https://www.youtube.com/watch?v=MQwz4byYXGg
Orang Eropa dan keturunannya memang ingin merebut segala hal ttg Atlantis dari para Anto (ksatria Suci) di Indonesia/Nusantara.
https://www.youtube.com/watch?v=MQwz4byYXGg
Orang Eropa dan keturunannya memang ingin merebut segala hal ttg Atlantis dari para Anto (ksatria Suci) di Indonesia/Nusantara.
SYEKH SITI JENAR dan AHANGKARA
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Ki Bagus Mertabrata, ahli waris ilmu Manunggaling Kawula Gusti, memulai wejangannya dengan menceritakan asal-muasal Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar bernama kecil Ali Hasan atau biasa dipanggil San Ali. San Ali adalah anak seorang datu dari Malaka bernama Datu Shaleh yang tinggal dan menyebarkan agama Rasul di Cirebon. San Ali menghabiskan masa remajanya di Pesantren Amparan Jati pimpinan Syekh Datu Kahfi, seorang penyebar agama Rasul lainnya di Cirebon. Pada usia lima belas tahun, San Ali keluar dari Pesantren Amparan Jati untuk belajar ajaran Kasunyatan Catur Wipala pada seorang pertapa Siwa Sogata.
“Apakah di Pesantren Amparan Jati tidak diajarkan Kasunyatan Catur Wipala, Ki Bagus?” Suradipa yang belum pernah mendengar riwayat Syekh Siti Jenar penasaran.
“Pesantren Amparan Jati hanya mengajarkan kitab-kitab dari Atas Angin, Dimas. Sedangkan ajaran Kasunyatan seperti Catur Wipala hanya diajarkan para pertapa dan pujangga Siwa Sogata kepada yang menghendakinya di pedalaman Jawa,” Ki Bagus Mertabrata menjelaskan dengan wajah berbinar.
“Untuk apa Kanjeng Siti Jenar belajar ajaran Kasunyatan Catur Wipala? Bukankah Syekh Datu Kahfi juga terkenal waskita dan linuwih?” tanya Gagak Cemeng.
Ki Bagus Mertabrata menjelaskan bahwa San Ali dihantui pertanyaan yang diajukan gurunya tentang kembalinya “aku”, “engkau”, dan “dia” ketika pribadi yang ditunjuk ketiga kata ganti tersebut mati. Atas anjuran gurunya, San Ali keluar dari Pesantren Amparan Jati agar mengetahui rahasia kembalinya “aku”, “engkau”, dan “dia” dengan cara mendalami ajaran Kasunyatan Catur Wipala peninggalan Raja Majapahit Batara Kertawijaya.
“Tapi, mengapa pilihannya jatuh pada ajaran Kasunyatan Catur Wipala, Ki?” kejar Gagak Cemeng.
“Mungkin Syekh Datu Kahfi menyadari bahwa ajaran Kasunyatan Catur Wipala bisa menjelaskan tentang kembalinya ‘aku’, ‘engkau’, dan ‘dia’.”
“Apa Ki Bagus berkenan menjelaskan ajaran kasunyatan dalam Catur Wipala?”
Ki Bagus Mertabrata menjelaskan bahwa ajaran Kasunyatan Catur Wipala terdiri dari empat tahap keadaan. Yang pertama Nishprha, yaitu keadaan ketika manusia sudah tidak menginginkan sesuatu. Yang kedua Nirhana (fana’), yaitu keadaan ketika manusia merasa tidak memiliki badan sehingga segala tujuan musnah tanpa bekas. Yang ketiga Niskala, yaitu keadaan ketika manusia menyatu dan lebur dengan Hyang Maha Agung yang bersifat Suwung, Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, dan Tak Tertandingi.
“Keadaan Niskala itu seperti seekor kodok yang terselimuti liangnya dan seekor kodok yang menyelimuti liangnya. Keadaan seperti ini yang disebut lebur,” Ki Bagus Mertabrata menjelaskan dengan mata terpejam, seolah tengah menembus alam gaib. “Sedangkan yang keempat adalah Nirasraya, yaitu ketika keadaan Niskala melebur ke dalam Parama Laukita (fana’ fil fana’). Dalam keadaan ini, tidak lagi ada kodok maupun liang. Tidak ada lagi ‘aku’, apalagi ‘engkau’ dan ‘dia’. Keadaan ini tidak berciri dan melampaui ‘aku’, ‘engkau’, dan ‘dia’. Semuanya telah kembali, lebur, dan menyatu dalam Hyang Mahaluhur.”
“Setelah tamat belajar ajaran Kasunyatan Catur Wipala, San Ali berlayar menuju tanah Arab untuk belajar ajaran Rasul lebih dalam sembari berdagang. Dalam perjalanan ke tanah Arab itu San Ali mendapat julukan Syekh Abdul Jalil,” lanjut Ki Marlapa, ahli waris ilmu Manunggaling Kawula Gusti lainnya.
“Ajaran apa yang didapat Kanjeng Abdul Jalil selama berada di Arab sana, Ki Marlapa?” tanya Suradipa tak sabar.
“Di tanah Arab, Kanjeng Abdul Jalil bertemu berbagai jenis ajaran Rasul yang diajarkan pandita-pandita besar. Salah satunya adalah ajaran dari seorang pandita bernama Abdul Karim Al-Jilli, yang memberikan pengajaran tentang Manusia Sempurna dan Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan keberadaan),” Ki Marlapa menjelaskan dengan lirih.
Nyi Gadung Melati, saudara seperguruan Ki Bagus Mertabrata dan Ki Marlapa, melanjutkan cerita tentang kembalinya Syekh Abdul Jalil ke Nusantara. Datang dari Arab, Syekh Abdul Jalil lantas mendirikan pesantren di Lemahbang, Cirebon. Tak lama kemudian, para wali meminta Syekh Abdul Jalil menjadi anggota Majelis Wali yang bertugas di Brang Kulon (Jawa belahan barat), melanjutkan syiar Syekh Datu Kahfi yang telah wafat. Sejak mendirikan pesantren di Lemahbang, Syekh Abdul Jalil lebih dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemahbang. Di Pesantren Lemahbang, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu Kasampurnan, yang lebih menitikberatkan pada laku batin daripada syariat. Hal itu membuat anggota Majelis Wali lainnya menyebutnya sebagai orang yang Anggubel Sarengat Miyak Warana (merusak syariat karena mengajarkan rahasia tertinggi ketuhanan secara terbuka).
“Jadi, benarkah Kanjeng Siti Jenar telah merusak syariat seperti yang disampaikan Majelis Wali saat itu, Nyi?” tanya Gagak Cemeng.
“Bagi Kanjeng Siti Jenar, agama itu sebagian berisi perlambang atau perumpamaan. Kita diminta untuk menyeberangi perlambang-perlambang itu agar bisa memahami intisari ajaran agama,” Nyi Gadung Melati berusaha menjelaskan pada Gagak Cemeng.
“Dalam Al-Quran ada kalimat yang mengatakan: ‘Jadikanlah pelajaran pada kejadian itu, hai orang-orang yang berpikiran tajam’ (QS. 59:2). Jika kita berpikiran tajam seperti yang dimaksud dalam kitab, maka tidak mungkin kita terus-menerus terjebak dalam perlambang-perlambang. Hyang Agung dalam kitab yang sama juga mengatakan bahwa perumpamaan yang dibuat hanya bisa dipahami mereka yang berilmu (QS. 29:43). Artinya, tidak semua yang belajar kitab mengerti perumpamaan atau perlambang di dalamnya. Perbedaan menangkap makna ini yang membuat Kanjeng Siti Jenar dan para wali lainnya berbeda pendapat, yang berujung pada wafatnya Kanjeng Siti Jenar,” Ki Bagus Mertabrata menjelaskan dengan sabar.
“Dengan alasan tersebut, Kanjeng Siti Jenar mengabaikan syariat?” Gagak Cemeng berusaha mendapat jawaban.
“Syariat itu jalan lahir, Dimas. Menurut guru kami, Ki Ageng Pengging, yang juga murid Kanjeng Siti Jenar, selain syariat sebagai jalan lahir, manusia juga harus menjalani laku batin. Kitab agama Rasul juga menyebut bahwa jalan batin itu yang membuat Hyang Agung akan selalu melimpahkan kedamaian dan kesejukan kepada manusia.”
“Bukankah shalat juga laku lahir sekaligus laku batin, Ki?” tanya Gagak Cemeng lagi.
“Shalat akan menjadi laku batin bagi mereka yang mengerti dan mau menyeberangi perlambang di dalamnya. Kalau masih terjebak dalam perlambang, shalat hanya akan menjadi laku lahir,” jawab Ki Marlapa. “Perintah shalat adalah perintah mengingat Hyang Agung, Dimas. Sedangkan perintah mengingat adalah tindakan yang harus dilakukan pada saat berdiri, duduk, dan berbaring (QS. 3:191). Jadi, yang penting adalah mengingat, eling, sebab Hyang Agung selalu bersama kita di mana pun kita berada (QS. 2:115).”
“Lalu, apa yang dimaksud Kanjeng Siti Jenar bahwa dunia adalah kematian dan kita ini orang-orang mati?” kali ini Suradipa yang bertanya.
“Kalau Dimas belajar agama Rasul, ada kalimat Kanjeng Rasul yang mengatakan bahwa manusia hidup di bumi sesungguhnya tidur dan bangun ketika mati. Al-Quran juga menyebutkan bahwa kau itu orang mati dan mereka pun orang mati (QS. 39:30).” Telunjuk Ki Marlapa menuding dadanya sendiri, lalu menuding orang-orang lainnya.
“Apa maksud kalimat itu, Ki?” kejar Suradipa.
“Menurut Kanjeng Siti Jenar, hidup sejati itu tidak merasakan kematian. Dalam kehidupan sejati yang ada hanya keselamatan dan kebahagiaan. Sedangkan kita ini dalam keadaan mati karena masih merasakan lapar, haus, sakit, gelisah, bahkan tidak jarang marah, kecewa, tersesat, dan lain-lain.”
“Bukankah rasa lapar, haus, sakit, gelisah, dan lain-lain itu justru hanya bisa dirasakan oleh yang hidup?”
“Tidak, Dimas. Sang Hidup tidak merasakan lapar, haus, sakit, dan gelisah. Tubuh kita yang terdiri dari daging, tulang, dan sumsum, ini adalah perangkap bagi Sang Hidup. Perangkap itu yang merasakan lapar, haus, sakit, dan gelisah. Sedangkan Sang Hidup tidak merasakan itu semua, sebab yang ada hanyalah kebahagiaan dan kedamaian.”
(Cuplikan dari novel sejarah AHANGKARA: Sengketa Kekuasaan dan Agama).
.
———————————–
AHANGKARA adalah sebuah novel sejarah yang mengisahkan peristiwa sirnanya Kerajaan Majapahit dari bumi Nusantara dan perang intelijen dalam peristiwa-peristiwa besar terkait peralihan kekuasaan dan agama di tanah Jawa pada abad 16 Masehi.
.
Harga Rp76 ribu (harga asli Rp95 ribu), belum termasuk ongkos kirim.
.
CARA PEMESANAN: Tulis nama, alamat, nomor HP, dan nama buku yang dipesan ke inbox atau SMS/WA ke: 081287654445.
.
———————————
Penulis: Makinuddin Samin
Jumlah Halaman: 500 hlm.
———————————
· Balas · 27m · Telah disunting
· Balas · 1t · Telah disunting
Monggo disimak pencerahan spiritual ilmiah ini.
Herman Janutama menambahkan 2 foto baru.
Hawking Morta Obituaria
Stephen Hawking meninggal. Saya bingung harus menulis obituarium yang bagaimana. System bio-komputer jasad Hawking ternyata hanya berumur 76 tahun. Dia sendiri pernah bilang, bahwa swargaloka adalah hanya tempat untuk computer-komputer yang sudah rusak. Itulah nasib yang dialaminya saat ini. Entah mengapa fisika bagi religiusitas indah sekali fungsinya. Ia membentuk atmosfir rendah hati, sederhana, dan intelek. Berhadapan langsung dengan alam semesta raya menciptakan kesadaran bahwa homo religiosus ini hanya bagian renik dari jagad raya. Besaran umur yang hanya seratusan tahun ini, berhadapan dengan usia jagad raya dengan besaran milyar tahun. Under sole nulla nuvae. Tak ada yang baru di jagad raya. Semuanya sudah pernah ada. Semua ada umurnya. Fakta kosmis ini mengingatkan kepada piwulang Jawi dari para ngulama waliyullah jaman dulu. Ojo gumunan, ojo kagetan, dan ojo dumeh.
Stephen Hawking meninggal. Hanya konsekuensi dari Hukum Thermodinamika II: kekekalan massa dan energi. Bahwa energi dan massa kekal, tidak musnah melainkan berubah bentuk. Konsekuensinya, semua yang baru akan rusak dan hancur. Bahkan jagad raya ini akan hancur. Kulli syaiin haalikun illa wajhahu. Semuanya berjalan dengan enthropy. Tidak penting untuk membahas Hawking masuk syurga ataukah ke neraka. Ia homo agnosticus. Itu urusan dia secara pribadi. Namun jasa Hawking bagi kemanusiaan sangat besar. Sekalipun Hawking tidak memperoleh Noble Prize karena semua eksplorasinya tentang jagad raya berjalan dalam persamaan-persamaan matematika di atas kertas-kertas kerjanya. Tak ada implikasi teknologinya. Namun Hawking mengantarkan peradaban ini kepada kesadaran akhir The Big Crunch, kerkahan atau gulungan maha besar. Bahwa jagad raya tunduk kepada hukum osilasi. Jika jagad tergelar muasalnya adalah The Big Bang, maka akan terosilasi tergulung menjadi The Big Crunch. Ngulama Jawi bilang, gumelar lan gumulunging jagad.
Stephen Hawking meninggal. Tak penting membahas masuk syurga atau neraka. Toh, ada hukum alam: kherunnas yangfangu linnaas. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Kalau ngulama Jawi bilang, migunani marang sapadha-padha. Setidaknya di dunia, Hawking sudah memenuhi kaidah tersebut. Dalam khasanah Jawi, ada panengen dan pangiwa. Ilmuwan-ilmuwan panengen terus mengeksplorasi jalan-jalan dan metode-metode bagi kesempurnaan ruhani manusia. Sejak para nabi, hingga wali-wali dan ngulama-ngulama warasatul ngambiya. Mereka memproduksi ribuan data dan teori bagi kesempurnaan ruhani manusia ketika berpulang ke hadirat Ilahi. Ilmuwan-ilmuwan pangiwa mengeksplorasi metode-metode dan teknologi-teknologi yang menyempurnakan manfaat materi bagi kehidupan manusia. Semuanya demi sempurnanya kesejahteraan dan ketentraman hidup bagi spesies manusia di atas bumi atau erleben kata Socrates. Meskipun masih samar-samar, Hawking pernah bilang bahwa alam semesta tak ada artinya jika tidak menjadi rumah bagi orang-orang yang kita sayangi. Samar-samar karena statement Hawking ini belum mendapatkan status teoritiknya. Lain halnya dengan leluhur orang Jawa. Kangjeng Panembahan Senapati ing Alaga Mataram, tahun 1582 masehi sudah mengajak umat manusia untuk hamemangun karyenak tyasing sesama.
Stephen Hawking meninggal. Setelah selama 50 tahun menjadi ikon bagi kelemahan fisik yang meniscayakan cuatan eksponensial entelecchi dan ruhani manusia. Sekalipun dia sendiri meragukan ruhani pribadinya. Dalam khasanah Jawi selalu ada tempat istimewa bagi penyandang lemah fisik atau penyandang cacat. Orang Jawa kuno menyebutnya kaum polowijan. Seperti Hawking, kaum polowijan menempati posisi istimewa di pusat-pusat pemerintahan dan peradaban Jawa. Mereka menjadi rekanan-rekanan cerdas (panakawan) bagi para petinggi negeri, sehingga selalu bijaksana dalam memproduksi peraturan-peraturan yang membahagiakan rakyat. Namun malang bagi Hawking, dia menjadi polowijan justru di tengah peradaban barat yang memuja kekuatan, kekuasaan, dan kesempurnaan fisik. Bagi orang Jawa seperti saya, ironi Hawking ini mengusung piwulang Kangjeng Kyahi Ageng Giring. Sejatine, sing kosong kuwi isi. Sing dudu kuwi hakiki. Sing sepele kuwi permana. Sing lemah kuwi kuwat. Sing cacat kuwi limpat.
Stephen Hawking meninggal. Lahirnya pada tanggal 8 Januari 1942 di Oxford, Inggris, bertepatan dengan 300 tahun meninggalnya Galileo Galilei, salah satu ilmuwan pertama soal gravitasi. Bagi orang Jawa, Galileo mengingatkan kepada Karaeng Pattingaloang, sultan Makassar. Yang membeli teropong Galileo dan menempatkannya di Benteng suci sumba Opu. Kalau meninggalnya, harinya Rebo Pon, tanggalnya 14 Maret 2018, atau 26 Jumadil akir 1951 tahun Jawa. Mangsanya kasanga dan windunya tahun dal. Dari sudut pandang kosmologi neptu, hari meninggalnya ini menjelaskan why Hawking hidupnya penuh dengan nestapa. Kalau ia hidup di Jawa, harus diruwat, agar tidak seruwet jalan hidupnya selama ini. Namun dari kalamangsa kasanga, kematian Hawking meniscayakan semen. Artinya, awal berseminya bunga-bunga peradaban. Juga pertanda datangnya musim kawin bagi spesies binatang. Namun juga bisa menjadi pertanda bagi datangnya jaman kebahagiaan, dan persaudaraan umat manusia di dunia. Hawking menjadi ikon kekuatan harapan. Harapan untuk mempertanyakan siapakah presiden Royal Society sesudahnya. Dan juga harapan munculnya fisikawan terkemuka yang duduk di tahta Lucassian Chair. Semoga fisikawan dan atau ilmuwan itu menjadi pemantik bagi datangnya dunia yang damai, tentram, bijaksana, dan penuh suka serta bahagia. Gemah ripah loh jinawi, tata-titi-tentrem kertarahardja. Wallahu a’lam bissawab.[]
DEWI JANNA WANI JAWA
ASAL MULA NAMA TANAH JAWA
Tersebutlah salah seorang anaknya Nabi Adam Alaihi Salam dan Siti Hawa bernama Nabi Syits. Nabi Syits mempunyai sifat dan fisik yang mirip Nabi Adam, segalanya mirip Nabi Adam, terutama dari segi kecerdasan dan kebijaksanaannya. Selanjutnya Nabi Syits diangkat sebagai Nabi oleh Allah SWT. Sebagai Nabi, Syits menerima perintah-perintah dari Allah yang tertulis dalam 50 sahifah.
