Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Joko Widodo Keturunan Kyai Abdul Jalal I (pertama) yang juga Keturunan Syekh Maulana Magribi

$
0
0

Joko Widodo Keturunan Kyai Abdul Jalal I (pertama) Sang Penakluk Jogo Paten

Alas jogo paten yang ditaklukan Kyai Abdul Jalal I sehingga dukuh kaliyoso jogo paten yang kemudian jadi tanah perdikan yang diberikan oleh Sunan Pakubuwono IV sebagai Raja Keraton Kaumanan Surakarta Hadiningrat kepada Kyai Jalal I. Jika diurut silsilah keluarga besar Joko Widodo Calon Presiden RI 2014-2019 adalah keturunan Kyai Abdul Jalal I (khusus garis dari ayahnya Notomihardjo). Selain itu Kyai Abdul Jalal I juga pendukung Pangeran Diponegoro dan penyebar agama Islam di Indonesia.

Sumber untuk ini bisa dilihat di http/www.kaskus.co.id/thread/ 000000000000000016097756/silsilah-jokowi-sampai-kepada-syekh-maulana-maghribi dan www.jakartabagus.com/read/2012/08/22/6196/joko-widodo-keturunan-pengawal-pangeran diponegoro. Mizan menerbitkan buku Kyai Abdul Jalal I Sang Penakluk Jogo Paten (menapak jejak leluhur Joko Widodo), di buku ini gamblang dibahas sepak terjang Kyai Abdul Jalal I dan silsilah keturunannya.

Lebih menarik di buku ini, jika silsilah Kyai Abdul Jalal I ditarik ke atas akan ketemu di tahun 1300-an yang paling atas adalah Syekh Maulana Maghribi penyebar Islam di Jawa yang dianggap sebagai gurunya Wali Songo. Putranya bernama Jaka Tarub punya mantu Lembu Peteng keturunan Brawijaya V.

Berikutnya di silsilah ada nama Maulana Ahmad Jumadil Kubro dengan Nyai Wandan Kuning lalu Raden Pandanaran, Kyai Ageng Pangeran Manduroredjo (yang menjadi Patih Sultan Agung Mataram), lalu ke Mas Tumenggung Kartonagoro (Bupati Grobogan kala itu).

Sungguh picik jika ada yang memanipulasi keturunan Joko Widodo adalah keturunan Cina, padahal ibunya, Sujiatmi adalah seorang yang sholeha. Dan sampai saat ini Pesantren Abdul Jalal I Kaliyoso adalah buyut seorang Joko Widodo (dari Bapaknya).

Masjid Kaliyoso yang didirikan pada tahun 1790 adalah peninggalan Kyai Abdul Jalal I, dan masjid tersebut pada eranya termasuk pusat pengembangan Islam.

Silsilah Joko Widodo

 

Sampai tahun 1980-an Masjid Kaliyoso masih menjadi tempat sakral Islam khususnya khalayak Nahdatul Ulama. Mudah-mudahan fakta ini menjadi jawaban mengenai “ke-Islaman” Joko Widodo dan secara silsilah jelas.

Menjadi ironi jika isu Jokowi turunan Cina yang disebar luaskan oleh pihak Prabowo Subianto (PS), baik simpatisan maupun pihak lainnya. Justru fakta keluarga dari PS hanya dia sendiri yang Muslim, sedangkan tiga saudara lainnya mengikuti agama ibunya (Kristen). Kampanye seperti itu bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, Jokowi yang diisukan Cina dan Islam abangan ternyata berasal dari keluarga yang soleh. Bahkan buyutnya (lihat silsilah) adalah tokoh-tokoh penyebar agama Islam.

Apapun agamanya seharusnya tidak jadi persoalan namun konvensi dari persyaratan RI-1, Presiden diharuskan dari kalangan Muslim (mayoritas) sehingga isu agama menjadi sangat sensitif dan seksi untuk kampanye hitam.

http://hopetojokowi.blogspot.com/2014/06/joko-widodo-keturunan-kyai-abdul-jalal_13.html

Kyai Abdul Jalal Penguasa Kaliyoso 

Jenis Kelamin: Laki-laki
Lahir: diperkirakan sebelum 1927
Keluarga Dekat: Anak laki-laki dari Kyai Nitimanggolo
Ayah dari Kyai Abd Jalal II
Ditambah oleh: Kusrahadi SayidSulistyo, 14 November 2011
Dikelola oleh: Kusrahadi SayidSulistyo

Tentang

  • Bahasa Inggris (aslinya) 

‘Kyai Abdul Jalal adalah Pendiri Tanah Perdikan Kaliyoso

Beliau Masih keturunan dari Ki Ageng Wonosobo ( Cucu raja Brawijaya V )

Sejarah Singkat Kaliyoso Jogopaten

Terletak disebelah utara kota Solo berjarak kurang lebih 15 Km terdapat sebuah dusun yang konon pada masa lalu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam. Tersebutlah sebuah tempat yang bernama Kaliyosojogopaten, atau dikenal hanya dengan sebutan Kaliyoso. Secara geografis, dusun Kaliyoso berada disebelah utara sungai (kali) cemoro. Kawasan ini masuk dalam desa Jetis Karangpung, kecamatan Kalijambe, kabupaten Sragen. Bagaimanakan wilayah ini pertama kali dibuka menjadi sebuah pemukiman dan menjadi pusat penyebaran agama Islam, yang awal mulanya merupakan sebuah hutan lebat ?.

Pada kurun waktu dua setengah abad yang silam, dusun kaliyoso yang terletak kurang lebih 12 Km sebelah utara kota Solo itu bernama “Alas Jogopaten” (bca: hutan Jogopaten). Dari beberapa sumber, sejarah kaliyoso dimulai dari seorang bernama Bagus Turmudi yang sejak kecil ikut kakeknya yang bernama Kyai Abdul Djalal (wafat dan dimakamkan di Pedan, Klaten). Bagus Turmudi ini kemudian hari terkenal dengan nama Kyai Abdul Djalal 1.

Setelah umurnya beranjak dewasa, Bagus Turmudi (Kyai Abdul Djalal 1) terus menambah dan memperdalam ilmu agamanya ke beberapa pesantren, diantaranya ke pesantren di daerah Surabaya, Semarang, dan akhirnya ke Pesantren Kyai Mojo, Baderan, seorang Kyai yang juga merupakan penasehat Pangeran Diponegoro. Di Pesantren itu pula beliau diambil menantu oleh salah seorang gurunya yang bernama Kyai Jumal Korib.

Pada perjalanan selanjutnya, untuk menyebarluaskan ilmu yang telah dipelajarinya, Ia diperintahkan oleh Guru yang sekaligus mertuanya untuk pergi ke suatu tempat di sebelah utara Surakarta dengan disertai rombongan beberapa teman.

Munajat Diatas Watu Soye

Perjalanan rombongan dimulai dari Mojo, Baderan melalui Surakarta, menyusuri Bengawan Solo terus ke arah timur, sesampai dipertemuan kali cemoro dengan bengawan solo kemudian perjalanan diteruskan ke arah barat menyusuri Kali Cemoro. Sesampainya di suatu tempat yang bernama “Watu Soye”, Kyai Abdul Djalal 1 beserta rombongan berdiam beberapa lamanya disana. Dan konon, di atas Watu Soye atau Watu Suci yang sangat besar yang terletak di tengah-tengah sungai cemoro itu (sampai sekarang masih dapat disaksikan keberadaannya dengan bekas tapak kaki Kyai Abdul Djalal 1) Beliau sering melakukan Sholat dan Munajat kepada Allah Ta’ala.

Pada suatu saat, ketika bermunajat kepada Allah swt, Beliau mendapat ilham agar melanjutkan perjalanan kesuatu tempat yang bernama “Grasak”. Setelah meninggalkan Watu Soye menuju barat, akhirnya Kyai Abdul Djalal 1 dalam keprihatinannya mendapatkan ilham dari Allah, bahwa disitulah tempat sebenarnya yang dituju (sebelah selatan dari Masjid Kaliyosojogopaten sekarang).

Ditempat inilah Beliau mulai melakukan rialat, sholat, puasa dan amalan-amalan lainya dengan harapan agar dalam membuka hutan grasak (alas jogopaten) dapat dilakukan dengan mudah dan selamat atas pertolongan Allah. Karena, konon katanya, di dalam hutan jogopaten inilah pusatnya para jin dan makhluk halus lainya, sehingga “Jogopaten” itupun menurut cerita berasal dari kata “Jogo Pati” atau berjaga-jaga untuk bersedia mati bila berani memasuki hutan tersebut..

Setelah berhasil menerobos kedalam hutan dan membersihkannya, Beliau pertama kali mendirikan sebuah rumah,disusul dengan mendirikan sebuah surau (langgar) dan tempat mengajar agama Islam (Pondok Pesantren). Lambat laun tempat itu menjadi ramai dengan kehadiran orang-orang yang ingin mencari ilmu (baca: nyantri). Disamping itu, beberapa orang keluarga Kyai Abdul Djalal 1 dan juga dari keluarga pengikutnya menyusul pula pindah ke tempat itu.

Asal Mula Nama “Kaliyoso”

Pada sekitar tahun 1788 M, pada saat Surakarta Hadiningrat diperintah oleh Paku Buwana IV yang dikenal dengan sebutan Sinuhun Bagus, Sang Permaisuri Raja yang bertahtakan di Karaton Surakarta Hadiningrat itu sedang mengandung dan menginginkan (baca: ngidam) merasakan daging kijang. Untuk menuruti keinginan sang Permaisuri, PB IV beserta beberapa pejabat keraton pergi berburu ke hutan Krendowahono yang terletak di sebelah selatan hutan Jogopaten. Namun sayang, belum sempat mereka mendapatkan buruan kijang, secara gaib tiba-tiba saja PB IV hilang tanpa bekas, sehingga para pengikutnya menjadi gusar semua. Berhari-hari mereka mencari PB IV ke segenap penjuru hutan itu, namun sia-sia belaka. Sehingga pada suatu hari ada seorang penduduk disitu memberi petunjuk, bahwa diutara sungai ada seorang Kyai yang mungkin dapat dimintai pertolongannya untuk menemukan PB IV yang telah hilang.

Syahdan, setelah Kyai Yang tidak lain adalah Kyai Abdul Djalal 1 tadi dapat ditemui para pejabat keraton, beliau menyanggupi untuk membantu, akan tetapi bukan beliau sendiri yang akan mencari PB IV, tugas yang sangat berat itu dipercayakan pada seorang keponakannya yang bernama Bagus Murtojo (baca: Murtolo / Murtadlo). Benar juga, Bagus Murtojo atau lebih dikenal sekarang dengan nama Kyai Muhammad Qorib (makam diselatan kali cemoro) dapat menemukan sinuhun PB IV dalam waktu yang sangat singkat yang selanjutnya dapat meninggalkan tempat yang angker itu dan pulang kembali ke Karaton Surakarta.

Pada suatu ketika, PB IV menemui Kyai Abdul Djalal 1 di kediamannya guna menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan yang pernah dilakukan dalam usaha menemukan kembali dirinya (PB IV). Pada saat itulah PB IV dihadapan Kyai Abdul Djalal 1 terlontar kata-katanya : “Tempat ini sekarang saya namai Kaliyoso”. Demikianlah asal mula nama Kaliyoso, sedang apa maksud dan arti sebenarnya, hingga sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Disamping memberikan nama Kaliyoso, PB IV juga memberikan tanah perdikan secukupnya untuk tempat mengembangkan ajaran agama islam. Beliau juga berkenan memberikan kenang-kenangan berupa sebuah mimbar dan pintu masjid serta benda-benda pusaka keraton berupa tombak dan keris, salah satu diantaranya adalah tombak “Kyai Ronda”. Kesemuanya itu dapat disaksikan keberadaannya sampai sekarang di Masjid Jami’ Kaliyosojogopaten.

Adapun Bagus Murtojo / Kyai Muhammad Qorib sendiri diambil atau diakui sebagai saudara angkat PB IV. Setelah Kyai Abdul Djalal 1 wafat, kedudukan sebagai pemimpin agama di Kaliyoso digantikan berturut-turut oleh Kyai Abdul Djalal 2, 3, dan 4 serta seterusnya serta pada anak turun Kyai Abdul Djalal meskipun namanya tidak nunggak semi dengan Kyai Abdul Djalal.


Jalur Mirza ke Rasulullah kerajaan Mataram dan pecahannya (Solo&Yogya)

$
0
0

Jalur Mirza ke Rasulullah kerajaan Mataram dan pecahannya (Solo&Yogya)

Kerajaan Yogya dan Solo adalah keduanya keturunan Raja-Raja Mataram (sama2 turunan Amangkurat IV) Daftar Raja Mataram sebelum Yogya & Solo :

1. Panembahan Senopati
2. Sunan sedo ing krapyak / Raden Mas Jolang
3. Sultan Agung
4. Amangkurat I / Amangkurat Agung
5. Pakubuwono I / Pangeran Puger
6. Amangkurat IV

Dr ke-6 raja mataram tersebut dr grs ibu ada tautan ke Rasul jalur Azmakhan , melalui juga jalur Kerajaan Demak dan Pajang, yakni :

I. Panembahan Senopati beribukan: Syarifah Nyai Sabinah binti Ki Ageng Saba bin Sunan Kidul / Giri II bin Sunan Giri yang menikahi Syarifah Dewi Murtasiah putri Sunan Ampel

II. Mas Jolang beribukan : Raden Ayu Rembe binti Pangeran Kalinyamat bin Pangeran Prawoto bin (RAJA DEMAK) Sultan Trenggono bin Raden Fatah yang menikahi Syarifah Dewi Murtasimah / Asyiqah binti Sunan Ampel

III. Sultan Agung beribukan : Ratu Mas Adi Dyah Banowati / Ratu Alit putri Pangeran Benawa Bin (RAJA PAJANG) Jaka Tingkir/ Sultan Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono,RAJA DEMAK, istri beliau / ibu P.Benawa jalurnya sama seperti di atas bersambung ke Sunan Ampel) bin Ki Ageng Pengging (menikah dgn nyai ratu Mandoko binti Sunan Kalijogo + Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar) (Sama dengan Jalur ibu Amangkurat III & IV)

IV. Amangkurat I beribukan :
a) Radin Ajeng Wetan/Kanjeng Ratu Kulon binti Tumenggung Upasanta bupati Batang bin Pangeran Mandurareja bin Ki Juru Martani bin Ki Ageng Saba bin Sunan Kidul bin Sunan Giri (mantu sunan Ampel)
b) Radin Ajeng Wetan/Kanjeng Ratu Kulon, beribukan Ratu Emas Mirahaden putri dari Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir bin Ki Ageng Pengging (menikah dgn nyai ratu Mandoko binti Sunan Kalijogo + Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar

V. Pangeran Puger beribukan :
GKR Wetan keturunan Pangeran Raden bin Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir putra dari nyai ratu Mandoko putri dari Syarifah Zainab binti Syeikh Siti Jenar

VI. Amangkurat IV beribukan :
Ratu Mas Blitar/Ratu Paku Buwana, binti Pangeran Arya Blitar IV. Bupati of Madiun 1704-1709 bin Pangeran Temenggong Blitar Tumapel III. Bupati of Madiun 1677-1703 bin Pangeran Adipati Blitar. Bupati of Madiun 1645-1677 bin Radin Mas Bagus/Kanjeng Pangeran Adipati Jumina Petak/Pangeran Blitar I (s/o Jamila). Bupati of Madiun 1601-1613 beribukan Retno Dumilah binti Pangeran Timur / Rangga Jemuna bin Sultan Trenggono bin R. Patah + Dewi Murtasimah binti Sunan Ampel

Jadi nyambung k Rasul melalui Sunan Giri, Ampel dan Syeikh Siti Jenar (Adalagi ke Maulana Malik Ibrahim / Syeikh Maghribi namun jalur ini belum jelas kepastiannya & Robithoh Azmatkhan belum yakin karena menurutnya lebih ke Syeikh Maghribi namun beliau bukanlah Maulana Malik Ibrahim)

I. JALUR SUNAN GIRI – Abdul Malik Azmatkhan :
Sunan Giri @ Muhammad Ainul Yakin bin Maulana Ishak bin Ibrahim Zainuddin Akbar @ Asmarakandi bin Husain Jamaludin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan

II. JALUR SUNAN AMPEL – Abdul Malik Azmatkhan :
Sunan Ampel @ Ahmad Rahmatullah bin Ibrahim Zainuddin Akbar @ Asmarakandi bin Husain Jamaludin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan

III. JALUR SYEIKH SITI JENAR – Abdul Malik Azmatkhan :
Syeikh Siti Jenar @ Abdul Jalil bin Datuk Shaleh Cirebon bin Abdul Malik bin Husain Jamaludin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan

JALUR ABDUL MALIK KE NABI MUHAMMAD :

Abdul Malik Azmatkhan bin

Alawi (Ammil Faqih) bin

Muhammd Shahib Mirbath bin

Ali Khali’ Qasam bin

Alawi bin

Muhammad bin

Alawi (Asal usul marga Ba’alawi atau Al-Alawi) bin

Abdullah / Ubaidillah bin

Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin

Isa bin

Muhammad bin

Ali Al-‘Uraidhi bin

Ja’far Ash-Shadiq bin

Muhammad Al-Baqir bin

Ali Zainal Abidin bin

Husain bin

Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW

 

MENGAPA SAYA MENOLAK ABDUL SOMAD (SEBAGAI CAWAPRES)?

$
0
0

MENGAPA SAYA MENOLAK ABDUL SOMAD (SEBAGAI CAWAPRES)?

by Gayatri Muthari

Saya tidak peduli apa agama Abdul Somad.
Beberapa hari lalu saya membaca blog seorang Hindu yang sangat sakit hati dengan Muslim dan mengkritik ajaran Islam berdasarkan tafsiran umat Islam sendiri yang boleh membunuh orang non-Muslim dan menghukum mati orang murtad. Blogger Hindu ini mengatakan bahwa seseorang terlahir kembali sebagai Muslim atau agama tertentu yang membenarkan kekerasan karena karakternya di kehidupan lalu, dan menjadi Muslim yang membolehkan himsa (kekerasan) itu, maka adalah karmanya.
Apakah saya menyetujui blogger Hindu ini?

Tentu saja tidak. Tapi, saya membenarkan dan mengimani ajaran Hindu yang indah mengenai Satu Kemanusiaan dan Satu Kebenaran sebagaimana jelas tergambar dalam Empat Veda dan Upanishad dan apalagi dalam Bhagavad Gita. Nama saya Gayatri Wedotami, jadi dari nama saya saja saya seorang Hindu, yang berarti Mantra Gayatri (Tiga Kekuatan) Veda Sebagai Pengetahuan Utama.

Tapi, saya juga tidak setuju pemahaman dan penafsiran Muslim tentang ajaran dalam Alquran mengenai hal-hal yang bertentangan dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, dan saya menganggap mereka mencatut nama Muhammad untuk membenarkan pemahaman dan penafsiran mereka.

Saya mengimani Muhammad dan Ali dan Fatimah dan 11 penerus mereka ialah imam dan wali (penolong/juruselamat) umat manusia, para pembimbing ilahi untuk umat manusia yang bersifat universal melampaui segala bentuk sekat agama. Saya mengimani Alquran mengandung ajaran “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” sebagaimana saya mengimani Alkitab juga mengandung ajaran “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan.”

Saya mengimani Yesus Kristus beserta seluruh Injlnya, para rasul-nya yang menyampaikan Injilnya, dan bahwa Yesus mati disalib serta dibangkitkan, saya percaya itu sebagaimana orang-orang Kristen mengimaninya.

Karena saya mengimani “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” maka di hati saya, saya harus ikhlas menerima hanya ada Satu Kebenaran dan Satu Kebenaran itu ada dalam semua agama dan kepercayaan, maka saya tidak boleh memberi makan ego sektarian, dan karenanya saya seorang Hindu, sekaligus Muslim, Kristen, Konghuchu, Buddhis, Taois, Kejawen, New Age, Agnostik, Atheis (orang yang tidak mengakui dogma-dogma ketuhanan dari institusi-intitusi agama yang sok tahu tentang Tuhan YME), Dll.

Jadi, meskipun saya mengasihi seluruh guru-guru Katholik saya dan sangat menghormati ajaran-ajaran para teolog dan filsuf Katholik, tetapi jika ada ajaran dalam Gereja Katholik Roma yang saya pandangan secara fundamental bertentangan dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, maka saya akan menentangnya — dan itu bukan soal Trinitas.

Saya benar-benar tak peduli seseorang itu Muslim atau Kristen, saya menilai benar dan salah perbuatan dan pemikriannya berdasarkan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” yang terangkum dalam intisari Dekalog (di mana Alquran pun mengukuhkannya sebagaimana jelas diterangkan dalam Qs 2:53).

Begitu pun dogma itu merupakan bentuk ortodoksi suatu agama entah Sunni, Syiah, Katholik atau Protestan, Hindu, Jain, Sikh, Zen, Tao, atau Theravada, jikalau secara fundamental bermasalah dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, maka saya akan membongkarnya dan mengkritiknya karena bagaimana pun, menurut saya, jikalau terus tertanam dalam iman pengikutnya, akan meneruskan kekerasan dan pelanggaran kepada kemanusiaan, dan akhirnya merusak Bumi beserta segenap seisinya.

Jadi, saya bukan menentang Abdul Somad karena dia seorang Muslim, ustadz, atau karena wajahnya, atau karena dia laki-laki. Di dalam diri Abdul Somad terdapat ruh Allah dan karenanya saya mesti memuliakannya, sebagaimana ruh Allah juga terdapat dalam Donald Trump, Benyamin Netanyahu, Kim Jong-Un, dan para pembunuh berdarah dingin.
Apa yang dilakukan Israel kepada Palestina ialah pelanggaran kemanusiaan, tetapi tidak semua orang Israel melanggar “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, dan seseorang harus benar-benar bersikap adil, tidak memberi makan ego sektarian jika mencintai kemanusiaan.

Apa yang saya tentang ialah segala hal yang menentang, merusak, dan memecah-belah “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” maupun yang berpotensi ke arah destruksi
“Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”. Baik itu dalam bentuk perbuatan, perkataan, maupun pemikiran.

Ceramah-ceramah Abdus Somad yang telah saya simak sangat jelas sering sekali secara fundamental bertentangan dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”.
Sementara itu, bangsa Indonesia telah memiliki salah satu ideologi terbaik di dunia karena mengandung “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan.”
Mungkin tidak semua isi ceramahnya begitu. Tetapi, jika isi ceramahnya begitu, bagi saya itu tetap salah.

Orang yang buta dan orang bisa melihat tidaklah sama, begitu juga terang dan kegelapan tidaklah sama – Ini ada dalam cover profile facebook saya – dari salah satu ayat dalam Surah Fathir.
Ibrahim sang pengembara telah melihat banyak suku bangsa di berbagai tempat yang ia singgahi, dan menemukan hanya Satu Kebenaran. Tetapi, ini bukan agama Islam, agama Yahudi, agama Kristen, atau agama apapun.

Ibrahim melihat setiap suku menyembah suatu dewa atau kesatuan dewa-dewa, memiliki mitos dan mitologi serta cerita rakyatnya sendiri, lalu memiliki norma dan nilai-nilainya serta adat serta cara berpakaiannya masing-masing. Walau begitu divergennya, atau beragamnya, semuanya mempunyai benang merah, dan karenanya mengandung Satu Kebenaran.

Semua agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, Majusi, dll melakukan konvergensi karena selama ribuan tahun manusia selalu bermigrasi, sebab adanya pertembungan budaya dan pengetahuan karena saling bertukar cerita dan saling menyesuaikan satu sama lain saat bertemu. Ritual Haji umat Islam mengandung ritual kuno mencium Yoni dan melempari Lingga yang mana Linggayoni dikenal dan disakralkan dalam Hinduisme, begitu juga ritual misa ekaristi ditemukan dalam ritual Dionysian dalam agama Orphic (Yunani Kuno).

Semua agama besar sekarang ialah agama New Age di masa lalu, dan karenanya juga jangan merendahkan para penganut agama New Age seperti Eckankar dan Ravidassia.

Yang terutama, dan terpenting, dari seluruh divergensi dan kebhinekaan, serta dari seluruh realitas konvergensi dalam seluruh agama di dunia, hanya ada Satu Kebenaran, sebagaimana ditemukan Zarathustra, Saptarishi (Tujuh Reshi), Ibrahim, Khrisna, Siddharta Gautama, Musa, Laozi, Yesus, Paulus, Mani, Muhammad, Ali, Baba Nanak, Bahaullah, dll.

Satu Kebenaran itu bukan hanya secara esoterik sebagaimana pandangan kaum Perennialis, tetapi juga secara eksoterik. Jadi, posisi saya bukan juga seorang Perennialis kecuali dalam menerima konsep Satu Kebenaran mereka dalam hal esoterik. Saya Perennialis, Teosofis, Humanis, Transendentalis, sekaligus Skolastik, Materialistis (Hehehehe), Stoik, Neoplatonis, Aristotelian, Phytagorean, dll. Hehehe.

Satu Kebenaran itu ialah “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan.” Sesuatu yang harus selalu kita upayakan, pelihara, perjuangkan dan letakkan di atas agama, suku, nasionalisme, dan lain-lainnya sebagai wujud atau bukti kita menerima Satu Kebenaran, yang kita biasa sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dan, sebagai orang Indonesia, kita harus bersyukur mewarisi ideologi Pancasila dari para leluhur kita, ideologi keren yang menganut “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”. Cara mensyukurinya, ya dengan mengamalkan dan memeliharanya dalam segala yang mampu kita lakukan.

