Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Peringatan Suro dalam Tradisi Jawa & Sunda

$
0
0

Peringatan Asyuro di Semarang Lancar, Polisi Banjir Apresiasi
Senin, 2 Oktober 2017 | 23:14

Foto sebagian peserta acara Asyuro di Semarang.

Foto sebagian peserta acara Asyuro di Semarang.

Berita Terkait

SEMARANG– Puluhan tokoh lintas agama dan organisasi yang tergabung dalam Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Kota Semarang memberikan apresiasi kepada Polrestabes Kota Semarang dan Polda Jawa Tengah yang berhasil melindungi acara peringatan Asyuro yang diselenggarakan masyarakat muslim Syiah Jawa Tengah di Gedung UTC Jalan Kelud Semarang, Minggu (1/10/17).

Penolakan terhadap Asyuro sempat datang dari kelompok Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), Forum Umat Islam Semarang (FUIS) dan Front Pembela Islam (FPI) Jawa Tengah. Namun, Polrestabes Kota Semarang dan Polda Jawa Tengah mengerahkan ratusan personil untuk mengamankan sehingga kegiatan tahunan pengajian bersama ribuan warga Syiah itu berjalan lancar.

“Kami mewakili teman-teman dari lintas agama sangat mengapresiasi ketegasan jajaran Polrestabes Semarang dan Polda Jawa Tengah. Pernyataan Pak Abiyoso selaku Kapolrestabes bahwa peringatan Asyuro dilindungi undang-undang sehingga polisi wajib melindungi, dan siapa saja yang berniat membubarkannya harus berhadapan dengan aparat keamanan, itu sungguh memberi kepastian hukum dan menenteramkan warga Semarang,” kata Koordinator Pelita, Setyawan Budy, usai menghadiri acara Asyuro.

Bagi pria yang akrab disapa Wawan, sikap Polrestabes Semarang itu sangat mencerminkan citra Kota Semarang yang selama ini dikenal sebagai kota yang paling toleran di Jawa Tengah. “Jadi saya kira, ini menjadi bukti bahwa Semarang memang terdepan dalam merawat kebinekaan,” jelasnya.

Yang menarik, aparat menjaga agar pihak pelaksana maupun penolak sama-sama menjalankan aktivitasnya pada hari H. Sementara peserta Asyuro mengaji bersama di Gefung UTC, kelompok penolak juga dipersilakan berorasi beberapa ratus meter dari lokasi, dan tidak terjadi kerusuhan sedikit pun. “Kedua belah pihak bisa bebas berekspresi, berjalan bersama tanpa ada kericuhan, ini luar biasa,” tambah Wawan.

Persaudaraan Lintas Agama terdiri dari berbagai tokoh lintas agama dan pegiat kebinekaan sekota Semarang. Organisasi yang menjadi anggotanya antara lain LBH Semarang, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), EIN Institute, PMII Semarang, GMKI Semarang, Hikmahbudhi Semarang, Peradah Semarang, Kom HAK-KAS, LBH Apik Semarang, IPSS, dan masih banyak lagi. Pelita aktif membantu pemerintah kota dan jajaran kepolisian untuk menjaga kehidupan Semarang yang bhinneka.

“Kami senang sekali karena Kepolisian tegas melindungi hak setiap warga untuk bebas berkeyakinan dan menjalankan ibadah sesuai perundangan. Jadi ini sama-sama bergerak, pemerintahnya melindungi, kita sebagai masyarakat juga terus mengkampanyekan perdamaian,” tutur Wawan.

Dia menambahkan bahwa Semarang menjadi istimewa karena dua tahun berturut-turut Asyuro bisa berjalan lancar, meski ada penolakan. Menurut dia, di beberapa daerah lain kegiatan Asyuro gagal dilaksanakan karena ditolak kelompok intoleran, seperti di Jawa Timur, dan beberapa kota Jawa Tengah lain.

“Kami salut pada Pak Abi dan Polda Jateng, tidak terprovokasi oleh tuduhan dan fitnah yang disampaikan kelompok-kelompok intoleran. Dalam hal ini polisi benar-benar menjala

[01:54, 10/4/2017] +62 821-3215-0170:

1.SATU ASYURA penyatuan thn Jawa dng tahun Islam. oleh Sultan Agung
2.Jamasan pusaka, dimaknai oleh Sunan Kalijogo, bhw. barang siapa umat islam mencontoh, meniru; mengikuti apa saja yg dilakukan Nabi dan keturunanya. itu perbuatan Islami.
3.Menjelang tgl 1 Syuro, Sayidina Husein; cucu Nabi; memerintahkan seluruh prajuritnya agar siap siaga, memerangi negeri Karbala dimana disana penguasa masih menentang keras Nabi.


4.Meniru niru, spt halnya membersihkan pusaka seolah spt suasana menjelang perang; di Karbala,pd tgl 1 Asyura; oleh Sunan Kalijogo *PERBUATAN ITU TIDAK SIRIK*krn melestarikan perintah cucu Nabi.
6. Tgl 10 Asyro Sayidina Husen gugur sbg Shuhada, dimedan laga Karbala.
7.Di Indonesia
( budaya Jawa)
oleh umat Islam tgl 10 Asyura didesa desa masih diadakan kenduri peringatan. wafatnya Sayidina Hesen.
8.Selalu ada jenang abang dan jenang putih.
Jenang abang dihaturkan kpd Sayidina Husen, jenang putih dihaturkan ke Sayidina Hasan.
9.Syukur alhamdulillah; tata cara kenduri puji syukur 10 Asyuro sampai saat ini masih lestari di desa desa..( ada yg puasa tgl 9 dan 10 Asyura).
11.Jaman Sunankalijogo mungkin belum ada pertentangan antar mahzab.
10..Oleh Sunan Kalijogo dimasukan gamelan ke Masjid Agung kraton Kasunanan dan kraton Kasultanan dng nama Kyai SEKATI. di bulan Maulud. Kemudian umum mengatakan SEKATENAN..Sesungguhnya kata Sekaten dari kata SAHADATEN ( kalimah Shahadat).
11. Cerita BIMO SUCI dalam pewayangan, mengajarkan Habuminallah dan Habluminanas. Dimana achirnya Bimo bisa berdialog Tuhanya.
12..Lakon serat KALIMOSODO, adalan cara dgn budaya jawa Sunan Kaslijogo syiar Islam kpd orang orang di tanah Jawa.
Dalam lakon wayang tsb, barang siapa/ apa bila negara memiliki LAYANG KALIMOSODO, maka negara yg diperintah akan panjang punjung pasir wukir loh jimawi, murah kang sarwa tinuku, tukul
kang sarwo tinandur. widodo; basuki, bagyo mulyo. Beleive or not sumonggo kerso. anut lakune agama lan kapercayane dewe dewe. Wass.Kyai. Kartosuro.

[01:55, 10/4/2017] +62 821-3215-0170: Orang Jawa sejak dahulu kala sudah menentukan sikapnya. Wujud dari “perlawanan” orang Jawa terhadap islam-kekuasaan atau imperium-islam adalah dengan perlawanan budaya, contohnya kepercayaan KEJAWEN. Keyakinan Kejawen yang WUJUDIYAH atau Manunggaling Kawulo marang Gusti atau wahdat al wujud adalah strategi kebudayaan melawan islamisme dahulu kala dan berpihak atau membela Al Husain cucu Nabi yang dibantai umat Nabi yang telah berubah menjadi islamisme.

[20:05, 10/2/2017]

 

IMAM HUSEN
Anggitan Kang Jalal

1
Imam Husen imam kaum mustadh`afin
Ngocorkeun getihna
Ngajait nasib nu leutik
Ngabela umat tunggara

2
Tara sepi pamingpin anu munafik
Ngabobodo rayat
Majar Islam nu diaping
Padahal mangeran dunya

3
Yazid nyebut maneh Amirul mu`minin
Raja nagri Islam
Bari solat bari haji
Kalakuan euwah-euwah

4
Rayat ceurik balilihan ting jarerit
Hartana dirampas
Jasmanina dinyenyeri
Jaba batin digerihan

5
Imam Husen sumegruk bari lumengis
Di makam eyangna
Bari ngeprikkeun kasedih
Ngemutan umat nu lara

6
Islam nu hak kalandih ku Islam batil
Imam ditebihan
Nu ngagem Islam nu asli
Dicempad majarkeun murtad

7
Imam Ali nu nyangking wasiat Nabi
Pahlawan khaibar
Kakasih Rabbul Izzati
Dila`nat di mimbar-mimbar

8
Di Karbala poek mongkleng sepi jempling
Panon poe sirna
Murubut hujan ti langit
Hujan getih jeung cimata

9
Di Karbala ngababatang raga suci
Putrana Fatimah
Deudeuh teuing putu Nabi
Ditandasa ku umatna

10
Mastaka nu sok diambung Kanjeng Nabi
Kiwari papisah
Ti jasad kakasih Gusti
Ditancebkeun dina tumbak

11
Di Karbala ngagolontor getih suci
Ti para syuhada
Anu tigin kana jangji
Bumela ka Imam Jaman

12
Kumaha rek kenging syafaat Jeng Nabi
Umat nu hianat
Ngiclik nuturkeun si iblis
Bahula ka Rasulullah

Kanjeng Rasul, hapunten abdi nu dolim
Nu teu mirosea
Perlaya na putu Gusti
Al-Husen Abu Abdillah
Ngiclik nuturkeun si iblis
Bahula ka Rasulullah

Kanjeng Rasul, hapunten abdi nu dolim
Nu teu mirosea
Perlaya na putu Gusti
Al-Husen Abu Abdillah

#alwayssayshalawat ⚘
#Muharram
[20:06, 10/2/2017] Kemal: Eyang Prabu Siliwangi sangat paham riawayat dan sejarah Karbala makanya tidak ada pertumpahan darah dalam menerima Islam. sampai Eyang Prabu Suryakencana raja terakhir Pajajaran cukup bisa menerima Islam secara menyeluruh dengan “mengadu kesaktian lewat ayam di Pulosari Pandeglang. tidak ada peperangan.
[20:08, 10/2/2017] Kemal: Karena Eyang Prabu tahu betul juriyah siapa Sultan Maulana Yusuf Banten. 🙏🏼🙏🏼👍



WARISAN KEARIFAN DAN  KETELADANAN PRABU SILIWANGI

$
0
0

 

 Oleh Ahmad Yanuana Samantho

(Penulis beberapa buku sejarah dan Buku Kerajaan Pakuan Pajajaran di Tengah Pusaran Sejarah Dunia, Sekretaris 2 Sunda Ormas Langgeng Wisesa/SLW)

 

Kepopuleran Prabu Siliwangi di kalangan masyarakat Sunda dan Nusantara sangatlah tinggi, sehingga kadang melampaui dimensi sejarah dan menembus batas mitologis dan legendaris. Namun demikian, bagi sebagian generasi muda –yang sudah banyak terpapar dan terimbas teknologi informasi modernisme global-  legenda sejarah Prabu Siliwangi itu belumlah terlalu menyebar merata, Padahal warisannya sangat berharga bagi masa depan mereka, dan kita semua.

Tulisan ringkas ini mencoba mengais kembali apa yang masih tersisa dan selayaknya dilestarikan dari kearifan budaya dan karakter adab leluhur Sunda tersebut, yang tentunya tidak hanya akan bermanfaat bagi orang Sunda saja, tetapi juga bagi bangsa kita Indonesia dan bahkan bagi kemanusiaan sedunia, saat ini.

Walaupun banyak informasi tentang Ketokohan Eyang Prabu Siliwang yang tidak hanya merujuk kepada satu tokoh Raja Sunda Pakuan Pajajaran historis saja, namun secara umum merujuk kepada Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata (sebagaimana namanya tercatat dalam Prasasti Batu Tulis yang ada di Bogor).

Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 M (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan BatutulisKecamatan Bogor SelatanKota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap sebagai penanda lokasi situs ibu kota Pajajaran.[1] Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (putra Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja, yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran  ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:

0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu

diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri

baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé-
wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-
kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu

ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-

la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga
rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca pandawa ‘(m)ban bumi 0 0

Sejarawah dan Ilmuwan Saléh Danasasmita, menterjemahkannya isi prasasti  itu demikian:[2]

Yang artinya:

“Semoga selamat, inilah tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.

Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”.

Dengan demikian keberadaan Kerajaan Pakuan Pajajaran Bogor tidak bisa dibantah lagi bukti-buktinya, walaupun ada salah seorang sejarawan yang menolak dan menganggap Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi-nya cuma mitos saja[3]. Salah satunya yang terkuat adalah Prasasti Batutulis yang sudah diterjemahkan bahasanya, script atau tulisannya oleh beberapa ahli, di antaranya oleh Friederich (1853), Holle (1869), Pleyte (1911), Purbacaraka (1921),  dan Noorduyn (1957).

Orang Portugis yang mengunjungi Pakuan dalam pertengahan Agustus 1522 untuk memenuhi undangan Prabu Surawisesa, putera serta pengganti Sri Baduga mencatat bahwa penduduk Pakuan kira kira 50.000 orang (belum termasuk penduduk sekitar kota)

Tome Pires dari Portugis itu uga mencatat kemajuan pada jaman Sri Baduga: ”The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men”. (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang orang jujur)  juga diberitakan bahwa bahwa kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke Kepulauan Maladewa (Afrika) dan produksi lada yang mencapai hasil 1000 bahar setahun, bahkan hasil komoditi dagang tamarin (asem) cukup untuk mengisi muatan seribu buah kapal dan perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4 ribu ekor setahun.

Demikian informasi yang dapat kita ketahui mengenai situasi masa lalu termasuk situasi masa lalu kota yang kita sebut “Bogor” sekarang. Menurut Pustaka Nusantara III/I dan Krethabumi I/2 “Pajajaran/Kota Pakuan lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 mei 1579 Masehi akibat serbuan Maulana Yusuf (cicit Sri Baduga Maharaja) dari Kesultanan Banten.”

Waktu antara Pajajaran sirna sampai “ditemukan” kembali oleh ekspedisi VOC yang dipimpin oleh Scipio (1703) berlangsung kira-kira seratus tahun. Kota kerajaan yang pernah berpenghuni 50.000 orang ini ditemukan olah team ekspedisi Scipio sudah menjadi ”puing-puing yang diselimuti oleh hutan tua” (“geheel met out bosch begroeijt zijnde).

 

Warisan Kearifan

 

Keadilan dan kemuliaan serta pengabdian Raja Sunda Prabu Siliwangi yang disaksikan oleh Tome Pires dan oleh banyak rakyat Kerajaan Pakuan Pajajaran, bahkan diakui hingga kini. Semua itu adalah karena Eyang Prabu Siliwangi memiliki pandangan dunia atau kesadaran falsafah prinsipil yang demikian:  “Jirim, Jisim, Karsa angina Karsa Gusti” (Bahwa sesungguhnya segala lakon hamba hanyalah rencana dari Tuhan YME, Hanyalah pinjaman dari Gusti Pangeran).

Kesadaran sebagai manifestasi ilahiyah itulah yang menjadikan karakter kepemimpinan Eyang Prabu Siliwangi mewujudkan jiwa: 1. Kasuran (pengabdian tersehadap sesama, alam dan Tuhan YME), 2. Kadiran (Tangguh dalam strategi politik), 3.Kawanen (Berani bertindak), 4.Ngaping Seweu Putu ( Mampu melayani rakyatnya), 5.Ngemplong Taya Aling-aling (Keterbukaan Diplomatik dalam membuka hubungan internasional seluas-luasnya),

Lima jiWa kepemimpinan di atas, pada praktisnya mewujud kalam pola ucap, pola sikap dan pola tindak Eyang Prabu Siliwangi, yang selayaknya kita teladani di masa kini dan masa depan, demi kejayaan negeri. Dalam pola Ucapan (budi bahasa) Prabu Siliwangi berkarakter : 1.  Ajen Wewesen (Berbudi luhur, sehingga mampu mentransformasi visi dan missi bersama), 2. Teas Perep Lemes Usap (Disiplin dan teguh dalam mempertahankan komitmen), 3. Pageuh Kepel, Lega Awur (Hemat/tidak boros tapi sekaligus dermawan, dengan langkah yang efektif dan efisien).

Dalam Pola Sikapnya, Eyang Prabu Siliwangi memilik karakter: 1. Satria Nupinandita (Kesatria militant yang dapat dipercaya dan shaleh seperti pendeta), 2. Mawusana Panya Trawan (menghentikan permusuhan), 2. Mitra Samaya (saling bekerjasama), 3. Pribhaksa (menghindari Dendam).

Dan menjelang puncaknya, dalam pola tindakan atau perilaku Eyang Prabu Siliwangi memberi contoh teladan perwujudan karakter: “Silih Asih, Silih Asah Silih Asuh” (yang bermakna bahwa kita sesama umat manusia harus saling mengasihi/mencintai, saling mengasah atau mengingatkan dan memperbaiki (ishlah), dan saling mengasuh/membina dan merawat satu sama lain, sehingga terciptalah pola kehidupan mulian Silih Wawangian (saling mengharumkan), atau dalam bahasa Islamnya, terwujudkan Rahmatan lil Aalamin dan Ukhuwah Bashoriyah/Persaudaran Kemanusiaan) sebagai manifestasi kehendak Tuhan YME Rabb al-Alamin.

Dengan bekal semua nilai-nilai luhur suci mulia itulah maka akan mengantarkan umat manusia sedunia (tatar Sunda Sa’amparen jagat) menjadi: 1, Mahardika (kemerdekaan umat manusia daripada belenggu ketertawanan/kezaliman dalam kehidupannya), 2. Papapura (saling menghargai dan tidak saling menguasai kewenangan wilayah masing-masing, atau saling menghargai otoritas, 3. Maryada Sakeng Situtu  (Saling menghargai atas hak ahli waris yang sah).

Pada puncak tertingginya, ajaran tradisi suci-mulia Eyang Prabu Siliwangi inilah yang akan mampu melahirkan kualitas manusia berkarakter “Manusa Wisesa” (Manusia Bijaksana atau Insan Kamil), sebagaimana yang juga menjadi visi dan missi para Nabi dan Rasulullah sepanjang zaman lintas budaya dan lintas peradaban.

Ajaran tradisi suci mulia yang uninersal dan perennial Prabu Siliwangi ini berakar pada Ageman Sunda Wiwitan, namun juga sangat diapresiasi  oleh Umat Hindu Dharma Bali yang menghormatinya dengan membangun Replika Candi Cangkuang dan Patung Maung Siliwangi di Pure Parahyangan Agung Jagat Karta, Pure Pasar Agung dan Pure Melanting di Desa Tamasari, Ciapus Gunung Salak Bogor. Juga oleh Umat Islam dan para Ulama Persantren di Bogor dengan selalu melaksana Haul Prabu Siliwangi di beberapa Pesantren di Bogor.***(AYS, Kalisuren Bogor, 24 Juli 2017)

 

AHMAD YANUANA SAMANTHO, SIP, MA, M.Ud

 HP: 0859 2512 9189

HP & WA : 0821 3215 0170

Email: ahmadsamantho@gmail.com, ay_samatho@yahoo.com

Website: http://www.ahmadsamantho@wordpress.com

 

 

 

[1]  Indonesian palaeography: a history of writing in, Volume 4, Issue 1 By J. G. de Casparis

[2] Dalam bukunya Sajarah Bogor.

[3] Ayip Rosyidi (?)


NURCHOLISH MADJID PELETAK NEO-MODERNISME ISLAM INDONESIA

$
0
0

Inilah guru kami semua

Yudhie Haryono's Blog

M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Nurcholish M

Melalui bukunya Gagasan Islam Liberal, Greg Barton [1999] menulis bahwa Cak Nur adalah hanif yang berpaham kebangsaan. Dengan paham ini, Cak Nur adalah muslim yang telah mensintesakan keislaman-kemodernan dan keindonesiaan. Sintesa itulah yang menyebabkan Cak Nur mendapat julukan “guru bangsa.”

Lihat pos aslinya 1.019 kata lagi


PRAMOEDYA ANANTA TOER MENGGAMBAR INDONESIA

$
0
0

Tokoh Pejuang Indonesia Anti Kolonialisme dan Imperialisme

Yudhie Haryono's Blog

M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre


pramoedyaPramPram1Pram_dan_Cinaanak semua bangsabumi-manusia1

Bagi saya, Pramoedya adalah salah satu dari tiga penggambar besar bangsa kita. Jika Nurcholish Madjid adalah penggambar paling fasih tentang ”Islam dan Indonesia,” lalu HAMKA adalah penggambar setia tentang ”ummat dan sikap,” maka Pram adalah penggambar idealis tentang ”rakyat dan nasibnya.”
Cara Pram menggambar Indonesia sangat detail. Walau orang kampung, dia berpikir dan bertindak dunia. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925—wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun, Pram secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Berasal dari keluarga yang punya ”sikap” dan pengabdian pada idealisme, Pram adalah pewaris dan penanda keluarga besarnya. Buktinya adalah, ia menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing dan beberapa kali mendapat nominasi Nobel Sastra. Satu momen yang tak dipunyai sastrawan lainnya di Indonesia.
Bukti lainnya, ketika Pramoedya Ananta Toer…

Lihat pos aslinya 1.945 kata lagi


DESAIN DEMOKRASI EKONOMI-POLITIK PANCASILA

$
0
0

Yudhie Haryono's Blog

Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Demokrasi ekonomi-politik sesungguhnya menjadi tujuan pembangunan Indonesia. Yaitu membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, seluruh pembangunan ekonomi-politik kita pun haruslah berlandaskan Pancasila. Pemikiran dan tindakan yang ingin kita bangun harus berdasar, bertujuan, dan berpedoman dalam penyelenggaraannya sebagai manifestasi ekonomi-politik Pancasila. Dalam arti singkat, ekonomi-politik Pancasila adalah ilmu dan cara berekonomi-politik menurut sila-sila dalam Pancasila; yaitu ilmu ekonomi-politik dan praktik berekonomi-politik yang berketuhanan yang maha esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, mementingkan persatuan Indonesia, menggunakan asas musyawarah, dan berujung pada berkeadilan sosial bagi semua masyarakat. 

Lihat pos aslinya 1.764 kata lagi


The Spiritual Significance of Islamic Art

ANDAIKAN KAU DATANG KEMBALI Ternyata Lagu Ini Bukan Buat Pacar

$
0
0

ANDAIKAN KAU DATANG KEMBALI

Ternyata Lagu Ini Bukan Buat Pacar:

Sayangnya lagu ini nggak ditegaskan dari awal arti dan maksud pengarangnya…

Merinding…….. Setelah mendengarkan penjelasan Yon Koeswoyo di pengajian Kyai Kanjeng Cak Nun di Tuban…. baru tahu bahwa lagu Koes Plus yang berjudul

“Andaikan Kau Datang Kembali”

Ternyata bukanlah lagu cengeng percintaan, melainkan lagu Hikmah Penuh Makna.

Subhanallah, sekarang kalau mendengar lagu ini, airmata sulit dibendung.

Perhatikan lirik lagu berikut dan Tafsir Hikmah yang disampaikan oleh Yon Kuswoyo

“ANDAIKAN KAU DATANG KEMBALI…”

Terlalu indah dilupakan
Terlalu sedih dikenangkan
Setelah Aku jauh berjalan
dan Kau kutinggalkan #(1)
#1 = DUNIA

Betapa hatiku bersedih
Mengenang kasih dan sayang-MU #(2)
#2 = Allah SWT

Setulus pesan-MU kepadaku#(3)
#3 = Al Qur’an dan Al Hadits

Engkau kan menunggu #(4)
#4 = Di Padang Mahsyar 😳😰

Andaikan Kau datang kembali#(5)
#5 = dihidupkan di dalam kubur

Jawaban apa yang kan kuberi #(6)
#6 = Saat di tanya tentang amal ibadah Kita,

Adakah cara yang Kau temui
Untuk kita kembali lagi #(7)
#7= Semua sudah terlambat. Tidak ada jalan lagi untuk mengulang kehidupan di dunia.

So Sahabatku,
🎬 Jangan sampai ada Penyesalan.

🎬 Mumpung masih ada Kemampuan dan Kesempatan

🎬 Berbuat baiklah senantiasa. Perbanyak amal ibadah dan dirikan shalat berjamaah, singkirkan segala perbedaan.

🎬 Makmurkanlah masjid / mushollah

🎬 Berbaktilah kepada orangtua dan Guru

🎬 Bantu dan muliakanlah fakir miskin dan anak yatim

Bersinarlah bulan Purnama
Seindah serta tulus cinta-NYA

Bersinarlah terus sampai nanti #(8)
#8 = ISTIQAMAH-lah terus di jalanNya sampai waktu yang ditentukan tiba….

Lagu ini… “ku akhiri”

Silakan kalau mau Share semoga jadi ladang pahala buat kita.

Aamiin… 🌹

BATHARA WISNU = NABI SULAEMAN AS ??

$
0
0

The Lost History of Nuhsantara
24 Januari pukul 12:23 ·
TERUNGKAP: SIAPA SOSOK BATHARA WISNU ATAU VISHNU YANG SEBENARNYA

Originally Written by:
Yeddi Aprian Syakh Al-Athas

*** Mohon agar dibaca pelan-pelan karena tulisan ini cukup panjang.

Hasil gambar untuk VISHNU*** Seperti biasa, tulisan saya ini merupakan kajian berbasis pendekatan “Etno-Linguistik” yang belakangan menjadi sebuah pendekatan baru dalam melihat sejarah, sebagaimana disampaikan oleh Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc, staf pengajar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Sampurasun…

Entah mengapa tiba-tiba aja di pagi yang Indah ini, saya mendapat pengajaran tentang Makna dibalik nama ‘WISNU’.

Selama ini kita mengenal nama ’WISNU’ sebagai salah satu Dewa Tri Murti dalam Tradisi Hindu yakni ‘BRAHMA – WISNU – SIWA’.

Namun rupanya terlepas dari Ajaran Tri Murti tentang ‘BRAHMA – WISNU – SIWA’ rupanya ada rahasia yang dalam dibalik nama ’WISNU’ yang merupakan nama gelar .

Ternyata nama ’WISNU’ ditulis dalam Huruf Arab sebagai ’WAISNAWA’ (Waw-Ya-Sin-Nun-Wa) atau dalam Huruf Ibrani ‘VAISNAVA’ (Vav-Yod-Samech-Nun-Vav) dengan nilai gematria sbb:

‘WISNU’ (WAISNAWA)
Waw-Ya-Sin-Nun-Waw
👉 Waw = 6.
👉 Ya = 10.
👉 Sin = 60.
👉 Nun = 50.
👉 Waw = 6.
’WISNU’ = 6+10+60+50+6 = 132.

’VISNU’ (VAISNAVA)
Vav-Yod-Samech-Nun-Vav
👉 Vav = 6.
👉 Yod = 10.
👉 Samech = 60.
👉 Nun = 50.
👉 Vav = 6.
’VISNU’ = 6+10+60+50+6 = 132.

Nah ternyata lewat bilangan ’132’ ini sebagai nilai gematria dari kata ‘WISNU’ justru akan mengungkap siapa sosok sebenarnya yang bergelar ‘WISNU’ ini.

Dengan seizin Sang BATARA WISNU, disini saya hanya akan memberikan DUA pola pemaknaan saja dari Nilai Gematria ’132’ ini untuk dapat menjawab sedikit rasa keingintahuan beberapa orang follower saya di facebook yang sangat penasaran akan siapa sosok dibalik gelar ’WISNU’ ini.

PERTAMA:
Bilangan ’132’ merupakan Nilai Gematria dari rangkaian huruf ‘Qaf – Lam – Ba’ yang akan dibaca sebagai ‘QALABA’ atau ’QALBU’ yang dalam Bahasa Arab berarti ‘HATI’ atau ‘JANTUNG’.

Di dalam Al-Kitab Perjanjian Lama (al-Ahd al-Qadim) diabadikan doa dari seorang anak manusia yang hanya meminta SATU HAL kepada Tuhannya yakni meminta diberikan ’HATI YANG PAHAM’ dan alhasil justru Tuhan memberikannya bonus selain KEPAHAMAN yakni berupa KEKAYAAN dan KERAJAAN.

”Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini HATI YANG PAHAM menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (Kitab 1 Raja-Raja 3:9)

Pertanyaannya:
Siapa gerangan yang telah berdoa dengan doa seperti itu hingga doanya diabadikan dalam Al-Kitab?

Dan ternyata jawabnya ada pada QS. Al-Anbiya 21:79 berikut:

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَاعِلِينَ

“Maka Kami (berikan) KEPAHAMAN (kepada) SULAIMAN dan kepada masing-masing (Daud dan Sulaiman) Kami berikan HIKMAH dan ILMU…..”

👆Ternyata Al-Quran mengungkapkan kepada kita bahwa sosok yang telah berdoa diberikan ‘HATI YANG PAHAM’ adalah NABI SULAIMAN as dan bahkan ayat di atas menegaskan bahwa hanya Nabi Sulaiman as saja yang diberikan KEPAHAMAN dan tidak kepada Nabi Daud as.

Dan Jawaban Allah atas Doa NABI SULAIMAN yang diabadikan dalam QS. Al-Anbiya 22:79 ini rupanya memiliki redaksi yang sama di dalam Al-Kitab Perjanjian Lama (al-Ahd al-Qadim) sebagai berikut,

“Jadi berfirmanlah Allah kepadanya: “Oleh karena engkau telah meminta hal yang demikian dan tidak meminta UMUR PANJANG atau KEKAYAAN atau NYAWA MUSUHMU, melainkan KEPAHAMAN untuk memutuskan hukum. Maka sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, sesungguhnya Aku memberikan kepadamu HATI PENUH HIKMAT dan KEPAHAMAN sehingga sebelum engkau tidak ada seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit seorangpun seperti engkau. Dan juga apa yang tidak kauminta Aku berikan kepadamu, baik KEKAYAAN maupun KEMULIAAN sehingga sepanjang umurmu takkan ada seorangpun seperti engkau di antara raja-raja.” (Kitab 1 Raja-Raja 3:11-13)

Ibrah / Pelajaran yang dapat kita petik adalah:

👉 Mintalah HATI YANG PAHAM dalam doa-doamu maka niscaya Allah selain memberikan KEPAHAMAN juga akan memberikan bonus yang lainnya yakni: HIKMAH, ILMU, KEKAYAAN dan KEMULIAAN. Ibarat kita minta SATU HAL tapi diberikan LIMA HAL.

