Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

LAWAN Penjajahan atas Situs Eyang Prabu Siliwangi di Bukit Badigul Rancamaya oleh PT Suryamas Tbk.

$
0
0

Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang

Kiageng Selo menambahkan 29 foto dan sebuah video.

7 Mei pukul 20:52 ·

 Napak Tilas dan Ziarah Karuhun Sunda Eyang Prabu Siliwangi ke Situs Sejarah Bukit Badigul Rancamaya siang ieu kahalang tembok dan pagar arogransi Komplek Perumahan dan Lapangan Golf Rancamaya yg dikuasai PT Suryamas tbk. NYUHUNKEUN PITULUNG GUSTI SANG HYANG TUNGGAL SANG HYANG NU MAHA KAWASA. Baraya Ki Sunda Pakuan Pajajaran tos lami dizalimi ku arajeuna.
Foto Kiageng Selo.

Foto Teteh Sukabumi.

Manajemen Perumahan Rancamaya Larang Warga Kunjungi Situ Badigul

SENIN, 8 MEI 2017 | 13:49

Hallobogor.com, Bogor – Ratusan warga berjalan kaki dalam rangka napak tilas untuk menuju Situ Badigul di dalam area perumahan elite Rancamaya, Kota Bogor, Minggu (7/5/2017). Mereka bermaksud berdoa di Situ Badigul memperingati kelahiran Prabu Siliwangi.

Namun baru saja sampai di depan Kantor Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, iring-iringan warga yang berpakaian serba hitam ala adat Sunda itu dihadang pihak Manajemen Perumahan Rancamaya. Pihak manajemen melarang mereka masuk ke area perumahan.

“Jika ingin berdoa silakan di lapangan depan kantor Kelurahan Kertamaya. Kami hanya menjalankan perintah. Atasan kami tidak mengizinkan acara di lokasi (Situ Badigul, red), yang ada di area Perumahan Rancamaya,” kata Sopian, mewakili Manajemen Rancamaya.

Perdebatan pun tak bisa dihindarkan. Warga tetap memaksa masuk. Guna mengindari hal tidak diinginkan, akhirnya peserta dan pihak Manajemen Rancamaya dimediasi Kapolsek dan Danramil Bogor Selatan di Aula Kantor Kelurahan Kertamaya.

Koordinator acara, Wahyu Affandi Suradinata, mengatakan bahwa niat dan tujuan napak tilas hanya ingin berdoa dan melihat petilasan leluhur di Situ Badigul. “Masak begitu saja tidak boleh. Kami tidak akan merusak atau mengotori atau bahkan mengganggu warga Perumahan Rancamaya,” ujarnya.

Suasana sempat memanas saat peserta yang lain ikut protes kebijakan Manajemen Rancamaya. “Kami datang dengan baik-baik. Kami tidak akan mengganggu siapapun yang ada di dalam perumahan. Jangan paksa kami untuk berbuat tidak baik. Situ Badigul ini adalah situ leluhur kami. Tolong pihak Rancamaya bisa memahami. Kalau kami berdoa di sini (di luar Situ Badigul, red) lalu apa esensi dari doa dan perjalanan kami hari ini,” teriak yang lainnya.

Setelah lama berdebat, akhirnya perwakilan Manajemen Perumahan Rancamaya mengizinkan peserta napak tilas masuk ke Situ Badigul melalui area Perumahan Rancamaya. Warga pun melanjutkan perjalanan sekitar 1 kilometer.

Namun lagi-lagi sesampainya di dalam area perumahan, peserta kembali menemui kekecewaan. Mereka tetap dilarang masuk ke lokasi Situ Badigul. Mereka hanya diperbolehkan melakukan acara di depan pintu gerbang.

Kapolsek Bogor Timur, AKP Irwandj, mengatakan, kegiatan ini belum memiliki izin sehingga akhirnya warga tidak boleh masuk. “Mereka belum mengajukan izin untuk acara ini, makanya tidak boleh masuk. Untuk acaranya sendiri sebetulnya bagus. Mengangkat budaya. Tapi izinnya yang belum ada,” ungkapnya.

Sementara itu, Cecep, anggota Baraya Kujang Padjajaran yang menjadi inisiator acara ini, mengaku sudah mengajukan izin ke pihak berwenang. “Sudah sejak dua bulan lalu kami buat izin tapi tidak ada tanggapan. Begitu pula dengan pihak kepolisian. Saya tidak tahu ada apa ini. Begitu susahnya kami mengunjungi peninggalan leluhur kami di wilayah kami sendiri,” tegasnya. (wan)

Foto Kiageng Selo.

Foto Kiageng Selo.

Foto Kiageng Selo.

Foto Kiageng Selo.

Achun Marciano, Prof Dr, Syarif Bastaman, Ahmad Yanuana Samantho, M.Ud,MA

PRABU SILIWANGI

 PRABU JAYADEWATA (1482 – 1521)
( PRABU SILIWANGI )

Jayadewata secara resmi diangkat sebagai raja
Kerajaan Pajajaran yang bertahta di Pakuan saat berusia
81 tahun. Saat pengangkatannya, dilakukan 2 kali
penobatan. Dari penobatannya pertama sebagai
penguasa Galuh beliau diberi gelar Ratu Purana Prebu
Guru Dewapranata. Sedangkan untuk penobatannya sebagai penguasa Sunda-Galuh, beliau diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri SangRatu Dewata .

Dari beberapa kali pernikahannya, Sri Baduga Maharaja dikabarkan memiliki 13 orang anak yang rata-
rata menjadi raja / penguasa yang menyebar ke seluruhTatar Pasundan.
Karena sepak terjang Jayadewata saat menjadi Prabu Anom maupun setelah menjadi Raja Pajajaran
begitu hebat dan dikagumi oleh seluruh rakyatnya serta dianggap sebagai raja di tatar Sunda yang terbesar setelah era kekuasaan kakeknya (Prabu Niskala Wastukancana), maka banyak para pujangga Sunda menceritakan tokoh ini ke dalam bentuk sastra (sepertidalam Kropak 630 sebagai lakon pantun). Melalui bahasa pujangga-pujangga tersebut Jayadewata digelari Prabu Siliwangi (berasal dari kata “silih” yang berarti menggantikan dan “wangi” yang diambil dari gelar kakeknya yaitu Prabu Wangi / Prabu Anggalarang / Prabu Niskala Wastukancana). Jadi, penggunaan gelar Prabu Siliwangi ini sebenarnya bukan merupakan gelar resmi, dan sang raja pun tidak pernah menggunakan gelar ini untuk menunjukkan jati dirinya (seperti yang tertulis pada prasasti-prasasti). Pemakaian sebutan
Prabu Siliwangi lebih bersifat kesusastraan, dan kebiasaan dari rakyat di zaman itu yang merasa tabu
(tidak boleh) untuk menyebut secara langsung nama atau gelar sesungguhnya dari sang raja yang berkuasa dalam percakapan mereka sehari-hari.
Wangsakerta (ahli sejarah dari Cirebon sekaligus penganggung jawab dari penyusunan Sejarah Nusantara) mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, seperti tulisannya :
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya). Jayadewata merupakan Prabu Siliwangi yang
sangat terkenal atau yang selama ini sering diceritakan kemahsyurannya didalam cerita-cerita sejarah Pajajaran dan masyarakat Sunda.
Di saat kekuasaanya, Pajajaran mengalami masa kejayaannya ( kretayuga ), dimana sosial ekonomi
rakyatnya cukup sejahtera serta Pakuan yang menjadi ibukota kerajaan mencapai puncak perkembangannya.
Sang Maharaja memperkuat sistem pertahanan Pakuan secara spektakuler yaitu dengan cara
memperkokoh parit yang mengelilingi kerajaannya sepanjang 3 kilometer di tebing Cisadane (parit tersebut pertama kali dibuat oleh Rakeyan Banga). Sedangkan bekas tanah galian dari proyek itu kemudian dijadikan benteng yang memanjang di bagian dalam, sehingga jika musuh menyerang dari luar akan terhambat oleh parit kemudian benteng tanah.
Kemudian Sang Maharaja membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu bukit
Badigul di daerah Rancamaya (Bogor). Tempat tersebut dijadikan sebagai tempat upacara keagamaan dan menyemayamkan abu jenazah dari raja-raja tertentu.

Beliau juga memperkeras jalan dengan batu-batuan tertentu dari keraton hingga gerbang Pakuan,
kemudian dilanjutkan lagi hingga ke Rancamaya (kurang lebih 7 km). Gerbang Istana depan dinamakan Lawang Saketeng, sedangkan gerbang istana belakang dinamakan Lawang Gintung.
Untuk pelestarian lingkungan alam, Sang Maharaja membuat semacam hutan lindung yang berfungsi sebagai reservoir alami. Hutan tersebut ditanami pohon samida, pohon tersebut kemungkinan
hanya boleh ditebang jika kayunya diperlukan untuk kepentingan upacara kremasi.
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja yaitu pembangunan telaga besar yang bernama Sang Hyang
Talaga Rena Mahawijaya di hulu sungai Ciliwung (Rancamaya, Bogor). Telaga tersebut berfungsi sebagai
tempat pariwisata dan penyuburan tanah.

Karya-karya lainnya dari Sri Baduga Maharaja antara lain membuat jalan ke Wanagiri, membuat
“kaputren” (tempat isteri-isteri-nya), “kesatrian” (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, serta menyusun Undang-Undang
Kerajaan Pajajaran. Undang-undang yang disebut Sanghiyang Siksakandang Karesian ini dirumuskan
berdasarkan sistem pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang sangat adil, Undang-Undang ini disusun pada tahun 1518.

Sri Baduga Maharaja memiliki ahli syair yang bernama Buyut Nyai Dawit , sedangkan ahli pemerintahan
dipegang oleh Adipati Pangeran Papak. Kebijakan yang paling menarik di saat kekuasaan dari Sri Baduga Maharaja adalah dengan membuat penetapan batas-batas kabuyutan (daerah yang dianggap suci dan dijadikan pusat pendidikan) yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” atau disebut juga desa perdikan (desa bebas pajak) di daerah Sunda Sembawa, Gunung Samaya, dan Jayagiri. Tindakan ini
diambil karena Sri Baduga Maharaja merasa harus menjalankan amanat dari kakeknya (Prabu Anggalarang /Prabu Niskala Wastukancana). Bahkan amanat tersebut diabadikan dalam prasasti yang terbuat dari tembaga sebanyak 5 keping. Prasasti tersebut kemudian ditemukan di Kabantenan. (isi dari prasasti itu lihat Kerajaan Sunda sub- Prabu Anggalarang).
Penduduk di lurah kawikuan tersebut dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga
perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif / kerja bakti), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare
dongdang” (padi 1 gotongan). Selain di 3 buah desa kawikuan, Sri Baduga Maharaja juga memerintahkan kepada para petugas muara agar dilarang untuk memungut bea. Raja ini menganggap, tidak perlu memungut pajak pada mereka yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran dan yang terus mengamalkan peraturan dewa.

Dalam hal memperkuat angkatan perang, Prabu Siliwangi ini membentuk satuan tentara dengan tugas
yang jelas. Misalnya Bhayangkara (prajurit keamanan), Pamarang (prajurit yang ahli memainkan pedang) dan Pamanah (prajurit ahli memanah). Dan terakhir Pasukan Elite Pengawal Raja, Puragabaya. Dengan pembagian tugas tersebut menjadikan Pajajaran memiliki armada perang yang tangguh.
Sedangkan untuk pertahananan di dalam kerajaan, Sri Baduga Maharaja selalu menekankan
kepada rakyatnya agar berpedoman setia kepada kebiasaan dan keaslian leluhur, jika hal itu dilaksanakan dengan baik, maka beliau meyakini bahwa Pajajaran tidak akan kedatangan musuh. Beliau sangat menganjurkan kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat.
Kemahsyuran Pelabuhan Muara Jati sebagai pelabuhan internasional makin berkembang saat Raden
Walangsungsang (anaknya dari Subang Larang), menetap di Cirebon dan mendirikan Pakuwuan Cirebon
Larang di Cirebon pesisir. Langkah yang dilakukan Raden Walangsungsang dalam mengelola Pelabuhan
Muara Jati waktu itu (tugas warisan dari Ki Gedeng Tapa yang telah wafat) di antaranya adalah membentuk satuan penjaga keamanan untuk mengamankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai.
Setelah daerah itu semakin maju, akhirnya Raden Walangsungsang diangkat sebagai raja daerah Kerajaan Cirebon Larang oleh Sri Baduga Maharaja.
Sebagai kerajaan yang memperoleh pendapatan dari hasil niaga, Pajajaran saat itu merasa cemas
dengan hubungan harmonis antara Cirebon Larang (yang dipimpin oleh anaknya yang bernama Raden
Walangsungsang) dan Demak. Pada saat itu, armada Laut Demak sering berada di pelabuhan Muara Jati. Sri Baduga Maharaja khawatir apabila kehadiran armada Demak dapat mengganggu jalannya perniagaan
Pajajaran.
Sekitar abad ke-15 di Nusantara, Pajajaran dan Demak termasuk kerajaan yang memiliki jalur
perdagangan sangat ramai. Demak yang terkenal kuat dalam angkatan lautnya, saat itu tengah mengalami beberapa kekalahan dari Portugis yang telah menguasai selat Malaka. Berita
kekalahan ini membuat Sri Baduga Maharaja merasa perlu mengadakan hubungan kerjasama dengan
Portugis. Seperti yang kita tahu, Pajajaran merupakan penguasa di Selat Sunda dan Portugis berkuasa di Selat Malaka. Sebagai penguasa di 2 selat yang menjadi jalan masuk perniagaan dan bangsa asing ke Nusantara, tentunya keputusan Sri Baduga Maharaja ini sangat cemerlang. Kerjasama antara Pajajaran dan Portugis sangat tepat dilakukan untuk menguasai jalur niaga di Nusantara.

Kerjasama ini dilakukan bukan maksud menggalang kekuatan untuk menyerang Demak,
melainkan hanya upaya antisipasi apabila Demak membantu Cirebon melakukan serangan dalam upaya
pembebasan diri dari Pajajaran. Rupanya, Sri Baduga Maharaja sudah dapat mencium gelagat dari Raden Walangsungsang dalam upaya memerdekakan diri.
Untuk memuluskan rencananya, maka Sri Baduga Maharaja mengutus Surawisesa (putera mahkota
Pajajaran) untuk mengadakan kerjasama dengan Alfonso d’ Albuquerque (Laksamana Bunker Portugis di Malaka).
Pada tahun 1512, Surawisesa mengunjungi Malaka dan akhirnya perjanjian bilateral resmi antara
Pajajaran – Portugis, dengan hasil kesepakatan adalah Portugis berjanji untuk membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh pasukan Demak dan Cirebon, serta ingin menjalin hubungan dagang.
Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513, Pajajaran didatangi oleh duta-duta dari Portugis dengan
menumpang 4 buah kapal. Salah seorang dari rombongan Portugis tersebut bernama Tome Pires yang
bertindak sebagai juru catat perjalanan. Tome Pires sendiri mencatat mengenai kekuasaan dari Sri Baduga Maharaja adalah “the kingdom of Sunda is justtly governed” (Kerajaan Sunda / Pajajaran diperintah dengan adil). Kerjasama kali itu baru merupakan tahap penjajakan.

Kebijakan-kebijakan dari Prabu Siliwangi itulah yang menunjukan kemakmuran, kebesaran, dan kejayaan Pajajaran pada masa kekuasaannya. Raja ini menerapkan motto hidup “silih asah, silih asih, silih asuh“ . Dengan kebijakan dan strategi-strategi itu pula, kita dapat mengakui bahwa Prabu Siliwangi ini adalah seorang raja yang mampu memimpin kerajaan dan juga seorang yang ahli strategi perang, sehingga saat itu Pajajaran tidak dapat disusupi oleh musuh. Karena itulah, orang pada zaman itu seakan teringat kembali kepada kebesaran mendiang kakek buyutnya (Prabu Maharaja
Lingga Buana) .
Dalam Carita Parahyangan, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Bahagia sejahtera di utara, selatan, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Namun kebesaran yang dimiliki Pajajaran saat itu tidak serta merta membuat sang raja merasa tenang,
hal ini dikarenakan pada saat itu banyak Rakyat Pajajaran yang beralih ke agama Islam dengan
meninggalkan agama lama. Mereka oleh sang Maharaja disebut “loba” (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.
Meskipun merasa kesal, tetapi Sri Baduga Maharaja hanya bisa menyindir tanpa melakukan tindakan “fisik” atau mengeluarkan perintah larangan, karena beliau menyadari bahwa memilih agama merupakan hak bagi setiap rakyatnya. Dengan demikian beliau tetap memperlakukan adil bagi rakyatnya yang telah memeluk agama Islam.
Untuk lebih mempererat kerjasama dengan Portugis, pada tahun 1521 Sri Baduga Maharaja kembali
menugaskan Surawisesa untuk menemui Portugis di Malaka. Penugasan ini dilakukan beberapa bulan
sebelum sang Maharaja wafat.
Sri Baduga Maharaja wafat pada tanggal 31 Desember 1521 dalam usia yang sangat sepuh yaitu 120
tahun. Kekuasaan Kerajaan Pajajaran diserahkan pada puteranya yang bernama Surawisesa (anak dari Kentring Manik Mayang Sunda).
Ketika sudah dikubur selama 12 tahun, makam Sri Baduga Maharaja digali kembali atas perintah dari
Surawisesa. Kemudian kerangkanya diangkat untuk dikremasi. Setelah itu, abu jenazahnya tadi kemudiann ditaburkan di Rancamaya, Bogor ( kini sudah dijadikan lapangan golf serta perumahan mewah).
Selain di Rancamaya, sisa abu jenazahnya itu kemudian dibagikan kepada raja-raja daerah (bawahan Pajajaran) untuk dipusarakan di tempat kabuyutan daerah itu.
Karena itulah, maka tidak perlu heran apabila di beberapa tempat banyak yang mengklaim sebagai
tempat dari makam Prabu Siliwangi.

Foto Kiageng Selo.

Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.
Foto Kiageng Selo.

Home » kisah »

Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang

Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang Media Metafisika Add Comment kisah Friday, November 22, 2013 Mediametafisika.com – Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang – Badigul, begitu orang menyebut bukit kecil di kota Bogor bagian Selatan ini. Selintas tak ada yang nampak istimewa pada segundukan tanah di atas lahan seluas 5000 meter persegi itu. Hanya rumput halus lapangan golf yang mengelilinginya. Di sisi barat berdiri sebuah bangunan sport center milik perumahan elite Rancamaya. Di sisi lain nampak sebuah gedung megah pusat penelitian dan pengembangan agama Budha. Bukit itu sendiri kini telah menjadi miliki perumahan Rancamaya. Namun 20 tahun lalu, sebelum Badigul digusur pengembang Rancamaya, bukit ini adalah sebuah tempat yang amat dikeramatkan masyarakat Sunda.

Betapa tidak, Badigul diyakini sebagai tempat mandapa Prabu Siliwangi. Di bukit ini sang Prabu sering semedi hingga kemudian ngahiyang menghadap Sang Pencipta.

Dulu orang berbondong-bondong berziarah pada leluhur mereka di bukit Badigul yang luasnya masih 5 hektar. Saat itu masih terdapat beberapa alat gamelan sunda yang memiliki kekuatan magis, namun kini menghilang entah ke mana. Buldoser dan 2 becko tak sanggup menggeser batu menhir di bukit Badigul. Malah tiga sopir alat-alat berat itu sekarat tanpa sebab. Korban-korban lain pun berjatuhan….

“Dulu bukit itu masih tinggi. Badigul dikelilingi sebuah telaga yang bernama Renawijaya. Jika orang ingin ke puncak bukit, mereka harus menyeberangi telaga dan mengambil air wudlu di sana,” tutur Ki Cheppy Rancamaya, 53 tahun, saat Kami ditemui di rumahnya. Berkisah tentang Badigul, Ki Cheppy, spiritualis dan budayawan ini, merasa miris mengingat masa lalunya. Ia adalah orang yang mati-matian mempertahankan tempat keramat itu. Namun kekuatan rezim Orde Baru dan pengaruh uang dari pengusaha membuatnya harus mengakui kekalahan. Badigul digusur, ia diculik Kopassus dan dipenjarakan tanpa pengadilan.

Setahun lebih Ki Cheppy harus meringkuk di penjara Paledang, Januari 1992-1993. Tak cukup sampai di situ, setelah keluar Ki Cheppy kembali melakukan perlawanan terhadap penguasa. Tapi akhirnya ia pun harus kembali meringkuk di tahanan untuk ke dua kalinya. Sebuah pengalaman mistik pun dialami Cheppy saat ia menghuni Blok B 8 Rutan Paledang, Bogor. Saat itu ia dipanggil sipir, katanya ada keluarganya yang hendak menjenguknya. Cheppy pun keluar dari ruang tahannya. Namun belum genap 10 langkah ia meninggalkan ruang tahanan itu, tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar dari ruang tahannya. Sebuah petir yang menghebohkan seisi napi Paledang menjebolkan tembok kamar tahanan Cheppy yang tebalnya 75 cm.

“Saat itu memang hujan rintik-rintik. Petir itu membuat lubang berdiameter 50 cm pada dinding penjara. Jika saya ada di dalam tentu saya sudah mati. Belakangan saya baru tahu kalau petir itu adalah santet kiriman anak buah Cecep Adireja,” tutur Cheppy. Keberanian Cheppy untuk mempertahankan Badigul memang bukan tanpa alasan. Ia yakin seyakin-yakinnya, Badigul adalah tempat keramat peninggalan leluhur Pakuan Pajajaran. K

eyakinan Cheppy itu juga diperkuat oleh keyakinan banyak masyarakat di sana. Budayawan-budayawan Sunda pun telah menetapkan situs Badigul sebagai Cagar Budaya yang patut dilestarikan. Bahkan Solihin GP, tokoh masyarakat Sunda yang kala itu menjabat Sesdalopbang pun melarang penggusuran keramat Badigul dengan mengeluarkan nota pribadinya kepada Walikota Bogor. “Siapapun yang merusak tempat keramat akan kena supata (karma-Red.),” tutur Cheppy.

Cerita-cerita mistik dan supata yang dilontarkan Cheppy memang terbukti. Seratus orang buruh bangunan telah mati menjadi tumbal saat bukit Badigul dibuldoser. Namun ambisi pengusaha real estate untuk meratakan bukit Badigul tidak pernah luntur. Bukit itu tetap diratakan untuk perumahan dan lapangan golf hingga ketinggiannya berkurang 6 meteran. Saat puncak badigul telah tercukur 6 meter itu muncul sebuah batu menhir sebesar mobil sedan. Anehnya batu sebesar itu sama sekali tak goyang saat dibuldoser.

Penasaran dengan itu, pihak perumahan mendatangkan dua becko untuk menarik batu keramat itu. Tapi dua becko itu pun tak sanggup menggoyangkan batu itu. Bahkan satu becko malah patah saat menariknya. Secara logika batu itu seharusnya dapat digusur oleh buldoser. Saat itulah kesadaran para buruh tentang kekuatan mistik bukit Badigul mulai terbuka. “Tapi mereka terlambat, 3 orang supir alat berat itu pun mati,” tutur Cheppy.

Mengingat keanehan-keanehan yang terjadi, akhirnya pihak perumahan sepakat untuk tidak memindahkan batu itu. Batu itu tetap di tempatnya kemudian dibenamkan dan kembali timbun dengan tanah. Jadilah bukit Badigul kini sebagai lapangan golf dengan sport center dan pusat penelitian agama Budha di sebelahnya.

Memang ironis, hanya untuk membuat sebuah lapangan golf dan pusat kebugaran, pihak pengembang harus menghancurkan cagar budaya. Mereka juga harus bertentangan dengan kepercayaan masyarakat sekitar yang meyakini kekeramatkan Badigul. Alhasil mereka harus menumbalkan 114 orang buruh untuk mencukur 6 meter bukit Badigul.

“Kita berurusan dengan makhluk di dunia lain. Tapi mereka juga punya tempat dan habitat di bumi ini. Jika mereka diganggu, mereka pun bisa mengganggu kita,” jelas Cheppy. Tentang kekeramatan bukit Badigul, mungkin hanya Cheppy yang pernah menyibak tabir mistiknya. Ia adalah penduduk asli Rancamaya, Bogor Selatan. Ia adalah orang yang paling rajin bermunajat di sana. Ia sering melakukan kontak batin dengan penguasa gaib bukit Badigul. Bahkan ia juga pernah melakukan meditasi dan puasa selama 100 hari di bukit itu.

Dikisahkan Cheppy, suatu malam ia tengah melakukan meditasi di puncak Badigul. Menjelang tengah malam, ia melihat seekor anjing hitam yang diapit dua ekor anjing kecil berbulu putih di kiri kanannya. Dalam hati, Cheppy yakin itu bukan binatang sungguhan. Sebab tak mungkin binatang-binatang itu tiba-tiba muncul di hadapannya tanpa diketahui dari mana datangnya. Tidak mungkin pula anjing itu bisa ke puncak Badigul, sebab harus menyeberangi telaga Renawijaya. Binatang-binatang yang tampak gagah itu memandang heran ke arah Cheppy. Tapi sedikit pun Cheppy tak bergeming dari tempatnya duduk. Cheppy tetap konsentrasi dengan meditasinya. Sesaat ia melihat ajing berbulu hitam itu menengadahkan kepalanya pada Cheppy. Tapi ia tak mengerti apa maksudnya. Dan dalam ketidak mengertian itu, sekedipan mata saja anjing-anjing aneh itu hilang dari pandangan Cheppy.

