FILOLOGI SEBAGAI SALAH SATU BIDANG ILMU
YANG MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL
MELALUI TRADISI NASKAH (MANUSKRIP)
Disajikan pada acara Kajian Manuskrip Nusantara
Diselenggarakan oleh Pamong Budaya Bogor bekerjasama dengan
Dewan Adat Budaya dan Adab Nusantara dan Bayt al-Hikmah Institute
Sabtu, 4 Mei 2019 di Hotel Salak Heritage Bogor
Oleh
Dr. Undang Ahmad Darsa
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
BANDUNG-JATINAGOR
2019
UADarsa.FIBU.2019
FILOLOGI SEBAGAI SALAH SATU BIDANG ILMU
YANG MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL
MELALUI TRADISI NASKAH (MANUSKRIP)1
Oleh: Dr. Undang Ahmad Darsa2
![]()
Prolog
Kehadiran saya pada acara ini jangan dipandang sebagai seorang dosen atau peneliti, tetapi saya ini sebagai warga penggemar budaya yang sama-sama kita cintai. Atas dasar ini, kita semua dapat saling tukar pengalaman, paling
tidak pengalaman saya selama menjadi pekerja dan pelacak naskah dengan sarana filologi. Bukan masalah teoritis semata, tapi benar-benar ini adalah pengalaman yang mengkristal selama ini pada diri saya.
Di satu pihak, filologi diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis, khususnya yang tertuang di dalam naskah-naskah. Bagi saya, kebudayaan yang mengalir di hadapan kita sekarang ini tentu memiliki sejarah yang panjang di belakangnya. Seperti layaknya sebuah sungai, saya tak pernah tahu dengan pasti dari mana saja datangnya air yang mengalir itu: dari gunungkah, dari awankah, dari pepohonankah, atau masuk dari sungai yang lain?
Yang nampak jelas di mata saya, ia sudah berkumpul, berbaris, mengalir menimbulkan bunyi-suara yang dalam penangkapan kuping saya demikian merdu. Seakan waktu pun dibuatnya berhenti dan ruang pun hilang-lenyap. Suara-suara ini pun tak bisa lagi diketahui dengan pasti dari mana saja datangnya. Barangkali dari segala penjuru mata anginkah?!
Oleh karena itu, kebudayaan dapat saya sebut sebagai suara tradisi, sebagai wakil dari kumpulan-kumpulan suara yang mengkristal dalam kata-kata yang saling bersahutan, dan karenanya, dalam pandangan saya budaya berproses
terus. Jika tidak, itu berarti kita telah menyempitkan sesuatu yang luas, atau menyederhanakan sesuatu yang sesungguhnya kompleks. Di sini, saya sebagai orang yang senantiasa bergelut dengan naskah ― karena memang saya
ingin terus belajar filologi ― tentu berharap menjadi seorang filolog. Sungguh eksotis kedengarannya makna sebutan itu: Pecinta Kata.
Gambaran stereotip seperti yang saya kemukakan itu sesungguhnya dibentuk bersama-sama oleh teks, pikiransaya, dan tradisi kultural. Namun bukan gambar itu sediri yang penting, tetapi efek yang diciptakan terhadap pergulatan saya untuk berusaha memahami gaung suara-suara purba yang saling sahut dalam lorong-lorong puing naskah. Ia menjadikan pergulatan itu tidak lagi seperti perjalanan yang kesepian. Saya datang ke zamannya dengan menghentikan waktu zaman saya ini, atau ia saya undang ke zaman saya karena saya membuka pintu waktu.
Naskah dan Teks
Naskah dapat diartikan sebagai wujud konkret dari sebuah tulisan tangan yang di dalamnya mengandung teks.
Adapun teks yang terkandung dalam naskah itu memiliki sifat abstrak dan hakiki. Teks itu sendiri terbagi atas dua macam, yakni teks insaniah dan teks illahiah.
Kekonkretan naskah secara anatomis tersusun atas aneka ragam bahan sebagai sarana tempat menuangkan berbagai tipe dan model tulisan (aksara); lalu aksara merupakan alat rekam berbagai sistem bunyi bahasa; dan kemudian bahasa yang berfungsi sebagai pembungkus teks yang bersifat abstrak dan hakiki itu. Dalam hubungan ini, bahasa berada di perbatasan antara yang konkrit dan yang abstrak.
Jadi bila dilihat dari konteks kebudayaan, naskah dapat dikategorikan sebagai salah satu tangible cultural heritage ‘warisan budaya kebendaan’ yang bersifat kongkrit (material culture), dan sekaligus mengandung teks yang dapat
dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritage ‘warisan budaya nonkebendaan’ yang bersifat abstrak (immaterial cultur)³. Dengan kata lain, naskah berdasarkan wujudnya dapat dipandang sebagai benda budaya yang berupa hasil buah pikiran dalam bentuk tulisan tangan yang mengandung kode-kode bahasa yang tertera di dalamnya dengan penuh makna, antara lain, dapat menginformasikan ide-ide atau gagasan berbagai pengetahuan mengenai alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, naskah dapat dipandang sebagai perwujudan
ajaran-ajaran moral, filsafat, keagamaan, sejarah serta unsur budaya lainnya yang mengandung nilai-nilai kearifan luhur yang dapat dikembangkan dalam upaya menunjang perwujudan pembangunan nasional, khususnya pengetahuan di bidang kesatuan budaya nasional.
Gambaran Umum Naskah Sunda
Naskah Sunda ialah benda budaya berupa tulisan tangan yang wujud fisik dan kandungan isinya berkaitan dengan kehidupan kebudayaan Sunda, yang pada umumnya dibuat oleh orang Sunda dan/atau orang yang (pernah) tinggal di
Tatar Sunda. Naskah Sunda tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari menjelang berakhirnya sistem zaman Kerajaan Sunda (abad ke-8 hingga berakhir abad ke-16), antara lain, ialah naskah Séwaka Darma ditulis dalam sengkalan ‘candrasangkala’ mrega (5) payung (0) beunang (4) numpi (1) (1405 + 78 = 1483 Masehi), Sanghyang Siksakandang Karesian ditulis pada tahun nora (0) catur (4) saraga (4) wulan (1) (1440+78 = 1518 Masehi), naskah Sanghyang Hayu ditulis pada tahun panca (5) warna (4) catur (4) bumi (1) (1445+78 = 1523 Masehi). Bahkan, ada petunjuk mengenai naskah Sunda yang dibuat jauh sebelum kedua naskah tersebut4. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini, unsur-unsur bahan yang digunakan untuk pembuatan naskah Sunda secara anatomis dapat dibagi ke dalam lima
komponen yang meliputi.
1. Ragam alas tulis
a) Kulit binatang, seperti handalam, kulit tumbuhan, dan hinis ‘kulit bilahan bambu’. Handalam ialah kulit anak binatang, baik kambing, sapi, dan sejenisnya, yang masih dalam kandungan perut induknya. Handalam ini biasa
diperoleh dengan tanpa sengaja dari hasil penyembelihan hewan peliharaan atau pun binatang hasil perburuan yang tengah bunting. Naskah yang berbahan handalam ini sangat langka sehingga mahal sekali, dan biasanya
dipergunakan untuk menuliskan teks-teks yang sangat penting dan istimewa.
Daluang terbuat dari jenis kulit pohon saéh (urticaceae: broussonetia papyrifera vent). Pengolahan kulit kayu tersebut hingga menjadi lembaran-lembaran daluang yang kasar dan tebal, halus dan tipis yang umumnya berwarna gading (ivory) dilakukan dengan cara memukul-mukul lembaran kulit pohon itu dengan alat tempa berbahan kayu. Sering-sering orang menganggap lembaran naskah berbahan daluang yang halus dan licin itu sebagai kulit binatang.
Daluang ini memiliki keistimewaan terhadap kondisi suhu lembab, percikan api dan air, insekt perusak buku, tikus, dan lainnya. Apabila naskah berbahan daluang sering dibaca atau sudah tua sekali, maka warna bagian tepiannya bisa berubah menjadi coklat kehitam-hitaman.
Lembar halaman naskah berbahan ‘daluang’(dok.UAD)
Cara penulisan naskah pada hinis ‘kulit bilahan bambu’ pada prinsipnya hampir seperti cara penulisan pada naskah berbahan lempiran lontar, yairu dengan cara digores atau ditoreh dengan alat terbuat dari logam.
b) Daun palem-paleman (seperti lontar, nipah, kelapa, dan sejenisnya). Lempiran lontar (borassus flabellifer l.) yang digunakan dalam khazanah naskah Sunda umumnya berukuran, yang panjang antara ±35 cm dan yang pendek ±25 cm dengan lebar rata-rata 3,5 cm. Pengolahan lempiran-lempiran lontar sebelum digunakan biasanya direbus lalu dikeringkan, kemudian dilobangi margin kiri-kanannya untuk upaya pengepresan agar tiap-tiap permukaannya rata dan dilobangingi pada bagian tengahnya untuk tali pengikat.
Lempiran-lempiran itu digores atau ditoreh dengan péso pangot lalu diolesi secara merata dengan minyak muncang ‘kemiri’ (euphorbiaceae, aleurites triloba forst) yang dihasilkan dengan cara dibakar hingga gosong lalu
ditumbuk halus. Tradisi teknologi ini dapat manjadikan lempiran naskah lentur, tidak mudah patah, mengkilap, mencegah serangan insek, menahan kelembaban udara, serta menghitamkan goresan aksara dan iluminasinya.
Lempiran bundelan lontar yang sudah digoresi itu kemudian dijepit dengan bilahan kayu jati berukir, bahkan kayu tertentu yang beraroma harum yang berukuran ±0,2 cm lebih panjang dan lebih lebar dari bundelan yang
dijepitnya. Ke dalam lobang pada bagian tengah bundelan itu dimasukkan pelintiran tali haramay (benang urat daun) atau ramat (benang urat pohon pisang manggala ‘batu/klutuk’), juga bisa dari lulub (serat halus kulit pohon
waru yang direndam dalam timbunan lumpur), atau tali benang katun. Pada tiap-tiap ujung pelintiran tali tersebut biasanya diikatkan batu berlobang, pasak kayu, atau mata uang kuno berbahan logam tembaga, perak juga perunggu, bahkan sering kali berupa mata uang Tiongkok dari zaman dinasti Ming.
Bundelan Lontar Sunda Kuno, pustaka Mandala (dok.UAD)
Tiap-tiap bundelan lempir lontar yang sudah terikat tali biasanya dimasukkan ke dalamsebuah kropak ‘kotak kayu’ yang berukuran sesuai dengan bundenan lempir lontar tersebut. Kropak-kropak itu umumnya diukir bermotif
tumbuhan rambat dan dicat merah jungga dengan pewarna alami secara tradisional.
Beberapa Kropak dan Bundelan Naskah Sunda Kuno (dok.UAD)
c) Kertas buatan pabrik lokal maupun import, ada yang polos dan ada yang memakai watermark ‘bercap air’. Naskah berbahan kertas buatan pabrik lokal dapat bermacam-macam. Ada yang terbuat dari kertas folio polos maupun
bergaris, buku tulis ukuran standar, buku notes, buku register, buku kaas zaman kolonial, dal lain-lain. Naskah berbahan tersebut umumnya mulai dipergunakan pada awal abad XX Masehi, sedangkan buku tulis biasanya
muncul sejak tahun 1940-an. Sesudah masa itu mulailah bermunculan salinan-salinan naskah yang menggunakan bahan berupa buku tulis sekolahan hingga kini.
Naskah-naskah yang berbahan kertas import, khususnya kertas Eropa bermunculan sejak abad XVII Masehi dan mulai populer pada abad XVIII Masehi. Jenis kertas import dari Tiongkok dan Timur Tengah (Arab) biasanya tidak memiliki filigran ‘garis bayang’ apalagi watermark ‘cap air’. Kertas dari Tiongkok umumnya lebih halus namun kusam dibanding kertas dari Timur Tengah yang agak tebal dan kusam. Salah satu babasan ‘idiomatik’ Sunda
berbunyi, “teungteuingeun eunteung burem, daluang keretas Cina” (‘tega nian cermin suram, daluang kertas Cina’).
Naskah-naskah yang berbahan kertas Eropa itu pada umumnya ada dua jenis, yakni:
(1) kertas yang hanya berfiligran dan agak tebal yang berwarna keabu-abuan; dan
(2) kertas yang berfiligran sekaligus berwatermark.
Naskah Berbahan Kertas Lokal (Cigondewah) Naskah Berbahan Kertas Eropa (dok.UAD)
2. Ragam alat tulis
a) Tumbuhan, seperti harupat dan batang paku andam ‘pakis haji’. Harupat bagian serat terbesar berupa lidi atau tulang ijuk yang biasa terdapat pada pohon kawung ‘enau’ (a. saccharifera labill) dan sifatnya padat, kekar, mudah
patah namun dayan serap terhadap tinta kurang. Adapun batang paku andam (asplenium malabaricum, jenis filices) ialah tumbuhan sejenis pakis haji yang biasa terdapat pada pinggiran kali atau tebing-tebing cadas. Batang paku andam ini sifatnya agak lentur dan berbuluh sehingga dapat menyerap tinta. Baik harupat maupun paku andam bila akan digunakan sebagai alat tulis, bagian ujungnya diruncingkan sampai dilancip. Penggunaan kedua
alat tulis ini dengan cara ujung yang lancipnya dicelupkan pada cairan tinta lalu digoreskan pada alas naskah, tetapi lama-kelamaan akan tumpul dan lembek sehingga sewaktu-waktu perlu ditajamkan ulang.
