Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

MAKNA TEMBANG MACAPAT

$
0
0

sabdalangit's web: Membangun Bumi Nusantara yang Berbudi Pekerti Luhur

TRIWIKRAMA

Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari   alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama…

Lihat pos aslinya 2.591 kata lagi


Jalan Setapak Syekh Siti Jenar

$
0
0

Masjid Agung Demak. FOTO/commons.wikimedia.org

28 November 2017
Dibaca Normal 3 menit
Ajaran tasawuf yang diyakini Syekh Siti Jenar ditentang oleh Walisongo. Mati adalah hukuman yang dirasa paling pantas untuknya.
tirto.id – Suatu hari di Istana Argapura, Giri (Gresik), para wali dan sejumlah tokoh penting menggelar sarasehan. Telah hadir Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Tan Go Wat alias Syekh Bentong, Pangeran Palembang, Panembahan Madura, hingga Syekh Lemah Abang.

Masing-masing hadirin bergantian memaparkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang agama atau hal-hal lainnya. Saat tiba giliran Syekh Lemah Abang, ia berucap dengan mantap:

“Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku’-nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. Dengan demikian, hambalah yang berkuasa, dan yang menghukum pun hamba juga.” (Ngabei Ranggasutrasna, dkk., Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, 1991:120-123).

Kata-kata itu membuat forum riuh seketika. Beberapa orang menuding Syekh Lemah Abang berdosa besar karena menyamakan dirinya dengan Tuhan. Banyak pula yang menyebutnya keblinger, terlalu jauh dalam memaknai tasawuf.


Syekh Lemah Abang tetap tenang. Dengan kalem, ia menjawab segala tudingan yang diarahkan kepadanya itu, “Biar jauh tapi benar, sementara yang dekat belum tentu benar.”

Suasana kembali ramai. Beberapa wali memperingatkan bahwa pemikiran Syekh Siti Jenar itu bisa berdampak hukuman mati karena melenceng dari Islam (Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, 2007:11).

Baca Juga: Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit

Pandangan Syekh Siti Jenar dianggap mengancam proses tumbuh-kembang Islam yang sedang subur-suburnya di Jawa selepas runtuhnya Majapahit itu. Apalagi Syekh Siti Jenar punya banyak murid dan pengikut yang beberapa di antaranya cukup berpengaruh.

Sosok sufi yang memantik kontroversi di kalangan Walisongo dan kaum ulama serta tokoh-tokoh penting dalam pusaran kekuasaan di pusat peradaban Jawa itulah yang juga dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar.

Jejak Syekh Siti Jenar

Keberadaan Syekh Siti Jenar secara fisik masih menjadi perdebatan. Lokasi di mana jasadnya dikebumikan setelah dihukum penggal pada masa-masa akhir kepemimpinan Raden Patah (1475-1518) selaku penguasa Demak pun masih simpang-siur.

Yang menjadi pegangan bahwa Syekh Siti Jenar memang pernah hadir dan berperan penting adalah peninggalan ajarannya yang disebut pupuh atau ajaran budi pekerti. Beberapa sumber lama berupa babad maupun serat merekam apa saja yang dipelajari, diyakini, dan dijalankan Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat itu.

Syekh Siti Jenar diyakini berasal dari Persia (Iran), lahir sekitar 1404 M. Ia berguru kepada ayahnya, Sayyid Shalih, yang dikenal sebagai ahli tafsir kitab suci. Konon, Jenar sudah hafal Alquran sejak usia 12 tahun (Shohibul Farojo Al-Robbani, Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, 2013:1474).

Dirunut dari silsilah, para pengikutnya yakin bahwa Syekh Siti Jenar keturunan langsung Nabi Muhammad melalui jalur Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, 1995:49).

Pada usia 17 tahun, Jenar tiba di Kepulauan Nusantara, mengikuti ayahnya berdagang sekaligus berdakwah di Malaka. Ayah Jenar lalu diangkat sebagai mufti (ulama yang berwenang menafsirkan kitab dan memberikan fatwa kepada umat) oleh penguasa Kesultanan Malaka saat itu, yakni Sultan Iskandar Syah (1414-1424).

Baca Juga: Seabad Malaka Berjaya, Kemudian Musnah

Setelah Sultan Iskandar Syah meninggal dunia, Sayyid Shalih pindah ke Cirebon pada 1425 dan dipercaya sebagai penasihat agama kesultanan di sana, bersama Maulana Malik Ibrahim atau yang kelak dikenal sebagai Sunan Gresik.

Sayyid Shalih wafat di Cirebon. Jenar pun ditunjuk sebagai penerusnya. Inilah mengapa Abdul Munir Mulkhan (1999:50) dalam Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa menyebut Jenar merupakan keturunan bangsawan Cirebon sebelum datang ke Demak.

Di Demak yang merupakan pusat ajaran Islam di Jawa, Jenar berguru kepada sejumlah wali, termasuk Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Mohammad Zazuli dalam Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan (2011:18), meyakini bahwa Jenar juga sempat berguru kepada pertapa Hindu/Buddha. Dari sinilah ia mulai mengenal konsep manunggaling kawula gusti.

Kendati demikian, perlu untuk dipahami bahwa mistisisme dalam Islam, yang dikenal sebagai tasawuf atau sufisme, sudah muncul jauh sebelumnya. Beberapa mistikus Islam sudah berperan dan memainkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia Islam, bahkan sudah muncul sejak abad-abad pertama perkembangan Islam.

Manunggaling Kawula Gusti

Syekh Siti Jenar bermukim di Jepara, memimpin pondok pesantren. Suatu kali, ketika Jenar sedang mengajar santri-santrinya di dalam masjid, tiba rombongan dari Demak. Ada Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Geseng (Raden Mas Cakrajaya), dan lainnya. Mereka datang untuk menyampaikan titah dari Raden Patah, Sultan Demak.

Sunan Bonang berucap salam. Tapi salam itu rupanya tidak terdengar karena suasana yang sedang ramai oleh para santri. Merasa tidak dihargai, Sunan Bonang naik pitam dan mendatangi Syekh Siti Jenar seraya berkata keras:

“Wahai Jenar yang sedang berada di alam kematian. Hentikan sejenak pengajaranmu. Jangan kau teruskan mengajar murid-muridmu!” bentak Sunan Bonang (R. Sasrawidjaja, Serat Syaikh Siti Jenar, 1958:48).

Rupanya kedatangan para ulama sekaligus politisi berpengaruh dari Demak itu atas perintah Raden Patah. Sang sultan mendapatkan kabar bahwa apa yang diajarkan oleh Jenar terindikasi telah menyimpang dari ajaran Islam.

Baca Juga: Tjokroaminoto, Ratu Adil, Mesias, dan Titisan Dewa Wisnu

Infografik Syekh Siti Jenar

Para wali dan ulama di wilayah kekuasaan Demak kala itu, termasuk Syekh Siti Jenar, hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara Jenar dikabarkan sudah berani memberikan materi tentang ilmu ma’rifat dan hakikat.

Digelarlah forum sebagai ajang pertanggungjawaban atas keyakinan Jenar itu. Sebagian besar anggota Walisongo hadir dan “mengeroyok” Jenar dengan melancarkan berbagai argumen tentang ketuhanan.

Bagi Syekh Siti Jenar, inti paling mendasar tentang syahadat dan tauhid adalah manunggal (bersatu). Artinya, seluruh ciptaan Tuhan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan, manunggaling kawula gusti. Para wali beramai-ramai menyanggah keyakinan Jenar itu.

“Allah adalah yang bewujud haq,” kata Sunan Gunung Jati.

“Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya,” tandas Sunan Bonang.

“Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan,” imbuh Sunan Giri.

“Allah itu adalah seumpama (dalang) memainkan wayang,” sambung Sunan Kalijaga.

Sebagai penegas sekaligus sabda pamungkas, Sunan Kudus mengatakan, “Adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama (manusia).”

Namun, Syekh Siti Jenar tetap bertahan dengan keyakinannya. “Tak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati,” balasnya (R. Tanaja, Suluk Walisanga, 1954:54).

“Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada zat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh (manusia itu sendiri),” lanjut Syekh Siti Jenar.

Masih panjang paparan Jenar tentang konsep ketuhanan versinya yang oleh Walisongo disebut musyrik karena menganggap diri sebagai Tuhan. Jenar sebenarnya hanya ingin meyakinkan bahwa manusia dan Sang Pencipta suatu saat akan bertemu dan bersatu.

Dan, forum diskusi itu pun beralih fungsi menjadi persidangan. Dengan suara bulat memutuskan bahwa Syekh Siti Jenar harus diproses hukum, kemungkinan besar hukuman mati.

Vonis mati dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar dalam sidang para wali yang dipergelarkan di Cirebon (Achmad Chodjim, 2007:13). Belum dapat dipastikan, kapan tepatnya nyawa Jenar dipungkasi, diperkirakan antara tahun 1515 hingga 1517.

Baca Juga: Pesona Ratu Harisbaya Memicu Konflik Sumedang vs Cirebon

Sosok pasti Syekh Siti Jenar memang masih menjadi misteri. Namun, berdasarkan penemuan jejak pemikirannya yang kemudian dirangkum oleh berbagai sumber berupa babad, serat, kitab, atau bentuk referensi lainnya, Jenar tidak pernah takut mati, justru itulah yang diyakininya sebagai titik kesempurnaan manusia.

“Syukur jika saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati… Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas di alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng, tiada ini dan itu.” (R. Sasrawidjaja, 1958:20).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id – Humaniora)

Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS

Sumber: https://tirto.id/jalan-setapak-syekh-siti-jenar-cAMA

Hidup Bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram

$
0
0
24 Maret 2018
Dibaca Normal 4 menit
Pangeran Suryomentaram adalah putra Sultan Hamengkubuwana VII yang memilih keluar dari istana dan hidup sebagai rakyat jelata. Ia kemudian mendalami spiritualitas.
tirto.id – Perjalanan singkat dari Yogyakarta ke Surakarta pada awal abad ke-20 itu telah membuka mata hati Pangeran Suryomentaram. Di dalam gerbong kereta api, sang pangeran tertegun kala memandang ke luar, melihat para petani yang sedang bekerja di sawah. Begitu sederhananya mereka, berbeda dengan kehidupan yang dijalaninya di istana selama ini.

Sekembalinya di kraton, Pangeran Suryomentaram menjadi sering gelisah. Beberapa kali ia pergi untuk menenangkan diri. Terkadang berziarah ke gua-gua yang dulu kerap dikunjungi leluhurnya, atau ke pantai selatan. Di tempat-tempat sunyi itulah, salah seorang anak kesayangan Sultan Hamengkubuwana VII (1877-1921) ini bermeditasi demi ketentraman jiwanya yang terus saja bergejolak.Hingga suatu hari, sang pangeran sudah tidak tahan lagi. Ia pergi meninggalkan istana dan berjalan sendirian, tanpa mengenakan pakaian yang menunjukkan bahwa ia seorang putra raja, hanya membawa bekal secukupnya saja.

Kegelisahan Sang Pangeran

Bernama kecil Raden Mas Kudiarmadji, Pangeran Suryomentaram merupakan anak ke-55 Sultan Hamengkubuwana VII. Ia lahir di lingkungan Kraton Yogyakarta tanggal 20 Mei 1892. Ibunya adalah salah satu istri selir raja, yakni Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danureja VI.

Pangeran Suryomentaram memutuskan pergi tanpa pamit setelah permintaannya ditolak oleh sang ayah. Ia meminta agar diizinkan menanggalkan gelar pangeran, namun Sultan Hamengkubuwana VII tidak menyetujuinya.

Setelah Pangeran Suryomentaram pergi, barulah Raja Yogyakarta itu menyesal. Sultan Hamengkubuwana VII kemudian mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk mencari di mana keberadaan sang putra kesayangan itu (Fudyartanto, Psikologi Kepribadian Timur, 2003:152).

Sampai pada suatu ketika, salah seorang utusan raja melihat sosok yang mirip dengan pangeran yang sedang dicari-cari. Namun, orang itu sangat kumal laiknya rakyat miskin kebanyakan, sedang bersama-sama kuli lainnya menggali sumur di suatu desa kecil di wilayah sebelah barat Yogyakarta.

Sang utusan raja memberanikan bertanya kepada orang itu, menanyakan namanya. Dijawab bahwa ia bernama Natadangsa. Mendengar suara yang ditanya, utusan raja itu semakin yakin bahwa Natadangsa tidak lain adalah Pangeran Suryomentaram.

Maka, dengan hormat, Natadangsa dimohon pulang ke istana karena telah membuat ayahanda dan ibundanya khawatir. Lantaran kedoknya terbongkar, Natadangsa terpaksa menurut, dan mengikuti utusan itu kembali ke Kasultanan Yogyakarta.

Natadangsa alias Pangeran Suryomentaram hidup serabutan selama masa pengembaraan itu. Selain terkadang menjadi kuli, ia juga bekerja apa saja untuk sekadar bertahan hidup. Jualan batik dan buruh tani pernah dilakoninya.

Di istana, ia lagi-lagi tidak betah karena merasa tidak cocok dengan kehidupan mewah sebagai anak raja. Cobaan bagi Suryomentaram bertambah setelah sultan menceraikan ibundanya dan membebas-tugaskan kakeknya, Patih Danureja VI, disusul dengan kematian istrinya. Namun, demi menghormati sang ayah, Pangeran Suryomentaram sebisa mungkin bertahan.

Sultan Hamengkubuwana VII –yang sebenarnya sudah turun takhta sejak 29 Januari 1921– wafat pada 30 Desember 1931. Dituliskan oleh Prof. Dr. dr. Daldiyono (2014) dalam buku Ilmu Slamet, Suryomentaram turut mengusung jenazah sang ayah, namun tidak mau mengenakan pakaian kebesaran pangeran, melainkan memakai baju lusuh, bahkan bertambal-sulam (hlm. 18).

Dalam perjalanan pulang dari pemakaman, Suryomentaram memisahkan diri dari rombongan dan singgah di sebuah warung. Ia memesan pecel, makan dan duduk lesehan bersama rakyat jelata. Sontak, kelakuan itu membuat para pangeran lainnya merasa malu. Mereka bahkan menyebut Suryomentaram sudah gila.

Menanggalkan Gelar Ningrat

Setelah ayahandanya meninggal dunia, Pangeran Suryomentaram memohon kepada saudara tirinya yang sudah bertakhta menjadi raja, Sultan Hamengkubuwana VIII (1921-1939), agar diizinkan meninggalkan istana.

Pangeran Suryomentaram merasa “tidak pernah bertemu orang” selama hidup di lingkungan istana. Orang yang ia maksud adalah rakyat yang sebenarnya, orang-orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, orang-orang yang hidup sederhana dan apa adanya.

Oleh Sultan Hamengkubuwana VIII, permohonan Suryomentaram dikabulkan. Bahkan, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberinya uang pensiun lantaran berstatus sebagai pangeran. Namun, uang tersebut ditolak oleh Suryomentaram karena ia merasa tidak pernah bekerja untuk pemerintah kolonial.

Sebelum pergi, Suryomentaram menjula seluruh harta benda yang dimilikinya. Uang hasil penjualan mobil diberikan kepada sopirnya, sedangkan hasil penjualan kuda diberikan kepada abdi dalem yang selama ini merawat kuda tersebut (Daldiyono, 2014:19).

Dengan berbekal uang secukupnya, Suryomentaram meninggalkan kraton untuk keduakalinya, barangkali kali ini untuk selama-lamanya karena ia memang tidak pernah berniat kembali ke istana. Gelar pangeran pun kini benar-benar ditinggalkan, ia mengganti namanya menjadi Ki Ageng Suryomentaram.

Ki Ageng Suryomentaram berjalan jauh menuju ke utara, dan membeli sebidang tanah di Desa Beringin, Salatiga. Di sana, ia hidup dengan bercocok tanam sebagai petani, bergaul dengan rakyat jelata, menjalani kehidupan sebagai orang biasa.

Meskipun mengasingkan diri, namun Ki Ageng Suryomentaram tetap menjalin relasi dengan beberapa pangeran yang memilih menepi seperti dirinya, termasuk Ki Hajar Dewantara, Ki Sutapa Wanabaya, Ki Prana Widagdo, Ki Prawira Wirawa, Ki Suryadirja, Ki Sujatmo, Ki Subono, dan Ki Suryaputra. Mereka membentuk perkumpulan dan menggelar sarasehan rutin setiap malam Selasa Kliwon.

Masing-masing tokoh ini punya tugas sesuai spesialisasinya. Ki Hajar, misalnya, memperoleh bagian di bidang pengajaran, dengan mendidik anak-anak muda yang ikut dalam sarasehan tersebut. Pangeran dari Kadipaten Pakualaman bernama asli Soewardi Soerjaningrat ini adalah pendiri Perguruan Taman Siswa (Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, 1986:10).

Infografik Ki ageng suryomentaram

Merumuskan Ilmu Bahagia

Ki Ageng Suryomentaram sendiri tertarik mempelajari ilmu jiwa atau psikologi. Ia mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan manusia dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan, demikian menurut J.B. Adimassana dalam buku Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia (1986: 23).

Adimassana menambahkan, pemahaman Ki Ageng Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap diri sendiri. Ia merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Ki Ageng Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.

Dari eksperimen tersebut, Ki Ageng Suryomentaram menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari dunia yang melingkupinya. Manusia selalu bergaul dengan lingkungan di sekitarnya dan selalu terkait dengan itu, yang kemudian menunjukkan perilaku manusia tersebut.

Alasan itulah yang membuat Pangeran Suryomentaram sungguh-sungguh mantap keluar dari istana, dari lingkungan kraton yang bermewah-mewahan. Ia ingin bersatu dengan alam dan kehidupan manusia yang sebenar-benarnya sehingga antara dirinya dengan lingkungan yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan, baik lahir maupun batin.

Ki Ageng Suryomentaram, seperti yang tertulis dalam buku Puncak Makrifat Jawa: Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram (2012) karya Muhaji Fikriono, sangat yakin bahwa untuk memahami manusia yang universal cukup dengan mengamati dan menyadari rasa yang ada pada diri sendiri.

Apa yang didalami Ki Ageng Suryomentaram itu dikenal dengan istilah kawruh jiwaatau kawruh begja (ilmu bahagia). Ia menjadikan metode itu sebagai perangkat analisis olah rasa untuk mengembangkan kualitas hidup dengan landasan introspeksi diri (Abdul Kholik & Fathul Himam, “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram”, dalam Gadjah Mada Journal of Psychology, Mei 2015, hlm. 122).

Meskipun mendalami ilmu kebatinan, namun Ki Ageng Suryomentaram menghindari unsur mistik atau klenik, ia berangkat dari hal-hal yang nyata dan ilmiah. Oleh karena itu, Ki Ageng Suryomentaram memilih memakai kata kawruh yang lebih rasional daripada kata ngelmu yang lekat dengan konteks mistis.

Rasa bahagia, bagi Ki Ageng Suryomentaram, berasal dari diri manusia itu sendiri. Ada tiga unsur utama yang ada dan kekal dalam diri manusia, yang oleh Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai “Zat, Kehendak, dan Aku”. Ketiga unsur ini merupakan asal dari segala sesuatu.

“Zat itu ada, tidak merasa apa-apa dan tidak merasa ada. Kehendak itu ada, merasa apa-apa, dan tidak merasa ada. Aku itu ada, tidak merasa apa-apa, dan merasa ada,” demikian rumusan bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram, dikutip dari Al-Ikhlash: Bersihkan Iman dengan Surah Kemurnian (2008: 176) karya Achmad Chodjim.

Ki Ageng Suryomentaram menebarkan apa yang dipelajarinya dengan memberikan ceramah di berbagai tempat. Bahkan, ia pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Merdeka Jakarta pada 1957. Kepada Ki Ageng Suryomentaram yang menghadap dengan pakaian sederhana, Bung Karno meminta nasihat dalam mengelola negara.

Sebelum wafat pada 18 Maret 1962, Ki Ageng Suryomentaram telah menghasilkan sejumlah karya yang ditulis dalam bahasa Jawa, seperti Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa, dan lainnya. Ajaran kebahagiaan Ki Ageng Suryomentaram hingga kini terus dipelajari dan diterapkan oleh komunitas budaya yang tersebar di sejumlah tempat di Jawa.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya

(tirto.id – Sosial Budaya)

Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

https://tirto.id/hidup-bahagia-ala-ki-ageng-suryomentaram-cF81

Perma Culture: Gerakan pertanian Mandiri Alami Terpadu

$
0
0

Perma Culture: Gerakan Pertanian Mandiri Alami Terpadu

Sirno Ilang Kertaning Bumi, Mencermati Sirnanya Bangsa dan Reinkarnasi Bentuk Baru

$
0
0
Sirno Ilang Kertaning Bumi, Mencermati Sirnanya Bangsa dan Reinkarnasi Bentuk Baru

Haris Rusly Moti/Net

KELENGKAPAN peradaban sebuah bangsa persis seperti manusia juga. Setiap manusia, juga bangsa, pasti dilengkapi baik oleh raga maupun jiwa. Di dalamnya lalu ditiupkanlah ruh yang suci untuk menghidupkan.

Ruh yang suci itu tak jelas wujudnya, juga tak bisa dibentuk. Ruh tak mengenal kebangsaan, tak berjenis kelamin. Ruh juga tak akan mengalami korosi, berkarat. Oleh para ilmuan disebut sebagai “partikel Tuhan” yang menghidupkan setiap makhluk hidup.

Jiwa yang Berkarat

Berbeda dengan ruh, jiwa manusia dan jiwa bangsa dapat berubah, dapat berkarat, dapat dibentuk. Pada dasarnya jiwa manusia dibentuk oleh medan ekosistem tempatnya hidup. Demikian juga sebuah bangsa, ia juga mempunyai jiwa dan kepribadian yang dibentuk oleh medan ekosistemnya.

Baik jiwa manusia maupun jiwa bangsa, keduanya melewati proses pembentukan, yang tak pernah berakhir, sejak kelahirannya hingga musnah atau wafat. Sejarah dan pengalaman jatuh bangun, juga turut menempa, mengkonsolidasikan dan membentuk karakternya.

Namun demikian, setiap manusia dan setiap bangsa mempunyai kapasitas karakter dan kepribadian yang berbeda satu dengan lainnya. Kapasitas jiwa atau karakter tersebut yang membedakan satu individu atau suatu bangsa dengan individu atau bangsa lain.

Ada manusia yang kapasitas jiwanya sangat lemah dan tak berkarakter. Persis seperti tisu yang mudah sekali sobek, jika tersiram air langsung hancur, ditiup angin langsung terbang. Tapi ada juga manusia yang kapasitas jiwanya sangat kuat, ulet dan berkarakter, persis seperti baja.

Demikian juga ada bangsa yang kapasitas jiwanya sangat kuat, berkarakter, ulet dan tangguh, tak gampang diombang-ambingkan oleh gelombang, badai, guncangan hingga patahan sejarah.

Namun, ada banyak bangsa yang kapasitas jiwanya sangat lemah dan kerdil, menjadi jiwa-jiwa budak, bebal dan bejat. Bangsa seperti itu bagaikan kapal tanpa nakhoda dan penunjuk arah, jatuh ke dalam nasib yang diombang-ambingkan oleh angin dan badai di lautan tak bertepi.

Jika belajar kepada pengalaman pribadi, kita dapat menyimpulkan bahwa kekuataan seorang manusia sesungguhnya tidak terletak pada kekuatan fisik, yang ditunjukan dengan tubuhnya yang tambun, kekar berotot dan suaranya yang menggelagar.

“Orang yang sedang mengalami gangguan jiwa otomatis kehilangan kekuatannya.” Baik manusia maupun sebuah bangsa, walaupun anggota badannya masih lengkap, ruhnya juga masih menetap di dalam tubunya, tapi jika kehilangan jiwanya, pasti kekuatannya jadi lumpuh dan tumpul.

Demikian juga, ketika jiwa seorang manusia atau sebuah bangsa, jika mengalami korosi atau berkarat, maka sebagaimana besi yang berkarat, jiwa dari manusia atau bangsa tersebut otomatis akan tumpul dengan sendirinya.

Namun, jika ditempa hingga menemukan kembali kemurnian jiwanya yang hilang, yang menjadi jati dirinya, maka akan bangkit dan memancar kembali kekuatan energi dari dalam dirinya.

Tidak sedikit dari bangsa di dunia yang dilengkapi secara sempurna oleh anggota badan dan ruh yang membuatnya hidup. Bangsa tersebut mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas, jumlah penduduk yang banyak, serta sumber daya alam yang melimpah.

Namun, sayangnya tak sedikit dari bangsa tersebut yang tak mempunyai kapasitas jiwa yang membentuk karakter kepribadiannya. Akibatnya, nasib bangsa tersebut justru jatuh menjadi perkakas dan budak yang dieksploitir oleh bangsa lain.

Reinkarnasi dalam Wujud Baru

Jika oleh berbagai sebab, kapasitas jiwa dan raganya sudah tak lagi layak huni. Ketika ruh yang menghidupkan bangsa tersebut dapat tercerabut, pergi meninggalkan jiwa dan raganya dalam wujud dan bentuk yang lama. Maka, runtuh dan sirnalah peradaban bangsa tersebut dari muka bumi.

