Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Pedoman Pamong Budaya Non-PNS

$
0
0

Pedoman Pamong Budaya Non-PNS

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan pada hakikatnya adalah perwujudan kemampuan manusia dan/atau kelompok manusia yang diperoleh melalui proses belajar dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya masing-masing. Kemampuan itu diwujudkan dalam bentuk (1) ide, gagasan, norma, nilai; (2) pola tingkah laku manusia; (3) dan juga dalam bentuk benda. Ketiga unsur itu saling mempengaruhi satu sama lain dan dikembangkan terus menerus oleh satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu wujud kemampuan manusia itu dibedakan atas karya budaya berbentuk benda (tangible) ataupun dalam bentuk tak benda (intangible).
Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki aneka ragam budaya. Indonesia dikenal sebagai bangsa multietnik (menurut Prof. Dr. Yunus Melalatoa jumlahnya sekitar 500 suku bangsa), memiliki anekaragam budaya (multikultur) dan mendapat pengaruh dari berbagai bangsa dan agama (multimental) dari bangsa-bangsa: India, Cina, Arab, Eropa, dll, serta dari agama-agaman: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Dalam keanekaragaman itu Indonesia juga dikenal sebagai bangsa pluralis.
Kebudayaan sebagai sebagai perwujudan keseluruhan gagasan, perilaku, dan benda, dijadikan acuan dalam menata kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernbegara. Kebudayaan juga memiliki peran amat penting dalam pembentukan jati diri (identitas) bangsa. Kebudayaan menjadi modal dan dasar untuk membangunan karakter suatu masyarakat atau bangsa, melalui proses pendidikan dalam arti luas, yaitu melalui pendidikan dalam keluarga, formal, masyarakat dan melalui media massa. Kebudayaan juga menjadi sumber untuk menumbuhkan kebanggaan nasional dan cinta tanah air. Oleh karena itu setiap manusia dan atau kelompok manusia akan memuliakan, memertahankan, memelihara dan mengembangkan kebudayaannya masing-masing.
Berkaitan dengan peran kebudayaan dalam pembangunan manusia Indonesia, tantangan yang dihadapi sebagai bangsa pluralis lebih berat dibandingkan dengan bangsa yang lain yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa. Kehidupan masyarakat Indonesia memerlukan tata hubungan yang didasari oleh rasa solidaritas dan toleransi sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan bersatu. Keanekaragaman yang dibingkai dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam dinamika interaktif antara kebudayaan nasional dan kebudayaan suku bangsa, antara kebudayaan daerah yang satu dengan yang lain, serta antara kebudayaan nasional dan daerah dengan kebudayaan internasional belum sepenuhnya mewujudkan suatu hubungan dalam keberagaman yang solid.
Ke depan, tantangan itu akan semakin kompleks, perubahan dan perkembangan dalam berbagai bidang berlangsung amat cepat dan mendasar, berimplikasi pada menurunnya kelestarian kebudayaan, kebanggaan, serta melemahkan kesatuan dan persatuan bangsa. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentarlistik dan penerapan demokrasi secara lebih luas, mempunyai pengaruh besar terhadap konsep, kebijakan dan strategi pelestarian kebudayaan bangsa.
Sesuai amanat Pasal 32 UUD 1945 Pemerintah/Negara berkewajiban memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Amanat itu selanjutnya dijabarkan ke dalam garis-garis kebijakan seperti tercantum di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Di dalam RPJM disebutkan bahwa arah kebijakan Pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang kebudayaan bangsa adalah melestarikan kebudayaan bangsa dalam arti melakukan upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan, menuju ke arah pemajuan peradaban serta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Dalam melaksanakan kebijakan itu selain tugas dan tanggung jawab itu diletakkan pada pundak pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mempunyai kewajiban untuk melestarikan nilai budaya yang berkembang di daerah masing-masing. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah para Kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai tugas dan kewajiban membina, mengembangkan, melindungi dan memanfaatkan nilai budaya untuk memperkukuh jati diri, kebanggaan nasional serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk melaksanakan kebijakan itu selain diperlukan sumber dana, sarana dan prasarana, juga diperlukan sumber daya manusia (sdm) budaya yang cukup, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Dengan adanya kebijakan nasional pembatasan penerimaan pegawai baru (zero growth) mengakibatkan jumlah tenaga kebudayaan di pemerinatahan dewasa ini semakin berkurang karena pensiun sementara penerimaan tenaga baru sangat terbatas. Berbagai unit kerja di pusat maupun di daerah tengah menghadapi masalah kurangnya tenaga kebudayaan. Apabila tidak segera dilakukan upaya untuk memecahkan masalah tersebut dikhawatirkan jalannya organisasi akan terganggu.
Salah satu upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah kurangnya jumlah tenaga kebudayaan adalah melalui perekrutan tenaga sarjana kebudayaan yang belum berstatus PNS. Tenaga kebudayaan ini diberi sebutan Pamong Budaya Non-PNS, yang berarti selama melaksanakan tugas-tugas pemajuan kebudayaan itu berstatus bukan pegawai negeri sipil. Dengan status demikian itu maka diperlukan pengaturan secara khsusus baik pada saat rekrutmen maupun setelah yang bersangkutan melaksanakan tugasnya. Adapun mengenai ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya hampir sama dengan Pamong Budaya PNS, yaitu melaksanakan tugas-tugas pelestarian dalam arti perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan seluruh aspek kebudayaan yang menjadi tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Program ini akan dilaksanakan pada tahun 2012. Untuk melakukan perekrutan itu diperlukan panduan agar para pelaksana dan peserta memahami langkah-langkah yang akan dilakukan Pedoman ini diberi judul “Pedoman Perekrutan Pamong Budaya Non-PNS”, berisi antara lain pengertian, landasan, tata cara dan syarat penerimaan, pelaksanaan dan penempatan serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan.
B. Pengertian
Pamong Budaya adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggungjawab, dan wewenang melaksanakan pembinaan dan pengembangan kebudayaan yang berstatus PNS dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang. Sementara Pamong Budaya Non PNS adalah pegawai non PNS yang melaksanakan tugas sebagai motivator dan inspirator dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan di daerah masing-masing.
C. Landasan Yuridis
  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-Undang nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan;
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
  5. Undang-Undang nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
  6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara;
  7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman;
  8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya;
  9. Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
  10. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 42 dan nomor 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan;
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010;
  14. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi eselon I Kementerian Negara;
  15. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;
  16. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 43 Tahun 2009 dan Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
  17. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan mempunyai tugas merumuskan, melaksanakan kebijakan, dan standarisasi teknis di bidang kebudayaan.
D. Tujuan
Tujuan Umum Perekrutan Pamong Budaya Non PNS adalah sebagai panduan penyelenggara perekrutan Pamong Budaya Non PNS.
Adapun tujuan khusus adalah
  1. Membantu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan pusat di 33 Propinsi dalam pembinaan dan pengembangan Sejarah, Nilai Budaya, kesenian, perfilman, Pelestarian Cagar Budaya, Permuseuman, Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi, Penelitian Antropologis, Pengkajian Sastra dan Filologi dan Penelitian arkeologi.
  2. Memberikan kesempatan untuk melakukan pengabdian kepada Sarjana Sejarah, Antropologi, Sosiologi, Arkeologi dan Kesenian atau disiplin ilmu lain yang relevan tetapi berminat terhadap kebudayaan sehingga terbentuk sikap profesional, cinta tanah air, bela negara, peduli, empati, terampil dalam memecahkan masalah kebudayaan, dan bertanggungjawab demi kemajuan bangsa, serta memiliki jiwa ketahanmalangan dalam mengembangkan kebudayaan di daerah.
E. Ruang Lingkup Pamong Budaya Non PNS
1. Metode Pelaksanaan
—Metode pelaksanaan kegiatan ini dilakukan secara swakelola dan kontraktual.
2. Tahapan Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan
Untuk mencapai output 100 Orang Pamong Budaya non PNS, perekrutan akan dilakukan dengan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1) Rapat-rapat persiapan;
2) Penyusunan Pedoman Perekrutan Pamong Budaya Non PNS
3) Rapat Koordinasi dengan Dinas yang menangani Kebudayaan dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan
4) Surat Edaran atau pengumuman dan publikasi melalui media cetak dan elektronik
5) Perekrutan awal (pendaftaran, seleksi, pengumuman, dan pemanggilan) untuk mengikuti test tertulis (akademik). Dalam seleksi administrasi yang mendaftarkan diperkirakan sejumlah 1500 orang, setelah diverifikasi diperkirakan yang lolos administrasi 1000 orang untuk mengikuti tes tertulis (akademik).
6) Pelaksanaan test tertulis (akademik), dari 1000 orang disaring kembali menjadi 300 orang yang layak mengikuti tes wawancara.
7) Pelaksanaan test wawancara, dari 300 orang yang lulus test akademik akan disaring kembali menjadi 120 orang
8) Pengumuman hasil tes wawancara sejumlah 120 orang.
9) Pembekalan yang terdiri :
a. Pembekalan teknis dan non teknis.
Pembelakan non teknis antara lain meliputi: Sosialisasi tugas pokok dan fungsi, Hak dan kewajiban serta Pembinaan mental, motivasi, dan kemampuan bertahan hidup di daerah (survival);
b. Pembekalan Teknis antara lain meliputi: 8 aspek bidang kebudayaan dan kebangsaan.
10) Pengumuman kelulusan terakhir sesuai formasi yaitu 100 orang.
11) Pengadaan Sarana dan Prasarana
12) Penyerahan Sarana dan Prasarana
13) Penugasan/pemberangkatan ke daerah tujuan.
14) Pelaksanaan tugas Pamong Budaya.
15) Monitoring dan Evaluasi serta penanggulangan kasus
16) Pelaporan
BAB II SELEKSI PESERTA PAMONG BUDAYA NON PNS
A. Sasaran
Lulusan program studi S-1 Bidang Ilmu Sejarah, Antropologi, Sosiologi, Arkeologi, Kesenian, Perfilman dan bidang ilmu lainnya, dan yang relevan serta berminat bekerja di bidang Kebudayaan dari program studi yang terakreditasi. Jumlah kuota secara nasional untuk tahun 2012 sebanyak 100 orang.
B. Masukan Program Pamong Budaya Non PNS
Rekrutmen calon peserta merupakan kunci utama keberhasilan program Pamong Budaya Non PNS. Rekrutmen calon peserta harus memenuhi ketentuan sebagai berikut.
1. Proses penerimaan dilakukan secara jujur, terbuka, dan bertanggung jawab agar mendapatkan calon yang berkualitas tinggi.
2. Kelulusan calon peserta ditentukan dengan menggunakan acuan seleksi nasional.
C. Persyaratan Peserta
Peserta adalah lulusan program studi S-1 bidang kebudayaan: ilmu Sejarah, Antropologi, Sosiologi, Arkeologi, Kesenian, Perfilman dan bidang ilmu lainnya yang relevan dan berminat bertugas di bidang kebudayaan dari program studi yang terakreditasi. Selain itu peserta harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
Persyaratan Umum:
1) Warga Negara Indonesia, dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
2) Berusia minimum 25 tahun dan maksimal 60 tahun per 31 Desember 2012;
3) Lulusan program studi kependidikan S-1 bidang ilmu Sejarah, Antropologi, Sosiologi, Arkeologi, Kesenian dan bidang ilmu lainnya yang relevan dan sangat berminat bekerja di bidang kebudayaan dari program studi yang terakreditasi, dibuktikan dengan fotokopi ijazah yang telah disahkan;
4) IPK minimal 3.0, dibuktikan dengan fotokopi transkrip nilai yang telah disahkan;
5) Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan Dokter;
6) Bebas narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Bebas Narkoba (SKBN) dari pejabat yang berwenang, yang disertai dengan hasil tes urine;
7) Berkelakuan baik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari kepolisian;
8) Mendapatkan izin dari orangtua/wali, suami/istri (bagi yang sudah menikah) yang dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterai;
9) Bagi yang belum menikah tidak diperkenankan melaksanakan pernikahan selama mengikuti Program Pamong Budaya Non PNS yang dibuktikan dengan surat pernyataan bermeterai;
10) Diutamakan yang memiliki pengalaman organisasi kemasyarakatan;
11) Memiliki motivasi dan semangat pengabdian yang tinggi di bidang kebudayaan;
12) Mampu menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat di daerah sasaran
Persyaratan khusus:
1. Membuat tulisan minimal 1 halaman tentang program kerja yang akan dikerjakan selama satu tahun menjadi pamong budaya di daerah.
2. Tidak terikat kontrak atau kesepakatan baik lisan maupun tertulis dengan pihak lain;
3. Bersedia menandatangani Surat Perjanjian dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
4. Wajib melampirkan Curiculum Vitae;
5. Bisa mengoperasionalkan komputer;
6. Memiliki SIM C yang dibuktikan dengan foto copy;
7. Pas photo berwarna ukuran 4×6 cm dan 3×4 cm masing-masing dua lembar;
8. Membuat surat lamaran ditujukan kepada Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
Untuk berkas persyaratan umum dan khusus dikirim ke Unit pelaksana Teknis Ditjen Kebudayaan masing-masing daerah (daftar terlampir).
D. Sistem Rekrutmen
Rekrutmen calon peserta Program Pamong Budaya Non PNS tahun 2012 dilakukan di tingkat nasional bekerja sama dengan Unit Pelaksanan Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Kebudayaan yaitu Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), dan Balai Arkeologi (BALAR).
1. Seleksi Tingkat Nasional
Seleksi nasional dilakukan melalui Dinas yang membidangi kebudayaan dan Unit Pelaksana Teknis(UPT) Direktorat Jenderal Kebudayaan.
a. Seleksi Administrasi
Seleksi administrasi dilaksanakan secara nasional, khususnya untuk memverifikasi relevansi program studi yang dibutuhkan, tahun lulus, dan peringkat akreditasi dll. Jika salah satu persyaratan administrasi yang ditentukan tidak dipenuhi, peserta dinyatakan gugur dan tidak dapat melanjutkan ke seleksi berikutnya. Bukti fisik selengkapnya akan diverifikasi oleh Panitia penyelenggara Pamong Budaya Non PNS pada saat seleksi non-akademik. Peserta yang lulus seleksi administrasi selanjutnya dapat mengikuti seleksi tingkat UPT Ditjen Kebudayaan di BPNB, BPCB dan BALAR (UPT yang ditunjuk dari Ditjen Kebudayaan)
b. Seleksi Akademik
Seleksi akademik nasional meliputi tiga aspek, yaitu tes potensi akademik, tes kemampuan dasar, dan tes penguasaan kompetensi akademik bidang studi/bidang keahlian.
1) Tes Potensi Akademik (TPA)
TPA bertujuan untuk mengetahui bakat dan kemampuan seseorang di bidang akademik atau keilmuan. TPA terdiri atas tes kemampuan berpikir: analogi, logis, analisis, deret numerik, dan komparasi. TPA dilaksanakan dengan durasi waktu 45 menit.
2) Tes Kemampuan Dasar
Tes kemampuan dasar bertujuan untuk mengukur kemampuan dalam bidang Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika Dasar. Tes kemampuan dasar dilaksanakan dengan durasi waktu 60 menit.
3) Tes Penguasaan Kompetensi Akademik Bidang Studi/ Bidang Keahlian
Tes penguasaan kompetensi bidang studi (untuk kompetensi lulusan S-1 bidang ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, arkeologi, kesenian dan bidang ilmu lainnya yang relevan dan berminat bekerja di bidang kebudayaan) dimaksudkan untuk mengukur penguasaan bidang ilmu calon peserta sesuai dengan latar belakang program studi kesarjanaannya. Tes bidang studi dengan durasi waktu 90 menit. Termasuk 8 aspek kebudayaan adalah:
a) Aspek Sejarah;
b) Aspek Nilai Budaya;
c) Aspek Kesenian;
d) Aspek Perfilman;
e) Aspek Pelestarian Cagar Budaya;
f) Aspek Permuseuman;
g) Aspek Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
h) Aspek Penelitian Arkeologi.
Peserta yang lulus seleksi selanjutnya dapat mengikuti seleksi tingkat UPT Ditjen Kebudayaan di BPNB, BPCB dan BALAR (UPT yang ditunjuk dari Ditjen Kebudayaan)
2. Seleksi Tingkat UPT
Seleksi tingkat UPT meliputi verifikasi dokumen dan wawancara. Wawancara bertujuan untuk menemukenali potensi minat dan bakat sebagai Pamong Budaya Non PNS. Strategi penelusuran minat dan bakat ini dapat dilakukan secara individual atau Focus Group Discussion (FGD). Selain melalui wawancara, penelusuran minat dan bakat dilakukan melalui asesmen kepribadian menggunakan psikotes.
E. Prakondisi
Sebelum peserta diberangkatkan ke daerah sasaran untuk melaksanakan program Pamong Budaya Non PNS, dilakukan program prakondisi yang dilaksanakan oleh Ditjen Kebudayaan. Prakondisi ini dimaksudkan untuk membekali kesiapan peserta sekaligus sebagai seleksi kesiapan fisik dan mental. Program prakondisi ini diawali dengan pemberian orientasi umum tentang pendidikan kebudayaan dalam 8 aspek yaitu: Sejarah, Nilai Budaya, Kesenian, Perfilman, Pelestarian Cagar Budaya, Permuseuman, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Penelitian Arkeologi di daerah 33 propinsi dengan materi: (1) membawa peserta ke alam psikologis dan sosiologis daerah sasaran melalui pemutaran film dokumenter (2) pemberian informasi tentang kondisi di 33 propinsi yang antara lain tentang kekurangan tenaga pamong budaya untuk menginventaris tinggalan-tinggalan budaya yang perlu dikerjakan secara maksimal; dan (3) orientasi tentang sosial, budaya, dan kondisi infrastruktur daerah sasaran.
Prakondisi meliputi kegiatan akademik dan non-akademik. Prakondisi akademik meliputi: (1) workshop; (2) pelatihan melaksanakan tugas kebudayaan pada kondisi khusus/tertentu (3) kepemimpinan
Prakondisi non-akademik meliputi: (1) pelatihan keterampilan sosial kemasyarakatan, (2) pembinaan mental dan survival (ketahanmalangan); (3) wawasan kebangsaan dan bela negara dll.
1. Prakondisi
a. Workshop Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Nasional Indonesia.
Dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsi “membina dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia” yaitu langkah-langkah operasional yang dilakukan adalah melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat:
1. Memelihara dan Melindungi;
2. Menggali dan Meneliti;
3. Mengembangkan dan Memperkaya;
4. Menanamkan;
5. Menyebarluaskan;
6. Memanfaatkan;
7. Menanggulangi pengaruh budaya asing yang negatif;
8. Kerjasama (lintas sektor, antar pemerintah dan masyarakat luas, internasional)
1) Memelihara dan Melindungi:
Warisan budaya bangsa, baik budaya material maupun non material (berupa nilai-nilai, norma sosial dan pandangan masyarakat) selalu menghadapi ancaman, kerusakan, kehancuran, pergeseran dan kepunahan. Ancaman pada kebudayaan non material terjadi karena makin derasnya arus pengaruh kebudayaan asing yang datang dari luar, sehingga terjadi pergeseran, perubahan nilai, norma sosial dan pandangan masyarakat. Kegiatan pencegahan dilakukan melalui antara lain: pencatatan, inventarisasi, perekaman, penulisan, penerjemahan, transkripsi, pengungkapan, pengkajian, dan penanaman kepada generasi muda. Ancaman pada warisan budaya material atau benda cagar budaya disebakan oleh proses alam, biologis, maupun kimiawi, sesuai hukum alam, sehingga usia benda tersebut diupayakan untuk diperpanjang. Ancaman paling berbahaya justru datang dari manusia. Berbagai kasus pencurian, pengrusakan, penggalian liar, dan pengiriman ke luar negeri mengancam kelestarian benda cagar budaya. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah dengan mengadakan pemeliharaan dan perawatan, konservasi, pembersihan, pemugaran, penyimpanan dan perlindungan.
2) Menggali dan Meneliti
Kegiatan penggalian mengandung dua makna, pertama menggali dalam arti sebenarnya mengadakan penggalian tanah (ekskavasi) situs untuk mencari, menemukan bukti dan meneliti latar belakang sejarah budaya, sedangkan yang kedua adalah dalam arti mengungkapkan, memilah-milah dan mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam warisan budaya. Kegiatan penelitian teks baik lisan maupun tertulis dan penggalian antara lain dalam bentuk kegiatan penelitian dan penggalian arkeologi di dalam tanah atau di dalam air, penelitian kearsipan, penelitian teks, kebahasaan, penelitian seni, penelitian kepustakaan, analisis laboratorium, rekonstruksi, dan revitalisasi.
3) Mengembangkan dan memperkaya
Dalam pertemuan budaya dan suku bangsa dan antar bangsa tanpa disadari terjadi proses saling mempengaruhi, saling mengambil alih antara satu dengan yang lain. Proses saling mempengaruhi ini akan dapat mengembangkan dan memperkaya budaya yang bersangkutan. Kegiatan yang dilakukan antara lain: diskusi, ceramah, sarasehan, bimbingan dan penyuluhan, pengiriman dan pertukaran budaya, temu budaya, lomba, festival, pameran dan peragaan.
4) Menanamkan
Salah satu jalur yang efektif untuk menanamkan nilai budaya bangsa, baik budaya material maupun non material adalah melalui jalur pendidikan di sekolah karena pendidikan dipandang sebagai proses pembudayaan. Di samping itu juga, melalui proses pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat serta melalui media masa. Kegiatan yang dilakukan antara lain: melalui ceramah, bimbingan dan penyuluhan, diskusi, sarasehan, dan penyebarluasan bahan informasi.
5) Menyebarluaskan Informasi Budaya
Dalam rangka membina persatuan dan kesatuan bangsa, pengenalan budaya antara suku bangsa sangat penting. Kegiatan yang dilakukan antara lain: pengemasan rekaman film, video film, CD, kaset, foto dan slide, penerbitan buku, leaflet, booklet, pam
eran, pagelaran, duta seni, temu budaya, ceramah, bimbingan dan penyuluhan.
6) Memanfaatkan
Sesuai arahan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), kebudayaan merupakan modal dasar, dan faktor dominan untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, oleh karena itu, kebudayaan perlu dimanfaatkan untuk menunjang keberhasilan sektor lain, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai museum, taman budaya, pusat kesenian, sanggar, galeri, padepokan, perpustakaan, dan objek peninggalan sejarah dan purbakala, perlu dimanfaatkan untuk menunjang keberhasilan pendidikan, pariwisata, dan pengukuhan jati diri bangsa.
7) Menanggulangi pengaruh budaya asing negatif
Masuknya pengaruh budaya asing dapat berlangsung dari berbagai arah, pada saat dan tempat yang tidak dapat dipastikan. Pesatnya perkembangan IPTEK serta kontak budaya tidak mungkin dapat dicegah. Demikian gencarnya kontak itu, hampir-hampir pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak diberi kesempatan untuk memilah dan menolak. Kemampuan untuk menanggulangi pengaruh yang negatif sangat ditentukan oleh ketahanan budaya masyarakat. Oleh karena itu, upaya meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pemahaman budaya, serta apresiasi budaya amat penting dalam membina ketahanan budaya masyarakat.
Di samping itu, kegiatan yang dilakukan adalah penyaringan dan penilaian kegiatan kebudayaan/ kesenian dalam bentuk perizinan.
8) Kerja sama
Untuk memperoleh daya guna yang setinggi-tinggi maka usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan dari sisi pemerintah perlu dilakukan dengan menggalang kerjasama yang lancar baik lintas sektoral dalam lingkup pemerintahan, antara pemerintah dan masyarakat luas, maupun kerjasama internasional.
b. Pelatihan Melaksanakan Tugas Kebudayaan pada Kondisi Khusus/Tertentu
Mengingat pengertian kebudayaan sangat luas, maka perlu ditentukan aspek-aspek kebudayaan yang menjadi sasaran pembinaan dan pengembangannya sebagai berikut:
1. Aspek Sejarah;
2. Aspek Nilai Budaya;
3. Aspek Kesenian dan Perfilman;
4. Aspek Kesastraan;
5. Aspek Pelestarian Cagar Budaya;
6. Aspek Permuseuman;
7. Aspek Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi;
8. Aspek Penelitian Arkeologi.
Keterangan:
1. Aspek Kesejarahan
Aspek kesejarahan adalah suatu bidang garapan yang berhubungan dengan masalah-masalah kesejarahan, baik tingkat sejarah lokal, nasional, regional, dan internasional meliputi antara lain:
a. Sejarah untuk pendidikan: memonitor pelaksanaan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah termasuk mengenai guru sejarah, alat pengajaran (Buku pegangan Guru/siswa), Sikap/ Minat siswa.
b. Kesadaran sejarah: menggugah kesadaran sejarah masyarakat
c. Penjernihan sejarah: merekonstruksi peristiwa sejarah yang masih dipermasalahkan
d. Tokoh sejarah: meliputi tokoh daerah/setempat, tokoh nasional (tokoh seni, budaya, pendidik, tokoh olahraga, tokoh ilmu pengetahuan), pahlawan nasional, pelaku sejarah dan lain-lain.
2. Aspek nilai Budaya dan Tradisi
Nilai budaya adalah konsep abstrak yang sangat mendasar dan dianggap penting dalam kehidupan manusia yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan kehidupan, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan waktu dan hubungan manusia dengan kerja. Nilai budaya diwujudkan dalam berbagai ucapan, tulisan, perilaku, dan benda-benda budaya yang meliputi:
a. Tradisi lisan (nilai budaya yang terkandung dalam cerita dewa-dewa, asal-usul masyarakat, cerita mengenai terjadinya suatu daerah, cerita mengenai binatang, dongeng sebelum tidur, dsb)
b. Tradisi tulis (nilai budaya yang terkandung dalam naskah tradisional)
c. Permainan rakyat (nilai budaya yang terkandung dalam permainan, bermain dan bertanding)
d. Pranata sosial (nilai budaya yang terkandung dalam pranata kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, kekerabatan, pranata ekonomi, pranata religi)
e. Lingkungan budaya (nilai budaya yang terkandung dalam pola lingkungan budaya, perubahan lingkungan budaya, dan hubungan antar budaya)
3. Aspek Kesenian
Aspek Kesenian adalah segala hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan kesenian, yang menyangkut tiga komponen pokok yaitu: 1. Seni, 2. Seniman, 3. dan masyarakat penikmat seni. Ketiga sasaran tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dan kait mengait satu sama lain. Pengertian seni yang dibina dan dikembangkan mencakup bidang-bidang:
a. Seni rupa yang terdiri atas: seni lukis grafis, patung, arsitektur, seni kriya, multimedia, dan lain-lain
b. Seni musik yang terdiri atas: musik diatonis dan non diatonis, baik yang tradisional, modern dan kontemporer
c. Seni tari yang terdiri atas: tari klasik, tari rakyat, tari kreasi baru, tari anak-anak
d. Seni teater dan pedalangan yang terdiri dari teater tradisional, teater modern, seni pedalangan.
e. Seni sastra
Pembinaan seni sastra dari aspek kesenian dititik beratkan pada perwujudan ekspresi seni sastra yang mandiri
4. Aspek Pelestarian Cagar Budaya
Sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010: tentang undang-undang Cagar Budaya maka Aspek Pelestarian Cagar Budaya kegiatanya mencakup pelestarian dan penelitian Cagar Budaya dan atau situs bagi kepentingan pemahaman dan pengembangan sejarah, Ilmu pengetahuan dan kebudayaan antara lain:
a. Pelestarian dilakukan dengan cara pendokumentasian, penyebarluasan informasi, perlindungan, pemugaran dan pemeliharaan;
b. Penelitian yang diarahkan pada penelitian terapan dalam rangka pelestarian dan penyelamatan. Adapun penjabaran UU nomor 11 tahun 2010, dijabarkan untuk: pendokumentasian, publikasi, pemugaran, perlindungan dan pemeliharaan.
5. Aspek Permuseuman
Aspek Permuseuman adalah suatu upaya pembinaan dan pengembangan di bidang permuseuman, baik museum negeri maupun swasta. Beberapa pengertian dasar yang perlu dipahami adalah sbb:
a. MUSEUM adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfatan benda-benda bukti material hasil buadaya manusia serta alam dan lingkungan guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Museum mempunyai fungsi sebagai:
1. wahana pendidikan
2. pusat dokumentasi dan sumber ilmu pengetahuan;
3. penyebarluasan ilmu pengetahuan;
4. penikmatan seni;
5. pengenalan hasil budaya;
6. suaka alam dan suaka budaya;
7. sarana rekreasi.
Museum mempunyai tujuan melestarikan benda-benda hasil budaya manusia serta alam dan lingkungan untuk pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan tehnologi, pendidikan dan rekreasi.
b. Koleksi Museum adalah semua benda materil hasil budaya manusia dan alam serta lingkungannya yang mempunyai nilai sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang disimpan dalam museum.
c. Jenis Museum
Pembagian jenis museum dapat dibedakan atas dasar koleksinya yaitu museum umum dan museum khusus.
Jenis museum berdasarkan status kelembagaanya yaitu museum pemerintah dan museum swasta.
Jenis museum berdasarkan tingkat lingkup wilayahnya: Museum Nasional, Museum tingkat Provinsi, dan museum tingkat Kab/Kota.
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan permuseuman antara lain adalah: Bimbingan teknis, pengumpulan koleksi, perawatan dan penyajian, penyelenggarakan pameran serta bimbingan dan penyuluhan tentang pemanfaatan museum bagi masyarakat dan dalam menunjang program pembangunan.
6. Aspek Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Penghayat kepercayaan adalah penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang melaksanakan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran yang utuh sehingga kedalaman batin, jiwa dan rohani. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan usaha manusia untuk menangkap konsepsi keberadaan Tuhan sebagai Zat Yang Mahatinggi, pencipta dan pemelihara alam semesta.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warisan budaya rohaniah yang dalam kenyataanya merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang hidup dan dihayati serta dilaksanakan oleh sebagian rakyat Indonesia sebagai budaya spriritual.
Pembinaan aspek Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:
a. Pendataan, antara lain meliputi: sejumlah organisasi, nama sesepuh atau pinisepuh (kepemimpinan), susunan organisasi dan nama pengurusnya, anggotanya, lambang, dan persebaranya.
b. Inventarisasi sistem ajaran organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa:
– Ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa;
– Ajaran tentang alam;
– Ajaran tentang Manusia.
c. Pengkajian sistem upacara dan perilaku spriritual:
– Upacara: waktu, tempat, sarana, sikap dan doa.
– Perilaku spiritual: laku, semedi, puasa dan pantangan.
d. Bimbingan dan Penyuluhan, sarasehan dan ceramah dalam rangka pembinaan dan pengalaman budi luhur:
– Pembinaan budi pekerti luhur bagi warga penghayat kepercayaan;
– Pengalaman ajaran budi pekerti luhur dalam kehidupan social kemasyarakatan.
7. Aspek Penelitian Arkeologi:
Aspek Arkeologi mencakup segala hal yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan penelitian murni yang sistematis tentang sejarah budaya dan manusia pendukungnya dari masa lampau berdasarkan atas tinggalan bendawi dan situs yang tersisa pada saat ini, baik untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan sejarah budaya dan pengelolaanya untuk kepentingan lain yang lebih luas, dengan kriteria:
a. Mempunyai ciri-ciri khas sebagai pedoman di masa sekarang dan untuk proyeksi ke masa depan;
b. Mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pandangan dan pegangan hidup;
c. Dapat memberikan bahan/indikasi untuk mengetahui asal usul dan sosok perjalanan kehidupan dalam skala vertikal maupun horizontal dan untuk menumbuhkan apresiasi bagi masyarakat luas tentang warisan budaya bangsa.
d. Memberikan fungsi dan peran yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kegiatan Arkeologi meliputi:
a. Penelitian ilmiah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan arkeologi dan disiplin penunjang lain melalui rangkaian kegiatan penjaringan data khususnya di lapangan penelitian, analisis dan interpretasinya dalam rekonstruksi sejarah budaya, kajian dan uji ulang, dan sebagainya;
b. Penyebarluasan dan pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi melalui berbagai wahana, antara lain: media massa, penyelenggaraan kegiatan temu ilmiah, penerbitan, dan sebagai bahan ajar.
c. Penyusunan rekomendasi hasil penelitian sebagai acuan perencanaan pengelolaanya untuk kepentingan lainya yang lebih luas.
Aspek-Aspek Yang Dikerjakan Oleh Pamong Budaya Non PNS
1. Aspek Kesejarahan
Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS pada aspek kesejarahan antara lain meliputi:
a. Meningkatkan wawasan masyarakat tentang nilai-nilai kesejarahan dengan mengadakan bimbingan dan penyuluhan, diskusi, dan ceramah tentang kesejarahan.
b. Melakukan pencatatan data kesejarahan yang ada di wilayahnya:
– Mancatat benda sejarah atau benda budaya. Pencatatan dilakukan langsung di lapangan yang kemudian dimasukan ke dalam buku catatan benda-benda sejarah dan nilai budaya.
– Mencatat data sejarah: tokoh, pelaku sejarah dan saksi sejarah.
– Mencatat hal-hal yang menurut akan bermanfaat bagi penulisan sejarah. Pencatatan dilakukan oleh Pamong Budaya dan melaporkannya kepada BPNB untuk kemudian dapat dilakukan penelitian dan penyelamatan data yang diperkirakan mengandung nilai sejarah dan budaya.
– Mengadakan wawancara dengan tokoh, pelaku sejarah dan saksi sejarah. Wawancara dilakukan kepada siapa saja kepada yang mempunyai informasi sejarah yang bertalian dengan suatu peristiwa sejarah, tokoh sejarah lokal, atau tokoh nasional
c. Ikut aktif membantu penyelenggaraan kegiatan peringatan hari-hari besar dan hari hari-hari bersejarah
2. Aspek nilai budaya
Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya pada aspek nilai-nilai budaya antara lain meliputi:
a. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan penyuluhan, diskusi dan ceramah tentang nilai-nilai budaya kepada masyarakat
b. Mencatat data tentang pranata sosial yang berlaku di masyarakat
Pranata sosial adalah sistem sosial yang khas untuk memenuhi jenis kebutuhan tertentu beserta sistem budayanya (termasuk nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan khusus), peralatan (benda-benda budaya) yang mendukungnya dan manusia yang melaksanakannya
c. Mencatat data tentang pola lingkungan budaya.
Pencatatan dibuat dalam bentuk denah dengan pemukiman di satu desa atau kota kecamatan. Pembuatan denah dilakukan dengan mencantumkan petunjuk arah dengan arah panah untuk mengetahui orientasi bangunan
d. Mencatat data tentang perubahan lingkungan budaya.
Perubahan lingkungan fisik (lingkungan buatan) yang disebabkan oleh perbuatan manusia, misalnya perubahan lingkungan fisik ( prasarana dan sarana) yang direncanakan dalam proyek-proyek pembangunan. Perubahan lingkungan budaya bisa pula disebabkan oleh faktor alam, misalnya gempa bumi atau gunung meletus atau banjir yang memporakporandakan lingkungan fisik.
e. Mencatat data tentang corak interaksi antar budaya etnis (suku bangsa)
Corak interaksi antar budaya dilakukan oleh pendukung kelompok etnik dengan pendukung kelompok etnik lain. Perlu dicatat corak interaksi berupa kerjasama, persaingan/konflik dan bagaimana perwujudan kerjasama, persaingan, atau konflik yang dilakukan.
f. Mencatat data cerita tentang asal-usul masyarakat, asal usul nama daerah, desa, kota, dongeng tentang binatang, dongeng sebelum tidur dan sebagainya.
Pencatatan dilakukan dalam buku catatan mengenai tradisi lisan yang meliputi pertanyaan 1) nama, 2) bahasa yang digunakan, 3) tempat tinggal dan tanggal pencatatan, 4) inti sari cerita, 5) nama pemberi informasi, 6) usia, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kemampuan berbahasa bagi informan.
g. Mencatat data tentang permainan rakyat
Pencatatan sama dengan atas, kecuali inti sari cerita diganti dengan jalannya permainan dan jenis permainan (bermain / bertanding)
h. Mencatat data tentang nilai budaya yang terkandung dalam naskah kuno
Pencatatan yang dilakukan meliputi 1) judul naskah, 2) intisari naskah, 3) pemilik naskah, 4) aksara dan bahasa yang digunakan
i. Mencatat data tentang organisasi yang bergerak di bidang kesejarahan dan nilai budaya.
Pencatatan mengenai organisasi meliputi 1) nama organisasi, 2) bidang (kesejarahan, misalnya pejuang angkatan 45, veteran, dan sebagainya. Nilai budaya misalnya pecinta tradisi lisan, tradisi tulis, permainan rakyat, kekerabatan, koperasi, pertanian, dsb) dan 3) alamat lengkap.
3. Aspek Kesenian
Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya pada aspek kesenian antara lain meliputi:
a. Pencatatan dan pendataan Seni
Pencatatan dan pendataan diarahkan pada nama-nama seniman, jenis seni, organisasi kesenian, peralatan kesenian, dan kegiatan-kegiatan kesenian yang berlangsung di wilayahnya.
b. Publikasi dan Dokumentasi Seni
Pendokumentasian seni adalah kegiatan pengumpulan, pemilahan dan penyimpanan data berbagai jenis seni yang berkembang di wilayahnya
Hasil pencatatan, pendokumentasian, penggalian, pembinaan dan pengembangan perlu dipublikasikan agar dapat diketahui oleh masyarakat luas antara lain melalui media cetak dan elektronik, poster, leaflet dan booklet
c. Penggalian seni
Penggalian seni adalah kegiatan yang dilakukan guna memperoleh data kesenian yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan yang dapat diperoleh dari:
– Narasumber
– pustaka seni
– sisa-sisa peninggalan
Topik penggalian diarahkan pada kesenian yang sudah punah atau hamper punah, sehingga didapatkan uraian deskriptif tentang sejarahnya.
d. Pelestarian seni
Pelestarian seni adalah upaya mendorong minat seniman dan masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan seni tradisional yang berkembang di wilayahnya dengan membantu aktif dalam kegiatan pagelaran, pameran, pelatihan.
e. Pengembangan seni
Seni selalu mengalami perkembangan, sesuai dengan perkembangan lingkungannya, oleh karena itu perlu diupayakan pembinaan seni agar perkembangan itu berlangsung dengan mengarah pada bentuk-bentuk kesenian yang berakar pada kesenian dan kebudayaan Indonesia. Perlu dilakukan bimbingan, pengarahan, dan monitoring perkembangan seni di wilayah kerjanya.
f. Pembinaan seni
Pembinaan diarahkan pada seniman, organisasi kesenian dan masyarakat penikmat seni melalui ceramah, diskusi, pengarahan, bimbingan dan penyuluhan.
g. Peningkatan kerjasama
Perlu diupayakan langkah-langkah untuk mendorong agar masyarakat ikut serta dalam kegiatan kebudayaan serta koordinasi dan kerjasama dengan berbagai instansi yang terkait.
4. Aspek Pelestarian Cagar Budaya
Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS pada aspek pelestarian cagar budaya antara lain meliputi:
a. Pendokumentasian
Kegiatan pendokumentasian secara keseluruhan dapat dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS atau tenaga lain yang membantunya. Apabila di daerah tempat bertugas tidak tersedia formulir-formulir yang berhubungan dengan pendaftaran benda cagar budaya, Pamong Budaya Non PNS diberi kebebasan untuk melakukan pencatan dengan tetap memperhatikan keakuratan informasi tentang bentuk, bahan, nama objek, pemilik, dan lokasi objek.
b. Publikasi
Untuk kegiatan penerbitan, pameran atau penyuluhan data tentang benda cagar budaya secara fisik dapat digunakan sebagai bahan. Namun, perlu diperhatikan bahwa benda-benda yang dipamerkan harus dikemas sebaik mungkin agar terhindar dari kerusakan selama perjalanan menuju ke tempat dilaksanakan kegiatan publikasi. Pemindahan harus dilengkapi dokumen berita acara.
Selain itu, benda-benda tersebut harus terhindar dari berbagai kemungkinan rusak, saat digunakan sebagai bahan publikasi khususnya dlam kegiatan pameran dimana pengunjung memiliki kemudahan untuk menyentuh, mengangkat, memindahkan atau mempermainkannya.
Benda-benda cagar budaya yang dipindahkan dari daerah penemuannya untuk kepentingan publikasi harus dikembalikan pada tempatnya semula untuk menghindari munculnya kerancuan hasil pencatatan dan lokasi penyimpanan di kemudian hari.
Mengenai penyajian informasi kepada msyarakat, Pamong Budaya Non PNS perlu mempertimbangkan faktor keamanan atas situs asal benda agar benda cagar budaya terhindar dari tindakan-tindakan masyarakat yang tidak bertanggungjawab untuk mencari atau melakukan penggalian liar atas dasar informasi. Informasi perlu dipilah dan dipertimbangkan sebelum disebarluaskan kepada masyarakat.
c. Pemugaran
Pamong Budaya Non PNS tidak berwenang untuk memberikan izin ataupun rekomendasi dilakukannya pemugaran cagar budaya yang terdapat di daerahnya. Izin pemugaran hanya dilakukan oleh Ditjen Kebudayaan, namun Pamong Budaya Non PNS diwajibkan melaporkan kepada atasan langsungnya (Kepala BPNB, Kepala BPCB dan Kepala Balai Arkeologi) apabila ada permintaan dari masyarakat maupun instansi pemerintah tertentu yang akan melakukan pemugaran terhadap bangunan purbakala di daerahnya. Dalam kegiatan pemugaran yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarat, Pamong Budaya Non PNS wajib melaporkan tentang jalannya kegiatan pemugaran dan mencatat hal-hal yang penting yang berhubungan dengan kepentingan daerahnya sebagai bahan evaluasi . Pamong Budaya Non PNS wajib melakukan pencatatan bersama dengan petugas pemugaran terhadap penemuan-penemuan benda cagar budaya yang mucul ke permukaan selama berlangsungnya kegiatan pemugaran.
d. Perlindungan
Dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan Pamong Budaya Non PNS dapat melakukan pengawasan dan koordinasi. Pengawasan disini dapat berarti pemantauan atau pengamatan atas berbagai kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap benda cagar budaya maupun situs, baik yang disebabkan oleh faktor sosial maupun alami. Adapun koordinasi, kegiatannya adalah melakukan upaya-upaya penyelarasan kegiatan ataupun kebijaksanaan dengan unsur-unsur pemerintah setempat maupun masyarakat dalam melakukan perlindungan benda cagar budaya maupun situs.
Apabila terjadi hal-hal yang dianggap dapat mengganggu kelestarian warisan budaya tersebut, maka Pamong Budaya Non PNS wajib melaporkannya kepada atasan langsung, kepolisian negara, atau unsure pemerintah daerah setempat.
e. Pemeliharaan
Dalam proses pemeliharaan, Pamong Budaya Non PNS, tidak diwajibkan untuk melakukannya sendiri tetapi berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan.
f. Pengamanan
Dalam pelaksanaan pengamanan peninggalan sejarah dan purbakala, Pamong Budaya Non PNS dapat langsung mengambil inisiatif dan mengadakan koordinasi dengan berbagai instansi, serta segera melapor kepada atasan apabila terjadi ancaman, gangguan, pencurian, pengrusakan, pengiriman ke lain daerah/luar negeri, termasuk tentang temuan baru.
5. Aspek permuseuman
Kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS pada aspek permuseuman antara lain meliputi:
a. Melakukan identifikasi, klasifikasi, dan dokumentasi museum-museum yang ada di wilayahnya.
Melakukan identifikasi, klasifikasi, dan dokumentasi museum adalah kegiatan mendata hal ikhwal tentang museum mencakup hal-hal mengenai jenis, status, bentuk dan luas bangunan, jumlah dan klasifikasi tenaga pengelola museum, jenis dan jumlah koleksi, dan ruang lingkup wilayah serta kegiatan museum.
b. Memasyarakatkan museum
Memasyarakatkan museum adalah usaha yang dapat dilakukan Pamong Budaya Non PNS untuk memberikan pengertian secara benar tentang arti, tugas, fungsi, dan manfaat museum kepada masyarakat melalui kesempatan di wilayah kerjanya.
c. Membantu pengadaan koleksi
Membantu pengadaan koleksi adalah kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS dalam memberikan kemudahan kepada aparat museum yang melakukan kegiatan pengadaan koleksi di wilayah kerjanya baik dalam waktu survey, pengadaan koleksi, maupun dalam proses mendapatkan benda warisan budaya yang akan dijadikan koleksi museum.
d. Membantu penyajian koleksi (Pameran Museum)
Membantu penyajian koleksi (Pameran Museum) adalah kegiatan yang dapat dilakukan oleh pamong budaya non PNS sesuai kewenangannya untuk memberikan kemudahan aparat museum yang melakukan kegiatan penyajian koleksi (pameran museum) di wilayah kerjanya dalam bentuk pameran, ceramah, pemutaran film dokumenter, peragaan dan sebagainya.
e. Menyebarluaskan publikasi museum
Menyebarluaskan publikasi museum merupakan kegiatan yang dapat dilakukan Pamong Budaya Non PNS sesuai kewenangannya untuk menyampaikan berbagai bentuk cetakan tentang museum kepada berbagai pihak di wilayah kerjanya yang dipandang perlu atau penting karena banyak yang dapat memanfaatkannya
f. Memberikan penjelasan tentang tata cara penyerahan benda warisan budaya kepada museum (melalui titipan, hibah, atau ganti rugi)
Penjelasan tata cara penyerahan benda warisan budaya kepada museum adalah kegiatan yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS dalam menghubungi dan meyakinkan anggota masyarakat yang diperkirakan mempunyai/menyimpan benda-benda budaya yang dapat dijadikan koleksi museum agar bersedia menyerahkan benda-benda tersebut kepada museum. Penyerahan tersebut bisa melalui titipan, hibah, atau ganti rugi
g. Memberikan penjelasan tentang cara perawatan benda warisan budaya
Penjelasan tata cara perawatan benda warisan budaya yang dapat dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS kepada masyarakat khususnya anggota masyarakat yang menyimpan benda warisan budaya tentang tata cara perawatannya.
6. Aspek Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Kegiatan-kegiatan di daerah yang dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS dan dikoordinasikan dengan BPNB dalam aspek penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:
a. Inventarisasi organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Komunitas Adat
Inventarisasi organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Komunitas Adat adalah kegiatan menginventarisasi organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang ada di daerah masing-masing baik organisasi yang berstatus cabang maupun pusat, lama maupun baru.
Sasaran inventarisasi organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa meliputi:
– Seluruh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berstatus cabang dan pusat yang telah dicatat
– Organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berstatus cabang dan pusat yang diperkirakan ada di daerah masing-masing namun belum dicatat
b. Inventarisasi Ajaran Organisasi Penghayat kepercayaan terhadapt Tuhan Yang Maha Esa
Inventarisasi organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah kegiatan menginventarisasi konsepsi tentang Ketuhanan, kemanusiaan, dan alam, serta mengamalkan budi luhur dalam kehidupan sehari-hari, maupun tata cara penghayat. Kegiatan inventarisasi ajaran ini dilakukan terbatas pada organisasi tingkat pusat, tidak pada organisasi tingkat cabang.
c. Pendokumentasian kegiatan Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pendokumentasian kegiatan Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kegiatan mengumpulkan, memilih, mengolah, dan menyimpan data dan informasi yang berhubungan dengan kegiatan organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sasaran pendokumentasian kegiatan organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa meliputi segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik organisasi tingkat pusat maupun tingkat cabang yang berada di daerah
d. Pembinaan pimpinan organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Komunitas Adat
Pembinaan pimpinan organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Komunitas Adat dadalah kegiatan memberikan pembinaan kepada para pimpinan organisasi penghayat berupa pengarahan-pengarahan agar mereka dalam memimpin organisasinya selalu berada dalam jalur peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan ini antara lain:
– Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikehidupan masyarakat penghayat kepercayaan
– Pengelolaan organisasi penghayat kepercayaan yang baik
– Pengamalan nilai-nilai luhur kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
e. Koordinasi antar instansi terkait dengan pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Koordinasi antar instansi terkait dengan pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kegiatan untuk menyamakan kesatuan/ kesamaan pandang, gerak dan langkah dalam pembinaan kepercayaan dan mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam perikehidupan masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sasaran koordinasi antar instansi ini meliputi instansi-instansi dengan pembinaan penghayat kepercayaan antara lain:
– Lurah untuk tingkat kelurahan
– Camat untuk tingkat kecamatan
– Kepolisian Sektor untuk tingkat kecamatan
– Kepolisian Resort untuk tingkat Kabupaten/Kotamadya
– Kejaksaan Negeri, dalam hal ini PAKEM
– Unsur lain yang terkait
f. Mencatat data tentang pranata sosial yang berlaku di masyarakat
Pranata sosial adalah sistem sosial yang khas untuk memenuhi jenis kebutuhan tertentu beserta sistem budayanya (termasuk nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan khusus), peralatan (benda-benda budaya) yang mendukungnya dan manusia yang melaksanakannya
g. Mencatat data tentang pola lingkungan budaya.
Pencatatan dibuat dalam bentuk denah dengan pemukiman di satu desa atau kota kecamatan. Pembuatan denah dilakukan dengan mencantumkan petunjuk arah dengan arah panah untuk mengetahui orientasi bangunan
h. Mencatat data tentang perubahan lingkungan budaya.
Perubahan lingkungan fisik (lingkungan buatan) yang disebabkan oleh perbuatan manusia, misalnya perubahan lingkungan fisik ( prasarana dan sarana) yang direncanakan dalam proyek-proyek pembangunan. Perubahan lingkungan budaya bisa pula disebabkan oleh faktor alam, misalnya gempa bumi atau gunung meletus atau banjir yang memporakporandakan lingkungan fisik.
7. Aspek penelitian Arkeologi
Mengingat bahwa aspek arkeologi cenderung terbatas dalam perspektif akademik maka kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga penelitian yang berwenang dalam hal ini Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan oleh kalangan Perguruan Tinggi yang memiliki kualifikasi untuk itu. Pamong Budaya Non PNS yang menangani perihal aspek kebudayaan di daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya bertindak sebagai fasilitator setempat. Sebagai fasilitator peneliatian arkeologi di lapangan, Pamong Budaya Non PNS mempunyai tugas:
a. Memantau kelestarian potensi sumber daya arkeologi setempat dengan cara:
– Mencatat, memeriksa, mengamnkan, dan melaporkan kepada atasan tentang temuan sumber data arkeologi yang baru, berupa temuan benda cagar budaya, maupun yang diduga benda cagar budaya, beserta situs atau lokasi penemuan dan sekitarnya
– Mengawasi, mencegah, melarang, dan melaporkan kepada atasan tentang tindakan atau upaya pihak lain yang isfatnya merusak atau mengurangi kualitas sumber data arkeologi
– Mengambil langkah pencegahan dan melaporkan kepada atasan tentang proses alam, khususnya “force majeur” yang mengancam kelestarian sumber data arkeologi
b. Membantu persiapan dan pelaksanaan penelitian arkeologi di lapangan dengan cara:
– Bertindak sebagai informan tentang potensi, ragam dan sebaran sumber data arkeologi setempat dan pencapainnya
– Membantu kelancaran hubungan koordinasi tim pelaksana penelitian dengan pejabat dan pemuka/tokoh masyarakat di tingkat kecamatan, desa, atau kelurahan, dusun, RW dan RT setempat.
– Bertindak sebagai pejabat penghubung antara tim pelaksana penelitian dnegan masyarakat setempat, khususnya pemilik tanah atau penguasa lahan dimana kegiatan penelitian tersebut akan atau sedang berlangsung.
– Membantu dalam rekrutmen tenaga baru di lapangan
– Dimana perlu menyertai tim dalam kegiatan sehari-hari di lapangan.
c. Memberikan penjelasan kepada pihak-pihak yang terkait dan masyarakat luas tentang uraian kegiatan dan manfaat penelitian arkeologi untuk tujuan pembangunan nasional.
Salah satu bagian penting yang perlu dilakukan oleh Pamong Budaya Non PNS disamping kegiatan 7 aspek tersebut adalah kegiatan membina kerjasama dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi Pamong Budaya Non PNS perlu dibina sebaik-baiknya kerjasama dan koordinasi dengan berbagai instansi pemerintah dan swasta, serta dengan anggota masyarakat.
d. Prakondisi Non-akademik
a. Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial ini dimaksudkan untuk membekali kompetensi sosial dan kemasyarakatan kepada peserta agar mampu melaksanakan tugasnya dalam berkomunikasi secara aktif dengan pihak sekolah dan masyarakat. Materi kegiatan ini terdiri atas tiga pokok bahasan, yaitu: (a) kecepatan beradaptasi (sosioantropologi dan kemampuan komunikasi sosial), (b) pemberdayaan masyarakat dan keluarga (berbasis budaya, ekonomi, dan ekologi), (c) kepemimpinan. Nara sumber untuk materi yang terkait dengan butir (a) dan (b) adalah pejabat dari daerah sasaran yang relevan dan kompeten. Sedangkan nara sumber untuk materi butir (c) dapat diambil dari akademisi unsure pemerintahan, peneliti, dll, penyelenggara yang kompeten pada bidang tersebut. Alokasi waktu untuk kegiatan keterampilan sosial kemasyarakatan 10 jam pelajaran.
b. Pembinaan Mental, Motivasi, dan Survival (Ketahanmalangan)
Pembinaan mental dimaksudkan untuk membangun karakter para peserta agar memiliki karakter tangguh dan peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa ketahanmalangan dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi persoalan hidup di daerah sasaran. Materi pembinaan ini meliputi pemberian motivasi, penyampaian wawasan, dan contoh-contoh nyata mengenai kelompok masyarakat yang dalam keadaan terbatas tetapi mampu bertahan hidup. Dilanjutkan praktik di lapangan yang dapat berupa outbond dan pemberian pengalaman hidup yang penuh tantangan dan rintangan. Nara sumber kegiatan ini adalah berasal dari insitusi/masyarakat yang memiliki pengalaman dan wawasan kebangsaan yang relevan dengan kegiatan ini.
c. Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara
Materi ini dimaksudkan untuk memperkokoh wawasan peserta Program Pamong Budaya Non PNS tentang integrasi nasional, tujuan dan cita-cita nasional, cinta tanah air, kesadaran bela negara, dan konstelasi geografis NKRI. Materi ini juga diarahkan untuk menumbuh¬kan kesadaran akan perbedaan suku, agama, ras, dan golongan, serta keanekaragaman budaya dan adat istiadat di Indonesia. Peserta program Pamong Budaya Non PNS diharapkan mampu mensosialisasikan dan menanamkan wawasan kebangsaan dan bela negara di daerah 33 propinsi.
Pembinaan mental dan survival (ketahanmalangan) serta wawasan kebangsaan dan bela negara.
BAB III PENYELENGGARAAN PROGRAM PAMONG BUDAYA NON PNS
A. UPT Penyelenggara
Pada tahun 2012 Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan 11 UPT (BPNB), 10 Balar dan 13 BPCB sebagai penyelenggara Program Pamong Budaya Non PNS. UPT Ditjen Kebudayaan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. UPT Penyelenggara Program Pamong Budaya Non PNS
No. UPT Penyelenggara
1 UPT Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
• BPNB Aceh
• BPNB Ambon
• BPNB Bali
• BPNB Bandung
• BPNB Jayapura
• BPNB Yogyakarta
• BPNB Makassar
• BPNB Manado
• BPNB Padang
• BPNB Pontianak
• BPNB Tanjung Pinang
2 UPT Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)
• BPCB Aceh
• BPCB Bali
• BPCB Batu Sangkar
• BPCB Gorontalo
• BPCB Jambi
• BPCB Jawa Tengah
• BPCB Jawa Timur
• BPCB Makasar
• BPCB Samarinda
• BPCB Serang
• BPCB Yogyakarta
• BPCB Ternate
3 UPT Balai Arkeologi (Balar)
• Balar Medan
• Balar Bandung
• Balar Bali
• Balar Manado
• Balar Ambon
• Balar Palembang
• Balar Yogyakarta
• Balar Banjarmasin
• Balar Makasar
• Balar Papua
B. Daerah Sasaran
Daerah sasaran program Pamong Budaya Non PNS adalah 33 propinsi di Indonesia.
Jadwal Persiapan dan Pelaksanaan Program Pamong Budaya Non PNS 2012
No. Kegiatan Waktu
1 2 3
1 Koordinasi Dengan:
Dinas yang mengurusi Kebudayaan dan UPT Ditjen Kebudayaan
4 – 6 Oktb 2012
2 Sosialisasi dan publikasi PB Non PNS 1- 9 Oktober 2012
3 Pembuatan Soal- soal test 3-20 Oktober 2012
4 Pendaftaran (mengisi form, ijazah, dan foto dll) 8-19 Oktober 2012
5 Seleksi Administrasi (form isian, ijazah, dan foto dll) 15-19 Oktober 2012
6 Pengumuman hasil seleksi administrasi dan pengumuman jadwal tes 25 Oktober 2012
7 Tes Akademik 29 Oktober 2012
8 Pengumuman hasil tes dan jadwal wawancara 3 November 2012
9 Tes Wawancara dan Kompetensi 6-7 November 2012
10 Koordinasi dengan UPT Terkait penetapan hasil seleksi 7-8 November 2012
11 Pengumuman Hasil Seleksi 9 November 2012
12 Pembekalan Teknis 19-29 November 2012
13 Pembekalan Non Teknis 30 November – 6 Desember 2012
14 Pemberian Sarana dan Prasarana,
Penandatanganan Kontrak Kerja 10 Desember 2012
15 Upacara Pelepasan 11 Desember 2012
16 Pemberangkatan 12 Desember 2012
17 Serah Terima 13 Desember 2012
18 Pelaksanaan di daerah sasaran 13 Desember 2012 – November 2013
19 Monitoring, evaluasi dan penanggulangan kasus oleh UPT dan Tim Pusat 4 kali kegiatan
20 Penarikan peserta dari daerah sasaran November 2013
21 Laporan pertanggungjawaban Program PB Non PNS Desember 2013
C. Pembiayaan Pelaksanaan Program
Pelaksanaan Program Pamong Budaya Non PNS dibiayai dengan dana APBN Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 2012.