Kelemahan alat tulis harupat ialah tidak bisa menyimpan cadangan tinta pada tangkainya sehingga harus sering dicelupkan ke dalam cairan tinta, tetapi daya tahan keruncingannya lebih kuat dibanding alat tulis paku andam.
Paku andam tangkainya seperti pipa kecil yang mampu menyimpan cadangan tinta serta bisa digunakan menulis tipis-tebal sehingga bagi penulis yang cakap dapat menghasilkan tulisan indah secara kaligrafis untuk aksara Arab
dan Pegon, juga membuat berbagai seni iluminasi pada naskah.
b) Logam, seperti péso pangot, kalam, pulven, balpoint, dan pensil. Salah satu babasan ‘idiomatik’ Sunda berbunyi, “péso pangot ninggang lontar” (‘torehan pisau penggores menghujam lontar’). Bersamaan dengan muncul suburnya jenis-jenis alas tulis berupa kertas pada abad XX Masehi, jenis alat tulis harupat dan paku andam perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena terdesak oleh berbagai jenis pena berbahan logam, seperti kalam, pulven, balpoint, juga pensil. Berdasarkan pengamatan selama ini terhadap naskah-naskah Sunda lama tidak tampak para penulisnya mempergunakan alat penghapus. Adapun setiap terjadi kekeliruan tulis, mereka cukup mencoretnya saja secara rapih Bahkan, adakalanya juga bila terdapat beberapa kekeliruan tulisan maka seluruh permukaan halaman itu dicoret dan dibiarkan tidak disobek.
c) Mangsi ‘tinta’ buatan lokal dan import. Tinta lokal yang cukup dikenal sejak lama adalah tinta cair Gentur, sedangkan tinta import yang utama biasangan berasal dari Tiongkok yang berupa batangan kira-kira sebesar jari
telunjuk orang dewasa. Orang Sunda sudah terbiasa membuat mangsi ‘tinta’ lokal dengan menggunakan bahan keanekaragaman tumbuhan (vegetal) alam. Tinta selain warna hitam biasanya dipakai untuk menghias penanda
tulisan awal atau pengapit nama metrum pupuh, misalnya dengan warna mangsi gandola (ungu). Mangsi gandola ini dibuat dari bunga pohon gandola (basella rubra l., jenis chenopodiaceae) yang sudah berwarna merah tua atau
hitam, lalu ditumbuk halus dicampur air secukupnya dan langsung digunakan sehingga begitu kering warnanya berubah menjadi warna ungu.
Adapun cara membuat tinta hitam tidak beritu sulit, bahan utamanya berupa oyan ‘jelaga’ dari lampu lentera dicampur kembang damar, kemudian diaduk halus terus digododog ‘direbus’ dan dicampur citajin atau cidalih
‘cairan rebusan’ bubur ketan hitam. Tinta hitam bisa juga dibuat dengan bahan dasar bunga kembang dayang yang harum mewangi pada malam hari, atau dengan bahan dasar daun jawérkotok merah (celosia cristata l., jenis
amarantaceae) yang kedua-duanya harus dicampur dengan citajin ketan hitam. Tinta warna kuning atau oranye dapat dibuat dengan bahan dasar konéng atau kunir (curcuma longa l., jenis scitaminese) dicampur citajin ketan
putih.
3. Ragam tulisan atau aksara
Sunda, Buda atau Gunung, Cacarakan, Arab-Pegon, dan Latin. Mengingat proses penulisan naskah dilakukan secara individual dan secara manual, maka wujud tulisan aksara-aksara tersebut sangat bervariasi, baik dalam hal bentuk
maupun gayanya, misalnya, bentuknya ada yang runcing ada yang tumpul, ada yang tipis ada yang tebal; ukurannya besar ada yang kecil ada yang besar; atau gabungan keduanya. Aksara Sunda Kuno umumnya dipergunakan untuk
merekam bahasa dalam tradisi tulis Sunda Kuno, yang hingga saat ditemukan ini berasal dari abad ke-15 hingga abad ke-18 Masehi.
4. Ragam bahasa
Bahasa yang digunakan untuk membungkus teks-teks dalam khazanah tradisi naskah Sunda tentunya adalah bahasa Sunda, baik yang kuno maupun yang klasik. Di samping itu, ada pula yang menggunakan bahasa Jawa kuno maupun bahasa Jawa pesisiran, bahasa Melayu, dan bahasa Arab. Bahasa Sunda Kuno ialah bahasa Sunda dialek temporal yang umumnya dipergunakan untuk membungkus atau mengungkapkan teks-teks yang bernuansa pra-Islam (artinya belum tampak unsur serapan kosa kata bahasa Arab dan Timur Tengah) dengan pengaruh atau serapan dari bahasa
Sanskreta dan bahasa Jawa Kuno.
a) Pengikat lempir atau lembar halaman naskah yang berupa pelintiran tali, seperti haramay ‘benang serat batang pisang’, lulub ‘serat halus kulit pohon waru’ serta areuy ‘batang tumbuhan rambat’, dan benang katun halus.
b) Kuras, yaitu satuan bundelan beberapa lembar halaman terlipat’. Gabungan kuras yang dijahit dengan tali kemudian menjadi sebuah buku. Ada naskah yang tidak bersampul dan seringkali kurasnya terpisah-pisah. Kondisi
seperti ini menyebabkan kesulitan untuk membuat deskripsikannya sebab belum tentu naskah tersebut urutannya sesuai dengan alur asli yang semula. Pasa masa awal perdagangan kertas belum ada buku kosong yang beredar
di tempat-tempat penjualan selain gulungan lembaran kertas. Dengan demikian, para penulis terlebih dulu mesti menyediakan kertasnya lalu dibuatlah bundelan-bundelan tipis yang dinamakan sebuah kuras. Apabila setiap kuras selesai ditulisi barulah kemudian disatukan menjadi sebuah buku.
c) Paginasi ialah penanda urutan lembar halaman dengan cara membubuhkan sebuah kata awal dari sebuah kata pada baris paling akhir untuk ditulii ulang sebagai awal kata pada lembar halaman berikutnya. Sebuah kata yang
digunakan sebagai paginasi dinamakan “kata alihan”. Model paginasi ini terutama dipergunakan sebagai penandapada tiap-tiap pagina lembar halaman supaya pada saat penggabungan tiap-tiap kuras tidak keliru menjahitnya.
d) Regula ialah baris-baris membayang yang membentuk garis tidak berwarna sebagai pengatur kerapihan tulisan.
Kertas Eropa tidak pernah bergaris, namun para penulis naskah bisa begitu rapih dan lurus tulisannya karena biasanya si penulis terlebih dahulu membuat pola baris-baris lurus yang kemudian digores dengan ujung harupat yang tumpul, bahkan bisa pula menggunakan kuku sehingga nampaklah baris-baris bayang tanpa warna.
Kandungan atau isi teks naskah Sunda cukup beraneka ragam. Ada yang berkaitan dengan masalah keagamaan, etika, hukum, adat-istiadat, sejarah, legenda, mitos, pendidikan, ilmu pengetahuan, sastra, sastra-sejarah, seni, dan
paririmbon atau mujarobat. Dengan kata lain, teks-teks naskah Sunda dapat dikategorikan ke dalam teks-teks yang bernuansa keagamaan dan filsafat, historis, sastra, topografis, dan ensiklopedis.
Mengenai keanekaragaman kandungan teks naskah tersebut turut mempengaruhi wujud penyajian teks lewat pemakaian sarana bahasa yang juga direkam dalam aksara yang berbeda-beda. Penyajian teks ada yang berbentuk puisi yang bermetrum: 17 jenis pupuh, 3 jenis sisindiran, 6 jenis matra, berjenis-jenis syair, berjenis-jenis kakawihan, dan jenis metrum kawih atustubh yang berpola oktosilabis), ada pula yang berbentuk prosa, atau campuran keduanya. Bahkan, ada yang berupa rangkaian silsilah dalam bentuk diagram pohon yang cukup menyita lembar halaman begitu banyak.
Seiring dengan bergulirnya musim dalam perjalanan iklim waktu yang tak pernah mengenal berhenti, banyak naskah Sunda yang sudah tidak diketahui lagi jejak keberadaannya. Hal ini dikarenakan kualitas bahan naskah (aneka
ragam kulit, daun, dan kertas) umumnya sangat rentan menghadapi pergantian musim di Tatar Sunda yang tingkat kelembabannya cukup tinggi.
Faktor lain penyebab hilangnya naskah-naskah Sunda, antara lain disebabkan kurang teraturnya pemeliharaan setelah berpindah penyimpanan dan/atau kepemilikan, akibat kena musibah kebakaran atau banjir, rusak akibat dimakan
binatang (tikus, kecoa, rayap, ngengat, ulat, dll), hilang akibat terjadi konflik sosial (perang), atau bahkan ada yang sengaja menghancurkannya akibat adanya sentimen keagamaan dan kelompok politik tertentu.
Di sisi lain, masih ada tradisi proses penyalinan atau penurunan naskah ─ meski sekarang sudah sangat jarang ─ dengan tujuan untuk mengganti naskah yang rusak guna memenuhi kepentingan ritual, ingin memiliki naskah sendiri sebagai mata pencaharian dan barang komersial, dan sebagainya. Dengan demikian, aktivitas tersebut dapat memungkinkan kuantitas naskah meningkat, baik dari segi judul maupun jumlahnya. Hal ini jelas dapat menghindari punahnya naskah, di samping dapat memperpanjang usia naskah demi kepentingan tradisi kultural masyarakat yang melahirkannya. Dalam hubungan ini, naskah Sunda dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu naskah Sunda Kuno, naskah Sunda Lama, dan naskah Sunda Klasik.
Keberadaan tradisi tulis, khususnya yang berupa naskah-naskah seperti itu sudah pasti merupakan hasil pekerjaan kaum intelektual pada zamannya. Yang menjadi pertanyaan ialah di manakah mereka memperoleh keterampilan untuk menuangkan sekaligus menuliskan ide-ide atau gagasannya itu? Jawaban untuk hal tersebut sesungguhnya tampak dengan adanya jejak-jejak endapan tradisi budaya pada masyarakat Sunda berupa lembaga-lembaga pendidikan formal yang menjamin serta mengatur keseragaman tradisi tulisnya. Dengan kata lain, berdasarkan adanya bukti-bukti transmisi
teks serta tradisi naskah itu sesungguhnya masyarakat Sunda sejak masa lampau telah mengenal perjalanan kelembagaan pendidikan formal sejak mandala, pesantren, hingga sekolah.
Naskah Kepustakaan Mandala
1. Lintasan Penelusuran
Pada masa berlangsung sistem kekuasaan pemerintahan kerajaan di Sunda dikenal adanya tiga tempat kedudukan kelembagaan utama sesuai mekanisme pada sistem tri tangtu di buana ‘tiga golongan penentu roda kehidupan
di dunia’, yaitu: (1) keraton yang secara umum merupakan tempat kedudukan dan aktivitas prabu atau raja beserta orang-orang yang berada pada lingkaran roda kekuasaan; (2) kabataraan adalah tempat kedudukan dan aktivitas golongan rama yang berperan sebagai perancang ketentuan untuk pijakan roda kekuasaan; dan (3) kawikuan adalah tempat kedudukan dan aktivitas kaum resi yang berperan dalam perihal pertimbangan legalitas roda kekuasaan.
Di samping itu, ada mandala yang salah satunya dapat diartikan merupakan lembaga pusat pendidikan formal pada masa sistem pemerintahan kerajaan di Sunda. Mandala ini termasuk dalam kategori kabuyutan, di samping tempat
aktivitas peribadatan, pemakaman para tokoh berjasa, sumber air suci, situs bersejarah nenek moyang, kawikuan, kabataraan, dan keraton. Kabuyutan adalah tempat-tempat terpenting yang harus dijaga serta dipelihara dari berbagai gangguan keamanannya sehingga sering-sering dianggap sebagai tempat yang disucikan dan/atau tempat yang disakralkan.
Adapun naskah-naskah Sunda produk peninggalan kaum intelektual yang muncul dari lembaga pusat pendidikan formal berupa mandala itu dikategorikan sebagai “Naskah Sunda Kuno”. Teks-teks dalam naskah Sunda Kuno ada yang tersaji dalam bahasa berbentuk puisi dengan berbagai pola metrum, khususnya pola oktosilabis; ada pula yang tersaji dalam bahasa berbentuk prosa.
