Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Proxy War: Hard Game Politik Berkedok Islam Menjelang 2019

$
0
0

Teman saya seorang aktifis International yang bermarkas di Dubai mengirim email ke saya. Baiknya saya lampirkan emailnya sebagai berikut (terjemahan bebas ).

My dear friend,
Saya merasa prihatin dengan keadaan Indonesia belakangan ini. Dari sumber saya di Jakarta mengatakan bahwa politisi berbasis Islam berusaha memperovokasi gerakan bawah tanah islam radikal , aktifis kampus yang berbasis Islam , ormas islam untuk ikut ambil bagian dari hard game menuju Pemilu 2019. Masalah Ahok hanyalah pintu masuk menuju hard game itu. Demontrasi kemarin tanggal 4 november adalah sebagai tabuh genderang bahwa hard game di mulai. Konsolidasi di antara mereka terus terjadi paska demo 411. Namun saya senang sikap TNI sangat jelas, bahwa gerakan itu sudah di petakan dengan baik. Wawasan TNI sangat luar biasa. Sehingga bukan hal yang sulit di hadapi hard game itu. Jokowi telah dengan tegas memerintahkan TNI untuk tidak ragu mempertahankan kebinekaan NKRI dari rongrongan pihak manapun.

Gerakan dalam negeri untuk menciptakan situasi kacau tak lain adalah bagian dari proxy war yang sudah di laksanakan sejak 8 tahun lalu atau sejak Obama berkuasa. Proxy war ini merupakan smart power dengan membentuk pion pion dari berbagai kalangan untuk menciptakan opini permusuhan kepada pemerintah. Apalagi ketika Jokowi naik sebagai presiden gerakan proxy war semakin kencang. Ini di sebabkan di awali kebijakan Toll laut namun sebetulnya juga memotong geostrategi Amerika dalam penguasaan kawasan Asia Pasicif yang di dalamnya menyimpan konplik laut China Selatan. Penguasaan blok Marsela untuk kemudian refinery di lakukan di darat, yang memungkinkan Indonesia dapat membangun pangkalan perang di pulau itu. Dan ini semakin sulit bagi Amerika untuk menjangkau Papua bila terjadi perang laut. Itu sebabnya Indonesia tidak bisa lagi di tekan dalam negosiasi soal Freeport oleh AS. Sikap tegas Indonesia telah membuat Freeport kehilangan trust di bursa, Harga saham freeport terus jatuh. Tahun 2019, Freeport harus tunduk dengan UU Minerba atau hengkang dari Indonesia. KK tidak ada lagi.

Juga menjadikan kawasan Natuna sebagai wilayah clean dari semua kapal Asing, telah membuat China dan Amerika semakin sempit ruang manuver nya. Indonesia akan menempatkan pangkalan perang di Natuna. Ini membuat Beijing harus mengkoreksi kebijakan geopolitik dan geostrategis nya terhadap Indonesia khususnya kawasan laut Natuna. Itu sebabnya Beijing dengan cepat menyikapi bahwa Laut Natuna tidak termasuk dalam nine node yang di claim China sebagai wilayahnya. Kalau tidak maka itu akan merugikan China bila harus berhadapan dengan Amerika. Berteman dengan Indonesia akan lebih baik. Sementara Amerika, mulai melunak dengan memberikan akses pemerintah Indonesia kepada FATCA, the Foreign Account Tax Compliance Act, yang merupakan sistem pengawasan rekening di wilayah bebas pajak dan lalu lintas dana haram. Dengan akses ini memungkinkan Indonesia dapat sukses besar menjaring dana hidden warga Indonesia di luar negeri melalui program TA.

Kebijakan Jokowi ini memang politik berani dengan taruhan besar. Sementara kekuatan politik dalam negeri tidak sepenuhnya mendukung. Dampak dari kebijakan ini memang banyak TNC Amerika kesulitan melakukan fundraising atas sumber daya yang mereka kuasai di Indonesia. Karena kontrol yang ketat atas cost recovery setelah reformasi Migas. Sementara kini Pertamina tercatat sebagai perusahaan MIGAS terbaik dunia. Banyak industri perikanan Cina yang gulung tikar akibat kebijakan perikanan indonesia atas wilayah lautnya. Singapore sebagai financial center bagi warga Indonesia, kini meradang karena terjadi rush dana di bank pindah ke Indonesia. Memang di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia semakin mengkukuhkan dirinya sebagai negara berdaulat namun membuka diri untuk bermitra dengan siapapun atas dasar kepentingan nasional. Namun kemitraan yang setara ini tentu tidak di inginkan oleh siapapun.

Makanya kekuatan infiltrasi asing melalui proxy dari kekuatan oposisi di Indonesia terus di lakukan. Menjelang tahun 2019 adalah to be or not to be bagi mereka untuk memastikan kekuasaan Jokowi dapat di tumbangkan. Hal ini memang lebih leluasa di lakukan, karena Indonesia negara demokrasi, yang memberikan kebebasan siapapun dan media massa melakukan perang opini yang bisa efektif merusak reputasi pemerintah. Sehingga pemerintah lemah. Dan mudah untuk di kendalikan dan di jatuhkan dengan menempatkan orang yang tunduk dengan kebijakan asing. Apakah semudah itu? Semua tahu bahwa kekuatan Indonesia adalah persatuan atas dasar kebinekaan. Benteng persatuan ini adalah umat Islam. Namun semua juga tahu bahwa kekuatan islam menyimpan konplik karena paham sekterian dan radikalisme. Keadaan inilah yang memungkinkan kesatuan itu bukan saja kuat tapi juga renta di provokasi menjadi api yang mudah membakar hangus NKRI, akhirnya di kuasai asing…

My dear friend,
Ingat engga dulu waktu kita di Beijing dalam rehat seminar di sebuah cafe, kita menonton acara TV yang memuat berita kerusuhan di Suriah, bahwa itu tidak mungkin oposisi begitu terorganisirnya bergerak dengan satu tekad menjatuhkan rezim Bashar AL Assad tanpa ada dukungan kuat dari AS/Barat, juga Israel. Saya liat kamu sempat tersenyum. Kamu kira aku sedang membangun teori tentang konspirasi. Padahal menurut kamu bahwa ini murni kehendak mayoritas rakyat Suriah yang ingin tegaknya demokrasi. Mereka sudah bosan dibawah rezim Alwalid yang berasal dari minoritas Syiah yang berlaku otoriter. Saya dapat maklum apa yang kamu sinyalir. Menurut saya ketika itu , ada hal yang sangat mudah di ledakkan di Suriah, yaitu masalah hubungan sunni dengan Syiah. Maklum saja di Suriah, sunni adalah kelompok mayoritas namun elite kekuasaan berada di tangan keluarga Alwalid dari sekte Syiah. Perseteruan ini sengaja di kobarkan lewat operasi intelligent.

Sejak Obama terpilih sebagai presiden upaya smart power AS untuk menjatuhkan rezim Alwalid ini telah dilaksanakan dengan systematis. Para intelektual Muslim Sunni yang ada di suriah serta militer dari kelompok reformis di dekati oleh AS lewat program binaan secara langsung maupun tidak langsung. Motor dari operasi pembinaan para oposan ini adalah Departement Luar Negeri As melalui US Institute of Peace dengan dibantu oleh Negara Eropa Barat sekutunya. Program pelatihan yang di adakan di Jerman dengan dukungan ahli intelligent ini, meliputi program agitasi dari aspek ekonomi, social ,politik,budaya dan agama. Para mereka yang telah dilatih ini , kembali ke Suriah membina pressure group dari kalangan LSM yang pro demokrasi, ulama sunni dan militer intelektual.

Presssure group inilah yang melakukan propaganda sistematis kepada seluruh rakyat untuk terjadinya gelombang revolusi. Maka ketika harga pangan melambung tinggi dan rezim Alwalid tidak bisa mengatasi krisis pangan, maka momentum ini digunakan untuk melakukan revolusi rakyat. Ditambah lagi keberhasilan people power di Mesir menjatuhkan Hosni Mubarak , Libia yang membuat hengkang Khadafi , ikut berperan sebagai trigger meluasnya perlawanan rakyat. Jadi kesimpulannya kerusuhan ini tercipta karena by design oleh AS dan sekutunya. Bila kekacauan terjadi, apapun bisa terjadi. Diawali oleh aksi demo yang tak terkendali dan terprovokasi hingga terjadi benturan keras antara rakyat dan aparat. Selanjutnya meluas hingga terbentuk group pemberontak. Bila sudah begini, maka sikap negara di manapun akan sama, yaitu menghadapinya dengan tegas. Tindakan berontak adalah tidakan makar.

Semua tahu di belakang kelompok oposisi ada kekuatan AS/Barat. Ini operasi intelligent AS/Barat untuk menciptakan chaos dan sekaligus menebarkan berita bohong yang sengaja dibesar besarkan oleh media barat untuk membangun bad image atas rezim Suriah. Sahabatku, Indonesia harus waspada dengan cara cara gerakan oposisi yang seperti itu, yang akhirnya menjadikan suriah kawasan perang dan pembantaian. Sangat mengerikan. Enam bulan lalu saya berhasil masuk ke Damaskus bersama akfitis international lainnya. Saya melihat negeri yang di berkati rasul itu hancur seperti negeri tidak ber Tuhan. Perang saudara ini sudah menewaskan lebih dari 250.000 orang, sebanyak 80.000 orang adalah warga sipil, termasuk 13.500 orang anak-anak. Sedikitnya 1 juta orang terluka dalam konflik ini. Sedikitnya 250.000 anak-anak hidup di kota-kota yang terkepung dalam kondisi mengenaskan. Sebagian besar dari mereka terpaksa menyantap makanan hewan atau daun demi bertahan hidup. Lebih separuh rakyat Suriah eksodus keluar negeri mencari perlindungan di negeri orang. Ongkos sosial akibat perang itu seakan tak tertanggungkan oleh siapapun yang waras.

Dengan keadaan ini maka dapat di pastikan ekonomi Suriah mengalami kemunduran hingga tiga dekade, karena sebagian besar pendapatannya terhenti dan banyak infrastruktur hancur, deindustrialisasi dan tutupnya berbagai jenis usaha. Rakyat mengalami kebangkrutan yang berujung pada maraknya penjarahan dan penghancuran. Sejak 2011, ekspor Suriah anjlok hingga 90 persen dan di saat bersamaan Suriah juga menderita sanksi internasional. Di sisi lain, sebagian besar rakyat Suriah hidup tanpa listrik akibat hancurknya 83 persen infrastruktur kelistrikan negeri itu. Semoga neraka di Suriah tidak pernah terjadi di Indonesia.

My dear friend,
Kini pemerintah Amerika di pimpin oleh Donald Trump. Kamu tahu bahwa dia sudah melakukan aliansi bisnis dengan pengusaha yang juga politisi di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Trump akan melakukan apa saja untuk menyelematkan Freeport dan merebut kembali Marsela sebagai jalur strategis menguasai Asia pacific. Trump akan melakukan kebijakan shock banking melalui peningkatan suku bunga the Fed. Ini lebih dahsyat daripada bomb nuklir, yang bisa membuat rupiah terkoreksi negatif akibat capital outflow. Saat itulah kekuatan proxy semakin dapat angin untuk merebut kekuasaan. Mereka di gerakan oleh kaum oportunis dengan menjadikan agama sebagai isyu utama. Di balik isyu itu ada agenda utama yaitu bagaimana menguasai SDA Indonesia. Sementara yang memperjuangkan agama itu hanya di jadikan kayu bakar untuk kemudian setelah berkuasa, kayu bakar yang telah jadi debu itu akan di buang begitu saja…Itu terjadi di mana mana, sejarah membuktikan…

My dear friend,
Menghadapi situasi kedepan memang tidak mudah. Ini tantangan bagi rakyat Indonesia untuk berselencar dalam gelombang panas dalam konstelasi global. Mengapa ? Indonesia punya potensi besar untuk unggul yaitu mempunyai geografi daratan dan lautan yang kaya akan SDA. Ini harus di kelola dengan baik dan bermanfaat. Indonesia punya demografi hebat yakni kearifan lokal, yang juga harus di barengi dengan revolusi mental dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia harus menjadi negara agraris, negara maritim, dan negara industri. Hanya dengan cara itu Indonesia bisa selamat. Jangan sampai potensi hebat ini jadi hancur hanya karena sekelompok orang yang sebetulnya mereka hanyalah proxy asing untuk membakar revolusi di negeri ini. Semoga TNI bisa tegas bahwa NKRI harga mati.

Semoga rakyat Indonesia menyadari ini dan bersikap berhati-hati atas setiap provokasi yang bisa menmbulkan gejolak dalam negeri dan bersatu dalam barisan negara kesatuan tanpa bisa di pecah belah karena isyu SARA. Semoga TNI tetap menjadi pembela NKRI dan memang prajurit TNI terlatih membaca geopolitik dan geostrategis karena Indonesia kaya dengan pengalaman jatuh bangun kekuasaan. Saya yakin indonesia semakin dewasa karena di dera masalah dan kini Indonesia di bawah presiden Jokowi akan terus begerak menjadi marcu suar sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam yang mampu berdualat di atas keberagaman tanpa bisa di tembus oleh kekuatan asing dalam bentuk apapun…Suriah adalah pelajaran mahal sekali bagi umat islam di Indonesia..sangat mahal. Kalau sampai terjadi, ongkos kemanusiaan sangat mahal dan tak mungkin anak cucu kita bisa menanggungnya. Cintai generasi masa depan dengan mewariskan kehidupan cinta damai dan kesejahteraan di bawah lindungan Tuhan yang pengasih penyayang..

Salam hangat selalu.
JC

 

Komentar
Opick Ber Anyar
Opick Ber Anyar Ijin Share
2

Kelola

 · Balas · 1h

Teteh Sukabumi
Teteh Sukabumi Kalem ajja deech sambil waspada…Ronggeng Tujuh Kalasirna sedang bekerja mencegah terjadinya perang besar-besaran…. sedang melucuti topeng-topeng orang-orang bersukma dedemit yang sedang membuat huru-hara agar PERANG SANEKALA terjadi sebelum waktunya !
Cirinya… selalu ada figur perempuan yang “menjungkirbalikkan” eksistensi tokoh-tokoh sentral sebuah pergerakan besar, yang kelakuannya tojaiyah dengan keyakinan yang diperjuangkannya ! ☺☺☺
6

Kelola

 · Balas · 1h

Aan Merdeka Permana
Aan Merdeka Permana Orang Sunda minimal harus bersatu mencegah hal ini terjadi. Urang Sunda disarambat, urang Sunda ngahampura, sedang berlangsung secara diam diam. Tinggal kita serempak memperlihatkan diri di permukaan.
8

Kelola

 · Balas · 1h

Ajsam Alfaruq
Ajsam Alfaruq · Berteman dengan Zen Assegaf dan 10 lainnya
Ijin share. Makasih..

Kelola

 · Balas · 1h

Ajsam Alfaruq

 · Balas · 1h

Shaleh Alattas
Shaleh Alattas Ijin share ya mas

Kelola

 · Balas · 1h

Ibnu Djafar Rumi
Ibnu Djafar Rumi Izin share ya

Kelola

 · Balas · 1h

Icang Ikhsan
Icang Ikhsan Sebenarnya skenario seperti ini sudah dibuat di akhir masa orde baru lalu. Krismo 97/98. Beruntung kita bisa bertahan walau timtim lepas. Bisa dibilang skenario asing belum matang dilaksanakan waktu itu dan rakyat masih cinta negerinya. Belajar dari indonesia, asing menyempurnakan skenarionya dan diterapkan ke timur tengah. Tapi, ketika skenario itu kembali diterapkan di Indonesia maka rakyat sudah kebal dengan semua itu.
5

Kelola

 · Balas · 1h

Budiman Apriyossa

 · Balas · 1h

Bustanus Salatin

 · Balas · 1h

Budi Kristanto
Budi Kristanto · Berteman dengan Dian Sukarno dan 1 lainnya

 · Balas · 1h

Muhamad Yusuf
Muhamad Yusuf · Berteman dengan Ahmad Rizali dan 6 lainnya
Bagian 1
GHOST FLEET DI KAWASAN INDO-PASIFIC
oleh Abdul Halim

Polemik Ghost Fleet: a Novel of the Next World War yang tengah ramai diperbincangkan di Indonesia justru menuai reaksi negatif khalayak luas.

Padahal, jika disimak secara saksama, buku bergenre novel setebal 315 halaman yang ditulis oleh Peter Warren Singer dan August Cole tersebut men g gambar – kan adanya per tarung an para raksasa dunia dalam mem – perebutkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik.

Menariknya, wila y ah yang tengah diperebutkan di dalam kontestasi tersebut di antaranya adalah Indonesia. Di dalam novel itu, Singer dan Cole menyebut Indonesia se dikitnya tujuh kali dan selu – ruh nya bernada peyoratif.

Kenapa demikian? Meski memiliki nilai geopolitik yang serba strategis dengan empat alur laut Kepulauan Indonesia yang terhubung dengan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, negeri zamrud khatulis tiwa ini tak terlalu di perhitungkan di tengah pelbagai kepentingan global.

Situasi ini membuat Amerika Serikat, China, dan India berlomba-lomba men jalin kemitraan strategis, baik bilateral maupun multilateral, guna mengamankan kepen tingan dagangnya. Sejarah mencatat, sejak November 2002, Amerika Serikat beserta negara sekutunya, seperti Prancis, Spanyol, Italia, dan Jepang, telah membangun pangkalan militernya di Seychelles.

Belakangan, Presi – den Trump kembali memper – tegas bahwa, “Amerika Serikat bakal mengalihkan perhati an – nya dari Asia-Pasifik ke Indo Pasifik” saat berkunjung ke Jepang, Korea Selatan, China, Vietnam, dan Filipina pada November 2017. Setali tiga uang, China dan India juga sangat bergantung pada akses bebas dan terbuka pada jalur pelayaran dan per – dagangan di Samudera Hindia.

Terlebih lagi, sepanjang 2016, diperkirakan sekitar 40 juta barel minyak per hari disalur – kan dari Timur Tengah ke Asia, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan via Samudera Hindia, termasuk melalui Selat Hormuz, Selat Malaka, dan Bab el-Mandeb. Saking strategisnya, China juga menjalin kerja sama ekonomi dan militer dengan Republik Djibouti yang berada di Afrika bagian timur atau ujung barat laut Samudera Hindia.

Puncaknya, pada 21 Januari 2018, Angkatan Laut China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping membangun pang – kalan militer pertamanya yang berdekatan langsung dengan Bab el-Mandeb, salah satu jalur pelayaran tersibuk dunia dan palingkrusialketigadiSamudera Hindia. Selain di Djibouti, China tak mengabaikan pentingnya men – jalin kerja sama dengan Seychelles.

Meski luasnya hanya 459 kilometer persegi, negara yang terdiri dari 115 gugusan pulau kecil tersebut juga bernilai amat strategis bagi inisiatif pembangunan infra struktur “One Belt One Road” (OBOR) yang diusung oleh Beijing. Betapa tidak, Seychelles terletak di jantung Samudra Hindia yang menghubungkan Afrika, Semenan jung Arab, dan anak benua India.

Lebih dari itu, Seychelles juga ber ada di pusat Jalur Sutra Mari tim, dari selatan China dan Myanmar hingga Afrika dan EropamelaluiTerusan Suez. Masifnya pergerak an China di Samudera Hindia men dorong New Delhi untuk bergerak lebih maju. Apalagi se kitar 95% vo lume dan 70% nilai perda gang an India, juga didatangkan melalui Samudera Hindia.

Apa yang dilakukan oleh Perdana Menteri Narendra Modi?

Per tama, India menan da tangani kese pakatan kerja sama dengan Seychelles un tuk membangun pangkalan mili ternya di Pulau Assumption, berjarak 1.650 kilometer dari daratan Afrika Timur.

Kedua, Oman dan Singa pura telah bersepakat de ngan India untuk mem berikan akses ekstra ke Pe labuhan Duqm yang ber dekat an dengan Selat Hormuz dan Pelabuhan Changi yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan Laut China Selatan.

Pendek kata, India pun menempatkan Samudera Hindia sebagai be – ran da utama dari kepentingan nasionalnya. Perlombaan ekonomi dan militer antara Amerika Serikat, China, dan India di kawasan Indo Pasifik menggambarkan betapa signifikannya pe nguasa – an atas laut sebagai jalur pela – yaran dan perdagangan dunia.

Lantas, bagaimana dengan situasi Indonesia belakangan ini? Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Maret 2018) mencatat, permasalahan men dasar berkaitan dengan upaya menjadikan Indonesia sebagai poros ma – ritim dunia.

Pertama, disorientasi kebijakan kemaritiman.

Seperti diketahui, sejak dibentuk pada Oktober 2014, pelbagai kebijak an yang diambil justru kian men jauhkan rakyat dari laut nya. Contohnya adalah keinginan melanjutkan proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta dan tarik-ulur kewenangan menerbitkan rekomendasi impor garam.

Salah satu nya melalui pe nerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 ten tang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Per ikanan dan Komoditas Per garam an se bagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Lebih parah lagi, sepanjang 2014-2017 telah terjadi se dikit – nya 33 tragedi kecelakaan pe – layaran di laut.

Sebagian besar diakibatkan oleh kelebihan muat an dan kerusakan mesin yang berujung pada kebakaran danteng – gelamnya kapal. Akibatnya, 158 orang dinyatakan hilang atau me – ninggal dunia dan 24 orang lainnya meng alami luka-luka.

Ironisnya, meski alokasi APBN Kemen – terian Perhubungan mengalami kenaikan, yakni Rp28,7 triliun pada 2014 dan meningkat men – jadi Rp48,2 triliun pada 2018, namun fokus pemerintah se – batas mem bangun pelabuhan dan mem berikan subsidi. Semen tara penguatan armada pelayaran rakyat diabaikan. Inilah ironi bangsa kelautan terbesar di dunia.

Kedua, tata kelola sumber daya laut yang terlampau terbuka dan pro terhadap kepentingan asing.

Faktanya, 11 pulau kecil telah dikelola oleh swasta asing dengan nilai investasi Rp11,046 triliun pada 2014-2015. Angka ini belum termasuk 75 pulau kecil lainnya yang ditargetkan untuk dikelola investor asing pada 2016-2019. Belum lagi perluasan kawasan konservasi laut yang ditarget kan bertambah 700.000 hektare dalam APBN 2018.

Dimuat Koran Sindo 6 April 2018

1

Kelola

 · Balas · 1h

Carlos Weinman
Carlos Weinman · Berteman dengan Paijo Binkasmijan
God bless Indonesia. AllahuAbar ❤ 🌴
1

Kelola

 · Balas · 1h

Carlos Weinman
Carlos Weinman · Berteman dengan Paijo Binkasmijan

 · Balas · 12 jam

Muhamad Yusuf
Muhamad Yusuf · Berteman dengan Ahmad Rizali dan 6 lainnya
Bagian 2

GHOST FLEET DI KAWASAN INDO-PASIFIC
oleh Abdul Halim

Jika tidak dikoreksi, praktik ini ber implikasi terhadap kian menyusutnya jangkauan wilayah tangkap an nelayan tradisional dan semakin leluasanya kepentingan asing. Pertanyaannya, sejauh mana negara bisa berperan saat kepentingan asing merajalela di setiap jengkal teritorial bangsa kepulauan ini? Inilah sesungguhnya ancaman kolektif republik yang sering kali dipandang sebelah mata.

Berkebalikan dengan Indonesia, China dan India justru berekspansi ke banyak negara untuk terlibat langsung di dalam pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi memberikan kesejahteraan bagi rak – yatnya. Bahkan, mereka sering kali memboyong warganya untuk ikut bekerja di pelbagai proyek strategis negara lain.

Hal ini pula yang tengah marak terjadi di Banten, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di samping itu, China dan India juga mempercayai bahwa menguasai laut adalah kunci memenangkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik. Apalagi sepanjang 2016 telah terjadi praktik pe – rompakan dan perampokan ber senjata sebanyak 314 insi – den di Asia, Afrika Timur, dan Afrika Barat.

Seperti dilaporkan oleh Ocean Beyond Piracy bahwa akibat insiden ini, 4.749 pelaut mengalami penyerangan dan nilai kerugian yang ditimbulkan senilai USD2,5 miliar. Semen – tara pada kuartal pertama 2017, sebanyak 19 insiden perom pak – an dan perampokan bersenjata terjadi di perairan Indonesia.

Dengan demikian, pere but – an supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik bukanlah halusinasi Singer dan Cole. Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh Indonesia? Sun Tzu di dalam buku berjudul “The Art of War” sebagaimana dikutip di dalam novel Ghost Fleet pernah berujar, “Anda bisa berperang sepanjang waktu atau menjadikan bangsamu jauh lebih tangguh.

Karena Anda tidak bisa melakukan keduanya”. Maka penguatan armada laut yang diintegrasikan de ngan tata kelola administrasi negara, sistem politik, angkatan bersen jata, dan ekonomi maritim menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk dituntaskan.

Akhirnya, Lord Haversham pernah berpesan, “Armada laut dan kepentingan dagang me – miliki relasi yang sangat erat dan saling memengaruhi. Pasal – nya, armada laut merupakan pelindung utama kepentingan dagang sebuah negara. Dengan cara itulah, Inggris menuai kesejahteraan, kedigdayaannya pada abad XVII dan XVIII”. Inilah sejatinya pesan yang terurai di setiap halaman Ghost Fleet: a Novel of the Next World War. Mengabaikannya bisa berdampak pada bubarnya se buah negara.

ABDUL HALIM

Analis Geopolitik dan Diplomasi Internasional; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta

Dimuat Koran Sindo 6 April 2018

2

Kelola

 · Balas · 1h · Telah disunting

Arif Fadila
Arif Fadila Alwalid atau Alawid?
1

Kelola

 · Balas · 1h

Anas Koto
Anas Koto · Berteman dengan Abraham Chan Chan
Ijin pak..
1

Kelola

 · Balas · 23 jam

Petrus Sipahutar Sipahutar
Petrus Sipahutar Sipahutar Semoga pihak yang jadi kayu bakar bisa segera musnah ! Aamiin !
1

Kelola

 · Balas · 22 jam


GHOST FLEET DI KAWASAN INDO-PASIFIC

$
0
0

Bagian 1
GHOST FLEET DI KAWASAN INDO-PASIFIC
oleh Abdul Halim

Polemik Ghost Fleet: a Novel of the Next World War yang tengah ramai diperbincangkan di Indonesia justru menuai reaksi negatif khalayak luas.

Padahal, jika disimak secara saksama, buku bergenre novel setebal 315 halaman yang ditulis oleh Peter Warren Singer dan August Cole tersebut menggambarkan adanya pertarungan para raksasa dunia dalam mem perebutkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik.

Menariknya, wilayah yang tengah diperebutkan didalam kontestasi tersebut di antaranya adalah Indonesia. Di dalam novel itu, Singer dan Cole menyebut Indonesia sedikitnya tujuh kali dan seluruhnya bernada peyoratif.

Kenapa demikian? Meski memiliki nilai geopolitik yang serba strategis dengan empat alur laut Kepulauan Indonesia yang terhubung dengan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, negeri zamrud khatulis tiwa ini tak terlalu di perhitungkan di tengah pelbagai kepentingan global.

Situasi ini membuat Amerika Serikat, China, dan India berlomba-lomba menjalin kemitraan strategis, baik bilateral maupun multilateral, guna mengamankan kepentingan dagangnya. Sejarah mencatat, sejak November 2002, Amerika Serikat beserta negara sekutunya, seperti Prancis, Spanyol, Italia, dan Jepang, telah membangun pangkalan militernya di Seychelles.

Belakangan, Presiden Trump kembali mempertegas bahwa, “Amerika Serikat bakal mengalihkan perhatiannya dari Asia-Pasifik ke Indo Pasifik” saat berkunjung ke Jepang, Korea Selatan, China, Vietnam, dan Filipina pada November 2017. Setali tiga uang, China dan India juga sangat bergantung pada akses bebas dan terbuka pada jalur pelayaran dan perdagangan di Samudera Hindia.

Terlebih lagi, sepanjang 2016, diperkirakan sekitar 40 juta barel minyak per hari disalurkan dari Timur Tengah ke Asia, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan via Samudera Hindia, termasuk melalui Selat Hormuz, Selat Malaka, dan Bab el-Mandeb. Saking strategisnya, China juga menjalin kerja sama ekonomi dan militer dengan Republik Djibouti yang berada di Afrika bagian timur atau ujung barat laut Samudera Hindia.

Puncaknya, pada 21 Januari 2018, Angkatan Laut China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping membangun pangkalan militer pertamanya yang berdekatan langsung dengan Bab el-Mandeb, salah satu jalur pelayaran tersibuk dunia dan palingkrusialketigadiSamudera Hindia. Selain di Djibouti, China tak mengabaikan pentingnya menjalin kerja sama dengan Seychelles.

Meski luasnya hanya 459 kilometer persegi, negara yang terdiri dari 115 gugusan pulau kecil tersebut juga bernilai amat strategis bagi inisiatif pembangunan infra struktur “One Belt One Road” (OBOR) yang diusung oleh Beijing. Betapa tidak, Seychelles terletak di jantung Samudra Hindia yang menghubungkan Afrika, Semenan jung Arab, dan anak benua India.

Lebih dari itu, Seychelles juga berada di pusat Jalur Sutra Mari tim, dari selatan China dan Myanmar hingga Afrika dan Eropa melalui Terusan Suez. Masifnya pergerakan China di Samudera Hindia mendorong New Delhi untuk bergerak lebih maju. Apalagi sekitar 95% volume dan 70% nilai perdagangan India, juga didatangkan melalui Samudera Hindia.

Apa yang dilakukan oleh Perdana Menteri Narendra Modi?

Pertama, India menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Seychelles untuk membangun pangkalan militernya di Pulau Assumption, berjarak 1.650 kilometer dari daratan Afrika Timur.

Kedua, Oman dan Singapura telah bersepakat dengan India untuk memberikan akses ekstra ke Pelabuhan Duqm yang berdekatan dengan Selat Hormuz dan Pelabuhan Changi yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan Laut China Selatan.

Pendek kata, India pun menempatkan Samudera Hindia sebagai beranda utama dari kepentingan nasionalnya. Perlombaan ekonomi dan militer antara Amerika Serikat, China, dan India di kawasan Indo Pasifik menggambarkan betapa signifikannya penguasaan atas laut sebagai jalur pelayaran dan perdagangan dunia.

Lantas, bagaimana dengan situasi Indonesia belakangan ini? Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Maret 2018) mencatat, permasalahan men dasar berkaitan dengan upaya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Pertama, disorientasi kebijakan kemaritiman. 

Seperti diketahui, sejak dibentuk pada Oktober 2014, pelbagai kebijakan yang diambil justru kian menjauhkan rakyat dari lautnya. Contohnya adalah keinginan melanjutkan proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta dan tarik-ulur kewenangan menerbitkan rekomendasi impor garam.

Salah satunya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Lebih parah lagi, sepanjang 2014-2017 telah terjadi sedikitnya 33 tragedi kecelakaan pelayaran di laut.

Sebagian besar diakibatkan oleh kelebihan muatan dan kerusakan mesin yang berujung pada kebakaran dan tenggelamnya kapal. Akibatnya, 158 orang dinyatakan hilang atau meninggal dunia dan 24 orang lainnya mengalami luka-luka.

Ironisnya, meski alokasi APBN Kementerian Perhubungan mengalami kenaikan, yakni Rp28,7 triliun pada 2014 dan meningkat menjadi Rp 48,2 triliun pada 2018, namun fokus pemerintah sebatas membangun pelabuhan dan memberikan subsidi. Sementara penguatan armada pelayaran rakyat diabaikan. Inilah ironi bangsa kelautan terbesar di dunia.

Kedua, tata kelola sumber daya laut yang terlampau terbuka dan pro terhadap kepentingan asing.

Faktanya, 11 pulau kecil telah dikelola oleh swasta asing dengan nilai investasi Rp 11,046 triliun pada 2014-2015. Angka ini belum termasuk 75 pulau kecil lainnya yang ditargetkan untuk dikelola investor asing pada 2016-2019. Belum lagi perluasan kawasan konservasi laut yang ditarget kan bertambah 700.000 hektare dalam APBN 2018.

Jika tidak dikoreksi, praktik ini berimplikasi terhadap kian menyusutnya jangkauan wilayah tangkapan nelayan tradisional dan semakin leluasanya kepentingan asing. Pertanyaannya, sejauh mana negara bisa berperan saat kepentingan asing merajalela di setiap jengkal teritorial bangsa kepulauan ini? Inilah sesungguhnya ancaman kolektif republik yang sering kali dipandang sebelah mata.

Berkebalikan dengan Indonesia, China dan India justru berekspansi ke banyak negara untuk terlibat langsung di dalam pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan, mereka sering kali memboyong warganya untuk ikut bekerja di pelbagai proyek strategis negara lain.

Hal ini pula yang tengah marak terjadi di Banten, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di samping itu, China dan India juga mempercayai bahwa menguasai laut adalah kunci memenangkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik. Apalagi sepanjang 2016 telah terjadi praktik perompakan dan perampokan ber senjata sebanyak 314 insiden di Asia, Afrika Timur, dan Afrika Barat.

Seperti dilaporkan oleh Ocean Beyond Piracy bahwa akibat insiden ini, 4.749 pelaut mengalami penyerangan dan nilai kerugian yang ditimbulkan senilai USD2,5 miliar. Sementara pada kuartal pertama 2017, sebanyak 19 insiden perompakan dan perampokan bersenjata terjadi di perairan Indonesia.

Dengan demikian, perebutan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik bukanlah halusinasi Singer dan Cole. Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh Indonesia? Sun Tzu di dalam buku berjudul “The Art of War” sebagaimana dikutip di dalam novel Ghost Fleet pernah berujar, “Anda bisa berperang sepanjang waktu atau menjadikan bangsamu jauh lebih tangguh.

Karena Anda tidak bisa melakukan keduanya”. Maka penguatan armada laut yang diintegrasikan de ngan tata kelola administrasi negara, sistem politik, angkatan bersenjata, dan ekonomi maritim menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk dituntaskan.

Akhirnya, Lord Haversham pernah berpesan, “Armada laut dan kepentingan dagang memiliki relasi yang sangat erat dan saling memengaruhi. Pasalnya, armada laut merupakan pelindung utama kepentingan dagang sebuah negara. Dengan cara itulah, Inggris menuai kesejahteraan, kedigdayaannya pada abad XVII dan XVIII”. Inilah sejatinya pesan yang terurai di setiap halaman Ghost Fleet: a Novel of the Next World War. Mengabaikannya bisa berdampak pada bubarnya se buah negara.

ABDUL HALIM

Analis Geopolitik dan Diplomasi Internasional; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta

Dimuat Koran Sindo 6 April 2018

 

Jangka Jaya Baya dan Prediksi Issac Newton tentang Akhir Zaman

$
0
0
Tidak ada teks alternatif otomatis yang tersedia.

Yeddi Aprian Syakh Al-Athas bersama Mang Asep Kabayan dan 96 lainnya.

📚 TITIK TEMU PREDIKSI ISAAC NEWTON DAN JANGKA JAYABAYA TENTANG AKHIR ZAMAN
( Seri Kajian Bulan Dzulqa’idah No. 05 )

Oleh: Yeddi Aprian Syakh Al-Athas

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Wahai Saudaraku yang senantiasa dirahmati Allah Swt dan dirindukan Rasulullah saw, izinkan saya kali ini untuk menyampaikan adanya titik temu dan kesamaan antara Jangka Jayabaya dan Prediksi Isaac Newton tentang Akhir Zaman.

Untuk itu, sebelum kita melanjutkan kajian kita, maka saya akan terlebih dulu memberikan beberapa catatan kecil sebelum kita memulai kajian ini…

1. Tulisan ini cukup panjang, maka bacalah dengan perlahan dan jika perlu disave terlebih dulu dan dibaca kemudian ketika sudah memiliki waktu luang.
2. Silahkan untuk percaya ataupun tidak percaya dengan isi tulisan ini, karena posisi saya hanyalah sebatas menyampaikan kajian.
3. Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber baik sumber referensi ilmiah ataupun sumber referensi spiritual seperti diskusi lahiriah dan diskusi batiniah.
4. Beberapa dari isi tulisan ini mungkin masih mengandung kesalahan dan kekeliruan sehingga masih perlu diperbaiki.

Jika Anda setuju dengan beberapa catatan kecil di atas mari kita lanjutkan, dan jika Anda tidak setuju maka disarankan untuk berhenti sampai disini…

Bismillah…

Mari kita mulai …

Wahai Saudaraku, Tahukah Anda bahwa Isaac Newton, Sang Ilmuwan yang namanya dikenal sebagai Penemu Teori Gravitasi ternyata pernah memprediksi tentang akhir zaman yang akan terjadi pada tahun 2060 Masehi, yakni tepatnya 1260 tahun setelah berdirinya kekuasaan Roma.

Dalam sejarah, Isaac Newton tercatat pernah mempelajari seluruh ayat-ayat yang tertulis pada Kuil Salomo. Menceritakan kronologi kerajaan kuno pada tahun 1675 Masehi, dan juga menceritakan salinan Manna atau rahasia peralihan sifat alkemi.

Isaac Newton menyatakan alasannya memeriksa Bait Suci Salomo sebagai berikut:

“Filosofi ini, baik spekulatif dan aktif, tidak hanya ditemukan dalam volume alam, tapi juga dalam kitab suci, seperti dalam Kitab Kejadian, Ayub, Mazmur, Yesaya dan lainnya. Dengan pengetahuan tentang filosofi ini, Tuhan menciptakan Sulaiman sebagai filsuf terbesar di dunia.”

Menurut Prof. Morrison Tessa dari Universitas Newcastle yang tertuang dalam makalah tahun 2011 Masehi, disebutkan bahwa Isaac Newton memeriksa barisan tiang, diantaranya jumlah kolom, tinggi, ketebalan, interval dan gaya. Dari uraian tentang Kuil Solomon yang diberikan oleh para penulis kuno, Isaac Newton mengklaim bahwa sangat mungkin untuk membedakan rencana Kuil Solomon. Sejak Zerubabel dibangun di atas pondasi Kuil Solomon, segala sesuatu yang ditambahkan Zerubabel dan Herodes, atau apapun yang tidak beraturan, harus ditolak. Harmoni dan simetri dalam disain kuil merupakan elemen penting dalam tata letak rencana.

Dalam sebuah surat yang ditulis pada tahun 1704 Masehi, dan kini terpajang di Universitas Hebrew Yerusalem, Isaac Newton menjelaskan bahwa setelah 30 tahun menganalisis pengukuran, rasio, proporsi dan fitur arsitektural bangunan Bibel yg mencakup tanggal, waktu, dan sistem angka yang terdapat dalam bagian kitab suci, Isaac Newton berhasil menemukan kode tersembunyi yang telah lama dicari-carinya dan ia menemukannya di dalam Kitab Daniel. Prediksi atau ramalan kiamat Isaac Newton menyatakan bahwa akhir dunia akan terjadi pada tahun 2060 Masehi.

Dan tahukah Anda bahwa dalam surat yang sama yang ditulisnya pada tahun 1704 Masehi, ternyata Isaac Newton jua pernah meramalkan bahwa orang-orang Yahudi akan kembali ke Israel dan menjadi sebuah negara, dan menariknya adalah bahwa Izaac Newton meramalkannya pada tahun 1704 Masehi, 244 tahun sebelum Negara Israel benar-benar memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 14 Mei tahun 1948 Masehi. Dan bahkan dalam suratnya tersebut, Izaac Newton juga meramalkan bahwa orang-orang Yahudi akan kembali ke Yerusalem sebelum akhir dunia tahun 2060 Masehi.

Namun tahukah Anda bahwa jauh sebelum Isaac Newton menuliskan prediksinya dalam sebuah surat pada tahun 1704 Masehi, justru Prabu Jayabaya (raja ke-4 Kerajaan Kediri) yang memerintah sekitar tahun 1135 – 1157 Masehi yang memiliki gelar Abiseka sebagai Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa pernah mengeluarkan Kitab Musarar yg berisi tentang Pembagian Zaman yg dikenal sebagai “Jangka Jayabhaya” yang dalam salah satu baitnya yakni bait ke-159 menyebutkan sebagai berikut,

“Selet-selete yen mbesuk ngancik tutup ing tahun sinungkalan dewa wolu, Ngasta Manggala ning Ratu, bakal ana dewa ngejawantah apeng awak manungsa apa surya padha bethara Kresna watak Baladewa agegaman trisula wedha jinejer wolak-waliking zaman wong nyilih mbalekake, wong utang mbayar utang, nyawa bayar nyawa utang wirang nyaur wirang”

Terjemahan :

“Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup Tahun, didampingi Delapan Dewa, Ngasta Manggala ning Ratu, akan ada dewa yang muncul ke dunia, berbadan manusia, berparas seperti Batara Kresna, berwatak seperti Baladewa, bersenjata trisula wedha. Tanda datangnya perubahan zaman, orang pinjam mengembalikan, orang berhutang membayar hutang, nyawa bayar nyawa, malu dibayar malu.”

Nah kalau kita jeli, dalam Bait ke-159 Jangka Jayabhaya terdapat sebuah Candrasengkala berjenis Sengkalan Lamba sebagai berikut,

“Ngasta Manggala ning Ratu”

— Ngasta = Asta = tangan / memegang = Angka 2.
— Manggala = terhormat = Angka 8.
— Ning = yang / di = Angka 9.
— Ratu = pemimpin = Angka 1.

Sehingga Sengkalan Lamba dari kalimat
“Ngasta Manggala ning Ratu” = 1982 Saka.

Nah Tahun 1982 Saka ini jika dikonversi ke penanggalan Tahun Masehi maka hasilnya sama dengan Tahun 2060 Masehi.

1982 Saka = 2060 Masehi.

Jadi Jangka Jayabhaya bait ke-159 meramalkan selambat-lambatnya menjelang tutup tahun 1982 Saka atau tahun 2060 Masehi akan tampil seorang dewa berbadan manusia, berparas seperti Batara Kresna, dan berwatak seperti Baladewa, bersenjatakan Trisula Wedha sebagai tanda datangnya perubahan zaman, yakni dari periode zaman ke-7 (Rupanta-Ra) ke periode zaman ke-8 (Hasmurata-Ra).

Siapakah gerangan sosok yang dimaksud? Dan darimana ia datang?

Dalam konteks Ilmu Gematria, pertanyaan di atas dapat dijawab dengan cara mengkonversi Tahun 2060 Masehi ke penanggalan Tahun Hijriah yakni:

2060 Masehi = 1482 Hijriah.

Pertanyaannya:
“Ada apa dengan angka tahun 1482 Hijriah?”

Jawabnya:
Ternyata bilangan “1482” adalah sebuah bilangan kripto 19 yakni bilangan yang habis dibagi dengan bilangan 19 yg dalam konteks Ilmu Gematria merupakan sebuah bilangan konstanta.

Dan:
1482 / 19 = 78.

Pertanyaan selanjutnya:
“Ada apa dengan bilangan 78?”

Jawab:
Bilangan “78” adalah kode bilangan untuk Surat ke-78 di dalam Kitab Suci Al-Quran yakni Surat An-Naba.

Dan Menurut Tim Penyusun Ensiklopedia al-Qur’an, Kajian Kosa Kata, terminologi kata “Naba” yang terdiri dari huruf-huruf nun, ba dan hamzah, mempunyai arti “tinggi” atau “berpindah dari satu tempat yang tinggi ke tempat lain yang lebih rendah”.

Sehingga pesan yg ingin disampaikan oleh angka tahun 1482 Hijriah yg merupakan penanggalan hijriah untuk tahun 2060 Masehi yg ternyata merupakan bilangan kripto 19 yg memberikan hasil bilangan “78” adalah bahwa Sosok Dewa berbadan manusia, yg berparas seperti Batara Kresna, dan berwatak seperti Baladewa, bersenjatakan Trisula Wedha sebagai tanda datangnya perubahan zaman, adalah sosok Dewa yang turun dari tempat yang tinggi (Langit) yang dalam khazanah Islam diyakini sebagai sosok Nabiyullah ISA as ibnu Maryam yg memang dinubuwatkan akan turun dari langit pada akhir zaman.

Dari Aus bin Aus, Rasulullah saw bersabda,
“Isa ibn Maryam akan turun di Menara Putih (Al-Mannaratul Baidha’) di Damsyik (Damaskus) bagian timur.” (HR. Thabrani).

Serupa dengan hadis di atas, dari Nawas bin Sam’an, Rasulullah saw bersabda,
“Lalu, Isa turun di Menara Putih sebelah timur Damaskus dengan memakai dua potong baju yang dicelup za’faran dan wars, dengan meletakkan kedua telapak tangan di atas sayap-sayap dua malaikat. Jika dia menundukkan kepalanya, akan menetes. Jika dia mengangkatnya, turunlah air, seperti mutiara. Maka, tidak ada seorang kafir pun yang mencium aroma nafasnya, kecuali dia pasti mati dan nafasnya tercium dari jarak sejauh pandangannya.”
(HR. Muslim No. 2937)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya “Qishash al-Anbiya” yang menyebutkan bahwa Nabi Isa as akan turun di sebuah menara berwarna putih yang terletak di daerah Damaskus di Syam.

Kesimpulan:

1. Ada kesamaan antara Prediksi Isaac Newton dan Jangka Jayabhaya tentang Akhir Zaman. Bedanya jika Isaac Newton dalam suratnya menyebutkan dengan tegas Tahun 2060 Masehi, sedangkan Jangka Jayabhaya menyebutkannya dengan Sengkalan Lamba “Ngasta Manggala ning Ratu” yang bermakna Tahun 1982 Saka atau Tahun 2060 Masehi.

2. Tahun 2060 Masehi dikonversi ke dalam penanggalan tahun hijriah maka akan didapat angka Tahun 1482 Hijriah yg merupakan bilangan kripto 19 yakni 1482 = 19 x 78 dimana angka bilangan “78” memberikan pesan tentang “an-naba” yg merujuk kepada sosok yang turun dari tempat yang tinggi atau sosok yang turun dari langit yg dalam Jangka Jayabhaya disebutkan sebagai sosok Dewa berbadan manusia, yg berparas seperti Batara Kresna, dan berwatak seperti Baladewa, serta bersenjatakan Trisula Wedha sebagai tanda datangnya perubahan zaman, dan sosok ini dalam khazahah Islam diyakini sebagai sosok Nabiyullah Isa bin Maryam as yang memang akan turun pada akhir zaman untuk memerangi DAJJAL bersama-sama sosok lainnya yg dikenal sebagai Imam Mahdi.

Demikianlah kajian singkat saya tentang titik temu dan kesamaan antara Jangka Jayabaya dan Prediksi Isaac Newton tentang Akhir Zaman.

Wallahu ‘alam Bish Shawab. Hanya Allah Swt Yang Maha Mengetahui Kebenarannya.

Mohon maaf atas kesalahan karena Kesalahan semata-mata datangnya hanya dari diri saya pribadi dan Kebenaran datangnya semata-mata hanya dari Allah Swt Yang Maha Benar dan memiliki kebenaran yang tunggal dan bersifat mutlak.

Salam takzimku untuk Saudara-Saudara Nusantaraku yang dipertemukan dan dipersatukan Allah dengan cara yang indah dan ajaib baik lewat komunitas Whatsapp Group “Panji Pandu Nuhsantara” ataupun lewat Private Class Training “Pengenalan Jati Diri dan Menjadi Miracle Maker” Panji Pandu Nuhsantara.

Salam RAH-AYWA,
Jaya Jayanti Nusantaraku

Yeddi Aprian Syakh Al-Athas
— Yedidiah —

 

Radikalisme: Antara Suriah dan Indonesia, Kesaksian dari Sekjen Ikatan Alumni Suriah-Indonesia

$
0
0

Kesaksian

dari Sekjen Ikatan Alumni Suriah-Indonesia ( ALSYAMI), Gus Najih Ramadhan yang pernah jadi korban perang Suriah karena harus evakuasi pulang sebelum masa semestinya kuliah berlangsung dimuat di detik.com.

Bacalah dengan hati yang jujur (inshof), wahai Saudaraku Sebangsa dan Seiman..!!

Bila Anda sepakat dgn kami untuk bersama menghadang narasi radikalisme dan pemerkosaan idiom idiom agama untuk pelacuran politik maka bantu kami menyebarkannya..
…..

*********

Jumat 31 Agustus 2018, 11:20 WIB

Radikalisme: Antara Suriah dan Indonesia
Kolom : M. Najih Arromadoni

Jakarta – Krisis politik dan kemanusiaan yang bermula sejak 2011 telah meluluhlantakkan banyak negara Timur Tengah, seperti Libya, Tunisia, Yaman, dan Suriah. Gerakan propaganda kelompok radikal yang mengatasnamakan revolusi (thaurah) ini sudah berkepanjangan dan gagal memenuhi janji-janji manisnya, berupa keadilan dan kesejahteraan.

Gerakan yang dimotori kelompok-kelompok pro-kekerasan ini memang awalnya memikat, karena dibungkus dan disembunyikan di balik kedok-kedok retorik. Media Barat sampai menyebut gerakan mereka sebagai Musim Semi Arab (Arab Spring/al-Rabi’ al-‘Arabi), digambarkan sebagai proses demokratisasi, berlawanan dengan kenyataan yang kemudian tampak, yaitu islamisasi versi khilafah atau khilafatisasi. Berdirilah kemudian khilafah di Suriah, Irak, dan Libya. Ikhwanul Muslimin saat itu memenangkan pemilu di Mesir dan Tunisia.

Demi kepentingan sesaat dan ketika sudah terdesak, mereka memang gemar menggunakan slogan-slogan demokrasi, semisal mereka akan mengerek tinggi-tinggi panji kebebasan ketika perbuatan melanggar hukum mereka ditindak, karena yang sedang dilakukan oleh mereka sejatinya adalah membajak demokrasi. Sejak awal mereka meyakini bahwa demokrasi adalah produk kafir, maka kapan saja ada waktu mereka akan menggerusnya.

Keberhasilan kelompok radikal dalam membabakbelurkan Timur Tengah menginspirasi kelompok radikal di berbagai belahan dunia lain. Jejaring mereka semakin aktif di Asia, Eropa, Afrika, Amerika sampai Australia, berusaha memperluas kekacauan ke berbagai wilayah, dengan harapan bisa mewujudkan cita-cita utopis mereka; mendirikan khilafah di seluruh muka bumi.

Wacana syrianisasi kemudian sampai ke Indonesia, semakin ramai disuarakan pada tahun-tahun belakangan, paling tidak mulai 2016. Banyak pihak mensinyalir ada gerakan-gerakan yang berusaha menjadikan Indonesia jatuh ke dalam krisis sebagaimana menimpa Suriah.

Fakta-fakta kemudian bermunculan; banyak pola krisis Suriah yang disalin oleh kelompok radikal, menjadi sebuah gerakan-gerakan di Indonesia. Jaringan-jaringan kelompok radikal di Indonesia juga semakin terang terkoneksi dengan aktor-aktor krisis Suriah. Sebagai contoh Indonesian Humanitarian Relief (IHR), lembaga kemanusiaan yang dipimpin seorang ustaz berinisial BN, yang logistiknya digunakan untuk mendukung Jaysh al-Islam, salah satu kelompok teroris di Suriah.

Pola men-Suriah-kan Indonesia setidaknya tampak dalam beberapa pergerakan berikut; pertama, politisasi agama. Indikasi menguatnya penggunaan kedok agama demi kepentingan kekuasaan, sebagaimana pernah dilakukan di Suriah, terlihat dalam banyak hal, di antaranya adalah penggunaan masjid sebagai markas keberangkatan demonstran. Jika di Damaskus masjid besarnya Jami’ Umawi, maka di Jakarta Masjid Istiqlal.

Adakah yang pernah menghitung, berapa kali Masjid Istiqlal diduduki pelaku berangkat demonstrasi? Pelaksanaannya pun kebanyakan di hari Jumat seusai waktu Salat Jumat, didahului dengan hujatan politik di mimbar kotbah, sehingga mengelabui pandangan masyarakat terhadap agama yang sakral dan politik yang profan. Persis dengan apa yang pernah terjadi di Suriah menjelang krisis. Masjid pun berubah menjadi tempat yang tidak nyaman, gerah, dan tidak lagi menjadi tempat ‘berteduh’.

Hari Jumat, yang semestinya menjadi hari ibadah mulia, berubah menjadi hari-hari politik dan kecemasan, atas kekhawatiran terjadinya chaos. Muncul kemudian istilah “Jumat Kemarahan” sebagai ajakan meluapkan kemarahan di hari Jumat –bukankah itu hanya terjemahan dari “Jumat al-Ghadab” yang pernah menjadi slogan politik pemberontak Suriah, diserukan oleh Yusuf al-Qardhawi, tokoh Ikhwanul Muslimin?

Kedua, menghilangkan kepercayaan kepada pemerintah. Dilakukan dengan terus-menerus menebar fitnah murahan terhadap pemerintah. Sesekali presiden Suriah Basyar al-Assad dituduh Syiah, sesekali dituduh kafir, dan pembantai Sunni. Kelompok makar bahkan menghembuskan isu bahwa al-Assad mengaku Tuhan, disebarkanlah foto bergambar poster al-Assad dengan beberapa orang sujud di atasnya.

Dalam konteks Indonesia, Anda bisa mengingat-ingat sendiri, presiden Indonesia pernah difitnah apa saja, mulai dari Kristen, Cina, Komunis, anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan sederet fitnah lainnya. Tidak usah heran dengan fitnah-fitnah tersebut, yang muncul dari kelompok yang merasa paling ‘Islam’, karena bagi mereka barangkali fitnah adalah bagian dari jihad yang misinya mulia, dan ciri universal pengikut Khawarij adalah mengkafirkan pemerintah.

Ketiga, pembunuhan karakter ulama. Dalam proses menghadapi krisis, ulama yang benar-benar ulama tidak lepas dari panah fitnah, bahkan yang sekaliber Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi, yang pengajiannya bertebaran di berbagai saluran televisi Timur Tengah, kitabnya mengisi rak-rak perpustakaan kampus-kampus dunia Islam, dan fatwa-fatwanya menjadi rujukan. Begitu berseberangan pandangan politik dengan mereka, seketika dituduh sebagai penjilat istana dan Syiah (padahal beliau adalah pejuang Aswaja yang getol), hingga berujung pada syahidnya beliau bersama sekitar 45 muridnya di masjid al-Iman Damaskus, saat pengajian tafsir. Beliau dibom karena pandangan politik kebangsaannya yang tidak sama dengan kelompok pembom bunuh diri.

Jika demikian yang terjadi di Suriah, kira-kira Anda paham kan dengan apa yang terjadi di Indonesia, kenapa Buya Syafi’i Ma’arif dianggap liberal, KH. Mustofa Bisri juga dianggap liberal, Prof Quraish Syihab dituduh Syiah, Prof Said Aqil Siraj juga dituduh Syiah, bahkan KH. Ma’ruf Amin atau TGB Zainul Majdi yang pernah dijunjung-junjung oleh mereka, kini harus menanggung hujaman-hujaman fitnah dari kelompok yang sama, ketika propaganda politiknya tidak dituruti? Setelah ulama yang hakiki, mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup, mereka bunuh karakternya, maka mereka memunculkan ustaz-ustazah dadakan yang punya kapasitas entertainer yang hanya mampu berakting layaknya ulama.

Keempat, meruntuhkan sistem dan pelaksana sistem negara. Misi utama kelompok radikal adalah meruntuhkan sistem yang ada, dan menggantinya dengan sistem yang ideal menurut mereka, yaitu khilafah atau negara yang secara formalitas syariah, meski substansinya tidak menyentuh syariah sama sekali. Khilafah bagi mereka layaknya ‘lampu ajaib’ yang bisa memberi apa saja dan menyelesaikan masalah apa saja. Tidak sadar bahwa berbagai kelompok saling membunuh dan berperang di Timur Tengah karena sedang berebut mendirikan khilafah, dan ujungnya adalah kebinasaan.

Saat kelompok makar di Suriah berusaha meruntuhkan sistem dan pelaksana negara, mereka mengkampanyekan slogan al-sha’b yurid isqat al-nizam (rakyat menghendaki rezim turun) dan irhal ya Basyar (turunlah Presiden Basyar). Slogan dengan fungsi yang sama di-copy paste oleh jaringan mereka di Indonesia, jadilah gerakan dan tagar ‘2019 Ganti Presiden’!

Syrianisasi sedang digulirkan di negara kita. Pola-pola yang sama ketika kelompok radikal menghancurkan Suriah sedang disalin untuk menghancurkan negara kita. Bedanya Suriah sudah merasakan penyesalan dan ingin rekonsiliasi, merambah jalan panjang membangun kembali negara mereka. Sedangkan, kita baru saja memulai. Jika kita tidak berusaha keras menghadang upaya mereka, maka arah jalan Indonesia menjadi Suriah kedua hanya persoalan waktu. Semoga itu tidak pernah terjadi.

M. Najih Arromadoni alumnus Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus dan Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia(Alsyami)
(mmu/mmu)

KETIKA SAINS & SPIRITUALITAS MENJELASKAN TENTANG DUNIA GAIB

$
0
0

KETIKA SAINS & SPIRITUALITAS MENJELASKAN TENTANG DUNIA GAIB

 

oleh  Sonny H. Waluyo (1) dan Ahmad Yanuana Samantho 92)

  1. Holographic Universe

Leluhur kuno sudah menggambarkan dengan gamblang bahwa alam ini sebenarnya suwung (kosong) yang mungkin saat ini bisa lebih mudah dicerna melalui fisika kuantum dimana dinyatakan bahwa alam ini adalah hologram raksasa (holographic universe) yang artinya segala yang tampak sebagai realita adalah hologram dari proyeksi pikiran belaka. Alam adalah kanvas kosong berupa lautan energi.

Itulah mengapa ada orang-orang yang melihat alam kehidupan di dimensi lain karena pikirannya bergetar dengan cara lain sehingga memproyeksikan gambar hidup alam lain bersama-sama dengan pikiran-pikiran dari mereka yang memproyeksikan gambar hidup sebagai dimensi lain itu. Sementara orang lain tidak pernah melihat dimensi lain karena memang tak memproyeksikannya.

Untuk lebih jelasnya lagi bisa melihat ke tingkat paling mendasar atau detil terkecil dari alam dengan merujuk ke teori tentang atom, dimana setiap atom terdiri dari elektron (kutub negatif) yang mengelilingi proton (kutub positif) dan neutron pada inti atom (nucleus), sehingga itu berarti bahwa setiap atom adalah ruang kosong (alam suwung) [lihat ilustrasi].

Jadi alam semesta ini adalah lautan energi yang menjadi layar untuk proyeksi dari masing-masing pikiran individu jiwa, sehingga seperti apa gambar hidup yang dimunculkan di layar semesta tentunya akan tergantung dari pikiran masing-masing individu jiwa.

Namun setidaknya pengalaman bermimpi akan mengambarkannya lebih mudah, yakni bahwa saat tidur dan bermimpi setiap orang membuat hologram yang berbeda dengan hologram yang dilihatnya saat matanya terbuka melek. Itu pula yang menjelaskan mengapa cerita dalam mimpi bisa meloncat-loncat dan berganti setting tempat secara acak, karena pada saat tubuh fisik tidur pikiran bawah sadar mengambil alih kendali untuk menciptakan gambar hologram yang disebut mimpi. Lebih tepatnya pikiran jiwa saat tubuh fisik tertidur akan terlepas dari keharusan menggunakan indera pada tubuh fisik untuk melihat alam. Indera non-fisik tersebut sering juga disebut “mata ketiga”/”indera keenam”, yakni sebagai mata lain/indera lain yang “memandang” kehidupan dengan cara lain dengan mata fisik.

Realita yang terlihat saat mata melek adalah suatu hologram yang diciptakan oleh pikiran-pikiran kolektif dimana tubuh fisik yang digunakan oleh manusia saat ini “membatasi jiwa-jiwa yang tinggal di dalamnya” untuk mengikuti suatu pola pikir kolektif yang membuat manusia secara bersama-sama menampilkan hologram yang “serupa” walau tidak persis sama, karena selalu ada kekecualian pada masing-masing individu jiwa, seperti terlihat bahwa ada orang-orang yang bisa melihat dan berada di alam dimensi lain itu. Setiap orang bagaimanapun memiliki pikiran yang berbeda-beda seperti terlihat dalam perdebatan dan diskusi karena memang melihat kehidupan dan memiliki pengalaman berbeda-beda untuk dipaparkan.

Matriks Kehidupan

Dalam matriks kehidupan, digambarkan bahwa alur waktu adalah seperti tenunan kain, dimana setiap jiwa bisa berpindah jalur alur hidup, seperti garis-garis benang pada kain itu, setiap saat dan hologram realita yang muncul akan berubah sejalan dengan pilihan-pilihan keputusan hidup yang dibuatnya dari waktu ke waktu. Garis benang alur waktu yang dipilih adalah “fokus pikiran” yang menjadi latar belakang pengambilan keputusan pilihan-pilihan alur hidup. Oleh karena alasan itu pula mengapa para guru spiritual mengajarkan kebijaksanaan hidup, yaitu agar pikiran-pikiran orang secara bersama-sama menciptakan alur hidup bahagia dan diproyeksikan ke kanvas semesta sehingga menjadi hologram gambar hidup damai sejahtera.

Jiwa-jiwa yang menginginkan bumi menampilkan kehidupan damai sejahtera tentunya tidak akan memunculkan pikiran-pikiran penggunaan cara-cara hukuman yang adalah bentuk kekerasan karena berpikir tentang hukuman dan kekerasan akan memancarkan hologram kekerasan ke kanvas semesta. Maka jiwa-jiwa pendamai akan selalu fokus memancarkan pikiran damai, bijak, pengampunan, cinta agar terproyeksikan ke kanvas semesta di bumi.

Otak Memiliki Sifat Plastis

Buku “Train Your Mind Change Your Brain” memuat kesimpulan dari riset yang dilakukan para ahli syarat otak tentang cara kerja otak. Intinya dikatakan bahwa otak sangat plastis dan akan berkembang tergantung dari pikiran. Itu pula mengapa ada nasehat yang mengatakan “berpikirlah dengan hati”. Ini artinya bukan otak yang memproduksi pikiran, melainkan pikiranlah yang membentuk cara kerja otak. Semakin pikiran berkembang, maka otak akan semakin mekar perkembangannya mengikuti dan menyesuaikan dengan kebutuhan pikiran. Maka orang yang pikirannya sehat tubuhnya juga selalu sehat karena otak hanya mengikuti perintah pikiran dan meneruskannya ke sel-sel tubuh untuk menjadi seperti yang ada di pikiran itu.

Tubuh fisik dari seseorang sesungguhnya sudah sama sekali berbeda dengan saat terlahir, sudah “mlungsungi” (berganti) berkali-kali tak terhitung. Sel-sel tubuh secara terus-menerus berganti baru. Hal ini juga bisa dilihat dengan memperhatikan perubahan bentuk wajah foto-foto sejak kecil sampai dewasa. Pikiran yang sering dipengaruhi kondisi emosional yang berubah-ubah akan menampilkan bentuk wajah yang berubah-ubah.

Adalah Dalai Lama yang menginginkan adanya riset tentang cara kerja otak sehingga tersusun buku “Train Your Mind Change Your Brain” tersebut. Dalai Lama menginginkan adanya penjelasan ilmiah atas peristiwa-peristiwa supranatural yang dialami para biksu, entah penyembuhan, penglihatan tentang masa depan atau tentang alam lain.  Maka alam kehidupan lain tentang jin atau kepercayaan tentang malaekat dan dewa serta alam gaib menjadi lebih jelas bahwa semua itu terkait dengan holographic universe dan bentuk tampilan alam seperti apa yang muncul selalu tergantung dari pikiran masing-masing jiwa.

Dari uraian di atas selanjutnya bisa dipahami bagaimana jiwa sebenarnya tidak pernah mati dan hanya berganti-ganti “mimpi” saat mati atau bahkan bisa dikatakan bahwa hidup di realitas saat ini adalah sebuah mimpi kecil dan teramat singkat dari suatu jiwa yang hidup abadi. Menjalani hidup berupa kisah-kisah konflik dalam suatu realitas hologram fisik adalah sebuah “mimpi buruk” bagi jiwa yang sedang tidur alias tidak sadar dengan apa yang dipikirkan dan dilakukannya. Setiap jiwa yang sadar akan memahami konsekwensi dari pikirannya karena selalu berdampak kembali pada dirinya sendiri yang menciptakan semua pengalamannya untuk dinikmati sendiri. Jiwa yang sadar akan selalu hidup dalam cara-cara cinta dan bijaksana yang akan muncul sebagai proyeksi hologram realitas fisik.

Jika menyadari dan memahami cara kerja alam semesta di atas, maka alam gaib hanyalah proyeksi pikiran dari jiwa-jiwa dan semua muncul tampak sebagai realitas tergantung pada tingkat kesadaran dan ketajaman fokus pikiran untuk menampilkannya pada kanvas holografis alam semesta.

Fractal Cosmology

Melalui teori fractal dipahami bahwa perjalanan hidup setiap orang mengikuti suatu pola perulangan tertentu namun jika dilihat secara detil akan terlihat sebagai kekacauan. Demikian juga jika dipandang dari jiwa yang hidup abadi, maka satu periode kehidupan fisik hanyalah suatu waktu sekejab, namun terasa sangat panjang.

Saat turun (inkarnasi) ke dalam bentuk kehidupan fisik, setiap jiwa hadir untuk melihat suatu detil dari perjalanan abadinya sehingga dapat melihat bagaimana aliran kehidupan pada tingkat detil yang tampak kacau. Gambarannya adalah seperti melihat sebuah kursi yang nampak mulus tetapi saat turun ke detilnya di tingkat atom, kursi mulus tersebut juga terlihat sebagai gerakan energi berupa elektron yang mengelilingi inti atom, maka sebuah kursi pada tingkat atom adalah suatu benda yang bergerak-gerak.

Di tingkat kehidupan fisik (alam padat ini) jiwa-jiwa dapat menyaksikan proses tumbuh tanaman dari bentuk benih, bertunas, tumbuh akar-batang-daun sampai berbunga dan berbuah. Dan dengan inkarnasi ke dalam tubuh fisik manusia, jiwa mengalami sendiri suatu proses tumbuh dalam bentuk manusia yang membangun kehidupan dan merawatnya. Jiwa sebagai percikan kesadaran kosmos yang sedang memastikan bahwa di tingkat fisik semuanya berjalan dengan baik. Setiap kali percikan kesadaran kosmos turun inkarnasi ke bentuk fisik yang mengambil jalur matrik kehidupan di tingkat materi padat adalah untuk misi pembelajaran dan pembenahan.

Dimensi Kehidupan, Tingkat Kepadatannya & Satuan Waktu

Sumber-sumber spiritual mengatakan bahwa alam semesta tersusun atas 12 dimensi dengan 12 tingkat kepadatannya. Masing-masing dimensi dan tingkat kepadatannya memiliki kecepatan rambat cahaya yang berbeda. Semakin tinggi dimensi dan semakin halus kepadatannya kecepatan aliran energinya semakin tinggi, yang membuat perbedaan satuan waktu yang berbeda bertingkat pada masing-masing dimensi. Sebagai gambarannya dapat melihat satuan waktu menurut hitungan waktu kalpa sebagai berikut:

– 1 kalpa terdiri dari 1.000 maha yuga
– 1 maha yuga berlangsung selama 12.000 tahun dewa
– 1 tahun dewa setara dengan 360 tahun manusia pada dimensi 3 saat ini

Berdasar perhitungan tersebut satu maha yuga setara dengan 4,32 juta tahun manusia bumi, dan satu kalpa setara dengan 4,32 miliar tahun. Sedangkan 1 kalpa sama dengan satu hari kehidupan di tingkat Brahma.

Adanya pengetahuan pembagian waktu dan satuan waktu menurut kalpa di atas mengisyaratkan bahwa ada makluk hidup dengan kecerdasan sedemikian rupa yang melewati masa hidup di atas batas usia hidup manusia yang dipahami manusia bumi saat ini. Setiap jiwa yang memiliki kehidupan abadi memungkinkannya memahami rentang waktu yang sedemikian panjang.


[http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10202316587579028&set=a.10202142648310655.1073741832.1321815697&type=1&relevant_count=1]

===

Love&light … ((( ❤ ))) …

25 Oktober 2013

** ** **

di October 24, 2013

————-

2. Hubungan antara Sains dan Mistisisme

oleh Ahmad Yanuana Samantho

 

Pada kenyataannya, ada dua hubungan antara ilmu pengetahuan dan mistisisme. Yang pertama harus dilakukan dengan kesamaan dalam metodologi mereka. Sama halnya seperti ilmuwan yang berpendapat bahwa kebenaran teori mereka dapat diverifikasi oleh siapapun yang melakukan pengamatan yang tepat dan eksperimen, para mistikus juga mempertahankan bahwa Kebenaran ajaran mereka dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk melakukan disiplin dan pelatihan rohani yang tepat. Dengan demikian, perbedaan antara sains dan agama tidak (seperti yang orang banyak duga) bahwa yang satu bergantung pada investigasi empiris dan yang lainnya pada keyakinan yang membuta. Sebaliknya, perbedaan terletak pada domain yang akan diselidiki dan jenis kebenaran harus diverifikasi. Sementara para ilmuwan memfokuskan penyelidikan mereka pada perilaku objek dalam kesadaran, mistikus berkonsentrasi pada subjek kesadaran -yaitu ‘Diri’ atau ‘Aku’ untuk siapa objek-objek tampil. Dan sementara para ilmuwan berusaha untuk mengembangkan teori-teori yang lebih halus dan komprehensif tentang bagaimana realitas bekerja, para mistikus berusaha untuk menyadari Kebenaran pada sifat fundamentalnya yang terletak di luar jangkauan pemahaman setiap teori apapun. Perlu dicatat bahwa, jauh daripada menempatkan ilmu pengetahuan dan mistisisme dalam konflik, perbedaan-perbedaan antara domain dan apa fungsi masing-masing yang sebenarnya membuat kecocokannya menjadi mungkin.          Tidak hanya bahwa ilmu pengetahuan dan mistisisme memiliki metodologi yang paralel, tapi mistisisme sebenarnya dapat memberikan pemahaman filosofis dan spiritual yang koheren tentang bagaimana ilmu pengetahuan bekerja.

Salah satu ajaran kunci yang disepakati oleh para mistikus dari semua tradisi adalah hubungan antara kesadaran dan objek-objeknya, hubungan yang sangat (seperti yang telah kita lihat) terletak di jantung krisis filosofis dalam fisika modern.

Apa yang para mistikus klaim adalah bahwa perbedaan antara subjek dan objek kesadaran yang timbul dalam kesadaran, adalah bersifat khayalan. Pada kenyataannya, Kesadaran Ilahiyah (Tuhan, Allah, Brahman, Pikiran-Buddha, atau Tao) merupakan Latar yang tak berbentuk (Formless Ground) dari semua bentuk yang timbul sebagai mana gelombang yang tak terpisahkan yang timbul dari lautan yang tunggal. Dengan demikian, ajaran-ajaran mistis mengambil peran secara tepat di mana teori-teori ilmiah modern telah berhenti. Dan di sinilah, di titik antara kedua domain, bahwa kontinuitas (kesinambungan) yang sebenarnya antara sains dan mistisisme mulai menampakkan dirinya.

Gambar Fitur yang penulis ambil dari dari The Centter for Sacred Sciencces di atas memperlihatkan bahwa pada level/lapisan terluar dari ilmu pengetahuan Sains masih menampakan batas dan ciri warna yang tegas dalam keaneka-ragamannya (plurality). Namun pada tahan yang lebih tinggi yaitu pada Matematika, maka Plurality tersebut sudah mulai dapat mengerucut kepada dua kutub dikotomis saja (duality). Dan pada puncaknya bisa sudah naik dan memusat kepada tahapan mysticism (Spiritualitas Ilahiyah) maka yang adalah adalah tinggal Kemanunggalan (Unity) saja. Inilah gambaran ilmiah yang dapat menjelaskan bagaimana Realitas Perennial Paradigmatik Bhineka Tunggal Ika.

Setelah hal ini dipahami, masalah membangun pandangan dunia baru pada dasarnya yang bermuara pada perumusan pertanyaan: Apakah kesinambungan antara ajaran mistis dan teori-teori ilmiah dapat diekspresikan dan dipahami dengan baik dalam bahasa tunggal untuk keduanya?
Peran Matematika

Hal ini membawa kita kepada alasan terakhir untuk percaya bahwa pandangan dunia baru adalah sangat mungkin. Sebenarnya  sudah ada bahasa yang dapat mengekspresikan kesinambungan antara ilmu pengetahuan dan mistisisme. Pada kenyataannya, bahasa ini pada awalnya dikembangkan untuk tujuan ini oleh jalur kelompok mistikus Yunani kuno yang dimulai dengan ajaran tokoh Pythagoras dan Plato. Dan, meskipun sebagian besar  ilmuwan telah kehilangan pandangan tentang asal mistisnya sendiri, hari ini Matematika diakui sebagai bahasa universal ilmu pengetahuan moderen. Para sarjana di Center for Sacred Science, tentu saja, merujuk pada bahasa matematika.

Terlepas dari kenyataan bahwa kekuatan yang luar biasa ilmu pengetahuan itu berasal justru dari kemampuan untuk menyatakan hubungan matematisnya di antara berbagai fenomena fisik, pertanyaan yang paling membingungkan para ilmuwan itu sendiri adalah:  “Mengapa alam semesta harus bekerja seperti ini?” “Mengapa alam semesta begitu sempurna mentaati persamaan yang objektif, yang berasal dari pikiran subjektif matematikawan?” Hebatnya, jika apa yang mistikus klaim adalah benar – bahwa perbedaan antara kesadaran dan objek adalah bersifat imajiner – maka pertanyaan mendalam ini memiliki jawaban sederhana, meskipun radikal: Matematika tidak menggambarkan dunia benda yang ada secara independen; Matematika itu menciptakan benda-benda ini oleh tindakan imajinasi di dalam Kesadaran tersebut.

Bahkan, proses ini telah diberikan formula matematikanya secara eksplisit. Dalam karyanya:  “Hukum tentang Bentuk” (Laws of Form, 1969), matematikawan G. Spencer-Brown menunjukkan bagaimana, mulai dari kekosongan yang tak berbentuk, tindakan sederhana untuk membuat perbedaan secara alami menimbulkan hukum yang paling primitif yang mendasari logika dan aritmatika. Sekarang, jika kita mengambil kekosongan ini adalah Kesadaran yang tak berbentuk yang disaksikan oleh para mistikus, bahasa perbedaan ini dapat memberikan ekspresi matematika yang tepat untuk beberapa ajaran mistis tertinggi (misalnya, seperti digambarkan Thomas McFarlane dalam “Play of Distinction,”). Apa lagi, karya selanjutnya dari  Jack Engstrom, Louis Kauffman, Jeffrey James, dan Thomas Mc Farlane, membuat kita percaya bahwa seluruh tubuh matematika yang digunakan oleh ilmu pengetahuan modern dapat ditelusuri kembali ke dalam garis lurus yang tak terputus terhadap hukum yang sama mengenai bentuk dan kekosongan yang darinya mereka berkembang. Angka Satu (1) dan Nol ( 0 ).

Jika kasus ini terbukti, maka baik temuan-temuan ilmu pengetahuan modern serta ajaran mistikus akan dapat dibawa dalam sebuah lingkup bahasa yang umum  tentang semacam pandangan dunia baru yang ada dalam pikiran kita.  Dalam pandangan dunia seperti itu, kebenaran ilmu pengetahuan itu akan terlihat mengalir mulus dari Kebenaran yang lebih dalam yang disadari wujud-Nya oleh para mistikus dari semua tradisi agama-agama, sedangkan tradisi itu sendiri akan dipandang sebagai cabang yang berbeda dari satu Tradisi Besar yang telah menghiasi kemanusiaan dengan bimbingan moral dan spiritualitas yang sangat diperlukan sejak sejarah awal spesies kita.

Untuk membantu membangun dan mengembangkan pandangan dunia seperti itu adalah salah satu tujuan utama mengapa Pusat Ilmu Pengetahuan Suci (The Center for Sacred Science) didirikan. Mereka tentu saja tidak berada di bawah khayalan bahwa pandangan dunia baru dapat sepenuhnya dibangun atau disebarluaskan dalam semalam. Pemenuhan visi tersebut adalah tugas sejarah yang mungkin memakan waktu beberapa generasi untuk menyelesaikan.

Untuk tujuan suci itu pulalah mengapa The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) pernah didirikan di Jakarta Indonesia pada tahun 2002 oleh para cendikiawan Muslim seperti  Almarhum Prof.Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Jalaluddin Rakhmat, Dr. Haidar Bagir dan Dr. Ali Movahedi.

 

Perlunya Merakit Peradaban Baru

 

Filsafat, lewat metode berpikirnya yang ketat, mengajar orang untuk meneliti, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas setiap pemikiran dan gagasan. Pendeknya, menjadikan kesemuanya itu bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan ilmiah.

Sebagaimana Syed Hossein Nasr katakan, krisis-krisis eksistensial ini bermula pada pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Krisis eksitensial ini merupakan manifestasi dari krisis spiritual manusia modern.Ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya, manusia telah bergerak dari dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi. Kehidupan manusia modern, kata Nasr, telah terperangkap dalam pinggiran eksistensi mereka yang semakin lama semakin jauh meninggalkan pusat eksistensinya. Mereka kehilangan harapan kebahagian masa depan seperti yang dijanjikan oleh gerakan renaisance, enlightment era, sekularisme-materialisme sains dan teknologi. Oleh karena itu, kecemasan eksistensial yang menghantui manusia modern adalah merupakan konsekuensi logis alamiah dari modus eksistensi mereka yang mencampakkan kehidupan spiritual dan Tuhan mereka. Krisis ini bermula ketika manusia modern memberontak terhadap Allah Tuhan Yang Maha Pencipta.

Allah sendiri telah berfirman: “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS Al-Hasyr: 19). Jika kita merujuk kepada sabda Nabi SAWW: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, akan mengenali Tuhannya.”Dan sabda Imam Ali KW: “Pokok pangkal agama adalah mengenal Tuhan.”, maka pengenalan jati diri manusia juga menjadi pokok ajaran agama.

Sayangnya, di satu sisi, sebagian generasi muda Muslim di kampus-kampus universitas umum maupun kampus agama Islam semacam UIN atau IAIN-IAIN yang awalnya berlatar pendidikan pesantren tradisional, malah mengalami gegar budaya dan intelektual, sehingga ramai-ramai berpaling pada pesona artifisial filsafat Barat (modernisme & postmodernisme) yang sekular-atheis, liberalis dan materialis. Di sinilah letak tantangan dan peran alternatif filsafat Islam yang dapat mendekonstruksi pandangan dunia (worldview) modernisme dan postmo yang masih memberhalakan materialisme, Darwinisme, atheisme dan sekuralisme tersebut. Munculnya fenomena kontrovesial gerakan “Islam Liberal” versus gerakan fundamentalisme “Islam Literal” niscaya dapat diatasi dan didamaikan dengan pendekatan Filsafat Islam.

Di sisi lain, keprihatinan kita terhadap kondisi psikososial umat Islam kontemporer adalah lambannya kelompok ini tampil kepermukaan dari ‘masa usia balitanya’ dalam banyak hal. Justru di banyak kampus perguruan tinggi ilmu umum (natural & social sciences) telah menjamur gerakan salafi militan literalis, yang mempromosikan pemahaman keberagamaan yang skriptualis (textual/harfiah) fiqhiyah dan superfisial, dengan semangat fundamentalisme radikal yang mudah terpesona oleh retorika dan orasi emosional tanpa penalaran dan pada saat sama gamang menghadapi realitas zaman yang menuntut kemampuan memahami orang lain tanpa hanyut kedalamnya. Mereka biasanya mengambil mengambil jalan pintas yang mudah, yakni dengan menutup diri (eksklusif) terhadap ideologi, ajaran dan ilmu pengetahuan asing, dengan cap stigmatis sebagai ajaran aliran sesat, bid’ah dan berbahaya, sambil menafikan potensi kreatifitas manusia atas nama tuhan yang mereka tafsirkan sendiri. Padahal keadaan zaman yang semakin plural dan kompleks seperti saat ini, kita dituntut untuk memiliki kemampuan apropriasi yang sebaik-baiknya. Inilah peran yang dapat dimainkan oleh Fislasat Islam, yaitu membuka wawasan berpikir umat secara holistik agar sadar terhadap fenomena dan perkembangan wacana keagamaan dan sains kontemporer, yang membutuhkan keterbukaan, pluralitas dan inklusifitas.

Sejarah memberi pelajaran banyak kepada kita, bahwa pemahaman agama yang dikhotomis, yakni mengagungkan Tuhan dengan melecehkan potensi kreatif dan otonomi yang telah Tuhan berikan kepada manusia, pada gilirannya akan melahirkan pemberontakan manusia kepada agama, dan bahkan juga, kepada Tuhan. Kisah kelam ini akan menjadi amunisi kaum sekuler untuk meminggirkan agama hanya menjadi persoalan individual dan domestik belaka. Mereka khawatir, jika agama memasuki wilayah persoalan publik, sebagaimana dituntut oleh sebagian kalangan umat beragama, maka agama dapat dengan mudahdiperalat untuk kepentingan kelompok tertentu untuk menindas kelompok lain; bahwa agama hanya menjadi topeng dari kepentingan sesaat suatu kelompok, Kekhawatiran ini adalah wajar adanya. Namun sempatkah kekhawatiran ini dikritisi? Benarkah kehawatiran ini muncul dari kesadaran yang ingin menjada kesucian agama? Ataukahjustru juga karena memiliki kepentingan yang sama, yakni ingin mendominasi persoalan publik dengan paradigma anti agama? Ataukah karena masih terpendamnya di alam bawah sadar mereka pekikan Nietzsche, suara Satre, hujatan Marx dan Freud terhadap agama, sehingga secara diam-diam pembela sekularisme ini memanifestasikan ateisme-terselubungnya itu dalam bentuk penolakan keterlibatan nilai-nilai agama dalam persoalan publik. Sebagaimana sering digaungkan oleh beberapa tokoh politik di Indonesia, jangan bawa-bawa agama dalam politik!

 

Ketika astronom Polandia Nicholas Copernicus, hampir lima ratus tahun yang lalu, mengusulkan bahwa matahari-lah, dan bukan bumi, yang menjadi pusat alam (tata surya), ia memulai sebuah revolusi ilmiah yang telah mengubah kehidupan manusia dengan cara yang dramatis dan belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk satu hal, ilmu pengetahuan dan teknologi (sains-tek) baru yang dilahirkan ini mungkin telah membuat perbaikan yang cepat dalam bidang-bidang seperti pertanian, manufaktur, obat-obatan, perjalanan, komunikasi dan pendidikan, yang kesemuanya telah memperbaiki standar hidup untuk sebagian besar populasi dunia. Namun, karena seperti yang mungkin menyambut perkembangan ini, hal ini tidak datang tanpa harga. Seiring dengan manfaatnya yang tidak dapat dipungkiri, sains-teknologi ini telah juga membawa di belakangnya sejumlah masalah yang tidak terduga. Kelebihan dan kepadatan penduduk, pencemaran lingkungan, degradasi ekologi (menurunnya kualitas lungkungan), pemanasan global, dan penemuan senjata pemusnah massal, semuanya telah mengancam kita dengan bencana yang jauh bisa lebih besar daripada apa pun akibat perkembangan ilmu pengetahuan yang telah begitu jauh terjadi. [1]

Bagaimanapun yang lebih mengkhawatirkan, adalah kenyataan bahwa meskipun solusi teknologi bagi banyak masalah-masalah ini sudah diketahui, tampaknya kita semakin tidak mampu mempersiapkan diri untuk melaksanakannya. Kelumpuhan psiko-spiritual ini menjadi poin kolektif kami, yang lebih halus namun kita harus tidak/kurang serius membayarnya dengan harga mahal, karena sains-teknologi dengan tidak perlu diragukan lagi, telah merusak keimanan seperti – hilangnya bantalan moral dan spiritual.

Sebenarnya, kerugian ini tidak datang begitu banyak dari sains perse (yang, tegasnya, hanyalah merupakan metode), tapi dari kita telah menerima pandangan dunia materialisme-nya yang menjadi basis sains-teknologi.  Masalah pada pandangan dunia materialisme ini adalah bahwa banyak penjelasan tentang bagaimana kosmos alam semsta bekerja, bertentangan penjelasannya dengan yang  pandangan-dunia agamis yang lebih tua, yang telah memberikan panduan moral dan spiritual bagi sebagian besar sejarah umat manusia. Apalagi, mengingat keberhasilan yang tampak dari penjelasan materialis itu telah menjadi lebih mengeras dan sulit bagi orang yang terdidik untuk menganggap serius setiap penjelasan keagamaan.  Apakah para petani modern, misalnya, akan mengandalkan doa-doa dan mantera, daripada pupuk untuk meningkatkan hasil panen? Apakah ibu-ibu modern akan memilih ritual perdukunan tinimbang obat antibiotik untuk mengobati infeksi anaknya?

Perbedaan antara penjelasan yang ditemukan di dalam pandangan-dunia materialis ini dengan pandangan-dunia agamis mungkin tidak dengan sendirinya menjadi masalah, jika bukan karena fakta bahwa fungsi penting dari setiap pandangan dunia adalah untuk memberi pengikutnya pertimbangan internal yang koheren dan konsisten tentang realitas. Akibatnya, bila kita mempertanyakan satu aspek dari pandangan dunia tentu menimbulkan pertanyaan terhadap semua aspek lainnya juga. Dalam merusak penjelasan agama tentang cara kerja kosmos (alam Semesta), pandangan dunia materialisme juga menggerogoti nilai-nilai moral dan spiritual agama-agama tradisional yang telah mapan. Dan, yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, karena pandangan dunia materialisme tidak mengakui dimensi spiritual dari kosmos, maka pada dasarnya tidak mampu memasok nilai-nilai spiritual dan moral itu sendiri.

Akibatnya, hari ini banyak orang (terutama di Barat) yang telah meninggalkan pandangan-dunia agama mereka sama sekali dan hidup dalam kekosongan moral dan spiritual. Orang lain telah menyerah kepada sejenis ‘skizofrenia filosofis’ di mana mereka bergantung pada pandangan dunia materialisme untuk pelaksanaan urusan praktis mereka, sementara mencari pandangan dunia agama yang bertentangan untuk membimbing kehidupan rohani mereka.

Pertanyaannya, kemudian, secara alami muncul: “Apakah mungkin untuk menciptakan pandangan dunia baru yang dapat menjelaskan dengan baik keberhasilan ilmu pengetahuan modern sambil mempertahankan nilai-nilai fundamental moral dan spiritual? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, bagaimanapun, kita pertama harus jelas mengenai apa pengertian pandangan dunia itu.

 

Apakah  Fisika Quantum & Spiritualitas terkait ?

Sangatlah berharga untuk mendiskusikan pertanyaan tentang hubungan fisika kuantum dan spiritualitas bersama-sama, untuk melihat hubungan antara mereka dari sudut pandang Gereja Baru dan juga dari perspektif Filsafat Islam Nusantara.  Ada alasan mendesak untuk mendiskusikan link ini, karena ada orang yang ingin mengidentifikasi hal-hal ini. Ada perasaan yang meluas bahwa entah bagaimana mereka terhubung, tetapi di beberapa ‘zaman baru’ orang ingin mengatakan bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang spiritualitas. Kita tahu dari Swedenborg Scientific Association bahwa ada sambungan yang tidak begitu sederhana, jadi kita perlu memahami lebih terinci apa yang sedang terjadi.

 

1 . Fisika Quantum dan Dualisme Gelombang-Partikel

Untuk meninjau di mana fisika kuantum datang, Ian Thompson akan mengingatkan Anda yang telah mengambil kursus fisika di mana fisika kuantum telah diperkenalkan, dari beberapa masalah yang kita miliki.[2] Salah satu masalah adalah bahwa partikel yang ditemukan dalam fisika modern tidak hanya bundaran kecil yang melakukan perjalanan keliling, tapi berperilaku sebagai gelombang. Elektron, yang kita anggap sebagai contoh utama dari sebuah partikel kecil, dapat tersebar dengan pola interferensi: difraksi/terpecah melalui celah, di sudut-sudut, atau dari kristal. Mereka dapat tercermin sebagai sebuah gelombang. Selain itu, gelombang ini adalah gelombang probabilitas, jadi kami tidak mengatakan bahwa elektron pasti berada di satu tempat, tetapi bahwa ia memiliki tempat atau terdistribusi probabilitasnya. Bentuk distribusi ini dapat bekerja secara akurat dalam fisika kuantum, yang membuat prediksi yang sangat tepat. Tapi hanya probabilitas yang diperkirakan: fisika tidak memberitahu kita persisnya di mana partikel tersebut. Ini adalah salah satu teka-teki: untuk memahami mengapa dan bagaimana partikel berperilaku sebagai gelombang.

Sisi lain dari koin adalah bahwa gelombang-gelombang, gelombang cahaya misalnya, di mana warna-warni dijelaskan oleh panjang gelombang osilasi, yang berperilaku seperti partikel. Ini adalah cara yang fisika kuantum dimulai. Max Planck, lebih dari 100 tahun yang lalu, menunjukkan bahwa dia bisa memecahkan beberapa masalah mendasar dalam fisika dengan mengasumsikan bahwa gelombang cahaya tidak hanya gelombang osilasi halus seperti diungkap Faraday, Maxwell dan lain-lain telah berpikir, tapi datang dalam gumpalan energi yang disebutnya quanta. Kata ‘kuanta’ berasal dari ‘menghitung’.

Partikel kecil di alam bukan sedikit benda padat atau sel darah dengan tepian yang kaku, cara Newton, Boyle dan Locke di abad ke-17. Mereka lebih seperti awan kecenderungan atau kecenderungan. Bentuk awan ini bekerja dengan sangat akurat dalam mekanika kuantum (bentuk ini adalah apa yang digambarkan fungsi gelombang), tetapi mereka tidak hanya tinggal tersebar seperti awan karena mereka entah bagaimana masih mempertahankan kesatuan. Jadi kita perlu penjelasan sistematis bagaimana awan atau bidang menyebar namun hanya bertindak dengan cara tunggal yang bersatu untuk memberikan satu hasil. Masalah seleksi ini adalah masalah pengukuran yang fisika kuantum telah mencoba untuk memecahkannya selama bertahun-tahun: untuk memahami bagaimana hal-hal yang tersebar, dan berperilaku seperti gelombang sementara mereka tersebar, maka dapat bertindak hanya dengan cara tunggal dengan respon tunggal.

Kombinasi dari kedua masalah yang muncul dalam fisika kuantum disebut masalah Dualitas gelombang-partikel. Tugas yang fisikawan kuantum sekarang miliki adalah mencoba untuk memahami hubungan antara kedua fitur fisika kuantum itu. Ian Thompson tidak akan menjelaskan lebih banyak tentang rincian fisika, tetapi akan kembali ke beberapa hal secara umum di bawah ini. Kita perlu bertanya apa yang sebenarnya terjadi di alam: apa yang fisika kuantum katakan kepada kita?

 

  1. 2. Membentuk Hubungan dengan Swedenborg

Cara yang Ian Thompson ingin mencoba untuk menjawab pertanyaan ini, adalah dengan menggunakan beberapa ide dari Swedenborg.[3] Ini bukan cara Thompson biasanya memperkenalkan fisika kuantum, tapi mengandalkan pada kenyataan bahwa Anda mungkin sudah memiliki beberapa ide-ide ini. Tujuan dasar Thompson adalah untuk menarik beberapa korespondensi antara spiritualitas dan fisika kuantum: bukan identitas, tapi korespondensi. Dengan demikian, Anda yang tahu Swedenborg dapat menggunakan korespondensi ini untuk memahami fisika kuantum,[4] dan mereka yang tahu fisika kuantum dapat melihat koneksi terbalik juga.

Gelombang yang menyebar-keluar tersebut, yang saya akan sarankan di bawah ini, sebelum kita putuskan akan lakukan apa. Bayangkan bahwa kita sedang berpikir untuk melakukan hal yang berbeda. Dalam pikiran kita, kita kemungkinan menghibur. Itulah fungsi dari pemahaman kita: adalah berpikir tentang hal-hal sebelum kita melakukannya. Kami menghibur ‘atau mempertimbangkan kemungkinan – sehingga pola gelombang dalam fisika adalah ‘seperti’ kita ketika kita menghibur beberapa probabilitas. Dengan demikian, ada sesuatu yang ‘sesuai’ antara gelombang dan pemahaman. Selain itu, kondisi fisik lebih seperti yang kita pikirkan, daripada hasil yang sudah selesai. Awalnya, fisikawan berpikir bahwa semua elektron dan atom berada dalam posisi yang sangat tepat: yaitu, seolah-olah kami sudah membuat pikiran kita apa yang harus dilakukan. Tapi kita tahu dari Swedenborg bahwa kami hanya mendapatkan hasil yang tepat pada akhir proses yang melibatkan niat, dan pemahaman, kemudian memutuskan untuk bertindak dalam beberapa cara dialami.  Aku akan memperluas lebih rinci di bawah, tapi apa yang saya ingin menunjukkan adalah bahwa fitur fisika kuantum ini sesuai dengan proses dalam pikiran kita. Ada hubungan korespondensi, seperti yang kita alami harapkan setelah Swedenborg. Paragraf terakhir ini adalah preview dari bagian sisa pembicaraan ini. Mungkin Anda tidak mengerti sekarang, tapi saya ingin memberikan beberapa ide untuk membantu saat aku melanjutkan.

 

  1. Masalah Seleksi dalam Fisika Kuantum

Salah satu masalah besar dalam fisika adalah bahwa fungsi gelombang yang menyebar memiliki bentuk yang memenuhi persamaan terkenal, tetapi masih belum jelas, seperti yang saya katakan, kapan dan bagaimana fisika mendapatkan hanya satu hasil yang sebenarnya. Elektron mungkin memiliki fungsi gelombang tersebar di seluruh ruangan, misalnya, namun jika Anda memiliki detektor di dalam ruangan, hanya salah satu dari mereka, secara acak, akan mendeteksi elektron. Dalam fisika kuantum, kita tidak memiliki alasan bagus mengapa elektron hanya dapat ditemukan dalam satu detektor dan entah bagaimana tidak dalam mereka semua. Jadi ada banyak diskusi dalam 70 tahun terakhir tentang bagaimana dalam fisika teori standar dengan gelombang hanya mengarah ke satu hasil. Hal ini telah menimbulkan banyak sekali ide-ide alternatif, dan ini tercantum dalam Gambar 3 di bawah ini: cara yang disarankan untuk mendapatkan satu aktualitas yang pasti

Gambar 3:

Sarana yang disarankan untuk mendapat suatu aktualitas tertentu

 

1. Only an appearance Everett[5],
2. Occurs to a good approximation Decoherence theory,
3. Classical apparatus N. Bohr,
4. Experimenter looks W. Heisenberg,
5. Effect of consciousness E. Wigner[6],
6. Consciousness creates an actual result H. Stapp[7],
7. Consciousness produces nature S. Malin[8],
8. Spirit produces nature E. Swedenborg,
9. Nature is essentially spiritual ‘New Age’,
10. Nature and spirit are identical C.J.S. Clarke[9],
11. Quantum physics shows us religious roots E.H. Walker[10]

 

Bagi Anda yang telah membaca beberapa fisika populer akan mengenali beberapa alternatif ini, dan mereka semua dirancang untuk menjawab masalah pengukuran yang sama. Saran pertama disebut penafsiran banyak-dunia Everett, di mana tidak ada pilihan nyata, tapi semua alternatif terjadi saat yang sama, misalnya dalam beberapa set semesta paralel. Teori kedua ‘decoherence’ mengatakan bahwa itu benar-benar seperti itu, tapi itu tampaknya pendekatan yang baik seolah-olah hanya satu hasil terjadi. Niels Bohr pikir itu adalah fakta bahwa peralatan eksperimen adalah ‘klasik’, dengan tidak ada perilaku gelombang, yang memunculkan hasil tertentu. Kita sekarang tahu bahwa fisika kuantum berlaku untuk aparat eksperimental juga, sehingga tidak benar-benar memecahkan masalah. Werner Heisenberg, Eugene Wigner dan Henry Stapp pada gilirannya telah memperkenalkan spekulasi bahwa seleksi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan kesadaran atau pikiran, dan ini telah melahirkan aliran seluruh saran di mana kesadaran (atau sesuatu) telah menjadi lebih dan lebih terlibat dalam mencoba untuk memecahkan masalah fisika kuantum.

Wigner dalam sebuah makalah dari 40 tahun yang lalu menyarankan bahwa itu adalah kesadaran dari ilmuwan yang mengamati, dan gagasan ini telah dilakukan oleh Stapp, yang mengatakan bahwa kesadaran sebenarnya terlibat dalam otak. Stapp percaya bahwa karena otak kuantum memiliki banyak hal alternatif yang bisa terjadi, kesadaran memilih salah satu dari hasil ini untuk menghasilkan hasil. Saya telah terdaftar alternatif lain di sini, yang bisa semakin lebih ‘jalan keluar’. Beberapa dari ide-ide kita bisa membayangkan menjadi benar, misalnya bahwa ‘roh menghasilkan alam’, tetapi beberapa orang telah pergi lebih jauh dari itu, dan mengatakan bahwa alam entah bagaimana dasarnya spiritual – yang terhubung dengan, atau sama dengan, spiritual. Orang lain telah melanjutkan tema ini untuk mengatakan bahwa fisika kuantum adalah cara belajar tentang spiritualitas, cara untuk mendapatkan kembali spiritualitas kita. Ada sejumlah besar kemungkinan solusi di sini yang mencoba untuk memecahkan masalah yang sama: bagaimana sesuatu yang dijelaskan oleh gelombang dapat menghasilkan hasil yang pasti. Masalahnya mulai dari kenyataan bahwa ketika fisikawan berpikir tentang alam, mereka hanya memiliki dua ide dalam pikiran: mereka bisa memikirkan gelombang atau partikel.[11] Kesulitannya adalah bahwa benda yang fisika kuantum mengatakan kepada kita berada di alam bukan hanya gelombang, dan bukan hanya partikel, sehingga tantangannya adalah untuk menemukan pemahaman baru dan gambar baru.

Sebagai mana ide-ide yang lebih ekstrim di atas, ada ide-ide lebih lanjut yang telah diusulkan. James Jeans[12], fisikawan matematika, menulis sekitar 60 tahun yang lalu bahwa “fungsi gelombang terlihat seperti bukan sesuatu yang padat dan substansial, tetapi lebih mirip sebuah ide”. Beberapa (misalnya Zohar[13]) telah mengambil ini berarti bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang ide-ide. Lainnya, membahas identitas  roh dan alam yang diduga/diharapkan, telah mencoba untuk bekerja keluar berbagai cara untuk memahami mengapa mereka tampil berbeda. Mereka telah mengatakan bahwa mungkin roh dan alam adalah nilai yang berbeda dari energi, frekuensi yang berbeda, dimensi yang berbeda, dan/atau ‘kehalusan’ berbeda dari material. Mereka dari kita dengan latar belakang dari Swedenborg akan mengakui bahwa menunjukkan ‘dimensi yang berbeda’ di sini adalah mencoba untuk menggunakan analogi spasial (berpikir dari ide-ide ruang) untuk membedakan pikiran dari alam. Ketika orang mencoba berbicara tentang ‘frekuensi yang berbeda’, mereka menggunakan analogi sementara untuk berpikir tentang perbedaan ini. Tapi kita tahu dari Swedenborg bahwa kita tidak dapat benar-benar menggunakan salah satu dari jenis-jenis analogi.

Dari Swedenborg kita berpikir kita tahu mana dari semua ide di atas masuk akal, yaitu, yang dari mereka mungkin benar. Mari kita menunjukkan mana yang ini yang mungkin, sebelum membahas mana yang benar. Kita tahu bahwa memilih untuk melakukan satu hal tertentu tidak dapat hanya sebuah ilusi, karena kalau tidak akan membuat olok-olok mencoba untuk menata hidup seseorang. Kita tahu bahwa hasil tertentu dipilih, sehingga dapat benar-benar hanya menjadi pendekatan yang baik bahwa pilihan memang terjadi. Kita tahu bahwa kesadaran mungkin terlibat. Hal ini tidak mengesampingkan, karena kita tahu dari Swedenborg spirit/jiwa yang menghasilkan alam, dan mungkin kesadaran itu, sebagai bagian dari roh, yang terlibat. Tapi kita tahu bahwa ketiga ide terakhir (9-11) tidak mungkin benar, karena kita tahu bahwa ada perbedaan penting antara alam dan roh, yang berarti bahwa kita harus menemukan berbagai jenis hubungan antara fisika kuantum dan spiritualitas yang bukan hanya identitas. Harus ada jenis lain dari koneksi. Dari ide set berikutnya kita tahu bahwa perbedaan berdasarkan waktu atau dimensi tidak mungkin benar. Kita tahu bahwa perbedaan sejati tidak didasarkan pada ‘kehalusan’ atau ‘kehalusan’: Swedenborg memiliki komentar untuk membuat tentang itu. Mungkin benar bahwa fungsi gelombang tampak seperti ide, tapi itu hanya berlaku jika kita mengambil kata ‘seperti’ untuk merujuk kepada korespondensi daripada menjadi hanya sama.

 

  1. Beberapa Tingkatan

Semua hal di atas adalah pengenalan yang sangat singkat dan tentu sepintas bagaimana kita dapat menggunakan Swedenborg untuk memahami fisika modern. Saya akan membahas adanya ‘beberapa tingkat generatif’ atau ‘tingkatan diskrit’. Swedenborg membuat upaya besar untuk membedakan discrete dari tingkat kontinyu dan apa yang saya ingin tunjukkan adalah bahwa ada tingkatan discrete dalam alam, yaitu, dalam fisika kuantum. Ini akan membantu kita untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam fisika. Lebih jauh lagi, tingkat diskrit dalam alam akan sesuai dengan tingkat diskrit lain yang kita ketahui tentang dalamnya proses spiritual. Dengan demikian, kita memiliki struktur triadic ini dalam alam, serta dalam spiritual, dan ini dihubungkan oleh korespondensi. Ini adalah tema keseluruhan untuk apa yang berikut.

Jika kita simpulkan apa yang Swedenborg memberitahu kita tentang bagaimana roh dan alam digabungkan, dan jika kita melihat apa yang Swedenborg katakan setelah ia diberitahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan apa yang ia mencoba menebak di tahun-tahun sebelumnya, yang cukup berbeda, maka kita melihat bahwa ia kemudian dalam hidupnya belajar bahwa roh merupakan sarana penting dalam penciptaan alam. Alam tidak diciptakan langsung dari Infinite, tetapi diciptakan melalui roh. Dia datang untuk melihat bahwa dunia alami adalah efek akhir dari penyebab yang bekerja di dunia rohani, yang memanifestasikan dirinya dalam beberapa bentuk cinta. Jadi, sebagai akibatnya, pola cinta à kebijaksanaan à efek adalah pola yang bisa kita coba gunakan untuk memahami apa yang terjadi dalam fisika kuantum.

Pola ini dapat diringkas dalam banyak cara: cinta à kebijaksanaan à  efek; atau jiwa à pikiran à tubuh, sebagai pola triadic yang sama. Swedenborg memberi kita alasan yang cukup untuk menunjukkan bahwa ini diulang dalam jiwa: kita memiliki langit, spiritual dan spiritual-alami. Hal ini diulang dalam pikiran: kita memiliki interior yang rasional, suatu alam eksterior, dan pikiran sensorik. Jadi pertanyaannya adalah, ini juga diulang dalam dunia alam?

Swedenborg memiliki berbagai hal untuk mengatakan tentang derajat di dunia alam (lihat artikel misalnya Hugo Lj. Odhner[14]). Ketika Swedenborg mulai, ia memiliki cukup ide-ide yang berbeda yang bervariasi dari buku ke buku. Saya akan berbicara tentang ‘eter’, yang adalah sesuatu yang ia berubah pikiran beberapa kali, juga menyangkut bagaimana mereka berhubungan dengan dunia spiritual[15]. Jika kita membaca dari Pengadilan Terakhir (Akhirat) / Last Judgement (Posthumous).

“Tiga atmosfir alam yang timbul dari matahari dunia adalah eter murni, yang bersifat universal, dari yang semua gravitasi; eter tengah, yang membentuk pusaran di sekitar planet, yang merupakan bulan dan satelit, yang merupakan magnet; dan eter utama yang udara. ”

Di sinilah ia berbicara tentang tiga derajat di alam. Hari-hari ini, kita tidak percaya pada ‘ether’, tapi pertanyaannya adalah apakah kita dapat menafsirkan apa yang dia katakan tentang ether murni, ether menengah, dan ether utama dalam sedemikian rupa cara sehingga masuk akal. Saya akan berasumsi bahwa ketiga kata sifat mengacu pada berbagai jenis ether. Dia mungkin tidak tahu dari sudut pandang ilmiah apa yang mereka, tetapi mereka pasti tampak tiga hal yang berbeda, dan tentu saja bukan  tiga Vacuums[16] yang berbeda. Tapi apakah kita mengenali pola ini? Apakah masuk akal bagi kita? Kita harus memungkinkan beberapa fleksibilitas dalam penafsiran apa yang dimaksud dengan eter, tetapi ia tidak memberitahu kita apa saja fungsi dari ketiga eter. Dia memberitahu kita bahwa yang pertama adalah melakukan dengan gravitasi, yang di tengah adalah dengan melakukan magnetisme, dan yang terakhir adalah dengan melakukan hal-hal material. Apakah gambaran itu masuk akal?

Mari kita mencoba dan bekerja apa tiga derajat di alam mungkin, jika kita menggunakan prinsip-prinsip Gereja Baru untuk bekerja keluar dari apriori derajat apa yang mungkin diharapkan terdiri darinya. Dari korespondensi dari alam dengan tiga derajat dalam spiritual, maka dalam alam harus ada (a) cara menerima dalam tubuh niat roh/spirit, selanjutnya harus ada (b) propagasi penyebab dalam alam, dan harus ada (c) cara untuk menghasilkan efek di alam. Kita dapat menganggap ini sebagai tujuan, penyebab, dan efek, semua di alam. Ini adalah apa yang kita harapkan untuk melihat dari sudut pandang Swedenborg. Apakah ada cara untuk melihat alam yang kita ketahui dari ilmu pengetahuan, di mana kita melihat ketiga derajat?

Dalam fisika modern kita tidak tahu apa-apa tentang tujuan; bahkan kita sengaja menolak untuk mempertimbangkan tujuan dalam fisika, sebagai aturan. Tapi kita tahu banyak tentang penyebaran penyebab dalam fisika: fisika itulah yang sangat baik. Ini memberitahu kita bagaimana penyebab merambat melalui urutan dan berbagai perubahan yang dihasilkan. Dan dalam fisika kita tahu sedikit tentang beberapa efek. Bahkan, ironi adalah bahwa seluruh urusan yang saya bicarakan sebelumnya, untuk mendapatkan hasil yang pasti dalam fisika kuantum, adalah justru karena fisika tidak cukup tahu tentang efek yang sebenarnya. Jadi jelas bahwa fisika kontemporer tahu banyak tentang propagasi penyebab, dan ia tahu hampir semuanya tentang produksi efek, meskipun masih ada sesuatu yang hilang dari apa yang fisika kuantum mengatakan tentang efek akhir. Jadi, jika Swedenborg memiliki cahaya untuk dilemparkan pada apa tiga derajat adalah, ini akan membantu mengisi kekosongan yang penting, kesenjangan nyata dalam fisika kuantum, yang merupakan produksi efek.

 

  1. Energi

Jika kita melihat fisika, dan berapa fisika menganggap sebagai bagian dari pemahaman yang berada di pusat, gagasan penting dalam fisika adalah energi. Energi adalah tema yang melewati fisika kontemporer. Ini berbicara tentang energi potensial, energi kinetik dan sekitar: energi kinetik adalah energi yang berkaitan dengan gerak, dan energi potensial adalah dengan melakukan apa yang akan terjadi jika keadaan benar. Dalam fisika klasik kita bisa pergi jauh dengan mengetahui tentang konservasi energi (serta kekekalan momentum, momentum sudut dll). Energi dalam fisika kuantum, total energi kinetik dan potensial, diubah menjadi apa yang disebut operator Hamiltonian (biasanya disingkat H). Saya hanya akan mengatakan bahwa operator ini masuk ke dalam persamaan gelombang Schrödinger, yang mengatur semua bentuk gelombang kuantum. Dengan demikian menghasilkan semua bidang probabilitas, dan karenanya semua evolusi waktu. Semua dinamika dalam fisika kuantum ditentukan dengan mengetahui apa keadaan awal, dan apa operator Hamiltonian adalah. Jadi, energi dalam beberapa bentuk sangat penting dalam kedua fisika klasik dan kuantum.

Dengan demikian, setiap kali saya lakukan fisika kuantum sebagai bagian dari pekerjaan saya di bidang fisika nuklir, saya pertama kali mencoba dan menemukan Hamilton, maka saya memecahkan persamaan Schrödinger

HY (x, t) = i ¶ Y (x, t) / ¶ t.

Di sini, Hamilton H adalah operator yang bekerja pada fungsi gelombang yang memberitahu kita bagaimana perubahan fungsi gelombang, dengan cara derivatif dari fungsi gelombang terhadap waktu di sisi kanan persamaan. Dengan cara ini, Hamiltonian menentukan semua dinamika, seperti yang kita dapat memecahkan persamaan ini untuk menemukan fungsi gelombang di segala tempat x dan waktu t ke masa depan.

Persamaan sentral dalam fisika kuantum adalah persamaan dari bentuk ini (mungkin Schrödinger atau persamaan Dirac), yang selalu memiliki turunan waktu yang mengisahkan bagaimana fungsi gelombang bervariasi dengan waktu. Selanjutnya, setelah kita memiliki fungsi gelombang ini, kita dapat menemukan probabilitas dengan mengambil modulus persegi | Y (x, t) | 2. Pertanyaannya sekarang, apakah kita melihat tiga serangkai akhir à sebab à efek dalam struktur ini? Saya baru saja menggambarkan struktur fisika kuantum sebagai setiap fisikawan atom, setiap fisikawan nuklir mempraktekkan itu. Apakah kita melihat triad di sana? Saya menyatakan bahwa yang kita lakukan, jika kita melihat dengan benar.

 

END                                      CAUSE                                  EFFECT

 Quantum

Gambar 2: Korespondensi Quantum dan Proses Mental

 

 

  1. Tiga Derajat Quantum

Ian Thompson mengklaim bahwa bahwa ada tiga hal. Untuk membantu Anda memahami, di bagian bawah Gambar 2, Ian Thompson telah menarik korespondensi untuk apa yang ada dalam pikiran mereka. Bagi Anda yang tahu fisika kuantum dapat melihat di bagian atas, dan mereka yang tahu Swedenborg dapat melihat di bagian bawah, dan kemudian saya ingin membuat sambungan antara. Dia mengatakan “Jika Anda tahu satu, hubungan ini akan membantu Anda memahami yang lain”. Dengan demikian, tampak lagi di fisika kuantum, kita memiliki Hamiltonian yang harus dilakukan dengan total energi, yang entah bagaimana aktif, karena operator yang beroperasi pada fungsi gelombang dan mengubahnya. Persamaan Schrödinger adalah aturan untuk bagaimana operator Hamilton menghasilkan apa yang kita sebut ‘kecenderungan gelombang’: fungsi gelombang yang merupakan bentuk kecenderungan atau kecenderungan untuk tindakan: gelombang probabilitas. Kemudian fungsi gelombang ini (pada kenyataannya modulus kuadrat-nya) memberikan probabilitas untuk hasil yang berbeda. Ini adalah struktur fisika kuantum, dan dalam struktur ini kita sekarang melihat jenis yang sama struktur derajat triadic yang kita miliki dalam pikiran kita. Di bagian bawah dari Gambar 2 adalah triad sangat sederhana dari psikologi. Jika kita melihat hanya dalam pikiran eksternal kita, maka kita punya niat, berpikir tentang rencana, baik yang mengarah ke tindakan. Ini adalah triad yang sesuai dengan proses dalam fisika kuantum (tentu saja, bukan triad yang sama). Dari Swedenborg kita tahu tentang: cinta à kebijaksanaan à penggunaan (atau kasih sayang à pemahaman à keputusan, atau langit à spiritual à alam) dan kita miliki dalam korespondensi umum untuk semua triad tersebut. Kita tahu bahwa pola yang sama berulang dalam keseluruhan, dan dalam setiap bagian. Saya berbicara tentang setiap proses tunggal untuk setiap partikel tunggal dalam fisika kuantum: setiap kali setiap hal terkecil berevolusi dalam waktu, kita melihat pola triadic yang sama.

Kita melihat bahwa ada korespondensi antara energi dan niat. Hal ini sangat populer hari ini untuk menggunakan energi dalam cara yang sangat umum untuk mengacu pada semua niat dalam pikiran kita dan dalam roh kita: kita berbicara tentang energi mental, dan tentang energi spiritual. Banyak orang bingung ini: mereka conflate energi spiritual dengan energi fisik, mengatakan bahwa ini hanyalah berbagai jenis energi. Di sini kita dapat melihat bahwa mereka berhubungan satu sama lain. Swedenborg akan menggunakan ‘panas’ dan ‘cahaya’, dan saya berpikir bahwa kata ‘energi’ adalah interpretasi umum yang baik tentang makna ‘panas’ atau kalor. Di tengah atas kita memiliki gelombang atau struktur lapangan, di mana Swedenborg mengacu pada cahaya, tapi gelombang ini adalah gelombang energi, yang menyebar keluar dan mencoba untuk melakukan sesuatu. Kita tahu bahwa cahaya adalah suatu bentuk energi, sementara Swedenborg mengatakan ‘kebijaksanaan adalah bentuk cinta’ atau ‘niat mengambil bentuk dalam pemahaman’. Ada banyak kesamaan dalam struktur logis dari kalimat yang menghubungkan dua ini pertama derajat.

Bagi Anda yang bertanya-tanya bagaimana fisika kuantum berbeda dari fisika yang kita tahu, Ian Thompson hanya akan memberikan demonstrasi singkat tentang bagaimana ini membuat perbedaan. Bayangkan seseorang roller-skating di sebuah ruang berongga. Dalam fisika klasik ada batas, tidak terduga disebut ‘titik balik klasik’, di mana energi kinetik habis, karena energi telah semua berubah menjadi energi potensial. Dalam teori kuantum, sebaliknya, tidak ada batas yang tajam, karena semuanya didasarkan pada kecenderungan, dan tidak hanya ditentukan dan kaku. Jika ini adalah sebuah elektron dalam atom, kemudian muncul dengan probabilitas kecil bahkan dalam apa yang disebut ‘ wilayah klasik terlarang ‘. Hal ini sangat penting dalam fisika kuantum, dan menimbulkan apa yang dalam pikiran saya adalah menarik tentang proses kuantum. Hal ini penting untuk memahami hal-hal seperti transistor, di mana terowongan elektron melalui lapisan sangat tipis, karena jika Anda memiliki dip lain di sisi kanan maka mereka bisa masuk. Hal yang sama muncul dengan peluruhan radioaktif, karena proton atau partikel alfa di dalam nukleus besar memiliki hambatan besar yang berhenti itu keluar, tapi masih bisa keluar terowongan dengan probabilitas sangat kecil dan karena itu Anda mendapatkan seumur hidup yang sangat panjang, seperti ribuan jutaan tahun, tetapi masih keluar akhirnya. Itulah salah satu perbedaan antara fisika klasik dan kuantum, karena ada kecenderungan dan bukan hanya keras dan cepat batas. Fakta memiliki kecenderungan berkaitan dengan apa yang Swedenborg memberitahu kita tentang niat, atau conatus, yang menghasilkan hasil tanpa sambungan tetap antara mereka.

Apa yang Ian Thompson telah berikan sejauh ini adalah ringkasan singkat dari korespondensi antara energi dan gelombang fisika kuantum, dan niat dan pikiran atau pemahaman dalam pikiran. Kami benar-benar harus menarik pikiran di atas derajat fisik, jadi niat, pemahaman dan efek menghasilkan, dan sesuai dengan, energi dan gelombang bentuk.

 

  1. Teori Bidang Quantum

Dalam fisika kuantum, rumus Hamiltonian mulai terdiri dari energi kinetik dan potensial. Sekarang pertanyaannya adalah, dari mana Hamiltonian berasal?  Ian Thompson  akan mencoba dan menjelaskan apa yang disebut teori medan kuantum. Anda mungkin tidak mengikuti rincian, tetapi penting untuk argumen Thompson bahwa fisika telah menemukan lebih dari apa yang, sehingga untuk berbicara, adalah ‘di belakang’ Hamiltonian. Ketika fisika kuantum dimulai 70 tahun yang lalu, fisikawan harus menciptakan Hamiltonian. Ada berbagai petunjuk dan trik, dan jika hasilnya keluar yang tepat Anda tahu bahwa Anda berhasil. Namun, dalam kenyataannya, ada beberapa fisika di balik itu. Kita sekarang tahu bahwa energi potensial dari bagian Hamiltonian bukan hanya sewenang-wenang, tapi datang tentang dari apa yang disebut proses virtual. Kita tahu bahwa kekuatan elektromagnetik antara dua partikel bermuatan tidak hanya diberikan oleh persamaan Maxwell, tetapi diberikan oleh ‘ virtual foton ‘ atau ‘ sinar gamma ‘ yang dipertukarkan. Daya tarik nuklir antara dua proton, atau antara proton dan neutron tidak hanya sewenang-wenang, tetapi diberikan oleh pertukaran quark dan gluon. Quark tertarik satu sama lain dengan bertukar gluon. Jadi ada sesuatu yang terjadi di ‘balik layar’ dari apa yang telah dijelaskan sejauh ini, yang menghasilkan Hamiltonian. Apa peristiwa ini? Selain itu, energi kinetik, yang adalah melakukan dengan massa, dikatakan oleh fisikawan harus ‘berpakaian’ oleh proses virtual. Ini berarti, misalnya, bahwa elektron telanjang memiliki awan foton yang pergi bersama dengan itu, karena terus-menerus memancarkan dan menerima foton, dan foton ini memberikan kontribusi massa melalui energi mereka sendiri. Jadi, bahkan massa dan energi kinetik bukan hal yang diberikan langsung, tetapi juga diproduksi dari balik layar, dan muncul di Hamiltonian yang mengandung energi kinetik dan potensial bersama-sama.

Gambar 3: Kekuatan dari pertukaran partikel virtual

 

Ian Thompson hanya akan menyebutkan apa yang beberapa dari proses-proses virtual, seperti yang digambarkan dalam Gambar 3 Ini adalah fisika yang telah ditemukan dalam 50 tahun terakhir: bahwa interaksi elektromagnetik antara partikel bermuatan adalah dengan pertukaran foton; kekuatan nuklir antara proton dan neutron adalah dengan pertukaran gluon a; interaksi lemah adalah dengan pertukaran ‘vektor meson berat’ disebut Z dan partikel W. Dalam fisika kita mengatakan bahwa ada empat jenis interaksi sama sekali. Ada tiga ini di sini: elektromagnetisme, kekuatan nuklir dan lemah; dan yang keempat adalah gravitasi. Sejauh Ian Thompson belum mengatakan banyak tentang gravitasi, tapi akan datang kembali nanti. Titik ia ingin membuat adalah bahwa semua hal-hal ini terjadi di belakang layar, dan fisikawan mengatakan bahwa ini adalah partikel virtual. Mereka tidak benar-benar terjadi, tapi semacam ‘hampir’ terjadi. Kemudian ada tantangan untuk kita untuk memahami apa yang di bumi yang terjadi? Cara saya ingin Anda berpikir tentang hal ini, adalah bahwa proses virtual adalah sarana yang rencana diproduksi. Ingat Ian Thompson mengatakan bahwa kita punya niat, memahami dan efek. Pemahaman ini memiliki semua rencana ini, tetapi pertanyaannya adalah: bagaimana rencana ini berhasil? Pasti ada sesuatu untuk membantu ini harus dikerjakan. Dari Swedenborg kita tahu bahwa semua pikiran dengan hal ini bekerja berasal dari tingkat sebelumnya. Kita tahu bahwa masuknya dari langit sangat penting bagi kita untuk berpikir, bahkan mendapatkan pemahaman kita bekerja, dan untuk mengoperasikan rencana kami. Jadi, apa yang saya usulkan untuk membantu kita untuk memahami proses virtual, adalah bahwa ada lapisan lain dari tiga (triadic) tahap seperti pada Gambar 4.

Gambar 4: Triad dari proses virtual menghasilkan proses yang sebenarnya

 

Tidak semua dari Anda akan mengerti apa yang dimaksud fisikawan dengan teori medan, tapi apa yang Ian Thompson ingin tunjukkan adalah bahwa, dengan melihat kelompok-kelompok triadic dan mendalilkan kelompok lain sebelumnya, kita mendapatkan beberapa ide yang membantu kita untuk memahami fisika kuantum. Lapisan sebelum ini menjelaskan proses virtual, atau energi potensial, dan lapisan bawah adalah apa yang ia harus memulai dengan, yang berkaitan dengan energi, kecenderungan dan peristiwa aktual. Intinya adalah bahwa layer baru ini memiliki tingkat proses otonomi sendiri, di mana peristiwa virtual yang dihasilkan oleh medan kuantum virtual, mulai off dengan apa yang dalam fisika disebut ‘lapangan/medan Lagrangian’. Kami tidak benar-benar tahu di mana Lagrangian berasal dari, sehingga sekali lagi kita memiliki masalah yang sama, tapi setidaknya kita dapat melihat bahwa proses virtual membantu mempersiapkan energi kinetik dan potensial, dan karenanya membantu mempersiapkan kecenderungan. Perhatikan bahwa ada proses virtual muncul bahkan jika tidak ada yang benar-benar terjadi. Bahkan jika Anda mengambil ruang di ruangan ini antara atom-atom, masih ada proses virtual terjadi. Para fisikawan mengatakan bahwa ada ‘energi titik nol’, dan bahwa ada ‘vakum fisik’ yang terdiri dari fluktuasi dari energi titik nol. Apa yang mereka menyiratkan adalah bahwa ada bidang virtual meskipun mungkin tidak ada bidang partikel, dan bahwa bidang virtual menghasilkan efek terukur.

Ian Thompson inginkan sekarang untuk mengidentifikasi dua lapisan ini dengan ‘udara’ lapisan dan ‘ether tengah’ lapisan Swedenborg  seperti yang ditunjukkan pada gambar, karena ether tengahnya adalah salah satu katanya dikaitkan dengan planet dan mereka magnet. Swedenborg tahu tentang magnetisme, dan ia tahu tentang planet. Fungsi utama dari peristiwa virtual adalah produksi tarik elektrostatik & tolakan, dan gaya magnet, antara partikel bermuatan. Kita sekarang tahu bahwa magnet tidak ada dengan sendirinya, dan selalu dikombinasikan dengan elektrostatika: kita berbicara tentang elektro-magnet. Jadi kita menafsirkan ‘magnet’ Swedenborg seperti itu yang kita tahu itu bersatu, yaitu elektromagnetisme. Ini terlihat seperti eter tengah. Hal ini dalam urutan yang benar, dan memiliki struktur internal yang benar, dari sudut pandang Swedenborg. Kami memiliki pola yang sama: sebuah prinsip akan menyebabkan dan kemudian ke efek. Kita tidak tahu di mana prinsip berasal, tapi kita bisa melihat bahwa itu adalah prinsip. Ini adalah prinsip bahwa fisikawan telah digunakan sampai saat ini sebagai titik awal untuk menggambarkan teori medan kuantum. Mereka mulai dengan menuliskan Lagrangian, dan melihat semua istilah dalam Lagrangian, untuk bekerja semua proses virtual mungkin. Mereka bekerja satu langkah dan dua langkah proses untuk peristiwa virtual, menggunakan teori misalnya gangguan. Kemudian mereka bekerja di luar energi potensial dan kinetik, dan melanjutkan dengan Hamiltonian dan gelombang fungsi dll Ini semua hanya menjelaskan dengan cara sederhana fisikawan apa yang hari ini. Sebuah gambar ini (tanpa kata-kata ‘ether tengah’ atau ‘udara’, tentu saja) akan menyenangkan untuk rekan-rekan saya di tempat kerja (saya telah mencobanya pada mereka[17]), sehingga sangat masuk akal dari sudut pandang fisika. Satu-satunya hal yang mereka temukan sedikit aneh adalah bahwa ada perintah tegas ini. Tidak ada semacam memberi dan menerima, tidak ada interaksi timbal balik: Saya selalu tertarik panah ‘memproduksi’ seperti ke kanan atau ke bawah, sehingga seluruh bisnis adalah bahwa masuknya: masuknya bersyarat. Apa yang Anda butuhkan untuk menerima masuknya adalah sesuatu yang saya tidak punya waktu untuk berbicara tentang: yang benar-benar bicara lain[18]. Setidaknya dari Swedenborg kita tahu bahwa ada perintah seperti itu.

 

  1. Gravitasi

Kita memiliki ether tengah, dan kita memiliki udara, jadi bagaimana dengan gravitasi? Itu adalah hal yang hilang di sana. Mari kita simpulkan apa yang kita ketahui tentang gravitasi, sangat singkat. Teori gravitasi terbaik adalah Teori Umum Relativitas Einstein. Hal ini masih teori terbaik: tidak ada orang yang menyangkal hal itu. Fisikawan tidak senang dengan hal itu, karena alasan-alasan yang akan saya jelaskan, tetapi masih teori terbaik. Dalam teori ini, ruang dan waktu ‘melengkung’ oleh gravitasi, sesuai dengan distribusi materi. Saya tidak akan menuliskan persamaan Einstein, tetapi ide dasarnya adalah bahwa kelengkungan ruang-waktu disebabkan oleh massa dan energi di ruang-waktu. Tidak ada menyebutkan probabilitas, sehingga lagi teori klasik. Hasil ini adalah bahwa pertanyaan gravitasi kuantum hangat dibicarakan: pertanyaan tentang bagaimana untuk menggabungkan probabilitas dengan ide ruang-waktu melengkung. Ada sering berdiskusi tentang bagaimana kita mungkin bisa di gravitasi kuantum kombinasi seperti itu. Sebagai contoh, jika ruang dan waktu yang entah bagaimana probabilistically dihasilkan, maka bagaimana Anda berbicara tentang probabilitas, jika kita tidak memiliki distribusi ruang yang memiliki probabilitas?

Harus ada ‘ alternatif ‘ dari beberapa jenis ! Saya berharap bahwa jika kita memiliki wawasan tentang masalah ini gravitasi kuantum dari Swedenborg, maka kita akan dapat melemparkan beberapa cahaya pada masalah-masalah mendasar .

Menurut Swedenborg, jika kita berada di dunia spiritual, kita tahu bahwa ruang dan waktu dalam dunia spiritual sangat fleksibel, mari kita bicara seperti itu. Ruang tergantung pada kondisi mental dan keadaan rohani kita. Kita tahu bahwa jika cinta dua orang adalah sama, maka mereka berdekatan di dunia spiritual. Kita tahu bahwa Matahar, negara Tuhan di langit, sangat berbeda dari negara malaikat yang muncul di jarak yang sangat besar dari mereka, menyinari mereka. Kita juga tahu bahwa waktu adalah sangat fleksibel dalam dunia spiritual. Tampaknya menjadi aturan yang, jika seseorang meminta Anda untuk melakukan sesuatu, dan Anda mengatakan bahwa Anda akan melakukannya segera tetapi Anda ingin melakukan banyak hal lain terlebih dahulu, Anda selalu memiliki ‘waktu’ untuk pengalihan untuk melakukan apapun lain yang Anda ingin lakukan, dan kemudian kembali ke apa yang orang meminta Anda untuk melakukannya. Tidak ada waktu jam di dunia spiritual: hanya ada suksesi negara. Anda selalu dapat memiliki banyak suksesi negara dari satu jenis antara negara berturut-turut sesuatu yang lain, dan tidak ada tingkat yang sama dari suksesi di bagian yang berbeda. Sekali lagi, kita melihat bahwa ruang dan waktu bervariasi sesuai dengan cinta.

Sekarang Ian Thompson akan menyajikan beberapa ide yang tidak benar-benar sebuah teori, tapi satu upaya unified melihat apa yang sedang terjadi, sehingga kita dapat mulai melihat korespondensi. Menurut Swedenborg, mencintai secara dinamis menghasilkan geometri ruang dan waktu yang kita miliki di dunia spiritual. Tapi kita tahu bahwa mencintai sesuai dengan energi, jadi mari kita mengambil kalimat ini dan menerjemahkannya dengan korespondensi ke dalam fisika. Kami berakhir dengan pernyataan, bahwa energi secara dinamis menghasilkan geometri ruang dan waktu di dunia fisik. Ini adalah persis apa kata Relativitas Umum. Kami tidak benar-benar memahami hubungan antara cinta dan energi, atau bagaimana tepatnya ini bekerja, tapi kita bisa melihat awal dari beberapa ide yang mungkin di masa depan menghasilkan beberapa wawasan. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan kami udara dan eter menengah perlu diperluas untuk mencakup apa yang saya sebut sebelumnya ‘formatif’ derajat. Hal ini sangat spekulatif: Saya menggunakan ide dari korespondensi dari Swedenborg untuk mengisi kekosongan .

1. General Principle 2. Formative Fields 3. Form Space-time Forming Principle ‘Universal Ether’
4. Lagrangian 5. Virtual Fields 6. Virtual Events Virtual Cause

‘Middle Ether’

7. ‘Active Energy’ 8. Propensity Fields 9. Actual Selections Actual Effect

‘Air’

Principle Cause Effect  

Gambar 5:

Sebuah triad formatif pada baris pertama , untuk menghasilkan proses virtual

 

Sembilan lapisan yang telah saya diarsir pada Gambar 5 terdiri pertama dari bawah enam yang telah saya bicarakan sebelumnya: pilihan aktual , kecenderungan medan dan energi; kemudian di atas ini: peristiwa virtual, bidang virtual dan Lagrangian tersebut (apapun itu!). Lalu, saya katakan, kita akan mengharapkan beberapa lapisan atas ini, sehingga lapisan ini baru bertindak sebagai prinsip dalam tiga serangkai prinsip à  sebab àakibat  dalam arah vertikal. Karena semuanya datang dalam triad, kita tidak bisa memiliki hanya enam: kita harus memiliki sembilan (kekuatan dari tiga). Jadi sepertinya bahwa harus ada beberapa prinsip umum di awal, kemudian beberapa bidang formatif di tengah atas, dan pengaruh medan formatif harus menghasilkan ruang-waktu. Harus ada, di bagian atas, menjadi lapisan sebelum ini baru yang dilakukan adalah dengan melakukan gravitasi . Kami tidak benar-benar tahu apa-apa tentang hal ini, dan, pada kenyataannya, jika semua ahli fisika yang kita tahu berpikir tentang gravitasi kuantum bisa memikirkan sesuatu yang berguna, maka kita mungkin memiliki sesuatu untuk dikatakan. Sebaliknya, jika dari Swedenborg kami mengerti korespondensi kami dengan baik, kami juga mungkin memiliki sesuatu untuk dikatakan.

Tantangannya adalah untuk mendapatkan ide-ide kami dari sumber yang berbeda untuk bertemu bersam : kita mencoba menghubungkan langit dan bumi di sini , untuk melihat bagaimana mereka bergabung. Yang baru adalah bahwa lapisan ini sebelum baru adalah seperti apa Swedenborg katakan adalah eter pertama, yang berhubungan dengan gravitasi. Sepertinya di sini kita memiliki eter pertama  eter tengah dan udara: ini tampaknya masuk akal selama kita membiarkan diri kita untuk menafsirkan Swedenborg  Swedenborg berusaha mengatakan apa yang ia tahu benar dalam kata-kata yang ia telah tersedia baginya. Dia harus menggunakan kata-kata yang ada di sana; dia bisa menyarankan hal-hal, tapi ada banyak hal yang dia tidak tahu  Ada banyak hal yang dia tidak tahu, tapi yang sekarang kita tahu untuk menjadi penting, seperti oksigen di udara, jadi kami harus bekerja dengan tepat apa hal-hal ini bahwa ia tidak memberitahu kami.

Dalam contoh ini kita telah menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari ide-ide Swedenborg untuk menafsirkan kembali rincian referensi ke alam. Kita lihat, misalnya, pola umum yang sama secara vertikal dan horizontal. Dalam arah vertikal, kita melihat prinsip, sebab dan akibat, atau cinta, kebijaksanaan dan menggunakan, atau niat, pemahaman dan efek, mana korespondensi kita pilih. Dan kemudian ada pola yang sama di setiap arah horisontal 1 à 3 , 4à 6 dan 7 à 9 . Keseluruhan Masuknya harus datang di urutan 1 à 9 : ini harus menjadi cara bahwa dunia diproduksi. Tingkat ini semua di alam, dan tidak terdiri dari apapun mental. Ini adalah derajat diskrit, semua di alam.

 

  1. Parsial

Kita bisa menjelaskan bagaimana bisa ada pandangan parsial. Triad terakhir adalah energi à gelombang à event, yang sesuai dengan kemauan, pikiran dan tindakan, tetapi tidak identik dengan itu. Tetapi banyak orang melihat korespondensi, dan merasakan korespondensi ini, sehingga banyak dari mereka telah dibangun ke dalam bahasa sehari-hari. Insight, kehangatan, dll. adalah kata-kata yang sering digunakan. Peran energi dalam tubuh sesuai dengan peran cinta dalam roh. Kita bisa menyebutnya panas, atau energi generatif, tapi apa pun itu, itu adalah sesuatu yang pada awal yang sesuai dengan sisi cinta. Peran gelombang di dunia sesuai dengan kebijaksanaan dalam roh. Gelombang di dunia bisa menjadi gelombang cahaya, dan kita mengatakan bahwa kebijaksanaan sesuai dengan cahaya. Peran peristiwa tindakan sesuai dengan keputusan dalam roh, yang merupakan efek pada akhir fisik. Fisika kuantum masih belum yakin tentang efek ini, seperti yang saya katakan di awal, sehingga masih ada urusan yang belum selesai dalam fisika tentang apa efek ini dan apa yang benar-benar menghasilkan mereka. Orang sering conflate energi dalam tubuh dengan kasih dalam roh dengan mengatakan bahwa ada energi spiritual dalam diri kita, dan berbicara tentang aura sebagai gelombang yang dapat mereka lihat di sekitar orang. Mungkin mereka bisa, tetapi ini tidak gelombang dalam arti fisik normal.

Selain itu, banyak dari orang-orang yang saya sebutkan sebelumnya yang mencoba untuk memahami fisika kuantum dibangun pada kenyataan bahwa ada korespondensi antara peristiwa fisik dan keputusan spiritual, dengan berspekulasi bahwa peristiwa rohani adalah keputusan yang sebenarnya. Beberapa itu benar, karena mereka tampaknya sesuai, dan karena itu kita akan mengharapkan hubungan kausal, karena korespondensi timbul dari masuknya kausal. Saya telah mengatakan bahwa fisika terdiri dari efek yang berasal dari kekuatan dan ladang dan kemudian energi, dan beberapa orang berpikir itu karena energi ini sangat berbeda dari materi di dunia fisik, mungkin energi harus menjadi lama dicari ‘roh’. Namun, hanya memberitahu kita sesuatu yang sesuai dengan semangat. Orang lain telah melihat lapisan akhir ini energi, kecenderungan dan peristiwa, dan telah melihat kembali ke proses virtual. Mereka melihat bahwa proses virtual di sini bahkan jika tidak ada yang benar-benar terjadi, dan dengan demikian berspekulasi bahwa mungkin inilah proses virtual yang sesuai dengan roh, atau roh. Jadi kita bahkan mendapatkan dokumen-dokumen “Apakah Foton Virtual Dasar Pembawa Kesadaran”[19]. Saya menggunakan proposal ini untuk menunjukkan jenis pandangan parsial, atau conflation dari korespondensi yang sering terjadi. Saya harus membaca untuk Anda yang kedua untuk kalimat terakhir “arena kemahahadiran foton maya, maka akhirnya bahwa seluruh alam semesta harus embued (menyatu?) dengan subjektivitas”. Inilah yang terjadi jika Anda tidak membedakan satu derajat sebelum di alam dari derajat sebelum nyata yang berada di spiritual. Mereka berhubungan satu sama lain  tetapi mereka tidak sama. Seluruh pembicaraan saya adalah tentang fisika kuantum dan spiritualitas: ada korespondensi antara mereka, tetapi mereka tidak sama.

Sekarang saya akan membahas beberapa konsekuensi dari ide-ide di atas. Pertimbangkan gagasan bahwa pilihan aktual fisik penting, karena hasil akhir atau ‘bottom line’. Dunia spiritual seluruh menghasilkan dunia spiritual eksternal, dan kemudian semua gelar ini di alam, dan hal terakhir yang menghasilkan adalah pilihan yang sebenarnya satu hasil tertentu di tempat lain. Itulah yang fisika kuantum tidak benar mengerti, tetapi kita tahu bahwa itu harus ada. Kita tahu bahwa tindakan akhir atau akhir dari roh berada dalam pikiran sensual. Bahwa apa yang Swedenborg memberitahu kita, sedangkan psikolog akan mengatakan bahwa adalah pikiran sensori-motor  yang sedikit lebih akurat karena itu adalah tindakan, bukan hanya sensasi, yang signifikan. Dan kita tahu, dari apa yang saya baru saja dijelaskan, bahwa tindakan terakhir di dunia adalah peristiwa aktual: pemilihan salah satu hasil tertentu yang berbeda dari yang lain. Dengan demikian, dua hal – pikiran sensori -motor dan peristiwa aktual-tampaknya berhubungan satu sama lain. Jadi Heisenberg, Wigner, Stapp dan lain-lain, bahkan Paul Davies, berpikir bahwa ada hubungan antara pengamat dan pemilihan peristiwa aktual. Kita sekarang melihat bahwa mereka berhubungan satu sama lain, dan salah satu dari mereka harus menyebabkan yang lain. Ada sesuatu tentang pikiran sensori -motor  lapisan terluar dari pikiran eksternal, sesuai dengan yang operasinya harus dalam beberapa cara terhubung ke pemilihan hasil fisik tertentu. Hal ini menjelaskan sebagian bagaimana dunia alam mengakhiri dunia spiritual. Hal ini dalam dunia alam yang kita benar-benar membangun sebuah fundasi yang tetap, karena peristiwa-peristiwa aktual yang merupakan bottom line, merupakan pilihan yang pasti untuk satu cara atau yang lain. Swedenborg mengatakan bahwa dunia alam berakhir dan berisi: bahwa itu adalah containant untuk kehidupan rohani dan tindakan. Cinta  yang tetap bersama kami harus mencintai yang menghasilkan peristiwa aktual dalam kehidupan kita. Ini pada dasarnya apa yang Swedenborg  katakan kepada kita.

 

  1. Keseluruhan Gambaran

Ini semua bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, tentu saja: pada dasarnya kita tahu bahwa ada pikiran interior, pikiran eksterior, dan dunia alam. Apa yang saya telah berbicara tentang adalah sembilan derajat di dunia alam yang ditunjukkan pada kolom paling kanan dari Gambar 6. Dalam kolom ini, kita memiliki alam, di kolom tengah kita memiliki pikiran, di mana kita memiliki sensual (atau sensori motor) pikiran, eksternal rasional (atau ilmiah), dan rasional internal yang yang dihasilkan setelah reformasi. Di sebelah kiri, kita memiliki pola yang sama lagi, di langit. Ini adalah langit spiritual. Semua pembicaraan sejauh ini baru saja menggambarkan sembilan derajat (sebuah ennead) dalam dunia alam, dan tentu saja seluruh skema lagi dengan ennead (satu set sembilan kali lipat). Swedenborg masuk ke dalam rinci tentang apa yang terjadi dalam internal rasional yang…, dan proses panjang digambarkan dalam Kitab Kejadian adalah perkembangan dari Abraham sampai dengan Joseph dan seterusnya, yang mengatakan kepada kita rincian regenerasi rasional internal.

 

 

 

Interior Mind/Spirit

(love)

Exterior Mind (understanding) Natural World

(effects)

Celestial Internal Rational Formative level
1. 2. 3.
Spiritual Scientific

(External Rational)

Virtual Causes
4. Lagrangian 5. Virtual Field 6. Virtual Event
Spiritual-Natural Sensual Actual Effects
7. Energy 8. Tendency 9. Selection

 

Gambar 6: derajat Spiritual dan Mental dalam kaitannya dengan alam.

 

Kami belum tahu rincian derajat 1, 2 dan 3 yang membentuk apa yang disebut Swedenborg sebagai yang ‘ Ether Universal ‘ .

Seperti tabel ini derajat diskrit tidak benar-benar menjelaskan penyebab dan alasan merek , tetapi memberikan klasifikasi umum. Klasifikasi ini memungkinkan kita untuk masuk akal ketika fisika kuantum mengatakan kepada kita bahwa hal-hal di dunia ini tersebar bidang yang bertindak dengan cara bersatu untuk memberikan satu hasil yang sebenarnya. Ini karena itulah cara kita. Ketika manusia berpikir, kita memiliki niat yang berpikir tentang berbagai kemungkinan, dan kemudian bekerja pada salah satu dari mereka. Itulah apa hidup ini, dan apa yang kita lihat adalah bahwa alam fisik tidak berbeda. Hal ini tidak sadar akan dirinya sendiri dengan cara yang sama, tapi mengandung jenis yang sama proses, fungsi yang sama. Ada kesamaan fungsi, dan ini membantu kita untuk memahami fisika kuantum. Sebelumnya cocok alami untuk fisik, dan kita melihat bagaimana derajat ini semua bergabung bersama-sama.

Jadi, dalam kesimpulan, kita melihat bahwa ada korespondensi menyeluruh (korespondensi secara rinci serta keseluruhan struktur) antara fungsi di alam kuantum dan fungsi dalam pikiran internal dan eksternal. Tidak ada suatu persamaan substansi, tetapi pola fungsional di alam adalah sama dengan pola fungsional dalam pikiran internal dan lagi sebagai sama dengan pola fungsional dalam pikiran eksternal. Oleh karena itu, jika kita menaruh semua foto-foto bersama, kita belajar lebih banyak tentang ala , serta belajar lebih banyak tentang spirit.[20] Oleh karena itu, Ian Thompson berharap, bahwa kita mendapatkan gambaran yang lebih baik dari masing-masing, serta hubungan antara mereka.

 

 

 

 

  1. Spiritualitas, Kesadaran dan Quantum Physic

Perkembangan baru dalam upaya ilmiah yang manusia modern saat ini miliki mendapatkan kemajuan penting dan signifikan dalam pandangan inti dari ajaran agama di bidang fisika baru terutama di Quantum Physic Teori sebanyak apa yang rumit dalam sub-bab sebelumnya.

Wacana, penjelasan, deskripsi dan argumen tentang hubungan antara Quantum Fisika dan Spiritualitas (Kesadaran), sangat menarik disajikan dalam film semi – dokumenter berjudul What the Bleep Do We Know ? (juga ditulis Apa tнe # $ * ! Dө ωΣ ( k ) πow ! ? dan Apa # $ * ! Apakah Kita Tahu!?). Ini adalah sebuah film tahun 2004 yang menggabungkan gaya wawancara dokumenter, animasi grafis komputer, dan narasi yang mengemukakan hubungan spiritual antara fisika kuantum dan kesadaran. Plot mengikuti kisah seorang fotografer yang tuli; saat ia bertemu hambatan emosional dan eksistensial dalam hidupnya, dia datang untuk mempertimbangkan gagasan bahwa kesadaran individu dan kelompok dapat mempengaruhi dunia material. Pengalamannya yang ditawarkan oleh para pembuat film sebagai ilustrasi tesis film tentang fisika kuantum dan kesadaran. sinematik ini dirilis 2004 dari film ini diikuti oleh substansial yang berubah, versi DVD yang diperpanjang pada tahun 2006 .

Film Bleep dilahirkan dan produksinya didanai oleh William Arntz, yang ikut menyutradarai film bersama dengan Betsy Chasse dan Mark Vicente: semua orang-orang ini adalah mahasiswa Sekolah Pencerahan Ramtha[21]. Sebuah anggaran yang cukup rendah untuk produksi independen, itu dipromosikan menggunakan metode viral marketing dan dibuka di bioskop rumah seni di Amerika Serikat bagian barat, memenangkan beberapa penghargaan film independen sebelum dijemput oleh distributor utama [2] dan akhirnya laku lebih dari $ 10.000.000.[22] [23]

Film ini telah dikritik karena dianggap keliru dalam menyajikan ilmu pengetahuan [24] [25]  [26] [27],  yang mengandung pseudosains [28] [29], dan telah digambarkan sebagai mistisisme kuantum [30]

 

Synopsis Film

Difilmkan di Portland, Oregon, What the Bleep Do We Know menyajikan sudut pandang alam semesta fisik dan kehidupan manusia di dalamnya, dengan koneksi kepada neuroscience dan fisika kuantum. Beberapa ide dibahas dalam film ini adalah :

  • alam semesta ini terbaik dilihat sebagai dibangun dari pemikiran (atau ide) daripada dari substansi .
  • “ruang kosong ” sebenarnya tidak kosong .
  • Materi tidak solid. Elektron terdorong masuk dan keluar dari keberadaan dan tidak diketahui di mana mereka menghilang untuk apa .
  • Keyakinan tentang siapa seseorang dan apa yang nyata dibentuk oleh diri sendiri dan realitas seseorang.
  • Peptides yang diproduksi di otak dapat menyebabkan reaksi tubuh terhadap emosi .

Di segmen narasi film, Marlee Matlin menggambarkan Amanda, seorang fotografer tuli yang bertindak sebagai pemirsa avatar pada saat ia mengalami hidupnya dari perspektif baru yang mengejutkan dan berbeda.

Di segmen dokumenter film, yang diwawancarai membahas akar dan makna dari pengalaman Amanda. Komentar fokus terutama pada satu tema: Kita menciptakan realitas kita sendiri. Direktur, William Arntz, telah menjelaskan What the Bleep sebagai film untuk “metafisik kiri. “[31] ​​

 

Produksi Film

Film ini mencakup lebih dari tiga ratus efek visual jumlah shot yang sangat besar untuk sebuah film independen, film yang dibiayai swasta. Kendala anggaran yang membutuhkan upaya internasional. Pekerjaan terpecah antara yang berbasis di Toronto Mr X Inc, Lost Boys Studios di Vancouver, dan Efek Visual Atom di Cape Town, Afrika Selatan. [11]     Tim efek visual, yang dipimpin oleh pengawas efek visual Evan Jacobs, bekerja sama dengan pembuat film untuk membuat metafora visual yang akan menangkap esensi dari mata pelajaran teknis film dengan perhatian terhadap detail estetika. [11] [32]

Pernikahan yang difilmkan ini di Gereja Katolik St Patrick, yang dibangun pada tahun 1888 dan terletak di barat laut Portland. St Patrick bukanlah sebuah paroki Polandia, seperti yang ditunjukkan dalam film; secara historis telah menyediakan layanan untuk jemaat terutama Irlandia. Beberapa wawancara yang difilmkan di University of Washington di Seattle. Paling menonjol, grand tangga dan ruang baca dari Suzzallo Library, quad, dan bagian depan dari Denny Balai digunakan sebagai lokasi wawancara.

Menurut Publishers Weekly, film itu salah satu hits sleeper 2004, sebagai “Kata-kata mulut dan pemasaran strategis yang disimpannya di bioskop selama satu tahun penuh.” Artikel tersebut menyatakan bahwa pendapatan kotor melebihi $ 10 juta, yang disebut sebagai tidak buruk untuk sebuah film dokumenter dengan anggaran rendah, dan bahwa rilis DVD mencapai bahkan sukses lebih signifikan dengan lebih dari satu juta unit dikapalkan dalam enam bulan pertama setelah rilis pada bulan Maret tahun 2005.[33]

Dalam artikel Publishers Weekly, humas of New Page Books Linda Rienecker mengatakan bahwa ia melihat kesuksesan film sebagai bagian dari fenomena yang lebih luas, yang menyatakan “Sebagian besar penduduk mencari koneksi spiritual, dan mereka memiliki seluruh dunia untuk memilihnya dari sekarang”. Penulis Barrie Dolnick menambahkan bahwa “orang tidak ingin belajar bagaimana untuk melakukan satu hal . Mereka akan mengambil sedikit Buddhisme  sedikit veganism , sedikit astrologi … Mereka datang ke pasar yang lapar untuk arahan, tetapi mereka tidak ingin beberapa orang yang mengaku memiliki semua jawaban. mereka ingin saran, bukan formula. “Artikel yang sama mengutip Bill Pfau, Advertising Manager Tradisi batin, yang mengatakan “Semakin banyak ide-ide dari masyarakat New Age telah menjadi diterima ke mainstream.”

Kritikus film menawarkan tinjauan yang beragam seperti yang terlihat di situs review film Rotten Tomatoes, di mana ia diklasifikasikan sebagai “Rotten“, dengan nilai rata-rata 4.6/10 berdasarkan 74 ulasan [34]. Dalam ulasannya film , Dave Kehr dari New York Times menggambarkan “transisi dari mekanika kuantum untuk terapi kognitif ” sebagai “masuk akal”, tetapi juga menyatakan bahwa “lompatan berikutnya – dari terapi kognitif menjadi besar, keyakinan kabur spiritual — tidak secara efektif dilaksanakan. Tiba-tiba orang-orang yang berbicara tentang partikel subatomik yang menyinggung alam semesta alternatif dan kekuatan kosmik, yang semuanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembuatan karakter Ms Matlin yang merasa lebih baik tentang pahanya.”[35]

 

Reaksi Masyarakat New Age (Zaman Baru)

What the Bleep Do We Know ? telah digambarkan sebagai “semacam jawaban New Age kepada The Passion of the Christ dan film lain yang mematuhi ajaran agama tradisional.” [10] Ia menawarkan spiritualitas alternatif bila dilihat karakteristik filosofi New Age, termasuk kritik dari nilai-nilai moral agama tradisional. Film ini diterima dengan baik di festival film di mana penganut New Age adalah demografis yang kuat, misalnya Sedona, Arizona.[36] [37]

 

Reaksi Kalangan Akademik terhadap Film Ini

Beberapa ilmuwan yang telah meninjau What the Bleep Do We Know? telah menjelaskan pernyataan yang berbeda yang dibuat dalam film sebagai pseudosains[38]. Di antara konsep-konsep dalam film yang telah ditantang adalah pernyataan bahwa molekul air bisa dipengaruhi oleh pikiran (seperti yang dipopulerkan oleh Masaru Emoto[39]), bahwa meditasi dapat mengurangi tingkat kejahatan kekerasan,[40] dan bahwa fisika kuantum menyiratkan bahwa “kesadaran adalah dasar dari semua yang ada.” Film ini juga dibahas dalam sebuah surat yang diterbitkan dalam jurnal Physics Todays yang menantang bagaimana fisika yang diajarkan, mengatakan pengajaran gagal untuk “mengekspos misteri fisika yang telah mengalami [dan] mengungkapkan batas-batas pemahaman kita.” Dalam surat tersebut, para penulis menulis “film ini menggambarkan prinsip ketidakpastian dengan bola basket memantul yang berada di beberapa tempat sekaligus. Tidak ada yang salah dengan itu. Ini diakui sebagai pedagogis berlebihan. Tapi film ini secara bertahap bergerak ke ‘wawasan’ kuantum yang memimpin wanita untuk membuang obat antidepresan dia, untuk penyaluran kuantum Ramth, dewa Atlantis 35.000 tahun, dan omong kosong yang lebih besar. “ia pergi dengan mengatakan bahwa” Kebanyakan orang awam tidak bisa mengatakan di mana ujung fisika kuantum dan omong kosong kuantum dimulai, dan banyak hal yang rentan untuk menjadi sesat,” dan bahwa “seorang mahasiswa fisika mungkin tidak dapat meyakinkan menghadapi ekstrapolasi mekanika kuantum yang tak dibenarkan,” kelemahan yang penulis atributkan kepada pengajaran mekanika kuantum, saat di mana “kita diam-diam menyangkal misteri fisika yang  telah ditemukan.”[41]

Richard Dawkins, seorang evolusionis Baru – Darwin, menyatakan bahwa “para penulis tampak ragu-ragu apakah tema mereka adalah teori kuantum atau kesadaran. Keduanya memang misterius, dan misteri asli mereka perlu tidak ada hype dengan mana film ini tanpa henti dan ribut menggempur kita” menyimpulkan bahwa film ini adalah “omong kosong”. Profesor Clive Greated menulis bahwa “berpikir tentang neurologi dan kecanduan akan dibahas dalam beberapa detail tapi, sayangnya, referensi awal dalam film fisika kuantum inib tidak ditindaklanjuti, mengarah ke pesan yang membingungkan”. Meskipun memberi peringatan, ia menyarankan agar orang-orang melihat film, menyatakan, “Saya berharap ini berkembang menjadi sebuah film kultus di Inggris seperti yang telah di Amerika Serikat. Sains dan teknik yang penting untuk masa depan kita, dan apa pun yang melibatkan masyarakat hanya dapat menjadi hal yang baik.” Simon Singh menyebutnya pseudosains dan mengatakan saran “bahwa jika mengamati perubahan struktur molekul air, dan jika kita adalah 90% air, maka dengan mengamati diri kita dapat mengubah pada tingkat dasar melalui hukum fisika kuantum ” adalah ” omong kosong konyol.”   Menurut João Magueijo, profesor fisika teoritis di Imperial College, film sengaja salah mengutip ilmu pengetahuan. [6 ]  Ulasan The American Chemical Society mengkritik film sebagai “docudrama ilmuan”, mengatakan “Di antara pernyataan yang lebih aneh adalah bahwa orang dapat melakukan perjalanan mundur dalam waktu, dan materi yang benar-benar berpikir. ”

bahwa Tema sentral film ini – mekanika kuantum, menunjukkan bahwa pengamat sadar dapat mempengaruhi realitas fisik juga telah dibantah oleh Bernie Hobbs, seorang penulis ilmu pengetahuan dengan ABC Sains online. Hobbs menjelaskan, “Efek pengamat fisika kuantum bukan tentang orang atau realitas. Ini berasal dari Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, dan ini tentang keterbatasan yang mencoba untuk mengukur posisi dan momentum dari partikel subatomik … ini hanya berlaku untuk sub-partikel – atom – . . batu tidak perlu Anda bertemu itu ada , ini ada partikel sub – atom yang membentuk atom yang membentuk batu itu ada juga”. Hobbs juga membahas percobaan Hagelin dengan Meditasi Transendental dan tingkat Washington DC kejahatan kekerasan, mengatakan bahwa “jumlah pembunuhan benar-benar pergi. “Hobbs juga membantah penggunaan film dari mitos sepuluh persen”.

David Albert, seorang ahli fisika yang muncul dalam film tersebut, menuduh para pembuat film selektif mengedit wawancara untuk membuatnya tampak bahwa ia mendukung tesis film bahwa mekanika kuantum terkait dengan kesadaran. Dia mengatakan dia “sangat simpatik terhadap upaya menghubungkan mekanika kuantum dengan kesadaran. ”

Dalam film itu, selama diskusi tentang pengaruh pengalaman persepsi, Candace Pert mencatat cerita, yang katanya dia percaya adalah benar, penduduk asli Amerika tidak mampu melihat kapal Columbus karena mereka berada di luar pengalaman mereka. Menurut sebuah artikel di Fortean Times, oleh David Hambling, asal-usul cerita ini mungkin melibatkan pelayaran dari Kapten James Cook, bukan Columbus, dan akun yang berkaitan dengan sejarawan Robert Hughes yang mengatakan kapal Cook adalah” … kompleks dan asing untuk menentang pemahaman pribumi”. Hambling mengatakan ada kemungkinan bahwa kedua akun Hughes dan kisah yang diceritakan oleh Pert sebagai sikap berlebihan dari catatan yang ditinggalkan oleh Captain Cook dan ahli botani Joseph Banks. Sejarawan percaya bahwa penduduk asli Amerika cenderung melihat kapal-kapal tetapi mengabaikan mereka sebagai berpose tidak bahaya[42].

Skeptis seperti James Randi menggambarkan film itu sebagai “docudrama fantasi” dan “Sebuah contoh maraknya pelecehan oleh penipu dan sekte.” [43]   Komite untuk Skeptical Inquiry menolak sebagai “campur aduk semua jenis omong kosong gila,” di mana “ilmu [adalah] terdistorsi dan sensasional.”[44] Pengulas BBC menggambarkannya sebagai “sebuah film dokumenter ditujukan untuk benar-benar mudah tertipu.”[45]

Wartawan John Gorenfeld, menulis di Salon, mencatat bahwa film tiga direktur adalah mahasiswa Sekolah Pencerahan Ramtha, yang ia gambarkan sebagai telah disebut “kultus.”[46]

 

Adaptasi Buku dan Sekuel Film

Pada pertengahan 2005 , para pembuat film bekerja dengan HCI Books untuk memperluas tema film dalam sebuah buku berjudul What the Bleep Do We Know ! ? – Menemukan Kemungkinan Realitas Endless Sehari-hari Anda. HCI presiden, Peter Vegso, menyatakan dalam kaitannya dengan perusahaannya yang menerbitkan buku, ia percaya bahwa “What the Bleep adalah lompatan kuantum dalam dunia New Age, “dan” dengan mengawinkan  ilmu pengetahuan dan spiritualitas, itu adalah dasar pemikiran masa depan. ” [4]

Pada tanggal 1 Agustus, 2006 What The BLEEP – Down the Rabbit Hole, Quantum Edition multi- disc DVD set dirilis , mengandung dua versi diperpanjang What the Bleep Do We Know, dengan lebih dari 15 jam dari material pada 6 DVD sisi! ?

 

 

Individu Menarik yang Terlibat dalam Film Semi-Dokumenter ini

Film ini menampilkan beberapa orang yang diwawancarai untuk bagian dokumenter, termasuk:

  • Amit Goswami , yang muncul dalam majalah What is, menulis buku The Self- Aware Universe: How Consciousness Creates the Material World (ISBN 0-87477-798-4 ), telah bekerja dengan Deepak Chopra dan digunakan oleh Institut Ilmu Noetic [ 23 ]
  • John Hagelin, seorang fisikawan di Maharishi University of Management , direktur MUM Institute for Science, Teknolog, dan Kebijakan Publik, dan tiga kali calon presiden dari Partai Meditasi Transendental -linked Natural Law. [24]
  • Stuart Hameroff, ahli anestesi, penulis, dan direktur dari Pusat Studi Kesadaran di Universitas Arizona, yang bekerja dengan Roger Penrose, pada teori kuantum spekulatif kesadaran,
  • JZ Knight, seorang guru spiritual yang juga diidentifikasi dalam bagian narasi sebagai semangat “Ramtha” bahwa Knight diduga menyalurkan (Channeling)
  • Andrew Newberg B., asisten profesor radiologi di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, dan dokter di kedokteran nuklir, yang ikut menulis buku, Why God Won’t Go Away: Brain Science & the Biology of Belief (ISBN 0-345-44034 – X),
  • Candace Pert, seorang neuroscientist, yang menemukan situs ikatan selular untuk endorfin di otak, dan pada tahun 1977 menulis buku Molecules of Emotion.
  • Fred Alan Wolf, seorang fisikawan independen, yang baru-baru ini menulis The Yoga of Time Travel: How the Mind Can Defeat Time, [25] dan ditampilkan dalam film dokumenter Spirit Space.
  • David Alber, seorang filsuf fisika dan profesor di Columbia University, yang menurut sebuah artikel Popular Science, adalah” marah pada produk akhir, “karena para pembuat film mewawancarainya tentang mekanika kuantum yang tidak terkait dengan kesadaran atau spiritualitas, dan kemudian diedit materi sedemikian rupa bahwa ia merasa salah mengartikan pandangannya. [17]

Orang lain yang diwawancarai dalam film ini termasuk Joe Dispenza, chiropractor, penulis, dan pemuja Ramtha Sekolah Pencerahan; [26] Michael Ledwith, penulis dan mantan profesor teologi di National University of Ireland, Maynooth; Daniel Monti, dokter dan direktur Program Pengobatan Pikiran – Tubuh di Thomas Jefferson University; Jeffrey Satinover, psikiater, penulis dan profesor; dan William Tiller, Profesor Emeritus of Material Science and Engineering di Stanford University, dan dipekerjakan oleh Institut of Noetic Science. [23]

 

 

[1] An New Worldview, http://www.centerfor sacredsciences.org,  accessed at October  2010

 

[2] This Article adopted from a talk given by Ian Thompson, Physics Department, and University of Surrey, U.K. to the Swedenborg Scientific Association, 20 April 2002. Quoted From http://www.ianthompson.org/papers/Thompson_Article–New_Philosophy_July-December_2002.pdf, accessed at   August..,  2010

 

[3] Emanuel Swedenborg (1688-1772) was a Swedish philosopher and scientist who, at 56, had a spiritual awakening and wrote numerous books on his theological views and related topics. He advocated a version of Christianity where works count as much as faith, with the trinity existing in Jesus, instead of three separate entities. Swedenborg derived inspiration from dreams and visions, and claimed to be able to visit heaven and hell at will. His works were widely read after his death and highly regarded by poets, writers and mystics such as Blake, Baudelaire, Strindberg, Balzac, Yeats, Jung, and William James. The following electronic texts have been converted automatically for sacred-texts by a volunteer. Swedenborg’s writings are indexed by paragraph number. Each of the texts have been arbitrarily separated into 50-paragraph files. (http://www.sacred-texts.com/swd/index.htm).

See also: http://en.wikipedia.org/wiki/The_New_Church, http://en.wikipedia.org/wiki/Emanuel_Swedenborg

 

[4] Mesmer, Swedenborg and Quantum Physics  In the late twentieth century, Mesmer, Swedenborg and Quantum Physics converge in the New Age by Catherine L. Albanese, This article is excerpted, with adaptations, from her essay “The Magical Staff: Quantum Healing in the New Age” and reprinted from Perspectives on the New Age edited by James R. Lewis and J. Gordon Melton by permission of the State University of New York Press. © 1992.

http://gvanv.com/compass/arch/v1402/albanese.html

[5] See Bryce S DeWitt, R Neill Graham eds The many-worlds Interpretation of Quantum Mechanics, Princeton University Press, 1973.

