Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

IBUKOTA ATLANTIS di LAUT JAWA KUNO

$
0
0

IBUKOTA ATLANTIS

Atlantis: The lost city is in Java SeaPlato bercerita bahwa “dimana terdapat sebuah kota dengan benteng dan cincin perairan adalah ada di laut yang nyata didalam selat dikelilingi oleh benua tak terbatas”. Benua tak terbatas itu adalah Sundalandia yang tersambung dengan Benua Asia, dan satu-satunya laut yang dikelilingi olehnya pada masa itu adalah Laut Jawa kuno, menunjukkan bahwa pulau dan ibukotanya terletak di Laut Jawa.

Pernyataan bahwa “pulau itu terletak didekat dataran dan semua saluran bertemu di kota dan bermuara ke laut”, menunjukkan bahwa pulau itu terletak di sebelah selatan dataran, di suatu tempat yang sekarang terdapat dibawah Laut Jawa.

Lokasinya diidentifikasi oleh para pelaut sebagai Gosong Gia atau Annie Florence Reef, sebuah terumbu karang digambarkan berukuran kecil dan muncul ke permukaan saat laut surut.

Kota Atlantis adalah sebuah pulau dengan sebuah bukit kecil di tengahnya. Kota dan pulau ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama sehingga cukup bagi para rajanya untuk membangunnya. Memiliki cincin-cincin perairan dan lintasan dari laut menuju cincin terdalam. Mereka membuat jembatan diatas cincin-cincin perairan yang mengelilingi metropolis tersebut. Sebuah dinding batu dimulai di laut dan membentang berkeliling. Mereka menggunakan “orichalcum”, timah dan kuningan atau perunggu untuk menutupi dinding-dinding luar kotanya.

Terdapat sebuah bukit, yang tidak terlalu tinggi, didekat tengah pulau pusat. Di puncak pulau pusatnya, sebuah kuil dibangun untuk memuja Poseidon, yang didalamnya terdapat patung emas raksasa untuknya. Mereka membangun istana di tempat kediaman dewa-dewa dan leluhur mereka, yang terus diperindah oleh generasi-generasi setelahnya.

Seperti yang dikatakan oleh Plato, kuil Poseidon dibangun di pulau pusat yang berupa sebuah bukit, dikelilingi oleh cincin-cincin perairan. Untuk mencapai kuil ini dari cincin perairan terdalam, undakan di lereng bukit pasti diperlukan. Hal ini bisa berarti bahwa kuil ini menyerupai bangunan piramida berundak tanah dan batu, sebuah ciri budaya asli Nusantara yang disebut dengan “punden berundak”. Kuil ini juga menjadi tempat
untuk memuja leluhur mereka.

Selain menhir, meja batu, dan patung-patung batu, budaya megalitik Austronesia di Nusantara memiliki bangunan piramida undakan, tanah dan batu, yang disebut dengan “punden berundak”. “Punden berundak” dianggap sebagai salah satu ciri budaya asli Nusantara. Bangunan ini terdapat dan tersebar di seluruh Nusantara sampai sejauh Polinesia.

Ungkapan “karena suatu alasan, laut di bagian itu tidak dapat dilewati dan ditembus, karena ada sebuah beting lumpur, atau tanah liat, di tempat itu” menegaskan lokasinya. Terumbu karang adalah langka di Mediterania sehingga orang Yunani dan Mesir tidak memiliki istilah tersebut, maka Plato menuliskannya sebagai “beting lumpur, atau tanah liat”. Terumbu karang tumbuh dengan baik di perairan yang hangat, dangkal, jernih, terang dan tidak tenang, dan pada permukaan keras dibawah laut, sehingga merupakan kondisi yang ideal di Laut Jawa. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh ungkapan “yang disebabkan oleh penurunan pulau”, karena tumbuhnya terumbu karang disebabkan oleh kenaikan permukaan laut dalam periode glasial terakhir.

Permukaan laut terus naik sampai sekitar 6.000 tahun lalu. Karang tumbuh pada bangunan padat. Bersamaan dengan sedimentasi dan proses-proses lainnya.

Saat ini terdapat sebuah terumbu karang yang dikenal dengan nama Gosong Gia atau Annie Florence Reef. Puncaknya berada sekitar 10 meter dibawah permukaan laut rata-rata, dan dasar laut di sekitarnya terdapat di kedalaman sekitar 55 meter. Bangunan kotanya masih tampak jelas dari pola terumbu karangnya. Kedalaman lautnya sangat sesuai dengan elevasi daratan sekitar 11.600 tahun lalu. Karenanya dituliskan oleh Plato sebagai “Laut pada bagian tersebut tidak dapat dilalui dan ditembus karena terdapat sebuah beting lumpur/lempung atau terumbu karang.”

Pulau Bawean di lepas pantai Laut Jawa merupakan purwarupa pulau Atlantis karena memiliki lingkungan, formasi geologi dan proses tektonik yang sama, serta letaknya berdekatan. Pulau Bawean dan Atlantis keduanya terletak pada sebuah busur geologi yang diidentifikasi oleh para ahli geologi sebagai Busur Bawean. Dijelaskan bahwa “mereka memiliki mata air, yang satu dingin dan lainnya panas”. Terdapat beberapa sumber air panas dan dingin di Pulau Bawean yang dihasilkan oleh kegiatan tektonik di wilayah tersebut.

Deskripsi “batu-batu itu digali dari pulau pusat dan zona-zona, dengan warna putih, hitam dan merah” dan “dilubangi menjadi galangan ganda, yang memiliki atap terbentuk dari batuan asli” juga sesuai. Batu-batu itu rupanya mirip dengan batuan beku yang terdapat di Pulau Bawean yang putih bersifat asam, hitam abu-abu bersifat basa dan merah dari oksida besi. Batuan beku ini keras dan kuat, memiliki kekuatan alam yang cukup untuk berdiri sebagai atap galangan yang dilubangi.

Baca selanjutnya di http://atlantislautjawa.blogspot.co.id/

#AtlantisdiLautJawa #AtlantisinJavaSea

 

THE CAPITAL CITY OF ATLANTIS

Plato says that “where there was a city with a citadel and rings of water was in a real sea inside a strait surrounded by a boundless continent.” The boundless continent is the Sundaland attached to the Asian Continent, and the only sea surrounded by it in those days was the ancient Java Sea, suggesting that the capital island and city are located in the Java Sea.

The statement that “the island was located near the plain and all the canals met at the city and drained into the sea”, suggesting that the island is located south of the plain, in a place now under the Java Sea.

The site is identified by the sailors as Gosong Gia or Annie Florence Reef, a coral reef described as small in extent and dries at low water.

The city of Atlantis was an island with a small hill at its center. The city and the island existed long enough for many kings to develop it. It had rings of water and a passage from the sea to the inner ring. They bridged over the zones of sea which surrounded the ancient metropolis. A stone wall began at the sea and went all round. They used orichalcum, tin and brass or bronze to cover the outer walls of their cities.

There was a hill, not too high, near the middle of the center island. At the top of the central hill, a temple was built to honor Poseidon, which housed a giant gold statue of him. They built the palace in the habitation of the god and of their ancestors, which they continued to ornament in successive generations.

As said by Plato, the temple of Poseidon was built in the center island which was a hill, encircled by rings of waters. To reach the temple from the innermost ring of water, steps on the hill slope were definitely required. This could mean that the temple is featuring an earth-and-stone step pyramid structure, characterizes the original culture of Nusantara that is referred to as “punden berundak”. The temple was also the place to worship their ancestors.

As well as menhirs, stone tables, and stone statues, Austronesian megalithic culture in Nusantara features an earth and stone step pyramid structure, referred to as “punden berundak”. “Punden berundak” is regarded as one of the characteristics of the original culture of the archipelago. These structures have been found and spread throughout Nusantara as far as Polynesia.

The phrase “for which reason the sea in those parts is impassable and impenetrable, because there is a reef of mud, or clay, in the way” confirms the location. Coral reef is scarce in the Mediterranean so that the Greeks and the Egyptians did not own the term, then Plato wrote it as “a reef of mud, or clay”. Coral reefs grow best in warm, shallow, clear, sunny and agitated waters, and on hard, underwater surfaces, thus constitute the ideal conditions for the Java Sea. It is confirmed further by the phrase “caused by the subsidence of the island”, as the growth of the coral reef was caused by the sea level rise during the last glacial period.

The sea level kept rising until about 6,000 years ago. Corals grew on the solid structures, along with sedimentation and other processes.

There is an existing coral reef named Gosong Gia or Annie Florence Reef. The top of the reef is about 10 meters below the average sea level, and the surrounding sea bed is about 55 meters below the average sea level. The city structures are still apparent from the patterns of the reefs. The depth of the sea here exactly coincides the land level about 11,600 years ago. As Plato writes that “The sea in those parts is impassable and impenetrable, because there is a reef of mud or clay, or a coral reef.”

Bawean Island off in the Java Sea is a prototype of the island of Atlantis as it has the same environment, geological formation and tectonic processes, as well as they are closely situated. Bawean and Atlantis islands are both located on a geological arc identified by the geologists as Bawean Arc. It is described that “they had springs, one of cold and another of hot water”. There are several hot and cold springs in the Bawean Island resulted from the tectonic activities in the region.

The descriptions “the stones were quarried from the center island and the zones, with white, black and red colors” and “they hollowed out double docks, having roofs formed out of the native rock” are also noticeable. The stones are apparently similar to the igneous rock deposited in the Bawean Island having the acidic white, alkaline black-grey and ferro-oxide red rocks. This igneous rock is hard and strong having enough natural strength to stand as roofs of the hollowed out double docks.

Read more at https://atlantisjavasea.com/

2 Komentar
Komentar
Mus Nunggangblarakmabur Mangkurondosongo
Mus Nunggangblarakmabur Mangkurondosongo Cerita Atlantis didapat oleh Solon dari Mesir. Dan menurut Plato, Atlantis dibangun oleh Poseidon.
Namun Herodotus bilang, orang Mesir tdk mengenal Poseidon.
Jadi, siapa yg dimaksud Plato saat menyebut “Poseidon” sebagai pendiri Atlantis?

 · Balas · 

2

 · 5 Januari pukul 6:27

Hapus

Dhani Irwanto
Dhani Irwanto Plato sendiri menegaskan didalam Critias, bahwa Solon meminjam semua nama-namanya dari mitos Yunani, agar masyarakat Yunani Kuno mudah memahami. Jadi, Poseidon yang terdapat didalam kisah Atlantis tidak sama dengan Poseidon dalam mitos Yunani. Plato tidak menyebutkan nama-nama aslinya (walaupun didalam Critias nama-nama aslinya disebutkan disimpan oleh tokoh Critias). Nama-nama tersebut telah 3 kali diterjemahkan, dari bahasa Atlantis, menjadi bahasa Mesir Kuno, menjadi bahasa Mesir masa Solon dan menjadi bahasa Yunani masa Solon.

 · Balas · 

1

 · 5 Januari pukul 10:01 · Telah disunting

Hapus

Dhani Irwanto
Dhani Irwanto Dari survai yang dilakukan oleh pihak lain, saat ini terdapat sebuah terumbu karang yang dikenal dengan nama Gosong Gia atau Annie Florence Reef (lihat video di menit 4:06 atau -2:35). Puncaknya berada sekitar 10 meter dibawah permukaan laut rata-rata, dan dasar laut di sekitarnya terdapat di kedalaman sekitar 55 meter. Bangunan kotanya masih tampak jelas dari pola terumbu karangnya: dinding-dinding yang melingkar, bukit dimana dulunya terdapat sebuah kuil, jembatan dan lainnya. Kedalaman lautnya sangat sesuai dengan elevasi daratan sekitar 11.600 tahun lalu. Karenanya dituliskan oleh Plato sebagai “Laut pada bagian tersebut tidak dapat dilalui dan ditembus karena terdapat sebuah beting lumpur/lempung [terumbu karang].” Karena alasan keamanan, kami tidak ingin mempublikasikan data tersebut.

 · Balas · 

3

 · 15 jam

Hapus

Zayyana
Zayyana Kalau begitu, apakah jurnalnya juga disembunyikan pak? Saya baru tahu bahwa penelitian bawah laut tidak bisa dipublikasi karena alasan tersebut. Terimakasih

 · Balas · 

1

 · 13 jam

Hapus

Dhani Irwanto
Dhani Irwanto Iya, alasan hankam negara, terutama di Laut Jawa.

 · Balas · 

1

 · 13 jam

 

 



SYECH Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alias Mbah Wasil..(Syech Ali Samsuzein,).

$
0
0
 Syekh Wasil
Ada ulama dari Turki yg diperintahkan untuk datang ke Jawadwipa yg bernama Syech Ali Samsuzein, beliau sempat bermukim di Gunung Wilis (sadepok). Beliau mendirikan Masjid di sana. (Masih ada peninggalannya). Lalu Syech Ali Syamsuzein punya pengikut atau murid yaitu Ki Hajar Subroto, hingga pada tataran kemakrifatan.
Lalu Syech Ali Syamsuzein melanjutkan dakwah/ syi’ar beliau kepada Sang Prabu Joyoboyo, melihat kebijaksanaan Sang Ulama, akhirnya sang prabu menimba ilmu kemakrifatan.
Jadi Syech Ali Syamsyzein punya dua murid dengan tataran kemakrifatan tapi dari sisi berbeda, Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan). Sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yg berbeda.Ki Hajar diperintahkan untuk membuka, Sang Prabu diperintahkan untuk menutup. Hingga akhirnya Syech Ali  Syamsuzein kembali ke Turki.Makam Syekh Wasil Syamsudin, Setono Gedong ...
Namun tanpa sengaja keduanya bertemu, seperti dituliskan pada syair di atas.
Ki Hajar membuka sesuatu yg seharusnya ditutup dari pandangan Sang Prabu walaupun itu hanya simbolis (Pasemon).
Sehingga Sang Prabu menganggap ki Hajar telah melakukan kesalahan fatal dan harus dibunuh.
Namun Menurut Ki Hajar, hal (Kitab) tsb harus dibuka walaupun secara simbolis (Pasemon).
Syech Alisyamsuzein => Syech Wasil => Syech Subakir => Syech Jumadil qubro => Syech Maulana Asmorokondi => Para wali songo, adalah satu garis lurus pola penyebaran Islam dengan kearifan, kebijaksanaan.
Memang baru pada era Demak islam mulai gencar disebarkan dengan sangat terbuka. Namun pijakan Islam sudah ditanamkan oleh pendahulu-pendahulu sebelum era Demak.
Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alis Mbah Wasil…???
Syekh Wasil alias Mbah Wasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia (Ngerum) yang datang ke Kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat.
Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri.
Berkaitan dengan pendapat di atas, terdapat beberapa pemahaman dasar pertama kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di Kediri pada masa pemerintahan raja Jayabaya, yaitu pada abad XII M. Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara kultural maupun secara politis di masyarakat Kediri pada waktu itu.
Namun ini terbantah bahwa Kerajaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman baru.
Kedua, kemiripan nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau bukti yang valid. Oleh sebab itu perlu sebuah pembahasan lebih lanjut berdasar variabel pendukung.
Ketiga, berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah Syekh Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.
Keempat ekspedisi Cheng Ho yang datang mengunjungi Majapahit, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Sunda Kelapa (Jayakarta/Jakarta) oleh sekretaris Ma Huan di dalam “Yang Yai Seng Lan” melaporkan tentang keadaan alam dan penduduk dari kota-kota yang disinggahi. Ia menyebutkan bahwa di pelabuhan Jawa (Gresik dan Tuban) ada tiga macam penduduk yaitu orang muslim dari barat (Maghribi), orang Cina (beberapa di antaranya beragama Islam) dan orang Jawa (penduduk asli yang masih belum beragama Islam). Untuk menunjukkan bahwa Islam sudah masuk dan sudah dipeluk oleh kalangan keraton Majapahit, ia menulis adanya orang-orang Jawa yang beragama Islam di istana raja sejak kira-kira 50 tahun sebelum masa itu.
Jika pendapat itu benar, lalu siapakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu? Syekh Wasil atau Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.
Namun demikian untuk dapat memastikan apakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu adalah Adipati Suryo Adilogo, mertua dari Sunan Drajat, memang masih memerlukan kajian secara intensif dan sistematis.
Masjid Setono Gedong
Bekas bangunan yang terdapat di belakang masjid Setono Gedong sekarang adalah bekas bangunan masjid bukan bekas bangunan candi. Terdapat beberapa indikasi bahwa reruntuhan bangunan tersebut merupakan bekas bangunan masjid.
Pertama, pola denah bangunan lebih mengarah pada bangunan masjid. Sebagaimana pola denah bangunan masjid kuna di Indonesia, pada bekas bangunan tersebut pola denahnya bujur sangkar, dengan tambahan serambi di depan dan satu ruangan khusus di depan yang disebut dengan mihrab. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi maka akan muncul pertanyaan apa fungsi tambahan bangunan yang terdapat di depan bangunan utama.
Kedua, bentuk pagar keliling bangunan merupakan ciri khas bangunan-bangunan masjid atau makam kuna di Indonesia. Jika diperhatikan secara cermat maka bentuk pagar keliling menyerupai bentuk pagar yang ada di makam Sendang Duwur, makam Sunan Drajat, atau makam Sunan Giri.
Ketiga, letak dan jumlah pintu masuk. Pada pagar keliling bekas bangunan masjid Setono Gedong terdapat tiga pintu masuk yaitu di bagian depan (timur), samping kanan (selatan) dan samping kiri (utara). Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, biasanya pintu masuk itu hanya satu dan harusnya berada di bagian barat.
Keempat, bahan bangunan pagar keliling yang terbuat dari batu kapur. Penggunaan batu kapur sebagai bahan pembuatan pagar keliling sebab batu kapur yang berwarna putih itu merupakan lambang kesucian dalam agama Islam. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan dari tempat yang jauh dari Kediri. 
Hubungan dengan Sentono Genthong Pacitan 
Ada kemiripan nama antara Setono/Astono/Sentono karena logat dan lidah jawa yang bermakna pekuburan. Gedong sendiri bermakna pembungkus. Pada masa Islam menurut tradisi murni ajaran ini , setiap mayit diwajibkan dikafani (digedong/bahasa Jawa red). Sehingga  demikian banyak pekuburan diberi julukan nggedongan di Jawa. atau bahasa lainnya tempat yang ditinggikan (baitul makmur).Menurut Cerita legenda Pacitan, Sentono Genthong dahulunya adalah tempat berisi tulang belulang (pekuburan kuno) yang dimasukkan ke dalam Gentong. Meski kebenarannya masih dipertanyakan, namun penemuan2 gentong dan tulang di lokasi ini sedikit memberikan gambaran bahwa ada sesuatu yang sengaja diletakkan di sana. Yaitu pekuburan kuno pada masa animisme.Ada pendapat mengatakan bahwa :
Genthong itu katanya tumbalnya Pulau Jawa sedangkan yang numbali saat itu katanya Sultan di Negeri Ngerum. Adapun dongengnya tersebut di bawah ini.
Pada zaman dahulu kala, pulau Jawa masih kosong belum ada yang menempati. Tidak satupun manusia di pulau Jawa ini, di sana-sini semua hanya terdapat hutan dan rawa-rawa. Pada suatu hari Sultan Ngerum menyuruh kerbat Negara (punggawa kerajaan) atau rakyatnya laki-laki maupun perempuan membabat atau membuka pulau Jawa ini. Perintah Sultan Ngerum tadi ternyata terlaksana atau dilaksanakan oleh rakyat atau penduduk kerajaan Ngerum dan membuat gunung-gunung, hutan-hutan di mana-mana dan saat itu pulau Jawa sangat keramat atau angker sekali, menjadi kerajaannya bangsa setan, jin, dan lain-lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Oleh karena itu, wadyo bolo dari Ngerum tadi mempunyai ilmu untuk menghilangkan atau menyingkirkan bangsa lelembut atau makhluk halus yang ada di situ. Tetapi wadyo bolo dari Ngerum tadi juga banyak yang mati akibat dari makhluk-makhluk halus tersebut. Selanjutnya Sultan Ngerum memerintahkan dan menyuruh seorang Pandita untuk menumbali (syarat) pulau Jawa, maksudnya tanah yang sangar dan kayu-kayu yang angker dapat tawa atau dihindari oleh makhluk-makhluk halus.
Selanjutnya Sultan Ngerum memerintahkan Punggawa Kerajaan beserta dengan wadyo bolonya datang ke tanah pulau Jawa melihat hasil babatan-babatan yang sudah pernah dikerjakan dan ternyata pulau Jawa ini dapat ditempati dan didirikan rumah sampai sekarang ini. 

Dimana Moyangku dulu berada..????

Sebutan Maghribi dan Ngerum/Persia
Maghribi merupakan sebutan dari masyarakat muslim di Jawa pada abad XIV – XV M yang ditujukan kepada para ulama yang datang dari belahan barat seperti dari Aceh, Iran, Arab maupun dari Asia kecil seperti halnya Uzbekistan dan bahkan dari Afrika. Maulana Malik Ibrahim Kasyani yang meninggal tahun 1419 di Gresik juga disebut Syekh Maghribi.
Syech Maulana Maghribi sendiri memiliki peran terhadap sejarah babad di Pacitan, sebagaimana mubaligh Islam pertama kali yang dikirim oleh Raden Patah ke tanah Wengker selatan untuk mendidik ilmu tauhid. Beliau memiliki peninggalan di bekas pesantren/perdikan di tanah Duduhan (Mentoro Kec. Pacitan) berupa tongkat yang ditancapkan dan tumbuh menjadi pohon Kecik Sari. Pohon ini adalah satu-satunya peninggalan beliau selain ajaran Islam yang mengakar kuat di Pacitan sampai saat ini sebagai pertanda kehadiran para wali di tanah Wengker Kidul. Sekian abad berlalu pohon kecik sari masih hidup dan telah menjadi saksi sejarah.
Tumbal Tanah Jawa
Dengan sebutan kerajaan  NGERUM maka menunjukkan seorang ulama besar dari Persia. yang datang ke tempat ini. Jika benar bahwa hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, maka bisa jadi beliau bersama-sama Syech Maghribi dan Syech Subakir pernah hadir dalam penghayatan tumbal tanah Jawa khususnya di Pacitan.
Batu Kapur dari Pacitan?
Didukung dengan fakta adanya bangunan Masjid Setono Gedong pagar keliling yang terbuat dari batu kapur yang merupakan lambang kesucian dalam agama Islam.  Batu-batu ini banyak terdapat di daerah Pacitan khususnya Setono Genthong. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan dari tempat yang jauh dari Kediri??? 
Layak untuk menyendiri dalam hening
Maka jika dikaitkan dengan adanya banyak kesamaan kisah perjalan (MUHIBAH) para wali ini, tentu kita mahfum bahwa mereka adalah tokoh2 yang dahulunya melakukan ekspedisi ke banyak tempat dan daerah di pulau Jawa yang pernah disinggahi, termasuk Pacitan

Pemandian sendang

……Catatan Tambahan
Mengapa ditanami Tumbal Gaib lagi oleh Syekh Subakir ?   
Syekh Subakir adalah anggota Walisongo angkatan pertama. Kalo ndak salah sekitar tahun 1300-an Masehi. Beliau juga melakukan penanaman tumbal di beberapa tempat di Tanah Jawa. Beliau adalah ahli tumbal terkenal dari negeri Persia. Mengapa dilakukan penanaman tumbal kembali, walaupun dahulu (ratusan tahun sebelumnya), ada juga tumbal Aji Saka?
Mungkin saja penyebabnya sbb :
1. Tumbal Aji Saka mengalami pelemahan daya gaibnya karena disebabkan berbagai hal.
2. Lelembut ganas pada saat itu mungkin mulai merajalela.
3. Kondisi gaib Tanah Jawa pada saat itu sedang goncang.
4. Tumbal Aji Saka sudah uzur atau kadaluwarsa/expired.
5. Sebab-sebab lain yang tidak diketahui.Istilah “Tumbal gaib” atau penangkal/peredam hawa angker/sangar dari Tanah Jawa, istilah ini jangan dicampurbaurkan dengan istilah tumbal pesugihan, karena amat berbeda makna dan tujuannya. Namun selain tumbal yang ditanam oleh Aji saka, juga terdapat tumbal yang ditanam oleh kanjeng Syekh Subakir, sekian ratus tahun lamanya sesudah penumbalan pertama. Syekh Subakir adalah ahli tumbal dari Negeri Persia. Beliau tergolong anggota walisongo angkatan pertama.
Bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?
Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak enam bulan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.
Penelitian yang dilakukan Drs. H. Muzairi, MA, dan lima koleganya itu berjudul “Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya Jawa”. Ia dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta edisi Mei-Agustus. Terdiri dari 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa dan 3.500 halaman tulisan Latin, sehingga layak disebut sebagai “Ensiklopedi Jawa”…dengan kesimpulan : Islam dan Jawa satu….

SUNDA, SILIWANGI DAN PAJAJARAN

$
0
0

by Rangra Gentra

Mungkin bagi sebagian orang, membahas masalah sejarah apalagi sejarah siliwangi dan pajajaran adalah sebuah hal yang tidak menarik, karena dianggap tidak kekinian. Tetapi di tegah kencangnya arus dinamika perubahan zaman masih ada kelompok kelompok anak muda bangsa yang tetap terpanggil untuk memelihara, menggali dan menyuarakan sejarah karuhunnya.

Siliwangi adalah sebuah nama julukan rakyat sunda pada saat itu kepada sang raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Hal ini tercantum dalam naskah wangsakerta :

Kawalya ta wwang sunda lawan ika wwang carbon mwang sakweh ira wwang jawa kulwan anyebuta prabhu siliwangi raja pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira

Nama Siliwangi juga tercantum dalam kropak 306 fragmen carita parahyangan. Juga tertulis dalam naskah sanghyang siksa kandang karesian yang ditulis pada 1518 (KF.Holle 1867 : 457). Pada saat itu ada rasa enggan dan sungkan untuk menyebut nama sang raja, sehingga nama yang sering disebutkan adalah nama julukan. Adalah Raden Pamanahrasa, Putra Prabu Dewa Niskala yang kelak kemudian hari dikenal sebagai Prabu Siliwangi membawa kerajaan sunda galuh dan sunda pakuan memasuki masa kejayaannya sebagai kerajaan pajajaran. Beliaulah yang menyamai kebesaran kakeknya Prabu Niskala Wastu Kancana dan Kakek buyutnya Maharaja Linggabuana yang menggenggam kekuasaan atas Sunda Galuh Dan Sunda Pakuan dalam satu tangan.

Sebagai putra dari seorang raja, tentu Raden Pamanahrasa dibekali berbagai macam ilmu, mulai ilmu pemerintahan, ilmu perang hingga ilmu keagamaan. Menjelang dewasa ia diberi jabatan oleh kakeknya Prabu Niskala Wastu Kancana yang pada saat itu masih menjadi Sri Baduga Maharaja di kerajaan Sunda Galuh yang berpusat di Kawali. Jabatan yang diberikan adalah sebagai raja daerah dengan nama Jayadewata di daerah Sindangkasih (Majalengka),

Ketika menjabat inilah Jayadewata menikahi Nyai Ambet Kasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih sebagai isteri pertama, lalu tidak berselang lama ia pun menikahi Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa sebagai isteri yang kedua dan kemudian Nyai Aci Putih putri dari Ki Dampu Awang sebagai isteri ketiga. Peristiwa pernikahan tersebut diatas terjadi ketika Jayadewata belum menjadi raja Pajajaran. Sementara itu pada tahun 1475 Prabu Niskala Wastu Kancana turun tahta dan membagi dua kekuasaan kerajaan Sunda kepada anaknya –di Tahun yang sama, di Cirebon, Syarif Hidayatullah datang dari Mesir-. Sunda Galuh diserahkan kepada anaknya dari Permaisuri Dewi Mayangsari, yaitu Prabu Dewa Niskala alias Ningrat Kancana, Sementara Sunda Pakuan diserahkan kepada anaknya dari Permaisuri Dewi Lara Sarkati, yakni Prabu Susuk tunggal alias Sang Haliwungan. Demi mempererat tali kekerabatan dua kerajaan bersaudara, Raden Pamanahrasa alias Jayadewata kemudian dinikahkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri dari Prabu Susuk tunggal penguasa Sunda Pakuan. Sehingga di Galuh diberi gelar Mangkubumi (Putra Mahkota) sedangkan di Pakuan bergelar Prabu Anom.

Menurut Naskah Purwaka Caruban Nagari bagian ke 20, Pada 1422 ,Nyai Subang Larang menikah dengan Jayadewata di Singapura yang letaknya di sebelah utara Gunung Amparan Jati. Dari pernikahan ini dikaruniai 2 orang putra dan 1 orang putri :

  1. Raden Walangsungsang (1423)
  2. Nyai Rara Santang (1426)
  3. Raja Sengara (1428).

Pada 1440, Nyai Subang Larang meninggal di keraton Pakuan. Setahun setelah Nyai Subang Larang wafat, pada 1441, Raden Walangsungsang meninggalkan istana untuk memperdalam agama islam, menurut babad tanah Cirebon, Raden Walangsungsang dalam perjalananya mencari seorang guru yang bernama syekh Nurjati, bertemu dan berguru kepada seorang pandita budha yang bernama Ki Danuwarsih di lereng gunung Dihyang. Dia adalah seorang pandita penasehat keraton Galuh ketika masih beribukota di Karang Kamulyan Ciamis. Dapat dibayangkan betapa teguh keimanan  seorang pangeran muslim yang berguru kepada ki Danuwarsih. Menurut naskah Pustaka Negara Kretabumi, diterangkan bahwa tempat Padepokan Ki Danuwarsih adalah Parahiyangan Bang Wetan. Perjalanan Raden Walangsungsan untuk berguru kepada Syekh Nurjati mempertemukan dirinya dengan beberapa orang guru yang lain –akan diceritakan di bagian lain-.

Selesai berguru kepada Ki Danuwarsih dan guru guru yang lain, Raden Walangsungsang tiba di pesisir utara Cirebon –sekarang bernama lemah wungkuk– untuk menemui Ki Danusela. Bersama Ki Danusela, Walangsungsang muda membabat hutan untuk dijadikan perkampungan baru yang bertepatan dengan Candra Sengkala 14 Kresna Paksa Bulan Caitra 1367 Saka, atau   1  Muharam 849/H dan jatuh pada tanggal 8 April 1445. Selanjutnya Raden Walangsungsang di berikan julukan baru yaitu Kuwu Sangkan, sebagai penguasa baru Cirebon di wilayah Galuh, Walangsungsang di beri gelar penobatan Sri Mangana oleh sang ayah. Hingga kelak, pada tahun 1478 Pangeran Cakrabuana, atau Raden Walangsungsang menyerahkan tahta kekuasaan kepada keponakannya, Syarif Hidayatullah. –Kisah perjalanan Raden Walangsungsang akan diceritakan kemudian

Sementara itu di keraton Surawisesa Galuh, Pada Tahun 1482, Prabu Dewa Niskala melanggar Purbastiti Purbajati dengan menikahi seorang perempuan larangan, yakni putri dari keraton Majapahit yang mengungsi akibat kemelut kekuasaan disana. –pada saat itu ada sebuah larangan menikahi perempuan majapahit akibat peristiwa bubat– . Kejadian ini membuat murka Prabu Susuktunggal , kakak seayah sekaligus besan Prabu Dewa Niskala yang berkuasa di kerajaan Sunda Pakuan. Peristiwa ini dilukiskan dalam Naskah Carita Parahyangan :

“………Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka é stri larangan ti kaluaran.

“………Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.”

Hampir saja dua kerajaan bersaudara ini mengobarkan perang, namun berhasil didamaikan oleh para pembesar istana di kedua pihak. Sebagai jalan keluar, di tahun yang sama yakni 1482 maka Prabu Dewa Niskala memberikan tahta kepada putranya, yaitu Jayadewata. Dengan gelar penobatan Ratu Purana Prabu Guru Dewataprana. Demikian pula yang terjadi di keraton Sunda Pakuan, sang Prabu Susuktunggal turun tahta dan menyerahkannya kepada sang menantu, Jayadewata. Dengan gelar penobatan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan penobatan ini maka kembali kekuasaan  sunda pakuan dan sunda galuh dipegang oleh satu tangan, setelah era Prabu Niskala Wastu Kancana, tujuh tahun yang silam. Dua kali penobatan ini dituliskan dalam prasasti batu tulis yang dibuat pada tahun 1533 saat Prabu Surawisesa bertahta menggantikan Sri Baduga Maharaja.

  • Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
  • diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
  • di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
  • Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
  • Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
  • dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Galuh dan Pakuan kemudian disebut dengan satu nama yaitu Kerajaan Pakuan Pajajaran, namun yang unik,  berita dari portugis yang ditulis oleh Tomme Pires dalam bukunya Suma Oriental, untuk keluar , bahwa Sri Baduga Maharaja menyebut Pakuan Pajajaran sebagai Kerajaan Sunda. Selama memerintah, Sri Baduga Maharaja membuat kebijakan kebijakan yang sangat mnenyentuh kepentingan rakyat pada saat itu baik dibidang ekonomi maupun keagamaan seperti yang dilukiskan dalam prasasti Kabantenan dengan meniadakan pajak kepada rakyatnya berupa pare dongdang dan kapas calagra, diganti dengan Panggeureus Reuma. Dibidang keagamaan, Beliau menulis Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518). Mahakarya fenomenal lainnya adalah dengan membangun Talaga Rena Maha Wijaya, Leuweung Samida, pengerasan jalan dengan batu untuk keluar masuk ibukota pakuan. dan gugunungan sebagai tanda peringatan, seperti tertulis di prasasti Batu Tulis  Bogor.  Hingga saat ini para peneliti sejarah sunda, belum menemukan prasati atau naskah yang menyebutkan secara pasti pada tahun berapakah Prabu Siliwangi dilahirkan, namun catatan sejarah kelahiran putra putri  dari Nyai Subang Larang diatas bisa menjadi data pembanding untuk memperkirakan tahun kelahiran beliau.