Salah satu bangunan di Padaleman Kabuyutan Mandala Ciburuy (dok UAD)
Ada beberapa sebutan atau istilah bagi kaum intelektual di lingkungan kemandalaan, antara lain ialah catrik, sastrim, ajar, kawya, bujangga, wiku, pandita. Yang dikategorikan ke dalam naskah Sunda Kuno pada dasarnya memikili ciri-ciri:
1. Bahan yang digunakan berupa jenis daun palem-paleman, seperti lontar, nipah, dan sejenisnya, di samping yang menggunakan bilahan bambu.
2. Alat tulis yang digunakan berupa péso pangot untuk menoreh atau menggores, paku andam dan harupat ‘tulang ijuk’ untuk menulis, dan tinta.
3. Aksara yang digunakan untuk merekam atau menuliskan bahasa dalam naskah ialah aksara Sunda Kuno dan juga aksara Buda atau Gunung.
4. Bahasa yang digunakan untuk membungkus teks-teks naskah Sunda Kuno ialah bahasa Sunda Kuno.
5. Ciri-ciri luar juga turut mewarnai keragaman naskah Sunda Kuno yang antara lain meliputi:
a) pengikat lempir atau lembar halaman naskah berupa pelintiran benang dan tali yang terbuat dari haramay, lulub,serta areuy.
b) regula ‘baris-baris membayang yang tidak berwarna sebagai pengatur kerapihan tulisan’.
Lempir Lontar Naskah Sunda Kuno dalam Ruas Bambu (dok.UAD)
Adapun beberapa mandala yang pernah tercatat dalam kepustakaan, yang ada di daerah dan pulau-pulau kecil di wilayah Tatar Sunda adalah: (1) Mandala Gunung Kidul, (2) Mandala Hujung Kulon, (3) Mandala Purwalingga, (4) Mandala Agrabinta, (5) Mandala Purwanagara, (6) Mandala Bhumi Sagandu, (7) Mandala Sabhara, (8) Mandala Nusa Sabay, (9) Mandala Cupunagara, (10) Mandala Paladu, (11) Mandala Kosala, (12) Mandala Rajalegon, (13) Mandala Indraprahasta, (14) Mandala Manukrawa, (15) Mandala Malabar, (16) Mandala Sindangjero, (17) Mandala Purwakreta, (18) Mandala Wanagiri, (19) Mandala Rajadesa, (20) Mandala Purwagaluh, (21) Mandala Cangkuang, (22) Mandala Sagara Kidul, (23)Mandala Kubanggiri, (24) Mandala Cupugiri, (25) Mandala Alengka, (26) Mandala Manikprawata, (27) Mandala Salakagading, (28) Mandala Pasirbatang, (29) Mandala Bitunggiri, (30) Mandala Tanjungkalapa, (31) Mandala Sumurwangi, (32) Mandala kalapagirang, (33) Mandala Kalapalarang, (34) Mandala Tanjung Camara, (35) Mandala Sagarapasir, (36) Mandala Rangkas, (37) Mandala Puradalem, (38) Mandala Linggadewata, (39) Mandala Wanadatar, (40) Mandala Wanajati, (41) Mandala Jatiageung, (42) Mandala Abdiraja, (43) Mandala Sundapura, (44) Mandala Rajatapura, (45) Mandala Kalapadua, (46) Mandala Pasirmuara, (47) Mandala Purwagading, (48) Mandala Muarajati, (49)Mandala Pasirsagara, (50) Mandala Raksapura, (51) Mandala Jasinga, (52) Mandala Raja Purnawijaya Pradesa, (53)Mandala Sumurwangi, (54) Mandala Tejakalapa, (55) Mandala Girilarang, (56) Mandala Mandalaherang, (57) Mandala Kalapajajar, (58) Mandala Cibinong, (59) Mandala Sundapasir, (60) Mandala Sunda Sambawa, (61) Mandala Kandangwesi, (62) Mandala Pasirluhur, (63) Mandala Wahanten Girang, (64) Mandala Parajati, (65) Mandala Singhapura,(66) Mandala Wanakusumah, (69) Mandala Salakadomas, (68) Mandala Cirebon Larang, (69) Mandala Purwa Talaga, (70) Mandala Jayagiri, (71) Mandala Sindangkaksih, (72) Mandala Purwa Sanggarung, dan (73) Mandala Jatianom.
Pada saat ini bekas mandala-mandala itu biasa disebut sebagai kabuyutan5, salah satunya adalah Kabuyutan Ciburuy-Bayongbong Garut yang pada masa lampau merupakan skriptorium Sunda. Hal ini didukung dengan adanya
tinggalan benda budaya yang masih tersimpan berupa sebilah péso pangot, prim kaca mata berbahan tanduk, gunting, piring logam, tabung logam berkaki tempat yang diperkirakan sebagai tempat guna meletakkan alat tulis, yang semuanya termasuk kelengkapan alat tulis masa itu. Skriptorium yaitu salah satu tempat kegiatan kaum intelektual untuk menuangkan
serta mengembangkan beragai macam keilmuan dalam bentuk tradisi tulis.
2. Nuansa Isi Naskah
Dilihat bersadrkan keragaman kandungannya, teks-teks naskah kepustakaan mandala yang dikategorikan sebagai naskah Sunda Kuno bisa diklasifikasikan ke dalam teks-teks naskah yang bernuansa:
1. Ensiklopedis, seperti: Sanghiyang Siksakanda ng Karesian (Kisah Mengenai Petunjuk Kaum Intelektual).
2. Topografis, seperti: Kisah Perjalanan Bujangga Manik.
3. Susastra, seperti: Kisah Keturunan Rama dan Rawana atau Pantun Ramayana.
4. Sistem pemerintahan, seperti: Fragmen Carita Parahyangan.
5. Historis, seperti: Carita6 Parahyangan, dan Carira Ratu Pakuan.
6. Keagamaan/filsafat, seperti: Séwaka Darma (Pengabdian kepada Hukum), Carita Purnawijaya (Kisah Keunggulan Sempurna), Kawih Paningkes (Kidung Penjelas), Lesjes van Soenan Goenoeng Djati atau Gambaran Kosmologi
Sunda, Jatiraga atau Jatiniskala (Kemahagaiban), Darmajati (Hukum Sejati), Amanat Galunggung, Sang Hyang Raga Déwata (Asal Mula Penciptaan), dan Kisah Sri Ajnyana (Kisah Manusia Turun ke Alam Dunia),
7. Naskah mengenai obat-obatan dan penyakit, seperti: Kalpasastra (Ilmu Obat-obatan), Sarwwa Wyadi Sastra (Ilmu Berbagai Penyakit), Yaksami Sastra (Ilmu Penyakit Paru-paru), Sarwwosadhawédya Sastra (Ilmu berbagai
Pengobatan), Usadhilata Sastra (Ilmu Tanaman Obat), Usadhawédya Sastra (Ilmu Pengobatan), Sarppa Wisosadha Sastra (Ilmu Pengobatan Racun), Sarwwa Wyadayanang Janapada (Berbagai Penyakit Masyarakat), Serat Wyadhaya Sarwwa Satwa (Catatan Penyakit Berbagai Hewan), Kajamasosadha Sastra (Ilmu Perawatan Rambut), Sarwwa Pārnosadha Sastra (Ilmu Berbagai Obat Penyakit Parah), Pustaka Wyadhīkang Nirosadha (Kitab Penyakit Yang Tak
Ada Obatnya), Gamyosadhi Sastra (Ilmu Obat Mujarab), Ayurwéda Sastra (Ilmu Ketabiban), dan Sarwwa Kusalasāla Sastra (Ilmu Berbagai Kedokteran).
8. Naskah mengenai berbagai ilmu pengetahuan, seperti: Caradigama Sastra (lmu Etika dan Tatakrama), Caracara Pustaka (Naskah ilmu Binatang dan Tumbuhan), Candrāditya Grahana Sastra (Ilmu Pengetahuan Gerhana
Bulan dan Matahari), Sastradaksa Pustaka (Naskah Ilmu Kesusastraan), Sastrakala Sastra (Ilmu Karawitan), Sarwwa Satwānggalika Sastra (Ilmu Menjinakan Binatang), Garbbhawasa Sastra (Ilmu Kebidanan), Hémanta Pustaka (Naskah Ilmu Musim Dingin), Hastīsiksā Sastra (Pengetahuan Tentang Gajah), Pustaka Jaladimantri (Naskah Ilmu Kelautan), Pustaka Sénapati Sarwwajala (Naskah Memimpin Perang Laut), Pustaka Kawindra (Naskah Penyair Besar), Sarwwa 5 Istilah yang secara tradisional digunakan untuk menyebut sebagai tempat suci atau keramat, di samping tempat peribadatan, dan keraton atau kompleks istana.6
Perlu disinggung di sini bahwa, istilah “sajarah ” dalam tradisi masyarakat Sunda secara umum diakui sebagai istilah serapan dari kosa kata bahasa Arab sajarotun ‘pohon’ yang dalam bahasa Sunda Kuno dikenal dengan istilah pupuhunan atau dalam bahasa Belanda adalah stamboom. Dengan demikian, sejarah digunakan untuk menginformasikan tentang silsilah keturunan keluarga para raja atau para penguasa. Dalam perkembangan kemudian yang mencatat sejarah tidak hanya sebatas silsilah, namun diperluas dengan masa hidup serta jasa mereka di negaranya.
Bahkan saat ini, sejarah bukan hanya mencatat manusia belaka, akan tetapi dicatat pula tentang peristiwa-peristiwa penting di suatu negara di dunia. Pada akhirnya, antara sejarah dan silsilah nampak terjadi perbedaan pengertian, yakni, sejarah berhubungan dengan peristiwa atau kejadian penting di suatu negara atau jagat, sedangkan silsilah hanya berkaitan dengan catatan yang bersifat genealogis. Selain istilah sejarah dikenal pula istilah tarikh atau ada pula yang menyebut tawarikh . Dalam tarikh, yang dipentingkannya itu cenderung angka tahun kejadian suatu peristiwa sedangkan kejadiaannya itu sendiri hanya diuraikan seperlunya, yang dalam tradisi Eropa dikenal
dengan annales .
Masyarakat Sunda sebelum mengenal istilah sejarah dalam pengertian yang dimaksud saat ini, mereka sesungguhnya telah biasa menggunakan istilah CARITA untuk menyebutkan teks-teks naratif yang menggambarkan suatu perjalanan peristiwa dalam kehidupan. Hal ini dapat ditunjukkan melaui hampir setiap naskah Sunda Kuno produk mandala yang judulnya menggunakan istilah carita, isinya selalu bernuansa historis tradisional, di antaranya Carita Parahiyangan , Carita Ratu Pakuan , dan Carita Waruga Guru , dan sebagainya. Di samping itu, ada istilah babad yang isinya juga bernuansa historis tradisional, namun naskah-naskah yang judulnya menggunakan istilah
babad ini biasanya dikelompokan ke dalam kategori naskah Sunda Lama yang cenderung ditulis pada masa tradisi pesantren, di antaranya adalah Babad Pajajaran, Babad Cirebon, Babad Panjalu , Babad Sumedang , dan sebagainya.
Selain istilah carita dan babad yang biasanya hadir dalam tradisi tulis, dalam masyarakat Sunda pun dikenal istilah dongéng yang umumnya muncul sebagai tradisi lisan.
Dongeng dalam bahasa Sunda sering dianggap sebagai singkatan dari istilah ngabobodo budak céngéng ‘membuat anak supaya tidak menangis’. Namun, secara terminologis dongeng adalah sebuah kisah yang banyak mengandung hal yang tidak masuk akal, misalnya, mengisahkan manusia bisa terbang, binatang berbicara dengan sesamanya atau dengan manusia, manusia aneh atau pandir, dan sebagainya. Kisah-kisah yang termasuk ke dalam dongeng dapat dikategorikan sebagai: (1) Fabel ‘dongeng binatang’, seperti Sakadang Kuya jeung Sakadang Moyét , Sakadang Peucang jeung Sakadang Buhaya , dsb.; (2) Dongeng Jurig ‘mahluk gaib’, seperti Pusaka Ratu Teluh , Burak
Siluman , dsb.; (3) Dongeng Sasakala ‘kisah asal-usul’ yang biasanya banyak mengandung unnsur legenda dan mitos, seperti Sasakala Gunung Tangkuban Parahu , Nini Antéh Dina Bulan , dsb.; (4) Dongeng manbusia aneh ‘pandir’, seperti dongen Si Kabayan .
Krawyada Sastra (Pengetahuan Berbagai Binatang Buas), Carita Lahrumasa (Kisah Musim Kemarau), Serat Madiragawé (Petunjuk Membuat Minuman Keras), Wanādri Sastra (Pengetahuan Hutan dan Pegunungan), Ratnapéni
Sastra (Pengetahuan Berbagai Perhiasan), Pustaka Gulay-gulayan (Naskah Tentang Rempah-rempah), Serat Saptawara, Pancawara, Sadwara Masa (Petunjuk Siklus Tujuh Harian, Lima Harian, Enam Harian), Serat Candrasangkala lawan Suryasangkala (Petunjuk Siklus Tahun Bulan dan Tahun Matahari), Rénacumba Sastra (Ilmu Mendidik Anak), Wihangpretādi Sastra (Ilmu Penangkal Gaib), Iti Candani Sastra (Pengetahuan Tentang Bebatuan),
Digwidig Sastra (Pengetahuan Tentang Arah Mata Angin), Maryādépananggraha Sastra (Pengetahuan Adat Pernikahan), Jyotisa Sastra (Ilmu Astronomi), Serat Prasadétiraning Sagara (Petunjuk Tentang Menara di Tepi Pantai), Pustaka Sarwwa Ghosana Raja (Naskah Berbagai Pengumuman Raja), Pitrepuja Tantra (Pedoman Pemujaan Arwah), Smaragama Sastra (Pengetahuan Seni Asmara), Pustaka Yogasamadhi (Naskah Tentang Berkontemplasi), Pustaka Sasanawakta (Ilmu Tata Cara Berpidato).