https://bpsnt-bandung.blogspot.com/2012/10/pedoman-pamong-budaya-non-pns.html


Rasa’ in Vedic Literature

Pusaka Kapak Meteorit, Artefak tinggalan Peradaban apa di Nusantara?

$
0
0

Pusaka Kapak Meteorit, Artefak tinggalan Peradaban apa

di Nusantara?

Publikasi KapaK Meteorit_Page_001 - Copy

 

 

 

 

 

Bersambung

Tanah Wingit Nusantara

$
0
0

TANAH WINGIT NUSANTARA

“Dengarkan, Kaki, tanah Nusantara adalah tanah yang terbuka bagi pengajaran apa saja. Semuanya akan diterima di sini. Tak ada yang diutamakan atau dikesampingkan. Namun demikian, sesungguhnya Nusantara memiliki batur bangunannya sendiri. Jika pengajaran dari luar Nusantara hendak tegak dan berharap mampu memberikan kemakmuran bagi tanah Nusantara dan bagi seluruh penghuninya, maka pengajaran tersebut harus disesuaikan, diselaraskan, dileburkan dengan batur bangunan asli Nusantara!”

Dhawuh Janggan Sabda Palon kepada Syekh Lêmah Abang – dicuplik dari Buku Lêmah Abang Rumput Jawan Bertumbuh.

Nusantara memilili ciri khas sendiri, memiliki karakter sendiri, memiliki corak tersendiri. Manakala banyak agama dari luar Nusantara masuk ke Nusantara dan tidak mau melebur dengan keyakinan asli Nusantara, maka agama tersebut tidak akan bisa bertahan lama di Nusantara. Tengoklah agama Syiwa, Wishnu, Sakta yang tumbuh di sini, tidak akan dapat ditemukan keberadaan agama serupa di India sana yang keberadaannnya mirip dengan agama Syiwa, Wishnu, Sakta yang tumbuh di sini. Demikian pula dengan agama Buddha yang dulu berkembang di Nusantara, keberadaannya memiliki corak khas Nusantara, memiliki karakter tersendiri. Mau bukti? Masih tegak Borobudur dan bangunan-bangunan suci Buddhis masa Nusantara Kuno, ciri khas Nusantara tergurat abadi di sana. Oleh karenanya, keberadaan agama-agama tersebut masih tetap lestari hingga sekarang walau sudah tergolong minoritas. Demikian pula bagi agama Islam dan Kristen yang masuk ke Nusantara. Jika corak Nusantara asli tidak dimasukkan ke dalam nuansa kedua agama tersebut, maka keberadaan mereka tidak akan mampu bertahan lama tegak di Nusantara. Lagi-lagi silakan lihat ke sekeliling, Islam saat ini mendominasi Nusantara. Dan yang memiliki akar kuat hanya Islam NU sebagai model Islam yang bercorak Nusantara. Islam seperti inilah yang akan mampu berdiri kuat karena mencocoki dengan karakter tanah Nusantara. Islam model lain, hanya akan tumbuh sebentar, ramai, gaduh, dan akhirnya terbuang dari Nusantara.

Sebenarnya karakter tanah Nusantara ini tidak hanya berpengaruh bagi keyakinan dari luar Nusantara saja. Karakter ini juga berpengaruh bagi para calon pemimpin yang ingin mendaku sebagai penguasa seluruh Nusantara. Jika Anda ingin menjadi pemimpin Nusantara, maka tidak bisa tidak Anda harus membawa corak Kenusantaraan dalam keyakinan Anda. Jika Anda membuang corak Kenusantaraan dari keyakinan Anda, atau jika Anda tidak membuang corak Kenusantaraan namun berkompromi dengan kelompok yang menolak corak Kenusantaraan atau pula jika Anda malah lebih memilih aliran yang menolak kearifan lokal Nusantara sebagai keyakinan Anda, maka adalah lebih baik Anda tidak usah mencalonkan diri sebagai pemimpin Nusantara. Sebab sudah dapat dipastikan Anda akan gagal walau seribu kali berusaha untuk memenangi pertarungan politik tertinggi tersebut. Tanah Nusantara akan menolak dan akan membuang Anda. Tidak percaya? Silakan pelajari sejarah para penguasa Nusantara setidaknya semenjak runtuhnya Majapahit. Hanya mereka yang dicap sebagai tokoh Abangan saja yang selalu memenangi pergulatan politik tertinggi di sini. Mereka yang dicap sebagai tokoh Putihan, senantiasa ada dalam posisi kalah. Abangan adalah sebutan bagi kelompok yang mau menerima corak Kenusantaraan. Sedangkan Putihan adalah sebutan bagi kelompok yang menolak mentah-mentah corak Kenusantaraan. Sudah banyak terbukti, tokoh Abangan senantiasa beruntung dibandingkan tokoh Putihan dalam setiap pergulatan sengit memperebutkan kekuasaan tertinggi di sini, di Nusantara ini. Bahkan semenjak NKRI berdiri, semenjak pemilu pertama tahun 1955 dilangsungkan hingga Pemilu tahun 2019 sekarang, partai politik berbasis agama tak pernah sekalipun menjadi pemenang, mereka tidak pernah bisa mengalahkan partai berbasis nasionalis. Jika hendak di tarik mundur lagi ke masa kolonial Belanda, sudah terbukti pula bahwa kekuatan abangan lebih mampu untuk bertahan menghadapi gempuran kolonialis karena fleksibilitas yang mereka miliki. Mereka yang mendaku sebagai kelompok Putihan sudah hancur lebur terlebih dahulu tergilas kekuatan kolonialis. Fakta yang mencolok mata, sampai sekarang masih tegak berdiri Kesultanan Mataram yang bercorak abangan dan masih tetap memiliki kedaulatan tertentu walau sudah terpecah menjadi Kasunanan Surakarta, Puri Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Paku Alaman. Lebih mencolok mata lagi, pendiri Republik ini adalah sosok Abangan tulen.

Melihat kenyataan seperti itu, bagi negarawan yang hendak mempertaruhkan diri dalam pertarungan politik tertinggi di negeri ini, semestinya tidak gegabah untuk menampung golongan yang hendak menolak corak Kenusantaraan, yaitu golongan yang kebanyakan cenderung berkarakter radikal. Jika tetap nekad berkompromi dengan mereka, bisa dipastikan, negarawan seperti itu akan kalah walaupun mengaku sebagai tokoh Abangan sekalipun.

Damar Shashangka.
Bogor, 18 April 2019

Silaturahmi Pamong Budaya dan Pemda di Makati Elok

Wisata Alam dan Spiritual sekaligus observasi historis ke Situs Desa Wisata Batu Layang

Babakti dan Persembahyangan Di Kabuyutan Salaka Nusantara

$
0
0

14 jam

YouTube

Astungkara,

Dokumentasi video acara Babakti dan Persembahyangan Di Kabuyutan Salaka Nusantara bersama saudara2 yg tergabung dlm badan/organisasi Pamong Budaya Bogor, dengan tarian sakral Tarawangsa.

Video diambil oleh saudara dan sahabat saya mas Ahmad Yanuana Samantho.

Mugya Karuhun merestui dan memberkati kita semua.

Salam NUSANTARA JAYA MULIA.

Salam Rahayu….👍🙏🙏🇮🇩

 

 

CATATAN BAHWA PRABU SILIWANGI RADEN PAMANAHRASA TELAH MEMELUK AGAMA ISLAM

$
0
0

CATATAN BAHWA

PRABU SILIWANGI RADEN PAMANAHRASA

TELAH MEMELUK AGAMA ISLAM

Catatan Editor Bayt al-Hikmah

(Ahmad Yanuana Samantho, S.IP, MA. M.Ud):

“Mengapa demikian? hipotesisnya (kemungkinannya), Eyang Prabu Siliwangi telah sampai kepada inti pokok ajaran Sunda Buhun/Sunda Wiwitan dan Hindu Weda Sanatha Dharma dan Siwa Budha, sehingga ketika ia menemukan ajaran Islamnya Rasulullah Muhammad SAW yang disampaikan Syeikh Quro, ia merasa dan memahami bahwa hakikat Dienul Islam adalah kelanjutan dan pelengkapan atau penyempurnaan semata daripada ageman sebelumnya itu. Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa”

Bukti-bukti keislaman Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi) dapat dilihat di dalam Naskah Kitab Cerita Purwaka Caruban nagari” yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 Masehi, yang menyatakan bahwa:”Sebenarnya pada saat Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Mas Subang Larang, beliau telah masuk Islam sebagai salah satu persyaratannya. Hanya saja sebagai muallaf yang diangkat sebagai raja.

Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pusaran Sejarah Dunia

Gambar mungkin berisi: teks

Hal ini dibuktikan dengan adanya isi tulisan di prasasti batu tulis Bogor yang ditulis pada Batu oleh putera Raden Pamanahrasa (Prabu Siliwangi) yakni yang ditulis oleh Pangeran Sanghiyang alias Prabu Surawisesa yang telah menganut agama Islam pula, ia telah mengabadikan gelar ayahnya dalam batu tulis itu dengan tulisan:”

“Di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajji di pakwan pajajaran”
Artinya:”dinobatkan dia (Raden Pamanahrasa) dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu HAJJI di Pakuan Pajajaran.

Gelar Hajji ini adalah suatu gelar dalam keislaman.

Dalam “Seminar sejarah Jawa Barat tanggal 2 s/d 23 Maret 1974 di Sumedang” menyatakan bahwa:”Sebenarnya pada saat Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Mas Subang Larang, beliau telah masuk Islam sebagai salah satu persyaratannya. Hanya saja sebagai muallaf yang diangkat sebagai raja.

Dalam “Pangeran Cakrabuana: sang perintis Kerajaan Cirebon – Hal 24: menerangkan bahwa:”Sebenarnya pada saat Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Mas Subang Larang, beliau telah masuk Islam sebagai salah satu persyaratannya. Hanya saja sebagai muallaf yang diangkat sebagai raja dan tinggal di lingkungan istana .

Gambar mungkin berisi: teks

Dalam “Selayang pandang sejarah masa kejayaan Kerajaan Cirebon”: kajian dari aspek politik dan pemerintahan” hal.22 Raden H. Unang Sunardjo penerbit Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon, 1996 dan “ Pangeran Cakrabuana”: sang perintis Kerajaan Cirebon” – Hal. 24, menerangkan bahwa:”Nyai Mas Ratu Subang Larang ini sebelum menikah dengan Pamanahrasa Putera Mahkota Galuh, sudah beragama Islam.

Dalam “ Proceedings Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran” hal. 48 terbitan Universitas Pakuan Bogor, 1993, menerangkan bahwa:” Prabu Siliwangi beragama Islam.

Dalam “ Sunan Gunung Jati antara fiksi dan fakta”: pembumian Islam dengan pendekatan struktural dan kultural “ hal.48 menerangkan bahwa:”Raja Sengara (Prabu Keyan Santang) dan Prabu Siliwangi (Raden Pamanahrasa) bersedia memeluk lslam.

Dalam “Wawacan Sama’un”:- Halaman 398 menerangkan bahwa:”Kedua putranya walangsungsang dan Rara santang diberi tahu bahwa ayahandanya (Prabu Siliwangi Raden Pamanahrasa) kini memeluk agama Islam.

Dalam “Kumpulan makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-X”, penerbit Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal.288,: menerangkan bahwa:”Raden Pamanah rasa masuk Islam sekitar tahun 1418 Masehi. Pada tahun 1422 Masehi Nyai Subanglarang menikah dengan Raden Pamanah Rasa secara adat Islam.

Keterangan foto tidak tersedia.

Dalam” Sejarah Sunan Cipancar Limbangan” hal. 11, menerangkan bahwa:”Sepulangnya berguru kepada Syeikh Qura’, Nyi Subang Larang pernah mendirikan pesantren besar bernama “Kobong Amparan Alit” di kawasan Teluk Agung yang kini berada dilingkungan Desa Nanggerang Kecamatan Binong Kab. Subang. Belakangan nama “Kobong Amparan Alit” berubah menjadi “Babakan Alit” yang juga berada di sekitar kawasan Teluk Agung Desa Nanggerang. Meskipun tinggal di Bogor bersama suaminya Sri Baduga Maharaja (Raja Pajajaran), Subang Larang kerap mengunjungi pesantrennya itu. Subang Larang merupakan satu dari dua tokoh srikandi atau pejuang (pahlawan) wanita Tatar Sunda pada masa itu dimana beliau merupakan figur seorang muslimah. Beliau merupakan murid Syeikh Qura’ yang juga tokoh penyebar Islam setingkat wali yang menyebarkan Islam di wilayah Karawang.
Dan masih banyak lagi bukti-bukti lainnya bahwa Raden Pamanahsari (Prabu Siliwangi) telah menganut agama islam. Seperti halnya Padepokan MandeJajar atau Padepokan Pajajaran yang di hadiahkan kepada cucunya yang bernama Raden Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Caruban sewaktu Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Cirebon kedua meneruskan tahta Kesultanan uwaknya Syekh Abdullah Iman (Raden Walangsungsang) di Keraton Pakungwati Caruban.

Paguyuban Seuweu Siwi Siliwangi

CATATAN BAHWA PUTRA-PUTRI NYIMAS SUBANG LARANG TELAH MEMELUK ISLAM SEJAK LAHIR

Dalam “Catatan-catatan tercecer mengenai kerajaan-kerajaan dan raja-raja pra Islam di Jawa Barat” hal.30 karya Raden Endang Sulaeman Kartasumitra menerangkan bahwa:”Subanglarang dan putranya yang bungsu, raja Sangara (Prabu Keyan Santang) sebagai murid dari Syeh Quro menjadi pengikut Madzhab Hanafi sedangkan Walangsungsang dan adiknya, Larasantang sebagai murid Syeh Datuk Kanfi menjadi penganut Madzab Syafi`i.