Malam yang lainnya, Cheppy juga pernah menemukan fenomena mistik yang sulit diterima akal sehatnya. Malam itu, Cheppy sengaja datang ke Badigul untuk melanjutkan meditasinya. Dari rumah, ia membawa segala perlengkapan sajen yang diperlukan di keramat Badigul. Cheppy berharap malam itu ia akan mendapatkan sesuatu yang selama ini ia cita-citakan. Lepas Maghrib Cheppy duduk tepekur menghadap Kiblat.

Tepat tengah malam, ketika Cheppy tengah khusuk meditasi sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba ia melihat sepertinya matahari terbit dari balik gunung Salak. Sinarnya terlihat benderang menerangi seantero alam. Gunung Salak terlihat jelas, pohon besar hingga rumput kecil dan perumahan penduduk di kaki gunung itu terlihat jelas. Sesaat Cheppy tak yakin, ia sadar bahwa gunung salak itu berada di sebelah barat. Mana mungkin matahari terbit dari arah barat. Ia lalu mengusap-usap matanya. Dan seketika itu pula bumi kembali gelap gulita. Tak nampak lagi matahari yang benderang di balik gunung salak itu. Yang tertinggal hanya kedipan-kedipan kecil dari lampu yang terpasang di rumah-rumah penduduk.

“Itu benar-benar aneh dan saya mengalaminya sendiri. Kekuatan mistik Badigul memang nyata,” jelas Cheppy. Kisah lain yang lebih unik juga diceritakan Cheppy. Malam itu ia tengah wirid di Badigul. Karena penat, ia celentang merebahkan dirinya di tengah padang rumput puncak Badigul. Tapi sesaat kemudian ia tersentak kaget. Dari atas langit ia melihat seperti seberkas sinar keperakan jatuh menimpa dadanya. Seketika ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Dan mendadak, tangannya menyentuh benda pipih yang dingin. Ia pun langsung menggenggamnya. Kini di tangannya tergenggam sebilah kujang — sebuah pusaka Pajajaran yang keampuhannya tak perlu diragukan lagi. Dan tatkala Kami mencoba, ternyata, kujang itu memiliki daya kekebalan bagi siapa pun yang memegangnya.

Masih seputar fenomena mistik Badigul, Cheppy menceritakan suatu hari di tahun 1994 warga Bogor dihebohkan oleh penemuan telapak kaki raksasa di Batutulis dan Rancamaya. Berita yang menghebohkan itu pun diliput oleh media-media cetak dan elektronik di Jabotabek. Di Jalan Batutulis terdapat sebuah telapak kaki kiri sepanjang 1 meter. Jelas sekali telapak kaki itu bukan rekayasa manusia.

Sementara di Rancamaya juga terdapat sebuah telapak kaki kanan yang panjangnya sama dengan yang ditemukan di Batutulis. Lalu orang berimajinasi, kalau kaki itu adalah milik gaib Prabu Siliwangi. Sang Prabu sengaja mendatangi Batutulis kemudian loncat ke Rancamaya hanya dengan sekali langkah saja. Tak cuma itu, ternyata di sekitar puncak Badigul terdapat empat telapak kaki yang panjang dan besarnya sama. “Sang Prabu ke Batutulis lalu ke Rancamaya dan mengelilingi puncak Badigul,” begitu jelas Ki Cheppy ketika ditanyai wartawan saat itu.

Kekeramatan bukit Badigul memang meyakinkan. Tak seorang warga Rancamaya pun yang dihubungi Kami meragukan keangkerannya.  Sejak batu keramat itu tak sanggup dibuldoser, tak seorang buruh pun yang mau melanjutkan pekerjaan di sana. Mereka takut terkena kutuk atau supata Eyang Prabu Siliwangi. “Kami tidak mau mati jadi tumbal,” tutur Ujang warga Rancamaya yang waktu itu ikut melakukan pembabatan lahan di Badigul. Ketakutan Ujang memang beralasan. Ia menceritakn beberapa orang rekannya yang mati akibat ikut meratakan tanah di bukit Badigul. Waktu itu, Herman dan beberapa teman Ujang diperintahkan untuk mengeruk tanah di puncak Badigul. Lewat tengah hari setelah mereka istirahat pekerjaan itu dilanjutkan. Namun alangkah terkejutnya Herman dan kawan-kawannya. Mereka melihat seekor ular hitam di atas tanah merah bukit Badigul. Tanpa pikir panjang ular itu mereka pukul ramai-ramai dengan batang kayu dan batu. “Esok harinya, Herman dan dua orang temannya itu dikabarkan sakit meriang lalu sore harinya mati semua,” kisah Ujang pada Misteri.

Tentang Supata yang didawuhkan Prabu Siliwangi itu ternyata tidak hanya menimpa kuli bangunan atau buruh pekerja perumahan Rancamaya. Tapi juga menimpa seluruh penggede-penggede Perumahan elit itu. Cecep Adireja misalnya, tuan tanah yang menguasai pembebasan lahan untuk perumahan itu akhirnya mati mengenaskan. Tuan tanah yang disebut-sebut pemilik Hotel Salak, Bogor, ini meninggal setelah mengalami sakit berkepanjangan yang tak jelas sebab musababnya. Begitu pun dengan kakak dan adik Cecep, mereka mati setelah mengalami sakit yang tak sanggup diobati dokter. “Tidak hanya keluarga Cecep, supata itu juga diterima Kapolsek Ciawi dan lurah Rancamaya waktu itu. Mereka juga mati setelah mengalami sakit parah yang tak jelas penyakitnya,” jelas Cheppy.

Source: http://www.mediametafisika.com/2013/11/badigul-bukit-keramat-yang-memakan.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.



DIKOTOMI ILMU DALAM PERADABAN ISLAM

$
0
0

DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN: AKAR TUMBUHNYA

DIKOTOMI ILMU DALAM PERADABAN ISLAM

  1. Pengantar

Dikotomi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan sudah terlanjur terjadi. Hal ini mengapresiasi para cendikiawan untuk dapat berfikir dan menggali lebih banyak tentang ilmu pengetahuan. Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi ilmu adalah timbulnya kesenjangan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Para pendukung ilmu agama menganggap valid sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati. Di pihak lain, ilmuan-ilmuan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan indrawi.

Sejarah mencatat bahwa peradaban islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 M. sampai abad ke-15 M. Setelah itu masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan terkesan mundur hingga abad ke-21 M. ini. Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pendidikan islam yang berkembang adalah pendidikan islam non-dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan intelektual muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan manusia. Cendikiawan muslim tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat dari buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam ilmu filsafat. Dengan demikian lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan diberbagai bidang termasuk ahli filsafat (filosof-filosof islam).

Dengan banyaknya ahli-ahli filsafat yang muncul pada masa keemasan islam tersebut, maka terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan. Dan selanjutnya pada makalah ini akan dikupas sedikit maupun banyak tentang hal-hal yang terkait dengan dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban islam seperti: pengertian dikotomi ilmu, akar tumbuhnya dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban islam, konsep islam tentang ilmu pengetahuan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dikotomi ilmu, dan dampak dikotomi ilmu pengetahuan terhadap pengembangan pendidikan islam.

  1. Pengertian Dikotomi Ilmu

Secara harfiah dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu  “dichotomy” yang artinya membedakan dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata yang dalam bahasa Inggrisnya “dichotomy” tersebut, digunakan sebagai serapan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi” yang arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.[1] Mujamil Qomar mengatakan bahwa dikotomi adalah pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan.[2]  Selanjutnya Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry mengartikan bahwa dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan. [3] Sedangkan  Yuldelasharmi dalam  Samsul  Nizar mengartikan bahwa dikotomi sebagai pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain, dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.[4] Maka ketika menempatkan sesuatu pada dua kutub yang saling berlawanan dan antara dua kutub yang berbeda tersebut sulit diintegrasikan. Sikap tersebut telah menunjukkan sikap dikotomi.

Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling bertentangan serta sulit untuk diintegralkan.[5] Dengan demikian, apapun bentuk pembedaan secara diametral terhadap ilmu secara bertentangan adalah berarti dikotomi ilmu. Sehingga secara umum timbul istilah “ilmu umum (non agama) dan ilmu agama; ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu hitam dan ilmu putih; ilmu eksak dan ilmu non-eksak, dan lain-lain. Bahkan ada pembagian yang sangat ekstrim dalam pembagian ilmu pengetahuan dengan istilah seperti ilmu akhirat dan ilmu dunia; ilmu syar’iyyahdan ilmu ghairu syar’iyyah.

  1. Akar Tumbuhnya Dikotomi Ilmu Dalam Peradaban Islam

Istilah dikotomi ilmu merupakan sikap atau paham yang membedakan, memisahkan, dan mempertentangkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama (ilmu umum). Istilah-istilah untuk diskursus ini beberapa diantaranya adalah “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”. Ada juga yang menyebutkan dengan ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu syar’iyyah, [6]  bahkan ada juga sebutan lainnya seperti al-‘ulum al-diniyyahdan al-‘ulum al-‘aqliyyah.[7]

Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar yakni ilmu-ilmu tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah baik dalam kitabnya maupun hadis-hadis nabi Muhammad; dan ilmu-ilmu kauniyyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Semua klasifikasi ilmu dengan varian istilah tersebut merupakan pemisahan dua arah keilmuan. Artinya semua ekstensi ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara satu dengan lainnya dalam bingkai realitas yang terfregmentasi menjadi sub sistem yang masing-masing berdiri sendiri.

Istilah lain dari dikotomi ilmu pengetahuan adalah hellenis untuk ilmu umum atau ilmu modern dansemitis untuk ilmu agama. Gagasan hellenis berasal dari Yunani klasik yang ciri menonjolnya memberikan porsi yang sangat besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional serta lebih menyukai ilmu-ilmu secular. Sedangkan gagasan semitis mewarnai alam pikiran kaum agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani yang mendahului islam, dengan ciri menonjolnya memberikan porsi yang sangat besar terhadap otoritas wahyu, sikap patuh terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu keagamaan.[8] Sedangkan Harun Nasution mengistilahkan dikotomi ilmu dengan istilah “dualisme ilmu”.[9] Dalam dualisme, unsur-unsur yang paling mendasar dari setiap realitas itu cenderung dipertentangkan namun tidak saling menafikan antara keduanya, misalnya kejahatan dan kebaikan, Tuhan dan alam semesata, ruhani dan jasmani, jiwa dan badan, dan lainnya.

Jika istilah dikotomi ilmu itu hanya sekedar membedakan atau mengklasifikasikan ilmu menjadi “ilmu agama” dan “ilmu non-agama”, sebenarnya tidakmenjadi masalah selama tidak berlebihan, apalagi sampai melakukan diskriminatif terhadap salah satu diantara keduanya.[10] Tradisi dikotomik ilmu dalam islam tidak bisa diingkari, tetapi perlu diakui validasi dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan seperti yang terjadi di masa Nabi Muhammad dan generasi sesudahnya. Secara klasfikasi, memang mereka membedakan keduanya, akan tetap secara prinsip mereka memposisikan dalam status dan kedudukan yang sama, sehingga keduanya mendapat porsi yang sama untuk dieksplorasi.

Dalam perspektif fakta sejarah, proses pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan dalam islam, terjadi akulturasi nilai antar disiplin khazanah keilmuan islam. Pemikiran filsafat diadopsi sebagai dasar pola pikir dalam ilmu kalam –padahal keduanya merupakan disiplin ilmu yang berbeda- , maka terkesan adanya infiltrasi teori-teori yang fregmentatif-konfrontatif dengan doktrin islam. Melihat fakta tersebut, tokoh-tokoh agam islam mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga mengharamkan filsafat, dan mengkafirkan orang-orang yang mempelajaridan mengajarkannya. Salah satunya adalah al-Ghazali[11] dengan bukunya “Tahafut al-Falasifah” dengan banyak mengecam filsafat. Di tangannya, dunia islam dipenuhi dengan sisi mistis (tasawuf).

Pengaruh Al-Ghazali dalam islam tidak dapat diragukan lagi. Hingga dewasa ini karya-karya tulisannya masih digemaridan dibaca secara meluas di seluruh penjuru dunia. Lebih dari pemikir-pemikir islam lainnya, buku-buku Al-Ghazali masih terus dibicarakan. Pengaruhnya dalam masyarakat islam diperhitungkan jauh lebih besar dari pada ahli teologi muslim mana pun dalam sejarah.

Sedemikian hebatnya Al-Ghazali dalam penguasaan ilmu memunculkan pertanyaan besar, apakah masih belum cukup untuk memberikan pengakuan bahwa ia benar-benar mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kemajuan peradaban dan perkembangan dunia intelekual umat islam bahkan non-islam?. Dan kecamana Al-Ghazali terhadap para filosof dengan argument rasional dan filosofis dalam Tahafut al-Falasifah masih belum cukup untuk menunjukkan bahwa yang ia lakukan bukan dalam rangka membunuh kreatifitas intelektual umat islam, apalagi menjauhkan peradaban islam dari filsafat.[12] Justru sebaliknya ia memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap akal sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan, karena yang dilakukannya adalah dalam rangka mendudukkan akal manusia pada batas-batas wilayahnya.[13]

Dalam kritiknya Al-Ghazali mengatakan “kafir” terhadap para filosof muslim saat itu, ia menilai mereka terlalu jauh terkontaminasi logika Yunani yang tidak dilandasi pada kebenaran wahyu Tuhan.[14]Sanggahan Al-Ghazali terhadap metafisika spektakuler filosof muslim dan system pemikirirannya, tentang jaringan relasional antara sebab-akibat pada peristiwa dan phenomena alam, merupakan sebuah perdebatan menarik dalam sejarah pemikiran islam. Hal ini terbukti dengan munculnya counter kritis Ibnu Rusyd terhadap pandangan Al-Ghazali yang dituangkan dalam Tahafut al-Tahafut.[15]

Terlepas dari kebesaran Al-Ghazali dan kritiknya tersebut, pasca Al-Ghazali realitas ilmu menunjukkan semakin dikotomik bahkan ada gab antara dualisme ilmu, antara “ilmu agama” dan ilmu umum” terbuka sangat lebar. Tragisnya lagi adalah kondisi para ilmuan atau filosof yang banyak dikucilkan, bahkan ada sebagian dari mereka yang kemudian ditangkap, dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh al-Rukn dan Ibnu Rusyd. Dengan demikian, sejak saat itu berkembanglah paham anti ilmu pengetahuan (“ilmu non agama”) dikalangan umat islam hingga berabad-abad lamanya.

  1. Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan

Epistimologi Islam mengandung sebuah konsep yang holistik mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan pengetahuan dengan nilai-nilai. Al-Qur’an menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmmu pengetahuan diberikan derajat yang tinggi. Bahkan al-Quran menegaskan bahwa tidaklah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.[16] Dari ketegasan makna ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa ternyata Islam tidak pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai suatu yang totalitas dan integral.

Kemudian Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kitab pengetahuan karya Al-Ghazali (1058-1111). Al-Ghazali seorang guru besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al-Ghazali mengemukakan ilmu pengetahuan berdasarkan tiga kriteria:[17]

  1. Sumber
  2. Pengetahuan yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khusus oleh para nabi dan rasul. Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada wahyu yang diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
  3. Pengetahuan yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah akal, penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
  4. Kewajiban-kewajiban
  5. Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-‘ain); pengetahuan yang penting sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan hukum sipil.
  6. Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya pertanaian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin.
  1. Fungsi sosial
  2. Ilmu-ilmu yang patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh diabaikan karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
  3. Ilmu-ilmu yang patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
  4. Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak berdiri sebagai dua buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang integral. Pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad pertengahan, setelah pelajar Yunani dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan dan agama.
  1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Dikotomi Ilmu

Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal.Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya.Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh.Epistemologi merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang.[18] Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother off all sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya.Tak pelak lagi hal ini menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-masing.[19]

Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.[20] Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.

Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[21] Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia-alam, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum.Sehinggga mau tidak mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi dikotomi tersebut.Bahkan hal ini diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem politik, budaya, hukum, dan seterusnya yang melanda umat Islam, sebagai krisis yang dialami pendidikan Islam.

Setelah kita berbicara mengenai akar masalah dikotomi ilmu di Indonesia, sekarang akan dipaparkan penyebab dan akibatnya dikotomi ini secara luas (sejarah Islam). Kemunculan dikotomi pendidikan menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Jasa Ungguh Muliawan, ia bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.[22] Selain itu terjadinya krisis multidimensi dalam pendidikan Islam, meminjam istilah Azyumardi Azra ia melihat pada persoalan-persoalan yang memang secara riil dihadapi oleh sistem pemikiran dan pendidikan Islam pada umumnya.

Sedangkan secara gamblang Azyumardi Azra menyebutkan bahwa permasalahan dikotomi pendidikan (ilmu) pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual baik itu pada tataran epistemologisnya. Krisis konseptual tentang defenisi atau terjadinya pembatasan ilmu-ilmu dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau melihat konteks Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional.[23]

Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.[24]

Krisis konseptual yang dimaksud adalah terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam. Kita sering mendengarkan adanya istilah ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah / religious sciences) atau menurut Azyumardi Azra yaitu ilmu-ilmu sacral (transenden).[25] Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi juga hal ini menyebabkan terjadinya pengkotakan (adanya gap) pada bidang kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan.

Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Ini jelas sekali terefleksi di Indonesia; misalnya dengan adanya dulaisme sistem pendidikan, pendidikan agama yang diwakili madrasah dan pesantren dengan pendidikan umum; di tingkat pendidikan tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan perguruan tinggi umum.[26] Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring waktu UIN dengan segala perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka jurusan-jurusan ilmu-ilmu umum.Hal ini menjadi babak baru buat memecahkan masalah dikotomi pendidikan di Indonesia.

Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab pokok terjadinya dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:

1)      Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam

Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M., yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni “ijtihad.

Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah,syari’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.[27]

Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di Eropa.Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan.Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkanmalaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.[28]

2)      Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam

Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku.Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.

Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.

Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk.Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka.Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin.Untuk mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.

Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik dan budaya.[29] Mereka cenderung menengok ke belakang ke romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.

Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi mencari solusi dari malise yang dihadapi umat, pengetahuan harus diIslamisasikan, sambil menghindari perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam.[30] Untuk menuang kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti membuat teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia.[31]

Dengan demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat Islam (termasuk dikotomi pendidikan) adalah islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni pemaduan kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern melalui filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan menengah, juga kuliah-kuliah dan jami’ahjami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan dengan sistem sekular dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum dengan proses islamisasi ilmu.

  1. Dampak Dikotomi Ilmu Pengetahuan Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam

Menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua penyebab utama terjadinya dikotomi pendidikan dalam dunia Islam, yaitu:

1)        Imperialisme dan Kolonialisme Barat atas Dunia Islam

Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada umat di abad ke 6 dan 7 H atau sekitar abad ke 12 dan 13 M., yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepadasyari’ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreatifitas, yakni “ijtihad”.

Mereka mencanangkan penutupan pintu ijtihad. Mereka memperlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ahadalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk. Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.

Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena disini kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.

Penjajahan Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak berdaya. Dalam kondisi seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat terutama injeksi budaya dan peradaban modern Barat. Tak pelak, ilmu-ilmu Barat sering menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam. Sementara upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum (Barat) tidak begitu dilakukan waktu itu, yang terjadi justru pemisahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum sekuler.[32]

2)   Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam

Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin. Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku. Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam. Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.

Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.

Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah. Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka. Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.

Mereka cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim kurang menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.[33]

Al Faruqi mengungkapkan bahwa pendikotomian merupakan simbol jatuhnya umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid.Pertama, kesatuan pengetahuan; kedua, kesatuan hidup; dan ketiga, kesatuan sejarah. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak negatif terhadap kemajuan Islam.

Sementara Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, sebagai berikut:

  1. Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; di mana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan coraktafaqquh fil al din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam suatu lembaga telah mengubah citra pesantren sebagai lembaga taffaquh fil adin tersebut. Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
  2. Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.
  3. Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya atau egoisme.[34]
  4. Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan moral.

Selanjutnya, International Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan bahwa, dikotomi merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada beberapa ruang lingkup kehidupan umat, meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks kebudayaan dan agama.

Upaya pembendungan dikotomi ilmu ini dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu dalam Pendidikan Islam yang dimuat dalam tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu: model purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisme.[35]

  1. Islamisasi Model Purifikasi

Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha menyelenggarakan pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secarakaffah, lawan dari berislam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuwan Muslim dituntut menjadi actor beragam yang loyal, concern dan commitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan.

Model Islamisasi ini sebagaimana dikembangkan oleh Al-Faruqi dan Al-Attas. Adapun empat rencana kerja Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi, meliputi: (a) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (b) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam, dan (d) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan wawasan dan ideal Islam.

  1. Islamisasi Model Modernisasi Islam

Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim. Islamisasi disini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial, perkembangan IPTEK, adaktif terhadap perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.[36]

Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt) sebelumnya yang pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti bersikap ilmiah, rasional,  menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran yang didapat bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa memiliki semangat untuk maju dan bangun dari keterpurukan dan ketertinggalan.

  1. Islamisasi Model Neo-Modernisme

Model ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan IPTEK.[37]

Islamisasi model ini bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalan-persoalan kotemporerumat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b) bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan kotemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, (c) melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut.[38]

Dari ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna membangun kembali kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk pada kandungan al-Quran dan al-Hadits. Oleh karenanya, hendaknya selaku seorang pendidik, kita memahami krisis dan kemelut umat ini dengan baik agar dapat menghindari keberlanjutan praktik dikotomi ilmu ini dalam dunia pendidikan yang digeluti.

  1. Penutup

Secara prinsip dan konseptual, sebenarnya dikotomi terhadap ilmu  –dalam arti yang berlebihan yang berlebihan, mempertentangkan dan diskriminatif- tidak terformulasi secara paradigmatic dalam islam. Islam tidak pernah memformulasikan apalagi memisahkan secara diametral-konfrontatif antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam pemahaman dan konsep islam –sebagai konsep universal- segala ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah bersumber dari satu, yakni Allah swt.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap ilmu pengetahuan mempunyai pengaruh dan dampak yang positif maupun dampak yang negatif terhadap zaman dan pendengarnya. Setiap ilmu mempuyai kelebihan tersendiri, walaupun pada akhirnya terjadi perdebatan yang hebat sesuai dengan pendapat dan alasan yang rasional dalam memunculkannya. Dan semua pendapat yang membentuk ilmu itu terdikotomi, membuktikan bahwa manusia mempunyai kelebihan, yang selanjutnya menjadi renungan bahwa Allah-lah pemilik segala ilmu pengetahuan.

Wallahu A’lam Bi Al-Shawab.

[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 264.

[2]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2006), 74.

[3] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 110.

[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi Muhammad Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 230.

[5] Baharuddin, Dkk., Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 44.

[6] Istilah yang dikemukakan oleh al-Ghazali, kemudian banyak berkembang di dunia islam khususnya di Indonesia dikalangan pesantren.

[7] Sebutan lain untuk al-‘ulum al-‘aqliyyah adalah ilmu klasik (‘ulum al-Qudama atau Awail). Ahmad Munir Mursyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha Wa Tathawwuruha, (Kairo: Maktabah Dar al-‘Alam, 1986), 193.

[8] A. Malik Padjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999), 99-100.

[9] Harun Nasution, Islam Rasioinal: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), 40.

[10] Baharuddin, Dkk., Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 4.

[11] Al-Ghazali, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As’ad, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), xii.

[12] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh M. Fahmi Muqoddas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), vi.

[13] Ahmad Zainul Hamdi, Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali, (Jumal Al-Tahrir, 2001), 174.

[14] Al-Ghazali bukan mengkafirkan semua pendapat para filosof, akan tetapi dari 20 masalah (16 metafisika dan 4 fisika) hanya 3 persoalan yang diklaim telah melenceng dari agama yaitu: qadimnya alam, pengetahuan Tuhan, dan masalah kebangkitan jasmani. Anggapannya bahwa filsafat telah melampaui wewenangnya.

[15] Karya Ibnu Rusyd ini merupakan serangan frontal terhadap buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Karya ini disusun 85 tahun setelah Tahafut al-Falasifah. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa “mengingkari hokum sebab-akibat (kausalitas) berarti juga menolak ilmu pengetahuan, dan berarti pula menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat diketahui secara pasti”. Lihat Abu al-Walid Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Edit.: Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1963), 319.

[16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2009), 228.

[17] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html. Diakses tanggal 25 Oktober 2014, pukul 23.00 Wita.

[18] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif,  (Yogyakarta: LKIS, 2008), 101.

[19] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), vii-ix.

[20] Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 87.

[21] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar ………………….., viii.

[22] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 94.

[23] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), 114.

[24] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), 217-221.

[25] Azyumardi Azra, Paradigma Baru…………………, 115-116.

[26] Azyumardi Azra, Paradigma Baru…………………, 116-117.

[27] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Work plan, (Hemdon : HIT, 1982),  40-41.

[28] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Work plan (Hemdon : HIT, 1982),  41-42.