Di samping itu, ada nakah-naskah yang mencatat berbagai hal yang berkaitan dengan kerajaan Sunda, Galuh, dan Pajajaran. Naskah-naskah yang dimaksud adalah: Kata Pustaka lokayatra i Purasabha Taruma (Naskah Tentang
Kisah Sarana Lalu-lintas di Ibu Kota Taruma), Pustaka Dawata Taruna Pradésa (Naskah Tentang Tapal Batas Wilayah Taruma), Pustaka Sawasta i Rajya Sunda (Naskah Tentang Kemakmuran di Kerajaan Sunda), Pustaka Raraga Rajana
Rajya Galuh (Naskah Tentang Perselingkuhan Kerajaan Galuh), Pustaka Pranah Porawaniki Rajya Galuh (Naskah Tentang Kehidupan Rakyat dan Kaum Pedagang di Kerajaan Galuh), Pustaka Sawasta i Rajya Pjajaran (Naskah Tentang Kemakmuran di Kerajaan Pajajaran), Pustaka Lokayatra Purasabha Pajajaran (Naskah Tentang Keadaan Jalan di Ibu Kota Pajajaran), Pustaka Sampadaya Wwang Galuhpradésa (Naskah Tentang Adat Tradisi Masyarakat Daerah di Galuh), Pustaka Sang Purohita ing Adiraja Sunda Pajajaran (Naskah
Tentang Para Penasihat Keagamaan/Spiritual di Istana Sunda Pajajaran), Pustaka Aranya Paburwan Raja-raja Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Keadaan Hutan Perburuan Raja-raja Sunda Pajajaran), Pustaka Samkahyawarutinī Raja Galuh (Naskah Tentang Jumlah Kekuatan Tentara di Kerajaan Galuh), Pustaka Rajya Lancana Sunda (Naskah Tentang Lencana Kerajaan Sunda), Pustaka Nagara Janarajya Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Penduduk Perkotaan Sunda Pajajaran), Pustaka Paramajana Hanéng Rajya Galuh (Naskah Tentang Orang Terkemuka di Kerajaan Galuh), Pustaka Putropadananing Raja-raja Galuh (Naskah Tentang Kelahiran Bayi Para Raja Galuh), Pustaka Sampradaya Wwang Sunda Pajajaran Pradésa (Naskah Tentang Adat Tradisi Orang-orang Pedesaan di Sunda Pajajaran), Pustaka Samkyawarutini Rajya Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Jumlah Kekuatan Tentara di Kerajaan Sunda Pajajaran), Pustaka Upajīwana Janapada Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Mata
Pencaharian Penduduk Sunda Pajajaran), Pustaka Dawata Sunda Pajajaran Pradésa (Naskah Tentang Tapal Batas Wilayah-wilayah Sunda Pajajaran).
Ada pula catatan mengenai judul naskah tradisi kemandalaan yang bernuansa Islami, yaitu: Kata Pustaka Rajéskandarjulkharanaén (Naskah Kisah Raja Iskandar Zulkharanaén), Kata Pustaka Nabiyulloh mukammad yata Rasullulloh (Naskah Sejarah Nabiyulloh Muhammad, yaitu Rasullulloh), Kata Pustaka Nabi Hidir (Naskah Kisah Nabi Khaidir), Kata Pustaka Ratu Bulkis (Naskah Kisah Ratu Bulkis), Kata Pustaka Sayidina Hamjah (Naskah Kisah Sayidina Hamzah), Kata Pustaka Sang Mamrati Abbasiyah Wamsatilaka (Naskah Kisah Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah), Kata Pustaka Banyu Jamjam Ahanéng Mekah (Naskah Sejarah Air Zamzam yang ada di Mekah), Kata Pustaka Malékatmalékat i Swarga lawan Naraka (Naskah Sejarah malaikat-malaikat di surga dan neraka), Kata Pustaka Raja Pirun Mahakawasa (Naskah Kisah Raja Firaun Sangat Berkuasa), Kata Pustaka Manuk Ababil (Naskah Kisah Burung Ababil),
Kata Pustaka Abraha Lawan Najasi (Naskah Kisah Abrohah dengan Najasi), Kata Pustaka Dwa Welas Imam (Naskah Kisah Dua Belas Imam), Kata Pustaka Dajjal Gawé Harohara ring Buwana (Naskah Sejarah Dajjal berbuat huruhara di
Buana), Pustaka Hadis Nabi Sinalin Lawan Basa Sunda Purwwa (Naskah Hadits Nabi disalin ke dalam bahasa Sunda Kuno), Kata Pustaka Kalid Ibnu Walid Namashidam Sépulluh (Naskah Kisah Khalid ibnu Walid Bergelar Sépuluh), Kata Pustaka Yuddha ring Kandak (Naskah Kisah Perang Khandak), Pustaka Pituduh Mangené Sembahyang (Naskah Petunjuk Mengenai Sembahyang).
Naskah Kepustakaan Pesantren
Pesantren adalah lembaga pusat pendidikan formal pada masa sistem pemerintahan kesultanan sebagai pengganti mandala dari zaman sistem pemerintahan kerajaan. Pesantren, baik secara fisik maupun bentuk-bentuk tradisi keislaman mulai tumbuh subur di daerah Jawa Barat pada sekitar abad XVII/XVIII Masehi. Hampir di setiap daerah kabupaten di Tatar Sunda terdapat pesantren yang merupakan lembaga formal pusat pengajian dan pengajaran kitab-kitab agama Islam bagi para santri di bawah bimbingan para ustadz, ajengan, maupun kyai. Kitab-kitab yang diajarkan di lingkungan pesantren biasanya dapat dikategorikan sebagai kitab-kitab dasar, kitab-kitab tingkat menengah, dan kitab-kitab besar. Secara keseluruhan kitab-kitab yang dimaksud di dalamnya terdiri atas teks-teks yang sangat pendek hingga
teks-teks yang berjilid-jilid, menyangkut masalah kitab suci al-Quran, hadits, nahwu-sharaf, tafsir, tauhid, fiqih, usul fiqih, tasawuf dan etika, mantek, faroid, tizan, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan bhalaghah.
Dalam pada itu, terjadinya transformasi budaya Islami pada awalnya adalah sebagai akibat terjalinnya kontak budaya kota-kota dan kaum pedagang bangsa-bangsa dari Timur Tengah dengan budaya kota-kota pantai dan kaum
pedagang di Kepulauan Nusantara yang kelak mampu menembus budaya pedesaan dan kalangan masyarakat petani di daerah-daerah pedalaman. Dampaknya pada perkembangan mobilitas penduduk menjadi lancar dan terjadilah difusi budaya Islami dengan tumbuhnya simbol-simbol yang mengalami pengkayaan makna.
Dalam perkembangannya kemudian Islam bagi penduduk Indonesia, khususnya bagi masyarakat Sunda merupakan sebuah panutan, dengan kata
lain Islam merupakan titik terkuat dalam pandangan hidup masyarakat Sunda dewasa ini.
Keadaan tersebut tergambarkan dalam khazanah pernaskahnya, terutama pada lingkungan masyarakat pedesaan dalam suasana agraris yang penuh dengan corak budaya tua yang termodifikasi dalam bentuk-bentuk hasil karya mandiri.
Hal ini dapat ditunjukkan bukti-buktinya yang antara lain, berupa macam-macam tulisan yang diambil dari ayat-ayat suci al Quran, yang oleh sebagian orang biasa dijadikan jimat dan isim. Selain itu, ada naskah berupa kumpulan doa yang bagi masyarakat Sunda merupakan satu keistimewaan tersendiri. Misalnya, Doa Nabi Sulaeman yang ditujukan guna keselamatan bumi dan tanah; Doa Nabi Khaidir yang digunakan untuk mengatasi kesulitan terutama pada saat mengarungi lautan, dan sebagainya.
Doa-doa lainnya yang telah dianggap sebagai teks naskah tersendiri dalam kaitannya dengan siklus kehidupan di kalangan masyarakat, antara lain: Doa Puput Udel, Doa Malem Salikuran, Doa Watek Tanggal, Doa Telekin Mayit. Ada
pula doa-doa yang dikategorikan khusus berkaitan dengan siklus kehidupan dunia pertanian yang bertujuan sebagai upaya pemuliaan makanan pokok, seperti doa: Macul, Tebar, Tandur, Lilir, Mapag Daun, Reuneuh, Rampak, Mitembeyan, Mipit, Mupul, Ngakut, Ngelép, Ngageugeus, Ngarewahkeun, Nyalametkeun Paré, dan sebagainya. Dalam hal ini terasa sekali
adanya pandangan yang bersifat sinkretis yang merupakan sebuah sikap dan pandangan yang tidak terlalu mempersoalkan tradisi kultural. Namun, itu semata-mata sebagai ungkapan tasyakur atas nikmat karunia yang telah
diberikan Tuhan YME sehingga berkahNya dapat terus mengalir.
Adapun naskah-naskah Sunda produk peninggalan kaum intelektual yang dilahirkan dari pesantren7 dikategorikan sebagai “Naskah Sunda Lama”, yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri:
(a) Bahan berupa kulit pohon saeh, dan berbagai jenis kertas lokal maupun impor;
(b) Alat tulis berupa pena dari tumbuhan, logam, balpoin, pensil, dan tinta;
(c) Ragam aksara, seperti Arab dan Pegon; Aksara Arab diperkenalkan oleh kaum intelektual Muslim sejak abad ke-16 dan digunakan dilingkungan sekitar institusi pesantren. Aksara Pegon, yakni aksara Arab yang digunakan untuk merekam atau menuliskan bahasa Sunda umumnya dipergunakan dalam hampir semua jenis naskah Sunda Lama pada sekitar abad ke-17.
(d) Bahasa Sunda dengan pengaruh atau serapan dari bahasa, Arab, Jawa, dan Melayu.
Ditinjau berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam, naskah-naskah Sunda yang muncul dalam pustaka-pustaka pesantren berdasarkan penelitian selama ini, termasuk yang terdeteksi ada di kalangan masyarakat perseorangan di luar pesantren dapat digolongkan ke dalam kategori naskah dasar, naskah tentang Rukun Islam, naskah tentang Rukun Iman, naskah fiqih, naskah tentang akhlak, naskah tentang dawah, dan bahkan ada naskah yang dikategorikan ke dalam naskah yang mengandung nilai-nilai pra-Islam. Jenis dan judul naskah-naskah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Naskah-naskah Dasar; Kitab suci Al-Quran merupakan sumber utama dalam ajaran Islam, di samping Hadits (assunnah). Naskah-naskah yang ada, seperti: Juz Amma, Ayat Tujuh, Ayat Lima Belas, Ayat Kursi, Elmu Tajwid, Tafsir, Nahwu, dan Pelajaran Alip-alipan.
2. Naskah-naskah Tentang Rukun Islam; Kelompok naskah ini pada dasarnya berisi mengenai keterangan dan uraian yang menyangkut hal-hal yang wajib bagi setiap umat muslim sebagai pedoman hidup sehari-hari. Naskahnaskah
demikian cenderung sebagai kitab-kitab sareat, yang biasanya dikenal dengan judul, seperti: Bab sahadat, Thaharoh (tuntunan bersuci), Rarakatan Shalat (Wajib: shalat 5 waktu, shalat Jumat; Sunat: Idul Fitri, Idul Adha), Kitab
Khotbah (Jumat, Hari Raya), Kitab Ibadah Sunat (wirid, dzikir, marhaban, salawat, tahlil, dsb.), Kitab Manasik haji.
3. Naskah-naskah Tentang Rukun Iman; ke dalam kategori ini termasuk naskah-naskah yang berisi keterangan dan uraian mengenai masalah ketauhidan atau aqidah. Untuk pengembangan pemahaman dalam masalah tauhid atau aqidah, muncul naskah-naskah Patarekan yang membicarakan soal-soal tasawuf, dan biasanya disertai dengan tuntunan berdzikir sebagai salah satu cara melatih daya pikir yang ghaib atas segala sesuatu termasuk yang abstrak.