[6] E. Wigner, ‘Remarks on the Mind-Body Question’, pp. 284 – 302 in The Scientist Speculates, I.J. Good (ed) Basic Books, N.Y., 1962

[7] H. Stapp, Mind, Matter and Quantum Mechanics, Springer-Verlag, 1993, see also http://www-physics.lbl.gov/~stapp/stappfiles.html

[8] S. Malin, Nature Loves to Hide, Oxford, 2001.

[9] C.J.S. Clarke, Reality Through the Looking Glass. Floris, 1995.

[10] E.H. Walker, The Physics of Consciousness: The Quantum Mind and the Meaning of Life, Perseus, 2000.

[11] In the last two decades, physics has explored the possibility of strings or branes in place of particles. These extensions to one or two dimensional objects do not solve the selection problem

[12] James Jeans, The Mysterious Universe, Macmillan, 1930.

[13] Danah Zohar, The Quantum Self, Bloomsbury, 1990

[14] Hugo Lj. Odhner, The Transition from Human to Divine Philosophy, The New Philosophy 77 (1974) 43, available at www.swedenborgdigitallibrary.org/SR/hlo74.htm

[15] Odhner, ibid

[16] Ian Thompson have heard about the possible replacement of the word ‘ether’ by ‘vacuum’, but that would make a nonsense of this paragraph. If you replace the appearances of ‘ether’ here by the word ‘vacuum’, you get something very strange

 

[17] The slides for Ian Thompson talk Physics of the wave function are at www.generativescience.org/talks/wfdesc/index.htm

 

[18] For a preliminary discussion, see I.J. Thompson, The Consistency of Physical Law With Divine Immanence, Science & Christian Belief, 5 (1993) 1936, http://www.theisticscience.org/theology/pldi.html

 

[19] H. Romijn, Are Virtual Photons the Elementary Carriers of Consciousness, J. Consc. Stud. 9 (2002) 61

[20] This is part of what Leon James and I call “Theistic Science”: see www.TheisticScience.org

[21] Yahr, Harriette (Sept. 9, 2004). Let’s get metaphysicalSalon.com. Retrieved 2008-02-21

[22] Tom Huston, “Taking the Quantum Leap… Too Far?“, What is Enlightenment? Magazine. Retrieved January 25, 2008.

[23] http://www.einsteinyear.org/bleep/ einstein year, What the Bleep do we Know. Retrieved December 28, 2007.

[24] Ron Hogan (9/5/2005). “New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28

[25] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”Physics Today (American Institute of Physics59 (11): 14. doi:10.1063/ 1.2435631.}

[26] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited

[27] Wilson, Elizabeth (2005-01-13). “What the Bleep Do We Know?!”American Chemical Society. Retrieved 2007-12-19.

[28] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”Physics Today (American Institute of Physics59 (11): 14. doi: 10.1063/1.2435631.}

[29] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited

[30] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited

[31] Kehr, Dave“‘Bleep’ Film Challenges Traditional Religion, Attracts Following”. beliefnet.com. Retrieved 2007-12-30.

[32] “Cinefex article detailing the visual effects for the film”.

[33] Ron Hogan (9/5/2005). New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28.

[34] Ron Hogan (9/5/2005). New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28.

[35] Kehr, Dave (2004-09-10). “A Lesson in Harnessing Good Vibes”New York Times. Retrieved 2008-01-06.

[36] Kehr, Dave“‘Bleep’ Film Challenges Traditional Religion, Attracts Following”. beliefnet.com. Retrieved 2007-12-30.

[37] Sedona Film Festival

[38] [38] Mone, Gregory (October 2004). “Cult Science Dressing Up Mysticism as Quantum Physics”Popular Science. Retrieved 2008-02-17.

[39]  http://www.einsteinyear.org/bleep/ einstein year, What the Bleep do we Know. Retrieved December 28, 2007.

[40] Wilson, Elizabeth (2005-01-13). “What the Bleep Do We Know?!”American Chemical Society. Retrieved 2007-12-19.

[41] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”Physics Today (American Institute of Physics59 (11): 14. doi:10.1063/ 1.2435631.}

 

[42] Fortean Times

[43] 2004 Pigasus awards James Randi Educational Foundation

[44] Review by Eric Scerri of the Committee for Skeptical Inquiry

[45] Review at BBC Movies

[46] Gorenfeld, John (2004-09-16). “”Bleep” of faith”Salon. Retrieved 2006-11-29.

 

 

 

Hubungan antara Sains dan Mistisisme

$
0
0

Hubungan antara Sains dan Mistisisme

Terjemahan dan Sarah Oleh: Ahmad Yanuana Samantho

Pada kenyataannya, ada dua hubungan antara ilmu pengetahuan dan mistisisme. Yang pertama harus dilakukan dengan kesamaan dalam metodologi mereka. Sama halnya seperti ilmuwan yang berpendapat bahwa kebenaran teori mereka dapat diverifikasi oleh siapapun yang melakukan pengamatan yang tepat dan eksperimen, para mistikus juga mempertahankan bahwa Kebenaran ajaran mereka dapat diverifikasi oleh siapa saja yang bersedia untuk melakukan disiplin dan pelatihan rohani yang tepat. Dengan demikian, perbedaan antara sains dan agama tidak (seperti yang orang banyak duga) bahwa yang satu bergantung pada investigasi empiris dan yang lainnya pada keyakinan yang membuta.

Sebaliknya, perbedaan terletak pada domain yang akan diselidiki dan jenis kebenaran harus diverifikasi. Sementara para ilmuwan memfokuskan penyelidikan mereka pada perilaku objek dalam kesadaran, mistikus berkonsentrasi pada subjek kesadaran -yaitu ‘Diri’ atau ‘Aku’ untuk siapa objek-objek tampil. Dan sementara para ilmuwan berusaha untuk mengembangkan teori-teori yang lebih halus dan komprehensif tentang bagaimana realitas bekerja, para mistikus berusaha untuk menyadari Kebenaran pada sifat fundamentalnya yang terletak di luar jangkauan pemahaman setiap teori apapun. Perlu dicatat bahwa, jauh daripada menempatkan ilmu pengetahuan dan mistisisme dalam konflik, perbedaan-perbedaan antara domain dan apa fungsi masing-masing yang sebenarnya membuat kecocokannya menjadi mungkin.

Tidak hanya bahwa ilmu pengetahuan dan mistisisme memiliki metodologi yang paralel, tapi mistisisme sebenarnya dapat memberikan pemahaman filosofis dan spiritual yang koheren tentang bagaimana ilmu pengetahuan bekerja.

Salah satu ajaran kunci yang disepakati oleh para mistikus dari semua tradisi adalah hubungan antara kesadaran dan objek-objeknya, hubungan yang sangat (seperti yang telah kita lihat) terletak di jantung krisis filosofis dalam fisika modern.

Apa yang para mistikus klaim adalah bahwa perbedaan antara subjek dan objek kesadaran yang timbul dalam kesadaran, adalah bersifat khayalan. Pada kenyataannya, Kesadaran Ilahiyah (Tuhan, Allah, Brahman, Pikiran-Buddha, atau Tao) merupakan Latar yang tak berbentuk (Formless Ground) dari semua bentuk yang timbul sebagai mana gelombang yang tak terpisahkan yang timbul dari lautan yang tunggal. Dengan demikian, ajaran-ajaran mistis mengambil peran secara tepat di mana teori-teori ilmiah modern telah berhenti. Dan di sinilah, di titik antara kedua domain, bahwa kontinuitas (kesinambungan) yang sebenarnya antara sains dan mistisisme mulai menampakkan dirinya.

Gambar Fitur yang penulis ambil dari dari The Centter for Sacred Sciencces di atas memperlihatkan bahwa pada level/lapisan terluar dari ilmu pengetahuan Sains masih menampakan batas dan ciri warna yang tegas dalam keaneka-ragamannya (plurality). Namun pada tahan yang lebih tinggi yaitu pada Matematika, maka Plurality tersebut sudah mulai dapat mengerucut kepada dua kutub dikotomis saja (duality). Dan pada puncaknya bisa sudah naik dan memusat kepada tahapan mysticism (Spiritualitas Ilahiyah) maka yang adalah adalah tinggal Kemanunggalan (Unity) saja. Inilah gambaran ilmiah yang dapat menjelaskan bagaimana Realitas Perennial Paradigmatik Bhineka Tunggal Ika.

Setelah hal ini dipahami, masalah membangun pandangan dunia baru pada dasarnya yang bermuara pada perumusan pertanyaan: Apakah kesinambungan antara ajaran mistis dan teori-teori ilmiah dapat diekspresikan dan dipahami dengan baik dalam bahasa tunggal untuk keduanya?

Peran Matematika

Hal ini membawa kita kepada alasan terakhir untuk percaya bahwa pandangan dunia baru adalah sangat mungkin. Sebenarnya  sudah ada bahasa yang dapat mengekspresikan kesinambungan antara ilmu pengetahuan dan mistisisme. Pada kenyataannya, bahasa ini pada awalnya dikembangkan untuk tujuan ini oleh jalur kelompok mistikus Yunani kuno yang dimulai dengan ajaran tokoh Pythagoras dan Plato. Dan, meskipun sebagian besar  ilmuwan telah kehilangan pandangan tentang asal mistisnya sendiri, hari ini Matematika diakui sebagai bahasa universal ilmu pengetahuan moderen. Para sarjana di Center for Sacred Science, tentu saja, merujuk pada bahasa matematika.

Terlepas dari kenyataan bahwa kekuatan yang luar biasa ilmu pengetahuan itu berasal justru dari kemampuan untuk menyatakan hubungan matematisnya di antara berbagai fenomena fisik, pertanyaan yang paling membingungkan para ilmuwan itu sendiri adalah:  “Mengapa alam semesta harus bekerja seperti ini?” “Mengapa alam semesta begitu sempurna mentaati persamaan yang objektif, yang berasal dari pikiran subjektif matematikawan?” Hebatnya, jika apa yang mistikus klaim adalah benar – bahwa perbedaan antara kesadaran dan objek adalah bersifat imajiner – maka pertanyaan mendalam ini memiliki jawaban sederhana, meskipun radikal: Matematika tidak menggambarkan dunia benda yang ada secara independen; Matematika itu menciptakan benda-benda ini oleh tindakan imajinasi di dalam Kesadaran tersebut.

Bahkan, proses ini telah diberikan formula matematikanya secara eksplisit. Dalam karyanya:  “Hukum tentang Bentuk” (Laws of Form, 1969), matematikawan G. Spencer-Brown menunjukkan bagaimana, mulai dari kekosongan yang tak berbentuk, tindakan sederhana untuk membuat perbedaan secara alami menimbulkan hukum yang paling primitif yang mendasari logika dan aritmatika. Sekarang, jika kita mengambil kekosongan ini adalah Kesadaran yang tak berbentuk yang disaksikan oleh para mistikus, bahasa perbedaan ini dapat memberikan ekspresi matematika yang tepat untuk beberapa ajaran mistis tertinggi (misalnya, seperti digambarkan Thomas McFarlane dalam “Play of Distinction,”). Apa lagi, karya selanjutnya dari  Jack Engstrom, Louis Kauffman, Jeffrey James, dan Thomas Mc Farlane, membuat kita percaya bahwa seluruh tubuh matematika yang digunakan oleh ilmu pengetahuan modern dapat ditelusuri kembali ke dalam garis lurus yang tak terputus terhadap hukum yang sama mengenai bentuk dan kekosongan yang darinya mereka berkembang. Angka Satu (1) dan Nol ( 0 ).

Jika kasus ini terbukti, maka baik temuan-temuan ilmu pengetahuan modern serta ajaran mistikus akan dapat dibawa dalam sebuah lingkup bahasa yang umum  tentang semacam pandangan dunia baru yang ada dalam pikiran kita.  Dalam pandangan dunia seperti itu, kebenaran ilmu pengetahuan itu akan terlihat mengalir mulus dari Kebenaran yang lebih dalam yang disadari wujud-Nya oleh para mistikus dari semua tradisi agama-agama, sedangkan tradisi itu sendiri akan dipandang sebagai cabang yang berbeda dari satu Tradisi Besar yang telah menghiasi kemanusiaan dengan bimbingan moral dan spiritualitas yang sangat diperlukan sejak sejarah awal spesies kita.

Untuk membantu membangun dan mengembangkan pandangan dunia seperti itu adalah salah satu tujuan utama mengapa Pusat Ilmu Pengetahuan Suci (The Center for Sacred Science) didirikan. Mereka tentu saja tidak berada di bawah khayalan bahwa pandangan dunia baru dapat sepenuhnya dibangun atau disebarluaskan dalam semalam. Pemenuhan visi tersebut adalah tugas sejarah yang mungkin memakan waktu beberapa generasi untuk menyelesaikan.

Untuk tujuan suci itu pulalah mengapa The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) pernah didirikan di Jakarta Indonesia pada tahun 2002 oleh para cendikiawan Muslim seperti  Almarhum Prof.Dr. Nurcholis Madjid, Dr. Jalaluddin Rakhmat, Dr. Haidar Bagir dan Dr. Ali Movahedi.

 

Perlunya Merakit Peradaban Baru

Filsafat, lewat metode berpikirnya yang ketat, mengajar orang untuk meneliti, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas setiap pemikiran dan gagasan. Pendeknya, menjadikan kesemuanya itu bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan ilmiah.

Sebagaimana Syed Hossein Nasr katakan, krisis-krisis eksistensial ini bermula pada pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Krisis eksitensial ini merupakan manifestasi dari krisis spiritual manusia modern.Ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya, manusia telah bergerak dari dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi. Kehidupan manusia modern, kata Nasr, telah terperangkap dalam pinggiran eksistensi mereka yang semakin lama semakin jauh meninggalkan pusat eksistensinya. Mereka kehilangan harapan kebahagian masa depan seperti yang dijanjikan oleh gerakan renaisance, enlightment era, sekularisme-materialisme sains dan teknologi. Oleh karena itu, kecemasan eksistensial yang menghantui manusia modern adalah merupakan konsekuensi logis alamiah dari modus eksistensi mereka yang mencampakkan kehidupan spiritual dan Tuhan mereka. Krisis ini bermula ketika manusia modern memberontak terhadap Allah Tuhan Yang Maha Pencipta.

Allah sendiri telah berfirman: “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS Al-Hasyr: 19). Jika kita merujuk kepada sabda Nabi SAWW: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, akan mengenali Tuhannya.”Dan sabda Imam Ali KW: “Pokok pangkal agama adalah mengenal Tuhan.”, maka pengenalan jati diri manusia juga menjadi pokok ajaran agama.

Sayangnya, di satu sisi, sebagian generasi muda Muslim di kampus-kampus universitas umum maupun kampus agama Islam semacam UIN atau IAIN-IAIN yang awalnya berlatar pendidikan pesantren tradisional, malah mengalami gegar budaya dan intelektual, sehingga ramai-ramai berpaling pada pesona artifisial filsafat Barat (modernisme & postmodernisme) yang sekular-atheis, liberalis dan materialis. Di sinilah letak tantangan dan peran alternatif filsafat Islam yang dapat mendekonstruksi pandangan dunia (worldview) modernisme dan postmo yang masih memberhalakan materialisme, Darwinisme, atheisme dan sekuralisme tersebut. Munculnya fenomena kontrovesial gerakan “Islam Liberal” versus gerakan fundamentalisme “Islam Literal” niscaya dapat diatasi dan didamaikan dengan pendekatan Filsafat Islam.

Di sisi lain, keprihatinan kita terhadap kondisi psikososial umat Islam kontemporer adalah lambannya kelompok ini tampil kepermukaan dari ‘masa usia balitanya’ dalam banyak hal. Justru di banyak kampus perguruan tinggi ilmu umum (natural & social sciences) telah menjamur gerakan salafi militan literalis, yang mempromosikan pemahaman keberagamaan yang skriptualis (textual/harfiah) fiqhiyah dan superfisial, dengan semangat fundamentalisme radikal yang mudah terpesona oleh retorika dan orasi emosional tanpa penalaran dan pada saat sama gamang menghadapi realitas zaman yang menuntut kemampuan memahami orang lain tanpa hanyut kedalamnya. Mereka biasanya mengambil mengambil jalan pintas yang mudah, yakni dengan menutup diri (eksklusif) terhadap ideologi, ajaran dan ilmu pengetahuan asing, dengan cap stigmatis sebagai ajaran aliran sesat, bid’ah dan berbahaya, sambil menafikan potensi kreatifitas manusia atas nama tuhan yang mereka tafsirkan sendiri. Padahal keadaan zaman yang semakin plural dan kompleks seperti saat ini, kita dituntut untuk memiliki kemampuan apropriasi yang sebaik-baiknya. Inilah peran yang dapat dimainkan oleh Fislasat Islam, yaitu membuka wawasan berpikir umat secara holistik agar sadar terhadap fenomena dan perkembangan wacana keagamaan dan sains kontemporer, yang membutuhkan keterbukaan, pluralitas dan inklusifitas.

Sejarah memberi pelajaran banyak kepada kita, bahwa pemahaman agama yang dikhotomis, yakni mengagungkan Tuhan dengan melecehkan potensi kreatif dan otonomi yang telah Tuhan berikan kepada manusia, pada gilirannya akan melahirkan pemberontakan manusia kepada agama, dan bahkan juga, kepada Tuhan. Kisah kelam ini akan menjadi amunisi kaum sekuler untuk meminggirkan agama hanya menjadi persoalan individual dan domestik belaka. Mereka khawatir, jika agama memasuki wilayah persoalan publik, sebagaimana dituntut oleh sebagian kalangan umat beragama, maka agama dapat dengan mudahdiperalat untuk kepentingan kelompok tertentu untuk menindas kelompok lain; bahwa agama hanya menjadi topeng dari kepentingan sesaat suatu kelompok, Kekhawatiran ini adalah wajar adanya. Namun sempatkah kekhawatiran ini dikritisi? Benarkah kehawatiran ini muncul dari kesadaran yang ingin menjada kesucian agama? Ataukahjustru juga karena memiliki kepentingan yang sama, yakni ingin mendominasi persoalan publik dengan paradigma anti agama? Ataukah karena masih terpendamnya di alam bawah sadar mereka pekikan Nietzsche, suara Satre, hujatan Marx dan Freud terhadap agama, sehingga secara diam-diam pembela sekularisme ini memanifestasikan ateisme-terselubungnya itu dalam bentuk penolakan keterlibatan nilai-nilai agama dalam persoalan publik. Sebagaimana sering digaungkan oleh beberapa tokoh politik di Indonesia, jangan bawa-bawa agama dalam politik!

Ketika astronom Polandia Nicholas Copernicus, hampir lima ratus tahun yang lalu, mengusulkan bahwa matahari-lah, dan bukan bumi, yang menjadi pusat alam (tata surya), ia memulai sebuah revolusi ilmiah yang telah mengubah kehidupan manusia dengan cara yang dramatis dan belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk satu hal, ilmu pengetahuan dan teknologi (sains-tek) baru yang dilahirkan ini mungkin telah membuat perbaikan yang cepat dalam bidang-bidang seperti pertanian, manufaktur, obat-obatan, perjalanan, komunikasi dan pendidikan, yang kesemuanya telah memperbaiki standar hidup untuk sebagian besar populasi dunia. Namun, karena seperti yang mungkin menyambut perkembangan ini, hal ini tidak datang tanpa harga. Seiring dengan manfaatnya yang tidak dapat dipungkiri, sains-teknologi ini telah juga membawa di belakangnya sejumlah masalah yang tidak terduga. Kelebihan dan kepadatan penduduk, pencemaran lingkungan, degradasi ekologi (menurunnya kualitas lungkungan), pemanasan global, dan penemuan senjata pemusnah massal, semuanya telah mengancam kita dengan bencana yang jauh bisa lebih besar daripada apa pun akibat perkembangan ilmu pengetahuan yang telah begitu jauh terjadi. [1]

Bagaimanapun yang lebih mengkhawatirkan, adalah kenyataan bahwa meskipun solusi teknologi bagi banyak masalah-masalah ini sudah diketahui, tampaknya kita semakin tidak mampu mempersiapkan diri untuk melaksanakannya. Kelumpuhan psiko-spiritual ini menjadi poin kolektif kami, yang lebih halus namun kita harus tidak/kurang serius membayarnya dengan harga mahal, karena sains-teknologi dengan tidak perlu diragukan lagi, telah merusak keimanan seperti – hilangnya bantalan moral dan spiritual.

Sebenarnya, kerugian ini tidak datang begitu banyak dari sains perse (yang, tegasnya, hanyalah merupakan metode), tapi dari kita telah menerima pandangan dunia materialisme-nya yang menjadi basis sains-teknologi.  Masalah pada pandangan dunia materialisme ini adalah bahwa banyak penjelasan tentang bagaimana kosmos alam semsta bekerja, bertentangan penjelasannya dengan yang  pandangan-dunia agamis yang lebih tua, yang telah memberikan panduan moral dan spiritual bagi sebagian besar sejarah umat manusia. Apalagi, mengingat keberhasilan yang tampak dari penjelasan materialis itu telah menjadi lebih mengeras dan sulit bagi orang yang terdidik untuk menganggap serius setiap penjelasan keagamaan.  Apakah para petani modern, misalnya, akan mengandalkan doa-doa dan mantera, daripada pupuk untuk meningkatkan hasil panen? Apakah ibu-ibu modern akan memilih ritual perdukunan tinimbang obat antibiotik untuk mengobati infeksi anaknya?

Perbedaan antara penjelasan yang ditemukan di dalam pandangan-dunia materialis ini dengan pandangan-dunia agamis mungkin tidak dengan sendirinya menjadi masalah, jika bukan karena fakta bahwa fungsi penting dari setiap pandangan dunia adalah untuk memberi pengikutnya pertimbangan internal yang koheren dan konsisten tentang realitas. Akibatnya, bila kita mempertanyakan satu aspek dari pandangan dunia tentu menimbulkan pertanyaan terhadap semua aspek lainnya juga. Dalam merusak penjelasan agama tentang cara kerja kosmos (alam Semesta), pandangan dunia materialisme juga menggerogoti nilai-nilai moral dan spiritual agama-agama tradisional yang telah mapan. Dan, yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, karena pandangan dunia materialisme tidak mengakui dimensi spiritual dari kosmos, maka pada dasarnya tidak mampu memasok nilai-nilai spiritual dan moral itu sendiri.

Akibatnya, hari ini banyak orang (terutama di Barat) yang telah meninggalkan pandangan-dunia agama mereka sama sekali dan hidup dalam kekosongan moral dan spiritual. Orang lain telah menyerah kepada sejenis ‘skizofrenia filosofis’ di mana mereka bergantung pada pandangan dunia materialisme untuk pelaksanaan urusan praktis mereka, sementara mencari pandangan dunia agama yang bertentangan untuk membimbing kehidupan rohani mereka.

Pertanyaannya, kemudian, secara alami muncul: “Apakah mungkin untuk menciptakan pandangan dunia baru yang dapat menjelaskan dengan baik keberhasilan ilmu pengetahuan modern sambil mempertahankan nilai-nilai fundamental moral dan spiritual? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, bagaimanapun, kita pertama harus jelas mengenai apa pengertian pandangan dunia itu.

Apakah  Fisika Quantum & Spiritualitas terkait ?

Sangatlah berharga untuk mendiskusikan pertanyaan tentang hubungan fisika kuantum dan spiritualitas bersama-sama, untuk melihat hubungan antara mereka dari sudut pandang Gereja Baru dan juga dari perspektif Filsafat Islam Nusantara.  Ada alasan mendesak untuk mendiskusikan link ini, karena ada orang yang ingin mengidentifikasi hal-hal ini. Ada perasaan yang meluas bahwa entah bagaimana mereka terhubung, tetapi di beberapa ‘zaman baru’ orang ingin mengatakan bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang spiritualitas. Kita tahu dari Swedenborg Scientific Association bahwa ada sambungan yang tidak begitu sederhana, jadi kita perlu memahami lebih terinci apa yang sedang terjadi.

1 . Fisika Quantum dan Dualisme Gelombang-Partikel

Untuk meninjau di mana fisika kuantum datang, Ian Thompson akan mengingatkan Anda yang telah mengambil kursus fisika di mana fisika kuantum telah diperkenalkan, dari beberapa masalah yang kita miliki.[2] Salah satu masalah adalah bahwa partikel yang ditemukan dalam fisika modern tidak hanya bundaran kecil yang melakukan perjalanan keliling, tapi berperilaku sebagai gelombang. Elektron, yang kita anggap sebagai contoh utama dari sebuah partikel kecil, dapat tersebar dengan pola interferensi: difraksi/terpecah melalui celah, di sudut-sudut, atau dari kristal. Mereka dapat tercermin sebagai sebuah gelombang. Selain itu, gelombang ini adalah gelombang probabilitas, jadi kami tidak mengatakan bahwa elektron pasti berada di satu tempat, tetapi bahwa ia memiliki tempat atau terdistribusi probabilitasnya. Bentuk distribusi ini dapat bekerja secara akurat dalam fisika kuantum, yang membuat prediksi yang sangat tepat. Tapi hanya probabilitas yang diperkirakan: fisika tidak memberitahu kita persisnya di mana partikel tersebut. Ini adalah salah satu teka-teki: untuk memahami mengapa dan bagaimana partikel berperilaku sebagai gelombang.

Sisi lain dari koin adalah bahwa gelombang-gelombang, gelombang cahaya misalnya, di mana warna-warni dijelaskan oleh panjang gelombang osilasi, yang berperilaku seperti partikel. Ini adalah cara yang fisika kuantum dimulai. Max Planck, lebih dari 100 tahun yang lalu, menunjukkan bahwa dia bisa memecahkan beberapa masalah mendasar dalam fisika dengan mengasumsikan bahwa gelombang cahaya tidak hanya gelombang osilasi halus seperti diungkap Faraday, Maxwell dan lain-lain telah berpikir, tapi datang dalam gumpalan energi yang disebutnya quanta. Kata ‘kuanta’ berasal dari ‘menghitung’.

Partikel kecil di alam bukan sedikit benda padat atau sel darah dengan tepian yang kaku, cara Newton, Boyle dan Locke di abad ke-17. Mereka lebih seperti awan kecenderungan atau kecenderungan. Bentuk awan ini bekerja dengan sangat akurat dalam mekanika kuantum (bentuk ini adalah apa yang digambarkan fungsi gelombang), tetapi mereka tidak hanya tinggal tersebar seperti awan karena mereka entah bagaimana masih mempertahankan kesatuan. Jadi kita perlu penjelasan sistematis bagaimana awan atau bidang menyebar namun hanya bertindak dengan cara tunggal yang bersatu untuk memberikan satu hasil. Masalah seleksi ini adalah masalah pengukuran yang fisika kuantum telah mencoba untuk memecahkannya selama bertahun-tahun: untuk memahami bagaimana hal-hal yang tersebar, dan berperilaku seperti gelombang sementara mereka tersebar, maka dapat bertindak hanya dengan cara tunggal dengan respon tunggal.

Kombinasi dari kedua masalah yang muncul dalam fisika kuantum disebut masalah Dualitas gelombang-partikel. Tugas yang fisikawan kuantum sekarang miliki adalah mencoba untuk memahami hubungan antara kedua fitur fisika kuantum itu. Ian Thompson tidak akan menjelaskan lebih banyak tentang rincian fisika, tetapi akan kembali ke beberapa hal secara umum di bawah ini. Kita perlu bertanya apa yang sebenarnya terjadi di alam: apa yang fisika kuantum katakan kepada kita?

  1. 2. Membentuk Hubungan dengan Swedenborg

Cara yang Ian Thompson ingin mencoba untuk menjawab pertanyaan ini, adalah dengan menggunakan beberapa ide dari Swedenborg.[3] Ini bukan cara Thompson biasanya memperkenalkan fisika kuantum, tapi mengandalkan pada kenyataan bahwa Anda mungkin sudah memiliki beberapa ide-ide ini. Tujuan dasar Thompson adalah untuk menarik beberapa korespondensi antara spiritualitas dan fisika kuantum: bukan identitas, tapi korespondensi. Dengan demikian, Anda yang tahu Swedenborg dapat menggunakan korespondensi ini untuk memahami fisika kuantum,[4] dan mereka yang tahu fisika kuantum dapat melihat koneksi terbalik juga.

Gelombang yang menyebar-keluar tersebut, yang saya akan sarankan di bawah ini, sebelum kita putuskan akan lakukan apa. Bayangkan bahwa kita sedang berpikir untuk melakukan hal yang berbeda. Dalam pikiran kita, kita kemungkinan menghibur. Itulah fungsi dari pemahaman kita: adalah berpikir tentang hal-hal sebelum kita melakukannya. Kami menghibur ‘atau mempertimbangkan kemungkinan – sehingga pola gelombang dalam fisika adalah ‘seperti’ kita ketika kita menghibur beberapa probabilitas. Dengan demikian, ada sesuatu yang ‘sesuai’ antara gelombang dan pemahaman. Selain itu, kondisi fisik lebih seperti yang kita pikirkan, daripada hasil yang sudah selesai. Awalnya, fisikawan berpikir bahwa semua elektron dan atom berada dalam posisi yang sangat tepat: yaitu, seolah-olah kami sudah membuat pikiran kita apa yang harus dilakukan. Tapi kita tahu dari Swedenborg bahwa kami hanya mendapatkan hasil yang tepat pada akhir proses yang melibatkan niat, dan pemahaman, kemudian memutuskan untuk bertindak dalam beberapa cara dialami.  Aku akan memperluas lebih rinci di bawah, tapi apa yang saya ingin menunjukkan adalah bahwa fitur fisika kuantum ini sesuai dengan proses dalam pikiran kita. Ada hubungan korespondensi, seperti yang kita alami harapkan setelah Swedenborg. Paragraf terakhir ini adalah preview dari bagian sisa pembicaraan ini. Mungkin Anda tidak mengerti sekarang, tapi saya ingin memberikan beberapa ide untuk membantu saat aku melanjutkan.

  1. Masalah Seleksi dalam Fisika Kuantum

Salah satu masalah besar dalam fisika adalah bahwa fungsi gelombang yang menyebar memiliki bentuk yang memenuhi persamaan terkenal, tetapi masih belum jelas, seperti yang saya katakan, kapan dan bagaimana fisika mendapatkan hanya satu hasil yang sebenarnya. Elektron mungkin memiliki fungsi gelombang tersebar di seluruh ruangan, misalnya, namun jika Anda memiliki detektor di dalam ruangan, hanya salah satu dari mereka, secara acak, akan mendeteksi elektron. Dalam fisika kuantum, kita tidak memiliki alasan bagus mengapa elektron hanya dapat ditemukan dalam satu detektor dan entah bagaimana tidak dalam mereka semua. Jadi ada banyak diskusi dalam 70 tahun terakhir tentang bagaimana dalam fisika teori standar dengan gelombang hanya mengarah ke satu hasil. Hal ini telah menimbulkan banyak sekali ide-ide alternatif, dan ini tercantum dalam Gambar 3 di bawah ini: cara yang disarankan untuk mendapatkan satu aktualitas yang pasti

Gambar 3:

Sarana yang disarankan untuk mendapat suatu aktualitas tertentu

1. Only an appearance Everett[5],
2. Occurs to a good approximation Decoherence theory,
3. Classical apparatus N. Bohr,
4. Experimenter looks W. Heisenberg,
5. Effect of consciousness E. Wigner[6],
6. Consciousness creates an actual result H. Stapp[7],
7. Consciousness produces nature S. Malin[8],
8. Spirit produces nature E. Swedenborg,
9. Nature is essentially spiritual ‘New Age’,
10. Nature and spirit are identical C.J.S. Clarke[9],
11. Quantum physics shows us religious roots E.H. Walker[10]

 

Bagi Anda yang telah membaca beberapa fisika populer akan mengenali beberapa alternatif ini, dan mereka semua dirancang untuk menjawab masalah pengukuran yang sama. Saran pertama disebut penafsiran banyak-dunia Everett, di mana tidak ada pilihan nyata, tapi semua alternatif terjadi saat yang sama, misalnya dalam beberapa set semesta paralel. Teori kedua ‘decoherence’ mengatakan bahwa itu benar-benar seperti itu, tapi itu tampaknya pendekatan yang baik seolah-olah hanya satu hasil terjadi. Niels Bohr pikir itu adalah fakta bahwa peralatan eksperimen adalah ‘klasik’, dengan tidak ada perilaku gelombang, yang memunculkan hasil tertentu. Kita sekarang tahu bahwa fisika kuantum berlaku untuk aparat eksperimental juga, sehingga tidak benar-benar memecahkan masalah. Werner Heisenberg, Eugene Wigner dan Henry Stapp pada gilirannya telah memperkenalkan spekulasi bahwa seleksi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan kesadaran atau pikiran, dan ini telah melahirkan aliran seluruh saran di mana kesadaran (atau sesuatu) telah menjadi lebih dan lebih terlibat dalam mencoba untuk memecahkan masalah fisika kuantum.

Wigner dalam sebuah makalah dari 40 tahun yang lalu menyarankan bahwa itu adalah kesadaran dari ilmuwan yang mengamati, dan gagasan ini telah dilakukan oleh Stapp, yang mengatakan bahwa kesadaran sebenarnya terlibat dalam otak. Stapp percaya bahwa karena otak kuantum memiliki banyak hal alternatif yang bisa terjadi, kesadaran memilih salah satu dari hasil ini untuk menghasilkan hasil. Saya telah terdaftar alternatif lain di sini, yang bisa semakin lebih ‘jalan keluar’. Beberapa dari ide-ide kita bisa membayangkan menjadi benar, misalnya bahwa ‘roh menghasilkan alam’, tetapi beberapa orang telah pergi lebih jauh dari itu, dan mengatakan bahwa alam entah bagaimana dasarnya spiritual – yang terhubung dengan, atau sama dengan, spiritual. Orang lain telah melanjutkan tema ini untuk mengatakan bahwa fisika kuantum adalah cara belajar tentang spiritualitas, cara untuk mendapatkan kembali spiritualitas kita. Ada sejumlah besar kemungkinan solusi di sini yang mencoba untuk memecahkan masalah yang sama: bagaimana sesuatu yang dijelaskan oleh gelombang dapat menghasilkan hasil yang pasti. Masalahnya mulai dari kenyataan bahwa ketika fisikawan berpikir tentang alam, mereka hanya memiliki dua ide dalam pikiran: mereka bisa memikirkan gelombang atau partikel.[11] Kesulitannya adalah bahwa benda yang fisika kuantum mengatakan kepada kita berada di alam bukan hanya gelombang, dan bukan hanya partikel, sehingga tantangannya adalah untuk menemukan pemahaman baru dan gambar baru.

Sebagai mana ide-ide yang lebih ekstrim di atas, ada ide-ide lebih lanjut yang telah diusulkan. James Jeans[12], fisikawan matematika, menulis sekitar 60 tahun yang lalu bahwa “fungsi gelombang terlihat seperti bukan sesuatu yang padat dan substansial, tetapi lebih mirip sebuah ide”. Beberapa (misalnya Zohar[13]) telah mengambil ini berarti bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang ide-ide. Lainnya, membahas identitas  roh dan alam yang diduga/diharapkan, telah mencoba untuk bekerja keluar berbagai cara untuk memahami mengapa mereka tampil berbeda. Mereka telah mengatakan bahwa mungkin roh dan alam adalah nilai yang berbeda dari energi, frekuensi yang berbeda, dimensi yang berbeda, dan/atau ‘kehalusan’ berbeda dari material. Mereka dari kita dengan latar belakang dari Swedenborg akan mengakui bahwa menunjukkan ‘dimensi yang berbeda’ di sini adalah mencoba untuk menggunakan analogi spasial (berpikir dari ide-ide ruang) untuk membedakan pikiran dari alam. Ketika orang mencoba berbicara tentang ‘frekuensi yang berbeda’, mereka menggunakan analogi sementara untuk berpikir tentang perbedaan ini. Tapi kita tahu dari Swedenborg bahwa kita tidak dapat benar-benar menggunakan salah satu dari jenis-jenis analogi.

Dari Swedenborg kita berpikir kita tahu mana dari semua ide di atas masuk akal, yaitu, yang dari mereka mungkin benar. Mari kita menunjukkan mana yang ini yang mungkin, sebelum membahas mana yang benar. Kita tahu bahwa memilih untuk melakukan satu hal tertentu tidak dapat hanya sebuah ilusi, karena kalau tidak akan membuat olok-olok mencoba untuk menata hidup seseorang. Kita tahu bahwa hasil tertentu dipilih, sehingga dapat benar-benar hanya menjadi pendekatan yang baik bahwa pilihan memang terjadi. Kita tahu bahwa kesadaran mungkin terlibat. Hal ini tidak mengesampingkan, karena kita tahu dari Swedenborg spirit/jiwa yang menghasilkan alam, dan mungkin kesadaran itu, sebagai bagian dari roh, yang terlibat. Tapi kita tahu bahwa ketiga ide terakhir (9-11) tidak mungkin benar, karena kita tahu bahwa ada perbedaan penting antara alam dan roh, yang berarti bahwa kita harus menemukan berbagai jenis hubungan antara fisika kuantum dan spiritualitas yang bukan hanya identitas. Harus ada jenis lain dari koneksi. Dari ide set berikutnya kita tahu bahwa perbedaan berdasarkan waktu atau dimensi tidak mungkin benar. Kita tahu bahwa perbedaan sejati tidak didasarkan pada ‘kehalusan’ atau ‘kehalusan’: Swedenborg memiliki komentar untuk membuat tentang itu. Mungkin benar bahwa fungsi gelombang tampak seperti ide, tapi itu hanya berlaku jika kita mengambil kata ‘seperti’ untuk merujuk kepada korespondensi daripada menjadi hanya sama.

  1. Beberapa Tingkatan

Semua hal di atas adalah pengenalan yang sangat singkat dan tentu sepintas bagaimana kita dapat menggunakan Swedenborg untuk memahami fisika modern. Saya akan membahas adanya ‘beberapa tingkat generatif’ atau ‘tingkatan diskrit’. Swedenborg membuat upaya besar untuk membedakan discrete dari tingkat kontinyu dan apa yang saya ingin tunjukkan adalah bahwa ada tingkatan discrete dalam alam, yaitu, dalam fisika kuantum. Ini akan membantu kita untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam fisika. Lebih jauh lagi, tingkat diskrit dalam alam akan sesuai dengan tingkat diskrit lain yang kita ketahui tentang dalamnya proses spiritual. Dengan demikian, kita memiliki struktur triadic ini dalam alam, serta dalam spiritual, dan ini dihubungkan oleh korespondensi. Ini adalah tema keseluruhan untuk apa yang berikut.

Jika kita simpulkan apa yang Swedenborg memberitahu kita tentang bagaimana roh dan alam digabungkan, dan jika kita melihat apa yang Swedenborg katakan setelah ia diberitahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan apa yang ia mencoba menebak di tahun-tahun sebelumnya, yang cukup berbeda, maka kita melihat bahwa ia kemudian dalam hidupnya belajar bahwa roh merupakan sarana penting dalam penciptaan alam. Alam tidak diciptakan langsung dari Infinite, tetapi diciptakan melalui roh. Dia datang untuk melihat bahwa dunia alami adalah efek akhir dari penyebab yang bekerja di dunia rohani, yang memanifestasikan dirinya dalam beberapa bentuk cinta. Jadi, sebagai akibatnya, pola cinta à kebijaksanaan à efek adalah pola yang bisa kita coba gunakan untuk memahami apa yang terjadi dalam fisika kuantum.

Pola ini dapat diringkas dalam banyak cara: cinta à kebijaksanaan à  efek; atau jiwa à pikiran à tubuh, sebagai pola triadic yang sama. Swedenborg memberi kita alasan yang cukup untuk menunjukkan bahwa ini diulang dalam jiwa: kita memiliki langit, spiritual dan spiritual-alami. Hal ini diulang dalam pikiran: kita memiliki interior yang rasional, suatu alam eksterior, dan pikiran sensorik. Jadi pertanyaannya adalah, ini juga diulang dalam dunia alam?

Swedenborg memiliki berbagai hal untuk mengatakan tentang derajat di dunia alam (lihat artikel misalnya Hugo Lj. Odhner[14]). Ketika Swedenborg mulai, ia memiliki cukup ide-ide yang berbeda yang bervariasi dari buku ke buku. Saya akan berbicara tentang ‘eter’, yang adalah sesuatu yang ia berubah pikiran beberapa kali, juga menyangkut bagaimana mereka berhubungan dengan dunia spiritual[15]. Jika kita membaca dari Pengadilan Terakhir (Akhirat) / Last Judgement (Posthumous).

“Tiga atmosfir alam yang timbul dari matahari dunia adalah eter murni, yang bersifat universal, dari yang semua gravitasi; eter tengah, yang membentuk pusaran di sekitar planet, yang merupakan bulan dan satelit, yang merupakan magnet; dan eter utama yang udara. ”

Di sinilah ia berbicara tentang tiga derajat di alam. Hari-hari ini, kita tidak percaya pada ‘ether’, tapi pertanyaannya adalah apakah kita dapat menafsirkan apa yang dia katakan tentang ether murni, ether menengah, dan ether utama dalam sedemikian rupa cara sehingga masuk akal. Saya akan berasumsi bahwa ketiga kata sifat mengacu pada berbagai jenis ether. Dia mungkin tidak tahu dari sudut pandang ilmiah apa yang mereka, tetapi mereka pasti tampak tiga hal yang berbeda, dan tentu saja bukan  tiga Vacuums[16] yang berbeda. Tapi apakah kita mengenali pola ini? Apakah masuk akal bagi kita? Kita harus memungkinkan beberapa fleksibilitas dalam penafsiran apa yang dimaksud dengan eter, tetapi ia tidak memberitahu kita apa saja fungsi dari ketiga eter. Dia memberitahu kita bahwa yang pertama adalah melakukan dengan gravitasi, yang di tengah adalah dengan melakukan magnetisme, dan yang terakhir adalah dengan melakukan hal-hal material. Apakah gambaran itu masuk akal?

Mari kita mencoba dan bekerja apa tiga derajat di alam mungkin, jika kita menggunakan prinsip-prinsip Gereja Baru untuk bekerja keluar dari apriori derajat apa yang mungkin diharapkan terdiri darinya. Dari korespondensi dari alam dengan tiga derajat dalam spiritual, maka dalam alam harus ada (a) cara menerima dalam tubuh niat roh/spirit, selanjutnya harus ada (b) propagasi penyebab dalam alam, dan harus ada (c) cara untuk menghasilkan efek di alam. Kita dapat menganggap ini sebagai tujuan, penyebab, dan efek, semua di alam. Ini adalah apa yang kita harapkan untuk melihat dari sudut pandang Swedenborg. Apakah ada cara untuk melihat alam yang kita ketahui dari ilmu pengetahuan, di mana kita melihat ketiga derajat?

Dalam fisika modern kita tidak tahu apa-apa tentang tujuan; bahkan kita sengaja menolak untuk mempertimbangkan tujuan dalam fisika, sebagai aturan. Tapi kita tahu banyak tentang penyebaran penyebab dalam fisika: fisika itulah yang sangat baik. Ini memberitahu kita bagaimana penyebab merambat melalui urutan dan berbagai perubahan yang dihasilkan. Dan dalam fisika kita tahu sedikit tentang beberapa efek. Bahkan, ironi adalah bahwa seluruh urusan yang saya bicarakan sebelumnya, untuk mendapatkan hasil yang pasti dalam fisika kuantum, adalah justru karena fisika tidak cukup tahu tentang efek yang sebenarnya. Jadi jelas bahwa fisika kontemporer tahu banyak tentang propagasi penyebab, dan ia tahu hampir semuanya tentang produksi efek, meskipun masih ada sesuatu yang hilang dari apa yang fisika kuantum mengatakan tentang efek akhir. Jadi, jika Swedenborg memiliki cahaya untuk dilemparkan pada apa tiga derajat adalah, ini akan membantu mengisi kekosongan yang penting, kesenjangan nyata dalam fisika kuantum, yang merupakan produksi efek.

  1. Energi

Jika kita melihat fisika, dan berapa fisika menganggap sebagai bagian dari pemahaman yang berada di pusat, gagasan penting dalam fisika adalah energi. Energi adalah tema yang melewati fisika kontemporer. Ini berbicara tentang energi potensial, energi kinetik dan sekitar: energi kinetik adalah energi yang berkaitan dengan gerak, dan energi potensial adalah dengan melakukan apa yang akan terjadi jika keadaan benar. Dalam fisika klasik kita bisa pergi jauh dengan mengetahui tentang konservasi energi (serta kekekalan momentum, momentum sudut dll). Energi dalam fisika kuantum, total energi kinetik dan potensial, diubah menjadi apa yang disebut operator Hamiltonian (biasanya disingkat H). Saya hanya akan mengatakan bahwa operator ini masuk ke dalam persamaan gelombang Schrödinger, yang mengatur semua bentuk gelombang kuantum. Dengan demikian menghasilkan semua bidang probabilitas, dan karenanya semua evolusi waktu. Semua dinamika dalam fisika kuantum ditentukan dengan mengetahui apa keadaan awal, dan apa operator Hamiltonian adalah. Jadi, energi dalam beberapa bentuk sangat penting dalam kedua fisika klasik dan kuantum.

Dengan demikian, setiap kali saya lakukan fisika kuantum sebagai bagian dari pekerjaan saya di bidang fisika nuklir, saya pertama kali mencoba dan menemukan Hamilton, maka saya memecahkan persamaan Schrödinger

HY (x, t) = i ¶ Y (x, t) / ¶ t.

Di sini, Hamilton H adalah operator yang bekerja pada fungsi gelombang yang memberitahu kita bagaimana perubahan fungsi gelombang, dengan cara derivatif dari fungsi gelombang terhadap waktu di sisi kanan persamaan. Dengan cara ini, Hamiltonian menentukan semua dinamika, seperti yang kita dapat memecahkan persamaan ini untuk menemukan fungsi gelombang di segala tempat x dan waktu t ke masa depan.

Persamaan sentral dalam fisika kuantum adalah persamaan dari bentuk ini (mungkin Schrödinger atau persamaan Dirac), yang selalu memiliki turunan waktu yang mengisahkan bagaimana fungsi gelombang bervariasi dengan waktu. Selanjutnya, setelah kita memiliki fungsi gelombang ini, kita dapat menemukan probabilitas dengan mengambil modulus persegi | Y (x, t) | 2. Pertanyaannya sekarang, apakah kita melihat tiga serangkai akhir à sebab à efek dalam struktur ini? Saya baru saja menggambarkan struktur fisika kuantum sebagai setiap fisikawan atom, setiap fisikawan nuklir mempraktekkan itu. Apakah kita melihat triad di sana? Saya menyatakan bahwa yang kita lakukan, jika kita melihat dengan benar.

END                                      CAUSE                                  EFFECT

 Quantum

Gambar 2: Korespondensi Quantum dan Proses Mental

  1. Tiga Derajat Quantum

Ian Thompson mengklaim bahwa bahwa ada tiga hal. Untuk membantu Anda memahami, di bagian bawah Gambar 2, Ian Thompson telah menarik korespondensi untuk apa yang ada dalam pikiran mereka. Bagi Anda yang tahu fisika kuantum dapat melihat di bagian atas, dan mereka yang tahu Swedenborg dapat melihat di bagian bawah, dan kemudian saya ingin membuat sambungan antara. Dia mengatakan “Jika Anda tahu satu, hubungan ini akan membantu Anda memahami yang lain”. Dengan demikian, tampak lagi di fisika kuantum, kita memiliki Hamiltonian yang harus dilakukan dengan total energi, yang entah bagaimana aktif, karena operator yang beroperasi pada fungsi gelombang dan mengubahnya. Persamaan Schrödinger adalah aturan untuk bagaimana operator Hamilton menghasilkan apa yang kita sebut ‘kecenderungan gelombang’: fungsi gelombang yang merupakan bentuk kecenderungan atau kecenderungan untuk tindakan: gelombang probabilitas. Kemudian fungsi gelombang ini (pada kenyataannya modulus kuadrat-nya) memberikan probabilitas untuk hasil yang berbeda. Ini adalah struktur fisika kuantum, dan dalam struktur ini kita sekarang melihat jenis yang sama struktur derajat triadic yang kita miliki dalam pikiran kita. Di bagian bawah dari Gambar 2 adalah triad sangat sederhana dari psikologi. Jika kita melihat hanya dalam pikiran eksternal kita, maka kita punya niat, berpikir tentang rencana, baik yang mengarah ke tindakan. Ini adalah triad yang sesuai dengan proses dalam fisika kuantum (tentu saja, bukan triad yang sama). Dari Swedenborg kita tahu tentang: cinta à kebijaksanaan à penggunaan (atau kasih sayang à pemahaman à keputusan, atau langit à spiritual à alam) dan kita miliki dalam korespondensi umum untuk semua triad tersebut. Kita tahu bahwa pola yang sama berulang dalam keseluruhan, dan dalam setiap bagian. Saya berbicara tentang setiap proses tunggal untuk setiap partikel tunggal dalam fisika kuantum: setiap kali setiap hal terkecil berevolusi dalam waktu, kita melihat pola triadic yang sama.

Kita melihat bahwa ada korespondensi antara energi dan niat. Hal ini sangat populer hari ini untuk menggunakan energi dalam cara yang sangat umum untuk mengacu pada semua niat dalam pikiran kita dan dalam roh kita: kita berbicara tentang energi mental, dan tentang energi spiritual. Banyak orang bingung ini: mereka conflate energi spiritual dengan energi fisik, mengatakan bahwa ini hanyalah berbagai jenis energi. Di sini kita dapat melihat bahwa mereka berhubungan satu sama lain. Swedenborg akan menggunakan ‘panas’ dan ‘cahaya’, dan saya berpikir bahwa kata ‘energi’ adalah interpretasi umum yang baik tentang makna ‘panas’ atau kalor. Di tengah atas kita memiliki gelombang atau struktur lapangan, di mana Swedenborg mengacu pada cahaya, tapi gelombang ini adalah gelombang energi, yang menyebar keluar dan mencoba untuk melakukan sesuatu. Kita tahu bahwa cahaya adalah suatu bentuk energi, sementara Swedenborg mengatakan ‘kebijaksanaan adalah bentuk cinta’ atau ‘niat mengambil bentuk dalam pemahaman’. Ada banyak kesamaan dalam struktur logis dari kalimat yang menghubungkan dua ini pertama derajat.

Bagi Anda yang bertanya-tanya bagaimana fisika kuantum berbeda dari fisika yang kita tahu, Ian Thompson hanya akan memberikan demonstrasi singkat tentang bagaimana ini membuat perbedaan. Bayangkan seseorang roller-skating di sebuah ruang berongga. Dalam fisika klasik ada batas, tidak terduga disebut ‘titik balik klasik’, di mana energi kinetik habis, karena energi telah semua berubah menjadi energi potensial. Dalam teori kuantum, sebaliknya, tidak ada batas yang tajam, karena semuanya didasarkan pada kecenderungan, dan tidak hanya ditentukan dan kaku. Jika ini adalah sebuah elektron dalam atom, kemudian muncul dengan probabilitas kecil bahkan dalam apa yang disebut ‘ wilayah klasik terlarang ‘. Hal ini sangat penting dalam fisika kuantum, dan menimbulkan apa yang dalam pikiran saya adalah menarik tentang proses kuantum. Hal ini penting untuk memahami hal-hal seperti transistor, di mana terowongan elektron melalui lapisan sangat tipis, karena jika Anda memiliki dip lain di sisi kanan maka mereka bisa masuk. Hal yang sama muncul dengan peluruhan radioaktif, karena proton atau partikel alfa di dalam nukleus besar memiliki hambatan besar yang berhenti itu keluar, tapi masih bisa keluar terowongan dengan probabilitas sangat kecil dan karena itu Anda mendapatkan seumur hidup yang sangat panjang, seperti ribuan jutaan tahun, tetapi masih keluar akhirnya. Itulah salah satu perbedaan antara fisika klasik dan kuantum, karena ada kecenderungan dan bukan hanya keras dan cepat batas. Fakta memiliki kecenderungan berkaitan dengan apa yang Swedenborg memberitahu kita tentang niat, atau conatus, yang menghasilkan hasil tanpa sambungan tetap antara mereka.

Apa yang Ian Thompson telah berikan sejauh ini adalah ringkasan singkat dari korespondensi antara energi dan gelombang fisika kuantum, dan niat dan pikiran atau pemahaman dalam pikiran. Kami benar-benar harus menarik pikiran di atas derajat fisik, jadi niat, pemahaman dan efek menghasilkan, dan sesuai dengan, energi dan gelombang bentuk.

 

  1. Teori Bidang Quantum

Dalam fisika kuantum, rumus Hamiltonian mulai terdiri dari energi kinetik dan potensial. Sekarang pertanyaannya adalah, dari mana Hamiltonian berasal?  Ian Thompson  akan mencoba dan menjelaskan apa yang disebut teori medan kuantum. Anda mungkin tidak mengikuti rincian, tetapi penting untuk argumen Thompson bahwa fisika telah menemukan lebih dari apa yang, sehingga untuk berbicara, adalah ‘di belakang’ Hamiltonian. Ketika fisika kuantum dimulai 70 tahun yang lalu, fisikawan harus menciptakan Hamiltonian. Ada berbagai petunjuk dan trik, dan jika hasilnya keluar yang tepat Anda tahu bahwa Anda berhasil. Namun, dalam kenyataannya, ada beberapa fisika di balik itu. Kita sekarang tahu bahwa energi potensial dari bagian Hamiltonian bukan hanya sewenang-wenang, tapi datang tentang dari apa yang disebut proses virtual. Kita tahu bahwa kekuatan elektromagnetik antara dua partikel bermuatan tidak hanya diberikan oleh persamaan Maxwell, tetapi diberikan oleh ‘ virtual foton ‘ atau ‘ sinar gamma ‘ yang dipertukarkan. Daya tarik nuklir antara dua proton, atau antara proton dan neutron tidak hanya sewenang-wenang, tetapi diberikan oleh pertukaran quark dan gluon. Quark tertarik satu sama lain dengan bertukar gluon. Jadi ada sesuatu yang terjadi di ‘balik layar’ dari apa yang telah dijelaskan sejauh ini, yang menghasilkan Hamiltonian. Apa peristiwa ini? Selain itu, energi kinetik, yang adalah melakukan dengan massa, dikatakan oleh fisikawan harus ‘berpakaian’ oleh proses virtual. Ini berarti, misalnya, bahwa elektron telanjang memiliki awan foton yang pergi bersama dengan itu, karena terus-menerus memancarkan dan menerima foton, dan foton ini memberikan kontribusi massa melalui energi mereka sendiri. Jadi, bahkan massa dan energi kinetik bukan hal yang diberikan langsung, tetapi juga diproduksi dari balik layar, dan muncul di Hamiltonian yang mengandung energi kinetik dan potensial bersama-sama.

Gambar 3: Kekuatan dari pertukaran partikel virtual

 

Ian Thompson hanya akan menyebutkan apa yang beberapa dari proses-proses virtual, seperti yang digambarkan dalam Gambar 3 Ini adalah fisika yang telah ditemukan dalam 50 tahun terakhir: bahwa interaksi elektromagnetik antara partikel bermuatan adalah dengan pertukaran foton; kekuatan nuklir antara proton dan neutron adalah dengan pertukaran gluon a; interaksi lemah adalah dengan pertukaran ‘vektor meson berat’ disebut Z dan partikel W. Dalam fisika kita mengatakan bahwa ada empat jenis interaksi sama sekali. Ada tiga ini di sini: elektromagnetisme, kekuatan nuklir dan lemah; dan yang keempat adalah gravitasi. Sejauh Ian Thompson belum mengatakan banyak tentang gravitasi, tapi akan datang kembali nanti. Titik ia ingin membuat adalah bahwa semua hal-hal ini terjadi di belakang layar, dan fisikawan mengatakan bahwa ini adalah partikel virtual. Mereka tidak benar-benar terjadi, tapi semacam ‘hampir’ terjadi. Kemudian ada tantangan untuk kita untuk memahami apa yang di bumi yang terjadi? Cara saya ingin Anda berpikir tentang hal ini, adalah bahwa proses virtual adalah sarana yang rencana diproduksi. Ingat Ian Thompson mengatakan bahwa kita punya niat, memahami dan efek. Pemahaman ini memiliki semua rencana ini, tetapi pertanyaannya adalah: bagaimana rencana ini berhasil? Pasti ada sesuatu untuk membantu ini harus dikerjakan. Dari Swedenborg kita tahu bahwa semua pikiran dengan hal ini bekerja berasal dari tingkat sebelumnya. Kita tahu bahwa masuknya dari langit sangat penting bagi kita untuk berpikir, bahkan mendapatkan pemahaman kita bekerja, dan untuk mengoperasikan rencana kami. Jadi, apa yang saya usulkan untuk membantu kita untuk memahami proses virtual, adalah bahwa ada lapisan lain dari tiga (triadic) tahap seperti pada Gambar 4.

Gambar 4: Triad dari proses virtual menghasilkan proses yang sebenarnya

 

Tidak semua dari Anda akan mengerti apa yang dimaksud fisikawan dengan teori medan, tapi apa yang Ian Thompson ingin tunjukkan adalah bahwa, dengan melihat kelompok-kelompok triadic dan mendalilkan kelompok lain sebelumnya, kita mendapatkan beberapa ide yang membantu kita untuk memahami fisika kuantum. Lapisan sebelum ini menjelaskan proses virtual, atau energi potensial, dan lapisan bawah adalah apa yang ia harus memulai dengan, yang berkaitan dengan energi, kecenderungan dan peristiwa aktual. Intinya adalah bahwa layer baru ini memiliki tingkat proses otonomi sendiri, di mana peristiwa virtual yang dihasilkan oleh medan kuantum virtual, mulai off dengan apa yang dalam fisika disebut ‘lapangan/medan Lagrangian’. Kami tidak benar-benar tahu di mana Lagrangian berasal dari, sehingga sekali lagi kita memiliki masalah yang sama, tapi setidaknya kita dapat melihat bahwa proses virtual membantu mempersiapkan energi kinetik dan potensial, dan karenanya membantu mempersiapkan kecenderungan. Perhatikan bahwa ada proses virtual muncul bahkan jika tidak ada yang benar-benar terjadi. Bahkan jika Anda mengambil ruang di ruangan ini antara atom-atom, masih ada proses virtual terjadi. Para fisikawan mengatakan bahwa ada ‘energi titik nol’, dan bahwa ada ‘vakum fisik’ yang terdiri dari fluktuasi dari energi titik nol. Apa yang mereka menyiratkan adalah bahwa ada bidang virtual meskipun mungkin tidak ada bidang partikel, dan bahwa bidang virtual menghasilkan efek terukur.

Ian Thompson inginkan sekarang untuk mengidentifikasi dua lapisan ini dengan ‘udara’ lapisan dan ‘ether tengah’ lapisan Swedenborg  seperti yang ditunjukkan pada gambar, karena ether tengahnya adalah salah satu katanya dikaitkan dengan planet dan mereka magnet. Swedenborg tahu tentang magnetisme, dan ia tahu tentang planet. Fungsi utama dari peristiwa virtual adalah produksi tarik elektrostatik & tolakan, dan gaya magnet, antara partikel bermuatan. Kita sekarang tahu bahwa magnet tidak ada dengan sendirinya, dan selalu dikombinasikan dengan elektrostatika: kita berbicara tentang elektro-magnet. Jadi kita menafsirkan ‘magnet’ Swedenborg seperti itu yang kita tahu itu bersatu, yaitu elektromagnetisme. Ini terlihat seperti eter tengah. Hal ini dalam urutan yang benar, dan memiliki struktur internal yang benar, dari sudut pandang Swedenborg. Kami memiliki pola yang sama: sebuah prinsip akan menyebabkan dan kemudian ke efek. Kita tidak tahu di mana prinsip berasal, tapi kita bisa melihat bahwa itu adalah prinsip. Ini adalah prinsip bahwa fisikawan telah digunakan sampai saat ini sebagai titik awal untuk menggambarkan teori medan kuantum. Mereka mulai dengan menuliskan Lagrangian, dan melihat semua istilah dalam Lagrangian, untuk bekerja semua proses virtual mungkin. Mereka bekerja satu langkah dan dua langkah proses untuk peristiwa virtual, menggunakan teori misalnya gangguan. Kemudian mereka bekerja di luar energi potensial dan kinetik, dan melanjutkan dengan Hamiltonian dan gelombang fungsi dll Ini semua hanya menjelaskan dengan cara sederhana fisikawan apa yang hari ini. Sebuah gambar ini (tanpa kata-kata ‘ether tengah’ atau ‘udara’, tentu saja) akan menyenangkan untuk rekan-rekan saya di tempat kerja (saya telah mencobanya pada mereka[17]), sehingga sangat masuk akal dari sudut pandang fisika. Satu-satunya hal yang mereka temukan sedikit aneh adalah bahwa ada perintah tegas ini. Tidak ada semacam memberi dan menerima, tidak ada interaksi timbal balik: Saya selalu tertarik panah ‘memproduksi’ seperti ke kanan atau ke bawah, sehingga seluruh bisnis adalah bahwa masuknya: masuknya bersyarat. Apa yang Anda butuhkan untuk menerima masuknya adalah sesuatu yang saya tidak punya waktu untuk berbicara tentang: yang benar-benar bicara lain[18]. Setidaknya dari Swedenborg kita tahu bahwa ada perintah seperti itu.

 

  1. Gravitasi

Kita memiliki ether tengah, dan kita memiliki udara, jadi bagaimana dengan gravitasi? Itu adalah hal yang hilang di sana. Mari kita simpulkan apa yang kita ketahui tentang gravitasi, sangat singkat. Teori gravitasi terbaik adalah Teori Umum Relativitas Einstein. Hal ini masih teori terbaik: tidak ada orang yang menyangkal hal itu. Fisikawan tidak senang dengan hal itu, karena alasan-alasan yang akan saya jelaskan, tetapi masih teori terbaik. Dalam teori ini, ruang dan waktu ‘melengkung’ oleh gravitasi, sesuai dengan distribusi materi. Saya tidak akan menuliskan persamaan Einstein, tetapi ide dasarnya adalah bahwa kelengkungan ruang-waktu disebabkan oleh massa dan energi di ruang-waktu. Tidak ada menyebutkan probabilitas, sehingga lagi teori klasik. Hasil ini adalah bahwa pertanyaan gravitasi kuantum hangat dibicarakan: pertanyaan tentang bagaimana untuk menggabungkan probabilitas dengan ide ruang-waktu melengkung. Ada sering berdiskusi tentang bagaimana kita mungkin bisa di gravitasi kuantum kombinasi seperti itu. Sebagai contoh, jika ruang dan waktu yang entah bagaimana probabilistically dihasilkan, maka bagaimana Anda berbicara tentang probabilitas, jika kita tidak memiliki distribusi ruang yang memiliki probabilitas?

Harus ada ‘ alternatif ‘ dari beberapa jenis ! Saya berharap bahwa jika kita memiliki wawasan tentang masalah ini gravitasi kuantum dari Swedenborg, maka kita akan dapat melemparkan beberapa cahaya pada masalah-masalah mendasar .

Menurut Swedenborg, jika kita berada di dunia spiritual, kita tahu bahwa ruang dan waktu dalam dunia spiritual sangat fleksibel, mari kita bicara seperti itu. Ruang tergantung pada kondisi mental dan keadaan rohani kita. Kita tahu bahwa jika cinta dua orang adalah sama, maka mereka berdekatan di dunia spiritual. Kita tahu bahwa Matahar, negara Tuhan di langit, sangat berbeda dari negara malaikat yang muncul di jarak yang sangat besar dari mereka, menyinari mereka. Kita juga tahu bahwa waktu adalah sangat fleksibel dalam dunia spiritual. Tampaknya menjadi aturan yang, jika seseorang meminta Anda untuk melakukan sesuatu, dan Anda mengatakan bahwa Anda akan melakukannya segera tetapi Anda ingin melakukan banyak hal lain terlebih dahulu, Anda selalu memiliki ‘waktu’ untuk pengalihan untuk melakukan apapun lain yang Anda ingin lakukan, dan kemudian kembali ke apa yang orang meminta Anda untuk melakukannya. Tidak ada waktu jam di dunia spiritual: hanya ada suksesi negara. Anda selalu dapat memiliki banyak suksesi negara dari satu jenis antara negara berturut-turut sesuatu yang lain, dan tidak ada tingkat yang sama dari suksesi di bagian yang berbeda. Sekali lagi, kita melihat bahwa ruang dan waktu bervariasi sesuai dengan cinta.

Sekarang Ian Thompson akan menyajikan beberapa ide yang tidak benar-benar sebuah teori, tapi satu upaya unified melihat apa yang sedang terjadi, sehingga kita dapat mulai melihat korespondensi. Menurut Swedenborg, mencintai secara dinamis menghasilkan geometri ruang dan waktu yang kita miliki di dunia spiritual. Tapi kita tahu bahwa mencintai sesuai dengan energi, jadi mari kita mengambil kalimat ini dan menerjemahkannya dengan korespondensi ke dalam fisika. Kami berakhir dengan pernyataan, bahwa energi secara dinamis menghasilkan geometri ruang dan waktu di dunia fisik. Ini adalah persis apa kata Relativitas Umum. Kami tidak benar-benar memahami hubungan antara cinta dan energi, atau bagaimana tepatnya ini bekerja, tapi kita bisa melihat awal dari beberapa ide yang mungkin di masa depan menghasilkan beberapa wawasan. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan kami udara dan eter menengah perlu diperluas untuk mencakup apa yang saya sebut sebelumnya ‘formatif’ derajat. Hal ini sangat spekulatif: Saya menggunakan ide dari korespondensi dari Swedenborg untuk mengisi kekosongan .

1. General Principle 2. Formative Fields 3. Form Space-time Forming Principle ‘Universal Ether’
4. Lagrangian 5. Virtual Fields 6. Virtual Events Virtual Cause

‘Middle Ether’

7. ‘Active Energy’ 8. Propensity Fields 9. Actual Selections Actual Effect

‘Air’

Principle Cause Effect

Gambar 5:

Sebuah triad formatif pada baris pertama , untuk menghasilkan proses virtual

 

Sembilan lapisan yang telah saya diarsir pada Gambar 5 terdiri pertama dari bawah enam yang telah saya bicarakan sebelumnya: pilihan aktual , kecenderungan medan dan energi; kemudian di atas ini: peristiwa virtual, bidang virtual dan Lagrangian tersebut (apapun itu!). Lalu, saya katakan, kita akan mengharapkan beberapa lapisan atas ini, sehingga lapisan ini baru bertindak sebagai prinsip dalam tiga serangkai prinsip à  sebab àakibat  dalam arah vertikal. Karena semuanya datang dalam triad, kita tidak bisa memiliki hanya enam: kita harus memiliki sembilan (kekuatan dari tiga). Jadi sepertinya bahwa harus ada beberapa prinsip umum di awal, kemudian beberapa bidang formatif di tengah atas, dan pengaruh medan formatif harus menghasilkan ruang-waktu. Harus ada, di bagian atas, menjadi lapisan sebelum ini baru yang dilakukan adalah dengan melakukan gravitasi . Kami tidak benar-benar tahu apa-apa tentang hal ini, dan, pada kenyataannya, jika semua ahli fisika yang kita tahu berpikir tentang gravitasi kuantum bisa memikirkan sesuatu yang berguna, maka kita mungkin memiliki sesuatu untuk dikatakan. Sebaliknya, jika dari Swedenborg kami mengerti korespondensi kami dengan baik, kami juga mungkin memiliki sesuatu untuk dikatakan.

Tantangannya adalah untuk mendapatkan ide-ide kami dari sumber yang berbeda untuk bertemu bersam : kita mencoba menghubungkan langit dan bumi di sini , untuk melihat bagaimana mereka bergabung. Yang baru adalah bahwa lapisan ini sebelum baru adalah seperti apa Swedenborg katakan adalah eter pertama, yang berhubungan dengan gravitasi. Sepertinya di sini kita memiliki eter pertama  eter tengah dan udara: ini tampaknya masuk akal selama kita membiarkan diri kita untuk menafsirkan Swedenborg  Swedenborg berusaha mengatakan apa yang ia tahu benar dalam kata-kata yang ia telah tersedia baginya. Dia harus menggunakan kata-kata yang ada di sana; dia bisa menyarankan hal-hal, tapi ada banyak hal yang dia tidak tahu  Ada banyak hal yang dia tidak tahu, tapi yang sekarang kita tahu untuk menjadi penting, seperti oksigen di udara, jadi kami harus bekerja dengan tepat apa hal-hal ini bahwa ia tidak memberitahu kami.

Dalam contoh ini kita telah menerapkan prinsip-prinsip umum yang diambil dari ide-ide Swedenborg untuk menafsirkan kembali rincian referensi ke alam. Kita lihat, misalnya, pola umum yang sama secara vertikal dan horizontal. Dalam arah vertikal, kita melihat prinsip, sebab dan akibat, atau cinta, kebijaksanaan dan menggunakan, atau niat, pemahaman dan efek, mana korespondensi kita pilih. Dan kemudian ada pola yang sama di setiap arah horisontal 1 à 3 , 4à 6 dan 7 à 9 . Keseluruhan Masuknya harus datang di urutan 1 à 9 : ini harus menjadi cara bahwa dunia diproduksi. Tingkat ini semua di alam, dan tidak terdiri dari apapun mental. Ini adalah derajat diskrit, semua di alam.

 

  1. Parsial

Kita bisa menjelaskan bagaimana bisa ada pandangan parsial. Triad terakhir adalah energi à gelombang à event, yang sesuai dengan kemauan, pikiran dan tindakan, tetapi tidak identik dengan itu. Tetapi banyak orang melihat korespondensi, dan merasakan korespondensi ini, sehingga banyak dari mereka telah dibangun ke dalam bahasa sehari-hari. Insight, kehangatan, dll. adalah kata-kata yang sering digunakan. Peran energi dalam tubuh sesuai dengan peran cinta dalam roh. Kita bisa menyebutnya panas, atau energi generatif, tapi apa pun itu, itu adalah sesuatu yang pada awal yang sesuai dengan sisi cinta. Peran gelombang di dunia sesuai dengan kebijaksanaan dalam roh. Gelombang di dunia bisa menjadi gelombang cahaya, dan kita mengatakan bahwa kebijaksanaan sesuai dengan cahaya. Peran peristiwa tindakan sesuai dengan keputusan dalam roh, yang merupakan efek pada akhir fisik. Fisika kuantum masih belum yakin tentang efek ini, seperti yang saya katakan di awal, sehingga masih ada urusan yang belum selesai dalam fisika tentang apa efek ini dan apa yang benar-benar menghasilkan mereka. Orang sering conflate energi dalam tubuh dengan kasih dalam roh dengan mengatakan bahwa ada energi spiritual dalam diri kita, dan berbicara tentang aura sebagai gelombang yang dapat mereka lihat di sekitar orang. Mungkin mereka bisa, tetapi ini tidak gelombang dalam arti fisik normal.

Selain itu, banyak dari orang-orang yang saya sebutkan sebelumnya yang mencoba untuk memahami fisika kuantum dibangun pada kenyataan bahwa ada korespondensi antara peristiwa fisik dan keputusan spiritual, dengan berspekulasi bahwa peristiwa rohani adalah keputusan yang sebenarnya. Beberapa itu benar, karena mereka tampaknya sesuai, dan karena itu kita akan mengharapkan hubungan kausal, karena korespondensi timbul dari masuknya kausal. Saya telah mengatakan bahwa fisika terdiri dari efek yang berasal dari kekuatan dan ladang dan kemudian energi, dan beberapa orang berpikir itu karena energi ini sangat berbeda dari materi di dunia fisik, mungkin energi harus menjadi lama dicari ‘roh’. Namun, hanya memberitahu kita sesuatu yang sesuai dengan semangat. Orang lain telah melihat lapisan akhir ini energi, kecenderungan dan peristiwa, dan telah melihat kembali ke proses virtual. Mereka melihat bahwa proses virtual di sini bahkan jika tidak ada yang benar-benar terjadi, dan dengan demikian berspekulasi bahwa mungkin inilah proses virtual yang sesuai dengan roh, atau roh. Jadi kita bahkan mendapatkan dokumen-dokumen “Apakah Foton Virtual Dasar Pembawa Kesadaran”[19]. Saya menggunakan proposal ini untuk menunjukkan jenis pandangan parsial, atau conflation dari korespondensi yang sering terjadi. Saya harus membaca untuk Anda yang kedua untuk kalimat terakhir “arena kemahahadiran foton maya, maka akhirnya bahwa seluruh alam semesta harus embued (menyatu?) dengan subjektivitas”. Inilah yang terjadi jika Anda tidak membedakan satu derajat sebelum di alam dari derajat sebelum nyata yang berada di spiritual. Mereka berhubungan satu sama lain  tetapi mereka tidak sama. Seluruh pembicaraan saya adalah tentang fisika kuantum dan spiritualitas: ada korespondensi antara mereka, tetapi mereka tidak sama.

Sekarang saya akan membahas beberapa konsekuensi dari ide-ide di atas. Pertimbangkan gagasan bahwa pilihan aktual fisik penting, karena hasil akhir atau ‘bottom line’. Dunia spiritual seluruh menghasilkan dunia spiritual eksternal, dan kemudian semua gelar ini di alam, dan hal terakhir yang menghasilkan adalah pilihan yang sebenarnya satu hasil tertentu di tempat lain. Itulah yang fisika kuantum tidak benar mengerti, tetapi kita tahu bahwa itu harus ada. Kita tahu bahwa tindakan akhir atau akhir dari roh berada dalam pikiran sensual. Bahwa apa yang Swedenborg memberitahu kita, sedangkan psikolog akan mengatakan bahwa adalah pikiran sensori-motor  yang sedikit lebih akurat karena itu adalah tindakan, bukan hanya sensasi, yang signifikan. Dan kita tahu, dari apa yang saya baru saja dijelaskan, bahwa tindakan terakhir di dunia adalah peristiwa aktual: pemilihan salah satu hasil tertentu yang berbeda dari yang lain. Dengan demikian, dua hal – pikiran sensori -motor dan peristiwa aktual-tampaknya berhubungan satu sama lain. Jadi Heisenberg, Wigner, Stapp dan lain-lain, bahkan Paul Davies, berpikir bahwa ada hubungan antara pengamat dan pemilihan peristiwa aktual. Kita sekarang melihat bahwa mereka berhubungan satu sama lain, dan salah satu dari mereka harus menyebabkan yang lain. Ada sesuatu tentang pikiran sensori -motor  lapisan terluar dari pikiran eksternal, sesuai dengan yang operasinya harus dalam beberapa cara terhubung ke pemilihan hasil fisik tertentu. Hal ini menjelaskan sebagian bagaimana dunia alam mengakhiri dunia spiritual. Hal ini dalam dunia alam yang kita benar-benar membangun sebuah fundasi yang tetap, karena peristiwa-peristiwa aktual yang merupakan bottom line, merupakan pilihan yang pasti untuk satu cara atau yang lain. Swedenborg mengatakan bahwa dunia alam berakhir dan berisi: bahwa itu adalah containant untuk kehidupan rohani dan tindakan. Cinta  yang tetap bersama kami harus mencintai yang menghasilkan peristiwa aktual dalam kehidupan kita. Ini pada dasarnya apa yang Swedenborg  katakan kepada kita.

 

  1. Keseluruhan Gambaran

Ini semua bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, tentu saja: pada dasarnya kita tahu bahwa ada pikiran interior, pikiran eksterior, dan dunia alam. Apa yang saya telah berbicara tentang adalah sembilan derajat di dunia alam yang ditunjukkan pada kolom paling kanan dari Gambar 6. Dalam kolom ini, kita memiliki alam, di kolom tengah kita memiliki pikiran, di mana kita memiliki sensual (atau sensori motor) pikiran, eksternal rasional (atau ilmiah), dan rasional internal yang yang dihasilkan setelah reformasi. Di sebelah kiri, kita memiliki pola yang sama lagi, di langit. Ini adalah langit spiritual. Semua pembicaraan sejauh ini baru saja menggambarkan sembilan derajat (sebuah ennead) dalam dunia alam, dan tentu saja seluruh skema lagi dengan ennead (satu set sembilan kali lipat). Swedenborg masuk ke dalam rinci tentang apa yang terjadi dalam internal rasional yang…, dan proses panjang digambarkan dalam Kitab Kejadian adalah perkembangan dari Abraham sampai dengan Joseph dan seterusnya, yang mengatakan kepada kita rincian regenerasi rasional internal.

 

 

 

Interior Mind/Spirit

(love)

Exterior Mind (understanding) Natural World

(effects)

Celestial Internal Rational Formative level
1. 2. 3.
Spiritual Scientific

(External Rational)

Virtual Causes
4. Lagrangian 5. Virtual Field 6. Virtual Event
Spiritual-Natural Sensual Actual Effects
7. Energy 8. Tendency 9. Selection

 

Gambar 6: derajat Spiritual dan Mental dalam kaitannya dengan alam.

 

Kami belum tahu rincian derajat 1, 2 dan 3 yang membentuk apa yang disebut Swedenborg sebagai yang ‘ Ether Universal ‘ .

Seperti tabel ini derajat diskrit tidak benar-benar menjelaskan penyebab dan alasan merek , tetapi memberikan klasifikasi umum. Klasifikasi ini memungkinkan kita untuk masuk akal ketika fisika kuantum mengatakan kepada kita bahwa hal-hal di dunia ini tersebar bidang yang bertindak dengan cara bersatu untuk memberikan satu hasil yang sebenarnya. Ini karena itulah cara kita. Ketika manusia berpikir, kita memiliki niat yang berpikir tentang berbagai kemungkinan, dan kemudian bekerja pada salah satu dari mereka. Itulah apa hidup ini, dan apa yang kita lihat adalah bahwa alam fisik tidak berbeda. Hal ini tidak sadar akan dirinya sendiri dengan cara yang sama, tapi mengandung jenis yang sama proses, fungsi yang sama. Ada kesamaan fungsi, dan ini membantu kita untuk memahami fisika kuantum. Sebelumnya cocok alami untuk fisik, dan kita melihat bagaimana derajat ini semua bergabung bersama-sama.

Jadi, dalam kesimpulan, kita melihat bahwa ada korespondensi menyeluruh (korespondensi secara rinci serta keseluruhan struktur) antara fungsi di alam kuantum dan fungsi dalam pikiran internal dan eksternal. Tidak ada suatu persamaan substansi, tetapi pola fungsional di alam adalah sama dengan pola fungsional dalam pikiran internal dan lagi sebagai sama dengan pola fungsional dalam pikiran eksternal. Oleh karena itu, jika kita menaruh semua foto-foto bersama, kita belajar lebih banyak tentang ala , serta belajar lebih banyak tentang spirit.[20] Oleh karena itu, Ian Thompson berharap, bahwa kita mendapatkan gambaran yang lebih baik dari masing-masing, serta hubungan antara mereka.

 

 

 

 

  1. Spiritualitas, Kesadaran dan Quantum Physic

Perkembangan baru dalam upaya ilmiah yang manusia modern saat ini miliki mendapatkan kemajuan penting dan signifikan dalam pandangan inti dari ajaran agama di bidang fisika baru terutama di Quantum Physic Teori sebanyak apa yang rumit dalam sub-bab sebelumnya.

Wacana, penjelasan, deskripsi dan argumen tentang hubungan antara Quantum Fisika dan Spiritualitas (Kesadaran), sangat menarik disajikan dalam film semi – dokumenter berjudul What the Bleep Do We Know ? (juga ditulis Apa tнe # $ * ! Dө ωΣ ( k ) πow ! ? dan Apa # $ * ! Apakah Kita Tahu!?). Ini adalah sebuah film tahun 2004 yang menggabungkan gaya wawancara dokumenter, animasi grafis komputer, dan narasi yang mengemukakan hubungan spiritual antara fisika kuantum dan kesadaran. Plot mengikuti kisah seorang fotografer yang tuli; saat ia bertemu hambatan emosional dan eksistensial dalam hidupnya, dia datang untuk mempertimbangkan gagasan bahwa kesadaran individu dan kelompok dapat mempengaruhi dunia material. Pengalamannya yang ditawarkan oleh para pembuat film sebagai ilustrasi tesis film tentang fisika kuantum dan kesadaran. sinematik ini dirilis 2004 dari film ini diikuti oleh substansial yang berubah, versi DVD yang diperpanjang pada tahun 2006 .

Film Bleep dilahirkan dan produksinya didanai oleh William Arntz, yang ikut menyutradarai film bersama dengan Betsy Chasse dan Mark Vicente: semua orang-orang ini adalah mahasiswa Sekolah Pencerahan Ramtha[21]. Sebuah anggaran yang cukup rendah untuk produksi independen, itu dipromosikan menggunakan metode viral marketing dan dibuka di bioskop rumah seni di Amerika Serikat bagian barat, memenangkan beberapa penghargaan film independen sebelum dijemput oleh distributor utama [2] dan akhirnya laku lebih dari $ 10.000.000.[22] [23]

Film ini telah dikritik karena dianggap keliru dalam menyajikan ilmu pengetahuan [24] [25]  [26] [27],  yang mengandung pseudosains [28] [29], dan telah digambarkan sebagai mistisisme kuantum [30]

 

Synopsis Film

Difilmkan di Portland, Oregon, What the Bleep Do We Know menyajikan sudut pandang alam semesta fisik dan kehidupan manusia di dalamnya, dengan koneksi kepada neuroscience dan fisika kuantum. Beberapa ide dibahas dalam film ini adalah :

  • alam semesta ini terbaik dilihat sebagai dibangun dari pemikiran (atau ide) daripada dari substansi .
  • “ruang kosong ” sebenarnya tidak kosong .
  • Materi tidak solid. Elektron terdorong masuk dan keluar dari keberadaan dan tidak diketahui di mana mereka menghilang untuk apa .
  • Keyakinan tentang siapa seseorang dan apa yang nyata dibentuk oleh diri sendiri dan realitas seseorang.
  • Peptides yang diproduksi di otak dapat menyebabkan reaksi tubuh terhadap emosi .

Di segmen narasi film, Marlee Matlin menggambarkan Amanda, seorang fotografer tuli yang bertindak sebagai pemirsa avatar pada saat ia mengalami hidupnya dari perspektif baru yang mengejutkan dan berbeda.

Di segmen dokumenter film, yang diwawancarai membahas akar dan makna dari pengalaman Amanda. Komentar fokus terutama pada satu tema: Kita menciptakan realitas kita sendiri. Direktur, William Arntz, telah menjelaskan What the Bleep sebagai film untuk “metafisik kiri. “[31] ​​

 

Produksi Film

Film ini mencakup lebih dari tiga ratus efek visual jumlah shot yang sangat besar untuk sebuah film independen, film yang dibiayai swasta. Kendala anggaran yang membutuhkan upaya internasional. Pekerjaan terpecah antara yang berbasis di Toronto Mr X Inc, Lost Boys Studios di Vancouver, dan Efek Visual Atom di Cape Town, Afrika Selatan. [11]     Tim efek visual, yang dipimpin oleh pengawas efek visual Evan Jacobs, bekerja sama dengan pembuat film untuk membuat metafora visual yang akan menangkap esensi dari mata pelajaran teknis film dengan perhatian terhadap detail estetika. [11] [32]

Pernikahan yang difilmkan ini di Gereja Katolik St Patrick, yang dibangun pada tahun 1888 dan terletak di barat laut Portland. St Patrick bukanlah sebuah paroki Polandia, seperti yang ditunjukkan dalam film; secara historis telah menyediakan layanan untuk jemaat terutama Irlandia. Beberapa wawancara yang difilmkan di University of Washington di Seattle. Paling menonjol, grand tangga dan ruang baca dari Suzzallo Library, quad, dan bagian depan dari Denny Balai digunakan sebagai lokasi wawancara.

Menurut Publishers Weekly, film itu salah satu hits sleeper 2004, sebagai “Kata-kata mulut dan pemasaran strategis yang disimpannya di bioskop selama satu tahun penuh.” Artikel tersebut menyatakan bahwa pendapatan kotor melebihi $ 10 juta, yang disebut sebagai tidak buruk untuk sebuah film dokumenter dengan anggaran rendah, dan bahwa rilis DVD mencapai bahkan sukses lebih signifikan dengan lebih dari satu juta unit dikapalkan dalam enam bulan pertama setelah rilis pada bulan Maret tahun 2005.[33]

Dalam artikel Publishers Weekly, humas of New Page Books Linda Rienecker mengatakan bahwa ia melihat kesuksesan film sebagai bagian dari fenomena yang lebih luas, yang menyatakan “Sebagian besar penduduk mencari koneksi spiritual, dan mereka memiliki seluruh dunia untuk memilihnya dari sekarang”. Penulis Barrie Dolnick menambahkan bahwa “orang tidak ingin belajar bagaimana untuk melakukan satu hal . Mereka akan mengambil sedikit Buddhisme  sedikit veganism , sedikit astrologi … Mereka datang ke pasar yang lapar untuk arahan, tetapi mereka tidak ingin beberapa orang yang mengaku memiliki semua jawaban. mereka ingin saran, bukan formula. “Artikel yang sama mengutip Bill Pfau, Advertising Manager Tradisi batin, yang mengatakan “Semakin banyak ide-ide dari masyarakat New Age telah menjadi diterima ke mainstream.”

Kritikus film menawarkan tinjauan yang beragam seperti yang terlihat di situs review film Rotten Tomatoes, di mana ia diklasifikasikan sebagai “Rotten“, dengan nilai rata-rata 4.6/10 berdasarkan 74 ulasan [34]. Dalam ulasannya film , Dave Kehr dari New York Times menggambarkan “transisi dari mekanika kuantum untuk terapi kognitif ” sebagai “masuk akal”, tetapi juga menyatakan bahwa “lompatan berikutnya – dari terapi kognitif menjadi besar, keyakinan kabur spiritual — tidak secara efektif dilaksanakan. Tiba-tiba orang-orang yang berbicara tentang partikel subatomik yang menyinggung alam semesta alternatif dan kekuatan kosmik, yang semuanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembuatan karakter Ms Matlin yang merasa lebih baik tentang pahanya.”[35]

 

Reaksi Masyarakat New Age (Zaman Baru)

What the Bleep Do We Know ? telah digambarkan sebagai “semacam jawaban New Age kepada The Passion of the Christ dan film lain yang mematuhi ajaran agama tradisional.” [10] Ia menawarkan spiritualitas alternatif bila dilihat karakteristik filosofi New Age, termasuk kritik dari nilai-nilai moral agama tradisional. Film ini diterima dengan baik di festival film di mana penganut New Age adalah demografis yang kuat, misalnya Sedona, Arizona.[36] [37]

 

Reaksi Kalangan Akademik terhadap Film Ini

Beberapa ilmuwan yang telah meninjau What the Bleep Do We Know? telah menjelaskan pernyataan yang berbeda yang dibuat dalam film sebagai pseudosains[38]. Di antara konsep-konsep dalam film yang telah ditantang adalah pernyataan bahwa molekul air bisa dipengaruhi oleh pikiran (seperti yang dipopulerkan oleh Masaru Emoto[39]), bahwa meditasi dapat mengurangi tingkat kejahatan kekerasan,[40] dan bahwa fisika kuantum menyiratkan bahwa “kesadaran adalah dasar dari semua yang ada.” Film ini juga dibahas dalam sebuah surat yang diterbitkan dalam jurnal Physics Todays yang menantang bagaimana fisika yang diajarkan, mengatakan pengajaran gagal untuk “mengekspos misteri fisika yang telah mengalami [dan] mengungkapkan batas-batas pemahaman kita.” Dalam surat tersebut, para penulis menulis “film ini menggambarkan prinsip ketidakpastian dengan bola basket memantul yang berada di beberapa tempat sekaligus. Tidak ada yang salah dengan itu. Ini diakui sebagai pedagogis berlebihan. Tapi film ini secara bertahap bergerak ke ‘wawasan’ kuantum yang memimpin wanita untuk membuang obat antidepresan dia, untuk penyaluran kuantum Ramth, dewa Atlantis 35.000 tahun, dan omong kosong yang lebih besar. “ia pergi dengan mengatakan bahwa” Kebanyakan orang awam tidak bisa mengatakan di mana ujung fisika kuantum dan omong kosong kuantum dimulai, dan banyak hal yang rentan untuk menjadi sesat,” dan bahwa “seorang mahasiswa fisika mungkin tidak dapat meyakinkan menghadapi ekstrapolasi mekanika kuantum yang tak dibenarkan,” kelemahan yang penulis atributkan kepada pengajaran mekanika kuantum, saat di mana “kita diam-diam menyangkal misteri fisika yang  telah ditemukan.”[41]

Richard Dawkins, seorang evolusionis Baru – Darwin, menyatakan bahwa “para penulis tampak ragu-ragu apakah tema mereka adalah teori kuantum atau kesadaran. Keduanya memang misterius, dan misteri asli mereka perlu tidak ada hype dengan mana film ini tanpa henti dan ribut menggempur kita” menyimpulkan bahwa film ini adalah “omong kosong”. Profesor Clive Greated menulis bahwa “berpikir tentang neurologi dan kecanduan akan dibahas dalam beberapa detail tapi, sayangnya, referensi awal dalam film fisika kuantum inib tidak ditindaklanjuti, mengarah ke pesan yang membingungkan”. Meskipun memberi peringatan, ia menyarankan agar orang-orang melihat film, menyatakan, “Saya berharap ini berkembang menjadi sebuah film kultus di Inggris seperti yang telah di Amerika Serikat. Sains dan teknik yang penting untuk masa depan kita, dan apa pun yang melibatkan masyarakat hanya dapat menjadi hal yang baik.” Simon Singh menyebutnya pseudosains dan mengatakan saran “bahwa jika mengamati perubahan struktur molekul air, dan jika kita adalah 90% air, maka dengan mengamati diri kita dapat mengubah pada tingkat dasar melalui hukum fisika kuantum ” adalah ” omong kosong konyol.”   Menurut João Magueijo, profesor fisika teoritis di Imperial College, film sengaja salah mengutip ilmu pengetahuan. [6 ]  Ulasan The American Chemical Society mengkritik film sebagai “docudrama ilmuan”, mengatakan “Di antara pernyataan yang lebih aneh adalah bahwa orang dapat melakukan perjalanan mundur dalam waktu, dan materi yang benar-benar berpikir. ”

bahwa Tema sentral film ini – mekanika kuantum, menunjukkan bahwa pengamat sadar dapat mempengaruhi realitas fisik juga telah dibantah oleh Bernie Hobbs, seorang penulis ilmu pengetahuan dengan ABC Sains online. Hobbs menjelaskan, “Efek pengamat fisika kuantum bukan tentang orang atau realitas. Ini berasal dari Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, dan ini tentang keterbatasan yang mencoba untuk mengukur posisi dan momentum dari partikel subatomik … ini hanya berlaku untuk sub-partikel – atom – . . batu tidak perlu Anda bertemu itu ada , ini ada partikel sub – atom yang membentuk atom yang membentuk batu itu ada juga”. Hobbs juga membahas percobaan Hagelin dengan Meditasi Transendental dan tingkat Washington DC kejahatan kekerasan, mengatakan bahwa “jumlah pembunuhan benar-benar pergi. “Hobbs juga membantah penggunaan film dari mitos sepuluh persen”.

David Albert, seorang ahli fisika yang muncul dalam film tersebut, menuduh para pembuat film selektif mengedit wawancara untuk membuatnya tampak bahwa ia mendukung tesis film bahwa mekanika kuantum terkait dengan kesadaran. Dia mengatakan dia “sangat simpatik terhadap upaya menghubungkan mekanika kuantum dengan kesadaran. ”

Dalam film itu, selama diskusi tentang pengaruh pengalaman persepsi, Candace Pert mencatat cerita, yang katanya dia percaya adalah benar, penduduk asli Amerika tidak mampu melihat kapal Columbus karena mereka berada di luar pengalaman mereka. Menurut sebuah artikel di Fortean Times, oleh David Hambling, asal-usul cerita ini mungkin melibatkan pelayaran dari Kapten James Cook, bukan Columbus, dan akun yang berkaitan dengan sejarawan Robert Hughes yang mengatakan kapal Cook adalah” … kompleks dan asing untuk menentang pemahaman pribumi”. Hambling mengatakan ada kemungkinan bahwa kedua akun Hughes dan kisah yang diceritakan oleh Pert sebagai sikap berlebihan dari catatan yang ditinggalkan oleh Captain Cook dan ahli botani Joseph Banks. Sejarawan percaya bahwa penduduk asli Amerika cenderung melihat kapal-kapal tetapi mengabaikan mereka sebagai berpose tidak bahaya[42].

Skeptis seperti James Randi menggambarkan film itu sebagai “docudrama fantasi” dan “Sebuah contoh maraknya pelecehan oleh penipu dan sekte.” [43]   Komite untuk Skeptical Inquiry menolak sebagai “campur aduk semua jenis omong kosong gila,” di mana “ilmu [adalah] terdistorsi dan sensasional.”[44] Pengulas BBC menggambarkannya sebagai “sebuah film dokumenter ditujukan untuk benar-benar mudah tertipu.”[45]

Wartawan John Gorenfeld, menulis di Salon, mencatat bahwa film tiga direktur adalah mahasiswa Sekolah Pencerahan Ramtha, yang ia gambarkan sebagai telah disebut “kultus.”[46]

 

Adaptasi Buku dan Sekuel Film

Pada pertengahan 2005 , para pembuat film bekerja dengan HCI Books untuk memperluas tema film dalam sebuah buku berjudul What the Bleep Do We Know ! ? – Menemukan Kemungkinan Realitas Endless Sehari-hari Anda. HCI presiden, Peter Vegso, menyatakan dalam kaitannya dengan perusahaannya yang menerbitkan buku, ia percaya bahwa “What the Bleep adalah lompatan kuantum dalam dunia New Age, “dan” dengan mengawinkan  ilmu pengetahuan dan spiritualitas, itu adalah dasar pemikiran masa depan. ” [4]

Pada tanggal 1 Agustus, 2006 What The BLEEP – Down the Rabbit Hole, Quantum Edition multi- disc DVD set dirilis , mengandung dua versi diperpanjang What the Bleep Do We Know, dengan lebih dari 15 jam dari material pada 6 DVD sisi! ?

 

 

Individu Menarik yang Terlibat dalam Film Semi-Dokumenter ini

Film ini menampilkan beberapa orang yang diwawancarai untuk bagian dokumenter, termasuk:

  • Amit Goswami , yang muncul dalam majalah What is, menulis buku The Self- Aware Universe: How Consciousness Creates the Material World (ISBN 0-87477-798-4 ), telah bekerja dengan Deepak Chopra dan digunakan oleh Institut Ilmu Noetic [ 23 ]
  • John Hagelin, seorang fisikawan di Maharishi University of Management , direktur MUM Institute for Science, Teknolog, dan Kebijakan Publik, dan tiga kali calon presiden dari Partai Meditasi Transendental -linked Natural Law. [24]
  • Stuart Hameroff, ahli anestesi, penulis, dan direktur dari Pusat Studi Kesadaran di Universitas Arizona, yang bekerja dengan Roger Penrose, pada teori kuantum spekulatif kesadaran,
  • JZ Knight, seorang guru spiritual yang juga diidentifikasi dalam bagian narasi sebagai semangat “Ramtha” bahwa Knight diduga menyalurkan (Channeling)
  • Andrew Newberg B., asisten profesor radiologi di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, dan dokter di kedokteran nuklir, yang ikut menulis buku, Why God Won’t Go Away: Brain Science & the Biology of Belief (ISBN 0-345-44034 – X),
  • Candace Pert, seorang neuroscientist, yang menemukan situs ikatan selular untuk endorfin di otak, dan pada tahun 1977 menulis buku Molecules of Emotion.
  • Fred Alan Wolf, seorang fisikawan independen, yang baru-baru ini menulis The Yoga of Time Travel: How the Mind Can Defeat Time, [25] dan ditampilkan dalam film dokumenter Spirit Space.
  • David Alber, seorang filsuf fisika dan profesor di Columbia University, yang menurut sebuah artikel Popular Science, adalah” marah pada produk akhir, “karena para pembuat film mewawancarainya tentang mekanika kuantum yang tidak terkait dengan kesadaran atau spiritualitas, dan kemudian diedit materi sedemikian rupa bahwa ia merasa salah mengartikan pandangannya. [17]

Orang lain yang diwawancarai dalam film ini termasuk Joe Dispenza, chiropractor, penulis, dan pemuja Ramtha Sekolah Pencerahan; [26] Michael Ledwith, penulis dan mantan profesor teologi di National University of Ireland, Maynooth; Daniel Monti, dokter dan direktur Program Pengobatan Pikiran – Tubuh di Thomas Jefferson University; Jeffrey Satinover, psikiater, penulis dan profesor; dan William Tiller, Profesor Emeritus of Material Science and Engineering di Stanford University, dan dipekerjakan oleh Institut of Noetic Science. [23]

 

 

[1] An New Worldview, http://www.centerfor sacredsciences.org,  accessed at October  2010

 

[2] This Article adopted from a talk given by Ian Thompson, Physics Department, and University of Surrey, U.K. to the Swedenborg Scientific Association, 20 April 2002. Quoted From http://www.ianthompson.org/papers/Thompson_Article–New_Philosophy_July-December_2002.pdf, accessed at   August..,  2010

 

[3] Emanuel Swedenborg (1688-1772) was a Swedish philosopher and scientist who, at 56, had a spiritual awakening and wrote numerous books on his theological views and related topics. He advocated a version of Christianity where works count as much as faith, with the trinity existing in Jesus, instead of three separate entities. Swedenborg derived inspiration from dreams and visions, and claimed to be able to visit heaven and hell at will. His works were widely read after his death and highly regarded by poets, writers and mystics such as Blake, Baudelaire, Strindberg, Balzac, Yeats, Jung, and William James. The following electronic texts have been converted automatically for sacred-texts by a volunteer. Swedenborg’s writings are indexed by paragraph number. Each of the texts have been arbitrarily separated into 50-paragraph files. (http://www.sacred-texts.com/swd/index.htm).

See also: http://en.wikipedia.org/wiki/The_New_Church, http://en.wikipedia.org/wiki/Emanuel_Swedenborg

 

[4] Mesmer, Swedenborg and Quantum Physics  In the late twentieth century, Mesmer, Swedenborg and Quantum Physics converge in the New Age by Catherine L. Albanese, This article is excerpted, with adaptations, from her essay “The Magical Staff: Quantum Healing in the New Age” and reprinted from Perspectives on the New Age edited by James R. Lewis and J. Gordon Melton by permission of the State University of New York Press. © 1992.

http://gvanv.com/compass/arch/v1402/albanese.html

[5] See Bryce S DeWitt, R Neill Graham eds The many-worlds Interpretation of Quantum Mechanics, Princeton University Press, 1973.

[6] E. Wigner, ‘Remarks on the Mind-Body Question’, pp. 284 – 302 in The Scientist Speculates, I.J. Good (ed) Basic Books, N.Y., 1962

[7] H. Stapp, Mind, Matter and Quantum Mechanics, Springer-Verlag, 1993, see also http://www-physics.lbl.gov/~stapp/stappfiles.html

[8] S. Malin, Nature Loves to Hide, Oxford, 2001.

[9] C.J.S. Clarke, Reality Through the Looking Glass. Floris, 1995.

[10] E.H. Walker, The Physics of Consciousness: The Quantum Mind and the Meaning of Life, Perseus, 2000.

[11] In the last two decades, physics has explored the possibility of strings or branes in place of particles. These extensions to one or two dimensional objects do not solve the selection problem

[12] James Jeans, The Mysterious Universe, Macmillan, 1930.

[13] Danah Zohar, The Quantum Self, Bloomsbury, 1990

[14] Hugo Lj. Odhner, The Transition from Human to Divine Philosophy, The New Philosophy 77 (1974) 43, available at www.swedenborgdigitallibrary.org/SR/hlo74.htm

[15] Odhner, ibid

[16] Ian Thompson have heard about the possible replacement of the word ‘ether’ by ‘vacuum’, but that would make a nonsense of this paragraph. If you replace the appearances of ‘ether’ here by the word ‘vacuum’, you get something very strange

 

[17] The slides for Ian Thompson talk Physics of the wave function are at www.generativescience.org/talks/wfdesc/index.htm

 

[18] For a preliminary discussion, see I.J. Thompson, The Consistency of Physical Law With Divine Immanence, Science & Christian Belief, 5 (1993) 1936, http://www.theisticscience.org/theology/pldi.html

 

[19] H. Romijn, Are Virtual Photons the Elementary Carriers of Consciousness, J. Consc. Stud. 9 (2002) 61

[20] This is part of what Leon James and I call “Theistic Science”: see www.TheisticScience.org

[21] Yahr, Harriette (Sept. 9, 2004). Let’s get metaphysicalSalon.com. Retrieved 2008-02-21

[22] Tom Huston, “Taking the Quantum Leap… Too Far?“, What is Enlightenment? Magazine. Retrieved January 25, 2008.

[23] http://www.einsteinyear.org/bleep/ einstein year, What the Bleep do we Know. Retrieved December 28, 2007.

[24] Ron Hogan (9/5/2005). “New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28

[25] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”Physics Today (American Institute of Physics59 (11): 14. doi:10.1063/ 1.2435631.}

[26] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited

[27] Wilson, Elizabeth (2005-01-13). “What the Bleep Do We Know?!”American Chemical Society. Retrieved 2007-12-19.

[28] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”Physics Today (American Institute of Physics59 (11): 14. doi: 10.1063/1.2435631.}

[29] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited

[30] “The minds boggle”. The Guardian Unlimited

[31] Kehr, Dave“‘Bleep’ Film Challenges Traditional Religion, Attracts Following”. beliefnet.com. Retrieved 2007-12-30.

[32] “Cinefex article detailing the visual effects for the film”.

[33] Ron Hogan (9/5/2005). New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28.

[34] Ron Hogan (9/5/2005). New Age: What the Bleep? Categories conflate, confound, connect”Publishers Weekly. Retrieved 2007-12-28.

[35] Kehr, Dave (2004-09-10). “A Lesson in Harnessing Good Vibes”New York Times. Retrieved 2008-01-06.

[36] Kehr, Dave“‘Bleep’ Film Challenges Traditional Religion, Attracts Following”. beliefnet.com. Retrieved 2007-12-30.

[37] Sedona Film Festival

[38] [38] Mone, Gregory (October 2004). “Cult Science Dressing Up Mysticism as Quantum Physics”Popular Science. Retrieved 2008-02-17.

[39]  http://www.einsteinyear.org/bleep/ einstein year, What the Bleep do we Know. Retrieved December 28, 2007.

[40] Wilson, Elizabeth (2005-01-13). “What the Bleep Do We Know?!”American Chemical Society. Retrieved 2007-12-19.

[41] Kuttner, Fred; Rosenblum, Bruce (November 2006). “Teaching physics mysteries versus pseudoscience”Physics Today (American Institute of Physics59 (11): 14. doi:10.1063/ 1.2435631.}

 

[42] Fortean Times

[43] 2004 Pigasus awards James Randi Educational Foundation

[44] Review by Eric Scerri of the Committee for Skeptical Inquiry

[45] Review at BBC Movies

[46] Gorenfeld, John (2004-09-16). “”Bleep” of faith”Salon. Retrieved 2006-11-29.

 

 

Naskah Sanghyang Hayu

$
0
0

Adalah Naskah Sanghyang Hayu yang merupakan naskah berbahan nipah abad XVI Masehi, beraksara Sunda buhun, yang mengulas selain pedoman hidup dan ajaran keagamaan pada masanya, juga mengungkap tuntunan perilaku bagi pemimpin ideal yang disegani, dihormati, serta dicintai rakyat atau bawahannya. Dalam naskah itu, dipaparkan lima belas unsur penting yang harus dimiliki pemimpin, yang terangkum ke dalam lima kelompok, sebagaimana dikemukakan Darsa (1998).

(1) Budi-guna- pradana (bijak-arif-saleh).
(2) Kaya-wak-cita (sehat/kuat-bersabda-hati. (3) Pratiwi-akasa-antara (bumi- angkasa-antara.
(4) Mata-tutuk-talinga (penglihatan-ucapan-pendengaran.
(5) Bayu-sabda-hedap (energi-ucapan/sabda-itikad/kalbu dan pikiran). Semuanya berhubungan satu sama lain yang membangun sikap dan karakter pemimpin ideal.

Pemimpin yang baik dan ideal, menurut naskah Sanghyang Hayu, juga harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna ”delapan kearifan” agar kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis. Pertama, animan (lemah lembut), pemimpin harus memiliki sifat lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar. Kedua, ahiman (tegas), bersikap tegas, dalam pengertian tidak plin-plan (panceg haté). Ketiga, mahiman (berwawasan luas), memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar tidak kalah dari bawahannya. Keempat, lagiman (gesit/cekatan/terampil), dituntut terampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu pekerjaan. Kelima, prapti (tepat sasaran), memiliki ketajaman berpikir serta tepat sasaran karena jika keliru atau berspekulasi akan menghambat suatu pekerjaan. Keenam, prakamya (ulet/tekun), memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Ketujuh, isitna (jujur), dituntut memiliki kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan, agar dipercaya orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) dan bawahannya. Dengan demikian, terjalin kesepahaman yang harmonis. Kedelapan, wasitwa (terbuka untuk dikritik), memiliki sikap legowo dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka untuk dikritik jika berbuat salah atau menyimpang dari aturan (Darsa, 1998).

Naskah Sunda berbahan lontar beraksara dan berbahasa Sunda buhun Sanghyang Siksakandang Karesian, mengulas dan mengungkap sepuluh pedoman yang harus dimiliki serta dilaksanakan pemimpin dalam rangka membina serta memimpin bawahannya, yang dikenal dengan sebutan dasa prasanta. Pertama, guna (bijaksana/ kebajikan), perintah yang diberikan dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Kedua, ramah (bertindak seperti orang tua yang bijak dan ramah atau bestari) atau keramahan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja dan beraktivitas. Ketiga, hook (sayang atau kagum), perintah dianggap sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang diperintahnya. Keempat, pésok (memikat hati atau reueus/bangga), harus mampu memikat hati bawahannya dan merupakan kebanggaan juga bagi bawahannya. Kelima, asih (kasih, sayang, cinta kasih, iba), perintah harus dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih. Keenam, karunya (iba/sayang/belas kasih), sebenarnya hampir sama dengan asih, tetapi dalam karunya/karunia perintah harus terasa sebagai suatu kepercayaan. Ketujuh, mupreruk (membujuk dan menentramkan hati), seyogianya mampu membujuk dan menentramkan hati dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya. Kedelapan, ngulas (memuji di samping mengulas, mengoreksi), melalui cara bermacam-macam. Kesembilan, nyecep (membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin yang menyejukkan hati). Kesepuluh, ngala angen (mengambil hati), mampu menarik hati dan simpati sehingga tersambung ikatan silaturahmi yang kental dan harmonis. Dasa Prasanta tersebut, apabila kita cermati, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia, tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Proses komunikasinya tetap menggunakan asas silih asih, silih asah, dan silih asuh.

Kepemimpinan yang baik dan ideal menurut kedua naskah itu ialah, pemimpin yang mampu berperan sebagai leader, manager, entertainer, entrepreneur, commander, designer, dan teacher .

Diktup dari (Catatan Bu Elis Suryani & Bapak Undang A. Darsa Dosen Univ. Padjadajaran.

Tabé pun, salam baktos _/|\_

Komentar
Rustam Effendi
2

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Ricky Andriawan Mardjadinata
Ricky Andriawan Mardjadinata Panggeuing pangémut-ngémut ka Karuhun urang sadaya Kang..

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Raga Rupaksa
Raga Rupaksa saestu… galindeng keun bayu sabda hidep/hedap den
1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Ricky Andriawan Mardjadinata
Ricky Andriawan Mardjadinata Kedah dibukakeun turun mandepun ku pangersa Aki.._/|\_

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Arya Rangga Galuh
Arya Rangga Galuh Bener…tipe nu aya dina Astaguna luhung ku kahadean
2

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Dida Firman Hidayat
Dida Firman Hidayat Ngurah sadrah, atining surti, manunggaling galih pikir, astu wadya diri, lan satya wiwaha dharma.
1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Achdiat Satjaprawira
Achdiat Satjaprawira Naon bentenna sareng “Dasa Pasanta” dina Parigeuing,, hhe..
1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Rahwana
Rahwana katampi ku astakalih pedaranana…
1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Arya Rangga Galuh
Arya Rangga Galuh Dasa pasanta mah mun teu lepat 10 etika panyebatan kanu dipikolot jeng ka sahandapeun
1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

Masami Toyosu
1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 3m

RAJA NUSANTARA JUMPA RASULULLAH?

$
0
0

Friday, July 03, 2015

Raja Nusantara jumpa Rasulullah?

lukisan tentang Cheraman Perumal

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak (kitab al-‘At’imah Vol. 4, halaman 150), dari sahabat Sa’id al-Khudri r.a, disebutkan bahwa ada seorang raja dari negeri India (al-hind) yang datang membawa hadiah kepada Rasulullah Saw berupa tembikar yang berisi jahe.

Hadits tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «أَهْدَى مَلِكُ الْهِنْدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَرَّةً فِيهَا زَنْجَبِيلٌ فَأَطْعَمَ أَصْحَابَهُ قِطْعَةً قِطْعَةً وَأَطْعَمَنِي مِنْهَا قِطْعَةً

Artinya:

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata: ada seorang raja dari Hindia memberikan hadiah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebuah tembikar yang berisi jahe. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi makan kepada sahabat–sahabatnya dari jahe tersebut sepotong demi sepotong, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberikan saya sepotong jahe dari dalam tembikar itu” (HR. Hakim, hadits nomor. 7190)

Berbagai keterangan disampaikan oleh para ulama tentang hadits di atas dan siapa sosok raja Hindia tersebut. Ada yang mengatakan bahwa raja Hindia tersebut merupakan seorang sahabat Rasulullah Saw, sebab ia hidup di masa Rasul menyatakan beriman kepada Rasulullah Saw.


Memang, di sisi kesahihan, banyak juga ulama yang meragukan kesahihan hadits tersebut. Al-Razi dan Abu Zar’ah menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar. Sedangkan al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid menyatakan bahwa hadit serumah juga diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Miu’jam al-Awsath, sementara di dalam perawinya terdapat seseorang bernama Amru bin Hikam yang lemah. Lebih dari itu, dalam riwayat Thabrani disebutkan bahwa raja tersebut adalah Raja Romawi, bukan Raja Hindia.Syaikh Abdul Majid al-Zandani dalam kitabnya berjudul (بينات الرسول صلى الله عليه وآله وسلم ومعجزاته) menyebutkan bahwa raja tersebut adalah Raja Hindia yang beriman, adapun sebab berimannya raja tersebut adalah disebabkan peristiwa terbelahnya bulan (insyiqaq al-qamar) yang merupakan salah satu mukjizat Rasulullah Saw. Diperkirakan, raja tersebut menyaksikan peristiwa hebat itu dan mendengar tentang nubuwwat Rasul, sehingga ia datang langsung ke Mekkah untuk menyatakan keimanannya.

Secara umum, para ulama membenarnya terjadinya peristiwa bulan terbelah, namun peristiwa kedatangan raja Hindia tersebut banyak diragukan para ulama.

Dengan asumsi bahwa hal tersebut benar adanya, lantas siapakah gerangan raja tersebut? Dari negeri hindia manakah ia berasal? Sebab frasa Hindia pada masa dahulu disematkan orang pada negeri-negeri yang jauh di timur, mulai dari anak benua India hingga samudera hindia yang jauh .

Syaikh Abdul Majid al-Zandani menyebutkan bahwa raja India tersebut merupakan raja dari Malabar yang bernama Chakrawati Farmas. Hal tersebut dikuatkan dalam tulisan sejarawan M. Hamidullah dalam bukunya “Muhammad Rasulullah“.

Hamidullah menyebutkan bahwa dalam sebuah dokumentasi manuskrip naskah tua di  India Office Library, London (nomor referensi: Arab, 2807, 152-173) yang mencatat peristiwa tersebut. Hamidullah menulis:

“There is a very old tradition in Malabar, South-West Coast of India, that Chakrawati Farmas, one of their kings, had observed the splitting of the moon, the celebrated miracle of the Holy Prophet (pbuh) at Mecca, and learning on inquiry that there was a prediction of the coming of a Messenger of God from Arabia, he appointed his son as regent and set out to meet him. He embraced Islam at the hand of the Prophet, and when returning home, at the direction of the Prophet, died at the port of Zafar, Yemen, where the tomb of the “Indian king” was piously visited for many centuries.” The old manuscript in the ‘India Office Library’ contains several other details about King Chakrawati Farmas and his travel.

[Ada tradisi yang sangat tua di Malabar, barat laut pantai India, yaitu tentang Chakrawati Farmas, salah satu raja-raja mereka, yang pernah menyaksikan peristiwa terbelahnya bulan, itulah suatu peristiwa ajaib yang terkenal yang terjadi di masa Nabi (saw) di Mekkah. Dari apa yang ia pelajari,  ia menemukan bahwa ada prediksi tentang kedatangan seorang utusan Allah dari negeri Arab. Karena itu, ia pun menunjuk putranya sebagai pengganti, sementara ia berangkat untuk bertemu dengan sang Nabi tersebut. Dia pun memeluk Islam di hadapan sang Nabi. Dan ketika kembali ke rumah, ia pun meninggal dunia di sekitar pelabuhan Zafar, Yaman, sehingga di sana terdapat makam “Raja India” yang saleh dikunjungi manusia selama berabad-abad kemudian].

Menurut al-Maududi, yang kejadian terbelahnya bulan tersebut berlangsung di Mina, Makkah sekitar lima tahun sebelum Nabi saw Hijrah ke Madinah. Syahdan, bulan telah terbelah menjadi dua bagian yang berbeda di depan mata mereka. Kemudian, keduanya bergabung kembali, dan peristiwa ini tentu saja disaksikan oleh mata di seluruh dunia saat itu.

Relevansi lainnya, bahwa hal ini pula yang menjadi alasan logis mengapa orang-orang dari Malabar yang menjadi komunitas pertama di India yang menerima Islam. Pasca peristiwa kunjungan raja mereka ke Mekkah, hubungan antara Malabar dengan Jazirah Arab semakin intens, volume perdagangan kedua negeri meningkat. Selain itu, Malabar pun menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Arab yang melakukan perjalanan ke China lewat jalur laut.

Masjid tertua di India, Cheraman Juma Masjid di Kerala

Disebutkan juga, bahwa sebelum diutusnya Nabi Muhammad (saw), Malabar juga memiliki komunitas Kristen yang cukup banyak, yaitu para pengikut Isa Almasih. Diyakini, bahwa St. Thomas telah bermigrasi ke Malabar dan meninggal di sana. Mereka adalah kelompok nasrani ahli tauhid, dan tak tersentuh oleh perkembangan teologis sampai datangnya penjelajah Portugis, Vasco da Gama.

Ahli sejarah lain menyebutkan bahwa raja Hindia tersebut adalah Cheraman Perumal, yaitu seorang Raja dari Kerajaan Kodungallur, Kerala, India.

tulisan pada dinding masjid Cheraman, Kerala India

Dalam legenda yang terkenal di masyarakat Kerala, bahwa setelah masuk Islam, Sang Raja berganti nama sebagaiTajuddin, dan ia kemudian menikah dengan putri Raja Jeddah dan tinggal di sana beberapa lama.

Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Abdullah Samudri. Syahdan, ketika ia hendak pulang ke kerajaannya, ia wafat di dalam perjalanan, saat berada di Salalah, Oman. Sehingga, di Oman saat ini dikenal sebuah situs Raja Hindia muslim yang meninggal di sana.

Hingga saat ini, di Muziris,Kodungallur masih berdiri sebuah masjid bernama Cheraman Juma Musjid Masjid ini, pada dindingnya terpahat prasasti bahwa masjid itu dibangun tahun 629 M. Diyakini bahwa masjid tersebut dibangun oleh Malik bin Dinar pada tahun 629 M tersebut. Dan saat ini, masjid tersebut masih dianggap sebagai masjid tertua di India dan sering mendapat kunjungan dari para pejabat sebagai bentuk penghormatan pada sejarah.

Namun, tidak sedikit pula yang meragukan kebenaran cerita tersebut. Disebutkan bahwa legenda Cheraman Perumal baru muncul dalam buku abad ke-16 dalam kitab Tuhafat-ul Mujahidin yang ditulis oleh  Shaik Zainuddin.

Pendapat lain menyebutkan bahwa Cheraman Perumal tidak pernah bertemu dengan Rasulullah. Hal ini dikarenakan, bahwa ketika ia datang, saat itu di Jazirah Arab tidak lagi masa Rasulullah Saw, tapi sudah di bawah khilafah Abu Bakar ra. dan Rasulullah telah wafat.

Jika demikian, siapa sosok dari Raja al-Hind sesungguhnya ? Adakah kemungkinan bahwa Raja al-Hind dari Nusantara?

Jika kita membuka lembaran sejarah, istilah “Malik al-Hind” sebagaimana tersebut di dalam Hadis al-Hakim diatas, juga dipergunakan oleh Raja-Raja dari kepulauan melayu atau Nusantara. Hal ini bisa dilihat pada surat yang dikirimkan Raja Sriwijaya kepada Khalifah Bani Umayyah. Surat tersebut berbunyi:

Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…

Seperti disebutkan di atas, ada yang menyebut bahwa Raja Hindia tersebut dikenal juga dengan nama Abdullah Al-Samudri. Kata-kata al-Samudri menunjukkan bahwa beliau berkemungkinan berasal dari Sumatera.

Menurut wikipedia, nama Sumatera berasal dari kata ‘Samudera’. Dan ada kemungkinan bahwa istilah “Samudera” sudah lama ada, jauh sebelum masa kerajaan “Samudera Pasai” di Aceh.

Kendati demikian, mengklaim atau mengidentifikasikan sosok raja Hindia dimaksud sebagai Raja dari Nusantara memang perlu ada kajian lagi lebih mendalam.

Namun hipotesa ini bukan hal yang mustahil, mengingat hubungan perniagaan antara Asia Tenggara dengan Jazirah Arab, sudah berlangsung sejak abad-7 M. Indikasi lain bahwa ajaran Islam di kepulauan Melayu telah ada di masa Rasulullah masih hidup.

sumber

 


Bulan Muharram.. Bulan DUKA Rasulullah SAW Dan keluarga sucinya

$
0
0

Muharram bulan Duka versi Rasulullah SAW VS Bulan penuh berkah versi bani Umayyah..

Bulan Muharram.. Bulan DUKA Rasulullah SAW Dan keluarga sucinya

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan luar ruanganSyekh Shaduq dari Jablah Makkiyah meriwayatkan bahwa dia mendengar Maitsam Tammar ra berkata,

”Demi Allah pada hari kesepuluh bulan Muharam, umat ini telah membunuh putra Nabinya sendiri dan setiap aliran yang memusuhi agama Allah menganggap bahwa hari ini adalah hari yang penuh berkah…”

Hal ini sudah terjadi dan diketahui oleh Allah Swt. Aku tahu hal itu dari Imamku, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as ketika Jablah berkata, ‘Wahai Maitsam, bagaimana umat ini bias menjadikan hari dibantainya Imam Husain as sebagai hari yang berkah?’

Maitsam ra menangis dan berkata, ’Dengan hadis buatan tadi mereka menganggap bahwa hari itu adalah hari diterimanya taubat Adam as oleh Allah Swt, padahal hal itu terjadi pada bulan Zulhijah.

Mereka menganggap bahwa hari itu adalah hari dikeluarkannya Yusuf as dari perut ikan, padahal hal itu terjadi pada bulan Zulqoidah.

Mereka beranggapan bahwa hari itu adalah hari berlayarnya bahtera Nuh as, padahal hal itu terjadi pada hari kesepuluh bulan Zulhijah.

Mereka beranggapan bahwa hari itu hari dibelahnya laut bagi Musa as, padahal itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awal.’”

Tidak ada teks alternatif otomatis yang tersedia.Selayaknya bagi kita pada bulan ini untuk mengingat kondisi Imam Husain as, para wanita dan anak-anak beliau yang pada waktu itu menjadi tawanan musuh Allah, menagis sedih dan kebingungan karena tertimpa musibah mahadahsyat di Karbala. Tiada ujung pena yang menggambarkan kisah itu. Sesungguhnya tepat ucapan ini:

فاجِعَةٌ اِنْ اَرَدْتُ اَكْتُبُها مُجْمَلَةً ذِكْرَةً لِمُدِّكِر
جَرَتْ دُمُوعى فِحالَ حامِلُها ما بَيْنَ لَحْظِ الْجُفُونِ وَالزُّبُرِ
وَقالَ قَلْبى بُقْيا عَلَىَّ فَلا وَاللهِ ما قَدْ طُبِعْتُ مِنْ حَجِر
بَكَتْ لَهَا الاَْرْضُ وَالسَّمآءُ وَما بَيْنَهُما فى مِدامِع حُمُر
من از تحرير اين غم ناتوانم كه تصويرش زده آتش بجانم
ترا طاقت نباشد از شنيدن شنيدن كى بود مانند ديدن

Andaikata aku tulis musibah ini secara rinci untuk makhluk niscaya akan mengalir air mataku yang akan menghalangi menulis. Hatiku akan berkata,”Kasihanilah aku, demi Allah aku bukan batu.” Bumi dan langit menangis atas musibah itu. Di antara kedua membanjiri linangan air mata darah.

Berdirilah. Ucapkan salam kepada Rasulullah saw, Ali Murtadha, Fatimah Zahra, Hasan Mujtaba dan seluruh imam dari keturunan Sayyidusy-Syuhada, Imam Husain as, dan mengucapkan takziah kepada beliau.

Versi Bani Umayyah

Penulis buku ini menjelaskan bahwa dari perkataan beliau bisa disimpulkan sesungguhnya hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan hari Asyura adalah hadis buatan dan mengada-ada.

Pengarang buku Syifa’ as-Shudur menganalisis potongan Ziarah Asyura ini, allahumma inna hadza yaumun tabarrakat bihi banu Umayyah (Ya Allah hari ini adalah hari dimana Bani Umayyah mengambil barakah darinya). Artinya barakah mereka dari hari ini memiliki beberapa gambaran:

Pertama, bagi mereka adalah sunah menyimpan bekal hidup dihari ini sebab mendatangkan kebahagiaan, banyaknya rezeki dan kemakmuran. Namun hal ini sangat ditentang dan dilarang oleh Ahlulbait as sebagaimana yang terdapat dalam banyak hadis.

Kedua, mereka menganggap hari ini sebagai hari raya yaitu dengan memberikan nafkah kepada keluarganya, memakai pakaian baru, memotong kumis dan kuku, bersalam-salaman satu sama lain dan mengadakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Bani Umayyah bersama pengikut mereka.

Ketiga, berpuasa dengan bersandar kepada hadis-hadis buatan.

Keempat, mereka menyakini bahwa berdoa pada hari ini adalah sunah. Karena itu, mereka membuat-buat manaqib dan keutamaan hari ini disertai dengan doa-doa, lalu mereka ajarkan doa-doa itu kepada para pelaku maksiat untuk mengaburkan masalah yang sebenarnya terjadi (pembantaian Imam Husain as).

Dalam khotbah yang mereka baca pada hari ini, mereka sebutkan kemuliaan dan keutamaan setiap nabi di negeri mereka pada hari seperti dipadamkannya api Namrud, kokohnya bahtera Nuh, tenggelamnya tentara Firaun dan selamatnya Nabi Isa as dari Yahudi.

 

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan luar ruangan

MENANGISI IMAM HUSEIN CUCUNYA RASULULLAH SAW

(Yang terbantai di Padang Karbala pada Hari Asyuro :

10 Muharam tahun 61 H)

Para ulama banyak menggunakan dalil dari Al- Qur’an tentang menangis di antaranya adalah :

Holy Quran 53:59

——————

أَفَمِنْ هَٰذَا ٱلْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ

Apakah kalian mengingkari setiap kebenaran sehingga kalian merasa heran dan mengingkari al-Qur’ân? Lalu kalian tertawa sebagai hinaan dan cemoohan–bukan malah menangis seperti yang dilakukan orang-orang yang yakin–dalam keadaan lengah dan sombong)

Apakah kalian heran terhadap pemberitaan tentang perjalanan hidup manusia al-Qu’ran yaitu Rasulullah saw dan Ahlulbaytnya hingga kalian tertawa (mengejeki) dan tidak menangis, karena keterbatasan pengetahuan atau ketidak tahuan.

Pertanyaan dalam ayat ini bernada keras berupa peringatan? Al-Qur’an al-karim dan Rasulullah adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Begitu pula antara Rasulullah saw dan Imam Husein. Karena Rasulullah dalam sabdanya menyebutkan : ”Husein dariku dan aku dari Husein”.

Sesuai dengan hadis Nabi saw : ”Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.

Tangisan yang hakiki ini menyebabkan timbulnya rasa khusyuk. Namun hati manusia tidak dapat menjadi khusyuk kalau mereka tidak merasa sedih atas musibah dan kesulitan yang menimpa orang lain. Sehingga menimbulkan kesadaran (kepedulian / peka) yang pada akhirnya berusaha untuk meringankan penderitaan orang lain.

Dibacakan Al-Qur’an juga sama maknanya dibacakan kejadian-kejadian yang menimpa manusia mandatarisnya Al-Qur’an yaitu Rasulullah saw. dan Ahlulbaytnya.

Tangisan juga bermakna istighfar kalau disertai penyesalan terhadap kelalaian dan dosa serta ketidak pedulian.

Holy Quran 44:29
——————
فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ ٱلسَّمَآءُ وَٱلْأَرْضُ وَمَا كَانُوا۟ مُنظَرِينَ

Langit dan bumi pun tak bersedih ketka mereka ditimpa siksaan itu, karena mereka memang hina. Mereka tidak diberi tenggang waktu untuk dapat bertobat dan untuk dapat menyadari kesalahannya, sebagai bentuk penghinaan terhadap mereka.”

Rasulullah saw Menangisi Imam Husein as

Diriwayatkan dari Amiril Mukminin a.s. :”Ketika aku bersama Fatimah, Hasan dan Husein a.s. bertemu Rasulullah saw beliau menangis, kemudian aku bertanya apa yang menyebabkanmu menangis duhai Rasulullah saw beliau menjawab :”Pukulan (pedang) di kepala mu, pukulan yang mengenai pipi Fatimah, racun yang diberikan pada Hasan dan terbunuhnya Husein a.s.

Sayyidah Fathimah as Menangisi Imam Husein as

Diriwayatkan ; ’Ketika Nabi saw memberi kabar kepada putrinya Fathimah a.s. tentang berbagai musibah yang akan menimpa anaknya Husein a.s. hingga terbunuhnya. Fathimah menangis dengan tangisan yang memilukan.

Kemudian bertanya; wahai Ayah, kapan hal itu akan terjadi. Beliau saw menjawab di suatu zaman yang saat itu sudah tidak ada aku dan engkau juga Ali a.s., maka bertambahlah tangisan Fathimah a.s. ​

Kembali Sayyidah Fathimah a.s. bertanya;’ Siapakah nanti yang akan menangisinya dan siapa yang akan mengucapkan belasung kawa atasnya.
Nabi saw menjawab ;’Wahai Fathimah a.s. sesungguhnya wanita ummatku nanti yang akan menangisi wanita ahlu baytku sedangkan yang laki-laki akan menangisi laki-laki ahlu baytku yang selalu mengucapkan berbelasungkawa, (mengadakan acara aza’) setiap tahunnya hal itu akan terus berlangsung setiap generasi demi generasi. Ketika tiba hari kiamat engkau akan memberikan syafaat untuk kaum wanita dan aku akan memberikan syafaat untuk kaum lelaki dan setiap yang menangis atas musibah Husein a.s. aku yang akan mengangkat nya dan memasukkan nya ke surga.

Wahai Fathimah setiap mata akan menangis di hari kiamat kecuali mata yang menangisi musibah al-Husein dia akan tersenyum dengan senyum membahagiakan karena akan mendapat kan kenikmatan-kenikmatan surga. (Al-Bihâr, juz 44, hal 293)

Para Imam Ahlul Bayt as Nenangusi Imam Husein as dan menganjurkan semua pecintanya menangis

Diriwayatkan dari Imam Ridho a.s. :’Kejadian semisal Husein a.s. hendaklah menangislah bagi yang hendak menangis, karena tangisan untuknya akan menggugurkan dosa-dosa besar, kemudian beliau melanjutkan ; ketika bulan Muharom tiba Ayahku tidak kelihatan tertawa seakan ada yang mengalahkannya hingga sepuluh hari, ketika tiba hari kesepuluh, hari musibahnya dan kesedihanya serta tangisannya, inilah hari terbunuhnya Husein a.s. (Wasâil syîah, juz 14, hal. 505)

Alam menangisi Imam Husein as

Pada hari Al-Husain as. terbunuh, langit meneteskan hujan darah sehingga semua orang pada keesokan harinya mendapati apa yang mereka miliki telah dipenuhi oleh darah. Darah itu membekas pada baju-baju mereka beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya terkoyak-koyak. Warna merah darah terlihat di langit pada hari itu. Peristiwa tersebut hanya pernah terjadi saat itu saja.

Maqtalu Al-Husain 2 hal. 89, Dzakhairu Al-‘Uqba hal. 144, 145 dan 150, Tarikhu Dimasyq -seperti yang disebutkan di muntakhab (ringkasan)nya- 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116 dan 192, Al-Khashaishu Al-Kubra hal. 126, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 320 dan 356, Nuuru Al-Abshar hal. 123, Al-Ithaf bi Hubbi Al-Asyraf hal. 12, Tarikhu Al-Islam 2 hal 349, Tadzkiratu Al-Khawash hal. 284, Nadzmu Durari Al-Simthain hal. 220 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 458-462.

Pada hari Al-Husain as. terbunuh, tak ada satu batupun di dunia yang diangkat kecuali di bawahnya terdapat darah segar mengalir
Tadzkiratu Al-Khawash hal. 284, Nadzmu Durari Al-Simthain hal. 220, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 320 dan 356, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 349, Kifayatu Al-Thalib hal. 295, Al-Ithaf fi Hubbi Al-Asyraf hal. 12, Is’afu Al-Raghibin hal. 215, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116 dan 192, Miftahu Al-Naja – tulisan tangan -, Tafsir Ibnu Katsir 9 hal. 162, Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 462 dan 481-483.

Ketika kepala Al-Husain as. dibawa ke istana Ubaidillah bin Ziyad, orang ramai melihat dinding-dinding mengalirkan darah segar.

Dzakahiru Al-‘Uqbahal. 144, Tarikhu Dimasyq seperti yang disebutkan dalam muntakhab-nya 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 192, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 322, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 463.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, selama beberapa hari, lagit memerah bagai segumpal darah.

Al-Mu’jamu Al-Kabirhal. 145, Majma’u Al-Zawaid 9 hal. 196, Al-Khashaishu Al-Kubra 2 hal. 127 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 464.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, selama tujuh hari, orang-orang ketika melakukan salat Ashar, mereka melihat matahari berwarna merah darah dari celah-celah tembok. Merekapun menyaksikan bintang-bintang saling bertabrakan satu dengan yang lain.

Al-Mu’jamu Al-Kabirhal. 146, Majma’u Al-Zawaid 9 hal. 197, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A’lami Al-Nubala’ 3 hal. 210, Tarikhu Al-Khulafa’ hal. 80, Al-Shawaiqu Al-Muhariqah hal. 192, Is’afu Al-Raghibin hal. 251, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 465-466.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, selama dua atau tiga bulan orang-orang banyak menyaksikan tembok-tembok yang bagai dicat darah, mulai dari waktu salat subuh hingga terbenamnya matahari.

Tadzkiratu Al-Khawashhal. 284, Al-Kamil fi Al-Tarikh 3 hal. 301, Al-Bidayatu wa Al-Nihayah 8 hal. 171, Al-Fushulu Al-Muhimmah hal. 179, Akhbaru Al-Duwal hal. 109 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 466-467.

Ketika Al-Husain as. terbunuh, di sudut-sudut langit terlihat warna warna kemerahan. Warna merah itu menandakan bahwa langit tengah menangis. Sewaktu pasukan musuh membagi-bagikan sejenis tumbuhan berwarna kuning milik Al-Husain as., tumbuhan itu berubah menjadi abu. Dan sewaktu mereka menyembelih seekor unta yang dirampas dari kamp Al-Husain as., mereka menemukan sejenis kayu di dagingnya.

Maqtalu Al-Husain 2 hal. 90, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A’lami Al-Nubala’ 3 hal. 311, Tafsir Ibnu Katsir 9 hal. 162, Tahdzibu Al-Tahdzib 2 hal. 353, Tarikhu Dimasyq 4 hal. 339, Al-Mahasinu wa Al-Masaw.i hal. 62, Tarikhu Al-Khulafa’ hal. 80 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 467-469.

Ufuk langit berwarna kemerahan setelah kematian Al-Husain as. yang menampakkan warna darah. Hal itu berlangsung selama enam bulan.

Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A’lami Al-Nubala’ 3 hal. 210, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 192, Majma’u Al-Zawaid 9 hal. 197, Tarikhu Al-Khulafa’ hal. 80, Mifathu Al-Naja -tulisan tangan-, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 322, Is’afu Al-Raghibin hal. 215 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 469-470.

Rembulan Menangis (Ebiet G ade)

Rembulan menangis
di serambi malam ho
Intan buah hatimu dicabik tangan-tangan serigala

Bintang-bintang muram,
beku dalam luka ho
Untukmu saudaraku kami semua turut berduka

Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa

Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada

Doa kami bersama-sama untukmu, untukmu

Angin pun menjerit
badai bergemuruh ho

Semuanya marah
hanya iblis terbahak, bersorak

Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa

Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada

Doa kami bersama-sama untukmu
Lolong burung malam di rimba ho
melengking menyayat jiwa

Tangis kami pecah di batu
duka kami remuk di dada

Doa kami bersama-sama untukmu
untukmu, untukmu, untukmu, untukmu

 

Oke gan, ane mau ngebahas arti lagu “Bubuy Bulan”…

Mudah2an ga repost gan…

Lagu “Bubuy Bulan” adalah lagu dari Provinsi Jawa Barat dana diciptakan oleh Benny Korda.

Nah yg menarik dari lagu ini, ternyata ada penalaran yg cukup serem dibalik makna arti lagu “Bubuy Bulan” ini gan, yuk langsung aja deh :

BUBUY BULAN

Bubuy bulan-bubuy bulan sanggray bentang

Panon poe-panon poe disasate

Unggal bulan-unggal bulan abdi teang

Unggal poe-unggal poe oge hade

Situ Ciburuy laukna hese dipancing

Nyeredet hate ningali ngeplak caina

Duh eta saha nu ngalangkung unggal enjing

Nyeredet hate ningali sorot socana

Pembahasan:

Bubuy bulan = bulan di bubuy, maksudnya bulan adalah Rasullullah Saaw, seperti lagu Thola’al Badru Alaina artinya telah datang bulan purnama kepada kami. Bulan purnama di sini adalah Rasullullah saaw. Jadi arti bulan dalam lagu “Bubuy Bulan” adalah ajaran Rasullulah saaw. Bubuy disini adalah perumpamaan dari pembumi hangusan ajaran Rasulullah (oleh Rezim Muawiyah bin Abi Sofyan, ketika Cucubda Nabi SAW, Imam Hussein bin Ali bin Abi Thalib dan keluarganya dibunuh dan dibantai oleh Pasukan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan).

Sanggray Benthang=bintang di sangray,bintang adalah perlambang dari Ahlul Bait Rasulullah saaw,seperti dalam hadits: Bintang-bintang adalah penunjuk bagi pelaut agar tidak tersesat,dan ahlul baitku adalah bintang-bintang bagi umatku,yang bila berpegang pada mereka niscaya akan selamat dunia akhirat. Namun dalam lagu ini para ulama terdahulu mau menunjukkan kepada kita betapa ajaran Rasulullah SAAW yang telah diteruskan kepada ahlulbaitnya sebagai wasi’ atau penjaga agama rasul telah di “sangray”,maksudnya telah dikhianati dengan cara yang kejam,

Panon poe,panon poe disasate=matahari disate berkali-kali (sasate mengandung arti pengulangan), matahari mengandung arti para ulama yang menyampaikan ajaran Rasul dan ahlul baitnya, cahayanya memancar keseluruh umat memberikan penerangan-penerangan yang dengan cahayanya manusia dapat membedakan mana yang baik dan buruk bagi kehidupan mereka di dunia dan akhirat, namun matahari-matahari ini di sasate, yang mengandung arti dibantai,dibunuh dengan kejam dan licik, agar ajaranya hilang dari muka bumi, tujuan pembantaian para ulama ini adalah demi langgengnya kekuasaan atau demi tujuan politik, dan hal ini berlangsung sejak wafatnya rasulullah SAAW,dengan puncak kesadisan yang tidak ada bandingnya dalam peradaban manusia, ketika cucu Rasullullah saw dan keluarga rasulullah yang lain dibantai dengan sadis.

Peristiwa karbala dan peristiwa-peristiwa pembantaian yang lain kepada pecinta keluarga rasul, menyebabkan terjadinya hijrah besar-besaran untuk menyelamatkan agama rasul dan keluarganya, dan Nusantara adalah salah satu tempat hijrah mereka, itulah sebabnya selama 600 tahun ajaran rasullullah berkembang pesat dinegara ini, sampai datangnya musuh-musuh Allah yang berkedok ulama, karena hasadnya mereka membumihanguskan ajaran rasul, yang diwariskan kepada ahlulbaitnya dan disampaikan oleh para ulama pecinta ahlul bait, para ulama ini dibantai, kitab-kitabnya dibumihanguskan, untuk menghilangkan ajaran rasul. Pesan inilah yang disampaikan pada 3 baris pertama lagu BubuyBulan, pada baris ke tiga lebih ditekankan pada sosok seorang ulama, yang syahid dibantai, ulama ini mempunyai gelar Syamsuddin = mataharinya agama = panon poe = matahari.

Kesedihan yang luarbiasa dahsyat ia alami atas kejadian tersebut, kesedihan yang ia tuangkan dalam syair-syair berikut; Unggal bulan-unggal bulan, abdi teang=setiap ada bulan saya mencari,

Unggal poek, unggal poek= tiap siang saya juga mencari

Oge hade = pencarian tersebut sama bagusnya, kegiatan mencari dan pencarian disini melambangkan ikhtiar dan do’a melindungi sisa-sisa dari pembantaian dan usahanya mencari pengganti gurunya yang syahid tersebut, ikhtiar dan do’a tersebut bagusnya dilakukan malam hari, kalimat ini bisa jadi suatu pemberitahuan atau bahasa rahasia, untuk berguru dimalam hari dalam rangka ikhtiar mencari ilmu dan melindungi sisa-sisa pembantaian tersebut, dalam hal ini mungkin anak atau keluarga dari ulama tersebut. Namun lebih bagus juga (ogek hade) bila siang hari pun melakukan usaha yang sama.

Situ ciburuy,laukna hese’dipancing = kalimat ini lebih kepada keterangan tempat dan waktu, ditekankan pada kata situ ciburuy = tempat dan lauk yang berarti sengkalan, sistem penanggalan yang diajarkan oleh para wali, ikan disini berarti tahun: bagian-bagian ikan dibaca dari atas kebawah = dari kepala ke ekor: kepala;1, badan;1 sirip;2 ekor;1 =1121, berarti kejadian ini terjadi pada tahun 1121 di situ ciburuy atau puncak pembantaian terjadi pada 1121,600 tahun setelah pemerintahan ahlul bait yang adil makmur merata di nusantara.

Nyaredet hate = sedih susah ngenes, pilu,sakit hati yang luar biasa tapi gak ada yang bisa diperbuat,

Ningali ngeplak cai na = melihat darah (ulama yang menjadi gurunya)ditumpahkan dengan sengaja

Ngeplak = air dalam jumlah besar ditumpahkan secara sengaja

Cai = dalam b.sastra sunda bisa berarti darah atau air,

Duh eta saha nu ngalangkung unggal enjing; siapakah itu yang hadir setiap pagi,

Nyaredet hate; mengiris hati (melihat yang hadir tiap pagi itu,mengingat kejadian diatas,peristiwa ketika gurunya syahid bergelimang darah)

Ningali sorot socana; melihat sorot matanya (yang tegas),sorot matanya yang tegas itu lah yang mengingatkan si penembang syair ini teringat akan gurunya yang selama ini ia selalu berusaha mencari gantinya malam dan siang. sorot socana; pandangan mata yang tegas, lawannya cai socana; pandangan mata yang lembut.

Sorot hanya ditujukan untuk laki-laki.

Katanya lagu ini sempet dilarang dinyanyikan karena ada keterkaitan makna sama pembantaian ulama di Jawa Barat oleh PKI pada jaman dulu gan…

Gimana gan, serem juga kan… 
Bener enggaknya Wallahualam gan…

Nih sumbernya gan:
http://aliwiraksanata-wawasanmusik.b…chive.html?m=1

Ane berharap cendol tanpa di iringi bata….

Karomah Batu tempat Kepala Imam Hussein yang terpenggal Yazid bin Muawiyah dicuci dan dihormati Seorang Pendeta Kristen

$
0
0
Ahmad Yanuana Samantho membagikan kiriman.

4 jam · 

Gambar mungkin berisi: 1 orang, duduk dan dalam ruangan
Gambar mungkin berisi: dalam ruangan

Alia Yaman

ASHURA
10TH MUHARRAM
Commemoration of the martyrdom at Karbala of Imam Hussain AS, a grandson of the Prophet Muhammad SAWW
اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا اَبا عَبْدِ اللَّهِ
assalaamu ‘alaika yaa abaa ‘abdillaah

اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يَا بْنَ رَسُولِ اللَّهِ
assalamu ‘alaika yabna rasuulillaah

اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا خِيَرَةَ اللَّهِ وَابْنَ خِيَرَتِهِ
assalaamu ‘alaika yaa khiyaratallaahi wabna khiyaratih

اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يَا بْنَ اَميرِ الْمُؤْمِنينَ وَابْنَ سَيِّدِ الْوَصِيّينَ
assalaamu ‘alaika yabna amiiril mu’miniina wabna sayyidil washiyyiin

اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يَا بْنَ فاطِمَةَ سَيِّدَةِ نِساَءِ الْعالَمينَ
assalaamu ‘alaika yabna faathimata sayyidati nisaa’il ‘aalamiin

اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا ثارَ اللَّهِ وَابْنَ ثارِهِ
assalaamu ‘alaika yaa tsaarallaahi wabna tsaarih

وَالْوِتْرَ الْمَوْتُورَ
wal witral mauwtuur

اَلسَّلامُ عَلَيْكَ وَعَلَی الاَْرْواحِ الَّتي حَلَّتْ بِفِناَئِكَ
assalaamu ‘alaika wa ‘alal arwaahil lati hallat bifinaa’ik

عَلَيْكُمْ مِنّي جَميعاً سَلامُ اللَّهِ اَبَداً
‘alaikum minnii jamii’an salaamullaahi abada

ما بَقيتُ وَبَقِيَ اللَّيْلُ وَالنَّهارُ
maa baqiitu wa baqiyal lailu wan nahaar

***
Salam atasmu wahai Aba Abdillah
Salam bagimu wahai putra Rasulullah
Salam atasmu wahai pilihan Allah dan anak pilihan-Nya
Salam atasmu wahai putra Amirul Mukminin dan putra para washi
Salam atasmu wahai putra Fathimah, pemimpin perempuan seluruh dunia
Salam atasmu wahai “darah Allah” dan anak “darah-Nya”
dan salam untukmu wahai yang terbunuh dan belum menuntut pembunuhnya
Salam atasmu dan untuk arwah yang berada di sekitarmu
Sampai kapanpun salamku dan seluruh salam Allah untuk kalian
Sampai kapanpun selama aku masih hidup dan siang malam silih berganti

Salam atasmu, wahai pendeta Kristen yang menangisi, memuliakan dan membersihkan kepala Imam Hussain AS.

***

Tears seen on the stone where the blessed Head of grandson of Holy Prophet, the noble Imam Hussain (as) was kept in 61 Hijri, and till todate visitors have occasionally witnessed blood and tears sprouting out, a miracle or maujiza to witness till today although 1400 years have passed.

A brief background of this location is that soon after the carnage at Karbala, where all male members (except Imam Sajjad) and companions of the family of the Holy Prophets were ruthlessly massacred in the plains of Karbala (Iraq), in 61 Hijri, the caravan of the prisoners comprising ladies and children, along with the severed heads of the 72 martyrs were taken from Karbala to Syria, to be presented in the court of the tyrant Yazid ibn Muawiyyah Laanatullah.

On its way, the caravan stopped in Aleppo to rest, at the mesentery, which is this location today. The monk and priest of this monastery noticed that a brilliant light was emitting from the blessed head of Imam Hussein A.S. They requested the guards to allow them to keep the head for one night. The guards were reluctant but agreed after they were paid huge amount by the priests.

The head was placed on the stone that you observe in this video, and the priest were able to talk to the severed head till next day morning, and after it was given back, priest noticed that during the night few drops of blood fell from the blessed head of the Master of the Martyrs Imam Hussain A.S. on this stone. This place became a sacred monument for Zaireen who travel from all corners to visit this location at Alleppo (Halab), to mourn and witness with their own eyes how this blood on the stone has survived last 1400 years and during our visit, we also witnessed with our own eyes how the stone still cries on the noble Imam, a living miracle indeed.

QS. As-Saaffat [37]:107:
“Dan Kami tebus anak itu dengan SEMBELIHAN YANG AGUNG”

Bianca DonitaMange MG Wardihan

SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA

$
0
0

SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA

Penyunting
Dicky Sofjan, Ph.D.
Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara
@ Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Penyunting
Dicky Sofjan
–cet. 1 — Yogyakarta: Penerbit Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, 2013
hlm. xxviii + 330
ISBN 978-979-25-0118-6
1. Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara: Judul
2. Kumpulan Essai
Cetakan Pertama, Juli 2013
Penyunting Ahli: Dicky Sofjan
Penyunting Bahasa: Elis Zuliati Anis
Desain Cover: Joko Supriyanto
Pradiastuti Purwitorosari
Tata Letak : Pradiastuti Purwitorosari
Foto Cover: Julispong Chularatana

Keterangan Gambar Cover:
Upacara Maharam pada hari peringatan Asyura di Bangkok, Thailand.
Kuda Imam Husein yang bernama “Dzuljanah” membawa keranda matinya
yang telah dihiasi sebagai bentuk peringatan terhadap tragedi pembantaian
terhadap Imam Husein, keluarga, dan pengikutnya di Karbala.

Penerbit: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung Sleman, Yogyakarta
Anggota IKAPI No: 077/DIY/2012
Hak Cipta @ 2013 pada Penerbit

Dicetak oleh: Percetakan Lintang Pustaka Utama (0274-624801)
Isi di luar tanggung jawab percetakan

Lagu Aceh yang biasa mengiringi Tarian Saman dari Aceh, mengenang Tragedi Karbala Syahgidnya Imam Hussein bin Ali bin Abi Thalib.

Ritual Adat Budaya Bengkulu dan Padang Pariaman: Mengarak Tabuik, memperingati Syahadah Iman Hussein bin Abi Thalig di Padang Karbala, Irak.

 

DOWNLOAD PdF bukunya:

sejarah_dan_budaya_syiah_di_asia_tenggara -Dicky Sofjan PhD (ed) -353 hlm(1)Kitab Topah

SEJARAH & BUDAYA
SYIAH DI ASIA TENGGARA

Penyunting
Dicky Sofjan
Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)

KONTRIBUTOR
1. Azyumardi Azra, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
2. Husein Heriyanto, Universitas Indonesia, Jakarta
3. Imtiyaz Yusuf, Universitas Mahidol, Bangkok
4. Julispong Chularatana, Universitas Chulalongkorn, Bangkok
5. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri, Banda Aceh
6. Mohammad Ali Rabbani, Islamic Culture and Relations Organization, Jakarta
7. Mohd Faizal Bin Musa, Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur
8. Rabitah Mohamad Ghazali,Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur
9. Rima Sari Idra Putri,Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jawa Timur
10. Supratman,Universitas Hasanuddin, Makasar
11. Yance Zadrak Rumahuru,Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri, Ambon
12. Yudhi Andoni,Universitas Andalas, Padang
13. Yusni Saby,Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri, Banda Aceh
14. Yusuf Roque Santos Morales,Universitas Ateneo De Davao, Davao-Filipina
15. Zulkifli,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Penulisan buku ini berawal dari konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) berlokasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. ICRS adalah sebuah lembaga konsorsium tigauniversitas yang kesemuanya berada di Yogyakarta, yaitu Universitas
Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). ICRS menawarkan program internasional di tingkat Ph.D. (Doctor of Philosophy) dengan tiga bidang spesialisasi, yaitu teks suci, sejarah sosial agama-agama serta agama, dan isu-isu kontemporer. Saat ini, setelah enam tahun
didirikan, ICRS memiliki lebih dari 60 mahasiswa dari sepuluh negara yang berbeda.

Dalam konferensi internasional ini, saya diberi kepercayaan sebagai anggota Steering Committee yang bertugas untuk mengawal substansi. Setelah melalui proses diskusi dan pertimbangan yang mendalam, kami di ICRS sepakat untuk memberi tema konferensi tersebut The Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectory (Keberadaan Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara: Melihat Arah Masa Depan). Konferensi ini diselenggarakan pada 21 Februari 2013 dan dihadiri oleh para sarjana

PENDAHULUAN
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA

dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang mempunyai perhatian besar terhadap permasalahan Syiah di Asia Tenggara. Sayangnya, para sarjana dari Singapura dan Filipina berhalangan hadir untuk memberi kontribusi mereka dalam konferensi tersebut.

Untuk sampai kepada tema ini pun, prosesnya juga tidaklah mudah karena terjadi persilangan pendapat. Tema pertama yang muncul sebenarnya menggunakan konsep “The Historical and Cultural Encounter”, di mana konsep “encounter” dapat diterjemahkan sebagai ‘perjumpaan’. Alasannya, kata encounter lebih dinamis dan
interaktif, dibandingkan kata “presence” yang bermakna ‘kehadiran’ atau ‘keberadaan’. Ada yang beranggapan bahwa kata encounter mengandung konotasi yang sedikit negatif. Konotasi ini mungkin berasal dari potongan kata “counter” yang biasanya menggambarkan paralelisme atau bahkan perlawanan. Argumentasi ini sebenarnya kurang kuat karena dengan proposisi “en-”, makna dan orientasi kata tersebut berubah total. Hanya saja, kata ini memang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, seolah encounter mempunyai makna ‘mengkounter’, dalam Bahasa Indonesia. Dengan demikian, pada tataran persepsi politik, jika ada Syiah, maka pihak yang akan mengkounter tentunya saja kaum Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni. Mengingat sensitivitas dari isu yang diangkat dan beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi mendahului konferensi  tersebut, maka kemudian digunakanlah konsep “presence” sebagai konsep yang lebih netral, non-polemik dan non-politis.

Persoalan lain yang muncul dalam penyuntingan buku ini menyangkut masalah bahasa. Dalam menghadapi persoalan terjemahan, saya meminta bantuan teman dekat saya, Saut Pasaribu, seorang fi losof yang sudah menerjemahkan lebih dari 60 bukubuku akademis yang serius dan tebal. Keyakinan saya kepada Bung Saut ini didasari oleh pemahaman dan penghayatannya terhadap kompleksitas beragam pemikiran dan lika-liku perjalanan sejarah tradisi pemikiran dan fi losofi . Kualifi kasi seperti itu yang saya butuhkan dari seorang penerjemah, dan bukan sebatas orang yang mampu mengalihbahasakan artikel dari Bahasa Inggris ke Indonesia. Hal lain menyangkut persoalan bahasa terkait dengan penggunaan banyak sekali istilah-istilah dan frase-frase asing. Ada Bahasa Arab, Farsi, Hindi, Thai, Tagalog, Aceh, Makasar, Jawa, Minang, Maluku, dan lainnya sehingga membuat buku ini seperti tampak multilingual.

PENDAHULUAN 

Pada perjalanan menyunting buku ini, saya juga harus membuat beberapa keputusan sulit dalam memproses pilihan-pilihan diksi dan kebiasaan gaya para Penulis. Problematika pertama yang sayahadapi menyangkut penggunaan kata “Syiah”. Sebagaimana tertera dalam judul buku ini dan yang termaktub dalam semua bab yang ada, saya telah memutuskan untuk menggunakan pengejaan “Syiah”dan bukan “Syi’ah”, “Shiah” ataupun “Shia”. Hal ini saya lakukan sematamata untuk mendahulukan kepentingan pembaca Indonesia yang terbiasa dengan pengejaan ini. Artinya, sebagai Penyunting, saya lebih memegang prinsip familiarity (keterbiasaan) dan functionality (kegunaan)—dari sudut pandang Pembaca—di atas prinsip transliterasi dan akurasi.

Meskipun demikian, persoalan tidak berhenti di situ. Penggunaan kata Syiah sendiri dapat mengundang permasalahan tersendiri, mengingat kebanyakan orang Syiah lebih sering menggunakan istilah “ Tasyayyu” dan bukan “Syiah” untuk menyebut diri mereka sendiri.

Makna dari kedua istilah ini sebenarnya sama karena hal yang dituju sama sekali tidak berbeda. Hanya saja, vantage point atau perspektif yang dipakai kedua kata tersebut berbeda secara hakiki. Syiah diambil secara langsung dari konsep “Syi’atu Ali” yang berarti “Pengikut Partai Ali bin Abu Thalib”. Para Syi’atu Ali ini adalah orang-orang pengikut garis kepemimpinan spiritual dan politik Imam Ali, sepupu sekaligus
menantu Nabi Muhammad. Mereka biasanya diposisikan vis-à-vis pengikut para khalifah seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan dinasti-dinasti Islam turunannya seperti Bani Ummayah
serta Bani Abbasiyah.

Perihal kaum Syiah, Ali Syariati (1971) dalam Fatimah is Fatimah menulis sebagai berikut: Mereka adalah yang terinspirasi oleh kebebasan dan keadilan.
Mereka adalah api yang tak akan pernah sirna melawanpara penguasa yang despotik dan mereka yang hatinya bias (prejudiced). Mereka adalah orang-orang yang berserah diri pada Jalan Kebenaran. Akibat keterikatan mereka dengan marahnya Kebenaran, para pengikut [Syiah] adalah para musuh yang menutupi Kebenaran. Mereka adalah musuh dari segala bentuk politik yang menjadikan manusia sebagai budak. Mereka adalah musuh dari eksploitasi ekonomi dan despotisme spiritual.

Sedangkan Tasyayyu lebih diartikan sebagai sebuah ideologi atau paham Syiah, selanjutnya disebut Syiahisme. Ada hal yang esensial untuk membedakan dua istilah yang mirip ini. Istilah Syiah terkadang terbagi dua, yaitu Syiah Diniyah (spiritual) dan Syiah Siyasah (politik), seolah keduanya dapat dipisahkan. Logika ini didasari oleh asumsi bahwa seseorang dapat menjadi Syiah secara spiritual, walaupun tanpa berbaiat secara politik. Sebaliknya pun dapat terjadi, yaitu seseorang dapat memegang teguh haluan politik Syiah, tanpa mengikuti kepemimpinan spiritual dari Imam Ali. Bagi sebagian orang, tentunya hal ini sangat absurd. Akan tetapi, bagi sebagian lainnya, hal ini masuk akal. Oleh karena itu, saya lebih memandang perbedaan ini sematamata
untuk memisahkan para keluarga suci Nabi Muhammad dan orang-orang yang berbaiat dan mengikuti Imam Ali secara langsung, ketika Beliau masih berada di antaranya. Artinya, generasi-generasi belakangan hanya sebatas mengikuti garis intelektual, spiritual, dan ideologi politik Imam Ali serta keturunannya.

Dengan begitu, istilah Syiah lebih akurat, inklusif, dan kontekstual apalagi jika kawasan Asia Tenggara yang menjadi fokus perhatian, mengingat banyaknya orang-orang yang secara emosional cenderung pada Syiah, bahkan menjalankan ritual-ritualnya, tetapi tidak secara total berorientasi secara politis maupun berafi liasi secara ideologis, seperti layaknya seseorang yang memegang teguh prinsip Tasyayyu. Di samping itu, istilah Tasyayyu sendiri jarang dipakai oleh kaum Syiah di Asia Tenggara. Masih di Fatimah is Fatimah, Syariati (1971) menjelaskan mengenai Syiahisme sebagai berikut:
Syiahisme [atau Tasyayyu] adalah segala yang berkaitan dengan Islam—bukan apa yang mereka katakan kepada kami: “Islam dengan tambahan ini itu. Tidak!” Syiahisme adalah Islam yang murni, Islam minus khalifah, identitas pseudo-Arab, dan mereka yang hidup bermewah-mewahan. Syiahisme bukan berarti mengambil dua prinsip yakni keadilan dan imamah (kepemimpinan agama) dan menambahkannya pada Islam—Islam tanpa keadilan dan imamah adalah sama dengan Islam minus Islam.

Kalau demikian, pertanyaan paling fundamental mengenai hal ini tertuju pada istilah “Syiah” itu sendiri. Mungkin sebagian kita akan bertanya: kenapa kita tidak merasa cukup dengan label “Islam” atau “Muslim”, dan harus menggunakan “Syiah” dalam diskursus ikhtilaf (perbedaan madzhab) ini? Di dalam Alquran sendiri, kata “Syiah”
muncul beberapa kali, dan selalu dikaitkan dengan para pengikut pemimpin-pemimpin yang lurus dan taat kepada Allah. Sebagai ilustrasi, Nabi Ibrahim—yang dikenal sebagai Bapak Tauhidullah (Monoteisme) karena menjadi panutan bagi ketiga agama samawi terbesar di dunia,yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam—disebut sebagai Syiahnya Nabi Nuh. Ini dapat ditemukan dalam Alquran di surah Ash-Shafaat yang menyebutkan bahwa, “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk Syiahnya [Nuh]” (37:83). Nabi Musa juga dinyatakan ada Syiahnya dalam surah Al-Qashaash:

Dan Musa masuk ke kota [Memphis] ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari Syiahnya [Bani Israil] dan seorang [lagi] dari musuhnya [kaum Firaun]. Maka orang yang dari Syiahnya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata [permusuhannya]”(28:15).

Kaum Syiah juga sering diasosiasikan dengan para pengikut “Ahl al-Bayt” atau ‘Penduduk Rumah’ Nabi Muhammad yang berpredikat ishmah atau terjaga dari kesalahan dan dosa. Di dalam Alquran, Ahl al- Bayt disebut dalam penggalan surah Al-Ahzab (33:33), yang berbunyi:

“Sesungguhnya kami akan menyucikan kalian, wahai Ahl al-Bayt, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.” Kalangan ulama menafsirkan penggalan ayat ini secara beragam. Ada yang menafsirkan sebagai istri-istri Nabi Muhammad, keturunan langsung Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib atau keluarga langsung Nabi Muhammad dari garis Fatimah bin Muhammad dan Ali, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, dan
para Imam suci selanjutnya hingga Imam yang ke-12,yaitu Imam al- Muntazhar Muhammad al-Mahdi. Gelar “al-Muntazhar” diberikan kepada Imam Mahdi karena Beliau memang disebut sebagai “Yang Dinanti-Nanti”. Merekalah yang disebut kaum Ma’shumin atau orang-orang yang terbebas dari segala ketidaktahuan, kealpaan, kelupaan, perbuatan dosa, dan bahkan godaan syaitan.

Satu lagi istilah kontroversial yang sering digunakan sebagian kalangan Sunni terhadap kaum Syiah adalah Rafidhah, sebuah label pejorative (merendahkan) yang dapat melukai sesama. Istilah Rafidhah bermakna secara harfi ah sebagai ‘Pihak yang Keluar’. Ini mengasumsikan bahwa kaum Syiah sebagai kalangan yang keluar dari jalur Islam atau yang berjalan di luar Ash-Shirat al-Mustaqim (Jalan yang Lurus). Istilah Rafidhah ini juga berkonotasi sebagai kalangan yang memisahkan diri dari kaum Islam ortodoks, yaitu Sunni karena itu perspektifnya lebih berlandaskan pada logika mayoritas-minoritas.

Mengingat istilah Rafi dhah ini sangat subyektif, tendensius, dan menyudutkan, saya tidak akan menggunakan kata ini dalam buku ini. Ini dikarenakan semangat konferensi dan buku ini memang untuk mencari tahu, secara obyektif, kehadiran dan pengaruh Syiah di kawasan Asia Tenggara, dan bukan untuk membuat klaim-klaim
kebenaran teologis untuk membedakan mana yang baik dan buruk atau untuk menghakimi yang salah, apalagi untuk mencari pihak mana yang sesat dan menyesatkan.

Masih berkaitan dengan yang di atas, saya juga telah menghindari penggunaan istilah “Islam Syiah” karena itu merupakan sebuah redundancy atau pengulangan yang tidak perlu. Demi menjaga prinsip fairness (keadilan atau kesetaraan), saya pun tidak akan menggunakan istilah “Islam Sunni”, yang tentunya lebih absurd lagi, mengingat Sunni adalah madzhab mayoritas di dunia Islam.

Hal yang patut dicatat sebelum membaca buku ini adalah aspirasi yang terkandung untuk menunjukkan  kehadiran Syiah secara historis dan kultural, dan bukan untuk menjajaki tradisi intelektual yang abstrak. Jadi yang lebih diutamakan dalam buku ini adalah penuturan logika sejarah dengan melihat pada material culture (budaya bendawi), termasuk teks, dan juga ritus-ritus lama yang masih bertahan sebagai
bagian integral dari paham, dan praksis ke-Islaman di Nusantara maupun di kawasan Asia Tenggara yang lebih besar lagi. Hal ini penting mengingat kebanyakan orang, dalam melihat Syiahisme di Asia Tenggara, masih terbelenggu paham yang cenderung menganggap bahwa kehadiran Syiah di kawasan ini bermula sejak
terjadinya Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, yang tentunya sama sekali tidak tepat dan bahkan cenderung naif bahwa revolusi tersebut dan fi gur Ayatullah Ruhollah Khomeini sangat berperan dalam menciptakan rising expectations atau ekspektasi yang menjulur tinggi, sehingga menembus kenyataan dan realita politik, budaya, dan sejarah yang itu memang benar. Akan tetapi, kehadiran pengaruh Syiah sudah
ada sejak pertama kali Islam masuk ke Nusantara atau Asia Tenggara.

Bahkan bisa jadi kehadiran dan pengaruh Syiah ini sudah masuk sejak periode awal penyebaran Islam di abad ke-7, jika saja artefak dan benda-benda historis yang ada dapat dijadikan sebagai bukti untuk penelitian-penelitian lebih lanjut.