[29] M. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, (Yogyakarta: Ircisod-UMG Press. 2004),10-13.

[30] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work plan (Hemdon: HIT, 1982), 55-96.

[31] Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999), 160.

[32] http://restuillahi.blogspot.com/2011/07/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html, diakses  tanggal 5 Nopember 2014, pukul 22.00 Wita.

[33] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 9.

[34] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), 26-27.

[35] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2005), 38.

[36] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 21.

[37] Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Insan Media Group, 2010), 48.

[38] Ahmad Baihaki, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Presada Media Group. 2010), 28.

Diposkan 19th November 2014 oleh harto rajih

Label: akar tumbuhnya dikotomi ilmu dalam peradaban islam

SUMBER : http://hartorajih.blogspot.co.id/2014/11/dikotomi-ilmu-dalam-peradaban-islam.html


Antara Muslim Mukminin Vs Muslim Islamisist sok “Ngislam”

$
0
0

Pola pikir dan sikap tindak para ekstrimis islamist yg anti Pancasila dan anti NKRI pro “Khilafah” atau “Negara Islam Indonesia”, menurut terawangan saya adalah disebabkan oleh kesalahpahaman mereka dalam konsep teologis dan kosmologisnya.

Paradigma dan konsep Tauhid atau ketuhanan ala wahabi dan saudara-saudaranya menjadi sebab kerancuan berfikir mereka sekarang. Hal yg sama juga dulu 30 tahun yg lalu pernah saya alami ketika saya baru mengalami puber akidah yg terlambat dan salah asuhan.
Ideologi atau manhaj fikriyah ala Hizbut Tahrir atau Wahabiyin Persis, Al Irsyad, NII, DI-TII, ikhwanul muslimin dan berbagai OTB Islamist garis keras lainnya, mulai mewabah di kampus-kampus pada tahun 1980-an, sebagai kelanjutan perjuangan eks NII-DI TII dan para pejuang Masyumi tahun 1950-an yg pernah memperjuangkan Pancasila ala Piagam Jakarta, yg sila pertamanya adalah “Ketuhanan YME dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”

Kaum Islamist tersebut menganggap bahwa Pancasila yg kemudian berlaku secara sah de jure dan de facto, adalah belum atau tidak Islami. Sehingga perlu diganti dgn Syariat Islam, khalihah, NII-DI. Cara pandang seperti ini antara lain karena mereka memahami Islam secara banal harfiah atau letterlijk formalis fiqhiyah syar’iyah saja.

Mayoritas kaum Islamist tersebut belum memahami Islam dan Pesan pesan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW secara kaffah (komprehensif-holistik) dari semua dimensinya, baik Aqidah, Syariah, Tarikat, Hakikat dan Makrifatnya. Karena mayoritas kaum islamist tsb, tak menyukai kajian tasawuf dan irfan (Islamic Mysticism). Maka sudut pandangnya begitu formalis banal/dangkal. Mereka masih secara dikotomis diskriminatif membedakan secara tegas antara agama langit yg berdasarkan wahyu scriptural, dengan agama bumi yg dibangun melalui akal budi atau budaya manusia. Seolah antara Tuhan (Yang Ilahi) dan Manusia itu selalu dalam anggapan dikotomis diametral. Mereka tak menyadari bahwa ayat-ayat Tuhan itu tak hanya Kitab Suci Wahyu Ilahi yg diturunkan dari Langit.

Padahal ayat-ayat tanziliyah wahyu dalam kitab Suci pun, secara tersirat maupun tersurat, telah menjelaskan adanya ayat-ayat yg lain dari Tuhan YME yg tersebar di ufuk langit dan bumi (alam semesta) serta di dalam diri Diri Manusia, makhlukNYA yg paling sempurna, yg mewujud dalam bentuk ilmu pengetahuan dan hikmah kebijaksanaan serta budaya dan peradaban umat manusia. Ayat-ayat Kauniyah ini, tak pernah dianggap suci oleh mereka, dan dianggap tak penting, bahkan dianggap bertentangan dengan Kehendak Tuhan Allah SWT.

Cara berfikir dikhotomis dualistis tersebut menurut guru guru saya sebenarnya adalah sesat pikir yg menjurus kepada kemusyrikan yg samar. Hal ini mungkin tak disadari oleh para penganutnya. Namun tentunya ini secara sadar dan sengaja dibuat oleh para konseptornya yaitu para orientalis imperialis Inggris seperti Hemper dan Lawrence of Arabia yg membina Wabisme Saudi Arabia, dan Snouck Hurgronye yg menyusup ke Mekkah dan kalangan pesantren di Nusantara) serta merumuskan ideologi isl baru yg menguntungkan kolonialis belanda

 

Namun tak hanya itu.
Cara berfikir ideologis literal harfiah ekstrim tersebut, memang punya akar sejarah yg panjang. Paling tidak sejak peristiwa Perang Siffin antara Imam Khalifah Rasulullah Syaidina Ali Bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan di abad 7 M. Berlanjut kpd Imam Hasan dam Imam Hussein yg terbantai di Padang Karbala Irak oleh Yazid bin Muawiyah. Juga Al Halaj dan Ibn Arabi yg terzalimi oleh sebagian ulama Fiqh.
Episode selanjutnya dari konflik antara kaum Mukminin muslimin dengan dengan kaum neokhawarij Islamisist terjadi pada konflik antara Prabu Brawijaya V dan Raden Patah sultan Demak Bintoro dengan ajaran budhi pekerti Para Ulama Sabdo Palon Noyo Genggong.
Juga hal sama terjadi konflik dan perang antara Prabu Siliwangi dan keturunanya para Raja Pakuan Pajajaran dengan Sultan Banten Maulana Yusuf di abad 15-16 M.
Tragedi kemanusiaan religous juga terjadi pada kasus Syekh Siti Jenar dengan para ulama pengusung Kesultanan Islam Demak Bintoro.
Sampai kini para pecinta Panca Sila Bhineka Tunggal Ika di Indonesia juga selalu diserang kaum islamisit ekstrim tersebut sebagaimana yg terjadi belum lama ini pada rangkaian “aksi bela Islam” yg diusung kaum wahabiyin di FPI, FUI, HTI, JT, GNPF MUI, PKS, serta gerombolan politisi busuk dan konglomerat sisa para pendukung rezim orde baru Suharto dukungan USA. Isue dan sentimen keagamaan islamist begitu dieksloitasi untuk menutupi dan memuluskan ambisi politik ekonomi profan mereka.
Yang paling Mutakhir mungkin akan terjadi besok 20 Mei 2017, akan ada Demo besar-besar para mahasiswa (BEM) se Indonesia untuk menggulingkan Presiden RI yang Sah Joko Widodo, Jelas-jelas ini tindakan makar subversif. Naudzu billah min Dzalik. Istaghislana ya Allah, Fanshurna ala kaumin munafikin, kafirin wa musyrikin. Amin ya Rabb al alamin.

REVOLUSI MENTAL PANCASILA Berdasarkan WARISAN KEARIFAN PERENNIAL NUSANTARA DAN DUNIA

$
0
0

Sinopsis Buku

REVOLUSI MENTAL PANCASILA

 WARISAN KEARIFAN PERENNIAL NUSANTARA  DAN DUNIA

 

Karya: Ahmad Yanuana Samantho, MA, M.Ud

  

 REVOLUSI MENTAL PANCASILA

Berdasarkan WARISAN KEARIFAN PERENIAL  NUSANTARA DAN DUNIA

 

Daftar Isi

 Bab 1. KRISIS DUNIA MODERN

  • Pendahuluan: Situasi dan Kondisi Negara Bangsa NKRI saat ini,
  • Krisis Multidimensi yang Disebabkan oleh Paradigma Ontologis–Epistemologis Barat  Materialialisme-Sekuler dalam Ilmu dan Kebudayaan. (hal.4)

Bab 2. KELUAR DARI KRISIS MODERNISME

  • Saran Seyyed Hossein Nasr:Kembali Ke Ilmu Pengetahuan Suci Tradisional dan Kearifan Abadi (Perennialisme) untuk Menyelesaikan Krisis Multidimensi Manusia Modern (hal. 46)
  • Tasawuf (Irfan) Sebagai Modus Epistemologi Baru (hal. 98 )

Bab 3. KEPEMIMPINAN ILAHIAH DALAM KONSEP DEMOKRASI PANCASILA: 

  • Kajian Filsafat Islam Nusantara untuk Mengatasi Problem Utama Kebangsaan dan Kenegaraan (hal.104)
  • Reaktualisasi Panca Sila: Pidato B.J. Habibie  Tentang Reaktualisasi Panca Sila (hal. 115 )
  • Bhineka Tunggal Ika Adalah Kalimat Tauhid (hal. 120)
  • Perjalanan Hidup Manusia: Dari Tuhan Allah, Kembali Ke Allah, Falsafah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. (hal. 122)
  • Fitrah dalam Perspektif Al-Quran (hal. 128)
  • Merenungkan Hanacaraka (hal. 143)

Bab 4. RUH KEBANGKITAN INDONESIA BARU

  • Dinamika Muslim: Menuju Renaisans Indonesia (hal. 151)
  • Tafsir Uga Wansit Siliwangi, Ramalan Jayabaya, dan Sabdo Palon Noyo Gengong atas Prediksi kebangkitan Nusantara (Indonesia Baru) (hal. 158 )
  • Ajaran Islam dan Hindu-Budha dalam Kebudayaan Sunda ? Tinjauan Kritis atas Sejarah Proses Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan Sunda, Islam dan Hindu-Budha. (hal 174. )
  • Peradaban Sundaland adalah Akar dari Seluruh Peradaban Dunia (hal 189 )
  • Temuan Jejak Sejarah Para Nabi Allah di Nusantara dan Agama-agama Dunia (hal 192)
  • Falsafah Ageman (Sahadat) Sunda Buhun/Sunda Wiwitan (hal. 205 )
  • SUNDA itu adalah SU-NA-DA, Distorsi Sejarah dalam Perjalanan Waktu (hal. 213)
  • Menguak Kosmologi Sunda Kuno (hal. 223)
  • Apakah Sunda Pajajaran Adalah Kerajaan Hindu? (hal.237 )
  • Indonesia/Nusantara Sumber Peradaban Vedha India? (hal. 245 )
  • Kitab-Kitab Suci Hindu Menjelaskan Kedatangan Nabi Muhammad Saw (hal. 248 )
  • Apakah Noah/Manu/Nabi Nuh: Nabinya Kaum Hindu ? (hal. 271)
  • Titik Temu Kesamaan Hindu dan Islam (hal. 288 )
  • Agama-agama Asli Nusantara yang Terpinggirkan (hal. 304 )
  • Konsep Manusia Sunda di Tatar Sunda (hal. 311).
  • Koneksi Kenabian di Nusantara: Hubungan Nusantara Kuno dengan Sejarah Para Nabi Allah Dan Agama-agama Besar Dunia serta Kearifan Tradisional-Perennial Lokal Nusantara (hal. 328)
  • Melacak Jejak Leluhur Nusantara (hal. 344)
  • Dewa Ruci: Perjalanan Sufistik Esoteris Manusia Nusantara (hal. 391)
  • Batak Parmalim, Debata Mula Jadi Na Bolon, Dalian Na Tolu (hal. 403  )
  • Kaharingan Dayak Borneo Kalimantan (hal. 418)
  • To Manurung, Ila Galigo Sulawesi (hal 422. )
  • Borobudur, Monumen Kearifan Asli Nusantara ( hal. 228 )
  • Tangga Awal Pendakian Ziarah Spiritual dari Lantai Dasar Karmawibhangga Candi/Sandi Borobudur (hal. 450 )

Referensi (hal.454)

Biografi Penulis (hal.465)

 Bab 1

 

KRISIS DUNIA MODERN:

LATAR KRISIS KEBANGSAAN AKIBAT MODERNISME-MATERIALISME-SEKULARISME DAN EKSTRIMISME+KEBODOHAN BERAGAMA

 

Pendahuluan:

 

Bismillahirahmanirrahim, Allahuma Shalli ala Muhammad wa ala ‘Aaali Muhammad wa ajjil farojahum,

             Bangsa dan Negara kita dalam 50-20 tahun terakhir memang mulai menghadapi masalah serius dan bahaya yang mengancam kesatuan-persatuan bangsa dan NKRI serta ancaman kehancuran negara. Upaya perbaikan dan kemajuan bangsa dan Negara, pasca gerakan “reformasi 1998”, yang diharapkan akan muncul perbaikan reformatif –minimal atas kondisi sosial-politik-ekonomi bangsa—dan maksimalnya perbaikan menyeluruh dalam ipoleksosbud hankamnas, kini seolah terseok-seok berjalan ditempat dan terhambat.

Ancaman disintegrasi bangsa semakin menguat, akibat kelemahan internal bangsa kita sendiri, di samping adanya intervensi penggalangan oleh agen-agen intelejen asing dari negara-negara  adidaya Barat dan para pengusaha kapitalis-neo-imperialis global, yang telah dan ingin terus mengambil banyak keuntungan dari kelemahan SDM (Sumber Daya Manusia) kita, seraya mengambil keuntungan maksimal atas kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) kita yang berlimpah-ruah.

 

Jangan Lupakan Sejarah! Konspirasi Menuju Disintegrasi Bangsa:

 

Apa yang sekarang terjadi di Indonesia di akhir tahun 2016 sampai  pertengahan tahun 2017 ini, tak lepas dari akar sejarah kita. Ini semua masih merupakan kelanjutan dari ekses pasca kolonialisme dan imperialisme, yang bermetamorfosa menjadi berbagai konflik sosial politik ekonomi yang masih kerap terjadi di Indonesia.  Maka marilah kita merenung sejenak, menelisik kembali sejarah kontemporer paska Proklamasi kemerdekaan RI 1945.

Dari Pemberontakan PRRI-Permesta, Konflik Tolikara hingga Parade Tauhid Indonesia dan Demo 4-11 & 2-12 2016 serta berbagai aksi terorisme di Indonesia: adalah Program Konspirasi Menuju Disintegrasi Bangsa?

Salah seorang sahabat penulis, Almarhum Quito Riantori, 18 August 2015, setahun sebelum wafatnya, telah memposting tulisan Arya Penangsang di laman Facebooknya, sebagai berikut:

“Amerika Serikat dan Negara-negara sekutunya tetap punya kepentingan untuk mengendalikan pemerintahan Indonesia. Sejarah telah membuktikannya. Setiap kali rezim pemerintah RI tidak mau tunduk terhadap kepentingan dan kemauan politik “Paman Sam” (USA), maka dipastikan akan terjadi kerusuhan sosial di Indonesia. Kita bisa mengungkap kembali fakta sejarahnya.

Pertama, Era 1950-an. Pemberontakan PRRI/Permesta. Pemberontakan ini didalangi oleh Amerika Serikat. Bahkan tentara AS terlibat langsung di dalamnya. Terbukti dengan tertangkapnya seorang pilot AU AS, di Morotai, Maluku.

AS berkepentingan menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno. Karena pemerintahan RI waktu itu berkiblat kepada poros Peking-Moskow yang kebetulan berhaluan komunis atau sosialis. Tragisnya pemberontakan terhadap Soekarno tersebut di lapangan dijalankan oleh partai Islam, Masyumi. Di dalamnya banyak terlibat tokoh-tokoh muslim modernis.

Kedua, GESTOK atau G-30-S/PKI tahun 1965. Banyak catatan sejarah yang membuktikan keterlibatan intelijen AS: CIA, pada peristiwa Gerakan 30 September, G30S-PKI. CIA bekerjasama dengan segelintir perwira TNI AD. Mereka berhasil menghancurkan 3 kekuatan RI sekaligus. Yakni loyalis Perwira TNI AD, pemimpin, kader dan anggota parpol PKI, serta Presiden Soekarno dan para pendukungnya.

Setelah itu AS menjadi penguasa yang sebenarnya atas negeri tercinta ini. Rezim Orde Baru Soeharto hanyalah boneka AS. Tak lebih dari itu. Selama 50 tahun lebih kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia dieksploitasi dan dirampas oleh AS. Tragisnya mayoritas alim-ulama Indonesia dan ormas Islam tradisional tak menyadari akan hal ini. Mereka justru, sadar atau tak sadar, telah menjadi alat provokator CIA dan rezim Orba untuk menghancurkan komponen bangsa lainnya. Terjadilah penculikan, pembantaian, dan pembunuhan terhadap anggota PKI dan pemenjaraan dan isolasi-blokade sosial-politik-ekonomi terhadap para tokoh Sukarnois.

Sebenarnya secara tak langsung peristiwa di atas mungkin terjadi karena kelengahan kebijakan Presiden Soekarno sendiri pada awal kemerdekaan RI. Tepatnya pada saat perundingan KMB 1949. Delegasi Indonesia bersedia menyepakati pasal yang sangat berbahaya, yakni memasukkan mantan perwira tentara kolonial Belanda: KNIL, ke dalam tubuh perwira TRI yang kemudian menjadi TNI. Sedangkan sebagian tentara TRI yang sudah terbukti loyal terhadap negara, justru mengalami proses rasionalisasi (pemberhentrian dari TRI-TNI). Artinya terjadi demiliterisasi sebagian anggota TRI. Akhirnya terjadilah G30S/PKI dan Supersemar. “Senjata makan tuan”. “Revolusi memakan anak kandungnya sendiri”. Bahkan menelan korban orang tua kandungnya sendiri. “Cerita Joko Tingkir menyingkirkan Sultan Trenggono kembali terjadi dalam pentas sejarah Indonesia modern.” Begitu tulis Arya Penangsang.

Ketiga, Kerusuhan Mei 1998 menjelang “Reformasi”, Gerakan demonstrasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa ini berhasil melengserkan Presiden Soeharto. Ditengarai kuat CIA juga terlibat dalam peristiwa ini. Karena arah suksesi kepemimpinan nasional yang dipersiapkan Soeharto, tak sesuai dengan keinginan Negeri Paman Sam (USA). Oleh karena itu Presiden Soeharto serta penggantinya harus merasakan akibatnya (dijatuhkan).

Awal kerusuhan Mei 1998 terjadi kerusuhan di universitas Trisakti, Jakarta. Aparat TNI menembak mati beberapa mahasiswa. Sesaat kemudian terjadilah penjarahan oleh massa. Provokasi anti pribumi dan kerusuhan anti China dihembuskan oleh mulut-mulut setan yang haus kekuasaan. Orang pintar juga tahu siapa setan yang dimaksud. Dialah dalang kerusuhan Mei 1998. Seseorang yang sangat berambisi ingin menjadi Presiden RI. Namun tak pernah tercapai hingga kini. Dia sebenarnya hanya boneka yang dikendalikan intelijen AS, CIA.

Keempat, Kerusuhan SARA di Maluku dan Palu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2004. Sesaat setelah Susilo Bambang Yudoyono dan M Jusuf Kalla menjabat sebagai presiden dan wapres RI. Konflik SARA ini juga buatan CIA. Guna menekan rezim SBY agar tunduk terhadap kemauan pemerintah Paman Sam dan Zionisme internasional. Faktanya konflik pun berhenti setelah rezim SBY melakukan MOU dengan perusahaan multinasional asal AS yang menanamkan modalnya dan mengeruk kekayaan alam Indonesia. Leluasalah mereka kembali merampas emas, minyak bumi, dan SDA lainnya. Kita semua tahu akan hal ini.

Kelima, konflik Tolikara-Papua. Kerusuhan ini juga rekayasa CIA. Demi menekan rezim Jokowi agar mau tunduk kepada kepentingan Barat dan AS. Untuk menegur pemerintahan Jokowi yang mulai bermesraan dengan RRC, Rusia dan Iran. Ini peringatan pertama. Peringatan kedua, segera menyusul.

Apa skenarionya? Berbagai “Parade Tauhid Indonesia” banyak disusupi agen Muslim ekkstrem takfiri. Sudah jelas arahnya. Yakni ingin menciptakan kebencian antar etnis dan agama. Memfitnah kaum Nasrani yang cinta damai. Memfitnah Muslim Syiah dan NU yang berhaluan madzab cinta dan rahmatan lil-’alamin. Tampaknya skenario ini juga akan gagal. Presiden Jokowi cukup cerdas. Dan tetap tak mau bergeming. Tak mau tunduk kepada arogansi Paman Sam. Benar-benar si kerempeng (Presiden Joko Widodo) yang bermental jenderal.

Inikah yang namanya merdeka? Inikah yang namanya negara yang bermartabat dan berdaulat? Salah siapakah ini?

Ini jelaslah salah para elite penguasa sebelumnya, dan para calon penguasa yang haus kekuasaan dan ingin menumpuk kekayaan pribadinya. Kedzaliman dan penjajahan terjadi di negeri Muslim karena “ulamanya” dan “Habibnya” takut mati dan cinta dunia. Namun ini juga kesalahan seluruh rakyat Indonesia. Mengapa demikian…?

Karena kita hanya pandai berkoar-koar. Hanya lantang meneriakkan yel-yel merdeka, reformasi, bermartabat, berdaulat atau berdikari. Namun tak siap menanggung konsekuensinya. Kita tak siap diembargo. Kita tak siap dikucilkan oleh dunia internasional. Tak siap menjalani hidup susah sepanjang tahun. Tak siap hidup miskin dan sederhana selama puluhan tahun. Kita benar-benar lemah dan cengeng! Tidak setegar rakyat Republik Islam Iran dan Korea Utara!

Mana mungkin bisa tahan lapar, jika badannya tambah tambun. Para pimpinan politisi oposan sebagian berusia muda, namun perutnya tambah buncit saja. Si kerempeng (Jokowi, Pen) yang menerapkan pola hidup sederhana malah dicaci-maki. Pelakunya justru para habaib, ustadz, dan kiyai, yang cinta dunia saat ini. Apakah aksi ini jujur bertolak dari hati nurani kalian…? Lantas, di mana kejujuran dan keberanian kalian terhadap kedzaliman rezim Orba selama 32 tahun?

Apakah dosa dan kedzaliman “si Kerempeng” yang baru berkuasa 2 tahun ini lebih besar dari Jendral Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun…? Mana tulisan kritis kalian terhadap rezim Soeharto…? Mana aksi people-power kalian pada tahun 1998…? Di mana jutaan massa kalian…? Mengapa tak berdemo di Senayan bergabung dengan mahasiswa pada tahun 1998..? Di mana kalian saat itu…? Kalian tak berani menunjukkan batang hidungnya. Tak ada orasi dari kalian untuk menentang thagut di gedung DPR/MPR. Inikah namanya laskar mujahidin…? Hanya teman-teman mahasiswa yang turun berdemonstrasi ke jalan hingga mengepung gedung DPR/MPR. Kalian tak ada di sana saat itu. Justru kalian mencemooh kalangan demonstran saat itu. Padahal kini kalian yang menikmati hasil reformasi. Kami hanya menjadi tulang berserakan yang tak berarti.

Antar komponen bangsa saling sikut. Saling tendang. Saling melaknat dan mengumpat. Saling memfitnah. Dan akhirnya menghalalkan pembantaian dan pembunuhan.

Mayoritas justru menindas minoritas. Memfitnah PKI. Memfitnah non-pribumi. memfitnah etnis China. Memfitnah Syiah sesat dan halal darahnya…! Memfitnah kaum Nasrani. Memfitnah kaum minoritas lainnya. Demi tegaknya Tauhid…?  Demi ukhuwah Islamiyah…? Demi silaturahim dan halal-bihalal….? Demi memperingati kemerdekaan Republik…? Namun penuh fitnah dan provokasi di dalamnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun…

Kalian justru melupakan musuh sejatimu. Yakni setan besar Amerika Serikat dan Zionis Yahudi. Batang hidung kalian tak tampak pada hari al-Quds. Kemana massa kalian yang anti Zionis, pada hari pembebasan Palestina? Kalian tak sudi bergandengan tangan dan merapatkan barisan demi menghancurkan musuh. Ketidakpedulian kalian terhadap ketertindasan rakyat Palestina adalah kemenangan propaganda Israel dan setan besar Amerika.

Menuju Skenario Ketiga

Kita sebagai umat Islam Nusantara dan komponen utama bangsa Indonesia harus cerdas membaca strategi musuh. Tetap menjaga persatuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta asas Bhineka Tunggal Ika. Kita wajib menghilangkan sentimen perbedaan suku, ras, dan agama. Meredam perbedaan madzab. Pihak minoritas kaum Takfiri jelas tak sudi akan hal ini. Tapi, ingatlah..! Mayoritas umat dan bangsa ini cinta damai dan persatuan. Bangsa kita memanglah multi kultur. Namun bukan berarti mudah untuk dipecah-belah. Sangat berbeda dengan kondisi bangsa Timur Tengah yang mono kultur. Namun mereka mudah terprovokasi oleh isu perbedaan madzab. Seruan fitnah dan perpecahan yang dihembuskan oleh kaum Takfiri saat ini di Indonesia tak akan berhasil. [1]

Intelijen Amerika tentunya segera merancang skenario ketiga. Yakni menciptakan krisis moneter dan krisis ekonomi. Dimulai dari menekan rupiah sehingga mata uang dollar Amerika terus naik meroket. Kemudian mereka menciptakan demonstrasi mahasiswa, dan menciptakan kerusuhan sosial. Jika skenario ini juga gagal, maka CIA menerapkan senjata pamungkasnya. Yakni memprovokasi segelintir elit perwira TNI yang haus kekuasaan agar mau melakukan kudeta militer.