Rahayu,
#Tauhid adalah Satu Kemanusiaan.

LAPORAN KEGIATAN KELOMPOK DISKUSI TERARAH (KDT) MENUJU TEMU AKBAR MBI III 2018

$
0
0

 

 

LAPORAN KEGIATAN

KELOMPOK DISKUSI TERARAH (KDT)

MENUJU TEMU AKBAR MBI III 2018

 

Untuk ketiga kalinya Mufakat Budaya Indonesia (MBI), sebuah forum terbuka bagi para cendekiawan, baik ilmuwan (saintis), rohaniwan, budayawan/seniman atau tetua adat senior dari seluruh Indonesia akan menyelenggarakan Temu Akbar pada awal (2-5) Agustus 2018. Perencanaan Temu Akbar MBI III ini sejak awal sudah dikomunikasikan dan mendapatkan persetujuan serta dukungan dari anggota-anggota senior MBI (yang akhirnya membentuk Tim Kecil terdiri dari: Radhar Panca Dahana, Azyumardi Azra, KH Masdar Mas’udi, GKR Hemas, Meuthia Hatta, Busryo Muqoddas, Hendri Saparini, Komaruddin Hidayat dan SriEdi Swasono) juga beberapa pimpinan lembaga seperti Ketua DPR, Ketua dan pimpinan Wantimpres, Mensesneg, Menag, Menlu, Ketua BPIP, beberapa pimpinan majelis agama serta terakhir dari Presiden Republik Indonesia yang mengambil inisiatif meminta penyelenggaraan dipercepat di awal Agustus 2018 mengambil tempat di Istana Bogor.

Temu Akbar (TA) III ini merupakan kelanjutan dari dua TA sebelumnya (2009 dan 2014) yang berhasil memufakatkan beberapa isyu utama dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Antara lain mufakat tentang bentuk, sifat atau karakteristik dasar dari kebudayaan Indonesia yang merupajan budaya Bahari (TA 1) dan bagaimana mengimplementasikan kebudayaan tersebut dalam kerja-kerja pemerintahan (TA II). Kali ini TA III, yang akan mengundang 250-an cendekiawan senior dari seantero negeri, akan membincang atau lebih tepatnya merenung dan memikirkan ulang pikiran, gagasan atau visi para Bapak-Ibu bangsa tentang eksistensi baru dari negara dan bangsa Indonesia. Mungkin melakukan semacam revitalisasi bisa jadi renaisansi dari visi dan gagasan-gagasan tersebut agar lebih bisa digunakan secara adekuat untuk menghadapi kenyataan hidup (nasional-global) kontemporer yang kian tak terduga (unpredictable).

 

Dalam rangka itu, MBI menyelenggarakan FGD (Focus Group Discussion) atau Kelompok Diskusi Terarah (KDT) untuk menghimpun pikiran dan gagasan awal tentang tantangan dan jawaban kehidupan mutakhir dari sebagian cendekiawan senior Indonesia. Tiga KDT telah berhasil dengan baik dilaksanakan, masing-masing di:

 

 

  1. Jakarta (Hotel Century Senayan, 9-12 Mei 2018) dengan peserta dari 13 provinsi di Indonesia bagian Barat.
  2. Makassar (Hotel Novotel Makassar, 24-25 Mei 2018) peserta dari 11 provinsi Indonesia bagian Timur dan terakhir,
  3. Yogyakarta (Hotel Tentrem, 7-8 Juni 2018) peserta dari 10 provinsi Indonesia bagian Tengah.

 

Tidak kurang dari 68 cendekiawan senior, tidak hanya perwakilan geografis 34 provinsi, tapi juga mewakili etnik, ras dan agama-agama besar, termasuk rohaniwan (pimpinan majelis agama), ilmuwan atau saintis, budayawan atau seniman terpenting Indonesia terlibat dalam tiga KDT tersebut. Sebagian di antara mereka adalah perwakilan yang memiliki pandangan keras dan tegas, bukan hanya pada pemerintah, pusat, Jawa, kepentingan asing, bahkan juga pada makna dan istilah “Indonesia” itu sendiri.

 

Namun alhamdulillah, proses wacana atau pertukaran gagasan akhirnya bisa berlangsung kondusif, kreatif dan produktif ketika seluruh peserta mampu menampilkan kearifan dan kebijakan budaya adatnya dan mengemukakan kepentingan lebih besar, kepentingan nasional baik untuk negara maupun bangsa. Sehingga di akhir pertemuan (KDT) dapat tercipta ukhuwah wathoniyah yang dilandasi jiwa terbuka-menerima (akseptan lebih dari toleran), rasa kasih (rahmat) dan kebersamaan yang kokoh dalam menghadapi tantangan hidup bernegara saat ini.

 

Hasilnya? Adalah mufakat (yang ditandatangani) bersama tentang gagasan-gagasan penting yang berasal dari pengetahuan (logos) kebudayaan lokal, kearifan atau kebijakannya yang tertuang dalam nilai-nilai utama (luhur) yang dianggap bukan hanya menjadi penyangga utama (kesatuan) kebangsaan kita tapi juga modal utama dalam menciptakan jawaban bagi persoalan-persoalan mutakhir negeri. Semua mufakat yang tertuang dalam poin-poin gagasan itu, akan dibawa menjadi salah satu materi utama dalam TA MBI III mendatang.

 

Semua poin di atas nantinya akan dibahas dalam lima kelompok (clusters) diskusi yang masing-masing akan memusyawarahkan dan mencapai mufakat adekuat tentang lima dimensi terpenting dari realitas Indonesia: Kebudayaan, Kebangsaan, Ideologi, Konstitusi dan Kenegaraan. Tiap kelompok akan diisi oleh sekitar 40-60 peserta TA MBI III dan akan dipimpin sidang diskusinya oleh seorang pakar yang telah diakui kapasitas, integritas, dan kepentingannya yang mampu meng-atas-i sentimen-sentimen sektoral/individual.

 

Dalam penyelenggaraan tiga KDT di atas, MBI mendapat bantuan penuh dan tulus dari para aktivis muda MBI juga dukungan finansial dari Mensesneg (untuk FGD Jakarta), dari GKR Hemas dan Hendri Saparini (FGD II Yogyakarta) sera dari  Aburizal Bakrie dan Bambang Soesatyo (FGD III Makassar). Untuk itu MBI menyampaikan penghargaan dan terima kasih setulusnya karena semua bantuan itu bisa melengkapi kekurangan kapasitas finansial MBI yang (selama ini) mengandalkan semangat dan kapasitas pribadi yang terbatas.

 

Berikut dalam berkas-berkas terlampir dapat dilihat atau dipelajari lebih lanjut hasil-hasil mufakat dari tiga KDT di atas beserta daftar para peserta yang mengikutinya. Semoga semuanya menjadi maslahat bagi kita semua sebagai bangsa, dan mendapat berkahNya karena kesungguhan dan ketulusan yang telah diberikan oleh semua peserta.

 

 

Jakarta, 10 Juni 2018

Koordinator/Penanggungjawab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN 1

 

 

Poin-poin Utama Hasil Mufakat FGD I

Pra-Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III

Hotel Century, Jakarta, 9-12 Mei 2018

 

  1. Demokrasi elektoral justru menghasilkan segregasi sosial dalam banyak dimensi, peminggiran minoritas, dan pada akhirnya menghasilkan (elit) penguasa (cq pemerintah) yang bekerja –justru—menciptakan destruksi pada keseimbangan hidup (harmoni) masyarakat (tradisional) Indonesia, antara lain dengan sistem kenegaraan yang sentralistik. Alih-alih menjadi trouble shooter, sebagaimana dibayangkan, pemerintah malah menjadi trouble maker.

 

  1. Kebudayaan Indonesia merangkai inti-inti dari kebudayaan lokal dengan sistem berpikirnya (logos) masing-masing yang unik dan dibentuk dari semacam persilangan (hybridasi) kultur atau pelbagai budaya di luarnya serta terekspresikan dalam bentuk anyaman budaya (e.g. Ronggeng Melayu, Kisah Panji, dll).

 

  1. Rangkaian inti kebudayaan itu direkatkan oleh semacam “enzim-primordial” berupa spirit atau etik “kebersamaan” atau gerak mental masyarakat lokal untuk selalu mendahulukan keutamaan/kepentingan kolektif (komunal), seperti dalam ekspresi linguistik Baduy (Banten) dalam penyebutan persona: aing, sia, kami dimana ketiga sebutan dapat disebut (menjadi bagian) dari “urang” (kita) alias komunal. Atau dalam ekspresi sama di Melayu Riau, kata “den” (aku) dan kau berada dalam komprehensi “awak” (kita). Kau dan aku lebur, “ada kau dalam aku, ada aku dalam dirimu”, atau semacam paham “tat twam asi” dalam tradisi Bali. Dalam arti lain Kebudayaan Indonesia memiliki identitas yang karakter dasarnya diisi antara lain oleh kenyataan-alamiah (nature) sebagai homo communalis atau homo socius.

 

  1. Karakter budaya itulah antara lain yang bisa menjadi indikator atau ciri dari kebudayaan Bahari; budaya yang menciptakan manusia-berintegrasi (integrated-man) karena pertautan alamiah dan kultural setiap individu pada dunia komunalnya, komunal tidak hanya dalam arti lingkungan manusia, tapi lingkungan makhluk hidup serta tak hidup lainnya, lebih eko-sentrik ketimbang antropo-sentrik. Manusia tidak akan survive atau menjadi lebih mulia, tanpa juga mempertahankan hidup dan memuliakan makhluk-makhluk di sekitarnya; manusia adalah bagian organik dari kenyataan ilahiahnya.

 

  1. Secara imperatif, setiap (suku) bangsa atau kesatuan etnik/tradisi di kawasan Nusantara (Bahari) meminta setiap anggotanya untuk melakukan semacam kesalehan sosial, keikhlasan komunal, atau akhlak budaya yang tinggi untuk mencapai keluhuran hidup bersama.

 

  1. Dengan sendirinya, munculnya varian-varian budaya (kebhinekaan kultural) adalah keniscayaan (nature) dalam kebudayaan Bahari. Dan kebhinekaan itu menjadi kekuatan (potensial) yang luar biasa, karena dalam proses transmisi dan pembudayaan yang khas semacam anyaman budaya di atas, menghasilkan karakter hybrid yang kaya, penuh kemungkinan, sarat daya kreatif, egaliter, bersaudara (gotong royong), dsb.

 

  1. Perlu usaha yang baik dan tekun untuk menemukan fakta historis dan arkeologis tentang asal muasal bangsa Indonesia, baik secara genetik maupun kultural. Menimbang banyak fakta mutakhir dari berbagai temuan ilmiah yang sesungguhnya menolak pra-anggapan umum (global) yang menempatkan manusia-manusia awal Indonesia hanya menjadi lanjutan atau filial dari bangsa-bangsa tetangganya (eg. Taiwan, Vietnama Utara, bahkan Afrika tengah, menurut teori “out of Taiwan” dan “out of Africa”).

 

  1. Imperasi lain kepada sidang-sidang Temu Akbar MBI 3 untuk juga menelusuri dan mempertegas jejak beberapa kebudayaan/bangsa nomaden besar dunia di Nusantara, seperti: Yahudi, Parsi, Armenia dan Arya, yang tapak dan pengaruhnya jelas namun data dan risetnya masih samar.

 

Hasil ini dimufakati bersama semua peserta FGD I di Hotel Century Jakarta,  11 Mei 2018.

 

 

 

DAFTAR PESERTA FOCUS GROUP DISCUSSION I

HOTEL ATLET CENTURY PARK, JAKARTA,  09-12 MEI 2018

 

NO NAMA ASAL DAERAH NO. KONTAK
1 Acep Zamzam Noer Jabar O812 2162 695
2 Al-Azhar Riau 081378449551
3 Ansori Djausal Lampung ‘082375293031, 081977958718
4 KH Chudori Sukra Banten 081316502945
5 Hasanuddin Sumbar 085264370813
6 Hendri Saparini DKI Jakarta 08161609971
7 Husnizar Hood Kepri 08117711777
8 Jakob Soemardjo Jabar 082126404200
9 Masdar F Marsudi DKI Jakarta 0811837573
10 Prof. Saldi Isra Sumbar 08126619853
11 Suhadi Sendjaja DKI Jakarta 081317098817
12 Taufik Wijaya Sumsel 082179555256
13 Teuku Kemal Fasya Aceh 085277134765
14 Prof. Dr. M.A. Tihami Banten 08111822240
15 Dr. Yenrizal Tarmizi Sumsel 081373000531
16 Yudi Latif DKI Jakarta 087884468008
17 Prof. Yusny Saby Aceh 0811687476
18 Rizaldi Siagian Sumut 081380504550
19 Radhar Panca Dahana Jakarta 08161948365
20

 

 

 

LAMPIRAN 2

 

 

Poin-poin Utama Hasil Mufakat FGD II

Pra-Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III

Hotel Novotel Grand Shayla Makassar,  24-25 Mei 2018

 

Nilai-nilai Utama (Dasar) dalam (penyusun) kebudayaan Bahari Indonesia

  1. “(ke)bersesama(an)” yang muncul misalnya dari tradisi “kitorang basodara” = tat twam asi = di ria lai padaurane, dimana aku bereksistensi melalui modus mengintegrasikan dirinya dengan kamu: kamu adalah aku, ada aku dalam dirimu. Manusia adalah bagian dari kesatuan organik lingkungannya. Dari modus eksistensial inilah terproduksi sikap saling mempersaudarakan (mutualistic brotherhood=fraternite) dan pada akhirnya menciptakan nilai  gotong royong.

 

  1. “Keberagaman dalam kesatuan”, perbedaan adalah hal yang terberi (given) juga kerjasama di antaranya tak terelakkan (taken for granted), terwujud dalam beberapa prinsip primordial, misalnya “Tan Hana Dharma Wangrwa” (terpecah-pecahlah itu, tak ada kebaktian yang mendua, tetapi satu jualah kesetiaan itu, tak peduli asal muasal), bhinneka tunggal ika, atau “aporomu yinda posaangu, apogaa yinda koolota” (berkumpul tidak bersatu, berpisah tidak ada antara).

 

  1. “Akseptansi” menggantikan nilai “toleransi” karena yang terakhir masih menyimpan limit atau batas yang tidak boleh dilampaui, sementara yang pertama tidak terbatas ketika seseorang atau orang lain (the other/liyan) diterima totalitas dirinya ke dalam diri yang lain. Penerimaan total itu menjadi dasar gerak kehidupan dalam memanusiaskan yang lain. Ini nampak dalam pandangan orang Melayu, “semua (apapun darimanapun) berhak hidup bersama”, yang membuat kebudayaan kita tidak mengenal sikap-sikap chauvinistik dalam kelokalan atau xenophobic dalam menyikapi dunia luar. Seperti “Tau Mopotau Lo Tau” (manusia memanusiakan manusia), “Si Tou Mou Tu Mou Tou” (manusia memanusiakan orang lain)

 

  1. Rasa malu sebagai ekspresi kehalusan budi (budaya) bangsa Indonesia yang muncul dari sikap merasa bersalah, karena dengan nilai ini harkat dan martabat seorang manusia Indonesia dapat dipertahankan/ditingkatkan.

 

  1. Berbagi kasih, sebagai landasan keadilan bagi semua, tak hanya manusia tapi juga lingkungan

 

  1. Religiusitas dalam berbudaya atau “Ketuhanan yang berkebudayaan” (Soekarno)

 

  1. Praktik “demokratis” dimana pemimpin dipilih oleh sebuah dewan/majelis yang mewakili rakyat (para tetua, sesepuh, arif-bijaksana) berdasar asas/prinsip meritokratik tanpa peduli garis keturunan, asal muasal, agama, gender, dan lainnya (lintas etnik dan wilayah). Meritokratik/ natiokratik, tempokratik. Pemimpin didasari pada kapasitas dan kemaslahatan bagi rakyat. Tidak peduli siapa, dari mana, lahir di mana

 

  1. Pendidikan harus dibangun kembali dari dasarnya sebagai sebuah proses pembudayaan, dinamika budaya lokal menjadi basis utamanya dan tingkat literasi yang ditumbuhkan bukan hanya memakai bahan-bahan skriptural dengan memori sebagai basis keilmuan, tapi sejarah mental dan data spiritual menjadi basis perilaku atau tindakan sebagai hal lebih utama ketimbang ingatan (dalam filosofi dan praktik keilmuan Kontinental).

 

  1. Melakukan revivalisasi) kekuatan “daerah” berbasis pada kekuatan lokalnya, karena “daerah” selama ini telah “dibunuh” oleh sistem (negara) yang sentralistis à sementara kegagalan daerah menjadi kontributor kegagalan negara.

 

  1. Kecerdasan kita menjadi artifisial memunculkan intelektual ter(keliru) (fake intellectuals) à akibat adanya imperalisme pemikiran sejak PAUD yang merobotisasi manusia.

 

  1. Produk-produk kebudayaan Indonesia mutakhir perlu ditingkatkan kuantitas/kualitas/intensitasnya untuk mengatasi produk budaya baru yang merusak/destruktif.

 

  1. Demokrasi diterapkan secara asimetris, sebagaimana terjadi dalam praktik administrasi pemerintahan, dengan cara memberi ruang pelaksanaan demokrasi pada logos dan pengetahuan budaya masing-masing lokal.

 

  1. Kejujuran adalah nilai tertinggi yang mengangkat harkat dan martabat manusia, karena itu menciptakan rasa saling percaya di mana kebersesamaan menjadi konsekuensi lanjutannya.

 

  1. Meningkatkan kesadaran waktu dan ruang (historik dan teritorial) untuk menghindari generasi milenial dari pernyakit dislokasi-disorientasi.

 

  1. Nilai kasih sayang bahkan pada musuh sekalipun.

 

 

Hasil ini dimufakati bersama semua peserta FGD II di Novotel Grand Shayla Makassar,  25 Mei 2018.

 

 

 

DAFTAR PESERTA FOCUS GROUP DISCUSSION II

NO NAMA ASAL DAERAH KONTAK
1 Prof Dr Qasim Mathar MA Makassar 0811463990
2 Prof. Dr. Rasyid Asba. Makassar 0813.10301354
3 Dr. Munsi Lampe, MA. Makassar 0823.43459890
4 Prof. Dr. Hamka Naping Makassar 082140408010
5 Prof. Dr. La Niampe Kendari 081343959470

081245779970

6 Dr. Waode Sifatu Kendari 081341762438
7 Mohammad Ridwan Alimuddin Mamuju 081355432716
8 Idwar Anwar Sulbar Luwu/Mamuju 081343755711
9 Prof. Dr. Gazali Lembah Palu 0813.32484844
10 Dr. Rizali Djaelangkara, M.Si. Palu 081341224412
11 Kamajaya al-katuuk Manado 081242282266
12 Dr. Ivan RB Kaunang, SS., M.Hum. Manado 081353173999
13 Nani Tuloli, Prof. Dr. Gorontalo 08124409877
14 Basri Amin, PhD. Gorontalo 081243492127
15 Ishak Ngeljaratan Sulsel 081342694790
16 Dr. Hasbollah Toisuta Maluku 081343002000
17 Rudy Fofit Maluku 082187716948
18 Dr. Marcel Robot NTT 081337611442
19 Adolof Tapilatu, S.Sos Papua 081290109595
20 Prof. Dr. Sri Edi Swasono Jakarta    08159533852
21 Prof. Dr. Meutia Hatta Jakarta    082110769459
22 Radhar Panca Dahana Jakarta    08161948365
23 Aslan Abidin Makassar    081242244700
24 Asia Ramli Makassar    08124251135

HOTEL NOVOTEL GRAND SHAYLA MAKASSAR, 24-25 MEI 2018

 

LAMPIRAN 3

 

 

Poin-poin Utama Hasil Mufakat FGD III

Pra-Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III

Hotel Tentrem, Yogyakarta, 7-8 Juni 2018

 

 

  1. Kebudayaan Indonesia memiliki kemampuan untuk berdialog dengan budaya-budaya asing dengan cara alamiah, menyaring elemen-elemen buruk/destruktif dan menggunakan elemen-elemen positifnya untuk menjadi bagian identitas diri dengan pemaknaan yang berbeda dari aslinya.

 

  1. Ada nilai luhur/mulia dari spiritualitas (agama) dalam kebudayaan kita yang bersifat universal dan harus dipertahankan, walau dapat didaur ulang bentuk/produk-produk kebudayaannya mengikuti perkembangan zaman.

 

  1. Spiritualitas kita memiliki keyakinan yang sama pada Yang Maha Kuasa, Dzat yang Ilahiyyah.

 

  1. Kebudayaan itu seperti pendulum yang membumikan kembali turbulensi kehidupan karena pengaruh-pengaruh asing, dengan memosisikannya sebagai pusat dari kehidupan bernegara.

 

  1. Kebudayaan adalah sebuah modal atau kekuatan kita yang memiliki kemampuan untuk membuat turbulansi (kehidupan) – tidak menyebabkan pesawat jatuh, keutuhan bangsa rubuh.

 

  1. Pemetaan kebudayaan perlu dilakukan untuk kemudian disistematisir hingga ia menjadi integral → untuk menghindar dari konflik-konflik yang didesain oleh aktor-aktor elite/kekuatan asing.

 

  1. Tatanan (sistem/struktur sosial, politik, dll) dari hidup bernegara saat ini di banyak bagian telah menghancurkan realitas kultur bangsa Indonesia yang damai dalam kehidupan multikulturalnya.

 

  1. Perlu menginventarisasi dan mengkodifikasi apa yang disebut sebagai logos atau sistem berpikir atau hikmah kebijaksanaan (tradisi/budaya) kita.

 

  1. Etos “bakumpai” di mana kita memiliki kapabilitas untuk belajar pada apa dan dari siapapun yang memiliki kelebihan, juga belajar untuk menerima yang berbeda, sehingga dengannya kita dapat membangun identitas yang tidak konfliktual dalam dirinya.

 

  1. Perlu ada rekonstruksi pemahaman kemanusiaan kita yang berbasis pada masyarakat multikultural seperti yang telah disebutkan di atas.

 

  1. Pancasila memiliki kekuatan untuk mempersatukan perbedaan yang muncul dalam masyarakat karena agama, suku, adat, budaya, dan lainnya.

 

  1. Tetua adat dan rohaniawan tidak berpolitik praktis karena dia telah memiliki semuanya dan tidak boleh dimiliki oleh siapapun.

 

  1. Perpaduan nasionalisme-religius adalah kekuatan/jatidiri bangsa yang bisa menjadi solusi terbaik dalam penciptaan kepemimpinan di tingkat lokal hingga nasional.

 

  1. Kepemimpinan Indonesia mesti didasarkan pada proses pengkaderan yang membuat dia menjadi seorang Ksatria yang tak terbelenggu lagi oleh kekayaan (fasilitas/materi), karena negara sudah memeliharanya.

 

  1. Pembangunan ekonomi Indonesia telah banyak mengingkari nilai-nilai paling dasar atau fundamental dari kebudayaan bangsa kita (gotong royong, kesetaraan, kemandirian, keadilan), karenanya harus dikembalikan pada nilai-nilai penentu itu.

 

  1. Perbaikan, dalam ekonomi misalnya, sekurangnya harus kembali pada marwah dan ketentuan konstitusi pra amandemen di mana nilai-nilai luhur kebudayaan terepresentasikan.

 

  1. Indonesia dalam sejarahnya tidak mengenal kata miskin atau kelaparan à manusia bahagia dalam posisi dan tujuan sosialnya masing-masing.

 

  1. Kita bahagia bila kita bisa membuat orang lain bahagia (Angawѐ sukaning wwang lѐn)

 

  1. Transmisi nilai-nilai luhur pada (antar) generasi berikut harus diselenggarakan segera, untuk mengisi kekosongan rohaniah generasi baru, lewat cara yang mengacu pada kearifan pola-pola pengajaran di khazanah tradisi kita.

 

Hasil ini dimufakati bersama semua peserta FGD III di Hotel Tentrem Yogyakarta,  08 Juni 2018.