Saya ingin berterima kasih kepada teman-teman di ICRS yang sudah mendukung kegiatan konferensi,  hususnya Siti Syamsiyatun, Faishol Adib, Elis Zuliati Anis, dan teman-teman lainnya. Dari Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Jakarta ada Duta Besar Mahmoud Farazandeh, Mohammad Ali Rabbani, dan Imam Ghazali yang telah mensponsori serta membantu menyiapkan konferensinya, sehingga meraih sukses dengan banyaknya orang yang berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, saya ucapkan penghormatan dan terima kasih saya kepada semua Panelis dan Kontributor yang telah bersedia berpartisipasi dalam proyek intelektual yang penting ini.

Akhirul kalam, saya haturkan penghargaan saya kepada pihak Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada yang bersedia untuk menerbitkan buku ini, walaupun tentunya mengandung banyak sekali kekurangan.

Yogyakarta, 10 Mei 2013
Dicky Sofjan, Ph.D.
Penyunting

DAFTAR ISI
Pendahuluan — v
Daftar Isi — xiii
Pengantar
Kebangkitan Syiah di Asia Tenggara? —xv
Dicky Sofjan
BAGIAN PERTAMA
Kaum Syiah di Asia Tenggara:
Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerjasama — 5
Azyumardi Azra
Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara
Melalui Arab, India, Persia, dan Cina — 33
Mohammad Ali Rabbani
Pengaruh Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara dan Kesatuan
Umat Muslim — 73
Imtiyaz Yusuf
Muslim Syiah di Thailand:
Dari Periode Ayutthaya Sampai Sekarang — 109
Julispong Chularatana
Signifi kansi Syiah Periode Alawi Pra-Hispanik Hingga Itsna
Asyariyah Modern di Filipina — 141
Yusuf Roque Santos Morales
Sayyidina Husein dalamTeks Klasik Melayu — 153
Mohd Faizal Bin Musa
Syiahisme di Malaysia — 173
Rabitah Mohamad Ghazali
xiv SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
Jejak Persia di Nusantara:
Interplay antara Agama dan Budaya — 185
Yusni Saby
Sejarah Syiah di Aceh — 197
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Kesalehan nan Terlampaui:
Desakralisasi Ritus Hoyak Hosen di Sumatera Barat — 213
Yudhi Andoni
Jejak Pengaruh Syiah ( Persia) di Sulawesi:
Studi Kasus Suku Bugis, Makasar, dan Mandar — 225
Supratman
Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku:
Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha — 255
Yance Zadrak Rumahuru
Mata Rantai Sebab-Sebab Konfl ik
di antara Syiah dan Sunni di Madura — 271
Rima Sari Idra Putri
Praksis Taqiyah:
Strategi Syiah Indonesia Untuk Pengakuan — 291
Zulkifl i
Analisis Film “Kehadiran Syiah Nusantara”:
Melacak Jejak Akar Spiritualitas Islam Indonesia — 315
Husein Heriyanto
Indeks — 329

KEBANGKITAN SYIAH DI ASIA TENGGARA?
Dicky Sofjan

Konteks Judul provokatif ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru
ataupun orisinal. Ini berangkat dari perspektif yang berkembang di
tingkat global yang sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan,
termasuk kaum akademisi dan para pembuat kebijakan. Fenomena ini
menyangkut adanya indikasi kebangkitan kaum Syiah berikut dengan
ideologi politik dan paham keagamaannya.

Vali Nasr (2005) melalui buku best seller-nya berjudul The Shia
Revival: How Confl icts within Islam will Shape the Future (Kebangkitan
Kaum Syiah: Bagaimana Konfl ik dalam Islam dapat Membentuk Masa
Depan) berargumentasi bahwa selama ini Amerika Serikat selalu melihat
Timur Tengah dari sudut pandang para pemimpin otoriter Sunni
yang berada di Kairo, Baghdad, Amman dan Riyadh, dan cenderung
memandang Tehran—yang notabene menjadi ibukota politik kaum
Syiah dunia—dengan sebelah mata. Nasr mempersalahkan persepsi
Amerika yang senantiasa mendukung secara membabi-buta rezimrezim
otoriter Sunni tersebut. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa
mereka secara kolektif seolah merepresentasikan cerminan sejarah
kekhalifahan Islam yang melekat pada imaji sosial, politik, dan
keagamaan kaum Muslim sedunia.

PENGANTAR

Persepsi ini tentunya tidak akurat, bias, dan secara umum
menunjukkan disjungsi antara Amerika dan kaum Muslim, sehingga
tidak mengherankan jika gambaran mengenai Islam, umat Muslim pada
umumnya dan kaum Syiah pada khususnya sangat distortif. Amerika
Serikat secara umum lebih memilih beraliansi dan menggabungkan
kepentingan dengan rezim-rezim otoriter Sunni secara langsung
menunjukkan preferensi politik yang bertumpu pada realisme dalam
hubungan internasional, di mana kepentingan nasional menjadi satusatunya
raison d’etre atau alasan eksistensial. Selama perang dingin
antara dua negara adidaya yang memonopoli kekuatan nuklir dunia,
Amerika dan Uni Soviet. Keduanya berlomba merebut sphere of infl uence
atau pengaruh dan kerap secara membabi-buta memberikan bantuan
politik, diplomatik, ekonomi, dan militer kepada rezim-rezim Sunni di
Timur Tengah, termasuk Saddam Husein yang ketika itu mempunyai
catatan buruk dalam melakukan penekanan dan bahkan pembantaian
terhadap penduduk Irak sendiri, khususnya dari kalangan Kurdi dan
Syiah yang dominan.

Lebih parah lagi, dalam melawan Uni Soviet, militer Amerika
Serikat sering menjalani proxy wars atau perang dengan perantaraan
tangan-tangan kelompok ekstrem dan militan dan menggunakan
label-label keagamaan seperti mujahidin atau tentara-tentara jihad
Islam. Yang paling terkenal dari kelompok ini adalah para ‘pejuang’ di
bawah Usamah bin Laden. Ketika itu, pada akhir 1970-an, Bin Laden
dengan kelompok mujahidin-nya berperang dengan bantuan penuh
dari Amerika Serikat, khususnya Central Intelligence Agency (CIA),
untuk mengusir Uni Soviet yang menginvasi Afghanistan. Tidak
mengherankan jika kemudian kebijakan ini mengalami apa yang
disebut di kalangan intelijen sebagai backlash atau umpan balik yang
negatif. Kaum teroris yang melawan Amerika Serikat dan negaranegara
Barat hari ini adalah dari kelompok yang sama, yaitu yang
dahulunya merupakan klien politik dari Washington.
Fenomena kebangkitan kaum Syiah di tingkat global dapat dilihat
dari beberapa aspek politik dan budaya. Setelah kemenangan Revolusi
Islam Iran, kaum Syiah tiba-tiba mendapat perhatian besar dari
semua kalangan, termasuk kaum akademisi. Mereka melihat bahwa
jatuhnya rezim Reza Pahlevi—yang didukung dan dipersenjatai
Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya—serta kehadiran kaum
mullah (rohaniawan) di panggung politik Iran berdampak besar pada
confidence building atau pembangunan kepercayaan diri kaum Muslim.
Hal ini ditunjukkan dengan berbagai upaya dalam mendobrak sistemsistem
politik yang selama ini memberi sokongan terhadap meluasnya
kejemuan dan politik serta pola pikir yang menyelimuti Timur Tengah.

Di tingkat politik, kaum Syiah pun kian aktif dan asertif di Irak,
Bahrain, Lebanon selatan, dan negara-negara lain di Timur Tengah.
Sebagai ilustrasi, setelah invasi dan okupasi Amerika Serikat terhadap
Irak, kaum Syiah yang merupakan mayoritas (sekitar 65%) telah
bangkit mendominasi politik negara dan serta-merta meningkatkan
hubungan dengan Republik Islam Iran di hampir segala bidang.
Dengan beralihnya gravitasi dan konstelasi politik di Irak, sulit tentunya
mempertahankan skema besar yang dibangun Amerika Serikat beserta
sekutu-sekutu Baratnya yang senantiasa mengedepankan politik
dominasi dan mengutamakan kepentingan-kepentingan strategis
mereka sendiri. Di Lebanon selatan, pihak Hezbollah bahkan berani
melawan Israel sehingga berhasil memaksanya mundur dari sebagian
tanah yang dicaploknya. Hal ini tentunya membuat Israel yang selama
ini ditopang Amerika Serikat tentu saja tidak lagi merasa aman dan
nyaman dengan perkembangan ini.

Di lain pihak, fenomena protes dan penggulingan rezim-rezim di
Timur Tengah saat ini—yang notabene secara efi misme digambarkan
oleh media-media Barat sebagai “Arab Spring” (Musim Semi)—
sebenarnya masih merupakan bagian dari rangkaian peristiwa yang
tidak luput dari perubahan konstelasi ini. Syria adalah korban yang
paling ganas dari upaya penggulingan negara-negara Barat terhadap
salah satu rezim yang paling kritis dan penentang segala macam bentuk
politik dominasi asing. Terlepas dari hasil akhir konfl ik ini, kaum Syiah
tentunya akan selalu menjadi bagian integral dari sejarah lama dan
kontemporer Timur Tengah. Hanya saja, kaum Syiah seakan tidak rela
menjadi korban sejarah lagi, dan justru ingin menjadi kekuatan penting
dalam perubahan percaturan politik di kawasan tersebut. Fenomena
inilah yang disebut sebagai “the Syiah ascendancy”, yaitu naiknya pamor
dan kekuatan kaum Syiah (Nasr, 2005).

Syiah di Asia Tenggara

Judul tulisan ini saya buat demi menggugah dalam berpikir
mengenai peluang dan kemungkinan adanya kebangkitan Syiah di
kawasan Asia Tenggara dan bukan untuk merujuk kepada realita
yang sesungguhnya. Meskipun ‘kebangkitan’ kaum Syiah ini mungkin
tidak sejelas yang terjadi di Timur Tengah, tetapi banyak indikator dan
bukti yang dapat dihimpun untuk setidaknya mempertimbangkan
hipotesis ini. Kaum Syiah merupakan mayoritas yang ada di Iran, Irak,
Azerbaijan, Yaman, dan Bahrain. Selebihnya, kaum Syiah merupakan
minoritas yang tersebar di berbagai kawasan Timur Tengah, Asia
Selatan dan Asia Tenggara. Syiah di sini disebut lebih tertuju pada Syiah
Itsna Asyariyah (Dua Belas Imam). Sebagaimana diketahui, selain Itsna
Asyariyah, banyak madzhab Syiah yang tersebar di berbagai belahan
dunia seperti Ismailiyah, Zaidiyah, Alawiyah, Druze, dan lainnya.

Di kawasan Asia Tenggara sendiri, kelompak Syiah Alawiyah
sudah berada di Indonesia sejak akhir awal masa perkembangan Islam.
Berbagai studi mengenai kaum Alawiyah menyebut bahwa generasi
awal kalangan Alawiyah berasal dari daerah Hadhramaut atau
Yaman selatan.1 Mereka berhasil mengembangkan dakwah Islam di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia karena pesona ajaran tasawwuf
yang mereka sebarkan. Tokoh Alawiyah yang paling berpengaruh
adalah Al-Faqih al-Muqaddam (1176-1255) yang banyak berjasa dalam
pengembangan Islam ke luar Hadhramaut akibat tekanan-tekanan dan
intrik politik terhadap para pecinta keluarga Nabi Muhammad. Pada
umumnya, sekalipun kaum Alawiyah belum tentu ‘Syiah tulen’, kaum
Alawiyah sepanjang masa senantiasa menjunjung tinggi Ahl al-Bayt.
Lebih lanjut, tradisi kaum Alawiyah inilah yang meletakkan dasar bagi
praksis tasawwuf yang berkembang di kalangan para ulama dan santri
Nahdlatul Ulama (NU) hingga hari ini, yang notabene sarat dengan
penghormatan yang kental kepada keluarga Nabi Muhammad yang
diyakini suci, berdasarkan dalil-dalil naqliyah (tekstual) seperti dalam
penggalan dari ayat ke-33 dari surat Al-Ahzab dalam Alquran.2
Akan tetapi, bukan kelompok Thariqah Alawiyah saja yang telah
lama hadir di Asia Tenggara. Keberadaan Syiah Itsna Asyariyah terus
berkembang pesat setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran pada tahun
1979. Revolusi ini dipimpin oleh Ayatullah Ruhollah Khomeini (1902-
1 Untuk lebih lanjut mengenai peran penyebaran Islam oleh kaum Alawiyah atau Hadhdrami di Wilayah Asia Tenggara dan Nusantara, lihat misalnya Freitag (2003), Feener (2004), HeissdanSlama (2010), Azra (2013), Ho (2006) serta Ifan, Imam Gozali dan A.M. Shafwan (2013).
2 Dalam sistem pemikiran Islam, dalil-dalil naqliyah sering kali diopisisikan dengan dalil-dalil aqliyah (logika atau rasionalitas). Sama dengan kaum Mu’tazilah, kalangan Syiah dikenal sebagai orang-orang memegang logika yang kuat. 1989), seorang ‘alim tradisional yang memiliki wibawa, kharisma serta
banyak pengikut dari dalam maupun luar negeri Iran. Ia meletakkan
dasar-dasar pemikiran bagi sebuah sistem politik yang disebut Velayat-e
Fagheh (Kepemimpinan Ahli Fiqh) yang kemudian berkembang
sebagai basis politik dan ideologi negara.3 Sejak itu, melalui eksportasi
revolusinya, Iran menjadi episentrum dengan kota suci Qum sebagai
pusat studi atau center of excellence bagi penyebaran paham dan
pemikiran Syiah Itsna Asyariyah. Hal ini juga yang membuat banyak
simpatisan dan pengagum Khomeini, termasuk dari Indonesia, untuk
mendalami ‘Syiahologi’ di Qum demi menempuh studi, khususnya di
bidang-bidang seperti teologi, fi lsafat, dan mistisisme atau yang lazim
disebut di Iran sebagai ‘ Irfan.

Penelitian mengenai Syiah di Asia Tenggara sendiri masih
dapat dikatakan langka. Akibat kelangkaan ini, penelitian mengenai
Syiah di Asia Tenggara belum mencapai critical mass yang mampu
mendorong sebuah ‘konsensus’ akademik mengenai kehadiran Syiah
di kawasan ini, baik secara historis maupun kultural. Kebanyakan
penelitian bersifat lokal dan terfragmentasi. Hal ini yang menyebabkan
penelitian di bidang ini menjadi sangat terkesan partikularistik dan
sulit menghasilkan generalisasi-generalisasi yang dapat membantu
melihat fenomena ini dari sudut pandang yang lebih luas. Yang paling
dekat dengan upaya ini adalah karya-karya dari Marcinkowski yang
pernah meminta kepada para sarjana dan sejarawan untuk melihat
hubungan antara ‘Dunia Iran’ dan Asia Tenggara, khususnya Thailand
dan kawasan maritim sekelilingnya melalui sebuah pendekatan
interdisipliner.

Marcinkowski (2000) berargumentasi bahwa sudah waktunya
dilakukan sebuah survei yang serius untuk menjajaki hubungan yang
tua ini. Salah satu alasannya, menurut Marcinkowski bahwa banyak
orang melakukan simplifi kasi berlebihan, dan berpikir segala warisan
yang berbau Persia haruslah berarti Syiah juga, seolah pengaruh
Persia berawal ketika Iran secara sistematis melakukan konversi atau

3 Landasan pemikiran Khomeini dapat ditelusuri dari karyanya berjudul Hokumat-e Islam (Pemerintahan Islam) yang ditulisnya di masa pembuangannya. Karya ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia [lihat: Hamid Algar, Islamic Government:
Governance by the Jurist (Tehran: The Institute for Compilation and Publication of Imam
Khomeini’s Work, 2002) dan Muhammad Anis Maulachela, Sistem Pemerintahan Islam
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2002)].
“transformasi” ke Syiah Itsna Asyariyah, yang sebenarnya baru terjadi
pada era Safavid Shah Ismail di awal abad ke-16.
Ditemukan juga di antara yang dikritisi Marcinkowski termasuk
karya Aboebakar Atjeh (1965) yang berjudul Aliran Syiah di Nusantara.
Atjeh berargumentasi bahwa Islam pertama kali ke Nusantara melalui
Aceh, yang ketika itu sudah terbentuk kerajaan Peureulak (atau Perlak)
dan Samudera Pasai. “Dan diantara mashaf (maksudnya, madzhab)
pertama dipeluk di Aceh adalah Syiah dan Syafi ’i”(Atjeh 1965: 31).
Bahkan Atjeh menulis bahwa para raja-raja terdahulu yang terdapat
di Aceh, Palembang, Jawa, Kalimantan, Serawak, Brunei, Mindanao,
dan lainnya menggunakan gelar-gelar Sayyid, Syarif, dan ‘Raden’
(dari kata “Ruhuddin” atau ‘Jiwa Agama’) yang hanya dapat diartikan
sebagai garis keturunan Nabi Muhammad dari Fatimah dan Ali.
Perihal apakah penyebutan gelar-gelar tersebut memberi indikasi kuat
terhadap afi liasi keagamaan para raja dan penguasa lokal tersebut
kurang tepat untuk dibahas di Pengantar ini. Akan tetapi, mungkin
boleh dikatakan bahwa tradisi Syiah sudah lama berakulturasi dengan
budaya politik dan agama di kawasan ini.

Dalam Fatimah in Nusantara, Mukherjee (2005) mengatakan
bahwa representasi Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad yang
dinikahkan dengan Ali, di teks-teks Melayu dan Indonesia berasal dari
para pengikut Syiah yang sampai ke Asia Tenggara melalui orangorang
Persia. Mukherjee berargumentasi bahwa kehadiran diskursus
mengenai Fatimah—dan segala sifat-sifat ideal seorang perempuan dan
istri yang shalihah—dalam tek-teks tersebut sudah ada sejak awal proses
Islamisasi Nusantara, yang dengan sendirinya jelas membuktikan
besarnya pengaruh pemikiran Syiah yang merasuk ke dalam alam
pemikiran kaum Muslim di Asia Tenggara. Erat kaitannya dengan
Mukherjee adalah studi yang dilakukan oleh Mohammad Samsuddin
Harun and Azmul Fahimi Kamaruzaman yang berargumentasi
bahwa Budaya Syiah sudah ada di “Alam Melayu” sejak abad ke-12.

Mereka berpendapat bahwa ia masuk melalui fi lsafat tasawwuf yang
dibawa oleh para pendakwah Syiah keturunan Ahl al-Bayt.4 Mereka
berpendapat bahwa pengaruh Syiah dapat dirasakan paling tidak pada
dua hal, yaitu ritus-ritus dan sastra Melayu klasik.

4 “Kemunculan Budaya Syiah di Alam Melayu: Suatu Kajian Awal,” Working Paper UKM, Bangi,Selangor (undated).

Ritus-ritus Syiah ini bertebaran di Asia Tenggara dan sebagian
besar mengambil format dalam penghormatan terhadap keluarga
Nabi Muhammad, seperti ‘Asan-Usen’, yang berasal dari nama-nama
cucu Nabi, yaitu Hasan dan Husein bin Ali. Pada rangkaian garis
kepemimpinan Syiah Itsna Asyariyah, Imam Hasan dan Imam Husein
menempati posisi kedua dan ketiga setelah bapaknya, yaitu Ali. Ritus
yang paling berpengaruh dan umum ditemukan di Nusantara adalah
hari peringatan terhadap tragedi Karbala, di mana Imam Husein
beserta keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70-an dibantai
secara kejam oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah, penguasa dari Bani
Umayah yang berpusat di Damaskus. Menurut sejarahnya, Imam
Husein dipenggal, dan kepalanya diarak keliling Damaskus untuk
dipertontonkan kepada publik sebagai peringatan bagi siapa saja yang
mengikuti ajaran Ahl al-Bayt.

Hingga saat ini, tragedi Karbala ini masih diperingati dengan
beragam istilah seperti 10 Muharram, Ashura, Achura, Tabuik, Tabot,
dan lainnya. Lebih meluas lagi tentunya berkaitan dengan ta’ziyah
atau ziyarah ke makam-makam orang saleh yang dianggap dapat
melancarkan proses tawassul (perantaraan), yang didasari suatu
keyakinan bahwa orang-orang suci dan amal ibadah mereka dapat
menjadi perantara antara peziarah dengan Allah. Tradisi ini hingga saat
ini masih banyak ditemui di Jawa dan beberapa daerah lainnya. Hal
ini belum ditambah dengan beragam macam shalawatan dan doa-doa
yang dilakukan kaum Sufi di Asia Tenggara yang banyak menyanjung
keluarga Nabi dan para Imam-Imam Syiah.

Dari sudut pandang sastra Melayu klasik, karya yang paling
berpengaruh dan kental dengan ajaran Syiahnya adalah sajak-sajak
mistis Hamzah Fanshuri yang disebut berasal dari Shahr-i Naw yang
dalam Bahasa Persia bermakna ‘Kota Baru’. Shahr-i Naw ini diyakini
adalah Ayutthaya, Ibukota Siam, kerajaan Thailand dulu, di mana
komunitas Persia ketika itu sangat besar dan berpengaruh sehingga
banyak jabatan strategis kerajaan dan pimpinan daerah dikuasai oleh
kaum Syiah pada waktu itu. Bukti dari pengaruh Syiah yang dibawa
diplomat dari kerajaan Safavid ini dapat dikaji melalui teks berjudul
Safi nah-yi Sulaymani ( Kapal Sulayman) yang menjadi saksi atas
pengaruh orang-orang Persia dan ajaran Ahl al-Bayt-nya di Thailand
dulu.5

Di dalam karya-karya Hamzah Fanshuri, terdapat banyak sekali
elemen yang disadur dari ajaran-ajaran Ahl al-Bayt.6 Turunan dari ini
adalah paham keagamaan dan praktek-praktek Sufi sme yang dibawa
Syaikh Siti Jenar, yang jika ditelusuri lebih lanjut bersumber dari
ajaran Muhyi al-Din ibn al-Arabi (1165-1240) yang menitikberatkan
pada konsep Al-Insan al-Kamil (Manusia Paripurna) dan juga Wahdat
al-Wujud (Penyatuan Eksistensi). Hingga saat ini, teks-teks Wahdat al-
Wujud masih diajarkan di banyak meunasah, dayah, dan pesantren
yang tersebar di Indonesia. Selain Hamzah Fanshuri, tentunya kita
dapat melihat kembali teks-teks Melayu dan Indonesia klasik yang
menandakan pengaruh orang-orang Persia dan Gujarat, India, yang
membawa teologi, tradisi pemikiran mengenai agama dan politik serta
ritus-ritus Syiah. Di antara teks-teks tersebut antara lain Sulalat as-
Salatin, Taj al-Salatin, Bustan al-Salatin, Hikayat Muhammad bin Hanafi yah,
Hikayat Amir Hamzah, dan masih banyak lagi.

Opresi dan Resistensi
Apabila ingin kembali kepada pertanyaan awal mengenai
kebangkitan kaum Syiah di Asia Tenggara, maka tentunya harus melihat
keadaan dan kondisi saat ini. Walaupun jelas sekali tidak ada gerakan
masif yang menunjukkan adanya benih-benih kebangkitan kaum Syiah di
Asia Tenggara, tetapi dapat menemukan banyak sekali para mahasiswa
dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang memobilisasi diri untuk
menempuh studi di Qum dan tempat lainnya di Iran. Gelombang
masuknya mahasiswa Asia Tenggara ini bermula sekitar pertengahan
1980-an, sekali pun pada waktu itu jumlah mereka sangat terbatas dan
kepergian mereka tidak melalui jalur formal atau istilahnya “terjun bebas”.
Seiring dengan wafatnya Khomeini pada tahun 1989, dan meredupnya
isu mengenai eksportasi revolusinya, timbullah realisasi bahwa Revolusi
Islam Iran berikut dengan sistem Velayat-e Faqeh-nya memang bukan
sesuatu yang dapat dengan mudah ditransplantasikan ke negara Muslim
lainnya. Namun demikian, animo kaum intelektual dan generasi muda
terhadap ide-ide revolusioner Syiah, khususnya Khomeini dan Syariati,
terus berlanjut.

Seperti dibahas sebelumnya, para mahasiswa kebanyakan belajar
teologi, fi lsafat dan mistisisme. Sebagian yang lain memilih untuk tidak
5 Untuk versi Bahasa Inggrisnya, lihat O’Kane 1972.
6 Untuk mendalaminya lebih, lihat Al-Attas 1967 d an 1970.

belajar di Huseiniyah—istilah untuk pesantren atau pusat studi agama
di Iran—, tetapi memilih untuk belajar di universitas-universitas seperti
Daneshgha-e Tehran untuk mempelajari ilmu-ilmu seperti Sastra Persia
dan Arsitektur Islam. Setelah kepulangan para mahasiswa lulusan Iran
ini, mereka memulai aktivitas mereka dengan mendirikan semacam
Huseiniyah atau pun klub-klub studi yang secara intensif mengkaji
pemikiran-pemikiran Khomeini, Syariati, Murtadha Mutahhari,
Husein Thabataba’i, Mullah Sadra, dan lainnya. Kaum intelektual dan
industri penerbitan Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia,
juga turut secara aktif menyebarkan paham dan pemikiran Syiah.
Paling aktif dalam bidang ini adalah Penerbit Mizan dan Yayasan
Mutahhari yang keduanya berada di Bandung, Jawa Barat, dan
mendapat sambutan yang luar biasa. Ketertarikan kaum intelektual
dan terpelajar ini dapat dimengerti sebagai kehausan mereka akan
pencerahan dan kebutuhan mereka akan pemikiran-pemikiran
Islam yang baru, relevan dan kontekstual. Hal ini lebih disebabkan
karena konteks politik Orde Baru di bawah pimpinan Suharto saat
itu yang memang otoriter, sehingga membuat kaum intelektual dan
mahasiswa tertekan dan merasakan kejemuan dan berpikir. Ketika itu,
Suharto—yang kemudian jatuh pada tahun 1998 setelah memerintah
selama 32 tahun—memang sangat berhati-hati terhadap Iran dan
menganggap paham Syiah berikut dengan ideologi revolusionernya
berpotensi untuk menggoyahkan status quo. Bahkan Majelis Ulama
Indonesia ( MUI) pernah mengeluarkan rekomendasi dari Rapat Kerja
Nasional pada tanggal 7 Maret 1984 mengenai himbauan kepada
“Umat Islam Indonesia yang berpaham Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah
agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya
paham yang didasarkan atas ajaran Syiah”. Sekali pun alasan formal
atas ‘kewaspadaan’ ini didasari oleh argumentasi-argumentasi
teologis, tidak mustahil bahwa di balik itu ada landasan politis yang
dikedepankan karena kekhawatiran terhadap spillover effect dari
Revolusi Islam Iran atau pun kepemimpinan Khomeini terhadap
rezim Orde Baru yang opresif dalam menekan segala bentuk kekuatan
dan aktivisme Islam yang berpotensi untuk menentang kekuasaan
otoriternya.

Akibat dari ‘keberpihakan’ sebagian elemen di dalam MUI dan
negara terhadap mereka yang tidak senang dengan Syiah, maka tidak
heran jika terlihat adanya peningkatan intimidasi dan penindasan atas
pengikut Syiah di Indonesia. Yang terjadi beberapa tahun belakangan
ini bahkan menunjukkan kecenderungan naiknya kuantitas maupun
kualitas dari intimidasi dan penindasan ini. Dalam kasus Sampang,
korban jiwa telah jatuh dan seluruh anggota komunitas kaum Syiah,
termasuk para perempuan dan anak-anak, diusir dari rumah dan
kampung mereka sendiri. Ironisnya, ketidakadilan, dan kebiadaban
ini dibiarkan terjadi justru di alam demokrasi pasca reformasi di mana
sudah ada pemilihan langsung kepala daerah dan di mana hukum dan
aparatur negara seharusnya menjamin kebebasan beragama.
Lebih disesalkan adalah bahwa pihak otoritas negara dalam hal ini
diwakili oleh MUI Jawa Timur, melalui Surat Keputusan Fatwa mereka
tertanggal 21 Januari 2012 justru berpihak kepada yang mendzalimi dan
bukan yang didzalimi. Dalam Surat tersebut, mereka justru meminta
MUI Pusat di Jakarta untuk “mengukuhkan fatwa tentang kesesatan
paham Syiah (khususnya, Imamiyah Itsna Asyariyah atau yang
menggunakan nama samaran madzhab Ahl al-Bayt dan semisalnya)
serta ajaran-ajaran yang mempunyai kesamaan dengan paham Syiah
sebagai fatwa yang berlaku secara nasional”.

Keberadaan femomena belakangan ini jelas memberi gambaran
yang kelam terhadap prospek kebangkitan Syiah di Indonesia. Akan
tetapi, kalau di Singapura dan Malaysia, nasib kaum Syiah sama sekali
tidak mendapat tempat di hati pemerintah karena secara formal negara
sudah berketetapan untuk melarang penyebaran Syiah di kedua negara
tersebut. Di Malaysia, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM)
sering melarang buku-buku yang berbau Syiah, yang kebanyakan
diterbitkan dan diimpor dari Indonesia.

Perlu diingat bahwa sepanjang sejarah manusia, setiap kaum
yang mendapat tekanan, intimidasi dan penindasan—baik secara
fi sik, politik, budaya maupun intelektual—pasti akan menghadapinya
dengan resistensi dengan segala macam varian lokalnya. Hal yang
sama terjadi dengan sejarah penindasan dan penjajahan yang dialami
oleh bangsa-bangsa di dunia yang pernah mengalami penjajahan,
termasuk Indonesia yang dijajah Belanda selama lebih dari 350 tahun
lamanya. Berkaitan dengan hal ini, saya berpendapat bahwa Syiahisme
pada hakikatnya adalah ‘ideology of the oppressed’ atau ideologinya kaum
tertindas yang senantiasa berjuang mencari kebebasan dan keadilan,
seperti yang didengungkan oleh para rohaniawan dan intelektual
Syiah. Menurut historiografi Islam, Nabi Muhammad berikut keluarga,
dan para pengikut Syiah sudah sejak awal mengalami ketidakadilan
serta mendapatkan perlakuan yang dzalim. Bahkan, menurut
keyakinan kaum Syiah dan umat Islam kebanyakan, Nabi Muhammad
sejak awal dakwah Islamnya mengalami pertentangan yang luar biasa
dari kaumnya sendiri yang memerangi dan mendzaliminya. Nasib
malang ini kemudian juga dilanda para keluarga Nabi Muhammad,
termasuk Ali, Fatimah, anak-anak, cucu-cucu, dan keturunannya.
Perlu diketahui bahwa semua untaian doa-doa rintihan dan ritus-ritus
kaum Syiah penuh dengan drama kepedihan yang mampu menyayat
hati para pecinta keluarga Nabi Muhammad.

Artinya, kalau pun tidak ada ‘kebangkitan’ nyata, tetapi opresi
dan resistensi memang sudah menjadi bagian mutlak dan integral
dari Syiahisme sejak tonggak awal sejarah eksistensinya. Kemudian
masyarakat Asia Tenggara lupa atau melupakan kontribusi kaum Syiah
terhadap perjalanan sejarah penyebaran Islam, ini adalah masalah
yang harus diluruskan. Kebangkitan di sini adalah upaya para sarjana
untuk mengingat kembali akan peranan kaum Syiah dan Syiahisme
dalam menanamkan cahaya Islam, istiqamah (konsistensi) memegang
tali Allah dan menuai benih-benih cinta, khususnya kepada Ahl al-Bayt
di kawasan ini.

Di sinilah peran dan kontribusi buku ini. Kumpulan artikel dari
berbagai negara ini diharapkan dapat menyemangati kaum sarjana
dan siapa saja yang tertarik untuk menyusuri jejak-jejak Syiah yang
sudah ada di kawasan ini selama berabad-abad. Bagian Pertama akan
memaparkan sejarah dan budaya Syiah di kawasan Asia Tenggara.
Bagian Kedua akan fokus pada penyebaran Syiah di Indonesia. Ini
semua tentunya bertujuan untuk membangunkan kita semua dari
‘tidur lelap’ dan menyadarkan akan pentingnya belajar dari sejarah
yang terbentang panjang dan rumit serta budaya yang kaya dan
bervariasi.

Jalaluddin Rumi, seorang mistikus dan penyair Muslim dari
Persia yang tersohor hingga saat ini, pernah bersenandung dengan
mengatakan: “Kita dapat membangunkan orang yang tidur, tetapi
kita tidak akan pernah bisa membangunkan orang yang berpura-pura
tidur.”Saya berharap bahwa kita semua bukan termasuk golongan
orang-orang yang berpura-pura tidur.[]

Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia
(Edisi Perenial)(Kencana: Jakarta).
Feener, R. Michael, 2004. ‘Hybridity and the “Hadrami Diaspora” in
the Indian Ocean Muslim Networks’ in Asian Journal of Social
Science, 32 (2): 353-372.
Heiss, Johann dan Martin Slama, 2010. “Genealogical Avenues, Long-
Distance Flows and Social Hierarchy: Hadrami Migrants in
Indonesian Diaspora” in Anthropology of the Middle East, 5 (1):
34-52.
Ho, Engseng, 2006, Graves of Tarim: Genealogy and Mobility across the
Indian Ocean.
Ifan, Imam Gozali dan A.M. Shafwan (Penyunting), 2013. Peran Dakwah
Damai: Habaib/‘Alawiyin di Nusantara (Rausyan Fikr Institute:
Yogyakarta).
Khomeini, Ruhollah (Terjemahan oleh Hamid Algar), 2002. Islamic
Government: Governance by the Jurist (Tehran: The Institute for
Compilation and Publication of Imam Khomeini’s Work).
_________________ (Terjemahan oleh Muhammad Anis Maulachela),
2002.Sistem Pemerintahan Islam (Jakarta: Pustaka Zahra).
Ulrike Freitag, 2003. Indian Ocean Migrants and State Formation in
Hadhramaut: Reforming the Homeland.
Marcinkowski, Muhammad Ismail, 2000. “Persian Religious and
Cultural Infl uences in Siam/Thailand and Maritime
Southeast Asia in Historical Perspective: A Plea for a
Concerted Interdisciplinary Approach” in Journal of the Siam
Society, 88 (1 & 2): 186-194.
Mukherjee, Wendy, 2005. “ Fatimah in Nusantara” in Sari 23: 137-152.
Nasr, Vali, 2005. The Shia Revival: How Confl icts within Islam will Shape
the Future(New York: W.W. Norton).
O’Kane, John (Penerjemah), 1972. Muhammad Rabi’ bin Muhammad
Ibrahim, The Ship of Sulayman (New York: Columbia
University Press).
Syed Muhammad Naguib al-Attas, 1967. “New Light on the Life of
Hamzah Fanshuri” dalam JMBRAS 40 (1): 42-51.
KEBANGKITAN SYIAH DI ASIA TENGGARA? xxvii
_____________________________, 1970. The Mysticism of Hamzah
Fanshuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press)
Syariati, Ali, 1980. Fatima is Fatima (Translated by Laleh Bakhtiar)
(Tehran: Syariati Foundation).

SEJARAH & BUDAYA SYIAH
DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA

5
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA:
MENUJU PEMULIHAN
HUBUNGAN DAN KERJASAMA

Azyumardi Azra

Pengantar Dari awal perlu ditekankan berkali-kali bahwa kaum Syiah
adalah saudara kandung kaum Sunni. Lebih jauh lagi, kaum
Syiah adalah bagian hakiki dari Islam. Bersama kaum Ahl as-
Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni, kaum Syiah adalah sayap-sayap Islam
lainnya. Tentunya, ada lebih banyak persamaan daripada perbedaan di
antara mereka karena keduanya benar-benar berasal dari sumber yang
persis sama; mereka taat kepada ajaran-ajaran yang sama yang terkait
dengan iman dan Islam.

Oleh karena itu, tidak perlu membesar-besarkan perbedaanperbedaan
‘sepele’ (furu’iyah) dalam konsep telogis dan praktek
religius tertentu. Di samping itu, ada juga banyak tumpang-tindih
dan pertukaran di antara kaum Sunni dan Syiah dalam banyak aspek
kehidupan religius, politis, sosial, dan budaya.

Saya berargumen bahwa persepsi keliru, ketidakakuratan,
ketegangan, permusuhan, dan bahkan perang berdarah di antara
kedua kelompok banyak terkait dengan politik dan kontestasi
kekuasaan. Faktanya, keberadaan kaum Syiah, Sunni, dan beberapa
kelompok lainnya seperti Khariji adalah hasil konfl ik politis yang
mula-mula terjadi semasa khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang disusul oleh al-fi tnat al-kubra (perang saudara) pada saat munculnnya
Umayah dengan mengorbankan Ali bin Abu Thalib, keluarganya, dan
para pendukungnya, mereka semua disebut saja ‘Syiah’ (‘pihak’ atau
kelompok).

Syiahisme sebagai badan kelompok religius Islami berkembang
dalam perjalanan sejarah, melintasi tapal-tapal batas yang ada di dunia
Muslim, meliputi Nusantara atau kepulauan Melayu-Indonesia atau
Asia Tenggara. Meskipun ada jejak-jejak kaum Syiah di Asia Tenggara,
sejarah Syiahisme di wilayah itu khususnya pada periode awal Islam
Nusantara sebagian besar masih kabur. Hasilnya jelas; ada banyak
kontroversi terkait dengan pernyataan-pernyataan yang kebanyakan
belum didukung oleh bukti yang memadai.

Sejumlah penulis menegaskan bahwa Syiahisme dulu mempunyai
pengaruh yang kuat di Indonesia, khususnya pada tahun-tahun awal
penyebaran Islam di negeri ini. Saya berargumen bahwa tidak ada bukti
yang memadai untuk mendukung penegasan ini (Azra 2000; Azra 1995:
4-19). Kalau pun ada beberapa pengaruh ‘Syiah’, itu sangat dangkal. Tak
diragukan lagi, Syiahisme populer di Indonesia belum begitu lama,
khususnya setelah Revolusi Islam di Iran.

Kendati usaha keras telah dilakukan untuk menyebarkan
Syiahisme ke Asia Tenggara pada periode kontemporer, teristimewa
pasca-pembaharuan Revolusi Islami Ayatullah Ruhollah Khomeini,
Muslim Asia Tenggara tetap berpegang pada doktrin kaum Ahl as-
Sunnah wa al-Jama’ah. Dengan kata lain, kaum Syiah tetap merupakan
minoritas di wilayah itu. Meskipun Muslim Asia Tenggara telah
sangat sukses dalam mengembangkan ‘Wasatiyah Islam’—Islam Jalan
Tengah—, ada kecenderungan makin sulitnya keadaan kaum Syiah
di bagian-bagian tertentu kawasan ini. Seiring menyerbarnya paham
Salafi yah yang berpikiran harafi ah dan radikal di kalangan Muslim
Asia Tenggara, kaum-kaum Syiah di tempat-tempat tertentu, seperti
di Bangil dan Sampang, Madura (keduanya di Jawa Timur) menjadi
sasaran permusuhan.

Warisan Syiah: Kontestasi

Mayoritas kaum Islam di Asia Tenggara adalah Sunni. Penganut
aliran ini juga lazim disebut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau
singkatnya, Sunni. Sejak menjelang penghujung abad ke-12, para guru
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 7
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
dan pedagang Sufi yang berkelana—yang sebagian besar datang dari
Arabia misalnya Hijaz, Irak, dan Mesir—memperkenalkan Sunni ke
Asia Tenggara (Azra 2007). Hasilnya, Sunni kini dianut oleh mayoritas
kaum Muslim di seluruh kawasan Asia Tenggara.
Terlepas dari itu, ada pernyataan-pernyataan dari beberapa
penulis sejarah di dunia Indonesia-Malaysia bahwa Syiahisme sudah
diperkenalkan ke Nusantara pada abad ke-7 dan ke-8. Beberapa penulis
seperti Sunyoto (1987 dan 1991) menegaskan bahwa ada dua tokoh
di antara Walisongo (Sembilan Wali), khususnya Sunan Kalijaga dan
Syeh Siti Jenar yang diklaim mempopulerkan Syiahisme di kalangan
Muslim Jawa. Di sisi lain, nyaris semua kajian ilmiah seperti yang
dilakukan oleh Ricklefs (2012, 2007, dan 2006) atas Islamisasi di Jawa,
misalnya tidak membahas mengenai peran para pendakwah Syiah.
Hal ini menyiratkan bahwa tidak ada bukti bahwa Syiahisme juga
diperkenalkan di Jawa.
Penegasan yang lebih mengherankan diajukan oleh penulispenulis
jenis ini. Mereka, seperti A. Hasymi dan M. Yunus Jamil, betulbetul
menegaskan bahwa kaum Syiah mendirikan Kerajaan Perlak di
wilayah Aceh setelah mengusir kaum Sunni. Akan tetapi, tidak ada
bukti yang meyakinkan yang dapat mendukung penegasan ini (Azra
2000). Setidaknya ada tiga wilayah kontestasi terkait dengan apa yang
dianggap sebagai pengaruh dan warisan kaum Syiah di Asia Tenggara.
Pertama, di bidang politik; kedua, di bidang literatur: dan ketiga, di
bidang ritual-ritual Islami.
Kerajaan-Kerajaan Syiah?
Di bidang politik, para penulis sejarah—bukannya sejarawan
yang menjalani pelatihan yang harus menggunakan metodologi
yang terpercaya—Jamil (1968: 6-19, 37-40) dan Hasymi (1983: 45-
56) menegaskan bahwa kaum Syiah merupakan kekuatan politis
yang sangat kuat Asia Tenggara. Tanpa bukti apa pun yang dapat
diandalkan, mereka mengklaim bahwa kekuatan-kekuatan politis
kaum Sunni dan Syiah terlibat dalam pertarungan sengit meraih
kekuasaan di Nusantara sejak penyebaran Islam mula-mula di wilayah
itu.
Keduanya berkukuh lebih lanjut bahwa kerajaan Islam pertama di
Nusantara adalah Perlak yang didirikan pada 225 Hijriyah/845 Masehi
8 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
oleh para pedagang dan pelaut Muslim yang berasal dari Persia, Arab,
Gujarat, dan India serta mereka mengislamkan penduduk lokal.
Mereka membawa seorang Sayyid Mawlana ‘Abd al-Aziz Shah, orang
Quraisy, untuk bertakhta sebagai Sultan. Berkat kekuasaannya, kaum
Muslim setempat segera menganut Syiahisme.
Menurut ‘kisah’ Hasymi, kekuasaan politis kaum Syiah di
Kesultanan Perlak bukan tanpa perlawanan dari kaum Sunni. Dia
menegaskan bahwa selama pemerintahan Sultan Syiah ketiga, Ala’
al-Din Sayyid Mawlana Abbas (memerintah 285-300 Hijriyah/889-913
Masehi), kaum Sunni memberontak selama dua tahun sebelum
ditindas oleh Sang Sultan Syiah. Tidak berakhir sampai di situ karena
kaum Sunni kembali mengangkat senjata melawan penguasa Syiah,
Sultan Ala’ al-Din Mawlana Ali Mughayat Shah (memerintah 302-
5 Hijriyah/915-8 Masehi). Kali ini, kaum Sunni berhasil mengakhiri
kekuasaan kaum Syiah; mereka membentuk Kesultanan Sunni dengan
seorang penguasa Perlak pribumi yang bernama Meurah ‘Abd al-Qadir
bergelar Sultan Makhdum Ala’ al-Din Malik Abd al-Qadir Shah Johan
Berdaulat (memerintah 306-10 Hijriyah/918-22 Masehi).
Akan tetapi, seperti yang diceritakan Hasymi lebih lanjut kepada
para pembaca, Kaum Syiah tidak berdiam diri; mereka benar-benar
melakukan perlawanan bawah tanah terhadap penguasa Sunni.
Hasilnya, semasa akhir kekuasaan Sultan Makhdum Ala’ al-Din Abd
al-Malik Shah Johan Berdaulat (memerintah 334-61 Hijriyah/946-73
Masehi), kaum Syiah mampu melancarkan pemberontakan terbuka
yang berlangsung selama empat tahun; dan pada akhirnya mereka
memaksa Sang Sultan untuk menerima suatu ‘persetujuan damai’.
Menurut persetujuan ini, Kesultanan Perlak dibagi menjadi dua:
Perlak daerah Pantai diperintah oleh kaum Syiah yang dipimpin oleh
Sultan Ala’ al-Din Sayyid Mawlana Mahmud Shah (memerintah 365-
77 Hijriyah/976-88 Masehi); dan Perlak pedalaman dipimpin oleh
Sultan Mahmud Ala’al-Din Malik Ibrahim Shah (memerintah 365-
402 Hijriyah/976-1012 Masehi). Kisah berlanjut dengan wafatnya
Sultan Syiah daerah Pantai ketika Sriwijaya yang Buddhis menyerang
kesultanan itu; akibatnya, Sultan Sunni mampu mengendalikan semua
wilayah Perlak.
Itulah kisah pertarungan kekuasaan di antara kaum Syiah dan
Sunni yang dikisahkan Hasymi kepada para pembacanya. Tidak ada
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 9
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
acuan kepada sumber-sumber, selain kepada karya Jamil. Sayangnya,
yang belakangan, juga tidak menyebutkan sumber-sumbernya.
Jamil menegaskan lebih jauh bahwa pertarungan kekuasaan tidak
hanya terjadi di Perlak, tetapi juga di Kesultanan Samudera-Pasai.
Rincian tentang apa yang terjadi di Samudera-Pasai disediakan oleh
Hasymi yang mengatakan bahwa kaum Syiah Perlak, menghadapi
situasi yang sangat sulit di Perlak, pindah ke Samudera-Pasai, dan
mencoba mengendalikannya. Pada akhirnya mereka sangat berhasil
dengan naiknya Arya Bakoy Maharaja Ahmad Permala ke lingkaran
kekuasaan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiju (memerintah 801-31
Hijriyah/1400-28 Masehi). Disebutkan Arya Bakoy adalah seorang Syiah
yang sangat ekstrim. Dia mengeluarkan perintah untuk membunuh
sekitar 40 ‘ulama’ Sunni. Hal ini menyebabkan perang saudara lainnya
di antara kaum Syiah dan Sunni; dan berkat Sultan Aceh Mahmud II
Ala’al-Din Johan Shah (memerintah 811-70 Hijriyah/1409-65 Masehi),
Arya Bakoy terbunuh. Itulah akhir petualangan politis kaum Syiah di
wilayah itu.
Meskipun terjadi pengunduran politis, Hasymi menegaskan
bahwa Syiahisme tetap berpengaruh di masyarakat Aceh. Dia bahkan
mengklaim bahwa salah satu ‘ulama’ termasyhur abad ke-17, Shas al-
Din al-Sumatrani adalah seorang Syiah (Hasymi 1983:53). Ada banyak
riset yang telah dilakukan para sarjana lain, tetapi tak satu pun dari
mereka yang pernah menemukan bukti bahwa al-Sumatrani menganut
Syiahisme.
Legenda-legenda yang lebih dramatis mengenai ‘pertarunganpertarungan’
kekuasaan dan ‘pengaruh’ Syiahisme di Indonesia—
dalam hal ini di wilayah Minangkabau—disusun oleh Onggang
Parlindungan (n.d). Dalam bukunya Tuanku Rao, yang menurut
pengarangnya disusun dari sumber-sumber yang 80 persen telah
terbakar habis, Parlindungan menegaskan hal-hal yang disebut Hamka
disebut sebagai ‘khayalan’. Dia mengklaim bahwa dalam periode
hingga munculnya gerakan kaum Paderi di Sumatra Barat pada awal
abad ke-19, kaum ‘ Karmatiyah’ (Qarmatiyah) telah mengendalikan
kehidupan politis dan religius Kerajaan Pagaruyung selama kira-kira
300 tahun.
Lebih lanjut, Parlindungan mengklaim bahwa Kerajaan
Pagaruyung adalah Syiah Karmatiyah [sic.]… sementara itu seluruh
10 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
dunia Minangkabau pada periode 1513-1813 mengikuti dengan
kelompok Syiah. Kaum Syiah sangat dominan, mereka juga
mendirikan sebuah ‘universitas’ Syiah di Ulakan, Pariaman di bawah
kepemimpinan Tuanku Laksamana Shahbandar Burhanuddin I dari
Aceh. Kemudian, tak kurang dari 1.800 mullah Syiah ‘ Karmatiyah’
tinggal Minangkabau (bdk. Hamka 1974: 78-120).
Hamka telah menunjukkan secara meyakinkan kekeliruan
pernyataan Parlindungan sehingga tak perlu diulangi lagi di sini.
Meskipun Hamka tidak memberi dokumentasi penuh sumber-sumber
untuk mendukung argumen-argumennya yang tak terkalahkan, semua
sumbernya dapat dilacak dan diverifi kasi.
Masalah utama dengan Yunus, Hasymi, dan Parlindungan adalah
kepercayaan mereka pada sumber-sumber yang tidak diverifi kasi.
Mereka masing-masing saling menggunakan sumber ‘satu-satunya’
dan ‘tunggal’ yang pada dasarnya adalah ‘historiografi tradisional
lokal’ yang dalam banyak hal sangat problematik.
Kembali kepada pertarungan yang disebut ‘politis, kekuasaan,
dan religius di antara kaum Syiah dan Sunni di Asia Tenggara, tidak
ada bukti bahwa ada entitas politis Islam di wilayah itu pada abad ke-
9. Meskipun para pedagang Muslim yang datang dari Arabia telah
ada di pelabuhan Sriwaya pada abad ke-8, juga tidak ada bukti bahwa
sudah ada konversi penduduk lokal ke Islam dalam jumlah yang
signifi kan. Konversi massal kepada Islam terjadi sebagian besar mulai
dari penghujung abad ke-12 dan kedepannya (Azra 2007 dan 2004).
Di sisi lain, dari perspektif global dunia Muslim, selama periode
yang diduga sebagai masa pertarungan mereka dengan kaum Sunni di
Nusantara, Kaum Syiah belum terkonsolidasi sebagai suatu kekuatan
politis. Orang perlu mengingat bahwa kaum Syiah masih berantakan
setelah tragedi awal sejak masa khalifah ketiga dari para ‘Khalifah
Yang Memperoleh Petunjuk’ (al-Khulafa’ al-Rashidun), Ali (memerintah
35-40 Hijriyah/656-661 Masehi) dengan Perang Siffi n (37 Hijriyah/567
Masehi), pengambilalihan kekuasaan politis dari Hasan bin Ali bin
Abu Thalib oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang mendirikan Dinasti
Umayah (40-132 Hijriyah/661-750 Masehi), pembunuhan Husein bin
Ali di Karbala oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah (61 Hijriyah/680
Masehi) hingga mereka ditinggalkan oleh Abbasiyah (132-656
Hijriyah/749-1258 Masehi) yang dulu mereka dukung pendiriannya.
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 11
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
Jauh lebih belakangan pada periode Abbasiyah, kaum Syiah
pada umumnya mendapat perlindungan dari para penguasa Sunni.
Perlindungan ini juga diberikan kepada dinasti-dinasti Syiah regional yang
muncul pada waktu itu seperti Buwaihi (Ing., Buyid, dari Syiah Zaidiyah,
didirikan 334-447 Hijriyah/945-1055 Masehi di Persia Utara), yang
bertumpang-tindih dengan Dailamiyah (Syiah Zaidiyah, didirikan 334
Hijriyah/945 Masehi), Hamdaniyah (didirikan 277-395 Hijriyah/890-1004
Masehi di Irak), dan Fatimiyah (Syiah Isma’iliyah, didirikan 297-567
Hijriyah/909-1171 Masehi di Tunisia dan Mesir). Semua dinasti Syiah ini
pada umumnya menjalankan kebijakan yang bersahabat dengan kaum
Sunni; para penguasanya tidak memaksakan konversi rakyat Sunninya
kepada Syiahisme. Ini adalah salah satu alasan paling penting mengapa
Mesir tetap Sunni selama periode dinasti Fatimiyah.
Lebih lanjut, dinasti-dinasti atau kesultanan-kesultanan Syiah ini
rukun dengan Abbasiyah di Baghdad, mengakui para penguasanya
sebagai khalifah dan juga dengan dinasti-dinasti Sunni regional
yang kuat seperti kaum Saljuk (Turki-Sunni, didirikan 429-590
Hijriyah/1037-1194 Masehi di Anatolia-Syria-Asia Tengah- Persia),
Ayyubiyah (didirikan 567-741 Hijriyah/1171-1341 Masehi, berpusat di
Mesir). Para penguasa Sunni ini nyatanya bekerjasama dengan rekan
Syiah mereka dalam mencegah penyebaran kelompok-kelompok Syiah
radikal ( Al- Ghulat), termasuk kaum Syiah Qaramitah, yang disebut
dengan salah oleh Parlindungan sebagai “ Karmatiyah” dan diduga
memerintah dunia Minangkabau selama 300 tahun.
Meskipun terjalin hubungan baik, ada bukti yang cukup bahwa
bentrokan-bentrokan yang jarang dan sebentar-sebentar benar-benar
terjadi di kalangan kelompok-kelompok tertentu antara kaum Sunni
dan Syiah. Akan tetapi, tampaknya konfl ik itu lebih bersifat religius
daripada ideologis dan politis. Oleh karena itu, saya berargumen
bahwa pertarungan ideologis dan politis di kalangan kaum Syiah
dan Sunni mulai intens dengan kemunculan Dinasti Savafi d di Persia
(907-1145 Hijriyah/1501-1736 Masehi). Dinasti itu didirikan oleh
Shah Isma’il, yang sebenarnya berasal dari kaum Sufi Safavid, yang
kemudian mendeklarasikan Syiahisme sebagai basis kegamaan yang
resmi. Untuk maksud itu, dia mewajibkan semua pengkhotbah (khatib)
selama shalat Jumat untuk berusaha meneladani Ali di satu sisi dan
mengkritisi sebagian para sabahat serta semua penguasa Umayah and
Abbasiyah di sisi lain.
12 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
Shah Isma’il bertindak lebih jauh dengan menundukkan kaum
Sunni di daerah-daerah seperti Hamadan, Isfahan, dan Shiraz. Akan
tetapi, pergerakannya ke arah barat ditahan oleh Sultan Selim dari
Kesultanan Utsmani. Munculnya Dinasti Safavid mengakhiri sejarah
Persia sebagai salah satu pusat pemikiran dan ortodoksi Sunni. Sejak
itu, Persia menjadi pusat aktivisme keagamaan dan politis Syiah yang
paling kuat.
Penting dicatat bahwa kemunculan Dinasti Savafi d jauh lebih
belakangan dibandingkan tanggal yang diklaim para penulis yang
telah disebutkan di muka sebagai masa ketika kaum Syiah merupakan
penguasa beberapa kesultanan di Nusantara dan terlibat dalam
pertarungan-pertarungan sengit dengan kaum Sunni di wilayah itu. Di
Asia Barat pun, Dinasti Savafi d gagal menciptakan momentum untuk
penyebaran Syiahisme di wilayah itu. Kontrasnya, munculnya Dinasti
Savavid merupakan daya pendorong bagi dinasti-dinasti Sunni untuk
melakukan re-konsolidasi dan penguatan kembali Sunni; hal ini secara
khusus terlihat nyata pada Dinasti Utsmani yang berperan penting
dalam penguatan kembali ortodoksi dan solidaritas Sunni. Itulah
sebabnya mengapa sejak abad ke-16, kesultanan Aceh mengirimkan
duta berturut-turut ke Istanbul, yang mengakui bahwa kesultanan itu
adalah vasal kesultanan Utsmani (Azra 2007: 148-76).
Oleh karena itu, tradisi politis Sunni yang dipengaruhi Persia
dan juga segelintir kata-kata Persia menemukan jalan dan tanah yang
subur di kesultanan-kesultanan Nusantara. Akan tetapi, perlu diingat
yaitu orang tidak boleh melompat pada kesimpulan bahwa pengaruh
Persia identik dengan kaum Syiah. Mereka menerima dengan mudah
tradisi politis Sunni yang ‘terpersiakan’ karena tidak ada hubungannya
dengan Syiahisme.
Semua diskusi di atas membawa kita ke salah satu argumen utama
makalah ini bahwa Syiahisme sebagai ideologi dan entitas politis
tidak pernah ada di Nusantara. Penegasan mengenai ‘pertarungan’
dan ‘kekuasaan politis’ kaum Syiah yang diduga ada di kesultanankesultanan
di Asia Tenggara lebih didasarkan pada persepsi konfl ik
abad pertengahan dan modern di antara kedua sayap Islam itu yang
diproyeksikan ke masa lampau.
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 15
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
Jejak-jejak Persia dan Syiahisme
Jika tidak ada bukti kekuasaan politis kaum Syiah di bagian-bagian
tertentu Nusantara, ada bukti Syiahisme dalam praktek-praktek dan
literatur religius Sunni. Sekali lagi, dengan menyatakan ini, orang harus
mengingat bahwa ini tidak berarti dominasi politis Syiah di Nusantara.
Akan tetapi, sekali lagi orang tidak boleh mengidentikkan pengaruh
Persia dengan Syiahisme.
Sebagaimana ditunjukkan Milner (1989: 159), mulai periode
Abbasiyah, pemikiran, dan praktek politis Sunni telah dipengaruhi
secara kuat oleh ke budayaan politik Sasanian di Persia yang notabene
berdiri di era pra-Islam. Pengaruh-pengaruh Persia-Sassanian pada
kebudayaan politik Sunni antara lain absolutisme penguasa seperti yang
dapat dilihat dengan jelas di dalam prinsip bahwa para pengusa adalah
‘Bayangan Tuhan di Bumi’ (ziil Allah fi al-ard). Absolutisme ini diperkuat
oleh prinsip lain bahwa tidak ada tempat untuk perselisihan—jangankan
pemberontakan—atau bughat di kalangan penduduk melawan penguasa.
Aura membingungkan yang mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri,
menyempurnakan absolutisme para penguasa.
Lebih lanjut, ketika Dinasti Abbasiyah terus mengalami
kemunduran, tradisi politik Sunni yang terpersiakan diadopsi oleh
para sultan hampir di semua bagian di dunia Muslim, termasuk
di Nusantara. Mereka tidak hanya mengadopsi fi qh siyasah yang
dirumuskan oleh ulama Sunni dan absolutisme para sultan, juga
simbol-simbol, etika, dan upacara-upacara yang memperkuat posisi
sultan vis-a-vis rakyatnya.
Pengaruh Persia di Nusantara sebagian juga dipelajari lebih awal
oleh Marrison (1955). Marrison berargumen bahwa Sejarah Melayu, salah
satu historiografi paling penting mengenai awal Islam di Nusantara,
menandakan pengaruh Persia. Sebagai contoh, para Sultan Indonesia-
Melayu merunut kembali genealoginya kepada Iskandar Zulkarnain
(Alexander Agung) yang termasyur.
Tak kalah pentingnya, Melaka pertama, menggunakan nama
kehormatan Sultan Iskandar Shah. Dan gelar ‘Shah’ juga diadopsi
banyak penguasa di Nusantara, dan digunakan bersama dengan
‘Sultan’. Akan tetapi, Marrison mengingatkan kita bahwa pengaruh
demikian di dalam tradisi politik Indonesia-Malaysia datang lewat
India, tidak langsung dari Persia (Marrison 1955:54).
16 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
Percampuran sumber-sumber Persian dan India, Marrison
berargumen lebih lanjut, juga dapat dilihat di dalam cerita mengenai
keturunan Bendahara Melaka. Menurut Sejarah Melayu, Bendahara
Melaka adalah keturunan seorang ‘Mari Purindan’ putra ‘Nizam al-
Mulk Akar Shah’, seorang raja sebuah negeri di ‘Daratan Keling’.
Meskipun acuan kepada nama dan tempat ini membingungkan, ada
beberapa nama Sejarah Melayu yang mengingatkan kita kepada Saljuk,
mereka adalah Nizam al-Mulk (wafat 484 Hijriyah/1092 Masehi), Alp
Arslan (memerintah 455-472 Hijriyah/1063-72 Masehi) dan Malik Shah
(memerintah 472-485 Hijriyah/1072-92 Masehi).
Nizam al-Mulk jelaslah bukan ‘Raja Pahili’, melainkan para perdana
menteri (wazir) yang terkenal dan berpengaruh pada era Dinasti Saljuk,
salah satu pembela ortodoksi Sunni yang paling bersemangat. Nizam
al-Mulk, seperti yang umumnya diketahui adalah pendiri madrasah
Nizam al-Mulk di Baghdad dan tempat-tempat lain—pusat ortodoksi
Sunni, di sanalah Imam besar Al-Ghazali bertugas sebagai guru.
Selanjutnya, apa yang ingin disampaikan Sejarah Melayu adalah
bahwa Nizam al-Mulk adalah seorang tipe ideal penguasa Muslim,
yang merupakan seorang Sunni yang bersemangat meskipun namanya
terdengar- Persia. Argumen ini tampaknya didukung oleh Taj al-
Salatin (1603), sebuah kitab Melayu yang diterjemahkan dari kitab asli
berbahasa Persia. Kitab itu merupakan buku panduan bagi penguasa
Muslim. Salah satu sumber utamanya adalah buku yang ditulis Nizam
al-Mulk, Siyasat al-Mulk (Marrison 1955: 55).
Taj al-Salatin jelas mempunyai warna Persia yang kuat. Edisi Melayu
buku itu kemungkinan diselesaikan oleh Bukhari al-Jawhari pada 1603
di Aceh. Semua tokoh dan orang yang disebutkan di dalam kitab itu
mempunyai nama-nama Persia atau yang terpersiakan. Puisi-puisi yang
dikutip di dalam kitab itu juga bentuk yang terpersiakan seperti mathnawi,
ruba’i, dan ghazal. Lagipula, kata ‘nauru’ digunakan untuk mengacu
kepada ‘tahun baru’. Selain itu, ada juga kutipan puisi-puisi yang ditulis
oleh Sufi Persia termasyhur, Farid al-Din al-Attar (Wafat kira-kira 628
Hijriyah/1230 Masehi); penyebutan akan kisah cinta Persia mengenai
Mahmud dan Ayaz; acuan kepada kisah-kisah Persia mengenai Khusraw
dan Shirin. Lebih dari itu, Nushirwan, seorang penguasa Persia pra-Islam
juga disebutkan sebagai contoh penguasa non-Muslim yang baik dan
menjalankan keadilan (Winstedt 1961: 137-41).
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 17
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
Terkait dengan nama-nama dan kisah-kisah Persia di atas, ada juga
suatu argumen bahwa pengaruh Syiah di Nusantara juga dapat diamati
dari dunia Persia yang lain yang diduga telah beredar di wilayah itu
sejak periode awal penyebaran Islam. Memang ada sejumlah kata-kata
Persia yang ditemukan di dalam bahasa-bahasa lokal di Nusantara,
khususnya Melayu dan belakangan juga digunakan di dalam Bahasa
Indonesia. Beg (1982) yang melakukan riset pada beberapa kampus
Melayu menyimpulkan bahwa ada sekitar 77 kata Persia yang dulu
(dan, masih) digunakan dalam dunia Indonesia-Melayu.
Ambil contoh beberapa kata yang paling sering digunakan di
masa kini adalah, kanduri (pesta, semula berarti saat makan komunal
untuk mengenang Fatimah, putri Nabi Muhammad), astana (atau,
istana), bandar (pelabuhan), bedebah (jahat), biadab (tak beradab, bersifat
barbar), bius (obat bius, membius), diwan (dewan), gandum, jadah (anak
haram), lashkar (atau, lasykar, tentara), nakhoda (kapten kapal), tamasya,
saudagar, pasar (atau bazar), shahbandar (penguasa pelabuhan), pahlawan,
piala, kawin, nisan, anggur, takhta, dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, penting dicatat bahwa beberapa kata Persia masuk
ke dalam bahasa Melayu melalui Bahasa Arab, seperti diwan (dewan),
maydan (medan, lapangan), bakhshish (tip, atau sogok), fi rdawus (surga) dan
fi rman (dalam Bahasa Persia/Arab, Melayu, ‘perintah raja’ atau wahyu).
Beg mencatat bahwa dalam kenyataannya setidaknya ada 230 kata
Persia yang dipinjam dari Bahasa Arab, yang dikemudian hari masuk
ke dalam Bahasa Melayu. Berdasarkan hal itu Beg menyimpulkan
bahwa Bahasa Melayu tidak pernah mengalami sejenis ‘Persianisasi’
seperti yang terjadi pada Bahasa Urdu.
Terkait dengan isu bahasa ini, artikel penting seorang sarjana
Belanda, Pijnappel (1872) juga mengakui penggunaan beberapa kata
Persia di kalangan Muslim Indonesia-Melayu. Artikel yang juga telah
digunakan untuk menunjukkan pengaruh Syiahisme di Nusantara
berargumen bahwa kata-kata Persia tersebut dibawa orang Arab yang
memperkenalkan Islam ke Nusantara lewat Samudra Hindia melalui
beberapa pelabuhan di pantai Persia dan India (Bdk. Pijnappel 1872;
Azra 1990: 2).
Akan tetapi, seperti Pijnappel dan Beg, Bausani berargumen
bahwa kata-kata Persia itu tidak dibawa secara langsung dari Persia
melainkan dari India. Menurut Bausani, setidaknya 90 persen dari
18 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
semua kata Persia yang beredar di Nusantara kebanyakan digunakan
sebagai nama untuk benda-benda konkret. Sebaliknya, kurang dari 10
persen adalah istilah yang berkaitan dengan pandangan dunia abstrak
dan konsep-konsep religius (Bausani 1964: 32).
Usaha-usaha untuk melacak pengaruh Syiah melalui bahasa
di Nusantara pra-kesultanan dan pra-kolonial dilakukan beberapa
pakar dalam literatur Melayu seperti L.F. Brakel (1975) yang
menghabiskan lebih dari sembilan tahun untuk meriset bidang ini.
Dia memberi perhatian utamanya pada naskah-naskah yang diduga
memuat pengaruh Syiahisme. Dalam salah satu kesimpulannya
mengenai Hikayat Hanafi yah—mengenai Ali dengan seorang wanita
suku Hanafi yah, yang kemudian menjadi Syiah Kaisaniyah—Brakel
berkukuh bahwa pengaruh Syiahisme tidak signifi kan di Nusantara
(bdk. Wieringa 1996).
Pada riset selanjutnya untuk 29 naskah klasik Melayu lainnya,
Brakel beranjak lebih jauh dengan menunjukkan bahwa ada banyak
inkonsistensi mengenai apa yang diduga sebagai ajaran Syiah. Pada
saat yang sama, Brakel menemukan satu naskah, diperkirakan ditulis
pada 1827, yang menujukkan sikap anti-Syiah yang kuat.
Kesimpulan serupa juga diajukan oleh Baried (1976). Setelah
mengkaji 17 hikayat yang memuat beberapa kisah mengenai tokohtokoh
Syiah seperti Ali atau Muhammad Hanafi yah dan menyimpulkan
bahwa memang ada beberapa unsur yang dapat menandakan suatu
pengaruh Syiah di Nusantara. Akan tetapi, semua unsur ini sangat
terpotong-potong; tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa prinsipprinsip
Syiahisme benar-benar ada di dalam literatur itu.
Mempertimbangkan kajian para sarjana yang disebut di atas,
jelaslah bahwa memang ada beberapa jejak Persia atau beberapa unsur
Syiah dalam literatur klasik Nusantara. Oleh karena itu, penegasan akan
Syiah di Nusantara tidak didukung oleh bukti yang memadai dan kuat.
Tabut dan Sufi sme
Selain klaim-klaim tidak berdasar yang didiskusikan di atas,
para pendukung pengaruh Syiah di di Nusantara menegaskan bahwa
pengaruh itu juga dapat dilihat dalam beberapa praktek religius kaum
Sunni di wilayah itu. Salah satu contoh yang sering dikutip adalah
perayaan Hari Ashura untuk memperingati kematian Husein di tangan
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 19
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
pasukan Yazid bin Mu’awiyah pada 10 Muharram 61 Hijriyah/10
Oktober 680 Masehi di Karbala, Irak. Di Aceh, peringatan ini disebut
Bulan Asan Usen (Bulan Hasan dan Husein), di Sumatra Barat disebut
Bulan Tabuik (BulanTabut), dan di Jawa disebut Bulan Sura atau Suro
(bulan Ashura).
Selama peringatan itu, beberapa keluarga Muslim di Aceh
menyiapkan makanan istimewa yang disebut Kanji Acura, dibuat
dari beras ketan, kacang tanah, buncis, santan dan gula. Kanji Acura
dimasak secara bersama-sama di meunasah, suatu tempat untuk untuk
pertemuan keagamaan. Orang Aceh percaya bahwa Ashura adalah
bulan yang berbahaya karena contoh Karbala. Demikian pula, di
beberapa tempat lain di Nusantara, hari 10 Muharram dipandang
sebagai ‘hari yang buruk’; disarankan agar keluarga tidak melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan penting seperti mengawinkan putri, menyunat
anak laki-laki, dan menanam padi. Mereka percaya, jika keluarga tetap
melakukan hal-hal itu, akan terjadi malapetaka tertentu.
Penegasan dugaan adanya kaum Syiah juga diajukan dengan
menunjukkan ‘Pesta Tabut’ di Pariaman dan Bengkulu untuk
memperingati kematian Husein—keduanya di pantai barat Sumatera.
Di Pariaman, tabut itu juga sering disebut Oyak Usen. Selama Oyak Usen
ini tabut Husein dibawa dan digoyang-goyang oleh massa yang marah
dan berduka cita. Tabut ditaruh di atas bouraq, seekor kuda bersayap
dan berkepala betina; ada juga kafan dengan hiasan-hiasan indah dan
payung-payung di atasnya (Bachyul Jb 2006: 1).
Tidak perlu menceritakan kembali pelukisan yang rinci dan hidup
mengenai perayaan Tabut di Bengkulu yang pertama kali disajikan
oleh seorang pejabat Belanda, O.L . Helfrich dalam karyanya ‘Het
Hasan-Hosein Taboet Feest in Bencoelen’ (1888). Hal yang penting adalah
bahwa pesta atau perayaan Tabut itu diperkenalkan ke Pariaman dan
Bengkulu bukan oleh para Muslim setempat, melainkan oleh beberapa
serdadu Sepooy—yang kebetulan adalah kaum Syiah—yang berasal
dari Delhi, India, yang menemani Sir Stamford Raffl es ke pantai barat
Sumatra, khususnya wilayah Pariaman dan Bengkulu pada 1795-1824
Masehi (bdk. Feener 1999).
Perlu dijelaskan bahwa meskipun perayaan tabut belakangan
diadopsi oleh kaum Muslim setempat di kedua tempat itu setelah
Inggris meninggalkan Sumatra dan Jawa—di Pariaman, katanya
20 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
pada 1831—itu tidak harus berarti bahwa mereka beralih menganut
Syiahisme. Seperti yang ditunjukkan oleh Ronkel (1914), yang juga
melakukan riset mengenai kehidupan keagamaan Muslim di wilayah
Pariaman, khususnya di Ulakan (1914b)—tradisi Tabut di Pariaman—
begitu juga di Bengkulu—tidak menandakan dalamnya pengaruh Syiah
di kedua tempat itu, jangankan di seluruh Nusantara. Itulah sebabnya,
hampir tidak ada perlawanan dari Muslim Pariaman dan Bengkulu
ketika pada 1980-an pemerintah Indonesia mengubah perayaan Tabut
dari peristiwa yang mempunyai kaitan keagamaan menjadi daya tarik
utama wisatawan.
Dengan demikian, tradisi Tabut di Pariaman dan Bengkulu sangat
berbeda dengan tradisi serupa yang disebut Takziyeh di Iran Syiah
sejak masa Dinasti Savafi d pada awal abad ke-16. Takziyeh benar-benar
sarat dengan ideologi religio-politis Syiah; muatan ini jelas absen
dalam perayaan Tabut di Pariaman dan Bengkulu. Praktek religius lain
kaum Muslim Asia Tenggara yang sering dikaitkan dengan Syiahisme
adalah Tahlilan, mengumandangkan laa ilaaha illa Allah (tidak ada
Tuhan selain Allah) dan juga Allahu Akbar (takbir, Allah Maha Besar),
dan Alhamdulillah (tahmid, syukur hanya kepada Allah) yang menyusul
wafatnya seorang anggota suatu keluarga. Praktek itu sangat lazim
hampir di semua tempat di wilayah itu berdasarkan pada prinsip afdal
al-a’mal, perbaikan praktek-praktek keagamaan.
Penegasan bahwa praktek itu adalah pertanda pengaruh Syiah
lagi-lagi tidak ditemukan. Sebaliknya, ada penegasan tandingan
bahwa praktek itu diambil alih kaum Muslim dari sisa-sisa pra-Islam
yang belakangan di-Islamkan. Oleh karena itu, kaum Wahabiyahyah-
Salafi yah yang puritan menegaskan bahwa praktek itu adalah bid’ah
dalalah, pembaharuan kegamaan yang tidak berdasar yang dapat
membawa kaum Muslim yang melaksanakannya masuk neraka.
Praktek Tahlilan dan Wiridan, menyanyikan ingatan akan Tuhan
tentu saja semula sangat lazim di kalangan kaum Muslim yang
mempraktekkan Tasawwuf (Sufi sme). Tradisi Sufi tentu saja jauh
lebih kuat di kalangan Sunni dari pada kaum Syiah. Jika kaum Sunni
mengambil dua jenis Sufi sme—yaitu Tasawwuf ‘Amali (Sufi sme praktis
dan etis) dan Tasawwuf Falsafi (Sufi sme fi losofi s), kaum Syiah cenderung
menekankan yang jenis yang belakangan. Sebenarnya kaum Syiah
tidak pernah mengembangkan suatu Sufi sme Syiah yang khas; mereka
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 21
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
kebanyakan mengambil Sufi sme fi losofi s seperti yang disebarkan oleh
Abu Yazid al-Bistami (189-260 Hijriyah/804-874 Masehi, yang terkenal
dengan konsep ittihad), Mansur al-Hallaj (244-309 Hijriyah/858-922
Masehi yang masyhur dengan konsep hulul), dan Ibn ‘Arabi (561-637
Hijriyah/1165-1240 Masehi, yang terkenal dengan konsep Wahdat al-
Wujud).
Ini merupakan suatu titik kebersamaan di kalangan kaum Sunni
dan Syiah. Titik lainnya adalah konsep Al-Insan al-Kamil (manusia
sempurna atau universal) sebagaimana dirumuskan oleh banyak
pemikir Sufi , khususnya Ibn Arabi dan Abd al-Karim al-Jili (768-828
Hijriyah/1366-1424 Masehi). Menurut konsep ini, selalu ada seorang
manusia kapan pun di dunia ini yang merupakan saluran dan perantara
sempurna untuk rahmat Tuhan kepada semua umat manusia. Pada
terminologi Sufi , manusia sempurna ini juga disebut qutb (kutub
atau poros) yang terus-menerus dalam kedaan kemurnian (wilayah),
bebas dari segala jenis dosa. Pada titik ini orang dapat melihat sejenis
kesejajaran di antara konsep qutb dan konsep ma’sum, yang sempurna,
yang hanya dimiliki para imam kaum Syiah.
Akan tetapi, justru kesejajaran di antara kedua konsep itulah yang
menciptakan sejenis ketegangan konseptual yang gawat di antara Sufi sme
dan Syiahisme. Qutb dalam Sufi sme adalah yang tertinggi dalam capaian
dan kepemimpinan spiritual dan juga satu-satunya perantara (wasilah)
untuk pria dan wanita agar dapat lebih dekat kepada Tuhan. Dengan ini,
Qutb bertentangan dengan para imam yang dalam Syiahisme memainkan
peran khusus itu. Ketundukan kaum Sufi kepada Qutb berbenturan
dengan kesetiaan total kaum Syiah kepada para imam.
Kontrasnya, tidak ada konfl ik demikian di kalangan kaum Sunni
hanya karena mereka tidak mempunyai jenis konsep imam tersebut.
Itulah sebabnya tidak ada masalah bagi kaum Sunni untuk memasukkan
beberapa Imam Syiah seperti Ali, Fatimah, Hasan, Husein, Zayn al-
‘Abidin, Ja’far Sadiq, dan bahkan Ali al-Rida, imam ke-8, dalam tariqah
silsilah mereka—genealogi golongan Sufi , tetapi jelas kendati demikian,
kaum Sufi tidak niscaya menganut Syiahisme.
Menuju Kebangkitan Kembali
Perdebatan mengenai apa yang disebut pengaruh Syiahisme
kepada Indonesia tentu saja masih berlanjut sampai hari ini. Tampaknya
22 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
tidak ada cara untuk menyelesaikan kontroversi itu karena perdebatan
kebanyakan didasarkan pada klaim-klaim ideologis dari pada hal lain
apapun.
Meskipun ada perdebatan panjang yang tak terselesaikan, yang
jelas jejak-jejak kehadiran Syiah pada periode-periode pasca-kesultanan
dan kolonial di Nusantara tampak susut ke dalam kekaburan. Berbicara
secara historiografi s, selain beberapa cerita mengenai perayaan Tabut
di Pariaman dan Bengkulu, hampir tidak ada cerita lokal atau laporan
kolonial mengenai keberadaan dan perkembangan Syiahisme.
Meskipun kabur, seperti yang ditunjukkan Zulkifl i (2009 dan
2004), pembentukan komunitas Syiah benar-benar dimulai sejak
penghujung abad ke-19 berbarengan dengan bertambahnya jumlah
migrasi orang Hadhrami dari Yaman ke Nusantara. Dengan demikian,
benih-benih komunitas Syiah di wilayah itu adalah orang-orang yang
berasal dari Hadrami, khususnya yang berasal dari Ahl al-Bayt, yang
umumnya dikenal sebagai Sayyid (untuk laki-laki) dan Sharifah (untuk
perempuan).
Akan tetapi, argumen saya adalah bahwa mayoritas orang
Hadhrami dulu (dan masih) adalah Sunni, mulai dari orang-orang
yang tergolong kelompok-kelompok Muslim arus utama yang moderat
hingga perkumpulan-perkumpulan berpikiran harafi ah, kalau
bukannya radikal, yang taat kepada Salafi sme moderat atau sebaliknya
Wahabiyahyah radikal. Sebagaimana dapat diamati di masa kini,
ada pertarungan dan konfl ik internal yang serius di kalangan orang
Hadhrami—Ahl al-Bayt atau sebaliknya—terkait dengan Syiahisme.
Sejauh menyangkut ulama Syiah terkemuka selama periode kolonial
Belanda di Nusantara, studi Zulkifl i memberikan laporan yang agak
menyeluruh. Mengutip suatu laporan yang ditulis oleh Muhammad
Asad Shahab (1910-2001), seorang Sayyid Syiah yang berprofesi sebagai
jurnalis dan penulis, ada sejumlah keluarga Sayyid Syiah Hadrami
seperti Al-Muhdar, Yahya, Shahab, Al-Jufri, Al-Haddad dan Al-Saqqaf
(Zulkifl i 2009: 16). Sekali lagi, tentunya patut diargumenkan bahwa tidak
semua keluarga ini penganut Syiahisme; kemungkinan besar mayoritas
dari mereka dulu adalah (dan masih) Sunni.
Itulah sebabnya ada klaim-klaim yang bertentangan terkait dengan
beberapa ‘ulama’ yang telah diklaim sebagai penganut Syiahisme
selama penghujung abad ke-19 hingga awal 1980-an. Orang-orang
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 23
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
yang telah disebut sebagai ulama Syiah adalah Sayyid Muhammad ibn
Ahmad al-Muhdar (1861-1926 Masehi), yang pindah dari Hadhramaut
ke Bogor, Jawa Tengah ketika dia berusia 24 tahun dan merupakan
salah seorang dari pendiri Jam’iyah al-Khairiyah (1908 Masehi); Sayyid
Ali ibn Ahmad Shahab (1865-1944 Masehi), seorang ‘alim dan aktivis
yang juga pendiri Jam’iyah al-Khairiyah dan kemudian menjadi
ketuanya; dan Sayyid Aqil bin Zayn al-Abidin al-Jufri (1870-1952
Masehi), seorang ‘alim orang Mekah yang berpendidikan yang aktif
berkhotbah dan menulis karya-karya Islami. Ketiganya telah diklaim
sebagai ulama Syiah yang paling penting yang bersama-sama dengan
beberapa murid mereka—sebagian besar Hadhrami—telah melakukan
layanan yang besar untuk memperkenalkan dan menyebarkan
Syiahisme di Indonesia.
Pada masa kontemporer, tidak diragukan lagi bahwa keberhasilan
revolusi Islam di Iran telah menciptakan suatu momentum besar
untuk kebangkitan kembali Syiah di Indonesia. Revolusi itu juga
telah mengilhami sejumlah kaum Sunni Indonesia untuk menganut
Syiahisme. Sejak awal 1980-an sejumlah yayasan Syiah telah semakin
banyak didirikan di berbagai kota di dalam negeri; jumlah mahasiswa
Indonesia yang pergi ke Iran untuk menuntut pengetahuan Islam Syiah
juga semakin bertambah; dan juga sudah banyak muncul publikasi
mengenai Syiahisme (Azra 2001, 2007 dan Zulkifl i 2009).
Banyak pengamat dan otoritas pemerintah berasumsi bahwa
Syiahisme telah mendapat pengikut, khususnya di kalangan Muslim
Indonesia yang masih muda. Ahmad Barakbah, seorang muda lulusan
Qum, mengklaim bahwa ada sekitar dua puluh ribu kaum Syiah di
Indonesia masa kini (Dewi Nurjuliyanti dan Subhan 1995 dan Alkaff
1998); jumlah itu kemungkinan besar bertambah sekarang ini. Akan
tetapi, sulit untuk menaksir jumlah persisnya. Salah satu intelektual
Syiah di Indonesia adalah Jalaluddin Rakhmat, dosen di Universitas
Padjajaran di Bandung, yang tampaknya memainkan peranan sangat
penting dalam menjelaskan doktrin-doktrin Syiah kepada berbagai
komunitas. Selanjutnya, dia terlibat dalam perdebatan-perdebatan
dengan para individu dan kelompok yang menganggap popularitas
Syiahisme yang meningkat merupakan ancaman bagi ortodoksi Sunni.
Pertanda selanjutnya akan peningkatan popularitas Syiahisme di
Indonesia adalah pertumbuhan sekitar 79 lembaga Syiah di Jakarta,
Bogor, Bandung, Malang, Jember, Bangil, Samarinda, Pontianak,
24 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
Banjarmasin, dan kota-kota lain di Indonesia. Akan tetapi, sulit
mengetahui seberapa banyak lembaga ini yang benar-benar aktif,
apalagi sebagian diketahui hanya sekadar nama belaka. Tampaknya
pusat lembaga-lembaga ini adalah Jakarta, yang setidaknya
mempunyai 25 lembaga Syiah yang aktif. Terlepas dari aktivisme dan
inaktivisme mereka, jelaslah bahwa semua lembaga ini dicurahkan
untuk pendidikan dan dakwah Syiah.
Mungkin yayasan Syiah tertua di Indonesia adalah Yayasan
Penyiaran Islam ( YAPI), yang didirikan di Surabaya, Jawa Timur
pada 1961. Kemudian YAPI ini pindah ke Lampung dan selanjutnya
ke Jakarta. YAPI lainnya yang penting adalah Yayasan Pesantren
Islam ( YAPI), pertama didirikan di Bondowoso pada 1971 dan
kemudian pindah ke Bangil, Jawa Timur. YAPI lain ini mempunyai
sejumlah pesantren yang mendapat ketenaran karena pendidikan
agama Islamnya yang berkualitas tinggi. Akan tetapi, pesantren YAPI
ini cenderung tidak mengakui diri secara terbuka sebagai lembaga
pendidikan Syiah.
Lembaga Syiah lainnya yang terkemuka adalah Yayasan Mutahhari
di Bandung. Yayasan itu, yang dipimpin oleh Jalaluddin Rakhmat,
mempunyai sekolah menengah atas Islami yang disebut “SMA
Mutahhari”, yang menjadi salah satu sekolah favorit di Bandung. Selain
kegiatan-kegiatan pendidikannya, Yayasan Mutahhari menerbitkan
Hikmah, yang mempublikasikan banyak artikel terjemahan yang
ditulis oleh para ‘ulama’ dan intelektual Syiah.
Lembaga Syiah lainnya di Bandung yang terkenal adalah Yayasan
Jawad. Selain melaksanakan pengajaran yang teratur mengenai fi qh
Ja’fari, Yayasan Jawad pertama menerbitkan sebuah majalah yang
disebut Bulletin al-Jawad; nama ini kemudian diganti menjadi Al-Ghadir.
Akan tetapi, lembaga lain yang penting yang sering dikaitkan dengan
Syiahisme di Bandung adalah penerbit Mizan, yang menerbitkan banyak
terjemahan buku-buku yang ditulis kaum intelektual dan sarjana Syiah.
Pada pertengahan 1996, pada suatu peluncuran buku yang disponsori
penerbit lain di Jakarta, ada seruan untuk memboikot publikasi Mizan
yang diduga keras berorientasi Syiah. Sampai sekarang, Mizan sendiri
tampak tetap menjauhkan diri dari tuduhan dan tindakan demikian, dan
penerbit tersebut juga menerbitkan banyak karya yang ditulis oleh para
pengarang non-Syiah.
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 25
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
Salah satu lembaga Syiah terkemuka di Jakarta adalah Yayasan
Muntadzar yang didirikan pada 1991. Seperti Yayasan Jawad di
Bandung, Yayasan Muntadzar didirikan oleh beberapa penganut Syiah.
Program awal yayasan itu adalah studi madzhab (fi qh) Ahl al-Bayt,
yaitu yurisprudensi Islam dalam tradisi Syiah. Yayasan Muntadzar
kini mengklaim mempunyai setidaknya empat ratus anggota dari
seluruh Jakarta. Kegiatan-kegiatannya tidak sebatas mempelajari fi qh
Syiah, tetapi juga meliputi pendidikan tingkat taman kanak-kanak,
sekolah dasar, menengah, dan menengah atas. Masih di Jakarta, ada
yayasan-yayasan Syiah seperti Yayasan Fatimah (didirikan 1997), dan
Yayasan Al-Huda yang meliputi Islamic Cultural Center (ICC, didirikan
2000). ICC setidaknya mempunyai hubungan dengan Kedutaan Besar
Iran. Tampaknya ICC dan Kedutaan Besar Iran juga mempunyai
hubungan dengan Islamic College of Advanced Studies (ICAS) yang
notabene didirikan oleh lembaga Syiah yang berbasis di London. ICAS
ini bekerjasama dengan Universitas Paramadina yang didirikan oleh
mendiang Nurcholish Madjid, seorang intelektual Sunni Indonesia
yang terkemuka.
Di Bogor, sebuah lembaga Syiah yang disebut Yayasan Mulla Sadra
didirikan pada 1993. Seperti lembaga-lembaga lainnya, Yayasan Mulla
Sadra semula mencurahkan diri untuk mempelajari madzhab fi qh Ahl al-
Bayt. Yayasan itu kemudian memperluas kegiatan-kegiatannya mencakup
pendidikan dan penyediaan berbagai layanan sosial dan kesehatan.
Pesantren Al-Hadi di Pekalongan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah,
mempunyai latar belakang yang sama. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad
Barakbah pada 1989. Pesantren itu mengadopsi sistem pendidikan dari
Qum. Kesembilan gurunya adalah lulusan dari Qum di Iran.Pesantren
al-Hadi kini mempunyai 112 murid, sebagian besar dari mereka datang
dari luar Jawa.
Mengenai alumni Qum, studi yang dilakukan Ali (2005) tentunya
adalah studi penting yang mengungkap perjalanan intelektual pemuda
Muslim Indonesia di Qum, pusat ilmu-ilmu keagamaan Syiah sejak
periode Soeharto. Tidak ada jumlah yang pasti mengenai para alumni
Hawzeh Ilmiyeh ini. Jelas, indikasi tersebut menunjukkan peningkatan. Sulit
juga rasanya memastikan apakah semua alumni Qum benar-benar Syiah.
Kalau memang benarnya adanya, maka mereka pun akan cenderung
untuk ikut aktif dalam beragam kegiatan lembaga-lembaga Syiah.
26 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
Kesimpulan
Meskipun ada segala usaha ini, tampaknya tidak ada bukti yang
kuat bahwa terjadi sejenis konversi besar-besaran Muslim Sunni
Indonesia kepada Syiahisme. Meskipun kaum Syiah bebas di Indonesia,
mereka menghadapi berbagai kesukaran besar di negeri-negeri lain
di Asia Tenggara. Baik di Malaysia maupun di Brunei Darussalam,
Syiahisme dipandang sebagai ajaran yang menyimpang. Oleh karena
itu, pemerintah di kedua negeri senantiasa mengawasi Syiahisme
dan kemungkinan penyebarannya di negeri mereka karena Indonesia
adalah daerah yang jauh lebih bersahabat terhadap Syiahisme
sehingga mayoritas terbesar Sunni Indonesia tidak berkeberatan
dengan Syiahisme. Kenyataannya, sebagian besar pemimpin Muslim
Sunni moderat dalam banyak kasus datang membela saudara Syiah
mereka ketika mereka mengalami keadaan sulit seperti yang terjadi di
Sampang, Madura, baru-baru ini.
Setidaknya, ada dua tantangan yang dihadapi kaum Syiah di
Indonesia. Pertama, secara internal ada banyak kontestasi dan jenisjenis
konfl ik internal di kalangan mereka. Sebagai contoh, ada sejenis
kontestasi otoritas di antara IJABI yang dipimpin oleh Jalaluddin
Rakhmat dengan kelompok-kelompok Ahl al-Bayt yang lain. Bagi
kelompok yang belakangan, Kang Jalal—sebutan akrabnya—bisa jadi
tidak dianggap pantas untuk memimpin organisasi yang membawa
nama Ahl al-Bayt.
Kedua, secara eksternal, kaum Syiah Indonesia ditantang oleh
penyebaran kampanye anti-Syiah yang dikhotbahkan oleh kaum
Salafi yah radikal dan beberapa alumni Saudi Arabia. Sampai
sekarang, kampanye anti-Syiah belum berhasil, tetapi kampanye
jenis itu dapat saja meningkat pada hari-hari mendatang.Untuk itu,
perlu bagi kaum Syiah Indonesia untuk lebih proaktif dalam usahausaha
taqarib (pemulihan hubungan baik) dengan saudara Sunni
mereka. Hanya melalui dialog, saling pengertian dan penghargaan,
kerjasama dapat diperkuat. Dialog itu juga tak kalah penting dalam
menghadapi kelompok-kelompok radikal Salafi yah-Wahhabiyah yang
ingin mengubah hakikat dan arah Islam Indonesia untuk keuntungan
mereka sendiri.[]
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 27
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
Daftar Pustaka
Abduh, Umar & Abu Huzaifah (eds.), 1998.Mengapa Kita Menolak
Syi’ah: Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syiah di
Aula Masjid Istiqlal Jakarta 21 September 1997 (Jakarta: LPPI).
Abu Ammar, Hasan, 2002. Akidah Syiah, Seri Tauhid: Rasionalisme dan
Alam Pemikiran Filsafat dalam Islam (Jakarta: Yayasan Mulla
Shadra).
Aceh, Abubakar, 1980. Perbandingan Madzhab Syiah: Rasionalisme dalam
Islam (Semarang: Ramadhani).
_________, 1977. Aliran Syiah di Indonesia (Jakarta: Islamic Research
Institute).
Alatas, Alireza, 2002. Biarkan Syiah Menjawab I (Magelang: Bahtera).
_________, 2003. Biarkan Syiah Menjawab 2 (Magelang: Bahtera).
Al-Attas, Syed Farid, 1999.‘The Tariqat al-‘Alawiyya and the Emergence
of the Syiah School di Indonesia and Malaysia’, Oriente
Moderno, 18 (2): 323-39.
Ali, Syamsuri, 2005. ‘Alumni Hawzah Ilmiyah Qum: Pewacanaan
Intelektualitas dan Relasi Sosialnya dalam Transmisi Syiah
di Indonesia’, Jakarta: Doctoral dissertation, Program
Pascasarjana, IAIN Syarif Hidayatullah.
Amansyah, A. Makarusu, 1969. ‘Madzhab Syi’ah di Tjikoang’, Bingkisan,
2 (1969) 11:27-39; 3 (1969) 1-2:25-45; 3 (1970) 5-6:2-6.
Anwar, Zainuf, 1982. Tabut dan Peranannya dalam Masyarakat, Padang:
Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Barat.
Azra, Azyumardi, 2007. Islam in the Indonesian World: An Account of
Institutional Formation (Bandung: Mizan Pustaka).
______, 2006. Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context
(Jakarta and Singapore: Equinox, The Asia Foundationand
ICIP).
______, 2004. The Origins of Islamic Reformism in Asia Tenggara: Networks
of Melayu-Indonesian and Middle Eastern `Ulama’ in the 17th and
18th Centuries,(Crows Nest: AAAS & Allen-UnwinHonolulu/
University of Hawaii Press; Leiden: KITLV Press.
______, 2001. ‘Globalization of Indonesian Muslim Discourse:
Contemporary Religio-Intellectual Connections between
Indonesian and the Middle East’, in J.H. Meuleman (ed.),
Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes towards
Modernity and Identity (Jakarta: INIS).
28 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
______, 2000. “Syi`ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas”,
introduction to A. Rahman Zainuddin & Hamdan Basyar
(eds.), Syi`ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian,
Bandung: Mizan; originally published in Ulumul Alquran, 6
(4) 1995: 4-19.
______, 1988. “The Rise and Decline of Minangkabau Surau: A
Traditional Islamic Educational Institution in West Sumatra
during the Dutch Colonialism”, M.A. thesis (Columbia
University, New York).
Bachyul Jb., Syofi ardi, 2006. ‘Tabuik’ Festival: From a Religious Event
to Tourism’, The Jakarta Post; hlm.1-3.
Baharun, Mohammad, 2004. Epistimologi Antagonisme Syi’ah (Malang:
Pustaka Bayan).
Baried, Baroroh, 1976. ‘Syiah Elements in Melayu Literature’, in Sartono
Kartodirdjo (ed.), Profi les of Melayu Culture: Historiography,
Religion and Politics, Jakarta: Departemen P & K., 59-65.
Bausani, Alessandro, 1964. “Note sui vocaboli persiani in maleseindonesiano”,
AIUON, n.s. 14, 1964: 1-32.
Beg, Muhammad Abdul Jabbar, 1982. Persian and Turkish Loan Words
in Melayu (Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia).
Brakel, L.F., 1975. The Hikayat Muhammad Hanafi yyah: A Medieval Muslim
Romance Translated from the Melayu, The Hague: Nijhoff-KITV,
Bibliotheca Indonesia 12.
Brakel, L.F., 1970. ‘Persian Infl uence on Melayu Literature’, Abn-
Nahrain 9: 1-16.
Cowan, H.K.J., 1940.‘A Persian Inscription in North Sumatra’, TBG 80:
15-21.
Fachruddin, Fuad Mohd., 1992. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya).
Fatimi, S.Q., 1963. Islam Comes to Malaysia (Singapore: Malaysian
Sociological Research Institute).
Feener, Michael, 1999. ‘ Tabut: Muharram Observances in the History
of Bengkulu’, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic
Studies, 6 (2):87-130.
Gullick, J.M, 1992. Rulers and Residents: Infl uence and Power in the Melayu
States 1870-1920 (Oxford: Oxford University Press).
__________ 1987. Melayu Society in the Late Nineteenth Century (Singapore:
Oxford University Press).
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 29
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
al-Habsyi, Husein, 1993. Agar Tidak Terjadi Fitnah: Menjawab Kemusykilankemusykilan
Kitab Syiah dan Ajarannya (Malang: Al-Kautsar).
_________, 1991, repr 1992. Sunnah-Syi’ah dalam Ukhwah Islamiyah:
Menjawab ‘Dua Wajah Saling Menentang’ Karya Abul Hasan Ali
Nadvi (Malang: Al-Kautsar).
Hakim, Basyori & Badrul Munir, 1991/1992. “Pengkajian Kerukunan
Hidup Beragama di Semarang: Studi Kasus Kelompok
Syiah di Bulustalan, Kecamatan Semarang Selatan” dalam
Pengkajian tentang Kerukunan Hidup Umat Beragama: Studi
Kasus-kasus Keagamaan (Jakarta: Balitbang, Depag RI).
Hamidy, Badrul Munir (ed.), 1991/1992. Upacara Tradisional Daerah
Bengkulu: Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu, Bengkulu:
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud.
Hamka, 1974. Antara Fakta dan Khayal ‘ Tuanku Rao’ (Jakarta: Bulan
Bintang).
Hamzah, Abu Bakar, 1981. Al-Imam: Its Role in Melayu Society 1906-1908
(Kuala Lumpur: Media Cendekiawan).
Hasyem, O., 1997. Jawaban Lengkap terhadap Seminar Nasional Sehari
tentang Syi’ah, (Depok: YAPI).
_________, 2002. Syi’ah Ditolak, Syiah Dicari, edisi ke-4 (Jakarta: Al-
Huda).
Hasymi, A., 1983. Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan
Kekuasaan sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara
(Surabaya: Bina Ilmu).
Husein, Syarif Hidayatullah, 2002. Shalat dalam Madzhab Ahlul Bait
(Solo: Yayasan Abna’ al- Husein).
Ismail, Engku Ibrahim, 1989. “Pengaruh Farsi dalam Sastra Melayu
Islam di Nusantara”, Ulumul Alquran, 1 (3): 38-44.
Jamil, M. Yunus, 1968. Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (Banda Aceh:
Penerbit Iskandar Muda).
Jones, Sidney R., 1980. “It Can’t Happen Here: A Post-Khomeini Look
at Indonesian Islam” dalam Asian Survey 20 (3): 311-23.
Kartomi, Margaret J., 1986. “‘ Tabut’—A Syiah Ritual Transplanted from
India to Sumatera” dalam David P. Chandler & M.C. Ricklefs
(eds.), Nineteenth and Twentieth Century Indonesia: Essays in
Honor of Professor J.D. Legge (Clayton, Victoria: Centre of SEA
Studies Monash University), 141-62.
30 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
Laffan, M.F., 2003. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma
below the Winds (London: RoutledgeCurzon).
Madjid, Nurcholish, 1989. “Kata Pengantar: Sekilas Tinjauan Historis
tentang Paham-paham Sunnah-Syi’ah” dalam S. Husein M.
Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah dari Saqifah
sampai Imamah (Jakarta: Pustaka Hidayah).
Marrison, G.E., 1955. “The Coming of Islam to the East Indies”,
JMBRAS, 24, I.
____________ 1955b. “Persian Infl uences on Melayu Life 1280-1650”,
JMBRAS, 28: 52-69.
Milner, A.C., 1995. The Invention of Politics in Colonial Malaysia: Contesting
Nationalism and the Expansion of the Public Sphere (Cambridge:
Cambridge University Press).
_________, 1989. “Islam dan Negara Muslim” dalam Azyumardi Azra
(ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia).
Nasution, Harun, ‘Syiah: Asal Usul, Ajaran-ajaran dan Perkembangan’,
in Nico Tampi, Diskusi Buku Agama (Jakarta: Tempo), 3-16.
Nurjulianti, Dewi & Arief Subhan, 1995. “Lembaga-lembaga Syiah di
Indonesia”, Ulumul Alquran, 6 (4).
Parlindungan, Mangaraja Onggang, 1964. Pongkinangolngolan Sinambela
Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Madzhab Hambali di
Tanah Batak (Jakarta: Tanjung Pengharapan) repr. 2007 dan
(Jogjakarta: LKIS).
Pijnappel, J., 1872. “Over de kennis die der Arabieren voor de komst
der Portugeezen van den Indischen Archiphel bezatten”
[Regarding the Knowledge of the Arabs about the Indonesian
Nusantara before the Coming of the Portuguese], Bijdragen
KITLV, 19: 135-58.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Beragama, 1986/87.
Madzhab Syiah (Jakarta: Balitbang, Depag RI).
Rakhmat, Jalaluddin, 1995. “Dikhotomi Sunni-Syiah Tidak Relevan
Lagi”, Ulumul Alquran, 6(4).
Rangkuti, Ramlan Yusuf, 1999. ‘Nikah Mut’ah dalam Perspektif
Hukum Islam’, in Huzaimah T. Yanggo & Hafi z Anshori
AZ (eds.), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta:
Pustaka Firdaus).
Rasjidi, Muhammad, 1989. Apa itu Syiah (Jakarta: Media Dakwah).
KAUM SYIAH DI ASIA TENGGARA: 31
MENUJU PEMULIHAN HUBUNGAN DAN KERJASAMA
Ricklefs, M.C. 2012. Islamisation and Its Opponents in Java: A Political,
Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to the Present
(Singapore: NUS Press).
_________, 2007. Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c.
1830-1930 (Singapore: NUS Press; Honolulu: University of
Hawaii Press; Leiden: KITLV Press).
_________, 2006. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from
the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (Norwalk: East
Bridge).
Shahab, Muhammad Asad, 1986. “al-Tashayyu’ fi Indunisiyya” dalam
Hasan al-Amin, Da’irat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syiahyyah,
Vol. 8 (Beirut: Dar al-Ta’aruf li al-Matbu’at), 319-24.
_________, 1962. al-Syiah fi Indunisiyya, Najaf: Matba’a al-Ghari al-
Haditha.
Sunyoto, Agus, 1991. “Strategi Dakwah Wali Songo di Jawa”, Majalah
Prospek, 10 November 1991.
_________, 1987. Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa
Abad 14-15 (Surabaya: LPLI Sunan Ampel).
Van Ronkel, Ph.S., 1914. “Nadere gegeven omtrent het Hasan-Hosein
feest”, TBG 56: 336-7.
_________, 1914b. Het Heiligdom te Oelakan, in Tijsschrift voor Indische
Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 56 (1914): 281-316.
Wieringa, Edwin, 1996. “Does Traditional Islamic Melayu Literature
Contain Shiitic Elements? Ali and Fatimah in Melayu Hikayat
Literature”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic
Studies, 3 (4): 93-111.
Winstedt, R.O 1961, 1969. “A History of Classical Melayu Literature”,
JMBRAS, Monograph No 5; repr. (Oxford: Oxford University
Press).
Zainuddin, A. Rahman et al, 2000. Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah
Penelitian (Bandung: Mizan & PPW-LIPI).
Zulkifl i, 2009. “The Struggle of the Kaum Syiah di Indonesia”, Doctoral
dissertation, Leiden University.
_________, 2004. “Being a Syiaht among the Sunni Majority di Indonesia:
A Preliminary Study of Ustaz Husein al-Habsyi (1921-1994)”,
Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 11(2): 275-
308.

33
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK
DAN TERSEBARNYA ISLAM DI
ASIA TENGGARA MELALUI ARAB,
INDIA, PERSIA, DAN CINA
Mohammad Ali Rabbani
Pengantar Dari sisi letak geografi s, Nusantara dalam sepanjang sejarah
menjadi tempat yang tepat untuk persinggahan para pedagang
dan saudagar yang melakukan transaksi jual beli produk dan
komoditas antara timur dan barat dunia berperadaban saat itu. Tentunya
selain sebagai tempat transit, kepulauan Sumatera, Jawa, dan Maluku
karena memiliki rempah-rempah yang melimpah menjadi tempat yang
sangat penting. Di samping kegiatan transaksi jual beli, para saudagar
juga membawa pemikiran, keyakinan dan akidah agama, madzhab
dan budaya kepada penduduk setempat. Para pedagang Muslim India,
Persia, dan Arab seluruhnya berperan dalam penyebaran Islam di
kawasan ini dan masing-masing melakukan dakwah dan memberikan
pendalaman keyakinan keagamaan.
Adanya nama-nama India, Persia, dan Arab di wilayah ini dengan
baik mengekspresikan asimilasi kultural ini. Meskipun sepintas
lalu tampaknya Islam masuk dan tersebar luas di kepulauan ini
lebih terakhir dibandingkan negeri-negeri Islam lainnya, realitanya
tidaklah demikian. Untuk memahami hal ini harus dibedakan antara
penaklukan suatu wilayah dengan penerimaan dan penyebaran
Islam. Pada kenyataannya, di wilayah lain dunia Islam, meskipun
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
34
penaklukan militer terjadi dengan cepat, tetapi proses penyebaran
Islam memerlukan waktu yang cukup lama dengan beberapa kriteria
khusus. Bagaimanapun juga, salah satu perbedaan dasar penyebaran
Islam di Asia Tenggara, di antaranya Nusantara dengan berbagai
wilayah pusat dunia Islam, tidak menggunakan adanya penggunaan
dukungan kekuatan militer untuk menyebarkan Agama Islam.
Penduduk setempat atau pribumi menerima Islam tanpa dibayangbayangi
pedang. Islam diterima sebagai sebuah unsur baru dan
pembebas untuk menghadapi problema-problema sosial dan ekonomi
yang untuk masa-masa selanjutnya ketika kaum penjajah masuk
wilayah ini dijadikan sebagai ideologi perlawanan.
Penyebab utama perbedaan pendapat dan ketidakjelasan sejarah
yang ada terkait masuk dan tersebarnya Islam di Asia Tenggara adalah
identitas para dai dan muballigh (penyeru) Islam yang datang dari daerah
lain ke wilayah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam masuk ke
wilayah ini dengan jalur damai, melalui hubungan perdagangan, dan
kultural dalam masa yang panjang. Sementara di beberapa wilayah
ketika Islam diperkenalkan kepada penduduk setempat oleh para
tentara Muslim yang berhasil menaklukkannya karena signifi kansi
dan kebersamaan waktu peristiwa kultural serta politik, ternyata
setelah diperhatikan para penulis sejarah, beberapa pertanyaan dan
poin penting historisnya secara prinsip dapat diketahui dan dijawab.
Pertama, peristiwa tersebut kapan dan di mana terjadi? Kedua, dari
wilayah mana mereka datang, apakah orientasi madzhab, teologi dan
politik mereka serta apakah jenis orientasi yang mereka sebarkan?
Hal lain bahwa pemaparan peran Syiah dalam masuk dan
tersebarnya Islam di Asia Tenggara menjadi penting karena hari ini
dapat disaksikan adanya konfl ik antarmadzhab Syiah dan Ahl as-
Sunnah semakin berkembang di sebagian negara di Asia Tenggara,
meskipun terdapat banyak bukti yang mendukung latar belakang
sejarah kehadiran madzhab Syiah di Asia Tenggara dan kontribusi
pentingnya dalam Budaya dan peradaban Islam di wilayah ini. Konfl ik
yang pada umumnya terjadi karena kesalahpahaman dan tidak adanya
pengenalan yang cukup terhadap pemikiran Syiah dan latar belakang
historisnya sehingga secara serius mengancam kerukunan antara
Syiah dan Ahl as-Sunnah yang selama berabad-abad telah menjadi
landasan untuk saling bertukar pikiran dan kultural antara pengikut
dua madzhab Islam ini. Oleh karena itu, mengkaji peran historis
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
35
Syiah dan kontribusinya terhadap pemikiran Islam di Asia Tenggara
dapat mengingatkan bahwa konfl ik madzhab Syiah dan Ahl as-Sunnah
di wilayah ini merupakan sebuah fenomena yang baru muncul dan
terjadi atas keinginan faktor luar, selain itu juga dapat memberikan
motivasi kepada kita untuk mempelajari pengalaman sejarah masa lalu
dan melalui konvergensi, kebersamaan, pertukaran pemikiran, dan
kultural di antara madzhab-madzhab Islam, juga mampu sebagaimana
dahulu melangkahkan kaki menuju kemajuan dan perkembangan
budaya dan peradaban Islam serta masyarakat Islam.
Meskipun artikel ini tidak dalam rangka membuktikan atau
menafi kan teori-teori terkait asal mula masuk dan tersebarnya Islam di
wilayah ini, tetapi dengan mengetengahkan beberapa pertanyaan dan
menemukan jawabannya dan akan berusaha memaparkan hal-hal baru
dalam rangka mengkaji telaah para peneliti kajian Islam dan historis
Asia Tenggara lebih banyak lagi.
Beberapa Hipotesis Terkait Sejarah Islam di Asia Tenggara
1. Masuknya Islam ke Asia Tenggara pada masa stabilisasi
Islam dan terbentuknya madzhab-madzhab dan aliran-aliran
teologis dan Sufi stik:
• Asia Tenggara bukan tempat Islam lahir dan dari sisi
geografi s juga berjarak ribuan kilometer dari pusat lahirnya
Islam, yaitu Jazirah Arab. Ini artinya bahwa masuk dan
tersebarnya Islam di wilayah ini tidak mungkin terjadi
bersamaan dengan munculnya Islam di Jazirah Arab
dan atau negeri-negeri tetangga dan dekat dengannya
seperti Iran dan Anak Benua India yang melewati proses
Islamisasinya dengan cepat dan tidak berselang lama dari
kemunculan Islam melalui tentara-tentara Islam. Dengan
demikian, teori pokoknya didasarkan pada hal ini, yaitu
masuk dan tersebarnya Islam di Asia Tenggara terjadi setelah
masa kemunculan Islam adalah masa stabilisasi Islam dan
pembentukan negeri Islam serta maraknya perdagangan
luar oleh para pedagang Muslim di Semenanjung Arab dan
negeri-negeri kawasan yang berdekatan dengannya yang
mana pada masa tersebut kaum Kaum Muslim memiliki
peluang untuk melihat kepada wilayah yang lebih jauh
lagi untuk menyebarluaskan agama Islam dan hubungan
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
36
perdagangan dengan bangsa-bangsa lain. Sebagian kisah dan
cerita yang ada dalam literatur riwayat Melayu (seperti cerita
Raden Kian Santang) yang mendasarkan masuknya Islam
ke Asia Tenggara terjadi pada tahun-tahun permulaan pasca
munculnya di Semenanjung Arab, belum terbukti dan tidak
terdapat argumentasi yang kuat untuk menerimanya. Poin
penting lainnya yang mendukung teori ini adalah bahwa
masuknya Islam ke wilayah Asia Tenggara terjadi dalam
koridor madzhab-madzhab fi qh, teologis, dan ‘ Irfan (Sufi stik)
khusus, artinya bahwa Islam tidak masuk pada abad pertama
Hijriyah karena madzhab-madzhab fi qh dan teologis saat
itu belum terbentuk. Untuk memahami hal ini perlu kiranya
diingat bahwa imam pertama dari empat madzhab adalah
Abu Hanifah (w 150 Hijriah), imam kedua adalah Malik bin
Anas (Wafat 179 Hijriyah), imam ketiga adalah Syafi ’i (Wafat
204 Hijriyah) dan imam keempat adalah Ahmad bin Hanbal
(wafat 240 Hijriyah). Keempat imam ini berjarak 1.5 hingga
2.5 abad dari masa munculnya Islam. Adapun madzhab
Ja’fari didirikan oleh Imam Baqir dan Imam Ja’far as-Shadiq
as pada masa ketika Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sedang
disibukkan oleh konfl ik politik (sejak tahun 107-132 Hijriyah
yang berakhir dengan jatuhnya Dinasti Umayah).
2. Peran faktor luar dalam masuk dan tersebarnya Islam di Asia
Tenggara:
• Proses Islamisasi di wilayah Asia Tenggara juga memiliki
perjalanan yang tidak resmi. Dalam proses yang
berlangsung selama hampir lima abad, yaitu dari abad
ke-11 hingga 16 Masehi ini, tiga faktor ikut berperan di
dalamnya yaitu para pedagang, dai atau muballigh luar
yang pada umumnya berhaluan Sufi dan kaum pribumi
Muslim setempat. Terkait faktor mana yang lebih dahulu,
masih terbuka ruang untuk kajian lebih banyak, meskipun
referensi-referensi utama mengindikasikan peran pedagang
yang lebih dahulu dalam memperkenalkan Islam kepada
penduduk setempat.1
1 Di antaranya, lihat A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce; The Land Blow the Wind;
K. Chauduri, Indonesia in the Early Seaborn Trade of the Indian Ocean; D. Evangelista, “Some
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
37
• Tampaknya dalam hal ini teori mengumpulkan dua
pandangan yaitu para pedagang yang bertabligh juga
dapat diterima dan atau juga adanya kemungkinan bahwa
para muballigh yang berhaluan Sufi masuk ke wilayah ini
bersama kapal para pedagang dan bersamaan dengan para
pedagang Muslim. Dalam menerima peran faktor pedagang
dalam masuk dan menyebarnya Islam harus diingatkan
satu hal bahwa dahulu ilmu masih belum dipisah-pisah dan
untuk melalui tingkatan pendidikan harus mempelajari
pengetahuan Islam di sekolah-sekolah sehingga menuntut
ilmu keislaman termasuk bagian dari dasar jurusan-jurusan
pendidikan. Oleh karena itu, mereka yang ketika itu aktif
di bidang perdagangan internasional dan pada umumnya
juga berasal dari tingkatan atas yang berharta serta sebagian
adalah kaum bangsawan setempat, juga berpengetahuan
agama. Dalam perjalanan ke India dan Cina terkadang
mereka berhenti atau transit di pelabuhan negeri-negeri
Asia Tenggara, di antaranya Malaka, Ayutthaya, dan Pasai,
terpaksa berhenti enam bulan hingga satu tahun di wilayah
itu untuk mengosongkan dan menjual barang dagangan
mereka, membeli komoditas baru dan melewati musim
hujan tahunan. Selama masa tersebut, selain interaksi
dan hubungan sehari-hari yang bersifat biasa dan terkait
pekerjaan, terdapat kesempatan dan kemungkinan untuk
memperkenalkan kepercayaan madzhab mereka dan atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh
penduduk pribumi setempat berkenaan dengan perilaku
dan akidah madzhabnya. Di sebagian wilayah seperti
Ayutthaya Siam, para pedagang Muslim karena posisi
tepat yang mereka peroleh, memutuskan untuk bermukim
jangka panjang dan berusaha membentuk komunitas Islam
pertama di wilayah ini dengan menikah dan membangun
wilayah pemukiman. Hal lain yang perlu diperhatikan
karena sistem kelas dan sosial yang terpengaruh dari
Hinduisme dan Buddhisme, maka struktur kelas
masyarakat piramidikal, yaitu penguasa dan bangsawan
Aspect of the History of Islam in Southeast Asia”; A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia”; U.
Tjandrasasmita, “The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia in Relation to Southeast Asia”.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
38
memiliki peran dasar dalam urusan-urusan masyarakat,
berkuasa atas mayoritas masyarakat Asia Tenggara. Oleh
karena itu, bagian utama transaksi perdagangan terjadi di
antara para penguasa, perwakilan dan kaum bangsawan,
dari sini, para penguasa pada umumnya lebih dahulu
menerima Islam dan untuk selanjutnya diikuti pula oleh
seluruh lapisan masyarakat.
3. Peran faktor tasawwuf dalam proses damai masuknya Islam
ke wilayah Asia Tenggara:
• Peran faktor Sufi dan ‘ Irfan dalam proses Islamisasi di
Asia Tenggara sangat penting. Banyak petunjuk yang kuat
dan tidak dapat diingkari mengindikasikan hal tersebut.
Islam masuk ke Asia Tenggara pada suatu masa ketika
Hinduisme dan Buddhisme menguasai sebagian besar
wilayah ini. Dengan mengetahui persamaan beberapa
karakter yang ada dalam spritualitas tasawwuf Islam
dan Hinduisme, para dai dan muballigh dengan mudah
manjalin hubungan dan juga memperkenalkan Islam.
Kaum Sufi yang kemungkinan selain para pedagang atau
para pedagang itu sendiri, pada umumnya tidak memiliki
tempat tinggal tetap dan selalu melakukan perjalanan ke
wilayah-wilayah yang sangat jauh dengan kapal-kapal
yang mereka naiki. Hal penting dalam urgensitas mengenal
peran aliran Sufi dalam masuk dan menyebarnya Islam di
Asia Tenggara adalah bahwa peninggalan-peninggalan
utama Sufi yang masih tersisa di wilayah Asia Tenggara
ini berbau Persia dan India serta bersifat keSufi an
yang homogen dalam lingkungan India yang memiliki
kedekatan agama dengan Hinduisme dan Buddhisme di
Asia Timur. Bila aliran Sufi stik dari wilayah lain memasuki
Asia Tenggara, kemungkinan tidak akan disambut dan
diterima penduduk setempat dengan mudah. Pertanyaan
bahwa faktor Sufi yang untuk pertama kalinya masuk
ke Asia Tenggara dan berperan dalam proses Islamisasi
wilayah ini berhubungan dengan kelompok Sufi mana,
tidak akan mudah dijawab karena menerima topik ini
akan memaksa kita untuk menyatakan hipotesa awal mula
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
39
sejarah masuknya Islam ke wilayah ini setelah sejarah
didirikannya aliran Sufi tersebut. Dengan memperhatikan
bahwa kelompok tasawwuf seperti Qadiriyah, Syadziliyah,
dan Naqsybandiyah terkait tahun 562, 656, dan 792 Hijriyah,
maka logisnya bahwa yang kita maksudkan dengan aliran
tasawwuf adalah pemahaman umumnya, yaitu ‘ Irfan
Islam yang lebih umum dari kelompok-kelompok Sufi dan
meyakini bahwa para dai dan muballigh Islam awal yang
untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di wilayah ini
hanya sebagai urafa yang memiliki orientasi spiritual dan
‘ Irfan.
4. Pengaruh keragaman waktu, tempat dan kultural dalam
proses Islamisasi Asia Tenggara:
• Sebagaimana yang telah disinggung bahwa Islam memasuki
wilayah ini bukan melalui pedang dan jihad, tetapi dalam
sebuah proses damai dan hubungan perdagangan dan
kultural masyarakat Asia Tenggara dengan bangsa-bangsa
Muslim lainnya. Terkait hal ini, terdapat beberapa catatan
penting; pertama bahwa tempat masuk dan tujuan aktivitas
perdagangan, hubungan kultural, dan politik penduduk
Asia Tenggara yang merupakan area geografi s yang
luas mencakup Filipina, Thailand, Malaysia, Indonesia,
Kamboja, Myanmar, dan Vietnam tidak satu, tetapi secara
serentak pelabuhan-pelabuhan perdagangan seperti
Malaka, Pasai, Ayutthaya, dan sebagian lainnya di wilayah
ini sangat aktif dan menjadi tempat lalulalang kapalkapal
dagang luar, termasuk di antaranya adalah milik
orang-orang Muslim. Tidak ada satupun juga bukti bahwa
di pelabuhan-pelabuhan dagang ini hanya kelompok
tertentu dari negeri tertentu yang memiliki hak untuk
berlalulalang dan melakukan aktivitas perdagangannya.
Dengan demikian, sejarah telah menunjukkan kehadiran
para pedagang Muslim dari berbagai daerah seperti Persia,
Cina, India, dan sebagian negeri Arab. Keragaman sejarah
terkait hubungan kelompok Muslim luar pertama dengan
penduduk setempat juga mengingatkan bahwa dalam
hipotesis ini pun sulit menentukan secara tepat hubungan
pertama para pedagang Muslim dengan penduduk
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
40
setempat dan bahwa hubungan pertama tersebut terjadi
melalui pintu masuk mana dan oleh pedagang dari negeri
mana?
• Hal penting lain yang perlu diperhatikan bahwa meskipun
terdapat kesamaan pola bermadzhab kaum Muslim wilayah
ini yang pada umumnya menganut madzhab Syafi ’iyah,
tetapi keberadaan doktrin-doktrin kultural dan bahkan
terkadang madzhab yang ada di kalangan Ahl as-Sunnah
wilayah ini, terutama di Indonesia dan Thailand yang hingga
saat ini pun masih dapat disaksikan di berbagai daerah
meskipun berabad-abad dari munculnya Islam telah lewat,
mengindikasikan bahwa sebagian lain dari aliran pemikiran
Islam seperti Syiah juga berperan dan memiliki kontribusi
dalam proses Islamisasi kawasan ini.
• Untuk menjelaskan topik ini akan mengkaji peran faktor
Syiah dalam empat hipotesa yang dipaparkan dalam asal
mula masuk dan tersebarnya Islam di Asia Tenggara, yaitu
asal usul Arab, India, Cina, dan Persia.
Mengkaji Latar Belakang Hubungan Ekonomi dan Kultural
Dunia Islam
Budaya dan peradaban penduduk Asia Tenggara dan Nusantara
sama seperti belahan lain dunia dipengaruhi oleh emigrasi berbagai
kaum ke wilayah ini, interaksi pemikiran, dan kultural masyarakat
pribumi dengan orang-orang yang berhijrah, khususnya para saudagar
internasional. Orang-orang Arab, India, Cina, dan Persia termasuk di
antara beberapa kaum yang dengan hijrah ke wilayah ini dan terkadang
menetap secara permanen, telah memberikan perubahan-perubahan
fundamental terhadap budaya dan peradabannya yang secara umum
dipengaruhi agama Brahmana dan Buddha. Pada masa ini berdiri
dua kerajaan besar di Nusantara secara berurutan yaitu Sriwijaya dan
Majapahit yang mana periode Majapahit merupakan masa kejayaan
dan keemasan sejarah Nusantara.2 Tentunya, orang-orang Persia
dan Arab memiliki hubungan perdagangan berabad-abad lamanya
2 Vahid Mozandaroni, Sarzamin-e Hezoron Jazireh (Negeri Ribuan Pulau), Tehran,
Perpustakaan Dehkhodo 1345 H.S, hlm. 43-45; Smith Datus, Sarzamin va Mardom Andunezi
(Negeri dan Penduduk Indonesia), terjemahan Parviz Dariusy, Tehran, Agen Terjemahan dan
Penerbitan Buku, 1350, hlm. 36-37.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
41
sebelum Islam dengan penduduk setempat termasuk penduduk
Nusantara. Beberapa komoditi seperti cabe, cengkeh, kapur barus, dan
lada;3 secara umum rempah-rempah, sayur mayur, dan obat-obatan
herbal sangat penting bagi dunia saat itu dan banyak ditemukan di
Nusantara. Para pedagang memperoleh keuntungan yang berlimpah
dengan melakukan transaksi jual beli barang-barang tersebut.4
Mereka membawa rempah-rempah dari pusat-pusat perdagangan
di Nusantara ke India. Kemudian dari jalan darat dikirim oleh
kafi lah-kafi lah ke pasar-pasar Timur Dekat dan selanjutnya ke Eropa.
Terkadang juga tanpa membawanya dari jalan darat melalui India,
mereka langsung menuju bandar-bandar di Persia atau Arabia.5
Sir Thomas Arnold berpendapat bahwa kaum Kaum Muslim sejak
tahun-tahun pertama munculnya Islam di Nusantara telah memiliki
pusat-pusat perdagangan. Ia melaporkan tentang tinggalnya salah
seorang kepala kabilah Arab di pesisir Barat Sumatera sebelum tahun
674 Masehi/54 Hijriyah.6 Krachkovski, peneliti Rusia yang terkenal
juga menyatakan bahwa sejak masa Sassania dan selanjutnya pada
abad-abad permulaan Islam telah terjalin hubungan perdagangan
kaum Muslim Persia dan Arab hingga ke bandar Kanton di Cina dan
para pedagang Muslim memiliki hubungan dagang dengan wilayahwilayah
Timur Asia, di antaranya India, Cina, dan Nusantara.7
Romhormozi, salah seorang penulis abad ke-4 Hijriyah/10 Masehi
menukil berbagai berita tentang transaksi perdagangan Kaum Muslim
dengan Sumatera yang pada masa itu disebut dengan Zabaj, lalu
lalangnya banyak kapal dari Bashrah, Siraf, dan Oman ke wilayah tersebut
serta maraknya perekonomian di sana.8 Mas’udi, seorang pakar geografi
3 Ibnu Majid, Shihabuddin Ahmad, KitabAl-Fawaid Fi Ushuli ‘Ilm Al-Bahri Wa Al-Qawaid, terjemahan
Ahmad Iqtidari dan Ommid Iqtidari, Tehran, Anjoman-e Osor va Mafokher-e Farhanggi (Yayasan
Peninggalan Kultural), 1372 H.S, hlm. 420, juga Hudud Al-‘Alam Min Al-Masyriq Ila Al-Maghrib,
atas usaha Manuchehr Sotudeh, Tehran, Perpustakaan Tahuri, 1362, hlm. 20.
4 Marcopolo, Safar Nameh (Catatan Perjalanan), terjemahan Sayed Mansur Sajjadi dan Anjeladi
Javani Dumanu, Tehran, Goyesy, 1363, hlm. 184-185; Mostaufi , Hamdullah, Nazhat Al-Qulub,
Tehran, Dunia Buku, 1362 H.S, hlm. 230.
5 Smith, Datus, ibid, hlm. 43.
6 Arnold, Torikh-e Gostaresy-e Eslam (Sejarah Penyebaran Islam), terjemahan Dr. Abul Fazl
Ezzati, Tehran, Universitas Tehran, 1358 H.S, hlm. 266.
7 Krachkovski, Ignati IUlianovich, Tarikh-e Nevesyteh-ha-ye Joghrafeyiy dar Jahan-e Eslam (Sejarah
Tulisan-tulisan Geografi s di Dunia Islam), terjemahan Abul Qosem Ponideh, Tehran, Markez-e
Entesyarat-e Elmi va Farhanggi (Pusat Penerbitan Ilmiah dan Kultural), 1379 H.S, hlm. 111.
8 Romhormozi, Bozorg bin Syahriyor, Ajaeb-e Hend (Keajaiban-keajaiban India), terjemahan
Mohammad Malik Zodeh, Tehran, Bonyod-e Farhang-ge Iron (Yayasan Budaya Iran), 1348 H.S,
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
42
dan sejarah abad ke-4 Hijriyah/10 Masehi, juga menyinggung lalu lintas
pelaut-pelaut Persia dan Arab, terutama Siraf dan Oman ke kawasan ini
dan berbicara tentang seorang raja yang menurutnya memiliki kekayaan
berlimpah dan tentara banyak yang disebut dengan Maharaja (dari
Maharaj, mengindikasikan hegemoni politik, dan penetrasi kultural
India di wilayah ini) dan juga memberitakan tentang barang-barang
dagang dan rempah-rempah yang menjadi perhatian para pedagang
di Nusantara ini.9 Akan tetapi, apakah hubungan perdagangan ini
selanjutnya menjadi pertukaran kultural dan sosial juga?
Tidak diragukan lagi bahwa dalam perjalanan-perjalanan panjang
dan pada masa ketika kapal-kapal melakukan perjalanan dari satu
wilayah ke wilayah lain serta para awaknya menjalin hubungan dengan
situasi, kondisi dan penduduk yang berbeda-beda, hal terpenting yang
dapat menghubungkan mereka dengan penduduk setempat adalah
kedekatan kultural, agama atau transaksi perdagangan. Oleh karena
itu, yang tampak lebih banyak dalam sejarah perjalanan-perjalanan laut
masa Islam adalah bahwa walaupun pada kondisi ketika tidak terdapat
persamaan mencolok dari sisi kultural, agama atau politik di antara
dua penduduk atau beberapa wilayah, pertukaran komoditi di antara
mereka menyebabkan kedekatan dan terjalinnya hubungan. Dengan
demikian, hubungan yang paling penting dan menonjol di kalangan
penduduk Asia dan Lautan Hindia adalah hubungan perdagangan
dan tampaknya bahwa budaya dan agama juga biasanya dari jalur ini
tersebar dari satu wilayah ke wilayah lain.10
Kemungkinan sebagian perjalanan ke wilayah-wilayah yang jauh
juga dengan alasan mengambil istri dan menikah menjadi mudah.
Ibnu Batutah dalam hal ini menyatakan, “Ketika kapal-kapal sampai di
kepulauan Maladewa, para awak dan penumpangnya menikah dengan
perempuan-perempuan di sana dan ketika berangkat kembali mereka
menceraikannya karena perempuan-perempuan tersebut tidak ingin
meninggalkan negeri mereka.11Bukti-bukti mengindikasikan bahwa
hlm. 5, 6, 49, 110, 121, 124 dan 146.
9 Mas’udi, Abul Hasan Ali bin Husein, Al-Tanbih wa Al-Asyraf, terjemahan Abul Qosem Ponideh,
Tehran, Pusat Penerbitan Ilmiah dan Kultural, 1365 H.S, hlm. 60; Qazvini, Atsar Al-Bilad wa
Akhbar Al-‘Ibad, terjemahan Muhammad Murad bin Abdurrahman, editor Dr. Sayed Mohammad
Syohmorodi, Tehran, Universitas Tehran, 1371, jilid 1, hlm. 31.
10 Toheri, Mahmud, Safar-ho-ye Daryoi-ye Moslemin dar Aqyonus-e Hend (Perjalanan-perjalanan
Laut Kaum Muslim di Samudera Hindia), Masyhad, Oston-e Qods-e Rezavi, 1380 H.S, hlm. 170.
11 Ibnu Batutah, Safar Nameh (Catatan Perjalanan), terjemahan Mohammad Ali Movahhed,
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
43
para saudagar Muslim tidak hanya mengadakan transaksi barang
dagangan, tetapi dikehendaki atau tidak juga menjalin hubungan sosial
dengan kaum pribumi, terutama penduduk pesisir yang terkadang
pula membuat mereka tinggal secara permanen di sana.
Orang-orang yang menempuh perjalanan panjang dan jauh harus
berkemampuan fi nansial cukup, maka dengan demikian, mereka
memiliki kondisi budaya yang lebih baik di hadapan kaum pribumi yang
mayoritasnya adalah orang-orang fakir dan kelaparan sehingga kaum
pribumi menjadi pelayan, pembantu, bahkan bersedia menikahkan
puteri-puterinya kaum pribumi. Dari sisi lain, kemampuan fi nansial
ini menjadikan kaum Muslim tidak menjadi orang-orang upahan
atau melakukan perbuatan-perbuatan melanggar seperti merampok
dan lain-lain dan dengan demikian, perbuatan-perbuatan amanah,
dan secara otomatis budaya dan agama mereka menjadi perhatian
penduduk pribumi wilayah tersebut. Sir Thomas Arnold menjelaskan
proses penyebaran dan pengaruh Islam dalam masyarakat Indonesia
saat itu melalui para saudagar dan pedagang sebagai berikut:
Kaum Muslim menerima dan mempelajari bahasa dan banyak
tradisi lokal dan pribumi serta menikah dengan perempuan di sana.
Mereka membeli budak-budak untuk menambah kepentingan dan
kedudukan dan sukses berinteraksi dengan para pemimpin yang
berkedudukan tinggi di antara penduduk. Dengan koordinasi
dan kemampuan lebih, mereka bekerjasama dengan penduduk
pribumi dan secara bertahap kekuatan mereka bertambah. Mereka
juga memiliki budak dengan jumlah yang banyak dan mendirikan
semacam otonomi dan kerajaan yang turun temurun (diwariskan)
dalam keluarga dan famili mereka.12
Dengan demikian, dari pada mereka masuk ke wilayah ini sebagai
penakluk, menjadikan pedang sebagai perantara untuk menyebarkan
Islam, menganggap diri sebagai ras yang superior, merendahkan kaum
pribumi, memaksakan keyakinan, mereka masuk sebagai saudagar
atau pedagang yang sederhana, berusaha, dan bekerja keras dengan
seluruh potensi kultural serta keagamaan mereka untuk menyebarkan
keyakinan di wilayah baru. Mereka tidak menjadikan agama sebagai
sebuah sarana untuk mengumpulkan kekayaan dan mendapatkan hak
istimewa individual.13
Tehran, Markez-e Entesyorot-e Elmi va Farhanggi (Pusat Penerbitan Ilmiah dan Kultural),
cetakan ketiga, 1361 H.S, hlm. 604.
12 Arnold, hlm. 267.
13 Ibid, hlm. 268.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
44
Adapun pertanyaan yang muncul adalah di bawah pengaruh
kelompok pedagang dan muballigh Islam manakah Nusantara
memeluk Islam, apakah India, orang-orang Arab, terutama Arabia atau
Iran? Terkait sumber dan asal penyebaran Islam dan faktor-faktornya
di Nusantara, dikemukakan berbagai teori. Sebagian karena melihat
penduduk Nusantara dan pesisir Malabar di Selatan India bermadzhab
Syafi ’i meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah ini melalui para
pedagang dan saudagar India.14 Sebagian lain juga berkeyakinan
bahwa Islam masuk ke Pulau Jawa, Sumatera, pesisir, dan kepulauan
Nusantara lainnya termasuk Pesisir Malaka kemudian seluruh wilayah
sekitarnya dari Arabia dan wilayah Arab yang lain.
Sebagian juga karena melihat keberadaan orang-orang Syiah di
wilayah ini dan adanya bahasa dan istilah-istilah Persia berkeyakinan
bahwa Iran dan para saudagar Iran menjadi sumber asal dan faktor
penyebaran Islam di kalangan penduduk pribumi.15 Nur Ahmad
Qadiri, salah seorang penulis Pakistan meyakini bahwa peninggalanpeninggalan,
bangunan-bangunan, dokumen-dokumen dan buktibukti
historis mengindikasikan adanya berbagai persamaan antara
Islam India (Shindu), Makran dan Indonesia. Berdasarkan hal ini, dia
meyakini Islam masuk ke Asia Tenggara sejak abad pertama Hijriyah
melalui Shindu.16
Tentunya dengan menerima satu teori di atas, tidak berarti
menolak pandangan yang lainnya. Tidak diragukan bahwa Islam
membuka jalannya di kalangan penduduk Nusantara dan wilayah
lain Asia Tenggara melalui berbagai jalan yang berbeda. Realita-realita
historis, di antaranya hubungan perdagangan ratusan bahkan ribuan
tahun antara Nusantara dan pesisir Teluk Persia serta wilayah-wilayah
lain Arab dan Iran, adanya nama-nama Arab dan Persia, berbagai
laporan para pakar geografi pada abad-abad pertama Islam, semuanya
menunjukkan pengaruh kaum Muslim Arab dan Persia. Dari sisi
lain, nama-nama dan istilah-istilah India, dominasi ratusan tahun
kaum imigran India di Nusantara dan hubungan permanen India dan
Nusantara sepanjang sejarah, semuanya mengindikasikan pertukaran
14 Ibid, hlm. 268; Vlekke, Bernard, Tarikh-e Andunezi (Sejarah Indonesia), terjemahan Abul Fazl
Ali Zodeh Tabotaboiy, Tehran, Pazhuhesygoh-e Olum-e Ensoni va Motoleot-e Farhanggi (Pusat
Kajian Ilmu Humaniora dan Studi Kultural), 1374 H.S, hlm. 86; dan Smith, hlm. 36-37.
15 Toheri, Mahmud, hlm. 493 dan Smith, hlm. 42.
16 Mozandaroni, hlm. 59-60.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
45
dan interaksi kultural, politik, dan ekonomi. Tentu saja, Islam di
Nusantara selama berabad-abad dipengaruhi tradisi dan budaya
tua wilayah tersebut, kemudian menemukan bentuk khususnya.
Oleh karena itu, hari ini terdapat beberapa perbedaan antara Islam
di wilayah dunia Islam ini dengan kawasan lain, termasuk Iran, dan
wilayah-wilayah Arab lainnya.
Adapun sejak kapan Islam masuk ke Asia Tenggara, terutama
kepulauan dan pesisir Nusantara, referensinya sangat sedikit sekali,
dan simpang siur. Para pakar geografi Muslim abad-abad pertama
Islam tidak memaparkan sedikitpun laporan tentang hal ini dan
hanya menyebutkan sebagian keanehan, hasil tanam, gunung
berapi, dan julukan penguasa setempat “Mehraj” yang sebenarnya
menunjuk kepada julukan ‘Maharaja’ dan penguasa India Indonesia.
Krachkovski meyakini, kaum Kaum Muslim mempertahankan
beberapa sistem yang sudah berlaku sejak masa Sassania di pinggiran
selatan Irak dan pesisir Teluk Persia. Ia menambahkan, kolonial Arab,
dan Persia di Bandar Kanton sedemikian tangguh sehingga pada
tahun 169 Hijriyah/758 Masehi mampu menduduki kota; kemudian
meninggalkannya melalui jalan laut. Ia juga percaya, bahkan sebelum
masa itu kapal-kapal kaum Kaum Muslim juga telah melakukan
perdagangan dengan Cina.17
Romhormozi yang menulis karyanya pada abad ke-4 Hijriyah/10
Masehi menyatakan keberadaan kaum Muslim pribumi dan nonpribumi
di Zabaj (Sumatera) dan bahkan seseorang di antara mereka
bernama Juhud Kutah, berasal dari Oman hadir di pertemuan raja
Sumatera.18 Laporan ini menunjukkan penyebaran Islam oleh para
pelayar Muslim dan pengaruh mereka di wilayah tersebut sedemikian
rupa sehingga ikut hadir pula di pertemuan-pertemuan khusus raja.
Meskipun demikian, agama Islam hingga beberapa lama hanya
menyebar di bandar-bandar dan pesisir-pesisir yang penduduknya
memiliki hubungan dengan kaum Kaum Muslim dan kemajuannya di
dalam wilayah ini berjalan lambat karena Islam di sana berhadapan
dengan perlawanan orang-orang Hindu dan para penyembah patung.19
Wajar bila kawasan pertama yang penduduknya menerima Islam
adalah kawasan pesisir dan tempat lalu-lalang atau persinggahan
17 Krachkovski, hlm. 111.
18 Romhormozi, hlm. 124-125.
19 Toheri, hlm. 491.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
46
para pedagang Muslim, baik untuk sementara waktu atau terkadang
permanen. Sebagaimana Marcopolo, ketika dalam perjalanan dan
persinggahan beberapa bulannya di sebagian pulau Indonesia melihat
seluruh penduduk berbagai pulau menyembah berhala dan hanya
menyaksikan wilayah Perlak, dekat Selat Malaka di utara pulau
Sumatera berpenduduk Muslim yang menurut pendapatnya mereka
menerima Islam melalui para pedagang Muslim.20
Batu nisan yang merupakan bukti historis paling valid dan
terpercaya terkait penyebaran Islam di wilayah-wilayah ini
mengindikasikan penyebaran Islam pada masa pra-Marcopolo. Batubatu
nisan yang paling kuno terkait tahun 475 Hijriyah/1082 Masehi
di Jawa Timur.21 Secara bertahap ketika para pemimpin dan pembesar
wilayah-wilayah yang terletak di sepanjang Selat Malaka memilih
Islam, maka penduduk umum juga mengikuti mereka. Walaupun
demikian, penduduk kepulauan ini tidak memutus hubungan dengan
orang-orang terdahulu. Realitanya, masjid-masjid Islam dibangun
dengan bentuk arsitek Hindu-Jawa dan kuburan-kuburan kaum
Muslim memiliki tanda-tanda Hindu.22
Setelah wilayah-wilayah pesisir, secara bertahap Islam masuk ke
wilayah dan kepulauan lain dan mempengaruhi mereka dengan ajaranajaran
baru. Pada dasarnya, proses penerimaan Islam penduduk kepulauan
ini juga sama seperti wilayah lain di dunia yang marak keislamannya
merupakan sebuah gerakan yang lambat dan perlahan. Akan tetapi,
berbeda dengan mayoritas wilayah dunia Islam, penerimaan Islam lebih
dahulu dari pendirian pemerintahan Islam. Sementara di wilayah lain,
terlebih Timur Tengah, pertama-tama wilayah-wilayah tersebut dikuasai
oleh kaum Muslim terlebih dahulu, kerajaan Islam memiliki hegemoni,
pengaruh, dan setelah itu Islam menyebar di bawah bendera kerajaan
Islami dengan sarana-sarana seperti perang dan jihad. Dengan demikian,
sepanjang abad ke-7 dan 8 Hijriyah/13 dan 14 Masehi, Islam sedemikian
rupa berpengaruh di kepulauan ini sehingga pemerintahan Islam pertama
berdiri di wilayah ini pula. Hal ini menyebabkan aktivitas-aktivitas
dakwah atau tabligh kaum Muslim dilakukan secara terang-terangan,
perselisihan besar antara kerajaan Islam, dan Majapahit terjadi yang
20 Marcopolo, hlm. 186-187.
21 Doyeratul Maoref-e Bozorg-e Eslami (Ensiklopedia Besar Islam), di belakang kata Andonezi
(Indonesia).
22 Smith, hlm. 43.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
47
berakhir dengan runtuhnya Majapahit. Runtuhnya Majapahit semakin
mempercepat pengaruh dan penyebaran Islam di kepulauan Nusantara.
Sisa-sisa kerajaan Majapahit yang termasuk dalam kelas istimewa Hindu,
bersama dengan para pemimpinnya mengambil suaka ke pulau Bali.
Kerajaan Islam yang terkenal adalah kerajaan Pasai yang didirikan pada
akhir abad ke-7 Hijriyah/13 Masehi di pesisir timur Sumatera dan menjadi
pusat aktivitas para pedagang dan saudagar Arab dan Persia.23 Kerajaan
yang di antara rajanya yang terkenal bernama Muhammad Iskandar Syah
ini berusaha melepaskan diri dari hegemoni kerajaan-kerajaan Hindu dan
Buddha yang tangguh dengan cara menjalin hubungan dengan kerajaan
Cina yang dengan demikian, mereka tetap menjaga independensinya.
Referensi-referensi terdahulu terkait sebab orientasi penduduk
kepulauan ini terhadap Islam tidak disebutkan argumen yang kuat.
Dikatakan bahwa kerusakan akhlak dan pada saat yang sama terjadi
di kalangan pemuka agama, terutama Buddha Jawa, maka masyarakat
tidak lagi mempercayai mereka dan terbukalah pintu untuk perubahan
agama penduduk yang menarik mereka kepada Islam.24Langkah
pertama dan terpenting dalam pengaruh dan penyebaran Islam di
wilayah Jawa juga telah dilakukan oleh para pedagang atau saudagar.
Putera raja Pajajaran (bagian barat pulau Jawa) memilih profesi sebagai
pedagang. Ketika memimpin sebuah rombongan dagang ke India, ia
berkenalan dengan para pedagang Muslim dan memeluk Islam yang
kemudian mengganti nama dengan Haji Pura. Setelah kembali ke
negerinya, dengan bantuan para pedagang Muslim ia mengarahkan
saudara dan anggota lain kerajaan kepada Islam.25
Tentunya, selain aktivitas para pedagang dan saudagar, ulama
atau Sufi juga ikut andil dalam penyebaran dan dakwah Islam di
wilayah-wilayah ini, wilayah Timur Asia dan anak benua yang tidak
dapat kita sebutkan dalam artikel ini.
Ketika Ibnu Batutah, pelancong Muslim terkenal menginjakkan
kaki di pulau Jawa, Sumatera, pulau selatan lain, dan Asia Tenggara
pada abad ke-8/14 Masehi, sebagian penduduk wilayah-wilayah
tersebut telah memeluk Islam. Ketika berkunjung ke Sumatera pada
tahun 746 Hijriyah/1345 Masehi, ia mendeskripsikan kerajaan-
23 Doyeratul Maoref-e Bozorg-e Eslami, di belakang kata Andonezi (Indonesia).
24 Mozandaroni, hlm. 72.
25 Arnold, hlm. 276-277.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
48
kerajaan Islam wilayah ini memiliki daerah yang luas dan kekuasaan
yang besar. Di sana, ia bertemu dengan beberapa orang Muslim Iran, di
antaranya Behrouz, wakil panglima angkatan laut, Qadhi Amir Sayyid
Syirazi, dan Tajuddin Isfahani yang merupakan ulama di wilayah
tersebut.26 Keberadaan mereka ini memiliki peran besar dalam dakwah
dan penyebaran Islam di wilayah tersebut. Pada masa itu, Malik Zahir
yang memegang tampuk kekuasaan wilayah di sana. Ibnu Batutah
terkait hal ini mengatakan:
Raja Jawa, Malik az-Zahir, termasuk raja yang baik, mulia dan
pengikut madzhab Syafi ’i. Ia pecinta ulama dan fuqaha’ sehingga
mereka selalu datang ke sisinya untuk membaca Alquran dan
berdiskusi ilmiah. Malik az-Zahir melakukan beberapa peperangan
melawan orang-orang kafi r. Ia seorang yang selalu merendah dan
selalu menghadiri shalat Jumat dengan berjalan kaki. Penduduk
Jawa juga bermadzhab Syafi ’i, berjiwa mujahid yang selalu
mengikuti jihad dengan sepenuh hati dan menetapkan hudud bagi
kaum kafi r sehingga rela dan menerima untuk membayar jizyah
demi mendapatkan kedamaian.27
Sebuah batu nisan bertuliskan tahun 833 Hijriyah/1419 Masehi
terkait dengan Malik Ibrahim Kasyani dengan baik mengekspresikan
peran para pedagang atau saudagar dan proses penyebaran dan
pengaruh Islam di kepulauan Nusantara (Melayu). Isi dari prasasti
batu nisan ini mengindikasikan bahwa ia adalah seorang pedagang
kaya yang kemungkinan memperoleh kekayaannya melalui cara
berdagang rempah-rempah.28 Ia bersama beberapa orang seagamanya
pada paruh kedua abad ke-14 Masehi berlabuh di pesisir timur Jawa
dan menetap di dekat kota Gresik yang berdekatan dengan pulau
Madura. Dikatakan bahwa ia salah satu keturunan Imam Ali Zainal
Abidin dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), salah
satu raja Jawa. Usahanya untuk menyebarkan Islam berakhir pada
terbentuknya komunitas (masyarakat) kecil Muslim di Jawa. Ia juga
membangun sebuah masjid di tempat tersebut dan bersama Raja
Chermen mencurahkan segala usaha dalam penyebaran Islam. Akan
tetapi, usaha mereka untuk meyakinkan Raja Majapahit supaya
menerima Islam tidak membuahkan hasil.29
26 Ibnu Batutah, hlm. 721.
27 Ibid.
28 Vlekke, hlm. 125.
29 Arnold, hlm. 277.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
49
Laporan referensi-referensi Cina dan lokal juga mengindikasikan
kontinuitas penyebaran dan pengaruh Islam secara bertahap dari
wilayah pesisir ke kawasan pusat dan penjuru yang jauh. Dengan
demikian, wilayah Perlak (sebuah bandar yang berada di timur
Sumatera, barat laut Indonesia), Pasai (sebuah kawasan yang terletak
di pesisir utara Aceh di Sumatera) di utara Sumatera pada akhir abad
ke-13, Malaka pada permulaan abad ke-15 dan Maluku (di timur
Indonesia) pada permulaan abad ke-16 telah memeluk Islam.
Pemimpin Makasar (pulau yang terletak di tenggara Indonesia)
menerima Islam pada permulaan abad ke-17. Akan tetapi, penyebaran
cepat Islam di Indonesia terjadi pada abad ke-16 meskipun orangorang
Portugis mempersulit dan memaksakan agama Kristen, dari sisi
lain juga karena pengaruh persaingan para pedagang Muslim dengan
orang-orang Portugis. Wilayah kerajaan Islam terpenting pada masa
tersebut adalah Demak di Jawa Tengah, Aceh di Sumatera Utara, dan
Brunei di utara kepulauan Borneo (Kalimantan).30
Asal Mula Masuknya Islam Ke Asia Tenggara
Di sini akan berusaha menelaah batasan waktu yang disepakati
tentang sejarah Islam di wilayah Melayu yang mencakup Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan Thailand terkait abad ke-13 hingga ke-16
Masehi. Berdasarkan kesepakatan yang diambil dari dokumendokumen
historis terkait batu nisan, catatan perjalanan, dan sejarah
lokal terdapat empat teori asal usul utama masuk dan tersebarnya
Islam di Asia Tenggara (Arab, India, Persia, dan Cina) sebagai berikut:
Teori Arab
Teori bahwa Islam pertama kali masuk ke wilayah Melayu melalui
orang-orang Arab Hadhramaut didukung oleh banyak pihak, seperti
kaum Orientalis semisal Nieman, De Hollander, Pjin Apel (terkait
tahun 1861 dan 1872 Masehi), M.B. Hoker, Ho E., Van den Berg,
Frode F. Jacobsen yang dipaparkan dengan bersandar kepada catatan
perjalanan Marcopolo, Sulaiman, dan Ibnu Batutah. Pendapat ini juga
ditegaskan oleh para penulis dan peneliti pribumi seperti Alatas, Kaisar
Majul, Haji Muzaffar Datuk Haji Mahmud, Asad Shihab, dan lainlain.
31Hal yang perlu diperhatikan di antaranya pertama, disebabkan
30 Mozandaroni, hlm. 61.
31 Silahkan merujuk: M.B. Huger, Eslam dar Janub-e Syarqi-ye Asia (Islam di Asia Tenggara);
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
50
oleh adanya perhatian orang-orang Arab sayyid dalam menjaga silsilah
nasab (keturunan), maka dokumen-dokumen dan genealogi para sayyid
Hadhramaut yang berperan penting dalam masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia, Brunei, dan Filipina jelas dan mudah ditemukan.
Hingga saat ini di Asia Tenggara terdapat hampir empat juta sayyid
beserta silsilah keturunan yang jelas dan juga menjelaskan keturunan
mereka.
Kedua, silsilah keturunan para sayyid Hadhramaut di wilayah
Asia Tenggara berasal dari dua cabang keturunan, yaitu keturunan
Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan para sayyid Brunei yang raja Brunei saat
ini adalah keturunan ke 26 dari Syarif Ali , demikian juga para sayyid
Filipina yang merupakan keturunan Syarif Abu Bakar juga termasuk
dari cabang lain para sayyid. Ketiga, hal penting dan perlu diperhatikan
bahwa seluruh orang Arab Hadhramaut dan para sayyid Indonesia,
Malaysia, Brunei, dan Filipina sepakat bahwa keturunan mereka
bercabang dari dua orang putera dan keluarga Ali bin Abu Thalib yang
juga termasuk di antara para imam Syiah, yaitu Imam Hasan Mujtaba
dan Imam Ja’far as-Shadiq.
Untuk lebih mengenal hubungan Syiah dengan orang-orang Arab
sayyid Hadhramaut, perlu memperhatikan beberapa hal pokok berikut
ini:
• Defi nisi kata ‘sayyid’
• Mengungkap alasan dan motivasi hijrah mereka ke wilayah ini
• Orientasi madzhab para sayyid
Sayyid
Sayyid sebuah kata bahasa Arab dari asal kata دِویس (sebelum
dii’lal) yang memiliki arti tuan dan junjungan. Adapun dalam istilah
diperuntukkan kepada keturunan Hasyim, kakek Nabi Muhammad.
Nasab sayyid ini disandarkan kepada keturunan Nabi Muhammad
saw melalui jalur Fatimah, puteri beliau, dan Ali bin Abu Thalib (Imam
pertama dalam Syiah dan Khalifah keempat dalam Ahl as-Sunnah). Sayyid
memiliki dua cabang utama:
Qaisar Mujul, Al-Islam fi Al-Syarq Al-Aqsha (Islam di Timur Jauh); Syahir Mustafa, Mausu’ah
Daur Al-‘Alam Al-Islami wa Rijaliha (Ensiklopedia Peran Dunia Islam dan Tokoh-tokohnya);
Muhammad Dhiya’ Shahab, Al-Imam Al-Muhajir.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
51
1. Keturunan Ali melanjutkan generasinya melalui jalur tiga
putera beliau, yaitu Muhammad Hanafi ah dari istri Khawlah
binti Qais, Abbas bin Ali dari istri Ummul Banin, dan Umar
bin Ali dari istri Sahba’ binti Rabi’ah. Mereka disebut para
sayyid Alawi.
2. Keturunan Hasan dan Husein—putera-putera Ali dari Fatimah—
yang biasa disebut dengan para sayyid Hasyimi atau disandarkan
kepada mereka yaitu Hasani atau Huseini. Putera-putera Fatimah
berulang kali melakukan perlawanan pada masa khilafah Bani
Umayah dan Abbasiyah (seperti yang pernah dilakukan oleh
Zaid bin Ali dan Muhammad bin Abdullah bin Hasan Mutsanna
yang dikenal dengan Nafs Zakiyah) dan membentuk berbagai
silsilah yang jauh dari Arabia, seperti di Maroko, Yaman, Mesir,
Gilan, dan Mazandaran semisal pemerintahan dinasti Idrisiyah
(keturunan Idris, cucu Hasan bin Ali ) di Maroko, dinasti Fatimiah
di Mesir, dinasti Mar’asyiah (keturunan Ali al-Mar’asy, cicit Ali
bin Husein, kelompok Alawi Thabristan (dua cabang dari para
sayyid Hasani dan Huseini Mazandaran) dan Bani Muhanna
di Madinah. Makmun menunjuk Ali bin Musa dari keturunan
Fatimah menjadi putera mahkota. Muhammad Khwarazm
Shah ingin mencabut khilafah Bani Abbas dan menyerahkannya
kepada salah satu keturunan Fatimah.
Puteri seorang sayyid disebut sayyidah, alawiyah atau syarifah
memiliki ibu sayyidah dan ayah non-sayyid biasanya bila lakilaki
disebut mirza dan bila perempuan disebut mirzayah. Sayyid
Hasyimi yang menurut pandangan sebagian ulama lebih kuat dan
mulia, melalui jalur ibu dan sayyid Alawi melalui jalur ayah. Secara
ijma’ (konsensus), menurut seluruh ulama Syiah, terutama ulama
kontemporer bahwa sayyid disandarkan kepada keturunan Fatimah,
puteri Nabi Muhammad, dan mereka tidak menerima khumus (bagian
seperlima).
Nama-nama famili terkadang dapat membawa kepada nasab
seseorang. Sebagai contoh, bagan berikut ini memiliki ringkasan dari
nama-nama tersebut:
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
52
Kakek Laqab Arab
Nama
Famili
Arab
Nama
Famili
Persia
Nama
Famili
Urdu
Hasan bin Ali
Al-Hasyimi
Al-Hasani, Al-
Hasyimi
Al-Hasani Hasyimi,
Hasani,
Thaba’
thabai
Hasani,
Hasyimi
Husein bin Ali Al-Huseini Al-Huseini Huseini Ahmadi
Huseini
Ali bin Husein
Zainal Abidin
Al-Abidi Al-Abidi Abidi Abidi,
Abdi
Zaid bin Ali
Asy-Syahid
Az-Zaidi Az-Zaidi Zaidi Zaidi
Muhammad Al-
Bager
Al-Bageri Al-Bageri Bageri Bageri
Ja’far Ash-
Shadiq
Al-Ja’fari Al-Ja’fari Ja’fari Ja’fari,
Jufri
Musa Al-
Kadhim
Al-Musawi Al-Musawi,
Al-Kadhimi
Musawi,
Kadhimi
Kadhimi
Ali Ar-Ridha Ar-Ridhawi Ar-Ridhawi Ridhawi Ridhawi
Muhammad At-
Taqi At-Taqawi At-Taqawi Taqawi Taqawi
Ali Al-Hadi An-Naqawi An-Naqawi Naqawi Naqawi,
Bukhari
Laqab
Laqab (gelar) yang diberikan kepada para sayyid terbagi menjadi
dua: penisbahan dan penghormatan. Laqab penisbahan digunakan
untuk menjelaskan nasab seseorang dan penisbahannya kepada
kelompok atau kabilah tertentu, seperti Imami, Huseini, dan
Hasani. Laqab penisbahan dipakai untuk menghormati orang-orang
yang memiliki nasab kepada keluarga risalah. Para sayyid tidak
menggunakan dengan sendirinya, sebagaimana yang berlaku pada
para marja’ Syiah kontemporer yang sayyid, misalnya tulisan stempel
Sayyid Muhsin Hakim adalah Muhsin at-Thaba’thabai Al-Hakim dan
tulisan stempel Sayyid Abu al-Qasim Khui adalah Abu al-Qasim al-
Musawi al-Khui. Pada zaman dahulu juga demikian dan dalam naskahnaskah
manuskrip dan teks-teks kuno biasanya para sayyid tidak
menamakan diri sendiri dengan laqab-laqab tersebut. Di Iran juga bila
para sayyid menambahkan lafad ‘sayyid’ di depan namanya, tujuannya
adalah untuk kebanggaan dan mengagungkan penisbahannya kepada
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
53
keluarga risalah (Nabi Muhammad). Kasus seperti ini, sayyid adalah
bagian dari nama dan sebuah laqab yang tidak terpisah. Sebagian laqablaqab
kehormatan, seperti amir, habib, sayyid, syarif, dan mirza dalam
berbagai masa digunakan untuk mengagungkan para sayyid.32
Iran karena terdapat orientasi kepada Syiah di kalangan
masyarakatnya, termasuk wilayah teraman di antara negeri-negeri
Islam untuk anak cucu Nabi Muhammad yang masih tersisa. Banyak
orang di Iran yang memiliki nama awalan sayyid. Nama-nama famili
seperti Musawi, Hasyimi, Huseini, dan Thaba’thabai banyak dijumpai
di tengah-tengah masyarakat Iran. Hampir di seluruh wilayah Iran
terdapat makam-makam keturunan imam. Di Yaman terdapat
keluarga Syiah dan Sunni sayyid, seperti Rasyidi, Qasimi, Mutawakkili,
Hamiduddini, Zaidi, Murib, Shana’i, Sadah, Ats-Tsaqafi , dan Al-
Waziri.
Di Irak, 90-95% sayyid adalah Syiah. Banyak di antara para sayyid
membaur dengan kabilah-kabilah Arab selatan Irak supaya aman dari
pembunuhan. Studi genetik mengindikasikan bahwa banyak di antara
mereka memiliki nenek moyang yang sama. Sebagian nama famili para
sayyid ini seperti Al-Yasiri, Az-Zaidi, Al-‘Araji, Al-Hasani, Al-Huseini,
Thaba’thabai, Al-‘Alawi, Al-Qawalib, Al-Musawi, Al-‘Awadi, dan Al-
Hayali. Demikian juga terdapat kelompok sayyid bermadzhab Sunni di
Kurdistan, Irak.
Di Saudi Arabia terdapat banyak sayyid. Nama-nama famili seperti
Al-Hasyimi (bin Hasyim), Al-‘Alawi, Al-Huseini, Al-Muslim, An-Nasir
merupakan kelompok dari keluarga ini. Banyak orang di Lebanon yang
mengklaim sebagai sayyid. Kaum Syiah Lebanon, terutama sejak masa
pemerintahan Dinasti Shafawiah di Iran memiliki hubungan dekat
dengan negeri ini. Diaspora atau hijrahnya para sayyid ke negeri ini terjadi
pada abad ke-3 Hijriyah yang mana pada masa itu banyak sekali keluarga
seperti Sailaqi, Hasani, Huseini, Musawi, dan Redhawian berhijrah ke
wilayah Jabal Amil. Seluruh sayyid Libia bermadzhab Sunni. ‘Azuz dan
Al-Hasyimi di antara kabilah yang masih tersisa dari para sayyid ini.33
32 Hoseini Asykuri, Sayed Shadiq, Alqab As-Sadah (Gelar-gelar Para Sayyid), Qum, Majma’
Adh-Dhakhair Al-Islamiyah, 1419 H; Manabi’ Al-Lum’ah Ad-Dimisyqiyah; Tarikh-e Eslam va
Estelahat-e Motadavel dar bein-e Mosalmanan.
33 Ensiklopedia Persia (di bawah pengawasan Gholam Hosein Mosoheb), Pengantar: Alawi dan
Sayyid.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
54
Di selatan Asia, sekitar 14 juta orang mengklaim sebagai keturunan
Nabi Muhammad. Nenek moyang orang-orang ini hijrah ke wilayahwilayah
tersebut dari negeri Arab, Persia, Asia Tengah, dan Turkistan.
Dalam berbagai masa, para sayyid India membentuk pemerintahan kecil
lokal, tetapi tidak berhasil memperoleh kekuasaan di seluruh anak benua
India. Perkiraan jumlah sayyid di India dan Pakistan saat ini masingmasing
sekitar tujuh juta dan di Bangladesh hampir satu juta jiwa.
Dalam tes genetik akhir-akhir ini, sekelompok peneliti dari
Universitas Portsmouth Inggris dikepalai oleh Maziar Ashrafi an Benab
dengan melakukan tes genetik kromosom (Y) di atas sekelompok
sampel warga Iran sampai pada hasil bahwa sekitar 50 % orang-orang
yang meyakini diri sebagai sayyid memiliki nenek moyang sama.
Sebagaimana yang telah disinggung, para sayyid di Tenggara pada
umumnya terbagi menjadi dua kelompok sayyid, Hasani, dan Huseini.
Kelompok pertama adalah keturunan Imam Hasan tersebar di Brunei
dan Filipina. Keturunan para sayyid di Filipina yang kakek mereka adalah
Syarif Abu Bakar, sejak permulaan abad ke-16 hingga akhir abad ke-17
Masehi menguasai sebagian wilayah Filipina kini yang berpenduduk
Muslim. Di Brunei juga terdapar Syarif Ali, pendiri dinasti Kesultanan
Bolkiah yang hingga saat ini masih berlanjut sampai ke generasi ke-26.34
Kelompok kedua yang juga tidak sedikit jumlahnya dan tersebar
luas di Indonesia, Malaysia, Singapura dan selatan Thailand, sampai
kepada Husein bin Ali, putera kedua Ali dari Fatimah melalui jalur
Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-‘ Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq
bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin.35
Dengan demikian, yang pasti bahwa para sayyid di Asia Tenggara,
terutama mereka yang masuk dari wilayah Hadhramaut dan berperan
dalam penyebaran dan perkembangan Islam di wilayah ini berasal dari
keluarga yang memiliki hubungan dengan para sayyid Hasyimi dan
dari keturunan puteri Nabi Muhammad dan Ali bin Abu Thalib.
Mengkaji Akar Diaspora Para Sayyid ke Asia Tenggara
Tampaknya untuk memahami dengan benar akar dan motivasi
diaspora para sayyid ke wilayah lain, harus terlebih dahulu memperhatikan
34 Syakir Mustafa, Mausu’ah Daur Al-‘Alam Al-Islami wa Rijaliha; Qaishar Mujul, Al-Islam Fi Asy-
Syarq Al-Aqsha.
35 Reza Neyazmand, Syieh dar Tarikh (Syiah dalam Sejarah), Qalam Nevin, Tehran, 1987.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
55
peristiwa terkait paruh kedua abad ke-1 hingga paruh kedua abad ke-4
Hijriyah. Pada masa itu ketika kekuasaan dipegang oleh para khalifah
Umayah dan Bani Abbasiyah, putera-putera dan keturunan Ali dengan
alasan menentang kebijakan, pandangan penguasa waktu itu atau ingin
melepaskan diri dari tekanan dan ancaman, terpaksa bersikap atau
melawan atau berhijrah ke wilayah lain. Hijryahnya Husein bin Ali dari
Madinah menuju Kufah pada tahun 61 Hijriah, bangkitnya Muhammad
Hanafi yah pada tahun 81 Hijriyah, bangkitnya Zaid pada tahun 120
Hijriyah, bangkitnya Yahya bin Zaid dan Muhammad bin Abdullah pada
tahun 125 Masehi, bangkitnya Qasim al-Wasi di Yaman pada tahun 288
Hijriyah, bangkitnya Ismailiyah dan munculnya pemerintahan Fatimiyah
pada tahun 276 Hijriyah di Mesir, bangkitnya kaum Alawiyyah di Kufah
tahun 251 Hijriyah ( Husein bin Muhammad bin Hamzah bin Abdullah
bin al- Husein bin Zainal Abidin), bangkitnya Yusuf bin Ismail al-Alawi
di Mekah pada tahun 252 Hijriyah dan puluhan kebangkitan lain yang
semuanya mengindikasikan ketidakpuasan kaum Alawiyah terhadap
kondisi yang berlaku dan motivasi mereka untuk hijrah ke wilayah lain.36
Dengan memperhatikan signifi kansi peran Ahmad bin Isa Al-
Muhajir dan keluarganya dalam pembahasan sayyid di Asia Tenggara,
maka pada bagian ini kami menekankan argumentasi dan motivasi
hijrah, juga orientasi madzhab dan pemikiran beliau dan anak
keturunannya. Mungkin buku terpenting yang membahas rincian
sejarah dan pemikiran Ahmad Muhajir adalah “Al-Imam Al-Muhajir, Ma
lahu Linasabihi wa lil Aimmati min Aslafi hi minal Fadhail wal Ma’atsir”.37
Meskipun penulisnya berorientasi kepada madzhab Ahl as-Sunnah,
buku ini secara terperinci menukil bagian-bagian penting dengan
bersandar kepada referensi historis terkait kehidupan Ahmad Muhajir.
Ahmad Muhajir lahir pada tahun 241 atau 261 Hijriyah di kota
Basrah yang ketika itu menjadi pusat keilmuan, perdagangan dan
kehadiran aliran-aliran ‘ Irfan dan tasawwuf. Motivasi utama hijrahnya
ayah beliau, Isa dari Madinah ke Basrah tidak ada argumen yang pasti,
tetapi menengok situasi politik Madinah pada akhir abad ke-2 dan
36 Al-Imam Al-Muhajir, Ma lahu Linasabihi wa lil Aimmati min Aslafi hi minal Fadhail wal Ma’atsir
(Keutamaan Nasab Imam Muhajir dan Para Imam Pendahulunya), Muhammad Dhiya’ Shahab
dan Abdullah bin Nuh, cetakan Dar Asy-Syuruq li An-Nasyr wa At-Tauzi’ wa Ath-Thiba’ah,
Kerajaan Saudi Arabia, 1400 Hijriyah/1980 Masehi).
37 Karya Muhammad Dhiya’ Shahab dan Abdullah bin Nuh, Cetakan Dar Asy-Syuruq li An-Nasyr
wa At-Tauzi’ wa Ath-Thiba’ah, Kerajaan Saudi Arabia, 1400 Hijriyah/1980 Masehi).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
56
permulaan abad ke-3 ketika para Khalifah Dinasti Abbasiyah setelah
melakukan toleransi untuk beberapa saat terhadap keturunan Ali
bin Abu Thalib, menunjukkan sikap kekerasan dan memberlakukan
penekanan terhadap mereka dan juga ketidakstabilan kondisi di Hijaz
dan beberapa bagian wilayah Irak pada masa itu turut mempengaruhi
hijrah tersebut.
Gerakan utama yang penting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara
adalah hijrahnya Ahmad Muhajir dari Basrah ke Hadhramaut.
Pemberontakan dan hegemoni Zanj dan Qaramitah atas Basrah yang
ketika itu menjadi bandar (pelabuhan) utama perdagangan luar
negeri bagi Khalifah Abbasiyah, memaksa beliau yang juga seorang
pedagang dan alim terkenal kota Basrah meninggalkan Basrah
bersama keluarganya pada tahun 317 Hijriyah, yaitu pada masa
khalifah Abbaiah al-Muqtadir Billah untuk menuju ke Madinah dan
Mekah terlebih dahulu, kemudian ke Hadhramaut Yaman dan tinggal
di wilayah Hasisah yang terletak di antara Tarim dan Seiwun. Mas’udi
dan Tabari juga pernah menyingung peristiwa ini.
Ahmad Muhajir juga merupakan seorang fi gur alim agama yang
menjadi perhatian dan dicintai penduduk wilayah ini dan hingga akhir
hayatnya menetap di Hadhramaut. Beliau meninggal pada tahun 345
Hijriyah atau 924 Masehi. Isa bin Muhammad bin Ali al-‘ Uraidhi memiliki
empat putera bernama Zaid, Yahya, Ahmad al-Muhajir, al- Husein, dan
al- Hasan. Salah satu putera Isa yang bernama al- Hasan berhijrah ke Iran
dan keturunannya tersebar di Isfahan, Syiraz dan Qum. Ahmad Muhajir
sendiri memiliki empat putera bernama Ali, al- Husein, Abdullah, dan
Muhammad. Ali berhijrah ke Ramlah, Al- Husein ke Nisyabur, Iran,
Abdullah menetap di Hadhramaut bersama sang ayah dan Muhammad
menetap di Basrah. Keturunan Ahmad Muhajir yang hijrah ke wilayah
lain seperti India, Afrika, dan Asia Tenggara berasal dari Abdullah (383).
Ia memiliki tiga putera bernama Ismail, Jadid, dan Alwi yang keturunan
Alawiyin Asia Tenggara berasal darinya. Tampaknya alasan dan
motivasi utama hijrahnya anak cucu Ahmad Muhajir ke wilayah lain
adalah tabligh atau dakwah dan berdagang, alasannya adalah sambutan
penduduk Hadhramaut dan kedudukan mereka di wilayah itu tidak ada
paksaan bagi mereka untuk memalingkan tujuan ke wilayah lainnya.38
38 Lihat Al-Muhajir.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
57
Hal yang masih samar dalam sejarah adalah menjawab secara
tepat waktu hijrahnya keturunan Ahmad Muhajir ke Asia Tenggara.
Berbagai dokumen yang ada mengindikasikan hal tersebut
berhubungan dengan permulaan abad ke-9 Hijriah dan setelahnya,
yaitu pada masa ketika Islam tersebar luas di sebagian besar wilayah
Jawa dan Sumatera melalui para sayyid, di antaranya adalah Wali
Songo yang sebagian besar adalah sayyid, tetapi Alwi bin Abdullah bin
Ahmad al-Muhajir berhubungan dengan permulaan abad ke-4 Hijriah.
Mungkin kesamaran historis ini dapat dijawab demikian bahwa
kehadiran awal keturunan Alwi di Asia Tenggara pada mulanya tidak
permanen, mereka datang dan pergi ke wilayah ini hanya singgah
dan sementara dalam perjalanan aktivitas perdagangan mereka dan
pemilihan wilayah ini sebagai tempat tinggal terjadi pada masa-masa
setelahnya. Hal lain bahwa tujuan awal dan utama mereka adalah anak
benua India dan sebagaimana sebagian referensi dan dokumen historis
yang akan kita singgung pada bagian setelah ini menyatakan bahwa
para sayyid setelah tinggal di Iran dan India dalam lanjutan perjalanan
dan target perdagangan serta dakwah mereka, menuju Cina, dan
Nusantara Melayu. Dengan berlalunya waktu mereka menetap di
sana. Perpindahan ini berlangsung selama bertahun-tahun. Jelaslah
bahwa peran para wali sayyid sebagai dai atau muballigh pertama Islam,
terutama di Jawa adalah pasti dan tujuh orang dari Wali Songo adalah
sayyid. Walaupun masuknya Islam ke pulau Sumatera agak sedikit
berbeda dengan Jawa karena alasan dominasi pengaruh India, akan
tetapi dalam banyak referensi terkait pengenalan sejarah masuk dan
berkembangnya Islam di Nusantara Melayu, di antaranya Malaka,
Sumatera, Jawa, Brunei, dan Filipina, nama-nama Arab sayyid termasuk
dalam daftar utama para dai dan muballigh Islam di wilayah tersebut.
Mengkaji Orientasi Pemikiran dan Madzhab Para Sayyid
Saat ini hampir empat juta sayyid tinggal di negara-negara Asia
Tenggara yang pada umumnya bermadzhab Syafi ’i dan sebagian atau
minoritas juga mengikuti madzhab Syiah. Menjawab pertanyaan bahwa
apakah Ahmad bin Isa al-Muhajir dan tiga generasi keturunannya
serta kelompok Arab Hadhramaut pertama dan para sayyid Syafi ’i atau
Syiah, perlu penelitian dan kajian lebih banyak. Dalam hal ini terdapat
beberapa hipotesa dan pandangan yang berbeda-beda:
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
58
• Sebagian meyakini bahwa madzhab Imam Ahmad Muhajir
sama seperti madzhab ayah dan kakeknya, Imam Ja’far Shadiq
yaitu Imamiyah.39 Kelompok ini dalam argumentasinya
mempercayai bahwa Ahmad Muhajir dan keturunannya sama
seperti ayah-ayahnya mengikuti madzhab kakek mereka, Ali
al-‘ Uraidhi yang mengikuti madzhab sang ayah yaitu Ja’far
Shadiq, saudaranya yaitu Musa Kadhim anak-anak saudaranya
yaitu Ali bin Musa ar-Ridha dan Muhammad Jawad. Sejarah
tidak memaparkan indikasi perpindahan madzhab mereka.
Alasan lain Ahmad Muhajir dan ayahnya, Isa bermadzhab
Imamiyah adalah keduanya termasuk ahli hadist Syiah dan
dalam referensi-referensi hadist Imamiyah banyak hadist
diriwayatkan dari mereka dengan menukil dari para Imam
Syiah.40
• Pendapat lain meyakini bahwa mereka mengikuti Imam Syafi ’i
dalam fi qh semata, dari sisi akidah dan teologi adalah Syiah.
• Pandangan lain dengan bersandar kepada maraknya madzhab
Syafi ’i di Hadhramaut, wilayah India, Afrika, kepulauan Melayu,
dan Indonesia, yaitu wilayah-wilayah yang ditinggali oleh para
sayyid Hadhramaut atau mereka berperan memperkenalkan dan
menyebarkan Islam di sana, berkeyakinan bahwa madzhab para
sayyid Hadhramaut yang menjadi asal usul masuknya Islam di
wilayah itu, juga bermadzhab Syafi ’i.41
Tampaknya untuk menjawab dan memberikan justifi kasi logis dari
pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab bahwa pertama, perubahan
madzhab pada orang-orang Arab sayyid Hadhramaut terkait dengan
generasi berikutnya dan hal ini secara umum terjadi mulai abad ke-4
Hijriah dan setelahnya. Kedua, bahwa klasifi kasi madzhab pada waktu
itu, berbeda dengan masa kita saat ini, tidak terlalu serius, karena
meskipun munculnya madzhab-madzhab fi qh berkaitan dengan
penghujung abad ke-2 dan paruh pertama abad ke-3 Hijryah, tetapi perlu
waktu berabad-abad lamanya baru terbentuk batasan-batasan yang jelas
di antara madzhab-madzhab Islam dan muncul klasifi kasi yang ada saat
ini antara madzhab-madzhab Syiah dan Sunni. Berdasarkan sejarah,
39 Ibid, hlm. 121.
40 Ibid.
41 Ibid.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
59
pada permulaan munculnya maktab-maktab fi qh tidak terdapat batasan
dan perbedaan yang serius di antara mereka. Sebagaimana para imam
dan pendiri madzhab fi qh saling berinteraksi dan bertukar pikiran,42
kaum Kaum Muslim pun mengikuti para imam madzhab sebagai ahli
fi qh yang kompeten pada masanya, bukan sebagai rujukan teologi dan
akidah. Oleh karena itu, sebagaimana Imam Syafi ’i dan Imam Hanbali
sebagai pembela Ahl al-Bayt Nabi Muhammad sehingga menjadi luapan
kemurkaan dan siksaan para penguasa waktu itu, para sayyid pun
mengikuti para fuqaha (ahli-ahli hukum Islam) besar ini yang masih
terhitung sebagai murid kakek mereka adalah Ja’far as-Shadiq.
Mungkin dapat juga disampaikan anggapan lain bahwa hal yang
disampaikan orang-orang Arab sayyid kepada masyarakat wilayah ini
pada mulanya adalah prinsip Islam dengan orientasi keSufi an, tanpa
melihat madzhab dan aliran fi qh tertentu, sementara terbentuknya
identitas madzhab Islam di wilayah ini dalam bentuk madzhab Syafi ’i
terjadi pada tahap berikutnya, bukan pada masa permulaan muncul
dan penyebaran Islam di wilayah ini.
Teori India
Faktor Syiah dalam Teori India
Peran India dalam berbagai periode budaya dan peradaban
di banyak wilayah Asia Tenggara sangat penting. Bermukimnya
kelompok-kelompok pendatang India ke wilayah tersebut dan juga
peran atau pengaruh India pada keturunan raja-raja Sriwijaya dan
Majapahit, terutama di wilayah Melayu sejak berabad-abad sebelum
Masehi berlanjut hingga abad ke-16 Masehi dan wilayah ini senantiasa
dipengaruhi aliran-aliran kultural dan kemadzhaban India. Adanya
pengaruh-pengaruh luas India masa Islam terhadap Budaya dan
peradaban Islam wilayah Melayu, Thailand, Filipina, dan daerah
lainnya, maka terdapat satu hipotesa lain yang kuat tentang asal usul
masuk dan tersebarnya Islam di wilayah ini, yaitu hipotesis atau teori
India.
Meskipun ketertarikan penduduk India kepada Syiah dimulai
sejak masa para penguasa wilayah Ghor ketika mereka mendukung
gerakan kebangkitan Abu Muslim Khurasani dengan motivasi
42 Imam Abu Hanifah adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq dan Imam Syafi ’i adalah murid Imam
Abu Hanifah. Sebagian ulama besar Imamiyah, seperti Syaikh Mufi d mengajar fi kih Ahlu
Sunnah dan juga menjadi marja’ (tempat rujukan) fi kih Ahl as-Sunnah.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
60
membela Ahl al-Bayt, perkembangan Syiah di anak benua India
seharusnya dihubungkan dengan hijrahnya kelompok-kelompok
Syiah Zaidiyah yang pada akhir abad ke-2 Hijriyah pergi menuju
Shind bersama putera Nasf Zakiyah (yaitu Muhammad bin Abdullah
bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib) kemudian setelah itu hijrahnya para
penganut Syiah Ismailiyah pada akhir abad ke-3 Hijriyah ke wilayah
ini. Demikian pula sejak abad ke-7 dan selanjutnya salah satu faktor
perkembangan orientasi dan doktrin Syiah di anak benua India dan
timur Asia harus disebut dari lahirnya kelompok-kelompok Sufi , di
antaranya Suhrawardiyah, Chisytiyah, dan Qadiriyah. Kelompokkelompok
Sufi yang memiliki kecintaan khusus terhadap Ahl al-
Bayt Nabi Muhammad, meskipun berorientasi Sunni, tetapi mereka
menerima para imam Syiah sebagai pangkal silsilah Sufi mereka. Para
penguasa Mughal yang menguasai sebagian besar India, sebagian
Sunni dan sebagian lain Syiah. Dari sini, peran orang-orang Syiah India
sangat penting dalam memperkenalkan Syiah kepada penduduk utara
dan timur Afrika, Asia Tenggara, dan sebagian wilayah lain.43
Tiga elemen tasawwuf, bahasa Persia dan doktrin-doktrin kultural
Syiah adalah oleh-oleh para pedagang dan muballigh muslim India
kepada para penduduk wilayah Asia Tenggara, di antaranya Myanmar,
Thailand, dan Indonesia. Dengan demikian, signifi kansi peran Syiah
dalam asal usul masuk dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara
dari India sangat penting dan berpotensi untuk ditelaah dari beberapa
sisi.
Pertama, Islam di Asia Tenggara terbentuk di atas hamparan ‘ Irfan
dan mistik Buddha dan Hindu dan diterima oleh penduduk wilayah
ini. Dengan demikian, Islam Sufi yang dalam teori India lebih banyak
menjadi perhatian dari seluruh hipotesa lain seperti Arab, Cina, dan
Persia diterima oleh penduduk wilayah ini dan mampu mempengaruhi.
Kedua, tasawwuf yang berkembang di wilayah Asia Tenggara
yang secara umum terpengaruh oleh teori-teori Syiah, seperti Nur
(cahaya) Muhammad dan Wahdat al-Wujud masuk dari gerbang
India ke Asia Tenggara. Proses ini berjalan lebih cepat sejak abad
ke-13 Masehi ketika sebagian besar wilayah India berada di bawah
kekuasaan sultan-sultan Muslim dan para saudagar Muslim India
43 Francis Robinson, Emperaturan-e Mughal va Selseleh-ha-ye Eslami-ye Hend (Kaisar-kaisar
Mughal dan Dinasti Islam India), terjemahan Nasr Abadi, 2007.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
61
bersama para Sufi memperkenalkan Islam yang bercampur dengan
tradisi-tradisi ‘ Irfan dan Sufi India kepada penduduk kawasan ini.
Terdapat dua aliran utama Sufi Wujudiyah (Eksistensialis) abad ke-17,
yaitu Hamzah Fansuri dan Ar-Raniri (yang merupakan salah seorang
sayyid Hadhramaut yang menetap di India). Keduanya terpengaruh
India dan pengaruh pemikiran Syiah dalam pemikiran Sufi Hamzah
Fansuri dan karya-karyanya tidak dapat ditutupi.
Ketiga, kontribusi dan peran penting Persia dalam
memperkenalkan dan menyebarluaskan Islam di anak benua
India, banyak doktrin madzhab dan kultural Syiah dari Persia
yang kemudian melalui jalur India masuk Asia Tenggara. Tradisitradisi
terkait Muharram di Indonesia, Myanmar, Thailand, dan
Filipina; sastra atau literatur ‘ Irfan, Syiah seperti hikayat Muhammad
Hanafi yah, dan karya sastra klasik Melayu lain mengindikasikan
peran mediasi India dalam memperkenalkan sebagian doktrin
Syiah di kawasan ini. Tidak ada petunjuk yang pasti bahwa apakah
Syiah Ismailiyah India juga berperan atau tidak dalam masuk dan
menyebarnya Islam di kawasan ini, tetapi dokumen-dokumen
historis mengingatkan bahwa kaum Syiah pada abad ke-13 Masehi
eksis dalam keluarga kerajaan Perlak yang merupakan kerajaan Islam
pertama di timur laut Sumatera. Sistem pemerintahan raja-raja Aceh
diambil dari sistem Persia kerajaan Syiah Mughal di India. Banyak
kata-kata Persia yang marak digunakan dalam bahasa Melayu dan
Thailand masuk ke wilayah Asia Tenggara melalui India.44
Keempat, hal penting lain bahwa dalam teori Arab, Persia, dan
Cina pun peran India sebagai tujuan transit para dai dan muballigh
awal Islam sangat urgen. Banyak dokumen mengindikasikan bahwa
para sayyid Hadhramaut setelah berhijrah ke India dan berhenti di
sana, dalam kelanjutan perjalanan mereka berhijrah ke Asia Tenggara.
Keberadaan keturunan sayyid Hadhramaut dan juga cabang-cabang
sayyid Azamatkhan di India dan Indonesia membuktikan klaim
tersebut. Demikian pula pada abad ke-15 dan 16 Masehi, para muballigh
dan saudagar Persia yang memperkenalkan Islam kepada penduduk
negeri Siam dan Myanmar, juga berasal dari orang-orang Persia
yang bermukim di India yang masuk negeri-negeri kawasan ini, di
44 Kumpulan artikel Seminar Internasional “Mengkaji Pengaruh Tasawwuf Persia di Asia Timur”,
Penyunting Dr. Imtiyaz Yusuf, Assumption University, Bangkok 2004.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
62
antaranya Thailand, Myanmar, dan Indonesia dengan tujuan dagang
dan tabligh.45
Tampaknya, area utama pengaruh kultural dan madzhab India
masa Islam terhadap kawasan ini berhubungan dengan Kaldeh dan
Gujarat yang marak dengan madzhab Syafi ’i dan Syiah. Mughal Syiah
merupakan kata yang dikenal di Myanmar yang dinisbatkan kepada
orang Islam Syiah di Rangoon dan Mandali. Masjid Mughal Syiah di
ibu kota Myanmar yang merupakan masjid tertua negeri ini terkait
dengan orang-orang Syiah India- Persia yang bermukim di Myanmar
yang sejak abad ke-18 dan selanjutnya menuju negeri ini. Kata Mughal
berasal dari raja-raja bermadzhab Syiah Mughal di India.
Syarikah, peneliti Belanda dalam bukunya tentang dinamika
sosial di Indonesia dengan bersandar kepada catatan perjalanan Ibnu
Batutah, menyebutkan bahwa pada paruh abad ke-8 Hijriah, Combi
adalah kota penting di Gujarat, India yang penuh masjid, bangunan
tinggi dan ramainya perdagangan. Ia menambahkan bahwa abad ke-13
Masehi adalah permulaan tersebarnya Islam di Gujarat. Kota Ahmad
Abad menjadi pusat penting para pedagang dan intelektual Muslim
Persia. Islam diperkenalkan ke Sumatera dan Jawa dari kota Surat
melalui jalur selatan India.46
Teori Persia
Faktor Syiah dalam Teori Persia
Pengaruh dan peran orang-orang Persia dalam memperkenalkan
dan menyebarkan Islam di Asia Tenggara dan negeri-negeri Islam
lainnya, tidak hanya berasal dari jalur Islam Syiah saja. Berbeda dengan
perkiraan sebagian orang yang selalu meyakini Syiah dan Iran, Arab
dan Sunni sebagai sinonim, sumber asli munculnya Syiah di kalangan
Arab dan orang-orang Persia berbeda dengan peran mereka dalam
mendirikan madzhab-madzhab Ahl as-Sunnah,47 hanya berperan dalam
45 Lihat: Mohammad Ali Rabbani, Naqsy-e Vasetehgari Hend dar Moarrefi va Tarvij-e Farhangg va
Tamaddon-e Eslami dar Asia-ye Janub-e Syarqi (Peran Mediasi India dalam Memperkenalkan
dan Mempropagandakan Budaya dan Peradaban Islam di Asia Tenggara), Jurnal Tri Wulan
Chesym Andaz-e Farhanggi (Visi Kultural), No. 26, Musim Panas 1998; Syieh dar Asia-ye
Janub-e Syarqi (Syiah di Asia Tenggara), Jurnal Tri Wulan Kayhan-e Farhanggi (Dunia
Kultural), No. 8, 1999.
46 Menukil dari Mohammad Zafar Iqbal, “Ta’sir-e Zabon va Adabiyyot-e Forsi va Farhangg-e Ironi
dar Zaban va Adabiyyot-e va Farhangg-e Andonezi” (Pengaruh Bahasa, Sastra dan Budaya
Persia dalam Bahasa, Sastra dan Budaya Indonesia), Disertasi S3, Universitas Tehran, 2005.
47 Disamping Imam Abu Hanifah, berasal dari Persia dan Imam Hanbal, keturunan Arab Persia,
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
63
penyebaran dan perkembangan Syiah. Orang-orang Persia sebelum
munculnya Safawiyah mayoritas bermadzhab Sunni, sementara
wilayah pengaruh Syiah di Iran sebelum itu hanya terbatas pada
sebagian wilayah seperti Qum, Sabzawar, Kasyan, dan Mazandaran.
Pada masa pemerintahan Dinasti Tahiriyah, Saffariyah, Samaniyah,
Ghaznawiyah, Saljukiyah, bahkan Khawarizm Syah, dengan tidak
melihat kepada situasi politik dan golongan, secara umum bersikeras
kepada madzhab Ahl as-Sunnah. Pada masa pemerintahan Ali Buwaih
yang berkuasa dalam jarak lebih dari 100 tahun, orientasi Syiah
berkembang di Iran dan Irak. Jatuhnya Baghdad ke tangan orang-orang
Mughal pada tahun 657 Hijriyah menandakan berakhirnya khilafah
Baghdad. Setelah itu, Syiah pada abad ke-7, 8, dan 9 berkembang di
Iran dan menjadi madzhab resmi pada masa Safawiyah.48 Rasionalitas
dan keadilan yang terdapat dalam madzhab Syiah, juga perilaku keras
orang-orang Arab terhadap orang-orang Iran dalam mencintai Ahl
al-Bayt Nabi Muhammad dapat dianggap sebagai alasan perhatian
dan kecenderungan orang-orang Iran. Hamdullah Mustaufi yang
hidup sekitar satu abad sebelum masa Safawiyah di Iran dalam
buku “Nuzhatul Qulub” menulis tentang keyakinan madzhab yang
berkembang di Iran pada masanya:
Di Isfahan semua bermadzhab Syafi ’i. Kota Rey pada mulanya
menganut Ahl as-Sunnah yang menurun setelah kemenangan
Dinasti Abbasiyah dan pada abad ke-5 madzhab Syiah berkembang
di wilayah itu. Tehran pada awalnya mengenal Syiah Zaidi,
penduduk Qazwin pada abad ke-7 bermadzhab Syafi ’i dan sebagian
lain Hanafi . Deilaman dan Mazandaran hingga munculnya Hasan
bin Zaid pengikut Alawi dan pada abad ke-8 bergabung kepada
Syiah Zaidiyah dan Ismailiyah. Qum dan Kasyan menjadi pusat
Syiah pertama dan tertua di Iran.49
Hal yang layak diperhatikan bahwa madzhab Syafi ’i, Syiah dan
tasawwuf merupakan tiga arus pemikiran dan keagamaan yang marak
di Iran selama abad ke-2 hingga ke-8 Hijriyah. Signifi kansi cara kerja
tiga arus ini dapat membantu menemukan jawaban terhadap sebagian
pertanyaan historis tentang kontribusi dan peran orang-orang Persia
dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat lain, di antaranya
mayoritas tokoh hadist, seperti para penulis Kitab as-Sittah, merupakan mufassirin (para ahli
tafsir) dan teolog Ahl as-Sunnah yang berasal dari Persia.
48 Lihat Rasul Ja’fariyan, Joghrafi ya-ye Tarikhi va Ensani-ye Syieh (Biografi Historis dan Tokoh
Syiah); Allamah Thabataba’i, Syieh dar Eslam (Inilah Islam); Bidel Nasiri, Tasyyi’ dar Masir-e
Tarikh (Syiah dalam Perjalanan Sejarah).
49 Nuzhatul Qulub, hlm. 67, 71 dan 77.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
64
timur Asia dengan cara menemukan kemiripan dan kesamaan
madzhab dan kultural yang ada di Iran dan beberapa wilayah yang
menjadi tempat datang dan perginya orang-orang Persia.
Sebagaimana yang telah disinggung bahwa tasawwuf merupakan
salah satu faktor tersebarnya Syiah di dunia, terutama di Iran. Dalam
kebangkitan Syah Ismail Safawi dan kemenangannya, juga tersebarnya
Syiah di Iran, tasawwuf memainkan peran yang sangat penting.
Kaum Sufi sebelum Abu Hamid al-Ghazali (abad ke-6 Hijriyah)
belum memiliki klasifi kasi tertentu, tetapi mereka berkumpul dalam
kelompok-kelompok kecil di sisi seorang guru, mursyid (pembimbing).
Dengan munculnya Abdul Qadir al-Jailani (550 Hijriyah), seorang
orator bermadzhab Hanbali di Baghdad, murid-muridnya mampu
mendirikan kelompok Sufi besar bernama Qadiriyah. Hal yang penting
bahwa tasawwuf dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung
Syiah dan Sunni karena mayoritas kelompok Sufi Ahl as-Sunnah
menyambungkan silsilah mereka kepada salah satu imam Syiah,
terutama Ali,dan terdapat kesamaan banyak doktrin keagamaan
antara Syiah dan Sufi sme.
Orang-orang Persia memiliki kontribusi dan peran penting
dalam penyebaran Islam di dunia yang dapat disebutkan antara lain
dalam perdagangan antar bangsa pada berbagai era sejarah masa lalu,
membangun peradaban Islam dan berbagai ilmu pengetahuan, mediasi
dalam memperkenalkan Islam ke negeri-negeri tetangga, juga kekuatan
pengaruh politik dan kulturalnya di dunia Islam. Berdasarkan riwayat
historis, kehadiran orang-orang Persia di wilayah Asia Tenggara
kembali kepada masa kekaisaran Achaemenian, yaitu masa kerajaan
Darius I yang menaklukkan bagian penting India Barat dan perbatasan
Cina. Dalam berbagai masa sejarah pra dan pasca Islam, orang-orang
Persia dalam perjalanan perdagangan ke Cina yang dapat ditempuh
dari dua jalur darat dan laut, memiliki hubungan dengan beberapa
penduduk yang berada dalam perjalanan rombongan perdagangan.
Setelah munculnya Islam, transaksi perdagangan antara orang-orang
Persia, dan penduduk kawasan ini berkembang dan menyebabkan
perkembangan Islam di kalangan penduduk setempat. Banyak bukti
historis yang mengindikasikan kehadiran dan pengaruh orang-orang
Persia di wilayah Asia Tenggara. Meskipun referensi utama sejarah terkait
kehadiran orang-orang Persia di Timur dan Tenggara Asia kembali pada
abad ke-16 Masehi dan selanjutnya, tetapi dalam laporan dan catatan
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
65
perjalanan Marcopolo dan Ibnu Batutah secara jelas menunjukkan
kehadiran orang-orang Persia di kerajaan-kerajaan raja-raja Cina dan
Indonesia. Ibnu Batutah yang melancong ke pulau Sumatera pada tahun
1345-1346 Masehi menyebutkan nama sekelompok orang Persia yang
tinggal di pulau ini. Pelancong Maroko ini menyebutkan bahwa Behruz,
wakil kepala bandar yang merupakan orang Persia, memberitahukan
berita kedatanganku kepada raja melalui sebuah surat. Raja kemudian
memerintahkan untuk menyambut saya dengan mengutus Qadhi
Syarifuddin Amir Sayyid Syirazi, Tajuddin Isfahani, dan sebagian ulama
lain. Umar Amin Husein, seorang peneliti Indonesia terkait peran dan
pengaruh orang-orang Persia di Indonesia meyakini bahwa terdapat
sebuah kaum bernama Leran yang tinggal di sebuah wilayah terletak di
Giri. Ia berkeyakinan bahwa kaum ini berasal dari suku Lor Iran.50
Arfa, sejarawan Indonesia sambil menyebutkan sebagian kelompok
asli Persia seperti Shabankareh, Ashraf, Dhiyauddin ar-Rumi, dan
Lamburi yang hidup di timur laut Sumatera. Pada abad ke-10 dan ke-
11 Masehi meyakini bahwa disamping suku Lor dan Kord yang berasal
dari Persia dan tinggal di wilayah Jawa Timur dan Pasai Sumatera, juga
terdapat satu suku yang pada masa pemerintahan Syiah Ali Buwaihi ,
yaitu sekitar tahun 351 Hijriyah dan 969 Masehi berhijrah ke Indonesia
dan tinggal di wilayah-wilayah sentral Sumatera serta mendirikan sebuah
perkampungan Siak yang untuk selanjutnya dikenal dengan Siak Sri.51
Salah satu peninggalan sejarah tertua yang disebut sebagai
dokumen historis latar belakang Islam di Indonesia adalah batu nisan
yang berhubungan dengan Fatimah bin Maimun dan juga salah satu
dari Wali Songo di Jawa yaitu Malik Ibrahim (Wafat 822 Hijriyah).
Agus Sunyoto, penulis Atlas Wali Songo, berbicara panjang lebar
tentang hubungan Fatimah binti Maimun dengan suku Lor Persia
dan juga asal-usul Malik Ibrahim dari Persia.52 Demikian juga dengan
makam Husein Kharul Amir Ali Istarabadi (Wafat 733 Hijriyah), Sayyid
Imaduddin Husein Farsi (Wafat 824 Hijriyah), Hisamuddin Amin
(Wafat 823 Hijriyah) di Sumatera merupakan dokumen lain sejarah
latar belakang kehadiran orang-orang Persia di Nusantara Melayu.
50 Toheri, hlm. 3; Mozandaroni, hlm. 59-60; Mohammad Ali Rabbani, Syenosname-ye Farhanggiye
Andonezi (Identitas Kebudayaan Indonesia), ICRO (Islamic Culture and Relations
Organization); Markowski, Kehadiran Persia di Asia Tenggara, 2009.
51 Iqbal, ibid.
52 Sunyoto, Bandung: Mizan, 2012.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
66
Terdapat banyak bukti tentang partisipasi historis orang-orang
Persia dalam pembentukan kultur dan peradaban Islam di Asia
Tenggara. Bukti-bukti ini setelah berabad-abad hingga saat ini pun
masih tersisa. Masuknya rombongan-rombongan pedagang Persia ( via
jalur laut) ke wilayah ini yang mulai berkembang pada abad ke-7 Masehi
ini mampu membuka peluang memperkenalkan pemikiran dan ide-ide
para pedagang dan muballigh Persia yang terbentuk dalam dua orientasi
madzhab Syafi ’i dan Syiah serta orientasi-orientasi ke-Sufi -an.
Oleh karena itu, topik pembahasan ini adalah kontribusi dan peran
faktor Syiah dalam masuk dan tersebarnya Islam di Asia Tenggara, pada
bagian ini kita hanya akan menyinggung peran orang-orang Persia dalam
memperkenalkan doktrin-doktrin Syiah di wilayah ini. Terkait Maulana
Malik Ibrahim yang merupakan orang pertama dari Wali Songo di Jawa
dan peran penting yang dimainkan olehnya dan putera-puteranya dalam
masuk dan tersebarnya Islam di Jawa, terdapat berbagai interpretasi.
Sebagian menyebutnya sebagai Maulana Maghribi, Maulana Malik
Ibrahim Samarkandi dan Malik Ibrahim Kasyani. Yang jelas bahwa asal
usul beliau dari sayyid Hadhramaut dan keturunan Ahmad Muhajir
yang berhijrah ke Iran. Pastinya bahwa kita meyakininya -baik beliau
tinggal di Kasyan yang merupakan wilayah pemukiman Syiah di daerah
Iran tengah atau tinggal di Samarkand yang juga berhubungan dengan
Iran dan pusat kultural dan keilmuan Khurasan- sebagai seorang Iran
keturunan Arab yang kemungkinan masuk Indonesia melalui jalur India.
Bila kita anggap bahwa ia bukan bermadzhab Syiah, tetapi pastinya
bahwa ia sangat terpengaruh oleh Syiah karena orientasi-orientasi ‘Irfani,
keterkaitan ras dan keluarga kepada para imam Syiah serta juga ajaranajaran
yang hingga hari ini tersisa dari Wali Songo dalam bentuk sebagian
tradisi keagamaan dan kultural.
Terdapat argumen yang jelas atas peran orang-orang Persia dalam
memperkenalkan dan menyebarkan ajaran-ajaran Syiah, ritual dan
tradisi kultural yang terpengaruh dari Iran di Nusantara Melayu.
Meskipun masih harus dibahas lebih banyak lagi kepastian apakah
ritual-ritual dan tradisi-tradisi kultural dan berbau Syiah tersebut
diperkenalkan secara langsung oleh orang-orang Persia yang berada di
istana raja-raja wilayah tersebut atau sebagai komunitas imigran yang
menetap di sana ataukah sebagaimana yang telah disinggung melalui
perantara kaum Muslim India yang masuk ke wilayah ini. Tentunya
anggapan pertama bahwa peran mediasi India, akar utama tradisi
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
67
ini adalah Persia dan anggapan kedua bahwa terdapat bukti-bukti
pasti yang mendasarkan pada kehadiran orang-orang Persia secara
langsung di wilayah ini. Oleh karena itu, saat ini dapat disebutkan
banyak indikasi atas partisipasi dan kontribusi historis orang-orang
Persia dalam terbentuknya dunia kultural dan Islami penduduk
wilayah Asia Tenggara. Pada masa raja-raja Islam pulau Jawa dan
Sumatera terdapat pembahasan tentang sebagian akidah ideologis dan
mistik Syiah Persia yang terlontar dengan tema Nur Muhammad dan
Wahdat al-Wujud. Akidah kaum Sufi Melayu seperti Hamzah Fanshuri,
Siti Jenar penuh dengan pemikiran-pemikiran mistik yang bersumber
dari Persia dan Syiah. Naqib Alatas menyebutkan bahwa Hamzah
Fansuri dengan berhijrah ke kota Ayutthaya, ibu kota Siam yang
pada abad ke-16 Masehi, menjadi pusat berkumpulnya orang-orang
Persia, mempelajari doktrin-doktrin mistiknya dari orang-orang Persia
yang menetap di kota itu dan mengenal Bahasa Persia.53 Berdasarkan
sebagian referensi historis, Raja Malaka Sultan Alauddin Riayat Syah
terpengaruh akidah Syiah dan Persia. Tradisi-tradisi dan ritual-ritual
yang hari ini masih dilaksanakan di berbagai negara Asia Tenggara,
di antaranya Indonesia, Thailand, Myanmar, dan Filipina terkait
sepuluh hari pertama bulan Muharram dan hari Asyura (hari ke-10),
dipengaruhi oleh tradisi-tradisi keagamaan Syiah Persia- India yang
bertujuan menghormati Imam Husein as dan para sahabat beliau yang
gugur di Karbala sebagai syuhada’ pada tahun 61 Hijriyah.54
Hal yang menarik untuk diperhatikan bahwa bukti-bukti paling
pasti yang ada terkait peran dan kontribusi faktor Persia dalam masuk
dan tersebarnya Islam di Asia Tenggara dapat ditemukan di Thailand
dan Myanmar. Kata Pasan dengan arti Persia yang berada dalam
sebuah prasasti batu terkait abad ke-7 Masehi di Siam mengindikasikan
sejarah perdagangan orang-orang Persia dengan Siam. Salah satu dari
orang Persia paling terkenal yang masuk wilayah Asia Tenggara dan
anak cucunya hingga hari ini masih ada adalah Syaikh Ahmad Qumi
dan saudaranya, Muhammad sebagai pedagang Persia. Ia masuk
Ayutthaya, ibu kota Siam pada akhir-akhir abad ke-16 Masehi. Ia
bersama komunitas Persia dan kerabatnya mampu menduduki pos-pos
53 Imtiyaz 2004.
54 Untuk telaah lebih banyak silahkan merujuk: Mohammad Ali Rabbani, Sunnat-ha-ye Moharram
dar Asia-ye Janub-e Syarqi (Tradisi-tradisi Muharram di Asia Tenggara), Kayhan-e Farhanggi,
tahun ke-24, Februari 2008.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
68
penting pemerintahan, seperti kepala beacukai, menteri ekonomi dan
perdagangan, menteri luar negeri dan wakil sultan. Ia juga membentuk
perkumpulan orang-orang Persia terbesar di Siam dan dengan puteraputeranya
memikul peran yang sangat penting dalam kerajaan Siam
selama bertahun-tahun. Hal pentingnya bahwa Syaikh Ahmad Qumi
dan orang-orang Persia yang lainnya, seperti Muhammad Istarabadi,
Abdurrazaq Gilani yang pernah duduk di kementerian terkait masa
Dinasti Safawiyah, yaitu masa maraknya Syiah di Iran. Syaikh Ahmad
Qumi ketika itu berhasil mendirikan lembaga Syaikhul Islami dan ia
sendiri memikul tanggung jawab sebagai Syaikhul Islam pertama. Dari
total 18 Syaikh al-Islam yang menduduki posisi ini di Thailand sejak
abad ke-16 hingga sekarang, 14 di antaranya dijabat oleh keluarga
Syaikh Ahmad Qumi dan orang-orang Persia bermadzhab Syiah. Buku
Safi ne-ye Solaemani tulisan Mohammad Rabi’ bin Mohammad Ibrahim,
sekretaris delegasi diplomatik berkebangsaan Persia yang berangkat
dari istana Syah Sulaiman Safawi menuju istana Narai Yang Agung,
raja Siam yang mencapai kekuasaan berkat peran orang-orang Persia,
membahas secara rinci peran, dan kedudukan tinggi orang-orang Persia
di istana Siam dan negeri-negeri sekitarnya, termasuk Indonesia dan
Myanmar.55 Orang-orang Persia selama dua abad ke-16 dan 17 Masehi,
yaitu pra-kehadiran orang-orang Barat, memiliki peran dan kontribusi
yang sangat penting di istana Siam. Hal yang menarik bahwa meskipun
masuk dan tersebarnya Islam di Thailand (Siam) melalui dua pintu
masuk yang berbeda dan wilayah-wilayah selatan negeri ini, yaitu
Pattani terpengaruh gelombang religius yang berhubungan dengan
Nusantara Melayu, tetapi perlu diingat bahwa di samping keberadaan
Syaikh Ahmad Qumi dan anak cucunya di ibu kota dan daerah-daerah
sentral, salah satu raja wilayah Pattani, yaitu Sultan Sulaiman adalah
warga Persia. Topik penting lainnya bahwa anak cucu Syaikh Ahmad
Qumi yang dikenal dengan sebutan keluarga Bunak dan Chula, hingga
kini tergolong dari keluarga kaya dan terkenal di selatan Thailand
dan berperan di kursi-kursi pemerintahan. Masjid-masjid tertua di
Bangkok dan selatan Thailand ada kaitannya dengan orang-orang
Persia dan sarat dengan ajaran-ajaran Syiah. Penyelenggaraan upacara
ritual Muharram yang merupakan salah satu daya tarik wisata negeri
ini, dihadiri oleh raja dan pejabat tinggi, bahkan hari ini pun masih
55 Mohammad Rabi’ bin Muhammad Ibrahim, Safi ne-ye Solaemani (Bahtera Sulaiman),
Universitas Tehran, dengan usaha Abbas Faruqi, 1378.
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
69
menjadi pusat perhatian dan beberapa waktu yang lalu upacara
tersebut dibuka oleh raja dan permaisurinya.56
Di negara Myanmar yang mana Islam secara silih berganti sejak
abad ke-15 hingga akhir abad ke-18 Masehi menguasai wilayah Arakan
dan bagian lain wilayah ini, berada di bawah pengaruh Budaya Iran
dan Persia karena bertetangga dengan anak benua India. Sebelum
hegemoni Britania, yaitu pada permulaan abad ke-19, Bahasa Persia
menjadi bahasa resmi istana Arakan. Demikian pula orang-orang Persia
memiliki posisi kenegaraan di istana para raja wilayah central. Di ibu
kota kuno Myanmar, yaitu Mandali terdapat sebuah wilayah yang
dikenal berpenghuni orang-orang Iran. Di Rangoon dan Mandali juga
terdapat sebagian keluarga keturunan Persia dengan nama-nama Persia
seperti Syirazi, Kasyani, Bahbahani, dan Isfahani. Masjid-masjid tertua
di dua kota tersebut berkaitan dengan orang-orang Syiah India-Persia
yang terkenal dengan nama Masjid Moghul dan Masjid Panjeh Ali.
Pemakaman kuno orang-orang Persia di kota Rangoon penuh dengan
peninggalan dan nama-nama Persia. Hingga kini generasi tua orangorang
Persia di dua kota ini dapat dengan mudah berbicara dengan
bahasa Persia. Hal yang menarik perhatian adalah perbauran tradisi
kultural religius India Persia di kalangan pengikut Syiah Thailand
dan Myanmar. Alasan utama perbauran ini adalah mayoritas warga
Persia yang melakukan perjalanan ke negeri-negeri ini dengan tujuan
berdagang dan kemudian menetap di sana merupakan warga Persia
yang sebelumnya telah menetap di India. Perpaduan kultural dan
religius Persia- India ini dapat dengan jelas disaksikan dalam ritualritual
keagamaan Muharram yang marak di kalangan pengikut Syiah
Thailand dan Myanmar.57
Teori Cina
Faktor Syiah dalam Hipotesis Teori Cina
Wilayah Cina, dari penghujung Turkistan hingga pesisir laut Cina,
meskipun tidak dikenal sebagai bagian dari wilayah Islam, akan tetapi
sepanjang 13 abad yang lalu senantiasa menampung komunitas umat
Islam di dalamnya. Dalam sejarahnya dengan jelas menunjukkan peran
56 Plubplung Kongchana, A History of the Chula Raja Montri Position, Shaikh al-Islam, JCAS
Symposhium, 17, 2005.
57 Mohammad Ali Rabbani, Ironiyon-e Bermeh, Gozoresy-e Safar (Warga Iran Myanmar, Laporan
Perjalanan), Majalah Chesym Andoz, Musim Panas 1388.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
70
komponen Islami dalam dinamika-dinamika negeri. Karena signifi kansi
Cina dalam hubungan perdagangan, politik, dan internasional, selama
berabad-abad yang silam kawasan ini menjadi tempat dan tujuan
perdagangan banyak saudagar dan pedagang yang datang dari berbagai
wilayah melalui jalur sutera darat dan laut untuk melakukan transaksi
perdagangan dan pertukaran kebudayaan dengan warga setempat.
Perdagangan orang-orang Arab dan Persia dengan bandar-bandar
selatan Cina pada dekade-dekade awal Islam tetap berlanjut sebagaimana
masa lalu. Hal ini telah membuka peluang munculnya pemukiman
imigran Muslim di kawasan sekitar pesisir selatan dan sebagian wilayah
lain. Sebagian menyebutkan sejarah masuk dan tersebarnya Islam di
Cina pada masa-masa permulaan Hijriyah, meskipun masih perlu
ditelaah lebih banyak lagi tentang pembuktian kisah-kisah Cina yang
mendasarkan bahwa Islam masuk melalui Sa’ad bin Waqqash yang
terdapat makam dengan namanya di sana, atau seseorang bernama
Wahab Abu Kabsyah, termasuk famili Nabi Muhammad merupakan dai
dan muballigh Islam pertama di Cina dan atau delegasi Islam pertama
yang dikirim ke Cina berhubungan dengan masa khalifah ketiga.
Hal yang penting terkait peran Cina dalam memperkenalkan dan
menyebarkan Islam di Asia Tenggara bahwa banyak referensi yang
menegaskan para saudagar dan pedagang Islam Arab, Persia, dan India
di tengah perjalanan perdagangannya dengan Cina berhenti di wilayah
Melayu dan daerah-daerah sekitarnya. Dengan melihat peluang dan
kemungkinan untuk menetap, berdagang dan berdakwah secara
sementara dan permanen, mereka tinggal dan memperkenalkan atau
menyebarkan Islam di sana. Berdasarkan anggapan ini, pembuktian
teori apakah dai-dai Cina pertama berasal dari warga Islam pribumi
ataukah warga imigran Muslim dari wilayah lain yang datang ke Cina
dengan tujuan berdagang atau tabligh, tidak terlalu diuraikan.
Terkait peran faktor Syiah dalam teori Cina tidak terdapat
petunjuk yang kuat dan telah terbukti, meskipun penting untuk
disebutkan bahwa orang-orang Syiah Ismailiyah berpengaruh di
wilayah-wilayah central Asia dan Turkistan. Begitu pula para sayyid
berperan dalam memperkenalkan dan menyebarkan Islam di Cina.
Sayyid Ajal Syamsuddin dari Persia, kapten salah satu kapal dagang
yang besar berhasil mendirikan sebuah pemerintahan di barat daya
Cina dan Yunnan yang dengan putera-puteranya memerintah selama
bertahun-tahun. Demikian pula, sebagian referensi mengindikasikan
FAKTOR SYIAH DALAM MASUK DAN TERSEBARNYA ISLAM
DI ASIA TENGGARA MELALUI ARAB, INDIA, PERSIA DAN CINA
71
berhentinya para sayyid Hadhramaut di sebagian daerah di Cina.
Mereka sebelum masuk ke Asia Tenggara terlebih dahulu menetap di
Cina.58
Kesimpulan
Penduduk Asia Tenggara dalam sejarah telah sangat lama
mengenal Syiah. Meskipun umat Islam kawasan ini pada umumnya
bermadzhab Syafi ’i yang menjadi madzhab mayoritas di India, Persia
pra Safawiyah dan juga Yaman, tetapi terdapat beberapa dokumen
dan bukti akan kehadiran dan peran historis madzhab Syiah dalam
masuk dan tersebarnya Islam. Arus-arus yang berpengaruh dalam
penyebaran Islam, yang masuk wilayah ini dari Hadhramaut Yaman,
India, dan Persia telah membawa serta sebagian ajaran religius dan
kultural Syiah.
Anggap saja bahwa keturunan Arab dan sayyid Hadhramaut
menganut madzhab Ahl as-Sunnah, akan tetapi realita bahwa mereka
anak cucu dan keturunan Imam Ja’far Shadiq, pendiri madzhab Ja’fari
(Syiah) dan juga terpengaruh madzhab ini, tidak dapat dipungkiri.
Tasawwuf yang memiliki peran fundamental dalam proses Islamisasi
di wilayah Asia Tenggara, dipengaruhi oleh doktrin-doktrin tasawwuf
Syiah. Banyak tradisi kultural, literatur, dan mistik Melayu tidak hanya
singkron dengan pandangan kaum Sufi Ahl as-Sunnah wal Jama’ah,
bahwa menerima pengaruh dari ajaran-ajaran Syiah.
Interaksi dan keharmonisan antarmadzhab Syiah dan Sunni
di wilayah ini telah tumbuh sejak lama berdasarkan kecintaan
penduduknya terhadap keluarga Nabi Muhammad dan juga
pengenalan mereka terhadap budaya Syiah. Sedangkan konfl ik antar
madzhab Syiah dan Ahl as-Sunnah di kawasan ini terkait dengan masamasa
terakhir karena muncul dan berkembangnya orientasi-orientasi
ekstrim Islam di dalamnya.[]
58 Lihat: John Sin Lian, Tarikh-e Ravabet-e Cin va Iran (Sejarah Hubungan Cina dan Persia),
Terjemah John Hun Nin, Pusat Studi Bahasa, dan Speak, Tehran 1385; Reza Moradi, Eslam
dar Cin (Islam di Cina), Ostan-e Qods-e Rezavi, Masyhad, 1382.