CIA ingin mengulang kesuksesannya di Mesir melalui strategi kudeta militer. Yakni menyetir Jenderal Abdel Fattah as-Sisi untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Mohammed Morsi yang berhaluan Islam fundamentalis. Rupanya CIA belum menemukan bahan bakar bonekanya di dalam tubuh TNI. Kalaupun ada, namun wayang tersebut sudah lama pensiun dari TNI.

Inilah medan tempur dan jalan peperangannya. Kita benar-benar bertaruh dan berharap banyak dengan kecerdasan dan ketangguhan rezim Jokowi untuk mematahkan skenario busuk tersebut. Ada secercah harapan. Rupiah masih kokoh bertahan dari gempuran kenaikan dollar. Mutasi, promosi dan penguatan doktrin kebangsaan di jajaran perwira tinggi TNI yang sangat loyal terhadap negara juga wajib ditingkatkan. Bila perlu mengarah kepada terbentuknya jiwa perwira TNI yang ultra nasionalis…! Rezim Jokowi benar-benar bekerja keras menahan serangan dari 2 arah yang mematikan ini.

Doa kami, rakyat yang cinta damai dan anti kekerasan, semoga Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya berhasil menghantarkan negara Indonesia yang bermartabat, berdikari, dan berdaulat penuh. Hingga menjadi macan Asia. Bisa mensejajarkan diri dengan Iran dan RRC.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 70. Jayalah Indonesia tercinta.”[2]

Di atas itulah kajian kritis dari Arya Penangsang yang penulis setujui kebenarannya, walau sangat kontroversial dan mungkin cukup banyak orang yang tak tahu. Namun masalah-masalah di atas bukan tanpa dasar pemikirian (mindset/paradigma) yang mengendalikannya. Oleh karena itu kita selayaknya menelisik dan menyelidiki secara lebih mendalam, agar kita kita tahu persis akar permasalahannya, sehingga akan lebih mudah mencari solusi atas masalahnya secara menyeluruh/komprehensif, sangkil dan mangkus (efisien dan efektif).

Potensi konflik sosial berbahan bakar SARA masih menyala titik apinya, dan asapnya masih mengepul belum terpadamkan. Simak amatan saya dan sahabat saya Karyawan Faturahman, mantan wakil Bupati Bogor, berikut ini:

“Aksi damai” (Demo ) 4-11, 2-12, tahun  2016 untuk kepentingan siapa?

Bermula dari statement politik Presiden Joko Widodo pada Peringatan Konperensi Asia Afrika di Bandung (2015) yang menyatakan Palestina harus “Merdeka”, dan berbagai kebijakan Presiden Jokowi soal Freeport, dll. telah membuat Amerika dan Israel berang. Jokowi dianggap telah berani melawan dan membangkang terhadap kepentingan Amerika sehingga dianggap sebagai musuh besar Amerika yang harus segera dilengserkan. Maka dirancanglah berbagai skenario operasi intelejen dengan target maksimal Jokowi jatuh pada tahun ketiga pemerintahannya (2017), atau minimal tidak akan terpilih lagi pada pilpres di masa keduanya.

Amerika yang bersekutu dengan NATO dan negara-negara persemakmuran (bekas negara jajahan Inggris) seperti Australia, Malaysia, Singapura yang bertetangga langsung dgn Indonesia, telah merancang gerakan militer untuk menekan untuk menekan Jokowi. Agen-agen asing, bertebaran melakukan rekrutmen kepada golongan barisan sakit hati dari kalangan bumi putra untuk melakukan perlawanan dari berbagai sektor: buruh tani, nelayan, santri, rakyat daerah sebagai bais wong cilik yang dijadikan alat demo menentang kebijakan Jokowi. Sistem perbankan, hukum, perdagangan, pemerintahan diacak-acak melalui antek mereka yg terdiri dari oknum-oknum bangsa kita sendiri. Boikot, penghadangan, penggagalan, demo, isue-isue, cemoohan, ledekan, cibiran dan fitnah dilakukan secara sistemik, bahkan oleh lembaga DPR RI.[3]

Kini isue SARA telah diledakkan yg berdampak besar kepada banyak “ulama dan agamawan tertentu” terprovokasi untuk menyatakan “Jihad”, padahal faktanya dari data yang kita dapatkan bahwa pada tanggal 4 November 2016 lalu, armada kapal induk Amerika berikut 26.000 marinirnya telah terkonsentrasi di perairan lepas Australia (Samudra Hindia: Pulau Christmas) dengan moncong senjata berat dan rudal diarahkan ke istana negara yang hanya berjarak tempuh rudal 1 jam dengan jarak +/- 5000 km ke Jakarta. Maka secara taktis hari itu Presiden memang harus tidak berada di Istana dengan tetap menjaga opini tetap tenang-aman-terkendali-kondusif dan biasa saja tidak ada yang istimewa, tidak membuat kepanikan masyarakat.

Langkah brilian Jokowi berikutnya adalah mendatangi markas-markas komando Kopassus, Marinir, Angkatan Udara, Brimob, Kostrad, merupakan untuk kekuatan dan jawaban bagi ancaman Amerika, bahwasanya kita sangat siap menghadapi mereka dengan kekuatan militer yang utuh, kompak, solid dan kuat dgn semangat bela negara yg tinggi. Jadi bukan untuk menjawab aksi damai tersebut.

Dengan indikasi kuat inilah Kapolri telah menyatakan adanya rencana MAKAR-Subversif (gerakan pengkhianatan) dari dalam negeri terhadap pemerintahan yang sah. Maka Panglima TNI menyatakan kita siap berjihad membela kedaulatan bangsa dan negara. Jadi sangatlah kecil dan dangkal jika ada tuduhan bahwa ketika Jokowi tak ada di Istana Negara pada Demo 4-11-2016, Jokowi melarikan diri untuk sekedar menghindar dari aksi damai 4-11 tersebut. Akan sangat disayangkan dan patut disesalkan ketika kedangkalan hati dan pikiran sebagian kecil umat terprovokasi untuk iku melakukan perlawanan bersama Amerika dan Israel terhadap NKRI tercinta.

Mari kita kembali renungkan siapa sebenarnya jati diri bangsa kita? Siapa lawan atau kawan kita yang sebenarnya? Patriot atau pengkhiat NKRI dan Pancasila-Bhineka Tunggal Ika? MERDEKA !!! ( ini Info dari Ki Sunda dan Ki Ageng Selo)”.

Pola pikir dan sikap tindak para ekstrimis islamist yang anti Pancasila dan anti NKRI pro “Khilafah” atau “Negara Islam Indonesia”, menurut terawangan saya adalah disebabkan oleh kesalahpahaman mereka dalam konsep teologis dan kosmologisnya.

Paradigma dan konsep Tauhid atau ketuhanan ala wahabi dan saudara-saudaranya menjadi sebab kerancuan berfikir mereka sekarang. Hal yang sama juga dulu 30 tahun yg lalu pernah saya alami ketika saya baru saja mengalami puber akidah yg terlambat dan salah asuhan. Ideologi atau manhaj fikriyah ala Hizbut Tahrir atau Wahabiyin Persis, Al Irsyad, NII, DI-TII, ikhwanul muslimin dan berbagai OTB Islamist garis keras lainnya, mulai mewabah di kampus-kampus pada tahun 1980-an, sebagai kelanjutan perjuangan eks NII-DI TII dan para pejuang Masyumi tahun 1950-an yang pernah memperjuangkan Pancasila ala Piagam Jakarta, yang sila pertamanya adalah “Ketuhanan YME dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.” Sekarang yang terbaru adalah Kasus ISIS, Terorisme atas nama Islam, HTI dan Gerombolan pemberontak makar atas nama “Bela Islam” anti PKI anti Cinaisasi oleh kaum Islamist (“ngislam”).

Kaum Islamist tersebut menganggap bahwa Pancasila yang kemudian sekarang berlaku secara sah de jure dan de facto, adalah belum atau tidak Islami. Sehingga perlu diganti dengan Syariat Islam, khalihah, NII-DI. Cara pandang seperti ini antara lain karena mereka memahami Islam secara banal harfiah atau letterlijk formalis fiqhiyah syar’iyah saja.

Mayoritas kaum Islamist tersebut belum memahami Islam dan pesan-pesan utama Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW secara kaffah (komprehensif-holistik) dari semua dimensinya, baik Aqidah, Syariah, Tarikat, Hakikat dan Makrifatnya. Karena mayoritas kaum islamist tsb, tak menyukai kajian tasawuf dan irfan (Islamic Mysticism). Maka sudut pandangnya begitu formalis banal/dangkal. Mereka masih secara dikotomis diskriminatif diametral membedakan secara tegas antara agama langit yang berdasarkan wahyu scriptural, dengan agama bumi yang dibangun melalui akal budi atau budaya peradaban manusia. Seolah antara yang berasal dari Tuhan (Yang Ilahi) dan manusiawi itu selalu dalam anggapan dikotomis diametral. Mereka tak menyadari bahwa ayat-ayat Tuhan  YME itu tak hanya hadir di dalam  Kitab Suci Wahyu Ilahi yang diturunkan dari Langit. Tetapi ayat-ayat Tuhan yang tersebar di alam semesta dan di dalam diri-diri manusia (ayat kauniyah dan insaniyah/aqal), ditolaknya. Padahal ayat-ayat tanziliyah wahyu dalam kitab Suci pun, secara tersirat maupun tersurat, telah menjelaskan adanya ayat-ayat yang lain dari Tuhan , yang tersebar di ufuk langit dan bumi (alam semesta) serta di dalam diri-diri Manusia, makhluk-NYA yang paling sempurna, yang mewujud dalam bentuk ilmu pengetahuan dan hikmah kebijaksanaan serta budaya dan peradaban umat manusia. Ayat-ayat Kauniyah ini, tak pernah dianggap suci oleh mereka, dan dianggap tak penting, bahkan dianggap bertentangan dengan Kehendak Tuhan Allah SWT.

Cara berfikir dikhotomis dualistis tersebut menurut guru-guru saya, sebenarnya adalah sesat pikir yang menjurus kepada kemusyrikan yang samar. Hal ini mungkin tak disadari oleh para penganutnya. Namun tentunya ini secara sadar dan sengaja dibuat oleh para konseptornya, yaitu para orientalis imperialis Inggris seperti Hemper dan Lawrence of Arabia yang membina Wahabisme Saudi Arabia, dan Snouck Hurgronye yang menyusup ke Mekkah dan kalangan pesantren di Nusantara serta merumuskan ideologi islam baru yang menguntungkan kolonialis Belanda.

Namun tak hanya itu.

Cara berfikir ideologis literal harfiah ekstrim tersebut, memang punya akar sejarah yang panjang. Paling tidak sejak peristiwa Perang Siffin antara Imam / Khalifah Rasulullah Syaidina Ali Bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan di abad 7 M. Berlanjut kepada Imam Hasan dan Imam Hussein bin Abi Thalib, cucunda Nabi Muhammad SAW,  yang terbantai di Padang Karbala Irak oleh Yazid bin Muawiyah. Juga Al Halaj dan Ibn Arabi yang terzalimi oleh sebagian ulama Fiqh pada zamannya.

Episode selanjutnya dari konflik antara kaum Mukminin-Muslimin dengan kaum neokhawarij Islamisist terjadi juga pada konflik antara Prabu Brawijaya V dan Raden Patah Sultan Demak Bintoro dengan ajaran budhi pekertinya para Ulama Sabdo Palon Noyo Genggong. Juga hal sama terjadi konflik dan perang antara Prabu Siliwangi dan keturunanya para Raja Pakuan Pajajaran dengan Sultan Banten Maulana Yusuf di abad 15-16 M.  Tragedi kemanusiaan religous juga terjadi pada kasus konflik berdarah antara Syekh Siti Jenar dengan para ulama pengusung Kesultanan Islam Demak Bintoro. Syekh Siti Jenar diancam dibunuh.

Sampai kini kaum Muslim dan non Muslim para pecinta Panca Sila Bhineka Tunggal Ika di Indonesia juga selalu diserang kaum islamisit ekstrim tersebut, sebagaimana yang terjadi belum lama ini pada rangkaian “Aksi Bela Islam” yang diusung kaum wahabiyin di FPI, FUI, HTI, JT, GNPF MUI, PKS, serta gerombolan politisi busuk dan konglomerat sisa para pendukung rezim orde baru Suharto dukungan USA. Isue dan sentimen keagamaan islamist begitu dieksploitasi untuk menutupi dan memuluskan ambisi politik ekonomi profan mereka.

Yang paling Mutakhir mungkin akan terjadi besok 20 Mei 2017, akan ada Demo besar-besar para mahasiswa (BEM) se-Indonesia untuk menggulingkan Presiden RI yang Sah Joko Widodo, Jelas-jelas ini tindakan makar subversif. Naudzu billah min Dzalik. Istaghislana ya Allah, Fanshurna ala kaumin munafikin, kafirin wa musyrikin. Amin ya Rabb al alamin.

Strategi politik penjajahan neokolonialis dan neoimperialis masih menggunakan strategi “devide et impera”, pecah belah (sehingga lemah), lalu jajah (kuasai) secara paksa. Konflik dan ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa, sebagaimana yang sebagian kecil saja tadi sudah diungkap, itu masih sangat potensial dengan menggoreng isu SARA  (kesukuan, agama dan rasialisme). Fakta sosio-antrologis kebhinekaan dengan mudah menjadi musuh berbagai upara pemaksaan kehendak penyeragaman keyakinan dan hukum (‘fiqh-Syariat) parsial sekelompok kecil umat beragama, yang merasa dan mengklaim diri (sepihak) sebagai kaum mayoritas pemilik negeri ini.

Nah, untuk memahami dan mencari solusi menyeluruh atas problem kebangsaaan kenegaraan tersebut, maka tulisan saya dan berbagai tulisan nara sumber lainnya yang saya kutip dalam buku ini, berusaha mengajukan analistis deskriptif  yang mendalam tentang penyebab krisis dunia modern – dalam bingkai sejarah modernisme dan post modernisme: materialisme-sekularisme.

Juga,  buku ini menyodorkan salah satu alternatif solusi utama sebagaimana yang ditawarkan oleh Seyyed Hoosein Nasr, agar kita kembali merujuk kepada kearifan filosofis tradional suci-perennial wisdom.

Menurut penulis, analisis dan pendekatan solusi Seyyed Hossein Nasr sangatlah relevan dan dapat kita temukan erat kaitannya dengan berbagai kearifan lokal tradisional suci bangsa kita di Sundaland-Nusantara (Asia Tenggara).

Mengapa Sundaland atau Nusantara dan Indonesia khususnya menjadi harapan baru datangnya zaman keemasan (golden age) umat manusia yang akan menyelamatkan dunia ? Jawaban singkatnya adalah karena peradaban Nusantara punya keunikan dan keunggulan tersendiri dari segi kesejarahan, kelimpahan kekayaan sumber daya alam  maupun falsafah kehidupannya, yang berbeda diametral dengan falsafah dunia Barat yang didominasi materialisme-isme bahkan atheism anti tradisi Suci. Nusantara masih menyimpan warisan kearifan perennial abadi, nilai-nilai suci-sakral manunggal Tri Tangtu: Ketuhanan-Kemanusiaan-Alam Semesta dan pandangan dunia kosmologis-ekologis yang ilahiyah (divine) ber-Ketuhanan Yang Mahaesa. Realitas Tuhan-Manusia dan Alam semesta masih dipandang sebagai sesuatu Realitas yang Unitiv (Manunggal, Tauhidi) secara eksistensial, sebagaimana tergambar dan falsafah-ideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,

Yang saya maksud dengan revolusi mental di dalam buku ini adalah revolusi  pemikiran (paradigma) dan perasaan (cipta & rahsa) dan sikap budaya (karsa) secara cepat (revolusioner) progresif, dari kondisi mental bangsa terjajah, mental bangsa lemah-pesimis, mental bangsa yang selalu minder tak punya harga diri, tak punya self estem dan tak punya rasa percaya diri, tak tahu diri, lupa ingatan/lupa jati dirinya, pemalas, materialis-hedonis-koruptif dan bodoh, menjadi bangsa yang sepenuhnya sadar diri, cerdas, tahu identitas eksistensi diri sejatinya, ingat sejarahnya sebagai induk peradaban dunia sumber kebaikan agama-agama dunia, berniat dan bermental juara, punya national pride (kebanggan nasional), sadar bahwa dirinya adalah berasal dari Tuhan YME dan akan kembali kepada-Nya, mampu mewakili (mandatoris) dan memperjuangkan sifat-sifat-Ketuhanan Yang Maha Esa-NYA (Cinta kasih-sayang kemanusiaan,   kejujuran,  keadilan, keindahan, persaudaraan semesta, Rahmatan lil-alamin (Hamemayu Hayuning Bawono)  dan lain-lain kehendak-kehendak-NYA, menjadi mercusuar, kompas dan teladan kepemimpinan dunia, berbudaya unggul dan berperadaban paripurna, menjadi contoh dan guru bagi bagi bangsa-bangsa lain seperti dulu zaman Kejayaan Peradaban Lemuria-Atlantis-Punt, Vedha Sanatha Dharma di anak benua Sundaland Nusantara.

Di sisi lain, perkembangan pemikiran umat manusia di dunia ini, Alhamdulillah, pada kenyataannya tidaklah statis dan stagnan. Walaupun mungkin belum menjadi trend yang mainstream (arus utama) dalam prosesnya, namun perkembangan positif itu dan para pemikir tecerahkan mulai lahir sejak akhir abad 20 dan berlanjut kini pada awal abad 21.

Sebagaimana kita ketahui, dan ini juga yang dijelaskan ulama intelektual  Asy-Syahid Murthada Mutahhari, bahwa arus sejarah dan perkembangan peradaban umat manusia dan bangsa-bangsa, sangatlah tergantung dari bagaimana pola pemikiran dan cara pandang dunia (worldview, weltanshaung) atau falsafah-ideology dan moral-mental-ideology yang hidup dan beroperasi pada mayoritas warga bangsa atau elit dominan pembangun peradaban tersebut. Pola tindakan dan berbagai peristiwa sejarah, tak  mungkin terlepas dari pola pikir para pelaku sejarah tersebut, yang menghasilkan peristiwa, aksi dan berbagai fenomena, baik sosial, politik ekonomi, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan lingkungan hidup ekologis, dll.

Secara umum, filsafat, yang merupakan fondasi dasar dari system ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban manusia,  terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu: 1) Ontology, yang membahas tentang hakikat dan asal-usul atau akar mendasar segala sesuatu, Di dalamnya terkandung bahasan mengenai theology (ilmu ketuhanan), dan Cosmology (ilmu alam semesta); 2). Epistemology,  yang membahas sumber-sumber dan struktur ilmu pengetahuan dan cara atau metode memperoleh ilmu pengetahuan, cara menguji kebenaran ilmu pengetahuan (verifikasi/pembenaran atau falsifikasinya/pembuktian kesalahannya); 3). Axyology, yang membahas ilmu pengetahuan terapan (aplikasi imu pengetahuan) seperti ilmu politik, etika dan estetika, ekonomi, Humaniora, science dan technology, dll.

Bagaimanakah bentuk dan model aksiologi  atau ilmu pengetahuan (pemikiran/brainware) yang menjadi software dan atau brainware dari sebuah entitas budaya dan peradaban umat manusia, akan selalui terkait-terhubung erat dengan jenis ontologi dan epistemologinya. Ketiganya saling berkait-kelindan tak bisa dilepaskan, karena ontologi akanmembentuk espistemologi dan pada gilirannya epistemologi tertentu akan memberi corak dan membentuk aksiologi, serta system ilmu pengetahuan yang menjadi pedoman dan rujukan pembinaan dan pembangunan budaya dan peradaban umat manusia tersebut.

 

[1] Lampiran: 

(Link Terkait: para “Kyai dan Ustadz” Provokator Agen Amerika binaan Jendral Kivlan Zein?)

http://www.suara-islam.com/read/index/16272/KH-Husni-Thamrin–Habib-Rizieq-Benar–tidak-Perlu-Minta-Maaf

http://www.suara-islam.com/read/index/8558/Ulama-Kharismatik—Hati-hati-ada-118-Orang-PKI-di-DPR-

 

[2] Tangerang, 17 Agustus 2015

Arya Penangsang

[3] http://www.beritaislam24h.net/2016/11/kivlan-zen-inikah-aktor-makar-yang.html

[4] http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Farrahmahnews.com%2F2016%2F11%2F26%2Fbom-rpw-majalengka-akan-ledakkan-gedung-dpr-dan-mabes-polri%2F&h=rAQHd4anX

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/11/23/oh2tx2396-panglima-tni-sebut-australia-dan-amerika-sebar-berita-provokasi

 


Proposal Program Pembangunan National Character Buliding dan Revitalisasi Falsafah Ideologi Pancasila dan Asas Kebangsaan Bhineka Tunggal Ika

$
0
0

Bismillahi al-Rahman al-Rahim, Atas Berkah Rahmat Karunia Allah:


Kajian Sejarah Konsep Bhineka Tunggal Ika Pancasila

Tasawuf Ibnu Arabi

$
0
0

BAB III

PEMBAHASAN

by Muhammad Abdun Naja

  • Biografi Ibnu ‘Arabi
  • Riwayat Hidup

Ibnu ‘Arabi nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-Hatimi al-tha’I al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah Muhamad Bin Ali Ahmad Bin Abdullah. sedangkan nama Abu Bakar Abnu Ali Muhyidin atau al-Hatimi hanyalah nama gelar baginya, selanjutnya, ia populer dengan nama Ibnu ‘Arabi dan ada yang menulisnya Ibnu al-Arabi[1]. Muhammad Ibn ‘Ali Muhammad Ibnu ‘Arabi At-Tai Al-Hatimi, lahir di Murcia Spanyol bagian Utara lahir pada tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M) pada pemerintahan Muhammad Ibn Said Ibn’ Mardanisy. Ibnu ‘Arabi berasal dari keturunan Arab berasal dari keluarga yang soleh. ayahnya, menteri utama Ibn’ Mardanisy, jelas seorang tokoh terkenal dan berpengaruh di bidang politik dan pendidikan, keluarganya juga sangat religius, karena ketiga pamannya menjadi pengikut jalan sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al Syaikh al-Akbar (doktor maximus) karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik[2].

  • Pendidikan

Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf. Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun.

Selama menetap di Sevilla Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan kunjungan berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu Ibn Rusyd (1126-1198 M) dimana saat itu Ibnu ‘Arabi mengalahkan tokoh filosuf peripatetik ini dalam perdebatan dan tukar pikiran, sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. juga menunjukan adanya hubungan yang kuat antara Mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibnu ‘Arabi. Pengalaman pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan didukung oleh pemikiran filosofisnya yang ketat, Ibnu ‘Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosuf paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan Dunia Metafisis yang maha besar sebagaimana dilihat dari gagasan-gagasannya[3].

Ibnu’ Arabi selama proses spiritualnya, Dia mengkaji banyak pelajaran tentang hakekat Mistik, diantaranya adalah doktrin-doktrin metafisis kaum sufi, Kosmologi, penafsiran esoterik, dan barang kali ilmu pengetahuan yang lebih ghoib bersifat astrologi dan al-kimia. Tentu banyak bukti yang berkaitan dengan materi-materi semacam ini ditemukan dalam karya-karyanya. Selain sisi jalan mistik yang lebih teoritis, Ibnu ‘Arabi dan murid-muridnya tidak diragukan, didorong oleh para gurunya untuk menguatkan dan mempraktekkan pelbagai ritus dan metode tarikat. Ini meliputi do’a, sholat, puasa, tahajud, iktikaf malam, pengasingan diri, dan meditasi. Pembelajaran semacam ini sering mengantarkan pada pengalaman diluar panca indra, banyak di klaim Ibnu ‘Arabi telah dialaminya dalam kehidupannya. Untuk mendorong semacam ini. Ibnu ‘Arabi ketika masih muda di Sevilla sering menghabiskan waktu berjam-jam di kuburan untuk bercakap-cakapan dengan arwah orang yang sudah meninggal.

Ibnu ‘Arabi banyak berbicara tentang ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist secara rinci berbagai peristiwa dalam kehidupan Nabi, peran Syari’at prinsip-prinsip hukum Islam, nama-nama dan sifat Tuhan, hubungan antara Tuhan dengan alam semesta, tata kosmos, takdir yang harus diterima oleh Manusia, berbagai golongan Manusia, jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kesempurnaan, tahap-tahap pendakian menuju Tuhan, berbagai tingkatan serta golongan Malaikat, hakekat Jin, ruang dan waktu, peran intuisi-intuisi politis simbolisme tulisan, kehidupan di alam barzah (antara alam kubur dan hari kebangkitan), status ontologis Surga dan Neraka dan sebagainya.