Dalam “Simpay: kalawarta Paguyuban Pasundan,” hal.46, menerangkan bahwa:”Putri Subanglarang nu ngalahirkeun Walangsungsang, Lara santang jeung Sangara nu ngagem agama Islam.

Dalam “Kumpulan makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-X, penerbit Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia”, hal.288, menerangkan bahwa:”Raden Sangara (Prabu Keyan Santang) sejak tinggal bersama Pangeran Cakrabuwana sudah menganut agama Islam.

Dalam “Sejarah Kuningan”: dari masa prasejarah hingga terbentuknya kabupaten hal.52, menerangkan bahwa:” Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) dan Nyimas Larasantang mesantren selama 2 tahun di Pondok Quro Amparan Jati, mereka belajar kepada Syekh Datuk Kahfi yang bermazhab Syafi’i.

Raden Walangsungsang dan Nyimas Rara Santang disamping berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi di Amparan Jati , ternyata ia berguru pula ke Syekh Quro di Karawang, sebagaimana dalam “Sejarah kerajaan tradisional Cirebon” – Halaman 20 yang menerangkan bahwa:” Pada waktu itu kedua putra dan putri raja tersebut sedang belajar di Pangguron Islam Syekh Quro Karawang.

Dalam “Raden Pangeran Cakrabuana: sang perintis Kerajaan Cirebon” – Halaman 24, menerangkan bahwa:” Walangsungsang pergi merantau untuk mendalami ilmu agama Islam pada tahun 1442 Masehi.

Dan Menurut sejarawan indonesia yang berasal dari Garut Bpk. Aan Merdeka permana menyatakan bahwa:”Raja Sangara adalah dari Putri Subanglarang, santri dari Pesantren Quro, Karawang. Dan banyak lagi yang menerangkan bahwa kedua putra dan satu putri Nyimas Subang Larang telah menganut agama Islam.

 


Wanita Indonesia Pionir Poros Maritim Dunia

$
0
0

Wanita Indonesia Pionir Poros Maritim Dunia

Penulis: Wibowo SangkalaPada: Senin, 08 Apr 2019, 16:51 WIB NUSANTARA

Wanita Indonesia Pionir Poros Maritim Dunia

MI/WIBOWO SANGKALA
President Indonesian Institute for Maritime Studies, DR. Connie Rahakundini Bakrie (tengah) menjadi pembicara di atas kapal Ferry ASDP.

PERAN Wanita dan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia ibarat melihat kondisi kita saat ini dan juga beberapa abad ke belakang.

Hal itu disampaikan DR. Connie Rahakundini Bakrie, President Indonesian Institute for Maritime Studies, dalam Forum Diskusi Tol Laut dan Pahlawan Wanita Poros Maritim Dunia, yang berlangsung di atas kapal Ferry Executive ASDP.

Dalam pelayaran Pergi-Pulang pelabuhan Merak-Bakauheni, Senin (8/4) pagi, dipaparkan mengenai sejarah Nusantara yang menunjukkan bahwa kita punya perempuan Indonesia yang disegani, khususnya dalam hal kemaritiman.

Jauh sebelum keberadaan Raden Ajeng Kartini (1879-1904), kita sudah memiliki sosok Ratu Kalinyamat yang lahir tiga abad sebelumnya (1514-1579). Putri Sultan Trenggana yang lahir dengan nama Retno Kencono itu bisa dianggap sebagai perempuan yang melampaui jamannya.

“Ratu Kalinyamat adalah salah satu penanda masa kejayaan Maritim Nusantara,” kata Connie lagi.

Di tahun 1550 dan 1574, Ratu Kalinyamat sudah memimpin armada laut Nusantara yang berkekuatan ratusan kapal dan puluhan ribu prajurit, untuk mengusir Portugis dari Malaka.

Tidak hanya menunjukkan diri sebagai perempuan yang bisa memimpin, Ratu Kalinyamat juga bisa dianggap sebagai inspirator Nusantara sebagai poros maritim yang mendunia. Karena saat itu, armada laut Portugis dianggap salah satu yang terkuat di dunia. Namun mereka berhasil dibuat tunggang langgang oleh seorang perempuan kelahiran Jepara.

“Beliau berhasil membangun kepercayaan diri bangsa menjadi negara maritim yang disegani oleh pemimpin kawasan dan dunia,” tutur Connie.

Atas kepiawaiannya memainkan peran dalam ruang politik, diplomatik, ekonomi, dan militer, khususnya sebagai ikhtiar menjaga kedaulatan maritim, Selat Malaka sebagai jalur perdagangan penting kala itu, Ratu Kalinyamat mendapatkan penghormatan yang justru datang dari para penjajah Portugis yang diperanginya.

 

Baca juga: Gelombang Tinggi, Pelayaran ASDP Kupang Masih Lumpuh

 

Oleh karena itu, tema Wanita dan Poros Maritim Dunia yang kita bahas dalam forum diskusi kali ini menemukan relevansinya. Saat ini, kita melihat ada sosok seperti Ira Puspadewi, Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Persero yang bisa dianggap sebagai Ratu Kalinyamat modern.

Di bawah pimpinannya, ASDP kini memiliki 29 cabang, 243 rute, mengoperasikan 150 kapal, di 35 pelabuhan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan jumlah kapal dan rute sebanyak itu, ASDP menjadi operator feri nomor satu di dunia, versi WSDOT Research Report 2015.

Diskusi yang berlangsung, Senin (8/4) digelar dalam rangka HUT ASDP Indonesia Ferry ke 46 sekaligus juga dalam rangka memperingati hari Kartini. Selain pejabat ASDP dan segenap pemangku kepentingan, diskusi hari ini juga diikuti oleh akademisi, ND Institut, pelajar dan mahasiswa.

“Tujuannya agar kita semua bisa memahami apa dan bagaimana implementasi poros maritim dan program tol laut Presiden Joko Widodo,” ungkap Ira Puspadewi.

Sebagai salah satu pelaksana utama dari agenda Poros Maritim Dunia dan konsep Tol Laut, ASDP menerapkan 4 pilar operasional. Konektivitas menghubungkan wilayah-wilayah di Indonesia. Digitalisasi berupa penerapan sistem e-ticketing dan cashless transaction, Long Distance Ferry (LDF) mengangkut logistik dan juga ternak.

Di bidang Pariwisata, ASDP membangun International Marina Resort, Labuan Bajo, dan menciptakan destinasi wisata seperti Dermaga Eksekutif di pelabuhan Merak serta Bakauheni. (OL-3)

https://mediaindonesia.com/read/detail/228284-wanita-indonesia-pionir-poros-maritim-dunia

1) Media Indonesia – http://mediaindonesia.com/read/detail/228284-wanita-indonesia-pionir-poros-maritim-dunia
2) Liputan6 – https://www.liputan6.com/regional/read/3936855/menengok-sejarah-poros-maritim-zaman-ratu-kalinyamat?medium=Headline&campaign=Headline_click_1
3) Sindonews – https://daerah.sindonews.com/read/1393952/174/sambut-hari-kartini-perempuan-indonesia-disebut-pionir-poros-maritim-dunia-1554728626
4) Suara – https://banten.suara.com/read/2019/04/08/212052/impian-indonesia-poros-maritim-dunia-sudah-ada-sejak-zaman-ratu-kalinyamat?utm_source=whatsapp&utm_medium=share
5) Antara – https://m.antaranews.com/berita/821966/pengamat-national-security-council-perkuat-poros-maritim-dunia
6) Banten News – https://www.bantennews.co.id/peran-perempuan-mewujudkan-poros-maritim-sangat-signifikan/
7) Indopos – https://www.indopos.co.id/read/2019/04/08/170960/perkuat-tol-laut-asdp-gandeng-operator-operator-kapal-besar
8) Antara – https://www.antaranews.com/berita/821880/asdp-siap-gandeng-operator-kapal-besar-perkuat-tol-laut
9) Tribun News – On Progress
10) Merdeka.com – On Progress
11) Viva – On Progress
12) Radar Banten – Gambar Terlampir

 

Poros Maritim Zaman Ratu Kalinyamat

$
0
0

Menengok Sejarah Poros Maritim Zaman Ratu Kalinyamat

Liputan6.com, Cilegon – Poros Maritim yang digagas oleh Presiden Jokowi, nyatanya telah dilakukan dalam sejarah kerajaan nusantara. Bahkan, tokohnya perempuan.

Dimulai dari Ratu Kalinyamat (1514-1579), Putri Sultan Trenggana dari Kerajaan Demak. Di tahun 1550 dan 1574, Ratu Kalinyamat sudah memimpin armada laut nusantara yang berkekuatan ratusan kapal dan puluhan ribu prajurit, untuk mengusir Portugis dari Malaka.

“Beliau berhasil membangun kepercayaan diri bangsa, menjadi negara maritim yang disegani pemimpin kawasan dan dunia,” kata Connie Rahakundini Bakrie, Presiden Direktur (Presdir) Institute for Maritime Studies, dalam diskusi Tol Laut dan Pahlawan Wanita Poros Maritim Dunia di atas Kapal Port Link III di Pelabuhan Merak, Kota Cilegon, Banten, Senin (08/04/2019).

Connie menjelaskan, kalau poros maritim yang dipimpin Ratu Kalinyamat mampu melawan armada laut Portugis, yang dianggap salah satu yang terkuat di dunia.

Wanita kelahiran Jepara, Jawa Timur (Jatim) itu sebenarnya telah menandai peran penting wanita dalam menjaga kedaulatan negaranya yang masih berbentuk kerajaan kala itu.

Ratu Kalinyamat dianggap cerdik memainkan perannya dalam bidang politik, diplomatik, ekonomi, dan militer, khususnya bidang kemaritiman.

“Tujuannya agar kita semua bisa memahami apa dan bagaimana implementasi poros maritim dan program tol laut Presiden Joko Widodo,” terangnya.

Poros maritim yang dibangun Pemerintah saat ini, di anggap bisa sekaligus menjaga kedaulatan negara dari sisi laut, lantaran Indonesia di apit Samudera Hindia dan Pasifik.

Harus diakui, poros maritim masih memiliki kekurangan, karena tidak mudah membangun dalam waktu singkat di negara yang memiliki 17 ribu pulau.

“Poros maritim dunia kita harus segera menjadi kekuatan terkuat di kawasan. Sehingga sudah (saatnya) bisa menunjukkan kekuatannya di dunia,” jelasnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

https://daerah.sindonews.com/read/1393952/174/sambut-hari-kartini-perempuan-indonesia-disebut-pionir-poros-maritim-dunia-1554728626

Penyebaran Islam di Tanah Sunda

$
0
0

Penyebaran Islam di Tanah Sunda (1): Kerajaan dan Agama pra-Islam

  in Islam Nusantara

Sebelum datangnya Islam, masyarakat Sunda memang sudah menjadi masyarakat yang religius. Berbagai artefak yang ditemukan menunjukkan bahwa di tanah ini pernah hidup beberapa kepercayaan, mulai dari kepercayaan kepada roh-roh, hingga agama Hindu yang pernah menjadi agama resmi kerajaan.”

—Ο—

Bumi Jawa Barat merupakan bagian dari Sunda Island, yang luas wilayahnya hampir sepertiga dari Pulau Jawa, terjadi setelah munculnya Benua Asia. Sebutan Sunda Islands, maksudnya tentu saja adalah kepulauan Sunda. Hal tersebut masih sejalan dengan peta yang di buat Portugis dan Belanda di masa silam yang membagi Nusantara menjadi dua Gugusan kepulauan, yaitu kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil.[1]

Jauh sebelum agama Hindu lalu Islam masuk, masyarakat Sunda telah memiliki bentuk kepercayaan. Kepercayaan pertama yang mereka kenal adalah kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang dan kepada kekuatan alam pada benda-benda. Kepercayaan tersebut mendapatkan bentuknya pada zaman Neolitikum dan zaman perunggu-besi, ketika kehidupan masyarakat telah mulai menetap dan telah berlaku budaya cocok tanam (mulai 1.500 S.M)[2]

Sejak berabad-abad lamanya di Pulau Jawa berdiri Kerajaan-kerajaan yang berdasarkan agama Hindu dan Budha. Meski demikian, kerajaan yang berdasarkan agama Budha tidak ditemukan di Jawa Barat. Sedangkan Kerajaan yang berdasarkan agama Hindu yang ada di Jawa Barat telah berdiri sejak Abad ke-IV atau tahun 358 M. Umumnya wilayah pemerintahanya kecil, sistem pemerintahannya masih sederhana, Raja-rajanya kurang terkenal, satu dan lainnya juga kurang erat hubungannya, serta peninggalan-peninggalannya sedikit yang bisa dilihat sampai hari ini.[3]

Beberapa kerajaan Hindu tersebut antara lain:

  1. Kerajaan Salakanagara, tahun 130-258 M pusat Kerajaan berada di dekat Muara Sungai Citarum.
  2. Kerajaan Tarumanagara, tahun 358-669 M pusat berada kerajaan di Sundapura (Bekasi).
  3. Kerajaan Kendan, tahun 526-619 M, pusat kerajaan berada di wilayah Nagreg, Kabupaten Bandung. Kerajaan ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Galuh.
  4. Kerajaan Galuh tahun 612-852 M , pusat kerajaan berada di wilayah Karang Kamulian Ciamis. Pusat kerajaan Galuh berpinda-pindah, dan terakhir berada dekat kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis hingga awal abad ke-15.
  5. Kerajaan Sunda, tahun 669-825 M, pusat kerajaan berada di Pakuan Bogor.
  6. Kerajaan Kawali, tahun 1333-1475 M, pusat kerajaan berada di Kawali.
  7. Kerajaan Pajajaran, tahun 1482-1579, pusat kerajaan berada di wilayah hulu sungai Ciliwung dekat prasasti batu tulis Kota Bogor. Raja yang termasyhur di kalangan orang Sunda berasal dari kerajaan ini yaitu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. Kerajaan ini menjadi kerajaan terakhir yang bercorak Hindu di Jawa Barat dan selanjutnya wilayah Jawa Barat masuk ke dalam wilayah kekuasaan Mataram serta pengaruh Cirebon sangat mendominasi dalam penyebaran agama Islam di wilayah ini.[4]
PETA WILAYAH KERAJAAN-KERAJAAN DI TANAH SUNDA. SUMBER GAMBAR HTTP://SUNDALANDGEOGRAFI.BLOGSPOT.CO.ID/2015/11/KERAJAAN-SALAKANAGARA-TARUMANAGARA.HTML

 

PETA KERAJAAN SALAKANAGARA. SUMBER GAMBAR HTTPS://INDOCROPCIRCLES.WORDPRESS.COM/2017/04/17/SALAKANAGARA-KERAJAAN-TERTUA-NUSANTARA-LELUHUR-SUKU-SUNDA/

 

PETA KERAJAAN TARUMANAGARA. SUMBER GAMBAR HTTPS://COMMONS.WIKIMEDIA.ORG/WIKI/FILE:TARUMANAGARA_ID.SVG

 

SITUS KERAJAAN KENDAN DI DAERAH NAGREG, KABUPATEN BANDUNG. SUMBER GAMBAR HTTP://KILATNEWS.COM/2016/12/29/7485/

 

BATAS KERAJAAN SUNDA DAN KAERAJAAN GALUH. SUMBER GAMBAR HTTPS://ID.WIKIPEDIA.ORG/WIKI/KERAJAAN_SUNDA

 

WILAYAH KERAJAAN PAJAJARAN. SUMBER GAMBAR HTTPS://WWW.PARANORMAL.OR.ID/2002/02/18/LENYAPNYA-KERAJAAN-PAKUAN-LAMA/

Pada abad-abad awal masehi, pengaruh India (Hindu-Budha) mulai masuk di Indonesia. Tanah Sunda pun tidak terlepas dari pengaruh tersebut. Masuknya pengaruh Hindu di tanah Sunda terungkap dengan ditemukannya beberapa prasasti peninggalan Punawarman, seorang raja dari kerajaan Tarumanegara, di Desa Tugu, sungai Ciareuteun, Muara Cianten, Kebon Kopi, Jambu (Ciampea-Bogor). Dari beberapa prasasti dapat diketahui bahwa agama Hindu menjadi agama resmi kerajaan Tarumanegara (Punawarman). Prasasti Ciareuteun secara lebih jelas menyebutkan bahwa Punawarman adalah penganut Hindu aliran Waisnawa(menyembah Dewa Wisnu) termasuk pemujaan terhadap Surya atau mazhab Saura.[5]

PRASASTI CIAREUTEUN. SUMBER GAMBAR HTTP://SEJARAHBUDAYANUSANTARA.WEEBLY.COM/KERAJAAN-TARUMANAGARA.HTML

Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadikan seluruh penduduk Tarumanegara memeluk agama Hindu. Dilihat dari prasasti peninggalannya, Purnawarman diketahui merupakan penganut agama yang telah menyatu dengan kepercayaan pribumi. Prasasti tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada raja-raja yang sudah meninggal. Penempatan prasasti di sungai-sungai juga merupakan tradisi leluhur masyarakat Sunda.[6]

Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian menyebutkan bahwa pengaruh Hindu dan unsur ajaran Budha telah bercampur dengan kepercayaan setempat, dimana masyarakat Sunda lebih menjunjung tinggi roh leluhur atau Hyang. Pada masa kerajaan Pajajaran, agama mereka sudah bersendikan Hyang atau Batara Seda Niskala dan menempatkan dewa-dewa penting Hindu dibawahnya. Ini menunjukan bahwa agama Hindu kehilangan vitalitasnya di masyarakat Sunda pada waktu itu. Sisa-sisa agama itu mungkin dianggap tradisi tanpa dikaitkan lagi dengan India. Sejak abad ke 14 Masehi, agama tersebut telah tertelan oleh unsur-unsur asli kepercayaan penduduk.[7](SI)

Bersambung ke:

Catatan kaki:

[1] Lihat, Yosep Iskandar, Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), CV Geger Sunten, Bandung, 1997, hal 4

[2] Lihat, R. Moh. Ali, Sedjarah Djawa Barat ; Suatu Tanggapan, Pemda Jawa Barat, Bandung, 1972, hal 52

[3] Lihat, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa barat, Selayang Pandang Provinsi Jawa Barat, Bappeda cetakan ke-I, Bandung, hal 5.

[4] Lihat, Hoesein Djajadiningrat, “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cirebon Pada Abad-Abad Pertama Berdirinya” Dalam Masa Awal Kerajaan Cirebon, Bharata, Jakarta, 1973, hal 23-40

[5] Lihat, Sri Yoeliwati, Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Banten dan Sekitarnya, Universitas Padjajaran, Bandung, 1987, hal 38

[6] Lihat, Op.cit, R. Moh. Ali, Sedjarah Djawa Barat, hal 58

[7] Lihat, Saleh Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke-3, Sundanologi dan Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Bandung, 1983-1984, hal 44-45

Penyebaran Islam di Tanah Sunda (1): Kerajaan dan Agama pra-Islam

 

Para Perintis Penyebaran Islam di Tanah Sunda

$
0
0

Penyebaran Islam di Tanah Sunda (2): Para Perintis

  in Islam Nusantara

“Masuknya Islam di Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa para perintis seperti Bratalegawa, Syekh Quro, Pangeran Walangsungsang dan Syekh Nurjati. Atas Jasa dan dari keturunan merekalah Islam menyebar dari pesisir sampai pedalaman Tanah Pasundan”

—Ο—

Agama Islam baru masuk ke daerah Jawa Barat antara akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Beberapa tokoh perintisnya adalah Bratalegawa atau yang sering disebut ‘Haji Purwa’, Pangeran Walangsungsang atau Haji Abdullah Imam, Syekh Quro atau Syekh Hasanudin, dan Syekh Nurjati Atau Syekh Datuk Kahfi. Bratalegawa menyebarkan agama Islam secara terbatas di Galuh kemudian di Caruban bersama Pangeran Walangsungsang. Syekh Quro mendirikan pesantren di daerah Karawang pada tahun 1416 M, karena pada waktu itu Karawang menjadi daerah yang pengaruhnya agama Hindu nya cukup kuat. Syekh Nurjati mendirikan pesantren di Amparan Jati (Cirebon). Namun penyebaran agama Islam tahap awal itu masih terbatas pada lingkungan tertentu.[1]

Bratalegawa atau ‘Haji Purwa’ merupakan putra kedua Prabu Guru Panggandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Buni Sora penguasa kerajaan Galuh. Dia memilih hidup sebagai seorang saudagar besar sehingga banyak berpergian ke daerah atau ke negeri lain, seperti Sumatera, Semenanjung Melayu, Campa, Cina, Sri Langka, India, Persia, dan Arab. Di negara-negara tersebut ia menjalin persahabatan dan persaudaraan sehingga banyak sahabat dan perkenalannya, baik sesama saudagar maupun pejabat setempat.

ILUSTRASI BRATELEGAWA. SUMBER GAMBAR HTTP://WWW.UPDATEGEH.COM/2016/08/INILAH-DIAORANG-INDONESIA-PERTAMA.HTML

Di Gujarat, India, ia mempunyai sahabat dan rekan dalam berniaga bernama Muhammad. Muhammad mempunyai anak gadis bernama Farhana dan Bratalegawa menjatuhkan pilihannya kepada gadis itu untuk dijadikan istri. Bratalegawa kemudian memeluk agama Islam dan mengawini Farhanah. Lalu mereka berdua menunaikan ibadah haji di Makkah, dan Bratalegawa berganti nama menjadi Haji Baharuddin al Jawi.[2]

Ketika kembali ke Galuh, tempat asal Bratalegawa, mereka mengujungi Ratu Banawati, adik bungsunya yang sudah menjadi istri salah seorang raja bawahan Galuh, dengan tujuan untuk membujuk Ratu agar memeluk agama Islam. Usaha tersebut gagal. Setelah itu mereka bertolak pindah ke Cirebon tempat kakak laki-laki Bratalegawa berkuasa. Usaha untuk mengajak kakaknya pun gagal. Kegagalan tersebut tidak membuat hubungan darah diantara mereka menjadi putus. Terkadang Bratalegawa ikut membantu saudaranya bila dibutuhkan. Di Galuh, Bratalegwa dan istrinya tercatat sebagai orang Islam dan haji pertama oleh karena itu ia kemudian dikenal dengan gelar Haji Purwa (Purwa berarti pertama).[3]

Bila kisah Haji Purwa ini dijadikan tolak ukur untuk menentukan masuknya Islam di Jawa Barat, ini berarti bahwa masuknya Islam pertama kali ke Jawa Barat berasal dari Makkah dan dibawa oleh pedagang. Lalu awal penyebaran agama Islam tidak hanya di pesisir saja, akan tetapi di pedalaman, walaupun penyebarannya tidak meluas di masyarakat.

Pada tahun 1409 M, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan laksamana Sam Po Bo untuk memimpin armada angkatan lautnya dan mengerahkan 63 buah kapal dengan prajurit yang berjumlah sekitar 27.800 orang untuk menjalin persahabatan dengan kesultanan Islam. Dalam rombongan armada laut Tiongkok itu, diikutsertakan Syaikh Hassanudin atau Syeikh Quro dari Campa untuk mengajar agama Islam di kesultanan Malaka.[4]

KOMPLEK MAKAM SYEKH QURO DI KARAWANG. SUMBER GAMBAR HTTP://SANTRIPISS.BLOGSPOT.CO.ID/2017/04/SYEKH-QUROTUL-AIN-SYEKH-QURO-DAN-PRABU.HTML

Setelah menunaikan tugas di Malaka, selanjutnya Syeikh Quro mengunjungi beberapa daerah antara lain ke Martasinga, Pesambangan dan Japura melalui pelabuhan Muara Jati. Kedatangannya disambut baik oleh Ki Gedang Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yakni Syahbandar pelabuhan Muara Jati (Cirebon). Ki Gedeng Tapa merupakan putra bungsu Prabu Westu Kencana atau Sang Prabu Dewaniskala.

PELABUHAN MUARA JATI TEMPO DULU. SUMBER GAMBAR HTTP://WWW.CIREBONTRUST.COM/DARI-MUARA-JATI-TANJUNG-MAS-HINGGA-CIREBON-1.HTML
PELABUHAN MUARA JATI YANG SEKARANG MENJADI PELABUHAN CIREBON. SUMBER GAMBAR HTTP://WWW.CIREBONTRUST.COM/MENILIK-MASA-KEJAYAAN-PELABUHAN-MUARA-JATI-CIREBON.HTML

Perjalanan penyebaran agama Islam oleh Syeikh Quro pada waktu itu tidak berjalan mulus. Raja Pajajaran yang bernama Anggalarang pada waktu itu melarang penyebaran agama Islam yang dilakukan Syekh Quro. Perintah itu pun dipatuhi oleh Syeikh Quro. Atas kejadian pelarangan itu, ulama besar tersebut berpamitan kepada Ki Gedeng Tapa. Dengan rasa prihatin dan keinginan untuk menambah pengetahuan akan ajaran Islam, Ki Gedeng Tapa menitipkan anaknya yaitu Nyai Subang Larang ikut bersama Syaikh Quro untuk mempelajari agama Islam.

MAKAM NYI SUBANG LARANG. SUMBER GAMBAR HTTP://TELAGACEMPAKAPERMAIE3ISUNJEH.BLOGSPOT.CO.ID/2016/06/MENGUAK-KISAH-NYI-SUBANG-LARANG-ISTRI.HTML

Beberapa lama kemudian Syeikh Quro, berniat kembali ke daerah Kerajaan Pajajaran untuk menyampaikan ajaran Islam, dengan membawa serta beberapa santrinya dan Nyai Subang Larang. Sesampainya di Pelabuhan Karawang, Syeikh Quro banyak melakukan aktifitas dakwah yang santun sehingga banyak diterima oleh masyarakat disekitar. Berita tentang dakwah Syeikh Quro di Karawang ternyata sudah terdengar oleh Prabu Anggalarang. Sang Prabu pun melakukan tindakan pelarangan seperti yang dilakukan sebelumnya dengan mengirim utusan yang di pimpin oleh putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa atau yang terkenal dengan Prabu Siliwangi untuk menutup pesantren Syeikh Quro. Sesampainya di tempat Syeikh Quro, bukannya melarang kegiatan dakwah, sang putra mahkota justru tertambat hatinya oleh suara merdu pembacaan Al-Quran yang dikumandangkan Nyi Subang Larang. Akhirnya Prabu Siliwangi mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Syeikh Quro.[5](SI)

Bersambung…

 

Pentas Seni Jigprak kolaborasi dengan Musik Sakral Satya Dharma Pamong Budaya Bogor

$
0
0

Pentas Seni Jigprak kolaborasi dengan Musik Sakral Satya Dharma Pamong Budaya Bogor di Halaman Gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jum;at 26 April 2019. Direkan oleh Ki Ahmad Yanuana Samantho.

https://www.academia.edu/12363495/TOPENG_JIGPRAK_SEBAGAI_TEATER

JIGPRAK; Inspirasi Seni urang Sunda

skripINSAN–Ahad, 15 Juli 2012, adalah hari bahagia saya. Dari hari ini, dapat mengetahui kesenian urang Bogor yang berada di daerah cukup dekat dengan kota Bogor, namun suasananya masih terasa kampung, maklum berada di Bogor Selatan. Alhamdulillah, pada pukul 15.00, acara pertemuan para budayawan dan seninam di padepokan Jigprak, ialah acara rutin diadakan untuk menyambut datang bulan Ramadhan, menutup bulan Rabiul Awal, atau rewahan dalam bahasa urang Bogor. Perjalanan dari rumah, Caringin, tepat pada pukul 12.00, mengendarai angkota Cicurug-Sukasari.

Menarik perjalanan ini, sekalipun tiap hari selalu berjalan menyusuri kota Bogor, namun pada hari ini sangat inspiratif. Dinamika kehidupan masyarakat Bogor menarik untuk diamati, sehingga dapat mendatangkan ide bagi sebuah pencerahan spiritual tiap diri insan. Kedatangan saya ke padepokan Jigprak, tiadak lain, karena undangan dari kasepuhan, pimpinan kesenian Jigprak, Abah Jana, nami lengkapna Raden Nasan Sudjana.

Dalam pertemuan inilah, silaturahim dapat dikembangkan bagi pengembangan diri, dan peluang untuk memberdayakan masyarakat bisa ditemukan jalan keluarnya. Maklum, setiap langkap dan pertemuan itu harus menelorkan sebuah karya konstruktif bagi diri dan masyarakat, sehingga menoreh kebaikan.

Ada beberapa catatan saya terhadap safar (perjalanan) kali ini, yaitu di antaranya; pertama,Jigprak(artinya; jig, silahkan dan prak, mulai). Dalam pertunjukan yang kolosal (di mainkan lebih dari 30 orang pelaku seni dengan bertopeng) serta menggunakan alat musik tradisional – rebana, goong, gendang dan kecrek- topeng Jigprak ini terdiri atas tiga babak, yakni;  nyarungsa, dongeng dan pengabaran.

Kedua, Nyarungsa ini adalah permainan sarung pada usia anak, bisa dijadikan ular-ularan atau topeng-topengan. Bagi penciptanya, Rd. Nasan Sudjana, nyarungsa adalah pengejawatahan hidup bersama dalam lingkungan permukiman warga santri. Dilanjuti babak dongeng,drama kisah masa-masa lampau. Kemudian, babak pengabaran merupakan drama  penutup, pesan nya memberi nasehat bagi pemimpin juga kepada rakyat.

Ketiga, dari desa Situ Ilir, kecamatan Cibungbulang, topeng Jigprak diciptakan 30 tahun yang lalu turut  mewarnai perjalanan Kabupaten Bogor yang tahun ini bertepatan dengan hari jadi nya yang ke 529, juga sedang menggelorakan  Visit Bogor 2011 sebagai tahun kunjungan Wisata, topeng Jigprak masih terus berkarya. (abu@hmadein)

https://skripinsan.wordpress.com/2012/09/02/jigprak-inspirasi-seni-urang-sunda/

Kajian Manuskrip Nusantara Pamong Budaya Bogor

$
0
0

Kajian Manuskrip Nusantara yg diselenggarakan oleh Pamong Budaya Bogor (PBB) kerjasama dengan Dewan Adat-Budaya dan Adab (Peradaban) Nusantara (DABAN) serta Bayt al-Hikmah Institute

“Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius”, (Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum.) 

Ritual doa pembuka Kajian Manuskrip Nusantara yg diselenggarakan oleh Pamong Budaya Bogor (PBB) bekerjasama dengan Dewan Adat-Budaya dan Adab (Peradaban) Nusantara serta Bayt al-Hikmah Institute Bogor, Sabtu 4 Mei 2019, di Hotel Salak Heritage, Kota Bogor

 

 

 

 

 

Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum., “Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius”

[Unpad.ac.id, 13/06/2016] Jati diri kesundaan sebaiknya bukan hanya tersaji dalam bentuk tampilan fisik berupa pakaian tradisional, atau simbol budaya lahiriah lainnya. Beragam nilai hidup yang telah diwariskan nenek moyang justru menjadi substansi jati diri Sunda serta menjadi pedoman bagi masyarakat Sunda.

Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum (Foto oleh: Tedi Yusup)*

“Jauh lebih penting adalah substansi kesundaan. Seperti silih asah, silih asih, silih asuh. Itulah yang mencetak cara berpikir kita,” kata Dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum.

Nilai-nilai itu di antaranya tersirat dalam naskah-naskah Sunda kuno. Dr. Undang menjelaskan, melalui filologi, dipelajari perkembangan kebudayaan suatu masyarakat melalui konsep-konsep pemikirannya yang di antaranya tertuang dalam tradisi tulis, khususnya naskah.

“Jadi, mempelajari naskah itu bukan hanya menyalin, mengedisi, lalu disajikan untuk bacaan baru, tetapi jauh lebih dari itu,” tutur Kepala Program Studi Sastra Sunda FIB Unpad ini.

Menurut Dr. Undang, tidak semua unsur atau produk budaya memiliki kearifan lokal. Dengan mendalami naskah kuno, dapat dipelajari kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah terendap. Lebih dari itu, sebaiknya yang diangkat adalah local genius yang terkandungnya.

“Jadi, local wisdom mungkin tidak akan begitu bermanfaat kalau penyangga-penyangganya tidak memiliki local genius yang kuat. Local genius inilah yang mesti dicetak melalui sekolah dan perguruan tinggi untuk menykapi serta mengimplementasikan tata nilai,” paparnya.

Dr. Undang pun menyebut naskah-naskah kuno itu sebagai “produk kaum intelektual yang lahir lewat lembaga formal pendidikan pada tiap-tiap masanya”. Pria kelahiran Tasikmalaya 19 Oktober 1962 ini meyakini, penulis naskah bukanlah orang yang sembarangan. Mereka adalah orang-orang cerdas.

“Ada naskah, pasti ada yang menulis. Pertanyaan saya, di mana pabrik-pabrik orang cerdas itu? Ternyata, adalah ‘mandala’ sebagai lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kerajaan, dan  pesantren merupakan lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kesultanan,” kata Dr. Undang.

Ia pun tergelitik untuk menelusuri, di mana Raja-raja Sunda zaman dahulu menempuh  pendidikan formalnya. Dr. Undang meyakini, para Raja Sunda merupakan orang-orang berpendidikan. Menurutnya, saat ini belum banyak peneliti  yang mendalami mengenai hal ini.

“Pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah  lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali,” ungkapnya.

Istilah belajar pendalaman ilmu itu pun disebut dengan “tapa”.  Berbeda dengan pengertian “tapa” saat ini, yang bahkan banyak masyarakat mengaitkannya ke hal-hal bernuansa magis, “tapa” di sini berarti menuntut ilmu. Dr. Undang menjelaskan, bahwa kegiatan tapa dilakukan di sebuah lembaga pendidikan, yakni di mandala.

“Kalau begitu, tempat bertapa itu mandala, tempat tolabul ilmu itu pesantren, dan Unpad ini pada dasarnya tiada lain adalah tempat bertapa alias tempat tolabul ilmu” imbuhnya.

Berbagai penelitian terkait naskah-naskah Sunda kuno sudah dilakukan Dr. Undang sejak ia menempuh Pendidikan Sarjana di  Jurusan Sastra Daerah (Sunda) Fakultas Sastra Unpad. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikan Magister dan Doktornya  di Program Pascasarjana Unpad, dengan mendalami ilmu Filologi.

Dr. Undang memang tertarik untuk mendalami Ilmu Kesundaan. Bukan hanya mengenai bahasa, tetapi mengenai cara hidup orang Sunda sejak dulu, seperti bagaimana mereka mengatur sistem  tata kelola pemerintahannya, bagaimana tata cara bersinergi dengan lingkungannya, bagaimana perkembangan kuliner dan teknik busananya, bagaimana mereka menjalani kehidupan keagamaan sehari-hari, dan sebagainya.

Saat ini, Dr. Undang pun ingin mewujudkan cita-citanya, yakni membangun  laboratorium naskah kuno Sunda dalam bentuk digital. Laboratorium naskah digital ini diharapkan dapat turut membantu para peneliti lain dalam mempelajari naskah kuno Sunda tanpa harus mengunjungi langsung lokasi ditemukannya naskah. Digitalisasi ini juga diperlukan untuk menjaga agar naskah-naskah ini dapat terpelihara dengan baik dan tidak cepat rusak.

Menurutnya, Unpad merupakan salah satu perguruan tinggi penyelamat naskah-naskah Sunda. Naskah-naskah Sunda ini merupakan salah satu tangible cultural heritage  atau warisan budaya kebendaan yang bersifat kongkrit (material culture) dan sekaligus mengandung teks yang dapat dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritageatau warisan budaya nonkebendaan yang bersifat abstrak (immaterial culture).