Nabi Syits juga diwarisi Nabi Adam Tabut Perjanjian, Tali dari Surga, Tombak Palimara, Pedang Satiyama, Anak Panah Harasiya, dan kudanya Nabi Adam bernama Maimun yang telah diturunkan kepadanya dari surga. Apabila kuda itu meringkik, maka semua binatang yang melata di bumi menyambutnya dengan tasbih.
Nabi Syits adalah orang yang pertama kali melakukan transaksi dengan emas dan perak, orang yang pertama kali memperkenalkan jual beli, orang pertama yang mengeluarkan kata-kata Hikmah, orang pertama yang membuat timbangan dan takaran, orang pertama yang menggali barang tambang dari dalam bumi, dan orang pertama yang membuat bangunan dari batu dan bata.
Nabi Syits menjadi guru dan pemimpin saudara-saudaranya yang telah banyak jumlahnya pada masa itu yang disebut Bangsa Al-Mastian. Peradaban pada masa Nabi Syits adalah peradaban besi. Berbagai bangunan penting pada beberapa pusat negeri terbuat dari besi yang diambil dari Palu besi warisan Nabi Adam. Palu besi ini ketika dibagi-bagi tidak pernah habis. Dan ketika dibentuk menjadi berbagai benda, besi-besinya menjadi semakin banyak dan ketika ditempa akan mengikuti kemauan Nabi Syits, sehingga banyaklah bangunan-bangunan penting yang terbuat dari besi pada masa itu.
Adapun Nabi Syits menikah dengan adik perempuannya yang berumur 4 tahun lebih muda darinya bernama Azura atau Hazurah. Dari pernikahan Nabi Syits dengan Azura dianugerahi beberapa orang anak yang diantaranya anak laki-laki kembar yang oleh Nabi Adam diberi nama Anusy atau Enos atau Aniruddha ataupun Anwas dan Annur atau Asrar atau Anawrahta atau Nara ataupun Anwar. Azura ketika melahirkan anak kembarnya ini pada hari yang sama di waktu yang berbeda. Anwas dilahirkan pada saat matahari terbit, sedangkan Anwar dilahirkan pada saat matahari terbenam. Adapun Azazil atau Iblis mengetahui bahwa kelak cucuk kembar Nabi Adam itu akan menurunkan anak keturunan yang sangat dikasihi Allah. Maka Azazil selalu berupaya untuk bertemu dan akan menyesatkan cucuk kembar Nabi Adam tersebut dengan berbagai cara.
Nabi Syits selain menikah dengan Azura atau Hazurah, ia juga telah diberikan istri oleh Allah berupa bidadari dari Surga yang dibawa Malaikat Jibril bernama Zainab. Pertemuan Nabi Syits dengan bidadari dari Surga bernama Zainab ketika pada suatu hari Nabi Adam jatuh sakit, dan beliau teringat akan makanan surga dan sangat ingin memakannya. Lalu pada ketika itu juga turunlah Malaikat Jibril beserta bidadari bernama Zainab membawa tabak yang terbuat dari emas warna merah yang di dalamnya terdapat bermacam buah-buahan surga yaitu Anggur, Delima, Badar, Jeruk, Kurma, Manggis, Kamandiki, Buah Tik, dan Langsat. Bidadari yang bernama Zainab memakai pakaian sutera yang sangat tipis dan terlalu cantik rupanya, dijarinya memakai 10 cincin yang bercahaya.
Pada saat itu lah Malaikat Jibril menyampaikan kepada Nabi Adam bahwa Allah SWT telah menikahkan Zainab dengan Nabi Syits di Surga. Malaikat Jibril juga berkata akan meninggalkan Zainab di bumi bersama Nabi Syits. Maka bertanyalah Nabi Adam kepada Nabi Syits apakah akan diambilnya bidadari Zainab tersebut di dunia atau akan diserahkannya kembali kepada Allah SWT. Nabi Syits menjawab bahwa ia menyerahkan kembali bidadari Zainab itu kepada Allah karena dunia ini tiada kekal selamanya dan Insya Allah nanti ia akan kembali bertemu dengannya di akhirat. Mendengar jawaban Nabi Syits demikian, maka Malaikat Jibril membawa kembali bidadari Zainab itu naik ke langit.
Adapun Anusy atau Enos atau Aniruddha ataupun Anwas dan Annur atau Asrar atau Anawrahta atau Nara ataupun Anwar ketika berumur anak-anak di asuh oleh Nabi Adam dan Siti Hawa. Terdapat perlakuan yang berbeda kepada anak kembar Nabi Syits itu dari Nabi Adam dan Siti Hawa, yaitu Nabi Adam lebih menyayangi Anwas sedangkan Siti Hawa lebih menyayangi Anwar.
Hingga suatu ketika Nabi Adam bercerita tentang Air Suci Kehidupan yang jika diminum dan mandi didalamnya maka manusia tersebut akan hidup abadi di dunia. Nabi Adam melarang kedua cucuk kembarnya itu untuk mendekati Air Suci Kehidupan tersebut, apalagi sampai meminum dan mandi didalamnya. Hingga atas kehendak Allah, maka dapat bertemulah Iblis dengan salah seorang cucuk kembar Nabi Adam tersebut yang bernama Anwar. Iblis kemudian menggoda Anwar untuk pergi ke sumber Air Suci Kehidupan, dan Anwar pun tergoda.
Anwar kemudian pergi ke sumber Air Suci Kehidupan. Ia meminum dan mandi didalamnya. Ketika Anwar pulang, maka terlihatlah oleh Nabi Adam terdapat perubahan pada cucuknya itu. Maka bertanyalah Nabi Adam dan dijawab dengan jujur oleh Anwar bahwa ia barusan meminum dan mandi di sumber Air Suci Kehidupan. Seketika itu marah lah Nabi Adam dan mengusir Anwar yang masih anak-anak itu.
Anwar dengan kesedihan tiada tara langsung pergi, dan sepanjang kepergiannya ia selalu memanggil-manggil nama neneknya yaitu Siti Hawa, yang selama ini selalu menyayanginya. Dalam kepergiannya, Anwar bertemu dengan beberapa anak Nabi Adam lainnya yang juga merupakan paman-pamannya. Dengan paman-pamannya ini Anwar belajar berbagai Ilmu Laduni untuk menghilangkan kerinduannya kepada neneknya yaitu Siti Hawa. Namun setelah dikuasainya Ilmu Laduni tersebut, tidak juga hilang rasa rindunya kepada neneknya itu. Anwar kemudian pergi lagi mengikuti perasaan hatinya.
Hingga pada suatu tempat di wilayah Sungai Nil, Anwar bertemu dengan Malaikat Harut dan Marut. Anwar kemudian belajar dengan Malaikat Harut dan Marut. Hingga dikuasainya berbagai Ilmu Pengetahuan dari Malaikat Harut dan Marut, namun tidak juga ia dapat melupakan rasa rindunya kepada neneknya Siti Hawa. Anwar kemudian melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju pulau yang bernama Lemah Dewani, yaitu sebuah pulau kecil di antara Pulau Maldewa dan Laksdewa. Di pulau itulah Anwar berhenti dan terus menerus memanggil nama neneknya dengan sebutan “Dewi Janna Wani Jawa”.
Anwar mengulang-ngulang menyebut nama neneknya Siti Hawa dengan “Dewi Janna Wani Jawa” sambil melihat matahari mulai terbit sampai tenggelam. Anwar melihat matahari tersebut tanpa matanya berkedip sedikitpun. Barangkali akibat rindunya kepada neneknya itu sehingga hilanglah rasa lapar dan hausnya. Anwar akhirnya hanya duduk saja sambil terus melihat matahari terbit hingga terbenam tanpa makan dan minum, sambil terus memanggil nama neneknya dengan sebutan “Dewi Janna Wani Jawa”. Hal itu dilakukannya hingga bertahun lamanya.
Hingga tanpa terasa telah lewat 40 tahun ia di tempat itu tanpa bergeser sedikitpun, dan tanpa makan dan minum. Ketika lewat 40 tahun, nama yang terucap dari mulutnya hanya tersisa “Wani Jawa”. Meski telah 40 tahun, Anwar tidak juga berhenti dari perilakunya itu. Hingga tanpa terasa mendekati tahun ke-70, Anwar berbuat seperti itu. Dan nama yang terucap dari mulutnya kini tersisa “Jawa… Jawa… Jawa”. Maka jadilah tempat tersebut kemudian bernama “Jawa”.
Hingga genap tahun ke-70, terbitlah Ilham dalam diri Anwar untuk berhenti berbuat demikian. Dalam Ilham itu terbit juga bahwa untuk menghilangkan rasa rindunya kepada neneknya maka Anwar harus mencari istri. Maka selanjutnya menikahlah Anwar dengan seorang wanita dari Bangsa Al-Mastian bernama Siti Hunun.
Dari pernikahan Anwar dengan Siti Hunun, dianugerahi anak laki-laki bernama Nur Cahya atau bergelar Sang Hyang Nur Cahya. Sang Hyang Nur Cahya kemudian menikah dengan wanita dari Bangsa Sahinastra bernama Dewi Mulat, dan dianugerahi anak bernama Sang Hyang Nur Rasa.
Sang Hyang Nur Rasa kemudian memiliki beberapa orang anak yang diantaranya bernama Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Dharma Jaka, dan Sang Hyang Pramana Wisesa. Adapun Sang Hyang Wenang kemudian memiliki anak bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal selanjutnya memiliki beberapa anak dari istri pertamanya, yang diantaranya bernama Rancasan dan Ludra. Sedangkan dari istri keduanya memiliki beberapa anak yang diantaranya bernama Antaga, Ismaya atau Semar, dan Manik Maya atau Batara Guru.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Islam Nusantara, Piagam Madinah dan Pancasila
Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid ‘Ali Khali Qasam bin Sayyid ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin Sayyid ‘Alwi al-Mubtakir bin Sayyid ‘Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid ‘Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:
1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam. IRAN Corner
Di bagian pertama pada judul artikel ini, kita telah membahas perihal QS al-Maidah [5] : 51 yang secara garis besarnya bahwa kita dilarang menjadikan Yahudi dan Nasrani yang membentuk sebuah aliansi atau persekutuan sebagai sekutu bagi kita semuanya.
Maka dalam pembahasan di bagian kedua ini, saya akan mengalihkan perhatian anda kepada sebuah Fakta Sejarah bahwa ternyata memang ada Fenomena dimana Yahudi dan Nasrani telah membentuk sebuah persekutuan, meski secara nalar sulit untuk dipercaya.
Persekutuan Yahudi dan Nasrani ini adalah sebuah Subjek utama dalam pembahasan ayat tersebut sebagai Identifikasi dan Kriteria yang harus kita waspadai bahkan harus kita musuhi. Namun pertanyaannya siapakah mereka?
Marilah kita telusuri terlebih dahulu sejarah “embrio ” yahudi dari waktu ke waktu.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
BANGSA NON YAHUDI YANG MEMELUK YAHUDI
Berbicara tentang Yahudi, mungkin anda membayangkan bahwa istilah “Yahudi” mewakili dua hal sekaligus, Pertama adalah Yahudi sebagai sebuah Agama atau Kepercayaan Spiritual dan yang Kedua adalah Yahudi sebagai Bangsa, Ras dan Keturunan Israel (Nabi Yaqub AS) atau al-Qur’an meng-istilahkan dengan “Bani Israel” yang terdiri dari 12 suku. Sehingga, sudah lumrah di pemahaman kaum muslimin pada umumnya bahwa Agama Yahudi hanya diperuntukan untuk keturunan Bani Israel saja.
Faktanya, sepanjang sejarah hingga dewasa ini, banyak juga orang-orang berdarah Yahudi yang menganut keyakinan selain Yahudi, baik Islam, Kristen maupun Atheis.
Namun sebaliknya, pernahkan anda membayangkan ada Suku dan Bangsa Non -Yahudi (bukan keturunan Israel) yang menjadikan Agama Yahudi sebagai sebuah Keyakinan?
Ternyata jawabannya ada, bahkan ada sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Ialah kerajaan Himyar yang dipimpin oleh raja Dzu Nuwas, seorang Raja sekaligus Sebuah kerajaan di wilayah Yaman yang eksis sekitar tahun 523 M. Dalam Kitab Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dijelaskan bahwa Raja Bani Himyar di Yaman mameluk agama Yahudi bukan melalui Migrasi orang-orang Yahudi, namun terjadi beberapa abad sebelumnya melalui dakwah para rabi Yahudi kepada para petinggi Bani Himyar.
Selain kerajaan Himyar, juga ada beberapa suku
berber di Afrika Utara, seperti suku Kahina, Nafusa dan Jawara sebagai bangsa dan Suku non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi.
Namun, mereka bukanlah golongan Yahudi yang di sedang dibicarakan oleh QS Al-Maidah [5] : 51 karena mereka bukanlah golongan Yahudi Palsu yang bersekutu dengan Nasrani, dan lagipula mereka tidak “beranak-pinang” sampai saat ini, jadi marilah kita lupakan mereka dan kita alihkan lagi perhatian kita kepada bangsa dan Kerajaan lain yang memiliki kriteria :
1. Bangsa dan Kerajaan Non -Yahudi tapi memeluk yahudi sehingga kita katakan mereka adalah Yahudi Palsu.
2. Bangsa dan Kerajaan yang sangat kuat dan Unggul pada zamannya, hingga mereka memiliki Syarat untuk menjadi bangsa yang cerdik, picik dan penindas dunia.
3. Bangsa yang masih “beranak-pinang” sampai saat ini, baik dari sisi nasab maupun warisan agendanya.
4. Dan yang paling penting adalah mereka bersekutu dengan Nasrani.
Siapakah bangsa dan Kerajaan yang memiliki Kriteria diatas sehingga secara “tabiat” mereka layak dijadikan musuh?
Sebagaimana yang juga digambarkan lebih detail di dalam Hadits Nabi SAW (Yang Artinya) :
“Kiamat tidak akan terjadi sampai kalian memerangi sekolompok orang yang sendalnya terbuat dari rambut, dan memerangi BANGSA TURK, yang mana mereka bermata sipit, berwajah kemerah-merahan, berhidung pesek, wajah mereka berbentuk perisai yang bundar” (HR Bukhari dan Muslim)
Bangsa manakah yang di maksud dalam Hadits
tersebut? Bangsa Cina Kah?
Buang dari pilihan anda bangsa China hanya karena ciri-ciri mata sipitnya, dan lagi pula mereka sama sekali tidak ada kaitannya dengan Kriteria Musuh yang Allah gambarkan didalam QS al-Maidah [5] : 51, sedangkan Hadits tersebut kompatibel dengan penjelasan ayat tersebut.
lantas, siapakah mereka?
KISAH BANGSA KHAZAR DAN KERJAAAN KHAZARIA
Adalah Bangsa Khazar dan Kerajaan Khazaria, sebuah catatan sejarah yang paling penting untuk kita garis bawahi, karena Bangsa ini memiliki kriteria yang akurat sebagaimana yang diidentifikasi didalam QS Al-Maidah [5] : 51 dan ayat-ayat lainnya yang berhubungan dengan bangsa penindas.
Berbicara perihal Bangsa non-Yahudi yang memeluk Agama Yahudi, bangsa Khazar –lah yang paling Fenomenal. Orang-orang Khazar adalah bangsa keturunan bangsa asli Turki, meskipun ada salah satu referensi sejarah bahwa bangsa ini berasal dari keturunan Japeth bin Nuh dan menjalin hubungan pernikahan dengan keturunan Nabi Ibrahim [AS]. Bangsa ini eksis dan berjaya sejak abad ke 7 dan bertahan sampai abad ke 11 M. Mereka menguasai wilayah di bagian Utara Laut Hitam, yang sekarang ini merupakan bagian dari wilayah Rusia, berbatasan dengan Kekhalifahan Islam (Abbasiyah) di sebelah Selatan dan Tenggara, dan dengan Byzantium di sebelah Barat dan Barat Daya. Bangsa ini mendominasi pengaruhnya di wilayah Kauskasia dan memainkan peranan penting dalam dalam jalur perdagangan di wilayah imperium Islam pada saat itu.
Pada awalnya mereka menganut Paganisme dan
Shamanisme , namun sejak pertengahan abad ke 9 mereka menganut Yahudi bahkan mendeklarasikan agama Yahudi sebagai agama resmi kerajaan.
Namun bagaimana proses mereka memilih Yahudi sebagai Agama yang dipeluk dan diadopsi oleh kerajaan? apa motivasi mereka memilih Yahudi, dibanding dengan agama lain?
MISTERI BANGSA KHAZAR DALAM MEMELUK YAHUDI.
Banyak sekali referensi Sejarah berkaitan dengan Fenomena Bangsa Khazar yang memeluk Yahudi, termasuk kitab klasik Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam juga menyinggung soal Bangsa Khazar ini. Namun, saya kira tidak semua sejarahwan bisa menyimpulalkan apa Motivasi dibalik keputusan mereka memilih Yahudi? nah, untuk untuk menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan sebuah analisis yang rumit.