Begitupula mengenai tempat dimana beliau dimakamkan masih menjadi misteri, hanya naskah carita parahyangan yang mengatakan “Mwakta ring rancamaya”.  Mwakta alias moksa yang berasal dari kata Muc, menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti adalah tingkatan hidup lepas dari keduniawian,kelepasan atau bebas dari penjelmaan kembali. Sedangkan menurut istilah hindu/budha Moksa adalah tingkat ruhani tertinggi dimana atman kembali menyatu dengan brahman (sang pencipta) tanpa perantara atau jalan apapun untuk dapat merasakan kebahagiaan yang tak pernah terlintas dalam pikiran manusia.

Sementara bila kita menggunakan pendekatan dialektika penulis atau yang memerintahkan menulis prasasti batu tulis (Prabu Surawisesa) , tergambar rasa hormat yang begitu tinggi kepada Kakek dan Kakek Buyutnya yaitu prabu Dewa Niskala dan Prabu Niskala Wastu Kancana dengan menyebutkan nama tempat keduanya dipusarakan. Namun Hal ini tidak dilakukan untuk sang ayah, yaitu Sri Baduga Maharaja,. dengan tidak menyebutkan dimana lokasi pemakamannya, padahal tidaklah mungkin Prabu Surawisesa tidak mempunyai rasa hormat dan kagum yang sama kepada ayahnya seperti dia mengagumi kakek dan kakek buyutnya sehingga para ahli menduga memang sengaja di rahasiakan atau memang tidak diketahui oleh Prabu Surawisesa sendiri karena Sri Baduga Maharaja berhasil mencapai tingkatan tertinggi dari moksa.

Kenyataannya pada hari ini, banyak pendapat tentang kapan Prabu Siliwangi dilahirkan pun juga tentang lokasi pemakamannya. Tanpa bermaksud menggurui, penulis sebagai generasi muda Sunda, mencoba melakukan pendekatan lain dengan merujuk pada kelahiran putra putri beliau dari Nyai Subang Larang yang tertulis dalam naskah Purwaka Caruban Nagari dan Babad Tanah Cirebon, sebagai alat bantu dalam mencari atau memperkirakan kelahiran beliau dari naskah sejarah tertulis., untuk  saling melengkapi pendapat yang sudah ada. Demikian pula tentang lokasi pemakamannya, hiingga hari ini di tanah Sunda ada beberapa titik di beberapa wilayah yang terbentang dari Ciamis hingga Banten, mulai dari Leuweung Sancang di Garut,  Cimareme di Bandung Barat, Karawang, Arga Pura Gunung Ciremai Majalengka hingga Gunung Karang di Mandalawangi Pandeglang, yang diyakini sebagai lokasi makam beliau. Biarlah hal ini tetap menjadi misteri yang akan membuat semua masyarakat Sunda di wilayah manapun merasa memiliki, hormat dan bangga akan kebesaran serta ke “wangi” an Prabu Siliwangi, Sri Baduga Maharaja. Maka tak salah kiranya bila Kodam III/Siliwangi, sebelum pemisahan Jabar dan Banten, mempunyai semboyan “Jawa Barat adalah Siliwangi dan Siliwangi adalah Jawa Barat”, selalu berhasil dan harum memenangkan dan merebut hati rakyat dengan pola “ngadu bako” yang dilandasi semangat silih asah, silih asih dan silih asuh dimanapun bertugas. Hal tersebut diyakini oleh beberapa kalangan tak lepas dari  “teureuh” kebesaran Sang Prabu. Sebagai penutup penulis mengajak terutama kepada generasi muda Sunda untuk terus menggali informasi sejarah tertulis yang belum terungkap seraya terus memelihara, “ngamumule” dan mensosialisasikan budaya, prasasti, naskah, nilai nilai, filosofi maupun tempat tempat bersejarah yang sudah ada, sebagai bagian tak terpisahkan dari kebesaran Sunda, Pajajaran dan Siliwangi.

Siliwangi saeutik ge mahi….


PROF MULYADHI DI MATA MURID-MURIDNYA (Seri ke 16): “:Pak Mul, You are A Great Inspirator for Me”

$
0
0

Foto Mulyadhi Kartanegara.

 PROF MULYADHI DI MATA MURID-MURIDNYA
(Seri ke 16)

Pak Mul,You are A Great Inspirator for Me

Oleh: Ahmad YanuanaSamantho

Pengarang beberapa buku Best Sellers berkaitan dengan “Sundaland” dan “Atlantik” dan Direktur Bayt al-Hikmah Institute

******

KEMAJUAN pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan, falsafah dan hikmah ilahiyah (‘Irfan) yang menopang terbinanya cikal-bakal sebuah peradaban yang maju, tak bisa lepas dari peran para guru dan dosen serta para muallim (penyebar ilmu) di masyarakat. Inilah yang saya alami dan rasakan dalam hubungan pribadi saya dengan para guru dan dosen saya yang sangat berjasa dalam karier kehidupan pribadi saya maupun teman-teman saya di Indonesia.

Salah satu tokoh yang menurut saya “The Great Inspirator and Intelectual Motivator,” adalah Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, yang kami lebih akrab memanggilnya “Pak Mul.” Mungkin juga banyak teman-teman sekelas saya di Program Magister Filsafat Islam dan Islamic Mysticisms (Tasawuf-Irfan) ICAS-Universitas Paramadina angkatan pertama 2003 yang merasakan hal yang sama.


Begitu juga teman-teman dan adik kelas kami yang lainnya sejak angkatan 2004 sampai 2013 di ICAS-Universitas Paramadina, atau para mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UI, UGM, ISTAC serta universitas lainnya, bahkan forum-forum majlis Ta’lim seperti Jamaah Kajian Islam Yayasan Paramadina, dll, di mana Pak Mul telah berkiprah.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.Di mata saya, Pak Mul adalah guru dan dosen yang tak pernah pelit berbagi ilmu pengetahuan, wawasan dan hikmah ilahiyah. Passion (gairah)-nya yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan, khususnya Filsafat Islam danTasawuf-Irfan (Islamic Mysticism), menjadi energi yang inspiratif dan memotivasi kami dengan sepenuh daya, sebesar kecintaannya terhadap ilmu-ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan umum yang luas. Opini saya ini mungkin mengungkapkan fakta bahwa karena jasa beliaulah,saya dan banyak teman lainnya mendapatkan kemajuan, keberkahan dan kesejahteraan serta kebahagiaan dalam karier dan kehidupan saya.

Tanpa ada sentuhan batin dan intelektual beliau yang tulus-ikhlas, tak mungkin rasanya saya sekarang berada dalam posisi ini, menjadi seorang penulis lebih dari 6 buku, dosen-peneliti dan penceramah yang mulai dikenal publik Nusantara. Karena inspirasi dan movitasi dari beliaulah (selama masa-masakuliah saya di ICAS-Paramadina 2003-2005 serta pengalaman magang kerja bersama Pak Mul di Pusat Kajian Filfasat, Ilmu Kalam dan Tasawuf (PUSKAFIT UIN Syarif Hidayatullah) tahun 2005-2006,), maka tahun 2015 ini saya pun bertekad ikuti jejak beliau: pasang target menulis minimal 4-5 Buku dalam setahun. Setelah sebelumnya sejak tahun 2011-2013 saya menghasilkan dan mempublikasikan 3 Buku Best Seler: Peradaban Atlantis Nusantara, Garut Kota Illuminati, Sejarah ISIS dan Illuminati.

Perkenalan saya dengan nama Mulyadhi Kartanegara berawal dari membaca buku beliau yang berjudul Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam: (Mizan, 2003) serta berbagai artikel tulisan beliau di Jurnal Paramadina dan bulletin KKA (KlubKajian Agama) Yayasan Paramadina, semasa almarhum CakNur (Prof. Dr. Nurcholis Madjid) masih hidup, di era tahun 1990-an.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.Perkenalan secara intelektual itu akhirnya bersambung, ketika kemudian saya mendapat Beasiswa Kuliah S-2 Program Magister Filsafat Islam dari Islamic College for Advance Studies (ICAS) London-Qom yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta, di awal tahun 2003.

Di Kampus yang bertempat di gedung Yayasan Paramadina di Palaza 3 Pondok Indah inilah Pak Mul mengajar beberapa matakuliah yang disampaikannya dengan penuh gairah, sangat inspiratif dan betul-betul memotivasi kami untuk terus giat mengali lebih dalam berbagai khazanah ilmu pengetahuan, filsafat serta sejarah peradaban Islam dan dunia. Pak Mul mengajar antara lain matakuliah: “Sejarah Peradaban Islam,”“Pengantar Filsafat Islam,” dan “Introduction to Islamic Worldview,”pada tahun 2003-2004.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Gairah mengkaji sejarah Peradaban Islam, kajian Filsafat Islam pun tak berhenti di ruang-ruang kelas ICAS saat kuliah. Ketika Pak Mulyadhi buka pengajian mingguan rutin di rumahnya di Kompleks Bumi Mentarai Permai, Pondok Petir, Depok, maka kami pun ikut ngaji filsafat Islam di rumah beliau. Sekitar 15-20 orang biasanya hadir di rumah beliau. Beberapa kawan seperti Aan Rukmana (kini Ketua Jurusan Falsafah-Agama di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina), Humaidi dan yang lainnya, pun kerap diminta membantu Pak Mul dalam mengetikkan beberapa buku beliau. Saya pun lalu diminta membantu Pak Mul untuk menjalankan roda kegiatan lembaga Penelitian PUSKAFIT yang beliau bersama Rektor UIN Syahid dirikan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2005.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.Kesempatan ini saya gunakan

untuk magang kerja intelektual dan agar lebih leluasa menyerap hikmah dan ilmu pengetahuan dari Pak Mul dan komunitas intelektualnya, walau tak lama, karena tahun 2007 saya dikirim ICAS ke Iran untuk Short Course Philosophy of Illumination (Hikmah al-Isyraq) selama sekitar 3 bulan, mengkoordinir 10 mahasiswa ICAS-Paramadina di ICIS (International Center for Islamic Studies, sekarangUniversitas Jami’atul Mustofa di kota Qom-Iran).

Dalam pengajian informal di rumahnya, Pak Mul selalu berbagi pengalaman dan kegairahan beliau yang sedang menulis atau menyusun beberapa buku. Caranya menulis buku cukup unik untuk kami anak muda yang sudah mulai ada ketergantungan pada perangkat teknologi komputer. Pak Mul, ketika sedang menulis buku, tidak langsung mengetikkannya di komputer atau mesin ketik manual, tetapi beliau selalu menuliskannya dengan tangannya sendiri pada sebuah buku tulis tebal, yang selalu ia bawa kemana-mana.

Jadi beliau merasa lebih bebas untuk kapan saja dan di mana saja menuangkan ide-ide, pikiran dan gagasannya ke dalam tulisannya dengan berbekal sebuah buku tulis dan ballpen sederhana. Setiap sedang menulis suatu buku, beliau sering memperlihatkan buku catatannya atau draft tulisannya kepada kami, murid-murid beliau.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.Tentang menulis, beliau menasehatkan, “kalau ingin segera menulis buku, jangan terlalu banyak pertimbangan memikirkan segala tetek-bengek aturan menulis dan tata bahasa. Tuangkan dan tumpahkan saja dulu semua ide dan pemikiran serta data-datanya dalam sebua tulisan. Barulah nanti setelah tertuang, ditata ulang dan diedit sesuai aturan penulisan dan tata-bahasanya, sesuai dengan jenis tulisannya masing-masing.”

Begitu nasehat Pak Mul kepada kami. Bahkan nasehat dan kiat-kiat yang beliau ajarkan kepada kami pun akhirnya beliau bukukan dalam sebuah buku saku yang berjudul Seni Mengukir Kata: Kiat-kiat Menulis Efektif-Kreatif, yang diterbitkan tahun 2005 oleh penerbit Mizan Learning Center (MLC), Bandung. Dan terus terang buku ini menjadi motivasi terbesar saya dalam menulis.

Kecintaan beliau kepada sejarah peradaban Islam dan tradisi pemikiran filosofis dan tasawuf, telah menjadi inspirasi yang juga menular kepada saya. Akibat inspirasi dan motivasi beliau-lah saya kemudian mendirikan dan mengelola sebuah lembaga penelitian dan publikasi Bayt al-Hikmah Institute, yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan kajian Filsafat, Hikmah dan Irfan (Islamic Mysticism) serta Peradaban (Budaya, Sains dan Teknologi).

Pemikiran dan gagasan Pak Mul-lah yang menginspirasi pendirian dan aktifitas Bayt al-Hikmah Institute tersebut. Kini situsnya di dunia maya yang beralamat di http://www.baytalhikmahinstitute.com/dan http://www.ahmadsamantho.wordpress.com/telah dikunjungi lebih dari 7 juta pembacanya, dengan rata-rata pengujung sekitar ‪4000-5000‬ visitor per harinya dari seluruh penjuru dunia. Alhamdulillah, semoga upaya sederhana ini bermanfaat bagi membangkitkan kembali peradaban unggul dan luhur umat manusia yang didasari oleh nilai-nilai ilahiyah dan terwujudnya perdamaian dan kesejahteraan umat manusia di dunia.

Saya ingat betul apa yang diajarkan oleh Prof. Mulyadhi dan juga beberapa dosen lainnya yang hebat di ICAS-Paramadina, bahwa fondasi kebangkitan sebuah peradaban suatu bangsa adalah kuatnya fondasi pemikiran dan falsafah-ideologi serta moralitas mayoritas warga bangsa tersebut. Maka bila ingin membangun kembali peradaban, bangunlah tatanan pemikiran filosofis serta moralnya.

Untuk kepentingan itulah maka Bayt al-Hikmah Institute didedikasikan kepada kemanusiaan yang diharapkan lebih adil dan beradab di masa yang akandatang. Bayt al-Hikmah Institute kini menjadi konsentrasi garapan terakhir saya, setelah menyelesaikan masa pengabdian saya bekerja di ICAS-Paramadina University sejak 2005-2009 dan STFI Sadra, terakhir sebagai Kepala Biro Akademik Program Magister ICAS di tahun 2010-2013.*** AYS.[]

 — bersama Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

 


Naskah Kitab Waruga Jagat

$
0
0

Posted by Dedi E Kusmayadi Kamis, 19 November 2015 0 comments

A. PENDAHULUAN

1. Kitab Waruga Jagat (untuk selanjutnya disingkat KWJ) hanyalah sebagian kecil saja dari pada isi sebuah naskah yang tersimpan di Museum Yayasan Pangerang Sumedang (YPS) di Sumedang. Bagian yang lainnya dari naskah tersebut merupakan semacam perimbon, yang isinya terdiri dari bermacam-macam hal, sebagai catatan yang berhubungan dengan ilmu kebatinan.

Foto Kiageng Selo.

Naskah tersebut tidak berasal dari kertas biasa, melainkan dari bahan yang dikenal dengan nama “kulit sach”, sejenis daluang yang terbuat dari kulit kayu. Hingga kini pembuatan daluang dari kulit sach itu masih diproduksi orang di daerah Wanaraja, kabupaten Garut, dipergunakan sebagai alat pembungkus.
Naskah itu berukuran kwarto, yang tidak mengenai KWJ tertulis dalam huruf ‘pegon’ (Arab Jawa) dengan bahasa Jawa-Sunda, tebalnya hanya terdiri dari atas 12 lembar.
Kecuali sebuah naskah yang tersebut diatas, pada YPS, tersimpan pula dua buah naskah yang lain, sebuah di antaranya ialah Silsilah Keturunan Bupati-bupati Sumedang, mempergunakan bahasa Jawa-Sunda, berhuruf pegon, dengan bahan kertas biasa, berukuran folio, ditulis atas nama Raden Adipati Suryalaga II, yang pernah menjadi bupati di Bogor, Karawang dan Sukapura, masa hidupnya sezaman dengan Pangeran Kornel, pada abad ke 18 – 19 M.
Yang sebuah lagi ialah naskah dengan bahan kulit sach dalam keadaan sangat rusak, paling tebal di antaranya yang ketiga, sukar ditebak apa isinya, mempergunakan bahasa dan huruf Jawa-Sunda yang sulit dibaca, dalam bentuk puisi/kidung.

Setelah dibaca dengan susah payah, karena hanya bagian tengahnya yang dapat dibaca agak lengkap, berhubung sebagian terbesar telah hancur dimakan tikus, dan barulah diketahui insinya, antara lain mengenai uraian masa percintaan antara Mundingsari dengan puteri Ambetkasih di Negara Sindangkasih. Setelah bagian itu diketahui, barulah dapat ditentukan, bahwa naskah yang sangat rusak itu adalah “babad Siliwangi”, naskah aslinya, sedangkan di Museum Pusat Jakarta, hanya tersimpan copy/turunannya, dengan judul yang sama, turunan naskah itu dikerjakan oleh Raden Panji Surya Wijaya, Betawi tahun 1866. (R.Ng. Porbatjaraka, 1933, “lijst Javaansche Handschriften”, Yaarbook KBG, hal. 293)2. Pada dasarnya KWJ munguraikan tokoh-tokoh yang pernah memegang peranan penting dalam sejarah diwarnai oleh kepercayaan yang diselimuti dengan suasana Islamisasi khususnya Jawa Barat.

Foto Kiageng Selo.

 

Di dalam naskah itu selain dapat kita telaah deretan silsilah penguasa-penguasa yang menurut kepercayaan masyarakat pernah berkuasa di tanah air kita, juga dihubungkan dengan penguasa-penguasa yang pernah memegang peranan dalam penyebaran agama Islam di dunia, yang menurut anggapan penulis, secara tradisionil kesemuanya itu bertalian kerluarga satu sama lainnya. Dan demikianlah makna sesungguhnya istilah Waruga Jagat.
Jika kita perhatikan arti kata ‘Waruga’ itu sendiri, maka perlu diperingatkan akan makna yang diberikan oleh S.M. Pleyte (C.M. Pleyte, 1913, “De Patapan Adjar Soekasari, anders Gezegd de kluizenarij op de Goeneong Padang”, TBG, Dool LV, hal. 380, catatan 2) ketika ia mencoba mengupas pengertian ‘waruga’, dalam kesempatan membicarakan naskah Carita Waruga Guru (disingkat CWG), C.M. Pleyte member makna bagi kita ‘waruga’ dengan ‘belichaning’, ‘lichaan’, dan ‘lifj’. Dari ketiga makna yang diberikan C.M. Pleyte itu, yang lebih mendekati dalam istilah bahasa Indonesia adalah ‘penjelmaan’, kiasan untuk tokoh yang memegang peranan penting di dunia ditinjau dari sudut pandang penulis, penulis tradisionil.
Kata ‘waruga’ adalah betul-betul sebuah kata dari bahasa Sunda bukan pinjaman dari salah satu bahasa asing. Dalam bahasa Sunda, kata waruga berarti: awak, badan, seperti kita dapati dalam bahasa: “kuru aking ngajangjawing, waruga ngan kari tulang”, yang ditujukan kepada seseorang yang badannya yang sangat kurus kering. Kata-kata yang lainnya, yang merupakan sinonim dengan ‘waruga’ ialah ‘raga’ dan ‘kurungan’. Sup bayu ka kurungan, adalah sebagian dari rangkaian mantera yang biasa diucapkan terhadap anak kecil yang dalam keadaan setengah sadar, supaya lekas siuman dalam bahasa Melayu dapat kita bandingkan dengan ucapan ‘kur’, semangat.

Dalam beberapa bahasa yang bersaudara dengan bahasa Sunda, terdapat juga kata ‘waruga’, dalam bentuk dan atau pengertian yang bergeser, hal tersebut dapat kita temukan dalam uraian Van Tuuk (H.N. van der Tuuk, 1901, Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenbook, Dool III, s.v. waruga),antara lain dinyatakan, bahwa arti waruga dalam bahasa Bali, bale; Sasak, barugaq = bala, Bima, parusa berarti rumah-rumahan di atas kuburan; Sangir: bahugha, Rojang, Bugis. Makasar: baruga; Lampung: parugan, berugu (baruga) seperti kubah atau anjung di muka atau di samping rumah, tempat wanita bertenun; Bengkulu: brogo, berarti kamar duduk.3. Apabila kita bandingkan isi KWJ dengan CWG, pada dasarnya banyak persamaannya; hanya dalam beberapa hal uraian dalam KWJ serba singkat, tetapi isinya lebih meluas, padahal dalam CWG dalam beberapa hal diuraikan dengan mendalam, terutama mengenai episode Ciungmanarah dengan Hariang Banga.

 

Naskah KWJ, baru kami ketemukan sebuah saja, sedangkan yang sebuah tersimpan di Leiden, maka dengan demikian belum sempat kami perbandingkan isinya, seangkan dalam koleksi naskah-naskah di Museum Pusat Jakarta, naskah jenis demikian sepanjang pengetahuan kami tidak ada. Adapun KWJ milik YPS itu karena dalam keadaan rusak maka tidak dapat dibaca dengan sempurna, kami coba untuk menyempurnakannya berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam CWG. Dan meskipun terdapat banyak persamaan, tetapi sering tertulis agak berbeda, dalam hal-hal yang sedemikian, kami biarkan sebagaimana adanya.

Sebagai contoh dapat kami kemukakan beberapa perbedaan, dalam KWJ. Lembaran (1), Bakarbuwana, pada CWG, Fol. 2, Babarbwana; pada KWJ. Lembaran (1) … gantungan, pada CWG, Fol.2 Gandulgantung. Pada KWJ Lembaran (1) Sayar, pada CWG. Fol. 2, Siar. Pada KWJ lembaran (2) Ratu,… tasari, pada CWG. Fol.9 Ratu Perwatasari.4. Mengenai riwayat banjir pada zaman Nabi Noh, antara dua jenis naskah itu ternyata sangan bersesuaian; dalam kedua naskah itu diriwayatkan, bahwa pulau Jawa tidak terendap banjir seluruhnya, karena Ratu Galuh (KWJ, lembaran {3,4}), atau Ratu Perwatasari Jagat (CWG, Fol.9) terlebih dahulu telah menciptakan gunung yang tingginya mencapai langit dan semua rakyatnya diselamatkan dengan jalan naik ke atas gunung itu. Setelah air surut, mereka semuanya turun dan tiba di suatu tempat yang kemudian disebut Bojonglopang.

 

Mengapa ratu itu bergelar Ratu Galuh, dikatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena “cahya kang metu saking netra’ cahaya yang keluar dari mata, begitulah menurut KWJ Lembaran (3), dan menurut CWG Fol 11, karena “lebak karagragan ci banyu eluh, mana jumeneng Ratu Galuh” , sungai/lembah kejatuhan air mata, maka bergelar Ratu Galuh.
Dalam kedua naskah di atas, Galuh adalah gelar seorang raja, belum lagi berarti nama sebuah kerajaan.
Ratu Galuh itulah yang berputera tiga orang, yang sangat dikenal dalam babad yang telah diwarnai dengan usaha Islamisasi. Ketiga putera itulah Hariang Banga, Ciungmanarah dan Marajasakti.
Dalam KWJ, nama putra yang kedua, pada lembaran (2) tertulis dengan Ciungmanarah, Ciungmanarah adalah sebutan yang lebih kita kenal dalam cerita-cerita lisan yang biasa didongengkan oleh ki Jurupantun dan merupakan bentuk nama yang sangat muda.

Dalam Carita Parahyangan, Fol. 32,31, nama tokoh itu disebut ‘Sang Manarah”, merupakan bentuk sebutan yang tertua yang kita ketemukan dalam bentuk tertulis. (Atja, 1968, Tjarita Parahiyangan, Bandung, hal. 28-29).5. Dalam CWG, bagian yang bertalian dengan episode Hariang Banga dan Ciungmanarah merupakan bagian yang terpanjang, dari Fol.12 hingga Fol.21, padahal CWG itu seluruhnya hanya terdiri dari 24 Folio. Adapun dalam KWJ episode tersebut hanya disinggung dalam Lembaran (2) sebanyak 2 baris dan pada Lembaran (4) hanya beberapa baris saja. Maka dengan demikian CWG itu merupakan sebuah naskah yang isinya memusatkan kepada peristiwa Ratu Galuh sebagai cikal bakal bagi para raja, baik yang berkuasa di Majapahit maupun di Pajajaran. Adapun KWJ ternyata lebih memusatkan uraiannya terhadap peristiwa runtuhnya Pajajaran yang tersebarnya cucu-cicit Prabu Siliwangi ke seluruh daerah sebelah timur dari bekas kekuasaan Pakuan Pajajaran, khususnya daerah Priangan.

 

Lepas dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, antara kedua naskah itu dalam episode tersebut terdapat persesuaian isi, bahwa Hariang Bangan menduduki tahta kerajaan Majapahit, sedangkan Ciungmanarah mendirikan kerajaan Pajajaran. Selanjutnyam dalam CWG dijelaskan bahwa Hariang Banga menurunkan para ratu Majapahit dan kemudian Mataram, dan berakhir dengan menyebut ‘Pangeran Dipati’, putra Pangeran Mangkunegara. Menurut catatan C.M. Pleyte (C.M. Pleyte, 1913, op.cit, hal. 403; cf B. Schrieke, 1959, Indonesian Sociological Studies, Rural and Realm in Early Java, Brusse’s Gravenhage, hal. 151), Pangeran Mengkunegara naik tahta Mataram pada tahun 1719, dan memerintah hingga tahun 1725, dengan gelar Amangkurat IV, kemudian digantikan oleh Pangeran Dipati dengan gelar Pakubuwana II, yang berkuasa antara 1725 hingga tahun 1749, maka dengan demikian CWG kemungkinan besar tersusun pada masa di Mataram berkuasa Amangkurat IV, atau mungkin sebelumnya. C.M. Pleyte memberikan ancer-ancer tersusunnya CWG antara tahun 1705-1709, karena dalam deretan silsilah disebutkan juga Susunan Puger, baru setelah bertahta di Mataram menggantikan kakaknya dengan kekerasan, bergelar Pakubuwana I.
Adapun KWJ menyebut keturunan Hariang Banga yang terakhir ialah Pangeran Dipati Anom, putra Susunan Amangkurat (II), cucu Susunan Tegalwangi (Amangkurat I), maka dengan demikian dapat kita mengajukan dugaan bahwa KWJ, tersusun pada masa di Mataram berkuasa Susunan Amangkurat II, sedangkan masa pemerintahannya dari tahun 1677 hingga tahun 1705, pada tahun 1703 Pangeran Dipati ANom naik tahta dengan gelar Amangkurat III. Terkenal dengan gelar Sunan Mas, yang dibuang pada tahun 1708. (P.J.Voth, 1878, Java, Geograpisch, Ethnologisch, Historisch, Haarlem, Theede Deel, hal. 420-421).
Bagian terakhir pada KWJ ada tersebut bahwa selesai ditulisnya pada malam Selasa, bulan Rayagung, tanggal 8, tahun Alip, Hijrah 1117.
Berdasarkan pengamatan kami, Tahun Alip tidak bersesuaian dengan Hijrah 1117. Menurut Th.Pigeaud (Th.Pigeaud, 1932, Javaans_nedelads Handwoorddenboek, Batavia, Hal. X; cf. Harry W. Hazard, 1951, Atlas of Islamic History, Conversion Table-Islamic and Christian Dates, 44-45). Tahun Alip jatuh pada Hijrah 1107 atau Masehi 1695, sedangkan tahun Alip berikutnya jatuh pada Hijrah 1115 atau tahun Masehi 1703. Adapun tahun Hijrah 1117 bersamaan dengan tahun Jimawal atau tahun Masehi 1705/1706.

Pada masa itu di Sumedang memeritah Pangeran Rangga Gempol III, pada masa pemerintahannya pernah mengalami musibat, karena pada tahun 1678, semasa orang-orang sedang bersembahyang Idul Fitri, bertepatan dengan hri Jum’at, kota Sumedang diserbu oleh lasykar Banten yang dikepalai oleh Kiai Cilikwidara, Sumedang berhasil diduduki. Adapun Pangeran Rangga Gempol III sempat melarikan diri ke daerah pedalaman Indramayu. Baru setelah tercapai persetujuan antara Pemerintah Kompeni dengan Banten pada tahun 1681, lasykar Banten di Sumedang ditarik mundur dan Pangeran Rangga Gempol III ditempatkan lagi sebagai Bupati Sumedang, sampai wafatnya pada tahun 1707. Dan berdasarkan keterangan di atas kami menduga, bahwa KWJ tersusun pada masa Pangeran Rangga Gempoll III berkuasa, meskipun demikian tidak terasa sama sekali, bahwa KWJ ditulis dalam rangka usaha untuk mengembalikan kewibawaan Bupati tersebut terhadap rakyat Sumedang.6. Perbedaan yang sangat menarik antara isi CWG dan KWG, yaitu yang berkenaan dengan silsilah keturunan raja-raja Pajajaran. Pada CWG Fol. 23-24, disebutkan bahwa Ciungmanarah mendirikan Pajajaran dengan para pengikutnya, pandai besi yang berjumlah 800 kurang seorang.  Keturunannya yang berkuasa di Pajajaran berakhir dengan Prabu Siliwangi. Padahal dalam KWJ, titik pusat perhatian penulis ialah menguraikan secara lebih luas mengenai penyebaran anak-cucu Prabu Siliwangi, setelah Pakuan Pajajaran runtuh.

 

Dalam KWJ disebutkan, bahwa Pajajaran ‘burak’, pada hari Selasa tanggal 12 Sapar tahun Jimakhir. Biarpun sesungguhnya perhitungan tahun yang disebut ‘Windu”, yang berjangka 8 tahun, baru diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat Jawa oleh Sultan Agung, bertepatan dengan menyesuaian perhitungan tahun Caka 1555 = Hijrah 1043 – Masehi 1633, tetapi para penulis babad atau silsilah sering terjadi sebelum terjadinya penyesuaian tersebut (Soebardi, q965, “Calendrical Tradisions in Indonesia”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid III Nomor 1, Hal 59-60. Atmamihardja, “Tanggapan terhadap Prasaran Sdr. Drs. Didi Suryadi mengenai “Sekitar Keturunn Kerajaan Pajajaran”, Lembaran Diskusi Sejarah, Lembaga Kebudayaan Unibersitas Padjadjaran, Bandung, 1972, hal. 30).
Hal tersebut kita dapati juga misalnya pada “Sejarah Banten: didasarkan atas telaah Hoesein Djajadiningrat almarhum (H. Djajadiningrat, 1913, Cristiche Beschouwing van de Sajarah Banten, Haarlem, hal. 131-132; cf H. ten Dam, 1957, ‘Verkenningen random Padjadjaran”, Indonesie, Tiende jaargang, hal. 304, 306) dalam kitab sejarah Banten itu disebutkan tentang keberangkatan lasykar gabungan Banten, Pakungwati, Angke dan Demak, waktu mereka berangkat itu disebut pada hari Ahad, 1 Muharam, tahun Alip, yang berarti nama hari yang pertama, tanggal 1, bulan Muslimin yang pertama dan perhitungan tahun berjangka 8 tahun, yang pertama pula, oleh Hoesein Djajadiningrat dianggap sebagai perhitungan yang dibuat-buat dan tidak historis, adapun candrasangkala yang berbunya: bumi rusak rekeh (nagke) iki ditafsirkan sebagai tahun Caka 1501, yaitu tahun 1579/1580M. dan oleh beliau dianggap merupakan tahun terjadinya penyerangan lasykar gabungan tersebut ke pusat kerajaan yaitu ibu-kota Pakuan Pajajaran.
Bahwa laskar gabungan itu ketika tiba di ibukota Pakuan tidak menemukan perlawanan yang berarti dari pihak Pajajaran dapat kita ketahui secara luas, baik berdasarkan catatan-catatan yang tertulis maupun yang berasal dari berita-berita lisan yang diberitakan melalui juru pantun dan sebangsanya.
Dari KWJ sendiri, ada tersirat mengenai ‘burak’ Pajajaran, yang pada dasarnya disebabkan adanya kekacauan yang berlarut-larut di dalam negeri sendiri, Sebab-sebab yang sebenarnya masih diperlukan inventarisasi dari berbagai aspek dan metodologi.

Dalam perkiraan kami tahun Jimakhir yang disebutkan di atas bila bukan hanya khayalan penulis KWJ semata-mata, melainkan berdasarkan catatan yang dianggap sebagai peringatan yang secara seksama diturunkan kepada cucu-cicit Pajajaran, maka kita boleh merasa puas dengan hanya mengajukan dugaan, bahwa tahun Jimakhir tersebut mestinya lebih tua dari tahun 1579/1580 Masehi, dan tahun Jimakhir yang paling dekat jaraknya dengan tahun tersebut, ialah tahun 1578 Masehi. Dan berdasarkan perhitungan secara mundur ke belakang, 14 Sapar tahun Jim akhir itu bertepatan dengan tahun 986 Hijrah atau 22 April tahun 1578 Masehi.7. Yang memina perhatian khusus. Ialah tentang tokoh Kian Santang; dalam versi yang terdapat di Priangan, disebutkan sebagai salah seorang putra Prabu Siliwangi, yang menyebarkan ajaran Islam di pusat Kerajaan Pajajaran (Bandingkan dengan karangan C.M. Pleyte, 1916, “Padjadjaran’s overgang tot den Islam, colgens de Buitenzorgsche overlevering”, TBG, Deel LVII, hal,537, 557-560.).Pada mulanya ‘Kian Santang’ berangkat ke Campa bersama-sama adik perempuan yang dalam KWG, lembaran (9), bergelar ‘Sarikabunan’. Sarikabunan di Campa menikah dengan Duta Samud, cicit Ki Jatiswara. Sepulangnya ke Pakuan, Kian Santang menyebarkan agama Islam dengan sangat gigih, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan masyarakat terutama di antara para pembesar yang kukuh pengkuh memegang agama karuhun mereka, dengan demikian merupakan salah satu faktor yang mendorong kepada timbulnya kericuhan di dalam negri, sehingga banyak di antara para pembesar dan anak cucu Prabu Siliwangi yang menyingkirkan dirinya terutama ke arah Timur dari pusat kerajaan, karena ke arah Utara dan Barat telah jatuh ke dalam kekuasaan Banten (1526) dan Jakarta (1527); menurut tradisi antara lain termasuk Kian Santang sendiri. Menurut versi Priangan, Kian Santang menyebarkan ajarannya di daerah sebelah Selatan Priangan. Keramat Godog hingga dewasa ini terkenal sebagai salah satu ‘patilasan’ Kian Santang, yang terletak di lereng gunung Keracak, Garut. Menurut sementara pendapat Kian Santang dimakamkan di Cilautörön.