73
PENGARUH HISTORIS PERSIA
PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
Imtiyaz Yusuf
Pengantar Asia Tenggara berasal dari Bahasa Sanskerta sebagai
Suvarnabhumi, Nanyang dalam Bahasa Cina, Serambi Mekah
dalam Bahasa Melayu, dan Zirbadat – negeri di bawah
angin oleh orang-orang Arab dan Persia. Saat ini terdapat sekitar 240
juta Muslim di Asia Tenggara, sekitar 42% dari total populasi Asia
Tenggara dan 25% dari populasi dunia Muslim yang berjumlah sekitar
1,6 milyar. Mayoritas kaum Muslim di kawasan ini bermadzhab Sunni
dan menganut Syafi ’i dalam hal yurisprudensi Islam. Akan tetapi, ada
komunitas-komunitas Syiah di setiap negeri Asia Tenggara.
Dengan terbentuknya komunitas ASEAN, Muslim berjumlah 42%
dan disusul Buddhist sebesar 40%. Tiga negeri Asia Tenggara yaitu,
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam mempunyai populasi
mayoritas kaum Muslim, sementara Thailand, Filipina, Singapura,
Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam mempunyai populasi minoritas
Muslim. Islam adalah agama resmi di Malaysia dan Brunei dan salah
satu agama yang diakui secara resmi di Indonesia, Thailand, dan Filipina.
Muslim Asia Tenggara terdiri dari banyak kelompok etnik dengan
bahasa yang berbeda-beda seperti Bahasa Indonesia, Melayu, Jawa,
Maranao, Maguindanao, Tausug, Thai, Cina, Myanmar, dan sebagainya.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
74
Islam datang ke Asia Tenggara pada abad ke-12 Masehi. Islam
dibawa oleh para pedagang Muslim dan para pengkhotbah dari
Gujarat di India, Cina, Persia, dan Hadhramaut di Yaman ketika mereka
melayari Samudra Hindia, Selat Malaka, Teluk Siam, dan Laut Cina
Selatan. Abad ke-13 Masehi menyaksikan berdirinya kerajaan Islam
pertama di Pasai, Sumatra. Islam yang dibawa para mistikus Sufi yang
menaruh tekanan pada orientasi humanistik Islam yang menekankan
cinta dan kasih sayang sesama. Hal itu merupakan pertemuan di
antara tradisi panteistik-monoteistik mistisisme Islam dan monisme
Hindu- Buddha dalam bentuk pemujaan Syiwa dan Buddha. Hal ini
memunculkan sinkretisme Islam—suatu kombinasi ajaran-ajaran
Islam yang bercampur dengan Hindu, Buddha, dan kepercayaankepercayaan
serta praktek-praktek ritual animis. Sebagai gerakan dari
atas ke bawah, para elit Jawa terkadang melihat diri mereka sebagai
Muslim, Hindu, dan Buddha sekaligus.
Orang Muslim yang membawa Islam pertama kali ke Indonesia dan
kemudian ke Malaysia dan Thailand selatan, di antara abad ke-12 dan ke-
15, sebagian besar adalah para mistikus Sufi . Islam yang diperkenalkan di
wilayah ini berorientasi mistik dan sebagian besar dibentuk oleh tradisitradisi
Sufi sme Persia dan India. Dalam terminologi religius, ia merupakan
suatu pertemuan di antara pandangan Hindu akan moksha (pembebasan)
melalui gagasan Hindu atas monisme, gagasan Buddha akan dhamma—
ajaran yang berarti Hukum dan kehidupan yang dijalani sesuai dengan
hukum. Dhamma adalah “jalan kebenaran,” atau cara berperilaku yang
‘benar’, ‘tepat’, ‘pantas’ atau ‘patut’; nirvana (pencerahan) melalui
pencapaian sunyata (kekosongan). Dalam Islam, konsep ini ekuivalen
dengan fana, yaitu lenyapnya identitas seseorang dengan bergabungnya
ia ke dalam ada Universal sebagaimana diuraikan dalam panteisme
monistik kaum Sufi .
Berangsur-angsur muncullah suatu kebudayaan sinkretik
cangkokan, khususnya di Jawa dan di bagian-bagian lain Asia Tenggara,
yang memunculkan suatu versi Islam yang bersifat mistis, cair, dan
lunak, yang memelihara spritualisme yang khas di wilayah itu. Dari segi
dialog antaragama, saling bertukar di antara pandangan-pandangan
dunia Islam dan Buddha melibatkan pertukaran lintas-budaya di antara
apa yang disebut sebagai diin dalam Bahasa Arab, agama dalam Bahasa
Indonesia-Melayu, dan sāsana dalam Bahasa Sanskerta dan Pali. Semua
istilah ini mengacu kepada agama sebagai jalan hidup, dan semuanya
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
75
mempunyai corak arti yang bersifat lokal. Oleh karena itu, saling
bertukar di antara Islam dan Buddha bukan sekedar interaksi dua-arah
di antara pandangan-pandangan kedua agama yang direifi kasi, tetapi
juga melibatkan keberagaman regionalnya.
Sayangnya, sekarang ini koeksistensi historis di antara tipetipe
berbeda keBudayaan, madzhab Islam, dan agama-agama lain di
Asia Tenggara sedang dihancurkan oleh promosi kebencian di antara
umat Muslim sendiri dan juga di antara agama-agama lain. Bahaya
yang sedang menyebar itu tak selalu berakar dalam agama-agama itu
sendiri, melainkan juga dari eksploitasi dan manipulasi agama dan
madzhab untuk alasan-alasan politis, ekonomis, dan lainnya. Berkaitan
dengan Persia atau Iran masa kini, negeri-negeri Muslim Asia Tenggara
mempunyai ikatan ekonomi kuat dengan negeri itu, tetapi sayang Syiah
telah dinyatakan sebagi madzhab yang menyimpang di Malaysia dan
hampir demikian oleh Menteri Agama Indonesia. Sementara faktanya
bahwa baik kelompok Sunni maupun Syiah percaya pada Tuhan, Nabi
dan Alquran yang sama.
Dalam artikel ini, Bagian Pertama terlebih dahulu akan
mendiskusikan sejarah pengaruh Persia di Asia Tenggara sehubungan
dengan ko-eksistensi Muslim. Bagian Kedua akan menyentuh
ancaman-ancaman bagi kesatuan Sunni-Syiah di Asia Tenggara dan
diakhiri dengan kesimpulan.
Bagian Pertama
Pengaruh Persia di Asia Tenggara di Bidang Literatur; Perdagangan
termasuk Persaingan Niaga Di antara Orang Persia dan Portugis selama
Era Safavid Era; hadirnya Pengaruh kaum Syiah; Sufi sme; Dampak Persia;
dan Orang Persia di Thailand; Dampak Lembaga Politis: Dari Bodisatwa
hingga Al-Insan al-Kamil; Jabatan Chularajmontri atau Syaikh al-Islam di
Thailand hingga 1945.
Literatur
Genre nasihat dari literatur kuno Persia digambarkan baik dalam
literatur Melayu klasik. Salah satu contoh adalah Taj al-Salatin karya
Bukhāri al-Jawhari (dari Johor di selatan Semenanjung Malaysia) dari
abad ke-17, diterjemahkan untuk para penguasa kesultanan Aceh di
Sumatra dari sumber Persia yang tak dikenal ke dalam bahasa Melayu.
Karya-karya lain seperti, Bustan al-Salatin karya Nur-al-Din ar-Rāniri,
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
76
musuh sengit kaum mistikus seperti Hamzah Fanshuri dari kaum
legalistik, yang ditulis di Aceh didasarkan pada model literatur Persia.
Pengaruh Persia juga ditemukan dalam peran kuat yang
dimainkan di bidang mistisisme dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Bagaimanapun juga, pengaruh orang Persia di Aceh, yang mempunyai
hubungan bahari dan perdagangan dengan India dan wilayah teluk
Persia, lebih kelihatan dalam pemikiran dan mistisisme Islam abad ke-
17. Hamzah Fanshuri, penyair mistik Melayu yang sukar dimengerti,
adalah eksponen utama dan penabur paham wujudiyah atau kesatuan
eksistensiyang berasal dari ajaran panteistik Ibn al-Arabi. Fansuri lahir
di Ayutthaya, ibu kota Siam. Selain Bahasa Melayu, dia fasih dalam
Bahasa Arab dan Persia. Dalam beberapa karyanya, dia mengutip
dari para empu mistisisme Persia klasik seperti Šabestari, baik dalam
Bahasa Persia maupun dalam terjemahan Melayu.
Konfl ik di antara Ar-Rāniri dan Fanshuri menggambarkan
petarungan antara Sufi sme “ortodoks” atau “tenang”, sebagaimana
yang dipromosikan oleh Sirhindi kira-kira pada saat yang sama di India
(Wafat 1624), dan Sufi sme yang bersifat “heterodoks,” “panteistik”,
dan meluasnya konfl ik dari India ke Asia Tenggara digambarkan
dengan munculnya perdebatan di antara Ibn al-Arabi, Syaikh Ahmad
Sirhindi, dan Sufi sme Ghazali yang terikat syariah di Asia Tenggara.59
Perdagangan
Pengaruh budaya Persia juga dapat dilihat sehubungan dengan
kepangeranan Melayu dan emporium perdagangan Malaka, sebuah
negara yang berlangsung mulai dari abad ke-15 hingga ditaklukkan
orang Portugis 1511 (Andaya, Malacca; Muhammad Yusoff Hashim,
trj. D. J. Muzaffar Tate, The Malay Sultanate of Malacca). Meskipun
Malaka setidaknya secara nominal merupakan protektorat Siam, yang
juga mengklaim kekuasaan mutlak atas seluruh Semenanjung Malaya
(Wyatt, The Thai ‘Palatine Law’ and Malacca), ia mampu memantapkan
diri sebagai kekuasaan terkemuka di Nusantara, yang memberi daya
dorong baru penyebarluasan Islam yang penuh semangat di wilayah
itu (untuk pengantar yang sangat bagus lihat Gordon dan Al-Attas,
Indonesia. iv-History: (a) Islamic period).
59 M. Ismail Marcinkowski, “Thailand-Iran Relations” http://www.iranicaonline.org/articles/thailandiran-
relations. Lihat juga, Bakar dalam Nasr 1991.
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
77
Pada masa itu, bahasa Persia adalah penghubung di dunia niaga
Samudra India dan suatu komunitas saudagar berbahasa Persia ada di
Malaka. Jabatan dengan gelar Persia Shahbandar (“Kepala Pelabuhan”),
dikenal di banyak pelabuhan niaga Samudra Hindia, di beberapa
bagian Kekaisaran Utsman juga ditetapkan di Malaka. Hal itu menarik
perhatian beberapa sarjana Barat (lihat Andaya, The Indian ‘Saudagar
Raja’ (The King’s MerchantsI in Traditional Malay Courts; Moreland, The
Shahbandar in the Eastern Seas: Raymond, Shahbandar: In the Arab world;
Hooker, Shahbandar in South-East Asia; Yule and Burnell, Hobson-Jobson,
hlm.816-17, s.v. Shabunder, dengan referensi yang rinci, dan ibid, hlm.914,
s.v. Tenasserim). Jabatan itu tampak telah dikenal di wilayah Samudera
Hindia sedini kira-kira 1350 (Yule and Burnell, Hobson-Jobson, hlm.816,
s.v. “Shabunder,” mengacu pada kunjungan Ibn Battutah ke pantai
Malabar di India selatan).
Pengenalan kapal uap ke Samudra Hindia oleh kekuasaan kolonial
Inggris dan Belanda pada awal pertengahan abad ke-19 memfasilitasi
kontak Muslim Asia Tenggara dengan negeri-negeri Arab di Timur
Tengah, khususnya dengan tempat-tempat keramat di semenanjung Arab
dan pusat-pusat studi di Mesir. Kembalinya para haji dan orang-orang
yang mendalami agama mulai menyebarkan ide-ide puritanisme Islam,
khususnya Wahhabiyah, di Nusantara. Tradisi Sufi sme fi losofi s Fanshuri
dan para pengikutnya semakin dikaitkan dengan bid’ah dan pemikiran
yang menyimpang, seperti paham Syiah “dari Persia”. Perkembangan
yang bersifat mengecilkan ini sekarang ini terus berlangsung dan
mempengaruhi secara negatif iklim umum stabilitas dan keilmuan.60
Persaingan Niaga di antara Orang Persia dan Portugis
Di periode Safavid (1501-1736), kita dapat menyaksikan
perdagangan yang pesat dengan Asia Tenggara, sementara terjadi
persaingan hebat antara para pedagang Persia dan Portugis. “Di
kalangan saudagar Muslim, orang-orang yang berasal dari Shiraz
tampak menonjol khususnya dalam perdagangan Teluk Persia dan
mereka berdagang dengan perusahaan-perusahaan dagang Hindia
Timur (Floor, 1366 S./1987, di setiap bagian; idem, 1988b, bab.1).
Perdagangan dengan India khususnya terpusat di tangan orang-orang
60 Lihat Marcinkowski, “Thailand-Iran Relations” http://www.iranicaonline.org/articles/thailand-iranrelations.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
78
India, meskipun saudagar Yahudi juga aktif (Du Mans, hlm. 193-94;
Fryer, II, hlm. 247-48). Perdagangan lokal mungkin dikemudikan
terutama oleh orang-orang Muslim Persia. Pada akhir abad ke-18 jelas
bahwa perdagangan luar negeri juga sebagian besar berada di tangan
orang-orang Persia ( Francklin, hlm. 60; Kinneir, hlm. 198).61
Hubungan budaya dan perdagangan Persia dengan Asia Tenggara
sudah berlangsung jauh sejak periode pra-Islam. Berkenaan dengan
periode Sasanid dan awal Islam, studi yang dilakukan Colless dan
Tibbetts (lihat dalam bibliografi ) sangat penting. Akan tetapi, hubungan
diplomatik resmi di antara kedua wilayah, yang diilustrasikan dengan
pertukaran misi-misi non-permanen ketimbang kedutaan-keduataan
ektsrateratorial yang permanen, dapat dilacak baru pada periode
Safavid.
Kontak di antara orang Persia— baik lewat anak benua India
atau langsung dari negeri Iran—dengan rakyat Thailand menjadi
mungkin terjadi baru sesudah penghunian berangsur-angsur dan
dominasi dataran-dataran tengah Thailand yang sekarang. Proses
migrasi ini berpuncak pada pendirian Ayutthaya pada tahun 1351 oleh
Raja U Thong (berkuasa 1351-1369 dan yang bergelar Ramathibodi)
sebagai ibu kota kerajaan Thailand yang kemudian dikenal sebagai
Siam. Ayutthaya terletak kira-kira 80 km ke utara Bangkok modern.
Ia bertempat secara strategis di atas sungai Chao Phraya yang dapat
dilayari hingga ke Teluk Thailand. Ayutthaya ditakdirkan menjadi
salah satu emporia perdagangan yang paling penting di wilayah itu,
dengan letak yang sama jauhnya dari Asia Timur, Cina, dan India.62
Pengaruh Religius Kaum Syiah di Asia Tenggara
Islam di Asia Tenggara mempunyai dimensi Sufi sme yang
kuat dari Persia, India, Cina dan Yaman yang bercampur dengan
monisme Hindu setempat dan non-teisme Buddha.63 Akan tetapi,
lebih disukainya Nur-al-Din al-Raniri (wafat 1656), yang lahir India
(lihat Al-Attas, A Commentary on the ‘Hujjat al-Siddiq’ of Nur al-Din al-
61 Willem Floor, “Commerce vi. In the Safavid and Qajar periods http://www.iranicaonline.org/
articles/commerce-vi
62 Lihat Marcinkowski, “Thailand-Iran Relations” http://www.iranicaonline.org/articles/thailand-iranrelations.
63 P. J. Zoetmulder, Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature: Islamic and Indian
Mysticism in an Indonesian Setting, ed. M.C. Ricklefs (Koninklyk Instituut Voor Taal Land,
1995).
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
79
Rāniri, Intro.) oleh para penguasa Aceh yang setia pada Sunni Syafi ’i,
memulai suatu periode legalisme, yang menghasilkan penganiayaan
dan penindasan Sufi sme heterodoks non-konformis yang dikaitkan
dengan Fanshuri and para pengikutnya.
Di masa lampau, konfl ik di antara “heterodoksi” dan “ortodoksi”
di Aceh abad ke-17, yang dilambangkan oleh kontestasi antara Fanshuri
and Rāniri, biasanya dikaji dalam konteks mistisisme saja (lihat Al-
Attas, Raniri dan the Wujudiyyah of 17th Century Aceh). Akan tetapi,
lazimnya pemikiran kaum Syiah di kalangan Sufi “heterodoks” di Aceh
juga harus dipertimbangkan. Fanshuri sendiri mengacu kepada imam
pertama kaum Syiah, Ali bin Abu Thalib, dalam beberapa puisinya.
Nampaknya, dia juga sempat pergi ke Irak selama perjalanannya ke
Timur Tengah.64
Imam Ja’far as-Shadiq dan Sufi sme
Semua thariqah Sufi (dengan perkecualian satu-satunya, yaitu
Naqsabandiyah) selalu mengklaim keturunan dari sang Nabi
khususnya melalui Ali bin Abu Thālib, imam pertama Ahl al-Bayt, dan
banyak juga yang menyebutkan selselatal-dahab (mata rantai emas),
yang menghubungkan mereka dengan delapan dari duabelas Imam.
Akan tetapi, Ja’far al-Ṣhadiq, imam keenam menempati tempat
tersendiri dalam tradisi Sufi sme. Sejumlah Sufi kabarnya dikaitkan
dengan beliau; dia dipuji karena pengetahuannya yang termaktub
dalam beberapa karya literatur Sufi . Banyak ucapan dan tulisan Imam
Ja’far mengenai jalan menempuh spiritualitas dihubungkan dengannya.
Apa yang dinyatakan dengan tegas menyangkut beliau terkait dengan
hal-hal ini, dalam beberapa kasus, jelas-jelas diragukan kebenarannya
dan telah menjadi bahan percekcokan, khususnya datang dari pihak
pengarang Syiah yang tidak senang dengan Sufi sme, sekalipun dalam
wujud Syiahnya.
Garis keturunan Ja’far as-Shadiq mendapat dimensi Sufi bermula
dengan cicit Alawi, Moḥammad bin Ali b. Moḥammad bin Ali bin
Alawi (1255), yang dikenal sebagai Al-Ustad al-A’zam (Guru Agung);
mulai dari masa ini dan seterusnya, dimungkinkan untuk menyebutkan
Thariqah Alawiyah, yang dicirikan oleh transmisi kepemimpinan
64 Lihat Marcinkowski, “Southeast Asia: Persian Presence in Southeast Asia http://www.
iranicaonline.org/articles/southeast-asia-i
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
80
secara turun-temurun. Thariqah Aydarusiya, secara genealogis
merupakan keturunan Alawiyah. Akan tetapi, lebih penting lagi untuk
menghitungnya sebagai cabang Kobrawiyah. Thariqah ini didirikan
Abu Bakr bin Abdullāh Aydarus (wafat 1508), yang digambarkan
sebagai “Pelindung Suci” dari Aden (Löfgren, Aydarus, hlm. 781).
Beberapa syaikh Aydarusiya memakai nama lengkap leluhur jauhnya,
Ja’far as-Shadiq, yang dengan demikian mengindikasikan suatu klaim
akan keturunan spiritual dan juga genealogis dari imam keenam kaum
Syiah (Zabidi, fols. 80b-81a).
Meskipun Hadhramaut mempertahankan sentralitasnya bagi para
anggota Thariqah Alawiyah maupun Aydarusy, banyak anggota dari
kedua garis keturunan itu mengunjungi atau menetap di berbagai
bagian Asia Tenggara, terutama di Jawa, Sumatra, dan semenanjung
Malaysia. Meskipun mereka berpartisipasi dalam penyebaran Islam di
sana, pengaruh spiritual mereka pada populasi pribumi, khusuanya
dalam kasus kaum Alawiyah, terbatas karena penyisihan yang
konsisten para non-Sayyid dari keanggotaan (Attas, hlm. 32). Akan
tetapi, sebagian dari mereka menikmati gengsi yang besar di sejumlah
kepangeranan Muslim di Nusantara seperti Pontianak, Sulawesi,
dan Sulu. Mereka sering saling menikah dengan keluarga-keluarga
penguasa (Atjeh 1977, hlm. 35-37).
Berkenaan dengan keturunan Sufi yang sangat luas dari Ja’far as-
Shadiq, akhirnya dapat dicatat bahwa, terkesan dengan kemenangan
Revolusi Islam di Iran 1978-79, sebagian telah meninggalkan afi liasi
mereka dengan madzhab Syafi ’i dan sebenarnya, dengan Sunni secara
keseluruhan, dan menganut Syiah Dua Belas Imam, yang bagaimana
pun juga, pada hakikatnya dikaitkan dengan nenek moyang mereka
(Alatas, hlm. 337-39).65
Dampak Persia di Thailand
Persia telah lama berhubungan dengan Asia Tenggara. Jauh
sebelum kedatangan orang Persia beraliran Syiah, Sufi sme Persia telah
tiba di wilayah itu. Sufi sme Persia memainkan peran penting dalam
penyebaran dan kemunculan Islam sinkretik di Nusantara. Syiahisme
65 Hamid Algar, “Ja’far al-Sadeq and Sufi sm” di http://www.iranicaonline.org/articles/jafaral-
Shadiq-iii-and-Sufi sm. Lihat juga Syed Farid Alatas, “The ariqat al-Alawiyyah and the
Emergence of the Shi’i School in Indonesia and Malaysia,” Oriente Moderno 18/2, 1999, hlm.
322-39.
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
81
awal hadir di kalangan orang-orang Cham di Vietnam dan juga di
Indonesia bagian timur di Maluku dan Aceh. Orang-orang Persia
penganut Syiah menetap di kerajaan Siam di Ayutthaya di istana
Raja Phra Narai (1656-1688). Pemerintahannya adalah yang paling
makmur dan menyaksikan kegiatan perniagaan dan diplomatik yang
termasyhur dengan bangsa-bangsa asing termasuk Persia dan Barat.
Bahkan, beberapa orang Persia bertugas sebagai Perdana Menteri dan
duta besar di istana Raja Phra Narai.
Orang Persia mengacu kepada Ayutthaya sebagai Shahr-i Naw – Kota
Perahu dan Terusan. Di kota ini, setiap tahun diperingati hari Ashura
atau 10 Muharram, wafatnya Imam Husein. Upacara Ashura disponsori
oleh Raja Phra Narai, seorang raja Buddha. Sekarang, terlepas dari Syiah,
Ashura terus diperingati bahkan di kalangan komunitas Sunni di Asia
Tenggara. Ada komunikasi diplomatik yang erat di antara Iran Safavid
dan Ayutthaya di antara 1660-an dan 1680-an. Ada pertukaran kedutaan
besar antara Shah Sulaiman Safavid dan Raja Phra Narai dari Siam.
Laporan mengenai hubungan demikian dan kedaan komunitas Persia
di Ayutthaya termuat dalam Safi nah-i Sulaymani atau Kapal Sulaiman
karya Ibn Muhammad Ibrahim, sekretaris misi diplomatik Persia ke
Ayutthaya yang mencatat rincian misi itu.
Catatan itu memuat informasi tentang Raja Phra Narai, istananya,
kegiatan-kegitan dan gaya hidupnya, agama, dan kebudayaan rakyat
Siam. Catatan tentang agama Buddha menunjukkan bias religius Muslim
yang kurang pengetahuan tentang sejarah agama. Pengarang memandang
Buddha sebagai para pemuja berhala. Buku itu juga memberi informasi
tentang perkampungan-perkampungan orang Persia di Ayutthaya
dan kehidupan religius, politis, dan kebudayaannya. Bahasa Thai telah
meminjam beberapa kata-kata Persia seperti gulab (mawar) menjadi
kulaap, anggur menjadi angun, farang (orang Eropa/orang asing) menjadi
farang, gol-e kalam (kembang kol) menjadi kalam dork dan bazaar (pasar)
menjadi bazaar. Pengaruh Persia juga terlihat dari genre sastrawi hikayat di
kepulauan Melayu-Indonesia.
Lembaga Chularajmontri atau Churarajmantri
Lembaga Syaikh al-Islam didirikan di periode abad pertengahan
Islam. Maksudnya untuk mempersingkat hierarki religius, atau
ulama, di dalam negara dengan mengangkat seorang ahli di bidang
ilmu-ilmu agama Islam sebagai pimpinan religius komunitas. Syaikh
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
82
al-Islam berfungsi sebagai mufti kepala—ahli hukum kepala, seorang
pakar hukum Islam dan penasehat di bidang masalah-masalah
keagamaan, baik publik maupun privat, yang terkait dengan negara.
Nasehatnya mempunyai otoritas moral, tetapi tidak mengikat secara
hukum kepada para otoritas politik. Maksudnya untuk memberi status
birokratis kepada pemimpin religius di dalam struktur politis negara
yang sedang berkembang dan meluas.
Sejarah Jabatan Syaikh al-Islam terbentuk di Khurasan pada abad
ke-10, dan segera diadopsi di bagian-bagian lain dunia Islam: Anatolia
(Turki), Mesir, Syria, Iran Safavid, Asia tengah, Kesultanan Delhi dan
Cina. Di antara abad ke-14 dan ke-16, jabatan itu melayani fungsi-fungsi
yang berbeda di negeri-negeri yang berbeda. Syaikh al-Islam adalah ahli
hukum kepala di Turki Utsman, jabatan yudisial yang sejenis di Iran
Safavid, yang membagikan hadiah-hadiah kepada kaum Sufi di India,
dan dan penguji mandat religius para guru agama Islam di Asia Tengah
dan Cina. Turki menghapuskan jabatan Syaikh al-Islam pada 1922.
Sekarang, posisi itu masih ada dalam format yang berbeda—dalam
bentuk kementerian, suatu majelis, atau individual—di negeri-negeri
mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bosnia dan
Tanzania, dan juga di negeri-negeri minoritas-Muslim, seperti Thailand.
Jabatan Chularajmontri atau Syaikh al-Islam di Siam muncul pada
masa dinasti Ayutthaya (1351–1767). Pada masa itu Ayuttahaya
mempunyai populasi Muslim Syiah yang signifi kan yang pindah dari
Iran. Mereka tinggal berdampingan dengan para imigran Muslim Sunni
dari Champa, Indonesia dan India. Para saudagar dan sarjana Syiah
Persia setempat di Ayutthaya tidak hanya turut dalam perdagangan
tetapi juga bertugas sebagai menteri di istana. Mereka mengatur
angkatan laut dan perdagangan laut Ayutthaya sebagai bagian dari
keahlian profesional mereka. Ada juga pertukaran Duta Bsar di antara
istana Persia dan Ayutthaya. Komunitas-komunitas lain di Ayutthaya
termasuk orang Cina dan Portugis. Chularajmontri atauSyaikh al-Islam
Siam yang pertama, diangkat oleh Raja Ayutthaya Phrachao Songtham
(berkuasa 1620–1628), adalah sarjana Syiah Persia, Syaikh Ahmad
Qumi (1543–1631). Dia berikan tugas untuk mengatur urusan-urusan
komunitas Muslim, dan juga bertugas sebagai menteri perdagangan
luar negeri sang raja.66
66 Imtiyaz Yusuf, “Chularajmontri ( Syaikh al-Islam) and Islamic Administrative Committees
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
83
Tiga belas Chularajmontri pertama di Thailand adalah para Muslim
Syiah yang merupakan keturunan Syaikh Qumi. Selama periode ini hingga
1934, yang menandai berakhirnya Chularajmontri Syiah terakhir, yurisdiksi
mereka tidak meluas hingga ke kerajaan-kerajaan Melayu bagian selatan
yang independen. Akan tetapi, dengan penggabungan kerajaan Melayu
di Patani pada 1906, Islam menjadi agama minoritas terbesar di Thailand;
hal ini menciptakan masalah penggabungan rakyat Muslim Melayu ke
dalam bangsa Siam. Thailand menjadi monarki konstitusional pada 1932,
tetapi ia terus menghadapi masalah-masalah linguistik, etnik, budaya dan
religius baru yang berkaitan dengan propinsi-propinsi mayoritas Muslim
Melayu di Thailand bagian selatan. Pada 1945, pemerintah Thailand
mengesahkan Akta Perlindungan Islam, yang mencoba membentuk
suatu mata rantai di antara otoritas politis pusat dan para pemimpin
religius komunitas Muslim. Akta itu menciptakan Pusat Islam Thailand
yang dikepalai oleh Chularajmontri atau Syaikh al-Islam, dan juga Dewan
Propinsi untuk Urusan Islam.
Dari Bodhisattva ke Insan al-Kamil
Beberapa sarjana yang mengkaji Islam Asia Tenggara berpendapat
bahwa doktrin Sufi mengenai Al-Insan al-Kamildan konsepsi Buddha
mengenai Bodhisattva membentuk basis interaksi di antara tradisi
religius Islam yang baru masuk di Asia Tenggara dan tradisi religius
Hindu- Buddha wilayah itu yang sudah mengalami penyesuaian.
Masyarakat-masyarakat Asia Tenggara mengikuti pola konversi yang
umum. Sebelum kedatangan Islam, konversi sang raja ke Hindu atau
Buddha disusul oleh konversi komunitasnya. Demikian pula, konversi
seorang raja ke Islam disusul oleh komunitasnya. Karena pertemuan
Islam, Hindu, dan Buddha di Asia Tenggara pada dasarnya adalah
suatu pertemuan mistisisme religius, banyak konsep-konsep Buddha
mendapat nama-nama Islam. Misalnya, raja mengadopsi gelar―sultan
setelah konversi, dan kepercayaan kepada roh-roh hutan menjadi
kepercayaan pada jinn.67
in Thailand” dalam Oxford Islamic Studies Online. Oxford Islamic Studies Online, http://
http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t343/e0020. Lihat juga, Imtiyaz Yusuf, “Islam and
Democracy in Thailand: Reforming the Offi ce of Chularajamontri atau Syaikh al-Islam” dalam
Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies) 9 (2) July 1998: 277-298 dan
Imtiyaz Yusuf, “The Role of the Chularajmontri (Shaykh al-Islam) in Resolving Ethno-Religious
Confl ict in Southern Thailand” in American Journal of Islamic Social Sciences, 27 (1) 2010:
31-53.
67 A.C. Milner, “Islam and the Muslim State” dalam M. B. Hooker (ed.), Islam in Southeast Asia
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
84
Konsep Al-Insan al-Kamil,yang bermakna manusia paripurna,
didasarkan pada hadist profetis yang dilaporkan oleh Ibn Hanbal
bahwa, —Tuhan menciptakan Adam dalam citra-Nya, ‘alasuratih. Sufi
seperti Ibn al-Arabi (1165-1240), Mahmud al-Shabistari (wafat 1320)
dan Abdul Karim al-Jili (1365-1417) mengomentari panjang lebar
istilah Al-Insan al-Kamil. Harus diingat bahwa penggunaan istilah Al-
Insan al-Kamiloleh mereka berbeda dengan oleh Al-Hallaj (857-922)
yang mengacu kepada dirinya sebagai―’Ana al-Haqq (Aku adalah Sang
Mutlak), Sang Kebenaran, yang berarti―Aku adalah Tuhan.
Pertukaran sosiopolitis dan religius antara Islam dan Buddha
nyata dalam pemakaian gelar-gelar religio-politis Islam oleh para
raja-raja Asia Tenggara yang beralih memeluk Islam. Ketika tiba
di Asia Tenggara, kaum Muslim seperti yang disebutkan di muka,
menjumpai kehadiran serempak Hindu dan Buddha, yang terwujud
dalam pemujaan baik Shiwa maupun Buddha. Agama mereka disusun
dari campuran doktrin dan konsep religius Buddha dan Hindu.
Kedua agama ini dilihat sebagai jalan yang berbeda tetapi sama untuk
mencapai moksha dan nirvana—pembebasan dan pencerahan.
Para Sufi penyebar Islam menawarkan cita-cita Al-Insan al-Kamil
sebagai suatu konsep Muslim alternatif bagi para raja boddhisatva Hindu-
Buddha. Konsep Bodhisattva Buddha digunakan oleh para raja Hindu-
Buddha Asia Tenggara untuk mengidentifi kasi diri mereka dengan
tokoh Buddha yang diidam-idamkan. Karena itu, konsep Al-Insan al-
Kamil berfungsi sebagai medium baru untuk dialog antaragama dan
konversi di antara agama sinkretik Hindu- Buddha dan Islam. Setelah
beralih menganut Islam, raja-raja Indonesia dan Melayu memakai
gelar Al-Insan al-Kamil untuk melegitimasi posisi mereka sebagai raja
baik secara politis maupun religius.
Raja-raja Hindu dan Buddha di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi,
yang dulu menampilkan diri sebagai dev raja (penjelmaan Siwa) atau
dhammaraja (raja yang mengikuti hukum Buddha), juga mengadopsi
gelar seperti Al-Insan al-Kamilatau gelar kerajaan berbahasa Arab-
Persia seperti Sultan, Shah atau Zillullah fi al-’alam (Bayangan Tuhan
di Bumi). Penyair panteistik Sufi Hamzah Fanshuri menyebut Sultan
(Leiden: E. J. Brill), hlm. 39-44. Martin Van Bruinessen, “Studies of Sufi sm and the Sufi Orders
in Indonesia,” Die Welt Des Islam, Band XXXVIII, 2 1998, hlm. 201 dan juga olehnya, “Origins
and Development of the Sufi Orders (Thariqah) in Southeast Asia” StudiaIslamika,1 (1) 1994:
hlm. 1-23.
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
85
Aceh di dalam salah satu syairnya sebagai―orang pilihan Allah. Para
raja Hindu di Patani secara khusus tertarik pada doktrin Sufi mengenai
Al-Insan al-Kamil, dan setelah beralih memeluk Islam menggunakan
doktrin itu sebagai cara untuk mempersatukan struktur-struktur
sosio-kultural mereka yang rumit. Para Sultan Patani mengklaim
bahwa mereka adalah Al-Insan al-Kamil—bersatu dengan Tuhan dan
diberkati oleh-Nya. Karena itu, konsep Islam yang baru mengenai Al-
Insan al-Kamilcocok dengan kepercayaan mereka sebelumnya. Dengan
cara ini, para sultan Muslim Asia Tenggara menampilkan diri sebagai
orang suci yang patut diteladani yang mendorong konversi komunitas
mereka ke Islam.
Pratek-praktek tapabrata, penyesalan dosa, dan meditasi dilihat
sebagai cara-cara untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Hal ini
sangat cocok dengan tujuan Hindu dan Buddha yang mencari persatuan
dengan Brahman atau Nirvana. Segera muncul juga tafsiran-tafsiran
Sufi Melayu atas konsep Al-Insan al-Kamil yang kemudian dikaitkan
dengan ide mengenai martabat tujuh—ide akan tujuh tingkatan untuk
mencapai keadaan Al-Insan al-Kamil, yang tertinggi dari ketujuh
tingkatan itu. Konsep ini dihubungkan dengan Muhammad Fadl Allah
al-Burhanpuri (wafat 1590) dan juga dengan para penganut paham
wujud Asia Tenggara—para penganut panteis seperti Hamzah al-
Fanshuri dan muridnya Shams al-Din al-Sumatrani (wafat 1630).
Para sultan juga dipandang diberkahi dengan kuasa-kuasa
istimewa yang mampu melakukan karamat (keajaiban-keajaiban) dan
juga memiliki berkah—karunia-karunia spiritual yang dapat mereka
berikan kepada orang lain semasa dia masih hidup atau setelah wafat.
Gagasan-gagasan demikian tidak jauh dari gagasan Hindu dan Buddha
setempat. Oleh karena itu, sejarah agama-agama di Asia Tenggara
menggambarkan bahwa kedua konsep berorientasi secara mistis
mengenai Al-Insan al-Kamil dan Bodhisattva menjadi dasar bagi dialog di
antara Islam dan Hindu- Buddha. Dalam Muslim Asia Tenggara konsep
Al-Insan al-Kamil menggantikan konsep Bodhisattva pada level religius,
politis, dan sosial. Sebagai hasil fenomena ini, dimensi mistis Islam
dan aspek toleran Buddha memainkan peran yang signifi kan dalam
membentuk karakter koeksistensi religius di Asia Tenggara. Dengan
demikian, perjumpaan di antara peradaban Islam dan Hindu- Buddha
yang terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Thailand adalah sejenis dialog
di antara suatu bentuk monoteistik dan panteistik Islam dan tradisiSEJARAH
& BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
86
tradisi religius monistik dan non-teistik Hindu dan Buddha. Penduduk
lokal juga mengadopsi praktek-praktek Sufi dengan pandangan bahwa
tapabrata, penyesalan dosa, dan meditasi akan memampukan mereka
untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Pendekatan mistis ini sangat
cocok dengan pandangan dunia yang sebelumnya mereka warisi dari
Hindu dan Buddha.68
Pengaruh Persia pada Kesultanan Brunei Darussalam
Brunei Darussalam adalah salah satu kerajaan Asia tertua, sudah
eksis lebih dari 1.500 tahun dan merupakan suatu kekuasaan imperial
dari abad ke-15 hingga ke-16. Sejarah mencatat rentang sejarahnya
mencapai 600 tahunan. Pada acuan-acuan historis terdahulu ditemukan
di kronik-kronik Cina dan Hindu abad keenam dan ketujuh yang
mengacu Brunei sebagai “Polo”, “Puni” and “Poli”. Para penulis awal
juga menyebutnya “Brunei” dan “Brune”.
Raja Brunei yang mula-mula disebut Sang Aji, atau Sri Raja—gelar
yang berasal dari Bahasa Sanskerta. Dinasti penguasa Brunei berubah
semasa 1360-an awal ketika Awang Alak Betatar, seorang pangeran
dari kerajaan yang kuat di Kalimantan Barat, menaiki takhta Brunei.
Dia menjadi penguasa Brunei pertama dan penguasa yang sekarang
adalah keturunannya. Awang Alak Betatar adalah Raja Brunei pertama
yang menerima Islam, yang mengubah gelar dan namanya menjadi
Sultan Muhammad Shah (1363-1402) untuk menghormati sang
Nabi. Dengan Islam, Brunei menegaskan dan memperluas perannya
sebagai kekuatan niaga yang merdeka dan dominan di wilayah
itu. Perdagangan dan wilayah kekuasaannya bertambah bersama
penyebaran Islam sehingga meliputi kerajaan-kerajaan Melayu yang
ada di Kalimantan dan Filipina.
Semasa periode awal penyebaran Islam di Brunei, banyak
misionaris Muslim Arab menikah dengan keluarga kerajaan Brunei.
Paling terkemuka adalah Sharif Ahdari Taif, Arabia, yang menikah
dengan seorang puteri sultan kedua, dan kemudian naik takhta menjadi
sultan ketiga pada 1425. Pemerintahannya yang tertib dan adil yang
didasarkan pada Islam membuat Brunei Darussalam menjadi negeri
68 A. H. Johns, “From Buddhism to Islam: An Interpretation of the Literature of the Transition”
in Comparative Studies in Society and History, IX (1) October 1966, hlm. 40-50. Lihat juga
Wayne A. Bougas, The Kingdom of Pattani: Between Thai and Malay Mandalas. (Bangi: Institut
Alamdan Tamadun Melayu, 1994) hlm. 28-40.
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
87
yang dihormati dan sangat kuat. Hasilnya hubungan dengan kerajaankerajaan
tetangga di Kepulauan Melayu, Cina, dan Arab berjalan
dengan baik dan Brunei Darussalam memasuki era kedamaian dan
kesentosaan. Karena itu kesultanan menjadi dikenal sebagai Negara
Brunei Darussalam (Brunei, Tempat Kedamaian).
Brunei menonjol pada abad ke-15 dan ke-16 ketika negeri itu meluas
ke seluruh Kalimantan dan seluruh Filipina yang sekarang. Sultan
pertama yang memeluk Islam di Brunei adalah Sultan Muhammad I
yang memerintah selama 39 tahun pada abad ke-14. Kira-kira pada
tahun 1478, para sultan yang ada di wilayah itu cukup kuat untuk
membebaskan diri dari pengaruh para penguasa Hindu. Stabilitas para
sultan yang menyusul periode ini berakar kuat pada Islam di Brunei.
Dalam Brunei pra-Islam ibukota pertama Puni didirikan di distrik
Temburong. Belakangan, ibu kota dipindahkan ke Kota Batu, tempat
Museum Brunei yang sekarang. Akhirnya ibu kota didirikan di Bandar
Seri Begawan semasa pemerintahan Sultan Muhyiddin I pada abad
ke-17. Di masa silam kekayaan Brunei dibangun berdasarkan ekspor
kapur barus, lada, dan emas.
Robert Nicholl, mantan Kurator Museum Brunei berargumen di
dalam makalah lain berjudul “Notes on Some Controversial Issues in
Brunei History (Catatan mengenai Beberapa Isu Kontroversial dalam
Sejarah Brunei)” pada 1980 bahwa nama Ma-ho-mo-sa dapat dilafalkan
sebagai Maha Moksha, artinya, Keabadian Agung. Dengan pelafalan
itu, nama itu menjadi nama Buddha. Nicholl mengargumenkan lebih
lanjut bahwa Sultan Brunei pun yang wafat di Nanjing pada 1408 bukan
seorang Muslim. Sejarawan Eropa lainnya, Pelliot, mengatakan bahwa
Ma-na-jo-kia-nai-nai dapat dibentuk kembali sebagai Majarajah Gyana
(nai). Tetapi gelar terdekatnya akan menjadi Maharaja Karna. Akan
tetapi, para sejarawan Brunei telah menyatakan bahwa sang Raja adalah
Sultan Abdul Majid Hassan yang merupakan Sultan Brunei kedua.
Nicholl berargumen lebih lanjut bahwa Sultan Muhammad Shah
beralih memeluk Islam baru pada abad ke-16 dan bukan semasa abad
ke-14 yang diketahui secara luas. Akan tetapi, menurut para sejawaran
Brunei, Sultan Muhammad Shah beralih memeluk Islam pada 1376
dan bahwa dia memerintah hingga 1402. Sesudah itu, yang naik takhta
adalah Sultan Abdul Majid Hassan, yang wafat di Cina. Pada waktu
itulah Sultan Ahmad mulai memerintah di Brunei pada 1406.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
88
Kemungkinan besar ada dua gelombang ajaran Islam yang datang
ke Brunei. Gelombang pertama dibawa oleh para pedagang dari
Arabia, Persia, India, dan Cina. Gelombang kedua dihasilkan oleh
konversi Sultan Muhammad Shah. Dengan datangnya gelombang
kedua, Islamisasi Brunei dipercepat. Penyebaran Islam di Brunei
dipimpin oleh seorang Syarif dengan nama Syarif Ali yang merupakan
keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya Sayyidina Hassan atau
Sayyidina Husein.
Syarif Ali datang dari Thaif. Tak lama setibanya di Brunei, dia
menikah dengan seorang puteri Sultan Ahmad. Syarif Ali membangun
sebuah masjid di Brunei. Syarif Ali berhubungan erat dengan beberapa
penyebar Islam terkenal di wilayah itu seperti Malik Ibrahim yang
pergi ke Jawa, Syarif Zainal Abidin di Malaka, Syarif Abu Bakar atau
Syariful Hashim di Sulu dan Syarif Kebungsuan di Mindanao. Syarif
Ali naik takhta sebagai Sultan Brunei ketiga ketika dia menggantikan
mertuanya. Karena kesalehannya, dia dikenal sebagai Sultan Berkat.
Masjid itu, teristimewa mimbarnya, digunakan oleh Sultan Syarif Ali
sendiri. Sultan Syarif Ali sendiri memberikan khotbah sholat Jumat. Jadi
dia bukan cuma Sultan, juga Imam dan membawa agama secara langsung
kepada rakyat Brunei. Menurut Thomas Stamford Raffl es dalam bukunya
The History of Java, kegiatan-kegiatan Islam Sultan Syarif Ali tidak terbatas
di Brunei. Dia juga diketahui pergi ke Jawa untuk menyebarkan Islam di
mana dia dikenal sebagai Raja Chermin. Dia berusaha keras mengkonversi
Raja Majapahit yang bernama Prabu Angka Wijaya.
Usaha-usaha Sultan Brunei dalam penyebaran Islam tidak hanya
membantu penyebaran di Kalimantan, tetapi juga jauh ke utara hingga
ke kepulauan Filipina bagian selatan. Ketika Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada 1511, Bruneilah yang memainkan peran utama penyebaran
Islam di wilayah itu. Pada abad ke-16, Brunei telah membangun salah
satu masjidnya yang terbesar. Pada 1578, Alonso Beltran, seorang
pengelana Spanyol melukiskan masjid itu sebagai gedung tinggi lima
lantai yang di bangun di atas air. Kemungkinan besar ia mempunyai
lima lapis atap untuk menggambarkan lima rukun Islam.
Islam berakar kuat di Brunei pada abad ke-16. Sayangnya, masjid
ini dihancurkan orang spanyol pada Juni pada tahun yang sama.69
69 Rozan Yunos, “The Golden History of Islam in Brunei” 8 March 2010 http://news.brunei.
fm/2010/03/08/the-golden-history-of-islam-in-brunei/
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
89
Sudah diperdebatkan kapan sebenarnya Islam tiba pertama kali di
Brunei. Sejumlah relik menunjukkan bahwa Islam mungkin benarbenar
dipraktekkan di Brunei pada abad ke-12. Di antara hal-hal ini
ada batu nisan yang ditemukan di berbagai pekuburan Islam di Brunei
khususnya yang ada Rangas yang menunjukkan nisan seorang Muslim
Cina dengan nama Pu Kung Chih-mu. Dia dimakamkan di sana pada
1264. Nisan ini seratus tahun leih awal sebelum konversi Awang Alak
Betatas sebagai Sultan Islam dengan nama Sultan Muhammad Shah,
Sultan Brunei yang pertama.
Pu adalah nama panggilan umum yang menurut para sejarawan
Cina mengidentifi kasi mereka sebagai seorang Muslim. Nisan itu juga
mengidentifi kasi Pu Kung Chih-mu sebagai seorang yang berasal
dari Kota Chuan-chou di Cina. Semasa Dinasti Sung, para pedagang
Arab dan Persia berkumpul di Kwang Chow (Canton) di Propinsi
Kwangtung dan Chuan-chou di Propinsi Fukien.Kuburan itu bukan
satu-satunya kuburan Muslim Cina di sana. Di kuburan lain lain di
dekatnya ada kuburan Muslim Cina lainnya yang bernama Li Chiatzu
yang berasal dari Yung Chun (Fukian) yang meninggal pada
1876. Yung Chun juga adalah kota lain yang ada Cina di mana para
pengelana Muslim sering berdagang. Menurut catatan-catatan Cina,
yang dinyatakan di dalam “Notes on the Malay Archipelago and Malacca
Compiled From Chinese Sources (Catatan-catatan mengenai Kepulauan
Melayu dan Malaka Yang Disusun Dari Sumber-sumber Cina)” yang
ditulis oleh WP Groeneveldt pada 1880, seorang pedagang Islam
Cina tiba di Brunei pada abad ke-10. Dia bernama P’u-lu-shieh. Dia
adalah seorang pedangang dan juga diplomat. SQ Fatimi menulis
dalam Sociological Research Institute di Singapore pada 1963 dalam
sebuah artikel yang berjudul Islam Comes to Malaysia (Islam Datang ke
Malaysia), nama P’u-lu-shieh serupa dengan Abu al-Layth.
Raja Brunei pada waktu itu bernama Hiang-ta. Kedatangan
diplomat-pedagang dari Cina disambut dengan upacara besar. Jika
benar demikian, Islam benar-benar sudah sampai di Brunei pada
tahun 977. Orang dapat mengabaikan fakta bahwa diplomat-pedagang
Muslim tidak melakukan apa pun di Brunei selain membawa salam
dan oleh karena itu janganlah terlalu banyak menafsirkannya. Akan
tetapi, hal yang menarik bahwa delegasi Raja Brunei ke Cina untuk
membalas sang sang Kaisar dikepalai oleh Muslim yang lain yang
bernama P’u A-li (Abu Ali). Didasarkan pada fakta ini saja, Abu Ali
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
90
pastilah memegang posisi penting di dalam Pemerintahan Brunei jika
dia ditugaskan sebagai Duta Besar Brunei pada masa itu dan sekalipun
Raja Brunei sendiri pada waktu itu bukan seorang Muslim, beberapa
orang anggota istana kerajaannya adalah Muslim.
Sejumlah sejarawan Eropa mengklaim bahwa Brunei pada waktu
itu bukan sebuah bangsa Muslim hingga abad ke-15. Akan tetapi, Ming
Shih, Buku 325, sebuah buku acuan Cina, mencatat bahwa Raja Brunei
pada 1370 adalah Ma-ho-mo-sa. Ada yang mengatakan bahwa ini harus
dibaca sebagai “Mahmud Shah”. Akan tetapi, para sejarawan lokal
Brunei menganggap hal ini mengacu kepada “Muhammad Shah”,
Sultan Brunei pertama yang beragama Islam. Menurut Raffl es dalam
bukunya The History of Java, kegiatan-kegiatan Islam Sultan Syarif
Ali tidak terbatas di Brunei. Dia juga diketahui pergi ke Jawa untuk
menyebarkan Islam di mana dia dikenal sebagai Raja Chermin. Dia
berusaha keras mengkonversi Raja Majapahit yang bernama Prabu
Angka Wijaya. Usaha-usaha Sultan Brunei dalam penyebaran Islam
tidak hanya membantu penyebaran di Kalimantan tetapi juga jauh
ke utara hingga ke kepulauan Filipina bagian selatan. Ketika Malaka
jatuh ke tangan Portugis pada 1511, Bruneilah yang memainkan peran
utama penyebaran Islam di wilayah itu.70
Bagian Kedua
Hubungan Sunni-Syiah Masa Kini
Madzhab-madzhab religius di dalam Islam bersifat politik-religius
bukan religio-politis yang berarti bahwa pemisahan religius di antara
Sunni dan Syiah didasarkan pada ketaksepakatan atas masalah suksesi
politis setelah wafatnya Nabi Muhammad dan bukan atas perbedaan
religius atau teologis mengenai ajaran-ajarannya sebagaimana termuat
di dalam ajaran-ajaran Alquran. Perselisihan mengenai isu suksesi
politis menyebabkan munculnya Ummayad dan Syiah Ali—partai Ali
yang selama berabad-abad berubah menjadi perbedaan di antara Sunni
dan Syiah sebagai madzhab dengan teologi politis yang berbeda. Syiah
Ali mula-mula terdiri dari Ghulat (kelompok ekstrimis)71 dan di antara
70 RozanYunos, “The Golden History of Islam in Brunei” http://news.brunei.fm/2010/03/08/thegolden-
history-of-islam-in-brunei/
71 Matti Moosa, Extremist Shiites: The Ghulat Sects (Syracuse University Press, 1987). “Secara
tradisional, ghulāt yang pertama adalah Abdullah bin Saba’, yang mungkin menolak bahwa
Ali sudah wafat dan meramalkan kedatangannya kembali (raj’a), yang dianggap sebagai
satu bentuk ghulū. Juga, gagasan akan okultasi (ghaybah) seorang imam yang berhak
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
91
Syiah Ismaili (Tujuh Imam)72 (terdiri dari Syiah Nizari–Mustali–Druze)
dan Itsna Asyariyah (Dua Belas Imam).73
Sementara Sunni terpisah-pisah karena penafsiran yang berbeda
di antara madzhab-madzhab teologi yang berbeda, secara hermeneutis
dan politis, seperti Mu’tazilah, Maturidiyah, Ash’ariyah, dan Athari
(para pengikut Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taymiyah) juga sekarang
ini terwakili dalam bentuk Barelvi/Deobandi/Salafi yah (Salaf awal,
para modernis Islam dan Salafi -Wahhabiyah masa kini). Sejarah
sektarianisme dalam Islam telah menjadi suatu sumber konfl ik di
antara umat Muslim.74 Alquran tidak mendukung sektarianisme:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya
dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah
terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Alquran, 6:159)
Peristiwa-peristiwa politis belum lama ini yang disebutkan di
bawah telah memperburuk ketegangan Sunni-Syiah pada tingkat
global.
1. Perang Iran-Irak (1980-1988) konfl ik bersenjata di antara Iran
dan Irak Ba’ath yang didukung oleh Arab Saudi, Kuwait,
Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat yang diarahkan untuk
melawan penyebaran Islamisme ke negara-negara otoriter
Sunni di Timur Tengah.
2. Munculnya Irak sebagai negara Arab Syiah di Timur Tengah
setelah invasi Amerika ke Irak pada 2003 dan berakhirnya
pemerintahan Saddam Husein telah menyebabkan konfl ik
mengembalikan dan menegakkan keadilan sebagi Al-Mahdi kelihatannya pertama kali
tampak di kalangan ghulāt. Posisi-posisi lain yang tampaknya telah dianggap ghuluw oleh
para penulis adalah kutukan (sabb) (publik) kepada Abu Bakr dan Umar sebagai perampas
hak Ali sebagai penerus Muhammad, dan gagasan bahwa para imam sejati tidak mungkin
melakukan kesalahan (ma’shum). Pada periode-periode yang lebih belakangan, kelompokkelompok
Syiah arus utama, khususnya Imamiyya, telah mengidentifi kasi tiga tindakan yang
dinilai sebagai “ekstremisme” (ghulū). Tindakan-tindakan bidaah ini adalah: klaim bahwa Allah
terkadang berdiam di tubuh para Imam (hulūl), kepercayaan pada metempsikosis (tanāsukh),
dan menganggap hukum Islam tidak bersifat wajib (ibāha), serupa dengan antinomianisme.”
http://en.wikipedia.org/wiki/ Ghulat
72 Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge University Press, 1992).
73 Moojan Momen, An Introduction to Shi`i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi`ism
(Yale University Press, 1987); Lesley Hazleton, After the Prophet: The Epic Story of the Syiah-
Sunni Split in Islam (Doubleday, 2009).
74 William Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oneworld, 1998).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
92
serius Sunni-Syiah di masa kini yang meluas mulai dari
Moroko hingga Indonesia.
3. Peristiwa Musim Semi Arab (Arab Spring) 2011 juga
menyaksikan konfl ik Sunni-Syiah di Bahrain, Arab Saudi, dan
Syria.75
4. Ulama Sunni seperti Yusuf Qaradawi dan Syekh dari Al-
Azhar telah menyerukan penghentian peningkatan Syiahisme
di negeri-negeri Sunni.
5. Selama periode setahun terakhir, Indonesia dan Malaysia telah
menyaksikan konfl ik sektarian di antara Sunni dan Syiah pada
tingkat nasional.
6. Raja Abdullah II dari Yordania, menyebutkan “Bulan Sabit
Syiah” yaitu, negeri-negeri di mana Muslim Syiah membentuk
mayoritas dominan adalah Azerbaijan, Lebanon, Iran, Bahrain
dan Irak. Bentuk negeri-negeri ini bila disatukan menyerupai
sebilah sabit yang dibedakan dari para tetangga Sunninya.
Minoritas Syiah juga ada Turki, Yaman, Afghanistan, Pakistan,
Kuwait, Saudi Arabia, India, UEA, dan Syria.
7. Dukungan popular Sunni untuk Hezbollah dan Hamas Timur
Tengah, dikritik oleh para penguasa dan ulama mereka.
Usaha Rekonsiliasi Sunni-Syiah
Ada beberapa usaha untuk merukunkan kembali dan membangun
hubungan damai di antara kaum Sunni dan Syiah. Sebagai contoh, di
zaman modern adalah fatwa terkenal al-Azhar 1959 oleh Mahmud
Shaltut, “Madzhab Ja‘fari yang juga dikenal sebagai al-Syiah al-
Imamiyah Itsna Asyariyah juga merupakan madzhab yang benar
secara religius untuk diikuti sebagaimana madzhab Sunni lainnya.”76
Ketegangan politik-religius di antara kedua madzhab Muslim di zaman
kontemporer muncul sejak keberhasilan Revolusi Islam di Iran pada
75 GeneiveAbdo, “The New Sectarianism: The Arab Uprisings and the Rebirth of the Shi’a-Sunni
Divide” tersedia di: http://www.brookings.edu/research/papers/2013/04/sunni-shia-divide-abdo
76 “Fatwa Shaykh Mahmud Shaltut tentang Madzhab Syiah (1959) adalah suatu simbol harapan”
tersedia di: http://www.sunniandshia.com/head-of-al-azhar-shaykh-mahmud-shaltut-fatwaal-
shia-school-of-thought-is-religiously-correct-to-follow/ Lihat juga: Rainer Brunner, Islamic
Ecumenism In The 20th Century: The AzharAnd Shiism Between Rapprochement and
Restraint, trans. Joseph Greenman (Brill Academic Pub, 2005); Meir Litvak and OfraBengio
(Penyunting), The Sunna and Shi“a in History: Division and Ecumenism in the Muslim Middle
East (Palgrave Macmillan, 2011).
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
93
1979 ketika negara-negara Sunni sibuk dalam kegiatan yang ditujukan
untuk mencegah penyebaran efek-efek revolusi itu ke lingkungan
pengaruh mereka. Tahun 1980-an dan 1990-an menyaksikan fenomena
fenomena pengkubuan dan militansi Sunni-Syiah di Timur Tengah,
Asia Selatan, dan Asia Tenggara yang efek-efeknya kelihatan sampai
hari ini.
Sekarang ini tegangan sektarian sedang diperburuk oleh kontroversi
atas konversi Sunni-Syiah yang terjadi mulai dari Sudan, Mesir dan
Yordania hingga Thailand dan Indonesia dengan Malaysia yang
sedang mengawasi dengan ketat usaha konversi yang dilakukan Syiah
di wilayah kekuasaan mereka. Oleh karena itu, ada kebutuhan yang
mendesak untuk menghidupkan kembali menuju taqrib—pemulihan
hubungan baik sebagai usaha serius mulai dari level masjid jalanan
hingga level nasional dan kebutuhan untuk pelaksanaannya yang serius
sekarang ini.
Fenomena taqrib (rekonsiliasi) bukan hal baru. Ijtihad yang
dilakukan fuqaha—para ahli hukum seperti Sayyid Jamaluddin al-
Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Rashid Rida, Syekh Muhammad
Shaltut, Imam Khomeini, Abul Ala Maududi, dan para fi lsuf seperti
Muhammad Iqbal, Ali Syariati, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah
terlibat dalam kegiatan ini.77 Contohnya, Jamaluddin al-Afghani
berusaha membangun “pendekatan supra-sektarian kepada berbagai
deretan (sic) pemikiran Islam yang mempengaruhi miliu Muslim pada
zamannya dan mengilhami mereka dengan pengertian yang lebih
baik akan warisan bersama mereka tanpa memandang perbedaanperbedaan
doktrinal mereka.”78
Maulana Abul Ala Maududi, pendiri Jamaat-e-Islami,
mengupayakan taqrib. Maulana Maududi melakukan usaha untuk
menafsirkan kembali doktin-doktrin Syiah di dalam perspektif wacana
Islamis yang lebih luas. Dia menyambut Revolusi Islam Iran 1979 dan
juga memainkan peran penting dalam pendirian Milli Yikjahati Council
(Dewan Kesatuan Nasional) di Pakistan yang bertujuan mengakhiri
kekerasan sektarian Sunni-Syiah di negeri itu. Di pihak Syiah, karyakarya
teologis berikut mengutamakan pembangunan kesatuan Sunni-
77 Ali Rahnema, ed., Pioneers of Islamic Revival: Second Edition, (Zed Books, 2006); John
Esposito dan John Voll, Makers of Contemporary Islam (Oxford University Press, 2001).
78 Karim D. Crow dan Ahmad Kazemi Moussavi, Facing One Qiblah Legal and Doctrinal Aspects
of Sunni And Shi “ah Muslims (Singapore: Pustaka Nasional, 2005), hlm. 15-16.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
94
Syiah. Misalnya, karya Ayatullah Muhammad Husein Burujerdi,
memandang tradisi-tradisi proto-Sunni sebagai latar belakang bagi
yurisprudensi Syiah dan fi qh perbandingan—karya yurisprudensial
seperti, al- Fiqh ‘ala al-Madhāhib al-Khamsah—Hukum Islam menurut
Lima Madzhab oleh Muhammad Jawad Mughniyah, seorang Lebanon.
Di Iran, Imam Khomeini dan Ayatollah Taleghani melembagakan
Shalat al-Jum’ah berjamaah pada hari Jumat (sebagian besar merupakan
praktek Sunni sebagai usaha menuju taqrib) mereka berdua memberi
prioritas pada konsep maslahah—kesejahteraan publik di Iran Syiah.
Usaha-usaha kontemporer dan pendekatan-pendekatan ke arah taqrib
seperti pekerjaan yang Dār al-Taqrib, penerbitan Risalat al-Taqrib/
Jurnal Pemulihan Hubungan Baik dari Tehran dan perayaan tahunan
“Minggu Kesatuan” yang dilembagakan oleh pemerintah Iran sejak
1984 juga merupakan contoh-contoh berharga dari penerusan usahausaha
taqrīb di tengah-tengah konfl ik hebat Sunni-Syiah yang sebagian
besar didasarkan pada ketaktahuan daripada keilmuan.
Ahmad Kazemi Moussavi mengatakan bahwa meskipun ada
usaha-usaha pemulihan hubungan baik, tersembunyi banyak
ketakutan di kedua belah pihak akan perpecahan sektraian. Akan
tetapi, ada peluang untuk mengembangkan dialog antarmadzhab. Dia
menyimpulkan dengan mengatakan:
Jika ada kemungkinan untuk pemahaman Sunni-Syiah, itu hanya
akan terjadi jika ada kemunculan suatu generasi mujtahid baru yang
dapat menggabungkan pengetahuan mereka akan tradisi dengan
keilmuan analitis-kritis dalam usaha untuk menghidupkan kembali
nilai-nilai Islam. Usaha ini berpotensi untuk menciptakan prioritasprioritas
baru yang akan meninggalkan perbedaan-perbedaan
historis dan menghasilkan suatu dialog baru di mana perbedaanperbedaan
tersebut pudar ke latar belakang.”79
Abdul Karim Crow berkomentar bahwa kita harus menjauhi
mentalitas “deformis” yang sedang menjadi mode yang dilabeli secara
menyesatkan sebagai “kaum Salafi ,” “Deobandi” atau “Wahhabi”.
Kita harus mengutuk keberagaman, pemikiran kritis, dan pengalaman
rohani yang diwakili oleh madzhab serta praktek Islam lain, khususnya
kaum Sufi dan Syiah”80 telah muncul sebagai rintangan bagi saling
pengertian antar-Muslim. Sementara Alquran menyerukan kesatuan
Muslim dengan menyatakan: “Sesungguhnya (agama Tauhid)
79 Ibid, hlm. 24.
80 Ibid, hlm. 34-35.
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
95
ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku …” (21:92). Lebih jauh lagi, Crow
berkomentar:
Jika kaum Muslim yang refl ektif di masa kini gagal merebut
kesempatan untuk pengertian yang lebih baik akan hakikat
perpecahan di dalam tubuh umat melalui pemikiran kembali yang
kritis dan berpengetahuan luas akan pembentukan dan evolusi
historisnya, maka mereka akan terhukum untuk mengulangi
kembali kesalahan-kesalahan di masa silam.81
Di masa kini, dua ulama Sunni and Syiah terkemuka yaitu, Syaikh
Yusuf al-Qardhawi dari Qatar dan Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri
dari Iran, memprakarsai bersama usaha-usaha menuju taqrīb tetapi kini
mereka bertengkar karena beberapa alasan seperti politik Timur Tengah
dan usaha-usaha untuk mengkonversi Sunni ke Syiah dan sebaliknya.
Ketegangan dan konfl ik yang terus berulang atas nama sektarianisme
di sekitar dunia Muslim bertentangan secara langsung dengan nasehat
Alquran akan “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (Alquran 3: 103).
Imam Khomeini mengenai Kesatuan Syiah-Sunni
Revolusi Islam 1979 adalah suatu peristiwa penting dalam sejarah
kebangkitan kembali Islam di dunia Muslim yang pada waktu itu bergelut
dengan dampak rezim-rezim politis otoriter sekuler, model pendidikan
Barat dan dampaknya pada pengetahuan, pemikiran dan kebudayaan,
Perang Dingin global dan pengaruh kapitalisme, dan komunisme sebagai
ideologi politis.
Masa itu adalah periode ketika gerakan Islam di Iran dipimpin oleh
Imam Khomeini, Syariati, dan yang lainnya sedang berjuang melawan
kediktatoran otoriter Shah Iran yang pro-Amerika. Di Pakistan,
Maududi dari Jamaat-e Islam, di Mesir Hasan al-Banna, Sayyid Qutb,
dan para pemimpin Ikhwan al-Muslimin; di Malaysia PAS, ABIM yang
dipimpin oleh Anwar Ibrahim; di Indonesia Muhamadiyah, Nahdlatul
Ulama dan sarjana dan aktivis Islam non-partisan Nurcholish Madjid
dan orang-orang lain; di Tunisia Rachid al-Ghannoushi. Mereka semua
giat menentang rezim-rezim sekuler otoriter yang dipimpin Zulfi qar
Ali Bhutto, Anwar Sadat, Suharto dan Ben Ali, dengan menegaskan
identitas Islam negeri-negeri mereka. Mereka memberi tekanan pada
81 Ibid, hlm. 109.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
96
penghargaan atas martabat manusia, demokrasi politis, penghilangan
korupsi, kebutuhan akan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi seksi
masyarakat yang miskin dan penambahan dimensi epistemologis
Islam (bukan hanya teologis) kepada pengetahuan, kepada proses
pendidikan.82 Mereka juga menyerukan kesatuan Sunni-Syiah.
Keberhasilan Revolusi Islam di Iran adalah dorongan besar
bagi semangat juang Muslim yang pada era itu berada di titik nadir.
Revolusi itu disambut umat Muslim diseluruh dunia, dampaknya
berupa desekularisasi politik, proyek Islamisasi pengetahuan, ekonomi,
perbankan, kesejahteraan sosial dan feminisme Muslim (kemunculan
hijab/cadar), dan sebagainya, memunculkan ketakutan akan ketakamanan
dan hilangnya kekuasaan global di kalangan adikuasa seperti AS, Rusia,
dan rezim-rezim tak demokratis di Dunia Ketiga.
Di tengah-tengah hal ini, Imam Khomeini menyerukan
pembangunan kesatuan Syiah-Sunni. Dalam pesannya kepada jemaah
Haji pada 1980, yang masih valid bagi kita pada abad ke-21,83 Imam
Khomeini menyerukan:
1. Kesatuan persaudaraan Muslim berdasarkan kepercayaan besarama
pada tauhid—kepercayaan religius fundamental yang dianut oleh
semua Muslims;
2. Muslim perlu menyadari rencana-rencana musuh untuk
menyemaikan perselisihan di kalangan Muslim;
3. Kewaspadaan Muslim terhadap program-program nasionalisme
di dalam negeri-negeri Muslim yang bertujuan menciptakana
permusuhan di antara umat Muslim berdasarkan identitas nasional
dan etnis;
4. Perlu sadar akan rencana-rencana jahat yang menciptakan
perselisihan di antara kaum Sunni dan Syiah, ketika faktanya bahwa
mereka sama-sama percaya pada Allah yang sama, nabi yang sama
dan Alquran yang sama.
Dalam konteks ini, Imam Khomeini berkata:
Saudara Sunni kita di dunia Muslim harus mengetahui bahwa agenagen
adikuasa yang sangat jahat tidak menginginkan kesejahteraan
Islam dan Muslim. Umat Muslim harus menjauhkan diri dari
mereka, dan jangan mengacuhkan propaganda mereka yang pasti.
Saya merentangkan tangan persaudaraan kepada semua orang
82 Mansoor Moaddel, Islamic Modernism, Nationalism and Fundamentalism (Chicago: University
of Chicago Press), 2005.
83 Ruhollah Khomeiniand Hamid Algar, Islam and Revolution: Writings and Declaration of Imam
Khomeini (Berkeley, CA: Mizan Press, 1981) h. 300-306.
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
97
Muslim di dunia yang bersungguh-sungguh dan meminta mereka
menganggap kaum Syiah sebagai saudara yang dihargai dan dengan
demikian menggagalkan rencana-renacana jahat pihak asing.84
Sayangnya, ketidakwaspadaan kaum Muslim, ketidaktahuan atau
misinformasi tentang hal-hal di atas menghasilkan masalah-masalah
tragis buat kaum Muslim yang mengakibatkan pelemahan dan
pemisahan ummah oleh kekuatan-kekuatan terorisme dari dalam dan
dari luar. Sekarang waktunya untuk menanggapinya secara dinamis.
Dalam membangun taqrib, Imam Khomeini berkata:
Hari ini, perdamaian dunia sedemikian rupa sehingga semua
negeri berada di bawah pengaruh politis para adikuasa; mereka
menjalankan melakukan pengendalian di mana-mana dan
mempunyai rencana untuk mengalahkan setiap kelompok.
Yang paling penting dari rencana-rencana ini adalah menabur
perselisihan di kalangan saudara.
Umat Muslim harus bangun, Muslim harus waspada bahwa jika terjadi
percekcokan di kalangan saudara Sunni dan Syiah, itu berbahaya bagi
kita semua, berbahaya bagi semua Muslim. Orang-orang yang ingin
menabur percekcokan bukan Sunni juga bukan Syiah, mereka adalah
agen-agen adikuasa dan bekerja untuk mereka.
Orang-orang yang berusaha menyebabkan percekcokan di kalangan
saudara Sunni dan Syiah adalah orang-orang yang berkonspirasi
untuk musuh-musuh Islam dan ingin musuh-musuh Islam menang
atas umat Islam. Mereka adalah para pendukung Amerika dan
sebagian adalah pendukung Uni Soviet.
Saya berharap dengan mempertimbangkan ajaran Islam ini—bahwa
semua Muslim bersaudara—semua negeri Islami akan menang
melawan adikuasa dan berhasil dalam mewujudkan semua syariat
Islam. Umat Muslim bersaudara dan tidak akan dipisahkan oleh
propaganda-palsu yang disponsori oleh unsur-unsur yang korup.
Sumber masalah ini—bahwa Syiah harus berada di sisi yang satu
dan Sunni di sisi yang lain—di satu sisi adalah ketidaktahuan dan
di sisi lain adalah propaganda pihak asing.
Jika persaudaraan Islam mengemuka di kalangan negeri-negeri
Islam, yang demikian akan menjadi suatu kekuatan besar yang
tidak akan dapat dihadapi kekuatan global manapun. Saudara
Syiah dan Sunni harus menghindari segala jenis perselisihan. Hari
ini, percekcokan di antara kita hanya akan menguntungkan orangorang
yang tidak mengikuti Syiah maupun Hanafi . Mereka tidak
menginginkan yang ini atau yang itu ada, dan mengetahui cara
untuk menabur perselisihan di antara kalian dan kami. Kita harus
memperhatikan bahwa kita semua adalah Muslim dan kita semua
percaya pada Alquran; kita semua percaya pada Tauhid dan harus
bekerja untuk mengabdi pada Alquran dan Tauhid.85
84 Ibid, hlm. 302.
85 “Syiah-Sunni Unity in the Opinion of Imam Khomeini tersedia di: http://www.introducingislam.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
98
Lebih jauh lagi, Imam Khomeini juga berkata:
Wahai umat Muslim! Menjauhlah dari Para Pemecah-belah! Wahai
kamu Muslim yang perkasa! Sadarlah! Kenali dirimu dan biarkan
dunia mengenal engkau. Sisihkan perselisihan sektarian dan regional,
yang telah diciptakan oleh kuatan-kekuatan yang menelan-Dunia
dan para agen korup mereka dengan maksud merampas dan
memperdagangkan kehormatan manusiamu dan Islammu.
Buanglah, sesuai dengan pengadilan Allah, Yang Maha Tinggi, dan
Alquran Yang Mulia, para pemecah-belah, seperti akhunds bayaran
dan kaum nasionalis yang tidak tahu apa pun tentang Islam dan
kepentingan-kepentingan umat Muslim. Kejahatan orang-orang
ini kepada Islam tak kurang dari kejahatan para penelan-dunia.
Mereka mengacau-balaukan Islam dan meratakan jalan bagi para
perampas. Semoga Allah, Yang Maha Tinggi, melepaskan Islam
dan negeri-negeri Muslim dari kejahatan para penelan-dunia dan
para agen yang bergabung dan terkait dengannya.
Mengenai Perbedaan Syiah dan Sunni, Khomeini berpendapat
sebagai berikut:
Jika terjadi suatu perselisihan di antara bangsa Iran dan bangsa-bangsa
lain, atau di antara saudara Sunni dan Syiah, itu akan merugikan kita
semua, semua umat muslim. Orang-orang yang ingin menyebabkan
perpecahan bukan Syiah ataupun Sunni. Mereka adalah para
pemimpin Adi Kuasa dan mereka yang sedang melayaninya.
Orang-orang yang mencoba menciptakan perpecahan di antara
saudara Sunni dan saudara Syiah kita, adalah kelompok-kelompok
yang menyusun rencana diam-diam dengan musuh Islam. Mereka
ingin membantu musuh-musuh Islam untuk mengalahkan umat
Muslim. Mereka adalah para pengikut Amerika, dan sebagian
adalah pengikut USSR. Umat Muslim, di mana pun mereka berada
harus sadar bahwa perpecahan di antara suatu negeri di ujung
terjauh dunia dan negeri lain di ujung dunia yang lain, tidak berarti
perselisihan lokal.
Dunia hari ini tidak seperti yang sebelumnya. Ia tidak akan merupakan
soal yang menyangkut bagian dunia yang itu saja. Jika ada perselisihan
di antara kalian saudara di Iran, itu akan menjadi perhatian seluruh
dunia, dan jika ada perselisihan para saudara Iran dan saudara Irak,
yaitu, bangsa Irak, ia merupakan soal yang menyangkut seluruh
dunia, bukan soal lokal di antara Iran dan Irak saja.
Hal itu dipertimbangkan di seluruh dunia, karena ada orang-orang
di dunia yang ingin menaruh keuntungan-keuntungan dunia di
kantongnya sendiri dan memaksakan pengendalian mereka ke
seluruh dunia, mereka mengeksploitasi segala perpecahan yang
mungkin terjadi di antara saudara Syiah dan saudara Sunni di
Iran. Demikian pula, jika terjadi perselisihan dintara saudara Iran
kita dan dan saudara-saudara yang ada di Pakistan, mereka juga
mengekploitasi situasi itu.
org/info/khomunity/title.php
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
99
Taziyat or Ashura
Akhir abad kesembilan belas foto Sheikh Ahmad Keluarga yang
Imambara, pertama kali dibangun pada tahun 1780-an dan direnovasi
pada tahun 1890.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
100
Kita harus bangun dan tahu bahwa pertimbangan ilahi mengatakan:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (Surah al
Hujurat: 10). Di antara mereka tidak ada selain persaudaraan, dan
mereka diwajibkan untuk bertingkah laku secara persaudaraan.
Membuat semua bangsa Muslim yang berjumlah hampir satu
milyar saling bersaudara satu sama lain adalah suatu nilai politis,
bila itu terjadi tidak ada kejahatahan yang akan menimpa mereka
dan tidak ada kekuatan Adi Kuasa yang akan melampaui mereka.
Wahai saudaraku! Perhatikan hal ini!
Mengenai Keharusan Menghindari Segala Perselisihan
Sekelompok Muslim adalah Syiah, sekelompok Muslim adalah
Sunni, sekelompok adalah Hanafi , sekelompok adalah Hanbali,
sekelompok adalah Akhbari. Pada dasarnya sejak awal kelirulah
mengusulkan ide seperti itu. Dalam suatu masyarakat di mana
semua orang ingin mengabdi pada Islam dan ada untuk Islam,
hal-hal demikian tidak boleh diusulkan. Kita semua bersaudara
dan bersama-sama. Hanya karena ulamamu mengeluarkan
sekumpulan fatwa dan kamu mengikutinya dengan cara meniru,
maka kamu menjadi Hanafi . Kelompok yang lain menjadi Shafi `i
dan mengikutinya. Kelompok lain lagi mengikuti fatwa Imam Sadiq
dan menjadi Syiah. Ini tidak boleh menjadi penyebab perbedaan.
Kita tidak boleh mempunyai perbedaan atau kontradiksi apa pun.
Kita semua adalah saudara.
Saudara Syiah dan Sunni harus menghindari segala perbedaan.
Hari ini, perbedaan-perbedaan kita diinginkan oleh orang-orang
yang tidak menganut Syiahisme maupun pada Hanafi atau pada
madzhab-madzhab lain. Mereka menginginkan yang ini atau
yang itu tidak ada. Cara mereka adalah menyebabkan perbedaan
di antara kita. Kita harus menyadari bahwa kita semua adalah
Muslim, pengikut Alquran dan tauhid, dan kita harus bekerja keras
untuk Alquran dan mengabdi kepada tauhid.
Mengenai Kerjasama Umat Islam, Khomeini berkata:
Mereka mencoba dengan sia-sia untuk menciptakan perpecahan.
Umat Muslim adalah saudara dan tidak akan dipecah-pecah oleh
propaganda jahat dari beberapa unsur yang korup. Asal-usul
persoalan mengenai Syiah dan Sunni, yang satu di sisi satunya dan
yang lain di sisi yang lain, disebabkan oleh ketaktahuan dan oleh
propaganda yang diusahakan oleh pihak asing.
Mereka bahkan menyebabkan perpecahan di kalangan Syiah
sendiri. Mereka juga melakukan hal yang sama di kalangan
madzhab-madzhab Sunni, mengadu domba kelompok yang
satu dengan yang lain. Hari ini semua madzhab Muslim sedang
menghadapi kekuatan-kekuatan setan yang ingin menumbangkan
Islam karena mereka tahu bahwa apa yang dapat membahayakan
mereka adalah Islam, dan bahaya terbesar adalah kesatuan bangsabangsa
Muslim.
Hari ini adalah hari ketika umat Muslim di seluruh dunia harus
bersatu. Hari ini bukan hari untuk suatu kelompok di suatu tempat
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
101
berkata: “Hanya kita”. Hari ini adalah hari ketika semua bersatu
berdasarkan aturan Islam dan Penilaian Alquran. Mereka tidak
berselisih. Perselisihan di kalangan Muslim, dalam bentuk apa
pun, dilarang oleh Alquran. Perselisihan akan membuat mereka
gagal dan menghapus kualitas-kualitas menarik dari manusia dan
bangsa. Ini adalah perintah Allah, sang Pemurah.
Orang-orang yang mencoba menciptakan perpecahan, tetapi
mengklaim sebagai Muslim, belum menemukan Islam yang Kitabnya
adalah Alquran, Islam yang qiblahnya adalah Ka`bah. Mereka tidak
percaya pada Islam. Orang-orang yang percaya pada Islam adalah
orang-orang yang menerima Alquran dan isinya, isi yang mengatakan:
“Orang-orang beriman sesungguhnya bersaudara”.
Karena itu mereka harus mematuhi apa yang diperlukan
persaudaraan. Persaudaraan menghendaki bahwa jika kemalangan
terjadi kepadamu semua saudara yang lain, di mana pun berada, harus
bersimpati kepadamu. Jika kamu bahagia, semuanya juga bahagia.86
Dengan kata lain, umat Muslim percaya kepada Allah yang
sama, nabi Muahammad yang sama dan Alquran yang sama
jadi mengapa harus ada perbedaan, konfl ik dan kekerasan
melawan satu sama lain? Sebaiknya harus ada toleransi antarreligius,
penghargaan kepada keberagaman dan dialog. Oleh
karena itu, kaum ulama, yang merupakan anggota berpengaruh
di masyarakat dan juga penjaga Islam, mempunyai pengaruh
langsung pada komunitas Muslim mulai dari desa hingga negeri,
diharapkan bertindak secara bertanggung jawab dan harus
menjadi sumber untuk pembangunan kesatuan bukan perpecahan.
Di sisi lain, para akademisi perlu melakukan hal yang sama
di bidang pendidikan untuk pembentukan kesatuan pikiran,
pemikiran dan masyarakat Muslim ditengah-tengah keberagaman.
Realitas sekarang ini bahwa dunia Muslim adalah korban
terorisme baik dari luar maupun dari dalam. Hal ini sebagain
besar disebabkan oleh campur tangan pihak luar dalam dunia
Muslim dan juga perpecahan Muslim. Hanya tekad Muslim kepada
kesatuan agama dan ummah dan bekerja untuk memajukan
ummatan Muhammadan yang dapat mempersiapkan kita untuk
menghadapi dan mengalahkan terorisme.
Kesimpulan: Membangun Budaya Melawan Perpecahan
Kaum Sunni di Asia Tenggara selalu kosmopolitan, moderat dan
toleran. Ia dibentuk oleh Sufi sme Persia- India ketika Islam menjadi
agama dominan di kawasan maritim Asia Tenggara. Makalah ini telah
menunjukkan bahwa Islam di Asia Tenggara selama ini bercirikan
multi-ethnik, multi-kultural karena ia hidup berdampingan secara
86 “Kesatuan Umat Muslim dalam Sudut pandang Imam Khomeini” tersedia di: http://abna.ir/data.
asp?lang=3&Id=179968
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
102
damai dengan Buddha, Hindu dan Kristen. Kemunculan sentimen anti-
Syiah di Asia Tenggara baru-baru ini sebagian besar disebabkan oleh
datangnya pengaruh-pengaruh teologi eksklusifi s dari Timur Tengah
disebar melalui distribusi penafsiran-penafsiran puritan atas Alquran,
himpunan hadist, kurma-kurma gratis selama bulan Ramadhan.
Ulama Asia Tenggara penting sekali untuk keluar dari kotakkotak
teologis tempat mereka dilatih entah itu di Timur Tengah atau
pun di Asia Tenggara. Pembentukan Komunitas ASEAN 2015 yang
akan datang dan kemajuan demokrasi tidak akan menguntungkan
umat Muslim Asia Tenggara yang menganut penafsiran sektarian yang
ekslusif atas Alquran dan hadist karena hal ini akan menyebabkan
pembentukan bias, kebencian, konfl ik dan kekerasan di antara Sunni
dan Syiah dan juga minoritas-minoritas lain di wilayah itu. Hanya
sikap dan praktek religius yang menganut kesatuan teologis—
Allah, Muhammad-Alquran sebagai basis identitas Muslim lah yang
memberi harapan baik bagi masa depan Muslim di Asia Tenggara.
Perlu diperhatikan nasehat Jamal al-Din al-Afghani, “Jangan penggal
kepala agama dengan pedang agama.”
Konfl ik sektarian Islam di Asia Tenggara akan menghancurkan
masa depan yang sedang menunggu kaum Muslim Asia Tenggara.
Asia Tenggara bersama dengan Cina terletak di zona dunia yang
maju secara ekonomis dan multikultural. Perpecahan Muslim di Asia
Tenggara akan menjatuhkan satu dari dua bagian ekonomi dunia
Muslim yang maju lainnya, yaitu Turki. Sudah waktunya bagi kaum
Muslim di Asia Tenggara untuk memikirkan secara kritis masa depan
mereka dengan menghindari dorongan konfl ik dan kekerasan antar-
Muslim. Negeri-negeri Muslim di Asia Tenggara dengan pengalaman
historis mereka yang kaya dengan pendekatan yang moderat kepada
Islam, keterbukaan kepada multikulturalisme dapat menjadi contoh
yang hebat bagi zona-zona kultural-linguistik Muslim lainnya di
zaman sekarang dan tantangan globalisasi. Pilihannya adalah di antara
penghancuran-diri atau pembangunan-diri melalui identitas religius
Muslim.
Sekarang waktunya untuk membangun budaya Muslim melawan
sektarianisme, hal ini dapat dilakukan dengan membangun dan
melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan Islam dan
kesatuan ummah. Para pembuat kebijakan harus tanggap terhadap
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
103
konfl ik sektraian di antara Sunni dan Syiah di Asia Tenggara dengan
tekad pada suara hati kesatuan Islam. Hal ini memerlukan: (1) toleransi
terhadap keberagaman dan menjalankan etika ketidaksepakatan,
tanpa menempuh kekerasan dan (2) memperkuat kesadaran kesatuan
Muslim. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong proses pendidikan
yang tidak menyebarkan bias sektarian dan prasangka di mana Islam
dipandang sebagai suatu peradaban dunia dengan kesatuan dalam
keberagaman; terdiri dari zona-zona linguistik kultural Persia, Arab,
Mesir, India, Afrika, Eropa, dan Asia Tengah yang membentuk
gabungan pandangan dunia dan kebudayaan Islam. Pendekatan
demikian kepada peradaban Islam oleh para politisi, pendidik,
dan ulama akan membantu menghapuskan keburukan perpecahan
Sunni-Syiah. Pencapaian pandangan dunia Muslim yang demikian
menghendaki upaya saling pengertian, dialog, ekumenisme, dan
toleransi. Sayangnya, umat Muslim sangat ketinggalan dalam kegiatan
ini dibanding kelompok-kelompok religius lainnya yang membuat
perselisihan sesama Muslim di antara Sunni dan Syiah menjadi bagian
permanen dari jiwa Muslim.
Tegangan-tegangan, konfl ik, dan kekerasan antarMuslim Sunni-
Syiah yang sekarang mulai dari Maghrib (Maroko) hingga Nusantara
atas nama sektarianisme adalah bertentangan secara langsung dan
jelas dengan ajaran Alquran yang sekali lagi menyatakan: “Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai” (Alquran 3: 103). Kalau tidak, kita
patut memperhatikan apa yang dikatakan Al-Afghani mengenai
pemenggalan kepala agama dengan pedang agama.[]
Daftar Pustaka
Abdo, Geneive, “The New Sectarianism: The Arab Uprisings and
the Rebirth of the Shi’a-Sunni Divide” di: http://www.
brookings.edu/research/papers/2013/04/sunni-shiadivide-
abdo
Algar, Hamid, “Ja’far al-Sadeq and Sufi sm” di http://www.
iranicaonline.org/articles/jafar-al-Shadiq-iii-and-Sufism.
Lihat juga Syed Farid Alatas, “The Ṭariqat al-Alawiyyah and
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
104
the Emergence of the Shi’i School in Indonesia and Malaysia”
dalam Oriente Moderno 18/2, 1999: 322-39.
Brunner, Rainer, 2005. Islamic Ecumenism In The 20th Century: The Azhar
and Shiism Between Rapprochement and Restraint, trans. Joseph
Greenman (Leiden: Brill Academic).
Crow, Karim D. dan Ahmad KazemiMoussavi, 2005. Facing One Qiblah
Legal and Doctrinal Aspects of Sunni And Shi “ah Muslims
(Singapore: Pustaka Nasional).
Daftary, Farhad, 1992. The Isma’ilis: Their History and Doctrines(Cambridge:
Cambridge University Press).
Esposito, John dan John Voll, 2001. Makers of Contemporary Islam
(Oxford: Oxford University Press).
Hazleton, Lesley, 2009. After the Prophet: The Epic Story of the Shia-Sunni
Split in IslamDoubleday.
Johns, A. H., “From Buddhism to Islam: An Interpretation of the
Literature of the Transition” dalam Comparative Studies in
Society and History, IX (1) October 1966, hlm.40-50. Lihat juga
Wayne A. Bougas, The Kingdom of Pattani: Between Thai
and Malay Mandalas. (Bangi: Institut Alamdan Tamadun
Melayu, 1994) hlm. 28-40.
Khomeini, Ruhollah dan Hamid Algar, 1981. Islam and Revolution:
Writings and Declaration of Imam Khomeini (Berkeley: Mizan
Press).
Litvak, Meir dan OfraBengio (Penyunting), 2011. The Sunna and Shi“a
in History: Division and Ecumenism in the Muslim Middle East,
Palgrave Macmillan.
Milner, A.C., “Islam and the Muslim State” dalam M. B. Hooker (ed.)
Islam in Southeast Asia (Leiden: E. J. Brill), hlm.39-44.
M. Ismail Marcinkowski, “Southeast Asia: Persian Presence in
Southeast Asia http://www.iranicaonline.org/articles/
southeast-asia-i
Moaddel, Mansoor, 2005. Islamic Modernism, Nationalism and
Fundamentalism (Chicago: University of Chicago Press).
Momen, Moojan, 1987. An Introduction to Shi`i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi`ism(New Haven: Yale University
Press).
Moosa, Matti, 1987. Extremist Shiites: The Ghulat Sects(Syracuse:Syracuse
University Press).
PENGARUH HISTORIS PERSIA PADA ISLAM DI ASIA TENGGARA
DAN KESATUAN UMAT MUSLIM
105
P. J. Zoetmulder, 1995. Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature:
Islamic and Indian Mysticism in an Indonesian Setting, ed. M.C.
Ricklefs (Koninklyk Instituut Voor Taal Land).
Rahmena, Ali,2006. ( Penyunting) Pioneers of Islamic Revival (2nd Edition),
Zed Books.
Van Bruinessen, Martin, “Studies of Sufi sm and the Sufi Orders in
Indonesia,” Die Welt Des Islam, Band XXXVIII, 2, 1998,
_________, “Origins and Development of the Sufi Orders (Thariqah) in
Southeast Asia” dalam StudiaIslamika, 1 (1) 1994: 1-23.
Yunos, Rozan, “The Golden History of Islam in Brunei” 8 March 2010
http://news.brunei.fm/2010/03/08/the-golden-history-ofislam-
in-brunei/
Watt, William Montgomery, 1998. The Formative Period of Islamic
Thought(London: OneWorld).
Yusuf, Imtiyaz, “Islam and Democracy in Thailand: Reforming the
Offi ce of Chularajamontri atau Syaikh al-Islam” dalam
Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies) 9
(2) July 1998: 277-298
_________, “The Role of the Chularajmontri (Shaykh al-Islam) in
Resolving Ethno-Religious Confl ict in Southern Thailand”
dalam American Journal of Islamic Social Sciences, 27 (1) 2010:
31-53.
_________, “Chularajmontri ( Syaikh al-Islam) and Islamic
Administrative Committees in Thailand” dalam Oxford
Islamic Studies Online. Oxford Islamic Studies Online,
http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t343/
e0020.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
106
Makam Sheikh Ahmad Qumi di Pusat Kota Tua Ayutthaya, Thailand
Kuburan Orang-Orang Syiah di Ayutthaya, Thailand
Perayaan Taziyat di Bangkok, Thailand Memperingari Syahidnya
Iman Husein
109
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA
SAMPAI SEKARANG
Julispong Chularatana
Pengantar Artikel ini bertujuan mempelajari dan menganalisis status dan
perkembangan kaum Syiah, Muslim minoritas, di Thailand
mulai abad ke-16 sampai sekarang. Muslim Syiah di Thailand
dikembangkan dan dipisahkan secara informal ke dalam dua kelompok.
Kelompok asli yang menyebut dirinya “Chao Sen”, yang berarti
pengikut Imam Husein, keturunan dari leluhur Muslim Syiah Indo-
Iran yang berasal dari Iran dan Negara-negara Syiah India semasa awal
abad keenam belas. Kelompok lainnya, yang disebut oleh kelompok
asli sebagai “Shi-a Mai”, artinya kaum Syiah Baru, yang dikonversi dari
kepercayaan lain ke dalam Syiahisme di bawah pengaruh kebangkitan
kembali Syiah setelah Revolusi Islam di Iran pada 1979.
Syiahatau Syiahisme adalah denominasi Islam terbesar kedua
setelah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni. Kaum Syiah taat kepada
ajaran-ajaran Nabi Muhammad dan bimbingan religius keluarga atau
keturunannya yang dikenal sebagai para Imam Syiah. Garis keturunan
Nabi Muhammad berlanjut hanya melalui puteri tercintanya, Fatimah
az-Zahra dan kemenakannya Ali bin Abu Thalib bersama para cucu
lelaki Muhammad. Kaum Syiah percaya bahwa Ali, bukannya Abu
Bakar yang seharusnya menggantikan Nabi Muhammad sebagai
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
110
khalifah. Oleh karena itu, kaum Syiah menganggap para imam,
keturunan Nabi Muhammad, sebagai sumber tuntunan sejati seraya
menganggap tiga khalifah Sunni pertama yang berkuasa sebagai
kejadian historis dan tidak ada kaitannya dengan iman.
Kaum Syiah bermula sebagai suatu gerakan politis yang mendukung
Imam Ali sebagai pemimpin sah negara Islam. Legitimasi klaim ini,
sebagaimana yang mula-mula dimimpikan para pendukung Imam Ali,
didasarkan pada penunjukan Imam Ali yang diduga dilakukan oleh
Muhammad untuk menjadi penerusnya. Ini lantaran sifat adil Imam Ali,
adat- kebiasaan, kesukuan dan hubungannya yang dekat dengan Nabi.
Akan tetapi, benih Syiah muncul terutama karena pembunuhan Imam
Husein, putera Imam Ali, yang dibunuh di Karbala (Irak sekarang) pada
681 Masehi oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah, khalifah dari Bani Umayah
Kedua, ketimbang oleh pembunuhan Imam Ali pada 661 Masehi.
Pembunuhan Husein memulihkan ke dalam agama motif ledakan emosi
yang kuat, yang merasuki Syiahisme secara menyeluruh.87
Pada pertengahan abad ke-15, Dinasti Safavid di Iran menganut
Syiah, dan gerakan mereka menjadi sangat berwatak milenaris. Pada
1501, di bawah pemimpin mereka Ismail I, Dinasti Safavid merebut
kekuasaan di Tabriz, yang kemudian menjadi ibukotanya. Ismail
diproklamirkan sebagai Shah Iran. Munculnya Dinasti Safavid
menandai kemunculan kembali suatu otoritas pusat yang sangat kuat
di Iran dengan tapal batas geografi s yang dicapai oleh kekaisarankekaisaran
Iran terdahulu. Dinasti Safavid mendeklarasikan Syiah
sebagai agama negara, dan menggunakan konversi agama dan paksaan
untuk mengkonversi mayoritas besar Muslim di Iran menjadi Syiah.88
Sekarang ini, porsi besar dunia Syiah ada di Timur tengah. Populasi
Syiah di Timur Tengah merupakan mayoritas di Yaman, Azerbaijan, Irak,
Bahrain, dan khususnya Iran. Di Iran, 90% populasi adalah kaum Syiah,
ini merupakan persentase Muslim Syiah tertinggi di seluruh dunia. Di
Lebanon, kaum Syiah membentuk suatu pluralitas, dan mereka tetap
merupakan minoritas yang berarti seperti di Afganistan, Syiria, India,
Pakistan, Turki, dan Yaman. Di kalangan negara-negara Teluk Persia
87 Donzel 1994: 412.
88 Thaba’thabai 1989: 66. Shah Ismail I mengumumkan bahwa Syiah Itsna Asyariyahresmi
menjadi agama dari Dinasti yang didirikannya pada tahun 1501. Sebagaimana diketahui, Itsna
Asyariyahberada di jantung salah satu kekuatan para pemimpin Dinasti Safavid, yaitu klaim
mereka sebagai wakil dari Imam ke-12 atau Al-Mahdi. Lihat Savoy 1980: 27.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
111
juga ada minoritas Syiah dengan jumlah signifi kan, Qatar, Kuwait
(~30%) and Uni Emirat Arab (~16%), begitu pula (Provinsi Timur ~33%)
Saudi Arabia.89 Kira-kira 20% populasi Muslim India adalah Syiah, dan
komunitas-komunitas Syiah yang signifi kan ada di wilayah-wilayah
pantai Sumatra Barat dan Aceh di Indonesia.90 Kehadiran Syiah tidak
bisa diabaikan di tempat lain di Asia Tenggara, di mana umat Muslim
terutama beraliran Sunni Syafi ’i.
Selain itu, beberapa Muslim Syiah membangun komunitas mereka
di luar negeri-negeri Islam termasuk Thailand. Meskipun mereka
merupakan minoritas di kalangan Muslim, mereka mempunyai
hubungan yang kuat dan erat dengan masyarakat Thai selama lebih dari
empat ratus tahun. Tujuan utama artikel ini adalah menjelaskan dan
mendiskusikan status dan perkembangan Muslim Syiah di Thailand
sejak pendirian komunitas mereka yang pertama pada penghujung
abad ke-16 Masehi sampai sekarang ini.
Muslim di Ayutthaya
Kita telah mengetahui bahwa orang Muslim telah berhubungan
dengan daratan Asia tenggara melalui rute perdagangan laut dari Afrika,
Arabia, dan Persia via India lebih dari seribu tahun yang lalu karena Siam91
terletak di rute perdagangan laut internasional dari Iran menuju Cina.
Mereka mendirikan komunitas-komunitas mereka di kota pelabuhan
Siam sebelum abad ke-16 Masehi. Menurut Duarte Barbosa, laporan
pengelana Portugis pada awal abad ke-16, beberapa saudagar Muslim
dari Arabia, Iran, India, Nusantara Melayu, dan Indonesia bergabung
dalam perdagangan asing dengan orang Cina dan rakyat lokal di kotakota
pelabuhan laut barat Ayutthaya,92 ibu kota terdahulu Kerajaan Thai.
Suma Oriental, karya Tomé Pires, pengelana Portugis lainnya,
mencatat tentang pemukiman orang Muslim yang berasal dari banyak
kebangsaan di sepanjang bandar-bandar Siam, termasuk orang Arab,
Persia, Bengalis, banyak orang Keling (Muslim dari India Tenggara),
Cina, dan dari kebangsaan lainnya.93 Fernao Mendes Pinto, seorang
89 Encyclopedia of the Middle East, Vol. 4: 1652-1653.
90 During the 1980s and 1990s, many Malaysians and Indonesians (mostly former Sunnites) were to
be found at the theological study centers of Qum in Iran. See Marcinkowski 2005: 17.
91 “Siam” berarti Kerajaan Thai Kuno. Istilah ini digunakan dibanyak dokumen semasa periode
Ayutthaya dan Ratanakosin Awal.
92 See Barbosa 1967: 164-165.
93 Cortesao 1990: 109.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
112
pengelana Portugis yang menerobos Siam pada pertengahan abad ke-
16, menulis tentang dua marsekal Turki yang hidup di Ayutthaya dan
memimpin pasukan asing yang bergabung dengan tentara Siam pada
1547-1548.94 Dia juga menyebutkan bahwa ada tujuh mesjid untuk
orang Turki dan Arab, dan kira-kira 30,000 tempat kediaman “Bangsa
Moor” (kaum Muslim) di ibu kota Siam.95 Jadi ada kemungkinan
bahwa orang Muslim telah mendirikan komunitas-komunitas mereka
di banyak kota di Siam sebelum abad ke-16.
Ayutthaya adalah ibu kota Kerajaan Thai sejak 1350 Masehi hingga
1767 Masehi. Ia terletak di bagian Tengah negeri Thailand dan tempatnya
adalah pulau yang dikelilingi sungai-sungai alami yang membantu
melindungi kota itu dari musuh-musuh dan menghubungkannya
dengan derah pedalaman dan laut melalui cabang-cabang sungai itu.
Kota Ayutthaya bukan hanya merupakan pusat administrasi dan politik
Kerajaan Thai, tetapi juga untuk perdagangan dan perniagaan. Selama
400 tahun, Dunia Timur menerobos Ayutthaya. Barang-barang dari
kekaisaran-kekaisaran niaga yang besar, Cina dan Jepang di timur, dan
India dan Persia di barat lalu-lalang melalui Siam. Dengan demikian,
orang-orang Muslim dari bangsa-banga yang berbeda pergi ke negeri
itu untuk berdagang dan maksud-maksud lain serta menempatkan
komunitas-komunitas mereka di negeri itu bila dimungkinkan.
Orang Siam menyebut aneka kelompok Muslim itu secara
keseluruhan dengan istilah “khaek”. Istilah ini dulu digunakan untuk
menyebut orang-orang yang berasal dari Barat Thailand yaitu orang
India, Iran, Arab, atau orang-orang dari Timur Tengah, yang terutama
beragama Islam. Kebangsaan-kebangsaan lain yang datang dari Barat
yang bukan Muslim, tetapi bukan Eropa, juga tergolong dalam kategori
“khaek”, misalnya untuk orang Hindu khaek. Kemudian, orang Melayu
juga disebut “khaek”. Dari dokumen-dokumen dan bukti-bukti dalam
sejarah Thailand, para imigran “khaek” yang masuk ke Siam dapat
dipisahkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari
orang-orang beragama Islam atau juga disebut Muslim, misalnya. khaek
Melayu, khaek Cham, khaek Yawa (khaek Jawa), khaek Makasar dan khaek
Chao Sen (khaek Mankhon atau Muslim Syiah). Kelompok-kelompok
lainnya adalah yang beragama lain, misalnya khaek Brahman, khaek
94 Aires 1904: 63-65.
95 Ibid.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
113
Hindu dan khaek Sikh. Orang Siam dulu menggunakan istilah “khaek”
dalam arti orang asing, dan belakangan berarti orang-orang dari Barat
yang bukan orang Eropa.96
Ada tiga kelompok atau komunitas besar Muslim di kota
Ayutthaya. Pertama adalah komunitas-komunitas di tepi Sungai Chao
Phraya, sungai terbesar di Thailand, yang menghadap tembok kota
bagian selatan dan tenggara. Kelompok kedua adalah komunitaskomunitas
yang ada di dalam tembok kota bagian luar dekat kanalkanal
atau sungai, dan kelompok ketiga adalah komunitas-komunitas
yang ada di dalam tembok kota. Akan tetapi, ada orang-orang Muslim
lain yang menyebar di sekitar wilayah-wilayah lain, tetapi terutama
di dekat sungai atau kanal, atau wilayah-wilayah perdagangan atau
pasar-pasar yang berhubungan dengan komunitas-komunitas kota.
Orang Muslim Kelompok Melayu Chamdan Nusantara Asia
Tenggara
Mereka yang bertempat tinggal di dalam komunitas-komunitas
di sepanjang tepi sungai Chao Phraya yang menghadap tembok kota
bagian selatan dan tenggara adalah Muslim ras Melayu atau Muslim
dari Negara-negara di Semenanjung Malaya, Muslim dari Negara
Makasar Nusantara Indonesia, dan Muslim Cham. Orang-orang Muslim
ini terdiri dari para pedagang dan pelarian politik yang pindah ke negeri
itu. Karena itu, mereka mempunyai profesi dan kelas yang beragam.97
Orang-orang Muslim dari Semenanjung Malaya yang menetap
di Siam berderet mulai dari para saudagar hingga budak.98 Ada juga
tawanan perang dari konfl ik-konfl ik yang kadang-kadang terjadi di
antara negara-negara Muslim di Semenanjung Malaya dan Siam.99
Sebagian besar saudagar Melayu berada di komunitas-komunitas
yang ada di sepanjang tepi sungai dengan akses yang mudah untuk
perdagangan. Sebagian lagi tinggal di luar tembok kota, di selatan,
96 Saranukrom Thai Chabab Raja Bandithayasadhan (The Thai Encyclopedia of the Royal
Institute)4 (1969): 2273-2272.
97 Julispong Chularatana, “Muslim Communities during the Ayutthaya Period” dalam Manusya,
10(1) March 2007: 94.
98 “Khamhaikan Khunluang Wat Pradusongtham Ekasan jak Horluang,” hlm. 7; menurut Suma
Oriental karya Tomé Pires, sebagian saudagar dari Pattani, Kedah, Kelantan, dan Trangganu
telah berdagang dengan orang Cina dan Moor di bandar-bandar Siam. Beberapa jenis barang
dari Melaka, yang diperdagangkan di Siam, termasuk pria dan wanita budak Melayu. Lihat
Lach dan Flaumenhaft 1997: 84.
99 Teeuw dan Wyatt 1970: 228-235.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
114
bersebelahan dengan komunitas-komunitas Cham. Orang-orang
Muslim dari negara-negara Nusantara Asia tenggara, yaitu Jawa dan
Makasar adalah saudagar dan pelarian politis kerena negara-negara
Muslim diserbu oleh Belanda atau karena perebutan kekuasaan di
kalangan mereka sendiri.100
Orang Cham atau khaek Cham, berasal dari Vietnam selatan di
wilayah segitiga di muara Sungai Mekong. Sekelompok orang pindah
untuk menetap di Ayutthaya mulai dari periode awal Ayutthaya, bersama
komunitas-komunitas yang ada di muara kanal Ku Cham, atau di dalam
dokumen-dokumen lama “Pata Khu Cham” berarti “Desa Orang Cham”101
yang terletak di selatan kota Ayutthaya di dekat Wat Buddhai Sawan.102
Wilayah ini dipandang sebagai salah satu dari empat pasar terbesar di
sekitar kota.103 Orang Cham datang ke Siam secara periodik, sebagian
untuk berdagang dan sebagian lagi karena masalah-masalah politik
karena Kerajaan Champa pada waktu itu diserbu oleh Vietnam pada
akhir abad ke-16, sehingga sejumlah rakyat Cham terpaksa lari ke Jawa,
Malaya, dan Kamboja dan Siam.104 Selain itu, orang Cham yang pindah
ke Kamboja dijadikan tawanan ketika tentara Siam menyerbu Kamboja.105
Ketika semakin banyak pengungsi tiba, komunitas-komunitas itu meluas
100 Hall 1994: 346-347.
101 “Pata”, kata Kamboja, berarti kemah atau desa, dengan demikian “Pata khu Cham” adalah desa
orang-orang Cham. Kata itu dikutip dalam Phra Racha Phongsawadan Krung Koa Chabab
Luang Prasoet (Kronik Kerajaan Ayutthaya versi Luang Prasoet) yang pada 1409 Raja Ram
Racha (1395-1409 A.D.) memerintahkan penahanan Okya Mahasena (Menteri Negara) karena
perlawananya, tetapi dia dapat lolos dari tangan raja dengan menyeberangi sungai menuju Pata
khu Cham. Kemudian dia mendukung Raja Nakarintratiracha, saudara sepupu Raja Ram Racha
dan penguasa kota Supanburi, untuk bertempur dalam menumbangkan sepupunya dari takhta.
Setelah Raja Nakarintratiracha menguasai kerajaan, dia mengusir sepupunya untuk hidup di
Pata khu Cham sampai sekarang. Lihat Phra Racha Phongsawadan Krung Sri Ayutthaya Chabab
Luang Prasoet lae Chabab Kromphra Paramanuchit (Kronik-kronik versi Kerajaan Ayutthaya
Luang Prasoet dan versi Pangeran Paramanuchit, 1961: 4; Kongchana 1981: 71.
102 Namanya berarti “Kuil Gusti Buddha dari Sorga”.
103 Empat pasar terapung yang terkenal disekitar kota Ayutthaya adalah Nam Won Pasar Ban
Kraja di depan Kuil Pranang Chueng, Pasar Pak Klong Ku Cham di dekat komunitas Cham,
Pasar Ku Mai Rong dan Pasar Pak Klong Wat Derm (kuil Ayotthaya) di dekat kuil Cina. Lihat
Khamhaikan Khunluang Wat Pradusongtham Ekasan Jak Horluang, hlm. 3.
104 Hall, hlm.218; Scupin 1980: 68.
105 Orang Muslim Cham berasal dari kerajaan Champa di selatan Vietnam sekarang yang telah
diserbu orang Vietnam selama abad ke-14-15. Mereka dipaksa pindah dari tanah airnya ke
negeri-negeri tetangga. Sebagian dari mereka pindah ke Kamboja dan mendirikan komunitas
mereka di Kampong Thom dan Kampong Cham di dekat Sungai Mekong. Mereka dipaksa
pindah ke Ayutthaya ketika pasukan Siam menyerbu Kerajaan Kamboja pada abad ke-15.
Lihat Plubplung Kongchana, “Historical Development of Cham Communities in Ayuttahya”,
hlm.71; Whitaker 1973: 73; Scupin, hlm. 68.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
115
menetap di sepenjang kedua sisi kanal Ku Cham. Komunitas-komunitas
Cham berada di dekat orang-orang Muslim yang berasal dari Malaya dan
Makasar karena mereka adalah Muslim Sunnidari sekte yang sama.106
Dari bukti asing semasa pemerintahan Raja Narai (1656-1688)
di Siam, disebutkan bahwa kelompok orang Muslim ini adalah yang
terbesar.107 Misionaris Prancis, Nicolas Gervaise, yang datang ke
Ayutthaya semasa pemerintahan Raja Narai pada 1683 mencatat
bahwa orang Melayu di Siam berjumlah lebih banyak daripada
kelompok-kelompok Muslim lainnya108 dan bahwa kelompok Muslim
ini adalah para saudagar, kru kapal, perajin, petani, dan pegawai sipil.
Para pedagang dan kru kapal berhubungan dengan banyak saudagar
Muslim yang merupakan pemilik kapal karena orang Melayu juga ahli
dalam pengapalan barang-barang seperti orang Cham.109
Kam Haikarn Kun Luang Wat Pradu Songtham, Kesaksian Raja
Uthumporn110 menyatakan bahwa khaek Melayu-Jawa datang dengan
kapal untuk berdagang dengan Siam secara teratur setiap tahun.
Wilayah muara kanal Ku Cham adalah lokasi bagi para saudagar Muslim
dari Jawa dan Malaya yang menjual buah pinang, rotan, dan keranjang
lainnya, dan barang-barang dari selatan.111 Para pelanggannya terdiri
dari saudagar Cina, khaek, Prancis, Inggris, Belanda, dan Portugis.
Kelompok Muslim yang lain adalah perajin yang menenun pakaian
dan kesetan, orang Melayu yang membuat tali kabin dari sabut kelapa
dan mematri jangkar-jangkar kapal untuk dijual kepada para kapten
kapal orang asing. Kelompok orang Muslim yang lain tentunya petani
karena ada produksi komunitas yang merupakan mata pencaharian
penduduk lokal yang berkelanjutan berupa beras, produk pertanian,
dan peternakan hewan.112
106 Chularatana, hlm. 94; Sebagian besar dari mereka adalah aliran hukum Syafi ’I dari madzhab Sunni.
107 Loubère 1969: 112.
108 Gervaise1989: 58.
109 Chularatana, hlm.96.
110 Raja Uthumporn adalah adik Raja Ekathat, Monark terakhir Ayutthaya. Setelah keruntuhan
Ayutthaya oleh tentara Burma, Raja Ekathat wafat tetapi adiknya tertangkap dan dipindahkan
secara paksa ke Burma sebagai tawanan perang. Dikemudian hari, dia ditanyai tentang kisah
Ayuttaya yang dicatat di dalam kesaksiannya.
111 “Khamhaikan Khunluang Wat Pradusongtham Ekasan jak Horluang” (Testimony of King
Utoumporn from the Royal library),” dalam Winai Pongsripean (Penyunting), Kormun
Prawatisart Thai Samai Ayutthaya jak Ekasarn Thai lae Tangprated (Sejarah Ayuttaya dari
dokumen-dokumen Thai dan Barat) 1985: 7.
112 Plubplung Kongchana menjelaskan bahwa komunitas-komunitas Cham pada periode
Ayutthaya yang terletak di dekat kanal Khu Cham adalah masyarakat yang bertani. Mereka
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
116
Profesi lain kelompok Muslim ini adalah pegawai sipil, seperti yang
ditunjukkan dalam Phra Aiyakan Tamnaeng Na Tahan Hua Muang (Hukum
Militer dan Hierarki Propinsi)113 yang menyebutkan “Krom Asa Cham”
(Korps Relawan Cham) sebagai suatu divisi Kementrian Pertahanan
dengan Phraya Raj Wangsan sebagai Chao Krom (Kepala Divisi),114 yang
bertanggung jawab atas para relawan Cham yang terdiri dari orangorang
Muslim Cham dan keturunan Melayu.115 Bagian-bagian orang
Muslim di dalam komunitas ini adalah pegawai sipil di dalam kota.
Kesaksian Raja Uthumphon menyebutkan bahwa di dalam wilayah di
muara kanal Ku Cham, ada tha nam (kapal tambang) yang penting, yang
disebut Phraya Raj Wangsan tahnam dulu digunakan untuk menyeberang
di antara sisi selatan dan bagian dalam ibu kota.116 Konon kapal tambang
itu bertempat di dekat rumah Phraya Racha Wangsan, kepala divisi Krom
Asa Cham, yang bertanggung jawab atas komunitas-komunitas Cham di
Ayutthaya. Bagian orang Muslim Cham dan Melayu yang merupakan
pegawai sipil di Krom Asa Cham harus menggunakan kapal tambang ini
untuk bepergian di antara bagian dalam tembok kota dan komunitaskomunitas
mereka di kanal Khu Cham.
Kelompok Khaek Thet
Orang-orang Muslim dari Pattani dan Kelompok-kelompok
Muslim dengan perusahaan-perusahaan kecil berdiam di dalam
komunitas-komunitas di dekat tembok kota bagian luar, dekat kanalkanal
atau sungai-sungai di selatan pulau kota. Mereka adalah Khaek
Tani (Muslim Pattani) dan khaek thet. Khaek thet mungkin adalah orang
Arab Sunni atau Muslim India yang berdiam di wilayah tha Kayi yang
merupakan wilayah khaek lama di Ayutthaya. Mereka membangun
rumah di pinggir ibu kota di Timur dan Selatan.117 Kelompok orang
Muslim ini terdiri dari para saudagar kecil yang berjualan di pasarpasar
kota dan juga orang-orang yang berjualan dari atas kapal yang
berlabuh di sekitar Pasar Ban Nam Won Bang Kracha.
menanam padi yang mengambang di tepi kanal di dekat desa-desa mereka. Lihat Plubplung
Kongchana, “Perkembangan Historis Komunitas-komunitas Cham di Ayuttahya,” hlm. 77.
113 Phra Aiyakan Tamnaeng Na Tahan Hua Muang adalah regulasi yang tercantum dalam hukum
kuno Ayutthaya.
114 Ranking dalam birokrasi Ayutthaya dari bawah hingga atas terdiri dari Chao Phraya, Phraya,
Phra, Luang, Kun, Muen, Pan.
115 Kotmai Tra Sam Duang Lem 1 (Law of the Three Seals Vol. I), hlm.308.
116 “Khamhaikan Khunluang Wat Pradusongtham Ekasan jak Horluang,” hlm.2.
117 Diwongsa 1987: 19.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
117
Wilayah Pasar Ban Nam Won Bang Kracha pada waktu itu adalah
gabungan dua sungai, yaitu Sungai Chao Phraya dan Sungai Pasak, di
Tenggara kota Ayutthaya. Ia merupakan rute bagi para saudagar lokal
untuk mengirim barang dagangan dari utara untuk dijual, dan para
saudagar asing akan membawa kapal-kapal mereka untuk bongkar
muatan dan membeli barang-barang lokal. Orang Muslim di wilayah
ini terutama adalah saudagar dan dan perajin, yang membangun
rumah mereka di sepanjang Sungai Chao Phraya. Para saudagar akan
berdagang dengan kapal-kapal asing dan pada saat yang bersamaan
membeli barang-barang untuk dijual di pasar-pasar kota itu.118 Para
perajin yang merupakan khaek thet dan khaek Melayu membuat tali
kabin dari sabut kelapa dan mematri jangkar kapal untuk dijual kepada
para kapten kapal asing. Lainnya adalah Khaek Tani yang tinggal dekat
Wat Lodchong dan merupakan penenun kain sutra dan katun, baik
yang polos maupun yang berpola, untuk dijual.119
Komunitas-komunitas Muslim di Peta Kota Ayutthaya
Dimodifi kasi dari Derick Garnier, Ayutthaya: Venice of the East
(Bangkok: River Books, 2004), hlm. 146-147.
118 Khamhaikan Khunluang Wat Pradusongtham Ekasan jak Horluang mengutip bahwa ada
toko-toko “khaek thet” (orang Muslim dari negeri di sebelah barat Siam) tempat mereka
menjual barang-barang perhiasan dan dan kuningan, di Pasar Shikun di dalam tembok kota.
Lihat“Khamhaikan Khunluang Wat Pradusongtham Ekasan jak Horluang,” hlm.15.
119 Ibid, hlm.7.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
118
Orang Muslim Indo-Iran
Orang-orang Indo-Iran berdiam di dalam tembok kota dan terdiri
dari Muslim berkebangsaan Iran, Arab, Turki, dan India. Mereka
bercampur dalam etnisitas dan kebudayaan dan dikenal sebagai
“Muslim Indo-Iran”. Mereka adalah “Muslim dari ras Iran and India,
termasuk orang-orang berdarah campuran Iran dan India”. Akan tetapi,
sulit untuk menentukan etnisitas kelompok ini yang sesungguhnya
karena Iran adalah tempat yang sampai tingkat tertentu dihuni banyak
ras yang sudah bercampur-baur,120 sebagaimana dengan orang Muslim
di India yang merupakan campuran di antara penduduk lokal dan
orang Muslim dari Arabia, Turki, dan Iran.121
Rute-rute perdagangan laut India menghubungkan Teluk Persia
dengan India bagian selatan, mendorong perpindahan manusia dan
ide-ide di antara kedua wilayah. Para bangsawan, administrator,
golongan militer, dan cendikiawan membanjiri Deccan, semasa abad
ke-13.122 Secara diplomatis dan kebudayaan, elit India selatan menjadi
tergantung kepada Iran di bawah kekuasaan Dinasti Safavid pada
abad ke-16. Semasa negara-negara yang diperintah kaum Syiah yang
berlangsung paling lama di Deccan, Kerajaan Qutab Shahi di Golconda
(1512-1687), Kerajaan Nizam Shahi di Ahmadnagar (1508-1633) dan
Kerajaan Adil Shahi di Bijapur. Kaum Syiah Iran diaspora menyebar ke
Deccan dan pantai Coromandel di India Tenggara.
Dengan demikian, kerajaan Qutab Shahi di Golconda juga berfungsi
sebagai pintu gerbang penting menuju Asia Tenggara. Pada paruh
kedua abad ke-16 ada jalur-jalur perdagangan yang intensif di antara
pelabuhan utama Golconda, Masulipatum dan Tenasserim, Siam.123
Rute perdagangan laut dari India Tenggara ke kota-kota pelabuhan
Siam di bagian barat bukan hanya menghubungkan relasi-relasi
ekonomi-politik di antara negara-negara Deccan Syiah dan Siam, tetapi
juga mendukung ekpansi-ekspansi Syiahisme ke Kerajaan Buddha
Ayutthaya.
120 Chardin1988: 126. ; Iran adalah suatu tempat banyak ras yang sudah bercampur hingga tingkat
tertentu. Ras-ras Iran yang utama adalah Persia, Kurdi, Gilani, Mazanderani, Lori dan Baluchi, dan
ras-ras utama non-Irani adalah Semitik atau Arab dan Turki. Lihat Limbert1987: 21.
121 Datta, Raychaudhuri dan R. C. Majumdar 1987: 451-452, 469.
122 Cole1988: 22.
123 Alam 1959: 169-87; Arasaratnam 1984: 113-135. Dikutip dalam Marcinkowski, hlm. 54.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
119
Muslim Syiah Indo-Iran di Masa Ayutthaya
Dokumen-dokumen Barat menyebut Muslim Indo-Iran di Thailand
umumnya sebagai orang “Moor” sebuah istilah yang digunakan orang
Portugis dan Spanyol untuk orang Muslim atau orang beragama
Islam yang berasal dari Afrika Utara dan Timur, Timur Tengah, Asia
Tengah, dan India. Istilah itu merupakan istilah umum yang tidak
membedakan ras, wilayah dan sekte-sekte religius. Ketika dikemudian
hari orang Barat lainnya datang ke Asia, mereka juga menggunakan
istilah “Moor” yang digunakan orang Portugis dan Spanyol.
Oleh karena itu, kata Moor di dalam dokumen-dokumen Barat
mencakup Muslim dari Asia Barat dan kadang-kadang juga Muslim
dari India sebagaimana disebutkan oleh Chevalier de Chaumont, duta
Prancis pertama yang dikirim Raja Louis XIV ke istana Raja Narai pada
1685, bahwa yang termasuk ke dalam nama Moor adalah orang Turki,
Persia, Mogul, Golconda, dan Bengal.124
Orang Siam di masa Ayutthaya menyebut Muslim Indo-Iran
dengan berbagai nama, misalnya, Khaek Chao Sen, Khaek Ma-ngon,
Khaek Yai dan Khaek Tes. Kata “Khaek Chao Sen” digunakan oleh orang
Siam untuk menandakan Muslim sekte ini. Kata “Chao Sen”merupakan
nama untuk Imam Husein. Orang Siam menyebut kelompok ini
“Khaek Chao Sen” karena Muslim Indo-Iran di masa Ayutthaya adalah
Muslim dari madzhab Syiah. Orang-orang Barat melaporkan bahwa
orang Moor di Siam adalah sekte Muslim yang berbeda dari orang
Melayu125 karena orang Melayu adalah mazhab hukum Syafi ’i dari
madzhab Sunni, dan orang Moor di Siam sebagian besar adalah Itsna
Asyariyahatau Imamiya, salah satu dari sub-madzhab dalam Syiah.126
Istilah “Khaek Ma-ngon” berasal dari kata “Mogul” atau “Mughal”127
karena orang Siam berpikir bahwa kelompok Muslim ini adalah Khaek
Mughal (tetapi sebenarnya orang India Mughal adalah Muslim Sunni) atau
mereka sedang menggunakan istilah Barat untuk orang Moor, Mughal
atau Mouros.128Ma-ngon juga mungkin berasal dari kata Mahol yang
124 Smithies, hlm. 84.
125 Ibid, hlm. 84; Gervaise, hlm. 175.
126 Dalam Bahasa Arab “Itsna Asyariyah”berarti “Keduabelasan”, yang bermula dengan ke-Imaman
Ali dan berakhir dengan Muhammad al-Mahdi atau Imam yang kedua belas.
127 Kanjanakphan, hlm.49.
128 Orang Portugis dan Spanyol selalu menyebut orang Muslim “Mouro”. [Penyunting: Istilah
Mouro dan Moor ini berasal dari panggilan terhadap kaum Muslim yang berada di Maroko,
yang ketika itu sudah memasuki kawasan Eropa Selatan].
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
120
digunakan orang Iran untuk menyebut orang Muslim India, sebagaimana
ditunjukkan dalam “Safi nai-ye Sulaimani” (Kapal Sulaiman), suatu laporan
perjalanan Duta Iran yang dikirim Shah Safavid, Sulaiman, dari Iran
ke istana Raja Naraipada 1685. Tercatat bahwa “orang Mahols” adalah
Muslim Syiah dari India.129 Oleh karena itu, istilah Khaek Ma-ngon mungkin
berarti orang Muslim Syiah Indo-Iran. Istilah ini tampak dalam “Karp Hor
Klong Wa Dua Ngan Na Kattaruk” oleh Raja Rama II yang menyebutkan
“Perayaan Muharram” yang merupakan suatu upacara arak-arakan
untuk memperingati kesyahidan Imam Husein kaum Khaek Chao Sen atau
Khaek Manghon di Siam.130 “Nang Sue Sadang Kijjanuketh” dari Chao Praya
Thipakaravongse (Kham Bunnag), Menteri Perdagangan dan Perniagaan Siam,
yang ditulis semasa pemerintahan Raja Rama IV, menyebutkan kaum Khaek
Chao Sen atau Syiah Muslim “Khaek Mahol” atau “Khaek Ma-ngon”.131
Dalam semua pelukisan yang bervariasi oleh orang asing, kediaman
kelompok Muslim ini dikatakan berada di dalam tembok kota dekat
distrik orang Cina, dengan rumah-rumah dan toko-toko di sepanjang jalan
besar terbuat dari batu bata yang menuju Istana Raja.132 Muslim Indo-Iran
mempunyai komunitas-komunitas yang tinggal di distrik perdagangan
di Ayutthaya, mulai dari gerbang orang Cina hingga ke gerbang selatan
Tha Kayi.133 Kesaksian Raja Uthumphon melukiskan wilayah tempat tinggal
orang-orang Muslim ini nyaris di pusat ibu kota dan karena orang Siam
menyebut orang-orang Muslim ini Khaek Tes, Khaek Yai atau Khaek Chao
Sen, penanda batas di wilayah komunitas-komunitas ini mengandung
nama, misalnya, “Ban Khaek Yai Chao Sen” (Desa Khaek Yai Chao Sen),
“Kanal Pratu Tes” (gerbang kanal Khaek Tes) dan “Tanon Ban Khaek Yai”
(Jalan Ban Khaek Yai).134 Di wilayah ini, ada rumah-rumah dan toko-toko
di sepanjang jalan-jalan yang disebut “bazaar” yang digambarkan dalam
lukisan-lukisan Barat sebagai deretan toko yang sejajar dengan jalan-jalan.
129 Rabi, hlm. 95.
130 Prachum Karp Hei Ruea Samai Ayutthaya (Himpunan Sajak yang dinyanyikan dalam Pawai
Kapal-kapal Tongkang Siam pada periode Ayutthaya)1961: 28.
131 Chao Praya Thipakaravongse (Kham Bunnag), Nang Sue Sadang Kijjanuketh (Buku
Pengetahuan), 1979: 131.
132 Gervaise1993: 165; Kaempfer 1987: 4.
133 Tamra Bab Dhamniam Nai Rajchasamnac Krang Krungkoa (Kitab Adat- istiadat Istana pada
Periode) menyebutkan dua orang pejabat Muslim, Khun Kocha Ishak dan Khun Raja Setdhi,
bertanggung jawab untuk mengawasi dan melindungi distrik Muslim mulai dari Pratu Chin
(Gerbang Cina) hingga Pratu Tai Ta Kayi (Gerbang Selatan Ta Kayi). Lihat Krom Silpakorn, Latti
Dhamniam Tangtang Lem Song(Kitab Adat-istiadat Istana Siam) (2): 519.
134 Mungkin disebut “Jalan Shikun” yang berasal dari “Jalan Syaikh”, artinya Jalan Tuan Khaek.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
121
Kelompok Muslim ini juga embangun tempat-tempat religius di dalam
komunitas-komunitas itu135 sebagaimana ditunjukkan dalam catatan
orang Perancis semasa pemerintahan Raja Narai yang menyebutkan
bahwa orang Moor melaksanakan upacara keagamaannya di wilayah
ini.136
Pada masa kini, hanya segelintir bukti keberadaan Muslim Syiah di
Ayutthaya karena kota itu dihancurkan dan dibakar dalam peperangan
di antara Ayutthayadan Burma pada 1767. Akan tetapi, kita dapat
menemukan beberapa reruntuhan bangunan seperti jembatan busur
bergaya Indo-Iran dan alas tumpuan bangunan keagamaan di wilayah
Universitas Phranakhorn Si Ayutthaya Rajabhat di kota Ayutthaya.
Faktor utama yang membuat Istana mengizinkan kelompok Muslim
ini menetap di dalam kota, sama dengan orang-orang Cina karena
pentingnya komunitas ini bagi perdagangan lokal dan internasional.
Orang Muslim yang ada di dalam tembok kota adalah para saudagar
yang membawa barang-barang mewah untuk dijual, seperti karpet Persia,
air mawar, kain brokad, barang-barang perhiasan, dan ornamen-ornamen
emas.137 Barang-barang ini mahal dan dibeli oleh orang-orang kaya, orang
istana, keluarga kerajaan, dan sang raja yang berdiam di dalam tembok
kota. Para saudagar ini sejak awal pastilah telah berjualan kepada kaum
kaya dan berkuasa di ibu kota sehingga mereka mendapat perlakukan
istimewa yaitu mendirikan komunitas-komunitas mereka di wilayahwilayah
penting di Ayutthaya. Missionaris Perancis, Nicolas Gervaise,
yang datang ke Ayutthaya semasa pemerintahan Raja Narai pada 1683,
menunjukkan bahwa para saudagar Moor memainkan peran yang
135 Phraya Boran Rajchatanin, Tuan Letnan di distrik Ayutthaya pada masa pemerintahan Raja
Rama V, disebut “Tung Khaek” (Padang Rumput Muslim) yang kini berada di wilayah Universitas
Phranakhorn Si Ayutthaya Rajabhat. Ada beberapa puing-puing bangunan di dalamnya seperti
jembatan busur bergaya Indo-Iran dan alas tumpuan bangunan keagamaan. Lihat Krom Silpakorn,
Atibai Panti Phranakorn Si Ayutthaya Kab Kam Vinijchai Kong Phraya Boran Rajchatanin Rueng
Silpa Lare Bhumisathan Krung Si Ayutthaya Lare Jangwat Pijit (Penjelasan peta Ayutthaya dengan
pelukisan-pelukisan mengenai Phraya Boran Rajchatanin yang menyangkut seni dan tempat-tempat
di kota Ayutthaya, dan Propinsi Pijit,1971: 72-73.
136 Loubère 1985: 214; Choisy, hlm. 212.
137 Catatan-catatan perdagangan Belanda mengutip bahwa pakaian dan harta benda emas dari
Persia sangat tinggi nilainya di pasar Ayutthaya. Lihat The Dutch Papers in Ayutthaya Period 1970:
61; catatan-catatan para saudagar Prancis menyebutkan bahwa beberapa hadiah yang diberikan
kepada Constantine Phulkon, penasehat Raja Narai berkebangsaan Yunani, termasuk anggur
Persia, air mawar dan buah-buahan Persia. Lihat Prachum Phongsawadan Phak Ti 41 Jotmaihet
Pohka Farangseth (Collected Historical Data on the French Merchants’ Records), hlm.270.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
122
menonjol dalam perdagangan Siam sebagaimana para saudagar Cina.138
Pada abad ketujuh belas, para penguasa dan anggota keluarga kerajaan,
ditambah lagi oleh khunnang (kaum bangsawan) yang makmur dengan
mengandalkan para saudagar asing melakukan sendiri perdagangan
ini untuk kepentingan mereka sendiri.139 Sebagai salah satu dari dua
komunitas perdagangan yang utama, saudagar Muslim, khususnya yang
berasal dari Persia dan India, menghasilkan dampak yang penting pada
sejarah Ayutthaya.140
Kelompok Muslim ini juga bekerja dalam pemerintahan, baik di
militer maupun pegawai sipil. Mereka yang bekerja dalam dinas militer
Kong Asa Tang Chat (Korps Relawan Asing) dan Pengawal Kerajaan yang
diangkat oleh raja untuk bekerja dalam pasukan-pasukan khusus yang
mungkin merupakan relawan atau relawan asing yang diperkerjakan
secara khusus untuk maksud ini.141 Di dalam buku “Kapal Sulaiman,”
disebutkan bahwa Raja Narai mempekerjakan 200 orang Iran dari India
sebagai Pengawal Kerajaannya.142 Sementara di dalam deskripsi Guy
Tachard, seorang pastor Yesuit Prancis yang datang ke Ayutthaya
untuk pertama kalinya pada 1685 pada masa pemerintahan Raja Narai,
digambarkan bahwa upacara penyambutan korps diplomatik Perancis
Chevalier de Chaumont ada sekawanan serdadu Moor yang duduk di atas
punggung kuda membawa tombak yang bertugas di level kedua Istana
Raja. Di level keempat Istana, di kedua sisi aula, ada sekitar 500 orang
Persia Pengawal Kerajaan.143 Korps Relawan Muslim Indo-Iran pastilah
berdiam di dalam tembok kota dengan cara yang sama sebagaimana
orang-orang Muslim lainnya dari ras yang sama karena mereka harus
bekerja dalam persentuhan yang dekat dengan sang raja dan juga untuk
melaksanakan upacara-upacara keagamaan bersama komunitas.
138 Gervaise, hlm. 63.
139 Pombejra dalam Kathirithamby-Wells dan John Villiers 1990: 130.
140 Andaya 1999: 135.
141 Somdej Kromphraya Damrong Rachanupabh (Prince Damrong Rachanupabh), Menteri Dalam
Negeri pada masa pemerintahan Raja Rama V, menjelaskan bahwa Kong Asa Tang Chat
(Korps Relawan Asing) berasal dari orang asing yang mempunyai keahlian militer, dan bekerja
sebagai relawan dalam tentara Siam. Kemudian, mereka dihimpun ke dalam Kong Asa (Korps
Relawan) yang dikirim ke dalam pertempuran, dan dipisahkan menurut bangsanya, misalnya
Kong Asa Nippon (Korps Relawan Jepang) dan Krom Asa Cham (divisi Korps Relawan Cham).
Lihat Rajanughab 1991: 242.
142 Rabi’, hlm. 100.
143 Tachard,hlm. 166.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
123
Orang-orang yang ada di dalam birokrasi, sebagian besar
diperkerjakan dalam krom tha khwa, departemen Siam untuk urusanurusan
perdagangan Laut Barat, juga bertempat tinggal di dalam tembok
kota. Krom Tha Khwa adalah seksi perniagaan dan komunikasi luar negeri di
bawah Krom Phraklang (Departemen Perdagangan dan Perbendaharaan),
yang bertanggung jawab dalam perniagaan, kapal barang, dan urusan
luar negeri. Akan tetapi, krom tha khwa mempunyai tugas penting lainnya,
yaitu mengawasi warga negara asing yang terdiri dari orang Muslim,
Hindu, Armenian, dan orang Kristen yang sudah dibaptis. Oleh karena
itu, meskipun mayoritas pejabat di dalam Krom Tha Khwa adalah Muslim,
ada pejabat dan ahli dari kebangsaaan-kebangsaaan yang lain dalam
posisi ini, misal Portugis, India Hindu, dan Armenia. Mayoritas pejabat
ini adalah kelompok-kelompok yang semula berasal dari Barat Siam atau
berhubungan dengan orang Barat, misalnya mereka yang merupakan
orang-orang Kristen yang sudah dibaptis.
Dari catatan yang ada dalam “Jotmaihed Pathom Wongse Sakul
Bunnag” (Kronik Keluarga Bunnag), keluarga yang sangat kuat di
Siam pada periode awal Rattanakosin atau Bangkok,144 yang mencatat
sejarah para pejabat di dalam keluarga Bunnag, terdapat sejarah Syaikh
Ahmad, orang Iran penganut Syiah. Di sana dikatakan bahwa orang
ini datang ke Siam untuk berdagang bersama adik laki-lakinya yang
disebut “Muhammad Said” pada 1603 Masehi, semasa pemerintahan Raja
Ekathotsarot (1605-1610) dan mulai bertugas dalam pegawai sipil pada
pemerintahan Raja Songtham (1610-1629). Pada sejarah Syaikh Ahmad,
bahwa orang ini datang ke Siam untuk berdagang bersama adik lakilakinya
yang disebut “Muhammad Said” pada 1603 Masehi, semasa
pemerintahan Raja Ekathotsarot (1605-1610) dan mulai bertugas dalam
pegawai sipil pada pemerintahan Raja Songtham (1610-1629), putera
yang lebih muda dari Raja Ekathossarot. Buku itu menyatakan bahwa
Syaikh Ahmad membantu kegiatan-kegiatan Krom Tha, Departemen
Perdagangan Luar Negari, dan kemudian diangkat menjadi kepala
Krom Tha Khwa sebagai “ Churarajmantri,”145 kepala komunitas Muslim
144 Bunnag adalah keluarga yang paling kuat di Thailand pada abad ke-18 dan ke-19. Beberapa
anggota Keluarga ini memegang pangkat-pangkat yang tinggi dalam pemerintahan Thai
selama seratus tahun Era Bangkok awal.
145 Chao Praya Thipakaravongse (Kham Bunnag), Jotmaihed Pathom Wongse Sakul Bunnag
(Kronik Keluarga Bunnag), hlm.12; Churarajmantri gabungan sebuah kata Arab “shura” yang
berarti suatu dewan Islam dan kata Sanskerta “Mantri” berarti “Penasehat Sang Raja” sehingga
Churarajmantri berarti penasehat Muslim Sang Raja. Dia adalah kepala orang-orang Muslim di
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
124
di Ayutthaya. Buku yang sama ini juga menyebutkan bahwa Syaikh
Ahmad adalah sahabat karib Phraya Maha Amat146 yang kemudian
menjadi Raja Prasat Thong (1629-1656), raja Siam setelah Raja Songtham.
Semua Churarajmantri Siam sebelum periode revolusi demokratis di
pada 1932 adalah keturunan dari Syaikh Ahmad dan administrasi krom
tha khwa dimonopoli oleh Muslim Syiah dari keluarga ini.147
Selama abad ke-16 dan ke-17, para shah dari Dinasti Safavid
memerintah Iran. Pada masa itu mereka ingin memperluas pengaruh
dan membangun komunitas-komunitas orang Iran Syiah di India. Shah
Abbas I (1587-1629) dari Iran mempunyai hubungan yang erat dengan
Kaisar Dinasti Mughal.148 Pada saat yang sama, para shah dari Dinasti
Safavid juga mendukung negara-negara Syiah India, seperti Golconda,
Bijapurdan Ahmadnagar, dengan mengirim ahli-ahli yang berbeda
sebagai pegawai sipil, atau mencari penghidupan di negara-negara itu.
Banyak pria Iran menikah dengan wanita setempat, yang berasal dari
ras-ras dan kebudayaan-kebudayaan yang bercampur. Kelompok orangorang
Indo-Iran, khususnya Muslim Indo-Iran, mempunyai peran penting
dalam membangun jaringan perdagangan, politik, agama, sosial, dan
kebudayaan dari Iran hingga ke negeri-negeri Timur. Shah Abbas I juga
memperluas perdagangan ke Cina, mempunyai ikatan-ikatan diplomatik
dengan istana Cina, bahkan sampai membawa para perajin Cina untuk
membangun pabrik-pabrik porselen di Iran. Sutra dan perhiasan dari
Persia didistribusikan secara luas sampai ke istana-istana para Shogun
di Jepang. Selama zaman Shah Abbas I inilah sejumlah besar orang Iran
datang berdagang dan memperluas pengaruh mereka di Asia Tenggara.
Syaikh Ahmad melakukan perjalanan ke Ayutthaya di bawah konteks