 

 

 

 

 

DAFTAR PESERTA FOCUS GROUP DISCUSSION III

HOTEL TENTREM YOGYAKARTA, 07 – 08 Juni 2018

 

NO NAMA ASAL DAERAH KONTAK
1 Prof.Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D Yogya 0811267485
2 Nasirun Yogya O87839361410
3 Romo DR. F.X. Baskara Tulus Wardaya, SJ Yogya 081328729136
4 KH. Muhammad Jadul Maula Yogya +62 812-2763-802
5 Prof. Sahid Teguh Widodo, S.S., M.Hum. Jateng +62 822-2000-9042
6 Joko Pekik Jogja
7 Sutanto Mendut Jateng O8156808839
8 Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA Jatim 082114167742
9 KH. Agus Sunyoto Jatim +62 878-5905-1197
10 Prof. Dr. Abd. A’la,  M.Ag. Jatim 08113505330
11 Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqafrie, M.Sc. Pontianak 0811562192
12 Nasrullah Banjarmasin 081349596929
13 Syafruddin Pernyata Samarinda +62 821-5162-8828
14 Pdt. Dr. Marko Mahin, S.Th, MA. Palangkaraya 081349427771
15 Tuan Guru Haji Tamim Ali Aqso Lombok Barat +62 878-6519-1287
16 Warih Wisatsana Bali O8123621853
17 Ida Pedanda Gede Kekeran Bali 085935115999
18 Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet Bali O811397267

dude7@indo.net.id

19 H. Dinullah Rayes Sumbawa/NTB 081339513893
20 Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. Yogya 0818272024
21 Radhar Panca Dahana Jakarta 08161948365
22 DR. Hendri Saparini Jakarta
23 M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. Yogya

 

UU Pemajuan Kebudayaan

SYI’AH DI INDONESIA

$
0
0

SYI’AH DI INDONESIA

(Resume Hasil Penelitian Gerakan Syiah di Indonesia yang dilaksanakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama)

oleh Syamsuddin Baharuddin (Ketua IJABI)

 

Tahun 2016, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melaksanakan penelitian tentang perkembangan gerakan Syi’ah di Indonesia. Penelitian dilakukan di Jakarta, Banten (Kota Tangerang), Jawa Barat (Kota Cirebon, Kota Bogor, Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya), Jawa Timur (Kota Surabaya, Kota Malang , Bondowoso, Jember), Jawa Tengah (Kota Semarang , Kabupaten Banyumas, Jepara, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan), Makassar, Palu dan Medan. Hasil penelitian tersebut telah diseminarkan pada tanggal 14 Desember 2016 di Hotel Millenium Sirih, Jakarta, dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Dinamika Syiah di Indonesia”.

Penelitian tersebut adalah penelitian kualitatif, bentuknya studi kasus untuk mendalami, menjelaskan dan mendeskripsikan eksistensi Syiah berkaitan dengan sejarah, kegiatan, lembaga yang dimiliki, struktur organisasi dan sebarannya, serta peran pemerintah daerah.

Dalam pengantar buku “Dinamika Syiah di Indonesia” tersebut, Prof. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D (Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI) menyatakan:

Dalam konteks Indonesia, perkembangan dan diaspora penganut mazhab Syiah ini tidak dapat dimungkiri telah mengkonstruksi dan menghiasi kehidupan sosial-keagaman di Indonesia. Sehingga, sangat sulit untuk mengatakan bahwa tradisi Islam di Indonesia tidak dipengaruhi oleh tradisi Syiah. Bahkan tradisi dan ritual tersebut diterima dengan baik oleh umat Islam Indonesia yang mayoritas Sunni seperti halnya tradisi perayaan Asyura di Indonesia. Tradisi semacam ini dipraktikan pula oleh warga nahdliyin yang nota bene pengikut mazhab Sunni. Selain itu, Sunni-Syiah sukses mengislamkan nusantara dan membangun masyarakat dengan nilai Islam yang rahmatan lil’alamin. Ini menunjukkan suksesnya koeksistensi Sunni-Syiah di Indonesia.

Berdasarkan realitas itulah, Gus Dur pernah menyatakan bahwa NU adalah Syiah tanpa imamah. Ungkapan Gus Dur tentu saja tidak berlebihan sebab Sunni dan Syiah tidak berbeda kecuali dalam hal imamah. Gus Dur sangat memahami begitu tipisnya perbedaan NU dan Syiah dikarenakan kesamaan dalam meyakini Allah, al-Quran, nabi, kiblat, shalat, haji, dan seterusnya.

Faktanya, buku hasil penelitian ini berhasil memotret dengan baik bahwa relasi komunitas Syiah dengan komunitas lainnya (Sunni) berlangsung sangat baik di seluruh wilayah penelitian, terkecuali di Makassar dan Bondowoso dengan adanya sedikit ketegangan di sana. Dengan demikian, dari hasil penelitian ini diharapkan muncul kesadaran umat Islam untuk menghormati dan melindungi saudara sesama Muslim yang berbeda mazhab sebagaimana dijamin UUD 1945.

Secara keseluruhan, data penelitian membuktikan bahwa semua tudingan/tuduhan terhadap Syiah terjadi akibat kesalahpahaman, perbuatan bohong karena kebencian, ketidakpahaman atau kurang membaca tulisan terkait Syiah dari sumber-sumber utama yang diakui di kalangan Syiah. Sebagian tuduhan juga muncul karena ketidakmampuan membedakan mana ajaran Syiah dan mana perilaku sebagian penganut Syiah yang tidak merepresentasikan ajaran Syiah secara umum (seperti yang dilakukan sekelompok orang yang disebut Syiah Takfiri atau Syiah Sempalan).

Terkait berbagai tuduhan terhadap Syiah, semua tuduhan tersebut adalah framing dan propaganda anti Syi’ah untuk mendelegitimasi Syiah. Tuduhan negatif terhadap Syiah adalah tidak relevan. Generalisasi Syiah sebagai Rafidhah jelas tidak sesuai realitas dan fakta yang sesungguhnya. Semua tuduhan yang terus diproduksi dan disebarkan (oleh kelompok anti-Syiah) telah mendapat klarifikasi dan bantahan tegas dari kalangan Syiah

Berbagai bentuk framing dalam aktivisme anti-Syiah dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek: religius, sosial, dan politik. Inti framing anti-Syiah adalah bahwa: pertama, Syiisme adalah aliran sesat dan menyesatkan; kedua, karena Indonesia dianggap sebagai bumi Sunni kehadiran Syiah menjadi sumber konflik; ketiga, Syiah merupakan ancaman terhadap NKRI. Berbagai bentuk framing tersebut TIDAK terbukti dalam realitas di lapangan.

Hasil penelitian tersebut mengungkap beberapa temuan yang kemudian dirumuskan menjadi kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian. Temuan lapangan tersebut (sekali lagi) membuktikan tidak benarnya berbagai tuduhan dan membantah berbagai tudingan yang dialamatkan kepada Syiah selama ini oleh kalangan anti-Syiah.

Tuduhan bahwa Syiah berbahaya bagi Sunni dan NKRI tidaklah relevan dan justru terbukti sebaliknya. IJABI menegaskan komitmen kebangsaannya seperti tertuang dalam Deklarasi Pancasila (baca: _https://www.majulah-ijabi.org/ijabikita/deklarasi-pancasila-ijabi_). Pernyataan resmi yang ditunjukkan oleh IJABI dan ABI membuktikan kuatnya komitmen keislaman dan kebangsaan Muslim Syiah di Indonesia. “Melalui kedua organisasi tersebut, komunitas Syiah memproyeksikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Muslim dan sekaligus warga bangsa Indonesia dan NKRI dan berperan aktif dalam membangun masyarakat dan menjaga keutuhan NKRI”, demikian kesimpulan Prof. Dr. Zulkifli, MA dalam Prolog buku tersebut di atas.

Dalam hal relasi komunitas Syiah dengan Sunni, di seluruh daerah umumnya berjalan baik, bahkan beberapa daerah tertentu terdapat kerjasama dan saling membantu dalam kegiatan. Dalam kehidupan sehari-hari, antara umat Muslim Syiah dan Sunni tetap berjalan dalam batas kewajaran, bahkan para pengikut Syiah seringkali melakukan shalat berjamaah bersama kaum Sunni. Penganut Syiah dapat hidup rukun di berbagai daerah karena pengikut Syiah sangat membaur dengan masyarakat Sunni. Bahkan komunitas Syiah tidak membangun masjid sendiri, dan memilih berbaur dengan masjid masyarakat sekitarnya.

Komunitas maupun warga pengikut Syiah harus terus menjaga dan meningkatkan hubungan baik dengan masyarakat sekitar dan elemen masyarakat lain serta menjauhkan sikap-sikap ekslusif yang akan berdampak pada terjadinya gap dan prasangka terhadap keberadaan mereka di lingkungan masyarakat.

Sesungguhnya keberadaan komunitas Syiah tidak dirasakan sebagai gangguan bagi umat lain. Masyarakat sekitar pun tidak ada yang merasa terganggu dengan keberadaan kelompok Syiah itu. Justru setelah terbit surat edaran dari pemerintah lokal (seperti misalnya Surat Edaran Walikota Bogor tentang pelarangan peringatan Asyura) telah menyebabkan pro-kontra yang berujung terjadinya disharmoni di dalam masyarakat.

Relasi pemerintah dengan komunitas Syiah juga cukup baik di berbagai daerah. Sedangkan daerah yang relasinya masih kurang baik umumnya karena belum (atau kurangnya) silaturrahim. Oleh karena itu, komunikasi dan silaturrahim harus dibangun. Pada berbagai event yang diadakan komunitas Syiah, juga turut dihadiri unsur pemerintah dan tokoh Sunni.

Kekerasan yang terjadi terhadap komunitas Muslim Syiah adalah salah alamat. Seluruhnya berangkat dari kesalahpahaman, generalisasi yang tidak tepat, dan mengeneralisir semua Syiah dalam satu sebutan. Apalagi objek penyesatan Syiah itu dijelaskan kalangan anti Syiah, yang secara ilmiah tidak berhak.

Terlepas dari aktivisme anti-Syiah yang digerakkan oleh kelompok kecil tersebut di atas dan proses saling pengakuan masih menjadi dambaan, sesungguhnya relasi Sunni Syiah di Indonesia secara umum berlangsung harmonis. Demikian temuan penting penelitian yang tertuang dalam buku tersebut.

Selain temuan dan kesimpulan tersebut, penelitian juga merekomendasikan beberapa hal, antara lain:

• Kalangan anti Syiah sebaiknya berhenti menjelaskan tentang mazhab Syiah karena penjelasan mereka tidak sesuai dengan mainstream yang dianut Syiah di Indonesia, bahkan menimbulkan ketidakjelasan, dan menjerumuskan umat Islam untuk membenci Syiah dan menimbulkan konflik dengan Syiah. Kalangan anti Syiah sebaiknya berhenti melakukan propaganda dan menggantinya dengan melakukan tabayun dan klarifikasi kepada akademisi Syiah agar tidak terjadi prasangka dan umat tidak menjadi korban.

• Menggambarkan pandangan dan sikap keagamaan Syiah harus merujuk kepada penganut Syiah sendiri terutama melalui pemimpin dan ulamanya yang otoritatif atau melalui organisasi resminya, yakni IJABI dan ABI. Memahami dan menerima pandangan dan sikap tersebut harus dengan sikap terbuka dan jujur sehingga dapat melahirkan dialog dan kerja sama. Kecurigaan dengan alasan Syiah bertaqiyah sebagaimana terjadi pada aktivis anti-Syiah telah menutup peluang untuk memahami dan menerima eksistensi Syiah secara jujur dan terbuka tetapi menganggapnya sebagai ancaman yang menakutkan.

• Ada beberapa paham dalam Syiah yang berbeda dengan Sunni. Namun, walaupun berbeda, para ulama masih menganggap bahwa Syiah adalah bagian dari Islam.

• Komunitas Sunni Syiah itu bersaudara. Biarkanlah umat Islam memilih mazhab yang disukai, tidak jamannya memaksakan kehendak. Apalagi ada jaminan konstitusi. Indonesia telah membangun teologi kerukunan, mempunyai Bhinneka Tunggal Ika, dan berbagai kesepakatan internasional tentang persaudaraan Sunni Syiah.

• Hendaknya kalangan non Syiah (MUI dan anti Syiah) dapat melakukan dialog, saling klarifikasi, tentang berbagai kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Seyogyanya MUI memelopori pendekatan mazhab dan dialog untuk saling berklarifikasi berkaitan kesalahpahaman yang sudah lama terjadi dan belum ada penjelasan obyektif. Dialog Sunni-Syiah perlu dilakukan dalam dimensi akademik, serta kampanye damai antar mazhab dan aliran

• Umat Islam harus mulai memahami mengapa Sunni dan Syiah dibenturkan di seluruh dunia, yang berakibat kehancuran negara-negara tersebut. Sebab faktanya umat Islam umumnya gagal melihat fenomena dan rekayasa global agar umat Islam sibuk urusan domestiknya dan tidak memikirkan kemajuannya sebagai bangsa.

• Umat Islam harus paham betapa kapitalisme internasional dan zionisme sangat senang dengan konflik-konfli sektarian di kalangan umat Islam (muslim Sunni dan Syiah) dan kehancuran negara-negara mayoritas muslim, seperti Irak, Suriah, Libya, Yaman, Afghanistan, dan lain-lain.

• Pejabat pemerintah, tokoh agama, dan ormas keagamaan hendaknya mulai membuka diri dengan melakukan dialog dan diskusi yang melibatkan orang-orang Syiah, agar mereka saling mengenal dan saling memahami. Pemerintah perlu memfasilitasi dialog di antara dua kelompok yang masih berseberangan, dialog yang beusaha untuk saling memahami bukan dialog yang bersifat debat kusir.

• Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, sebaiknya mendorong upaya dialog Syiah dan Sunni dengan tetap mengedepankan sikap santun dan semangat persaudaraan antar sesama umat Islam, serta tidak mengklaim kebenaran individu dengan menafikan pendapat kelompok lain.

• Pemerintah daerah sebaiknya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan dan peraturan terkait keagamaan mengingat dampak dan potensinya terhadap harmoni dan kerukunan yang telah terjalin baik di masyarakat.

• Para tokoh agama dan ormas Islam dalam melakukan dakwah agar tidak memunculkan provokasi kepada pihak yang berbeda paham, agar suasana rukun dan damai yang sudah terbangun dapat lebih ditingkatkan. Pendekatan musyawarah dan dialog sebaiknya lebih dikedepankan dalam setiap penyelesaian masalah-masalah keagamaan dibanding dengan pendekatan mobilisasi massa yang berpotensi terjadinya kekerasan

• Selain integrasi dalam bentuk ritual dan tradisi kesalehan ‘Alawi, terjadi dialog dan kerja sama antara kelompok Syiah dan Sunni yang tergabung dalam organisasi Islam seperti NU, Muhamadiyah, dan Al-Washliyah. Demikian juga dialog dan kerja sama terjalin antara lembaga-lembaga pendikan Islam Syiah dan Sunni. Pemerintah dan ulama dituntut untuk berperan aktif dalam memfasilitasi dan memastikan berlangsungnya dialog dan kerja sama tersebut. Interaksi yang harmonis tersebut menggambarkan wajah ramah Islam Nusantara yang moderat dan menjunjung tinggi prinsip Rahmatan lil Alamin.

*) Resume ini dibuat oleh PP IJABI dengan merujuk pada (dan bersumber dari):

1. Presentasi dan Makalah Seminar “Penelitian Gerakan Syiah di Indonesia”, oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, di Hotel Millenium Sirih, Jakarta pada tanggal 14 Desember 2016
2. Buku “Dinamika Syiah di Indonesia”, Editor Ubaidillah. Tim Penulis: Wakhid Sugiyarto, dkk. Diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, tahun 2017 .

Awal Masuknya Islam Mazhab Syiah ke Indonesia

$
0
0

 

Dialog Konstrukstif Sunnah -Syiah

$
0
0

Dialog Konstrukstif Sunnah -Syiah: KH Nabhan Hussein dan dan KH Prof.Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc di ANTV

 


Di Nusantara pun Turun Nabi Allah ??

$
0
0

https://pustakaindonesia.org/yppi/2016/02/25/menacham-ali-dan-keahlian-langka-membaca-naskah-naskah-kuno/

MENACHAM ALI DAN KEAHLIAN LANGKA MEMBACA NASKAH-NASKAH KUNO

YPPI- Tak banyak orang yang mau menekuni dan tenggelam dalam naskah-naskah kuno. Menachem Ali melakukan segalanya. Mencari, mengkoleksi dan mengkaji. Dedikasinya berbuah prestasi.

TIDAK ada yang lebih mengasyikkan bagi Menachem Ali selain menggunakan waktu kosongnya dengan mengkaji naskah-naskah lawas. Hampir di setiap sudut ruang tamu rumahnya berjajar buku dan membuat naskah lama. Ali memang dosen filologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Secara sederhana , filologi bisa disebut sebagai ilmu mengenai kajian manuskrip kuno. Tapi, kerjanya tak sesederhana itu. Seorang filolog sejatinya berada pada lintasan tiga ilmu. Yakni sejarah, kesustraan, hingga linguistic.

Ali adalah ahli filolog pesantren atau studi semit. Karena itu, dia menguasai 10 bahasa. “Secara aktif, saya menggunakan tiga bahasa. Yakni Ibrani, Inggris dan Arab. Yang lain hanya pasif,” tuturnya. Ali memang dituntut bisa casciscus dalam berbagai “lidah”. Dan, itu tidak mudah. Namun, semua harus dilakoni lantaran dia seorang filolog. Setidaknya, Ali harus paham bahasa-bahasa kuno. Di antaranya, Sansekerta, Jawa kuno, Melayu lama, hingga Jepang dan Prancis.

Apa resep belajar banyak bahasa itu? Terlebih, di keluarganya belum ada seorang pun ahli bahasa atau polyglot (orang yang menguasai banyak bahasa). Ali menjawab, rumusnya simple. “Belajar sendiri dan banyak berdiskusi dengan ahli bahasa tersebut,” katanya.

Pria dua anak itu mengawali karir sebagai pembaca naskah tua pada awal 1998. Itu saat dia menjadi dosen di Unair. Ali mengumpulkan beberapa manuskrip. “Saya mulai kumpulkan pada 2002. Naskah tua yang pernah saya jumpai lebih dari 10. Mungkin 20 naskah,” ujarnya.

Tentu, cara hunting-nya beragam. Dia membeli ke pasar loak hingga dating ke pelosok-pelosok desa. Focus Ali adalah mencari naskah lama berhuruf pegon.

Lihat Naskah Majapahit Dibeli Negara Lain

Itu modifikasi huruf Arab untuk tulisan berbahasa Jawa. Banyak orang yang menyebutnya sebagai tulisan Arab –Jawa. “Di rumah ada 20 manuskrip dengan tulisan pegon,” kata Ali. Kecintaan terhadap naskah tua membuat dirinya telah berkunjung ke beberapa Negara sebagai delegasi ahli bahasa dari Indonesia.

Dari lima benua, tinggal Australia dan Amerika yang belum disambangi Ali. Karya-karyanya yang berupa kajian naskah lama pun telah masuk di jagat ilmiah nasional. Ada enam jurnal yang telah go international. “Empat jurnal menulis bersama akademis internasional dan dua hasil tulisan sendiri yang diterbitkan oleh luar negeri,” jelasnya.

Menacham Ali dan Keahlian Langka Membaca Naskah-Naskah Kuno005Pada 2013-2014, Ali mendapat kesempatan menjadi dosen tamu dari Indonesia untuk Maroko. Dia bekerja selama setahun di Faculte des Letres et des Science Humaines, Universite Mohammed V, Agdal-Rabat, Maroko. “Disana, saya juga meriset manuskrip terkait perjumpaan Islam dan Yahudi. Seru lah, satu tahun di sana,” tuturnya.

Di Maroko, lelaki kelahiran Surabaya pada 1972 itu meraih prestasi. Dia diganjar sebagai doctor ahli bahasa oleh Kerajaan Maroko. Penghargaan itu setara bagi ahli bahasa yang sudah berpendidikan S-3. Saat itu, suami Dewi Utami tersebut adalah satu-satunya orang dari Indonesia yang mendapat penghargaan itu. Awalnya tidak menyangka mendapat penghargaan sebagai ahli bahasa atau doctor bahasa. “Mungkin supaya saya didorong untuk lanjut S-3,” terang pria yang gemar berolahraga lari tersebut.

Dosen lulusan S-2 The Baptist Theological Seminary Semarang tersebut mengatakan, tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui betapa besar manfaat ketika mempelajari naskah –naskah lama. Menurut dia, Indonesia adalah gudang naskah –naskah lama. Menurut dia, Indonesia adalah gudang naskah-naskah lama. Dari naskah lama tersebut, dapat dipelajari banyak hal. Salah satunya sejarah Indonesia.

Ali menyatakan, Jawa Timur adalah satu-satunya provinsi yang memiliki banyak naskah tua peninggalan Majapahit. “Tahun lalu saya melihat naskah itu dibeli oleh pihak asing, yakni pemerintah Brunai Darussalam,” jelasnya.

Ayah Da Vinci Cheidar P. Mizrachi dan Riukah Calista Mizrachi itu bermimpi kelak Indonesia akan menjadi pusat studi literasi naskah lama. Dia menyadari jalan tersebut tak mudah. Bagi Ali, naskah lama bukan sekedar tulisan usang yang tidak punya manfaat. “Naskah akan berbicara banyak hal bila kita kaji,” kata Ali.

Ada satu pengalaman yang tertarik dan membuat Ali tidak dapat melupakannya. Saat berkunjung ke Maroko, di sana dia sempat menemukan satu bahasa yang pernah ada pada masa Nabi Adam. “Nama bahasanya itu bahasa Amazigh,” ujarnya.

Kemudian, di Jombang, Ali juga sempat mendapat pengalaman luar biasa. Dia menemukan satu naskah yang ditulis di sebuah daun lontar dan ada tulisan dengan huruf kakawi. Naskah itu dianggap aneh, unik. “Seharusnya, daun lontar itu pasangannya sama huruf pegon. Karena daun lontar itu munculnya pas zaman Islam. Huruf kakawi munculnya di zaman Hindu- Budha,” terangnya.

Tahun ini dia sedang mempersiapkan pendidikan untuk masuk ke jenjang S-3. “Saya memilih di University of Brunei Darussalam,” jelasnya. Di kampus itu ada jurusan filologi yang digandrunginya. Sambil menunggu kelengkapan berkas studi, Ali masih disibukkan dengan mengajar di Universitas Airlangga. Ketika tidak ada jam mengajar di kampus, Ali melancong ke beberapa tempat penjualan buku bekas. Baik di Surabaya maupun di luar kota. “saya paling sering ke Jogyakarta. Iseng-iseng cari buku-buku lama,” katanya.

Dia tidak ragu merogoh koceknya lebih dalam hanya untuk mendapatkan sebuah buku lama. “Paling jauh saya beli buku di Maroko pas 2014,” jelasnya. Berbeda dengan buku, manuskrip didapatkannya tidak dengan melancong ke pasar buku bekas. Naskah-naskah lama itu didapat dengan terjun langsung kerumah-rumah warga di pedesaan.

Memang, kecintaan terhadap tulisan tak boleh luntur. Terlebih, tulisan itulah satu-satunya hal yang membuat orang melompat dari Zaman prasejarah ke era sejarah. Nya

(Sumber dari Jawa Pos, 25/2/2016, Hal 29)

 

Link Terkait:

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2016/08/11/asal-peradaban-india-dari-indonesia-sundaland-kuno-bukan-dari-bangsa-arya-di-utara/

 

 

Kesinambungan Agama Rumpun Brahmanic dan Rumpun Abrahamic

$
0
0

שלום עליכם
السلام عليكم

Kesinambungan Agama
Rumpun Brahmanic dan Rumpun Abrahamic

By: Menachem Ali

Ada relasi antara teks suci rumpun agama2 Brahmanic dan teks suci rumpun agama2 Abrahamic. Kesinambungan itu dibuktikan dengan adanya elemen linguistik rumpun kebahasaan Aryan yang termaktub dalam teks-teks Abrahamic (Semit), yang ternyata banyak mengadopsi kosakata asing (loanwords) dari bahasa Persian dan Sanskrit. Itu berarti eksistensi teks Avestic dan Vedic tidak bisa diabaikan posisinya dalam relasi antarteks dari tradisi Arya dan Semit. Tentu saja, kajian ini tidak mencakup studi teologis yang meniscayakan justifikasi mengenai mana agama yang benar dan mana agama yang salah. Justru karya ini hanya fokus pada kajian linguistiknya semata. Kalau kajian ini terfokus pada ranah teologis dikhawatirkan pasti akan memicu konflik. Oleh karena itu, saya menghindari hal tersebut, dan hanya mengedepankan “meeting point” dalam konteks menggali adanya “common narative-nya” saja.

Dalam agama Hindu, terutama kitab Agni Purana menyatakan bahwa bahasa Sanskrit merupakan bahasa para dewa yang disebut sebagai sadhu-bhasa (bahasa suci orang suci). Bahasa Sanskrit ini dianggap bahasa suci yang dituturkan oleh Krishna, yang posisinya dijustifikasi sebagai “high level” dibanding bhs Prakrit, sedangkan bahasa Prakrit hanya disebut sebagai manusi-bhasa (bahasa manusia), bahasa yang posisinya rendah. Secara de facto, bahasa Sanskrit memang hanya dipahami oleh para sadhu, rakyat kebanyakan hanya bisa memahami bahasa Prakrit, bukan bahasa Sanskrit. Itulah sebabnya, para sadhu bertutur dalam bahasa Sanskrit, dan Sri Krishna sendiri yang akan melindungi para sadhu.

Kitab suci Bhagavad-gita, Sloka 4.7-8.
Sri Krishna bersabda:

yada yada hi dharmasya
glanir bhavati bharata
abhyuttanam adharmasya
tadatmanam srjamy aham

paritranaya sadhunam
vinasaya ca duskrtam
dharma-samstapanarthaya
sambhavami yuge yuge.

“Kapan pun dan dimana pun pelaksanaan dharma merosot, dan hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela – pada waktu itulah Aku sendiri menjelma, wahai putera keluarga Bharata. Untuk menyelamatkan para sadhu (orang saleh), membinasakan orang jahat dan utk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma, Aku sendiri muncul pada setiap zaman.”