Sepanjang yang saya pelajari, saya kira ada dua tokoh yang mampu menjawab pertanyaan krusial tersebut, mereka adalah Jack Otto, seorang tokoh eropa yang pernah membongkar sejarah kejahatan Bangsa Khazar
pada tahun 2007 (setahun kemudian ia meninggal dan ada kabar bahwa ia dibunuh- wallahu’alam ), dan yang kedua adalah Syeikh Imran Nazar Hosain, pakar Eskathologi Islam asal Trinidad. mereka berdua memiliki pendapat yang senada, bahwa Motivasi Bangsa Khazar memeluk Yahudi adalah Motivasi Politik.
Sangat tidak masuk akal jika mereka memutuskan untuk memilih Yahudi sebagai agama yang diadopsi karena Faktor Kepuasan Spiritual hingga mereka berharap bisa beribadah kepada tuhan dengan lebih baik, saya kira tidak mungkin! mengapa? karena “ track Record” bangsa ini yang sangat buruk. sebagaimana kaum bani Israel yang membangkang kepada para Nabi Allah hingga mereka terusir dari
Yerusalem , bangsa ini pun adalah kaum yang paling dibenci oleh penduduk sekitar bangsa aslinya, banyak sekali catatan hitam sejarah betapa bangsa ini digambarkan sosok penindas dan selalu mengkhianati perjanjian hingga pada akhirnya mereka sebelumnya pernah di usir dari mongolia Asia (turki) pada sekitar tahun 500 M. sebagian dari mereka lari ke arah barat menuju Rumania dan Hungaria, sebagian yang lainnya mengikuti “Chagan”-nya (sebutan Raja bagi bangsa Khazar) yang lari ke arah Rusia tepatnya di utara Pegunungan Kaukasus.
Kelompok Bangsa Khazar yang lari mengikuti Raja-nya lah yang kemudian disana mereka begitu mudah menguasai Bangsa Pribumi Kaukasus (bangsa Slavia) yang mayoritasnya adalah petani yang lugu. hingga mereka membentuk Sebuah Kerajaan bernama Kerajaan Khazaria dan dipimpin Oleh “Chagan” Bulan .
Disinilah cikal bakal kekuatan mereka, pada tahap awal kekuasaannya, mereka sadar bahwa mereka belum mampu menyaingi Kerajaan tetangganya yang jauh lebih besar dan kuat, yaitu Imperium Bezantium yang mengadopsi Kristen Ortodhox dan Imperium Abbasiyah yang mengadopsi Islam. Mereka pun sadar bahwa bahwa jika mereka memilih salah satu diantara dua kekuasaan tersebut, hal itu mengharuskan mereka bergabung dengan mereka, bukan hanya dari sisi kekuatan militer, namun juga harus memeluk agamanya. pilihan ini tentu akan membuang kesempatan untuk mereka berkuasa
Namun disisi lain, mereka sadar bahwa jika tidak memilih salah satu dari keduanya, akan ada pihak lain yang tersinggung, dan ini akan mempengaruhi dukungan penduduk pribumi yang kental dengan nilai religiusnya.
Maka, dengan cerdiknya, agar mereka terkesan
objecktive dalam memilih agama yang akan diadopsi kerajaannya serta agar terkesan nuansa spiritaulitas-nya (padahal nafsu politik), Raja Bulan memanggil 3 tokoh agama dan cendikiawan dari perwakilan Islam, Kristen dan Yahudi, tepatnya pada pertengahan abad ke 9 masehi. peristiwa ini bisa anda lihat pada sebuah Kitab berjudul “Sefer Ha-Kuzari” (Kitab Khazar) yang ditulis oleh Filsuf Yahudi dari Andalusia bernama
Yehuda ha-Levi. Pada isi kitab ini, mereka mengunggulkan aspek Teologis Yahudi ketimbang perjalanan Historisnya, seolah ia ingin mengatakan dari hasil Dialognya dengan Raja Khazari bahwa Teologis Yahudi lebih unggul dari Kristen dan Islam karena Raja Bulan lebih memilih Yahudi.
Singkat cerita, setelah mereka melewati masa-masa “emas”nya bagi ukuran kisah sukses sebuah kejahatan akhirnya pada tahun 960-an Kerajaan Khazaria
runtuh. proses keruntuhannya diawali oleh Invansi Bangsa Rus pada tahun 960-an. namun pasca invansi tersebut mereka hanya bisa bertahan sekitar setengah abad dan kemudian mereka menghilang dari panggung sejarah, mungkin dikarenakan kekuatan mereka semakin melemah, kemudian hal itu mendorong mereka untuk ber-migrasi ke wilayah belahan dunia lainnya yang sebagian besar ke wilayah Eropa.
Dari sinilah babak baru dengan kisah “Yahudi-Nasrani yang bersekongkol” di mulai.
Arthur Koestler dalam bukunya The Thirteenth Tribe: Khazar Empire and Its Heritage, mengemukakan teori bahwa orang-orang Yahudi Eropa, atau yang dikenal sebagai Yahudi Askhenazi, sesungguhnya mereka adalah Bangsa non-Yahudi, namun mereka secara misterius mengklaim bangsanya sebagai keturunan Israel ke-13.
Profesor Sholomo Sans , Seorang Guru Besar Sejarah di Tel Aviv University , Ia menulis sebuah buku berjudul The Invention of the Jewish People (2008), Dalam buku tersebut menyatakan bahwa kebanyakan orang-orang Yahudi di Eropa Tengah dan Timur merupakan keturunan Khazar yang menganut Yudaisme. Baginya tidak ada bangsa Yahudi (bani Israel), yang ada hanyalah komunitas-komunitas beragama Yahudi yang dikonversikan di sepanjang sejarah Yahudi. Lebih jauh ia menolak pendapat populer yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi telah diusir keluar dari Yerusalem dan karenanya mengharuskan dirinya untuk kembali ke Yerusalem.
Dan Fakta berbicara bahwa sekitar 80 % (sebagian referensi mengatakan 90%) dari seluruh Umat Yahudi adalah Yahudi Eropa (Askhenazi).
Untuk membuktikan ke-akuratan secara Ilmiah bahwa mayoritas umat Yahudi di seluruh dunia adalah umat non-yahudi (baca : Yahudi Hoax) adalah dengan adanya penelitan DNA Yahudi Eropa (Askhenazi) dewasa ini, mereka melacak asal-usul biologis orang-orang Yahudi modern. Banyak dari studi ini menunjukkan bahwa secara paternal , orang-orang Yahudi yang ada sekarang memiliki asal usul genetis Timur Tengah. Kromosom Y (kromosom yang hanya diwarisi dari jalur bapak) yang ada pada mereka, mirip dengan yang dimiliki orang-orang Arab yang ada di Palestina, Lebanon, dan Syria.
Almut Nebel dan timnya menunjukkan bahwa walaupun secara genetik mereka lebih dekat dengan orang-orang Yahudi dan Arab di Timur Tengah, tetapi ada frekuensi R-M17 yang cukup tinggi (11,5%) pada
kromosom Y mereka. R-M17 merupakan kromosom
Y yang dominan di kalangan masyarakat Eropa Timur. Ini mungkin merepresentasikan adanya pengaruh
genetik dari bangsa Khazar.Adapun dari jalur
maternal , masih ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli genetik apakah kaum lelaki Yahudi yang bermigrasi ke Eropa menikah dengan perempuan setempat atau membawa serta pasangan-pasangan Yahudi mereka dari Timur Tengah.
Nah , setelah kita bisa membuktikan bahwa komposisi Umat Yahudi seluruh dunia didominasi oleh Yahudi Eropa yang notabene bukan bangsa asli Yahudi, pertanyaan berikutnya adalah :
1. Bagaimana kisah mereka saat mereka menyebar ke Eropa pasca keruntuhan Khazaria? dan bagaimana pula mereka membentuk persekutuan dengan Nasrani Barat Sehingga terciptalah Peradaban Modern?
2. Bagaimana bisa mereka mengklaim hak atas tanah
Yerusallem? hingga mereka merasa perlu untuk berkolaborasi dengan Nasrani Barat?
3. Apakah silsilah Founding Father Zionist Israel
seperti Rothchild dan para tokoh Elit Global Zionist lainnya adalah keturunan Khazar ? bagaimana membuktikannya?
4. Lantas, apa rahasia minoritas Penduduk dunia ini bisa menguasai Dunia? dan bahkan dengan pencapaian saat ini pun mereka belum puas?
5. Sebagai Refleksi , bagaimana sikap kita sebagai seorang Muslim?
Insha Allah, Ke-lima pertanyaan tersebut akan kita bahas tuntas di bagian ketiga artikel ini.
Originally shared by Siti Nurbaya
Sementara di luar sana bani penthol korek asik menggoreng isu PKI guna membenturkan ulama dan pemerintah; ternyata ada fakta2 lain terkait PKS yang membuat saya ngeri.
1. PKS itu ideologinya trans-nasional, dan merupakan perpanjangan tangan dari Ikhwanul Muslimin. Hal ini diakui oleh pendiri PKS sendiri. Sedangkan IM di negara seperti Arab dimasukkan dalam daftar organisasi teroris.
Kita juga tahu bahwa PKI yg juga berideologi trans-nasional dan merupakan perpanjangan tangan dari partai komunis Uni Soviet/China. Hanya sebagai pembanding, bukan berarti menyamakan PKS dengan PKI.
https://m.tempo.co/…/pendiri-akui-pks-memang-ikhwanul-musli…
Image may be NSFW.
Clik here to view.
2. “Ayah kandung Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ustadz Hilmi Aminuddin merupakan pendiri sekaligus Panglima Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. DI/TII sudah beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap pemerintah sah Indonesia”. Selengkapnya ada di link ini:
http://www.tribunnews.com/…/pks-benarkan-ayah-hilmi-mantan-…
Image may be NSFW.
Clik here to view.
3. Walaupun simpatisannya sering teriak anti komunis, anti aseng dan anti china; namun ternyata PKS menjalin kerja sama dengan PKC (Partai Komunis China). Oh ya, anak dari mantan presiden PKS juga kuliah di China. Jadi kalau simpatisan PKS suka teriak2 anti komunis, aseng, asong, asing itu hanya menunjukkan ke-PKS-annya kurang kaffah.
http://pks.id/content/pks-dan-ak-parti-saling-belajar
http://amp.kompas.com/…/PKS.Akrab.dengan.Partai.Komunis.Chi…
4. PKS menolak penerapan asas tunggal Pancasila di UU Ormas.
https://m.detik.com/…/pks-bersikukuh-tolak-asas-tunggal-pan…
5. Anis matta pernah membuat puisi sanjungan kepada Osama bin Laden.
http://m.tribunnews.com/…/puisi-anis-matta-untuk-osama-bin-…
6. Fahri Hamzah pernah membuat statement bahwa Perppu untuk menangkal ISIS itu berlebihan.
http://m.republika.co.id/…/nlgcqj-fahri-hamzah-perppu-cegah…
Image may be NSFW.
Clik here to view.
7. Anis matta menyebut respon dunia terhadap ISIS berlebihan.
http://amp.kompas.com/…/Anis.Matta.Sebut.Respons.terhadap.I….
8. Hidayat Nur Wahid menyarankan dalam melumpuhkan terduga teroris menggunakan tembakan bius.
http://m.tribunnews.com/…/hidayat-nur-wahid-sarankan-polisi…
9. PKS tasyakuran kemerdekaan 9 ramadhan.
https://m.detik.com/…/pks-peringati-kemerdekaan-indonesia-9…
10. Milad PKS di Tasikmalaya ada aksi injak bendera merah putih.
http://rmol.co/…/Di-Tasikmalaya,-Milad-PKS-Diisi-Aksi-Injak…
11. Pemasangan bendera merah putih terbalik di kantor PKS Situbondo.
https://m.detik.com/…/pemasangan-bendera-merah-putih-di-kan…
Bagi yg mau membantah silahkan pakai data juga. Media di atas merupakan media nasional yg terpercaya. Tidak menerima rujukan dari media wahabi semisal amarah dot com, atau postmetro dsb.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213977951624116&id=1270050782
Oleh : Novy Viky Akihary
Koordinator FOKAS
Bangkitnya Silent Majority diberbagai daerah di Indonesia paska aksi biadab para teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok selasa, 08/05/2018 dimana 5 orang Prajurit Kepolisian RI dibunuh secara keji oleh 156 teroris Blok C, Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob tersebut.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Awalnya sebagian masyarakat Indonesia terkotak-kotak dalam menanggapi tragedi Mako Brimob, ada yang menganggapnya sebagai rekayasa polisi dalam rangka mendorong Goalnya Revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Komentar miring tersebut banyak berseliweran di berbagai medsos, tetapi tidak sedikit pula masyarakat berempati kepada Kepolisian RI.
Ketika pada hari minggu pagi tanggal 13/05/2018 terjadi aksi brutal dan sangat biadab oleh para teroris di 3 Gereja di Surabaya, bom meledak di Gereja Santa MariaTak Bercela di Ngagel, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuna. Sontak kaget alang kepalang kaget bukan main perkiraan mereka para nyinyir keliru, ternyata sel tidur teroris mulai bangkit pengeboman bukan berhenti di ke-3 Gereja tersebut saja dimana akhirnya menewaskan kurang lebih 18 orang, serta melukai setidaknya 40 jemaat gereja.
Aksi teroris terus berlanjut kali ini Kantor Polrestabes Surabaya pada hari senin 14/05/2018 kena serangan bom bunuh diri pasangan teroris Anton serta istri dan anaknya yang sengaja menabrak motor mereka di pintu pemeriksaan sehingga 1 orang anggota Polres setempat menjadi korban kebiadaban aksi brutal yang tidak masuk akal tersebut. Pada hari senin itu pula di Rusunawa Wonocolo 1 keluarga (Dita) meledakan diri melengkapi aksi teror mereka di Kota Buaya tersebut.
Silent Majority yang selama ini berdiam diri mulai terusik, apalagi Presiden Jokowi menggugah masyarakat lewat seruan agar masyarakat ikut bersama pemerintah memerangi kebiadaban terorisme di Indonesia.
Gayung bersambut merasa terpanggil beberapa kelompok aktivis beserta berbagai kelompok masyarakat yang selama ini diam akhirnya bertemu di Resto Bekantan, Green Terace, TMII, Cipayung Jakarta Timur, Minggu sore pukul 17.00-23.00 WIB, tanggal 13/05/2018. Kemudian membentuk gerakan perlawanan terhadap kebiadaban terorisme di Indonesia dinamai “Forum Komunikasi Aktivis” (FOKAS) lewat tiga (3) tuntutan al :
1. Mendesak DPR RI untuk segera mensahkan Revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan apabila DPR RI tidak mensahkan revisi UU tersebut, maka Presiden Jokowi harus segera mengeluarkan Perppu Keamanan Nasional sebagai payung hukum bagi Polisi untuk membasmi terorisme di Indonesia yang sudah sangat di luar batas kemanusiaan.
2. Mendukung Kepolisian RI agar bertindak cepat dan tegas serta tidak perlu ragu-ragu dalam menghadapi ancaman terorisme, karena bagi rakyat membasmi teroris adalah perlindungan HAM kepada masyarakat banyak yang tidak berdosa yang kemudian bisa saja menjadi korban kebiadaban para teroris.
3. Menuntut bubar partai yang selama ini diduga menjadi pendukung terorisme di Indonesia.
ALASAN KENAPA “FOKAS” MENGGERUDUK KANTOR PKS’
1. Sampai dengan aksi brutal para teroris di Surabaya minggu 13/05/2018, tidak ada reaksi dari petinggi PKS yang mengutuk kebiadaban tersebut.
2. Fakta lain terkait PKS yang membuat ngeri :
2.1. PKS itu ideologinya trans-nasional, dan merupakan perpanjangan tangan dari Ikhwanul Muslimin. Hal ini diakui oleh pendiri PKS sendiri. Sedangkan IM di negara seperti Arab dimasukkan dalam daftar organisasi teroris.
Kita juga tahu bahwa PKI yg juga berideologi trans-nasional dan merupakan perpanjangan tangan dari partai komunis Uni Soviet/China. Hanya sebagai pembanding, bukan berarti menyamakan PKS dengan PKI.
https://m.tempo.co/…/pendiri-akui-pks-memang-ikhwanul-musli…
2.2. “Ayah kandung Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ustadz Hilmi Aminuddin merupakan pendiri sekaligus Panglima Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. DI/TII sudah beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap pemerintah sah Indonesia”. Selengkapnya ada di link ini:
http://www.tribunnews.com/…/pks-benarkan-ayah-hilmi-mantan-…
2.3. Walaupun simpatisannya sering teriak anti komunis, anti aseng dan anti china; namun ternyata PKS menjalin kerja sama dengan PKC (Partai Komunis China). Oh ya, anak dari mantan presiden PKS juga kuliah di China. Jadi kalau simpatisan PKS suka teriak2 anti komunis, aseng, asong, asing itu hanya menunjukkan ke-PKS-annya kurang kaffah.
http://pks.id/content/pks-dan-ak-parti-saling-belajar
http://amp.kompas.com/…/PKS.Akrab.dengan.Partai.Komunis.Chi…
2.4. PKS menolak penerapan asas tunggal Pancasila di UU Ormas.
https://m.detik.com/…/pks-bersikukuh-tolak-asas-tunggal-pan…
2.5. Anis matta pernah membuat puisi sanjungan kepada Osama bin Laden.
http://m.tribunnews.com/…/puisi-anis-matta-untuk-osama-bin-…
2.6. Fahri Hamzah pernah membuat statement bahwa Perppu untuk menangkal ISIS itu berlebihan.
http://m.republika.co.id/…/nlgcqj-fahri-hamzah-perppu-cegah…
2.7. Anis Matta menyebut respon dunia terhadap ISIS berlebihan.
http://amp.kompas.com/…/Anis.Matta.Sebut.Respons.terhadap.I….
