Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Gestapu: INILAH YANG SEBENARNYA TERJADI

$
0
0

Danz Suchamda

NILAH YANG SEBENARNYA TERJADI

Inilah sebab mengapa negeri yang kaya raya tapi penduduknya miskin.
Semoga mengertilah kalian semua kini.
Berapa ribu ton emas Indonesia yg dibawa keluar negeri?
Kok negeri ini bukan tambah kaya tapi malah tambah terpuruk hutang???

Maka bijaksanalah dalam mengembangkan pengertian-pengertian dan ketepatan informasi sehingga tidak mudah diperdaya lagi. Maka seluruh rakyat bertanggung-jawab untuk partisipasi dalam mengawasi jalannya politik di negeri ini dan menjaganya tetap dalam rel Konstitusi. Turut menganalisis dan mendidik sesamanya di ruang lingkup masing-masing. Kalau kekayaan alam kita tidak disedot asing, maka sesungguhnya kalian sekarang tentu sudah makmur2 semua. Maka, bijaksanalah. Carilah pemimpin yang benar supaya kerugian besar negeri kita tidak terjadi lagi.

Merdeka!

Rahayu!

 


OCTOBER 27, 2018: DISCUSSION: SUNDALAND AND ITS ANCIENT LEMURIA-ATLANTIS CIVILIZATIONS

$
0
0

 

http://talataaki.com/schedule/
OCTOBER 26, 2018: OPENING CEREMONY
20.00-21.00 Opening Prayer Session
OCTOBER 27, 2018: DISCUSSION: SUNDALAND AND ITS ANCIENT LEMURIA-ATLANTIS CIVILIZATIONS
13.00-17.00 Speakers:
1.Dicky ZA, author of Arkhytirema novel and founder of Lanterha The Lemurian Meditation
2.Dhani Irwanto, author of Atlantis The Lost City Is In Java Sea book
3.Suyanto, Cultural ActivistModerator:
Ahmad Y. Samantho, author of Peradaban Atlantis Nusantara (Nusantara Atlantis Civilisation) book
OCTOBER 27, 2018: MUSIC CLINIC
13.00-14.00 Indian Tabla: Ustadz Shabbir Hasan Warsi, Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre
14.00-15.00 Chinese Zither (Guzheng): Eni Agustien
15.00-16.00 Sundanese Zither (Kacapi): Perceka Art Center, Cianjur
OCTOBER 27, 2018: PHOTOGRAPHY EXHIBITION & DISCUSSION
14.00-16.00 Theme: World Peace
OCTOBER 27, 2018: BAZAAR
13.00-24.00 Sundanese clothes, machete/golok, bamboo craft, gems and many more
OCTOBER 27, 2018: MAIN EVENT
18.15-18.30 Sundanese Yodelling/Wordless Vocal (Beluk): Dangiang Linggar Manik, Subang
18.30-18.45 Balinese Sacred Dance: Rejang
18.45-19.00 Sundanese Sacred Performance Art of Aki Lengser
19:05-19:15 Sundanese Jaw Harp (Karinding): Ki Gola, Bogor
19:20-19:35 Indian Tabla: Ustadz Shabbir Hasan Warsi, Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre
19:40-19:55 Chinese Zither (Guzheng): Eni Agustien
20:00-20:15 Japanese Zither (Koto): Jakarta Koto Club
20:20-20:35 Sundanese Zither & Talk (Kacapi Suling): Aki Dadan & Mang Tatang Setiadi, Cianjur
20:40-21:00 Sundanese Sung Epic (Kacapi Pantun): Abah S. Dradjat Kusumahdiningrat, Bandung
22:00-24:00 Sundanese Sung Poetry (Gembyung): Mang Ayi Ruhiyat, Subang
04:30 AM Sundanese Solo Flute: Kanekes, Banten

 

His first public appearance in 2007 has surprised many classical Sundanese music lovers across the country. People have waited for a very long time to see a talented classical Sundanese music player at the time.

He learned his skills from several famous Sundanese musicians, such as Aang Didi in Cinangka Ujungberung, who taught him performing solo singing without accompaniment by musical instruments, or called Mantun Beton. The lyrics of the old pantun he learned from Sukaman. He also had been guided by Dalang Ki Asep Sunandar Sunarya on how to insert messages of moral goodness in the play.

Mang Ayi has completed many projects in cooperation with domestic and overseas musicians. Now he is known as one of the most respectable classical Sundanese kacapi suling player in Indonesia.

He is a maestro who dedicated his life to Mamaos Cianjuran. A Sundanese classical music which is very popular in the area of Cianjur, West Java. He has been playing this music for a very long time. Almost 60 years.

He played frequently before President Soekarno between 1960-1964 in Cipanas Palace. He had also asked to perform in State Palace in Jakarta.

He travelled to Europe to introduce the beauty of Mamaos Cianjuran.

 

The beauty of Indian music will be presented through an interesting play of tabla and sitar performed by Ustadz Shabbir Hasan Warsi and his friends from Jawaharlal Nehru Indian Cultural Center in Jakarta.

Ustadz Shabbir was born in New Delhi, India. He is a disciple of Delhi Gharana and known as a first class musician in India.

Eni is the founder of Miladomus Music School in Jakarta. She is one of the best Guzheng players in Indonesia. Her music skill first learned from Wang Xiu Zhen in Taiwan and later deepened by being a student of Professor He Bao Quan and Sun Wen Yuan at the Shanghai Conservatory Music in China.

She has performed in many music festivals in Indonesia and overseas: solo concerts in Japanese cities, The Inspiration of Guzheng at Goethe Institute Jakarta, Grandioso 100 Guzheng Music Stratophere in Singapore, a charity concert with Panda Guzheng Group in Singapore and Steven Chorale at Touch Community Theatre Singapore, The Spirit from China, National Imlek Concert in Jakarta, represents Indonesia at Asian Traditional Music Forum, 5th World Guzheng Cultural Exchange Conference at Yang Zhou, China, International Rondalla Festival in the Philippines, Concert 100 Kecapi in Jakarta, INO Voice of Diversity in Australia and Turning Point II Concert.

Transcendental Unity of Religion: Gayatri Matram, Hindu ini mirip maknanya dengan Al-Quran Surat A-Fatihah

$
0
0

Transcendental Unity of Religion: Gayatri Matram, hindu ini mirip maknanya dengan Al Quran Surat A-Fatihah, https://www.youtube.com/watch?v=SarlTxrAbIY

GAYATRI MATRAM ADALAH IBU DARI WEDA…
AL FATEKAH ADALAH IBU DARI QURAN.

Untaian kalimat dari dua bahasa yg berbeda dengan makna yg sama.

OM BHUR BHUWAH SWAH
Ya Tuhan, engkau adalah penguasa alam nyata, alam sorga dan neraka (termasuk alam antara), serta alam Brahman

Alhamdulillahi rabbil ‘Alamin
segala puji bagi Allah Rab seluruh alam

TAT SAVITUR WARENYAM
hanya engkaulah satu-satunya yang patut disembah

Iyyaka Na’budu
Hanya Engkaulah satu-satunya yang patut disembah

BHARGO DEVASYO DHIMAHI
engkaulah satu-satunya tujuan dari semadhi hamba

wa iyyaka nasta’in
Dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan

DHIYO YO NAH PRACODAYAT
tunjukkanlah hamba jalan yang terang, agar hamba bisa kembali kepada-Mu

Ihdina Syiraathal mustaqim
Tunjukilah kami jalan yang lurus…

Om = omkara = sebutan/nama tuhan.
Bur, burwah, swaha = alam arcapada, mayapada, dan sorga.
Tat savitur varenyam = darimulah semua berasal.
Bhargo dewasha dimahi = wahai mahluk dalam wujud cemerlang/cahaya.
Dhiyoyonah prachondayat = berkatilah kami.

Menurut Veda (pengetahuan) ada banyak jalan dan cara menuju pada kebenaran tertinggi (Tuhan) karena Tuhan memiliki banyak nama dan bentuk. orang bijak pasti menghormati perbedaan tsb sebagai kesatuan bukan sebagai permusuhan, bahwa semua makhluk adalah sama2 ciptaan Tuhan. om shanti shanti shanti (salam damai).

GAYATRI MANTRAM FUNGSI DAN BERKAHNYA BAGI YANG MENGUCAPKAN

OM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDDHAM

Sudah banyak diantara umat Hindu yang mengenal dan hapal mantra Gayatri, namun belum semua diantara yang hapal dan mengenal mantra Gayatri mengetahui apa saja kegunaan dari mantra yang sangat universal ini dan dianggap sebagai ibunya mantra.

Untuk itu saya mencoba menyampaikan sedikit pengalaman mempergunakan mantra Gayatri dalam kehidupan sehari-hari dan dampak sampingan bagi kita untuk meningkatkan tingkat spiritual masing-masing.

Sebelumnya, perlu diketahui yang lebih penting dari pada itu adalah pemahaman tentang keberadaan diri kita sendiri yaitu bahwa kita lahir ke dunia bukanlah seorang diri. Secara kodrat sudah ditentukan bahwa manusia itu lahir ke dunia bersama dengan delapan saudara kembarnya sehingga menjadi sembilan dengan dirinya. Empat berada di luar diri manusia dan lima berada di dalam diri manusia yang dikenal dengan sebutan “sedulur papat kelima pancer”. Sedulur papat kelima pancer ini adalah merupakan kunci utama dari berhasil atau tidaknya seseorang mengarungi kehidupan di dunia ini dan di dunia kelanggengan. Ketika kita mau makan, berangkat kerja, sembahyang dan sebagainya kita harus mengajak mereka bersama-sama, agar kita dijaga dari hal-hal yang tidak kita inginkan.

MANTRA GAYATRI

OM BHUR BUWAH SWAH
TAT SAWITUR WARENYAM
BHARGO DEWASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYAT

(Ya Tuhan, Engkau penguasa alam nyata, alam gaib, alam maha gaib)
(Engkaulah satu-satunya yang patut hamba sembah)
(Engkaulah tujuan hamba dalam semadhi)
(Terangilah jiwa hamba agar hamba berada dijalan yang lurus menuju Engkau)

1. MANTRA  GAYATRI UNTUK MENGAGUNGKAN  DAN  MENYEMBAH TUHAN.

Dengan mengucapkan mantra Gayatri secara berulang-ulang minimal 108 kali sesering mungkin untuk mengagungkan, menyembah Dia, maka kita akan memperoleh ketenangan jiwa dan pikiran, caranya :

Ucapkan pertama Om Awignham Astu Namo Siddham sebelum kita memulai . Selanjutnya ajak saudara kita(nyama papat) untuk sembahyang : Sedulurku papat kelima pancer, kakang kawah adi ari-ari kang lahir tunggal dine, tunggal dalam kadangku, tuwo lan sinom podo, mari kita sama-sama menyembah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca. Ucapkan OM TAT SAT EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN, selanjutnya japa gayatri dengan khusuk( minimal 108 kali.)

2.MANTRA GAYATRI UNTUK MEMBUKA TUJUH CAKRA UTAMA YANG ADA DALAM DIRI MANUSIA, DIBANTU PRANAYAMA DAN DAGDI KARANA

Dengan melakukan pranayama adi pada waktu pagi atau malam hari dengan cara :
Duduk bersila, pakaian agak longgar, alas duduk yang empuk lakukan:

  1. Tarik nafas yang dalam dengan cepat langsung ditaruh diperut bagian  bawah/puser,tahan sebentar sambil baca mantra dalam hati: OM Ang Atmaya Brahma murtyayai namah.
  2. Nafas dinaikkan ke dada ditahan sebentar sambil baca mantra dalam hati: OM Ung Antaratmaya Wisnu Murtyayai namah
  3. Nafas dinaikkan ke kepala dan ditahan semampunya dan jangan memaksakan, sambil ucapkan mantra dalam hati: OM Mang Paramaatmaya Iswara murtyayai namah
  4. Nafas dibuang perlahan dengan mengucapkan mantra dalam hati: Om Ung Rah Pat astraya namah sarwa winasaya swaha.
  5. Lakukan dengan sabar dan ulangi beberapa kali semampunya. Kalau   capek bisa istirahat sebentar.
  6. Setelah melakukan pranayama adi, lakukan dagdi karana yaitu posisi tetap duduk bersila lalu ucapkan mantra :

OM Sariram kundam ityuktan
Triyantah karanam indhanam
Sapta Ongkara mayo bahnir
Bojananta udindhitah

(Ya Tuhan, semoga engkau jadikan tubuh ini bagaikan tungku api)
(yang sanggup membakar ketiga dunia dalam tubuh ini)
(menjadikan tujuh Ongkara/cakra yang ada dalam tubuh hamba menjadi terbuka)
(sehingga dapat menyimpan kekuatan prana)

Sambil mengucapkan mantra diatas bayangkan api rahasya yang berada di dalam kunda rahasya membakar semua papa roga menjadi abu .Bayangkan diri kita seakan-akan berada di tengah-tengah kobaran api suci yang membakar semua papa roga dan penyakit .

Kemudian ucapkan mantra

OM Ang astra Kala Agni Rudra ya namah swaha
(Ya Tuhan, atas restumu semoga Api Rudra yang rahasia hadir dalam tubuh hamba)

pada saat mengucapkan mantra ini bayangkan agni Rudra dari ujung jari kaki kanan membakar selubung maya kosa yang membungkus atman sehingga atman menjadi bersih dan bersinar

Setelah beberapa saat, ucapkan Amerta Mantra ;

OM Hram hrim sah Paramaciwa Raditya ya nama swaha
OM Ung Rah Phat astra ya namah.

Bayangkan ada tirta amerta yang mengguyur kepala kita terus mengalir melalui ubun-ubun keseluruh tubuh melalui tulang belakang menghanyutkan abu kekotoran tadi.

Teruskan japa Gayatri Mantram 108 kali.
Lebih banyak akan lebih bagus hasilnya.

3.MANTRA GAYATRI UNTUK MENDOAKAN PARA LELUHUR KITA

Kepada para leluhur, orang tua (almarhum) dapat dilakukan sebagai berikut :
Ya Tuhan Yang Maha Pengampun, semoga engkau mengampuni segala dosa dari para leluhur hamba, atau almarhum kedua orang tua hamba (sebut namanya), berikanlah tempat yang layak kepada mereka. Hamba hadiahkan Gayatri Mantram 108 untuk beliau. Leluhur yang kita doakan biasanya akan hadir dalam mimpi.

4.GAYATRI MANTRAM DIUCAPKAN PADA SAAT KITA MAU BERANGKAT KERJA, MELIWATI TEMPAT-TEMPAT YANG ANGKER DAN MENAKUTKAN

Ketika kita mau berangkat kerja atau berniat pergi kesuatu tempat, sebelum melangkah keluar dari pintu rumah ada tata krama yang perlu dilakukan demi keselamatan kita di jalan, apalagi ketika pada malam hari kita melewati tempat yang angker. Caranya :

Sebelum keluar dari pintu utama rumah, kita berdiri dibawah pintu, tarik nafas dalam, jari telunjuk melintang di depan kedua lobang hidung, hembuskan nafas lalu rasakan, lobang mana yang terasa lebih kencang keluarnya udara. Kalau lobang sebelah kanan yang terasa lebih kencang, maka kaki yang duluan melangkah adalah kaki kanan. Kalau lobang sebelah kiri yang terasa lebih kencang, maka kaki yang duluan melangkah adalah kaki kiri. Kalau kedua-duanya sama, maka kaki yang duluan melangkah terserah kita. Sebelum kita melangkahkan kaki, maka sebaiknya kita harus mengajak saudara kita :

Sedulurku papat kelima pancer, kakang kawah adi ari-ari kang lahir tunggal dina, tunggal dalam kadangku, tuwo lan sinom podo, mari kita sama-sama berangkat ke ….
Jagalah aku dalam perjalanan.

Ucapkan Gayatri Mantram 7 kali. Baru melangkahkan kaki sesuai dengan hasil yang diperolah tadi.
Apabila kita merasa ketakutan ketika melewati suatu tempat, kita tinggal mengucapkan Gayatri Mantram saja.

Didalam kita mengucapkan Gayatri Mantram, jumlah bait yang diucapkan tergantung untuk apa kita bergayatri mantram, Bila kita memohon pertolongan dari Tuhan, kita ucapkan gayatri mantram sebanyak 7 kali (pitulungan), 70 kali atau 700 kali dan lebih bagus lagi kalau 7000 kali.
Bila kita memohon kesempurnaan kepada Tuhan, maka kita ucapkan gayatri mantram sebanyak 9 kali (sempurna), 99 kali atau 999 kali dan lebih bagus lagi 9999 kali.

Bila kita memohon jalan yang sukses atas suatu kegiatan/upacara, maka kita ucapkan gayatri mantram sebanyak 11 kali (pintu gerbang), 111 kali atau 1111 kali.

5.GAYATRI MANTRAM UNTUK MENDOAKAN ORANG YANG SEDANG SAKIT.

Kepada orang yang sedang dicoba oleh Tuhan dengan memberikan penyakit, maka dengan mantra Gayatri kita bias membantu untuk memohon kesembuhan dari Yang Maha Menyembuhkan. Caranya :

Ya Tuhan Yang Maha Menyembuhkan, semoga Engkau anugrahkan kesembuhan kepada ……(sebutkan namanya) lalu panggil saudaranya yang sakit; sedulur papat kelima pancer si jabang bayi …….(sebut namanya yang sakit), bantulah saudaramu yang sedng sakit supaya sehat. Barulah berjapa Gayatri sebanyak 77 kali atau 777 kali. Bila perlu, lebih bagus lagi dibantu dengan sarana air putih. Setelah selesai air putih diminumkan dn dibalurkan kebadan yang sakit. Dalam hal ini, pemohon harus dalam konsentrai penuh. Bagi yang sudah bisa menerima sinyal/petunjuk dari gaib, maka gambar yang terlihat oleh mata bhatin; bias orang yang sakit tersenyum sehat, bias sinar terang, ini artinya orang yang sedang sakit akan dianugrahkan kesembuhan. Kalau gambar yang diterima dari gaib berupa kuburan atau kobaran api yang membakar sesuatu, ini petunjuk bahwa memang sakit ini adalah jalannya untuk meninggal. Namun tanda apapun yang diterima itu hanya untuk sendiri, jangan dulu disampaikan kepada orang lain, tidak boleh mendahului kehendak Tuhan.

6.GAYATRI MANTRAM KITA UCAPKAN PADA SAAT KITA AKAN TIDUR

Ketika kita berniat untuk tidur, maka sebelumnya kita sebut sadulur kita: sadulurku papat kelime pancer kakang kawah adi ari-ari kang lahir tunggal dina tunggal jalan, aku mau tidur, tolong jaga aku dari orang –orang yang jahat dan sirik. Om tat sat ekam eva adwitym Brahman, selanjutnya baca Gayatri mantram 7 kali.

7.PENUTUP

Gayatri Mantram adalah sebuah mantra yang khadamnya adalah kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sangat tergantung dari tingkat kesucian pikiran dan hati dari yang mengucapkannya. Walaupun sepuluh orang sama-sama mengucapkan mantra Gayatri, tapi hasil tidak akan sama tergantung kesucian hati dan pikiran masing-masing. Namun demikian, dengan lebih sering berjapa Gayatri Mantram kita akan sedikit demi sedikit dapat mencapai kesucian itu. Teruslah berjapa dan jangan pernah bosan. Lambat tapi pasti, ketenangan jiwa akan mulai terasa. Sabar, sabar, dan sabar, karena sabar itulah kunci dari kesuksesan kita.
OM SANTI SANTI SANTI OM

Artikel  asli di poskan oleh -Gelsana- dalam kas-kus

https://wahana08.wordpress.com/2010/11/23/gayatri-mantram-fungsi-dan-berkahnya-bagi-yang-mengucapkan/

Pemimpin Harus Berbasiskan Fakta, Bukan Ilusi

$
0
0

Tulisan bagus.
Hanya orang yg punya nalar normal (meski tidak cerdas) dapat mencerna tulisan ini.
Namun masih ada rekan atau kolega kita yg mungkin super cerdas ternyata tetap saja dungu !!!