KEDUA:
Bilangan ’132’ juga merupakan Nilai Gematria dari rangkaian huruf ‘Alif – Sin – Lam – Alif – Mim’ yang akan dibaca sebagai ’ASLAM’ atau ‘ISLAM’ yang dalam Bahasa Arab berarti “Salama, Yuslimu, Taslima” yg seluruhnya mengandung makna “SELAMAT, DAMAI, dan SEJAHTERA”.

Dan inilah sebabnya mengapa Dalam Al-Kitab Perjanjian Lama (al-Ahd al-Qadim), NABI SULAIMAN disebut sebagai ’SHELOMOH’ (Shin-Lamed-Mem-Hey) yang maknanya adalah ’KEDAMAIAN’ atau ‘KESELAMATAN’.

Dan ini pula sebabnya mengapa RATU SABA yang bernama BULUKIS / BALQIS akhirnya Ber-ASLAM bersama NABI SULAIMAN.

وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
_”….. Dan saya ber-ASLAM bersama SULAIMAN kepada Allah Rabb Semesta Alam”. (QS. An-Naml 27:44)

Dan Benang Merah dari KEDUA MAKNA Bilangan ’132’ yg merupakan Nilai Gematria dari kata ’WISNU’ atau ‘WAISNAWA’ yakni sebagai ‘QALBU’ (HATI) dan ‘ASLAM’ (DAMAI, SELAMAT, SEJAHTERA) ada dalam Kitab “Sulaiman ‘Alaihi Al-Salam Al-Nabiyyu Al-Maliku” karya Manshur Abdul Hakim yang menuliskan dialog antara NABI SULAIMAN dan Samg RATU SEMUT.

Ratu Semut berkata,
“Tahukah Paduka mengapa Paduka bernama SULAIMAN…?”

Nabi Sulaiman menjawab,
“Tidak”.

Ratu Semut berkata,
“Karena Paduka tidak tercemar dengan apa yang telah diberikan Allah kepada Paduka lantaran murninya QALBU (HATI) Paduka”.

Ratu Semut kemudian bertanya lagi,
”Apakah Paduka juga tahu mengapa Paduka bernama SHELOMOH …?”

Nabi Sulaiman menjawab,
“Tidak”.

Ratu Semut berkata,
”Karena selama Paduka menjadi RAJA, seluruh wilayah kekuasaan Paduka yang mencakup duapertiga wilayah Bumi diselimuti oleh KEDAMAIAN dan KESEJAHTERAAN”.

KESIMPULAN AKHIR:

👉 Ternyata Hikmah dibalik perbedaan nama NABI SULAIMAN as di dalam Al-Quran dan Al-Kitab adalah untuk memberikan kita pembelajaran tentang Makna dari Nilai Gematria nama ’WISNU’ atau ‘WAISNAWA’.

👉 Al-Quran menyebut NABI SULAIMAN as dengan nama ’SULAIMAN’ karena menurut Sang Ratu Semut bahwa NABI SULAIMAN as memiliki IMAN yang MURNI di dalam QALBU (HATI) meskipun Allah Swt telah menganugerahkan KEPAHAMAN, HIKMAH, ILMU, KEKAYAAN dan KEMULIAAN yang banyak kepada MABI SULAIMAN as.

Dari makna nama ini, akhirnya kita paham bahwa secara etimologi, nama ‘SULAIMAN’ berasal dari kata ’SU-LA-IMAN’.

SU = Sejati/Murni.
LA = Aturan/Hukum.
IMAN = Iman.

‘SU-LA-IMAN’ = Yang Memiliki IMAN dan Hukum yang Murni/Sejati.

👉 Al-Kitab Perjanjian Lama menyebut NABI SULAIMAN as dengan nama ‘SHELOMOH’ (Bahasa Ibrani) karena menurut Sang Ratu Semut bahwa selama NABI SULAIMAN as menjadi RAJA, wilayah kekuasaannya yang mencakup duapertiga bumi diselimuti oleh ’ASLAM’ yakni ‘KESELAMATAN, KEDAMAIAN dan KESEJAHTERAAN’.

👉 SULAIMAN berkaitan dengan ‘IMAN’ sedangkan SHELOMOH berkaitan dengan ASLAM atau ISLAM.

Sehingga dengan demikian nama ‘WISNU’ atau ’WAISNAWA’ yang dikenal dalam Agama HINDU ternyata memiliki pola pemaknaan gematria dengan nama ‘SULAIMAN’ yang dikenal dalam Agama ISLAM dan juga nama ‘SHELOMOH’ yang dikenal dalam Agama YAHUDI dan Agama NASRANI dan ketiga nama tersebut merujuk kepada sosok yang sama yakni NABI SULAIMAN bin DAUD as.

Demikian penjelasan singkat saya mengenai Rahasia Nama WISNU atau WAISNAWA dari sudut pandang etno-linguistik.

Dan sekali lagi saya tegaskan bahwa ini hanyalah sebatas “HIPOTESIS” yang saya sampaikan ke ruang terbuka publik yang saya peroleh lewat kajian berbasis “etno-linguistik” dan “ilmu gematria”. Hipotesis saya ini bisa benar dan bisa juga salah. Karena saya juga hanyalah manusia biasa. Semoga ijtihad pemikiran saya ini bisa menjadi awal kajian dan bahan diskusi lanjutan yang membangkitkan nalar dan logika berpikir yang lebih kritis dan mendalam guna mengungkap fakta kebenaran yang sesungguhnya.
Mohon Maaf jika ada kata-kata saya yang tidak berkenan, dan sampai jumpa lagi di kajian-kajian saya berikutnya.

Catatan Khusus:
Diizinkan untuk SHARE sebanyak-banyaknya guna mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya namun dengan tetap menyebutkan sumber aslinya baik berupa nama ataupun link.

Semoga Bermanfaat
🙏🙏🙏

Salam Rahayu,

Yeddi Aprian Syakh al-Athas
👉 Admin Group “The Lost History of Nuhsantara”
👉 Admin Group “Nuhsantara History Discovery”
👉 Admin Group “Imperium Sulaiman (Atlantis Indonesia)”
Foto The Lost History of Nuhsantara.

Ahmad Yanuana Samantho
Suka
Tunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari
Bagikan
Kronologis
3636
4 Kali Dibagikan
2 Komentar
Komentar
The Lost History of Nuhsantara
The Lost History of Nuhsantara Mohon dipahami bahwa ‘WISNU’ hanyalah sebuah GELAR.

‘WISNU’ adalah pelafalan ucap untuk kata ‘WAISNAWA’….Lihat Lainnya
2
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan · Balas · 1m
Helmy Gabriel Arfiyael
Helmy Gabriel Arfiyael lbh ajib lg ketemu sama wisnu.. dan terus bertemu dengan maha dewa.. siwa.. puja dewa siwa
Kelola
SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan · Balas · 1m
Ahmad Yanuana Samantho

 


LOKASI KISAH MAHABARATA ITU DI NUSANTARA

$
0
0

LOKASI KISAH MAHABARATA ITU DI NUSANTARA

Arjuna dalam Kisah Mahabharata, yang singgah di Nusantara (Sumatera)

$
0
0

Misteri Arjuna dalam Kisah Mahabharata, yang singgah di Nusantara (Sumatera), pada sekitar 5.000 tahun yang silam ?

Di kalangan sejarawan, muncul dugaan Peradaban Masyarakat Nusantara telah ada jauh sebelum kedatangan masyarakat Proto Melayu, yang diperkirakan ber-migrasi pada 3.500 tahun yang lalu.

Dugaan tersebut semakin kuat, ketika kisah mitologi Perang Mahabharata yang telah berusia 5.000 tahun, bercerita tentang Nusantara.

mahabharata3

Perang Mahabharata dalam tinjauan sains

Melalui penelitian arkeologi,  Dr Narahari Achar memperkirakan Kisah Perang Mahabharata terjadi pada sekitar masa 5.000 tahun yang silam (Sumber : Proof of The Dating for The Mahabrata War).

The Mahabharata war is said to have taken place approximately 5000 years ago!

While a lot of Indians have consistenly believed that this was always the case, most Western scientists have always disregarded this as just another example of Indian myth.

mahabharata2

I exclude a few noted names like Dr Playfair from Edinburgh, who in his celebrated commentary gave active proof of the antiquity of the Vedas, but unfortunately somehow the whole idea that the Mahabharata war could be older than anything which did not come from the western world was denounced stridently.

That is to say until 2003 when noted scientist Dr Narahari Achar who is a Professor at the department of astrophysics in Memphis and quite a few other scientists came out with a certain software developed in collaboration with NASA which showed the exact picture of the sky (accurate to a few 1000ths of a second) as it was 5000 years ago.

Penemuan  Dr Narahari Achar, membuka jalan bagi pemerhati sejarah, untuk bisa memahami keberadaaan masyarakat yang hidup di masa itu.

mahabharata5

Hiranyapura, Kota Purba di Pulau Sumatera  

Hiranyapura atau Kota Emas, di dalam kitab mitologi kuno digambarkan sebagai kota yang melayang-layang di angkasa, yang di dalam buku Rahuvana tattwa, tulisan Agus Sunyoto, digambarkan berada di pulau Sumatera.

Di dalam kisah Mahabharata, kota ini disebut-sebut pernah didatangi Arjuna. Kota ini diceritakan diperintah oleh dua Raksasa, yang bernama Pouloma dan Kaalakeya (Sumber : Mahabharata Aranya Parva, Fourth Chapter).

Telah sama kita pahami, kisah mitologi terkadang berasal dari kisah nyata, namun telah dilebih-lebihkan peristiwa-nya.

Dalam memahami keberadaan Kota Hiranyapura, yang diceritakan melayang-layang di udara, mungkin bisa dimaknai sebagai kota yang berada di daerah yang tinggi.

mahabharata6

Keberadaan masyarakat di dataran tinggi di Sumatera, bisa dibuktikan dengan penemuan arkeologi, yang telah berusia ribuan tahun di daerah sekitar Gunung Dempo (dalam wilayah pegunungan bukit barisan), Sumatera Selatan (Sumber : Misteri Sriwijaya di Gunung Dempo).

Dan hal ini juga, semakin memperkuat pendapat yang mengatakan, di wilayah sekitar pegunungan bukit barisan, selama ribuan tahun telah dihuni oleh Bangsa Mala (Bangsa Gunung), yang kelak menjadi leluhur dari suku-suku yang ada di Nusantara (Sumber : Islamic UFO (Grup Facebook)).

sumber:

https://kanzunqalam.com/2014/06/09/misteri-arjuna-dalam-kisah-mahabharata-yang-singgah-di-nusantara-sumatera-pada-sekitar-5-000-tahun-yang-silam/

 

Apakah Tokoh-Tokoh Pewayangan Hidup di Tanah Jawa?

$
0
0

Apakah Tokoh-Tokoh Pewayangan Hidup di Tanah Jawa?

Kebudayaan Jawa, sering disebut-sebut sebagai turunan dari kebudayaan yang lebih tua dari India, terutama dari segi kebahasaan, dimana Bahasa Jawa merupakan turunan dari Bahasa Dewanagari yang ada di India. Bahkan bukan hanya Bahasa Jawa, beberapa bahasa di Nusantara juga merupakan turunan dari Bahasa Dewanagari yang sama. Benarkah?
Tentu saja saya tidak mampu menjawab itu. Tetapi mungkin dengan menggunakan objek lain yang masih berhubungan dengan hal itu, kita bisa mengambil kesimpulan mengenai hal ini. India dan Jawa mempunyai persamaan, diantaranya adalah kesamaan adanya tokoh-tokoh besar yang menjadi karakter utama dalam dunia pewayangan. Perbedaannya mungkin dalam penyebutan, seperti tokoh Yudhistira di India yang sering disebut Puntadewa di Jawa, Arjuna yang sama dengan Janaka, Bima yang sama dengan Werkudara, dll.
Tokoh-tokoh itu dikenal terutama karena dua kisah epos klasik Ramayana dan Mahabarata, yang dikenal sebagai karya sastra dari India. Maka kemudian juga tokoh-tokoh dalam kedua kisah tersebut hidup di India, benarkah? Lantas mengapa tokoh-tokoh dalam karya sastra klasik India lebih dekat secara kultural dengan masyarakat Jawa? Bahkan di India tidak ada Panakawan, sementara di Jawa lebih lengkap dengan adanya Panakawan.
Lagi-lagi saya harus mengatakan tidak bisa menjawab itu, tetapi dengan pertanyaan tersebut muncul kemungkinan yang bisa jadi mengejutkan kita semua, yaitu bahwa tokoh-tokoh pewayangan yang juga tokoh-tokoh dalam kitab Mahabarata dan Ramayana itu adalah tokoh-tokoh yang pernah hidup di tanah Jawa. Lagi-lagi yang saya gunakan adalah kedekatan emosional dan kedekatan kultural, yang tentu saja tidak akan diterima di dalam metode penelitian ilmiah manapun. Tetapi tentu saja tak masalah, karena tujuan dari tulisan ini adalah membangkitkan rasa penasaran pembaca mengenai sejarah Jawa di masa lalu.
Mari kita tutup tulisan ini dengan pertanyaan, “Apakah mungkin orang India menulis Ramayana dan Mahabarata atas permintaan dari penguasa di Jawa, yaitu tokoh-tokoh pewayangan itu sendiri?”

 

Probiotik dari bahan-bahan didapur

$
0
0

22 menit · 

YouTube

Probiotik dari bahan-bahan didapur, untuk kesehatan pencernaan usus manusia, ternak, ikan, penghilang bau limbah, wc mampet, sanitasi kandang, stater buat herbal sebagai hormon zpt, pestisida nabati, pupuk organik cair. Semua bahan-bahan Herbal untuk 150-200 Liter air dengan takaran 1-2kg, stater Mikroba 100cc-100gram, semua bahan herbal dihaluskan/dijus, dimasukan ke drum, baru stater Mikroba dan di fermentasi 3-7 hari sampe reda reaksi gas fermentasinya siap digunakan sebagai dekomposer pupuk cair, Hormon zpt, Jamu ternak, penyubur tanah, sanitasi kandang, penghilang bau limbah, dll.
Untuk diminum manusia sebagai probiotik usus semua bahan-bahan direbus, setelah dingin di fermentasi dengan Air mineral + Madu + Susu.

Bahan makanan Mikroba (prebiotik) yaitu :
1.Gula (Glukosa),
2.Karbohidrat (kentang, beras, ubi, singkong)
3.Protein (susu, terasi, ikan, kedelai)

Sumber Mikroba :
1.Ragi Tape (yeast)
2.Ragi Roti / Fermipan.
3.Ragi Tempe.
4.Yoghurt (yakult,cimori,biokult,calpico)
5.Kefir dan Susu Formula + Probiotik


6.Msg / Mecin (sasa,miwon,ajinamoto)
7.Cuka Apel.
8.Keju.
9.Bonggol Pisang (Penyubur Tanah)
10.Nasi dimasukan kebambu dipendam di akar bambu (Tricoderma)
11.Air kelapa muda diamkan sampe asam diplastik (Nitrobakter/Nitrosomonas)

Bahan-bahan Hormon zpt :
1.Auxin (bawang merah, touge, keong sawah)
2.Giberlin (Rebung bambu, jagung muda)
3.Sitokinin (Air kelapa, lidah buaya)

Bahan-bahan Pupuk Organik :
1.Nitrogen (Semua sayuran Hijau, Azolla).
2.Kalium (Sabut kelapa, ampas tebu, yang mengandung serat)
3.Phospat (semua buah-buahan, Guano)

Bahan-bahan pestisida nabati :
1.Ulat, kutu, serangga, virus (semua herbal yang pedas dan mengandung alkohol)
2.Jamur fusarium / cendawan (semua herbal yang pahit-pahit).

Bahan-bahan Jamu ternak / ikan :
-Perangsang nafsu makan Ragi Tape + (Temulawak,Kencur,Jahe, ulat, keong, tepung ikan, dll)
-Perberat bobot telur Ragi tempe + (kedelai, ulat, keong, tepung ikan, dll)

Trik Tanaman Cepat Berbuah Aplikasi Poc Cair Tiap 2 Liter Hasil Fermentasi Bio Paten Extra + Bio Patenida + Tricoderma + Nema Tida Ke Lubang Bio Pori Tiap 1-2 Hari selama 3x Dengan Dosis Pupuk Dasar Kimia SP36/TSP 3 : KCL 2 : UREA 1 dan Tuang Ampas Poc ke Lubang Bio Pori dan Ulangi Aplikasi Poc Tiap 3 Bari Selama 2-3 Minggu, Dosis dan Jarak Lubang Bio Pori Di Sesuaikan Dengan Umur Tanaman. Setelah 3-4 Bulan Buat Lubang Bio Pori di Tempat Berbeda dan Ulangi Aplikasi Poc dan Pupuk Kimia Dasar dan Sisa Ampas Poc Kohe Ternak. Semoga Bermanfaat. Teknologi By Paten Extra.
Terobosan Spektakuler di bidang Pertanian Organik !!!
Diramu dari Teknologi Mikroba Pa-Ten + 350jenis bahan2 herbal alam baik lokal dan impor sebagai Ramuan pestisida nabati dan Hormon Zat Perangsang Tumbuh extra, untuk meningkatkan kekebalan tanaman terhadap penyakit dan mempercepat masa pertumbuhan dan meningkatkan hasil panen dengan Pola Tanam bertingkat untuk hasil panen yang berlipat. Salam Organik Paten !!!
Konsultasi, Pelatihan Gratis, order dan pabrikasi
Telp./ Sms / Wa 085268592020 / 08999396920 / 085378877277 / 085891939377
email : biohormon@gmail.com / biopaten.extra@gmail.com / biopatenidaextra@gmail.com / zptpatenextra@gmail.com
https://www.biohormon.blogspot.com/
https://www.biopatenextra.blogspot.com/
https://www.biopatenidaextra.blogspot.com/
https://www.zptpatenextra.blogspot.com/
https://web.facebook.com/mikrobahormonextra/
https://web.facebook.com/zptpatenextra
https://web.facebook.com/biopatenidaextra
https://web.facebook.com/groups/mikrobahormon/
https://web.facebook.com/biopatenextrapabrik
Cara aplikasi Mikroba Bio Pa-Ten Extra Plus Pestisida Hayati:
1.Minggu 1 / 7hari sebelum tanam,
Buat Lubang tanam sesuai jenis tanaman dan Tabur kompos/media tanam 15-20ton/ha, Lahan dibasahi/ disiram agar lembab, kemudian siram/ kocor ramuan obat anti uret / ulat tanah ( Bio PaTen Gen.5 *6 ) untuk sterilisasi lahan terhadap sumber penyakit tanaman dengan hasil Fermentasi 1liter bio uret ( Bio Patenida ) + gula/ molase/tetes 1kg + 20butir Ragi / Tape ketan 2-5kg + 200liter air biasa / air klapa tua di fermentasi 48jam, di treadmen seminggu 2x, setelah aplikasi anti uret pertama, bila kondisinya hama ulat tanah/uret banyak ulangi hingga 3-4x dalam 2minggu sebelum tanam.
2. Minggu 2 / Tanami Setelah tumbuh Aplikasikan hasil Fermentasi 1liter Bio PaTen Gen.5 *6 + gula/molase/ tetes 1kg + 500cc ZPT Multiguna, semprot ke seluruh bagian tanaman dan tanah secara merata tiap 7-10hari selama 3bulan Untuk Perbaikan Tanah Tanaman Perkebunan dan bulan ke 4dst 1-2x sebulan tergantung kondisi tanah, air dan Tanaman sampe 2minggu sebelum panen.
3. Untuk pertumbuhan extra Aplikasi ( ZPT Pa Ten extra Daun 1liter+ urea 1kg+ 200liter air) seminggu 1x sampe mulai berbunga, setelah berbunga aplikasi ( Zpt PaTen Extra Buah 1liter + sp 36 1kg + 200liter air) Tiap 7 hari sekali sampe 2minggu sebelum panen.
4. Pengendalian Hama dan Fusarium.
Pengendalian Layu Fusarium Aplikasi kan Tricoderma kocor ketanah setiap 2-3hari setelah hujan. Pengendalian Layu Bakteri dan semua jenis Hama, Aplikasikan Bio Patenida + ZPT Multiguna / Zpt PaTen Extra tiap 2-3hari sampe sembuh. Pengendalian Hama uret/ulat tanah/ Trips/ kutu/ Grayas Aplikasikan Nema Tida plus + ZPT Multiguna/ Zpt PaTen Extra tiap 2-3hari sampe sembuh.
Cara fermentasi Bio Pa-Ten :
1. Mikroba Bio Pa-Ten extra 1liter + gula/ molase/tetes 1kg + tepung beras/ dedak 1kg + MSG 500gram+ 200liter air biasa / air klapa tua difermentasi 2-3hari.
2. Bisa di fermentasikan setelah 12jam bersama Herbal seperti Tembakau / daun sirsak/ kaliandra/ mimba di fermentasi 48jam.
3. Bila fermentasi menggunakan air klapa tua 200litr / 15-20kg gula merah, 1liter hasil fermentasi bisa di encerkan kembali dengan 10litr air biasa.
Kolam ikan :
1. 250ml mikroba Bio Pa-Ten extra : 25 liter air siramkan kekolam secara merata tuk 1500liter air kolam.
2. Aplikasikan tiap 5-7hari sekali.
Pakan Ternak / dekomposer :
20liter hasil fermentasi untuk 1-3ton pakan ternak / kompos / kohe ternak

 

KEARIFAN LOKAL DAN KAPITALISME

$
0
0

KEARIFAN LOKAL DAN KAPITALISME

Oleh Aprinus Salam

 

Hingga hari ini kita masih menghidupkan secara sistematis apa yang disebut kearifan lokal. Kita menyeminarkannya, menerbitkan buku, menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan dan atas nama kearifan lokal, seperti permainan dan seni tradisional, berbagai karnaval yang mengandung nilai dan filosofi lokal, dan sebagainya. Persoalannya, apa yang terjadi di balik revitalisasi kearifan lokal, sementara kapitalisme dengan banal terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.

Kearifan lokal dari dulu adalah sesuatu tatanan simbolik yang diagungkan, dimuliakan, dan suatu fantasi yang bisa dianggap nyata yang kita bersama-sama ingin menjadi dan ada di dalamnya, sesuai dengan konteks budaya lokalnya masing-masing. Artinya, setiap lokal-lokal, bisa jadi tatanan simboliknya berbeda-beda, tetapi bisa pula pada tingkat yang universial adalah hal kebaikan dan kebenaran yang diakui bersama. Dengan demikian, tatanan simbolik lokal orang Indonesia itu beragam sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

 

Akan tetapi, persoalannya bukan itu. Persoalannya adalah saat ini kita hidup dalam satu tatanan simbolik rezim kapitalisme. Suatu era ketika rezim kapitalisme demikian berkuasa, atau ada pula yang menyebutnya sebagai super-kapitalisme. Rezim tersebut telah berhasil membuat satu tatanan simbolik baru, dan kita hidup, mau tidak mau, terperangkap dalam rezim tersebut. Kita hidup ketika hampir seluruh nilai-nilai, filosofi, simbol-simbol, bahkan imajinasi yang bersifat kapitalistis.

 

Untuk hidup kita harus bekerja, dan mau tidak mau kita bekerja pada lembaga pemerintah atau non-pemerintah. Jika bekerja secara mandiri pun kita terikat dalam satu sistem pasar dan modalitas tertentu. Jika bertani, kita hidup dalam satu sistem sirkulasi jual beli barang dan jasa. Ketika menjadi seniman, kita perlu memperjualbelikan karya. Sirkulasi jual beli barang, jasa, dan modalitas tersebut terikat pula dalam tatanan simbolik kapitalisme.

 

Agar hidup terkesan “normal”, kita mengikuti aturan main nilai-nilai, simbol-simbol, dan filosofi modern tersebut. Kalau tidak, kita bisa dinggap ketinggalan zaman, orang aneh, tidak mengikuti kaidah kehidupan yang telah menjadi tuntutan zaman. Alhasil, secara keseluruhan hidup kita sungguh telah menjadi modern. Pada situasi itulah, kemudian, kita menjadi tahu bahwa tatanan kapitalisme tidak membawa atau mengantarkan kita pada sesuatu yang sejati, yang Real. Kita hanya menjadi budak kehendak modern. Kita dipacu untuk menikmati dan memuaskan diri berdasarkan hasrat-hasrat duniawi. Hal itu hanya akan berhenti jika suatu ketika kita mati, dan sayangnya kita tidak pernah tahu kapan kita mati.

 

Namun, bukan berarti kita tidak sadar bahwa hidup kita terasa palsu dan semu. Kita pun sadar bahwa hidup telah membawa kita pada proses-proses dehumanisasi, hilangnya penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan, kemuliaan, dan kedamaian. Dulu, sebelum kesadaran itu muncul, itulah yang disebut Marx sebagai kesadaran palsu. Kita melakukan tindakan tertentu karena tidak mengatahuinya. Akan tetapi, sekarang kita melakukan tindakan tertentu, dan kita tahu itu tidak benar, tetapi kita tetap melakukannya. Keadaan ini yang disebut Slavoj Zizek beroperasinya kesadaran sinis (1989, 1994, 1997).

 

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, dalam tatanan simbolik kapitalisme tersebut kita menjadi sadar kearifan lokal ternyata telah menjadi ada tapi tiada, menjadi the Other. Dalam situasi itu kita merindukannya, membutuhkannya. Maka dibuat berbagai program, acara, aksi-aksi, dan hal-hal yang berkaitan dengan penghidupan kembali nilai-nilai atau praktik kearifan lokal. Dengan asumsi, kearifan lokal dapat membawa kita pada sesuatu yang Real.

 

Kita pun menghidupkan tradisi dan ritual-ritual tradisional yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Berbagai kampanye, jargon, dan seremoni-seronomi atau kegiatan yang bernuasa kearifan lokal kita selenggarakan, mungkin per minggu, per bulan, atau per tahun. Kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan negara pun menjadi sibuk dengan berbagai kegiatan dan seremonial yang, diandaikan, sangat berbau tradisi dan kearifan lokal.

 

Dalam praktiknya, hal terpenting yang terjadi adalah paling tidak kita diajak kembali untuk merasakan (dan mungkin membeli) apa yang disebut merasakan pengalaman arif dengan nuasa lokal. Dalam konteks ini, kearifan lokal yang seharusnya bagian integral dalam kehidupan, berposisi sebagai yang asing. Dibuatlah berbagai kegiatan yang disengaja agar the Other menjadi tidak terlalu asing dengan merasakan kembali pengalaman yang arif lokal tersebut.

 

Sebagai contoh kita mengadakan desa budaya sebagai satu ruang yang mengandung muatan kearifan lokal. Kita menyelenggarakan festival dan ritual seni untuk terlibat dengan pengalaman arif dan lokal. Kegiatan itu dimaksukan untuk sejenak atau beberapa jam/hari menjadi arif dan lokal tanpa terus menerus bersusah payah menjadi orang yang terasing dalam dunia formal berdasarkan tatanan simbolik kapitalisme.

 

Dari siatuasi itu dapat diketahui bahwa segala hal atas nama kearifan lokal tersebut tetap tidak dapat keluar dari suatu rangkaian tatatan simbolik kapitalisme. Hal ini terjadi karena, dalam praktiknya, kearifan lokal menjadi komoditas, menjadi bagian dari investasi modalitas, terikat dalam jaringan dan berbagai kepentingan yang dibutuhkan oleh masyarakat modern yang kapitalistis.

 

Pertanyaannya, apakah kita tidak tahu semua hal yang terjadi. Jawabannya, kita tahu. Akan tetapi, kita dengan sengaja memanipulasi pengetahuan kita itu untuk pura-pura tidak tahu. Rasionalitas kita sengaja dihalangi, karena jika rasionalitas kita dimuculkan, maka akan tahulah kita bahwa tatanan simbolik yang terlanjur kita nikmati, akan berubah segalanya. Mungkin kita tidak akan menikmatinya lagi, walau kita tahu yang kita nikmati ini semu dan palsu.

 

Aprinus Salam

Pengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM

 

KEBUDAYAAN DAN NASIONALISME

$
0
0

KEBUDAYAAN DAN NASIONALISME

 

Oleh Aprinus Salam

 

Walaupun setiap ada kesempatan kita selalu memompakan semangat nasionalisme, tetapi kenyataannya akhir-akhir ini nasionalisme kita lemah. Nasionalisme Indonesia seolah-olah baru terlihat pada kejadian tertentu, seperti pertandingan olahraga melawan Malaysia, Hari Kemerdekaan, atau hari Kebangkitan Nasional. Jika tidak ada peristiwa seperti itu, nasionalisme kita menyelinap entah ke mana. Mengapa?

Salah satu tulisannya, Homi K. Bhabha (1990) mungkin membantu kita dalam menjawab persoalan tersebut. Menurutnya, ada tiga aspek yang membuat nasionalisme di negara bekas jajahan selalu ambivalen dan ini menyebabkan nasionalisme demikian rancu dan rapuh. Pertama, dilihat dari sejarah kesatuan dan perbedaan; kedua dilihat dari aspek ruang dan waktu; dan ketiga berdasarkan aspek psikologis terkonsolidasinya perasaan cinta dan benci.

Perbedaan dalam Kekitaan

Nasionalisme merupakan satu bentuk khusus dari identitas kolektif yang mulai merebak pada abad ke-18. Sesuai perkembangannya, nasionalisme selayaknya dipahami sebagai wacana kuasa yang menyembunyikan heteregonitas dalam jalinan antara kita dan mereka. Dalam konteks ini, kita adalah para mayoritas, dan mereka adalah yang minoritas. Di Indonesia, konteks kita yang mayoritas dan mereka yang minoritas menjadi sangat kompleks. Apakah itu berkaitan antara Jawa yang mayoritas berbanding dengan suku lain yang minoritas, atau kita yang mayoritas pribumi/penduduk asli dan mereka minoritas yang tidak pribumi.

Kemudian narasi nasionalitas memaksakan secara hegemonik bahwa kita bangsa Indonesia itu sama, sama-sama orang Indonesia. Narasi nasionalitas tersebut pada akhirnya selalu gagal karena memang kenyataannya dalam diri masyarakat Indonesia itu tidak sama, terdapat banyak perbedaan. Dari segi suku, ras, agama, dan pengalaman nasional dari berbagai kelompok masyarakat memang tidak sama. Bahkan di masyarakat selalu muncul perbedaan, misalnya adanya dikotomi kita penduduk (kampung) asli, dan mereka pendatang. Hingga hari ini masih selalu terjadi perbedaan dan ketidakberterimaan antara penduduk (kampung) asli, dan mereka yang disebut pendatang. Memang, negara memperkenalkan konsep pendatang lama dan pendatang baru, tapi narasi tersebut membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa diterima.

