husband who lets go his wife because one man – just one –among his millions of subjects objected to her presence in the kingdom.

Looking at things from the perspective of the modern era – where we instinctively genuflect before politicians – Rama was taking it too far, but for the king of Ayodhya his own comforts or that of his family mattered little. True to ancient Hindu laws, he knew the king’s primary duty was to serve his people. So how could he have even one unhappy citizen, howsoever boorish that person may be?

In their moving and brilliant translation of the Ramayana, William Buck and B.A. van Nootena say: “Rama could discover the truth of things, and men resorted to him from all over the earth, as the rivers of the world all flow to the sea. Rama was well-honoured and well-loved. His presence filled the heart.

“Rama was strong enough to support all men, and gentle as the new moon’s beams. Fame and wealth never left him. When he was king men were long in life, and lived surrounded by their children and grandchildren and all their families. The old never had to make funerals for the young. There was rain and fertile earth; indeed, the earth became bountiful.

“Peace and Rama ruled as friends together, and bad things did not happen. Men grew kind and fearless. Everyone had about him a certain air and look of good fortune.

“A king like Rama was never seen before and nowhere remembered from the past in any kingdom, nor did any like him ever follow in the later ages of this world.”

 

 

Spirit Gerakan Kebangkitan Nusantara

$
0
0

Spirit Gerakan Kebangkitan Nusantara

whatsapp image 2018-09-15 at 8.24.39 am

Semoga pointers ini dapat menjadi bahan renungan dan kontemplasi serta penelitian lebih lanjut bersama bergotong -royong membangun Gerakan Kebangkitan Nusantara (GKN/GBN):

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live