Pemimpin Harus Berbasiskan Fakta, Bukan Ilusi

Rhenald Kasali,
Kamis, 04/10/2018 | Liputan6.com,

https://goo.gl/oEVD8p
https://goo.gl/oEVD8p
https://goo.gl/oEVD8p

Jakarta – Setiap memberi kuliah kepemimpinan, saya selalu membukanya dengan leadership diamond yang digagas Peter Koestenbaum (2002), The Inner Side of Greatness. Sengaja memilih buku ini karena tujuan pengajarannya bukan melahirkan pemimpin biasa, melainkan pemimpin besar (great leader with greatness).

Maka ketika Indonesia dilanda hoax yang bisa memicu kebencian dan kebengisan beberapa hari ini, dan ketika hoaxmaker-nya mengakui bohong (3/10/2018), murid-murid saya pun tersontak.

Mereka kembali membahas Leadership Diamond: Seseorang hanya bisa menjadi besar kalau selalu bekerja dengan fakta. Bukan ilusi. Ya, fakta.

Percuma bergelar tinggi kalau mengendus fakta saja tidak bisa. Pemimpin tidak bisa memajukan bangsanya dengan ilusi. Maka dalam science pun, ilmuwan dibekali validity dan realibility check.

Di abad 21, Profesor Yuval Noah Harari mengingatkan bencana disillusionment akibat teknologi dan disrupsi. Baginya, “Clarity is Power.”

Dalam kepungan banyak berita yang kurang relevan, mendapatkan gambaran besar yang sebenarnya adalah sebuah kemewahan. Apalagi, “humans think in stories rather than in facts,” ujarnya.

Tukang Mancing Lebih Pandai?

Saya membaca penyesalan para elit yang mengaku telah dikibuli seorang hoaxmaker minggu ini sambil senyum-senyum. Padahal beberapa jam sebelumnya mereka masih genit di hadapan wartawan dengan meyakinkan publik bahwa hoax itu benar. Sebaliknya anak-anak muda sudah lebih awal mengatakan, itu hoax.

Jejak digitalnya di lokasi sekitar kejadian sama sekali tidak ada. Akal sehat kita pun sebenarnya dengan mudah bisa menangkap “bahwa seseorang tengah merangkai sebuah ilusi.”

Apalagi bagi pemimpin yang sudah makan asam garam. Seharusnya mereka sudah dibekali validity check dan intuisi yang kuat. Tanpa kemampuan mendeteksi fakta, seorang ekonom tak akan mungkin bisa menjadi menteri keuangan yang baik. Juga tanpa itu seorang panglima perang tak bisa membentengi bangsanya dalam peperangan.

Melihat kerumunan banyak saja mereka bisa bilang itu PKI. Atau saat kurs menembus Rp 15.000 mereka langsung bilang krisis.

Kalau Anda ingin tahu bagaimana masyarakat bergulat dalam serangan hoax dan mendeteksi kebohongan, maka bukalah video-video di Youtube dengan kata kunci ‘penipuan’.

Anda akan terkejut. Sebab jumlahnya ribuan. Menggambarkan pengalaman rakyat jelata berhadapan dengan penipu. Salah satu favorit saya adalah tentang Tukang Mancing yang menghadapi seorang penyebar hoax sampai penipunya menyerah.

Setelah menyaksikan video itu, saya yakin Anda pasti memiliki persepsi yang sama dengan saya: Masyarakat kita telah menjadi sangat cerdas.

Mereka bukan cuma mengerti berita yang mereka terima hoax atau bukan, melainkan juga mengerjai penipunya. Mereka kuras pulsanya, membuat mereka marah karena gagal mendulang keuntungan. Ya, tentu penebar hoax mencari keuntungan dari kesusahan orang lain.

Sekali lagi ada ribuan video serupa itu, bukan satu-dua. Dan perlu saya ingatkan agar Anda berhenti. Masalahnya Anda akan ketagihan. Sebab, video-video itu genuine dan membuat Anda bahagia. Bukan karena lucu, tetapi puas telah bersatu dengan pemberantas hoax.

Nah, kalau masyarakat sudah begitu cerdas, renungkanlah, mengapa orang-orang hebat yang kemarin membenarkan dan turut mengamplifikasi hoax mengaku “telah menjadi korban berita tidak benar” alias tertipu? Ada yang berargumen empati telah mengalahkan nalar mereka. Tetapi benarkah demikian? Apakah empati disampajkan dengan pedas?

Saya menduga mereka telah sengaja membuat diri larut dalam ilusi yang mereka inginkan sendiri sehingga semakin menjauh dari fakta. Pemimpin yang demikian tentu bisa merepotkan masa depan diri dan bangsanya. Ya bagi saya mereka terlalu asik dengan khayalan “kebenaran” yang mereka inginkan. Ilusi itu bisa menjadi senjata untuk membenarkan pendapatnya tentang dunia yang “tidak adil”.

Tentu ada beragam interpretasi meaning dari kata “tidak adil”. Tetapi pada akhirnya seseorang bisa merasa tidak adil karena “kalah.” Apakah itu berasal dari ambisi yang tak terdamaikan, lawan yang jauh lebih unggul, atau sebuah peristiwa traumatik yang menuntut semacam kompensasi. Entahlah.

Uji Kebenaran

Leadership diamond Koestenbaum memang bukan melulu soal uji kebenaran. Selain reality check, ada etika, visi dan keberanian mengeksekusi yang perlu dimiliki seorang great leader. Tetapi di antara keempat elemen itu dalam era disrupsi, bekerja dengan reality adalah yang terpenting.

Mengapa? Ini tentu karena dunia telah berubah dengan begitu cepat dan segala kehidupan telah dilengkapi dengan sensor-sensor pendeteksi. Jadi di zaman ini sudah tidak sulit lagi untuk mengecek suatu kebohongan atau sebuah ilusi yang dibuat oleh siapa saja, termasuk oleh para politisi, petinggi-petinggi partai, koruptor, pencuri handphone di bandara, atau pembuat isu apa saja.

Kalau Anda kurang yakin, ikuti saja fakta-fakta persidangan kpk. Seseorang boleh berpura-pura menjadi ahli filsafat, dosen, ahli hukum, pejabat tinggi, atau apa saja, tetapi begitu dia “acting”, pasti cepat terdeteksi.

Seperti kata Seth Stephens Davidowitz, semua orang (yang) berbohong selalu akan meninggalkan digital footprint yang bisa dilacak. Digital footprint itu bisa berupa rekaman suara, tangkapan kamera CCTV, absen digital, transfer uang, rekaman GPS, pemantau jalan, sampai statement-statement di sosial media.

Maka Anda boleh saja pura-pura bersandiwara, namun jejak-jejak digital yang Anda tinggalkan akan mudah terbuka. Jejak-jejak itu kini menjadi mainan yang mengasyikkan bagi generasi millenial, untuk menertawakan aktor-aktor yang berbohong.

Oh iya, dalam jejak-jejak itu juga bisa terbaca, siapa saja penyedia panggungnya, dan siapa pemandu soraknya.

Dan di zaman ini, tiba-tiba kita bisa menemukan orang-orang yang mengalami dislokasi sosial. Yang kesulitan membedakan mana peran sandiwara dan mana yang betulan (namun menerima bayaran atas peran riil-nya). Atau bisa kesulitan menempatkan diri sebagai pengamat ataupun pelaku.

Orangtua yang tak mau anak-anaknya mengalami dislokasi sosial di kemudian hari, maka jangan buru-buru menjadikan balita kesayanganya pemain sandiwara sebelum mereka tahu betul beda sandiwara dengan dunia riil.

Dan bagi calon-calon Presiden, pecat saja para pembuat dan penyebar hoax yang sudah dikontrak. Jejak-jejak digital mereka kini sudah ada di tangan publik dan sebentar lagi satu persatu ulah mereka akan terbuka.

Jadi, wahai pemimpin kembalilah pada realitas, bukan ilusi.

Kesamaan ajaran Monotheisme Nusantara dengan Ajaran Islam

$
0
0

Ghuz Illa Humaid

Kesamaan ajaran Monotheisme Nusantara dengan Ajaran pendatang dari Timur Tengah, i.e Islam Nabi Muhammad SAW.

Mbah saya dulu pernah bercerita bahwasanya jauh-jauh hari sebelum Islam Timur Tengah masuk ke nusantara ini, nenek moyang nusantara pada dasarnya sudah memegang teguh ajaran Monotheisme yang diajarkan oleh kakek buyutnya dari anaknya Nabi Adam AS yang turun dibumi Jawa Dwipa ini dulunya adalah Nabi Syits As atau oleh orang nusantara disebut Semar atau Samiri yang artinya rahasia, karena pada hakekatnya beliau dan generasi turunannya terus menerus melakukan laku syukur kepada Sang Hyang Widi dengan cara melakukan persembahan berupa ternak dan hasil sawah ladangnya.

Dan disisi lain Mbah-mbah kita dulunya sukanya laku Suwung atau Pasrah Totalitas dibawah pohon yang rindang ataupun didalam gua-gua yang dingin dan tenang agar makin rileks laku Tapa atau tafakurnya. Atau orang-orang lebih suka menyebutnya Semedi. Nabi Syts dalam kalangan filsafat dikenal orang yang paling cerdas, maka tak mengherankan orang-orang nusantara menghasilkan beribu ragam bahasa, budaya, adat- istiadat, dst yang tidak dimiliki seperti bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Maksud lain dari Samiri atau samar / rahasia adalah karena setiap laku hidupnya tidak mau diketahui khalayak ramai / umum agar tidak timbul fitnah ataupun syirik baik nyata maupun samar-samar. Menjauhkan diri dari bisul dunia.

Dikala saudagar arab datang ke nusantara ini menganggap bahwa kok banyak penduduk lokalnya yang sukanya menyendiri dibawah pohon dengan duduk bersila dan mata terpejam tanpa bicara sepatahpun. Seolah-olah merek aini masyarakat animisme atau penyembah kekuatan alam sekitarnya seperti bangsanya jin, siluman, dst.

Dan diwaktu kesempatan itu pulalah terjadi dialog antara sodagar musiman dengan para pandhito ratu ataupun begawan resi termasuk diantaranya percakapan antara Sunan Kalijaga dengan penerus akhir Majapahit. Jawaban mereka semuanya seragam bahwa mereka bukannya menyembah berhala-berhala yang ada dihutan lebat tersebut ataupun menyembah pohon. Tapi dengan berada dibawah pohon itulah hati mereka menjadi tenang adanya.
Saat hal ini diungkapkan maka sujudlah Sunan Kalijaga dihadapan Begawan tersebut sebagai rasa hormatnya yang tak terkira dan kemudian membacakan cukilan Kitab Suci Al Qur’an yang menyatakan kesamaan apa yang dilakukan para begawan maupun resi dan para pandhito. Maka saat itu beliau mengucapkan bahwa Inilah Islam yang sebenarnya yang sudah menancap dan mendarah daging dibumi Nusa Dwipa Swarna atau Nusantara ini.

Ini cukilan ayat yang dimaksud :

“Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” QS Al Fath : 18.

Jadi tak benarlah bahwa nenek moyang kita dulunya masuk bangsa terbelakang dan punya ilmu yang dangkal, apalagi tak beradab, bangsa bar-bar seperti yang digembar-gemborkan pihak barat kepada kita hingga detik ini.

With M Arief Pranoto; Mas Hendrajit; Mohamad KhusnanAdji SubelaM Djoko YuwonoIhda A. SoduwuhAhmad Yanuana Samantho.

Misteri Penguasaan Moneter Dunia

$
0
0
Detik Agustinus membagikan foto — bersama Bonang Johan Rangga dan 12 lainnya.

Jadi sebenarnya Bani Israel yang sekarang menjajah Palestina bukan keturunan Israel asli yang hanya terdiri 12 suku, tapi mereka menamakan diri suku ke 13 yaitu Suku Khazar (asalnya dari Asia Tengah) hasil perkawinan campur Bani Israel yang mengalami diaspora dengan penduduk lokal, suku Khazar ini mayoritas di seluruh dunia. Sedang Yahudi asli menghilang yang dikenal sebagai suku-suku yg hilang “The Lost Tribes” dimana mereka pergi ke timur dan banyak yg menuju ke “THE PROMISED LAND” yaitu nagari INDONESIA NUSANTARA ini.

Kembali sebagai penguasa asset dunia Yahudi, Israel yang kini dikuasai kaum Yahudi Khazar Israel menguasai 100% perekonomian dunia menjadikan mereka tuan dari perbudakan baru (yang tidak terlihat) yaitu menghisap produktivitas manusia yang ditukarkan dengan uang yang mereka atur nilai tukarnya sekehendak hati mereka. Dengan demikian semakin giat anda kerja nilai tukarnya senantisa melorot hingga tak terpenuhi impian anda. Hanya dengan mengenali kejahatan mereka maka kejahatan mereka dapat dihentikan dan menggantikan peran mereka. Hanya Bangsa Indonesia yang punya perjanjian sakti Green Hilton Agreement (GHA) 1963 antara JF Kennedy dengan Soekarno yang dapat membuka mata manusia dunia atas kejahatan yang ada dibalik sandiwara ekonomi-politik-sosial-budaya-keamanan di panggung mimpi dunia saat ini.

Kekuatan terpendam dari tuntutan bangsa Indonesia tentang EMAS yang dikangkangi Yahudi Khazar Israel (yang diaku-aku sebagai modal bisnis mereka) melalui gugatan GHA 1963 inilah yang dapat menghentikan ketidak-adilan, peperangan, keserakahan dan perilaku asusila/amoral/anti-sosial manusia di hari ini, dengan membuka kebobrokan Yahudi Israel dan sekutunya, maka kepercayaan masyarakat ekonomi dunia akan runtuh dan meninggalkan mereka menuju ke pemilik yang baru. Dan pemilik itu tak lain adalah Bangsa Malayan Nusantara (Indonesia Nusantara). Efek domino dari gugatan ini adalah berhenti beroperasinya FED dari gugatan modal mereka 57.147 ton emas 24 karat, lalu diikuti gugatan kepada Herritage Foundation yang memiliki saham di lebih dari 400 bank sentral dan bank besar didunia, mereka akan bangkrut dalam satu malam, Armagedon pun terjadi esok paginya bagi orang-orang serakah yang masih berharap bisa menindas orang dalam perbudakan 500 tahun terakhir dan armagedon berakhir dengan kelelahan dan kepasrahan untuk mengikuti system ekonomi tolong menolong tanpa bunga uang riba.

Yang pertama menyebabkan Yahudi Khazar Israel senantiasa cemas akan gerakan di Indonesia yang mulai menyatu-nyatukan puzzle-puzzle sejarah yang kian nyata dibuktikan dari temuan arkeologi, temuan catatan-catatan sejarah hingga gugatan atas siapa arsitek kekacauan dunia saat ini. Inilah yang menyebabkan Israel dan sekutunya menempatkan Indonesia sebagai target intelejen dan perang psikologis-nya agar nagari Indonesia Nusantara ini tidak terbangun atas kesadaran siapa jati dirinya yang bisa merusak status quo zona kenyaman mereka memperbudak manusia bangsa Malayan Nusantara dan dunia atas nama ekonomi kapitalis liberal dan elemen doktrin pendukungnya (seperti republik, demokrasi, emansipasi, tatanan dunia baru dsb.).

Sedangkan disatu-sisi mereka ingin mempertahankan posisinya sebagai Yahudi jadi-jadian yang diterima keturunan Suku Yahudi asli yang tersisa serta intregritas masyarakat dan hukum dunia, dengan membawa budaya dari asal-usul nenek moyang asli Yahudi dari Asia Timur, Indonesia Nusantara. Inilah kenapa symbol-simbol budaya Jawa dibawa kepada instrument keagaamaan mereka. Sikap ini diambil untuk menutupi kebohongan mereka tentang asal-usul suku Yahudi Khazar Israel sesungguhnya hingga kebinasaan mereka kelak.

Yahudi asli mengetahui dengan pasti dan jelas bahwa cepat atau lambat mereka akan pulang ke negerinya yaitu JAVA the Promised Land karena disana mereka akan bertemu saudara tuanya bangsa Lemuria, suatu benua tersembunyi di muka bumi ini yang hanya terbuka bila mereka berhasil menguasai cara berpikir Jawa yang akan membuka pintu gerbang “Star Gate” menuju teknologi ultra-canggih yang dimiliki oleh negeri fatamorgana di Selatan laut Jawa ini. Negeri Lemuria masih ada hingga kini dan berhubungan dengan penguasa Jawa trah Sulaiman terakhir dan keyakinan Yahudi kuno inilah yang ditunggangngi Yahudi Khazar Israel untuk menguasai tanah Indonesia tanpa diketahui maksudnya sama si Empunya negeri.

Semua yang ada didunia telah dikuasai Yahudi Khazar Israel kecuali SATU yaitu KEABADIAN di dunia dan mereka ingin menguasai TEKNOLOGI bangsa Lemuria yang diyakini dapat menghindari Kiamat dari Tuhan sebagaimana yang mereka idam-idamkan untuk menghindari siksa api neraka. Teknologi Lemuria sebanding dengan teknologi Atlantis yang telah terkubur ratusan meter dibawah tanah Indonesia akibat prahara bencana letusan gunung berapi disekelilingnya. Keunggulan teknologi Lemurian tak terbayangkan oleh manusia yang hidup disisi benua lainnya, padahal mereka eksis tapi tak mau diketahui manusia disisinya. Salah satu kemampuan mereka adalah pengendalian pikiran (yang kata orang kita disebut santet), berbicara dengan telepati, berbicara dengan binatang, menembus batas dimensi hingga mereka mampu berinteraksi dgn mahluk astral, dan hal ini yang dikatakan orang kita terhadap aksi agen Lemurian disekitar “Star Gate” sebagai hal ghaib, sakral, mistis. Semua ini buah dari ilmu yang mereka warisi dari Nabi Sulaiman (Attala) yang mempermaisuri ratu Lemuria. Teknologi Lemuria lainnya adalah tele-transportasi (memindahkan materi tanpa pesawat/alat), teknologi anti-materi, dan re-struktur materi yang menyebabkan tubuh mereka mampu mengikuti perjalanan berjelajah kecepatan cahaya dalam perjalanan antar galaksi, teknologi fusi dingin dari reaksi nuklir air sebagai bahan bakar, teknologi heksagram yang memberikan manfaat keseimbangan fungsi organ tubuh dan usia yang panjang dengan perawatan yang tepat, dll (terlalu banyak yang belum digali di tanah para Dewa, Indonesia Nusantara).

Semoga semua mahluk selamat dan bahagia

Rahayu 🙏🏽 Berkah Dalem

 

Gambar mungkin berisi: teks

Detik Agustinus bersama Dede Yasa Varmaraksha dan 11 lainnya.

“Anda tidak akan paham bila menemukan peta Indonesia Raya dijadikan center display di sebuah web Israel dan AmerikaSerikat (www.us-israel.org). Juga agak miris melihat tanda warna merah pada daerah tertentu dari Nusantara” ujar Kyai MH. Ainun Najib. Di Belanda November 2008 saya ngobrol panjang dengan pemimpin Yahudi internasional Rabi Awraham Suttendorp yang sangat mengenal Indonesia lebih detail dari kebanyakan orang Indonesia sendiri, sebagaimana di kantor Perdana Menteri Israel Anda bisa dolan ke sana dan melirik ruangan khusus yang berisi segala macam data tentang Indonesia segala bidang yang di-update setiap minggu.