perluasan politis, ekonomis, religius, dan budaya oleh istana Iran semasa
dinasti Safavid. Pada saat yang sama, suatu faktor pendukung yang
penting muncul dari fakta bahwa Kerajaan Ayutthaya telah berkembang
sehingga menjadi suatu pelabuhan kosmopolitan yang menyambut
perpindahan orang yang memiliki kebangsaan dan agama yang berbeda.
Kerajaan Ayutthaya telah menjadi suatu kubu bagi Muslim Syiah dari Iran
dan India yang datang untuk memperluas perdagangan dan Syiahisme.
Dari catatan-catatan Perancis semasa pemerintahan Raja Narai, dikisahkan
Thailand sebagai Syaikh al-Islam.
146 Ibid, hlm. 14; Phraya Maha Amat adalah tuan Kementrian Pertahanan.
147 Chularatana2003: 156.
148 Sykes1969: 175-177; Floor2001: 180-181.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
125
bahwa orang Moor atau Muslim Syiah Indo-Iran di Siam sama banyaknya
dengan orang Cina. Juga, kelompok itu mempunyai peran yang penting
dan pengaruh yang besar sebagaimana dapat dilihat dari lokasi komunitas
itu yang berada di dalam tembok kota, di jalan perdagangan utama yang
disebut “jalan Moor” di dalam catat-catatn Perancis atau Jalan Ban Khaek
Yai di dalam catatan-catatan Thai.149
Selain itu, ada lembaga-lembaga keagamaan yang disebut “Kudi Thong”
atau Imambara Emas di lingkungan komunitas untuk menyelenggarakan
upacara-upacara ritual dan berfungsi sebagai pusat komunitas itu. Imambara
dalam Bahasa Urdu (bahasa Muslim India) atau Imamsadeh dalam Bahasa
Persia berarti rumah Imam. Imambara yang asli di Ayutthaya tampak seperti
bergaya arsitektur lokal di propinsi-propinsi timur laut Iran di dekat Laut
Caspia di Mazanderan dan Gilan. Syaikh Ahmad mungkin berasal dari
sebuah kota kecil bernama “Kunni” di bagian timur laut Iran di dekat Laut
Caspia150 dan mungkin dia membangun sebuah Imambara di Ayutthaya
dengan gaya yang sama dengan yang ada di kampung halamannya.
Imambara di Siam berada di bawah perlindungan kaum bangsawan dalam
keluarga Syaikh Ahmad hingga Ayutthaya dihancurkan oleh orang Burma
pada 1767 Masehi. Semasa pemerintahan Somdej Phra Buddha Yodfa
Chulaloke (Raja Rama I), Raja pertama era Bangkok, gedung itu dibangun
kembali di lingkungan komunitas Syiah di propinsi Thonburi di sisi sebelah
barat Sungai Chao Phraya dekat Bangkok.
Imambara bukan hanya pusat komunitas Muslim Syiah, tetapi juga
pusat taziyat, ritual Syiah yang paling penting di Thailand. Taziyat atau
upacara Ashura dilaksanakan untuk memperingati kesyahidan Imam
Husein, cucu Nabi Muhammad. Dia dibunuh oleh Yazid I, Khalifah kedua
Umayyah pada 680 Masehi. Muslim Syiah, yang sangat menghormati
keturunan Muhammad, sebagai keluarga suci, melaksanakan taziyat pada
bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Islam yang didasarkan
pada peredaran bulan. Setiap tahun mereka melaksanakan upacara itu
selama sepuluh hari untuk memperingati kesetiaan kesyahidan Imam
Husein. Mereka mengenakan pakaian berkabung yang berwarna hitam
dan melakukan arak-arakan yang menggambarkan epik Imam Husein
dan para pengikutnya di Karbala.
149 Jalan Ban Khaek Yai berarti jalan Muslim Besar. Nama lain dalam Bahasa Thai adalah jalan
Shikun yang mungkin berasal dari jalan Syaikh.
150 Chularatana 2004: 94-105.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
126
Kapal Sulaiman mengklaim bahwa Raja Narai (1656-1688) dan para
pengiringnya bersembunyi di dalam arak-arakan taziyat Muslim Syiah di
Ayutthaya untuk merebut Istana Kerajaan dan menahan pamannya, mantan
Raja, pada saat perampasan kuasa.151 Menurut pelukisan Duta Prancis yang
diutus oleh Raja King Louis XIV ke Siam ke istana Raja Narai pada abad
ke-17, arak-arakan taziyat adalah upacara orang Moor yang terkenal di Siam.
Permulaan Keluarga Bunnag: Muslim Syiah dalam periode peralihan
Orang-orang Iran Muslim Syiah
Garis Keturunan Awal Syaikh Ahmad
Julispong Chularatana, Kunnang Krom Tha Khwa, hlm. 102.
151 Rabi’, hlm. 97.
Shi’ite Muslim
Buddhist
Syaikh Ahmad Muhammad Sa’id
(Okphra Chula)
(Okya Baworn Rachanayok)
Chün Chi Aqa Muhammad
(Okya Worachetphakdi ; acting Chula) (Okphra Sri Naowarat)
(Okya Aphairacha ; Samuhanaiyok)
Sombun Yi Kaeo
(1630- c.1683) (Okya Sri Chaihannarong) (Okphra Chula)
( Okya Chamnanphakdi ) ( Gubernur Tenasserim)
(Samuhanaiyok)
Chai
(Chao Phraya Phetphichai)
Shane Sen
(Phraya Chula) (Phraya Casaenyakon)
(PhrayaWichitnarong) (Chao Phraya Mahasena)
Konkaew Bunma Bunnag
(Phraya Churarajmantri) (Chao Phraya Mahasena) (Chao Phraya Mahasena)
Garis Keturunan Muslim Syiah Keluarga Bunnag
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
127
Setelah Raja Narai wafat, Phra Phetracha, seorang pejabat
tinggi istana, merampas takhta dan mendirikan dinasti Ban Phlu
Luang pada 1688. Raja-raja Ban Phlu Luang membentuk kebijakankebijakan
diplomatik baru untuk membatasi perhubungan dengan
orang asing dan mengendalikan peran orang Muslim dan Kristen di
dalam Kerajaan itu.152 Semasa pemerintahan Raja Borommakot (1733-
1758), dia menekankan kerajaan Ayutthaya sebagai pusat Buddhisme
Theravada. Pada 1751 Raja Kirti Sri Rajasinhe dari Kandy mengutus
dutanya kepada raja Siam untuk mengundang para biarawan Siam
melaksanakan upacara pentahbisan Sangha Kandy, yang telah merosot
karena ekspansi orang Eropa sejak penghujung abad keenam belas.
Pada akhir 1751, Raja Borommakot mengirim sekelompok biarawan
senior ke Sri Lanka untuk membangun kembali Buddhisme. Inilah
sebabnya Buddhisme di Sri Lanka disebut Buddhisme Siamvongse.153
Untuk reputasi sebagai seorang raja Buddha sejati, dia
memerintahkan renovasi banyak kuil kerajaan di Ayutthaya dan
berkonsentrasi pada upacara-upacara kerajaan Buddhis, misalnya
ziarah tahunan ke Phra Phutabat, bekas jejak kaki sang Buddha, di
Saraburi, propinsi utara Ayutthaya. Selain itu, dia mengendalikan
secara ketat perluasan agama Islam dan Kristen dengan menekankan
peraturan kerajaan untuk misi-misi keagamaan yang memerintahkan
bahwa orang Thai, Mon atau Lao di Siam dilarang mengakui
kepercayaan-kepercayaan yang keliru.154 Orang-orang Thai, Mon
atau Lao yang meninggalkan agama Siam yang suci untuk memeluk
agama Kristen dan Islam akan dikenai hukuman mati.155 Oleh karena
itu, semasa periode Ban Phlu Luang dapat dilihat bahwa Buddhism
digunakan sebagai rasa identitas, rasa kesatuan di dalam kerajaan.156
Beberapa keturunan Syaikh Ahmad yang duduk dalam birokrasi
Siam mungkin khawatir dengan situasi gawat yang mempengaruhi
152 Chularatana, Kunnang Krom Tha Khwa, hlm. 244-245.
153 Buddhisme di Sri Lanka menderita kemunduran akibat kekuasaan Portugis di antara 1594 dan
1612. Gerakan kebangkitan kembali Buddhis di Sri Lanka mulai kira-kira dasawarsa kedua
abad ke-18 di bawah perlindungan raja-raja Kandy. Duta Besar Kandy berangkat dari Sri Lanka
pada 1750, tiba di Ayutthaya pada Mei 1751 dan kembali pada akhir tahun itu disertai delapan
puluh biarawan yang dipimpin oleh Phra Ubali dan Phra Ariyanamuni. Para biarawan Sri Lanka
yang ditahbiskan biarawan Siam dalam misi Buddhis membentuk suatu sekte yang dikenal
sebagai Siamvongse atau Ubalivongse. Lihat Lailert 1972: 279-282.
154 Kotmai Tra Sam Duang(The Laws of the Three Seals)1964: 98-99.
155 Ibid; Lailert, hlm.283.
156 Ibid, hlm.287.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
128
stabilitas mereka pada waktu itu terpaksa beralih memeluk Buddha.
Menurut kronik Keluarga Bunnag Bunnag, Phraya Phetphichai (Chai),
kepala keluarga Syaikh Ahmad, beralih memeluk Buddha agar dapat
mengikuti ziarah kerajaan Raja Borommakot ke Phra Phutabat pada
1750.157 Setelah Phraya Phetphichai (Chai) mengubah kepercayaanya dan
kembali dari Phra Phutabat, dia dan keluarganya berhasil memantapkan
kembali kekuasaan dan peran mereka di dalam administrasi Siam.
Phraya Phetphichai (Chai), kepala pengawal kerajaan, diangkat sebagai
Chao Phraya Phetpichai, bangsawan tinggi, dan putra keduanya, Sen,
diberi kedudukan sebagai Chao Phraya Mahasena, kepala Kementerian
pertahanan, semasa pemerintahan Raja Ekathat (1758-1767). Chao Phraya
Mahasena (Sen) mempunyai seorang putera dari isteri keduanya, bernama
Bunnag yang mempunyai hubungan yang erat dengan Luang Yokbat
Mueng Ratchaburi (penguasa Ratchaburi), bernama Thong Duang, dan
dia menikah dengan Nuan, yang juga adik perempuan isteri Nak, Luang
Yokbat Mueng Ratchaburi. Setelah Luang Yokbat Mueng Ratchaburi
mengambil kendali atas Siam dan memahkotai dirinya sendiri sebagai
raja, Phra Buddha Yotfa Chulaloke arau Raja Rama I (1782-1809), Bunnag
menjadi pejabat tinggi istana Raja Rama I. Keluarganya memainkan suatu
peran penting dalam mengatur kerajaan Siam mulai dari periode awal
Rattanakosin hingga 1880-an.158
Mungkin Chao Phraya Phetpichai dan beberapa pewarisnya
menerapkan Taqiyah,159 praktek kepura-puraan Syiah, untuk menghindari
masalah yang rumit dengan kebijakan Ban Phlu Luang. Di kalangan
pengikut aliran-aliran Islam yang berbeda-beda, Kaum Syiah terkenal
dengan praktek taqiyah-nya. Ketika berada dalam bahaya mereka
menyamarkan agama mereka dan menyembunyikan praktek-praktek
khusus keagamaan dan ritual mereka dari para musuhnya.160 Taqiyah
mungkin dipraktekkan untuk mempertahankan posisi keluarga Syaikh
Ahmad di dalam birokrasi Siam dan untuk melindungi komunitas Syiah
dari gangguan etno-religius semasa era Ban Phlu Luang.
157 Chao Praya Thipakaravongse, Jotmaihed Pathom Wongse Sakul Bunnag, hlm. 13.
158 Ooi 2004: 288.
159 Lebih lanjut perihal taqiyah, lihat artike Zulkifl i di Bagian Kedua buku ini.
160 Tabatabai, hlm. 223. Praktek taqiyah diizinkan jika ada bahaya yang jelas yang mengancam
kehidupan seseorang atau keluarga, atau kemungkinan hilangnya kehormatan dan kesucian
isteri seseorang atau anggota keluarga lainnya yang perempuan, atau bahaya kehilangan
harta material seseorang sampai ketingkat yang menyebabkan kemelaratan total dan
menghalangi seorang pria terus menopang hidupnya sendiri dan keluarganya.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
129
Meskipun Chao Phraya Phetpichai dan puteranya yang lebih muda
Sen, beralih ke agama lain, putera tertuanya Shane, tetap mempertahankan
Syiahisme, iman leluhurnya. Dia diangkat ke posisi Phraya Chula, tuan
Krom Tha Khwa, pada masa pemerintahan King Ekathat, dan puteranya,
Kon Kaew, diangkat ke posisi Phraya Chula, Chularajamotri pertama
pada periode Rattanakosin, oleh Raja Rama I.
Muslim Syiah pada Periode Rattanakosin
Setelah Ayutthaya dihancurkan oleh tentara Burma 1767,
beberapa anggota keluarga Syaikh Ahmad pindah ke Bangkok,
ibu kota baru Kerajaan Siam setelah Ayutthaya, dan mendirikan
kembali komunitas Muslim Syiah yang baru di tepi-tepi Sungai Chao
Phraya yang berhadapan dengan Istana Agung. Kekuasaan keluarga
Bunnag yang semakin meningkat semasa periode Rattanakosin awal
menopang stabilitas keturunan Syaikh Ahmad. Kon Kaew, seorang
keturunan Syaikh Ahmad dan sepupu Bunnag, diangkat ke posisi
Phraya Churarajmantri, kepala komunitas-komunitas Muslim di
Siam. Selama 1782 dan 1932, Churarajmantri Syiah dari keluarga
Syaikh Ahmad terus mengurus Krom Tha Khwa di bawah dukungan
para anggota keluarga Bunnag yang memegang posisi berpengaruh di
departemen-departemen Siam khususnya Krom Phraklang, Kementerian
Perdagangan dan Keuangan, yang juga menguasai Krom Tha Khwa.
Churarajmantri Syiah dari keluarga Syaikh Ahmad tidak hanya
mempunyai hubungan yang dekat dengan para anggota keluarga Bunnag,
tetapi mereka juga mempunyai hubungan dengan para anggota dinasti
Chakri. Phraya Chularajmantri (Konkaew) menikah dengan Sem, seorang
puteri Phraya Raj Wangsan (Noi), penguasa angkatan laut Siam, anggota
keluarga Sultan Sulaiman, Muslim Sunni Iran dari Songkla. Sulaiman
adalah putera Datoh Mogol, seorang pengelana Indo-Iran dari Nusantara
Indonesia. Datoh Mogol diangkat menjadi gubernur pertama Sonkhla
oleh Raja Song Tham (1610-1628).161 Setelah perampasan kuasa Raja
Prasat Thong pada 1629, Sulaiman mendeklarasikan kerajaan Kesultanan
Songkhla yang merdeka. Dia dan para penerusnya memerintah Songkhla
sampai kerajaan itu diserbu oleh pasukan Siam pada 1668. Beberapa
keturunanya pindah ke Ayutthaya dan diberi posisi yang tinggi di
dalam birokrasi Siam khususnya krom Asa Cham.162 Beberapa anggota
161 Chalayondecha1986: 130-132.
162 Ibid, hlm. 130.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
130
keluarga Sultan Sulaiman berhubungan erat dengan dinasti Chakri dan
keluarga Syaikh Ahmad melalui perkawinan. Ketiga Churarajmantri Syiah
pada periode Rattankosin awal, Konkaew, Tuaen, dan Narm menikah
dengan wanita-wanita dari keluarga Sultan Sulaiman. Dikarenakan
hubungan mereka dengan para anggota dinasti Chakri dan keluargakeluarga
berkuasa lainnya di Siam, para pendukung kepala kaum Muslim
mencakup orang Syiah dan Sunni yang ada di Siam bagian tengah.
Tiga Belas Churarajmantri Muslim Syiah163
1. Okya Baworn Rachanayok (Syaikh Ahmad), bertugas sebagai
Chularajmantri semasa pemerintahan Raja Prasat Tong
2. Phraya Churarajmantri (Kaew) semasa pemerintahan Raja Prasat
Thong dan Raja Narai
3. Phraya Churarajmantri (Son) semasa pemerintahan Raja
Phetrachadan Raja Thai Sa
4. Phraya Churarajmantri (Shane) semasa pemerintahan Raja
Borommakot dan Raja Ekathat
5. Phraya Churarajmantri (Konkaew) semasa pemerintahan Raja
Rama I
6. Phraya Churarajmantri (Akayi) semasa pemerintahan Raja Rama
I
7. Phraya Churarajmantri (Tuaen) semasa pemerintahan Raja Rama
II and Raja Rama III
8. Phraya Churarajmantri (Narm) semasa pemerintahan Raja Rama
III and Raja Rama IV
9. Phraya Churarajmantri (Noy) semasa pemerintahan Raja Rama
IV
10. Phraya Churarajmantri (Sin) semasa pemerintahan Raja Rama V
11. Phraya Churarajmantri (Sun Ahmadchula) semasa pemerintahan
Raja Rama V dan Raja Rama VI
12. Phra Churarajmantri (Kasem Ahmadchula) semasa pemerintahan
Raja Rama VI
13. Phra Churarajmantri (Sorn Ahmadchula) semasa pemerintahan
Raja Rama VII
163 Chularatana 2007: 243.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
131
Selama masa kerajaan Bangkok, Chularajmantri telah menjadi
seorang pemimpin resimi semua orang Muslim di Thailand. Pada
periode Bangkok, ada sembilan Churarajmantri, semuanya adalah
keturunan Churarajmantri Syiah pada periode Ayutthaya, dan
semuanya bertugas semasa pemerintahan raja-raja Chakri sebagai
kaum bangsawan tingkat tinggi di Krom Tha Khwa.
Dengan merebaknya Revolusi Demokratis di Thailand pada 1932,
tidak ada lagi pengangkatan setelah Phra Chularajmontri (Sorn),
Churarajmantri terakhir dari keluarga Syaikh Ahmad, wafat pada
1936. Akan tetapi, setelah huru-hara dan ketidakpuasan dari kaum
Muslim di Thailand bagian selatan setelah kebijakan integrasi paksa
oleh Jenderal Pibun, yang memunculkan separatisme Melayu yang
mengancam stabilitas pemerintahan pusat Thai, Churarajmantri yang
baru diangkat secara tergesa-gesa.164
Undang-undang Perlindungan Islam 1945 (direvisi pada 1948)
memberi hak kepada pemerintah untuk membentuk Dewan Nasional
Urusan Islam (National Council of Islamic Affairs-NCIA) Thailand, yang
dikepalai oleh ex-offi cio Churarajmantri. Churarajmantri diangkat secara
langsung oleh raja berdasarkan rekomendasi Menteri Dalam Negeri
dan hanya bisa diberhentikan oleh raja. Jabatannya adalah seumur
hidup.165 Churarajmantri pertama dalam periode demokratis adalah
seorang rakyat biasa, Cham Promyong, seorang Muslim Sunni, anggota
Partai Rakyat dan pejabat pemerintah senior di Departemen Hubungan
Publik pada masa itu.166 Muslim Syiah dalam administrasi Siam telah
kehilangan posisi mereka dan tiga Churarajmantri terakhir setelah
Revolusi Demokratis diangkat dari kaum Sunni, yang merupakan
mayoritas Muslim di Thailand.
Populasi Syiah pada periode Rattanakosin bertambah besar dan
beberapa anggotanya pindah untuk mendirikan perkampunganperkampungan
mereka di wilayah lain. Pada 1950, Masjid Kudi
Luang, komunitas Muslim Syiah yang pertama didirikan pada periode
Bangkok awal, pindah dari tepi sungai Sungai Chao Phraya ke tempat
yang baru karena mereka menyerahkan tanah mereka untuk perluasan
markas besar Angkatan Laut Thai, yang terletak di dekat komunitas
164 Aphornsuvan 2003: 20.
165 Ibid, hlm. 21; “The Islamic Patronage Act of 1945” dalam The Collected Laws of Islam, 1997: 12.
166 Aphornsuvan, hlm.21.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
132
mereka. Sekarang ini ada empat masjid Muslim Syiah di Bangkok,
Masjid Kudi Luang, Kudi Charernparth, Masjid Dinfallah dan Masjid
Padung Dharm Islam. Semuanya terletak di distrik Thonburi Bangkok
dan juga adalah pusat komunitas-komunitas Muslim Syiah di Thailand.
Ada sekitar 6.000 hingga 7.000 Muslim Syiah di wilayah Bangkok,
yang menjadikan mereka sebagai kelompok minoritas. Sebagian besar
dari mereka adalah keturunan dari leluhur Muslim Indo-Iran dalam
periode Ayutthaya dan Bangkok mula-mula.
Komunitas Syiah di Tengah Dampak Islamisasi Baru
Revolusi Islam di Iran pada 1979 berdampak besar bagi dunia
Muslim. Revolusi ini berasal, terutama bukan dari kaum kiri,
melainkan dari kalangan religius; bukan atas nama sosialisme, tetapi
Islam.167 Sejak revolusi, pusat-pusat pengetahuan Islam Syiah di Iran,
khususnya di kota Qum, menjadi makmur. Selama bertahun-tahun,
akademi-akademi Islam di Qum telah melatih generasi berikutnya
dari komunitas Syiah dan para pemimpin religius dari seantero Timur
Tengah dan bagian dunia lainnya. Mereka menghabiskan waktu
bertahun-tahun di Qum, mempelajari Bahasa Persia, Bahasa Arab, ilmuilmu
kegamaan, yurisprudensi, teologi, dan fi lsafat. Tugas belajar yang
lama di Qum memungkinkan mereka menempa ikatan-ikatan budaya
dengan Iran Islam dan juga belajar banyak tentang negeri itu. Waktu
yang dihabiskan di Iran bukan cuma menimbulkan semangat revolusi
Islam pada para mahasiswa seminari, tetapi juga lebih mungkin malah
menghadapkan mereka kepada pemikiran reformis dan demokratis.168
Setelah Revolusi Islam Iran, komunitas-komunitas Syiah di
Thailand terkena dampaknya. Republik baru itu mempunyai kebijakan
mengekspor kebangkitan kembali Syiahisme ke komunitas-komunitas
Syiah di seantero dunia. Sebagai misionaris Syiah, para mullah- mullah
Iran berkunjung untuk menyebarkan ide-ide dan praktek-praktek
religius mereka dalam komunitas-komunitas Syiah di Thailand. Selain
itu, pemerintah Iran memberi dukungan dana untuk kegiatan-kegiatan
religius di komunitas mereka dan lembaga-lembaga akademik Syiah
Iran juga telah memberikan beasiswa untuk mendukung generasi baru
dalam mempelajari praktek-praktek Islam di Iran.
167 Lapidus 2002: 485.
168 Nasr 2007: 217-218.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
135
Kebangkitan kembali Syiahisme dari Republik Islam Iran
disebarkan melalui komunitas-komunitas mereka dan berdampak
mengubah ritual dan kebudayaan mereka. Contohnya, pengutamaan
taziyat yang telah diikuti dari ritual konservatif lokal yang sudah
berusia empat ratus tahun, diperbaiki, dan beberapa Imambara diubah
dari tradisi lokal menjadi tradisi Timur Tengah. Selama periode
peralihan, Muslim Syiah di Thailand secara informal terpisah ke
dalam dua kelompok. Kelompok asli yang menyebut diri mereka
“Chao Sen”, yang berarti para ‘Pengikut Imam Husein’, berusaha
melestarikan kebudayaan lokal tradisional dan cara-cara lama mereka.
Kelompok lainnya, yang disebut kelompok asli “Shi-a Mai”, yang
berarti ‘Syiah Baru’, yang beralih dari kepercayaan-kepercayaan lain
untuk menganut Syiahisme yang bangkit kembali. Kegiatan-kegiatan
keagamaan mereka berada di bawah pengaruh Iranisasi baru setelah
Revolusi Islam.
Saat ini, saya temukan bahwa dua kelompok Muslim Syiah
ini telah memulai dua jalan ide yang berbeda. Mereka berhadapan
dengan perubahan-perubahan baru. Chao Sen mulai berkurang
jumlahnya, sementara Shi-a Mai bertambah dan mencoba memperluas
pengaruhnya dengan dukungan lembaga-lembaga Islam Iran. Dengan
demikian, persis sekarang ini, Syiah di Thailand kembali mengalami
perubahan-perubahan yang sangat penting setelah berdiri empat ratus
tahun di Kerajaan Buddha di Thailand.[]
Daftar Pustaka
Alam, Shah Manzur, 1959. “Masulipatam: A Metropolitan Port in the
Seventeenth Century” in Islamic Culture, 33(3): 169-87.
Andaya, Leonard Y., 1999. “Ayutthaya and the Persian and Indian
Muslim Connection” in Kennon Breazeale (Penyunting),
From Japan to Arabia: Ayutthaya’s Maritime Relations with Asia
(Bangkok: Thammasat University).
Aphornsuvan, Thanet, 2003. History and Politics of the Muslims in
Thailand, Revised Edition (Bangkok: Thammasat University).
Barbosa, Duarte, 1967. The Book of Duarte Barbosa, Vol II (Millwood,
New York: Kraus Reprint).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
136
Chardin, Sir John, 1988. Travels in Persia 1673- 1677 (New York: Dover
Publication). Diwongsa, Komkam, 1987. “The Role of
Ayutthaya’s Market Places in Internal and External Trade
(1630-1767)” (M.A. Thesis, Department of History, Faculty of
Arts, Chulalongkorn University).
Chalayondecha, Prayoonsak, 1986. Muslim nai Prathet Thai (Muslim di
Thailand) (Bangkok, Sultan Sulaiman Foundations).
Choisy, Abbè de, 1993. Journal of A Voyage to Siam 1685-1686 (Terjemahan
oleh Michael Smithies) (Kuala Lumpur: Oxford University
Press).
Chularatana, Julispong, 2007. “Muslim Communities during the
Ayutthaya Period” dalam Manusya, 10(1): 94.
__________, 2007. “Chao Sen during the Rattanakosin Period” dalam
Journal of the Historical Society (28): 243.
__________, 2004. “Sheikh Ahmad: The Prelude of the Bunnag Family”
dalam Art & Culture Magazine, 25 (5): 94-105.
__________, 2003. Kunnang Krom Tha Khwa (Bangkok: Chulalongkorn
Univerity Press).
Cole, J.R.I, 1988.Roots of North Indian Sh’ism in Iran and Iraq (Berkeley:
University of California Press ).
Cortesao, Armando (Penerjemah dan Penyunting), 1990. The Suma
Oriental of Tomé Pires and the Book of Francisco Rodrigues, Vol.
1(New Delhi: Asian Educational Services, 1990).
Datta, Kalikinkar, H. C. Raychaudhuri and R. C.Majumdar, 1987. An
Advanced History of India (Madras: Macmillan India Press).
Donzel, E. van, 1994. Islam Desk Reference (Leiden: E.J Bill).
Floor, Willem, 2001. Safavid Government Institutions (Costa Mesa: Mazda
Publisher).
Gervaise, Nicolas, The Natural and Political History of the Kingdom of Siam
(Terjemaahan oleh John Villiers) (Bangkok: White Lotus).
Hall, D.G. E., 1994. A History of South-East Asia, 4th Edition (Malaysia:
Macmillan Press).
Kaempfer, Engelbert, 1987. A Description of The Kingdom of Siam 1690
(Bangkok: White Orchid).
Kanjanakphan, Phumisart, 1974. The Geographic Studies of Wat Pho, 2nd
Edition (Bangkok: Burinth Publishers).
Kongchana, Plubplung, 1981. “Historical Devolopment of Cham
Communities in Ayutthaya” in Journal of Thai History.
MUSLIM SYIAH DI THAILAND:
DARI PERIODE AYUTTHAYA SAMPAI SEKARANG
137
Kotmai Tra Sam Duang Lem 1 (Law of the Three Seals Vol. I), 1962
(Bangkok: Kurusapha).
Lailert, Busakorn, 1972. “The Ban Phlu Luang Dynasty 1688-1767: A
Study of the Thai Monarchy During the Closing Year of the
Ayuthya Period” (Ph.D. Dissertation, University of London).
Lapidus, Ira M., 2002.A History of Islamic Societies, 2ndEdition (Cambridge:
Cambridge University Press).
Limbert, John W., 1987. Iran at War with History (Boulder : Westview
Press).
Loubère, Simon de la, 1969. The Kingdom of Siam (translated from
Description du Royaume de Siam), reprinted (Singapore: Oxford
University Press).
Marcinkowski, Ismail, 2005. “Kehadiran Orang persia di Asia
Tenggara” dalam From Isfahan to Ayutthaya (Singapore:
Pustaka Nasional).
Nasr, Vali, 2007. The Shia Revival (New York : W.W. Nortion).
Ooi, Keat Gin,2004. Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor
Wat to East Timor (Santa Barbara, California: ABC-CLIO).
Pinto, Fernao Mendes, 1904. Subsidios para a sua Biografi a, (Terjemahan
oleh Christovao Aires) (Lisbon: Academia das Ciencias).
Pombejra, Dhiravat na, 1990. “Perdagangan Raja dan Politik Istana di
Ayutthaya semasa Pemerintahan Raja Narai (1656-88)” dalam
J. Kathirithamby-Wells dan John Villiers (Penyunting), The
Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise (Singapore:
Singapore University Press).
Pongsripean, Winai (Penyunting), 1985. Khamhaikan Khunluang Wat
Pradusongtham Ekasan jak Horluang (Testimony of King
Utoumporn from the Royal library) dalam Kormun Prawatisart
Thai Samai Ayutthaya jak Ekasarn Thai lae Tangprated (Sejarah
Ayuttaya dari dokumen-dokumen Thai dan Barat) (Nakohn
Pathom: Department of History, Faculty of Arts, Silpakorn
University).
Rajanughab, Pangeran Damrong (Penyunting), 1991. Phra Ratcha
phongsawadan Krung Si Ayutthaya Chabab Phra Ratcha Hatlekha
(Annual of Ayutthaya, Royal Autograph Edition) (2)
(Bangkok: Chumnum Sahakorn).
Savoy, Roger, 1980. Iran under the Safavids (Cambridge: Cambridge
University press).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
138
Scupin, Raymond, 1980. “Islam in Thailand before the Bangkok Period”
in Journal of the Siam Society, 69 (1).
Sinnappah Arasaratnam, 1984. “The Coromandel-Southeast Asia
Trade 1650-1740: Challenges and Responses of a Commercial
System” dalamJournal of Asian History, 18(2): 113-135.
Smithies, Michael, 1997 (Penerjemah).The Chevalier de Chaumont and
the Abbé de Choisy Aspects of the Embassy to Siam 1685 (Chiang
Mai: S The Islamic Patronage Act of 1945 Ilkworm Books).
Sykes, Percy, A History of Persia (2), 1969, 3rd Edition (London: Routledge
and Keagan Paul)
Teeuw, A. dan David K. Wyatt, 1970. The Story of Patani, Vol. 2 (The
Hague: Martinus Nijhoff).
Thabataba’i, Husein, 1989. Shi’a, Terjemahan dari Hussein Nasr ( Qum:
Ansariyan)
Whitaker,Donald P., 1973. Area Handbook for the Khmer Republic
(Cambodia) (Washington: U.S. Government Printing Offi ce).
Prachum Karp Hei Ruea Samai Ayutthaya (Himpunan Sajak yang dinyanyikan
dalam Pawai Kapal-kapal Tongkang Siam pada periode
Ayutthaya), 1961 ( Bangkok: Kurusapa, 1961).
Prachum Phongsawadan Phak Ti 41 Jotmaihet Pohka Farangseth (Collected
Historical Data on the French Merchants’ Records) 41, 1968
(Bangkok: Kurusapha).
The Collected Laws of Islam, 1997 ( Bangkok: Nidhivedh).
The Thai Encyclopedia of the Royal Institute, 4, 1969.
141
SIGNIFIKANSI SYIAH PERIODE
ALAWI PRA-HISPANIK HINGGA
ITSNA ASYARIYAH MODERN
DI FILIPINA
Yusuf Roque Santos Morales
Pengantar Seperti setiap negeri yang mempunyai populasi Muslim yang
cukup besar, Filipina dihadapkan dengan sederet isu dan
masalah dengan populasi Muslimnya. Diplomasi petro-dolar
pada hakikatnya menghasilkan orang-orang yang menyebarluaskan
akidah Salafi , yang mengasingkan bangsa Moro—istilah untuk
Muslim Filipina yang lahir di Mindanao dan Palawa selatan yang
termasuk ke dalam 13 kelompok etnolinguistik—dari akar mereka dan
menyelundupkan suatu bentuk Islam yang asing di Filipina Selatan.
Sebelum menyelidiki lebih jauh akar-akar historis bangsa Moro,
izinkan kami menelusur ke belakang untuk melihat pengaruhpengaruh
yang dilakukan secara historis sebentuk penindasan kepada
Syahadat, dan sebab-sebab keberhasilan kelompok Salafi dalam
mendapat tumpuan yang aman dan melawan pengaruh Ba’alawi
(Saadat) pada Kamaasan (nama lain kaum Islam Syarifi ). Ketika kami
mengacu kepada Syarifi ini,169 umumnya menunjuk kepada: 1)
keturunan Nabi Muhammad melalui Imam Hasan, maupun; 2) Sayyid
di Asia Tenggara,170 khususnya orang-orang yang melacak garis
169 Mengacu kepada setiap keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya Husein.
170 Hal ini pada umumnya merujuk pada setiap keturunan Nabi Muhammad melalui Husein.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
142
keturunan mereka melalui Salip Pitu (tujuh sayyid yang membawa Islam
ke Filipina),171 kami juga mengacu kepada mereka sebagai Ba’alawi172
yang juga merupakan istilah lain yang umum bagi para sayyid yang
berpusat di Asia Tenggara yang telah mensinkretiskan baik Syiah
maupun unsur-unsur Sunni, khususnya di Johor.
Penindasan Amawi173 dan Abbasiyah174 terhadap Saadat
mengakibatkan perpindahan para keturunan Nabi Muhammad yang
membawa serta ajaran-ajaran berharga nenek moyang mereka yang
termasyhur. Ini adalah latar belakang umum perpindahan Syarif dan
Alawi yang telah menghasilkan peralihan agama penduduk lokal
dan perkawinan silang. Di sisi lain, sejak populernya Timur Tengah
sebagai tempat untuk bekerja bagi orang-orang Filipina, banyak orang
Moro dan Filipina pergi ke Timur Tengah dan di sana ditarik masuk
ke dalam Salafi sme. Akibatnya, de facto mereka kembali ke kampung
halaman sebagai penyerbar Islam Salafi di lingkungan setempat.
Salah satu pembenaran mereka yang utama untuk menentang
Islam Syarifi adalah praktek-praktek pribumi lokal berasal dari
Hindu. Lantaran tidak mempunyai pengertian dan pengetahuan akan
penyebaran semula pengetahuan lisan dan sejarah garis silsilah para
Syarif, mereka memaksakan jenis dan pengertian Islam mereka sendiri
kepada sanak famili dan tetangganya. Dikarenakan mampu secara
fi nansial, mereka menjadi lebih berpengaruh dan berani menyangkal
dan menentang para sejarawan, khatib, rohaniawan, dan Salip lokal
untuk memaksakan kepercayaan mereka.
Islam Syarifi dan Ba’alawi
Bertentangan dengan Islam Salafi yang dipengaruhi dan berasal
dari Saudi, kami menyebut Islam lokal sebagai Islam Syarifi atau
Ba’alawi, untuk menyoroti signifi kansi kaum Saadat175 dan ajaran
mereka ketika tiba di Filipina. Islam di Filipina dibawa oleh para
keturunan Nabi Muhammad. Istilah Syarifi menandakan bahwa
mereka adalah keturunan Imam Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Akan
171 “Salip” adalah kata yang sudah mengalami perubahan untuk Syarif.
172 Ba’alawi tertuju pada para kaum sayyid yang mengikuti tarekat Sufi yang terutama bermula di
Yaman.
173 Keturunan orang-orang yang berasal dari garis keuturunan Bani Umayah.
174 Keturunan Bani Hashim dari Ibnu Abbas yang dikemudian hari merebut kekhalifahan dari Bani
Umayah menjadi Abbasiyah.
175 Al-Saadat berarti keturunan Nabi Muhammad.
SIGNIFIKANSI SYIAH PERIODE ALAWI PRA-HISPANIK
HINGGA ITSNA ASYARIYAH MODERN DI FILIPINA
143
tetapi, orang yang melihat dan mempelajari sumber-sumber umum
genealogi di Asia Tenggara, dapat melihat bahwa mayoritas keluarga
para Sultan yang berkuasa yang berasal dari Hadhramaut Yaman
adalah keturunan Ali al-Oraidi, salah seorang putera Imam Ja’far as-
Shadiq. Ada juga garis keturunan lain yang berasal dari Imam Zayd bin
Muhammad (saudara Imam Baqir) dan ada juga melalui Imam Hasan.
Hal ini dapat diketahui pasti dari tarsilas—mata rantai garis
silsilah masing-masing Salip, yaitu nama lokal untuk para keluarga
sayyid atau syarif—, yang juga dapat dilihat terukir di tanda-tanda di
makam para sayyid ini. Karya Majul (1999) yang monumental mengenai
Muslim Filipina, Islam in the Philippines, mencatat raja yang berkuasa di
Maguindanao dan Sulu mengandung nama-nama Ahl al-Bayt.
Warisan Syarifi Bangsa Moro
Kedatangan pertama sepuluh datu yang dipimpin oleh Datu
Puti menandakan kedatangan informal Islam di Filipina. Para datu
meninggalkan Kalimantan untuk menghindari penindasan yang
dilakukan terhadap mereka oleh seorang sultan yang sedang berkuasa
yang masih merupakan sanak mereka sendiri. Meskipun para sejarawan
Filipina mencoba menyembunyikan fakta itu, tarsilas yang berbeda
yang ada di kalangan keluarga kerajaan Asia Tenggara dan juga di
kalangan Syarif Filipina Selatan menunjukkan hal itu dengan jelas.
Sepuluh datu itu menetap di wilayah Visayas dan di Luzon selatan. Di
sanalah para pemimpin historis Tagalog bertempur melawan pasukan
Spanyol dan belakangan menjadi vasal Sultan Sulu. Rajah Soliman dan
Rajah Mutanda adalah dua di antara sepuluh datu tersebut.176
Nenek moyang Kesultanan Sulu, Syarif Karimul Makhdum, tiba di
Bohe Indangan Simunul Tawi-Tawi. Dikemudian hari, dia disusul oleh
para syarif dan sayyid lain di Filipina Selatan. Keluarga kerajaan Sulu
dan para Sultan Sulu menelusuri garis silsilah mereka melalui para
sayyid ini. Sedang keluarga Kerajaan Mangindanao menelusurinya
melalui Syarif Kabungsuwan. Sebelum datangnya kaum syarif,
rakyat di seluruh kepulauan Filipina adalah orang Melayu yang
‘terindianisasi’ dan menganut suatu sistem kepercayaan yang mirip
dengan sistem Hindu karena dulu merupakan koloni Shri Vishaya dan
176 Raja Sulayman menurut tarsilas Brunei dan Sulu adalah raja berdaulat terakhir Kota Seludong
di Manila dan kemenakan langsung sultan yang berkuasa di Sulu dan Brunei pada masa itu.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
144
Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, sistem sosial keagamaan yang
dianut mereka sangat mirip dengan sistem Hindu. Hal ini nyata dalam
sistem kelas yang tetap bertahan bahkan setelah datangnya para sayyid.
Dari perspektif arkeologis, sejarah maupun religius, para syarif
benar-benar mempunyai mata rantai kunci untuk memahami sejarah
Moro dan Filipina. Tarsilas mereka mempunyai informasi penting
untuk memahami sejarah sekuler maupun Islam di Filipina.
Signifi kansi Syiah di Filipina
Secara historis, tumpuan Islam pertama di Filipina dibangun
oleh kaum Syiah. Syiah merupakan warisan para keturunan Nabi
Muhammad yang dibawa sebagai bagian dari warisan religius mereka.
Kesaksian akan warisan ini diberikan oleh semua kuburan kaum Saadat
di sekitar Mindanao, Sulu dan Tawi-Tawi. Kebudayaan yang kaya yang
membicarakan Parang Sabil (Shahadah) dan Parang Karbala (Hikayat
Karbala), yang menceritakan kisah-kisah pengorbanan kaum Saadat dari
Muhammad Hanafi yah (Bin Ali Hanafi yah), Imam Hasan dan Husein,
Zayd bin Ali dan bahkan Ismail bin Muhammad. Doa-doadan ziyarah pa
quboor (ziarah ke kuburan) sebelumnya aktif dilaksanakan, dan sekarang
pun relatif masih dilakukan di kalangan garis keturunan syarif dan
orang-orang yang tinggal di dekat kuburan-kuburan ini.
Ada banyak bukti yang dapat menunjukkan secara tepat bahwa
Syiah merupakan Islam asli yang pertama tiba di Filipina dan bahwa
tradisi-tradisi inilah yang merupakan fundasi moral dan spiritual Islam
di Mindanao, Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi. Pusaka warisan ini dapat
ditemukan dalam tarsilas, adat-istiadat dan tradisi religius, bahkan
dalam dokumen-dokumen.Bahkan para kaum Sunni Syafi ’i-Asy’ari
di Filipina Selatan juga menyetujui signifi kansi Ahl al-Bayt melalui
praktek-praktek ini.
Ziarah Religius
Pagtibauw qubr (kunjungan ke kuburan) sudah merupakan praktek
yang melembaga di kalangan bangsa Moro yang ditentang oleh
penganut Salafi . Praktek ini sudah ada sejak awal kedatangan kaum
syarif. Di kalangan Kamaasan (orang-orang yang setia kepada praktekpraktek
dan adat istiadat kaum syarif), praktek ini terkadang dilakukan
sebagai “panulak-bala” (untuk menjauhkan bencana-bencana). Makammakam
kaum Saadat dikunjungi selama hari-hari yang penting seperti
SIGNIFIKANSI SYIAH PERIODE ALAWI PRA-HISPANIK
HINGGA ITSNA ASYARIYAH MODERN DI FILIPINA
145
Isra Mi’raj, Maulud Nabi, dan Nisfu Sha’ban untuk melaksanakan
pagtibauw atau pagtayti-ihini.
Bahkan sebelum kedatangan generasi-generasi misionaris yang
belakangan, warisan para syarif adalah sumber utama bimbingan
dan pengetahuan religius. Orang Muslim atau khususnya Kamaasan
memberi penekanan istimewa pada kunjungan kubur ini atau apa yang
lazimnya disebut Tampat Salip (kuburan para syarif). Banyak orang
yang beralih ke Syiahisme pada 1960-an, terutama dari para keturunan
kaum Saadat ini atau orang-orang penganut aktif tradisi Kaamasan.
Pagtibauw qubr dapat digunakan sebagai mekanisme untuk memanggil
orang-orang Muslim kepada Ahl al-Bayt. Dibuktikan bahwa makammakam
ini adalah bagian dari jaringan rumit makam-makam kaum
Saadat di seluruh dunia yang dikunjungi oleh banyak kaum Muslim
dan khususnya Syiah untuk menghormati Ahl al-Bayt.
Kaum Syiah di Filipina memanfaatkan ziyarat dan kunjungan
kuburan-kuburan ini sebagai salah satu bagian paling menarik dalam
memanggil orang kepada Ahl al-Bayt, untuk menjelaskan signifi kansi
historis mengapa Saadat meninggalkan Timur Tengah dan tiba di Asia
Tenggara, khususnya di Filipina, menetap dan melarikan diri dari
penindasan yang terjadi terhadap Ahl al-Bayt, khususnya terhadap
kaum Saadat. Krena Orang Moro—13 suku etnolinguistik Filipina
Muslim—memberi penekanan istimewa pada Tampat Salip ini dan
kebiasaan ziyarat untuk menyatukan kaum Ahl al-Bayt, sekaligus
menjadi metode dakwah yang signifi kan dan efektif.
Tipe-Tipe Syiah
Para Kaguruhan (dukun Muslim lokal tradisional) menceritakan
secara luas bahwa ilmu mereka berasal dari Ali Hanafi yah Muhammad
bin Ali Hanafi yah, dari Muhammad Sayyid (Zayd bin Ali). Beberapa
cerita juga menyebutkan hikayat para Imam hingga Imam Musa al-
Kadzim.177 Hal ini dipadukan lagi dengan cabang-cabang tarekat Sufi
lainnya seperti Qadariyah dan ordo-ordo Sufi lainnya yang berasal dari
daratan. Buku pedoman doa dan jimat lokal menunjukkan kehadiran
kuat simbol-simbol Panji-itan Pak (Lima yang Suci) dan juga nasqsh
(simbol-simbol mistik dari Mafatih al-Jinan).178
177 Imam ketujuh dari rangkaian Itsna Asyariyah (Penyunting).
178 Mafatih al-Jinan (Kunci-Kunci Surga) adalah karya Syaikh Abbas al-Qummi yang berupa
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
146
Tradisi-tradisi terkemuka bangsa Moro yang tidak dapat disangkal
adalah sebagai berikut: Kapituan (doa tujuh hari setelah orang meninggal,
dengan pembacaan Shalawat dan ayat-ayat Alquran) dan Ka’apatan (doa
40 hari khususnya untuk para sarjana dan Syahid); ajaran kepada anakanak
tentang Panjitan (Ahl al-Bayt) yang juga dikenal di tempat-tempat
lain sebagai Omboh Lima; Jiarah atau Ziyarat dan Tahlil di kuburan Awliyah;
pembacaan dua dan ayat selama Nisfu Sha’ban; penantian kembalinya Ali
Hanafi yah; pada waktu-waktu lain Guruh Purnah (Guru yang Sempurna)
dan cerita-cerita mengenai dia yang bertempur melawan para penguasa
lalim (jelas itu merupakan kisah pemberontakan awal kaum Syiah oleh
Kiysani, Zaydi, dan imam-imam Ismaili); dan pengutukan anak-anak yang
berperangai buruk sebagai “Yazid Inih’ atau: Anak Mu’awiyah inih.” Banyak
cerita pengkhianatan kepada Ahl al-Bayt dan juga kepada kaum Alawi
umumnya masih dapat ditemukan di kalangan para praktisi ilmu Kaamasan,
dan juga praktek-praktek mereka yang terus mengutuk kedua orang ini.
Tempat-tempat terkemuka di Mindanao yang masih melekat pada
praktek-praktek ini, walaupun tidak berhenti di sini, antara lain:
1. Tubig Indangan Simunu Tawi Tawi (lokasi masjid tertua di
Filipina) yang dibangun oleh Syarif Karimul Makdhum dan
dimakamkan di dekatnya.
2. Pulau Laminusa (kearah laut pantai Siasi, Sulu) tempat
makam Syarif Hassan Alawi dan juga makam kecil Iskandari
(keturunan Iskandar), dari tempat inilah Laminusa Sama lokal
melacak keturunan mereka.
3. Bud Bongao, tak jauh dari beberapa komunitas yang tinggal
di sekitarnya dan mengurus ammal (ritual-ritual religius) yang
dipraktekkan.
4. Bayang, Lanao tempat yang mereka pandang sebagai paddang
Karbala dan tempat untuk mengenang kembali peristiwaperistiwa
Karbala dalam puisi dan lagu.
5. Wilayah-wilayah terpilih di Mindanao Tengah seperti
Midsayap, Cotabato Utara, dan Dato Odin Sinsuat, juga
Maguindanao tempat para Saadat yang masih hidup dan
melindungi tradisi mereka.
kompilasi doa-doa paling populer di kalangan Ahl al-Bayt. Terjemahan dari buku Mafatih al-
Jinan ini sudah diterbitkan oleh Al-Huda (Jakarta) sejak 2008 (Penyunting).
SIGNIFIKANSI SYIAH PERIODE ALAWI PRA-HISPANIK
HINGGA ITSNA ASYARIYAH MODERN DI FILIPINA
147
Kami hanya menyebut beberapa wilayah untuk menarik perhatian
tentang keadaan menyedihkan para Alawi Saadat. Banyak dari kaum
Saadat ini telah menganut Syiah. Nyatanya beberapa orang Keraton/
kedatuan/karatuan yang merupakan garis keturunan Alawi telah
menganut Syiah akibat peristiwa Revolusi Islam Iran dan juga berkat
penyebaran buku-buku dan lain. Tradisi-tradisi Kamaasan yang laten
telah menemukan suatu sekutu baru dengan datangnya Syiah berkat
suksesnya Revolusi Islam Iran. Para aktivis muda Muslim, yang dulu
tergila-gila dengan gerakan sosialis dan sedang mencari suatu cara
untuk mengharmoniskan Islam dengan kepercayaan mereka sedang
mencari inspirasi baik secara intelektul maupun spiritual, diperkuat
oleh wacana Ali Syariati dan Imam Khomeini (Quddisah Sirruh) dan
juga literatur lain. Banyak ulama mulai mempelajari kembali secara
serius dan turut dalam wacana-wacana intelektual yang mengemuka.
Beberapa sarjana dan intelektual Muslim di Filipina, seperti almarhum
Syaikh al-Islam Abdulghani Yusuf, Mufti pertama Filipina, seorang
pemikir lulusan Universitas al-Azhar, akhirnya sadar akan akar Islam
Moro dalam Alawi dan asal-usul Syiah. Para sarjana lain seperti Ustaz
Ulumuddin Said, orang sezaman lainnya, menganut pemikiran ini.
Intelektual seperti Datu Amilussin Jumaani, anak didiknya Ustaz
Najeev Rasool dan orang-orang lain, kini telah memulai membangun
kembali intelektual dan perwujudan kesadaran kaum Syiah di Filipina.
Hal ini dimungkinkan berkat fakta bahwa Islam Syiah memberi
kepada para intelektual yang juga aktivis ini, suatu gambar dan
cetak biru pengganti ideologis yang lebih jelas bagi sosialisme, yang
merupakan mode ideologis bagi para aktivis Muslim di negeri itu pada
awal 60-70-an. Orang-orang yang terpikat dengan ideologi ini antara
lain adalah pendiri Front Pembebasan Nasional Moro, Nuruladji
Misuari. Orang yang beralih dari madzhab Sunni dan Kristen tertarik
dengan syahadat Syiah karena kondisi berikut ini:
1. Kontak dengan para kaum Syiah yang tinggal di wilayahnya.
2. Buku-buku yang ditulis oleh ulama Syiah tersedia melalui
perpustakaan dan korespondensi dari Republik Islam Iran,
Pakistan dan Lebanon.
3. Kuliah-kuliah yang diberikan para ulama dan profesor yang
sedang berkunjung.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
148
4. Qari Alquran Iran yang mengunjungi Filipina itu selama bulan
Ramadhan.
5. Perjalanan dan forum-forum intelektual ke wilayah-wilayah
yang berbeda mengekspos cita-cita Islam Syiah.
Masuknya para praktisi Sufi secara serempak dengan datangnya
para misionaris Syiah mula-mula dan juga tren sekarang ini di kalangan
Muslim tertentu juga mempertinggi pengaruh Alawi dan menambah
penghormatan kepada para Syarif karena kaum Sufi menyatakan cinta
dan ketaatan yang sangat kuat kepada Nabi Muhammad khususnya
terwujud dalam Maulud mereka (yang merupakan lembaga lain yang
dipengaruhi oleh kaum Alawi).
Dikarena oleh serangan gencar Islam Salafi yang dibawa ke
kampung halaman dengan kembalinya para pekerja kontrak Filipina
dari luar negeri, orang-orang yang beralih memeluk Syiah dan misionaris
menjaga para praktisi ilmu Kamaasan tetap di pedalaman dan daerah
propinsi. Sementara kaum Syiah tetap merupakan minoritas dalam
minoritas, mereka rentan terhadap serangan-serangan kebencian oleh
para ekstremis pengikut Salafi . Korban dari serangan-serangan seperti
itu antara lain almarhum Syaikh Hajal Jubal, seorang sarjana didikan
Qum, Sultan Ali Baraguir, seorang pemimpin komunitas, almarhum
Datu Jemson Ismail, seorang Daiyah Syiah dan pemimpin komunitas
dan Ustaz Najeeb Rasool yang masih hidup dan lumpuh parah akibat
serangan-serangan kebencian ini.
Akan tetapi, meskipun ada kejadian-kejadian ini, Syiah relatif
membuat segelintir terobosan selama masa itu. Kehadirannya dirasakan
dalam kegiatan-kegiatan antar-agama dan pekerjaan membangun
perdamaian di dalam negeri. Beberapa intelektual Muslim terkemuka
juga beralih menganut Syiah. Setelah kesyahidan para pemimpin ini
dan juga wafatnya Jumaani, ada keberhasilan kecil lainnya dalam
proses pembangunan pusat-pusat Islam yang kecil di Filipina. Pusatpusat
itu melayani komunitas-komunitas Muslim Syiah yang ada di
Filipina.
Kumpulan intelektual dan sarjana Syiah yang sekarang adalah
orang-orang sezaman, sementara yang lainnya sebagian besar adalah
anak didik mereka. Orang-orang yang berusaha meniru prakarsa
yang telah dilakukan sepuluh tahun lalu dalam skala yang lebih
SIGNIFIKANSI SYIAH PERIODE ALAWI PRA-HISPANIK
HINGGA ITSNA ASYARIYAH MODERN DI FILIPINA
149
kecil, baik dalam perkumpulan antar-agama, intelektual maupun
penggiat perdamaian, sebagian besar adalah anak didik pada pelopor
Syiah di negeri itu. Mereka antara lain adalah pebisnis, mahasiswa,
para profesional, intelektual, dan mantan anggota Majelis Ahl al-Bayt
Filipina.
Dukungan dari Iran untuk prakarsa-prakarsa ini tidak kuat karena
kebuntuan diplomatis di antara Republik Islam Iran dengan Filipina
dan juga tekanan kepada para penyebar dan sarjana Syiah baik dari
militer maupun dari rekan Salafi yang mempunyai dukungan dana
yang besar dari Arab Saudi. Akan tetapi, belum dilakukan studi yang
menyeluruh mengenai pengaruh-mempengaruhi faktor-faktor ini baik
dari perspektif internal maupun eksternal. Masa depan menyimpan
kepastian dan ketidakpastian bagi mereka.
Bergerak Maju
Kalau kaum Syiah dan praktisi Kamaasan hendak bergerak maju
pada tahun-tahun yang akan datang, mereka harus menangani isuisu
berikut ini yang mungkin harus dihadapi dengan cara-cara yang
kreatif yang bukan berupa serangan frontal terhadap perasaan kaum
Salafi :
1. Membuka pintu bagi wacana intelektual dan dialog di antara
kaum Sunni dan Syiah di dalam negeri. Kucuran uang Saudi
tak tertahankan bagi para penyebar dan sarjana Syiah karena
mereka disebut secara terbuka sebagai orang tak beriman.
2. Kode Hukum Personal Filipina atau yang umum dikenal
sebagai PD 1083 adalah hukum yang mengatur orang Muslim
di dalam negeri dan masih belum diamandemen untuk
mencakup orang Muslim yang merupakan anggota madzhab
yang lain. Hukum itu menyebutkan secara eksplisit hanya
mengakui empat madzhab hukum Sunni.179 Dibutuhkan
penilaian atas prakarsa-prakarsa yang mengizinkan para
penganut madzhab Ja’fari mendapat pengakuan dan akses
yang sama kepada hukum syariah di dalam negeri.
3. Dari sudut pandang lembaga pendidikan, mayoritas
kurikulum dalam studi-studi Islam dibatasi pada ajaran Salafi .
Hal ini lantaran pengaruh para sarjana didikan-Saudi dan juga
179 Keempat hukum Sunni yang dimaksud adalah Hanafi , Maliki, Syafi ’i dan Hanbali (Penyunting).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
150
para politisi berorientasi Salafi . Penulis bisa ikut ditugaskan
untuk membantu rancangan dan konsep kurikulum studistudi
Islam baru dan mempersiapkan program sarjana
yang baru dalam studi-studi Islam, hanya secara kebetulan,
mungkin karena posisi penulis saya sebagai konsultan pada
panel teknis pada studi-studi Islam untuk Komisi Pendidikan
Tinggi.
4. Kebutuhan untuk menciptakan lembaga pendidikan dan
riset yang dapat membantu pemerintah Filipina di bidang
isu-isu intelektual dan pendidikan yang merupakan warisan
dan karakteristik Syiah. Jelaslah, sebagian besar fi losof dari
dunia akademik akan lebih suka melaksanakan diskursus dan
pertukaran ide dengan para sarjana Syiah yang dirasa lebih
unggul secara intelektual dan memberi mereka (kaum fi losof)
keuntungan yang besar sekali lewat pertukaran ide-ide.
5. Organisasi-organisasi seperti Astan Qudz Razavi dan Dewan
Ahl al-Bayt Dunia, bermitra dengan lembaga-lembaga riset
lokal, akan melakukan hal-hal berikut:
a) Riset yang luas dan berbasis arkelogi untuk mengidentifi kasi
dan melindungi qubors dan membangun jaringan sehingga
para pengikut Ahl al-Bayt dapat mengunjungi tempat ini
dan melaksanakan ziyarah.
b) Astan Qudz Razavi dan Dewan Ahl al-Bayt Dunia dapat
memelopori usaha demikian agar dapat memberikan
logistik untuk menghimpun informasi lebih banyak
mengenai lokasi dan renovasi tempat-tempat suci ini.
c) Koordinasi dengan lembaga-lembaga yang bersejarah
dalam negeri yang berpotensi menjelaskan potensi turisme
dari suatu perspektif historis dan religius.
d) Mendorong maju prakarsa-prakarsa serupa di negerinegeri
lain yang mempunyai tempat-tempat keramat
terkemuka kaum Saadat.[]
SIGNIFIKANSI SYIAH PERIODE ALAWI PRA-HISPANIK
HINGGA ITSNA ASYARIYAH MODERN DI FILIPINA
151
Daftar Pustaka
Jumaani, Datu Amilussin, History of Shiism in the Philippines, makalah
disajikan pada Dewan Ahl al-Bayt Dunia, 1998.
Majul, Cesar Adeeb, 1999. Muslim in the Philippines(Manila:University
of Philippines Press).
Martinez, Meinrado, 2011. “Looking Back at Lost Moro Kingdoms”,
ICAS Phils.
Morales, Roque Santos, Muslim Filippinos in the Context of Shiism: Past,
Present and Forward (artikel di blog).
___________________, The Dilemma of the Shia Balik Islam in the Philippnes,
(artikel di blog)
___________________, Cultural Needs and Areas of Exploration in the
Philippines, (artikel di blog)
___________________, In Search of the Sharifi Heritage. Understanding the
Signifi cance of theb Sharifi Qubrs in the Philippines. (artikel di
blog dan catatan Facebook)
___________________,Where are the Missing Moros? Looking into the
Tributaries and Relatives of the Sultans of Sulu pre-Spanish Circa
(artikel di blog dan catatan Facebook)
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
152
153
SAYYIDINA HUSEIN DALAM
TEKS KLASIK MELAYU
Mohd Faizal Bin Musa
Pengantar Dalam tradisi sastra klasik Turki, Persia, dan Indo-Pakistan,
keberadaan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein amat
signifi kan. Gambaran tentang Sayyidina Husein misalnya
memiliki kedudukan yang kokoh dalam tradisi masyarakat Turki
seperti yang ditunjukkan oleh puisi-puisi mistikal karya Yunus Emre.
Syair tradisional Turki khususnya yang berkaitan dengan kumpulan
tarekat Bekhtashi sering dirujuk dan disebut bersama dengan
madzhab Syiah. Gejala yang sama juga terdapat dalam sastra klasik
Indo-Pakistan seperti yang tertuang dalam elegi naratif atau ‘martsiya’
karya Muhammad Muhsin yang berasal dari Sind. Bahkan sosok
Sayyidina Husein dalam tradisi sastra Indo-Pakistan terus mengakar
dan memberikan pengaruh besar kepada penyair dan fi losof Sunni,
Muhammad Iqbal, yang menonjolkan kecintaan luar biasa beliau
dalam karya-karyanya (Schimmel 2004: 53-60).
Penting ditekankan di sini, seperti yang tercermin dalam karyakarya
Iqbal, citra Sayyidina Husein dalam karya sastra tidak hanya
muncul dalam karya-karya pengarang bermadzhab Syiah saja. Bahkan
sosok Sayyidina Husein muncul dalam karya-karya penulis bermadzhab
Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni, khususnya jika penelitian subjek
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
154
ini dilakukan pada genre elegi atau martsiya berbahasa Arab dan Persia.
Hal ini misalnya terlihat jelas dalam kasidah karangan Imam Syafi ’i
(salah seorang tokoh fi qh madzhab Sunni). Lynda G. Clarke (2001: 89-
90) sebagai contoh menyatakan bahwa sosok Sayyidina Husein tidak
saja merujuk kepada karya-karya pendukung Syiah. Kutipan berikut
akan memperkuat argumentasi tersebut. Martsiyah di bawah ini, karya
Imam Syafi ’i setelah menyampaikann kesedihan pribadi, serta sosok
sang syahid, kemudian menyatakan kecintaan si penyair kepada Ahl
al-Bayt Nabi secara keseluruhan. Kata Imam Syafi ’i:
Hatiku mengeluh, karena hati manusia sedang merana
Kantuk tak lagi datang, susah tidur membuatku pusing
Wahai, siapa yang akan menyampaikan pesanku kepada Husein
(Meskipun hati dan pikiran sebagian orang mungkin tidak setuju)
Yang dibantai,meski tak berdosa
Bajunya seakan-akan dicelup basah dengan warna merah
Kini hatta pedang pun meratap, dan tombak menjerit
Dan kuda yang kemarin meringkik, kini meratap
Bumi bergempa karena keluarga Muhammad
Demi mereka, gunung-gunung yang kukuh niscaya akan meleleh
Benda-benda langit rontok, bintang-bintang gemetar
Wahai cadur-cadur dirobek, demikian juga hati
Orang yang bershalawat untuk dia yang diutus dari kalangan Bani
Hasyim
Dia juga memerangi anak-anaknya. Duhai alangkah anehnya
Jika aku dianggap berdosa karena cinta kepada keluarga
Muhammad
Maka aku tidak akan bertaubat dari dosaku itu
Qasidah Imam Syafi ’i juga patut dicatat sebagai produk Sunni.
Kenyataan bahwa beliau juga mengarang elegi-elegi lain semacam itu
telah dibuktikan, dan tampaknya banyak tokoh Madzhab Syafi ’i (dan
juga Hanafi ) di masa awal yang juga melakukan hal yang sama. Akan
tetapi, bahkan kesaksian orang seperti Imam Syafi ’i akan cintanya
kepada Keluarga Nabi di masa yang berbahaya itu membuatnya
dituduh sebagai “orang yang tidak ortodoks” (non-Sunni).
Dalam kajiannya, G. Clarke juga mengutip bait-bait puisi karangan
Sana’i,yang juga merupakan seorang penyair Sunni, dari karyanya
Hadiqat al-Haqiqah. Pendapat G. Clarke tersebut menunjukkan gambaran
sosok Sayyidina Husein yang sangat signifi kan dalam tradisi sastra
klasik Arab dan Persia. Karena Schimmel juga menekankan betapa sosok
Sayyidina Husein mendapat tempat yang penting dalam tradisi sastra
klasik Turki, dan Indo-Pakistan, maka tidak berlebihan jika dinyatakan
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 155
di sini Sayyidina Husein dan peristiwa pembunuhan yang kejam itu
muncul di seluruh wilayah umat Islam, baik tradisi Turki, Indo-Pakistan,
Persia maupun Arab. Citra Sayyidina Husein ini juga mendapat tempat
di hati penyair-penyair Sunni dan Sufi . Ini membuktikan bahwa sosok
Sayyidina Husein yang menembus batas geografi s menjadikannya
sebagai sosok supra-madzhab milik semua umat Islam, dan tidak semata
terbatas kepada para pendukung madzhab Syiah.
Akan tetapi, timbul pertanyaan, sejauhmana sosok Sayyidina
Husein ini mendapat tempat di Nusantara. Esai ini akan mengupas
dan memaparkan beberapa pandangan awal mengenai kedudukan
dan keutamaan Sayyidina Husein dalam teks klasik Melayu. Untuk
tujuan itu, tulisan ini hanya akan merujuk pada tiga hikayat pendek
era klasik berjudul Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat
Hasan Husein Tatkala Akan Matidan Hikayat Tabut. Pemilihan terhadap
ketiga teks ini tentunya tanpa menafi kan keberadaan hikayat-hikayat
lain, khususnya Hikayat Muhammad Hanafi yah yang merupakan sebuah
karya yang paling sering disinggung para sarjana sastra apabila
subyek Syiah dan Sayyidina Husein diperbincangkan. Esai ini akan
mendiskusikan kedudukan ketiga hikayat tersebut dalam korpus sastra
klasik Melayu. Selain itu, esai ini juga akan membahas kemungkinan
bahwa hikayat-hikayat ini merupakan satu ‘petanda budaya’ yang
tidak boleh disisihkan. Persoalan ini juga mengangkat pertanyaan
mengenai apakah umat Islam di wilayah ini merupakan penganut
Ja’fari (madzhab Syiah) atau hanya merupakan satu dedikasi dan elegi
kedukaan sebagaiman ditunjukkan oleh Imam Syafi ’i dalam karya
sastranya, mengingat sebagian besar umat Islam di Nusantara hari ini
adalah penganut madzhab Syafi ’i. Tulisan ini hanyalah merupakan
satu hipotesis awal yang memerlukan kajian lebih lanjut, penulis akan
membatasi pembicaraan mengenai sosok Sayyidina Husein saja.
Kedudukan Ahl al-Bayt di Mata Sunni
Ahl al-Bayt Rasulullah mempunyai kedudukan yang tidak dapat
dinafi kan begitu saja dalam madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Terdapat banyak dalil dalam Alquran dan hadist untuk dijadikan hujjah
(argumentasi) bagi kenyataan tersebut. Tulisan ini akan mendatangkan
lima hadist dari tiga sumber Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah untuk
mendukung pendapat tersebut. Hadist nomor 1477 dari Sahih Bukhari
mengungkapkan:
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
156
Dari Abdurrahman bin Abu Laila r.a katanya: Ka’ab bin Ujrah
menjumpai saya, lalu ia berkata: ‘Bolehkah saya hadiahkan kepada
engkau satu hadiah yang saya dengar dari Nabi Muhammad?’
Jawab saya: ‘Ya, baiklah! Hadiahkanlah kepada saya!’ Lalu ia
berkata: ‘Kami bertanya pada Rasulullah: ‘Bagaimanakah caranya
shalawat kepada tuan sekeluarga? Sesungguhnya Tuhan telah
mengajar cara kami memberi salam.’ Beliau bersabda: ‘Bacalah:
Wahai Tuhan! Berilah rahmat atas Muhammad dan keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi rahmat atas
Ibrahim dan keluarga Ibrahim! Sesungguhnya Engkau Maha
Terpuji lagi Maha Mulia. Wahai Tuhan! Berilah keberkatan atas
Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau
telah memberi keberkatan atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia’ (Bukhari
2002: 201).
Hadist nomor 645 dari Musnad Imam Ahmad mengungkapkan:
Fadhl bin Dukain menceritakan kepada kami, Yasin al-‘Ijli
menceritakan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad bin al-
Hanafi yah, dari bapaknya dari Ali r.a, dia berkata: Rasulullah
bersabda: ‘Al-Mahdi berasal dari kami Ahl al-Bayt. Allah menerima
taubat dan memberi taufi k kepadanya pada malam hari. Sanad
hadist ini adalah sahih dan kalimat yuslihuhullahu fi lailatin
pada matan hadist menurut Syarah as-Sanadi oleh Ibnu Katsir
menjelaskan ia bermaksud: ‘Aku menerima taubatnya, taufi k
dan ilham kepada akalnya yang sebelumnya tidak diberikan
kepadanya’ (Ahmad bin Muhammad bin Hanbal 2006: 767).
Hadist nomor 3871 dari Sunan at-Tirmidzi mengabarkan:
Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Abu Usamah
memberitahukan kepada kami dari Fudhail bin Marzuq dari Adi
bin Tsabit dari al-Bara’ bahwa Rasulullah memandang Hasan dan
Husein lalu berdoa: ‘Wahai Allah! Sesungguhnya aku mencintai
mereka, maka cintailah mereka.’ Hadist ini merupakan hadist hasan
sahih (At-Tirmidzi 1993:720).
Penghargaan dan dedikasi untuk Ahl al-Bayt yang ditunjukkan
dalam hadist-hadist di atas bukanlah suatu penghargaan sematamata
karena mereka adalah keluarga Rasulullah melainkan karena
membawa petunjuk keagamaan yang utuh. Ini terlihat misalnya dalam
hadist berikut:
Nashr bin Abdurrahman al-Kufi menceritakan kepada kami, Zayd
bin al- Hasan—yaitu al Anmathi—menceritakan kepada kami, dari
Ja’far bin Muhammad, dari ayah Ja’far, yaitu Muhammad, daripada
Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah
melaksanakan ibadah haji pada hari Arafah, saat itu Beliau sedang
berkhutbah di atas untanya; Al-Qashwa. Aku mendengar Beliau
bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 157
(sesuatu) untuk kalian, sepanjang kalian berpegang teguh kepada
sesuatu itu niscaya kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu kitab
Allah dan itrati, keluargaku.
Hadist ini termuat dalam Sahih Sunan-nya At-Tirmidzi, dengan hadist
nomor 3786, pada bab sifat-sifat utama keluarga Nabi Muhammad
(2007: 864). Oleh karena itu, Ahl al-Bayt mendapat tempat yang istimewa
dan sama besarnya dengan Alquran dalam hadist tersebut, sudah
tentu Alquran sendiri sebagai wahyu Allah telah pula mengabarkan
keistimewaan Ahl al-Bayt ini. Hadist berikut menunjukkan nilai
sesungguhnya Ahl al-Bayt di sisi Islam. Hadist ini dapat ditemukan
dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi nomor 3787 (2007: 865):
Qutaibah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Sulaiman al-
Ashbahani menceritakan kepada kami dari Yahya bin Ubaid, dari
Atha’ bin Abu Rabah, dari Umar bin Khattab bin Abu Salamah—
anak tiri nabi Muhammad—ia berkata: Ayat ini diturunkan kepada
nabi: ‘Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa
darimu, hai Ahl al-Bayt, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya,’
(Al-Ahzab: 33) tentang keluarga Beliau. Beliau kemudian memanggil
Fatimah, Hasan dan Husein, dan menutupi mereka dengan pakaian.
Sementara itu, Ali bin Abu Thalib berada di belakang Beliau,
dan Beliau pun menutupinya dengan pakaian. Beliau kemudian
berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluargaku.
Maka hilangkanlah dosa daripada mereka, dan sucikanlah mereka
sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah berkata: ‘(Apakah) Aku bersama
mereka ya Nabi Allah.’ Rasulullah menjawab, ‘Engkau tetap pada
tempatmu, dan engkau tetap dalam kebaikan.’
Kedua hadist tersebut mengandung nilai hasan gharib yang
memberi penegasan supaya tidak mengabaikan Alquran dan Ahl al-
Bayt selain menguraikan siapakah yang dimaksudkan dengan Ahl al-
Bayt Rasulullah.
Hadist-hadist di atas, dan banyak lagi hadist lain, dengan nyata
memberi penghargaan yang tinggi kepada Ahl al-Bayt Rasulullah dan
meletakkan status Ahl al-Bayt di tempat yang tidak dapat diganggu
gugat. Karena esai ini bertujuan untuk membicarakan sosok Sayyidina
Husein dalam karya klasik Melayu maka tiga dalil keutamaan Ahl al-Bayt
menurut sumber-sumber madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah di atas
dianggap cukup memadai untuk menunjukkan kedudukan Sayyidina
Husein sebagai salah seorang Ahl al-Bayt Rasulullah. Sehubungan dengan
itu, melihat masyarakat Melayu di Nusantara yang sebagian besar adalah
penganut dan pendukung madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, maka
tidak berlebihan jika mengandaikan bahwa orang Melayu di wilayah ini
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
158
turut meletakkan Ahl al-Bayt di tempat yang sewajarnya sebagaimana
diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah. Persoalannya apakah sosok Ahl
al-Bayt, dalam konteks ini secara lebih khusus Sayyidina Husein, benarbenar
eksis dalam karya klasik Melayu?
Kedudukan Tiga Hikayat
Sebelum mengupas persoalan yang dikemukakan di atas, terlebih
dahulu perlu diperkenalkan tiga hikayat yang dimaksud yaitu Hikayat
Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan
Matidan Hikayat Tabut. Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak
dapat ditemukan di bawah katalog van Ronkel (1909) di halaman
490 dan katalog Naskah Melayu Museum Pusat Indonesia di Jakarta
(1972) di halaman 197. Hikayat ini sepanjang 27 halaman, sebanyak 16
baris, bertulisan Jawi dan menceritakan perihal Sayyidina Hasan dan
Sayyidina Husein yang disuruh memilih pakaian ketika masih kanakkanak.
Naskah hikayat ini sangat dipengaruhi Bahasa Minangkabau.
Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati juga ditemukan di bawah
katalog van Ronkel (1909) di halaman 488 dan katalog Naskah Melayu
Museum Pusat Indonesia di Jakarta (1972) pada halaman 197. Hikayat
ini sepanjang 11 halaman, sebanyak 16 baris, bertulisan Jawi dan
menceritakan perihal Sayyidina Hasan yang diracun dan Sayyidina
Husein yang dibunuh oleh Yazid bin Mu’awiyah. Naskah hikayat ini
sebenarnya adalah lanjutan dari Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-
Kanak. Naskah ini juga dipengaruhi Bahasa Minangkabau. Sementara
itu Hikayat Tabut juga ditemui di bawah katalog van Ronkel (1909) di
halaman 225 dan katalog Naskah Melayu Museum Pusat Indonesia
di Jakarta (1972) di halaman 194. Hikayat ini sepanjang delapan
halaman, sebanyak 16 baris, bertulisan Jawi dan menceritakan perihal
sosok Nastal yang mencoba mengambil mustika yang terdapat
pada pinggang Sayyidina Husein setelah Beliau wafat. Menurut
hikayatnya, Nastal ditampar oleh jenazah Sayyidina Husein hingga
pingsan, di mana ia melihat arak-arakan para malaikat, para nabi,
bidadari menangisi jenazah Sayyidina Husein. Setelah sadar dari
pingsan, Nastal kemudian bertaubat dan memulai upacara perarakan
tabut dan perkabungan memeringati kesyahidan Sayyidina Husein
di Karbala.
Sebelum membahas lebih lanjut sosok Sayyidina Husein dalam tiga
hikayat tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu posisi tiga hikayat ini
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 159
dalam khazanah sastra Melayu. Menurut Vladimir Braginsky (2004: 35),
terdapat tiga era besar dalam menentukan kedudukan sastra Melayu
lama. Era pertama adalah era sastra Melayu lama yang meliputi kurun
ketujuh hingga paruh pertama kurun ke-14. Era seterusnya adalah
era awal sastra Islam dari paruh kedua kurun ke-14 sehingga paruh
pertama kurun ke-16. Era yang ditandai sebagai karya klasik Melayu
adalah merujuk kepada era puncak persuratan Melayu. Era ini bermula
dari paruh kedua kurun ke-16 hingga paruh pertama kurun ke-19.
Untuk memastikan kedudukan tiga hikayat di atas, petunjuk
yang dapat digunakan adalah dengan mengetahui kedudukan Hikayat
Muhammad Hanafi yah, yang dikaitkan dengan ajaran madzhab Syiah
(Harun Jaafar 2002: 114-133). Menurut Jaafar, selain hikayat tersebut,
hikayat-hikayat lain yang berkaitan dengan Syiah adalah Kitab Siffi n,
Kitab al-Nahrawan, Kitab Maqtal Ali, Hikayat Raja Handak, dan Hikayat
Raja Lahad. Sebagai pengkaji sastra Melayu klasik yang terkenal di
Barat, Braginsky turut meletakkan Hikayat Muhammad Hanafi yah
sebagai karya dengan pengaruh Syiah yang kental. Beliau menyatakan
hikayat ini adalah pengaruh langsung dan terjemahan karya seorang
penulis Arab bernama Abu Mikhnaf. Braginsky berpendapat:
The transformation of Muhammad Hanafi yah into a real hero, connected
with an attempt to declare him the ‘righteous leader’ (Mahdi) after the
death of his stepbrothers Hasan and Hussain, was initiated by some
Shi’ite sects which claimed that he had not died but was only hiding in
the mountains, and which expected his ‘second coming’ before long. An
important part in the creation of the myth of Muhammad Hanafi yah was
played by a piece written by the medieval Arab writer Abu Mikhnaf, which
became the model for the Persian tale formed in the fourteenth century and
which was translated into Malay at about the same time (2004: 181).
Transformasi Muhammad Hanafi yah menjadi pahlawan sejati,
berkenaan dengan upaya untuk menjadikannya sebagai ‘pemimpin
yang lurus’ (Mahdi) setelah terbunuhnya saudara-saudara tirinya
Hasan dan Husein diinisiasikan oleh kelompok-kelompok Syiah
yang belum mati, tetapi bersembunyi di gunung-gunung, yang
sedang menanti ‘kedatangannya yang kedua’. Bagian penting
dalam pembangunan mitos Muhammad Hanafi yah ini diangkat
oleh sebuah karya yang ditulis seorang Arab dari abad pertengahan
yang kemudian menjadi model bagi penulisan bergaya Persia yang
terbentuk pada abad ke-14 dan diterjemahkan ke dalam Bahasa
Melayu kurang lebih pada masa yang sama (2004: 181)
Dalam argumentasi Hikayat Muhammad Hanafi yah sebagai ‘saduran’
karya Abu Mikhnaf, Braginsky sebenarnya merujuk L.F Brakel yang
lebih awal menyusun dan mengkaji hikayat tersebut. Brakel dengan
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
160
jelas menyatakan “karya Abu Mikhnaf adalah induk dari Hikayat
Muhammad Hanafi yah” (L.F Brakel 1988: 29).
Kedudukan Hikayat Muhammad Hanafi yah amat kuat dalam
masyarakat Melayu. Hikayat ini merupakan karya yang dibaca
bangsawan dan pahlawan dalam kalangan istana Melayu Malaka.
Hikayat Muhammad Hanafi yah juga muncul dalam kalangan masyarakat
Melayu sebelum 1511. Ismail Hamid (1983: 145) menyatakan Hikayat
Muhammad Hanafi yah sebagai sebuah roman dengan tokoh Islam:
The earliest known of the Malay hikayat about muslim heroes are dated
1511 when Sejarah Melayu mentions that the Malay war chiefs and young
nobles requested that the romances of Muslim heroes be read during the
night when Malacca was under siege by the Portuguese. Two romances
available at the Malacca’s Court were Hikayat Muhammad Hanafi yah
and Hikayat Amir Hamzah. Based upon the report of Sejarah Melayu,
R.O Winstedt suggests that the romance about Muhammad Hanafi yah
was already translated into the Malay language by 1511. The account
of Sejarah Melayu is corroborated by the existence of the romance about
Muhammad Hanafi yah among the manuscripts bought for Cambridge
University Library by the widow of Erpenius. The manuscripts originally
belonged to Pieter Floris, who bought them during his visit to Acheh on
1603 and 1604.
Hikayat Melayu yang paling awal diketahui mengenai para
pahlawan tertanggal 1511, ketika Sejarah Melayu mencantumkan
bahwa panglima-panglima Melayu dan kaum istana yang mudamuda
meminta agar cerita-cerita roman pahlawan Muslim
dibacakan pada malam hari ketika Malaka ketika itu dikepung oleh
Portugis. Dua roman yang ada di istana Malaka adalah Hikayat
Muhammad Hanafi yah dan Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan
laporan yang ada di Sejarah Melayu, R.O. Winstedt menunjukkan
bahwa cerita roman mengenai Muhammad Hanafi yah sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu pada tahun 1511. Cerita
dalam Sejarah Melayu ini sama dengan keberadaan cerita roman
mengenai Muhammad Hanafi yah yang ada di antara manuskrip
yang dibeli untuk Perpustakaan Universitas Cambridge dari
jandanya Erpenius. Manuskrip-manuskrip ini sebelumnya dimiliki
oleh Pieter Floris, yang membelinya ketika datang ke Aceh pada
1603 dan 1604.
Tanggapan bahwa Hikayat Muhammad Hanafi yah sebagai sebuah
karya dengan pengaruh Syiah cukup signifi kan dan menunjukkan
istana Malaka telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh Syiah. Bahkan,
istana Malaka meletakkan kedudukan Hikayat Muhammad Hanafi yah di
tempat yang sangat penting pada saat genting (A. Samad Ahmad 2003:
268).
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 161
Maka sahut Tun Muhammad Unta, “Benarlah seperti kata tuantuan
itu; baiklah Tun Indera Segara pergi pohonkan Hikayat
Muhammad Hanafi yah, sembahkan mudah-mudahan dapat patikpatik
itu mengambil faedah dari padanya, kerana Peringgi akan
melanggar esok hari.”
Jaafar dalam argumentasinya tentang pengaruh Syiah pada
Hikayat Muhamad Hanafi yah menyatakan, “Mengagung-agungkan
Ali dan keluarganya adalah satu di antara ciri-ciri pegangan Syiah”
(2002: 124). Tanggapan dangkal ini, yaitu memuja Ahl al-Bayt sebagai
ciri ajaran Syiah, sebenarnya telah ditolak dengan beberapa hadist
dari sumber Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam diskusi di awal tulisan
ini. Dalam konteks esai ini, Braginsky mengelompokkan Hikayat
Muhammad Hanafi yah sebagai salah satu karya dari era kedua (era
awal sastra Islam). Berdasarkan pengelompokan Hikayat Muhammad
Hanafi yah dalam era paruh kedua kurun ke-14 sehingga paruh pertama
kurun ke-16, kedudukan Syiah dalam masyarakat Melayu mendapat
tempat sejak dulu. Hal ini menunjukkan pemerintah Melayu pernah
memberikan satu penghargaan yang besar terhadap madzhab Syiah
yang mendukung keutamaan Ahl al-Bayt. Brakel menulis:
Sementara itu di Melayu, yaitu tempat pengaruh Syiah mendapat
kedudukan yang penting pada awalnya, perubahan-perubahan
yang sama tidak mungkin berlaku. Akan tetapi, apabila pengaruh
Sunni di dunia Islam meningkat, yaitu semakin ortodoks, maka
rasa benci terhadap teks-teks yang heterodoks seperti Hikayat
Muhammad Hanafi yah pasti akan timbul (1988: 25).
Sekali lagi, dalam konteks tulisan ini, seperti yang disebut di awal,
bahwa Braginsky telah mengelompokkan Hikayat Muhammad Hanafi yah
sebagai salah satu karya dari era kedua (era awal sastra Islam). Hikayat
Muhammad Hanafi yah membicarakan peristiwa berdarah Karbala
yang membawa kepada pembunuhan dan kesyahidan Imam Husein.
Sementara Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan
Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut adalah tiga hikayat yang
saling berkaitan, yang juga mengisahkan peristiwa Karbala. Oleh
karena ketiga hikayat yang dibicarakan ini memiliki kecenderungan
yang jelas terhadap peristiwa Karbala yang diungkapkan dalam Hikayat
Muhammad Hanafi yah, maka tidak berlebihan untuk meletakkan ketiga
hikayat di atas juga dalam era kedua yaitu era awal sastra Islam. Selain
itu dapat juga diandaikan bahwa ketiga hikayat di atas turut menerima
pengaruh Syiah karena muatannya yang menceritakan tragedi Karbala
selain “mengagungkan Ali bin Abu Tholib dan keluarganya”.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
162
Akan tetapi, timbul pertanyaan lain, apakah Hikayat Hasan
Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati
dan Hikayat Tabut adalah karya-karya Sunni dengan pengaruh Syiah
atau karya Syiah dengan pengaruh Sunni. Jaafar (2002: 129-130) secara
tidak langsung menyatakan Hikayat Muhammad Hanafi yah adalah kesan
langsung pengaruh ajaran Syiah. Menarik sekali untuk mengungkapkan
hal ini sekali lagi bahwa kerajaan Melayu Malaka telah secara terbuka
menerima ajaran-ajaran Syiah di istana. Jaafar (2002) menekankan
“hubungan kesusastraan yang akrab dengan masyarakat” di mana
beliau berpendapat “aktivitas kesusastraan adalah produk tamadun
manusia”. Dalam esai nya, Harun turut menyebut sepintas sambutan
Asyura dan Perarakan Tabut sebagai bagian dari budaya Melayu yang
dipengaruhi Syiah. Beliau selanjutnya secara implisit mengakui
penduduk wilayah ini pernah menganut madzhab Syiah atau
sekurang-kurangnya sangat terpengaruh dengan ajaran Syiah. Jaafar
(2002) berpendapat:
Dari satu segi, usaha itu berhasil. Umat Islam di Nusantara turut
memuliakan tarikh itu dan tabut pernah diadakan di Aceh, Padang
dan lain-lain. Ini mungkin disebabkan oleh pengaruh Syiah yang
datang lebih dahulu ke daerah itu dan kemudian dilemahkan oleh
aliran Ahl as-Sunnah yang masih melekat dalam jiwa penduduk
daerah itu. Hingga kini masih ada umat Islam di Semenanjung
Malaysia yang menyambut tarikh itu dengan menyediakan bubur
Asyura. Bagaimanapun, mereka gagal men-Syiah-kan seluruh umat
Islam di wilayah ini karena dinasti Mamaluk mengirim Syaikh
Ismail yang berhasil menghalangi perpindahan kepercayaan
masyarakat ke madzhab Syiah.
Hal lain yang amat penting untuk disebutkan di sini adalah
kedudukan dan peranan sastra tradisional dan klasik Melayu sebagai
sebuah wadah untuk mendidik dan mengajar. Siti Hawa Haji Salleh
(2009: 27) menyatakan:
Kebanyakan hasil kesusastraan Melayu tradisional adalah
kesusastraan fungsional atau functional literature. Karya tersebut
dilahirkan dengan tujuan tertentu dan diharapkan memenuhi
fungsi tertentu, bukan sekedar sebagai hiburan semata-mata.
Fungsi itu berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya,
tetapi pada dasarnya, tujuan utamanya adalah untuk kebaikan
masyarakat pada zaman itu.
Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, istana Malaka dengan
sengaja meletakkan kedudukan Hikayat Muhammad Hanafi yah
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 163
sebagai tonggak pedoman di saat ada serangan musuh dari luar.
Ini menimbulkan persoalan, apakah yang diajarkan dan “diambil
faedahnya” oleh pemerintah Malaka pada waktu itu agar pahlawanpahlawannya
mempelajari “sebuah karya Syiah”. Atau dengan
kata lain, mengapa istana Malaka meletakkan kedudukan Hikayat
Muhammad Hanafi yah sebagai rujukan pembakar semangat keperwiraan
jika hikayat ini dinilai sebagai “sebuah karya yang sarat dengan unsur
Syiah”. Petunjuk ini memungkinkan satu tanggapan awal yang penting
untuk diajukan; yaitu umat Islam pada waktu itu sudah amat terbuka
dan bersedia merujuk kepada “kebaikan”, meminjam istilah Haji
Salleh, berbagai madzhab termasuk kitab atau hikayat yang dikaitkan
dengan madzhab Syiah. Pandangan ini tidak boleh dipinggirkan
begitu saja. Haji Salleh menegaskan, “Hasil kesusastraan memberikan
alur pemikiran tertentu baik secara langsung mapun secara implisit,
dalam bentuk atau genre apapun” (ibid.).
Seperti telah dinyatakan, Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-
Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut identik
dengan Hikayat Muhammad Hanafi yah dari segi temanya. Ini juga
menunjukkan bahwa bukan hanya hikayat Syiah yang pernah ada dan
mendapat tempat di hati masyarakat Melayu. Persoalan selanjutnya,
bagaimana, meminjam ungkapan Brakel, “Pengaruh Sunni di dunia
Islam menjadi kian meningkat, yaitu semakin ortodoks,” sehingga
menyebabkan timbul “semacam rasa benci” terhadap teks-teks yang
heterodoks seperti Hikayat Muhammad Hanafi yah? Kata ortodoks yang
dimaksudkan oleh Brakel tidak diuraikan lebih lanjut dalam kajian
beliau yang terkenal itu. Akan tetapi, dengan menekuni kajian-kajian
lain mengenai perkembangan Islam di Nusantara, akan membawa
kita pada satu isyarat yang amat jelas, bahwa permulaan ortodoksi di
Melayu adalah pada saat berlakunya Perang Paderi di Minangkabau.
Perang Paderi adalah pertikaian agama antara kaum adat yang menjadi
pemimpin di Minangkabau dengan golongan Mahali yang dikenali
sebagai kaum paderi di Sumatera. Pertikaian ini berujung pada perang
saudara yang kemudian memungkinkan campur tangan Belanda di
Sumatera sekitar tahun 1830-an.
Istilah lain untuk kaum Paderi adalah Wahabiyah. Untuk
memahami persoalan ini, kajian utama yang dianjurkan antara
lain adalah kajian Taufi k Abdullah (1971) yang menguraikan
perkembangan pergerakan kaum muda di Sumatera Barat. Kajian ini
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
164
akan menunjukkan bagaimana Wahabiyah yang awalnya ortodoks di
Minangkabau telah berubah menjadi kaum muda dan menjadi lebih
progresif sehingga hari ini dipandang sebagai kelompok moderat:
The traditional conception of alam as a harmony among contradictions
faced a major challenge at the turn of the nineteenth century from an
ortohodox religious reform movement, the Paderi. Launched by three
Minangkabau hadji, who had been infl uenced by the Wahabiyahst in
Arabia, the movement rejected the idea of a balance between adat and
Islam. Rather than ‘purity of heart’, the Paderi stressed the outward
manifestation of religiously correct behavior. Instead of harmony, the
Paderi aimed at the predominance of religious law (sjarak) over other rules
and standards. This militant, religous movement condemned traditional
practices as against the sjarak. It thereby threatened the whole concept
of alam and caused a major civil war. The fi erce struggle was not just a
confl ict between fanatical religious believers and the custodians of the old
order; it was also one between a totalistic and a relative view of the world
(Abdullah 1971:5).
Konsep tradisional alam sebagai harmoni di antara berbagai
kontradiksi berhadapan dengan tantangan besar ketika memasuki
abad ke-19 yang dihadapi gerakan reformasi keagamaan
ortodoks, kaum Paderi. Didirikan oleh tiga haji dari Minang,
yang telah dipengaruhi oleh kaum Wahabiyah di Arabia, gerakan
tersebut menolak ide mengenai keseimbangan antara adat dan
Islam. Bukannya fokus pada ‘kemurnian hati’, kaum Paderi
menitikberatkan pada manifestasi luar dari sikap keagamaan
yang benar. Bukannya harmoni, kaum Paderi menyasar pada
keutamaan hukum agama (syariah) di atas regulasi dan standar
umum [etika]. Gerakan keagamaan militan ini mengkritik praktekpraktek
tradisional yang bertentangan dengan syariah. Karena itu,
ia mengancam secara utuh konsep alam dan menyebabkan perang
saudara. Perjuangan yang keras ini bukan saja merupakan konfl ik
antara kaum agamawan yang fanatik dengan para penjaga ordo
lama; ia juga merupakan konfl ik antara cara pandang dunia yang
totalistik dan relatif (Abdullah 1971: 5).
Insiden Perang Paderi ini juga dapat dibaca dalam sebuah teks
klasik yaitu Surat Keterangan Syaikh Jalaluddin. Teks ini mengisahkan
secara terperinci bahwa Perang Paderi membawa campur tangan asing
di Sumatera. E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir dalam pengantar
Surat Keterangan Syaikh Jalaluddin karangan Fakih Saghir merujuk
Perang Paderi sebagai perang antara pendukung adat dan pendukung
Wahabiyah:
Selain itu, Surat Keterangan Syaikh Jalaluddin juga melukiskan secara
terperinci konfl ik antara kaum Paderi sendiri yang tidak sepahaman
dalam menentukan tindakan yang patut diambil untuk menangani
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 165
penyebaran paham Wahabiyah. SKSJ dan pengarangnya jelas
berpihak kepada kelompok moderat yang mencari jalan tengah
dan kurang menyetujui tindakan yang berunsur kekerasan. Teks
ini berakhir dengan kedatangan oang Belanda, yang diterima
dengan baik oleh kelompok yang moderat sebagai salah satu cara
untuk mengakhiri perselisihan itu. Jelas sekali SKSJ menyalahkan
kelompok yang radikal itu atas keterlibatan orang luar dalam
penyelesaian konfl ik tersebut (2002: ix).
Merujuk kembali kepada istilah “ortodoks” oleh Brakel, jelas
dalam konteks ini, kelompok ini mengisyaratkan golongan Wahabiyah.
Tidak mustahil gerakan ortodoks atau Wahabiyah inilah yang menjadi
puncak kemerosotan tanggapan terhadap hikayat-hikayat Syiah atau
yang berunsur Syiah di Melayu. Golongan Wahabiyah diketahui
menolak golongan Syiah dan menganggapnya kafi r.
Proses de-Syiahisasi ini telah disentuh oleh Edwin Wieringa
dalam artikel beliau yang amat penting berjudul Does Traditional
Islamic Malay Literature Contain Shi’itic Elements? Ali and Fatimah in
Malay Hikayat Literature. Dalam tulisan tersebut, Wieringa menyatakan
terdapat sekurang-kurangnya tiga hikayat klasik awal Islam, antara
lain, Hikayat Nabi Mengajar Ali bin Abu Thalibdan Hikayat Abu Samah
yang memaparkan kebodohan Umar bin Khattab. Beliau selanjutnya
menyatakan telah terjadi proses ‘netralisasi’ unsur-unsur Syiah
sehingga bukan Imam Ali saja yang disanjung, tetapi Umar yang
dikutuk sebelumnya dalam hikayat Melayu tidak lagi digambarkan
necara negatif. Bahkan dalam beberapa kasus, laknat terhadap Umar
telah dibuang sama sekali dari teks (1996: 104-105):
As the majority of the Malay manuscripts date from the nineteenth century
it is only natural to fi nd only remnants of Shi’itic infl uences in the hikayat
which have survived. The textual witnesses cannot be characterized as
distinctly Shi’itic. Yet it is remarkable to fi nd so much attention for Ali
and Fatimah in hikayat literature. What is more, their roles in hikayat are
wholly congruous with popular Shi’itic imagery. Especially in the stories
about Ali as the wise judge, Ali can be praised at Umar bin Khattab’s
expense. Umar bin Khattab, however is not portrayed too negatively and
the normal Shi’itic cursing of Umar bin Khattab’s name is entirely left
out. Summing up then, the prominent place of Ali and Fatimah in Malay
hikayat literature is to be explained by the early introduction of these
stories as popular reading matter for neophytes when Indonesian Islam
still had a Shiah tinge. In the course of time, the popular stories, in which
Ali and his family played a prevalent part, weregradually neutralized to
such and extent that no Sunni believer could object to them. (1996: 107).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
166
Karena kebanyakan manuskrip Melayu tertanggal abad ke-19, maka
wajar kalau kita hanya melihat sisa-sisa dari pengaruh Syiah dalam
hikayat-hikayat yang masih bertahan. Bukti-bukti tekstual tidak
dapat serta-merta dikarakteristikkan sebagai Syiah. Hanya saja,
jelas sekali perhatian yang besar terhadap Ali dan Fatimah dalam
sastra hikayat. Lebih jauh lagi, peranan mereka dalam hikayat sangat
kongruen dengan imaji-imaji populer di kalangan Syiah. Hal ini
sangat terlihat dalam cerita-cerita mengenai Ali sebagai hakim yang
adil, di mana Ali dapat disanjung sedang Umar bin Khattab tidak.
Akan tetapi, nama Umar tidak digambarkan terlalu negatif; bahkan
olok-olokan terhadap Umar dihapuskan sama sekali. Pendeknya,
posisi penting Ali dan Fatimah dalam sastra hikayat Melayu dapat
dijelaskan sebagai bacaan populer untuk orang-orang baru ketika
Islam di Indonesia masih terpengaruh oleh Syiahisme. Seiring
dengan perjalanan waktu, di mana Ali dan keluarganya sebelumnya
berperan besar, lambat-laun dinetralisir hingga yang bermadzhab
Sunni tidak lagi dapat menolaknya (1996: 107).
Diskusi di atas memberi informasi penting bahwa berdasarkan
hikayat-hikayat Melayu yang ada, orang Melayu telah menerima,
terpengaruh atau amat terbuka dengan ajaran Syiah sampai dilakukannya
de-Syiahisasi yang mengakibatkan hikayat-hikayat ini kurang dikenali
sama sekali oleh masyarakat Melayu dewasa ini. Dengan mengambil
contoh Hikayat Nabi Mengajar Ali dan Hikayat Abu Samah yang memaparkan
‘kebodohan’ Umar, jelas terlihat bahwa hikayat ini merupakan hikayat
dengan ajaran Syiah. Hal ini karena menurut Wierenga “sebagaimana
diketahui, nama Umar tidak akan pernah disebut oleh Syiah sejati
kecuali dengan diiringi oleh hujatan” (1996:104). Oleh kerena itu, dapat
disimpulkan, Hikayat Muhamamad Hanafi yah, Hikayat Hasan Husein Tatkala
Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut
adalah hikayat atau karya klasik Melayu yang mengandung ajaran Syiah
dan bukan hikayat Sunni dengan pengaruh Syiah.
Sosok Sayyidina Husein
Sebagai sebuah hikayat dengan ajaran Syiah, Hikayat Hasan
Husein Tatkala Kanak-Kanak, menonjolkan Sayyidina Husein sebagai
cinta Rasulullah yang ditampilkan sebagai “buah hati sibiran tulang”.
Kutipan berikut menunjukkan kedekatan Sayyidina Hasan dan
Sayyidina Husein dengan kakek mereka, Nabi Muhammad:
Setelah itu maka Jibril pun kembali ke hadirat Allah ta’ala
menyembahkan sabda Rasulullah. Maka fi rman Allah pun
menyuruh Jibril mengambil pakaian dua helai dari dalam surga.
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 167
Sehelai bernama kain sundustin istibraq. Sehelai bernama kain
gendam. Barang siapa memperoleh warna yang hijau maka akan
mati minum racun. Barangsiapa memperoleh pakaian yang merah
akan mati dibunuh hulubalang Raja Yazid. Itulah kain yang
dianugerahkan kepada kekasihku, supaya tahu ia akan kematian
cucunya Hasan dan Husein. Jibril pun turun kembali kepada
Rasulullah. Rasulullah pun masygul seketika mendengar Jibril
menyampaikan kematian Hasan Ali dan Husein. Maka Rasulullah
berkata, “Jibril, apakah aku akan melihat cucuku Hasan Ali dan
Husein?” Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, kematian cucu tuan
akan terjadi sepeninggal tuan. Abu Bakar pun tiada lagi, Umar bin
Khattab dan asmanya pun tiada lagi. Ibunya Fatimah pun tiada lagi,
ia mati sepeninggal tuan, hanya ada saudaranya anak tuan baginda
Ali bin Abu Thalib dalam negeri Banur Banir anak Putri Hanafi yah
itulah saudara Hasan Ali dan Husein.” Setelah itu Rasulullah
memberikan pakaian kepada Hasan Ali dan Husein. Maka kata
Rasulullah, ”Hai cucuku nanda berdua, inilah pakaian yang sangat
engkau kehendaki, ambil olehmu menurut kehendakmu.” Maka
baginda Amir Hasan pun mengambil baju yang berwarna hijau.
Maka baginda Amir Husein pun mengambil baju berwarna merah.
Rasulullah pun tahu bahwa kematian cucunya Hasan karena
diracun orang dan Husein mati dibunuh oleh Raja Yazid celaka.
Selain itu, hikayat ini juga memaparkan ratapan, pembacaan musibah,
ma’tam panjang Sayyidah Fatimah az-Zahra:
Setelah itu terdengar oleh tuan Fatimah kata junjungan Rasulullah
kepada anaknya, Fatimah pun menangis, demikian bunyi
tangisnya, “Ahmad Muhammad alaminullah, cahaya mataku
Fatimah, cahaya mas junjunganku, cahaya mata tuan Fatimah,
cahaya mata tuan Hadijah, cahaya mata pengikut Mekah dan
Madinah bapaknya tuan Fatimah nenek anda Hasan Ali dan
Husein, saudara Muhammad Hanafi yah, maulah melihat seketika
payung panji Madinah, junjungan Mekah Madinah, junjungan
payung panji alam Madinah, tiang suluh ka’bah Allah yang mulia
bagi Mekah Madinah.Tidak dinyana tidak disangka tuan di atas
akan binasa, buah hati pengarang jantung, junjungan Hasan Ali dan
Husein. Marilah melihat tuan kandung, buah hati sibiran tulang,
buah iga cahaya biji mataku, buah hatiku, cahaya suratan sibiran
tulang, pergantungan hati junjunganku pengikut alam Mekah
Madinah. Hilang siapa kan mencari tuan kandung Hasan Ali dan
Husein. Hati rusuh tidak melihat apakah dia untung baik atau mati
sepeninggalanku. Sudah untung sudah suratan anakku mati tidak…
junjungan Hasan Ali dan Husein sensara bunda Ali di Madinah dari
anak cucu Rasulullah, ia anak tuan Baginda Ali, cucu tuan Hadijah,
anak Tuan Fatimah, junjungan Hasan Ali dan Husein Ahmad
Muhammad Rasulullah, buah hati cucu tuan junjunganku Ahmad
Muhammad Rasulullah, buah hati tuan bapak baginda Rasulullah,
buah hati tuan Fatimah, Mekah Madinah bapak kandung tuan.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
168
Fatimah, junjungan Hasan Ali dan Husein, Ahmad Muhammad
Rasulullah buah hati junjunganku.Ahmad Muhammad Rasulullah,
buah hati cucu tuan junjunganku Ahmad Muhammad Rasulullah,
buah hati tuan bapak baginda Rasulullah, buah hati tuan Fatimah,
Mekah Madinah bapak kandung tuan Fatimah, junjungan Hasan
Ali dan Husein nenek Ahmad Muhammad Rasulullah, buah hati
junjunganku. Ahmad Muhammad Rasulullah, buah hati tuan
baginda Rasulullah, buah hati tuanku Hadijah. Ahmad Muhammad
Rasulullah pergantungan nyawa badanku, Ahmad Muhammad
Rasulullah pergantung isi Mekah Madinah, tidak disabda tidak
disangka akam mati buah hati pengarang jantung tiada bapak wa
bunda, tiada bunda sedangkan bercerai buah hati. Sebab apa sibiran
tulangku, buah hati, sibiran tulangkui, nyawa badanku, cahaya
matakulah rusuh nasib, hilanglah rasa buah bicaraku junjunganku
Ahmad Muhammad Rasulullah tiang mahligai Mekah Madinah
Ahmad Muhammad Rasulullah habib Allah suluh bidang Ka’abah
Allah, luluh rasa hatiku hancur rasa tulang benaku mendengar kata
junjunganku, ya Hasan ke mana berkata dayang palingan kain baju
tuan Hadijah, pakaian tuan Fatimah permata intan kami taruhan
tuan Hadijah, kandungan tuan…sibiran mata intan Ummi Salamah,
cahaya mata tuan baginda Ali, buah hati Rasulullah, sibiran tuan
Hadijah, nyawa badan tuan Fatimah, tingkat pangku hilang tidak
kepada hancurlah kulit pemalut tulangku mendengar binasa tidak
sangkaan menaruh syak tidak disangkakan, memanggil sudahlah
untuk suratan. Anak mati sepeninggalan aku, sudah untung
sudah suratan tidak disangkal ajal datang memanggil, siapa
dapat memahami,bukan hamba hiba akan nama bukan hamba
rusuh akan hilang, junjungan Hasan Ali dan Husein, hidup tiada
akan kekal, isi rumahnya ia akan tinggal, kami berjalan antarkan
gusar, itulah pula hamba hibaukan. Setelah itu Fatimah menyuruh
memanggil anaknya Muhammah Ali Hanafi ayah. Maka baginda
Ali membawa anaknya Muhammah Ali Hanafi yah kepada rumah
Fatimah az-Zahra. Maka Fatimah memangku anaknya Muhammah
Ali Hanafi yah, kekasih daripada Hasan Ali dan Husein yang tiada
diceraikannya daripada siang jua malam, tiada diberatnya kembali
lagi.
Hikayat ini turut menampilkan “perpisahan penuh duka” Sayyidina
Husein dengan kakaknya Sayyidina Hasan. Kutipan berikut
menceritakan rencana Yazid untuk membunuh Sayyidina Husein di
Karbala:
Setelah itu maka bebanlah pada tanah perkuburan. Maka
dihentikan orang jenazah, hendak dimasukkan ke dalan kubur.
Maka menangislah Baginda Amir Husein, ”Yaa Allah wa Muhammad
wali Nur Muhammad Maulana Gulam Muammad Taju I alamin Nur
Muhammad, Saidul Alam.” Maka didengar oleh segala perempuan,
Maka menangislah segala perempuan daripada sepanjang jalan
serta Putri Syahriban demikian Nur al- Husein bernama tuan
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 169
baginda Amir Hasan anak cucu Rasulullah, ya tuan Fatimah
Zainab katakan jua nan racun junjungan kita, supaya putus hati kita
baginda amir Husein. Kepadanya ya tuan Syahriban beratlah Putri
Zainab serta Putri Syahriban. Adapun junjungan mati di racun Laila
Majanah orang yang celaka di upah Yazid. Setelah itu maka lama
antaranya, maka berbicaralah pula raja hendak membunuh baginda
Amir Husein, maka dikumpul segala rakyatnya, maka berkatalah
ia, Aku hendak bicarakan kematian baginda Amir Husein.” Maka
berkata pula satu orang pandai bicara demikian katanya,” Adapun
bicara hamba membunuhlah baginda Amir Husein. Kita bawa dia
berjalan-jalan ke dalam hutan Kabila. Bermula lagi kutika maka
kita tikam dengan senjata niscaya matilah ia.
Sementara itu, Hikayat Hasan Dan Husein akan Mati menunjukkan
keleluasaan orang Melayu melaknat Yazid selaku pembunuh Sayyidina
Husein. Petikan di bawah menyebutkan Yazid sebagai “celaka”:
Maka terdengar oleh Fatimah pun, bertandang sembah kepada
Rasulullah demikian bunyi katanya: Ya junjunganku, berapalah
maka tuan namakan junjungan serta nama suami hamba. Itulah
gerang cucu yang kekasih, junjungan,” maka Fatimah pun
masgul dari hati tiada suka. Setelah dilihat oleh Rasulullah pun
bertandangkan sembang kepada Fatimah serta isi rumahnya
mengabarkan kematian cucunya Hasan Ali dan Husein demikian
bunyi katanya Fatimah dua hari.” Tetapi engkau aku lihat tiada
suka dari hatimu Ali aku namai Muhammad Ali Hanafi ayah,
tiadalah engkau tahu itulah anak kekasihku,tiadalah tahu akan
mati anakmu Hasan Ali dan Husein mati dari racun. Hasan mati
dibunuh hulubalang Yazid celaka.”
Hikayat Tabut juga menekankan pentingnya mengenang tragedi
Karbala. Tiga kutipan di bawah ini ditampilkan untuk menunjukkan
bagaimana peristiwa Karbala diperingati, berikut perarakan tabut dan
panjatan:
Maka kata Jibril, “Amir Husein ini, sepeninggalan Rasulullah,
dianya mati terbunuh oleh kaum Yazid di padang Karbala.”
Dan menjawab istri Rasulullah bernama Umi Salamah, “Apa
kenyataannya oleh kami esok hari?” Maka Jibril pergi mengambil
satu genggam tanah di padang Karbala. Maka dikasihnya kepada
Umi Salamah. Dan kata Jibril, “Simpan ini tanah baik-baik di
dalam surahi kaca dan hendaklah diperiksa tanah saban tahun,
pada tiap-tiap satu hari bulanMuharram. Dan jika tanah menjadi
darah, maka hampirlah mautnya Amir Husein ini.”Dan itulah
artinya orangmembuat tanah itu. Pada hari empat menjelang lima
al-Muharram, orang membuat tabut itu mangambil batang pisang
dan mendudukan panja namanya. Artinya hari empat menjelang
lima itu hari, tatkala Amir Husein dengan istrinya bernama Sahari
Banun anak Raja Kasri. Pada malam kedelapannya orang-orang
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
170
membuat tabut, mengarak jari-jari namanya. Artinya orang dari
negeri Kufah akan menyongsong Amir Husein di Sungai Kertas.
Hikayat Tabut ini juga mengajarkan kedudukan Sayyidina Husein yang
istimewa di sisi Allah di mana syafaat beliau sangat penting untuk
mendapat pengampunan Allah:
Maka terdengar oleh Ja’far ibnu Muhammad tadi bunyi suara
demikian itu. Maka lalu diperiksanya, “Hai hamba Allah nama
Nastal, mengapakah engkau dan apakah dosa engkau sudah
perbuat?”Maka jawab Nastal, “Tatkala Umar bin Khattab Syahid
dan Abdullah Zaid dan Simarlajib sudah membunuh Amir Husein.
Maka segala orang-orang Raja Yazid bersuka-sukaan makan
dan minum. Pada tengah malam dianya sudah tidur semuanya,
maka hamba hendak mengambil mustika di dalam pinggang
Amir Husein. Pikiran hamba, jikalau hamba ambil manikam itu,
barangkali sampai di anak cucu-cucu aku memakannya tidak
habis. Maka hamba pegang pinggang Amir Husein, lantas mayat
Husein menampar mukaku. Itulah sebabnya menjadi hitam serta
dipegang tanganku, lantas aku potong tangannya yang kanan. Dan
kau pegang juga pinggang Amir Husein dan dipegangnya juga
tangan aku, lantas aku jatuh pingsan. Itulah sebabnya aku minta
ampun dengan bersungguh-sungguh ini.”Maka Jawab Ja’far ibnu
Muhammad, “Hai Nastal, tiada kau mendapat ampun daripada
Allah, melainkan apa yang engkau lihat di dalam pingsan itu
perbuatlah olehmu. Mudah-mudahan engkau mendapat ampun
dari Amir Husein.” Dan itulah sebab orang membuat tabut.
Menurut Jumsari Yusuf, Aisyah Ibrahim, Nikmah A. Soenardjo
dan Hani’ah (1984: 19) upacara tabut amat berakar di Nusantara dan
“berfungsi memperingati kematian Hasan dan Husein sebagai tanda
bakti kepada mereka dari penganut Syiah”. Mereka turut menyinggung
kecenderungan orang Melayu untuk menghindari majelis perkawinan
di bulan Muharram. Jelas sekali bahwa sosok Sayyidina Husein dalam
ketiga hikayat di atas berhubungan dengan ajaran Syiah. Bahkan
ketiga hikayat ini menampilkan peristiwa Karbala dan sosok Sayyidina
Husein sebagai cucunda Rasulullah yang sangat bermakna bagi umat
Islam.
Kesimpulan
Artikel ini berusaha membuktikan kedudukan Hikayat Hasan
Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan
Hikayat Tabut sebagai tiga hikayat dengan ajaran Syiah yang sangat
kental dan berakar di kalangan orang Melayu. Ketiga hikayat ini, yang
sejajar dengan Hikayat Muhammad Hanafi yah, memperkuat tanggapan
SAYYIDINA HUSEIN DALAMTEKS KLASIK MELAYU 171
bahwa perkabungan dan dedikasi untuk Sayyidina Husein dalam
masyarakat Melayu bukanlah sesuatu yang asing. Tanggapan ini
menjadi lebih kuat dengan kenyataan bahwa salah satu peranan besar
produk sastra klasik adalah untuk mendidik dan bersifat didaktik.
Tidak mustahil juga hikayat-hikayat dengan ajaran Syiah ini
merupakan suatu manifestasi pegangan dan petunjuk penting tentang
madzhab dan pemikiran awal umat Islam di Nusantara. Sukar untuk
menafi kan bahwa masyarakat Melayu, seperti umat Islam di wilayah
lain juga, sangat dekat dengan sosok Sayyidina Husein selaku panutan,
teladan, pedoman, dan model yang menyebabkan citra Sayyidina
Husein sangat utuh serta tercermin dalam hikayat sebagai sebuah
produk budaya.[]
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufi k, 1971. Hools and Politics: The Kaum Muda Movement
In West Sumatra (1927-1933)(New York: Cornell University).
Ahmad, A. Samad, 2003. Sulalatus Salatin Sejarah Melayu (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).
At-Tirmidzi, Mohd Zuhri (Penerjemah), 1993. Tarjamah Sunan at-
Tirmidzi (Kuala Lumpur: Penerbitan Victory Agencie).
At-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2007. Shahih Sunan
Tirmidzi (Jakarta: Pustaka Azzam).
Braginsky, Vladimir, 2004. The heritage of traditional Malay literature
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies).
Brakel, L.F., 1988.Hikayat Muhammad Hanafi yah (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka).
Bukhari, Zainuddin Hamidy Fachruddin (Penerjemah), 2002.Shahih
Bukhari (Singapore: Darel Fajr).
G. Clarke, Lynda, 2001. “Elegi (Martsiyah) untuk Husein: Dalam
Bahasa Arab dan Persia” dalam Al-Huda(1) 3 (Jakarta: Islamic
Cultural Centre)
Hamid, Ismail, 1983. The Malay Islamic Hikayat (Bangi: Penerbit
UniversitiKebangsaanMalaysia).
Hanbali, Ahmad bin Muhammad bin, 2006, Ahmad Muhammad Syakir
(Penerjemah). Musnad Imam Ahmad (Jakarta: Pustaka Azzam).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
172
Jaafar, Harun, 2002. Wacana Kesusastraan Melayu Klasik (Tanjung Malim:
Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris).
Kratz, E.Ulrichdan Adriyetti Amir, 2002. Surat Keterangan Syaikh
Jalaluddin Karangan Fakih Saghir (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka).
Muslim,Ma’mur Daud (Penerjemah), 2002.ShahihMuslim (Singapore:
Darel Fajr).
Salleh, Siti Hawa Haji, 2009. Kelopak Pemikiran Sastra Melayu (Bangi:
Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia).
Schimmel, Annemarie. 1986. “Karbala and the Imam Husein in Persian
and Indo-Muslim literature”dalam Al-Serat, Vol XII.
Wieringa, Edwin, 1996. “Does Traditional Islamic Malay Literature
Contain Shi’itic Elements? Ali and Fatimah in Malay Hikayat
Literature” dalam Studia Islamika(3)4 (Jakarta: Center for the
Study of Islam and Society).
Yusuf, Jumsari, Aisyah Ibrahim, Nikmah A. Soenardjo dan Hani’ah,
1984. Sastra Indonesia Lama Pengaruh Islam (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan).
173
SYIAHISME DI MALAYSIA
Rabitah Mohamad Ghazali
Pengantar Studi ini berkenaan dengan Syiah180 di Malaysia dan posisi mereka
di dalam mayoritas Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) yang
sangat besar dan cara-cara mereka bertindak untuk mendapat
pengakuan di negeri itu. Dalam hal pandangan teologis, mereka
sangat As’ari, yang dapat dianggap sebagai teologi Sunni arus utama.
Teologinya dinamai sesuai dengan nama orang yang mendirikannya,
yaitu Abu al-Hassan al-Asy’ari (874 Hijriyah-936 Masehi), seorang
sarjana pendukung teologi Sunni abad ke-10.
Ash’ariyah dapat dilihat sebagai reaksi terhadap rasionalisme
ekstrem teologi Mu’tazilah yang sangat berpengaruh pada abad
pertengahan semasa periode klasik Islam. Menurut al-Asy’ari, akal
manusia masih lebih rendah dibanding wahyu Ilahi karena dianggap
tidak mampu membedakan baik dan buruk secara independen. Hanya
Allah saja yang berhak memutuskan kebaikan atau keburukan suatu
tindakan. Bagi manusia, satu-satunya cara untuk menerima informasi
180 Dalam artikel ini, saya hampir tidak menggunakan istilah Syiah dan ketika digunakan ia
mengacu artinya yang umum yaitu ‘partisan’ Ali bin Abu Thalib. Saya menggunakan istilah
Syiahisme untuk menandakan denominasi yang dilawankan dengan Sunnisme. Istilah Syiah
digunakan baik untuk kata sifat dan kata benda. Sebagai kata benda, Syiah berarti seorang
penganut Syiahisme.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
174
otentik mengenai kebenaran-kebenaran religius adalah melalui wahyu.
Mengenai sifat-sifat ilahiyah, Asy’arimengukuhkannya, meskipun
menolak antropomorfi sme total. Pandangan ini bertentangan secara
tajam dengan apa yang dianut oleh Mu’tazilah dan Syiah Itsna Asyariyah
(Imam Dua Belas) yang memandang bahwa penyebutan ‘tangan Tuhan’
dan sifat-sifat fi sik lainnya yang terdapat di dalam Alquran sebagai
ungkapan-ungkapan metaforis belaka. Di dalam sejarah teologis Islam,
kaum Asy’ari berpendapat bahwa Alquran adalah fi rman Tuhan yang
abadi, sehingga ia tidak diciptakan. Gagasan ini juga bertentangan
dengan pandangan Mu’tazilah dan Syiah Itsna Asyariyah.181
Dalam soal hukum Islam dan ibadah, sebagian besar kaum Sunni
di Asia Tenggara menganut madzhab Syafi ’i. Sekarang ini, selain
Syafi ’i, hanya ada tiga tatacara hukum yang berlaku di kalangan
Sunni. Madzhab Hanafi , biasanya dilihat sebagai tatacara hukum yang
paling moderat di kalangan Sunni dan paling lazim di Asia Tengah,
Turki, di wilayah Balkan dan India. Dulu ia adalah tata cara resmi di
Kekaisaran Utsmani, Mughal India dan dinasti-dinasti Muslim lainnya
yang berasal dari Turki. Madzhab Maliki, nyaris hanya berlaku secara
ekslusif di Afrika bagian utara dan barat laut. Madzhab Hanbali,
kebanyakan berlaku di semenanjung Arab. Dalam konteks Malaysia,
ketaatan kepada Sunni perlu, dan ia dilindungi dan disebarkan melalui
pengertian yang benar dan tepat agar dapat melenyapkan segala
penyimpangan. Untuk menjamin stabilitas dan solidaritas spiritual
komunitas Muslim di Malaysia, pengertian yang benar akan metodemetode
Sunni sangat penting.
Menurut Shahrestani, seorang sarjana terkemuka yang meneliti
sekte-sekte dalam Islam, dalam karyanya berjudul Al-Milal wa Al-
Nihal (Sekte-Sekte dan Kepercayaan-Kepercayaan), menilai kaum
Syiah adalah para pengikut Ali bin Abu Thalib dan percaya pada
kedudukannya sebagai imam dan khalifah menurut ajaran-ajaran yang
jelas dan surat wasiat Nabi Muhammad.182 Defi nisi ini sangat akurat
karena Syiah sendiri percaya bahwa alasan untuk mengikuti Ali bin
Abu Thalib karena dia dikehendaki oleh Nabi Muhammad dan bahwa
keputusan untuk mengikuti siapa bukan keputusan pribadi mereka.
181 Azmil Zainal Abidin, “Asas Keintelektualan Tradisi Kalam Asha’irah: Suatu Analisi
Metodologikal” dalam Jurnal Usuluddin (35), 2012: 1-24.
182 Shahristani, Muhammad ibn ‘Abd al-Karim (1414/1993), Al-Milal wa Al-Nihal, (Beirut: Dar al-
Ma’rifah, terbitan ketiga), Vol.1,hlm. 169.
SYIAHISME DI MALAYSIA 175
Bedanya, setelah Nabi Muhammad wafat, Sunni mengikuti orang
yang dipilih di Bani Saqifah dan percaya bahwa Nabi Muhammad
menyerahkan kepada umat sendiri untuk memutuskan siapa yang akan
diikuti. Meskipun dalam Firaq al-Shiah (Kelompok Syiah), Al- Hasan
bin Musa al-Nawbakhti menulis bahwa Syiah adalah Partai-nya Ali.
Mereka disebut Syiah Ali bin Abu Thalib semasa dan setelah wafatnya
Nabi Muhammad, dan dikenal sebagai pengikut Ali dan orang yang
percaya pada Ke-Imam-annya.183 Syaikh al-Mufi d mendefi niskan Syiah
sebagai orang-orang yang mengikuti Imam Ali, dan percaya pada
posisinya sebagai penerus langsung sang Nabi.184
Untuk maksud studi ini, Syiahisme dibatasi pada Itsna Asyariyah.
Ini adalah suatu pemikiran Islam yang percaya pada Dua Belas
Imamyang menggantikan Nabi Muhammad dan menganut praktekpraktek
spesifi k sebagai konsekuensi sistem kepercayaan ini. Syiahisme
adalah denominasi minoritas Islam dan terdiri dari sekitar 10 persen
populasi Muslim dunia. Ia sering distigmatisasi kaum Sunni yang
merupakan mayoritas. Sementara sebagian besar Syiah merupakan
kelompok minoritas di negeri-negeri Muslim, tetapi mereka merupakan
mayoritas di Iran (sekitar 90%), Irak (60%), dan Bahrain (60%). Syiah di
Iran menjadi perhatian dunia karena Revolusi Islamnya pada 1978-1979
yang berlanjut dengan pendirian Republik Islam Iran. Setelah invasi
Amerika ke Irak pada 2003, kaum Syiah memainkan peranan politis
yang semakin penting di negeri itu. Suatu bentuk Syiahisme moderat,
yang setia kepada Ayatullah Ali Sistani, telah membentuk suatu jaringan
kerja yang sangat kuat yang diharapkan memperkuat masyarakat sipil
di Irak bagian selatan.185
Berdirinya pemerintahan Islam di Iran di bawah kepemimpinan
para ulama Syiah, khususnya Ayatullah Ruhollah Khomeini,
membangkitkan minat lebih lanjut kepada iman Syiah. Revolusi Islam
itu tidak hanya memainkan peran penting dalam kebangkitan kembali
kesadaran dan pergerakan-pergerakan Islam di seluruh dunia dan
berdampak sangat besar pada ekonomi dan politik dunia, tetapi juga
memperbesar rasa ingin tahu tentang Syiah di kalangan publik umum,
politisi dan media massa.
183 Al-Nawbakhti, al- Hasan ibn Musa (1404/1984), Firaq al-Shi’ah (Beirut: Dar al-Idwa’), hlm. 17.
184 Al-Mufi d, Shaykh Muhammad ibn Muhammad ibn Nu’man, Awail al-Maqalat ( Qum: Kungereh-e
Shaykh e-Mufi d, 1413), hlm.36.
185 Zulkifl i, The Struggle of the Shi’is in Indonesia, Dissertation, 1996, hlm. 2.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
176
Fatwa Mengenai Syiah
Komite Fatwa dari Dewan Nasional Urusan Agama Islam
Malaysia pernah bersidang pada 5 Mei 1996 dan mendiskusikan Syiah
di Malaysia. Komite Fatwa ini memutuskan:
• Menyetujui bahwa keputusan Diskusi Komite Fatwa yang
dilaksanakan pada 24-25 September 1984 [Paper Bills.
2/8/84, Item 4.2 (2)] mengenai Syiahisme yang menyatakan
sebagai berikut: “Setelah mendikusikan makalah ini dan
mempertimbangkan hal yang telah diputuskan Komite bahwa
sekte Syiah al-Zaidiyah dan Ja’fariyahsaja yang diterima untuk
dilaksanakan di Malaysia” kini dicabut.
• Menetapkan bahwa umat Muslim di Malaysia hanya boleh
mengikuti ajaran- Islam yang didasari pada apa yang dianut
para anggota Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah perihal iman, syariah
dan moral.
• Mendukung dan menerima amandemen yang diusulkan
kepada Konstitusi Federal dan Konstitusi Negara-Negara
(Bagian) untuk segera menetapkan bahwa agama Federasi dan
Negara-Negara harus didasarkan pada Islam yang dianut oleh
para anggota Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah perihal iman, syariah,
dan moral.
• Menetapkan amandemen untuk semua Hukum Negara-Negara
dan Hukum Islam agar selaras dengan defi nisi hukum shariah
sebagai berikut: “Hukum Islam atau Hukum-hukum Islam
berarti hukum yang didasarkan pada hukum Islam yang dianut
para kaum Sunni perihal iman, syariah dan akhlak”.
• Menyatakan bahwa ajaran-ajaran selain yang dianut para
anggota Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah bertentangan dengan
hukum Islam dan hukum-hukum Islam. Oleh karena itu,
penyebaran ajaran-ajaran selain yang dianut anggota Ahl as-
Sunnah wa al-Jama’ah dilarang.
• Menetapkan bahwa semua umat Muslim di negeri ini agar
tunduk kepada hukum-hukum Islam berdasarkan ketatatan
hanya kepada ajaran-ajaran para anggota Ahl as-Sunnah wa al-
Jama’ah.
• Menetapkan bahwa publikasi, penyiaran dan penyebaran segala
buku, selebaran, fi lm, video, dan hal lain yang berkaitan dengan
SYIAHISME DI MALAYSIA 177
ajaran-ajaran Islam yang bertentangan dengan yang dianut oleh
para anggota Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, dilarang.186
Syiah di Malaysia
Dalam perjalanan waktu, jumlah penganut Syiahisme di Malaysia
dan jumlah lembaga dakwah, pendidikan dan penerbitan Syiah terus
bertambah. Misalnya mulai 1980-an sampai sekarang, koran lokal
melaporkan beberapa pengikut Syiah yang telah ditahan. Pada Oktober
1983, Utusan Melayu melaporkan bahwa sekelompok orang Malaysia
mengkhotbahkan dan menyebarkan secara aktif ajaran Syiahisme dari
rumah ke rumah. Koran juga melaporkan sekitar 200 Syiah Imamiyah
bertebaran di Petaling Jaya, sebagian dikirim ke Pakistan dan Iran untuk
mendalami Syiahisme. Mereka juga benar-benar mempunyai sekolah
sendiri di Melaka yang dikelola para cendekiawan Malaysia. Sementara
itu pada tahun yang sama, koran-koran lokal menyatakan sekelompok
sarjana Malaysia mengikuti seminar Internasional mengenai haji yang
diselenggarakan di Dhakka Bangladesh, disponsori oleh asosiasi Iran.
Rangkaian seminar berikutnya dilaksanakan pada 1984 di Kelantan.
Menurut koran itu, kegiatan itu dihadiri oleh 300 peserta dengan latar
belakang yang berbeda-beda. Seminar itu mendiskusikan haji menurut
Imam Khomeini. Serambi gedung seminar dipenuhi dengan gambargambar
sang Imam.187
Seperti yang ditunjukkan di atas, adanya individu-individu
yang berpengaruh di dalam komunitas Syiah di Malaysia, meskipun
jumlahnya kecil, menciptakan peluang untuk menyebarkan ajaranajaran
Syiahisme. Pada 1992, diajukan sebuah proposal oleh komunitas
Syiah di Malaysia yang mencoba mendaftarkan organisasi mereka,
Darul Husna, di bawah Registry of Societies of Malaysia. Karena perkara
itu menyangkut praktek dan kepercayaan yang berbeda dengan
yang dianut mayoritas kaum Muslim di Malaysia, Divisi Fatwa
diminta untuk memutuskan. Komite telah merundingkan perkara ini
berdasarkan maksud-maksud yang dinyatakan komunitas tersebut.
Menurut proposal itu, Darul Husna mempunyai tujuan-tujuan sebagai
berikut:188
186 Portal Rasmi Fatwa Malaysia, http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-kebangsaan/syiah-dimalaysia(
diakses pada 1 Februari 2013).
187 Utusan Malaysia and Berita Harian.
188 Portal Rasmi Fatwa Malaysia, http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-kebangsaan/darul-husna
(diakses pada 1 Februari 2013).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
178
1. Memperkenalkan dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang
dikisahkan melalui Ahl al-Bayt Nabi.
2. Memberikan bantuan material dan moral kepada para anggota
dan semua umat Muslim.
3. Mendorong dan mengajar orang untuk hidup sesuai dengan
prinsip berdampingan dengan damai dan prinsip keimaman.
4. Memperluas pengetahuan mengenai Islam menurut Syiah dan
melenyapkan kebingungan mengenai Syiah dan meningkatkan
perbedaan di antara madzhab-madzhab di Malaysia.
5. Membangun dan mengembangkan masjid.
6. Mengadakan sidang dan mengorganisasikan agama dan adatistiadat
Islam khususnya perkawinan.
7. Melaksanakan kajian-kajian Islam menurut keimaman.
8. Membayar atau membantu membayar biaya kematian orang
Muslim.
9. Menerima sumbangan untuk penyebaran Syiah.
10. Menerbitkan selebaran dan buletin sumbangan.
Komite Konsultatif Hukum Islam (Fatwa) mendiskusikan
proposal di atas dengan sangat hati-hati sesuai dengan hukum Islam,
dan hasilnya adalah sebagai berikut: Setelah didiskusikan tampaklah
bahwa proposal itu bertentangan dengan mayoritas kebijakan dan
tujuan Departmen dan Undang-Undang Departemen Agama Islam
Selangor, yang meliputi:mengadopsi seorang anggota Syiah di
kalangan populasi; Dalam maksud kedua (3) menentang Undang-
Undang Administrasi Islam Selangor 1989 perundang-undangan Seksi
56 hingga 65; Dalam maksud kedua (4) bertentangan dengan Hukum
Keluarga Islam 1984 mengenai perkawinan. Dalam maksud kedua (5)
bertentangan dengan pendidikan Agama Islam Selangor yang sekarang
ini didasarkan pada Syafi ’i, tetapi mereka hendak menyerap pelajaran
dari pengertian Syiah Imamiyah. Berdasarkan alasan-alasan yang
telah disebutkan di atas pertemuan itu memutuskan untuk menolak
pendaftaran Darul Husna.
Meskipun proposal Darul Husna ditolak, Syiah masih sangat
berpengaruh di kalangan komunitas Muslim Malaysia. Pada 2010,
Departemen Islam Selangor (JAIS) menemukan dan menahan 200
SYIAHISME DI MALAYSIA 179
pengikut Syiah di Taman Sri Gombak, Batu Caves, selama hari
perayaan Ashura pada 16 December 2010. Laporan ini menggemparkan
umat Muslim di Malaysia dan diliput oleh koran-koran lokal.
Tanggapan JAKIM
Sejumlah tindakan telah diambil oleh pemerintah Malaysia,
khususnya Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Pada 2004,
JAKIM mengadakan pertemuan tahunan antara lain mendikusikan
posisi Syiahisme. Pertemuan itu menghasilkan rekomendasi yang
berbunyi: Syiahisme sebagai aliran yang ada di dunia Islam mempunyai
perbedaan prinsipil dari madzhab Sunni yang dianut oleh umat
Muslim Malaysia. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
• Syiahisme menolak hadist yang tidak dituturkan oleh Ahl al-Bayt
sementara Sunni tidak membedakannya asalkan memenuhi
persyaratan atau sesuai dengan ilmu- hadist.
• Syiahisme memandang bahwa para Imam tidak bisa salah,
sementara kaum Sunni memandang mereka sebagai manusia
biasa yang tidak luput dari kesalahan.
• Syiahisme tidak mengakui ijma’ tanpa adanya para imam
sementara kaum Sunni mengakuinya tanpa mewajibkan
partisipasi para imam.
• Syiahisme memandang bahwa pendirian kepemimpinan atau
pemerintahan Islam sebagai pilar agama, sementara kaum
Sunni memandangnya sebagai kesejahteraan publik di mana
imam bertindak untuk menjamin dan melindungi dakwah dan
kepentingan umat.
• Syiahisme pada umumnya tidak mengakui khalifah Abu Bakar,
Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, sementara kaum
Sunni mengakui keempat Khalifah yang masuk sebagai Khulafa
ar-Rasyidin ( Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,)
dan Ali bin Abu Thalib .189
Mempertimbangkan perbedaan di antara Syiahisme dan Ahl as-
Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana disebutkan di atas, khususnya
mengenai perbedaan dalam hal kedudukan imam, JAKIM menyerukan
kepada umat Muslim Malaysia agar meningkatkan kewaspadaan akan
189 Mohd Fauzi Hamat & Mohd Sobri Ellias, Perbezaan Fahaman Syiah Imamiyah dan Ahli
Sunnah wal Jama’ah, Jabatan Agama Islam Selangor (April 2011).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN PERTAMA
180
kemungkinan datangnya aliran-aliran yang didasarkan pada ajaranajaran
Syiahisme.
Lebih lanjut pada 2012, Kementerian Urusan Dalam Negeri
(Malaysia) melarang tiga buku yang dapat menjadi ancaman bagi
semua Muslim Malaysia. Ketiga buku-buku itu adalah Pengantar
Ilmu-Ilmu Islam oleh Murtadha Mutahhari, Dialog Sunni dan Syiah
oleh Syarafuddin al-Musawi dan Tafsir Surah al-Fatihah oleh Jalaludin
Rakhmat. Semua buku itu berasal dari Indonesia dan mempunyai
ajaran Syiahisme. Karya-kraya Syiah terlarang dari Indonesia termasuk
Tafsir al- Mizan: Mengupas Ayat-Ayat Roh dalam Alquran karya Tabataba’i,
Wanita Dimata dan Hati Rasulullah karya Syariati dan Akhirnya Kutemui
Kebenaran karya Muhammad Ali Tijani. Lagipula Jabatan Agama Islam
Melaka (JAIM) telah menyerbu sebuah rumah di Taman Paya Dalam
yang merupakan pusat organisasi Syiah. Komite menemukan beberapa
selebaran dan 35,000 buku Syiahisme yang pada waktu itu dilarang
oleh pemerintah.
Perlu dicatat bahwa hasil langsung dampak buku ini membuat
Mufti Johor, mengeluarkan fatwa yang menyatakan buku itu terlarang
karena bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang sejati. Meskipun
sudah dilarang di Malaysia, beberapa dari buku itu masih dibaca dan
disalurkan secara luas di kalangan Muslim di Malaysia. Menurut
Mufti, Syiahisme dan aliran-aliran lain yang bertentangan dengan
ajaran-ajaran Alquran dan hadist Nabi, dan juga semua kegiatan
mereka dalam segala bentuk, baik ritual, percetakan maupun publikasi,
dilarang karena dalam jangka panjang dikhawatirkan mengakibatkan
konfi k di kalangan umat Muslim di Malaysia yang menganut ajaran
Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.190
Kesimpulan
Kesimpulan, kaum Syiah sebagai kelompok yang terstigmatisasi,
telah melakukan berbagai strategi termasuk dakwah, pendidikan,
publikasi, dan bahkan aspek-aspek kehidupan religius untuk
mendapat pengakuan, posisi yang sah dan menjalankan kekuasaan
di masyarakat. Di sepanjang sejarahnya mereka telah berjuang untuk
mendapat pengakuan.[]
190 http://islam.gov.my/e-fatwa/mufti/ftwa-warta-view.asp?keyID=327 (diakses pada 1 February
2013).
SYIAHISME DI MALAYSIA 181
Daftar Pustaka
Abidin, Azmil Zainal, 2012. “Asas Keintelektualan Tradisi Kalam
Asha’irah: Suatu Analisi Metodologikal” dalam Jurnal Usuluddin
(35): 1-24.
Al-Mufi d, Shaykh Muhammad ibn Muhammad ibn Nu’man, Awail al-
Maqalat (Qum : Kungereh-e Shaykh e-Mufi d, 1413 H).
Al-Nawbakhti, al- Hasan ibn Musa (1404/1984), Firaq al-Shi’ah (Beirut:
Dar al-Idwa’).
Hamat, Mohd Fauzi dan Mohd Sobri Ellias, 2011. Perbezaan Fahaman
Syiah Imamiyah dan Ahli Sunnah wal Jama’ah, Jabatan Agama Islam
Selangor (JAIS).
Shahristani, Muhammad ibn ‘Abd al-Karim (1414/1993), Al-Milal wa
Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah, terbitan ketiga), Vol.1, hlm. 169.
Zulkifl i, 1996. The Struggle of the Shi’is in Indonesia (Ph.D. Dissertation in
Universiteit Leiden).
Portal Rasmi Fatwa Malaysia, http://www.e-fatwa.gov.my/fatwakebangsaan/
syiah-di-malaysia
Portal Rasmi Fatwa Malaysia, http://www.e-fatwa.gov.my/fatwakebangsaan/
darul-husna