Sri Krishna bersabda tentang “dharma” dalam bahasa Sanskrit. Namun, tatkala Sang Budha datang sebagai avatar ke-9 sebagaimana yang juga dibenarkan dalam kitab agama Hindu, yakni kitab Srimad Bhagavatam Purana, Sang Budha justru tidak mengucapkan “dharma” dalam bahasa Sanskrit, tetapi beliau bersabda tentang “dhamma” dalam bahasa Prakrit. Inilah fakta bahwa Sang Budha ternyata memang menuturkan sabda-sabdanya dalam bahasa Prakrit, bukan dalam bahasa Sanskrit.

Kitab suci Dammapada, Pandita Vagga 4.79
Sang Budha bersabda:

dhammapita sukham seti
vippasannena cetasa
Ariyappavedite dhamme
sada ramati pandito.

“Ia yang mengerti dhamma hidup berbahagia dengan pikiran yang jernih dan tenang. Orang bijaksana selalu berbahagia dalam dhamma yang telah dibabarkan oleh para Ariya.”

Berdasarkan teks kitab suci Bhagavad-gita dan Dhammapada tersebut membuktikan adanya perbedaan bahasa yang dituturkan oleh Sri krishna dan Sang Budha. Namun, perbedaan penggunaan bahasa tersebut bukan sekedar perbedaan pelafalan “dharma” dalam bahasa Sanskrit menjadi “dhamma” dalam bahasa Prakrit, justru berbedaan penggunaan bahasa itu mengekspresikan penanda identitas yang meniscayakan perebutan wacana ttng superioritas bahasa Prakrit dibanding bahasa Sanskrit. Itulah sebabnya, saat Sang Budha membabarkan sabda-sabdanya dalam bahasa Prakrit, maka posisi bahasa Sanskrit sebagai bahasa suci para sadhu dan sebagai bahasa suci dalam penulisan pewahyuan kitab suci Veda tersebut ternyata dijungkirbalikkan posisinya. Bahasa Prakrit akhirnya “naik kelas” menggantikan posisi bhs Sanskrit. Itulah sebabnya Sang Budha bertutur dalam bahasa Prakrit, bahasa yang dianggap “rendah” oleh para sadhu pada zamannya, dan Sang Budha sendiri dalam menyampaikan sabda-sabdanya – beliau tidak mau menuturkannya dalam bahasa suci Sanskrit. Dalam konteks ini, Sang Budha memelopori “gerakan perlawanan anti kemapanan” yang akhirnya para bhikkhu, yakni para murid Sang Budha menjadikan bahasa Prakrit sebagai bahasa suci dalam tuturan para bhikkhu dan sebagai bahasa suci dalam penulisan pewahyuan kitab suci Tripitaka. Narada Mahathera dalam karyanya yang berjudul “Buddhism in a Nutshell/ Intisari Agama Buddha” (Semarang: Yayasan Dhamma Phala, 2002), hlm. 10 menyebutkan bahwa kanonisasi dan kodifikasi kitab suci Tripitaka telah dirampungkan sejak era pra-Kristen, tepatnya tahun 83 SM. pada masa Raja Vattagamani Abhaya saat memerintah di Srilangka.

Dengan demikian, Sri Krishna dan para sadhu menjadikan bahasa Sanskrit sebagai bahasa suci dan sebagai bahasa “kelas tinggi”, sedangkan bahasa Prakrit dijustifikasi sebagai bahasa “kelas rendah.” Sebaliknya, Sang Budha dan para bhikkhu menjadikan bahasa Prakrit (Pali) sebagai bahasa suci dan sebagai bahasa “kelas tinggi”, sedangkan bahasa Sanskrit sebaliknya. Inilah fakta adanya “revolution in the name of revelation.”

Rashi dan Ramban dalam kitabnya juga menyebutkan bahwa bahasa Ibrani disebut sebagai לשון הקדש “leson haq-qodesh” (bahasa suci). Bahasa Ibrani (Hebrew) ini merupakan bahasa para nabi dan bahasa para rabbi, sekaligus sebagai bahasa pewahyuan kitab suci TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim) dalam agama Yahudi. Hal ini sebagaimana penjelasan Rashi dalam kitabnya פירושי רש”י על התורה (Pherushi Rashi ‘al ha-Torah) dan Ramban dalam kitabnya פרוש הרמב”ן על התורה (Pherush ha-Ramban ‘al ha-Torah). Nabi Musa juga menyampaikan firman-Nya dan menuturkan doa berkat dalam bahasa Ibrani (Hebrew), dan bukan dalam bahasa Aramaic. Dalam Sefer Devarim/Deuteronomy 33:29 Musa menuturkan doa berkat sbb.

אשריך ישראל מי כמוך
עם נושע ביהוה מגן עזרך
ואשר-חרב גאותך ויכחשו
איביך לך
ואתה על במותימו תדרך

Ashreikha Yisrael mi kemokha?
‘Am nosha’ ba DONAI magen ‘ezrekha.
Ve asher cherev ga’avatekha ve yikkachashu
oiveikha lakha
Ve atta ‘al bemoteimo tidrokh.

“Berbahagialah engkau hai Israel. Siapakah yang seperti engkau? Suatu umat yang diselamatkan oleh TUHAN, perisai penolongmu; dan Dialah pedang kejayaannmu. Dan yang memusuhimu akan ngeri terhadapmu, dan engkau akan berjejak di tempat-tempat tinggi mereka.”

Dalam kitab Ratapan 3:9 Nabi Jeremiah juga menyatakan dalam bhs Ibrani:

“Rabba emunateka.”
(Great is Thy faithfulness)

Dalam kitab Mazmur 27:4 Nabi Daud juga menyatakan dalam bhs Ibrani:

“le-bakker be-hekalo.”
(and to inquire in His temple).

Nabi-nabi dalam kitab TaNaKH bertutur dalam bahasa Ibrani sebagai bahasa suci לשון הקדש (leson haq-qodesh). Bahasa Ibrani juga menjadi bahasa suci dan bahasa utama tulisan para rabbi. Itulah sebabnya teks-teks penjelasan para rabbi atas kitab TaNaKH disebut kitab מקראות גדולות (Mikraot Gedolot), yang juga disebut sebagai Rabbinic Bible (Alkitab Rabbinik). Namun, pada saat yang sama, ternyata bahasa Galilaean Aramaic atau Syriac dianggap bukan sebagai bahasa suci, dan dianggap sebagai bhs “kelas rendah”, yakni bahasa rakyat kebanyakan. Tatkala Kristus datang dan menyatakan dirinya sebagai nabi yang dijanjikan menurut kitab TaNaKH (Torah Neviem ve Khetuvim), maka dia menuturkan sabda-sabdanya dalam bahasa Suryani (Syriac), bukan dalam bhs Ibrani (Hebrew). Dalam the Gospel of Matthew 6:9-13 Sang Kristus bersabda dan mengajarkan doa dalam bahasa Syriac yang disebut Galilaean Aramaic sbb:

“Abunan de-bismayya
yitkaddas semak
tete malkutak
tehe sibyonak
hekma de-bismayya hekden be-ar’a

lahman de-yoma
hab lan yoma den
usebok lan hoben
hek disbaknan le-hayyaben
wela ta’linan le nisyona
‘ella passinan min bisa.”

(Our Father in heaven
hallowed be Thy name.
Thy kingdom come
Thy will be done
As in the heaven so on earth.

Our daily bread
give us today
And forgive us our debts as we forgive our debtors.
And lead us not into temptation but deliver us from evil).

Rev. C.F. Burney, MA., D.Litt. dalam karyanya “The Poetry of our Lord: An Examination of the Formal Elements of Hebrew Poetry in the Discourses of Jesus Christ” (Oxford: The Clarendon Press, 1925), hlm. 113 menyebutkan doa “Bapa Kami” dalam bahasa Galilaean Aramaic. Begitu juga Matthew Black dalam karyanya “An Aramaic Approach to the Gospel and Acts” (Oxford: The Clarendon Press, 1957) dan F.F. Bruce, MA. dalam karyanya “The Books and the Parchments: Some Chapters on the Transmission of the Bible (London: Pickering & Inglis Ltd., 1953), hlm. 55 juga menyebutkan bahwa Kristus menyampaikan sabda-sabdanya dalam bahasa Aramaic, bukan dalam bahasa Hebrew, misalnya: talitha qumi, efata, Elahi Elahi lema shebaqtani.

F.F. Bruce menyatakan:
“We have one or two short sentences preserved in Aramaic from the lips of Christ himself such as “talitha qumi” in Mark 5:41 (little girl get up), “ephphatha” representing a dialect form of “ithpattach” in Mark 7:34 (be opened), and the cry of dereliction on the Cross, “Eloi Eloi lama sabachthani” (Elahi Elahi lema shebaqtani) in Mark 15:34. These last words are not the Hebrew original of Psalms 22:1 which runs “Eli Eli lama azabtani, but an Aramaic version.”

Bible NIV juga menyebutkan 3 bahasa yang tertulis di kayu salib saat Kristus disalibkan, yakni bahasa Aramaic, Latin dan Yunani. John 19:19-20.

“Pilate had a notice prepared and fastened to the cross. It read: Jesus of Nazareth the King of the Jews. Many of the Jews read this sign, for the place where Jesus was crucified was near the city and the sign was written in Aramaic, Latin and Greek.”

Dalam Perjanjian Baru berbahasa Ibrani (Hebrew New Testament), the Gospel of Mark 5:41 tertulis demikian.

הוא אחז את ידה הילדה
ואמר אליה טליתא קומי שתרגומו
נערה קומי – אני אומר לך

Hu achaz et yadah shel hay-yaleddah
ve amar aleyha: thaleta qumi shetargumo na’arah qumi -ani omer lakh

Pada Mark 5:41 membuktikan bahwa frase טליתא קומי (thalita qumi) adalah frase non-Hebrew. Itulah sebabnya diikuti dengan kata תרגומו (targumo) yang bermakna “artinya”, dan kemudian diikuti dengan frase Hebrew (Ibrani), yakni נערה קומי (na’arah qumi). Ini membuktikan bahwa frase טליתא קומי (thalita qumi) adalah frase Aramaic, yang sekaligus menegaskan bahwa Kristus memang berbicara dalam bhs Aramaic.

David H. Stern dalam karyanya “Jewish New Testament Commentary: A Companion Volume to the Jewish New Testament (Clarksville, USA: Jewish New Testament Publications, 1992), hlm. 90 juga menyebutkan bahwa tatkala membahas Mark 5:41 beliau berkata: “talita kumi. Little girl, get up! in Aramaic.”

Biible NIV juga menyebutkan bahwa Sang Kristus berbicara kepada Saul juga dalam bahasa Aramaic.

Acts 26:14-15
“We all fell to the ground and I heard a voice saying to me in Aramaic, ‘Saul Saul why do you persecute me? It is hard for you to kick against the goads. Then I asked: ‘Who are you Lord?’ I am Jesus whom you are persecuting, the Lord replied.”

Kisah Para Rasul 26:14-15
“Dan ketika kami semuanya rebah ke tanah, aku mendengar suatu suara yang berbicara kepadaku dan yang berkata dalam bahasa Aramaic: ‘Saul Saul mengapa engkau menganiaya aku? … Maka aku berkata: ‘Siapakah engkau Tuan? Dan dia berkata: ‘Akulah Yesus yang sedang engkau aniaya.”

Sejarah membuktikan bahwa bahasa Ibrani (Hebrew) hanya dipahami oleh para rabbi, sedangkan rakyat kebanyakan hanya memahami bahasa Aramaic. Tatkala Sang Kristus datang, maka bahasa Ibrani ternyata posisinya dijungkirbalikkan, dan bahasa Aramaic atau Syriac ‘naik kelas’ menggantikan posisi bahasa Ibrani. Bahkan, tatkala agama Kristen telah mapan dan bahasa Syriac telah menjadi bahasa suci para rahib serta sebagai bahasa suci dalam penulisan pewahyuan teks Peshitta, ironisnya saat itu, bahasa Arab posisinya juga “amat rendah.” Pada era pra-Islam, orang-orang Arab yang menjadi Kristen juga tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa liturgi ataupun sebagai ekspresi bahasa keagamaan. Itulah sebabnya tidak ada satu pun bukti Alkitab berbahasa Arab era pra-Islam. Bahkan, semua versi terjemahan Alkitab bhs Arab terpengaruh gramatika bhs Arab khas Islam. Fakta sejarah membuktikan bahwa orang-orang Arab Kristen era pra-Islam hanya menggunakan bahasa Arab dalam tuturan lokal terbatas yang bersifat non-keagamaan.

Namun tatkala Islam datang, bahasa Arab “naik kelas” dan menjadi bahasa suci dalam penulisan pewahyuan teks Quran, dan bahasa Syriac akhirnya dijungkirbalikkan posisinya; dan bhs Arab kemudian menjadi bahasa wahyu menggantikan posisi bahasa Syriac itu sendiri.

Dalam studi linguistik, bahasa dan kesucian sebenarnya merupakan 2 hal yang berbeda. Bahasa itu bersifat netral. Namun dalam konteks keagamaan, keduanya secara teologis akhirnya dipahami oleh komunitas keagamaan bersifat recto and verso. Jadi entitas bahasa itu sebenarnya tidak an sich bersifat suci, dan kini telah kehilangan akarnya. Padahal bahasa menjadi suci justru akibat “pengaruh” dari pewahyuan yang dituturkan oleh sang tokoh suci atau teks suci itu sendiri. Sekali lagi, ini aspek kajian non-teologis, yang tentu saja berbeda dengan pandangan para teolog.

Karya saya berjudul “Aryo-Semitic Philology: Semitization of Vedas dan Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts” (Surabaya: Airlangga University Press, 2018) membahas tuntas kitab2 suci agama rumpun Abrahamic berdasarkan kajian linguistik historis (filologis), dan khususnya Quran yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa suci – menurut Muslim (bukan menurut saya sebagai peneliti), memang sebagai teks yang final, corpus tertutup, tidak ada lagi kitab suci pasca-Quran. Ini tentu sekali lagi menurut perspektif masing2 agama bisa beda. Poin saya “One Word Manys Versions.”

cc:
Agastya Muni Dasa, Jimmy Jeffry, Kristian Handoyo Sugiyarto, I Putu Maha Wisnu, Guntur, Sandi Yoedha Mahandana, Hasbi Rambe, Zuchra Zakaria, Rudolf Luhukay, Shyama Gopala Dasa Jdv, Romi Zarman, Aldo Tulung Allo, Zen Aljufri, Andi Sukmana, Sukmahadi Adi, Joehanes Budiman, Jazmi Rafsanjani, Abdullah

Laporan dari The 24th World Congress of Philosophy, Beijing, China

$
0
0

I S I P

Laporan dari The 24th World Congress of Philosophy, Beijing, China

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi,

Yth. Bapak/Ibu profesor, sarjana, presenter, pegiat, partisipan IC-THuSI , dan para peminat filsafat yang meminta laporan kongres filsafat 2018 !

Tema yang diangkat dalam Kongres Filsafat Dunia ke-24 di Beijing, China cukup menarik, yaitu “Learning To Be Human” (Belajar Menjadi Manusia), sebuah topik yang sangat relevan dan berkesesuaian dengan tema yang diusung oleh IC-THuSI, yaitu menyangkut isu humaniora (human sciences). Kongres yang diselenggarakan oleh FISP – federasi internasional masyarakat filsafat (philosophical societies)- setiap lima tahun sekali ini berlangsung pada 13 – 20 Agustus 2018 yang diikuti oleh sekitar 1200 peserta dari seluruh negara di dunia. Umumnya mereka mewakili anggota FISP yang terdiri dari 105 national societies, 37 international societies, dan 3 affiliated organizations. Bisa lihat dihttps://www.fisp.org/international-members

Ada lima sub-tema pokok yang didiskusikan dalam plenary sessions, yaitu 

Lihat pos aslinya 1.322 kata lagi

Demokrasi Kita Seperti Pasar Bebas, Banyak Artis dan Pengusaha Jadi Caleg

$
0
0

Demokrasi Kita Seperti Pasar Bebas, Banyak Artis dan Pengusaha Jadi Caleg

Demokrasi Kita Seperti Pasar Bebas, Banyak Artis dan Pengusaha Jadi Caleg

Kiri ke kanan, Benny Susatyo, Rizal Damanik, Ray Rangkuti, dan Arif Susanto dalam diskusi terkait pasal penghinaan presiden di Jakarta, Senin (10/8/2015). Mereka berharap, Presiden tidak lagi menghidupkan pasal tentang penghinaan dihapuskan dari RUU KUHP karena mengekang kebebasan warga negara.(KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)Fabian Januarius Kuwado

JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Satuan Tugas Khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo menyoroti kualitas peraturan perundangan yang dinilai belum benar-benar harmonis dan sinergis dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Benny, demikian ia disapa, salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya kualitas wakil rakyat di parlemen yang memproduksi peraturan perundangan tersebut. Minimnya kualitas para wakil rakyat

JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Satuan Tugas Khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo menyoroti kualitas peraturan perundangan yang dinilai belum benar-benar harmonis dan sinergis dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Benny, demikian ia disapa, salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya kualitas wakil rakyat di parlemen yang memproduksi peraturan perundangan tersebut. Minimnya kualitas para wakil rakyat itu pun disebabkan kepada sistem demokrasi berbiaya tinggi. “Kalau kita lihat, demokrasi kita ini seperti pasar bebas. Jadi tidak ideologis. Maka, partai-partai itu enggak ada yang ideologis sebenarnya. Tapi lebih kepada kepentingan market. Makanya banyak itu masuk orang-orang (calon legislatif) artis, pesohor, pengusaha, yang punya jaringan masuk. Maka Muncul calon-calon yang tidak punya kualitas,” ujar Benny saat dijumpai usai acara simposium nasional institusionalisasi Pancasila di Crowne Hotel, Jakarta, Senin (30/7/2018).

Baca juga: DPR Berencana Libatkan BPIP dalam Perumusan Undang-Undang “Sedangkan, orang-orang cerdik, pandai dan tidak punya kapital sulit masuk (rekrutmen parpol). Ya inilah demokrasi kita yang berorientasi pada pasar. Ya pasar yang menentukan, seperti menjual barang,” lanjut dia.

Benny pun berharap DPR RI dengan apapun kondisi saat ini berbenah diri dalam hal memproduksi peraturan perundangan. Parlemen diharapkan betul-betul memproduksi undang-undang yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok politik tertentu.

“Sekarang, DPR harus benar-benar selektif saat pembuatan undang-undang, tidak mengejar setoran. Undang-undang harus dibuat melihat urgensinya, penting atau tidak? Manfaatnya untuk rakyat apa? Undang-undang juga harus menjaga kesatuan persatuan dan terakhir, harus melalui uji publik. Maka, akan lahir undang-undang yang memberikan ruh Pancasila dalam kehidupan publik ini,” lanjut dia.

Baca juga: Yudi Latif Mundur, Said Aqil Sebut BPIP Rugi

Benny sekaligus mengapresiasi DPR RI yang sudah berkomitmen bekerjasama dengan BPIP terkait perumusan undang-undang. Saat ini, BPIP dan DPR RI sedang mencari mekanisme bagaimana pelibatan BPIP dalam setiap perumusan peraturan perundangan.

“Kami bersyukur karena DPR ternyata mau diajak bekerjasama. Sehingga nanti ada suatu kerjasama sebelum pembuatan undang-undang, kita ingin bagaimana Pancasila menjadi arus utamanya. Jadi sebelum perumusan, (BPIP) akan dilibatkan,” ujar Benny.

Diberitakan, Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto mengungkapkan bahwa BPIP akan dimintai masukan apabila DPR RI dan pemerintah hendak merancang peraturan perundangan.

Rencana itu bertujuan agar peraturan dan perundangan yang diproduksi tiak melenceng dari nilai- nilai Pancasila. “Kalau bikin undang-undang, pertama kan ketentuan umum, kedua azas dan tujuan. Itu semua tertulis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Nah yang sekarang kita inginkan tata nilainya juga masuk,” ujar Utut dalam acara simposium nasional institusionalisasi Pancasila di Hotel Crowne Plaza, Jakarta Pusat, Senin (30/7/2018).

“Jadi nanti BPIP akan memberi masukan. BPIP kasih masukan kan boleh. Lebih untuk memberi warna agar nilai-nilai Pancasila-nya lebih kental. Karena kalau tidak nanti kita makin jauh,” lanjut dia. Utut mengaku, pimpinan DPR RI sudah memerintah Badan Keahlian tentang rencana pelibatan BPIP tersebut.

Sumber:

http://www.bpip.go.id/informasi/benny-susetyo-demokrasi-kita-seperti-pasar-bebas-banyak-artis-dan-pengusaha-jadi-caleg/

 

Menghina Akal Sehat

ABRAHAM THE GREAT BRAHMIN

$
0
0

לילה טובה

ABRAHAM THE GREAT BRAHMIN

By Menachem Ali

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih

I am on the trip from Yogyakarta to Surabaya reading the book “Hinduism: Discovering the Mystical” (Mumbai: Jaico Publishing House, 2004) tonight. One of my references to make a new work of my research “Abraham the Great Brahmin.”

There are two kinds of heavenly knowledge: one is the result of the study of the Scriptures to know the Supreme GOD (jnana-yoga), but the other is realization or experience of union with the Divine (bhakti-yoga), and the Qurban is the great experience of the self to love God as the highest level of bhakti-yoga. However, both are the main pilars in Brahmanic faiths (Hinduism, Zoroastrianism, Buddhism), and Abrahamic faiths (Judaism, Christianity, Islam), and Abraham himself was a patriarch as the Great Brahmin in Sanskrit.

The Sanskrit term jnana-yoga and Arabic word المعرفة (al-ma’rifah) lit. “knowledge of Absolute” are similar; and المحبة (al-mahabbah) lit. “the heavenly love” is a Semitization of Vedic Sanskrit term, bhakti-yoga.

Jnana-yoga for Abraham

Abraham was a man of great intelligence, never worshipping the demigods. The Quran exactly narrates the life of Abraham as the one who want to know the GOD, see the Quran, al-An’am 6:76-78

“Then, when the night overshadowed him with its darkness, he beheld a star; and he exclaimed, “This is my demigod – but when it went down, he said: “I love not the things that go down.” Then, when he beheld the moon rising, he said: “This is my demigod – but when it went down, he said: Indeed if my demigod guide me not, I will most certainly become one of the people who go astray. Then, when he beheld the sun rising, he said: “This is my demigod. This one is the greatest of all – but when it too went down, he exclaimed. “O my people behold! far be it from me to ascribe divinity as you do, to aught beside GOD.”

The description of Abraham’s reasoning implies in the Quran that it was the “knowledge of Absolute” or jnana-yoga in the Vedic Sanskrit. Abraham, however, clearly rejected to worship the demigods, the god of sun, the god of moon, the god of star etc. He denied them, and he worshiped the only one as the Supreme GOD.

Similarly, in the Bhagavad-gita, VII.23, Sri Krishna also said this knowledge of Absolute – the jnana-yoga to Arjuna as the great pilar of knowledge.

antavat tu phalam tesam
tad bhavaty alpa-medhasam.
devan deva-yajo yanti
mad-bhakta yanti mam api.

(“Men of small intelligence worship the demigods, and their fruits are limited and temporary. Those who worship the demigods go to the planets of the demigods, but My devotees ultimately reach My supreme planet”).

Swami Prabhupada says: “Some commentators on the Bhagavad-gita say that one who worship a demigod can reach the Supreme LORD, but here it is clearly stated that the worshippers of demigods go to the different planetary systems where various demigods are situated, just as a worshiper of the sun achieves the sun or a worshiper of the demigod of the moon achieves the moon… It is not that everyone regardless of whatever demigod is worshiped will reach the Supreme Personality of Godhead. That is denied here, for it is clearly stated that worshipers of demigods go to different planets in the material world but the devotee of the Supreme Lord goes directly to the supreme planet of the Personality of Godhead.” (Los Angeles: the Bhaktivedanta Book Trust, 1986), p.348.

Bhakti-yoga for Abraham

The Quran, as-Shaffat 37:100-102 describes how Abraham did the highest perfectional of consciousness via the Qurban. For the intelligent person, it is essential to be in GOD consciousness, enganged in the trancendental loving service of the LORD. Abraham did the best, his loving service only to the LORD. He destroyed all ties, for him the fever of passion exist not. He really killed his ownership to others, even, his love to the only begotten son, Ishmael. Here, Abraham did the bhakti-yoga through the transcendental loving service of the LORD.

Sri krishna also says the bhakti-yoga in the Bhagavad-gita 9:26

patram puspam phalam yotam
yo me bhaktya prayacchati.
tad aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah.

(“If one offers Me with love and devotion a leaf,a flower, a fruit, or water I will accept it.”)

Srila Prabhupada says:
“For the intelligent person, it is essential to be in Krishna consciousness, enganged in the transcendental loving service of the LORD, in order to archieve a permanent, blissful abode for eternal happiness.”

Notes

Brahmanic faiths represent 3 Aryan languages: Vedic Sanskrit, Avestic Persian and Buddhist Prakrit (Pali). Meanwhile, the Abrahamic faiths also represent 3 Semitic languages: Masoretic Hebrew, Syro-Aramaic and the Quranic Arabic.