Kita dapat mengambil contoh pelajaran terkait runtuh dan sirnanya peradaban sebuah bangsa, yaitu dengan memotret periode akhir kekaisaran Majapahit. Ketika itu, ruh dari imperium besar itu tercerabut meninggalkan jiwa dan raganya,

Melalui sengkalan yang berbunyi “sirno ilang kertaning bumi”, hilang dan lenyap ditelan bumi, jelas menggambarkan keadaan ketika itu yang sangat perih dan menyakitkan, ketika ruh dari emperium Majapahit itu pergi meninggalkan jiwa dan raganya.

Sengkalan tersebut oleh para sejarawan ditafsirkan sebagai tahun finalisasi keruntuhan peradaban Majapahit, yaitu diperkirakan sekitar tahun 1400 saka atau bertepatan dengan 1478 masehi.

Kisah tersebut mengirim pesan kepada kita bahwa tanah air Indonesia yang kita diami saat ini, sebagiannya merupakan bekas dari wilayah kerajaan Sriwijaya, bekas dari wilayah kekaisaran Majapahit, serta tanah bekas dari ratusan peradaban besar maupun kecil, yang pernah lahir, berjaya dan runtuh di sini.

Sesungguhnya tanah air kita, bangsa kita, bukan bangsa yang baru lahir tahun 1928 dan merdeka tahun 1945. Kita adalah bangsa yang cukup tua peradabannya, telah puluhan kali berganti wujud dan bentuk entitas politiknya.

Di atas tanah bekas wilayah dari berbagai peradaban sebelumnya yang telah hancur dan sirna, maka para pendiri bangsa kita lalu membangun kembali peradaban dalam bentuk dan wujud yang baru.

Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Soedirman dan seluruh pendiri bangsa dan negara hanya mengkonsolidasikan kembali sebuah bentuk dan wujud baru berdasarkan jiwa lama, dan di atas tanah dan wilayah yang lama.

Ruh dari peradaban bangsa di nusantara ini telah berulangkali pergi meninggalkan wujud dan bentuknya yang lama. Kemudian reinkarnasi, lahir kambali, dalam bentuk dan wujudnya yang baru.

Ketika Majapahit runtuh dan sirna ditelan bumi, maka ruhnya kemudian reinkarnasi ke dalam wujud dan bentuknya yang baru, yaitu Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tahun 1945.

Jika tak cermat, tak ada usaha, tak ada pengorbanan dan persatuan dari kaum muda, maka ruh itu pun dapat pergi meninggalkan bentuk dan wujudnya saat ini. Meninggalkan Indonesia. [***]

Penulis Adalah Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP)

http://www.rmol.co/read/2018/04/02/333459/Sirno-Ilang-Kertaning-Bumi,-Mencermati-Sirnanya-Bangsa-dan-Reinkarnasi-Bentuk-Baru-

Diskusi Sejarah Peradaban Dunia dan Atlantis Nusantara

$
0
0

Diskusi Sejarah Peradaban Dunia dan Atlantis Nusantara di Pondok Pesantren Al Wafa, Tempurejo, Jember, Jawa Timur.

MARI MEMAHAMI  Sejarah ARVA-STHAN (ARaBA-STHAN) – catatan sejarah P.N OAK

$
0
0
Suryaning Dewanti menambahkan 2 foto baru — bersama LQ Hendrawan dan 36 lainnya.
23 jam · 

MARI MEMAHAMI 
Sejarah ARVA-STHAN (ARaBA-STHAN) – catatan sejarah P.N OAK

(tulisan PN . OAK ini mungkin masih menjadi sebuah wacana yang ditutup-tutupi oleh beberapa pihak)

Arva berasal dari bahasa sansekerta yang artiya adalah KUDA.
Sthan juga merupakan bahasa sansekerta yang artinya TANAH
Jadi Arvastand atinya adalah Tanah Kuda (Banyak sekali terdapat kuda, konon kabarnya tempat untuk mengembang-biakkan kuda)Foto Suryaning Dewanti.
Dalam perbedaan perlafalan di Timur Tengah sendiri ‘V’ juga dibaca ‘B’, sehingga Arvasthand juga dibaca ARBASTHAN
selain itu diantara huruf mati, pasti ada vokal yang terdengar, sehingga menjadi ARABASTHAN.

Seperti pada kata ‘Rabi’ (Beberapa aksen melafalkannya ‘Rab’), aksara Sansekertanya adalah ‘Ravi’ artinya adalah Matahari, Sang penerang yang juga sebagai pusat dari ilmu pengetahuan, Maka tidak heran jika sering terdengar orang melantunkan pemohonan minta untuk ditambahkan ilmu pengetahuan dan minta agar mampu untuk memahaminya, tidak bisa dipungkiri bahwa MATAHARI adalah ( penerang, sumber dari ilmu pengetahuan)

Mari kita kembali pada Arvasthand,..

Hasil gambar untuk ancient mecca
Tanah ini sebenarnya punya kisah yang sangat menarik, mesipun tempatnya yang sangat gersang, tandu dan sangat panas, bahkan daerahnya hampir dipenuhi lautan pasir pada saat itu (mungkin sekarang masih). Yang menarik adalah sosok yang bernama VIKRAM-ADITYA😊, atau biasanya ditulis VIKRAMADITYA kadang dilafalkan BIKRAMADITYA

Vikram artinya kuat dan Aditya artinya Matahari, rasanya Vikramaditya adalah Gelar Kematahrian atau bisa jadi Gelas Kemaharajaan. Mengapa ia diberi gelar “Matahari yang Kuat”?
Konon kabarnya ialah yang bisa mengubah perangai orang-orang Arvasthand yang sangat keras dan sangat tidak bisa diatur bahkan berperangai sangat kejam. Dibawah kemaharajaan Vikram-Aditya inilah orang-orang yang sebelumnya tidak bisa diatur menjadi teratur, dan ber-peradaban. Ia menegakkan hukum yang membuat orang-orang Arvasthand mulai mengenal peradaban.

Dibawah pengaruh tanah lembah SINDHU dan kebudayaan orang-orang SUNDA (sundaland) yang mulai sering berdatangan ke Arvasthad, maka sifat yang tadinya sangat bar-bar dapat berubah akibat pengaruh kebudayaan dari orang-orang lembah Sindhu.

Kebijakasanaan dan kebesaran Vikram-Aditya, tertanam dihati orang-orang Arvastand, dialah yang membebaskan orang-orang Arvasthan dari kebodohan dan kejahatan (Jahil), dapat ditemukan tulisan mengenai Vikram dalam sebuah buku yg berjudul ‘Sayar-ul-Okul’ (kata-kata berkesan), halaman 315, buku terebut masih disimpan dalam perpustakaan Makhtab-e-Sultania di Istanbul, Turki.

Sebagian manuskrip tersebut berbunyi sebagai berikut;

“Itrashaphai Santu Ibikramatul Phahalameen Karimun Yartapheeha Wayosassaru Bihillahaya Samaini ElaYundan blabin Kajan blnaya khtoryaha sadunya kanateph netephi bejehalin Atadari bilamasa-rateen phakef tasabuhu kaunnieja majekaralhada walador. As hmiman burukankad toluho watastaru hihila Yakajibaymana balay kulk amarena phaneya jaunabilamary Bikramatum. Motakabberen Sihillaha Yuhee Quid min howa Yapakhara phajjal asari nahone osirom bayjayhalem” (Halaman 315 Sayar-ul-okul).

Yang artinya;
“ Beruntunglah mereka yg lahir (dan hidup) selama kuasa raja Vikram. Ia seorang penguasa penuh kasih, terhormat dan berbakti pada penduduknya. Namun pada saat itu, kami Arab, tidak peduli pada Tuhan, tenggelam dalam kenikmatan sensual. Komplotan dan penyiksaan merajalela … Kami, Arab, terjerat dalam kegelapan (jahiliyah) … namun pendidikan yang disebar raja Vikramaditya tidak mencampakkan kami, orang-orang asing.Ia menyebarkan agama sucinya diantara kami dan mengirimkan ahli-ahli yang kepintarannya bersinar seperti matahari dari negaranya kenegara kami…”

Buku Edisi modern pertama ‘Sayar-ul-Okul’ terbit di Berlin th 1864, dan edisi berikutnya diterbitkan di Beirut th 1932.

Pada Jaman pemerintahan Vikram-Aditya, ia tidak hanya mengenalkan tentang adat, tata tertib dan hukum namun juga hiburan dan dan Bazar, yang dikenal dengan Bazar OKAJ.

Bazar OKAJ bukanlah sebuah bazaar seperti sekarang yang juga tempat anak muda nongkrong, tapi lebih pada festival bagi kaum elit dan terpelajar untuk membahas aspek-aspek sosial, religius, politis, literatur dan aspek2 budaya yang ada di tanah Arvasthand. ‘

Dalam Sayar-ul-Okul’ dituliskan bahwa kesimpulan yg didapatkan dari diskusi-diskusi disana diterima dan sangat dihormati diseluruh Arvasthand.

Arvasthan sendiri yang adat istiadatnya banyak dipengaruhi Vikramaditya sebagai pemuja SIWA ( Kemataharian) oleh karena itu, Kuil utama di Arvasthand juga mengikuti tradisi Varanasi (India), dimana ciri utamanya :

1.Terdapat adanya Lingga yang biasanya berbentuk batu hitam yang lonjong dan Yoni sebagai alasnya atau berada di bawahnya.

2. Satu lagi tradisi yang sama dengan di Varanasi adalah sungai yang disucikan, yang bernama Sungai Gangga. Begitupula di Arvasthan, dimanapun ada lambang Siwa, disana ada sumber mata air yang dsucikan yang sampai sekarang dianggap suci.air Dimanapun ada lambang Siwa, disanalah ada air Gangga. Begitupula di Arvasthand ditemukan sebuah sumber mata air yang sampai sekarang dianggap suci.

3. Hal-hal lain adalah adanya ritual mengelilingi sebanyak 7 kali tempat kuil yang disebut Parikram atau di Bali di sebut Maider-ider.

4. Di Arvasthan berlaku tradisi Veda yang bernama Panchmahayagna (5 kali pemujaan) yang merupakan kewajiban, terutama di India. Dan sebelum melakukan Panchmahayagna harus membersihkan diri yang dalam tradisi Veda disebut ‘Sharir Shydhyartham Panchanga Nyasah’.

5. Ada 4 bulan dalam setahun dianggap suci dimana tidak diperboleh menjarah atau melakukan tindakan kriminal selama periode tersebut juga serupa dengan tradisi Chaturmasa dalam Veda, yaitu periode 4 bulan puasa dan menghindari tindakanan-tindakan yang tidak suci.

Konon kabarnya Kuil utama di Arvasthand ikut di bangun oleh seseorang yang bernama Umar bin-e Hassham beserta keluarganya yang sebenarnya adalah bagian dari dinasti Kuru (yang dikenal Kuru-resi/ Qureshi), sebuah dinasti besar yang pernah menguasai lembah Sindhu, India.

Dalam salah satu Encyclopedia, menjelaskan bahwa dalm kuil tersebut menyimpan 360 arca sebagi simbol microcosmos, macrocosmos, planet dan alam semesta. Namun konon kabarnya keturunan Umar bin Hassham menghancurkan semua yang ada di dalam Kuil tersebut, KECUALI arca yang paling utama, yang berbentuk Batu Hitam yang disebut juga sebagai Siva Linggam / Lingga Siva. dan konon kabarnya masih ada sampai sekarang,

Orang-orang Arvasthand adalah pemuja SIWA, Oleh karenanya lambang bulan sabit yang ada di kepala SIWA masih ada hingga sekarang.

Dan bangunan kuil utama itu juga disebut dengan ‘Gabha’ (Garbha + Graha) yang artinya ‘tempat suci’.

di Jawa sendiri terdapat istilah GUA GARBHA yang artinya (Kandungan/Rahim) –> tempat suci

Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan, sebuah ulasan dari PN. OAK, selebihnya dapat dicari dibaca lebih menetail dalam internet, selamat mencari

Rahayu
Semoga menambah wawasan sejarah bagi semuanya
Selamat Malam – Subh Ratri

 

34 Komentar
Komentar
Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Pertamaaaxxx..

1

Kelola

Suka

 · Balas · 23 jam

Yendi El Muneer

Yendi El Muneer apakah beliau ADITYAWARMAN…?..rahayu

2

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Sembunyikan 11 Balasan
Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Nah nama gelar kemaharajaannya VIKRAM-ADITYA ini, Abah LQ Hendrawan yang tau, nama gelar ‘Warman’ secara komplit saya tidak menguasai.

1

Kelola

 · Balas · 23 jam

LQ Hendrawan
LQ Hendrawan bukan Adityawarman… boleh jadi jaman Purnawarman tahun 317-356 Saka (395-434 Masehi).Kelola
Foto LQ Hendrawan.
4

 · Balas · 23 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Nah ..Tuhan Janaka…
Tuhan bisa berarti, Tuan
Janaka kalau saya pernah baca artinya ilmuwan setara Guru Besar
3

Kelola

 · Balas · 23 jam

Yendi El Muneer

Yendi El Muneer yg jdi pertanyaan saya apakah benar periode konversi th Saka ke Masehi nya?..punteun..

1

Kelola

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Dikurang 78 th, kl gak salah ya.. ke tahun çaka.

Kelola

 · Balas · 20 jam

Yendi El Muneer

Yendi El Muneer itu versi ulondo…mbak…hehe..klo liat dri kertagama justru 600 SM atau 1841 SM…sejarah mainstream justru membolak balikan ini…agar seolah kerajaan” nusantara jadi 1900 th lebih muda dri sejarah aslinya…punteun…klo di nissan itu 317 Saka ,berarti 1524 SM klo di konversi 1 saka = 1841 SM..punteun..

2

Kelola

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Versi Belanda yang Anno itu yg apa ya..?

1

Kelola

 · Balas · 20 jam

Yendi El Muneer
Yendi El Muneer maksud nya mbak?maaf…

Kelola

 · Balas · 20 jam

Gungde Gotama
Gungde Gotama Yendi El Muneer bagimana penghitungan nya yaa anggap peristiwa 0 masehi jadi di kurang 1900 masehi yaa bli?

Kelola

 · Balas · 5 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Sebutan tuhan dicatut Albert Cornelis Ruyl tahun 1602 untuk terjemahan alkitab untuk kata BAPA..

Kelola

 · Balas · 5 jam

Yendi El Muneer
Yendi El Muneer ya jdi sperti ini misal th 300 saka…maka klo di konversi ke SM ..1841 – 300 = 1541 SM..Gungde Gotama…

Kelola

 · Balas · 2 jam

Mulyana Uhuy Pisan
Mulyana Uhuy Pisan Kabah sebagai Kuil SIWA benar adanya. Berarti ajaran SIWA BUDHA sudah masuk saat itu ya mba. Semuanya mengacu ke SIWA (Penerang/Matahari). Termasuk nama Mecca,Kabba dan Mohammad adalah nama SIWA itu sendiri menurut gambar berikut. Bagaimana menurut mba Suryaning Dewanti. Terima kasih Rahayu 🙏🙏🙏Kelola
Foto Mulyana Uhuy Pisan.
6

 · Balas · 23 jam

Sembunyikan 50 Balasan
Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Aku ikutan nyatet ya Abah LQ Hendrawan , hohoho penjelasan yang ini aku gak punya

3

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Neda widi dicomot, abah LQ.. 🙏😁

Hehehehe.. Mulungan we abdi mah..

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Duuh asli teu ngartos Kang, komo nganggo istilah kitu … terus … teruuus … kumaha?

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Angger …. diseungseurikeun, kedap deui bade nyungkeun dialungan rokok aaah 🙄😄

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Detail sekali yang penjelasan ini. Bagian belakang tubuh adalah tanah. Dan disebut juga Mahadewa? Gitu ya? 
Mahadewa itu Siwa? Apa Indra? Ya? Hadoohh aku kok gubluks …
1

Kelola

 · Balas · 22 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan maka demikian pula pada susunan lingga di arvastan itu… sisi selatan pasti BRAHMA (Abraham / Ibrahim) ditandai oleh tapak kaki… maka ISWARA (Ismail) ada di sisi timur… berikutnya pasti Wisnu (utara) lalu Mahadewa (barat)… 🙂 

gambar berikut tempat Sang Hyang Brahma yg beristri Siti Hajar (*batu).Kelola

Foto LQ Hendrawan.
8

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Whoahh…lalu? ..lalu..lallu gimana Abah?
Yang ini penjelasannya ku catet jugak ya..
1

Kelola

 · Balas · 22 jam · Telah disunting

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Makin bingung hahaaha …. translate plissss Ning 😂

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Kabah juga menggambarkan anatomi tubuh manusia awalnya..?

2

Kelola

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Oooo .., berhubungan dengan arah tawaf yaaa

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Teti T. Soebrata hahhaa MbAk..Iki aku Yo isih nggrambyang mbaak 🤣
Bentar aku mencernanya dulu…,🤣
2

Kelola

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Ke arah api? Yang artinya … Kang?

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

LQ Hendrawan
LQ Hendrawan ka duruk atuuuhhhh…Kelola
3

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Hahahaaha kan muternya ke kanan? Aaah lupa hahhaa … duh ini kelas online kejar paket jarak jauh teh mani hararese gini euuy 😂

2

Kelola

 · Balas · 22 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan ti baliiiiiiiiiiiiiiiiikkkk…. iiih

2

Kelola

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Eeeh ilang tulisannya hahahaa … jadi muter ke arah aer, supaya tiis … tiis apanya, energi di sana, jelema2 na, iklimna?

2

Kelola

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Dengan tujuan agar? Makin tambah bego pertanyaannya hahahhaa

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Hoalaaah aku sing lieerrr..kelas online paling beraaatss..plus bahasanya campurannnn 🤣

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Mulyana Uhuy Pisan

Mulyana Uhuy Pisan nyimak sajah hehehe

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan …mengikuti pusaran galaksi… seperti bumi mengitari matahari.. dan selaras rotasi bumi ceu…

3

Kelola

 · Balas · 22 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Aaah … lalu kalau sesuai putaran, apa manfaatnya, buat siapa? # tetep bego belom ngerti.

1

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan selain tambah dramatis… ya setidaknya kan olah raga jadi sehat lah… 😛

3

Kelola

 · Balas · 21 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Duuuh kelas yang berat ini bikin saya pengen ngurilingan imah sekarang juga hahahaah

2

Kelola

 · Balas · 21 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Mbak…percaya nggak? Kita bisa menggerakkan alam semesta, dan bisa melihat alam semesta di luar sana hanya dengan melihat dan menggerakkan diri kita sendiri. Makanya orang jaman dulu bisa ngerti banget soal perbintangan .mungkin tanpa pernah kesana semua hanya dengan mengamati dan mempelajari tubuhnya sendiri ..

Kelola

 · Balas · 21 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Suryaning Dewanti pernah denger/ baca … tp tetep belom ngeh hubungannya dgn tawaf dan kepentingannya lokal sana atau dunia.?😆 duuh maapkan ndableg gini hahahaa

1

Kelola

 · Balas · 21 jam · Telah disunting

Mulyana Uhuy Pisan
Mulyana Uhuy Pisan Ini sbg ilustrasinya Bah? Biar gk bingungKelola
Foto Mulyana Uhuy Pisan.
5

 · Balas · 21 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Alim eleh ku kang Uhuy.. Wkwkwk..Kelola
Foto Purwono Wahyudi.
3

 · Balas · 21 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Eeeh Kang LQ, iya ah asa muternya ke arah makom … makom ada di kiri …

1

Kelola

 · Balas · 21 jam

Darmiyati Minten
Darmiyati Minten Kl tdk salah itu adl ritual lempar jumroh y… Dan batu itu sbg pertanda saat setan menggoda ibrahim agar tdk jadi mengorbankan putranya ismail…

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan mungkin ceu Teti T. Soebrata bayar umrohnya tidak lunas… 😛

4

Kelola

 · Balas · 21 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti 😂😂😂 Nah begitulah yang DICERITAKANNYAAAAAAA
Mbak Darmiyati Minten

Kelola

 · Balas · 21 jam · Telah disunting

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Atau keburu dikorupsi tour travelnya.. Hehehehe..

1

Kelola

 · Balas · 21 jam

Teti T. Soebrata
Teti T. Soebrata Kan setornya ke kang LQ Hendrawan, lupa yaaaa 😂

Kelola

 · Balas · 21 jam

Darmiyati Minten
Darmiyati Minten Iya sprt itu kisahnya mbk… Jadi batu dilempar ke arah tugu sbg ritual mengusir setan sprt yg dilakukan ibrahim. Kira2 sprt itu kisahnya mbk

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan NIHHHH CEU Teti T. Soebrata …KALO GAK PERCAYA… roling tander edisi baru… wkwkwkwww

https://www.youtube.com/watch?v=_ovFVYKyNuYKelola

 · Balas · 21 jam · Telah disunting

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Hahaha iya yaaah … jadi waktu itu saya umroh dimananya? Hahaha …

2

Kelola

 · Balas · 21 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Terus … teruuus … 😁

2

Kelola

 · Balas · 21 jam

Arleti Mochtar Apin

Arleti Mochtar Apin mundur terus sampe sulabaya

3

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan …beuki geloooo… hahahahahaha

4

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan hatur nuhun ceu Teti T. Soebrata …saya bisa tertawa ceria…

1

Kelola

 · Balas · 21 jam · Telah disunting

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Bayaaar … mana lemparan rokook … 🚬🚬🚬

2

Kelola

 · Balas · 21 jam

Algumar Algumar Rahiang
Algumar Algumar Rahiang Hatur nuhun. Jd gak usah kemana mana. Diam biarlah darah yg berputar mengelilingi jantung

Kelola

 · Balas · 6 jam

Yulia Purnarisa

Yulia Purnarisa Aduh,td siang udah nulis:yg mbangun Taj Mahal bukan Shah Jahan,tapi tak hapus :v

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Hayuuk ditulis lagi

Kelola

 · Balas · 23 jam

Yulia Purnarisa
Yulia Purnarisa Sik bentar mbak,tak ambegan sembari mencerna ulasanmu
Whhoooosssaaaaaa
😛
1

Kelola

 · Balas · 23 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Tak ambung lho mbaak 🤣

Kelola

 · Balas · 23 jam

Batarayani Virginia Damanik
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Suryaning Dewanti membalas · 1 Balasan
Rukmi Indrawati Sudharmadi

Rukmi Indrawati Sudharmadi Karena sama sekali tidak memahami mengenai sejarah Sing dak eling eling mung usahanya Yudha Dewanto.waktu dulu dengan nama Kebab “Arabastha”..😀😀..

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Nah itu yang terkenal memang dari Sono dan Turki 😂😂😂

Kelola

 · Balas · 23 jam

Rukmi Indrawati Sudharmadi
Rukmi Indrawati Sudharmadi InshaAllah 
Apabila Tuhan mengijinkan siapa tahu bisa sampai Turky .. waah asyiik .

Kelola

 · Balas · 23 jam · Telah disunting

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Turki kucinge apik2..

1

Kelola

 · Balas · 23 jam

Teti T. Soebrata

Teti T. Soebrata Suryanamaskar … ? 🤔

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Teti T. Soebrata membalas · 2 Balasan
Wulan Dhari

Wulan Dhari Ijin share mba..

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Monggo mbak 👍🏻

1

Kelola

 · Balas · 23 jam

Don Harry Goodspeed

Don Harry Goodspeed Keren teh Suryaning Dewanti boleh share yaaa

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Monggo kang 👍🏻

1

Kelola

 · Balas · 23 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Arva sthan, arafah, lalu berubah ucap jadi ana setan.. 🤔

3

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 23 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Dan mungkin di sana dulu memang tempat latihan berkuda saja, makanya disebut tanah kuda ya, jeng Suryaning Dewanti..? Soalnya kalau disebut mengembangbiakan rasanya mustahil tanpa terdapat sumber daya pakan kuda.. 🤔

2

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 22 jam · Telah disunting

Sembunyikan 20 Balasan
Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Tempat untuk mengembangkan biakan kuda, dan merawat kuda.begitu dari yang saya baca. 
Bisa jadi sebagai supply transportasi dan utk kendaraan perang antar suku.

Kelola

 · Balas · 22 jam

LQ Hendrawan
LQ Hendrawan …mana ada kuda makan pasir… wkwkwwwKelola
2

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Hahaha lha embuh… 😜🤣🤣
Tapi…kuda ARAB…hmmmm jwoossss tenan 🤣🤣🤣guedeee
1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Kalau unta masih mungkin sih.. Atau mungkin lokasinya sebetulnnya tidak di sana, abah LQ, jeng Suryaning..
Becca, Petra, dekat S. Yordan yang dikemukakan Prof. Dan Gibson..
Kalau di Becca masih ditemukan jejak pertanian..

Kelola

 · Balas · 22 jam · Telah disunting

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Sepertinya Arab bagian Utara itu dubur sekali, ada sebuah cerita, bahwa salah satu tribal mendatangi daerah tersebut tp karena banyak orang sudah tau perangainya maka dia tidak diterima. Tempat itu sangat subur dan dingin malahan…kurasa rumput akan tumbuh disana dan bisa di supply Tempat itu.
Saya lupa namanya apa ya..

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Leres, Petra itulah.. Mungkin.. Hehehehe..

2

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Sepertinya iya, Petra. Petra sendiri memiliki arti RAMA. (PETRA/PIETR/FATHER)
Arvastan dibawah VIKRAM-ADITYA menjadi daerah yang luas sekali, mungkin ide untuk membuat daerah gersang tandus itu menjadi berdaya dan dijadikan sebagai pengembang biakan kuda.