2.8. Hidayat Nur Wahid menyarankan dalam melumpuhkan terduga teroris menggunakan tembakan bius.
http://m.tribunnews.com/…/hidayat-nur-wahid-sarankan-polisi…
2.9. PKS tasyakuran kemerdekaan pada 9 ramadhan.
https://m.detik.com/…/pks-peringati-kemerdekaan-indonesia-9…
2.10. Milad PKS di Tasikmalaya ada aksi injak bendera merah putih.
http://rmol.co/…/Di-Tasikmalaya,-Milad-PKS-Diisi-Aksi-Injak…
2.11. Pemasangan bendera merah putih terbalik di kantor PKS Situbondo.
https://m.detik.com/…/pemasangan-bendera-merah-putih-di-kan…
3. Tertangkapnya beberpa terduga teroris di berbagai wilayah dan ternyata mereka adalah kader PKS;
3.1. Terduga Teroris Diduga Mantan Kader, PKS: Tidak Mungkin Itu – News …
https://www.liputan6.com › read
3.2. Terduga Teroris Ngaku Kader PKS, Anis Matta Bungkam! : Okezone News
https://news.okezone.com › read
3.3. PKS Bentuk Tim Terkait Kadernya yang Diamankan Densus 88 – detikNews
https://m.detik.com › news › berita › pks…
3.4. PKS sebut anggota DPRD Pasuruan yang ditangkap Densus 88 kadernya …
https://www.merdeka.com › pks-…
4. Adanya kader PKS yang menyebutkan bahwa Bom Surabaya adalah rekayasa.
Radikalisme – News Baldatuna
https://news.baldatuna.com › Category
Didasari oleh pemikiran bahwa selama ini PKS dikenal sebagai partai yang mengusung agama sebagai jualannya ternyata tak lebih sekumpulan pelaku amoral, koruptor serta diduga terlibat mendukung terorisme. Hal tersebutlah maka pada hari senin 14/05/2018 FOKAS geruduk DPP PKS, dalam pernyataan pres Koordinator FOKAS berjanji bahwa aksi di Kantor DPP PKS akan berlanjut ke berbagai daerah di Indonesia karena politik bertopeng agama harus dihentikan.
Forum (Aktivis) Pasundan Bergerak menyambut ajakan tersebut, giliran mereka menggeruduk kantor DPW PKS pada hari selasa, 15/05/2018. Aksi ini tidak berhenti karena masuknya bulan Ramadhan, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya sudah menyatakan siap mendukung gerakan yang sudah dimulai oleh FOKAS. Silent Majority dari berbagai daerah bahkan sudah siap untuk menduduki Kantor DPP PKS kelak.
Bukalah topengmu, atau kami akan datang menduduki kantormu, ketika silent majority sudah muak maka tunggulah kehancuran mu kerena dosamu segera terkuak.
Jakarta, 17/05/2018
· Balas · 1 jam · Telah disunting
· Balas · 26 menit · Telah disunting
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Tak tanggung-tanggung, terdapat lima serangan terorisme dalam kurun waktu 25 jam. Sebanyak 13 orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Aksi terorisme saat ini bisa dibilang merupakan aksi terparah setelah kejadian bom Thamrin pada awal 2016 lalu. Salah satu penyulut eskalasi aksi terorisme ini berawal dari insiden di Mako Brimob Depok yang menewaskan lima anggota polisi dan satu narapidana teroris. Pascatragedi itu, sel-sel jaringan terorisme dihidupkan. Pasalnya, sebelum insiden Surabaya, berapa aksi terorisme juga meruyak di sejumlah daerah namun berhasil digagalkan aparat kepolisian.
Penangkapan terduga teroris di Tambun Bekasi ataupun penembakan mati empat terduga teroris di Cianjur, Jawa Barat, adalah beberapa contoh. Jika dipetakan, rentetan teror yang terjadi di Surabaya dan beberapa daerah lainnya tidak bisa dipisahkan dari jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Dita Fukrianto, salah satu pelaku aksi di Surabaya adalah Ketua JAD, yang bersama keluarganya baru kembali dari Suriah setelah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Fakta inilah memperkuat argumentasi bahwa aksi terorisme yang terjadi belakangan bukan sekadar faktor agama, tapi ada kaitan dengan geopolitik internasional lantaran ISIS sebagai dalangnya.
Pan dangan ini misalnya pernah disampaikan Robert Pape dalam hasil risetnya berjudul Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005). Menurutnya, dari sekian banyak kasus teroris, fundamentalisme agama hanyalah sebagai kedok karena di belakangnya bertumpu kepentingan kapital global. Karena itu, kendatipun aksi terorisme yang terjadi di Indonesia kerap dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, tapi tidak bisa dibantah bahwa aksi tersebut merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik (indigenous) dengan mereka memiliki jaringan trans-nasional (trans-national networks). Inilah mengapa upaya membasmi terorisme harus melibatkan segenap komponen bangsa, tidak cukup hanya diserahkan kepada Polri.
Sinergi TNI-Polri
Sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang terkait dengan geopolitik dan geostrategi internasional, sinergi antara TNI-Polri dalam menumpas terorisme di Indonesia sangat diperlukan. Persoalan terorisme bukan sekadar persoalan keamanan, tapi juga masalah pertahanan sebuah negara dari kolonialisme model baru. Sebab terorisme merupakan suatu bentuk ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan mengancam kedaulatan suatu negara.
Konvensi Jenewa ber tajuk Prevention and Punishment of Terrorism (1937) pernah menggambarkan perbuatan teroris sebagai “criminal acts directed against a state and intended and calculated to create a state of terror in the minds of particular persons or group of persons or the general public”. Terorisme adalah musuh bersama dan musuh dunia karena itu harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tentu salah satu fungsi sinergi antara TNI dan Polri adalah dalam mengoptimalkan peringatan dini, deteksi dini, pencegahan, dan menangkal perkembangan terorisme di Indonesia.
TNI memiliki kemampuan intelijen dan kemampuan teritorial sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat(2) UU Nomor 34/2004 serta memiliki rantai komando (chain of command) sampai tingkat desa melalui Babinsa (Bintara Pembina Desa). Begitu halnya Polri. Sebagai aparat terdepan dalam menjaga keamanan Indonesia, Polri selama ini menjadi tumpuan dalam penegakan hukum pemberantasan terorisme serta melakukan tindakan preventif dan represif terhadap ancaman terorisme. Dengan kelebihan masing-masing, sinergi antara TNI dengan Polri dalam menumpas terorisme diharapkan akan lebih maksimal.
Revisi UU Terorisme
Tentu sinergi TNI-Polri saja tidak cukup. Harus ada payung hukum kuat dan mendukung pemberantasan terorisme di Indonesia. Salah satunya revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab terkait aksi terorisme ini, publik tidak bisa menyalahkan sepenuhnya Badan Intelijen Negara (BIN) dan aparat kepolisian lantaran telah lalai dan kecolongan. Karena BIN di bawah komando Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan sejatinya sudah memberikan support informasi lengkap kepada pihak aparat, termasuk sel-sel jaringan yang ada.
Namun, meski sudah mengetahui informasi lengkap, kepolisian tidak bisa bertindak sebelum ada kejadian atau barang bukti. Di sinilah titik dilema kepolisian sehingga menjadi serba salah. Karena itu, revisi UU Terorisme menjadi hal mendesak segera dituntaskan. Pertama, revisi UU Terorisme berfungsi memperkuat fungsi pencegahan. Pasalnya, salah satu pangkal masalah sulitnya melawan sekaligus mencegah terorisme ialah tak cukup tersedianya perangkat undang-undang komprehensif untuk payung hukum bagi aparat mendeteksi dini potensi tindakan teror sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, BIN misalnya perlu diberi otoritas untuk bisa melakukan pencegahan dalam mengatur lalu lintas perdagangan ilegal senjata api dan juga kontrol ketat terhadap beredarnya aneka bahan peledak yang dijual bebas. Termasuk bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pemantauan transaksi keuangan yang mencurigakan. Hal ini penting sebagai upaya pencegahan.
Kedua, revisi UU Terorisme memberikan ruang gerak lebih luas kepada kepolisian untuk memberantas terorisme. Sebab salah satu kelemahan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah sulitnya melakukan tindakan terhadap aktivitas individu atau organisasi masyarakat yang mengandung unsur atau punya afiliasi dengan terorisme.
Sebagai contoh, pihak in telijen ataupun kepolisian misalnya sudah mengetahui bahwa ada ratusan kelompok radikal kembali dari Suriah, yakni markas besar ISIS. Namun, aparat tak mampu berbuat apa-apa karena tak punya keleluasaan ataupun payung hukum untuk melakukan tindakan terhadap mereka. Inilah kemudian selalu membuat intelijen dan aparat kepolisian dituduh kecolongan dan seolah-olah membiarkan. Padahal intelijen dan aparat sejatinya tidak bisa berbuat apa-apa lantaran tak ada payung hukumnya.
Karena itu, sekali lagi, revisi UU Terorisme kini menjadi penting. Tentu di atas itu semua, pelibatan segenap elemen masyarakat dalam upaya mencegah aksi terorisme ini juga sangat dibutuhkan. Sebagai musuh bersama, terorisme harus dilawan. Setiap dari kita punya kewajiban untuk melawannya!
Falsafah Agama oleh Dr. Haidar Bagir
Dari Postinga Ki Fahir (SLW Bogor)
Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda namanya Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.
Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.
Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : “…. masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.
Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.
Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.
Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat ‘imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma’mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma’mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. “Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.
Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.
Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.
Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.
Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.
Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.
Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.
Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.
Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.
Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.
Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW.
__
oleh : gus MuwaffiqISLAM JAWA
Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda namanya Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.
Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.
Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : “…. masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.
Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.
Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.
Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat ‘imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma’mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma’mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. “Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya
10 menit ·
Dahulu ketika Ayatullah ‘Ali khamane’i di tahan oleh polisi syah Iran (yang dipimpin Presiden berhalauan barat Reza Pahlevi), ia dipenjarakan bersama seorang komunis dari partai Baats (atau sekarang disebut sosialis loyalism). Ayatullah mendekatinya, lalu bertanya kepada tahanan tersebut, menyebutkan salam. Tapi tahanan tersebut enggan berbicara pada Ayatullah dan tidak membalas salamnya. “Apa anda seorang komunis dari partai revolusi baats?” Ia tetap diam.
Lalu Ayatullah bertanya lagi dengan hal yang lain, “Apakah kamu mengenal Soekarno bapak revolusi kemerdekaan Indonesia, yang memiliki falsafah pancasila?” Lalu ia menjawab, ”Ya saya kenal dengan beliau. Ada beberapa buku yang saya miliki ketika saya di Rusia, dan saya pernah ketemu beliau di Rusia.” “Siapa Soekarno itu dimata anda?” sahut Ayatullah. Maka ia pun menjawab, bahwa Soekarno adalah bapak pertama yang menciptakan negara humanis sosialis, tanpa dasar agama sebagai pilar, tanpa liberalis sebagai acuan kata, kata seorang yang ditahan itu.
Lalu Ayatullah menjawab, “Anda salah. Bahwa Soekarno memang betul bapak humanism sosialis, tapi Soekarno bukanlah seorang komunis dan negara beliau tidak berdasarkan agama, tapi negara beliau berdasarkan ketuhanan dimana semua manusia wajib bertuhan sebagai dasar kebangsaan. Tanpa itu manusia bagaikan robot yang tidak bisa hidup dengan merdeka.” Lanjut Ayatullah, “Saya memiliki buku pancasila dari seorang Indonesia yang berziarah ke Iran dan belajar serta berdagang disana. Walau kami bertahun-tahun menterjemahkannya, tapi kami tetap semangat untuk menjadikan Iran sebagai negara humanism agama, dimana semua agama saling membangun negara Iran tanpa ada perseteruan di sana.” Dengan berpikir sejenak orang yang diajak berbicara itu, mengeluarkan airmatanya dan bertanya kepada Ayatullah, “Kelak kalau saya keluar dari penjara saya akan datang kerumah anda dan meminjam buku-buku Soekarno itu, karena sangat penting jika Iran dijadikan negara yang berdasarkan humanism agama dimana manusia Iran saling membangun negaranya.” Siapakah ia yang diajak bicara oleh Ayatullah ‘Ali Khamane’i itu? Beliau adalah Baqir al-Sadr presiden pertama di Iran paska revolusi dan beliau adalah yang membentuk negara Iran sebagai negara humanism agama, dimana Iran paska revolusi semua agama dan tradisi menjadi satu saling bahu-membahu membangun negaranya dibawah naungan wilayatulfaqih (Rahbar / Pemimpin Spiritual) Islam Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah. Iran ketika paska revolusi, belum pernah terjadi gesekan antar agama, baik agama Majusi, Yahudi, Nasrani, Baha’i maupun Islam Sunni dan Syi’ah. Inspirasi Pancasila yang diterapkan di Iran, mendapat sambutan dari pemimpin-pemimpin Iran dan disambut oleh rakyat Iran paska revolusi dan dipidatokan oleh Bapak Revolusi Iran Ayattullah Ruhullah Khomeini RA.
(Book Art of Humanism Religius Iran).
Selamat Hari Lahirnya PANCASILA.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
In 2017, I visited an island in the middle of the Java Sea, namely the Bawean Island, to deliver a presentation about the island’s connection with Atlantis. I spent a few days there, wandering around the tiny island to observe and talk to every resident I met. There is an interesting thing that I got when talking with them. Some people told a legend about the existence of a mysterious island located on the north of the island, in the middle of the Java Sea, which is now drowned. They also told about the frequent occurrence of fishing boats or vessels that ran aground or lost when sailing near the mysterious island.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
After returning from the island, I thought about opening up the old maps composed by geographers from the sixteenth and seventeenth centuries. After I observed, many maps show the existence of an island located in the northeast of the Bawean Island, with various names such as Nusasua, Nisasira, Nusasira and Nisaira (see attached maps). Then I translated the names into Nusasura, which means “the shark islands” in the Austronesian language group. Is Nusasura the Island of Atlantis?
In a research published in 2015, I undertook a hypothesis of the island of Atlantis, where there is the capital city of the kingdom of Atlantis, is located on the northeast of Bawean Island. The island is now drowned and overgrown by a coral reef named Gosong Gia or Annie Florence Reef. This coral reef was mapped in detail using multi-beam echosounder some time ago. From the pattern of the coral reef, the structure of the city and its dimensions narrated by Plato can still be seen. The location of the coral reef is more or less the same as the Nusasura shown on the above maps. Please note that the authors of the maps were informed by European sailors who sailed in the Java Sea. The sailors obtained the information about the islands in the Java Sea from the local residents or sailors, who probably also told of the mysterious island and then it was described by the European sailors.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Furthermore, I also observed the ancient records contained in Egypt. From here I obtained a word that sounds like Nusasura, Neserser. In the mythology of the Ancient Egyptians, the island and the lake of Neserser, “the island and the lake of flames” (in the volcanic region) where Osiris and Thoth came from, is often mentioned in their myths. As described in the “Papyrus of Nu” (in the “Book of Dead”), the myth tells that Osiris has his throne on the island of Neserser in the center of six or seven concentric circles with a gate at each and they are all in the “lake” of Neserser. The concentric circles were built for Ra by the dwellers of the lake. Thoth had his lands around the lake and he visited Osiris on the island. There was a great flood in the lake of Neserser and somehow these circles of Ra became hidden.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
As written in many tomb texts from the Middle Kingdom and the Second Intermediate Periods in the Ancient Egypt, in the concepts of the divinities and the deceased, the Neserser island is a heaven-like place, a place where judgement is passed and the deceased is reborn equipped with a status (god or common being). The Hetep-fields is a kind of paradise under the supervision of the god Hetep with whom the deceased identifies himself, and where he leads the happy life reserved for the privileged. In the concept, Osiris, Horus and Thoth were given the status of gods or ancestral divinities.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
The description of Neserser is resemblant to the story of Atlantis.
1. Six or seven concentric circles were built for Ra on the island of Neserser, conforming to the Atlantis’ four circles of lands (including the central land) and three circles of water, built by the god Poseidon.
2. Either Osiris or Atlas have their thrones on the central lands.
3. The lake of Neserser is conforming to the almost closed sea around the Atlantis capital island. Plato describes the sea as a water with a mouth to the outer sea, thus arbitrarily can be called a lake. As described above, I made a hypothesis in 2015 that the sea is the ancient Java Sea where it had only one outlet.
4. There was a great flood in the lake of Neserser which devastated the island of Neserser, and then it was hidden. This is also in conformity with the descriptions about the destruction of Atlantis.
A sound-like word of Nusasura is also found on the Mesopotamian clay tablets, Nisir, the name of a sea where Gilgamesh sets out on a series of journeys to search for his ancestor Utnapishtim that has been given eternal life. In 2016, I made a hypothesis that the “Epic of Gilgamesh” fit the conditions in Indonesia, from the descriptions such as full of noisy birds and cicadas, and monkeys scream and yell in the trees.
Dhani Irwanto, June 2018
#AtlantisinJavaSea, #AtlantisdiLautJawa
————————————————————————————————————
NUSASURA: PULAU ATLANTIS?
Tahun 2017 lalu saya berkunjung ke sebuah pulau yang berada di tengah Laut Jawa, yaitu Pulau Bawean, untuk menyampaikan sebuah presentasi tentang kaitan pulau itu dengan Atlantis. Saya sempat tinggal beberapa hari disana, berkeliling di pulau kecil itu untuk mengamatinya dan berbincang dengan setiap penduduk yang saya temui. Ada satu hal menarik yang saya dapatkan saat berbincang dengan mereka. Beberapa orang menceritakan sebuah legenda turun-temurun tentang adanya sebuah pulau gaib yang terdapat di sebelah utara pulau itu, di tengah Laut Jawa, yang sekarang sudah tenggelam. Mereka juga bercerita tentang seringnya kejadian perahu atau kapal nelayan yang kandas atau hilang apabila berlayar mendekati pulau gaib itu.
Setelah kembali dari pulau itu, saya terpikir untuk membuka peta-peta lama yang disusun oleh para geografer pada abad ke-16 dan ke-17. Setelah saya amati, banyak peta yang menunjukkan adanya sebuah pulau yang terdapat di sebelah timurlaut Pulau Bawean, dengan nama yang bervariasi seperti Nusasua, Nisasira, Nusasira dan Nisaira (lihat peta-peta terlampir). Nama-nama itu kemudian saya terjemahkan menjadi Nusasura, yang berarti “pulau hiu” dalam kelompok bahasa Austronesia. Apakah Nusasura itu Pulau Atlantis?