Ibnu Arabi meninggal dengan tenang di Damaskus pada tanggal 28 Rabi’ulakhir 638 H. (16 November 1240) pada usia 78 tahun dikelilingi oleh keluarga, para sahabat, dan murid-murid sufinya. Ia dimakamkan di Utara Damaskus dipinggiran kota Salihiyah, di kaki Gunung Qasiyun. Garis kehidupannya berakhir selaras dengan berakhirnya norma imanennya, karena tempat dimana Ibnu ‘Arabi. dikubur dimana jasadnya beristirahat bersama dua putranya, menjadi tempat ziarah yang dalam pandangan kaum Muslim telah disucikan oleh semua Nabi, dan terutama oleh Nabi Khidr. Pada abad ke 16 Salim II Sultan Kontantinopel membangun suatu Mausoleum dan Madrasah diatas makam Ibnu ‘Arabi. Ibnu ‘Arabi waktu hidup sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti Suhrowardi, Najmuddin ar Razi, Muslihuddin, Sa’di, Abu al-Hasan al-maghrib asSyadzili, Jalaluddin Rumi dan Ibnu Faridh, dan dari pemikiran Ibnu ‘Arabi banyak mempengaruhi para filsuf dan sufi lainnya[4].

 

 

  • Karya

Ibnu ‘Arabi adalah penulis yang produktif, menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan tangannya diperpustakaan negara Mesir[5]. 12 karya Ibnu ‘Arabi sangat beragam mulai dari artikel pendek yang hanya berupa tulisan beberapa halaman, hingga buku tebal yang berjilid-jilid, seperti, al-futuhal makkiyyah yang di anggap oleh pusat pengetahuan sebagai referensi utama kajian Tasawuf Islam, yang terdiri dari 37 bagian dan setiap bagian terdiri dari 300 halaman. Demikian juga dengan Al Tafsir Al- Kabir yang tidak kurang dari 64 jilid. Ada satu ciri khas dalam diri Ibnu ‘Arabi yang membedakan dengan penulis buku ke-Islaman lainnya. Hal tersebut karena tema yang di usung Ibnu ‘Arabi hanya satu: Tasawuf dan ilmu relung hati (ilm al-asrar) walaupun Ibnu ‘Arabi melakukan eksplorasi terhadap berbagai disiplin ilmu ke-Islaman lainnya, semua dilakukan untuk memfungsikan dan mengarahkan demi sebuah tujuan awal yaitu Tasawuf[6].

Pemikiran Ibnu ‘Arabi sangat istimewa hingga mampu menarik perhatian para pemikir Arab Persia dan kawasan Islam lainnya mereka tertarik untuk menelit istilahistilah sastra nya secara lebih mendalam. Karya Ibnu ‘Arabi hingga mencapai 500 buku dan artikel pendek konon ada yang mengatakan bahwa karyanya lebih dari 1000 buku dan artikel, Ustman Bin Yahya dan ahlinya mengumpulkan judul-judul itu dalam satu buku tersendiri dan meringkas dan menyajikan sebagiannya sebagai berikut: 1. Al-Kibrit Al-Ahmar 2. Al-Isra Ila Maqom Al-Isra 3. Futuhat Al-Makkyyah 4. Fushush Al-Hikam 5. Asrar Umm Al Qur’an 6. Asrar Al-Qulub 7. Asrar Al-Wahy Fi Al-Mi’roj 8. Kitab Adab. 9. Al-Isyarat Ila Syarh Al-Asma Wa Al-Shifat 10.Al-Alaq Fimakarim AlAkhlaq 11. Al-Insan Al-Khamil Fi Ma’rifah Al-Alam Al-Alawi Wa Al-Safali 12. AlAnwar Al-Qudsiyah Fi Bayan Qawaid Al-Shufiyyah 13. Suluk Thariq Al Haqq 14. Tahqiq Al-Mahabbah 15. Tahqia Madzabib Al-Shufiyyah Wa Taqrir Qawlihin Fiwujud Al-Wajib Li Dzatih Wa Tahqiq Asma’ih 16. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Alalisan Al-Shufiyyah 17. Tawhid Al-Qulb 18. Al Jahwah Fima’rifah Al-Khawah 19. Al-Haq AlMakhluq 20. Al-Asma Al-Illahiyyah 21. Al-Asma Al-Husna 22. Al-Jala Fi Kasyf AlWana 23. Al-Haqiqah Al-Illahiyyah 24. Al-Intishar 25. Al-Hukm Wa Al-Syara’I 26. Ard Al Haqiqah 27. Tartib Al Rihlah 28. Al Tawajjuhat Al-Ilahiyyah. 29. Tawhid Al-Tawhid 30. Al Nu’ut Al Illahiyyah 31. Al-Dzakha Ir Wa Al-I’lan Fi Syarh Turjumah Al Asywaq.

Diantara ratusan buku karangan Ibnu ‘Arabi Namun hanya dua buah karya Ibnu ‘Arabi yang terkenal dan menggambarkan corak ajaran Tasawuf yakni Futuhat al-Makkiyah (penyingkapan ruhani di Mekkah) dan Fusus Al-Hikam (permata-permata hikmah). Yang keduanya sangat terkenal[7]. Kitab Futuhat Al Makkiyah adalah salah satu bukunya yang di tulis pada akhir-akhir masa hidupnya yang ditulisnya di Mekkah mulai tahun 598 H. sampai 635M, diakui sendiri oleh Ibnu ‘Arabi sebagai curahan ilmu yang didektikan oleh Tuhan melalui malaikat Jibril pembawa wahyu. Yang diyakininya sebagai ilmu ilham (ilmu batin) atau ilmu hadirat dari al-Qur’an[8]. Sedangkan kitab Fusus Al-Hikam yang di tulisnya sejak 598H. serta di selesaikan pada tahun 628 H yang terdiri dari 27 bab tentang kenabian, diakuinya sebagai ilham dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Yang isinya menjelaskan hubungan setiap Nabi dengan asal dan sumber ilmunya yang tak lain adalah Insan kamil atau al-haqiqah al- muhammadiyah[9].

 

 

  • Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi

Ibnu ‘Arabi adalah seorang pemikir filsuf yang paling penting dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam serta tokoh sufi pada abad 13. filsafat mistiknya, yang disebut wahdatul wujud (kesatuan wujud), dan insan kamil (Manusia sempurna) sangat mendominasi pemikiran tokoh berikutnya di Dunia Muslim seperti Hamzah Fansuri yang mempunyai pemikiran sama tentang wahdatul wujud, begitu juga dengan muridnya al-Jilli yang melanjutkan pemikiran nya tentang insan kamil, maka dari itu kita perlu menguraikan kontribusi pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang wahdatul wujud, insan kamil, dan juga tajalli, konsep cinta, serta beberapa tingkatan maqam untuk mencapai derajat ma’rifat.

  • Pemikiran tentang Wahdatul Wujud

Dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta[10].

Ibnu ‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin.

Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis[11].

Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu” wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.

Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.

Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui di dalam kosmos ini.

Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi “Bahwa Tuhan enciptakan Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja dan terbatas[12].

Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksikontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud) sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini[13].

Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut “Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”.

Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma ‘bud (yang disembah). Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.

Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq[14].

Untuk menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa penciptaan alam ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam. Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya[15].

Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifatsifatnya. dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya[16].

Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing individu dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insan kamil bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.

Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan kamil) yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara sempurna.

  • Pemikiran tentang Insan Kamil

Manusia adalah makhluk kecil bila dilihat dari segi fisiologisnya, betapa tidak, Bumi yang kita pijak ini saja tak akan nampak dari ujung Galaksi Bumi apalagi dilihat dari Galaksi lain justru karena kecilnya ukuran Bumi ini, apalah kita manusia yang ia barat semut yang merayap dipermukaan bola raksasa Bumi. manusia ibarat sebuah titik kecil yang berlangsung hanya sedetik. Itulah kakekat manusia juka dilihat dari sudut ruang dan waktu, Maka seharusnya kita menyadari betapa tidak berartinya kita (manusia) dalam kosmos yang luas ini jika dilihat dari fisiologisnya[17].

Namun manusia yang bisa disebut sebagai mikrokosmos karena pada diri manusia mengandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat mineral sampai tingkat manusia, bahkan menurut beberapa tokoh, manusia juga mengandung unsur-unsur rohani, karena manusia juga memilki roh yang berasal dari Tuhan. Maka apabila masing-masing tingkat wujud tersebut memantulkan sifat-sifat tertentu dari Tuhan, dan Manusia sebagai cermin yang sempurna yang mampu berpotensi memantulkan seluruh sifat-sifat Illahi. disitulah manusia disebut insan kamil, jika manusia dapat mengaktualkan seluruh potensinya yang ada dalam dirinya dan mampu mencerminka sifat sifat Tuhan[18].

Insan kamil (manusia sempurna) adalah istilah yang digunakan oleh kaum sufi untuk menamakan seorang Muslim yang telah sampai pada keperingkat tinggi, yaitu peringkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah (sirna di dalam Allah). Manusia menurut Ibnu ‘Arabi adalah tempat tajalli (penampakan) diri Tuhan yang paling sempurna, karena Dia adalah al-kaun al-jamil, atau manusia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin pada alam besar (makrokosmos), dan tergambar kepadanya sifat-sifat keTuhanan. Oleh karena itulah manusia di angkat sebagai kholifah. pada diri manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam, dimana subtansi Tuhan dengan segala sifat dan asma-Nya tampak padanya. dia dalam sebuah cermin yang menyingkapkan wujud Allah SWT[19].

Secara umum, istilah “insan kamil” sering dimaknai orang sebagai manusia sempurna. menurut Al-Jilli insan kamil adalah Roh Nabi Muhammad SAW. Yang mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, lalu para wali dan orang-orang saleh, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya dan refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Al-Jilli melihat bahwa insan kamil (manusia sempurna) merupakan nuskhah atau kopi Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis (artinya), “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha rahman.” Hadis lain menyebutkan (artinya), “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya[20].

Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat Lahut dan Nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibnu ‘Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW. Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang memopuler-kan konsep insan kamil-nya, sesungguhnya konsep insan kamil ini sudah disinggung sebelumnya oleh Ibnu ‘Arabi. Menurut Ibnu ‘Arabi, insan kamil adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan Illahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan Insan kamil adalah miniatur dari kenyataan[21].

Dan yang di maksud insan kamil menurut Ibnu ‘Arabi seperti yang di jelaskan dalam kitabnya fusus al-hikam adalah:

  1. Ain Al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan dalam bentuknya sendiri dengan segala keesaanya berbeda dengan segala sesuatu yang lain, meskipun al-Haqq (Tuhan) ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu bukan ain (zat)-nya karena ia hanya perwujudan sebagian asma-Nya, bukan Tuhan bertajalli (menampakkan diri) pada sesuatu itu dalam bentuk zat-nya. Dan apabila kamu berkata insan maka maksudnya adalah manusia sempurna dalam kemanusiaanya, yaitu Tuhan bertajalli (menampakkan) diri dalam bentuk sifat dan asmanya sendiri itulah yang di sebut dengan ain-Nya.
  2. al-insan al-kamil (Manusia sempurna) dalam pandangan Ibnu ‘Arabi tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad seperti ditegaskan: ketahuilah bukanlah yang dimaksudkan dengan al-insan kamil kecuali Nur Muhammad, yaitu roh Illahi yang dia tiupkan kepada Adam. oleh karenaitu Adam adalah esensi kehidupan dan awal kejadian manusia. katakanlah Nabi Muhammad SAW adalah insan kamil yang paling sempurna. (Alhaqiqah al Muhammadiyah.)dan dengn hakekat Muhammad inilah orang bisa mencapai derajat insan kamil.
  • Pemikiran Tentang Tajali

Menurut Ibnu ‘Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Allah tapi wujud dzat yang mutlak belum belum bisa disebut sebagai Tuhan karena untuk mengetahui dzat yang azali dan qodim sebagai Tuhan hanya setelah ada wujud yang lain yaitu makhluk agar dzat yang mutlak dapat diketahui dan dikenali maka dzat yang mutlak bertajalli, menampakkan dirinya melalui makluknya.dengan bertajjali tidak mempengaruhi kemutlakkannya. Menurut konsepsi ini wujud mutlak bertajjali melalui tahapan martabat.

  1. Martabat ahadiyyah yaitu dzat dalam keadaan mutlak tunggal (ahad) atau kesatuan mutlak yang disebut martabat dzatiyah dalam citranya yang demikian. Dzat tidak bernama dan tidak ada atribut. Maka menurut Ibnu ‘Arabi dzat yang mutlak sebagai substansi merasa perlu untuk memanifastasi ke dalam sifat atau atribut agar dapat di ketahui dan dikenalidalam gambaran yang demikian maka ahadiah belum bisa di sebut tuhan karena dia berada di luar bukti. Dia sendiri adalah bukti bagi eksistensi diri-Nya sendiri yang dimanifestasikan dalam a’yan dari wujud wujud kontingen. Bagaimana dibuktikan eksistensi dirinya sebagai tuhan. Karena yang ada cuma dia, tidak ada eksistensi apapun selain dia. Bahkan tidak ada istilah ada di mana keberadaan semua yang ada yakni satu dzat yang tunggal.[22]
  2. Martabat wahdah juga di sebut martabat tajjali dzat atau faydh aqdas yakni ketika dzat yang tunggal bertajalli melalui sifat dan asma. Keadaan ini terjadi mana kala dzat yang mengada pada dirinya sendiri, dan dari dirinya sendiri (wujud lidzatihi) yang berupa gagasan (qada dan iradah) tentang segala sesuatu yang muncul di dunia kini dan nanti semacam protetif ideal yang disebut a’yan sabit. Protetif realitas segala sesuatu yang tersembunyi (mahiyah). Dalm sistem metafisika Ibnu ‘Arabi a’yan sabit terletak di tengah-tengah antara realitas absolut (al-haqq) dan dunia fenomena (al-khalq). A’yan adalah ada yang pertama melalui tajjali sehingga ia menyebutnya sebagai al-mafatih al-awal atau mafatih al-ghoib penamaan ini di hubungkan dengan surat al-an’am 59 selanjutnya Ibnu ‘Arabi menyatakan, bahwa sifat dan asam bukan dzat tetapi tidak di luar dzat yang pada posisi lain ia adalah hakekat alam empiris.[23]
  3. Martabat wahidiyah yaitu ketika dzat yang menentukan sendiri eksitensialitas dalam obyek-obyek berkenaan dengan protetif idealnya, yakni a’yan sabit pada dirinya tidak muncul di dunia atau keluar meninggalkan pengetahuan dari pikiran dzat dan tetap ada seperti sebelumnya, dalam keadaan substansi subut, yang apabila di bandingkan dengan keperiadaan adalah ke-ada-an yang relatif tiada (ma’dum) ketiadaan.[24]
  4. Martabat ta’ayaun ruhi dan 5. Ta’ayun jasadi, yaitu tajalli penentuan rohaniah yang juga di sebut ta’ayun mistali, dan penetuan ragawi yang sudah eksitensial dan tertentu sebagai kebalikan dari penentuan ideal yang tiada terbatas. Dua martabat terakhir ini oleh Ahmad Daudi disatukan dalam satu tahapan yang di sebut tajalli syuhudi yakni tuhan bertajalli melalui asma dan sifatnya dalam keadaan empiris. Kalau tadi protetif ideal itu hanya wujud mutlak yang tunggal. Maka dalam tahap ini menjadi aktual dalam citra alam empiris.

Dengan demikian dapat di pahami bahwa alam yang menampakkan fenomena empiris adalah mazdar atau wadah tajalli Tuhan dalam berbagai wujud dan sebagai bentuk kontingensi.

Menurut Ibnu ‘Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, la juga memberikan sifat-sif’at ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asmaNya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam kemujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapa pun. Dalam fushus al-hikam ia menjelaskan: Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.[25] 40 Dan untuk memperkuat pendapatnya itu ia merujuk sebuah hadits ”Aku pada mulanya adalah pembedaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin di kenal, maka Ku ciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka mengenal Aku”.

Ibnu ‘Arabi memandang hanya ada satu realitas tunggal di alam fenomena ini yakni Allah. adapun alam fenomena yang serba ganda ini hanyalah sebagai wadah tajali-nya. Hubungan antara yang riel dengan yang fenomena disisni merupakan hubungan antara yang potensial dan yang aktual, dimana peralihan antara yang pertama dan berikutnya itu terjadi diluar patokan ruang dan waktu, karena tajalinya Tuhan itu terjadi sebagai proses abadi yang tiada henti-hentinya.

Dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi bahwa sebab terjadinya tajalli Allah pada alam ialah karena Dia ingin di kenal dan ingin melihat citra diri-Nya. Untuk itu ia memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. dengan demikian, alam fenomena ini merupakan perwujudan dari nama dan sifat-sifat Allah. Tanpa adanya alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan akan senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula zat mutlak itu sendiri akan tetap di dalam kesendiriannya tanpa dapat dikenal oleh siapapun. Disinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalli Illahi, yang padanya Tuhan melihat citra diri-Nya dalam wujud yang terbatas.

Akan tetapi alam empiris yang serba ganda ini berada dalam wujud yang terpecah pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara sempurna dan utuh, bagian-bagian alam ini merupakan wadah tajalli dari bagian tertentu pada namanama dan sifat-sifat Tuhan. jadi alam ini masih merupakan bentuk tanpa ruh, atau laksana cermin buram, yang belum dapat memantulkan gambaran Tuhan secara sempurna atau paripurna. Tuhan baru dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna dan utuh pada Adam (Manusia) sebagai cermin yang terang atau sebagai ruh dalam jasad. Akan tetapi tidak semua (manusia) termasuk dalam kategori ini. Yang dimaksud dengan manusia disisni adalah insan kamil, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifatsifat Tuhan secara sempurna. Dan manusia sempurna dijadikan Tuhan ruh alam, segenap alam ini tunduk kepadanya karena kesempurnaan insan kamil tersebut.

  • Pemikiran tentang Cinta

Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga antara manusia dengan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Tuhan sebagai zat yang maha Agung dan Mulia, juga zat yang maha Cantik Indah dan sumber dari segala keindahan, sesuai dengan salah satu sifat dasar manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan, maka hasrat mencintai Tuhan adalah manusiawi, karena Tuhan adalah puncak dari segala keindahan. Konsep teologi estetikal ini dikaitkan dengan Robiah al-Adawiah melalui doktrin hubb dan mahabbah mencintai Tuhan dengan berbuat apa saja untuknya, adalah motifasi kasih sufi, dalam jiwanya tidak ada rasa takut akan siksa (Neraka), tidak ada hasrat untuk menikmati Surga, yang ada hanyalah keinginan untuk memperoleh cinta dan keindahan dzat Tuhan yang abadi.

Orang sufi mengabdikan diri kepada zat Tuhan adalah karena cinta dan harapan sambutan cinta dari-Nya. Doktrin ini kemudian berlanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta bermotif cinta kasih Tuhan. penciptaan alam semesta adalah peryataan kasih Tuhan yang di refleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazdhohir dari asma Allah.[26]

Ibnu ‘Arabi menyatakan kesempurnaan ma’rifatilah dengan melalui tujuh obyek pengetahuan yaitu 1. Mengetahui asma Illahi 2. Mengetahui tajalli Illahi 3. Mengetahui ta’lif Tuhan terhadap hamba-nya 4. Mengetahui kesempurnaan dan kekurangan wuju dalam semesta 5. Mengetahui diri sendiri 6. Mengetahui alam akhirat 7. Mengetahui sebab dan obat penyakit batin. Bila seorang sufi mengetahui tujuh obyek tersebut sampailah sufi pada tahap ma’rifat yang sempurna.

Ma’rifat meninbulkan Mahabbah (cinta). cinta merupakan puncak dari maqamad yang ditempuh oleh sufi disini bertemu kehendak Tuhan dan kehendak insan. Kehendak Tuhan adalah kerin duan-nya untuk bertajali pada alam, sedangkan kehendak insan ialah kembali kepada esensinya yang sebenarnya, yakni wujud mutlak. Ibnu ’Arabi dalam konsepnya tentang cinta, memandang bahwa cinta adalah sebab dari penciptaan alam, karena atas dasar cintalah Tuhan bertajali pada alam. Demikian pula cinta, cinta juga menjadi sebab kembalinya semua menifestasi kepada esensinya yang semula dan hakiki, karena atas dorongan rasa cinta mereka ingin kembali kepada asalnya, jadi cinta itu bersifat unifersal, ia melandasi kehendak yang pencipta dan kehendak makhuk.

Lebih jauh Ibnu ’Arabi membagi cinta atas tiga bentuk: cinta kudus (al-hubbalillahi), cinta spiritual (al-hubbal-ruhani), dan cinta alami (al-hubb al-thabi’i). cinta kudus ialah cinta esensial dan abadi dari yang maha Esa, yang merupakan sumber dari segala cinta. cinta ini berasal dari Allah terhadap diri-nya sendiri di dalam ke-mujarradan-nya, di luar batas ruang dan waktu. Kemudian atas dasar itu Ia rindu untuk melihat citra dirinya dan rindu agar dapat dikenal, maka diciptalakan-nya alam semesta. Jadi adanya alam yang serba ganda ini adalah tidak lain sebagai akibat cinta kudus itu. Akan tetapi, kata Ibnu ‘Arabi justru cinta kudus yang primordial itu pula yang telah melahirkan cinta pada Insan, yang bermula ketika (esensi potensial) mereka mendengar kata ciptaan kun di dalam asma. Karena itu kata afifi faktor yang mendasari semua menifestasi realitas tunggal adalah cinta kudus. bahkan cinta kudus itulah yang menjadi prinsip primordial dalam tiap yang terajadi pada alam.

Adapun cinta spiritual adalah rasa cinta terhadap yang dicintai (mahbud) disebabkan oleh yang dicintai dan diri si pencipta (muhib) sendiri. Akan tetapi, karena yang dicintai itu (pada kakekatnya) adalah realitas dari segala segala realitas yang ada maka cinta dari si pencinta tidak lain adalah bagian dari cinta kudus yang akan kembali menemukan jati dirinya. jadi secara esensi-nya, cinta dari si pencinta itu adalah cinta kudus. Hanya dari segi lahir ia kelihatan sebagai milik si pencinta. inilah bentuk dari cinta sufi.

Cinta alami adalah cinta yang di dasarkan atas kehendak kepuasan diri sendiri. kalau cinta pada spiritual “diri’ pencinta berkorban demi yang dicintainya, maka pada cinta alami, justru yang dicintai itu menjadi korban yang dicinta. didalam cinta alami ini termasuk pula yang di sebut oleh Ibnu ‘Arabi dengan cinta elemental hanya perbedaanya, cinta alami tidak terikat dengan yang bersifat material sedangkan cinta elemental tidak bisa terlepas dari unsur-unsur material. Sekalipun cinta spiritual dan cinta alam ia merupakan dua bentuk cinta yang mendominasi Manusia, secara esensial keduanya tidak lain adalah serpihan dari cinta Illahi. cinta alami merupakan yang terendah dan cinta spiritual berada diatasnya Dengan demikian pada hakehatnya cinta itu adalah satu dan mencapai puncaknya pada insan kamil yang pada dirinya bertemu yang asal.

Dari maqam cinta muncul rasa syawq (rindu) Yakni perasan ingin bertemu dengan yang di cintai. perasan demikian baru mereda dan berubah menjdi kegembiraan ketika yang dicintai telah dapat ditemukan, perasaan yang sedang dimabuk cinta, rindu pada pada yang dicintainya yakni Allah terus menerus sehingga pada suatu waktu ia tenggelam dalam (fana) kepada yang dirinduinya itu. si situlah puncak cinta sorang sufi.

Jadi menurut Ibnu ‘Arabi tepat bila dibedakan ada tiga macam cinta yang merupakan tiga cara mewujud 1. cinta Illahiah, yang pada satusisi adalah cinta Khalik kepada makhluk dimana Dia menciptakan diri-Nya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan dirinya, dan disisi lain cinta makhluk kepada khaliknya, yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk kembali kepada dia, setelah Dia merindukan sebagai Tuhan yang tersenbunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog adba diantara pasangan Illahi Manusia 2.Cinta spiritual terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangannya dia cari di dalam dirinya, atau yang didapati olehnya bahwa bayangan (citra image) itu adalah dia sendiri; inilah dalam diri makhluk, cinta yang tidak memperdulikan, mengarah, menghendaki apapun selain cukup sang kekasih, agar terpenuhi apa yang dia kehendaki. 3.cinta alami yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih “dan sayangnya ” kata Ibnu ‘Arabi, seperti inilah kebanyakan orang memahami cinta masa kini.

  • Pemikiran tentang Maqom untuk mencapai Ma’rifat

Maqam adalah tingkat-tingkat kerohanian jama’nya dari maqamat. dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu seoarang sufi akan mengalami berbagai keadaan batin. Di dalam Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ’Arabi menyebutkan enam puluh maqam yang di tempuh seorang sufi untuk bermujahadah kepada Allah, dan ia berusaha menjelasakan akan tetapi Ibnu ’Arabi tidak menulisnya secara sistematis tahap- tahap tiap maqam yang harus di lalui seorang sufi. Dalam menempuh maqamat itu seoarang sufi harus senantiaa melakukan bermacam-macam ibadah (mujahadah) dan kontemplasi yang sesuai dengan ajaran agama sehingga tiap maqam satu persatu dapat dilaluinya.