Kelola

 · Balas · 22 jam · Telah disunting

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Pemindahan Becca ke Mecca kalau tak salah era Dinasti Abbasiya, artinya era Ahmad bin Abdullah saja sudah lewat.. Jadi semasa raja Vikram kemungkinan penyebutan Arva Sthan masih di Petra, jeng..

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Nah bisa jadi begitu, mas. 
Petra memang daerah yang paling dingin di sana dan subur. Namun mengenai kuil Siwa kurasa ttp disitu, Vikram mendirikan banyak kuil terutama di indianya

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Betul, kuil banyak dibangun, selain oleh raja Vikram juga oleh para pendatang berbagai suku, yang nota bene juga penganut pagan, hanya beda cara ciri sesuai daerah asal mereka, jeng Suryaning.. 😊

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Nah itu leres mas. Memang begitu yang tertulis di beberapa literatur

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Sekarang sudah lebih banyak lagi peninggalan para jamaah, tapi berupa mentahnya.. Pembangunan diwakili orang sana.. Hehehehe..

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Nah, soal sungai, kalau di Mecca sekarang kan tidak ada sungai, adanya di lembah Yordan itu, jeng Suryaning..

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Nah biasanya kuil Siwa itu pasti ada dekat air, atau mata air. Kl India kan Gangga..namanya juga gak beda2 jauh bunyi vokalnya.. zam-zam ..

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Iya, juga ya.. 🤔

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan
LQ Hendrawan bagaimana kalau (jika) ternyata konsepnya sama dengan 
DECA (desa), KALA, PATRA. 😛
3

Kelola

 · Balas · 21 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Nah loh..gimana itu Abah?

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan sama dgn CLEO (kala) PATRA yg sebenarnya hanya berupa konsep… 😛

3

Kelola

 · Balas · 21 jam · Telah disunting

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Nah yang iniii… panjang lagiiii 😂🤣muter lagiii 
Jadi…🤔🤨…?
2

Kelola

 · Balas · 21 jam

Cecep Rukmana

Cecep Rukmana Ia arab utara itu subur, disebutnya daerah bulan sabit subur/midian el saleh. Kata prof jared diamond, bulan sabit subur itu tempat terawal domestikasi tumbuhan dan hewan peliharaan, yg di kemudian hari menjadi penyangga dasar kebudayan di sekitaran mediterania dan eropa

1

Kelola

 · Balas · 19 jam

Dani Hariawan Cahya

Dani Hariawan Cahya Izin share ya bu

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Monggo pak 👍🏻

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Dani Hariawan Cahya
Dani Hariawan Cahya Hatur nuhun bu.
Rahayu
1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Eka Mardika

Eka Mardika Nyimak…

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 22 jam

Den Basito

Den Basito Lalu kalau petra sebagai tempat ka’bah pertama gimana itu mba…

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Itu ada di penjelasannya …profesor siapa kok lupa..
Mas Purwono Wahyudi, tadi prof siapa yg meneliti ttg kaaba?

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Ada di YouTube juga kok malah, dulu pernah diunggah sama Abah LQ Hendrawan

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Namanya Prof. Dan Gibson..
Monggo coba di browsing ke YouTube mas..
1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Den Basito

Den Basito Iyaa mbaa.. maksud saya kan kalau arahnya kabah dll harus ke Petra juga.. hehehe ya sudahlah..

1

Kelola

 · Balas · 22 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Lengkap penjelasan Prof. Dan Gibson soal Kabah kiblat pertama..

1

Kelola

 · Balas · 21 jam

Den Basito
Den Basito Purwono Wahyudi siap sodaraku… Hong ulun basuki langgeng..

Kelola

 · Balas · 21 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Rampes,
🙏
Rahayu..

Kelola

 · Balas · 21 jam

Darmiyati Minten

Darmiyati Minten Jika sy amati sejak dulu memang pd dasarnya semua satu koq mbk… Bersuci krn di padang pasir diganti wudhu dan kl kepepet bgt bs diganti tayamum. Prnh jg denger cerita jika semua suku dr seluruh dunia berkumpul di mekah krn adanya petunjuk yg menyatakan jika yang dijanjikan akan terlahir di tanah itu… Krn itulah disana jg banyam suku dan kabilah.

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 21 jam

Rio Octory
Rio Octory Sunda = Sindhu = Hindu .Kelola
Foto Rio Octory.
8
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 21 jam

Wahyu Novi Jadaryanto

Wahyu Novi Jadaryanto Permisi bu guru.. Apakah itu yg dimaksud vikram Aditya versi India ya..??

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 21 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Lha iya, mas. Gelar kemaharajaannya spt yg dijelaskan Abah Uci td diatas

1

Kelola

 · Balas · 21 jam

Wahyu Novi Jadaryanto
Wahyu Novi Jadaryanto Waduh.. Harus baca dari atas dulu saya berarti.. Maklum sinambi medamel niki kulo.. Hehehe

Kelola

 · Balas · 21 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Kl gak salah Purnawarman..

Kelola

 · Balas · 21 jam

Don Harry Goodspeed
Don Harry Goodspeed Teh suryaning apakah hubungan nya dengan brahman dengan ibrahim atau abraham…

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 21 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Bapak dengan gelar Brahma..Ab – Brahma
Ab = Bapak/Rama

Kelola

 · Balas · 21 jam

LQ Hendrawan

LQ Hendrawan beda jauh… Brahman itu sama dgn aloh 😛atau ruh alam semesta

1

Kelola

 · Balas · 21 jam · Telah disunting

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Waduh beda ternyata ya..
Kalau Brahma itu apa ya berarti?

Kelola

 · Balas · 21 jam

Moel

Moel Sempurna,, terima kasih Mba,, atas ilmunya,, haturan ABAH UCI,, RAHAYU

3

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 20 jam

LQ Hendrawan

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti

 · Balas · 20 jam

Moel
Moel Bade di awur kn mba Seratan na,, nyuhunkeun widi na,, rahayu

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Punten kang ini artinya apa? Saya tulalit kalau pakai bahasa asli Jawa barat 😛

Kelola

 · Balas · 20 jam

Moel

Moel Mohon ijin untuk di bagikan

1

Kelola

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti O iya ..silahkan kang..Monggo 👍🏻

Kelola

 · Balas · 20 jam

Moel
Moel Terima kasih

Kelola

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Sami2 kang 🙏🏻

Kelola

 · Balas · 20 jam

Bonnie Boni Setiawan

Bonnie Boni Setiawan Makin jelas koq, Kaabah dulunya adalah tempat pemujaan Siwa. Pertanyaan yg harus dijawab: kenapa Siwa? kenapa ada batu serupa vagina yg hrs dihormati/dicium?

3

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti

Suryaning Dewanti Ada lingga pasti ada Yoni

2

Kelola

 · Balas · 19 jam

Bonnie Boni Setiawan

Bonnie Boni Setiawan Kuncinya ada di sejarah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma naik lembu Andini mengarungi angkasa

1

Kelola

 · Balas · 18 jam

Bonnie Boni Setiawan
Bonnie Boni Setiawan Mengapa ibu di bahasa arab adalah Umi?

Kelola

 · Balas · 18 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti lha kalau itu saya tidak tau, namun akar bahasa semitik mengacu pada sansekerta, dan banyak sekali yang mengalam perbedaan lafal karena memang lidah masing2 dialek berbeda, seperti di India RAVI ( matahari ) menjadi RABI di arab
SINDHU menjadi HINDHU.

Kelola

 · Balas · 9 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Da hyang su umbi, umbi, umi.. 😁

1

Kelola

 · Balas · 9 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti akka, amba, ambu, umbi, alla semua artinya ibu

Kelola

 · Balas · 9 jam

Dedi Irawan
Dedi Irawan Bisa jadi Arva Sthan = Stasiun Kuda, semacam terminal angkot lah 😀 untuk trayek sutra.
Btw ijin share ya Suryaning Dewanti
1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 20 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Monggo silahkan 👍🏻

Kelola

 · Balas · 19 jam

Don Harry Goodspeed

Don Harry Goodspeed Apakah daerah arvasthan sekarang mengacu kw daerah petra jordania….sebab sebelum di pindahkan batu siva-linggam itu ada di kota suci petra…..? Bagaimana korelasi nya teh Suryaning Dewanti .

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 18 jam

Suryaning Dewanti membalas · 1 Balasan
Mang Asep Salik
Mang Asep Salik Apakah kuda itu binatang gurun seperti unta? Jika bukan, sejak kapan kuda masuk wilayah itu?

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 12 jam

Darmiyati Minten membalas · 3 Balasan · 9 jam
Austronesia Anthelope

Austronesia Anthelope tepaattt…. ulasan yg sangat langka… jika dicermati bisa membuka kerangka berfikir kita yg tertutupi oleh doktrin” gurun yg sangat pragmatis dan anti kritik.

2

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 9 jam

Junis Nero Wirasasmita
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 8 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Illustrasi VIKRAM-ADITYA di India, banyak simbol penandanya ya… di singgasana-nyaKelola
Foto Suryaning Dewanti.
2
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 7 jam · Telah disunting

Sembunyikan 19 Balasan
Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Saya curiga pasti ada nama Nusantaranya, cuma mungkin belum ketemu benang merahnya saja.. 😇

Kelola

 · Balas · 7 jam · Telah disunting

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti kata abah, dicurigai Purnawarman

Kelola

 · Balas · 7 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti ada ko di kmen atas, di upload sama abah

Kelola

 · Balas · 7 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Ini versi wiki, jeng

Vikramaditya memulai era Vikrama Samvat pada 57 SM..Lihat Lainnya

Kelola

 · Balas · 7 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti Purnawarman ke berapa ya ..gelar maharaja suka ada I II III IV.. spt di mesir TUTMOSES I II II… gak tau sampai berapa itu ya

Kelola

 · Balas · 7 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti cari yang dari literatur PDF mas, dan ada cap perpustakaannya kampusnya

Kelola

 · Balas · 7 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Siap 86.. 😁

1

Kelola

 · Balas · 7 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi 1. Dewawarman I
2. Dewawarman II
3. Dewawarman III
Lihat Lainnya

Kelola

 · Balas · 7 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti yang SM kepegang nggak mas?

Kelola

 · Balas · 7 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti arvasthan itu jauuh sekali SM soalnya

Kelola

 · Balas · 7 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Masih cari lagi soal Dewawarman, jeng..

Kelola

 · Balas · 7 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti rasanya utk link yang ini harus cari yang seangkatan persebaran dwipantara / nusantara ke daerah afrika, waktu jaman Nabatean.

Kelola

 · Balas · 6 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Dewawarman berkisar tahun 130 M, dan Ptolomeus menyebut soal Salakanagara 150 M..

Kelola

 · Balas · 6 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti apakah ada perbedaan penanda waktu? karena kalau masih satu era per 10,000 tahun masih bisa dicari benang merahnya, namun kalau sudah per layer peradaban, agak susah, karena peradaban ini kan per layer.

Kelola

 · Balas · 6 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Nah, saya tidak paham soal per layer, jeng.. 😀
Cuma kalau melihat tahun, saya cenderung ke salah satu Dewawarman tersebut..

Kelola

 · Balas · 6 jam · Telah disunting

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti nah ini susah njelasinnya kalo online 😀

Kelola

 · Balas · 6 jam

Purwono Wahyudi
Purwono Wahyudi Terbayang sedikit, tapi bisa salah.. 😁

Kelola

 · Balas · 6 jam

Suryaning Dewanti
Suryaning Dewanti setiap peradabanbesar itu biasanya memiliki pola akan hancur, nanti akan tumbuh lagi sebuah eradaban baru, begitu seterusnya

Kelola

 · Balas · 6 jam

Purwono Wahyudi

Purwono Wahyudi Terjemahan bahasa Indonesianya dari buku ‘Sayar-ul-Okul’ :

“Beruntunglah mereka yang lahir dan hidup di masa kekuasaan Raja Vikram. Dia adalah orang yang berbudi, pemimpin yang murah hati, berbakti pada kemakmuran rakyatnya. Tapi pada saat itu kami baLihat Lainnya

1

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 7 jam · Telah disunting

Tharyana Sastranegara

Tharyana Sastranegara RABI berubah jadi RAVI dari lndia asal RA dari SUNDA persamaan Matahari lndonesia. 

Asal kosa kata RA dari peradaban SUN’DA BUHUN / CHUDAKA RA / CAHAYA BENING SUCI. Lihat Lainnya

5

Kelola

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

 · Balas · 5 jam

Aris Yulianto Pamentang Jagat

Aris Yulianto Pamentang Jagat Aku Moco Sampek ngantuk lur….akeh tulisane….

1

Kelola

 · Balas · 4 jam

Suryaning Dewanti

 · Balas · 1 menit

Mang Obe Obeisme

Mang Obe Obeisme Ijin share

1

Kelola

 · Balas · 1 jam

Suryaning Dewanti

 · Balas · 1 menit

AYoga PraTama

AYoga PraTama Ak belum sempet baca, ningalin jejak 🐾 dulu

1

Kelola

 · Balas · 

Diskusi Peran Masyarakat Madani dalam Penegakan Hukum dan Kepemimpinan Hikmah di NKRI

$
0
0

Diskusi Peran Masyarakat Madani dalam Penegakan Hukum dan Kepemimpinan Hikmah di NKRI, bersama Dr. Artidjo Alkostar, SH, LLM (Hakim Agung MA), Maret 2018.

Diskusi bersama KH Ra Abdul Azis dan Ki Ahmad Y. Samantho, Habib Muhammad Bagir dan Mr. Daniel Desiborough, Pak Iswanto, dll.

Kajian Sejarah Madura dan Perkembangan Sejarah Budaya Islam di Jawa oleh Ki Sinung Herman Janutama.

 

 

 

 

 


Warisan Nilai Budaya Sunda

$
0
0

Warisan Nilai Budaya Sunda

 

Rasa Kebersamaan dan Konsep Kesejahteraan Bersama dengan Pemuliaan Terhadap Padi dalam Wawacan Sulanjana

$
0
0

 

PUISI SUKMAWATI, KEJUJURAN, DAN KESETIAAN

$
0
0

PUISI SUKMAWATI, KEJUJURAN, DAN KESETIAAN

 

Oleh Aprinus Salam

Dosen Pasca Sarnana FIB UGM

 

Sehari setelah puisi yang viral itu, saya dihubungi dan diwawancarai wartawan dengan tiga pertanyaan. Bagaimana mutu puisi itu, maksudnya puisi “Ibu Indonesia”. Kedua, apakah puisi itu menistakan agama. Ketiga, dan ini yang paling menarik, seberapa berbahaya karya sastra, khususnya puisi. Sebetulnya saya tidak cukup gembira mendapat pertanyaan seperti itu. Itu pertanyan yang sangat berat. Namun, saya merasa tetap perlu menjawab.

Saya sudah cukup lama tidak memakai pendekatan untuk menghakimi karya sastra, atau khususnya puisi, untuk dinilai baik buruknya. Saya tidak punya kriteria dan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana menilai sebuah puisi baik atau buruk. Itu persoalan yang sangat subjektif. Pemandangan matahari yang sedang terbenam, mungkin secara universal (objektif) akan banyak yang mengatakan bahwa itu pemandangan yang indah. Akan tetapi, jika seseorang tidak sepakat terhadap keindahan tersebut, kita tidak bisa melarangnya.

 

Banyak orang yang mengatakan bahwa puisi si Fulan itu indah dan menyenangkan. Hal itu dengan pembuktian bahwa diksi, susunan morfologis dan sintaksisnya membuat banyak orang terharu dan kagum. Akan tetapi, pendapat banyak orang tersebut tidak membatalkan seseorang yang mengatakan bahwa puisi si Fulan itu biasa-biasa saja, atau tidak bagus. Tidak ada sesuatu yang akurat. Sesuatu menjadi akurat tergantung perasaan dan nurani seseorang ketika seseorang itu berhadapan dengan objek tertentu.

 

Saya juga merasa tidak pernah mendapat mandat untuk menjadi “penguasa sastra” sehingga saya tidak punya wewenang untuk menilai dan memutuskan baik buruknya puisi. Saya merasa ada arogansi dalam diri saya jika mengatakan bahwa sebuah puisi itu buruk. Secara pribadi mungkin saya punya hak, tetapi lebih baik hak pribadi tersebut tidak pernah saya ambil.

 

Hal yang perlu dipahami adalah sastra mengajarkan kesederajatan. Dalam bersastra, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada itu penguasa sastra, tidak juga kekuasaan itu dimiliki penyair atau sastrawan. Setiap orang berhak menulis dan membacakan puisinya. Seperti sama halnya setiap orang juga berhak mengapresiasi sastra, tetapi tidak dalam posisi sebagai penguasa sastra, dan tidak dalam rangka menjadi hakim. Tidak ada mandat untuk menjadi hakim sastra.

 

Jadi, siapapun berhak berekspresi dalam sastra dengan resiko diapresiasi dalam berbagai cara. Kadang kita terjebak dalam subjektivitas “ideologis” tertentu untuk menghakimi sebuah karya seni dan sastra. Jika itu yang terjadi, maka sebetulnya yang menjadi masalah adalah adanya kontestasi ideologis. Ada yang merasa paling benar, dan yang lain salah. Perasaan merasa paling benar, itu bukan masalah puisi, itu masalah dalam diri kita. Banyak hal dari pengetahuan ideologis kita yang justru memanipulasi dan menutup diri kita terhadap sesuatu Kenyataan, suatu Kebenaran.

 

Perlu dipahami, Kenyataan atau Kebenaran itu tidak pernah terjangkau, kita tidak mengetahuinya. Kita adalah pejalan yang bersama-sama berjalan menuju Kenyataan atau Kebenaran. Perjalanan itu bukan kebenaran. Kita cuma bisa berusaha bersama-sama, mungkin dengan cara dan jalan yang berbeda, tetapi intinya sama, bersama berjalan menuju Kenyataan atau Kebenaran.

 

Hal-hal yang kita lewati dalam kehhidupa kita itu tidak lebih sebagai dugaan tentang jalan yang kita anggap benar, tapi, sekali lagi bukan Kebenaran itu sendiri. Kita berhak untuk meyakini bahwa apa yang kita usahakan sebagai kebenaran. Akan tetapi, keyakinan itu tidak bisa menggugurkan keyakinan orang lain.

 

Persoalan yang kita hadapi bukan menghakimi puisi itu baik atau jelek, tetapi bagaimana membongkar makna yang tersembunyi dalam puisi tersebut. Untuk itu saya mengutipkan puisi tersebut.

 

Ibu Indonesia

 

Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka

Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan

Peluh tersentuh angin laut

 

Lihatlah ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing

Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif

Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

 

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Illahi

Nafas doanya berpadu cipta

Helai demi helai benang tertenun

Lelehan demi lelehan damar mengalun

Canting menggores ayat ayat alam surgawi

 

Pandanglah Ibu Indonesia

Saat pandanganmu semakin pudar

Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

 

Dalam batas tertentu saya mencoba menafsirkan secara subjektif dan dengan gaya bebas. Ibu Indonesia, frasa ini untuk menyebut semua wanita Indonesia, yang secara substansial akan menjadi Ibu dan yang telah Ibu. Ibu adalah status yang sangat terhormat. Ibu adalah wanita yang melahirkan dan memiliki anak. Kita semua memiliki Ibu, dan kita sangat mencintai Ibu Kita.

 

Saya tak tahu syariat Islam. Ini tentu lebih sebagai satu sikap rendah hati. Sebagai seseorang yang dibesarkan secara Islam oleh dan dalam keluarga Islam, tentulah sedikit banyak penulis puisi (Dia/Sukmawati) tahu syariat Islam, paling tidak dalam pengertian dan batas minimal. Akan tetapi, dia merasa pengetahuan syariah Islamnya sangat sedikit sehingga Dia merasa lebih cocok untuk mengatakan tak tahu syariat Islam. Dugaan Dia merasa, adalah dugaan perasaan saya terhadap Sukmawati. Saya merasa perasaan merupakan satu dimensi dugaan yang presisif.

 

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah/ Lebih cantik dari cadar dirimu. Pernyataan itu memang sedikit riskan karena Dia melakukan perbandingan terhadap bagian dan/atau kelengkapan pakaian (penutup tubuh). Sari (kain untuk wanita), dan konde (gelung/sanggul), merupakan bagian dari “perlengkapan” pakaian tradisional Ibu Indonesia. Dia membayangkan ada sosok wanita tradisional Indonesia dengan kelengkaan sandang seperti itu. Cadar, dalam puisi ini, kemudian, dianggap bukan pakaian atau atribut tradisional Ibu Indonesia.

 

Tentu Dia tidak cukup pantas membandingkan kedua hal tersebut, karena dia melakukan penilaian subjektif. Sebetulnya dia tidak punya otoritas untuk itu. Akan tetapi, pelanggaran terhadap otoritas yang tidak Dia miliki bukan kesalahan hukum. Di balik itu, tetap saja ada hal penting dlam pernyataan itu, bahwa Dia telah bersikap jujur. Ada pertanyaan yang ingin saya tunda, apakah seseorang tidak boleh bersikap atau berkata jujur?

 

Gerai tekukan rambutnya suci/ Sesuci kain pembungkus ujudmu/ Rasa ciptanya sangatlah beraneka/ Menyatu dengan kodrat alam sekitar/ Jari jemarinya berbau getah hutan/ Peluh tersentuh angin laut. Pernyataan tersebut sebagai kekaguman terhadap rambut Ibu Indonesia yang tergerai dan gerainya merupakan tekukan/gerakan yang indah. Gerai rambut itu setara dengan ujudmu (Ibu Indonesia) yang dibungkus kain. Pembungkus kain itu diciptakan dengan rasa yang beraneka, beragam bentuknya.

 

Hal yang lebih penting cara itu adalah sesuatu yang sesuai dengan kondisi alam Indonesia. Jari Ibunda Indonesia berbau getah, karena Ibu Indonesia itu bekerja dan bersentuhan dengan tanaman dan pepohonan Indonesia. Ibu Indonesia juga orang yang bekerja dan berpeluh. Sebagai negeri yang dikelilingi laut, sangat mungkin Ibu Indonesia sangat akrab dengan angin laut.

 

Lihatlah ibu Indonesia/ Saat penglihatanmu semakin asing/ Supaya kau dapat mengingat/ Kecantikan asli dari bangsamu/ Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif/ Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia. Pernyataan ini memberi informasi kepada Ibu Indonesia jika Ibu Indonesia semakin asing dengan hal-hal yang dia lihat. Kita tahu bahwa saat ini banyak orang Indonesia hidup tidak lagi sesuai dengan budaya aslinya. Kita tahu bahwa saat ini banyak orang yang berpakaian tidak lagi seperti yang telah dicontohkan oleh tradisinya. Kemudian, Dia mengingatkan bahwa bangsamu memiliki kecantikan yang asli. Kecantikan berbasis budaya asli itu menjadikan sehat, berbudi dan kreatif. Dia justru ingin mengatakan bahwa mari kembali ke budaya asli kita, bumi Ibu Indonesia.

 

Aku tak tahu syariat Islam/ Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/ Lebih merdu dari alunan azan mu. Ini pernyataan pengulangan dan penekanan. Sekali lagi, ini memang kurang pantas. Akan tetapi, kembali dia menyatakan kejujurannya bahwa kidung (nyanyian) Ibu Indonesia sangatlah elok. Bahwa kemudian dia membandingkan dengan suara azan memang tidak pas, karena suara azan bukan kidung. Kesamaannya adalah sama-sama mengeluarkan suara. Kita tahu, bahwa banyak suara azan yang merdu, tetapi kita juga tahu cukup banyak suara azan yang kurang merdu.

 

Dia melakukan perbandingan yang kurang pantas dan tidak cukup pas, tetapi perlu dilihat keseluruhan puisi. Bahwa, Gemulai gerak tarinya adalah ibadah/ Semurni irama puja kepada Illahi/ Nafas doanya berpadu cipta/ Helai demi helai benang tertenun/ Lelehan demi lelehan damar mengalun/ Canting menggores ayat ayat alam surgawi. Bahwa Dia juga punya keyakinan bahwa gerakan tari, gerakan hidup, nafasnya, helai demi helai benang tertentu (sari) adalah setara dengan pujian kepada Illahi. Tenunan itu kemudian diberi motif oleh damar. Lelehan damar yang memberi motif, yang digores oleh canting setara dengan ayat-ayat alam surgawi. Ini keyakinan Dia. Suatu keyakinan yang begitu setia dan budayanya sendiri.

 

Pandanglah Ibu Indonesia/ Saat pandanganmu semakin pudar/ Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu/ Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya. Sekali lagi, Dia meminta Ibu Indonesia untuk melihat berbagai hal yang terjadi secara eksternal dalam kehidupannya. Dia berpendapat bahwa banyak Ibu/wanita Indonesia pandangannya tidak lagi cukuk jelas/semakin pudar. Banyak wanita Indonesia yang hidupnya tidak menjadi dirinya sendiri, diri wanita Indonesia.