Contoh-contoh naskah yang memuat soal tauhid tersebut adalah: Wawacan jaka Surti, Sipat Duapuluh, Tarékat Satariah, Wawacan Abdulkodir Jaélani, Wawacan Hakékat, Wawacan Ngélmu Tasauf, Punika Kitab Tarékat (shadat
7 Beberapa pesantren yang pernah penulis kunjungi baru-baru ini di Jawa Barat, antara lain di pesantren: Cintawana (Singaparna Tasikmalaya), Sukamanah (Singaparna Tasikmalaya), Cipasung (Singaparna Tasikmalaya), Suryalaya (Pagerageung Ciawi Tasikmalaya), Miftahul Huda (Manonjaya Tasikmalaya), Darussalam (Ciamis), Al Fadilliyah (Petir Baregbeg Ciamis), Daurl ‘Ulum (Ciamis), Miftahul Khoer (Petirhilir Ciamis), Cibeunteur (Ciamis), Miftahul Huda (Kujangsari Langensari Banjar), Darul Hijrah (Cikondang Sukaresik Sidamukti Pangandaran), Darul Hikmah (Banjar), Darul Fallah (Jambudipa Cianjur), Gentur (Jambudipa Warungkondang Cianjur), Kandangsapi (Cianjur), Tabiyatul Fallah (Leuwiliang Bogor), Nurul Hidayat (Sadeng Pongkor Bogor), Modern Sahid (Gunungmenyan Bogor), Al Furqon (Kebonbawang
Kadudampit Sukabumi), Assalafiyah (Babakan Tipar Cijengkol Sukabumi), Al Muawamah (Reunghasdengklok Karawang), Darul’Ulum (Babakan Pojok, Pengkolan Cintaasih Karawang), Madarul Istiqomah (Kidangranggah Cintaasih Pengkolan Karawang), Darul’Ulum (Kebonnanas Pusakajaya Subang), Pagelaran III (Cisalak Subang), Darussalam (Warungkondang Purwakarta), Sempur (Purwakarta), Al Mutthohhar (Plered Purwakarta), dan lain-lain.
Ibrahim), Babad Cirebon, Kumpulan Doa (Doa Raja Sulaeman, Doa Salamet), Kitab Suluk, Kitab Sakaratil Maot, Kitab Kabatinan.
(3.1) Naskah-naskah Suluk; beberapa naskah suluk yang muncul di Jawa barat, yang digubah dalam bahasa Sunda dikenal dalam judul: Wawacan Waruga Alam, Wawacan Suluk, Wawacan Dewaruci, Wawacan Gandamanah,
Wawacan Gandaresmi, Wawacan Gandasari, Wawacan Pandita Sawang, Wawacan Babad Kawung, Wawacan lan Palin, Wawacan Purwa Sujalma, Wawacan Selapurba Selarasa, Wawacan Gandamaya, Wawacan Tolak
Bahla, Wawacan Wujud Urang, Wawacan Sapaat Nabi, Wawacan Sayidina Japar Sidiq, Wawacan Layang Buwana Wisésa, Wawacan Layang Abunawas, Wawacan Kidung Rumeksaning Wengi, Wawacan Kitab Bahrul
Kutub, Wawacan Kitab Élmu Kasampurnaan, Wawacan Suluk Purwadaksina, Wawacan Layang Muslimin Muslimat, dan Wawacan Kitab Doa.
(3.2) Naskah Riwayat Nabi; Naskah-naskah yang memuat teks cerita para nabi dan sahabatnya bagi kalangan masyarakat Sunda cukup memegang peranan penting, dan biasa dianggap sebagai kisah orang suci yang dinamakan hariografi. Naskah-naskah demikian dikenal antara lain dengan judul-judul: Wawacan Nurbuat, Wawacan Sapaat Nabi Muhammad, Wawacan Kangjeng Nabi Nikah, Wawacan Paras Nabi, Wawacan Babar Nabi, Wawacan Hikayat Nabi, Wawacan Riwayat Nabi Enoh, Wawacan Nabi Yusup, Wawacan Babad Mekah, Wawacan Hasan Husén, Wawacan Mi’raj Nabi, Wawacan Silsilah Siti Fatimah, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Abdullah, Wawacan Seluk-belukna Jalma, dan Wawacan Rawi Mulud.
4. Naskah-naskah Fiqih; Naskah-naskah yang memuat uraian masalah fiqih atau dengan kata lain disebut dengan hukum Islam pada dasarnya menyangkut persoalan yang dianggap wajib, sunat, halal, haram. mubah, dan makruh. Teks-teks naskah demikian memberikan keterangan segala pertimbangan dasar hukum, sebagai patokan dalam pelaksanaan Rukun Islam dan Rukun Iman secara umum. Ke dalam kategori naskah ini antara lain adalah Kitab Madzhab yang cenderung berdasarkan atas pemahaman dari konsep Syafe’i.
Naskah-naskah lainnya biasanya berjudul sebagai berikut: Kitab Safinah, Kitab Fiqih, Kitab Wudu Salat, Kitab Taqrib, Kitab Minhajil, Bab Nikah/Kitab Munakahat, Kitab Qunatu, Kitab Hukum Aqli, Kitab Al Bayan, Kitab Hadzal, Kitab Faroidh/kitab Waris, dan Kitab Bajuri.
5. Naskah-naskah Tentang Akhlak; Ada beberapa naskah yang teksnya dapat digolongkan ke dalam hal mengenai akhlak atau dikenal juga dengan istilah elmu adab. Naskah-naskah demikian antara lain berjudul sebagai berikut: Kitab Naséhat, Bab Sawér, Kitab Pépéling, Wawacan Insan Kamil, Wawacan Trenggana, Kitab Amanat, dan Wawacan Tingkah Awak.
6. Naskah-naskah Tentang Dawah; Naskah yang dapat digolongkan ke dalam kelompok dawah ini secara umum teksnya memiliki nilai sastra yang cukup kuat sehingga mampu menggambarkan peristiwa yang seolah-olah pernah
terjadi dengan tokoh-tokoh yang aktual. Namun, berhubung memiliki jumlah yang cukup, perlu pengelompokan lagi berdasarkan ciri-ciri khas tertentu walaupun tidak dapat diberi jarak pemisah secara tegas. Dalam hal ini dapat dilihat naskah-naskah yang memuat teks dawah atau penyebaran Islam yang terfokus di dunia Arab, di Nusantara, khususnya di Jawa Barat, dan campuran keduanya (termasuk yang sebagian tokoh masa pra-Islam yang dilegitimasi
sebagai Islam).
(6.1) Penyebar Islam dari Luar Nusantara; Ada beberapa tokoh lakon bukan Nusantara yang pada umumnya bergerak di sebuah daerah dunia Arab yang samar-samar. Naskah tersebut meriwayatkan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Arab, baik fiktif maupun nyata, dan cukup digemari oleh kalangan masyarakat yang dikenal sebagai literatur pesantren. Naskah-naskah demikian dikenal dengan judul-judul: Wawacan Ahmad Muhamad, Wawacan Amir Hamzah, Wawacan Umarmaya, Wawacan Jayéngrana, Wawacan Samaun, Wawacan Prabu Rara Déwi, Wawacan Sajarah Mekah, Wawacan Lukmanul Hakim, Wawacan Durahman Durahim, Wawacan Aladin, Wawacan Istambul-Mesir, Wawacan Ménak Rengganis, Wawacan Padmasari, Wawacan Raja Saul
jeung Raja Daud, Wawacan Bental Jemur, Wawacan Lokayanti, Wawacan Abunawas, Wawacan Danumaya, Wawacan Said Saman, Wawacan Bin Éntam, dan Wawacan Siti Armilah.
(6.2) Penyebar Islam dari Nusantara; Beberapa teks naskah yang meriwayatkan perjuangan tokoh penyebaran agama Islam dari Nusantara, khususnya dari daerah Jawa Barat sebagai tokoh khas Sunda pada dasarnya
menyiratkan sebuah pandangan awal masa Islamisasi yang lebih tua di Jawa Barat dan jauh daripada menyeluruh. Tokoh-tokoh yang muncul dalam masa ini antara lain adalah Kean Santang, Walangsungsang, Rara Santang, yang diperkirakan hidup dalam suasana kurun waktu antara abad XIV-XVI.
Teks-teks naskah lainnya riwayatnya mulai agak mengembang walaupun belum begitu menyeluruh pula. Fase ini diperkirakan berlangsung dalam suasana kurun waktu antara abad XVI-XVII yang melibatkan tokoh-tokoh
Syarif Hidayat (Sunan Gunung Jati), dan para wali lainnya yang termasuk ke dalam kelompok wali sanga dan keturunannya.
Naskah-naskah yang tergolong ke dalam kelompok ini antara lain dikenal dengan judul-judl sebagai berikut:
Wawacan Babad Godog, Wawacan Gagak Lumayung, Wawacan Kéan Santang, Wawacan Babad Banten,
Wawacan Walangsungsang, Sajarah Sunan Rahmat, Wawacan Sajarah Para Wali, Carita Prabu Kéan Santang, Wawacan Babad Cirebon, Sajarah Ambiya; dan Wawacan Rara Santang.
(6.3) Tokoh Berlatar Pra-Islam; Judul-judul naskah yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah sebagai berikut:
Wawacan Candrakirana, Wawacan Anglingsari, Wawacan Jaka Bayawak, Wawacan Damarwulan, Wawacan Danumaya, Wawacan Gilang Kancana, Wawacan Rara Mendut, Wawacan Gawing, Wawacan Barjah, Wawacan
Cuminalaya, Wawacan Geresik Malaya, Wawacan Golek Kancana, Wawacan Indra Putra, Wawacan Indra Bangsawan, Wawacan Indra Basu, Wawacan Jaka Paringga, Wawacan Babad Majapahit, Wawacan Ogin Amarsakti, Wawacan Gandaningrat, Wawacan Sekartaji, Wawacan Barid, Wawacan Jayéngkara, Wawacan Gandaresmi, Wawacan Gandawerdaya, Wawacan Babad Cikundul, Wawacan Babad Ratu Galuh, Wawacan Samun, Wawacan Jaya Lalana, Wawacan Widaningrum, Wawacan Ningrum Kusumah, Wawacan Suriakanta,
Wawacan Jaka Umbaran, Wawacan Suriadimulya, Wawacan Jagatrasa, Wawacan Daud bin Utin, Wawacan Érmaya, Wawacan Indra Bahu, Wawacan Séh Mardan, Wawacan Indrajaya, Wawacan Indra Bungsu, Babad
Mataram, Wawacan Ngaji Salira, Wawacan Pandita Gurit Sagara, Wawacan Sumpena Kanagan, Wawacan Bermana Alam, Wawacan Puapua Bermanasakti, Wawacan Centang Barang, Wawacan Gandamanah, Wawacan Juhar Undang, Pantun Siliwangi, Wawacan Talaga Manggung, Wawacan Surianagara, Wawacan Surianingrat, Wawacan Salyanagara, Carios Ningrat Kancana, Wawacan Rangga Wulung, Wawacan Panji Wulung, Wawacan Suryamanah, Wawacan Buhaér, dan Wawacan Sapri.
7. Naskah-naskah Kategori Pra-Islam; Beberapa naskah yang tergolong ke dalam kelompok ini pada dasarnya tidak termasuk kepada asal-usul Islam, namun dapat dipertimbangkan bahwa teks-teks naskah tersebut ditulis dengan huruf Pegon dan umumnya selalu diawali dengan bacaan basmallah. Keadaan ini menandakan bahwa masyarakat yang telah memeluk agama Islam tidak dapat dipisahkan dari pokok alam pikiran yang pra-Islam. Menyangkut hal tersebut, teks-teks naskahnya dapat dibagi dalam tiga kelompok, yakni: teks yang bertalian dengan hal élmu falak/palintangan, masalah pertanian, dan campuran antara tradisi dengan pengaruh kuat dari ajaran Islam.
(7.1) Ilmu Falaq dan Palintangan; Keterampilan masyarakat dalam masalah ini masih nampak dalam teks-teks naskah yang merupakan kombinasi antara ilmu falaq (perbintangan) dengan sistem palintangan pra-Islam, yaitu semacam sistem penanggalan dalam siklus bulan/matahari (komariah/lunar). Bentuk-bentuk teks naskah demikian dikenal dengan judul-judul berikut: Kitab Palintangan, Pawukon, Kitab Nujum, Bab Uga, Wawacan Kidung Gedé, Paririmbon, Bab Repok; dan Bab Naktu.
(7.2) Bidang Pertanian; Dalam teks-teks naskah tertentu terdapat tokoh yang disakralkan dalam hubungannnya dengan dunia pertanian, terutama tentang pemuliaan tanaman padi, yaitu tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Tokoh inilah yang dianggap sebagai pengatur pola hidup seorang petani dan keluarga, mulai dari penyemaian benih padi hingga saat-saat memakannya sebagai bentuk olahan, bahkan menyangkut segala aspek kehidupan
mereka.
Beberapa naskah yang memuat teks mengenai masalah pertanian tersebut antara lain dikenal dengan judul-judul sebagai berikut: Wawacan Nyi Pohaci, Wawacan Sulanjana, Carios Sawargaloka, Carita Sri Sadana, Wawacan Déwi Sri, Bab Ngarumat Sawah, Jampé Tatanén, Bab Ubar-Ubaran, dan Jampé Tani.