Maqam pertama yang harus ditempuh oleh sufi adalah tawbah (tobat) setelah itu menempuh beberapa jalan yang lain yaitu mujahadah (kesungguhan), khalwat (bersunyi diri), uzlah (menghindar dari mayarakat), taqwa (melaksanakan aturan syariah, baik yang fardu maupun yang sunnah), wara’ (mengekang dan menahan diri), zuhd (zuhud), sahr (bangun malam ), Khawf (takut pada Allah), raja’ (mengharap ) huzn (sedih), ju’(lapar), tark-al-syahawat (menahan keinginan), khusu’ (khusuk), mukhalafah al-nafs (menentang keinginan), tark al-hasad wa il-ghadalah wa i-ghibah (menghindar dari dengki marah dan memfitnah), tawakkal (tawakal), syukr (syukur), yaqin (yakin), shabr (sabar), muraqabah (sadar terhadap pengawasan Allah), ridla (rela), ubudiyah (pengabdian), istiqomah (teguh pandirian), ikhlas (iklas), shidq (jujur), haya (malu), huraiyyah (kemerdekaan), zhikr, wa fikr, wa tafakkur (zikir, fikir, dan tafakur), futuwah (murah hati disertai kesetiaan), firasah (firasat), khulq (beraklak), ghirah (cemburu), walayah (kewalian), nubuwah (kenabian), risalah (kerasulan) qurbah (kedekatan), faqr (kefakiran), tashawwuf (tasawuf), tahqiq (mengenal kebenaran), hikmah (bijaksana), sa’adah (bahagia), adab (adab), shubbah (persahabatan), tawhid safar (perjalanan) husnal-khatimah (akhir hayat yang baik), ma’rifah (ma’rifat pengenalan hakiki), mahabbah (cinta), syawq (rindu), ihtiramal-syuyukh, (memuliakan para pembimbing rohani) sama’ (mendengar) karamah (keramat), mu’jizat (mukjizat), dan ruya’ (mimpi).

  • Latar Belakang Pemikiran Tassawuf Ibnu ‘Arabi

Ibnu Arabi tokoh filosuf dan sufi pada abad 12, di dalam pemikirannya tentang tasawuf lewat pengalaman mistisnya ia menjelaskan dengan pemahaman rasional atau filsafat, maka tasawuf Ibnu ‘Arabi dinamakan tasawuf falsafi. Adapun sumber-sumber yang mempengaruhi pemikirannya dari hasil yang telah diteliti terbagi menjadi dua kelompok besar yakni:

  • Sumber Islam
  1. Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi
  2. Sufi-sufi terdaulu seperti Al Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami, Junayd, Shibli, Tustari, Abdul Qodir al-Jailani, dan lainnya.
  3. Asetik muslim Theologia Skolastik : Asy’ari dan Mu’tazilah.
  4. Carmathian dan Isma’iliyan (terutama ikhwanus-safa).
  5. Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibn Sina dan Ibn’ Rusyd.
  6. Aliran Ishraqi.
  • Sumber non Islam
  1. Filsafat helleinistik, terutama neoplatonik dan filsafat pilo dan stocs tentang logos.

Ibnu ’Arabi selalu mencari dari al-Qur an dan Hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan perkataan-perkataannya. prosedur umumnya digambarkan oleh Nicholson, Ibnu ‘Arabi seringkali mengambil suatu ayat Qur’an dan Hadits, Ibnu ‘Arabi dapat memperoleh segala yang diinginkan dari al-Qur’an. ia dapat juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan yang diambilnya apabila diadopsilkan menjadi metode interpretasi yang sama.

Dia memahami beberapa ayat secara harfiah yang maknanya cocok dengan Pantheisme, dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an banyak berisi tentang ayat-ayat itu. Tuhan dari Qur’an digambarkannya sebagai suatu Tuhan yang mutlak Transenden yang tidak ada bandingannya. dipihak lain sebagimana layaknya orang mendengar, melihat punya tangan kaki dan wajah dia adalah cahaya dari Langit dan Bumi, Dia bersama kita dimanapun kita berada, Dia lebih dekat dari pada urat nadi kita sendiri.

Dari sekian banyak sufi yang telah memberi inspirasi pada Ibnu ‘Arabi nampaknya al-Hallaj adalah yang terbesar Ibnu ‘Arabi hafal ucapan-ucapan mistikal dari al-Hallaj dan bahkan ia telah menulis sebuah tafsir tentang istilah-istilah al-Hallaj yang berjudul As-Siraj Al Wahhaj Fi Sharh Kalamil Hallaj. Ia juga banyak menyebut al-Hallaj dalam beberapa tempat di dalam kitab futuhatnya, mengutip beberapa tulisannya, mendukung serta menafsirkan istilah-istilah itu menurut konsepsi Pantheistiknya.

Beberapa doktrin penting yang terinspirasikan dari pemikiran pemikiran al-Hallaj seperti:

  • Tentang masalah yang Esa dan yang banyak yang merupakan betuk modifikasi dari doktrin al-Hallaj tentang Lahut dan Nasut atau tul wa ard.
  • Tentang doktrin logos dan pra eksistensi Muhammad huwa-huwanya al-Hallaj dan Manusia sempurna Ibnu ‘Arabi.
  • Tentang teori cinta kudus.
  • Tentang tidak dapat di ketahuinya tuhan.
  • Tentang Dunia fonumena sebagai tabir dari yang real.
  • Tentang interpretasi esetorik dari al-Qur’an.

Al-Hallaj mengatakan bunuhlah dirimu itu berarti meninggalkan semua selain Tuhan sehingga non eksistensi harus kembali pada non eksistensi dan yang riel saja yang tetap bertahan atau abadi interpretasi Ibnu ‘Arabi sama dengan Hallaj, hanya ia lebih bercorak pantheistik.

Pada sisi formal dari doktrinnya Ibnu ‘Arabi nampak sangat jelas dipengaruhi oleh dialektika Theologis-theologis Muslim yang telah sangat dikenal olehnya teori tentang yang satu dan yang banyak nampaknya di dalam salah satu aspek dari teori itu merupakan aplikasi dari doktrin Ash’ari tentang substansi dan kejadian-kejadian (accident). pandangan terhadap atribut-atribut Tuhan identik dengan yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Dalam masalah
qadar (kehendak bebas) dia lebih sependapat dengan Ash’ari yang mengatakan bahwa Manusia mampu berbuat tapi sebenarnya tidak melakukannya sendiri.

[1] Noer Iskandar Al-Barsani, Tasawuf , Tarekat & Para Sufi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 153

[2] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 138

[3] Ibid…, hal. 140

[4] M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh…,hal 103

[5] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme…..hal.172

[6] Ibrahim Muhamad Al-Fayumi, Ibnu ‘Arabi Menyingkap Kode Dan Menguak Simbol Dibalik Paham

Wihdah Al-Wujud, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 17

[7] Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan Yang Soleh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000). hal, 204.

[8] M. fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh….,105

[9] Noer Iskandar Al-Barsani, Tasawuf , Tarekat…..,15

[10] Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan…., 205

[11] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar…hal, 64

[12] Ibid……., 39

[13] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat…,148

[14] Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema …,hal 88

[15] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat …,hal 149

[16] Ibid..,150

[17] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). hal 110

[18] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf…,hal 75

[19] Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan .., hal 209

[20] Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema..,hal 100

[21] Ibid.., hal 103

[22] Rivay Siregar, Tasawufdari Sufisme….. hal 197

[23] Ibid..,hal 198

[24] Ibid..,hal 198

[25] Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman… hal 159

[26] A.Rifay Siregar, Tasawuf Dari sufisme…,hal 142-143


Hiduplah sesuai maksud penciptaan Kita

$
0
0

Hidup yang Allah berikan kepada kita adalah ujian bagi kita apakah akan kita jalani sesuai dengan maksud penciptaan kita olehNYA. Ataukah hanya hidup seperti binatang ternak di zona nyaman saja. Allah SWT berfirman dalam hadit qudsi: : Aku adalah “Kanzun Makhfiun” …….Salah satu hadis Qudsi yang terkenal adalah hadis Kanzun Makhfiy. Tuhan berfirman, “Aku adalah khazanah yang tersembunyi  (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.” Kitab-kitab tasawuf tidak pernah luput mengutip hadis ini. Muhammad bin Ibrahim, ahli hadis berkomentar: Hadis ini diriwayatkan oleh para sufi. Jika Anda menelitinya dengan melihat ayat Al-Qur’an ini, Anda akan segera melihat hadis ini sahih. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Al-Qur’an, 65:12.) KH Prof.Dr. Jalalludin Rakhmat, M.Sc)

Mari kita renungkan sahabat. Al Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 179

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Tafsir Quraisy Shihab: “Dan sungguh Kami telah menciptakan banyak di antara jin dan manusia yang, di hari kiamat nanti, akan berada di api neraka.” Hal itu karena hati mereka tidak digunakan untuk menembus kebenaran, mata mereka tidak merenungi kekuasaan Tuhan, dan telinga mereka tidak mendengarkan ayat-ayat dan nasihat- nasihat untuk direnungi dan diambil pelajaran. Mereka layaknya seperti binatang yang tidak menggunakan akal yang diberikan Allah untuk bertadabbur. Bahkan mereka sebenarnya lebih sesat dari binatang. Sebab, binatang itu–dengan instinknya–akan selalu mencari kebaikan dan menghindari bahaya, sementara mereka itu malah menolak kebaikan dan kebenaran yang ada. Mereka itu memang orang-orang yang sangat bodoh!

Tafsir Jalallain: (“Dan sesungguhnya Kami jadikan) Kami ciptakan (untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah”) yakni perkara hak (dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah) yaitu bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan Allah dengan penglihatan yang disertai pemikiran (dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah) ayat-ayat Allah dan nasihat-nasihat-Nya dengan pendengaran yang disertai pemikiran dan ketaatan (mereka itu sebagai binatang ternak) dalam hal tidak mau mengetahui, melihat dan mendengar (bahkan mereka lebih sesat) dari hewan ternak itu sebab hewan ternak akan mencari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan ia akan lari dari hal-hal yang membahayakan dirinya tetapi mereka itu berani menyuguhkan dirinya ke dalam neraka dengan menentang (mereka itulah orang-orang yang lalai).

Link sumber: http://tafsir.web.id/

Dalam hal tidak dapat memahami, memikirkan apa yang dilihat oleh matanya dan didengar oleh telinganya.

Karena binatang ternak masih mau mencari hal yang memberinya manfaat dan menghindarkan dari bahaya, sedangkan mereka malah mendatangi bahaya, yaitu neraka padahal mereka memiliki hati, pendengaran dan penglihatan yang dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, namun mereka malah tidak mau menggunakannya.

 

Selanjutnya mari kita simak penjelasan Ustadz Jalaluddin Rakhmat berikut ini:

Allah SWT berfirman dalam hadit qudsi: : Aku adalah “Kanzun Makhfiun” …….Salah satu hadis Qudsi yang terkenal adalah hadis Kanzun Makhfiy. Tuhan berfirman, “Aku adalah khazanah yang tersembunyi  (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.” Kitab-kitab tasawuf tidak pernah luput mengutip hadis ini. Muhammad bin Ibrahim, ahli hadis berkomentar: Hadis ini diriwayatkan oleh para sufi. Jika Anda menelitinya dengan melihat ayat Al-Qur’an ini, Anda akan segera melihat hadis ini sahih. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Al-Qur’an, 65:12.) KH Prof.Dr. Jalalludin Rakhmat, M.Sc)

“Sufi sering menghubungkan hadis ini dengan penafsiran Ibnu Abbas atas ayat Al-Qur’an, 51:56. “Supaya mereka menyambah-Ku” ditafsirkan Ibnu Abbas sebagai “supaya mereka mengenal Aku.” Tujuan penciptaan kita tidak lain untuk memperoleh pengetahuan tentang Dia, pengetahuan yang langsung. Pengetahuan itu hanya bisa dicapai lewat kecintaan yang tulus kepada-Nya. Pengetahuan rasional didasarkan pada tak kenal maka tak sayang. Khwaja Nizamuddin Mahbub Illahi, dalam Risalah Tawhidiyyah menulis, “Tuhan berfirman: Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui. Ketika Maharaja Cinta rindu untuk menyingkapkan tirai yang menutup Keindahan Wajah-Nya, mengungkapkan sifat-sifat-Nya, dan mencintai Diri-Nya…Cahaya Diri-Nya terbagi dua. Setengah Cahaya memadat dan menjadi api. Ketika api memadat, ia menjadi udara; Ketika udara menjadi tebal, ia menjadi air; air memadat ia menjadi bumi. Dari bumi diciptakan berbagai macam bentuk. Setengahnya yang lain muncul dalam berbagai bentuk dan ingin melihat keagungan Keindahan itu pada mereka. Cahaya itu memerlukan cermin untuk melihatnya. Diciptakanlah manusia dan alam sebagai cermin. Dari sini, muncullah sifat Cinta dan Kekasih. Keduanya tak lagi tersembunyi.”

Sangat sulit dipahami, tentu saja. Nizamuddin kemudian mengutip puisi Persia. “Berapa lama Aku mesti bersembunyi. Kini Kuungkapkan Diri-Ku dari kedalaman-Ku. Dengan segala sifat Kusingkap Diri-Ku. Dalam gejolak cinta dan rindu. Ketika Adam kami kirim ke dunia, Kami tampakkan Keindahan Kami di Sahara. Sekarang terserah Anda untuk memahami apa yang disebut Cinta, Pecinta, dan Yang Dicintai. Siapa Pecinta? Zat Yang Suci. Apa Cinta? Hakikat segala sesuatu. Dan Yang Dicintai berarti Wujud relatif.”

Masih juga sulit dipahami. Tuhan, dalam perspektif sufi, adalah Tuhan yang penuh kerinduan untuk menampakkan keindahan-Nya. Dalam istilah Corbin, Tuhannya sufi adalah Tuhan yang patetik. Ia menyembunyikan cinta-Nya, tetapi menampakkan keindahan-Nya di seluruh penciptaan. “Ketahuilah.” Kata penyair sufi yang lain, “Cinta ada di mana-mana. Cinta meliputi seluruh dunia. Cinta adalah Pecinta Yang Dicinta.”

Tuhan berfirman, “Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.”

Tidak semua sufi menjelaskan hadis ini dengan pelik. Fariduddin Attar, misalnya, menjelaskannya dengan kisah perjalanan burung. Di bawah bimbingan burung Hudhud, mereka diajak melintas lembah dan bukit untuk menemui Simorgh, Puncak Segala Keindahan. Satu demi satu burung itu berguguran. Hanya tiga puluh yang sampai. Ketika berjumpa dengan Dia,
mereka terhenyak. Karena mereka hanyalah pantulan cermin dari Dia. Simorgh, dalam bahasa Persia, berarti tiga puluh burung. Manthiq al-Thayr, kisah pencari Tuhan, merupakan karya indah yang memukau. Bila Anda ingin mempelajari pengantar tasawuf yang gampang, bacalah buku ini. Di situ bukan saja dijelaskan konsep-konsep tasawuf dengan cerita, tapi juga dirujuk tokoh-tokoh besar tasawuf. Attar berkisah tentang Al-Hallaj, Rabi’ah, Bayazid, dan lain-lain.

Tradisi membahas hadis-hadis sufistik dengan cerita berlangsung sepanjang zaman. Terserah kepada Anda bagaimana menafsirkan kisah berikut, yang dituturkan Jalaluddin Rumi. Rumi sebetulnya menjelaskan kandungan makna hadis Kanzun Makhfiy dengan cara lain. Alkisah ada seorang gembala berjiwa merdeka, tak punya uang dan tidak berminat untuk mempunyai uang. Yang ia miliki hanyalah hati yang bersih, yang bergetar dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya di padang dan lembah. Tidak henti-hentinya ia bernyanyi dan berbicara kepada Tuhan Kekasihnya: “Tuhan tercinta, di mana Engkau gerangan untuk menerima persembahan jiwaku? Di mana Dikau yang akan menerima daku sebagai hamba-Mu? Tuhan, kepada-Mu aku hidup dan bernafas. Karena rahmat-Mu aku ada. Kuingin mengorbankan kambingku di hadapan-Mu.”

Pada suatu hari, Musa as melewati padang gembala ketika ia pergi ke kota. Ia melihat penggembala itu duduk di samping ternaknya dengan kepala mendongak ke atas. Ia berbicara kepada Tuhan: “Di manakah Engkau supaya kujahit baju-Mu, kurajut kasut-Mu, dan kubereskan ranjang-Mu? Di manakah Engkau supaya kusisir rambut-Mu, dan kucium kaki-Mu? Di manakah Engkau supaya kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu untuk minuman-Mu?” Musa mendekati penggembala itu dan bertanya: Dengan siapa kamu bicara? “Dengan Dia yang menciptakan kita. Yang menciptakan siang dan malam, bumi dan langit.” Musa marah mendengar jawaban penggembala itu: “Alangkahnya beraninya kamu berbicara kepada Tuhan seperti itu? Ucapanmu itu kufur. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas jika tak bisa mengendalikan lidahmu, atau paling tidak orang tak mendengar kata-katamu yang penuh penghinaan, yang meracuni udara. Kamu harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga sebelum Tuhan menurunkan azab karena dosamu.”

Si penggembala, yang bangkit setelah mengenal sang Nabi, berdiri menggigil. Dengan air mata yang mengalir deras, ia diam mendengarkan ucapan Musa as. selanjutnya: “Apakah kamu kira Tuhan seperti manusia yang memakai kaos dan sepatu? Tentu saja tidak! Apakah Dia bocah kecil yang memerlukan susu? Tentu saja tidak! Tuhan Maha Sempurna, tak memerlukan siapa pun. Dengan berkata seperti itu kepada Tuhan, kamu telah menghinakan bukan saja dirimu tetapi juga makhluk Allah yang lain. Kamu ingkar kepada agama dan menjadi musuh Tuhan! Pergilah dan mintakan ampunan jika kamu masih sadar.”

Penggembala sederhana itu tak mengerti mengapa  ucapannya terhadap Tuhan dianggap kasar, atau mengapa Nabi menyebutnya musuh. Tapi ia tahu, Nabi Allah pasti lebih tahu dari siapapun. Dengan menahan isakan, ia berkata kepada Musa, “Kau telah membakar jiwaku, sejak saat ini mulutku membisu!” Sambil menarik napas panjang, ia tinggalkan ternaknya dan menuju Sahara.

Dengan perasaan puas karena telah menunjuki jalan kepada jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanan ke kota. Tiba-tiba ia mendengar Tuhan menegurnya: “Mengapa kau halangi Kami dengan hamba Kami yang setia? Mengapa kau pisahkan pecinta dari Kekasinya? Kuutus kau untuk menyambungkan kasih sayang, bukan memutuskannya.” Musa mendengarkan firman Tuhan dengan penuh rasa takut dan rendah diri.

“Kami tidak menciptakan dunia untuk keuntungan Kami. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Pemujalah yang akan memperoleh faedah. Ingatlah bahwa dalam Cinta, kata-kata hanyalah desahan napas dan tidak ada artinya. Kami tidak memperhatikan keindahan kalimat atau susunan kata. Kami hanya melihat jauh ke dalam hati. Di situlah Kami tahu ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-katanya tidak berseni. Karena mereka yang telah terbakar dengan cinta sudah membakar habis kata-kata.”

Berkatalah Suara Langit selanjutnya, “Mereka yang terikat dengan pemilikan tidak sama dengan mereka yang terikat dalam Cinta. Pecinta tidak memiliki agama selain Kekasih sendiri.” Dengan begitu Tuhan mengajarkan Musa rahasia cinta. Segera setelah menyadari kealpaannya, Musa bergegas mencari penggembala itu untuk meminta maaf. Setelah hampir berputus asa, Musa menemukan penggembala itu termenung di pinggir mata air dengan pakaian yang lusuh dan rambut yang kusut masai. Musa menunggu lama. Akhirnya penggembala itu mengangkat kepalanya dan melihat sang Nabi.

“Saya ingin menyampaikan pesan kepadamu,” kata Musa. “Tuhan telah berfirman kepadaku. Kau bebas berkata kepada-Nya dengan cara apa pun yang kau sukai, dengan kata apa pun yang kau pilih. Karena yang aku kira sebagai kekafiran ternyata keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.”

Penggembala menjawab dengan sederhana, “Aku sudah melewati tingkat kalimat dan kata. Hatiku sekarang sudah disinari dengan kehadiran-Nya. Tidak dapat aku jelaskan kepadamu keadaanku kini. Tidak ada kata-kata yang dapat melukiskan-Nya.” Ia bangkit pergi ke Sahara, diikuti tatapan Musa. [JR]

Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Hadis Kanzun Makhfiy



Buku Pdf Gratis (Boleh Infaq) Fi Sabilillah: ILLUMINATI ASIA

$
0
0

Ahmad Y Samantho

ILLUMINATI ASIA

SEJARAH JARINGAN KONSPIRASI KEJAHATAN INTERNASIONAL FREEMASONRY DI ASIA

Hasil gambar untuk illuminati

Bayt al Hikmah Institute Press

Sejarah peradaban umat manusia di dunia ini tak akan lepas dari perang dan pertempuran antar kuasa  kebaikan dan Kuasa kejahatan.

Yang Haq dan Bathil sudah dan akan terus dalam posisi saling berhadapan, baik terang-terangan maupun rahasia-tersembunyi. Sering kali kita sebagai orang awam kebanyakan tertipu tak mengerti mana yang kebenaran yang haq dan mana Kejahatan yang bathil, saking halusnya dan rahasianya batas antara keduanya bagi masyarakat umum.

Buku ini berusaha mengungkap batas antara kebenaran-kebaikan dan kejahatan-tersembunyi itu- dalam realitas kedidupan internasional, sebatas kemampuan akal-nurani penulisnya

ILLUMINATI ASIA:

SEJARAH JARINGAN KONSPIRASI KEJAHATAN INTERNASIONAL FREEMASONRY DI ASIA

 

DAFTAR ISI

  1. Sejarah (6)
  2. Organisasi Masyarakat Rahasia China Menantang (30)
  3. Sejarah Rahasia Freemasonry di (55)
  4. The Lii Bloodline, 13 Garis Keterurunan dari (60)
  5. Permainan Kekuasaan Inggris di China dan Jepang yang di-shanghai-kan oleh Komunisme (95)
  6. Sejarah Uang dan per-Bank-an di (108)
  7. Ford Country: Membangun Elite Penguasa Indonesia, Menurut David (226)
  8. Harta Rakyat Indonesia Sirna oleh Rekomendasi Negara-negara Kelompok G-20 (383)
  9. Tokoh di Balik Berbagai Kerusuhan di (406)

Draft Cover Buku Illuminati Asia Final banget

 

Naskah Lengkap Buku Illuminati Asia 6 Juni 2017

 


ISIS, Zionisme dan Wahabisme Saudi Arabia

E-Books bermanfaat, silahkan download gratis.

$
0
0

Kontroversi Gaj Ahmada atau Gajah Mada ?

$
0
0

GAJ – AHMADA

Oleh: Langit Kresna Hariadi

Gerbang Trowulan MajapahitTiba-tiba muncul polemik soal Gajahmada melalui tafsir baru yang dilakukan oleh Herman Sinung Janutama yang menulis “Kesultanan Majapahit, Fakta yang Tersumbunyi” diterbitkan oleh LJKP Pengurus daerah Muhammadiyah Yogyakarta, edisi terbatas yang diterbitkan dalam rangka Muktamar 1 abad Muhammadiyah Juli 2010, yang kemudian kini menjadi trending topik setelah seseorang mengkoreksi nama Gajahmada sebagai nama yang salah, dan mengklaim yang benar adalah Gaj Ahmada, nama Arab.

Repro gambar arca Gajah Mada. Saya punya pengalaman aneh tahun 2012 (atau mungkin 2013) ketika untuk pertama kali Samana Foundation menggelar hajatan temu akbar para pendekar sastra sejarah di kaki Candi Borobudur Magelang. Seorang sastrawan, saya sebut namanya Damar Sasongko yang bukunya sedang dibedah namun Damar Sasongko tidak hadir dan diwakili editornya. Damar dicaci banyak orang karena menulis ada Raja Majapahit keturunan Cina bernama Nyoo Lai Wa. Para sastrawan atau yang saat itu amat bangga menyebut dirinya sebagai novelis sejarah seperti tersundut pantatnya, mereka marah karena Damar Sasongko berani-beraninya menulis ada Raja Majapahit keturunan Cina, caci maki yang saya cermati saya nilai kebablasan, seolah Damar Sasongko adalah seorang penjahat. Saya tahu, Damar Sasongko menggunakan data dari klenteng Sam Poo Kong sebagai sumber datanya.

Langsung saat itu saya mengacungkan jari minta waktu berbicara dan melawan arus, pendapat saya menyebabkan suasana yang sudah panas makin mendidih. Saya bilang pada para pendekar sastra sejarah itu, bahwa Damar Sasongko tak salah. Ia hanya seorang novelis, ia bukan sejarawan. Para historiografer bekerja berdasar fakta, tidak mengada-adakan selain berdasar data yang ada. Sangat berbeda dengan novelis, yang bekerja menggunakan daya khayalnya, imajinasi, yang dalam perilakunya – maaf- malah sok lebih pintar dari sejarawan. Saya lugas mengatakan ketika itu, “kalau saya menulis Gajahmada kawin dengan Luna Maya, anda mau apa?”

Berawal dari peristiwa di Magelang itulah kemudian saya merasa tidak berhak disebut novelis sejarah. Saya hanya pegiat sastra berbahan baku sejarah dengan hasil berbentuk BUKU novel bercitarasa sejarah, namun bukan BUKU SEJARAH.