 

Padahal, jika pandanganmu tidak pudar, cukup jelas dalam melihat segala sesuatunya, maka kau dapat melihat kemolekan sejati bangsamu. Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

 

Dalam kesetian terhadap budaya bangsanya sendiri, inilah yang saya sebut bahwa Dia hidup dalam satu faksi kesetiaan berbasis budayanya sendiri, kesetiaan terhadap budaya dan tradisi bangsanya. Mungkin setiap dari kita memiliki kesetiaan juga, baik setia terhadap agama kita sendiri, setia terhadap kemodernan, setia terhadap pernikahan atau terhadap istri/suami sendiri, setia terhadap janji-janji tertentu, dan berbagai kesetiaan lainnya. Saya menghormati Dia yang setia terhadap tradisi dan budaya bangsanya. Dalam kesetiaan tersebut, tentu saja kita harus menghormati masyarakat yang mungkin tidak bersetia terhadap tradisi dan budaya Indonesia.

 

Persoalannya, apakah jika Dia melakukan perbandingan terhadap satu simbol keagaman (khususnya Islam) Dia melakukan penistaan? Penistaan adalah pernyataan yang menjelek-jelekan atau menghina. Suatu pernyataan penghinaan yang tidak beralasan dengan mengatakan bahwa simbol keagamaan tersebut buruk. Akan tetapi, Dia tidak bermaksud mengatakan itu, karena yang dikatakannya adalah sesuatu yang, dalam keyakinannya, ada sesuatu yang lebih elok/indah. Dan yang elok/indah itu adalah pakaian, asesoris rambut, kidung, gerak laku, dan kepribadian yang khas sesuai dengan tradisi dan budayanya sendiri. Kalau dia membandingkan simbol keagamaan dengan sesuatu yang secara nilai dan substansi memang hal buruk, maka pernyataan tersebut adalah penistaan.

 

Dia tentu merasa tidak nyaman mengatakan itu, tetapi Dia harus berkata jujur sesuai dengan hati nuraninya. Puisi bisa menjadi ajang yang paling cocok dalam mengekspresikan hati nurani. Di dalam kejujuran, tidak terdapat penghinaan. Kejujuran justru merupakan salah satu jalan menuju Kebenaran. Saya juga seorang Islam, tetapi saya menghormati kejujuran Dia.

 

Saya justru sedikit kecewa bahwa Dia, Sukmawati, justru meminta maaf. Hal itu mengindikasikan bahwa kejujuran telah menjadi sesuatu yang semakin tidak kita sukai. Kejujuran menjadi sesuatu yang memalukan. Justru ketika Dia meminta maaf, hancurlah kejujuran itu. Bukan hanya kejujuran yang leleh, tetapi hancur pula contoh kesetiaan.

 

Dulu, pada masa negara otoriter dan tiranik, negara melarang rakyatnya untuk berkata jujur, terutama seperti yang disampaikan dalam karya sastra. Itulah sebabnya, terdapat sejumlah karya sastra yang dilarang. Bahkan beberapa sastrawan pernah masuk penjara. Bahan ada penyair yang dihilangkan oleh negara. Sekarang jika saya menghakimi Sukmawati dengan sewenang-wenang, maka yang tiranik dan otoriter adalah saya. Saya telah melarang berbagai bentuk ekspresi jujur, walau ekspresi yang disampaikan itu pahit. Sampaikanlah sesuatu secara jujur walau itu menyakitkan. Substansinya kejujuran harus dilindungi,

 

Puisi memang menjadi berbahaya justru ketika puisi tersebut muncul dari seseorang yang berprofesi ganda, karena orang tersebut memiliki modal sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik yang lebih besar dan tersebar. Bukan persoalan apakah Dia dan puisinya itu legitimatif atau tidak, tetapi justru dari efek profesi gandanya itu sendiri. Puisi dari “ruang antara” berpeluang besar mengintervensi berbagai wacana yang telah mapan. Inilah yang sedang terjadi.

 

Jika puisi tersebut muncul dari seseorang yang “murni seniman”, “murni penyair”, mungkin heboh puisi tersebut tidak akan demikian. Persoalannya, apakah seniman atau sastrawan murni akan memiliki keberanian dalam kejujurannya? Ini masalah yang kita hadapi bersama. * * *

Leluhur Karawang Pembentuk Peradaban

$
0
0

Leluhur Karawang

Pembentuk Peradaban

Naskah Kuno Ciranggon Diuji di Belanda

NASKAH kuno yang berada di Kampung Ranggon Desa Ciranggon Kecamatan Majalaya, sampai saat ini belum bisa dibaca oleh ahli kepurbakalaan di Indonesia. Menurut pemilik naskah kuno tersebut, Aji Jannah (51), ahli kepurbakalaan kesulitan membaca naskah tersebut, karena aksara naskah kuno yang ia miliki lebih tua dari aksara Palawa.


“Karena kesulitan membaca naskah kuno, kemarin ahli kepurbakalaan menscan naskah tersebut, dan hasilnya akan dibawa ke Belanda untuk diteliti,” ujar Aji Jannah. Aji mengaku, puluhan naskah kuno tersebut diberikan secara turun-temurun dari leluhurnya. Aji sendiri adalah generasi ke enam.
Sebelumnya adalah Abdullah, saefullah, Zaiban, Ohen, Dama, dan Aji. Naskah kuno yang ia miliki, sebagian besar bermediakan kulit dan batang lontar. Sedangkan aksara di naskah tersebut hasil dari ukiran. Meski ia tidak tahu persis sejarah naskah tersebut, namun Aji mengatakan, sampai kapanpun ia tidak akan pernah menjualnya. “Pernah ada orang yang nawar salah satu naskah sampai Rp. 150 Milyar, namun saya tolak karena ini amanat,” katanya.
Agar puluhan naskah kuno tersebut terpelihara dengan baik, dikatakan Aji, setiap satu minggu sekali Aji mencucinya dengan minyak muncang. Aji percaya, dengan minyak muncang, puluhan naskah kuno yang diamanatkan kepadanya tidak akan keropos. “Sudah turun temurun naskah itu dicuci dengan minyak muncang. Bahkan setiap bulan Maulud, saya mencucinya dengan bunga,” tuturnya.
Ia menceritakan, pada saat setelah ia menerima naskah kuno tersebut dari orangtuanya di tahun 1970, Kakak pertamanya bermimpi bertemu dengan manusia berjubah putih. Dalam mimpinya, manusia berbaju putih berpesan agar Aji memelihara benar-benar naskah kuno tersebut. “Akhirnya saya menjadi kuncen, setelah diberitahu oleh kakak tentang mimpi yang dialaminya,” terangnya.
Menurut Kepala Seksi Sejarah, Seni tradisional Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar), H. Firman Sopyan, Karawang adalah daerah yang paling banyak memiliki naskah kuno se-Jawa Barat. Dari 2000 naskah kuno di Jawa Barat, 300 diantaranya berasal dari Karawang. “Naskah kuno itu ada yang bahan dasarnya berupa bambu, kulit binatang, kulit kayu, dan kepompong,” tuturnya.
Aksara-aksara yang beredar di Indonesia atau Nusantara pada jaman dulu merupakan aksara yang digunakan sebelum kedatangan aksara Arab atau Latin. Penggunaan aksara-aksara itu mungkin sudah digunakan awal abad 4 sesuai dengan prasasti-prasasti kerajaan jaman dulu. Aksara-aksara di Nusantara merupakan turunan dari aksara Palawa yang berkembang di India bagian selatan, dan merupakan turunan dari aksara Brahmi yang merupakan cikal bakal semua aksara di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti di Indonesia, Malaysia, Brunai, Thailand dll.
Ia mengatakan, menurut penelitian yang dilakukan oleh salah seorang sejarawan Indonesia, Prof. Dr. Hj Nina Lubis, naskah-naskah tersebut kini tersebar di berbagai pelosok Karawang hingga ke Inggris dan Belanda. Naskah yang berisikan tentang sastra, sastra sejarah, sunda kuno, jawa kuno, paririmbon (kisah perjalanan), menurut Firman, rencananya akan dikumpulkan kembali di Karawang melalui museum Tarumanegara Pusat Sejarah Karawang (Pusaka) di tahun 2011. Sementara itu, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dalam jangka waktu dekat ini berencana untuk menelaah salah satu naskah kuno milik Aji Jannah, warga Kampung Ranggon Desa Ciranggon Kecamatan Majalaya. Hal itu dikatakan oleh salah satu peneliti dari Manassa, Tika melalui pesan singkat.
Menurut informasi yang berhasil dirangkum, Manassa adalah sebuah organisasi profesi yang paling terdepan dalam mengawal tetap terjaganya eksistensi warisan budaya dalam bentuk naskah-naskah tulisan tangan. Manassa, melalui beragam aktivitasnya, dapat dianggap sebagai semacam lembaga advokasi yang berusaha menumbuhkan kesadaran masyarakat atas pentingnya melakukan restorasi, preservasi, dan penelitian atas naskah-naskah Nusantara. Semakin tingginya minat penelitian naskah Nusantara di sejumlah perguruan tinggi juga tak lepas dari advokasi Manassa. Mendengar naskahnya akan ditelaah, AJi mengatakan, siapapun boleh melihat dan menelaah naskah yang dimilikinya secara turun temurun. Meski demikian, menurutnya sampai saat ini belum ada yang bisa membaca naskahnya tersebut. “Silahkan saja, mudah-mudahan bisa dibaca dan bermanfaat,” ujarnya.
Ia menuturkan, sebelumnya sudah ada empat belas orang ahli kepurbakalaan yang mencoba untuk membaca naskah kuno miliknya, namun kesulitan membaca naskah tersebut. Sebab, aksara naskah kuno tersebut diduga lebih tua dari aksara Palawa. AKhirnya ahli kepurbakalaan tersebut membawa soft copy naskah tersebut, dan membawanya ke Belanda untuk diteliti lebih lanjut. Menurut data yang diperoleh di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karawang, di Kabupaten Karawang setidaknya terdapat sekitar tiga ratus naskah kuno. Naskah kuno tersebut saat ini masih berceceran dan berada di tangan sejumlah masyarakat. Sebagian besar dari naskah kuno itu berupa tulisan Sunda kuno, Arab kuno, dan Jawa kuno. Sedangkan isinya, merupakan sastra, sejarah, dan primbon. Naskah-naskah itu ada yang ditulis pada daun lontar dan bekas kepompong. (*)

 

Masukan/Rekomendasi Dewan Adat-Budaya dan Adab Sunda Langeng Wisesa (SLW) untuk Para Paslon Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota Bogor

$
0
0

Draft mentah bahan Rapat Sabtu ini

 

Masukan/Rekomendasi Dewan Adat-Budaya dan Adab Sunda Langeng Wisesa (SLW)

untuk Para Paslon Bupati-Wakil Bupati

dan Walikota-Wakil Walikota Bogor

 WhatsApp Image 2018-04-14 at 1.48.11 AM

dirangkai oleh  AYS- (Sekretaris 2 SLW)

 

Latar

  • Ada satu hal yang kita lupa, selama ini, satu hal yang sesungguhnya vital, substansial bahkan sebagian kalangan menganggapnya kritikal, tapi ternyata dilupakan atau hampir sama sekali tidak disentuh dalam wacana, jargon, slogan, janji, ataupun retorika program pembangunan yang berkembang selama masa kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kota. Satu hal itu adalah: kebudayaan Lokal-Tradisonal.

 

  • Apa yang dominan dalam semua perang kata-kata semasa kampanye dalam Pilkada adalah segala hal yang melulu berkait dengan persoalan politik dan ekonomi moderen. Mungkin bukan kekeliruan. Namun, sekali lagi kita lupa, suksesnya dua hal utama (mainstreams) dalam pembangunan di atas, akan rapuh dan gagal menjadi dasar kedaulatan kita bila tidak diberi akar kebudayaannya; budaya dan adab Nusantara bangsa Indonesia.

  • Hal di atas kini jadi kenyataan di negeri ini. Kebudayaan, apalagi produknya yang utama, cq pendidikan-kesenian-kebudayaan, tidaklah menjadi fokus atau tujuan akhir dari kerja pemerintahan, di semua lini (legislatif, eksekutif maupun yudikatif). Posisi kebudayaan yang malah minor di hadapan anak kandungnya sendiri, pendidikan, membuat kehidupan berbangsa di semua lininya mengalami degradasi dalam nilai, adab-moralitas atau etika, maupun estetikanya.

 

  • Maka, dengan semakin kuatnya kesadaran publik akan akar masalah negara (dan kebangsaan) yang ada pada ranah budaya, perlu sekali bila kita melihat, memeriksa, mengkritisi, bahkan meminta janji/komitmen –lebih jauh lagi mungkin semacam “kontrak politik”—para calon pemimpin bangsa ini, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk lebih memperhatikan atau mengedepankan pembangunan kebudayaan.

 

  • Bagaimana pandangan, visi atau konsep mereka dalam dimensi yang satu ini, apa saja program-program yang telah mereka siapkan di kantung kekuasaan mereka; apakah semuanya dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan dasar bagi tumbuhnya ekspresi dan manifestasi kebudayaan/artistik bangsa ini; dan bagaimana pemecahan-pemecahan dasar bagi pematangan adab publik dalam melakoni hidup terkininya, dan sebagainya.

 

  • Dengan latar pikiran itulah, sebuah dialog yang tepat dan benar perlu dibangun antara calon pemimpin, dalam hal ini pasangan Cawalkot+wakilnya dan Cabup+wakilnya, dengan para Pupuhu Sunda (Rama/ Tokoh Adat-Budaya), dan para cendekiawan-budayawan (Reshi-Panditha-ulama) terbaik negeri ini untuk mendapatkan semacam kesepakatan/konsensus yang visioner, strategis, dan berjangka panjang, untuk perkembangan budaya dan adab bangsa Indonesia, demi lahir generasi baru yang lebih adaptif berintegritas, cerdas dan punya harga diri yang kuat di masa depan.

 

 

Dengan mempertimbangkan latar di atas,

Maka Dewan Adat –Budaya dan Adab Sunda Langgeng Wisesa (SLW) menyerukan sembilan pasangan calon wali kota – wakil wali kota dan calon bupati – wakil bupati Bogor periode 2018-2023 untuk dapat menempatkan program pembangunan Budaya Sunda sebagai prioritas  utama (Leading Sektor) dalam program kerja dan pembangunan bila terpilih menjadi pemimpin Bogor.

Ketua Umum Dewan Adat Sunda Langgeng Wisesa, Ki Karyawan Fathurachman mengatakan, sembilan pasangan harus memperhatikan budaya Sunda dalam merumuskan visi, misi dan program. Ia berharap, pasangan calon manapun yang kelak dipercaya warga Bogor untuk menjadi bupati maupun wali kota, agar memberikan sentuhan khusus pada bidang budaya. “Kami mengajak siapapun paslon yang akan dipilih warga Bogor menjadi bupati dan wali kota pada Pilkada 27 Juni mendatang, agar menempatkan pembangunan budaya sebagai prioritas,” beber wakil bupati Bogor periode 2008-2013 ini.

Ketua Bidang IT, Humas dan Kerja Sama Antarlembaga SLW Ahmad Fahir menambahkan, secara organisasi, rumah besar para insan seni dan budaya Sunda ini berprinsip netral dalam Pilkada. SLW menghargai apapun pilihan masyarakat Bogor. Diharapkan semua paslon pemimpin Bogor dapat bekerja sama dengan SLW dalam merumuskan agenda besar pembangunan budaya Sunda Bogor ke depan.

Fahir mengutarakan, pada 2017, UNESCO sudah menetapkan Indonesia sebagai negara adidaya pada bidang budaya. Sedangkan Bogor merupakan akar dan ibu kandung peradaban Nusantara, yang memiliki 300 lebih situs cagar budaya. “Kami berharap semua paslon bupati dan wali kota peduli budaya. Bogor merupakan situs penting peradaban Nusantara. Selama ribuan tahun Bogor menjadi ibukota Kerajaan Sunda, yang menjadi cikal bakal dari semua kerajaan di bumi Nusantara,” papar Fahir.

Sementara itu, pegiat budaya Ki Gatut Susanta didaulat menjadi ketua pelaksana diskusi publik dengan 9 paslon bupati dan wali kota Bogor. Ia mengaku akan bekerja sama dengan KPUD baik Kota maupun Kabupaten Bogor. “Kegiatan diskusi publik akan digelar bulan April. Kami akan konsultasi dengan KPUD, untuk kerja sama dan menyesuaikan waktu kosong kampanye,” ungkap Gatut yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Kota Bogor.

Gatut mengajak agar semua komunitas seni budaya dan berbagai elemen masyarakat Bogor bersinergi dalam pelestarian budaya Sunda di bumi Prabu Siliwangi. “Kami mengajak semua pihak guyub membumikan budaya Sunda, karena hakekatnya masyarakat adalah faktor terpenting pelestarian budaya,” kata Gatut.[1]

Dewan Adat Sunda Langgeng Wisesa (SLW) menyerukan 9 pasangan calon wali kota – wakil wali kota dan calon bupati – wakil bupati Bogor periode 2018-2023 agar menempatkan program pembangunan budaya Sunda sebagai prioritas bila terpilih menjadi pemimpin Bogor.

Demikian diutarakan Ketua Umum Dewan Adat Sunda Langgeng Wisesa, Ki Karyawan Fathurachman kepada wartawan di Bale Pakuan, Jl Rd Aspiya, Kelurahan Karadenan, Cibinong, Minggu (4/3/2018)

“Kami menyerukan 9 pasangan calon wali kota – wakil wali kota dan calon bupati – wakil bupati Bogor agar memperhatikan budaya Sunda dalam merumuskan visi, misi dan program,” ujar Karyawan Faturahman.

Karyawan berharap, pasangan calon manapun yang kelak dipercaya warga Bogor untuk menjadi bupati maupun wali kota, agar memberikan sentuhan khusus pada bidang budaya.

“Kami mengajak siapapun paslon yang akan dipilih warga Bogor menjadi bupati dan wali kota pada Pilkada 27 Juni mendatang, agar menempatkan pembangunan budaya sebagai prioritas,” beber Wakil Bupati Bogor periode 2008-2013 ini.

Ketua Bidang IT, Humas dan Kerja Sama Antar Lembaga SLW, Ahmad Fahir menambahkan, secara organisasi, rumah besar para insan seni dan budaya Sunda ini berprinsip netral dalam Pilkada. SLW menghargai apapun pilihan masyarakat Bogor.

Diharapkan, semua paslon pemimpin Bogor dapat bekerja sama dengan SLW dalam merumuskan agenda besar pembangunan budaya Sunda ke depan.

Fahir mengutarakan, pada 2017, UNESCO sudah menetapkan Indonesia sebagai negara adidaya pada bidang budaya. Sedangkan Bogor merupakan akar dan ibu kandung peradaban Nusantara, yang memiliki 300 lebih situs cagar budaya.

“Kami berharap semua paslon bupati dan wali kota peduli budaya. Bogor merupakan situs penting peradaban Nusantara. Selama ribuan tahun Bogor menjadi ibukota Kerajaan Sunda, yang menjadi cikal bakal dari semua kerajaan di bumi Nusantara,” papar Fahir.

Pada Kamis malam Jumat (1/3) SLW menyelenggarakan pertemuan untuk menyusun agenda strategis pengembangan kerja sama dengan 9 paslon bupati dan wali kota Bogor.

Pertemuan yang dilangsungkan di Bale Pakuan, Cibinong, dihadiri Ketua Umum Dewan Adat SLW Ki Karyawan Fathurachman, Sekretaris Umum  Deden Sukmaaji, Pembina SLW, Rama Said, Ketua Bidang Seni dan Pagelaran, Tjethep Thoriq, Ketua Bidang IT, Humas dan Kerja Sama Antarlembaga, Ahmad Fahir, dan Bendahara, Asep Sugandi.

Hadir pula sejumlah tokoh Sunda dari berbagai komunitas, yakni  Syarif Bastaman dari Baraya Kujang Pajajaran (BKP), penggagas kegiatan “Ngalokat Hulu Cai Cihaliwung”, Gatut Susanta,i Ali Khan, Romen dan puluhan pegiat budaya Sunda lainnya.

Gatut Susanta, yang didaulat peserta rapat untuk menjadi ketua pelaksana diskusi publik dengan 9 paslon bupati dan wali kota Bogor mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan KPU baik Kota maupun Kabupaten Bogor.

“Kegiatan diskusi publik akan digelar bulan April. Kami akan konsultasi dengan KPUD, untuk kerja sama dan menyesuaikan waktu kosong kampanye,” ungkap Gatut yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Kota Bogor.

Gatut mengajak agar semua komunitas seni budaya dan berbagai elemen masyarakat Bogor bersinergi dalam pelestarian budaya Sunda di bumi Prabu Siliwangi.

“Kami mengajak semua pihak guyub membumikan budaya Sunda, karena hakekatnya masyarakat adalah faktor terpenting pelestarian budaya,” kata Gatut.

Pada Minggu malam Senin (4/3) panitia yang dibentuk Dewan Adat SLW menggelar rapat koordinasi di Bale Pakuan, Cibinong. (rls)[2]

Dewan Adat Sunda Langgeng Wisesa (SLW) menyerukan sembilan pasangan calon wali kota – wakil wali kota dan calon bupati – wakil bupati Bogor periode 2018-2023 menempatkan program pembangunan budaya Sunda sebagai prioritas bila terpilih menjadi pemimpin Bogor. Ketua Umum Dewan Adat Sunda Langgeng Wisesa, Ki Karyawan Fathurachman mengatakan, sembilan pasangan harus memperhatikan budaya Sunda dalam merumuskan visi, misi dan program. Ia berharap, pasangan calon manapun yang kelak dipercaya warga Bogor untuk menjadi bupati maupun wali kota, agar memberikan sentuhan khusus pada bidang budaya. “Kami mengajak siapapun paslon yang akan dipilih warga Bogor menjadi bupati dan wali kota pada Pilkada 27 Juni mendatang, agar menempatkan pembangunan budaya sebagai prioritas,” beber wakil bupati Bogor periode 2008-2013 ini.

Ketua Bidang IT, Humas dan Kerja Sama Antarlembaga SLW Ahmad Fahir menambahkan, secara organisasi, rumah besar para insan seni dan budaya Sunda ini berprinsip netral dalam Pilkada. SLW menghargai apapun pilihan masyarakat Bogor. Diharapkan semua paslon pemimpin Bogor dapat bekerja sama dengan SLW dalam merumuskan agenda besar pembangunan budaya Sunda ke depan.

Fahir mengutarakan, pada 2017, UNESCO sudah menetapkan Indonesia sebagai negara adidaya pada bidang budaya. Sedangkan Bogor merupakan akar dan ibu kandung peradaban Nusantara, yang memiliki 300 lebih situs cagar budaya. “Kami berharap semua paslon bupati dan wali kota peduli budaya. Bogor merupakan situs penting peradaban Nusantara. Selama ribuan tahun Bogor menjadi ibukota Kerajaan Sunda, yang menjadi cikal bakal dari semua kerajaan di bumi Nusantara,” papar Fahir.

Sementara itu, pegiat budaya Ki Gatut Susanta didaulat menjadi ketua pelaksana diskusi publik dengan 9 paslon bupati dan wali kota Bogor. Ia mengaku akan bekerja sama dengan KPUD baik Kota maupun Kabupaten Bogor. “Kegiatan diskusi publik akan digelar bulan April. Kami akan konsultasi dengan KPUD, untuk kerja sama dan menyesuaikan waktu kosong kampanye,” ungkap Gatut yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Kota Bogor.

Gatut mengajak agar semua komunitas seni budaya dan berbagai elemen masyarakat Bogor bersinergi dalam pelestarian budaya Sunda di bumi Prabu Siliwangi. “Kami mengajak semua pihak guyub membumikan budaya Sunda, karena hakekatnya masyarakat adalah faktor terpenting pelestarian budaya,” kata Gatut.(*/els)[3]

“Bogor ini ibu kandung peradaban Sunda. Karena itu urang Bogor harus bangkit, dengan cara merevitalisasi identitas kultural dan memperkuat pelestarian nilai-nilai adiluhung warisan leluhur untuk mengangkat marwah Ki Sunda,” tambah Ki Karyawan.

Pemimpin Bogor pada masa silam, seperti Prabu Siliwangi maupun yang lainnya, memiliki rekam dan kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat Sunda, sehingga keharuman nama besarnya melegenda hingga sekarang.

“Spirit juang dan sosok pemimpin besar seperti Prabu Siliwangi perlu kita tiru dalam konteks kekinian, untuk meningkatkan peran serta masyarakat Sunda dalam membangun bangsa,” papar Wakil Bupati Bogor 2008-2013.

Ketua Bidang Pertanian Sunda Langgeng Wisesa, Ki Prof. Dr. Syarif Bastaman mengatakan, ada banyak garapan yang akan dikembangkan oleh organisasi ini. Antara lain pada bidang pertanian, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.

“SLW bersama pemerintah akan melakukan penguatan pada sektor pertanian dan sumberdaya alam, dengan cara mengedukasi masyarakat cara-cara tani ala karuhun Sunda. Selain memperkuat dari sisi sumberdaya manusia tentunya,” imbuh Syarif.

Ki Syarif mengungkapkan, cara tani ala leluhur Sunda memiliki nilai yang sangat holistik. Pertanian ala Sunda tidak hanya memperhatian soal kualitas dan kuantitas hasil tanam, namun juga menjaga keseimbangan alam secara berkelanjutan.

Untuk mengembangkan program SLW pada bidang pertanian dan sumberdaya manusia, Syarif berencana menggalang kerja sama dengan para komunitas kesundaan, kelompok tani, pesantren, sekolah hingga Universitas yang ada di Bogor.