SEJARAH & BUDAYA SYIAH
DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA

185
JEJAK PERSIA DI NUSANTARA:
INTERPLAY ANTARA AGAMA
DAN BUDAYA
Yusni Saby
Pengantar Perjalanan laut antara Timur Tengah, Persia, dan India dengan
Kepulauan Nusantara sudah dikenal sejak lama, bahkan
sebelum abad Masehi. Dalam relief peninggalan budaya Fir’aun
dari Mesir pun sudah terlihat bahwa pemakaian angkutan air seperti
sampan dan sejenisnya, sudah terlihat dalam interaksi budaya mereka.
Kemudian negeri-negeri “tua” seperti Habasyah (Habsyi, Ethiopia),
Mesir, Maghrib (Maroko), Yaman, Persia, India , Cina sudah dikenal
sejak zaman dahulu. Hubungan antarnegeri-negeri itu, pelan-pelan,
tapi pasti, terus berlangsung dan berkembang sampai dengan sekarang.
Perjalanan dari Afrika Timur ke Asia Barat, dari Asia Barat ke Asia
Timur juga menjadi bagian dari perjalanan darat dan laut yang berkembang
dari masa ke masa. Rute perjalanan dari Asia Barat ke Asia Timur juga
berlangsung dua cara: darat dan laut. Perjalanan darat dilakukan melalui
pegunungan Ararat menuju pegunungan Kaukasus sampai ke Cina di
bagian Timur.191 Perjalanan dengan laut dilakukan demikian juga. Artinya
dari pantai Asia Barat (Timur Tengah) menuju ke arah Timur melalui
Persia, India , Sri Lanka sampai ke Kepulauan Nusantara. Di antara negeri
191 Rute ini lebih dikenal dengan Jalan Sutera (Silk Road) dalam khazanah buku-buku sejarah.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
186
tujuan atau tempat singgah perjalanan, maka Sumatera Utara adalah
tempat berlabuh yang penting untuk mengisi perbekalan perjalanan
setelah mengarungi Laut Andaman yang terbentang luas. Disamping itu,
pulau Sumatera memiliki kekayaan hasil bumi yang menjadi memenuhi
kebutuhan para pendatang, antara lain kapur barus dan rempah-rempah.
Seterusnya perjalanan laut itu bersambung sampai dengan negeri Cina
dengan segala kepentingan yang berhubungan dengannya. Beberapa motif
mungkin telah menjadi pemicu terjadinya perjalanan tersebut. Sebagian ada
yang ingin melihat negeri jauh, mencari tanah luas, berdagang, melakukan
misi agama, pelarian politik, dan mungkin juga berpetualang.
Dikarenakan oleh perjalanan laut dulu sepenuhnya bertumpu pada
angin, maka dikenallah negeri tempat berangkat (nun di sana) yang disebut
dengan “Negeri Di Atas Angin”,192dan negeri tujuan (Nusantara) dinamai
dengan “Negeri Di Bawah Angin”.193 Tentu di sini ada nuansa “superior”
dan “inferior.” Artinya istilah di atas menandakan mereka seolah datang
dari dari “atas,” tinggi, lebih berbudaya, dan negeri di bawah berarti
kita di sini “rendah,” dan kurang dalam hal peradaban. Demi suksesnya
perjalanan dari dan ke Timur Tengah itu tidak jarang para musafi r harus
menunggu dalam jangka waktu yang relatif lama, bahkan sampai berbulanbulan
untuk mendapatkan tiupan angin yang dapat mendukung pelayaran
perahu layar mereka.194 Sebagian pelawat, tentu saja, sesudah selesai
misinya, pulang lagi ke negeri mereka, tapi tidak jarang sebagian dari
mereka menetap dan bercampur baur dengan masyarakat di negeri baru
mereka. Proses ini tentu terus bersambung sampai sekarang walau dalam
intensitas, motif dan sarana perjalanan yang berbeda.
Di antara interaksi akibat pelayaran itu penulis hanya memfokuskan
pada dampak perjalanan dari Persia (Persi, Farsi, Iran) ke Nusantara
(khususnya, Aceh) yang memang telah berlangsung lama, setua
perjalanan laut itu sendiri. Di antara para pendatang itu terdapat juga
yang berasal dari negeri Persia. Ketika sebagian orang Persia sampai
di Nusantara, ada yang melanjutkan lagi ke Timur, ada yang pulang
192 “Negeri di Atas Angin” bisa jadi Jazirah Arab (bagian Selatan, Persia, India Selatan, Sri Lanka,
atau wilayah-wilayah lain sekitarnya yang kesemuanya bergantung pada moonsoon dalam
budaya pelayaran mereka.
193 Dapat dikatakan dengan Negeri-negeri Kepulauan di antara benua Asia dan Australia dan
Semenanjung Malaysia.
194 Dalam satu riwayat pernah terjadi bahwa Marcopolo, dalam perjalanannya ke Timur harus menunggu
sampai lima bulan di Pantai Utara Aceh, hanya untuk menunggu tiupan angin yang diperlukan untuk
melancarkan pelayarannya. Lihat Tomas W. Arnold, The Preaching of Islam, hlm. 367.
JEJAK PERSIA DI NUSANTARA:
INTERPLAY ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
187
kembali, dan ada juga yang menetap bersama anak negeri. Akan tetapi,
satu hal yang pasti adalah bahwa walaupun mereka kemudian ada
yang kembali pulang atau melanjutkan ke negeri lain, mereka sempat
berdiam dalam waktu yang relatif lama, dan berinteraksi dengan
masyarakat lokal. Interaksi ini tentu akan berdampak pada asimilasi
prilaku antara kedua belah pihak: pribumi dan pendatang, yang akan
berdampak pada saling mempengaruhi dan berkontribusi pada budaya
masing-masing. Paling kurang ”budaya tinggi” akan mempengaruhi
”budaya rendah” yang dalam hal ini prilaku anak negeri di Nusantara.
Maka tidak heranlah kalau (kemudian) ternyata ada beberapa tradisi
atau peradaban Persia yang tinggal di Nusantara, khususnya Aceh
yang terakumulasi dalam tradisi budaya dan juga dalam pemahaman
dan perilaku yang bernuansa keagamaan. Lancarnya penyebaran
Islam di Nusantara, bahkan dengan cara damai (penetration pasifi que)
sangat mungkin didukung oleh adanya persepsi budaya “tinggi” dan
budaya “rendah” ini.
Makalah ini berusaha mengungkapkan beberapa hal yang berkaitan
dengan jejak Persia yang masih tersisa di Nusantara, khususnya di
Aceh sebagai hasil dari interaksi kedua bangsa tersebut dalam waktu
yang lama. Kedua jejak tersebut terekam dalam perilaku beragam dan
juga dalam tingkah laku berbudaya. Yang antara keduanya kadangkala
berbatas samar-samar dan susah dibedakan.
Persia dan Islam
Sejarah mencatat bahwa tidak lama setelah Islam berkembang
ke luar jazirah Arab, Islam telah sampai menyentuh negeri Persia.
Pertengahan abad ke tujuh ditandai dengan berakhirnya dinasti
Sasanian yang selama empat abad telah sanggup menahan invasi
Kekaisaran Byzantium Romawi yang perkasa. Mudahnya konversi
orang Persia ke dalam agama baru ini disebabkan oleh sifat opresif
agama resmi negara yang bernama Zarasustra, yang telah digunakan
oleh para agamawan untuk menindas rakyat dengan dukungan
penguasa. Bermacam perilaku aparatur negara dalam menguasai
rakyatnya telah memberi peluang kepada pendatang Muslim untuk
berkuasa, yang bahkan, dalam banyak kasus, dianggap sebagai
datangnya juru selamat, ‘pembebas’ dari segala derita selama ini.195
195 Arnold, hlm. 206.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
188
Kalau dapat kita katakan, bahwa ciri utamaatau ruhkeislaman
orang Persia adalah sikap pemuliaan yang berlebihan kepada keturunan
Nabi Muhammad. Ciri ini pula, nampaknya yang telah ‘menghimpun’
Muslim Iran dalam jama’ah Syiah, sebagaimana yang kita saksikan
selama ini. Apa yang membuat orang Persia begitu menghormati Ahl
al-Bayt adalah dimulai dari adanya perkawinan antara Hueain bin Ali
bin Abu Thalib dengan Syahrbanu,196 salah seorang anak perempuan
dari Yazdagird, raja terakhir dari Dinasti Sasanid yang pernah masyhur
dan kuat di Persia. Kedekatan ini menjadikan orang Persia seolah
bagian dari keturunan Ali, yang selanjutnya menyatu dalam madzhab
Syiah. Kalau umumnya orang Iran menjadi penganut jama’ah Syiah
maka ia tidak terlepas dari ikatan emosional tadi.
Proses pemuliaan ini masih terpelihara sampai sekarang dengan cara
penghormatan kepada kuburan generasi awal keturunan Imam Alitadi.
Selanjutnya juga keturunan ini terpelihara dalam sistem sosial yang ketat,
dan dapat ditandai dengan menonjolnya tokoh-tokoh dari keturunan Ahl
al-Bayt dimaksud. Dalam interaksi sosial bahkan dapat dilihat dengan
jelas, mana yang keturunan Ahl al-Bayt, mana yang bukan, seperti pada
warna sorban, aksesori pakaian dan lain-lain. Sebagian perilaku ini
kemudian pelan-pelan tersalurkan ke masyarakat di Nusantara melalui
‘jasa’ para musafi r yang singgah di ‘Negeri Bawah Angin’ ini.197
Jejak Persia dalam Aspek Keberagamaan
Tidak mudah untuk mengidentifi kasi sikap-sikap keberagamaan
Muslim Nusantara, khususnya Aceh yang diwarisi dari perilaku
beragama Muslim Persia. Akan tetapi, dari hasil pengamatan yang
panjang dapat diungkapbeberapa hal yang “dekat” dengan sikap
beragama, antara lain:
1. Memuliakan Ahl al-Bayt
Bahwa centrum tradisi keberagamaan orang Iran, seolah bertumpu
pada “orang suci” keturunan Nabi, melalui Ali. Perkawinan
Husein ibn Ali dengan Syahbanu binti Yazdagird dari Iran juga ini
telah menjadikan ‘martabat’ orang Persia naik dan merasa tidak
kalah dengan orang Arab yang punya Nabi sendiri dan berasal di
sana. Tradisi ini diamalkan oleh Muslim Nusantara, khususnya
196 Arnold menulisnya dengan ejaan Shāhbānū (hlm. 209)
197 Dulu di Aceh juga pernah bahwa orang awam tidak boleh berpakaian warna kuning, termasuk
warna payung karena warna itu dianggap hak istimewa keluarga “kelas atas”.
JEJAK PERSIA DI NUSANTARA:
INTERPLAY ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
189
Aceh. Bahwa adanya pemakaian beberapa istilah seperti Habib,
Sayyid, Syarifah, Di, Wan, Siti, dan sejenisnya dipahami sebagai
bagian dari tradisi pemuliaan keturunan Nabi Muhammad
yang disebut Ahl al-Bayt, atau Asyraf dalam sebagian literatur.
Hingga saat ini, pemuliaan kepada Ahl al-Bayt ini masih sangat
terasa. Seperti di Betawi, misalnya, ketika ada jamuan keluarga,
pertemuan masyarakat, dan sejenisnya, maka yang paling awal
disapa adalah Habib, yang jama’nya Haba’ib. Di Aceh tradisi
pemuliaan ini masih berlangsung, walau dalam intensitas yang
berbeda. Tahun-tahun sebelumnya realitas pemuliaan ini berlaku
secara sederhana dalam masyarakat, seperti ketika bernazar,
pengobatan, cium tangan, tidak berani mengata-ngatai, tidak
berani menunjuk langsung ke diri Ahl al-Bayt tadi.
2. Pemuliaan kepada kuburan, terutama kuburan ulama
Pemuliaan kepada kuburan sudah berlangsung lama di Aceh
dan berjalan terus sampai sekarang. Terlepas dari masalah
pro-kontra, dimungkinkan tradisi kuat menghormati kubur
ini terwariskan dari perilaku keberagamaan orang Persia.
Konon pula diketahui bahwa tidak semua masyarakat Arab
memperlakukan kuburan atau ziarah kubur sebagaimana
yang kita lakukan selama ini. Ketika di Timur Tengah,
umumnya, tradisi ini menurundi wilayah Nusantara ini,
termasuk di Aceh, perlakuan kepada kuburan dan ziarah
kubur bahkan meningkat. Di Pulau Jawa, misalnya, betapa
masyarakat menghormati kuburan orang besar, dan kuburan
ulama, kadangkala secara berlebihan.
3. Menganggap lawan Ali sebagai “kafi r ”
Ini tentu satu sikap yang ironis.198 Tapi itulah kenyataan, yang
terbaca dalam hikayat-hikayat Aceh, khususnya “Hikayat
Hasan Husein” dan hikayat lain yang ada kaitan. Yang jelas
bahwa dalam hikayat Aceh, Mu’awiyah dan anaknya, Yazid
bin Mu’awiyah, itu dianggap demikian, tapi tidak kepada
yang lain. Semua sahabat utama Nabi Muhammad, seperti
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, adalah
terhormat dan ma’sum. Dalam hikayat Aceh, sejauh diketahui,
198 Perlu dicatat bahwa pendapat seperti ini tidak selalu disepakati oleh kaum Syiah. Pendapat ini
bertentangan dengan semangat non-konfrontatif yang ditunjukkan oleh karya-karya dari ulama
Syiah seperti Thabataba’i, Khomeini dan banyak lagi (Penyunting).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
190
bahwa Mu’awiyah adalah musuh Ali dan Yazid dipahami
sebagai musuh Husein. Dalam Hikayat tersebut diungkapkan
bahwa Husein itu dibunuh oleh suruhan Yazid, (kalau bukan
oleh Yazid sendiri). Yang membunuh Husein di Karbala itu
digambarkan dengan penampilan seperti “anjing” (betina)
dengan delapan buah “tetek” nya yang menonjol. Nama si
pembunuh itu (pemenggal kepala Husein) adalah si Madha’if.
4. Dipahami bahwa Hasan bin Ali diracuni oleh istri Mu’awiyah
Bukan hanya itu, bahwa racun itu ditaruh dalam makanan,
kemudian diantarkan kepada Hasan. Hasan tahu ada racun di
dalamnya, tetapi dia makan juga, seolah sudah perintah takdir,
bahwa Hasan “harus mati” dengan cara itu. Istri Mu’awiyah
itu namanya Laila Meusyen dan juga dianggap “kafi r”.199
5. Keistimewaan Ali dipahami sebagai sahabat, juga menantu,
keponakan Nabi. Keistimewaan ini berbentuk kekuatan
fi siknya dan juga ilmunya, yang “luar biasa”. Dengan pedang
Zulfi kar ia sanggup membelah badan musuh yang berbaju
besi sekalipun mulai dari kepala sampai ke pinggangnya.
Keistimewaan lain juga adalah bahwa Ali sempat beristri
dengan seorang perempuan di negeri “Buniara”. Negeri
Buniara itu seolah berada di bawah (di balik) sebuah sungai.
Ali sampai ke situ ketika dia mencuci pedangnya di sungai
tersebut. Tiba-tiba pedangnya terlepas dan jatuh terbenam
ke dalam air. Ali turun dan menyelam mencari pedangnya
itu, yang tidak segera didapatinya. Akhirnya sampailah ia
ke sebuah negeri yang namanya Buniara. Mengetahui bahwa
Ali yang datang, maka dia dikawinkan dengan seorang
perempuan cantik dan terhormat, hingga lahir seorang bayi
laki-laki bernama Muhammad Hanafi yah.200
6. Muhammad Hanafi yah sebagai Imam Mahdi201
Muhammad Hanafi yah yang dipercayai sebagai anak lakilaki
Ali dari istri Buniara tadi, yang sekarang berada dalam
199 Dalam sya’ir yang dinyanyikan Rafl i, perempuan itu namanya Layla Majnun.
200 Dalam sejarah memang ada isteri Ali selain Fatimah. Nama isteri itu dikenal dengan nama
Hawlah binti Iyas bin Ja’far, yang sebelumnya pernah jadi budak.
201 Masalah Imam Mahdi ini ada pemahaman variasi antar agama, juga antar mazhab. Makanya
ada istilah messianic religions, artinya agama-agama yang menanti datangnya “juru selamat.”
Umumnya kelompok Syi’ah meyakini akan datang Imam Mahdi, tapi bukan namanya
Muhammad Hanafi yah.
JEJAK PERSIA DI NUSANTARA:
INTERPLAY ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
191
gua batu dengan kudanya dan siap menunggu saat yang tepat
untuk keluar, dan membela Islam dengan menghancurkan
musuh-musuh Islam seperti Dajjal. Makanan untuk kuda
Muhammad Hanafi yah adalah sejenis rumput khusus yang
namanya komkomma, yang juga terdapat di Aceh.202
7. Sepak bola kaki (pernah) dilarang, karena disimbolkan sebagai
kepala Husein bin Ali Ini berawal dari riwayat yang tertulis di
buku. Bahwa kepala Husein yang dibunuh di Karbala, Irak,
dikirim ke Damsyiq (Damaskus di mana pusat Pemerintahan
Dinasti Umayah berada). Sesampai di sana kepalaya dijadikan
bola sepak, sebagai lambang kebencian kepada Husein.
Ini sebabnya mengapa sepak bola di Aceh pernah menjadi
pantangan besar.
8. Manoe Rabu Abeh (mandi besar di hari Rabu penghabisan
bulan Muharram)
Di Persia, mandi itu dilakukan pada hari Rabu tahun baru
Persia ( Nuruzbermakna ‘Hari Baru’), yang maksudnya untuk
perlambang tolak bala, membasuh dosa. Tradisi itu sudah
berlangsung lama, bahkan sebelum masa Islam.
9. Menyediakan ie bu (bubur) Hasan- Husein
Maksudnya dalam hal memuliakan cucu Nabi Muhammad
tersebut, warga menyediakan bubur dan dibagi sebagai
kenduri pada saat tertentu setiap tahun. Tradisi ini masih
berjalan di Aceh, atau paling tidak dilakukan oleh sebagian
masyarakat di propinsi tersebut.
10. Upacara daboih (atau dabus)
Ini dilakukan seperti untuk menyakiti diri sendiri. Kegiatan ini
dilakukan dalam memperingati sekaligus meratapi kematian
Husein, yang disebut dengan ta’ziyah. Prosesnya terjadi pada
bulan Muharram, di jalanan umum atau lapangan dengan
memukul-mukul diri sendiri dengan rantai atau dengan benda
tajam, sampai berdarah-darah. Ada kalanya juga dilakukan
seraya membawa keranda kosong sebagai perlambang jasad
Husein yang terbunuh secara tidak wajar.
202 Rumput komkomma itu beda dengan rumput biasa, dapat ditanam di halaman dan ada
bunganya yang berwarna merah jambu. Rumputnya tumbuh berumpun dan rendah.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
192
11. Nama-nama Aceh yang berasal dari Persia
Antara lain “Jailani” (asalnya kata Jīlān, nama satu tempat di
Persia), “ Daylami” (nama tempat) dekat dengan Tabaristan.
Saya menduga yang namanya “Dalam,” adalah modifi kasi
dari kata Daylam tadi. Makanya di Aceh ada nama Muda
Dalam, ada Pang Dalam dan lain-lain. Juga nama Syaribanun
(perempuan) sangat mungkin berasal dari Syahrbanu, salah
seorang istri Husein di Persia. Tentu saja perubahan cara baca,
dialek adalah bahagian dari dinamika adaptasi satu budaya,
sesuai dengan lidah masyarakat Nusantara.
Pengaruh Persia dalam Budaya
Pengaruh Persia dalam Budaya Melayu, khususnya Aceh, antara
lain, dapat diduga sebagai berikut ini:
1. Pemakaian huruf P, G dan C (tj) dalam tulisan Jawi
Ketika alphabet atau abjad Melayu diperkenalkan, maka kita
tidak mewarisi dari Hindi, yang mirip tulisan Jawa, juga bukan
tulisan Arab murni. Benar abjad kita datangnya dari huruf Arab,
tapi yang sudah termodifi kasi lewat abjad Persia. Persia sudah
lama memakai abjad Arab modifi kasi tersebut. Yaitu adanya
huruf P (Jawi pakai huruf fa pakai tiga titik, sedangkan abjad
Persia m emakai huruf ba dengan tiga titik bawah, پ), huruf G
(kaf titik atas, sedangkan Persia pakai kaf dengan garis miring
di atas, گ), dan C (huruf jim tiga titik, چ). Ketiga huruf abjad
itu tidak terdapat dalam alphabet bahasa Arab. Makanya dalam
hal ini sangat mungkin datang dari Persia.
2. Istilah-istilah dalam bahasa dan sya’ir
Beberapa istilah bahasa seperti “bandar”, “dewan”, “syah” dan
lain-lain, bahkan kata “fi rdaus” pun dipahami sebagai berasal
dari Persia, yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Arab.
Kata “syah” sebenarnya juga terdapat dalam bahasa Arab,
tetapi jarang dipakai karena ia dekat dengan syatun, yang
berarti “kambing betina” (konotasi negatif). Kalau disukunkan
baris akhir akan dapat dibaca “syah” juga. Di Persia “syah”
itu bermakna “raja” secara meyakinkan. Makanya, kata syah
itu jadi nyaman dipakai tanpa ada konotasi lain. Sebagai
contoh, ada nama orang Aceh seperti Daud Syah, Kaoy Syah,
Muhammad Syah, Hasan Syah, dan sebagainya. Dalam bahasa
JEJAK PERSIA DI NUSANTARA:
INTERPLAY ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
193
sya’ir juga dipakai kata “syah” seperti “Amma ba’du Syahi
Alam.” Syahi sama dengan syah, artinya di sya’ir ini sebagai
“Raja Dunia”.
3. Kisah-kisah rakyat
Kisah Putro Bungsu, Malem Diwa, Kulam Ru dan sejenisnya itu
semua dipahami datangnya dari Persia, bukan India, apalagi
dari Arab. Dalam sastra klasik Persia dikenal dengan salah
satu dongeng yang mengisahkan tentang sang putri yang
mandi dalam sebuah kolam di suatu tempat yang jauh dari
istana yang dikelilingi oleh dayang-dayang sebanyak tujuh
orang. Kemudian ada pemuda (kemungkinan anak raja) yang
mengintip dan ingin mencuri baju putri, yang dengan baju
itu sang putri dapat terbang lagi kembali ke istananya. Cerita
yang ada di Aceh itu skenarionya sangat mirip dengan yang di
Persia, nampaknya, cuma lokasi setting yang berbeda.
4. Tokoh-tokok ulama seperti Fatahillah dan Hamzah Fanshuri
dianggap datang dari Persia
Ada beberapa indikasi berkaitan dengan hal ini. Misalnya
penyebutan kata Persia beberapa kali dalam tulisan Hamzah
Fanshuri. Ada ungkapan Hamzah yang berbunyi dengan
“mendapatkan wujud di Syahr Nw” (nun dan waw: ن dan .(و
Syahr = kota atau kuta. Nun dan waw sering dibaca dengan
“Nawi”. Dalam Bahasa Persia, ada kata nu yang berarti
baru. Syahr Nu artinya “Kota Baru”. Nah, di mana tempat
yang dikatakan Kota Baru itu di mana Hamzah mendapat
“wujud” yang artinya kira-kira “bertemu dengan Tuhan,”
yang kemudian dipahami sebagai Wahdat al-Wujud. Sangat
mungkin tempat itu berada di Aceh, atau bahkan dekat
dengan Banda Aceh di mana Hamzah bertempat tinggal.203
Menariknya, nama tempat diungkapkan oleh Hamzah dalam
Bahasa Persia. Berkaitan dengan Fatahillah, atau Fathullah,
atau kemudian Falatehan (dalam Bahasa Portugis), dipahami
sebagai berasal dari Persia. Beliau kemudian dikenal sebagai
ulama yang sangat berperan di Kerajaan Samudera Pase
sebelum penyerbuan Portugis kesana. Bahasa Melayu sejauh
ini juga dipahami sebagai berasal dari Bahasa Pase. Berkaitan
203 Informasi didapatkan dari Ustaz Andi Mahdi, seorang sarjana yang menguasai Bahasa Persia.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
194
dengan kehadiran dan peran orang dari Persia (dan orang
asing lainnya) di Pase, juga diungkapkan oleh Ibnu Battutah
dalam masa singgahnya di sana.204
5. Budaya keilmuan
Di antara negeri Muslim yang paling dianggap sebagai
pencinta ilmu adalah bangsa Persia. Hampir semua kota di
Persia terdapat pusat-pusat kajian, terutama kajian Islam,
fi lsafatdan sejenisnya. Tradisi keilmuan ini masih terpelihara
sampai sekarang. Ketika dulu Aceh dikenal sebagai center of
excellence, sangat mungkin diilhami oleh budayaPersia yang
kuat tentang itu. Lebih-lebih lagi, ketika melihat catatan
sejarah, sebenarnya lebih banyak sarjana besar Muslim yang
berasal dari Persia, termasuk Imam al-Ghazali, Ibnu Sina,
dan lain-lain dibandingkan dengan jumlah dari negeri-negeri
Muslim yang lainnya.
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian di atas, bahwa:
1. Hubungan antara Nusantara, khususnya Aceh, dengan
Persiasudah berjalan sangat lama. Bahkan mungkin telah
berlangsung lebih dahulu dari hubungan atau kontak dengan
Semenanjung Arabia. Alasannya sederhana, bahwa Persialebih
dekat dengan Nusantara dibanding Arabia. Kemajuan ilmu
pengetahuan, termasuk pelayaran, tentunya, lebih dulu
dimulai di Persia. Persia juga dikelilingi dua sisi laut di bagian
Selatan dan Barat negeri itu.
2. Hubungan dua arah ini telah berdampak pada dua aspek
perilaku: keberagamaan dan kebudayaan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kedua aspek tersebut, sedikit atau banyak,
telah diwarisi dari Persia.
3. Dalam hal beragama, walaupun masyarakat Nusantara
umumnya menganut fi qh Syafi ’i dan teologi Asy’ariyah, tetapi
dalam beberapa hal, sadar atau tidak, banyak perilaku Muslim
Persia yang terwariskan. Memuliakan Ahl al-Baytadalah di
204 Ini terjadi sekitar tahun 1340, saat Sulthan Malik al-Zhahir menjadi raja. Nama dua orang asal
Persia itu dikenal dengan qadhi Amir Sayyid al-Syirazi, dan faqih Tajuddin al-Isfahani. Dari
gelar yang dimiliki nampaknya mereka itu berperan di Kerajaan. Lihat Feener, Memetakan
Masa Lalu Aceh,hlm. 24-25.
JEJAK PERSIA DI NUSANTARA:
INTERPLAY ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
195
antara yang paling kelihatan nyata. Dengan sikap ini, maka
muncullah beberapa perilaku dan praktek seperti yang telah
diuraikan di atas.
4. Dalam hal berbudaya juga tidak kurang, dari abjad, nama
orang sampai beberapa kosa kata, diambil dari Persia.
5. Sayangnya, dalam abad-abat terakhir ini, hubungan yang
sudah ada itu seolah terlupakan, baik dalam bentuk hubungan
budaya, dagang, apalagi politik dan keberagamaan.
6. Apa yang diungkapkan di atas adalah masa lalu, di mana
dampaknya masih terasa sampai kini. Karena itu, usaha kita
masa depan sebaiknya ditujukan pada pencapaian tujuan
bersama yang saling memberi manfaat.
7. Dengan berkembangnya arus komunikasi dan globalisasi,
maka hubungan antara Nusantara, Indonesia, khususnya Aceh,
dibangkitkan kembali dalam hal-hal yang menguntungkan
kedua belah pihak: dagang/investasi, budaya, pendidikan/
ilmu pengetahuan, dan bahkan hubungan berkaitan dengan
keagamaan.
8. Kalau ini terjadi, maka Nusantara dan Persia/Iran mampu
muncul menjadi satu kekuatan di belahan bumi, menjadi
penyeimbang dalam percaturan globalisasi yang kian
menggelora.[]
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W. M., 2001. Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermenutik
terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina).
_________, 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawwuf dan Puisi-puisinya.
(Bandung: Mizan).
Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib, 1975. Comments on the
Reexamination of Al-Raniri’s Hujjatu’l-Siddiq: A Refutation
(Kuala Lumpur: Muzium Negara).
_________, 1970. The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur:
University of Malaya Press).
_________, 1968. The Origin of the Malay Sha’ir (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
196
Algar, Hamid, 1981. Islam and Revolution: Writings and Declarations
of Imam Khomeini (Terjemahan karya Ruhollah Khomeini)
(Berkeley: Mizan Press).
Al-Hujwiri, 1994. Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua Tentang
Tasawwuf (Terjemahan oleh Suwardjo Muthary dan Abdul
Hadi W. M.)Cet. III (Jakarta: Mizan).
Arnold, Thomas W., 2007. The Preaching of Islam, 2nd Edition, Revised
and Enlarged. (New Delhi: Adam Publishers).
Azyumardi Azra, 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan).
Bukhari Lubis. The Ocean of Unity.
Chauduri, K. N., 1989. Trade and Civilization in the Indian Ocean: An
Economic History from the Rise of Islam to 1750 (London:
Cambridge University Press).
Fathurrahman, Oman, 1999. Tanbih al-Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud,
Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan).
Feener, R. Michael, Patrick Daly dan Anthony Reid (Penyunting), 2011.
Memetakan Masa Lalu Aceh (Jakarta: KITLV).
Hamka, 1996. Tasauf Moderen (Jakarta: Pustaka Panjimas).
Hasjmy, A. Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh.
Momen, Moojan, 1985. An Introduction to Shi’i Islam (New Haven &
London: Yale University Press).
Shaghir Abdullah, Wan Mohd, 1990. Wasiat Abrar Peringatan Akhyar
Syekh Daud Al-Fatani (Shah Alam: Penerbit Hizbi).
_________, 1993. Penjelasan Nazham Syair Shufi Syaikh Ahmad al-Fathani
(Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah).
_________, 1996. Tafsir Puisi Hamzah Fansuri dan Karya-karya Shufi
(Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah).
Yusuf, M., 2005. Karya Hamzah Fansuri Zinatul Muwahhidin (Banda Aceh:
Dinas Kebudayaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam).
197
SEJARAH SYIAH DI ACEH
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Pengantar Artikel ini bertujuan mengkaji sejarah Syiah di Aceh.205 Ada
dua kelompok sarjana yang berdebat tentang kedatangan
Syiah ke Aceh. Kelompok pertama berargumen tidak ada
bukti pengaruh Syiah di Aceh. Argumen ini dapat ditemukan di
dalam karya-karya Azyumardi Azra di mana dikatakan bahwa Syiah
hanyalah mitos di dalam sejarah Aceh (Azra 1999: 129-155). Kelompok
kedua, para sarjana Aceh yang percaya bahwa Aceh adalah tempat
pertemuan di antara Sunni dan Syiah. Isu ini telah dikaji dalam karyakarya
saya terdahulu mengenai kontribusi Aceh bagi perkembangan
hukum Islam di Indonesia (Bustamam-Ahmad 2002).
Dalam kajian ini, terdapat banyak unsur Syiah di dalam kebudayaan
Aceh. Oleh karena itu, saya bermaksud menunjukkan bahwa di Aceh sudah
ada tiga madzhab pemikiran hukum Islam, yaitu Syiah, Hanafi and Syafi ’i.
Mengenai isu Kerajaan Peureulak, saya menggunakan sebuah naskah yang
memuat daftar genealogi sultan. Judul naskah itu adalah Tazkirah Thabaqat
Jumu’ Sulthan al-Salathin,206 yang dikarang oleh Syaikh Syamsul Bahri
205 Tinjauan mengenai Syiah dalam bahasa-bahasa Indonesia, lihat Dahlan 1997: 1072-1708.
206 Dalam naskah itu, gelar Sultan selalu disebut Syah. Menurut naskah ini nama-nama Sultan
Peureulak adalah: Al-Malik al-Sulthan Ibrahim Makhdûm (232–279 H.); Al-Malik al-Sulthân
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
198
Abdullah al-Asyi. Teks itu ditulis kembali oleh Said Abdullah Ibn Sayyid
Habib Saifuddin pada 1275 Hijriyah (Hasjmy 1993: 144).
Akan tetapi, dalam esai ini akan dikaji sejarah Syiah melalui
pendekatan sosio-historis dan sosio-antropologis. Sebagai orang Aceh,
saya menyaksikan bahwa banyak tradisi Aceh masih merupakan
bagian ritual-ritual yang diimpor. Hal inilah yang membuat kami
tidak dapat menyangkal fakta adanya dampak tradisi Persia dan
hubungannya dengan dua kerajaan Islam di Aceh, yaitu Peureulak dan
Samudera Pasai (Hasjmy 1993). Secara historis, raja pertama Peureulak
adalah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Genealogi
Sultan adalah Abdull Aziz bin Ali bin al-Muktabar al-Baqir bin Ali
Muhammad Zainal Abidin bin Husin al-Syahid bin Ali bin Abu Thalib.
Kedatangan orang Syiah disebabkan oleh konfl ik pada era Khalifah
Makmun (167-219), yaitu kasus Muhammad bin Jakfar Shiddiq bin
Muhammad Bakar bin Ali Zainul Abidin bin Hassan bin Ali bin
Abu Thalib yang melawan Khalifah Makmun. Sang Sultan meminta
kelompok Syiah mengembangkan Islam ke wilayah lain seperti Hindi
dan Asia Tenggara. Kelompok ini sampai di Peureulak dan mendirikan
Kerajaan Peureulak pada 1 Muharram 225 (Hasjmy 1993: 155-157).
Tentu saja para sarjana lokal seperti A. Hasjmy, Junus Djamil
dan Aboebakar Atjeh berargumen bahwa “ada Syiah di Aceh” (Atjeh
1977).Bagi saya, pernyataan mengenai ini masih perlu ditinjau kembali
berdasarkan bagaimana orang Sunni menyatakan bahwa mereka
merupakan bagian dari sejarah Syiah di Asia Tenggara. Banyak yang
mengklaim lebih lanjut bahwa dengan mengatakan itu, Sunni di Aceh
harus “berterima kasih” kepada ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi Syiah.
Mengapa orang Aceh melakukan hal ini? Sebagaimana diketahui dalam
sejarah Aceh kita hanya dapat menemukan sejarah Sunni di Aceh,
bukan sejarah Syiah. Dengan kata lain, sejarah Islam di Aceh adalah
sejarah Sunni. Lalu mengapa, mereka (orang Aceh) menyatakan bahwa
Mansyur Syah (279-282 H); al-Malik Sulthan ‘Umar Syah (282-287 H.); al-Malik Sulthan
Muhammad Syah (287-290 H); al-Malik Sulthan Ahmad Zahid Syah (290-299 H); al-Malik
Sulthan Mansur Muhammad Sa’îd (299-315 H); al-Malik al-Sulthan Ahmad Sa’d (315-319 H);
al-Malik Sulthan Khadiwan Syah (319-325 H); al-Malik al-Sulthan Sa’îd Zayn al-Abidîn Syah
(325-329 H); al-Malik Sulthan Ahmad Syah (329-333 H); al-Malik Sulthan Nashir Syah (333-342
H); al-Malik al-Sulthan Muhammad al-Fath Amîn Syah (342-359 H); al-Malik al-Sulthan Ibrahim
Syah (359-377 H); al-Malik al-Sulthan Muhammad Syah (377-389 H); al-Malik al-Sulthan
Mahmud Syah (389-398 H); al-Malik Sulthan Mansur Syah (398-400 H); al-Malik Sulthan
Ahmad Syah ‘Abid (400-406 H); al-Malik Sulthan ‘Abd Allah Hamid Syah (406-410 H); al-Malik
Sulthan Muhammad Ali Syah (410-433 H). Lihat juga Bustamam-Ahmad 1999: 157-158.
SEJARAH SYIAH DI ACEH 199
tradisi Aceh tidak dapat berdiri tanpa tradisi Syiah? Seorang informan
mengatakan, kemunduran Aceh pada abad ke-17 karena isu Wahdat al-
Wujud. Di samping itu, ada yang berargumen bahwa ajaran ini seperti
imam tersembunyi adalah bagian dari ajaran Syiah di Aceh (Sachedina
1988). Lalu, dapatkah kita mengatakan bahwa ajaran Wahdat al-Wujud
yang dipromosikan oleh Hamzah Fanshurisebagai kelanjutan konsep
imamdi kalangan Syiah? (Al-Attas 1970). Kita tidak dapat menjawab
pertanyaan ini tanpa memperhitungkan konsep Imamah dalam Syiah
dan Insan al-Kamil dalam Sunni. Lalu, Hasjmy mengemukakan kedua
konsep itu sudah ada di Aceh dan berakhir pada ke-17. Setelah
mundurnya kerajaan-kerajaan Aceh, kelompok Muslim yang dominan
di Aceh adalah Sunni.
Akan tetapi, tradisi dan desa yang mempraktekkan tradisi Syiah
masih dapat ditemukan di beberapa wilayah di propinsi itu. Konon
di Aceh Utara, ada kelompok Syiah. Mereka hidup bersama dengan
kelompok Sunni tanpa konfl ik. Sementara itu, di Pidie Jaya, ada satu
gampong (kampung) yang dianggap Syiah. Pada saat yang sama,
seorang pimpinan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) Aceh,
memberi informasi kepada saya bahwa mereka masih merayakan
perayaan Syiah di Bireuen, Aceh Jeumpa. Selain itu, banyak orang
muda Aceh yang berasal dari keluarga Sunni dilihat sebagai pro-Syiah
dan memihak madzhab ini sebagai “kekuatan penyaing” dominasi
Sunni di Aceh. Mereka melihat bahwa Syiah merupakan madzhab
Muslim yang sangat dinamis dan mengilhami kehidupan intelektual
dan spiritual mereka. Saya diberi tahu bahwa beberapa dari mereka
adalah lulusan dari universitas Iran tanpa mendapat bantuan dana
dari pemerintah Aceh atau Indonesia. Situasi ini mirip dengan para
pemuda Iran Muslim yang tinggal di Iran sebagai populasi Syiah
terbesar di dunia, tetapi diam-diam mereka pro kepada agama leluhur
mereka, yaitu Zoroaster (Bustamam-Ahmad 2012).207
Tampaknya diskusi mengenai Syiah di Aceh dapat dikategorikan
dalam lima aspek. Pertama, Syiah sebagai kekuasaan ideologis selama
era pertama Peureulak, Kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara. Kedua,
masalah Syiah di Aceh merupakan bagian dari konfl ik di kalangan
Muslim di Timur Tengah. Fakta-fakta historis ini telah mempengaruhi
207 Hal seperti ini sangat sulit untuk dikonfi rmasi maupun verifi kasi, mengingat masalah keimanan
merupakan bagian dari aktivitas hati manusia yang paling dalam (Penyunting).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
200
orang Aceh, khususnya di kalangan Sunni, di mana konfl ik di antara
Sunni dan Syiah selalu mengacu kepada sejarah Ahl al-Bayt. Ketiga,
menyangkut pengaruh Persia yang terkadang dilihat sebagai bagian
dari internasionalisasi Syiah. Hal ini dapat dikaji di dalam sejarah
bahasa-bahasa politis di Aceh yang diadopsi dari tradisi Persia (Azra
1999: 77). Keempat, masalah Syiah dapat dipelajari dalam sejarah
literatur atau seni seperti hikayat. Argumentasinya bahwa banyak
hikayat di Aceh telah diimpor dari kesusasteraan Persia (Brakel, 1988
dan Braginsky, 1998). Kelima, masalah Syiah di Aceh sekarang ini
terjebak dalam konfl ik global antara Barat dan Iran (Mojtahed-Zadeh,
2007). Beberapa orang Aceh mempunyai pengertian sendiri bahwa
produk membenci Syiah adalah bagian dari propaganda Barat ke
dunia Muslim.
Masing-masing aspek memberi beberapa konsep. Pertama,
bercerita mengenai sejarah kekuasaan politik dari Timur Tengah ke
Aceh. Secara historis, kedatangan Islam ke Aceh adalah semasa era
Para Sahabat karena pada era ini tidak ada pemisahan di antara Sunni
dan Syiah. Kedua, ada yang berargumen bahwa setelah wafatnya Nabi
Muhammad ada dua kelompok, yaitu Ahl al-Bayt dan bukan-Ahl al-
Bayt. Kelompok yang pertama disebut Syiah,208 sementara yang kedua
disebut Sunni.209 Saya tidak akan membuka konfl ik di antara kedua
kelompok itu karena banyak sarjana telah menguraikan isu itu (Stewart,
1998). Akan tetapi, masalah utamanya, mengapa dan apakah isu itu
“harus ada” dan “tidak boleh ada” di kalangan kedua kepercayaan
religius Islam yang masih berpengaruh?
Ketika Islam tiba di Aceh, orang Muslim tidak menyatakan bahwa
mereka adalah Sunni atau Syiah. Saya tidak menemukan sumber apa
pun tentang pernyataan Muslim pertama di Aceh yang mengklaim
bahwa mereka adalah penganut Syiah atau Sunni. Akan tetapi,
kedatangan mereka ke Aceh adalah dampak konfl ik Jazirah Arab.
Ketika saya pergi ke wilayah yang diklaim Aboebakar Aceh sebagai
tempat Syiah di Aceh Utara, banyak ditemukan makam orang-orang
yang berasal dari Persia. Terpenting di sini adalah wilayah makammakam
itu terletak di dekat laut dan sungai. Seorang arkeolog lokal
mengatakan bahwa tidak ditemukan fakta apa pun tentang kehadiran
208 Secara harafi ah berarti pengikut, pihak, kelompok, rekan, pendukung, atau penyokong. Lihat
Jafri 1995: 55.
209 Secara umum berarti “praktek yang lazim”. Lihat Marmura 1995: 139.
SEJARAH SYIAH DI ACEH 201
kerajaan-kerajaan Peureulak di Aceh Timur (Ambary 1993: 445).
Akan tetapi, banyak ditemukan makam di hutan bertuliskan namanama
Persia. Hal ini sangatlah mengejutkan dan mengapa Kerajaan
Peureulak harus diperhatikan, bukan mausoleum-mausoleum.
Informasi dari seorang arkeolog lokal bahwa jarak pekuburan itu kirakira
30 km dari Selat Malaka, tetapi banyak makam di dalam hutan
tidak dipelihara oleh pemerintah. Seorang jurnalis Malaysia yang
membuat acara Jejak Rasul di Aceh untuk suatu program televisi selama
Ramadhan dengan dipandu oleh seorang sejarawan lokal mengatakan
bahwa banyak kuburan yang terlantar. Dia mengatakan bahwa jika
seseorang dapat mengambil satu batu bersurat di hutan Aceh, lalu
membawanya ke Malaysia, maka para sarjana di negeri itu akan
mengklaim bahwa ‘ulama ini dulu ada di Malaysia, bukan di Aceh’.
Ini menceritakan bahwa banyak fakta arkeologis tidak diselidiki oleh
para sarjana. Mereka mungkin lebih berfokus pada tempat yang paling
dekat dengan pantai.
Lebih lanjut, sarjana yang menemukan kontak di antara Persia dan
Samudera Pasai tidak banyak membicarakan kedatangan atau kegiatan
Syiah, melainkan orang Persia atau Ali. Temuan seperti puisi di makam
Sultan Malik al-Salih (1297) belum diklaim sebagai pengaruh Syiah,
tetapi Ali.210 Pada saat yang sama, gelar Sulthan al-Adil di dalam salah
satu koin emas sebagai mata uang tertua di Nusantara semasa Era Sultan
Muhamad Malik al-Zahir (1297-1326). Tentunya hal ini tidak dilihat dari
bagian konsep Syiah mengenai Penguasa Adil, tetapi diambil dari Kitab
Taj al-Salatin. Penerjemah Kitab ini adalah Bukhari al-Jauhari pada 1603
semasa Era Kerajaan Aceh Darussalam (Alfi an 1999:13). Sebenarnya,
diskusi mengenai Sulthan al-Adil adalah salah satu ajaran Syiah mengenai
kepemimpinan seperti konsep walaya. Di dalam doktrin Syiah, Sulthan al-
Adil “bertanggung jawab untuk tadbir al-anam, yaitu mengatur urusanurusan
umat manusia. Salah satu fungsi fundamental Sultan adalah
210 Isi puisi itu adalah:
Sesungguhnya dunia ini fana,
Dunia ini tidalah kekal
Sesungguhnya dunia ini ibarat sarang
Yang ditenun oleh laba-laba
Sesungguhnya memadailah buat engkau dunia ini
Hai orang yang mencari makan
Dan hidup hanya singkat sahaja
Semuanya tentu akan menunu kematian
(Lihat Alfi an 1999: 17).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
202
melaksanakan ideologi Islam yang didasarkan pada kewajiban utama
untuk “memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan” dalam
masyarakat Muslim (Sachedina 1988: 99). DiAceh, gelar itu digunakan
bukan hanya di Samudera Pasai, tetapi juga di Aceh Darussalam,
mulai dari Sultan Ali Mughayat Syah ( 1514-1530) hingga Sultan Ri’ayat
Syah (1589-1604) (Alfi an 1999: 4). Selama era Pasai, tercatat bahwa satu
abad kemudian sistem mata uang itu digunakan dalam perdagangan
internasional di seantero Nusantara (Hadi 2004: 51).
Dari segi literatur, sebagaimana disebutkan di atas, sudah ada
semangat Persia dalam beberapa literatur Aceh. Sekali lagi, sarjana tidak
akan memperdebatkan pengaruh Syiah di dalam soal ini. Selama era
Aceh (1500-1600), banyak karya adab Persia diterjemahkan atau disadur
ke dalam Bahasa Melayu (Harun 2009: 82).Hal ini dapat ditemukan,
misalnya dalam teks Taj al-Salatin. Menurut Braginsky, pengarang teks
itu mungkin berasal dari tradisi India-Persia ( Braginsky 1998: 322-335
dan Harun 2009: 82).Selain Tj al-Salatin, para era Aceh, ada sebuah
buku yang ditulis oleh Syaikh Nurdin Ar-Raniry yang berjudul Bustan
al-Salatin. Dipercaya bahwa model kisah di dalam kitab ini dipengaruhi
oleh tradisi Persia. Jelani Harun mengatakan sebagai berikut:
Banyak sejarawan Persia, yang menulis dalam bahasa Persia, muncul
berdampingan dengan sejarawan Arab dan menghasilkan sejarah
universal. Akan tetapi, dari abad keenam belas dan seterusnya
… sejarawan Persia mulai berbeda dari historiografi Arab dan
membentuk gaya penulisan historis mereka sendiri. Beberapa di
antara sejarawan Persia yang terkenal adalah al-Bayhaqi (w.lk.
470 A.H. /1077), al-Qashani (Wafat 703 A.H./1303), al-Qazwini
(Wafat 750 A.H. /1349), Mirkhwand (Wafat 910 A.H./1504) dan
Khwandmir (Wafat 942 A.H. 1535). Dalam semua karya historis
mereka, pengaruh tradisi Persia sangat jelas, khususnya berkenaan
dengan tradisi Persia mengenai kisah-kisah Penciptaan dan raja-raja
kuno. Setelah era al-Tabari, al-Mas’udi dan Ibn Khaldun, tulisan
sejarah universal bergeser ke arah tradisi Persia (Harun 2009: 105).
Amanlah mengatakan bahwa kontak intelektual di antara Aceh
dan Persia atau Aceh dan Syiah terjadi sebelum abad ke-17. Tercatat
bahwa peradaban-peradaban Aceh yang terbesar mundur ketika
muncul isu Wahdat al-Wujud dan fatwa dari Mekah untuk penghapusan
wanita sebagai penguasa. Sesudah itu, Kerajaan Aceh dikendalikan
oleh keluarga Jamal al-Layl dari Arab (Azra 1999: 29). Segera sesudah
tragedi ini, tradisi-tradisi Persia atau Syiah dilihat sebagai warisan
budaya. Rakyat mempraktekkan tradisi yang berasal dari Persia
SEJARAH SYIAH DI ACEH 203
atau Syiah itu hingga hari ini, yang dapat ditemukan dalam seni dan
Kebudayaan Aceh (Bustamam-Ahmad: 2002). Inilah sebabnya para
sarjana lokal dari Aceh masih berargumen bahwa tradisi Aceh tidak
dapat dipisahkan dari tradisi Syiah atau Persia.
Akan tetapi, orang Aceh tidak akan mengklaim diri mereka sebagai
penganut Syiah. Hal ini karena setiap warisan budaya dilihat sebagai
bagian dari tradisi endatu. Bagi mereka, endatu adalah suatu kelompok
generasi tua yang datang ke Aceh bukan hanya untuk maksud-maksud
religius, tetapi juga untuk berdagang. Orang Aceh mungkin tidak
memusatkan perhatian pada latar belakang endatu mereka, tetapi hanya
pada apa yang diwariskan sang endatu kepada mereka sebagai budaya
yang dilihat sebagai reusam atau adat istiadat. Untuk ajaran religius,
orang Aceh hanya akan mengikuti tiga aspek: Syafi ’i, al-Ghazali, dan
Asy’ari. Aspek-aspek ini telah dikristalisasi dalam lembaga dayah
(lihat Saby, 1995; Amiruddin, 2003; dan Bustamam-Ahmad, 2010).
Tampaknya tradisi Syiah dapat ditemukan di luar dayah. Akan tetapi,
unsur-unsur adat-istiadat di Aceh telah bercampur dalam ruang,
keberadaan, dan sejarah rakyat. Saya mengatakan hal ini karena akarakar
kebudayaan Aceh diimpor dari Timur Tengah dan Asia Selatan
(Bustamam-Ahmad, 2011). Pertemuan banyak tradisi dapat dijumpai
di wilayah-wilayah pantai.
Di dekat Selat Malaka,211 ada segitiga panorama budaya: masjid,
dayah, dan pasar. Segitiga itu berkembang di dekat sungai. Oleh karena
itu, tidak mengejutkan bahwa desa-desa orang Aceh dibangun oleh endatu
di dekat sebuah sungai sebagai alat untuk transportasi yang baik dengan
orang dalam dan orang luar. Reproduksi kebudayaan dimulai dekat laut
kemudian bergeser ke desa di dekat sungai. Setelah segitiga itu, sang endatu
mulai membangun sejumlah gampong menurut kepercayaan kosmologis
setempat. Nama untuk usaha ini disebut sebagai puga nanggroe. Kampongkampong
itu tidak akan jauh dari laut. Tujuan terakhir proses itu adalah
mendirikan kampong di dekat rimba untuk wilayah lain. Selama perjalanan
saya di Aceh Utara, kuburan-kuburan ulama tak dikenal ditemukan di
antara sawah dan rimba. Kuburan para raja dapat dilihat di dekat segitiga
landskap budaya. Belanda datang melalui laut. Mereka menyerang desadesa
di dekat segitiga itu (Alfi an, 2006 dan 1987; Reid, 1969).Banyak orang
Aceh terpaksa pindah ke front terakhir: rimba atau pegunungan. Selama
211 Mengenai sejarah Malaka dan pengaruhnya terhadap Aceh, lihat Karim 2009 dan Hussin 2007.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
204
proses ini, orang Aceh tidak hanya menghadapi kehancuran kerajaankerajaan,
tetapi juga reusam (adat-istiadat).
Apa yang saya ingin tunjukkan bahwa kebudayaan orang Aceh
berada dalam situasi yang mengerikan. Kami tidak mempunyai raja
atau kerajaan apa pun lagi. Setelah periode kolonial, orang Aceh
juga berkonfl ik di antara ‘ulama dan ulee balang yang dilihat sebagai
revolusi sosial. Tak lama kemudian, orang Aceh berkonfl ik dengan
pemerintah. Oleh karena itu, akar dan produksi budaya menjadi
tdak jelas. Masyarakat Aceh melekatkan kepercayaan religius mereka
hanya kepada ulama dari dayah. Pada saat yang bersamaan, rakyat
masih melihat bahwa tradisi endatu mereka dapat memberi semangat
identitas bagi mereka. Dalam situasi ini, rakyat kemungkinan besar
menyesuaikan diri dengan apa yang telah dilakukan endatu tanpa
menanyakan keasliannya.
Mengingat proses ini, tidak keliru bila sarjana Aceh yang berusaha
menyelidiki akar kebudayaan akan menemukan “tidak boleh ada …”
yaitu Syiah. Mereka dan kita tidak melihat Syiah sebagai “masalah”
sebagaimana yang dapat ditemukan di dalam sejarah Islam (Hodgson
1974)dan apa yang telah berlangsung di Timur Tengah (Arjomand
1984 dan Esposito 1997).Orang Aceh berada dalam posisi mencari akar
tradisi endatu mereka. Meskipun ada deklarasi bahwa ada unsur-unsur
Syiah dalam kehidupan budaya mereka, orang tidak akan mengunjungi
tempat-tempat suci di Iran. Orang Aceh tidak akan menerbitkan buku
Syiah seperti yang kita temukan di Jawa. Dalam konteks ini, Orang
Aceh memahami Syiah untuk kebudayaan, bukan untuk kesadaran
politis atau bahkan ideologi politis. Mereka menghargai Presiden Iran
Ahmadenijad sama seperti sikap mereka kepada Saddam Husein.
Sementara itu mereka tidak mempelajari sejarah perang di antara kedua
negara selama Perang Dingin. Selama kunjungan Duta Besar Iran ke
Aceh, seorang mahasiswa Aceh masih bertanya dapatkah Sunni dan
Syiah menjadi suatu payung ummah. Situasi ini menghasilkan usahausaha
intelektual di Aceh tanpa terjebak dalam konfl ik di antara Sunni
dan Syiah. Beberapa orang Aceh, khususnya di wilayah urban, masih
melihat Syiah sebagai musuh Sunni. Akan tetapi, ketika mereka kembali
ke keaslian kebudayaan mereka, mereka tidak dapat menentang fakta
adanya unsur-unsur Syiah itu.
Seperti disebutkan di atas, reproduksi pemahaman religius sudah
ada di dalam dayah. Reproduksi kebudayaan Aceh telah ditemukan
SEJARAH SYIAH DI ACEH 205
Lambang Kerajaan Peureulak di Aceh dengan Nama-Nama Allah,
Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein dengan Tiga Pedang
Milik Ali Bernama “Zulfi kar”.
Peringatan Asyura di Aceh
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
206
Makam Siti Fatimah Binti Maimun. Beliau wafat pada tahun 1082
Masehi
Gerbang Utama Makam Siti Fatimah Binti Maimun di Gresik Jawa Timur
SEJARAH SYIAH DI ACEH 207
di luar dayah. Siapa yang melakukan proses ini? Bagaimana mereka
mengelola situasi itu? Banyak orang Aceh mengatakan bahwa keaslian
kebudayaan mereka terkait dengan Hinduisme dan Buddhisme. Akan
tetapi, hanya Muhammadiyah dan Wahabiyahsme yang menentang
tradisi itu dengan mengembalikan masyarakat kepada Alquran dan
Sunnah. Kedua jaringan itu telah mendirikan pesantren, sekolah, dan
universitas di Aceh untuk menghasilkan pengertian religius. Akan
tetapi, mereka tidak dapat mengubah kebudayaan di wilayah-wilayah
yang jauh. Kontestasi di antara dayah dan pesantren telah dilihat sebagai
transformasi dari teungku menjadi Ustaz. Gelar simbolik ini dapat
digunakan sebagai simbol kompetisi dalam pengetahuan religius di
Aceh. Beberapa lulusan dari pesantren Wahabiyahsme di Aceh dikirim
ke Timur Tengah. Syiah tidak mendirikan dayah atau pesantren apa pun
di Aceh. Jaringan mereka belum terbuka kepada publik. Oleh karena
itu, kebudayaan Syiah dilihat sebagai tradisi yang hidup di kalangan
orang Aceh, sehingga masyarakat tidak menentang Syiah. Pada saat
yang bersamaan, generasi muda yang lulus dari Timur Tengah atau
Wahabiyahsme memainkan peran penting melawan Syiah di Aceh.
Oleh karena itu, mereka selalu mengacu kepada argumen Ulama Timur
Tengah. Pada suatu sesi diskusi tentang Syiah di Aceh, pembicara yang
masih muda, lulusan Mesir membawa banyak kitab ke hadapan audien
untuk menyajikan argumennya tentang anti-Syiah. Seusai presentasi,
peserta meminta kepadanya agar jangan membawa masalah di Timur
Tengah kepada masyarakat Aceh. Kami, menurut seorang peserta,
sudah berkonfl ik lebih dari tiga dasawarsa, tolong jangan membawa
sumber konfl ik yang lain ke Aceh. Seorang informan berkata bahwa
para pendukung anti-Syiah di Aceh adalah Wahabiyahsme, sebuah
partai politik, sekelompok pemuda Aceh yang menyelesaikan studi
mereka di Timur Tengah. Kelompok ini adalah generasi muda di Aceh.
Mereka memainkan peran di wilayah-wilayah perkotaan. Setelah
Tsunami, banyak pesantren dari Wahabiyahsme dibangun di Aceh.
Mereka mendapat dana dari “luar” Aceh. Kontrasnya, tradisi dayah
tidak akan menerima dukungan apa pun dari sumber-sumberdaya lain
seperti yang dilakukan pesantren.
Orang-orang yang melihat Syiah merupakan bagian dari
kebudayaan Aceh adalah kelompok masyarakat Aceh yang memulai
pemahaman religiusnya dengan istilah Islam warna-warni. Mereka
mendiskusikan banyak sekte Islam. Sedang kelompok anti-Syiah,
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
208
kemungkinan besar didukung oleh pemerintah. Hal ini karena isu
implementasi hukum Islam. Disamping itu, isu Syiah dilihat sebagai
bagian kelompok yang menyimpang di dalam Islam. Oleh karena itu,
Syiah telah kembali ke isu “sesat”dan“menyesatkan”. Pada umumnya,
di Indonesia, sekte itu tidak dapat dikenali. Inilah sebabnya mengapa
orang Aceh selalu membawa diskusi Syiah ke level budaya.
Artikel ini telah menunjukkan dampak Syiah di Aceh. Akan tetapi,
perlu dilakukan lebih banyak penelitian mengenai ungkapan “Syiah” di
Aceh, yang dapat dihubungkan secara historis dan antropologis dengan
tradisi Persia. Seperti yang telah dikaji di sini bahwa unsur Syiah dapat
ditemukan bukan hanya dalam sejarah kerajaan-kerajaan Islam Aceh,
juga dalam banyak aspek budaya. Selain itu, orang Aceh masih melihat
bahwa Syiah dan orang Persia telah berkontribusi bagi identitas Aceh.
Oleh karena itu, para sarjana lokal di Aceh yang mengerti sejarah Islam
selalu akan mengklaim bahwa Syiah bukan musuh, bahkan saingan
Sunni. Perlu ditegaskan bahwa sangatlah produktif jika konfl ik di antara
Sunni dan Syiah di Timur Tengah tidak dibawa ke Aceh.[]
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1970. The Mysticism of Hamzah
Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press).
Alfi an, Ibrahim, 2006. “Aceh and the Holy War (Prang Sabil)” dalam
Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem, 109-
120 (Singapore: Singapore University Press).
_________, 1987. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912(Jakarta:
Sinar Harapan).
_________, 1999. “Samudra Pasai dan Melaka Sebagai Bandar-Bandar
Niaga dan Pusat Agama dan Kebudayaan di Sekitar Selat
Melaka” dalam Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, oleh
Ibrahim Alfi an, M. Hasan Basry (Penyunting), hlm. 1-32.
(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh).
Amiruddin, M. Hasbi, 2003. Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat
Aceh. (Terjemahan oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad)
(Lhokseumawe: Nadya Foundation).
Arjomand, Said Amir (Penyunting), 1984. From Nationalism to
Revolutionary Islam (Albany: State University of New York
Press).
SEJARAH SYIAH DI ACEH 209
Atjeh, Aboebakar, 1977. Aliran Syi’ah di Nusantara (Jakarta: Islamic
Research Institute).
Azra, Azyumardi, 1999. Islam Reformis Dinamika Intelektual dan
Gerakan(Jakarta: Raja Grafi ndo).
_________, 1999. Menuju Masyarakat Madani (Jakarta: Logos).
_________, 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan (Bandung: Rosdakarya).
Braginsky, V.I., 1998 Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra
Melayu dalam Abad 17-19 (Jakarta: INIS).
Brakel, L. F., 1988. Hikayat Muhammad Hanafi yah (Terjemahan oleh
Junaidah Salleh, Mokgtar Ahmad and Nor Azmah Shehidan)
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman, 2012. Acehnologi (Banda Aceh:
Bandar Publishing).
_________, 2011. “Faith on the Move: Inside of the Ijtima’ of Jama’ah
Tabligh in Pekan Baru” dalam Studia Islamika: Indonesian
Journal for Islamic Studies, 18 (3): 463-496.
_________, 2010. “Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Muslim:
Pengalaman Indonesia untuk Asia Tenggara” dalam Edukasi
(8) 2: 3939-3966.
_________, 2002. Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia
(Yogyakarta: Galang Press).
_________, 1999. “Kontribusi Daerah Aceh Terhadap Perkembangan
Awal Hukum Islam di Indonesia” dalam Al-Jami’ah XII, (64):
143-175.
Dahlan, Abdul Azis (Penyunting), 1997. Ensiklopedi Hukum Islam, (5) 6
(Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve).
Esposito, John L. (Penyunting), 1997. Political Islam: Revolution,
Radicalism, or Reform? (Colorado: Lynne Rienner Publishers).
Hadi, Amirul, 2004. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-
Century Aceh (Leiden: Brill).
Harun, Jelani, 2009. Bustan al-Salatin: A Malay Mirror for Rulers (Pinang:
Universiti Sains Malaysia Press).
Hasjmy, A., 1993 “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama
Di Asia Tenggara” dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia, 143-172 (Jakarta: PT Al Ma’arif).
Hodgson, Marshall G.S., 1974.The Venture of Islam. 3 vols. (Chicago:
University of Chicago Press).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
210
Hussin, Nordin, 2007. Trade and Society in the Straits of Melaka: Dutch
Melaka and English Penang, 1780-1830 (Singapore: NUS Press).
Jafri, Syed Husein M., 1995. Shî’î Islam. Vol. 4, in The Oxford Encyclopedia
of the Modern Islamic World, John L. Esposito (Penyunting), 55-
60 (Oxford: Oxford University Press).
Karim, Wazir J. (Penyunting), 2009. Straits Muslims: Diasporas of the
Northern Passage of the Straits of Malacca (Penang: Straits G.T.).
Marmura, Michael E., 1995. Sunnî Islam. Vol. 4, in The Oxford Encyclopedia
of the Modern Islamic World, John L. Esposito (Penyunting),
139-141 (Oxford: Oxford University Press).
Mojtahed-Zadeh, Pirouz, 2007. “Iran: An Old Civilization and a New
Nation State” dalam Focus On Geography, 49 (4): 20-32.
Reid, Anthony, 1969. The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands
and Britain 1858-1898 (Kuala Lumpur: Oxford University
Press).
Saby, Yusny, 1995. “Islam and Social Change: The Role of the Ulama
in Orang Aceh Society” (Ph.D. Dissertation in Temple
University).
Sachedina, Abdulaziz AbdulHusein, 1988. The Just Ruler (Al-Sultan al-
Adîl) in Shî’te Islam: The Comprehensive Authority of the Jurist in
Imamite Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press).
Stewart, Devin J., 1998. Islamic Legal Orthodoxy: Twelver Shiite Response
to the Sunni Legal System (Salt Lake City: University of Utah
Press).
211
Makam Syech Burhanuddin al Ulakan
Gerbang masuk ke Pariaman yang diisi oleh gambar Tabuik
(Repro: Majalah Aneka Minang, edisi 4, Maret 1972).
212
Prosesi pembuangan Tabuik ke laut
(http://www.west-sumatra.com)
Acara pembukaan Hoyak Hosen
dengan pakaian tradisional Minang
213
KESALEHAN NAN TERLAMPAUI:
DESAKRALISASI RITUS HOYAK
HOSEN DI SUMATERA BARAT
Yudhi Andoni
Pengantar Islam pada permulaan sejarah pasca wafatnya Nabi Muhammad,
dihadapkan pada masalah perpecahan ukhuwwah Islamiyah.
Perpecahan ini disebabkan oleh persoalan siapa yang memimpin
umat Islam yang mulai tumbuh itu. Naiknya Abu Bakar dan Umar
bin Khattab sebagai amir al-mu’minin pada awalnya mampu meredam
perpecahan lebih besar. Akan tetapi, pembunuhan berturut-turut
Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib yang menggantikan Umar
bin Khattab tidak mampu membendung kekuatan fi tnah-fi tnah besar
dalam masyarakat Muslim yang dinamis itu.
Rembesan kegagalan komunitas Islam awal itu salah satunya
adalah munculnya kelompok Syiah, yang pada awalnya adalah istilah
yang netral. Ia berarti kelompok atau partai, seperti Syi’atu Ali atau Partai
Ali (Madjid 1994: 14 ). Akan tetapi, ia kemudian berkembang menjadi
istilah yang sarat ideologi ketika anggotanya mulai berpandangan
orang Islam di luar kelompoknya adalah kafi r. Penyimpangan oleh
gejala kafi r-mengkafi rkan ini kemudian menjadi lembaran hitam
sejarah Islam dan mewarnai penyebarannya ke berbagai daerah di
dunia,termasuk di Indonesia.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
214
Saat ini, Syiah di Indonesia dianggap oleh sebagian masyakarat
sebagai kelompok sempalan atau bid’ah, dan pengganggu keamanan
(Kartomi 1986: 141). Ada sebagian ulama Sunni di Indonesia
menjelaskan perihal sembilan persoalan mengapa Syiah dilarang dan
ditentang penerapannya di Indonesia; yaitu pemahaman kelompok ini
terhadap Alquran, Sunnah dan Hadist, ijma, Rukun Islam dan Rukun
Iman, Imamah, Ahl al-Bayt, sahabat Nabi, Taqiyah dan nikah muth’ah.212
Meski demikian, ada sebagian pendapat, madzhab ini dipraktekan
dalam kehidupan kaum Sunni di Indonesia, misalnya tidak sah talak
jika tidak dipersaksikan oleh dua orang.
Dalam konteks historis, tidak terlalu banyak data-datasejarah
menyangkut kedatangan dan peran aliran Syiah di Indonesia. Dalam
masyarakat Indonesia, Syiah merupakan salah satu dilema dalam
kehidupan beragama. Di satu sisi ulama-ulama Syiah menjadi pionir
bagi proses Islamisasi di berbagai daerah. Di sisi lain, Syiah merupakan
pemahaman keagamaan yang sulit ditelusuri dalam kehidupan
keagamaan masyarakat Muslim Indonesia hari ini. Kini, warisan
pemahaman Syiah, salah satunya, hanya dapat dilacak dalam tradisi
masyarakat pantai barat Sumatra; masyarakat Pariaman.
Bagi komunitas Minangkabau, etnis yang menghuni sebagian
besar wilayah Sumatera Barat, Pariaman dalam konteks penyebaran
Islam merupakan wilayah awal datangnya agama ini. Tidak diketahui
dengan pasti kapan Islam mulai masuk ke wilayah ini, tetapi Tome
Pires dalam catatan perjalanannya melaporkan bahwa pada akhir
abad ke-16, daerah Tiku Pariaman pendudukanya masih menyembah
berhala (Graves 2007: 46). Beberapa literatur menyebutkan Islam
dibawa dan disebarkan ke Minangkabau pertama kali oleh Syaikh
Burhanuddin al Ulakan (1646-1691) (Ismail 1990). Ia adalah murid dari
Syaikh Abdurrauf al Singkili. Setamat belajar dari Syaikh Abdurrauf
ia kembali ke Ulakan, salah satu nagari (desa) di Pariaman untuk
mengajarkan Islam ke masyarakat Minangkabau (Azra 2003: 9).
Pada abad ke-17 Islam mulai mendapat tempat dalam masyarakat
Minangkabau, tetapi beberapa catatan sejarah juga menyebutkan
bahwa jauh sebelumnya terdapat hubungan dagang cukup ramai
212 Hal ini tentunya juga harus diimbangi dengan sikap dan statemen-statemen dari para
pemimpin dan ulama Sunni di Indonesia lainnya yang tidak melihat ajaran Syiah sebagai suatu
masalah (Penyunting).
KESALEHAN NAN TERLAMPAUI:
DESAKRALISASI RITUS HOYAK HOSEN DI SUMATERA BARAT
215
antara orang-orang dari Gujarat, Tiku, dan Pariaman. Proses Islamisasi
ini kemudian makin menguat ketika daerah-daerah pantai barat
Sumatera ditaklukan oleh kerajaan Aceh (Dobbin 2008: 189).
Salah satu faktor penyebaran Islam di Sumatera Barat atau dalam
masyarakat Minangkabau adalah melalui jaringan surau. Sebelum akhir
abad ke-19 Masehi surau merupakan lembaga pendidikan Islam penting
di Minangkabau. Daerah ini semenjak Burhanuddin menjadi titik
tolak (entry port) Islamisasi penduduk darek dan pusat pengembangan
tarekat. Terdapat catatan, surau Burhanuddin di Ulakan, Pariaman,
merupakan pengembang ajaran tarekat Syatariyyah. Lewat surau dan
tarekat Syatariyyah inilah Syiah dikembangkan ke dalam masyarakat
Minangkabau pada awalnya (Nur 1991: 19).
Tradisi Hoyak Hosen di Pariaman
Pada akhir abad ke-18 di Minangkabau surau-surau tarekat mulai
menjadi pionir bagi gerakan pembaruan pemikiran dalam masyarakat
Muslim ketika itu. Dalam catatan Azra (2003), Ulakan yang pada
awalnya menjadi rujukan keagamaan mendapat tandingan dari bekas
murid-murid Burhanuddin, terutama menyangkut pelaksanaan syariat
dalam tasawwuf.
Sebagai tambahan, Azra juga melihat adanya ketercampurbauran
ajaran antara Tarekat Syatariyyah dan Tarekat Naqsyabandiyah di
antara para guru-guru tarekat masa itu, sehingga memungkinkan
pelaksanaan ajaran Islam tidak lagi suatu yang penting untuk
diperdebatkan, seperti perselisihan antara Syiah dan Sunni. Konfl ik
internal kaum surau dan kaum surau vs kaum adat pada masa ini
menjadi awal baru bagi pemahaman Syiah di Minangkabau lewat
tarekat Syatariyah.
Menjelang abad ke-19 sampai dengan abad ke-20, tarekat
Syatariyah mulai mengalami pasang naik dan turun. Gema gerakan
“kembali ke syariat” pada awal abad ke-19 menjadi lebih radikal ketika
tiga orang haji dari Minangkabau kembali dari Mekah. Pemurnian
Islam (Revivalism) yang dilakukan oleh kelompok ini tidak saja
menghancurkan infrastruktur adat Minangkabau, juga mengeliminasi
ajaran-ajaran keagamaan yang dianggap sesat dan bid’ah, termasuk
Syiah dalam tarekat Syatariyyah. Gelombang pembersihan ini makin
menyudutkan pemahaman Syiah dalam komunitas Syatariyah ketika
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
216
gerakan modernis Muhammadiyyah di abad ke-20 muncul, sehingga
mengecilkan kelompok Syatariyah sebagai sempalan (splinter group)
kecil dari tarekat Islam yangmasih dipraktekan di daerah kecil di
Sumatera Barat, khususnya di Pariaman.
Akan tetapi, setidaknya ada dua bentuk ritual sosio keagamaan
dari masyarakat Syatariyyah ini yang masih dapat dikenali, bahkan
lambat laun menjadi tradisi (kepemilikan kolektif) oleh sebagian
besar masyarakat Minangkabau. Pertama, tradisi “basapah”, yaitu
mengunjungi makam Syaikh Burhanuddin, pada akhir Rabu bulan
Safar. Kedua, perayaan sosio-keagamaan Hoyak Hosen atau Perayaan
Husein.
Perayaan Hoyak Hosen sendiri merupakan salah satu sintesa dari
konfl ik berkepanjangan antara Islam dan adat dalam masyarakat
Minangkabau sejak lama. Lewat peristiwa ini karakter Minangkabau
berusaha dikonstruksi, sehingga Syiah bukanlah varian Islam utama
dalam masyarakat, tetapi ia dapat diterima untuk dilaksanakan setiap
bulan Muharram. Dalam dinamika historisnya selama tigapuluh tahun
terakhir (tahun 1980-an) perayaan ini menunjukan sebuah kontestasi
terselubung di antara kepentingan revitalisasi peran kaum adat, Islamisasi
kaum ulama, dan orientasi ekonomi dari negara, terutama penggunaan
simbol-simbol dalam badan dan seremonial Tabuik.
Sejarah Singkat Hoyak Hosen
Data-data terkini dari perayaan Hoyak Hosen menunjukan
keterputusan antara tradisi Syiah kelompok Syatariyah dan
perayaannya yang baru dimulai pada awal abad ke-19. Tradisi
mengusung Tabuik pertama kali dibawa dan dikembangkan oleh oleh
tentara Sipahi (Sepooy) ketika Inggris menguasai pesisir barat Sumatra
tahun 1825 (Azra 1999: 147). Setelah Traktat London 17 Maret 1829
antara Inggris dan Belanda, wilayah pesisir barat Sumatera yang
dikuasai Inggris diserahkan kepada Belanda dan sebagian prajurit
Sepoy memilih tinggal di Pariaman. Merekalah yang menganjurkan
diadakannya perayaan Asyura dengan membuat Tabuik untuk
mengenang kematian cucu Nabi Muhammad tersebut. Anjuran ini
tampaknya dapat diterima oleh masyarakat Syatariyah di Pariaman.
Penerimaan ini dapat dilakukan karena tarekat Syatariyah, pasca
gerakan Paderi, dan pembersihan oleh Kaum Muda tahun 1920-an,
KESALEHAN NAN TERLAMPAUI:
DESAKRALISASI RITUS HOYAK HOSEN DI SUMATERA BARAT
217
mengalami moderasi. Moderasi ini tumbuh seiring kesadaran tentang
pentingnya menghormati Ahl al-Bayt. Selain itu, khalifah-khalifah
Syatariyyah menyusun silsilah tarekat mereka dengan menempatkan
imam-imam Syiah sebagai rujukan spiritual mereka. Titik temu lain,
menurut Azra adalah tentang konsep al-Insan al-Kamil (Manusia
Paripurna). Bagi komunitas Syatariyah, konsep ini mereka wujudkan
dalam pemahaman Martabat yang tujuh (tujuh tahap iluminasi absolut).
Sebelum kedatangan tentara Sipahi ke Pariaman, tidak banyak
informasi dapat ditemukan atau ditelusuri berkaitan bagaimana
masyarakat Syatariyah memperingati hari kematian Husein sebagai
dasar utama dari ritual Syiah dalam perayaan Hoyak Hosen ini.
Ataubagaimana Syatariyah di Pariaman memperingati kematian
Husein di Padang Karbala sebagai bagian dari identitas Syiah dimasa
lampau (masa Burhanuddin). Data sejarah penting sehubungan dengan
perayaan ini adalah penelitian Kartomi (1986), Sabar (1992), Ernatip,
dan kawan kawan (2000 dan 2001) dan Rahmanelli (2007). Keempatnya
lebih banyak menjabarkan perayaan Hoyak Tabuik sebagai tradisi
masyarakat Minangkabau, tanpa mengaitkannya dengan pemahaman
keagamaan Syiah yang berkembang di daerah itu. Meski demikian,
penelitian Sabar menarik untuk dilihat karena menjabarkan dinamika
sejarah perayaan ini pada abad ke-20.
Perayaan Hoyak Hosen ini dilaksanakan guna mengenang
kematian Husein dalam perang Karbala. Dikisahkan, peperangan
ini terjadi ketika Husein berusaha menjadi kalifah universal yang
direbut oleh Mu’awiyah bin Abu Sofyan dari tangan Ali bin Abu
Thalib. Akan tetapi, sebelum sampai ke tempat Mu’awiyah, di sebuah
tempat bernama Karbala, ia dihadang prajurit Yazid yang kemudian
membantainya dan para pengikutnya pada tanggal 10 Muharram
(Muchtar 2004: 214). Pembantaian Husein dan para pengikutnya ini
berkembang menjadi sebuah ekspresi keagamaan melawan tirani dari
kelompok Syiah karena mereka percaya dari keturunan Ali bin Abu
Thalib- lah yang semestinya menggantikan Nabi Muhammad sebagai
pemimpin umat Islam. Semenjak itu, setiap tanggal 10 Muharram ini
diperingatilah tragedi Karbala ini dengan perayaan Hoyak Hosen dalam
bentuk pembuatan Tabuik di Pariaman.
Bentuk Tabuik dirancang dengan penuh kepercayaan keagamaan
yang kental dan indah, dan di sisinya terdapat sebuah kerangka
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
218
burung yang dinama buraq yang disimbolkan sebagai kendaraan
Husein ke surga (Ernatip 2001: 19: Kartomi 1986: 145). Selama sepuluh
hari masyarakat menyiapkan bentukTabuik yang mereka namakan
dengan daraga. Tepat pada tanggal 10 Muharram, setelah serangkaian
perselisihan dua kampung pembuat Tabuik diselesaikan, maka pada
sore hari Tabuik ini pun dibuang ke laut dan mengakhiri proses
peringatan kematian Husein.
Secara garis besar, ada beberapa tahapan pelaksanaan perayaan Hoyak
Hosen ini: barantam atau diskusi untuk membuat rencana kegiatan serta
badan Tabuik yang diadakan pada tanggal satu Muharram. Setelah diskusi
selesai, maka dilengkapi dengan prosesi maambiak tanah atau mengambil
segumpal tanah, dengan menjaga kerahasiaan waktu yang tepat dan
tempat. Kerahasiaan ini sangat penting untuk menjaga supaya tidak ada
sabotase dari pihak kampung sebelah. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang
pawang dengan sekitar seratus orang di setiap sisi sungai yang ditemani
dengan iringan gendang tasa. Pengambilan tanah ini menyimbolkan
pengambilan jenazah Husein yang terbunuh di Padang Karbala. Setelah
tanah itu diambil, kemudian dibawa ke daraga atau simbol dari kuburan
Husein dengan iringan riuh para pengantar.
Setelah daraga atau kerangka Tabuik dibuat, maka prosesi hari
berikutnya adalah memotong batang pisang dengan membawa sebilah
pedang keramat yang dinamakan oleh penduduk, Pedang Jenawi.
Beberapa batang pisang dijejerkan disebuah tempat untuk kemudian
ditebas dengan satu kali ayunan. Ketajaman pedang yang digunakan
menyiratkan pada pengikut Husein kekejaman algojo-nya, sehingga
massa kemudian bersorak dengan ekspresi kemarahan.
Ekpsresi kemarahan ini kemudian dibawa ke tengah kota. Di
jalan-jalan utama anggota rombongan berteriak histeris dan emosional
sehingga pada satu titik dua keluarga Tabuik, para pewaris perayaan,
bertemu sehingga pertemuan ini pun melahirkan perkelahian massal.
Meski perkelahian ini sifatnya bagian dari prosesi, tetapi tidak jarang
para pelakunya melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan
salah satu penyebab dilarangnya perayaan Hoyak Hosen ini oleh
Pemerintah Kolonial adalah potensinya untuk diarahkan sebagai bagian
perlawanan terhadap mereka. Prosesi berlanjut sampai 10 Muharram
dengan acara menebas batang pisang sebagai simbol kemarahan pada
tentara Mu’awiyah, dan diakhir dengan dibuangnya Tabuik ke laut.
KESALEHAN NAN TERLAMPAUI:
DESAKRALISASI RITUS HOYAK HOSEN DI SUMATERA BARAT
219
Kesalehan nan Terlampauhi
Perayaan 10 Muharram atau Hoyak Hosen atau Hoyahosen dalam
masyarakat Pariaman selama seratus tahun terakhir terus mengalami
degradasi nilai dan makna. Kini, perayaan ini tidak lagi bersifat ritual
yang penuh dengan nuansa sucidan mistik, tapi berubah menjadi ajang
permainan dan konsumsi kapitalisme. Selama kurun tahun 2000 sampai
tahun 2008 lalu, perayaan ini menghasilkan transaksi sekitar 7,5 milyar
rupiah. Sebagai tambahan, perayaan Hoyak Tabuik tidak semata mengingat
kesahidan Husein di Padang Karbala, tetapi juga menjadi bagian dari
program pemerintah, wisata, dan penguat solidaritas keminangkabauan.
Pasca-Traktat London, meskipun dalam skala kecil, perayaan Hoyak
Tabuik dilakukan di Pariaman. Akan tetapi, unsur-unsur kekerasan
sebagai bagian dari perayaan, yang menjadi replika perang di Karbala,
tampak mengkuatirkan pemerintah kolonial. Akan tetapi, masa
kolonial Belanda perayaan Tabuik dijalankan dengan cara meriah, di
manaTabuik yang tampil sampai 12 buah. Pemerintah kolonial sering
melarang perayaan ini, khususnya pada tahun 1920-an dan 1930-an
karena ketegangan dan bahaya terhadap ketertiban umum. Akan tetapi,
perayaan Tabuik yang tidak rutin ini masih bersifat ritual sehingga
dinamakan Tabuik Adat. Prosesi Hoyak Hosen hilang selama pendudukan
Jepang. Tabuik adat ini sebelum dirayakan selalu dilaksanakan lebih
dahulu acara selamatan yang dipimpin oleh pawang masing-masing
Tabuik. Acara diawali dengan doa yang diiringi dengan penyembelihan
ayam serta pembakaran kemenyan di dalam rumah Tabuik. Do’a
itu dibaca untuk kemuliaan arwah Husein.213 Pada masa itu, Tabuik
berjumlah lima buah yang dibiayai oleh masing-masing masyarakat di
setiap nagari di Pariaman. Dalam hal pembuatannya, dilakukan secara
gotong-royong sampai tahun 1969.214 Tabuik kembali dirayakan pada
tahun 1980. Mengingat pembiayaan Tabuik yang cukup besar, maka
jumlah Tabuik-nya hanya tinggal dua buah: Tabuik Pasa dan Tabuik
Subarang sampai kini (2010).
Dalam pelaksanaan Tabuik, golongan Sidi dan Bagindo merupakan
pemberi dana bagi pelaksanaan upacara Tabuik. Sedangkan golongan
sutan adalah yang berkepentingan pada adat dan permainan anak
nagari. Mereka juga menjadi penjaga keamanan selama kegiatan
213 Wawancara dengan Amir Husaen pada 26 Juni 2000.
214 Wawancara dengan Sidi Mukhtar pada 26 Juni 2000.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
220
berlangsung. Sedangkan golongan marah adalah pekerja pembuatan
Tabuik. Sidi dari kata “sayyid” untuk menunjukkan asosiasinya ke ulama
atau pemuka agama; Bagindo diasosiasikan ke gelar bangsawan (“Sir”
dalam bangsawan Inggris). Mereka bergerak dalam bidang perdagangan.
Sutan, gelar untuk golongan menengah dan merepresentasikan dari
Kaum Adat dan Marah untuk rakyat biasa.
Antara tahun 1950-an sampai tragedi 1965, perayaan Hoyak Hosen
mengalami degradasi nilai dan kesakralan. Jamak perayaan ini tidak
lagi mengikuti tradisi yang berlaku, yaitu diadakan setiap tanggal
1-10 Muharram. Oleh karena efeknya yang mampu menarik massa
dalam jumlah besar, perayaan Hoyak Hosen banyak dilaksanakan
sebagai bagian dari propaganda partai politik, utamanya PNI dan PKI
(Kartomi 1986:157-158). Perayaan Hoyak Hosen baru diizinkan kembali
oleh Orde Baru di tahun 1980. Pada Muharram tahun 1972, perayaan
Hoyak Hosen sebenarnya dihidupkan kembali, tetapi pemerintah
Orde Baru kemudian melarangnya sampai tahun 1980. Sebelumnya,
pasca pembantaian massal di tahun 1965, masyarakat Pariaman pada
tahun 1967 kembali mengadakan perayaan Hoyak Hosen. Akan tetapi,
karena dekatnya dengan trauma oleh pembantaan massal, perayaan
ini kemudian dihentikan karena terjadi kerusuhan massa, utamanya
ketika prosesi mahatam dan mengarak jari-jari Husein (Tempo, 25 Maret
1972).
Seiring dengan besarnya potensi ketidakstabilan Pariaman
ketika diadakan perayaan Hoyak Hosen, maka pemerintah Orde Baru
pun mulai campur tangan langsung dalam pelaksaan perayaan ini.
Campur tangan pemerintah dalam perayaan Hoyak Tabuik ini dimulai
pada tahun 1980 ketika Bupati Anas Malik kembali mengadakannya.
Ia menekan dan mengeliminir perkelahian yang mendatangkan
kerusuhan dan ketidakstabilan Pariaman dalam perayaan. Anas Malik
kemudian mereduksi perayaan Tabuik sebagai bagian dari komodi
tiekonomi. Kata Anas Malik, “ Tabut ini saya namakan Tabut Adat, Tabut
Pariwisata dan Tabut Pembangunan!”215
Semenjak tahun 1991 perayaan Hoyak Hosenini kemudian
diarahkan sebagai penarik wisatawan ke Pariaman dan pembawa
pesan pembangunan pemerintah Orde Baru. Sejak masa ini, perayaan
Hoyak Hosen dianggap sebagai salah satu acara pariwisata, sehingga
215 Tempo, 19 September 1987.
KESALEHAN NAN TERLAMPAUI:
DESAKRALISASI RITUS HOYAK HOSEN DI SUMATERA BARAT
221
pemerintah menganggapnya sebagai asset negara. Di masa Orde Baru
inilah Negara membawakan diri sebagai pemilik utama dari perayaan.
Hal ini tampak dengan protokoler pemerintah daerah dan himbauanhimbauan
khas Orde Baru.
Kejatuhan Orde Baru tidak membawa perubahan apa apa
menyangkut peran Negara dalam perayaan. Selama 10 tahun terakhir
(1999-2009) Pemda, dalam hal ini gubernur, walikota, dan bupati makin
mendapat posisi strategis dalam masyarakat terutama menyangkut
perubahan mendasar di Sumatera Barat, yaitu implementasi wacana
“Kembali ke Nagari”.
Wacana ini dalam dinamikanya, dimainkan oleh tiga eksponen
penting sebagai penggerak; Kaum Adat, Kaum Agama, dan Negara
yang diwakili oleh Pemerintah Daerah. Ketiganya berusaha memberi
defi nisi secara substansial atas identitas kebudayaan Minangkabau.
Pertanyaan siapa dan apa yang disebut orang Minang itu dikonstruksi
secara berbeda dan menjadi kontestasi di antara mereka. Kontestasi
ini terjadi karena, pertama, terkacaukan dan meningkatnya kesadaran
masyarakat adat akan ancaman terhadap otoritas dan kemegahan
tradisi mereka sebagai pantulan kewajaran ketika berhadapan
dengan kepentingan politik negara, dan penguatan nilai keagamaan.
Kedua, kepentingan pemberlakuan norma-norma agama dalam ruang
identitas kultural dan politik. Ketiga, kepentingan politik negara dalam
menata ruang sosio-kultural masyarakat dan imbas kekuatan sebagai
representasi makna dan hukum.
Negara menjadikan jargon budaya sebagai orientasi kebijakan
politiknya lewat munculnya peraturan-peraturan daerah, sehingga
ABSSBK (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah) menjadi sesuatu
yang formal-legalistik. Bagi Negara, yang diwakili Pemda-Pemda
di Sumatera Barat, ruang ABSSBK tidak semata konstruksi kultural,
tetapi juga ruang politis. Dalam ruang konstruksi inilah dasar perayaan
Hoyak Hosen di Pariaman diadakan di masa reformasi ini.
Dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2009 lalu, theHoyak Hosen telah
memunculkan pro-kontra dalam perayaannya. Pertama, pelaksanaan
perayaan Tabuik tahun 2006 misalnya diadakan dari tanggal 31 Januari
sampai tanggal 12 Februari. Pelaksaannya berlangsung selama 13 hari,
bukan 10 hari (1 sampai 10 Muharam). Hal ini merupakan kebijakan
pemerintah daerah dan masyarakat setempat dengan upaya menarik
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
222
wisatawan untuk melihatnya sehingga pelaksanaan puncak upacara
Tabuik mulai dari Hoyak Tabuik dan membuang Tabuik ke laut diadakan
pada hari minggu atau hari libur.
Kedua, pemerintah berencana menambah perayan Hoyak Tabuik
dari satu kali menjadi dua kali setahun. Mereka menemakannya
dengan Hoyak Hosen/Hoyak Tabuik Pariwisata. Dalam sebuah Koran
nasional, Kompas, walikota Pariaman menyatakan:
Tabuik masih menjadi ikon wisata di Kota Pariaman. Hanya saja,
selama ini Tabuik hanya digelar untuk kepentingan adat dan tradisi
saja. Kita sedang merancang Tabuik untuk kepentingan wisata.
Rangkaian Tabuik itu nantinya tidak selengkap Tabuik yang selama
ini dibawakan, tetapi hanya mementaskan sejumlah acara saja,
seperti Hoyak Tabuik, kata Mahyuddin (Kompas, 21 Januari 2008).
Rencana itu diharapkan bisa segera terealisasi agar pariwisata di
Pariaman bisa bergairah, tidak hanya pada saat acara Tabuik tahunan saja.
Sebelumnya setiap tahun digelar Pesta Tabuik menyambut Tahun
Baru Islam yang menjadi kalender tetap pariwisata Sumbar. Karena
atraksi itu sangat menarik kunjungan wisata, maka direncanakan
digelar pesta ‘Seri-II’ yang dinamakan Hoyak Tabuik Pariwisata, kata
Walikota Pariaman, H Mahyuddin di Pariaman (Kompas, 31 Januari
2008).
Pemerintah menjelaskan bahwa ada perbedaan antara pesta Tabuik
adat dengan Tabuik pariwisata. Tabuik adat untuk menyambut tahun
baru Islam dan dilaksanakan dengan semua prosesi-prosesi adat,
sedangkan Tabuik pariwisata hanya dengan satu prosesi yaitu “hoyak”
(mengarak dan mengoyang) Tabuik sebagai bagian dari keramaian.
Untuk waktu pelaksanaan akan diputuskan kemudian, tetapi ada
usulan agar diselenggarakan pada12 Juli, bertepatan dengan hari
ulang tahun Kota Pariaman. Meskipun Tabuik pariwisata tidak sebesar
Tabuik adat, tetapi minimal bisa menambah kunjungan wisatawan ke
Pariaman.
Akan tetapi, keinginan pemerintah ini ditolak oleh para Kaum
Adat dan keluarga Tabuik karena bisa menghilangkan nilai-nilai
Budaya dan sakral dari tradisi yang telah digelar sejak tahun 1829. Akan
tetapi, pada sisi lain, para Kaum Adat dan keluarga Tabuik menyadari
dilema keberadaan mereka dalam keseluruhan perayaan ini. Akan
tetapi, mereka mencoba beberapa hal yang bisa mengaktualisasikan
keberadaan mereka sebagai pemilik sah dari perayaan, baik sebagai
tradisi, dan sebagai warisan.
KESALEHAN NAN TERLAMPAUI:
DESAKRALISASI RITUS HOYAK HOSEN DI SUMATERA BARAT
223
Bagi kaum adat, perayaan Hoyak Hosen merupakan sebuah tradisi
Minangkabau sebagaimana sejarah tradisional (Tambo) mereka telah
menyebutkan. Untuk keperluan ini para Kaum Adat ”memaksakan”
aksesoris adat Minangkabau seperti diawali dengan tari Indang, dan
pemakaian pakaian tradisional Minangkabau. Pada akhir keseluruhannya,
para elit Kaum Adat melegitimasi keberadaan perayaan Hoyak Hosen
sebagai bagian dari manifestasi kultural dari ABSSBK.[]
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan).
_________, 1999. Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan
(Jakarta: Rajawali Pers).
_________, 2003. Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).
Bellah, Robert N., 2000. Beyond Belief: Esai-Esai Tentang Agama di Dunia
Modern (Jakarta: Paramadina).
Dobbin, Christine, 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan
Paderi Minangkabau 1784-1847 (Depok: Komunitas Bambu).
Graves, Elizabeth E., 2007. Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respons
terhadap Kolonial Barat abad XIX/XX (Jakarta:Yayasan Obor).
Ismail, Said, 1990. Perbandingan Aqidah Syi’ah dan Ahlussunnah
(Terjemahan) (Bukittinggi: Al Anshar).
Madjid, Nurcholish, 1994. “Menegakan Faham Ahlus-Sunnah Wal-
Jamaah Baru”dalam Syafi q Basri et.al., Satu Islam: Sebuah
Dilema (Bandung: Mizan).
Kartomi, Margaret J., 1986. “ Tabut: A Shi’a Ritual Transpalnted from
India to Sumatra”, dalam David P. Chandler and M.C. Ricfl efs
(Penyunting), Nineteenth and Twentieth Century Indonesia
(Clayton: Southeast Asian Studies Monash University).
Kato, Tsuyoshi, 1980. “Rantau Pariaman: The World of Minangkabau
Coastal Merchants in the Nineteenth Century” dalam Journal
of Asian Studies (pre-1986).
Muchtar, Asril, 2004. “Upacara Tabuik: Dari Ritual ke Pertunjukan
Heroik”, inside Mahdi Bahar (Penyunting), Seni Tradisi
Menantang Perubahan (Padangpanjang: STSI Padangpanjang
Press).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
224
Nur,M., et.al., 1991. “Peninggalan Aliran Syiah di Sumatera Barat
dalam Perspektif Historis” dalam Laporan Penelitian (Padang:
Pusat Penelitian Universitas Andalas).
Poesponegoro, Marwati D., et.at., 1992. Sejarah Nasional Indonesia III
(Jakarta: Balai Pustaka).
Rahmanelli, 2007. “Upacara Tabuik dalam Konteks Perubahan Budaya
Di Kota Pariaman”, Thesis (Padang: Pasca UNP).
Sabar, 1992. “Keberadaan Tabuik di Pariaman Pada Abad XX” dalam
Research Report (Padang: Pusat Penelitian Universitas
Andalas).
Syihab, M. Quraisy, 1994. “Mengikis Fanatisme dan Mengembangkan
Toleransi” dalam Nurhcolish Madjidet. al., Satu Islam: Sebuah
Dilema(Bandung: Mizan).
Yunus, Mahmud, 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Mutiara).
Wawancara dengan Amir Husaen, 26 June 2000
Wawancara dengan Sidi Mucktar, 26 June 2000
Wawancara dengan Maaz, 3 Desember 2005
Wawancara dengan Solfi ardi, 11 December 2009
Wawancaradengan Jefreki, 12 December 2009
Wawancara dengan Sidi Mucthar, 12 December 2009
Kompas, 21 Januari 2008.
Kompas, 31 Januari 2008.
Kompas, 7 Januari 2008
Tempo, 19 September 1987.
225
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA)
DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS,
MAKASAR, DAN MANDAR
Supratman
Pengantar Masyarakat meyakini bahwa suku-suku di Pulau Sulawesi
telah berasimilasi dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa suku dan etnik di
Sulawesi juga dipengaruhi budaya dan tradisi Hindu, Buddha, Kristen,
dan Barat. Tulisan ini mencoba untuk memberikan analisis dengan
perspektif yang berbeda, khususnya dalam kaitan budaya Islam yang
telah menancapkan sebuah tonggak yang sangat kuat dalam corak
kehidupan masyarakat dan etnis di Sulawesi yang telah berasimilasi
dengan budaya Islam versi Arab, Gujarat, dan Persia.
Signifi kansi studi ini terletak pada upaya untuk menghadirkan
sebuah persepsi baru dari pemahaman umum yang berkembang
di tengah-tengah masyarakat Muslim di Sulawesi, dan mungkin di
tempat lain, yang berpandangan bahwa pengaruh Islam pada budaya
dan tradisi suku-suku yang ada di wilayah ini hanya berasal dari
Arab. Di Sulawesi, budaya Islam dipahami dan diklaim dipengaruhi
oleh hanya Islam-Arab, atau disampaikan oleh orang Arab. Pengaruh
budaya Islam yang lain seperti Islam versi Persia belum diketahui
apalagi dikenal oleh masyarakat pada umumnya.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
226
Pandangan tersebut muncul dipengaruhi oleh beberapa faktor;
pertama, pandangan eklusif Islam yang menganggap Islam sama
dengan Arab. Kedua, ulama Persia dalam menyebarkan Islam lebih
suka dan cenderung untuk menggunakan bahasa Arab. Akibatnya
masyarakat memahaminya sebagai orang Arab. Ketiga, secara fi sik
orang-orang Persia sangat mirip dengan orang Arab. Keempat, mereka
yang punya status sosial tinggi di masyarakat, seperti; raja, ilmuwanintelektual,
sejarawan, dan pemimpin agama mempunyai kontribusi
yang kuat untuk semakin menegaskan persepsi tersebut dengan taken
for granted (diremehkan), tanpa melakukan penelitian secara akurat dan
mendalam. Sebagai contoh, tidak ada orang yang mengetahui bahwa
Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra sebagai orang Persia, ulama besar
yang merupakan kakek dari para wali songo, yang datang ke Sulawesi
jauh sebelum Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang, serta Datuk Di Tiro
menginjakkan kakinya di Kerajaan Tallo.
Menurut Martin Van Bruinessen (1995) bahwa anak-anak
Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya, sudah diduga
mengembara ke Asia Tenggara. Jamaluddin, pada awalnya, menginjakan
kaki di Kamboja terus ke Aceh. Setelah itu, ia berlayar ke Semarang dan
menghabiskan bertahun-tahun waktunya di pulau Jawa. Akhirnya, ia
melanjutkan perjalanan ke Pulau Sulawesi dan tinggal di sana sampai
wafat.
Menurut riwayat lain, ia menyebarkan Islam ke Indonesia dengan
kafi lah keluarganya. Ketika ia menuju ke Pulau Jawa, anaknya Sayyid
Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) tetap di Aceh untuk mendidik
rakyat tentang Islam. Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra tiba di
Pulau Jawa pada masa imperium Majapahit. Beberapa tahun tinggal
di bawah pemerintahan Majapahit, lalu menuju ke negeri Bugis, dan ia
meninggal di Wajo (SulawesiSelatan).
Van Bruinessen (1995) mencatat bahwa Sayyid Jamaluddin Husein
al-Kubra tiba di tanah Bugis pada tahun 1452 Masehi, dan meninggal
pada 1453 Masehi. Uka Tjandrasassmita (2006), sejarawan terkemuka
Indonesia, memperkirakan bahwa Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra
masuk ke Sulawesi Selatan (Tosora-Wajo) pada pertengahan abad ke-14
Graaf dan Pigeaud mengakui bahwa Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra
adalah orang suci legendaris dan juga dikenal sebagai ulama suci Islam.
Dalam versi lain, Amir Djumbia (2009), Staf Publikasi Balai Pelestarian
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
227
Peninggalan Purbakala Makasar mengatakan bahwa sekali waktu ada
seorang Muslim dari Persia yang pernah mengunjungi Indonesia Timur
dan mengabarkan tentang Islam di Sulawesi Selatan. Muslim Persia itu
mengatakan bahwa di Sulawesi Selatan telah ada beberapa Kaum Muslim
sekitar abad ke-2 Hijriyah. Ia juga memberitahukan mengenai kehadiran
sekelompok orang Islam di antara masyarakat Sulawesi Selatan.
Menurutnya Islam di Sulawesi Selatan dibawa oleh Sayyid Jamaluddin
Husein Al-Kubra yang datang dari Aceh melalui Jawa (Padjadjaran).
Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra datang ke Jawa atas undangan Prabu
Wijaya. Prabu Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke-27, yang
lahir di Pakuan, menjadi Raja Majapahit pertama (1293-1309 Masehi).
Tidak lama kemudian, Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra melanjutkan
perjalanan bersama dengan 15 orang rombongan ke Sulawesi Selatan.
Mereka datang ke daerah Bugis dan tinggal di Tosora-Wajo dan meninggal
di sana sekitar 1320 Masehi.
Ada juga riwayat lain dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain
bin Mustafa al-Fathani (1992) menyebutkan bahwa raja yang ke empat
puluh dari kerajaan Bugis bernama Lam Dasilah anak Datuk Raluwak
memeluk Islam pada tahun delapan ratus hijrah (800 Hijriyah). Dan ia
memperkirakan bahwa tahun itu juga adalah masa kedatangan Sayyid
Jamaluddin ke tanah Bugis, yang bertepatan dengan tahun 1397 Masehi.
Penulis telah melakukan penelusuran referensi dan menanyakan ke
beberapa sejarawan terkemuka, tetapi nama Lam Dasilah tidak dikenal
sebagai salah satu nama dari raja-raja Bugis. Besar dugaan nama Lam
Dasilah, tidak lain dari La Maddusila yang merupakan Raja Luwuk
yang pertama memeluk Islam sebagaimana disebutkan oleh Raja Haji
Ahmad dan Raja Ali Haji dalam kitabnya Tuhfat al-Nafi s.
Keterangan data tersebut menunjukkan bahwa Islam memang
telah dikenal jauh sebelum ketiga tokoh yang dikenal sebagai penyebar
Islam di Sulawesi yaitu Datuk Ribandang, Datuk Patimang, Datuk
Ditiro. Selain itu, ulama dan budaya serta tradisi Islam Persia memang
ada di Sulawesi Selatan dan telah berasimilasi pada kehidupan dan
budaya masyarakat di Sulawesi Selatan. Asimilasi ini sebagaimana
yang ditinggalkan oleh Sayyid Jamaluddin Husein al-kubra yang
datang dari di Persia ( Samarkand) maupun oleh Datuk Ribandang,
Datuk Patimang, Datuk Ditiro yang lahir di Sumatera. Ketiga ulama
tersebut dipandang sebagai penyebar agama Islam yang pertama di
Sulawesi Selatan. Mereka tiba di Bandara Tallo tahun 1605.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
228
Kelima, para peneliti, ilmuwan dan muballigh terdahulu di Indonesia
ketika mengidentifi kasi Persia mereka menyebutnya dengan Arab Persia.
Tidak pernah disebut dengan Persia saja. Selalu ada rangkaian Arab.
Sehingga belakangan diidentifi kasi sebagai Arab saja, Persia kemudian
hilang. Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya pengaruh budaya
Islam Persia di Nusantara telah menorehkan jejak-jejak khusus dan istimewa
bagi pengembangan kebudayaan, intelektual, agama, pemerintahan, dan
kenegaraan di Nusantara. Sayangnya, posisi tersebut tidak mendapat
perhatian yang signifi kan dari sarjana-sarjana di Indonesia.
Pengaruh budaya Islam Persia itu terasa kuat dalam doa-doa,
upacara keagamaan, pemikiran Sufi stik; dalam perbendaharaan kata,
corak penulisan hikayat, puisi, karya bercorak sejarah, adab, hukum
dan risalah keagamaan yang lazim disebut sastra kitab. Dalam empat
yang terakhir pengaruh Persia tidak hanya berkaitan dengan gaya
bahasa, tetapi juga estetika dan bahan verbal penulisan seperti contohcontoh
kisah yang diselipkan di dalam kitab-kitab tersebut.
Kasus, Metode, dan Tujuan
Artikel ini akan memfokuskan pada asimilasi budaya Islam
Persia dalam budaya dan tradisi etnik di Sulawesi, terutama pada
etnik Bugis, Makasar, dan Mandar yang mana embrio asimilasi awal
mulanya ditandai ketika Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra pertama
kali menginjakkan kaki di Tosora-Wajo, yang seterusnya menyebar ke
berbagai wilayah dan suku yang ada di Sulawesi.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengidentifi kasi jenis
asimilasi budaya (tradisi Syiah) Persia pada budaya dan tradisi etnis
di Sulawesi dan menjelaskan pesan dan hikmahnya. Studi kasus ini
dibangun dengan mempelajari teks-teks kesusastraan, tulisan ilmiah,
dan melakukan wawancara secara mendalam dengan para pemimpin
komunitas atau sesepuh masyarakat seperti di Cikoang, Tosora,
Mandar, dan beberapa kaum terpelajar di Sulawesi.
Pembahasan
Sebelum terlalu jauh menjelaskan dan memaparkan bagaimana
bentuk asimilasi Budaya (Islam) Persia pada tradisi budaya Bugis,
Makasar, Mandar, dan Toraja terlebih dahulu penulis menggambarkan
suatu bentuk pemetaan unsur-unsur kebudayaan guna memudahkan
dalam mengidentifi kasi bentuk-bentuk kebudayaan secara akurat.
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
229
Menurut Herudjati Purwoko (2003) bahwa ada tiga materi
budaya; rekayasa budaya, perilaku budaya, dan artefak budaya.
Rekayasa budaya ini bisa dipahami sebagai sebuah usaha dari
seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam rangka menggambarkan
sikap, pengalaman, keyakinan dan nilai-nilai mereka dengan sebuah
konstruksi tatanan yang berlangsung secara terencana dan terorganisir.
Hal tersebut bisa dilihat pada nilai dan norma yang dimiliki oleh orang
dan kelompok masyarakat yang mengontrol cara mereka berinteraksi
satu sama lain atau terhadap pihak di luar masyarakatnya sendiri.
Rekayasa budaya ini pula menjadi pola dan pedoman bagi individu
dan masyarakat dalam kesehariannya.
Perilaku budaya adalah perilaku yang ditunjukkan oleh kelompok
masyarakat. Perilaku budaya tidak mengikat secara individu. Artinya,
ia adalah perilaku yang hanya bisa dipresentasikan oleh kelompok
tertentu yang terdapat pada sebuah komunitas dan masyarakat tertentu.
Artefak budaya adalah benda-benda buatan manusia yang memberikan
informasi tentang penciptaan dan penggunaan suatu budaya. Artefak
bisa berubah dari waktu ke waktu dalam apa yang diwakilinya,
bagaimana muncul serta bagaimana dan mengapa digunakan sebagai
perubahan budaya dari waktu ke waktu. Penggunaan istilah ini
mencakup jenis artefak arkeologis yang ditemukan di situs arkeologi.
Akan tetapi, demikain ia juga mencakup buatan masyarakat modern.
Misalnya, dalam konteks antropologis; televisi adalah artefak budaya
modern.
Pengaruh Sastra
Peradaban Persia merupakan salah satu peradaban yang tua dan
terkaya di dunia. Dua setengah millennium kebudayaan Persia telah
menginspirasi sastra dunia, mengilhami penyair, penulis, dengan
ragam arsitektur yang megah, mengesankan, dan unik yang hanya
bisa disaingi oleh beberapa suku bangsa di dunia. Oleh karena itu,
sangat dimungkinkan daya penetrasi peradaban Persia sangat kuat
bila berada pada suatu kebudayaan di suatu etnis tertentu seperti yang
ada di Sulawesi.
Peradaban Persia sejak awal mula dikenal mempunyai peradaban
yang tinggi. Di Persia, Shahnameh adalah kumpulan syair ditulis oleh
Abul Qasim Firdausi pada tahun 1000 Sebelum Masehi. Di tanah
Persia, menarasikan teks-teks kuno yang legendaris seperti karya
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
230
Firdausi baik pada tempat formal maupun non-formal yang seringkali
diiringi musik adalah suatu kebiasaan yang terjaga hingga kini. Mereka
dengan sangat cepat dan fasih melantunkan syair-syair yang di tulis
oleh Firdausi, Hafez, Sadi atau Rumi seperti pada kitab Shahnameh,
Divan-e Hafez, Golestan-e Sa’di, dan Matsnavi-Ma’navi-e Rumi.
Sebagian besar analis sastra Persia mengatakan bahwa syair-syair
yang ada di Persia, khususnya Shahnameh selain memiliki nuansa
sastra yang universal juga menjadi tonggak untuk penegasan identitas
diri bangsa dan masyarakat Iran (Shahbazi: 1991). Akan tetapi, bagi
masyarakat Muslim, sastra Persia diidentifi kasi atau lebih dikenal
sebagai sastra Sufi stik, atau dalam istilah Kuntowijoyo disebut sebagai
sastra profetik. Bagi masyarakat Iran, syair sudah menjadi bagian yang
menyatu dengan kehidupan mereka, sehingga arti penting kehadiran
syair-syair para penyair besar seperti Firdausi, Hafez, Saadi, Rumi,
dengan segala karya syairnya telah menjadi medium dan bentuk
pelestarian semangat dan karakter bangsa Iran. Tradisi kesusastraan
Persia yang terus menerus berkembang dan terjaga dengan baik
dengan coraknya yang Sufi stik membuat tradisi ini sangat mudah
mempengaruhi tradisi kesusastraan masyarakat Sulawesi yang dikenal
religius, jujur, terbuka, dan egaliter. Di samping faktor itu, penyebab
lain mengapa sastra Persia bisa meresap kuat masuk ke ruang wacana
kesusastraan dan kehidupan manusia Bugis, Makasar, dan Mandar
adalah faktor kondisi internal masyarakat Sulawesi yang mana di era
itu terjadi kevakuman kreatifi tas para budayawan, agamawan, dan
intelektual untuk merawat, dan mengembangkan tradisi oral, dan
literer-nya.
Adapun dinamisasi tradisi lisan suku-suku di Sulawesi dapat
dibagi dalam dua fase. Fase pertama, tradisi lisan lebih banyak memuat
tentang awal mula kejadian bumi, kejadian manusia pertama, dan
kesaktian Sawerigading. Sedikit lebih maju semakin variatif dengan
cerita tentang raja-raja, binatang, dan cerita romantik. Bentuk tradisi
lisan ini diungkap dalam bentuk yang disebut pau-pau, rampe-rampe,
elong, dan toloq. Fase kedua, tradisi lisan yang mengadopsi banyak cerita
dan sanjungan kepada tokoh utama dalam Islam seperti Imam Ali,
Bunda Fatimah, Imam Hasan, Imam Husein, ada juga kisah lainnya
Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Hal ini dapat
kita lihat pada cerita tentang Pakeang Urane (Kesempurnaan Laki-laki),
Canningrara (Pemikat Perempuan), serta kisah anak Saleh dan lain-lain.
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
231
Setelah Islam datang cerita tentang Sawerigading kemudian perlahanlahan
mulai memudar diganti dengan ketokohan Ali bin Abu Thalib,
Fatimah az-Zahra. Untuk Ali lebih dikenal dengan Baginda Ali, sementara
Imam Hasan dan Imam Husein, lebih dikenal Asang dan Useng. Sedangkan
nama Fatimah tetap disebut Fatimah. Mereka adalah simbol manusia
dan keluarga sempurna; sebagai suami-istri, ayah-ibu, dan anak-anak.
Menjadikan pribadi-pribadi agung tersebut sebagai model yang sempurna
untuk kehidupan manusia dalam pandangan Islam adalah sebuah corak
pandangan yang sangat kental dengan ajaran Syiah (Persia).
Bentuk pengagungan tokoh-tokoh tersebut dalam literatur
yang ada pada suku-suku di Sulawesi lebih banyak pada nuansa
kepahlawanan, keberanian, cinta ideal sepasang suami istri, serta
perilaku anak-anak saleh. Sebagai contoh:
’Syair perangmengkasar’
‘keempat sahabat baginda Ali
lagi menantu kepada Nabi
gagahnya indah tidak terperi
harimau Allah ia dinamai.
Contoh Lain:
Pannessaengngi bicaranna Allaibingengnge/Yinae pangissengenna
Bagenda Ali ri wettu maelona pasitai alenae y-Ali na Patima/Wenni Jumai
nabauwwi apa kuwai mmonro maninna/Sattui nabaui ulunna APA kuwai
mmonro maninna/wenni Aha’inabauwwi matanna apa ‘kuwai mmonro
maninna/Wenni seneng nabauwwi pallawangeng enninna/Salasai Wenni
nabauwwi inge’na apa kuwai mmonro maninna/Wenni Araba’I nabauwwi
Olona apa kuwai mmonro maninna.
Terjemahan: Penjelasan tentang hubungan suami-istri. Ini adalah
pengetahuan dari:
Baginda Ali ketika ia ingin melakukan hubungan dengan Fatimah/
Pada malam Jumat ia mencium kepala mahkotanya karena di situ
pusat sensitifnya/Sabtu ia mencium kepalanya karena di situ pusat
sensitifnya/Minggu malam dia mencium matanya karena di situ
pusat sensitifnya/Senin malam, ia mencium di antara alisnya
di situ pusat sensitifnya/Selasa malam, ia mencium hidungnya
karena di situ pusat sensitifnya/Rabu malam, ia mencium dadanya
karena di situ pusat sensitifnya.
Pengaruh Bahasa
Christian Pelras (2005) menulis dalam Manusia Bugis bahwa kata
waju dalam Bahasa Bugis berarti pakaian, itu berasal dari kata Persia,
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
232
yang berasal dari kata bazu dalam Bahasa Persia berarti tangan. Di
Sulawesi, ada puluhan dialek, dan seringkali dialek tersebut memiliki
masing-masing istilah untuk satu objek tertentu. Hanya untuk kata
baju mereka memiliki kesamaan kata. Artinya (1) kehadiran ulama
Persia diterima secara terbuka oleh seluruh masyarakat di Sulawesi.
Kata baju sendiri sudah menjadi Bahasa Indonesia. Dapat dipastikan
bahwa pengaruh intelektualisme ulama Persia sangat berpengaruh.
Bahkan kemudian ia menjadi bahasa nasional.
Secara nasional kata baju juga disinyalir dan diakui sebagai pengaruh
Bahasa Persia. (2) penerimaan itu juga menunjukkan betapa kata baju
ini sangat pas mewakili penamaan pakaian masyarakat Sulawesi. (3)
semakin menegaskan pengaruh Persia dalam tradisi dan budaya pada
suku-suku di Sulawesi. Disebutkan pula bahwa nama Belawa terkait
langsung dengan kehadiran Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra.
Belawa adalah tempat pusat pengajaran Sayyid Jamaluddin Husein al-
Kubra. Masyarakat menyebut tempat itu sebagai tempat berkumpul
atau bersama dengan Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra. Demikian
besar pengaruhnya hingga tempat mengajarnya diabadikan sebagai
nama untuk menggambarkan suasana dari ketokohan dan pengaruh
ulama Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra. Begitu berkesannya tempat
itu ditandai dengan penerimaan masyarakat terhadap kebiasaan dan
kegemaran masyarakat terhadap aktivitas pencerahan yang dilakukan
oleh ulama Persia itu yang berkunjung dan menetap di Wajo sehingga
nama tersebut kemudian dinisbatkan pada bentuk aktivitasnya.
Masyarakat menjadi sangat dekat dan menyatu kepadanya sehingga
tempat mengajar itu dinamakan Belawa. Belawa, dibentuk dari suku
kata ‘Baa+ Alawi’. Ba, dalam Bahasa Persia, itu berarti “dengan” atau
“bersama-sama” dan “Alawi” adalah panggilan untuk keturunan Nabi
Muhammad. Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra adalah keturunan
Nabi Muhammad. Jadi, Belawa berarti bersama-sama dengan keluarga
Nabi Muhammad (keturunan) Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra
mengajar masyarakat di tempat itu: Belawa.
Dalam keyakinan kaum Muslim Syiah (Persia) bahwa memuliakan,
mencintai, dan menjadikan Ahl al-Bayt Rasulullah sebagai pedoman
dan pemimpin dalam kehidupan kita baik secara politik maupun
spiritual adalah mutlak sebagaimana hadist Nabi Muhammad yang
mereka yakini: “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua hal yang
berharga (tsaqalain) di antara kamu: Kitab Allah dan keluarga saya
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
233
(itrah), Ahl al-Bayt–ku. Tidak akan pernah terpisah sampai mereka
kembali kepada saya di telaga Al-Kausar pada hari kiamat.” Dalam
Alquran (42: 23) juga disebutkan: “Aku tidak meminta upah kepadamu
atas seruanku, kecuali kecintaan kepada kerabat (Al-Qurba).” Ketika
sahabat bertanya, siapakah Al-Qurba? Rasulullah menjawab: Ahl al-
Bayt-ku. Siapakah Ahl al-Bayt Nabi Muhammad? Dalam masalah ini ada
dua kelompok besar dalam menafsirkannya: Kalangan Ahl as-Sunnah
dan kalangan Syiah. Kalangan Ahl as-Sunnah rata-rata memberi makna
yang luas dan beragam, mulai dari Ali bin Abu Thalib, Hasan, Husein
dan keturunannya, hingga istri-istri Nabi Muhammad, keluarga Ja’far,
dan Keluarga Abas, serta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim.
Sementara kalangan Syiah (mayoritas) hanya memberi makna Ahl al-
Bayt kepada 12 Imam, yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein, dan
9 keturunan Imam Husein. Ada juga dalam kepercayaan Islam Syiah
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad telah membandingkan
Ahl al-Baytnya dengan bahtera Nuh.
Barang siapa mencintai dan mengikuti mereka akan mendapatkan
keselamatan dan siapa pun yang melanggar kesucian mereka akan
tenggelam. Sementara memegang pintu Kudus Ka’bah, Abu Dzar
mengatakan bahwa ia mendengar Nabi Muhammad berkata,”
“Perumpamaan Ahl al-Bayt-ku seperti bahtera Nuh, barang siapa yang
menaikinya ia akan selamat, dan barang siapa yang tertinggal ia akan
tenggelam.” Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak (v2, hlm. 343,
v3, hlm. 150-151) menyatakan bahwa hadist ini shahih berdasarkan
persyaratan Muslim. Ahl al-Baytadalah ungkapan yang berarti penghuni
rumah atau keluarga. Dalam tradisi Syiah, hal itu merujuk pada
rumah tangga Nabi Muhammad. Ahl al-Bayt dalam pengertian yang
sederhana adalah menaruh kepercayaan pada keturunan Muhammad
melalui Fathimah Az-Zahra dan Imam Ali dan keturunan mereka. Ahl
al-Baytatau anggota rumah tangga Nabi Muhammad merujuk kepada
putrinya, Fathimah Az-Zahra. Pada ayat Al-Ahzab, “Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu, hai Ahl al-Bayt
dan menyucikanmu sebersih-bersihnya”(Alquran: 33:33).
Sejumlah kosa kata lainnya yang ada di masyarakat Sulawesi
yang disinyalir diserap dari bahasa Persia adalah kosa kata, seperti:
Saribanong; Nama Orang (perempuan) (Syahribanu, Putri Raja Persia
yang dinikahi oleh Imam Husein), Mardi nama orang (Pria) (dalam
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
234
Bahasa Persia artinya seorang laki-laki), Bakhtiar: Nama Pria (Persia:
Keberuntungan), Paemang (Paiman; Perjanjian), Lemo: Jeruk (Limu:
Jeruk Nipis), Tange: Kemalasan, Jendela (Tanga, Tange: Kesempitan),
Puluh: Beras Ketan (Polow: Nasi Beras), Sulara: Celana (Shalvar: Celana),
Golla: Gula (Gul: Bunga).
Dimensi Mistik dalam Islam
Ordo tarekat terbesar di Sulawesi Selatan adalah Khalwatiyah.
Tarekat Khalwatiyah mengajarkan konsep Wahdat al-Wujud. Wujud
adalah sesuatu yang tidak bisa disamakan dan dipersepsikan dengan
segala sesuatu yang ada pada pemahaman manusia. Hanya Allah
saja yang wujud hakiki, sementara segala sesuatu (makhluk) adalah
noneksistensi (accident). Wujud Tuhan adalah mutlak (nondelimited),
sementara lainnya terbatas. Wahdatul wujud bisa juga disebut dengan
penyirnaan diri (al-fana). Wahdat al-Wujud atau al-fana adalah gagasan
mistik yang luar biasa dalam hubungannya dengan keberadaan stasiun
penciptaan spiritual dan fi sik.
Secara metafi sik pemahaman tentang al-fana adalah penyatuan
(al-Ittihad) dari dalam diri seseorang dengan esensi Allah. Husein Ibnu
Mansyur Al-Hallaj adalah seorang Sufi dan mistik besar. Berdasarkan
sejarah keSufi an, ia dikenal yang pertama kali memperkenalkan ajaran
wahdatul wujud. Orang Persia itu dikenal telah mencapai maqam ‘alfana’
ketika ia mengeluarkan pernyataan yang terkenal ‘Anaal-Haqq
(Akulah kebenaran). Atas pernyataan yang sungguh sangat berani
itu harus dibayar mahal dengan kemartirannya di Irak. Belakangan,
sesudah kemartirannya, ada banyak tulisan tentang doktrin ‘Ana al-
Haq ala Al-Hallaj. Ada yang menolak, tetapi tidak kurang pula yang
mendukung dan mengaguminya.
Esensi doktrin Al-Hallaj boleh saja pada zamannya dan beberapa
zaman berikutnya masih terasa sangat “aneh dan berani“. Akan
tetapi, pernyataan itu akan terasa sakralitas dan intelektualitasnya bila
dicerminkan pada teori dari pemikir cemerlang Persia lainnya, yang
muncul setelah Al-Hallaj yaitu Mulla Sadra (1571-1640) dengan teorinya al-
Hikmat al-Muta’aliyah fi ’l-asfar al-’aqliyah al-arba’ah (The Transcendent Wisdom
in the Four Intellectual Journeys). Adapun empat perjalanan itu sebagai
berikut: Perjalanan pertama adalah dari dunia ciptaan (makhluk) menuju
Kebenaran (Tuhan)- (min al-khalq Ilal-Haqq). Perjalanan kedua adalah dari
Kebenaran (Tuhan) kepada Kebenaran (Tuhan) oleh Kebenaran (Tuhan)-
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
235
(min al-haqq Ilal-haqq bi’l-Haqq). Perjalanan ketiga adalah dari Kebenaran
(Tuhan) ke dunia penciptaan (Makhluk) dengan Kebenaran (Tuhan)-(min
al-haqq Ilal-khalq bi’l-Haqq). Perjalanan keempat dan akhir perjalanan dari
dunia penciptaan (Makhluk) ke dunia penciptaan (Makhluk) bersama
Kebenaran (Tuhan) (min al-khalq Ilal-khalq bi’l-Haqq).
Tentu saja, pandangan dari kedua pemikir bangsa Persia itu pada
akhirnya mempersepsikan sebuah domain eksistensi yang pada dasarnya
menegaskan hanya ada “Satu Realitas“ yang mana adalah wujud-Nya
dan keberadan-Nya sendiri, yang abadi, sebab dari segala sebab, dan
sebagainya. Realitas Maha Suci ini adalah pada dasarnya unik (Ahad) dan
satu (Wahid) dalam esensi tapi tidak ‘satu’ dalam jumlah. Menegaskan
kesatuan makhluk sebagaimana ayat: ”Kami telah menciptakan kamu
dari satu jiwa” (Alquran 4:1). Oleh karena itu, muncul gagasan kesatuan
realitas eksistensi pada semua dimensi tingkatan kosmos. Jenis manusia
yang telah melakukan empat perjalanan tersebut telah mencapai
‘Realitas Transenden’ dan telah menghilangkan kedirian mereka sendiri
untuk menjadi satu dengan yang ‘Satu’.
Selanjutnya, secara bersamaan, konsep kesatuan (Wahdat al-Wujud)
dalam budaya dan tradisi yang ada pada suku-suku di Sulawesi
terkhusus suku Bugis juga berlandaskan pada empat tahapan dan
memiliki empat dimensi yang disebut Sulapa Eppa (Segi Empat). Kalau
menelusuri konsep pandangan hidup atau pun agama-agama yang ada
di Sulawesi tak satu pun ajaran atau agama yang punya pandangan
kesatuan eksistensi secara tegas. Bahkan di dalam La Galigo, dewa
tidaklah tunggal, ia beranak-pinak. Yang punya pandangan demikian
hanyalah kepercayaan dan agama Islam. Islam pun jika ditelusuri
lagi dari segi teologis-fi losofi s maka yang punya konsep demikian
hanya pandangan dan pemikiran yang akar sejarahnya bersumber
dan berasal dari tanah Persia sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa konsep wahdatul wujud bersumber dari Mansyur al-Hallaj.
Maka persinggungan konsep pandangan Wahdat al-Wujud itu dengan
tradisi dan budaya suku-suku yang ada di Sulawesi di mana lagi kalau
bukan warisan dan pengaruh dari ulama Islam Persia semisal Sayyid
Jamaluddin Husein al-Kubra.
Asumsi ini semakin kuat bila kita perhadapkan pada sebuah
kenyataan sejarah yang mana kitab La Galigo merupakan kitab rujukan
pandangan hidup sekaligus kitab sejarah keberadaan dan kemaujudan
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
236
manusia Bugis disempurnakan oleh ulama Islam yang juga kelahiran
Wajo bernama Husein bin Ismail, yang dikenal dengan gelar Guru
Useng. Sangat besar kemungkinan bila Husein bin Ismail memasukkan
pandangan ketauhidan dalam kitab La Galigo termasuk paham Wahdat
al-Wujud. Bahkan besar kecurigaan penulis bila konsep To Manurung
pun oleh Husein bin Ismail telah dimodifi kasi dan disempurnakan
sejalan dengan pandangan dan konsep tauhid.
Adapun Konsep Sulapa Eppa ini merupakan bentuk nyata
perwujudan dari konsep kesatuan eksistensi dalam tradisi dan budaya
etnis di Sulawesi. Konsep Sulapa Eppa dapat diterapkan dalam berbagai
kasus, seperti: Pertama, Lontara (Alpabet Bugis-Makasar). Sulapa Eppa
bermakna segi empat (empat sisi). Konsep Sulapa Eppa berdasarkan
kepercayaan dan mitos Bugis-Makasar bahwa alam semesta ini sebagai
satu kesatuan yang diungkapkan oleh ◊ simbol = sa, itu berarti ◊ = seua
(satu). Simbol ini (◊) juga merupakan mikrokosmos atau eppa sulapa ‘na
taue (empat bagian tubuh manusia). Bagian atas adalah kepala; sisi kiri
dan kanan adalah tangan; dan bagian bawah adalah kaki. ◊ ini simbol
untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara konkret pada bagian
kepala manusia, itu disebut “saung” ◊, berarti mulut atau jalan keluar.
Menurut manusia Bugis, mulut adalah bagian untuk mengekspresikan
segala sesuatu, yang ◊ = sadda (bunyi). Suara dikonstruk sehingga
memiliki makna ◊ (Simbol), hal itu disebut = ada (kata ilahi atau
perintah). Dari kata ◊ ada (kata) keluar segala sesuatu yang mencakup
seluruh alam semesta teratur (Sarwa Alam) diatur oleh ◊ ada (kata
atau logos). Jika kata-kata yang ditambahkan artikel ◊ = E, ia menjadi
◊ adae (kata). Ini adalah sumber ◊ kata = ade ‘(hukum adat), yaitu kata
ilahi atau mengatur dengan benar, membuat teratur, mengontrol,
mendisiplinkan yangmencakup ◊ Sarwa alam = sa.
Kedua, Sulapa Eppa secara fi losofi s juga diterapkan pada arsitektur
rumah. Rumah tradisional Bugis-Makasar terinspirasi oleh struktur
kosmos di mana alam semesta dibagi empat bagian, yaitu: (1) alam
yang Maha Tinggi, alam yang tak akan pernah disentuh secara utuh dan
sempurna oleh makhluk, (2) bagian alam semesta yang teratas. Bagian
ini dihuni oleh makhluk suci dan sekaligus juga merupakan tempat
suci. (3) bagian tengah alam semesta adalah tempat interaksi manusia
dengan kehidupannya, dan (4) bagian alam semesta yang rendah
adalah tempat untuk interaksi makhluk hidup dengan lingkungannya.
Pada saat yang sama dalam tradisi fi lsafat Iluminasi Persia alam pada
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
237
garis besarnya juga dibagi dalam empat tingkatan: Alam Asma Ilahi,
Alam Akal, Alam Mitsal (Imaginal), dan Alam Materi, yang mana
tingkatan itu masing-masing di antara keduanya memiliki kesesuain
penjelasan secara umum. Lantas dari manakah akar sejarah ilmu
pengetahuan suku-suku di Sulawesi yang demikian itu?
Orang Sulawesi juga ketika ingin membangun rumah sudah
menjadi keharusan bagi mereka untuk meminta beberapa pertimbangan
dari Panrita Bola (Ahli Rumah), seperti; mencari lokasi dan arah yang
baik. Arah yang baik adalah menghadap ke arah timbulnya matahari,
yang menghadap ke daerah dataran tinggi, dan menghadap ke salah
satu arah angin, termasuk untuk memilih waktu yang baik. Mereka
juga tahu dan percaya pada Posi Bola (Bagian Tengah/Pusat Rumah)
yang harus ditentukan lebih awal dari tiga pilar lainnya. Setelah itu
baru bisa membangun yang lainnya.
Ketiga, Sulapa Eppa merupakan fi losofi hidup masyarakat
tradisional Sulawesi (Bugis, Makasar, Toraja, dan Mandar). Sebuah
pandangan ontologi guna memahami alam semesta yang universal.
Sulapa Eppa sebagai fi lsafat hidup dianggap sebagai sumber mitos
penciptaan manusia yang terdiri dari tanah, air, api, dan angin. Empat
elemen ini tidak dapat dipisahkan untuk membangun manusia yang
sempurna.
Keempat, Sulapa Eppa juga untuk memahami hubungan
keseimbangan dalam empat dimensi kehidupan masyarakat, yaitu:
(1) Hubungan harmonis antara manusia dengan Allah; (2) Hubungan
harmonis antara manusia dengan masyarakat; (3) Hubungan harmonis
antara manusia dengan alam; dan (4) Hubungan harmonis antara
masyarakat dengan pemerintah.
Ide harmoni berdasarkan pada pengalaman eksistensial umat
manusia dan keberadaan negara ideal adalah sesuatu yang sangat
didambakan. Seorang individu tidak bisa mendapatkan dan menikmati
hidup yang nyaman dan menyenangkan bila tanpa harmoni dengan
Tuhan, masyarakat, pemerintah, dan alam. Dalam konsep hubungan
Eppa Sulapa tak ada satu pun yang berada pada posisi dominan. Semua
dari mereka dalam hubungan yang sama satu sama lain.
Kunci utama untuk menerapkan dan mempraktekkan konsep
Sulapa Eppa itu adalah ‘assedingengnge’ (Wahdat al-Wujud). Kita
tidak bisa memisahkannya. Kita tidak bisa hanya mengambil dan
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
238
menjalankan satu aspek saja dan lainnya ditolak. Semuanya diatur
oleh hukum adat. Bentuk aturan itu akan membuat kemakmuran
dan konsistensi. Pelaksanaan dan konsistensi pada empat unsur itu
akan sangat mampu menjaga kondisi yang dinamis dalam rangka
menangkal dan menghadapi segala tantangan baik dari dalam maupun
luar negeri.
Keterpaduan dan kemanunggalan (Asseddingengnge atau Wahdat al-
Wujud) senantiasa harus menjadi sikap dasar dalam sistem pelayanan
seperti; pemerintah harus selalu berpikir masalah kesejahteraan
rakyat, pemimpin harus pintar untuk menjawab dan merumuskan
solusi atas problem yang sedang dihadapi masyarakat, pemimpin dan
masyarakat harus selalu dalam koridor hukum dan mengupayakan
menegakkan hukum dan aturan yang baik di lingkungan masyarakat
dan pemerintah. Sebab setiap individu dan elemen-elemen lain adalah
fondasi untuk membangun suatu bangsa dan negara. Oleh karena itu,
individu harus memiliki sikap hidup dan kepribadian yang konsisten
bagi setiap manusia Bugis, Makasar, Mandar, dan Toraja, khususnya
bagi aparat negara (Pakkatenni Ade). Mengenai sikap dan kepribadian
yang paling ditekankan dalam konsep Sulapa Eppa yaitu; Malampu
(Kejujuran dan Integritas), Acca, Warani (Kepandaian dan Keberanian),
Temmapasilengeng (Keadilan), dan Reso (Etos Kerja).
1. Malempu (Kejujuran dan Integritas). Ini merupakan nilai
universal yang sangat penting dan strategis bagi individu dan
pemerintah. Malempu memiliki arti yang sangat signifi kan
apabila dimiliki oleh pemerintah yang bisa menjadi penyebab
masyarakat mendukungnya dan memberikan respon yang baik
kepada mereka. Di waktu lampau, ada tradisi dan kebiasaan
masyarakat di Sulawesi (Suku Bugis, Makasar, Mandar, dan
Toraja) untuk mendeklarasikan sumpah di depan publik
antara rakyat dan raja:
Angiko kiraukkaja, raao’miri riakkeng mutappalireng, elo’mu
rikkeng, adammu kuwa mattampako kilao, mallauka kiabbere, imolliko
kisawe, mauni anamming pattarommeng rekkuwa mateai wi kiteai toi
sa. Iya kiya, ammpirikking temmakare, dongirikkeng temmatippe,
musalipurikkeng temmadinging.
Rakyat menjawab:
Anda adalah angin, kami adalah daun pohon. Arah mana angin
bertiup, kami pergi bersama-sama dengan Anda. Keinginan
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
239
dan ketentuanmu berlaku atas kami. Titahmu kami laksanakan
jika Anda mengharapkan. Perintahlah kami, dan kami taat.
Jika Anda tidak suka anak-anak, istri (gundik) kami, kami pun
tidak menyukainya. Tapi, tolong Anda memimpin kami semua
aman dan damai. Anda peduli pada kemakmuran kami dan
melindungi kami dari segala bentuk kemiskinan dan kesakitan.
Raja membalas:
Ujujungi uparibottoulu Ada-adamu tomaega upatei ri pakka
pakka-ulaweng alebbrenna Ada-adamu, ri wettu mabbulo sipeppamu,
rima’elo’mu pancajia ‘arung.
Aku meletakkan dan menyimpan kata-katamu di atas kepala,
oh rakyatku, ketika kalian bersatu menjadikan ku raja kalian.
2. Acca na Warani (Kepintaran dan Keberanian). Ketika kita
menghadapi beberapa tantangan dan permasalahan, kita
membutuhkan aparat pemerintah dan pemimpin yang
memiliki kecerdasan dan keberanian untuk mengambil suatu
sikap agar bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
3. Temmapasilengeng (Keadilan) adalah sebuah nilai yang
harus diterapkan oleh seluruh aparatur pemerintah guna
memberikan layanan kepada masyarakat tanpa membedakan
satu dengan yang lainnya. Masyarakat akan simpati dan
secara tulus memberikan dukungan kepada pemimpin dan
pemerintah sehingga tujuan pembangunan dan pengelolaan
pemerintah akan tercapai dengan mudah.
4. Reso (Etos Kerja). Nilai ini terungkap dalam ungkapan
tradisional “resopa namatinulu naletei pammase dewata” yang
artinya hanya dengan kerja keras, kerajinan, dan ketekunan
akan mendapatkan rahmat dan dari yang Maha Kuasa. Dalam
kehidupan sosial yang penuh dengan kompetisi, kita perlu
meningkatkan nilai etos kerja sebagai motivasi dan semangat
rakyat untuk meningkatkan daya saing mereka.
Selanjutnya, pengaruh pemahaman Syiah (Persia) dalam konsep To
Manurung. Kepercayaan masyarakat Sulawesi, khususnya masyarakat
Bugis bahwa To Manurung adalah seorang pemimpin yang berasal
dari kerajaan bonting langiq (Kerajaan Langit) turun ke bumi untuk
menjadi raja di kerajaan bumi. Masyarakat Bugis sendiri mempercayai
bahwa ada dua periode Manurung: Episode pertama episode La
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
240
Galigo, turunnya Batara Guru ke bumi menjadi penguasa. Episode
ke dua yaitu episode lontaraq yaitu tujuh generasi dari To Manurung
pertama semuanya kembali ke Bonti Langiq dan Boriq Liu. Setelah itu
dunia menjadi kacau balau dan turunlah To Manurung Periode kedua
di beberapa daerah antara lain; Wajo, Pinrang, Bone, Soppeng, Luwuk,
Barru, Gowa, dan Toraja. Semua To Manurung tersebut turun dengan
perlengkapan kerajaannya masing masing untuk digunakan di bumi.
Dalam pandangan teologi Syiah ada konsep wilayah yang
wewenangnya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad dan Ahl al-Bayt
sebagai wakil Allah di muka bumi. Wilayah, diambil dari kata wila, yang
berarti kekuasaan, wewenang atau sebuah hak atas hal-hal tertentu.
Dalam teologi Syiah, wilayah memiliki empat dimensi: (1) Hak kecintaan
dan ketaqwaan (wilayah mahabbat). Hak ini menempatkan kaum Muslim
di bawah kewajiban untuk mencintai Ahlul Bait; (2) Wilayah dalam
bimbingan ruhani (wilayah imamat). Hak ini mencerminkan kekuasaan
dan wewenang Ahl al-Bayt untuk menuntun pengikutnya dalam urusanurusan
spiritual; (3) Wilayah dalam bimbingan sosial politik (wilayah
ziamat). Dimensi wilayah ini mencerminkan hak bahwa Ahl al-Bayt harus
menuntun kaum kaum Muslim dalam kehidupan sosial dan politik; dan
(4) Wilayah semesta (wilayah tasarruf). Dimensi wilayah ini mencerminkan
kekuasaan yang meliputi semesta raya yang menegaskan bahwa Nabi
Muhammad dan Ahl al-Bayt telah dianugerahkan oleh Allah.
Akan tetapi, kekuasaan itu harus dipahami dalam kerangka
kekuasaan yang tetap bersumber dari Tuhan. Kekuasaan yang tetap
pada ruang koridor dan seizin Tuhan untuk dipergunakan seperlunya
atas seluruh realitas. Suatu waktu muncul manusia suci yang datang
untuk menerangkan segala bentuk perselisihan yang terjadi di
dunia. Demikianlah pengaruh ajaran Syiah (Persia) meresap masuk
pada akar nilai kearifan budaya lokal tanpa harus menghilangkan
nama dari budaya lokal tersebut. Para pembawa ajaran Syiah lebih
cenderung menggunakan metode peleburan diri pada budaya lokal
daripada harus melakukan konfrontasi dengan budaya setempat.
Hal ini menyebabkan banyak orang tidak bisa mengenal dan melacak
jejak ajaran Syiah pada budaya lokal. Inilah yang disebut dengan cara
asimilasi kebudayaan yang tentu saja cara ini sangat humanis, cerdas,
sekaligus pragmatis: efi esen dan efektif untuk sebuah hubungan
humanosphere yang terpadu dan holistik.
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
241
Perayaan Maudu Lompoa Cikoang
Sebuah pusaka yang sangat berharga, peristiwa yang benar-benar
indah khusus untuk mengenang dan memperingati sang kekasih, nabi
penutup, Sayyidina Muhammad adalah Meringatan Maulid Nabi (Hari
Ulang Tahun Nabi Muhammad). Sebagian besar umat Islam akan
selalu merayakan kelahiran ini di bulan Rabiul Awwal, tetapi hanya
kaum Syiah (Persia) memberi penekanan khusus dengan melakukan
amalan-amalan tertentu di malam-malam bulan kelahiran ini dan
menyatakan kebahagiaan mereka.
Maulid atau Maulud merupakan kata Arab yang berarti lahir. Secara
harfi ah adalah festival tahunan yang dirayakan di banyak daerah Islam
dengan melakukan ritual makan dan mengucapkan doa-doa khusus
menceritakan kehidupan Nabi Muhammad. Untuk muslim Cikoang,
menurut Muhammad Adlin Sila (2001), Maulid Nabi dalam bahasa
lokal disebut Maudu Lompoa. Maudu Lompoa adalah sebuah pesta ritual
tahunan yang telah dilakukan pertama kalinya pada tanggal 8 Rabbiul-
Awwal 1041 Hijriyah (1620 AD). Maudu Lompoa ini pelopori oleh
Sayyid Jalaluddin bersama dengan I-Bunrang dan dirayakan di rumah
I-Bunrang.
Pada waktu itu, Sayyid Jalaluddin meminta bantuan I-Bunrang
untuk menyediakan puluhan liter beras, empat puluh ayam dan 120
telur ayam atau itik untuk empat puluh tamu. Jadi pada kesempatan
pertama ada empat puluh makanan dimasukkan ke dalam keranjang
bambu. Pada tahun berikutnya, pada 12 Rabi’ul Awwal 1042 Hijriyah
(1621 Masehi), jumlah peserta sangat meningkat. Setiap peserta yang
mewakili rumah tangganya karena itu diminta untuk mempersiapkan
Kanre Maudu yang dikenal sebagai Maudu’ Caddi di bawah bimbingan
anrongguru sendiri (spesialis agama). Kanre Maudu terdiri dari empat
liter beras, satu ayam, satu kelapa, dan setidaknya satu telur untuk
setiap anggota keluarga rumah tangga.
Festival maudu terdiri dari dua tahap. Pertama, Maudu Caddi, di
mana setiap rumah tangga membuat Kanre Maudu di rumah mereka
sendiri, dan kedua sebagai Maudu Lompoa, hidangan ritual di mana
Kanre Maudu disiapkan oleh setiap rumah tangga dari klan al-Aidid
berkumpul di tepi muara Sungai Cikoang.
Ada beberapa perahu kecil yang digunakan untuk Maudu Lompoa,
yang dalam bahasa lokalnya disebut Julung-julung (secara harfi ah
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
242
berarti dua perahu buatan kecil yang sepasang) di mana Kanre Maudu
ditempatkan secara kolektif. Julung-julung ini kemudian ditempatkan
di atas perahu. Jumlah julung-julung menunjukkan jumlah pasangan
dalam keluarga Sayyid dilakukan sepanjang tahun. Jadi, julung-julung
juga disebut Bunting Beru (secara harfi ah berarti pasangan yang baru
menikah). Alasan agama untuk menggunakan perahu dalam ritual itu,
mengutip Nabi Muhammad yang menyatakan “Perumpamaan Ahlul
Baitku, seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya
ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam,” (H.R.
Thabrani).
Bubur Sembilan atau Tujuh Warna
Asyura adalah hari ke-10 di bulan Muharram dalam kalender
Islam. Pada Asyura di tahun 680, Imam Husein, cucu Nabi Muhammad
terbunuh selama pertempuran Karbala-Irak, yang menentang Yazid bin
Mu’awiyah, sebagai khalifah Kaum Muslim pada waktu itu. Kematian
Husein, bagi kaum Syiah (Persia) adalah sebuah peristiwa yang tidak
terbatas pada waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, terwujud pada
setiap masyarakat yang menganggap dirinya tertindas, dianiaya atau
dipermalukan.
Pada hari-hari awal Revolusi Islam Iran tahun 1979, kemudian
berlanjut selama perang Iran-Irak slogan yang sering terbaca di jalanjalan
seantero Iran, “Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah
Karbala, dan setiap bulan adalah Muharram.” Setiap tahun pada
tanggal sepuluh bulan Muharram, sebagai hari raya Asyura, semua
penduduk kota di Iran berkumpul di bawah tenda di tempat yang luas,
dan selama tiga hari tiga malam memasak ribuan piring Asyura, untuk
mengenang para syuhada Karbala. Piring ini didistribusikan dengan
gula-serbat, yang dibuat bentuk bundar di vas kristal, cangkir cornelian
dan pirus, pada saat yang sama membaca ayat-ayat tertentu, seperti
“Tuhan mereka memberi minuman paling suci” (Alquran, 76:21).
Pada hari istimewa ini sebagian masyarakat muslim di Sulawesi
akan memasak bubur khusus yang dikenal sebagai ‘bubur asyura’
untuk diberikan terutama kepada yang miskin dan membutuhkan.
Di Sulawesi, bubur asyura ini biasanya dimasak dalam panci besar
di rumah tokoh masyarakat yang paling berpengaruh, masjid, dan
mushallah dengan upaya bersama warga masyarakat. Kemudian bubur
tersebut dibagi pada setiap rumah tangga. Orang miskin, anak yatim,
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
243
dan gelandangan akan mendapat perhatian khusus mendapatkan
pembagian bubur itu. Kebiasaan seperti ini sudah tidak popular lagi
sekarang ini. Hanya sebagaian kecil masyarakat yang ada di suku
Bugis, Makasar, dan Mandar melakukannya. Beberapa kota yang
masih kita temukan melakukanya di antaranya; Maros, Luwuk, Bone,
Wajo, Takalar, dan juga beberapa daerah di Tanah Mandar. Sebagian
besar orang Mandar, menganggap bulan Muharram dan bulan Syafar
sebagai bulan makarra’, bulan yang mengandung bahaya atau berkaitan
dengan hal-hal mistis yang harus diwaspadai. Di bulan ini anak-anak
dilarang memanjat pohon, bermain benda-benda tajam, dan harus lebih
cepat pulang ke rumah di waktu petang. Bahkan ada lagu anak-anak
yang menyebutkan bahwa bulan Syafar adalah bulan di mana anakanak
tidak boleh memanjat, khususnya bagi anak-anak perempuan.
Selain itu, hari tertentu dalam dua bulan itu dianggap sebagai waktu
yang tidak baik untuk melakukan perkawinan, mendirikan rumah,
sunatan, dan lain-lain. Akan tetapi, pada umumnya masyarakat
muslim yang memahami secara terbalik dengan latar sejarah bulan
Muharram, sehingga penyambutan dan sikap yang ditunjukkan jika
bukan sikap mengabaikan begitu saja atau sikap kegembiraan yang
dipandang mendatangkan rezeki. Oleh karena itu, masyarakat muslim
pada awal muharram yang mau menyambutnya akan beramai-ramai
ke pasar untuk membeli alat-alat yang umumnya perabotan dapur,
seperti; panci, wajan, sendok, dan lain-lain.
Oleh karena itu, wajar bila di Polewali-Mandar misalnya, keluarga
muslim akan melakukan yang dikenal dengan marroma Muharram.
Sebuah kenduri sederhana dengan suguhan sokkolo (nasi ketan), loka
tira’ (pisang raja) dan segelas air putih. Sang suami membacakan
doa selamat. Di Lemosusu Tinambung, setiap malam 1 Muharram,
masyarakatnya mempunyai tradisi yang lebih unik. Mereka membawa
aneka makanan ke masjid Miftahul Ihsan, melakukan pembacaan
barzanji selepas shalat Isya, lalu bersama-sama menikmati hidangan
yang mereka bawa sendiri. Tradisi ini pada tahun 1988 masih bisa
disaksikan.
Perayaan Muharram juga biasa dilakukan di Masjid Imam Lapeo-
Campalagian. Di Masjid Imam Lapeo biasanya malam 1 Muharram
diisi dengan ceramah dan pengajian. Masyarakat Mandar, lebih
umum melakukan ritual Muharram pada malam Asyura atau malam
10 Muharram. Malam ini dianggap lebih khusus dan lebih keramat.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
244
Sebagian kecil masyarakat juga percaya bahwa siang harinya bagus
digunakan untuk berbelanja, khususnya benda-benda sifatnya
perhiasan (emas) atau benda benda tajam. Pada malam 10 Muharram,
sebagian besar masyarakat Mandar akan membuat ule-ule’ (bubur)
yang terbuat dari minimal tujuh macam bahan makanan ditambah
santan dan gula merah. Akan lebih baik jika bahan makanan itu terdiri
dari sepuluh macam atau lebih. Bahan makanan yang paling sering
digunakan adalah beras ketan putih, ketan hitam, ketan merah, kacang
hijau, kacang putih, wijen, pisang, ubi jalar, labu, dan jagung. Jika
mau diperbanyak bahannya, bisa ditambahkan pula dengan bahan
makanan dari biji-bijian lainnya. Setelah masak, bubur itu dituangkan
ke dalam tujuh gelas. Bersama dengan sajian lainnya, yang paling
utama adalah nasi ketan, air putih dan pisang raja, bubur tujuh rupa
atau sepuluh rupa itu dihidangkan di atas nampan besar. Disertai
asap dari kemenyan yang dibakar, kepala keluarga atau sesepuh yang
dipanggil akan membacakan doa selamat. Setelah ritual ini selesai,
barulah bubur di dalam tujuh gelas itu bisa dimakan. Pada siang hari
tanggal 10 Muharram, sebagaimana masyarakat Muslim lain yang
mempercayainya, masyarakat Mandar juga melakukan puasa Asyura.
Dengan berkembangnya pemikiran keagamaan di masyarakat
Mandar dan masuknya berbagai madzhab pemikiran Islam di daerah
ini, muncul berbagai tanggapan terhadap tradisi Mandar di dalam
menyambut 1 Muharram dan ritual 10 Muharram. Seperti yang
disebutkan di atas, masyarakat Lemosusu telah mengalami perubahan
tradisi dengan menambahkan ritual shalat sunnat 1 Muharram.
Persentuhan masyarakat di daerah ini dengan tarekat Khalwatiyah telah
mengayakan tradisi mereka. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
tradisi masyarakat Mandar dalam menyambut tahun baru Islam dan
merayakan hari Asyura juga mengalami perubahan. Akan tetapi, tentu
lain dengan tradisi masyarakat yang tidak memiliki “pembenaran”
di dalam ajaran Islam. Sejak dulu, Muhammadiyah yang berusaha
menghancurkan bid‘ah sampai ke akar-akarnya, sudah menentang
tradisi bubur tujuh atau sepuluh rupa di malam 10 Muharram itu.
Tapi tradisi ini masih hidup sampai saat ini walaupun sudah mulai
dilupakan oleh generasi muda. Salah satu keluarga di Lemosusu, ketika
anak-anaknya merayakan 1 dan 10 Muharram di masjid, hanya orang
tua dari keluarga itu yang mempertahankan tradisi bubur tujuh rupa.
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
245
Dua Belas Anggota Bissu di Wajo
Secara tradisional, keyakinan dua belas (12) Imam bagi muslim
Persia (Syiah) menganggap Ali dan sebelas para imam berikutnya tidak
hanya membimbing umat manusia pada nilai-nilai dan ajaran agama
yang benar, tetapi juga berhak atas kepemimpinan politik, berdasarkan
sebuah hadist penting Nabi Muhammad.
Kaum Muslim, di dalam kitab Shahih, telah sepakat (ijma’) bahwa
Rasulullah. telah menyebutkan bahwa jumlah khalifah sesudahnya
sebanyak 12 orang, sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari
dan ShahihMuslim. Bukhari di dalam shahihnya, pada awal Kitab Al-
Ahkam, bab Al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz
IV, hlm. 144; dan di akhir Kitab Al-Ahkam, hlm. 153, sedangkan dalam
Shahih Muslim disebutkan di awal Kitab Al-Imarah, juz II, hlm. 79. Hal
itu juga disepakati oleh Ashhab al-Shahhah dan Ashhab al-Sunan,
bahwasanya diriwayatkan dari Rasulullah, “Agama masih tetap akan
tegak sampai datangnya hari kiamat dan mereka dipimpin oleh 12
orang khalifah, semuanya dari Quraisy.” Diriwayatkan dari Jabir bin
Samrah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Setelahku
akan datang 12 Amir.” Lalu Rasulullah mengatakan sesuatu yang tidak
pernah aku dengar. Beliau bersabda, “Ayahku semuanya dari Quraisy.”
Ringkasnya, seluruh umat Islam sepakat bahwa Rasulullah membatasi
jumlah para Imam setelahnya sebanyak 12 Imam; jumlah mereka sama
dengan jumlah Nuqaba bani lsrail; jumlah mereka juga sama dengan
jumlah Hawari Isa. Dalam Alquran ada sejumlah ayat yang mendukung
jumlah 12 di atas. Kata Imam dan berbagai bentuk turunannya
disebutkan sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah Imam kaum Kaum
Muslim yang dibatasi Nabi Muhammad. Kata tersebut terdapat pada
ayat-ayat berikut: Al-Baqarah: 124, Hud: 17, Al-Furqan: 74, Al-Ahqaf:
12, Al-Hijr: 79, Yasin: 12, AI-Isra: 17, At-Taubah: 12, Al-Anbiya: 73, Al-
Qashash: 5 dan 41, dan As-Sajadah: 24.
Setelah melakukan Revolusi Islam di Iran Ayatullah Ruhollah
Khomeini dan pendukungnya mendirikan teori baru pemerintahan
untuk Republik Islam Iran. Konsep itu didasarkan pada teori Khomeini
tentang perwalian ahli hukum Islam yang merupakan ekstensi dari
konsepsi Imamah pewaris Nabi Muhammad. Dalam sejarah awal
pembentukan masyarakat Bugis terdapat Bissu yang punya peran
sangat kuat dan penting.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
246
Dikisahkan bahwa Batara Guru ketika turun ke bumi dari ‘Dunia
Atas’ (Boting langik) bertemu dengan We Nyili Timo yang berasal dari
‘Dunia Bawah” (Borikliung) yang kemudian menjadi permaisurinya.
Batara Guru yang mendapat tugas dari Dewata mengatur bumi
rupanya tidak mempunyai kemampuan manajerial yang handal,
karenanya diperlukan Bissu dari Botinglangik untuk mengatur segala
sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka
terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi
mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat, dan semua hal yang
diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi. Melalui perantara
Bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para
dewata yang bersemayam di langit.
Di sini kita tidak membahas masalah kontraversi Bissu berkenaan
gendernya dari sudut pandang Islam. Akan tetapi, perlu diingatkan
bahwa metode asimilasi yang ditempuh oleh para ulama Syiah
lebih mengedepankan penanaman nilai-nilai ajaran Syiah pada
setiap bentuk kebudayaan yang ada pada masyarakat setempat dari
pada harus bersitegang untuk menghilangkannya. Walhasil, nyaris
semua suku di Sulawesi menerima bahwa Bissu bagian dari sejarah
masyarakatnya. Akan tetapi, anehnya ada perbedaan jumlah anggota
Bissu di setiap daerah; di Bone 40 orang, Soppeng 8 orang, Pangkep
22 orang, dan Wajo 12 orang. Hal ini bukanlah suatu kebetulan jika
Wajo yang merupakan tempat pusat pengajaran Sayyid Jamaluddin
al-Huseini ataupun pengikutnya menanamkan pengaruh jumlah
sebagaimana jumlah khalifah setelah Rasulullah dalam pemahaman
Syiah Persia.
Dalam struktur budaya Bugis, peran Bissu tergolong istimewa
karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya
operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara
ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit (Basa
Torilangi) karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur
lisan sastra Bugis Kuno: Sure’ La Galigo. Apabila Sure’ ini hendak
dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya,
orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar
kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu
mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa
yang namanya akan disebut dalam pembacaan Sure’ itu. Bissu juga
berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
247
upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan (Indo’ Botting), kematian,
pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.
Dari Sure La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba
suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap
sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek
moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo,
sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan
dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’
bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya;
We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti
mandraguna tetapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk
membuat kapal raksasa. Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil
dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya;
lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa.
Dengan posisi dan peran sentral Bissu yang demikian besarnya
maka secara antropologis akan membawa sebuah pemahaman pada
masyarakat bahwa secara sosiologis dalam bangunan masyarakat
meniscayakan sebuah struktur manusia dengan kualitas yang
sedemikian sempurna. Dalam konsep teologis ajaran Syiah disebut
dengan hak wilayah yang diberikan pada Ahl al-Bayt Nabi Muhammad.
Assikalaibineng (Etika Hubungan Intim)
Assikalaibineng dalam tradisi muslim Sulawesi tidak hanya untuk
melepaskan libido sepasang suami istri, tetapi hubungan intim dari
pasangan yang menikah secara esensial adalah simbolis kegiatan
keagamaan atas nama Imam Ali dan bunda Fatimah Az-Zahra. Makna
simbolik religiositas ini adalah memberikan semangat yang sakral
untuk hubungan suami istri sehingga pasangan suami-istri mengikuti
dan mematuhi aturan dan etika yang dilakukan oleh keluarga terpuji
Imam Ali dan Fatimah Az- Zahra
Hubungan intim akan menjadi lebih mulia dan terhormat jika
pasangan suami-istri melakukannya memiliki semangat dan prinsip
Islam sebagaimana Imam Ali dan Fatimah Az- Zahra. Oleh karena itu,
tradisi masyarakat muslim Sulawesi sebelum melakukan hubungan
intim yang untuk pertama kalinya, maka sebaiknya lebih awal harus
melakukan yang disebut Nikah Bathin. Mengenai aturan pernikahan
bathin sebagai berikut:
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
248
… Naiya bunge sitako makkunraimmu tapakkoro’ko riyolo/
Mupakkitai mata atimmu ita alemu Alepu/Muita lapaleng Baaku
makkunraimmu/Muinappa kkarawai limanna makkedae
muberesellenggi/Assalamu alaikum aku y-Ali makkarawa
Fathimah rikarawa/Narekko muwarekkenni limanna sahadae
powadani/Asyadu ilaaha Allaa illaahu wa asyhadu anna
Muhammad Rasulullah/Nakkedana atimmu Ajiberaele panikaka
Muhamma walliya Uwallie sabbiya pangelorenna Alla Taala
Kumpayakung/Muinappa ppalani Pabbaummu cule-culemu
iyamaneng/Makkonitu tarette’na riasengnge pakena parellu
gauku Ali na Patima.
… Jika Anda ingin melakukan hubungan seksual untuk pertama
kalinya dengan istri Anda, harus melakukan kontemplasi
sebelumnya. Lihatlah bagian dalam diri Anda sebagai Alif dan
melihat istri Anda sebagai Ba. Kemudian genggaman tangannya,
lalu katakan salam, “Assalamu alaikum, Ali memegang, Fatimah
digenggam.” Jika Anda pegang tangan istri Anda, katakan,
“Asyhadu Allaa ilaaha illaahu wa asyhadu anna Muhammad
Rasulullah” Katakanlah dalam hatimu, “Malaikat Jibril yang
menikahkan saya pada istri saya, Muhammad adalah wali saya,
semua orang suci saksi saya untuk kehendak Allah. Kunfayakum
(Jadilah, maka jadi-lah). Lalu berikan ciuman kepada istri Anda,
termasuk segala macam permainan Anda. Itu adalah aturan wajib
milik perilaku Ali dan Fatimah.
Artefak
Arsitektur Masjid Agung/Raya di Sulawesi dahulu kala pada
umumnya memiliki dua pintu utama dengan dua belas Jendela.
Sebagaimana sebelumnya bahwa angka 12 jumlah jendela masjid
tidak mungkin hadir begitu saja kalau sekirannya tak ada pengertian
dan pemahaman tertentu tentangnya. Angka 12 itu punya makna
khusus dalam arsitektur bangunan masjid. Dua gerbang utama berarti
dua pintu keselamatan. Menurut ajaran Syiah, sebagaimana Sayyid
Jamaluddin Husein al-Kubra percaya bahwa Nabi Muhammad berkata,
“Sesungguhnya Aku meninggalkan dua hal yang berharga (thaqalayn)
di antara kamu: Kitab Allah dan keluarga Saya (Ahl al-Bayt-ku), kedua
tidak akan pernah terpisah sampai mereka kembali kepada saya di
telaga al-Kausar pada hari kiamat (Hadist-Tsaqalain).”
Sementara arti dari 12 jendela juga didasarkan pada sabda
Nabi Muhammad. Dikisahkan Jabir bin Samurra: Saya mendengar
Muhammad berkata, «Akan ada dua belas penguasa Muslim.» Dia
kemudian berkata, “Saya tidak mendengar.” Ayahku berkata, “Semua
mereka (orang-orang penguasa) dari Quraisy.” Itulah sebabnya kami
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
249
percaya bahwa Nabi tidak hanya menunjuk penggantinya bahkan
menyebut nama semua imam berikutnya.
Ada sejumlah hadist yang menetapkan 12 nama Imam yang
pertama Ali bin Abu Thalib dan yang terakhir yang dijanjikan Mahdi.
Dalam hadist tertentu lainnya nama semua 12 khalifah telah tegas
disebutkan, yaitu: (1)Amir Imam Ali al-Mu’minin; (2) Imam Hasan; (3)
Imam Husein, (4)Imam Zain al-Abidin; (5) Imam Muhammad al-Baqir;
(6)Imam Ja’far as-Shadiq; (7)Imam Musa Al-Kazim; (8) Imam Ali ar-
Reza; (9) Imam Muhammad at-Taqi; (10) Imam Ali an-Naqi; (11) Imam
Hasan al-Askari; dan (12) Imam Muhammad al-Mahdi.
Kesimpulan
Asimilasi budaya Syiah Persia dengan suku-suku di Sulawesi
tidak bisa disangkal. Ada banyak bukti yang menunjukkan ketegasan
pengaruh itu. Di antaranya bisa melalui pintu tasawwuf, fi lasfat, tradisi,
dan budaya agama seperti; Maulid, Asyura, Barazanji dan sebagainya.
Sepanjang pembahasan, kita dapat membuat kesimpulan bahwa
budaya Islam pertama yang datang di Sulawesi adalah budaya Syiah
Persia dibanding warna Islam lainnya seperti Arab atau Gujarat. Hal
ini dapat ditandai dengan kedatangan ulama besar Persia di Sulawesi
yaitu Sayyid Jamaludin Huseinal-Kubra, sekitar 300 tahun lebih
awal dari Datuk Ribandang, Datuk Patimang, dan Datuk Ditiro yang
disebut sebagai penyebar Islam di Sulawesi Selatan. Metode yang
digunakan oleh Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra memperkenalkan
budayaatau ajaran Syiah Persia pada masyarakat dan suku-suku di
Sulawesi adalah mengembangkan budaya lokal dengan menyisipkan
sebuah keyakinan baru berupa keyakinan tauhid yang lebih baik dan
lebih mencerahkan serta perilaku atau upacara keagamaan yang dapat
menjadi alat untuk mengenal keyakinan tauhid itu.[]
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
250
Daftar Pustaka
Al-Fathani, Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa, 1992.
Hadiqat Al-Azahar wa Rayhan (Kuala Lumpur: Khazanah
Fathaniyah).
Amin, Enci, 2008. Syair Perang Mengkasar (Makasar-Jakarta: KITLV).
Anwar, Hukma, Rahman (Penyunting), 2003 “La Galigo: Menelusuri
Jejak Warisan Sastra Dunia” Makasar: Pusat Studi La Galigo
Divisi Ilmu Ilmu Sosial dan Humaniora Pusat Kegiatan
Penelitian Universitas Hasanuddin dengan Pemerintah
Kabupaten Barru.
Ariyanto, Triawan, 2008. Jadi, Kau Tak Merasa Bersalah!? Studi kasus:
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap LGBTI (Jakarta: Arus
Pelangi & Yayasan Tifa).
Bruinessen, Martin Van, 1991. Kitab Kuning dan Pesantren (Bandung:
Mizan).
Busro, Mustari, 2008. Tuang Guru, Anrong Guru dan Daeng Guru: Gerakan
Islam di Sulawesi Selatan 1914-1942 (Makasar: La Galigo Press).
Chittick, William C., 1994. Imaginal Worlds: Ibn Al-Arabi and the Problem
of Religious Diversity (Alban: State University of New York
Press).
Christian, Pelras. 2005. Manusia Bugis (Jakarta: Nalar dan ForumJakarta-
Paris, EFEO).
Graaf, H.J. de dan Pigued, TH, 2003. Kerajaan Islam pertama di Jawa
Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (Jakarta: Pustaka
Utama Grafi tti).
Graham, Sharyn Graham, 2002. “Sex, Gender and Priest in South
Sulawesi” (Netherland: IIAS Newsletter).
Kambie, A S., 2003. Akar Kenabian Sawerigading (Makasar: ParaSufi a).
Kennedy, M., 1993. Clothing, Gender, and Ritual Transvetism: The Bissu of
Sulawesi dalam The Journal of Men’s Studies, 2 (1): 1-3.
Mattulada, 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis. (Ujungpandang: Hasanuddin University Press).
Muhlis, Hadrawi, 2008. Assikalaibineng; Kitab Persetubuhan Bugis
(Makasar: Ininnawa).
Muthahhari, Murtadha, 2002. Manusia dan Alam Semesta (Jakarta:
Lentera).
Nasr, Seyyed Hossein, 1998. The Alquranic Commentaries of Mulla Sadra’
in Being and Consciousness: Studies in Memory of Toshihiko
JEJAK PENGARUH SYIAH (PERSIA) DI SULAWESI:
STUDI KASUS SUKU BUGIS, MAKASAR DAN MANDAR
251
Izutsu S. J. Ashtiyani, H. Matsubara, T. Iwami, A. Matsumoto
(Penyunting) (Tokyo: Iwanami Shoten Publishers).
Patunru, Abd. Razak Daeng, 1993. Sejarah Gowa, 1993 (Ujung Pandang:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan).
Purwoko, Herudjati, 2003. Tiga Wajah Budaya: Rekayasa, Tingkah laku,
Artefak (Semarang: Masscom Media).
Tjandrasasmita, Uka, 2006. Ziarah Masjid dan Makam (Jakarta:
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata).
Shahbazi, Shapur, 1991. Ferdowsi: A Critical Biography (Tehran: Mazda
Publishers).
Digital Islamic Library Project. 2007. Antologi Islam (Jakarta: Al-Huda).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
252
253
Perayaan Asyura di Sulawesi
254
Salah satu tempat mandi peserta ma’atenu
(Foto : Y.Z. Rumahuru, Mei 2009)
Peserta ma’atenu makan di keramat
(Foto : Y.Z. Rumahuru, Mei 2009)
255
KEBUDAYAAN DAN TRADISI
SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS
MUSLIM HATUHAHA
Yance Zadrak Rumahuru216
Pengantar Sudah lama diidentifi kasi bahwa praktek-praktek religius
kelompok Syiah dan Sunni diposisikan sebagai pihak-pihak
yang berlawanan dalam praktek keagamaan Islam, sesuatu yang
tentunya tidak dijumpai di masa Nabi Muhammad. Di Indonesia,
pemerintah melalui Kementerian Agama telah menyatakan bahwa Islam
yang dianut orang Indonesia adalah Ahlas-Sunnah wa al-Jam’aahatau
singkatnya, Sunni. Hal itu didasari oleh beberapa alasan. Pertama,
fakta bahwa dari segi kuantitas, total penganut Sunni Indonesia lebih
besar daripada penganut Syiah. Kedua, para peneliti sejarah langsung
mengaitkan sejarah Islam Indonesia dengan kaum Sunni. Lagipula,
ada usaha sistematis dari Pemerintah Indonesia, khususnya selama
era Orde Baru, untuk mengintegrasikan unsur-unsur yang beragam
atau berbeda yang dianggap berpotensi mengancam harmoni dan
kesatuan bangsa. Karena itu, menurut saya, generalisasi komunitas
Islam Indonesia sebagai Sunni sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari
strategi politik integrasi dalam sektor agama, yang sebenarnya kurang
masuk akal untuk masa kini, karena ada agama-agama dan tradisitradisi
keagamaan yang beragam di kalangan komunitas.
216 Dosen di Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
256
Mempelajari komunita Syiah yang tersebar di Indonesia sangat
penting mengingat: pertama, pendirian historis Islam di berbagai
wilayah sangat dipengaruhi oleh komunitas Syiah. Kedua, mencermati
praktek-praktek tradisional religius sebagian besar komunitas Muslim
Indonesia, dapat dikenali secara jelas eksistensi ajaran-ajaran Syiah.
Ketiga, mengikuti kecenderungan makro atau global perkembangan
Islam, khususnya setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 pimpinan
Ayatollah Ruhollah Khomeini, orang mulai mengamati dan ingin
mengetahui lebih banyak lagi tentang pemikiran Syiah. Pemikiran para
pemimpin Syiah seperti Imam Khomeini, Ali Shariati, Syed Hossein
Nasr dan Murtada Mutahhari telah memunculkan minat yang lebih
besar, teristimewa di kalangan muda Muslim baik dari komunitas
Syiah maupun Sunni di seluruh dunia.217
Wacana mengenai para pemikir Syiah sudah mulai didiskusikan
secara luas di Indonesia sejak awal 2000-an. Sejumlah universitas
sekuler dan yang berbasis-iman menyelenggarakan diskusi dan
seminar untuk membahas pemikiran para pemimpin Muslim berlatar
belakang Syiah. Center for Religious and Cross Cultural Studies
(CRCS) di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
pada 2004 atau 2005, ketika saya sedang menjalani program master,
juga menyelenggarakan diskusi dan seminar sehari mengenai Murtada
Mutahhari yang dihadiri dengan bersemangat oleh para mahasiswa
prasarjana dan tingkat sarjana dari berbagai perguruan tinggi yang ada
di dalam dan di luar Yogyakarta.
Di sini, saya akan menunjukkan bagaimana kebudayaan Syiah
mempengaruhi praktek-pratek keagamaan Muslim di Maluku.
Makalah ini ditulis berdasarkan riset lapangan mengenai Islam di
217 Ada tiga faktor penyebab mengapa orang muda Islam tertarik kepada ajaran-ajaran dan
pemikiran-pemikiran Syiah, antara lain: pertama, mereka melihat Syiah sebagai suatu ajaran
yang mengandung poin-poin yang masuk akal. Orang muda sering melakukan eksperimen
dengan menggunakan keahlian penalaran, dan pada titik ini, ditemukan arena diskusi.
Penggunaan keahlian penalaran oleh komunitas Syiah untuk mengenali sisi buruk atau baik
dari sesuatu dianggap orang muda sebagai hal realistis yang perlu diikuti; kedua, mereka
mengenali isu kepemimpinan di Syiah, yang menghendaki kriteria khusus dari sang pemimpin
(imam) yang didasarkan pada kecakapan intelektual, terlihat dari karya-karya mereka, dan
mereka dianggap lebih menarik dan lebih cocok dengan semangat demokratis dan lebih
menghargai hak-hak manusia sebagai simbol negara modern; dan ketiga, mereka mengenali
spiritualisme di dalam Syiah sebagai alternatif untuk mengatasi tekanan kehidupan, sesuai
dengan aneka masalah kehidupan yang terus menerpa era modern. Lihat M. Hamdan Basyar,
“Bila Syi‘ah di Indonesia Berpolitik” dalam Syiar, edisi Muharram 1423 H, No.12.
KEBUDAYAAN DAN TRADISI SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA
257
Maluku Tengah yang saya laksanakan pada 2009-2011. Berfokus
pada Komunitas Muslim Hatuhaha (KMH)218 di Pulau Haruku,
Maluku Tengah, ditemukan bahwa praktek-praktek religius Islam di
wilayah ini didominasi oleh kebudayaan Syiah. Sesungguhnya, secara
historis komunitas Muslim di Maluku Tengah telah mengakui bahwa
nenek moyang mereka adalah Syiah, meskipun sekarang ini mereka
digolongkan sebagai Sunni. Hal ini terjadi sejak era orangtua mereka,
setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945. Selain KMH di Pulau
Haruku, khususnya di negeri Rohomoni, Kabauw dan Pelauw yang
masih menganut tradisi Syiah, praktek-praktek religius berbasis Syiah
masih ditemukan di kalangan komunitas Muslim yang lebih tua di
Pulau Ambon dan Pulau Seram. Hal ini dapat dikenali dengan jelas
dari ritual-ritual mereka yang yang dilaksanakan secara harian dan
juga musiman.
Keberadaan praktek-praktek ritual itu adalah wilayah yang
bagus untuk memahami eksistensi kelompok komunitas Syiah di
wilayah individual. Hal ini karena melalui pelaksanaan ritual, mereka
mampu mengkomunikasikan dan mencerminkan keberadaan mereka,
atau saya lebih senang menyebut hal itu sebagai media konstruksi
dan reproduksi identitas.219 Ritual sebagai suatu medium untuk
konstruksi dan reproduksi identitas memberi informasi mengenai
hal-hal menyangkut kehidupan sosial komunitas atau para individu.
Dalam kasus ini, pelaksanaan ritual menyajikan aneka unsur,
termasuk peristiwa-peristiwa masa lampau yang diberi makna yang
baru (Rumahuru 2012: 99). Konsisten dengan pemikiran ini, untuk
memahami tradisi-tradisi budaya dan religius kelompok Syiah di
Maluku, saya mempelajari dua ritual musiman KMH di Pulau Haruku,
Maluku Tengah.
218 Istilah Komunitas Muslim Hatuhaha, yang mulai dari sekarang disingkat sebagai KMH digunakan
dalam makah ini, mengikuti konstruksi komunitas lokal, dan juga membedakannya dari
komunitas-komunitas Muslim lokal di Maluku Tengah dan komunitas-komunitas yang ada di
Maluku, juga komunitas yang berasal dari Maluku dan komunitas yang berasal dari berbagai
tempat lain di Indonesia atau di luar Indonesia, sekarang ini juga hidup hidup bercampur dengan
komunitas-komunitas lokal di negeri-negeri Muslim Maluku.
219 Konstruksi identitas dan reproduksi identitas didefi nisikan sebagai bentuk-bentuk identifi kasidiri
dan-kelompok dan signifi kansi di dalam suatu ruang sosial yang tersedia untuk menentukan
eksistensi-diri atau-kelompok dari para individu atau kelompok lain (Rumahuru 2012: 99)
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
258
Kebudayaan dan Tradisi Keagamaan Syiah di Maluku Utara
Sebelum melihat tradisi-tradisi budaya dan religius Syiah di
Maluku Tengah, perlu disajikan secara singkat pendirian historis
Islam di Maluku Tengah. Penelitian saya mengenai Islam di Maluku
Tengah menemukan bahwa pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, para
pedagang Cina dan Arab220 mengunjungi Maluku Tengah yang sangat
sibuk. Agama para pedagang Cina tidak diketahui; akan tetapi,
pedagang Arab jelas beragama Islam. Mengacu kepada pendapat yang
mempertimbangkan bahwa Islam telah memasuki wilayah-wilayah
tertentu jika ada seorang atau lebih Muslim asing di wilayah itu, maka
Islam telah memasuki Maluku Tengah sejak abad ke-8 atau ke-9 Masehi
meskipun ia baru terlembaga pada abad-abad berikutnya. Masuknya
Islam ke Maluku Tengah dan Maluku Utara dikenali dari pelayaran
lada (cengkeh dan pala) dan perdagangan di wilayah timur. Cengkeh
dan pala adalah salah satu komoditi niaga yang menguntungkan dan
bernilai-tinggi semasa abad ke-7-17 Masehi dan memotivasi bangsabangsa
di dunia untuk mencari produsennya. Diketahui bahwa
Kepulauan Maluku menghasilkan cengkeh dan pala yang bermutu
tinggi; karena itu, para pedagang dari planet ini mencari jalan menuju
Kepulauan Maluku (Tjandrasasmita 1971).
Putuhena, yang mempelajari Islam di Ternate, menemukan
bahwa masuknya Islam ke Ternate (Maluku Utara) dilakukan oleh
empat Syaikh Irak, yaitu. Syaikh Mansur, Syaikh Ya’cub, Syaikh
Amin and Syaikh Omar. Para Syaikh itu meninggalkan Irak karena
pergolakan politik melanda negeri mereka. Empat orang asing Syiah
itu kemudian menyebarkan Islam di Ternate, Halmahera, Tidore dan
Makian. Putuhena berasumsi bahwa keempat syaikh itu adalah orang
Muslim pertama yang tiba di Maluku Utara. Kedatangan keempat
syaikh dikaitkan dengan pergolakan politik Irak, yaitu jatuhnya dinasti
Bani Abbasid pada 1258 Masehi atau pertengahan abad ketiga belas
(Putuhena 1997: 75-76). Temuan Putuhena lebih mengukuhkan bahwa
Islam yang tiba dan berkembang di Maluku berasal dari komunitas
Syiah.
Dalam konteks KMH di Maluku Tengah, ditemukan bahwa
komunitas itu mempunyai kisah sendiri mengenai agama yang kini
220 Para pedagang Arab sebagaimana disebut para penduduk lokal sebenarnya mengacu kepada
orang Arab, Persia dan orang Muslim lainnya yang berasal dari luar Nusantara (Indonesia)
yang berdagang dan kemudian menyebarkan Islam..
KEBUDAYAAN DAN TRADISI SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA
259
Makanan yang disajikan pada ritual Aroha
(foto: Y.Z. Rumahuru, 2011)
Mesjid tua di Pelauw, digunakan oleh kelompok Islam adat
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
260
Mesjid Orang Hulaliuw, satu kampung Islam yang dikristenkan
pada masa Portugis. Mesjid ini dibangun di sebelah selatan mesjid
Hatuhaha di Negeri Rohomoni dan Menjadi situs sejarah hubungan
persekutuan Ama Rima Hatuhaha
(foto : Y.Z. Rumahuru, 2009)
KEBUDAYAAN DAN TRADISI SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA
261
mereka anut. Para informan di negeri Pelauw, Rohomoni, dan Kailolo
sama-sama sepakat bahwa ketika para leluhur mereka pindah dari
Kepulauan Seram ke Kepulauan Haruku, mereka telah menganut
Islam. Tidak diketahui pasti, kapan leluluhur mereka mulai berserak
dari Kepuluan Seram ke Haruku; tetapi, diduga keras bahwa Islam telah
tersebar di Maluku Tengah sejak abad kesembilan Masehi, meskipun
Islam terlembaga secara formal sebagai agama resmi banyak negeri
di Maluku Tengah, baru pada abad-abad berikutnya. Secara ekstrim,
dikatakan bahwa para leluhur Hatuhaha telah menganut Islam sejak
Nabi Muhammad dan para sahabatnya masih hidup. Sesungguhnya,
mereka menganggap bahwa para sahabat Nabi Muhammad lah yang
mengajarkan agama Islam kepada mereka. Tidak heran, sebagian besar
orang Uli Hatuhaha mengklaim bahwa mereka adalah komunitas
Muslim tertua di Maluku Tengah, dan bahkan di Maluku. Akan
tetapi, mereka tidak ingin hal ini diketahui secara publik. Berikut ini
adalah pernyataan informan mengenai kehadiran Islam di Hatuhaha
Kepuluan Haruku:
[K]hususnya di daerah Hatuhaha ini sudah ada Islam dari abadabad
awal Masehi. Waktu katong pung orang tua-tua dari pulau
Seram dong su (mereka sudah memeluk) Islam. Jadi memang
Islam di tampa laeng (lain) ada lae (lagi), tapi kalupar katong
(bagi kami), di sini tua. Memang di Jawa, sejak Majapahit sudah
ada Islam, tetapi kalu lia perjalanan-perjalanan syaikh-syaikh,
orang yang khusus mengajarkan Islam, ya di sini yang duluan, kita
yang duluan. Mereka pung (punya) tanda ada, ada punya kramat,
kramat itu artinya kemuliaan, pujaan terhadap mereka. Dong
punya kemuliaan-kemuliaan jadi tanda-tanda, yang dia bersaksi
untuk mereka punya anak cucu, dan mereka bisa liat, mereka bisa
lanjutkan (M. Salampesi, tokoh agama di Pelauw, 2009).
Meskipun orang Hatuhaha menganggap mereka Muslim atau
komunitas Muslim yang lebih tua di Maluku, sampai sekarang tidak
dilakukan usaha untuk menolak sejarah kehadiran Islam di Maluku,
yang memposisikan Ternate di Maluku Utara sebagai pusatnya. Dalam
pandangan KMH, ada waktu bagi orang untuk memahami tentang
keberadaan mereka sebagai kelompok Muslim yang lebih tua. Untuk
membuktikan bahwa KMH adalah penganut Islam yang lebih tua di
Maluku Tengah, ada tiga makam para guru Islam di Pulau Haruku,
antara lain, pertama, makam Maulana Malik Ibrahim, yang diacu
oleh komunitas lokal sebagai Pandita Mahu; kedua, makam Sidi ‘Alim,
putera Pandita Mahu, dan ketiga, makam Zainal Abidin. Dinyatakan
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
262
bahwa ketiga guru itu memberi sumbangan yang lebih besar dalam
menyebarkan dan mengembangkan Islam di Pulau Haruku.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa kebudayaan
dan tradisi Syiah di Maluku Tengah dijumpai dengan jelas dalam
pelaksanaan ritual-ritual. Karena itu, dalam bagian berikut disajikan
dua ritual yang mengacu kepada tradisi Syiah. Pertama, maatenu, yaitu
ritual peperangan yang dilaksanakan setiap tiga tahun, pada hakikatnya
ia memperagakan keberanian dan kewaspadaan penduduk lokal
untuk mempertahankan keberadaan Islam. Kedua, ritual Aroha, suatu
ritual untuk merayakan kelahiran dan wafatnya Nabi Muhammad,
dan penghormatan kepada para leluhur dan wali, yang mengajarkan
Islam. Dalam melaksanakan kedua ritual itu, ada simbol-simbol yang
benar-benar mengukuhkan bahwa Islam yang dianut penduduk lokal
didasarkan pada Syiah. Kedua ritual tersebut digambarkan sebagai
berikut:
1. Ritual Ma’atenu
Ma’atenu atau disebut juga cakalele adat adalah ritual perang yang
khas di kalangan penduduk Hatuhaha di Pulau Haruku di Maluku
Tengah,221 dan tidak ditemukan di komunitas-komunitas Muslim
Maluku lainnya. Ma’atenu atau Ma’atenu’o (dalam bahasa Hatuhaha)
mempunyai arti harafi ah sebagai undangan untuk ujian. Hal ini
mengacu pada tindakan aktif dan keberadaan para peserta Ma’atenu
untuk menguji secara publik kekuatan kekebalan dan ketakterkalahan
mereka dengan memotong, mengiris dan menikam anggota tubuh
mereka dengan menggunakan kalewang dan benda-benda tajam
lainnya. Dalam konteks historis, Ma’atenu mempunyai pengertian
yang lebih luas, yaitu mengukuhkan keberadaan Islam di antara
kelompok-kelompok lain. Ma’atenu sebagai suatu simbol kekuatan
yang dimobilisasi untuk memperagakan kekuatan fi sik maupun moral
sebagai Muslim atau penganut Islam tulen.
Ma’atenu diacu sebagai perang ritual karena pertama, Ma’atenu
dikaitkan secara langsung dengan perjuangan para nenek moyang
Hatuhaha dalam mempertahankan Islam. Kedua, para peserta Ma’atenu
digunakan sebagai simbol angkatan perang Hatuhaha. Ketiga, alat-
221 Sekarang ini, di kalangan lima negeri di dalam persekutuan Uli Hatuhaha, negeri Pelauw lah
yang melaksanakan ritual Ma’atenusecara teratur sejak dahulu sampai sekarang.
KEBUDAYAAN DAN TRADISI SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA
263
alat ritual, yaitu kelewang atau pedang ternyata merupakan alat-alat
tradisional yang digunakan dalam perang-perang di masa lampau.
Keempat, atraksi-atraksi yang disajikan di dalam Ma’atenu seperti
memotong, menikam, dan mengiris tubuh sebenarnya mengacu kepada
penaklukan musuh. Kelima, roh-roh para kapitan atau leluhur yang
menyatakan diri di dalam diri para peserta Ma’atenu dan membawa
mereka ke dalam Ka’a atau kondisi kesurupan yang kebal terhadap
benda-benda tajam, adalah roh pemimpin perang soa individual.
Mereka sama dengan komandan kelompok, bahkan sama dengan
panglima perang pada masa kini. Pada umumnya, orang Pelauw
mengacu konteks lahirnya Ma’atenu sebagai pertempuran komunitas
Hatuhaha melawan kolonilisme Portugis dan Belanda dan usahausaha
Kritenisasi pada abad ke-16 dan 17.
Ketika diamati, beberapa aspek ritual Ma’atenu seperti penikaman,
pemotongan dan penyayatan tubuh dengan menggunakan pedang
atau pisau identik dengan tradisi kelompok Syiah saat memperingati
Asyura dalam rangka memperingati kematian cucu Nabi Muhammad,
yaitu Imam Husein (Abubakar Aceh, 1980; Enayat, 1982:28-29).222
Ritual Ma’atenu yang menggunakan simbol-simbol berupa alatalat
perang tradisional seperti kelewang atau pedang, kekebalan “yang
benar-benar mistis” terhadap benda-benda tajam, dan para peserta
Ma’atenu bahkan bertugas sebagai “para prajurit Hatuhaha”, yang
mempertahankan keberadaan Islam dalam konteks perang nenek
moyang Hatuhaha empat abad silam, menurut pendapat saya, adalah
suatu cara untuk menyajikan sejarah dalam konteks masyarakat
kontemporer. Selain sejarah perang di antara rakyat Hatuhaha
melawan orang Portugis dan Belanda, diduga bahwa ritual Ma’atenu
tersebut juga terkait dengan sejarah kaum Syiah, khususnya kematian
Ali. Hal ini terlihat dalam simbol-simbol yang digunakan, seperti
pedang yang mirip dengan pedang Ali, atraksi-atraksi dan kata-kata
ritual yang mengacu kepada kesetiaan kepada Ali. Para informan di
Pelauw mengaitkan pelaksanaan ritual Ma’atenu dengan Sayyidina
Ali sebagai panglima perang Islam dalam perang melawan para kafi r,
dan Ma’atenu dianggap sebagai perang ritual melawan kaum kafi r
222 Mayoritas kaum ulama Syiah sebenarnya sudah sejak lama melakukan berbagai upaya
persuasi agar praktek-praktek ritual seperti ini dikurangi atau bahkan dihilangkan. Akan tetapi,
ritus ini sering kali dipercayai oleh sebagian pengikut Syiah sebagai pembuktian sikap cinta
mereka kepada Ahl al-Bayt (Penyunting).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
264
(Jamallah Angkotasan, berusia 62 tahun, anggota komunitas Pelauw,
2009). Konon Sayyidina Alimempunyai anak tiri berikut:
1. Umar Ali
2. Talib Ali
3 . Akar Ali
4. Hasan Ali
5. Ali Hasan
6 . Nesibel Ali
7. Kakang Ali
8 . Alima Ali
9 . Muhammad Ali
Para informan cenderung menghubungkan keberadaan orang
Hatuhaha, khususnya orang-orang Negeri Pelauw, dengan para sahabat
dan keluarga Nabi Muhammad. Menurut Jamallah Angkotasan, margamarga
yang ada di Pelauw dikaitkan dengan empat sabahat Nabi
Muhammad. Penjelasannya adalah berikut ini:
1. Paria (Tuankota) adalah keturunan Abubakar
2. Poisina (Angkotasan) adalah keturunan Umar bin Khattab
3. Nua (Tuakia) adalah keturunan Utsman bin Affan
4. Paua (Tualepe) adalah keturunan Sayyidina Ali
Konsisten dengan Jamallah, Taha Tualepe (berusia 58 tahun, pemimpin
komunitas Pelauw dari kelompok orang biasa) mengatakan dalam
bahasa sehari-hari, konon:
…Marga Tualepe selaku pemimpin ritual Ma’atenu atau Ma’ahala
Lahat datang dengan sendiri. Karena namanya asal dari sini atau
tetesan darah maka itu sudah menjadi warisan yang tidak dapat
dipisahkan.
Secara tersirat, sang informan (Taha Tualepe) memperkuat
penyataan informan lain (Jamallah Angkotasan) bahwa karena
hubungan di antara marga Tualepe dan Saidina Ali, maka marga
ini mempunyai posisi strategis untuk melaksanakan ritual Ma’atenu,
sebagai pemimpin ritual Ma’atenu atau Ma‘ahala Lahat.
KEBUDAYAAN DAN TRADISI SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA
265
2. Ritual Aroha
Aroha atau juga dikenal sebagai manian atau kemanyian223, bagi
KMH Pelauw bukan ritual tahunan yang biasa karena pelaksanaan
Aroha dikaitkan dengan keberadaan kolektif dan individual setiap
anggota negeri Pelauw. Aroha dilakukan setiap Rabi’ul Awal kalender
Arab atau pada Februari pada kalender Barat. Esensi ritual Aroha yang
dilakukan oleh KMH di Pelauw berbeda dengan yang dilaksanakan
di negeri-negeri Maluku lainnya. Aroha yang dipraktekkan di negerinegeri
Muslim lainnya pada dasarnya sama dengan ritual maulid,
yaitu merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad; sementara Aroha di
negeri Pelauw adalah untuk memperingati kelahiran, wafatnya Nabi
Muhammad, dan untuk menghormati para leluhur dan para wali yang
mengajarkan Islam kepada penduduk Hatuhaha.
Pada hari pertama setiap Rabi’ul Awal, semua anggota soa
berkumpul di rumah soa untuk mendengar “tita” (keputusan) Juru
Pusaka (Jurpus), apakah tahun itu aroha (manian) akan dilaksanakan
atau tidak. Meskipun semua anggota soa ingin melaksanakan aroha,
tetapi mereka tetap menunggu tita dari jurpus. Hal ini karena aroha tidak
dipahami hanya sebagai ritual keagamaan, lebih tepatnya juga suatu
ritual tradisional yang menghendaki legitimasi pemimpin tradisional.
Bila tita dari jurpus untuk perayaan aroha diperoleh, maka pertemuan
soa harus segera dilaksanakan untuk memutuskan waktu dan masalahmasalah
teknis pelaksanaan Aroha di dalam soa (Taha Tualepe, berusia
58 dan Taher Angkotasan, berusia 63 tahun para pemimpin komunitas
Pelauw). Tita dari jurpus dipahami sebagai simbol titah ilahi kepada
ciptaan-Nya. Titah atau pesan ilahi demikian disampaikan melalui
para leluhur. Untuk orang Pelauw dan komunitas Maluku Tengah,
pada umumnya para leluhur diposisikan lebih dekat dengan sang
Pencipta. Sebagai yang lebih dekat, mereka bertugas sebagai mediator
di antara anak-anak dan cucu (manusia) dengan Otoritas Tertinggi
(Allah). Dalam konteks pelaksanaan Aroha, leluhur bertindak sebagai
mediator untuk keturunannya dengan Otoritas Tertinggi atau
pencipta, sementara itu, jurpus memperantarai anak-cucu-cicit dengan
leluluhur mereka. Fungsi para mediator tersebut dapat ditemukan
223 Aroha berasal dari kata ’aroho’(Bahasa Hatuhaha), yang berarti pergi ke jalan roh. Aroha
disebut manian atau kemanyian karena dalam praktek-praktek aroha, doa selamatan selalu
dilakukan dengan membakar kemenyan (Taha Tualepe, berusai 58 tahun, tokoh komunitas
Pelauw, 2009).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
266
di hampir semua agama di dunia karena ada jarak di antara subyek
yang sakral atau suci dengan subyek-subyek yang profan atau biasa
(Eliade 1987; Durkheim 2001). Lalu, didasarkan pada konsep Eliade
mengenai simbol, para leluhur dapat diposisikan sebagai simbol dalam
memahami yang transenden dan Yang Suci.
Setelah tita dari jurpus disampaikan, semua anggota soa
mempersiapkan semua pelaksanaan aroha pada tahun itu. Dibuat
kesepakatan di kalangan soa; karena itu, semua soa melaksanakan ritual
aroha. Pelaksanaan aroha pada soa individual tidak dilakukan pada saat
yang sama. Maksudnya adalah untuk memungkinkan bukan hanya
para anggota soa (cucu), tetapi juga upu anas atau cucu dan anggota
soa lainnya yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan soa
dapat menghadiri aroha itu. Seorang informan menceritakan kepada
saya bahwa tanda makin dekatnya hari pelaksanaan aroha terlihat dari
makin sibuknya kegiatan-kegiatan orang-orang di rumah soa dalam
mempersiapkan semua bahan dan membuat kue-kue istimewa untuk
manian atau aroha.
Tahap-tahap pelaksanaan aroha atau manian adalah sebagai
berikut: pertama, ma’akuku sanama, artinya membawa jatah untuk
disumbangkan. Pada tahap ini, para anggota para anggota soa akan
memberi secara sukarela sumbangan mereka berupa makanan untuk
pelaksanaan manian. Bahan-bahan makanan yang dikumpulkan
mencakup sagu, pisang, beras, tepung, kasbi (singkong), talas, ubi
rambat, petatas, kelapa, gula merah, dan walnuts (sejenis kenari).
Bahan-bahan makanan ini ternyata merupakan ramuan dasar untuk
membuat hidangan-hidangan istimewa seperti kue-kue yang akan
menjadi hidangan khas untuk merayakan aroha di Pelauw. Tajin
jangung (sago manta) diproses menjadi papeda, sagu kering atau sagu
lempeng, dan paumeit. Tidak hanya diproses sebagai nasi, beras juga
digunakan untuk membuat bowsprit (cucur perahu) dan karas. Kenari
dapat diproses untuk membuat kue yang manis dan halua. Kelapa
dapat disuling untuk menghasilkan minyak dan santan untuk berbagai
kegunaan.
Kedua, adalah manu e mata, artinya penyembelihan ayam. Pada
tahap ini, tiap anggota keluarga soa membawa ayamnya untuk
disembelih oleh para pemimpin religius dan daging ayam itu digunakan
sebagai makanan tambahan selama inti ritual aroha. Penyembelihan
KEBUDAYAAN DAN TRADISI SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA
267
ayam pada aroha di Pelauw menyimbolkan bahwa tiap anggota negeri
siap berkorban untuk mewujudkan komitmen dalam melaksanakan
pengajaran agama yang diperlukan dalam kehidupan saling berbagai
dengan orang lain. Melalui percakapan dengan para informan
teridentifi kasi bahwa penyembelihan ayam adalah personifi kasi
hewan (bouraq) yang dikendarai Nabi Muhammad dalam perjalanan
Isra Mi’raj-nya. Dalam perspektif ini tidak mengejutkan bahwa setiap
anggota negeri berusaha memberi usaha terbaik bagi pelaksanaan
ritual karena dipercaya bahwa sumbangan dan ketaatan dalam ritual
itu berfungsi sebagai amal mereka untuk kehidupan akhirat.
Ketiga, adalah tahap ma’ahitirima. Ma’ahiti rima berarti posisi tangan
ke arah atas, yang mengacu kepada posisi berdoa atau memohon. Doa
selamatan atau ma’ahiti rima adalah puncak ritual aroha. Pada puncak
ritual ini, semua anggota soa dan upu ana hadir karena tiap anggota soa
akan didoakan. Dalam kasus ini pemimpin soa mewakili soanya dalam
mengungkapkan ucapan syukur kepada Allah, meminta keselamatan
dan berkat untuk para anggota soa, dan upu anas, dan seluruh negeri.
Seusai doa selamatan sebagai puncak aroha, dilangsungkan resepsi
yang diurus oleh pria dan wanita muda dari soa, bersama manua
dan malamaitsoa itu. Manua adalah nama biasa bagi wanita yang
menikah kepada pria dari suatu soa tertentu. Ketika seorang wanita
soa Latuconsina menikah dengan seorang pria soa Tuasikal, maka sang
istri adalah manua dari soa Tuasikal. Sementara malamait mengacu
kepada nama seorang pria yang menikah dengan seorang wanita
dari marga atau soa tertentu. Contohnya, seorang pria marga Tuasikal
dinikahkan dengan seorang wanita Latuconsina, sang suami dari
wanita Latuconsina ini lazimnya akan disebut sebagai malamait.
Ma’ahiti rima atau pembacaan doa sebagai klimaks maniang atau
aroha dilaksanakan pada malam hari. Doa selamatan dipimpin oleh
seorang kepala atau sesepuhsoa. Sebelum membaca doa, orang tertua
di soa membakar manian (kemenyan) dan semua ruangan dan peserta
dibuat terkena asapnya. Fenomena ini mengesankan bahwa ada
sinkretisme di dalam praktek-praktek ritual yang mencirikan KMH di
Pelauw. Sesaji dan kemenyan yang sering ditemukan dalam praktekpraktek
religius Hindu atau agama suku, digabungkan dengan ajaranajaran
Islam. Doa yang dipraktekkan dalam aroha didasarkan pada cara
Islam. Akan tetapi, ada mantra-mantra yang diucapkan dalam bahasa
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
268
lokal dan pembakaran manian pada umumnya tidak ditemukan dalam
tradisi Islam. Pelaksanaan aroha di Pelauw menggambarkan dengan
jelas bagaimana penduduk lokal menyesuaikan ajaran-ajaran religius
dan lazim atau kebudayaan lokal ke dalam ritual-ritualnya. Dalam
kasus ini, orang biasa mengacu kepada manusia dengan agama dan
kebudayaan pribumi.
Makanan-makanan dalam aroha disebut sanama, terdiri dari
makanan-makanan yang terbuat dari hasil-hasil kebun termasuk
sagu, beras, pisang dan akar umbi yang dicampur dengan ayam
dan ikan. Hidangan istimewa aroha berfungsi sebagai simbol-simbol
tubuh manusia dan mempunyai signifi kansi istimewa bagi penduduk
Pelauw. Signifi kansi itu adalah sebagai berikut:
• Jawada (bokol) menyimbolkan paru-paru
• bowsprit (papananan) menyimbolkan limpa manusi.
• Pau meit menyimbolkan taliporo atau usus manusia
• Halua kenari menyimbolkan jantung manusia
• santan dan gula menyimbolkan darah manusia
Tradisi untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad, yang
dikenal sebagai Maulid adalah suatu ritual atau perayaan di kalangan
komunitas Muslim di berbagai tempat. Tentu saja, hari kelahiran Nabi
Muhammad (12 Rabi’ul Awal ) bukan salah satu dari hari raya Islam
karena Islam hanya mengenal dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul
Adha. Akan tetapi, sekarang ini perayaan Maulid Nabi Muhammad
telah menjadi bagian dari perayaan-perayaan di kalangan komunitas
Muslim, dan perayaan itu sangat bervariasi di kalangan komunitas
Muslim di berbagai wilayah. Tradisi memperingati hari lahir Nabi
Muhammad muncul menyusul ekspansi Islam di luar jazirah Arab
(Abdullah 2002: 28).
Berbeda dari praktek-praktek komunitas Muslim di Maluku
Tengah dan di komunitas Muslim pada umumnya, yang merayakan
maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, dengan inti
fokus perayaan hanya sang Nabi, di negeri Pelauw, perayaan maulid
atau aroha atau manian dilaksanakan dengan tiga fokus, yaitu Nabi
Muhammad, para leluhur, dan para wali penyebar Islam. Ritual aroha
di negeri Pelauw dilakukan dengan cara dan maksud yang berbeda
dari yang dipraktekkan orang Muslim lain di negeri-negeri Maluku
KEBUDAYAAN DAN TRADISI SYIAH DI MALUKU:
STUDI KASUS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA
269
Tengah. Di tempat lain, ritual itu dilaksanakan sekali pada permulaan
bulan Rabi’ul Awal; tetapi, di Pelauw, khususnya kelompok Islam
yang biasa, sudah ada keputusan mengenai bulan Rabi’ul Awal yang
dibagi ke dalam dua perayaan. Oleh karena itu, aroha dapat dibedakan
sebagai perayaan yang bertujuan merayakan Maulid Nabi Muhammad
dan sebagai perayaan untuk mengenang wafatnya Nabi Muhammad,
menghargai para leluhur dan para wali.
Di kalangan KMH, ditemukan bahwa bagi komunitas lokal,
penghormatan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya adalah
suatu keharusan (mutlak), dan Ali memiliki posisi penting dalam
keluarga Nabi Muhammad. Dalam praktek sosial sehari-hari KMH
di Pelauw, Ali merupakan simbol Islam yang disosialisasikan dari
generasi ke generasi. Sebagai ilustrasi di dalam perkawinan, semua
pengantin pria disebut dengan nama Alidan semua pengantin wanita
disebut Fatima. Dalam kasus ini Ali mengacu kepada kemenakan dan
menantu Nabi Muhammad, dan Fatimah adalah puteri Nabi yang
menjadi istri Ali. Tradisi-tradisi religius KMH dan praktek-praktek
sosialnya menunjukkan dengan jelas bahwa Islam di kalangan KMH
adalah Syiah.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan sebagai berikut:
pertama, kaum Syiah adalah kelompok Muslim yang lebih tua di
Maluku. Kelestarian eksistensi mereka terancam oleh hegemoni
“politik integrasi agama” di Indonesia, yang menggeneralisasi Muslim
Indonesian sebagai Sunni. Kedua, keberadaan KMH Syiah lewat riset
ditemukan dengan jelas dalam ritus-ritusnya dan adat kebiasaan lokal
komunitas itu. Ketiga, ritual itu adalah suatu cara untuk mengingatkan
generasi-generasi masa kini pada berbagai peristiwa historis dan
penurunan nilai-nilai yang ditemukan dari generasi-ke generasi.
Ritual-ritual Ma’atenu dan aruho di kalangan HCM yang diteliti
dan dicatat di dalam makalah ini tidak hanya menyajikan sejarah
komunitas lokal, tetapi juga sejarah Islam (Syiah), sebagai pluralisme
faktual dalam komunitas Islam Indonesia yang tidak dapat diabaikan
dalam pembangunan peradaban bangsa.[]
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
270
Daftar Pustaka
Abdullah, I., 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis
Gunungan pada Upacara Garebek (Yogyakarta: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional).
Aceh, H.A., 1980. Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme Dalam Islam,
Cetakan kedua (Semarang: Ramadhani).
Basyar, M. Hamdan “Bila Syi‘ah di Indonesia Berpolitik” dalam Syiar,
edisi Muharram 1423H.
Durkheim, E., 2001. The Elementary Forms Of Religious Life (Oxford:
Oxford World’s Classics).
Eliade, M., 1987. The Sacred and The Profane, The Nature of Religion
(Copyright renewed) (USA: Harcourt).
Enayat, H., 1982. Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Pemikiran Politik Islam
Modern Menghadapi Abad ke-20 (Bandung: Penerbit Pustaka).
Putuhena, M.S., 2006. Interaksi Islam dan Budaya di Maluku, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Penyunting),
Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara
(Bandung: Mizan).
_________, 1997. Proses Perluasan Agama Islam di Maluku Utara, dalam
G.A. Ohorela (penyunting), Ternate Sebagai Bandar di Jalur
Sutra: Kumpulan Makala Diskusi(Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI).
Rumahuru, Yance. Z., 2012. Islam Syariah dan Islam Adat: Konstruksi
Identitas Keagamaan dan Perubahan Sosial di Kalangan Komunitas
Muslim Hatuhaha di Negeri Pelauw(Jakarta: Kementerian
Agama RI).
_________, 2010. ”Dinamika Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha
di Pulau Haruku Maluku Tengah” dalam Jurnal Masyarakat
Indonesia, Edisi XXXVI (1): 93-112.
Tjandrasasmita, Uka. 1971. ”Peranan dan Sumbangan Islam dalam
Sejarah Maluku”. Makalah seminar sejarah Maluku I. Tidak
diterbitkan.
Tudjimah. 1971. ”Masuknya Agama Islam dan Perkembangannya di
Kepulauan Maluku” Makalah seminar sejarah Maluku I.
Tidak diterbitkan
271
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB
KONFLIK DI ANTARA SYIAH DAN
SUNNI DI MADURA
Rima Sari Idra Putri
Pengantar Pada Agustus 2012, beberapa media nasional dan internasional
secara provokatif memberitakan konfl ik religius yang terjadi
di antara warga Syiahdan Sunni di Desa Nangkernang, Karang
Gayam, Omben, Sampang, Madura. Berita-berita itu menggambarkan
situasi lokal yang bersifat anarkis, yang diawali dengan kemarahan
pihak Sunni yang tidak senang dengan keberadaan keluarga Syiah di
desa mereka. “Kementerian Urusan Koordinasi Politik, Hukum dan
Keamanan” menegaskan bahwa seribu orang ambil bagian dalam
perusakan harta benda milik warga Syiah.224 Amukan itu menyebabkan
seorang korban tewas, enam orang dari kedua belah pihak menderita
luka-luka225 dan tiga puluh tujuh rumah warga Syiah dibakar.226
224 Aritonang, Margareth S, Apriadi Gunawan, Wahyoe Boediwardhana dan Sita W. Dewi. Jakarta
Post. (2012, August 27). Dua orang tewas dalam penganiayaan Sunni-Syiah di Madura.
Diperoleh kembali pada 12/6/2012 http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/27/2-deadsunni-
shiite-ma.
225 Tempo. Kominda Jatim: Rusuh Sampang Dipicu Rencana Pembangunan Kembali Masjid
Syiah. Muslim Daily. 26-08-2012. Retrieved on 12/6/2012 http://muslimdaily.net/berita/lokal/
kominda-jatim-rusuh-sampang-ipicu-r.
226 Muslim Daily. Rusuh Massa Syiah vs Sunni di Sampang Madura: 1 Tewas, Puluhan Rumah
Dibakar. (2012, August 8). Diperoleh kembali pada 12/6/2012, http://muslimdaily.net/berita/
lokal/rusuh-massa-syiah-vs-sunni-di-sampan…
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
272
Dampaknya, tujuh puluh satu keluarga Syiah direlokasi ke Aula
GOR Sampang.227 Takut akan dampak yang meluas, Soesilo Bambang
Yudhoyono memerintahkan dua kementerian, “Kementerian Dalam
Negeri” dan “Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia” untuk
melaksanakan pengendalian langsung di lokasi.228
Sekarang ini, ada 500 warga Syiah di Desa Nangkernang. Menurut
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia untuk Jawa Timur, M. Yunus,
sebenarnya konfl ik sudah mulai sejak 2003 dan terus terjadi pada 2006,
2009, 2011 hingga 2012.229 Konfl ik itu terulang lagi. Sebelumnya, pada
29 Desember 2011, terjadi konfl ik yang mengakibatkan pembakaran
rumah keluarga-keluarga Syiah. Hal itu membuat beberapa warga
Syiah tinggal di barak dan nomaden.230
Tinjauan Umum tentang Syiah dan Sunni
Menurut Quraish Shibab,231 Penganut Islam terbagi secara luas
ke dalam dua aliran: Sunni, atau yang dikenal sebagai Ahl as-Sunnah
wa al-Jama’ah dan Syiah. Ahl As-Sunnah pada dasarnya berarti orang
yang mengikuti secara konsisten kata-kata (hadist) dan cara hidup
(sunnah) Nabi Muhammad, percaya pada Qada’ dan Qadr, mengakui
dan memuja Khulafa ar-Rasyidin. Melalui keempat Khalifah, hadist dan
sunnah telah disebarkan kepada Muslim generasi kedua.232
Syiah secara harafi ah berarti pendukung Ali yang mengklaim
bahwa rezim selanjutnya, setelah Muhammad wafat, adalah hak
istimewa keluarga Muhammad. Mereka mengikuti madzhab Ahl al-
227 Arifi n, Nurul. Inilah Alasan Pengungsi Syiah Tinggalkan GOR Sampang. Diperoleh
kembali pada 12/6/2012 3:01 PM from Okezone: http://surabaya.okezone.com/
read/2012/09/10/519/687546/inilah-alasan-…
228 Artika R., Putri. Perkumpulan 6211. Menkum HAM Minta Bentrok Sampang tidak dikaitkan
Sunni dan Syiah. Diperoleh kembali pada 12/10/2012.http://6211.tv/node/125.
229 Arifi n, Nurul. Op. Cit.
230 Aritonang, Op.Cit.
231 Mantan Menteri Agama Indonesia.
232 Abu Bakar, Utsman, dan Ali. Selama dasawarsa yang lebih belakangan agama Islam
disebarkan melalui ulama dan Sufi . Komunitas ini mengikuti 4 mahzab: Malik, Syafi ’’i,
Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi . Didapat kembali dari Aminuddin, Choirul, Erwin Zachri,
Cornila Desyana, dan Praga Utama. 4 Periode Penyebaran Syiah di Indonesia. (2012,
September 2) Diperoleh kembali pada 12/6/2012. Tempo.co.: http://www.tempo.co/read/
news/2012/09/02/173426922/4-Periode-Peny… diperoleh kembali pada
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
273
Bayt.233 Berdasarkan pada Nash234 dan karena perasaan cinta yang
mendalam kepada Ali bin Abu Thalib dan para leluhurnya,235 Syiah
cenderung mengabaikan peran para sabahat karib Nabi Muhammad.
Syiah menganggap hanya Ali bin Abu Thalib dan Ahl al-Bayt saja yang
merupakan tokoh utusan Muhammad.236
Profesor Studi Islam di Universitas George Washington, Seyyed
Hossein Nasr, mengatakan bahwa baik Syiah maupun Sunni
mempunyai pengertian dan perspektif yang sama dalam Tauhid,
Nubuwat, Ma’had.237 Perbedaan terletak pada Imamah (pemimpin) dan
‘Adalah (Keadilan Ilahi).238 Meskipun sumber literatur Sunni dan
Syiah kebanyakan sama, tetapi rangkaian fase utusan mereka tidak
sama.239 Sunni percaya pada kepemimpinan Khulafa’ Rasyidun, Bani
Umayyah, dan Bani ‘Abbas; sementara Syiah hanya mempercayai Ali
bin Abu Thalib dan para leluhurnya sebagai satu-satunya imam yang
sah. Perspektif yang berbeda mengenai kepemimpinan kemudian
berkembang menjadi perbedaan aqidah, tafsir, hadist dan fi qh.
Menurut Shihab, ada tiga perspektif dasar yang dipercayai oleh
Syiah, tetapi ditentang oleh Sunni. Pertama bahwa Muhammad belum
selesai menyampaikan pemikiran dan hukum-hukum Islam; Kedua,
Imam mempunyai otoritas untuk menolak kata-kata Muhammad;
dan terakhir, Imam mempunyai kedudukan yang sama dengan
Muhammad, bahwa mereka juga terlindung dari perbuatan dosa,
keliru dan lupa. Syiah mempercayai 12 Imam, mulai dari Imam Ali
hingga Imam Mahdi .240
Menurut Jalaluddin Rakhmat, Syiah pertama kali masuk ke
Indonesia melalui Aceh dalam bentuk kegiatan-kegiatan keagamaan
(yaitu khotbah) dan perdagangan. Nilai-nilai keagamaan ini
233 Ahlul Bait adalah para anggota keluarga Muhammad. Retrieved from Gandhi, Grace S., Asal
Muasal Perpisahan Syiah dari Sunni. (1 September 2012). Diperoleh kembali pada 12/6/2012.
Tempo.co.: http://www.tempo.co/read/news/2012/09/01/173426823/Asal-Muasal-Pe…
234 Pernyataan Muhammad yang khusus dan pasti yang menunjuk Ali sebagai Khalifah dan kurir
satu-satunya.
235 Melalui jalur keturunan Fatimah.
236 Gandhi, Grace. Op. Cit.
237 Tauhid berarti monoteisme, Nubuwat adalah ramalan, dan Ma’ad berarti akhirat.
238 Gandhi, Grace. Op. Cit.
239 Gandhi, Grace. Op. Cit.
240 Sari, Dianing. Siapa Syiah, Siapa Sunni. (2012, September 1). Diperoleh kembali pada
12/6/2012 2:50 PM Tempo.co.: http://www.tempo.co/read/news/2012/09/01/173426802/Siapa-
Syiah-Sia…
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
274
selanjutnya mempengaruhi tradisi-tradisi lokal. Pada 1979, tokohtokoh
Syiah, Ayatullah Rohullah Khomeini memenangkan Revolusi
Islam Iran, bukan dengan perang, tetapi dengan penyebaran
pemikiran, melalui pidato dan makalah. Sejak itu, Syiah berkembang
sebagai gerakan intelektual dan fi losofi s. Pada 1980-1990-an, gerakan
ini mulai disebarkan ke seantero dunia, termasuk Indonesia. Ustaz
Umar memperkenalkan Syiah di Palembang untuk pertama kali dan
Ustaz Husein Al Habsy di Jawa Timur.
Mula-mula, ideologi Syiah disambut hangat, khususnya oleh para
intelektual Indonesia yang mengagumi semangat revolusionernya.
Kemudian Syiah memunculkan wacana fi kh. Di sinilah konfl ik dimulai.241
Teori: Konfl ik Religius dan Sosial
Pakar sosiologis mendefi nisikan konfl ik sebagai hubungan di
antara dua pihak atau lebih yang percaya bahwa mereka (atau juru
bicaranya) mempunyai tujuan-tujuan yang bertentangan.242 Konfl ik
Sampang tidak dapat dikategorikan sebagai konfl ik religius karena
sebab dan pemicunya yang nyata ambigu; meskipun pelukisan media
dan wacana umum kebanyakan memposisikan Sunni dan Syiah sebagai
dua komunitas yang saling berlawanan. Kendati demikian, tulisan
ini akan mendasarkan pendekatan teoritis pada konfl ik religius yang
bercampur baur dengan mata rantai rumit etnisitas dan kepentingan
sosio-politis.
Stuart J. Kaufman menggolongkan konfl ik religius sebagai konfl ik
etnik, di mana etnik didefi nisikan oleh Anthony Smith (1986) sebagai
anggota-anggota yang sama-sama memiliki sifat-sifat berikut: nama
bersama, keturunan yang bersama yang dipercayai, unsur-unsur suatu
kebudayaan yang dianut bersama (yang paling sering adalah bahasa
dan agama), ingatan-ingatan historis bersama, dan keterikatan kepada
suatu wilayah tertentu.243
241 Aminuddin, Choirul, Op. Cit.
242 Hilmy, Masdar. Rekonstruksi Paradigma Teori dan Resolusi Konfl ik Agama – Etnik. dalam
Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik Islam Indonesia. 2007. Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan
Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial. h.33
243 Antropolog melihat melihat baik etnik maupun religius terutama bersifat askriptik, bahwa
keanggotaan dan identitas di dalam kelompok secara khas diberikan pada saat kelahiran, lekat
dan susuh berubah. Lihat: Kaufman, Stuart J. 2008, Ethnic Confl ict dalam Williams, Paul D.
(Ed.), Security Studies: An Introduction, New York: Rotledge. hlm. 202
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
275
Konfl ik-konfl ik berbasis religius dan etnik terjadi di mana-mana,
mencakup kira-kira 17.4 persen populasi dunia. Konfl ik-konfl ik ini
biasanya membahayakan minoritas.244 Ini adalah fakta penting; bahwa
sebenarnya ada hubungan statistik yang lemah di antara keberagaman
etnik-religius dan perang saudara.245 Di dalam Islam, pluralisme
adalah basis penciptaan Khilafah sehingga pluralisme sebenarnya
tidak berpotensi menjadi sumber konfl ik, malah menciptakan suatu
kesetimbangan.246 Tetapi lalu mengapa begitu sering terjadi konfl ik di
dunia global, di Indonesia dan bahkan di Sampang, yang menempatkan
keragaman religius/etnis sebagai penyebab utamanya. Dikarenakan
masalah-masalah religius mudah dipolitisasi (bercampur baur dengan
kepentingan politis).
Selain faktor religius, sektor kemasyarakatan juga memainkan
peran yang dominan untuk memahami akar konfl ik Sampang. Jaminan
sosial adalah soal identitas atau identifi kasi kolektif. Ia mengacu
kepada “identitas kita”. Kegelisahan sosial muncul bila segala jenis
komunitas mendefi nisikan berkembangnya suatu ancaman potensial
bagi kelestarian mereka sebagai suatu komunitas.247 Faktor-faktor
lain yang perlu dipertimbangkan yang berfungsi sebagai indikatorindikator
yang memperingatkan konfl ik adalah korupsi, ekonomi,
keresahan sosial, dan pemilihan.248 Penelitian ini menggunakan Teori
Fishbone atau Diagram Ishikawa sebagai alat analisis. Hal itu adalah
cara yang sistematis untuk melihat sebab-sebab dan akibat-akibat yang
menimbulkan atau menyumbang bagi situasi.
Analisis
Sebetulnya dan masih terjadi dalam kasus Sampang, doktrin
religius telah diposisikan sebagai doktrin legal yang memungkinkan
kekerasan. Religiositas tidak lagi dipandang sebagai korban atau
sasaran kekerasan malah sebagai subyek kekerasan itu sendiri.
Faktor-faktor yang memungkinkannya dapat berasal dari lembaga,
doktrin, kepemimpinan, pemahaman dan penafsiran agama yang
dangkal, propaganda, politik-agama, otoritas-otoritas yang tidak
244 Kaufman, Stuart J. Op. Cit. h. 204-206.
245 Ibid.
246 14
247 Buzan, Barry, Ole Waever, and Jaap de Wilde. 1988. Security: A New Framework for Analysis.
London: Lynne Rienner Publishers, Inc. h. 119-120
248 Buzan, Barry, Op. Cit.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
276
adil, dan kegagalan pemerintah untuk mengakomodasi nilai-nilai
religius di dalam masyarakat dan terganggunya saluran komunikasi.
Dalam perspektif-Perspektif yang lebih taktis, yang didasarkan
pada Laporan Resmi Kementerian Agama No. 84/1984, kekerasan
agama di Indonesia disebabkan dan didominasi oleh beberapa faktor
laten, seperti: pembangunan bangunan religius (masjid, gereja, dsb),
penyebaran religius, campurtangan dan dukungan luar negeri (yaitu
keuangan, dsb), perkawinan, penyalahgunaan agama, perayaan
agama, dan kegiatan-kegiatan sosio-politis lainnya.249 Faktor-faktor
yang belakangan dianggap peneliti sebagai pemicu konfl ik.
Gambar 1. Fishbone mengenai Sebab-sebab Konfl ik
Doktrin yang mendorong ekslusivitas agama dapat mengarah
kepada kekerasan berbasis pembenaran religius. Ekslusivitas
menekankan pada semangat untuk mendominasi, menang terhadap
agama lain. Masalahnya adalah ketika penekanan diletakkan pada
pencapaian kuantitas dan bukan pada substansi religius yang memberi
249 Fajruddin Fatwa, A. Relasi Agama Dalam Konfl ik Sosial dalam Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik
Islam Indonesia. 2007. Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan
Lembaga Kajian Islam dan Sosial. hlm.33
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
277
dampak bagi moralitas masyarakat. Suatu contoh capaian kuantitatif
adalah pertambahan jumlah simbol-simbol religius, misalnya masjid.250
Hal ini menjelaskan mengapa dalam kebanyakan kasus, konfl ik religius
dipicu oleh niat suatu aliran religius untuk membangun simbolsimbol
agama (yaitu masjid, gereja, dan sebagainya.); dan ditentang
oleh pihak lawan. Kasus-kasus Ahmadiyah Cisalada, GKI Yasmin,
misalnya, adalah contoh di mana kekerasan dipicu oleh perselisihan
karena pembangunan masjid dan gereja.251
Hal yang sama terjadi di Sampang. Sebagaimana dinyatakan oleh
Sekretaris Komunitas Cendikiawan Wilayah Jawa Timur dan Kepala
Kesatuan Politis dan Nasional Jawa Timur, Zaenal Buhtadien, konfl ik
timbul karena komunitas Syiah bermaksud membangun kembali
masjid dan rumah keluarga Tajul Muluk yang dibakar ludes pada
2011.252 Pada waktu itu massa dengan marah berusaha menghadang
truk yang membawa bahan bangunan untuk rumah Tajul Muluk,
melemparinya dengan batu dan membakar rumah.253 Tajul Muluk adalah
pemimpin Syiah di Sampang. Simbol-simbol kemenangan religius
juga digambarkan oleh jumlah penganutnya yang terus bertambah.
Sebagaimana ketakutan juga ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah dan
GKI Yasmin, yaitu sejumlah di mana orang Muslim tidak senang dengan
fakta bahwa penganut Ahmadiayah atau Kristen semakin bertambah di
desa mereka. Indikator serupa pasti terjadi juga di Sampang,254
Menurut perspektif mereka, masjid atau gereja adalah suatu
simbol religius yang berfungsi sebagai sentral perkembangan
pengaruh agama. Pengaruh yang bertambah dari agama minor dapat
membahayakan atau melenyapkan eksistensi dan dominasi agama
“mayor.” Selain kontestasi simbol-simbol, konfl ik religius juga timbul
karena klaim-klaim kebenaran, bahwa hanya ada satu kebenaran. Oleh
karena itu, setiap orang yang tidak menganut kebenaran yang sama
pasti dinilai sebagai penghianat. Kerangka pikir ini sangat berpotensi
menyebabkan konfl ik karena menolak pluralitas dalam pemahaman
250 Fajruddin Fatwa, A. Op. Cit
251 Penulis artikel jurnal ini terlibat dalam riset konfl ik religius Ahmadiyah Cisalada dan GKI Yasmin
yang diprakarsai oleh Imparsial.
252 Muslim Daily. Rusuh Massa Syiah vs Sunni di Sampang Madura: 1 Tewas, Puluhan Rumah
Dibakar. (26 Agustus 2012). Diperoleh kembali pada 12/6/2012. http://muslimdaily.net/berita/
lokal/rusuh-massa-syiah-vs-sunnidi-sampan…
253 Muslim Daily. Op. Cit.
254 Peneliti tidak dapat menemukan bukti apa pun untuk mendukung hipotesis tipologis ini.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
278
agama. Dalam kasus ini, suatu agama cenderung meremehkan nilai
agama-agama lain.255 Menurut Haedar Nashir, fenomena itu berasal
dari absolutisme perspektif Islam. “Selalu ada acuan teologis untuk
memperjuangkan dan memenangkan pertempuran untuk penafsiran
Islam”. Jika ada kelompok-kelompok Islam yang selalu menganggap
diri mereka lebih Islam daripada kelompok lain, pada saat itu,
perspektif toleransi menyusut.256
Memang, kehadiran Syiahdi Sampang ditentang oleh beberapa
pemimpin agama setempat; seperti yang tercermin dalam pernyataan
warga Ahl as-Sunnah, Kyai Ali Karrar bahwa keberadaan Syiah di
Madura telah menyebabkan situasi yang tidak harmonis.257 Karena
perbedaan di antara nilai-nilai religius Syiah dan Sunni dikategorikan
sebagai ushul, maka kepercayaan Syiah harus diusir dari Madura.258
Pendekatan pluralisme terhadap beberapa konfl ik religius belum
dapat diterapkan secara langsung dan belum dapat dimengerti oleh
penduduk lokal, karena hal yang diperdebatkan adalah kepercayaan
religius yang sangat fundamental. Sunni vs Syiah memperdebatkan
klaim Nu buatan. Memang benar bahwa dalam perspektif agama,
perbedaan tidak dapat saling menolerir satu sama lain. Akan tetapi,
para pemimpin agama tradisional biasanya tidak dapat memisahkan
konteks: di antara konteks religius dan konteks sosial. Dalam konteks
tertentu seseorang berhak untuk mengklaim kebenaran religius. Tetapi
itu salah bila klaim itu menyusutkan hak-hak hidup komunitas sosioreligius
lainnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Nabi Muhammad,
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.259
Selanjutnya, globalisasi dan modernisasi yang pesat telah
memerangkap komunitas dan rakyat global ke dalam krisis identitas.
255 Mughni, Syafi q A. A Source of Harmony or Confl ict dalam Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik Islam
Indonesia. 2007. Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan
Lembaga Kajian Islam dan Sosial. hlm.133
256 Haedar Nashir adalah Kepala Muhammadiyah Pusat. Kholiq, Abdul, Dicky, Adnan dan Kholid.
Menyikapi Perbedaan Faham Agama. Matan Magazine, 67, 2012: 12
257 Berdasarkan tuduhannya, kaum Sunnimengakui keaslian Alquran sebagai Kitab Suci Islam
dan kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan yang ditentang oleh
kepercayaan Syiah. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan pendapat mayoritas kaum Syiah
(Penyunting).
258 Battar, Saif Al. Syiah Madura Putarbalikkan Fakta. (30 December 2011) (Diakses pada 12
Juni 2012). Arrahmah.com.: http://arrahmah.com/read/2011/12/30/17105-syiah-madura-putarbalikkan…
259 Ungkapan ini berasal dari ayat Alquran 109: 6 (Penyunting).
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
279
Orang-orang yang gagal dapat merasa terasing oleh segala bentuk
lembaga modern. Di dalam konteks itu, agama mempunyai peran yang
sangat penting untuk membangun kembali identitas manusia. Agama
menjadi unsur yang paling gampang untuk mengembalikan semangat
dan kesatuan komunitas. Sayangnya gerakan “kembali ke basis agama”
dan doktrin ini tidak substantif malah normatif. Orang-orang yang
tampak sangat taat pada agamanya dapat menunjukkan moralitas yang
rendah dengan membenarkan tindakan membunuh dan kekerasan.
Menjadi tidak relevan mengaitkan orang-orang Madura yang
kebanyakan merupakan Muslim yang taat, yang telah dididik di
Pondok Pesantren, bahkan lekat dengan simbol-simbol religius dalam
hal sikap, keBudayaan dan penampilan (yaitu, sarung, kopiah,
kerudung, dan keahlian membaca Kitab Suci Alquran): dengan sikap
kejam, serangan kejam yang dapat menyebabkan korban tewas.
Setelah kegagalan doktrin, faktor yang menyebabkan konfl ik di antara
Syiah dan Sunni adalah minoritas tak toleran. Kebanyakan konfl ik
religius dipahami sebagai hegemoni agama arus utama terhadap
agama minor. Oleh karena itu, hegemoni menggambarkan tindakan
tidak toleran yang dilakukan oleh arus utama. Takut tersisih atau
kehilangan pengaruhnya di dalam masyarkat, agama-agama mayor
dapat bertindak memaksa secara sosio-politis terhadap agama minor.
Tetapi sebenarnya, intoleransi ini juga dilakukan oleh agama minor.
Berdasarkan penelitian, beberapa kasus konfl ik religius di Indonesia
menunjukkan bahwa beberapa tindakan provokatif dimulai oleh
agama minor yang menghasut kemarahan masyarakat.
Dalam kasus Sampang, pasti ada tindakan-tindakan berulang
yang dilakukan komunitas Syiah yang tidak disukai kaum Sunni
yaitu, kaum Syiah mendesak orang-orang untuk mengikuti ideologi
mereka, atau menyebarkan nilai ideologis Syiah meskipun sudah ada
undang-undang yang melarang setiap tindakan penyebaran nilainilai
ideologis Syiah. Perasaan tidak senang dipendam sekian lama,
demi harmoni komunitas. Tahun-demi tahun perasaan tak senang itu
dapat berubah menjadi kebencian. Sebagai puncaknya, setiap tindakan
pemicu dapat dengan mudah memancing amarah dan tindakantindakan
bentrokan,260
260 Sayangnya, peneliti tidak dapat menemukan data apa pun untuk mendukung hipotesis ini,
karena peneliti melakukan penelitian berdasarkan literatur ketimbang riset lapangan yang
didukung oleh wawancara langsung dengan warga setempat.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
280
Di Cisalada, Jawa Barat, misalnya, kaum Ahmadiyah dituduh
memancing amarah orang-orang dengan beberapa tindakan berulang
yang dianggap tidak toleran, seperti: penyebaran nilai-nilai religius
melalui brosur di sekolah-sekolah lokal meskipun dilarang oleh peraturan
Pemerintah;261 prakarsa Ahmadiyah menyelenggarakan pertemuan
religius internasional di Cisalada, tanpa terlebih dahulu meminta izin
dari para penduduk desa; ada rumor yang menyatakan bahwa markas
besar Ahmadiyah kelak akan direlokasi di Cisalada, setelah markas
besar terdahulu runtuh oleh serangan kaum radikal; dan maksud warga
Ahmadiyah untuk membangun masjid yang berbiaya tinggi.
Tajul Muluk adalah seorang pemimpin religius Syiah di Sampang.
Pada 12 Juli 2012, Tajul Muluk dijatuhi hukuman oleh Pengadilan
Negeri Sampang dan dinyatakan bersalah karena menghujat Islam.
Tajul dituduh berkhotbah di depan umum bahwa Alquran bukan kitab
suci yang asli, dan bahwa versi sejati Kitab Suci akan diwahyukan hanya
kepada Imam Mahdi.262 Harus disadari bahwa isi khotbah Tajul Muluk
sangat peka dan cenderung melukai umat Muslim yang menganut
kepercayaan arus utama. Minoritas perlu mempertimbangkan dengan
hati-hati tindakan yang dapat menggambarkan identitas religius
mereka. Toleransi adalah kunci penting untuk kedua belah pihak.
Pada tingkat tertentu, peneliti beranggapan bahwa rakyat
Indonesia pada dasarnya merupakan masyarakat yang toleran.
Akan tetapi, inilah yang membawa masalah-masalah selanjutnya.
Saluran komunikasi terganggu. Ketika suatu masalah terjadi, saluran
komunikasi yang menyalurkan aspirasi komunitas kepada pihak
yang berwenang, sering kali terganggu oleh mekanisme yang lemah,
birokrasi yang panjang dan kurangnya kapasitas manusianya. Persis
ketika aspirasi-aspirasi rakyat sampai kepada pihak yang berwenang,
muncul masalah-masalah baru, mekanisme respon yang lemah, yaitu
birokrasi, integritas manusianya yang kurang atau otoritas yang tidak
adil.
Sebagai contoh, ketika terjadi masalah-masalah di Cisalada, warga
mengirim perwakilan mereka kepada pemerintah. Sayangnya, apirasi
mereka mendapat respon yang minimal dan berakhir dengan solusi
yang kurang konkret. Hipotesis yang khas ini juga dapat terjadi dalam
261 Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri atau Surat Keputusan Bupati.
262 Aritonang, Op. Cit.
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
281
kasus Sampang. Masalah-masalah yang berulang terjadi lebih dulu,
dan kemudian para wakil Sunni mencoba menyalurkan aspirasi mereka
kepada pihak berwenang, tetapi tidak ada respon. Saluran komunikasi
yang terganggu dan mekanisme respon yang lemah menandai
kegagalan lembaga pemerintah. Lembaga terdiri dari mekanisme
dan manusia yang mempunyai otoritas untuk membentuk kebijakan.
Di sinilah masalah atau konfl ik sosio-religius dapat dipolitisir oleh
kepentingan subyektivitas yang tak sadar. Ia disebut politik sosioreligius.
Pertama, adalah mengenai subyektivitas tak sadar. Kelas-kelas
yang berkuasa di Madura kebanyakan adalah Sunni. Mereka mungkin
bekerja sebagai karyawan swasta atau di sektor pemerintah, sebagai
politisi yang berpengaruh, pengkhotbah, pemimpin atau guru
Madrasah. Di Madura, warga Sunni yang telah dipengaruhi oleh doktrin
religius yang ekslusif—meskipun dalam pengaruhnya yang paling
rendah—menjalankan dan mengendalikan fungsi sosial-politik. Oleh
karena itu, ketika mereka membuat kebijakan publik, subyektivitas
mereka mau tak mau terlibat, menegakkan kepentingan-kepentingan
komunitas mereka dan mungkin tidak mau menampung kepentingan
kaum Siyah. Iman dan kehendak untuk melestarikan nilai-nilai suci
yang dipercaya sebagai satu-satunya kebenaran mempengaruhi secara
tidak terelakkan proses pembuatan keputusan.
Berdasarkan Akta Hukum (Law Act) Nomor 1/SKF- MUI/
JTM/I/2012 pada 21 Januari 2012, Majelis Ulama Indonesia ( MUI)
menyatakan bahwa Syiahadalah agama yang menyesatkan. Sekretaris
MUI Jawa Timur mengklaim bahwa Akta Hukum didasarkan pada
serangkaian wacana dan pertimbangan yang cermat atas kitab-kitab
suci Syiah: Bihan al-Amar, Furu’ al-Kahfi , di kalangan para pemimpin
religius sejak 2004. Fatwa itu dipandang mengikuti dan mendukung
keluarnya fatwa MUI Pusat pada 1984 yang menyarankan agar umat
mewaspadai nilai-nilai religius Syiah.263
Lebih lanjut, keluarnya kebijakan atau fatwa sering kali tidak
mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya bahwa ia dapat
menciptakan konfl ik yang berkepanjangan di dalam masyarakat.
263 Arifi n, Nurul. MUI Jatim Kukuh Takkan Cabut Fatwa Syiah Sesat. (2012, September 6). Diperoleh
kembali pada 12/6/2012. http://surabaya.okezone.com/read/2012/09/06/519/685877/mui-jatimkuku.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
282
Kelemahannya adalah bahwa tidak ada evaluasi, dari otoritas yang
relevan, setelah pengeluaran kebijakan—bagaimana dampaknya
terhadap masyarakat. Kebijakan-kebijakan ini cenderung memperkuat
pihak yang satu dan melemahkan pihak lainnya. Akan tetapi, jika
pemerintah menganut konsep pluralisme dan menjunjung hak sipil
yang sama, semua agama harus mempunyai hak yang sama dan
diperlakukan secara sama, tetapi adil. Jika, entah bagaimana, suatu
ideologi tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa, harus ada kebijakan
yang didukung oleh penegakan hukum yang ketat. Agar tidak
menciptakan kondisi yang ambigu baik bagi kaum Sunni dan Syiah.
Kedua, kegagalan lembaga adalah hasil dari kepentingan politis
manusia. Di dalam setiap lembaga sosio-politis, bahkan religius,
akan ada komunitas-komunitas kecil yang bermain. Mereka bisanya
mempunyai pengaruh untuk menjalanan dan mengendalikan.
Mereka dapat membentuk suatu sistem kerusuhan terlembaga untuk
menguntungkan orang-orang atau komunitas tertentu dan untuk
mencari dominasi dan kekuasaan politis.
Isu-isu agama di Indonesia sangat rentan untuk dipolitisir oleh
orang-orang tertentu untuk mencapai tujuan politik mereka. Mengapa
demikian? Pertama, karena simbol-simbol agama adalah seruan bendera
yang efektif.264 Kedua, karena umat beragama Indonesia terutama—
khususnya untuk kasus ini adalah orang Madura—mengadopsi
kesetiaan iman yang buta, yang diperburuk oleh tingkat pendidikan
yang rendah. Sebagaimana dinyatakan dalam teori, “Sentimen religius
untuk kepentingan politis dimungkinkan ketika umat mempunyai
pengertian yang dangkal atas agama (kesetiaan buta); dan masyarakat
masih didominasi oleh orang-orang berpendidikan rendah.265
Juga penting dimengerti bahwa karakter religiositas umat Muslim
di Indonesia adalah Ummah, yang berarti bahwa mereka sangat patuh
kepada pemimpin religiusnya bahkan tanpa proses mempertanyakan
secara tekstual dan kontekstual.266 Ironisnya, beberapa pemimpin
264 A’la, Abd. Konfl ik Agama, Etnisitas dan Politik Kekuasaan: Membincang Akar Persoalan dan
Signifi kansi Pengembangan Teologi Transformatif. In Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik Islam
Indonesia. 2007. Yogyakarta Lembaga Studi Agama dan Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan
Lembaga Kajian Islam dan Sosial, hlm. 103
265 Fatwa, A. Fajruddin. Op.Cit. 61
266 43 Putri, Rima Sari Indra (2012) The Anti-Terrorism Cooperation between the National
Agency for Contra Terrorism (BNPT) and Civil Society with Study Case of Muhammadiyah
Disengagement in the Signing of Memorandum Of Understanding (MOU) between BNPT and
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
283
religius, meskipun mereka tergolong sebagai Islam moderat, Ahl as-
Sunnah atau arus utama, mereka mempunyai pengertian religius yang
benar-benar ekstrim, pendirian religius yang ekslusif yang tidak relevan
dengan nilai-nilai pluralisme. Sementara di Indonesia, kaum elit itu
penting karena rakyat akan mengikuti religiositas para pemimpinnya.267
Seperti diakui oleh mantan ketua Nahdatul Ulama (PBNU), organisasi
Islam non politis terbesar di dalam negeri, Hasyim Muzadi, “Muslim
Madura cenderung mematuhi para imam melebihi ajaran Kitab Suci.”268
Noer Tjahja, Pemimpin Sampang, mengklaim di media bahwa
konfl ik Sampang bukan tentang konfl ik agama semata, “Itu konfl ik
pribadi” klaimnya. Tajul Muluk mempunyai masalah pribadi dengan
saudaranya Roisul Hukama. Kedua orang itu kebetulan adalah
pemimpin kaum Syiahdan mempunyai cukup banyak pengikut.
Bagaimanapun juga, isu-isu konfl ik yang berkembang kemudian
disebabkan oleh perbedaan ideologis”. Oleh karena itu, asumsi yang
menyatakan bahwa konfl ik Sampang semata-mata religius harus
diperdebatkan. Memang, kepentingan pribadi kedua pihak tidak
diketahui peneliti. Tetapi biasanya, faktor kontestasi sosio-religius
bermain, yaitu percekcokan pemilihan atau ekonomi.
Konfl ik Sampang pada Agustus 2012 melibatkan seribu orang
yang mengamuk menyerang keluarga-keluarga Syiah dan membakar
harta benda mereka. Secara teoritis, harus ada otoritas religius yang
bertanggung jawab, yang memobilisasi ratusan orang dan mengubah
mereka menjadi perusuh potensial. Para pemimpin spiritual atau
komunitas mungkin memberikan basis religius untuk membenarkan
tindakan kekerasan dan pembunuhan.269
Islamic organizations in 2011. Jakarta: Universitas Pertahanan Indonesia.
267 Jainuri, Achmad. Konfl ik, Pluralisme dan Multikulturalisme: Dasar Teologis dalam Pengalaman
Sejarah Agama. dalam Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik Islam Indonesia. 2007. Yogyakarta:
Lembaga Studi Agama dan Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial,
hlm. 124
268 RH., Priyambodo, Kaum Imam memegang kunci untuk menyelesaikan konfl ik Sampang.
(1 September 2012). Diperoleh kembali pada 12/10/2012. http://www.antaranews.com/en/
news/84291/clerics-hold-key-to-settle-s…
269 Mengapa orang mengikuti pemimpin ekstrimis yang menghasut kekerasan ketimbang
pemimpin moderat yang bekerja untuk perdamaian? Ini disebut ‘teori politik simbolik’
yang menekankan peran-peran kelompok dan ketakutan-ketakutan. Teori politik simbolik
menyarankan bahwa ketika kompleks simbol-mitos kelompok menunjuk kepada kelompok
lain sebaga musuh, para anggotanya akan dipengaruhi untuk memusuhi kelompok lain itu.
Lihat Kaufman, Stuart J. Op. Cit. p. 208. Identifi kasi religius biasanya sesuai dengan beberapa
pemimpin resmi atau semi-resmi—yang kerap bercekcok—yang mengklaim mampu berbicara
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
284
Di dalam sistem demokratis, semua faktor penyebab konfl ik di
atas diakomodasi oleh pemerintah dan penegakan hukum yang lemah.
Seperti dinyatakan di dalam teori, “konfl ik-konfl ik religius paling
mungkin menghasilkan kekerasan serius ketika pemerintah lemah.”270
Sebagian besar peristiwa pembunuhan dimulai dengan alasan sederhana.
Pemicunya mungkin perkawinan, perayaan agama, penyalahgunaan,
penyebaran atau pembangunan; atau campur tangan eksternal. Jenis
pemicu itu mungkin bekembang menjadi ancaman yang lebih besar dan
membangkitkan ketakutan, kebencian dan kemarahan terhadap ‘salah satu
di antara kita’ menjadi ‘beri mereka pelajaran’.271 Forum Aliansi Nasional
Bhinneka Tunggal Ika mengklaim bahwa kekerasan dipicu oleh kelompok
anti-Syiah yang mencoba menghentikan para murid Syiah kembali ke
asrama sekolahnya di Bangil, Jawa Timur setelah menghabiskan libur Idul
Fitri di rumah. Anak-anak itu melaporkan perilaku yang mengancam itu
kepada polisi, dan kelompok anti-Syiah menanggapi laporan itu dengan
mendatangi desa Syiah dan mengamuk.272 Tak soal seberapa dalam dan
rumit kebencian yang terpendam, di antara kedua komunitas, alasan
pemicu mungkin terlihat terlalu sederhana untuk menyebabkan seribu
orang mengamuk.
Di sinilah pentingnya pemerintah dan para petugas kemanan,
untuk mampu mendeteksi bahwa sesuatu yang salah dan mengerikan
berpotensi untuk terjadi. Jika mekanisme keamanan berjalan dengan
benar, potensi konfl ik akan terdeteksi lebih awal dan tindakan
pencegahan dapat dilakukan. Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menandakan penegakan hukum yang lemah di Sampang
dengan mengatakan bahwa kegagalan intelijen menyumbang bagi
terjadinya konfl ik itu. Harus disadari bahwa konfl ik itu dapat meluas
jika pasukan keamanan tidak melakukan usaha-usaha yang gigih
untuk menghentikan pembunuhan.273
Penyebab terakhir, tetapi yang paling penting adalah “sistem
kepercayaan.” Jika kita berbicara tentang karakteristik religius orang
Madura, kita sedang berbicara tentang sistem kepercayaan mereka.
Sistem kepercayaan cenderung didefi nisikan sebagai kerangka pikir
atas nama komunitas religius. Buzan, Barry, Op. Cit. hlm. 124
270 Biasanya sudah ada ketegangan yang lama untuk memotivasi pembunuhan.
271 Kaufman, Stuart J. Op. Cit. hlm. 206
272 Aritonang, Op. Cit.
273 R.H., Priyambodo. Op. Cit.
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
285
primordial setiap etnisitas dan agama. Sistem kepercayaan adalah
kebanggaan etnis dan identitas religius; ia adalah soal pengorbanan
diri dan kelompoknya untuk membela harga diri dan kehormatan.
Dalam perspektif yang keras, sistem kepercayaan adalah kesetiaan
askriptif yang dipatuhi para penganut tanpa proses mempertanyaan
secara tekstual dan kontekstual. Kesetiaan adalah harga mati. Untuk
menunjukkan identitas, ekslusivitas, dan kebencian atau perilaku
agresif mereka kepada agama lain (atau orang luar) adalah dengan
mengacu kepada naskah suci atau keramat. Berdasarkan Teori
Konstruktif Geerts, sistem kepercayaan digolongkan sebagai model
perilaku manusia. Oleh karena itu, sistem kepercayaan mengambil
bagian yang penting dalam setiap konfl ik religius-etnis.274
Peneliti dapat memberi argumen-argumen yang sangat subyektif
kepada aspek ini, karena peneliti sendiri lahir di Madura. Di dalam
konteks agama, mayoritas orang Madura adalah Muslim dan mereka
dapat dikategorikan sebagai Muslim tradisional yang taat dengan
kebudayaan religius yang kuat. Sebagian besar murid belajar di madrasah.
Seperti umat Muslim Indonesia lazimnya, mereka sangat mematuhi dan
menghormati para pemimpin agamanya. Khususnya karena orang-orang
yang berpendidikan rendah masih dominan.Di dalam konteks etnisitas
dan karakter, orang Madura mempunyai karakter yang kuat, berani
bertempur dan mengambil resiko untuk membela harga diri, keluarga dan
komunitas. Di Madura kita mengenal istilah “ango’a poteya tolang etembang
poteya mata” atau lebih baik membela kecemerlangan bersihnya tulang
daripada mata. Tulang menyimbolkan harga diri dan kebanggaan yang
harus dibela mati-matian, sekalipun dengan taruhan nyawa. Mereka juga
mempunyai emosi yang sangat tinggi, sekali lagi karena Madura masih
didominasi orang-orang berpendidikan rendah. Mengamati perjalanan
hitoris konfl ik etnisnya, orang Madura terus terlibat di dalam konfl ikkonfl
ik dengan Dayak di Sambas. Mereka juga mempunyai kebudayaan
Caro.275
Tanpa mengikis religiusitas dan karakter budaya orang Madura;
pentinglah memahami bagaimana manajemen sistem kepercayaan dari
komunitas-komunitas yang berkonfl ik dapat meminimalkan potensipotensi
konfl ik di masa depan.
274 Hilmy, Masdar. Op. Cit. hlm. 30-32
275 Budaya tarung dengan senjata tradisional untuk membela harga diri.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
286
Kesimpulan
Tidak dapat dikatakan bahwa akar-akar konfl ik di antara Sunni
dan Syiah di Sampang terutama disebabkan oleh kontestasi religius.
Ada suatu mata rantai sebab-sebab konfl ik yang terjadi di Sampang.
Perbedaan agama bercampur aduk dengan kepentingan sosiopolitik.
Konfl ik itu juga terakomodasi oleh kegagalan pemerintah dan
penegakan hukum yang lemah. Faktor penting lainnya adalah faktor
sosial, di dalam kasus ini adalah sistem kepercayaan lokal.
Kompleksitas sebab-sebab menghendaki metode terpadu
dan aktor-aktor yang terlibat di dalam resolusi konfl ik dan proses
pendamaian. Di bawah ini ada beberapa rekomendasi: Pertama,
karena kaum imam memainkan peran penting untuk mempengaruhi
dan mengarahkan opini publik, pentinglah memperkuat komunikasi
di antara kaum imam dengan pemahaman religius yang berbeda.
Pendekatan ini menghendaki kaum imam dan komunitas religius
menurunkan ego mereka, bersedia duduk bersama, untuk mencapai
kondisi yang damai. Jika ini kedengarannya terlalu sulit, harus ada
badan-badan nasional yang menyokong, memberi perhatian yang
memadai kepada isu-isu ini, untuk berkonsentrasi secara maksimal
dan berusaha memecahkan masalah serta bertindak sebagai mediator.
Kedua, harus dimengerti bahwa berbagai aliran ideologis berasal
dari masalah-masalah politis dan tidak disebabkan oleh perbedaan
dalam aqidah atau muatan ideologis. Berdasarkan sejarah, pada akhir
Khulafa ur-Rasydin, terjadi perang di antara kelompok Ali dan Aisyah
dan Mu’awiyah. Masing-masing pihak menggunakan basis ideologis
untuk memisahkan pertimbangan yang benar dan salah. Kondisi itu
kemudian berkembang menjadi penafsiran Islam yang lebih beragam:
Syiah, Sunni, dan lainnya. Oleh karena itu, aliran ideologis harus
dilihat sebagai sesuatu yang berharga dalam Islam untuk membumbui
pengetahuan kita ketimbang merintangi kerangka berfi kir kita.
Memaksakan keseragaman bertentangan dengan kemanusiaan di
dalam dimensi pluralisme dan multikulturalisme. Ia juga bertentangan
dengan pengalaman historis agama itu sendiri.”276 Keberagaman
adalah suatu akses terbuka, tidak ada ruang untuk saling bertempur
satu sama lain. Hindari pertimbangan yang dangkal. Umat Islam harus
menghindari kelompok dalam-kelompok luar, minna-minkum, kami-
276 Jainuri, Achmad. Op. Cit. hlm. 119
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
287
kamu dan kerangka pikir benar atau salah karena beragam di dalam
Islam bukan berarti mengeluarkan. “Mari saling membantu pada
sesuatu yang kita sepakati dan saling menghargai untuk sesuatu yang
tidak kita sepakati” (M. Rasyid Ridha).277
Ketiga, dari segi masyarakat, penduduk lokal harus diberdayakan
dalam dua aspek: ekonomi dan struktur. Pendekatan ekonomis adalah
usaha kewiraswastaan untuk mempekerjakan penduduk lokal dan
mengembangkan tingkat ekonomi. Pendekatan struktural berarti
menciptakan pemerintahan yang kuat dan penegakan hukum melalui
pembaharuan di sektor keamanan, pembaharuan tatakelola, promosi
jaminan kemanusiaan, implementasi demokrasi substantif ketimbang
demokrasi normatif dan kulit luar. Ada beberapa aktor kunci yang
harus dilibatkan dan diperkuat, yaitu: kaum imam, pemimpin
komunitas, petugas keamanan dan pejabat pemerintah. Jangan lupa
bahwa media dalam masyarakat masa kini memainkan suatu peran
yang sangat penting. Oleh karena itu, media hanya boleh menyiarkan
berita yang didasarkan pada fakta, menyajikannya secara adil dan
berimbang. Media bertanggung jawab untuk mengurangi beritaberita
yang berpotensi menyiratkan tindakan-tindakan anarkis besarbesaran.
Media juga harus mengoptimalkan fungsinya untuk mendidik
masyarakat tentang pentingnya toleransi.[]
Daftar Pustaka
A’la, Abd. Konfl ik Agama, Etnisitas dan Politik Kekuasaan:
Membincang Akar Persoalan dan Signifi kansi Pengembangan
Teologi Transformatif. Dalam Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik
Islam Indonesia. 2007. Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan
Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan Lembaga Kajian Islam dan
Sosial.
Buzan, Barry, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, 1988. Security: A New
Framework for Analysis (London: Lynne Rienner).
Fajruddin Fatwa, A. “Relasi Agama Dalam Konfl ik Sosial” in Thoha, et.
all Resolusi Konfl ik Islam Indonesia. 2007. Yogyakarta: Lembaga
Studi Agama dan Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan Lembaga
Kajian Islam dan Sosial.
277 Kholiq, Abdul, Dicky, Adnan and Kholid. Satu Islam Beragam Aliran. Matan Magazine. Op. Cit.
hlm. 8-11
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
288
Hilmy, Masdar, 2007. “Rekonstruksi Paradigma Teori dan Resolusi
Konfl ik Agama-Etnik” dalam Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik
Islam Indonesia(Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan
Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan Lembaga Kajian Islam dan
Sosial).
Jainuri, Achmad, 2007. “Konfl ik, Pluralisme dan Multikulturalisme:
Dasar Teologis dalam Pengalaman Sejarah Agama” dalam
Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik Islam Indonesia (Yogyakarta:
Lembaga Studi Agama dan Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan
Lembaga Kajian Islam dan Sosial).
Kaufman, Stuart J., 2008. “Ethnic Confl ict” dalam Williams, Paul D.
(Penyunting), Security Studies: An Introduction (New York:
Routledge).
Kholiq, Abdul, Dicky, Adnan and Kholid, 2012. Menyikapi Perbedaan
Faham Agama. Matan Magazine. No.67.
Mughni, Syafi q A., 2007. “A Source of Harmony or Confl ict” dalam
Thoha, dkk. Resolusi Konfl ik Islam Indonesia. 2007 (Yogyakarta:
Lembaga Studi Agama dan Sosial, IAIN Sunan Ampel, dan
Lembaga Kajian Islam dan Sosial).
Putri, Rima Sari Indra, 2012. The Anti-Terrorism Cooperation between the
National Agency for Contra Terrorism (BNPT) and Civil Society
with Study Case of Muhammadiyah Disengagement in the Signing
of Memorandum Of Understanding (MOU) between BNPT and
Islamic organizations in 2011 (Jakarta: Universitas Pertahanan
Indonesia).
Aminuddin, Choirul, Erwin Zachri, Cornila Desyana, and Praga Utama.
4 Periode Penyebaran Syiah di Indonesia. (2 September 2012)
Arifi n, Nurul. Inilah Alasan Pengungsi Syiah Tinggalkan GOR
Sampang.
________, MUI Jatim Kukuh Takkan Cabut Fatwa Syiah Sesat. (6
September 2012).
Aritonang, Margareth S, Apriadi Gunawan, Wahyoe Boediwardhana
dan Sita W. Dewi. Jakarta Post. (27 August 2012). 2 dead in
Sunni-Shiite mayhem in Madura.
Artika R., Putri. Perkumpulan 6211. Menkum HAM Minta Bentrok
Sampang tak Dikaitkan Sunni dan Syiah.
Battar, Saif Al. Syiah Madura Putarbalikkan Fakta. (30 December 2011)
MATA RANTAI SEBAB-SEBAB KONFLIK
DIANTARA SYIAH DAN SUNNI DI MADURA
289
Gandhi, Grace S., Asal Muasal Perpisahan Syiah dari Sunni. (1
September 2012)
RH., Priyambodo, Clerics hold key to settle Sampang confl icts. (1
September 2012).
Sari, Dianing. Siapa Syiah, Siapa Sunni. (1 September 2012).
Tempo. Kominda Jatim: Rusuh Sampang Dipicu Rencana Pembangunan
Kembali Masjid Syiah.