 

Pengalaman-pengalaman dan posisi sosial ataupun posisi ruang yang berbeda juga menyebabkan persepsi masyarakat (lebih-lebih individu),  terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai peristiwa nasional, tidak bisa diharapkan sama. Itulah sebabnya, derajat rasa memiliki negeri ini tentu berbeda-beda. Hal perbedaan tersebut diperburuk dengan situasi dan kondisi negeri ini yang tidak kunjung “membanggakan”. Kondisi tersebut menyebabkan begitu banyaknya alasan buat kita untuk ikut tidak percaya terhadap optimisme Indonesia. Ungkapan-ungkapan; “dasar orang Indonesia”, “kalau gitu kita masih di Indonesia”, dengan nada minor adalah sedikit ungkapan dari sekian banyak ungkapat tentang kekecewaan kita terhadap diri dan masyarakat kita sendiri.

 

Perbedaan Ruang dan Waktu

Seperti telah disinggung, nasionalisme adalah sebuah narasi. Kita memang (berusaha) diikat dengan narasi sejarah masa lampau, tapi pada saat yang sama kita mengalami kebaruan hidup sendiri-sendiri di masa sekarang yang sudah pasti berbeda dengan masa dulu. Kita berusaha diikat dengan narasi senasib sepenanggungan, bernenek moyang yang sama, tapi pada saat yang sama di masa kini kita hidup dalam kebudayaan, gaya hidup, dan bahasa yang baru karena terjadinya berbagai persentuhan budaya.

Hal ini menjadikan kita sulit membangun penyatuan ruang dan waktu yang utuh karena bagaimanapun juga ruang dan waktu dulu dan kini telah berbeda, bahkan bertentangan. Kita mungkin mencoba percaya adanya kesamaan pengalaman sejarah di masa lampau, tetapi kenyataannya kehidupan di masa kini kita sudah sangat beragam dan plural. Dalam konteks ini, tidak bisa dibayangkan bahwa nasionalisme akan tetap tumbuh subur di lahan ruang waktu yang tidak memungkinkan bersatunya kenyataan-kenyataan masa lalu dan masa kini.

Pengalaman terhadap ruang dan waktu generasi sekarang juga berbeda dengan dengan pengalaman generasi terdahulu. Tidak ada cara atau mekanisme yang ampuh yang bisa mempertemukan dulu dan kini, karena waktu memang berjalan ke depan. Masa lalu dan masa kini hanya bisa bertemu dalam satu konteks irisan ruang waktu, tetapi dalam praktiknya setiap irisan selalu berbeda karena komposisi keberadaan kita dan mereka juga berbeda.

Hal yang mempertemukan waktu dulu dan ke depan, adalah kekinian. Artinya, mekanisme yang dimungkinkan untuk pertemuan waktu dulu dan ke depan adalah imajinasi hari-hari ini. Masalahnya, imajinasi pada tataran teoretik mungkin masih bisa dipengaruhi, tetapi tidak ada jaminan sama sekali seberapa jauh pengaruh tersebut menjadi hegemonik. Kegelisahan kita tentang begitu banyak nilai-nilai ke-Pancasila-an yang belum atau tidak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari adalah contoh bentuk kegagalan negara dalam menghegemoni imajinasi tentang nasionalisme, atau hal-hal lain yang terkait.

 

Konsolidasi Cinta dan Benci

Gagasan nasionalisme juga mengandung narasi psikologis, yakni untuk mencintai kita di satu pihak, dan mungkin untuk membenci mereka. Pengertian ini secara relatif ada di bawah sadar kita, baik secara individu maupun kelompok. Dalam praktiknya, nasionalisme membingkai cinta terhadap yang asli, yang kita mayoritas, di pihak lain kita diajarkan tidak menyukai yang mereka yang lain, yang tidak mayoritas, yang tidak sama, yang berbeda dengan yang dominan. Artinya, semangat cinta nasional bukan dibangun berdasarkan perasaan bersatu bangsa, bersatu bahasa, atau bersatu tanah air, tapi justru dibangun berdasarkan narasi dominan yang berkuasa.

Terlepas dari itu, negara juga tidak memobilisasi kondisi-kondisi yang membuat rasa bangga terhadap bangsa. Berbagai kasus yang memperlihatkan kelemahan suatu bangsa, seperti korupsi, kemiskinan dan pengangguran, dan berbagai konflik yang terjadi, menyebabkan pupusnya perasaan bangga berbangsa. Yang terjadi justru perasaan permusuhan dan benci antara antara kita yang dirugikan, dan mereka yang merugikan. Tidak heran jika kemudian muncul ungkapan, “aku tidak bangga menjadi orang Indonesia.”.

Ketika tidak ada perasaan bangga terhadap negara Indonesia, maka menipis dan sirnalah perasaan nasionalisme di antara kita karena ada mereka di dalamnya yang membuat kisruh perasaan cinta dan benci nasionalitas kekitaan. Ini masalah yang rumit untuk diselesaikan sehingga perlu dimunculkan cara, strategi, dan politik kebudayaan yang baru untuk memperkuat nasionalisme kita. Agenda ini harus diseriuskan kembali. * * *

 

 

MENUJU SUBJEK OPORTUNIS Kontradiksi dalam Tatanan Simbolik Kapitalisme

$
0
0

MENUJU SUBJEK OPORTUNIS

Kontradiksi dalam Tatanan Simbolik Kapitalisme

 

Oleh Aprinus Salam

Pengajar di Pascasarjana FIB UGM

 

Pengantar

Tema yang seharusnya dibicarakan adalah “Peran Budaya dalam Memperkokoh Karakter Bangsa”. Tema ini sangat penting dan selalu akan menjadi masalah. Tulisan ini membicarakan masalah tersebut dalam sisinya yang berbeda. Terdapat kenyataan lain bahwa kebudayaan yang sedang menguasai kita, perlu diperhitungkn sebagai masalah terganggunya kekokohan karakter bangsa. Hal itu disebabkan bahwa dalam kebudayaan terdapat kekuatan besar yang mengatur banyak hal, termasuk hal-hal yang terjadi di Indonesia. Untuk itu saya akan memulai dengan pertanyaan berikut.

Bagaimana menjelaskan kontradiksi subjek (diri/seseorang) dan/atau identitas yang tampak bertentangan? Di satu sisi terdapat subjek yang mencitrakan dirinya sebagai seorang muslim yang saleh (identitas), tetapi di sisi lain subjek yang bersangkutan juga melakukan korupsi. Di satu sisi sang subjek mencitrakan dirinya sebagai seorang yang demokratis, tetapi di sisi lain subjek tersebut tampil penuh kuasa dan sering bertindak sewenang-wenang. Di satu sisi terdapat subjek yang memperlihatkan dirinya sebagai seseorang yang dermawan dan baik hati, tetapi banyak yang tahu bahwa subjek bersangkutan sangat keras mengeksploitasi bawahannya. Konteks apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi?

 

Tulisan ini mencoba menjawab persoalan tersebut. Ada empat hal yang ingin dijelaskan. Pertama, wacana-wacana apa yang membentuk subjek. Kedua, struktur dominan apa yang sedang terjadi. Ketiga, bagaimana situasi kontradiktif tersebut dimungkinkan. Keempat, ke mana arah pola subjek dan identitas yang terjadi.

 

Seperti diketahui, wacana-wacana membentuk dan memposisikan subjek dalam satu struktur kewacanaan (Foucault, 1973; 1976, lihat juga Laclau dan Mouffe, 2001). Dalam wacana ada kuasa, dan subjek terikat dalam satu tatanan relasi kuasa. Dengan demikan, subjek terbentuk dalam kuasa tertentu, dalam satu struktur dominan tertentu. Hal yang dimaksud subjek adalah bagaimana wacana dipersepsi, atau dibatinkan, oleh seseorang, dan kemudian bagaimana wacana tersebut memposisikan subjek dalam melihat dunia (world view). Berdasarkan pemahaman ini, wacana menjadi ideologi dan/atau simbol.

 

Subjek bersisi-sebelahan dengan identitas (Hall, 1992). Identitas dapat bersifat individual, dapat pula bersifat kolektif. Identitas terjadi dalam seperangkat atribut kultural yang membedakan pemaknaan antara yang satu dengan yang lain (Castells, 2001). Misal kasus di atas, subjek dikenal sebagai muslim, maka kemusliman adalah satu kategori penilaian dan klasifikasi. Dalam konteks penilaian dan klasifikasi itulah terdapat identitas (Bourdieu, 1984). Dalam situasi itu, subjek dapat dipetakan kedudukannya dalam tatanan kehidupan.

 

Kontestasi Wacana

Terdapat banyak wacana yang mengkonstruksi/mengkonstitusi subjek (diri-pribadi) dalam kehidupan sehari-hari. Dari kecil kita sudah mendengar berbagai nasihat dan cerita dari orang tua dan keluarga. Kisah-kisah nabi dan kehidupan para sahabat (misalnya untuk keluarga muslim). Di sekolah hingga perguruan tinggi kita membaca dan mendengar cerita guru atau dosen. Berbagai mitos, folklore, cerita rakyat, prosa, puisi, dan pribahasa-pribahasa adalah memiliki kandungan wacana. Di ruang-ruang lain kita mendengar ceramah, pengajian, pernyataan-pernyataan para ahli, membaca berita dan berbagai informasi. Sebagai wacana, dalam wacana tersebut terdapat kuasa yang mengaturnya.

 

Demikian pula halnya, ketika kita membuka gejet, maka bertebaranlah berbagai wacana dari mana saja. Berbagai berita, dalam banyak hal masuk dalam kategori wacana, karena berita ditulis atau dilaporkan dalam frame tertentu. Berita tentang orang miskin yang sukses menjadi kaya, berita perang dan pembunuhan, kisah-kisah filantropis, dsb., ikut berpengaruh terhadap subjek. Frame ditentukan oleh kuasa tatanan dominan.

 

Negara berkepentingan mengokohkan kuasanya. Pada masa kolonial, orang Indonesia dikonstruksi untuk menjadi subjek inlander. Pada masa revolusi, untuk melawan subjek inlander, Soekarno mewacanakan rakyat, untuk menjadi subjek rakyat, konsep yang menggabungkan pengertian massa, buruh, kaum marhaen, petani, orang melarat, dan sebagainya (Soekarno, 2002). Pada masa Orde Baru, pemerintah, atas nama negara, memobilisasi wacana manusia/subjek seutuhnya (Subjek Pancasila) (TAP No. II/MPR/1983 (hlm. 380-382). Wacana subjek seutuhnya ini, secara teoretik tidak mempertimbangkan wacana ideologis yang saling bertentangan sehingga proyek ini menyisakan bangunan subjek yang carut marut. Hal ini kelak akan dirasakan di kemudian hari, yakni pada periode “kuasa reformasi”. Masalah tersebut berkelindan dengan pemerintah daerah yang berkepentingan dengan nilai-nilai budaya lokal. Banyak kebijakan di tingkat daerah untuk menggali ulang nilai-nilai budaya lokal. Kearifan lokal  bergema di daerah-daerah.

 

Dalam berbagai wacana yang tumpang tindih tersebut, justru yang semakin banyak berkiprah adalah subjek-subjek yang kontradiktif.

 

Dengan beberapa penyederhanaan tulisan ini masuk ke dalam beberapa kasus. Biasanya orang tua, berdasarkan wacana dominan dalam dirinya, memberikan nasihat kepada anaknya agar sang anak menjadi orang yang berguna dan berbakti bagi agama, negara, dan orang tua. Wacana ini dikategorikan sebagai wacana dalam tatanan simbolik yang mewakili kuasa yang telah mapan. Dalam posisi strukturalnya, sang anak telah ditanam satu pemahaman simbolik untuk kelak mengikuti aturan main dalam berkehidupan. Pribahasa-pribahasa banyak memberikan wacana dalam struktur yang mapan tersebut. Walaupun terdapat sebagian dalam pribahasa bersifat larangan, tetapi secara umum larangan tersebut dimaksudkan untuk mengatur subjek agar tidak melanggar larangan sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai aturan.

 

Ketika di sekolah, subjek juga mendapatkan pernyataan-pernyataan, rajin pangkal pandai, hemat pangkat kaya, letakkan cita-citamu setinggi langit, bekerja keraslah agar kamu sukses, dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan tidak berdiri sendiri di ruang kosong. Terdapat satu tatanan konteks yang menyebabkan pernyataan-pernyataan tersebut menjadi bermakna dan mendapatkan dorongan konsolidatif dalam kesadaran subjek. Negara, lewat pelajaran Pancasila, Sejarah, Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia dan Sastra, Geografi, menanamkan nilai-nilai kepancasilaan, kecintaan pada tanah air, dan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan dari subjek agar sesuai dengan kaidah kewarganegaraan.

 

Kita juga mendapat kisah sebagai bangsa yang pernah dijajah. Wacana yang berkaitan dengan ini juga tidak kalah signifikan dibanding yang lain. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pernah kalah dan dijajah oleh Barat. Apalagi Barat penjajah juga meninggalkan konstruksi sosial bahwa bangsa Indonesia itu malas, bodoh, tidak disiplin, tidak berbudaya, dan Barat itu disiplin, pintar, berbudaya, dan sebagainya (Bdk, Alatas, 1988). Karena kuatnya wacana itu dengan bukti keunggulan Barat, maka kita seolah percaya bahwa kita memang perlu belajar ke Barat. Hingga kini masih terasa jejak-jejak pengakuan bahwa Barat itu lebih unggul dari Indonesia.

 

Sejalan dengan masa penjajahan, Barat juga membawa kapitalisme kolonial dan modernitas (Alatas, 1988). Pada abad ke-20 awal, Indonesia memasuki masa-masa proses modernisasi. Kini modernitas, dengan wacana (dan ideologi) individualisme, rasionalisme, progresivisme, sekularisme, dan pengakuan terhadap adanya kebenaran universal (Bdk. Bauman, 1991; Harvey, 1998) telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hampir semua simbol modernitas, dalam berbagai bentuk gaya hidup, telah hadir di Indonesia. Indonesia menjadi salah satu konsumen terbesar perangkat teknologi modern di dunia. Saat ini, sekitar 60% masyarakat Indonesia menggunakan perangkat gejet dan teknologi internet.

 

Di balik gegap modernitas, kehidupan beragama di Indonesia tetap terpelihara. Tempat-tempat beribadah masih selalu ramai dan terus dibangun. Jumlah muslim Indonesia adalah yang terbedar di dunia. Dalam beberapa ritus elektoral, wacana keagamaan memainkan peranan penting dalam kontestasi. Banyak kegiatan pengajian bukan saja berlangsung di masjid, tetapi di ruang-ruang publik lainnya, hingga di hotel-hotel bintang lima. Relijiustias menjadi gaya hidup dan layak dipertontonkan.

 

Berbagai kontradiksi itu terjadi karena keberadaan subjek itu tidak stabil. Wacana bersaing secara terus menerus “menginterupsi” kesadaran subjek. Memang, dalam struktur yang stabil, wacana dominan terkondisi untuk stabil dan tanpa disadari subjek terkondisi dalam wacana dominan tersebut. Akan tetapi, akan selalu muncul resistensi wacana lain yang berebut pengaruh terhadap posisi dominan. Jika terdapat kesejajaran dan kesamaan kode wacana pada subjek-subjek yang terdominasi atau tertindas (dalam bentuk identitas), hal ini akan menjadi kekuatan tersendiri untuk memberikan varian yang berbeda terhadap kesadaran subjek.

 

Kondisi tersebut dimungkinkan karena subjek secara dinamis memiliki kemampuan dalam mengonsolidasikan dirinya sesuai dengan hasrat-hasrat yang terkandung sebagai subjek itu sendiri. Meminjam pemikiran Bourdieu (1990) di sinilah letak hubungan dinamis antara keberadaan subjek dengan realitas struktural yang dihadapi subjek. Artinya, bukan tatanan struktur saja yang berkuasa dan dominan atas diri subjek, tetapi subjek juga ikut berpengaruh dan bisa bernegosiasi dengan struktur.

 

Namun, melihat struktur dan kondisi masyarakat Indonesia, strukur masih memainkan peranan dominan. Apalagi, sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa, inisiatif-inisiatif pribadi ditekan atas nama harmoni. Banyak pendapat dan inisiatif peribadi/subjek tidak bisa dinegosiasikan. Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan. Kita mementingkan kuasa kolektif dari pada pribadi. Persoalannya, kolektif itu siapa? Kolektif itu adalah kuasa tatanan tertentu tempat kekuatan dominan telah mengatur hierarkinya sehingga segala hal atas nama subjek nyaris diabaikan.

 

Wacana dominan mendapat dukungan sepenuhnya dari para penguasa ekonomi, atau kekuasaan negara didukung oleh struktur kekuatan ekonomi, demikian sebaliknya. Proses modernisasi telah berkembang pada bentuk kapitalisme akhir, atau bahkan neoliberalisme, yang mana individu mendapat hak seluas-luasnya untuk bersaing dan mengambil keutungan sebesar-besarnya di pasar, peran pasar semakin membesar, dan peran negara semakin mengecil. Negara tidak lebih berfungsi sebagai “administrator” kegiatan ekonomi yang secara inheren adalah pula kegiatan politik. Di Indonesia, hal ini akan berimplikasi sangat luas. Kontestasi wacana akan semakin berjalan tidak imbang.

 

Tatanan dan Kekerasan Simbolik

Dalam sebuah karyanya, Eagleton  (1998/1976, 1990) menjelaskan bahwa pada tataran corak produksi umum, yang memproduksi suatu aktivitas kemanusiaan, termasuk di dalamnya berbagai karya, berkat kemampuan dan mekanisme satu tatanan struktur bernegara. Jika kita menilik Indonesia, struktur apa yang sedang berlangsung. Melihat sirkulasi ekonomi yang terjadi, yakni ketika keuntungan hasil kerja masyarakat kebanyakan justru mengalir pada segelintir pemilik alat-alat produksi, segelintir pengusaha dan penguasa, maka dapat dipastikan bahwa tatanan struktur kita adalah tatanan kapitalisme. Dalam tatanan seperti itulah aktivitas dan identitas bermunculan, berbagai karya diproduksi. Artinya, termasuk aktifitas pendidikan, kesusastraan, merupakan bagian dari mekanisme produksi umum struktur tatanan kapitalisme.

 

Sebagai ideologi yang berkuasa, maka kapitalisme, lewat para subjek-subjeknya juga, akan secara konstan, sistematis, dan terus menerus mempertahankan posisi dominannya. Subjek-subjek kapitalis yang memiliki kuasa, akan terus mengontrol wacana-wacana yang beredar dan berkontestasi. Tatatan kapitalis juga akan mengontrol peraturan-peraturan, berbagai kebijakan, hingga wacana-wacana resistensi. Sejauh berbagai kontetasi tersebut tidak membahayakan posisi dominan, maka dunia akan berjalan sebagaimana biasanya. Namun, jika dipandang terdapat wacana yang berkekuatan interuptif, maka kapitalisme akan melakukan penanggulangan.

 

Bentuk penanggulangan yang dilakukan kapitalisme berupa “kesalehan sosial” dengan cara melakukan berbagai “sedekah”. Perusahaan-perusahaan multi-internasional, sebagai ujung tombak, akan mensubsidi berbagai aktivitas ataupun karya-karya resistensif, yang dianggap memberikan tandingan. Artinya, misal, banyak karya seni dan sastra justru menjadi komoditas penting dalam rangkaian sistem kapitalisme. Bila Anda minum kopi di sturbucks, maka sebagian keuntungan yang diperoleh akan diberikan kepada petani-petani kopi miskin sehingga Anda pun yang minum kopi di sturbucks merasa ikut bersedekah. Jika Anda melakukan pengajian di hotel berbintang lima, maka relijiusitas Anda akan tampil modern dan sebagian dari kegiatan pengajian tersebut disumbangkan ke yayasan yatim piatu. Tidak lupa bahwa kita akan ber-selfie ria dalam kegiatan pengajian tersebut bahwa kita adalah umat yang relijius.

 

Dari berbagai kejadian tersebut, kita menjadi tahu bahwa kesadaran subjek bukan saja tidak stabil, namun pada tataran identitas memperlihatkan wajah ganda bahkan majemuk. Masalah-masalah tersebut akan menjadi lebih kompleks jika masuk ke wilayah perbedaan-perbedaan kelas, gender, ras, agama, dalam struktur mikro dalam aras lokal yang berbeda-beda. Pada tataran kelas, banyak kejadian bahwa subjek kelas terdominasi berupaya mempelihatkan identitas dan simbol-simbol kelas atas. Subjek kelas bawah berpenampilan seolah mahal padahal dana sangat terbatas. Sambil bergurau Bourdieu (1984) pernah membahasakan kasus ini dengan memaksimalkan gaya, tetapi dengan meminimalkan biaya. Dengan sadar atau tidak, subjek menjadi dan merepresentasikan dirinya sebagaian bagian dari, atau terkooptasi, kelas dominan.

 

Kasus subjek rasis juga bukan persoalan baru di Indonesia. Di samping masih mengagumi si Barat yang putih, subjek rasis berusaha keras memutihkan kulitnya. Hal ini menyebabkan teknologi dan perangkat kecantikan kulit merupakan bisnis yang besar di Indonesia. Bertahun-tahun kita sudah mulai menyadari ini, tetapi iklan-iklan dengan wajah dan representasi Barat masih sangat dominan. Kadan-kadang, terdapat juga kelompok-kelompok kepentingan yang mulai frustrasi dengan kondisi tersebut sehingga melakukan aksi-aksi kekerasan. Beberapa perusahaan besar yang menjadi simbol Barat, khususnya Amerika, menjadi situs penting untuk dijadikan sasaran kekerasan.

 

Dalam ranah gender, subjek-subjek juga mengalami tekanan dan kontrol dalam wacana dominan. Kekuatan wacana mengatur laki-laki dan perempuan untuk tetap menjadi kelihatan laki-laki dan perempuan dalam berbagai penampilan simboliknya (Laclau, 2001). Subjek-subjek kehilangan kemerdekaannya untuk menjadi manusia merdeka karena kemerdekaan tersebut lebih sebagai fantasi ideologis dalam tatanannya. Bisa saja kemudian subjek merasa merdeka, tetapi merdeka yang terbatas dalam ruang tatanan simbolik struktur dunia dalam bayang-bayang dominasi kapitalisme global.

 

Hal yang terjadi adalah subjek telah dikuasai dan hidup dalam konotasi yang secara keseluruhan bersifat simbolik. Kalau kita percaya ada negara yang sedang berkembang dan ada negara maju, maka secara terselubung kita telah hidup dalam tatanan simbolik itu. Kalau kita percaya dengan berbagai pengertian tentang kemajuan, pembangunan, keadilan, kemakmuran, dan sebagainya, kita telah hidup dalam tatanan simboliknya. Implikasinya, subjek memperlihatkan diri, dalam tatanan itu bahwa masyarakat dan negara sedang bersama-sama berjalan ke arah itu. Perjalanan itu tidak akan pernah sampai karena simbol-simbol akan terus berubah sehingga apa yang kemudian disebut kemajuan, pembangunan, keadilan, kemakmuran tetap dalam batas-batas fantasi ideologis yang dimungkin dalam dirinya.

 

Wacana-wacana akan terus berkontestasi karena wacana yang bersaing merebut subjek akan merupakan sesuatu yang labil. Kelabilan tersebut mengondisikan fantasi-fantasi yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi perubahan-perubahan posisi-posisi subjek. Artinya, berkat perjuangan subjek, sangat mungkin posisi-posisi dalam struktur akan berpindah tempat, tetapi struktur makronya tidak berubah. Akan ada subjek yang mengalami mobilitas vertikal, atau sebaliknya, tetapi hal tersebut bukan indikator adanya perubahan struktur.

 

Memang, terdapat sejumlah teori yang mengabaikan kekuatan struktur, yakni teori postruktural yang memberi tekanan pada kekuatan wacana itu sendiri. Secara teori hal itu dimungkinkan jika mobilitas subjek tidak terikat dengan struktur yang mengaturnya. Akan tetapi, gejala tersebut hanya terdapat pada subjek-subjek yang memang telah memiliki kemampuan mengatasi struktur. Gejala itu hanya terjadi pada segelintir subjek. Untuk kasus Indonesia, walau gejala posmodernisme (sebagai implikasi posstrukturalisme) telah ada, tetapi sebagian besar subjek masih sangat dikondisikan oleh kekuatan struktur dominan.

 

Medan Kontradiktif

Seorang pemikir terkenal, Slavoj Zizek (1989), memberikan satu penjelasan lain terkait dengan medan kontradiktif yang menyebabkan subjek seolah berwajah ganda. Dalam praktik kehidupan, terdapat tiga skema yang subjek “terjebak” dalam ketiga skema tersebut, yakni apa yang dimaksud dengan The Real (yang Nyata), The Imaginary (yang Imajiner), dan The Symbolic (yang Simbolik). Untuk memperjelas konsep tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan dalam kasus, yakni upaya-upaya menggairahkan kembali apa yang biasa disebut sebagai kearifan lokal.

 

Hingga hari ini kita masih menghidupkan secara sistematis apa yang disebut kearifan lokal. Kita menyeminarkannya, menerbitkan buku, menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan dan atas nama kearifan lokal, antara lain kegiatan yang meliputi permainan dan seni tradisional, berbagai karnaval yang mengandung nilai dan filosofi lokal, kandungan sastra dan tradisi lisan, dan sebagainya. Persoalannya, apa yang terjadi di balik revitalisasi kearifan lokal, sementara tatanan kapitalisme dengan banal terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.

 

Mengadopsi pemikiran Zizek (1989, 1994), kearifan lokal dari dulu adalah sesuatu tatanan simbolik yang diagungkan, dimuliakan, dan suatu fantasi yang bisa dianggap nyata yang kita bersama-sama ingin menjadi dan ada di dalamnya, sesuai dengan konteks budaya lokalnya masing-masing. Artinya, setiap lokal-lokal, bisa jadi tatanan simboliknya berbeda-beda, tetapi bisa pula pada tingkat yang universal adalah hal kebaikan dan kebenaran yang diakui bersama. Dengan demikian, tatanan simbolik lokal orang Indonesia itu beragam sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

 

Akan tetapi, persoalannya bukan itu. Persoalannya adalah saat ini kita hidup dalam satu tatanan simbolik rezim kapitalisme. Suatu era ketika rezim kapitalisme memiliki kuasa yang kokoh. Rezim tersebut telah berhasil membuat satu tatanan simbolik yang kita hidup di dalamnya, dan kita terperangkap dalam rezim tersebut. Kita hidup ketika hampir seluruh nilai-nilai, filosofi, simbol-simbol, bahkan imajinasi yang bersifat dan mengarahkan diri dalam tatanan kapitalistis. Untuk hidup subjek (kita) harus bekerja, dan mau tidak mau subjek bekerja pada lembaga pemerintah atau non-pemerintah. Jika bekerja secara mandiri pun kita terikat dalam satu sistem pasar dan modalitas. Jika bertani, kita hidup dalam satu sistem sirkulasi jual beli barang dan jasa. Ketika menjadi seniman, kita perlu memperjualbelikan karya. Sirkulasi jual beli barang, jasa, dan modalitas tersebut terikat pula dalam tatanan simbolik kapitalisme.

 

Agar hidup terkesan “normal”, kita mengikuti aturan main nilai-nilai, simbol-simbol, dan filosofi modern tersebut. Kalau tidak, kita bisa dianggap ketinggalan zaman, orang aneh, tidak mengikuti kaidah kehidupan yang telah menjadi tuntutan zaman. Alhasil, secara keseluruhan hidup kita sungguh telah menjadi modern. Pada situasi itulah, kemudian, kita menjadi tahu bahwa tatanan kapitalisme tidak membawa atau mengantarkan kita pada sesuatu yang sejati, yang The Real.

 

Kita menjadi sadar bahwa hidup kita terasa palsu dan semu. Kita menjadi sadar bahwa hidup telah membawa kita pada proses-proses dehumanisasi, hilangnya penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan, kemuliaan, dan kedamaian. Dulu, sebelum kesadaran itu muncul, itulah yang disebut Marx sebagai kesadaran palsu. Subjek melakukan tindakan tertentu karena subjek tidak tidak menyadari atau tidak begitu mengetahui. Hegemoni menyelubungi diri subjek sehingga dunia tidak dapat dilihat secara apa adanya (yang real). Akan tetapi, fase tersebut sekarang sudah berlalu. Sekarang subjek melakukan tindakan tertentu, dan subjek tahu itu tidak benar, tetapi kita tetap melakukannya. Keadaan ini yang disebut Slavoj Zizek beroperasinya kesadaran sinis (1989, 1994, 1997).

 

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, dalam tatanan simbolik kapitalisme tersebut kita menjadi sadar kearifan lokal ternyata telah menjadi ada tapi tiada, menjadi the Other. Dalam situasi itu kita merindukannya, membutuhkannya, maka dibuat berbagai program, acara, aksi-aksi, dan hal-hal yang berkaitan dengan penghidupan kembali nilai-nilai atau praktik kearifan lokal. Dengan asumsi, kearifan lokal dapat membawa kita pada sesuatu yang The Real.

 

Kita pun menghidupkan tradisi dan ritual-ritual tradisional yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Berbagai kampanye, jargon, dan seremoni-seronomi atau kegiatan yang bernuasa kearifan lokal kita selenggarakan, mungkin per minggu, per bulan, atau per tahun. Kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan negara pun menjadi sibuk dengan berbagai kegiatan dan seremonial yang, diandaikan, sangat berbau tradisi dan kearifan lokal.

 

Dalam praktiknya, hal yang terjadi adalah paling tidak kita diajak kembali untuk merasakan (dan mungkin membeli) apa yang disebut merasakan pengalaman arif dengan nuasa lokal. Dalam konteks ini, kearifan lokal yang seharusnya bagian integral dalam kehidupan, berposisi sebagai yang asing. Dibuatlah berbagai kegiatan yang disengaja agar the Other menjadi tidak terlalu asing dengan merasakan kembali pengalaman yang arif lokal tersebut.

 

Sebagai contoh kita mengadakan desa budaya sebagai satu ruang yang mengandung muatan kearifan lokal. Kita menyelenggarakan festival dan ritual seni untuk terlibat dengan pengalaman arif dan lokal. Kegiatan itu dimaksudkan untuk sejenak atau beberapa jam/hari menjadi arif dan lokal tanpa terus menerus bersusah payah menjadi orang yang terasing dalam dunia formal berdasarkan tatanan simbolik kapitalisme.