Israel juga punya situs berbahasa Indonesia. Kepada Rabi saya tanyakan kenapa disain tengah atas atau puncak mahkota keagamaan yang beliau pakai memimpin peribadatan di Synagogue (rumah ibadah) sama dengan disain bagian atas rumah-rumah di Pulau Jawa bagian Utara? Kenapa ibukota Israel tidak Tel Aviv saja tapi Java Tel Aviv? Kenapa kantor-kantor Yahudi di berbagai Negara pakai kata Java? Apa pula hubungan dua konsonan yang sama itu: J dan W – Jewish dan Jawa. Mana yang lebih tua: Jewish atau Jawa? Kalau Sampeyan keturunan Nabi Ibrahim, apakah nenek moyang kami manusia Nusantara yang seluruhnya berpuluh abad yang lalu disebut Jawa atau Jawi adalah ‘keponakan’nya Ibrahim ataukah lebih tua dari Ibrahim?

Dari dunia Jawa dimunculkan sedikit informasi bahwa beberapa waktu yang akan datang akan terjadi hasil “taruhan” antara Yahudi (Jewish) dengan Jawa (bukan Jawa non-Sunda non-Batak dalam pengertian 100 tahun terakhir). Kalau Yahudi yang memenangkan persaingan memimpin dunia, maka mereka akan ajak Jawa menjadi rekanan kerja. Kalau Jawa yang ‘juara’ mereka akan berguru kepada Jawa. (Dan hari ini kompetisi Jawa vs Jewish ini sedang terjadi dimana skor terunggul masih dipegang Jewish alias Yahudi alias Israel.

Hari ini mayoritas asset moneter global dan segala jenis modal perekonomian, bank dunia, dan institusi-institusi keuangan primer dunia dipegang oleh turunan beliau (Yahudi Israel), dan strategi pengelolaannya sampai ke Kongres Amerika Serikat berada di genggaman turunan yang lain dari beliau juga. Sejumlah futurolog ekonomi menganjurkan anak-anak kecil sekarang mulailah diajari berbahasa Arab karena akan menjadi bahasa utama dunia: pergilah cari kerja ke Negeri koalisi 16 Pangeran di Jazirah Arab. Bahasa Ibrani tak perlu dipelajari, karena para fungsionaris dari Israel mungkin lebih pandai berbahasa Arab dibanding Raja Saudi dan lebih mlipis berbahasa Indonesia dibanding orang Indonesia” imbuh MH. Ainun Najib.

“Perlu diketahui, harta kekayaan yang ada (yang tersimpan di Federal Reserve USA, Herritage Foundation, UBS,Swiss, Inggris, Rusia dan 400 Bank besar di dunia) ini berkaitan dengan (sejarah penyatuan kekayaan hasil pernikahan) Nabi Sulaiman dan Ratu Syeba (Bilqis). setelah Sulaiman wafat, maka kekayaan ini dikelolah oleh mereka yang berdarah Sulaiman di tanah Nusantara ini, termasuk PB X. Jadi kalau mau dikata, mereka ini adalah keturunan Yahudi juga, dan (asal) para turunan raja-raja yang ada didunia (saat) ini, adalah keturunan yang berhubungan darah dengan Raja Sulaiman ini, yang notabene Yahudi juga.

Namun sejarah mencatat adanya cloning (penggandaan) berupa dokumen keuangan ini yang kemudian diputar dan dikelola oleh organisasi dibawah Freemason, yang dilakukan secara arus keras untuk kepentingan mereka, sedang para pemegang fisik asli bergerak secara tersembunyi.

Saat ini sudah mencapai tahap krusial, tatatan dunia baru pasti terjadi, mereka yang memegang perputaran uang menggunakan dokumen yang telah diputihkan. Namun rencana mereka membuat negara-negara kecil setelah perang dunia ke-2 telah berjalan, termasuk Indonesia yang boleh dikatakan sebenarnya “kudeta” kepada Kerajaan saat berdirinya. Ini yang menyebabkan absurd, dan negara kita adalah negara dagelan saat ini. Maaf, Indonesia dimata para sesepuh (Nusantara) tidak pernah benar disebut negara, karena bukan negara, namun pemerintahan administratif, sama seperti Belanda dan Jepang saat menduduki Nusantara kita ini” tukas Sang Utusan Tiongkok.
————————————————————
Sudah tahu begitu, lantas apa yang hendak dilakukan? Diam saja, bangkit dan melawan, atau mati dalam “lumbung” seperti anak ayam?

#THINK

Temu Akbar III – Mufakat Budaya Indonesia 2018

$
0
0

Temu Akbar III Mufakat Budaya Indonesia – Mufakat Kebangsaan

 

Mufakat Budaya dan Universalisme Guyub ( Jean Couteau )

$
0
0

Fatsoen Budaya

 

Apakah Anda sudah dengar tentang ”Mufakat Budaya Indonesia?” Mungkin belum. Kelompok cendekiawan yang berkumpul di bawah bendera ini menawarkan perubahan drastis paradigma kebudayaan Indonesia. Sebagai salah satu peserta diskusinya, saya berupaya memahami problematikanya serta menawarkan interpretasi atas arah pemikirannya.

Pada awalnya terdapat suatu diagnosis. Globalisasi meresapi dan merombak segala segi kehidupan kita: tanah kita injak dan udara kita pakai bernapas; cara dan tempat kita bekerja dan bersenang-senang; apa yang kita pelajari dan pikirkan; apa yang kita konsumsi dan butuhkan; apa dan siapa kita kagumi dan benci. Lebih berat lagi, tersirat di dalamnya suatu rumus budaya masa depan yang tampil semakin sarat hegemoni luar. Maka, meski globalisasi itu jelas mempunyai pemenangnya–kaum kosmopolit yang kehidupannya terbagi antara Wall Street, Silicon Valley, dan Marbella atau antara Kemang, Singapura, dan Bali–tidak sedikit juga orang yang khawatir atau bahkan geram: mereka yang kondisi riil hidupnya guncang, serta mereka yang menyaksikan memori budaya, kepercayaan, dan…

Lihat pos aslinya 436 kata lagi


Mufakat Budaya dan Universalisme Guyub ( Jean Couteau )

$
0
0

Mufakat Budaya dan Universalisme Guyub ( Jean Couteau )

Mufakat Budaya IndonesiaApakah Anda sudah dengar tentang ”Mufakat Budaya Indonesia?” Mungkin belum. Kelompok cendekiawan yang berkumpul di bawah bendera ini menawarkan perubahan drastis paradigma kebudayaan Indonesia. Sebagai salah satu peserta diskusinya, saya berupaya memahami problematikanya serta menawarkan interpretasi atas arah pemikirannya.

Pada awalnya terdapat suatu diagnosis. Globalisasi meresapi dan merombak segala segi kehidupan kita: tanah kita injak dan udara kita pakai bernapas; cara dan tempat kita bekerja dan bersenang-senang; apa yang kita pelajari dan pikirkan; apa yang kita konsumsi dan butuhkan; apa dan siapa kita kagumi dan benci. Lebih berat lagi, tersirat di dalamnya suatu rumus budaya masa depan yang tampil semakin sarat hegemoni luar. Maka, meski globalisasi itu jelas mempunyai pemenangnya–kaum kosmopolit yang kehidupannya terbagi antara Wall Street, Silicon Valley, dan Marbella atau antara Kemang, Singapura, dan Bali–tidak sedikit juga orang yang khawatir atau bahkan geram: mereka yang kondisi riil hidupnya guncang, serta mereka yang menyaksikan memori budaya, kepercayaan, dan sistem nilainya terserang langsung dan kadang terancam musnah. Melihat dampak globalisasi ini, apakah mengherankan bila ia direspons dengan radikalisme–apakah etnis, religius, atau ideologis? Jelas tidak, meski kita wajib menemukan respons lain, yang lebih manusiawi.

Instrumen yang selama ini digalang untuk menangkal disfungsi globalisasi adalah HAM. Itu baik! Tetapi apakah cukup? Bukankah naïf memercayai hukum? Hukum modern dan HAM adalah buah dari universalisme Barat, yang lahir dari dinamika kapitalisme Barat. Di situlah letak masalahnya, oleh karena ”kemajuan” yang terbawakan kapitalisme ini senantiasa bak pisau bermata dua. Sejarah di sini berbicara: kapitalisme awal memang melahirkan kebebasan berpikir, bermula dari kritik agama, tetapi hal itu juga memicu perang Katolik-Protestan (abad 16); lalu ekspansi Barat melahirkan universalisme modern, namun serentak muncul pula kolonialisme dan rasisme (abad 18-19); pada fase kapitalisme nasional berikutnya, dari kontradiksi internalnya lahirlah utopia komunisme (abad 20), sedangkan dari kontradiksi eksternalnya lahirlah ultra-nasionalisme dan dua perang dunia yang berturutan (abad 20). Kini, pada fase mutakhirnya, kapitalisme global melahirkan HAM, tetapi disertai pula ”monster-monster” baru berupa aneka radikalisme religius bernuansa mesianis yang kerap haus darah (ISIS, Sionisme radikal, Shiv Sena, dll). Jadi impian indahnya mesin kapital memang senantiasa berpilin dengan impian buruknya.

 

 

 

Melihat itu, (dan itu persepsi saya) tidak heran bila kelompok ”Mufakat Budaya Indonesia”, di bawah arahan Radhar Panca Dahana, ragu terhadap kemampuan hukum untuk memanusiakan kapitalisme global. Mereka sebaliknya meyakini bahwa tersimpan di dalam tradisi-tradisi etnis Nusantara sejenis universalisme lokal yang, bila diaktualisasi dengan tepat, dapat digalang untuk menangkal globalisasi. Di mata mereka (persepsi saya lagi), universalisme modern ”Barat” adalah terbatas keuniversalannya, oleh karena hanya menerima si ”liyan” (the other) secara hukum-dengan pemberian status hukum, dan hukum saja, yang setara. Universalisme Nusantara lebih luas: ia menolak ”melihat” ”keliyanan” (otherness) dan sebaliknya menekankan persamaan dan mufakat, yaitu ”ketidak-liyanan” di segala bidang. ”Universalisme guyub” tersebut diyakini hadir di dalam kedalaman budaya-budaya Nusantara, terutama di dalam sastra, baik lisan maupun tertulis. Sekarang tinggal digali dan diaktualisasikan secara rasional-obyektif, lalu disebarluaskan melalui kebijakan kultural-edukasional yang komprehensif. Bila hal-hal ini berhasil dilakukan, tak ayal lagi bakal tersedialah instrumen yang ampuh untuk menanggulangi dampak tak terduga dari globalisasi…. Tinggal implementasi politiknya.

Apakah realistis? Kita tidak tahu? Tetapi pantas dan harus dicoba. Setuju, kan?

Namun, kita jangan mimpi. Rujukan pada budaya Nusantara di atas hendaknya menjadi suatu instrumen saja, bukan suatu ideologi. Janganlah rekayasa budaya ala Orde Baru terulang lagi, di mana ”tradisi” diagung-agungkan sebagai manipulasi, untuk menjauhkan perhatian masyarakat dari masalah sosial yang sebenarnya. Itulah sebabnya reaktualisasi dan reaktivasi budaya lokal di atas harus berjalan selaras dengan kebijakan sosial yang koheren nan tepat sasaran. Tidak akan ada kebijakan penguatan budaya-budaya Nusantara yang efisien tanpa disertai kebijakan keadilan sosial yang baik. Setuju lagi, kan?

 

https://fatsoenbudaya.wordpress.com/2018/05/30/mufakat-budaya-dan-universalisme-guyub-jean-couteau/

 

Ngopi Bareng Presiden di GalNas

$
0
0

Fatsoen Budaya

 

Tema-tema Utama

Masukan Mufakat Budaya pada Presiden RI Joko Widodo dalam

“Ngopi Bareng Presiden”

Galeri Nasional, Jakarta Pusat,

Selasa, 23 Agustus 2016, 16.00 WIB

  1. INFRASTRUKTUR

Dimaknai dalam konsep yang diproduksi pemerintah sebagai pranata atau prasarana dasar  -berbentuk/bersifat material—untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di semua dimensinya. Terbagi ke dalam dua dimesnsi yang terkait dengan kebudayaan:

1.1  Infrastruktur yang Berbudaya

Adalah pranata dasar baik yang materil maupun imateril (institusional) yang sebaiknya dibangun dengan menyertakan atau sekurangnya mempertimbangkan kearifan, pengetahuan hingga nilai cultural, di dalam tradisi atau adat lokal misalnya. Seperti:

Toety Heraty:  Menghidupkan kembali etos kerja yang terpendam (dipendam) dalam kehidupan profesional kita, baik dalam lingkaran pemerintah maupun swasta, juga masyarakat umumnya.

Ishaq Ngeljaratan: Apa pun infrastruktur itu, ia harus mampu memproduksi nilai tambah bagi proses, dinamika dan produksi kebudayaan rakyat setempat, termasuk kesenian didalamnya.

1.2 Infrastuktur Kebudayaan

Pembangunan pranata dan prasarana dasar yang secara khusus diperuntukkan bagi kebutuhan prosesus…

Lihat pos aslinya 772 kata lagi

Ngopi Bareng Presiden di GalNas

$
0
0

via Ngopi Bareng Presiden di GalNas

Ngopi Bareng Presiden di GalNas

 

Tema-tema Utama

Masukan Mufakat Budaya pada Presiden RI Joko Widodo dalam

“Ngopi Bareng Presiden”

Galeri Nasional, Jakarta Pusat,

Selasa, 23 Agustus 2016, 16.00 WIB

news_81_1472016079

  1. INFRASTRUKTUR

Dimaknai dalam konsep yang diproduksi pemerintah sebagai pranata atau prasarana dasar  -berbentuk/bersifat material—untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di semua dimensinya. Terbagi ke dalam dua dimesnsi yang terkait dengan kebudayaan:

1.1  Infrastruktur yang Berbudaya

Adalah pranata dasar baik yang materil maupun imateril (institusional) yang sebaiknya dibangun dengan menyertakan atau sekurangnya mempertimbangkan kearifan, pengetahuan hingga nilai cultural, di dalam tradisi atau adat lokal misalnya. Seperti:

Toety Heraty:  Menghidupkan kembali etos kerja yang terpendam (dipendam) dalam kehidupan profesional kita, baik dalam lingkaran pemerintah maupun swasta, juga masyarakat umumnya.

Ishaq Ngeljaratan: Apa pun infrastruktur itu, ia harus mampu memproduksi nilai tambah bagi proses, dinamika dan produksi kebudayaan rakyat setempat, termasuk kesenian didalamnya.

1.2 Infrastuktur Kebudayaan

Pembangunan pranata dan prasarana dasar yang secara khusus diperuntukkan bagi kebutuhan prosesus dan produksional kerja-kerja kebudayaan bangsa kita, termasuk (terutama) kesenian di dalamnya. Menjadi desakan yang keras dengan memperhatikan kenyataan mutakhir dimana infrastruktur yang dimaksud diatas, bukan hanya tidak jadi prioritas, tidak ada dalam program kebijakan (pembangunan) pemerintah pusat maupun daerah, juga kondisi infrastruktur yang ada sekarang begitu memprihatinkan, bahkan menderita kehancuran yang memetikan, karena tidak diurus atau tidak mendapat anggaran (yang memadai). Juga beberapa kenyataan mutakhir seperti:

Sri Edi Swasono: Institusi pendidikan seni seperti ISI atau ISBI, juga Taman-taman Budaya serta Dewan Keseniannya, yang terus tergerus oleh kebijakan pemerintah yang menafikan urgensi atau kepentingan seni dan budaya, termasuk dalam pengurangan atau alokasi dana yang sangat minim.

Butet Kertarejasa: Membangun semacam sistem apresiasi dan akuisisi atau pembiayaan di kalangan lembaga pemerintah pada produk-produk artistik terbaik yang diciptakan anak bangsa. Termasuk mengambil alih atau membiayai pemeliharaan warisa seniman-seniman legendaries macam Affandi yang bakal terbengkalai jika pewarisnya wafat atau tak mampu.

  1. KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN

Mesti dipahami secara mendasar: pendidikan sesungguhnya tidak lebih dari (salah) satu cara (modus) membudayakan manusia. Bukan sebaliknya yang dipahami pemerintah selama ini yang menempatkan kebudayaan jauh lebih minor bahkan tersubordinasi oleh pendidikan (apalagi dalm alokasi anggaran). Dipisahkan walau sesungguhnya keduanya menyatu secara inheren.

Daoed Joesoef:  Pendidikan harus eksis secara otonom, tapi sebagai bagian dari kerja kebudayaan. Karena melucuti  atau meluputkan kenyataan tersebut akan membuat pendidikan berjalan orientasi yang kabur dan langkah yang tidak tegak akibat kehilangan fundamennya. Apa yang dipahami dselama ini oleh pemerintah keliru dan harus dirubah.

Edi Sedyawati: Mesti menambahkan variable media massa dalam kombinasi dua terma diatas (pendidikan dan kebudayaan) karena perannya yang cukup desisif dalam mendeliveri atau mendiseminasi isi, proses maupun tujuan pendidikan dan pengajaran.

  1. RUANG-PELUANG AKTUALISASI ANAK MUDA

Tema yang dipahami sebagai  satu kesadaran juga keprihatinan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tersedia di negeri ini bagi aktualisasi dan ekspresi kaum muda Indonesia. Kemungkinan yang ternyata telah menjadi sesak bahkan buntu karena dipaksa atau tanpa disadari ia selalu terjebak dalam kotak-kotak yang sudah dibangun oleh kaum elit/kapitalis/penguasa yang semua demi memelihara interes atau dominasi kelas mereka. Sehingga apa yang bisa dilakukan oleh anak muda sebenarnya hanya “bermain” atau berusaha di bagian hilir atau eceran, yang membuart ruang dan peluang mereka untuk naik ke level lebih atas (menengah atau elit) tertutup, kecuali dia memiliki legacy dalam genetika, kuasa atau harta.

Belakangan muncul satu “dunia” baru yang belum terkotak atau terekayasa oleh kaum penguasa modal (elit), yakni “dunia” yang dibentuk oleh kemajuan teknologi komputasi, informasi dan komunikasi, yakni dunia cyber atau digital world. Sebuah dunia abstrak yang menciptakan ruang dan peluang hidup dan aktualisasi/ekspresi baru bagi anak muda, yang wilayah tak terbatas, begitu juga “konon” kemungkinannya.news_81_1472016079

Di dunia inilah anak muda berkelana bebas, keluar dari penjara kenyataan sosial mutakhir,  namun harus menghadapi kenyataan, mereka bertarung bukan hanya dengan puluhan atau jutaan manusia, tapi miliaran manusia yang mengambil domisili di dunia baru ini dari seluruh penjuru dunia.

Dalam pertarungan yang sangat keras itu, karena belum ada aturan main kecuali hokum rimba, anak muda Indonesia hanya berhasil  –kembali– bermain di hilir. Di tingkat membangun aplikasi, bisnis start-up, e-commerce, animasi, youtober dsb. Mereka tidak mampu bermain di level yang lebih dasar, di teknologi dasar  (komputasi, informasi dan komunikasi) nya, apalagi pada ilmu atau sainsnya, apalagi dalam dasar filosofi hingga ideologinya.