Dalam penelitian yang saya terbitkan pada tahun 2015, saya melakukan sebuah hipotesis tentang Pulau Atlantis, dimana terdapat ibukota kerajaan Atlantis, adalah terdapat di sebelah timurlaut Pulau Bawean. Pulau itu sekarang sudah tenggelam dan ditumbuhi oleh sebuah terumbu karang yang diberi nama Gosong Gia atau Annie Florence Reef. Terumbu karang ini sempat dipetakan secara rinci menggunakan multi-beam echosounder beberapa waktu lalu. Dari pola terumbu karangnya, struktur kota beserta ukurannya yang dinarasikan oleh Plato masih dapat terlihat. Lokasi terumbu karang itu berada kurang lebih sama dengan Nusasura yang tertera pada peta-peta tersebut diatas. Perlu diketahui bahwa para penyusun peta itu mendapatkan informasi dari para pelaut Eropa yang berlayar di Laut Jawa. Para pelaut itu memperoleh informasi tentang pulau-pulau di Laut Jawa dari para penduduk atau pelayar lokal, yang kemungkinan juga menceritakan tentang adanya pulau gaib tersebut dan kemudian digambarkan oleh para pelayar Eropa itu.
Selain itu, saya juga membuka catatan-catatan kuno yang berada di Mesir. Dari sini saya memperoleh sebuah kata yang mirip bunyinya dengan Nusasura, yaitu Neserser. Dalam mitologi orang Mesir Kuno, pulau dan danau Neserser, “pulau dan danau api” (di wilayah yang bergunungapi) di mana Osiris dan Thoth berasal, sering disebutkan dalam mitos-mitos mereka. Seperti yang dijelaskan dalam “Papirus Nu” (dalam “Buku Kematian”), mitos itu bercerita bahwa Osiris bertahta di pulau Neserser di pusat enam atau tujuh lingkaran konsentris yang masing-masing memiliki gerbang dan semuanya berada di “danau” Neserser. Lingkaran konsentris itu dibangun untuk dewa Ra oleh para penghuni danau. Tanah kediaman Thoth berada di sekitar danau dan ia mengunjungi Osiris di pulau itu. Ada banjir besar di danau Neserser dan entah bagaimana lingkaran Ra ini kemudian tersembunyi.
Seperti yang tertulis dalam banyak teks makam dari Kerajaan Pertengahan dan Periode Menengah Kedua Mesir Kuno, dalam konsep dewa-dewa dan yang telah meninggal, pulau Neserser adalah sebuah tempat seperti surga, tempat dimana penghakiman dilakukan dan yang telah meninggal dilahirkan kembali dengan diberi status (dewa atau makhluk umum). Padang Hetep adalah semacam surga dibawah pengawasan dewa Hetep dimana yang telah meninggal mengidentifikasi dirinya, dan dimana ia menjalani hidup bahagia yang diberikan untuk orang yang diistimewakan. Didalam konsep itu, Osiris, Horus dan Thoth diberi status dewa atau ruh leluhur.
Deskripsi Neserser adalah mirip dengan kisah Atlantis.
1. Enam atau tujuh lingkaran konsentris dibangun untuk Ra di pulau Neserser, sesuai dengan empat lingkaran daratan Atlantis (termasuk tanah sentral) dan tiga lingkaran air, yang dibangun oleh dewa Poseidon.
2. Baik Osiris ataupun Atlas memiliki takhta mereka di tanah sentral.
3. Danau Neserser adalah sesuai dengan laut yang hampir tertutup di sekitar pulau ibukota Atlantis. Plato menggambarkan laut itu sebagai sebuah perairan yang memiliki mulut ke laut luar, sehingga secara umum dapat disebut sebagai sebuah danau. Berdasarkan hal tersebut, saya telah membuat sebuah hipotesis pada tahun 2015 bahwa laut itu adalah Laut Jawa kuno yang hanya memiliki satu mulut keluar.
4. Ada banjir besar di danau Neserser yang menghancurkan pulau Neserser, dan kemudian tersembunyi. Ini juga sesuai dengan deskripsi tentang penghancuran Atlantis.
Sebuah kata yang mirip bunyinya seperti Nusasura juga ditemukan pada tablet tanah liat Mesopotamia, Nisir, nama sebuah laut dimana Gilgamesh melakukan serangkaian perjalanan untuk mencari leluhurnya Utnapishtim yang telah diberikan kehidupan kekal. Pada 2016, saya membuat sebuah hipotesis bahwa “Epik Gilgamesh” adalah sesuai dengan kondisi di Indonesia, dari deskripsinya seperti sangat ramai dengan suara burung dan jengkerik, serta teriakan monyet di pepohonan.
Dhani Irwanto, Juni 2018
#AtlantisinJavaSea, #AtlantisdiLautJawa
Image may be NSFW.
Clik here to view.
In 2017, I visited an island in the middle of the Java Sea, namely the Bawean Island, to deliver a presentation about the island’s connection with Atlantis. I spent a few days there, wandering around the tiny island to observe and talk to every resident I met. There is an interesting thing that I got when talking with them. Some people told a legend about the existence of a mysterious island located on the north of the island, in the middle of the Java Sea, which is now drowned. They are also told about the frequent occurrence of fishing boats or boats that ran around the mysterious island.
After returning from the island, I thought about the opening of the old map, composed by geographers from the sixteenth and seventeenth centuries. After I observed, many maps show the existence of an island located in the northeast of the Bawean Island, with various names such as Nusasua, Nisasira, Nusasira and Nisaira (see attached maps). Then I translated the names into Nusasura, which means “the shark islands” in the Austronesian language group. Is Nusasura the Island of Atlantis?
Image may be NSFW.
Clik here to view.In a research published in 2015, I undertook a hypothesis of the island of Atlantis, where there is the capital of the Atlantis, located on the northeast of Bawean Island. The island is now drowned and overgrown by a coral reef named Gosong Gia or Annie Florence Reef. This coral reef was mapped in detail using a multi-beam echosounder some time ago. From the pattern of the coral reef, the structure of the city and its dimensions. The location of the coral reef is more or less the same as the Nusasura shown on the above above maps. European Sailors who sailed in the Java Sea. The sailors received the information about the islands in the Java Sea from the local residents or sailors,
Furthermore, I also observed the ancient records contained in Egypt. From here I get a word that sounds like Nusasura, Neserser. In the mythology of the Ancient Egyptians, the island and the lake of Neserser, “the island and the lake of flames” (in the volcanic region) where Osiris and Thoth came from, is often mentioned in their myths. As described in the “Papyrus of Nu” (in the “Book of the Dead”), the myth says that Osiris has his throne on the island of Neserser in the center of six or seven concentric circles with a gate at each and they are all in the “lake” of Neserser. The concentric circles were built for Ra by the dwellers of the lake.Thoth had her lands around the lake and she visited Osiris on the island. There was a great flood in the lake of Neserser and somehow these circles of Ra became hidden.
As written in many tomb texts from the Middle Kingdom and the Second Intermediate Periods in the Ancient Egypt, in the concepts of the divinities and the deceased, the Neserser island is a heaven-like place, a place where judgment is passed and the deceased is reborn with a status (god or common being). The Hetep-fields is the kind of paradise under the supervision of the god Hetep with whom the deceased identifies himself, and where he leads the happy life for the privileged. In the concept, Osiris, Horus and Thoth were given the status of gods or ancestral divinities.
The description of Neserser is resemblant to the story of Atlantis.
1. Six or seven concentric circles were built for the sake of the island of Neserser, conforming to the Atlantis’ four circles of lands (including the central land) and three circles of water, built by the god Poseidon.
2. Either Osiris or Atlas have their thrones on the central lands.
3. The lake of Neserser is conforming to the sea. Plato describes the sea as water with a mouth to the outer sea, thus arbitrarily can be called a lake. As described above, I made a hypothesis in 2015 that the sea is the ancient Java Sea where it had only one outlet.
4. There was a great flood in the lake of Neserser which devastated the island of Neserser, and then it was hidden. This is also in compliance with the descriptions of the destruction of Atlantis.
A sound-like word of Nusasura is also found on the Mesopotamian clay tablets, Nisir, the name of a sea where Gilgamesh sets out on a series of journeys to search for his ancestor. In 2016, I made a hypothesis that the “Epic of Gilgamesh” fit the conditions in Indonesia, from the descriptions such as the full of noisy birds and cicadas, and monkeys scream and yell in the trees.
Dhani Irwanto, June 2018
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
In 2017, I visited the island in the middle of the Java Sea, namely the island of Baven, to report on the connection of the island with Atlantis. I spent several days there, wandered around the tiny island to watch and talk with every resident I met. There is an interesting thing that I got when talking to them. Some people told a legend about the existence of a mysterious island, located in the north of the island, in the middle of the Javanese Sea, which is now drowned. They also talked about the frequent occurrence of fishing vessels or ships that ran aground or lost in sailing near a mysterious island.
When I came back from the island, I thought about opening the old maps compiled by geographers from the sixteenth and seventeenth centuries. After I noticed, many to the art show the existence of an island located in the northeast of Bavian Island, with different names, such as Nusasua, Nissaka, Nusasira and Nisaira (see Attached maps). Then I translated the names to Nusasura, which means “shark islands” in the Austronesian language group. Is Nusasura an island of Atlantis?
In a study published in 2015, I made a hypothesis about the Atlantis structure, where the capital of the kingdom of Atlantis is located , it is located in the northeast of the island of Bavan. The island is now drowned and overgrown with a coral reef named Gosun Gia or Annie Florence reef . Some time ago, this coral reef was displayed in detail with the help of a multibeam echo sounder a. From the figure of the coral reef you can see the structure of the city and its dimensions, told by Plato.The location of the coral reef is more or less the same as Nusasura, shown on the above maps. Please note that the authors of the maps were informed by European sailors who sailed in the Yavan Sea. Seamen got information about the islands in the Java Sea from local residents or sailors, who probably also told about the mysterious island, and then it was described by European sailors.
In addition, I also studied the ancient records contained in Egypt. Here I found a word that sounds likeNusasura, Nerser . In the mythology of the ancient Egyptians, the island and the lake of Nerser, the “island and the lake of flame” (in the volcanic region), from where Osiris and Toth came and are often mentioned in their myths. As described in Papyrus Well (in The Book of the Dead), the myth says that Osiris has his throne on the island of Nerser in the center of six or seven concentric circles with gates on each, and they are all in the “lake” of Nerser. Concentric circles were built for Ra by the inhabitants of the lake. Thoth had his lands around the lake, and he visited Osiris on the island. In Lake Nerser there was a large increase in the volume of water and because of this the Ra circles disappeared under water.
As it is written in many texts of graves from the Middle Kingdom and second intermediate periods in Ancient Egypt, in terms of deities and deceased , the island of Nesserser is a heavenly place, a place where the court is pronounced, and the deceased is reborn with status (god or ordinary being). Hetep fields are a kind of paradise under the supervision of the god Hetep, with whom the deceased identifies himself, and where he leads a happy life reserved for the privileged . In the concept of Osiris, Horus and Thoth received the status of gods or divine ancestors.
The description of Nersers is similar to the history of Atlantis.
1. Six or seven concentric circles were built for Ra on the island of Nerser, in accordance with the four circles of the lands of Atlantis (including the central land) and the three circles of water built by the god Poseidon.
2 . Either Osiris or Atlas have their thrones on the central lands.
3. Lake Nerser corresponds to an almost closed sea around the island of Atlantis. Plato describes the sea as water with a mouth into the outer sea, so arbitrarily it can be called a lake. As described above, I made the hypothesis in 2015 that the sea is the ancient Java Sea, where it has only one way out.
4.In Lake Nerser, where the center was the island of Nerser, there was a great flood, and then it was hidden. This also corresponds to the description of the destruction of Atlantis.
The sound word of Nusasura is also found on the clay tablets of Mesopotamia, Nisir, the name of the sea, where Gilgamesh goes on a series of trips to find his ancestor Utnapishtim, to whom eternal life is given. In 2016, I hypothesized that the “Epic of Gilgamesh” corresponds to the conditions in Indonesia, from descriptions such as full of noisy birds and cicadas, and the monkeys scream and scream in the trees.
Dhani Irvanto, June 2018
Di Hari Ulang tahun Pancasila ini, aku persembahkan setetes hikmah yang ku gali dari tanah air Ibu Pertiwi. Semoga menjadi amal jariah yang dapat mengantarkan bangsakita kepada kesadaran fitrinya. (Ahmad Yanuana Samantho bin Sukarya Danimihardja).
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Cover dan Daftar Isi Buku REvolusi
Silahkan di klik untuk Download file Pdf nya:
Revisi 6 Buku Revolusi Mental Pancasila
Pengantar Latar
Azyumardi Azra, CBE*
Abstract
Indonesia in under President Joko Widodo and Vice President M. Jusuf Kalla faces not only economic challenge, but also political, social, cultural and religious challenges. In these last contexts, Indonesia has been very fortunate to be a Unitary Republic (NKRI) with the National Constitution of 1945, Pancasila, and Bhinneka Tunggal Ika—the last two are the constitutional basis of a multicultural Indonesia. These basic principles, however, need to be revitalized in order for Indonesia to be able to progress and, more importantly, remain integrated towards 2045, when the nation-state will celebrate its centeninal.
—
Membayangkan Indonesia sepanjang 2015-2045 di bawah kepemimpinan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, satu abad/milenium Indonesia pada 2045, yang merupakan masa yang tidak terlalu jauh dan juga tak terlalu panjang, hampir bisa dipastikan mengandung lebih banyak kontinuitas. Pada saat yang sama, berbagai bentuk perubahan juga berlangsung, meski boleh jadi tidak terlalu bersifat transformatif revolusioner.
Perkembangan Indonesia pada tahun-tahun 2015-2045 masih sangat dipengaruhi dinamika dalam kehidupan politik dan ekonomi. Komposisi kekuatan politik baik pada lembaga legislatif (DPR RI) dan eksekutif (Presiden) akan banyak mempengaruhi dinamika politik. Begitu pula corak kepemimpinan nasional yang telah dihasilkan Pilpres 2014, 2019. 2024 dan seterusnya menjadi faktor sangat menentukan bukan hany perjalanan politik Indonesia, tapi juga ekonomi, sosial dan budaya menuju 2045.
Dinamika politik jelas pula sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi sepanjang 2015-2045. Indonesia dapat memiliki postur ke dalam dan keluar lebih kuat, jika kegaduhan politik dan saling sandera di antara berbagai kekuatan politik sepanjang periode 2014-2019 berkurang sehingga memungkinkan konsentrasi lebih besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK dengan gabungan kekuatan politik pendukung yang relatif lebih sedikit dibandingkan koalisi Prabowo-Hatta yang dikalahkannya pada Pilpres 2014 memerlukan upaya keras untuk dapat menarik sebagian kekuatan politik ‘Koalisi Merah Putih’ ke pangkuannya.
Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang meningkat saja tidak cukup, bahkan dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun—sedikitnya stagnan. Karena itu perlu akselerasi prasyarat yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, khususnya dengan pengembangan infra-struktur semacam jalan raya, ‘tol laut’, penambahan atau pengembangan kapasitas listrik, pelabuhan, bandara dan seterusnya.
Selain itu pertumbuhan ekonomi mesti disertai peningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat—khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan yang cenderung terus meningkat jumlahnya. Jelas, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pemerataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan, dapat meningkatkan gejolak ketidakpuasan masyarakat kelas bawah, khususnya buruh dan petani. Kejengkelan sosial (social resentment) yang tidak terkendali hampir bisa dipastikan dapat menimbulkan peningkatan kekerasan dan bahkan mungkin juga ‘revolusi sosial’ (social revolution) di tempat dan daerah tertentu yang termasuk kategori rawan.
Dalam keadaan seperti itu, kehidupan sosial budaya dapat terus mengalami disorientasi lebih luas. Proses globalisasi yang terus meningkat sejak awal Milenium 2000 tidak dapat dihentikan dan sangat sulit ditangkal. Sementara itu, ketahanan sosial-budaya nasional (socio-cultural resilience) hampir tidak dilakukan secara sistematis—karena tidak adanya strategi kebudayaan yang jelas—sehingga menimbulkan banyak ironi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya saja, kian banyak masyarakat Indonesia yang terlihat semakin dekat kepada agama dan melakukan banyak ritual keagamaan, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk tindakan koruptif dan maksiat tetap merajalela. Terlihat jelas pula, budaya kewargaan (civic culture) dan ‘keadaban publik’ (public civility) terus merosot.
Pancasila: Tantangan Ideologi Trans-Nasional
Masa 2015-2045 tetap mengundang keprihatinan dalam hal penguatan semangat kebangsaan dan kesatuan. Jika friksi politik terus terjadi sejak masa reformasi dan kini terus meningkat dalam masa pasca-Pilpres 2014, tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan adanya upaya sistimatis untuk memperkuat kembali faktor-faktor pemersatu (integrating forces) yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa-bernegara, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Khusus tentang dasar negara Indonesia, dalam berbagai forum diskusi dan seminar, sebagai narasumber saya berulangkali mendapat pertanyaan dari audiens tentang relevansi Pancasila dalam menghadapi berbagai tantangan ideologis lain, khususnya yang bersifat trans-nasional yang masih terus dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, katakanlah untuk periode 2015-2045.
Pertanyaan tersebut muncul jelas karena adanya keprihatinan melihat berbagai realitas, kondisi dan tantangan sosial, budaya dan politik yang dihadapi negara-bangsa Indonesia—baik secara internal maupun eksternal—yang kelihatan seolah-olah membuat tidak lagi relevan dan kondusif untuk berbicara mengenai Pancasila. Apalagi kalau kita terus berkeinginan agar Pancasila tetap menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi bagi Indonesia hari ini dan 100 tahun ke depan dan beyond.