 

Dari siatuasi itu dapat diketahui bahwa segala hal atas nama kearifan lokal tersebut tetap tidak dapat keluar dari suatu rangkaian tatatan simbolik kapitalisme. Hal ini terjadi karena, dalam praktiknya, kearifan lokal menjadi komoditas, menjadi bagian dari investasi modalitas, terikat dalam jaringan dan berbagai kepentingan yang dibutuhkan oleh masyarakat modern yang kapitalistis.

 

Pertanyaannya, apakah kita tidak tahu semua hal yang terjadi. Jawabannya, kita tahu. Akan tetapi, kita dengan sengaja memanipulasi pengetahuan kita itu untuk pura-pura tidak tahu. Rasionalitas kita sengaja dihalangi, karena jika rasionalitas kita dimunculkan, maka akan tahulah kita bahwa tatanan simbolik yang terlanjur kita nikmati terlalu vulgar dan cabul. Mungkin kita tidak akan menikmatinya lagi, walau kita tahu yang kita nikmati ini semu dan palsu.

 

Singkat kata, karena hegemoni simbolik yang semakin menguat, maka subjek menempuh berbagai cara untuk memenangkan persaingan. Cara-cara mengatasi persaingan tersebut bisa legal ataupun illegal. Di sini berbagai kemungkinan proses radikasisasi menjadi dimungkinkan. Dalam cara-cara itulah kemudian terjadi berbagai penurunan etik, kejujuran, dan nilai-nilai kebenaran. Tidak jarang kemudian berbagai potensi kriminalitas juga meningkat. Hidup dengan rasa aman dan nyaman jauh berkurang. Sekali lagi, bukan kita tidak tahu bahwa hal-hal illegal (seolah di luar tatanan simbolik) telah kita lakukan, tapi kita justru menikmati pengetahuan yang kita pura-pura tidak tahu itu.

 

Terdapat perspektif lain dalam menjelaskan medan kontradiktif tersebut, kembali meminjam pemikiran Bourdieu (2004). Medan kontadiktif dimungkinkan terjadi ketika subjek masuk dalam satu arena sosial yang hierarkis. Sebafai arena sosial, subjek terkondisi dengan kuasa wacana dominan (kapitalisme misalnya), untuk berkompetisi merebut posisi dominan. Subjek akan mengelola modal sosial, ekonomi, budaya, dan simboliknya untuk mendapatkan posisi dominan dalam hierarki strukturalnya. Dalam setiap arena memang memiliki rule of the game-nya masing-masing. Ruang sosial-ekonomi, sebagai ruang interseksi terbesar akan memaksa subjek mengerahkan modal-modalnya untuk meraih posisi dominan dalam kompetisi tersebut.

 

Menuju Subjek Oportunis

Hal yang dimaksud dengan subjek oportunis adalah pertemuan kontradiktif dua wacana atau lebih dalam diri subjek. Pertemuan tersebut bersifat tidak stabil. Oportunitas terjadi ketika subjek terkondisikan oleh celah struktur yang membuka peluang pada dirinya untuk mengambil kesempatan dalam celah tersebut. Untuk itu akan dibicarakan lebih rinci apa yang dimaksud dengan adanya celah dan tidak adanya celah dalam struktur tersebut.

 

Sebagai mana telah dibicarakan sebelumnya, kita hidup dalam dominasi struktur kapitalisme. Ciri-ciri kapitalisme (dan juga neoliberalisme) adalah, pertama, ketika keuntungan hasil produksi yang dikerjakan oleh para pekerja mengalir ke pemilik produksi/alat-alat produksi, ke pemilik perusahan-perusahan besar, atau ke penguasa ekonomi. Hal tersebut meliputi pekerjaan pada perusahaan-perusahan swasta dan pemerintah. Kedua, sebagian besar masyarakat/para pekerja menggantungkan hidupnya dalam mendapatkan imbalan dari tenaga yang dikeluarkannya. Ketiga, dalam relasi pemilik produksi dan tenaga kerja, berbagai aturan  berkaitan dengan “aturan main” dibuat oleh pemilik produksi atau penguasa ekonomi. Demikian pula halnya dengan berbagai wacana atau pernyataan-pernyataan terkait dalam mekanisme produksi dan wacana yang menjaga “normalitas” dibuat oleh para penguasa.

 

Jika melihat ciri-ciri tersebut, maka Indonesia merupakan negara kapitalis, bahkan mulai mengarah ke neoliberalisme ketika peran negara terus menerus mendapat interupsi dari pasar. Kita tahu bahwa saat ini pemilikan produksi dan alat-alat produksi lebih dari 85% dikuasai swasta (besar) dan negara. Sebagian besar masyarakat hanya menjadi pekerja, dan lama mekanisme tersebut, sebagian besar keuntungan mengalir ke penguasa ekonomi. Perkembangan teknologi semakin mengurangi kebutuhan terhadap tenaga kerja manusia. Banyak pekerjaan membutuhkan ketrampilan yang spesifik dan berpendidikan tinggi. Sebagai resikonya, banyak warga yang tidak terserap ke pasar kerja. Jika ingin terserap ke pasar kerja, masyarakat harus memiliki ketrampilan dan pendidikan sesuai kebutuhan pasar.

 

Kondisi tersebut menimbulkan ekses persaingan yang ketat dalam merebut kesempatan kerja di pasar. Ekses persaingan yang ketat inilah membuka peluang kepada masyarakat, subjek-subjek, untuk menempuh berbagai cara agar diterima di pasar kerja. Sistem yang rasional dalam mekanisme produksi tidak membuka celah-celah untuk dapat ditembus dengan mudah. Akan tetapi, sistem yang rasional tersebut juga berdiri dalam satu konteks budaya yang meliputi nilai-nilai emosional, sistem kekerabatan, bahkan norma-norma sosial yang tidak rasional. Nilai-nilai budaya membwa kekautan wacana tersendiri sehingga terjadilah kontekstasi antara sistem atas nama struktur dan wacana budaya.

 

Situasi di atas menimbulkan tiga pilihan, pertama, dalam dominasi nilai-nilai rasional, maka subjek pekerja yang rasional akan bersaing untuk siap kalah atau menang dalam merebut kesempatan di pasar kerja. Jika kalah, subjek akan mencari alternatif lain dalam koridor rasional. Kedua, subjek mengelaborasi cara-cara emosional dan hal irasional lainnya dalam merebut pasar. Akan terjadi persaingan, baik di ruang sosial yang tetap rasional atau ruang lain yang tidak rasional. Ketiga, karena tidak mampu bersaing, subjek bekerja serabutan, atau bahkan sebagian yang lain bekerja asal-asalan yang tidak dapat sepenuhnya disebut pekerjaan.

 

Persaingan yang ketat dan berat tersebut akan menyertai akibat-akibat lain. Pertama, perebutan-perebutan pasar kerja akan menyebabkan banyaknya cara-cara emosional/kultural, seperti kolusi dan nepotisme, untuk menembus sistem atau struktur yang rasional. Kedua, jika subjek tidak memiliki relasi, akan muncul emosi-emosi yang mengarah pada kekerasan. Ketiga, kesamaan-kesamaan posisi dalam struktur persaingan tersebut menyebabkan munculnya berbagai aliansi atau koalisi, bahkan semacam komunitas-komunitas atas nama kepentingan, baik bersifat ekonomi, dan terutama politis.

 

Rangkaian akibat inilah yang menyebabkan munculnya subjek-subjek oportunis. Subjek akan mengambil kesempatan dan peluang yang tersedia, sekecil apapun, terutama atas nama emosionalitas yang berbasis budaya. Terdapat tiga strategi oportunistik yang dilakukan subjek, dan hal ini sekaligus menjawab pertanyaan awal dalam tulisan ini. Pertama, seperti telah disinggung, subjek merupakan entitas yang tidak stabil, bahkan tidak utuh (Bdk. Marshall, 1994: 108). Ketidakstabilan tersebut karena terjadi persaingan wacana dalam kesadaran subjek. Ketidakstabilan tersebut dimanfaatkan untuk berganti-ganti posisi subjek dalam bentuk identitas yang berbeda sesuai dengan kepentingan. Kedua, karena adanya ketidakjelasan batas-batas wacana, subjek mempermainkan batas ruang privat dan ruang publik dengan menggunakan wacana yang mendukung. Ketiga, karena ketidakjelasan batas-batas identitas, subjek akan mengelaborasi wacana-wacana sesuai dengan kepentingan identitas yang sedang dipertaruhkannya.

 

Strategi oportunistik tersebut masih dalam kerangka umum, yakni belum membedakan keberadaan subjek dalam pembedaan gender, ras, atau agama. Dalam tatanan struktur yang hierakis patriarkis, perempuaan mendapatkan posisi dirinya dalam tantangan yang lebih berat. Sekali lagi, ketidaksetabilan subjek menyebabkan subjek akan mengelaborasi atas nama hak azazi manusia dan dorongan wacana feminisme atau posfeminisme. Subjek feminis/posfeminsime akan memberikan citra-citra identitas tandingan yang akan mengganggu tatanan, bisa berhasil, bisa pula tidak.

 

Dalam kasus Indonesia, kontestasi subjek berbasis ras merupakan kontestasi yang tidak seimbang. Terdapat apa yang disebut pribumi dan non-pribumi. Akan tetapi, dalam praktik kontestasinya, kedua subjek tersebut akan mengambil wacana-wacana secara berbeda. Subjek mayoritas akan mengedepankan kemayoritasannya, dengan mengadobsi wacana subjek pribumi/asli, berdarah asli dari daerah tertentu, dan sebagainya. Subjek minoritas akan mendayagunakan aspek kesejarahan, dan mengedepankan The Real-nya manusia, atau meleburkan identitas dengan penyesuaian nama pribumi, atau melakukan berbagai peleburan symbolic dan real sehingga identitasnya tersamarkan. Dalam berbagai cara yang dilakukan, baik subjek mayor ataupun miror, keduanya mengambil celah-celah oportunistik.

 

Kontestasi wacana berbasis agama merupakan medan wacana yang paling banyak dipakai. Di Indonesia, salah satu kekuatan wacana tandingan yang sangat pantas diperhitungkan berhadapan dengan tatanan kapitalisme adalah agama Islam (sebagai agama mayoritas). Kekuatan agama terletak pada janji ideologisnya yakni keselamatan dunia dan akhirat. Wacana dan ideologi lain (non-agama) memiliki kemampuan untuk “janji” duniawi, tetapi tidak akhirat. Bagi subjek yang mayoritas kalah dalam tatanan struktur kapitalisme, janji biar kalah di dunia tapi menang di akhirat, dengan mudah menelusup dalam kesadaran subjek yang merasa merasa kalah dan tertindas. Itulah sebabnya, kita sering melihat tontotan bagaimana kemudian wacana agama dikerahkan untuk membangun identitas kesamaan nasib.

 

Kekuatan wacana agama yang memberi janji keselamatan akhirat tersebut  dalam praktiknya, justru sering bertentangan dengan “syariah-syariah agama dalam dirinya” ataupun dalam praktik-praktik relijiusitas dan/atau spritualitasnya. Namun, hal yang dirasakan sangat kontradiktif adalah justru ketika subjek-subjek agama mengelaborasi sedemikian rupa simbol-simbol dan instrumen modernitas dan kapitalisme untuk melawan modernitas dan kapitalisme itu sendiri. Elaborasi-elaborasi tersebut menempatkan posisi subjek bukan saja bertentangan dalam simbolisasi dan identitas dirinya, tetapi yang paling utama adalah munculnya subjek-subjek oportunistik.

 

Gejala oportunistik tersebut semakin memperlihatkan adanya kekalutan (kegalauan) massal dalam diri masyarakat Indonesia. Kondisi galau dan kalut berhadapan dengan kekuatan tatanan kapitalisme yang justru semakin kuat. Dalam kondisi itu posisi subjek yang labil, pengambilan identitas yang kontradiktif, dalam aspek psikologis, menyebabkan bertumbuhnya karakter-karater yang tidak pernah terintegrasi, tidak utuh. Itulah sebabnya, dalam berbagai wacana lain tentang karakter, kita sangat merindukan adanya subjek-subjek yang memiliki integritas (integrity). Tuntutan itu menandakan bahwa banyak dari subjek-subjek kita tidak memiliki karakter seperti itu.

 

Kesimpulan

Pada setiap negara persoalan kontestasi wacana, pembentukan subjek, ataupun identitas, terjadi secara tidak sama karena faktor dan unsur yang terlibat di dalamnya berbeda-beda. Untuk Indonesia, dalam posisi sebagai negara yang terkondisi dalam kekuatan struktur global, sebagai negara hilir dalam proses modernisasi dan kapitalisme, kajian yang membicarakan kekuatan struktur tersebut masih sangat relevan. Wacana-wacana hadir dalam posisi dominasi struktur yang pada tataran tertentu menjadi hegemonik. Namun, subjek yang tidak stabil juga memainkan peranan penting dalam “menyiasati” dominasi struktur tersebut.

 

Implikasi hegemonik tersebut antara lain ketika dunia seolah berjalan secara natural. Kondisi itu menyebabkan sirkulasi keuntungan produksi yang mengalir deras ke segelintir  penguasa ekonomi (dan politik) tidak lagi dilihat sebagai ketidakadilan. Kita tahu bahwa di Indonesia, begitu banyak orang yang hidup dalam keterbatasan dan tidak memiliki banyak pilihan dalam memperjuangkan hidupnya. Kondisi terbatasnya pilihan sembali mencari celah “bocoran” relasi-relasi yang dimungkinkan secara kultural. Itulah sebabnya, dalam praktik kehidupan sehari-hari akan terdapat banyak benturan, kontradiksi, bahkan konflik-konflik.

 

Kondisi lapis-lapis keberadaan dan pembentukan subjek di Indonesia memberikan variasi yang berbeda dalam mengartikulasikan (atau memperjuangkan) posisi sosial dan identitasnya. Salah satu yang disorot dalam tulisan ini adalah varian subjek yang menjadi subjek oportunis. Hal tersebut terjadi karena siasat-siasat normatif, siasat-siasat rasional berpeluang kecil dalam sistem dan struktur yang menuntut kompetensi tinggi untuk dapat masuk sesuai dengan kompetisi merebut pasar. Dalam situasi galau tersebut subjek melakukan berbagai siasat dengan cara-cara yang emosional, berdasarkan subjek yang tidak pernah stabil. Subjek memanfaatkan nilai-nilai budaya dan agama (atas nama identitas) untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Akan tetapi, hal itu bersifat sirkulatif karena akan terjadi perubahan-perubahan posisi subjek secara terbatas. Sementara itu, keutuhan struktur dominan tidak berubah.

 

Daftar Pustaka

Alatas, Syed Hussein. 1988. Mitos Pribumi Malas Citra Orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Diterjemahkan oleh Akhmad Rofl’ie. Jakarta: LP3ES

Bauman, Zygmunt. 1991. Modernity and Ambivalence. Cornell/Cornell University Press.

Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. England: Cambridge University Press.

Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction. London: Rouledge.

Bourdieu, Pierre. 1990. In Others Words: Essays Towards a Reflexive Sociology. Cambridge. Polity Press.

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya (terj. Yudi Santosa). Yogyakarta: Jalasutra.

Castells, Manuel. 2001. The Power of Identity. Oxford. Blackwell.

Eagleton, Terry. 1990. The Ideology of Aesthetic. Oxford: Basil Blackwell.

Eagleton, Terry. 1998/1976. Criticism and Ideology A Studi in Marxist Literary Theory. London: Verso

Foucault, Michel. 1973. The Order of Things: An Archaeology of the Human Siciences. New York: Vintage.

Foucault, Michel. 1976. The Archaeology of Knowledge and the Discourse of Language. New York: Harper Colophon.

Hall, S. 1992. “The Question of Cultural Identity”, dalam S. Hall, D. Held dan T. McGrew (eds.). Modernity and Its Future. Cambridge: Polity Press.

Harvey, David. 1998. The Condition of Postmodernity. Oxford: Basil.

Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics. London: Verso.

Marshall, B.L. 1994. Engendered Modernity-Feminishm, Social Theory and Social Change. Cambridge: Plity Press.

Soekarno. (Ed. Tim LKEP). 2002. Api Perjuangan Rakyat: Kumpulan Tulisan Terplih Bung Karno. Jakarta dan Bogor:  LKEP dan Kekal Indonesia.

Zizek, Slavoj (Ed.). 1994. Mapping Ideology. London & New York: Verso.

Zizek, Slavoj. 1989/2009. The Sublime Object of Ideology. London & New York: Verso.

Zizek, Slavoj. 1997/2008. The Plague of Fantasies. London & New York: Verso.

 


MENUJU NASIONALISME KAPITALIS ?

$
0
0

Nasionalisme Kapitalis.
Kembali mencermati situasi Indonesia, baik dalam rentang sejarah politik, ekonomi,sosial, dan budaya, maka proses negosiasi di antara empat nilai tersebut secara relatif dimenangkan oleh “gabungan” nasionalisme dan kapitalisme.
Persoalannya, apa kaitan “nasionalisme kapitalis” tersebut dengan masyarakat diam? Kaitannya,masyarakat kelas menengah cukup menikmati situasi tersebut, dan merekamemilih diam. Kondisi-kondisi yang stabil jauh lebih mengundungkan daripada adagejolak.Tentu ini kesimpulan terbatas, karena bagaimanapun proses-proses negosiasi ituterus berlangsung, bergantung pada kondisi yang berkembang, dan berbagaiperistiwa dengan komposisi nilai yang berbeda. Berbagai hal tersebut terus dicernadan diikuti dengan diam dan secara diam-diam. Merekalah yang diam-diam justrumenentukan ke mana arah keputusan-keputusan yang akan diambil. Merekaadalah mayoritas yang rasional, cinta tanah air, selalu melakukan perhitungandengan cermat, dan memilih diam sambil terus bekerja.
(2)DI BALIK TAHUN POLITIK
Kita cemas menghadapi berjalannya waktu, terutama dua tahun ke depan yangsebagian orang mengatakan tahun politik. Penamaan tahun politik dikarenakansebagian besar menduga akan terjadi kontestasi yang keras karena tahun-tahuntersebut dianggap bagian dari tahapan penting proses-proses transisi dan ujianpolitik reformasi dan demokrasi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalahmempertanyakan ruang budaya apa di balik kontestasi politik tersebut.Pada masa Orde Baru, kita tidak cukup mengenal apa yang disebut sebagai tahunpolitik. Pada waktu itu, proses-proses politik telah diatur sedemikian rupa sehingga hasilnya sudah dapat diduga. Orde Baru telah berhasil membangun ruang “budayapolitik” sehingga persai
ngan berjalan seperti sinetron populer yang tidak menarik,kontestasi bersifat permukaan untuk memberi kesan demokrasi, dengan ending cerita yang sudah diketahui.
Pada masa-masa itu, masyarakat Indonesia belum cukup punya budaya demokrasi.Hal itu juga didukung rata-rata pendidikan yang belum baik, informasi danindoktrinisasi masih bersifat linier dari atas ke bawah, aparatus negara masih sangat digdaya dan ditakuti, wacana-wacana tandingan/ alternatif dibungkam,budaya teknologi belum massif. Kondisi tersebut mengkonstruksi cara berpikirparsial. Dengan berberapa kejadian kekerasan negara, berupa penangkapan ataupenghilangan warga, telah cukup menimbulkan efek panoptik. Ruang budaya yangterkondisi adalah budaya ketakutan.Dalam budaya ketakutan, segala hal lebih mudah dikendalikan dan diatur. Di balikitu, banyak orang mencari selamat untuk dirinya masing-masing, berusaha keluardari ketakutan. Efek dari budaya ketakutan tersebut adalah banyak pihakmengambil muka untuk menjadi agen-agen negara sebagai strategi membebaskandiri dari ketakutan. Budaya ketakutan menimbulkan sikap-sikap oportunis. Politikberjalan hambar dan serba formalitas.Kini, kondisi tersebut telah berubah, tentu tidak semua. Dalam cengkraman masalalu, proses demokrasi berjalan walau compang-camping.
Rata-rata pendidikantentu sedikit meningkat. Kedigdayaan aparatus negara sebagian besar telah “dibarakkan”. Walaupun terdapat aturan main politik yang cukup ketat, tetapi dengan canggihnya teknologi android yang massif, wacana-wacana tandingan tidaklagi bisa dibungkam. Negara tidak bisa seenaknya melakukan kekerasan. Budayaketakutan telah sangat berkurang.
Kemungkinan Benturan.
Dalam kondisi tersebut, kejadian apa yang bisa kita perkirakan dengan tahun politikdi depan. Telah disinggung bahwa walau telah terjadi banyak perubahan, tetapitidak semua. Bagian yang masih akan bertahan adalah sikap-sikap bahkan karakteroportunis yang telah terbangun akibat sejarah politik masa lalu yang tidak hilangbegitu saja. Masalahnya adalah bahwa karakter itu berjalan dalam ruang budayapolitik yang berbeda.Oportunistik dalam ruang budaya ketakutan memunculkan efek mencari selamat.Akan tetapi, dalam ruang budaya yang serba terbuka, akibat teknologi digital/ internet, oportunisme akan sangat memalukan dan tidak memberi efek keselamatan.
Namun, sebagai karakter, resiko itu akan tetap dipilih oleh sebagianmasyarakat lebih sebagai satu strategi aji mumpung.  Hal itu disebabkan tahunpolitik masih masuk dalam satu periode transisi.Di dalam masa transisi, orang mengambil resiko untuk sukses atau gagal. Padasesama yang mengambil keputusan aji mumpung, sangat mungkin akan terjadibenturan. Benturan akan berbahaya jika aji mumpung
 tersebut berhasil mengelolaidentitas, karena yang terjadi adalah benturan antar-identitas. Identitas yang paling berbahaya adalah jika mengadopsi wacana atau simbol-simbol keagamaan. Orangberani mati dalam keyakinannya.
Hal lain, Indonesia, sebagai bagian dari tatanan global, terikat dengan berbagaipemainan kekuatan internasional, khususnya negara adikuasa. Berbagai perubahanyang terjadi pada konstelasi internasional, sangat berpengaruh terhadap bukansaja peta politik, tetapi bahkan ruang budaya di Indonesia. Salah satu yangsifnifikan adalah konstruksi kapitalisme global yang menghidupkan spirit kompetisi.Spirit kompetisi yang dimaksud adalah berbagai upaya untuk mendapatkankemenangan. Secara kultural ruang ini sangat berbeda dengan budaya Indonesiayang lebih mengedepankan kerukunan dan harmoni. Akan tetapi, ruang kompetisitelah terbentuk sedemikian rupa, dan mengondisikan masyarakat Indonesia untukmenjadi kompetitor-kompetitor. Hal yang sangat berbahaya adalah bahwa sebagaikompetitor kita dikonstruksi untuk siap menang, dan tidak siap kalah.Itulah sebabnya, wacana tandingan berbasis budaya perlu diperkuat jika kita tidakingin negara kita tambah compang-camping.
(3) MAKAR SOSIAL
Beberapa kali saya diminta menjadi saksi ahli bahasa untuk beberapa kasus,terutama apakah seseorang telah melakukan makar dari segi bahasa. Ada yangsaya penuhi ada yang tidak saya sanggupi. Hal awal yang menjadi pertimbangansaya untuk menyanggupi atau tidak, apakah saya bisa menjelaskan bahwa kasustindak berbahasa atau bertutur tersebut sebagai makar atau tidak. Kalau sayamerasa tidak mampu menjelaskan, saya tidak menyanggupi.Pertimbangan kedua adalah apakah ada kejahatan berbahasa/bertutur didalamnya. Kejahatan bisa berupa ujaran kebencian, hoaks, fitnah, dan sebagainya,dan merugikan atau menzalimi pihak lain. Pihak lain yang dirugikan tersebutterutama pihak yang lemah dan dilemahkan.
Jika kedua hal tersebut terpenuhi,biasanya saya menyanggupi. Terkait dengan hal kedua, siapa yang saya bela, dan bagaimana bentuk dan sifatkasus tersebut. Misalnya, ada dua kasus yang berbeda. Seorang penyayang hewanmembawa piaraannya ke dokter. Dokter memberikan obat. Akan tetapi, sebulankemudian hewan tersebut mati. Si penyayang hewan yakin sekali jika dokter telahsalah memberi obat. Si penyayang marah dan memaki dokter hewan tersebut.Ujaran si penyayang hewan dituntut oleh dokter hewan bersangkutan. Pada kasustersebut saya tidak sanggup membela si penyayang hewan.
Kasus kedua, ada sorang buruh wanita yang dianggap melecehkan pemilikperusahaan dengan kata-kata yang dianggap kasar. Setelah kasusnya saya pelajari,saya bersedia membela. Bukan saja si buruh wanita rendahan tersebut memanglayak dibela, tetapi, di balik itu, ungkapan kasar seorang buruh bisa dianggapungkapan orang kecewa dan berusaha melakukan semacam kritik, tetapi dia tidakpunya alat bahasa yang cukup. Dalam konteks itu, kritik orang kecil terhadap orangkuat tidak sama dengan makar atau pelecehan sosial.
Makar
Hal di atas adalah ilustrasi bagaimana memahami tindak berbahasa, baik dalamkonteks pelecehan, penghinaan, penzaliman, atau sesuatu yang mengarah makar.Ihwal awal penggunakan kata makar lebih dalam konteks politik dan kekuasaan,yakni tindakan bertutur, berbahasa, atau melakukan berbagai kegiatan, dandimaksudkan untuk menjatuhkan kekuasaan pemerintah yang syah. Kemungkinankedua tindakan berbahasa dan melakukan berbagai kegiatan dalam rangkamerongrong kekuasaan yang sah. Pemerintah yang sah memiliki landasan hukumuntuk menghukum mereka yang berbuat makar tersebut.Namun, bisa saja sebetulnya seseorang dengan sengaja atau tidak melakukantindakan berbahasa atau melakukan kegiatan yang disebut sebagai makar sosial.Apa itu makar sosial?
Makar sosial adalah suatu tindakan berbahasa/bertutur ataumelakukan berbagai kegiatan yang mengganggu, merusak, atau merugikan keberlangsungan tatanan sosial. Tatanan sosial yang dimaksud adalah sesuatu nilai,norma, sistem, dan berbagai konvensi yang dipraktikkan bersama dalam suatumasyarakat tertentu. Artinya, tatanan sosial untuk setiap masyarakat berbeda-beda.Secara umum, katakanlah tatanan tersebut tatanan sosial Indonesia.
Hal itu dimaksudkan sebagai satu nilai, norma, sistem, dan berbagai konvensi lainnya yangdiakui dan dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Siapa saja yang mengganggu,merusak, atau merugikan praktik pelaksanaan tatanan sosial maka orang tersebuttelah melakukan tindakan makar sosial, dan layak diperkarakan.Dalam hal ini, hal yang bisa dianggap tindakan makar sosial adalah tindakan yangmerugikan atau menzalimi masyarakat. Memang, batas masyarakat di sini menjadiproblematik.
Di sini pula kelemahan untuk menilai apakah seseorang telahmelakukan makar sosial atau tidak karena adanya kesulitan untuk mengklaim siapamasyarakat itu. Akhirnya, orang yang telah melakukan makar sosial menjadi sulitdituntut karena tidak jelas siapa yang bisa dituntut dan menuntut.Padahal, saat ini, cukup banyak yang telah melakukan makar sosial. Mereka adalahpara penghasut, penyebar hoaks dan berita palsu, mereka yang memfitnah,mereka yang berwacana tentang kebencian, mereka yang suka menuduh danberprasangka. Apalagi jika itu berkaitan dengan tatanan sosial beragama, bersuku-bangsa, hubungan dan nilai kemanusiaan, maka para makar sosial itu sungguhberbahaya.Maka perlu ada sangsi moral dan sosial, perlu ada wadah hukum yang jelas,bagaimana menyikapi orang yang terbukti telah melakukan makar sosial. Kita haruspunya kekuatan untuk melawan para pemakar sosial.
(4)WARGA NEGARA INDONESIA
Munculnya polemik atau wacana pribumi non-pribumi memperlihatkan lemahnyakonsep negara sebagai ikatan yang menyatukan warga Indonesia. Hal ini perludimaklumi mengingat jika dalam beberapa hal pemerintah nasional merupakanrepresentasi negara, maka dalam proses dan sejarah yang cukup panjang, wargamerasa tidak bangga dan tidak terikat dengan apa yang disebut negara.Kita perlu paham bahwa secara empirik hal yang dialami sehari-hari oleh warga adalah,
pertama, ikatan keluarga, kekerabatan, itu artinya kedekatan garis keturunan /darah.
Kedua, ikatan perkampungan/desa atau ikatan perkawanan/ikatan kesukuan.
Ketiga, ikatan kehidupan sosial dan terutama keagamaan.
Keempat, ikatan sejarah kebersamaan dalam aras ketiga ikatan tersebut yang biasanya bersifat lokal.Artinya, ikatan pengalaman bernegara sungguh sesuatu yang secara empirik tidakbegitu dialami, kecuali mungkin hanya dikenalkan lewat pelajaran-pelajaran disekolah.
Pada satu satuan waktu dan ruang yang sama, tidak semua wargamengalami secara empirik dahsyatnya peristiwa kemerdekaan. Pada satu satuanwaktu dan ruang yang sama, tidak semua warga mengalami makna dan peristiwa1965, 1998, dan berbagai peristiwa nasional lainnya.Berdasarkan itu, kita bisa membayangkan banyak warga merasa tidakberkepentingan dengan apa yang disebut sebagai negara nasional Indonesia. Halitu diperburuk dengan buruknya pemerintah dalam membangun kinerja dirinya,dan buruknya pemerintah dalam membangun rasa kebanggaan untuk menjadiwarga negara Indonesia. Pendek kata, buruknya pemerintah dalam membangunkinerja dirinya, menyebabkan warga tidak percaya dengan pemerintah sebagairepresentasi negara.
Soal Pribumi
Jika hal pribumi dimaksudkan sebagai penduduk asli, tidak ada warga asli diNusantara ini. Maksudnya, tidak ada warga atau orang yang tiba-tiba hadir di bumiNusantara. Sebagai manusia keturunan Adam, nenek moyang kita entah datangdari mana, dan kemudian berdomisili di Nusantara dan/atau Indonesia.
Dengan demikian, yang ada adalah pendatang yang lebih dulu, dan pendatangkemudian. Mereka beranak pinak, menyebar ke seluruh Nusantara. Percampurandan pengalaman keempat hal empirik sebelumnya, ditambah faktor geografi,geososial, geoekonomi, geopolitik, menyebabkan munculnya perbedaan bahasa,perbedaan kebiasaan sehari-hari, termasuk soal kuliner/pangan, pakaian,perumahan, dan sebagainya.Oleh karenanya, isu pribumi atau yang merasa asli, sangat tidak relevan. Saat ini,tidak ada lagi yang asli di muka bumi ini. Yang ada adalah keturunan danpercampuran yang bermukim dan membentuk satu satuan masyarakat tertentu didaerah tertentu. Masalahnya adalah ikatan satuan apa yang paling berpengaruhdalam satuan masyarakat tertentu dalam daerah tertentu itu. Di sinilah persoalanperbedaan menjadi muncul.
Soal Identitas
Isu pribumi yang berimplikasi pada referensi identitas merupakan persaingan padatataran empat aras empirik di atas. Ada daerah-daerah tertentu, dalam kontestasiyang panjang, akhirnya memilih basis bangunan masyarakat dan budayanyaberdasarkan etnisitas, tetapi ada pula yang berbasis agama, atau bebasiskekerabatan dominan.Berdasarkan itu pula, kita bisa memahami apa yang terjadi di Aceh, Minang,Melayu, Jawa, Ambon, Papua, Bali, Bugis, Makasar, dan sebagainya. Pengalamanhidup berbeda berdasarkan empirik lokalitasnya, menyebabkan referensi identitasberbasis negara sungguh lemah.
Kalau kita ditanya atau bertanya, maka konteksdasar yang berkaitan dengan identitas tersebut adalah, misalnya, bahwa kita orangJawa, beragama Islam, atau Katholik, bukan orang Indonesia.Referensi identitas berbasis agama, suku, atau bahkan ras, sekali lagi,memperlihatkan bahwa negara (Indonesia) tidak berhasil mengatasi ikatan-ikatanempirik emosional dan lokal untuk bersama-sama menjadi warga bangsa negaraIndonesia. Memang, tentu ada ikatan nasionalisme atau ikatan berbasis ideologiPancasila. Kadang nasionalisme hanya berarti jika itu dihadapkan dan berhadapandengan negara lain.
Sementara itu, ikatan keberadaan Pancasila tidak jarang berhadapan dengan basis ideologis lain, dan terutama besumber agama.Bagaimana supaya negara menjadi ikatan yang kuat bagi basis kewargaan danidentitas? Tidak ada jalan lain bahwa negara harus kuat dalam menegakkan hukum.Dengan itu negara akan mendatangkan kepercayaan warga. Negara berbasishukum harus sangat kuat menegakkan multikulturalisme, menegakkan pemerintahanti-korupsi, negara yang mampu membebaskan kemiskinan, dan pemerintah yangbersih dan jujur. Tanpa itu, sekarang kita mengalaminya.
(5)MENGONSUMSI MITOS DAN HOAX 
 