“Itulah kewajiban kami di Prodi Sastra Sunda, untuk mendata, menginventasisasi, mencatat, mendigitalisasi, dan mengkaji sekaligus mengungkap kandungan naskah, juga mencetak kader-kader muda yang concern terhadap itu,” tuturnya.*

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

 

Filologi: Pengungkap Kearifan Lokal dalam Tradisi Naskah

$
0
0

FILOLOGI SEBAGAI SALAH SATU BIDANG ILMU
YANG MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL
MELALUI TRADISI NASKAH (MANUSKRIP)

Disajikan pada acara Kajian Manuskrip Nusantara
Diselenggarakan oleh Pamong Budaya Bogor bekerjasama dengan
Dewan Adat Budaya dan Adab Nusantara dan Bayt al-Hikmah Institute

Sabtu, 4 Mei 2019 di Hotel Salak Heritage Bogor

Oleh
Dr. Undang Ahmad Darsa

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
BANDUNG-JATINAGOR
2019
UADarsa.FIBU.2019

FILOLOGI SEBAGAI SALAH SATU BIDANG ILMU
YANG MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL
MELALUI TRADISI NASKAH (MANUSKRIP)1

Oleh: Dr. Undang Ahmad Darsa2

Prolog

Kehadiran saya pada acara ini jangan dipandang sebagai seorang dosen atau peneliti, tetapi saya ini sebagai warga penggemar budaya yang sama-sama kita cintai. Atas dasar ini, kita semua dapat saling tukar pengalaman, paling
tidak pengalaman saya selama menjadi pekerja dan pelacak naskah dengan sarana filologi. Bukan masalah teoritis semata, tapi benar-benar ini adalah pengalaman yang mengkristal selama ini pada diri saya.

Di satu pihak, filologi diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis, khususnya yang tertuang di dalam naskah-naskah. Bagi saya, kebudayaan yang mengalir di hadapan kita sekarang ini tentu memiliki sejarah yang panjang di belakangnya. Seperti layaknya sebuah sungai, saya tak pernah tahu dengan pasti dari mana saja datangnya air yang mengalir itu: dari gunungkah, dari awankah, dari pepohonankah, atau masuk dari sungai yang lain?

Yang nampak jelas di mata saya, ia sudah berkumpul, berbaris, mengalir menimbulkan bunyi-suara yang dalam penangkapan kuping saya demikian merdu. Seakan waktu pun dibuatnya berhenti dan ruang pun hilang-lenyap. Suara-suara ini pun tak bisa lagi diketahui dengan pasti dari mana saja datangnya. Barangkali dari segala penjuru mata anginkah?!

Oleh karena itu, kebudayaan dapat saya sebut sebagai suara tradisi, sebagai wakil dari kumpulan-kumpulan suara yang mengkristal dalam kata-kata yang saling bersahutan, dan karenanya, dalam pandangan saya budaya berproses
terus. Jika tidak, itu berarti kita telah menyempitkan sesuatu yang luas, atau menyederhanakan sesuatu yang sesungguhnya kompleks. Di sini, saya sebagai orang yang senantiasa bergelut dengan naskah ― karena memang saya
ingin terus belajar filologi ― tentu berharap menjadi seorang filolog. Sungguh eksotis kedengarannya makna sebutan itu: Pecinta Kata.

Gambaran stereotip seperti yang saya kemukakan itu sesungguhnya dibentuk bersama-sama oleh teks, pikiransaya, dan tradisi kultural. Namun bukan gambar itu sediri yang penting, tetapi efek yang diciptakan terhadap pergulatan saya untuk berusaha memahami gaung suara-suara purba yang saling sahut dalam lorong-lorong puing naskah. Ia menjadikan pergulatan itu tidak lagi seperti perjalanan yang kesepian. Saya datang ke zamannya dengan menghentikan waktu zaman saya ini, atau ia saya undang ke zaman saya karena saya membuka pintu waktu.

Naskah dan Teks

Naskah dapat diartikan sebagai wujud konkret dari sebuah tulisan tangan yang di dalamnya mengandung teks.

Adapun teks yang terkandung dalam naskah itu memiliki sifat abstrak dan hakiki. Teks itu sendiri terbagi atas dua macam, yakni teks insaniah dan teks illahiah.

Kekonkretan naskah secara anatomis tersusun atas aneka ragam bahan sebagai sarana tempat menuangkan berbagai tipe dan model tulisan (aksara); lalu aksara merupakan alat rekam berbagai sistem bunyi bahasa; dan kemudian bahasa yang berfungsi sebagai pembungkus teks yang bersifat abstrak dan hakiki itu. Dalam hubungan ini, bahasa berada di perbatasan antara yang konkrit dan yang abstrak.

Jadi bila dilihat dari konteks kebudayaan, naskah dapat dikategorikan sebagai salah satu tangible cultural heritage ‘warisan budaya kebendaan’ yang bersifat kongkrit (material culture), dan sekaligus mengandung teks yang dapat
dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritage ‘warisan budaya nonkebendaan’ yang bersifat abstrak (immaterial cultur)³. Dengan kata lain, naskah berdasarkan wujudnya dapat dipandang sebagai benda budaya yang berupa hasil buah pikiran dalam bentuk tulisan tangan yang mengandung kode-kode bahasa yang tertera di dalamnya dengan penuh makna, antara lain, dapat menginformasikan ide-ide atau gagasan berbagai pengetahuan mengenai alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, naskah dapat dipandang sebagai perwujudan
ajaran-ajaran moral, filsafat, keagamaan, sejarah serta unsur budaya lainnya yang mengandung nilai-nilai kearifan luhur yang dapat dikembangkan dalam upaya menunjang perwujudan pembangunan nasional, khususnya pengetahuan di bidang kesatuan budaya nasional.

Gambaran Umum Naskah Sunda

Naskah Sunda ialah benda budaya berupa tulisan tangan yang wujud fisik dan kandungan isinya berkaitan dengan kehidupan kebudayaan Sunda, yang pada umumnya dibuat oleh orang Sunda dan/atau orang yang (pernah) tinggal di
Tatar Sunda. Naskah Sunda tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari menjelang berakhirnya sistem zaman Kerajaan Sunda (abad ke-8 hingga berakhir abad ke-16), antara lain, ialah naskah Séwaka Darma ditulis dalam sengkalan ‘candrasangkala’ mrega (5) payung (0) beunang (4) numpi (1) (1405 + 78 = 1483 Masehi), Sanghyang Siksakandang Karesian ditulis pada tahun nora (0) catur (4) saraga (4) wulan (1) (1440+78 = 1518 Masehi), naskah Sanghyang Hayu ditulis pada tahun panca (5) warna (4) catur (4) bumi (1) (1445+78 = 1523 Masehi). Bahkan, ada petunjuk mengenai naskah Sunda yang dibuat jauh sebelum kedua naskah tersebut4. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini, unsur-unsur bahan yang digunakan untuk pembuatan naskah Sunda secara anatomis dapat dibagi ke dalam lima
komponen yang meliputi.

1. Ragam alas tulis
a) Kulit binatang, seperti handalam, kulit tumbuhan, dan hinis ‘kulit bilahan bambu’. Handalam ialah kulit anak binatang, baik kambing, sapi, dan sejenisnya, yang masih dalam kandungan perut induknya. Handalam ini biasa
diperoleh dengan tanpa sengaja dari hasil penyembelihan hewan peliharaan atau pun binatang hasil perburuan yang tengah bunting. Naskah yang berbahan handalam ini sangat langka sehingga mahal sekali, dan biasanya
dipergunakan untuk menuliskan teks-teks yang sangat penting dan istimewa.
Daluang terbuat dari jenis kulit pohon saéh (urticaceae: broussonetia papyrifera vent). Pengolahan kulit kayu tersebut hingga menjadi lembaran-lembaran daluang yang kasar dan tebal, halus dan tipis yang umumnya berwarna gading (ivory) dilakukan dengan cara memukul-mukul lembaran kulit pohon itu dengan alat tempa berbahan kayu. Sering-sering orang menganggap lembaran naskah berbahan daluang yang halus dan licin itu sebagai kulit binatang.

Daluang ini memiliki keistimewaan terhadap kondisi suhu lembab, percikan api dan air, insekt perusak buku, tikus, dan lainnya. Apabila naskah berbahan daluang sering dibaca atau sudah tua sekali, maka warna bagian tepiannya bisa berubah menjadi coklat kehitam-hitaman.

 

Lembar halaman naskah berbahan ‘daluang’(dok.UAD)

Cara penulisan naskah pada hinis ‘kulit bilahan bambu’ pada prinsipnya hampir seperti cara penulisan pada naskah berbahan lempiran lontar, yairu dengan cara digores atau ditoreh dengan alat terbuat dari logam.

b) Daun palem-paleman (seperti lontar, nipah, kelapa, dan sejenisnya). Lempiran lontar (borassus flabellifer l.) yang digunakan dalam khazanah naskah Sunda umumnya berukuran, yang panjang antara ±35 cm dan yang pendek ±25 cm dengan lebar rata-rata 3,5 cm. Pengolahan lempiran-lempiran lontar sebelum digunakan biasanya direbus lalu dikeringkan, kemudian dilobangi margin kiri-kanannya untuk upaya pengepresan agar tiap-tiap permukaannya rata dan dilobangingi pada bagian tengahnya untuk tali pengikat.

Lempiran-lempiran itu digores atau ditoreh dengan péso pangot lalu diolesi secara merata dengan minyak muncang ‘kemiri’ (euphorbiaceae, aleurites triloba forst) yang dihasilkan dengan cara dibakar hingga gosong lalu
ditumbuk halus. Tradisi teknologi ini dapat manjadikan lempiran naskah lentur, tidak mudah patah, mengkilap, mencegah serangan insek, menahan kelembaban udara, serta menghitamkan goresan aksara dan iluminasinya.
Lempiran bundelan lontar yang sudah digoresi itu kemudian dijepit dengan bilahan kayu jati berukir, bahkan kayu tertentu yang beraroma harum yang berukuran ±0,2 cm lebih panjang dan lebih lebar dari bundelan yang
dijepitnya. Ke dalam lobang pada bagian tengah bundelan itu dimasukkan pelintiran tali haramay (benang urat daun) atau ramat (benang urat pohon pisang manggala ‘batu/klutuk’), juga bisa dari lulub (serat halus kulit pohon
waru yang direndam dalam timbunan lumpur), atau tali benang katun. Pada tiap-tiap ujung pelintiran tali tersebut biasanya diikatkan batu berlobang, pasak kayu, atau mata uang kuno berbahan logam tembaga, perak juga perunggu, bahkan sering kali berupa mata uang Tiongkok dari zaman dinasti Ming.

 

 

Bundelan Lontar Sunda Kuno, pustaka Mandala (dok.UAD)

Tiap-tiap bundelan lempir lontar yang sudah terikat tali biasanya dimasukkan ke dalamsebuah kropak ‘kotak kayu’ yang berukuran sesuai dengan bundenan lempir lontar tersebut. Kropak-kropak itu umumnya diukir bermotif
tumbuhan rambat dan dicat merah jungga dengan pewarna alami secara tradisional.

 

Beberapa Kropak dan Bundelan Naskah Sunda Kuno (dok.UAD)

c) Kertas buatan pabrik lokal maupun import, ada yang polos dan ada yang memakai watermark ‘bercap air’. Naskah berbahan kertas buatan pabrik lokal dapat bermacam-macam. Ada yang terbuat dari kertas folio polos maupun
bergaris, buku tulis ukuran standar, buku notes, buku register, buku kaas zaman kolonial, dal lain-lain. Naskah berbahan tersebut umumnya mulai dipergunakan pada awal abad XX Masehi, sedangkan buku tulis biasanya
muncul sejak tahun 1940-an. Sesudah masa itu mulailah bermunculan salinan-salinan naskah yang menggunakan bahan berupa buku tulis sekolahan hingga kini.

Naskah-naskah yang berbahan kertas import, khususnya kertas Eropa bermunculan sejak abad XVII Masehi dan mulai populer pada abad XVIII Masehi. Jenis kertas import dari Tiongkok dan Timur Tengah (Arab) biasanya tidak memiliki filigran ‘garis bayang’ apalagi watermark ‘cap air’. Kertas dari Tiongkok umumnya lebih halus namun kusam dibanding kertas dari Timur Tengah yang agak tebal dan kusam. Salah satu babasan ‘idiomatik’ Sunda
berbunyi, “teungteuingeun eunteung burem, daluang keretas Cina” (‘tega nian cermin suram, daluang kertas Cina’).

Naskah-naskah yang berbahan kertas Eropa itu pada umumnya ada dua jenis, yakni:
(1) kertas yang hanya berfiligran dan agak tebal yang berwarna keabu-abuan; dan
(2) kertas yang berfiligran sekaligus berwatermark.

 

 

Naskah Berbahan Kertas Lokal (Cigondewah) Naskah Berbahan Kertas Eropa (dok.UAD)

2. Ragam alat tulis

a) Tumbuhan, seperti harupat dan batang paku andam ‘pakis haji’. Harupat bagian serat terbesar berupa lidi atau tulang ijuk yang biasa terdapat pada pohon kawung ‘enau’ (a. saccharifera labill) dan sifatnya padat, kekar, mudah
patah namun dayan serap terhadap tinta kurang. Adapun batang paku andam (asplenium malabaricum, jenis filices) ialah tumbuhan sejenis pakis haji yang biasa terdapat pada pinggiran kali atau tebing-tebing cadas. Batang paku andam ini sifatnya agak lentur dan berbuluh sehingga dapat menyerap tinta. Baik harupat maupun paku andam bila akan digunakan sebagai alat tulis, bagian ujungnya diruncingkan sampai dilancip. Penggunaan kedua
alat tulis ini dengan cara ujung yang lancipnya dicelupkan pada cairan tinta lalu digoreskan pada alas naskah, tetapi lama-kelamaan akan tumpul dan lembek sehingga sewaktu-waktu perlu ditajamkan ulang.

Kelemahan alat tulis harupat ialah tidak bisa menyimpan cadangan tinta pada tangkainya sehingga harus sering dicelupkan ke dalam cairan tinta, tetapi daya tahan keruncingannya lebih kuat dibanding alat tulis paku andam.

Paku andam tangkainya seperti pipa kecil yang mampu menyimpan cadangan tinta serta bisa digunakan menulis tipis-tebal sehingga bagi penulis yang cakap dapat menghasilkan tulisan indah secara kaligrafis untuk aksara Arab
dan Pegon, juga membuat berbagai seni iluminasi pada naskah.

b) Logam, seperti péso pangot, kalam, pulven, balpoint, dan pensil. Salah satu babasan ‘idiomatik’ Sunda berbunyi, “péso pangot ninggang lontar” (‘torehan pisau penggores menghujam lontar’). Bersamaan dengan muncul suburnya jenis-jenis alas tulis berupa kertas pada abad XX Masehi, jenis alat tulis harupat dan paku andam perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena terdesak oleh berbagai jenis pena berbahan logam, seperti kalam, pulven, balpoint, juga pensil. Berdasarkan pengamatan selama ini terhadap naskah-naskah Sunda lama tidak tampak para penulisnya mempergunakan alat penghapus. Adapun setiap terjadi kekeliruan tulis, mereka cukup mencoretnya saja secara rapih Bahkan, adakalanya juga bila terdapat beberapa kekeliruan tulisan maka seluruh permukaan halaman itu dicoret dan dibiarkan tidak disobek.

c) Mangsi ‘tinta’ buatan lokal dan import. Tinta lokal yang cukup dikenal sejak lama adalah tinta cair Gentur, sedangkan tinta import yang utama biasangan berasal dari Tiongkok yang berupa batangan kira-kira sebesar jari
telunjuk orang dewasa. Orang Sunda sudah terbiasa membuat mangsi ‘tinta’ lokal dengan menggunakan bahan keanekaragaman tumbuhan (vegetal) alam. Tinta selain warna hitam biasanya dipakai untuk menghias penanda
tulisan awal atau pengapit nama metrum pupuh, misalnya dengan warna mangsi gandola (ungu). Mangsi gandola ini dibuat dari bunga pohon gandola (basella rubra l., jenis chenopodiaceae) yang sudah berwarna merah tua atau
hitam, lalu ditumbuk halus dicampur air secukupnya dan langsung digunakan sehingga begitu kering warnanya berubah menjadi warna ungu.

Adapun cara membuat tinta hitam tidak beritu sulit, bahan utamanya berupa oyan ‘jelaga’ dari lampu lentera dicampur kembang damar, kemudian diaduk halus terus digododog ‘direbus’ dan dicampur citajin atau cidalih
‘cairan rebusan’ bubur ketan hitam. Tinta hitam bisa juga dibuat dengan bahan dasar bunga kembang dayang yang harum mewangi pada malam hari, atau dengan bahan dasar daun jawérkotok merah (celosia cristata l., jenis
amarantaceae) yang kedua-duanya harus dicampur dengan citajin ketan hitam. Tinta warna kuning atau oranye dapat dibuat dengan bahan dasar konéng atau kunir (curcuma longa l., jenis scitaminese) dicampur citajin ketan
putih.

3. Ragam tulisan atau aksara

Sunda, Buda atau Gunung, Cacarakan, Arab-Pegon, dan Latin. Mengingat proses penulisan naskah dilakukan secara individual dan secara manual, maka wujud tulisan aksara-aksara tersebut sangat bervariasi, baik dalam hal bentuk
maupun gayanya, misalnya, bentuknya ada yang runcing ada yang tumpul, ada yang tipis ada yang tebal; ukurannya besar ada yang kecil ada yang besar; atau gabungan keduanya. Aksara Sunda Kuno umumnya dipergunakan untuk
merekam bahasa dalam tradisi tulis Sunda Kuno, yang hingga saat ditemukan ini berasal dari abad ke-15 hingga abad ke-18 Masehi.

4. Ragam bahasa

Bahasa yang digunakan untuk membungkus teks-teks dalam khazanah tradisi naskah Sunda tentunya adalah bahasa Sunda, baik yang kuno maupun yang klasik. Di samping itu, ada pula yang menggunakan bahasa Jawa kuno maupun bahasa Jawa pesisiran, bahasa Melayu, dan bahasa Arab. Bahasa Sunda Kuno ialah bahasa Sunda dialek temporal yang umumnya dipergunakan untuk membungkus atau mengungkapkan teks-teks yang bernuansa pra-Islam (artinya belum tampak unsur serapan kosa kata bahasa Arab dan Timur Tengah) dengan pengaruh atau serapan dari bahasa
Sanskreta dan bahasa Jawa Kuno.

 

a) Pengikat lempir atau lembar halaman naskah yang berupa pelintiran tali, seperti haramay ‘benang serat batang pisang’, lulub ‘serat halus kulit pohon waru’ serta areuy ‘batang tumbuhan rambat’, dan benang katun halus.
b) Kuras, yaitu satuan bundelan beberapa lembar halaman terlipat’. Gabungan kuras yang dijahit dengan tali kemudian menjadi sebuah buku. Ada naskah yang tidak bersampul dan seringkali kurasnya terpisah-pisah. Kondisi
seperti ini menyebabkan kesulitan untuk membuat deskripsikannya sebab belum tentu naskah tersebut urutannya sesuai dengan alur asli yang semula. Pasa masa awal perdagangan kertas belum ada buku kosong yang beredar
di tempat-tempat penjualan selain gulungan lembaran kertas. Dengan demikian, para penulis terlebih dulu mesti menyediakan kertasnya lalu dibuatlah bundelan-bundelan tipis yang dinamakan sebuah kuras. Apabila setiap kuras selesai ditulisi barulah kemudian disatukan menjadi sebuah buku.

c) Paginasi ialah penanda urutan lembar halaman dengan cara membubuhkan sebuah kata awal dari sebuah kata pada baris paling akhir untuk ditulii ulang sebagai awal kata pada lembar halaman berikutnya. Sebuah kata yang
digunakan sebagai paginasi dinamakan “kata alihan”. Model paginasi ini terutama dipergunakan sebagai penandapada tiap-tiap pagina lembar halaman supaya pada saat penggabungan tiap-tiap kuras tidak keliru menjahitnya.

d) Regula ialah baris-baris membayang yang membentuk garis tidak berwarna sebagai pengatur kerapihan tulisan.

Kertas Eropa tidak pernah bergaris, namun para penulis naskah bisa begitu rapih dan lurus tulisannya karena biasanya si penulis terlebih dahulu membuat pola baris-baris lurus yang kemudian digores dengan ujung harupat yang tumpul, bahkan bisa pula menggunakan kuku sehingga nampaklah baris-baris bayang tanpa warna.

Kandungan atau isi teks naskah Sunda cukup beraneka ragam. Ada yang berkaitan dengan masalah keagamaan, etika, hukum, adat-istiadat, sejarah, legenda, mitos, pendidikan, ilmu pengetahuan, sastra, sastra-sejarah, seni, dan
paririmbon atau mujarobat. Dengan kata lain, teks-teks naskah Sunda dapat dikategorikan ke dalam teks-teks yang bernuansa keagamaan dan filsafat, historis, sastra, topografis, dan ensiklopedis.

Mengenai keanekaragaman kandungan teks naskah tersebut turut mempengaruhi wujud penyajian teks lewat pemakaian sarana bahasa yang juga direkam dalam aksara yang berbeda-beda. Penyajian teks ada yang berbentuk puisi yang bermetrum: 17 jenis pupuh, 3 jenis sisindiran, 6 jenis matra, berjenis-jenis syair, berjenis-jenis kakawihan, dan jenis metrum kawih atustubh yang berpola oktosilabis), ada pula yang berbentuk prosa, atau campuran keduanya. Bahkan, ada yang berupa rangkaian silsilah dalam bentuk diagram pohon yang cukup menyita lembar halaman begitu banyak.

Seiring dengan bergulirnya musim dalam perjalanan iklim waktu yang tak pernah mengenal berhenti, banyak naskah Sunda yang sudah tidak diketahui lagi jejak keberadaannya. Hal ini dikarenakan kualitas bahan naskah (aneka
ragam kulit, daun, dan kertas) umumnya sangat rentan menghadapi pergantian musim di Tatar Sunda yang tingkat kelembabannya cukup tinggi.
Faktor lain penyebab hilangnya naskah-naskah Sunda, antara lain disebabkan kurang teraturnya pemeliharaan setelah berpindah penyimpanan dan/atau kepemilikan, akibat kena musibah kebakaran atau banjir, rusak akibat dimakan
binatang (tikus, kecoa, rayap, ngengat, ulat, dll), hilang akibat terjadi konflik sosial (perang), atau bahkan ada yang sengaja menghancurkannya akibat adanya sentimen keagamaan dan kelompok politik tertentu.

Di sisi lain, masih ada tradisi proses penyalinan atau penurunan naskah ─ meski sekarang sudah sangat jarang ─ dengan tujuan untuk mengganti naskah yang rusak guna memenuhi kepentingan ritual, ingin memiliki naskah sendiri sebagai mata pencaharian dan barang komersial, dan sebagainya. Dengan demikian, aktivitas tersebut dapat memungkinkan kuantitas naskah meningkat, baik dari segi judul maupun jumlahnya. Hal ini jelas dapat menghindari punahnya naskah, di samping dapat memperpanjang usia naskah demi kepentingan tradisi kultural masyarakat yang melahirkannya. Dalam hubungan ini, naskah Sunda dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu naskah Sunda Kuno, naskah Sunda Lama, dan naskah Sunda Klasik.
Keberadaan tradisi tulis, khususnya yang berupa naskah-naskah seperti itu sudah pasti merupakan hasil pekerjaan kaum intelektual pada zamannya. Yang menjadi pertanyaan ialah di manakah mereka memperoleh keterampilan untuk menuangkan sekaligus menuliskan ide-ide atau gagasannya itu? Jawaban untuk hal tersebut sesungguhnya tampak dengan adanya jejak-jejak endapan tradisi budaya pada masyarakat Sunda berupa lembaga-lembaga pendidikan formal yang menjamin serta mengatur keseragaman tradisi tulisnya. Dengan kata lain, berdasarkan adanya bukti-bukti transmisi
teks serta tradisi naskah itu sesungguhnya masyarakat Sunda sejak masa lampau telah mengenal perjalanan kelembagaan pendidikan formal sejak mandala, pesantren, hingga sekolah.

Naskah Kepustakaan Mandala

1. Lintasan Penelusuran

Pada masa berlangsung sistem kekuasaan pemerintahan kerajaan di Sunda dikenal adanya tiga tempat kedudukan kelembagaan utama sesuai mekanisme pada sistem tri tangtu di buana ‘tiga golongan penentu roda kehidupan
di dunia’, yaitu: (1) keraton yang secara umum merupakan tempat kedudukan dan aktivitas prabu atau raja beserta orang-orang yang berada pada lingkaran roda kekuasaan; (2) kabataraan adalah tempat kedudukan dan aktivitas golongan rama yang berperan sebagai perancang ketentuan untuk pijakan roda kekuasaan; dan (3) kawikuan adalah tempat kedudukan dan aktivitas kaum resi yang berperan dalam perihal pertimbangan legalitas roda kekuasaan.

Di samping itu, ada mandala yang salah satunya dapat diartikan merupakan lembaga pusat pendidikan formal pada masa sistem pemerintahan kerajaan di Sunda. Mandala ini termasuk dalam kategori kabuyutan, di samping tempat
aktivitas peribadatan, pemakaman para tokoh berjasa, sumber air suci, situs bersejarah nenek moyang, kawikuan, kabataraan, dan keraton. Kabuyutan adalah tempat-tempat terpenting yang harus dijaga serta dipelihara dari berbagai gangguan keamanannya sehingga sering-sering dianggap sebagai tempat yang disucikan dan/atau tempat yang disakralkan.

Adapun naskah-naskah Sunda produk peninggalan kaum intelektual yang muncul dari lembaga pusat pendidikan formal berupa mandala itu dikategorikan sebagai “Naskah Sunda Kuno”. Teks-teks dalam naskah Sunda Kuno ada yang tersaji dalam bahasa berbentuk puisi dengan berbagai pola metrum, khususnya pola oktosilabis; ada pula yang tersaji dalam bahasa berbentuk prosa.

Salah satu bangunan di Padaleman Kabuyutan Mandala Ciburuy (dok UAD)
Ada beberapa sebutan atau istilah bagi kaum intelektual di lingkungan kemandalaan, antara lain ialah catrik, sastrim, ajar, kawya, bujangga, wiku, pandita. Yang dikategorikan ke dalam naskah Sunda Kuno pada dasarnya memikili ciri-ciri:

1. Bahan yang digunakan berupa jenis daun palem-paleman, seperti lontar, nipah, dan sejenisnya, di samping yang menggunakan bilahan bambu.
2. Alat tulis yang digunakan berupa péso pangot untuk menoreh atau menggores, paku andam dan harupat ‘tulang ijuk’ untuk menulis, dan tinta.
3. Aksara yang digunakan untuk merekam atau menuliskan bahasa dalam naskah ialah aksara Sunda Kuno dan juga aksara Buda atau Gunung.
4. Bahasa yang digunakan untuk membungkus teks-teks naskah Sunda Kuno ialah bahasa Sunda Kuno.
5. Ciri-ciri luar juga turut mewarnai keragaman naskah Sunda Kuno yang antara lain meliputi:
a) pengikat lempir atau lembar halaman naskah berupa pelintiran benang dan tali yang terbuat dari haramay, lulub,serta areuy.
b) regula ‘baris-baris membayang yang tidak berwarna sebagai pengatur kerapihan tulisan’.

Lempir Lontar Naskah Sunda Kuno dalam Ruas Bambu (dok.UAD)
Adapun beberapa mandala yang pernah tercatat dalam kepustakaan, yang ada di daerah dan pulau-pulau kecil di wilayah Tatar Sunda adalah: (1) Mandala Gunung Kidul, (2) Mandala Hujung Kulon, (3) Mandala Purwalingga, (4) Mandala Agrabinta, (5) Mandala Purwanagara, (6) Mandala Bhumi Sagandu, (7) Mandala Sabhara, (8) Mandala Nusa Sabay, (9) Mandala Cupunagara, (10) Mandala Paladu, (11) Mandala Kosala, (12) Mandala Rajalegon, (13) Mandala Indraprahasta, (14) Mandala Manukrawa, (15) Mandala Malabar, (16) Mandala Sindangjero, (17) Mandala Purwakreta, (18) Mandala Wanagiri, (19) Mandala Rajadesa, (20) Mandala Purwagaluh, (21) Mandala Cangkuang, (22) Mandala Sagara Kidul, (23)Mandala Kubanggiri, (24) Mandala Cupugiri, (25) Mandala Alengka, (26) Mandala Manikprawata, (27) Mandala Salakagading, (28) Mandala Pasirbatang, (29) Mandala Bitunggiri, (30) Mandala Tanjungkalapa, (31) Mandala Sumurwangi, (32) Mandala kalapagirang, (33) Mandala Kalapalarang, (34) Mandala Tanjung Camara, (35) Mandala Sagarapasir, (36) Mandala Rangkas, (37) Mandala Puradalem, (38) Mandala Linggadewata, (39) Mandala Wanadatar, (40) Mandala Wanajati, (41) Mandala Jatiageung, (42) Mandala Abdiraja, (43) Mandala Sundapura, (44) Mandala Rajatapura, (45) Mandala Kalapadua, (46) Mandala Pasirmuara, (47) Mandala Purwagading, (48) Mandala Muarajati, (49)Mandala Pasirsagara, (50) Mandala Raksapura, (51) Mandala Jasinga, (52) Mandala Raja Purnawijaya Pradesa, (53)Mandala Sumurwangi, (54) Mandala Tejakalapa, (55) Mandala Girilarang, (56) Mandala Mandalaherang, (57) Mandala Kalapajajar, (58) Mandala Cibinong, (59) Mandala Sundapasir, (60) Mandala Sunda Sambawa, (61) Mandala Kandangwesi, (62) Mandala Pasirluhur, (63) Mandala Wahanten Girang, (64) Mandala Parajati, (65) Mandala Singhapura,(66) Mandala Wanakusumah, (69) Mandala Salakadomas, (68) Mandala Cirebon Larang, (69) Mandala Purwa Talaga, (70) Mandala Jayagiri, (71) Mandala Sindangkaksih, (72) Mandala Purwa Sanggarung, dan (73) Mandala Jatianom.

Pada saat ini bekas mandala-mandala itu biasa disebut sebagai kabuyutan5, salah satunya adalah Kabuyutan Ciburuy-Bayongbong Garut yang pada masa lampau merupakan skriptorium Sunda. Hal ini didukung dengan adanya
tinggalan benda budaya yang masih tersimpan berupa sebilah péso pangot, prim kaca mata berbahan tanduk, gunting, piring logam, tabung logam berkaki tempat yang diperkirakan sebagai tempat guna meletakkan alat tulis, yang semuanya termasuk kelengkapan alat tulis masa itu. Skriptorium yaitu salah satu tempat kegiatan kaum intelektual untuk menuangkan
serta mengembangkan beragai macam keilmuan dalam bentuk tradisi tulis.

2. Nuansa Isi Naskah

Dilihat bersadrkan keragaman kandungannya, teks-teks naskah kepustakaan mandala yang dikategorikan sebagai naskah Sunda Kuno bisa diklasifikasikan ke dalam teks-teks naskah yang bernuansa:
1. Ensiklopedis, seperti: Sanghiyang Siksakanda ng Karesian (Kisah Mengenai Petunjuk Kaum Intelektual).

2. Topografis, seperti: Kisah Perjalanan Bujangga Manik.

3. Susastra, seperti: Kisah Keturunan Rama dan Rawana atau Pantun Ramayana.

4. Sistem pemerintahan, seperti: Fragmen Carita Parahyangan.

5. Historis, seperti: Carita6 Parahyangan, dan Carira Ratu Pakuan.

6. Keagamaan/filsafat, seperti: Séwaka Darma (Pengabdian kepada Hukum), Carita Purnawijaya (Kisah Keunggulan Sempurna), Kawih Paningkes (Kidung Penjelas), Lesjes van Soenan Goenoeng Djati atau Gambaran Kosmologi
Sunda, Jatiraga atau Jatiniskala (Kemahagaiban), Darmajati (Hukum Sejati), Amanat Galunggung, Sang Hyang Raga Déwata (Asal Mula Penciptaan), dan Kisah Sri Ajnyana (Kisah Manusia Turun ke Alam Dunia),

7. Naskah mengenai obat-obatan dan penyakit, seperti: Kalpasastra (Ilmu Obat-obatan), Sarwwa Wyadi Sastra (Ilmu Berbagai Penyakit), Yaksami Sastra (Ilmu Penyakit Paru-paru), Sarwwosadhawédya Sastra (Ilmu berbagai
Pengobatan), Usadhilata Sastra (Ilmu Tanaman Obat), Usadhawédya Sastra (Ilmu Pengobatan), Sarppa Wisosadha Sastra (Ilmu Pengobatan Racun), Sarwwa Wyadayanang Janapada (Berbagai Penyakit Masyarakat), Serat Wyadhaya Sarwwa Satwa (Catatan Penyakit Berbagai Hewan), Kajamasosadha Sastra (Ilmu Perawatan Rambut), Sarwwa Pārnosadha Sastra (Ilmu Berbagai Obat Penyakit Parah), Pustaka Wyadhīkang Nirosadha (Kitab Penyakit Yang Tak
Ada Obatnya), Gamyosadhi Sastra (Ilmu Obat Mujarab), Ayurwéda Sastra (Ilmu Ketabiban), dan Sarwwa Kusalasāla Sastra (Ilmu Berbagai Kedokteran).

8. Naskah mengenai berbagai ilmu pengetahuan, seperti: Caradigama Sastra (lmu Etika dan Tatakrama), Caracara Pustaka (Naskah ilmu Binatang dan Tumbuhan), Candrāditya Grahana Sastra (Ilmu Pengetahuan Gerhana
Bulan dan Matahari), Sastradaksa Pustaka (Naskah Ilmu Kesusastraan), Sastrakala Sastra (Ilmu Karawitan), Sarwwa Satwānggalika Sastra (Ilmu Menjinakan Binatang), Garbbhawasa Sastra (Ilmu Kebidanan), Hémanta Pustaka (Naskah Ilmu Musim Dingin), Hastīsiksā Sastra (Pengetahuan Tentang Gajah), Pustaka Jaladimantri (Naskah Ilmu Kelautan), Pustaka Sénapati Sarwwajala (Naskah Memimpin Perang Laut), Pustaka Kawindra (Naskah Penyair Besar), Sarwwa 5 Istilah yang secara tradisional digunakan untuk menyebut sebagai tempat suci atau keramat, di samping tempat peribadatan, dan keraton atau kompleks istana.6

Perlu disinggung di sini bahwa, istilah “sajarah ” dalam tradisi masyarakat Sunda secara umum diakui sebagai istilah serapan dari kosa kata bahasa Arab sajarotun ‘pohon’ yang dalam bahasa Sunda Kuno dikenal dengan istilah pupuhunan atau dalam bahasa Belanda adalah stamboom. Dengan demikian, sejarah digunakan untuk menginformasikan tentang silsilah keturunan keluarga para raja atau para penguasa. Dalam perkembangan kemudian yang mencatat sejarah tidak hanya sebatas silsilah, namun diperluas dengan masa hidup serta jasa mereka di negaranya.

Bahkan saat ini, sejarah bukan hanya mencatat manusia belaka, akan tetapi dicatat pula tentang peristiwa-peristiwa penting di suatu negara di dunia. Pada akhirnya, antara sejarah dan silsilah nampak terjadi perbedaan pengertian, yakni, sejarah berhubungan dengan peristiwa atau kejadian penting di suatu negara atau jagat, sedangkan silsilah hanya berkaitan dengan catatan yang bersifat genealogis. Selain istilah sejarah dikenal pula istilah tarikh atau ada pula yang menyebut tawarikh . Dalam tarikh, yang dipentingkannya itu cenderung angka tahun kejadian suatu peristiwa sedangkan kejadiaannya itu sendiri hanya diuraikan seperlunya, yang dalam tradisi Eropa dikenal
dengan annales .