I already wrote “Aryo-Semitic Philology: the Semitization of Vedas and Sanskrit Elements in Hebrew and Abrahamic Texts” (Airlangga University Press, 2018). Next, I will publish my reseach on “Abraham the Great Brahmin: from Aryan to the Semitic Heritage.” How to prove this? The Qurban is one of Aryan traditions.

cc: Agastya Muni DasaBhaktilata BijaAvi Ibrahim BalserI Putu Maha WisnuSyamsul Idul AdhaBagus Hariyono Ben Qohar

 

Selamat malam

Ibrahim: brahmana yang agung

Oleh Menachem Ali

Saya sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta ke surabaya ketika membaca buku “Hindu : menemukan mistisisme” (Mumbai: penerbitan rumah Jaico , 2004) malam ini. Ini salah satu referensi saya untuk membuat pekerjaan terbaru dari penelitian saya: ” Abraham The Great Brahmana.”

Ada dua jenis pengetahuan surgawi: salah satunya adalah hasil dari studi kitab suci untuk mengetahui Tuhan yang Maha Agung (jnana-Yoga), tetapi yang lain adalah realisasi atau pengalaman uni (penyatuan) dengan ilahi (Bhakti-Yoga), dan qurban adalah pengalaman besar dari diri untuk mencintai Tuhan sebagai tingkat tertinggi bhakti-Yoga. Namun, keduanya adalah pilars utama dalam iman Agama brahmanic ( Agama Hindu, zoroastrianisme,  Buddha), dan agama-agama Ibrahimik (Yahudi, Kristen, Islam), dan Abraham sendiri adalah dasar sebagai brahmana besar dalam bahasa Sansekerta.

Istilah Sansekerta jnana-Yoga dan bahasa arab kata ạlmʿrfẗ (Al-ma ‘ rifah) menyala. “pengetahuan tentang Yang Maha Mutlak” adalah serupa; dan ạlmḥbẗ (Al-Mahabbah) menyala. “cinta surgawi” adalah semitization dari  Istilah Sansekerta Veda, bhakti-Yoga.

Jnana-Yoga Untuk Abraham

Abraham adalah seorang pria intelijen (cerdas) yang agung, tidak pernah menyembah dewa. Al-Qur ‘ an benar-benar menceritakan kehidupan Abraham sebagai orang yang ingin mengenal Tuhan, lihat al-Qur ‘ an, Al-an ‘ am, 6:76-78

(maka tatkala telah tiba waktu yang gelap itu) yaitu malam yang gelap gulita (dia melihat bintang) yang dimaksud adalah bintang-Bintang (dan dia berkata, ” ini) yakni Alquran ini (adalah orang-orang yang mati.”) yakni orang-orang yang beriman. Dan tatkala ia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, jika aku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang sesat maka tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata :” sesungguhnya aku benar-benar akan termasuk orang-orang yang sesat Ini adalah setengah dewa saya. Yang satu ini adalah yang terbesar dari semua, tetapi ketika itu juga turun, ia berseru. (” Hai kaumku! Aku akan menyembah Tuhan-Tuhan yang kalian sembah selain allah, saat bukti-Bukti Dari Allah telah datang.

Keterangan Tentang Penalaran Abraham tersirat dalam al-Quran bahwa itu adalah “pengetahuan mutlak” atau yoga-Yoga Dalam Bahasa Sanskerta Veda. Abraham, namun, jelas telah menolak untuk menyembah Dewa-Dewa, dewa matahari, dewa bulan, dewa bintang dll. Maka Allah mendustakan mereka. dan dia menyembah TUHAN YANG MAHA ESA LAGI MAHA PERKASA.

Demikian pula, di bhagavad-Gita, VII. 23, Sri Krishna juga mengatakan pengetahuan mutlak ini – yaitu -Yoga kepada arjuna sebagai pilar pengetahuan yang besar.

antavat tu phalam tesam
tad bhavaty alpa-medhasam.
devan deva-yajo yanti
mad-bhakta yanti mam api.

(” manusia yang kurang cerdas, menyembah Dewa-Dewa, dan buah-buahan mereka yang terbatas dan sementara. Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa itu pergi ke planet-Planet Dewa-Dewa, tetapi hamba-hamba-ku akhirnya mencapai planet tertinggi

Swami Prabhupada mengatakan: ” beberapa komentator pada bhagavad-Gita mengatakan bahwa orang yang menyembah manusia setengah dewa dapat mencapai Tuhan yang agung, tetapi di sini jelas menyatakan bahwa jamaah dari dewa pergi ke sistem planet yang berbeda di mana berbagai dewa yang terletak, sama seperti Seorang hamba dari matahari mencapai matahari atau hamba dari setengah bulan bulan mencapai bulan… tidak semua orang terlepas dari apa pun yang dipuja dewa, akan mencapai kepribadian yang tertinggi dari ketuhanan. Yang ditolak di sini, karena jelas menyatakan bahwa hamba-hamba dari dewa pergi ke planet-planet yang berbeda di dunia materi tetapi pemuja Tuhan tertinggi pergi langsung ke planet tertinggi kepribadian ketuhanan.” (Los Angeles: buku bhaktivedanta Kepercayaan, 1986), p. 348.

Bhakti-Yoga Untuk Abraham

Al-Qur ‘ an, sebagaimana dalam -Shafat 37:100-102 menggambarkan bagaimana Abraham melakukan  kesadaran perfectional tertinggi melalui qurban. Bagi orang yang cerdas, sangat penting untuk berada dalam kesadaran Tuhan, enganged dalam pelayanan kasih sayang Tuhan. Abraham melakukan yang terbaik, layanan kasih-nya hanya kepada Tuhan. Dia menghancurkan semua ikatan, baginya hawa nafsu tidak ada. Dia benar-benar membunuh kepemilikannya kepada orang lain, bahkan, cintanya kepada anak tunggal, Ismail. Di sini, Abraham melakukan bhakti-Yoga melalui kasih transendental pelayanan Tuhan.

Sri Krishna juga mengatakan bhakti-Yoga Di Bhagavad-Gita 9:26

patram puspam phalam yotam
yo me bhaktya prayacchati.
tad aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah.

(” jika seseorang menawarkan saya dengan cinta dan pengabdian daun, bunga, buah, atau air saya akan menerimanya.”)

Srila Prabhupada mengatakan:
” untuk orang yang cerdas, sangat penting untuk berada dalam kesadaran krishna, enganged dalam  kasih transendental pelayanan Tuhan, untuk archieve tempat yang permanen, kebahagiaan untuk kebahagiaan abadi.”

Catatan

Iman Brahmanic mewakili 3 Bahasa Arya: Weda Sanskerta, avestic persia dan Budha Budha (PALI). Sementara itu, agama Abrahamik juga mewakili 3 BAHASA SEMIT: Masoretic Ibrani, siro-Aram dan arab taklim.

Saya sudah menulis ” Aryo-SEMIT FILOLOGI: yang dari unsur weda dan sanskerta dalam teks Ibrani dan Abrahamik ” (Universitas Airlangga Press, 2018). Selanjutnya, saya akan menerbitkan reseach saya tentang ” Abraham The Great Brahmana: DARI WarisanARYAN KE SEMIT .” bagaimana cara membuktikan ini? Qurban adalah salah satu tradisi arya.

cc: Agastya Muni DasaBhaktilata BijaAvi Ibrahim BalserI Putu Maha WisnuSyamsul Idul AdhaBagus Hariyono Ben Qohar

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih
Komentar
Deddy Prihambudi
Deddy Prihambudi Ketika Pak Menachem Ali menyentuh tema HInduisme, mungkin yang pertama gembira adalah saya.
3

Kelola

 · Balas · 21 jam · Telah disunting

Awan Setiawan
1

Kelola

 · Balas · 20 jam

Bagus Hariyono Ben Qohar

Bagus Hariyono Ben Qohar However, if he writes everything about Abraham, nobody reacts…just let him write about Mohammed

1

Kelola

 · Balas · Lihat Terjemahan · 20 jam

Bagus Hariyono Ben Qohar

Bagus Hariyono Ben Qohar or you will be the first to try

1

Kelola

 · Balas · Lihat Terjemahan · 20 jam

Menachem Ali

Menachem Ali exactly right brother Bagus Hariyono Ben Qohar.

1

Kelola

 · Balas · Lihat Terjemahan · 18 jam

Shinta Rahayu
Shinta Rahayu Saya mau bukunya, jika sdh terbit 🙂

Kelola

 · Balas · 14 jam

Menachem Ali
Menachem Ali “Aryo-Semitic Philology” sudah terbit Mbak Shinta Rahayu
1

Kelola

 · Balas · 2 jam

Shinta Rahayu
Shinta Rahayu dalam bhs Indonesia ya pak Ali?

Kelola

 · Balas · 2 jam

Menachem Ali
Menachem Ali Bahasa English Mbak Shinta Rahayu. Buku ini sudah go international, dan sudah dipesan dan tersebar di luar negeri; ada di 4 benua, yakni benua Afrika (Marocco, Mesir, South Africa), benua Eropa (Jerman, Azerbaijan), benua Amerika (USA), dan benua Asia (India).

Kelola

 · Balas · 1 jam · Telah disunting

Menachem Ali
Menachem Ali Mbak Shinta Rahayu bisa pesan lewat saya. Jurusan mau ilmu Sejarah FIB apakah mau order?
1

Kelola

 · Balas · 1 jam

Shinta Rahayu
Shinta Rahayu Menachem Ali Saya mau pak beli 2, harganya berapa? 🙂

Kelola

 · Balas · 1 jam

Menachem Ali
Menachem Ali Entar ketemu saya aja Mbak. Harga khusus warga UNAIR (Univ. Airlangga). WA saya aja 081357823831

Kelola

 · Balas · 1 jam

Shinta Rahayu
Shinta Rahayu Menachem Ali baik pak Ali 🙂

Kelola

 · Balas · 1 jam

Aida Vyasa
Aida Vyasa Tak sabar menanti bukunya 😍.

Kelola

 · Balas · 12 jam · Telah disunting

Mariani Wiserman
Mariani Wiserman Selamat ustad seorang peneliti tidak ada waktu yang tidak dimanfaatkan dimana pun ditemani seorang yang setia sebuah buku semoga barokallah dalam menmanfaatkan kedua indera mata ciptaan Allah dengan sempurna

Kelola

 · Balas · 11 jam

Ari Huniarto
Ari Huniarto Waaah….Zoroastrian adalah bagian dari Brahmanic faith ?
Dilihat dari sudut pandang mana ya?

Kelola

 · Balas · 6 jam

M Bākhid Sañjaya

M Bākhid Sañjaya Yg jelas semua agama berakar dari Abraham sebagai bapak Tawhid (esoteris)… dan dari masa ke masa pemahaman tawhid tersebut melenceng…

Zoroastrianism memercayai adanya jembatan sirotulmustakim di padang Mahsyar.

Kelola

 · Balas · 1 jam · Telah disunting

Ari Huniarto
Ari Huniarto M Bākhid Sañjaya bukti validnya yg terpenting bukan hanya opini….Budhism jelas bukan dari Abrahamic

Kelola

 · Balas · 1 jam

OUt of The BOX: SEJARAH ISTILAH HINDU

$
0
0
SEJARAH ISTILAH HINDU
Oleh Agus Wirabudiman
Istilah Hindu, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics vol. 6 ref 699 : kata Hindu tidak ada disebutkan dalam setiap literatur India, bahkan dalam kitab sucinya sendiri sebelum orang Muslim datang ke India. Menurut Encyclopedia Britanica vol. 20 Ref. 581 : kata Hindu pertama kali digunakan oleh penulis Inggris pada tahun 1830 untuk menggambarkan keadaan dan kepercayaan orang India, seharusnya mengatakan Kepercayaan India tersebut adalah Sanata Dharma (Dharma yang abadi), Vedic Dharma (Dharma Weda), atau Vedantist (pengikut Weda).
Maka apabila mengatakan nama “Agama Hindu” untuk menilai kepercayaan Leluhur Sunda (/Nusantara) pra Islam (sebelum Islam), hal itu disebabkan terpengaruh oleh penulis Ingris (1830) tersebut, di mana Inggris sendiri pernah menjajah India dan Nusantara (Indonesia).
Pengaruh penjajahan terhadap “Sistem Kepercayaan”, dimana istilah “HINDU” menjadi sebuah salah satu kelompok nama Agama Kepercayaan di Indonesia, terlihat dalam :
(*//Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan /atau Penodaan Agama. II. PASAL DEMI PASAL, Pasal 1 : Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.//*).
Bandingkan dengan Fakta SEJARAH KATA AGAMA[3]
Nama “Hindu” sekarang resmi menjadi salah satu nama Agama yang di anut di Indonesia, sementara kata istilah Hindu tidaklah memiliki bukti sejarah yang kuat (FAKTA HISTORIS) sebagai sebuah Agama sebagaimana uraian istilah Hindu di atas, karena istilah nama Hindu menjadi sebuah aliran kepercayaan disebutkan oleh penulis Ingris “bukan orang India sendiri” tahun 1830 M untuk menggambarkan keadaan dan kepercayaan orang India.
Adapun sejarah singkat nama Hindu sampai menjadi salah satu Agama yang diakui Pemerintah RI pada waktu itu, diantaranya untuk mengakomodir Kepercayaan Masyarkat di pulau Bali (Hindu Bali), I Wayan Sukarma dalam blognya mejelaskan sebagai berikut, diantaranya :
1. Pada tanggal tanggal 26 Desember 1950, Menteri Agama (K.H. Masykur) bersama Sekjen mendatangi Kantor Daerah Bali yang diterima oleh I Gusti Bagus Sugriwa sebagai salah satu Anggota Dewan Pemerintahan Daerah Bali (D.P.D. Bali) bersoal jawab mengenai agama Hindu Bali. Setelah itu, Menteri Agama dapat menerima alasan mengapa Agama Hindu Bali harus diakui sebagai agama negara dan menjanjikan akan mengesahkannya setelah selesai keliling di Sunda Kecil.
2. Pada Tanggal 10 Oktober 1952, Menteri Agama, Sekjen Menteri Agama (R. Moh. Kafrawi) disertai Kepala Jawatan Pendidikan Agama Islam memberi ceramah di Balai Masyarakat Denpasar dan menyatakan bahwa “…. tidak dapat mengakui dengan resmi Agama Hindu Bali karena tidak ada peraturan untuk itu berbeda dengan Agama Islam dan Agama Kristen memang telah ada peraturannya ……”.
3. Pada Pertengahan Tahun 1953, Pemerintah Daerah Bali membentuk Jawatan Agama Otonoom Daerah Bali dengan tujuan untuk mengatur pelaksanaan agama umat Hindu Bali, karena belum diatur dari pusat. Pimpinan lembaga tersebut dipercayakan kepada Ida Padanda Oka Telaga dan I Putu Serangan. Di tiap-tiap Kapupaten dibentuk Kantor Agama Otonoom yang diketuai oleh seorang Padanda. Pada tahun ini pula D.P.D. Bali atas persetujuan D.P.R.D. Bali mencabut hukuman: Asu Pundung, Anglangkahi Karang Hulu, Manak Salah, Salah Pati Angulah Pati, karena tidak sesuai lagi dalam suasana demokrasi.
4. Pada tanggal 29 Juni 1958 lima orang utusan organisasi agama dan sosial di Bali menghadap Presiden Soekarno di Tampaksiring. Diantar oleh Ketua DPR Daerah Peralihan Daerah Bali I Gusti Putu Mertha. Rombongan utusan itu adalah Ida Pedanda Made Kumenuh, I Gusti Ananda Kusuma, Ida Bagus Wayan Gede, Ida Bagus Dosther dan I Ketut Kandia. Pokok masalah yang diajukan adalah supaya dalam kementrian Kementriann Agama Republik Indonesia ada Bahagian Hindu Bali, sebagaimana yang telah diperoleh oleh Islam, Katholik dan Kristen.
5. Permohonan tersebut memperoleh response yang positif dari Pemerintah karena pada tanggal 5 September 1958 terbitlah Surat Keputusan Menteri Agama RI yang mengakui keberadaan Agama Hindu Bali. Selanjutnya terhitung mulai tanggal 2 Januari 1959 pada Kementerian Agama Republik Indonesia dibentuk Biro Urusan Agama Hindu Bali pada Kementrian Agama Republik Indonesia. Biro tersebut pertama kali dipimpin oleh I Gusti Gede Raka dibantu oleh I Gusti Gede Raka dibantu oleh I Nyoman Kajeng. Setelah I Gusti Gede Raka meninggal dunia saat masih menjabat, lalu digantikan oleh I Nyoman Kajeng (Agastia, 2008: 9).[1]
Iman Brotoseno, mengatakan : Tahun 1953, terjadi peristiwa yang mengherankan. Fakih Usman, Menteri Agama dalam kabinet Wilopo, menyatakan bahwa syarat syarat yang harus dipenuhi sesuatu agama agar diakui Pemerintah, adalah harus memiliki kitab suci, mempunyai nabi, harus ada kesatuan ajaran serta pengakuan dari luar negeri (mungkin masih terpengaruh doktrin penjajahan Belanda dan Ingris pada waktu itu). Menteri Agama berargumantasi bahwa Sila Pertama Pancasila harus diartikan monoteisme, sehingga kepercayaan kepada Roh-roh, dewa dewa tidak diperkenankan. Tak lama kemudian serombongan pegawai Departemen Agama datang ke Bali dan memberitahu penduduk bahwa agama mereka tidak memenuhi syarat, maka penduduk Bali mesti mendaftarkan diri sebagai golongan Islam statistik. Mendadak sontak, Bali menjadi geger sampai ke pelosok, Penduduk Bali merasa terkejut. Roh, dewa, pura dan kebudayaan Bali akan dipisahkan dari penduduk. Protes keras dilancarkan seantero Bali. Anggota parlemen asal bali, Ida Bagus Mauaba di Jakarta mengatakan, Indonesia Timur akan memisahkan diri jika Bali akan di Islamkan. Kita akan meminta perlindungan kepada Australia, Pemerintah buru buru mengatakan itu pendapat pribadi Menteri Agama.
Presiden Soekarno sendiri merasa kecolongan, sehingga memutuskan memulai kampanye di seluruh negeri tentang negara Pancasila. Hasil gerakan tersebut akhirnya memaksa Jakarta memenuhi permintaan Bali bahwa Hindu Bali diakui sebagai agama resmi. [2]
Pada Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 di atas, sesungguhnya adalah peruntukan penetapan Kepercayaan bagi Masyarakat Bali (Hindu Bali) saja!.., bukan untuk Kepercayaan Masyarakat diluar kepulauan Bali yang masih menjalankan ajaran Leluhur Nusantara, seperti Sunda Wiwitan (Baduy, Banten), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Parmalim (Sumatera Utara) dan sebagainya. Pada dasarnya kepercayaan Hindu Bali pun mengacu pada Kepercayaan ajaran Leluhur Nusantara, sehingga dalam kepercayaan Bali mengenal yang namanya Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan), dimana istilah Hyang tidak ada dalam ajaran kepercayaan “hindu” India. Lalu bagaimana dengan status hukum Keagamaan bagi Masyarakat di luar pulau Bali (Hindu Bali)? yang masih mempertahankan Sistem Kepercayaan terhadap Hyang (ajaran Leluhur Nusantara), terutama di wilayah /tatar Pasundan (Sunda)?… Baca juga SEJARAH KATA AGAMA[3]
Ada hal yang mernarik dari tulisan tersebut di atas, bahwa “Menteri Agama (pada waktu itu) berargumantasi bahwa Sila Pertama Pancasila harus diartikan monoteisme, sehingga kepercayaan kepada Roh-roh, dewa dewa tidak diperkenankan.”, padahal didalam Islam maupun Kristen terdapat kepercayaan terhadap keberadaan Roh-roh tersebut. Seperti halnya dalam ajaran Islam, Roh atau disebut Ruh, kata jamanya untuk Ruh adalah Arwah (Roh-roh).
Larangan mengatakan “Mati” terhadap Orang-orang yang gugur dijalan Allah, keberadaan Roh/Ruh yang Syahid, menurut Al-Qur’an :
QS. Ali-Imran :169 : Artinya : Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
QS. Al-Baqarah :154 : Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Penjelasan terhadap kedua ayat tersebut di atas, menurut Imam Ja’far Ash-Shaddiq (Cicit Nabi Muhammad Rasulullah SAW), sekaligus guru dari Imam Madzhab Ahlus-sunnah Waljama’ah, menerangkan : Ali bin Ibrahim meriwayatkan dari ayahnya dari Ibn Abi ‘Umair dari Hafsh bin Al-Bukhturi dari Abu Abdillah Imam Ja’far Sadiq a.s., beliau berkata, : Artinya: …Sesungguhnya orang mukmin yang telah meninggal dunia akan datang mengunjungi keluarganya untuk melihat apa yang mereka perbuat. Ia hanya dapat melihat apa-apa yang bisa membuatnya senang, karena Allah telah menutup untuknya apa yang ia benci. Sedangkan orang kafir ketika mendatangi keluarganya ia hanya akan melihat apa-apa yang ia benci karena Allah telah menutup baginya semua hal yang membuat hatinya senang……Sebagian dari mereka yang telah mati ini berkunjung setiap hari Jum’at dan ada pula yang berkunjung sesuai dengan amal perbuatannya dahulu. (Al-Kafi 3 hal. 230/1 bab Inna Al-Mayyita Yazuru Ahlahu.).
Keberadaan Roh/Ruh-Arwah di gambarkan sebagai TENTARA : Dari Aisyah r.a, Saya mendengar Nabi SAW bersabda : “Arwah (jama’ dari Ruh) itu bagai TENTARA yang berbaris. Mana yang bersesuaian berdampinglah dia (Arwah SUCI), mana yang bertentangan berjaulah ia (Arwah SUCI)”. (HR. Bukhari).
Kata istilah yang dimaksud TENTARA pun dalam Al-Quran disebutkan, QS. Al-Fath : 7. Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah TENTARA Langit dan Bumi. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
TENTARA Langit (diturunkan) diantaranya untuk mengatur segala urusan : QS.Al-Qadar.4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
MEREKA ITU TEMAN SEBAIK-BAIKNYA
QS.An-Nisa.69. Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Dalam tradisi ritual Islam sediri, terdapat amalan bertawasul kepada Arwah suci (Roh-roh Suci) seperti orang-orang yang telah di anugrahi ni’mat oleh Allah seperti, para Nabi, Shidiqin, Syahidiin, Shalihiin (orang-orang yang baik), dengan ungkapan “Ilaaa hadratiii…” /atau “ila ruuhi..fulan bin fulan” (atas kehadiran…. /atas ruh fulan bin fula) dan seterusnya.
Begitu juga dalam Kepercayaan Masyarakat di tatar Pasundan, selain meyakini terhadap Konsep Hyang (Sang Hyang Taya “Maha Ghaib”, Hyang Tunggal “monoteisme”..dst), juga meyakini terhadap keberadaan Roh-roh leluhur yang dihormatinya, bahwa para Leluhur, para hyang yang berasal dari Hyang Agung dapat berkomunikasi, saling membantu, memberikan pesan dan lain sebagainya. Bahkan dalam tradisi lisan Masyarakat di tatar Pasundan (Sunda), Pantun Bogor : Ngahyangna Pajajaran, Uga Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maha Raja, 1482-1521 M) mengatakan :
(*//Sakabeh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu nu perlu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan anu hadé laku lampahna.//*).
Artinya (*//Seluruh turunan kamu, aku akan menjaganya, akan tetapi diwaktu diperlukan. Aku akan datang kembali, menolong kepada yang membutuhkan, membantu kepada yang susah, akan tetapi kepada yang baik prilakunya…//*).
Dengan demikian mempercayai /Kepercayaan terhadap Roh-roh Leluhur, TIDAK bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila.
[1]I Wayan Sukarma, Jumat, 24 Juni 2011 : PARISADA,CITA-CITA MULIA PEMBENTUKAN PHDI, http://sukarma-puseh.blogspot.co.id/2011/06/parisada.html , Diakses 27 Agustus 2017 [2]Iman Brotoseno, 15 Agustus 2015, Bang Haji, http://blog.imanbrotoseno.com/bang-haji/ , Diakses 21 Agustus 2017
BACA JUGA :
PRABU SILIWANGI DAN KISANTANG, KISAH NAGARA TARAJU JAWADWIPA (NAMA LAIN NAGARA PAJAJARAN DAHULU), 526 M–1521 M (995 TAHUN) https://sukapura.files.wordpress.com/2017/10/prabu-siliwangi-dan-prabu-kisantang3.pdf

 

Komentar
Kangs Yayan Thea
Kangs Yayan Thea Janten dina waktos tertentu karuhun urang tiasa nulungan atuh nya, pami ningal keterangan eta mah…
1

Kelola

 · Balas · 15m

Agus Wirabudiman

 · Balas · 15m

Agus Wirabudiman
Agus Wirabudiman Kitu oage kajantenan anu tumiba ka para Nabi Rasul, Imam, Shalihiin, Shaddiqqin…dll
1

Kelola

 · Balas · 15m

Bang Toyib

 · Balas · 15m

Jaka Samudro Wibowo
Jaka Samudro Wibowo Sampurasun Kakang _/\_ :*
1

Kelola

 · Balas · 15m

Agus Wirabudiman membalas · 1 Balasan
Jaka Samudro Wibowo
Jaka Samudro Wibowo Ma’af Kakang Wira, saya mau tag sahabat lama saya sebagai Jurnalis dari Cianjur, semoga nyambung dengan anda :* , Silahkan Hadir Kang Ustdz Helmy Gabriel Arfiyael
2

Kelola

 · Balas · 15m

Agus Wirabudiman membalas · 9 Balasan
Jaka Samudro Wibowo
Jaka Samudro Wibowo Diam aja sih Kang Ustdnya, komeng ke…ih.., eeeh komen atuh ih …hhh , Bersamaa : Kang Ustdz Helmy Gabriel Arfiyael
1

Kelola

 · Balas · 15m

Helmy Gabriel Arfiyael
Helmy Gabriel Arfiyael Baru on ni Kakang Jaka
1

Kelola

 · Balas · 15m

Agus Wirabudiman membalas · 6 Balasan
Chaedar Saleh Reksalegora

 · Balas · 15m


Salah Satu Trah Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah

$
0
0

Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah

Ini adalah Profile Utama untuk Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah.
Catatan Korator dari Mohamad Habrul Ulum Othman (16/1/2017):Wali Songo
Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah MP
Jenis Kelamin: Laki-laki
Lahir: Sekitar 1450
Cairo, Cairo Governorate, Egypt
Meninggal Sekitar 1569 (111-127)
West Java, Indonesia
Keluarga Dekat: Anak laki-laki dari Sultan Maulana Sharif Abu Abdu’llah Mahmud Umdat ud-din dan NRM Rara Santang
Suami dari NM Siti Babadan [Versi MP] ,? -bantenNyai Mas Ratu Rara SumandingongtinDewi Hisah??? dan 14 lainnya
Ayah dari Raden IntenNyai Mas Ratu Rara Ayu Dalem HafsahR. Abdul Jalil (Siti Jenar, Jepara)Dewi SufiyahPangeran Mohamad Husin “Temenggung Merah” dan 23 lainnya
Saudara laki-laki dari Syarif Nurullah
Saudara tiri laki-laki dari Sultan Abul Muzaffar Waliullah Ibni Syarif Abu AbdullahSayyid Babullah [Versi MP] dan Sultan Alam Akhbar Al-Fatah
Ditambah oleh: Unknown, 12 Desember 2007
Dikelola oleh: Erni Muthalib dan 50 others
Dikurasi oleh: Mohamad Habrul Ulum Othman

Tentang

  • Bahasa Inggris (aslinya) 

Ayah[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Ibu[sunting | sunting sumber] Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )

Silsilah[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan @ ‘Ali Nurul ‘Alam bin Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar al-Husaini Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid Abdullah Al-‘Azhomatu Khan bin Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Imam Sayyidina Hussain Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Silsilah dari Raja Pajajaran[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Rara Santang (Syarifah Muda’im) Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I Prabu Linggabuanawisesa @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat) Pertemuan orang tuanya[sunting | sunting sumber] Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Datuk Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Riwayat hidup[sunting | sunting sumber] Proses belajar[sunting | sunting sumber] Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan[sunting | sunting sumber] Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak[sunting | sunting sumber] Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi[sunting | sunting sumber] Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan[sunting | sunting sumber] Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.