“Kami akan bekerja sama dengan IPB dan pemkot atau pemda Bogor, sebagai perguruan tinggi terbaik di Asia pada bidang pertanian, untuk memperkuat sektor pertanian di wilayah Bogor,” terang Ki Syarif.

Pembina SLW, Ki Wahyu Affandi Suradinata mengharapkan kehadiran dewan adat ini dapat menjadi wadah efektif untuk memperjuangkan agenda-agenda strategis budaya Sunda, khususnya di wilayah Kota dan Kabupaten Bogor.

“Budaya dan bahasa Sunda menghadapi tantangan besar. Keberadaan Sunda Langgeng Wisesa diharapkan dapat menjadi wahana untuk pelestarian dan penguatan budaya Sunda di tengah masyarakat,” papar Kasepuhan Baraya Kujang Pajajaran (BKP). (Ry)[4]

………………. (manga kita sempurnakan bersama siang ini di gedung Kesenian Ruang DK3B)….. Ki Ahmad Y. Samantho

 

 

 

 

[1] http://www.metropolitan.id/2018/03/dewan-adat-sunda-serukan-calon-pemimpin-bogor-peduli-budaya/

[2] http://bogornews.com/berita-dewan-adat-sunda-serukan-calon-pemimpin-bogor-peduli-budaya.html

 

[3] http://www.metropolitan.id/2018/03/dewan-adat-sunda-serukan-calon-pemimpin-bogor-peduli-budaya/

 

[4] https://infodesanews.com/slw-tingkatkan-sdm-di-sektor-pertanian-ekonomi-dan-umkm.html

 

Masukan/Rekomendasi Dewan Adat-Budaya dan Adab Sunda Langeng Wisesa (SLW) untuk Para Paslon Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota Bogor

$
0
0

Sunda Langeng Wisesa (SLW) dh Yayasan Gentra Pajajaran

Draft mentah bahan Rapat Sabtu ini

 

Masukan/Rekomendasi Dewan Adat-Budaya dan Adab Sunda Langeng Wisesa (SLW)

untuk Para Paslon Bupati-Wakil Bupati

dan Walikota-Wakil Walikota Bogor

 WhatsApp Image 2018-04-14 at 1.48.11 AM

dirangkai oleh  AYS- (Sekretaris 2 SLW)

 

Latar

  • Ada satu hal yang kita lupa, selama ini, satu hal yang sesungguhnya vital, substansial bahkan sebagian kalangan menganggapnya kritikal, tapi ternyata dilupakan atau hampir sama sekali tidak disentuh dalam wacana, jargon, slogan, janji, ataupun retorika program pembangunan yang berkembang selama masa kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kota. Satu hal itu adalah: kebudayaan Lokal-Tradisonal.

  • Apa yang dominan dalam semua perang kata-kata semasa kampanye dalam Pilkada adalah segala hal yang melulu berkait dengan persoalan politik dan ekonomi moderen. Mungkin bukan kekeliruan. Namun, sekali lagi kita lupa, suksesnya dua hal utama (mainstreams) dalam pembangunan di atas, akan rapuh dan gagal menjadi dasar kedaulatan kita bila tidak diberi akar kebudayaannya; budaya dan adab Nusantara…

Lihat pos aslinya 1.743 kata lagi

  Bush Family Secrets Exposed

$
0
0
Dear Ahmad,
“If the American people find out what we have done, they will chase us down the street and lynch us.” – G.H.W Bush June 1992 to Sarah McClendon (White House Press Corps).
I’m posting today’s documentary as an exercise in gratitude. If we think the current political landscape is insufferable, we may remind ourselves that not long ago it was much, much worse, when the Bush junta (which includes the Clintons) occupied the corridors of power.
Filmmaker Jay Myers does a fine job of reminding us of what a pox on the planet that are the Bushes. He makes much out of their multi-generational involvement with the Yale University secret society Skull & Bones, a group which has been jokingly referred to as the “cyber catnip for conspiracy theorists.”

The equation of Skull & Bones and white male privilege is so strong that few know that they began inducting people of color in 1965 and women in 1991. We may be surprised to learn that a main focus of the 322 Order today is to induct LGBT members. According to a 2013 article in The Atlantic, “…the Bones crypt has transformed into a forum where women and racial and sexual minorities express their struggles (scenes that may have Bonesman William F. Buckley Jr. turning over in his grave). Hispanic members have explained they’ve felt like second-class citizens; Arabs have revealed incidents of Islamophobia; women have confessed to bouts of bulimia; and gay students have affirmed how hurtful epithets like ‘fag’ can be, Bonesmen report.”
I think it’s important to note the above because if we want to understand the mechanisms of elite control today based on what is celebrated and sought-after in the halls of the most notorious secret society in the Ivy League, we may see that techniques of oppression have shifted from outmoded Patriarchal Aryanism into incoherent Social Justice war.
But I digress. The video then launches into an exploration of the urban legend that Barbara Bush was the spawn of Sex Magick mage, Aleister Crowley aka “The Wickedest Man Alive”. I always thought this allegation to be patently absurd but this mashup includes a sequence from the 2007 British Crowley film, In Search of the Great Beast and I’m now convinced of the likelihood that Dubya was Crowley’s grandson.
Not having read Dubya’s 2010 autobiography, Decision Points, I’d previously missed his personal account of how mother Barbara saved her miscarried fetus in a jar and showed it to him.
This is all fun but when taken together along with pervasive allegations by Cathy O’Brien, Paul Bonacci and others of George Bush Senior’s pedophilia and child torture that led to a $1 million payday for Bonacci in Federal Court, it begins to form a very dark pattern.
This is to say nothing about how Dubya gleefully oversaw 9/11 and led the US into the illegal wars in Afghanistan and Iraq, with the former now in its 17th year as the longest in US history and with the war in Iraq murdering an estimated 1 million Iraqis. Bestselling author and Los Angeles County Prosecutor, Vincent Bugliosi, who lost only one of 106 cases that he ever tried made a legal argument for Dubya’s guilt in the murder of some 4,000 US service men and women during the Iraq War in a book that was uniquely ignored by the mainstream media, The Prosecution of George W. Bush for Murder. (US law doesn’t have jurisdiction to represent the murdered Iraqis).
Finally last week, the National Archives released another trove of documents relating to the JFK assassination. Everyone who was alive at the time remembers where they were – except for George Herbert Walker Bush, who many have accused of being involved. We may not have to wait long to know the details, as I’ve been told that the final documents detailing the identities of JFK’s assassins will be released as soon as George Bush Senior meets his master.
Running Time: 17 mins

 


Monotheisme Perennial Sunda Wiwitan

$
0
0

“Dina kapercayaana urang Sunda baheula ges teu aneh mun urang sering ngadenge kecap “Hyang Tunggal,nu dmn Para Dewata oge tunduk/bakti kanu jadi “HYANG,eta bukti kasebut dina Naskah Kuno “Sanghyang Siksa Kanda Karesiyan “(Prebakti)
“Balik deui kana Konteks, naon atuh anu di sebut “Hyang teh? “Hyang nyaeta sesembahana ajaran urg Sunda baheula(Jatisunda) dina tingkat pangluhur na anu sifat2 na aya ka catet/kaunggel dina Naskah kuno “Sanghyang Hayu. aya 11sifat “Hyang tunggal nu kacatet dina Naskah eta diantara na :
-1 Acitya : Moal kahontal ku implengan/Tidak akan terjangkau akal pikiran
-2 Adresya : Moal katingali ku pangjeueung/Tidak akan terjangkau oleh penglihatan
-3 Abyapadesa : Moal kajugjug tempatna/Tidak akan pernah terjangkau tempat nya
-4 Adwaya : Henteu aya dua na/Tidak ada dua nya
-5 Awijyana : Moal kahontal ku elmu pangaweruh mahapinter/Tidak akan pernah terjangkau oleh ilmu pengetahuan mahapandai
-6 Awimohita : Moal kabingungan/Tidak akan kebingungan
-7 Awarna : Henteu ngawujud rupa bentuk jenis kelamin/Tidak berwujud rupa bentuk,jenis kelamin
-8 Awasta : Taya asal-usul/Tidak berasal-usul
-9 Awacya : Moal katataan/Tidak akan terhitung sebutan nya
-10 Prabutarebawa : Raja tina satungkebing raja mahakawasa,moal aya nu ngungkulan/Raja dari segala raja mahakuasa,tidak ada yg akan menandingi
-11 Atyantarebawa : Maha kekal abadi/Mahakekal abadi.

‘Diluhur mun nilik kana ciri sifat2 na netelakeun pisan yen sama sekali nu di sebut “Hyang Tunggal eweh penggambaran jeng ka jaga pisan tingkat kasakralana..justru mun diperhatikeun hal ieu loba ka miripan na jeng ajaran islam nu dmn ayena urang Sunda jd Mayoritas pangagem na..tapi lain harti maksud nyaruakeun,da etamah sakur mirip tina kajian analisis sim uing maca..

#Sumber ieu tina hasil Kajian Naskah Kuno “Sanghyang Hayu : Undang A Darsa..

Prabowo dan Gerindra lagi Bokek, Ditawar Jenderal Tajir Dicukongin Tommy Winata

$
0
0

Copas Dari Group Pak Jenderal
✔Prabowo dan Gerindra lagi Bokek, Ditawar Jenderal Tajir Dicukongin Tommy Winata

1. Ada info valid nih, klo Jenderal aktif Gatot Nurmantyo mo beli posisi Capres dari @Gerindra seharga 5 Trilyun

“Gerindra Resah, Gatot Tawar Partai Prabowo Rp 5 Triliun?”

👉https://t.co/3TaIu1f8jq

2. Tawaran duit 5 T itu disampaikan @Nurmantyo_Gatot saat beberapa kali bertemu @prabowo

“Gerindra Resah, Gatot Tawar Partai Prabowo Rp 5 Triliun?”

👇https://t.co/tZPdvZmDHb

3. Gatot Nurmantyo tau bener klo @prabowo dan @Gerindra lagi bokek abis

“Prabowo Lagi Bokek”

👉https://t.co/Qcf0qM0fsx

4. Darimana Jenderal Tajir @Nurmantyo_Gatot ini dapat duit segede itu?

5. Sudah rahasia umum, banyak org tau bahwa sumber dana Jenderal Tajir @Nurmantyo_Gatot ini adalah dari pengusaha Tommy Winata, satu dari sembilan naga

“Sembilan Naga, Gengster Legendaris Asal Indonesia ?”

👉https://t.co/daYeB3ua78

6. Kedekatan hubungan Gatot Nurmantyo dengan Tommy Winata bisa kita lacak karena meninggalkan banyak jejak digital

“Saat Joan Laporta, Panglima TNI dan Tomy Winata Berkumpul di Tempat Latihan PS TNI‎ ‎”

👉https://t.co/tcYjB1fqd8

7. Salah satu jejak digital hubungan ini tercatat tanggal 10 juni 2017, Gatot Nurmantyo bersama Tommy Winata melepas harimau Sumatera di TWNC Lampung milik Tommy

“Bersama Tommy Winata, Jenderal Gatot melepasliarkan harimau Sumatera”

👉https://t.co/haV2ueBcDL

8. Sebelumnya, 2 April 2017, Gatot Nurmantyo terlihat sangat akrab bersama Tommy Winata hadir dalam soft launching PS TNI di kompleks Kopassus Jakarta Timur

“PS TNI Dapat Dukungan Tomy Winata”

👉https://t.co/1ISyV8e6eI

9. Saking deketnya hubungan Tommy Winata dengan Gatot, TW sampe minta tolong ke Gatot Nurmantyo untuk dipertemukan dgn Budi Waseso terkait kasus PT Maritim Timur Jaya

“Buwas: Saya Ingin Menolong Tomy Winata”

👉https://t.co/x89XqQRvVb

10. Sumber dana Gatot bukan hanya dari TW saja, tapi juga dari pengumpulan dana rente sejak menjadi KASAD

11. Sejak menjadi Kepala Staf TNI AD, Gatot sudah kaya. Rumor yg beredar kuat GN mendapatkan duit dari hasil memungut rente pengadaan alutsista selama jadi KSAD

“Proyek Pengadaan Alutsista RI Rentan Korupsi | KPK Harus Berani Selidiki Oknum TNI”

👉https://t.co/rMjrDlcWnP

12. Karena urusan duit rente, GN sampai konflik terbuka soal anggaran dengan Jenderal Moeldoko yg waktu itu jadi Panglima TNI dan juga berseberangan dengan Menhan Ryamizard Ryacudu

“Menakar Jenderal Gatot (4)
Saat Jenderal Gatot Beda Pendapat dengan Ryamizard”

👉https://t.co/wfGFBHIefN

13. Dengan sokongan TW dan aksi pemburu rente pengadaan, maka seperti yg diungkap Kivlan Zen, GN memang Jenderal Tajir

“Kivlan Zen: Uang Gatot Banyak, Melebihi Uang Prabowo”

👇https://t.co/VFMV92WQcl

14. Dengan modal harta berlimpah yg dikumpulkan bertahun-tahun, GN percaya diri maju jadi calon Presiden. Bahkan mau membeli @prabowo dan @Gerindra

“Gatot Nurmantyo Daftarkan diri Jadi Capres 2019 melalui Partai Gerindra”

👉https://t.co/gjlKBQUepe

15. Uang yg dikumpulkan GN dikelola konglomerat Tommy Winata. Yg nilainya sudah mencapai triliunan rupiah. Uang ini siap digunakan untuk modal nyapres

“Gatot Disebut Punya Banyak Dana buat Nyapres, Golkar: Uang Tak Menjamin”

👇https://t.co/HXB8LLOEFY

16. Walaupun dicukongi sembilan naga, GN masih juga jualan anti aseng dan PKI. Isu anti aseng dan kebangkitan PKI adalah settingan Tim GN

“Gatot: Isu PKI Bukan Dibangkit-bangkitkan, tapi Warning”

👉https://t.co/F58YtAbUcc

17. Dengan modal uang triliunan, GN bisa beli apa aja. Termasuk aksi tebar pesona dengan memberangkatkan 270 ulama umroh

“Jenderal Gatot Berangkatkan Umrah 270 Ulama-Kiai”

👉https://t.co/ByvPrKePpG

18. GN juga menggerakkan Kivlan Zen untuk turun ke Mindanao dalam rangka aksi tebar pesona pembebasan sandera

“Kivlan Zein Buka-Bukaan Soal Mengapa Bangsa Moro Ikut Bebaskan Sandera”

👉https://t.co/sKAiXurmbe

19. GN juga memodali Kivlan Zen provokasi ke daerah-daerah untuk menebar isu kebangkitan PKI

“Denny Siregar, Kivlan Zein dan Sandiwara Sang Jenderal”

👉https://t.co/Er0Os06bPx

20. Membiayai cecurut macam Kivlan Zen adalah uang receh bagi GN

“Gatot Nurmantyo Disebut Punya Uang Banyak Buat Modal Capres”

👇https://t.co/l3xVY8W0zW

21. Dengan para loyalisnya di TNI, GN mainkan isu penyerangan Ulama bagian dari operasi cipta kondisi keresahan, rawan dan situasi tidak aman dalam masyarakat

” PPP Duga Ada Orang Kuat di Balik Penyerangan Tokoh Agama”

👉https://t.co/cc0FcPEntA

22. Dengan dana yg besar, GN juga mau mengambil alih @Gerindra dari tangan @prabowo . GN menggunakan tangan TW di Gerindra seperti Desmond J Mahesa

“Desmond: Jokowi Lawan Prabowo Sekarang Tidak Seimbang”

👇https://t.co/SB6wcVA2gA

23. Desmond J Mahesa sudah lama dikenal sebagai kaki tangan TW termasuk ketika bermasalah dengan Majalah TEMPO

” Tomy Winata dan Desmond J Mahesa”

👉https://t.co/Z3a694PA3R

24. Dengan skenario @Nurmantyo_Gatot yg matang seperti ini, @prabowo dan @Gerindra masuk dalam jebakan Betmen

25. Kalau tetap maju, @prabowo akan maju perang dengan logistik yg cekak. Sedangkan kalau mundur jadi capres maka Prabowo akan memikul berton ton rasa malu
@Gerindra @Nurmantyo_Gatot

“Prabowo Kehabisan Uang?”

👉https://t.co/2vlezhOrr2

26. @Gerindra akan jatuh reputasinya menjadi partai “wani piro” yg mudah dibeli oleh Jenderal Tajir seperti @Nurmantyo_Gatot

“Jenderal Gatot Nurmantyo Daftar Capres Gerindra?”

👉https://t.co/gjGtW6tO61

27. Jika kemudian memang terjadi “transaksi” antara @Nurmantyo_Gatot dan @prabowo dalam membeli Partai @Gerindra , pada akhirnya bukan Indonesia yg bubar tapi Gerindra yg bubar karena berani menampung uang hasil pencucian kejahatan GN

“Jaksa Agung: Parpol Terima Aliran Dana Korupsi Bisa Dibubarkan”

👉https://t.co/Whwttqquxw

Chirpified: Prabowo dan Gerindra lagi Bokek, Ditawar Jenderal Tajir Dicukongin Tommy Winata https://t.co/pnHg4bNSyh

ATLANTIS DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA

$
0
0

ATLANTIS DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA

Radhar Panca Dahana, budayawan Indonesia terkemuka,  mengungkapkan bahwa sejak 5000 tahun sebelum Masehi hingga awal Masehi, bangsa Atlantis yang tersisa mengalami perubahan orientasi budaya dari budaya kontinental menjadi budaya maritim, yaitu budaya yang lebih terbuka dan toleran sehingga mudah menyesuaikan diri dengan wilayah samudera lainnya. Budaya maritin pada saat itu dikenal sebagai pelaut Nusantara. Hipotesis di atas juga diperkuat oleh Dick-Read (2008) dalam bukunya yang berjudul “Penjelajah Bahari”.

Hasil penelusurannya menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara pada awal tahun Masehi telah menaklukkan samudra Hindia dan berlayar sampai Afrika jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka. Antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Adalah fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia, sebagai contoh: kapal Jung. Demikian pula nelayan Madagaskar dan pesisir Afrika Timur banyak menggunakan Kano, sejenis perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri, yang mirip perahu khas Asia timur.

Hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut Indonesia pada masa pasca zaman Es atau masa akhir keberadaan Atlantis. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia di abad ke-5 M dari Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun yang lalu nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.

Banyaknya jejak kebudayaan di seluruh Afrika seperti adanya keterkaitan antara kebudayaan suku Bajo dan Mandar di Sulawesi dengan Suku Bajun dan Manda di pesisir Afrika Timur. Bukti lain pengaruh Indonesia terhadap perkembangan Afrika adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Malahan gambang ditemukan di Sierra Lions letak sebuah negara di wilayah pesisir Afrika Barat. Selain itu juga adanya kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife di Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.

Peradaban Maritim Di Indonesia

Relief Kapal Laut Nusantara di Borobudur

Radhar Panca Dahana, dalam makalahnya yang berjudul Adab Maritim Indonesia yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Alam, Budaya dan Falsafah Peradaban Sunda Kuno, di Bogor 27 Oktober 2010 lalu, mengungkapkan beberapa pertanyaan kritis dan gugatan mengenai kondisi bangsa Indonesia kini bila dibandingkan dengan sejarahnya luhur di bidang kelautan (maritim).

  1. Apa yang nampaknya membuat pemimpin negeri ini bangga dan percaya diri saaat ini, karena mereka merasa memiliki pencapaian pembangunan yang mengesankan, 6-1,1% persen secara ekonomi tahun ini?

Menurut Radhar,  ada beberapa alasan yang sebenarnya membuat rasa kebanggaan itu menjadi terasa banal juga artificial:

Sebagai negara keempat terbesar, dari jumlah penduduk, Indonesia sebenarnya berposisi paling lemah atau pariah, dari sudut yang paling diandalkannya secara ekonomi, dibanding tiga negara lainnya: Cina, India, AS. Bahkan jika dibanding dengan negara-negara besar di bawahnya, seperti Rusia, Brasil, Afrika Selatan, atau Argentina. Bahkan, lebih jauh lagi, dari beberapa negara Asia Tenggara yang ternyata mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, seperti Singapura (10%), Vietnam (9%), Malaysia, Thailand bahkan Filipina yang bisa mencapai (8%).

Relief Kapal Laut Nusantara di Borobudur

Begitupun dalam derajat politiknya. Kita tahu negara-negara besar seperti Cina, India dan AS, saat ini memiliki posisi politik yang sangat dan kuat strategis, dalam kapasitasnya mendesakkan pengaruh atau kepentingan nasionalnya di hadapan dunia. Berbagai kebijakan mereka, dalam soal kurs hingga pengembangan nuklir seperti membuat negeri lain tak berdaya, karena kekuatan politik dan diplomasinya. Begitupun negara-negara lain yang di bawah Indonesia, seperti Rusia, Brasil dan Afrika Selatan, yang kian hari kian menjadi penentu solusi-solusi setidaknya pada tingkatan regional. Sementara Indonesia, Nampak begitu gamang dengan posisinya sebagai traditional leader di kawasan, misalnya dengan ketidaktegasan menghadapi sengketa dengan Malaysia atau Singapura, dan melempemnya diplomasi yang hanya bisa bermain akomodatif.

Akhirnya dalam soal dignity, martabat dan harkat sebagai sebuah bangsa, kekuatan karakter dari pemimpin serta rakyatnya, kini mengalami degradasi habis-habisan dengan kultur elit dan pemimpin yang kian peduli hanya pada kepentingan diri sendiri, mengalienasi publik, dan pada akhirnya dialienasi oleh public dengan menyatakan ketidakpercayaannya pada negara. Publik sendiri, hampir tanpa pemimpin (negara), saat mereka melakukan berbagai tindak menyimpang, bahkan kriminal, atas orang atau kelompok lain. Kekerasan serta perilaku tanpa adab (sopan santun) di jalan raya, misalnya, sudah menjadi makanan batin kita sehari-hari.

  1. Banyak penyebab yang dapat diidentifikasi untuk menjelaskan latar belakang dari beberapa konstatasi di atas. Setidaknya ada dua argumen yang secara umum dapat menjelaskan hal itu. Menjelaskan terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang pada akhirnya menciptakan keprihatinan dalam hati kita, yang mungkin kian bimbang: “Apa sesungguhnya memang demikian diriku (kita) ini?” Satu persoalan yang harus segera mendapatkan jawaban, sebelum semuanya menjadi keterlanjuran, dan kita mengalami kegagalan bukan hanya sebagai sebuah negara, tapi juga sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah peradaban yang sejak ribuan tahun lalu diakui dunia.

Kedua argumen penyebab terkuat itu adalah:

Pilihan atas cara kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebuah pilihan yang akhirnya memberi konsekuensi pada kita untuk menggunakan sebuah mekanisme atau sistem, untuk mengatur cara kita hidup, menciptakan masa depan dan menetapkan cara bagaimana mencapainya. Sebuah pilihan, yang ternyata dan amat disayangkan, ternyata hanya menjadi bagian dari konspirasi elit (mereka yang memegang tampuk kekuasan dan mendominasi proses-proses pengambilan kebijakan), yang kemudian ditetapkan sebagai fait accompli bagi konstituennya, alias rakyat pada umumnya. Maka hiduplah kita sekarang, misalnya, dalam sistem politik, sistem hukum, atau sistem ekonomi tertentu, yang sangat kita ketahui, dalam prakteknya ternyata hanya menjadi cover atau pelindung, benteng kokoh pertahanan, dari kepentingan para elit saja. Rakyat secara sistematis dan structural –akhirnya—hanya menjadi konsumen, tepatnya korban, dari penerapan sistem-sistem itu. Rakyat memang dinafikan, dialienasikan, lebih jauh lagi dihumiliasi, dihinakan.

Hal berikut, yang mungkin lebih utama dari atas, adalah pengingkaran kita bersama, sebagai juga hasil konspirasi dari kepentingan elitnya, pada realitas (jati) diri kita sesungguhnya, baik sebagai individu, komunitas atau sebagai sebuah bangsa. Sebuah realitas (jati) diri yang sebenarnya terbangun sejak jauh hari di belakang, sebelum –katakanlah—sistem kapitalistik mengendap di negeri ini sejak masa VOC didirikan atau setidaknya sejak Gubernur Jenderal Daendels berkuasa. Kita pun hidup kemudian dalam realitas yang tidak real, palsu, arifisial, atau hanya bayang-bayang (wayang) dari refleksi diri yang diciptakan oleh para orientalis, indonesianis, atau kapitalis yang mencengkeram kuat tubuh dan pikiran bangsa ini, sekurangnya dala satu abad belakangan.

  1. Untuk itu tidak lain, secara imperatif kita diminta untuk menemukan kembali (reinventing) apa dan siapa diri kita sebenarnya. Sebuah penemuan kembali yang akan memperjelas keberadaan (existence) kita saat ini di atas bola dunia ini, dari mana sebenarnya kita berasal, hendak kemana kita pergi, dan bagaimana caranya kita bisa sampai di tempat tujuan. Tanpa mengidentifikasi hal-hal dasar yang ontologism itu, tentu saja kita tak berhasil menemukan epistemologi yang adekuat untuk merumuskan tujuan dan cara, paradigma yang tangguh untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan-kenyataan baru, hal-hal yang mungkin menjadi rintangan kita untuk maju.
  2. Tentu saja untuk usaha penemuan kembali itu diperlukan sebuah kerja yang keras, dan yang mesti mampu mengonvergensi semua upaya yang ada, dari semua disiplin yang tersedia, baik yang kita sebut –dengan banyak praasumsi—sebagai modern dan tidak modern (tradisional).