Bila disederhanakan, mitos itu ada dua, yakni mitos tradisional dan mitos modern.Mitos tradisional berkaitan dengan kepercayaan populer tentang keberadaan dan “kekuatan” sesuatu yang bersifat supranatural, mungkin magis, mungkin pula dalam bentuk kearifan dan/atau keyakinan lokal, yang dianggap bisa berperansecara positif atau negatif dalam kehidupan manusia.
Hal tradisi(onal) dimaksudkan bahwa kita atau masyarakat merupakan bagian darisejarah kebudayaan yang telah berlangsung hingga hari ini, dan kita hidup di dalammitos itu. Ada mitos tradisional yang relatif kondusif dan fungsional terhadapkehidupan. Akan tetapi, ada mitos tradisional yang secara relatif mengungkung,walaupun kita sering tidak mempersoalkannya.
Karena kadang kita menjadi tidaksadar bahwa hal itu berjalan dan dirasakan sebagai sesuatu yang natural.Mitos modern adalah narasi-narasi pasca tradisi(onal) yang diciptakan oleh orang-orang/masyarakat (modern) untuk kepentingan tertentu. Tentu ada banyak mitosmodern yang relevan dalam kehidupan yang juga modern, seperti hubungan antarakerja keras dan rezeki, ketekunan dan keberhasilan, dan sebagainya.
Kita tidakmempersoalkan benar salahnya mitos.Dalam kehidupan kita, kedua mitos itu, baik mitos tradisional maupun modernhidup berdampingan, dan bahkan bersaing. Seseorang bisa saja mengeluarkanuang ratusan juta rupiah untuk mengonsumsi benda-benda antik karena narasimitos yang berkaitan dengan benda tersebut. Sebaliknya, bisa saja seseorangmengonsumsi benda-benda modern, karena mitos prestise dan simbolik dari bendamodern tersebut, dan bersedia mengeluarkan uang yang sangat banyak.
Kita memang tidak bisa keluar dari mitos. Mitos tentang keunggulan ras, tentangkecantikan, tentang orang suci, dsb., mungkin kita berusaha menolak. Akan tetapi,ketika kita menolak mitos tersebut, biasanya kita memakai mitos lain/tandingan,dan masuk ke dalam mitos baru yang kita percaya untuk menolak mitos dominan tersebut.
Mitos atau Hoax ?
Baik mitos tradisional maupun modern biasanya muncul dalam berbagai bentuk.Hal yang menarik saat ini adalah bagaimana kedua mitos tersebut muncul dalamberbagai bentuk meme ataupun dalam berbagai ungkapan verbal yang beredarsecara viral. Kedua bentuk mitos yang dikemas dan diviralkan tersebut, bisa saja (1)mengukuhkan mitos, dan (2) mendekonstruksi, atau paling tidak menggangguingatan dan kesadaran kita.Terlepas dari soal salah benar, viral dalam kategori mengukuhkan mitos agak sulitdimasukan ke dalam kategori hoax . Hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan, kearifan lokal, petuah-petuah, pribahasa, dalam berbagai penampilandan ekspresinya tidak bisa dimasukan ke dalam kategori
hoax.
Terdapat keyakinan dan kepercayaan bersama tentang mitos itu sendiri, walaupun sangat mungkinsecara individual, karena keyakinan dan posisi sosial yang berbeda, seseorangmengkategorikannya sebagai hoax.
Yang menarik adalah kategori viral yang diandaikan semacam “dekonstruksi”, ataudengan “niatan” mengganggu atau melawan. Terdapat dua kemungkinan. Pertama, mungkin karena perbedaan perspektif dan posisi sosial, maka dekonstruksi berbasisrasionalitas dan etika tertentu, ini juga sulit untuk disebut hoax.
Kedua, viralitasdengan niatan mengganggu, melawan, mitos baru yang ada, dan sangat mungkinberbasis ideologi dan posisi sosial tertentu, maka viral ini bisa terjerumus menjadin hoax.
Persoalannya, viral yang terjerumus ke dalam hoax bisa menjadi sangat berbahaya.Hal ini berkaitan dengan institusi pengetahuan dan memori kita. Seperti diketahui,institusi pengetahuan dan memori kita selama ini (sebelum era gejet dan viralitas)berdasarkan referensi yang terbaca dan dapat dipertanggungjawabkan, atauberdasarkan informasi/tulisan kepakaran tertentu.Hal itu tentu tetap ada masalah di dalamnya, yakni kaitannya dengan kuasa rezimdominan dan hegemonik tertentu. Akan tetapi, paling tidak, institusi pengetahuandan memori kita masih bisa dilacak sumber-sumbernya.
Masih bisa dipersoalkan,masih bisa direvisi jika kuasa rezim melakukan proses-proses demokratisasiterhadap pengetahuan dan memori itu sendiri.
Akan tetapi, jika institusi pengetahuan dan memori kita berdasarkan dan bersandar pada hoax, yakni ketika referensinya tidak bisa dilacak, ahistoris, irrasional, maka bisa dibayangkan tingkat kerusakan pengetahuan dan memori kita. Yang lebih berbahaya lagi, kita tidak tahu bahwa sandaran institusi pengetahuan dan memori kita itu hoax. Saya merasa kita sedang dalam situasi tersebut. Aduh dik!.
(6)YANG TUA, YANG TAMAK
Konstelasi kekuasaan di Indonesia, memang tidak separah seperti yang digambarkan film Curse of the Golden Flower, sebuah film yang disutradarai ZhangYimou. Diceritakan dalam film yang bersetting
 tahun 900-an itu, bagaimana dilingkaran kekuasaan kerajaan (China), raja yang telah lama berkuasa, permaisuri,anak, paman, dan beberapa petinggi melakukan berbagai intrik dan tipu muslihat busuk. Mereka, secara diam-diam dan dalam berbagai cara, saling menjahati dan membunuh, berebut kekuasaan untuk menjadi penguasa.
Di puncak konflik, akhirnya sang raja (lama) dengan indah dan sukses membunuhpesaingnya, yakni permaisuri, sebagian jenderalnya, bahkan anak-anaknya yang  berpotensi merebut kekuasaan sang raja kelak. Sang raja tetap bersinggasana,dengan memegang kekuasaan tanpa tanding, tanpa mengetahui bahwa sebetulnyarakyatnya sudah sangat muak dengan raja zalim itu.Tentu dalam sebuah cerita selalu ada tokoh baik. Tokoh baik itu adalah sangpangeran, anak putra raja dan permaisuri. Pangeran itu berilmu sangat tinggi, cerdas, dan amat tangguh.
Berbagai peperangan dalam membela raja (Ayahnya)selalu ia menangkan. Tak pelak, salah satu kekuatan dan kebesaran kerajaan harusdiatribusikan kepada jasa-jasanya.Kelemahan pangeran muda itu, pertama, ia amat mencintai dan menghormatiorang tuanya. Kedua, ia lebih sebagai seorang satria daripada seorang politisi atauintelektual.
Kelemahan pertama membuat ia tidak tahu jika ia “dikerjain” oleh orang tuanya. Kelemahan kedua, membuat ia juga tidak tahu ke mana arahperkembangan politik kekuasaan.
Bahkan di akhir cerita ia terpaksa memakan buah simalakama, membela Raja iahidup, ibunya yang mati. Membela Ibu, ayahnya yang mati. Karena dia satria, diamemilih berkorban dirinya yang mati, dengan harapan ibu dan ayahnya tidak mati.Sang pangeran itu tidak tahu bahwa pada akhrinya ibunya juga dibunuh secaraperlahan-lahan, dengan sistem racun, oleh sang ayah.
Hal yang menarik bagi refleksi transisi dan prosesi kekuasaan di Indonesia adalahbagaimana film itu menggambarkan para orang tua, baik raja dan para jenderal, juga permaisuri, memanfaatkan anak-anak muda, bahkan anaknya sendiri, sebagai “alat” untuk melanggengkan ketamakan atas kekuasaan yang masih dan sedang dipegang para orang tua.
Belakangan ini di Indonesia salah satu isu yang cukup santer adalah kehendak adanya semacam prosesi dan transformasi kekuasaan dari para orang tua (usia diatas 60 tahun) kepada generasi yang lebih muda (dengan kisaran usia antara 35 hingga maksimal 50 tahun). Ada keengganan dari para orang tua memberikan roda kekuasaan kepada generasi muda dengan alasan anak muda belum siap.
Alasan itu tentu sangat meragukan, tidak siap dalam pengertian apa. Argumen itu, disamping lemah, juga mengada-ada. Paling tidak Rusia dan Amerika telah membuktikan bahwa kekuasaan di tangan anak muda, yang masih berusia sekitar 42 atau 43 tahun, tidak memperlihatkan sebagai satu kepemimpinan yang prematur. Bahkan di tangan anak muda, Amerika dan Rusia memberikan banyak perubahan yang lebih kondusif untuk masa depan dunia.
Memang, di lain pihak, anak muda (Indonesia) terkesan kurang “sakti”, baik dari segi modal dan terutama pengalaman (berperang atau berpolitik). Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi. Pertama, dalam sejarah politik yang panjang, hanya baru beberapa tahun ini saja anak muda mendapat kesempatan untukberpartisipasi dalam politik kekuasaan.
Kita tahu, pada waktu rezim Orde Baru berkuasa, pendidikan dan pengalaman berpolitik anak muda dimandulkan.
Kedua, kekuasaan politik di Indonesia nyaris secara langsung berhubungan dengan kemewahan, kenikmatan, dan kekayaan. Di tengah krisis dan multi-dimensi kemiskinan massif, maka pilihan untuk menjadi penguasa (dalam segala levelnya) adalah pilihan yang masuk akal. Pilihan untuk tetap berkuasa sekaligus adalah pilihan dalam rangka menyelamatkan diri sendiri di tengah masa depan yang tidakpasti. Artinya, terdapat faktor  aji mumpung dalam konstelasi kekuasaan seperti itu.
Orang yang duluan berkuasa, akan mempertahankan kekuasaannya sekuat mungkin.Hal yang perlu disadari bersama adalah bahwa sejarah keberadaan sebuah bangsa dan negara berjalan ke depan. Mati hidupnya sebuah negara dan bangsa ada di tangan anak muda, dan anak muda pada generasi-generasi berikutnya.
Dengan demikian, tidak ada alasan apapun yang dapat diterima jika anak muda“dihalang-halangi” atau tidak segera diberi kesempatan untuk berlatih menjadi penguasa atau mendapat kesempatan memimpin dan mengendalikan negara sesuai dengan kehendak dan aspirasi zamannya. Sejarah tidak pernah berhenti,walaupun mungkin kadang-kadang bisa saja melompat-lompat.
Sebaliknya, anak muda yang bakal berkuasa, jauh hari sebelumnya haris pula memiliki kesadaran bahwa pelajaran tamak kekuasaan seperti diajarkan oleh generasi tua terdahulu harus segera dihentikan/dipotong. Kalau tidak, maka generasi kini tidak ada bedanya dengan generasi tua yang tamak kekuasaan.
Generasi muda kini, jika kelak berkuasa, haruslah tahu diri jika telah memimpin negara ini, sambil mengatur negara ini agar lebih baik, salah satu agenda yang juga perlu dipersiapkan adalah melakukan kaderisasi kepemimpinan.
Begitu kelak telah muncul generasi baru, maka generasi baru itu harus segera diberi kesempatan untuk memimpin dan mengatur negara sesuatu dengan kehendak dan aspirasi zamannya.
Kembali ke film Curse of the Golden Flower, film itu mengajarkan dan mengingatkan kembali kepada kita bahwa bagaimanapun kekuasaan itu adalah sesuatu yang fana. Sesakti-saktinya seseorang, maka dalam sejarah kekuasaan diIndonesia, seseorang hanya bisa berkuasa sekitar 30 hingga 35 tahun.
Ketika kekuasaan dipertahankan dalam segala cara, seperti pengalaman Soeharto,maka cara-cara itu hanya menimbulkan dendam dan pelajaran buruk bagi sistemdan konstelasi kekuasan di Indonesia. Jejak-jejak pelajaran yang diajarkan Soeharto  itu hingga hari masih menjadi trauma masyarakat Indonesia. Kekuasaan (politik)menjadi sesuatu yang dilematis dan problematis di Indonesia.
Curse of the Golden Flower dan kekuasan Soeharto memberi pelajaran kepada kitabahwa kekuasaan harus dibersihkan dari ambisi-ambisi pribadi. Jika tidak, cepatatau lambat, kekuasaan akan punah dan rakyat akan mengenangkan sebagai rajaatau presiden yang zalim dan otoriter. Dan itu tidak akan pernah bisa dihilangkansejarah, sampai kapan pun.
(7)WAJAH SENYUM TAK BERSALAH
Ada hal menarik yang coba dipertontonkan oleh para tersangka dan terdakwapelaku kejahatan (khususnya koruptor) di televisi. Wajah itu adalah wajah penuhsenyum. Dan bahkan dengan percaya diri tidak terlihat kesan malu di wajah itu.Tidak ada kesan merasa bersalah dan prihatin di wajah itu.Tentu, sejauh pengadilan belum membuktikan bahwa para pelaku kejahatan itubersalah, kita tidak boleh berprasangka bahwa para pelaku itu pasti telahmelakukan kesalahan.
Apa pun yang terjadi, para tersangka dan terdakwa pelakukejahatan berhak membela dirinya, hingga hukum positif membuktikan bahwamereka terbukti bersalah dan layak dihukum.Herannya, ketika kejahatan para pelaku itu telah ditayangkan dan diberitakan,berupa bukti-bukti rekaman video, rekaman telepon, dan gambar-gambar peristiwakejahatan lainnya, wajah senyum itu tak pernah meluntur. Apa yang terjadi?
Pertama, mereka tahu bahwa melakukan kejahatan di Indonesia itu biasa. Mereka paham, siapa yang tidak pernah melakukan kejahatan di Indonesia. Hidup dalam negara miskin dan semrawut ini, siapa pun dia tidak akan terhindar dari perbuatan jahat. Mereka hanya sial dan tertangkap basah. Mereka segelintir orang yang tidak beruntung karena secara tidak sengaja kejahatannya diketahui.
Kedua, mereka tahu melakukan kejahatan tidak harus malu. Ya, kenapa mereka harus malu. Jangankan mereka yang “orang awam”, lha mereka para alim ulama,mereka para intelektual, peneliti, mahasiswa, guru, dan para pemimpin lainnya juga korupsi, atau melakukan kejahatan lainnya.
Ketiga, mereka tahu bahwa memasang wajah senyum itu adalah “kepribadian”
masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah. Senyum itu sebagai tanda bahwa hatinya sedang riang karena dapat memberikan sedekah senyum. Jadi, senyum itu sebagai tanda kebaikan mereka, atau mereka baik-baik saja dan perlu memberi senyum.
Keempat , mereka tahu bahwa mereka hanya dikambinghitamkan. Dalam sistem birokrasi yang kita bangun itu, kemudian kita mengenal istilah bahwa korupsi itu dilakukan secara berjamaah. Dalam jamaah koruptor itu semua orang sebetulnya terlibat. Mereka “sengaja” ditangkap untuk dikambinghitamkan agar jamaah yang lain selamat, Jadi, ada juga perasaan di hati mereka justru yang tertangkap itu telahbertindak sebagai pahlawan.
Kelima, mereka tahu bahwa toh nanti hukum bisa dibeli. Artinya, tidak ada yangperlu ditakutkan jika melakukan kejahatan korupsi. Uang akan menyelesaikansegalanya. Siapa kita yang bukan orang munafik tidak mau uang? Bahkan penegakhukum seperti jaksa, hakim, pengacara, polisi, pun ternyata tak kebal suap. Senyumadalah tanda kedermawanan.
Keenam, mereka tahu bahwa kelak setelah dihukum mereka bisa bersenang-senang. Mungkin mereka akan dihukum 1 atau bahkan hingga 7 tahun. Tapi dengan uang korupsi milyaran yang telah “disimpan” itu, mereka menganggap hukuman 1 hingga 7 tahun itu seperti bertapa sebentar, seperti mejalani hidup prihatin.Mereka percaya, setelah masa prihatin di penjara, maka masa untuk bersenang-senang akan datang sebagai imbalannya.
Ketujuh, terlepas dari itu, mereka tahu bahwa bagaimanapun mereka harus tampil layak lihat dan memenuhi kepantasan. Prasangka buruknya adalah bahwa sebetulnya mereka tidak percaya diri terhadap wajah mereka yang tidak ganteng atau tidak cantik. Untuk menutupi itu, mereka harus tampil senyum sehingga terlihat tetap ganteng atau cantik.Tentu kita tidak tahu persis, kira-kira senyum yang mana yang diumbar para koruptor jahat tersebut. Mungkin salah satunya, mungkin salah dua, mungkin semuanya. 
Akan tetapi, mengingat kejahatan korupsi di Indonesia adalah keterlibatanberjamaah, sangat mungkin senyum mereka adalah senyum pahlawan. Jadi, jikaAnda ingin menjadi pahlawan, maka salah satu cara adalah dengan melakukankorupsi. Syukur jika korupsi itu tidak ketahuan, karena Anda tetap menjadipahlawan di lingkungan jamaah Anda. Wajah senyum Anda tentu tetap dapatditebarkan, terutama di lingkungan jamaah sesama koruptor.
Terlepas dari itu, ada hal menarik lain, bahwa biasanya para pelaku kejahatan itutiba-tiba tampil memakai kopiah, atau kopiah haji berwarna putih, dan memakai sarung. Seperti memperlihatkan bahwa mereka sebetulnya sangat relijius, tapi terjebak dalam kejahatan yang dia sendiri tidak mau melakukan.
Kemudian setelah tertangkap, dengan wajah tetap mengumbar senyum, setiap pembicaraan mereka mengucap Astagfirullah, Alhamdulillah, Allah sedang memberi cobaan, dan ungkapan lain yang seolah dengan tertangkapnya para koruptor itu, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa sebetulnya Tuhan tahu bahwa dia tidak bersalah.Yang pasti, mereka para koruptor itu adalah para aktor yang mampu
menyembunyikan kegelisahan mereka.
Mereka mampu “menjadi orang lain”, mampu memerankan peran yang bukan dirinya sendiri selama menjadi pesakitan.Saya yakin, ketika mereka sendiri, tidak ada orang yang melihat, maka wajahaslinya akan muncul dalam kesepian yang sangat. Wajah asli itu adalah wajah yangmurung, wajah yang menyesal, wajah yang pedih. Dalam kondisi itu, merekasedang tidak menjadi aktor dunia panggung sandiwara. * * *
(8)LELAH MENJADI BANGSA
Belakangan menguat kembali idiom atau frasa bela bangsa bela negara.
Bangsa dan negara merupakan dua hal yang berbeda. Di Indonesia, walaupun beberapaoranisasi politik telah menyebut ide kebangsaan pada tahun 1908, tetapi ide danimajinasi ke-bangsa-an dikukuhkan pada tahun 1928. Setelah itu, baru kemudianNegara KRI pada tahun 1945.
Sadar karena masyarakat Indonesia itu majemuk darisegi etnis, bahasa, ras, agama, dan sejarah kebudayaannya, maka denganmeminjam gagasan Ernest Renan tentang bangsa, berbagai perbedaan tersebutdimasukan ke dalam dan untuk menjadi bangsa, bangsa Indonesia.Bangsa adalah kesepatan sosial dan kultural, sedang negara adalah kesepakatanpolitik dan struktural.
Kasus Indonesia, bangsa adalah adanya berbagai perbedaan untuk dan agar perbedaan tersebut masuk dalam satu wajah bangsa. Artinya,bangsa Indonesia adalah sesuatu yang terdiri dari perbedaan atau keragaman menuju wajah yang satu, wajah bangsa Indonesia.
Untuk mempertahankan wajah bangsa, dibutuhan kesepakatan politik dan struktural, yakni negara. Di Indonesia,keberadaan negara justru melegitimasi keberadaan bangsa.
Untuk kasus Indonesia, kesepakatan tentang bangsa mendorong hadirnya negara.Kasus hubungan bangsa dan negara di tempat lain akan berbeda. Di Amerika, misalnya, negara lebih dulu muncul sebagai kesepatan politik, baru kemudiannegara itu mencoba mengelola apa yang disebut sebagai bangsa Amerika.
Di beberapa negara “yang homogen” dari segi ras, seperti Jepang, tidak menghadapi kasus kebangsaan yang serius.Secara faktual negara Indonesia tersebut menjadi ada, terdiri dari wilayah, rakyat,menejemen pemerintahan, Pancasila dan Undang-Undang Dasar, dan berbagaikelengkapan lain untuk disebut negara.
Kemudian, negara berkewajiban mempertahankan bangsa yang melahirkannya. Negara menghegemoni dan berdialektika dengan rakyat dan mendapat legitimasi untuk membela bangsa. Munculah jargon bela bangsa bela negara. Bila negara tidak kuat dan bubar, apakah bangsa bisa bubar?
Lelah 
Saya menduga bahwa sebagian besar rakyat Indonesia sedang dalam keadaan lelah menjadi bangsa karena dipaksa terus menerus untuk mempertahankannya. Lelah karena begitu banyak cobaan yang dihadapi untuk menjadi bangsa yang bernegara. 
Cobaan tersebut dapat dibedakan dalam dua hal, yakni serangan dan ancaman terhadap negara dan serangan terhadap bangsa. Ancanam terhadap negara adalah berbagai upaya politik, baik dengan kekerasanatau tidak, untuk mengganti, atau paling tidak merongrong, struktur kekuasaan dan legitimasi negara yang diakui berdasarkan kesepakatan bangsa.
Kita tahu bahwa hal bangsa tersebut adalah dengan berpegang teguh pada keragaman suku, agama, ras, yang dipayungi oleh UUD dan pancasila. Dalam konteks tersebut, jika mengancam atau menyerang negara, berarti keberadaan bangsa juga terancam. Peristiwa politik pada tahun 1965, apapun perspektifnya, adalah salah satu kasus yang mengancam keberadaan negara.
Jika negara berganti, kita tidak tahu karakter “negara baru” akan tetap
mempertahankan bangsa dalam pengertian 1928 atau tidak. Karena bisa saja
“negara baru” akan mengeluarkan unsur kegaraman,unsur pembentuk keragaman, baik unsur agama, ras, atau suku. Mungkin juga tidak, kita sungguh tidak tahu.
Akan tetapi, pesan pentingnya adalah keberadaan negara baru menjadi ancamanterhadap substansi kebangsaan.
Serangan terhadap bangsa burapa berbagai gerakan sosial, terutama berbasis kesukuan, kedaerahaan, keagamaan, atau bahkan berdasarkan ras tertentu yang mencoba berdiri sendiri dan keluar dari bangsa. Kasus-kasus pendirian negara baikberbasis daerah atau berbasis agama (di daerah tertentu), merupakan contoh terbaik yang bisa dikenal sebagai bagian dari gangguan terhadap kesepakatan berbangsa.
Munculnya, baik serangan dan ancanam terhadap bangsa dan negara, hal tersebut sebetulnya memperlihatkan lemahnya negara menjaga ibu kandung dirinya, yakni bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa dalam rentang waktu yang panjang, negara tidak terlalu sukses meyakinkan ibu kandungnya, untuk bangga menjadi bangsa Indonesia.
Pertama, negara Indonesia, dalam sejarahnya, bukan negara yang sukses membangun dirinya sebagai satu kuasa struktural yang berwibawa. Hal-hal yang bersipat korup, manipulatif, dan personalisasi kuasa yang terjadi dalam tubuh negara, telah melemahkan wibawa negara sehingga bangsa harus menanggungbeban kelemahan tersebut. Dalam budaya Jawa dikenal
anak pola bapak kepradah.
Kedua, negara juga tidak mampu meminimalkan jarak/jurang antara yang kaya dan miskin, antara yang elite dan rakyat kebanyakan. Jarak yang jauh ini sangat berbahaya, karena, dalam sejarahnya, tidak ada alasan bagi rakyat kebanyakan untuk mempertahankan negara jika rakyat kebanyakan hidupnya relatif susah dan menderita. Jurang struktur ekonomi yang tajam dengan mudah mendapat gangguan atau intervensi yang menjanjikan perbaikan ekonomi. Itulah sebabnya, nalarbela bangsa dan bela negara merupakan satu kesatuan yang saling bergantung. Negara perlu memperbaiki kinerja dirinya untuk berwibawa dan kuat agar bangsa yang merangkum keragaman terjamin keberadaan dankeberlasungannya. Negara harus mengurangi beban yang ditanggung bangsa agarterhindar dari kelelahan yang berbahaya. * * *

NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN

$
0
0

NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN

 

ESAI-ESAI KEBUDAYAAN (2)

Oleh Aprinus Salam

 

 

Daftar Isi

  • NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN
  • KEBUDAYAAN DAN INOVASI
  • KEBUDAYAAN DAN ENERGI
  • RISET DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
  • KONTESTASI JANJI BUDAYA
  • BUDAYA KETOKOHAN
  • PENELITIAN KEBUDAYAAN

 

(1) NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Masalah hubungan agama dan kebudayaan merupakan masalah besar dan klasik yang tidak pernah selesai. Ada masa ketika kebudayaan memegang dan mengontrol agama, demikian pula sebaliknya. Di Indonesia, kontestasi itu terus berlangsung. Kontestasi di setiap wilayah (berbasis kebudayaan) memperlihatkan kadar persaingan yang berbeda-beda. Namun, secara umum belakangan ini terdapat gejala ketika agama memperlihatkan gelagatnya untuk mengambil kembali peran-peran penting dalam kebudayaan.

Dalam sejarahnya, agama telah banyak memberi inspirasi bagi proses dan pembentukan kebudayaan. Artinya, banyak hal yang pada mulanya merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh agama, kemudian menjadi kebudayaan suatu lokal tertentu. Di beberapa negara, agama berpengaruh dan menjadi nilai-nilai dominan bagi satu negara atau bangsa. Akan tetapi, terdapat pula beberapa negara yang secara relatif memisahkan persoalan dan nilai keagamaan dengan pesoalan kehidupan bernegara/berbangsa.

 

Dalam konteks relasi itu, tentu persoalan di Indonesia menjadi sangat menarik karena terjadi berbagai keragaman dalam relasi antara agama dan kondisi kelenturan budaya lokal-lokal. Di beberapa tempat di Indonesia, proses-proses “Islamisasi”, misalnya, begitu merasuk, sehingga masyarakatnya memilih nilai-nilai Islam secara dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai dan budaya lokal mengalami proses Islamisasi.

 

Beberapa daerah mengalami Kristenisasi atau Katholikisasi secara signifikan. Ritual budayanya bersatu-padu dan saling mengisi dengan ajaran agama tersebut. Sementara itu, masyarakat di Jawa, karena kondisi budayanya demikian lentur, maka proses agamaisasi mengalami osmosis dengan budaya lokal.  Itulah sebabnya, wajah budaya di sejumlah daerah di Jawa jauh lebih kental daripada wajah agamanya. Akan tetapi, tentu saja kondisi tersebut tidak bisa dipukul rata. Proses osmosis tersebut tergantung karakter agama yang mana yang beradaptasi dan dan daya lentur budaya lokal itu sendiri.

 

Seperti telah disinggung, hal itu juga terjadi di beberapa tempat lain di daerah Indonesia di belahan Timur. Ketika proses Kristenisasi demikian kuat, budaya lokal diadaptasi untuk disesuaikan dengan nilai-nilai agama. Untuk kasus agama Budha atau Hindu di beberapa tempat di Indonesia juga demikian. Budaya lokal mengalami osmosis yang tinggi dengan nilai dan rukun-rukun keagamaan bersangkutan, sehingga, sebagai contoh, Hindu dan Bali merupakan satu identitas dan integritas yang sulit dipisahkan.