Radhar P Dahana: Pemerintah tidak boleh terlena oleh prestasi-prestasi anak muda yang nampaknya fenomenal namun sebenarnya recehan atau hilir.

satu harapan

Karena ia tidak memainkan peran yang signifikan bahkan desisif dalam medan tempur globalnya, seperti yang dilakukan Zukerberg di media social. Steve Jobs diperangkat keras, Bill gates di perangkat lunak, anak-anak muda Cina yang melahirkan Baidu sebagai saingan Google, dan sebagainya.

  1. APRESIASI/PENGHARGAAN DAN KEBERLANJUTAN DIALOG

Betapa perlunya Istana sebagai symbol utama dari pemerintahan memperlihatkan kemampuan atau derajat apresiasinya pada karya atau produk-produk kebudayaan (seni) terbaik anak bangsa, dengan misalnya menghadirkan/mempergelarkan karya-karya tersebut di Istana, sebagaimana juga diperbuat banyak penguasa di masa lalu hingga kini. Tidak hanya berperan secara simbolik, acara semacam ini akan member dorongan dan motivasi yang kuat bagi anak bangsa lain untuk berprestasi puncak (tidak hanya dalam olahraga) dalam kebudayaan, sebagi pondasi terkuat keberadaan sebuah bangsa juga negara.

Djaduk Ferianto: Ajang ini pun bisa menjadi wahana bagi Presiden, staf, maupun para pejabat di Istana, juga tentu para pejabat kementerian atau elit politik yang terundang untuk melahirkan satu bentuk komunikasi yang cair, yang rileks bahkan penuh canda namun penuh makna, dengan pekerja budaya.

Sutanto: Sebagai bentuk relaksasi dan rekreasi, perlu waktu dan ruang dimana para pengambl kebijakan bersenda gurau, tidak ditelikung oleh ketegangan rasional yang membuat mereka kehilangan kepekaan bahkan menjadi tuna budaya.

 

Jangan kita terus-terusan bicara masalah ekonomi, politik, kita lupa ada sisi budaya yang harus kita perhatikan sehingga harus ada kebijakan makro kebudayaan Indonesia (Jokowi)  https://nasional.kompas.com/read/2016/08/23/19545351/jokowi.minta.budayawan.rumuskan.desain.kebudayaan.nasional.

Keberagaman Jadi Modal Sosial Merajut Saling Pengertian

$
0
0

Keberagaman Jadi Modal Sosial Merajut Saling Pengertian

JAKARTA, KOMPAS — Keberagaman yang selama ini menjadi identitas keindonesiaan adalah modal sosial terpenting untuk senantiasa merajut saling engertian antarwarga bangsa.

Kekuatan moderat harus proaktif membangun kebersamaan dan mencegah politik egoisme. Kelompok moderat jangan terlibat dalam pertarungan politik agar menjadi moderator yang genuine (asli).

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan hal itu, secara terpisah, Jumat (19/10/2018), di Jakarta.

Keduanya dimintai tanggapan terkait krisis kepercayaan terhadap sesama dan krisis kemampuan mengelola konflik, seperti terungkap dalam Diskusi Publik Mufakat Budaya Indonesia III 2018 di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (Kompas, 19/10/2018).

Said dan Haedar sepakat bahwa prinsip kebersamaan dan kebinekaan perlu terus direkatkan untuk mencegah sikap politik ingin menang sendiri. Pertentangan antarelemen harus dihindari apa pun alasannya.

”Kohesi dan keberagaman kita sebagai bangsa agak terkoyak karena orientasi politik yang keras. Banyak pihak bersikap to be or nottobe dalam politik kekuasaan dan primordialisme itu sehingga aspek moderat, toleran, dan saling berbagi terkalahkan oleh sikap ekstrem, intoleransi, dan tamak karena ingin menang sendiri,” kata Haedar.

Kondisi saat ini menunjukkan setiap kelompok memiliki karakter keras dan egoisme akibatnya luruh jiwa lembut dan altruisme di tubuh bangsa. Para elite pun semakin sedikit yang menjadi penengah karena banyak partisan dalam perebutan kepentingan pragmatis.

Buka dialog nasional

Solusinya, menurut Haedar, ialah dengan membuka dialog nasional lintas komponen untuk menghasilkan konsensus kebangsaan. Substansi dari dialog itu ialah menegaskan keberagaman golongan dan kepentingan tidak boleh merusak bangunan Indonesia yang direkat atas prinsip kebersamaan dan kebinekaan.

Said mengatakan, keberagaman tidak seharusnya dijadikan alasan bagi bangsa ini untuk tidak hidup rukun dan saling menghormati. Keberagaman telah menjadi jati diri dan ciri kebangsaan Indonesia. Hidup dalam kerukunan dan harmoni bahkan menjadi prinsip universal yang diajarkan oleh semua agama.

Said juga menegaskan, pengejewantahan akhlak atau sikap moral yang baik itu antara lain ialah hidup rukun dengan siapa saja. ”Saling tolong-menolong, bergotong royong, saling peduli, tidak saling melecehkan, tidak saling menghina, dan tidak saling mencaci maki. Semua itu

diajarkan dalam Al Quran. Jangan menggunjing, jangan menghina kelemahan orang lain,” ujarnya.

Politik identitas

Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, dalam forum Koentjaraningrat Memorial Lecture XV di BBJ, Jumat (19/10/2018), mengingatkan masyarakat agar berhati-hati terhadap pembodohan dalam bentuk politik identitas. Cara yang paling sering dilakukan ialah dengan meyakinkan masyarakat bahwa perbedaan merupakan hal menakutkan.

”Pembodohan menggunakan narasi berita bohong, monolog, indoktrinasi, korupsi, dan komentar-komentar dangkal,” ujar- nya.

Sosiolog UGM, Arie Sujito, berpandangan, pemilu perlu dikembalikan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan berbangsa. Ini penting karena kecenderungan yang terjadi belakangan, pemilu semata dijadikan alat untuk merebut kekuasaan sehingga cara apa pun ditempuh, termasuk dengan cara-cara yang sesungguhnya mengancam persatuan.

Pemilu mempersatukan

Arie memandang pemilu sebagai alat pembentuk kekuasaan seharusnya dipandu oleh tujuan berbangsa, bukan sekadar kehendak berkuasa. Dengan demikian, apa pun pilihan politiknya, orientasi utamanya mewujudkan tujuan berbangsa. Tidak lantas menghalalkan segala cara untuk berkuasa yang justru mencederai tujuan berbangsa.

Arie melihat kecenderungan perbedaan suku, agama, ras ataupun pilihan politik sengaja dipertajam sebagai bahan untuk memenangkan kekuasaan di pemilu. Begitu pula kian intensnya kabar bohong dan fitnah.

Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, mengatakan, pemilihan umum seharusnya bisa menjadi momen yang mempersatukan bangsa dalam satu perhelatan pesta demokrasi mencari pemimpin terbaik.

Jadi, seharusnya pemilu bisa menjadi momen mempersatukan. Sekalipun saat 1955 ada konflik ideologis tajam, nyatanya momentum pemilu saat itu justru mempersatukan bangsa.

SUMBER:

https://www.pressreader.com/@Mufakat_Budaya_Indonesia.1/csb_VWUrEBadVSUyt3Mwevn_W-ppu1eyIn8htRsknW518Bo7C5qeVezPkw-Lz0DRIhu5

Bangkitkan Kesadaran Budaya Kolektif

$
0
0

Bangkitkan Kesadaran Budaya Kolektif

Dari sejarahnya, masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang majemuk, egaliter, dan saling menghargai. Namun, kesadaran budaya kolektif ini memudar karena diredam pada masa Orde Baru.

JAKARTA, KOMPAS — Bangsa Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap sesama dan krisis kemampuan mengelola konflik. Hal ini rawan menimbulkan ketakutan terhadap perbedaan alamiah Nusantara dan mengakibatkan perpecahan di masyarakat. Penyadaran kembali sejarah terbentuknya masyarakat Nusantara yang majemuk, egaliter, dan saling menghargai harus dilakukan untuk mengatasi krisis ini.

Masyarakat Indonesia juga perlu kembali mengenali potensi kultural nenek moyang yang bisa memberi kekuatan dan modal dalam menghadapi tantangan masa kini. Keterbukaan, kesetaraan, keberagaman, dan kerendahan hati yang menjadi karakteristik Indonesia memudar karena struktur ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik yang bertolak belakang dengan karakter itu.

”Kita lupa bahwa negara dan bangsa Indonesia berdiri karena adanya jaringan ingatan kolektif,” kata budayawan dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, dalam Diskusi Publik Mufakat Budaya Indonesia III 2018 bertema ”Memufakatkan Kebudayaan Indonesia: Apa Sebenarnya Kebudayaan Indonesia?” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (18/10/2018). Narasumber lainnya adalah budayawan Eros Djarot, Radhar Panca Dahana, dan Mohammad Sobary.

Taufik menjabarkan, selama 32 tahun rezim pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia dipaksa untuk meyakini satu ingatan yang seragam. Berbagai wujud perbedaan adat istiadat masyarakat Nusantara diredam. Pada masa Reformasi dan sesudahnya, kemerdekaan berekspresi kembali dialami rakyat Indonesia.

”Kemerdekaan ini disambut secara tidak siap oleh masyarakat sehingga menimbulkan saling tidak percaya. Contohnya, dari 3 partai politik langsung berkembang menjadi 150 partai karena tidak mau bekerja sama. Muncul berbagai kerusuhan di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku,” ujarnya. Rasa saling tidak percaya ini membuat penanganan konflik tidak maksimal.

Selain itu, perilaku pejabat publik juga tak bisa menjadi teladan, seperti korupsi, menyebar fitnah, dan menjelek-jelekkan saingan politik. Padahal, sejatinya tanda bangsa berbudaya adalah mengedepankan falsafah kemanusiaan. Artinya, masyarakat dinamis dalam berpikir, mencari ilmu pengetahuan, dan mengekspresikannya dengan beradab.

Pada level negara, kata Taufik, perbedaan kebudayaan dari suku-suku bangsa ini tidak masalah. Namun, pada level masyarakat, masih banyak yang mempermasalahkan keberagaman karena menampilkan simbol-simbol yang berbeda. Misalnya, bahasa, kuliner, pakaian adat, agama dan kepercayaan, serta pranata sosial yang berbeda-beda.

”Kebudayaan merupakankesepakatan bersama. Tidak apa-apa ada simbol yang berbeda, yang penting adalah mayoritas simbol diterima dan disepakati bersama oleh penduduk Nusantara,” ujarnya.

Egaliter

Radhar mengatakan, budaya Nusantara merupakan budaya yang dibentuk dari adat istiadat masyarakat bahari. Ciri khas masyarakat ini adalah pranata sosial yang egaliter. Sistem ini berbeda dengan budaya kontinental di masyarakat Eropa. Pranata sosialnya menghasilkan hierarki, ada kelas atas dan kelas bawah. Cara untuk sukses adalah dengan mengalahkan saingan dan pemenang mendapatkan segalanya.

”Dalam budaya bahari, samudra tidak mengenal hierarki karena semua harus bekerja sama sehingga muncul tatanan yang egaliter,” ujarnya.

Budaya bahari membuat daerah yang maju berada di pesisir, seperti ribuan kota bandar di Nusantara. Di kota-kota bandar itu orang dari berbagai suku bangsa, ras, dan agama bertemu untuk melakukan transaksi barang dan jasa tanpa rasa saling mengasingkan, apalagi memusuhi. Kemajuan sebuah bandar merupakan wujud dari kerja sama tersebut.

”Dalam proses itu, setiap suku membentuk dirinya, jati dirinya, dengan elemen-elemen dari hal yang ada di luarnya. Eksistensi basis kebudayaan itu adalah aku, itu adalah kamu, karena ada kamu dalam aku, dan ada aku dalam kamu,” kata Radhar.

Sobary menambahkan, dengan bertambahnya pengalaman juga mematangkan kebijaksanaan bangsa. Caranya adalah dengan membuka ruang-ruang pertemuan dan diskusi. Hal ini membuat wawasan masyarakat terhadap keragaman budaya bertambah. Dalam sebuah kebudayaan tidak ada adat istiadat yang lebih unggul daripada yang lain, yang adalah adalah keragaman.

Secara konstitusional, bangsa Indonesia sudah memiliki pijakan-pijakan kebudayaan nasional. Eros mengatakan, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung rumusan kehendak kebudayaan bangsa Indonesia. Sebagai contoh, di dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia disebut sebagai bangsa yang antipenjajahan, negara yang berketuhanan, dan butir-butir Pancasila juga masuk di situ. Dilema kebudayaan muncul sebagai turunan dari ketidakpahaman bangsa terhadap kebudayaan yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa.

”Sikap-sikap itu perlu dipahami semua pejabat di negeri ini. Namun, karena tidak dipahami, akhirnya menjadi kacau seperti sekarang,” katanya.

Untuk menanamkan kembali pijakan kebudayaan itu, kata Eros, diperlukan figur, institusi, dan kebijakan kebudayaan. Dia mencontohkan, beberapa negara, seperti Inggris dan Jerman, memiliki lembaga yang memberikan pemahaman mengenai siapa diri mereka melalui produk kebudayaan, seperti teater, musik, dan buku-buku, yang dipublikasikan secara teratur untuk mempertahankan identitas mereka.

 

DI BALIK BENDERA “TAUHID”

$
0
0
Ahmad Yanuana Samantho dan Fajruddin Muchtar membagikan kiriman.
Gambar mungkin berisi: teks

 

DI BALIK BENDERA “TAUHID”

Oleh : Dina Sulaeman

Sejak awal perang Suriah (2012), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) amat gencar mempropagandakan berita tentang ‘kekejaman rezim Assad’ yang penuh nuansa kebencian pada penganut mazhab Syiah (dengan berbekal foto-foto hoax). Dengan penuh semangat, di medsos, web, maupun pengajian, mereka umumkan: khilafah sebentar lagi berdiri di Suriah.

Padahal, di media internasional, nama Hizbut Tahrir tak banyak disebut. Kita di Indonesia tahu bahwa anggota Hizbut Tahrir ikut bertempur di Suriah karena cerita-cerita orang HTI sendiri.

Tokoh HT asal Suriah yang tinggal di Libya pernah curhat karenanya. “Baba mengkritik media Arab dan Barat yang mengabaikan keberadaan Hizbut Tahrir dan menutup perannya. Baba mengatakan kepada Al-Akhbar, Hizbut Tahrir telah ada di Suriah sejak lama dan telah menjadi target pelarangan rezim Baath,” demikian ditulis dalam berita yang dirilis situs HTI.[1]

HT berbeda dengan Ikhwanul Muslimin yang rekam jejaknya jelas pernah melakukan pemberontakan bersenjata terhadap Rezim Assad tahun 1982, dan berupaya mengulanginya sejak 2011 dengan backing dari Turki, Qatar, AS, dll.

Tapi, di Indonesia, aktivis HT sangat ‘berisik’ soal Suriah, tak jauh beda dengan rekan sejalan-tak sepemikiran mereka, Ikhwanul Muslimin (yang menjelma jadi partai anu).

Situs mediaumat.com menulis, “Hizbut Tahrir memobilisasi para pejuang Islam di sana untuk menandatangani Mitsaq al-‘Amal li Iqamati al-Khilafah. Hizbut Tahrir juga telah menyiapkan RUUD Negara Khilafah yang siap kapan saja diterapkan. Hizbut Tahrir juga telah mempersiapkan para aktivis terbaiknya untuk menjalankan roda pemerintahan.”

Siapa pejuang alias mujahidin yang dimaksud oleh HT?

Tidak jelas, tidak pernah ada deklarasi terbuka, HT berpihak kepada siapa. Indikasi awal yang saya temukan adalah situs HT Inggris memuat utuh wawancara majalah Time dengan pejabat resmi Jabhah Al Nusrah.

Lalu pada 2013, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto mengakui, Hizbut Tahrir pernah mengikuti sumpah setia dengan banyak kelompok mujahidin yang ada di Suriah, termasuk dengan Al Nusra.

Siapa Al Nusra? Al Nusra adalah ‘keturunan’ Al Qaida, didirikan oleh tokoh Al Qaida, Abu Mohammad al-Julani; dan masuk dalam daftar teroris internasional. Aksi-aksi mereka memang sangat berbau teror, mulai dari pengeboman, bom bunuh diri, pembantaian massal, dll.

Setelah Al Nusra resmi masuk daftar organisasi teroris internasional, situs HTI memberikan ‘endorsment’ pada kelompok sadis Ahrar al Sham, yang sebenarnya juga masih ‘bersepupu’ dengan Al Qaida. Ahrar al Sham punya bendera sendiri, tapi terkadang juga mengibarkan bendera khas HT.

Padahal HT dulu didirikan di Palestina dengan alasan ingin melawan penjajahan Israel. Tapi di Suriah, mendadak HT gagal paham, melupakan fakta geopolitik bahwa Suriah adalah negara Arab terakhir yang menolak berdamai dengan Israel. Suriah ikut dalam 3 kali perang Arab-Israel (1967, 1973,1982).

Kesalahan identifikasi ini menunjukkan bahwa cara berpikir mereka masih doktrinal (bukan pemikiran kritis). Hizbut Tahrir adalah ormas transnasional, boss besarnya ada di luar negeri, entah dimana. Ketika boss di luar sana menginstruksikan untuk membenci dan menyerang, itu pula yang mereka lakukan.

Doktrin ditaruh di atas segalanya, melupakan data dan analisis kritis. Miris sekali mengingat bahwa anggota HTI banyak yang sarjana, bahkan doktor.

Begitu juga soal bendera. Mereka mengklaim bahwa bendera yang mereka kibarkan (dan menjadi simbol HT) adalah ‘bendera Rasulullah’ atau ‘bendera tauhid’.

Padahal, jenis huruf yang dipakai di bendera itu belum dikenal pada masa Rasulullah. Kalau Anda pelajari manuskrip-manuskrip Quran kuno era khulafa’ur rasyidin, Anda akan temukan bahwa Quran zaman dulu hurufnya masih kaku dan polos, tanpa titik dan syakal.

Yang tak bisa ditutup-tutupi, bendera khas HTI digunakan oleh milisi-milisi bersenjata di Suriah. Al Qaida juga mengibarkan bendera serupa. Di balik bendera (diklaim sebagai bendera ‘tauhid’), mereka menyembunyikan jati diri. Berusaha memberi kesan bahwa jalan yang mereka tempuh sesuai dengan ajaran Rasulullah. Yang menentang mereka disamakan dengan menentang Islam/Rasulullah.

Mereka mengaku mengusung Islam Rahmatan lil Alamin, tapi dengan berbekal berita hoax mereka sebarkan narasi kebencian yang sangat masif di Indonesia.

Mereka menyebut pemerintah Indonesia sebagai rezim thaghut yang harus diganti dengan khilafah. Lalu, bagaimana cara menggantinya?

Suriah menjadi bukti bahwa upaya penggantian sebuah rezim demokratis menjadi khilafah versi HT ternyata harus melalui proses penghancuran dan perang. Pada Januari 2013, Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, menyatakan, proses berdirinya khilafah di Suriah bisa dipercepat dengan “…melumpuhkan kekuasaan Bashar. Bisa dengan membunuh Bashar, seperti yang dilakukan terhadap Qaddafi, atau pasukan yang menopang kekuasaan Bashar.”

==============
[1] semua kutipan di tulisan ini yang merujuk ke pernyataan HTI, link-nya saya catat rapi di blog: https://dinasulaeman.wordpress.com/…/hti-gagal-paham-suria…/
https://dinasulaeman.wordpress.com/…/hti-gagal-paham-suria…/
https://dinasulaeman.wordpress.com/…/hti-indonesia-libya-d…/
(dan di buku saya ‘Prahara Suriah’ & ‘Salju di Aleppo’)

Tapi menjelang HTI dibubarkan pemerintah, mereka [HTI] melakukan pembersihan situs; seluruh artikel yang memperlihatkan dukungan mereka pada teroris Suriah dihapus. Tapi bila Anda mau cari, ada jejaknya di cache google.