Pada saat yang sama, dalam iklim kebebasan dan demokrasi masa pasca-Soeharto, orang atau kelompok manapun masih saja dengan bebas mengembangkan berbagai corak dan ekspresi sosial, budaya dan politiknya yang sering tidak sesuai dengan keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Seperti disinggung di atas, banyak kalangan warga dan masyarakat Indonesia mengalami disorientasi sosial, budaya, politik, dan bahkan keagamaan. Serbuan pandangan dan gaya hidup dalam aspek-aspek kehidupan tersebut mengalami globalisasi sehingga mengakibatkan kian tergerusnya banyak nilai positif dalam sistem dan tradisi sosial, budaya dan politik yang telah indigenous di Indonesia.
Pada saat yang sama dan terus melintasi masa lima tahun ke depan dan selanjutnya, ideologi-ideologi trans-nasional radikal yang tidak sesuai dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan Indonesia tetap berusaha keras merekrut warganegara dengan menggunakan berbagai retorik yang seolah-olah membenarkan argumen dan logika mereka. Pemerintah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak melakukan apa-apa atau bahkan sering seolah tidak berdaya apa-apa untuk mengkonter ideologi dan penyebaran berbagai bentuk ideologi dan gerakan transnasionalisme tersebut.
Ideologi dan gerakan trans-nasional yang menantang dan ingin mengganti dasar negara Pancasila tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam berbagai bentuk. Pertama, paham dan gerakan transnasional radikal, yang bergerak di bawah tanah, yang bahkan melakukan tindakan kekerasan dan terorisme, seperti al-Jama’ah al-Islamiyyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang kemudian terpecah—memunculkan Jamaah Ansharut Tauhid )JAT). Ketika kelompok yang dalam dan satu hal sering disebut terkait dengan al-Qa’idah, yang bertujuan membentuk semacam ‘Kekhalifahan Nusantara’ di Asia Tenggara. Belakangan ini juga muncul gerakan ISIS/IS dari wilayatimur Syria dan barat-utara Iraq yang juga mendeklarasikan diri sebagai ‘khilafah’ atau ‘dawlah Islamiyah’. Gerakan radikal dan brutal IS ini ternyata berhasil mendapat dukungan dari segelintir kalangan Muslim internasional, termasuk dari Indonesia.
Kedua, ideologi dan gerakan trans-nasional yang bergerak bebas secara terbuka, seperti Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang bertujuan untuk membangun ‘Kekhalifahan Internasional’ dan menegakkan syari’ah. Meski di banyak negara Timur Tengah dan Asia Tengah HT telah menjadi organisasi terlarang, di Indonesia HTI dapat memanfaatkan keterbukaan dan kebebasan demokrasi. Meski tidak berhasil mendapat dukungan signifikan dari kaum Muslimin Indonesia arus utama, HTI tetap aktif mengkampanyekan ‘syari’ah’ dan ‘khilafah’nya dalam ranah publik Indonesia.
Ketiga, paham dan gerakan trans-nasional yang lebih bersifat keagamaan dan cenderung non-politis seperti Jama’ah Tabligh, dan Ahmadiyah (keduanya asal India). Kedua kelompok ini lebih banyak mengkonsentrasikan kegiatan dalam kegiatan dakwah terhadap kaum Muslim lain atau internal di antara para jamaahnya sendiri. Mereka bergerak di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, melakukan kegiatan door-to-door mengajak kaum Muslimin Indonesia arus utama mengikuti mereka.
Tanpa perlu diskusi panjang lebar jelas paham dan gerakan trans-nasional menjadi tantangan bukan hanya terhadap realitas keagamaan (Islam) moderat Indonesia yang memiliki komitmen penuh pada UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila selain menjadi dasar negara, juga memiliki makna simbolik sangat signifikan.
Indonesia beruntung memiliki kaum Muslimin wasatiyah, jalan tengah’ yang tergabung dalam ormas-ormas Islam arus utama sejak dari NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nahdlatul Wathan sampai al-Khairat yang telah memiliki komitmen final pada keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Mereka berulang kali menegaskan misalnya bahwa Pancasila adalah bentuk final perjuangan kaum Muslimin Indonesia.
Dalam konteks itu, Pancasila merupakan salah satu simbol terpenting yang muncul dari perjalanan bangsa mewujudkan negara Indonesia yang bersatu berkat wawasan nasional dan kebudayaan yang kokoh. Dengan begitu dapat membuka jalan menuju kehidupan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera; dan lebih berbudaya (civilized), berharkat dan bermartabat dalam kancah internasional.
Simbolisme jelas sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan di masa depan. Sayang berbagai simbolisme penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, khususnya Pancasila—karena berbagai faktor—mengalami kemerosotan, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir, ketika Indonesia dalam penerimaan demokrasi yang lebih genuinedan otentik muncul berbagai ekses dan unintended consequencies.
Pancasila beserta ketiga prinsip dasar (yang sering juga disebut sebagai ‘pilar’) merupakan salah faktor pemersatu (integrating force) terpenting dalam kebangkitan negara-bangsa Indonesia sejak masa pasca-kolonialisme dan kemerdekaan. Pancasila memungkinkan berdiri dan bertahannya negara-bangsa Indonesia yang bersatu, yang tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.
Pancasila dalam pandangan saya merupakan sebuah blessing bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam berbagai segi dan aspek kehidupan. Meski Pancasila sekarang masih tetap jarang menjadi wacana publik, karena adanya semacam ‘trauma’ akibat penggunaan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan status quo politik pada masa Orde Baru, tetapi Pancasila telah membuktikan dirinya sebagai dasar negara dan kerangka ideologi yang feasible dan viable bagi negara-bangsa hari ini dan ke depan, bukan hanya dalam periode kepemimpinan nasional 2014-2019, tetapi untuk masa yang jauh lebih lagi, melintasi 17 Agustus 2045, ketika Republik Indonesia genap berusia 100—satu abad alias satu milenium.
Kelahiran Pancasila sebagai dasar negara dan common-platform dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia yang serba plural dan multi-kultural merupakan momentum dari tekad bersama bangsa Indonesia untuk tetap bersatu di tengah keragaman yang ada. Pancasila adalah kerangka dan dasar ideologis negara-bangsa Indonesia yang merupakan sebuah ‘deconfessional ideology’, ideologi yang tidak berbasiskan agama manapun. Tetapi, khususnya dengan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, Pancasila adalah sebuah ‘ideologi’ yang sesuai dan ‘bersahabat’ dengan agama. Sebagai ‘deconfessional ideology’, Pancasila adalah sebuah ‘blessing in disguise’—rahmat terselubung bagi umat beragama warganegara Indonesia.
Lebih jauh, dengan karakter Pancasila yang merupakan ‘religiously friendly ideology’ tidak ada alasan dan argumen yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lainnya, khususnya trans-nasionalisme keagamaan. Karena itulah setiap upaya mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lain bersifat trans-nasional—khususnya berbasiskan agama—tidak pernah mendapat dukungan dari mayoritas umat beragama; dan karena itu bound to fail.
Rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila sepanjang 2015-2045 tetap merupakan kebutuhan sangat mendesak, bukan hanya karena merosotnya faktor-faktor pemersatu lainnya (seperti negara, kesadaran historis pengalaman bersama, nasionalisme, dan sebagainya) tetapi juga—sebagaimana dikemukakan terdahulu—karena meningkatnya usaha dan penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional untuk mengganti NKRI dengan ideologi Islam dan sistem/entitas politik khilafah internasional atau khilafah regional. Lagi-lagi negara dan pemerintah sebelumnya tidak kelihatan tidak memiliki kemauan politik dan sekaligus cara tertentu untuk mencegah penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional semacam itu.
Selain itu, kita juga melihat meningkatnya gejala intoleransi terhadap perbedaan dan keragaman pandangan, khususnya dalam bidang keagamaan; gejala ini bahkan bahkan tidak jarang terwujud dalam berbagai bentuk radikalisme. Tawaran-tawaran instan yang ditawarkan ideologi dan gerakan trans-nasional bukan tidak mungkin mendapatkan kian banyak pendukung, ketika demokrasi multi-partai yang diterapkan sejak 1999 belum juga berhasil mendatangkan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, sangat esensial merevitalisasi Pancasila dan sekaligus menjadikan demokrasi sebagai ‘the only game in town’ dengan lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Memandang realitas tersebut, rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan yang dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana umum (public discourse), sehingga menguakkan kembali kesadaran publik tentang Pancasila dan posisinya yang begitu krusial dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Kedua, Pancasila seyogyanya dijadikan sebagai ideologi terbuka (open ideology) yang memungkinkannya untuk senantiasa ‘diperbaharui’ dan ‘dimaknai’ secara agar tetap kontekstual dan relevan menjawab berbagai tantangan yang terus berubah secara sangat cepat. Ketiga; melakukan reassesment atas pemaknaan Pancasila selama ini yang memungkinkan bagi kontekstualisasi Pancasila dalam meresponi dan menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Keempat; melakukan sosialisasi pemaknaan kontekstual Pancasila ke dalam berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan dan metode-metode baru yang berbeda dengan indoktrinasi dan regimentasi pada masa Orde Baru.
Menjadi Indonesia
Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai; dan bahkan boleh jadi tidak akan pernah selesai termasuk dalam kurun 2015-2045. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined communities—komunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia nampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal yang dasar dalam kehidupan kebangsaan.
Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, kelahiran Pancasila, imagined communitiesitu mengambil reka bentuk dasarnya dalam sebuah ‘negara-bangsa’ Indonesia merdeka dan berdaulat, perlu pengembangan imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke depan, dalam menginjak milenium kedua. Dengan begitu Indonesia tidak lagi sebagai ‘imagined communities’, tapi ‘actual communities’ yang terintegrasi secara solid, kokoh dan tangguh dalam kerangka NKRI dan Pancasila.
Dalam konteks itu, salah satu tantangan berat bangsa di hari kini dan ke depan melintasi 2014-2019 menuju 2045 adalah memperkuat kembali identitas bangsa atau identitas nasional, yang mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional 1908 dan terus menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan perumusan Pancasila yang kemudian mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan.
Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup: 1.Semangat kebangsaan (nasionalisme) Indonesia; 2.Negara-bangsa (nation-state) Indonesia; 3.Dasar negara Pancasila; 4.Bahasa nasional, bahasa Indonesia; 5.Lagu kebangsaan Indonesia Raya; 6.Semboyan negara, ‘Bhinneka Tunggal Ika’; 7.Bendera negara, sangsaka merah putih; 8.Konstitusi negara, UUD 1945; 9. Integrasi Wawasan Nusantara; 10.Tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral dari budaya nasional setelah melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai ‘mengindonesia’.
‘Mengindonesia’, menunjukkan proses yang pada dasarnya tidak pernah selesai sesuai dengan berbagai perkembangan dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Menjadi Indonesia, dengan demikian, jelas bukanlah sesuatu yang sudah selesai atau dibiarkan begitu saja (taken for granted). Sebaliknya, ‘mengindonesia’ mengisyaratkan proses mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai; sesuatu gambaran—atau bahkan impian—yang ingin diwujudkan secara bersama.
Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, ‘mengindonesia’ berarti proses-proses untuk menggapai dan mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil dan makmur; berharkat dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional. Proses-proses ‘mengindonesia’ ini mestilah dibangkitkan dan diakselerasikan kembali, sehingga ‘keindonesiaan’ dapat terus bertumbuh dan menguat.
Identitas nasional jelas tidak statis; proses ‘mengindonesia’ mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal. Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari ekonomi, politik sampai budaya, secara signifikan telah mengubah lanskap Indonesia. Akibatnya jelas, secara internal terjadi perubahan-perubahan yang tidak selalu menguntungkan penguatan identitas nasional.
Dalam dasawarsa terakhir, kita bisa menyaksikan terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik dan sosial-budaya baik pada tingkat nasional maupun lokal. Equilibrium belum juga tercapai dengan baik setelah Indonesia mengalami reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1999. Euforia politik dan demokrasi dengan berbagai eksesnya terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustrasi di kalangan masyarakat; rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam identitas nasional. Karena itu, pencapaian equilibrium dalam proses-proses politik demokrasi mestilah menjadi sebuah prioritas yang mendesak.
Hemat saya, ketika negara-bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat, atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi demi kepentingan nasional, maka suatu kekuatan sosial/politik dengan ideologis trans-nasional boleh jadi mengambilalih negara, dan menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas negara-bangsa Indonesia. Ini jelas merupakan ancaman serius bukan hanya bagi Pancasila, tetapi juga bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia; dan karena itu, berbagai langkah untuk revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila beserta ketiga prinsip dasar`negara-bangsa Indonesia mesti segera dilakukan, sebelum semuanya menjadi sangat sedikit dan amat terlambat (too litle too late).
Penutup
Indonesia yang sampai sekarang tetap bersatu bagi banyak orang di berbagai negara Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia tetap merupakan realitas yang sulit mereka pahami. Dari waktu ke waktu saya mendengar pernyataan kalangan terpelajar dari wilayah-wilayah tersebut tentang bagaimana mungkin sebuah negara yang terdiri dari begitu beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa dan agama bisa bersatu dalam sebuah negara-bangsa.
Karena itu, masih terdapat kalangan dalam dan luar negeri yang mencemaskan masa depan Indonesia. Apakah negara-bangsa Indonesia yang bersatu tetap masih ada pada 2045 nanti? Mereka yang skeptis membayangkan: ‘Jangan-jangan Indonesia hanya tinggal nama menjelang usianya satu milenium’.
Skeptisisme itu punya beberapa alasan. Tapi saya berpendapat, terdapat juga banyak alasan untuk optimis. Hemat saya, faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap bersatu tidak boleh diterima secara taken for granted; berbagai usaha harus tetap dilakukan agar Indonesia tetap utuh dan bersatu.
Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah di antara lautan, laut dan selat—menjadi benua atau negara maritim—memang sejak waktu yang lama sampai sekarang masih dianggap sebagai ‘keajaiban’ (miracle), misalnya oleh Edward Ellis Smith, Indonesia: The Inevitable Miracle (1973). Atau sebagai ‘tidak mungkin’ seperti terlihat dalam judul karya Elizabeth Pisani, Indonesia Etc.,: Exploring Improbable Nation (2014)—negara-bangsa yang tidak mungkin dibayangkan [bisa bersatu].
Indonesia yang beragam, bhinneka atau multikultural, dalam perspektif historis dan sosiologis Eropa sangat sulit dibayangkan bisa bertahan dalam waktu panjang. Pengalaman historis Eropa yang monokultural, tapi penuh perang intra-etnis Kaukasian (kulit putih), konflik intra-budaya dan intra-agama yang berdarah-darah abad demi abad. Tidak heran kalau Eropa terpecahbelah menjadi sangat banyak negara (kini 53 ditambah 6 wilayah protektorat). Perpecahan itu kini kelihatan belum berhenti. Ancaman separatisme untuk pembentukan negara baru terlihat di Flanders, berbahasa Flemish/Belanda dan Walloon yang berbahasa Prancis (keduanya di wilayah Belgia), Catalunya dan Basque (di kawasan Spanyol), Venesia dan Tyrol Selatan (di wilayah Italia), Pulau Korsika (termasuk Prancis)—untuk menyebut beberapa nama saja. Cukup banyak di antara negara Eropa yang telah lama eksis atau yang tengah berjuang memerdekakan diri berpenduduk hanya ratusan ribu orang.
Banyak kalangan Indonesia juga bisa merasa heran kenapa kawasan yang tidak begitu beragam, monokultural, cenderung mudah dan cepat terpecah belah. Padahal, masyarakat-masyarakat di wilayah tersebut secara historis dan sosiologis cenderung ‘seragam’ baik secara etnis atau ras, budaya dan agama.
Tetapi pengalaman historis, sosiologis dan keagaman itu, sering digunakan kalangan akademis dan pengamat Eropa untuk melihat Indonesia. Di antara mereka misalnya penulis Belanda, J.S. Furnivall dalam bukunya Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1939). Melihat Indonesia dari perspektif Eropa, Furnivall meramalkan skenario kehancuran (doomed scenario) bagi Kepulauan Indonesia. Menurut prediksi dia bekas wilayah Belanda (Nederland East Indies) ini menjadi berbagai kepingan ‘negara’ begitu Perang Dunia II usai karena tidak ada satu faktorpun yang bisa menyatukan seluruh suku bangsa dengan berbagai keragaman budaya dan agamanya.
Tapi Indonesia tetap bersatu, meski proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 disertai perang revolusi mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda kembali menguasai Indonesia. Negara-bangsa ini juga tetap bertahan ketika kalangan pengamat asing meramalkan Indonesia bakal mengalami ‘Balkanisasi’ berikutan krisis moneter, ekonomi dan politik 1997-1999. Mundurnya orang kuat Indonesia selama lebih tiga dasawarsa, Presiden Soeharto pada Mei 1998, memunculkan turbulensi politik sangat mencemaskan.
Indonesia tetap dalam kesatuan melewati masa sulit penuh turbulensi politik dan ekonomi itu sejak masa awal kemerdekaan, krisis ekonomi dan politik 1960-an dan terakhir 1997-1999. Kenapa bisa demikian? Penulis berargumen, ada sejumlah faktor historis, budaya, sosial dan keagamaan yang membuat Indonesia tetap bersatu dan utuh.
Dalam kaitan itu, penting mencatat pandangan Elizabeth Pisani, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia terlihat ‘kasual’ tapi menyenangkan, yang dengan ejaan lama terbaca: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya”. Djakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.