Masyarakat Sunda sebelum mengenal istilah sejarah dalam pengertian yang dimaksud saat ini, mereka sesungguhnya telah biasa menggunakan istilah CARITA untuk menyebutkan teks-teks naratif yang menggambarkan suatu perjalanan peristiwa dalam kehidupan. Hal ini dapat ditunjukkan melaui hampir setiap naskah Sunda Kuno produk mandala yang judulnya menggunakan istilah carita, isinya selalu bernuansa historis tradisional, di antaranya Carita Parahiyangan , Carita Ratu Pakuan , dan Carita Waruga Guru , dan sebagainya. Di samping itu, ada istilah babad yang isinya juga bernuansa historis tradisional, namun naskah-naskah yang judulnya menggunakan istilah
babad ini biasanya dikelompokan ke dalam kategori naskah Sunda Lama yang cenderung ditulis pada masa tradisi pesantren, di antaranya adalah Babad Pajajaran, Babad Cirebon, Babad Panjalu , Babad Sumedang , dan sebagainya.
Selain istilah carita dan babad yang biasanya hadir dalam tradisi tulis, dalam masyarakat Sunda pun dikenal istilah dongéng yang umumnya muncul sebagai tradisi lisan.

Dongeng dalam bahasa Sunda sering dianggap sebagai singkatan dari istilah ngabobodo budak céngéng ‘membuat anak supaya tidak menangis’. Namun, secara terminologis dongeng adalah sebuah kisah yang banyak mengandung hal yang tidak masuk akal, misalnya, mengisahkan manusia bisa terbang, binatang berbicara dengan sesamanya atau dengan manusia, manusia aneh atau pandir, dan sebagainya. Kisah-kisah yang termasuk ke dalam dongeng dapat dikategorikan sebagai: (1) Fabel ‘dongeng binatang’, seperti Sakadang Kuya jeung Sakadang Moyét , Sakadang Peucang jeung Sakadang Buhaya , dsb.; (2) Dongeng Jurig ‘mahluk gaib’, seperti Pusaka Ratu Teluh , Burak
Siluman , dsb.; (3) Dongeng Sasakala ‘kisah asal-usul’ yang biasanya banyak mengandung unnsur legenda dan mitos, seperti Sasakala Gunung Tangkuban Parahu , Nini Antéh Dina Bulan , dsb.; (4) Dongeng manbusia aneh ‘pandir’, seperti dongen Si Kabayan .

Krawyada Sastra (Pengetahuan Berbagai Binatang Buas), Carita Lahrumasa (Kisah Musim Kemarau), Serat Madiragawé (Petunjuk Membuat Minuman Keras), Wanādri Sastra (Pengetahuan Hutan dan Pegunungan), Ratnapéni
Sastra (Pengetahuan Berbagai Perhiasan), Pustaka Gulay-gulayan (Naskah Tentang Rempah-rempah), Serat Saptawara, Pancawara, Sadwara Masa (Petunjuk Siklus Tujuh Harian, Lima Harian, Enam Harian), Serat Candrasangkala lawan Suryasangkala (Petunjuk Siklus Tahun Bulan dan Tahun Matahari), Rénacumba Sastra (Ilmu Mendidik Anak), Wihangpretādi Sastra (Ilmu Penangkal Gaib), Iti Candani Sastra (Pengetahuan Tentang Bebatuan),
Digwidig Sastra (Pengetahuan Tentang Arah Mata Angin), Maryādépananggraha Sastra (Pengetahuan Adat Pernikahan), Jyotisa Sastra (Ilmu Astronomi), Serat Prasadétiraning Sagara (Petunjuk Tentang Menara di Tepi Pantai), Pustaka Sarwwa Ghosana Raja (Naskah Berbagai Pengumuman Raja), Pitrepuja Tantra (Pedoman Pemujaan Arwah), Smaragama Sastra (Pengetahuan Seni Asmara), Pustaka Yogasamadhi (Naskah Tentang Berkontemplasi), Pustaka Sasanawakta (Ilmu Tata Cara Berpidato).

Di samping itu, ada nakah-naskah yang mencatat berbagai hal yang berkaitan dengan kerajaan Sunda, Galuh, dan Pajajaran. Naskah-naskah yang dimaksud adalah: Kata Pustaka lokayatra i Purasabha Taruma (Naskah Tentang
Kisah Sarana Lalu-lintas di Ibu Kota Taruma), Pustaka Dawata Taruna Pradésa (Naskah Tentang Tapal Batas Wilayah Taruma), Pustaka Sawasta i Rajya Sunda (Naskah Tentang Kemakmuran di Kerajaan Sunda), Pustaka Raraga Rajana
Rajya Galuh (Naskah Tentang Perselingkuhan Kerajaan Galuh), Pustaka Pranah Porawaniki Rajya Galuh (Naskah Tentang Kehidupan Rakyat dan Kaum Pedagang di Kerajaan Galuh), Pustaka Sawasta i Rajya Pjajaran (Naskah Tentang Kemakmuran di Kerajaan Pajajaran), Pustaka Lokayatra Purasabha Pajajaran (Naskah Tentang Keadaan Jalan di Ibu Kota Pajajaran), Pustaka Sampadaya Wwang Galuhpradésa (Naskah Tentang Adat Tradisi Masyarakat Daerah di Galuh), Pustaka Sang Purohita ing Adiraja Sunda Pajajaran (Naskah

Tentang Para Penasihat Keagamaan/Spiritual di Istana Sunda Pajajaran), Pustaka Aranya Paburwan Raja-raja Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Keadaan Hutan Perburuan Raja-raja Sunda Pajajaran), Pustaka Samkahyawarutinī Raja Galuh (Naskah Tentang Jumlah Kekuatan Tentara di Kerajaan Galuh), Pustaka Rajya Lancana Sunda (Naskah Tentang Lencana Kerajaan Sunda), Pustaka Nagara Janarajya Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Penduduk Perkotaan Sunda Pajajaran), Pustaka Paramajana Hanéng Rajya Galuh (Naskah Tentang Orang Terkemuka di Kerajaan Galuh), Pustaka Putropadananing Raja-raja Galuh (Naskah Tentang Kelahiran Bayi Para Raja Galuh), Pustaka Sampradaya Wwang Sunda Pajajaran Pradésa (Naskah Tentang Adat Tradisi Orang-orang Pedesaan di Sunda Pajajaran), Pustaka Samkyawarutini Rajya Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Jumlah Kekuatan Tentara di Kerajaan Sunda Pajajaran), Pustaka Upajīwana Janapada Sunda Pajajaran (Naskah Tentang Mata
Pencaharian Penduduk Sunda Pajajaran), Pustaka Dawata Sunda Pajajaran Pradésa (Naskah Tentang Tapal Batas Wilayah-wilayah Sunda Pajajaran).
Ada pula catatan mengenai judul naskah tradisi kemandalaan yang bernuansa Islami, yaitu: Kata Pustaka Rajéskandarjulkharanaén (Naskah Kisah Raja Iskandar Zulkharanaén), Kata Pustaka Nabiyulloh mukammad yata Rasullulloh (Naskah Sejarah Nabiyulloh Muhammad, yaitu Rasullulloh), Kata Pustaka Nabi Hidir (Naskah Kisah Nabi Khaidir), Kata Pustaka Ratu Bulkis (Naskah Kisah Ratu Bulkis), Kata Pustaka Sayidina Hamjah (Naskah Kisah Sayidina Hamzah), Kata Pustaka Sang Mamrati Abbasiyah Wamsatilaka (Naskah Kisah Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah), Kata Pustaka Banyu Jamjam Ahanéng Mekah (Naskah Sejarah Air Zamzam yang ada di Mekah), Kata Pustaka Malékatmalékat i Swarga lawan Naraka (Naskah Sejarah malaikat-malaikat di surga dan neraka), Kata Pustaka Raja Pirun Mahakawasa (Naskah Kisah Raja Firaun Sangat Berkuasa), Kata Pustaka Manuk Ababil (Naskah Kisah Burung Ababil),
Kata Pustaka Abraha Lawan Najasi (Naskah Kisah Abrohah dengan Najasi), Kata Pustaka Dwa Welas Imam (Naskah Kisah Dua Belas Imam), Kata Pustaka Dajjal Gawé Harohara ring Buwana (Naskah Sejarah Dajjal berbuat huruhara di
Buana), Pustaka Hadis Nabi Sinalin Lawan Basa Sunda Purwwa (Naskah Hadits Nabi disalin ke dalam bahasa Sunda Kuno), Kata Pustaka Kalid Ibnu Walid Namashidam Sépulluh (Naskah Kisah Khalid ibnu Walid Bergelar Sépuluh), Kata Pustaka Yuddha ring Kandak (Naskah Kisah Perang Khandak), Pustaka Pituduh Mangené Sembahyang (Naskah Petunjuk Mengenai Sembahyang).

Naskah Kepustakaan Pesantren

Pesantren adalah lembaga pusat pendidikan formal pada masa sistem pemerintahan kesultanan sebagai pengganti mandala dari zaman sistem pemerintahan kerajaan. Pesantren, baik secara fisik maupun bentuk-bentuk tradisi keislaman mulai tumbuh subur di daerah Jawa Barat pada sekitar abad XVII/XVIII Masehi. Hampir di setiap daerah kabupaten di Tatar Sunda terdapat pesantren yang merupakan lembaga formal pusat pengajian dan pengajaran kitab-kitab agama Islam bagi para santri di bawah bimbingan para ustadz, ajengan, maupun kyai. Kitab-kitab yang diajarkan di lingkungan pesantren biasanya dapat dikategorikan sebagai kitab-kitab dasar, kitab-kitab tingkat menengah, dan kitab-kitab besar. Secara keseluruhan kitab-kitab yang dimaksud di dalamnya terdiri atas teks-teks yang sangat pendek hingga
teks-teks yang berjilid-jilid, menyangkut masalah kitab suci al-Quran, hadits, nahwu-sharaf, tafsir, tauhid, fiqih, usul fiqih, tasawuf dan etika, mantek, faroid, tizan, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan bhalaghah.

Dalam pada itu, terjadinya transformasi budaya Islami pada awalnya adalah sebagai akibat terjalinnya kontak budaya kota-kota dan kaum pedagang bangsa-bangsa dari Timur Tengah dengan budaya kota-kota pantai dan kaum
pedagang di Kepulauan Nusantara yang kelak mampu menembus budaya pedesaan dan kalangan masyarakat petani di daerah-daerah pedalaman. Dampaknya pada perkembangan mobilitas penduduk menjadi lancar dan terjadilah difusi budaya Islami dengan tumbuhnya simbol-simbol yang mengalami pengkayaan makna.

Dalam perkembangannya kemudian Islam bagi penduduk Indonesia, khususnya bagi masyarakat Sunda merupakan sebuah panutan, dengan kata
lain Islam merupakan titik terkuat dalam pandangan hidup masyarakat Sunda dewasa ini.

Keadaan tersebut tergambarkan dalam khazanah pernaskahnya, terutama pada lingkungan masyarakat pedesaan dalam suasana agraris yang penuh dengan corak budaya tua yang termodifikasi dalam bentuk-bentuk hasil karya mandiri.

Hal ini dapat ditunjukkan bukti-buktinya yang antara lain, berupa macam-macam tulisan yang diambil dari ayat-ayat suci al Quran, yang oleh sebagian orang biasa dijadikan jimat dan isim. Selain itu, ada naskah berupa kumpulan doa yang bagi masyarakat Sunda merupakan satu keistimewaan tersendiri. Misalnya, Doa Nabi Sulaeman yang ditujukan guna keselamatan bumi dan tanah; Doa Nabi Khaidir yang digunakan untuk mengatasi kesulitan terutama pada saat mengarungi lautan, dan sebagainya.

Doa-doa lainnya yang telah dianggap sebagai teks naskah tersendiri dalam kaitannya dengan siklus kehidupan di kalangan masyarakat, antara lain: Doa Puput Udel, Doa Malem Salikuran, Doa Watek Tanggal, Doa Telekin Mayit. Ada
pula doa-doa yang dikategorikan khusus berkaitan dengan siklus kehidupan dunia pertanian yang bertujuan sebagai upaya pemuliaan makanan pokok, seperti doa: Macul, Tebar, Tandur, Lilir, Mapag Daun, Reuneuh, Rampak, Mitembeyan, Mipit, Mupul, Ngakut, Ngelép, Ngageugeus, Ngarewahkeun, Nyalametkeun Paré, dan sebagainya. Dalam hal ini terasa sekali
adanya pandangan yang bersifat sinkretis yang merupakan sebuah sikap dan pandangan yang tidak terlalu mempersoalkan tradisi kultural. Namun, itu semata-mata sebagai ungkapan tasyakur atas nikmat karunia yang telah
diberikan Tuhan YME sehingga berkahNya dapat terus mengalir.

Adapun naskah-naskah Sunda produk peninggalan kaum intelektual yang dilahirkan dari pesantren7 dikategorikan sebagai “Naskah Sunda Lama”, yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri:
(a) Bahan berupa kulit pohon saeh, dan berbagai jenis kertas lokal maupun impor;
(b) Alat tulis berupa pena dari tumbuhan, logam, balpoin, pensil, dan tinta;
(c) Ragam aksara, seperti Arab dan Pegon; Aksara Arab diperkenalkan oleh kaum intelektual Muslim sejak abad ke-16 dan digunakan dilingkungan sekitar institusi pesantren. Aksara Pegon, yakni aksara Arab yang digunakan untuk merekam atau menuliskan bahasa Sunda umumnya dipergunakan dalam hampir semua jenis naskah Sunda Lama pada sekitar abad ke-17.
(d) Bahasa Sunda dengan pengaruh atau serapan dari bahasa, Arab, Jawa, dan Melayu.
Ditinjau berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam, naskah-naskah Sunda yang muncul dalam pustaka-pustaka pesantren berdasarkan penelitian selama ini, termasuk yang terdeteksi ada di kalangan masyarakat perseorangan di luar pesantren dapat digolongkan ke dalam kategori naskah dasar, naskah tentang Rukun Islam, naskah tentang Rukun Iman, naskah fiqih, naskah tentang akhlak, naskah tentang dawah, dan bahkan ada naskah yang dikategorikan ke dalam naskah yang mengandung nilai-nilai pra-Islam. Jenis dan judul naskah-naskah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Naskah-naskah Dasar; Kitab suci Al-Quran merupakan sumber utama dalam ajaran Islam, di samping Hadits (assunnah). Naskah-naskah yang ada, seperti: Juz Amma, Ayat Tujuh, Ayat Lima Belas, Ayat Kursi, Elmu Tajwid, Tafsir, Nahwu, dan Pelajaran Alip-alipan.
2. Naskah-naskah Tentang Rukun Islam; Kelompok naskah ini pada dasarnya berisi mengenai keterangan dan uraian yang menyangkut hal-hal yang wajib bagi setiap umat muslim sebagai pedoman hidup sehari-hari. Naskahnaskah
demikian cenderung sebagai kitab-kitab sareat, yang biasanya dikenal dengan judul, seperti: Bab sahadat, Thaharoh (tuntunan bersuci), Rarakatan Shalat (Wajib: shalat 5 waktu, shalat Jumat; Sunat: Idul Fitri, Idul Adha), Kitab
Khotbah (Jumat, Hari Raya), Kitab Ibadah Sunat (wirid, dzikir, marhaban, salawat, tahlil, dsb.), Kitab Manasik haji.
3. Naskah-naskah Tentang Rukun Iman; ke dalam kategori ini termasuk naskah-naskah yang berisi keterangan dan uraian mengenai masalah ketauhidan atau aqidah. Untuk pengembangan pemahaman dalam masalah tauhid atau aqidah, muncul naskah-naskah Patarekan yang membicarakan soal-soal tasawuf, dan biasanya disertai dengan tuntunan berdzikir sebagai salah satu cara melatih daya pikir yang ghaib atas segala sesuatu termasuk yang abstrak.
Contoh-contoh naskah yang memuat soal tauhid tersebut adalah: Wawacan jaka Surti, Sipat Duapuluh, Tarékat Satariah, Wawacan Abdulkodir Jaélani, Wawacan Hakékat, Wawacan Ngélmu Tasauf, Punika Kitab Tarékat (shadat
7 Beberapa pesantren yang pernah penulis kunjungi baru-baru ini di Jawa Barat, antara lain di pesantren: Cintawana (Singaparna Tasikmalaya), Sukamanah (Singaparna Tasikmalaya), Cipasung (Singaparna Tasikmalaya), Suryalaya (Pagerageung Ciawi Tasikmalaya), Miftahul Huda (Manonjaya Tasikmalaya), Darussalam (Ciamis), Al Fadilliyah (Petir Baregbeg Ciamis), Daurl ‘Ulum (Ciamis), Miftahul Khoer (Petirhilir Ciamis), Cibeunteur (Ciamis), Miftahul Huda (Kujangsari Langensari Banjar), Darul Hijrah (Cikondang Sukaresik Sidamukti Pangandaran), Darul Hikmah (Banjar), Darul Fallah (Jambudipa Cianjur), Gentur (Jambudipa Warungkondang Cianjur), Kandangsapi (Cianjur), Tabiyatul Fallah (Leuwiliang Bogor), Nurul Hidayat (Sadeng Pongkor Bogor), Modern Sahid (Gunungmenyan Bogor), Al Furqon (Kebonbawang
Kadudampit Sukabumi), Assalafiyah (Babakan Tipar Cijengkol Sukabumi), Al Muawamah (Reunghasdengklok Karawang), Darul’Ulum (Babakan Pojok, Pengkolan Cintaasih Karawang), Madarul Istiqomah (Kidangranggah Cintaasih Pengkolan Karawang), Darul’Ulum (Kebonnanas Pusakajaya Subang), Pagelaran III (Cisalak Subang), Darussalam (Warungkondang Purwakarta), Sempur (Purwakarta), Al Mutthohhar (Plered Purwakarta), dan lain-lain.
Ibrahim), Babad Cirebon, Kumpulan Doa (Doa Raja Sulaeman, Doa Salamet), Kitab Suluk, Kitab Sakaratil Maot, Kitab Kabatinan.
(3.1) Naskah-naskah Suluk; beberapa naskah suluk yang muncul di Jawa barat, yang digubah dalam bahasa Sunda dikenal dalam judul: Wawacan Waruga Alam, Wawacan Suluk, Wawacan Dewaruci, Wawacan Gandamanah,
Wawacan Gandaresmi, Wawacan Gandasari, Wawacan Pandita Sawang, Wawacan Babad Kawung, Wawacan lan Palin, Wawacan Purwa Sujalma, Wawacan Selapurba Selarasa, Wawacan Gandamaya, Wawacan Tolak
Bahla, Wawacan Wujud Urang, Wawacan Sapaat Nabi, Wawacan Sayidina Japar Sidiq, Wawacan Layang Buwana Wisésa, Wawacan Layang Abunawas, Wawacan Kidung Rumeksaning Wengi, Wawacan Kitab Bahrul
Kutub, Wawacan Kitab Élmu Kasampurnaan, Wawacan Suluk Purwadaksina, Wawacan Layang Muslimin Muslimat, dan Wawacan Kitab Doa.
(3.2) Naskah Riwayat Nabi; Naskah-naskah yang memuat teks cerita para nabi dan sahabatnya bagi kalangan masyarakat Sunda cukup memegang peranan penting, dan biasa dianggap sebagai kisah orang suci yang dinamakan hariografi. Naskah-naskah demikian dikenal antara lain dengan judul-judul: Wawacan Nurbuat, Wawacan Sapaat Nabi Muhammad, Wawacan Kangjeng Nabi Nikah, Wawacan Paras Nabi, Wawacan Babar Nabi, Wawacan Hikayat Nabi, Wawacan Riwayat Nabi Enoh, Wawacan Nabi Yusup, Wawacan Babad Mekah, Wawacan Hasan Husén, Wawacan Mi’raj Nabi, Wawacan Silsilah Siti Fatimah, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Abdullah, Wawacan Seluk-belukna Jalma, dan Wawacan Rawi Mulud.
4. Naskah-naskah Fiqih; Naskah-naskah yang memuat uraian masalah fiqih atau dengan kata lain disebut dengan hukum Islam pada dasarnya menyangkut persoalan yang dianggap wajib, sunat, halal, haram. mubah, dan makruh. Teks-teks naskah demikian memberikan keterangan segala pertimbangan dasar hukum, sebagai patokan dalam pelaksanaan Rukun Islam dan Rukun Iman secara umum. Ke dalam kategori naskah ini antara lain adalah Kitab Madzhab yang cenderung berdasarkan atas pemahaman dari konsep Syafe’i.

Naskah-naskah lainnya biasanya berjudul sebagai berikut: Kitab Safinah, Kitab Fiqih, Kitab Wudu Salat, Kitab Taqrib, Kitab Minhajil, Bab Nikah/Kitab Munakahat, Kitab Qunatu, Kitab Hukum Aqli, Kitab Al Bayan, Kitab Hadzal, Kitab Faroidh/kitab Waris, dan Kitab Bajuri.

5. Naskah-naskah Tentang Akhlak; Ada beberapa naskah yang teksnya dapat digolongkan ke dalam hal mengenai akhlak atau dikenal juga dengan istilah elmu adab. Naskah-naskah demikian antara lain berjudul sebagai berikut: Kitab Naséhat, Bab Sawér, Kitab Pépéling, Wawacan Insan Kamil, Wawacan Trenggana, Kitab Amanat, dan Wawacan Tingkah Awak.

6. Naskah-naskah Tentang Dawah; Naskah yang dapat digolongkan ke dalam kelompok dawah ini secara umum teksnya memiliki nilai sastra yang cukup kuat sehingga mampu menggambarkan peristiwa yang seolah-olah pernah
terjadi dengan tokoh-tokoh yang aktual. Namun, berhubung memiliki jumlah yang cukup, perlu pengelompokan lagi berdasarkan ciri-ciri khas tertentu walaupun tidak dapat diberi jarak pemisah secara tegas. Dalam hal ini dapat dilihat naskah-naskah yang memuat teks dawah atau penyebaran Islam yang terfokus di dunia Arab, di Nusantara, khususnya di Jawa Barat, dan campuran keduanya (termasuk yang sebagian tokoh masa pra-Islam yang dilegitimasi
sebagai Islam).

(6.1) Penyebar Islam dari Luar Nusantara; Ada beberapa tokoh lakon bukan Nusantara yang pada umumnya bergerak di sebuah daerah dunia Arab yang samar-samar. Naskah tersebut meriwayatkan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Arab, baik fiktif maupun nyata, dan cukup digemari oleh kalangan masyarakat yang dikenal sebagai literatur pesantren. Naskah-naskah demikian dikenal dengan judul-judul: Wawacan Ahmad Muhamad, Wawacan Amir Hamzah, Wawacan Umarmaya, Wawacan Jayéngrana, Wawacan Samaun, Wawacan Prabu Rara Déwi, Wawacan Sajarah Mekah, Wawacan Lukmanul Hakim, Wawacan Durahman Durahim, Wawacan Aladin, Wawacan Istambul-Mesir, Wawacan Ménak Rengganis, Wawacan Padmasari, Wawacan Raja Saul
jeung Raja Daud, Wawacan Bental Jemur, Wawacan Lokayanti, Wawacan Abunawas, Wawacan Danumaya, Wawacan Said Saman, Wawacan Bin Éntam, dan Wawacan Siti Armilah.

(6.2) Penyebar Islam dari Nusantara; Beberapa teks naskah yang meriwayatkan perjuangan tokoh penyebaran agama Islam dari Nusantara, khususnya dari daerah Jawa Barat sebagai tokoh khas Sunda pada dasarnya
menyiratkan sebuah pandangan awal masa Islamisasi yang lebih tua di Jawa Barat dan jauh daripada menyeluruh. Tokoh-tokoh yang muncul dalam masa ini antara lain adalah Kean Santang, Walangsungsang, Rara Santang, yang diperkirakan hidup dalam suasana kurun waktu antara abad XIV-XVI.
Teks-teks naskah lainnya riwayatnya mulai agak mengembang walaupun belum begitu menyeluruh pula. Fase ini diperkirakan berlangsung dalam suasana kurun waktu antara abad XVI-XVII yang melibatkan tokoh-tokoh
Syarif Hidayat (Sunan Gunung Jati), dan para wali lainnya yang termasuk ke dalam kelompok wali sanga dan keturunannya.

Naskah-naskah yang tergolong ke dalam kelompok ini antara lain dikenal dengan judul-judl sebagai berikut:
Wawacan Babad Godog, Wawacan Gagak Lumayung, Wawacan Kéan Santang, Wawacan Babad Banten,

Wawacan Walangsungsang, Sajarah Sunan Rahmat, Wawacan Sajarah Para Wali, Carita Prabu Kéan Santang, Wawacan Babad Cirebon, Sajarah Ambiya; dan Wawacan Rara Santang.

(6.3) Tokoh Berlatar Pra-Islam; Judul-judul naskah yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah sebagai berikut:
Wawacan Candrakirana, Wawacan Anglingsari, Wawacan Jaka Bayawak, Wawacan Damarwulan, Wawacan Danumaya, Wawacan Gilang Kancana, Wawacan Rara Mendut, Wawacan Gawing, Wawacan Barjah, Wawacan
Cuminalaya, Wawacan Geresik Malaya, Wawacan Golek Kancana, Wawacan Indra Putra, Wawacan Indra Bangsawan, Wawacan Indra Basu, Wawacan Jaka Paringga, Wawacan Babad Majapahit, Wawacan Ogin Amarsakti, Wawacan Gandaningrat, Wawacan Sekartaji, Wawacan Barid, Wawacan Jayéngkara, Wawacan Gandaresmi, Wawacan Gandawerdaya, Wawacan Babad Cikundul, Wawacan Babad Ratu Galuh, Wawacan Samun, Wawacan Jaya Lalana, Wawacan Widaningrum, Wawacan Ningrum Kusumah, Wawacan Suriakanta,
Wawacan Jaka Umbaran, Wawacan Suriadimulya, Wawacan Jagatrasa, Wawacan Daud bin Utin, Wawacan Érmaya, Wawacan Indra Bahu, Wawacan Séh Mardan, Wawacan Indrajaya, Wawacan Indra Bungsu, Babad
Mataram, Wawacan Ngaji Salira, Wawacan Pandita Gurit Sagara, Wawacan Sumpena Kanagan, Wawacan Bermana Alam, Wawacan Puapua Bermanasakti, Wawacan Centang Barang, Wawacan Gandamanah, Wawacan Juhar Undang, Pantun Siliwangi, Wawacan Talaga Manggung, Wawacan Surianagara, Wawacan Surianingrat, Wawacan Salyanagara, Carios Ningrat Kancana, Wawacan Rangga Wulung, Wawacan Panji Wulung, Wawacan Suryamanah, Wawacan Buhaér, dan Wawacan Sapri.

7. Naskah-naskah Kategori Pra-Islam; Beberapa naskah yang tergolong ke dalam kelompok ini pada dasarnya tidak termasuk kepada asal-usul Islam, namun dapat dipertimbangkan bahwa teks-teks naskah tersebut ditulis dengan huruf Pegon dan umumnya selalu diawali dengan bacaan basmallah. Keadaan ini menandakan bahwa masyarakat yang telah memeluk agama Islam tidak dapat dipisahkan dari pokok alam pikiran yang pra-Islam. Menyangkut hal tersebut, teks-teks naskahnya dapat dibagi dalam tiga kelompok, yakni: teks yang bertalian dengan hal élmu falak/palintangan, masalah pertanian, dan campuran antara tradisi dengan pengaruh kuat dari ajaran Islam.

(7.1) Ilmu Falaq dan Palintangan; Keterampilan masyarakat dalam masalah ini masih nampak dalam teks-teks naskah yang merupakan kombinasi antara ilmu falaq (perbintangan) dengan sistem palintangan pra-Islam, yaitu semacam sistem penanggalan dalam siklus bulan/matahari (komariah/lunar). Bentuk-bentuk teks naskah demikian dikenal dengan judul-judul berikut: Kitab Palintangan, Pawukon, Kitab Nujum, Bab Uga, Wawacan Kidung Gedé, Paririmbon, Bab Repok; dan Bab Naktu.
(7.2) Bidang Pertanian; Dalam teks-teks naskah tertentu terdapat tokoh yang disakralkan dalam hubungannnya dengan dunia pertanian, terutama tentang pemuliaan tanaman padi, yaitu tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Tokoh inilah yang dianggap sebagai pengatur pola hidup seorang petani dan keluarga, mulai dari penyemaian benih padi hingga saat-saat memakannya sebagai bentuk olahan, bahkan menyangkut segala aspek kehidupan
mereka.
Beberapa naskah yang memuat teks mengenai masalah pertanian tersebut antara lain dikenal dengan judul-judul sebagai berikut: Wawacan Nyi Pohaci, Wawacan Sulanjana, Carios Sawargaloka, Carita Sri Sadana, Wawacan Déwi Sri, Bab Ngarumat Sawah, Jampé Tatanén, Bab Ubar-Ubaran, dan Jampé Tani.
(7.3) Hal-hal yang Dilegitimasi Keislaman; Adanya kategori teks-teks naskah mengenai berbagai catatan yang dilegitimasi dalam keislaman didasarkan atas pertimbangan, antara lain karena teks naskahnya menggunakan huruf Arab (Pegon). Naskah-naskah yang berisi teks seperti itu di antaranya dikenal dengan judul-judul berikut:
Kidung Doa, Mantra jeung Ajian, Tulak Bala, Jangjawokan, Rajah, Isim jeung Jampé, dan lain-lain.

Naskah Kepustakaan Sekolah

Dalam perkembangan kemudian muncul model lembaga pendidikan sistem Eropa yang diperkenalkan oleh Belanda yang sekarang dinamakan sekolah. Dengan kata lain, sekolah merupakan lembaga pusat pendidikan formal yang
mulai tumbuh dan berkembang menjelang masa akhir zaman kolonial, yaitu pada awal abad XIX. Dalam lingkungan ini dikenal istilah-istilah, seperti siswa (murid tingkat dasar, menengah, dan atas), mahasiswa (murid perguruan tinggi), guru (pendidik tingkat dasar,menengah, dan atas), dosen (pendidik tingkat perguruan tinggi), dan lain-lain.

Lembaga pendidikan model sistem Eropa itu secara perlahan mulai dilaksanakan, khususnya di Tatar Sunda setelah Gubernur Jenderal H.W Daendels (1762-1818) menetapkan dasar hukumnya pada tahun 1818, yaitu di Karawang dan Cianjur (Moriyama, 2003: 56; 2005: 78-79). Namun demikian, lembaga sekolah ini masih harus menunggu lama sebelum menarik minat kaum penduduk setempat, karena saat itu masyarakat lebih suka mengirim anak-anaknya ke pesantren-pesantren.

Sekolah kabupaten pertama kali dibuka di wilayah penutur bahasa Sunda adalah di Cianjur tahun 1851. Hingga tahun 1863 jumlah Sekolah Dasar di wilayah penutur bahasa Sunda mencapai 12 unit (Moriyama, 2003: 5758; 2005: 81).

Lebih lanjut Moriyama menjelaskan, bahwa sekolah-sekolah misionaris tidak banyak di wilayah penutur bahasa Sunda disbanding dengan di wilayah lain di Pulau Jawa. Dengan kata lain, pendidikan sekolah di wilayah ini terutama diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Misionaris tidak memberi kontribusi yang berarti, berbeda dari sekolah-sekolah Islam yang masih berperan penting dalam masyarakat.

Berdasarkan salah satu hasil keputusan bersama antara Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri di Batavia pada bulan Mei 1871 (Staatsblad, no. 104) dinyatakan bahwa, pendidikan harus diberikan dalam bahasa-bahasa daerah, dan apabila di tempat-tempat tertentu hal ini tidak mungkin dilaksanakan, maka pengajaran harus memakai bahasa Melayu. Sejak itu bahasa Sunda segera dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah sehingga menunjukkan peningkatan dari masa sebelumnya. Bahkan, bahasa Sunda juga dijadikan salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar
(Moriyama,2003: 61; 2005: 85-86).

Kepustakaan Sunda yang lahir dari tradisi sekolah umumnya berupa buku-buku cetakan karena pengelolaannya sudah mengikuti sistem penerbitan model Eropa. Adapun pustaka-pustaka Sunda produk peninggalan kaum intelektual yang dilahirkan dari sekolah dikategorikan sebagai “Pustaka Sunda Klasik”, yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri:
(a) Bahan dari berbagai jenis kertas lokal maupun impor;
(b) Alat tulis berupa pena logam, balpoin, pensil, tinta, mesin tik, dan mesin cetak;
(c) Ragam aksara, seperti, Cacarakan, Pegon, dan Latin. Aksara Cacarakan diperkenalkan sejak abad ke-17 ketika pengaruh budaya Mataram menembus ke wilayah Tatar Sunda, dan kaum menak lokal mengikuti arus budaya Jawa
tradisi keraton di Jawa Tengah. Dalam pada itu, aksara Pegon masih digunakan dalam hampir semua jenis tulisan, sedangkan aksara Cacarakan hanya digunakan untuk menulis laporan-laporan resmi kepada dinasti Mataram-Jawa
serta kepada pihak kolonial Belanda, di samping dalam korespondensi di kalangan menak (bdgkn. Moriyama, 2003;2005: 34).
(d) Bahasa Sunda dengan pengaruh atau serapan dari bahasa, Arab, Jawa, Melayu, Belanda, dan pengaruh bahasa-bahasa Barat lainnya.

Adapun data pustaka dari tradisi sekolah sebagian besar bahkan secara lengkap telah terdata dalam karya disertasi Mikihiro Moriyama yang diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris tahun 2003 dan edisi bahasa Indonesia tahun 2005. Data pustaka yang dimaksud dapat disajikan berdasarkan ragam tulisan yang dipakai sebagai sarana perekam bahasa Sunda, yakni aksara Cacarakan (Sunda-Jawa), Pegon, Latin, gabungan Cacarakan dengan Latin, dan gabungan Pegon dengan Latin berikut ini:
(1) Cacarakan: Aksara Cacarakan yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, pengetahuan kebahasaan, masalah ortografi atau tata aksara, keagamaan, historiografi, kearsipan, berhitung/matematika, pertanian, peternakan, etika, dan penanggalan atau kalender.

1. Susastra, seperti:
– Carita Kura-kura jeung Monyét (A.W. Holle & K.F. Holle, 1851. Batavia: Lange & Co.),
– Caritana Ibrahim (anonim, 1853. Batavia: LD8; cetak ulang 1888),
– Wawacan Carita Ibrahim (anonim, 1859. Batavia: Lange & Co.),
– Wawacan Carita Nurulkamar (anonim, 1860. Batavia: LD),
– Wawacan Raja Darma (Soendaasch Gedicht Radjadarma) (Danoe Koesoemah, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Carios Si Miskin (Danoe Koesoemah, 1862. Batavia: Lange & Co.),
– Wawacan Dongéng-dongéng (Soendasche gedichten en fabelen) (Moehamad Moesa, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Raja Sudibya (Soendasch gedicht Radja Soedibja) (Moehamad Moesa, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Wulang Krama (Soendasch Zedediicht Woelang-krama) (Moehamad Moesa, cet. I: 1862. Batavia:
LD),
– Wawacan Jaka Miskin (Soendasch Gedicht Djaka Miskin) (Wira Tanoe Baija, diterj. dari bahasa Melayu, 1862. Batavia: LD),
– Dongéng-dongéng nu Aranéh (Vertellingen) (Moehamad Moesa, cet. I: 1866. Batavia: LD, terj. dari bahasa Melayu; cet. baru 1884; cet. II: 1890),
– Dongéng-dongéng Pieunteungeun (Spiegel der jeugd) (Moehamad Moesa, 1867. Batavia: LD),
– Panji Wulung (Moehamad Moesa, cet.I: 1871. Batavia: LD; cet. II: 1891; cet. baru: 1901; cet. III: 1908) (1879 diterj. ke dalam bahasa Jawa oleh Soerjodidjojo dengan gelar Pangeran Adipati Ario Mangkoe Negoro IV; 1928 diterj. ke dalam bahasa Madura oleh R. Sosro Danoe Koesoemo, 2 jilid),
– Katerangan Lampah Sebar (Moehamad Moesa, 1874. Batavia: LD),
– Carios Tuan Kapitan Marion (Gescheidenis van den Kapitein Marion) (Kartawinata, 1872. Batavia: LD),
– Carita Kapitan Bonteku (Reis van den Kapitein Willem Ysbrandtsz Bontekoe) (Kartawinata, cet. I: 1874.
Batavia: LD; cet. II: 1883; cet. baru: 1903),
– Carita Érman (Rd. Ayu Lasminingrat, cet. I: diterj. dari bahasa Belanda, 1875. Batavia: LD; cet. II: 1911),
– Warnasari atawa Rupa-rupa Dongéng (Rd. Ayu Lasminingrat, jilid 1, trj. Dari bahasa Belanda, 1876. Batavia:
LD; jilid 1, cet. baru, 1907),
8 Landsdrukkerij ‘Percetakan Pemerintah’.
– Carita Robinson Crusoë (Daniel Defoe, diterj. oleh Kartawinata Kartawinata, 1879. Batavia: LD; versi terj.
bahasa Belanda oleh Gerard Keller),
– Wawacan Angling Darma (R.A.A. Martanagara, 1906. Bandung: Toko Citak Afandi).