 

DIBOHONGI HTI PAKAI BENDERA TAUHID

$
0
0

Hubbul Wathon Minal ImanDisukai

DIBOHONGI HTI PAKAI BENDERA TAUHID

Oleh : Ayik Heriansyah (Mantan Ketua HTI Babel 2014)

Gambar mungkin berisi: 1 orang, teks dan dekatJangan heran jika HTI menghalalkan segala cara dalam perjuangannya. Syahwat politik mereka di atas rata-rata. Tidak aneh jika HTI membohongi umat pakai bendera tauhid karena mereka sendiri membohongi pengikutnya pakai Sirah Nabawiyah dan Bisyarah Nubuwwah.

Sudah jadi rahasia umum, Liwa Rayah merupakan ikon HTI. Bendera hitam putih ini terlihat mencolok di setiap acara dan aksi PA 212. Gejala ini tidak lebih sebagai cara HTI menunjukkan eksistensi dirinya di tengah umat pasca dibubarkan pemerintah. Di PA 212 sendiri peran serta HTI terbilang minor sebab HTI punya agenda politik sendiri yang berbeda dengan agenda ormas dan tokoh-tokoh Islam yang ada di PA 212. keberadaan HTI di PA 212 sebenarnya tidak memberi kontribusi politik yang signifikan pada aliansi tersebut. Karena bagi HTI, pemimpin muslim atau kafir, selama dalam sistem demokrasi, haram hukumnya untuk dipilih apalagi diperjuangkan. Aliansi PA 212 yang begitu longgar, celah bagi HTI untuk melakukan infiltrasi opini serta numpang eksis.

Kilas balik ke belakang, tak disangka, bendera tauhid malah jadi jalan bagi berakhirnya eksistensi HTI di ruang publik. Setiap tahun HTI punya agenda nasional di bulan Rajab tahun hijriyah untuk memperingati hari runtuhnya Khilafah pada tanggal 28 Rajab. Pada Rajab 1438 (Maret-April 2017) HTI mengambil tema Masirah Panji Rasulullah (Mapara) yaitu acara pawai atau aksi damai untuk mensosialisasikan bendera Rasulullah. Kontan rencana Mapara HTI ditentang sejumlah pihak terutama GP Anshor dan Banser karena dibalik Mapara tercium aroma makar yang menyengat. Akhir cerita HTI dibubarkan pemerintah pada tanggal 19 Juli 2017. Tiga bulan setelah Rajab. Setelah rencana sosialisasi Liwa Rayah bertajuk Mashirah Panji Rasulullah (Mapara) awal tahun 2017 gagal total, eks-HTI menjadikan acara-acara PA 212 sebagai tempat memajang bendera hitam putih itu.

*Variasi Bendera Tauhid*

Tauhid merupakan inti ajaran Islam berupa pengakuan atas keesaan Allah Swt secara radikal dan menyeluruh. Dengan pengakuan tersebut seseorang bisa disebut muslim. Tanpa itu sebaik apapun anak manusia, ia tetap dianggap non-Islam (kafir). Seluruh ajaran Islam merupakan manifestasi dari tauhid yang ditulis dengan satu kalimat singkat la ilaha illallah. Dengan kalimat ini setiap muslim menolak, membantah dan menegasikan ada tuhan lalu menetapkan, memastikan dan meyakini Allah itu Tuhan. Tuhan itu Allah saja. Inilah doktrin pokok, utama, sentral dan sakral dari keseluruhan ajaran Islam.

Kalimat tauhid adalah kalimat universal milik semua kaum muslimin di manapun mereka berada dari generasi ke generasi. Setiap Nabi yang diutus oleh Allah Swt mengajarkan tauhid sebagai basis kehidupan yang wajib diyakini sebelum membangun peradaban dengan syariah. Membangun peradaban berdasarkan tauhid misi utama para Nabi dari Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad Saw. Ajaran tauhid yang dibawa para Nabi, sama, tidak berubah. Adapun cabang-cabang syariahnya berbeda sesuai kebudayaan manusia tempat seorang Nabi diutus.(QS, 5: 48).

Tauhid adalah doktrin tentang keesaan Allah Swt yang diyakini dalam hati, diaktualisasikan dengan perbuatan dan termanifestasi menjadi kebudayaan dan peradaban. Jadi tauhid bukanlah bendera tapi aqidah. Bendera tauhid akhir-akhir ini ramai dibicarakan setelah di beberapa acara publik ormas Islam seperti tabligh akbar dan demonstrasi acapkali tampak massa yang membawanya. Memang belum ada definisi baku tentang bendera tauhid, namun dari persepsi umum belakangan ini yang dimaksud dengan bendera tauhid yaitu sepotong kain bersegi yang bertuliskan kalimat dua kalimat syahadat. Pada bendera itu juga tertulis kalimat Muhammad Rasulullah).

Bendera tauhid memiliki beberapa variasi antara lain bendera tauhid yang digunakan oleh Kerajaan Arab Saudi. Pada bendera Kerajaan Arab Saudi ditambah gambar pedang di bawah kalimat dua kalimat syahadat berlatar kain warna hijau. Adapun bendera Persyarikatan Muhammadiyah menambah kata muhammadiyah di tengah apitan tulisan dua kalimat syahadat yang berbentuk setengah lingkaran yang pagari oleh garis-garis sinar matahari di atas kain warna hijau. Sedangkan kelompok ISIS mempunyai bendera warna hitam dengan tulisan Muhammad Rasulullah berbentuk bulat yang mereka yakini seperti stempel yang pernah digunakan Rasulullah Saw pada surat-surat Beliau Saw. Ormas Islam yang juga menggunakan dua kalimat syahadat pada benderanya antara lain: FPI, FUI, Jama’ah Ansharusy Syariah dan HTI tentunya.

Pada kasus HTI, agak unik. Lambang/logo Hizbut Tahrir internasional berupa bola dunia yang di tengahnya ada tulisan Hizbut Tahrir bendera warna hitam bertulis dua kalimat syahadatnya. Sedangkan Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) menggunakan tiang bendera tauhid berwarna hitam dan putih di posisi huruf I kata tahrir dan Indonesia pada nama Hizbut Tahrir Indonesia. Jadi gambar lambang Hizbut Tahrir internasional (pusat) dengan Hiizbut Tahrir di wilayah Indonesia, berbeda. HT dan HTI lebih menonjolkan bendera tauhid yang mereka sebut bendera Rasulullah yang bernama Liwa dan Rayah, dibandingkan lambang/logo kelompok mereka sendiri. Di antara ormas-ormas Islam yang menjadikan dua kalimat syahadat sebagai lambang, hanya HTI dan ISIS yang begitu “memuja-mujanya”.

Umumnya ormas-ormas Islam yang menjadikan tulisan dua kalimat syahadat di bendera mereka tidak lebih untuk menunjukkan aqidah yang dianut oleh ormas sekaligus identitas, landasan dan hakikat dari tujuan akhir dari semua aktivitas yang dilakukan ormas tersebut. Barangkali hanya HTI dan ISIS yang mempersepsikan bendera tauhid sebagai bendera negara yang wajib ditegakkan.

*Hadits tentang Liwa Rayah*

Memang ada beberapa hadits Nabi Muhammad Saw terkait bendera tauhid. Bendera tauhid adalah bendera Rasulullah Saw berdasarkan hadits-hadits berikut ini: Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai di Sunan al-Kubra telah mengeluarkan dari Yunus bin Ubaid mawla Muhammad bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin al-Qasim mengutusku kepada al-Bara’ bin ‘Azib bertanya tentang rayah Rasulullah Saw seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib berkata: “Rayah Rasulullah Saw berwarna hitam persegi panjang terbuat dari Namirah.”

Dalam Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu Abbas meriwayatkan: “Rasulullah Saw telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali sehasta. Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat tulisan ‘Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’. Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih.”.

Berikut ini beberapa hadits lainnya terkait al-Liwa dan ar-Rayah.

Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibn Majah telah mengeluarkan dari Ibn Abbas, ia berkata: “Rayah Rasulullah Saw berwarna hitam dan Liwa beliau berwarna putih.”

Imam An-Nasai di Sunan al-Kubra, dan at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Jabir:

“Bahwa Nabi Saw masuk ke Mekah dan Liwa’ beliau berwarna putih.”

Ibn Abiy Syaibah di Mushannaf-nya mengeluarkan dari ‘Amrah ia berkata: “Liwa Rasulullah Saw berwarna putih.”

Saat Rasulullah Saw menjadi panglima militer di Khaibar, beliau bersabda:

“‘Sungguh besok aku akan menyerahkan ar-râyah atau ar-râyah itu akan diterima oleh seorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya atau seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan mengalahkan (musuh) dengan dia.’. Tiba-tiba kami melihat Ali, sementara kami semua mengharapkan dia. Mereka berkata, ‘Ini Ali.’. Lalu Rasulullah Saw memberikan ar-rayah itu kepada Ali. Kemudian Allah mengalahkan (musuh) dengan dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw. menyampaikan berita duka atas gugurnya Zaid, Ja‘far, dan Abdullah bin Rawahah, sebelum berita itu sampai kepada beliau, dengan bersabda:

“Ar-Râyah dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur; kemudian diambil oleh Ja‘far, lalu ia pun gugur; kemudian diambil oleh Ibn Rawahah, dan ia pun gugur.” (HR. Bukhari).

Hadits-hadits tadi berbentuk informasi (repotase) yang disampaikan oleh sahabat Nabi Saw. Tidak ditemukan indikasi (qarinah) dan konotasi yang menunjukkan perintah dari Nabi Muhammad Saw untuk menggunakan Liwa Rayah. Hadit-hadits itu mendeskripsikan bentuk dan warna bendera Rasulullah Saw sekaligus menunjukkan perbedaan kegunaan Liwa dan Rayah tanpa ada ‘amr (perintah) kepada umatnya nanti agar berbendera seperti Beliau Saw. Teks-nya (manthuq) tidak mengandung pujian bagi orang yang menggunakan ataupun celaan bagi yang meninggalkan. Tidak ada kata dan frase yang bermakna thalab (tuntutan) bagi umat untuk berbendera Liwa dan Rayah sehingga dapat disimpulkan bahwa menggunakan Liwa dan Rayah serta bendera tauhid pada umumnya, mubah, bukan fardhu.

Jika ditinjau konteks hadits-hadits di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah Saw menggunakan liwa dan rayah dalam konteks politik identitas suatu negara di tengah pergaulan antar negara saat itu. Konvensi internasional mengatakan bahwa eksistensi negara dilambangkan dengan sebuah bendera. Inilah fungsi dari Liwa. Adapun Rayah berfungsi adminstrasi (idariyah) di dalam negeri khususnya di angkatan perang (jihad). Di kancah peperangan bendera jadi penanda pasukan dan pemegang bendera yang jadi pemimpin pasukan . Fungsi politik kenegaraan liwa dan fungsi administrasi rayah merupakan fungsi yang dimiliki setiap bendera negara. Bendera Liwa Rayah di masa Nabi Saw tidak memiliki konotasi keagamaan secara khusus.

Negara Romawi dan Persia juga memiliki bendera yang fungsinya sama dengan Liwa Rayah. Dengan demikian liwa dan rayah bersifat profan, tidak unik, bukan khas kenabian dan keislaman karena fungsi bendera yang melekat di Liwa Rayah ternyata sudah dimiliki umat manusia sebelum Nabi Muhammad Saw memilikinya di Madinah. Perbuatan Muhammad Saw terkait bendera Liwa Rayah termasuk perbuatan jibiliyah wa thabi’iyah sebagai seorang manusia yang jadi kepala negara. Tidak berhubungan dengan tugas tasyri’i-nya sebagai Nabi dan Rasul.

Dari aspek unsur-unsur materi pembentuk Liwa Rayah, bendera tauhid ini terbuat dari kain berwarna hitam dan putih bertuliskan dua kalimat syahadat. Jenis khath yang digunakan HTI dan ISIS pada bendera tauhid mereka faktanya berbeda. Khath yang manakah yang sama persis dengan khath pada bendera Rasulullah Saw dulu? Khath versi HTI tulisan berbentuk langsing dan runcing ditambah dengan tanda baca (syakl). Kalau kita lihat khath pada dokumen surat-surat Rasulullah Saw, tulisan huruf-hurufnya agak gemuk dan gundul. Karena itu tulisan dua kalimat syahadat pada bendera Liwa Rayah versi HTI diduga kuat hasil modifikasi. Justru bendera tauhid versi ISIS lebih mirip dengan khath yang ada didokumen surat-surat Nabi Saw dan stempel Rasulullah Saw.

Secara umum bendera termasuk kategori benda-benda (al-asyya’) yang memuat nilai tertentu. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutnya dengan istilah madaniyah yang khas yaitu bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia. Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadlarah (sekumpulan mafahim [ide] yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan.) seperti patung, bendera, masjid, dll termasuk madaniyah yang bersifat khas. (an-Nabhani: 2001, 63). Adapun hukum asal benda (al-asyya’) adalah mubah sampai ditemukan dalil yang mengharamkannya merujuk pada kaidah fiqih:

Hukum asal/pokok segala sesuatu (benda) adalah mubah (boleh) sehingga terdapat dalil yang mengharamnya. (Abdul Mudjib, 2008: 25; an-Nabhani, 2001: 92; Muhammad Ismail, 1958: 20).

Jadi berdasarkan bukti-bukti:

1. Umat Islam sejak dari Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah kemudian berjihad dan punya Liwa Rayah, telah bertauhid tanpa bendera;

2. Redaksi hadits-hadits tentang Liwa Rayah bersifat informasi deskriptif (khabariyah) bukan tuntutan yang mewajibkan umat agar berbendera Liwa Rayah. Ditambah konteks Muhammad Saw dalam hadits-hadits itu sebagai pemimpin politik suatu negara bukan sebagai Nabi dan Rasul yang mengemban misi spiritual keagamaan.

3. Fakta kebendaan bendera tauhid Liwa Rayah termasuk madaniyah Islamiyah;

4. Bervariasinya bentuk bendera tauhid yang dimiliki ormas-ormas Islam termasuk dugaan modifikasi khath Liwa Rayah oleh HTI.

Bendera tauhid itu merupakan produk budaya sebagai lambang negara. Nilai bendera terletak pada fungsinya bukan pada bentuknya. Bentuk bendera mengikuti konvensi, konsensus dan adat yang sedang berlaku. Singkatnya bertauhid bukan fardhu; Berbendera tauhid (Liwa Rayah) hukumnya mubah.

Jadi jelas pamer bendera tauhid oleh HTI bukan bagian dari syariah. Pamer bendera itu untuk tujuan-tujuan munkar; adu domba, provokasi menuju chaos, kudeta dan bughat.

Bandung, 19 Oktober 2018

#HWMI #NU

 


Arkeolog dan ahli naskah tanggapi klaim Majapahit sebagai kerajaan Islam

$
0
0

Arkeolog dan ahli naskah tanggapi klaim Majapahit sebagai kerajaan Islam

Sebuah hasil kajian yang menyimpulkan Kerajaan Majapahit merupakan Kesultanan Islam dipertanyakan oleh arkeolog senior dan ahli naskah kuno, karena dianggap tidak berdasarkan bukti-bukti yang kuat.

majapahitHak atas fotoKEMDIKBUD.GO.ID
Image captionSalah-satu situs peninggalan bersejarah di kawasan Trowulan, Jawa Timur, yang diyakini dulunya merupakan bagian Kerajaan Majapahit.

Mereka kemudian mengusulkan agar kajian itu dibahas bersama para ahli di bidangnya sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya.

Hasil kajian sebenarnya sudah dibukukan dengan judul Majapahit, Kerajaan Islam: Fakta Mengejutkan, pada 2010 lalu namun belakangan kembali menjadi sorotan di media sosial setelah seseorang mengutip keterangan dari buku tersebut.

Secara garis besar, kutipan itu menyebutkan bahwa Majapahit merupakan Kesultanan Islam dan Maha Patih kerajaan itu, Gadjah Mada, memiliki nama asli Gaj Ahmada dan beragama Islam.

Namun arkeolog senior Mundardjito -yang pernah melakukan penelitian di situs peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur- mengatakan klaim itu tidak memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat.

“Kok semuanya jadi di-Islam-Islamkan. Padahal, candi-candinya, reliefnya, semuanya enggak (Islam),” kata Mundardjito kepada BBC Indonesia, Minggu (18/06) sore.

mundardjitoHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionArkeolog senior Mundardjito di ruangan kerjanya di kediamannya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, 2012.

Menurutnya, secara stastitik, jumlah cagar budaya yang berupa bangunan dan arca -yang tersebar luas di kawasan yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan Majapahit- semuanya bersifat Hindu-Buddha.

“Benda-benda tidak bergerak itu tersebar sampai ke daerah Malang dan sebagainya, dan bangunannya jumlahnya ratusan, dan bentuknya bukan masjid, tapi (bersifat) Hindu-Buddha,” jelas Mundardjito.

Adanya benda-benda cagar budaya itu, lanjutnya, merupakan bukti yang tidak bisa dibantah. Sebaliknya, bukti-bukti tulisan atau cerita lisan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

“Kalau benda itu wujudnya ada, itu ‘kan bukti. Tapi kalau, misalnya, (tulisan) di koran, itu ‘kan tertulis. Dan itu bisa saja dipakai untuk analisa untuk kepentingan macam-macam,” katanya lebih lanjut.

Mundardjito juga mengkritik klaim penulis buku tersebut yang -antara lain- mendasarkan kesimpulannya berdasarkan temuan koin Majapahit bertuliskan La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah.

“Mata uang yang Islam itu cuma kecil, dan itu (benda) bergerak. Bisa dibawa siapa saja. Mata uang Cina juga banyak (ditemukan di situs Trowulan), ribuan jumlahnya,” katanya.

Mundardjito mengakui memang ada temuan makam-makam Islam di beberapa tempat di situs Trowulan, tetapi tidak berarti kerajaan Majapahit adalah Kesultanan Islam, seperti diklaim penulis buku tersebut.

“Makam-makam itu memang makam Islam, tetapi jumlahnya tidak banyak dan baru muncul setelah tahun-tahun berikutnya,” jelasnya.

Karena itulah, demikian Mundardjito, temuan sejarah baru harus memiliki bukti yang sahih, relevan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Apa tanggapan penulis buku?

Hari Minggu (18/06), BBC Indonesia telah menghubungi penulis buku tersebut, Herman Sinung Janutama, melalui laman Facebooknya, tetapi belum ditanggapi.

Buku Majapahit, Kerajaan Islam: Fakta Mengejutkan (2010) disusun dan diterbitkan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah, Kota Yogyakarta.

Namun demikian, dalam wawancara dengan Tirto.id (Minggu, 18/06), Herman secara garis besar mengatakan bahwa kesimpulan Majapahit adalah Kerajaan Islam didasarkan riset pada cerita lisan dan rujukan pada manuskrip kuno.

“Bagi orang Jawa yang masih menjalankan tradisi, Majapahit tidak pernah bukan Islam,” katanya kepada Tirto.id.

FacebookHak atas fotoASHAD KUSUMA DJAYA/FACEBOOK

Dia juga menyebut bahwa bukunya didasarkan kritik metodologi terhadap studi sejarah mainstream atau arus utama, yaitu dengan merambah manuskrip yang jarang menjadi referensi kajian soal Majapahit.