 

Proses-proses tersebut, dulunya, berjalan secara damai. Memang, di beberapa tempat terjadi beberapa konflik dan pertentangan, baik atas nama agama, atau atas nama budaya (lokal bersangkutan). Beberapa catatan sejarah, seperti perang Diponogoro, perang Padri, dsb., kadang kita mengalami kerancuan apakah itu perang atas nama agama atau atas nama persoalan budaya (harga diri) bagi masyarakat setempat.

 

Menurut catatan yang bisa saya jangkau, biasanya konflik itu tidak murni atas nama agama atau kebudayaan, tetapi ketika agama atau kebudayaan masuk dalam perangkap politisasi kekuasaan. Cuma dalam mekanisme konsolidasi perangnya, agama jelas lebih unggul dalam mengikat emosi rakyat/pengikut, sehingga aroma agama jauh lebih bisa dirasakan.

 

Situasi Baru

Masalahnya, penduduk dunia terus bertambah, penduduk Indonesia juga meningkat padat. Sementara itu, sumber-sumber ekonomi semakin kesulitan untuk mengakomodasi peningkatan jumlah penduduk. Maka, munculah berbagai rasionalisasi, dalam berbagai bentuk, tujuan, dan cara, baik atas nama agama itu sendiri, ataupun atas nama budaya-budaya lokal bersangkutan.

 

Pada awalnya, rasionalisasi yang canggih itu bisa berbentuk teknologi, tetapi bisa juga dalam bentuk paham atau sesuatu yang ideologis, apakah itu kapitalisme atau modernisme. Kenyataannya, rasionalisasi yang tajam tersebut, rangkaian teknologi, kapitalisme, dan modernisme, mempelihatkan kekuatan yang dominan. Agama dan kebudayaan lokal mengalami kegamangan dan “kebingungan” bagaimana mengatasi atau mengantisipasi kondisi baru tersebut.

 

Kemudian, munculkan berbagai gerakan, aksi, mungkin juga pemikiran, dengan cara, tujuan, dan kepentingan yang berbeda. Salah satu yang cukup menonjol adalah “kegelisahan” atas nama agama untuk menghadapkan dirinya dengan kapitalisme dan modernisme (sebagai konsekuensinya sekularisme). Masalahnya adalah tidak seluruh aksi, gerakan, dan pemikiran atas nama agama tersebut berkesesuaian dengan nilai-nilai kebudayaan lokalnya.

 

Kondisi itu menyebabkan ruang negosiasi, mengalami kerancuan “segitiga” posisi. Segitiga posisi itu adalah menjadi tidak jelasnya posisi-posisi ketika teknologi dan kapitalisme, yang seharusnya dalam satu kategori posisi, tetapi dengan tangkas bermetamorfosis baik di posisi agama, atau di posisi budaya lokal. Pemahaman tersebut yang secara relatif tidak cukup dipahami oleh kita pada umumnya.

 

Saat ini, kita menjadi tidak jelas sedang berhadapan dengan kegelisahan atas nama agama, atau kekuatan teknologi dan kapitalisme, atau sedang menyuarakan kelenturan budaya lokal. Akan tetapi, melihat kegaduhan di ruang negosiasi, hal yang terjadi adalah bahwa gerakan, aksi, dan pemikiran atas nama agama sedang berhadapan dengan daya tahan budaya lokal. Ketika dua hal tersebut terus bertengkar, teknologi dan kapitalisme semakin metangkring.

 

(2)

KEBUDAYAAN DAN INOVASI

 

Kita semakin menyadari bahwa persoalan kehidupan yang kita hadapi semakin kompleks, rumit, dan massif. Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah menjadikan persaingan terhadap sumber-sumber kehidupan semakin tinggi. Untuk itu, tuntutan terhadap berbagai inovasi yang efektif, efisien, berbiaya murah, tepat guna, dan tepat sasaran menjadi wacana dan paradigma baru yang dituntut oleh berbagai kepentingan dan konteks persoalan.

 

Dalam tulisan pendek ini saya hanya akan menjawab dua persoalan. Pertama, apakah kebudayaan kita menyediakan ruang untuk munculnya berbagai inovasi. Kedua, dalam konteks yang bagaimana inovasi perlu dipahami dalam persaingan global ini.

 

Sejarah Kebudayaan

Kebudayaan tidak bisa dilihat dalam ukuran-ukuran yang sama sebagai satu pencapaian peradaban. Terdapat perbedaan konteks yang saling bersinergi, antara kondisi geogragis dan alam, historisitas masyarakat dan agen-agen di dalamnya, serta berbagai kemungkinan pertemuan atau percampuran pengalaman/ pengetahuan dan kapasitas masyarakatnya dalam mengelola pengalaman tersebut.

 

Itulah sebabnya, anggaplah di mulai abad ke-7, di beberapa tempat di Indonesia terdapat masyarakat yang sudah bisa membangun candi sekelas Borobudur, tetapi di tempat lain ada masyarakat yang masih bertarung menghadapi kehidupan di hutan belantara. Pada abad ke-7 hingga abad ke-9, kerajaan Sriwijaya telah menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan agama (Budha) di dunia.

 

Pada masa berikutnya, Indonesia memiliki kerajaan besar sekelas Singosari, Majapahit, Mataram, dan beberapa kerajaan besar di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan sebagainya. Artinya, secara kesejarahan dan kebudayaan, Indonesia telah memiliki satu tatanan masyarakat (bernegara), ilmu pengetahuan, dan teknologi, yang tinggi pada konteks zamannya.

 

Kemudian, negara-negara di Nusantara mengalami masa-masa penjajahan dan kolonisasi. Sumber daya masyarakat Indonesia terkuras menghadapi satu kekuatan ilmu pengetahuan yang “tampaknya lebih tinggi dan kuat”, atau apa yang kemudian disebut intervensi kapitalisme kolonial dan modernisme. Pemahaman bangsa Barat lebih tinggi dan kuat itu karena kita menyadari bahwa hampir di berbagai tempat di Indonesia dapat dikuasai.

 

Mulailah Indonesia berkiblat ke Barat dan modernisme. Segala sesuatu dari Barat dianggap unggul dan lebih hebat. Sebagai akibat lebih jauh, kita mulai “menyepelekan” pengetahuan tradisi dan kebudayaan sendiri. Dalam hal ini, budaya dan pengetahuan beragama tentu selalu mencoba untuk melakukan semacam resistensi. Akan tetapi, di berbagai negara, dalam sejarahnya, kapitalisme dan modernisme terlihat lebih unggul dan memenangkan pertarungan.

 

Yang ingin disampaikan dalam catatan tersebut adalah bahwa budaya ilmu pengetahuan dan inovasi yang pernah diperlihatkan nenek moyang kita, terlindas karena kemudian orang Indonesia hanya mengadopsi berbagai temuan ilmu pengetahuan yang dipenetrasikan ke Indonesia yang sangat mungkin tidak semuanya cocok dengan kebutuhan lokal. Hal yang menyedihkan, tampaknya hal itu masih terjadi hingga sekarang.

 

Dalam konteks kapitalisme, modernisasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan modern itu, Indonesia tidak lebih cuma menjadi pengekor dan peniru. Artinya, semodern dan secanggih apapun inovasi yang bisa kita lakukan, akan sangat jarang diakui. Kalau toh diakui, lebih dalam pengertian terbatas dan dalam konteks kepentingan dunia modern sebagai satu politik citra. Hal yang hampir pasti, dalam dunia modern itu, kita bukan bangsa yang dikenal sebagai inovator (pelopor) terutama dalam dunia ilmu dan teknologi.

 

Inovasi  Lokal

Berangkat dari berbagai kondisi historis itu, hal yang mendesak untuk digerakkan adalah membuka ruang yang seluas-luasnya bagi pengembangan inovasi berbasis budaya-budaya lokal. Mungkin hal itu sebagian (masih) tersimpan dalam pengetahuan membangun candi dan tata ruangnya, pengetahuan bertani dan kesehatan yang masih tersimpan di naskah-naskah tua, atau berbagai hal tentang permainan (tradisi) yang bisa dilombakan sebagai satu yang khas Nusantara.

 

Hal ini bukan dimaksudkan sebagai satu bentuk resistensi terhadap berbagai inovasi ilmu pengetahuan modern, tetapi lebih sebagai satu bentuk alternatif bahwa ilmu pengetahuan bisa dikembangkan dalam berbagai cara yang berbeda. Tidak masalah kita mengadopsi hal modern yang kita miliki sekarang, untuk kemudian dengan cara modern itu menginovasikan kembali sesuatu tradisi khas yang tersebar di seluruh Indonesia.

 

Hal penting yang ingin digarisbawahi adalah bahwa ini berkaitan dengan strategi dan politik kebudayaan. Dengan cara itu, mungkin identitas dan kekuatan budaya Indonesia jauh lebih diakui daripada yang sekarang kita lakukan.

 

 

(3)

KEBUDAYAAN DAN ENERGI

 

Apapun yang kita raih hingga hari ini, secara keseluruhan merupakan produk kebudayaan. Peraihan itu akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan dialektika berbagai hal seperti perkembangan ilmu pengetahuan, SDM dan SDA-nya, dan berbagai sumber daya ekonomi ataupun kultural yang berjalan secara paralel. Satu hal yang mengubah sistematika dan pola kebudayaan adalah temuan dan pengelolaan terhadap berbagai energi, baik energi yang tak terbarukan maupun energi yang terbarukan.

 

Temuan terhadap bahan bakar, atau sumber energi dari air, api, angin, ataupun sinar matahari, telah mengubah pola kehidupan manusia untuk terus menerus mengeksplorasi energi sehingga energi pun menjadi primadona, diperebutkan dan lebih dari itu menjadi proyek yang sangat besar. Kita menjadi masyarakat konsumtif energi.

 

Masalahnya adalah ada energi yang tidak dikelola, tidak dieksplorasi dengan maksimal, tidak dipraktikkan dengan baik, sehingga energi dalam pengertian konvesional nyaris menjadi dominan tanpa tanding. Energi konvensional tersebut mengkooptasi kita menjadi rakus energi, tanpa kontrol energi tandingan. Energi tandingan yang saya maksud adalah energi cinta dan benci.

 

Energi Cinta dan Benci

Kalau pengertian energi konvensional bersifat eksternal, maka energi cinta bersifat internal. Energi itu ada dalam diri kita. Apakah cinta itu sesuatu yang bisa disebut energi. Energi adalah sesuatu materi yang bisa dipakai untuk menghidupkan, menggerakkan, menjadikan sesuatu bertenaga, sehingga berbagai hal yang “dihidupkan” itu dapat berguna atau berfungsi dalam kehidupan kita. Tentu pengertian tersebut bukan sesuatu yang sangat teknis.

 

Dengan demikian, cinta adalah energi karena cinta adalah suatu “materi” yang membuat kita hidup, yang membuat kita bergairah, yang membuat kita mau melakukan apa saja demi cinta itu sendiri. Di luar pengeritan ruh, atau nyawa, cintalah yang menggerakkan hidup kita untuk menuju sesuatu yang mulia.

 

Persoalannya adalah bahwa keberadaan cinta tidak cukup mendapat perhatian sebagai energi. Cinta lebih dipahami sebagai satu sifat kemanusiaan, sesuatu yang abstrak. Sebagai akibatnya, kesifatan cinta diumbar untuk dan sebagai kepuasan-kepuasan duniawi, cinta kecantikan, cinta keindahan, cinta ketampanan, cinta kekayaan, cinta kesuksesan, dan cinta keberhasilan. Termasuk di dalamnya kepuasan mencintai dan menikmati energi eksternal.

 

Berkebalikan dengan cinta, apakah benci juga sebuah materi yang bisa disebut energi. Tidak berbeda dengan cinta, benci juga menjadi sesuatu yang menggerakkan kita, menjadikan kita bisa melakukan apa saja karena kita membenci. Mungkin kita melakukan tindak atau aksi protes tertentu karena kita membenci korupsi. Mungkin kita membenci seorang penipu, membenci orang yang kerjanya menyebar fitnah. Artinya, energi benci juga diperlukan agar selalu ada kontrol terhadap keserakahan, ketamakan, dan kerakusan.

 

Karena tidak dipergunakan dan didayagunakan dengan cukup baik, energi benci dimanipulasi sebagai satu sifat buruk kemanusiaan. Kita tidak mengeksplorasi energi kebencian dan dimodifikasi, ditransformasi, sebagai materi yang berdaya positif. Kita mampu mengubah sampah dan berbagai jenis limbah lainnya menjadi energi. Mengapa kita tidak melakukan hal yang sama sehingga energi benci bisa dimanfaatkan untuk hal yang bermanfaat.

 

Kebudayaan dalam Ketegangan

Hal yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa kebudayaan berjalan dalam ketegangan antara energi cinta dan benci, mencintai atau membenci sesuatu. Kita tidak bisa menolak keberadaan dan kekuatan cinta dan benci. Menerima cinta dan menolak benci juga hampir tidak mungkin. Cinta dan benci merupakan kekuatan rahasia (kalau bukan kekuatan Illahiah) yang ada dalam diri kita. Manusia tidak lain merupakan citra yang Maha Mengada di muka bumi dengan segala energi yang dititipkan-Nya pada kita.

 

Negara, bangsa, masyarakat, dan segala hal yang ada di muka bumi ini, hadir dalam dua resiko; dicintai atau dibenci. Sebagai misal, kita membenci pembangunan yang merusak lingkungan dan kemanusiaan, tapi kita menikmati hasil pembangunan. Kita membenci kapitalisme, tapi kita mencintai kekayaan. Kita mencintai suatu periode masa lalu kita yang jaya, tapi kita membenci masa lalu sebagai bangsa yang terjajah. Kita mencintai diri kita yang baik, tapi kita membenci diri kita yang kotor. * * *

 

(4)

RISET DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN

 

Riset kita (masih) dalam rezim teknologi(sasi) dan ekonomi(sasi). Segalanya dihitung atau dianalisis dalam mekanisme, prosedur, dan ruang teknologis dan ekonomis. Kelebihannya, perubahan yang bersifat fisik dan ekonomi seharusnya dapat diperkirakan. Kelemahannya, ruang yang menjadi “objek” riset tidak melulu ruang teknologi dan ruang ekonomi.

 

Contoh yang cukup penting disinggung, misalnya, adalah riset pariwisata. Sekarang, hampir semua daerah ingin mengembangkan daerahnya menjadi tujuan wisata. Tujuannya meningkatkan pemasukan daerah. Titik kalkulasi terpenting adalah peningkatan indeks ekonomi. Implikasinya diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.

 

Kita tidak bisa menyalahkan paradigma itu. Itu soal pilihan dan strategi. Yang bermasalah adalah pilihan ideologis banyak daerah untuk memodernkan wisata yang sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan teknologi dan ekonomi kapitalisme. Di beberapa daerah wisata yang menonjol, yang terjadi adalah teknologisasi dan kapitalisasi wisata (budaya) yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Masyarakat kebanyakan daerah bersangkutan tidak lebih menjadi penonton dan pekerja rendahan. Tanpa disadari, banyak riset mendukung ke arah itu.

 

Memaket Lokalitas

Kembali ke persoalan, bagaimana menempatkan riset dalam perspektif kebudayaan. Hal penting yang perlu dipahami bersama bagaimana kita mengkonsepsikan kebudayaan. Kita harus mengakui bahwa selama ini yang terjadi adalah bahwa kebudayaan merupakan proses negosiasi banyak hal, banyak kepentingan. Negosiasi banyak hal dan banyak kepentingan itu adalah bahwa pada akhirnya kita harus menyesuaikan diri dan/atau kalah dengan modernisme.

 

Kemudian, kita berlomba untuk menjadi modern. Ternyata, dalam perjalanannya, orang modern merindukan sesuatu yang “alamiah”, yang tradisi, dan keunikan lokal. Kemudian, kita memaket-maket tradisi dan lokalitas untuk layak ditonton orang modern. Tradisi dan keunikan lokal pun menjadi komoditas, bukan tradisi dan keunikan itu sendiri. Komoditasi itu yang saya maksud sebagai budaya tradisi yang dijual dalam kalkulasi ekonomi (dan sebagian di antaranya kalkulasi teknologi).

 

Artinya, secara ideologis riset-riset juga telah memberikan keberpihakan pada proses-proses modernisasi, yang dibelakangnya secara langsung di dominasi oleh rezim teknologi dan ekonomi yang sekuler. Masyarakat digiring ke dalam suatu ruang yang sebetulnya bukan habitus budayanya yang asli. Yang paling merepotkan adalah bila masyarakat tidak masuk ke dalam rezim yang sedang dominan itu, maka mereka akan terpinggirkan, akan terkalahkan terus.

 

Menurut pengamatan saya, ini juga berkaitan bahwa peneliti yang mempertahankan posisi kelas ekonomi mereka. Mereka seolah berposisi sebagai seorang yang netral, tetapi sebetulnya tidak lebih sebagai instrumen pihak penguasa ekonomi dan teknologi. Peneliti akhirnya hanya menjadi legitimasi bagi langgengnya kekuasaan yang tidak berpihak pada kondisi nilai-nilai masyarakat.

 

Kalkulasi Keseimbangan

Persoalannya, bagaimana riset yang memposisikan dirinya dalam ruang yang bersandar pada nilai-nilai kebudayaan.  Artinya, konsep kebudayaan perlu dibebaskan dari determinasi teknologis dan ekonomis. Di dalam Pembukaan UUD ’45 sebetulnya kita telah mendapat pegangan konseptual yang memadai. Kalau Pembukaan itu dicatat di sini, tentu memakan tempat. Prinsipnya, Pembukaan UUD ’45 mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan antara nilai-nilai spritualitas, emosionalitas, dan intelegensi/intelektualitas.

 

Memetakan keseimbangan berdasarkan Pembukaan UUD ’45, maka didapatlah hal berikut. Aspek Spritualitas, meliputi pengertian pengakuan terhadap kekuasaan dan keberadaan Allah (atas berkat Rahmat Allah). Dimensi spritualitas berimplikasi pada kontrol atau tujuan perjalanan hidup kita ke depan; apa sudah benar atau belum. Hal ini penting berkaitan dengan keyakinan diri (dan keluarga, masyarakat, bangsa, manusia  sedunia), tentang keberadaan kita di dunia/bumi.

 

Emosi/perasaan, atau segala hal yang berkaitan dengan dunia perasaan, sesuatu yang bersifat “psikologis”, berkaitan dengan dimensi pemahaman dan perasaan bersama, meliputi konsep atau pengertian kemerdekaan, keadilan (sosial), kemakmuran, berbahagia (kebahagiaan, selamat sentosa, kemakmuran, dan kebebasan. Dimensi emosi, sesuatu yang dipersepsi sebagai “perasaan bersama”

 

Aspek Intelegensi dan/atau intelektual, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan kecerdasan, pencerdasan. Hal ini berkaitan langsung dengan strategi pendidikan dan kependidikan, juga berkaitan dengan segala sesuatu yang secara inheren adalah ideologi riset, yang berpegang pada strategi kebudayaan yang terdapat dalam Pembukaan UUD ’45 tersebut.

 

Berdasarkan hal itu, apapun riset kita, jika tidak memposisikan “ideologi” dalam titik keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah seperti yang selama ini kita kerjakan.

 

 

(5)

KONTESTASI JANJI BUDAYA

 

Budaya itu mengandung ideologi. Setiap ideologi, dengan peranan aparatusnya, berusaha menguasai warga agar warga mempraktikkan kehidupan sesuai tuntutan ideologis budaya bersangkutan. Dalam masyarakat Indonesia, paling tidak ada empat ideologi budaya yang saling berkontestasi memperebutkan pengaruhnya, yakni budaya lokal, budaya agama, budaya nasional, dan budaya massa/populer.

 

Hal menarik adalah janji budaya apa di balik persaingan tersebut. Budaya lokal menjanjikan kedamaian dan harmoni, budaya agama mengutamakan keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam untuk menuju alam pasca-duniawi. Sementara itu, janji budaya nasional adalah kesatuan dan persatuan (bangsa), sedangkan janji budaya populer adalah apakah sesuatu menghibur dan bisa dijual atau tidak.

 

Melihat persaingan janji tersebut, budaya lokal lebih adaptif terhadap budaya agama dan nasional. Namun, dalam sejarahnya, budaya nasional sering tidak cocok dengan budaya agama. Budaya nasional dan budaya massa dianggap sekuler dan duniawi oleh budaya agama. Akan tetapi, janji budaya massa/populer menempatkan diri di posisi yang berbeda di banding budaya nasional. Bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari?

 

Kekuatan Budaya Populer

Di antara ke empat ideologi budaya tersebut, yang paling heboh, menyenangkan, dan menguntungkan adalah budaya populer. Memang, setiap budaya dapat memanfaatkan teknologi massa sehingga sosialisasi dan peluang setiap budaya relatif sama. Masalahnya terdapat pada perbedaan janji sehingga kita dengan mudah mengadopsi budaya populer.

 

Budaya populer, sebagai anak kandung kapitalisme, jelas sedang menguasai kehidupan dunia. Segala aktivitas kita harus diperhitungkan berdasarkan kapital, karena berkaitan dengan modal untuk hidup senang. Kita dituntut harus kreatif menyiasati hidup dan menyesuaikan diri kalau tidak ingin terseok atau terlindas.

 

Akan tetapi, di atas semua itu, kekuatan utama budaya pupuler adalah bahwa budaya itu mendatangkan rasa kepuasan duniawi. Karena itu, budaya populer mampu mengkonstruksi cara, gaya, dan selera hidup sehingga jika kita merasa tidak mampu mengakses atau menjadi bagian dari budaya populer maka kita merasa ketinggalan zaman. Kita merasa hidup ini demikian pahit dan menderita. Di samping itu, produksi dan reproduksi budaya populer yang setiap hari dipompa media massa membuat kita, mau tidak mau, ikut menikmati budaya populer.

 

 

Daya Tahan Budaya

Terpaan budaya populer, tentu saja mendapat hadangan terutama dari budaya lokal dan budaya agama. Hadangan utamanya juga dari sisi janji ideologis itu sendiri. Terutama budaya agama menyerang sisi sekularisme budaya populer. Budaya agama mungkin tidak cukup manjanjikan duniawi, tapi dia melihat bahwa sekularisme tidak menjanjikan kehidupan pasca-duniawi. Ini senjata utama ideologi agama.

 

Di samping janji kedamaian, perlawanan budaya lokal terhadap budaya populer lebih pada ideologi identitas. Budaya populer dianggap mengaburkan hakikat identitas seseorang atau sekelompok masyarakat. Bukan berarti budaya populer tidak menjanjikan identitas, tapi identitas budaya populer dianggap palsu dan semu oleh budaya lokal. Akan tetapi, perlawanan budaya lokal tidak frontal, bahkan di beberapa sisi relatif kompromis. Hal itu terlihat dari kemampuan budaya lokal memodifikasi dirinya sehingga dalam banyak hal juga tampil populer.

 

Lemahnya Budaya Nasional

Di antara ke empat kekuatan budaya tersebut, budaya nasional dapat dikatakan yang paling lemah. Hal itu disebabkan basis historis dan konteks kulturalnya juga dipaksakan secara politik. Terbukti janji persatuan dan kesatuan justru sering dicabik oleh berbagai kerusuhan yang disebabkan adanya perbedaan etnis atau agama.

 

Artinya, memang orang hidup dalam budaya nasional para aras umum atau permukaan. Akan tetapi, di berbagai tempat di Indonesia, orang hidup dengan budaya agama dan lokalnya masing-masing, ditambah dengan hidup bergaya budaya populer. Ketidakterikatan historis dengan budaya nasional menyebabkan budaya nasional hanya dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersifat seremoni nasionalitas.

 

Juga budaya nasional tidak melakukan perlawanan signifikan terhadap budaya populer. Secara kesejarahan budaya nasional dan budaya populer memang tidak bertentangan. Budaya nasional yang diadopsi dari modernisme memiliki akar kesejarahan yang sama dengan budaya populer. Di samping itu, memang budaya populer tidak merugikan budaya nasional.

 

Bahkan identitas-identitas yang dibangun budaya nasional berjalan seiring dengan budaya populer terutama dengan adanya komodifikasi simbolik budaya lokal yang dinasionalkan. Terlepas dari itu semua, kita tidak dapat memungkiri bahwa seseorang hidup secara serempak dengan mempraktikkan keempat budaya tersebut. Persoalannya adalah soal struktur dan komposisi dari praktik budaya tersebut. Hal itu ditentukan oleh lokasi kulturalnya, pengalaman, dan konteks historis masyarakat bersangkutan. * * *

 

 (6)

BUDAYA KETOKOHAN

 

Ketokohan seseorang ditentukan seberapa jauh dia berperan, berfungsi, dan berjasa bagi dan dalam masyarakatnya. Hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana  peran, fungsi, dan jasa tersebut diakui, dan siapa yang bisa mengakuinya.

 

Kita tahu bahwa tidak mungkin seseorang bisa berperan, berfungsi, dan berjasa dalam segala level dan ruang kehidupan. Seseorang hanya bisa berperan, berfungsi, dan berjasa hanya dalam satu ruang tertentu, dalam satu konteks dan urusan tertentu, dan dalam skala tertentu.

 

Berdasarkan ruangnya, seseorang bisa disebut sebagai tokoh agama, tokoh politik, tokoh ekonomi, atau tokoh seni, dsb. Mungkin seseorang bisa menjadi tokoh agama dan tokoh politik, atau tokoh politik dan tokoh seni. Tapi keberadaan tokoh ganda itu sangat jarang. Biasanya masyarakat akan memberi ruang yang lebih besar pada satu konteks tertentu terhadap ketokohannya.

 

Ketokohan juga tidak bisa terlalu banyak menembus skala. Ada seseorang yang ditokohkan dan sangat dihormati oleh masyarakat desanya, tetapi orang tadi bahkan di luar desanya tidak dikenal. Ada seseorang yang dikenal ketokohannya secara lebih luas, mungkin skala nasional, tetapi secara relatif tidak memiliki peran, fungsi, dan jasa bagi masyarakat lokalnya.

 

Artinya, ketokohan itu bersifat sangat relatif. Media massa mengambil peranan penting bagaimana seseorang menjadi tokoh. Itulah sebabnya, istilah tokoh nasional, menyangkut skala, sebetulnya tidak cukup jelas. Jika media massa berskala nasional mengekspose terus menerus seseorang, maka ia akan menjadi tokoh nasional. Padahal, sangat mungkin di lokalnya tokoh tadi tidak memiliki basis peranan, fungsi, dan jasa yang penting.

 

Dengan demikian, sebetulnya masalah ketokohan itu soal wacana media massa. Bukan soal realitas yang sesungguhnya. Banyak orang yang berjasa, berfungsi, dan berperan dalam masyarakatnya, terutama di lingkungan terdekatnya, tapi karena tidak terjangkau atau tidak diketahui oleh media massa, orang tersebut tidak pernah bisa dikenal sebagai tokoh.

 

Legitimasi

Persoalan lain, siapa yang paling berhak melegitimasi ketokohan seseorang secara spesifik. Ini memang masalah yang masih perlu diperdebatkan. Akan tetapi saya akan memberikan gambaran sebagai berikut.

 

Di dunia seni, sastra, atau bahkan budaya, negara tidak memiliki legitimasi apapun untuk mengklaim seseorang merupakan tokoh seni atau tokoh sastra. Memang, bisa saja negara memberi penghargaan, sertifikat, hadiah dalam bentuk material, sehingga seolah-olah dia tokoh seni yang telah berjasa. Negara ketika memberi penghargaan atau sertifikat tersebut tentu dengan berbagai pertimbangan atau laporan “resmi” dari masyarakat. Itu tidak masalah sejauh bahwa seseorang tersebut diakui peran, fungsi, dan jasanya untuk versi negara.

 

Yang jadi masalah, negara bukan lembaga legitimator untuk penyebutan sastrawan, seniman, atau budayawan. Masyarakatlah yang menilai penyebutan predikat tersebut. Penilaian itu berdasarkan pengakuan diam, tidak ada formulasinya, dan hanya dalam hati masyarakat yang mengetahuinya. Dengan bagitu, bisa saja negara seolah mengakui ketokohan seseorang dalam bidang seni tertentu. Akan tetapi, sangat mungkin di masyarakatnya, dan kita tahu sama tahu, dia tidak dianggap sebagai seniman atau sastrawan.

 

Ilustrasi lain, demikian halnya dengan penyebutan tokoh agama, khususnya untuk penyebutan kiyai. Tidak atau formulasi khusus bagaimana seseorang bisa diakui kekiyaiannya. Negara juga tidak bisa mengklaim ketokohan seorang tokoh agama, misalnya dalam pengertian kekiyaiannya. Paling karena orang tersebut beritanya sering dimuat di media massa. Tapi apakah tokoh agama itu tokoh yang berperan, berfungsi, dan berjasa dalam masyakatnya seperti halnya kiyai-kiyai lokal? Belum tentu. Setiap ruang memiliki rule of the game-nya masing-masing.

 

Mungkin negara bisa menjadi legitimator ketokohan seseorang untuk tokoh politik. Hal itu disebabkan ruang negara adalah ruang politik. Negara memiliki mandat dan aturan untuk memposisikan seseorang tokoh politik penting atau tidak. Akan tetapi, negara tidak bisa mengklaim siapa yang disebut politisi, apalagi negarawan.

 

Artinya, negara bisa saja memilih mana yang disebut tokoh dan mana yang tidak. Tentu klaim itu dalam kepentingan politik kekuasaan tertentu. Akan tetapi, tokoh seni, tokoh sastra, tokoh agama, tokoh politik, bukan lantas dia seorang seniman, sastrawan, kiyai, atau politisi, apalagi negarawan. Mandat tertinggi untuk penyebutan itu hanya ada dalam hati masyarakat.

 

 

(7)

PENELITIAN KEBUDAYAAN

 

Pengantar

Secara historis Raymond Williams memberikan catatan tentang sejarah pengertian (dan penggunaan kata) kebudayaan. Pertama, hal yang mengacu pada perkembangan intelektual, spritual, dan estetis dari seseorang, suatu kelompok, atau masyarakat. Kedua, yang mengacu pada khazanah kegiatan intelektual dan artistik dan produk-produk yang dihasilkannya. Dalam pengertian ini biasanya disebut kesenian. (Cukup banyak yang memakai pengertian ini). Ketiga, yang menggambarkan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat-istiadat sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat.