 

Dalam versi Cirebon, salah seorang putra Prabu Siliwangi yang memeluk agama Islam ialah Walangsungsang, karena itu diusir oleh ayahnya, Walangsungsang mengembara ke arah Timur dari Pakuan Pajajaran dan akhirnya tiba dibukit Jati dan berguru kepada Syekh Datuk Kahpi (Mungkin datuk Upih, seorang ulama yang pernah tinggal di pulau Upih, dekat Melaka, atau memang berasal dari situ), kemudian bersama dengan adiknya, Nyai Lara Santang berangkat ke Mekah.
Apabila dalam versi Priangan Sarikabunan nikah dengan Duta Samud, cicit Ki Jatisawara, maka Nyai Lara Santang nikah dengan Ratu Mesir, dari pernikahan itu nyai Lara Santang berputra Syarif Hidayatullah, pembangun dinasti Cirebon dan Banten. Meskipun demikian adanya bahan-bahan yang bersimpang-siur itu, meminta perhatian kita untuk penelaahan lebih lanjut. {Periksalah terbitan J.L.A. Barandes, “Babad Tjerbon”, Vorhandlingon BG Deel LIX, Theede Stuk, cerste gedeelte. Naskah yang baru diketemukan dari daerah Indramayu berjudul “Purwaka Caruban Nagari”. Telah disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Penanggung Jawab Sejarah Tjirebon; dan diterbitkan olej Bharatara, 1972. Penerbitan teksnya disertai terjemahan dengan diberikan uraian yang bersifat sementara telah dikerjakan oleh penulis ini dan dikeluarkan secara terbatas sebagai monografi No.5, dari Ikatan Karyawan Museum, Museum Pusat Jakarta, tahun 1972.}.
Dalam KWJ ada uraian tentang asal-usul Susunan Gunung Jati, pada permulaan dan pada bagian terakhir. Penulis ternyata memberikan silsilahnya secara tidak konsisten; Ayah Susuhunan Sunan Gunung Jati pada Lembaran (1) adalah Ratu Mesir, sesuai dengan versi Cirebon. Berdasarkan versi Cirebon, Pangeran Dipati Balegayam adalah cucu Susuhunan Gunung Jati dan berputra Panembahan Ratu, dan bukan bercucu Panembahan Ratu seperti pada KWJ, Lembaran (1), 9. Begitu pula Panembahan Girilaya yang wafat pada tahun 1662, dimakamkan di tempat yang bernama Girilaya, letaknya di sebelah timur laut Imogiri, Yogyakarta. (F. de Haan, 1911, Priangan, Deel III, hal. 228). Panembahan Girilaya berputra Samsudin, Sultan Kasepuhan yang pertama; Badriddin, Sultan Kanoman yang pertama dan Wangsakarta, yang bergelar Panembahan Cirebon. Maka dengan demikian Panembahan Girilaya tidaklah berputra Sultan Komaruddin, karena Sultan Komaruddin adalah Sultan Kanoman ke 5, setelah Sultan Badriddin. (J.L.A. Brandes, 1911, op. cit, hal. 24 atau P.S. Sulendraningrat, 1968, Nukilan Sejarah Tjirebon Asli, Tjirebon, hal.40.).
Dengan terdapatnya kekeliruan yang sangan jelas itu, kami menduga bahwa naskah KWJ ini bukanlah yang asal, yang tertulis pada tahun Hijrah 1117 atau 1705.1706 M., kemungkinan besar hanyalah sebuah ‘turunan’, yang dikerjakan oleh seseorang, yang tidak atau kurang memahami silsilah keluarga kesultanan Cirebon.

Dalam bagian terakhir KWJ, kita dapati pula silsilah yang menguraikan bahwa Susuhunan Gunung Jati adalah putra Nyai Gedeng Jatiswara dan cucu Haji Duta Samud, dengan tidak menyebur-nyebut ayah Susunan Gunung Jati. Dalam bagian lain seperti telah kita kemukakan terlebih dahulu, Sarikabunan diperistrikan oleh Duta Samud, dan berhubung dengan itu mungkin pula Nyai Rara Santang itulah yang bergelar Nyai Gedeng Jatiswara. Bahan-bahan yang diperlukan untuk memperoleh kejelasan tentang masalah di atas, masih perlu kita kumpulkan sebanyak-banyaknya.8. Biarpun baskah KWJ merupakan pusaka keturuan Bupati-bupati Sumedang, tetapi bagian yang memberi penjelasan tentang asal-usul karuhun Bupati-Bupati Sumedang, tidak dapat kita ambil manfaatnya dengan seksama. Pada lembaran (8-9), tersebutlah Sang Dewaguruhaji berputra Sang Ratu Guruhaji, beliau berputra Tajimalela dan Tajimalela berputra Gösanhulun, sedangkan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang, yang bertempat di Sumedanglarang.

 

Dalam bagian lain, pada Lembaran (1), diriwayatkan, bahwa karuhun Susuhunan Gösanhulun adalah Ratu Komara. Ratu Komara berputra Dewa Guru, sedang Dewaguru berputra Guruhaji. Adapun Guruhaji berputra Hajiputih dan Hajiputih-lah yang berputrakan Gösanhulun. Susuhunan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang Kahiangan. Diceritakan bahwa penjelmaan Komara dinamai Batara Tungtungbuwana, yang tiba di Medanglarang dan bernama Tajimalela, itulah yang memerintah di Sumedanglarang.
Memperhatikan bagian tersebut, pusing kita dibuatnya. Pada kutipan tadi kita memperoleh dua nama, yaitu Gösanhulun dan sebagai putra Tajimalela dan Susunan Gösanhulun putra Hajiputih, selanjutnya Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang, sedangkan Susunan Gösanhulun berputra Pangeran “Sumedang Kahiangan”.
Dalam hubungan dengan bagian yang mengutarakan ‘tetesing komara’, dapatlah kami jelaskan bawa kata ‘komara’ bahasa Jawa ‘kumara’, berarti ‘esensi’, jiwa kehidupan, dalam pertailannya dengan wibawa keratuan atau sebutan yang lebih populer  ialah ‘pulung’. Dan yang dimaksudkan dengan Batara Tungtungbuwana adalah esensi keratuan dan tempat penjelmaannya, diwujudkan dalam bentuk sebuah ‘lingga’ atau ‘taji’ dan ‘halu’. Maka dengan demikian, ‘Tajimalela’ tidak hanya berarti nama seorang tokoh, melainkan juga bermakna esensi keratuan. Adapun kata ‘malela’ dalam pikiran dan kepercayaan orang Sunda dikhayalkan sebagai besi/baja. Maka kami memperkirakan bahwa tokoh-tokoh yang sering disebut-sebut dalam babad-babad di kalangan masyarakat Sunda khususnya, ialah “Tajimalela”, “Susuktunggal” dan “Haluwesi” adalah nama-nama untuk menyebut esensi keratuan, yang diwujudkan dalam bentuk lingga.
Karena silsilah itu sangat bersifat mitologis, maka kiata hanya bertumpu kepada Gösanhulun, yang menurut penelitian sementara orang, merupakan tokoh sejarah yang muncul setelah runtuhnya Pakuan Pajajaran dan mengaku sebagai pewaris dan memang diakui oleh masyarakatnya sebagai penerus tradisi Pajajaran dan berkuasa di daerah yang sangat luas di Jawa Barat, sedangkan di belahan Utara Jawa Barat, sebelah Timur dikuasai oleh Cirebon dan sebelah Barat oleh Banten.
Penjelasan mengenai karuhun Gösanhulun hanya kita dapat dari naskah-naskah yang lebih muda, antara lain dari silsilah Keluarga Bupati-Bupati Sumedang; yang disusun atas nama Raden Adipati Suryalaga II, milik YPS, yang telah disinggung dimuka.
Silsilahnya sebagai berikut: Ratu Mesir, Syekh Najmuddin Rohmatullah berputra Sunan Gunung Jati, sedangkan Sunan Gunung Jati berputra Ratu Petek berputra Pangeran Panjunan, Pangeran Panjunan berputra Pangeran Pamelekaran dan Pangeran Pamelekaran berputra Pangeran Santri, yang kemudian berputra Gösanhulun.
Silsilah tersebut sesuai dengan yang pernah dikutip oleh J. Hageman(J. Hageman, J. Cz, 1867, Geschiedenis der Soenda-lander”, TBG, Deel XVI, hal.21) –tetapi Ratu Petek sebagai salah seorang putra Susunan Gunung Jati tidak pernah disebut-sebut dalam “Babad Cirebon”, juga dalam “Purwaka Caruban Nagari”, yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon, pada tahun 1720 (Periksa edisi Penanggung Djawan Sedjarah Tjirebon, Jakarta, 1972, hal. 21).
Suatu hal yang member kelonggaran kepada kita untuk mengajukan dugaan, ialah karena biasanya para penulis babad atau silsilah jarang yang menuliskan nama-nama keturunan seseorang secara lengkap, biasanya hanya dipilih yang dianggap sangat penting-penting saja, untuk kelurusan rangkaian keturunan yang menjurus kepada keluarga yang member perintah kepadanya untuk menuliskan deretan nama-nama orang yang sangat penting bagi yang bersangkutan, atau bagi kelengkapan keluarga penulis sendiri.
Dalam “Purwaka Caruban Nagari” misalnya putra Sunan Gunung Jati hanya disebut seorang ialah ‘Ratu Ayu’. Karena Ratu Ayu itulah yang menurunkan keluarga Kesultanan Cirebon kemudian. Dalam naskah itu diterangkan, bahwa Ratu Ayu adalah kakak perempuan Pangeran Pasarean dari ibu yang sama yaitu Nyai Tepasansari. Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak II, setelah Sultan Demak II wafat tahun 1521, Ratu Ayu kembali ke Cirebon dan pada tahun 1524 menikah dengan Ratu Bagus dari Pase, yaitu Fadhillah Khan, dari pernikahannya yang kedua ini mempunyai putri yang bernama Ratu Wanawati Raras, setelah dewasa Ratu Wanawati Raras menikah dengan Pangeran Dipati Carbon yang pertama, Pangeran Dipati Balegayam, salah seorang putra Pangeran Pasarean, dari pernikahan itulah lahirnya Panembahan Ratu, yang kemudian menggantikan kedudukan Sunan Gunung Jati.

Selanjutnya kita ketengahkan nama salam seorang istri Pangeran Gösanhulun, yaitu yang bergelar Nyai Mas Gedeng Waru putri Raden Mömöt, adapun Raden Mömöt adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi. Di sini tampak adanya ‘anachronisme’, ‘piut’ Sunan Gunung Jati nikah dengan ‘cucu’ Prabu Siliwangi.9. Usaha-usaha untuk mengesahkan kekuasaan Kompeni di Indonesia secara tidak langsung ditanamkan melalui berbagai cara dan antara lain melalui para penulis babad dengan memasukan cerita-cerita legendari yang berselubung dan Jawa Barat khususnya dilambangkan dengan dongeng “Tanduran Gagang”, seperti yang diketengahken secara singkat dalam KWJ, Lembar (9). Diceritakan bahwa Tanduran Gagang, cucu Prabu Siliwangi dari putrinya Sekar Mandapa. Memiliki kemaluan yang panas bagaikan api, hingga Pangeran Jakarta, Ratu Banten, Cirebon dan Mataram yang berhasrat untuk memperistrikannya, tidak mampu untuk menggaulinya, karena dianggap tidak berguna lagi, lalu dijual kepada Belanda dan mendapat tukarannya 3 pucuk meriam. (J.L.A. Brandes, 1920, “Pararaton (Ken Arok), of het Book den-Koningen van Toemapel en van Majapahit”. Theede druk, beverkt door Dr. N.J. Krom met mederwerking van Prof. Mr. Dr. J.C.C. Jonker, H. Kraemer en R. Ng. Porbatjaraka, Verhadelingen, Deel LXIIm hal. 67 ).

 

Dongeng tentang terjadinya padi dan berjenis-jenis bahan pangan yang berguna bagi kita, begitu pula tentang terjadinya berbagai bisa dan lain-lain menjadi pengganggu kehidupan manusia terdapat juga dalam KWJ, biarpun hanya diulas secara singkat. Uraian itu tidak berbeda jauh dengan cerita yang terdapat dalam “Wawacan Sulanjana” yang telah dikerjakan oleh Raden Satjadibrata dan telah diterbitkan oleh Bale Pustaka dan juga diterbitkan oleh C,M, Pleyte dan malahan menjadi bahan disertasi oleh K.A.H. Hidding. (K.A.H. Hidding, 1929, Nyi Pohatji Sangjang Sri, Leiden, dan Soelandjana, edisi C.M. Pleyte dalam “De Inlandsche Nijverheid in West-Java” 4de stuk, hal. 1-17).10. Dalam KWJ di samping terdapat uraian-uraian singkat mengenai tokoh-tokoh yang pernah berkuasa di dalam masyarakat Jawa Barat, malahan oleh para penulis babad dipertegas lagi, bahwa tokoh-tokoh itu bukan hanya terdiri atas manusia belaka, melainkan juga tokoh-tokoh mahluk halus dan lebih-lebih lagi bahwa manusia itu berasal dari keturunan Ratu Galuh. Maka karena adanya kepercayaan itu, dalam KWJ terdapat uraian silsilah para tokoh-tokoh Siluman yang memegang kekuasaan di wilayah-wilayah tertentu di Jawa Barat.

***

TRANSKRIPSI

B. KITAB WARUGA JAGAT TRANSKRIPSI DARI HURUF PEGON

(1) Kosim, Kosim apuputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib apuputra Abdullah apuputra nabi kita, Muhammad s.a.w. nabi kita apuputra Fatimah. Fatimah apuputra Hasan Husein, Husein apuputra Zainal Abidin, Zainal Abidin apuputra nabi Ratu Israil, apuputra Ratu Rajayuta. 5. Ratu Rajayuta apuputra … Raja Mesir apuputra Susunan   Gunung Jati, Susunan Gunung Jati apuputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean apuputra Dipati Balegayan, Pangerat Dipati Balegeyan iku apuputra Panembahan, Panembahan apuputra Panembagan Ratu. Pa 10. nembahan ratu apuputra Pangeran Ratu, Pangeran Ratu apuputra Pangeran Dipati, Pangeran Dipati apuputra Girilaya, Panembahan Girilaya apuputra Sultan Komarudin, Sultan Komarudin apuputra Pangeran Rajaningrat ing nagara Carbon. Tamat. punika carita hadith sing sapa angrungukaken amaca pitutur punika 15.  pinadahaken qur’an tigangpuluh juz laa masih pinadahaken perang sabil ping sewu lan lamun angening dadi tatamba lawan … ing umahe adawah saking pitnah setan iblis lan lamun malebu ia ing naraka nisun ika ilang pangandika den mumule. punika carita putra nabi saking kanga nom ingaranan bagindha Sam, apuputra Bakarbuwana, 20. Bakarbuwana apuputra Manaputih ….. Gantungan …. Gantungan apuputra Ongkalarang, Ongkalarang apuputra Sayar, Ratu Sayar apuputra Ratu Majakane, Ratu Majakane apuputra Parmana, Parmana apuputra lilima, kang satunggal Ratu Galuh.

 

(2) Ratu Sirputih, kang satunggal Sang Rasaputih, kang satunggal Atmasuci kang satunggal Ratu Barahma. Ratu Barahma binakta saking Selan ma – ring Nusa Arah dudukuh ing Medangkamulan kalih kang rayi wadon nama Ratu Dewi Hasta Terusgumuling maka ananandur tatanduran jawawut mulane den arane Nusa Jawa maka arabi putra Ratu Mesir nama Ratu ….tasari kang rayi lanang. Kang nama Ahmad atetemu pada rayi saking Selan sewu saking Mesir sewu maka angalih ing Gunung Kidul apuputra titiga kang satunggal ki Dipati Hariyang Banga 30. kapingrwa ki Dipati Ciungmanarah, lan ratu Marajasakti ana dene tingalaken ing Hujung Kulon deningkaki begawat sang …maka den haturaken maring Ratu Mesir maka sang ratu angandika maring Bagawat maka kinon rumaksa pisan dening kaki Bagawat. Maka lawas pejah maka nuli den kubur iya, maka metu ruray istri kang pejah ika iku anangis bocah anjeluk wowohan kang luwih enak, banget pana – 5. ngisne bocah iku maka nuli mati ia, sawuse mati nuli den kubur sawane den kubur lawas-lawas cukul lan tutuwuh saking netrane dadi watange pari lan sakehe papanganan kang anaka. Maka kang putra Ratu Mesir mati Ratu Parwatasari maka den katuraken maring Medangkamulan balang sewu babaktane alaki sri karana iku ing nusa Jawa ana dene Ratu Barahma tibane 10. ing nagarane putra kang istri

 

(3) Ingaturaken maring Ratu Medangkamulan maka apuputra saking ratu istri kang …… panas ing nagara ….. maka den atundung dateng kulon. Maka atetemu Ki Jakahtawa nuli …. Tegal kapanasan 15. nagarane pernahe ing basisir baline den buang ing sagara. Maka dadi sakehe kang mandi-mandi ing sagara. Sang Rasaputih tiba ing Balumbangan puputra istri ingaturaken maring Ratu Medangkamulan, apuputra saking Ki Jakatahwa. Maka akarama masring Nyi Rarawisa. Maka putra kakayon. Demi awoh metu bocah lan lelenge 20. rujak hanger pada karana wisa iku ana ing nusa Jawa. Ana dene atmasuci tapane ing Sam Lor, pernahe maka ……. maring Ki Sadana. Apuputra wadon namane Dwirasa …….ika maring Raden Jayakeling ia iku purwaning sakehe …… kang sinujudan. Cah 25. ya kang metu saking netra karana den arani Ratu Galuh sebab Ratu anyakrawati maka wonten kersa sing Allah angwedeni maring kaulane sebab a aranut ing sareat Nabi Noh. Maka metu angin topan saking pojok sagara maka nuli kalenger wong alam dunya antara patang puluh dina. Maka nuli anut ing sareat Nabi Noh. Maka pada munggah 30. ing baitra sadaya ana dene Ratu Galuh ika acita gunung luhur pitung langit.

 

(4). Maka sami munggah maring gunung balane kabeh demi sampun asat maka tumurun saking gunung, maka munggah ing Bojonglopang, gawe dukuh maka den wujudi gunung kulon dipun panah dening malaikat. Maka nuli remuk gunung iku, maka pepecahan iku dadi sakehe kabuyutan kabeh iku ing nusa Jawa. Apan Ratu Galuh saking bangsa manusa titita warnane kang dihin Hari 5. yang Banga lan kapindo Ciungmanara lan kapindo telu Marajasakti maka Hariyang Banga iku apuputra Ki Gedeng Mantalarana, Ki Gedeng Mantaparana apuputra Ki Gedeng Mesir, Ki Gedeng Mesir apuputra Ratu Majapahit, Ratu Majapahit apuputra Ki Gedeng Jati, ki Gedeng Jati apuputa ki Gedeng Kartadipura, Ki Gedeng Kartadipura 10. apuputra ki Gedeng Sari, apuputra Ki Gedeng Kacung, Ke Gedeng Kacung apuputra Ki Gedeng Suruwud, iku apuputra Pangeran Sedang Karapyak, apuputra Pangeran Sedang Kamuning, apuputra Sultan Mataram apuputra Susunan Tegalwangi, apuputra Susunan Mangkurat, apuputra Pangeran Dipati Anom, Ana dene putra Ciungmanawa pinarnahaken ing 15. Pajajaran taktalane babaktane pande domas lan putra wadon kang nama Purbasari alaki Ki Lutungkasarung. Kang Putra Manggungmendung apuputra Linggahiang apuputra Susuk Tunggal.

 

(5) apuputra Parbu Mundingkawati, apuputra Parbu Anggalarang, apuputra Mundingwangi, kang dihin Ratu Sunda, nyakrawati hing Pajajaran. 20. putra Ratu Siluman pipitu sakehe sawiji Ki Jakahlarang, ring Roban, pernahe kapindo Ki Tua Sapularang, pernahe ing Tunjungbang. Ki Diriwangi pernahe ing Wiraga, lang kapingpat Ki Koyopok pernahe ing Guha Upas. Kapinglima Ki Kempanglarang pernahe ing Guha Pajajaran. 25. Kapingnem Ki Dulek pernahe ing Sancang. Kapingpitu Ki Kelewing pernahe ing Pajajaran, punika anak putune Sunda tetkala gemuh Pakuan Raden Töngö saking ajamantri, Raden Mömöt saking Padmakarang Raden Sakian Sumbulakungsari saking Ratu Bancana kang sepuh Mundingdalem….. 30. Sanghyang Perbu Sangkanbönghar apuputra Sanghyang Lemansanjaya apuputra Sanghyang Rajuna, apuputra kang ….. apuputra kang Sedang Taman, apuputra kang Sedang Pangkalan, apuputra  Sanghyang Sogol, apuputra Raden Senapati Angalaga, Raden Senapati Angalaga apuputra Sanghyang Panengah apuputra Sangiang Lebakwangi.(6) kang satunggal putra Ratu Sunda ingaranan Sanghyang Agung, apuputra Sanghyang Maya apuputra Raden Narasinga ing Cirebon, apuputra Sayagati, 5. kang satunggal metu saking Buniwangi putrane Dalem Rumenggong. Ingaranan Ratu Parmana, apuputra Ratu Parmana Di Puntang apuputra Ratu Pantenan. Apuputra Rama Dewa, apuputra Susunan Ranggalawe. Pernahe ing Timbanganten. Kang satunggal ingaranan Keboputih, maka akarma maring putra Susunan 10… Dalagung, apuputra susunan Rajamandala ing Cahur. Ana dene sang metu saking Ratu Akri ingaranan Parbu Limansajaya pernahe ing Limbangan. Kang satunggal putrane Gurugantangan kang metu saking Mayangkaruna, ingaranan Ranggamantri Puspawangi Rajaparmana, maka kang apuputra Susunan 15. Wanaprih pernahe ing Talaga. Kang satungal kang metu saking Manikgumilang ingaranan Sangiang Jampana, pernahe ing Batulayang. Kang satunggal kang metu saking Pangilaransari, ingaranan Ratu Dewi apuputra ingaranan Marajahiang, pernahe ing Batuwangi. 20. kang satunggal ananking Karang, ingaranan Mudikbatara.

 

(7) Kang satunggal putrane Ratu Marajasakti ingaranan Raja MasTuli, maka tinarimaken maring Ki Lembualas. Pinarnahaken ing Ukur, maka apuputra Kiai Dipati Ukur. Kang sepuh kang satunggal putrane ratu saking Marajainten, maka apuputra ingaranan Sangiang Wiruna apuputra Parbu ….. 25. Kiai Ngabehi cucuk kang sepuh pernahe ing Manabaya. Kang satunggal putrane Ranggasinom, ingaranan Guruminda Mantrisari maka apuputra ingaranan Sangiang Wide, Sangiang Wide apuputra Sangiang Tubu den pernahaken ing Sakawayana Kang satunggal apuputra Rangga Pakuan, kang metu saking Maraja Selawangi 30. ingaranan Sangiang Lutar, pinarnahaken ing Panembong, kang satunggal putrane Mundingkawati kang metu saking Marajalayang, anake Kidangpananjung ingaranan Ratu Wijaya, maka apuputra ingaranan Parbu Wesi, pernahe ing Rajapolah. Kang satunggal putrane Sangiang ……raksa, kang metu saking Tamompo, maka apuputra ingaranan Ranggadipa, lan ingaranan Raden Sinom, lan ingaranan Raden …..  pernahe ing Suci, Raden Sinom pernahe ing Selagedang. 5. kang satunggal putrane Mundingmalati, saking Parenggilayaransari ingaranan Sangiang Wiraga, Sangiang Wiraga atetep ing gunung Madeyasukma, ingaranan Batara Amilaranga, maka apuputra ingaranan Ratu Siluman, Ratu Siluman apuputra Ratu Demang. Ratu Demang apuputra Batara Yang Sengkawaja arabi maring Batara 10.kang Putra pohaci Rabanu maka apuputra Batara Sedang Kawindu. Batara Sedang Kawindu maka apuputra nu pupus di Galuh, maka kapademan lan lungguhe kaselang dening kang paman ingaranan Saröpön,  Saröpön Cipacul maka putrane kakalih kang dihin nu seda ing Cibuntu lan kapindo Dalem 15. Demang. Maka nu seda ing Cibuntu sapuputra Dalem Demang Agung. Dalem Demang Agung apuputra Kiai Ngabehi Sama pernahe ing Sindangkasih kang satunggal putrane Raden Ganduwangi, kang metu saking Margacinta, maka apuputra Sanghiang Medang, apuputra Susunan Padujaya pernahe ing Pawenang. 20. Kang satunggal putrane Raden Numbang, putrane saking Intenbancana, maka apuputra Sanghiang Sumuragung, Sanghiang Sumuragung apuputra Sanghiang Maha Sahunggantang Kang satunggal namane Ranggasanten, putra saking Marajakastori ingaranan Susunan Dirgahiang, putrane Mundingjaya pernahe ing Mandala. 25. Kang satunggal putrane Susunan Sinduparmana, kang kalih di Galuh, putrane Susunan Jaratna, pernahe ing Cipinaha.

 

(8) kang satunggal sadereke Raden Srigading pernahe ing Sukakarta Kang satunggal malih sang Maharaja Widara, pernahe ing Maja. Kang putra Ratu Perbasakala ingaranan Susunan Tambalayu. 30. Maka apuputra istri ingaranan Ratu Gumilang, maka tinampahaken maring Santowaan Gunung Licin. Maka apuputra Susunan Majaya, pernahe ing Taraju. Kang satunggal namane Kian Santang, maka akarama maring Ratu Mandapa maka istri Emurhali alaki maring Bimalarang putra saking Jampang, pinarnahaken ing Nagara. Kang satunggal putra Mundinglingga, kang metu saking Arunganda 5. Wayangsari, maka apuputra Susunan Cilöwih, pinarnahaken ing Kadungora, maka apuputra titiga Marajahiang Teruslabo, pernahe ing Parakantiga. Amarajahiang Rajanabo pinarnahaken ing Kandangwangi. Marajahiang Lugajaya pernahe ing Cidamar, ana dene kang satunggal 10. putrane Susunan Rajanawung kang metu saking Rajasari ingaranan Ratugala rabine kang bobot tapane ing serangenge, sarta kalan Batari Resikputih, maka apuputra ingaranan Sang Dewaguruhaji, Sang Ratu Guruhaji apuputra Tajimalela.

 

(9) Tajimalela apuputra Gösanhulun, Susunan Gösanhulun apuputra  Pangeran 15. Sumedang, pernahe ing Sumedanglarang, sabab margane anak putu Ratu Sunda bubar saking Pajajaran kinundung dening kang rama. Sabab sampun lengkap wuruke Kian santang samulihe Ka’bah Allah Kang putra kekel iman Islam ora anut ing sareat dening kang rama kang eyang margane den tundung bubar ngetan Kian Santang tinundung dening 20. kang rama sabab panas nagara Pakuan. Margane kesah dateng Campa kang rai binakta dateng Campa kana ran Sarikabunan, maka kinrsahaken Ratu Tuban ….  Duta Samud buyute Ki Jatiswara. Maka Pajajaran murak kang burak ing dina salasa tanggal 14 wulan Sapar tahun Jimakhir sang kalitar putra kakalih sawiji ingaranan Pucukkumun lan kapindo 25. ingaranan Sekarmandapa. Dupi sampun kala Pajajaran, maka Pucukkumun den jarah dening Ratu Wetan Maka Ratu Mandapa malayu maring gunung Gede, maring Ajar Sukaras, maka atatapa lan ajar iku. Maka netes mani ajar iku maka keneng gagang kujang ajar iku, maka Ratu Mandapa anyigar pucang dening kujang iku 30. maka kagaw manine ajar iku nuli kakinang dateng Ratu Mandapa lawas lawas maka angadeg duk sampun teka ing rongwelas wulan maka nuli babar.

 

(10) maka kang putra istri tur ayu, ayu rupane iku. Mangka den arani Tandurangagang maka lawas-lawas kahatur maring Pangeran Jaketra maka den anggo maka metu geni saking bagane, maka den pundut Ratu Carbon, karsa anggo maka metu saking kawah, maka kahatur Kiai Gedeng Mataram, maka akarasa den anggo maka modal geni saking baganipun. 5. maka orana gawene maka den dol maring Ratu Walanda, payu maring bedil titiga. Bedil iku den dum: Mataram Si Guntur Geni. Cirebon Si Santomi, maring Banten Si Amuk. Maka putra silingi kang metu saking Padnawati kang ingaranan Ranggamantri maka apuputra Selawati, Raru Selawati apuputra Sang Adipati pernahe ing Kuningan. 10. kang satunggal ingaranan Ratu Sedalarang. Maka apuputra Parbu Cakradewa Parbu Cakradewa apuputra Singacala. Maka satunggal anake Kidangpananjung ingaranan Parbu Sari apuputra kakalih kang sawiji ingaranan  Borosngora, pinarnahaken ing Panjalu Kang kalih anaking Rajapolah – punika kang putra Ratu Komara ingaranan 15. Dewaguru. Dewaguru apuputra Guruhaji, guruhaji apuputra Hajiputih apuputra susuhunan Gösanhulun, susuhunan Gösanhulun apuputra Pangeran Sumedang Kahiangan tetesing Komara ingaranan Batara Tungtungbuwana tumiba ing Medanglarang, ingaranan Tajimalela ike amarentah ing Sumedanglarang.

 

(11) 20. Punika kang putra Banyakkudika kang metu saking Padnalarang, apuputra pipitu akehe. Kang satunggal marnah ing Bandung, kang satunggal marnah ing Lopasir, kang satunggak narnah ing Babakan Panyarang, kang satunggal marnahing Kahuripan. 25. Punika kang putra Marajasakti pipitu kehe kang satunggal Ratu Roman marnah ing robab, kang satunggal Ratu Gelukherang marnah ing Tanjungbang. Kang satunggal Ratu Jalakroncenak marnah ing Wirasa. Kang satunggal Ratu Buta Gurun marnah ing Guha Upas, kang ana ing Lakbok. 30. Ingaranan Sanghiang Pasarean, kang satunggal Ratu Roman Gelanherang di Guha Pajajaran. Ia iku siluman pipitu dening wetan. Putra Ratu Komara ingaranan Batara Niskala, maka apuputra Marajahiang Niskala iki lah Cirebon. Kamng putra Baginda Ali. Baginda Ali imngaranan Jenal Abidin kang putra kapitu babaktane She Mahrip. Apuputra Molana Kasan, apuputra Ratu Campa, Ratu Campa apuputra Nyai Gedeng Campa, Nyai Gedeng Campa apuputra Haji Duta Samud. Haji Duta Samud apuputra Nyai Gedeng Jatiswara. Nyai Gedeng jat 5.iswara apuputra Sunan Jati. Susunan Jati apuputra Sabakingking ing Banten.

 

(12) tamat kitab Waruga Jagat tutuging tulis ing malem Salasa wulan Rayagung ping wolu tahun Alip Hijrah 1117.

Kang gaduh Mas Ngabehi Parana.

***

C. KITAB WARUGA JAGAT TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA

(1) Kosim berputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib ber Abdullah, Abdullah berpputra puputra Nabi kita s.a.w., Nabi kita berputra Fatimah. Fatimah berputra Hasan Husein, Husein berputra Zainal Abidin, Zainal Abidin berputra Bani Ratu Israil, Bani Ratu Israil berputra Ratu Raja Yuta. Ratu Raja Yuta berputra Raja Mesir … Raja Mesir berputra Susuhunan Gunung Jati. Susuhunan Gunung Jati berputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean berputra Pangeran Dipati Balagayam, Pangeran Dipati Balagayam berputra Panembahan, Panembahan berputra Panembahan Ratu, Panembahan Ratu berputra Pangeran DIpati, Pangeran Dipati berputra Panembahan Girilaya, Panembahan Girillaya berputra Sultan Komaruddin, Sultan Komaruddin berputra Pangeran Rajaningrat di Negara Cirebon. Tamat.