Sejarawan/arkeolog, bekerja menggunakan azas ilmiah. Sebuah temuan harus dikaji, diteliti dari banyak sudut, dibedah diiris-iris untuk menemukan kebenaran yang paling dekat dan masuk akal. Seseorang disebut Gajahmada setidaknya didukung oleh data-data primer, sekunder. Tidak boleh ia disebut Gajahmada karena menurut kata dukun. Tak boleh Sang Mahamantrimukya Rakrian Mapatih Mpu Mada disebut berperawakan gempal hanya karena kata Mr Muh Yamin.

Ketika menjadi pembicara di Pendapa Kabupaten Mojokerto beberapa tahun yang lalu saya menemukan perdebatan riuh sampai bentak-bentakan soal bagaimana bentuk tubuh Gajahmada karena masing-masing merasa dukun merekalah yang benar. Di Puri Saron Seminyak Denpasar seorang perempuan yang menguasai spiritual memberitahu para tamu yang hadir, bahwa pemuda gemuk yang datang dengannya dan mengenakan pakaian aneh sebagai titisan Gajahmada. Saya nyaris semaput karena melihat jejak imbisiil di wajah pemuda yang dibawanya itu. Walah.

Dalam ilmu sejarah tidak boleh cara macam itu digunakan. Mr Muh Yakin berdosa besar telah mengajukan karakter Gajahmada yang berwajah tembem itu sebagai Gajahmada, sampai-sampai sebuah institusi menggunakan wajah itu sebagai logo resmi. Lha bagaimana Gajahmada bisa dikarakterkan kalau zaman itu belum ada kamera, belum ada video, atau pelukis realisme. Menggunakan ilmu sejarah pula tidak boleh kita menerima wajah imbisiil di seminar Puri Saron Seminyak itu sebagai sebuah kebenaran. Lalu bagaimana wajahnya yang benar? Terserah anda. Anda boleh membuatnya ceking, anda juga boleh beranggapan seperti apa kata Muh Yamin.

Sesuatu bisa disebut sebagai sebuah kepastian bila ada bukti. Gajahmada berasal dari mana? Tidak bisa diklaim karena belum pernah ditemukan sebuah prasasti yang secara sahih menyebut berasal dari Desa Modo di Lamongan. Suka tidak suka sikap kita memang harus begitu. Walaupun Viddy Daery menulis “Gajahmada Islam” tetaplah harus dilihat hanya sebagai wacana, hanya itu. Gajahmada beragama apa? Tidak bisa diklaim. Yang bisa kita lakukan hanya mengira-ngira sambil mengotak-atik fakta.

Untuk memastikan Gajahmada itu beragama apa, cari prasastinya yang memastikan fakta itu berbobot A1, atau, kalau anda wafat, silahkan temui Gajahmada di alam kematian, tanyakan langsung padanya.

Kelahirannya di mana, tidak ada datanya. Demikian juga dengan Gajahmada kawin dengan siapa, suka tidak suka juga tidak ada datanya. Kalau benar Gajahmada tidak kawin, ya sudah, cukuplah sampai di situ, silahkan anda berimajinasi sendiri mengapa Gajahmada tidak kawin, apakah ia patah hati, apakah homo, apakah gara-gara alat kelaminnya terpotong oleh pisau yang bersembunyi di balik celana emas badong, semuanya sah. Gajahmada kawin dengan siapa baru bisa disebut ketika ditemukan bukti prasasti, lagi-lagi jangan tanya dukun, lagi-lagi gunakan pendekatan ilmiah. Kidung Sunda ada menyebut, Gajahmada beristeri Ken Bebed, itu belum menjadi bukti yang valid sebagaimana kita sepakat, Kidung Sunda bukan sumber primer.

Ada yang mengatakan Gajahmada dimakamkan di Madagaskar, ada yang mengatakan Gajahmada dhut di Bali, ada yang mengatakan di Lombok. Ketika kelahiran dan perkawinan minim data, setidaknya Desawernana menyebut Hayam Wuruk sedang berada di Simping saat dikabari Gajahmada jatuh sakit, Hayam Wuruk kemudian memutuskan pulang. Dari data Desa Wernana itu kita bisa membayangkan, Gajahmada berada di kotaraja, atau di rumahnya, atau di radius tidak terlampau jauh dari Kotaraja, tidak di Bali, tidak di Lombok, tidak di Madagaskar. Sebuah gundukan tanah atau tumpukan batu tidak bisa disebut sebagai makam Gajahmada hanya gara-gara saya tidur di sebelahnya dan mendapatkan petunjuk mimpi. Cara pandang ilmiah tidak seperti itu.
Sekarang muncul dugaan, Majapahit itu kesultanan.

Cara pandang ini sah, boleh, akan tetapi harus diuji sedemikian rupa untuk mendapat jawabnya. Bahwa karena yang menyampaikan adalah Herman Sinung Janutama lantas harus diterima sebagai sebuah kebenaran, belum tentu. Herman Sinung Janutama itu siapa? Apakah ia arkeolog dan memahami bagaimana cara kerja arkeolog.

Mari kita pertanyakan, Majapahit yang dimaksud Herman Sinung itu Majapahit yang mana, era siapa, zaman kapan? Saya teringat ketika saya begitu bersemangat ketika bersama-sama DR Luluk Sumiarso mantan Dirjen Energi Baru dan terbarukan, Dahlan Iskan (ketika itu baru ganti hati) dan beberapa Prof dari Airlangga, begitu bersemangat ketika menggagas membuat miniatur istana di Trowulan. Gagasan penuh semangat itu langsung kandas ketika orang-orang Musium bertanya, yang mau dibangun itu istana zaman siapa?

Pertanyaan itu sama dengan Kasultanan Majapahit itu zaman siapa?
Majapahit ada banyak jejak. Majapahit Raden Wijaya diperkirakan diapit Sungai Brantas dan Sungai Mas, Majapahit itukah yang dimaksud Sdr Herman Sinung Janutama? Kita kemudian juga mencatat, Majapahit berada di Situs Trowulan yang diduga Hayam Wuruk bertakhta di sana. Zaman istana Tatag Rambat Bale Manguntur itukah yang disebut sebagai Kasultanan Majapahit?

Kita semua harus menghormati teori baru yang dilontarkan Sdr Herman Sinung itu, namun lagi-lagi dibutuhkan prasasti atau dara primer supaya ia sah disebut sebagai penemu Kasultanan Majapahit.

Di Gresik, saya mendatangi dan melihat langsung makam Islam tertua di Indonesia, atas nama Fatimah Binti Maimun Bin Hibatullah bertarikh 1082, bayangkan, perang Ganter yang menjadi akhir Kediri saja tahun 1222. Itu berarti jauh sebelum Majapahit Islam sudah masuk Nusantara. Fakta itu membuktikan, agama Islam dikenal di zaman Majapahit. Namun fakta itu tidaklah membuktikan dengan sendirinya Majapahit adalah negara Islam. Bahwa Desa wernana mencatat hukum tripaksa yang mengatur penyebaran agama, di mana untuk wilayah tertentu hanya boleh ditinggali pemeluk Hindu dan wilayah tertentu boleh ditinggali umat Budha dan mana yang boleh ditinggali keduanya sama sekali tidak menyebut Islam, hal itu membuktikan teori Herman Sinung Janutama itu lemah. Harap diingat, Desa wernana itu ditulis oleh Dang Acarya Nadendra (bernama lain Pancaksara, Prapanca) yang hidup sezaman dengan Sang Mahamantrimukya Rakrian Mapatih Pu Mada (bukan … Mapatih Gaj Ahmada).

Apa kata Herman Sinung itu baru bisa dinalar jika Majapahit yang dimaksud adalah Majapahit akhir. Jika Majapahit era Hayam Wuruk adalah kasultanan Islam, tentulah tidak akan ada Bajangratu, tidak akan ada catatan tentang Gayatri menjadi seorang biksuni bergelar Rajapadni. Tidak akan ada catatan tentang Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani yang juga menjadi biksuni setelah tahta diwariskan ke anaknya. Dalam novel saya Gajahmada Hamukti Muksa, saya menulis mantan Mahapatih Gajahmada termangu oleh suara adzan, itu adalah cara saya menunjukkan Islam sudah ada di Majapahit. Kalau hanya karena ditemukan koin emas bertulis Arab, harap kita ingat yang yang beredar saat itu tidak hanya koin Arab akan tetapi juga koin Cina.

Nah, sekarang soal teori baru, nama “Gaj Ahmada,” yang meminggirkan kata Gajah di depannya. Mari kita hormati siapa pun yang menggelindingkan pendapat itu, siapa pun yang melontarkannya tetap sah. Anda boleh kok menyebut nama asli Gajahmada itu Langit Kresna Membreg. Akan tetapi harusnya dilengkapi bukti.

Nama Gajah dianggap salah, nama-nama yang saya sebut ini semuanya ada dalam catatan sejarah bukan nama fiktif buatan saya. Mahisa Wong Ateleng (Singasari), Lembu Anabrang (akhir Singasari), Gajah Enggon (pengganti Gajahmada), Gajah Pagon (awal masa Majapahit) Gagak Rimang (nama kuda Harya Penangsang, akhir Kasultanan Pajang) Kebo Mundarang (patih Kediri, akhir Singasari) Lembusora (nama lain Andakasora, Majapahit awal) Mahisa Cempaka (Singasari) Kebo Kanigara (awal berdiri Pajang), Hayam Wuruk (raja Majapahit). Nama-nama hewan macam itu lazim digunakan di zaman dulu, bukanlah nama yang aneh. Menganggap nama “Gajah” yang menyatu dengan “Mada” sebagai sebuah kesalahan saya curiga sebagai sebuah pemaksaan yang berlatar ideologi dan atau agama.

Nama Gajahmada setidaknya ada banyak disebut berulangkali dan tercatat di kitab atau kakawin yang berbeda-beda. Desa Wernana menulis dengan jelas dan tegas, Gajahmada bukan tertulis Gaj Ahmada. Pun demikian tercatat di Pararaton, Kidung Sunda dan Kidung Sundayana. Di luar kakawin dan Serat itu saya belum pernah mendengar nama Gaj Ahmada.
Pertanyaannya sekarang, yang berpendapat seperti itu, sejarawan bukan?

Kalau ahli gothak gathik gathuk, ya saya mohon maaf.

 

YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Beberapa hari terakhir netizen di media sosial ramai memperbincangkan nama asli Patih Kerajaan Majapahit yang selama ini di kenal dengan Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada.

Selain itu, terjadi pula perdebatan di media sosial bahwa Kerajaan Majapahit adalah kesultanan dan Gaj Ahmada beragama Islam.

Dari informasi yang viral di media sosial disebut bahwa kesultanan Majapahit berasal dari penelitian yang kemudian dijadikan buku dengan judul “Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi”. Buku tersebut diterbitkan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta.

Baca juga: Lahan yang Ditumbuhi Pohon Maja Itu Diyakini sebagai Makam Patih Gajah Mada

Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta yang membawahi LHKP, Ashad Kusuma Djaya menegaskan, tidak ada campur tangan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta dalam penulisan buku Kesultanan Majapahit.

“LHKP hanya memfasilitasi kajian, kemudian yang ikut diskusi dan kajian itu patungan untuk menerbitkan buku. Tidak ada dana dari Muhamamdiyah,” ujar Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Ashad Kusuma Djaya saat ditemui Kompas.com, Sabtu (17/06/2017) malam.

Diceritakannya, kegiatan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta adalah berdiskusi dan melakukan kajian bersama dengan berbagai komunitas.

“LHKP isinya adalah komunitas anak muda yang senang dengan isu-isu alternatif,” ucapnya.

Ashad mengaku mengenal baik Herman Sinung Janutama, penulis buku “Kesultanan Majapahit” karena sama-sama pemerhati budaya Jawa. Herman Sinung Janutama memiliki komunitas dan menjadi salah satu yang diundang dalam kegiatan diskusi LHKP.

Sebab, lanjutnya, metode penelitian yang dilakukan oleh Herman Sinung Janutama menarik untuk didiskusikan dan dikaji.

“Itu bukan kegiatan tunggal, artinya kita ada juga diskusi dan kajian dengan lainnya. Kita juga ada kajian dengan Sifu Yonatan, Biksu Budha,” jelasnya.

Hanya saja, karena lembaga diskusi dan kajian tersebut tidak mempunyai legalitas, maka buku tulisan Herman Sinung Janutama diterbitkan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 2010 lalu sebanyak 1.000 eksemplar dan hanya untuk kalangan sendiri.

“Saya juga kaget, sudah buku Mas Herman itu terbit tahub 2010 lalu, sekarang viralnya,” tuturnya.

Dikatakannya, kutipan yang menjadi viral media sosial banyak tidak sesuai dengan di buku tulisan Herman Sinung Janutama. Seperti nama Gaj Ahmada itu tidak ada di buku yang ditulis Herman Sinung Janutama.

“Adanya Gajah Ahmada, misalnya dalam bahasa Sansekerta itu kan Nusantara itu sesungguhnya Nusa Antara, Gajah Mada dalam terminologi yang ditemukan Mas Herman itu Gajah Ahmada, kalau Gaj Ahmada itu menyalahi susatra jawa,” tandasnya.

Baca juga: Menikmati Suasana Majapahit secara Virtual

Ashad mengaku tidak mengenal Arif Barata yang menjadi rujukan soal Gaj Ahmada sehingga viral di media sosial.

“Arif Barata yang menjadi sumber banyak viral itu saya tidak kenal, selama kegiatan kajian-kajian itu juga tidak nampak. Ada nama Arif Barata, tetapi lain. Saya kenal dan saat ini masih menjadi staf saya,” pungkasnya.


DOKTRIN DAN AJARAN METAFISIKA AL-MAKASSARĪ (TAṢAWWUF FALSAFĪ)

$
0
0

DOKTRIN DAN AJARAN METAFISIKA AL-MAKASSARĪ

(TAṢAWWUF FALSAFĪ)

 

Baharuddin AR Abduraman, MA

 

  1. SUMBER-DAN RUJUKAN AL-MAKASSARĪ

Sebagaimana halnya al-Rānīrī dan koleganya al-Singkilī, al-Makassarī mengembangkan doktrin dan ajaran metafisikanya dengan mengutip serta merujuk kepada skolar dan para ṣūfī master. Hal ini dapat kita temukan dalam berbagai karyanya, seperti dalam: (1) al-Nafḥah al-Saylāniyah fī al-Minḥah al-Rabbāniyah, (2) Zubdat al-Asrār fī Taḥqīq ba‘d Mashārib al-Akhyār, (3) Fatḥ al-Raḥmān bi Sharḥ Risālat al-Walī Raslān, (4) al-Barakah al-Saylāniyah min al-Futūḥah al-Rabbāniyah, (5) Safīnat al-Nujāh al-Mustafādah ‘an al-Mashāikh al-Nuqāh, (6) Ḥabl al-Warīd li Sa‘ādat al-Murīd, (7) Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī wa Minḥat al-Sālik al-Muhtadī, dan dalam karya-karyanya yang lain.

Di dalam karya-karya tersebut, di antara tokoh dan ṣufī master yang menjadi rujukan utamanya adalah sebagai berikut:

  • Muḥy al-Dīn Ibn ‘Arabī
  • Abū Yazīd al-Bisṭāmī
  • Ibn ‘Aṭā Allāh al-Iskandarī
  • Abū Madyan al-Tilimsānī
  • Rabī‘ah al-‘Adawiyah
  • Junayd al-Baghdādī
  • Abū al-Qāsim al-Qusyayrī
  • Ma’rūf al-Karkhī
  • Al-Imām al-Shāfi‘ī
  • Abū Ḥāmid al-Ghāzālī
  • [Abū Ja‘far] Yaḥyā bin Mu‘ādh
  • Abū ‘Abd Allāh bin Ḥafīfah
  • Abū Sa‘īd al-Kharrāz
  • Abū al-Barakāt Ayyūb b.Aḥmad b Ayyūb al-Khalwatī
  • Ḥasan bin ‘Alī b. ‘Amr b. Yaḥyā al-‘Ajamī al-Makkī
  • Muḥammad al-Mazrū‘ al-Madanī
  • ‘Abd al-Karīm al-Hindī al-Naqahabandī al-Lāhūrī
  • Muḥammad Mizrā b. Muḥammad al-Dimashqī
  • Muḥammad b. al-Wajīh al-Sa‘dī al-Yamanī
  • Nūr al-Dīn ‘Abd Raḥmān b. Aḥmad b. Muḥammad Jāmī
  • Mullā Ibrāhīm b. Ḥasan b. Shihāb al-Dīn al-Kurānī al-Kurdī
  • Ḥasan b. ‘Alī b. ‘Umar b. Yaḥyā al-‘Ajamī al-Makkī
  • Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ‘Abd al-Bāqī al-Mizjājī al-Naqshabandī
  • Ḥusayn b. Manṣūr al-Khallāj
  • Abū Bakr b. Sālim al-‘Aynānī
  • ‘Abd al-Qādir al-Jaylānī
  • Dhū al-Nūn al-Miṣrī
  • Muḥammad b. Faḍl Allāh Burhān al-Nufūrī
  • ‘Abd al-Karīm al-Jīlī
  • Jār Allāh b. Samīrah
  • ‘Alī al-Muttaqī
  • Abū Yaḥyā Zakariyah al-Anṣārī al-Raslānī
  • ‘Āmir b. Abd al-Qays
  • ‘Uamar b. ‘Abd al-Fāriḍ
  • Abū al-Ḥasan ‘Alī al-Shādhilī
  • Abū al-Ḥusayn al-Ṣūrī
  • Al-Imām al-Nawawī
  • Abū al-Najīb al-Suhrawardī
  • Abū al-Ghayth bin Ismā’īl
  • ‘Alī Nūr al-Dīn al-Kurdī
  • Muḥammad Tāj al-Dīn al-Naqshabandī
  • Ismā‘īl al-Itānī
  • Farīd al-Dīn Kunju
  • [Naṣīr al-Dīn?] Khawjah ‘Ubayd Allāh al-Aḥrār
  • Bahā al-Dīn al-Naqshabandī
  • Abū Uthmān al-Ḥayrī
  • Shah Shajā’ al-Dīn
  • Aḥmad b. ‘Ulwān al-Yamanī
  • Muḥammad b. Fatḥ Allāh al-Juḥayrī
  • Abū Sulaymān al-Dārānī
  • Sahl b. ‘Abd Allāh

 

 

  1. KONSEP KETUHANAN

Satu hal yang penting ditekankan dari awal, bahwa melihat tokoh-tokoh ṣūfī yang menjadi refrensi dan sumber utamanya, serta doktrin dan ajaran-ajaran metafisika yang dikembangkannya, maka tidaklah salah jika kita meletakkan al-Makassarī, pada rangkaian tokoh-tokoh alam Melayu Indonesia sederet dengan al-Rānīrī dan Hamzah Fanṣūrī, dalam keluasan pengetahuannya mengenai taṣawwuf, khususnya taṣawwuf falsafī dan akhlāqī. Dan walaupun taṣawwuf yang dikembangkannya memiliki corak dan warna tersendiri, akan tetapi, sangat sulit untuk mengatakan bahwa pemikiran taṣawwufnya tidak didominasi oleh doktrin dan ajaran Ibn ‘Arabī, khususnya, karena kecenderungannya yang khusus terhadap doktrin “kesatuan wujūd” (وحدة الوجود) yang kontroversial dalam sejarah peradaban dan intelektual Islam.[1]

Kita memiliki bukti yang kuat untuk mengatakan hal itu, mengingat bahwa doktrin metafisika al-Makassarī, baik taṣawwuf falsafī (domain ontologi dan kosmologi) maupun taṣawwuf akhlāqī (domain psikologi) hampir tak dapat terlepas dari atau memiliki muara yang mengarah kepada, sistem metafisika Ibn ‘Arabī yang inti ajarannya adalah kesatuan wujūd.

Akan tetapi, al-Makassarī, yang kini menjadi “penterjemah” doktrin kesatuan wujūd-nya Ibn ‘Arabī di ‘alam Melayu Indonesia ini, cenderung untuk lebih berhati-hati. Ia sadar bahwa diskursus metafisika bukanlah hal yang mudah untuk difahami dan dimengerti, apalagi bagi kalangan ‘awam, bahkan, bisa saja membawa audien dan pembaca terjerumus kepada “kesesatan” al-wujūdiyah al-mulḥidah.[2] Itulah sebabnya, seringkali kita temukan penggalan ungkapang-ungkapan al-Makassarī yang sangat bersifat peringatan, seperti:

  • “Janganlah kalian mencampur-adukkan karena dalam perkara inilah sering terjadi orang terpeleset [salah paham] ” (“ولاتغلط لان فى هذاالمقام مزلة الاقدام”);
  • “Tiadalah kalian benar-benar memahami dan menyelami akan segala apa yang kami katakan, kecuali kalian termasuk ke dalam golongan kami dan kami termasuk golongan kalian” (“لايعرف جميع ما قلناه ويتحقق به الا من كان هو نحن ونحن هو… ”); dan
  • “Tiadalah kami menorehkan tulisan-karya, kecuali diperuntukkan bagi kalangan yang segolongan dengan kami, bersamanyalah kami berdialog serta kepada merekalah kami bertutur kata” (“ما كتبت جميع كتبي الا لمثلي ومعه اتكلم واياه اقول”).

Disamping itu, sebagaimana halnya dengan ṣūfī master lainnya, al-Makassarī sangat jelas dalam posisinya di mana ia berdiri, misalnya dalam hal perbincangannya mengenai Tuhan, khususnya diskursus kesatuan wujūd dalam domain psikologi, dengan memberi penekanan pada sifat transendensi Tuhan, bahwa: “hamba akan tetap hamba meskipun ia naik (ascend) dan Tuhan adalah Tuhan meskipun ia turun (descend):”

العبد عبد وان ترقى– والرب رب وان تنرل

Bahkan dua refrensi al-Qur’ān yang ia rujuk secara redundan dan menurutnya adalah ibu dari segala i‘tiqād dan aqīdah qur’āniyah, merupakan bukti kuat akan konsistensi al-Makassarī terhadap transendensi Tuhan, bahkan, bila ditelusuri lebih jauh dari karya-karyanya, kita akan temukan bahwa kedua refrensi al-Qur’ān ini, menjadi sentral serta tolak ukur dalam membangun dan mengembangkan doktrin dan ajaran metafisikanya. Kutipan al-Qur’ān tersebut adalah: pertama, ayat laysa ka mitslihī syay’un [sūrat al-Syūrā: 42: 11: tiada sesuatu apapun yang sebanding atau yang menyerupai-Nya], dan kedua sūrat al-Ikhlāṣ [sūrat al-Ikhlāṣ: 112: 1-4: Katakanlah, Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah tempat bergantungnya segala sesuatu, Tidak beranak dan tidak diperanakkan, Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya”]:

“… انه تعالى هو الموصوف بآية: ليس كمثله شيئ، وبسورة الاخلاص وهي ام الاعتقادات كلها على الاطلاق … بان جميع الاعتقادات القرآنية فضلا عن غيرها كلها راجعة الى آية ليس كمثله شيئ، وبسورة الاخلاص…”

“… sesungguhnya yang Maha Suci [Allah] memiliki sifat [yang terkandung dalam ayat] tida sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, serta [yang terkandung dalam] sūrat al-ikhlāṣ. Dan [kedua refrensi qur’āniyah tersebut] secara mutlak, merupakan ibu dari segala i‘tiqād… ” [3]

Sikap kehati-hatian al-Makassarī ini tentu memiliki pijakan yang sangat mendasar: (1) bahwa produk zaman di mana kondisi psikologi masyarakat yang ia hadapi masih ‘liable’ dan awam mengenai doktrin-doktrin taṣawwūf, (2) bahwa sejarah baru saja mempertontonkan pergelutan pemikiran dua tokoh besar ṣūfī (yaitu, al-Rānīrī vs Fanṣūrī) yang berujung pada saling tuduh atau bahkan “kafir-mengkafirkan” di antara mereka.[4] Walhasil, Fanṣūrī dengan posisinya yang tidak menguntungkan akhirnya mendapat cap sebagai penganut al-wujūdiyah al-mulḥidah, dan (3) bahwa al-Makassarī melakukan rihlah ilmiahnya pada saat sistem taṣawwuf dan metafisika, khususnya doktrin kesatuan wujūd-nya Ibn ‘Arabī banyak mendapat kritikan dan serangan dari berbagai pihak dan puncaknya dianggap sebagai doktrin yang menarik benang-merahnya pada pantheisme Hindu.[5]

Al-Makassarī rupanya tidak menginginkan pengulangan sejarah itu terjadi pada dirinya atau paling tidak terjebak dalam kontroversi yang berkepanjangan mengenai diskursus-diskursus dalam taṣawwūf. Al-Makassarī yang menimba ilmu kepada beberapa guru besar dari penganut doktrin kesatuan wujūd, dengan kecerdasannya, sebagaimana yang akan kita lihat pada bagian B. Taṣawwuf Akhlāqī dalam tulisan ini, telah berhasil “menghindarkan diri” dalam arti mengganti terma-terma “pelik”, yang menurutnya bermasalah dan dapat menimbulkan polemik, dengan terma-terma “qur’ānī” semisal iḥāṭah, ma‘iyah, qurb dan lain sebagainya, meski dengan maksud dan “muatan” yang tidak berbeda dengan para ṣūfī-ṣūfī master pengagum doktrin kesatuan wujūd Ibn ‘Arabi sebelumnya.