Herman kemudian mengaku dirinya menerapkan cara pandang berbeda dari para filolog dan sejarawan modern dalam pembacaan manuskrip Jawa.

Tentang sosok Gadjah Mada, Herman mengklaim bahwa sang Maha Patih Majapahit adalah penganut Islam, dengan berdasarkan catatan silsilahnya.

Namun demikian, dalam komentarnya yang dikutip laman Facebook milik Wakil Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta, Ashad Kusuma Djaya, sang penulis mengaku dirinya tidak pernah menyebut Gadjah Mada dengan sebutan Gaj Ahmada.

Kepada Tirto.id, Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Ryanto Tri Nugroho, juga mengatakan pihaknya mengklaim memiliki dasar kuat walau metode riset dan kesimpulannya berkebalikan dengan studi sejarah dan antropologi mainstream.

Kritikan dari ahli naskah kuno

Dihubungi secara terpisah, ahli filologi atau naskah kuno dari Universitas Gadjah Mada, Irawan Djoko Nugroho, mengatakan sejak awal mengkritik kehadiran buku karya Herman Sinung Janutama tersebut.

Irawan menyebut bahwa Herman menggunakan data Jawa baru untuk melihat sejarah Jawa kuno.

“Kalau data Jawa kuno, kita orientasinya ke sumber PararatonNegara Kertagama, kemudian prasasti-prasasti. Nah, ketiga data tersebut menunjukkan bahwa Majapahit itu Hindu, bukan Islam,” kata Irawan kepada BBC Indonesia.

majapahitHak atas fotoFACEBOOK DENI INDIANTO
Image captionFoto yang diunggah di Facebook yang memperlihatkan sekelompok orang mengambil batu bata dari situs bangunan yang diduga peninggalan Majapahit, April 2017 lalu.

Dia menduga, Herman menggunakan data dan sumber baru yang disebutnya tidak merujuk kepada data-data yang lama.

“Dalam kajian filologi, teks baru tidak dapat merevisi teks lama. Namun teks lama dapat merevisi teks baru, karena dimungkinkan dalam teks baru timbul penambahan-penambahan dari para penyalin,” papar Irawan.

Irawan -penulis buku Majapahit Peradaban Maritim – juga menganggap Herman Sinung tidak menggunakan data sejarah resmi, yaitu yang sudah diakui oleh standar penulisan sejarah di Indonesia.

“Penulisan sejarah di Indonesia standarnya kan, pertama, data-data prasasti, kemudian data-data kakawin, data-data sejarah pendukung lainnya, kemudian didukung data-data dari Cina, kemudian data-data dari Arab,” jelasnya.

Semua data itu, lanjutnya, menyebut bahwa Majapahit bukanlah kerajaan Islam. “Bahkan, data dari Arab sendiri menyatakan ketika orang Arab datang ke Majapahit, itu mengatakan bahwa Raja Majapahit masih orang kafir. Jadi bukan Muslim,” tambahnya.

Bagaimanapun agar tim penulis buku tersebut diharapkan menjelaskan hasil kajiannya di depan para ahli di bidang tersebut.

“Minta saja orangnya untuk bicara di depan para ahlinya,” kata Mundardjito.

Usulan itu juga didukung oleh Irawan. “Intinya, kita bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk saling belajar.”

 

Permufakatan Yogyakarta  Agamawan dan Budayawan

$
0
0

Permufakatan Yogyakarta  Agamawan dan Budayawan

Meskipun terakui kenyataan mutakhir kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia mengalami guncangan akibat perkembangan tak terduga di
tingkat global sehingga menciptakan banyak perubahan – yang bahkan
fundamental di tingkat lokal atau sampai pada soal eksistensial atau
kejelasan jati diri –, kita sebagai pemilik sah keberadaan serta kedaulatan
Indonesia tetaplah optimistis mampu menjawab secara adekuat semua
persoalan dan tantangan yang muncul sebagai akibat di atas. Kita pun
percaya, melalui pendidikan yang disempurnakan secara berkelanjutan, kita
akan meraih masa depan yang cerah melalui generasi-generasi baru yang
(harus) menjadi bonus demografi yang tercerahkan.

WhatsApp Image 2018-11-03 at 12.13.41 PMHal tersebut tidak akan dapat tercapai bila kita bersama, baik sebagai
individu, bangsa, maupun negara, tidak melakukan koreksi – besar dan kecil
– dan tidak menciptakan perubahan yang signifikan di semua
level/dimensinya: cara berfikir, merasa, bersikap atau bertindak, baik dalam
dimensi akal, fisikal, mental hingga spiritual.

Kami bermufakat perubahan tersebut antara lain harus terjadi pada:

  1. kalangan agamawan dan budayawan dalam memahami dan mengatasi
    disrupsi yang terjadi dalam dirinya sendiri sehingga mengganggu
    bahkan merusak bukan saja iman (keyakinan) umatnya, tapi juga
    hubungan idealnya dengan kenyataan sosial serta kultural lokal di
    mana ia berada;
  2. penghayatan serta pengamalan praktik-praktik keagamaan di seluruh
    sudut negeri ini yang terbukti dalam sejarah yang panjang terintegrasi
    secara positif, konstruktif, dan produktif dengan praktik-praktik
    kebudayaan di setiap satuan etnik yang dimiliki bangsa Indonesia;
  3. pendidikan, baik umum maupun agama, formal maupun non-formal,
    dengan memahami dan melanjutkan secara lebih adekuat praksis dan
    makna pengajaran dalam dunia tradisi, termasuk kemampuan
    alamiahnya dalam mengakselerasi perkembangan zaman,
    bagaimanapun radikalnya, dengan antara lain:
    • I. memosisikan kembali orang tua dalam peran sebagai guru yang paling mula dan mulia dalam proses pengajaran anak-anak Indonesia;
    • II. mengedepankan pengajaran akhlak yang berbasis pada pencerahan kalbu sebelum hal-hal lainnya, mulai dari tahap pendidikan dini hingga tingkat menengah, dengan menggunakan model-model yang menjadi panutan/keteladanan melalui pelbagai produk kebudayaan, antara lain kesenian, seperti: sastra, teater, tari, rupa sebagai tradisi yang masih hidup, juga adat-istiadat yang mengintegrasikan dunia religius dan tradisional sebagaimana dipelihara kraton-kraton di seluruh nusantara.
    • III. terus memperbaiki dan mengembangkan bahasa agama dan budaya yang mampu menghindarkan dirinya dari diksi, semantika atau retorika yang jumud, intoleran, teologi yang berpihak, atau ideologi yang bertentangan dengan kenyataan aktual, faktual juga historis bangsa;
    • IV. mengatasi secara keras dan tegas mental rendah-diri para anakdidik dengan contoh-contoh faktual tentang kenyataan-kenyataan keunggulan manusia Indonesia beserta produk-produk kulturalnya;
    • V. menanamkan pemahaman dan praktik hidup sedalam-dalamnya bahwa agama (dengan segala pemahaman dan ibadahnya) bukanlah berarti segalanya, dalam arti manusia sudah selesai hanya dengan agama dan menafikan dimensi-dimensi hidup lainnya yang sesungguhnya setara peran dan fungsinya yang konstitutif.

4. sikap dan perilaku kita, sebagai manusia, kelompok, juga sebuah
bangsa, yang tetap kuat dilandasi oleh nilai-nilai luhur sebagaimana
telah dipraktikkan oleh leluhur bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari
di setiap etniknya, seperti antara lain:
a. jujur
b. sabar
c. bersyukur (berterima kasih pada semua makhluk)
d. berkesetaraan
e. berbhineka (pluralis dan multikulturalis) plus wawasan kebangsaan
f. bergotong-royong
g. disiplin dan bertanggungjawab
h. mandiri
i. saling mengasihi
j. santun (dalam berpolitik, bertutur, bersikap dan berperilaku)
k. menerima yang menjadi haknya, bukan sebaliknya
l. mengedepankan laku (praktik dalam foot print, bukan hanya kognisi
dalam bentuk footnote)
m. keterbukaan (open minded)
5. Negara, cq pemerintah, dalam hal ini tidak hanya berperan dalam
memelihara, melayani atau memfasilitasi saja, tapi selain terus
mengoreksi kekeliruannya, bahkan hingga tingkat sistemik, juga
menjadi inisiator dari perubahan-perubahan di semua level
dimensinya, termasuk misalnya menciptakan sebuah narasi yang dapat
dan menjadi pijakan bersama (common ground) mulai dari soal siapa,
dari mana bermula, hingga akan kemana Bangsa Indonesia.

6. mendorong praktik kehidupan beragama untuk melahirkan iman yang
membuahkan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.

Mufakat ini tentu akan tidak berarti apa-apa, bila semua pihak tidak
berusaha untuk melaksanakannya, di mana karena itu, lembaga-lembaga
utama, seperti organisasi agama, komunitas budaya, pemerintah hingga
satuan-satuan informal mengimperasi secara kuat (menugaskan dengan
tegas) dirinya sendiri untuk melakukan perubahan bahkan revolusi di dalam
diri selaras dengan apa yang menjadi isi dari mufakat ini.
Semoga Tuhan yang Mahakuasa dan doa serta harapan leluhur yang
mulia memberkati kita dan seluruh upaya baik kita ini.

Agama Tidak Bisa Dilepaskan Dari Tradisi dan Budaya

Oleh. Zastrouw Al-Ngatawi (Budayawan)

Tradisi dan budaya tidak sekedar hasil kreatifitas manusia tetapi sekaligus juga merupakan pembeda antara manusia dengan makhuk lain. Manusia akan tetap menjadi manusia ketika masih berbudaya dan memiliki tradisi. Ketika manusia sudah tidak berbudaya maka sebenarnya dia sudah tidak menjadi manusia lagi. Sebagai makhluk, derajatnya akan turun atau tergadrasi menjadi seperti hewan atau malaikat.

Atas dasar ini maka setiap upaya penghancuran tradisi dan kebudayaan sebenarnya merupakan upaya pendegradasian derajat kemanusiaan, sekalipun itu dilakukan atas nama agama. Beragama tanpa kebudayaan akan menjadikan menusia menjadi seperti malaikat yang derajatnya juga berada di bawah manusia.

Berkebudayaan dalam beragama adalah penggunaan nalar kreatif untuk mengamalkan, merealisasikan dan mewujudkan ajaran agama yang abstrak dan universal dalam laku hidup yang kongkrit dan faktual. Berkebudayaan dalam konteks keberagamaan bisa dipahami sebagai proses mendialogkan ayat-ayat qauliyah (teks agama) dengan ayat-ayat kauniyah (realitas alam dan kehidupan) secara kritis dan kreatif hingga ajaran agama yang ideal dan ilahiah menjadi manusiawi. Bukan sekedar norma dan nilai-nilai abstrak yang sulit dijalankan oleh manusia.

Dengan cara pandang seperti ini agama menjadi indah dan mudah diamalkan serta ramah pada kenyataan. Agama menjadi sumber inspirasi atas tradisi dan kebudayaan. Dan pada sisi lain tradisi dan kebudayaan menjadi instrumen / alat (wasilah) dan metode (manhaj) dalam mengamalkan dan memahami ajaran agama. Dengan cara ini agama menjadi mudah dipahami, diamalkan dan membahagiakan. Karena agama bukan lagi menjadi beban dan ancaman yang menakutkan tetapi menjadi laku hidup yang bermanfaat.

Bagi orang-orang kreatif yang arif dan beradab agama jelas bukan menjadi kekuatan yang melindas dan alat memberangus tradisi. Agama bukan menjadi alat legitimasi untuk menista dan merendahkan tradisi yang ada. Sebaliknya agama justru menjadi pelindung tradisi yang baik yang sudah hidup dan berkembang di masyarakat.

Dalam konstruksi masyarakat Nusantara kita bisa melihat hubungan yang harmonis, dinamis dan kreatif antara kebudayaan dan tradisi dengan agama (Islam). Pola hubungan yang seperti inilah yang menyebabkan berbagai ragam corak tradisi dan budaya Nusantara tetap tetap terjaga dan terpelihara sehingga bisa eksis hingga saat ini, meski kadang terjadi perubahan format dan bentuk. Melalui tradisi inilah para wali dan ulama Nusantara memasukkan nilai-nilai dan ajaran Islam.

Kenyataan ini mencerminkan bagaimana para wali dan ulama Nusantara memiliki pandangan yang lapang, ilmu yang luas dan pemahaman keagamaan yang dalam. Dengan kapasitas seperti ini mereka tidak memandang teks agama sebagai benda mati dan produlk jadi yang statis dan harus diterima apa adanya.

Para ulama melihat ada beberapa teks agama yang menyebutkan adanya kemungkinan membuka ruang dialog antara ajaran dengan realitas, terutama pada hal-hal yang tidak memiliki ketetapan pasti (qath’i), misalnya pada pelaksanaan ibadah ghairu mahdlah (jenis-jenis ibadah diluar salat, puasa dan lainnya). Pada konteks ini, teks agama dilihat sebagai bahan baku yang perlu diolah dan dihidupkan melalui nalar kreatif agar bisa dijalankan secara kontekstual. Dengan cara ini agama akan tetap aktual sepanjang zaman dan tempat (shoheh fi kulli zaman wa makan)

Selain melahirkan berbagai konstruksi kebudayaan dan tradisi, sikap beragama yang berkebudayaan juga melahirkan berbagai konsep dan kaidah keilmuan, misalnya di bidang fiqh lahir konsep ‘urf, maslakhah mursalah, istikhsan syadud dzara’i. Di bidang Al-Qqur’an dan Hadis lahir ilmu tafsir, ulumul qur’an, balaghah, asbabul nuzul, asbabul wurud, jarh wa ta’dhil dan sebagainya. Semuanya ini merupakan perangkat teknis akademik untuk menjabarkan ajaran agama yang ada dalam teks yang abastrak dan normatif menjadi praktis dan operasional.

Melalui ilmu-ilmu ini para ulama bisa bersikap ramah dan kreatif terhadap realitas termasuk pada tradisi dan budaya yang ada di masyarakat. Mereka melakukan rekonstruksi kebudayaan dengan strategi yang canggih dan efektif. Para ulama tidak main hantam, menista dan melarang berbagai tradisi yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, mereka tetap menjaga berbagai tradisi tersebut dengan spirit, nilai dan pemahaman baru yang sesuai dengan ajaran ini.

Dari sini kita bisa melihat, sikap menista, memberangus, melarang, dan merusak tradisi merupakan cermin kedangkalan dalam memahami agama sehingga agama menjadi kering, dangkal, dan sempit. Jika sudah demikian sikap orang beragama akan cenderung menjadi keras dan kaku. Selain itu, menjauhkan agama dari kebudayaan dan tradisi sama dengan membuat agama menjadi tidak manusiawi karena menjadi sulit dipahami dan diamalkan oleh manusia. Jika sudah demikian ajaran agama hanya bisa diamalkan oleh malaikat, sebagai makhluk Allah yang tidak memiliki kreatifitas yang bisa melahirkan kebudayaan dan tradisi.

Persekusi terhadap tradisi bisa menyebabkan terjadinya defisit tradisi dan kebangkrutan budaya yang bisa membuat manusia kesulitan memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dari sinilah muncul krisis kemanusiaan yang menjadi sumber bencana sosial.

NUSANTARAINSTITUTE.COM
Tradisi dan budaya tidak sekedar hasil kreatifitas manusia tetapi sekaligus juga merupakan pembeda antara manusia dengan makhuk lain.

 

Aku Bermedia Aku Ada

$
0
0

by Radhar Panca Dahana

MI/TiyokSEBENARNYA ada yang ironis bahkan tragis, di balik penyebarluasan berita-berita peristiwa tragis yang terjadi di sekitar kita oleh media personal, via media sosial, misalnya. Eksploitasi berita dan gambar yang tidak empatik. Menampilkan secara banal dan vulgar kesedihan, korban, situasi pilu, hingga tubuh-tubuh yang menggiriskan, seperti perluasan gambar dari peristiwa jatuhnya pesawat JT 610 Lion Air kemarin. Tidak hanya melukiskan merosotnya keadaban publik, tetapi juga lebih dalam dari itu.

Ketika banyak pihak merasa gembira dan optimistis melihat fakta tingkat literasi anak muda kita pada internet, juga media sosial khususnya, tinggi. Angka pengguna Facebook, dalam catatan, hanya dikalahkan oleh Amerika Serikat dan India. Bahkan, lebih banyak lagi kalangan kagum dan memuji, ketika di antara mereka, yang sebagian tergolong generasi milenial (gen Y), berani memasuki dunia virtual itu untuk melakukan dagang-e (e-commerce).

Namun, mungkin belum banyak yang menyadari atau menyangka, dunia ‘baru’ yang tidak nyata (unreal) itu, sesungguhnya jauh lebih rumit ketimbang penampakan dan aksesnya yang sederhana. Ia sungguh sangat berbeda dengan material (real reality) sehingga harus dihadapi dengan cara berpikir, penyikapan, hingga perilaku yang berbeda. Bila ingin berdagang di dalam atau melalui dunia tersebut, tidak dengan cara berpikir seorang pedagang kelontong atau pabrikan roti dan kue.

Internet atau virtual reality ialah sebuah dunia baru yang mana segala batasan tradisional yang kita kenali tidak berlaku di sana, sebagaimana Anda membayangkan batas dari imajinasi. Dia borderless, tanpa negara (stateless), tanpa hukum (lawless), dan seterusnya. Yang harus kita hadapi di situ ialah sebuah rimba, lebih lebat dari yang paling purba karena tidak ada kemungkinan kita mengenali, memahami, apalagi menguasainya. Sebagaimana di masa purba, hukum yang berlaku ialah ‘siapa kuat di berkuasa’, survival of the fittest dalam bentuknya yang murni.

Namun, bukan tiada siapa-siapa di sana. Ratusan juta, bahkan miliaran penduduk virtual telah tercatat, baik yang murni virtual maupun yang memiliki dimensi fisiknya di dunia nyata. Di antara mereka sudah ada pihak, individu, komunitas juga ‘institusi’ yang tumbuh, bahkan secara gigantik, menjadi semacam raja-raja kecil atau landlords dengan ambisi, nafsu, termasuk potensi kekerasan yang setara dengan penghuni hutan rimba masa lalu.

Maka siapa pun yang berani masuk ke dalamnya harus berhadapan dengan gergasi-gergasi tersebut, yang tidak harus secara fisik sesuai dengan imajinasi tentang gergas. Namun, misalnya, kemampuan teknologinya yang tinggi, dalam menggunakan dan menciptakan algoritme. Pihak atau individu ini sambil terbahak bisa melangkah santai memasuki ruang paling rahasia Pentagon di Amerika Serikat. Membongkar rekening sebuah korporasi atau mencuri habis seluruh data medis rumah sakit internasional.

Anda hendak masuk sebagai pedagang? Sebagai newcomer dengan katakanlah 1-10 miliar perak, lalu membangun semacam start-up atau aplikasi bisnis tertentu? Sadari saja, hutan yang Anda masuki, tempat benih dagang tadi hendak tumbuhkan, ada di tengah pohon-pohon besar yang menjulang sehingga kita tidak bisa melihat pucuknya.

Begitu Anda berkembang sedikit, pohon besar itu akan melilit akar atau rantingnya untuk membuat Anda menjadi bagian dan hidup tergantung padanya. Riwayat beberapa aplikasi lokal, bahkan yang tergolong unicorn, kita tahu mengalami ironi di atas. Tak hanya di sini. Di mana-mana.