Dan ternyata untuk menemukan kembali diri sendiri, penelusuran diri ke belakang adalah satu hal yang tak terelakkan. Sayangnya berbagai buku-buku panduan yang tersedia untuk itu, termasuk yang disediakan oleh negara, bukan hanya tidak mencukupi, tapi hari dikaji ulang jika tidak harus dimusnahkan. Berbagai penemuan mutakhir memperlihatkan bagaimana buku-buku sejarah yang sudah sekian dekade menjadi pengisi memori bangsa ini, ternyata memuat data yang tidak akurat, bahkan keliru, terutama dalam kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya.

Sejarah bangsa ini misalnya, selalu diyakini dimulai dari abad ke-5 Masehi, saat ditemukannya beberapa prasasti (di Kutai dan Bogor) yang bertarikh di masa itu. Sebuah identifikasi yang mengabarkan –seakan—sudah pada galib dan kodratnya kita adalah pewaris sah dari kerajaan-kerajaan konsentris (pedalaman) berbasis agama Hindu dan Buddha. Sehingga kita kemudian menerima secara taken for granted dan melegitimas realitas kekinian kita yang hanya merupakan kelanjutan –dengan pembaruan seadanya di tingkat superfisial—dari adab dan budaya kerajaan pedalaman itu. Bahkan orang Jawa, lewat Mangkunegara IV, hingga kini meyakini hampir dengan taqlid bahwa nenek moyang mereka adalah seorang pangeran bernama Ajisaka, yang datang ke Jawa pada 78 M, tarikh dimana hitungan atau kalender Jawa bermuasal.

Tapi siapakah Ajisaka itu? Apa sesungguhnya makna dari produk kultural utama yang dia hasilkan, sehingga semua orang Jawa menautkan eksistensi diri padanya, sebuah runtutan alphabet ha-na-ca-ra-ka   da-ta-sa-wa-la   pa-da-ja-ya-nya   ma-ga-ba-ta-nga? Siapakah dia, Dewata Cengkar, raksasa pemakan manusia, durjana yang konon dikalahkan oleh pangeran? Kerajaan macam apa, sistem seperti apa, kedurjanaan yang bagaimana yang sebenarnya dikuasai dan dimiliki oleh Dewata Cengkar? Adakah sesuatu atau hal lain yang berada di balik Dewata Cengkar, sebuah tradisi, adab, atau kebudayaan yang mungkin jauh hari sudah ada sebelum raja jawa kuno itu?

Mungkin belum ada penjelasan yang adekuat atau –katakanlah—ilmiah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun setidaknya kita dapat mengidentifikasi beberapa konsekuensi logis dari kisah di atas. Pertama, sebelum Ajisaka sebenarnya telah berdiri sebuah kerajaan lain, yang lebih asli, yang bukan India, Hindu atau Buddha. Kedua, kerajaan lain atau asal itu tentu memiliki sistem, adat, kepercayaan ketuhanannya sendiri. Ketiga, ia berlangsung sudah cukup lama sehingga ia cukup kuat sehingga harus ditaklukan oleh pendatang. Keempat, logika ini sudah menjelaskan bahwa sebenaranya sang pendatang (Ajisaka) melakukan sebuah ofensi, perebutan kekuasaan, pengalihan adab dan kebudayaan, yang dalam terminologi modern disebut sebagai kolonialisme atau imperialisme. Dan kelima, dari mana sebenarnya adab dan budaya kerajaan kuno Jawa itu berasal, apa yang ada dan berkembang dalam adab dan budaya kuno itu?

  1. Penjelasan awal yang paling sederhana dari beberapa pertanyaan logis di atas bisa diambil dari pendekatan yang sangat dasar, yang berlaku untuk segala zaman, entah itu modern, tradisional atau primitif, yakni: geografi.

Pendekatan ini dengan segera akan memberitahu kita tentang realitas atau kondisi alam yang melekat di kawasan ini. Pertama, negeri ini sekurangnya sejak masa pencairan akhir (Pleistocen akhir) adalah sebuah negeri yang terdiri dari ribuan pulau, sebuah kepulauan. Kedua, posisinya yang tepat di lintasan khatulistiwa membuatnya mendapat iklim yang tropis, dengan konsekuensi adaptasi-adaptasinya, konsekuensi yang melahirkan adab hidupnya. Ketiga, letak masyarakatnya yang mau tak mau tersegregrasi oleh pulau-pulau membuat mereka menghimpun kesatuan-kesatuan etnik atau sub-etnik yang sangat beragam. Keempat, teknologi, cara pikir, pola perilaku, hingga sistem-sistem kepercayaan dan bermasyarakat yang diterapkannya (hukum, ekonomi, politik dan diplomasi), mau tidak mau disesuaikan dengan realitas geografisnya itu: tropis dan kepulauan (maritim). Kelima, berdasar temuan-temuan di bidang arkeologi, paleontologi, dan geografi, kurun yang dilalui oleh masyarakat kuno (pra hindu/India, mungkin juga pra-Jawa) itu adalah kurun yang sangat panjang (beberapa bahkan puluhan millenia), jika setidaknya dihitung dari ditemukannya tulang-tulang sisa dari manusia purba di seantero negeri ini.

  1. Dalam perkembangannya di masa kini, semua konstatasi di atas, mulai mendapatkan bukti-bukti fisik/mati (artefak) dan non-fisik/hidup (ecofak), yang membuat mata kita lebih terang dalam melihat diri sendiri. Jauh lebih terang ketimbang bacaan-diri yang direfleksikan oleh kacamata para peneliti atau pengamat asing. Bukti-bukti itu, secara konstitutif, ada dalam beberapa hal berikut:
  • Arkeologi maritim menemukan banyak bangkai kapal di bawah laut negeri ini, dengan tahun pembuatan mulai dari abad 7 SM, dengan teknologi pembuatan yang belum ada duanya dunia.
  • Catatan-catatan dari para penjelajah, geographer, atau sejarawan berbagai bangsa dunia (Mesir, Yunani, Cina), mengabarkan tentang penjelajahan pelaut-pelaut Nusantara, dengan kapal, hasil bumi, dan hasil budaya tinggi, ke berbagai sudut dunia.
  • Penemuan artefak-artefak di berbagai belahan dunia, termasuk di beberapa tempat di negeri ini (misalnya di gua Pasemah, Sumatera Selatan, gua Made di Jombang, Jawa Timur, lembah Mada di Sulawesi Selatan, Batujaya di Bekasi, atau banyak lokasi lain seperti Timor, Kutai, Maluku, Halmahera, dll) mengindikasikan bukan hanya terjadi perlintasan antar bangsa yang luar biasa, tapi juga kebudayaan advance yang telah dicapainya.
  • Penyebaran bahasa yang mencakup setengah dunia, dan mengikutsertakan lebih dari 400 juta penutur membuktikan keberadaan bangsa-bangsa di Nusantara ini di wilayah-wilayah lain di atas bumi ini.
  • Tumbuhan dan binatang, persenjataan, alat musik, hingga ilmu perbintangan dari berbagai kawasan, sejak dari Afrika, Timur Tengah, India, hingga Polynesia, memperlihatkan bagaimana pengaruh kultural sudah jauh lebih dulu terjadi, sebelum –katakanlah—bangsa India/Arya datang ke negeri ini.
  1. Beberapa fakta dan bukti itu, memberi kita banyak dasar atau alasan argumentative untuk mengatakan beberapa tesis/hipotesis di bawah ini:
  • Realitas geografis kita yang disesaki pulau-pulau dan dialiri selat-selat serta beberapa laut, yang dangkal maupun dalam, menciptakan sebuah teknologi pelayaran yang ternyata jauh mendahului teknologi pelayaran atau perkapalan dari negeri lain (Viking, Mesir, Mediterrania, Cina-Jepang, dsb). Sebuah kenyataan yang sangat logis, karena sebagai negeri maritim, negeri ini merupakan kepulauan terbesar di dunia. Kemampuan ini, membawa penduduk di kawasan dapat melakukan perjalanan juga migrasi ke berbagai tempat, yang dalam catatan mencakup setengah dunia, mulai dari Afrika/Timur Dekat di Barat, hingga kepulauan di Polynesia/Amerika di Timur, dari Szechuan/Cina di Utara hingga Selandia Baru di Selatan. Bahkan sejak 500 BCE, para pelaut negeri ini merajai semua ekspedisi laut seluruh dunia, dimana banyak negara dan bangsa besar tergantung padanya.
  • Berdasar realitas itu juga, sejak masa 10.000 BCE, sudah berkembang kesatuan-kesatuan masyarakat (yang kemudian mengalami sofistikasi menjadi etnik dengan kebudayaan dan sistem politik tertentu), di berbagai wilayah pesisir dimana masyarakatnya cukup intens dalam melakukan perjalanan laut, mengalami pertemuan dengan berbagai budaya lainnya.
  • Bandar-bandar bermunculan seiring dengan tatanan hidupnya, dengan kebudayaan dan produk-produk budayanya masing-masing. Mulai dari sistem kemasyarakatan, spiritualisme (agama), kesenian, alat-alat produksi, sistem ekonomi, ilmu-ilmu dari perbintangan, navigasi, pembuatan kapal, hubungan mancanegara (antar Bandar), hingga politik (kekuasaan). Semua didasarkan pada kenyataan geografis di atas, dan posisional sebagai lokasi yang lintasan utama dari pergaulan internasional (antar bangsa).
  • Terbentuknya sebuah alat komunikasi, bahasa dalam hal ini, yang mampu menciptakan hubungan fungsional di antara kesatuan-kesatuan etnik yang terpisah itu. Sebuah alat yang pada akhirnya turut berfungsi ampuh dalam menciptakan keeratan hubungan, kesalingtergantungan, kesatuan di antara para penghuni di kepulauan ini
  1. Lewat penalaran dan penulusuran waktu, dimana dan kapan semua hal di atas terjadi serta bermakna, mungkin dapat secara tentatif kita mengidentifikasi beberapa ciri khas, atau karakteristik dari kebudayaan masyarakat kepulauan/maritim, yang sejak belasan ribu tahun lalu berkembang di kepulauan Nusantara ini.
  • Masyarakat kepulauan ini dibangun melalui Bandar-bandar yang berdiri secara independen (otonom), baik dalam penciptaan dan pembangunan masyarakat, kebudayaan, sistem bernegara, dan lainnya.
  • Masyarakat yang dibangun di tiap Bandar itu memiliki ciri-ciri yang khas kepulauan, seperti terbuka, kosmopolit, egaliter-demokratis, cair dalam kodifikasinya (tidak membeku seperti masyarakat/kota pedalaman), yang artinya sangat plural dan berkesadaran multicultural yang tinggi.
  • Kebudayaan masing-masing Bandar terbangun melalui hubungan dan pertukaran yang intensif di antara mereka, maupun dengan kaum pendatang, juga anasir-anasir baru yang dibawa pulang oleh para delegasi kelautan mereka. Ini termasuk dalam sistem pemerintahan, ekonomi dan hukumnya.
  • Muncul sikap budaya yang saling menghargai, memberi respek, sebagai akibat logis yang perjumpaan berintensitas tinggi. Konflik dapat terjadi, namun di dalam budaya tiap etnik maupun dalam pola hubungan (pergaulan) di antara mereka, terdapat sistem untuk melerai atau meredam konflik-konflik itu dalam skema win-win solution. Artinya tidak ambisi atau gerak yang penuh nafsu untuk mendominasi atau mengkolonialisasi Bandar-bandar atau wilayan lain, sehingga tercipta pergaulan yang konstruktif dalam membangun kejayaan (kebudayaan)nya masing-masing.
  1. 9. Berdasar pada keyakinan spiritualnya animistik, setiap Bandar atau kesatuan etnik di kepulauan ini, membangun sistem kepercayaannya sendiri, dengan ritual bahkan dewa/tuhannya sendiri-sendiri. Polytheisme berkembang juga sebagai akibat pergaulan terbuka antar bangsa yang terjadi di antara mereka.
  • Kepribadian pun terbentuk, juga hingga di tingkat personal yang sesuai dengan kenyataan kolektif itu. Manusia-manusia berkembang menjadi penjelajah, perantau/pengembara, kaum migrant yang tidak pernah mengalami kesulitan dalam mengadaptasi diri dengan lingkungan barunya. Beberapa suku, Bajo misalnya, bahkan bersifat nomaden dalam arti maritim: rumah tinggalnya bukan lagi bangunan yang terpancang permanen di atas tanah, tapi perahu yang terus bergoyang di atas gelombang laut.

10.Realitas eksistensial semacam itulah –di antaranya—yang membuat (suku-suku)bangsa di kepulauan ini sangat dikenal sejak –sekurangnya—1.000-1.500 BCE sebagai kaum penjelajah yang menciptakan diaspora pertama di atas muka bumi ini. Jauh sebelum, misalnya, bangsa Yahudi, Arya, Armenia, Roma, Arab, India atau Cina melakukannya, di lepas abad Masehi. Dengan kata lain, menurut Daud Aris Tanudirjo, arkeolog senior dari UI, pada masa itu sebenarnya telah terjadi globalisasi pertama kali di sepanjang sejarah manusia, yang dilakukan oleh penduduk Nusantara ini. Sebuah gerak menyeluruh yang tidak hanya membawa hasil-hasil fisik alam dan budayanya (gajah, pisang, palawija, perkakas, teknologi dll) tapi juga sistem berpikir, bahasa, kepercayaan, hingga ilmu-ilmu maju yang ada di kala itu. Namun sekali lagi, globalisasi ini dilakukan dengan rendah hati, tanpa paksaan, dan secara soft atau kultural. Tak ada ambisi atau nafsu untuk mendominasi, menguasai, apalagi mengkolonialisasi, sebagaimana memang sudah menjadi adab di lokalnya.

Namun ternyata, semua kekuatan alam dan kekayaan budaya yang terbangun selama sepuluh milenia itu, kini seperti tiada bekasnya. Karena kemudian datang manusia-manusia dari (dunia/peradaban) daratan/kontinental, yang dibawa atau numpang pelaut-pelaut internasional kita, dengan nafsu dan ambisi untuk mendominasi wilayah yang berlimpah kekayaannya, Eden di Timur. Maka jadilah kemudian, seorang pangeran dari India Selatan, dari rumpun Pallawa, menabalkan dirinya sebagai pahlawan lewat mitologi ha-na-ca-ra-ka, mengangkat diri sebagai penguasa baru bahkan sumber identitas baru, acuan baru, genesis baru, yang bertahan hingga kini. Dialah Ajisaka. Kolonialis kontinental pertama di negeri ini.

  1. 11. Sejak itu, sejak dua ribu tahun lalu itu, perlahan kita menutupi bahkan membunuh perlahan-lahan semua sumber identitas kita; membunuh diri kita sendiri, membunuh masa kini dan masa depannya sendiri. Apa kemudian yang dapat kita lakukan, Anda lakukan untuk itu semua? Jawabannya, tentu

 

Indonesia Maritim: Berakhirnya Tipuan Ajisaka

Sekali lagi Radhar Panca Dahana, doktor filsafat dan budayawan dari UI, menggugat “kekeliruan sejarah” Indonesia. Menurutnya, tampaknya buku-buku sejarah Indonesia yang ada saat ini memang harus dihanguskan dan ditulis kembali dengan cara dan pendekatan yang sama sekali berbeda. Bukan hanya dengan sekedar menambahkan betapa di masa lalu, satu setengah milenium lalu, bangsa ini sudah memiliki armada maritim yang kuat di kerajaan Sriwijaya hingga Majapahit. Apalagi bukan dengan sebuah awalan yang mitis, ketika Ajisaka menurut Mangkunegara IV, mendarat di pulau jawa pada 78 M untuk mengadabkan bangsa-bangsa di kepulauan ini.

Lebih jauh dari itu. Lebih jauh bahkan dari perkiraan Radhar sendiri, ketika ia membaca karya masterpiece sejarawan Prancis, Dennys Lombard,  Le Carrefour Javanais, sepuluh tahun lalu, dimana Radhar menemukan data yang mengatakan adanya ekspedisi laut dari Jawa mendatangi Afrika dengan membawa hasil-hasil bumi berharga (emas, pala, pisang dll.) untuk ditukarkan dengan budak, pada 100 tahun sebelum Masehi. Kisah yang ditulis seorang geograf Yunani asal Mesir, Ptolemeus (110 AD) itu, memberikan sebuah sugesti tentang sebuah kerajaan kuno di Jawa yang sudah cukup advance, bahkan tingkat perdagangannya, hingga ia membutuhkan budak, jauh abad sebelum Eropa, apalagi Amerika memerlukannya.

Data-data  mutakhir dari para ahli maritim, baik tentang Afrika, Eropa atau Asia Tenggara, menghasilkan temuan-temuan yang sangat mengejutkan. Temuan yang menunjukan betapa bangsa Indonesia  adalah sebuah raksasa maritim yang diakui, dijadikan acuan bahkan disegani oleh bangsa-bangsa (berperadaban tinggi) lainnya di dunia seperti Mesir, India, Cina hingga Eropa. Dan hal itu sudah dimulai dari sebuah tarikh yang dalam imajinasi pun sulit kita menjangkaunya: 60.000 tahun yang lalu.

Di masa itu, sekumpulan manusia Australo-Melanesia yang berkebun dan berladang, keturunan langsung dari penghuni asal, Homo Erectus yang ditemukan fosilnya di Solo, mendiami dataran sunda, melakukan perjalanan sulit ke daerah kosong di dataran sahul, memanfaatkan siklus alam yang membuat permukaan laut turun hingga lima puluh meter dari pantai. Dan ajaibnya, dengan teknologi perkapalan sederhana, mereka berhasil mengarungi 70 km laut hingga Australia dan Papua Nugini, untuk menjadi nenek moyang dari bangsa Aborigin di sana.

Pada 35.000 tahun yang lalu, manusia yang sama, kembali melakukan penjelajahan samudra ke kepulauan Admiralty di gugusan kepulauan Bismarck yang berjarak 200 Km. Bandingkan dengan fakta bangsa Eropa menghuni pulau Siprus dan Kreta pertama kalinya, baru pada 8.000 tahun lalu dengan jarak tak lebih dari 80 Km. Dan penjelajahan bangsa purba Indonesia tidak berhenti, hingga sekitar 5.500 tahun yang lalu mereka menyebrangi pasifik untuk mencapai dan berdiam di pulau Fiji dan pulau Paskah (salah satu tempat terpencil di muka bumi), bahkan Hawaii dan dua pulau besar di Selandia Baru.

Penjelajahan terakhir di atas dilakukan oleh pendatang berbahasa Mongoloid-Austronesia yang datang dari Formosa (Taiwan). Melewati Selat Luzon mereka datang ke Nusantara membawa teknologi pertanian “tebang dan bakar” serta perahu bercadik sebagai alat penyeimbang. Di kepulauan besar inilah, mereka bertemu, bergaul, bercampur dan berkawin silang serta berketurunan dengan bangsa Australo-Melanesia asal Paparan Sunda, untuk kemudian mengembangkan sistem genetika, bahasa dan sistem budaya yang rumit. Sistem yang merupakan pencampuran kulit putih/kuning dan kulit gelap yang bagi banyak ahli “hingga saat ini masih saja memperumit penentuan pola rasial di Indonesia” (hal ini akan dibicarakan kemudian).

Yang jelas, di saat yang bersamaan nenek moyang bangsa Indonesia ini tidak hanya melakukan pelayaran dan penjelajahan mengagumkan ke timur, melintasi Pasifik, tapi juga ke barat menembus samudra Hindia. Banyak catatan para ahli ayng mengatakan bagaimana mereka akhirnya mendiamai dan membangun kultur tersendiri di Madagaskar, membentuk bangsa Afro-Indonesia, karena pergaulan ketatnya dengan bangsa-bangsa Afrika. Sebuah catatan bahkan mengisahkan bagaimana orang Madagaskar yang bahasanya “asing” menyatroni shamba-shamba dan desa-desa di pantai timur Afrika untuk menjarah dan memperoleh budak-budak.

Dalam literatur arkeologi dan antropologi tersebut bangsa Zanj (asal kata yang melahirkan Azania, Zanzibar atau Tanzania) di afrika timur, yang tidak lain adalah keturunan Afro-Indonesia dan menetap untuk berkolaborasi dengan orang Zimbabwe, jauh abad sebelum Arab dan Swahili datang ke sana. Keberadaan orang Afro-Indonesia mengesankan, karena merekan terlibat dalam pertambangan emas, hasil bumi yang membuat Zimbabwe begitu terkenal hingga paruh pertama millenum baru, masa yang sama dengan kerajaan Sriwijaya di pulau Swarnadwipa (pualu Emas).

 

Indonesia dalam Kitab Suci Bible

Maka tak mengherankan bila arkeolog Giorgio Buccelati menemukan wadah berisi cengkih di rumah seorang pedagang di Terqa, Eufrat tengah, yang hidup 1.700 SM. Atau arkeolog Inggris, Julian Reade, menemukan sisa-sisa kambing atau biri-biri di pulau Timor dari kurun masa hampir sama (1.500 SM). Tak ada penjelasan lain yang paling mungkin, selain cengkeh yang masa itu hanya tumbuh di kepulauan Maluku dan biri-biri yang hanya dikembangbiakan di Timur Tengah, dibawa oleh para pelaut andal Indonesia.

Ptolemeus sendiri menyebut beberapa kali kata baroussai, yang diyakini adalah kota dagang kuno Barus di Sumatra tengah, sebagai pengahsil kayu barus, dan pengekspor bahan-bahan utama pembuatan balsem untuk pengawetan mayat Raja Ramses II pada 5.000 SM. Ptolemeus juga menyebut sebuah kata yang juga dimuat dalam kitab tertua di Yunani, Periplous tes Erythrais Thalasses (Periplus of the Erythraean Sea) yang ditulis di pertengahan abad 1 M: Chrisye. Sebuah kata yang tidak lain menunjuk pada kepulauan di Indonesia, Sumatera khususnya.

Periplous menyebut kata itu dalam penjabarannya tentang empat jenis kapal yang ditemukan di India, dimana dua di antaranya, sangara dan kolandiaphonta dibuktikan keasliannya adalah kapal-kapal penjelajah samudra buatan orang Indonesia. Kata kolandiaphonta pun sebenarnya merupakan transkripsi dari teminologi Cina kun-lun-po, yang berarti “kapal dari selatan”, nama Cina untuk pulau Sumatera atau Jawa.

Bahkan Bible dalam I Raja-Raja 9:27-28 mengisahkan tentang Hiram dari 1.000 tahun SM yang mengikuti Raja Salomo dan mempersembahkan barang bawaan kapal-kapalnya berupa emas, perak, gading, kera serta burung merak (I Raja-Raja 10:22). Kata-kata yang notabene, setelah ditelusuri asal-usulnya tidak berasal dari bahasa Timur Tengah, bahasa India, Sanskerta atau Pali, tapi dari bahasa Dravida di Tamil Selatan. Sebuah daerah yang mengisahkan kejayaan hebat lain dari para pelaut Indonesia.

 

Indonesia Guru bagi Cina dan India

Penjelajahan laut bangsa Indonesia purba pada 5.000 tahun yang lalu, memang mengarungi Samudra Hindia terus ke barat melewati India dan Srilangka untuk menghindari perompak, maka akhirnya tak pernah tercatat dalam literatur India. Namun seorang petugas penangkap India kolonial yang kemudian menjadi etnograf kelautan, James Hornell, pada 1920 membuat catatan yang mengejutkan dunia ilmu, ketika ia menulis artikel tentang proses settlement orang-orang Polinesia (Indonesia) di India selatan, 500 tahun SM, di era pra-Dravida.

Berdasarkan temuannya tentang kano-kano bercadik, teknik memancing ikan hingga penggunaan senjata sumpit, yang semuanya adalah khas produk kultural bangsa Indonesia purba, Hornell membuktikan bagaimana bangsa pendatang itu akhirnya berakulturasi dengan bangsa Dravida untuk melahirkan sebuah kultur dan etnik baru. Di masa inilah, perdagangan dunia lintas benua mencapai puncaknya, begitu peradabannya. Dan bukti-bukti arkeologis memperlihatkan, bagaimana Cina yang mulai terlibat dengan perdagangan laut itu mempercayakan semua pengangkutan barang dagangannya pada para pelaut Indonesia.

Begitupun India, yang dianeksasi secara berdarah oleh bangsa Arya dengan bahasa Indo-Eropanya pada 1.800 tahun SM, berkembang menjadi bangsa yang hanya tahu daratan. Sebagaimana kesimpulan G.R. Tibbets, “Mayoritas ilmuwan abad 19, merasa sangat yakin bahwa bangsa India bukanlah bangsa pelaut”. Sebagaimana kita tahu, bangsa Arya yang berasal dari stepa-stepa kering di kawasan yang kini menjadi Ukraina, tidak pernah mengenal laut sepanjang hidupnya.

Seorang pengamat maritim India, Radha Kumud Mookerji, habis-habisan mencoba membuktikan keandalan pelaut India yang hampir semuanya terbantahkan. Termasuk bukti pamungkas di mana dia menunjuk relief perahu-perahu bercadik di candi borobudur -yang dibangun dengan bantuan tenaga ahli India- tidak lain tak bukan sebenarnya adalah perahu asli buatan bangsa Indonesia.