 

Inilah cerita hadis. Barang siapa mendengarkan, membaca pengajaran itu disamakan dengan Qur’an tigapuluh juz dan masih disamakan dengan perang sabil seribu kali dan kalau digunakan jadi obat serta …. Dirumahnya jatuh karena fitnah setan iblis dan kalau ia masuk neraka aku yang akan mengatakan supaya dimuliakan. Inilah cerita putra Nabi dari (istrinya) yang muda dinamai Baginda Sam. Baginda Sam berputra Bakarbuwana, yang berputra Manaputih … gantungan. Manaputih …. Gantungan berputra Ongkalarang, Ongkalarang berputra Sayar. Ratu Sayar berputra Ratu Majakane, Ratu Majakane berputra Parmana. Parmana berputra lima orang: Yang seorang Ratu Galuh.(2) Ratu Sriputih. Yang seorang Sang Rajaputih. Yang seorang Atmasuci. Yang seorang Ratu Brahma. Ratu Brahma dibawa dari Selan ke Nusa Arah, mendirikan dukuh di Medangkamulan bersama adiknya perempuan bernama Ratu Dewi Hasta Terusgumuling. Maka bercocoktanam jawawut, karena itu dinamai Nusa Jawa. Maka beristri putera Ratu Mesir yang bernama Ratu Parwatasari. Adik putra Ratu Mesir yang laki-laki bernama Ahmad nikah, bertemu adik dengan adik. (Pengikutnya) dari Selan seribu dari Mesir seribu berpindah tempat ke Gunung Kidul. (Ratu Galuh) berputra tiga orang. Yang seorang Ki Dipati Hariang Banga, kedua Ki Dipati Ciungmanarah, dan Ratu Marajasakti. Adapun … ditinggalkan di Ujungkulon oleh Kakek Bagawat. Maka lama-lama lalumeninggaldn dikubur, maka dari pada anak perempuan yang mati itu, karena ia menangis amat sangat ingin buah-buahan, yang sangat lezat anak itu terusmenerus menangis hingga meninggal, mayatnya dikubur, lama kelamaan tumbuh dari pepohonan matanya jadi batang padi dan sekalian bahan pangan yang enak-enak. Maka Putra Ratu Mesir itu meninggal, Ratu Parwatasari diserahkan ke Medangkamulan, rakyatnya seribu bawaannya bersuami asalnya di Nusa Jawa. Adapun Ratu Barahma datang di Negara, putranya perempuan.

 

(3) diberikan kepada ratu Medangkamulan, lalu berputra dari Ratu Istri yang …. panas di Negara … lalu diusir ke ….. barat maka nikah dengan Ki Jakahtawa lalu …. Tegak kepanasan, serta berputra lalu mati dikubur, lalu tumbuh jadi kayu samida namanya, tempatnya di pesisir, tembulinya dibuang ke laut, maka menjadi segenap yang berbisa di laut. Sang Rasaputih tiba di Balungbangan, berputra istri yang diberikan kepada Ratu Medangkamulan. Berputra dari Jakahtawa, maka nikah kepada Nyi Ragasia. Maka berputra kayu-kayuan, ketika berbuah lahir bayi dan ‘lelenge rujak hangor’ semua menjadi bisa yang ada di Nusa Jawa.   Adapun Atmasuci bertapa di Sam Utara. Tempatnya …. Kepada Ki Sadana, berputra perempuan namanya Dwirasa …. Kepada Raden Jayakeling, itulah asalnya sekalian ….  bertempat tinggal dan adalah karena rajaputra pindah kepada … yang dipuja, Cahaya yang keluar dari mata sebabnya dinamai Ratu Galuh, karena Ratu berdaulat, maka adalah kehendak Allah memurkai hambaNya, sebab tidak menganut sareat Nabi Noh, maka semuanya naik perahu, adapun Ratu Galuh mencinta gunung tinggi tujuh langit.

 

(4) Lalu semua rakyatnya naik gunung, setelah kering lalu turun dari gunung, maka naik ke Bojonglopang, membuat dukuh, maka diwujudkan gunung kulon, dipanah oleh malaikat, lalu hancur gunung itu menjadi sekalian kabuyutan di Nusa Jawa. Ratu Galuh putranya dari bangsa manusia yang sulung Hariang Banga, yang kedua Ciungmanarah dan yang ketiga Ratu Marajasakti. Adapun Hariang Banga itu berputra Ki Gedeng Mantalarasa. Ki Gedeng Mantalarasa berputra ki Gedeng Mesir, Ki Gedeng Mesir berputra Ratu Majapahit, berputra Ki Gedeng Jati, berputra Ki Gedeng Kartadipura, berputra Ki Gedeng Sari, berputra Ki Gedeng Kacung, berputra Ki Gedeng Suruwud, berputra Pangeran Sedang Karapyak, berputra Pangeran Sedang Kamuning, berputra Sultan Mataram, berputra Susuhunan Tegalwangi, berputra Susuhunan Mangkurat, berputra Pangeran Dipati Anom. Adapun putra Ciungmanarah diturunkan di Pajajaran, pada masa bawaanya pandai 800 dan putera perempuan yang bernama Purbasari, bersuami Lutungkasarung, putra dari Manggungmendung, berputra Linggahiang, berputra Susuktunggal.

 

(5) Berputra Perbu Mundingkawati, berputra Perbu Anggalarang, berputra Mundingwani, yang dahulu menjadi Ratu Sunda, berkuasa di Pajajaran. Putra Ratu SIluman tujuh orang banyaknya, yang pertama Ki Jakahlarang, tempatnya di Roban, yang kedua Ki Tua Sapularang tempatnya di Tanjungbang. Ki Diriawangi tempatnya di Wiraga dan yang keempat Ki Koyopok tempatnya di Guha Upas, yang kelima Ki Kompanglaang tempatnya di Guha Pajajaran, yang keenam Ki Dulek pernahnya di Sancang, yang ketujuh Ki Kelewing tempatnya di Pajajaran. Inilah anak-cucu Sunda tatkala Pakuan makmur: Raden Töngödari Rajamantri, Raden Mömöt dari Padnalarang, Raden Sakian Sambulagungsari, dari Ratu Bancana yang tua Mundingdalem … Sanghiyang Perbu Sangkanbönghar berputra Sanghiyang Lemansanjaya, berputra Sanghiyang Rajuna, berputra yang …. Berputra yang Sedang Taman, berputra yang Sedang Pangkalan, berputra Sanghiyang Sogol berputra Raden Senapati Angalaga, Raden Senapati Angalaga berputra Sanghiyang Panangah, berputra Sanghiyang Lebakwangi.

(6) Yang seorang putra Ratu Sunda dinamai Sangyang Agung, berputra Sanghyang Maya, berputra Taden Narasinga di Cirebon, berputra Sayagati. Yang seorang lahir di Buniwangi, putra Dalem Rumenggong, dinamai Ratu Parmana, berputra Ratu Parmana di Puntang berputra Ratu Pantenan, berputra Ramadewa, berputra Susuhunan Ranggalawe, tempatnya di Timbanganten.Yang seorang d inamai Keboputih, maka nikah kepada putra Susunan…Dalangu, berputra Susunan Rajamandala tempatnya di Cahur. Adapun yang lahir dari Ratu Akri dinamai Perbu Limansanjaya, tempatnya di Limbangan. Yang seorang puteranya Gurugantangan yang lahir dari Mayangkaruna dinamai Ragamantri Puspawangi Rajaparmana, yang berputra Susunan Wanaprih tempatnya di Talaga. Seorang yang lain dari Manikgumilang dinamai Sanghiyang Jampana, tempatnya di Batulayang. Yang seorang putera lahir dari Pangilarangsari, dinamai Ratu Dewi berputra dinamai Marajahiyang, tempatnya di Batuwangi. Yang seorang putra di Karang, dinamai Mudikbatara.

 

(7) Yang seorang puteranya Ratu Marajasakti, dinamai Rasa Mastuli maka diserahkan kepada Ki Lembualas, ditempatkan di Ukur, maka berputra Kiai Dipati Ukur, yang tua yang seorang putranya Ratu dari Marajainten, maka berputra dinamai Sanghiyang Wiruna berputra Perbu …… Kiai Ngabehi Cucuk, yang tempatnya di Manabaya. Yang seorang puteranya Rangga Sinom, dinamai Guruminda Mantrisari, maka berputra Sanghyang Lutar, ditempatkan di Panembong. Yang seorang puteranya Mundingkawati yang lahir di Marajalarang anaknya Kidangpananjung dinamawi Ratu Wijaya, berputra dinamai Perbu Resi ditempatkan di Rajapolah. Yang seorang puteranya Sanghyang …raksa, yang lahir dari Tamompo, berputra dinamai Ranggadipa dan dinamai Rangga Sinom dinamai Raden … pernahnya di Suci, Raden Sinom tempatnya di Selagedang. Yang seorang putranya Mundingmalati dari Parenggilayangsari, dinamai Sanghiyang Wiraga, Sanghiyang Wiraga menetap di gunung Mandeyansukma, dinamai Batara Amilarang, berputra dinamai Ratu Siluman, Ratu Siluman berputra Ratu Demang. Ratu Demang berputra Batara Yang Sengkawaja namanya nikah … kepada Batara putranya pohaci Rabanu berputra Batara Sedang Kawindu. Batara Sedang Kawindu maka berputra yang meninggal di Galuh, maka terputus kedudukannya diselang oleh pamannya bernama Saröpön, Saröpön Cipacul. Maka putranya dua orang, yang pertama yang meninggal di Cibuntu, yang kedua Dalem Demang. Maka yang meninggal di Cibuntu berputra Dalem Demang Agung berputra Kiai Ngabehi Sama, tempatnya di Sindangkasih. Yang seorang putranya Raden Ganduwangi yanglahir di Margacinta, maka berputra Sanghiyang Medang, berputra Susunan Pandujaya tempatnya di Pawenang. Yang seorang putranya Raden Numbang, putranya dari Intenbancana, maka berputra Sangiang Sumurgagung, Sanghiyang Sumuragung berputra Sanghiang Maha Sahunggantung. Yang seorang namanya Ranggasanten, putra dari Marajakastori dinamai Dirgahiang, putranya Mundingjaya tempatnya di Mandala. Yang seroang putranya Susunan Sinduparmana, yang kedua di Galuh, putranya Susunan Jaratna tempatnya di Cipinaha.

 

(8) Yang seorang putranya Raden Srigading tempatnya di Sukakarta. Yang seorang memperoleh Sang Mahawidara, tempatnya di Maja. Yang seorang Ratu Purbasakala dinamai Susunan Tambalayu. Maka berputra istri dinamai Ratu Gumilang, maka diberikankepada Santewanan Gunung Licin. Maka berputra Susunan Malaya, tempatnya di Taraju. Yang seorang namanya Kian Santang, maka nikah dengan Ratu Mandapa, maka berputra wanita Emurhali bersuami Bimalarang putra dari Jampang ditempatkan di Nagara. Yang seorang putra Mundinglaya, yang lahir dari Arumganda Wayansari, maka berputra Susunan Cilöwih. Ditempatkan di Kadungora, maka berputra tiga orang; Marajahiang Terusnabo tempatnya di Parakantiga, Amarajahiang Rajanabo ditempatkan di Kandangwesi, Marajahiang Lugajaya ditempatkan di Cidamar. Adapun yang seorang putranya Susunan Rajanawung lahir dari Rajasari, dinamai Ratugala istrinya ketika mengandung, bertapa di matahari serta dengan Batari Resikputih, maka berputra dinamai Sang Dewaguruhaji, berputra Tajimalela.

 

(9) Tajimalela berputra Gösanhulun. Susunan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang, tempatnya di Sumedanglarang. Yang menyebabkan para putra Ratu Sunda bubar dari Pajajaran diusir oleh ayahnya, karena telah lengkap pengajaran Kian Santang sekembalinya dari Ka’bah Allah. Putra itu teguh beriman kepada agama Islam tidak mengikuti sareat yang dianut oleh ayahnya dan kakeknya, karena itu diusir bubar ke Timur. Kian Santang diusir oleh ayahnya, karena panas Negara Pakuan.

 

Asalnya pergi ke negeri Campa adiknya dibawa yang bernama Sarikabunan, maka dinikahkan kepada Ratu Tuban …… Duta Samud cicitnya Ki  Jatiswara, maka Pajajaran burak. Buraknya pada hari Selasa tanggal 14 bulan Sapar tahun Jim-Akhir. Yang tertinggal dua orang putra, yang seorang bernama Pucukumun dan yang kedua dinamai Sekarmandapa. Pada waktu itu kalah Pajajaran, maka Pucukumun ditawan oleh Ratu dari Timur, sedangkan Ratu Mandapa melarikan diri ke Gunung Gede menuju Ajar Sukarasa, maka bertapa bersama ajar itu. Pada suatu ketika mani ajar itu menetes mengenai gagang kujang ajar itu. Maka Ratu Mandapa membelah pinang dengan kujang itu, terbawalah mani ajar itu serta, ketika sedang makan sirih mani itu termakan oleh Ratu Mandapa, lama-kelamaan ia mengandung dan setelah duabelas bulan lalu melahirkan,

 

(10) putranya seorang bayi perempuan serta cantik rupanya, maka dinamai Tandurangagang. Maka setelah dewasa diserahkan kepada Pangeran Jakerta, ketika ditiduri maka keluar api dari kemaluannya, maka kemudian diminta oleh Ratu Cirebon akan diperistri, tetapi keluar api dari kemaluannya, maka diberikan kepada Kiai Gedeng Mataram, ketika akan ditiduri, keluar api dari kemaluannya. Karena itu dianggap tidak berguna, lalu dijual kepada Ratu Belanda dengan bedil (meriam), meriam itu dibagi: Mataram Si Gunturgeni, Cirebon Si Santomi, kepada Banten si Amuk. Maka putra SIliwangi yang lahir dari Padnawati dinamai Ranggamantri, maka berputra Selawati, Ratu Selawati berputra Sang Adipati bertempat di Kuningan. Yang seorang dinamai Ratu Sedalarang. Maka berputra Perbu Cakradewa, Prabu Cakradewa berputra Singacala. Maka seorang putranya Kidangpananjung dinamai Perbu Sari berputra dua orang, yang dinamai Borosngora, ditempatkan di Panjalu, yang seorang lagi ada di Rajapolah. Adapun putra Ratu Komara dinamai Dewaguru, Dewguru berputra Guruhaji, Guruhaji berputra Hajiputih, Hajiputih berputra Susuhunan Gösanhulun, Susuhunan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang Kahiangan penjelmaan Komara dinamai Batara Tuntungbuwana jatuh di Sumedanglarang.

 

(11) Adapun putranya, yang bernama Banyakkudika yang lahir di Lopasir, yang seorang bertempat di Bandung, yang seorang bertempat di Kahuripan. Adapun putra Marajasakti tujuh orang banyaknya, yang seorang Ratu Roban, bertempat di Roban, yang seorang Ratu Gelukherang bertempat di Tanjungbang, yang seorang Ratu Jalakronceak bertempat di Wirasa, yang seorang Ratu Batagurun bertempat di Guha Upas, yang ada di Lakbok, dinamai Sanghiang Pasarean, yang seorang Ratu Romangelanherang di Guha Pajajaran, itulah Siluman Tujuh di Timur. Putra Ratu Komara dinamai Batara Niskala, maka berputra Marajahiang Niskala. Inilah Cirebon. Putra Baginda Ali dinamai Jenal Abidin, putranya yang ketujuh diserahkan kepada Syekh Magrib, bernama Molana Kasan, berputra Ratu Campa berputra Nyai Gedeng Campa. Nyai Gedeng Campa berputra Haji Duta Samud, yang berputra Nyai Gedeng Jatiswara, Nyai Gedeng Jatiswara berputra Sunan Jati, Susunan Jati berputra Sabakingking di Banten.

 

(12) Tamat Kitab Waruga Jagat, selesai ditulis pada malam Selasa bulan Zulhijjah, tanggal delapan, tahun Alip, Hijrah 1117.

Yang empunya Mas Ngabehi Parana.

***

TARJAMAH BASA SUNDA VERSI SKKS

D. KITAB WARUGA JAGAT TARJAMAH BASA SUNDA KU KI JAGASATRU VI

1) Kosim apuputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib apuputra Abdullah, Abdullah apuputra Nabi urang s.a.w., Nabi urang apuputra Fatimah. Fatimah apuputra Hasan Husein, Husein apuputra Zainal Abidin, Zainal Abidin apuputra Bani Ratu Israil, Bani Ratu Israil berputra Ratu Raja Yuta. Ratu  Raja Yuta apuputra Raja Mesir …..  Raja Mesir apuputra Susuhunan Gunung Jati. Susuhunan Gunung Jati apuputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean apuputra Pangeran Dipati Balagayam, Pangeran Dipati Balagayam apuputra Panembahan, Panembahan apuputra Panembahan Ratu, Panembahan Ratu apuputra Pangeran DIpati, Pangeran Dipati apuputra Panembahan Girilaya, Panembahan Girillaya apuputra Sultan Komaruddin, Sultan Komaruddin apuputra Pangeran Rajaningrat di Negara Cirebon.
Tamat.

Nya ieu carita hadits. Sing saha nu ngadéngékeun, maca ajaran ieu disaruskrun jeung Qur’an tilupuluh juz jeung masih disaruakeun jeung  perang sbail sarébu kali jeung digunakeun jadi ubar sarta …. Di imahna keuna ku pitenah setan iblis jeung lamun manéhna asup ka naraka kula anu bakal ngomong supaya dimulyakeun. Ieu téh carita putra Nabi ti (istrina) anu anom diwastaan Baginda Sam. Baginda Sam apuputra Bakarbuwana, anu apuputra Manaputih … gantungan. Manaputih …. Gantungan apuputra Ongkalarang, Ongkalarang apuputra Sayar. Ratu Sayar apuputra Ratu Majakane, Ratu Majakane apuputra Parmana. Parmana apuputra limaan: Anu saurang Ratu Galuh.

2) Ratu Sriputih. Anu saurang Sang Rajaputih. Anu saurang Atmasuci. Anu saurang Ratu Brahma. Ratu Brahma dibawa ti Selan ka Nusa Arah, ngadegkein dukuh di Medangkamulan babarengan (jeung) adina nu awéwé diwastaan Ratu Dewi Hasta Terusgumuling. Terus pepelakan jawawut, kusabab kitu dingaranan Nusa Jawa. Terus garwaan putera Ratu Mesir anu diwastaan Ratu Parwatasari. Adi putra Ratu Mesir anu lalaki diwastaan Ahmad nikah, panggih jeung adi jeuyng adi. (Pangiringna) ti Selan sarébu ti Mesir sarébu oindah tempat ka Gunung Kidul. (Ratu Galuh) apuputra tiluan. Anu saurang Ki Dipati Hariang Banga, kadua Ki Dipati Ciungmanarah, jeung Ratu Marajasakti. Ayna  … ditinggalkeun di Ujungkulon ku Aki Bagawat. Terus lawas-lawas terus maot dikubur, terus ti anak awéwé anu maot téa, sabab manéhna ceurik anu kacida hayang  bubuahan, anu kacida ngeunahna budak téh teterusan ceurikna hingga ka maotna, jasadna dikubur, lawas-lawas tuwuh  tina tatangkalan anu matana jadi watang pare jeung kumha bahan pangan anu ngareunah. Terus Putra Ratu Mesir téh maot, Ratu Parwatasari diserahkeun ka Medangkamulan, rakyatna sarébu bawaanna carogéna asalna di Nusa Jawa. Ari Ratu Barahma datang di Negara, putrana awéwé

3) Dibikeun ka ratu Medangkamulan, terus apuputra ti Ratu Istri anu ….. panas di Negara …… terus diusir ka ….. kulon terus nikah jeung Ki Jakahtawa terus …. Ajeg kapanasan, sarta apuputra tuluy moot dikubur, tuluy tuwuh jadi kai samida ngaranna téh, tempatna di basisir, tembulina dipiceun ka laut, tuluy jadi sarupaning anu peurahan di laut. Sang Rasaputih nepi di Balungbangan, apuputra istri anu dibikeun ka Ratu Medangkamulan. Apuputra ti Jakahtawa, terus nikah ka Nyi Ragasia. Terus apuputra kakaian, nailka buahan lahir bayi jeung  ‘lelenge rujak hangor’ sakumna  peurag bisa anu aya di Nusa Jawa.  Ari Atmasuci tatapa di Sam Kaler. Tempatna ……. Ka Ki Sadana, apuputra istri namina Dwirasa …. Ka Raden Jayakeling, nyaéta asalna sakumna ….. nganjrek jeung aya sabab rajaputra pindah ka …… anu dipuja, Cahaya anu kaluar tina panon sababna dijujulukan Ratu Galuh, sabab Ratu anu daulat, terus satemenna kahoyong Allah bendu ka hambaNa, sabab teu nganut sareat Nabi Noh, terus sakumna hanjat kana parahu, ari Ratu Galuh nyaah ka gunung luhurna tujuh langit.

4) Tuluy sakumna rakyatna naék gunung, sabada tuhut tuluy turun ti gunung, terus unggah ka Bojonglopang, nyieun dukuh, anu diwujudkeun gunung kulon, dipanah ku malaikat, tuluy ancur gunung téh jadi sekalian kabuyutan di Nusa Jawa. Ratu Galuh putrana ti bangsa manusia anu sulung Hariang Banga, anu kadua Ciungmanarah dan anu katilu Ratu Marajasakti. Ari Hariang Banga apuputra Ki Gedeng Mantalarasa. Ki Gedeng Mantalarasa apuputra ki Gedeng Mesir, Ki Gedeng Mesir apuputra Ratu Majapahit, apuputra Ki Gedeng Jati, apuputra Ki Gedeng Kartadipura, apuputra Ki Gedeng Sari, apuputra Ki Gedeng Kacung, apuputra Ki Gedeng Suruwud, apuputra Pangeran Sedang Karapyak, apuputra Pangeran Sedang Kamuning, apuputra Sultan Mataram, apuputra Susuhunan Tegalwangi, apuputra Susuhunan Mangkurat, apuputra Pangeran Dipati Anom. Ari putra Ciungmanarah diturunkeun di Pajajaran, dina mangsa bawaana panday 800 jeung putera istri anu diwastaan Purbasari, carogena Lutungkasarung, putra ti Manggungmendung, apuputra Linggahiang, apuputra Susuktunggal.

5) Apuputra Perbu Mundingkawati, apuputra Perbu Anggalarang, apuputra Mundingwani, anu baheula jadi Ratu Sunda, ngawasa di Pajajaran. Putra Ratu Siluman tujuh jalma lobana, anu kahiji Ki Jakahlarang, tempatna di Roban, anu kadua Ki Tua Sapularang tempatna di Tanjungbang. Ki Diriawangi tempatna di Wiraga jeung nu kaopat Ki Koyopok tempatna di Guha Upas, anu kalima Ki Kompanglaang tempatna di Guha Pajajaran, anu kagenep Ki Dulek pernahny di Sancang, anu katujuh Ki Kelewing tempatna di Pajajaran. Ieu téh anak-incu Sunda nalika Pakuan makmur: Raden Töngö ti Rajamantri, Raden Mömöt ti Padnalarang, Raden Sakian Sambulagungsari, ti Ratu Bancana anu sepuh Mundingdalem … Sanghiang Perbu Sangkanbönghar apuputra Sanghiang Lemansanjaya, apuputra Sanghiang Rajuna, apuputra yang …. Apuputra Yang Sedang Taman, apuputra Yang Sedang Pangkalan, apuputra Sanghiang Sogol apuputra Raden Senapati Angalaga, Raden Senapati Angalaga apuputra Sanghiang Panangah, apuputra Sanghiang Lebakwangi.

6) Anu saurang putra Ratu Sunda diwastaan Sanghiyang Agung, apuputra Sanghiyang Maya, apuputra Taden Narasinga di Cirebon, apuputra Sayagati. Anu saurang lahir di Buniwangi, putra Dalem Rumenggong, diwastaan Ratu Parmana, apuputra Ratu Parmana di Puntang apuputra Ratu Pantenan, apuputra Ramadewa, apuputra Susuhunan Ranggalawe, tempatna di Timbanganten.

Anu saurang diwastaan Keboputih, terus nikah ka putra Susunan…. Dalangu, apuputra Susunan Rajamandala tempatna di Cahur. Ari anu lahir ti Ratu Akri diwastaan  Perbu Limansanjaya, tempatna di Limbangan. Anu saurang puterana Gurugantangan anu lahir ti Mayangkaruna diwastaan Ragamantri Puspawangi Rajaparmana, anu apuputra Susunan Wanaprih tempatna di Talaga. Saurang anu lian ti Manikgumilang diwastaam Sanghiang Jampana, tempatna di Batulayang. Anu saurang putera lahir ti Pangilarangsari, diwastaan  Ratu Dewi apuputra diwastaan Marajahianu, tempatna di Batuwangi. Anu saurang putra di Karang, diwastaan  Mudikbatara.

7) Anu saurang puteranya Ratu Marajasakti, diwastaan Rasa Mastuli terus dipasaraheun ka Ki Lembualas, ditempatkeun di Ukur, terus apuputra Kiai Dipati Ukur, anu sepuh anu saurang putrana Ratu ti Marajainten, terus apuputra diwastaan Sanghiang Wiruna apuputra Perbu… Kiai Ngabehi Cucuk, anu tempatna di Manabaya. Anu saurang puterana Rangga Sinom, diwastaan Guruminda Mantrisari, terus apuputra Sanghanu Lutar, ditempatkeun di Panembong. Anu saurang puteranya Mundingkawati anu lahir di Marajalarang anakna Kidangpananjung diwastaan Ratu Wijaya, apuputra diwastaan Perbu Resi ditempatkeun di Rajapolah. Anu saurang puterana Sanghiang …raksa, anu lahir ti Tamompo, apuputra diwastaan Ranggadipa jeung diwastaan Rangga Sinom diwastaan Raden … pernahna di Suci, Raden Sinom tempatna di Selagedang. Anu saurang putrana Mundingmalati ti Parenggilaanusari, diwastaan Sanghiang Wiraga, Sanghiang Wiraga netep di gunung Mandeyansukma, diwastaan Batara Amilarang, apuputra diwastaan Ratu Siluman, Ratu Siluman apuputra Ratu Demang. Ratu Demang apuputra Batara Yang Sengkawaja wastana nikah …… ka Batara putrana pohaci Rabanu apuputra Batara Sedang Kawindu. Batara Sedang Kawindu terus apuputra anu maot di Galuh, tuluyna pegat kalungguhanna diselang ku pamanna diwastaan Saröpön, Saröpön Cipacul. Terus putrana duaan, anu kahiji anu maot di Cibuntu, anu kadua Dalem Demang. Terus anu maot di Cibuntu apuputra Dalem Demang Agung apuputra Kiai Ngabehi Sama, tempatna di Sindangkasih. Anu saurang putrana Raden Ganduwangi anu lahir di Margacinta, terus apuputra Sanghiang Medang, apuputra Susunan Pandujaya tempatna di Pawenang. Anu saurang putrana Raden Numbang, putrana ti Intenbancana, terus  apuputra Sangiang Sumurgagung, Sanghiang Sumuragung apuputra Sanghiang Maha Sahunggantung. Anu saurang wastana Ranggasanten, putra ti Marajakastori diwastaan Dirgahiang, putrana Mundingjaya tempatna di Mandala. Anu seurang putrana Susunan Sinduparmana, anuk kadua di Galuh, putrana Susunan Jaratna tempatna di Cipinaha.

8) Anu saurang putrana Raden Srigading tempatna di Sukakarta. Anu saurang meunangkeun Sang Mahawidara, tempatna di Maja. Anu saurang Ratu Purbasakala diwastaan Susunan Tambalayu. Terus apuputra istri diwastaan Ratu Gumilang, terus dipasrahkeun ka Santewanan Gunung Licin. Terus apuputra Susunan Malaya, tempatna di Taraju. Anu saurang wastana Kian Santang, terus nikah jeung Ratu Mandapa, terus apuputra istri Emurhali carogean Bimalarang putra ti Jampang ditempatkeun  di Nagara. Anu saurang putra Mundinglaya, anu lahir ti Arumganda Wayansari, terus apuputra Susunan Cilöwih. Ditempatkeun di Kadungora, terus apuputra tiluan; Marajahiang Terusnabo tempatna di Parakantiga, Amarajahiang Rajanabo ditempatkeun di Kandangwesi, Marajahiang Lugajaya ditempatkeun di Cidamar. Ari anu saurang putrana Susunan Rajanawung lahir ti Rajasari, diwastaan Ratugala istrina nalika ngandung, tatapa di Srangenge sarta jeung Batari Resikputih, terus apuputra diwastaan Sang Dewaguruhaji, apuputra Tajimalela.

10) Tajimalela apuputra Gösanhulun. Susunan Gösanhulun apuputra Pangeran Sumedang, tempatna di Sumedanglarang. Anu jadi sabab para putra Ratu Sunda bubar ti Pajajaran diusir ku ramana, sabab geus lengkepna ajaran Kian Santang samulangna ti Ka’bah Allah. Putra ieu teguh imanna kana agama Islam teu tumut ka anu dianut ku ramana tur akina, sabab kitu diusir bubar ke wétan. Kian Santang diusir ku ramana, sabab panasna Nagara Pakuan. Asalnya miang ka nagari Campa adina dibawa anu diwastaan Sarikabunan, terus dinikahkeun ka Ratu Tuban …… Duta Samud buyutna Ki  Jatiswara, terus Pajajaran burak. Burakna dina poé Selasa tanggal 14 bulan Sapar taun Jim-Akhir. Anu tinggal dua putra, anu saurang diwastaan Pucukumun jeung anu kadua diwastaan Sekarmandapa. Dina aktu harita Pajajaran éléh, terus Pucukumun ditawan ku Ratu ti Wétan, sedangkeun Ratu Mandapa kabur ka Gunung Gedé ngajugjug  Ajar Sukarasa, terus tatapa jeung ajar. Dina hiji mangsa cimani ajar téh nétés keuna kana gagang kujang ajar. Terus Ratu Mandapa meulah jambé ku éta kujang, nya kabawah cimani ajar téh, nalika keur nyeupah cimani téh kadahar ku Ratu Mandapa, lawas-lawas manéhna ngandung jeung sabada duabelas bulan tuluy ngalahirkeun, putrana sahiji orok istri anu geulis rupana, terus diwastaan Tandurangagang. Terus sabada déwasa dipasrahkeun ka Pangeran Jakerta, nalika rék sapatemon terus kaluar seuneu tina laranganana, saterusna dipénta ku Ratu Cirebon bakal dipigarwa, tapi kaluar seuneu tina laranganana, terus dipasrahkeun ka Kiai Gedeng Mataram, nalika rék sapatemon, kaluar seuneu tina laranganana. Sabab kitu dianggap taya gunana, tuluy dijual ka Ratu Walanda (ditukeuran ku)  bedil (mariem), mariepam éta dibagi: Mataram Si Gunturgeni, Cirebon Si Santomi, ka Banten si Amuk. Terus putra SIliwangi anu lahir ti Padnawati diwastaan Ranggamantri, terus apuputra Selawati, Ratu Selawati apuputra Sang Adipati nganjrek di Kuningan. Anu saurang diwastaan Ratu Sedalarang. Terus apuputra Perbu Cakradewa, Prabu Cakradewa apuputra Singacala.

Terus saurang putrana Kidangpananjung diwastaan Perbu Sari apuputra dua, anu diwastaan Borosngora, ditempatkeun di Panjalu, anu saurang ldeui aya di Rajapolah. Ari putra Ratu Komara diwastaan Dewaguru, Dewaguru apuputra Guruhaji, Guruhaji apuputra Hajiputih, Hajiputih apuputra Susuhunan Gösanhulun, Susuhunan Gösanhulun apuputra Pangeran Sumedang Kahiangan jalmaan ti Komara diwastaan Batara Tuntungbuwana nganjrek di Sumedanglarang.

11) Ari putrana, anu diwastaan Banyakkudika anu lahir di Lopasir, anu saurang nganjrek di Bandung, anu saurang nganjrek di Kahuripan. Ari putra Marajasakti tujuh lobana, anu saurang Ratu Roban, nganjrek di Roban, anu saurang Ratu Gelukherang nganjrek di Tanjungbang, anu saurang Ratu Jalakronceak nganjrek di Wirasa, anu saurang Ratu Batagurun nganjrek di Guha Upas, anu aya di Lakbok, diwastaan Sanghiang Pasarean, anu saurang Ratu Romangelanherang di Guha Pajajaran, tah éta Siluman Tujuh di Wétan. Putra Ratu Komara diwastaan Batara Niskala, terus apuputra Marajahiang Niskala.Tah ieu Cirebon. Putra Baginda Ali diwastaan Jenal Abidin, putrana anu katujuh dipasrahkeun ka Syekh Magrib, diwastaan Molana Kasan, apuputra Ratu Campa apuputra Nyai Gedeng Campa. Nyai Gedeng Campa apuputra Haji Duta Samud, anu apuputra Nyai Gedeng Jatiswara, Nyai Gedeng Jatiswara apuputra Sunan Jati, Susunan Jati apuputra Sabakingking di Banten.

12) Tamat Kitab Waruga Jagat, anggeus ditulis dina malem Salasa bulan Zulhijjah, tanggal dalapan, taun Alip, Hijrah 1117.

Anu bogana Mas Ngabehi Parana.Disalin tina bahan nu aya di “Australian National Library”, Canberra ACT – Australia.

Sydney, 25 Desember 2011, Ki H. Dr. Iwan Natapradja

Categories:


Sunda, Kujang, Keris, Nusantara dan Nagara (Menyingkap Tabir Serpihan Sejarah Perjalanan Leluhur)

$
0
0

Hunggg…..Ahunggg
Om Swastyastu
Sampurasun
Hong Basuki Langgeng

Peradaban “Sunda” telah ada antara 30.000-12.000 tahun Sebelum Masehi, jauh lebih tua dari peradaban bangsa Mesir (6000 SM). Namun demikian perlu dipahami terlebih dahulu bahwa istilah “SUNDA” sama sekali bukan nama etnis (suku) yang tinggal di Jawa Barat, sebab Sunda merupakan nama wilayah besar yang ditimbulkan oleh adanya ajaran “SUNDAYANA” (yana=ajaran) yang disebarluaskan oleh Maharaja Resi Prabhu Sindhu-La-Hyang (bapak dari Da Hyang Su-Umbi=Dayang Sumbi). Inti ajaran Prabhu Sindhu atau Sintho (di Jepang) dan di India menjadi HINDU (Hindus) adalah ajaran ‘budhi-pekerti’ dan ketata-negaraan yang disebut sebagai La-Hyang Salaka Domas dan La-Hyang Salaka Nagara.