Name in Alawiyin website: SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati)

Reference Link: http://familytreemaker.genealogy.com/users/a/s/y/Naqobatul-Asyrof-Jakarta/WEBSITE-0001/UHP-0827.html

Salah seorang Wali Songo yg menyebarkan Islam di Cerebon, Jawa Barat. Menurunkan ulama’-ulama’ dan sultan-sultan Banten di Jawa Barat dan Palembang, dan keturunan Raden.


Ancestor of the royal houses of Banten, Cheribon and Palembang.


Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

(sumber: Wikipedia Indonesia)


One of Walisongo in West Java


Sunan Gunung Jati.Versions: “Terah Bojongjati” and “Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda”.

Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).

Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568.

Susuhunan Cirebon.

Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w.

Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.

Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati

Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati:

In this Tree, based on book “Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja”:

Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati.

Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree):

Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi.

Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Notes on May 20, 2009:

His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile:

Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah


http://www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htmSyarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon.

Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows:

Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married.

During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570.

Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey

Posted on July 26, 2008 by Nia

© 2008 Nia’s Match

http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-life-upon-his-journey/

An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam.

On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes.

On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds.

In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction.

In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan.

Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon.

During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant.

The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex.

Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung.

Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well.

The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”.

After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died.


Salah seorang Wali Songo yg menyebarkan Islam di Cerebon, Jawa Barat. Menurunkan ulama’-ulama’ dan sultan-sultan Banten di Jawa Barat dan Palembang, dan keturunan Raden.


Ancestor of the royal houses of Banten, Cheribon and Palembang.


Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

(sumber: Wikipedia Indonesia)


One of Walisongo in West Java


Sunan Gunung Jati.Versions: “Terah Bojongjati” and “Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda”.

Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).

Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568.

Susuhunan Cirebon.

Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w.

Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.

Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati

Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati:

In this Tree, based on book “Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja”:

Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati.

Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree):

Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi.

Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Notes on May 20, 2009:

His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile:

Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah


http://www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htmSyarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon.

Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows:

Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married.

During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570.

Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey

Posted on July 26, 2008 by Nia

© 2008 Nia’s Match

http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-life-upon-his-journey/

An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam.

On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes.

On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds.

In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction.

In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan.

Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon.

During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant.

The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex.

Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung.

Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well.

The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”.

After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died.


Sunan Gunung Jati. Merge Terah Bojongjati with book Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon). Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568. Susuhunan Cirebon. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w. Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.

=================================================================

Additional notes in GENI Notes from Ismail 23 Jan 2009: Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati Notes from Erni 15 April 2009: Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati: In this Tree, based on book “Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja”: Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati. Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree): Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi. Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Notes on May 20, 2009: His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile: Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah Name in Alawiyin website: SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati) Reference Link: http://familytreemaker.genealogy.com/users/a/s/y/Naqobatul-Asyrof-Jakarta/WEBSITE-0001/UHP-0827.html

SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati).

http://www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htm Syarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon. Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows: Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570. Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey Posted on July 26, 2008 by Nia © 2008 Nia’s Match <http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-life-upon-his-journey/> An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam. On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes. On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds. In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction. In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan. Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon. During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant. The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex. Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung. Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well. The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”. After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died

tampilkan lebih sedikit

Transcendent Unity of Religions & Eschatology by Menachem (Muhammad ) Ali

$
0
0

Ceramah Menachem Ali, Ph.D di Pondok Pesantren Al Wafa,Tempurejo, Jember Jawa Timur, Agustus 2018

Raja Nusantara jumpa Rasulullah?

$
0
0
Friday, July 03, 2015

Raja Nusantara jumpa Rasulullah?

lukisan tentang Cheraman Perumal

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak (kitab al-‘At’imah Vol. 4, halaman 150), dari sahabat Sa’id al-Khudri r.a, disebutkan bahwa ada seorang raja dari negeri India (al-hind) yang datang membawa hadiah kepada Rasulullah Saw berupa tembikar yang berisi jahe.

Hadits tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «أَهْدَى مَلِكُ الْهِنْدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَرَّةً فِيهَا زَنْجَبِيلٌ فَأَطْعَمَ أَصْحَابَهُ قِطْعَةً قِطْعَةً وَأَطْعَمَنِي مِنْهَا قِطْعَةً

Artinya:

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata: ada seorang raja dari Hindia memberikan hadiah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebuah tembikar yang berisi jahe. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi makan kepada sahabat–sahabatnya dari jahe tersebut sepotong demi sepotong, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberikan saya sepotong jahe dari dalam tembikar itu” (HR. Hakim, hadits nomor. 7190)

Berbagai keterangan disampaikan oleh para ulama tentang hadits di atas dan siapa sosok raja Hindia tersebut. Ada yang mengatakan bahwa raja Hindia tersebut merupakan seorang sahabat Rasulullah Saw, sebab ia hidup di masa Rasul menyatakan beriman kepada Rasulullah Saw.

Memang, di sisi kesahihan, banyak juga ulama yang meragukan kesahihan hadits tersebut. Al-Razi dan Abu Zar’ah menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar. Sedangkan al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid menyatakan bahwa hadit serumah juga diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Miu’jam al-Awsath, sementara di dalam perawinya terdapat seseorang bernama Amru bin Hikam yang lemah. Lebih dari itu, dalam riwayat Thabrani disebutkan bahwa raja tersebut adalah Raja Romawi, bukan Raja Hindia.

Syaikh Abdul Majid al-Zandani dalam kitabnya berjudul (بينات الرسول صلى الله عليه وآله وسلم ومعجزاته) menyebutkan bahwa raja tersebut adalah Raja Hindia yang beriman, adapun sebab berimannya raja tersebut adalah disebabkan peristiwa terbelahnya bulan (insyiqaq al-qamar) yang merupakan salah satu mukjizat Rasulullah Saw. Diperkirakan, raja tersebut menyaksikan peristiwa hebat itu dan mendengar tentang nubuwwat Rasul, sehingga ia datang langsung ke Mekkah untuk menyatakan keimanannya.

Secara umum, para ulama membenarnya terjadinya peristiwa bulan terbelah, namun peristiwa kedatangan raja Hindia tersebut banyak diragukan para ulama.

Dengan asumsi bahwa hal tersebut benar adanya, lantas siapakah gerangan raja tersebut? Dari negeri hindia manakah ia berasal? Sebab frasa Hindia pada masa dahulu disematkan orang pada negeri-negeri yang jauh di timur, mulai dari anak benua India hingga samudera hindia yang jauh .

Syaikh Abdul Majid al-Zandani menyebutkan bahwa raja India tersebut merupakan raja dari Malabar yang bernama Chakrawati Farmas. Hal tersebut dikuatkan dalam tulisan sejarawan M. Hamidullah dalam bukunya “Muhammad Rasulullah“.

Hamidullah menyebutkan bahwa dalam sebuah dokumentasi manuskrip naskah tua di  India Office Library, London (nomor referensi: Arab, 2807, 152-173) yang mencatat peristiwa tersebut. Hamidullah menulis:

“There is a very old tradition in Malabar, South-West Coast of India, that Chakrawati Farmas, one of their kings, had observed the splitting of the moon, the celebrated miracle of the Holy Prophet (pbuh) at Mecca, and learning on inquiry that there was a prediction of the coming of a Messenger of God from Arabia, he appointed his son as regent and set out to meet him. He embraced Islam at the hand of the Prophet, and when returning home, at the direction of the Prophet, died at the port of Zafar, Yemen, where the tomb of the “Indian king” was piously visited for many centuries.” The old manuscript in the ‘India Office Library’ contains several other details about King Chakrawati Farmas and his travel.

[Ada tradisi yang sangat tua di Malabar, barat laut pantai India, yaitu tentang Chakrawati Farmas, salah satu raja-raja mereka, yang pernah menyaksikan peristiwa terbelahnya bulan, itulah suatu peristiwa ajaib yang terkenal yang terjadi di masa Nabi (saw) di Mekkah. Dari apa yang ia pelajari,  ia menemukan bahwa ada prediksi tentang kedatangan seorang utusan Allah dari negeri Arab. Karena itu, ia pun menunjuk putranya sebagai pengganti, sementara ia berangkat untuk bertemu dengan sang Nabi tersebut. Dia pun memeluk Islam di hadapan sang Nabi. Dan ketika kembali ke rumah, ia pun meninggal dunia di sekitar pelabuhan Zafar, Yaman, sehingga di sana terdapat makam “Raja India” yang saleh dikunjungi manusia selama berabad-abad kemudian].

Menurut al-Maududi, yang kejadian terbelahnya bulan tersebut berlangsung di Mina, Makkah sekitar lima tahun sebelum Nabi saw Hijrah ke Madinah. Syahdan, bulan telah terbelah menjadi dua bagian yang berbeda di depan mata mereka. Kemudian, keduanya bergabung kembali, dan peristiwa ini tentu saja disaksikan oleh mata di seluruh dunia saat itu.

Relevansi lainnya, bahwa hal ini pula yang menjadi alasan logis mengapa orang-orang dari Malabar yang menjadi komunitas pertama di India yang menerima Islam. Pasca peristiwa kunjungan raja mereka ke Mekkah, hubungan antara Malabar dengan Jazirah Arab semakin intens, volume perdagangan kedua negeri meningkat. Selain itu, Malabar pun menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Arab yang melakukan perjalanan ke China lewat jalur laut.

Masjid tertua di India, Cheraman Juma Masjid di Kerala

Disebutkan juga, bahwa sebelum diutusnya Nabi Muhammad (saw), Malabar juga memiliki komunitas Kristen yang cukup banyak, yaitu para pengikut Isa Almasih. Diyakini, bahwa St. Thomas telah bermigrasi ke Malabar dan meninggal di sana. Mereka adalah kelompok nasrani ahli tauhid, dan tak tersentuh oleh perkembangan teologis sampai datangnya penjelajah Portugis, Vasco da Gama.

Ahli sejarah lain menyebutkan bahwa raja Hindia tersebut adalah Cheraman Perumal, yaitu seorang Raja dari Kerajaan Kodungallur, Kerala, India.

tulisan pada dinding masjid Cheraman, Kerala India

Dalam legenda yang terkenal di masyarakat Kerala, bahwa setelah masuk Islam, Sang Raja berganti nama sebagaiTajuddin, dan ia kemudian menikah dengan putri Raja Jeddah dan tinggal di sana beberapa lama.

Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Abdullah Samudri. Syahdan, ketika ia hendak pulang ke kerajaannya, ia wafat di dalam perjalanan, saat berada di Salalah, Oman. Sehingga, di Oman saat ini dikenal sebuah situs Raja Hindia muslim yang meninggal di sana.

Hingga saat ini, di Muziris,Kodungallur masih berdiri sebuah masjid bernama Cheraman Juma Musjid Masjid ini, pada dindingnya terpahat prasasti bahwa masjid itu dibangun tahun 629 M. Diyakini bahwa masjid tersebut dibangun oleh Malik bin Dinar pada tahun 629 M tersebut. Dan saat ini, masjid tersebut masih dianggap sebagai masjid tertua di India dan sering mendapat kunjungan dari para pejabat sebagai bentuk penghormatan pada sejarah.

Namun, tidak sedikit pula yang meragukan kebenaran cerita tersebut. Disebutkan bahwa legenda Cheraman Perumal baru muncul dalam buku abad ke-16 dalam kitab Tuhafat-ul Mujahidin yang ditulis oleh  Shaik Zainuddin.

Pendapat lain menyebutkan bahwa Cheraman Perumal tidak pernah bertemu dengan Rasulullah. Hal ini dikarenakan, bahwa ketika ia datang, saat itu di Jazirah Arab tidak lagi masa Rasulullah Saw, tapi sudah di bawah khilafah Abu Bakar ra. dan Rasulullah telah wafat.

Jika demikian, siapa sosok dari Raja al-Hind sesungguhnya ? Adakah kemungkinan bahwa Raja al-Hind dari Nusantara?

Jika kita membuka lembaran sejarah, istilah “Malik al-Hind” sebagaimana tersebut di dalam Hadis al-Hakim diatas, juga dipergunakan oleh Raja-Raja dari kepulauan melayu atau Nusantara. Hal ini bisa dilihat pada surat yang dikirimkan Raja Sriwijaya kepada Khalifah Bani Umayyah. Surat tersebut berbunyi:

Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…

Seperti disebutkan di atas, ada yang menyebut bahwa Raja Hindia tersebut dikenal juga dengan nama Abdullah Al-Samudri. Kata-kata al-Samudri menunjukkan bahwa beliau berkemungkinan berasal dari Sumatera.

Menurut wikipedia, nama Sumatera berasal dari kata ‘Samudera’. Dan ada kemungkinan bahwa istilah “Samudera” sudah lama ada, jauh sebelum masa kerajaan “Samudera Pasai” di Aceh.

Kendati demikian, mengklaim atau mengidentifikasikan sosok raja Hindia dimaksud sebagai Raja dari Nusantara memang perlu ada kajian lagi lebih mendalam.

Namun hipotesa ini bukan hal yang mustahil, mengingat hubungan perniagaan antara Asia Tenggara dengan Jazirah Arab, sudah berlangsung sejak abad-7 M. Indikasi lain bahwa ajaran Islam di kepulauan Melayu telah ada di masa Rasulullah masih hidup.

sumber 

http://integralist.blogspot.com/2015/07/raja-nusantara-jumpa-rasulullah-lukisan.html?m=1

 

Kiai Ageng Muhammad Besari Sosok Mahaguru Para Maharaja

$
0
0

Kiai Ageng Muhammad Besari Sosok Mahaguru Para Maharaja

(satu dari 3 artikel dari 3 penulis)

Selain masyhur dengan Bumi Reog, Ponorogo juga menjadi zona spiritualitas massa yang kaya. Kekayaannya melimpah-ruah dalam cerita tutur riyadhoh para pendirinya yang gagah, menerjang badai dan hutan di Bumi Wengker tersebut.

Setelah kemarin penulis membahas tentang Batoro Katong, Adipati pertama Ponorogo di bawah kuasa Majapahit. Yang menyebarkan Islam dan mempertahankan adat istiadat Wengker dengan bijak, misal ihwal Reog.

Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba mengudarakan sosok Mahaguru dari para Maharaja di Jawa. Dia bernama Kiai Ageng Muhammad Hasan Besari, seorang Pendiri Pesantren Tegalsari pada awal abad 18 M, Jetis, Ponorogo yang mengkombinasikan dua kutub antara Islam dan Nasionalisme.

Gus Dur di sebuah konsorsium pernah berkata: “Kiai Hasan Besari merupakan monumem berpadunya antara Islam dan Nasionalisme”. Ungkapan menemui kebenarannya ketika Anda melihat silsilah dari Kiai Besari sendiri.

Bahwasannya dari jalur Ayah (Kiai R. Nedo Kusumo), dia merupakan keturunan dari Pendiri Kerajaan Majapahit: Raden Wijaya. Sedangkan dari garis keturunan Ibu (Nyai Anom Besari), nasabnya sampai kepada Rasulullah Saw. melalui garis Sayyidati Fatimah Az-Zahro.

Sebuah landasan yang menarik, perpaduan antara seorang bangsawan dan negarawan dengan seorang ulama’ dan penganut Islam taat. Berkat persilangan tersebut lahirlah Kiai Ageng Muhammad Hasan Besari. Sosok monumen harmoni Islam dan Nasionalisme.

Selain dari segi nasab, bukti lain yang menguak bahwa dari tangan beliau lahirlah sosok Pakubuwono II (Sultan Kartasura), Raden Ngabeh Ronggowarsito (Begawan Kasultanan Kartasura) dan H.O.S Cokroaminoto (Tokoh Pergerakan Nasional Raja Jawa tanpa Mahkota).

Kelak dari ketiga tokoh itulah yang menginspirasi Presiden Pertama Republik Indonesia: Ir. Soekarno dalam memperjuangkan dan membangun NKRI.
Tapi sebelum itu, keilmuan Kiai Besari juga sampai pada pendiri kekuatan organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia, yakni KH. Hasyim Asy’ari (NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Meski konsentrasi keilmuan Kiai Besari lebih menonjol pada keilmuan Tasawwuf, yang menyikapi dunia dengan laku zuhud, akan tetapi intrepetasi nilai-nilai sufi oleh para santrinya yang membuat perkembangan makna Tasawwuf itu menjadi lain.

Semisal Pakubowono, posisi dia sebagai bangsawan seorang Sultan Kartasura, pasti laku Tasawwuf itu akan diintegrasikan dengan laku politik Kesultanan secara kolektif. Pasalnya dia sebagai Raja dan mempunyai kendali legitimatif.

Lain dengan Pakubowono, Raden Ngabehi Ronggowarsito merupakan seorang sastrawan masyhur Keraton. Didikan Kiai Besari ini mampu mengartikulasikan ajaran Tasawwuf dengan menciptakan Serat Kalatida berupa dua belas bait sinom atau biasa dikenal dengan kidung Zaman Edan.

Serat itu berisi ajaran hidup untuk mengenali zaman, mengenali diri sendiri dan mengenali tindakan yang akan diperbuat, supaya disesuaikan atau dipadukan dengan tindakan kaum agama dalam masyarakat. Potongan baitnya seperti berikut:

Begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada. (sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang ingat dan waspada).

Jika terlahir Raja dan Begawan dari tangan Kiai Besari, lain dengan H.O.S Cokroaminoto. Dia sosok tokoh pergerakan nasional, yang mendirikan sebuah organisasi bernama Serikat Islam (SI). Organisasi dagang yang bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat tersebut didasarkan pada kaidah hukum Islam.

Lebih spesifik lagi, dia telah memadukan antara Islam dan Sosialisme (1924). Perpaduan itu, menitikberatkan pada tanggung jawab sosial secara kolektif. Kekeluargaan, gotong royong untuk menyejahterakan satu sama lain. Sosialisme Bung Cokro: “Cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita bahwa kita adalah yang memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain.” (Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 1963:9).

Kritik atas sosialisme barat pun dilancarkan oleh Bung Cokro, bahwa materialisme historis-nya Marx mendasarkan segala asal dari benda, untuk benda dan kembali ke benda. Tapi bagi sosialisme Islam, segalanya betumpu dan bertolak kepada Allah.

Melalui kearifan, keilmuan serta keteguhan akan prinsip Islam tersebut, Raja tanpa Mahkota itu menjadi Mahaguru dari para founding fathers di Indonesia. Adapun wasiat atau pesannya yang paling masyhur adalah : Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.

Ala kulli hal, kehebatan Pesantren Tegalsari tak terlepas dari kecemerlangan pendirinya, yakni Ki Ageng Muhammad Besari. Ramuan kurikulum yang diterapkan olehnya, mampu melahirkan banyak bangunan pemikiran bersejarah dalam bidang Islam dan Nasionalisme bagi bangsa Indonesia. Wallahu A’lam.

https://serikatnews.com/kiai-ageng-muhammad-besari-sosok-mahaguru-para-maharaja/

SEJARAH KYAI AGENG MOHAMMAD BESARI TEGALSARI JETIS-PONOROGO

Oleh Agus Hariyono

KATA PENGANTARSuku-suku masyarakat bangsa Indonesia menganut sistem kekeluargaan yang berbeda-beda. Ada yang menganut sistem matriakhat yaitu garis keturunan dari pihak Ibu atau sistem patriakhat yaitu garis keturunan dari pihak Ayah tapi ada yang memadukan dua2nya yaitu sistem parental. Terutama pada sistem parental kadang kadang pada keturunan ketiga saja sudah saling tidak mengenal walau mereka dari satu keturunan, terkecuali para raja yang memang punya kepedulian pada keturunannya sehingga mereka dicatat tertib mulai dari nenek moyang yang menurunkan sampai yang masih hidup sekarang masih dapat dikenal.

Oleh sebab itu jualah maka anak cucu keturunan dari Kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari Jetis Ponorog masih dapat mengenal sampai beberapa keturunan dan patut dihargai  pada sejarah penulisan oleh R. Pernomo Tegalsari Jetis Ponorogo yang kemudian diturun dan digubah oleh Moh. Badar Penghulu Muda KUA Dati II Ponorogo.

MAULANA MALIK IBRAHIM

Beliau adalah putra dari Syech Djumadil Qubro sedangkan Syech Djumadil Qubro adalah putra Imam Dja’par Shadiq putra dari Ali Dhahir. Ketika tahun 1300 M Maulana Malik Ibrahim mensyiarkan Islam sampai negeri Campa. Lama kemudian Maulana Malik Ibrahim mempersunting dan menikahi Putri Cempa, putri sang ratu yang bernama Dewi Woelan dan tidak lama kemudian mengandung dan melahirkan seorang seorang putra yang diberi nama Raden Rachmad yang akhirnya berdiri sebagai Sunan Ngampel Denta di Surabaya. Sunan Ngampel Denta berputra Raden Satmoto, atau yang terkenal dengan sebutan Kyai Ngarobi. Raden Satmoto berputra putri Ny. Anom Besari yang wafat dan dimakamkan dipemakaman Kuncen, Caruban – Madiun. Ny. Anom Besari berputra 3 orang yaitu :

  1. Kyai Chatib Anom yang wafat dan dimakamkan dipemakaman Klambert desa Srigading Tulungagung.
  2. Kyai Mohamad Besari yang wafat dan dimakamkan dipemakaman Tegalsari Jetis Ponorogo.
  3. Kyai Noer Sadiq yang wafat dan dimakamkan dipemakaman Tegalsari, Ponorogo dan berputra Kyai Mukmin yang wafat dan dimakamkan di pemakaman Nglawu Mlarak.

SANG PRABU DI CEMPA
Sang Nata di Cempa bernama Prabu Kuntara, sang nata berputra 3 orang yaitu :
1. Dewi Murdaningrum
2. Dewi Tjondro wulan
3. Raden Tjingkara

Dewi Murdaningrum dipersunting oleh sang Prabu Kartawidjaja dari Kerajaan Mojopahit, dan dari perkawinan ini dikaruniai putra yang bernama Raden Patah dan menjadi sultan di Demak Bintara.

Dewi Tjondro Wulan dipersunting oleh Maulana Malik Ibrahim dan berputra Raden Rachmat ( Sunan Ngampel Denta). Jadi antara R, Patan dengan R. Rachmad masih saudara sepupu ( nak saderek ).

RIWAYAT DARI MAULANA ISKAK.