Kata ‘d.l.l’. (dan lain-lain) itu menurut Misha Glenny dalam harian The Guardian (24 Juli 2014) yang oleh Pisani dipakai sebagai anak judul bukunya, Indonesia Etc. sekali lagi merupakan cara kasual untuk menyatakan kemerdekaan sebuah negara bangsa. Kata ‘d.l.l.’ itu tidak jelas maksudnya; tidak tersirat sama sekali tentang negara-bangsa Indonesia yang dibayangkan. Juga tidak ada tentang identitas negara Indonesia; tapi banyak hal bisa tercakup di dalamnya
Kenapa Indonesia tetap bisa bersatu? Mereview buku Pisani, Joshua Kurlantzick dalam The New York Times (1 Agustus 2014) mencatat: ‘[Indonesia] has welded so much difference together through collectivism in villages and clans—collectivism that makes people more secure in their daily lives. Its citizens have generally fostered a level of cultural tolerance rare in such large nations’. Kolektivisme dan toleransi budaya [dan juga agama], itulah di antara faktor terpenting membuat Indonesia tetap bersatu.
**AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).
Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010).
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); dan Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA, 2010-12).
Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang).
Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies(Jakarta, 1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies(International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-16).
Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development(Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); dan editor, Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012. Lebih 30 artikelnya berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban. Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat MIPI Award’ dari Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIP). Selanjutnya, pada 18 September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi Fukuoka Prize 2014 Jepang atas jasa dan kontribusinya yang signifikan dalam peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya Asia.
dapat dikontak melalui azyumardiazra1@gmail.com / azyumardiazra1@yahoo.com
Bismillahirahmanirrahim, Allahuma Shalli ala Muhammad wa ala ‘Aaali Muhammad wa ajjil farojahum,
Sejak usia SMA di tahun 1980-an, ketertarikanku kepada pelajaran sejarah sudah mulai tumbuh dalam sanubariku yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Kekaguman kepada tokoh-tokoh pahlawan bangsa seperti Bung Karno (Ir. Ahmad Soekarno) and Bung Hatta (Mr.Muhammad Hatta), mengisi ruang batinku yang sedang mencari role model di kala masih remaja. Semakin dalam mempelajari sejarah bangsaku, semakin dalamlah kecintaan kebangsaanku, apalagi ketika menyadari bahwa ada beberapa leluhur, kakek dari ibuku dan bapakku yang juga turut mengukir sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa di masa-masa perjuangan kemerdekaan RI dengan keringat, ilmu dan darah mereka, hingga gugur syahid di tahun-tahun 1942-1946. Begitu juga ketika cerita para pahlawan nasional Indonesia dari berbagai daerah dan suku bangsa ikut membentuk karakter dan memompa semangatku untuk melestarikan semangat juang meneruskan misi perjuangan mereka untuk memerdekakan negara bangsa Indonesia tercinta ini. Bung Karno terkenal pernah menyadarkan bangsa Indonesia untuk tidak melupakan sejarah bangsanya: “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah), adalah jargon sang Proklamator Kemerdekaan RI itu.
Kecintaan terhadap kajian sejarah semakin menguat ketika kusadari bahwa sejarah tak hanya menghidangkan imajinasi dan kegairahan romantika perjuangan bangsa. Kajian sejarah juga memberikan banyak pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, keberanian, kecintaan kepada keadilan dan kebenaran serta semangat perlawanan terhadap kezaliman para penjajah bangsa. Lebih dari itu, kajian sejarah yang mendalam telah mulai kurasakan dapat memberikan banyak jawaban dan cara pandang terhadap berbagai persoalan kekinian dan kedisinian yang dihadapi bangsa kita saat ini. Apa lagi bahwa ternyata pelajaran agama Islam yang kemudian juga kudalami pun banyak sekali mementingkan kisah sejarah sebagai suatu bahan pelajaran. Inilah pelajaran yang mengungkapkan adanya hukum-hukum sejarah universal, pelajaran tentang cinta terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan, tentang kecintaan yang melampaui diri, keluarga dan lingkungan sempitku sebelumnya.
Masa-masa pertumbuhan intelektual dan keruhanianku dalam keluarga, dan masyarakat dalam berhadapan dengan tantangan konteks realitas dan problem kehidupan ideologi-politik-ekonomi-sosial-budaya-pertahanan-keamanan nasional Indonesia di zaman pemerintahan Orde Baru Soeharto (1965-1998), membuatku semakin bertanya-tanya tentang hakikat sejarah perumusan dasar falsafah bangsa Indonesia dan apa makna Panca Sila yang sebenarnya? Berbagai problem kebangsaan: otoritarianisme/kesewenang-wenangan-kezaliman politik, korupsi-kolusi dan nepostisme (KKN) & kekuasaan oligarki neo-imperialisme yang mengurita pada rezim Orde Baru Soeharto pada tahun 1980-1990-an, kurasakan bertentangan sekali dengan tafsiran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Panca Sila), yang ironisnya justru saat itu diwajibkan penatarannya kepada setiap siswa dan mahasiswa serta semua warga negara Indonesia. Perkuliahanku di Fakultas Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung di tahun-tahun 1980-an pun tak juga memuaskan dahaga batin dan pikiranku, sehingga akhirnya kutinggalkan begitu saja di semester 7 untuk memulai pengembaraan intellektual dan ruhaniku yang baru dari satu tempat diskusi ke tempat lainnya, dari satu kelompok pengajian ke kelompok pengajian lainnya, dari pesantren ke pesantren, dari kampus ke kampus, bertemu berbagai guru dari satu negeri ke negeri lain.
Kegelisahan intelektual-spiritual yang mempertanyakan jati diri bangsa Indonesia ini akhirnya mengantarkanku bertemu dengan berbagai pemikiran filosofis dan sumber informasi tentang cerita sejarah peradaban awal umat manusia di Atlantis, yang berasal dari Plato, Sang Filosof Yunani Abad 4 SM. “Masa Aha” ini kutemukan akhirnya setelah menyelesaikan studi Ilmu Politik Administrasi Pembangunan di Universitas Terbuka Indonesia dan mulai kuliah paskasarjana (S-2) Filsafat Islam di Islamic College for Advanced Studies London, yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta tahun 2003. Lebih menakjubkan lagi, pada tahun 2005 saya membaca buku karya Prof.Dr. Arisyio Nunes des Santos dari Brazil dalam bukunya ”Atlantis, The Lost Continent Has Finnaly Found, The Definitive Localization of Platos Lost Civilization”, yang menyimpulkan bahwa Indonesia adalah lokasi bekas Benua Atlantis yang hilang itu (setelah 30 tahun penelitiannya yang komprehensif-holistik-multidisipliner). Menurut Santos, lokasi bekas peradaban Atlantis — yang tenggelam 11.600 tahun yang lalu itu – akhirnya ditemukan lokasinya di tatar benua Sunda (Sunda Land) atau Nusantara.
Kegelisahan terhadap kondisi kehidupan bangsa Indonesia ini jugalah yang kemudian mengantarkanku mengkaji Filsafat Islam dan Ilmu Tasawuf (Islamic Mysticism) di Islamic College for Advance Studies (ICAS)-Universitas Paramadina Jakarta tersebut dan di International Center for Islamic Studies (ICIS) di kota suci Qom, Republik Islam Iran.
Tapi perjalanan intelektual dan spiritual tak bisa berhenti hanya di situ. Kegelisahan intelektual dan spiritual dalam usaha menjawab berbagai pertanyaan dan menghadapi problem kebangsaan itu, menuntunku kepada pencarian “kearifan puncak dan abadi (perennial)” dari khazanah berbagai peradaban, agama-agama dan tradisi-budaya lokal umat manusia di berbagai penjuru dunia.
Pelajaran sejarah peradaban umat manusia begitu mempesonaku. Mimpi-mimpiku dalam tidur maupun jaga, atau antara tidur dan terjaga, semakin menyedot perhatianku, dan perhatian cukup banyak orang yang tiba-tiba saja kutemukan, kepada suatu pencarian spiritual-intelektual dan fakta-fakta historis serta artefak-arketipe Atlantis/Atlas/Atala/Andalas. Minat dan intensitas kajianku terhadap Atlantis menghantarkanku, di awal tahun tahun 2009 lalu, berkenalan dengan 3 orang anak muda sarjana yang telah mengaku menemukan jejak situs replika Kerajaan Atlantis (Kandis) di tengah Pulau Sumatra, dekat Sungai Kuantan Singgigi, di perbatasan Sumatra Barat, Jambi dan Pekanbaru, di Pulau Sumatra. Lalu, tanpa terduga, aku berkenalan dengan beberapa orang lainnya: ada orang tua sepuh, ada beberapa anak muda bersemangat dengan serangkaian visi yang fokus dan jernih, baik visi filosofis, visi religius maupun visi mistisnya.
Ada apa gerangan? Pak tua yang arif, yang tanpa sengaja kutemui dan berkenalan di forum kajian agama Islam di Universitas Paramadina Jakarta, di akhir tahun 2008 itu, dalam makalahnya yang khusus diberikannya untukku, meramalkan kebangkitan kembali spiritualisme yang paripurna di abad milenium ketiga ini di Nusantara. Menurut Bapak Tato Sugiarto, Kebangkitan spiritualisme di Nusantara itu berbasis soft power: ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi transendental, yang akan mengiringi kebangkitan kembali Imam Mahdi al-Muntadzar dan turunnya Nabi Isa (Jesus) al-Masih, yang diikuti kehadiran Sang Satrio Piningit, Sang Ratu Adil, yang akan menggantikan dan menguburkan rezim global yang zalim.
Kegelisahan itu pulalah yang sebelumnya mengantarkan kepenasaranku membaca Novel “NEGARA KE-5” karya Es Ito, terbitan Penerbit Serambi, Jakarta, 2005. Lalu muncul pertanyaan dalam benak batinku, adakah hubungan Atlantis di Nusantara dengan Kerajaan Kandis di dekat Sungai Kuantan Singgigi di Riau-Pekanbaru itu? Adakah hubungan Kandis dengan mitos setempat tentang adanya kaum “siluman ruh harimau” yang abadi, yang konon berkhidmat kepada para pemimpin bangsa Atlantis? Adakah Atlantis itu peradaban yang dibangun Nabi Adam AS, yang dilanjutkan oleh Nabi Idris AS (Hermes Trimegistus/Henockh), Nabi Nuh AS dan Nabi Sulaiman AS, sebagaimana diceritakan dalam kitab-kitab suci? Dan apakah itu semua terkait erat dengan sejarah para Nabi-Allah lainnya di muka bumi.
Adakah semua itu terkait dengan kearifan abadi/perrennial (Sophia Perennialism ) berbagai agama dan tradisi dunia, yang ternyata kemudian saya temukan punya satu akar benang merah yang sama, sumber dan akar Ketuhanan yang sama dari berbagai agama besar dunia: Hindu, Budha, Zoroaster, Yahudi, Konfusianisme-Taoisme, Kristen-Nashrani dan Islam bahkan Filsafat-ideologi Pancasila sebagai basis yang membangun peradabannya?
Adakah semua itu terkait dengan sila-sila dalam Panca Sila seperti: “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan” dalam Pancasila.” Hikmah kebijaksanaan yang muncul dari konsep kesadaran “Bhineka Tunggal Ika” atau “Al–Katsrah fi al–Wahdah” atau “Al–Wahdah fi al-Kastrah” (Unity in Plurality/Diversity, Diversity/Plurality in Unity ), konsep “Wahdat al-Wujud” dalam tradisi filsafat-Tasawuf Islam, atau konsep “Manunggaling Kawulo-Gusti” dan“Sangkan Paraning Dumadi“dalam khazanah Ilmu Suluk/Makrifat Kejawen (Kaweruh Jawi), atau konsep “Parahyangan” dan “Sang Hyang Widi Wasa” dalam kosmologi-teologi Sunda Wiwitan?
Adakah semua pertanyaan dan hal itu terkait dengan penemuan dan teori kontroversial KH Fahmi Basya, yang mengatakan bahwa kerajaan negeri Saba-nya Ratu Bilqis adalah berlokasi di Wono Sobo, dari zamannya Ratu Boko, yang peninggalan bekas keratonnya (Candi Boko) masih tersisa di selatan Candi Prambanan Yogyakarta? Adakah itu terkait penemuan dan teori kontroversial KH Fahmi Basya, bahwa Candi Borobudur adalah salah satu bangunan peninggalan Kuil Nabi Sulaiman dan tahta kerajaan Ratu Balqis (Boko) yang dipindahkan seperseribu detik kejapan mata oleh “Hamba Tuhan YME” yang berilmu pengetahuan dari al-Kitab Suci Ilahiyah? Bolehkah kita bertanya agak nyeleneh dan kritis terhadap sejarah kita untuk membentuk sejarah baru di masa depan?
Adakah juga cerita tenggelamnya benua Atlantis di Nusantara itu terkait dengan atau dapat menjelaskan berbagai fenomena gejolak alam yang akhir-akhir ini semakin menggeliat dan menjadi bencana di negeri Indonesia; gempa bumi, tsunami, rangkaian letusan gunung berapi, longsor, banjir, semburan gas dan lumpur gas dari perut bumi di Sidoarjo, dll.
Sebagian besar pertanyaan-pertanyaan di atas telah menemukan jawabannya, yang oleh saya sajikan dalam buku bunga rampai ini.
Sebelumnya, di awal tahun 2010 saya dan teman saya Kang Oman Abdurahman dari Badan Geologi Bandung (sekarang 2017-2018 menjabat sebagai kepala Museum Geologi Bandung) merancang sebuah konferensi internasional yang kami beri judul: International Conference on Nature, Philosophy and Culture of Ancient Sunda Land, yang alhamdulillah dapat terselenggara dengan sukses pada tanggal 25-27 Oktober 2010, tujuh tahun yang lalu. Konferensi Internasional yang mengangkat isu tentang Peradaban Atlantis Nusantara (Sunda Land) dan tradisi-budaya Sunda Kuno itu, difasilitasi oleh Kantor Dinas Parawisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (atas dukungan Wakil Gubenur waktu itu Bapak Dede Yusuf dan Pak Bob Sulaeman Effendi), dengan dukungan penuh dari Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO-PBB (KNIU) pimpinan Pak Prof.Dr. Arif Rahman Hakim.
Syukur Alhamduillah kami dapat menghadirkan pembicara penting (nara sumber) pada konferensi internasional yang digelar di Hotel Salak Bogor, yaitu beberapa tokoh ilmuwan dunia seperti Prof.Dr. Stephen Oppenheimer dari Universitas Oxford Inggris – penulis buku “Eden in The East”, Mr.Frank Joseph Hoff – Direktur Atlantis Publication dari Washington USA, yang menerbitkan buku karya almarhum Prof.Dr. Arisyio Nunes des Santos, dan Captain Hans Berekoven dan istrinya Rozeline Berekoven dari Australia – peneliti dari Southern Sun: Atlantis Archaeological Project, serta Sauntara Subramain Velu, Raj Pilai, dkk, para peneliti bahasa dan budaya Dravida dari Singapore. Serta beberapa pakar ahli geologi, arkeologi, antropologi, sejarawan dan budayawan Sunda, dari Indonesia, seperti Prof. Dr. Adjat Sudrajat, Prof. Dr. H.M. Ahman Sya, Prof. Dr. RP Koesoemadinata, Prof. Dr. Agus Aris Munandar, Abah Hidayat Suryalaga (Budayawan Sundanolog, kini Almarhum), Dr. Hasan Djafar, Dr. Radhar Panca Dahana, dll.
Selain menjadi team perumus konsep-proposal dan panitia pengarah pada konferensi itu, saya Ahmad Yanuana Samantho, bersama rekan senior saya Oman Abdurahman, M.Sc, Oki Oktariadi, MT, Dr, Gugun Gumilar, juga menjadi moderator pada beberapa sesi konferensi tersebut. Beberapa makalah konferensi tersebut juga menjadi sebagian sumber rujukan dalam buku ini.
Tujuan
Hasil Penelitian sejarah dan filsafat-ideologi yang ditulis dalam buku ini mencoba untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis berbagai bencana, problema dan krisis multidimensi global manusia modern dan apa penyebab utamanya secara prinsipil?
Setelah kita mengidentifikasi dan mengelaborasi problema dan krisis modernisme, penulis berusaha mencari alternatif paradigma baru untuk memecahkan berbagai masalah ini dari akarnya, berawal dari saran resep yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr di abad modern ini, dan juga oleh para bijak berstari serta para orang suci serta Nabi Allah Tuhan YME sepanjang sejarah kemanusiaan di dunia ini. Inilah yang dimaksud dengan Revolusi Mental, khususnya kajian buku ini mengarah kepada Revolusi Mental–Pemikiran dan Budaya Pancasila.
Penelitian yang mendahului proses penulisan buku ini didahului oleh penelitian thesis magister filsafat Islam saya. Penulis, juga akan menganalisa, sejauh mana hal ini terhubung dengan beberapa kesadaran baru, Sophia perennialism dan mysticism (traditional sacred science) yang telah bermunculan dan lahir kembali di zaman kontemporer mutakhir ini? Bagaimanakah hal ini terkait dan relevan dengan kemunculan teori fisika baru Quantum Physics dan pandangan kosmologis baru? Dapatkah filsafat (termasuk science) dan agama bersatu dan menjadi harmonis dalam sebuah paradigma baru yang integral holistic di masa depan untuk efektif mengatasi problem kemanusiaan di era post modern kini.