Sebenarnya negara kita memiliki beberapa nama, namun pada umumnya bangsa Indonesia hanya mengenal nama “Nusantara” saja, padahal awalnya bernama: “Dirgantara” kemudian menjadi “Swargantara” lalu menjadi “Dwipantara” setelah itu menjadi “Nusantara” dan kini disebut “Indonesia”.

Lalu apa kaitannya dengan Kujang? Kenapa pula dianggap Kujang lebih tua dari Keris? dan apa sebabnya Kujang sering dikaitkan dengan Sunda? oleh sebab-sebab itulah kita harus melihat runtun kejadian di negara kita melalui catatan sejarah dan bukan mithos.

Pada dasarnya penggambaran Kujang itu sama dengan Garuda Pancasila di jaman sekarang. Artinya, kujang sama dengan lambang negara yang mengandung inti ajaran kenegaraan (ideologi bangsa) atau ageman (agama) bangsa.

Kujang merupakan simbol “Api” (atau Ra = api kehidupan) bagi masyarakat pegunungan (dataran tinggi), dan kelak ketika negera ini mengembangkan diri menjadi Kerajaan Maritim maka lahirlah bentuk Keris sebagai simbol Air (Naga atau dunia wanita/Ibu atau Ibu Pertiwi).
Singkatnya, Kujang sebagai “Ra” dan Keris sebagai “Naga”, maka terbentuklah konsep NAGA dan RA, lalu kita menyebutnya sebagai NAGARA atau NEGARA.

Jaman Dirganta-Ra (Wilayah api kehidupan yang bercahaya) artinya Kujang dijadikan sebagai simbol Batara Durga (Api yang memberi kehidupan).

Jaman Swarganta-Ra (Wilayah kehidupan mandiri yang bercahaya) artinya Kujang = sebagai simbol Matahari (Sang Hyang Manon).

Jaman Dwipanta-Ra (Kehidupan Negeri Cahaya Kembar / Merah-Putih) artinya Kujang = sebagai simbol ajaran cahaya (merah/api/matahari) atau Salaka Domas, dan Keris = sebagai simbol negara air (maritim) atau Salaka Nagara artinya lahirnya konsep CAHAYA KEMBAR (Dwi) Naga dan Ra dengan simbol Kujang dan Keris atau Merah dan Putih (Vertikal dan Horisontal).

Maka itu sebabnya pula Prabhu Air Langga (tahun 1000 Masehi) disimbolkan mengendarai Garuda Wisnu (Menunggang seekor burung yang berdiri (bertumpu) di atas Naga/ular) yang mensiratkan era Banjaran Nagara.

Jaman Nusantara (Gerak/Kehidupan Manusa Cahaya) artinya menggambarkan lahirnya Panji Cahaya (Bende-Ra) sebagai lambang Negara (bendara Merah-Putih). Sebagai negara Maritim dalam era ini Keris lebih banyak berperan dibandingkan Kujang. Pada zaman ini dikenal sebagai era Pajajaran Nagara.

Jaman Indonesia (konsep negara Re-Publik), kerajaan diruntuhkan dan direbut atau dirampok oleh rakyat (Ra-Hayat).

* Kujang = simbol Batara Durga = simbol Dewa Api = simbol negara Matahari = simbol Salaka Domas = simbol Merah = Horisontal

* Keris = simbol Dewa Air = simbol negara Maritim = simbol Salaka Nagara = simbol Putih = Vertikal

Dengan demikian makna “Bende-Ra” sama sekali jauh berbeda dengan “flag” (bahasa Inggris) sebab Merah-Putih adalah lambang kehidupan keagamaan dan kenegaraan bangsa yang telah mampu menciptakan sistem tanda yang agung. Keunggulan dan keagungan suatu bangsa ditandai oleh kemampuan mereka dalam menciptakan sistem tanda untuk berkomunikasi, dan bangsa kita sudah melakukannya sejak ribuan tahun lalu….!

Pun Sapun…Paralun
Ka pupunclak Agung
Sang Rama, Sang Ratu, Sang Resi
Sabab geus loba anu nyambat ka Pajajaran
Kaula nyatur sabab Kujang geus aya anu neang

Rahayu Rahayu Rahayu
Om Santih Santih Santih Om

♡ Jero Mangku Danu©
20 Juli 2016

* Disarikan dari: Yuganing Raja Kawasa

https://www.google.co.id/amp/s/dharmavada.wordpress.com/2016/07/21/%E2%80%8Bsunda-kujang-keris-nusantara-dan-nagara-menyingkap-tabir-serpihan-sejarah-perjalanan-leluhur/amp/


My Goodreads Bokks Choice 2017

PERNYATAAN KEMERDEKAAN ADALAH PERNYATAAN BUDAYA

$
0
0

oleh Sri-Edi Swasono

Tuntutan kemerdekaan mentransformasi diri sebagai tudingan terhadap Majelis Hakim di Pengadilan Den Haag (1928):
“…
lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-
embel bangsa lain…”.

Joan Robinson (1962), ekonom Cambridge, mengatakan:
“…ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme…mazhab klasik menjagoi perdagangan-bebas karena menguntungkan bagi Inggris,
bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia…”
. Sedangkan Leah Greenfeld (2001), ekonom Harvard, mengatakan:
“…pertumbuhan berkesinambungan perekonomian modern ternyata tidak dengan sendirinya berlangsung berkelanjutan, pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme…”. Sementara itu Widjojo Soejono (2012) menegaskan:
“…kewaspadaan(vigilance)adalah harga kemerdekaan yang setiap nasionalis siap untuk membayarnya…”.


***

Pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan kemerdekaan tak lain adalah suatu pernyataan budaya, yaitu budaya untuk menegakkan onafhankelijkheid – melepaskan diri dari ketergantungan, tidak lagi berlindung dari belas kasihan penjajahan, keberanian melepaskan diri dari ketertundukan sebagai koelie di negeri sendiri, menegaskan diri sebagai tuan di negeri sendiri, suatu pernyataan budaya meninggalkan underdog mentality-nya kaum inlander. Kesadaran-kesadaran berdaulat, mandiri, berharkat martabat, berkehidupan cerdas (tidak sekedar berotak cerdas), tangguh, digdaya, dan mandraguna, merupakan tuntutan budaya yang harus dipenuhi sebagai bangsa merdeka. Barangkali kita gagal
unlearning untuk memenuhi tuntutan-tuntutan budaya itu, kita alpa tidak segera menggariskan strategi budaya sebagai bangsa merdeka. Kita lengah-budaya menerima liberalisme dan kapitalisme. Kita terjerumus mengejar-ngejar to have more, lupa mengejar to be more . Kita terjerumus mengejar
„nilai-tambah ekonomi‟. Pembangunan nasional harusnya mengejar pula „
nilai-tambah sosial-kultural ‟ agar mampu meraih makna to be more
itu. Akibatnya hasil utama pembangunan adalah pertumbuhan PDB,
itu pun cuma 6%. Beginilah bila pembangunan lebih mengutamakan
„daulat-pasar‟-nya liberalisme dan kapitalisme, bukan mengutamakan „dau
lat-rakyat‟.

Dengan pertumbuhan PDB sekedarnya itu kita sebaliknya banyak kehilangan kedaulatan nasional: kita tidak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, transportasi, kelautan, pertahanan (mesiu), tataguna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tidak berdaulat dalam legitasi nasional. Bambang Ismawan (15/10/14) sempat mencemaskan 60% penguasaan industri penting berada di tangan asing. Bagaimana keterjajahan ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya kita ajarkan di klas-klas ratusan fakultas ekonomi di Indonesia? Berapa banyak lagi kedaulatan nasional akan terenggut oleh keterjajahan akademis ini? ***

Keterjajahan baru ini seharusnya menumbuhkan perlawanan, bukan kepasrahan, selama nasionalisme masih di kandung badan. Seharusnya kita tidak perlu cemas sebagaimana dicemaskan Wakil Bupati Sleman (17/10/14):
“…jangan heran orang-orang Singapura nanti berjualan buah di Sleman… jangan kaget orang-orang Malaysia berjualan di pasar tradisional kita…”.

Kita harus selekasnya mengoreksi kelengahan-budaya ini dengan mengakhiri servilisme diri. Kita tidak anti asing, tetapi kita tidak boleh membiarkan dan harus menolak ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi bukan ajang penyerahan kedaulatan. Masyarakat Ekonomi ASEAN harus tetap merupakan forum kerjasama, bukan forum persaingan apalagi pengangkangan dan ajang perampokan predatorik aset dan kepentingan nasional kita. *** Seharusnyalah kita mampu mewujudkan “pembangunan Indonesia”, bukan sekedar “pembangunan di Indonesia”. Kita sendiri harus mampu menjadi aktor
-aktor proaktif pembangunan nasional, bukan sekedar menjadi penonton. Para pemimpin kita tidak seharusnya tiba-tiba saja kagum kepada investor asing seolah-olah investor asing adalah Deus ex machina–Dewa penolong,
lalu lupa tanggungjawabnya untuk mandiri dan menyelamatkan penderitaan rakyat. Kita mengibar-ngibarkan bendera ekstravagansa Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangungan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang asal-usulnya karya-rekaan mancanegara, yang bukan karya anak-negeri melalui BAPPENAS, di situlah Indonesia “menari atas kendang orang lain”.

Di MP3EI ada puncak pimpinan (Presiden, Wapres serta Ketua Harian) ada pula Badan Koordinasi, ada Komite (KP3EI yang didirikan 20/5/11), dan ada keanggotaannya yang berisi hampir seluruh anggota Kabinet, ada Badan Pelaksana, ada Tim Kerja Wilayah dst. Namun hingga sekarang kita belum menyaksikan hasil menakjubkan MP3EI, kecuali perkembangan infrastruktur secara rutin-rutin saja selama 2011-2014. Barangkali ini justru merupakan berkah karena MP3EI menawarkan kegiatan dan sarana pembangunan nasional teramat strategis kepada investor-investor asing, yang malahan bisa menjadikan kita tergantung atau tergadai dalam sistem pengelolaan asing. Amat terasa, berkat ke-inlander-an kita, para investor asing diposisikan sebagai Dewa Penolong bagi Indonesia.

Kita beruntung bahwa pemerintahan Jokowi-JK telah bersumpah setia pada Doktrin Trisakti, sehingga MP3EI gaya baru yang apapun tidak membuat Indonesia menjadi ajang bancaan dan jarahan asing, kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Tidak boleh lagi ada menteri yang hanya bisa manufacturing hope, tetapi harus bisa manufacturing miracles. ***

Nasionalisme dan rasa berkedaulatan harus menjadi panduan bagi birokrasi Indonesia menghadapi globalisasi. Dalam pertemuan KTT APEC di pinggiran Beijing baru-baru ini, suasana batin Asia Pacific Economic Cooperation
tercemari dengan semangat economic competition, di mana seorang Kepala Negara sempat tergelincir lidah, melenceng dari mindset kerjasama, menggunakan istilah “bersaing”, mengucapkan perkataan“fair competition” 
dalam APEC yang sebenarnya adalah forum kerjasama. Berdasar titik-tolak di atas, maka globalisasi harus kita hadapi melalui pendekatan beraliansi dalam
scheme kerjasama pula, baik substansi maupun mekanismenya. Kita harus proaktif ikut berperan dalam the United Nations (PBB), WTO, APEC dan ASEAN-Economic Community, dst dst, yang pada hakikatnya masing-
masing merupakan “forum kerjasama” – bukan “forum bersaing”, semua paket kerjasama harus disetujui in good faith oleh semua pihak yang bekerjasama. Prinsip kerjasama harus saling mengamankan konstitusi, kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing negara. Dalam kerjasama ekonomi internasional proteksi dan subsidi tidak perlu diharamkan, keduanya harus tetap merupakan pilihan sebagai stimulus dan motivasi melaksanakan pembangunan nasional kita. Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat kebersamaan. Sebaliknya kerjasama global harus lebih ditonjolkan demi meredam persaingan yang saling merugikan. Kerjasama bukanlah suatu konspirasi. Kerjasama adalah upaya bersama untuk saling dukung-mendukung bergotong-royong demi mencari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak lain yang lebih lemah dan lengah. Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab global.

Guru Besar UI Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa



REVOLUSI MENTAL,  SAATNYA KEMBALI BERPEDOMAN PADA KEARIFAN LELUHUR SUNDALAND-NUSANTARA

$
0
0

 Oleh Ahmad Yanuana Samantho

 

Bismillahirahmanirrahim,

Allahuma Shalli ala Muhammad w ala Aaali Muhammad wa ajjil farojahum,

 

Perkembangan pemikiran umat manusia di dunia ini, Alhamdulillah, pada kenyataannya tidaklah statis dan stagnan. Walaupun mungkin belum menjadi trend yang mainstream (arus utama) dalam prosesnya, namum perkembangan positif itu lahir ada sejak akhir abad 20 dan berlanjut kini pada awal abad 21.

Sebagaimana kita ketahui, dan ini juga yang dijelaskan Asy-Syahid Murthada Mutahhari, bahwa arus sejarah dan perkembangan peradaban umat manusia dan bangsa-bangsa, sangatlah tergantung dari bagaimana pola pikir dan cara pandang dunia (worldview, weltanshaung) atau falsafah-ideology dan moral-mental yang hidup dan beroperasi pada mayoritas warga bangsa atau elit dominan pembangun peradaban tersebut. Pola tindak dan berbagai peristiwa sejarah, tak  mungkin terlepas dari pola pikir para pelaku sejarah tersebut, yang menghasilkan peristiwa, aksi dan berbagai fenomena, baik sosial, politik ekonomi, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan lingkungan hidup ekologis, dll.

Kini sudah mulai banyak pemikir dunia dan kaum intelektual dunia melihat bahwa Peradaban Barat yang masih dominan saat ini, sudah mulai menghadapi saat-saat kehancurannya. Kemunduran dan kehancuran ekologis, sosial-politik-ekonomi dan budaya yang semakin mewabah dan menjadi lingkaran setan yang tak berujung. Kekerasan terorisme, kejahatan pembunuhan/penembakan massal dan peran, kehancuran institusi keluarga, moral  dan budaya akibat narkotika, sex bebas dan LGBT semakin kerap muncul di Negara adidaya Amerika dan Negara-negara blok Barat (dan juga Timur Jauh dan Timur-Tengah) yang berada di bawah pengaruhnya (kolonialisme dan Imperialisme-nya). Kehancuran institusi politik-ekonomi lingkungan dan sosial menjadi semakin mewabah akibat korupsi-kolusi dan nepotisme, yang diakibatkan keserakahan yang didorong oleh pola pikir (falsafah-ideologi) individualisme-hedonisme-materialisme-sekularisme-atheisme, dan egoism deterministik-atomistik sektarian dalam bungkus falsafah-ideologi dan ilmu pengetahuan dan teknologi (science-technology) modern global. Modernisme tesebut jelas-jelas menentang dan berlawanan dengan ajaran tradisional suci dan kebijaksanaan abadi agama-agama dunia (Traditional Sacred Science & Perennial Wisdom) yang sudah ber-ribu tahun (lintas millennium) hadir pada sejarah dan peradaban-peradaban umat manusia.

Modernisme-materialisme tersebut telah semakin menampakan hakikat wajah buruk dan efek satanic-nya yang merusak, ketimbang janji-janji palsu (PHP) akan kebebasan, persaudaraan, kemajuan dan kesejahteraan (liberte, egalite, progress dan fraternite) yang digaungkan para filosof dan ilmuwan modern sejak Revolusi Perancis di paruh kedua abad ke 16 Masehi.

Secara hipotetis-filosofis dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional mutakhir yang dihadapi umat manusia saat ini adalah efek negatif dari Materialisme dalam Modernisme dan Postmodernisme yang telah semakin meningkat dan terbukti secara bersamaan dari hari ke hari di era kontemporer ini. Sayangnya tidak cukup banyak jumlah orang yang menyadari bahwa krisis multidimensional global dalam seluruh kehidupan manusia hari ini, adalah benar-benar secara asasi berakar lebih dalam pada  paradigma filosofis Modernisme-Materialis mereka.

Masalah utama modernisme (dan juga postmodernisme) pada kehidupan manusia modern disebabkan oleh dominasi pandangan dunia sekuler-materialistik (materialisme, humanisme sekuler dan sekularisme) yang bercampur dengan agnostisisme, antropho-sentrisme dan ateisme, sebagai alat dan “filosofi dasar” ideologi materialisme liberalisme-kapitalisme.[1]

Pada gilirannya dominasi, modernisme sekuler-materialistik ini telah menyebabkan banyak masalah krusial dan gawat bagi kehidupan manusia di bumi. Krisis multidimensi  yang terjadi  dari hari ke hari, telah menakutkan sebagian besar orang di dunia saat ini, tanpa manusia modern dapat memecahkan masalah mendasar mereka secara tuntas dan komprehensif. Masalah ini akan penulis elaborasi  dalam deskripsi analitis berikutnya tentang masalah modernisme,  kritik modernisme dan postmodernisme juga dan solusi alternatif untuk masalah tersebut menurut sudut pandang Seyyed Hossein Nasr. Menurut penulis, analisa Seyyed Hopssein Nars ini juga ternyata sangat relevan dan menemukan kesinambungan akarnya pada Kearifal lokal tradisional suci dan perennial bangsa kita di Sundaland-Nusantara (Asia Tenggara)

Dalam mengambarkan kondisi kehidupan umat manusia moderen saat ini, menurut Seyyed Hussein Nasr, manusia modern telah terusir ke tepian lingkaran roda realitas eksistensialnya (keberadaan nyata sejatinya), yang jauh dari porosnya. Ini adalah krisis eksistensial yang diderita oleh manusia modern, karena mereka melupakan realitas diri mereka sendiri. Nasr menulis:

“Dunia masih terlihat oleh diatur kekuatan dan elemen yang  kosong dari suatu horizon spiritual, bukan karena tidak hadirnya cakrawala spiritual  seperti  itu, tapi karena mereka  seringkali memandang lanskap kontemporernya  seperti manusia yang tinggal di tepian lingkaran roda eksistensi dan karena itu memandang segala sesuatu dari pinggiran lingkaran roda keberadaan. Dia tetap acuh tak acuh terhadap jari-jari roda dan benar-benar tidak menyadari Sumbu dan Pusatnya, yang bagaimanapun tetap tak pernah diakses ke tengahnya dari pinggirannya.”

“Masalah kehancuran yang dibawa teknologi kepada lingkungan, yang menyebabkan krisis ekologi dan sejenisnya, semua itu  adalah masalah akibat penyakit amnesia atau lupa diri yang diderita manusia modern serta post-modern. Manusia modern telah lupa siapa hakikat jati dirinya. Hidupnya berada di pinggiran lingkaran eksistensinya sendiri, walau ia telah mampu untuk mendapatkan kuantitas pengetahuan yang banyak tapi dangkal kualitas ilmu pengetahuan dunianya. Dia telah memproyeksikan hanya citra kulit luaran dan dangkal pengetahuan tentang dirinya mengenai dunia.”[2]

Menurut Nasr,  di dunia Barat manusia pertama-tama memberontak terhadap pengaruh Spiritual Langitan akibat pengaruh falsafah-ideologi humanisme zaman Renaissance di Eropa Abab 16; pada saat awal ilmu poengetahuan (science) modern hadir mewujud. Antropologi humanistik renaissance adalah latar belakang yang mendorong Revolusi Ilmiah pada abad ketujuh belas dan penciptaan Ilmu pengetahuan yang meskipun di satu sisi bersifat manusiawi, dalam arti lain, akal rasional manusia dianggap yang paling anthropomorphic dan bentuk ilmu pengetahuan yang paling mungkin, itu yang menjadikan nalar humanisme dan data empiris yang hanya didasarkan pada indera manusia sebagai satu-satunya kriteria untuk keabsahan (validitas) kebenaran semua pengetahuan.[3]

Nasr juga menyatakan bahwa dekadensi kemanusiaan di zaman modern ini disebabkan oleh hilangnya kemanusiaan dari humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan) di zaman modern ini, yang disebabkan oleh karena manusia  telah kehilangan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri dan juga tentang Diri yang sejatinya, yang sebenarnya ia selalu memilikinya, dan karena ketergantungannya pada sebuah sudut pandang luar, sebuah pengetahuan tentang dirinya sendiri yang supevisial (dibuat-buat), yang ia berusaha untuk mendapatkan hanya dari luar lingkaran. Secara harfiah ini adalah pengetahuan “dangkal” yang diambil dari pingir lingkaran dan tanpa sebuah kesadaran diri akan poros roda dan jari-jari yang dapat menghubungkan dia seperti sinar cahaya matahari ilahiah.[4]

Berbeda dengan filsafat-ideologi materialisme Barat Sekuler, pandangan dunia dan kosmologi-teologis tradisional Sunda dan Jawa, serta suku etnios lain di Nusantara, sebagaimana yang terjabar dalam ageman Sunda Wiwitan / Sunda Buhun dan kepercayaan Kapitayan Jawa, sangat berpusat kepada “Realitas Ketuhanan Yang Maha Esa”: Sang Hyang Tunggal, Sangkan Paraning Dhumadi (asal-usul Semua Keberadaan (Being-Existence). Kosmologi Nusantara yang tergambar dalam moto “Bhineka Tunggal Ika”, “Tan Hanna Dharma Mangwa” , “Mulih ka Jati Mulang ka Asal” adalah identik dengan konsep Islam Muhammadi: “Inna lilahi wa ilaihi Rojiun). Sang Hyang Widhi-Wasa, Sang Hyang Manon (Tuhan Yang Maha Melihat).

Modernisme, sebagai sebuah pandangan dunia materialistik-sekuler dan paradigma filosofis yang masih dominan pada sebagian besar kebanyakan orang di dunia sejak zaman modern sampai sekarang, menurut hipotesa Nasr, dan juga terawangan banyak cerdik cendikia dunia yang tercerahkan, telah menyebabkan banyak masalah dan mendorong krisis multidimensional bagi kehidupan manusia.

Masalah kedua yang muncul sebagai reaksi ekstrim terhadap modernisme – adalah munculnya “fundamentalisme” ekstrim  paham keagamaaan di mana mereka melakukan penafsiran harfiah (literal) yang salah dan aplikasi religius yang salah (terutama dalam aspek eksoterisme / kulit luaran Islam) yang diajarkan hari ini. Pada satu sisi hal ini juga akhinya telah menyebabkan berbagai bencana terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan  ajaran Agama Islam dan Tuhan.

Setelah kita mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan & krisis modernisme, seberapa jauh kita bisa menawarkan paradigma alternatif baru untuk memecahkan masalah tersebut? Apa itu paradigma alternatif baru yang dapat memecahkan masalah tersebut menurut Seyyed Hossein Nasr? Berapa jauh terkait dengan beberapa kesadaran baru, Sophia Perrenialism (kebijaksanaan abadi) dan mistisisme (ilmu suci tradisional) yang telah meningkat dan terlahir kembali di waktu kontemporer baru-baru ini? Bagaimana dan mengapa relevan dengan Teori Fisika Quantum dalam melihat kosmologi baru? Dapatkah filsafat, tradisi dan agama bersatu dan akan menyelaraskan dalam satu paradigma baru holistik-integral (terpadu dan menyeluruh) di masa depan?

Apa yang disarankan oleh Seyyed Hossein Nasr ini tentang pentingnya Traditional Sacred Science (Ilmu Pengetahuan Sakral/Suci Tradisional) serta Sophia Perennialisme (Kearifan Kuno-Abadi) ini, ternyata menurut hipothesis penulis menemukan relevansi dan signifikasinya dengan warisan kearifan lokal asli Nusantara atau dengan nilai-nilai dan ajaran tradisional sakral/suci Nusantara yang telah menjadi semacam Sophia Perennialism, yang mungkin tak hanya akan bermanfaat bagi masa depan bangsa kita, tetapi juga akan bermanfaat bagi masa depan kemanusiaan sedunia.

 

 Signifikansi

Buku yang dikembangkan dari hasil penelitian Program Magister Filsafat Islam (2010) di ICAS Universitas Paramadina ini tentu sangat penting dan akan memberikan banyak manfaat dan signifikansi untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa depan kita. Setidaknya hasil penelitian ini sangat signifikan untuk meningkatkan dan membuat dekonstruksi yang berlanjut pada reformulasi (dan rekonstruksi) dari paradigma kita secara filosofis. Pada gilirannya, pada tingkat epistemologi dan aksiologi, pendekatan paradigma holistik dan integral ini dan nilai-nilai dalam pencerahan Filsafat Islam dan Tasawuf Islam (Irfan & Tasawuf) dapat memecahkan banyak masalah manusia modern secara bertahap, baik untuk tujuan individu dan juga dalam sistem sosial-ekonomi-politik-budaya dan di dalam supremasi percerahan terbaru, dan peradaban yang lebih baik.

Lebih spesifik, manfaat yang saya harap dapat tercapai setelah thesis dan buku ini diselesaikan adalah penelitian ini dapat berfungsi sebagai pedoman untuk menyusun ulang filsafat ilmu kita (atau minimal epistemologinya) dan kemudian dapat menjabarkan pandangan dunia baru dan sebuah ideologi yang dapat memainkan peran penting sebagai pedoman untuk proyek rekonstruksi kurikulum ilmu baru dan untuk melakukan penulisan ulang semua isi buku teks dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk keperluan pendidikan dan akademik  menuju rekonstruksi peradaban manusia baru dalam cahaya misi Islam Rahmatan lil ‘Alamin.

Tentu saja ada telah ada beberapa studi yang berkaitan dengan kritik pada modernisme menurut pandangan Seyyed Hossein Nasr, seperti apa yang teman penulis di ICAS Jakarta, Humaedi telah tulis dalam thesisnya berjudul: “Konsep Nasr dalam Knowledge: Pengetahuan Sakral, kontribusi kepada Epistemologi Modern “

Tentu saja bahwa beberapa studi yang juga berkaitan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr dan kritiknya kepada modernisme dan post modernisme sangat berguna untuk penelitian penulis sebagai referensi, terutama untuk  pemahaman dan deskripsi latar belakang thesis penulis & rumusan masalah yang  akan penulis pelajari.

Penelitian thesis penulis lebih fokus pada relevansi resep Nasr atau saran untuk mempromosikan ilmu pengetahuan suci atau pandangan tradisional agamis dan mistisisme atau esoterisme sebagai kebijaksanaan abadi (Sophia Perennis) untuk memecahkan masalah modernisme dan postmodernisme. Paradigma alternatif  tentangSacred Science dan Perennial Wisdom ini akan diikuti oleh elaborasi penulis terkait dengan kecenderungan terbaru dan wacana dalam pengembangan atau penemuan ilmu fisika baru terutama dalam teori fisika kuantum yang memiliki hubungan yang kuat dengan kesadaran (consciousness) yang baru dalam ilmu: filsafat ilmu pengetahuan integral dan holistik dan pandangan agama (Paradigma holistik-Integral). Pendekatan ini dan pilihan untuk topik ini, saya pikir masih unik dan memiliki studi asli di bidang penelitian Filsafat Islam.

 


WARISAN KEARIFAN DAN  KETELADANAN PRABU SILIWANGI

$
0
0

 

 

Oleh Ahmad Yanuana Samantho

(Penulis beberapa buku sejarah dan Buku Kerajaan Pakuan Pajajaran di Tengah Pusaran Sejarah Dunia, Sekretaris 2 Sunda Ormas Langgeng Wisesa/SLW)

Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pusaran Sejarah Dunia

Kepopuleran Prabu Siliwangi di kalangan masyarakat Sunda dan Nusantara sangatlah tinggi, sehingga kadang melampaui dimensi sejarah dan menembus batas mitologis dan legendaris. Namun demikian, bagi sebagian generasi muda –yang sudah banyak terpapar dan terimbas teknologi informasi modernisme global-  legenda sejarah Prabu Siliwangi itu belumlah terlalu menyebar merata, Padahal warisannya sangat berharga bagi masa depan mereka, dan kita semua.

Tulisan ringkas ini mencoba mengais kembali apa yang masih tersisa dan selayaknya dilestarikan dari kearifan budaya dan karakter adab leluhur Sunda tersebut, yang tentunya tidak hanya akan bermanfaat bagi orang Sunda saja, tetapi juga bagi bangsa kita Indonesia dan bahkan bagi kemanusiaan sedunia, saat ini.

Walaupun banyak informasi tentang Ketokohan Eyang Prabu Siliwang yang tidak hanya merujuk kepada satu tokoh Raja Sunda Pakuan Pajajaran historis saja, namun secara umum merujuk kepada Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata (sebagaimana namanya tercatat dalam Prasasti Batu Tulis yang ada di Bogor).

Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 M (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan BatutulisKecamatan Bogor SelatanKota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap sebagai penanda lokasi situs ibu kota Pajajaran.[1] Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (putra Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja, yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran  ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:

0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu

diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri

baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé-
wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-
kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu

ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-

la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga
rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca pandawa ‘(m)ban bumi 0 0

Sejarawah dan Ilmuwan Saléh Danasasmita, menterjemahkannya isi prasasti  itu demikian:[2]

Yang artinya:

“Semoga selamat, inilah tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.

Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”.

Dengan demikian keberadaan Kerajaan Pakuan Pajajaran Bogor tidak bisa dibantah lagi bukti-buktinya, walaupun ada salah seorang sejarawan yang menolak dan menganggap Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi-nya cuma mitos saja[3]. Salah satunya yang terkuat adalah Prasasti Batutulis yang sudah diterjemahkan bahasanya, script atau tulisannya oleh beberapa ahli, di antaranya oleh Friederich (1853), Holle (1869), Pleyte (1911), Purbacaraka (1921),  dan Noorduyn (1957).

Orang Portugis yang mengunjungi Pakuan dalam pertengahan Agustus 1522 untuk memenuhi undangan Prabu Surawisesa, putera serta pengganti Sri Baduga mencatat bahwa penduduk Pakuan kira kira 50.000 orang (belum termasuk penduduk sekitar kota)

Tome Pires dari Portugis itu uga mencatat kemajuan pada jaman Sri Baduga: ”The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men”. (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang orang jujur)  juga diberitakan bahwa bahwa kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke Kepulauan Maladewa (Afrika) dan produksi lada yang mencapai hasil 1000 bahar setahun, bahkan hasil komoditi dagang tamarin (asem) cukup untuk mengisi muatan seribu buah kapal dan perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4 ribu ekor setahun.

Demikian informasi yang dapat kita ketahui mengenai situasi masa lalu termasuk situasi masa lalu kota yang kita sebut “Bogor” sekarang. Menurut Pustaka Nusantara III/I dan Krethabumi I/2 “Pajajaran/Kota Pakuan lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 mei 1579 Masehi akibat serbuan Maulana Yusuf (cicit Sri Baduga Maharaja) dari Kesultanan Banten.”

Waktu antara Pajajaran sirna sampai “ditemukan” kembali oleh ekspedisi VOC yang dipimpin oleh Scipio (1703) berlangsung kira-kira seratus tahun. Kota kerajaan yang pernah berpenghuni 50.000 orang ini ditemukan olah team ekspedisi Scipio sudah menjadi ”puing-puing yang diselimuti oleh hutan tua” (“geheel met out bosch begroeijt zijnde).

 

Warisan Kearifan

 

Keadilan dan kemuliaan serta pengabdian Raja Sunda Prabu Siliwangi yang disaksikan oleh Tome Pires dan oleh banyak rakyat Kerajaan Pakuan Pajajaran, bahkan diakui hingga kini. Semua itu adalah karena Eyang Prabu Siliwangi memiliki pandangan dunia atau kesadaran falsafah prinsipil yang demikian:  “Jirim, Jisim, Karsa angina Karsa Gusti” (Bahwa sesungguhnya segala lakon hamba hanyalah rencana dari Tuhan YME, Hanyalah pinjaman dari Gusti Pangeran).

Kesadaran sebagai manifestasi ilahiyah itulah yang menjadikan karakter kepemimpinan Eyang Prabu Siliwangi mewujudkan jiwa: 1. Kasuran (pengabdian tersehadap sesama, alam dan Tuhan YME), 2. Kadiran (Tangguh dalam strategi politik), 3.Kawanen (Berani bertindak), 4.Ngaping Seweu Putu ( Mampu melayani rakyatnya), 5.Ngemplong Taya Aling-aling (Keterbukaan Diplomatik dalam membuka hubungan internasional seluas-luasnya),

Lima jiWa kepemimpinan di atas, pada praktisnya mewujud kalam pola ucap, pola sikap dan pola tindak Eyang Prabu Siliwangi, yang selayaknya kita teladani di masa kini dan masa depan, demi kejayaan negeri. Dalam pola Ucapan (budi bahasa) Prabu Siliwangi berkarakter : 1.  Ajen Wewesen (Berbudi luhur, sehingga mampu mentransformasi visi dan missi bersama), 2. Teas Perep Lemes Usap (Disiplin dan teguh dalam mempertahankan komitmen), 3. Pageuh Kepel, Lega Awur (Hemat/tidak boros tapi sekaligus dermawan, dengan langkah yang efektif dan efisien).

Dalam Pola Sikapnya, Eyang Prabu Siliwangi memilik karakter: 1. Satria Nupinandita (Kesatria militant yang dapat dipercaya dan shaleh seperti pendeta), 2. Mawusana Panya Trawan (menghentikan permusuhan), 2. Mitra Samaya (saling bekerjasama), 3. Pribhaksa (menghindari Dendam).