Maulana Malik Ibrahim mempunyai saudara laki-2 ialah Maulana Iskak berkedudukan tempat tinggal di Negeri Pasik dan menyiarkan agama Islam, pada dasarnya beliau ingin mensyiarkan Islam didaerah Gresik dan Surabaya namun karena kurang puas maka beliau melanjutkan perjalanan menuju kearah selatan yaitu ke negeri Blambangan-Banyuwangi. Singkat cerita di Blambangan Maulana Iskak mengikuti pertandingan untuk bisa menyembuhkan penyakit putri raja yang bernama dewi Sekar Dadu, akhirnya dia bisa menyembuhkan dan kemudian dinikahkan dengan putri tersebut. Tu

Tujuan mensyiarkan Islam di tanah Blambangan tercapai sudah, akan tetapi hanya satu yang tidak mau yaitu sang Raja Blambangan. Kemudian Maulana Iskak menghadap sang Raja dengan maksud meminta sang Raja masuk Islam tapi malah dimusuhi oleh sang Raja, merasa hidupnya sangat terancam Maulana Iskak meninggalkan Blambangan dan meninggalkan isterinya yang sedang hamil untuk menuju ke surabaya menemui kemenakannya yaitu R. Rachmad.

Sepeninggal Maulana Iskak negeri Blambangan dilanda huru-hara dan pagebluk sedangkan raja berpikiran jelek bahwa huru-hara dan pagebluk terjadi akibat bayi Maulana Iskak yang sedang dikandung oleh isterinya maka sang raja bersabda apabila bayi tersebut lahir maka akan dibuang kelaut. Setelah bayi tersebut lahir dia dimasukkan kedalam peti dan dipaku rapat-rapat terus diceburkan ke laut.

Arus air laut membawa peti tersebut terdampar di pantai Gresik dan peti berisi bayi tersebut ditemukan oleh Mbok Ratijah. Dengan rasa haru yang sangat dalam setelah mengetahui bahwa peti tersebut berisi bayi maka dipeliharalah si bayi tersebut dan diberi nama Raden Paku. Setelah dewasa maka Raden Paku menjadi wali dengan sebutan Sunan Giri.

SEJARAH SINGKAT TENTANG RIWAYAT PRABU BRAWIJAYA YANG MENURUNKAN KEPADA TEGALSARI PONOROGO.

Sang prabu Brawijaya berputra Pangeran Demang. Kemudian Pangeran Demang berputra Raden Demang yang wafat dan dimakamkan di pemakaman Badal Ngadiluwih Kediri. Kemudian Raden Demang berputra Kyai Ageng Ngabdul Mursad Tukum Kediri. Dari Kyai Ageng Ngabdul Mursad Tukum berputra Kyai Anom Besari yang wafat dan dimakamkan dipemakaman Kuncen, Caruban Madiun. Kyai Anom Besari beristeri Ny. Anom Besari putri dari Raden Satmoto putra Sunan Ngampel Dento, dari perkawinan ini menurunkan 3 orang putra sebagai berikut :
1. Kyai Chatib Anom yang wafat dan dimakamkan dipemakaman desa Srigading , Klambert Tulungagung .
2. Kyai Mohammad Besari Tegalsari Ponorogo
3. Kyai Noer Sadiq Tegalsari Ponorogo.

Tersebut nomor 2 dan 3  dimakamkan dipemakaman Tegalsari-Ponorogo.

Ki Ageng Mohamad Besari berputra 9 orang :
1. Kyai Iskak Coper, Ponorogo
2. Ny. Abdurrachman
3. Kyai Jakub
4. Kyai Ismangil
5. Kyai Buchori
6. Kyai Cholifah
7. Kyai Iljas
8. Ny. Bin Oemar Banjarsari
9. Kayi Zainal Abidin raja di Selangor Malaya

Kyai Noer Sadiq berputra 6 orang :
1. Ny Amad
2. Ny. Zakaria
3. Ny. Suratman
4. Kyai Mukmin
5. Kyai Mubarak
6. Kyai Idris.

Kyai Chatib Anom sebagai putra pertama Kyai Ageng Anom Besari Kuncen belum didapatkan data-datanya.

RIWAYAT KYAI MOHAMMAD BESARI DI TEGALSARI PONOROGO TH. 1700.

Arah sebelah selatan Timur kota Ponorogo sejauh kurang lebih 12 Km terletak suatu desa tempat tinggal seorang kyai yang alim lagi berbudi luhur bijaksana, asih terhadap sesama suka memberi pertolongan kepada siapa saja yang menderita kesengsaraan, sesuai dengan peribahasa: memberi payung kepada orang yang kepanasan, memberi tongkat kepada orang yang berjalan di atas tempat yang licin, memberi obor kepada orang yang kegelapan..lagi pula didasari banyaknya santri atau muridnya sehingga tersohor di kiri dan kanan tetangga desanya, malahan sudah kedengaran sampai ke daerah daerah lain.

Adapun Kyai yang dimaksud di atas adalah yang bernama DONOPURO yang berasal dari keturunan Sunan Tembayat.

Setelah Kyai Mohammad Besari mendengar berita ada orang alim berilmu lagi pula berbudi luhur dan bijaksana ,dia bergegas menghadap rama-ibunya menghaturkan maksudnya “Duh ayah dan ibu kiranya ananda diperkenankan serta diiijinkan mencari ilmu dipondok Sentono Jetis Ponorogo, dan sang ramanda menjawab: “ooo angger putraku jikalau engkau mencaari ilmu ke Pondok Sentono Jetis aku sangat menyetujui dan membantu apa yang telah menjadi niatmu itu. Maka lekas engkau berangkat dan sekalian ajaklah adikmu Noer Sadiq”.

Kemudian kedua anak tersebut berangkat bersama-sama menuju ketempat kediaman Kyai Donopuro di desa Setono Jetis Ponorogo. Setelah kira-kira 3 sampai 4 tahun lamanya Mohammad Besari dan adiknya berguru pada Kyai Donopuro dan telah banyak Ilmu agama Islam yang dipelajarinya, maka semakin lama semakin disayang oleh Kyai gurunya. Kemudian Mohammad Besari mempunyai keinginan menjelajah daerah Ponorogo dengan adiknya Noer Sadiq sebagai pengiikut.

Ketika perjalanannya sampai di desa Mantub-Ngasinan adiknya Noer Sadiq merasa Kehausan dan mengatakan pada kakaknya,  kakak saya haus sekali dan kata sang kakak ayo kita cari minum . Karena pada saat itu jarang ada sumur dan mencari air bersih sulit maka mereka menemui seseorang untuk minta Kelapa muda agar bisa diminum airnya. Kebetulan seseorang yang ditemui oleh mereka bernama Kiai Noer Salim keturunan Kyai Dugel Kesambi Nglupeng Slahung Ponorogo.

Mereka berdua diijinkan untuk mengambil kelapa muda untuk minum, namun ketika mereka sekali ambil kelapa sejenjang hanya dengan melambaikan tangan saja karena saking gembiranya kyai Noer Salim mengetahui dan berbicara : lho – lho anak cakap kalau mengambil kelapa muda jangan seperti itu, coba kemari saya ajari, maka Kiai mendekati pohon kelapa dan pohonnya dilengkungkan dengan jarinya terus mengambil seperlunya setelah ujung pohon kelapa tersebut melengkung ke tanah. Mengetahui sama-sama memiliki kelebihan sang Kiai Noer Salim bertanya pada Mohammad Besari dan adiknya:   Nak…engkau ini anak siapa dan siapa namamu? dan Mohammad Besari menjawab saya murid Kyai Donopuro dan kami berasal dari Kuncen Caruban.

Nama saya Mohammad Besari dan ini adik saya Noer Sodiq. Kemudian keduanya diajak kedalam rumah untuk diajak berbincang-bincang. Pada akhirnya Mohammad Bessari diambil sebagai menantu oleh Kyai Noer Salim atau yang terkenal dengan sebutan Kyai Ageng Mantub. Setelah pembicaraan seperlunya selesai Mohammad Besari dinikahkan dengan putri sulung Kyai Ageng Mantub dan kemudian diboyong ke Sentono.

MOHAMMAD BESARI MEMBUKA TANAH ( BABAD ) DI DESA TEGALSARI.

Sesudah Mohammad Besari menikahi putrinya Kyai Noer Salim dari  Mantub (Kyai Ageng Mantub) keduanya bersuwita kepada Kiai Donopuro di Sentono. Kira-kira setelah satu tahun Mohammad Besari dan Isteri berada di Sentono, Kyai Donopuro berkata kepada Mohammad Besari dan Isterinya untuk mulai membuka tanah ( babad ) di sebelah timur seberang sungai, itu adalah tegal milikku dan saya beri nama Tegalsari .

Kemudian Mohammad Besari berangkat memulai ditempat yang telah ditunjuk oleh Kyai Donopuro tadi. Lama-kelamaan tempat Tegalsari oleh Mohammad Besari dinamakan juga TEGALSARI. Di sana beliau membangun perkampungan dan pesantren yang semakin lama berkembang pesat dengan jumlah murid yang banyak. Setelah Kyai Donopuro Wafat kejayaan (pulung) pindah ke Tegalsari dan pesantrennya tersohor sampai kemana-mana.

BAGUS HARUN ( BASJARIJAH ) IKUT PADA KYAI AGENG TEGALSARI.

Diceritakan bahwa Kiai Ageng Prungkut Sumoroto mempunyai putra lelaki bernama Bagus Harun (Basjrijah) dan dipondokkan oleh ayahnya di Tegalsari, perlu ikut (nyuwito) sekalian belajar ilmu agama Islam. Bagus Harun berada di tegalsari sangat tunduk dan patuh pada gurunya dan selalu mengikuti segala perintah, bila Kyai akan bersantap yang melayani adalah Bagus Harun dan ditunggui sampai selesai bersantap. Begitu pula mau mandi, Bagus Harunlah yang menimbakan air.

SINUHUN KARTASURA KE II ( SINUHUN KUMBUL) BERTEMU DENGAN KYAI AGENG TEGALSARI
TH. 1730 – 1747.

Ketika Bagus Harun mondok di Tegalsari suatu saat di tanah Jawi terjadi kegegeran yang sangat mengerikan yaitu datangnya berandal dari negeri cina yang merampok dan merampas di Kraton Surakarta. Hal inilah yang membuat Sang Sinuhun meninggalkan kraton dan lolos mengungsi kejurusan timur didampingi Tumenggung Wirotirto di dalam perjalanannya hingga sampai di desa Sawo, Ponorogo.

Karena capai dan lemasnya kedua pria agung berhenti di lereng gunung Bubuk, sampai sekarang batu yang pernah diduduki masih ada, persis di sebelah barat pasar Sawo Ponorogo, akan meneruskan perjalanan ke arah timur sudah tidak kuat disebabkan jalan mulai menanjak gunung. Ketika sang sinuhun melihat ada seorang naik pohon kelapa mangambil nira/legen lalu menanyakan kepada Tumenggung : “He, Wirotirto itu orang naik pohon kelapa kok pakai bumbung segala ?” Wirotirto menjawab pertanyaan sang Sinuhun “Itu sedang mengambil legen/nira (nderes) akan dibikin gula kelapa. Sang Sinuhun bertanya lagi bolehkah kirTumenggung Wirotirto minta legen kepada orang yang nderes dan disampaikan kepada sang Sinuhun.

Setelah sang Sinuhun selesai minum legen, berkatalah beliau kepada yang memberi legen. Pak aku senang sekali atas legen pemberanmu, sungguh berterima kasih aku, mudah-mudahan legenmu oleh yang maha kuasa setelah manjadi gula dijadikan gula yang enak lagi manis sampai turun temurun. itulah sebabnya gula kelapa dari desa Sawo enak rasanya, manis dan gurih dan kuning rupanya sehingga tersohor di seluruh daerah Ponorogo. Ketika pukul satu tengah malam sang Sinuhun mendengar suara lebah yang sedang kirab keluar dari sarangnya, gemuruh karena banyaknya.

Sang Sinuhun bertanya kepada Wirotirto suara apakah itu? Wirotirto menjawab itu adalah suaranya orang sedang munajad kepada Allah, kalau begitu mari kita datangi mereka siapa tahu dapat memberikan obat kepada saya, demikian ajak sang Sinuhun kepada Wirotirto. Adapun suara yang bergemuruh itu tidak lain adalah suara Bagus Harun dan Kyiai Ageng Tegalsari bermunajad, memohonkan rahmat dan derajat untuk putra cucunya sampai datang kiamat.Setelah sang Sinuhun bertemu dengan Kyai Ageng Tegalsari kemudian menceritakan dari awal sampai akhir tentang kejadian yang menimpa negerei Surakarta.

KYAI AGENG TEGALSARI BERDOA DAN DIAMINI OLEH SANG SINUHUN.

Cerita selanjutnya, Sang Sinuhun menghendaki Kyai Ageng Tegalsari ikut membantu mengusir berandal cina, kelak bila dapat berhasil sang Sinuhun akan memberikan hadian yaitu akan memberi tanah tanpa dikenakan membayar pajakl sampai turun temurun, disambut oleh Kyai Ageng Tegalsari dengan doa dan solat munajat kepada Allah SWT.

Sesudah berdoa Kyai Ageng Tegalsari unjuk bicara , Gusti yang mulia saya persilahkan kembali ke Negeri Surakarta kini sudah aman dan tenteram. Prajurit berandal cina sudah kembali semua sebab tanah Jawa sempit sekali percuma kalau akan memerintah tanah jawa. Untuk kembali ke Surakarta saya minta ditemani oleh Bagus Harun dan Bagus Harun disuruh sang Kyai untuk menemani Sang Sinuhun.

Pagi harinya sekira pukul 6 pagi Sang Sinuhun, Tumenggung Wirotirto dan Bagus Harun berangkat menuju Surakarta. Sesampainya di Srandil mereka berhenti untuk beristirahat untuk menghilangkan lelah. Beberapa saat Sang Sinuhun merasa lapar dan kebetulan ada seorang perempuan yanng membawa Kemarang ( keranjang dari bambu) yang isinya nasi dan sayur berkuah, sang sinuhun bertanya pada Bagus Harun apa boleh minta makanan yang dibawa, dan mbok Rondojian nama yang membawa makanan dalam kemarang tersebut  mengijinkan Sinuhun untuk makan makanan. Sinuhun bertanya ini namanya desa apa ya dan dijawab oleh Bagus Harun bahwa desa ini belum ada namanya, karena belum ada nama maka sang Sinuhun memberikan nama desa Menang sebab hari ini saya sudah dapat mengusir berandal cina. Kemudian sang Sinuhun berkata kepada mbok Rondojian, Mbok.. saya sangat seneng suatu saat kalau mbok ada waktu datanglah ke Surakarta akan saya beri hadiah, kemudian sang Sinuhun dan pengiringnya melanjutkan perjalanan dengan selamat sampai di Surakarta.

Bagus Harun, sampai  di Surakarta terus masuk mesjid Suronatan untuk solat hajad mempertegas permohonannya kepada Allah SWT. Kurang lebih 40 hari lamanya kraton Surakarta dan kekuasaan dalam lingkungannya dalam keadaan aman, Bagus Harun mohon ijin pulang ke Tegalsari. Sang Sinuhun mengijinkan dan memberi hadiah berupa payung kebesaran dan lampit ( tikar dibuat dari anyaman belahan rotan) sebagai tanda jasa pembelaan.

Setelah sampai di Tegalsari Bagus Harun melapor kepada Kyai Ageng Tegalsari bahwa keadaan dinegeri Surakarta  dari awal sampai akhir. Payung dan Lampit pemberian dari Sinuhun sebagai anugrah juga diserahkan kepada Kyai Ageng Tegalsari, tapi Kyai Ageng Tegalsari tidak mau menerimanya. Di antara ketidaktahuan yang pasti dari maksud Sinuhun dan Kyai Ageng Tegalsari matanya berketap-ketip tidak bisa tidur semalaman, akhirnya Bagus Harun berketatapan hati untuk kembali ke Surakarta untuk mencari tahu apa maksud payung dan tikar tersebut.

Dalam perjalanan menuju Surakarta dalam pikirannya berkecamuk atas kejadian yang dialami sehingga ketika sampai di Surakarta udara waktu panas sekali diapun membuka Payung untuk berlindung dari terik matahari dan melanjutkan perjalanan sampai dengan Alon-alon Surakarta. Karena demi keamanan sekitar alon-alon dijaga ketat oleh pasukan keraton dengan tentara pemanah yang luar biasa tangkasnya, mengetahui ada orang memakai payung yang tidak jelas penampilannya maka orang tersebut yang tidak lain Bagus Harun dihujani dengan panah namun ajaib tidak ada satu panahpun yang bisa menembus dan melukai Bagus Harun. Setelah mengetahui yang datang adalah Bagus Harun maka Sang Sinuhun menjelaskan bahwa payung tersebut dianugrahkan kepadanya untuk selama-lamanya, setelah mengetahui yang sebenarnya maksud Sinuhun Bagus Harun mohon ijin untuk pulang kembali ke Tegalsari Ponorogo.

Ketika perjalanan pulang Bagus Harun sampai digrojokan (dam) Bang Peluwang di desa Nglengkong, kec. Sukorejo, Distrik Sumoroto dia berhenti dan berpikir tentang payung dan lampit tersebut: Jika dua benda ini aku simpan sampai kelak kemudian hari, maka anak cucuku nanti pasti punya pikiran gumede, sopo siro sopo insun, maka sambil bermunajad kepada Allah Bagus Harun melempar dua benda tersebut kedalam grojogan tersebut Ya Allah, grojogan ini sebagai saksi limpahkanlah karunia berkahmu kepada anak cucuku dengan Kebesaranmu ya Allah. Begitulah kata orang-orang yang datang ketempat grojogan Bang Peluwang itu apabila ada penampakan dua benda tersebut maka keberhasilan akan datang pada yang melihatnya. Wallauhallam.

BAB SEJARAH BAGUS HARUN DAN PERMULAAN ADANYA DESA SEWULAN, DAGANGAN.

Sekembalinya Bagus Harun dari Surakarata, lalu ikut (nyuwita) lagi pada Kyai Ageng Tegalsarai, lama kelamaan Bagus Harun mempunyai keinginan menjadi orang yang berdiri sendiri dan mempunyai tanah bukaan (babadan) sendiri juga merdeka seperti Tegalsari.

Pada suatu hari Bagus Harun menghadap Kyai Ageng Tegasari dan menyampaikan keinginan hatinya, duhai rama Panembahan, perkenankanlah kami menyampaikan keinginan kehadapan rama Panembahan, ada apa gerangan coba haturkan. Hamba ingin punya tanah babad sendiri yang merdeka seperti tanah babad milik rama penembahan, kiranya tanah mana yang bisa dibabad untuk anak cucu keturunan kami kelak demikian tutur Bagus Harun.

Kyai Ageng Tegalsari memberi petunjuk, Harun kalau engkau ingin babad tanah carilah payungmu yang kau buang di grojogan Bang Peluwang dahulu itu, nanti dan  kitari mengikuti hutan jangan berhenti sebelum ketemu.

Kebingungan melanda Bagus Harun kembali, maka sang Kyai Ageng Tegalsari menegurnya,”jangan termangu-mangu dan linglung Harun, Allah itu mempunyai kekuasaan yang Maha Besar kalau engkau ingin segera memiliki tanah babad cepat-cepatlah cari payungmu.

Setelah mendengar kata-kata Kyai Ageng Tegalsari maka Bagus Harun mencari payung yang dibuang tersebut sampai dengan 1000 hari, baru ditemukan disuatu tempat dengan ditandai bau yang harum di tempat tersebut. Maka bergegas kembali ke Kyai Ageng Besari sambil menghaturkan payung tersebut dan serta merta sang Kyai menyuruh untuk membuka ( babad) di mana payung tersebut ditemukan. Tempat tersebut akhirnya dinamakan dengan nama desa SEWULAN  berasal dari 1000 (sewu) dino.

BAB SEJARAHNYA KYAI ZAINAL ‘ABIDIN MENJADI MENANTU RAJA SELANGOR MALAYA.

Sepeninggal Bagus Harun menuju ketempat baru (sewulan) dari Tegalsari menjadi buah bibir orang-orang sebelah timur gunung lawu sampai ke cangkring Pacitan. Tidak ketinggalan putri bungsu Tumenggung Cangkringan Pacitan membicarakan kehebatan Tegalsari pada waktu itu, dan matur kepada ayahandanya bahwa kelak menginginkan untuk dijodohkan dengan putra Kyai Ageng Tegalsari, Ponorogo. Mendengar permintaan putrinya tersebut Tumenggung Cangkringan Pacitan kemudian berangkat menuju Tegalsari untuk menemui Kyai Ageng Tegalsari dan menyampaikan maksud kedatangannya.Maka Kyai Ageng Tegalsari menyambut apa yang dikehendaki oleh putri Tumenggung Cangkring tersebut dengan penjelasan bahwa Kyai punya Putra tapi buruk rupa dan berperawakan cebol, apa sekiranya putri tumenggung mau dengan putra saya tersebut ?

Tanpa pertimbangan apapun Tumenggung Cangkring menyetujui, kemudian pulang ke Pacitan sambil berpesan kepada Putra Kyai untuk datang melamar ke Cangkring Pacitan. Selang kemudian Kyai Ageng Tegalsari memanggil putranya yang bernama Zainal ‘Abidin dan memberitahukan tentang maksud pernikahannya dengan Putri Tumenggung Cangkring Pacitan. Singkat kata Kyai Ageng Tegalsari mengutus kakak Zainal ‘Abidin yaitu Iljas untuk mewakili dan pergi ke Cangkring Pacitan disertai santri untuk keperluan melamarkan adiknya si Zainal ‘Abidin.

Tetapi setelah acara pernikahan diatur sedemikian rupa terjadi keributan ternyata setelah dipertemukan antara Zainal ‘Abidin dan putri  Tumenggung Cangkring  sang putri menolak setelah melihat mempelai laki2nya buruk rupa dan cebol, dan maunya hanya dinikahkan dengan Iljas-kakak Zainal ‘Abidin yang mewakili pada waktu lamaran. Singkat kata untuk menyelesaikan maka akhrinya Iljas yang dikawinkan dengan putri Tumenggung Cangkring dari Pacitan, sedangkan Zainal ‘Abidin sangat malu atas nasib yang menimpa dirinya dan atas pertimbangan  dengan kakanya Kyai Iskak Coper bermaksud untuk menunaikan ibadah haji kepada orang tuanya.

Karena ketiadaan biaya untuk memberangkatkan kedua putranya ke tanah suci Kyai Ageng Tegalsari bermunajad kepada Allah SWT dan setelah selesai bermunajad maka dipanggilah kedua putranya. Nak, lihatlah dibawah pesujudan apabila ada emasnya ambillah untuk berangkat kalau tidak ada mungkin Allah SWT masih memberikan kita ujian untuk bersabar.

Maka kedua putra Kyai Ageng Tegalsari pergi menuju tempat persujudan dan membuka di bawahnya ternyata ada banyak sekali emas di bawah tempat persujudan, dan mereka mengambil emas secukupnya untuk biaya menunaikan ibadah haji, sambil bersujud pada kedua orang tuanya minta ijin berangkat. Setelah keduanya pergi menunaikan ibadah Haji dalam perjalanan pulang kapal yang dinaiki keduanya berlabuh di selangor selama 7 hari dan keduanya meluangkan waktu untuk berjalan-jalan melihat keadaan kota.

 

Ketika kapal sudah mau berangkat Kyai Iskhak Coper memanggil adiknya Kyai Zainal ‘Abidin untuk segera naik ke kapal, akan tetapi Kyai Zainal ‘Abidin tidak mau dan memilih tinggal di Selangor. Selama di Selangor Kyai Zainal ‘Abidin banyak sekali dan terus menerus melakukan i’tikap di dalam mesjid kota dan menjalani kehidupan sebagai orang perantuan.

Pada suatu ketika putri Kanjeng Sultan Selangor menderita sakit yang tambah lama tidak tersembuhkan. Karena putus asa sang Sultan membuat sayembara barang siapa yang bisa menyembuhkan sang putri kalau laki-laki maka akan diambil sebagai menantu kalau wanita akan dijadikan anak putri  Kanjeng Sultan Selangor, maka sayembarapun bergema sampai pelosok penjuru negeri namun tak satupun yang dapat menyembuhkan penyakit sang putri.

Syahdan diceritakan, Kyai Zainal Abidin yang sudah dua bulan melakukan I’tikap di masjid kota bermaksud keluar dari masjid untuk melihat lihat sejenak, dan sesampainya di luar gapura masjid mendengar berita tentang sayembara tersebut.

Tergerak hatinya mendengarkan penderitaan sang Putri maka diputuskan untuk menghadap sang Sultan dan menyampaikan maksud kedatangannya untuk membantu menyembuhkan putri. Sang Sultanpun berkenan dan Zainal Abidinpun dibawa ke keputrian untuk mengusahakan penyembuhan sang putri. Atas ijin Allah SWT maka Zainal Abidin bisa menyembuhkan penyakit sang putri dan alangkah bahagianya sang Sultan melihat kejadian tersebut, maka sesuai dengan janji Sultan Kyai Zainal ‘Abidin diambil menantu dan terus dinikahkan dengan putri Raja Selangor. Setelah itu keturunan  Kyai Zainal Abidin dan putri Sultan Selangor menjadi penerus kekuasaan raja-raja Selangor.