Jawaban nyata atas pertanyaan dan masalah ini, diharapkan akan menawarkan layanan bagi basis intelektual, filosofis dan spiritual untuk memecahkan masalah secara radikal dan fundamental. Dengan kata lain, penelitian ini akan menyajikan saran untuk mengaktualisasikan atau meng-aktivasi “pergeseran revolusioner paradigma ” menuju paradigma holistik dan integral untuk memahami Realitas: integrasi dan harmonisasi antara ajaran Tuhan Allah Sang Maha Pencipta, manusia dan alam semesta, dalam sudut pandang Filsafat Islam Nusantara atau Pandangan Dunia (weltanschaung) Islam Nusantara dan Falsafah Ideologi Perennial Pancasila – Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dhama Mangrwa ( yang artinya: “Beraneka ragam realitas makhluk/fenomena alam adalah berasal dari Tuhan Yang Maha Esa/Tunggal Ika, dan akan kembali kepada Tuhan YME/Yang Tunggal Ika tersebut. Dan tidak ada kebenaran /dharma) yang mendua /mangrwa )
Penelitian ini juga mencoba untuk mengungkap dan mendeskripsikan beberapa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan penemuan terbaru seperti terkait dengan teori Fisika Quantum dan beberapa fakta yang mengarah untuk membuka realitas alam semesta dan spiritual makhluk yang tidak terpisahkan. Sejalan dengan kemajuan ilmu baru pada Quantum Physic, penelitian ini juga mencoba untuk menyajikan kesinambungan dan hubungan antara fakta & teori dengan beberapa pendekatan pengajaran mistis yang dilayani oleh tasawuf dan Irfan (Mistisisme Islam) dan spiritualisme-mistisisme agama-agama dan kepercayaan tradisional lainnya. Penelitian ini juga akan menyajikan dan menguraikan dan wacana penting tentang hubungan antara ilmu pengetahuan, tradisi budaya dan agama sebagai konsekuensi dari penelitian inti keseluruhan dalam penulisan buku yang dikembangkan dari thesis magister program ini.
Signifikansi
Buku ini yang dikembangkan dari hasil penelitian Kuliah Program Magister Filsafat Islam (2010), tentu sangat penting dan akan memberikan banyak manfaat dan signifikansi untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa depan kita. Setidaknya hasil penelitian ini sangat signifikan untuk meningkatkan dan melakukan dekonstruksi pemikiran Modernisme Barat Materialisme, yang berlanjut pada reformulasi (dan rekonstruksi) dari paradigma kita secara filosofis holistic (menyeluruh). Pada gilirannya, pada tingkat epistemologi dan aksiologi, pendekatan paradigma holistik dan integral ini dan nilai-nilai dalam pencerahan Filsafat Islam dan Tasawuf Islam (Irfan & Tasawuf) serta berbagai kearifan perennial tradisional Nusantara, dapat memecahkan banyak masalah manusia modern secara bertahap, baik untuk tujuan individu dan juga dalam sistem ideologi-politik-sosial-ekonomi-budaya-Pertahanan dan Keamanan Nasional di dalam supremasi percerahan terbaru dan penguatan falsafah ideologi Pancasila, dan peradaban Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih baik.
Lebih spesifik, manfaat yang saya harap dapat tercapai setelah thesis dan buku ini diselesaikandan diterbitkan adalah hasil penelitian ini dapat berfungsi sebagai pedoman untuk menyusun ulang filsafat ilmu kita (atau minimal kajian ontologi dan epistemologinya). Kemudian kita dapat menjabarkan pandangan dunia baru dan ideologi, yang dapat memainkan peran penting sebagai pedoman untuk proyek rekonstruksi kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan baru dan teknologi untuk keperluan pendidikan dan akademik menuju rekonstruksi peradaban manusia terbaru, dalam cahaya misi Islam Rahmatan lil ‘Alamin atau Hamemayu Hayuning Bawono, Hamengku Buwono, paku Buwono, Sunda Sa’amparen Jagat, Ngertakeun Nusantara Shanti, Pancasila Bhineka Tunggal Ika.
Tentu saja ada telah ada beberapa studi yang berkaitan dengan kritik pada modernisme menurut pandangan Seyyed Hossein Nasr, seperti apa yang teman penulis di ICAS–Universitas Paramadina Jakarta, Dr. Humaedi MA telah tulis dalam thesisnya berjudul: “Konsep Nasr dalam Knowledge: Pengetahuan Sakral, kontribusi kepada Epistemologi Modern.” Ada beberapa studi yang juga berkaitan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr dan kritiknya kepada modernisme dan post modernisme sangat berguna untuk penelitian penulis sebagai referensi, terutama untuk pemahaman dan deskripsi latar belakang thesis penulis & rumusan masalah yang akan penulis pelajari.
Penelitian thesis penulis lebih fokus pada relevansi resep Nasr atau saran untuk mempromosikan ilmu pengetahuan suci atau pandangan tradisional spiritual agamis dan mistisisme atau esoterisme sebagai kebijaksanaan abadi (Sophia Perennis) untuk memecahkan masalah modernisme dan postmodernisme.
Paradigma alternatif tentang Sacred Science dan Perennial Wisdom ini akan diikuti oleh elaborasi penulis terkait dengan kecenderungan terbaru dan wacana dalam pengembangan atau penemuan ilmu fisika baru terutama dalam teori fisika kuantum yang memiliki hubungan yang kuat dengan kesadaran (consciousness) yang baru dalam ilmu: filsafat ilmu pengetahuan integral dan holistik dan pandangan agama (Paradigma holistik-Integral), serfta Kearifan Perennial Suci Trasional Nusantara: “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dhama Mangrwa.” Pendekatan dan pilihan topik ini, saya pikir masih unik dan memiliki studi asli di bidang penelitian Filsafat Islam Nusantara.
Sumber utama saya untuk penelitian thesis filsafat Islam dan Perennial Nusantara ini adalah beberapa buku penting dan mendasar di antara keduanya dari Seyyed Hossein Nasr seperti “The Plight of Modern Man” and “The Need for A Sacred Science”, “The Knowledge and The Sacred”, “Ideal and Reality” and “Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, Philosophy in The Land of Prophecy”, Pantun Bogor, Uga Wangsit Siliwangi, Siksa Kanda‘ng Karesian, Babab Tanah Jawi, Naskah WangsaKerta, Kaweruh Kiageng Suryo Metaram, Peradaban Atlantis Nusantara, Eden in The East, dan berbagai informasi dari situs internet, dll.
Sumber-sumber primer akan dibandingkan, dielaborasi dan dikompilasi dengan sumber-sumber sekunder yang terkait dengan wacana tentang wacana Perennialisme, ilmu pengetahuan dan agama, teori fisika baru Quantum Physic, seperti: “The Greatest Achievement in Life: Five Traditions of Mysticism, Mystical Approaches to Life”, oleh R.D Krumpos; “Tawheed and Science: Essays on The History and Philosophy of Islamic Science” oleh Osman Bakar; “Nature, Human Nature and God, …”, (terjemahan Indonesianya berjudul: “Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama”) oleh Ian G Barbour; “The Web of Live, A New Synthesis of Mind and Matter”, oleh Fritjof Capra; and “The Holy Quran and The Sciences” by Mehdi Golshani; “Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami” oleh Armahedi Mahzar MA, sebagaimana dapat kita lihat dalam daftar pustaka saya (referensi) di halaman terakhir dari thesis ini, serta beberapa artikel yang memuat kearifan lokal Nusantara sebagai warisan budaya dan Peradaban Adiluhung Nusantara yang masih tersisa, yang bisa menjadi contoh betapa Leluhur Nusantara sudah mewariskan Kearifan Perennial dan Traditional Sacred Science tersebut.
Semoga apa yang disajikan dalam buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam mengenai sejarah besar peradaban bangsa Nusantara Atlantis ini, demi kepentingan pembangkitan kembali jati diri bangsa Indonesia dan national character building, dalam mewujudkan misi Rahmatan lil ‘Alamin, kedamaian dan kesejahteraan dunia.
[1] (Bahan untuk Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia, Hotel Mercure, Jakarta, 28-30 November 2014)
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Cover dan Daftar Isi Buku REvolusi Mental Pancasila
Silahkan di klik untuk Download file Pdf nya:
Revisi 6 Buku Revolusi Mental Pancasila
1 jam ·
Masih berduka dengan wafatnya Dawam Rahardjo. Saya ingin berbagi cerita mengenai bagaimana mas Dawam meminati studi al-Qur’an.
Sebagai seorang ekonom, apalagi sangat kuat menggunakan pendekatan ekonomi-politik, yang historis-struktural, dan termasuk orang pertama di Indonesia yang menggunakan pendekatan ini, ketertarikan Dawam pada studi al-Qur’an memang mengherankan, dan tidak lazim. Tidak ada satu pun, intelektual Muslim Indonesia yang ahli ekonomi politik, yang memasuki studi al-Qur’an. Hanya Dawam Rahardjo. Utamanya ini terjadi bersamaan dengan ia menjadi Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), setelah berakhirnya jabatannya sebagai Direktur LP3ES.
Cerita awalnya, sewaktu menjadi Direktur LSAF, pada 1989, Dawam memunyai ide membuat sebuah jurnal peradaban. Awalnya ide jurnal ini, ia tawarkan ke Paramadina, ketika sebentar Dawam menjadi Direktur Pelaksana Paramadina, dengan nama Jurnal Paramadina. Tapi rupanya ide ini tidak berhasil menjadi kenyataan. Walaupun simulasi jurnalnya sudah dibuat. Maka ide ini, ia lanjutkan di LSAF.
Pengambilan nama “Ulumul Qur’an” yang arti literalnya adalah “ilmu-ilmu al-Qur’an” pun agak aneh, Karena lazimnya ini adalah bidang studi yang mengkhususkan diri pada al-Qur’an, yang secara tradisional sudah mapan. Tapi Dawam dengan ide “modernisnya” menganggap bahwa harusnya semua studi peradaban masuk ke dalam “Ulumul Qur’an”. Alasannya sederhana, karena untuk seorang Muslim, sumber nilai dan ide-ide perabadan ada dalam al-Qur’an.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Maka jadilah sebuah jurnal peradaban, yang didalamnya berisi berbagai isu kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Apa pun pemikiran, dalam kategori kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bisa masuk dalam jurnal ini.
Minat mas Dawam pada studi al-Qur’an memang sudah berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Ia misalnya mulai mengusahakan adanya “komputerisasi al-Qur’an” (bayangkan ketika era digitalisasi belum seperti sekarang). Kedua ia juga membuat, bersama kawan-kawan dekatnya, sebuah Kongres al-Qur’an. Kongres al-Qur’an itu dilaksanakan bersama seminar-seminar mengenai al-Qur’an, pada menjelang akhir 1980-an, di mana Dawam pada waktu ini mulai menulis artikel-artikel tentang metode menafsirkan al-Qur’annya, yang nanti akan menjadi hal yang rutin diimplementasikan secar tematis setiap tiga bulan, yaitu ketika menulis dalam rubrik “ensiklopedi al-Qur’an” (1989 – 1998).
Selanjutnya pada 1989 itu, Dawam pun bersama kawan-kawan dekatnya menerbitkan jurnal, yang dijiwai oleh semangat al-Qur’an yang sudah didalaminya, yang tidak sempit, dogmatis. Saya masih ingat, sewaktu mas Dawam memberi nama jurnalnya “Ulumul Qur’an” ini, muncul banyak kritikan. Dalam kata-kata Dawam waktu itu, “Namanya Ulumul Qur’an, tapi kok tidak banyak mengulas mengenai pengertian al-Qur’an yang tradisional, lantas apa relevansinya? Jurnal inikan tidak ada kaitannya sama sekali dengan ilmu-ilmu al-Qur’an!”
Bagi mas Dawam, penamaan Ulumul Qur’an memang hanya simbolis saja, dan kalau dipikirkan secara tradisional, memang tidak lazim. Dawam membayangkan sebuah jurnal yang diberi nama Ulum al-Qur’an itu harusnya isinya sangat luas, dengan memfokuskan pada ilmu dan kebudayaan, lewat spirit mengembangkan budaya Al-Qur’an.
Memang ide memberi nama jurnal “Ulumul Qur’an” itu sendiri muncul dari mas Dawam. Dan ketika muncul “kontroversi” penamaan dan visi jurnal ini, Dawam berkonsultasi pada Quraish Shihab, dan KH. Ali Yafie, yang keduanya juga akan menjadi Dewan Editor. Mereka pun menyetujui penamaan itu.
Akhirnya diterbitkanlah nomor perdana, di mana Dawam membagi rubrik jurnal ini dalam lima bidang yang sebenarnya masuk dalam istilah sekarang “studi Islam”, yaitu pertama mengenai tafsir al-Qur’an itu sendiri. Kedua, kajian mengenai tradisi Islam. Ketiga, isu-isu kontemporer, misalnya, isu-isu kebudayaan, keilmuan, dan kesusastraan, dan yang terakhir futurologi, yaitu studi mengenai masa depan. Dalam pandangan mas Dawam, “Ulumul Qur’an”, isinya mencakup lima bidang ini.
Maka sejak nomor perdana, terbit UQ, begitu singkatan nama jurnal ini, sejak 1989 sampai akhir hayatnya 1998. Pada era 1990-an ini tidak ada satupun jurnal
Islam yang mumpuni. Jurnal ini pun menjadi sebuah oase pemikiran Islam yag unik. Dawam mengulang lagi prestasi membangun sebuah jurnal prestisius setelah “Prisma” di LP3ES sebagai jurnal ilmu-ilmu sosial, dan sekarang ke sebuah jurnal studi Islam.
Saya merasa bersyukur, terlibat sejak awal sebagai editor, bersama Hadimulyo, Ahmad Rifa’i Hasan editor rubrik khususnya mas Dawam, yaitu “Ensiklopedi Al-Qur’an”, Abdul Hadi WM, M. Syafii Anwar, Ihsan Ali-Fauzi, Saeful Munjani, Nurul Agustina, Simon Syaefudin, Asep Usman Ismail, Edy A Effendi dan beberapa kawan lagi yang lebih muda menyusul. Maka jadilah UQ sebagai jurnal pemikiran Islam yang prestisius pada waktu itu. Mereka yang menulis di Jurnal UQ ini, akan merasakan kebanggaan, karena tulisannya dibaca oleh peminat studi Islam di seluruh Indonesia.
Hal lain yang membahagiakan saya selanjutnya terkait dengan UQ ini adalah izin mas Dawam pada saya yang sempat sebelumnya menjadi wakil pemimpin redaksi UQ, untuk mendisain artikel-artikel tematisnya dalam rubrik “Ensiklopedi al-Qur’an” itu menjadi sebuah buku tebal, yang kemudian didisain sungguh-sungguh sebagai ensiklopedi, dan diberi judul sama seperti rubrik itu, “Ensiklopedi al-Qur’an” – Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Di era itu memang sedang berkembang model penafsiran tematis atau “Tafsir Maudlu’i” akibat pengaruh seorang ahlu tafsir al-Qur’an terkemuka, Quraish Shihab. Maka melalui kerja editorial yang sangat menantang pada tahun 1997, saya memberanikan diri menyunting berdasarkan suatu konsep sebuah ensiklopedi, artikel-artikel tematis al-Qur’an Dawam, sehingga menjadi buku “utuh” Ensiklopedi al-Qur’an. Buku ini kemudian diterbitkan di Paramadina, tempat saya bekerja untuk Nurcholish Madjid, setelah 5 tahun sebelumnya bekerja untuk mas Dawam (1990 – 1995). Dan dengan Ensiklopedi Al-Qur’an ini, Dawam pun menjadi salah satu mufasir al-Qur’an Indonesia terkenal, yang lahir tidak dari tradisi pesantren, IAIN, atau perguruan tinggi Islam lannya. Tafsirnya sangat unik, bergenre sosial. Tidak ada yang melakukan cara ini pada waktu itu.
Yang mengherankan dari mas Dawam ini, sebagai mufasir, ia tidak menerapkan keilmuannya yang melekat kuat pada dirinya ketika ia di LP3ES dan Prismanya, yaitu ekonomi-politik yang “kekiri-kirian”. Sampai sekarang, saya masih terus bertanya mengapa Ensiklopedi al-Qur’annya Dawam ini tidak didisain sebagai manifesto sebuah Teologi Pembebasan di Indonesia, yang itu seharusnya merupakan kelanjutan logis saja dari Dawam yang “kiri” – “Islam Semangka” istilah yang terkenal pada waktu itu. Kulit luarnya hijau, yaitu Islam. Tapi dalamnya merah, yaitu Marxis.
Setelah mempelajari Ensiklopedi al-Qur’annya Dawam, sampai kata-perkata, saya berani menyimpulkan, bahwa pikiran-pikiran mas Dawam dalam Ensklopedi al-Qur’an ini, “Tidak lebih dari catatan kaki atas pikiran-pikiran Quranik Nurcholish Madjid”. Ini aneh untuk seorang Dawam Rahardjo yang telah menempa dirinya menjadi inspirator “Islam Kiri” di Indonesia, yang disebutnya sendiri sebagai “Islam Transformatif”. Melalui Ensiklopedinya ini, ia melanjutkan dengan penuh semangat “Islam Peradaban”-nya Cak Nur.
Memang tidak mudah menghancurkan pemikiran Nurcholish, bahkan seorang Dawam yang memunyai kesadaran paradigmatik Teologi Pembebasan, akhirnya terserap juga pada ide-ide peradaban “Neo-Modernis” Cak Nur yang mulai menghegemoni pemikiran Islam di Indonesia pada era 1990-an.
Di akhir hayatnya, mas Dawam melanjutkan ide-ide Cak Nur, sampai pada tingkat yang tak terbayangkan oleh Cak Nur sendiri. Bahwa Islam di Indonesia hanya akan maju, kalau bisa menerima yang ia sebut “Trilogi Pembaruan Islam” yaitu Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Sesuatu yang pada pembaruan Islam Cak Nur, dikatakannya dengan sangat hati-hati, bahkan ditolaknya karena begitu kontroversial, dan bercitra buruk. Ketiga terma pemikiran tersebut adalah “kata kotor” dalam pemikiran Islam kontemporer. Uniknya Dawam memberi argumen yang mendalam dan mencerahkan untuk meyakinkan kita bahwa ide-ide tersebut sangat penting, dan akan menentuk masa depan Islam Indonesia, berhadapan dengan ide-ide khilafah Image may be NSFW.
Clik here to view.Image may be NSFW.
Clik here to view.Image may be NSFW.
Clik here to view.Image may be NSFW.
Clik here to view.Image may be NSFW.
Clik here to view.Image may be NSFW.
Clik here to view.
Lahu al-Fatihah, untuk mas Dawam Rahardjo.
Uraian tentang pikiran keislaman mas Dawam, menurut mas Dawam sendiri, lihat:
http://sejuk.org/…/empang-tiga-dan-komunitas-epistemik-isl…/