(7.3) Hal-hal yang Dilegitimasi Keislaman; Adanya kategori teks-teks naskah mengenai berbagai catatan yang dilegitimasi dalam keislaman didasarkan atas pertimbangan, antara lain karena teks naskahnya menggunakan huruf Arab (Pegon). Naskah-naskah yang berisi teks seperti itu di antaranya dikenal dengan judul-judul berikut:
Kidung Doa, Mantra jeung Ajian, Tulak Bala, Jangjawokan, Rajah, Isim jeung Jampé, dan lain-lain.
Naskah Kepustakaan Sekolah
Dalam perkembangan kemudian muncul model lembaga pendidikan sistem Eropa yang diperkenalkan oleh Belanda yang sekarang dinamakan sekolah. Dengan kata lain, sekolah merupakan lembaga pusat pendidikan formal yang
mulai tumbuh dan berkembang menjelang masa akhir zaman kolonial, yaitu pada awal abad XIX. Dalam lingkungan ini dikenal istilah-istilah, seperti siswa (murid tingkat dasar, menengah, dan atas), mahasiswa (murid perguruan tinggi), guru (pendidik tingkat dasar,menengah, dan atas), dosen (pendidik tingkat perguruan tinggi), dan lain-lain.
Lembaga pendidikan model sistem Eropa itu secara perlahan mulai dilaksanakan, khususnya di Tatar Sunda setelah Gubernur Jenderal H.W Daendels (1762-1818) menetapkan dasar hukumnya pada tahun 1818, yaitu di Karawang dan Cianjur (Moriyama, 2003: 56; 2005: 78-79). Namun demikian, lembaga sekolah ini masih harus menunggu lama sebelum menarik minat kaum penduduk setempat, karena saat itu masyarakat lebih suka mengirim anak-anaknya ke pesantren-pesantren.
Sekolah kabupaten pertama kali dibuka di wilayah penutur bahasa Sunda adalah di Cianjur tahun 1851. Hingga tahun 1863 jumlah Sekolah Dasar di wilayah penutur bahasa Sunda mencapai 12 unit (Moriyama, 2003: 5758; 2005: 81).
Lebih lanjut Moriyama menjelaskan, bahwa sekolah-sekolah misionaris tidak banyak di wilayah penutur bahasa Sunda disbanding dengan di wilayah lain di Pulau Jawa. Dengan kata lain, pendidikan sekolah di wilayah ini terutama diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Misionaris tidak memberi kontribusi yang berarti, berbeda dari sekolah-sekolah Islam yang masih berperan penting dalam masyarakat.
Berdasarkan salah satu hasil keputusan bersama antara Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri di Batavia pada bulan Mei 1871 (Staatsblad, no. 104) dinyatakan bahwa, pendidikan harus diberikan dalam bahasa-bahasa daerah, dan apabila di tempat-tempat tertentu hal ini tidak mungkin dilaksanakan, maka pengajaran harus memakai bahasa Melayu. Sejak itu bahasa Sunda segera dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah sehingga menunjukkan peningkatan dari masa sebelumnya. Bahkan, bahasa Sunda juga dijadikan salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar
(Moriyama,2003: 61; 2005: 85-86).
Kepustakaan Sunda yang lahir dari tradisi sekolah umumnya berupa buku-buku cetakan karena pengelolaannya sudah mengikuti sistem penerbitan model Eropa. Adapun pustaka-pustaka Sunda produk peninggalan kaum intelektual yang dilahirkan dari sekolah dikategorikan sebagai “Pustaka Sunda Klasik”, yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri:
(a) Bahan dari berbagai jenis kertas lokal maupun impor;
(b) Alat tulis berupa pena logam, balpoin, pensil, tinta, mesin tik, dan mesin cetak;
(c) Ragam aksara, seperti, Cacarakan, Pegon, dan Latin. Aksara Cacarakan diperkenalkan sejak abad ke-17 ketika pengaruh budaya Mataram menembus ke wilayah Tatar Sunda, dan kaum menak lokal mengikuti arus budaya Jawa
tradisi keraton di Jawa Tengah. Dalam pada itu, aksara Pegon masih digunakan dalam hampir semua jenis tulisan, sedangkan aksara Cacarakan hanya digunakan untuk menulis laporan-laporan resmi kepada dinasti Mataram-Jawa
serta kepada pihak kolonial Belanda, di samping dalam korespondensi di kalangan menak (bdgkn. Moriyama, 2003;2005: 34).
(d) Bahasa Sunda dengan pengaruh atau serapan dari bahasa, Arab, Jawa, Melayu, Belanda, dan pengaruh bahasa-bahasa Barat lainnya.
Adapun data pustaka dari tradisi sekolah sebagian besar bahkan secara lengkap telah terdata dalam karya disertasi Mikihiro Moriyama yang diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris tahun 2003 dan edisi bahasa Indonesia tahun 2005. Data pustaka yang dimaksud dapat disajikan berdasarkan ragam tulisan yang dipakai sebagai sarana perekam bahasa Sunda, yakni aksara Cacarakan (Sunda-Jawa), Pegon, Latin, gabungan Cacarakan dengan Latin, dan gabungan Pegon dengan Latin berikut ini:
(1) Cacarakan: Aksara Cacarakan yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, pengetahuan kebahasaan, masalah ortografi atau tata aksara, keagamaan, historiografi, kearsipan, berhitung/matematika, pertanian, peternakan, etika, dan penanggalan atau kalender.
1. Susastra, seperti:
– Carita Kura-kura jeung Monyét (A.W. Holle & K.F. Holle, 1851. Batavia: Lange & Co.),
– Caritana Ibrahim (anonim, 1853. Batavia: LD8; cetak ulang 1888),
– Wawacan Carita Ibrahim (anonim, 1859. Batavia: Lange & Co.),
– Wawacan Carita Nurulkamar (anonim, 1860. Batavia: LD),
– Wawacan Raja Darma (Soendaasch Gedicht Radjadarma) (Danoe Koesoemah, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Carios Si Miskin (Danoe Koesoemah, 1862. Batavia: Lange & Co.),
– Wawacan Dongéng-dongéng (Soendasche gedichten en fabelen) (Moehamad Moesa, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Raja Sudibya (Soendasch gedicht Radja Soedibja) (Moehamad Moesa, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Wulang Krama (Soendasch Zedediicht Woelang-krama) (Moehamad Moesa, cet. I: 1862. Batavia:
LD),
– Wawacan Jaka Miskin (Soendasch Gedicht Djaka Miskin) (Wira Tanoe Baija, diterj. dari bahasa Melayu, 1862. Batavia: LD),
– Dongéng-dongéng nu Aranéh (Vertellingen) (Moehamad Moesa, cet. I: 1866. Batavia: LD, terj. dari bahasa Melayu; cet. baru 1884; cet. II: 1890),
– Dongéng-dongéng Pieunteungeun (Spiegel der jeugd) (Moehamad Moesa, 1867. Batavia: LD),
– Panji Wulung (Moehamad Moesa, cet.I: 1871. Batavia: LD; cet. II: 1891; cet. baru: 1901; cet. III: 1908) (1879 diterj. ke dalam bahasa Jawa oleh Soerjodidjojo dengan gelar Pangeran Adipati Ario Mangkoe Negoro IV; 1928 diterj. ke dalam bahasa Madura oleh R. Sosro Danoe Koesoemo, 2 jilid),
– Katerangan Lampah Sebar (Moehamad Moesa, 1874. Batavia: LD),
– Carios Tuan Kapitan Marion (Gescheidenis van den Kapitein Marion) (Kartawinata, 1872. Batavia: LD),
– Carita Kapitan Bonteku (Reis van den Kapitein Willem Ysbrandtsz Bontekoe) (Kartawinata, cet. I: 1874.
Batavia: LD; cet. II: 1883; cet. baru: 1903),
– Carita Érman (Rd. Ayu Lasminingrat, cet. I: diterj. dari bahasa Belanda, 1875. Batavia: LD; cet. II: 1911),
– Warnasari atawa Rupa-rupa Dongéng (Rd. Ayu Lasminingrat, jilid 1, trj. Dari bahasa Belanda, 1876. Batavia:
LD; jilid 1, cet. baru, 1907),
8 Landsdrukkerij ‘Percetakan Pemerintah’.
– Carita Robinson Crusoë (Daniel Defoe, diterj. oleh Kartawinata Kartawinata, 1879. Batavia: LD; versi terj.
bahasa Belanda oleh Gerard Keller),
– Wawacan Angling Darma (R.A.A. Martanagara, 1906. Bandung: Toko Citak Afandi).
2. Pengetahuan Bahasa, seperti:
– Kitab Pangajaran Basa Sunda (Soendasch spel- en leesbokje) (anonim, 1850. Tidak diketahui tempat terbit),
– Kitab Conto-conto Surat pikeun Murangkalih anu Ngaskola (Soendasche modellen van verschillende
brieven) (K.F. Holle, 1861. Batavia: LD),
– Buku Bacaan, pikeun murid-murid dina pangkat panghandapna di iskola Sunda (H.A. Nooij, cet. I: 1883.
Batavia: LD; cet. baru 1894; cet. II:1896),
– Buku Bacaan Salawé Tuladan, pikeun murid-murid pangkat kadua di sekola Sunda (W. van Gelder, cet.I:
1902. Batavia: LD; cet. ulang: 1907; cet. ulang, 1913).
3. Ortografi (Tata Aksara), seperti:
– Kitab Tjatjarakan Soenda No. 1 (Soendasch spel- en leesboekje met Latijnsche letter) (K.F. Holle, cet. I: 1862.
Batavia: LD),
– Kitab Cacarakan Sunda (Soendaasch Spelboek) (anonim, jilid 1, 1873. Batavia: LD),
– Buku Cacarakan Anyar (Soendaasch spel- en leesboekje) (Ardiwinata, jilid 1 & 2, cet. I: 1897. Batavia: LD; cet. II revisi: 1903; cet. III revisi: 1907; cet. IV revisi: 1908),
– Cacarakan Sunda, pikeun murangkalih anu mimiti diajar maca (anonim, tanpa tempat terbit; diterbitkansebelum tahun 1865).
4. Keagamaan, seperti:
– Ieu Pepetikan tina Kitab Tupah (Ibnoe Hadjar al Haitami, diterj. oleh Soerjadilaga, 1858. Batavia: Langeh jeung
paséroan).
5. Historiografi, seperti:
– Babad Tanah Pasundan (J.A. van der Chijs, diterj. oleh Kartawinata, 1880. Batavia: LD),
– Carita Pulo Jawa (Java en zijn bewoners) (W. van Gelder, jilid 1, diterj. oleh Kartawinata, 1880. Batavia: LD;
jilid 2, 1880; jilid 3, 1881; jilid 4, 1881).
6. Kearsipan, seperti:
– Kitab Conto-conto Surat Anyar (Nieuw Brievenboek voor de Soendasche Scholen) (Kartawinata, 1876. Batavia: LD, di bawah pengawasan K.F. Holle),
– Paréntah jeung Piwuruk baris Nuduhkeun Petana Amtenar-amtenar Éropa jeung-Pribumi Rawuh Pangkatpangkat Ngalampahkeunana Timbalan kana Ngajaga Paragan Sato (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh
Kartawinata, 1880. Batavia: LD),
– Aturan Ngurus Sakitan-sakitan di India Néderland. Staatsblsd 1817 nomer 78 (Soendasche vertaling van het reglement van orde en tucht onder de gevangenen in Nederlandsch-Indië. Staatsbled 1817, No. 78) (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh Kartawinata, 1882. Batavia: LD),
– Intruksi Kapala Désa (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh Rangga Adilaga, 1886. Batavia: LD),
– Aturan Metakeun Heredines di Tanah Prayangan (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1892. Batavia: LD; (dibuat oleh
J.D. Harders, Resident Priangan).
7. Pengetahuan Berhitung/Matematika, seperti:
– Kitab Nuduhkeun Ngélmu Itungan (Rekenboejke over de benoemde getallen) (K.F. Holle, 1867. Batavia: LD), – 300 Masalah, Élmu Itungan (300 Rekenkundige voorstellen voor eerst beginenden) (Kartawinata, 1876.
Batavia: LD),
– Buku Itungan nu Ka I, pikeun murid-murid pangkat panghandapna di iskola pribumi (W. van Gelder, jilid 1, 2, 3, 1881. Batavia: LD; jilid 4, 1882; jilid 5, 1883).
8. Pengetahuan Peternakan, seperti:
– Katrangan tina Prakawis Miara Lauk Cai (K.F. Holle, 1861. Batavia: LD),
– Wawaan Katerangan Miara Lauk Cai (Handleiding voor de teelt van zoetwatevish) (Moehamad Oemar, 1866.
Batavia: LD).
9. Pengetahuan Pertanian, seperti:
– Wulang-tani (Moehamad Moesa, 1862. Batavia: LD),
– Mitra nu Tan (K.F. Holle, editor, jilid 1 diterj. oleh Kartawinata dari bahasa Belanda, 1874. Batavia: LD; jilid 2
& 3, 1977; jilid 4 & 5, 1878; jilid 6 & 7, 1879).