Dan menjelang puncaknya, dalam pola tindakan atau perilaku Eyang Prabu Siliwangi memberi contoh teladan perwujudan karakter: “Silih Asih, Silih Asah Silih Asuh” (yang bermakna bahwa kita sesama umat manusia harus saling mengasihi/mencintai, saling mengasah atau mengingatkan dan memperbaiki (ishlah), dan saling mengasuh/membina dan merawat satu sama lain, sehingga terciptalah pola kehidupan mulian Silih Wawangian (saling mengharumkan), atau dalam bahasa Islamnya, terwujudkan Rahmatan lil Aalamin dan Ukhuwah Bashoriyah/Persaudaran Kemanusiaan) sebagai manifestasi kehendak Tuhan YME Rabb al-Alamin.

Dengan bekal semua nilai-nilai luhur suci mulia itulah maka akan mengantarkan umat manusia sedunia (tatar Sunda Sa’amparen jagat) menjadi: 1, Mahardika (kemerdekaan umat manusia daripada belenggu ketertawanan/kezaliman dalam kehidupannya), 2. Papapura (saling menghargai dan tidak saling menguasai kewenangan wilayah masing-masing, atau saling menghargai otoritas, 3. Maryada Sakeng Situtu  (Saling menghargai atas hak ahli waris yang sah).

Pada puncak tertingginya, ajaran tradisi suci-mulia Eyang Prabu Siliwangi inilah yang akan mampu melahirkan kualitas manusia berkarakter “Manusa Wisesa” (Manusia Bijaksana atau Insan Kamil), sebagaimana yang juga menjadi visi dan missi para Nabi dan Rasulullah sepanjang zaman lintas budaya dan lintas peradaban.

Ajaran tradisi suci mulia yang uninersal dan perennial Prabu Siliwangi ini berakar pada Ageman Sunda Wiwitan, namun juga sangat diapresiasi  oleh Umat Hindu Dharma Bali yang menghormatinya dengan membangun Replika Candi Cangkuang dan Patung Maung Siliwangi di Pure Parahyangan Agung Jagat Karta, Pure Pasar Agung dan Pure Melanting di Desa Tamasari, Ciapus Gunung Salak Bogor. Juga oleh Umat Islam dan para Ulama Persantren di Bogor dengan selalu melaksana Haul Prabu Siliwangi di beberapa Pesantren di Bogor.***(AYS, Kalisuren Bogor, 24 Juli 2017)

 

 

 

AHMAD YANUANA SAMANTHO, SIP, MA, M.Ud

 

HP: 0859 2512 9189

HP & WA : 0821 3215 0170

Alamat: Griya Kalisuren A-4 No.8, RT/RW: 1/14, Desa Kalisuren, Kec. Tajur Halang, Kab Bor 16320

 

Email: ahmadsamantho@gmail.com, ay_samatho@yahoo.com

Website: http://www.ahmadsamantho@wordpress.com

Rek. BCA No. 0952 493 785 an. Ahmad Yanuana Samantho

 

 

[1]  Indonesian palaeography: a history of writing in, Volume 4, Issue 1 By J. G. de Casparis

[2] Dalam bukunya Sajarah Bogor.

[3] Ayip Rosyidi (?)


Kesaksian Dr. H. Soebandrio tentang G-30-S

$
0
0

Kesaksianku tentang G30S
Dr. H. Soebandrio

BAB I

Prolog G-30-S

Konflik Kubu
Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis (PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri.

Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera
dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar.

Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS
ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan
bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer
Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia.

Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA, mereka menggelitik militer
untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan November 1956.

Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta
dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di
Sumatera Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih
kekuasaan, tetapi juga gagal. Militer – dengan pasokan bantuan AS – seperti
mendapat angin untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih
mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal padaBung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.

Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak
stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi
memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi politik
Indonesia, yaitu:
1. Unsur Kekuatan Presiden RI
2. Unsur Kekuatan TNI AD
3. Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur
hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet
Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.

Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani)
dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya
termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.

Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh
sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Land-reform.

Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan.

Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak suka melihat kemesraan
hubungan Soekarno-PKI.Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal mudah.

Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk
membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal
usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh
Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang simpati rakyat dengan
membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD.

Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat
regional (karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga
tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang
pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki kekuatan cukup
potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di belakang Nasution.

Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu.
Soekarno tahu bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang
keroknya adalah Nasution. Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati
persoalan dengan cara membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai
Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi.

Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan.
Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya
Nasution dimasukkan ke dalam kotak.

Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai
Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi intelijen. Akibatnya,hubungan Nasution dengan Yani memburuk.

Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan
elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi,
beberapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer
(Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta situasi yang sesungguhnya.

Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan Nasution dengan A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang, pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.

Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR.

Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah
merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi sangat lemah.

Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas.
Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan.

Dua kubu yang berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili.

Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini
pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam
pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan itu
melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada Presiden RI.

Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.

Politik Muka Dua

Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro.

Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan
pengusaha Cina, Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari
Soeharto, sehingga Liem menjadi pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan
antara Soeharto dan Liem ini, antara lain, menyelundupkan berbagai barang.
Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam
Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu
mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk
kepentingan Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.

Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai
memalukan korps. AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di
mahkamah militer dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto
mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas
mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.

Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori Negara dalam Negara.

Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani
dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah
menempelengnya, sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto berada di dalam Kubu Nasution.

Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk
ketika kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan Nasution – dari perspektif AS – awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.

Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd,
datang sepucuk surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga
Soegama (kelak dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah
Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan
baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.

Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga
indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal.
Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di
Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad Mayjen Soeharto.

Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersama-sama Soeharto
menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan
menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini
diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto-Yoga) dengan
rasa bangga dan tanpa tedeng aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak berdosa.

Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa.
Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan internasional.

Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.

Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta.

Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung.

Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro
bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai Pangdam Diponegoro.

Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk bersama-sama
menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi
Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan waktu.

Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para
perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira
kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau
mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.

Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan.

Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan
Soeharto. Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut -dikatakan Yoga – agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.

Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo,
menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang
diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk
operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah mengusahakan agar
Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali tidak
menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin keduaduanya.

Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu,dalangnya tidak perlu terjun langsung.

Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.

Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri.

Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih mengamankan negara.

Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946
dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka
mengajak kalangan militer Jawa Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan
digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir
dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah kelompok militer di
bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah
seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu.

2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua
batalyon. Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta, esok harinya.

SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat
nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat
nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno.

Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik.

Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku
otobiografinya, Soeharto menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu
Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua.

Embrio Dewan Jenderal

Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yang sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT.

Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan
peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari
senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu
gratis. Juga tanpa syarat.

Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan: Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?

Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut.

Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.

Tetapi – ini yang sangat penting – Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan
Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.

Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah.
Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung
Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia.

Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak
lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik – apalagi membahas sejarah versi Orba – bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?

Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat angkatan dianggap sudah cukup.

Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian
menjadi pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu
menjadi berlarut-larut. Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu.

Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB.
Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima.

Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari
Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima.

Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi
10 AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto.

Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno.
Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam
kemudian mestinya ia menghadap Presiden.

BAB II
Gerakan Yang Dipelintir

Bung Karno Masuk Angin

Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965.

Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.

Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI – yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan.

Akhirnya meletus G30S.

Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang
G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.

Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana
Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat
dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.

Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina
yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain:
Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa.
Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.

Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu
juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini.

Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung
Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.

Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas
disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk
mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI.

Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika
membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan
cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta.

Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok
Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD.
Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke
rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan
Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih
menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan
mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak
buku.

Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance
sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa
namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya
dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat
G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.

Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu
tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga
tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?

Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan
ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasiprovokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan – dengan seolah-olah terpaksa – membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.

Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak.

Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas.

Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga
tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.

Dewan Jenderal

Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti
diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana
sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.

Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan
Kelima itu. Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide
Bung Karno itu. Empat angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden.

Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.

Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana.
Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak
menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen Gatot Subroto.

Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh.

Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung
Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana – Cakra Birawa – ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan
keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung.

Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh
Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung
(lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).

Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.

Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari
Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.

Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu
datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut
terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI. Mereka
cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain:
Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.

Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.

Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu – adalah sebagai
berikut:

Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.

Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan
Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu.
Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas
gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa
Dewan Jenderal – yang semula kabar angin – benar-benar ada.

Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen
Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia)
dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada
Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan IndonesiaInggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malaysia mengirimkan pasukan ke Borneo.

Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya
mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah
dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut
laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar
Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika.

Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari
berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.

Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan
kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia.

Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup
dilakukan bersama ’our local army friends.’

Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah
melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu
beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.

Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden
Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar.

Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tandatanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.

Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat
provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang
memang tidak stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal.
Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?

Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah
provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan.

Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu
sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S
Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal
adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.

Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman
bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti.

Jangan hanya percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi
akan mencarikan bukti Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan – mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani.

Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama
sekali tidak mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal
benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali.

Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.

Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak
berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.

Peran Amerika Serikat

Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno
cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno.

Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di
Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus aman.

Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di
Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya.

Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan – sehingga PKI masuk ladang pembantaian – sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.

Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan
perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh
PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.

Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa
membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani
terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain
Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill
Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan?

Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS
mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.

Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S.

Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk
menjamin dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang
subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.

Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk
Indonesia). Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama tiga dekade.

Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang meletusnya G30S. Jadi
pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.

Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia.
Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara.
Praktis konsentrasinya – khusus untuk penghancuran komunis – terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal.

Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan
panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI.
Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI
yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit. Sebaliknya, para
perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang berseberangan.

Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.

Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari setelah G30S di Boyolali, Jateng.

Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat
menguntungkan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.

Menjalin Sahabat Lama

Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia
menjalin hubungan dengan dua sahabat lama – Letkol TNI AD Untung Samsuri
dan Kolonel TNI AD Abdul Latief – beberapa waktu sebelum meletus G30S.
Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7
perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.

Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai
Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun
berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara
Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai politik. Ia
adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap
prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari fakta bahwa
sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis
hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya.

Kenapa begitu?

Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut.

Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun
1962 mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di garis depan.

Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden.

Karena itu Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno
karena keberaniannya.

Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando.
Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad.

Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.

Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain, PKI – seperti sudah saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam.

Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung
menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka hubungan
Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya
Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di
Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri
resepsinya di Kebumen.

Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang
sangat wajar, memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.

Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul
Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga
seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.

Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan.

Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih samasama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.

Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.

Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukan.

Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.

Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan.

Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya
untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.

Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang – boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya.

Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui
bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang menang.

Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto
akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan
Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka
Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.

Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama
Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya
teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini
(bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.

Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin tajam.

Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal
dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat
PangKopur II).

Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.

Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.

Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.

Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan
pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief
bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di
pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan Soeharto-Untung
terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal. Namun
mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga
terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa
Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.

Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang,
Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta
dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di
Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini didatangkan khusus untuk
menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan penggempur Dewan
Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad.

Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia
menuduh gerakan itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional.

Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto.

Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober
1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief.

Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto
menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang
ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto.

Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto.

Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu
saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.

Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan
Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri
melaporkan kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka.

Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada
Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka.

Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal.

Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya
dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto
itu. Ia bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat
bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik.

Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965 anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah.

Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?

Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD
pukul 23.00 WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya.
Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum.

Meletuslah Peristiwa Itu

Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian kami berpisah.

Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke Medan.

Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan
diberitahu kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di dekat Bogor.

Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya
berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul
Saleh sedang mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak
diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor.

Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik
yang kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian tidak.

Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima,
termasuk berbagai gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya
ungkapkan di sini. Namun paparan saya akan terasa kurang menimbulkan
kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai pembanding.

Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden – yang menamakan diri Dewan Jenderal – termasuk bocoran rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi.

Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas.

Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata Soeharto.

Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. Di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian,
tanpa pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa
saja ia selalu dikawal.
2. Ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit
berkumpul dan merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia
hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa
yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang berkumpul pada tengah
malam seperti itu?
3. Pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui
bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum
ada berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang
dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa jam sebelumnya.
Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.

Yang sebenarnya terjadi:

Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan
bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang
mendatangkan sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut dari
Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.

Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan.

Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia
membiarkan saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka. Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri.

Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.

Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia
jujur dengan mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.

Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB.

Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah
mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi.

Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.

Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada
pengakuan dari salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes
(Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin
prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.

Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak
diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya).

Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani
terkejut. Bukan karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto.

Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan
Presiden Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh
istrinya dan masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara
penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani yang terkejut, namun
Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi
ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani diberondong tembakan.

Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.

Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh imperialisme internasional.

Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta
dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.

Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik antiimperialisme dengan aspirasi negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain.

Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.

Dari kacamata internasional – terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones – peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto.

Dari Detik Ke Detik

Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana.

Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan
perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke
Istana. Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apaapa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat.

Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen Soepardjo.

Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat
penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah.

Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di
Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya.

Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.

Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1
Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan
instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu
Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa jenderal baru saja diculik.
Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal, meskipun sebenarnya para
jenderal sudah dibunuh.

Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua
pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah.

Demikian antara lain isi instruksi Presiden.

Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan anakbuahnya menangkap Untung dan kawan-kawan.

Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan
Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga
mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan
Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal
dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap.

Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama
dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan
dieksekusi meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab
Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami
didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah anak emas Soeharto.

Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi.

Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden –mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim.

Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus
bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.

Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo
mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima
Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun,
Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor.

Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang
gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan
untuk menuju ke istana Bogor – menuruti nasihat Leimena – dengan jalan darat.
Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor.

Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang
fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya sebutkan terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung.

Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu.Sekitar pukul 14.00 WIB – masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta.

Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi.

Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.

Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak
menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama
tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya
diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada nama Soekarno.

Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani.
Masyarakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan
mengumumkan bahwa pagi hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah
perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik.

Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad.

Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota
kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto
bersama rombongan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana.
Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa
senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah.

Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju
terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando
AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa
kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden
mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S.

Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).

Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta
merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden?

Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori
Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.

Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor,
Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi
keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto.

Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi
tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya.

Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi
menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung
Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena
jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor memang
tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana?

Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya
Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri. Saya yang kuasa sekarang.

Mendengar itu Leimena mundur.

Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul
Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban
Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul
Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.

Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.

Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara.

Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI
dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan.

Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno
mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi sangat ditakuti rakyat.
Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah ngeri. Beberapa tahun
berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja nama yang
menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai
dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian
berubah nama menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.

Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad.

Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah menghentikan gerakan itu?

Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden.

Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi
Soeharto:
1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana
Soeharto merupakan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh
melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan
Untung (yang sebenarnya disokong oleh Soeharto).
3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benarbenar terwujud.

Nasib AH Nasution

Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin.

Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia
sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di
saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960- an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan.

Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah.

Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya.

Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah berhasil menggosokLetkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.

Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang
menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan antikomunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh Nasution.

Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok bagi Bung Karnosebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno.

Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa
melibatkan Nasution, tentu ada contohnya. Salah satunya – berdasarkan informasi akurat yang saya terima – adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.

Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa
penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto
juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar
menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku
G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua
pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke Detik).

Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para
jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi.

Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai.

Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution.
Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat.

Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus
menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya.

Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam
ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusankeputusan yang diambil dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal antikomunis.

Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari
militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti
Presiden Soekarno.

Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib

BAB III
Kuasa Berpindah
Peran Mahasiswa

Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965
sampai Maret 1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai
presiden, tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia adalah Menpangad.

Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI.

Sepintas tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno.

Sebagaimana umumnya menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa
khawatir tentang posisi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika
Soeharto menjadi pemimpin kelak.

Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap:
1. Menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi.
2. Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno
3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4. Melumpuhkan Bung Karno.

Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto
bukan perwira yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur.  para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi.

Untuk mengimbangi – lebih tepat melumpuhkan – sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1. bubarkan PKI
2. bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3. turunkan harga kebutuhan pokok.

Bung Karno – yang masih menjabat sebagai presiden – lantas membubarkan
KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama
menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan ’66, kelompok yang diprakarsai oleh Soeharto.

Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya
tahu persis melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya
Soeharto dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama
menyelundupkan barang) dan Bob Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).

Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara.

Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di
Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.

Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya.

Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura
terus diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyat.

Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan.

Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan mereka didukung oleh tentara dan rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini – sehingga sebagian yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah.

Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu.

Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang
dibentuk melalui surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni.

Ini jelas menyesatkan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka dikatakan murni? Satu satunya tuntutan mahasiswa yang murni – menurut saya – adalah: bubarkan PKI.

Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya
sudah tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan
menteri P&K mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus)
dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an.
Intinya: mahasiswa dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirna ia juga jatuh tersungkur antara lain akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998.

Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66.
Kondisi dan situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu.
Generasi muda di mana pun di dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad.

Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih berdiri,
tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya.

Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara lain. Ayo….Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando…

Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S.

Maka setelah itu – pada malam hari berikutnya – saya selaku Wakil Perdana
Menteri-I membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.

Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka
menyatakan sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.

Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari
pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang.
Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa membayangkan
bagaimana jadinya Indonesia.

Supersemar

Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto
mengadakan pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad.

Lantas Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka.

Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa
datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara.

Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden.
Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga sudah setuju.

Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda
pengenal. Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati
oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.

Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-matian karena merasa mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa identitas.

Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit
batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud
beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud – seusai
mengikuti Sidang Kabinet – ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak dapat bicara keras.

Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama dengan leher
dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa
pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah pembohong besar.

Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh
Soeharto:
1. Dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam
sidang Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang
telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban,
ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu
bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak tewas.
2. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di
mata para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus
bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden.
3. Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa
berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera
memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto
seketika itu juga.

Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan
buruk itu adalah nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa
Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri.

Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena terburu-buru.

Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu – mungkin karena kegerahan duduk lama bersepatu – tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.

Begitu keluar dari ruang sidang – ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah – saya sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya – dan mobil semua menteri – sudah digembosi oleh para demonstran.

Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata
tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara.
Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang
meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno.
Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang
teliti pasti saya ketahuan.

Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu?
Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya
kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para demonstran.

Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang,
saya langsung memburu Bung Karno naik helikopter.

Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli.

Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat
itulah – ketika berlari menuju heli tanpa sepatu – saya dilihat banyak orang
sehingga ditulis di koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno
menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan terbang
bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.

Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung
menuju heli, tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot
sepeda dari Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah
meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana nasib saya.

Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk membantai para jenderal menjadi buktinya.

Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat,
Amir Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan
Chaerul Saleh) sudah di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana
Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga
jenderal datang Bung Karno menerima mereka di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke ruang pertemuan.
Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan
antara mereka dan Bung Karno.

Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki
Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1. mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin
kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya.
2. Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan
yang akan dilaksanakan
3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.

Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya
pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju,
padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima
Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan
Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat
Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan Presidenterancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada.
Tidak jelas keberadaan surat yang begitu penting.

Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi.

Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju?

Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga
jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram
mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa
berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang.

Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja,pak..

Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut
wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar
setuju.

Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar.

Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI.
Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden
Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI – tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.

Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya
sebagai: Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:
1. habisi para jenderal saingan
2. hancurkan PKI
3. copoti para menteri
4. jatuhkan Bung Karno.

Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.

Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau
memerintahkan Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini?
Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI.Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto.

Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 – saat Leimena protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor – Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa.

Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana.
Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya.

15 menteri yang ditangkapi adalah:
1. Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
2. Waperdam-II Chaerul Saleh
3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7. Menteri Pertambangan Armunanto
8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10. Menteri Kehakiman Andjarwinata
11. Menteri Penerangan Asmuadi
12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i
13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno
Sastrowidjojo

Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas,
namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya
diperoleh secara konstitusional. Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian.

Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan
Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh,kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI.

Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari
kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang sangat sering dikatakan
Soeharto ketika dia memerintah?

Melenggang Ke Istana

Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno. Setelah Supersemar – ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia – Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu.

Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu DN Aidit, Njoto
dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum yang berlaku.

Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa
Soeharto tidak ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S.

Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang
merupakan bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula
diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto
sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang sebagian besar sudah diisi
orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.

Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu persis berapa jumla rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.

Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS
tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga
menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno
tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno
sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman.

Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian – 5 Juli 1966 – MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.

Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu
gubahan Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja.

Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.

Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI) secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus dipertanggungjawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban.

Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963.

Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya. Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambilalihan kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama.

Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya:
dikeluarkan Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi
menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden
sampai terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan
begitu Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto
menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak terbatas (kelak
hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM NEGARA. Saat itu
pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara. Soeharto saat itu
mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia
sendiri.

Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai
berikut:

• Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab
konstitusionalnya – Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan
Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden
Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu
yang akan datang
• Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD
1945 dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara
(Pjs) Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.
• Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS. – Persoalan
hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum
yang berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran
kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup
(kudeta merangkak). Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan
musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara mengendap-endap. Kata
mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah kekuasaan beralih Bung
Karno masih berstatus sebagai Presiden RI.

52
Saat itu – bahkan sampai sekarang – saya melihat proses peralihan kekuasaan
tersebut sangat unik. Selain unik, juga sangat membahayakan Soeharto sendiri
seandainya perkembangan situasi mengalami pembalikan. Tetapi rupanya
Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat matang. Terbukti, sama
sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto memperkukuh kekuasaannya
dengan memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi kewibawaan
kepada Bung Karno.

Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak
secara merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke
puncak pimpinan nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan
dengan Bung Karno yang saat itu begitu kuat.

Akhir Hayat Untung

Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar
Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas
vonis pengadilan – seperti naik banding dan kasasi – sengaja ditutup sehingga mau
tidak mau saya harus menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat
terpukul pada saat itu. Dari posisi orang nomor dua di Republik ini, saya
mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati.

Saya menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul
orang-orang yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat
G30S). Di antaranya adalah Letkol Untung yang memang komandan G30S.
Selama beberapa bulan kami berkumpul di penjara walaupun berbeda ruangan.
Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun
Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni
naik banding, apalagi kasasi.

Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir.
Diberitahukan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung
menjalani hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu
penjara benar-benar terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu
tetapi juga bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer
yang mengadili saya) saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran
(dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya
akan dieksekusi pada hari Sabtu.

Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui
Untung. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya
orang yang akan dieksekusi. Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta
apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka
pertemuan saya dan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya
berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak
karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi.

Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan
saya ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada
saya. Para sipir dan tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung,
mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberi
kesempatan terakhir bagi Untung untuk berpesan kepada saya.

Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari
lagi kita ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung
mengucapkan kata perpisahan dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkacakaca.
Tentara yang gagah berani itu tidak menangis, tetapi saya tahu ia dalam
kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka bakal dikhianati oleh
Soeharto.

Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada
saya bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah
sahabat Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S,
bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak
akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir demikian.
Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa. Saya hanya
mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan
semua adegan singkat tapi mengharukan ini.

Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu
gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan
Untung dari penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai
perasaannya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia sudah pasrah kepada
takdir Allah bahwa memang sampai di situlah perjalanan hidupnya. Saya
kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di luar kota
Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup
saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya
membayangkan Untung kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya kepada
saya sesaat sebelum meninggalkan penjara karena ternyata dia tidak menjumpai
saya di alam sana.

Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana
yang tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban
– Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar
sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui
ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara
adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama.

Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S
dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi
saya tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh
negara lain. Yang penting bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi
sangat panik. Dan ternyata kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya
tidak jadi ditembak mati.

Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh
tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah
meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta
bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja, saya
diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya. Selama
menunggu, saya hanya panik dan panik.

Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di
dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari
menjelang eksekusi. Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri.
Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika perundingan tentang pembebasan Irian
Barat, saya banyak melobi pejabat di dua negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang
lain.

Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin
bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang
luar biasa berani mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman
saya diubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

BAB IV
Bio-Data & Kuasa Berpindah
Karir Saya

Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Maka
saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30S
atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya
banjir darah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3
juta anggota didukung 17 juta anggota organisasi onderbouwnya berperang
melawan tentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar
ditabuh, alangkah hebat pertempuran yang terjadi.

Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat
dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas
ditembak mati. Bung Karno – yang juga bisa menjadi panutan PKI – tidak
memerintahkan apa-apa.

Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya
terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini
bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih
keji lagi. Saya tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang
menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno.

Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran
antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya
sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap:
1. menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A
Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S)
2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini
terlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S)
3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat
menangkapi 15 menteri – termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar
surat perintah 11 Maret 1966)
4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan
cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.

Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap
tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan oleh tentara:
Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari kemungkinan
amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas, kami 15 menteri
dikumpulkan.

Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi
ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan.
Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami teribat PKI.
Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan dan tersiksa
lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih kekuasaan.

Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai Sosialis
Indonesia). Kalau di PKI, saya sama sekali bukan anggota atau simpatisan,
walaupun pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan merangkap tiga
jabatan sangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati saya. PKI juga
mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan pimpinan PKI ada yang menjadi
anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.

Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen
(selatan Malang), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono
Kepanjen. Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak
kedua dari enam bersaudara.

Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desa
kecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak saya
habiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana.

Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di
Kepanjen belum ada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun
1928. Saya masuk sekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah
tamat AMS.

Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta.
Tempatnya di Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas
Indonesia. Saat itu saya memang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang
bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat
biasa saat itu paling tinggi hanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab
ayah saya merupakan petinggi, walaupun hanya petinggi desa.

Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah,
sehingga bisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah
kedokteran, saya banyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung
Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka. Dari sana saya juga dikenal para
pemuda pejuang itu. Saya sendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka.

Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah
keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasi
bedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada
tahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah
dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah,
dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari
Surabaya (Universitas Airlangga).

Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi
tapi beda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia
kami hanya berbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua.

Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang
(sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke
Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu
hanya dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat
mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940
saya sudah menjadi wakil ketua PSI.

Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi.
Sepanjang hidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di
kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang
menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya
proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Bung Karno.

Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil
pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tibatiba
saja. Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin
karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan
Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga setuju.

Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui
PBB. Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di
Inggris. Bung Karno hanya menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia
di Inggris.

Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris,
keberadaan saya ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada
penyambutan saat saya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut.
Lantas saya membuka kantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk
Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang
menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos
itu.

Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di
London. Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang
berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya
di sana secara bertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acaraacara
kerajaan, sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negaranegara
merdeka lainnya.

Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan
dengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan
dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi
hukuman mati yang tinggal menunggu hari (soal ini sudah diungkap di muka).
Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain,
harus menghadiri acara-acara seremonial tersebut.

Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan
saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni
Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke
Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal
Departemen Luar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan
menjadi Menlu menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali
turun jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington.

Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung
Karno berkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri.
Saya kaget. Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen
Deplu menjadi Perdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu
berpikir.

Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para
senior saya. Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok
ukurnya adalah bahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah
pidatonya. Bahkan, pada suatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB.
Sebelum tampil Bung Karno meminta saya membuatkan naskah pidato, padahal
saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang
bertatap muka dengan Bung Karno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi,
saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama
pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi
terakhir.

Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah
bahwa saya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito
menghadap Bung Karno, untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil
menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno setuju.
Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan tugasnya dia dibantu oleh
presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada dua
Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi.
Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.

Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya
sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya
adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses
pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan.

Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami
bingung. Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis.
Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan
(karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan pentolan
(juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan sebuah kantong di
meja.

Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang
tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan
mewakili Chaerul. Bung Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk
dimasukkan ke dalam kantong. Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus
menggenggam supaya tidak diketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai.

Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih
Leimena. Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat
sederhana, tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening.
Bung Karno memandang masing-masing menteri yang memasukkan korek ke
sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan hak pilihnya.

Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara
blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan,
dan setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala.
Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling
memandang satu sama lain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena,
sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya sendiri.

Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri.
Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama
menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi
internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata
setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan di
kertas kop kenegaraan.

Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak
kabinet. Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi
oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga
setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II,
Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat.

Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka,
saya merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya.
Walaupun cukup berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya
masih sempat melaksanakan ibadah haji.

Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol
16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup
mewah. Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya
ini dihancurkan oleh penguasa Orde baru.

Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata
hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.

Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang
khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah
dokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa
mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak
pejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas.

Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi.
Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu
jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun
ke dalam kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai
dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah
menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat.

Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI
yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI,
DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke
dalam keanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat
negara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik
tertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi
negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke
dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai
besar dan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.

Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut
namanya) menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke
jajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itu
mendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar.
Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai
partai terlarang. Itulah PKI.

Saat G30S meletus – seperti sudah saya sebutkan di muka – saya sedang bertugas di
Medan. Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah.
Begitu saya diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di
istana Bogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu
kondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan
Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.

Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa
G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah.
Namun muncul pengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan
rekayasa – bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga
ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk
membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada
di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit
mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan
dibawa ke Halim. Aidit terbang ke Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno
meninggalkan Halim.

Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit
sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung
Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno
sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda
yang ditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui,
karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan
untuk memberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan
membangun opini publik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum
didahului oleh pihak lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno.

Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang
didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya
sendiri. Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang
mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan
anggota Dewan Jenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit
mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan
melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh
kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya
sekadar mendukung dalam bentuk ucapan saja.

Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa
PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita
pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menarinari
sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal
dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji ini
diberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengan
kekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan.

Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan
kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa
Jamilah itu. Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai
Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut.

Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah
Soeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di
televisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda
penyiksaan. Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu
karena mayat tersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari.

Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian
terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu
saat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang
tidak menghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang
kendali. Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua
pasukan bersiap di tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden.
Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun
perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian
PKI terus berlangsung.

Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di
Moskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing,
RRC dan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan
Moskow dan Beijing adalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas
kenegaraan saya itu lantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara
saat itu tidak dapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah
semua itu karena saya menjalankan tugas negara?

Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habishabisan.
Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran
pembunuhan tentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika
Istana Negara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh
pasukan RPKAD (kelak berubah menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas
saya diincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama
pasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi
akhirnya saya lolos.

Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika
sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap
itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi
saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu.
Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadudomba.
Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu
hanya Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai
pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah
saya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.

Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental,
sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan
mental. Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh.
Dari pemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya
mengalami depresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satusatunya
masih kecil.

Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat
saya bukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua
hal pokok itu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno.

Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata:
Kalau ada teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus,
para pemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka
didukung oleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi
Bung Karno serta para pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror
(dari para pemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana).

Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan
subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benarbenar
pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan
di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara
’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi saya tempuh
sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu
percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.

Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal
kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak
itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan
sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi
serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum
rusak berat. Pengadilan berbagai kasus di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok,
Lampung, demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru,
diadili dengan pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus
korupsi. Salah menjadi benar, benar menjadi salah.

Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang
Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai
melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim
impor.

Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya
adalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal
menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini
merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.

Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa
fisik, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa.
Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan
mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah
tidak menyediakan. Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika
luka saya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian
obat yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh.
Namun sampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.

Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman
(baru beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat
suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa
kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak
saya rasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.

Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara
adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi
saya tetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP
Cimahi, sampai LP Cipinang.
Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung.
Ibunya benar-benar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo
yang membuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan,
betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara,
mendadak berubah menjadi ’istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun
meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo,
berpulang ke rahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara.
Tidak ada lagi yang menjenguk.

Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah
mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang
ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira
pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya,
Sri Koesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kami
akhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri
yang rela menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia.

Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus,
tetapi setiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong.
Sri muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia
membawakan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat
perhatian. kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu.
Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto.
Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar
membuat hidup saya bersinar kembali.

Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anakanak.
Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya
tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi,
30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang
cerah. Saya bersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup
udara bebas.

Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya
sangat mahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri
tidak seberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat
penting saya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak
diberi uang pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya,
kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan.

Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya
membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki
persiapan yang matang, juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu.
Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah
menerima hinaan disebut Durno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas
menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan
amal soleh dan ibadah, sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti.
Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya
bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti.

Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus
menghubungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka
mengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus
mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk anda,
tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir,
kata salah seorang dari mereka.

Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel
Abdul Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa
Latief tidak mengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong,
Far Eastern Economic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar
Latief yang lengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan,
boleh dipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri.

Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang
begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap
menuliskan memoar saya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang
wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia
saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya.
Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia yang menyusun
potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya ingat.

Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum,
G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah
pelaku sejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus,
sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal
ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya.
Amin.

Komentar

Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada
yang mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965,
dilanjutkan pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengungdengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa
momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental. Sedangkan bagi mereka yang kritis,
seperti para mahasiswa, dikenakan teror mental dan fisik.

Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan
kekuasaannya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka
berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan
1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan keluarga Soeharto.
Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri Soeharto, Siti Suhartinah
(biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh
Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi
10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia.

Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatan
setelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolah
diumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa. Jangan coba-coba melawan
penguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga diartikan sebagai melawan
penguasa. Maka, harus dihabisi.

Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan
rezim Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972,
dilanjutkan dengan teror, penangkapan serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang
berdemo pada 5 Januari 1974 (yang dikenal dengan Malari, yang merupakan
singkatan dari Lima Januari).

Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo
pada tahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan
pembantaian Tanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat. Setelah
saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, kekerasan menjadi
warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian massal di Sambas, Kalimantan
Barat yang saya baca di media massa, memamerkan pembantaian yang
mengerikan.

Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun
santet di Jatim malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal,
ditusuk dengan bambu runcing dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh
dari kota kelahiran saya, kepala manusia yang sudah terpenggal diikat lantas
diseret dengan sepeda motor yang melaju keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang
saya sebutkan belakangan ini sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh
rakyat terhadap rakyat. Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum
komunis yang sangat brutal di masa lalu – pelajaran buruk yang diwariskan ke
generasi berikutnya.

Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yang
dibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yang
dimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darah
jutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum
buruh, dan para petani.

Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah
saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di mana tempat
Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis? Saya berada di rumah
sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang tengah malam, lantas pulang ke
rumah, kata Soeharto.

Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta,
namun pulang ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa
jam lagi rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan.
Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya diberikan terhadap kejahatan
Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia dan membuat sebagian lain
merana di penjara? Ya, kualifikasi apa?

Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat
dukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikat yang
mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di
suatu negara (Indonesia) yang sangat besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya
tidak pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri,
juga termasuk saya yang menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite
politik Indonesia saat itu.

Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia.
Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara mahakuasa
imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa
Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan
karakternya bersifat dunia. Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan
kejahatan peradaban umat manusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini
adalah memfasiskan kehidupan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli
teori modernisasi.

Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia.
Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara
borjuis demokrasi liberal, seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini.
Sebagai gantinya, ternyata, perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara
birokrasi militer. Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan
bangsa yang sulit diatasi oleh generasi penerus.

Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harus
segera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama
semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua
mereka, atas nama anak-anak yang selama bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas
nama golongan mana pun yang sudah dianiaya dan disembelih oleh rezim
Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa
sebagai demokrat, baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman
ini. Hari sudah tidak lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun.

Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para
jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang
kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme
abad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama
lebih dari tiga dekade.

Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titik
awal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi
kekuatan kriminal dan uang hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah
yang telah mereka bengkokkan selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman!

Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, KOMENTAR (18-9-2000)


PERDEBATAN SEJARAH DAN TRAGEDI 1965

$
0
0

Kalau sekiranya ada yang mengatakan bahwa setiap kali terjadi perubahan sosial politik yang dramatis masyarakat selalu cenderung mempersoalkan kebenaran gambaran masa lalu mereka, saya akan setuju saja. Soalnya memang hal ini bukan hal soal teori atau hipotesa, tetapi memang begitulah yang biasanya. Bahkan, selalu terjadi. Sayapun sesungguhnya merasa yakin pula, bahwa pasti ada orang yang pernah mengatakan bahkan lebih canggih tentang kecenderungan ini.

Di kalangan sejarawan, gugatan terhadap gambaran masa lalu ini biasa diajukan meskipun di saat semua berjalan lancar seperti biasa saja. Gugatan sejarawan itu adalah bagian dari dinamika ilmu dan pengetahuan sejarah. Karena itulah bisa saja kita melihat ada beberapa buku yang ditulis tentang hal yang sama. Gugatan sejarah itu biasa juga dilakukan oleh para politisi ketika mereka melihat gambaran masa lalu itu merugikan klaim politik mereka atau bila gambaran itu mereka rasakan terlalu kering untuk dapat memperkuat landasan politik mereka. Gugatan mungkin pula dilancarkan oleh pemimpin golongan masyarakat bila saja mereka melihat bahwa gambaran masa lalu yang diberikan itu telah meniadakan atau memperkecil peran atau arti kehadiran mereka dalam katakan saja perjuangan bangsa atau apa saja. Dan, berbagai kemungkinan lain bisa terjadi. Tetapi kesemuanya memang memperlihatkan beberapa hal yang penting.

Pertama, sejarah, sebagai gambaran masa lalu yang dianggap penting dan signikan, adalah milik masyarakat, bukan milik, apalagi monopoli para sejarawan. Sejarawan -sebagai- sejarawan hanyalah “pencatat” dan “pengisah” saja. Atau, paling dianggap sebagai “penafsir” peristiwa masa lalu.

Karena dianggap sebagai sesuatu yang dapat mempertemukan masa lalu dengan masa kini, sejarah pun menjadi “wilayah” perebutan hegemoni. Perebutan hegemoni ini bisa terjadi mungkin karena diktum “siapa yang menguasai kekinian, akan menguasai masa lalu dan siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan” cukup merangsang juga. Kedua, sejarah adalah masalah pilihan – ada data yang dibiarkan mati” begitu saja, tetapi ada data yang dihidupkan bahkan dijadikan abadi, seakan-akan sampai kini masih ada dan punya arti. Jadi, ada peristiwa atau tokoh yang “terlupakan”, “terabaikan”, atau bahkan “dilupakan” dan “diabaikan”, tetapi ada yang ingin selalu diingat, bahkan “dibesarkan”.

Dengan kata lain, dalam usaha merekonstruksi masa lalu itu ada hal-hal lain yang menentukan “pilihan” itu. Landasan yang pertama, adalah masalah yang menjadi perhatian utama”. Ini adalah yang paling lumrah, bahkan sejarawan pun bisa dibagi atas landasan awal ini, yaitu ” zaman” (periode yang menjadi perhatian). “wilayah atau lokalitas” ( entah propinsi tertentu, negara tertentu, entah dunia), “tema sentral’ ( politik, ekonomi, seni, dan sebagainya) serta sub-tema tertentu ( politik luar negeri, ekonomi pertanian. seni arsitektur. Dan sebagainya). Landasan kedua, setelah landasan pertama berbicara ialah berbagai corak pergumulan dari kecenderungan teoritis dan filosofis serta ideologis yang dianut. Barangkali, tidak perlu dijelaskan lagi bahwa landasan yang kedua inilah yang menjadi pangkal perdebatan utama. Kalau yang pertama hanya menentukan pilihan data yang akan dijadikan “fakta sejarah” dan “hirarki fakta” dalam struktur rekonstruksi.

 

***

Kesemua yang saya katakan ini adalah hal-hal yang elementer dalam ilmu sejarah. Dalam hal ini ilmu sejarah, sebagai usaha akademis dan kritis, untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu, tidak berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Semuanya bermula dari “pertanyaan” yang diajukan. Pertanyaan yang subjektif inilah yang menentukan apa yang ingin ditemukan atau dicari. Tetapi lebih daripada penemuan disiplin ilmu yang lain, hasil rekonstruksi sejarah bukan hanya bisa ditanggapi berdasarkan kebenaran empiris –”apakah rekonstruksi sejarah itu memberikan kebenaran atau ketepatan sejarah?” dan kejernihan teoretis—“apakah landasan berfikir bisa dipertahankan berdasarkan kaidah akademis”?—tetapi juga dari sudut kepentingan politik dan hasrat kultural. Kepentingan siapakah yang telah dibela dan kepentingan siapa pula yang dilupakan atau dikecilkan? Pandangan hidup golongan yang manakah yang telah dibela dan visi kesejarahan siapa pula yang telah dilecehkan? Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan saya pernah mengatakan bahwa sebuah masyarakat bangsa bukan saja bisa terdiri atas berbagai komunitas etnis, partai politik, atau kelas-kelas sosial, tetapi juga “komunitas sejarah”, yaitu komunitas yang dibentuk oleh kesamaan visi tentang peristiwa masa lalu dan makna tentang pengalaman masa lalu.

Ada beberapa peristiwa dalam sejarah nasional yang bukan saja tercatat dan teringat, Sehingga menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa, tetapi juga diperlakukan sebagai simbol- jadi sebagai bagian dari mitos. Maka kitapun merayakan “20 Mei ” sebagai “hari kebangkitan nasional” seakan-akan pada hari itu bangsa yang tidur menjadi bangkit, meskipun peristiwa itu sesungguhnya tak lebih dari beberapa puluh anak sekolah mendirikan sebuah perkumpulan dan walaupun pula akar-akar dari “bangsa” itu bani saja bersemi di kalangan terpelajar yang masih sangat dan teramat kecil, yang berdiam di kota-kota. Peristiwa itu menjadi “penting” setelah berbagai peristiwa lain terjadi dan setelah dirasakan pula bahwa penemuan titik awal, yang simbolik, dari peristiwa-peristiwa yang telah dilalui dan ingin dilanjutkan adalah sebuah kemestian historis yang tak bisa diabaikan. Maka, bukanlah suatu keanehan kalau ternyata bahwa 20 Mei baru dirayakan secara teratur setelah kita mendapatkan kemerdekaan.

Sumber Gambar: internet

Tetapi ada juga peristiwa yang di saat terjadinya bukan saja langsung dirasakan sebagai awal dari perkembangan yang membatasi “masa kini” dengan “masa lalu”, tetapijuga merupakan pengalaman riil yang mencekam. Mendaratnya tentara pendudukan Jepang di bulan Maret 1942 adalah contoh yang jelas. Siapa yang tidak terkena akibat dari kedatangan tentara pendudukan ini? Dan, siapa pula yang tak merasakan bahwa peristiwa itu serta merta telah membuat sebuah batas sejarah yang keras. Dengan terjadinya peristiwa itu “masa lalu” telah berakhir dan tidak akan pernah bisa kembali lagi, meskipun peristiwa itu tak diperingati, apalagi dirayakan.

Ketika Pasukan Cakrawirawa di malam 30 September I965 mendatangi rumah beberapa orang perwira tinggi serta menculik dan membunuh mereka dan keesokan harinya, Letnan Kolonel Untung mengumumkan terbentuknya “Dewan Revolusi”, bukan saja pembunuhan politik telah terjadi tetapi awal dari periode baru telah dimulai. Sejak tanggal 30 September malam itu Indonesia tidak akan sama lagi dengan Indonesia yang sebelumnya. Siapapun yang mengalami suasana di sekitar peristiwa itu menyadari sepenuhnya perubahan bukan lagi sebuah idaman, bahkanjuga bukan pula hanya sebuah keharusan moral atau ideologis. tetapi keharusan sejarah yang tak terpungkiri. Maka. ketika usaha coup yang diadakan oleh kelompok Cakrabirawa itu berhasil dipatahkan TNI, di bawah pimpinan (ketika itu) Panglima Kostrad May. Jen. Suharto, berbagai pihak, entah mahasiwa, entah partai-partai yang selama zaman Demokrasi Terpimpin, entah TNI, dan sebagainya, bersama-sama, atau bersaingan dalam usaha memberi corak dari keharusan sejarah itu. Maka, mestilah diherankan kalau sudah sejak waktu itu pula berbagai golongan yang terlibat dalam proses “keharusan sejarah” ini telah “memilih” mana hal-hal yang perlu dicatat dan secara bagaimana dan mana pula yang sebaiknya dilupakan. Mestikah pula diherankan kalau ketika hasil akhir telah didapatkan—Suharto dan TNI tampil sebagai kekuatan yang dominan, masing-masing pihak mulai pula mengadakan rekonstruksi dan refleksi sejarah. Apakah yang sesungguhnya terjadi? Ketika inilah “buku putih” yang resmi dikeluarkan dan ketika ini berbagai gugatan akan keabsahan rekonstruksi bukti putih itu dikemukakan. Persaingan untuk mendapatkan hegemoni pengetahuan telah terjadi.

Dunia akademis barangkali tak terlalu mudah untuk dijangkau oleh hegemoni pengetahuan yang akhirnya bisa dimenangkan oleh pihak penguasa. Bukan saja para ilmuwan biasanya bersifat kritis, mereka juga terlalu cerewet untuk selalu menuntut segala macam pertanggunganjawab akademis. Kecenderungan ini juga didukung oleh kenyataan sederhana, bahwa dunia akademis pada dasarnya “tanpa bendera”, bersifat terbuka. Jika ilmuwan, atau sejarawan Indonesia tidak melakukan usaha rekonstruksi dari peristiwa itu atau sama sekali tak berniat untuk melawan hegemoni pengetahuan yang telah dijalankan, para peneliti asing akan tampil dengan segala macam jenis gugatan mereka. Kalau demikian penguasa lebih mungkin untuk mendapatkan hegemoni di kalangan masyarakat ramai. Tetapi inilah soalnya, masyarakat bukan saja wilayah yang memberi kesempatan segala macam simbol bertemu dan saling bertukar. Masyarakat adalah pula wilayah terjadinya segala macam perbenturan nilai dan pengetahuan. Perlawanan selalu terjadi dalam menghadapi segala macam corak hegemoni. Jika tidak secara frontal, perlawanan tersembunyi dalam bentuk satire, anekdot, puisi ( yang serius ataupun yang mbelingplesetan, karya rekaan, nyanyian, dan entah apa lagi selalu dijalankan. Maka tinggallah buku pelajaran yang secara dominan bisa dikuasai. Masalah yang ditimbulkan oleh penguasaan buku teks inilah yang akhirnya merembet ke masyarakat ramai dan ke dunia akademis. Bisakah dibiarkan anak-anak mendapatkan pengetahuan yang telah direkayasa, tanpa verifikasi akademis? Dapatkah ditolerir anak-anak terpukau oleh pengetahuan yang bertolak dari landasan nilai dan pandangan hidup yang kini tak lagi bisa diterima?

Begitulah, tidak lama setelah Lengser keprabon terjadi, berbagai gugatan pun dilancarkan atas keabsahan rekonstruksi peristiwa G30S dan berdirinya Orde Baru. Gugatan ini bertambah hebat setelah beberapa tokoh yang dianggap dan terbukti terlibat dalam persitiwa yang tragis itu dibebaskan dari penjara. Merekapun mendapat audience yang sangat ingin mendengarkan kesaksian mereka. Setelah sekian lama mendapatkan kesaksian yang bersumber dari “pihak yang menang”, masyarakat juga ingin mendengar kesaksian dari mereka yang telah dikalahkan. Keinginan ini bertambah kuat karena “yang menang itu” kinipun telah kehilangan segala hal yang pernah membanggakannya. Maka, perdebatan pun terjadi. Manakah yang benar?

Ingatan dan kesaksian manakah yang bisa dipercaya? Tetapi bukankah kesaksian yang berpangkal dari ingatan itu sangat subjektif? Bukan saja kesaksian itu terbatas pada hal yang langsung dialami –yang dialami orang lain hanya bisa dianggap sebagai :berita orang lain “ saja—ingatan, yang menjadi landasan kesaksian itupun sifatnya sangat subjektif. Hanyalah yang “teringat” yang bisa “diingat” dan hanyalah yang “ingin diceritakan” yang diceritakan kepada publik-betapapun kesemuanya bertolak dari kejujuran. Kesemuanya juga ditempa oleh pengalaman yang dilalui sejak peristiwa yang dikisahkan terjadi sampai saat kenangan terhadap peristiwa itu diceritakan. Distansi bukanlah semata-mata soal waktu yang objektif. tetapi juga terkait erat dengan situasi psikologis yang unik.

Pada tanggal 30 September, 1965 terjadilah malapetaka nasional itu. Setelah itu berbagai rentetan peristiwa sosial, politik, dan ekonomi terjadi. Berbagai peristiwa politik, yang diwujudkan dalam berbagai demonstrasi. dan berbagai corak manuver politik di kalangan elite militer dan sipil, mencapai klimaks yang menentukan dengan “Surat Perintah Sebelas Maret”, yang sempat dikeramatkan”, di satu pihak, dan ” dipertanyakan”, di pihak lain, dan akhirnya mencapai puncaknya dengan keputusan MPRS 1967, yang memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Jenderal Suharto, sebagai Pejabat Presiden. Maka “dualisme” pun diakhiri dan rezim “Orde Baru”pun berdiri. Gugatan sejarah yang kini dilancarkan berada dalam jalur politik ini. Seperti dulu juga, di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, berbagai unsur kronikel tentang “apa, siapa, di mana dan bila kembali dipersoalkan. Apakah Suharto jujur dalam kesaksiannya? Apakah ia ikut terlibat atau barangkali mengetahuinya, tetapi membiarkan terjadi? Bukankah dengan begini ia sekaligus mencapai dua tujuan?

Membiarkan calon saingannya punah dan menghantam musulmya, sehingga iapun menjadi pahlawan yang tanpa saingan. Apakah “Supersemar” sah ataukah camouflage bagi usaha coup“?

***

Terlepas dari kemungkinan ditemukannya “historical certainty” yang betul-betul ditanggungjawabkan untuk menjadi accepted history gugatan sejarah ini hanya berkisar pada sebuah jalur saja, yaitu proses peralihan rezim yang terjadi. Sedangkan dua aspek lain dibiarkan tak disentuh. Aspek pertama yang terlupakan ialah peristiwa sosial politik dan ekonomi yang dialami masyarakat kota. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar, inflasi

600%, hubungan tentara-mahasiswa, dansebagainya. Dan, tidak kurang pentingnya, kalau tak ingin dikatakan lebih penting, ialah pergolakan sosial-politik dan intektual untuk menyalurkan hasrat memasuki “trace baru” yang demokratis dan pembangunan nasional yang merata, seakan-akan terlupakan. Mungkinkah hal ini disebabkan karena kita memang masih terjangkit penyakit Orde Baru, yang otoriter, yang hanya mau mendengar suara sendiri? Atau karena selama kurang lebih tiga puluh tahun di bawah Orde Baru kita telah terlibat dalam berbagai corak kompromi, atau bisa juga pengkhianatan, sehingga hal-hal itu hanyalah dianggap sebagai nostalgia yang tak berfaedah? Bukankah pula kini adalah zaman globalisasi, bukan lagi, seperti halnya di tahun 1960-an, ketika“perang dingin” sedang berkecamuk?

Aspek kedua yang teramat sangat terlupakan ialah tragedi sosial yang dialami bangsa. Barangkali peristiwa yang dianggap sebagai salah satu peristiwa dunia yang terdahsyat di abad ini terlalu traumatis menyentuh kesadaran sehingga kita lebih suka melupakannya. Barangkali pula peristiwa itu mengingatkan kita pada ilusi ideologis yang digembar-gemborkan bahwa budaya kita adalah budaya yang luhur? Keterlupaan ini bukanlah semata-mata kesalahan ilmuwan atau pengamat sosial, tetapi juga keengganan mereka yang terlibat untuk memberi kesaksian. Bahkan keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang mengalami “pembersihan ideologis” itupun enggan untuk berbagi duka. Mungkin karena “dendam” telah menjadi bagian dari tradisi sejarah kita, sehingga sementara yang mengalami harus memendam kesemuanya dalam hati, yang menang pun tak ingin berhenti sebelum pembersihan total telah dijalankan. Maka setelah sekian lama berada di bawah bayangan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” siapa lagi yang ingin berbicara? Kalau sekarang kita membicarakan juga hal-hal yang terlupakan dan ingin dihidupkan ini, masalahnya bukanlah karena kita ingin membuka “luka bangsa”dan memupuk “dendam sejarah”. Kita hadapi masalah ini karena kita yakin bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang tragedi bangsa itu adalah langkah pertama yang harus diayunkan untuk menerima sejarah sebagaimana adanya. Hanyalah dengan begini kita bisa “berdamai” dengan sejarah. Dengan perdamaian inilah kearifan akan lebih kita dapatkan. Sejarah sebagai pengetahuan dan pemahaman tentang dinamika masa lalu akhirnya bukanlah sekadar pengetahuan antikuariat. yang mengasyikkan, tetapi tak berbicara apa-apa. kecuali mungkin kerinduan, tidak pula alat politik. sebagai landasan legitimasi bagi hegemoni. tetapi kearifan untuk memahami hari kini, dan merintis hari depan.

https://buku.masyarakatsejarawan.or.id/2017/09/20/perdebatan-sejarah-dan-tragedi-1965/

Catatan Redaksi:

Tinjauan lengkap tentang tema 1965 dapat dilihat dalam Jurnal Sejarah terbitan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Klik di sini untuk melihat seluruh artikel tersebut.

 

 


AMANAT GALUNGGUNG

$
0
0

GALUNGGUNG

[02:51, 10/11/2017] +62 821-3215-0170:
——————–
Dalam Kitab Naskah Sunda Kuno, Amanat Rakean Darmasiksa atau disebut Prabu Sanghyang Wisnu yang bergelar Sang Paramartha Mahapurusa (Raja Sunda,1175-1297 Masehi) /atau yang disebut Amanat Galunggung Kropak 632, nama kata AGAMA sudah disebutkan “jaga rampésna agama” artinya : “Pelihara kesempurnaan agama”.

Defisinisi kata Galunggung secara etimologi berarti “Galuh Hyang Agung /atau Permata Hyang Agung”.
Adapun pengertian menurut istilah, Galunggung adalah “Sebuah Pemerintahan yang Berdasarkan Keagamaan”.

Mengetahui definisi Galunggung tersebut di atas, mungkin pembaca dimasa sekarang akan bertanya..,
(1).Agama apa?. Jawabannya : “rampésna agama”(Galunggung, Kropak 632) artinya agama sempurana.
(2).Siapa nama Tuhannya?. Jawabannya : “Hyang Agung” (konsep HYANG).
(3).Siapa Nabi /Rasul /utusan Tuhan /atau utusan Hyang yang mengajarkannya?. Jawabannya : “Para Hyangan”.
(4). Apa Kitab Suci Tuhannya /Kitab Suci Hyangnya?. Jawabannya : “Sastra-Jendra-Rahayu-Ning-Rat”.
(5). Kemana arah kiblat untuk Sembahyangnya?.
Jawabannya : “untuk Sembah-Hyang, tempat kiblatnya ada didalam diri. Dalam diri terdapat SangHyang Taya, tempatnya SangHyang Pananyaan dan SangHyang Carita”(Naskah Sanghyang Raga Dewata, Kode dj66.2923/[06], Naskah Serat Dewa Buda“Gunung” /SDB Kropak 638).

(6). Bagaimana dengan banyaknya ditemukan, Lingga (Linggahyang, Lingga-Yoni), arca dewa-dewa di Tatar Sunda /Jawa Barat?.

Jawabannya : ada didalam Naskah SDB 39r: 2—4 dan 39v: 1—2 :

39v:2,”…Demikianlah bermacam keluarnya tujuan dalam impian, diwujudkan semuanya

39v.1. oleh tujuan ketika itu, dikeluarkan semuanya gambaran itu, meragakan Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, raksasa, pitara, ditempatkan dalam puspalingga dan
2.arca. Itulah sebabnya terdapat Hyang dalam tujuan dunia seluruhnya dalam waktu…” (Ayatrohaedi 1988: 176).[1]

SDB menyatakan bahwa prana adalah indra, adalah kehidupan adalah tujuan (acuan), dan acuan hidup itu ialah Hyang (Sang Hyang Taya). Dalam lingkungan seluruh dunia selalu terdapat Hyang sebagai acuan. Dewa-dewa Hindu dan Buddha dinyatakan hanyalah Visualisasi dari tubuh (raga) dalam mimpi, jadi semu agar menjadi konkret kemudian “ditempatkan dalam puspalingga dan arca”.[1]

Gambaran /atau Visualisasi /atau Symbol/Sandi RAGA adalah Puspa(Bunga)Lingga dan Arca. Apabila arah kiblat Sembah Hyang tempatnya didalam Diri (Sanghyang Taya), maka tempat arah kiblat Symbol-nya adalah dimana PuspaLingga dan Arca tersebut di Letakkan.

Adapun lokasi Gunung /Bukit /pedataran dimana pun PuspaLingga, arca, dolmen, menhir /Tunggul itu di Tempatkan, maka gunung/bukit tersebut secara khusus disebut dengan KaBuyutan. Dengan demikian makna KaBuyutan memiliki 2 (dua) arti, pertama KaBuyutan arti Sejati adalah Diri(tempat Sembah Hyang), kedua KaBuyutan arti Ragawi adalah teritorial/wilayah dimana Simbol Ragawi baik Puspalingga, Arca, dolmen, menhir, Tunggul/makam tersebut ditempatkan.

Semakin bertambah dan berkembangnya aktivitas manusia, maka Kabuyutan pun menjadi pusat berbagai aktivitas sesuai fungsinya.
Dengan demikian dapat difahami bahwa :
Kabuyutan adalah Sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya.[2]

[1]Aditia Gunawan; mengutip kajian dari Ayatrohaedi : Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddha Dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad Ke-14—16 M).

[2]Undang A. Darsa; KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi). UADarsa-FIBU-1432014. Hal. 16

kahatur kang Undang A. Darsa , kang Aditia Gunawan
neda Widi..dikutip janten Referensi..
/|\, hatur nuhuuun
Baktos pun
[02:52, 10/11/2017] +62 821-3215-0170: GALUNGGUNG
——————–
Dalam Kitab Naskah Sunda Kuno, Amanat Rakean Darmasiksa atau disebut Prabu Sanghyang Wisnu yang bergelar Sang Paramartha Mahapurusa (Raja Sunda,1175-1297 Masehi) /atau yang disebut Amanat Galunggung Kropak 632, nama kata AGAMA sudah disebutkan “jaga rampésna agama” artinya : “Pelihara kesempurnaan agama”.

Defisinisi kata Galunggung secara etimologi berarti “Galuh Hyang Agung /atau Permata Hyang Agung”.
Adapun pengertian menurut istilah, Galunggung adalah “Sebuah Pemerintahan yang Berdasarkan Keagamaan”.

Mengetahui definisi Galunggung tersebut di atas, mungkin pembaca dimasa sekarang akan bertanya..,
(1).Agama apa?. Jawabannya : “rampésna agama”(Galunggung, Kropak 632) artinya agama sempurana.
(2).Siapa nama Tuhannya?. Jawabannya : “Hyang Agung” (konsep HYANG).
(3).Siapa Nabi /Rasul /utusan Tuhan /atau utusan Hyang yang mengajarkannya?. Jawabannya : “Para Hyangan”.
(4). Apa Kitab Suci Tuhannya /Kitab Suci Hyangnya?. Jawabannya : “Sastra-Jendra-Rahayu-Ning-Rat”.
(5). Kemana arah kiblat untuk Sembahyangnya?.
Jawabannya : “untuk Sembah-Hyang, tempat kiblatnya ada didalam diri. Dalam diri terdapat SangHyang Taya, tempatnya SangHyang Pananyaan dan SangHyang Carita”(Naskah Sanghyang Raga Dewata, Kode dj66.2923/[06], Naskah Serat Dewa Buda“Gunung” /SDB Kropak 638).

(6). Bagaimana dengan banyaknya ditemukan, Lingga (Linggahyang, Lingga-Yoni), arca dewa-dewa di Tatar Sunda /Jawa Barat?.

Jawabannya : ada didalam Naskah SDB 39r: 2—4 dan 39v: 1—2 :

39v:2,”…Demikianlah bermacam keluarnya tujuan dalam impian, diwujudkan semuanya

39v.1. oleh tujuan ketika itu, dikeluarkan semuanya gambaran itu, meragakan Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, raksasa, pitara, ditempatkan dalam puspalingga dan
2.arca. Itulah sebabnya terdapat Hyang dalam tujuan dunia seluruhnya dalam waktu…” (Ayatrohaedi 1988: 176).[1]

SDB menyatakan bahwa prana adalah indra, adalah kehidupan adalah tujuan (acuan), dan acuan hidup itu ialah Hyang (Sang Hyang Taya). Dalam lingkungan seluruh dunia selalu terdapat Hyang sebagai acuan. Dewa-dewa Hindu dan Buddha dinyatakan hanyalah Visualisasi dari tubuh (raga) dalam mimpi, jadi semu agar menjadi konkret kemudian “ditempatkan dalam puspalingga dan arca”.[1]

Gambaran /atau Visualisasi /atau Symbol/Sandi RAGA adalah Puspa(Bunga)Lingga dan Arca. Apabila arah kiblat Sembah Hyang tempatnya didalam Diri (Sanghyang Taya), maka tempat arah kiblat Symbol-nya adalah dimana PuspaLingga dan Arca tersebut di Letakkan.

Adapun lokasi Gunung /Bukit /pedataran dimana pun PuspaLingga, arca, dolmen, menhir /Tunggul itu di Tempatkan, maka gunung/bukit tersebut secara khusus disebut dengan KaBuyutan. Dengan demikian makna KaBuyutan memiliki 2 (dua) arti, pertama KaBuyutan arti Sejati adalah Diri(tempat Sembah Hyang), kedua KaBuyutan arti Ragawi adalah teritorial/wilayah dimana Simbol Ragawi baik Puspalingga, Arca, dolmen, menhir, Tunggul/makam tersebut ditempatkan.

Semakin bertambah dan berkembangnya aktivitas manusia, maka Kabuyutan pun menjadi pusat berbagai aktivitas sesuai fungsinya.
Dengan demikian dapat difahami bahwa :
Kabuyutan adalah Sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya.[2]

[1]Aditia Gunawan; mengutip kajian dari Ayatrohaedi : Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddha Dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad Ke-14—16 M).

[2]Undang A. Darsa; KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi). UADarsa-FIBU-1432014. Hal. 16

kahatur kang Undang A. Darsa , kang Aditia Gunawan
neda Widi..dikutip janten Referensi..
/|\, hatur nuhuuun
Baktos pun


PANJI SYIAH KERAJAAN PERLAK di ATJEH

$
0
0

ISLAMKONTEMPORER

PANJI SYIAH KERAJAAN PERLAK di ATJEH

Jika Anda perhatikan dengan seksama, terlihat jelas (dalam) gambar kaligrafi yang membentuk gambar singa (dalam Panji Kesultanan Perlak) ini, yang terletak di tengah bagian bawah. Gambar singa sering diidentikkan atau menjadi simbol seorang sahabat, sepupu, sekaligus menantu Nabi SAW yaitu Imam Ali bin Abi Thalib.

Imam Ali bin Abi Thalib bernama asli Haydar bin Abu Thalib, Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.

Namun, setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW memanggilnya dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Imam Ali bin Abi Thalib juga mendapatkan gelar Asadullah (Singa Allah), sebagai catatan bahwa kakek Imam Ali bin Abi Thalib bernama Asad yang berarti singa. Pemberian gelar Assadullah bukan sesuatu yang berlebihan karena keberanian dan ketangguhan Imam Ali bin Abi Thalib dalam setiap peperangan membela Islam dan Rasulullah.

Imam Ali bin Abi Thalib seringkali diberikan wewenang oleh Nabi SAW untuk membawa bendera dan memimpin perang, Imam Ali bin Abi Thalib juga terkenal dengan banyaknya riwayat yang menyebutkan kehebatannya dalam berperang. Bahkan saat tidak ada satu pun yang bisa menaklukkan Benteng Khaibar, beliau-lah yang berhasil menaklukkannya.

Dalam panji ini juga tampak tiga pedang dengan bentuk yang sama, yang berposisi di bawah kaligrafi singa satu pedang, dan dua pedang berposisi di pinggir bagian atas. Pedang dengan bentuk yang khas yaitu melengkung dengan ujung bercabang dan tulisan kaligrafi di bilahnya tersebut adalah pedang Zulfikar, pedang milik Imam Ali bin Abi Thalib yang diberikan oleh Nabi SAW saat perang Uhud.

Tulisan “ Man Kuntu Maulahu Fahadza Aliyyun Maula ” pada bilah pedang bagian atas kanan merupakan kalimat yang sangat terkenal bagi orang-orang Syi’ah, diriwayatkan bahwa kalimat tersebut diucapkan oleh Nabi SAW di depan ratusan ribu (ada yang mengatakan 90.000 dan ada yang mengatakan 120.000) orang selepas melaksanakan ibadah haji terakhir dan dilakukan saat dalam perjalanan pulang tepatnya di wilayah Ghadir Khum sebuah wilayah antara Mekkah dan Madinah.

Kalimat tersebut adalah potongan pidato Nabi SAW yang berarti “ Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.”

Bagi Syi’ah, kalimat tersebut adalah sebagai legtimasi bahwa sepeninggal Nabi SAW yang berhak menjadi pemimpin umat Islam adalah Imam Ali bin Abi Thalib.
Sementara dalam persepsi Sunni, kata “Maula” diartikan sebagai “kekasih”, sehingga arti lengkap dari kalimat tersebut adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya, maka inilah Ali sebagai kekasihnya”.

Dalam pemahaman Sunni, memang tidak berkeyakinan bahwa Khalifah pengganti Nabi SAW adalah Imam Ali bin Abi Thalib, tetapi pandangan Sunni adalah sesuai dengan dinamika yang benar-benar terjadi yaitu bahwa khalifah pengganti Nabi SAW secara berturut-turut adalah sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan kemudian baru Imam Ali bin Abi Thalib.

Lebih lanjut yang terdapat dalam panji ini adalah tulisan “ La Fatta ila ‘Ali wa la Saifa illa Zulfikar ” pada bilah pedang bagian atas kanan setelah kalimat “Man Kuntu Maulahu Fahadza Aliyyun Maula”.

Diriwayatkan bahwa pada saat Perang Uhud Nabi SAW mendengar seruan malaikat jibril yang berbunyi
“La Fatta illa ‘Ali wa la Saifa illa Zulfikar”,
yang berarti tiada pemuda kecuali Ali dan tiada pedang kecuali Zulfikar.

Diriwayatkan barisan pasukan Islam pada Perang Uhud terdapat nama-nama seperti Imam Ali bin Abi Thalib as, Hamzah, Abu Dujanah dan beberapa prajurit lain yang berhasil melemahkan barisan musuh. Nabi Muhammad Saw menjadi target serangan pasukan Quraisy dari berbagai penjuru. Setiap pasukan melancarkan serangan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dari mana saja Rasul diserang, beliau memerintahkan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk menyerang mereka. Atas pengabdian yang luar biasa ini, Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw dan berkata, pengabdian ini adalah hal luar biasa yang telah ditunjukkan olehnya.

Rasulullah Saw pun membenarkan perkataan Malaikat Jibril dan berkata: Aku berasal dari Ali dan Ali berasal dariku.

Kemudian terdengar suara dari langit, “Tidak ada pedang selain Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali”.

Selanjutnya adalah gambar telapak tangan sempurna dengan kelima jarinya yang di dalamnya bertuliskan lafadz Allah dan di bawahnya tertulis lima nama yaitu Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Kelima nama tersebut juga ditulis dengan jelas di bawah pertemuan dua pucuk pedang Zulfikar.

Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir bagi umat manusia, Ali adalah sahabat, sepupu, sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, Fathimah adalah putri Nabi SAW yang juga merupakan istri Ali bin Abi Thalib, sedangkan Hasan dan Husain adalah putra Imam Ali bin Abi Thalib. Dalam beberapa riwayat, kelima orang tersebut disebut sebagai Ahlul Kisa’ dan juga Ahlul Bait Nabi SAW.

Diriwayatkan dalam Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130 Aisyah berkata, “Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan datang dan kemudian Rasulullah menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah ditempatkan oleh Rasulullah di sana. Kemudian Ali datang dan Rasulullah mengajaknya di bawah kisa dan berkata, “ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya” (QS. Al-Ahzab [33]:33).