KYAI BIN OEMAR MEMBUKA HUTAN (BABAD) DIDESA BANJARSARI MADIUN.

Sesudah Kyai Ageng Tegalsari mengangkat semua putra-putrinya kejenjang rumah tangga, tinggal seorang putrinya yang bungsu yang belum mendapatkan jodoh sehingga memprihatinkan Kyai Ageng Tegalsari. Beliau memohon kehadirat Allah SWT agar putri bungsunya segera mendapatkan jodoh.

Diceritakan bahwa Kyai Ageng Pugeru mempunyai putra lelaki yang bernama Bin Oemar dilamarkan ke Tegalsari oleh ayahnya.Setelah diterima oleh Kyai Ageng Tegalsari, Bin Oemar kemudian dinikahkan dengan putrinya. Antara 7 hari sesudah hari pernikahan di Kratorn Yogjakarta terjadi suatu kejadian yang menggemparkan ialah hilangnya Pangeran Singosari yang pergi dari Yogjakarta dan membuka (babad) hutan di daerah Malang, di desa Singosari dan mendirikan istana (Kraton) sendiri. Sinuhun Yogja bertanya kepada Tumenggung. Ki Tumenggung ini nanti akhirnya bercerita bahwa Pengeran Singosari tidak mau kembali ke Yogja, daripada nanti ada perang Saudara bagaimana ini Tumenggung. Ki Tumenggung lalu memberikan jawaban Gusti sebaiknya paduka saya mohon mengirim utusan ke Tegalsari minta pertolongan kepada Kyai, supaya Kyai mau mengajak pulang  Pangeran Singosari kembali ke Yogja. Kalau demikian engkau saya utus pergi ke Tegalsari menyelesaikan persoalan ini perintah Sinuhun. Ki Tumenggung menyanggupi kemudian buru-buru berangkat menuju Tegalsari.

Sesampainya di Tegalsari kemudian menemui Kyai Ageng Tegalsari dan mengatakan maksud dan tujuannya menghadap Kyai Ageng. Kyai saya diutus oleh Sinuhun Yogja untuk mohon bantuan Kyai membawa pulang Pangeran Singosari yang dewasa ini sedang babad di hutan desa Singosari Malang. Dikhawatirkan kalau pengeran tidak mau pulang ke Yogja kelak akan timbul perang saudara. Nanti apabila Kyai Ageng dapat membawa pulang Pangeran Singosari maka Kyai akan diberi anugrah yaitu bumi merdika yang tidak dikenakan pajak untuk selama-lamanya. Kyai Ageng Tegalsari kemudian memanggil Kyai Bin Oemar, putra menantu yang baru menikah dan memerintahkan  Bin Oemar, hari ini engkau saya utus ke Singosari Malang supaya membujuk pangeran yang sedang Babad hutan mau kembali ke Yogja.

Bin Oemarpun sendiko dawuh atas perintah yang diberikan oleh mertuanya dan berangkat bersama-sama dengan Ki Tumenggung. Sesampainya di Malang Bin Oemar sholat diperbatasan hutan yang sedang di buka oleh Pangeran Singosari. Setelah sang Pangeran mengetahui kedatangan tamu dan salah satunya Ki Tumenggung dari Yogja maka Pangeran memerintah senopati untuk menangkap Ki Tumenggung. Bin Oemar menerangkan segala maksud tujuannya menemui Pangeran Singosari dan Ki Tumenggung hanyalah mengantarkan Bin Oemar,  dan setelah keduanya berbicara panjang lebar akhirnya ada kesepakatan bahwa Pangeran Singosari mau pulang ke Yogja dan Bin Oemar sebagai jaminanan atas keamanan Pangeran Singosari. Ki Tumenggung diutus berangkat dahulu untuk memberitahu kepada Sinuhun Yogja atas segala perihal yang sudah dilaksanakan dan meminta penjemputan oleh prajurit di batas kota jogja. Atas jasa Bin Oemar maka Sinuhun menghadiahkan bumi Perdikan Banjarsari Madiun bebas pajak.

KYAI AGENG KASAN BESARI TEGALSARI TERIMA TRIMAN PUTRI DARI SURAKARATA.

Semasa Tegalsari dipegang oleh Kyai Kasan Besari, keadaannya subur makmur aman sentausa, rakyat sedesa dan kiri kanannya pada mantap menghadap dan dengan sungguh-sungguh memeluk Agama Islam. Mereka rukun bersatu padu dan bergotong-royong  dan tidak ada bentrok satu dengan yang lain, adanya hanya saling bantu-membantu dengan semboyan sakit dipikul bersama enak dirasakan bersama. Kyai Kasan Besari adalah putra dari Kyai Iljas dan Kyai Iljas adalah putra dari Kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari, berarti Kyai Kasan Besari adalah cucu dari Kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari.

Desa Tegalsari semakin hari menjadi semakin tambah banyak penduduknya dan sangat maju dalah agama Islam, sampai tersohor dimana-mana Pesantren Tegalsari. Kyai Kasan Besari kecuali mengajar para santri juga manjabat sebagai  Kepala desa Tegalsari. jumlah muridnya ketiak itu tidak kurang dari 10.000 orang. Diwaktu itu Kyai Ageng Kasan Besari sampai membuat peraturan baru yang selaras dengan hukum agama Islam. orang mencuri apabila tertangkap hukuman potong tangan, orang berzina dihukum timpuk sampai 80 kali. Dari hal inilah yang menjadikan desa-desa di sekitar Tegalsari iri dan mengikuti apa yang telah diterapkan oleh desa Tegalsari.

Bupati Ponorogo setelah mendengar berita bahwa Kyai Tegalsari membuat peraturan sendiri dan menyebal dari peraturan Pemerintah, segera melaporkan kepada Sinuhun di Surakarta, Sinuhun merasa terkejut sekali, terus memerintahkan supaya menangkap Kyai Tegalsari untuk dibawa ke Surakarta dan dikenanakan pidana. Sesudah diurus oleh Pengadilan Kyai Ageng Kasan Besari mendapat keputusan untuk dibuang (diselong) keluar Jawa, di seberang lautan. Kyai Ageng Kasan Besari jadi diberangkatkan ke tempat pembuangan, setibanya di Jakarta terus dinaikkan kapal. Begitu jangkar diangkat pertanda kapal mau berangkat bergerak berlayar, mendadak sontak mogok, kapal tidak mau jalan. Berulangkali setelah hidup kapal dijalankan mesin mogok lagi. Berikutnya dari pihak penguasa timbul pikiran supaya Kyai Ageng Kasan Besari diturunkan dari Kapal dan kapal dicoba berlayar maka tidak ada masalah, lancar-lancar saja. ketika Kyai Ageng Kasan Besari dinaikkan ke kapal lagi – mogok lagi kapal tidak mau bergerak. Setelah diketahui sebab musababnya berasal dari Kyai Ageng Kasan Besari maka beliau tidak jadi dibuang keluar Jawa dan ditawan didalam Mesjid Agung Surakarta.

Di bulan Maulud, Kyai Sebaweh yang tinggal di Tegalsari, mewakili Kyai Ageng Kasan Besari memberi perintah kapda para santri supaya pergi ke Surakarta untuk melihat Grebeg Maulud sekalian menengok Kyainya, karena mendengar berita bahwa Kyai tidak jadi diasingkan tapi ditawan di Masjid Agung Surakarta. Para santri gembira sekali kemudian mereka mengatur keperluan masing-masing untuk berangkat ke Surakarta. Sampai tempat  tujuan mereka langsung menuju masjid Agung di mana Kyai ditawan. Mereka menemui dan menyalami Kyai Ageng Kasan Besari dan mereka merasa sedih ketika melihat Kyai mereka menderita tekanan bathin, mereka mohon bertanya hal keputusannya.

Kyai Ageng memberi jawaban bahwa beliau masih dalam tawanan di dalam masjid ini dan menunggu keputusan Pengadilan lebih lanjut. Para santri mohon bertanya pada Kyai apakah diperbolehkan oleh Kyai kalau borgol (rante) yang mengikat itu diputuskan saja ? ada santri lain yang mengusulkan supaya rantenya ditiup saja, nanti kan copot sendiri. Kyai Ageng Kasan Besari kemudian ketawa sambil menjawab, gus kalau seorang laki-laki sejati sebenarnya kalau Gusti Allah berkehendak melepaskan belenggu atau rante itu bukannya diputus atau ditiup, tetapi lepasnya harus dari orang yang membelenggu semula. Jadi aku hanya pasrah kepada Allah saja, terserah bagaimana keputusan Allah. Gus baiknya ini bulan Maulud, nanti malam mari semua mengadakan perjanjean (berjanjen/barzanji) dan salawatan Maulud untuk menghormati Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sebaiknya salah seorang santri pergi menghadap bapak Penghulu perlu mohon ijin untuk mengadakan perjanjen dan salawatan. Sesudah para santri menghadap bapak penghulu untuk mohon ijin mengadakan perjanjen dan selawatan di mesjid agung dan diperkenankan malamnya perjanjen dan selawatan  Maulud Nabi dimulai, suara di masjid dan kanan kirinya sungguhnya ramai karena jumlah 500 orang santri pada melaksanakan semua. Banyak orang yang pada melihat dan merasa heran, sebab pada masa itu belum ada orang yang dapat selawatan Maulud, kalau toh ada yang dapat selawatan masih jarang sekali. keadaan yang baru terlaksana ini membuat puas dan senangnya opara pinisepuh di daerah Surakarta sehingga membikin tenteramnya pemerintahan.

Diceritakan setelah waktu menunjukan pukul satu malam, waktunya asrakat, Kyai Ageng Kasan Besari yang bertindak selaku dalangnya dasar suaranya dan cara melagukan sangat enak sehingga kedengaran kedalam krator para putri pada tergiur mendengar suara tersebut. Seorang putri sinuhun bertanya, Ayah suara siapa yang enak didengar itu ? Itu suara Kyai Ageng Kasan Besari yang tidak jadi diselong dan ditawan didalam masjid Agung. Kalau begitu ananda mohon dijodohkan dengan Kyai Ageng Kasan Besari sinuhun, pinta sang putri pada ayahndanya kalau tidak lebih baik ananda bunuh diri saja padahal Sinuhun sudah menjodohkan putri tersebut dengan seorang Pangeran dari Yogjakarta. Akhirnya Sinuhun mengabulkan permohonan putrinya dan dinikahkan dengan Kyai setelah syarat 2 yang diminta Kyai Ageng Kasan Besari disetujui yaitu minta penghidupan untuk menafkahi putri dan dibebaskan dari segala hukuman.

Kyai Ageng Kasan Besari dihadiahi sawah seluas 100 bahu untuk menghidupi putrinya tersebut. Paman Sinuhun yang sedang bertapa di gunung Tidar mendengar perihal pernikahan putri Raja dengan orang rendahan tidak berkenan dan datang kepada Sinuhun untuk menanyakan perihal tersebuit. Sinuhun, tukasnya, putri raja harusnya dapat dari kalangan raja juga, tapi kenapa dijodohkan dengan santri dari golongan rendahan itu kan menurunkan kewibawaan. Pamanda, njuk Sinuhun, biarpun dia Seorang Kyai tapi mempunyai kesaktian yang luarbiasa melebihi kesaktian saya mapun kesaktian paman, lagi pula dia masih keturunan Sunuhun Brawijaya, jadi masih trah rembesing madu. Tidak puas dengan penjelasan sinuhun maka pamanda sinuhun menantang seberapa besar kesaktian Kyai Ageng Kasan Besari. Sinuhun mengutus pengawal untuk menjemput Kyai ke Tegalsari Ponorogo lengkap dengan kudanya, namun sesampai di Tegalsari setelah maksudnya di ketahui oleh Kyai maka disuruh pulang dululah para pengawal kerajaan bersama-sama dengan Nyai Ageng Kasan Besari tersebut ke Surakarta nanti Kyai akan menyusul. 7 hari setelah pengawal sampai di surakarta terheran-heran melihat Kyai Ageng Kasan Besari sudah datang lebih dahulu daripada mereka yang berangkat lebih dahulu bersama-sama dengan Nyai Ageng dan beliau Kyai sudah berada di keraton Surakarta 6 hari lamanya.

Nyai Ageng mohon penjelasan dari Kyai Ageng: Kyai kok sudah ada di sini naik apa dan sudah berapa lama, maka Kyai jawab dengan enteng saja, ya jalan kaki dan sudah ada di sini selama 6 hari kenapa kalian saya tunggu lama kok tidak datang-datang. Mendengar jawaban Kyai Sinuhun dan pamanda terheran-heran, kemudian mereka kembul bojana antara putra-putra sentono.

Pada saat makan sang Paman sinuhun mengambil lauk ayam rampadan yang sudah ada dipiring, seketika ayam lauk tadi tiba-tiba menjadi ayam hidup dan kemudian terbang. Kyai Ageng Kasan Besari merasa dicoba lalu beliau mengambil saputangan dibuang dan menjadi luwak(musang) maka sang luwak mengejar ayam yang lari tersebut dan memakannya. Ketika itu juga sang Paman mengambil lauk daging kambing yang ada dirampadan lainnya dan berubah menjadi kambing hidup. Kyai Ageng tidak terlena kemudian beliau melepas surban yang dipakainya dan melempar surban sehingga menjadi harimau yang menerkam kambing tersebut. Melihat kejadian tersebut maka Sinuhun Surakarta minta kepada Pamanda dan sang menantu untuk tidak melanjutkan adu katiyasan tersebut. Sang Pamanda bertanya pada Kyai Ageng, apa bisa memanah  dan sang Kyai menjawab tidak, tapi kalau paman minta untuk titis-titisan dalam memanah Kyai akan mengikuti. Sang Paman lalu memasang gambar burung ditengah alun-alun yang digantung, kemudian dilepasi dengan panah dari kejauhan dan semua mengenai mata gambar burung tersebut tidak ada yang meleset.

Kemudian waktunya Kyai Ageng Kasan Besari untuk melepas anak panah, sebelumnya Kyai minta apa diperbolehkan melepas anak panah dengan membelakangi gambar burung tersebut? pamanda mengiyakan permintaan tersebut. Walhasil seluruh anak panah yang dilepas Kyai dengan cara membelakangi gambar burung tersebut menancap tepat di mata burung tersebut sampai tembus. Selanjutnya Kyai Ageng Kasan Besari mengeluarkan guna kesaktiannya sambl berkata kepada yang mulia. Eyang, cucunda mohon diperkenankan menyampaikan sepatah kata untuk dipergunakan sebagai terakhirnya kepercayaan kepada cucunda. Sekarang beringin kurung itu saya panah, eyang silahkan memeriksa nanti kalau ada selembar daunpun yang tidak berlobang, cucunda terima dan langsung menjatuhkan talak kepada cucunda Yang mulia. Selanjutnya hamba akan pulang ke Tegalsari Ponorogo seorang diri saja. Setelah sepakat maka Kyai memanah ringin kurung yang seketika roboh terbelah jadi dua dan seluruh daunnya berlobang, dari situ Sinuhun dan Pamanda sudah sangat mengakui dan merasa terkalahkan dan akhirnya mengijinkan Kyai beserta isterinya pulang ke Tegalsari Ponorogo. Keberangkatan Kyai Kasan Besari beserta isteri diiringkan dengan suatu penghormatan yang luar biasa dan setelahnya menjadi pembicaraan  atas kehebatan yang sudah dipertunjukkan ibarat bunga wangi yang bau harumnya semerbak kemana-mana.

BAGUS BURHAN MONDOK DITEGALSARI.

Antara selang 3 bulan dari sejak pulangnya Kyai kasan Besari dari Surakarta tumenggung Tjokronegoro ingin dan tergiur sekali dapat necep Ilmunya Kyai Kasan Besari, kemudian putranya lelaki yang bernama Bagus Burhan dihantarkan ke Tegalsari, untuk dipondokkan pada Kyai dan supaya dipimpin dan dibina. Kedatangannya disertai seorang pembantu pribadi yang bernama Onggoloyo juga berasal dari Solo Surakarta.

Diceritakan Bagus Burhan mondok di Tegalsari antara satu tahun lamanya, selalu membikin tidak amannya pondok dan mengajak para santri pergi untuk menyabung ayam jago dan plesiran judi.Lama kelamaan di pondok timbul keerusuhan dikarenakan judi keplek, dadu dan adu jago. Mendengar itu semuai Kyai Kasan  Besari menjadi sedih sekali dan memanggil Onngoloyo karena Kyai sendiri jarang ketemu Bagus Burhan. Kyai minta supaya Bagus Burhan disuruh keluar saja dari Pondok ini sebab selalu bikin keributan dan kerusakan moral sejak saat itu juga, kemudian Onggoloyo mengajak Bagus Burhan untuk pergi dari Tegalsari. Bukan main sedihnya hati Bagus Burhan karena jika kembali ke Solo pasti akan dimarahi oleh ayahnya Tumenggung Tjokronegoro.

http://sirojulfataa.blogspot.com/2012/04/sejarah-kyai-ageng-mohammad-besari.html

Negara Sengkarut Pikir

$
0
0

Negara Sengkarut Pikir

Kompas.com – 02/02/2015, 17:20 WIB

Oleh: Yudi Latif

JAKARTA, KOMPAS –

Menjelang kematiannya pada 1873, pujangga agung Keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita, menulis puisi ratapan, “Serat Kalatidha” (Puisi Zaman Keraguan). Bait pertama puisi tersebut bersaksi, “Kilau derajat negara lenyap dari pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketiadaan teladan. Para cerdik pandai terbawa arus zaman keraguan. Segala hal makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman”.

Hampir satu setengah abad kemudian, gambaran serupa membayangi pusat kekuasaan negara Republik Indonesia, yang mencapai titik zenitnya pada masa kepresidenan Joko Widodo (Jokowi). Seorang putra Surakarta dari kalangan kawula, yang karena sepak terjangnya sebagai political outsider yang berbeda dari kebanyakan politisi, melesat cepat menjadi presiden dengan gelembung harapan rakyat yang nyaris seperti ratu adil.

Namun, belum genap seratus hari pemerintahannya, harian bergengsi The New York Times, 17 Januari 2015, melukiskan nasib sang presiden dalam nada Serat Kalatidha. Bahwa bagi rakyat Indonesia, derajat kepemimpinan negara telah kehilangan “kilaunya” (“For Indonesians, President’s Political Outsider Status loses Its Lustre”).

Kegagalan mentalitas Ujian mental bagi independensi presiden pengusung revolusi mental ini dilalui dengan kegagalan mentalitas, seperti tercemin dari serangkaian penyangkalan terhadap ide-idenya sendiri. Gagasan koalisi ramping demi kehebatan pemerintahan, dirobohkan oleh susunan kabinet dan staf kepresidenan yang sarat kepentingan, menampilkan kombinasi menteri-menteri berkualitas rendah dan bertanda merah.

Orientasi kerakyatan dihela dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) saat harga minyak dunia turun. Visi pemerintahan bersih dan peradilan independen dinodai dengan mengangkat Jaksa Agung dari kalangan partisan.

Presiden juga menerobos batas kepantasan dengan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden yang didominasi orang- orang partai, dengan kualitas kenegarawanan yang jauh dari semangat asal Dewan Pertimbangan Agung. Batas etis pun dilanggar dengan mengajukan calon tunggal Kapolri bertanda merah dengan rekam jejak pelanggaran yang sudah terpublikasikan.

Jurnal seratus hari pemerintahan Jokowi ditutup dengan sengketa KPK versus polisi, dengan posisi dan jawaban presiden yang tidak meyakinkan. Apa gerangan yang membuat seorang presiden yang memenangkan mayoritas dukungan dalam pemilihan langsung begitu tak berdaya menentukan pilihan?

Persoalannya jelas tak bisa ditanggung oleh Jokowi sendirian. Lewat symptomatic reading, kita bisa mengenali bahwa kegagalan mentalitas pemimpin baru ini hanyalah tanda permukaan dari arus bawah yang lebih sinister, yakni meluasnya dekadensi dalam demokrasi kita. Masalah terbesar politik Indonesia saat ini adalah semua orang tahu ada banyak masalah dalam demokrasi, tetapi seperti tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu untuk mengatasinya.

Ketidaksanggupan warga untuk mengatasi masalah-masalah kolektif ini terjadi karena institusi-institusi representasi demokrasi dan lembaga publik tidak lagi di bawah kendali publik, tetapi jatuh ke tangan pengendalian segelintir pemodal kuat.

Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik. Dalam perkembangan demokrasi di negeri ini, pintu masuk bagi penetrasi pemodal ke dalam domain publik itu melalui pengadopsian model demokrasi liberal padat modal.

Suatu model demokrasi, yang bagi Amerika Serikat sendiri dengan ratusan tahun sejarah demokrasi dengan basis egalitarianisme yang kuat, dalam perkembangannya terbukti hanyalah menjadi tunggangan yang efektif bagi elevasi satu persen orang terkaya.

Di negeri ini, dengan warisan kesenjangan pasca-kolonial, pengadopsian demokrasi liberal padat modal di tengah samudra kemiskinan, membuat pemimpin terpilih—meskipun dengan dukungan mayoritas rakyat dalam pemilihan langsung—lebih berutang pada pemodal yang nyata ketimbang rakyat yang abstrak.

Dalam konteks inilah kita melihat Jokowi sebagai presiden hanyalah pekerja partai-pemodal. Dimensi struktural dari dekadensi demokrasi itu diperburuk oleh kapasitas pemimpin negara sebagai agen perubah. Menangkal kepentingan pemodal-perseorangan meniscayakan kesadaran dan strategi ideologis.

Berbagai langkah blunder Jokowi dalam seratus hari pemerintahannya justru mencerminkan kelemahan daya baca dan referensi ideologis ini. Tanpa radar ideologis, seorang pemimpin tak memiliki kerangka referensial untuk membantu menentukan jenis manusia dan kebijakan apa yang sepatutnya dipilih. Tekanan Jokowi pada pengetahuan praktis-pragmatis mengabaikan pentingnya “narrative knowledges”. Padahal, gagasan besar semacam revolusi mental harus diletakkan dalam kerangka strategi ideologis berbasis pengetahuan naratif (sejarah, antropologi, sosio-psikologi, ekonomi-politik dan praktik diskursif).

Ada semacam ilusi bahwa tindakan bisa dijalankan secara benar tanpa pemikiran yang benar. Padahal, seperti diingatkan Lyndon B Johnson, “Tugas terberat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.”

Tanpa pengetahuan yang benar, ketangkasan bertindak hanya akan mempercepat kegagalan. Anti-intelektualisme.

Namun, Jokowi tidak berdiri sendirian. Kemunculan Jokowi sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan.

Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya; ikut-ikutan mengagumi sensasi tindakan sesaat seperti pembakaran perahu yang telah lama terampas oleh menteri baru.

Gelombang anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual, tetapi utamanya karena desakan kebutuhan sehari-hari yang tidak segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi pemikiran. Seperti kata Bung Karno, “Orang lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi.”

Pelarian dari kesulitan hidup ini dininabobokan oleh candu hiburan-hiburan dangkal-miskin pikir yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran televisi kita; membudayakan semacam “the cult of philistinism” (pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis).

Peluluhan daya pikir ini memberi prakondisi bagi supremasi pemodal untuk mengarahkan pilihan rakyat lewat kampanye media. Kekuatan pemodal yang cenderung menepikan kekuatan kritis bertemu dengan kecenderungan banalitas arus bawah. Lewat manajemen impresi, subtansi pemikiran dikalahkan oleh kesan pencitraan.

Maka, para pemimpin terpilih mencerminkan defisit pemikiran. Dengan begitu, negara tidak memiliki topangan pemikiran dan pengetahuan yang kuat. Sengkarut negara mencerminkan sengkarut pemikiran. Hal ini tercemin mulai dari ketidakberesan hasil amandemen konstitusi, produk perundang-undangan, desain institusi-institusi demokrasi, hingga ketidaktepatan pilihan kebijakan dan orang. Keadaan ini menempatkan negara di tepi jurang.

Para pemikir kenegaraan lintas zaman dan lintas mazhab cenderung menyepakati hubungan integral antara negara dan pengetahuan. Negara sendiri didefinisikan sebagai organisasi rasional dari masyarakat. Bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penjelmaan dari pikiran. Michel Foucault menegaskan, “Pemerintah, oleh karena itu, memerlukan lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik juga sangat diperlukan: pengetahuan yang konkret, tepat, dan terukur.”

Membanguan negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin-pengumpul kecerdasan (intelligence-gathering machine). Kedekatan antara negara dan kecerdasan, dan bahwa keselamatan negara ditentukan oleh kecerdasan, terlihat dari pemahaman umum yang cenderung mengaitkan istilah “intelijen” dengan badan inteligen negara, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan sejenisnya.

Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya seperti istana pasir. Oleh karena itu, jika demokrasi kita maksudkan sebagai jalan kemaslahatan bangsa, maka jalan sesat demokrasi dalam kendali plutokrasi-aristokrasi itu harus dihentikan dengan cara membangun demokrasi-meritokratis.

Demokrasi yang kita kembangkan harus menumbuhkan kembali daulat rakyat yang dipimpin oleh kekuatan akal budi (hikmat kebijaksanaan) dalam suasana deliberatif dan argumentatif (permusyawaratan perwakilan).

Yudi Latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Negara Sengkarut Pikir”, https://nasional.kompas.com/read/2015/02/02/17201771/Negara.Sengkarut.Pikir#page1.

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live