10.Etika, seperti:
– Wulang Putra (Soendasch Gedicht Woelang Poetra) (Adi Widjaja, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Wulang Guru (Moehamad Moesa, cet. I: 1865. Batavia: LD),
– Wawacan Wulang Murid (Moehamad Moesa, cet. I: 1865. Batavia: LD),
– Buku Bacaan Salawé Tuladan, pikeun murid-murid pangkat panghandapna di sakola Sunda (W. van Gelder,
cet. I: 1881. Batavia: LD; cet. ulang 1889; cet.III: 1898; cet. IV: 1902),
– Buku Bacaan Salawé Tuladan, pikeun murid-murid pangkat kadua di sekola Sunda (W. van Gelder, cet. I:
1902. Batavia: LD; rep. ed., 1907. Batavia: LD, Jw.; rep. ed., 1913. Batavia: LD).
11. Penanggalan/kalender, seperti:
– Serat Pananggalan Sunda (Soendaneesche Almanak) (anonim, 1892. Cheribon: A. Bisschop; cet. II: 1893; Cet. III: 1894; cet. IV: 1895; Cet. V: 1896; cet. VI: 1897),
– Serat Pananggalan Anggoeun dina Taun Walanda (Soendaneesche Almanak) (anonim, tahun ke-1: 1897. Samarang: G.C.T. van Dorp & Co.; tahun ke-2: 1898; tahun ke-3: 1899; tahun ke-4: 1900; tahun ke-5: 1901; tahun ke-6: 1902; tahun ke-7: 1903),
– Serat Pananggalan Sunda (Soendaneesche Almanak) (anonim, tahun ke-1: 1892. Cheribon: A. Bisschop; tahun ke-2: 1893; tahun ke-3: 1894; tahun ke-4: 1895; tahun ke-5: 1896; tahun ke-6: 1897).
(2) Pegon: Aksara Pegon yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, pengetahuan kebahasaan, keagamaan, etika, penanggalan atau kalender, dan pengobatan dan penyakit.
1. Susastra, seperti:
– Wawacan Gendit Birayung (judul dberikan oleh Snouck Hurgronje? Ditemukan di daerah Banten, 1896),
– Kitab ieu Landong tina Kabaluwengan Urusan Gogoda Zaman Ayeuna (Hadji Mohamad Nuh, t.t. Bogor:
Ikhtiar).
2. Pengetahuan Bahasa, seperti:
– Kamus Kecil Arabiyah-Malayu-Sunda (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân), diterjoleh Raden Hadji Azhari, 1897. Batavia: ?).
3. Keagamaan, seperti:
– Ieu Kitab Injil Suci anu Dikarang ku Lukas (Het Evangelie van Lucas) (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj.
oleh C. Coolsma, 1877. Leiden: A.W. Sijthoff),
– Kitab Injil Suci anu Dikarang ku Johanes (Het Evangelie van Johannes) (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj.
oleh S. Coolsma, 1895. Leiden: A.W. Sijthoff),
– Irsjad Al- anam Fi Tarjmat Arkan Al-Islam (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân), diterj. oleh Mantra Goeroe di Soekaboemi, 1896. Batavia:?),
– Kitab Lalampahan Para Rasul Saruci Beunang Ngarang Lukas (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj. Oleh S. Coolsma, 1896. Leiden: A.W. Sijthoff),
– Tahfit Al-uyun Ala Fasadi Al-dhunun (Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân) diterj. oleh
Raden Hadji Azhari, 1897. Batavia: ?),
– Islah Al-hal Bi Talb Al-halal (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân, diterj. oleh Raden Azhari,
1897. Batavia:?).
4. Etika, seperti:
– Cempaka Mulia (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân) diterj. oleh Raden Hadji Azhari dan Hadji Irsjad, 1897. Batavia: ?),
– Nasihat Datang buat Ngalarang Nyieun Nyeri kana Binatang (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid
‘Uthmân), diterj. oleh Mohamad Bisri bin hadji Abdullah, 1901. Batavia: ?).
5. Penanggalan/kalender, seperti:
– Serat Pananggalan Anggoeun dina Taun Walanda (Soendaneesche Almanak) (anonim, tahun ke-1: 1897.
Samarang: G.C.T. van Dorp & Co.; tahun ke-2: 1898; tahun ke-3: 1899; tahun ke-4: 1900; tahun ke-5: 1901;
tahun ke-6: 1902; tahun ke-7: 1903).
6. Pengobatan dan Penyakit, seperti:
– Wawacan Piwulang Panyakit Koléra (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh Raden Tumenggung Djajadiningrat,
1897. Batavia: LD),
– Rupa-rupa Katerangan nu Nétélakeun Bab Kasakit Koléra jeung Sarat-sarat pikeun Ngurus Awak Bisi Katerap Panyakit éta (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1905. Batavia: LD).
(3) Latin: Huruf Latin yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, pengetahuan kebahasaan, masalah ortografi atau tata aksara, keagamaan, kearsipan, berhitung/matematika,
pertanian, etika, penanggalan atau kalender, dan pengobatan atau penyakit.
1. Susastra, seperti:
– Wawacan Wulang Krama (Soendasch Zedediicht Woelang-krama) (Moehamad Moesa, 1923 cet. ulang dalam Volksalmanak Sunda. Batavia: Balai Poestaka),
– Dongeng-dongeng Piĕntĕngĕn (Spiegel der jeugd) (Moehamad Moesa, cet. I: 1867. Batavia: LD; cet. baru, 1888; cet. III: 1901; cet. IV: 1904; cet. V: 1907),
– Pandji Woeloeng (Moehamad Moesa, 1876. Batavia: LD; cet. baru, 1904; cet.III: 1909; cet. revisi, 1913; cet.
IV: 1922),
– Carita Kapitan Bonteku (Reis van den Kapitein Willem Ysbrandtsz Bontekoe) (Kartawinata, 1924. Batavia: LD),
– Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng (Rd. Ayu Lasminingrat, jilid 2 & 3, diterjemahkan oleh Lenggang Kantjana, 1887. Batavia: LD; jilid 2 cet. baru, 1909; jilid 3 cet. baru, 1912),
– Ijeu Wawatjan eukeur Moerangkalih anoe di Iskola (C. Coolsma, 1876. Rotterdam: D. de Koning), – Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng (Lenggang Kantjana, jilid 3, 1887. Batavia: LD),
– Tjarita Djahidin (anonim, cet. I diterj. oleh Soerja Karta Lĕgawa, 1896. Batavia: LD),
– Tjarita Djahidin, kalawan Piwoeroek Sĕpoehna (anonim, cet. ulang: 1903. Batavia: LD),
– Serat Rama (anonim, diterj dari bahasa Jawaoleh R. Toemĕnggoeng Arija Martanagara di bawah pengawasan Bratadiwidjaja, 1990. Samarang: D.C.T. van Dorp & Co.),
– Wawatjan Soelandjana nya eta Tjarita Tatanen Djaman Koena (anonim, disunting oleh C.M. Pleyte, 1907. Bandoeng: G. Kolff & Co.),
– Tjarios Djalma noe Sangsara (anonim, tak diketahui tempat terbit, halaman judul hilang).
2. Pengetahuan Bahasa, seperti:
– Pagoeneman Soenda djeung Walanda (Soendasche Hollansche samenspreken) (Kartawinata, cet. I di bawah pengawasan K.F. Holle, 1883. Batavia: LD; cet. ulang, 1891; 1908; 1915),
– Mangle Lĕmboet keur Baroedak Leutik (anonim, 1885. Bogor: Zending Press),
– Mangle, nya eta roepa-roepa Tjarita reudjeung tjonto (W. van Gelder, cet. I: 1890. Leiden: Kantor Tjitak Toewan
P.W.M. Trap, Rm.; cet II: 1898. Den Haag: Kantor Tjitak De Swart en Zoon, Rm.; (cet. III: 1901; cet.IV: 1902;
cet.V: 1906; cet.VI: 1909; cet.VII: 1911; cet. VIII: 1913; cet.IX: 1922),
– Boekoe Batjaan Sĕsĕla, pikeun moerid-moerid pangkat kadoewa (Among Pradja, cet.I: 1907. Batavia: LD; jilid
ke-2: 1911; cet. III: 1913),
– Pangadjaran Basa Soenda, pikeun moerid-moerid pangkat panghandapna di sakola-sakola Soenda (Ch.
Hekker, jilid ke-1, cet. I tidak diketahui; cet. II: 1907. Batavia: LD).
3. Ortografi (Tata Aksara), seperti:
– Tjatjarakan Soenda (Soendaneesch spelboekje) (G.J. Grashuis, 1866. Rotterdam: E.H. Tassemijer; cet.II revisi: 1883. Rotterdam: D. de Koning),
– Kitab Tjatjarakan Soenda Make Aksara Walanda (Soendasch spel- en leesboekje met Latijnsche letter) (K.F. Holle, cet. I: 1876, 1862. Batavia: LD; cet. II: 1876),
– Boekoe Edjahan djeung Batjaan, pikeun moerid-moerid dina pangkat panghandapna di sakola-sakola-Soenda (C.J. van Haatert, jilid 1: 1894. Batavia: LD, Rm.; jilid 1, cet. II: 1899; jilid 1, cet.III: 1908; jilid 1, cet.IV: 1910;
jilid 2: 1896; jilid 2, cet. II: 1898; jilid 2, cet. III: 1907; jilid 2, cet. IV: 1910).
4. Keagamaan, seperti:
– Kitab Indjil Dikarang koe Loekas (Nederlandsche Zendingvereeniging, ditrj. oleh G.J. Grashuis, 1866. Rotterdam: E.H. Tassemijer),
– Perdjandjian Anjar. Iju kitab beunang njoetat tina Kitab Soetji (anonim, jilid 1 & 2. 1868. Tidak diketahui tempat terbit),
– Poepoedjan Pikun Njanji, sarĕng pikun moedji ka pangeran (anonim, cet. II: 1873. Mééster-Cornelis Réehoboth-Zending Press; Cet. I tidak diketahui),
– Perdjandjian Anjar, hartosna sadajana kitab noe kasebat indjil goesti oerang Jesoes Kristoes (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj. oleh S. Coolsma, 1877. Amstendam: ?),
– Tjarios Goesti Jesoes sareng Rasoel-rasoelna (Nederlandsche Zendingvereeniging, 1885. Rotterdam: D. de Koning; cet. II: 1901. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Elmoe Agama Oerang Kristen (Nederlandsche Zendingvereeniging/C. Albers, 1886. Rotterdam: D. de Koning),
– Iju Tjariosna Para Nabi (anonim, 1871. Mééster: Réhobot), Iju Doewa Kitab Indjil anoe Soetji (De Evangelien
van Loekas en Johanes) (anonim, 1871. Mééster-Cornelis: Réehoboth-Zending Press, diterjemahkan oleh S.
Coolsma),
– Kitab Soetji, hartosna sadajana kitab noe Perdjandjian lawas sareng Perdjandjian anjar (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj. oleh S. Coolsma,1891. Amstendam: ?),
– Tjarios Para Nabi Ditoekil tina Kitab Perdjandjan Lawas (Nederlandsche Zendingvereeniging, 1892.
Rotterdam: D. van Sijn & Zoon, Rm.; cet. II: 1902. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Hikajat Garedja (Nederlandsche Zendingvereeniging/C. Albers, [1892. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Poepoedjian Oerang Kristen, njanjikeuneun di garedja djeung di imah (Nederlandsche Zendingvereeniging,
1893. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Tjarios Joesoep Beunang Nembangkeun (Nederlandsche Zendingvereeniging, diterj. oleh N. Titus, cet.I: 1894.
Rotterdam: D. van Sijn & Zoon, Rm.; cet.II: 1902),
– Njanjian Baris Moedji di Iskola reudjeung di Imah (Nederlandsche Zendingvereeniging, 1897. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Tjarios Radja Saoel djeung Radja Dawoed Beunang Nembangkeun (Nederlandsche Zendingvereeniging, diterj. oleh N. Titus, 1906. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Kitab Indjil Soetji anoe Dikarang koe Markoes (Nederlansch Bijbelgenootschap, 1907. Amstrendam: ?).
5. Geografi, seperti:
– Elmoe Boemi Tanah Hindia Nedĕrlan (C. Albers, 1872. Batavia: Ogilvie & Co.).
6. Kearsipan, seperti:
– Besluit Betreffende de Regeling der Heerendiensten in het Soendaneesc, (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1875. Batavia: LD),
– Staatsblad voor Ned. Indië. Soendasche vertaling van verschillende nummers (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1875/76. Batavia: LD),
– Boekoe Wet Hal Pangadilan Hoekoeman baris Oerang Priboemi di Indië-Nederland (Kartawinata, 1889.
Batavia: LD),
– Boekoe Wet Hal Pangadilan Hoekoeman djeung Atoeran noe Djadi Babakoe Hoekoeman Politie baris Oerang Pribumi di Indië-Nederland (Kartawinata, 1889. Batavia: LD),
– Pangatoeran Tjengtjelengan Limbangan (dalam bahasa Sunda dan Belanda, 1889. Bandoeng: De Vries &
Fabricius),
– Pangeling-ngeling ka Padoeka Toewan Karel Frederik Holle (R. Demang Soeja Nata Legawa (Kartawinata), 1897, tanpa tempat terbit).