291
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA
UNTUK PENGAKUAN278
Zulkifl i
Pengantar Mayoritas Muslim Indonesia adalah penganut Sunni yang
dikenal dengan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau biasa
disingkat Ahl as-Sunnah atau Aswaja, yang juga merupakan
mayoritas penduduk Muslim di dunia. Akan tetapi, terdapat sejumlah
kecil penganut Syiah yang hidup di tengah kaum mayoritas tersebut.
Yang dimaksud Syiah dalam tulisan ini adalah Syiah Itsna Asyariyah
atau kadang-kadang disebut Syiah Imamiyah atau Ja‘fariyah, yaitu
aliran Islam yang meyakini dua belas Imam sepeninggal Rasulullah
dan, dalam kehidupan sehari-hari, mempraktikkan fi qh Ja‘fari–fi qh
yang dinisbahkan kepada Imam Ja‘far al-Sadiq, Imam keenam. Syiah
adalah aliran Islam minoritas yang dalam berbagai aspek berbeda
dan bahkan bertentangan dengan aliran Sunni dan aliran ini diduga
dianut oleh sekitar 10% dari total penduduk Muslim dunia. Syiah
hanya mayoritas di Iran (sekitar 90%), Irak (60%) dan Bahrain (60%).
Syiah sendiri menjadi madzhab resmi masyarakat dan negara Iran
sehingga terdapat kesan bahwa Syiah identik dengan Iran. Mungkin
278 Tulisan ini merupakan edisi revisi dan pengembangan dari artikel dengan judul “ Taqiyah:
Strategi Syiah di Tengah Mayoritas Sunni di Indonesia yang terbit dalam Dialog: Jurnal
Penelitian dan Kajian Keagamaan(62), 2006. Sebagian data dan uraian dalam tulisan ini juga
dimuat dalam disertasi penulis (2009).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
292
karena posisinya yang minoritas tersebut, Syiah tidak mendapat
perhatian sebesar perhatian terhadap Sunni. Baru setelah kemenangan
Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Ruhollah
Khomeini (1901-1989), Syiah mendapat perhatian yang besar dari para
sarjana, termasuk sarjana Barat.
Eksistensi kelompok Syiah di Indonesia, seperti halnya di daerah
lain di luar Iran, masih belum banyak diketahui, baik oleh para sarjana
maupun oleh pemimpin Muslim sendiri. Padahal beberapa penulis
beranggapan bahwa Syiah sudah masuk ke wilayah Nusantara sejak
awal kedatangan Islam dan pengaruhnya cukup kuat dalam tradisi
Islam di Nusantara. Yang pasti, kemenangan Revolusi Islam Iran
telah menarik minat sejumlah Muslim Indonesia dan tidak sedikit dari
mereka yang konversi ke Syiah. Kondisi objektif kelompok ini masih
perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif.
Sejauh riset yang sudah dilakukan, tidak diketahui berapa jumlah
penganut Syiah di Indonesia. Tokoh-tokoh dan penganut Syiah sendiri
mencoba memberikan prediksi secara berbeda satu sama lain. Ahmad
Baragbah, pimpinan Pesantren Al-Hadi di Pekalongan Jawa Tengah,
misalnya, pada 1995 menyebutkan bahwa ada sekitar dua puluh lima
ribu penganut Syiah di Indonesia (Nurjulianti dan Subhan 1995:21).
Padahal sekitar dua dekade sebelumnya ulama Syiah Lebanon
Muhammad Jawad Mughniyah (1973:204) memprediksi sekitar satu
juta Syiah di Indonesia. Perbedaan yang mencolok ini bukan karena
terjadi penurunan jumlah tetapi karena memang tidak ada dasar yang
dijadikan pijakan untuk memprediksi, apalagi menetapkan secara
pasti, data kuantitatif penganut Syiah. Hampir bisa dipastikan bahwa
tidak mungkin dilakukan sensus tentang penganut Syiah di negeri
ini. Islamic Cultural Center Jakarta, institusi Syiah yang disponsori
Iran, pada tahun 2000 pernah mencoba melakukan usaha tersebut
dengan menyebarkan kuesioner kepada para ustaz dan penganut
Syiah Indonesia tetapi tidak berhasil, karena tidak ada kuesioner yang
dikembalikan kepada penyelenggara.
Kegagalan penyediaan data kuantitatif tersebut dapat dikaitkan
dengan ajaran dan praktik taqiyah, yang biasa dipahami sebagai
penyembunyian keyakinan diri guna menghindar dari bahaya dan
malapetaka yang mungkin terjadi, yang seringkali dianggap sebagai
karakteristik khas Syiah dan bahkan identik dengan Syiah. Baik aliran
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
293
Syiah maupun ajaran dan praktik taqiyah seringkali dipandang secara
negatif oleh sebagian kaum Sunni, khususnya kelompok anti-Syiah.
Ada yang berpendapat bahwa Syiah adalah ‘agama taqiyah’ sehingga
Syiah sulit dipisahkan dari kebohongan dan kemunafi kan. Terlepas
dari persepsi dan sikap negatif terhadap ajaran dan praktik taqiyah,
pengalaman penulis ketika fi eldwork (studi lapangan) untuk penulisan
disertasi pada 2002 menunjukkan kuatnya indikasi praktik taqiyah di
kalangan penganut Syiah di Indonesia dan pengalaman itulah yang
menginspirasi tulisan ini.
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan secara objektif
bagaimana komunitas Syiah di Indonesia memahami ajaran taqiyah dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu
strategi untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi madzhab
dan penganutnya di tengah mayoritas masyarakat Muslim Sunni. Secara
rinci, tulisan ini bertujuan untuk: 1) mengungkap dasar doktrin tentang
taqiyah sebagai yang dipahami oleh kelompok Syiah dimaksud; 2)
mengungkap bagaimana strategi taqiyah yang diterapkan dalam kaitannya
dengan masalah identitas; dan 3) menjelaskan mengapa strategi taqiyah
diterapkan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan eksistensi
madzhab Syiah dan penganutnya di Indonesia.
Tulisan ini didasarkan atas penelitian yang menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dalam rangka
memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang objek yang dikaji.
Penelitian tersebut mencakup fi eld research (penelitian lapangan)
maupun library research (studi pustaka). Data dikumpulkan melalui
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis juga dilakukan
dengan cara deskriptif-kualitatif. Tulisan ini signifi kan dalam rangka
memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang
kompleksitas kehidupan beragama masyarakat Muslim Indonesia.
Doktrin Taqiyah
Secara umum, “taqiyah [atau reservatio mentalis, Latin] adalah
penjagaan seseorang atas dirinya dengan menampakan sesuatu yang
berlawanan dengan apa yang ada dalam hatinya” (Tim ABI 2012:80).
“ Taqiyah adalah strategi menyembunyikan keyakinan di hadapan
musuh untuk menghindari terjadinya bencana” (Alatas 2002:142).
Dalam pengertian ini, meskipun konsep ini sering dianggap sebagai
khas Syiah, praktiknya sangat umum khususnya bagi kelompok
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
294
penganut agama atau aliran minoritas yang berada di bawah penguasa
otoriter yang opresif. Hanya saja mereka tidak menggunakan konsep
taqiyah (Alatas 2002:144). Dalam pandangan sebagian besar kaum
Sunni, konsep taqiyah memiliki makna negatif yang identik dengan
kebohongan dan kemunafi kan. Oleh sebab itu, Jalaluddin Rakhmat
(1998: lix) mengusulkan agar tidak menggunakan istilah taqiyah
untuk menyebut praktik tersebut. Sebagai altenatifnya, ‘pendekatan
yang luwes dan silaturrahmi’, misalnya, istilah yang netral yang bisa
diterima secara umum. Dengan penggunaan istilah netral tersebut,
alasannya, praktik taqiyah dapat dibenarkan.
Bagi kelompok Syiah, taqiyah tentu saja dipahami secara positif.
Taqiyah bebeda dengan kemunafi kan (nifaq). Kalau kemunafi kan
adalah penyembunyian kekufuran dan penampakan keimanan,
taqiyah adalah sebaliknya, yaitu penampakan kekufuran dan
penyembunyian keimanan karena alasan keamanan dan alasanalasan
baik lainnya (Tim ABI 2012: 81). Syiah mengakui bahwa ajaran
dan praktik taqiyah mempunyai landasan doktrinal yang kokoh
dalam ajaran Islam. Mereka biasanya menggunakan sejumlah dalil
naqli (teks) maupun dalil aqli (akal) untuk melegitimasi praktik taqiyah
dimaksud. Selain itu, taqiyah juga diyaitu sudah dipraktikkan oleh
para sahabat Nabi Muhammad dan praktik tersebut dibenarkannya.
Salah satu dalil naqli yang paling sering dipakai adalah ayat Alquran
(3:28) yang berarti:
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafi r
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).
Ayat di atas juga didukung oleh pembenaran Nabi Muhammad atas
praktik taqiyah oleh sahabat terkenal Ammar bin Yasir. Dalam cerita
tersebut, yang dianggap sebagai sebab turunnya ayat 106 dalam surat
al-Maidah, dikatakan bahwa pasca hijrah Nabi ke Madinah, para
penguasa kafi r Mekah berbuat zalim terhadap para penganut Islam.
Salah satu keluarga yang mengalami penganiayaan adalah keluarga
Ammar bin Yasir. Orang tuanya tewas karena menolak untuk murtad
dan kembali ke agama paganisme. Agar terhindar dari penganiayaan
orang kafi r, Ammar ber-taqiyah dengan berpura-pura mengakui
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
295
murtad sehingga dia terbebas dan kemudian lari menuju Madinah.
Dengan penuh ketakutan dan kehawatiran, dia menceritakan kejadian
tersebut kepada Nabi, tetapi Nabi ternyata membenarkan dan bahkan
memuji tindakannya. Ayat dalam surat al-Maidah tersebut berbunyi:
Barangsiapa yang kafi r kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafi r
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafi ran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Ayat tersebut dianggap sebagai jaminan Allah bahwa “Seseorang
diperkenankan menyatakan sesuatu yang tidak ia yakini kebenarannya,
karena keterpaksaan akibat ancaman dan siksaan” (Soeherman 1998:
354). Dengan dalil-dalil naqli tersebut taqiyah memiliki landasan
yang kokoh dalam sistem ajaran Islam. Selain itu, taqiyah mempunyai
fondasi yang kuat dalam sejarah Islam di mana “the Shi‘is have been a
minority amidst the global Islamic community and have lived mostly under
regimes hostile to their creed” [Kaum Syiah selama ini menjadi minoritas
di tengah umat Islam dunia dan kerap hidup di bawah rezim-rezim
yang memusuhi madzhab mereka (Penyunting)] (Enayat 2005:175).
Tirani dan kekejaman dinasti Umayah dan Abasiyah telah memaksa
para Imam dan pengikutnya untuk menyembunyikan keyakinan yang
sesungguhnya agar dapat melestarikan eksistensi dan kelangsungan
Syiah.
Dalam perspektif Syiah, kebanyakan Imam Syiah tidak
mendeklarasikan keimamahannya kepada publik karena mereka
melakukan taqiyah. Taqiyah dianggap sebagai satu-satunya strategi yang
diimplimentasikan untuk menghindari tirani dan kekejaman rezim
tersebut (Alatas 2002: 144). Jadi bahwa taqiyah dibenarkan adalah logis
terutama jika agama atau keyakinan hendak dirusak orang, sementara
penganutnya tidak mampu berbuat apa-apa (Al-Habsyi 1991: 95).
Akan tetapi, taqiyah dibenarkan tidak hanya karena alasan takut
tetapi juga demi persatuan di kalangan kaum Muslim. Berkenaan
dengan tipe taqiyah ini, yaitu taqiyahmudharatiyah, Jalaluddin Rakhmat
(Rakhmat 1998: lix) mengutip fatwa Khomeini: “Yang dimaksud dengan
taqiyah mudharat adalah taqiyah yang dilakukan untuk menyatukan
kaum Muslim dengan menarik kecintaan para penentang dan
memperoleh kasih-sayang mereka; bukan karena mengkhawatirkan
adanya ancaman seperti taqiyah khauf”. Dalam praktiknya, seseorang
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
296
menyembunyikan sikap sesungguhnya, termasuk sikap negatif,
terhadap kelompok lain yang berbeda paham dengan menampilkan
tindakan yang positif sehingga dapat mencapai ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan kaum Muslim).
Tipe taqiyah kedua ini juga memiliki landasan dari hadist sebagai
dikemukakan Jalaluddin Rakhmat (1998: lix) yang merujuk pandangan
Khomeini yang mengutip hadist dari Abu Abdillah berikut ini:
Jauhilah olehmu perbuatan yang menyebabkan kamu dipermalukan
karenanya. Karena, anak yang buruk mempermalukan bapaknya
dengan amalnya. Jadilah kamu penghias bagi kelompok yang
kamu nisbahkan dirimu padanya. Janganlah kamu mendatangkan
cela bagi kami. Salatlah di tempat jama‘ah salat mereka, kunjungi
orang sakit mereka, antarkan jenazah mereka. Janganlah mereka
mendahului kamu dalam apa pun yang berupa kebaikan. Kamu
harus lebih dahulu dari mereka. Demi Allah, tidak ada yang
lebih disukai Allah dalam ibadah kepadanya selain al-khiba. Aku
bertanya: ‘Apa al-khiba?’ Ia berkata: ‘ Taqiyah’.
Masih terdapat banyak dalil yang dipakai penganut Syiah Indonesia
dalam memahami keabsahan ajaran taqiyah. Singkatnya, bagi penganut
Syiah Indonesia terdapat dua tipe taqiyah, yaitu taqiyah karena takut
(makhafatiyah) dan taqiyah untuk persaudaraan (mudharatiyah) yang
memiliki landasan doktrinal dan rasional yang kokoh.
Identitas dan Taqiyah
Meskipun taqiyah tidak identik dengan rahasia (secrecy), praktik
taqiyah berkaitan erat dengan rahasia. Yang jelas, taqiyah berkenaan
dengan persoalan apakah yang perlu dirahasiakan atau disembunyikan.
Dalam defi nisi taqiyah di atas, yang disembunyikan adalah keyakinan.
Tetapi, keyakinan berkaitan erat dengan identitas penganutnya, lembagalembaga,
praktik-praktik religius serta atribut-atribut yang terkait.
Sebagai suatu madzhab, Syiah mencakup sistem keyakinan, fi qh, unsur
ketaqwaan, dan prinsip-prinsip lain yang semuanya merupakan kesatuan
yang tak terpisahkan. Dengan demikian, aspek-aspek yang dirahasiakan
menjadi jamak. Yang menjadi persoalan adalah aspek mana yang penting
untuk dirahasiakan, kapan, dan bagaimana caranya. Persoalannya
kemudian menjadi semakin rumit ketika dihadapkan kepada prinsip
misionaris (dakwah) sebagai karakteristik umum agama dan madzhab
yang mengharuskan penganutnya menyebarluaskan ajarannya kepada
yang lain dan menarik pengikut sebanyak mungkin. Bahkan prinsip
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
297
dakwah itu inheren dalam hampir semua agama dan madzhab. Kaitan
taqiyah dengan prinsip dakwah ini akan dibahas secara sepintas pada
bagian recognition (pengakuan) di bawah nanti.
Praktik taqiyah terpenting berkenaan dengan identitas baik identitas
sosial, personal maupun ‘ego’ atau identitas yang dirasakan (Goffman
1986). Bagi Mudzhar et al. (2004), identitas primordial terpenting bagi
orang Indonesia adalah yang berdasarkan suku dan agama serta,
berkenaan dengan yang terakhir, Islam sudah diasosiasikan dengan
identitas kebangsaan Indonesia meskipun karakteristik dan tipe Islam
yang dianut menjadi masalah penting untuk dikaji. Karena mayoritas
penganut Islam di Indonesia adalah Sunni, maka Islam Indonesia identik
dengan Sunni. Dalam konteks ini, sejalan dengan teori stigma yang
dikemukakan oleh Goffman (1986). Defi nisi sederhana stigma adalah “the
situation of the individual who is disqualifi ed from full social acceptance” [situasi
di mana seseorang didiskualifi kasi dari penerimaan sosial secara utuh
(Penyunting)] (Goffman 1986: n.p). Goffman (1986: 4) mengklasifi kasi tiga
tipe stigma: pertama, kelainan-kelainan fi sik; kedua, karakter individu
yang cacat atau ternoda (ketidakjujuran, kecanduan); dan ketiga, stigma
ras, bangsa dan agama. Jadi, stigma terhadap Syiah temasuk tipe ketiga.
Syiah dan penganutnya di Indonesia mengalami stigmatisasi. Islam Sunni
menjadi norma di dunia Islam sementara Syiah dianggap ‘abnormal’ dan
menyimpang. Agar tampak tidak melanggar norma tersebut, penganut
Syiah yang mengalami stigmatisasi sebagai penganut Islam heterodoks dan
sesat mempraktikkan taqiyah yang bermakna concealment atau suppressio
veri (Kolberg 1995: 346), yaitu menyembunyikan identitas ke-Syiah-an.
Identitas tersebut hanya diketahui secara terbatas oleh anggota kelompok
Syiah saja dan berbagai cara dilakukan dalam rangka menyembunyikan
identitas dimaksud.
Strategi paling umum yang dilakukan oleh the stigmatized (yang
distigmatisasi), menurut Goffman (1986) adalah pengendalian informasi
(information control) atau, secara lebih luas, manajemen informasi atau
kesan (impressionmanagement). Dalam konteks identitas ke-Syiah-an,
penganut Syiah berupaya mengontrol informasi baik yang berkenaan
dengan identitas personal dan kolektif maupun yang berkaitan dengan
tanda-tanda dan istilah-istilah ke-Syiah-an. Pengendalian informasi
itu diterapkan baik dalam suasana formal seperti pertemuan resmi,
dialog, wawancara bagi kepentingan riset ataupun media maupun
dalam kehidupan keseharian.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
298
Dengan kata lain, manajemen kesan dilakukan dalam interaksi
sosial dengan individu, kelompok atau masyarakat Sunni. Mengikuti
kerangka dramaturgi Goffman (1956), konteks yang dikelola dan
dikontrol tersebut hanya berlaku pada panggung depan (frontstage/
region) saja sedang pada panggung belakang (backstage) antar sesama
penganut Syiah tentu saja strategi tersebut tidak diterapkan. Ada
teknik-teknik tertentu yang diterapkan dalam pengendalian informasi
atau manajemen kesan tersebut. Yang pertama adalah memberikan
jawaban atau penjelasan ambigu yang mirip dengan istilah Goffman,
strategic ambiguity (ambiguitas yang strategik). Sejauh observasi yang
dilakukan, jarang sekali dijumpai mereka yang mengakui bahwa dirinya
adalah penganut Syiah. Seorang informan menegaskan bahwa tidak
ada manfaat yang didapat dengan mengakui atau memberi penjelasan
tentang identitas ke-Syiah-an di tengah mayoritas kaum Sunni. Bahkan
mungkin mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Untuk komoditas publik, teknik tersebut tampaknya lebih sering
dipakai. Ketika ditanya tentang apakah dia penganut Syiah, Jalaluddin
Rakhmat, misalnya, memberikan jawaban ambigu seperti ‘orang
menyebut saya Susyi’ yang bermakna ‘Sunni-Syiah’.279 Demikian
juga, Haidar Bagir, seorang intelektual dan pimpinan Penerbit
Mizan, menanggapi dengan pernyataan bahwa dirinya sama dengan
yang lain yang merindukan pesatuan di kalangan kaum Muslim
terhadap pertanyaan apakah dirinya adalah salah satu pemimpin
Syiah di Indonesia (Forum Keadilan 4/5/2003: 57). Husein Al-Habsyi
(1991:96),280 seorang alim Syiah (1921-1994) dan pendiri pesantren
YAPI di Bangil, Jawa Timur, juga menjawab dengan cara bergini: “Saya
ini sering dituduh Syiah, hingga akhirnya saya mengatakan: ‘Saya
bukan Syiah dan bukan Sunni, tetapi saya Muslim’.” Ketiga tokoh
tersebut menghindar untuk memberikan jawaban langsung yang
bersifat afi rmatif atau negatif terhadap pertanyaan simpel sehingga
identitas dirinya menjadi kabur. Cara yang sama juga dipakai untuk
merespon pertanyaan tentang identitas koleganya. Berkenaan dengan
Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, misalnya, menyatakan dalam suatu
wawancara yang dimuat Forum Keadilan (4/5/2003: 57):
279 Tiras, 24 November 1997, hlm. 67.
280 Untuk biografi dan aktivitas tokoh ini, lihat Zulkifl i (2004).
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
299
[Pewawancara]: “Siapa saja tokoh Syiah di Indonesia?”
[Haidar Bagir]: “Saya tidak melihat seorang pun disebut tokoh Syiah.
Seorang yang paling populer, yang disebut sebagai Syiah, mungkin
Jalaluddin Rakhmat. Saya kenal dia secara pribadi. Saya enggak berani
menyebut dia seorang Syiah karena dia juga orang yang membaca,
belajar dan berbicara baik madzhab Syiah maupun Ahl as-Sunnah.
Secara bercanda Pak Jalal dulu pernah menyebut dirinya Susyi, yang
artinya Sunni-Syiah. Dia Muslim yang terbuka tehadap berbagai
pemikiran, baik terhadapAhl as-Sunnah maupun Syiah.”
Demikian juga, ketika ditanya tentang institusi Syiah, dia juga
menyatakan bahwa memang terdapat beberapa yayasan kecil yang
tidak diketahui nama persisnya.281
Jarang sekali para penganut Syiah menyatakan secara tegas bahwa
dirinya bukan penganut Syiah walaupun pernyataan tersebut juga dapat
ditemukan dalam dialog-dialog. Dalam bagian awal dialog dengan
mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia,
Husein Al-Habsyi (1991: 6) menyatakan: “Namun sayang saudarasaudara,
sebab saya sendiri bukan Syiah. Jadi sebenarnya lebih tepat bila
saudara-saudara terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada
yang menyatakan bahwa dirinya memang orang Syiah … Sering saya
katakan bahwa saya ini bukan Syiah, saya Sunni ….” Jadi, cara penjelasan
langsung, jelas, dan to-the-point menyangkut identitas ke-Syiah-an hampir
selalu dihindari.
Teknik kedua, masih berkenaan dengan strategi pengelolaan
informasi mengenai identitas, kata ganti ‘kita’ lebih sering dipakai
dalam dialog atau percakapan dengan anggota komunitas Sunni,
ungkapan yang menempatkan pembicara sebagai bagian dari
keseluruhan. Kadang-kadang kata ganti ‘mereka’ dipakai untuk
menyebut kelompok Syiah. Sebagai contoh, kita kutip lagi pernyataan
Husein Al-Habsyi dalam dialognya.
Kita (Ahl as-Sunnah) mengkafi rkan Syiah Imamiyah berdalilkan
textbook kita dan secara subyektif serta in-absentia. Ini salah satu
dari wawasan yang sempit, sebab kita tidak berhadapan dengan
mereka secara langsung. Belum pernah kita mengadakan diskusi
yang bersifat fi nal antara Ulama Syiah dan Ulama kita. Kita
mencaci mereka dengan menggunakan dalil buku-buku orientalis,
itu juga menunjukkan wawasan yang sempit. Kita kafi rkan mereka
berdasarkan caci-maki, ejekan dan segala macam kebohongan, itu
juga merupakan akhlak yang sempit (Al-Habsyi 1991: 10-11).
281 Forum Keadilan, 4 Mei 2003, hlm. 56.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
300
Selain menyangkut pengelolaan informasi tentang identitas
penganut dan lembaga, teknik ketiga yang biasa dilakukan adalah
penyembunyian tanda-tanda atau simbol-simbol ke-Syiah-an, apalagi
yang mengandung konotasi atau image negatif, dengan menggunakan
atau menonjolkan istilah-istilah yang disepakati secara bersama
antara Sunni dan Syiah. Dengan cara begini, diharapkan kaum
Sunni yang mayoritas tidak akan menganggap mereka kelompok
yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Konsep Islam
sebagai agama ideal dan universal senantiasa didengungkan dan
disebarluaskan dalam interaksi dengan kaum Sunni, daripadaAhl
as-Sunnah atau Syiah yang merupakan suatu produk historis yang
ditandai dengan perpecahan dan konfl ik termasuk kekerasan sektarian
dan konfl ik berdarah. Seringkali dikatakan bahwa kaum Muslim tidak
perlu membesar-membesarkan perbedaan antara Sunni dan Syiah.
Juga sering diungkapkan bahwa dalam beberapa masalah
perbedaan antara madzhab yang ada dalam Sunni jauh lebih besar
dibandingkan dengan madzhab Syiah. “Dalam masalah syariat, Syiah
tidak banyak berbeda dengan Sunni. Perbedaan antara keduanya
tidak lebih banyak daripada perbedaan di antara madzhab-madzhab
Sunni, kecuali dalam hal kawin mut‘ah dan haramnya nikah dengan
perempuan Yahudi dan Nasrani (Adam 2003:44-45). Demikian juga,
sebagai minoritas dan yang distigmatisasi, sangat logis jika kelompok
Syiah sering mempopulerkan ide-ide ukhuwah Islamiyah atau taqrib
(pendekatan Sunni-Syiah) dalam diskursus hubungan Sunni-Syiah.
Husein al-Habsyi (1991: 9) menyatakan: “Kita sekarang ini tidak
perlu Syiah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita, kaum
kaum Muslim. Kita perlu Islam yang bersumberkan Alquran dan
Hadist diterapkan pada diri kita.” Pada suatu kesempatan, Jalaluddin
Rakhmat (1998a:381) menyatakan bahwa yang menjadi concern-nya
bukanlah untuk menjadi Sunni atau Syiah tetapi Islam. Haidar Bagir
(1995: 3) juga menulis: “Karena itu, rasanya tak berlebihan jika saya
berharap bahwa, di masa depan yang tak telalu jauh, kita tak akan lagi
berbicara tentang Syiah versus Sunni sebagai fenomena zaman yang
kita alami ini. Biarlah ia menjadi sekedar sejarah masa lampau. Biar
Islam saja yang tinggal.” Ajakan kembali ke Islam memang merupakan
keniscayaan tetapi dalam konteks posisi Syiah sebagai the stigmatized
ajakan tersebut boleh dilihat sebagai strategi pengelolaan informasi
berkenaan dengan image negatif tentang Syiah di mata kaum Sunni.
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
301
Istilah Ahl al-Bayt, dibandingkan Syiah, adalah istilah yang lebih
sering digunakan oleh kelompok Syiah Indonesia dalam berbagai
kegiatan dan suasana untuk menyebut madzhab yang dianutnya
karena istilah pertama tidak memiliki konotasi negatif. Sebagaimana
diketahui, kaum Sunni juga diperintahkan untuk memuliakan Ahl
al-Bayt. Sementara bagi kebanyakan Muslim Sunni, istilah Syiah
mempunyai konotasi negatif yaitu suatu sekte di dalam masyarakat
Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Dalam salah
satu tulisannya sebagai pengantar kepada koleksi tulisan A. Latief
Muchtar, Ketua Umum Persatuan Islam 1983-1997, Jalaluddin Rakhmat
(1998: liv) menulis:
Sekiranya beliau [A. Latief Muchtar] masih hidup, saya ingin
mengusulkan kepadanya untuk terus menyerang Syiah, tetapi
hendaknya berhenti menentang madzhab Ahl al-Bayt. Syiah menjadi
benar jika namanya diganti dengan Ahl al-Bayt. Masalahnya, Syiah
yang dipahami beliau, sama sekali tidak sama dengan yang saya
pahami. Dan Ahl al-Bayt yang beliau maksud juga tidak sama
dengan apa yang saya maksud. Tetapi kami berdua sepakat untuk
memuliakan Ahl al-Bayt, walaupun kami berbeda memahaminya.
Konsepsi Sunni tentang Ahl al-Bayt memang berbeda dengan
konsepsi Syiah, tetapi bukan tempatnya di sini membahas masalah
ini. Yang terpenting adalah istilah tersebut dipakai oleh kelompok
Syiah sebagai ganti dari istilah Syiah. Organisasi sosial keagamaan
yang didirikan kelompok Syiah di Indonesia pada Juli 2000 juga
menggunakan istilah tersebut yaitu Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia
yang disingkat IJABI. Kata Syiah sama sekali absen dalam AD/
ART organisasi massa yang dipelopori Jalaluddin Rakhmat tersebut,
sebagaimana ia juga absen dalam misi, visi atau statement formal
tertulis lembaga-lembaga Syiah yang ada. Dengan karakteristik yang
demikian, status organisasi tersebut kemudian diajukan kepada pihak
Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri dan hasilnya ia
mendapat pengakuan legal dari pemerintah. Pengakuan ini merupakan
modal simbolik yang sangat berharga bagi perkembangan Syiah di
Indonesia. Demikian juga organisasi komunitas Syiah di Indonesia
yang domotori oleh kelompok yang berseberangan dengan Jalaluddin
Rakhmat dan IJABI didirikan pada Juli 2012 yang lalu dan organisasi
tersebut dinamakan Ahlul Bait Indonesia atau ABI.
Strategi kedua adalah adaptasi, yaitu melakukan penyesuaian
terhadap norma dan aturan standar mayoritas. Pada umumnya,
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
302
adaptasi dilakukan berkenaan dengan ibadah atau ritual-ritual
keagamaan. Ini tergambar dalam sejarah dan perkembangan Syiah
di Indonesia. Perlu dicatat bahwa paling tidak sejak akhir abad ke-19
terdapat sejumlah penganut Syiah di Indonesia. Kebanyakan mereka
adalah warga etnis Arab (Hadhrami) yang migrasi ke wilayah Nusantara
berikut keturunan mereka. Dikenallah dari klan Arab terkenal seperti
Bin Yahya, Bin Shahab dan al-Muhdar beberapa penganut Syiah dan
ada di antara mereka pemimpin dan ulama warga Arab keturunan
di Nusantara (Shahab 1962). Berkenaan dengan taqiyah, mereka
melakukan adaptasi terhadap praktik agama mayoritas penduduk
Nusantara yang bermadzhab Syafi ’i. Dengan beberapa pengecualian,
mereka menyimpan keyakinan Syiah untuk diri dan keluarga terdekat
saja sementara, dalam penampilan luar khususnya dalam pelaksanaan
ritual-ritual fi qh yang bersifat publik, mereka mengikuti madzhab
Syafi ‘i yang dianut mayoritas penduduk. Dengan strategi adaptasi
tersebut, keberadaan penganut Syiah dan identitas mereka hampir
tidak dikenal oleh mayoritas penduduk, bahkan oleh para pemimpin
masyarakat.
Strategi adaptasi tersebut terus diterapkan walaupun terjadi
peningkatan jumlah penganut Syiah dan perkembangannya yang
cukup signifi kan setelah kemenangan Revolusi Islam Iran dan
berdirinya Republik Islam Iran pada awal 1979. Jalaluddin Rakhmat
bahkan berpendapat bahwa melakukan ibadah ritual kaum mayoritas
adalah suatu hal yang dianjurkan. Tokoh intelektual ini melandaskan
pandangannya pada pendapat Khomeini yang menegaskan bahwa
shalat berjamaah di belakang imam Sunni tidak hanya sah tetapi
bahkan dianjurkan. Demi ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam),
beribadah menurut fi qh kebanyakan masyarakat dibolehkan meskipun
seseorang harus meninggalkan sebagian kewajiban dan syarat menurut
yang diyakininya atau bahkan harus melakukan hal-hal yang dilarang
menurut fi qh yang dianutnya (Rakhmat 2002: 51). Dia juga menegaskan
bahwa untuk kepentingan ukhuwah Islamiyah, keterikatan pada suatu
madzhab fi qh harus ditinggalkan karena ketaqwaan tidak diukur
dari kesetiaan kepada suatu madzhab fi qh tertentu tetapi ditentukan
dari kemuliaan akhlak. Pandangan tersebut sejalan dengan atau
merupakan bagian dari penerapan ajaran taqiyah. Jalaluddin Rakhmat
(2002: 51) menulis: “ Taqiyah adalah menjalankan fi qhyang diamalkan
oleh orang kebanyakan atau fi qh yang ditetapkan oleh penguasa untuk
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
303
menghindari pertikaian atau perpecahan. Taqiyah berarti meninggalkan
fi qh kita demi memelihara persaudaraan di kalangan kaum Muslim.”
Dalam kalimat lain, intelektual Syiah Indonesia terkenal ini mengajukan
urgensi penerapan paradigma akhlak dalam praktik agama dan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam pandangannya, paradigma akhlak harus
diutamakan daripada paradigma fi qh, sejalan dengan judul bukunya
yang menggunakan kalimat perintah, Dahulukan Akhlak di atas Fiqh
(Rakhmat 2002).
Meskipun taqiyah merupakan ajaran yang diakui keabsahannya
dalam ajaran Islam, terdapat perbedaan dalam penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari seperti dalam kegiatan dakwah dan dalam
interaksi dengan komunitas Sunni. Pada dasarnya, terdapat dua
kelompok: kelompok pertama yang merupakan mayoritas anggota
kelompok Syiah Indonesia menerapkannya secara total bila berinteraksi
dengan kaum Sunni, sementara kelompok kedua hanya merupakan
sejumlah kecil dari mereka yang mencoba meninggalkannya untuk
tujuan dakwah. Sejauh observasi yang telah dilakukan, terdapat
sejumlah tokoh Syiah di Indonesia yang cenderung mengekspresikan
keyakinannya secara lebih terbuka. Tokoh-tokoh yang tergabung
dalam Yayasan Al-Jawad Bandung dan Al-Hadi Pekalongan dikenal
sebagai kelompok yang cenderung meninggalkan taqiyah untuk
tujuan dakwah tersebut. Husein Al-Kaff, pimpinan Yayasan Al-Jawad
dan alumnus hawzah ilmiah (semacam pesantren) di Qum , misalnya,
mempraktikkan fi qh Ja‘fari ketika ia memimpin Shalat Jum‘at di Masjid
Nurul Falah Bandung meskipun hampir semua anggota jamaah adalah
Sunni – suatu kenyataan yang sangat jarang terjadi.
Kelompok ini, seperti dikemukakan Husein Al-Kaff, bertujuan untuk
menunjukkan sistem keyakinan dan praktik ajaran Syiah sesungguhnya
(sebagai yang dipahami dan dipraktikkan oleh penganutnya), penganut
ajaran tersebut, lembaga-lembaga yang mereka miliki, dan kontribusi
mereka dalam perkembangan masyarakat Indonesia.282 Dengan demikian,
anggota komunitas Sunni dapat mengidentifi kasi, mendiskusikan dan
mendialogkan ajaran-ajaran dimaksud dengan penganutnya sendiri agar
terhindar dari tuduhan dan kesalahpahaman yang dapat menjadi sumber
konfl ik. Bagi kelompok yang pertama seperti Jalaluddin Rakhmat, praktik
tersebut merupakan manifestasi dari kuatnya orientasi fi qh kelompok
282 Interview dengan Husein Al-Kaff pada 19 Mei 2004.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
304
kedua, yang pada gilirannya justru dapat melahirkan konfl ik internal
umat beragama.
Akan tetapi, perubahan dan perkembangan ditemukan dalam hal
praktik taqiyah di kalangan Syiah di Indonesia. Khususnya, sejak era
reformasi 1998, penganut Syiah semakin terbuka seiring dengan proses
demokratisasi di Indonesia. Tokoh-tokoh yang sebelumnya sangat hatihati
dengan identitas ke-Syiah-annya seperti Jalaluddin Rakhmat tidak
lagi menolak disebut sebagai tokoh Syiah. Berbagai ritual, peringatan,
dan perayaan Syiah pun semakin luas diselenggarakan secara
terbuka. Demikian juga acara diskusi, dialog, seminar, lokakarya atau
lainnya yang melibatkan tokoh dan penganut Syiah semakin sering
dilaksanakan. Hal ini sejalan dengan pendapat Aharon Layish bahwa
“Taqiyya is a dynamic, not a static, doctrine; adaptation and assimilation to
the environment are not one-time acts but continuous processes determined
by changing circumstances of place and time” [Taqiyah merupakan sebuah
doktrin yang dinamis, bukan statis, adaptasi dan asimilasi terhadap
lingkungan bukanlah tindakan yang hanya sekali dilakukan, tetapi
sebuah proses yang berkelanjutan dan ditentukan oleh keadaan tempat
dan waktu (Penyunting)] (Dikutip dari Virani 2011:133).
Taqiyah dan Pengakuan
Strategi-strategi yang diterapkan dalam rangka menyembunyikan
identitas ke-Syiah-an dapat dijelaskan dengan kerangka teori Pierre
Bourdieu (1930-2002), seorang sosiolog Perancis, tentang strategi
sebagai kemampuan agen sosial dalam ‘playing the game’ (berpartisipasi
dalam permainan) berkenaan dengan modal-modal baik sosial,
ekonomi, kultural dan simbolik pada medan atau ranah tertentu.
Berkenaan dengan konsep strategi, Bourdieu menyatakan: “the idea of
strategy, as a way of directing practice that is neither conscious and calculated
nor mechanically determined, but is the product of the sense of honour as a feel
for that particular game, game of the honour” [ide mengenai strategi sebagai
cara untuk menentukan arah yang timbul bukan dari kesadaran dan
terkalkulasi maupun yang secara mekanistik ditentukan, tetapi produk
dari sebuah penghormatan sebuah permainan, yaitu permainan
kehormatan (Penyunting)] (Bourdieu 1990: 22). Sebagai a feel for
game, strategi bukan merupakan pilihan dan kesadaran bebas, bukan
pula sesuatu yang telah ditentukan. Berdasarkan konsepsi Bourdieu
tersebut, strategi berada pada titik antara freewill (kehendak bebas)
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
305
dan predestination (ketentuan, nasib), mirip dengan konsepsi teologi
Asy’ariyah tentang perbuatan manusia.
Konsep taqiyah Syiah dan strategi Bourdieu sama-sama
menyembunyikan interest (kepentingan) yang sesungguhnya. Bourdieu
berpendapat bahwa terdapat dua tipe strategi: pertama adalah strategi
reproduksi (reproduction strategies), yaitu serangkaian tindakan yang
didisain untuk melestarikan dan memperbaiki posisi. Yang kedua
adalah reconversion strategies yang berkaitan dengan tindakan atau
gerakan dalam mengakumulasi dan mentransformasi modal-modal
ekonomi, sosial, dan kultural di dalam arena sosial yang ada (Mahar et
al. 1990: 18-19). Tetapi semua strategi tersebut pada akhirnya ditujukan
untuk mengakumulasi dan mempertahankan modal simbolik, yaitu
“modal—dalam bentuk apapun—sepanjang ia direpresentasikan yaitu
dipahami secara simbolik, dalam hubungan pengetahuan atau, lebih
persisnya, hubungan salah-pengakuan dan pengakuan” (Bourdieu
1986: 255). Bourdieu (1977: 1983) juga berpendapat bahwa modal
simbolik hanya menghasilkan pengaruh yang baik sepanjang “it
conceals the fact that it originates in ‘material’ forms of capital which are also,
in the last analysis, the source of its effects” [hal itu menyembunyikan fakta
mengenai sumber ‘materi’ dari kapital yang pada gilirannya menjadi
sumber dari efek-efek yang ditimbulkannya (Penyunting)].
Baik strategi pengelolaan informasi dan kesan maupun strategi
adaptasi di atas merupakan bagian dari strategi reproduksi di
mana kelompok Syiah yang mengalami stigmatisasi berupaya
mempertahankan eksistensi diri, lembaga-lembaga, dan madzhabnya.
Mengaku tertindas (mustadh‘afi n), kelompok Syiah juga berupaya
meningkatkan posisi dalam kehidupan sosial dan religius di Indonesia.
Strategi reproduksi tersebut, secara jelas tampak, belangsung melalui
aktivitas pendidikan dan dakwah serta berbagai bentuk konsolidasi
yang dijalankan. Unsur strategi reproduksi ini bisa dianalisis dari
kutipan bagian dari “Surat kepada Seseorang di Iran” yang diyakini
ditulis oleh Husein al-Habsyi berikut ini:
Tuanku! Telah disampaikan kepada saya oleh Muhammad
Jawad usul dan keinginan Tuan agar saya membuka kedok dan
menampakkan di hadapan masyarakat Ahl as-Sunnah bahwa saya
menganut madzhab Ja‘fari dan meninggalkan taqiyah. Kemudian
Muhammad Jawad mengatakan kepada saya bahwa Tuan telah
menulis kepada saya sepucuk surat berkenaan dengan usul Tuan.
Akan tetapi sayang sekali surat itu tidak sampai kepada saya
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
306
sekarang dan barangkali sedang dalam perjalanan menuju saya!
Untuk menjawabnya saya katakan:
Pertama, saya ucapkan terima kasih kepada Tuan atas usulan yang
benar terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu
sejak kemenangan Imam atas Shah. Walaupun saya tangguhkan hal
itu, tetapi saya tidak ragu sedikit pun tentang kebenaran madzhab
Ahl al-Bayt dan bukan karena takut kepada orang-orang. Atau jika
saya tinggalkan taqiyah, maka bukan supaya dipuji orang-orang.
Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang mempertimbangkan
situasi di sekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum masih kuat.
Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak
dengan wajah Sunni. Karena apabila saya membuka kedok, kemudian
membela serangan ulama mereka yang Nawashib (anti-Syiah) mereka
akan mengatakan: Syi‘i membela Syiah. Saya telah berhasil merangkul
sejumlah ulama mereka yang lumayan banyak sehingga mereka
memahami keutamaan madzhab Ahl al-Bayt atas lainnya. Saya anggap
ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita.
Kedua, apabila saya ingin nampak di antara orang-orang sebagai
penganut madzhab Ja‘fari yang utuh, maka tindakan itu harus
didahului oleh pengaturan-pengaturan dan persiapan-persiapan.
Yang terpenting dari semua itu adalah penguasaan madzhab
Ja‘fari seluruhnya. Karena waktu itu tentu saja saya akan menjadi
semacam marja’ (ulama panutan) kecil di Jawa Timur paling tidak.
Dengan begitu akan diajukan kepada saya masalah-masalah dan
problema-problema yang harus saya pecahkan. Sekarang saya
masih terus membaca dan mengkaji buku-buku sebelum tiba hari
penampakan hakikat diri saya.
Ketiga, saya harus menyiapkan pula guru-guru yang akan
melakukan tugas bila saya ditinggalkan guru-guru yang ada
sekarang di tempat saya supaya pondok saya tidak macet. Hal
ini akan terjadi bila timbul perselisihan madzhab di antara kami.
Anak-anak kita di Qum harus mendapat kesempatan yang cukup
sebelum mengajar, maka paling sedikit mereka harus belajar satu
atau dua tahun lagi (Aula November 1993: 60).
Dari kutipan panjang ini dapat dikemukakan beberapa poin
penting. Pertama, taqiyah diterapkan dalam bidang pendidikan
sehingga kelestarian penganut dan lembaga pendidikannya tercapai.
Pendidikan berfungsi besar dalam rangka strategi reproduksi dan ini
dilakukan melalui lembaga YAPI maupun dengan mengirim siswa
untuk belajar di Hawzeh Ilmiyeh di Qum , Iran, yang pada gilirannya
akan melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran di YAPI atau
di lembaga-lembaga lain. Kedua, taqiyah juga dipakai dalam aktivitas
dakwah tidak hanya untuk memperkuat posisi kelompok Syiah
yang ada tetapi juga untuk menarik penganut baru dan mempeluas
pengaruh madzhab tersebut. Dakwah itu dilakukan dalam berbagai
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
307
bentuk termasuk pendekatan-pendekatan kepada tokoh-tokoh
Sunni, selain tablig dan dialog. Dakwah kepada kaum Sunni tersebut
merupakan upaya meningkatkan kuantitas penganut Syiah dan posisi
madzhab Syiah dalam kehidupan beragama di Indonesia. Ketiga, demi
kesinambungannya, pengelolaan informasi tentang identitas ke-Syiahan
baik pemimpin dan sebagian guru maupun lembaga pendidikan
tersebut serta adaptasi dengan menampakkan diri dengan wajah
Sunni harus dilakukan karena disadari bahwa perpecahan akan terjadi
bila identitas tersebut terbongkar. Memang apa yang dikhawatirkan
itu kemudian terbukti; ketika diperoleh informasi bahwa Husein al-
Habsyi adalah penganut Syiah, beberapa guru YAPI terkenal yang
berasal dari beberapa pesantren di Jawa Tengah meninggalkan YAPI
atas perintah kyai mereka. Peristiwa ini sempat mengguncangkan
pesantren tersebut. Kesinambungan pesantren dapat terpelihara karena
beberapa murid senior yang sudah dipersiapkan untuk menggantikan
posisi mereka dan ditambah lagi dengan pemanggilan alumni YAPI
yang sedang menempuh pendidikan di Qum (Zulkifl i 2004: 298).
Husein al-Habsyi sudah wafat tetapi reproduksi pengikut,
intellektual dan ustaz Syiah terus berlangsung dan pada saat yang
sama melanjutkan strategi reproduksi tersebut. Lembaga pendidikan
dan dakwah dengan berbagai bentuk aktivitas yang dikelola kelompok
Syiah pun terus bertambah dan berkembang tetapi sebagian besar
lembaga tersebut tidak dikenal atau tidak diakui sebagai lembaga
Syiah. Kelompok Syiah tidak mengakui demikian karena melakukan
taqiyah yang menyebabkan kaum Sunni tidak mengenal identitas
yang sesungguhnya. Ketidaktahuan tersebut menjadi penting bagi
reproduksi kelompok Syiah yang mengalami stigmatisasi.
Penting diingat kembali bahwa aktivitas dakwah dengan taqiyah
ditandai dengan, paling tidak, tiga karakteristik. Pertama, fakta bahwa
para dai Syiah berperan sebagai penganut Sunni dalam aktivitas
penyebaran ajaran Syiah. Mereka berperan sebagai orang Sunni yang
membela madzhab Syiah dan yang mempromosikan bahwa ajaran
Syiah adalah suatu madzhab yang didasarkan atas sumber-sumber yang
valid dan terpercaya. Dengan cara demikian, terkesan bahwa madzhab
Syiah ternyata diakui kebenaran dan keabsahannya oleh kaum Sunni.
Karakteristik kedua adalah penggunaan sumber rujukan seperti hadisthadist
dari kitab koleksi hadist Sunni atau pendapat ulama Sunni sebagai
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
308
dasar untuk membenarkan ajaran-ajaran Syiah. Dalil atau argumen
tersebut adalah, tentu saja, yang mendukung atau sejalan dengan ajaranajaran
Syiah. Untuk keperluan dakwah tersebut, sedapat mungkin
sumber-sumber Sunni yang diutamakan untuk melegitimasi keabsahan
ajaran Syiah. Fatwa Mahmud Syaltut, mantan rektor Universitas Al-
Azhar di Kairo, Mesir, tentang dibolehkan beribadah menurut madzhab
Ja‘fari sama seperti madzhab-madzhab Sunni adalah pendapat hukum
yang paling sering dikutip oleh kelompok Syiah.
Penggunaan pendapat Sunni dimaksudkan “agar seranganserangan
(tuduhan-tuduhan) yang dilemparkan kepada madzhab Syiah
Imamiyah dapat dihentikan karena kedua madzhab itu tidak berbeda
dalam masalah-masalah pokok” (Al-Habsyi 1991: 2-3). Karakteristik
ketiga adalah penggunaan pendekatan sosial dalam dakwah dalam
wujud pemberian bantuan material dan fi nansial kepada anggota dan
kelompok masyarakat miskin, baik di perkotaan maupun di pedesaan,
yang biasanya diikuti dengan kegiatan ceramah agama. Ini lebih
merupakan pemihakan kepada kaum dhu‘afa, yang memang menjadi
semboyan kelompok Syiah yang juga mengklaim sebagai bagian dari
kelompok tertindas (mustadh‘afi n). Kegiatan dakwah sosial tersebut
dapat mendekatkan para ustaz, aktivis dan penganut Syiah kepada
anggota masyarakat lain dan ini merupakan modal sosial yang penting
bagi kelompok Syiah. Meskipun anggota masyarakat tersebut tidak
konversi ke Syiah, mereka tidak akan mendiskreditkan, atau bahkan
sebaliknya akan mendukung, kelompok Syiah tersebut.
Dalam bidang pendidikan, pengenalan dan penyebaran ajaran
Syiah kepada kaum Sunni dilakukan melalui pendekatan perbandingan
seperti apa yang disebut sebagai Perbandingan madzhab atau studistudi
Islam. Dalam struktur kurikulum lembaga-lembaga pendidikan
yang dikelola kelompok Syiah, dengan sedikit sekali pengecualian,
memang tidak ditemui mata pelajaran madzhab Syiah sehingga dengan
alasan ini identitas lembaga tersebut dapat disembunyikan. Dari segi
afi liasi kemadzhaban, lembaga-lembaga tersebut akan dianggap sama
dan sejajar dengan kebanyakan yang lain dan, dengan demikian,
posisinya dan juga posisi madzhab Syiah akan sejajar dengan madzhab
Sunni dari segi legalitas dan otoritasnya.
Target tertinggi bagi kelompok Syiah dari aktivitas-aktivitas
tersebut adalah diperolehnya pengakuan dari mayoritas kaum Sunni,
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
309
yaitu pengakuan religius dan sosial akan keberadaan madzhab Syiah
dan pengikutinya sebagai bagian dari kehidupan beragama dan
bermasyarakat di Indonesia. Pada bagian sebelumnya, sudah dijelaskan
bahwa IJABI telah mendapat pengakuan legal-formal dari Kementerian
Dalam Negeri sebagai organisasi massa sosial-keagamaan berkat praktik
taqiyah, meskipun ini tidak berarti pengakuan terhadap eksistensi Syiah
di Indonesia, yang masih harus diperjuangkan terus. Terlepas dari itu,
dari sudut strategi reproduksi, posisi kelompok Syiah telah mengalami
peningkatan yang berarti. Pengakuan tersebut dapat dikatakan sebagai
modal simbolik bagi kelompok Syiah, khususnya yang tergabung dalam
organisasi tersebut, yang dengan modal tersebut secara legitimate mereka
dapat melakukan berbagai kegiatan dakwah, pendidikan atau lainnya.
Pada sisi lain, penerapan taqiyah tidak hanya merupakan strategi
reproduksi tetapi juga mencakup reconversion strategies. Dengan taqiyah,
para intelektual, ustaz, atau pengikut Syiah dapat mengakumulasi
berbagai modal melalui komunikasi dan jaringan dengan tokohtokoh,
lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah, dan bahkan
partai politik. Penerapan taqiyah dapat memungkinkan mereka yang
berpendidikan dan memiliki pengetahuan, pengetahuan agama atau
lainnya, mentransformasi modal kultural tersebut ke dalam bentuk
modal ekonomi. Demikian juga, modal sosial dapat diubah ke dalam
modal ekonomi sehingga memungkinkan mereka menempati posisi
prestisius dalam masyarakat secara sosial dan ekonomi. Tercatatlah
beberapa ustaz Syiah yang dengan pengetahuan agama yang dimiliki
menjalankan profesi sebagai da‘i dengan tugas utama mengajar dan
memberi bimbingan agama di berbagai majelis atau lembaga, baik
Syiah maupun Sunni, dan kemudian menjadi sejahtera dari sudut
ekonomi. Seorang peneliti asing menulis: “Many ustaz are living
comfortably in Jakarta, which has become a center of attraction for many of
them” [Kebanyakan dari para ustaz tinggal nyaman di kota Jakarta
yang telah menjadi perhatian dari kebanyakan mereka (Penyunting)]
(Abaza 2004: 183). Ketika mengajar atau memimpin majelis Sunni,
ustaz tersebut mengikuti aturan dan tata cara Sunni karena tanpa
taqiyah tidak mungkin mereka dapat mempertahankan atau
meningkatkan posisinya. Tanpa taqiyah, tidak mungkin pula mereka
bisa mentransformasi modal yang sudah diakumulasi.
Taqiyah itu sendiri paralel dengan penyembunyian upaya
akumulasi, preservasi, dan transformasi modal-modal tersebut yang
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
310
sesungguhnya mengandung dimensi the economy of practices. Individu,
kelompok, dan masyarakat memang cenderung menyembunyikan
atau menutupi kalkulasi-kalkulasi yang berbasis ekonomi dalam
praktik sosial dan kultural. Dalam konteks ini, adalah relevan juga
apa yang disebut Bourdieu (1977:40) sebagai offi cialising strategies yang
ditujukan untuk mengubah kepentinganpribadi, spesifi k, dan egoistik
menjadi kepentingankolektif, publik dan legitimate. Apalagi dalam
bidang agama, interest itu sendiri dirubah kerap menjadi atau tampak
sebagai disinterest. Bahkan target tertinggi kelompok Syiah yang
berupa pengakuan akan keabsahan madzhab Syiah dan eksistensi
pengikutnya di Indonesia sesungguhnya juga merupakan sebuah
kepentingan. Baik interest maupun strategi-strategi untuk mencapai
target tersebut memang harus disembunyikan.
Kesimpulan
Ada dua tipe taqiyah, yaitu taqiyah karena takut (makhafatiyah)
dan taqiyah untuk persaudaraan (mudharatiyah) yang keduanya
memiliki landasan doktrinal yang bersumber dari ayat Alquran
dan hadist Nabi Muhammad serta dibenarkan secara logis untuk
mempertahankan eksistensi madzhab Syiah dan penganutnya. Taqiyah
tersebut diimplementasikan oleh kelompok Syiah Indonesia yang
mengalami stigmatisasi dengan paling tidak dua strategi, yaitu strategi
pengendalian informasi dan strategi adaptasi. Pengendalian informasi
menyangkut identitas ke-Syiah-an, baik individual, kolektif maupun
kelembagaan, yang disembunyikan dengan cara memberikan jawaban
dan penjelasan yang ambigu dan menempatkan diri sebagai bagian dari
kaum mayoritas. Selanjutnya, pengendalian informasi menyangkut
tanda-tanda, istilah-istilah, dan simbol-simbol ke-Syiah-an yang
disembunyikan dengan cara menggunakan tanda-tanda dan istilahistilah
umum, netral, dan yang disepakati secara bersama. Adapun
strategi adaptasi dilakukan dengan cara mengikuti tata cara dan aturan
fi qh Syafi ’i yang dipakai kaum mayoritas dalam menjalankan ibadah.
Strategi-strategi tersebut yang juga tampak diterapkan dalam aktivitas
dakwah, pendidikan atau konsolidasi merupakan bagian dari strategi
reproduksi dan strategi rekonversi.
Dakwah dengan taqiyah ditandai dengan cara memerankan diri
sebagai penganut Sunni dalam penyebaran dan pembelaan terhadap
ajaran Syiah, menggunakan sumber-sumber dan pendapat Sunni untuk
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
311
menunjukkan keabsahan ajaran Syiah, dan menerapkan pendekatan
sosial kepada anggota dan kelompok masyarakat miskin. Selanjutnya,
pengajaran materi melalui perbandingan antara Sunni dan Syiah dapat
dilihat sebagai penerapan taqiyah dalam pendidikan. Hasilnya adalah
posisi madzhab Syiah dan pengikutnya dapat bertahan dan meningkat.
Peningkatan yang signifi kan berkat taqiyah adalah pengakuan legalformal
pemerintah atas organisasi IJABI sementara pengakuan religius
dan sosial atas keabsahan madzhab Syiah dan pengikutnya masih
terus diperjuangkan. Pengakuan yang masih diperjuangkan itu adalah
modal simbolik yang juga merupakan target tertinggi yang ingin
dicapai baik dalam strategi reproduksi maupun strategi rekonversi.
Taqiyah mencakup penyembunyian identitas, tanda-tanda, istilah,
dan cara-cara strategis serta target yang akan dicapai tersebut yang
sesungguhnya merupakan interest yang dikelola dan jadikan sehingga
tampak sebagai disinterest. Jadi, taqiyah merupakan strategi yang sangat
penting bagi kelompok Syiah sebagai komunitas minoritas yang
mengalami stigmatisasi dalam rangka mencapai pengakuan religius,
sosial, dan politik.[]
Daftar Pustaka
Alquran dan Tejemahannya, Departemen Agama RI.
Abaza, Mona, 2004. “Markets of Faith: Jakartan Da‘wa and Islamic
Gentrifi cation” dalam Archipel 67:173-202.
Adam, Muchtar, 2003. Perbandingan Madzhab dalam Islam Berikut
Beberapa Permasalahannya (Bandung: Babussalam).
Alatas, Alireza, 2002. Biarkan Syiah Menjawab. Seri 1 (Magelang:
Bahtera).
Bagir, Haidar, 1995. “Syiah versus Sunnah: Biarlah Menjadi Sejarah
Masa Lampau” dalam Ulumul Alquran: Jurnal Ilmu dan
KeBudayaan 4 (6):3.
Bourdieu, Pierre, 1977. Outline of A Theory of Practice (Terjemahan oleh
Richard Nice) (Cambridge: Cambridge University Press).
_________, 1986. “The Forms of Capital” dalam John G. Richardson
(Penyunting) Handbook of Theory and Research for the Sociology
of Education(New York: Greenwood Press): 241-258.
_________, 1990. In Other Words: Essays toward a Refl exive Sociology
(Standford: Standford University Press).
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
312
Enayat, Hamid, 2005. Modern Islamic Political Thought: The Response
of the Shi‘i and Sunni Muslims to the Twentieth Century, New
Edition (London: I.B.Tauris).
Goffman, Erving, 1956. The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburg:
University of Edinburg Social Sciences Research Centre).
_________, 1986. Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity(New
York: Simon and Schuster).
Al-Habsyi, Husein , 1991. Sunnah Syiah dalam Dialog, Antara Mahasiswa
UGM dan UII Yogya dengan Ustaz Husein Al-Habsyi(Solo:
Yayasan Ats-Tsaqalain).
Kohlberg, Etan, 1995. “Taqiyya in Shi‘i Theology and Religion” dalam
Hans G. Kippenberg and Guy G. Stroumsa (Peyunting)
Secrecy and Concealment: Studies in the History of Mediterranean
and Near Eastern Religions (Leiden: E.J.Brill): 345-379.
Mahar, Cheleen et al., 1990. “The Basic Theoretical Position” dalam
Harker, Richard et al. (Penyunting) An Introduction to the Work
of Pierre Bourdieu: The Practice of Theory(London: Macmillan):
1-25.
Mudzhar, Mohammad Atho et al., 2004. Identity, Religion, Ethnicity,
Demoracy, and Citizenship in Indonesia (Jakarta: The Offi ce of
Religius Research and Development and Traning).
Mughniyah, Muhammad Jawad, 1973. Al-Syiah fi al- Mizan (Beirut: Dar
al-Ta‘aruf li al-Matbu‘at).
Nurjulianti, Dewi dan Arief Subhan, 1995. “Lembaga-lembaga Syiah di
Indonesia” dalam Ulumul Alquran: Jurnal Ilmu dan KeBudayaan
4 (6):20-26.
Rakhmat, Jalaluddin, 1998. “Pengantar Ustaz Latief: Pembaru yang
Sederhana” dalam Cucu Cuanda dan Miftah Fauzi Rakhmat
(Penyunting) Gerakan Kembali ke Islam: Warisan Terakhir
A. Latief Muchtar, Ketua Umum Persis 1983-1997(Bandung:
Rosda, li-lx).
_________, 1998a. Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-soal Islam
Kontemporer(Bandung: Mizan).
_________, 2002. Dahulukan Akhlak di atas Fiqh(Bandung: Mutahhari
Press).
Shahab, Muhammad Asad, 1962. Al-Syiah fi Indonesi(Najaf: Matba‘ah
al-Ghary al-Hadistah).
PRAKSIS TAQIYAH:
STRATEGI SYIAH INDONESIA UNTUK PENGAKUAN
313
Soeherman, Abdi Mahaestyo, 1998. “Syiah Bukan Sampar” dalam
Cucu Cuanda dan Miftah Fauzi Rakhmat (Penyuntingg)
Gerakan Kembali ke Islam Warisan Terakhir A.Latief Muchtar,
Ketua Umum Persis 1983-1997(Bandung: Rosda): 342-358.
Virani, Shafi que N. 2011. “Taqiyya and Identity in a South Asian
Community” dalam The Journal of Asian Studies 70 (1): 99-139.
Zulkifl i, 2004. “Being a Shi‘ite Among the Sunni Majority in Indonesia:
A Preliminary Study of Ustaz Husein Al-Habsyi (1921-1994)”
dalam Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 11
(2): 275-308.
_______, 2005. “Seeking Knowledge unto Qum : The Education of
Indonesian Shi‘i Ustazhs” dalam IIAS Newsletter 38:30.
_______, 2009 “The Struggle of the Shi‘is in Indonesia,” Ph.D. Thesis,
Leiden University, Leiden.
Forum Keadilan 4/5/2003.
“Surat Kepada Seseorang di Iran” dalam Aula: Risalah Nahdlatul Ulama,
November 1993: 59-62.
Tiras 24/22/1997.
Tim ABI 2012 Buku Putih Madzhab Syiah: Menurut Para Ulamanya yang
Muktabar, Penjelasan Ringkas-Lengkap Untuk Kerukunan Umat.
Jakarta: DPP Ahlul Bait Indonesia.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
314
315
ANALISIS FILM “KEHADIRAN
SYIAH NUSANTARA”
MELACAK JEJAK AKAR
SPIRITUALITAS ISLAM
INDONESIA
Husein Heriyanto
Pengantar Berbicara sejarah awal Islam Indonesia seakan memasuki
lorong gelap yang miskin data dan sumber keterangan serta
tidak memadainya berbagai bentuk historiografi (tradisional,
kolonial, nasional, modern). Seorang sejarawan M.C. Ricklefs menulis,
“penyebaran Islam adalah salah satu proses yang sangat penting (the
most signifi cant) dalam sejarah Indonesia, tetapi ia juga yang paling tidak
jelas (the most obscure)”.283 Riklefs, sebagaimana umumnya sejarawan
tentang Indonesia, berpendapat bahwa tidak mungkin memahami
sejarah Indonesia tanpa memahami sejarah Islam.
Sayangnya, sejarah Islam di Indonesia terutama pada masa awal
penyebarannya di Nusantara banyak dilimuti lubang mistri dan
ketidakjelasan. Padahal, periode penyebaran awal Islam di Nusantara
merupakan akar spiritualitas Islam Indonesia yang ikut membentuk
Indonesia menjadi negara Muslim terbesar di dunia saat ini. Dalam
konteks ini, banyak sarjana dan sejarawan yang bertanya mengapa
Indonesia, yang sangat jauh dari tempat kelahiran Islam dan lalu
menghadapi kolonial Barat yang memusuhi Islam selama tiga ratus
283 Lihat Riklefs2001: 3.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
316
tahun lebih, bisa mempertahankan identitasnya sebagai penganut
Islam terbesar di dunia.
Ada beberapa faktor dan alasan kenapa historiografi Islam di
negeri ini kurang dapat memberikan deskripsi dan eksplanasi yang
jelas dan tentang sejarah perkembangan Islam awal di Nusantara.
Pertama, masih lemahnya tradisi menulis dalam kebudayaan bangsa
kita yang lebih banyak mengandalkan pada ketrampilan bertutur
(oral) dan folklor. Ketika dituangkan dalam tulisan dalam berbagai
bentuk cerita (hikayat, kisah, babad, syair), penulisan ini disebut
dengan historiografi tradisional. Kedua, iklim Nusantara yang tropis
dan lembab sehingga banyak manuskrip dan berbagai bentuk karya
tulis lainnya mudah lapuk dan rusak.284
Ketiga, terjadinya distorsi dan pengaburan sejarah Islam yang
secara sistematis dilakukan oleh kolonial Belanda dengan tujuan
deislamisasi dan imperialisme budaya dan politik Barat di Nusantara;
inilah yang disebut dengan historiografi kolonial.285 Keempat, penulisan
historiografi nasional, sebagai anti-tesis dari historiografi kolonial, yang
terlalu menekankan nasionalisme dan politik sedemikian sehingga
cenderung bersifat politik-sentris yang kurang atau gagal mengungkap
aspek mentalitas dan dimensi kebudayaan sejarah bangsa. Kelima,
terkooptasinya historiografi modern dalam epistemologi Barat modern
yang cenderung empiris-positivistik, monokausal dan obyektivisme.
Untuk menutupi kelemahan-kelemahan beragam model
historiografi tersebut, perlu diajukan pendekatan penulisan sejarah
yang lebih menggali akar budaya keagamaan yang hidup dan hadir
hingga hari ini pada sistem nilai dan perilaku umat Islam Indonesia
pada umumnya. Pendekatan ini tidak bersifat anti-tesis total dari
model-model historiografi di muka. Kecuali terhadap historiografi
kolonial, metode dan pendekatan yang ditawarkan ini bersifat
mencakup elemen-elemen positif dan konstruktif yang terdapat
284 Faktor ini diuraikan oleh Azyumardi Azra dalam wawancara sebagai narasumber fi lm
dokumenter “Kehadiran Syiah Nusantara” pada Desember 2012 di Jakarta.
285 Faktor ketiga ini masing-masing disebutkan oleh Azyumardi Azra, Abdul Hadi, Abdul Rouf
Abdullah, dan Agus Sunyoto dalam wawancara sebagai narasumber fi lm “Kehadiran Syiah
Nusantara” dengan ungkapan yang beragam; keempat narasumber tersebut secara berurutan
menyebutnya sebagai ‘sejarah bias kolonialisme’, ‘bentuk permusuhan terhadap spiritualitas
dan budaya Islam’, ‘ulah tangan-tangan kotor kolonial untuk mengacaubalaukan sejarah
Islam Indonesia’, dan ‘rekayasa cerita-cerita palsu oleh kolonial untuk merusak sejarah Islam
Indonesia’.
ANALISIS FILM “KEHADIRAN SYIAH NUSANTARA”:
MELACAK JEJAK AKAR SPIRITUALITAS ISLAM INDONESIA
317
pada historiografi tradisional, historigrafi nasional, dan historiografi
modern seraya membuang elemen-elemen yang menghambat
pengungkapan fakta dan makna sejarah. Historiografi tradisional,
misalnya, memiliki keunggulan dalam memosisikan sejarah sebagai
kisah yang hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, elemen-elemennya
yang bersifat raja-sentris dan etni-sentris serta kurang peduli terhadap
aspek explanatory account (uraian penjelasan rasional) ditanggalkan.
Begitu pula, historiografi modern yang menekankan aspek analisis
kritis dapat berguna untuk mengeksplorasi lebih jauh makna-makna
terpendam dari fakta-fakta sejarah. Akan tetapi, sifatnya yang hanya
fokus pada analisis fakta-fakta sosiologis,sementara makna-makna
kultural ditanggalkan. Jadi, model yang ditawarkan adalah integrasi
kelebihan masing-masing tipologi historiografi tradisional dan
historiografi modern dengan mendasarkan diri pada prinsip utama
bahwa sejarah adalah bagian studi kemanusiaan dan keBudayaan yang
memiliki lapisan-lapisan obyek kajian mulai dari fakta (factual history)
yang didedah secara deskriptif hingga makna (moral philosophy) yang
diuangkap melalui interpretasi.286
Film ini dihadirkan untuk masyarakat Indonesia, khususnya
umat Islam di tanah air, sebagai salah satu upaya untuk mengisi
lubang-lubang misteri dan ketidakjelasan penulisan sejarah awal Islam
Nusantara yang telah menghantui setiap peneliti sejarah Indonesia.
Kehadiran fi lm ini diharapkan bisa menerangkan mengapa Indonesia
yang sebelumnya merupakan salah satu pusat kerajaan Hindu dan
Buddha di dunia menjadi negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Film ini juga bisa mengungkap latar belakang kuatnya identitas
Indonesia sebagai negeri Muslim sehingga bisa bertahan menghadapi
berbagai agenda de-Islamisasi kolonial Belanda selama tiga abad lebih
sekalipun.Uniknya, Indonesia belum pernah menjadi salah satu pusat
peradaban Islam yang melahirkan sarjana dan pemikir Islam orisinal
pada tingkat dunia.
Lebih dari itu, fi lm ini mengingatkan kita tentang posisi dan
identitas Islam Indonesia yang tergolong unik di dunia, yaitu satusatunya
negara mayoritas Muslim terjauh dari tanah kelahiran Islam,
yaitu Hijaz, dengan karakter yang umumnya moderat, damai, dan
relatif bebas dari beban konfl ik sejarah baik intern agama maupun
286 Maritain1957: 167.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
318
intra Islam. Dengan demikian, fi lm ini juga berpotensi membuka
ruang harapan akan terwujudnya Indonesia sebagai salah satu
peradaban Islam masa depan. Optimisme ini disuarakan oleh sejumlah
cendekiawan Muslim, di antaranya adalah Masdar F. Mas’udi, salah
seorang Dewan Penasehat ICMI Pusat. 287
Tujuan, Subyek Pembahasan, dan Metode
Film ini bertujuan untuk melacak jejak akar spiritualitas Islam
Nusantara sebagai bagian dari upaya mengenal jati diri Islam
Indonesia. Di tengah berkembangnya modus pemahaman Islam
yang bergaris keras, radikal-ekstrimis, dan eksklusif, terutama dalam
kurun dua dasawarsa terakhir, terdapat kesadaran dan kehendak
umat secara umum untuk menghidupkan kembali jati diri Islam
Indonesia yang moderat, cinta damai, dan inklusif. Tentu saja, karakter
dan identitas moderat dan cinta damai ini bisa kita gali dari ajaran
Islam itu sendiri sebagai agama rahmatan lil‘alamin. Pengungkapan
ajaran Islam ini tentu saja adalah syarat niscaya (necessary condition).
Akan tetapi, agar menjadi kondisi yang memadai (suffi cient condition)
untuk kebangkitan Islam yang berbudaya dan beradab itu, kita perlu
menggali akar kebudayaan Islam Nusantara yang, disadari atau tidak,
telah menyelamatkan identitas Islam Indonesia menghadapi gempuran
hebat dari imperialisme budaya, politik, ekonomi, dan militer sejak
abad 17 Masehi hingga pertengahan abad 20 Masehi, serta juga lolos –
setidaknya hingga hari ini – dari pertikaian internal yang tajam sesama
umat beragama dan sesama umat Islam (berbeda madzhab). Ini adalah
modal kebudayaan (cultural capital) Islam yang sangat berharga dan
perlu digalikembangkan lebih jauh untuk bisa diaktualisasikan guna
menghadapi masalah-masalah umat dan keagamaan kontemporer.
Akar kebudayaan Islam Nusantara itu adalah tradisi tasawwuf.
Tasawwuf merupakan dimensi batin, esoteris ajaran Islam atau aspek
budaya spiritual Islam. Dalam hal ini, fakta sejarah menunjukkan
bahwa tasawwuf sangat berperan dalam pengenalan dan
pengembangan Islam di Nusantara. Meskipun berbeda dalam waktu,
asal kedatangan, dan siapa pembawa Islam pertama kali ke Nusantara,
para penulis sejarah sepakat mengenai dominannya peran kaum Sufi
yang mengislamkan Nusantara. Peneliti-peneliti A.H. Johns, Naquib
287 Mas’udi, Peradaban Islam Bangkit dari Indonesia, Website ICMI (2012) http://sitarlingicmi.
wordpress.com/2012/09/13/peradaban-islam-bisa-bangkit-dari-indonesia/
ANALISIS FILM “KEHADIRAN SYIAH NUSANTARA”:
MELACAK JEJAK AKAR SPIRITUALITAS ISLAM INDONESIA
319
Alatas, Fatimi, Martin van Bruinessen, dan para sejarawan/sarjana
nasional seperti Ali Hasymi,288Alwi Shihab,289Azyumardi Azra,290dan
Abdul Hadi291 sepakat bahwa Islam tersebar luas dan dipeluk oleh
penduduk Nusantara berkat ajaran dan pendekatan kaum Sufi . Alwi
Shihab menulis bahwa para penyebar utama Islam awal adalah kaum
Sufi . Hasil penelitian ini, yang berjudul “Al-Tashawwuf al-Islāmī wa
Atsaruhu fī al-Tashawwuf al-Indūnīisī al-Mu‘āshir”, telah diluluskan oleh
Universitas ‘Ain Shams di Mesir.
Menurut Masdar F. Mas’udi, Islam awal yang hadir ke Nusantara
memiliki akar spiritualitas yang kuat dan, dengan keotentikan dan
kebeningan spiritualitas tersebut, umat Islam Indonesia pada generasi
awal mampu berasimilasi dengan kebudayaan lokal. Mempertajam
pandangan Masdar F. Mas’udi ini, Said Agil Siradj mengungkapkan
bahwa umat Islam Indonesia diberkahi oleh kehadiran Ahl al-bayt,
sebagai sumber utama yang merintis tradisi spiritualitas dan tasawwuf
Nusantara. Dalam konteks inilah, kehadiran Syiah sejak awal
kadatangan Islam di Nusantara menjadi tak terelakkan. Imam pertama
Syiah, Imam Ali bin Abu Thalib, menyatakan, “Pokok pangkal agama
adalah ma’rifatullah (mengenal Allah)”292; sedangkan ‘Allamah Sayyid
Muhammad Husein Thabathaba’i ulama-fi lsuf-Sufi Syiah kontemporer
menulis, “Pesan sentral Syiah adalah mengenal Allah”.293 Dengan
demikian, spiritualitas Islam, Syiah, dan tasawwuf merupakan satu
rangkaian yang tak terpisahkan satu sama lain.
Untuk mencapai tujuan dengan subyek pembahasan yang telah
dipaparkan di muka, penelitian ini, yang menjadi basis pembuatan
fi lm dokumenter “Kehadiran Syiah Nusantara”, menggunakan
metode antropologi sejarah dan interpretasi terhadap fakta historis
dan tradisi keagamaan. Antropologi sejarah menerapkan sejumlah
konsep antropologis seperti sistem dan lapisan kebudayaan, simbol,
tradisi, akulturasi dalam memahami fakta-fakta sejarah. Metode
ini dapat menutupi kekurangan historiografi modern yang hanya
memperlakukan sejarah sebagai kumpulan fakta statis tanpa
288 Baca Hasymi1971.
289 Baca Shihab2009
290 Baca Azra2004.
291 Disampaikan dalam wawancara untuk fi lm “Kehadiran Syiah Nusantara”.
292 Ini adalah salah satu Khutbah pertama Imam Ali bin Abi Thalib yang terdapat dalam kumpulan
khutbahnya, Nahjul Balaghah.
293 Thabathaba’i, 2001: 215.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
320
keterkaitan dengan sistem nilai budaya yang melahirkan fakta-fakta
tersebut. Mengutip pandangan Murtadha Muthahhari,294 sejarah
semestinya tidak diperlakukan sebagai pengetahuan tentang “maujud”
(fakta, pengada statis) melainkan sebagai “hal menjadi”. Ia adalah teks
yang belum selesai sebagaimana kehidupan manusia itu sendiri, dan
karena itu harus dimaknai. Sejarah yang hidup ini memungkinkan kita
berani menatap sejarah masa lalu, menentukan peristiwa hari ini, dan
menciptakan masa depan. Dengan menempatkan sejarah sebagai hal
yang tak terpisahkan dari kebudayaan dan sistem tanda masyarakat
di mana sejarah itu bergulir, sejarah menjadi pembelajaran moral dan
kemanusiaan (history as a moral lesson). Azyumardi Azra menyatakan:
Sejarah bukan hanya pengetahuan tentang masa silam, tetapi
juga sumber inspirasi, sumber panduan untuk melangkah ke
masa depan, karena jika ada hal-hal yang tidak baik yang pernah
terjadi di masa silam, jangan kita ulangi lagi ke hari ini dan masa
depan, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, Jangan sekalikali
melupakan sejarah, apakah sejarah itu manis atau pahit atau
tidak menyenangkan mungkin, tetap harus kita ketahui. Apa yang
terjadi di masa lalu yang baik, kita coba tingkatkan ke hari ini dan
ke depan dan apa yang tidak baik, kita tinggalkan dan jangan kita
ulangi lagi di masa depan.295
Sejalan dengan metode antropologi sejarah, interpretasi terhadap
sejumlah fakta sejarah dan berbagai tradisi dan budaya keagamaan
menjadi sebuah keniscayaan. Karena manusia adalah animal
symbollicum296 (hewan simbolik) bahwa sistem nilai, sosial dan segenap
perilaku manusia adalah simbol-simbol yang mengandung makna.
Bahasa, perilaku dan cara berada manusia adalah sistem tanda yang
perlu digali makna-makna yang terkandung dalam setiap lapisan
kebudayaan. Menurut Budayawan Koentjoroningrat, terdapat tiga
lapisan keBudayaan, yaitu ideofak, sosiofak, dan artefak.
Dengan menggunakan teori Koentjaraningrat ini, maka tradisi dan
budaya keagamaan memiliki tiga level/lapisan. Level terluar disebut
artefak berupa simbol-simbol; level tengah disebut sosiofak berupa
amalan ritus; dan level terdalam disebut ideofak berupa ide dan nilai
dasar yang melandasi kedua lapisan lainnya. Ideofak adalah makna
dan pesan inti dari tradisi dan budaya keagamaan. Sebagai contoh,
294 Baca Mutahhari1985.
295 Wawancara dengan Azyumardi Azra sebagai narasumber fi lm “Kehadiran Syiah Nusantara”
296 Bara Cassirer1979.
ANALISIS FILM “KEHADIRAN SYIAH NUSANTARA”:
MELACAK JEJAK AKAR SPIRITUALITAS ISLAM INDONESIA
321
doktrin tasawwuf tentang Nur Muhammad dan Wilayah adalah sistem
nilai pada level terdalam, yaitu ideofak; sementara kecintaan kepada
Nabi Muhammad dan Ahl al-bayt beserta segala amal ritual ( tawassul,
shalawat, shalawat diba’, tabarruk kepada para wali) adalah sistem
sosiofak; dan segala macam penanda, syair, dan atribut (perayaan
maulid, ziarah kubur, syair pujian Ahl al-Baytli Khamsatun, Tabuik
Asyura, Bubur Suro) adalah sistem artefak.
Abdul Hadi menjelaskan bahwa peran tasawwuf dalam penyebaran
Islam di Nusantara berlangsung melalui karya-karya sastra. Para Sufi
seperti Hamzah Fanshuri dan juga sejumlah Wali Songo seperti Sunan
Bonang menggunakan sastra sebagai medium pengajaran doktrindoktrin
tasawwuf, baik pada level teoritis ( tasawwuf falsafi ) maupun
level praktis ( tasawwuf amali; akhlaq).
Islam di Nusantara pada periode-periode awal itu dibawa oleh
ulama-ulama yang menyebarkan Islam melalui tasawwuf, disamping
juga menyebarkan Islam dengan jalur-jalur yang lain, termasuk jalur
perdagangan. Peranan para ahli tasawwuf atau Sufi tidak disangkal
lagi karena sebagian besar penyebar-penyebar agama Islam pada masa
awal itu adalah ahli-ahli tasawwuf dan jejaknya dapat disaksikan
dalam berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga
dalam adat istiadat. Para Sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan
kalender Islam, penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti
maulid dan segala macam itu.297
Dengan demikian, integrasi metode antropologi sejarah dan
297 Wawancara dengan Abdul Hadi sebagai narasumber fi lm “Kehadiran Syiah Nusantara”
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
322
interpretasi mendorong penerapan pendekatan yang interdisipliner dan
multidimensional, sebagaimana yang ditawarkan oleh Sartono Kartodirdjo
dengan mengusung tema penulisan sejarah baru melalui pendekatan
metodologis interdisipliner dan multidisipliner.298 Oleh karena itu, ketika
menerapkan metode interpretasi terhadap pengaruh tasawwuf terhadap
praktek dan tradisi keagamaan Nusantara, pendekatan fenomenologis pun
muncul. Begitu pula, fi lm yang berbasis riset ini merujuk hasil penelitian
seorang sarjana dalam studi literatur sastra dengan menggunakan analisis
teks.299 Terkait dengan penggunaan studi literatur sebagai fakta sejarah,
seorang peneliti asal Leiden, Willem van der Mollen, berpendapat bahwa
literatur/teks sastra bisa berfungsi sebagai sumber sejarah.300 Mengingat
tradisi oral merupakan akar kebudayaan Nusantara, maka pandangan
Willem van der Mollen ini sangat menarik dan berguna karena metode ini
bisa mengisi kegelapan dan ketakjelasan sejarah Islam awal di Nusantara.
Selama ini fakta sejarah dibatasi pada artefak, prasasti, dan manuskrip
saja, padahal literatur sastra Nusantara bisa menjadi sumber data sejarah
karena teks-teks sastra itu mengandung peristiwa-peristiwa bersejarah
yang dibalut dengan pesan-pesan moral keagamaan.301
Sejalan dengan metode dan pendekatan multidisipliner yang telah
dipaparkan di muka, tim pembuat fi lm ini melakukan penelitian dengan
memungut, mengumpulkan, dan menjaring sumber-sumber data
sejarah -primer dan sekunder- untuk dipetakan, dianalisis, ditafsirkan,
dan dikonstruksi menjadi sebuah penulisan sejarah yang kemudian
diaudiovisualkan melalui sebuah fi lm dokumenter. Tim produksi fi lm
melakukan kunjungan situs-situs sejarah yang terkait seperti lokasi
Kerajaan-kerajaan Perlak, Jeumpa, Samudera Pasai, Aceh Darussalam
beserta makam-makam raja di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam;
makam-makam Wali Songo di Gresik, Surabaya, Leran, dan Mojokerto. Tim
mewawancarai sejumlah tokoh sejarah, peneliti, sastrawan, budayawan,
298 Lihat Kartodirdjo1992.
299 Seorang pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Dr. Mohammad Faisal bin Musa, berkesimpulan
bahwa sejumlah hikayat Melayu yang muncul sejak awal mula kedatangan Islam ke
Semenanjung Malaka adalah karya klasik Melayu yang mengandung ajaran Syiah dan
bukan hikayat Sunni dengan pengaruh Syiah. Sarjana Universitas Kebangsaan Malaysia ini
melakukan analisis teks terhadap sejumlah hikayat seperti Hikayat Muhammad Hanafi yyah,
Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati, dan
Hikayat Tabut.
300 Baca Mollen2008: 191-206.
301 Oman Faturrahman juga sepakat dengan gagasan ini; wawancara untuk fi lm “Kehadiran Syiah
Nusantara”
ANALISIS FILM “KEHADIRAN SYIAH NUSANTARA”:
MELACAK JEJAK AKAR SPIRITUALITAS ISLAM INDONESIA
323
pemikir Islam tanah air yang dianggap representatif di bidang-bidang
sejarah, kebudayaan, tasawwuf, sastra, dan pemikiran Islam umumnya.
Wawancara melalui perangkat sejumlah pertanyaan yang terintegrasi ini
dimaksudkan untuk menggali berbagai pemikiran dan pendapat yang
sudah matang terhadap sumber-sumber sejarah, khususnya mengenai
akar spiritualitas Islam dan kehadiran Syiah sejak awal Islam di Nusantara.
Narasumber itu adalah sebagai berikut (diurut berdasarkan abjad):
• Prof. Dr. Abdul Hadi
Budayawan Indonesia
• Drs. Abdul Rouf Abdullah
Ketua Pengelola Makam Maulana Malik Ibrahim, Gresik
• Agus Sunyoto, M.A.
Budayawan dan Sejarawan
• Dr. Asna Husin
Pengajar Peradaban Islam di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh
• Prof. Dr. Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah Islam dan Direktur Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Ciputat
• Badruzzaman, M.A.
Budayawan; Ketua Majelis Adat Aceh
• KH. Dr. Dhiyauddin Qushwandi
Ketua MUI Jawa Timur; Ketua Robithoh Al-Azhamat Khan Asia
Tenggara
• Dr. Haidar Bagir
Ahli Filsafat Islam dan Tasawwuf
• Dr. Julisprong Chularatana
Sejarawan Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand
• Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
Guru Besar Pemikiran Islam UIN Ciputat
• Muhammad Ali Rabbani, MA
Budayawan-Sejarawan Iran tentang Asia Tenggara
• Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara
Guru Besar Filsafat Islam UIN Ciputat
• Prof. Dr. Nina Herlina Lubis
Guru Besar Sejarah Islam UNPAD Bandung
• Dr. Oman Faturrahman
Ahli Filologi dan Sejarawan UIN Ciputat
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
324
• Dr. Rabithah Mohammad Ghazali
Sejarawan Universitas Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia
• Dr. Rusdi Sufi
Sejarawan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
• KH. Prof. Dr. Said Agil Siradj
Ketua Umum PB Nahdhatul ‘Ulama
• Drs. Sardjono Suradi Soegondo
Ketua Pengelola Makam Sayyid Jumadil Kubro, Trowulan,
Mojokerto
• Taufi q Harris, MA
Sejarawan Universitas Gresik
• Dr. Yance Rumahuru
Sejarawan STAKPN, Ambon, Maluku
Ketua Pengurus Makam Sultan Malik al-Saleh, Lhokseumawe,
Aceh
Ketua Pengurus Makam Syiah Kuala, Banda Aceh
Film dokumenter berbasiskan riset ini juga telah menggunakan puluhan
buku dan jurnal sejarah, antropologi, kebudayaan, tasawwuf, sastra
dan pemikiran Islam umumnya. Beberapa buku-buku yang digunakan
sebagai referensi utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Abdul Hadi W.M., Tasawwuf Yang Tertindas: Kajian Hermenetik
terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Paramadina, 2001.
• Aboebakar Atjeh, Aliran Syiah di Nusantara, Jakarta: Islamic
Research Center, 1977.
• Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Jakarta: IIMAN, 2012.
• Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, Kuala
Lumpur: Utusan Publications, 2008.
• Ahmad Syafi ’i Mufi d, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat:
Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
• Ali Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
Medan: Al-Ma’arif 1971.
• __________, Syiah dan Ahl as-Sunnah Saling Rebut Pengaruh di
Nusantara, Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
• ‘Allamah Thabathaba’i, Shi’ite Islam (by Seyyed Hossein Nasr),
Qum : Ansariyan Publications, 2001
ANALISIS FILM “KEHADIRAN SYIAH NUSANTARA”:
MELACAK JEJAK AKAR SPIRITUALITAS ISLAM INDONESIA
325
• Alwi Shihab, Akar Tasawwuf di Indonesia: Antara Tasawwuf
Sunni dan Tasawwuf Falsafi , Jakarta: IIMAN, 2009.
• Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 – 1680,
New Haven: Yale University, 1993.
• Rahman Zainuddin dan Hamdan Basyar (eds), Syiah dan Politik
di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1992.
• Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad 17-18, Jakarta: Kencana, 2004.
• Azyumardi Azra dkk., Peran Dakwah Damai Habaib/‘Alawiyyin di
Nusantara, Yogyakarta: RausyanFikr, 2013.
• Christoph Marcinkowski, Shi’ite Identities: Community and
Culture in Changing Social Contexts, Zurich: Lit Verlag, 2010.
• Clara Brakel-Papenhuyzen, Oral Literary Traditions in Sumatera,
Wacana (Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya UI), Oral Traditions in
the Malay World, Jakarta: 12 (1) 2010.
• Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development in Morocco
and Indonesia, Chicago: University of Chicago Press, 1968.
• Jacques Maritain, On Philosophy of History, New York: Charles
Scribner’s Sons, 1957.
• Kamil Mustafa Al-Shaibi, Sufi sm and Shi‘ism, Surbiton-England:
Laam Td., 1991.
• M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since 1200,
Hampshire: Palgrave, 2001.
• Muhammad Faizal bin Musa, Sayyidina Husein dalam Teks Klasik
Melayu, Jurnal al-Qurba, Tradisi dan Kebudayaan Ahlulbait di
Nusantara: Makasar, 2010.
• Muhammad Zafar Iqbal, Kafi lah Budaya: Pengaruh Persia terhadap
KeBudayaan Indonesia, Jakarta: Citra, 2006.
• Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, Bandung: Mizan,
1985.
• Muzaffar Dato’ Hj. Mohamad dan Tun Suzana (Tun) Hj Othman,
Ahl al-Bayt of rasulullah SAW and the Malay Sultanates, Selangor:
Crescent News, 2010.
• Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
326
• Steven Drakeley, The History of Indonesia, Connecticut:
Greenwood Press, 2005.
• Willem van der Mollen, Literatur as a source for history”; Wacana
(Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Vol. 10, Jakarta, 2008.
Hasil Penelitian
Dengan menggunakan pendekatan multidisipliner budayareligi,
literatur sastra keagamaan, antropologi sejarah, dan sosiologi
perkembangan, peneliti Marcinkowski menyimpulkan bahwa
pengikut Syiah yang mengembara ke Asia Tenggara pada masa
awal Islam adalah Syiah spiritual.302Atas dasar kajian menyeluruh
dengan menggunakan pendekatan multidisipliner, yaitu historiografi
tradisional dan modern, antropologi sejarah, studi literatur sastra,
interpretasi tradisi dan budaya, dan dinamika identitas Syiah, terdapat
dua kesimpulan pokok yang dapat dirumuskan, yaitu:
1. Dengan pendekatan historiografi modern dan arkeologi
sejarah, memang tidak mudah menunjukkan kehadiran Syiah
pada masa penyebaran Islam awal di Nusantara, tetapi lebih
sulit untuk menafi kan kehadiran Syiah pada masa itu.
2. Dengan pendekatan antropologi sejarah, interpretasi tradisi
dan budaya keagamaan, dan studi literatur sastra keagamaan
awal, kehadiran Syiah adalah sesuatu yang masuk akal,
realistis, dan menerangi banyak mistri kegelapan sejarah awal
Islam di Nusantara.
Berdasarkan studi literatur sastra, kebudayaan, dan tasawwuf, Abdul
Hadi menyimpulkan bahwa tiga elemen utama pembentuk kebudayaan
Islam awal Nusantara adalah:303
1. Syiah
2. Sunni-Syafi ‘i
3. Tasawwuf
Saran dan Rekomendasi
Dalam pandangan KH Said Agil Siradj, perlu dikaji ulang
penulisan sejarah Islam Indonesia karena menurutnya, banyak dimensi
302 Baca Marcinkowski2010
303 Wawancara Prof. Abdul Hadi, WM sebagai narasumber fi lm “Kehadiran Syiah Nusantara”
ANALISIS FILM “KEHADIRAN SYIAH NUSANTARA”:
MELACAK JEJAK AKAR SPIRITUALITAS ISLAM INDONESIA
327
dan data sejarah yang tereliminasi dan dibuang. Sejarah kita masih
belum benar, masih belum fair, penulisan sejarah nasional banyak
sekali mengenyampingkan peranan para wali, peranan para ulama
dalam membangun masyarakat yang beradab, masyarakat beragama,
masyarakat berbudaya di Nusantara ini, seakan-akan peranan ulama
sangat kecil, peranan Habib Ahl al-Bayt juga tidak ditulis dengan benar,
dengan sejujurnya, banyak yang dikurangi, banyak yang dibuang, bisa
saya contohkan misalnya peranan habib di Jakarta ini, para habib yang
di Luar Batang, Kwitang sangat besar sekali membangun masyarakat
Jakarta; begitu pula Hasyim Asy’ari peranannya dalam membangun
sebuah masyarakat yang beragama, berbudaya, berperadaban hanya
disebut sekilas dalam sejarah. Oleh karena itu, penulisan sejarah Islam
Indonesia perlu dikaji ulang.304
Sementara Agus Sunyoto merekomendasikan epistemologi dan
metodologi baru yang lebih sesuai dengan kebudayaan Islam Indonesia
untuk menulis sejarah Islam Indonesia. Budayawan-sejarawan NU ini
memperluas pengertian ‘fakta sejarah’ yang tidak hanya terbatas pada
fakta empiris berupa prasasti dan artefak sejarah, tetapi juga ‘sesuatu yang
riil meski tidak empiris. Dia mencontohkan tentang ‘suara’ dalam ritusritus
keagamaan, misalnya bacaan shalawat yang dipelajari dan diterima
turun temurun. Meskipun tradisi shalawat ini, katakanlah, tidak memiliki
tugu, prasasti atau naskah, ia adalah fakta sejarah yang riil, yang hidup
dalam masyarakat sejak masa awal Islam hingga hari ini.
Harus dibangun satu epistemologi baru dalam memaknai ilmu
sejarah. Sebagai contoh, fakta yang disebut fakta historis menurut
ilmu arkeologi, ilmu sejarah itu adalah fakta yang berkaitan dengan
data empiris sejarah, yang berkaitan dengan prasasti-prasasti, kronikkronik,
naskah-naskah, sisa-sisa peninggalan lama dan lain sebagainya,
itu fakta empirik. Ketika kita mendalami satu sejarah hanya bertumpu
pada satu pandangan fakta empirik ini, kita akan banyak mengalami
kesulitan. Misalnya, karena tidak tercatat dalam suatu kronik maka
seorang tokoh menjadi dianggap tidak ada. Padahal, sebetulnya
sang tokoh itu riil ada, tetapi karena tidak ada prasastinya bisa maka
dianggap tidak ada. Hal ini terjadi pada, misalnya, tokoh Ken Arok
karena tidak ada prasasti zaman itu lalu dia dianggap tokoh mitos. Ada
304 Wawancara dengan Said Agil Siradj sebagai narasumber fi lm “Kehadiran Syiah
Nusantara”.
SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
BAGIAN KEDUA
328
yang menganggap bahwa Ken Arok itu tidak ada sebetulnya, tokoh
mitos saja karena tidak ada prasasti yang menyebutkan bahwa dia ada,
padahal sebenarnya dia ada karena keturunannya ada.305
Kita berharap rekonstruksi sejarah Islam awal di Nusantara dapat
memberikan jawaban banyak misteri dan kegelapan sejarah serta
membuka horison baru untuk menatap dan menjemput kejayaan
peradaban Islam Indonesia di masa depan.[]
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, 2004. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad 17-18 (Jakarta: Kencana).
Cassirer, Bara Ernst, 1979. An Essay on Man (New Haven: Yale
University Press).
Hasymi, Ali, 1971. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia(Medan: Al-Ma’arif).
Kartodirdjo, Sartono, 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah(Jakarta: Gramedia).
Ricklefs, M.C.,2011.A History of Modern Indonesia since 1200(Hampshire:
Palgrave).
Shihab, Alwi, 2009. Akar Tasawwuf di Indonesia: Antara Tasawwuf
Sunni dan Tasawwuf Falsafi (Jakarta: IIMAN).
Thabatab’i, ‘Allamah, 2001. Shi’ite Islam (Terjemahan oleh Seyyed
Hossein Nasr), (Qum : Ansariyan Publications).
Maritain, Jacques, 1957. On Philosophy of History(New York: Charles
Scribner’s Sons).
Marcinkowski, Christoph, 2010.Shi‘ites Identities: Community and Culture
in Changing and Social Contexts(Zurich).
Muthahhari, Murtadha, 1985. Masyarakat dan Sejarah(Bandung: Mizan).
Van der Mollen, Willem, 2008. “Literatur as a source for history” dalam
Wacana (Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya UI, (10): 191-206.
Mas’udi, Masdar F., 2012. Peradaban Islam Bangkit dari Indonesia,
Website ICMI (2012) http://sitarlingicmi.wordpress.
com/2012/09/13/peradaban-islam-bisa-bangkit-dariindonesia/
305 Wawancara dengan Ki Ngabehi Agus Sunyoto sebagai narasumber fi lm “Kehadiran Syiah
Nusantara”.
INDEKS 329
INDEKS
A
Abu Bakar vii, 29, 50, 54, 88, 109,
167, 179, 189, 213, 230, 272,
278
alawiyah 51
Alawiyah xviii, 55, 79, 80
Al-Ghazali 16
Al-Ghulat 11
Ali iv, vii, viii, ix, xi, xiii, xx, xxi,
xxv, xxvii, 6, 8, 10, 11, 18, 21,
23, 25, 27, 29, 31, 33, 42, 44,
48, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 58,
60, 62, 63, 64, 65, 67, 69, 79,
88, 89, 90, 91, 93, 95, 105, 109,
110, 119, 142, 143, 144, 145,
146, 147, 148, 156, 157, 159,
161, 165, 166, 167, 168, 169,
172, 173, 174, 175, 179, 180,
188, 189, 190, 191, 198, 201,
202, 205, 213, 217, 227, 230,
231, 233, 245, 247, 248, 249,
256, 263, 264, 269, 272, 273,
278, 286, 319, 323, 324, 328
Ali al-Rida 21
Al-Insan al-Kamil xxii, 21, 75, 84, 85
Ali Syariati vii, 93, 147
Amerika Serikat xv, xvi, xvii, 91
Ash’ariyah 91, 173
Ayatullah Ruhollah Khomeini x,
xviii
Ayutthaya xiii, xxi, 37, 39, 67, 76,
78, 81, 82, 107, 108, 109, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 117,
119, 120, 121, 122, 124, 125,
126, 127, 129, 131, 132, 133,
135, 136, 137, 138
B
Buddha 40, 47, 60, 74, 75, 78, 81, 83,
84, 85, 86, 87, 102, 114, 118,
125, 127, 128, 135, 225, 317
Bustan al-Salatin xxii, 75, 202, 209
C
Churarajmantri 81, 123, 124, 129,
130, 131, 133
F
Fagheh xix
Fatimah vii, viii, ix, xx, xxv, xxvi,
17, 21, 25, 31, 50, 51, 54, 65,
109, 157, 165, 166, 167, 168,
169, 172, 190, 205, 206, 230,
231, 247, 248, 269, 273
Fatimiyah 11, 55
Fiqh xix, 94, 303, 312
G
Ghulat 11, 90, 91, 104
330 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA
H
Hadhramaut xviii, xxvi, 23, 49, 50,
54, 56, 57, 58, 61, 66, 71, 74,
80, 143
Hamzah Fanshuri xxi, xxii, xxvi,
xxvii, 67, 76, 84, 193, 321
Hasan ix, xxi, 10, 19, 21, 27, 29, 31,
42, 50, 51, 52, 54, 56, 60, 63,
95, 141, 142, 143, 144, 153,
155, 156, 157, 158, 159, 161,
162, 163, 166, 167, 168, 169,
170, 175, 181, 189, 190, 191,
192, 205, 208, 230, 231, 233,
249, 264, 322
Hasan al-Banna 95
Hikayat Amir Hamzah xxii, 160
Hikayat Muhammad bin Hanafi yah
xxii
Hindu 45, 46, 47, 60, 74, 78, 83, 84,
85, 86, 87, 102, 112, 113, 123,
142, 143, 144, 225, 267, 317
Husein ii, iv, ix, xiii, xiv, xvi, xxi,
xxiii, 3, 10, 18, 19, 21, 29, 30,
31, 42, 51, 52, 54, 55, 56, 65,
67, 81, 88, 91, 94, 108, 109,
110, 119, 120, 125, 134, 135,
138, 141, 144, 153, 154, 155,
156, 157, 158, 159, 161, 162,
163, 166, 167, 168, 169, 170,
171, 172, 188, 189, 190, 191,
192, 204, 205, 210, 216, 217,
218, 219, 220, 226, 227, 228,
230, 231, 232, 233, 234, 235,
236, 242, 248, 249, 263, 274,
298, 299, 300, 303, 305, 307,
312, 313, 315, 319, 322, 325
Husein Thabataba’i xxiii
I
IJABI 26, 199, 301, 309, 311
ikhtilaf viii
Irfan xix, 36, 38, 39, 55, 60, 61
Isma’iliyah 11
J
Ja’far Sadiq 21
Jalaluddin Rumi xxv
K
Kapal Sulayman xxi
Karmatiyah 9, 10, 11
Kesultanan Songkhla 129
M
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
xxiii, 281
ma’sum 21, 189
Maturidiyah 91
mistisisme xix, xxii, 74, 76, 79, 83
Mizan xxiii, 24, 27, 28, 31, 65, 96,
104, 180, 195, 196, 223, 224,
250, 270, 298, 312, 325, 328
Moro 141, 142, 143, 144, 145, 146,
147, 151
MUI xxiii, xxiv, 281, 288, 323
mullah xvi, 10, 132
Mullah Sadra xxiii
Murtadha Mutahhari xxiii, 180
Mu’tazilah xviii, 91, 173, 174
O
Orde Baru xxiii, 220, 221, 255
P
Pariaman 10, 19, 20, 22, 211, 214,
215, 216, 217, 219, 220, 221,
222, 223, 224
Persia xiii, xiv, xix, xx, xxi, xxii,
xxiii, xxv, 8, 11, 12, 15, 16,
17, 18, 33, 38, 39, 40, 41, 42,
44, 45, 47, 49, 52, 53, 54, 60,
61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68,
69, 70, 71, 73, 74, 75, 76, 77,
78, 80, 81, 82, 84, 86, 88, 89,
101, 103, 111, 112, 118, 119,
121, 122, 124, 125, 132, 136,
138, 153, 154, 155, 159, 171,
185, 186, 187, 188, 189, 191,
192, 193, 194, 195, 196, 198,
200, 201, 202, 203, 208, 225,
226, 227, 228, 229, 230, 231,
232, 233, 234, 235, 236, 239,
240, 241, 242, 245, 246, 249,
258, 325
INDEKS 331
Q
Qum xix, xxii, 23, 25, 27, 53, 56, 63,
111, 132, 138, 148, 175, 181,
303, 306, 307, 313, 324, 328
qutb 21
R
Rafi dhah ix, x
Revolusi Islam Iran x, xvi, xviii,
xxii, xxiii, 93, 132, 147, 242,
256, 274, 292, 302
S
Salafi yah-Wahhabiyah 26
Savafi d 11, 12, 20
Sayyid Qutb 95
Sir Stamford Raffl es 19
Suharto xxiii, 95
Sulalat as-Salatin xxii
Syaikh al-Islam 68, 75, 81, 82, 83,
105, 124, 147
T
Tabut 18, 19, 20, 22, 27, 28, 29, 155,
158, 161, 162, 163, 166, 169,
170, 220, 223, 322
Tahlilan 20
Taj al-Salatin xxii, 16, 75, 201, 202
taqarib 26
Taqiyah xiv, 128, 214, 291, 293, 294,
295, 296, 302, 303, 304, 309,
310, 311
tariqah 21
tasawwuf xviii, xx, 38, 39, 55, 60,
63, 64, 71, 215, 249, 318, 319,
321, 322, 323, 324, 326
Tasawwuf 20, 61, 71, 195, 196, 318,
323, 324, 325, 326, 328
Tasyayyu vii, viii
tawassul xxi, 321
Tuanku Rao 9, 29, 30
U
Umar bin Khattab vii, 157, 165, 166,
167, 170, 179, 189, 213, 230,
264, 278
Utsman bin Affan vii, 5, 179, 189,
213, 230, 264, 278
V
Velayat-e Fagheh xix
W
Wiridan 20
Y
YAPI 24, 29, 298, 306, 307
Z
Zayn al-‘Abidin 21
ziyarah xxi, 144, 150
332 SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA

Hussain, Api Revolusi yang Terus Terjaga.

Sumanto Al-Qurtuby: Kekhawatiran Pudarnya Spirit Kebhinekaan

$
0
0

Sumanto Al-Qurtuby: Kekhawatiran Pudarnya Spirit Kebhinekaan

Prof Sumanto Al Qurtuby

PROF SUMANTO AL QURTUBY

JAKARTA – Pudarnya semangat kebhinekaan di tanah air menurut Prof Sumanto Al Qurtuby tak bisa dilepaskan dari kepasifan masyarakat. Apakah Anda mau membantu merawat kemajemukan?

KINI, SEJARAH ITU TERULANG KEMBALI. SEJUMLAH PARPOL YANG FRUSTASI KARENA GAGAL MERAIH KEKUASAAN KEMUDIAN GELAP MATA DAN KONGKALIKONG DENGAN BERBAGAI KELOMPOK RADIKAL DAN ORMAS SONTOLOYO UNTUK MENGGANGGU STABILITAS POLITIK, KEAMANAN NEGARA, DAN KENYAMANAN MASYARAKAT.

Baca: Sumanto Al-Qurtuby: Waspadai Gerakan Kelompok “Islam Sontoloyo”

Kala saya mengadakan tur diskusi di Yogyakarta beberapa waktu lalu, saya merasakan ada rasa kekhawatiran yang begitu mendalam di kalangan masyarakat terhadap fenomena yang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia. Kekhawatiran tersebut khususnya berkaitan dengan munculnya berbagai kelompok agama, khususnya Islam, yang intoleran dan antikebhinekaan.

Baca: Suriah Hancur Karena Isu Agama Dibenturkan dengan Pemerintah dan Kebhinekaan

Prof Sumanto Al Qurtuby

Prof Sumanto Al Qurtuby

Mereka khawatir jika kelompok ini dibiarkan berkembang dan merajalela tanpa ada mekanisme penyelesaian yang jelas dan akurat, maka dapat berpotensi mengancam keutuhan Indonesia sebagai “rumah bersama” berbagai kelompok etnis, suku, agama, dan kepercayaan.

Saya bisa mengerti akan kekhawatiran atau mungkin ketakutan yang diekspresikan oleh para peserta diskusi.

Baca: Sekjen Alsyami: Pola-pola Kelompok Radikal Suriahkan Indonesia

Indonesia belakangan ini memang “dimeriahkan” oleh munculnya aneka ragam kelompok atau ormas yang eksklusif dan konservatif di satu sisi tapi juga intoleran di pihak lain.

Dalam mengekspresikan sentimen kontra-kemajemukan itu, mereka sering kali bukan hanya dengan “kekerasan verbal” (melalui kata-kata) tetapi juga “kekerasan fisik” (melalui tindakan pengrusakan, pengusiran, pembakaran, dan bahkan pembunuhan) seperti yang mereka lakukan terhadap berbagai kelompok minoritas sekte dan agama.

Berbagai lembaga riset seperti Wahid Institute, PPIM UIN Syarif Hidayatullah, eLSA, Lakspesdam NU, Ma’arif Institute, dlsb juga beberapa kali mengadakan penelitian dan survei yang mengonfirmasi situasi meningkatnya konservatisme, intoleransi, dan radikalisme di masyarakat.

Apa saja faktor yang menyebabkan meningkatnya arus intoleransi dan radikalisme?

Pertama, iklim kebebasan dan angin demokrasi yang menyeruak dan menghembus Indonesia pasca lengsernya Pak Harto, Mei 1998.

Demokrasi memang seperti pedang bermata dua. Satu sisi ia merupakan sistem politik idaman rakyat banyak yang digadang-gadang bisa menjadi jalan pembuka bagi kemakmuran, kesejahteraan, kebebasan sipil, dan perdamaian di masyarakat. Tetapi di pihak lain, demokrasi juga bisa melahirkan otoritarianisme, kejahatan sosial, anarkisme, dan radikalisme.

Baca: Isu Sektarian Musuh Islam Paling Berbahaya

Jangan lupa, ada sejumlah pemimpin otoriter di dunia ini yang lahir dari “rahim” demokrasi yang setelah terpilih menjadi pemimpin politik-pemerintahan, ia kemudian menjelma menjadi pembunuh ruh demokrasi yang sering dilakukan dengan cara-cara demokratis.

Demokrasi juga bisa melahirkan anarkisme, ekstremisme, dan radikalisme di masyarakat. Atas nama demokrasi, berbagai kelompok sipil bermunculan, baik yang resmi maupun liar dan setengah liar. Tak terhitung lagi berapa jumlah kelompok, ormas atau grup sosial (nongovernmental organization maupun civil society association) yang tumbuh di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru.

Banyak di antara kelompok-kelompok sosial itu kemudian melakukan aneka tindakan intoleran-anarkis-ektremis (saya menyebutnya “uncivil groupings”) yang sangat mengganggu keharmonisan individual dan sosial serta spirit toleransi di masyarakat. Ada lagi yang anti terhadap kebangsaan dan keindonesiaan serta ideologi dan konstitusi negara.

Tentu saja tidak semua kelompok sosial itu bercorak atau bersifat “uncivil” dan kontra kebangsaan. Ada banyak kelompok sosial yang sangat “civil” dalam pengertian bercorak toleran-pluralis dan nasionalis.

Kedua adalah munculnya berbagai aliansi, sekte, dan kelompok agama, khususnya di kalangan Islam, yang mengusung puritanisme, eksklusivisme, dan fanatisme sempit.

Tidak bisa dipungkiri, munculnya berbagai kelompok Islam yang ultrakonservatif, superfanatik, dan sangat militan ini-baik yang berskala lokal-regional-nasional maupun yang internasional-transnasional-menjadi salah satu penyebab mendasar munculnya praktik-praktik intoleransi dan ekstremisme serta relasi individual-sosial yang tidak harmonis di masyarakat.

Faktor berikutnya, ketiga, yang tidak kalah pentingnya atas merebaknya intoleransi dan radikalisme di masyarakat adalah keterlibatan politisi korup dan partai politik yang haus terhadap kekuasaan sehingga melakukan berbagai macam cara, strategi dan taktik, termasuk cara-cara kotor, untuk menggapai kekuasaan.

Untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan itu, parpol tertentu tidak segan-segan menggaet atau untuk menjalin koalisi dengan kelompok-kelompok sosial-agama radikal, rasis, dan intoleran.

Dalam konteks sejarah sosial-politik-agama di Indonesia, seperti yang pernah diulas oleh berbagai ahli studi Indonesia seperti M.C. Ricklefs, Robert Hefner, Martin van Bruinessen, William Liddle, dlsb, kehadiran parpol dan orpol (organisasi politik) telah memperuncing sektarianisme, “aliranisme”, dan ekstremisme di masyarakat. Itu terjadi baik sebelum Indonesia merdeka maupun sesudahnya. Puncaknya pada 1950an ketika Indonesia (tahun 1955) menggelar Pemilu (yang konon paling demokratis dalam sejarah Indonesia modern) untuk pertama kalinya.

Pada waktu itu, para tokoh dan elite partai menjadi lokomotif dan mesin penggerak yang “politik identitas” berbasis agama, ideologi politik tertentu, maupun sekularisme. Mereka tidak segan-segan menggandeng para tokoh agama untuk ikut kampanye politik yang brutal dan saling menyerang satu sama lainnya, termasuk sesama umat Islam itu sendiri (misalnnya NU versus Masyumi). Walhasil, masyarakat yang sebelumnya sudah tersegregasi secara eksklusif ke dalam berbagai aliran agama, kepercayaan, dan ideologi tertentu menjadi semakin meruncing dan terpecah-belah.

Kini, sejarah itu terulang kembali. Sejumlah parpol yang frustasi karena gagal meraih kekuasaan kemudian gelap mata dan kongkalikong dengan berbagai kelompok radikal dan ormas sontoloyo untuk mengganggu stabilitas politik, keamanan negara, dan kenyamanan masyarakat.

Selanjutnya, lambannya penanganan dan kurangnya tindakan tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap kelompok-kelompok ekstrem yang sering berulah di masyarakat juga turut memberi kontribusi dan menjadi faktor merebaknya intoleransi dan radikalisme di masyarakat.

Masih banyak yang waras

Meskipun kekhawatiran itu lumrah tapi tidak perlu ketakutan dengan fenomena intoleransi dan ekstremisme di sejumlah daerah di Indonesia. Jumlah masyarakat Indonesia yang waras masih jauh lebih banyak ketimbang mereka yang tidak waras atau setengah waras.

Berbagai pendekatan, baik pendekatan struktural maupun kultural, perlu dilakukan untuk menyikapi fenomena intoleransi dan radikalisme ini.

Pendekatan strategis-komprehensif (melalui jalur penegakkan hukum, politik, keamanan / sekuriti, pendidikan, training, spiritual-keagamaan, dialog, dlsb), sangat diperlukan untuk menghilangkan, meminimalisir, atau minimal membonsai ruang-gerak kelompok radikal-intoleran ini.

Masyarakat harus proaktif membantu pemerintah dan aparat dalam menjaga keamanan dan kenyamanan di lingkungan mereka. Masyarakat jangan hanya menjadi “penonton” pasif karena membiarkan kejahatan terjadi berarti sama saja dengan merestui tindakan kriminalitas itu.

Stigma “silent majority” (mayoritas diam) yang selama ini menempel harus diubah menjadi “noisy majority” (mayoritas berisik), yakni publik masyarakat yang aktif bergerak merawat kemajemukan dan menjaga kebangsaan serta melawan kelompok-kelompok sosial-keagamaan yang terjangkit penyakit overdosis fanatisme sempit yang berpotensi mengancam kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara.

Ingat, dalam banyak hal, kejahatan itu terjadi bukan semata-mata karena ulah orang-orang jahat dan gila tetapi lantaran sikap orang-orang baik dan waras yang diam membisu seribu bahasa menyaksikan aneka kejahatan dan keburukan yang terjadi di depan mata mereka. Semoga bermanfaat.

Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, AS, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerjasama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore. (SFA)

Artikel ini telah dimuat di DW.com dengan Judul “Kekhawatiran Akan Pudarnya Spirit Kebhinekaan

 

Ancaman terhadap Konstitusi Pancasila dan Asas Bhineka Tunggal Ika saat ini

$
0
0

by Ahmad Yanuana Samantho, et all

(cuplikan Buku REVOLUSI MENTAL IDEOLOGI PANCASILA Berdasarkan Kearifan Perennial Nusantara dan Dunia)

INDONESIA 2015-2045:

Renungan untuk Pembangunan Strategi Kebudayaan[1]

by Azyumardi Azra, CBE*

 

Abstract

Indonesia in under President Joko Widodo and Vice President M. Jusuf Kalla faces not only economic challenge, but also political, social, cultural and religious challenges.  In these last contexts, Indonesia has been very fortunate to be a Unitary Republic (NKRI) with the National Constitution of 1945, Pancasila, and Bhinneka Tunggal Ika—the last two are the constitutional basis of a multicultural Indonesia. These basic principles, however, need to be revitalized in order for Indonesia to be able to progress and, more importantly, remain integrated towards 2045, when the nation-state will celebrate its centeninal.

Membayangkan Indonesia sepanjang 2015-2045 di bawah kepemimpinan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, satu abad/milenium Indonesia pada 2045, yang merupakan masa yang tidak terlalu jauh dan juga tak terlalu panjang, hampir bisa dipastikan mengandung lebih banyak kontinuitas. Pada saat yang sama, berbagai bentuk perubahan juga berlangsung, meski boleh jadi tidak terlalu bersifat transformatif revolusioner.

Perkembangan Indonesia pada tahun-tahun 2015-2045 masih sangat dipengaruhi dinamika dalam kehidupan politik dan ekonomi. Komposisi kekuatan politik baik pada lembaga legislatif (DPR RI) dan eksekutif (Presiden) akan banyak mempengaruhi dinamika politik. Begitu pula corak kepemimpinan nasional yang telah dihasilkan Pilpres 2014, 2019. 2024 dan seterusnya menjadi faktor sangat menentukan bukan hany perjalanan politik Indonesia, tapi juga ekonomi, sosial dan budaya menuju 2045.

Dinamika politik jelas pula sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi sepanjang 2015-2045. Indonesia dapat memiliki postur ke dalam dan keluar lebih kuat, jika kegaduhan politik dan saling sandera di antara berbagai kekuatan politik sepanjang periode 2014-2019 berkurang sehingga memungkinkan konsentrasi lebih besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK dengan gabungan kekuatan politik pendukung yang relatif lebih sedikit dibandingkan koalisi Prabowo-Hatta yang dikalahkannya pada Pilpres 2014 memerlukan upaya keras untuk dapat menarik sebagian kekuatan politik ‘Koalisi Merah Putih’ ke pangkuannya.

Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang meningkat saja tidak cukup, bahkan dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun—sedikitnya stagnan. Karena itu perlu akselerasi prasyarat yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, khususnya dengan pengembangan infra-struktur semacam jalan raya, ‘tol laut’, penambahan atau pengembangan kapasitas listrik, pelabuhan, bandara dan seterusnya.

Selain itu pertumbuhan ekonomi mesti disertai peningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat—khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan yang cenderung terus meningkat jumlahnya. Jelas, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pemerataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan, dapat meningkatkan gejolak ketidakpuasan masyarakat kelas bawah, khususnya buruh dan petani. Kejengkelan sosial (social resentment) yang tidak terkendali hampir bisa dipastikan dapat menimbulkan peningkatan kekerasan dan bahkan mungkin juga ‘revolusi sosial’ (social revolution) di tempat dan daerah tertentu yang termasuk kategori rawan.

 

Dalam keadaan seperti itu, kehidupan sosial budaya dapat terus mengalami disorientasi lebih luas. Proses globalisasi yang terus meningkat sejak awal Milenium 2000 tidak dapat dihentikan dan sangat sulit ditangkal. Sementara itu, ketahanan sosial-budaya nasional (socio-cultural resilience) hampir tidak dilakukan secara sistematis—karena tidak adanya strategi kebudayaan yang jelas—sehingga menimbulkan banyak ironi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya saja, kian banyak masyarakat Indonesia yang terlihat semakin dekat kepada agama dan melakukan banyak ritual keagamaan, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk tindakan koruptif dan maksiat tetap merajalela. Terlihat jelas pula, budaya kewargaan (civic culture) dan ‘keadaban publik’ (public civility) terus merosot.

 Pancasila: Tantangan Ideologi Trans-Nasional

Masa 2015-2045 tetap mengundang keprihatinan dalam hal penguatan semangat kebangsaan dan kesatuan. Jika friksi politik terus terjadi sejak masa reformasi dan kini terus meningkat dalam masa pasca-Pilpres 2014, tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan adanya upaya sistimatis untuk memperkuat kembali faktor-faktor pemersatu (integrating forces) yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa-bernegara, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Khusus tentang dasar negara Indonesia, dalam berbagai forum diskusi dan seminar, sebagai narasumber saya berulangkali mendapat pertanyaan dari audiens tentang relevansi Pancasila dalam menghadapi berbagai tantangan ideologis lain, khususnya yang bersifat trans-nasional yang masih terus dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, katakanlah untuk periode 2015-2045.

Pertanyaan tersebut muncul jelas karena adanya keprihatinan melihat berbagai realitas, kondisi dan tantangan sosial, budaya dan politik yang dihadapi negara-bangsa Indonesia—baik secara internal maupun eksternal—yang kelihatan seolah-olah membuat tidak lagi relevan dan kondusif untuk berbicara mengenai Pancasila. Apalagi kalau kita terus berkeinginan agar Pancasila tetap menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi bagi Indonesia hari ini dan 100 tahun ke depan dan beyond.

Pada saat yang sama, dalam iklim kebebasan dan demokrasi masa pasca-Soeharto, orang atau kelompok manapun masih saja dengan bebas mengembangkan berbagai corak dan ekspresi sosial, budaya dan politiknya yang sering tidak sesuai dengan keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Seperti disinggung di atas, banyak kalangan warga dan masyarakat Indonesia mengalami disorientasi sosial, budaya, politik, dan bahkan keagamaan. Serbuan pandangan dan gaya hidup dalam aspek-aspek kehidupan tersebut mengalami globalisasi sehingga mengakibatkan kian tergerusnya banyak nilai positif dalam sistem dan tradisi sosial, budaya dan politik yang telah indigenous di Indonesia.

Pada saat yang sama dan terus melintasi masa lima tahun ke depan dan selanjutnya, ideologi-ideologi trans-nasional radikal yang tidak sesuai dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan Indonesia tetap berusaha keras merekrut warganegara dengan menggunakan berbagai retorik yang seolah-olah membenarkan argumen dan logika mereka. Pemerintah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak melakukan apa-apa atau bahkan sering seolah tidak berdaya apa-apa untuk mengkonter ideologi dan penyebaran berbagai bentuk ideologi dan gerakan transnasionalisme tersebut.

Ideologi dan gerakan trans-nasional yang menantang dan ingin mengganti dasar negara Pancasila tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam berbagai bentuk. Pertama, paham dan gerakan transnasional radikal, yang bergerak di bawah tanah, yang bahkan melakukan tindakan kekerasan dan terorisme, seperti al-Jama’ah al-Islamiyyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang kemudian terpecah—memunculkan Jamaah Ansharut Tauhid )JAT). Ketika kelompok yang dalam dan satu hal sering disebut terkait dengan al-Qa’idah, yang   bertujuan membentuk semacam ‘Kekhalifahan Nusantara’ di Asia Tenggara.  Belakangan ini juga muncul gerakan ISIS/IS dari wilayatimur Syria dan barat-utara Iraq yang juga mendeklarasikan diri sebagai ‘khilafah’ atau ‘dawlah Islamiyah’. Gerakan radikal dan brutal IS ini ternyata berhasil mendapat dukungan dari segelintir kalangan Muslim internasional, termasuk dari Indonesia.

Kedua, ideologi dan gerakan trans-nasional yang bergerak bebas secara terbuka, seperti Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang bertujuan untuk membangun ‘Kekhalifahan Internasional’ dan menegakkan syari’ah. Meski di banyak negara Timur Tengah dan Asia Tengah HT telah menjadi organisasi terlarang, di Indonesia HTI dapat memanfaatkan keterbukaan dan kebebasan demokrasi. Meski tidak berhasil mendapat dukungan signifikan dari kaum Muslimin Indonesia arus utama, HTI tetap aktif mengkampanyekan ‘syari’ah’ dan ‘khilafah’nya dalam ranah publik Indonesia.

Ketiga, paham dan gerakan trans-nasional yang lebih bersifat keagamaan dan cenderung non-politis seperti Jama’ah Tabligh, dan Ahmadiyah (keduanya asal India). Kedua kelompok ini lebih banyak mengkonsentrasikan kegiatan dalam kegiatan dakwah terhadap kaum Muslim lain atau internal di antara para jamaahnya sendiri. Mereka bergerak di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, melakukan kegiatan door-to-door mengajak kaum Muslimin Indonesia arus utama mengikuti mereka.

Tanpa perlu diskusi panjang lebar jelas paham dan gerakan trans-nasional menjadi tantangan bukan hanya terhadap realitas keagamaan (Islam) moderat Indonesia yang memiliki komitmen penuh pada  UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila selain menjadi dasar negara, juga memiliki makna simbolik sangat signifikan.

Indonesia beruntung memiliki kaum Muslimin wasatiyah, jalan tengah’ yang tergabung dalam ormas-ormas Islam arus utama sejak dari NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nahdlatul Wathan sampai al-Khairat yang telah memiliki komitmen final pada keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Mereka berulang kali menegaskan misalnya bahwa Pancasila adalah bentuk final perjuangan kaum Muslimin Indonesia.

Dalam konteks itu, Pancasila merupakan salah satu simbol terpenting yang muncul dari perjalanan bangsa mewujudkan negara  Indonesia yang bersatu berkat wawasan nasional dan kebudayaan yang kokoh. Dengan begitu dapat membuka jalan menuju kehidupan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera; dan lebih berbudaya (civilized), berharkat dan bermartabat dalam kancah internasional.

Simbolisme jelas sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan di masa depan. Sayang berbagai simbolisme penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, khususnya Pancasila—karena berbagai faktor—mengalami kemerosotan, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir, ketika Indonesia dalam penerimaan demokrasi yang lebih genuine dan otentik muncul berbagai ekses dan unintended consequencies.

Pancasila beserta ketiga prinsip dasar (yang sering juga disebut sebagai ‘pilar’) merupakan salah faktor pemersatu (integrating force)  terpenting dalam kebangkitan negara-bangsa Indonesia sejak masa pasca-kolonialisme dan kemerdekaan. Pancasila memungkinkan berdiri dan bertahannya negara-bangsa Indonesia yang bersatu, yang tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.

Pancasila dalam pandangan saya merupakan sebuah blessing bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam berbagai segi dan aspek kehidupan. Meski Pancasila sekarang masih tetap jarang menjadi wacana publik, karena adanya semacam ‘trauma’ akibat penggunaan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan status quo politik pada masa Orde Baru, tetapi Pancasila telah membuktikan dirinya sebagai dasar negara dan kerangka ideologi yang feasible dan viable bagi negara-bangsa hari ini dan ke depan, bukan hanya dalam periode kepemimpinan nasional 2014-2019, tetapi untuk masa yang jauh lebih lagi, melintasi 17 Agustus 2045, ketika Republik Indonesia genap berusia 100—satu abad alias satu milenium.

Kelahiran Pancasila sebagai dasar negara dan  common-platform dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia yang serba plural dan multi-kultural merupakan momentum dari tekad bersama bangsa Indonesia untuk tetap bersatu di tengah keragaman yang ada. Pancasila adalah kerangka dan dasar ideologis negara-bangsa Indonesia yang merupakan sebuah ‘deconfessional ideology’, ideologi yang tidak berbasiskan agama manapun. Tetapi, khususnya dengan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, Pancasila adalah sebuah ‘ideologi’ yang sesuai dan ‘bersahabat’ dengan agama. Sebagai ‘deconfessional ideology’, Pancasila adalah sebuah ‘blessing in disguise’—rahmat terselubung bagi umat beragama warganegara Indonesia.

Lebih jauh, dengan karakter Pancasila yang merupakan ‘religiously friendly ideology’ tidak ada alasan dan argumen yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lainnya, khususnya trans-nasionalisme keagamaan. Karena itulah setiap upaya mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lain bersifat trans-nasional—khususnya berbasiskan agama—tidak pernah mendapat dukungan dari mayoritas umat beragama; dan karena itu bound to fail.

Rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila sepanjang 2015-2045 tetap merupakan kebutuhan sangat mendesak, bukan hanya karena merosotnya faktor-faktor pemersatu lainnya (seperti negara, kesadaran historis pengalaman bersama, nasionalisme, dan sebagainya) tetapi juga—sebagaimana dikemukakan terdahulu—karena meningkatnya usaha dan penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional untuk mengganti NKRI dengan ideologi Islam dan sistem/entitas politik khilafah internasional atau khilafah regional. Lagi-lagi  negara dan pemerintah sebelumnya tidak kelihatan tidak memiliki kemauan politik dan sekaligus cara tertentu untuk mencegah penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional semacam itu.

Selain itu, kita juga melihat meningkatnya gejala intoleransi terhadap perbedaan dan keragaman pandangan, khususnya dalam bidang keagamaan; gejala ini bahkan bahkan tidak jarang terwujud dalam berbagai bentuk radikalisme. Tawaran-tawaran instan yang ditawarkan ideologi dan gerakan  trans-nasional bukan tidak mungkin mendapatkan kian banyak pendukung, ketika demokrasi multi-partai yang diterapkan sejak 1999 belum juga berhasil mendatangkan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, sangat esensial merevitalisasi Pancasila dan sekaligus menjadikan demokrasi sebagai ‘the only game in town’ dengan lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Memandang realitas tersebut, rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan yang dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana umum (public discourse), sehingga menguakkan kembali kesadaran publik tentang Pancasila dan posisinya yang begitu krusial dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Kedua, Pancasila seyogyanya dijadikan sebagai ideologi terbuka (open ideology) yang memungkinkannya untuk senantiasa ‘diperbaharui’ dan ‘dimaknai’ secara agar tetap kontekstual dan relevan menjawab berbagai tantangan yang terus berubah secara sangat cepat. Ketiga; melakukan reassesment atas pemaknaan Pancasila selama ini yang memungkinkan bagi kontekstualisasi Pancasila dalam meresponi dan menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Keempat; melakukan sosialisasi pemaknaan kontekstual Pancasila ke dalam berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan dan metode-metode baru yang berbeda dengan indoktrinasi dan regimentasi pada masa Orde Baru.

 Menjadi Indonesia

Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai; dan bahkan boleh jadi tidak akan pernah selesai termasuk dalam kurun 2015-2045. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined communities—komunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia nampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal yang dasar dalam kehidupan kebangsaan.

Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, kelahiran Pancasila, imagined communitiesitu mengambil reka bentuk dasarnya dalam sebuah ‘negara-bangsa’ Indonesia merdeka dan berdaulat, perlu pengembangan imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke depan, dalam menginjak milenium kedua. Dengan begitu Indonesia tidak lagi sebagai ‘imagined communities’, tapi ‘actual communities’ yang terintegrasi secara solid, kokoh dan tangguh dalam kerangka NKRI dan Pancasila.

Dalam konteks itu, salah satu tantangan berat bangsa di hari kini dan ke depan melintasi 2014-2019 menuju 2045 adalah memperkuat kembali identitas bangsa atau identitas nasional, yang mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional 1908 dan terus menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan perumusan Pancasila yang kemudian mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan.

Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup: 1.Semangat kebangsaan (nasionalisme) Indonesia; 2.Negara-bangsa (nation-state) Indonesia; 3.Dasar negara Pancasila; 4.Bahasa nasional, bahasa Indonesia; 5.Lagu kebangsaan Indonesia Raya; 6.Semboyan negara, ‘Bhinneka Tunggal Ika’; 7.Bendera negara, sangsaka merah putih; 8.Konstitusi negara, UUD 1945; 9. Integrasi Wawasan Nusantara; 10.Tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral dari budaya nasional setelah melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai ‘mengindonesia’.

‘Mengindonesia’, menunjukkan proses yang pada dasarnya tidak pernah selesai sesuai dengan berbagai perkembangan dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Menjadi Indonesia, dengan demikian, jelas bukanlah sesuatu yang sudah selesai atau dibiarkan begitu saja (taken for granted). Sebaliknya, ‘mengindonesia’ mengisyaratkan proses mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai; sesuatu gambaran—atau bahkan impian—yang ingin diwujudkan secara bersama.

Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, ‘mengindonesia’ berarti proses-proses untuk menggapai dan mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil dan makmur; berharkat dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional. Proses-proses ‘mengindonesia’ ini mestilah dibangkitkan dan diakselerasikan kembali, sehingga ‘keindonesiaan’ dapat terus bertumbuh dan menguat.

Identitas nasional jelas tidak statis; proses ‘mengindonesia’ mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal. Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari ekonomi, politik sampai budaya, secara signifikan telah mengubah lanskap Indonesia. Akibatnya jelas, secara internal terjadi perubahan-perubahan yang tidak selalu menguntungkan penguatan identitas nasional.

Dalam dasawarsa terakhir, kita bisa menyaksikan terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik dan sosial-budaya baik pada tingkat nasional maupun lokal. Equilibrium belum juga tercapai dengan baik setelah Indonesia mengalami reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1999. Euforia politik dan demokrasi dengan berbagai eksesnya terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustrasi di kalangan masyarakat; rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam identitas nasional. Karena itu, pencapaian equilibrium dalam proses-proses politik demokrasi mestilah menjadi sebuah prioritas yang mendesak.

Hemat saya, ketika negara-bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat, atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi demi kepentingan nasional, maka suatu kekuatan sosial/politik dengan ideologis trans-nasional boleh jadi mengambilalih negara, dan menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas negara-bangsa Indonesia. Ini jelas merupakan ancaman serius bukan hanya bagi Pancasila, tetapi juga bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia; dan karena itu, berbagai langkah untuk revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila beserta ketiga prinsip dasar`negara-bangsa Indonesia mesti segera dilakukan, sebelum semuanya menjadi sangat sedikit dan amat terlambat (too litle too late).

 Penutup

Indonesia yang sampai sekarang tetap bersatu bagi banyak orang di berbagai negara Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia tetap merupakan realitas yang sulit mereka pahami. Dari waktu ke waktu saya mendengar pernyataan kalangan terpelajar dari wilayah-wilayah tersebut tentang bagaimana mungkin sebuah negara yang terdiri dari begitu beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa dan agama bisa bersatu dalam sebuah negara-bangsa.

Karena itu, masih terdapat kalangan dalam dan luar negeri yang mencemaskan masa depan Indonesia. Apakah negara-bangsa Indonesia yang bersatu tetap masih ada pada 2045 nanti? Mereka yang skeptis membayangkan: ‘Jangan-jangan Indonesia hanya tinggal nama menjelang usianya satu milenium’.

Skeptisisme itu punya beberapa alasan. Tapi saya berpendapat, terdapat juga banyak alasan untuk optimis. Hemat saya, faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap bersatu tidak boleh diterima secara taken for granted; berbagai usaha harus tetap dilakukan agar Indonesia tetap utuh dan bersatu.

Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah di antara lautan, laut dan selat—menjadi benua atau negara maritim—memang sejak waktu yang lama sampai sekarang masih dianggap sebagai ‘keajaiban’ (miracle), misalnya oleh Edward Ellis Smith, Indonesia: The Inevitable Miracle (1973). Atau sebagai ‘tidak mungkin’ seperti terlihat dalam judul karya Elizabeth Pisani, Indonesia Etc.,: Exploring Improbable Nation (2014)—negara-bangsa yang tidak mungkin dibayangkan [bisa bersatu].

Indonesia yang beragam, bhinneka atau multikultural, dalam perspektif historis dan sosiologis Eropa sangat sulit dibayangkan bisa bertahan dalam waktu panjang. Pengalaman historis Eropa yang monokultural, tapi penuh perang intra-etnis Kaukasian (kulit putih), konflik intra-budaya dan intra-agama yang berdarah-darah abad demi abad. Tidak heran kalau Eropa terpecahbelah menjadi sangat banyak negara (kini 53 ditambah 6 wilayah protektorat). Perpecahan itu kini kelihatan belum berhenti. Ancaman separatisme untuk pembentukan negara baru terlihat di Flanders, berbahasa Flemish/Belanda dan Walloon yang berbahasa Prancis (keduanya di wilayah Belgia), Catalunya dan Basque (di kawasan Spanyol), Venesia dan Tyrol Selatan (di wilayah Italia), Pulau Korsika (termasuk Prancis)—untuk menyebut beberapa nama saja. Cukup banyak di antara negara Eropa yang telah lama eksis atau yang tengah berjuang memerdekakan diri berpenduduk hanya ratusan ribu orang.

Banyak kalangan Indonesia juga bisa merasa heran kenapa kawasan yang tidak begitu beragam, monokultural, cenderung mudah dan cepat terpecah belah. Padahal, masyarakat-masyarakat di wilayah tersebut secara historis dan sosiologis cenderung ‘seragam’ baik secara etnis atau ras, budaya dan agama.

Tetapi pengalaman historis, sosiologis dan keagaman itu, sering digunakan kalangan akademis dan pengamat Eropa untuk melihat Indonesia. Di antara mereka misalnya penulis Belanda, J.S. Furnivall dalam bukunya Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1939). Melihat Indonesia dari perspektif Eropa, Furnivall meramalkan skenario kehancuran (doomed scenario) bagi Kepulauan Indonesia. Menurut prediksi dia bekas wilayah Belanda (Nederland East Indies) ini menjadi berbagai kepingan ‘negara’ begitu Perang Dunia II usai karena tidak ada satu faktorpun yang bisa menyatukan seluruh suku bangsa dengan berbagai keragaman budaya dan agamanya.

Tapi Indonesia tetap bersatu, meski proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 disertai perang revolusi mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda kembali menguasai Indonesia. Negara-bangsa ini juga tetap bertahan ketika kalangan pengamat asing meramalkan Indonesia bakal mengalami ‘Balkanisasi’ berikutan krisis moneter, ekonomi dan politik 1997-1999. Mundurnya orang kuat Indonesia selama lebih tiga dasawarsa, Presiden Soeharto pada Mei 1998, memunculkan turbulensi politik sangat mencemaskan.

Indonesia tetap dalam kesatuan melewati masa sulit penuh turbulensi politik dan ekonomi itu sejak masa awal kemerdekaan, krisis ekonomi dan politik 1960-an dan terakhir 1997-1999. Kenapa bisa demikian? Penulis berargumen, ada sejumlah faktor historis, budaya, sosial dan keagamaan yang membuat Indonesia tetap bersatu dan utuh.

Dalam kaitan itu, penting mencatat pandangan Elizabeth Pisani, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia terlihat ‘kasual’ tapi menyenangkan, yang dengan ejaan lama terbaca: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya”. Djakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Kata ‘d.l.l’. (dan lain-lain) itu menurut Misha Glenny dalam harian The Guardian (24 Juli 2014) yang oleh Pisani dipakai sebagai anak judul bukunya, Indonesia Etc. sekali lagi merupakan cara kasual untuk menyatakan kemerdekaan sebuah negara bangsa. Kata ‘d.l.l.’ itu tidak jelas maksudnya; tidak tersirat sama sekali tentang negara-bangsa Indonesia yang dibayangkan. Juga tidak ada tentang identitas negara Indonesia; tapi banyak hal bisa tercakup di dalamnya

Kenapa Indonesia tetap bisa bersatu? Mereview buku Pisani, Joshua Kurlantzick dalam The New York Times (1 Agustus 2014) mencatat: ‘[Indonesia] has welded so much difference together through collectivism in villages and clans—collectivism that makes people more secure in their daily lives. Its citizens have generally fostered a level of cultural tolerance rare in such large nations’.  Kolektivisme dan toleransi budaya [dan juga agama], itulah di antara faktor terpenting membuat Indonesia tetap bersatu.

 **AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010).
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); dan Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA, 2010-12).
Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang).
Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies(Jakarta, 1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies(International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-16).
Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development(Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); dan editor, Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012. Lebih 30 artikelnya berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban. Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat MIPI Award’ dari Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIP). Selanjutnya, pada 18 September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi  Fukuoka Prize 2014 Jepang atas jasa dan kontribusinya yang signifikan dalam peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya Asia.dapat dikontak melalui azyumardiazra1@gmail.com / azyumardiazra1@yahoo.com

 

KRISIS DUNIA MODERN:

LATAR KRISIS KEBANGSAAN AKIBAT MODERNISME-MATERIALISME-SEKULARISME DAN EKSTRIMISME+KEBODOHAN BERAGAMA

 Pengantar Penulis (AYS)

 Bismillahirahmanirrahim, Allahuma Shalli ala Muhammad wa ala ‘Aaali Muhammad wa ajjil farojahum,

 Sejak usia SMA di tahun 1980-an, ketertarikanku kepada pelajaran sejarah sudah mulai tumbuh dalam sanubariku yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Kekaguman kepada tokoh-tokoh pahlawan bangsa seperti Bung Karno (Ir. Ahmad Soekarno) and Bung Hatta (Mr.Muhammad Hatta), mengisi ruang batinku yang sedang mencari role model di kala masih remaja.  Semakin dalam mempelajari sejarah bangsaku, semakin dalamlah kecintaan kebangsaanku, apalagi ketika menyadari bahwa ada beberapa leluhur, kakek  dari ibuku dan bapakku yang juga turut mengukir sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa di masa-masa perjuangan kemerdekaan RI dengan keringat, ilmu dan darah mereka, hingga gugur syahid di tahun-tahun 1942-1946. Begitu juga ketika cerita para pahlawan nasional Indonesia dari berbagai daerah dan suku bangsa ikut membentuk karakter dan memompa semangatku untuk melestarikan semangat juang meneruskan misi perjuangan mereka untuk memerdekakan negara bangsa Indonesia tercinta ini. Bung Karno terkenal pernah menyadarkan bangsa Indonesia untuk tidak melupakan sejarah bangsanya: “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah), adalah jargon sang Proklamator Kemerdekaan RI itu.

Kecintaan terhadap kajian sejarah semakin menguat ketika kusadari bahwa sejarah tak hanya menghidangkan imajinasi dan kegairahan romantika perjuangan bangsa. Kajian sejarah juga memberikan banyak pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, keberanian, kecintaan kepada keadilan dan kebenaran serta semangat perlawanan terhadap kezaliman para penjajah bangsa. Lebih dari itu, kajian sejarah yang mendalam telah mulai kurasakan dapat memberikan banyak jawaban dan cara pandang terhadap berbagai persoalan kekinian dan kedisinian yang dihadapi bangsa kita saat ini. Apa lagi bahwa ternyata pelajaran agama Islam yang kemudian juga kudalami pun banyak sekali mementingkan kisah sejarah sebagai suatu bahan pelajaran. Inilah pelajaran yang mengungkapkan adanya hukum-hukum sejarah universal, pelajaran tentang cinta terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan, tentang kecintaan yang melampaui diri, keluarga dan lingkungan sempitku sebelumnya.

Masa-masa pertumbuhan intelektual dan keruhanianku dalam keluarga, dan masyarakat dalam berhadapan dengan tantangan konteks realitas dan problem kehidupan ideologi-politik-ekonomi-sosial-budaya-pertahanan-keamanan nasional Indonesia di zaman pemerintahan Orde Baru Soeharto (1965-1998), membuatku semakin bertanya-tanya tentang hakikat sejarah perumusan dasar falsafah bangsa Indonesia dan apa makna Panca Sila yang sebenarnya?  Berbagai problem kebangsaan: otoritarianisme/kesewenang-wenangan-kezaliman politik, korupsi-kolusi dan nepostisme (KKN) & kekuasaan oligarki neo-imperialisme yang mengurita pada rezim Orde Baru Soeharto pada tahun 1980-1990-an, kurasakan bertentangan sekali dengan tafsiran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Panca Sila), yang ironisnya justru saat itu diwajibkan  penatarannya kepada setiap siswa dan mahasiswa serta semua warga negara Indonesia. Perkuliahanku di Fakultas Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung di tahun-tahun 1980-an pun tak juga memuaskan dahaga batin dan pikiranku, sehingga akhirnya kutinggalkan begitu saja di semester 7  untuk memulai pengembaraan intellektual dan ruhaniku yang baru dari satu tempat diskusi ke tempat lainnya, dari satu kelompok pengajian ke kelompok pengajian lainnya, dari pesantren ke pesantren, dari kampus ke kampus, bertemu berbagai guru dari satu negeri ke negeri lain.

Kegelisahan intelektual-spiritual yang mempertanyakan jati diri bangsa Indonesia ini akhirnya mengantarkanku bertemu dengan berbagai pemikiran filosofis dan sumber informasi tentang cerita sejarah peradaban awal umat manusia di Atlantis, yang berasal dari Plato, Sang Filosof  Yunani Abad 4 SM.  “Masa Aha” ini kutemukan akhirnya setelah menyelesaikan studi Ilmu Politik Administrasi Pembangunan di Universitas Terbuka Indonesia dan mulai kuliah paskasarjana (S-2) Filsafat Islam di Islamic College for Advanced Studies London, yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta tahun 2003. Lebih menakjubkan lagi, pada tahun 2005 saya membaca buku karya Prof.Dr. Arisyio Nunes des Santos  dari Brazil dalam bukunya ”Atlantis, The Lost Continent Has Finnaly Found, The Definitive Localization of Platos Lost Civilization”, yang menyimpulkan bahwa Indonesia adalah lokasi bekas Benua Atlantis yang hilang itu (setelah 30 tahun penelitiannya yang komprehensif-holistik-multidisipliner).  Menurut Santos, lokasi bekas peradaban Atlantis — yang tenggelam 11.600 tahun yang lalu itu ­– akhirnya ditemukan lokasinya di tatar benua Sunda (Sunda Land) atau Nusantara.

Kegelisahan terhadap kondisi kehidupan bangsa Indonesia ini jugalah yang kemudian mengantarkanku mengkaji Filsafat Islam dan Ilmu Tasawuf (Islamic Mysticism)  di Islamic College for Advance Studies  (ICAS)-Universitas Paramadina Jakarta tersebut dan di International Center for Islamic Studies  (ICIS) di kota suci Qom, Republik Islam  Iran.

Tapi perjalanan intelektual dan spiritual tak bisa berhenti hanya di situ. Kegelisahan intelektual dan spiritual dalam usaha menjawab berbagai pertanyaan dan menghadapi problem kebangsaan itu, menuntunku kepada pencarian “kearifan puncak dan abadi (perennial)” dari khazanah berbagai peradaban, agama-agama dan tradisi-budaya lokal umat manusia di berbagai penjuru dunia.

Pelajaran sejarah peradaban umat manusia begitu mempesonaku. Mimpi-mimpiku dalam tidur maupun jaga, atau antara tidur dan terjaga, semakin menyedot perhatianku, dan perhatian cukup banyak orang yang tiba-tiba saja kutemukan, kepada suatu pencarian spiritual-intelektual dan fakta-fakta historis serta artefak-arketipe Atlantis/Atlas/Atala/Andalas. Minat dan intensitas kajianku terhadap Atlantis menghantarkanku,  di awal tahun tahun 2009 lalu, berkenalan dengan  3 orang anak muda sarjana yang telah mengaku menemukan jejak situs replika Kerajaan Atlantis (Kandis) di tengah Pulau Sumatra, dekat Sungai Kuantan Singgigi, di perbatasan Sumatra Barat, Jambi dan Pekanbaru, di Pulau Sumatra.  Lalu, tanpa terduga, aku berkenalan dengan beberapa orang lainnya: ada orang tua sepuh, ada beberapa anak muda bersemangat dengan serangkaian visi yang fokus dan jernih, baik visi filosofis, visi religius maupun visi mistisnya.

Ada apa gerangan? Pak tua yang arif, yang tanpa sengaja kutemui dan berkenalan di forum kajian agama Islam di Universitas Paramadina Jakarta, di akhir tahun 2008 itu, dalam makalahnya yang khusus diberikannya untukku, meramalkan kebangkitan kembali spiritualisme yang paripurna di abad milenium ketiga ini di Nusantara. Menurut Bapak Tato Sugiarto, Kebangkitan spiritualisme di Nusantara itu berbasis soft power: ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi,  serta informasi transendental, yang akan mengiringi kebangkitan kembali Imam Mahdi al-Muntadzar dan turunnya Nabi Isa (Jesus) al-Masih, yang diikuti  kehadiran Sang Satrio Piningit, Sang Ratu Adil, yang akan menggantikan dan menguburkan rezim global yang zalim.

Kegelisahan itu pulalah yang sebelumnya mengantarkan kepenasaranku membaca Novel “NEGARA KE-5” karya Es Ito, terbitan Penerbit Serambi, Jakarta, 2005. Lalu muncul pertanyaan dalam benak batinku, adakah hubungan Atlantis di Nusantara dengan Kerajaan Kandis di dekat Sungai Kuantan Singgigi di Riau-Pekanbaru itu? Adakah hubungan Kandis  dengan mitos setempat tentang adanya kaum  “siluman ruh harimau” yang abadi,  yang konon berkhidmat kepada para pemimpin bangsa Atlantis? Adakah Atlantis itu peradaban yang dibangun Nabi Adam AS, yang dilanjutkan oleh Nabi Idris AS (Hermes Trimegistus/Henockh), Nabi Nuh AS dan Nabi Sulaiman AS, sebagaimana diceritakan dalam kitab-kitab suci? Dan apakah itu semua terkait erat dengan sejarah para Nabi-Allah lainnya di muka bumi.

Adakah semua itu terkait dengan kearifan abadi/perrennial (Sophia Perennialism ) berbagai agama dan tradisi dunia, yang ternyata kemudian saya temukan punya satu akar benang merah yang sama, sumber dan akar Ketuhanan yang sama dari berbagai agama besar dunia: Hindu, Budha, Zoroaster, Yahudi, Konfusianisme-Taoisme, Kristen-Nashrani dan Islam bahkan Filsafat-ideologi Pancasila sebagai basis yang membangun peradabannya?

Adakah semua itu terkait dengan sila-sila dalam Panca Sila seperti: “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan” dalam Pancasila.” Hikmah kebijaksanaan yang muncul dari konsep kesadaran “Bhineka Tunggal Ika” atau “AlKatsrah fi alWahdah” atau “AlWahdah fi al-Kastrah” (Unity in Plurality/Diversity, Diversity/Plurality in Unity ), konsep “Wahdat al-Wujud” dalam tradisi filsafat-Tasawuf Islam, atau konsep “Manunggaling Kawulo-Gusti” dan“Sangkan Paraning Dumadi“dalam khazanah Ilmu Suluk/Makrifat Kejawen (Kaweruh Jawi), atau konsep “Parahyangan”  dan “Sang Hyang Widi Wasa”  dalam kosmologi-teologi Sunda Wiwitan?

Adakah semua pertanyaan dan hal itu terkait dengan penemuan dan teori kontroversial KH Fahmi Basya, yang mengatakan bahwa kerajaan negeri Saba-nya Ratu Bilqis adalah berlokasi di Wono Sobo, dari zamannya Ratu Boko, yang peninggalan bekas keratonnya (Candi Boko) masih tersisa di selatan Candi Prambanan Yogyakarta?  Adakah itu terkait penemuan  dan teori kontroversial KH Fahmi Basya, bahwa Candi Borobudur adalah salah satu bangunan peninggalan Kuil Nabi Sulaiman dan tahta kerajaan Ratu Balqis (Boko) yang dipindahkan seperseribu detik kejapan mata oleh “Hamba Tuhan YME” yang berilmu pengetahuan dari al-Kitab Suci Ilahiyah? Bolehkah  kita bertanya agak nyeleneh dan kritis terhadap sejarah kita untuk membentuk sejarah baru di masa depan?

Adakah juga cerita tenggelamnya benua Atlantis di Nusantara itu terkait dengan atau dapat menjelaskan berbagai fenomena gejolak alam yang akhir-akhir ini semakin menggeliat dan menjadi bencana di negeri Indonesia; gempa bumi, tsunami, rangkaian letusan gunung berapi, longsor, banjir, semburan gas dan lumpur gas dari perut bumi di Sidoarjo, dll.

Sebagian besar pertanyaan-pertanyaan di atas telah menemukan jawabannya, yang oleh saya sajikan dalam buku bunga rampai ini.

Sebelumnya, di awal tahun 2010 saya dan teman saya Kang Oman Abdurahman dari Badan Geologi Bandung (sekarang 2017-2018 menjabat sebagai kepala Museum Geologi Bandung) merancang sebuah konferensi internasional yang kami beri judul: International Conference on Nature, Philosophy and Culture of Ancient Sunda Land, yang alhamdulillah dapat terselenggara dengan sukses pada tanggal 25-27 Oktober 2010, tujuh tahun yang lalu. Konferensi Internasional yang mengangkat isu tentang Peradaban Atlantis Nusantara  (Sunda Land) dan tradisi-budaya Sunda Kuno itu, difasilitasi oleh Kantor Dinas Parawisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (atas dukungan Wakil Gubenur waktu itu Bapak Dede Yusuf dan Pak Bob Sulaeman Effendi), dengan dukungan penuh dari Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO-PBB (KNIU) pimpinan Pak Prof.Dr. Arif Rahman Hakim.

Syukur Alhamduillah kami dapat menghadirkan pembicara penting (nara sumber) pada konferensi internasional yang digelar di Hotel Salak Bogor, yaitu beberapa tokoh ilmuwan dunia seperti Prof.Dr. Stephen Oppenheimer dari Universitas Oxford Inggris – penulis buku “Eden in The East”, Mr.Frank Joseph Hoff – Direktur Atlantis Publication dari Washington USA, yang menerbitkan buku karya almarhum Prof.Dr. Arisyio Nunes des Santos, dan Captain Hans Berekoven dan istrinya Rozeline Berekoven dari Australia – peneliti dari Southern Sun: Atlantis Archaeological Project, serta Sauntara Subramain Velu, Raj Pilai, dkk, para peneliti bahasa dan budaya Dravida dari Singapore. Serta beberapa pakar ahli geologi, arkeologi, antropologi, sejarawan dan budayawan Sunda, dari Indonesia, seperti Prof. Dr. Adjat Sudrajat, Prof.  Dr. H.M. Ahman Sya, Prof. Dr. RP Koesoemadinata, Prof. Dr. Agus Aris  Munandar, Abah Hidayat Suryalaga (Budayawan Sundanolog, kini Almarhum), Dr. Hasan Djafar, Dr. Radhar Panca Dahana, dll.

Selain menjadi team perumus konsep-proposal dan panitia pengarah pada konferensi itu, saya Ahmad Yanuana Samantho, bersama rekan senior saya Oman Abdurahman, M.Sc, Oki Oktariadi, MT, Dr, Gugun Gumilar, juga menjadi moderator pada beberapa sesi konferensi tersebut. Beberapa makalah konferensi tersebut juga menjadi sebagian sumber rujukan dalam buku ini.

 

Tujuan

Hasil Penelitian sejarah dan filsafat-ideologi  yang ditulis dalam buku ini mencoba untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis berbagai bencana, problema dan krisis multidimensi global manusia modern dan apa penyebab utamanya secara prinsipil?

Setelah kita mengidentifikasi dan mengelaborasi problema dan krisis modernisme, penulis berusaha mencari alternatif paradigma baru untuk memecahkan berbagai masalah ini dari akarnya, berawal dari saran resep yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr di abad modern ini, dan juga oleh para bijak berstari serta para orang suci serta Nabi Allah Tuhan YME sepanjang sejarah kemanusiaan di dunia ini. Inilah yang dimaksud dengan Revolusi Mental, khususnya kajian buku ini mengarah kepada Revolusi Mental–Pemikiran dan Budaya Pancasila.

Penelitian yang mendahului proses penulisan buku ini didahului oleh penelitian thesis magister filsafat Islam saya. Penulis, juga akan menganalisa, sejauh mana hal ini terhubung dengan beberapa kesadaran baru, Sophia perennialism  dan mysticism (traditional sacred science) yang telah bermunculan dan lahir kembali di zaman kontemporer mutakhir ini?  Bagaimanakah hal ini terkait dan relevan dengan kemunculan teori fisika baru Quantum Physics dan pandangan kosmologis baru? Dapatkah filsafat  (termasuk science) dan agama bersatu dan menjadi harmonis dalam sebuah paradigma baru yang integral holistic di masa depan untuk efektif mengatasi problem kemanusiaan di era post modern kini.

Jawaban nyata atas pertanyaan dan masalah ini, diharapkan akan menawarkan layanan bagi basis intelektual, filosofis dan spiritual untuk memecahkan masalah secara radikal dan fundamental. Dengan kata lain, penelitian ini akan menyajikan saran untuk mengaktualisasikan atau meng-aktivasi “pergeseran  revolusioner paradigma ” menuju paradigma  holistik dan integral untuk memahami Realitas: integrasi dan harmonisasi antara ajaran Tuhan Allah Sang Maha Pencipta, manusia dan alam semesta, dalam sudut pandang  Filsafat Islam Nusantara atau Pandangan Dunia (weltanschaung) Islam Nusantara dan Falsafah Ideologi Perennial Pancasila – Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dhama Mangrwa  ( yang artinya: “Beraneka ragam realitas makhluk/fenomena alam adalah berasal dari Tuhan Yang Maha Esa/Tunggal Ika, dan akan kembali kepada Tuhan YME/Yang Tunggal Ika tersebut. Dan tidak ada kebenaran /dharma) yang mendua /mangrwa )

Penelitian ini juga mencoba untuk mengungkap dan mendeskripsikan beberapa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan penemuan terbaru seperti terkait dengan teori Fisika Quantum dan beberapa fakta yang mengarah untuk membuka realitas alam semesta dan spiritual makhluk yang tidak terpisahkan. Sejalan dengan kemajuan ilmu baru pada Quantum Physic, penelitian ini juga mencoba untuk menyajikan kesinambungan dan hubungan antara fakta & teori dengan beberapa pendekatan pengajaran mistis yang dilayani oleh tasawuf dan Irfan (Mistisisme Islam) dan spiritualisme-mistisisme agama-agama dan kepercayaan tradisional lainnya. Penelitian ini juga akan menyajikan dan menguraikan dan wacana penting tentang hubungan antara ilmu pengetahuan, tradisi budaya dan agama sebagai konsekuensi dari penelitian inti keseluruhan dalam penulisan buku yang dikembangkan dari thesis magister program ini.

 

Signifikansi

Buku ini yang dikembangkan dari hasil penelitian Kuliah Program Magister Filsafat Islam (2010),  tentu sangat penting dan akan memberikan banyak manfaat dan signifikansi untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa depan kita. Setidaknya hasil penelitian ini sangat signifikan untuk meningkatkan dan melakukan dekonstruksi pemikiran Modernisme Barat Materialisme, yang berlanjut pada reformulasi (dan rekonstruksi) dari paradigma kita secara filosofis holistic (menyeluruh). Pada gilirannya, pada tingkat epistemologi dan aksiologi, pendekatan paradigma holistik dan integral ini dan nilai-nilai dalam pencerahan Filsafat Islam dan Tasawuf Islam (Irfan & Tasawuf) serta berbagai kearifan perennial tradisional Nusantara, dapat memecahkan banyak masalah manusia modern secara bertahap, baik untuk tujuan individu dan juga dalam sistem ideologi-politik-sosial-ekonomi-budaya-Pertahanan dan Keamanan Nasional di dalam supremasi percerahan terbaru dan penguatan falsafah ideologi Pancasila, dan peradaban Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih baik.

Lebih spesifik, manfaat yang saya harap dapat tercapai setelah thesis dan buku ini diselesaikandan diterbitkan adalah hasil penelitian ini dapat berfungsi sebagai pedoman untuk menyusun ulang filsafat ilmu kita (atau minimal kajian ontologi dan epistemologinya). Kemudian kita dapat menjabarkan pandangan dunia baru dan  ideologi, yang dapat memainkan peran penting sebagai pedoman untuk proyek rekonstruksi kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan baru dan teknologi untuk keperluan pendidikan dan akademik  menuju rekonstruksi peradaban manusia terbaru, dalam cahaya misi Islam Rahmatan lil ‘Alamin atau Hamemayu Hayuning Bawono, Hamengku Buwono, paku Buwono, Sunda Sa’amparen Jagat, Ngertakeun Nusantara Shanti, Pancasila Bhineka Tunggal Ika.

Tentu saja ada telah ada beberapa studi yang berkaitan dengan kritik pada modernisme menurut pandangan Seyyed Hossein Nasr, seperti apa yang teman penulis di ICAS–Universitas Paramadina Jakarta, Dr. Humaedi MA  telah tulis dalam thesisnya berjudul: “Konsep Nasr dalam Knowledge: Pengetahuan Sakral, kontribusi kepada Epistemologi Modern.”  Ada beberapa studi yang juga berkaitan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr dan kritiknya kepada modernisme dan post modernisme sangat berguna untuk penelitian penulis sebagai referensi, terutama untuk  pemahaman dan deskripsi latar belakang thesis penulis & rumusan masalah yang  akan penulis pelajari.

Penelitian thesis penulis lebih fokus pada relevansi resep Nasr atau saran untuk mempromosikan ilmu pengetahuan suci atau pandangan tradisional spiritual agamis dan mistisisme atau esoterisme sebagai kebijaksanaan abadi (Sophia Perennis) untuk memecahkan masalah modernisme dan postmodernisme.

Paradigma alternatif  tentang Sacred Science dan Perennial Wisdom ini akan diikuti oleh elaborasi penulis terkait dengan kecenderungan terbaru dan wacana dalam pengembangan atau penemuan ilmu fisika baru terutama dalam teori fisika kuantum yang memiliki hubungan yang kuat dengan kesadaran (consciousness) yang baru dalam ilmu: filsafat ilmu pengetahuan integral dan holistik dan pandangan agama (Paradigma holistik-Integral), serfta Kearifan Perennial Suci Trasional Nusantara: “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dhama Mangrwa.” Pendekatan  dan pilihan topik ini, saya pikir masih unik dan memiliki studi asli di bidang penelitian Filsafat Islam Nusantara.

Sumber utama saya untuk penelitian thesis filsafat Islam dan Perennial Nusantara ini adalah beberapa buku penting dan mendasar di antara keduanya dari Seyyed Hossein Nasr seperti “The Plight of Modern Man” and “The Need for A Sacred Science”, “The Knowledge and The Sacred”,  “Ideal and Reality” and “Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, Philosophy in The Land of Prophecy”,  Pantun Bogor, Uga Wangsit Siliwangi, Siksa Kanda‘ng Karesian, Babab Tanah Jawi, Naskah WangsaKerta, Kaweruh Kiageng Suryo Metaram, Peradaban Atlantis Nusantara, Eden in The East, dan berbagai informasi dari situs internet, dll.

Sumber-sumber primer akan dibandingkan, dielaborasi dan dikompilasi dengan sumber-sumber sekunder yang terkait dengan wacana tentang wacana Perennialisme, ilmu pengetahuan dan agama, teori fisika baru Quantum Physic, seperti: “The Greatest Achievement in Life: Five Traditions of Mysticism, Mystical Approaches to Life”, oleh R.D Krumpos; “Tawheed and Science: Essays on The History and Philosophy of Islamic Science” oleh Osman Bakar; “Nature, Human Nature and God, …”, (terjemahan Indonesianya berjudul: “Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama”) oleh  Ian G Barbour; “The Web of Live, A New Synthesis of Mind and Matter”, oleh Fritjof Capra; and “The Holy Quran and The Sciences” by Mehdi Golshani;   “Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami”  oleh  Armahedi Mahzar MA,  sebagaimana dapat kita lihat dalam daftar pustaka saya (referensi) di halaman terakhir dari thesis ini, serta beberapa artikel yang memuat kearifan lokal Nusantara sebagai warisan budaya dan Peradaban Adiluhung Nusantara yang masih tersisa, yang bisa menjadi contoh betapa Leluhur Nusantara sudah mewariskan Kearifan Perennial dan Traditional Sacred Science tersebut.

Semoga apa yang disajikan dalam buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam mengenai sejarah besar peradaban bangsa Nusantara Atlantis ini,  demi kepentingan pembangkitan kembali jati diri bangsa Indonesia dan national character building, dalam mewujudkan misi Rahmatan lil ‘Alamin, kedamaian dan kesejahteraan dunia.

 

  1. Prolog: Krisis Paska Reformasi Indonesia, Mau Kemana?

 

            Bangsa dan Negara kita dalam 50-20 tahun terakhir dan berpuncak tahun 2017-2018 ini memang mulai menghadapi masalah serius dan bahaya yang mengancam kesatuan-persatuan bangsa dan NKRI serta ancaman kehancuran negara. Upaya perbaikan dan kemajuan bangsa dan Negara, pasca gerakan “reformasi 1998”, yang diharapkan akan muncul perbaikan reformatif — minimal atas kondisi sosial-politik-ekonomi bangsa dan maksimalnya perbaikan menyeluruh dalam ipoleksosbud hankamnas —  kini seolah terseok-seok berjalan ditempat dan terhambat.

Ancaman disintegrasi bangsa semakin menguat, akibat kelemahan internal mental-ideologi bangsa kita sendiri, di samping adanya intervensi penggalangan oleh agen-agen intelejen asing dari negara-negara  adidaya Barat dan para pengusaha kapitalis-neo-imperialis global, yang telah dan ingin terus mengambil banyak keuntungan dari kelemahan SDM (Sumber Daya Manusia) kita, seraya mengambil keuntungan maksimal atas kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) kita yang berlimpah-ruah.

Maka patut kita renungkan pesan suci Tuhan YME ini:

“Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap dipandang mata” [QS. Maryam 19:74]

“Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada kalian ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” [QS Al-Kaff, 50:36-37]

 

Beberapa dekade ini bangsa Indonesia masih saja diharu-biru oleh berbagai masalah akut, seperti: krisis lingkungan hidup, eksploitasi sumber daya alam mineral yang massif, kemiskinan, kejahatan mafia hukum, korupsi tingkat tinggi, ketegangan konflik politik dan kerusuhan sosial yang didalangi oleh para koruptor dan politisi busuk, sehingga gerakan reformasi  kehilangan arah,  serta berbagai perilaku aneh menyimpang dari para selebriti, politisi dan para pemimpin negeri.

Berbagai kasus korupsi para pejabat negara dan Skandal Bail Out Bank Century yang merugikan keuangan Negara 6,7 Trilyun rupiah, dll, belum juga selesai tuntas hingga kini. Kasus manipulasi pajak berbagai perusahaan pertambangan besar di Indonesia dan suap oleh Gayus Tambunan kepada para mafia hukum, serta kebohongan-kebohongan publik para pejabat tinggi negara membuka fakta betapa bobroknya moralitas para politisi dan pemegang kekuasaan Negara. Belum lagi konflik sosial horisontal dan SARA yang juga tak kunjung berhenti di berbagai tempat di tanar air.

Fenomena-fenomena korupsi massal, kemerosotan moral dan penyimpangan dalam praktek kehidupan sosial dan sistem politik bangsa Indonesia saat ini, menurut penulis, semakin memperlihatkan praktek dan perwujudan cara berfikir (mental-filsafat/pandangan dunia) yang menjauh dari realisasi asasi nilai-nilai luhur suci Panca Sila, yaitu: “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyaratan-Perwakilan”, berdasarkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.”  Justru, sebagian besar perilaku sosial-politik bangsa Indonesia kini didominasi kendali paham pikir keserakahan machiavelis, materialistis, dan sekularisme.  Prinsip falsafah Pancasilais: Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Kemanusiaan yang adil dan beradab” telah tergusur oleh  paham materialisme:  “Keuangan yang maha kuasa” dan  “Kesetanan yang zalim dan biadab”.

Praktek kehidupan sosial-politik dan ekonomi anak bangsa tak lagi terpimpin oleh semangat “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-Kebijaksaan.” Ritual rutinitas pemilihan umum langsung formal demokrasi para pemimpin negara dan para kepala daerah ala demokrasi liberal  saat ini masih menjadi hanya sekedar menjadi alat formal-prosedural pengumpul legitimasi berkuasanya kembali para elite politik-ekonomi lama yang seringkali menimbulkan kekisruhan politik dan kerusuhan konflik sosial. Paling tidak itulah yang dirasakan oleh beberapa pengamat dan tokoh-tokoh ulama-pandita lintas agama dan cendikiawan yang prihatin dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini.

             Gerakan Reformasi di Indonesia, yang genap sudah berjalan hampir 20 tahun (pada tahun 2017), bagi sebagian orang, masih terseok-seok di pinggir jalan sejarah Indonesia kontemporer. Alih-alih berhasil mewujudkan tujuan-tujuan mulianya, gerakan tersebut mulai kehilangan arah dan meninggalkan tumpukan krisis yang tak terpecahkan dan ditemukan penyelesaiannya secara efektif.

             Reformasi memang sedikit ‘berhasil’ dalam membuka keran kebebasan (liberalisasi) dalam bidang ‘politik formal-prosedural’,   kebebasan arus informasi dan budaya. Namun di balik euphoria kebebasan itu malah lahir berbagai kekacauan informasi dan manipulasi suara rakyat, korupsi baru dan kemiskinan-kemiskinan baru yang makin meluas, yang menimbulkan kebingungan rakyat, serta desentralisasi hegemoni kapitalisme, penindasan-penindasan dan kezaliman baru atas nama demokrasi, otonomi daerah dan liberalisasi ekonomi pasar bebas. Belum lagi ditambah dengan ancaman perpecahan di antara sesama anak bangsa. Proses “Balkanisasi”dan “Syuriahisasi” (konflik sosial-agama) mengancam keutuhan bangsa dan NKRI, akibat radikalisasi sentimen primodial, fundamentalisme literal ekstrim dalam praktek kehidupan beragama dan SARA. Hal ini diperparah akibat ketidakadilan kekuasaaan pemerintah pusat dan daerah sebelumnya.

Kini sudah mulai banyak orang Indonesia yang kecewa dan tak percaya bahwa gerakan reformasi akan berhasil membawa perubahan sosial-politik-ekonomi & budaya yang signifikan dan bermakna bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Akhirnya, melihat proses pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2004, dan 2009, dan konflik-konflik kekerasan dan kerusuhan antara aparat polisi, polisi pamong praja dan oknum militer dengan massa rakyat, dan operasi intelejen pihak asing yang doyan mengadu-domba dan menumpahkan darah rakyat dengan issu SARA atau PKI, “Jadi Budak Asing-Aseng”, memungkinkan terjadinya ancaman revolusi sosial-politik (kakacauan) di Indonesia, sebagaimana yang baru-baru terjadi di Tunisia, Libya, Syuriah, Yaman dan Mesir, serta beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara lainnya.

Kemungkinan terjadinya revolusi sosial-politik itu pun, sekiranya itu adalah keharusan tuntutan sejarah, maka itu masih dalam tanda tanya besar? Apakah revolusi hanya akan “memakan anaknya sendiri”, dan malah hanya akan menghasilkan chaos (kekacauan) baru yang lebih dahsyat tanpa hasil akhir yang lebih baik? Ataukah akan dapat menghasilkan perbaikan total dan menyeluruh atas segala krisis bangsa dan negara ini?

Menurut saya, reformasi atau revolusi? Keduanya tak akan berarti apa-apa dan membawa kebaikan pada kualitas kemanusiaan, bila tanpa didasari dan digerakkan oleh perubahan revolusioner-reformatif  pada pemikiran filsafat & ideologi (pandangan dunia) yang benar yang menjadi dasarnya. Pemikiran filosofis-ideologis yang dengan serius mengkaji apa saja akar penyebab utama dari segala krisis kebangsaan yang ada secara tepat, akurat, komprehensif-holistik, fundamental dan benar, sehingga dapat menawarkan solusi yang tepat (efektif) dan efisien, tepat sasaran.

“Krisis multidimensional awal milenium ketiga di negeri kita ini adalah sebuah realitas. Salah satu akar penyebabnya adalah ketidakmampuan kita untuk menangkap substansi suatu persoalan kebangsaan secara mendasar dan menyeluruh (komprehensif). Betapa banyak perdebatan ilmiah, ekonomi, politik dan budaya, hanya mampu mengupas kulit-kulit permukaan persoalan saja. Pembahasan dan diskusi yang terjadi seringkali bersifat ‘banal’ (superfisial), atomistik, terpilah-pilah (parsial) dan terlalu menyederhanakan masalah (simplisistik). Perbincangan mengenai demokrasi, hak asasi manusia, keadilan sosial-ekonomi, globalisasi dan budaya tidak jarang malah menjadi kontra-produktif karena tidak tergalinya dan terpecahkannya muatan-muatan filosofis yang menjadi asumsi dasar dan pengerak isu-isu tersebut.”Begitu tulis Dr. Hussein Heriyanto, dosen saya di Program Pascasajana Filsafat Islam ICAS Universitas Paramadina Jakarta.

 

C. Jangan Lupakan Sejarah!  Konspirasi Menuju Disintegrasi Bangsa

 

Di dalam konteks problema filosofis ideologis kehidupan politik-ekonomi kekinian dunia materialime versus spritualisme di atas, apa yang sekarang geger terjadi di Indonesia di akhir tahun 2016 sampai  pertengahan tahun 2017 ini, (mungkin sampai ajang pilres 2019 nanti), tak lepas dari akar sejarah kita. Ini semua masih merupakan kelanjutan dari ekses pasca kolonialisme dan imperialisme, yang bermetamorfosa menjadi berbagai konflik sosial politik ekonomi yang masih kerap terjadi di Indonesia yang disebabkan Kaplitalisme Barat dengan ideologi materialisme-sekular-nya.  Berbagai kerusuhan dan konflik sosial-politik-ekonomi ini tak lepas dari pengaruh pandangan dunia materialisme dan metode berfikir mekanistis ala Cartensian, yang menjadi dasar modernisme. Maka marilah kita merenung sejenak, menelisik kembali sejarah kontemporer paska Proklamasi kemerdekaan RI 1945.

Perbagai peristiwa tragis, dari Pemberontakan PRRI-Permesta, Konflik Tolikara Papua, hingga “Parade Tauhid Indonesia” dan Demo 4-11 & 2-12 2016, 115 tahun 2018 serta berbagai aksi terorisme di Indonesia: yang menurut Arya Penangsang adalah “Realisasi Program Konspirasi Neo-imperialis Menuju Disintegrasi Bangsa.”Salah seorang sahabat penulis, Almarhum Quito Riantori, 18 August 2015, setahun sebelum wafatnya, telah memposting tulisan Arya Penangsang di laman Facebooknya, sebagai berikut:

“Amerika Serikat dan Negara-negara sekutunya tetap punya kepentingan  untuk mengendalikan pemerintahan Indonesia. Sejarah telah membuktikannya. Setiap kali rezim pemerintah RI tidak mau tunduk terhadap kepentingan dan kemauan politik “Paman Sam” (USA), maka dipastikan akan terjadi kerusuhan sosial di Indonesia. Kita bisa mengungkap kembali fakta sejarahnya.

Pertama, Era 1950-an. Pemberontakan PRRI/Permesta. Pemberontakan ini didalangi oleh Amerika Serikat. Bahkan tentara AS terlibat langsung di dalamnya. Terbukti dengan tertangkapnya seorang pilot Angkatan Udara Amerika Serikat, di Morotai, Maluku.

AS berkepentingan menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno. Karena pemerintahan RI waktu itu mulai berkiblat kepada poros Peking China –Moskow Uni Soviet yang kebetulan berhaluan komunis atau sosialis. Tragisnya pemberontakan terhadap Soekarno tersebut di lapangan melibatkan gerakan dan partai Islam, Masyumi yang di dalamnya banyak terlibat tokoh-tokoh muslim modernis.

Kedua, GESTOK atau G-30-S/PKI tahun 1965. Banyak catatan sejarah yang membuktikan keterlibatan intelijen AS: CIA, pada peristiwa Gerakan 30 September 196:, G-30-S-PKI. CIA bekerjasama dengan segelintir oknum perwira TNI AD. Mereka berhasil menghancurkan 3 kekuatan RI sekaligus. Yakni loyalis Perwira TNI AD, pemimpin, kader dan anggota parpol PKI, serta Presiden Soekarno dan para pendukungnya.

Setelah itu AS menjadi penguasa yang sebenarnya atas negeri kita tercinta ini. Rezim Orde Baru Soeharto hanyalah boneka AS. Tak lebih dari itu. Selama 50 tahun lebih kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia dieksploitasi dan dirampas oleh AS. Tragisnya mayoritas alim-ulama Indonesia dan ormas Islam tradisional tak menyadari akan hal ini. Mereka justru, sadar atau tak sadar, telah menjadi alat provokator CIA dan rezim Orba untuk menghancurkan komponen bangsa lainnya. Terjadilah penculikan, pembantaian, dan pembunuhan terhadap anggota PKI dan pemenjaraan dan isolasi-blokade sosial-politik-ekonomi terhadap para tokoh Sukarnois.

Sebenarnya secara tak langsung peristiwa di atas mungkin terjadi karena kelengahan kebijakan Presiden Soekarno sendiri pada awal kemerdekaan RI. Tepatnya pada saat perundingan KMB 1949. Delegasi Indonesia bersedia menyepakati pasal yang sangat berbahaya, yakni memasukkan mantan perwira tentara kolonial Belanda: KNIL, ke dalam tubuh perwira TRI yang kemudian menjadi TNI. Sedangkan sebagian tentara TRI yang sudah terbukti loyal terhadap negara, justru mengalami proses rasionalisasi (pemberhentrian dari TRI-TNI). Artinya terjadi demiliterisasi sebagian anggota TRI. Akhirnya terjadilah G30S/PKI dan Supersemar. “Senjata makan tuan’. Revolusi memakan “anak kandungnya sendiri”. Bahkan menelan korban orang tua kandungnya sendiri. “Cerita Joko Tingkir menyingkirkan Sultan Trenggono kembali terjadi dalam pentas sejarah Indonesia modern.” Begitu tulis Arya Penangsang.

Ketiga, Kerusuhan Mei 1998 menjelang “Reformasi”, Gerakan demonstrasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa ini berhasil melengserkan Presiden Soeharto. Ditengarai kuat CIA juga terlibat dalam peristiwa ini. Karena arah suksesi kepemimpinan nasional yang dipersiapkan Soeharto, tak sesuai dengan keinginan Negeri Paman Sam (USA). Dan Soeharto mulai membandel terhadap Amerika. Oleh karena itu Presiden Soeharto serta penggantinya harus merasakan akibatnya (dijatuhkan).

Awal kerusuhan Mei 1998 terjadi kerusuhan di universitas Trisakti, Jakarta. Oknum Aparat TNI menembak mati beberapa mahasiswa. Sesaat kemudian terjadilah penjarahan oleh massa. Provokasi anti pribumi dan kerusuhan anti China dihembuskan oleh mulut-mulut setan yang haus kekuasaan. Orang pintar juga tahu siapa setan yang dimaksud. Dialah dalang kerusuhan Mei 1998. Seseorang yang sangat berambisi ingin menjadi Presiden RI. Namun tak pernah tercapai hingga kini. Dia sebenarnya hanya boneka yang dikendalikan intelijen AS, CIA.

Keempat, Kerusuhan SARA di Maluku dan Palu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2004. Sesaat setelah Susilo Bambang Yudoyono dan M Jusuf Kalla menjabat sebagai presiden dan wapres RI. Konflik SARA ini juga buatan CIA. Guna menekan rezim SBY agar tunduk terhadap kemauan pemerintah Paman Sam dan Zionisme internasional. Faktanya konflik pun berhenti setelah rezim SBY melakukan MOU dengan perusahaan multinasional asal AS yang menanamkan modalnya dan mengeruk kekayaan alam Indonesia. Leluasalah mereka kembali merampas emas, minyak bumi, dan SDA lainnya. Kita semua tahu akan hal ini.

Kelima, konflik Tolikara-Papua. Kerusuhan ini juga rekayasa CIA. Demi menekan rezim Jokowi agar mau tunduk kepada kepentingan Barat dan AS. Untuk menegur pemerintahan Jokowi yang mulai bermesraan dengan RRC, Rusia dan Iran. Ini peringatan pertama. Peringatan kedua, segera menyusul.

Apa skenarionya? Berbagai “Parade Tauhid Indonesia” banyak disusupi agen Muslim ekkstrem takfiri. Sudah jelas arahnya. Yakni ingin menciptakan kebencian antar etnis dan agama. Memfitnah kaum Nasrani yang cinta damai. Memfitnah Muslim Syiah dan NU yang berhaluan madzab cinta dan rahmatan lil-’alamin. Tampaknya skenario ini juga akan gagal. Presiden Jokowi cukup cerdas. Dan tetap tak mau bergeming. Tak mau tunduk kepada arogansi Paman Sam. Benar-benar si kerempeng (Presiden Joko Widodo) yang bermental jenderal.

Inikah yang namanya merdeka? Inikah yang namanya negara yang bermartabat dan berdaulat? Salah siapakah ini?

Ini jelaslah salah para elite penguasa sebelumnya, dan para calon penguasa yang haus kekuasaan dan ingin menumpuk kekayaan pribadinya. Kedzaliman dan penjajahan terjadi di negeri Muslim karena “ulamanya” dan “Habibnya” takut mati dan cinta dunia. Namun ini juga kesalahan seluruh rakyat Indonesia. Mengapa demikian…?

Karena kita hanya pandai berkoar-koar. Hanya lantang meneriakkan yel-yel merdeka, reformasi, bermartabat, berdaulat atau berdikari. Namun tak siap menanggung konsekuensinya. Kita tak siap diembargo. Kita tak siap dikucilkan oleh dunia internasional. Tak siap menjalani hidup susah sepanjang tahun. Tak siap hidup miskin dan sederhana selama puluhan tahun. Kita benar-benar lemah dan cengeng! Tidak setegar rakyat Republik Islam Iran dan Korea Utara!

Mana mungkin bisa tahan lapar, jika badannya tambah tambun. Para pimpinan politisi oposan sebagian berusia muda, namun perutnya tambah buncit saja. Si kerempeng (Jokowi, Pen) yang menerapkan pola hidup sederhana malah dicaci-maki. Pelakunya justru para habaib, ustadz, dan kiyai, yang cinta dunia saat ini. Apakah aksi ini jujur bertolak dari hati nurani kalian…? Lantas, di mana kejujuran dan keberanian kalian terhadap kedzaliman rezim Orba selama 32 tahun?

Apakah dosa dan kedzaliman “si Kerempeng” Presiden Joko Widodo yang baru berkuasa 2 tahun ini lebih besar dari Jendral Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun…? Mana tulisan kritis kalian terhadap rezim Soeharto…? Mana aksi people-power kalian pada tahun 1998…? Di mana jutaan massa kalian…? Mengapa tak berdemo di Senayan bergabung dengan mahasiswa pada tahun 1998..? Di mana kalian saat itu…? Kalian tak berani menunjukkan batang hidungnya. Tak ada orasi dari kalian untuk menentang thagut di gedung DPR/MPR. Inikah namanya laskar mujahidin…? Hanya teman-teman mahasiswa yang turun berdemonstrasi ke jalan hingga mengepung gedung DPR/MPR. Kalian tak ada disana saat itu. Justru kalian mencemooh kalangan demonstran saat itu. Padahal kini kalian yang menikmati hasil reformasi. Kami hanya menjadi tulang berserakan yang tak berarti.

Antar komponen bangsa saling sikut. Saling tendang. Saling melaknat dan mengumpat. Saling memfitnah. Dan akhirnya menghalalkan pembantaian dan pembunuhan.

Mayoritas justru menindas minoritas. Memfitnah adanya kebangkitan PKI. Memfitnah non-pribumi. memfitnah etnis China. Memfitnah Syiah sesat dan halal darahnya…! Memfitnah kaum Krtisten Nasrani. Memfitnah kaum minoritas lainnya. Demi tegaknya Tauhid…?  Demi ukhuwah Islamiyah dan Khalifah dan Syariah Islamiyah…? Demi silaturahim dan halal-bihalal….? Demi memperingati kemerdekaan Republik…? Namun penuh fitnah dan provokasi di dalamnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun…

“Kalian justru melupakan musuh sejatimu. Yakni setan besar Amerika Serikat dan Zionis Yahudi. Batang hidung kalian tak tampak pada hari al-Quds. Kemana massa kalian yang anti Zionis, pada hari pembebasan Palestina? Kalian tak sudi bergandengan tangan dan merapatkan barisan demi menghancurkan musuh. Ketidakpedulian kalian terhadap ketertindasan rakyat Palestina adalah kemenangan propaganda Israel dan setan besar Amerika.” Begitu kecaman pedas Arya Penagsang di laman facebooknya.

 

Menuju Skenario Ketiga

Kita sebagai umat Islam Nusantara dan komponen utama bangsa Indonesia harus cerdas membaca strategi musuh. Tetap menjaga persatuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta asa Bhineka Tunggal Ika. Kita wajib menghilangkan sentimen perbedaan suku, ras, dan agama. Meredam perbedaan madzab. Pihak minoritas kaum Takfiri jelas tak sudi akan hal ini. Tapi, ingatlah..! Mayoritas umat dan bangsa ini cinta damai dan persatuan. Bangsa kita memanglah multi kultur. Namun bukan berarti mudah untuk dipecah-belah. Sangat berbeda dengan kondisi bangsa Timur Tengah yang mono kultur. Namun mereka mudah terprovokasi oleh isu perbedaan madzab. Seruan fitnah dan perpecahan yang dihembuskan oleh kaum Takfiri saat ini di Indonesia tak akan berhasil. [2]

Intelijen Amerika tentunya segera merancang skenario ketiga. Yakni menciptakan krisis moneter dan krisis ekonomi. Dimulai dari menekan rupiah sehingga mata uang dollar Amerika terus naik meroket. Kemudian mereka menciptakan demonstrasi mahasiswa, dan menciptakan kerusuhan sosial. Jika skenario ini juga gagal, maka CIA menerapkan senjata pamungkasnya. Yakni memprovokasi segelintir elit perwira TNI yang haus kekuasaan agar mau melakukan kudeta militer.[3]

CIA ingin mengulang kesuksesannya di Mesir melalui strategi kudeta militer. Yakni menyetir Jenderal Abdel Fattah as-Sisi untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Mohammed Morsi yang berhaluan Islam fundamentalis. Rupanya CIA belum menemukan bahan bakar bonekanya di dalam tubuh TNI. Kalaupun ada, namun wayang tersebut sudah lama pensiun dari TNI.

Inilah medan tempur dan jalan peperangannya. Kita benar-benar bertaruh dan berharap banyak dengan kecerdasan dan ketangguhan rezim Jokowi untuk mematahkan skenario busuk tersebut. Ada secercah harapan. Rupiah masih kokoh bertahan dari gempuran kenaikan dollar. Mutasi, promosi dan penguatan doktrin kebangsaan di jajaran perwira tinggi TNI yang sangat loyal terhadap negara juga wajib ditingkatkan. Bila perlu mengarah kepada terbentuknya jiwa perwira TNI yang ultra nasionalis…! Rezim Jokowi benar-benar bekerja keras menahan serangan dari 2 arah yang mematikan ini.

Doa kami, rakyat yang cinta damai dan anti kekerasan, semoga Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya berhasil menghantarkan negara Indonesia yang bermartabat, berdikari, dan berdaulat penuh. Hingga menjadi macan Asia. Bisa mensejajarkan diri dengan Iran dan RRC.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 70. Jayalah Indonesia tercinta.”[4]

Di atas itulah kajian kritis dari Arya Penangsang yang penulis setujui kebenarannya, walau sangat kontroversial dan mungkin cukup banyak orang yang tak tahu. Namun masalah-masalah di atas bukan tanpa dasar pemikirian (mindset  / paradigma) yang mengendalikannya. Oleh karena itu kita selayaknya menelisik dan menyelidiki secara lebih mendalam, agar kita kita tahu persis akar permasalahannya, sehingga akan lebih mudah mencari solusi atas masalahnya secara menyeluruh/komprehensif, sangkil dan mangkus (efisien dan efektif).

Kericuhan yang terjadi tersebut di atas bukan tentang konflik pribumi, agama, kebangkitan PKI atau disintegrasi.  Ini cuma tentang sekelompok orang yang berjibaku untuk menjaga dan menguasai warisan hasil merampok selama 32 tahun.

Mereka harus menjaga warisan itu dari penguasa baru, yang ingin mengambil hasil rampokan dan mengembalikan kepada rakyat Indonesia. Mereka tidak perduli siapa yang jadi pemimpin, selama bisa dikendalikan, pemimpin itu akan didukung, bila tidak, harus secepatnya dilengserkan. Kuda boleh berganti, sais harus tetap.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tidak mungkin berpihak kepada mereka, sebab itu kekuasaan Gus Dur harus dilengserkan, meski beliau adalah seorang Ulama dan Tokoh NU. Organisasi Islam terbesar Indonesia.

Gus Dur adalah musuh Soeharto. Dalam acara Kick Andy di Metro TV pada 15 Nopember 2007, Gus Dur secara frontal mengatakan “Pemimpin di Indonesia ini yang pantas jadi musuh saya cuma satu, Pak Harto”.

Pada Muktamar PBNU tahun 1994 di Cipasung, Suharto memecah NU dengan melakukan Muktamar Tandingan. Namun krn kuat dan solidnya warga NU, Muktamar tandingan tersebut gagal untuk menyingkirkan Gus Dur. Lengkap sudah ketidaksukaan Soeharto terhadap Gus Dur.

Ibu Megawati juga bukan tokoh yg bisa diharapkan bagi mereka. Trah Soekarno dianggap duri dalam daging bagi Soeharto.

Tahun 1996, Megawati dipaksa lengser oleh Soeharto dari ketua PDI yg akhirnya menimbulkan perpecahan ditubuh PDI dan berakhir dengan peristiwa 27 Juli 1996.

Pada pilpres tahun 2004, mereka menggelontorkan isu bahwa dalam Islam, wanita tidak boleh dipilih sebagai pemimpin dan dalam PDI-P  terdapat orang2 PKI.

Susilo Bambang Yudhoyono bisa menyelesaikan dua periode kepemimpinan. Tapi harus diingat, meskipun di akhir era Orde Baru SBY bukan penentu komando dalam Militer, tapi jabatan Beliau adalah Kassospol ABRI. Jabatan strategis dalam pembinaan perpolitakan di waktu itu.

SBY pun menaruh hormat terhadap penguasa Orde Baru itu. SBY tidak responsif ketika adanya tuntutan penyelidikan dan pemeriksaan harta kekayaan Soeharto.

Jokowi bukan siapa-siapa  ketika Orba berkuasa. Beliau hanya tukang Mebel Kayu.

Saat Beliau menjadi walikota Solo, masih banyak pujian yang diberikan. Namun ketika beliau bergerak untuk menjadi DKI 1, menjadi warning bagi penikmat kekuasaan. Apalagi Jokowi berasal dari dukungan partai musuh Orba, PDI-P.

Ketika PDI-P mengusungnya sebagai RI 1, genderang perang pun mulai ditabuh. Gaya Orba pun dilakukan. Isu PKI, ketidak-jelasan keturunan dan agama yang dianutnya. Semua isu dipaksakan untuk menjegalnya.

Saat Jokowi menutup Mafia Minyak Petral tahun 2015, para penjaga warisan orba semakin yakin bahwa Jokowi adalah orang yang harus disingkirkan. Apapun caranya, berapapun biayanya.

Petral adalah wadah para perampok warisan orde baru dalam mengelola hak jual beli minyak ke Pertamina.

Dengan ditutupnya Petral, Pertamina bisa menghemat 250 Milyar/hari. Siapa yg selama ini menikmati uang 250 milyar/hari?

Untuk diketahui, Tommy Soeharto dan Bob Hasan memiliki saham masing-masing sebesar 20%. Dan saat pilpres 2014, Reza Chalid, sebagai pengendali Petral, ikut mendanai pencalonan Prabowo sebagai capres.

Menjelang pilpres 2014, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menjanjikan untuk tidak akan menaikan pajak PT Freeport saat berpidato di acara The United States-Indonesia (Usindo) Society Washington Special Open Forum Luncheon.

Alih-alih mendapat keringanan pajak, Jokowi yg terpilih sebagai Presiden justru melakukan divestifikasi saham PT Freeport sebesar 51%. Siapa yang sakit hati dengan kebijakan Jokowi?

Ketika Ahok Gubenur DKI (Basuki Tjahaya Purnama) melakukan blunder tentang ayat suci, hal tersebut seperti menjadi bahan bakar bagi mereka untuk melengserkan Jokowi. Ahok yang melakukan blunder kenapa Jokowi juga harus dilengserkan?

Jokowi dan Ahok adalah satu paket yang ingin dilengserkan, Jokowi-Ahok bukan penikmat kekuasaan dan tidak bisa dibeli. Tidak ada beban bagi mereka berdua untuk melaksanakan reformasi. Namun para pembenci gerakan reformasi tidak menyukai hal itu. Jadi jelas ya, ini cuma amanat untuk menjaga hasil rampokan.[5]

Potensi konflik sosial berbahan bakar SARA tersebut masih menyala titik apinya, dan asapnya masih mengepul belum terpadamkan. Simak amatan saya dan sahabat saya Karyawan Faturahman, mantan wakil Bupati Bogor (2009-2014), berikut ini:

“Aksi Damai (Demo) Bela Islam” 4-11, 2-12, tahun  2016 untuk kepentingan siapa?

 

Bermula dari statement politik Presiden Joko Widodo pada Peringatan Konperensi Asia Afrika di Bandung (2015) yang menyatakan Palestina harus “Merdeka”, dan berbagai kebijakan Presiden Jokowi soal Freeport, dll. telah membuat Amerika dan Israel berang. Jokowi dianggap telah berani melawan dan membangkang terhadap kepentingan Amerika sehingga diam-diam Jokowi dianggap sebagai musuh besar Amerika yang harus segera dilengserkan. Maka dirancanglah berbagai skenario penggalangan operasi intelejen dengan target maksimal Jokowi jatuh pada tahun ketiga pemerintahannya (2017), atau minimal tidak akan terpilih lagi pada pilpres di masa keduanya (2019).

Amerika yang bersekutu dengan NATO dan negara-negara persemakmuran (bekas negara jajahan Inggris) seperti Australia, Malaysia, Singapura yang bertetangga langsung dengan Indonesia, telah merancang gerakan militer untuk menekan Jokowi. Agen-agen asing, bertebaran melakukan rekrutmen kepada golongan barisan sakit hati dari kalangan bumi putra untuk melakukan perlawanan dari berbagai sektor: buruh tani, nelayan, santri, rakyat daerah sebagai basis wong cilik yang dijadikan alat demo menentang kebijakan Jokowi. Sistem perbankan, hukum, perdagangan, pemerintahan diacak-acak melalui antek mereka yang terdiri dari oknum-oknum bangsa kita sendiri. Boikot, penghadangan, penggagalan, demo, isue-isue, cemoohan, ledekan, cibiran dan fitnah dilakukan secara sistemik, bahkan oleh oknum di lembaga DPR RI.[6]

Kini isue SARA telah diledakkan yang berdampak besar kepada banyak “ulama dan agamawan tertentu” terprovokasi untuk menyatakan “Jihad”, padahal faktanya dari data yang kita dapatkan bahwa pada tanggal 4 November 2016 lalu, armada kapal induk Amerika berikut 26.000 marinirnya telah terkonsentrasi di perairan lepas Australia (Samudra Hindia: Pulau Christmas) dengan moncong senjata berat dan rudal diarahkan ke istana negara yang hanya berjarak tempuh rudal 1 jam 9 menit, +/-  5000 km ke Jakarta. Maka secara taktis hari itu Presiden memang harus tidak berada di Istana dengan tetap menjaga oipini tetap tenang-aman-terkendali-kondusif dan biasa saja tidak ada yang istimewa, tidak membuat kepanikan masyarakat.

Langkah brilian Jokowi berikutnya adalah mendatangi markas-markas komando Kopassus, Marinir, Angkatan Udara, Brimob, Kostrad, merupakan untuk kekuatan dan jawaban bagi ancaman Amerika, bahwasanya kita sangat siap menghadapi mereka dengan kekuatan militer yang utuh, kompak, solid dan kuat dengan semangat bela negara yg tinggi. Jadi bukan untuk menjawab aksi damai tersebut.

Dengan indikasi kuat inilah Kapolri telah menyatakan adanya rencana MAKAR-Subversif (gerakan pengkhianatan) dari dalam negeri terhadap pemerintahan yang sah. Maka Panglima TNI menyatakan kita siap berjihad membela kedaulatan bangsa dan negara. Jadi sangatlah kecil dan dangkal jika ada tuduhan bahwa ketika Jokowi tak ada di Istana Negara pada Demo 4-11-2016, Jokowi melarikan diri untuk sekedar menghindar dari aksi damai 4-11 tersebut. Akan sangat disayangkan dan patut disesalkan ketika kedangkalan hati dan pikiran sebagian kecil umat terprovokasi untuk ikut melakukan perlawanan terhadap Presiden Joko Widodo bersama agen-agen intelejen  Amerika dan Israel terhadap NKRI tercinta.

Mari kita kembali renungkan siapa sebenarnya jati diri bangsa kita? Siapa lawan atau kawan kita yang sebenarnya? Patriot atau pengkhiat NKRI dan Pancasila-Bhineka Tunggal Ika? MERDEKA !!!, begitu kata Ki Karfat Sunda kepada  Ki Ageng Selo)”[7]

Menurut analisis sementara (hipotesis) penulis, pola pikir dan sikap tindak para ekstrimis Islamist/Islamisme/Ngislam yang anti Pancasila dan anti NKRI pro “Khilafah” atau “Negara Islam Indonesia” yang diangankan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menurut telaahan saya adalah disebabkan oleh kesalahpahaman mereka dalam konsep teologis dan kosmologisnya.

Paradigma dan konsep Tauhid atau ketuhanan ala aliran wahabi dan saudara-saudaranya menjadi sebab kerancuan berfikir mereka sekarang. Hal yang sama juga dulu 30 tahun yang lalu pernah saya alami ketika saya baru saja mengalami puber akidah yang terlambat dan salah asuhan. Ideologi atau manhaj fikriyah ala Hizbut Tahrir atau Wahabiyin yang menunggangi ormas Persis,  Al Irsyad, NII, DI-TII, ikhwanul muslimin dan berbagai OTB (organisasi Tanpa Bentuk) Islamist garis keras lainnya, mulai mewabah di kampus-kampus pada tahun 1980-an, sebagai kelanjutan perjuangan eks kombatan NII-DI TII dan para pejuang Masyumi tahun 1950-an yang pernah memperjuangkan Pancasila ala Piagam Jakarta, yang sila pertamanya adalah “Ketuhanan YME dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”  Sekarang yang terbaru adalah kasus kekejaman Terorisme ISIS, JAD dan JAT pemboman Gereja dan Kantor Polda di Surabaya dan Kerusuhan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, atas nama Islam, HTI Pro “Khilafah Islamiyah” anti Pancasila dan NKRI, dan Gerombolan pemberontak makar atas nama “Bela Islam” anti PKI, anti Cinaisasi, oleh kaum Islamist (“ yang sok ngislam”).

Kaum Islamist tersebut menganggap bahwa Pancasila yang sekarang berlaku secara sah de jure dan de facto, adalah dianggap belum atau tidak Islami. Sehingga perlu diganti dengan Syariat Islam, sistem khalihah, NII-DI. Cara pandang seperti ini antara lain karena mereka memahami Islam secara banal (sempit-dangkal) dan harfiah atau letterlijk formalis fiqhiyah syar’iyah saja.

Mayoritas kaum Islamist tersebut belum memahami Islam dan pesan-pesan utama Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW secara kaffah (komprehensif-holistik-integral) dari semua dimensinya, baik Aqidah, Syariah, Tarikat, Hakikat dan Makrifatnya. Karena mayoritas kaum Islamist tsb, tak menyukai dan menolak kajian tasawuf dan irfan (Islamic Mysticism). Maka sudut pandangnya begitu formalis banal/dangkal. Mereka masih secara dikotomis diskriminatif diametral membedakan secara tegas antara agama langit yang berdasarkan wahyu scriptural, dengan agama bumi yang dibangun melalui akal budi atau budaya peradaban manusia. Seolah antara hal yang berasal dari Tuhan (Yang Ilahi) dan duniawi itu selalu dalam anggapan dikotomis diametral. Mereka tak menyadari bahwa ayat-ayat Tuhan  YME itu tak hanya hadir di dalam  Suci Wahyu Ilahi yang diturunkan dari Langit saja. Tetapi ayat-ayat Tuhan yang tersebar di alam semesta dan di dalam diri-diri manusia (ayat kauniyah dan insaniyah/aqliyah/Natural Science), ditolaknya. Padahal ayat-ayat tanziliyah wahyu (yang diturunkan/diwahyukan Tuhan YME) dalam kitab Suci pun, secara tersirat maupun tersurat, telah menjelaskan adanya ayat-ayat yang lain dari Tuhan YME, yang tersebar di semua penjuru ufuk langit dan bumi (alam semesta) serta di dalam diri-diri Manusia, makhluk-NYA yang paling sempurna, yang mewujud dalam bentuk ilmu pengetahuan dan hikmah kebijaksanaan serta budaya dan peradaban umat manusia. Ayat-ayat Kauniyah (Natural Science / Sign) ini, tak pernah dianggap suci oleh mereka, dan dianggap tak penting, bahkan dianggap bertentangan dengan Kehendak Tuhan Allah SWT.

Cara berfikir dikhotomis dualistis tersebut menurut guru-guru agama saya, sebenarnya adalah sesat pikir yang menjurus kepada kemusyrikan yang samar. Hal ini mungkin tak disadari oleh para penganutnya. Namun tentunya ini secara sadar dan sengaja dibuat oleh para konseptornya, yaitu para orientalis imperialis Inggris seperti Hemper dan Lawrence of Arabia yang paling awal dalam membina Wahabisme Saudi Arabia, dan Snouck Hurgronye yang menyusup ke Mekkah Arab Saudi dan kalangan pesantren di Nusantara serta merumuskan ideologi “Islam pembaharuan” yang menguntungkan kolonialis Belanda.

Namun tak hanya itu.

Cara berfikir ideologis literal harfiah ekstrim tersebut, memang punya akar sejarah yang panjang. Paling tidak sejak peristiwa Perang Siffin antara Imam / Khalifah Rasulullah Syaidina Ali Bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan di abad 7 M. Berlanjut kepada Imam Hasan yang syahid terbunuh diracun dan Imam Hussein bin Abi Thalib, cucunda Nabi Muhammad SAW,  yang syahid terbantai di Padang Karbala Irak oleh Yazid bin Muawiyah. Juga terbunuhnya Sufi Al-Halaj dan Ibn Arabi yang terzalimi oleh sebagian “ulama Fiqh” pada zamannya. Konflik berdarah antara Syekh Siti Jenar dengan para ulama pengusung Kesultanan Islam Demak Bintoro. Diisukan colonial Syekh Siti Jenar “dibunuh”.

 

Episode selanjutnya dari konflik antara kaum Mukminin-Muslimin dengan kaum neokhawarij Islamisist di Nusantara terjadi juga pada konflik antara Raden Patah Sultan Demak Bintoro dengan Prabu Brawijaya V dan ajaran budhi pekerti para Ulama Sabdo Palon Noyo Genggong. Juga hal sama terjadi konflik dan perang antara Prabu Siliwangi dan keturunanya para Raja Pakuan Pajajaran dengan Sultan Banten Maulana Yusuf di abad 15-16 M.  Tragedi kemanusiaan religius juga terjadi pada kasus ktara (Asia Tenggara).

 

Sampai kini kaum Muslim dan non-Muslim, para pecinta falsafah ideologi Panca Sila Bhineka Tunggal Ika di Indonesia juga selalu diserang kaum islamisit ekstrim tersebut, sebagaimana yang terjadi belum lama ini pada rangkaian “Aksi Bela Islam” yang diusung kaum wahabiyin di FPI, FUI, HTI, JT, GNPF MUI, PKS, dkk. yang disetir oleh gerombolan politisi busuk dan konglomerat dan koruptor sisa para pendukung rezim orde baru Suharto dukungan USA. Isue dan sentimen keagamaan islamist begitu dieksploitasi untuk menutupi dan memuluskan ambisi politik ekonomi profan (duniawi) mereka.

 

Yang  mungkin sudah terjadi tanggal 20 Mei,  ada Demo para mahasiswa (BEM) se-Indonesia dan Demo 96 (9 Junni) 2017 serta Demo Massal seperti 287 menolak Perpu Ormas 2017 dan lainnya yang diarahkan untuk menggulingkan Presiden RI yang Sah Joko Widodo, serta Aksi bela Ulama (Habib Riziek Shihab) dan Aktifis Islam yang diklaim dikriminalisasi polisi dan pemerintahan Jokowi. Jelas-jelas ini tindakan makar subversif. Naudzu billah min Dzalik. Istaghislana ya Allah, Fanshurna ala kaumin munafikin, kafirin wa musyrikin. Amin ya Rabb al alamin.

Strategi politik penjajahan neokolonialis dan neoimperialis masih menggunakan strategi “devide et impera”, pecah belah (sehingga lemah), lalu jajah (kuasai) secara paksa. Konflik dan ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa, sebagaimana yang sebagian kecil saja tadi sudah diungkap, itu masih sangat potensial dengan menggoreng isu SARA  (kesukuan, agama dan rasialisme). Fakta sosio-antrophologis kebhinekaan dengan mudah menjadi musuh berbagai upara pemaksaan kehendak penyeragaman keyakinan dan hukum (fiqh-Syariat) parsial sekelompok kecil umat beragama, yang merasa dan mengklaim diri (sepihak) sebagai kaum mayoritas pemilik negeri ini.

Nah, untuk memahami dan mencari solusi menyeluruh atas problem kebangsaaan kenegaraan tersebut, maka tulisan saya dan berbagai tulisan nara sumber lainnya yang saya kutip dalam buku ini, berusaha mengajukan analistis deskriptif  yang mendalam tentang penyebab krisis dunia modern – dalam bingkai sejarah modernisme dan post modernisme: materialisme-sekularisme.

Juga,  buku REVOLUSI MENTAL IDEOLOGI dan BUDAYA PANCASILA ini menyodorkan salah satu alternatif  solusi penting sebagaimana yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr, agar kita kembali merujuk kepada kearifan filosofis tradional suci-perennial wisdom. Menurut penulis, analisis dan pendekatan solusi Seyyed Hossein Nasr sangatlah relevan dan dapat kita temukan erat kaitannya dengan berbagai kearifan lokal tradisional suci perennial bangsa kita di Sundaland-Nusantara dan Kebijaksanaan Abadi yang dibawa oleh para Nabi Tuhan Allah dan orang-orang suci (para filosof-irfani dan para wali dan rhesi-empu-panditha-pujangga) sepanjang sejarah umat manusia

Mengapa Sundaland atau Nusantara dan Indonesia khususnya menjadi harapan baru datangnya zaman keemasan (golden age) umat manusia yang akan menyelamatkan dunia? Jawaban singkatnya adalah karena peradaban Nusantara punya keunikan dan keunggulan tersendiri dari segi kesejarahan, kelimpahan kekayaan sumber daya alam  maupun falsafah kehidupannya, yang berbeda diametral dengan falsafah dunia Barat yang didominasi materialisme, bahkan atheism anti tradisi Suci. Nusantara masih menyimpan warisan kearifan perennial abadi, nilai-nilai suci-sakral manunggal Ketuhanan-Kemanusiaan-Alam Semesta dan pandangan dunia kosmologis-ekologis yang ilahiyah (divine) ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Realitas Tuhan-Manusia dan Alam semesta masih dipandang sebagai sesuatu Realitas yang Unitiv (Manunggal, Tauhidi) secara eksistensial, sebagaimana tergambar dan falsafah-ideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,

Yang saya maksud dengan Revolusi Mental-Ideologi di dalam buku ini adalah juga revolusi  pemikiran (perubahan paradigma) dan penghayatan-perasaan (cipta & rahsa) dan sikap budaya (karsa) secara cepat (revolusioner) progresif, dari kondisi mental bangsa terjajah, mental bangsa lemah-pesimis, mental bangsa yang selalu minder tak punya harga diri, tak punya self estem dan tak punya rasa percaya diri, tak tahu diri, lupa ingatan/lupa jati dirinya, pemalas, materialis-hedonis-koruptif dan bodoh, menjadi bangsa yang sepenuhnya sadar diri, cerdas, tahu identitas eksistensi diri sejatinya, ingat sejarahnya sebagai induk peradaban dunia sumber kebaikan agama-agama Ber-Ketuhanan YME di dunia, berniat dan bermental juara, punya national pride (kebanggan nasional), sadar bahwa dirinya adalah berasal dari Tuhan YME dan akan kembali kepada-Nya (Sangkan paraning Dhumadi ), mampu mewakili (mandatoris) dan memperjuangkan sifat-sifat-Ketuhanan Yang Maha Esa-NYA (Cinta kasih-sayang kemanusiaan,   kejujuran,  keadilan, keindahan, persaudaraan semesta, Rahmatan lil-alamin (Hamemayu Hayuning Bawono), etos kerja dan semangat juang  dan lain-lain kehendak-kehendak-NYA,.  Menjadi mercusuar, kompas dan teladan kepemimpinan dunia, berbudaya unggul dan berperadaban paripurna, menjadi contoh dan guru bagi bagi bangsa-bangsa lain seperti dulu zaman Kejayaan Peradaban Lemuria-Atlantis-Punt, Peradaban Vedha Sanatha Dharma di anak benua Sundaland Nusantara.

Di sisi lain, perkembangan pemikiran umat manusia di dunia ini, Alhamdulillah, pada kenyataannya tidaklah statis dan stagnan. Walaupun mungkin belum menjadi trend yang mainstream (arus utama) dalam prosesnya, namun perkembangan positif itu dan para pemikir tercerahkan mulai lahir sejak akhir abad 20 dan berlanjut kini pada awal abad 21.

Sebagaimana kita ketahui, dan ini juga yang dijelaskan ulama intelektual  Al-Syahid Murthada Mutahhari, bahwa arus sejarah dan perkembangan peradaban umat manusia dan bangsa-bangsa, sangatlah tergantung dari bagaimana pola pemikiran dan cara pandang dunia (worldview, weltanshaung) atau falsafah-ideology dan moral-mental-ideology yang hidup dan beroperasi pada mayoritas warga bangsa atau elit dominan pembangun peradaban tersebut. Pola tindakan dan berbagai peristiwa sejarah, tak  mungkin terlepas dari pola pikir para pelaku sejarah tersebut, yang menghasilkan peristiwa, aksi dan berbagai fenomena peradaban, baik sosial, politik ekonomi, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan lingkungan hidup ekologis, dll.

Secara umum, filsafat (dan Ideologi), yang merupakan fondasi dasar dari system ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban manusia,  terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu: 1) Ontology, yang membahas tentang hakikat dan asal-usul atau akar mendasar segala sesuatu, Di dalamnya terkandung bahasan mengenai theology (ilmu ketuhanan), dan Cosmology (ilmu tentang alam semesta); 2). Epistemology,  yang membahas sumber-sumber dan struktur ilmu pengetahuan dan cara atau metode memperoleh ilmu pengetahuan, cara menguji kebenaran ilmu pengetahuan (verifikasi/pembenaran atau falsifikasinya/pembuktian kesalahannya); 3). Axyology, yang membahas ilmu pengetahuan terapan (aplikasi imu pengetahuan) seperti ilmu politik, etika dan estetika, ekonomi, Humaniora, science dan technology, dll.

Bagaimanakah bentuk dan model aksiologi  atau ilmu pengetahuan (paradigm pemikiran/brainware) yang menjadi software dan atau brainware dari sebuah entitas budaya dan peradaban umat manusia, akan selalui terkait-terhubung erat dengan jenis ontologi dan epistemologinya. Ketiganya saling berkait-kelindan tak bisa dilepaskan satu sama lain, karena ontologi akan membentuk espistemologi dan pada gilirannya epistemologi tertentu akan memberi corak dan membentuk aksiologi tertentu, serta system ilmu pengetahuan yang menjadi pedoman dan rujukan pembinaan dan pembangunan budaya dan peradaban umat manusia tersebut. Dalam Bahasa sederhananya Stephen Covey digambarkan dalam buku the Seven Habits sebagai berikut: “…Apa yang kita pikirkan, akan menjadi tindakan kita. Apa yang menjadi Tindakan kita akan menjadi kebiasaan kita. Apa yang menjadi kebiasan kita akan menjadi perilaku atau karakter kita. Apa yang menjadi karakter kita akan menentukan nasib kita.” Adagium ini tidak hanya berlaku bagi individu manusia, tetapi juga akan meluas kepada nasib manusia, keluarga, masyarakat, rakyat dan bangsa serta negara kita. Bahkan dunia kita ini.

[1]  (Bahan untuk Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia, Hotel Mercure, Jakarta, 28-30 November 2014)

 

[2] Lampiran: 

Link Terkait: para “Kyai dan Ustadz” Provokator Agen Amerika binaan Jendral Kivlan Zein?)

http://www.suara-islam.com/read/index/16272/KH-Husni-Thamrin–Habib-Rizieq-Benar–tidak-Perlu-Minta-Maaf

http://www.suara-islam.com/read/index/8558/Ulama-Kharismatik—Hati-hati-ada-118-Orang-PKI-di-DPR-

 

[3] Sinyalemen ini dilansir oleh Jurnalis Alarn Nairn.

[4] Tangerang, 17 Agustus 2015 , Arya Penangsang

 

[5]  (bukan hasil cipta Makmur Muhammad Jawad hanya copas juga)

 

[6] http://www.beritaislam24h.net/2016/11/kivlan-zen-inikah-aktor-makar-yang.html

 

[7] http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Farrahmahnews.com%2F2016%2F11%2F26%2Fbom-rpw-majalengka-akan-ledakkan-gedung-dpr-dan-mabes-polri%2F&h=rAQHd4anX

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/11/23/oh2tx2396-panglima-tni-sebut-australia-dan-amerika-sebar-berita-provokasi

 

Tagar, Makar dan Khilafanisasi Indonesia.

$
0
0

Tagar, Makar dan Khilafanisasi Indonesia.

Let’s address the elephant in the room: Gerakan #2019GantiP** itu adalah konvergensi kepentingan pihak-pihak yang ingin mendirikan kekhilafahan di Indonesia. Apapun topeng yang dipakai, tidak mampu menutup DNA dan tujuan akhir dari gerakan tersebut yaitu mengganti sistem pemerintahan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan sistem kekhilafahan.

Ini yang perlu diingat, bahwa sistem yang ingin diganti itu bukan sistem Presidensiil ke sistem Parlementer, akan tetapi sistem yang ingin diganti itu adalah sistem pemerintahan YANG DILANDASI OLEH PANCASILA DAN UUD 1945 menjadi Khilafah dengan mendirikan Dawlah Islamiya alias Negara Islam di Indonesia.

Kenapa konvergensi kepentingan? Karena ada beberapa elemen yang memiliki kepentingan bersama di dalam gerakan ini, walaupun mereka sendiri belum tentu saling mendukung.

1. Element Terorisme – Gerakan ini memberikan angin kepada sel-sel teroris aktif yang ada di Indonesia seperti JAD, JAT, JI, MIT, JAK, Mahad Ansharullah, MIB, Laskar Jundullah dan kelompok-kelompok lainnya. Mereka mungkin saja tidak ikut berdemonstrasi bersama secara publik, tapi mereka memanfaatkan situasi anarki yang terjadi ini untuk rekruitmen sekaligus pembenaran keberadaan gerakan mereka.

Simak saja apa yang ditulis oleh Ali Imron dalam bukunya Sang Pengebom. Ali Imron menulis alasan dia melakukan pengeboman di Bali tahun 2002 adalah:
a) Ketidak puasan dia/kelompoknya terhadap pemerintahan saat itu. Mereka tidak puas bukan karena tidak merasakan dampat positif pembangunan, akan tetapi mereka tidak puas karena tidak adanya Imamah dan tidak diterapkannya Syariat Islam di Indonesia;
b)Kerusakan moral yang terjadi di Indonesia yang adalah negara berpenduduk muslim mayoritas;
c) Keinginan mereka untuk melakukan Jihad di Indonesia. Mereka kecewa karena walaupun Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia dan disini terdapat organisasi-organisasi Islam yang besar dengan pemerintahan yang didominasi oleh pemimpim Muslim, ketiadaan penerapan syariah membuat adanya degradasi moral bangsa;
d) Mereka ingin melakukan balas dendam atas diserangnya ummat muslim di berbagai tempat seperti di Palestina, Afghanistan, Iraq bahkan Ambon.

2. Elemen Daulah Islamiyah – Ini adalah gerakan politik yang ingin mendirikan Khilafah yaitu Hizbut Tahrir Indonesia, alias HTI. Banyak gerakan yang ingin mendirikan Khilafah, akan tetapi HTI adalah kelompok yang paling kuat mengusahakan berdirinya kembali khilafah tunggal bagi semua muslim di dunia. HTI punya 3 tahapan dalam mendirikan khilafah, yang mereka bungkus dalam istilah “Revolusi Damai Islam”:
a) Penguatan kader yang disebut marhalah al-tathqif;
b) Tahapan interaksi atau marhalah tafa’ul ma’a al-naas. Dalam tahapan ini HTI melakukan infiltasi ke militer, polisi, institusi politik tertinggi dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, dalm kemudian melakukan agitasi antara mereka untuk melakukan revolusi dengan menciptakan konflik antara pendukung dan penolak ide Khilafah;
c) Ketika momentum sudah tercapai maka tahapan terakhir yang revolusi atau istislam al-hukmi dilakukan, dimana pemerintahan yang sah dijatuhkan.

3. Elemen politikus oportunis – Ini adalah politisi atau kelompok politisi yang ingin berkuasa akan tetapi tidak mendapat tempat dalam pemerintahan yang sedang berjalan. Mereka bukan oposisi, akan tetapi mereka hanya ingin berkuasa dengan cara apapun; dan

4. Elemen kapitalis – Ini adalah orang atau kelompok yang hanya ingin mendapatkan keuntungan finansial dari kekacauan yang terjadi. Bagi mereka, siapapun yang berkuasa, apapun sistem pemerintahan yang dipakai, yang penting adalah mereka mengumpulkan kekayaan yang sebanyak-banyaknya.

Berdasarkan atas analisis konvergensi kepentingan di atas, bisa dilihat bahwa gerakan #2019GantiP** itu adalah gerakan yang berbahaya karena INTENT mereka jelas dan sama, walaupun kepentingan mereka itu berbeda-beda. Karena konvergensi kepentingan ini, maka mereka akan berusaha mati-matian untuk menciptakan instabilitas di negara ini.

Bagi kelompok di atas, semakin susah rakyat, semakin takut rakyat, semakin tidak stabil situasi politik dan keamanan di negara maka semakin dekat mereka dengan tujuan mereka untuk mengganti sistem!

Waspadalah!

#IndonesiaTanahAirBeta. (Catatan Alto Luger)


Pencapaian Awal Kebudayaan Nusantara

$
0
0

Pencapaian Awal Kebudayaan Nusantara

Nusantara memiliki pencapaian kebudayaan paling awal di banding negara lain, dari angka nol hingga tempat belajar bahasa Sanskerta.

8 Agu 2017, 22:08

BAGIKAN

Pencapaian Awal Kebudayaan Nusantara
 Dr. Andrea Acri, peneliti dari Ecole Pratique des Hautes Etudes, Paris, Prancis, menjadi salah satu pembicara dalam acara “Reviving the Sriwijaya-Nalanda Civilization Trail” di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Senayan, Jakarta, 8 Agustus 2017. Foto: Nugroho Sejati/Historia

“Lagipula cerita Ramayanan versi Jawa dan India juga berbeda,” kata Dr. Andrea Acri, peneliti dari Ecole Pratique des Hautes Etudes, Paris, Prancis, dalam seminar “Reviving the Sriwijaya-Nalanda Civilization Trail”, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Senayan, Jakarta, Selasa (8/8).

Pencapaian lain adalah candi-candi yang megah. “Prambanan, Borobudur sebagai candi Buddhis terbesar di dunia adanya di Indonesia, bukan di India,” kata Andrea.

Selain itu, yang menarik soal penulisan angka nol (0) sebagai angka numerik. Menurut Andrea, penelitian terbaru menunjukkan bukti pertama penggunaan nol muncul di Prasasti Trapeang Prei, Kamboja dan di tiga prasasti era Sriwijaya. Semua berasal dari masa yang sama, yaitu tahun 604 saka (683 M), 200 tahun lebih awal daripada di India.

“Nol berasal dari India. Tapi angkanya baru muncul abad 9. Di Kamboja dan Sriwijaya lebih dulu muncul. Ini salah satu achievment,” ungkap Andrea.

Tak hanya itu, Sumatra juga mendapat predikat sebagai tempat terbaik belajar bahasa Sanskerta. Informasi ini didapat dari pengembara asal Cina, Yijing yang pernah menetap di Sriwijaya. Dia menyebut Sriwijaya sebagai pusat studi bahasa Sanskerta sebelum para biksu dan pelajar Buddhis berangkat ke India.

“Sebelum ke India para pendeta ini sebaiknya menetap dulu di Sriwijaya. Ini sangat luar biasa. Itu kan bahasa asing,” kata Andrea.

Dengan demikian, Sriwijaya menjadi mata rantai penghubung antara India, Asia Tenggara, hingga Cina.

https://historia.id/kuno/articles/pencapaian-awal-kebudayaan-nusantara-vJd3p

“KIDUNG WAHYU KOLOSEBO”

$
0
0

“KIDUNG WAHYU KOLOSEBO”

Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro
Kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro
Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubeda
Hinggo pupusing jaman

(TUHAN… Dengan seluruh kekuatan yang Engkau berikan, sesungguhnya saya akan berjuang memerangi sifat dusta yang ada didalam diri saya, dan dengan sepenuh hati saya akan membentengi diri saya dari gerakan nafsu angkara murka yang menyesatkan, meskipun syetan laknat terus ber-grelya membujuk anak manusia berbuat jahat sepanjang jaman)

Hameteg ingsun nyirep geni wiso murko
Maper hardening ponco, saben ulesing netro
Tinambaran sih kawelasan, ingkang paring kamulyan
Sang Hyang Jati Pengeran

(TUHAN… Rupanya iblis membiuskan api – api kesesatannya di dalam jiwa dan raga saya, dan saya sudah bertekat disetiap nafas berhembus bahkan pada setiap mata berkedip saya akan berperang dengan mereka di medan laga, sehingga mereka tidak lagi memiliki kemampuan menguasai 5 perkara yang ada di tubuh saya *Telinga, mata, hidung, mulut dan 2 lubang di bawah perut*, dan dengan Kasih Sayang-MU TUHAN… Hujanilah jiwa raga saya dengan kemualian-kemulian-MU, dan sungguh Engkaulah TUHAN YANG MAHA ABADI)

Jiwanggo kalbu, samudro pepuntoning laku
Tumuju dateng gusti, Dzat Kang Amurbo Dumadi
Manunggaling kawulo gusti, krenteg ati bakal dumadi
Mukti ingsun …tanpo piranti

(Ketika kesadaran jiwa setiap insan merasakan dirinya berada dalam KUASA TUHAN, sungguh ia akan memiliki kekuatan hati yang bila berdoa di kabulkan, bila meminta di penuhi, bila berharap di wujudkan, bila berperang melawan kebathilan dimenangkan, dan ia akan merasakan kelezatan kehidupan jiwa tanpa harus melewati proses yang melelahkan, karena sesungguhnya TUHAN MAHA BERKUASA terhadap seluruh Ciptaan-NYA)

Sumebyar ing sukmo madu sarining perwito
Maneko warno prodo, mbangun projo sampurno
Sengkolo tido mukso, kolobendu nyoto sirno
Tyasing roso mardiko

(Tahukah kalian wahai insan yang di hidupkan dimuka bumi, ketika jiwamu di penuhi dengan ilmu dan kasih sayang, maka engkau akan mendapatkan berbagai cahaya kebenaran, ruh kebaikan serta pancaran kemuliaan yang sempurna, sebagai Anugerah dari TUHAN-mu Yang Maha SEMPURNA, sehingga akan lenyap kesedihan didalam dirimu, dan akan sirna segala macam bentuk angkara murka di dalam jiwamu, sampai akhirnya suatu hari nanti kamu bangkit menjadi insan yang tidak terjajah oleh nafsu yang menyesatkan, maka bangkitlah dengan kasih sayang TUHAN-mu)

Mugiyo den sedyo pusoko Kalimosodo
Yekti dadi mustiko, sajeroning jiwo rogo
Bejo mulyo waskito, digdoyo bowo leksono
Byar manjing sigro-sigro

(TUHAN… melalui bait bait Kidung yang saya lantunkan ini, semoga Engkau berkenan menanam ke-IMANAN yang sejati di dalam jiwaku bahwa TIADA TUHAN selain ENGKAU YANG MAHA SEJAHTERA, dan saya memohon kepada-MU TUHAN… anugerahkan pula terhadap diri saya sebuah kedudukan sebagai hamba-MU yang memiliki keberuntungan hidup, memiliki banyak ilmu dan berpengetahuan luas, tidak lemah dan selalu memiliki keberanian membela kebenaran, berwibawa dan bisa menjadi suri tauladan terhadap sesama, sehingga siapa saja insan yang berada di sekeliling saya segera merasakan indahnya hidup berkat KASIH SAYANG-MU YANG SANGAT LUHUR LAGI AGUNG)

Ampuh sepuh wutuh, tan keno iso paneluh
Gagah bungah sumringah, ndadar ing wayah-wayah
Satriyo toto sembodo, Wirotomo katon sewu kartiko
Kataman wahyu ……..Kolosebo

(Karena saya tahu, sesungguhnya seorang hamba-MU yang telah ENGKAU menangkan, akan memiliki kekuatan yang utuh, bahkan segala macam pengaruh sihir jahat akan lumpuh seketika dihadapannya, dia begitu bijak dan sangat mulia, wajahnya-pun memancarkan cahaya yang mampu meredam semua unsur amarah serta kebencian, bahkan dia akan tampil sebagai kesatriya yang mengobarkan api kebenaran, tiada henti terus menerus menyerukan perdamaian dan sungguh dialah sosok sang raja pembawa kesejahteraan yang bermahkotakan kasih sayang)

Memuji ingsun kanthi suwito linuhung
Segoro gando arum, suh rep dupo kumelun
Tinulah niat ingsun, hangidung sabdo kang luhur
Titahing Sang Hyang Agung

(Wahai TUHAN YANG MAHA LUHUR, saya adalah hamba-MU yang lemah, datang bersimpuh dihadapan-MU, memohon kepada-MU dengan jeritan hati yang terdalam, tenggelamkan saya Wahai TUHAN kedalam samodra kemenangan-MU, dan bangkitkan saya kembali kepermukaan bumi setelah tubuh dan jiwa ini ENGKAU lengkapi dengan berbagai cahaya kemenangan-MU, sehingga saya memiliki kekuatan mengibarkan panji – panji kemenangan-MU diseluruh penjuru bumi, dan sungguh jika itu terlaksana semata – mata hanya ENGKAU-lah yang menghendakinya, karena sungguh hanya ENGKAULAH TUHAN YANG MAHA BIJAKSANA)

Rembesing tresno, tondo luhing netro roso
Roso rasaning ati, kadyo tirto kang suci
Kawistoro jopo montro, kondang dadi pepadang
Palilahing Sang Hyang Wenang

(Wahai insan sejagad raya, ketahuilah bahwa cinta akan selalu melahirkan air mata, sebuah air mata yang akan membentuk jiwamu, hatimu serta seutuhnya yang ada pada dirimu mengerti bahwa cinta itu suci, sesuci air matamu yang jatuh membasahi bumi, maka berharaplah dengan berbagai untaian doa, agar suatu ketika kalian dapat berjumpa dengan SANG PENCIPTA kesucian air mata, karena sesungguhnya hanya DIA sebagai MAHA TERTINGGI yang menguasai jiwa – jiwa para PECINTA)

Nowo dewo jawoto, tali santiko bawono
Prasido sidhikoro, ing sasono asmoroloyo
Sri Narendro Kolosebo, winisudo ing gegono
Datan gingsir….sewu warso

(Sesungguhnya tidak ada tali sakti yang dapat mengikat sembilan dimensi bumi, kecuali talinya para kestriya yang memiliki kesaktian berupa sifat bersahaja, berbudi pekerti mulia, senang berbagi kebaikan dan tidak gentar memperjuangkan kebenaran ajaran TUHAN, dan mereka sangat pantas mendapat anugerah mahkota sang raja pembawa kesejahteraan dunia, bahkan seluruh

Malaikat yang ada dilangitpun mengaguminya dan sejarah akan mencatat derajat mereka sebagai hamba yang teristimewa, dan seandainya kita hidup bersamanya rasanya kebahagian itu tidak bisa di ungkapkan walau kita hidup seribu tahun lamanya).

 

Seminar Lintas Agama di Ponpes Al Wafa, Tempurejo Jember Agustus 2018

$
0
0

9 jam · 

Seminar Lintas Agama ini telah dilaksanakan di Pesantren Al-Wafa di Tempurejo kota Jember, 11 & 19 Agustus 2018

Assalamu ‘alaykum
Shalom ‘aleychem

Rumah sederhana kita akan menjadi istana bagi penghuninya bila dipenuhi dengan kasih sayang dan damai sejahtera. Indonesia adalah rumah kebangsaan kita yang dibangun dengan derai air mata dan darah yang tertumpah demi kemerdekaan kita. Indonesia adalah rumah kebangsaan kita, pasti akan menjadi istana bagi para penghuninya bila dipenuhi dengan kasih sayang dan damai sejahtera di antara para penganut agama yang beragam dalam kebhinekaan kita, demi satu tujuan cita-cita bangsa.

Seminar Lintas Agama ini telah dilaksanakan di Pesantren Al-Wafa di kota Jember, dan dihadiri oleh berbagai macam penganut agama. Muslim, Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Budha dan Aliran Kepercayaan. Mereka semua datang demi mewujudkan kebhinekaan kita dalam mewacanakan toleransi di antara tradisi iman yang beragam dalam bingkai kebangsaan.

cc:
Prabowo Wiratmoko JatiZen AljufriAsep Yudha WirajayaAcep S EffendyIsmail Yahya Ar-Riauwi Al-MuhaqqiqAlvian Iqbal ZahasfanYoseph OdieAgastya Muni DasaI Putu Maha WisnuTaqiyuddinJazmi RafsanjaniYudha Muhammad AgaKukuh Yudha Karnanta

 

Waspada Peneliti asing prediksi Indonesia bisa dilanda gempa bumi Maha dahsyat 9,5 SR

$
0
0

TIPS & PANDUAN BMI CARE

CINTA WASPADA BERITA INDONESIA

============

HomeIndoNew

Waspada Peneliti asing prediksi Indonesia bisa dilanda gempa bumi Maha dahsyat 9,5 SR

Suara BMI September 21, 2017

SUARABMI.COM – Peneliti sekaligus pakar geologi dari Brigham Young University Profesor Ron Harris mengatakan gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004 berpotensi terulang di selatan Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Harris dalam diskusi terkait mitigasi bencana gempa bumi di Jakarta, Jumat, mengatakan potensi tersebut didasarkan dari penelitian endapan tsunami yang dilakukan pada 2016 di beberapa wilayah selatan Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Harris mengungkapkan timnya mendapatkan pola endapan tsunami purba, yakni beerupa endapan pasir di dalam tanah yang terbawa saat terjadi gelombang, berupa dua garis endapan pasir. Pola endapan tersebut memiliki hasil yang sama di lokasi-lokasi penelitian, yakni Pelabuhan Ratu Jawa Barat, Pangandaran Jawa Barat, Pacitan Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sumba Nusa Tenggara Barat, Timor dan Waingapu Nusa Tenggara Timur. Gunanya mengetahui pola endapan pasir tsunami purba tersebut ialah untuk mengetahui terjadinya tsunami di masa lalu sekaligus memprediksi pengulangan tsunami di masa datang. Harris menjelaskan, selama ini masyarakat Indonesia hidup di masa tanpa aktivitas gempa bumi dan tsunami, atau disebutnya berada pada fase “tidur”. Namun pada waktunya akan ada pada saat fase “bangun” di mana gempa-gempa bermunculan. Harris yang kerap melakukan penelitian tentang tsunami di Indonesia menerangkan bahwa masa tanpa aktivitas gempa dan tsunami tersebut dikarenakan tumbukan dua lempeng tektonik, yakni Indo-Australia dan Eurasia, sedang saling mengunci. Ilustrasinya, salah satu lempeng tersebut sedang mendorong lempeng yang lainnya. Sementara lempeng yang terdorong menjadi melengkung secara terus menerus, hingga pada akhirnya lempengan yang melengkung mendorong balik hingga akhirnya terjadi pergeseran lempeng tektonik yang menyebabkan gempa bumi dan tsunami. Berdasarkan kalkulasi dari penelitian tersebut, pergeseran lempeng tektonik yang akan terjadi cukup berpotensi untuk menimbulkan gempa dengan kekuatan di atas 9 skala richter. “Potensi itu cukup membuat gempa berkekuatan 9,1 skala richter, atau mungkin 9,2, atau bahkan 9,5,” kata Harris. Gempa dengan kekuatan sebesar itu diprediksi akan berlangsung selama 20 detik, bisa menimbulkan gelombang maksimal setinggi 20 meter dengan kecepatan 620 kilometer per jam, dan bisa mencapai bibir pantai dalam waktu sekitar 20 menit. “Gempa di Indonesia itu unik, karena pusat gempanya sangat dekat dengan daratan,” kata Harris. **sewarga

Artikel ini telah tayang di suarabmi.com dengan link :https://www.suarabmi.com/2017/09/peneliti-asing-prediksi-indonesia-bisa.html?m=1

HAARP, Perang Cuaca? Meteor? Kilat Gempa? Warga Lihat Cahaya Hijau Di Langit Saat Gempa Di Lombok

$
0
0

Gempa Pulau Lombok Agustus 2018:
HAARP? Meteor? Kilat Gempa? Warga Melihat Cahaya Hijau Misterius Di Langit Saat Gempa Di Pulau Lombok

Selama bertahun-tahun dari seluruh dunia, banyak orang yang menjadi saksi cahaya misterius di langit yang muncul sebelum dan ketika gempa Bumi terjadi, itu pun jika Anda beruntung dapat melihatnya.

Warga di Pulau Lombok melihat kilauan cahaya berwarna hijau di langit utara Kota Mataram NTB (Nusa Tenggara Barat) saat terjadi gempa bumi berkekuatan 7 Skala Richter pada 5 Agustus 2018 silam pukul 19.46 Wita.

“Saya lihat langit di utara, keluar cahaya hijau seperti petir menyambar,” kata Mallias, warga Perumnas Mataram yang ketika gempa bumi terjadi berada di Perumahan Lingkar Asri Kota Mataram, Minggu malam.

Titik episenter gempa-gempa di Pulau Lombok sepanjang tahun 2018.

Hal serupa disampaikan warga lainnya, Slamet Prabowo yang berhasil menyelamatkan anaknya yang sedang tidur lelap di kamar lantai dua rumahnya.

Dia menyatakan melihat kilauan hijau di langit utara. “Apa mungkin itu, hijau terang bercahaya dari arah utara?” tanya Slamet retoris.

Mallias dan Slamet bersama warga lainnya di Perumahan Lingkar Asri Kota Mataram berhamburan keluar rumah ketika terjadi guncangan hebat. Bahkan, usai gempa bumi, aliran listrik dengan seketika padam.

Apakah cahaya di langit itu? Tidak dapat diperinci lebih spesifik oleh para saksi mata tentang cahaya misterius di langit saat terjadi gempa bumi pada malam itu. Apakah itu efek HAARP? Ataukah ada meteorid yang jatuh ke Bumi? Ataukah Kilat Gempa?

Misteri Bola Cahaya Sebelum Gempa Bumi

Selama ini, kemunculan cahaya berbentuk bola api di langit sebelum terjadi gempa Bumi selalu menjadi misteri besar bagi para ilmuwan. Beberapa jenis gempa bumi di daerah tertentu memang dapat memicu terjadinya kilatan cahaya yang terjadi beberapa detik. Bahkan berhari-hari, sebelum terjadinya gempa.

Bentuknya bermacam-macam. Dari bola cahaya yang melayang, kolom kebiruan yang seakan keluar dari Bumi, atau bentuk sebaliknya dari kilat, yaitu memancar dari tanah ke langit. (lanjutannya baca di sini: Terkuak, Misteri Bola Cahaya Sebelum Gempa Bumi).

UFO light balls Yukon Kanada Earthquake

Earthquake lights shine near Tagish Lake in Canada’s Yukon territory. “Bola Cahaya Gempa” bersinar dekat Danau Tagish di wilayah Yukon Kanada (Photo: Jim Conacher)

Apakah cahaya itu adalah Earthquake Lights atau Cahaya Gempa Bumi?

Cahaya Gempa Bumi Koseismik, yang terjadi pada saat gempa bumi merupakan ledakan cahaya yang keluar dari tanah pada sebuah bidang tanah dengan area sebesar beberapa kilometer. Cahaya ini naik sampai ketinggian 200-300 meter menuju langit malam dalam waktu sepersekian detik saja, mirip lampu blitz pada kamera.

Sejumlah rekaman terbaik terjadi di Peru. Seorang teman di universitas setempat mendapatkan video gempa bumi berkekuatan delapan skala Richter mengguncang selatan kota Lima. Gelombang guncangan berlomba menerjang, dan ketika gelombang berikutnya datang, ada ledakan,” kata Freund. (lanjutannya baca di sini: 10 Misteri Cahaya Aneh Dari Langit)

Cahaya Gempa Bumi (Earthquake Light) Lima Peru

Cahaya Gempa Bumi (Earthquake Light) terlihat pada latarbelakang saat terjadi gempa di kota Lima, Peru

Apakah cahaya itu penampakan Meteorit?

Ratusan warga yang bermukim di utara dan selatan pesisir New South Wales hingga ke Gippsland di Victoria, Australia, juga telah melaporkan melihat seberkas cahaya yang mereka duga adalah meteor besar di langit.

Namun kilatan cahaya bergerak melintasi langit selama beberapa detik terjadi sebelum gempa di Pulau Lombok, yaitu pada Sabtu (4/8/2018) malam waktu setempat, dimana beberapa dari mereka melaporkan melihat kilatan cahaya berwarna merah, hijau dan biru.

Astronom amatir David Finlay mengatakan beberapa ratus orang di seluruh Australia melaporkan melihat meteor, dan orang-orang telah mengunggah penampakan tersebut ke media sosial. David Finlay mengatakan lebih dari 700 orang telah bergabung dengan halaman Facebook miliknya, Laporan Meteor Australia, sejak penampakan terjadi.

Cahaya hijau melesat di langit Pulau Lombok saat gempa bumi terjadi pada 5 Agustus 2018 di malam hari.

“Kami sudah mendapatkan ratusan laporan warga yang menyaksikan (penampakan) ini, dan sudah pasti meteor. Ini bukan sampah antariksa dan bukan juga pesawat jatuh dari langit, itu juga bukan UFO. Melihat kecepatan dan bagaimana benda ini berperilaku, itu adalah meteor besar – meteor yang sangat besar. Saya sangat yakin bahwa meteor ini cukup besar untuk bertahan sampai di tanah,” ujar David Finlay.

Benda itu bergerak dengan kecepatan sedang dan terbakar di bagian ekor di belakangnya. David Finlay telah mengirim beberapa rekaman meteor tersebut yang diambil dari Sydney, dan menyerukan lebih banyak orang-orang yang berada di lapangan dan menyaksikan kejadian itu dari beberapa lokasi.

David Finlay berpikir meteor itu mungkin telah mendarat di sekitar Cooma dekat pegunungan bersalju di NSW. Benda ini berwarna cerah, jadi jika anda berada di dekat lintasan benda ketika itu jatuh.. maka benda itu akan benar-benar menerangi seluruh pedesaan seperti siang hari dan meteor ‘bergerak lebih lambat dari biasanya’.

Setelah melesat, cahaya hijau juga terlihat menerangi langit Pulau Lombok saat gempa bumi terjadi pada 5 Agustus 2018 di malam hari.

Astrofisika Brad E Tucker mengatakan menilai dari kecerahan meteor, kemungkinan besar meteor itu berbentuk fragmen yang besar, panjangnya antara 30 dan 70 cm. Warna hijau kebiruan yang dilihat warga mengindikasikan zat besi dan sebagian besar meteor sebagian besar terdiri dari besi.”

Brad E Tucker, yang bekerja di Observatorium Mt Stromlo di Universitas Nasional Australia, mengatakan tidak ada satupun kamera langit di observatorium itu yang merekam meteor tersebut.

Menurutnya meteor itu bukan bagian dari hujan meteor Perseids yang aktif antara pertengahan Juli dan pertengahan Agustus, karena hujan itu sebagian besar terlihat di belahan bumi utara. (IndoCropCircles.com)

Pustaka:


VIDEO:

Cropped Dashcam footage of the meteor over Sydney tonight 

UFO Light Ball is REAL – Hessdalen, Norway – Most Mysterious Nature Light Phenomena in The World!!

[INDONESIA’S TUNGUSKA] Falling Meteorite on Bengkulu Sumatra Caught on Video

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live