Menjadi tragedi

Di tingkat individual, ironi itu menjadi semacam tragedi. Internet dengan pelbagai platformnya akan (selalu dengan sukses) menelan habis siapa pun (individu) yang berani masuk ke dalamnya. Tidak hanya itu, pusaran gelombang dunia ini akan dengan cepat mengubah seseorang menjadi satu sosok dengan identitas yang kian lama tidak ia kenali. Apa pun elemen atau ciri dari jati diri seseorang jauh lebih dikenali oleh tiap algoritme di tiap platform yang individu bersangkutan masuki.

Di dalam dunia antah-berantah ini, setiap orang kian tidak mampu menentukan sendiri, mulai warna hingga merek baju dalamnya, rumah yang ingin dibelinya, bahkan istri yang diidamkannya. Diri telah dikonstitusi oleh program dan keberagaman dikendalikan oleh intensi dari para pemilik platform utama.

Tragedi itu pun terjadi, manusia kehilangan semua yang selama ini ia perjuangkan–selama ribuan tahun dalam bentuk kebudayaan untuk menjadi: manusia yang sebenarnya. Tuhan hilang. Tauhid, kalau pun masih ada, ilusif.

Semua itu tergambar jelas dalam dampak yang terjadi saat seseorang masuk dan menggunakan berbagai media sosial yang disediakan oleh hutan rimba virtual ini. Hampir seluruh bentuk media daring itu memiliki fasilitas dan peluang untuk para penggunanya mengekspos dirinya, komplit dengan seluruh libido natural maupun nurturalnya. Satu pe­luang yang dengan cepat ditangkap oleh siapa pun yang merasa hidup semakin berat dalam hal kontestati personal. ‘Ini saatnya aku muncul, menjadi sesuatu, become somebody’.

Namun, ketika yang melakukan hal itu miliaran orang, ironi pun terjadi. Alih-alih ia mendapatkan ruang untuk tampil sebagai ‘seseorang’, ia justru tenggelam habis. Pertempuran ‘antar-pribadi/personalitas’ berlangsung begitu kuat. Setiap orang harus survive (yang ditandai oleh like atau follower) dengan menghadirkan hal-hal yang tidak dimiliki atau diduga orang lain. Kejutan atau surprise, keganjilan, misteri, hingga hal-hal yang bersifat kasar, ganas, dan horor menjadi pilihan hanya untuk sekadar mengatakan aku ‘ada’.  Aku bermedia aku ada.

Situasi tragis ini sebenarnya hanya salah satu dari ‘penyakit’ dari penggunaan media sosial yang kian adiktif. Penyakit yang sebelumnya melihat internet sebagai salah satu obat atau terapi, tapi ternyata justru membuatnya mengalami sindrom ‘takut kehilangan diri’ sehingga ia memanfaatkan dirinya sebagai medium (jamak: media) menyebarkan hal-hal yang lebih verbal, sensasional, kasar, bahkan mengerikan ketimbang sebaliknya. Demi follower sebagai indikator eksistensi.

Apakah ada kebenaran, nilai atau moralitas di dalam ekspresi itu? Bagaimana mungkin itu terjadi, ketika setiap orang bebas menyatakan apa pun, bahkan senegatif apa pun. Kebenaran menjadi preferensial, ‘apa kata gua’. Otoritas hancur. Apalagi empati, kian lama akan luntur. Kecuali ia berkaitan dengan program eksistensial seseorang. Jika tidak, apa pun akan dilakukan, termasuk menyiarkan kabar dan gambar memilukan dari hidup tragis orang lain.

http://m.mediaindonesia.com/read/detail/194259-aku-bermedia-aku-ada

Sundaland Ethnomusic Festival 2018

$
0
0

Sundaland Ethnomusic Festival 2018 & Diskusi Sejarah Peradaban Sundalandia Lemuria dan Atlantis Nusantara

Talataaki Production, gelar Sundaland Ethnomusic Festival 2018 di Pura Agung Jagatkarta, Ciapus, Bogor

NJI, HujanMusik!, Bogor – Bagi sebagian penikmat musik, mungkin ada yang merindukan sebuah kejutan ditengah merajanya musik folk, metal, shogaze, ataupun pop saat ini. Menjamurnya musisi-musisi yang karyanya seragam mungkin sedikit membosankan. Pun dengan panggung musik yang masih didominasi oleh suara modern. Semua itu tidak salah, memang begitu seharusnya dunia. Terdiri dari angka nol dan garis lurus, bilangan binari yang mewakili keseimbangan.

Sundaland Ethnomusic Festival rasanya bisa menjawab rasa haus akan sesuatu yang berbeda. Menjadi alternatif pilihan diantara keseragaman. Talataki, sebuah komunitas yang berazaskan nilai-nilai luhur kearifan lokal, terutama seni, menawarkan sebuah helaran berisi konser musik tradisional.

Tidak cuma itu, festival yang akan digelar pada 27 Oktober nanti ini juga akan dipadati kegiatan yang berkaitan dengan seni, budaya, dan sejarah. Diskusi tentang Atlantis, Lemuria, dan sejarah Sundaland, pameran foto, festival dongdang, dan pasar murah melengkapi hajat besar di Pura Agung Jagatkarta.

Manusia adalah mahluk yang unik, seringkali berharap mendapat kejutan dan bersorak kegirangan ketika mendapatkannya. Itulah yang terjadi pada saya saat menghadiri konferensi pers Sabtu (19/10) lalu di Kopi Kamu, sebuah kedai manis yang menawarkan kepahitan kopi sebagai jualan utama. Saya senang bukan kepalang, akan segera disuguhi helaran seni besar yang melibatkan setidaknya 60 seniman dari berbagai negara dan berdiskusi tentang seni budaya sunda yang menarik perhatian saya sejak 8 tahun kebelakang. Sungguh, kejutan yang menerbangkan harapan ke awang-awang.

Gambar mungkin berisi: 3 orang, termasuk Dhani Irwanto, orang tersenyum, orang berdiri dan luar ruangan

“Yang kita tampilkan adalah maestro. Melalui kegiatan ini sepantasnya kita memberikan kepada maestro seni klasik sunda, tempat yang selayak-layaknya,” terang Iwan Toruan, penggagas dan produser Sundaland Ethnomusic Festival 2018.

Sebuah penelitian psikologi yang dipublikasikan dalam jurnal Cognitive Psychology (2015) menjelaskan pada dasarnya kejutan memiliki tingkatan, mulai yang biasa, sedang sampai sangat mengejutkan. Meadhbh Foster dan Mark Keane dalam penelitian yang diberi judul why some surprises are more surprising than others: surprise as a metacognitive sense of explanatory difficulty tersebut menyebut terdapat empat faktor yang membuat kita terkejut, yaitu memori kita, skenario kejutan, logika rasio, dan juga kerja kognitif kita saat kejadian. Keempatnya yang membuat kejutan menjadi bertingkat.

Melihat semua atributnya, Sundaland Ethnomusic Festival akan menjadi kejutan yang berada di tingkatan menengah. Tidak biasa juga tidak sangat mengejutkan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan psikologis manusia. Seperti disebutkan diawal tulisan, sebagian penikmat musik pasti ada yang mengharapkan sesuatu yang diluar kebiasaan. Tapi pasti ada juga yang merasa bahwa keramaian dunia musik saat ini sudah cukup dan mereka tidak membutuhkan hal lain.

“Kami tetap kemas dengan tampilan populer. Kami pastikan denting Kacapi bisa dinikmati dengan layak,” jelas Reye Maulana, show director acara ini.

Rasanya memang sedikit janggal menyebut sebuah pagelaran yang sudah digembar-gemborkan sejak dua bulan lalu sebagai sebuah kejutan. Tapi beberapa orang bilang pada saya bahwa mereka terkejut, walaupun kebanyakan terkejut karena gerakan besar ini digratiskan untuk umum. Selain itu, pihak Talataki selaku penyelenggara juga mengaku tidak akan ada kejutan lain selain dari yang sudah disebutkan dalam berbagai media promo. Tapi ada juga segelintir orang yang mengharapkan kejutan dari para penampil dan suasana yang akan hadir disana. Jadi rasanya sah-sah saja mengkategorikan festival ini kedalam kejutan.

“Sajian musik spiritual dalam pengertian geografis-kultural pada 12000 tahun yang lalu. Ingatan itu dipancing dengan musik, pendekatan musikal. Jadi memori kesadaran itu kita coba hadirkan melalui musik dan diskusi kesejarahan,” tambah Ahmad Samantho, penulis buku Peradaban Atlantis Nusantara, pemandu diskusi kesejarahan.

Kini, tinggal menunggu semua kejutan itu terwujud saat Sundaland Ethnomusic Festival turun dari langit mimpi ke sebuah pura asri di kaki gunung salak.(Ahmad Samanto)

Sundaland Ethnomusic Festival 2018

Kejutan di Tengah Musik yang Berbeda

Kejutan di Tengah Musik yang Berbeda

Foto : dok. Sundaland Ethnomusic Festival 2018

Menjamurnya musisi yang karyanya seragam mungkin sedikit membosankan. Dan bagi sebagian penikmat musik, mungkin ada yang merindukan kejutan di tengah merajalelanya musik folk, metal, shogaze, ataupun pop saat ini. Dan Sundaland Ethnomusic Festival (SEF ) 2018 adalah kejutan itu.

Menjadi alternatif pilihan diantara keseragaman, SEF rasanya bisa menjawab rasa haus akan sesuatu yang berbeda. Talataaki, komunitas yang berazaskan nilai-nilai luhur kearifan lokal, terutama seni, menawarkan helaran berisi konser musik tradisional.

Tidak cuma itu, festival yang digelar pada Sabtu (27/10) tersebut dipadati kegiatan yang berkaitan dengan seni, budaya, dan sejarah. Diskusi tentang Atlantis, Lemuria, dan sejarah Sundaland, pameran foto, festival dongdang, dan pasar murah melengkapi hajat besar di Pura Agung Jagatkarta, Bogor.

“Yang kita tampilkan adalah maestro. Melalui kegiatan ini sepantasnya kita memberikan kepada maestro seni klasik sunda, tempat yang selayak-layaknya,” terang Iwan Toruan, penggagas dan produser SEF 2018.

Melihat semua atributnya, SEF akan menjadi kejutan yang berada di tingkatan menengah. Hal ini disebabkan perbedaan psikologis manusia. Sebagian penikmat musik pasti ada yang mengharapkan sesuatu di luar kebiasaan. Tapi pasti ada juga yang merasa bahwa keramaian dunia musik saat ini sudah cukup dan mereka tidak membutuhkan hal lain.

“Kami tetap kemas dengan tampilan populer. Kami pastikan denting Kacapi bisa dinikmati dengan layak,” jelas Reye Maulana, Show Director SEF.

Rasanya memang sedikit janggal menyebut pagelaran yang sudah digembar-gemborkan sejak dua bulan lalu sebagai sebuah kejutan. Selain itu, pihak Talataaki selaku penyelenggara juga mengaku tidak akan ada kejutan lain selain dari yang sudah disebutkan dalam berbagai media promo. Tapi ada juga segelintir orang yang mengharapkan kejutan dari para penampil dan suasana yang akan hadir di sana.

“Sajian musik spiritual dalam pengertian geografis-kultural pada 12.000 tahun lalu. Ingatan itu dipancing dengan musik, pendekatan musikal. Jadi memori kesadaran itu kita coba hadirkan melalui musik dan diskusi kesejarahan,” tambah Ahmad Samantho, penulis buku Peradaban Atlantis Nusantara, pemandu diskusi kesejarahan.  yeb/R-1

Tempat Tafakur Prabu Siliwangi

Lebih dari 30 seniman musik yang tergabung dalam 7 kelompok penampil memberikan hiburan musik etnik kelas wahid bagi mereka yang ingin merehatkan indra dan rasa dari musik favorit mereka selama ini.

Nada-nada yang mengalir cepat dengan indah dari alat musik Tabla dan Sitar dari India, keanggunan suara kecapi Guzheng dari Tiongkok, kecantikan suara kecapi Koto dari Jepang, serta suara mendayu-dayu kecapi suling Sunda beserta suara ritmis musik Gembyung dari Subang ditata apik oleh Rock Mountain Event Organizer dan bergulir secara harmonis dari waktu ke waktu selama helaran berlangsung.

Para maestro musik klasik Sunda, seperti Abah Surya Drajat Kusumahdiningrat dari Bandung, Aki Dadan Sukandar dan Mang Tatang Setiadi dari Cianjur, serta Mang Ayi Ruhyat dari Subang, tampil berbagi panggung dan memberikan pertunjukan musik etnik dengan kualitas tinggi.

Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Festival yang digagas Iwan Lumban Toruan dan Zeira Soraya Indraswari dari Komunitas Talataaki ini memiliki arti penting karena menjadi sebuah kegiatan kultural yang mengadopsi nama Sundaland untuk pertama kali di dunia.

Konsep ilmiah yang sebenarnya berorientasi biogeografis ini direlasikan secara kuat dengan gagasan spekulatif milik Plato tentang keberadaan peradaban Atlantis, sebuah peradaban maju yang diduga pernah mendiami dataran tersebut, untuk menggugah kesadaran kolektif bangsa ini guna membangun kembali peradaban maju di bumi Nusantara sekarang.

Untuk itu, Komunitas Talataaki menggelar diskusi tentang Sundaland dan peradaban Atlantis, dengan memasukan pembahasan tentang peradaban Lemuria yang diklaim banyak pihak sebagai peradaban yang lebih tua dari Atlantis, untuk menegaskan upaya tersebut.

Pembicara penting dalam kajian ini, seperti Dicky Z.A, Dhani Irwanto dan Ahmad Y. Samantho, berbagi pengetahuan terbaru tentang peradaban-peradaban tersebut kepada masyarakat umum.

Kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan di Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, Ciapus, Bogor, itu merupakan bangunan persembahyangan umat Hindu Bali yang berdiri indah di atas tanah yang memiliki makna spiritual tinggi bagi masyarakat Sunda maupun banyak kalangan lain, karena dipercaya sebagai salah satu tempat tafakur Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi semasa hidupnya.  yeb/R-1

Dijamin Tidak Membosankan

Pendiri Talataaki, Iwan Toruan menjelaskan, pertunjukan musik tradisional kecapi suling bertajuk SEF 2018 mengambil tema Rukun Sakabehna Saumat Sadunya (rukun umat seluruh dunia) atau live together in Peace and harmony.

“Rasa kebersamaan saat ini menjadi barang langka. Melalui musik, khususnya kecapi suling kami ingin hadirkan kembali rasa persatuan itu,” papar Iwan.

Suling dan kecapi sendiri merupakan alat musik tradisional Sunda yang merakyat dan saat ini sudah jarang dipertontonkan secara langsung atau sangat jarang orang memainkannya. Melalui festival ini, khususnya generasi muda saat ini minimal menyukai, dan diharapkan setelah suka lalu mencintai dan ikut melestarikannya ke depan.

Sementara itu, pengarah acara SEF 2018, Kang Yana menjelaskan, kemasan acara dibuat se-modern mungkin.

“Pun seni tradisional, kami yakinkan sungguhan acara tidak akan membosankan, cukup nyaman dan menarik,” katanya.

Pertunjukan menyuguhkan 30 musisi etnik dari berbagai daerah hingga luar negeri. Seperi Aki Dadan maestro kecapi suling. Ki Gola dengan Karinding, Mang Ayi Ruhiyat dengan Kecapi Pantun. Jakarta Kota Club mewakili Kebudayaan Jepang. India Jawaharlal, dan Guzheng, Tiongkok.

Tidak hanya pertunjukan musik, lanjut Yana, dihadirkan juga diskusi terkait Sundaland dan Lemura-Atlantis. Hal menarik dalam diskusi ini, membedah terkait tenggelamnya peradaban Atlantis di Laut Jawa.

SEF 2018 juga menghadirkan pameran sekitar 100 benda pusaka Sunda, kerajinan bambu, alat musik, hingga makanan tradisional.

“Acara ini gratis, siapa saja boleh datang. Estimasi kami, sekitar 1.500 orang yang hadir. Diharapkan ajang ini juga menjadikan Bogor sebagai tuan rumah untuk wisatawan internasional,” pungkas Yana.   yeb/R-1 

http://www.koran-jakarta.com/kejutan-di-tengah-musik-yang-berbeda/

 

 

 

 

http://lensacelebrity.com/talataki-production-adakan-festival-musik-etnik-di-pura-agun

g-jagatkarta-bogor/

Suara Sunda dari Taman Salaka

 

Poster SundaLand Ethnomusic Festival 2018Gambar mungkin berisi: 28 orang, termasuk Dhani Irwanto dan Ahmad Yanuana Samantho, orang tersenyum, orang berdiri

Bagi seorang Aki Dadan, Kacapi tak sekedar alat musik, melainkan refleksi cerminan diri dan keluhuran pikiran. Guratan diwajahnya menyibak perjalanan hidup yang sarat pengalaman. Ragam kesenian yang sejiwa dengan nilai-nilai kehidupan dituturkannya dengan lugas dan lancar. Tak ada keraguan, keyakinan jalan kesenian yang dipilihnya menjadikannya satu dari sedikit pelaku Kacapi sunda yang tetap aktif.

Baginya Kacapi adalah musik yang sesungguhnya. Mengalir dalam darahnya, meresap dalam sanubarinya.

Kesadaran musik tradisi yang menyuburkan bakat luar biasa untuk seorang Aki Dadan. Dijalani dengan cinta yang mendalam, diperjuangkan dengan kerja keras. Sebuah pengorbanan dan dedikasi panjang hingga bertahan 50 tahun lamanya. Sematan gelar maestro sangat layak ditempatkan untuknya.

Suatu kehormatan bagi saya, mendapat kesempatan menyaksikan aksi sang maestro secara langsung bakal terjadi dalam waktu dekat ini. Aki Dadan akan “naik gunung” memainkan Kacapi-nya.

https://www.youtube.com/watch?v=SJfCEF6j85I

Sekumpulan individu pelestari bebunyian tradisi bernama Talataaki akan menghadirkannya pada acara Sunda Land Ethnomusic Festival 2018. Sebuah gelaran untuk memperkenalkan keindahan seni Kacapi suling sunda klasik sebagai warisan dunia yang sangat berharga.

Tema perdamaian menjadi misi utama kehadiran Aki Dadan dan musisi lainnya di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Ciapus – Bogor, 27 Oktober 2018.

Selain Aki Dadan, beberapa musisi tamu dipastikan akan tampil menguatkan nilai perdamaian yang menjadi tujuan festival ini dilangsungkan. Yaitu : Ustadz Shabbir Hasan Warsi, pelaku Tabla dan Sitar dari Pusat Kebudayaan India Jawaharlal Nehru di Jakarta. Penampilan ustadz Sahabbir merepresentasikan kebudayaan India.

Eni Agustien, pendiri Sekolah Musik Miladomus Jakarta, akan memainkan alat musik kecapi Guzheng dari Cina. Sementara Jakarta Koto Club, akan memainkan kecapi tradisional Jepang, mewakili kebudayaan Jepang.

Dari Jawa Barat Mang Ayi Ruhiyat akan memainkan seni Gembyung Subang dan Seni Beluk. Sedangkan Abah S. Dradjat Kusumahdiningrat dari Bandung juga tampil memainkan kecapi pantun Sunda klasik. Terakhir dari Bogor ada Ki Gola & Svara Jiva Nusantara yang akan memainkan karinding.

Sunda Land Ethnomusic Festival bakal digelar di Bogor, Sabtu, 27 Oktober 2018. Foto : Alphons Louis Marie Antonie Hubert Hustinx/fotomuseum – Talataaki.

Aki Dadan sendiri akan tampil bersama Mang Tatang Setiadi, dan Perceka Art Center Cianjur, memainkan kecapi pantun Sunda klasik Cianjuran.