Syi’ah memang sangat memuliakan lima orang yang disebut Ahlul Kisa ini, sekaligus mereka beranggapan bahwa Ahlul Bait itu terjaga dari melakukan dosa seperti yang disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33 di atas.

Kalimat shalawat “ Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad ” yang posisinya tertulis di bawah lima nama yang dimuliakan ummat Islam, yaitu Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Tidak ada suatu mazhab yang lebih mengutamakan shalawat kepada Nabi dan keluarganya daripada Syi’ah, bahkan setiap hari dalam kehidupan mereka selalu diliputi dengan ucapan-ucapan shalawat kepada Nabi dan keluarganya. Shalawat kepada Nabi dan keluarganya memang suatu amalan yang agung, bahkan tidak akan sah sholat seseorang tanpa bershalawat kepada Nabi dan keluarganya.

Berkaitan dengan shalawat ini, Allah menyampaikan dalam surah Al-Ahzab ayat 56,

“ Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Begitulah, Allah SWT memerintahkan kita sholat, zakat, puasa, dan haji sementara Allah SWT sendiri tidak melaksanakan sholat, zakat, puasa, dan haji. Tapi saat Allah SWT memerintahkan manusia untuk bershalawat kepada Nabi dan keluarganya, Ia telah lebih dahulu menyatakan bahwa diri-Nya bersama malaikat juga bershalawat untuk Nabi dan keluarganya.

Dalam panji ini juga terdapat 12 nama Imam Ahlulbait yang memang diakui Syi’ah sebagai Imam dan Khalifah mereka, yang dimulai dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali Zainal Abidin, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ja’far As-Shadiq, Imam Musa Al-Kazhim, Imam Ali Al-Ridho, Imam Muhammad Al-Jawad, Imam Ali Al-Naqi, Imam Hasan Al-Askari, dan Imam Muhammad Al-Mahdi bin Imam Hasan Al-Askari.

Kesemuanya adalah keturunan Rasul SAW, dan dalam logo bendera tersebut nama-nama para imam tersebut tertulis di atas kaligrafi singa.

Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Perlak yang berada di wilayah Aceh adalah kesultanan pertama di Asia Tenggara. Sejarah juga mencatat bahwa sultan pertama Kesultanan Perlak adalah Syi’ah, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah. Hal tersebut telah menjadi rangkaian bukti bahwa Syi’ah adalah yang pertama datang di Indonesia.

Bukti-bukti lain adalah Tari Saman yang menjadi tarian tradisional Rakyat Aceh, di mana sebenarnya Tarian Saman mengekspresikan kesedihan terhadap tragedi Karbala yaitu tragedi pembantaian keluarga Nabi SAW oleh penguasa zalim saat itu (Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan), juga ada peringatan Tabuik di Bengkulu yang dilakukan setiap tahun sekali pada bulan Muharam –tepatnya pada Hari Asyura, yaitu hari saat dibantainya cucu Nabi SAW di padang Karbala.

Sebagai info penutup, kalimat di bawah lafaz Basmalah (paling atas) dalam panji tersebut berbunyi: “Laa ilaha illa-Allah Muhammad Rasulullah ‘Aliyyun Waliyullah Washiyyun Rasulullah” yang artinya: “Tak ada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah, Ali Wali Allah, Washi-nya Rasulullah”.


Romo Magnis: Eggi Sudjana Lakukan Dua Kesalahan Besar

$
0
0

Romo Magnis: Eggi Sudjana Lakukan Dua Kesalahan Besar

tirto.id – Tokoh agama Katolik Franz Magnis-Suseno mengkritik pernyataan pengacara Eggi Sudjana yang menyebut agama-agama selain Islam bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Pria yang akrab disapa Romo Magnis ini menilai ada dua kekeliruan yang dilakukan Eggi.

“Ada dua kebodohan besar dari Eggi Sudjana,” kata Romo Magnis saat dihubungi Tirto, Jumat (10/6).



Kekeliruan pertama, menurut Magnis, adalah Eggi tidak memahami bahwa Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945 sebagai pembukaan UUD merupakan hasil rumusan untuk menampung agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, para pendiri bangsa telah memahami bahwa Pancasila tidak hanya untuk satu agama saja.
“Jadi yang dikatakan Pak Eggi bertentangan dengan maksud mereka [pendiri negara] yang menetapkan Pancasila dan UUD,” ujar Magnis.Kekeliruan kedua, lanjutnya , Eggi mengomentari keyakinan agama yang berbeda dengan keyakinannya. Franz mengatakan argumentasi Eggi bahwa tidak ada keesaan Tuhan di luar agama yang dianutnya menunjukkan kesombongan yang serius. Apalagi tidak ada yang lebih tahu tentang sifat-sifat Tuhan selain Tuhan itu sendiri.“Seakan-akan Pak Eggi punya pengetahuan khusus tentang keesaan Tuhan. Jadi hormati saja agama-agama [lain],” katanya.Magnis menjelaskan trinitas dalam Kristen bukan berarti ada tiga Tuhan sebagaimana yang disampaikan oleh Eggi. Trinitas dalam Kristen adalah satu Tuhan yang memiliki tiga wujud (Allah, roh kudus, Yesus).

“Jadi bukan tiga dewa, [melainkan] satu Tuhan yang menyatakan diri dalam tiga wujud,”ujarnya.

Pernyataan Eggi berpotensi menimbulkan keresahan di kalangan umat beragama. Profesor filsafat ini berpesan Eggi sebaiknya tidak membicarakan keyakinan agama lain kecuali dalam konteks dialog dengan pemeluk agama yang dibicarakan. Ia juga mengingatkan penguasaan seseorang soal agamanya bukan berarti ia berhak mengomentari agama orang lain.

“Jadi [letak] kesombongannya adalah [ketika] dia merasa tahu agama sendiri, lalu merasa bisa menilai agama lain,” katanya.

Namun, Romo Magnis percaya pernyataan Eggi tidak mewakili umat Islam. Menurutnya masih banyak umat Islam yang menghargai dan menghormati keyakinan umat Kristen.“Saya kenal banyak muslim yang sangat menghormati pandangan Kristiani,” ujarnya.

Sebelumnya Ketua DPN Perhimpuan Pemuda Hindu Indonesia, Sures Kumar, melaporkan Eggi ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan tindak pidana menyebarkan ujaran kebencian dan SARA. Laporan ini diterima oleh Mabes Polri dengan nomor LP/1016/X/2017/Bareskrim tertanggal 5 Oktober 2017.

Eggi dilaporkan dengan tuduhan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan sebagaimana diatur dalamPasal 45 A ayat 2 dan Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Saat melaporkan kasus ini, Sures membawa sejumlah bukti, antara lain video dari Youtube yang menayangkan Eggi saat diwawancarai dan berita media online. Rekaman video pernyataan kontroversial Eggi ini juga telah tersebar di berbagai platform media sosial seperti Twitter dan Youtube.

Dalam rekaman video tersebut, Eggi menyatakan: “Pengetahuan saya, mungkin terbatas, tapi bisa diuji secara intelektual, tidak ada ajaran selain Islam, ingat ya, garis bawahi, selain Islam, yang sesuai dengan Pancasila. Selain Islam bertentangan.”

Eggi menilai sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” hanya kompatibel dengan konsep ketuhanan di Islam yang monoteistik. “Karena Kristen Trinitas, Hindu Trimurti, Buddha setahu saya tidak punya konsep Tuhan, kecuali apa yang diajarkan Siddhartha Gautama,” tambahnya.

Pernyataan ini diutarakan pada Senin, tanggal 18 September lalu, seusai sidang mengenai Perppu Ormas di Mahkamah Konstitusi (MK). Eggi mengajukan gugatan uji materi ke MK atas nama individu dengan alasan Perppu ini justru mengancam keberadaan Ormas selain Ormas Islam, terutama pada pasal 59 ayat 4 huruf C.

“Maka saya sudah ingatkan tadi, konsekuensi hukum jika Perppu diterima dan berkekuatan hukum tetap dan mengikat, maka konsekuensi hukumnya ajaran selain Islam harus dibubarkan,” kata pria yang juga merupakan pengacara Rizieq Shihab ini.

SUMBER“Ada dua kebodohan besar dari Eggi Sudjana”

Kayaknya lebih deh…
emoticon-Wakakahttps://m.kaskus.co.id/thread/59d8162dc1d770de528b4567/romo-magnis-eggi-sudjana-lakukan-dua-kesalahan-besar/

 

 



Sunda Wiwitan

$
0
0

Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme ) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. [1] Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur
monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak , Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok , Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan
Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam .


Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab
Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan
kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau
Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu , dan hingga batas tertentu, ajaran Islam. [2] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran “Jatisunda”.
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai
Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala. [3]
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
1. Buana Nyungcung : tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama
Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala
Hyang . Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu .
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
Welas asih: cinta kasih
Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
Tata krama: tatanan perilaku
Budi bahasa dan budaya
Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
Rupa
Adat
Bahasa
Aksara
Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut “Buyut”) paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.
Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun . Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak ,
Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul,
Cisolok , Sukabumi; Kampung Naga; dan
Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini. [4]
Tempat suci
Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan
punden berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi digantikan oleh Lapangan Golf.
Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi. Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga
Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan
Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.

sumber:wikipedia


Inddonesia punya potensi menjadi negara adidaya kelima di dunia

$
0
0
Percaya atau tidak, Indonesia Berpotensi Besar Menjadi Negara Adidaya

Indonesia merupakan bangsa yang besar. Itulah pernyataan yang sedikit menguatkan bahwa Negara tercinta layak menjadi negara adidaya sejajar dengan Amerika serikat. Kemudian bila dijabarkan dalam artian apa yang dimiliki oleh Indonesia, akan tidak hanya menjadi sebuah mimpi belaka. Bahwa mungkin saja di umur Indonesia yang ke 100 tahun nanti atau bahkan mendekati 100 tahun, Indonesia menjadi negara paling menjanjikan.

Bukan menjadi sebuah kabar burung lagi atau sekedar opini bahwa Indonesia memiliki segalanya. Dilihat dari segi sumber daya alam, setelah mengalami penyusutan saat ini Indonesia memiliki hutan yang luasnya sekitar 43 juta hektare dengan keanekaragaman hayati lengkap di dalamnya. Banyak tumbuhan dan hewan endemik yang hidup di hutan Indonesia dan tidak ditemukan di negara lain. Dengan luasnya hutan yang dimiliki Indonesia ini, bumi pun bergantung pada hutan-hutan Indonesia untuk menyeimbangkan iklim.

Inilah jalur rempah Nusantara yang mengubah Dunia.
Inilah jalur rempah Nusantara yang mengubah Dunia.

Sedikit mundur dan melihat sejarah, Indonesia dikenal memiliki tanaman rempah-rempah berkualitas sejak masa penjajahan dulu. Lada dan pala termasuk dalam jajaran rempah yang permintaannya cukup tinggi di pasar global.  Sampai saat ini pun Indonesia masih merajai pasar rempah dunia. produksi vanili dan cengkeh Indonesia ada di peringkat pertama. Walaupun kabar terakhir mengungkapkan, nilai ekspor lada masih 74% belum 100%  tetapi angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun kemarin. Indonesia masih memiliki kesempatan yang lebar untuk menjadi negara pengekspor rempah paling berjaya di dunia seperti 500 tahun silam. Karena tanah luas dan subur masih membentang di berbagai daerah di Indonesia.

Tidak hanya berbangga dengan memiliki hutan luas dan tanah subur, perairan Indonesia juga tidak dapat disangkal luasnya. Letak Indonesia yang berada di antara dua samudara, Hindia dan Pasifik, membuat Indonesia memiliki wilayah laut yang luas. Hal tersebut mendukung kekayaan alam bawah laut Nusantara. Terumbu karang yang indah dan beragam menjadikan Indonesia sebagai tujuan destinasi snorkling dan diving dunia. Ikan yang melimpah dengan berbagai jenis bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dunia.

Kekayaan alam Indonesia sangat mendukung perkembangan di bidang sektor pariwisata. Keindahan alam Indonesia yang mempesona terekam dalam kemasan Wonderful Indonesia. Banyak pariwisata Indonesia yang sudah diakui keindahannya oleh dunia, sebut saja keindahan pantai Bali, Raja Ampat, beberapa gunung di berbagai daerah Indonesia, pantai di lombok dan lainnya.

Lalu Wonderful Indonesia juga antusias mempromosikan budaya dan kesenian Indonesia. Telah banyak budaya dan kesenian Indonesia yang tercatat dalam Unesco sebagai warisan budaya dunia yang hanya dimiliki oleh Indonesia. Dan lebih banyak lagi yang belum di catat oleh Unesco.

Masih seputar kekayaan alam, Tidak boleh dilupakan bahwa Indonesia juga memiliki tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia juga memiliki cadangan gas alam terbesar. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tersebut harus di akui bahwa negara-negara di dunia ini bergantung pada emas, tembaga dan gas Indonesia.

Lalu mimpi besar rakyat Indonesia untuk negara Bhineka Tunggal Ika bisa menjadi negara Adidaya juga didukung oleh sumber daya manusia yang besar. Populasi yang besar memberikan kesempatan pada sebuah negara untuk memiliki angkatan kerja yang maksimal pula. Indonesia memiliki kekayaan alam yang harus diolah agar bisa menjadi sesuatu yang berharga dan bernilai guna. Dan untuk mengolah sumber daya alam tersebut membutuhkan keahlian dan kekreativan sumber daya manusia. Terbukti, dari sebuah kayu gelonggongan oleh anak bangsa bisa disulap menjadi kerajinan mebel yang tidak polosan tetapi dengan ukiran unik dan diminati oleh dunia.

Salah satu orang Indonesia yang berpengaruh di dunia
Susi, Salah satu orang Indonesia yang berpengaruh di dunia

Indonesia memiliki orang-orang kreativ dan genius yang mampu mengharumkan Indonesia di kancah dunia. Di zaman semakin modern dan semuanya memerlukan tekhnologi tidak terlepas dari tangan-tangan kreativ anak bangsa. Telah diketahui, Indonesia memiliki animator yang diakui dunia, pelajar indonesia selalu mendapat kemenangan di kompetisi robot internasional dan Tak boleh dilupakan, anak bangsa sudah mampu membuat mobil serta pesawat sendiri.

Segala pernyataan di atas diperkuat oleh pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Tito, saat menghadiri Simposium Nasional bertajuk ‘Bangkit Bergerak, Pemuda Indonesia Majukan Bangsa’ di Balai Kartini, Jakarta, Senin (14/8/2017), mengungkapkan negeri kita tercinta ini punya potensi menjadi negara adidaya kelima di dunia.

Dilansir dari antaranews.com, Ia memaparkan, ada tiga syarat yang bisa menjadikan sebuah negara. Pertama, punya populasi yang besar karena akan jadi angkatan kerja yang besar. Kedua, punya SDA yang besar karena punya roh materil atau bahan untuk memutar mesin produksi yang besar. Ketiga ialah luas alam atau lahan yang besar. Karena wilayah besar bisa menampung mesin produksi besar.

“Kalau melihat dari tiga faktor ini, hanya ada lima negara yang punya kesempatan untuk jadi negara adidaya. Pertama, China. Kedua, India. Ketiga, Amerika Serikat. Keempat, Rusia. Dan kelima, Indonesia,” ujar Tito, dikutip dari antaranews.com.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian, mengungkapkan Negeri kita tercinta ini punya potensi menjadi negara adidaya kelima di dunia.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, mengungkapkan Negeri kita tercinta ini punya potensi menjadi negara adidaya kelima di dunia.

Sebelumnya, Tito dengan gamblang mengatakan, Singapura tidak akan pernah bisa menjadi negara adidaya. Selain Singapura, Tito juga membandingkan Indonesia dengan Australia. Negeri Kangguru digambarkannya sebagai negara yang besar secara wilayah kedaulatan dan kaya sumber daya alam. Namun tidak diiringi dengan jumlah populasi yang berlimpah.

Namun, dengan segala kesempurnaan yang dimiliki oleh Indonesia justru menjadi PR (Pekerjaan Rumah) yang cukup berat bagi tanah air ini. Pasalnya, kekayaan Indonesia itu menyulitkan anak bangsa untuk mengolah secara mandiri. Indonesia masih sangat bergantung pada negara Adidaya  untuk mengolahnya, dan sangat disayangkan semakin banyak pekerja asing dari Tiongkok yang mulai menggeser pekerja Indonesia di negeri sendiri. Seharusnya, jika memang anak bangsa memiliki kelihaian di bawah pekerja asing, perlu dilakukan palatihan kerja lebih lanjut. Indonesia harus mampu menekan angka pengangguran, salah satu caranya dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada.

Lalu di bidang ekspor-impor yang harus mendapat perlakuan khusus. Indonesia kaya, seharusnya tidak perlu dilakukan impor bahan makanan ataupun kebutuhan rumah tangga. Bahan pangan Indonesia melimpah, namun memang kurang berkualitas. Nah, itulah lagi-lagi menjadi PR agar bahan pangan Indonesia melimpah dan berkualitas. Lalu selain di bidang pangan, industri kerajinan lokal Indonesia yang terbuat dari bahan-bahan alam Indonesia juga harusnya bisa merajai dunia. Kerajinan lokal Indonesia banyak memiliki minat di pasar dunia namun angka ekspornya masih kecil, lantaran memiliki kendala pada alat yang canggih. Lagi, dukungan semua pihak untuk memperhatikan keesksisan industri kerajinan lokal sangat dibutuhkan.

Selain itu semua, salah satu kunci untuk Indonesia menjadi negara adidaya adalah dengan menjadi negara yang solid. Sebab, pengalaman dan sejarah sudah menegaskan, negara yang lebih solid secara internal akan mampu memenangkan persaingan. Sebaliknya negara yang kurang solid secara internal akan kalah nantinya.

Indonesia harus mampu menghindari konflik internal yang dapat menganggangu persatuan bangsa. Bukan waktunya lagi  Indonesia berlarut-larut dalam konflik antar suku, ras dan agama, karena itu semua justru yang memperkaya kebudayaan bangsa. Harusnya sadar dengan semboyan bhineka tunggal ika, indonesia ada dengan perbedaan yang beragam bukan hanya milik satu golongan saja.

Label:

Indonesia negara adidaya
#menuju100tahunindonesia

Kisah Seigniorage~

$
0
0

Kisah Seigniorage~
@Yudhie Haryono

Pada mulanya adalah ketamakan. Selanjutnya kudeta dan penyesatan. Itulah yang terjadi di Indonesia: hilangnya gagasan dan semangat experience-based economics; semangat untuk melaksanakan nilai-nilai kerakyatan, nasionalisme dan pembebasan yang direalisasikan melalui program-program ekonomi dan politik yang dilandaskan pada semangat anti penjajahan asing, dengan menyusun suatu piranti pemikiran bernama ekonomi nasional.

Ekonomi nasional disusun melalui program proteksi dan industrialisasi, lewat program Rentjana Urgensi Perekonomian (RUP) yang di dalamnya terdapat Program Benteng, di mana usaha-usaha lokal dan dalam negeri, dan usahawan dalam negeri akan dilindungi dan dikembangkan dengan sokongan pemerintah. RUP dimaksudkan untuk mengawali industrialisasi dengan jalan mengkaitkan kegiatan-kegiatan industri besar dengan industri kecil.

Sektor industri besar akan berfungsi sebagai determinan pertumbuhan yang strategis, khususnya untuk menjalankan program subtitusi impor, dan dengan itu akan meletakkan lendasan bagi peekonomian nasional yang sesungguhnya.

Program tersebut dilanjutkan dengan prinsipal penguatan haluan ekonomi-politik yang diarahkan pada model ekonomi terpimpin, untuk mewujudkan suatu perekonomian nasional yang kuat dan mandiri, melalui jalan industrialiasi. Program ini dijalankan di bawah program semeseta delapan tahun berencana di bawah payung kebijakan ekonomi terpimpin dan program landreform (reforma agraria).

Para pemikir ekonomi Indonesia dan para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, Semaoen, bahkan Soekarno, memikirkan program atas dasar antitesa ekonomi kolonial yang timpang dan eksploitatif, dan bukan atas dasar doktrin-doktrin teori ekonomi. Perkembangan pemikiran ekonomi Indonesia di awal kemerdekaan sampai masa demokrasi terpimpin, bisa dikategorikan sebagai experienced-based economics, di mana teorisasi ekonomi dibuat atas dasar fenomena sosial-politik, dan bukan pada doktrin ekonomi. Cita-cita membangun ekonomi nasional dilandaskan pada pengalaman dan pemahaman atas ekonomi kolonial, bukan semata-mata merujuk teori ekonomi yang sudah mapan.

Namun pendekatan ini dihancurkan bersamaan dengan kudeta Soeharto dengan Orde Baru dan golkarnya yang membawa ide neoliberal berbasis kurikulum ekonomi eksploitasi.

Kerakusan itulah yang menjadi dasar dan digunakan kaum neoliberal dalam mencengkeram kuasa global serta Indonesia. Mereka lalu menciptakan aturan “seigniorage and interest rate (bunga).” Teori seigniorage adalah cara perampokan kekayaan via selisih antara biaya pembuatan uang fiat dengan nilai yang diberikan kepada uang tersebut. Konsep seigniorage tidak bisa aktif-efektif sebagai alat rampok kecuali dikawinkam dengan teori lanjutan yaitu interest rate (bunga) dalam hutang-piutang.

Karenanya, petaka ujung seigniorage adalah pemberlakuan dollar sebagai mata uang yang berlaku di seluruh dunia, sementara negara-negara lain tidak diperbolehkan untuk mencetak dollar. Akibatnya, mamarika paling banyak menikmati keuntungan seigniorage.

Mamarika mencetak uang sesuai keinginannya dengan harga cetak yang sangat murah, untuk berbelanja di manapun mereka mau; mereka mengatur sirkulasinya demi kepentingannya; mereka mengakuisisi aset negara-negara berkembang dengan nilai jauh lebih rendah dari nilai aslinya.

Pada mulanya seigniorage hanyalah hasil ngobrol lima sekawan yang dikerjakan sambil ngopi di kedai kopi Sein di Austria. Mereka bermimpi bukan hanya ingin kaya, tetapi berlipat-ganda kekayaannya. Tanpa harus bekerja. Nick, Seigniorage, Rostow dan Euken adalah lima sekawan itu. Seignioragelah yang mencetuskan teori tukar barang dengan mata uang kertas. Lalu, ide itu dibawa Ropke dan Simon ke Universitas Chicago untuk dikembangkan, sekaligus menaunginya.

Kini, kita mengenalnya dengan sebutan Chicago School. Pada akhirnya Chicago School menyempurnakan konsep ekonomi neoliberal, konsep sistem ekonomi yang dipercaya sebagai solusi menekan tingkat depresi suatu negara. Tetapi, kenapa teori itu menjadi hilir bagi terpuruknya suatu negara? Kita akan bahas pada kultwit berikutnya yah.(*)


Basa anu parantos jarang di anggo ku Urang Sunda…

$
0
0

Basa anu parantos jarang di anggo ku Urang Sunda…

1. Atah Anjang = Langka Silih Anjangan
2. Adigung Adiguna = Takabur, Sombong
3. Ambek Nyedek tanaga Midek = Nafsu gede tapi tanaga euweuh


4. Anjing Ngagogogan kalong = Mikahayang Nu lain- lain
5. Adat kakurung ku Iga = Lampah Goreng Hese Leungitna
6. Alak Paul = Jauh Pisan
7. Aki-aki tujuh Mulud= Geus kolot Pisan
8. Ayem Tengtrem = Tenang teu aya kasieun
9. Asa teu Beungeutan = Awahing ku era
10. Anu Borok dirorojok = Nu titeuleum Di Simbeuhan = Mupuas kanu Keur Cilaka
11. Amis = Hade Paroman
12. Aya jurig Tumpak Kuda = aya Milik Nu teu disangka-sangka
13. Aya jalan Komo meuntas = Aya Kahayang aya Nu ngajak
14. Awewe Dulang tinande = Awewe nurutkeun kahayang salaki
15. Amis Daging = Babarian Katerap Panyakit
16. Abong Letah teu Tulangan = Sagala dicaritakeun sanajan pikanyeurieun Batur
17. Ari umur Tunggang Gunung, Angen-angen pecat sawed = Ari Umur geus Kolot, ari kahayang jiga Budak ngora
18. Agul Ku Payung Butut = Agul Ku Turunan
19. Aya Pikir Kadua leutik = Aya Kahayang
20. Asa ditonjok Congcot = Ngarasa Bungah Pisan
21. Adean Ku kuda Beureum = Ginding Ku Pakean Meunang Nginjem
22. Birit Aseupan = teu Daek Cicing
23. Biwir Nyiru Rombengeun = Resep Nyaritakeun Rusiah Atawa Kasalahan Batur
24. Bengkung ngariung, bongkok ngaronyok = sauyunan, Ngariung Babarengan
25. Beurat Birit = Hese Dititah
26. Bali Geusan Ngajadi = Lemah Cai Kalahiran
27. Balungbang Timur = Nuduhkeun Hate Beresih
28. Bobo Sapanon Carang Sapakan = Aya Kakurangan
29. Bilatung Ninggang dage = Bungah Pisan
30. Batok Bulu eusi Madu = Ninggang Lain Pitempatenana
31. Badak Cihea = Degig
32. Bonteng Ngalawan Kadu = Nu hengker ngalawan Nu Bedas
33. Babalik Pikir = Insap
34. Balik Pepeh = Nu gering teu daek Cicing
35. Balik Ka Temen = Asal banyol Jadi Pasea
36. Buntut Kasiran = Medit
37. Bodo Alewoh = Bodo Tapi Daek tatanya
38. Bodo Kawas kebo = Bodo Kacida
39. Beja mah Beja = Beja Ulah Waka dipercaya
40. Bancang Pakewuh = Pikasusaheun
41. Budak keur meujeuhna Bilatung Dulang = Keur Meujeuhna Beuki dahar
42. Bulu Kapaut = Kabawa kuBatur
43. Balabar Kawat = Beja Nu sumebar
44. Beak Dengkak = sagala ikhtiar geus diusahakeun tapi teu hasil Bae
45. Batan Kapok Galah Gawok = Batan Eureun kalah Maceuh
46. Buruk- Buruk Papan Jati = Hade Goreng dulur Sorangan
47. Cueut Kahareup = Tereh Maot
48. Deukeut- Deukeut Anak Taleus = Deukeut Tapi taya nu nyahoeun
49. Disakompet daunkeun = Disamarutkeun
50. Dibejer Beaskeun = Dijentrekeun, Dieceskeun
51. Dog dog Pangewong = Acara Panambah
52. Dibabuk Lalaykeun = Dibabuk Kenca Katuhu
53. Dagang Oncom rancatan Emas = Teu Saimbang
54. Dihin Pinasti Anyar Pinanggih = Papantes Geus ditangtukeun ku Gusti Alloh
55. Dug Hulu Pet Nyawa = Usaha satekah Polah
56. Elmu Ajug = Bisa Mapatahan Batur, Ari Sorangan teu Bisa Ngamalkeun
57. Gantung Denge = Masih Dedenge-eun
58. Ginding Kekempis = Ginding tapi Sakuna Kosong
59. Gede Gunung Panaggeuhan = Boga andeleun, Pedah Boga Dulur Beunghar
60. Garo Mengmenge-eun = Taya Kasabaran
61. Galehgeh Gado = Sagala Di Caritakeun
62. Garo Singsat = Pagawean Awewe Dina aya ka teu Panuju
63. Gurat batu = Pageuh Kana Jangji
64. Goong saba Karia = nonjolkeun Maneh sangkan kapake ku dunungan
65. Goong nabeuh Maneh = Ngagulkeun Diri sorangan
66. Getas hareupan = Gancang Nafsu
67. Gindi Pikir Belang Bayah = Goreng Hate
68. Hampang Birit = Daekan Kana Gawe
69. Hambur congcot murah Bacot = Goreng Carek Tapi berehan
70. Heuras Genggerong = Omongana Sugal
71. Hade Gogog Hade Tagog = Jalma Sopan
72. Hutang salaput Hulu = hutangna Kaditu Kadieu
73. Hurung Nangtung Siang leumpang = Nu Beunghar pangabogana dipake
74. Hejo tihang = Sok Pundah Pindah Gawean
75. Harigu Manukeun = Dadana Nyohcor Kahareup
76. Haripeut Ku teuteureuyan = Gampang Ka picot Ku pangbibita
77. Harewos Bojong = Ngaharewos tapi Kadenge Ku Batur
78. Handap Lanyap = Omongana lemes Tapi ngahina
79. Halodo sataun Lantis Ku hujan sapoe = kahadean mang taun- taun leungit ku kagorengan sakali
80. Heureut Pakeun = Kurang Kaboga
81. Hampang leungeun = gancang tunggal teunggeul
82. Iwak Nantang sujen = Ngadeukeutan Pibahayaeun
83. Inggis Batan Maut Hinis = Paur Pisan
84. Jalma Atah Warah = Teu Narima Didikan Sacukupna
85. Jati Kasilih ku Junti = Pribumi ka elehkeun Ku Semah
86. Jauh-Jauh Panjang gagang = jauh- jauh teu Beubeunangan
87. Kawas anjing Tutung Buntut = Teu Daek Cicing
88. Kawas Anjing Kadempet Lincar = Gogorowokan Menta Tulung
89. Kawas Bueuk Meunang Mabuk = Ngeluk taya tangan pangawasa atawa jempe teu nyarita
90. Kurung Batok = Tara indit- inditan jauh
91. Kawas Beusi Atah Beuleum = beungeutna Beureum awaning Ambek
92. Kokolot Begog = Budak Pipilueun Kana Urusan Kolot
93. Kawas nu dipupul Bayu = Leuleus taya tangan Pangawasa
94. Kumaha Geletuk Batuna, Kecebur caina = Kumaha Brehna
95. Kejot Borosot = Gampang nyokot kaputusan teu dipikir heula
96. Kabawa ku sakaba-kaba = Kabawa ku nu teu puguh
97. Kahieuman Bangkong = Jiga beunghar Pedah katitipan barang batur
98. Katempuhan Buntut Maung = batur nu boga dosana urang nu katempuhanana
99. Kawas cai dina daun taleus = Taya Tapakna
100. Kawas jogjog mondok = teu daek repeh
101. Kelek jalan = Deuket tapi jalan na taya nu lempeng
102. kawas jaer kasaatan = teu daek cicing
103. kawas gaang katincak = jempe
104. kawas hayam panyambungan = lumbang- limbung teu puguh
105. Kawas kuda leupas tina gedogan = ngarasa bebas
106. Kaciwit kulit kabawa daging = anak nu boga dosana, kolot nu kababawana
107. Kandel kulit beungeut = euweuh ka era
108. Kujang dua pangadekna = pagawean nu maksudna dua cabak
109. Kokoro manggih Mulud = makmak-mekmek
110. kawas kedok bakal = goreng patut pisan
111. kaliung kasiput = loba baraya beunghar
112. kawas kapuk ka ibunan = leuleus taya tangan pangawasa
113. Kalapa Bijil ti cungap = rusiah dicaritakeun sorangan
114. kawas kacang ninggang kajang = nyariatna capetang tur gancang
115. kawas nyoso malarat rosa = malarat pisan
116. Kulak canggeum = milik nu geus ditangtukeun
Ku gusti Allah
117. Kembang Buruan = Budak Nu keur Resep Ulin
118. Kawas leungeun Palid = Uyap ayap teu daek cicing
119. kawas lauk asup kana bubu = hese rek kaluar
120. Kawas merak = beuki kana cengek


Ada 11 fase kehidupan manusia dalam falsafah Jawa

$
0
0

WIS TEKAN NGENDHI URIPMU
Ada 11 fase kehidupan manusia dalam falsafah Jawa sbb :

1. Maskumambang

Simbol fase ruh/kandungan di mana kita masih “mengapung” atau “kumambang” di alam ruh dan kemudian di dalam kandungan yang gelap.

2. Mijil

Mijil artinya keluar. Ini adalah fase bayi, dimana kita mulai mengenal kehidupan dunia. Kita belajar bertahan di alam baru.

3. Sinom

Sinom adalah masa muda, masa dimana kita tumbuh berkembang mengenal hal2 baru.

4. Kinanthi

Ini adalah masa pencarian jati diri, pencarian cita2 dan makna diri.

5. Asmaradhana

Fase paling dinamik dan ber-api2 dalam pencarian cinta dan teman hidup.

6. Gambuh

Fase dimulainya kehidupan keluarga dengan ikatan pernikahan suci (gambuh). Menyatukan visi dan cinta kasih

7. Dhandang Gula

Ini adalah fase puncak kesuksesan secara fisik dan materi (dhandang = bejana). Namun selain kenikmatan gula (manisnya) hidup, semestinya diimbangi pula dengan kenikmatan rohani dan spiritual.

8. Durma

Fase dimana kehidupan harus lebih banyak didermakan untuk orang lain, bukan mencari kenikmatan hidup lagi (gula). Ini adalah fase bertindak sosial. *Dan berkumpul dengan teman2 seperjuangan, bersosialisasi.

9. Pangkur

Ini adalah fase uzlah (pangkur-menghindar), fase menyepi, fase kontemplasi, mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Menjauhkan diri dari gemerlapnya hidup.

10. Megatruh

Ini fase penutup kehidupan dunia, dimana Ruh (Roh) meninggalkan badan (megat: memisahkan). Fase awal dari perjalanan menuju keabadian.

11. Pucung

Fase kembali kepada Allah, Sang Murbeng Dumadi, Sangkan Paraning Dumadi. Diawali menjadi pocung (jenazah), ditanya seperti lagu pocung yang berisi pertanyaan. Fase menuju kebahagiaan sejati, bertemu dengan yang Mahasuci.

Panjenengan di tahap mana?
semoga bermanfaat…sekedar mengingat kan kembali..

Wong jowo ojo ilang jowone


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live