Jauh hari sebelum Cina membangun armada lautnya yang hebat, seperti yang diperlihatkan oleh Laksmana Cheng Ho misalnya, Indonesia sudah memberi pelajaran penting kepada mereka tentang bagaimana membuat kapal, mulai dari jenis jung yang sederhana hinga kapal layar ratusan ton. Untuk soal laut, Cina dan India, bukan apa-apa bagi indonesia, sejak dulu kala.

 

Tipuan Ajisaka

Maka, dari fakta-fakta yang diringkas di atas, bisa kita mendapat pemahaman bagaimana kebudayaan Indonesia sebenarnya telah dibangun dengan cara yang sangat mengagumkan, dari kehidupan dan pengetahuannya tentang kelautan. Bukan daratan. Dan itu tidak hanya membuktikan betapa sebenarnya jati diri dan identitas muasal kita adalah pelaut sejati, bangsa laut yang besar dan disegani di masa purba (pra-sejarah), yang berinteraksi secara intens dengan peradaban-peradaban besar dan purba di Mesopotamia, Babylonia, Indus hingga Cina, tapi juga serentak itu ia membantah sebuah keterangan sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa paria atau pinggiran, yang kini seolah taken for granted bagi kita, bahkan menjadi mitos.

Keterangan di atas membalik uraian sejarah formal bahwa Indonesia dibentuk oleh pendantang-pendatang dari sungai Mekong pada 3.000 tahun SM, atau kemudian diadabkan oleh bangsa India, disusul oleh Arab, Cina, dan Eropa. Kenyataannya kita adalah bangsa yang sudah berdagang jauh sebelum Yesus atau Nabi Muhammad lahir. Tidak mengherankan, bila banyak bukti baru yang mengatakan Islam datang ke Indonesia bukan lagi pada abad 11 lewat para mubalig Cina dan Gujarat, tapi sejak masa Nabi masih hidup. Bisa jadi begitupun dengan agam Kristen, Buddha bahkan Hindu.

Kita tahun kini, sejak bangsa Arya mulai menempati kawasan lereng Himalaya dan sungai Gangga pada tahun 1.500 tahun SM, mereka membutuhkan 1.000 tahun lagi (500 SM) untuk sampai ke wilayah selatan India, di mana ternyata sudah ada perkampungan orang Indonesia yang semarak di sana. Di masa itulah dipercaya, kitab-kitab utama Buddha lahir, kitab Vedha menyebar, dan Yunani melahirkan filosof-filosof yang tajam pikirannya.

Maka sebuah hal yang sangat masuk akal, orang Indonesia (Austronesia) yang bercampur dengan Dravida sebenarnya adalah lawan dari penjajah Arya yang tengah coba melebarkan koloninya hingga Srilangka. Di sinilah saya kira, mitologi Arya, Ramayana mendapatkan konteks historisnya. Rama sebagai raja Arya memerangi Rahwana, raja mahasakti Dravida. Dengan kelicinannya Rama menggunakan rakyat setempat yang takluk sebagai pasukan para di garda depan. Rakyat yang berkulit gelap yang dipersonifikasikan melalui monyet-monyet dan raja-raja monyet yang ditaklukannya.

Babak Ramayana yang mengisahkan bagaimana Rama membangun jembatan monyet untuk menyerbu Rahwana, Rana Sri Alengka (Srilangka), mengindikasikan bagaimana miskinnya pengetahuan Rama tentang laut, sehinga ia meminta bantuan bangsa Dravida-Indonesia yang takluk (yang digambarkan sebagai monyet) itu. Wajarlah jika, raja monyet paling sakti yang menghamba pada Rama, Hanuman, “dianugerahi” posisi khas: diputihkan kulitnya, sebagaimana kulit bangsa Arya. Padahal sesungguhnya Hanuman adalah pengkhianat bagi bangsanya sendiri.

Penaklukan besar yang teriwayatkan dalam sastra indah ini, memberi kita beberapa proposisi interogatif yang menantang: tidakkah kemudian penjajah kolonialis Arya di Dravida yang datang ke pulau Sumatra dan Jawa, memanfaatkan teknologi pelayaran nusantara, untuk menaklukan penguasa-penguasa pribumi di kepulauan itu? Tidakkah mitologi Ajisaka, bagi masyarakat Jawa, hanyalah sebuah legitimasi historis yang mitis, bagi penaklukan yang berpola sama denga Rama. Di mana Ajisaka menaklukan Dewata Cengkar (penguasa pribumi yang digambarkan sebagai raksasa, sebagaimana Rahwana), melalui senjata sederhana, kain pengikat kepala, sehingga membuat Dewata Cengkar tersingkir perlahan dan akhirnya tercebur ke laut, menjadi dhemit di selat Banyuwangi?

Betapa mitologi ini sudah menipu kita selama berabad-abad? Seakan orang Jawa ontologinya berujung pada pangeran dari India selatan yang membawa aksara hanacaraka, yang tidak lain kembangan dari bahasa suci Arya, Sansekerta? Semacam politik bahasa yang mengkerangkeng pola dan daya tutur penuh suasana dari bahasa Jawa? Betapa keliru karenanya, bila orang Jawa, khususnya para raja dan sultannya jika mengidentifikasi dirinya pada mitologi dan politik bahasa ini. Atau memang kerajaan-kerajaan di Jawa tidak lain adalah pewaris dan pelanjut dari tradisi kerajaan Arya yang berorientasi kontinental alias daratan?

 

Kekuasaaan Daratan

Saya kira di sinilah kunci persoalannya. Kekalahan bangsa pesisir Dravida-Indonesia membawa akibat sangat jauh: menciptakan kekalahan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan, dalam seluruh dimensinya. Ini memang masih bersifat hipotetik, datangnya kolonialis Arya awal dari daerah Dravida, India Selatan ke Indonesia membawa dampak kultural ikutan yang sangat dalam dan terasa bahkan menjadi given hingga di masa sekarang.

Dampak itulah yang dianalisis dengan cermat oleh Denys Lombard, sebagai lahir dan berkembangnya kultur daratan dari kerajaan-kerajaan konsentris di sekitar pusat atau pedalaman Jawa bagian tengah, di tempat-tempat yang hingga saat ini dikenal penduduk sebagai pakubumi, pusat dunia, di gunung Lawu dan sekitarnya. Kultur daratan ini tidak lain adalah transplantasi dari kultur stepa bangsa Arya, yang tidak mengenal laut sama sekali. Sebuah kultur yang dengan kekuatan peradaban kuno, penjelajahan daratannya yang panjang dan diaspora yang hebat kala itu, bangsa-bangsa terakhir itu takluk dan membiarkan dirinya tenggelam dalam cara berpikir, cara hidup, relasi sosial, spiritualitas hingga ekspresi artistik yang berpola pedalaman (daratan/konsentris).

Inilah muasal mengapa budaya daratan yang lupa lautan berkembang dingga hari ini. Yang membuat bangsa Indonesia dengan mudahnya dipengaruhi oleh kultur-kultur pendatang atau kolonial berikutnya, yang semuanya notabene adalah bangsa daratan, mulai dari Arab, Cina, Eropa, hingga Amerika belakangan hari. Tak mengherankan jika kemudian republik yang kita bangun, militer yang kita kembangkan, semua berorientasi atau didominasi oleh kultur darat.

 

 

Inti Diri (Maritim) kita

Maka sangatlah vital dan mendesak, bila kita ingin mengidentifikasi realitas diri kita, hidup kita, di masa kini (juga dulu dan nanti), mesti terlebih dulu membersihkan bekas-bekas yang keras dan dalam dari pendekatan-darat kita. Tentu saja hal ini sangatlah sulit, mengingat kultur kerajaan konsentris kini begitu meresap dan (dianggap) menjadi jati diri kita sebenarnya, termasuk dalam permainan politik mutakhir atau gerak ekonomi kita saat ini.

Namun hal itu mungkin bisa dimulai dari usaha mengidentifikasi pola rasial -seperti tersebut di halaman awal- juga pola relasi relasi kultural yang terbangun sejak bercampurnya bangsa dan budaya Mongoloid-Austronesia dengan Australo-Melanesia. Di lihat dari akarnya, bangsa Indonesia adalah manusia yang berkulit gelap, sebagaimana kita  temukan di pribumi Australia hingga Nugini dan Kepulauan Fiji. Bercampur dengan pendatang dari Formosa yang melintas selat Luzon, melahirkan suku-suku bangsa yang berkulit terang (Manado dan Maluku Utara) berhimpitan dekat bangsa berkulit gelap di Maluku selatan dan Papua.

Percampuran itu mengental bila kita bergerak ke selatan. Dengan sisa-sisa Melanesia pada kulit agak gelap dan rambut keritingnya pada suku-suku bangsa di timur Nusa Tenggara (bisa jadi Gajahmada berasal dari wilayah ini bila dilihat dari profil patungnya), hingga sampai pada Bali, Jawa dan Sumatra yang mulai coklat terang (sawo matang), yang boleh jadi juga karena percampuran secara genetik dengan albino Arya-Dravida. Maka lihatlah sebagian orang Jawa (orang kraton khususnya) yang relatif berkulit gelap, rambut lurus, dan hidung yang agak membengkok.

Tapi dari “hidung yang agak bengkok” inilah pergaulan atau inter-relasi budaya Nusantara yang sebelumnya terjadi secara dinamis, egaliter, terbuka dan cair (sebagaimana karakter bangsa pesisir/pelaut) berubah menjadi bentuk statis, tertutup, feodal dan kaku, sebagaimana tradisi kerajaan konsentris, seperti Demak atau Mataram. Usaha untuk melawan kecenderungan kultural itu, yang dilakukan oleh Mpu Sindok, dengan memindahkan pusat kerajaan ke kota pesisir Surabaya, dan mengangkat Gadjah Mada, yang bisa jadi pelaut sejati asal Flores, cukup sukses pada awalnya, tapi tenggelam juga akhirnya dengan datangnya agama daratan, Islam.

Agama baru ini datang dibawa oleh para mubalig-pengembara berasal dari kultur daratan (India, Arab dan Cina), yang lebih bisa berkompromi dengan tradisi Hindu/Buddha yang juga merupakan agama-darat. Bukan dengan agama para pelaut yang dewa-dewa dan tuhannya ada di lautan. Maka pergaulan budaya pun kembali memadat dan ketat, dalam regulasi semacam syariah, adat, dan sebagainya.

Kepadatan, keketatan, ketertutupan, ekslusivitas-feodal dan sebagainya inilah yang mesti coba kita lucuti untuk mengetahui dan memahami bagaimana budaya bangsa kita sebenarnya berakar dari dunia maritim. Dunia yang telah membawa kita ke ujung dunia terjauh, bahkan mungkin mencapai Amerika, sebelum Hsun-Fu diutus Shing-Huang Ti menjelajah ke sana, apalagi Colombus yang seperti anak kemarin sore.

Sebagai sebuah gugusan puluhan ribu pulau, ratusan sub-etnik dan bahasa, kita adalah bangsa yang menggunakan laut untuk berkomunikasi, berdagang, berakulturisasi, berproduksi dan berkreasi. Semua terjadi dalam kesetaraan, keterbukan dan kesediaan menerima yang asing (the other) secara ikhlas. Sebuah mekanisme budaya yang membuat suku-suku bangsa di kepulauan ini terus berkembang, memperkaya diri, tanpa ada dominasi (apalagi nafsu kolonisasi), dan pada akhirnya mempertahankan diri mereka sebagai sebuah kesatuan, bhinneka tunggal ika, hingga detik ini.

Pertanyaannya: dapatkah, lebih tepat mungkinkah, kita membalik kembali jalan sejarah kita? Dengan apa? Atau mungkin lebih pragmatis, perlukah? Di dalam peradaban mutakhir yang dikuasai oleh kultur kontinental (Eropa dan Cina, misalnya), adakah budaya bahari masih memiliki ruang untuk hidup? Apalagi dengan kecendrungan mutakhir, ketika laut dikuantifikasi menjadi jarak (bukan sebagai sebuah kehidupan) yang kemudian ditaklukan oleh teknologi (transportasi dan komunikasi, misalnya), adakah kebaharian masih perlu dipertahankan?

Lebih jauh lagi, beberapa bangsa sudah melihat darat dan laut bukan lagi masa depan manusia, karena keduanya kini hanya menjadi restan atau limbah dari kerakusan teknologi. Kini mereka berpaling ke wilayah lain: Udara. Daerah sans frontiere kata Gene Roddenberry dalam Star Trek. Daerah tak bertuan dan belum ada peradaban apapun yang membentuknya. Kesanakah orientasi diri kita kini harus menuju?

Sekalian pemikir di negeri ini harus menjawabnya.

 

Jakarta, 25 Oktober 2009

*ide untuk Pengantar Diskusi “Budaya Bangsa Bahari”,

Hotel Sultan Jakarta, 26 Oktober 2009

Jejak Warisan Penjelajah Samudra Nusantara di Afrika

Ceng Ho dan Colombus adalah dua pelaut ulung yang tersohor di penjuru dunia. Mereka terkenal sebagai figur tangguh yang berani menantang ganasnya samudra dengan perahu sejarahnya. Tapi tahukah anda, ternyata kepiawaian mereka jauh ketinggalan dari pelaut Nusantara. Mungkin anda tidak percaya begitu saja. Tapi, demi membuktikan kebenaran itulah Robert Dick-Read, peneliti asal Inggris bersusah payah menyusun buku ini.

 

Penjelajah Samudra Pertama

Dengan berdasar pada sumber sejarah yang berlimpah, Dick bercerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang sudah menjejakkan kaki di Afrika sejak abad ke-5 M. Jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika dan jauh sebelum bangsa Arab berlayar ke Zanzibar. Ceng Ho apalagi, pelaut China yang pernah mengadakan muhibah ke Semarang pada abad ke-14 M ini jelas ketinggalan dari moyang kita.

Yang menarik, penelitian Dick-read tentang pelaut Nusantara ini seperti kebetulan. Awalnya, ia datang ke mozambik pada 1957 untuk meneliti masa lalu Afrika. Di sana. untuk pertama kalinya ia mendengar bagaimana masyarakat Madagaskar fasih berbicara dengan bahasa Austronesia laiknya pemukim di wilayah pasifik. Ia juga tertarik dengan perompak Madagaskar yang menggunakan Kano (perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri) yang mirip perahu khas Asia timur. Ketertarikannya memuncak setelah ia banyak menghadiri seminar tentang masa lalu Afrika, yang menyiratkan adanya banyak hubungan antara Nusantara dan sejarah Afrika.

Dalam penelusurannya, Dick-Read menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra hindia dan berlayar sampai Afrika Sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka.

Di antara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro-Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.

Beberapa tanaman khas Indonesia yang juga tak luput dihijrahkan ke sana, semisal pisang raja, ubi jalar, keladi dan jagung. Menurut penelitian George Murdock, profesor berkebangsaan Amerika pada 1959, tanaman-tanaman itu dibawa orang-orang Indonesia saat melakukan perjalanan ke Madagaskar (h.237).

Bukan itu saja, di dalam buku ini kit akan menemukan berbagai hipotesa mengejutkan mengenai kehebatan pelaut Nusantara. Di antaranya, rentang antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara telah banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia. Bahkan kapal Jung yang banyak dipakai orang Cina ternyata dipelajari dari pelaut Nusantara.

Di Afrika juga ada masyarakat yang disebut Zanj yang mendominasi pantai timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Lalu siapakah Zanj, yang namanya merupakan asal dari nama bangsa Azania, Zanzibar dan Tanzania? Tak banyak diketahui. Tapi ada petunjuk yang mengarahkan kesamaan Zanj Afrika dengan Zanaj atau Zabag di Sumatera.

Dalam hal ini, Dick mengajukan dugaan kuat keterikatan Zanj, Swarnadwipa dan Sumatera. Swarnadwipa yang berarti Pulau emas merupakan nama lain Sumatera. Hal ini dapat dilihat dalam legenda Hindhu Nusantara. Dick menduga, banyaknya emas di Sumatera ini dibawa oleh Zanj dan pelaut nusantara dari Zimbabwe, Afrika. Karena, Dick juga menemukan bukti yang menyatakan tambang-tambang emas di Zimbabwe mulanya dirintis oleh para pelaut Nusantara yang datang ke sana. Sebagian tak kembali dan membentuk ras Afro-Indonesia. Mungkin ras inilah yang disebut Zanj (halaman 113).

Terlepas dari percaya atau tidak, nyatanya penulis telah menjabarkan banyak bukti yang menceritakan kehebatan pelaut Nusantara. Hal ini tentu menjadi kebangaan tersendiri bagi kita sebagai keturunannya.

Tapi, jangan berhenti sampai kebanggaan itu saja. Kita juga harus malu dan berbenah diri jika faktanya dunia kemaritiman kita saat ini jauh dari kehebatan mereka. Yang kita lihat sekarang, ikan kita banyak dicuri, banyak penyelundupan melalui laut, sedang armada dan peralatan Angkatan Laut kita tidak mencukupi untuk menjaga keamanan. Yang terparah, kredibilitas bangsa pun ikut kalah, ini bisa kita cermati dari kasus aneksasi pulau Ambalat oleh Malaysia dan ekstradisi Indonesia-Singapura yang merugikan kita.

Akhirnya, Adalah tugas kita semua sebagai bangsa untuk kembali menegakkan kejayaan kemaritiman yang pernah diraih oleh para moyang kita. Agar kita bisa berdaulat di lautan sendiri.

 

Tradisi Besar Maritim Nusantara

Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia.

Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika. Buku ini bercerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang berlayar sampai ke Afrika pada masa lampau, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika selain gurun Saharanya, dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi (Persia) menemukan kota kota-kota eksotis di pantai timur Afrika seperti Kilwa, Lamu dan Zanzibar.

Pendek kata, penelitian dalam buku ini mengungkap bukti-bukti mutakhir bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa eropa, Arab dan China memulai zaman penjelajahan bahari mereka. Sejak abad ke-5 M, para pelaut Nusantara telah mampu menyeberangi Samudera Hindia hingga mencapai Afrika.

Para petualang Nusantara ini bukan hanya singgah di Afrika. Mereka juga meninggalkan banyak jejak di kebudayaan di seluruh Afrika. Mereka memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru, teknologi, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam kebudayaan Afrika sekarang.

Dalam buku karya Dick Read ini, ada beberapa hipotesis yang cukup mengejutkan, yaitu:

  • antara abad ke-5 dan ke-7, kapal-kapal Nusantara mendominasi pelayaran dagang di Asia
  • pada abad-abad itu, perdagangan bansga China banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara
  • sebagian teknologi kapal jung dipelajari bangsa China dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan sebaliknya
  • dari manakah asal emas berlimpah yang membuat Sumatera dijuluki Swarnadwipa (Pulau Emas) ? Mungkinakah dari Zimbabwe
  • Mungkinkah tambang-tambang emas kuno di Zimbabwe dibangun oleh para perantau Nusantara ?

Dan masih banyak lagi data sejarah yang dipaparkan buku ini, yang pasti akan banyak mengubah pandangan kitas tentang kehebatan peradaban Nusantara pada masa kuno. Sebuah bacaan yang dapat menambah wawasan kita mengenai kehebatan nenek moyang bangsa ini.

Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.

”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.

Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.

Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.

Perahu Jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.

Tentang hal ini, Oliver W. Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China —juga antara China dan India Selatan serta Persia— pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.

I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di ”jalur sutra” melalui laut-meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary (alm)-sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.

 

Masyarakat Bahari

Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur Indonesia.

Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.

Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.

Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.

Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan. Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa?

Sebagai penduduk Indonesia sudah sepatutnya kita berbangga diri. Pasalnya, nenek moyang bangsa Indonesia ternyata adalah orang yang gemar berpetualang menjelajahi penjuru Bumi dengan menyeberangi samudra hingga mampu menyebarkan berbagai peninggalan yang masih dapat dijumpai hingga kini di berbagai tempat dataran benua Afrika.

Hal itu menjadi bukti bahwa jauh sebelum bangsa Eropa membanggakan diri karena mengklaim bahwa pelayarannya adalah yang terhebat di dunia karena berhasil melakukan perjalanan keliling samudra pada abad XVI, ternyata nenek moyang bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu melakukannya. Bahkan penjelajahan penduduk Indonesia dibarengi dengan fasilitas perahu dengan teknologi modern dan sarana pendukung yang serba canggih pada masa itu, hingga membuat perjalanan menyusuri ’dunia baru’ bukanlah sesuatu hal yang sulit dilakukan.

Sehingga dapat dikatakan jika pelayaran itu sangat heroik dan jauh di luar batas kemampuan berlayar bangsa mana pun di dunia pada era tersebut. Padahal itu dilakukan pelaut Nusantara seribu tahun lebih sebelum petualangan Columbus di era modern.

Penjelajahan Bahari akan mengajak pembaca untuk sejenak menikmati romantisme kejayaan bangsa Indonesia kuno. Buku ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian Robert Dick-Read, seorang Afrikanis dari London University yang disusun berdasarkan sumber data melimpah dan dapat dipertanggungjawabkan, yang merupakan hasil dari penelitian seni dan budaya di banyak daerah yang ada peninggalan sejarah dari Nusantara. Karir dan reputasi penulisnya dipertaruhkan dalam isi buku ini, karena hasil intrepertasinya bisa mengundang berbagai pertanyaan dan kecaman dari ahli sejarah yang berbeda pandangan dengannya.

Dari berbagai sumber yang telah diteliti, penjelajah laut dari Nusantara menginjakkan kakinya pertama kali di benua Afrika melalui Madagaskar. Kedigdayaan pelaut Nusantara yang tercatat pertama kali dalam sejarah adalah masa ketika kerajaan Sriwijaya, yang ibu kotanya di Palembang, tepatnya di tepi sungai Musi, berhasil membangun angkatan laut kerajaan terkuat, besar dan tangguh, yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.

Memang sejarah modern mencatat bahwa pelayaran keliling lautan luas pertama kali dilakukan oleh armada Cheng Ho dari negeri Cina dan pelaut Eropa di zaman Columbus. Padahal fakta itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun tidak ada catatan otentik yang tersisa, namun dapat disebut bahwa pelaut Nusantara yang dipelopori armada laut Sriwijaya sudah terlebih dahulu berhasil mengarungi samudra.

Menurut Robert Dick-Read, bukti mutakhir bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, Cina, dan India memulai zaman penjelajahan bahari masih bisa ditelusuri buktinya. Karena sejak abad ke-5 masehi, para pelaut Nusantara sudah mampu menyeberangi Samudra Hindia hingga mencapai benua Afrika dan masih meninggalkan jejak nyata hingga sekarang.

Sebuah inskripsi kuno pada abad VII masehi yang ditemukan di Palembang menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kelompok pertama pelaut Nusantara yang berhasil menyebarkan armadanya hingga daratan Afrika. Pasalnya, pada zaman keemasan Sriwijaya, saat itu penguasa kerajaan membutuhkan emas dalam jumlah besar dan mereka mendatangkan pasokan emas itu dari pertambangan emas kuno yang ada di Zimbabwe. Ditambah bukti adanya banyak penduduk Madagaskar pada masa lalu yang melakukan hubungan dengan penghuni Sumatra Selatan semakin menguatkan asumsi bahwa angkatan laut kerajaan Sriwijaya telah berhasil menduduki tanah yang ditemukannya itu.

Para petualang Nusantara ini tidak sekedar hanya singgah di dataran Afrika, melainkan juga menetap dan meninggalkan banyak kebudayaan di seluruh dataran yang berhasil disinggahinya. Banyaknya jejak pelaut Nusantara tersebut meninggalkan kebudayaan diantaranya dengan ditemukannya teknologi, tanaman baru, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa dijumpai dalam kehidupan masyarakat Afrika sekarang.

Misalnya dalam kehidupan masyarakat Zanj yang menghuni daerah Madagaskar bagian utara, mereka menangkap buruan dengan menggunakan keranjang yang sebenarnya mirip dengan teknik menangkap ikan di semenanjung Malaya dan Indonesia. Tidak banyak yang diketahui untuk mengungkap asal usul ras tersebut, namun ada satu petunjuk yang akan menggiring kita untuk menemukan jawabannya, yaitu Zanj adalah ras keturunan Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur.

Bahkan, tanaman ubi jalar, pisang raja, dan beragam jenis pisang yang hidup di daratan Afrika Timur juga merupakan tanaman yang dibawa oleh penjelajah Indonesia yang melakukan perjalanan ke Madagaskar. Dan pada waktu yang sama tanaman itu menyebar sampai Afrika Barat karena dibawa melalui perjalanan darat melalui Somalia, Ethiopia Selatan, dan Sudan (hal. 237).

Fakta di atas juga digunakan Alexander Adelaar (pakar lainnya) ketika mempelajari asal-usul bahasa Madagaskar. Dari hasil analisisnya, dia bahkan berani membeberkan hipotesis bahwa bahasa penduduk Madagskar (Malagasi) dan Melayu sangat mirip. Tidak hanya itu, kekuatan unsur genetik dan budaya Afrika di Madagaskar yang sangat besar, serta banyaknya jumlah kata dalam perbendaharaan kata masyarakat Afrika semakin memperkuat asumsi bahwa pulau tersebut dulu dihuni bangsa Afro-Indonesia, yang merupakan cikal bakal penduduk Nusantara.