2. Pengetahuan Bahasa, seperti:
– Kitab Pangajaran Basa Sunda (Soendasch spel- en leesbokje) (anonim, 1850. Tidak diketahui tempat terbit),
– Kitab Conto-conto Surat pikeun Murangkalih anu Ngaskola (Soendasche modellen van verschillende
brieven) (K.F. Holle, 1861. Batavia: LD),
– Buku Bacaan, pikeun murid-murid dina pangkat panghandapna di iskola Sunda (H.A. Nooij, cet. I: 1883.
Batavia: LD; cet. baru 1894; cet. II:1896),
– Buku Bacaan Salawé Tuladan, pikeun murid-murid pangkat kadua di sekola Sunda (W. van Gelder, cet.I:
1902. Batavia: LD; cet. ulang: 1907; cet. ulang, 1913).

3. Ortografi (Tata Aksara), seperti:
– Kitab Tjatjarakan Soenda No. 1 (Soendasch spel- en leesboekje met Latijnsche letter) (K.F. Holle, cet. I: 1862.
Batavia: LD),
– Kitab Cacarakan Sunda (Soendaasch Spelboek) (anonim, jilid 1, 1873. Batavia: LD),
– Buku Cacarakan Anyar (Soendaasch spel- en leesboekje) (Ardiwinata, jilid 1 & 2, cet. I: 1897. Batavia: LD; cet. II revisi: 1903; cet. III revisi: 1907; cet. IV revisi: 1908),
– Cacarakan Sunda, pikeun murangkalih anu mimiti diajar maca (anonim, tanpa tempat terbit; diterbitkansebelum tahun 1865).

4. Keagamaan, seperti:
– Ieu Pepetikan tina Kitab Tupah (Ibnoe Hadjar al Haitami, diterj. oleh Soerjadilaga, 1858. Batavia: Langeh jeung
paséroan).

5. Historiografi, seperti:
– Babad Tanah Pasundan (J.A. van der Chijs, diterj. oleh Kartawinata, 1880. Batavia: LD),
– Carita Pulo Jawa (Java en zijn bewoners) (W. van Gelder, jilid 1, diterj. oleh Kartawinata, 1880. Batavia: LD;
jilid 2, 1880; jilid 3, 1881; jilid 4, 1881).

6. Kearsipan, seperti:
– Kitab Conto-conto Surat Anyar (Nieuw Brievenboek voor de Soendasche Scholen) (Kartawinata, 1876. Batavia: LD, di bawah pengawasan K.F. Holle),
– Paréntah jeung Piwuruk baris Nuduhkeun Petana Amtenar-amtenar Éropa jeung-Pribumi Rawuh Pangkatpangkat Ngalampahkeunana Timbalan kana Ngajaga Paragan Sato (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh
Kartawinata, 1880. Batavia: LD),
Aturan Ngurus Sakitan-sakitan di India Néderland. Staatsblsd 1817 nomer 78 (Soendasche vertaling van het reglement van orde en tucht onder de gevangenen in Nederlandsch-Indië. Staatsbled 1817, No. 78) (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh Kartawinata, 1882. Batavia: LD),
– Intruksi Kapala Désa (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh Rangga Adilaga, 1886. Batavia: LD),
– Aturan Metakeun Heredines di Tanah Prayangan (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1892. Batavia: LD; (dibuat oleh
J.D. Harders, Resident Priangan).

7. Pengetahuan Berhitung/Matematika, seperti:
Kitab Nuduhkeun Ngélmu Itungan (Rekenboejke over de benoemde getallen) (K.F. Holle, 1867. Batavia: LD), – 300 Masalah, Élmu Itungan (300 Rekenkundige voorstellen voor eerst beginenden) (Kartawinata, 1876.
Batavia: LD),
– Buku Itungan nu Ka I, pikeun murid-murid pangkat panghandapna di iskola pribumi (W. van Gelder, jilid 1, 2, 3, 1881. Batavia: LD; jilid 4, 1882; jilid 5, 1883).

8. Pengetahuan Peternakan, seperti:
– Katrangan tina Prakawis Miara Lauk Cai (K.F. Holle, 1861. Batavia: LD),
– Wawaan Katerangan Miara Lauk Cai (Handleiding voor de teelt van zoetwatevish) (Moehamad Oemar, 1866.
Batavia: LD).

9. Pengetahuan Pertanian, seperti:
– Wulang-tani (Moehamad Moesa, 1862. Batavia: LD),
– Mitra nu Tan (K.F. Holle, editor, jilid 1 diterj. oleh Kartawinata dari bahasa Belanda, 1874. Batavia: LD; jilid 2
& 3, 1977; jilid 4 & 5, 1878; jilid 6 & 7, 1879).

10.Etika, seperti:
– Wulang Putra (Soendasch Gedicht Woelang Poetra) (Adi Widjaja, 1862. Batavia: LD),
– Wawacan Wulang Guru (Moehamad Moesa, cet. I: 1865. Batavia: LD),
– Wawacan Wulang Murid (Moehamad Moesa, cet. I: 1865. Batavia: LD),
– Buku Bacaan Salawé Tuladan, pikeun murid-murid pangkat panghandapna di sakola Sunda (W. van Gelder,
cet. I: 1881. Batavia: LD; cet. ulang 1889; cet.III: 1898; cet. IV: 1902),
– Buku Bacaan Salawé Tuladan, pikeun murid-murid pangkat kadua di sekola Sunda (W. van Gelder, cet. I:
1902. Batavia: LD; rep. ed., 1907. Batavia: LD, Jw.; rep. ed., 1913. Batavia: LD).

11. Penanggalan/kalender, seperti:
– Serat Pananggalan Sunda (Soendaneesche Almanak) (anonim, 1892. Cheribon: A. Bisschop; cet. II: 1893; Cet. III: 1894; cet. IV: 1895; Cet. V: 1896; cet. VI: 1897),
– Serat Pananggalan Anggoeun dina Taun Walanda (Soendaneesche Almanak) (anonim, tahun ke-1: 1897. Samarang: G.C.T. van Dorp & Co.; tahun ke-2: 1898; tahun ke-3: 1899; tahun ke-4: 1900; tahun ke-5: 1901; tahun ke-6: 1902; tahun ke-7: 1903),
– Serat Pananggalan Sunda (Soendaneesche Almanak) (anonim, tahun ke-1: 1892. Cheribon: A. Bisschop; tahun ke-2: 1893; tahun ke-3: 1894; tahun ke-4: 1895; tahun ke-5: 1896; tahun ke-6: 1897).

(2) Pegon: Aksara Pegon yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, pengetahuan kebahasaan, keagamaan, etika, penanggalan atau kalender, dan pengobatan dan penyakit.

1. Susastra, seperti:
– Wawacan Gendit Birayung (judul dberikan oleh Snouck Hurgronje? Ditemukan di daerah Banten, 1896),
– Kitab ieu Landong tina Kabaluwengan Urusan Gogoda Zaman Ayeuna (Hadji Mohamad Nuh, t.t. Bogor:
Ikhtiar).

2. Pengetahuan Bahasa, seperti:
– Kamus Kecil Arabiyah-Malayu-Sunda (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân), diterjoleh Raden Hadji Azhari, 1897. Batavia: ?).

3. Keagamaan, seperti:
– Ieu Kitab Injil Suci anu Dikarang ku Lukas (Het Evangelie van Lucas) (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj.
oleh C. Coolsma, 1877. Leiden: A.W. Sijthoff),
– Kitab Injil Suci anu Dikarang ku Johanes (Het Evangelie van Johannes) (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj.
oleh S. Coolsma, 1895. Leiden: A.W. Sijthoff),
– Irsjad Al- anam Fi Tarjmat Arkan Al-Islam (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân), diterj. oleh Mantra Goeroe di Soekaboemi, 1896. Batavia:?),
– Kitab Lalampahan Para Rasul Saruci Beunang Ngarang Lukas (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj. Oleh S. Coolsma, 1896. Leiden: A.W. Sijthoff),
– Tahfit Al-uyun Ala Fasadi Al-dhunun (Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân) diterj. oleh
Raden Hadji Azhari, 1897. Batavia: ?),
– Islah Al-hal Bi Talb Al-halal (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân, diterj. oleh Raden Azhari,
1897. Batavia:?).

4. Etika, seperti:
– Cempaka Mulia (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân) diterj. oleh Raden Hadji Azhari dan Hadji Irsjad, 1897. Batavia: ?),
– Nasihat Datang buat Ngalarang Nyieun Nyeri kana Binatang (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid
‘Uthmân), diterj. oleh Mohamad Bisri bin hadji Abdullah, 1901. Batavia: ?).

5. Penanggalan/kalender, seperti:
– Serat Pananggalan Anggoeun dina Taun Walanda (Soendaneesche Almanak) (anonim, tahun ke-1: 1897.
Samarang: G.C.T. van Dorp & Co.; tahun ke-2: 1898; tahun ke-3: 1899; tahun ke-4: 1900; tahun ke-5: 1901;
tahun ke-6: 1902; tahun ke-7: 1903).

6. Pengobatan dan Penyakit, seperti:
– Wawacan Piwulang Panyakit Koléra (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, diterj. oleh Raden Tumenggung Djajadiningrat,
1897. Batavia: LD),
– Rupa-rupa Katerangan nu Nétélakeun Bab Kasakit Koléra jeung Sarat-sarat pikeun Ngurus Awak Bisi Katerap Panyakit éta (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1905. Batavia: LD).

(3) Latin: Huruf Latin yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, pengetahuan kebahasaan, masalah ortografi atau tata aksara, keagamaan, kearsipan, berhitung/matematika,
pertanian, etika, penanggalan atau kalender, dan pengobatan atau penyakit.
1. Susastra, seperti:
– Wawacan Wulang Krama (Soendasch Zedediicht Woelang-krama) (Moehamad Moesa, 1923 cet. ulang dalam Volksalmanak Sunda. Batavia: Balai Poestaka),
– Dongeng-dongeng Piĕntĕngĕn (Spiegel der jeugd) (Moehamad Moesa, cet. I: 1867. Batavia: LD; cet. baru, 1888; cet. III: 1901; cet. IV: 1904; cet. V: 1907),
– Pandji Woeloeng (Moehamad Moesa, 1876. Batavia: LD; cet. baru, 1904; cet.III: 1909; cet. revisi, 1913; cet.
IV: 1922),
– Carita Kapitan Bonteku (Reis van den Kapitein Willem Ysbrandtsz Bontekoe) (Kartawinata, 1924. Batavia: LD),
– Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng (Rd. Ayu Lasminingrat, jilid 2 & 3, diterjemahkan oleh Lenggang Kantjana, 1887. Batavia: LD; jilid 2 cet. baru, 1909; jilid 3 cet. baru, 1912),
– Ijeu Wawatjan eukeur Moerangkalih anoe di Iskola (C. Coolsma, 1876. Rotterdam: D. de Koning), – Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng (Lenggang Kantjana, jilid 3, 1887. Batavia: LD),
– Tjarita Djahidin (anonim, cet. I diterj. oleh Soerja Karta Lĕgawa, 1896. Batavia: LD),
– Tjarita Djahidin, kalawan Piwoeroek Sĕpoehna (anonim, cet. ulang: 1903. Batavia: LD),
– Serat Rama (anonim, diterj dari bahasa Jawaoleh R. Toemĕnggoeng Arija Martanagara di bawah pengawasan Bratadiwidjaja, 1990. Samarang: D.C.T. van Dorp & Co.),
– Wawatjan Soelandjana nya eta Tjarita Tatanen Djaman Koena (anonim, disunting oleh C.M. Pleyte, 1907. Bandoeng: G. Kolff & Co.),
– Tjarios Djalma noe Sangsara (anonim, tak diketahui tempat terbit, halaman judul hilang).
2. Pengetahuan Bahasa, seperti:
– Pagoeneman Soenda djeung Walanda (Soendasche Hollansche samenspreken) (Kartawinata, cet. I di bawah pengawasan K.F. Holle, 1883. Batavia: LD; cet. ulang, 1891; 1908; 1915),
– Mangle Lĕmboet keur Baroedak Leutik (anonim, 1885. Bogor: Zending Press),
– Mangle, nya eta roepa-roepa Tjarita reudjeung tjonto (W. van Gelder, cet. I: 1890. Leiden: Kantor Tjitak Toewan
P.W.M. Trap, Rm.; cet II: 1898. Den Haag: Kantor Tjitak De Swart en Zoon, Rm.; (cet. III: 1901; cet.IV: 1902;
cet.V: 1906; cet.VI: 1909; cet.VII: 1911; cet. VIII: 1913; cet.IX: 1922),
– Boekoe Batjaan Sĕsĕla, pikeun moerid-moerid pangkat kadoewa (Among Pradja, cet.I: 1907. Batavia: LD; jilid
ke-2: 1911; cet. III: 1913),
– Pangadjaran Basa Soenda, pikeun moerid-moerid pangkat panghandapna di sakola-sakola Soenda (Ch.
Hekker, jilid ke-1, cet. I tidak diketahui; cet. II: 1907. Batavia: LD).
3. Ortografi (Tata Aksara), seperti:
– Tjatjarakan Soenda (Soendaneesch spelboekje) (G.J. Grashuis, 1866. Rotterdam: E.H. Tassemijer; cet.II revisi: 1883. Rotterdam: D. de Koning),
– Kitab Tjatjarakan Soenda Make Aksara Walanda (Soendasch spel- en leesboekje met Latijnsche letter) (K.F. Holle, cet. I: 1876, 1862. Batavia: LD; cet. II: 1876),
– Boekoe Edjahan djeung Batjaan, pikeun moerid-moerid dina pangkat panghandapna di sakola-sakola-Soenda (C.J. van Haatert, jilid 1: 1894. Batavia: LD, Rm.; jilid 1, cet. II: 1899; jilid 1, cet.III: 1908; jilid 1, cet.IV: 1910;
jilid 2: 1896; jilid 2, cet. II: 1898; jilid 2, cet. III: 1907; jilid 2, cet. IV: 1910).
4. Keagamaan, seperti:
– Kitab Indjil Dikarang koe Loekas (Nederlandsche Zendingvereeniging, ditrj. oleh G.J. Grashuis, 1866. Rotterdam: E.H. Tassemijer),
– Perdjandjian Anjar. Iju kitab beunang njoetat tina Kitab Soetji (anonim, jilid 1 & 2. 1868. Tidak diketahui tempat terbit),
– Poepoedjan Pikun Njanji, sarĕng pikun moedji ka pangeran (anonim, cet. II: 1873. Mééster-Cornelis Réehoboth-Zending Press; Cet. I tidak diketahui),
– Perdjandjian Anjar, hartosna sadajana kitab noe kasebat indjil goesti oerang Jesoes Kristoes (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj. oleh S. Coolsma, 1877. Amstendam: ?),
– Tjarios Goesti Jesoes sareng Rasoel-rasoelna (Nederlandsche Zendingvereeniging, 1885. Rotterdam: D. de Koning; cet. II: 1901. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Elmoe Agama Oerang Kristen (Nederlandsche Zendingvereeniging/C. Albers, 1886. Rotterdam: D. de Koning),
– Iju Tjariosna Para Nabi (anonim, 1871. Mééster: Réhobot), Iju Doewa Kitab Indjil anoe Soetji (De Evangelien
van Loekas en Johanes) (anonim, 1871. Mééster-Cornelis: Réehoboth-Zending Press, diterjemahkan oleh S.
Coolsma),
– Kitab Soetji, hartosna sadajana kitab noe Perdjandjian lawas sareng Perdjandjian anjar (Nederlansch Bijbelgenootschap, diterj. oleh S. Coolsma,1891. Amstendam: ?),
– Tjarios Para Nabi Ditoekil tina Kitab Perdjandjan Lawas (Nederlandsche Zendingvereeniging, 1892.
Rotterdam: D. van Sijn & Zoon, Rm.; cet. II: 1902. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Hikajat Garedja (Nederlandsche Zendingvereeniging/C. Albers, [1892. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Poepoedjian Oerang Kristen, njanjikeuneun di garedja djeung di imah (Nederlandsche Zendingvereeniging,
1893. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Tjarios Joesoep Beunang Nembangkeun (Nederlandsche Zendingvereeniging, diterj. oleh N. Titus, cet.I: 1894.
Rotterdam: D. van Sijn & Zoon, Rm.; cet.II: 1902),
Njanjian Baris Moedji di Iskola reudjeung di Imah (Nederlandsche Zendingvereeniging, 1897. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
Tjarios Radja Saoel djeung Radja Dawoed Beunang Nembangkeun (Nederlandsche Zendingvereeniging, diterj. oleh N. Titus, 1906. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
– Kitab Indjil Soetji anoe Dikarang koe Markoes (Nederlansch Bijbelgenootschap, 1907. Amstrendam: ?).

5. Geografi, seperti:
– Elmoe Boemi Tanah Hindia Nedĕrlan (C. Albers, 1872. Batavia: Ogilvie & Co.).

6. Kearsipan, seperti:
Besluit Betreffende de Regeling der Heerendiensten in het Soendaneesc, (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1875. Batavia: LD),
Staatsblad voor Ned. Indië. Soendasche vertaling van verschillende nummers (Kangdjĕng Goepĕrnemĕn, 1875/76. Batavia: LD),
Boekoe Wet Hal Pangadilan Hoekoeman baris Oerang Priboemi di Indië-Nederland (Kartawinata, 1889.
Batavia: LD),
Boekoe Wet Hal Pangadilan Hoekoeman djeung Atoeran noe Djadi Babakoe Hoekoeman Politie baris Oerang Pribumi di Indië-Nederland (Kartawinata, 1889. Batavia: LD),
Pangatoeran Tjengtjelengan Limbangan (dalam bahasa Sunda dan Belanda, 1889. Bandoeng: De Vries &
Fabricius),
Pangeling-ngeling ka Padoeka Toewan Karel Frederik Holle (R. Demang Soeja Nata Legawa (Kartawinata), 1897, tanpa tempat terbit).
7. Pengetahuan Berhitung/Matematika, seperti:
Kitab Elmoe Itoengan (Rekenboekje voor de scholen) (Nederlandsche Zendingvereeniging, jilid 1, 1866.
Rotterdam: D. de Koning; jilid 2, 1866; jilid 3, 1867; jilid 4, 1868),
– Kitab Elmoe Itoengan no. 1, pikeun moerangkalih anoe keur iskola (Nederlandsche Zendingvereeniging , 1866.
Rotterdam: D. de Koning),
– Kitab Itoengan, pangmimitina pisan keur baroedak iskola (Nederlandsche Zendingvereeniging [C.J. Albers], cet. I: 1866. Schoonhoven: S.E. van Nooten & Zoon; cet.III: 1902. Rotterdam: D. van Sijn & Zoon),
Boekoe Itoengan Pĕtjahan-pĕrpoeloehan, pikeun moerid-moerid pangkat kadoewa di sakola-Soenda (C.J. van Haastert, cet. I: 1894.Batavia: LD; cet. II: 1900; cet. III: 1906),
Boekoe Itoengan Pĕtjahan Bĕnĕr, pikeun moerid-moerid pangkat kadoewa di sakola-Soenda (C.J. van Haastert, cet.I: 1894. Batavia: LD; cet. II: 1900; cet.III: 1904).
9. Pengetahuan Pertanian, seperti:
Mitra Noe Tani (K.F. Holle editor, jilid 8, 1892. Batavia: LD; jilid 9 & 10, 1893; jilid 11, 1894; jilid 12, 1895; jilid 13, 1897 disunting oleh H. de Bie; jilid 14, 1899 disunting oleh H. de Bie),
– Piwoelang ka noe Tani, [I & II] (Ardiwinata, cet.I, diawasi oleh H.C.H. de Bie, 1906. Batavia: LD; cet. II jilid 1: 1907. Semarang: H.A. Benjamin; cet. II jilid 2: 1908; Cet. III: 1914),
– Piwoelang ka noe Tani, I (Ardiwinata, cet. II diawasi oleh H.C.H. de Bie, 1907. Semarang: H.A. Benjamin),
– Piwoelang ka noe Tani,II (Ardiwinata, cet. II diawasi oleh H.C.H. de Bie, 1908. Semarang: H.A. Benjamin).

10. Etika, seperti:
Wawatjan Woelang Goeroe (Wenken voor den onderwijzer) (Moehamad Moesa, 1865. Batavia: LD),
Wawatjan Woelang Moerid (Lessen voor den Leerling) (Moehamad Moesa, 1865. Batavia: LD),
Tembang Piwoelang, pikeun moerid-moerid di iskola Soenda (Mangoen Di Karia, 1908. Batavia: LD),
Tatakrama Oerang Soenda (D.K. Ardiwinata, jilid ke-1, cet. I: 1908. Bandoeng: Kaoem Moeda).

11. Pengobatan dan Penyakit, seperti:
Roepa-roepa Pangadjaran Hal Mijara Boedak Lolong keur Waktoe Aja di Imah Kolotna (Lenderink, diterj. oleh pemerintah kolonial, 1900. Batavia: LD).
Kitab Atoeran Bab Maradjian Djelema noe Ngadjoeroe (Moehamad Saleh Mangkoepradja, 1901. Batavia: Albrecht & Co.).

(4) Cacarakan-Latin: Aksara gabungasn Cacarakan-Latin yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah meliputi bidang susastra, keagamaan, dan pertanian.

1. Susastra,seperti:
– Tjarita Abdoerahman djeung Abdoerahim (Gescheidenis van Abdoerahman en Abdoerahim) (Moehamad Moesa, cet. I: 1863. Batavia: LD, aslinya berbahasa Arab, diterjemahkan dari versi Melayu; cet. II: 1884, cet.
ulang 1885; 1887 diterj. ke dalam bahasa Jawa oleh Raden Angga Badja; cet. III: 1906, cet. ulang 1908; cet. IV: 1911; cet. V: 1922; 1925 terj. dalam bahasa Melayu),
– Wawatjan Dongeng-dongeng Toeladan (Prawira Koesoema, cet. I: 1863. Batavia: LD; cet. II: 1888; cet. III: 1911; cet. IV: 1922),
– Wawacan Seca Nala (Geschiedenis van Setja Nala, Bevattende lessen voor den boeren- en handelstand) (Moehamad Moesa, 1863. Batavia: LD),
– Ali Moehtar/Wawacan Carios Ali Muhtar (Moehamad Moesa, cet. I: 1864. Batavia: LD; cet. II: 1883), – Lampah Sebar (Moehamad Moesa, 1872. Batavia: LD),
– Wawatjan Lampah Sebar (Moehamad Moesa, 1872. Batavia: LD).

2. Keagamaan, seperti:
– Indjil anoe Kasoeratkeun koe Mattheus (diterj. oleh Esser, 1854),
– Wawacan Petikan Bidayatussalik (‘Abd as-Samad al-Palimbani], 1863/1864, Batavia: LD, diterj. oleh Rd.
Bratawidjaja di bawah pengawasan Aria Koesoemah Diningrat).

3. Pengetahuan Pertanian, seperti:
– Élmu Nyawah (Handleiding voor de kultuur van padi op natte velden) (Moehamad Moesa, 1864. Batavia: LD).

(5) Pegon-Latin: Aksara gabungan Pegon- Latin yang dipakai menuliskan teks berbahasa Sunda dalam pustaka sekolah
hanya meliputi bidang keagamaan.

1. Keagamaan, seperti:
Saun Ad-din ‘An Nazgrat Al-mudallin (‘Utman bin Abdallah bin Aqil ibnu Jahja (Sayyid ‘Uthmân), teks ditulis dalam banyak bahasa: Arab, Melayu, Jawa, dan Sunda, 1903. Batavia:?).

Epilog

Para peneliti dunia pernaskahan selama ini dalam upaya mengidentifikasi naskah sudah biasa menelusuri nama, tempat, dan waktu suatu naskah itu ditulis. Akan tetapi mengenai dari mana asal kelembagaan pendidikan yang
menghasilkan kaum intelektual penulis naskah itu berasal, boleh dikatakan masih jarang yang mencoba ungkap secara khusus. Akibatnya muncul kesan seolah-olah adanya suatu naskah di masyarakat hanya berupa benda keramat tinggalan warisan budaya dari para leluhur mereka.

Berdasarkan uraian di muka dapat diperoleh gambaran bahwa ternyata keberadaan naskah Sunda sebagai bagian dari benda budaya itu erat kaitannya dengan latar belakang situasi zaman yang pernah dilalui oleh masyarakatnya. Naskah Sunda Kuno dengan aneka ragam kekhasannya yang masih bertahan hingga saat ini adalah berasal dari tradisi dunia lembaga pendidikan kemandalaan zaman sistem pemerintahan kerajaan. Demikian pula, yang dikategorikan sebagai khazanah naskah Sunda Lama adalah produk tradisi lembaga pendidikan pesantren zaman sistem pemerintahan kesultanan, kemudian disusul munculnya pustaka-pustaka Sunda Klasik yang hadir dalam bentuk cetak sebagai produk tradisi lembaga pendidikan sekolah dari zaman sistem kekuasaan kolonial hingga sekarang.

  1. Disajikan pada acara Kajian Manuskrip Nusantara Diselenggarakan oleh Pamong Budaya Bogor bekerjasama dengan Dewan Adat Budaya dan Adab Nusantara dan Bayt al-Hikmah Institute. Sabtu, 4 Mei 2019 di Hotel Salak Heritage Bogor.
  2. Peneliti & Dosen Tetap FIB Unpad; Kepala Departemen Sejarah & Filologi FIB Unpad.
  3. Naskah merupakan objek kajian filologi. Dalam praktiknya, metode kajian filologi dapat dibagi menjadi dua, yakni: metode kajian naskah atau kodekologi (mengkaji masalah deskripsi dan identifikasi wujud fisik, hasilnya berupa katalog naskah) dan metode kajian teks atau tekstologi (menyangkut upaya kritik teks ke arah perwujudan sebuah edisi teks beserta pengungkapan latar belakang tradisi kultural).
  4. Lihat Holle, 1867, 1882; Pleyte, 1911, 1914; Noorduyn, 1962; Atja, 1968; Danasasmita dkk, 1987; Ekadjati, 1988; Darsa, 1994.

 

 

Daftar Pustaka
Atja. 1968. Tjarita Parahijangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16. Bandung: Jajasan Nusalarang.
—-. 1970. Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.

Atja & Saleh Danasasmita. 1981a. Carita Parahiyangan: Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Ayatrohaédi, Tien Wartini, Undang A. Darsa. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alihaksara dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Sunda (Sundanologi).

Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Danasasmita, Saleh & Ayatrohaédi, Tien Wartini, Undang A. Darsa. 1987. Sewaka darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darsa, Undang A. 1986 Babad Cirebon: Satu Percobaan Rekonstruksi Teks (Skripsi Jurusan Sastra Daerah/Sunda
Fakultas Sastra Unpad). Bandung.
—-, 1993. Naskah-naskah Sunda: Sebuah Pemahaman Berdasarkan Konvensi Keislaman. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
—-, 1994. Aksara yang Pernah Digunakan Menulis Bahasa Sunda (Makalah “Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha- Na-Ca-Ra-Ka”). Yogyakarta: Balai Kajian Jarahnitra kerjasama Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan.
—-, 1998. Sang Hyang Hayu: Kajian Filologis Naskah Bahasa Jawa Kuno di Sunda pada Abad XVI. Bandung: Tesis
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
—-. 1999. Fragmen Carita Parahyangan: Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat Sunda. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
—-, 2003. Aksara Sunda KAGANGA dan Sistem Tata Tulisnya. Bandung: Walatra.

Darsa, Undang Ahmad dkk. 1992. Wawacan Gandasari. Jakarta: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Darsa, Undang A. & Ayatrohaédi. 1992. Aksara Sunda Kuno (Makalah “Seminar Aksara Daerah Jawa Barat”). Jatinangor:
Fakultas sastra Unpad kerjasama dengan Pemda Tk. I Jawa Barat.
Darsa, Undang A. & Edi S, Ekadjati. 1995. Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406): Pengantar
dan Transliterasi. Seri Penerbitan Naskah Sunda Nomor 1. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusantara.
—-. 2004. Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420); Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam (Kropak 421); Jatiraga (Kropak 422). Tokyo: The Toyota Foundation.

Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati, Mamat Ruhimat. 2004. Darmajati Naskah Lontar Kropak 423: Transliterasi,Rekonstruksi, dan Terjemahan Teks. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai. Jakarta: LP3ES.

Ekadjati, Edi S., dkk. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: LPUP-The Toyota Foundation.
—-. 2006. Nu Maranggung Dina Sajarah Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.

Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa. 1997. Aksara Sunda: Lambang Jatidiri dan Kebanggaan Jawa Barat (Makalah “Lokakarya Aksara Sunda 21 Oktober 1997”). Jatinangor: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat
kerjasama Fakultas sastra Universitas Padjadjaran.
—-. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia & École Française d’Extrême-Orient.

Gelb, I.J. 1963. A Study of Writing: The Foundations of Grammatology. Chicago.

Grashuis, G.J. 1860. Handleiding voor het Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift. Leiden.

Holle, K.F. 1882. Tabel van Oud- en Nieuw- Indische Alphabetten: Bijdrage tot de Palaeographie van Nederlansch Indie.
Batavia: W. Brunning & Co; s’Huge: Martinus Nijhoff.

LBSS. 1990. Kamus Umum Bahasa Sunda, Disusun ku Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda. Edisi VI. Bandung:Tarate.

Moriyama, Mikihiro. 2003. Sundanese Print Culture and Modernity in 19th-century West Java. Singapore: Vetak Printers. Terjemahan dalam bahasa Indonesia. 2005. Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan SundaAbad Ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Noorduyn, J. & A. Teeuw. 1999. “A panorama of the world from Sundanese perspective”. Archipel 57 II L’horizonnounsantarien, Mélanges en homage à Denys Lombard: 209-221.
—-. 2003. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV.

Pleyte, C.M. 1914a. “Een pseudo-Padjadjaransche Kroniek. Derde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda”. TBG
56:257-280.
—-. 1914b. “Poernawidjaja’s hellevaart, of de Volledige verlossing, Vierde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda”.
TBG 56:365-441.

Rosidi, Ajip. 1966. Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Bandung: Tjupu Manik.

Salmun, M.A. 1963. Kandaga Kasusastraan Sunda. Bandung-Djakarta: Ganaco N.V.

Satjadibrata, R. 1954. Kamus Umum Basa Sunda (Katut Ketjap-ketjap Asing nu geus Ilahar). Tjitakan ka-2 (dihadéan tur ditambahan). Djakatra: Perpustakaan Perguruan Kemetrian P.P. & K. Simuh. 1985. Unsur-unsur Islam dalam Kepustakaan Jawa. Yogyakarta: Bagian Proyek Javanologi.

Soebadio, Haryati. 1975. Masalah Transliterasi dan Ortografi dalam Perkembangan Bahasa. Kertas kerja Lokakarya Transliterasi Bahasa Daerah, 27-30 Januari. Jakarta.

Suryani N.S., Elis & Undang A. Darsa. 2003. Kamus Bahasa Sunda Kuno-Indonesia (KBSKI). Sumedang: Alqaprint Jatinangor.

 


Makna Hyang menurut Sunda Wiwitan

$
0
0

Menurut Sunda Wiwitan, Apa Balik Ka Hyang Itu?

Hasil gambar untuk sunda wiwitan
Keyakian urang Sunda buhun sampai saat ini masih hangat dan menarik untuk diperbincangkan, adakalanya disebut agama Budha, atau agama Hindu, animisme, bahkan ada yang menyebut agama islam Wiwitan. Sedangkan para filolog, seperti Ekadjati (2005), Atja dan Saleh Danasismita (1987) menyebutnya ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Istilah aga ma Jati Sunda ditemukan didalam naskah Carita Parahiyang an. Naskah tersebut diperkirakan dibuat pada tahun 1580 masehi, menurut CM. Pleyte 1500 AD. Istilah Jati atau Wiwitan memiliki makna yang sama, yakni mula; pertama; asli, dengan demikian pengertian agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan bermakna agama (urang Sunda) asli atau tulen. (Ekadjati: 2005, hal. 181).

Beberapa Sumber

Adanya beberapa perbedaan penafsiran tentang inti dan pemahaman Sunda sebagaimana diatas, disebabkan adanya alur sumber informasi yang berbeda.

1. Pertama sumber yang berasal dari tutur tinular, pada umumnya di sampaikan secara lisan oleh para penganut ajaran SUNDA WIWITAN, namun masih sangat tertutup bagi orang-orang diluar penganut ajaran tersebut.

2. Kedua, penemuan sejarawan, filolog, arkeolog, akhli kepurbakalaan yang menafsirkan dari temuan ilmiah, dan diuji mengggunakan data ilmu pengetahuan, seperti naskah-naskah; prasasti-prasasti dan lain sebagainya.

Sayangnya dari acuan sumber yang berbeda ini jarang menemukan titik temu, karena masaing-masing memiliki alasan pembenar, dan sulitnya menemukan data primer.

Hal yang tidak mustahil, kegelapan ajaran Ki Sunda disebab kan Ki Sunda pada masa lalu kurang menyukai untuk mendokumentasikan ajajarannya yang dianggap tabu (pamali), sementara ajaran lainnya yang juga berkembang mendokumen tasikan ajarannya dalam bentuk naskah maupun prasasti. Hal paling mungkin mengambil kesimpuan para ahli, yang menyebutkan, bahwa : “ajaran yang berkembang dimasyarakat belum tentu sama dengan ajaran yang dianut keratonnya”. Karena penghuni keraton pada umumnya sudah bersen tuhan dengan budaya luar, yakni sejak masa lengsernya AKI TIREM di SALAKANAGARA.

Hasil gambar untuk sunda wiwitan

Sumber-sumber sejarah menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang berlangsung lama didalam kehidupan masyarakat Sunda, baik sesudah maupun sebelum masa Pajajaran terbentuk. Naskah CARITA PARAHYANGAN mendeskripsi kan adanya KAUM PENDETA SUNDA yang menganut ageman asli Sunda (NU NGAWAKAN JATI SUNDA). Mereka mempunyai tempat kegiatan, atau semacam tempat suci yang bernama KABUYUTAN PARAHYANGAN, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama lain, bahkan dibedakan dengan KABUYUTAN LEMAH DEWASASANA, yang dianggap sebagai pusat kegiatan ke agamaan Budha. Naskah Carita Parahyangan menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah SEWABAKTI RING BATARA UPATI dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.

Selain naskah Carita Parahyangan, keyakinan Jati Sunda pada masa lampau dikisahkan para prepantun Bogor, seperti oleh AKI BUYUT BAJU ROMBENG. Menurut Ki Panjak (1970), Pantun Bogor (Pajajaran Tengah) berisi tentang Uga yang hanya dapat dibaca (dipahami) kisahnya jika dikalbunya tertanam rasa kasundan.

Masalah ini dikisah didalam kisah Curug Si Pada Weruh, bahwa :

Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea. (Sebelum orang Hindi/Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda).