 

Namun, saya mengikuti posisi dan pengertian kebudayaan secara deskriptif dan normatif. Secara deskriptif kebudayaan sebagai totalitas komprehensif yang mengatur dan menyusun kehidupan sosial dan yang menunjukkan berbagai ranah di dalamnya. Sementara itu, secara normatif kebudayaan cenderung dipahami dalam dua bentuk; pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola prilaku, dan kedua, yang menekankan peran gugus nilai.

 

Dengan demikian, kebudayaan adalah juga suatu konstruksi sosial. “Tidak ada masalah” ketika kebudayaan dilihat seolah berjalan natural. Akan tetapi, di luar hal kodrati, tidak ada sesuatu yang natural, demikianlah hakikat kebudayaan. Kadang kita tidak melihat persoalan-persoalan kebudayaan sebagai masalah, karena demikianlah hidup berjalan.

 

Masalah baru muncul ketika kita melihat ada ketidakadilan,  ada perendahan terhadap martabat kemanusiaan, ada kejadian-kejadian yang “membingungkan”, ada kejadian-kejadian yang “aneh”, atau ada banyak kezaliman, kejahatan, dan ketimpangan, dalam kehidupan bermasyarakat. Di samping hal pertama, tidak kalah pentingnya, terdapat semacam kebuntuan dalam mengatasi masalah tersebut, terdapat stagnasi pemikiran dalam menjawab berbagai persoalan yang sedang terjadi. Dalam posisi itulah sebetulnya kita ditantang untuk melakukan penelitian kebudayaan, untuk menjawab sejumlah persoalan dalam berbagai perspektifnya.

 

Penentuan Objek Material

Bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat banyak ketidakadilan, perendahan terhadap martabat kemanusiaan, berbagai kejahatan lainnya, atau kejadian-kejadian yang “membingungkan”, atau kejadian yang mungkin “aneh”. Hal tersebut merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri.  Akan tetapi, kita tidak bisa menganalisis fakta-fakta tersebut. Hal tersebut dikarenakan yang bisa kita analisis adalah data. Inilah yang biasa disebut sebagai objek material.

 

Dalam kesempatan ini, saya tidak bermaksud merujuk untuk mengembangkan suatu persoalan tertentu. Beberapa hal yang disebut hanya sebagai ilustrasi saja.

 

Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana memverifikasi berbagai fakta tersebut menjadi data. Misalnya, kita melihat berbagai kecenderungan bahwa di negara kita, kapitalisme semakin kuat. Kondisi kecenderungan tersebut belum bisa dianalisis. Karena kita harus menurunkannya ke dalam berbagai indikator apa yang disebut sebagai kapitalisemem dan bagaimana fenomana faktual itu terjadi. Data seperti apa yang terkait dengan gejala tersebut. Namun, pertanyaan riset tidak harus sesuatu yang besar (bukan tidak boleh), karena toh juga akan ada pembatasan tertentu.

 

Ada juga riset dengan pertanyaan yang “menengah”. Kita melihat fenomena perkawinan, yang biasanya cenderung satu suku dan satu ras, bahkan mungkin “satu kelas”. Dari itu akan muncul pertanyaan.

 

Hal yang menarik adalah bagaimana melihat sesuatu dari kejadian, atau peristiwa yang seperti biasa-biasa saja, suatu fenomena yang cenderung sepele, tetapi di balik itu mungkin menyembunyikan sesatu yang besar. (Itulah sebabnya dibutuhkan penelitian).

 

Misalnya, kita melihat kejadian yang seolah-olah sepele, fenomena booming akik. Kenapa banyak orang tiba-iba suka akik, bagaimana orang tersebut memperlakukan akik, berapa biaya yang dikeluarkan untuk kesenangan itu, dan sebagainya.

Istilah riset “besar”, “menengah”, “kecil” itu cuma untuk menandai apa yang biasa saya sebut sebagai “pintu masuk”. Kita sulit melakukan penelitian kebudayaan kalau pintu masuknya tidak jelas.

 

Besar kecil riset bukan ditentukan oleh pintu masuk, tetapi seberapa jauh dan seberapa luas kita mengekplorasi dalam menjawab persoalan. Masalah akik bisa sampai ke masalah masyarakat sedunia. Masalah itu bisa berkaitan dengan berbagai ideologi, nilai-nilai, dan berbagai persoalan politik atau ekonomi masyarakat yang lebih laus.

 

Penentuan Objek Formal

Objek formal ditentukan oleh objek material. Seperti diketahui, jika sudah memiliki data dan masalah, maka sangat mungkin dibutuhkan teori untuk menjawabnya. Perspektif lain bisa saja teori tidak dibutuhkan, tetapi dalam menjaring fakta untuk menjadi data, sebetulnya kita telah menggunakan teori tertentu dalam pikiran kita.

Saat ini, telah berkembang sedemikian rupa teori-teori kebudayaan, yang bisa jadi bertumpang tindih dengan teori-teori sosial. Keberadaan masalah, tujuan penelitian (dan mungkin manfaat penelitian) ikut mengondisikan mau kita analisis dengan cara bagaimana data yang kita dapatkan.

 

Kalau kita tertarik untuk membongkar konstruksi sosial kebudayaan, maka teori-teori kebudayaan (terutama Cultural Studies) adalah jagonya. Seperti telah disinggung, banyak teori kebudayaan, sosial, sastra, dan bahasa terkesan tumpang tindih. Itu tidak masalah. Dalam konteks ini telah tersedia berbagai teori apakah itu antropologi ekonomi, antropologi politik, teori-teori hegemoni dan ideologi, teori poskolonial, psikoanalisis, feminisme, sosiologi budaya, realisme magis, resepsi, teori-teori posmodernisme dan postrukturalisme, dan sebagainya.

 

Kadang-kadang, kita agak terkondisi dengan hal-hal yang kita pelajari, termasuk teori. Kalau bahasa kerennya, seseorang (kita) tidak bisa keluar dari diri kita sendiri. Itulah sebabnya, hal-hal yang bersifat reflektif juga perlu dikembangkan.

 

Merumuskan Masalah

  • Masalah terutama diharapkan berdasarkan data-data yang telah kita verifikasi.
  • Dalam perspektif teori tertentu, sebaiknya masalah dikembangkan dalam satu kategori teoretik tertentu.

 

Tujuan dan Manfaat Penelitian

  • Tujuan penelitian adalah menjawab persoalan/masalah
  • Manfaat penelitian tergantung dalam koridor apa kita menganalisis masalah/persoalan.

Berdasarkan pengalaman, paling tidak ada tiga tujuan penelitian. Pertama, penelitian yang bersifat pragmatif dalam rangka mencari solusi tertentu. Hal ini biasanya kita lakukan kalau mendapatkan proyek riset dari pendana tertentu (terutama pemerintah daerah).

 

Kedua, riset-riset yang tergolong normatif, dan biasanya juga ada pendana resmi. Riset-riset tentang pembentukan karakter, revolusi mental, dan kepribadian bangsa, biasanya bisa terjebak ke dalam riset seperti ini.

 

Riset yang bersifat aplikatif dan berusaha mencari aplikasi-aplikasi atau temuan-temuan baru untuk membantu dan mengatasi berbagai masalah kehidupan. Riset-riset teknologis, farmasi (kesehatan), dll, yang biasanya bekerja dengan membutuhkan laboratorium khusus, biasanya masuk ke dalam riset seperti ini.

Riset yang bersifat “pecapaian” akademis. Biasanya riset dengan mendayagunakan  pendekatan teoretis yang handal, dengan bantuan berbagai teori lain, apakah itu semiotik, kewacanaan, atau hermeneutik.

 

Perlu ditekankan bahwa setiap riset tentu bersifat akademis, cuma bedanya pada kadar “keilmiahannya. Kalau tidak terlalu keberatan, saya ingin mengatakan bahwa kadar keilmiahan riset pertama dan kedua tidak terlalu tinggi, bahkan riset kedua bisa terjebak pada sesuatu yang normatif dan tidak ilmiah. Kelebihannya untuk riset jeis pertama, kadar kemanfaatannya bisa lebih cepat dimanfaatkan. Untuk riset hal kedua, menurut saya sangat meragukan.

 

Metode dan Analisis

  • Prinsip penting dalam metode adalah prosedur mendapatkan fakta untuk dijadikan data (dan menjadi persoalan)
  • Data dalam bentuk apa
  • Bagaimana kita memperlakukan/menganalisis data. Data-data dikategorisasi, kemudian dianalisis, atau bisa juga dimaknai, sesuai dengan koridor/alur pemikiran penelitian.

 

Menarik Kesimpulan

  • Kesimpulan bukan ringkasan. Kesimpulan merupakan “abstrasksi” dari hasil analisis.
  • Sangat mungkin kesimpulan “hanya berlaku” untuk konteks penelitian (berdasarkan objek material dan formalnya).
  • Akan tetapi, sangat mungkin jika akurasi dalam mendapatkan masalah dan dengan analisis yang mendalam, akan mendapatkan “abstraksi” yang memadai dan bisa menjadi suatu teori tertentu.

 

Catatan Tambahan

Perlu kesepakatan untuk menyebut suatu riset disebut ilmiah atau kurang/tidak ilmiah. Berdasarkan pengalaman, sejumlah riset masih banyak ditemukan kalimat yang menggunakan kata seharusnya, sebaiknya, atau komen-komen yang bersifat opini. Hal tersebut menyebabkan tulisan menjadi kurang ilmiah.

 

Seperti telah disinggung, riset pemikiran/teori masih belum cukup banyak kita lakukan. Riset ini membutuhkan pengalaman, refleksi yang tinggi, dan mendalam. Beberapa buku penting Gramsci dia tulis ketika dia di penjara. Bourdieu menulis sejumlah bukunya yang membuat dia terkenal, lebih sebagai refleksi diri terhadap berbagai fenomena dan peristiwa yang dia alami. Foucault menemukan teorinya yang hebat setelah dia menenggalamkan dirinya di perpustakaan lebih dari lima tahun.

 

Sebagai akademisi, kita perlu (sedikit) asketik.

 

Terimakasih.

 

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN

$
0
0

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN

ESAI-ESAI KEBUDAYAAN (1)

 

Oleh Aprianus Salam

 

DAFTAR ISI

  • KEBUDAYAAN SEBAGAI PERSPEKTIF
  • KEKBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN
  • MEMELIHARA BUDAYA EMPATIK
  • KEBUDAYAAN SEBAGAI TERSANGKA
  • KEBUDAYAAN ITU TERGANTUNG
  • HIBRIDITAS KEBUDAYAAN
  • MATINYA MESIN PEMIKIRAN

 

 

(1)KEBUDAYAAN SEBAGAI PERSPEKTIF

Ada dua kecenderungan dalam studi kebudayaan. Pertama, kajian yang menempatkan sesuatu yang dianggap sebagai kebudayaan sebagai objek kajian. Kedua, kajian yang menempatkan tradisi-budaya agar ditempatkan kembali atau menjadi bagian dari kebudayaan masa kini.

Hal pertama berimplikasi pada kajian kebudayaan sebagai “proyek studi” dan “proyek” itu sendiri. Dalam praktiknya kajian seperti itu kadang sebagai bagian dari agenda-agenda akademis yang tidak diletakkan dalam satu paradigma praksis-bertujuan. Ia menjadi ajang petualang akademis dan ajang pencanggihan penafsiran. Kajian seperti ini membuatnya terisolasi dari arena sosial ekonomi masyarakat.

Menariknya, studi menempatkan kebudayaan sebagai objek studi memang cukup laku. Hal ini disebabkan lebih sebagai politik riset untuk menjaga keseimbangan akademis. Kadang juga diposisikan sebagai strategi bahwa satu masyarakat tertentu dianggap “berbudaya” karena memberi perhatian terhadap masalah budaya. Dalam praktiknya, kajian seperti ini tidak lebih sebagai asesoris, sebagai pelengkap agar “terlihat indah” bangunan riset kita secara keseluruhan.

Sementara itu, hal kedua dilakukan karena kebudayaan masa kini dianggap tidak sesuai dengan “budaya asli” suatu masyarakat tertentu. Hal tersebut berimplikasi pada upaya-upaya rekonstruksi jati diri dan politik identitas ketika sebagian besar masyarakat merindukan kembali, suatu nostalgis, dengan mengandaikan ada sebuah masa yang penuh dengan kedamaian, harmonis, sejahtera, adil-makmur, dan sebagainya. Karena frustrasi dengan kondisi masa kini yang carut marut, kondisi masa lalu yang diandaikan pernah ada itu menjadi sangat penting untuk diupayakan bisa hadir di masa kini.

Dampak dari dua kecenderungan di atas adalah seperti selama ini banyak kita lakukan. Masalah kebudayaan menjadi sesesuatu yang identik dengan tradisi dan kesenian. Begitu banyak kajian kebudayaan yang “terjebak” sebagai kajian tradisi dan seni, dan terpisah dengan persoalan makro kebudayaan masa kini. Padahal kebudayaan bukan masalah tradisi atau seni, tetapi bagaimana kita mempraktikan, bagaimana kita menjalani, bagaimana kita bersiasat atau berstrategi dalam kehidupan sehari-hari, untuk hari ini, dan yang lebih penting untuk masa depan.

 

Persaingan Budaya

Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah adanya kenyataan bahwa saat ini terjadi banyak persaingan budaya. Paling tidak ada lima budaya yang saling bersaing memperebutkan hegemoninya; yakni budaya nasional (Pancasila), budaya lokal-lokal, budaya populer (kapitalisme-sekuler), budaya agama, dan budaya akademis-rasional.

Dalam praktiknya, persaingan budaya tersebut berjalan saling bersinggungan, dan tidak jarang menimbulkan masalah, untuk tidak menyebutkan adanya perseteruan dan konflik. Setiap budaya memiliki pendukungnya masing-masing, ada yang sedikit fanatik, tetapi ada pula yang tidak peduli.

Di sini hanya disinggung lima arena persaingan. Pertama, arena rumah atau dalam keluarga. Di arena ini, jelas terjadi persaingan antara budaya orang tua dan budaya anak (yang didukung dan dikondisikan oleh media modern seperti televisi atau internet). Tampaknya budaya yang dikembangkan televisi berpihak pada budaya pasar/kapitalisme). Kedua, arena mall/pasar, tidak disangsikan lagi bahwa dalam arena ini budaya kapitalisme memegang kekuasaan penuh.

Ketiga, arena jalanan. Arena ini termasuk yang paling rawan karena semua orang dengan budayanya masing-masih bisa langsung bersentuhan. Banyak konflik yang berbahaya dan memakan korban terjadi di arena ini. Keempat arena lembaga-lembaga swasta. Berdasarkan keberadaannya kita tahu bahwa banyak lembaga swasta yang profit-oriented untuk menghidupkan lembaganya. Budaya kapitalisme merupakan pilar utama dalam arena lembaga swasta.

Kelima, arena di lembaga-lembaga pemerintah. Dalam arena ini budaya nasional selalu dipompakan. Akan tetapi, kita juga tahu bahwa persaingan berjalan sangat tajam sehingga tidak jarang berbagai konflik muncul dalam arena ini.

Dalam kondisi ini, budaya akademis-rasional, yakni bagaimana membangun budaya yang mampu mempertemukan sisi terbaik dari setiap budaya yang bersaing menjadi sangat penting dan strategis. Kondisi itu bisa dibangun dengan menempatkan berbagai budaya bukan sebagai objek kajian, tetapi lebih penting dari itu adalah membangun budaya sebagai perspektif yang kondusif bagi kehidupan manusia dengan berbagai landasan yang akan dikemukakan berikut,

 

 

Menggeser Paradigma

Walaupun bukan hal baru, yang perlu didorong untuk dilakukan, yakni bagaimana memposisikan kebudayaan sebagai perspektif dalam melihat, menganalisis, menjelaskan, dan mencari solusi berbagai masalah kehidupan. Analisis kebudayaan harus mampu menjawab berbagai pertanyaan yang masih ngganjel. Sebagai misal, mengapa ada korupsi? Apakah kita memiliki budaya berolahraga? Bagaimana budaya ekonomi masyarakat? Bagaimana budaya politik kita? Apa sesungguhnya budaya kemaritiman itu? Begitu banyak masalah yang harus dijawab dalam perspektif budaya.

Ada tujuh landasan dalam menempatkan kebudayaan sebagai perspektif, yakni bagaimana melihat suatu masalah dalam (1) landasan etis dan/atau moral; (2) landasan rasional-filosofis; (3) landasan tindakan-bertujuan; (4) landasan ideologis; (5) landasan kemanfaatan, (6) landasan kebajikan/kearifan, dan (7) landasan estetis. Setiap landasan saling bersinergi dan melengkapi.

Dengan demikian, kajian kebudayaan sebagai perspektif, yakni suatu kajian yang menempatkan berbagai landasan di atas sebagai standar atau sebagai pilar dalam mengkaji, menganalisis, dan sekaligus mencari solusi terhadap berbagai persoalan. Dalam posisi ini, koridor akademis dan ilmiah tentu saja tetap menjadi kaidah utama sesuai dengan aturan yang berlaku di tataran akademis.

Dengan demikian, posisi kajian kebudayaan menjadi lebih fleksibel dan strategis. Ia tidak lagi hanya berkutat dan diidentikkan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kesenian atau artefak masa lalu. Dia juga tidak hanya berhubungan dengan nilai-nilai normatif tentang kehidupan. Ia adalah sebagai satu cara untuk mensinergikan berbagai energi dan potensi positif yang adalah dalam diri kita. Tujuh standar landasan perspektif kebudayaan sangat mungkin bisa dijadikan pedoman. * * *

 

 

 

(2)

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN

 

Kebudayaan tidak perlu dipikirkan karena kebudayan secara otomatis dan inheren merupakan praktik kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana dapat bekerja, berpikir, dan belajar dengan baik, bagaimana dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.

Hal lain  yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengatur agar mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran dan sportivitas berjalan dengan benar, bagaimana mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan mendapatkan tempatnya secara penuh, bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab dapat dikedepankan, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka.

Jika hal itu terjadi, maka kebudayaan kita akan berjalan dengan sendirinya, dan dapat dipastikan akan berkembang sesuai dengan harapan dan cita-cita. Dengan demikian, persoalan yang kita hadapi bukan persoalan ke mana arah perkembangan kebudayaan, bukan soal terjadinya kemorosotan berbudaya, bukan soal terjadinya stagnasi dalam kebudayaan kita

Persoalan arah perkembangan kebudayaan kita menjadi lebih kapitalistis dan dikuasai oleh budaya populer karena kita tidak bergerak untuk berkarya dan bekerja produktif. Kita menjadi penonton dan peniru, dan dalam rangka itu kita seolah telah mengisi hidup dengan produktif. Hal itu didukung ketika berbagai studi dan analisis kebudayan lebih dalam rangka menjelaskan terjadinya budaya konsumtif atau riuh manisnya budaya populer.

Pikiran tentang terjadinya kemerosotan berbudaya terjadi karena kita hanya nguri-nguri kebudayaan, tetapi justru terjebak dengan nostalgia dan “kecanggihan” masa lalu tanpa ada upaya memodifikasi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pun terjadinya stagnasi kebudayaan karena selama ini yang kita lakukan adalah membangun dan memikirkan serta melakukan berbagai kegiatan budaya tanpa ada progresi terhadap substansi, tidak ada upaya pendalaman dan pencapaian dalam sebuah kerja sistematis.

Hal itu terlihat dari berbagai kegiatan kebudayaan, atau seolah-oleh kegiatan kebudayaan. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kegiatan itu ramai atau tidak, gayeng atau tidak. Ukuran kuantitatif keramaian dan keriuhan menjadi ukuran kesuksesan. Tapi apa yang terjadi, substasi kebudayaan yang perlu dipikirkan, seperti disinggung di atas, sama sekali tidak tersentuh. Kita hanya berjalan di tempat.

 

Salah Kaprah

Banyak hal yang selama ini relatif salah-kaprah ketika kita memikirkan kebudayaan seolah kebudayaan merupakan strategi atau cara-cara berbudaya itu sendiri. Sebagai misalnya, konsep pendidikan berbasis budaya, dalam argumen di atas, justru keliru. Hal yang benar seharusnya adalah pendidikan berbasis karya, atau pendidikan berbasis kejujuran dan tanggung jawab, atau pendidikan berbasis kerja. Jauh lebih penting mengondisikan bagaimana mempraktikkan kejujuran dalam pendidikan daripada apakah pendidikan telah sejalan dan berbasis kebudayaan. Jauh lebih utama memikirkan bagaimana agar dapat bekerja dan berkarya daripada apakah kebayaan kita adiluhung atau tidak.

Hal itu terjadi bukan saja kebudayaan itu abstrak, terlalu luas, dan setiap orang berkepentingan dan merasa penting “memikirkannya”, tetapi dalam praktiknya kebudayaan juga menjadi ajang komoditas tertentu dalam budaya yang dihegemoni oleh konstruksi kapitalisme.

Berangkat dari kenyataan itu, sudut pandang dan paradigma tentang bagaimana mempersoalkan kebudayaan memang sudah waktunya digeser. Kata-kata tentang kebudayaan yang biasanya selalu menjadi subjek atau kata utama dalam sebuah frase selayaknya diminimalkan. Apa pun yang kita dedikasikan tentang dan dalam kehidupan sehari-hari adalah proses berkebudayaan itu sendiri.

Dengan demikian, apakah kementerian pendidikan dan kebudayaan masih relevan? Kementerian atau departemen kebudayaan menjadi tidak relevan jika tidak dalam rangka memfasilitasi bagaimana agar masyarakat dapat bekerja dan belajar dengan maksimal dan mudah (tidak dengan banyak peraturan yang menyulitkan), bagaimana agar masyarakat dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana agar masyarakat dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.

Persoalan kedua, apakah kemudian fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan di universitas menjadi tidak relevan? Mungkin masih relevan jika lembaga-lembaga itu bergerak dalam rangka menjadi lembaga yang  mengembangkan atau meneliti sekaligus memperjuangkan mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran, memperjuangkan mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan, mendapatkan tempatnya secara penuh, memperjuangkan bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab mendapat tempat utama, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka dan transparan.

Jika hal itu tidak terjadi, maka baik kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan, mungkin tidak ada gunanya. Pertanyaannya adalah sejauh ini apa yang dikerjakan oleh kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan?

 

(3)

MEMELIHARA BUDAYA EMPATIK

 

Ada sejumlah indikasi bahwa “tanpa disadari” kita adalah makhluk-makhluk rasis, hierarkis, dan diskriminatif, yang berimplikasi pada sikap-sikap tidak simpatik dan saling bermusuhan. Dalam percakapan sehari-hari, tidak jarang kita mendengar ungkapan seperti; “dasar tukang becak”, “dasar negro”, “dasar pembantu”, “seperti tukang parkir saja kamu”, “dasar orang desa, kampungan”, dll. Belum lagi ungkapan seperti “bodoh, tolol, idiot”, dsb. Atau ungkapan gabungan yang lebih pahit, “dasar tukang becak bodoh”. Itu hanya beberapa contoh.

Menarik menjelaskan mengapa, kasus tukang becak misalnya, menjadi salah satu ungkapan keseharian yang memojokkan. Apa salah tukang becak dalam kehidupan kita? Ungkapan “dasar tukang becak bodoh”, secara ideologis menyimpan stigma bahwa pekerjaan itu hina dan rendahan. Pekerjaan itu hanya cocok untuk orang bodoh. Pekerjaan itu hanya mengandalkan otot. Pekerjaan itu murahan, maka orang becak itu pasti miskin. Dan saya bukan tukang becak, jadi saya tidak hina, tidak rendahan, pandai, dan tidak miskin.

Misal lain, ungkapan “dasar orang desa, kampungan”. Ungkapan itu menyimpan anggapan bahwa orang desa itu bodoh, tidak punya pengetahuan, miskin, tidak punya etika seperti orang kota, ketinggalan zaman. Bahkan mungkin mengandung anggapan lain seperti bau, kotor, dan sebagainya. (Saya menduga ini semacam kekonyolan massal yang kita idap).

Yang berdimensi rasis misalnya, maaf, saya terpaksa mengambil contoh,  “dasar negro”. Di balik ungkapan itu mengandung makna, orang negro itu hitam, bau, tidak pernah mandi, miskin, bodoh, dan tukang buat kriminal. Saya bukan negro, maka saya tidak bau, rajin mandi, tidak miskin dan tidak bodoh, dan tidak pernah berbuat kriminal. Saya berbeda dengan orang negro, saya bukan mereka. (Apa kesalahan “orang negro” terhadap kehidupan kita? Ini jelas konstruksi kolonialis).

Yang tidak kalah berbahayanya adalah pernyataan “Mereka itu pendatang”. Di balik ungkapan itu terkandung makna bahwa pendatang tidak sama dengan penduduk asli/pribumi. Mereka pendatang harus menyesuaikan diri dengan penduduk asli kalau tidak para pendatang boleh dimusuhi, boleh tidak dijadikan teman. Bahkan ini pula yang sebetulnya membuat kita tidak bisa menerima orang lain apa adanya, orang lain berbeda dengan kita, kita bukan mereka. Perbedaan tersebut menyembunyikan bahaya laten konflik.

Agak sulit untuk membantah bahwa hal tersebut masih kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat konstruksi sosial yang rasis, hierarkis, dan diskriminatif yang kita tanggung sebagai akibat peninggalan sejarah kebudayaan kita.

 

Bara Prasangka

Munculnya perbedaan ini terutama dalam konteks ada yang merasa mayoritas, di satu pihak, dan ada yang dianggap minoritas. Kelompok mayoritas akan mendominasi, atau bahkan menghegemoni, minoritas agar si minoritas tidak mengganggu dominasi mayoritas. Hal ini tentu juga berkaitan terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politik, juga sosial dan budaya.

Pemeliharaan stigma tersebut secara terus menerus menimbulkan perbedaan. Adanya perbedaan akan menimbulkan jarak dan menyulitkan komunikasi. Jika komunikasi tidak terjalin, maka tidak akan ada saling pemahaman. Bila tidak ada saling pemahaman, maka perbedaan akan berpotensi menjadi musuh dalam selimut. Perbedaan memelihara bara prasangka. Prasangka akan mengalami berbagai pemelintiran dan membengkak menjadi penyakit sosial dan budaya. Inilah yang terus menerus terjadi. Saya menduga, politisasi agama memainkan peranan penting terhadap bara prasangka ini.

Yang merasa di-liyan-kan juga tak kunjung bisa hidup wajar karena dianggap berbeda dan dijauhi. Dalam situasi itu, akan selalu muncul resistensi karena yang di-liyan-kan akan berusaha hidup layak dan normal. Berbagai konflik selalu membayang. Saya tidak ingin mengatakan bahwa hal rasis, hirarkis, dan diskrimintif ini sebagai semata-mata konstruksi kolonial. Karena hal itu sudah ada jauh sebelum kolonial masuk ke Indonesia.

 

Perlunya Empatik

Masalahnya adalah bahwa kita tidak pernah tahu dilahirkan di mana, kapan, sebagai anak siapa, dan kelak hidup di mana. Kita tidak tahu spakah kita  bodoh atau pintar. Membangun kesadaran ini penting, bukan saja dalam konteks religius, spiritual, atau etik, tapi lebih-lebih dalam konteks sosial. Kesadaran itu juga sangat penting untuk ditumbuhkan dan dipelihara sebagai satu pemahaman bahwa manusia itu kodratnya sama, dalam ketidaktahuan dan ketidakberdayaan.

Siapa orang yang mau lahir bodoh, atau kelak hidup miskin, tidak ada. Siapa yang mau jadi tukang becak, atau bercita-cita jadi pekerja rumah tangga (kita biasa menyebutnya pembantu), tidak ada. Siapa penduduk asli di muka bumi ini yang bisa mengklaim dirinya sebagai tidak pendatang. Semua pendatang, cuma ada yang lebih dulu, ada yang lebih belakangan. Manusia berhak hidup di mana saja di muka bumi ini dengan aman dan nyaman. Menyadari itu, sikap empatik menjadi sangat penting.

Ibu saya pernah memberi resep kepada saya kalau saya mengalami rasa kesal, atau kecewa, atau mungkin sedikit marah karena suatu hal yang tidak sesuai dengan harapan. Ibu mengajarkan bahwa mengumpat itu tidak ada gunanya. Justru kalau bisa membalasnya dengan ungkapan, “Mudahan-mudahan tambah rezekimu”, atau “Aku berharap kamu selalu sehat” atau “Doaku agar engkau diampuni yang Maha Kuasa”, atau “Mudah-mudahan dilapangkan dadamu”, dan sebagainya.

Kayaknya sulit, di tengah rasa kecewa atau marah kok malah “mendoakan” kebaikan kepada orang lain. Tapi ternyata, tidak sulit-sulit juga kok. Coba saja. * * *

 

 

(4)

KEBUDAYAAN SEBAGAI TERSANGKA

 

Pada masa Orde Lama, politik menjadi instrumen utama. Waktu itu, politik gagal menyelamatkan Indonesia dan Indonesia terjerumus menjadi negara miskin. Pada masa Orde Baru, ekonomi menjadi aktor paling penting. Pada awalnya, Indonesia sukses membangun perekonomian, tetapi ternyata ekonomi gagal menjayakan Indonesia. Indonesia kembali terjerembab menjadi negara amburadul.

Pada masa reformasi ini, tampaknya politik kembali diusahakan menjadi pemain penting. Akan tetapi, masyarakat Indonesia seolah masih trauma dan penuh keraguan. Hal itu diperlihatkan dengan gugup dan groginya masyarakat Indonesia memainkan instrumen politiknya. Kekacauan terjadi di mana-mana, sementara ekonomi tidak memperlihatkan tanda perbaikan.

Di masa sulit dan putus asa ini, masyarakat mulai berpikir bagaimana jika kebudayaan mengambil peran untuk menyelamatkan Indonesia. Selama ini, kebudayaan tidak mengambil peran sebagai operator penting, tetapi sekarang diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia. Pertanyaannya, kenapa politik dan ekonomi gagal di Indonesia, dan apakah kebudayaan bisa mengeluarkan Indonesia dari situasi runyam.

 

Tidak Terintegrasi

Politik gagal di Indonesia karena politik tidak terintegrasi atau tidak dintegrasikan dengan kebudayaan. Dalam sejarahnya, Nusantara memang memiliki tradisi panjang bagaimana politik berjalan di setiap lokalnya. Akan tetapi, ketika menjadi Indonesia, masyarakat tidak memiliki satu pemahaman tentang kebudayaan sehingga politik lepas dari kebudayaan. Hal itu terlihat dari kebingungan dalam menentukan strategi dan arah kebudayaan. Politik tidak lebih menjadi ajang merebut, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan dalam berbagai cara.