Dalam buku ini, pembaca akan menemukan berbagai hipotesis mengejutkan yang mungkin selama ini belum pernah terpikirkan sebelumnya. Karena tidak ada literatur yang dengan secara gamblang menulis bukti bahwa antara abad ke-5 dan ke-7, kapal Nusantara telah berhasil mendominasi pelayaran dagang di kawasan Asia hingga mampu menjelajah jauh sampai ujung Afrika.

Bahkan jika selama ini masyarakat banyak percaya bahwa peradaban bangsa Cina menjadi pusat peradaban dunia tempo dulu, fakta itu termentahkan setelah membaca buku ini. Meskipun tak dimungkiri jika peranan Cina juga cukup besar di Asia, namun pada abad V sampai VII masehi perdagangan bangsa Cina banyak tergantung pada jasa dan suplai produk para pelaut Nusantara, bukan sebaliknya seperti yang selama ini tertulis diberbagai literatur.

Buku Dick-Read ini menyajikan beragam data sejarah yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat luas, bahkan kalangan sejarawan. Sehingga pembaca berpotensi akan banyak mengalami perubahan paradigma berpikir setelah membaca secara detail rangkaian fakta kehebatan peradaban Nusantara pada masa kuno yang pelayarannya mampu menyeberangi samudra hingga menemukan benua Afrika.  (Sumber:http://howto-bagaimana.blogspot.com/2010/03/jejak-warisan-pelaut-nusantara-di.html)

Legenda Aji Saka adalah Hoax ?

$
0
0

Selasa, 18 Oktober 2016

Aji Saka adalah Hoax?

Aji Saka adalah nama seorang tokoh legendaris yang banyak diceritakan masyarakat Jawa secara turun temurun di masa lalu.  Sumber tertulis tentang Aji Saka adalah Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka, Serat Witoradyo III, dan Serat Ajidharma Ajinirmala yang kesemuanya ditulis di atas tahun 1800.   Sumber penulisan manuskrip-manuskrip di atas juga berasal dari cerita legenda.  Maka tidak heran kaum rasionalis menganggap kisah Aji Saka tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

ajisaka

Asal-usul Aji Saka disebut dalam berbagai versi yang berbeda antara lain bumi Majeti, Arab, India, Rum, dan bahkan Ranggawarsita mengatakan ia berasal dari Lampung.  Ketidakjelasan asal-usul Aji Saka membuat imajinasi masyarakat semakin liar dengan munculnya nama alias dari Aji Saka antara lain Haji Saka, Sangiang Aji Saka, Prabu Jaka Sangkala, Begawan Sakawayana, Purwawisesa, Sri Aji Joyoamiseni, Prabu Widayaka, Prabu Sindula, Prabu Sri Maha Punggung III, Ki Ajar Padang III, bahkan ada yang menganggapnya sebagai Syaikh Subakir dan Nabi Ishak.

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan sederhana apakah Aji Saka benar-benar ada atau hanya tokoh rekaan.  Marilah kita bedah satu demi satu.

—————–

Bagi pembaca yang belum pernah mendengar kisah Aji Saka, ia adalah sosok yang dianggap sebagai penemu aksara Jawa hanacaraka dan penumpas kejahatan yang dilakukan raja Dewata Cengkar raja Medang Kamulan.  Karenanya, membahas Aji Saka seharusnya tidak bisa dilepaskan dari kelahiran aksara Jawa, penanggalan Jawa, Dewata Cengkar, dan Medang Kamulan.

  1. AJI

Kata aji dalam bahasa Jawa ditulis sama dengan kata haji.  Tentu berbeda dengan istilah haji dalam Islam karena orang Jawa masa lalu memakai istilah ‘kaji’ untuk menyebut orang yang telah berhaji.  Ada yang mengartikan ‘aji’ sebagai raja atau pegangan raja.  Kalau dirunut kebelakang, istilah ini telah ada sejak berabad-abad lalu dan tercantum dalam beberapa prasasti.  Misalnya dalam Prasasti Palepangan (906 M), luas satuan tampah haji adalah sekitar 9.818 s/d 11.170 m².  Apapun artinya, kata aji telah ada sekurang-kurangnya tahun 906 M.

  1. SAKA

Kata ‘saka’ (çaka) mempunyai beberapa penafsiran.  Satu kelompok pendapat mengatakan saka berasal dari bahasa Jawa ‘soko’ yang berarti ‘dari’.  Penganut penafsiran ini biasanya tidak rela kalau bahasa Jawa dan aksara Jawa berasal dari India.  Pada kenyataannya, istilah saka berasal dari bahasa sanskerta yang otomatis bukan berasal dari bahasa Jawa.  Saka sendiri merupakan nama suku Indo-Iran dari stepa Eurasia yang mendiami Rajastan, Madya Pradesh, Gujarat, dan Maharashtra.  Herodotus sejarawan Yunani Kuno abad 5 SM mengatakan bahwa semua orang Indo-Iran disebut dengan orang Scythian atau orang Saka.  Dengan demikian, istilah çaka telah dilafalkan orang pada abad 5 Sebelum Masehi.

  1. MEDANG KAMULAN

Medang Kamulan merupakan kerajaan kuno yang disebut dalam beberapa legenda berbeda dan beberapa manuskrip kuno.  Kamulan berarti permulaan sementara Medang merupakan kerajaan yang di kemudian hari dikenal juga dengan kerajaan Mataram Hindu.  Dengan demikian, Medang Kamulan secara bahasa bisa diartikan sebagai kerajaan pra-Medang.  Medang Kamulan merupakan kerajaan historis nyata karena disebut dalam berbagai manuskrip kuno misalnya salah satu teks lontar yang menerangkan lokasi Medang Kamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

“Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.”

Dalam kaitannya dengan Aji Saka, Medang Kamulan merupakan kerajaan yang dipimpin oleh raja Dewata Cengkar.  Seorang raja yang digambarkan sebagai raksasa zalim pemakan manusia namun bisa dikalahkan Aji Saka.  Berdasarkan prasasti Canggal, kerajaan Mdang atau Mataram Kuno berdiri tahun 732 Masehi sehingga kalau Aji Saka benar ada, ia seharusnya hidup sebelum tahun 732 Masehi.

  1. PENANGGALAN

Sebagian cerita di Jawa mengatakan bahwa Aji Saka adalah orang yang menciptakan penanggalan Saka.  Mari kita tengok cerita sejarah.  Istilah çaka memang terkenal karena menjadi tonggak penanggalan tahun Saka yang disebut juga dengan kalender Sâlivâhana.  Berbagai sumber sejarah tertulis mengatakan bahwa Śālivāhana adalah seorang raja di India.  Ia menetapkan hari ‘bulan mati’ bulan kesanga atau bulan Maret sebagai tanggal 1 – bulan 1 – tahun kesatu pada tahun 78 Masehi.  Kejadian penetapan penanggalan tersebut juga berada di India, bukan di nusantara.  Penanggalan Saka masih digunakan di masa sekarang oleh umat Hindu Bali dengan sedikit modifikasi menjadi Kalender Saka Bali berbentuk syamsiah-qamariah (candra-surya) atau kalender luni-solar.  Meskipun dimodifikasi, perbedaan 78-79 tahun dari tahun Masehi menunjukkan keterkaitan kalender Bali dengan kalender Sâlivâhana di India.  Dengan demikian, penanggalan Saka di Indonesia jelas berakar dari India.  Kalau Aji Saka merupakan penemu kalender Saka, maka seharusnya ia adalah Sâlivâhana.  Sayangnya tidak ada sumber sejarah tertulis di India yang mengatakan bahwa Sâlivâhana meninggalkan istananya untuk mengarungi lautan.  Kejayaan telah diraih sehingga kalau sang raja meninggalkannya akan menarik perhatian banyak orang dan pasti akan tertulis di banyak sumber.  Kenyataannya tidak ada satupun.  Sâlivâhana justru tertulis mempunyai anak keturunan di kerajaannya.  Jelas Sâlivâhana bukanlah Aji Saka.

  1. AKSARA JAWA

Aji Saka dikenal sebagai penemu aksara Jawa ‘hanacaraka’.  Apakah hanaraka itu?  Hanacaraka adalah deretan awal aksara Jawa yang dilanjutkan dengan datasawala, padajayanya, dan terakhir magabathanga.  Aksara Jawa modern saat ini sedikit berbeda dengan aksara Jawa tempo doeloe yang dikenal dengan aksara Jawa Kuno (= Kawi) dan menjadi aksaranya para penyair.

Apabila kita mendalami ilmu paleografi yang mempelajari aksara kuno, akan diketahui bahwa aksara Kawi berasal dari Aksara Pallawa (=Pallava) yang mengalami penyederhanaan bentuk huruf pada sekitar abad 8 Masehi.  Aksara Pallawa itu sendiri merupakan turunan Aksara Brahmi dan berasal dari daerah India bagian selatan.  Aksara Pallawa ini menjadi induk semua aksara daerah di Asia Tenggara (misalnya Aksara Thai, Aksara Batak, dan Aksara Birma).

Semuanya bukan tanpa bukti karena prasasti-prasasti bertebaran di Indonesia.  Marilah kita urutkan lebih detail lagi.  Huruf Pallawa pertama digunakan dalam prasasti Tugu di Bogor sebelum tahun 700 Masehi.  Huruf Pallawa terakhir digunakan dari abad 7 hingga 8 Masehi misalnya dalam prasasti Canggu.  Huruf Jawa Kuno pertama digunakan dari tahun 750 hingga 925 Masehi seperti dalam prasasti Polengan di Kalasan.  Huruf Jawa Kuno terakhir digunakan dari tahun 925 hingga 1250 Masehi misalnya dalam prasasti Airlangga.  Huruf Jawa Kuno masa Majapahit digunakan dari tahun 1250 hingga 1450 Masehi misalnya dalam lontar Kunjarakarna.  Huruf Jawa baru digunakan tahun 1500 hingga sekarang dimulai dari kitab Bonang (het book van Bonang) pada masa kerajaan Demak.  Aksara ini digunakan oleh para wali di tanah Jawa dan menyebar hingga sekarang.

Perubahan aksara-aksara tadi tidak serta-merta begitu saja.  Jadi dalam satu jaman tidak terdapat aksara pallawa akhir dan aksara jawa kuno pertama secara bersamaan, melainkan beberapa huruf pallawa berubah menjadi huruf Jawa kuno.  Istilah dibuat oleh manusia, demikian pula dengan istilah aksara pallawa dan jawa kuno.  Pada kenyataannya, aksara tersebut hanya berubah sedikit demi sedikit dalam jangka waktu ratusan hingga lebih dari seribu tahun.  Istilah kerennya adalah ber-evolusi.  Jadi aksara hanacaraka tidak diciptakan langsung makbedunduk begitu saja.  Aksara hanacaraka merupakan hasil akhir dari proses lebih dari seribu tahun.

NYATA atau REKAAN?

Dari ulasan AJI tampak bahwa istilah aji merupakan istilah kuno sehingga bisa saja Aji Saka memang ada.  Dari ulasan SAKA, tampak bahwa istilah saka berasal dari India.  Kalaulah Aji Saka merupakan nama orang, ia pasti berasal dari India atau sekurang-kurangnya diberi nama dengan pengaruh kuat dari India.  Berdasarkan PENANGGALAN, seseorang bisa saja mempunyai nama Aji Saka setelah tahun 78 Masehi karena istilah saka mulai populer di nusantara setelah tahun 78 Masehi.  Dari ulasan MEDANG KAMULAN, tampak bahwa legenda Aji Saka berlatar waktu sebelum Mataram Kuno alias sebelum tahun 732 Masehi.  Dengan demikian, posibilitas masa hidup Aji Saka adalah antara tahun 78 hingga 732 Masehi.

Sekarang mari kita lihat dari sisi yang paling penting dan menentukan, yaitu aksara.  Dalam ulasan AKSARA, tampak bahwa aksara Pallawa berevolusi di tanah Jawa menjadi aksara Kawi kemudian menjadi aksara Jawa modern saat ini.  Era aksara Pallawa berakhir di abad 8 Masehi.  Pada saat Sanjaya menegakkan lingga pendirian kerajaan Medang (=Mataram Hindu) tahun 732 Masehi, ia memerintahkan citralekha menuangkannya dalam prasasti batu cantik menggunakan aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta.  Ya, aksara Pallawa masa akhir.  Aksara Jawa Kuno yang paling tua ditemukan (hingga saat ini) adalah prasasti Dinoyo berangka tahun 760 Masehi.

Berdasarkan data singkat di atas, tampak tidak logis kalau Aji Saka menciptakan hanacaraka setelah tahun 732 Masehi karena Medang Kamulan sebagai setting waktu merupakan kerajaan yang eksis sebelum 732 Masehi.  Huruf Jawa Kuno pertama kali muncul tahun 760 Masehi dan itupun belum sempurna karena masih terus berevolusi hingga diakhiri Sunan Bonang tahun 1500an Masehi.  Tiga puluh satu konsonan hidup dalam aksara Pallawa berevolusi menjadi 20 konsonan hidup dalam jangka waktu ratusan tahun.

Pengarang legenda Aji Saka ingin mengaitkan Aji Saka dengan perubahan aksara Pallawa akhir menjadi aksara Kawi awal namun ia tidak tahu kapan huruf Pallawa berakhir.  Prasasti Canggal baru ditemukan tahun 1884 Masehi.  Salah satu manuskrip yang memuat kisah Aji Saka (yaitu Babad Sengkalaning Momana) ditulis oleh Pangeran Suryonegoro tahun 1865.  Andai prasasti Canggal yang masih bertuliskan huruf Pallawa ditemukan 19 tahun lebih cepat, mungkin pangeran yang cerdas ini akan berpikir ulang dalam menulis cerita Aji Saka.

Dalam satu bagian cerita, Aji Saka digambarkan membawa 20.000 keluarga dari India.  Jumlah yang banyak namun logis saja sebenarnya karena Dapunta Hyang Shri Jayanasa penguasa Sriwijaya pernah memberangkatkan 20.000 tentara menggunakan perahu.  Demikian pula dengan Laksamana Cheng Ho yang membawa 27.000 awak dengan 307 kapal.  Kalau yang dibawa Aji Saka 20.000 keluarga tanpa keahlian kemaritiman, mereka harus dibawa oleh awak kapal yang tidak sedikit sehingga kemungkinan total manusia yang dibawa Aji Saka kurang lebih sama dengan Cheng Ho.  Jumlah yang sangat besar namun mungkin dilakukan.  Yang mengherankan adalah, tidak ada bukti tertulis yang menceritakan rombongan besar tersebut.  Seharusnya ada peninggalan prasasti, lontar, manuskrip, atau legenda mirip-mirip yang diceritakan di berbagai daerah yang dilalui oleh rombongan.  Sebagaimana terkenalnya rombongan Cheng Ho di berbagai daerah yang dilaluinya.  Dengan demikian cerita Aji Saka membawa 20.000 keluarga adalah hoax.

Selain studi paleografi, bantahan legenda Aji Saka adalah dari segi genetik.  Sebelum mengaitkan dengan Aji Saka, mari kita ingat fakta yang lebih mudah kita pahami terlebih dahulu.  Bangsa Indonesia pernah dijajah oleh berbagai suku bangsa dunia dan masih meninggalkan jejak genetik di bekas tanah jajahannya.  Maka tidak heran di Aceh masih terdapat gadis bermata biru, di Depok masih banyak indo-Belanda berlogat Betawi, di kampung arang Purworejo terdapat keturunan tentara Afrika, dan begitu pula di berbagai pelosok Indonesia masih didapati orang-orang yang penampilan fisiknya berbeda dengan suku-suku yang ada di Indonesia.  Kemungkinan besar mereka adalah keturunan genetis dari bangsa manca yang pernah singgah di nusantara.

Nah salah satu bagian dari cerita legenda Aji Saka adalah wujud Prabu Dewata Cengkar beserta kroni atau “bangsa”nya yang digambarkan sebagai raksasa pemakan manusia.  Kanibalisme bisa terjadi di berbagai belahan dunia sehingga bagian kanibalisme tidak perlu diperdebatkan.  Yang dipermasalahkan adalah genetik raksasa yang seharusnya sedikit atau banyak tetap diwariskan kepada anak turunnya.  Kalaupun Dewata Cengkar tidak mempunyai anak turun, suku raksasanya seharusnya tetap mempunyai anak turun.  Kenyataannya, di area sekitar Demak (sebagai lokasi legenda) atau daerah tertentu di Jawa tidak didapati sekumpulan manusia bertubuh raksasa dibanding ukuran manusia Jawa pada umumnya.  Yang ada hanya satu dua gigantisme yang juga terdapat di berbagai bangsa lain.  Jumlahnya hanya satu dua kasus dalam setiap negara, tidak sampai menjadi sebuah suku.  Dengan demikian, suku raksasa tersebut adalah hoax belaka.  Sama hoaxnya dengan penggambaran Aji Saka sebagai penemu hanacaraka.

Akan berbeda kalau cerita legenda tersebut merupakan karya sastra yang bermakna filosofis, maka itu sah-sah saja.  Misalnya sifat buruk dan angkara murka digambarkan dengan sosok raksasa.  Sementara cerita Dora dan Sembada asisten Aji Saka yang melahirkan hanacaraka merupakan puitisasi alfabet Jawa.  Puitisasi yang sangat indah karena rimanya konsisten dan mampu membentuk cerita.  Huruf a b c d e f g tidak mampu membentuk cerita bukan?  Aji Saka merupakan nama bermakna filosofis yang dalam.  Puitisasinya juga sangat dalam.  Namun bukan berarti harus dianggap sebagai penemu aksara yang berevolusi selama seribu tahun.

Diposting oleh Novo Olshop di 02.36.00

http://novoolshop.blogspot.co.id/2016/10/aji-saka-adalah-hoax.html?m=1

Ajaran Leluhur Bangsa Nusantara

$
0
0

1. Yang pertama adalah MANDALA KASUNGKA dalam tingkatan ini seseorang masih memikirkan tentang” NAFSU SYAHWAT, GAYA HIDUP, KEKUASAAN ” serta segala yang bersifat “kebinatangan”. Merupakan kualitas manusia yang “terendah” .

2. Yang kedua adalah MANDALA SEBA tingkatan ini dimana seseorang masih memikirkan tentang “DIRINYA SENDIRI”.

3. Yang ketiga adalah MANDALA RAJA tingkatan ini hanya dapat tercapai jika seseorang memikirkan tentang “KEBAJIKAN DAN KEBAJIKAN”.

4. Yang keempat adalah MANDALA WENING dalam tingkatan ini hanya dapat tercapi jika seseorang telah memikirkan tentang “KASIH SAYANG’.

5. Yang kelima adalah MANDALA WANGI tingkatan ini hanya dapat tercapai jika seseorang telah memikirkan tentang “KEBENARAN”.

6. Yang keenam adalah MANDALA AGUNG hanya dapat tercapai tercapai jika seseorang telah memikirkan tentang “KEHIDUPAN BANGSA DAN NEGARA”.

7. Yang ketujuh adalah MANDALA HYANG dalam tingkatan ini mungkin seseorang di tingkat kewalian yang dapat tercapai jika seseorang telah memikirkan “KESEMESTAAN”

 Hasil gambar untuk mandala kasungka

SAPTA MANDALA SALIRA

(Tujuh lapisan Kesadaran dalam diri)

Seseorang yang telah mampu terlepas dari keterikatan duniawi (tan = tidak; akung = terikat). Pada malam seseorang melakukan peningkatan kesadaran spiritual dari kesadaran rendah (binatang) menuju kesadaran kelepasan (moksa) melalui jalan Tapa, Brata, Yoga dan samadhi.

 Hasil gambar untuk mandala kasungka

Ia akan membuat sebuah goresan lembut – halus perjalanan memahami kesadaran dirinya secara mendalam lewat meditasi ke dalam diri melintasi mandala-mandala yang tersusun rapi dalam energi halus pada tubuh astral sendiri. Perjalanan pendakian spiritualnya sang pelakon kisah Lubdhaka (Lubdha = Loba dan kebodohan) menuju ke kesadaran yang terang menderang membahagiakan. Dari perjalanan yang halus lembut ini tergores sebuah cerita spiritual Malam. Pendakian spiritual kedalam diri melintasi cakra-cakra (energi halus) yang tersembunyi di dalam badan.

Seperti pada Bhuwana Agung terdapat tujuh mandala (undakan) seperti : Bhuh, Bhwah, Swah, Mahah, Janah, Tapah dan Satyah.

Pada Bhuwana Alit juga terdapat 7 undakan atau lapisan kesadaran yang mencirikan sifat-sifat manusia itu sendiri. Ke-tujuh lapisan keasadaran itu adalah :  (1) Mandala Kasungka, (2) Mandala Seba, (3) Mandala Raja, (4) Mandala Wening, (5) Mandala Wangi, (6)Mandala Agung dan (7) Mandala Hyang.

1. Mandala Kasungka, (Cakra Muladhara di daerah sex, aura warna merah) merupakan undakan paling bawah/dasar, mencirikan bahwa manusia itu masih terikat oleh Sad Ripu dan Sapta Timira. Mereka yang berada pada Mandala dasar ini masih memiliki sifat-sifat binatang. Makan, minum, tidur selalu berlebihan. Memenuhi nafsu merupakan dasar kesadaran hidupnya. Hidupnya selalu berkeinginan berkuasa, mau menang sendiri tanpa peduli orang lain.

2. Mandala Seba, (Cakra Svadisthana di limpa, aura warna orange) merupakan undakan nomor dua, berarti manusia selalu berpikir demi dan untuk diri sendiri saja. Memenuhi perut sendiri, sementara tidak pernah memikirkan orang lain diluar dirinya. Mereka yang berada pada mandala ini masih jauh dari yang namanya memahami kehidupan orang lain. Mereka hanya menghargai diri sendiri dan tidak pernah peduli pada kehidupan orang lain, selalu menumpuk dan memupuk  mekayaan untuk diri sendiri. Orang semacam ini selalu ingin minta dihargai, namun tidak pernah menghargai orang lain.

3. Mandala Raja, (Cakra Manipura di empedu, aura warna kuning) merupakan undakan yang ke tiga, tiada lain adalah mereka yang telah memahami kesadaran kebenaran dan kebijaksanaan antara kata dan tindakan. Mereka yang sudah sampai pada mandala ini tujuan dari hidupnya hanya mencari kesentosaan hidup dan kesentosaan hidup orang lain. Mereka yang ingin menjadi pemimpin sepatutnya mengetahui mandala ini. Mereka yang berada pada mandala ini sudah memahami kesejahteraan orang lain tanpa mendahulukan kepentingan pribadinya.

4. Mandala Wening, (Cakra Anahata ada di jantung, aura warna hijau) yaitu merupakan mandala (undakan) ke-empat yaitu bagi mereka yang telah memahami nilai Cinta Kasih dan Kasih Sayang semua Makhluk. Tiada pernah berhenti untuk membuat orang lain  damai dan bahagia. Siapa  yang sudah sampai pada mandala ini tidak lagi mendahulukan kekuasaan dan mengumpulkan artha hanya untuk kebutuhan hidupnya saja. Tidak lagi melakukan kegiatan yang berlebihan (hura-hura), mengumbar kemampuan diri, memasalahkan klan/warna dalam kehidupan. Karena dalam pemahaman hidupnya bukan itu yang menjadi inti sari pemikirannya.

5. Mandala Wangi, (Cakra Visuddha pada tenggorokan, aura warna biru) merupakan undakan ke-lima. Mereka yang sudah sampai pada mandala ini dalam hidup dan kehidupannya selalu berdasar pada landasan Dharma. Dimana dan kapanpun perilakunya selalu berdasarkan dharma atau kebenaran. Bukan karena suatu agama, bukan pula karena suatu warna, akan tetapi memang dasar kehidupannya selalu memulyakan dharma itu sendiri. Dharmalah yang memenuhi tubuh, pikiran dan rasa pada dirinya. Memiliki keteguhan mental dalam spiritual.

6. Mandala Agung, (Cakra Agnya di antara kedua alis, aura warna nila) merupakan mandala ke-enam. Dimana pada mandala agung ini manusia yang tidak lagi membicarakan tentang warna, klan, ras, tidak ada lagi rasa perbedaan antara yang satu dengan orang lainnya. Disini mereka menyadari manusia adalah sama (Tatwam Asi). Yang menjadi inti hidupnya adalah kebahagian hidup sebuah negara, bangsa serta kebahagian hidup secara keseluruhan di muka bumi ini. Hanya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup semua makhluk yang menjadi tujuan hidupnya. Dapat menguasai diri, penuh ilham dan bijaksana mendalam.

7. Mandala Hyang, (Cakra Saharara adanya di ubun-ubun, aura warna ungu) mandala ini yang paling utama(luhur). Mandala Hyang merupakan puncak kesadaran pada diri manusia. Tingkat pencapaian rohani dengan ilahi, kesadaran kosmis. Mandala ini merupakan kesadaran manusia untuk memahami kesujatian diri. Pada mandala ini manusia memahami satu kesatuan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Pada kesadaran ini manusia hanya memikirkan kesadaran kemanunggalan antara Atma dan Paramatma (sangkan paraning dumadi). Menuju tempat kesadaran suci panunggalan dengan Maha Agung yang disebut Moksa (moksartam jagadhita). Terbebas dari keterbelengguan oleh hal kesenangan maya jagat ini menuju kebahagiaan yang Maha Agung Sempurna.

 

 

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live