Kisah dan istilah urang Hindi di Kaju Hejo dimaksudkan kepada para penguasa Salakanagara pasca pelengseran AKI TIREM lebih tepatnya jika disebutkan untuk DEWAWARMAN, peng ganti Aki Tirem. Tentang penggantian Aki Tirem oleh Dewa warman ada pula yang memahami sebagai apa yang disimbulkan didalam kisah AJI SAKA dan DEWATA CENGKAR. Aji Saka dilambangkan sebagai seorang pemuda sakti yang berwajah tampan, sedangkan Dewata Cengkar dilambangkan sebagai seorang buta (cakil). Aji Saka dianggap budaya baru beragama, mewakili pendobrak tradisi pribumi (Aki Tirem). Oleh karenanya para pendatang itu sendiri menggambarkan dirinya sebagai manusia tampan, agar menarik simpati, sedangkan Dewata Cengkar mewakili entitas pribumi dilambangkan sebagai sesuatu yang buruk, agar dijauhi. Demikianlah hukum penulisan sejarah, siapa yang kalah diniscayakan berposisi sebagai yang buruk, sedangkan yang menang adalah yang baik. Sama halnya dengan mengisahkan sejarah jaman orde lama oleh para penulis orde baru, yang selalu diposisikan sebagai si ‘salah’, bertujuan agar rezim orde baru memiliki legalitas, atau dukungan dari rakyat.

Pada masa Aji Saka terjadi pergantian penguasa dan status wilayah, dari nama kota yang dipimpin seorang penghulu (Aki Tirem) menjadi kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Dewawarman. Kisah kerajaan Salakanagara pada akhirnya dianggap sebagai kota dan kerajaan tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara. Pada masa ini pula diyakini sebagai awal mula budayaan Nusantara mulai bersentuhan dengan budaya dari India.

Peninggalan Salakanagara, berikut kisah Aji Saka dan Dewata Cengkarnya sangat dimungkinkan terkait dengan keberadaan Krakatau. Pada masa itu disebut sebagai NUSA APUY. Salakanagara pada masa Tarumanagara, khususnya pada masa kejayaan Purnawarman sudah menjadi negara dibawah daulat Tarumanagara. Salakanagara, berikut kisah Dewata Cengkar tentunya habis dimusnahkan Gunung Krakatau, yang telah beberapa kali mengeluarkan letusan dahsyat.

Kedahsyatan Letusan Gunung Krakatau antara lain ditemukan didalam cuplikan tulisan dari KITAB RAJA PURWA, dibuat oleh pujangga Jawa dari Kesultanan Surakarta, RONGGO WARSITO. Salinan kitab itu masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Cuplikan dari Kitab tersebut bertuliskan. :

“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur meng gelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air hujan itu bukannya mematikan ledakan api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin mengobarkannya, suaranya mengerikan, akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam keba gian terdalam dari bumi”.

Kitab tersebut diterbitkan tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan Krakatau (Inggris: Krakatoa volcanoes) pada 27 Agustus 1883. Penyebutan “Gunung Kapi” atau dalam bahasa Sunda “Nusa Apuy” tak banyak dikenal pada periode itu, sehingga tulisan Ronggowarsito dianggap membingungkan banyak kalangan. Namun, deskripsi berikutnya dalam buku itu semakin mirip dengan peristiwa tsunami saat Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883:

Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka.

Kemudian dalam edisi kedua yang diterbitkan pada 1885 atau dua tahun setelah letusan Krakatau, Ronggowarsito menulis penanda tahun dan deskripsi lokasi Gunung Kapi yang bisa dipastikan adalah Krakatau, pernah meletus sebelum tahun 1883. Naskah tersebut mengungkapkan :

” …di tahun Saka 338 (416 Masehi) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang di jawab dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi yang terletak di sebelah barat Banten baru…”.

Masyarakat dan para sejarawan banyak mempersepsi agama Sunda buhun dari agama yang dianut keratonnya, seperti Tarumanagara yang meninggalkan prasasti, atau menarik kesimpulan dari tradisi yang dilakukan orang Sunda dalam kesehariannya dianggap sama dengan saudara-saudaranya yang beragama baru (Hindu atau Buda), apalagi sejarah di tatar Pasundan, sejak Dewawarman I berkuasa bersentuhan dengan agama para pedagang India. Tapi jika ditelusuri dan dipilah perkembangan agama yang dianut keraton dengan yang dianut rakyatnya, niscaya akan ditemukan perbedaannya. Sampai saat ini para penganut Sunda Wiwitan sangat tidak memahami tradisi Hindu maupun Budha.

Sumber yang berasal dari keterangan FA-SHIEN, pendeta Budha dari Cina, dalam buku berjudul FA-KAO-CHI, menjelaskan kondisi sosial kemasyarakatan di ibukota Tarumanagara. Menurutnya, selain banyak penganut Hindu juga masih banyak penduduk yang menganut agama leluluhurnya. Contoh yang kedua, pada masa Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (diperkirakan tahun 382 masehi), pada masa itu pemerintahannya berupaya merubah keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi agama yang dianut Rajaresi, namun masih banyak penduduk disekitar kerajaan yang tetap menganut agama nenek moyangnya.

Pendapat tentang adanya perbedaan agama yang dianut penghuni keraton dengan agama yang dianut rakyatnya di tulis di dalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). Menurut para penyusun buku tersebut: agama orang Sunda adalah hasil bauran dari agama Hindu dan Budha yang diracik dalam konsep agama asli (Nusantara). Menurut buku tersebut, baik pendapat Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905) sama-sama menjelaskan, bahwa hal itu hanya berlaku dalam lingkungan keraton dan para pejabatnya, sedangkan rakyat masih tetap setia kepada agama ajaran leluhur. Konon menurut penulis sejarah, didalam naskah Wangsakerta agama ini disebut PITARAPUJA.

Pengecualiannya terjadi pada masa penyatuan Sunda dan Galuh, atau banyak juga yang menyebutkan masa Pajdadjaran. Penyatuan entitas Sunda dengan Galuh mulai cair dan menjadi hanya sebutan Sunda pada abad ke-16. Pada masa penyatuan Sunda dan Galuh nampak ada pembauran keyakinan keraton dengan keyakinan rakyat, sebagai mana ditulis dalam naskah KAWIH PANINGKES, yang menerangkan telah kembalinya keraton dan masyarakat Sunda menganut agama asli (leluhur) urang Sunda.

Pada masa kerajaan Sunda dan Galuh sampai dengan Pajajaran Sirna Hing Bumi Pasundan, masyarakat Sunda dan keraton sudah mulai nampak kebersamaan dalam beragama, namun pengaruh dari agama Budha dan Hindu masih ada dan masih melekat.

Pengaruh demikian dicatat dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan yang banyak menjelaskan tentang pedoman hidup Ki Sunda pada masa itu (KUNDANGAN URANG REYA). Naskah ini mengakui adanya ajaran leluhur dan menyebutkan adanya BATARA SEDA NISKALA, yang dianggap YANG HAK DAN YANG WUJUD, bahkan didalam Hirarki Pembaktian, yang disebut DASA PERBAKTI, menempatkan HYANG diatas DEWA. Penemuan Tuhan semacam keyakinan terhadap Hyang bagi masyakat Sunda lama bukan penemuan baru, namun dilingkungan keraton keyakinan terhadap sesuatu yang maha tinggi pernah kasilih setelah masuknya budaya dari luar (Jati Kasilih Ku Junti).

PENEMUAN AWAL

Dari data-data sejarah, arkeologi dan filologi, terutama dari sisa peninggalan megalitik dan naskah-naskah buhun, para arkeolog dan sejarawan membahas tentang adanya keyakinan masyarakat Sunda Buhun terhadap kekuatan “nu gaib”. Persepsi dan kesimpulan demikian dimungkinkan berdasarkan pada sejarah pemikiran manusia ketika menemukan Tuhan.

Munandar (2010 : 7) didalam memahami bentu-bentuk banguan suci di Tatar Sunda, menguraikan tentang cara melakukan kajian agama yang mengenal adanya lima butir pem bentuk religi yang saling berkaitan, yakni :

1. Emosi keagamaan, yang menyebabkan manusia memiliki sikap yang religius, dan menggerakan jiwa manusia. Emosi keagamaan juga merupakan sikap takut dan bercampur percaya kepada hal-hal yang gaib dan keramat. Namun hemat penulis, ada juga yang bersumber dari keikhlasan dan kesadaran, bukan karena adanya rasa takut.

2. Peralatan ritus dan upacara, berupa sarana dan peralatan, antara lain berupa bangunan suci, arca-arca dewa, alat bunyi-bunyian, altar, dan piranti lain yang berkenaan dengan upacara.

3. Sistim kepercayaan, berupa pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, dewa-dewa, alam gaib, asal-usul terjadinya alam semesta, estakologi, serta sistim nilai dan norma agama.

4. Sistim ritus dan upacara, dalam sistim religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap alam gaib (Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk gaib lainnya).

5. Umat Agama, adalah pemeluk suatu religi atau suatu kesatuan sosial yang menganut sistim keyakinan dan yang melaksanakan sistim ritus serta upacara.

Sistim kepercayaan Sunda yang mungkin dapat dikaji, selain bersumber dari para penganut ajaran Sunda Wiwitan, juga dapat diteliti, didalami, dihayati dari naskah-naskah Sunda Buhun, seperti naskah SangHyang SiksaKandaNg Karesyan, Jatiniskala, Jatiraga, Kosmologi Sunda dan Bujangga Manik, serta artefak-artefak lainnya, seperti prasasti dan peninggalan ditempat-tempat yang pernah digunakan untuk melaku kan ritual keagamaan. Dari naskah inilah dapat ditemukan hakekat keyakinan dan yang berhak disebut ditempatkan sebagai adikodrati.

Ekadjati (2005) menguraikan penemuan istilah nu Gaib, bermula dari rasa hormat ki Sunda terhadap para pemimpinnya dan orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan. Penghormatan demikian rupanya tidak mengenal batas waktu, bahkan setelah meninggalpun masih tetap dihormati, akhirnya menjadi tradisi. Kebiasaan menghormati leluhur demikian di dalam paradigma barat dikatagorikan sebagai penyembah roh nenek moyang atau animisme.

Pendapat tentang katagorisasi animisme terhadap keyakinan leluhur Ki Sunda, menurut Engkus Ruswana di dalam Pikiran Rakyat Sabtu 14 Juni 2003, dijelaskan sebagai berikut :… mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan ke percayaan leluhur, yang pengertian secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan.

Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi yang subur makmur Loh Jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.

Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (Wanda Aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan matahari (kala Sunda), perhitungan bulan (kala Candra) dan perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.

Menurut Ekadjati (2005), keinginan untuk menghormati arwah leluhur dan kekuatan gaib lainnya diwujudkan dalam bentuk bangunan batu besar (megalitik). Sekalipun demikian, bukan berarti ki Sunda menyembah batu, sebagaimana yang ditafsirkan orang lain, namun batu tersebut hanya di gunakan semacam mediator, untuk membantu konsentrasi. Dalam penemuan terakhir dikomplek Kawali diketahui adanya BATU KOLENJER, alat untuk menentukan waktu, sebagai mana yang digunakan masyarakat Baduy, namun menurut beberapa pendapat, batu tersebut adalah YANTRA, suatu alat yang biasa digunakan untuk membantu mengkonsentrasikan diri dalam melakukan ritual terhadap Tuhan, lebih jauh dapat ditelisik dari fungsi Gunung Padang Cianjur dan situs-situs peninggalan sunda buhun, yang memiliki tiga batu berun dak. Namun menurut Ekadjati, suatu hal yang patut dipahami, modal penting untuk menjalin hubungan dengan YANG GAIB bagi urang Sunda Buhun, adalah kesungguhan hati, kekhidmatan didalam keheningan alam sekitar. Ditempat-tempat itulah penghormatan dilakukan.

Dari upacara ritual diharapkan muncul tenaga-tenaga gaib yang dipancarkan oleh alam yang memberikan kekuatan serta kesejahteraan hidup; kesuburan tanah; serta keselama tan dalam mencari nilai-nilai hidup yang baru (Asmar 1970; 1975).

Tradisi menghormati nenek moyang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Sunda selanjutnya. Sampai sekarang batu menhir yang ada di Kabuyutan Kanekes dipercaya sebagai awal mula kehidupan masyarakat Baduy (Ekadjati: 2005). Peninggalan megalitik masih terlihat di tatar Sunda, seperti Arca Domas, Cibedug, Pasir Angin, Kampung Muara, Bukit Kasur, Gunung Padang dan tempat lainnya. Khususnya Gunung Padang sudah banyak yang meyakini keberadaan sejak masa Pra sejarah, dan terbesar di Asia Tenggara, bahkan berdasarkan penelitian terakhir diketahui telah berumur 10.900 SM.

Tempat-tempat dimaksud umumnya berada didaerah dan tempat yang tinggi. Bangunan megalitik disusun menurut sistim timur-barat yang melambangkan perjalanan hidup manusia. Timur adalah tempat matahari terbit yang melambang kan kelahiran; barat tempat matahari terbenam melambangkan kematian. Perjalanan matahari dari timur kebarat melam bangkan perjalanan hidup manusia.

Dari hal diatas para akhli menyimpulkan, bahwa SEJAK MASA NEOLITIKUM MASYARAKAT DI TANAH SUNDA SUDAH MEMILIKI PEMAHAMAN TENTANG YANG GAIB sebagai jiwa yang lepas dari raga manusia yang meninggal, namun tidak pergi jauh, berada di sekitar tempat tinggal sewaktu masih hidup, hanya sebagai roh yang gaib. Arwah leluhur diyakini dapat memancar kan kekuatan gaib yang berdampak baik maupun buruk, sangat tergantung kepada cara perlakuan manusia yang masih hidup terhadap arwahnya. Agar arwah memancarkan kebaikan dan dapat mencegah kekuatan gaib yang bersifat buruk maka dilakukan acara acara ritual penghormatan. Penghormatan demikian sangat tergantung kepada masing-masing kelompok atau individu, karena sampai sekarang tidak diketahui, cara-cara ritual yang dilakukan pada masa lalu, kecuali dari upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Baduy.

Pada periode selanjutnya di tanah Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Budha. Periode ini secara resmi dapat diketahui dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Pasundan awal, seperti SALAKANAGARA, TARUMANAGARA dan KENDAN. Sekalipun demikian, masyarakat asli masih banyak yang tetap tuhu menganut keyakinan yang dianut leluhurnya.

Keterangan tentang kukuhnya masyarakat pribumi terhadap keyakinan leluhurnya antara lain berdasarkan keterangan :

1. Berita Fashien, seorang pendeta Budha dari Cina yang terdampar di Tarumanagara pada tahun 413 M, selama lima bulan menetap di Ya-va-di (pulau Jawa). Fashien lebih banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Bu dha, bahkan menyebut masih banyaknya penduduk yang menganut agama nenek moyangnya. Kisahnya ditulis dalam buku yang berjudul Fa-Kao-Chi.

2. Pada masa pemerintahan Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (382 M), berupaya merubah cara keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi aga ma yang dianut Rajaresi, namun tidak membuahkan hasil. Padahal Rajaresi mengajarkannya kepada para penghulu desa, dan mendatang kan para brahmana dari India, namun rakyat masih banyak yang tetap setia kepada ajaran leluhurnya.

3. Naskah-naskah yang menempatkan hirarki Hyang diatas panteon agama lainnya, seperti DASA PERBAKTI, didalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan, Jatiraga dan Kawih Paningkes.

Jika saja ageman Sunda Wiwitan sebagaimana yang nampak dari anutan warga Baduy dikaitkan dengan peradaban megalitik, maka akan diketahui, bahwa prinsip warga Baduy percaya kepada satu yang kuasa, Batara Tunggal, pemilik karakteristik satu kekuasaan dan kekuatan yang tak tampak (Maha Gaib), tetapi berada di mana-mana, dan sangat bijaksana dan suci.

Istilah Batara di mungkinkan sebagai bentuk adaptasi dari bahasa keyakian sesudahnya, tanpa merubah substansi atau maksud. Istilah Batara kemudian ditambahkan kepada Tunggal, sehingga menjadi BATARA TUNGGAL (Judistira K. Garna : 2006).

Penggunaan bahasa, seperti dalam menyebutkan nama BATA RA CIKAL digantikan dengan sebutan ADAM TUNGGAL, atau menyisipkan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah islam wiwitan untuk sebutan agama Sunda Wiwitan (lihat Asep Kurnia dkk : 21010), hal ini dimungkinkan karena adap tifnya bahasa keyakinan urang Sunda Buhun terhadap istilah-istilah yang digunakan pada jamannya, namun memiliki maksud dan substansi yang sama dengan paradigmanya, untuk menyebut pemilik adikodrati.

PENGARUH BUDAYA INDIA

Kepercayaan agama Hindu dan Budha mengenal adanya istilah yang Gaib lainnya, yakni dewa-dewa. Panteon Hindu ini mempunyai cara hidup dan tempat tersendiri diluar kehidup an manusia, yakni di nirwana atau sorga. Dewa-dewa dalam agama Hindu jumlahnya banyak (politheis) dan memiliki fungsi dan tugas masing-masing.

Didalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984), yang banyak merujuk kedalam naskah Carita Parahyangan disebutkan, bahwa pada masa Salakanagara dapat diduga bahwa agama resmi negara adalah agama Siwa, termasuk di dalamnya madhab Ganapatya (pemuja Ganesa), mengingat Dewawarman I dianggap asli keturunan dari India, sedangkan pada masa Tarumanagara, seperti nampak dari prasasti peninggalan masa Purnawarman, menganut agama Wisnu, termasuk madzhab Saura (Pemuja Surya). Anutan terhadap madzhab masing masing berhubungan dengan keyakinan, bahwa raja adalah titisan Wisnu yang menjaga dan melihara ketertiban Jagat raya. Di tatar Sunda yang disebutkan titisan Sanghyang Wisnu adalah Prabu Dharmasiksa. Hal demikian sebagaimana disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan, yaitu :

“Diganti ku sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nyaeta nu ngawangun sanghyang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahantina Parahiangan. “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa. (Atja : 1968).

Banyak pula raja-raja dahulu yang menganggap dirinya keturunan Dharmaraja, sehingga menggunakan gelar Dharma untuk nama nobatnya.

Kisah Dharmaraja dapat ditelusuri dari kisah Satria Piningit dan Ratu Adil. Sumber ajaran ini berasal dari KITAB TANTU PAGELARAN. Kitab ini mengisahkan tentang Siwa atau Batara Guru nu ngayuga Dewa Dharmaraja. Keduanya memiliki kemiripan dalam bertapa dan memancarkan kebajikan-kebajikan yang bersifat ilahiyah. Kelak ratu Adil akan muncul dalam wujudnya sebagai resi. Inilah yang menunjukan adanya pengaruh India didalam sistim kepercayaan diwilayah Pasundan.

Pada masa selanjutnya, didalam Naskah Sanghiyang Siksa KandaNg Karesiyan tersurat jejak keyakinan agama Siwa dan Budha sekaligus, seperti pada kata :

Hong kara namo sewa ya baktining huluan di Sanghi yang Panca Tatagata … Panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga. (sesungguhnya puji dan sembahku untuk Siwa, baktiku kepada Sanghyang Panca Tatagata …. Panca berarti lima, tata berarti ucapan, gata berarti wujud).

Dari naskah diatas nampak penggunaan simbol-simbol hindu dengan mengistilahkan Siwa, serta agama Buda Mahayana. Tataga dalam agama Buda adalah gelar untuk Budha. Panca Tataga adalah lima orang Dyani Buda atau Buda yang merenung sebagai Lokapala, pelindung dunia. Paradigma ini tetap hidup dan tertransformasikan kedalam istilah Buana Panca Tengah, untuk istilah bumi atau dunia.

Jejak lainnya saat ini ada dalam pemahaman tentang kalimat Opat Kalima Pancer, seperti dalam pepatah orang tua :

Coba riksa anu opatnu jadi bakal manusa bumi, geni, banyu jeung angin. Bumi metukeun cahaya hideung, nu nyata jadi pangucap. Geni metukeun cahaya beureum, nu nyata jadi panguping. Angin metukeun cahaya koneng, nu nyata jadi pangangseu. Banyu metukeun cahaya bodas, nu nyata jadi paningal.

Nu metukeun cahaya hideung, tina bumi malaikat sawiah. Nu metukeun cahaya beureum, tina geni malaikat tamarah. Nu metukeun cahaya koneng, tina angin na malaikat mutmainah, nu metukeun cahaya bodas, tina banyu malaikat loamah. Anu opat ngalebur ngaja di hiji, ngajadi papancer ning manusa. Artinya : Coba periksa yang empat cikal bakal manusia, tanah, api, air dan angin. Tanah menimbulkan cahaya hitam, menjadikan bisa mengucap. Api menimbulkan cahaya merah, yang menjadikan bisa mendengar. Angin menimbulkan cahaya kuning, menjadikan bisa mencium. Air yang menimbulkan cahaya putih, yang menjadikan bisa melihat.

Yang melahirkan cahaya hitam dari bumi malaikat sawiah. Yang melahirkan cahaya merah dari api ada lah malaikat tamarah. yang melahirkan cahaya kuning dari angin adalah malaikat loamah. Yang melahirkan cahaya putih dari air adalah malaikat loamah. Yang empat melebur menjadi satu, menjadi pertandanya manusia.

Paradigma tentang kalimat diatas diabadikan dalam setiap gerak hidupnya, seperti yang diabadikan dalam bentuk jurus Tepak Hiji dalam Ilmu Silat Cimande, jurus empat (mata angin) ditambah satu pancernya (tengah), atau opat kalima pancer (empat yang kelimanya pancer). Pada masa lalu, maksud yang sama menunjukkan lima huruf didalam kepercayaan Hindu, yang disebut panca aksara, yaitu Na~Mo~Si~Wa~Ya. Aksara tersebut dianggap perwujudan Siwa :

NA Siwa sebagai Iswara di timur, MO Siwa sebagai Brahma di selatan, SI Siwa sebagai Mahadewa di barat, WA Siwa sebagai Wisnu di utara, YA Siwa sebagai Siwa di tengah (Pancer).

Tentang naskah dimaskud, selengkapnya sebagai berikut :

Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwa na, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngara nya: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya; daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pasima, kulon) kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya); utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya; madya, tengah, kahanan Hyang Siwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana. (Kalau terpahami sanghyang wuku lima di bumi tentu semua tempat menyenangkan. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Puwa yaitu timur tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang Brahma merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hyang Mahadewa kuning warnanya. Utara tempat Hiyang Wisnu hitam warnanya Madya di tengah tempat Hyang Siwa aneka macam warna. Yaitulah wuku lima di bumi).

Masyarakat dahulu meyakini, dari sorga para dewa mengatur dan mengawasi kehidupan manusia. Tiap pemeluk agama Hindu dan Buda meyakini, jika mereka mengindahkan tuntunan moral dan agama maka akan masuk sorga, bersatu di alam kehidupan dewa-dewa. Sebaliknya, akan masuk neraka dan mengalami samsara, jika tekad dan perilakunya buruk.

Jejak lainnya terdapat didalam naskah Sewaka Darma (kebaktian terhadap darma). Hal ini menunjukan bahwa Tantra yana di wilayah Sunda sudah terpengaruh oleh ajaran Budha Mahayana. Pengaruh tersebut masih terjalin dengan agama leluhur Sunda. Seperti unsur Hyang dibedakan dari dewa,
se kalipun keduanya tinggal di Kahyangan atau Parahyangan.

Dari sudut pernaskahan, seperti naskah Jatiniskala mengandung embaran mengenai ajaran keagamaan yang memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu, Budha dengan ajaran Pribumi. Naskah Jatiniskala lebih banyak menyebutkan nama-nama kuasa imajiner pribumi. Mereka disederajatkan dengan apsari, makhluk kahyangan, pendamping para Dewa. Seperti tujuh pohaci, yaitu : Pwah Sri Tunjungherang, Pwah Sri Tun junglenggang, Pwah Sri Tunjunghanah, Pwah Sri Tunjungmanik, Pwah Sri Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, Pwah Sri Tunjungbwana. Kesemuanya berada didalam kurungan dan masing-masing mempunyai apsari, yaitu : Aksari Tunjungnaba, Tunjungmabra, Tunjungsiang, Tunjungkuning, Nagawali dan Nagagini. Kemudian ada juga apasari Manikmaya, Maya lara, dan lainnya.

Dari uraian diatas memang kedua agama diatas dikenal dalam kehidupan masyarakat Sunda Buhun, bahkan diabadikan didalam naskah-naskahnya. Namun perlu juga dikaji tentang silib, sampir, siloka dan apapun yang tersirat didalam setiap kalimatnya lebih dalam. Seperti dari naskah Sanghiyang KandaNg Karesiyan (1518 m), tentang DASA (10) PERBAKTI yang menempatkan hirarki HIYANG diatas DEWA. Nakah tersebut menyebutkan, bahwa “… mangkubumi bakti di ratu, ratu bak ti di dewata, dewata bakti di hiyang …“ (mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada Hyang) (Danasamita dkk. 1987 : 74,96). Hal ini mengandung makna, bahwa hirarki Hyang atau Sang Hyang Tunggal tidak sama dengan Siwa (dewa), Sanghyang Wenang tidak sama dengan Brahma (dewa). Sanghyangg Wening tidak sama dengan Wisnu (dewa). Oleh karena itu, didalam cara memahami konsepsi ajaran Sunda Wiwitan, tidak dapat dicampuradukan dengan Panteon lain. Konon menurut Jurupantun : “ti baheula mula, urang sunda mah geus miboga Hi yang Tunggal, nu teu bisa dibandingkeun jeung ciptaannana”.

BEBERAPA ISTILAH

Dalam perspekrif penggalian ajaran Sunda di dunia maya, istilah Sunda, sebagaimana pendapat Lucky Darmawan disebutkan sebagai nama agama didunia. SU artinya Abadi atau Sejati; NA artinya Api ; DA artinya Besar atau Agung, sehingga Sunda diartikan sebagai Api Abadi Yang Agung atau Mata hari, karena matahari dianggap lambang Hyang Maha Kuasa (di langit), pemberi kehidupan di Bumi. Sunda adalah Maha Cahaya, pusat dari segala Cahaya; Sang Hyang Tunggal, ada juga yang menyebut Sanghyang Syiwa. Sunda juga disebut Sang Hyang Manon; Sang Batara Guru; Sang Guru Hyang; Sang Guriang (Sangkuriang); Sang Surya; Sura; Ra. Konon kabar ada kaitan nya juga dengan di Mesir dan Jepang. Sunda atau Sang Hyang Manon dikenal sebagai Dewa Matahari Amon–Ra. Sunda/Matahari dieropa disebut Sun, hari pemuja an Sunda/Matahari disebut Sunday. Ajaran Sunda atau agama Matahari berkembang ke seluruh dunia pusatnya di Jawa Barat, oleh sebab itu di Jawa Barat nama daerah diawali deng an ‘Ci’ yang artinya Cahaya. Pusat Pa–Ra-Hyang pertama ter letak di Gunung Parang, Purwakarta. Ajaran Sunda telah menjadi agama dunia yang dianut oleh segala bangsa, membangun peradaban dunia menuju bangsa unggul paripurna.

Sunda bukan nama Etnis atau ras manusia yang tinggal di Jawa Barat. Sunda dianggap nama agama yang tertua dan pertama, mengajarkan segala bangsa Cinta Kasih dan berterima kasih. Sebagai inti ajaran Sunda yakni Penghormatan dan Kehormatan; budhi bahasa; budhi dharma–tata karma (sopan santun); tata dharma (bakti); kenegaraan, kebangsaan, kebudayaan dan Jatidiri. Ajaran Sunda telah membentuk kelembutan sikap Sopan Santun dan perilaku berbudhi pada setiap diri bangsa Indonesia. Sunda mengajarkan bentuk untuk berterima kasih kepada segala yang telah memberi kehidupan. Oleh sebab itu Sembah-Hyang dilakukan dalam upacara Bende–Ra (panji matahari) untuk menghormati Negeri dan Sang Guru Hyang (Sunda). Istilah Sang Guru Hiyang kemudian mengalami perubahan ucapan menjadi Sang Guriang atau Sang Kuriang, namun apakah demikian?.

Jawaban yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan diatas dapat dikaji antara lain dari pendapat AGUS ARIS-MUNANDAR DKK, didalam bukunya tentang BANGUNAN SUCI SUNDA KUNA (2011). Munandar mengungkapkan tentang berita dari sumber PANTUN BOGOR dan NASKAH JATIRAGA (Koropak 422), diperkirakan naskah ini seumur dengan naskah SERAT BUDA, berbahasa Jawa Kuno, yang dibuat pada tahun 1357 saka, atau 1435 M, atau pada abad ke-15, sejaman dengan masa Padjadjaran. KITAB JATIRAGA antara lain menguraikan tentang adanya kekuatan adikodrati dalam agama masa kerajaan Sunda, yang disebut BATARA JATINISKALA, yang memiliki julukan lain, yakni JATINISKALA yang bersifat KEMAHAGAIBAN. Ia menjelma (mengejewantah) menjadi tujuh sanghiyang, dengan sebutan GURIANG TUJUH. Munandar pada akhirnya menyimpulkan, bahwa SANGHIYANG JATINISKALA benar-benar NISKALA, gaib, tidak terbayangkan, tidak mungkin dikonkretkan.

Hiyang atau Sanghiyang didalam Ensiklopedia Sunda, ditujukan untuk menyebutkan para penghuni kahyangan. Hal yang tentunya berbeda dalam cerita wayang, karena kahyangan di huni oleha para dewa. Menurut pendapat lain, Parahyangan adalah istilah untuk tempat tinggalnya para Hiyang, sedang kan Nirwana tempat tinggal para Dewa. Yang Maha kuasa menurut kepercayaan Sunda lama adalah SANGHYANG KERESA, yang menghendakai atau sang Maha Pencipta, disebut juga BATARA TUNGGAL atau BATARA SEDA NISKALA (YANG GAIB). Semua Dewa yang datang kemudian diposisikan berada dialam Nis kala, sedangkan Hiyang berada dialam Jatiniskala. Oleh karena itu didalam DASA PREBAKTI, Sanghiyang lebih tinggi hirarkinya dari Dewa-dewa atau Batara.

Istilah Sanghiyang adakalanya digunakan pula untuk menyebut orang atau makhluk yang dihormati, seperti Sanghiyang Lutung Kasarung, Sanghiyang Sri, Sanghiyang Borosngora dan lain-lain. Namun bisa saja sebutan itu untuk menyebut kan pengejawantahan dari Hiyang, yang memang tidak berwujud.

KONSEP HIYANG

Perkembangan selanjutnya menurut Ekadjati (2005), konsep banyaknya dewa-dewa (politheis), pada masa kerajaan Sunda dan Galuh menimbulkan kecenderungan untuk mengutamakan rokh dan dewa (Tuhan) tertentu, namun mengabaikan dewa lainnya. Selain itu di dalam upacara keagamaan lain yang sarat tatacara, dan urutan yang ketat serta mantera-mantera yang tidak boleh salah ucap atau salah susun, dianggap kurang sesuai dengan watak agama asli leluhurnya. Oleh karena itu mereka mencari konsep alternatif lain untuk menemukan Tuhan yang sesuai dengan karakternya yang berpindah-pindah setiap musim panen. Sehingga perlu praktis, akrab dengan alam, mengutamakan isi dari pada bentuk, cara memuja dapat dilakukan dimana saja, karena Tuhan itu lebih dekat dari apapun, bahkan masih jauh urat dileher kita dibandingkan dengan Tuhan.

Bagi masyarakat Sunda waktu itu, sebongkah batu alam yang agak aneh bentuknya sudah cukup untuk dijadikan titik pusat upacara ritual. Setelah usai batu tersebut ditinggalkannya karena di tempat lain pun masih mudah memperoleh jenis batu yang sama. Modal penting untuk menjalin hubungan dengan yang Gaib adalah kesungguhan hati, kekhidmatan di dalam keheningan alam sekitar. Sedangkan bongkahan batu hanya sekedar Yantra, pembantu konsentrasi, bukan sesuatu yang harus disembahnya.

Konsep Hyang menurut Ekadjati (2005, hal 178) baru diketahui pada masa pemerintahan Sri Jayabupati (abad ke-11), namun baru pada tahap menggunakan pengertian yang gaib atau yang suci. Sang Hyang sudah mulai di letakan ditempat suci, yakni Kabuyutan Sang Hyang Tapak. Pada masa sesudah nya, konsep Hiyang dengan Dewa dapat ditemukan pada saat memfungsikan kabuyutan, seperti Kabuyutan Lemah Dewasasana, tempat kegiatan menurut agama Hindu (Kabuyutan Sundasembawa dan Gunung Samaya) dengan Kabuyutan Lemah Parahyangan, tempat kegiatan agama Sunda Buhun, atau agama Jatisunda (Kabuyutan Kanekes). Sekalipun disebutkan agama Hindu berinteraksi di Kabuyutan, namun ditatar Sunda sulit untuk menemukan candi, termasuk di kabuyutan Dewasasana. Pendapat Ekadjati tersebut rupanya berasal dari dokumen-dokumen tertulis, seperti prasasti Sanghiyang Tapak. Suatu hal yang perlu diteliti lebih jauh dari sumber lisan, yang mungkin akan berbeda makna dengan tafsiran para filolog.

Buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) menyebutkan, bahwa agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Ketiga kitab suci ter sebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darma-siksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa ditatar Sunda pada periode 1175-1297 M. Hemat penulis, kitab ini merupakan bentuk pengulangan dan penegasan, karena Prabu Darmasiksa bukanlah penganut agama Sunda yang pertama, bahkan keberadaan ageman Jati Sunda sudah diketahui pada masa Aki Tirem, untuk kemudian jati kasilih dan bersentuhannya dengan budaya dari India (Jati ka silih ku junti). Namun memang setelah masa Prabu Darmasiksa agama Sunda Wiwitan menjadi agama resmi kerajaan.

Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada paham Monoteisme atau percaya akan adanya keberadaan Hyang itu gaib dan Tunggal, tidak jamak. Hyang atau Sanghiyang didalam Ensiklopedia Sunda ditujukan untuk menyebutkan Yang Maha kuasa, menurut kepercayaan Sunda lama adalah Sang hyang Keresa (Maha Pencipta), disebut juga Batara Tunggal (Yang Esa), atau Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Semua Dewa yang datang kemudian, tunduk kepadanya. Oleh karenanya Sanghyang dianggap memiliki hirarki tertinggi di bandingkan para dewa.

Paradigma yang menempatkan hiyang sebagai hiraki pembaktian tertinggi di temukan, antara lain didalam naskah-naskah :

1. Uraian tentang Dasa Prebakti yang ditulis didalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan, yang menyebutkan : “Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa; ewe bakti di laki; hulun bakti di pacandaan; sisya bakti di guru; wang tani bakti di wado; wado bak ti di mantri; mantri bakti di nu nangganan; nu nangga nan bakti di mangkubumi; mangku bumi bakti di ratu; ratu bakti di dewata; dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebakti”. (Dana Sasmita,dkk. 1987: 74,96). Artinya : “ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; isteri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan; siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hiyang. Yaitulah yang disebut dasa prebakti”.

2. Naskah Paningkes, atau Naskah Panikis menyebutkan :
“…katanya, jika wiku ‘pendeta’ bersamadi (memuja) dewata, hilanglah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri ….”. (… baruk da sang wiku lamun muja ka dewata langit kawikwana ma pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na kapanditaan ja kassarkon kati nong sarwa dingan trisna bala swarangan …”). (Ayatrohaedi, :15,33)

Nakah ini berhubungan pula dengan naskah terakhir dari Sanghyang Siksa KandaNg Karesyan, bahwa ketentuan ini sudah ditentukan sejak alam diciptakan oleh Batara Seda Niskala, sebagai Yang Hak dan Yang Wujud. Naskah tersebut berbunyi demikian :

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana : Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besa warma, bakti ka Batara! Basana : Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara : Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahimanggih keun situhu lawan preityaksa. (Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya : Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwah, baktilah kepada Batara! Ujarnya : India. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya : Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Semua menemukan Yang Hak dan Yang Wujud)

3. Naskah Jatiraga menyebutkan Batara Jati Niskala, sebagai kekuatan adikodrati :
Batara Jati Niskala, Tema(h)han Batara Niskala, Yata dewata niskala, Pitu racok jadi tunggal, Mari sirnanan tu.”
Artinya : Batara Jatiniskala adalah penjelmaan Batara Niskala yakni yang bersifat gaib, tampil tujuh menjadi tunggal, demikian semuanya itu. (Darsa dan Edi S. Eka djati, 2006: 129 dan 149).