Ekonomi juga gagal karena tidak terintegrasi dengan kebudayaan. Sama halnya dengan politik, tradisi perekonomian yang panjang di Nusantara tidak bisa dijadikan sumber acuan untuk mengelola Indonesia. Setiap lokal memiliki cara-cara ekonomi sendiri. Alhasil, ketika menjadi Indonesia dan ekonomi modern, ekonomi tidak lebih hanya sebagai satu cara mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan, atau menambah keuntungan dan kekayaan.

Dalam dua kondisi tersebut, banyak juga yang kemudian menyalahkan seolah kebudayaan menjadi salah satu faktor penghambat dalam mengembangkan Indonesia menjadi negara berkualitas. Kebudayaan dianggap mengambil peran negatif karena tidak bisa diintegrasikan dengan politik atau ekonomi. Padahal, persoalannya adalah bahwa ekonomi atau politik tidak akan pernah bisa diintegrasikan dengan kebudayaan jika yang menjadi faktor dominannya politik atau ekonomi.

 

Prinsip Etis-Kemanusiaan

Lantas apa seharusnya yang dimaksud dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah bagaimana mempraktikkan, mengelola, memperjuangkan, dan mempertahankan prinsip-prinsip etis-kemanusiaan, yang meliputi nilai-nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Jika kita memenuhi persyaratan tersebut, kita biasa menyebutnya sebagai masyarakat yang berbudaya. Jika tidak, berarti belum berbudaya.

Dengan demikian, jika kebudayaan menjadi payung besar dalam mengelola politik atau ekonomi, maka politik dan ekonomi harus tunduk pada prinsip kebudayaan tersebut. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa politik menjadi aktor, kebudayaan tunduk kepada prinsip-prinsip politik. Itulah sebabnya, kemudian Indonesia tidak akan pernah sukses mengelola politik karena bukan saja tidak terintegrasi dengan kebudayaan, lebih dari itu prinsip-prinsip budaya juga menolak prinsip politik yang diberlakukan.

Hal yang sama terjadi pada masa Orde Baru ketika ekonomi menjadi payung dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip dan paradigma ekonomi tidak akan pernah bisa terintegrasi berkaitan dengan prinsip dan nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Kita tahu, negeri Indonesia terbukti terjerembab menjadi salah satu negeri paling korup di dunia, tidak ada keadilan ekonomi, tidak ada kemandirian, kemerosotan terjadi di mana-mana.

Apakah jika kebudayaan menjadi paradigma utama, kebudayaan bisa mengitegrasikan banyak hal? Mungkin juga tidak jika kebudayaan hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang “berbau kesenian” atau “puncak-puncak kebudayaan daerah”, atau sebagai cara-cara hidup bermasyarakat yang diterima begitu saja yang biasa disebut sebagai tradisi. Kebudayaan hanya menjadi objek pasif yang tidak akan bisa berperan apa-apa. Dalam kondisi itu, kebudayaan tidak layak diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia.

Akan tetapi, jika memposisikan paradigma dan definisi kebudayaan sebagai nilai etis-kemanusiaan seperti disinggung di depan, maka sangat mungkin kebudayaan memiliki kekuatan untuk berintegrasi dengan ekonomi dan politik atau instrumen sosial lainnya. Dengan demikian, berbagai kesalahan kita dalam memahami kebudayaan tidak terus menerus menjadikan kebudayaan sebagai tersangka. * * *

 

(5)

KEBUDAYAAN ITU TERGANTUNG

 

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengevaluasi rancangan Perdais DIY tentang Kebudayaan di DPRD Yogya. Salah satu yang paling bermasalah dalam Perdais itu justru difinisi tentang kebudayaan. Dalam Ketentuan Umum Perdais itu kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat-istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur meliputi benda dan tak benda yang mengakar dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Seperti diketahui, difinisi tentang kebudayaan itu ada ratusan. Hal itu dapat dilihat dalam buku legendaris karya Koentjaraningrat, buku yang hampir menjadi buku putih tentang kebudayaan bagi masyarakat Indonesia. Definisi di atas, dapat dikatakan masih dalam pengaruh tersebut. Dalam definisi itu kebudayaan merupakan suatu hasil, bukan proses, dan didefinisikan lebih dalam pengaruh para orientalisme ketika mendefisikan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di “Timur”.

 

Bilamanakah Kebudayaan

Dalam perjalanannya, konsep kebudayaan terus menerus dikritisi dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan peradaban manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Raymond Williams, dalam bukunya Culture and Society, menyimpulkan bahwa paling tidak ada tiga definisi tentang kebudayaan. Pertama, kebudayaan sebagai proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetik pada umumnya. Kedua, kebudayaan sebagai suatu cara hidup, dalam suatu periode, suatu kelompok/komunitas, dan ketiga, kebudayaan sebagai karya-karya dan praktik intelektual, khususnya estetik, dan sebagai satu proses memproduksi makna.

 

Pesan penting dari pembagian definisi tersebut adalah bahwa kebudayaan itu bermacam-macam, mengandung implikasi dan dampak politis tertentu. Definisi pertama, misalnya, tampaknya sesuatu yang dipahami dan “diikuti” Ki Hajar Dewantara, yakni dengan bahwa kebudayaan merupakan puncak dari proses perkembangan intelektual dan spritualitas manusia. Dengan konsep ini, kebudayaan mengeluarkan, atau tidak menganggap bahwa aktivitas manusia yang biasa-biasa saja, yang tidak estetis, tidak dianggap kebudayaan.

 

Sementara itu, definisi kedua menganggap tidak penting/tidak ada suatu dimensi makna dari aktivitas mannusia, dan definisi ketiga justru menganggap penting pemaknaan itu sendiri, yang lain tidak penting. Masalah ini kemudian dicarikan jalan keluarnya oleh Mark Hobart, yang bahkan studinya berangkat dari siaran TV di Bali. Hobart menemukan begitu banyak difenisi kebudayaan, demikian beragam, bahkan membingungkan. Ia menemukan paling tidak 15 definsi kebudayan seperti kebudayaan itu adalah tarian, adalah warisan, adalah sesuatu yang perlu dilestarikan, adalah potensi, adalah modal, dan sebagainya (lihat juga Faruk, 2013).

 

Hobart memberikan saran penting bahwa kita tidak perlu membuat definisi kebudayaan yang berpretensi “mengatasi“ segala definisi. Hobart berkesimpulan bahwa pada akhirnya definisi kebudayaan itu serba bergantung, berdasarkan konteks penggunaannya, luwes, dan mungkin sangat kontestual yang berhubungan langsung dengan sistem kebudayaan yang ada. Pernyataannya yang paling penting adalah bukan apa itu kebudayaan, tetapi kapan atau bilamanakah kebudayaan itu.

 

Tergantung Keperluan

Kembali ke persoalan semula, dalam posisi dan keperluan apa Perdais Kebudayaan DIY dalam mendefinisikan Ketentuan  Kebudayaan. Secara cepat para anggota DPRD menjawab bahwa definisi itu diambil dai peraturan yang lebih tinggi, yakni definisi yang terdapat dalam UU RI No. 13 tahun 2021 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Definisi tersebut jelas bermasalah karena menganggap berbagai aktitivitas manusia sehari-hari, yang dianggap biasa-biasa saja, yang tidak luhur, yang tidak seni, bukanlah kebudayaan. Hal ini terlihat bahwa definsi kebudayaan yang diikuti Perdais DIY itu adalah definsi yang dikembangkan oleh ideologi para elite, oleh para yang berkuasa yang merasa memiliki kebudayaan dan yang paling berhak mendefinisikannya. Konsep itu sekaligus menimbulkan dikotomi ada yang beradab dan ada yang tidak beradab/berbudaya.

 

Kalau kita percaya bahwa struktur sosial itu adalah sebuah konstruksi, maka struktur dikotomis tersebut tentu saja memproduksi struktur sosial yang timpang, melegitimasi ketidakadilan, melegitimasi bahwa kebudayaan itu hanya milik para elite, atau katakanlah bahwa kebudayaan itu milik para kelas atas, yang memiliki otoritas, kelas berkuasa.

 

Penempatan konsep kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa juga memposisikan manusianya sebagai sesuatu yang pasif, kebudayaan bukan sebagai proses yang aktif. Itulah sebabnya, semangat kebudayaan kita di atas adalah semangat pelestarian, semangat pelindungan, melindungi hasil kebudayaan yang elitis. Kita memang perlu meletakkan konsep kebudayaan yang tergantung keperluannya. Persoalannya, kita perlu tahu bahwa saat ini apa yang paling kita perlukan sehingga pengertian kebudayaan menjadi basis bagi perbaikan mutu kehidupan kita. * * *

 

 

(6)

HIBRIDITAS KEBUDAYAAN

 

Kebudayaan itu tidak ada yang orisinal. Kebudayaan merupakan praktik adopsi dari berbagai hal, baik disadari maupun tidak. Kebudayaan bersifat hibrid. Paling tidak terdapat empat hal budaya yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat, yakni budaya lokal, budaya agama, budaya nasional, dan budaya massa/populer. Keempat hal tersebut dipraktikkan secara serempak.

 

Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebudayaan adalah satu sistem pengetahuan, kepercayaan dan keyakinan yang mempengaruhi prilaku, cara hidup, dan aktualisasi diri masyarakat. Dengan demikian, setiap sistem budaya meliputi cara-caranya sendiri yang membedakan satu dengan yang lain. Contoh yang paling sederhana misalnya sistem pengetahuan tentang diri dan alam, sistem berbahasa, sistem sandang dan pangan, sistem papan, dan sebagainya.

 

Ada beberapa cara dalam melihat praktik hibriditas kebudayaan. Pertama, berdasarkaN ruang/lokasi praktik berbudaya, kedua, orang yang berperan atau agen-agen budaya yang terlibat di dalamnya, dan ketiga, historisitas.

 

Ruang Berbudaya

Praktik berbudaya antara desa dan kota, atau antara daerah pegunungan dan daerah pantai pasti berbeda. Kondisi lingkungan dan alam menentukan cara-cara orang melakukan praktik kehidupan sehari-hari. Di sini hanya akan dibicarakan perbandingan ruang desa dan kota.

 

Dalam praktiknya, memang teknologi massa yang bisa menjangkau ke semua ruang, ikut membentuk cara-cara hidup masyarakat. Akan tetapi, kontrol nilai  dan norma di desa sedikit lebih terpelihara daripada di kota. Hal ini menentukan strategi dan praktik sosial masyarakatnya. Di desa, seseorang masih mengalami rasa kikuk jika berbahasa Indonesia atau tidak ikut kerja bakti.

 

Kepekaan dan solidaritas sosial juga membedakan antara orang desa dan kota. Komunalitas sudah sangat longgar di perkotaan. Orang kota sedikit terpaksa menjadi lebih individual dan mengurus urusannya masing-masing. Dengan begitu, bisa jadi nilai-nilai budaya lokal masih lebih kental dipraktikkan di desa, bertumpang tindih dengan budaya beragama. Memang, hal itu tidak menjamin sama sekali bahwa orang desa tidak mempraktikkan bahasa Indonesia sambil mengonsumsi budaya populer.

 

Jarak ruang tertentu dengan ruang lain juga memberikan karakter terhadap hibiritas budaya. Desa dengan kedekatan tertentu dengan kota besar, sangat berbeda dengan desa yang terisolasi atau jauh dari kota. Hal-hal tersebut perlu menjadi perhitungan dalam mengkaji fenomena wajah budaya kita yang demikian majemuk dan sekaligus memberikan perbedaan-perbedaan.

 

Peranan Tokoh

Tokoh atau agen-agen masyarakat tidak dapat dipungkiri memainkan peranan penting dalam hibridisasi kebudayaan. Kita tahu bahwa dalam masyarakat kita tokoh, orang tua, ustad, guru, pemimpin masih menjadi panutan. Hal pentingnya adalah bahwa suara dan prilaku tokoh setempat masih memegang situasi dan kendali bagi praktik-praktik budaya masyarakat tertentu. Jika kebetulan tokoh dalam masyarakat tertentu posisi kiyainya sangat kuat, sangat mungkin masyarakat memperlihatkan wajah relijiusnya.

 

Biasanya banyak tokoh mencoba mengembalikan nilai-nilai budaya lokal, mungkin juga agama, karena hal itu akan memapankan posisinya. Kita tahu bahwa dalam nilai-nilai lokal atau agama senioritas memegang kendali penuh atas tumpuan penghormatan. Asumsinya, bahwa perubahan budaya yang terjadi cenderung merusak moral berbudaya sehingga kebudayaan harus dikembalikan ke nilai-nilai adiluhung. Nilai-nilai adiluhung itu tersimpan dalam budaya lokal atau agama.

 

Mungkin ada tokoh yang memainkan peranannya dalam pengembangan budaya nasional. Kesulitan pengembangan budaya nasional adalah bahwa nasionalitas terjepit di antara budaya lokal, agama, dan terpaan budaya populer. Kemungkinan lain, budaya nasional mengadopsi budaya lokal dan agama dan menjadi bagian dari budaya nasional, seperti selama ini terjadi. Bahasa Indonesia-lah yang mempertemukan kondisi dan situasi tersebut.

 

Namun, kita tahu bahwa sosok tokoh sekarang berprofesi lebih profesional. Dalam perkembangannya, banyak orang menjadi tokoh karena dia populer berkat sinetron, film, atau media massa pada uumnya. Kehadiran tokoh baru ini tampaknya memainkan peranan lebih signifikan sebagai sosok idola yang menjadi acuan identitas seseorang. Hibridisasi budaya ke arah budaya massa semakin memperlihatkan pengaruhnya.

 

 

Historisitas Budaya

Hal penting lain yang juga ikut menentukan hibriditas adalah konteks historis suatu masyarakat. Artinya, pengalaman antara satu masyarakat dan masyarakat lain itu berbeda. Ada masyarakat yang mengalami modernitas tinggi ada yang tidak, ada daerah yang mengalami peristiwa nasional secara langsung ada yang tidak, ada tokoh-tokoh yang mengalami pengalaman berbeda yang ikut menentukan prilaku mereka di tempatnya masing-masing.

 

Dengan demikian, adopsi dari berbagai kekuatan budaya secara serempak menjadi praktik dan gaya hidup sehari-hari. Sangat menyenangkan, misalnya, di sebuah tempat, ada seorang pemuda berpecis dan sarungan, sambil sms dan face book-an, sekaligus mendiskusikan liga internasional dan makan lodeh. Dan mereka berbicara dalam bahasa Indonesia yang compang-camping bercampur bahasa lokal mereka masing-masing.

 

Hal penting yang harus digarisbawahi adalah bahwa kita hidup sekarang dan ke depan. Kehidupan tidak bisa dipaksa sesuai dengan niat-niat keluhuran dan kemuliaan seperti dibayangkan dan diharapkan para orang tua yang mencoba berpegang teguh nilai-nilai budaya yang berbasis budaya dan kearifan lokal. Inilah Indonesia. * * *

 

 

(7)

MATINYA MESIN PEMIKIRAN

 

Mesin yang paling besar generatornya dan paling dominan gemuruh suaranya adalah mesin politik. Karena selalu ada suksesi, dari tingkat lurah hingga presiden, maka mesin politik mau tidak mau harus selalu dinyalakan. Mesin politik juga bekerja untuk pemilihan ketua ormas, orsospol, pemilihan rektor dan dekan, dan sebagainya. Mesin politik hidup dalam keseharian kita. Kemudian, banyak orang hidup sebagai kernet atau penumpang gelap mesin politik.

 

Selain mesin politik, mesin ekonomi juga bergemuruh di hampir semua lini kehidupan. Tanpa disadari kita terjebak dalam rutinitas suara-suara mesin politik dan ekonomi. Mesin politik dan ekonomi saling bertumpang tindih, saling mendukung dan tergantung, sehingga kekuatan mesin-mesin lain tenggelam tidak bergaung. Kalau mesin seni-budya sekali dua terdengar, itu karena mesin ekonomi atau politik yang membesarkan suaranya, dan menjadikannya komoditas.

 

Sebagai akibatnya, konfigurasi bangunan kehidupan bermasyarakat menjadi sumbang, bising, penuh kasak-kusuk dan intrik, dan sama sekali tidak mencerdaskan. Orang terjebak dalam satu sistem dan mekanisme yang sama dari waktu ke waktu. Hal tersebut dikondisikan oleh satu hal lain bahwa dalam gemuruh mesin politik dan ekonomi itu, orang tidak berpikir untuk mencari satu substansi bagaimana berpikir tentang peningkatan kualitas kehidupan. Kita dikondisikan untuk berpikir, tapi berpikir bagaimana berkuasa dan bertahan hidup. Mesin pemikiran hakiki telah mati.

 

Kita membutuhkan dan perlu menghidupkan mesin pemikiran. Hal yang dimaksud dengan mesin pemikiran adalah terjadinya proses, penghidupan, dan pergerakan ide-ide atau gagasan-gagasan cerdas, bijak, dan mulia, sebagai hasil dari suatu proses penelitian/pemikiran yang serius dan mendalam. Bukti dari tidak jalannya proses penghidupan dan pergerakan mesin pemikiran adalah bahwa begitu banyak masalah yang dihadapi oleh negeri ini, dan secara relatif tidak mendapatkan jalan keluar, atau tidak ada cara yang cukup signifikan untuk mengatasinya.

 

Masalah pengangguran dan kemiskinan, masalah transportasi, korupsi, atau berbagai masalah kekerasan, adalah beberapa masalah besar yang hingga kini tidak pernah teratasi. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa masalah tersebut sudah bisa diatasi di berbagai negara lain. Akan tetapi, paling tidak selalu ada ide atau gagasan segar untuk terus menerus mengatasi persoalan tersebut, atau paling tidak ada upaya yang sangat powerfull untuk meminimalkannya.

 

Dalam hal ini, perguruan tinggi dan pusat-pusat studi seharusnya mampu menjadi tempat atau institusi yang secara konstan menghidupkan mesin pemikiran. Masalahnya, perguruan tinggi pun terus-menerus tergerus oleh terutama mesin ekonomi sehingga pendidikan tinggi tidak lebih menjadi ajang bisnis ijazah dan gelar. Memang sangat mungkin perguruan tinggi melahirkan pemikir, tetapi kelak banyak pula pemikiran mereka yang tenggelam dalam bisingnya mesin politik atau ekonomi.

Pusat-pusat studi juga tidak bisa menjalankan perannya sebagai tempat mesin pemikiran harus berputar. Kita tahu bahwa pusat-pusat studi pun tidak lebih sebagai pusat-pusat menjalankan proyek “penelitian pesanan”. Pusat studi tidak lebih menjadi alat atau institusi untuk mendapatkan legitimasi kebijakan mesin politik atau mesin ekonomi. Banyak proyek penelitian akhirnya terjebak dalam pragmatisme mesin politik dan ekonomi.

 

Kesulitan lain tidak hidupnya mesin pemikiran adalah bahwa di negara kita mesin pemikiran secara relatif tidak memiliki media yang memadai sebagai sarana mensosialisasikan pemikiran. Berbagai media sudah terkooptasi oleh mesin politik dan ekonomi. Jurnal atau buku-buku pemikiran selayaknya menjadi wadah bagi pergerakan mesin pemikiran. Akan tetapi, kesulitan segera menghadang karena akses masyarakat terhadap jurnal dan buku masih sangat rendah. Artinya, terdapat semacam lingkaran setan sehingga mesin pemikiran sulit hidup di Indonesia.

 

Hal lain yang  menghambat hidupnya mesin pemikiran karena kita tidak terbiasa menerima gagasan atau ide-ide baru yang berbeda daripada lumrahnya. Hal ini berkaitan dengan, pertama, kebiasaan kultural kita yang mengatakan “sudah adatnya begitu”. Kedua, kesulitan lain menghidupkan mesin pemikiran adalah bahwa kita memang terlanjur tidak bisa/biasa berpikir. Mungkin saja kita bisa berpikir dan memiliki gagasan yang cerdas, tapi kadang kita tahu bahwa berbagai gagasan itu tidak ada gunanya.

 

Alhasil, kita mengalami kebuntuan dari mana kita bisa memulai menghidupkan mesin pemikiran itu. Karena kebuntuan tersebut, dan ketika mengetahui bahwa tampaknya segala kemungkinan untuk menghidupkan mesin pemikiran tidak dimungkinkan, maka resikonya adalah kita harus siap menerima bahwa tidak akan terjadi perubahan yang signifikan dalam kita menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. * * *

 

 

 

MASYARAKAT DAN SISTEM TANDA

$
0
0

Aprinus Salam

Setiap hari kita berdahapan dengan tanda-tanda. Tanda-tanda bertebaran mulai dari rumah, di jalan, di berbagai ruang publik, di mana pun dan dalam bentuk apa pun. Begitu  ada proses komunikasi dengan sesuatu , kita telah berurusan dengan tanda. Apakah ada tanda yang tidak mengkomunikasikan sesuatu? Kalau sesuatu itu tidak mengkomunikasikan sesuatu yang lain, apakah hal itu masih dapat disebut sebagai penanda yang melahirkan petanda?

Sebuah tanda bisa berarti sama dalam suatu konteks masyarakat, jelas belum tentu bagi konteks masyarakat yang lain. Tanda mengacungkan jari tengah mungkin tidak begitu berati bagi masyarakat Indonesia, tapi jangan bermain-main dengan tanda itu di Amerika. Begitu pula sebaliknya. Kalau kita menyelipkan jari jempol di antara jari telunjuk dan jari tengah, itu sesuatu yang harus betul-betul diketahui konteks dan situasinya. Kalau tidak, bisa berakibat kurang baik. Sebagai tanda persahabatan sekali dua kita menabok bokong teman. Akan tetapi, dengan teman Arab sebaiknya kita mengelus-elus kepalanya.

Sebaliknya, dapat dipastikan ada penanda yang diartikan lebih kurang sama oleh manusia di mana pun, sejauh orang tersebut memiliki standar yang sama tentang tanda itu sendiri. Gambar timbangan, secara umum bisa dianggap dan merupakan simbol keadilan. Burung merpati mungkin lambang perdamaian. Cuma kita tidak dapat berharap jika sistem tanda itu berarti juga bagi orang tertentu yang tidak memiliki informasi tentang hal tersebut.

Bagaimanapun “universalissi” tanda-tanda pada akhirnya merupakan konvensi yang diterima bersama, sukarela atau tidak, tertipu atau tidak. Orang atau masyarakat yang belum “terkonvensikan”, belum tersosialisasikan, belum mendapat informasi yang sama, bisa tidak mengetahu pesan yang disampaikan oleh tanda-tanda tertentu. Artinya, tidak semua orang tahu bahwa gambar timbangan adalah simbol keadilan. Akan tetapi, bahwa gambar itu menjadi konvensi simboliknya, mungkin tidak ada orang yang mengatakan tidak.

 

***

Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin membicarakan tanda-tanda, khususnya berkaitan apa yang biasa kita sebut rambu-rambu. Biasanya istilah rambu-rambu mengingatkan kita dengan kata lain yang mengikutinya, rambu-rambu lalu lintas. Akan tetapi, seperti dijelaskan kemudian, istilah rambu-rambu mencakup pengertian lain yang lebih luas. Ia bisa pula berarti informasi yang bermakna “peringatan atau perintah manipulatif” atau bahkan semacam kehendak untuk “mengatur-atur”. Persoalan inheren yang juga ingin dikembangkan adalah sampai seberapa jauh kesadaran masyarakat terhadap sistem tenda perambu-rambuan itu. Apa masalah di dalamnya?

Sebagai penanda, rambu-rambu, paling tidak ada dua bentuk yang selama ini dipakai. Pertama, yang sifatnya  penanda visual; dan kedua, penanda verbal. Penanda visual adalah segala penanda yang disampaikan secara tidak verbal, apakah itu berupa gambar-gambar, warna, maupun komposisi-komposisi di antaranya. Itu pun di dalamnya “ada konvensi simbolik” tersendiri, bukan saja berkaitan dengan tanda-tanda warna tertentu, tetapi bahkan gambar itu sendiri. Bagaimana warna kuning diterima oleh masyrakat tertentu, bagaimana dengan warna merah, atau apa yang bisa dipahami antara persegi empat dibanding lingkaran.

Penanda verbal biasanya segala sesuatu yang disampaikan dengan berkata-kata: “Dilarang Buang Sampah di Sini”, “Ngebut Benjut”, “Pemulung Dilarang Masuk”, “Dilarang Kencing di Sini Kecuali Asu Edan” dan sebagainya. Peringatan untuk mempertahankan laju kendaraan memang ada seperti “Max -10 km”, tetapi apakah masih efektif sehingga harus ditulis ngebut benjut, atau ngeyel duel, nekat santet dan sebagainya, bahkan kalau perlu dengan cara membuat “polisi tidur”, walaupun sebetulnya polisi tidur bisa masuk ke jenis penandaan tersendiri.

 

***

Disebutkan bahwa pada dasarnya rambu-rambu itu mengkomunikasikan sesuatu. Ada tiga kemungkinan yang dikomunikasikan itu (bukan tataran atau kategori). Pertama, sebagai hakikat dasarnya ia ingin memberi informasi akan suatu hal. Ia memberi informasi dalam arti pertamanya seperti petunjuk tempat telepon, WC umum, tempat-tempat publik, arah jalan, dan sebagainya. Cara mengkomunikasikannya pun bisa beragam, bisa visual, bisa verbal.

Kedua, pasti tetap memberi informasi, tetapi memasuki lapis kedua, yakni semacam pengaturan. Pertama, yang bersifat semata-mata peringatan: “Awas ada tikungan tajam”, “Jalan Licin”, dan lain-lain. Namun, ada yang sifatnya larangan: “Dilarang Parkir”, “Dilarang Masuk” dan sebagainya. Perilaku kita diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan rambu-rambu tersebut. Yang bersifat peringatan memang mana suka, tetapi kalau ada kajadian yang merugikan, risiko tanggung sendiri. Walaupun bisa jadi merugikan orang lain juga. Kalau yang bersifat larangan, jika tidak memenuhi pengaturan tersebut ada sanksinya.

Mungkin kita perlu berdiskusi panjang lebar bagaimana masyarakat mengapresiasikan rambu-rambu pengaturan tersebut merupakan fenomena yang signifikan dalam masyarakat kita. Artinya, tidak tertutup kemungkinan bahwa fenomena pelanggaran tersebut menjadi petanda yang memberi penanda sendiri. Taruhlah di balik itu memberikan penanda bahwa masyarakat kita tidak percaya pada peraturan hukum. Bahwa hukum bisa ditawar, bisa dikolusikan, bisa dibeli dan sebagainya. Penandaan itu menjadi petanda tersendiri yang lain bahwa pada dasarnya karakter masyarakat kita demikian cair dan tidak setia terahdap tanda-tanda. Demikianlah, dalam pemahaman semiotik, hubungan petanda dan penunda bisa tak berujung.

 

***

Yang tidak kalah seriusnya, ketiga, adalah rambu-rambu yang di dalamnya ada unsur “penipuan”. Ini berkaitan dengan rambu-rambu, seperti telah disinggung, tanda-tanda informatif yang bermakna “peringatan atau perintah manipulatif” atau bahkan semacam kehendak untuk “mengatur-atur”. Hampir boleh dikata semua bentuk jenis iklan adalah tanda-tanda yang menipu.

Memang derajat penipuan dan ketertipuan berbeda-beda. Ada yang penipuan teknis. Iklan sabun cuci, misalnya, mungkin sekadar teknis. Paling tidak sabun cuci masih dapat dipercaya sebagai pembersih kain kotor, terlepas sabun itu bisa “mencuci sendiri” atau tidak. Akan tetapi, iklan sabun mandi, odol, parfum dsb, adalah penipuan yang bisa ideologis dan mitis. Bahwa ada jaringan petanda-penanda lain yang perlu dibongkar agar kita tak tertipu dan percaya bahwa dengan mandi sabun tertentu, atau bersikat gigi dengan odol tertentu, dan setelah itu memakai parfum tertentu, kita telah jadi manusia modern dan siap “dikomoditaskan”.

Tidak terkecuali iklan layanan, apakah itu dari swasta atau pemerintah. Selalu ada ideologi dan mitos-mitos tertentu yang disembunyikan di balik semua pernyataan iklan itu. Dapat dipastikan iklan memberi rambu-rambu pada batas-batas tgersebut, jangan salahkan jika orang itu disebut manusia tidak modern, tidak laku, dan semestinya menjadi tidak percaya diri.

 

***

Barangkali, dalam batas-batas tertentu, kita termasuk masyarakat yang konyol. Untuk rambu-rambu dengan sejumlah tanda-tanda yang sifatnya peringatan dan pengaturan (pendisiplinan), kita tertantang untuk melanggarnya. Namun, untuk tanda-tanda yang sifatnya manipulatif, sayangnya, kita justru sering tertipu untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan yang dibatas-batasi (definisasi) oleh rambu-rambu yang terdapat dalam hampir semua jenis iklan.

Dalam kesempatan ini saya ingin meminjam penjelasan Jack Solomon dalam The Signs of Our Time (1998), bahwa pada dasarnya belajar tentang ilmu tanda bukanlah memperoleh wadah informasi yang tetap, melainkan mengasah kepekaan terhadap perubahan. Kita sering dikondisikan menerima berbagai tanda-tanda secara pasif pada sisi tertentu dan melawan secara membabi buta pada kasus yang lain. Bagaimana pun kita perlu berhitung dan bersiasat tentang kepentingan yang lebih besar. Menemukan makna-makna pada sistem penandaan apa pun adalah mengurai-sandikan tanda-tanda zaman, menemukan degup budaya, yang memungkinkan kita melakukan diagnosis budaya sendiri dan mewawarkan solusi bagi apa yang tampak tidak beres.

Kenapa sekarang lagi ramai kembali issue bangkitnya PKI?

$
0
0

Kenapa sekarang lagi ramai kembali issue bangkitnya PKI, banyak pembunuhan para ulama dll, konflik SARA, dll. Siapa dalang operator aksi intelejen penggalangnya? Siapa dan bagaimanakah rezim order baru soeharto yg kini anak anak Dan mantu bangkil lagi dgn parpol barunya? bacalah buku ini.28276457_209719009769984_6293671735613402876_n

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live