Talataaki, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan di Jakarta oleh Iwan Toruan dan Zeira Soraya, menjadi aktor terjadinya festival ini. Pun demikian dengan sederet agenda lain yang mendukung festival.

“Ini didedikasikan untuk tidak hanya memperkenalkan keindahan musik kecapi suling Sunda klasik kepada dunia, namun juga untuk menyebarluaskan pesan Rukun Sakabehna Saumat Saduniya. Arti dari pesan tersebut adalah seluruh umat manusia harus hidup rukun”, tulis Iwan tentang misi Talataaki.

Tak cukup menghelat pertunjukan musik, Sunda Land Ethnomusic Festival 2018 memiliki materi diskusi untuk mencerahkan kita tentang apa dan bagaimana sunda.

Sundaland dan peradaban Lemuria-Atlantis menjadi materi menarik untuk disimak bersama pembicara Dicky Zainal Arifin/Pembina Lanterha The Lemurian Meditation dan Dhani Irwanto, penulis buku Atlantis The Lost City Is In Java Sea. Diskusi akan dipandu Ahmad Samantho/Penulis buku Peradaban Atlantis Nusantara. Terselip juga pameran foto perdamaian.

Pengunjung yang hadir pada hajatan yang digelar Talataaki Production ini juga bakal disuguhkan bazaar produk kerajinan UMKM dari Bogor dan sekitarnya.

Ah…saya perlu mencatat baik-baik tanggal perhelatannya, pergelaran model begini tak banyak dihelat. Suatu kemewahan bisa menikmati kidung adilihung langsung dari sisi taman salaka-nya.

Rahayu!

Anggitane, cyclist, citizen journalist dan pemulung sampah Ciliwung di Bogor. Menulis musik aktif untuk hujanmusik.id.

(Visited 35 times, 1 visits today)

Panggung Layak untuk Seni Sunda Klasik

 

Iwan Toruan (tengah), Ahmad Samntho dan Ry Maulana (berkacamata) saat memberikan keterangan terkait acara Festival Kecapi Suling 2018

Untuk sejenak, Iwan Toruan nyaris tak bisa meneruskan kata-kata. Keheningan sesaat melanda saat ditanya kenapa memilih Kacapi Suling sebagai repertoar utama Sunda Land Ethnomusic Festival 2018 yang digagasnya. Pandangannya lebih sering tengadah keatas dibanding menatap mata jurnalis yang menitip tanya kepadanya. Perjalanan selama 4 tahun menelisik jejak maestro Kacapi Suling di Jawa Barat, bisa jadi temuan intuitif yang melatar belakangi Iwan bersama Zeira Soraya Indraswari mempersiapkan Sunda Land Etnomusic Festival setahun yang lalu. Festival yang akan dihadiri 1000 lebih penonton.

Sejurus kemudian barulah Iwan berbagi kegundahan atas seni sunda klasik yang melegenda itu.“Kami berkeliling kampung-kampung sekeliling Gunung Salak mencari pemain musik Kacapi Suling. Mencari mereka yang mungkin ada di Kampung-kampung, yang umurnya sudah sepuh dan piawai. Kami panggungkan pada saat bulan purnama, depan 10 – 20 orang. Ternyata sulit mendapatkan pemain kecapi suling yang baik”, ungkapnya.

Bagi Iwan kenyataan seni sunda klasik pada hari ini, tak seindah alunan suaranya yang begitu mendayu-dayu. Sebegitu klasiknya hingga sepi peminat dari tahun ke tahun. Setali tiga uang dengan jalan hidup senimannya sendiri. Banyak yang memilih bertahan hidup dengan menjadi pengiring jenis musik modern lain. Kenyataan yang kian hari kian mengaduk-aduk benak. Kenyataan bagaimana seni sunda klasik mempertahankan keberadaannya diantara K-Pop dan budaya internasional lainnya.

Bersama Talataaki, Iwan dan beberapa individu pelestari nilai-nilai luhur kearifan lokal, utamanya seni. Menghadirkan sebuah helaran konser musik sunda klasik Sundalan Ethnomusic Festival 2018 di Pura Agung Jagatkarta, Ciapus, Bogor-Jawa Barat, 27 Oktober 2018.

“Musik sunda itu sifatnya lokalan, kami terpikir untuk tahun ini memanggungkan maestro – maestro saja. Kami kategorikan sebagai maestro karena memang pengalamannya panjang, hidupnya sepenuhnya untuk seni. Itu kami bawa ke pentas kami”, terang Iwan, penggagas dan produser Sundaland Ethnomusic Festival 2018.

Sebuah tontonan alternatif yang sangat layak disimak ditengah ramai-ramainya musik folk, metal, shogaze, hingga pop sekalipun. Tontonan yang mengandung kecerdasan tingkat tinggi, tercipta dari hasil proses ‘rasa’ yang cukup dalam dan hinggap melalui perenungan-perenungan tertentu.

Kemewahan bagi generasi kekinian yang bisa menyaksikan helaran yang menampilkan total 60 seniman sunda. Pertunjukan anti mainstream jika meminjam logika penentang arus utama. Sebuah nilai seni berbalut intelektual, berbeda dan tidak mengikuti selera pasar.

“Kami sajikan musik alternatif untuk anak-anak milenial sekarang. Jangan sampai anak-anak itu belum pernah dengar musik kecapi suling. Sayang kalau hilang begitu saja”, tambah Iwan.

Kata kunci panggung yang layak, sepertinya sudah jarang menyambangi dunia pelaku seni tradisi. Reye Maulana, show director yang berpengalaman mengelola panggung Noah hingga JKT48 menyaksikan betul sisi miris ini. Panggung yang layak adalah ruang yang nyaris tak pernah mereka sentuh. Panggung Sunda Land Ethnomusic Festival akan menjadi pembeda perlakuan itu.

“Saya tidak bilang ini bagus, hebat atau spektakuler. Hanya menemempatkan mereka pada ruang dan waktu yang teoat. Kita kasih pertunjukan yang benar. Bagus atau tidak itu terserah penonton yang menilai,” terang Yana, sapaan akrab Reye Maulana

Konser akan tetap dikemas dengan tampilan populer. Meski demikian, Yana berani memastikan bahwa denting Kacapi bisa dinikmati dengan layak.

***

Sebagai alat musik, suling mendapat tempat yang cukup penting dalam banyak kebudayaan dunia. Beberapa penyair bahkan melukiskan vibrasinya tidak akan berhenti hingga akhir zaman.

Pun demikian halnya kacapi. Kotak resonansi yang mengiringi aluan suling dalam pertunjukan seni Kacapi Suling.

Melalui nada yang dijalarkan, Ahmad Sumantho, seorang penulis buku Peradaban Atlantis Nusantara, menilai ada rangkaian-rangkaian sejarah akumulatif, saling terhubung dan bersambung, bak menyusun puzzle-puzzle. Itulah alasan yang menurutnya menjadi latar belakang Talataaki kembali ke akar musik tradisional klasik, suling dan kacapi. Rentetan yang membawa Indonesia menjadi pusat perhatian dunia.

Cukup beralasan, menilik bahwa Sunda Land Ethnomusic Festival 2018 juga menghadirkan materi diskusi untuk mencerahkan apa dan bagaimana sunda bersama Dicky Zainal Arifin/Pembina Lanterha The Lemurian Meditation dan Dhani Irwanto, penulis buku Atlantis The Lost City Is In Java Sea.

“Sajian musik spiritual dalam pengertian geografis-kultural pada 12000 tahun yang lalu. Ingatan itu dipancing dengan musik, pendekatan musikal. Jadi memori kesadaran itu kita coba hadirkan melalui musik dan diskusi kesejarahan,” tambah Ahmad Samantho, penulis buku Peradaban Atlantis Nusantara, pemandu diskusi kesejarahan.

Melengkapi khasanah sunda dalam pengertian geografis dan kultural, Talataaki juga mengundang musisi dari India, Jepang dan orang Indonesia keturunan Tionghoa yang sudah tampil dibanyak negara memainkan alat musik Guzheng. Ia sudah diakui dibanyak negara sebagai musisi Guzheng yang piawai.

Musisi internasional ini akan tampil membawakan  2 repertoar, 1 dari negara masing-masing, 1 lagi lagu wajib Indonesia, ada manuk dadali, ada tanah airku, dan ada Indonesia Pusaka. Tentunya dengan alat musik mereka masing-masing.

Semoga repertoar yang mereka tampilkan menjadi doa perdamaian umat manusia.

Terbersit sebuah niat yang kuat, Talataaki akan memanggungkan semua alat musik tradisional kedepannya. Bisa jadi tahun depan ada seni-seni sunda klasik lain yang orang sudah jarang dengar.

Semoga

Anggitane, cyclist, citizen journalist dan pemulung sampah Ciliwung di Bogor. Menulis musik aktif untuk hujanmusik.id.  

https://seluang.id/2018/10/24/panggung-layak-untuk-seni-sunda-klasik/

Budayawan: Jokowi Ingin Ganti Kultur Politik Kasar

$
0
0

Budayawan: Jokowi Ingin Ganti Kultur Politik Kasar

Siti Yona Hukmana – 06 November 2018 13:42 wib

Budayawan Radhar Panca Dahana

Jakarta: Budayawan Radhar Panca Dahana menangkap maksud khusus Joko Widodo soal hijrah. Menurut dia, calon presiden nomor urut 01 itu ingin mengubah kultur politik Indonesia.

“Mengganti kultur berpolitik yang selama ini menurut saya mengikuti modus negara lain seperti Eropa, Jepang dan Korea yang menggunakan cara-cara kasar dan tidak senonoh,” kata Radhar di Kompleks Media Group, Kedoya,

Baca: Saatnya Hijrah Menuju Kebaikan

Politik kasar dan tidak senonoh tidak sesuai kebudayaan Indonesia. Namun, ia mengakui kebiasaan berpolitik seperti itu sudah terlanjur terjadi beberapa dekade.

“Nah, Jokowi menganjurkan supaya hijrah ke budaya kita yang sesungguhnya, yang santun beretika, penuh moralitas dan menjaga kesatuan. Jadi bukan hijrah ke mana-mana, tapi hijrah kembali ke kesejatian kita,” terang dia.

Baca: Ajakan Hijrah Jokowi Dinilai Tepat

Dunia politik Indonesia diyakini lebih baik bila kehendak Jokowi itu benar-benar terwujud. Hijrah yang menjadi buah pikir orang nomor satu di Indonesia itu akan pula mewujudkan revolusi mental.

“Itu hijrah dari kultur merugikan, dari destruktif jadi positif konstruktif dan menguntungkan,” ucap dia.

Sebelumnya, Jokowi mengajak masyarakat hijrah menjadi pribadi lebih baik. Hal itu perlu dilakukan untuk menjaga persatuan, kesatuan, dan persaudaraan antarmasyarakat.

“Saya mengajak kita semuanya mari kita bersama-sama mulai hijrah dari ujaran-ujaran kebencian ke ujaran-ujaran kebenaran,” ujar Jokowi dalam deklarasi dukungan ulama, pendekar Banten, dan Relawan Banten Bersatu di GOR Maulana Yusuf, Serang, Banten, Sabtu, 3 November 2018.

(OJE)

http://m.metrotvnews.com/pemilu/news-pemilu/lKY61exN-budayawan-jokowi-ingin-ganti-kultur-politik-kasar?fbclid=IwAR1p6VQvrKsLqBcwcdU-PTaLGVpq4uTzdJWPhC-buEkSOc1GyW9yZUHpWBU
Gambar mungkin berisi: Ahmad Yanuana Samantho, duduk dan dalam ruangan
Pagi ini Saya dapat Surat Cinta (Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa) dari Panditha Ida Pedanda Gede Kekeran dari Bali, untuk Pak Jokowi, Pak Radhar Panca Dahana dan Saya Ahmad Yanuana Samantho (dan Dr. Menachem Ali). MasyaAllah:
Hasil gambar untuk menachem ali

Ustadz KH Dr. Menachem Ali, Ph.D

Om swastyastu, Assalamu ‘alaykum,, Salam sejahtera.

Ada 3 hal yang saya harus apresiasi pagi ini.

File:Ida Pedanda Gede Putra Kekeran.jpg

Ajakan Bapak Jokowi untuh “Hijrah”. 

Saya juga apresiasi tanggapan positif Sdr. Radhar Panca Dahana terhadap ajakan Bapak Jokowi tsb, yang saya tonton langsung di TV swasta tadi malam.
Sekaligus saya apresiasi juga usaha sdr. (Ahmad Yanuana Samantho dan Menachem Ali) menemukan tradisi Arya (Hindu) yang dalam hal ini diwakili ISKON, yang kitab sucinya “saling menyapa” dengan ajaran agama islam, meskipun mereka berbeda.

Bagi saya, tidak hanya sekta Vaisnawa yang mengakui Sac-cid-ananda (the absolute truth) itu, tetapi seluruh sekta dan Hindu. Keyakinan ini juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab Upanishad diantaranya :

Ekam sat viprah bahuda vadanti.
(Reg Weda Mandala I Sukta 164, mantra 46).
Ekam eva advityam brahman (Chandogya Upanisad).
Eko Narayad na Dvityo asti kascit. (Narayana Upanishad).

Yang pada intinya mengatakan bahwa TAT (BRAHMAN/NARAYANAD/TUHAN) itu hakekatnya satu, tetapi orang-orang suci menyebutNYA dengan banyak nama.

Tuhan bersabda dalam Gita :

Ye yatha mam prapadyante
Tams tathaiva bhajamy aham
Mama vartmanuvartante 
manusyah partha sarwasah.
Bhagavadgita.IV.11.

Jalan manapun yang ditempuh oleh manusia ke arahKU,
Semua Ku terima, (sebab) dari mana pun mereka datang, semuanya menuju jalan-KU, wahai Partha.

Yo yo yam yam tanum bhaktah 
sraddhayarcitam icchati
Tasya tasya acalam sraddham 
tam eva vidadhamy aham.
Bhagavadgita. VII.21.

Apapun bentuk kepercayaan (agama) yang ingin dipeluk oleh penganut, AKU perlakukan kepercayaan mereka sama, (karena itu) agar mereka (umat beragama), tetap teguh dalam keimanannya dan sejahtera.

Petikan kitab suci Hindu diatas itulah yang mewajibkan umat Hindu untuk “saling menyapa” dengan semua umat beragama, dan bahkan kepada semua umat yang berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keharmonisan hidup manusia dengan manusia lainnya, keselarasan hidup manusia dengan alam lingkungannya, dan kebhaktiannya terhada “TAT” Sang Maha Pencipta, adalah sebagai sebuah keharusan dalam hindu.

…..”All types of religious theories and all form of religious practices find place in Hinduism. It is not easy to say definitely whether Hinduism is polytheistic, pantheistic, or theistic, magical or mystical things. Or whether it is a religion of love, or a religion of knowledge , or a religion of action, because we find elements off all of these within the compass of Hinduism “.

Itu yang saya juga telah sampaikan hal ini dalam WORLD HINDU WISDOM MEETING 2018 September yang lalu. Dan pada seminar Nasional di Institut Hindu Dharma beberapa hari lalu di Denpasar yang membahas tentang “Theologi Nusantara”. Saya telah berpesan bahwa pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sudah final. Apapun nama yang dipilih untuk merepresentasikan SANG MAHA PENGUASA itu dalam hidup beragama, kita harus tetap tolerant. Kita harus kembali kepada hakekat kehidupan yang benar, yakni damai, jujur, toleran, harmony, adil. Sebab semua teori akan tiada berarti apa-apa, jika tidak diimplementasikan untuk mencapai kebahagiaan di alam semesta ini (jagad-hita), dan tidak untuk memperoleh kedamaian, ketenangan batin kebahagiaan di dunia “sana” ( Moksartham).

Kalau Bapak Jokowi menyebutnya dengan “Hijrah“, tetapi saya menggunakan istilah yang berbeda, yakni “Move from Evil spirit to good spirit”, yang pada intinya tidaklah berbeda, yakni mengembalikan manusia ke jalan yang benar untuk tercapainya Jagadhita dan moksartha diatas.

Sdr. Radar,
Harapan Bapak untuk saling mengembangkan kesepahaman, persaudaraan, dan persamaaan diatas perbedaan (di antara tradisi Arya dan tradisi Semit) sangat luhur. Saya juga berkeliling dari satu kota ke kota yang lain di tanah air, untuk mengembangkan toleransi itu. Tidak hanya untuk Islam dan Hindu saja, tetapi untuk seluruh saudara kita di atas bumi ini.

Semoga harapan Bapak ( AY Samantho), beserta ajakan “hijrah” Bapak Presiden menjadi realita.

Inilah yang kupelajari dari sahabatku Dr Menachem Ali, Filolog universitas Airlangga:

Assalamu ‘alaykum 
Shalom ‘aleychem
Hare Krishna

Srimad-Bhagavatam Purana dan Sri Caitanya-caritamrta, merupakan kedua kitab suci utama para bhakta dari kalangan penganut agama Hindu aliran Vaisnava Benggali. Saudara-saudara kita dari kalangan Hindu aliran Vaisnava ini sangat respek terhadap ajaran Islam dan kitab suci umat Islam. Meskipun kedua agama ini berbeda, tetapi “saling menyapa” di antara teksnya. Di India (Hindustan), kitab suci Bhagavad-gita disebut dengan sebutan Pancamo-veda, sedangkan kitab suci Quran disebut dengan sebutan Artha-veda.

Dalam kitab utama Sri Caitanya-caritamrta, chapter Madhya-lila XVIII. 190 – 191 Sri Caitanya bersabda:

tomara sastre kahe sese eka-i Isvara
sarvaisvarya-purna tenho – syama kalevara
sac-cid-ananda deha, purna Brahma svarupa
sarvatma sarvajna, nitya sarvadi svarupa

“The Quran (tomara sastre) accepts the fact that ultimately there is only one God (eka-i Isvara), He is full of opulence. According to the Scripture, the Lord has a supreme, blissful, transcendental. He is the Absolute Truth, the all-pervading (sarva-atma), omniscient (sarva-jna) and eternal being (nitya). He is the origin of everything (sarva-adi), see Krisnadasa Kaviraja Gosvami. Sri Caitanya-caritamrta. Madhya-lila vol. VII (New York – Bombay: the Bhaktivedanta Book Trust, 1975), pp. 224 – 225

Ajaran Hindu sekte Vaisnawa Benggali ini kini bernama ISKCON (International Society for Krishna Consciousness). Semoga kedua komunitas penganut agama yang mewakili tradisi Arya dan tradisi Semit ini saling mengembangkan kesepahaman, persaudaraan dan persamaan di atas perbedaan.

http://m.metrotvnews.com/…/lKY61exN-budayawan-jokowi-ingin-….

https://www.facebook.com/v2.3/plugins/comments.php?app_id=520190821370747&channel=https%3A%2F%2Fstaticxx.facebook.com%2Fconnect%2Fxd_arbiter%2Fr%2F__Bz3h5RzMx.js%3Fversion%3D42%23cb%3Df11189912e83928%26domain%3Dwww.mufakatbudayaindonesia.org%26origin%3Dhttps%253A%252F%252Fwww.mufakatbudayaindonesia.org%252Ff5c3a56fc76844%26relation%3Dparent.parent&color_scheme=light&container_width=827&height=100&href=https%3A%2F%2Fwww.mufakatbudayaindonesia.org%2Fbudayawan-jokowi-ingin-ganti-kultur-politik-kasar%2F&locale=en_US&sdk=joey&skin=light&version=v2.3

Admin MBI
Admin MBI
Forum pertemuan gagasan terbuka bagi para pemikir terkemuka Indonesia. Email: info@mufakatbudaya.id
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live