Sifat Hyang tercermin dari nama-nama yang diberikan kepadanya, yaitu BATARA NISKALA ATAU JATNISKALA yang bersifat gaib, SANGHYANG JATINESTEMEN (hakikat keteguhan), didalam naskah Serat Dewa Buda disebut SANGHYANG TAYA. Ia menjelma menjadi tujuh sanghiyang, dengan sebutan TUJUH GURIANG. Tujuh Guriang ini dapat ditemukan didalam naskah Jatiraga (koropak 422), yakni :

1. Sang Hyang Ijuna Jati
2. Sang Hyang Tunggal
3. Sang Hyang Batara Lenggang Buana
4. Sang Hyang Aci Wisesa
5. Sang Hyang Aci Larang
6. Sang Hyang Aci Kumara
7. Sang Hiyang Manwan (Melihat/Manon).

Guriang Tujuh saat ini banyak ditafsirkan sebagai indra manusia, yakni mata (penglihatan); hidung (pencium); mulut (pengucap); telinga (pendengar); pikir; hati (rasa); dan birahi, yang harus dikendalikan agar bermanfaat dan tidak menjadi sumber malapetaka.

Naskah JATIRAGA menyebutkan pula :
“Berhasilah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan ….” (Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 149).

Inilah yang disimpulkan Munandar (2010 : 41), bahwa Sang Hyang Jatiniskala benar-benar bersifat niskala, tidak dapat terbayangkan, tidak dapat dikonkritkan. Kalaupun dikonkret kan harus diambil dari alam dalam wujud aslinya, “sebab aku adalah asli dan dari keaslian’, tidak perlu dirubah dalam bentuk benda alam, yang tidak asli dan tidak jujur, sebab “aku adalah jujurnya dari kejujuran”. SANGHIYANG NISKALA tidak muncul dalam bentuk nyata, tidak berwujud, atau tidak seperti SIWA MAHA DEWA yang masih dibayangkan dalam ben tuk arca bertangan empat, memiliki mata ketiga didahi, memakai UPAVITA (tali kasta) naga dipuncak kepala. SANG HYANG TUNGGAL atau SANGHYANG JATINISKALA bukan menunjukan Siwa.

Tentang dzat pencipta yang tunggal ditemukan pula didalam naskah SANG HYANG RAGA DEWATA, yang menuliskan :
“Hanteu nu ngayuga aing, Hanteu manggawe aing, Aing ngarana maneh, Sanghiyang raga dewata”. (Ekadjati dan Endang Undang A. Darsa 2004, 2004).
Artinya : “…Tidak ada yang menjadikan Aku, Tidak ada yang menciptakan Aku, Aku menamai diri sendiri, Sang Hiyang Raga Dewata ….”

Naskah tersebut menjelaskan pula tentang sifat-sifat Sang Hiyang Raga Dewata, yakni :
“…datang tanpa rupa, tanpa raga, tak terlihat perkataan (senantiasa) benar, rupa direka, karena ada. Akulah yang menciptakan tetapi tak terciptakan, Akulah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Akulah yang menggunakan tetapi tidak digunakan ….”. (ibid).

Sifat-sifat Sang Hiyang Raga Dewata tersebut sama dengan Sang Hiyang Jatiraga atau julukan lainnya Jatniskala, Jatinistemen, atau Sang Hyang Tunggal. (Munandar, 2010). Itulah hakekat tertinggi dalam sistim keyakinan Sunda Buhun. Dan inilah konsep HYANG dalam agama Sunda Buhun.

BALIK KA HYANG

Menurut Engkus Ruswana, salah satu tokoh penganut ajaran Sunda Wiwitan mengemukakan, bahwa: Gambaran Kahyangan terungkap dalam Pantun Langgasari Kolot, yang menyebut tiga alam atau tiga buana, yakni :

~ Buana Nyungcung, yaitu tempat bersemayamnya SangHyang keresa.
~ Buana Pancatengah tempat berdiamnya manusia dan mahluk lainnya.
~ Buana Larang atau neraka.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah.
Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang.
Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana.
Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes.
Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda.
Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.

Diantara Buana Nyungcung dan Buana Pancatengah terdapat 18 lapisan alam atau Mandala, yang dilalui Manusia setelah meninggal dunia.
Tingkatan alam tersebut sebagai berikut :
01. Bumi Suci Alam Padang.
02. Sang Hyang Burung Ribut.
03. Sang Hyang Sorong Kancana
04. Bumi cengcerengan.
05. Bumi Putih.
06. Bumi Hawuk.
07. Bumi koneng.
08. Bumi Hejo.
09. Bumi Hideung.
10. Bumi Beureum.
11. Bumi Pohaci, kerepek seah patapan Hujan.
12. Paguruh Paguntur Patapan Gugur.
13. Mega Siantrawela.
14. Mega Sikareumbingan.
15. Mega Sikarambangan
16. Mega beureum.
17. Mega Malang.
18. Mega Manggul

Didalam tradisi para prepantun Bogor (Ki Panjak) mengenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan alam (mandala), sejak di dunia fana dan alam baka. Ke sembilan mandala tersebut adalah:
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Parmana
3. Mandala Karna
4. Mandala Rasa
5. Mandala Seba
6. Mandala Suda
7. Jati Mandala
8. Mandala Samar
9. Mandala Agung.

Sejak dari Jati Mandala maka wilayah tersebut sudah termasuk Mandala Kasucian, tempat berdiamnya para Karuhun (leluhur) yang sudah dapat turun kebumi serta menitis. Namun Manadala Agung diyakini sebagai :

“…nyaeta mandala anu disebut Mandala Agung tea…! nya di dinya ayana : Sanghiyang Tunggal…anu Nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat.

Naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga, sebagaimana ditulis oleh Undang A Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006), pada intinya membagi jagat raya menjadi tiga, yaitu SAKALA; NISKALA dan JATINISKALA. Sakala atau dunia nyata dihuni oleh berbagai makhluk yang memiliki jasmani dan rohani. Mereka disebut manusia, hewan, tumbuhan, serta benda-benda lain yang dapat dilihat, bergerak dan yang diam. Niskala atau Dunia gaib, dihuni oleh berbagai makhluk yang tak berjasad, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, ruh-ruh netral atau syanu, BAYU (KEKUATAN), SABDA (SUARA) dan HEDAP (ITIKAD). Semua memiliki tugas di neraka maupun di sorga. Jatiniskala, atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon (Melihat), Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijunati Nistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia ada dalam Dzatnya.

Munandar (2010) sama halnya dengan diatas, membagi menguraikan alam menjadi tiga. Dan menghubungkan dengan makna dari pantun Bogor, tentang perumpamaan “Pamujan batu nu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan”, serta undakan suci yang ada dikampung Sindangbarang. Undakan ini sama hal dengan posisi tanah di setiap kabuyutan, yang memiliki tiga undakan.

Inilah penggambaran jagat raya, dimana posisi Jatiniskala dihuni oleh Sanghyang Jatiniskala, atau didalam pantun Bogor disebut : “Mandala Agung tea. Nya didinya ayana Sanghiyang Tunggal, anu nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat”.

Sedangkan : “pamujaan batu nu tujuh” menggambarkan Guriang Tujuh, sebagai pengejawantahan dari Sanghiyang Jatniskala.

Pemujaan terhadap Hyang tidak menghilangkan fungsi dari dewa-dewa lainnya, namun tetap ditempatkan di bawah Hyang. Tempat Hyang berada di Parahiyangan bukan di dunia. Parahiyangan memiliki beberapa tingkatan. Tingkat paling bawah dihuni oleh para dewa Panteon lain. Diatasnya di tempati Dewa dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati. Di atasnya lagi dihuni oleh Dewi Sri (Pwa Sanghyang Sri), Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini), Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini). Posisi ini berada pada tataran alam Sakala Niskala.

Lebih jauh Munandar menjelaskan pula, bahwa tataran dalam bentuk konkrit, seperti arca batu, yantra, kitab agama, batu tertentu, ekagantra dan lain-lainnya yang sifatnya fisik, seperti yang nampak di alam manusia, berada di tataran Sakala. Inilah pembagian jagat raya dalam paradigma agama Sunda Buhun.

Konsepsi keagaamaan Sunda Buhun pada dasarnya tidak mengenal bahwa Sang Hyang tidak muncul dalam bentuk nyata, namun untuk alasan apapun agak sulit mempertegas, bahwa sanghyang dapat dikonkretkan dalam bentuk apapun, se bagaimana yang nampak nyata dialam Sakala maupun Sakala Niskala. Jika pun mungkin tentunya harus diambil dari “alam dalam wujud aslinya”.

Naskah Jatiraga menjelaskan hal ini, sebagai berikut : “Hakekat Jatinistemen berkata, nah bayu sabda hedap, bagaimana mungkin muncul bentuk nyata, karena aku sebenarnya dalam hakikat Jati nistemen; sebab aku adalah bebasnya dari kebebasan, sebab aku adalah mustahilnya dari kemustahilan, sebab aku adalah mungkinnya dari kemungkinan, sebab aku adalah sirnanya dari kesirnaan, sebab aku adalah lepasnya dari kelepasan, sebab aku adalah aslinya dari keaslian, sebab aku adalah jujurnya dari kejujuran …”.

Hyang didalam naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga ditempat sebagai tujuan manusia yang paling tinggi, merupakan cita-cita jika atma (roh) manusia dikelak kemudian hari harus keluar dari kurungannya. Jatiniskala atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon, Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijunati Nistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia ada dalam Dzatnya.

Suasana di Jatiniskala digambarkan suka tanpa mengenal duka, kenyang tanpa mengenal lapar, hidup tanpa mengenal mati, bahagia tanpa mengenal nestapa, baik tanpa mengenal buruk, pasti tanpa mengenal kebetulan, lepas tanpa mengenal ulangan hidup. Menurut Saleh Danasasmita (1987) alam Jatiniskala, sebagai tempat : “Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik pati, sorga tanpa balik papa, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan, moksa tanpa balik wulan”.

Kembali ke Jatiniskala adalah cita-cita orang dahulu yang saleh, sehingga kematianpun disebut ngahyang, dari ada menjadi gaib, atma menuju tempat bersemayamnya Hyang. Peristiwa ngahiyang ada dua cara.

Pertama, Atma manusia menuju alam kalanggengan namun jasadnya masih tetap di dunia. Kedua jiwa dan raganya lenyap, ngahiyang atau tilem. Didalam metologi urang Sunda dikenal dengan tilem, mendasar kan pada pemikiran bahwa manusia meminjam jasad dari yang berhak.

Seperti jika manusia meminjam barang maka harus dikembalikan seluruhnya kepada pemiliknya, termasuk raganya. Berdasarkan mitologi pula menyatakan, bahwa ngahiyang sebagaimana yang kedua sangat jarang terjadi, kecuali jika manusia semasa hidup dapat menghindarkan semua perbuatan (tapa) yang buruk.

Teks buhun umumnya mengabarkan perihal cita-cita urang sunda buhun jika meninggalkan alam dunya, yakni : “balik ka Hyang lain ka Dewa”. Kita harus memperteguh diri, menertibkan hasrat, ucap dan budi. Bila hal itu tidak diterapkan dan dilakukan oleh orang-orang dari golongan rendah, menengah dan tinggi semua akan dijerumuskan ke dalam neraka Si Tambra Gohmuka. Karena ilmu manusia terungguli oleh dewata. Demikianlah kata Sanghyang Siksa.

Cendikiawan Muslim Klasik, Al-Biruni: “Ada Kesamaan Monotheistik Hindu dan Islam

$
0
0

Al Biruni, cendekiawan Muslim klasik, menyebut Hindu sama monoteismenya dengan Islam.

Berbagi tulisan lama di bawah ini.

—————-

Al Biruni, Toleransi dan Multikulturalisme

Oleh Farid Gaban

Seribu tahun lalu di sebuah kota kecil Khat, kini di wilayah Uzbekistan, lahir satu orang yang jarang disebut dalam sejarah Islam, namun sebenarnya layak dikenang. Al Biruni namanya. Dia dikenal sebagai polymath, pemikir serba bisa, salah satu “Leonardo da Vinci” dalam sejarah Islam.

Kecintaan Al Biruni pada astronomi membuat namanya diabadikan sebagai nama sebuah kawah di bulan. Tapi, dia tidak hanya menguasai astronomi. Al Biruni mengkaji geodesi, geografi, geologi, sejarah, bahasa, matematika, ilmu alam, farmasi, filsafat, kedokteran, dan fisika. Dia menguasai bahasa Arab, Persia, Yunani dan Sanksekerta.

Kemahiran Biruni dalam bahasa Sansekerta lah, salah satu yang paling istimewa, yang antara lain membuatnya dikenal sebagai antropolog Islam pertama.

Berkelana selama 20 tahun di India (1010-1030), Al Biruni mengkaji filsafat, sains dan budaya Hindu dari jantungnya dan dari ahlinya—rohaniawan Hindu sendiri. Sebagai imbalannya, kepada mereka dia mengajarkan bahasa Yunani dan Arab, serta filsafat-sains Islam.

Riset besarnya di India dia tuangkan dalam bukunya berbahasa Arab: “Kitab al-Hind”. Di situ Al Biruni menyajikan secara rinci kehidupan, agama, bahasa dan budaya India. Dari 132 buku yang ditulisnya, inilah buku yang paling dikenal dan dipujikan sampai sekarang. Sebuah maha karya antropologi.
Al Biruni juga menerjemahkan dua buku filsafat Hindu ”Patanjali” dan ”Sakaya” ke dalam bahasa Arab. Buku pertama berisi tentang kehidupan setelah mati, dan buku kedua tentang penciptaan segala hal.

Tapi, untuk apa sebenarnya dan atas dorongan motivasi apa seorang Muslim yang taat seperti Al Biruni mendalami ajaran Hindu hingga ke akarnya? Tidakkah menerjemahkan dan menulis tentang ajaran ”kaum kafir” untuk pembaca Muslim bisa disebut ”kafir” juga?

Pertama-tama, seluruh hidup Al Biruni sendiri merupakan pengembaraan ilmiah tiada habis. Gairahnya yang besar pada ilmu pengetahuan dan keingintahuan terhadap segala sesuatu dicerminkan oleh pernyataannya yang terkenal: “Kemahabesaran Allah tidaklah membenarkan pembiaran terhadap kebodohan dan ketidaktahuan.”

Tapi, bagi Al Biruni, pencarian ilmu tidaklah sekadar untuk ilmu belaka. Membandingkan Hindu dan Islam, Al Biruni berkesimpulan betapa berbeda keduanya: sementara Islam mengakui persamaan derajat manusia, Hindu mengenal sistem kasta. Bagi Al Biruni, umat Islam harus mempelajari Hindu serta mengenali perbedaannya agar bisa berdialog, mengakui perbedaan dan hidup berdampingan secara damai.

Al Biruni tidak melihat perbedaan mendasar Hindu-Islam sebagai sumber niscaya dari ”benturan peradaban”. Dan andai Samuel Huntington juga mengikuti jejaknya, dunia sekarang mungkin akan lebih damai.

Banyak kaum Muslim kini memang mengutuk teori Samuel Huntington dan para orientalis Barat pada umumnya, untuk membenarkan ketegangan dan konflik terus-menerus antara Islam dan Barat (Kristen). Namun, banyak dari mereka, tanpa sadar dan sikap kritis, sebenarnya mengambil dan menerapkan argumen Huntington dalam kehidupan sehari-hari. Mereka selalu curiga dengan segala yang berbau bukan-Islam, yang sebenarnya lebih mencerminkan watak kurang percaya diri.

Al Biruni menunjukkan betapa penting kita mengkaji dan mendalami ajaran serta budaya lain; justru karena begitu berbedanya. Al Biruni juga menunjukkan sebuah keberanian intelektual luar biasa untuk mencebur dan memaparkan ajaran dan kebudayaan lain tanpa prasangka dan apa adanya. Sikap seperti itu tidak merendahkan Islam, melainkan justru memuliakannya. Sebuah sikap percaya diri yang sehat.

Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi dari India, beberapa tahun lalu menyebut Al Biruni sebagai salah satu teladan dari pemikiran multikulturalisme dan kosmopolitanisme. ”Salah satu ilmuwan terbesar sepanjang masa yang daya kritisnya, toleransi, serta kecintaannya pada kebenaran dan keberanian intelektualnya hampir tak punya tandingan di abad pertengahan.”*

SUNDA – (Pikukuh Kenegaraan, Kebangsaan, Kemasyarakatan, & Kemanusiaan)

$
0
0

SUNDA – (Pikukuh Kenegaraan, Kebangsaan, Kemasyarakatan, & Kemanusiaan)

by LQ Hendrawan on Sunday, 22 April 2012 at 15:46 ·
(Nuhun, kang…)
Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih, kacamata gelap dan topi
 
– BAGIAN 1-
Sudut Pandang Pikukuh Sunda Tentang Proses Penciptaan & Dinamikanya,
Bumi Dega 21 April 2012
Sampurasun
1. Pitutur para sepuh tentang proses terjadinya Sunda & Planet Bumi
 
  • Awalnya Yang Maha Kuasa membentuk “Jagat Suwung”, yaitu ‘sesuatu’ yang gelap, kosong, hening. Tidak ada barat, timur, utara, selatan, singkatnya… sebuah keadaan yang sulit terciptakan (cipta = pikir).
  • Tahap selanjutnya Yang Maha Kuasa menghadirkan suatu suara seperti “Tawon Laksaketi”(berjuta-juta tawon) yang berbunyi “Huuuung…”. Dunia ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai “Suara Kosmik”.

  • Dari pusat suara munculah jentik-jentik sinar cemerlang “Hyang Putih / Ingyang Putih”sebesar ‘sayap nyamuk’. Dalam bahasa ilmu pengetahuan modern model ini disebut “molekul cahaya”. Semakin lama semakin menggumpal, membesar dan terus membesar.
  • Gumpalan, kumpulan molekul (atom ?) itu semakin lama semakin besar dan memadat maka jadilah “Sang Hyang Tunggal”, sebuah sumber cahaya gemilang yang agung dan suci serta tidak ada bandingnya.
  • Atas kehendaknya (Yang Maha Kuasa ?), Sang Hyang Tunggal memecah dirinya menjadi beberapa bagian dan menyebar di Jagat Suwung. Ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai “Big Bang”, istilah itu dipelopori oleh Stephen Hawking.
  • Pecahan dari Sang Hyang Tunggal menyebar mengisi Jagat Suwung dan kembali menjadi jentik-jentik sinar yang berpencar. Saat ini kita mengenalnya dalam tiga (3) kelompok : Kartika(Bintang), Surya (Matahari), Chandra (Bulan) atau sering disebut sebagai susunan “Tata Surya”.
  • Salah satu dari milyaran tata surya pengisi Jagat Suwung adalah Matahari kita yang dikelilingi oleh planet-planet, dan planet-planet tersebut pun hasil pemisahan (ledakan) dari Matahari itu sendiri.
  • Maka, Matahari kita itu merupakan putra dari Sang Hyang Tunggal dan atau cucu dari Hyang Putih.
  • Matahari dikenal sebagai Sang Hyang Manon atau lebih populer disebut Batara Guru yang artinya adalah “yang senantiasa memberikan / menyampaikan penerang sebagaicahaya kehidupan (*gerak)”.
2. Arti Kata “Sunda”.
  • Matahari adalah “api sejati yang sangat besar” dan dituliskan dalam susunan kata SU(sejati) – NA (api / geni / agni) – DA (agung / besar / gede) atau sering disebut sebagaiSUNDA.
  • Kita dapat menemukan istilah “Sunda” dalam beberapa penamaan seperti; Gunung Sunda (+Purba), Selat Sunda, Sunda-Ra, Kepulauan Sunda Besar – Sunda Kecil, dst. Bahkan seorang filsuf Yunani, Plato menyebutnya sebagai Sunda-Lan atau Ata-Lan atau boleh jadi artinya sama dengan Atlan (Atlantis).
  • Maka, Sunda sama sekali bukan nama sebuah ras atau suku pun etnis, apalagi hanya berupa batas wilayah sebesar Jawa-Barat. Sebab, Sunda merupakan tatanan besar yang berlandas kepada nilai-nilai filosofis “ke-Matahari-an”.
  • Betul bahwa pusat “Sunda” itu ada di Jawa Barat hal tersebut karena keberadaan Gunung Sunda Purba / Gunung Matahari / Gunung Batara Guru / Gunung Cahaya, dalam bahasa Yunani kuno disebut sebagai Gunung Olympia (Olympus = Cahaya) dikenal sebagai tempat tinggal para dewa. Hal ini pula yang menyebabkan mayoritas wilayah di Jawa-Barat menggunakan istilah “Ci” artinya “Cahaya”. Istilah ”Ci” tentu tidak sama dengan “Cai”  yang berarti kemilau yang dipantulkan dari permukaan tirta / banyu / apah / air.
3. Sang Guru Hyang & Da Hyang Sumbi
  • Dari cerita Wayang Purwa dikisahkan bahwa
    • Batara Guru jatuh cinta kepada Batari Uma / Dewi Uma.
    • Batari Uma berobah menjadi Batari Durga & dikawini oleh Batara Kala.
  • Arti kata “Guru” adalah yang selalu bersinar / senantiasa menerangi / pemberi kebenaran. Sedangkan arti kata “Batara” ialah “yang menyampaikan (yang menyinari) gerak kehidupan”.
  • Dalam pikukuh Sunda keluhuran budi-pekerti & dharma bakti agung pada diri seseorang menyebabkan ia layak (disetarakan) sebagai sosok “Guru”. Adapun derajat yang tertinggi dan paling sepuh disebut Sang Guru Hyang (Sang Guriang) yang artinya adalah Saka Guru(Guru yang Tertinggi / Puncak tertinggi dari segala Guru / Cahaya) dan itu sama denganMatahari disisi lain hal tersebut maknanya sama dengan “Sunda”.
  • Batari Uma (Ma / Umi / Ambu / Ibu / Umbi / Bumi) sesungguhnya merupakan pecahan dari Matahari (Batara Guru / Sunda), didapat dari hasil ledakan besar yang kemudian bergerak mengeliling Matahari menjadi bagian dari Tata-Surya (Solar System).
  • Batari Uma atau Dewi Uma pada mulanya bersinar terang seperti halnya Batara Guru, namun lama-kelamaan sinarnya semakin padam dan permukaannya berobah menjadi tanah yang bergelombang. Tentu saja hal tersebut akibat ia menjauh dari Matahari (Batara Guru), kejadian itu diumpamakan sebagai “kutukan” Batara Guru kepada Dewi Uma yang kemudian berobah nama menjadi Batari Durga yang buruk rupa.
  • Setelah Dewi Uma kehilangan cahaya dan menjadi Batari Durga maka ia dikawini oleh Batara Kala, yang artinya ialah terkena hukum “waktu” maka terjadilah peristiwa waktu & ruang di planet Bumi.
    • Waktu (Kala) ditentukan oleh Matahari
    • Ruang (Pa) ditentukan oleh Bumi
Namun demikan, walaupun Dewi Uma telah menjadi Batari Durga ia masih mengandung putra dari Batara Guru dan saat ini kita menyebutnya sebagai “Magma” (api yang ada di perut Bumi) yang kelak melahirkan berbagai jenis batuan serta unsur-unsur lainnya sebagai penunjang kehidupan para penduduk Bumi.
Peristiwa tersebut dalam Pikukuh Sunda diabadikan dengan sebutan Bua-Aci (‘buah’-aci) atau lebih dikenal sebagai Sang Hyang Pohaci, yang senantiasa memberikan kesuburan (*kehidupan)kepermukaan tanah. Dari sebutan atau ungkapan tersebut pada saat sekarang membuat kita mengenal istilah “buah” (*phala / pala / pahala) serta istilah “Bua-na” yang kelak berobah menjadiBanua (Benua).
Perobahan dari Dewi Uma menjadi Batari Durga (*karena tertutup tanah) menyebabkan perut Bumi harus dapat mengeluarkan panas Bumi (magma), maka lahirlah sebuah “cerobong raksasa” yang disebut sebagai Gunung Sunda (Gn. Batara Guru).
  • Pada dasarnya Dayang Sumbi itu berasal dari kata Da-Hyang – Su-Umbi , yang artinya :
    • Da = Agung / Besar
    • Hyang = Moyang / Eyang / Biyang / Leluhur / Buyut.
    • Su = Sejati
    • Umbi = Ambu / Ibu
  • Dayang Sumbi mengandung makna: Leluhur Agung Ibu Sejati atau setara dengan sebutan Buana / Ibu Pertiwi / Bumi / Earth.
Maka jika disimpulkan, kisah / legenda Sang Guru Hyang & Da Hyang Su Umbi itu lebih kurang memaparkan tentang kejadian / hubungan antara Matahari & Bumi, keberadaan   “Waktu & Ruang” (Kala & Pa) dan khususnya berceritera tentang “awal kehidupan manusia di muka Bumi” yang intinya menyatakan bahwa “waktu & ruang merupakan hukum kehidupan”.
4. Situmang = Trisula Naga-Ra
Dalam kisah Sang Guru Hyang diceriterakan bahwa Dayang Sumbi pada akhirnya kawin (bersanding) dengan Situmang, yaitu seekor anjing yang membantu membawakan gulungan benang yang terjatuh ketika Dayang Sumbi sedang menenun. Perkawinan mereka menghasilkan sosokSangkuriang (Sang Guru Hyang).
  • ‘Sangkuriang’ atau sebut saja Sang Guru Hyang yang ke II ini maknanya adalah kelahiranNegeri Matahari (Dirgantara) sebagai pusat Keratuan / Keraton Dunia, atau kelahiran pola ketata-negaraan yang pertama di dunia yang ditandai oleh Gunung Sunda Purba atau Gn. Matahari / Gn. Batara Guru. Saat ini tersisa sebagai Gn. Tingkeban Pa-Ra-Hu, dan sekarang kita menyebutnya sebagai Gn. Tangkuban Parahu.
Setelah keberadaan wilayah beserta penduduknya, bentuk kemasyarakatan diawali dengan adanyaTata / Aturan / Hukum yang berupa Tri Su La Naga-Ra (Tiga Kesejatian Hukum pada sebuahNegara), atau dalam silib & siloka SITUMANG yaitu terdiri dari :
–          Rasi / Datu berkedudukan sebagai pengelola kebajikan, wilayahnya disebut “Karesian / Kadatuan atau Kedaton”.
–          Ratu berkedudukan sebagai pengelola kebijakan, wilayahnya disebut Keratuan / Keraton.
–          Rama berkedudukan sebagai pembentuk kebijakan dan kebajikan, wilayahnya disebut“karamat” atau sering disebut sebagai “kabuyutan” atau wilayah para leluhur / luhur / gunung (*?) = (tanah suci).
–          Hyang merupakan sumber ajaran kebijakan dan kebajikan, wilayahnya disebut Pa-Ra-Hyang.
 
Adapun sosok binatang “anjing” merupakan metafora atau perumpamaan dari watak “kesetiaan”. Simbolisasi tersebut tentu sangat sesuai dengan kenyataan yang berlaku dan layak dipergunakan sebagai pola tanda seperti halnya Sang Hyang Gana (Ganesha) yang mempergunakan siloka “gajah”, ataupun konsep pemerintahan yang dilambangkan dalam bentuk “harimau” (mang / hitam – ang/merah  – ung/putih = maung).
5. Awal Kenegaraan Dunia “Layang Saloka Domas & Saloka Nagara”
Secara logika tentu awal keberadaan sebuah negara harus memenuhi beberapa syarat, yaitu : kepastian hukum, keberadaan wilayah, masyarakat, aparatur pemerintahan, serta pengakuan. Tanpa salah-satunya terpenuhi maka tidak layak disebut sebagai sebuah negara.
Maka demikian pula dengan kelahiran pemerintahan ditatar Sunda yang konon (*berdasarkan catatan sejarah yang ada hingga saat ini) diawali dengan adanya sebuah Keratuan yang bernama“Salokanagara / Salakanagara”. Tentu ‘kerajaan’ tersebut mustahil ada jika tidak diawali oleh adanya “nilai-nilai ajaran” yang menjadi sebuah peraturan / hukum. Itu sebabnya masyarakat kita mengenal istilah “Layang Saloka Domas” yang artinya :
–          La = Hukum
–          Hyang = Leluhur
–          Sa = Esa / Tunggal / Satu
–          Loka = Tempat / Wilayah
–          Domas = Tidak Terhingga / invinity / 8
Arti keseluruhannya ialah :  Kesatuan Wilayah Hukum Leluhur (yang) Tidak Terhingga.
Adapun Saloka Nagara pada dasarnya merupakan wilayah kekuasaan hukum yang sangat besar.Sa-Loka Naga-Ra (*Salaka Nagara ?) artinya adalah :
–      Sa = Esa / Tunggal / Satu
–      Loka = Tempat / Wilayah
–      Naga = *…lambang penguasa darat & laut (samudra).
–      Ra = Matahari
Saloka Naga-Ra berarti : Kesatuan Wilayah Kekuasaan Darat & Laut (negeri) Matahari.
6. Aki ‘Tirem’
Menyentuh jaman Saloka Nagara tentu tidak terlepas dari keberadaan Aki Tirem yang mempunyai makna sebagai berikut;
–      Aki = Leluhur / Kokolot / Sesepuh / Tohaan / Tuhaan (‘Tuhan’).
–      ‘Tirem’ = (…………beberapa kemungkinan arti) :
  • Tarum / Taru-Ma (Kalpataru / pohon hayat / kehidupan).
  • Ti-Rum / Rumuhun
  • Ti-Ram / Rama
Jika “Tirem” itu adalah kata lain dari “Taru-Ma” (*taru = tree / pohon, dan ma = uma / bumi / ambu / ibu) maka istilah “Aki Tirem / Taruma” bisa mengandung makna sebagai “Pohon keluarga para leluhur Bumi”.
Tabe Pun, Rahayu Sagung Dumadi _/|\_

 

Semua Agama Adalah Agama Langit Dan Monoteistik

$
0
0

Oleh

Tak Berkategori14 Views

Bogor, 5News

Berdasarkan penilitian yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, para ahli sejarah yang mengkhususkan penelitiannya dalam konteks sejarah agama-agama di dunia, menyimpulkan bahwa kemungkinan besar, agama Budha dan Islam memiliki keterkaitan sejarah. Hal ini diungkapkan oleh Ahmad Yanuana Samantho S.IP. MA. (53) Sekretaris II Ormas Sunda Langgeng Wisesa, Jawa Barat , yang juga penulis buku best seller, ISIS Dan Illuminati.

Saat dihubungi wartawan, Ahmad mengatakan, “Keterkaitan antar agama bisa dilihat dari segi kesejarahannya, atau dari segi substansial ajarannya, terutama dari aspek esoterisnya atau dari dimensi spiritual ruhani nya (Perennial Philosophical Mysticism),”.

“Dikotomi agama langit dan agama bumi itu istilah buatan manusia saja,” ujarnya.

“Langit dan bumi sama sama ciptaan Allah SWT, disebut agama bumi karena dianggap sebagai produk budaya atau akal budi manusia, sejatinya juga Tuhan YME yg menciptakan dan memberi ilhamnya,” ungkapnya.

Menurut Ahmad, tidak ada dikotomi murni “Agama Bumi vs Agama Langit”. Semua agama meyakini hanya ada satu Tuhan YME, walaupun manusia menyebutnya dengan berbagai nama yg berbeda.(hsn)

 

Puasa adalah Miniatur Suluk

$
0
0
  in Ramadania

Oleh Haidar Bagir[1]

Suluk atau jalan/praktik/laku bertasawuf biasa dipahami sebagai melakukan mujahadah (perjuangan  keras menaklukkan hawa nafsu/keakuan yang bisa mendorong kepada maksiat) dan riyadhah (praktik spiritual melakukan pendekatan kepada Allah lewat ibadah wajib dan Sunah, serta berbagai bacaan zikir, wirid, dan hizib).

Tujuan puncaknya adalah mencapai Ihsan. Yakni, hubungan pemujaan/cinta kepada Allah, yang begitu intens, dalam bentuk masuknya kita ke hadirat Ilahiyah, dalam pertemuan berhadap-hadapan/musyahadah dengan-Nya. Dalam ungkapan berbeda, segitiga mujahadah-riyadhah-ihsan ini biasa dirujuk sebagai proses takhalliy- tahalliy-tajalliy.

Takhalliy – bermakna pengosongan – maknanya sejajar dengan mujahadah. Yakni pengosongan hati kita dari nafsu keakuan/egoisme yang cenderung mendorong kita untuk berbuat maksiat. Tahalliy – bermakna penghiasan – kiranya sejajar dengan riyadhah. Yakni mengisi hati kita dengan nilai-nilai ibadah yang sesungguhnya  mencakup – bukan hanya gerakan-gerakan lahir – tetapi lebih penting lagi merupakan aktivitas batin.

Jika kita selesai dengan takhalliy dan tahalliy, maka kita pun akan mencapai tahap bertajalliynya Allah Swt. di dalam hati kita. Inilah tingkatan Ihsan. Sabda Nabi: “Allah itu indah dan menyukai keindahan”. Maka Dia hanya akan bersemayam di tempat yang indah yang sudah terhiasi. Yakni hati yang sudah bebas dari nafsu amarah dan telah dipenuhi dengan ibadah-ibadah yg memenuhi nilai-nilai kekhusyukan dan kekhudhu’an (kehadiran dan merendahkan hati).

Ada 4 Rukun mujahadah:

1. Qillatut-tha’am, yang untuk masa sekarang kiranya lebih pas diterjemahkan sebagai “konsumsi seperlunya.” Biasa juga disebut dengan zuhud.

2. Qillatul manam, yakni tidur seperlunya. Biasa juga disebut sebagai sabar.

3. Qillatul kalam (bicara seperlunya). Biasa juga disebut dengan shamt.

4. Yang terakhir adalah i’tuzalul anam (menarik diri dari pergaulan yang berlebihan). Biasa juga disebut sebagai ‘uzlah saja.

Ibnu Arabi menambah dengan unsur ke-5, yakni meniru Rasul saw.

Mujahadah melepaskan beban-beban (maksiat) kita, sedang riyadhah menjadi sayap-sayap kita untuk terbang ke hadirat-Nya.

Lihatlah betapa ibadah (di bulan) puasa – termasuk berbagai anjuran mengisi waktu dengan memperbanyak ibadah Sunah, mendaras Quran, melakukan zikir-zikir dan wirid-wirid, qiyamul-lail – sesungguhnya merupakan miniatur dari suluk.

Termasuk meniru Nabi yang disebutkan dalam Sunah: “Nabi adalah orang yang banyak bersedekah. Tapi, dalam bulan puasa, sedekahnya seperti angin, mengalir ke sana dan ke mari tanpa henti.” Lihat betapa semua unsur mujahadah dan riyadhah ada di dalamnya.

Maka, jika seseorang hendak memiliki modal awal yang besar untuk bertasawuf atau bersuluk (sepanjang tahun), maka memaksimumkan kualitas ibadah (di bulan) puasa adalah jalan yang terbaik.

Itu pula sebabnya Allah begitu memuliakan ibadah (di bulan) puasa hingga ke tingkat ibadah termulia. Sedemikian hingga Dia berfirman: “Ash-shawmu lii wa anaa ajzii bih,”yang artinya, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan menyampaikan pahalanya.”

Mudah-mudahan Allah Swt memberikan hidayah, ‘inayah dan tawfiq-Nya agar kita bisa beribadah (di bulan) puasa yang telah menjelang, dengan sebaik-baiknya, sehingga hal ini bisa menjadi pembuka suluk kita menuju ihsan, menuju tajalli-Nya, terbang dari alam dunia rendah ini hingga sampai ke hadirat-Nya.


Catatan Kaki:

[1] Haidar Bagir, Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan dai Islam Cinta.

SUMBER:

Puasa adalah Miniatur Suluk

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live