7. Pengetahuan Berhitung/Matematika, seperti:
– Kitab Elmoe Itoengan (Rekenboekje voor de scholen) (Nederlandsche Zendingvereeniging, jilid 1, 1866.
Rotterdam: D. de Koning; jilid 2, 1866; jilid 3, 1867; jilid 4, 1868),
– Kitab Elmoe Itoengan no. 1, pikeun moerangkalih anoe keur iskola (Nederlandsche Zendingvereeniging , 1866.
Rotterdam: D. de Koning),
– Kitab Itoengan, pangmimitina pisan keur baroedak iskola (Nederlandsche Zendingvereeniging [C.J. Albers], cet. I: 1866. Schoonhoven: S.E. van Nooten & Zoon; cet.III: 1902. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Boekoe Itoengan Pĕtjahan-pĕrpoeloehan, pikeun moerid-moerid pangkat kadoewa di sakola-Soenda (C.J. van Haastert, cet. I: 1894.Batavia: LD; cet. II: 1900; cet. III: 1906),
– Boekoe Itoengan Pĕtjahan Bĕnĕr, pikeun moerid-moerid pangkat kadoewa di sakola-Soenda (C.J. van Haastert, cet.I: 1894. Batavia: LD; cet. II: 1900; cet.III: 1904).
9. Pengetahuan Pertanian, seperti:
– Mitra Noe Tani (K.F. Holle editor, jilid 8, 1892. Batavia: LD; jilid 9 & 10, 1893; jilid 11, 1894; jilid 12, 1895; jilid 13, 1897 disunting oleh H. de Bie; jilid 14, 1899 disunting oleh H. de Bie),
– Piwoelang ka noe Tani, [I & II] (Ardiwinata, cet.I, diawasi oleh H.C.H. de Bie, 1906. Batavia: LD; cet. II jilid 1: 1907. Semarang: H.A. Benjamin; cet. II jilid 2: 1908; Cet. III: 1914),
– Piwoelang ka noe Tani, I (Ardiwinata, cet. II diawasi oleh H.C.H. de Bie, 1907. Semarang: H.A. Benjamin),
– Piwoelang ka noe Tani,II (Ardiwinata, cet. II diawasi oleh H.C.H. de Bie, 1908. Semarang: H.A. Benjamin).
10. Etika, seperti:
– Wawatjan Woelang Goeroe (Wenken voor den onderwijzer) (Moehamad Moesa, 1865. Batavia: LD),
– Wawatjan Woelang Moerid (Lessen voor den Leerling) (Moehamad Moesa, 1865. Batavia: LD),
– Tembang Piwoelang, pikeun moerid-moerid di iskola Soenda (Mangoen Di Karia, 1908. Batavia: LD),
– Tatakrama Oerang Soenda (D.K. Ardiwinata, jilid ke-1, cet. I: 1908. Bandoeng: Kaoem Moeda).
11. Pengobatan dan Penyakit, seperti:
– Roepa-roepa Pangadjaran Hal Mijara Boedak Lolong keur Waktoe Aja di Imah Kolotna (Lenderink, diterj. oleh pemerintah kolonial, 1900. Batavia: LD).
– Kitab Atoeran Bab Maradjian Djelema noe Ngadjoeroe (Moehamad Saleh Mangkoepradja, 1901. Batavia: Albrecht & Co.).
(4) Cacarakan-Latin: Aksara gabungasn Cacarakan-Latin yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, keagamaan, dan pertanian.
1. Susastra,seperti:
– Tjarita Abdoerahman djeung Abdoerahim (Gescheidenis van Abdoerahman en Abdoerahim) (Moehamad Moesa, cet. I: 1863. Batavia: LD, aslinya berbahasa Arab, diterjemahkan dari versi Melayu; cet. II: 1884, cet.
ulang 1885; 1887 diterj. ke dalam bahasa Jawa oleh Raden Angga Badja; cet. III: 1906, cet. ulang 1908; cet. IV: 1911; cet. V: 1922; 1925 terj. dalam bahasa Melayu),
– Wawatjan Dongeng-dongeng Toeladan (Prawira Koesoema, cet. I: 1863. Batavia: LD; cet. II: 1888; cet. III: 1911; cet. IV: 1922),
– Wawacan Seca Nala (Geschiedenis van Setja Nala, Bevattende lessen voor den boeren- en handelstand) (Moehamad Moesa, 1863. Batavia: LD),
– Ali Moehtar/Wawacan Carios Ali Muhtar (Moehamad Moesa, cet. I: 1864. Batavia: LD; cet. II: 1883), – Lampah Sebar (Moehamad Moesa, 1872. Batavia: LD),
– Wawatjan Lampah Sebar (Moehamad Moesa, 1872. Batavia: LD).
2. Keagamaan, seperti:
– Indjil anoe Kasoeratkeun koe Mattheus (diterj. oleh Esser, 1854),
– Wawacan Petikan Bidayatussalik (‘Abd as-Samad al-Palimbani], 1863/1864, Batavia: LD, diterj. oleh Rd.
Bratawidjaja di bawah pengawasan Aria Koesoemah Diningrat).
3. Pengetahuan Pertanian, seperti:
– Élmu Nyawah (Handleiding voor de kultuur van padi op natte velden) (Moehamad Moesa, 1864. Batavia: LD).
(5) Pegon-Latin: Aksara gabungan Pegon- Latin yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah
hanya meliputi bidang keagamaan.
1. Keagamaan, seperti:
– Saun Ad-din ‘An Nazgrat Al-mudallin (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân), teks ditulis dalam banyak bahasa: Arab, Melayu, Jawa, dan Sunda, 1903. Batavia:?).
Epilog
Para peneliti dunia pernaskahan selama ini dalam upaya mengidentifikasi naskah sudah biasa menelusuri nama, tempat, dan waktu suatu naskah itu ditulis. Akan tetapi mengenai dari mana asal kelembagaan pendidikan yang
menghasilkan kaum intelektual penulis naskah itu berasal, boleh dikatakan masih jarang yang mencoba ungkap secara khusus. Akibatnya muncul kesan seolah-olah adanya suatu naskah di masyarakat hanya berupa benda keramat tinggalan warisan budaya dari para leluhur mereka.
Berdasarkan uraian di muka dapat diperoleh gambaran bahwa ternyata keberadaan naskah Sunda sebagai bagian dari benda budaya itu erat kaitannya dengan latar belakang situasi zaman yang pernah dilalui oleh masyarakatnya. Naskah Sunda Kuno dengan aneka ragam kekhasannya yang masih bertahan hingga saat ini adalah berasal dari tradisi dunia lembaga pendidikan kemandalaan zaman sistem pemerintahan kerajaan. Demikian pula, yang dikategorikan sebagai khazanah naskah Sunda Lama adalah produk tradisi lembaga pendidikan pesantren zaman sistem pemerintahan kesultanan, kemudian disusul munculnya pustaka-pustaka Sunda Klasik yang hadir dalam bentuk cetak sebagai produk tradisi lembaga pendidikan sekolah dari zaman sistem kekuasaan kolonial hingga sekarang.
- Disajikan pada acara Kajian Manuskrip Nusantara Diselenggarakan oleh Pamong Budaya Bogor bekerjasama dengan Dewan Adat Budaya dan Adab Nusantara dan Bayt al-Hikmah Institute. Sabtu, 4 Mei 2019 di Hotel Salak Heritage Bogor.
- Peneliti & Dosen Tetap FIB Unpad; Kepala Departemen Sejarah & Filologi FIB Unpad.
- Naskah merupakan objek kajian filologi. Dalam praktiknya, metode kajian filologi dapat dibagi menjadi dua, yakni: metode kajian naskah atau kodekologi (mengkaji masalah deskripsi dan identifikasi wujud fisik, hasilnya berupa katalog naskah) dan metode kajian teks atau tekstologi (menyangkut upaya kritik teks ke arah perwujudan sebuah edisi teks beserta pengungkapan latar belakang tradisi kultural).
- Lihat Holle, 1867, 1882; Pleyte, 1911, 1914; Noorduyn, 1962; Atja, 1968; Danasasmita dkk, 1987; Ekadjati, 1988; Darsa, 1994.
Daftar Pustaka
Atja. 1968. Tjarita Parahijangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16. Bandung: Jajasan Nusalarang.
—-. 1970. Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.
Atja & Saleh Danasasmita. 1981a. Carita Parahiyangan: Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ayatrohaédi, Tien Wartini, Undang A. Darsa. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alihaksara dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.
Danasasmita, Saleh & Ayatrohaédi, Tien Wartini, Undang A. Darsa. 1987. Sewaka darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Darsa, Undang A. 1986 Babad Cirebon: Satu Percobaan Rekonstruksi Teks (Skripsi Jurusan Sastra Daerah/Sunda
Fakultas Sastra Unpad). Bandung.
—-, 1993. Naskah-naskah Sunda: Sebuah Pemahaman Berdasarkan Konvensi Keislaman. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
—-, 1994. Aksara yang Pernah Digunakan Menulis Bahasa Sunda (Makalah “Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha- Na-Ca-Ra-Ka”). Yogyakarta: Balai Kajian Jarahnitra kerjasama Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan.
—-, 1998. Sang Hyang Hayu: Kajian Filologis Naskah Bahasa Jawa Kuno di Sunda pada Abad XVI. Bandung: Tesis
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
—-. 1999. Fragmen Carita Parahyangan: Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat Sunda. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
—-, 2003. Aksara Sunda KAGANGA dan Sistem Tata Tulisnya. Bandung: Walatra.
Darsa, Undang Ahmad dkk. 1992. Wawacan Gandasari. Jakarta: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Darsa, Undang A. & Ayatrohaédi. 1992. Aksara Sunda Kuno (Makalah “Seminar Aksara Daerah Jawa Barat”). Jatinangor:
Fakultas sastra Unpad kerjasama dengan Pemda Tk. I Jawa Barat.
Darsa, Undang A. & Edi S, Ekadjati. 1995. Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406): Pengantar
dan Transliterasi. Seri Penerbitan Naskah Sunda Nomor 1. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusantara.
—-. 2004. Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420); Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam (Kropak 421); Jatiraga (Kropak 422). Tokyo: The Toyota Foundation.
Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati, Mamat Ruhimat. 2004. Darmajati Naskah Lontar Kropak 423: Transliterasi,Rekonstruksi, dan Terjemahan Teks. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai. Jakarta: LP3ES.
Ekadjati, Edi S., dkk. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: LPUP-The Toyota Foundation.
—-. 2006. Nu Maranggung Dina Sajarah Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.
Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa. 1997. Aksara Sunda: Lambang Jatidiri dan Kebanggaan Jawa Barat (Makalah “Lokakarya Aksara Sunda 21 Oktober 1997”). Jatinangor: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat
kerjasama Fakultas sastra Universitas Padjadjaran.
—-. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia & École Française d’Extrême-Orient.
Gelb, I.J. 1963. A Study of Writing: The Foundations of Grammatology. Chicago.
Grashuis, G.J. 1860. Handleiding voor het Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift. Leiden.
Holle, K.F. 1882. Tabel van Oud- en Nieuw- Indische Alphabetten: Bijdrage tot de Palaeographie van Nederlansch Indie.
Batavia: W. Brunning & Co; s’Huge: Martinus Nijhoff.
LBSS. 1990. Kamus Umum Bahasa Sunda, Disusun ku Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda. Edisi VI. Bandung:Tarate.
Moriyama, Mikihiro. 2003. Sundanese Print Culture and Modernity in 19th-century West Java. Singapore: Vetak Printers. Terjemahan dalam bahasa Indonesia. 2005. Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan SundaAbad Ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Noorduyn, J. & A. Teeuw. 1999. “A panorama of the world from Sundanese perspective”. Archipel 57 II L’horizonnounsantarien, Mélanges en homage à Denys Lombard: 209-221.
—-. 2003. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV.
Pleyte, C.M. 1914a. “Een pseudo-Padjadjaransche Kroniek. Derde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda”. TBG
56:257-280.
—-. 1914b. “Poernawidjaja’s hellevaart, of de Volledige verlossing, Vierde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda”.
TBG 56:365-441.
Rosidi, Ajip. 1966. Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Bandung: Tjupu Manik.
Salmun, M.A. 1963. Kandaga Kasusastraan Sunda. Bandung-Djakarta: Ganaco N.V.
Satjadibrata, R. 1954. Kamus Umum Basa Sunda (Katut Ketjap-ketjap Asing nu geus Ilahar). Tjitakan ka-2 (dihadéan tur ditambahan). Djakatra: Perpustakaan Perguruan Kemetrian P.P. & K. Simuh. 1985. Unsur-unsur Islam dalam Kepustakaan Jawa. Yogyakarta: Bagian Proyek Javanologi.
Soebadio, Haryati. 1975. Masalah Transliterasi dan Ortografi dalam Perkembangan Bahasa. Kertas kerja Lokakarya Transliterasi Bahasa Daerah, 27-30 Januari. Jakarta.
Suryani N.S., Elis & Undang A. Darsa. 2003. Kamus Bahasa Sunda Kuno-Indonesia (KBSKI). Sumedang: Alqaprint Jatinangor.