Walau bagaimana pun, menghindari ternyata tidak berarti meninggalkan dengan sepenuhnya. Dalam beberapa kasus, khususnya pada domain ontologi dan psikologi, al-Makassarī terlihat menyusun argumen-argumennya dengan rapih tersistematis, tanpa interjeksi kalimat yang terkesan pantheistik, namun dalam kasus-kasus tertentu, kesan itu tak dapat terhindari. Hal ini tentu dapat dimaklumi: pertama, mengingat bahwa metafisika (taṣawwuf falsafī dan akhlāqī) adalah merupkan salah satu di antara berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang unik dan paling diperdebatkan, khususnya, ketika metafisika mendapat injeksi dan warna dari Ibn Arabī dengan doktrin kesatuan wujudnya, dari sejak kemunculannya hingga saat ini; kedua, wilayah metafisika, khsusnya aspek ketuhanan (sirr al-rubūbiyah), adalah wilayah yang tidak tersentuh bahkan “terlarang” bagi kalangan awam. Itulah sebabnya, seringkali kita menemukan al-Makassarī memberi teguran dengan katanya: “maka pahamilah, jika anda benar-benar memiliki pemahaman;” dan ketiga, metafisika tidak selalu dan melulu dapat diungkapkan dengan bahasa lisan, melainkan dengan bahasa “rasa” dan hati (dhauq), khususnya dalam domain psikologi.

  1. Ke-Esa-an Allah

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ketiga karya monumental di bidang taṣawwuf, yaitu: (1) al-Durrah al-Fākhirah, (2) Risālah fī al-Wujūd, dan, (3) syarḥ al-Durrah al-Fākhirah, adalah karya-karya yang dipercayakan kepada al-Makassarī untuk melakukan penyalinan ulang oleh gurunya al-Kurānī. Karya-karya tersebut (no (1) dan (2) dikarang oleh Nūr al-Dīn ‘Abd Raḥmān b. Aḥmad b. Muḥammad Jāmī, sedangkan no (3) oleh ‘Abd al-Ghafūr al-Lārī), adalah karya yang lahir sebagai penjelasan dan pembelaan terhadap doktrin kesatuan wujūd yang telah dimisinterpretasikan dan bahkan diequivalensikan dengan doktrin pantheisme sehingga tak dapat luput dari kritikan dan serangan fuqahā (tungg. faqīh=ulamā berorientasi fiqh), theologian dan bahkan ahli tareqat yang dipelopori oleh Aḥmad Farūqī Sirhindī (1564-1624). Aḥmad Sirhindī adalah tokoh dan syeikh dari tareqat Naqsyabandiyah dari India yang melahirkan dan menawarkan doktrin alternatif yaitu waḥdat al-syuhūd atau kesatuan persaksian yang menekankan pada ketuhanan yang transenden, sebagai pengganti dari doktrin kesatuan wujūd yang menurutnya telah “terkeluar” dari mainstream Islam.[6]

Nampaknya, al-Makassarī yang diamanati, tidak hanya sekadar melakukan penyalinan ulang terhadap karya-karya tersebut. Akan tetapi, lebih dari itu, melakukan “muṭāla‘ah” di bawah bimbingan khusus al-Kurānī sendiri. Hal ini jelas, melihat bahwa risālah al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī wa al-Minḥat al-Sālik al-Muhtadī[7] adalah karya al-Makassarī, yang secara detail membahas tahapan-tahapan eksistensi (marātib al-wujūd=ontological discent), yang tiada lain merupakan penjabaran dari eksposisi Jāmī yang terdapat dalam kedua risālah tersebut.[8]

Al-Makassarī membahas mengenai sifat ke-Esa-an Allah dalam diskursusnya mengenai eksistensi (al-wujūd). Menurut al-Makassarī, eksistensi dapat dilihat dalam 2 kategori: yang pertama adalah eksistensi Riil (al-Ḥaq) dan yang kedua adalah eksistensi ciptaan (al-khalq). Yang tersebut pertama atau eksistensi Riil adalah eksistensi absolut (muṭlaq), berdiri sendiri (qā’im bi nafsih), dahulu (qadīm) dan kekal (bāq); sedangkan yang kedua atau eksistensi ciptaan adalah eksistensi “penyandaran” (iḍāfī) atau sebahagian menyebutnya sebagai eksistensi “metaphor” (majāzī). Disebut demikian karena kondisi eksistensinya yang tidak berdiri sendiri, melainkan “meminjam” (al-ma‘ār) eksistensi kepada yang memiliki eksistensi riil atau absolut. Dengan kata lain, eksistensi ciptaan adalah eksistensi yang “disebabkan” oleh selain dari dirinya (qā’im bi ghayrih).[9] Dengan demikian, bahwa eksistensi Sang Riil, yang menjadi “penyebab” adanya eksistensi-eksistensi ciptaan (makhlūqāt = maujūdāt) atau, sebahagian mengistilahkannya dengan “segala sesuatu selain dari Allah” (mā siwā Allāh)[10], adalah eksistensi wājib (wājib al-wujūd).[11]

Sebagai eksistensi wājib, yang berdiri dengan sendirinya dan menyebabkan adanya yang “lain” atau ciptaan, dapat dipahami bahwa pada status ontologinya ia berada pada kondisi yang sangat “terisolasi” dan “tersendiri.” Dalam status ontologi inilah Esensi (dhāt), disebut sebagai Dhāt “terdalam” (kunhi dhāt), atau Dhāt semata (dhāt al-bukhti), dan dalam status ini pula lah Dhāt diistilahkan sebagai “ Sang Dia” (al-Hū) atau “Sang Riil” (al-Ḥaq).

Pada tahapan-tahapan eksistensi (ontological descents), sebagaimana yang akan segera kita bahas selanjutnya, Esensi yang disebut Sang Dia dan Sang Riil ini, berada pada tahapan eksistensi tertinggi, karena pada tahapan ini Sang Dia atau Sang Riil tidak “melakukan” manifestasi (lā ta‘ayyun). Dalam tahapan ontologi sedemikian, Esensi tak dapat “digapai” (transcendent) atau memakai bahasa al-Makassarī: “tennarapi bicara, nawa-nawa, tennatemmui toi akkaleng ri sininna akkalengnge, mau nabi, mau uwalli tennarapi to pa temmui-wi akkaleng…” artinya “tak tergapai oleh bicara, pikiran dan segala akal manusia [setinggi apa pun derajatnya] baik nabi maupun wali… ”[12]

Perlu diingatkan bahwa penggunaan kata “metaphor” atau ”penyandaran” atau ”peminjaman” kepada eksistensi ciptaan, tidaklah memberi pengertian penafian secara mutlak atau menganggap eksistensi ciptaan sebagai eksistensi “illusi” semata: Pertama, melihat bahwa Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah) yang menjadi “dasar” dari segala ciptaan adalah realitas (ḥaqā’iq). Disebut realitas karena pada status ontologinya ia menempati posisi sebagai “perantara,” atau meminjam istilah Izutsu “occupies a middle position,”[13] antara Sang Riil dengan ciptaan. Dengan status tersebut, Arketip Permanen memiliki “dual nature,” yaitu passif dan aktif –kepada Sang Absolut ia passif dan kepada ciptaan ia aktif– dengan keaktifannya (hubungannya dengan ciptaan) ia disebut sebagai “dasar” eksistensi (aṣl al-maujūdāt); dan dengan kepasifannya (hubungannya dengan Sang Riil) ia disebut sebagai realitas, karena ia tetap permanen dalam “kesadaran” dan ilmu Allah (fī ‘ilm Allāh); kedua, sifat Arketip Permanen yang selalu dan selamanya siap (isti‘dād aṣlī) menerima per-wujud-an dari Sang Riil dengan mendengarkan perintah “jadilah!” (kun) yang dengannya ia lalu “menjadi” (fa yakun), maka dengan kesiapannya menerima perwujudan dari Sang “pemberi wujud” ia dikatakan memiliki relasi dengannya, dan selanjutnya dengan relasi ini eksistensi ciptaan dikatakan “riil;” ketiga, perintah “jadilah” yang terucap dari Sang Riil “terjadi” secara terus menerus, sehingga yang mendengarkan (mā siwa Allāh = maujūdāt) mengalami fluktuasi konstan (taqallub) atau pembaharuan yang tidak pernah berhenti atau dengan kata lain, eksistensi-eksistensi yang selain dari Allah mengalami momen penghilangan dan penciptaan yang baru yang konstan dan kontinyu (khalq jadīd). Pada momen penciptaan inilah eksistensi ciptaan dikatakan memiliki realitas eksistensi.

Meskipun demikian, realitas eksistensi-eksistensi yang dimiliki oleh eksistensi ciptaan mā siwā Allāh tersebut, menurut al-Makassarī, juga tidak dapat dikatakan riil secara mutlak sebagaimana eksistensi Sang Riil, tetapi harus ditempatkan dalam posisi “antara” penetapan (itsbāt) dan penafiyan (nafy). Dalam hal ini al-Makassarī menulis:

“… ومن الكمل المحققين العارفين بالله تعالى قالوا في شهودهم بان العالم المراد بما سوي الله تعالى يكون موجودا باعتبار ومعدوما باعتبار، فلا يثبتونه كاثبات اهل الكلام من المتكلمين ولا ينفونه كنفي اهل الفناء الذين مغلوبين الحال ليس لهم شعور فى الوجود ابدا…”

“… dan yang benar-benar telah sempurna pandangannya serta telah mencapai puncak pendakian spiritualnya, mereka berkata dalam kondisi syuhūd-nya: bahwa sesungguhnya phenomenal ‘ālam yang diistilah dengan segala sesuatu selain dari Allah (mā siwā Allāh)” itu memiliki konsideran dan sebutan “ada” dan “tiada” dalam waktu yang bersamaan. Mereka tiada mengukuhkan wujudnya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahl al-Kalām (theologians) dan tiada pula menafikannya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi yang tidak riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahl al-Fanā’, yang pada kondisi kefanaannya, menafikan segala bentuk eksistensi [selain dari eksistensi Allah]…”[14]

Al-Makassarī menyebut kondisi eksistensi ini dengan kiasan “sang perindu” (‘āsyiq): “… dan disebutlah ia sang perindu karena kondisinya yang merindukan curahan kasih [eksistensi] dari Sang Pemilik Eksistensi (wājib al-wujūd), sebagai kerinduan yang abadi.”[15]

“… وسميت عاشقا لافتقارها واحتياجها الى الوجود الواجب وكمالاته افتقارا ازليا ذاتيا لم يزل به … ”

Dalam skemanya yang lebih sistematis mengenai eksistensi, al-Makassarī, sebagaimana para ṣūfī terkemuka lainnya, seperti Ibn ‘Arabī, al-Jīlī[16] –menyebut sebahagiannya, menunjukkan proses terjadinya manifestasi (tajallī) atau descen (tanazzul) Sang Riil yang kemudian diistilahkan sebagai tingkatan-tingkatan atau tahapan-tahapan eksistensi (marātib al-wujūd = the degrees of existence).

Bagi al-Makassarī, kemungkinan terjadinya manifestasi Sang Riil dapat ditemukan di dalam al-Qur’ān itu sendiri, seperti yang dapat dibaca dalam Sūrat al-Ḥadīd, 57:3, yakni: Dialah [Esensi] yang Pertama dan Akhir, yang Ẓāhir dan Bāṭin, dan Dia mengetahui segala sesuatu” “( هو الاول والآخر والظاهر والباطن وهو بكل شئ عليم ).” Esensi Sang Riil (Dhāt al-Ḥaq), sebagaimana makna yang terindikasi dari ayat tersebut, dapat dipahami melalui 2 aspek-Nya, yakni aspek Luar (al-ẓāhir) dan aspek Dalam (al-bāṭin). Di sini al-Makassarī menguatkan pemahamannya dengan mengutip Ibn al-Fāriḍ:

“Telah berkumpul di dalam Diri-Nya [Dhat] aspek yang “berbeda-beda” [harmonis] dengan hukumnya yang tertentu, maka dengan sebab itu, ter-“ẓāhir”-lah rupa dan bentuknya pada setiap “manifestasi” “(tajamma‘at al-Aḍdād fīhā bi Ḥukmih fa Asykāluhā Tubdū ‘alā Kulli Hay’ah).”[17]

Aspek Dalam dari Sang Riil disebut sebagai lā ta‘ayyun atau tidak bermanifestasi dan tidak memiliki predikasi-predikasi; sedangkan aspek Luar-Nya disebut sebagai ta‘ayyun atau bermanifestasi dan memiliki predikasi-predikasi.[18]

Lā ta‘ayyun, yang oleh sebahagian ṣūfī, juga diistilahkan sebagai ghayb al-huwiyah atau iṭlāq al-huwiyyah atau iṭlāq al-dhātī dan, atau Kunhi dhāt. Disebut demikian karena Esensi atau Dhāt pada tahap ini dalam kondisinya yang “paling terisolasi” atau, meminjam terma al-Attas,[19] “utmost isolation” –tiada “bernama,” ”bersifat,” dan ”berbuat.” Tiada bernama, bersifat dan berbuat karena tidak “sah” bagi Sang Riil memiliki predikasi-predikasi tersebut (seperti, wujūd, qidam, baqā dan lain sebagainya), bahkan predikasi “ke-mutlak-an” pun (iṭlāq) merupakan predikasi yang harus dihindari pada tahapan ini (iṭlāq ‘an al-iṭlāq), oleh karena predikasi-predikasi tersebut berarti “pembatasan” dan “pengkaitan” (ta‘ayyun dan taqayyud):

“… وذات الحق من هذه الحضرة لا يصح ان تعين بتعين … ولا يضاف اليه اسم كوجود، او قدم، او وجوب، او بقاء، او وحدة او غيرها من صفة او فعل لأن كل ذلك تعين وتقيد …”

“… dan Esensi Sang Riil pada tahapan [lā ta‘ayyun] ini tidak dipredikasikan dengan predikasi apa pun… tidak pula diberi kualifikasi Nama, Sifat dan Perbuatan, seperti wujūd, qidam, wujūb, baqā dan waḥdah, oleh karena hal yang demikian itu merupakan pembatasan dan pengkaitan…”[20]

Dalam status ontologi demikian, Esensi atau Dhāt hanya dapat dinamai sebagai Sang Dia (al-Hū atau Huwa) dan Sang Riil (al-Ḥaq). Penamaan ini adalah indikasi bahwa Esensi Allāh[21] benar-benar dalam situasi yang tersembunyi (al-Ghayb al-Ḍhātī). Dengan demikian, Sang Riil tidak mungkin dapat “tergapai” oleh hamba (secara hissī, aqlī, maupun ‘irfani atau syuhūdī)[22] setinggi apa pun pencapaian spiritualnya, termasuk para auliyā dan anbiyā dan bahkan Rasulullah saw pun, sebagai manusia paling sempurna dan paling tinggi tingkat spiritualnya, tak dak dapat menembus “batas pemisah” tersebut, sebagaimana yang baginda Rasulullah saw isyaratkan dalam sabdanya: “Maha Suci Engkau, tiadalah kami dapat menggapaimu [mengenal] dengan sesungguhnya.”

سبحانك ما عرفناك حق معرفتك[23]

Isyarat ke-tidak-tergapaian Sang Dia ini, oleh kaum ṣūfī, sebagaimana al-Makassarī mengutip Ibn ‘Arabī, digambarkan: “bahwa barang siapa yang pada tingkat spiritual “mengenal” Allah, maka lisannya akan keluh”:

من عرف الله كل لسانه[24]

Meskipun demikian, bahwa pada kondisinya yang paling terisolasi dalam Dia yang tersendiri –tak berkualifikasi, tak berpredikasi dan tak berpengkaitan (lā ta‘ayyun) dengan sesuatu apapun termasuk segala Ṣifāt dan Asmā’ (الصفات والاسماء الحسنى)– atau meminjam bahasa ḥadīts (كان الله ولم يكن شئ غيره),[25] eternal dan selamanya, dan dalam kondisi ini, hanya Allah saja yang mengetahui Esensi Diri-Nya, akan tetapi, realitas Sang Riil tersebut “memiliki” aspek yang dikenal sebagai aspek ta‘ayyun. Dan aspek ta‘ayyun ini adalah aspek luar (al-ẓāhir) Sang Riil, yang pada-Nya melekat keinginan untuk “dikenal” (fa aḥbabtu an u‘rafa) yang terealisasi, teraktualisasi atau termanifestasi (yatajallā fīh) dalam ciptaan. Karena tanpa adanya aspek tersebut, tak akan ada manifestasi-manifestasi Allah, dan pengetahuan bahwa Dia adalah Esensi yang terasing dalam kesendirian-Nya menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Dalam hal ini al-Makassarī menulis:

… penapian (nafy) dari segala kualifikasi dan predikasi (yakni, ke-muṭlāq-an, peng-ḥukum-an, pe-nama-an, penyifatan, dan lain sebagainya), begitu juga sebaliknya, pengukuhan (itsbāt) kualifikasi dan predikasi tersebut terhadap eksistensi dhāt al-Ḥaq, adalah hal yang dibolehkan (ويصح في ذاته المطلق بهذا الاطلاق) … penapian dan pengukuhan ini disebut sebagai tempat pertemuan “arus berlawanan” atau diistilahkan “prinsip harmonisasi”[26] (مجمع الاضداد ومقام تعانق الاطراف), seperti: yang Awal dan Akhir, dan yang Batin dan Zahir (al-awwaliyah wa al-ākhiriyah, al-bāṭiniyah wa al-ẓāhiriyah…), yang dinafikan adalah eksistensi dhāt al-Ḥaq pada tahapan lā ta‘ayyun yaitu aspek al-bāṭin, sedangkan yang dikukuhkan adalah eksistensi dhāt al-Ḥaq pada tahapan ta‘ayyun yaitu aspek al-ẓāhir.[27]

 

Dari diskusi singkat di atas, dapat disimpulkan, bahwa realitas Dhāt memiliki 2 aspek: (pertama) adalah aspek “Dalam” (al-bāṭin) yang tak berpredikasi (lā ta‘ayyun) dan tak bermanifestasi, dan (kedua) adalah aspek “Luar” (al-ẓāhir) yang berpredikasi (ta‘ayyun) dan bermanifestasi. Aspek bermanifestasi tersebut, kemudian diistilahkan sebagai “the principle of ontological movement”[28] yang tiada lain adalah “cinta” (al-ḥubb), sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah Ḥadiīts Qudsī yang berbunyi: “Dahulu” Aku adalah Bendahara yang Tersembunyi, tetapi Aku cinta agar Aku dikenal, maka Aku ciptakan ciptaan [makhlūq] agar supaya Aku dapat dikenal.”

كنت كنزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق لكي اعرف[29]

Frasa “Bendahara yang Tersembunyi” dalam Ḥadiīts Qudsī tersebut memiliki equivalensi dengan (lā ta‘ayyun), yang tak terbatas dan tak bermanifes dan merupakan tahapan tertinggi dari Sang Riil atau meminjam istilah al-Jurjānī “terdalam dari segala yang batin” (ابطن كل باطن).[30] Sedangkan frasa “Aku cinta agar Aku dikenal” adalah prinsip yang melekat pada Diri Sang Riil yang memberi implikasi akan adanya sebuah “tekanan” (al-Karb) pada Diri al-Ḥaq, karena, meskipun tersembunyi, Ia memiliki “hasrat dan keinginan untuk dikenal” yang pada gilirannya terselesaikan melalui manifestasi-manifestasi Allah (tajalliyāt) pada ciptaan.

Menarik untuk diperhatikan, bahwa prinsip ontologi tersebut yang tiada lain adalah cinta, juga dibahas oleh al-Makassarī, secara simbolik, dengan menggunakan terma al-‘Isyq, al-‘Āsyiq dan al-Ma’syūq (rindu, perindu dan dirindukan):

Rindu (al-‘Isyq) dianalogikan sebagai al-Wujūd al-Muṭlaq, yang padanya dinafikan [pada aspek al-Bāṭin] dan dikukuhkan [pada aspek al-Ẓāhir] segala predikasi-predikasi (ta‘ayyun dan taqayyud); dan Perindu (al-‘Āsyiq) diibaratkan sebagai Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah). Diibaratkan sedemikian, oleh karena pada dasarnya, Arketip Permanen ini dalam kondisi “ketiadaan yang mungkin” (al-i‘dām al-mumkinah). Dan dengan kondisi itu ia “selalu” siap menerima (merindukan dan membutuhkan) “sinaran wujūd” (al-fayḍ) dari al-Wujūd al-Muṭlaq [al-‘Isyq]; sedangkan dirindukan (al-Ma’syūq) diumpamakan sebagai al-wujūd al-iḍāfī yang termanifestasi dari Arketip Permanen karena adanya “perintah” dari al-Ḥaq yang menghendakinya ada.[31]

Ada lima tahapan manifesatasi yang selanjutnya terealisasi dan teraktualisasi sebagai implikasi dari prinsip ontologi ini (al-ḥubb atau al-‘Isyq) yaitu: (1) al-waḥdah (2) al-wāḥidiyah, (3) al-arwāḥ, (4) al-mitsāl, dan (5) al-syahādah.

Al-waḥdah, disebut juga sebagai al-Qābiliyah al-Ūlā atau al-Barzaḥiyah al-Ūlā dan, atau al-Ḥaqīqah al-Muḥammadiyah, adalah manifestasi pertama (ta‘ayyun al-awwal) yang meliputi: Eksistensi (wujūd), Ilmu (‘ilm), Saksi (syuhūd), dan Cahaya (nūr).[32] Disebut Eksistensi karena menjadi lantaran “Penyebab” [Yang Menyebabkan] dan yang ”Disebabi” [Maujūdāt] termanifes; disebut Ilmu karena menjadi lantaran Yang Mengetahui (al-‘Ālim) dan Yang Diketahui (al-Ma‘lūmāt) termanifes; disebut Saksi karena menjadi lantaran Yang Menyaksikan dan Yang Disaksikan termanifes; dan disebut Cahaya karena menjadi lantaran Yang Menyinari dan Yang Disinari termanifes. Keempat hal tersebut (wujūd, ‘ilm, syuhūd, dan nūr) inilah yang menjadi “pemicu” adanya al-ḥubb atau rasa cinta (the principle of ontological movement) yang pada gilirannya memberi tekanan (al-Karb) pada Diri Sang Riil sehingga memungkinkan terjadinya manifestasi-manifestasi.[33]

Tahap manifestasi kedua (ta‘ayyun al-tsānī) adalah al-Wāḥidiyah atau, oleh kalangan ṣūfī, disebut sebagai Yang Diketahui (al-Ma‘lūmāt) atau Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah) atau “al-Māhiyāt” dan, atau “al-Ḥaqā’iq,” yang tiada lain adalah merupakan aspek Luar (al-ẓāhir) dari al-waḥdah itu sendiri.[34]

Menurut al-Makassarī, baik al-waḥdah maupun al-wāḥidiyah, keduanya merupakan manifestasi-manifestasi Sang Riil yang kondisniya “tetap” pada ke-azālī-annya yang abadi (bāqiyāni ‘alā ḥālihimā al-azaliyah ghayr khārijīn fīhā).

Lalu di manakah letak perbedaan antara al-waḥdah dengan al-wāḥidiyah. Untuk pertanyaan tersebut, al-Makassarī memberi penjelasan bahwa:

… tahapan yang pertama adalah al-Waḥdah yang merupakan manifestasi dari dhāt al-Ḥaq pada aspek al-ẓāhir. Al-Waḥdah adalah manifestasi yang di dalamnya terkandung segala struktur objek pengetahuan (al-ma’lūmah) secara azālī, baik al-ma’lūmah tersebut dalam kondisinya yang samar dengan sifatnya yang global (mubhamah mujmalah) tak berpartikular (ghayr mu‘ayyanah) ataukah al-ma’lūmah tersebut dalam kondisinya yang nyata dengan sifatnya yang rinci (muta‘ayyanah mufaṣṣalah) dan telah berpartikular (mu‘ayyanah). Apabila al-ma’lūmah tersebut dalam kondisinya yang samar dengan sifatnya yang global dan belum berpartikular, maka ia disebut sebagai “al-Aḥadiyah” atau “al-Hurūf al-‘Āliyāt” atau “al-Hurūf al-Aṣliyah.” Akan tetapi, apabila al-ma‘lūmah tersebut dalam kondisinya yang nyata dengan sifatnya yang rinci dan telah berpartikular, maka ia disebut sebagai “al-Wāḥidiyah” atau “al-Māhiyāt” atau “al-Ḥaqā’iq” atau “al-A‘yān al-Tsābitah” dan inilah tahapan yang kedua.[35]

Pada tempat yang lain, al-Makassarī menulis:

… bahwa “pengkaitan” (taqyīd) terdiri atas 2 macam, yakni: pengkaitan yang bersifat khusus dan pengkaitan yang bersifat umum. Adapun pengkaitan yang bersifat khusus ada 2, yaitu: terkait khusus dengan ke-muṭlāq-an (mukhtaṣṣun bi al-iṭlāq) dan terkait khusus dengan pengkaitan (mukhtaṣṣun bi al-taqyīd); yang pertama tersebut adalah al-Aḥadiyah yang merupakan aspek Dalam (al-Bāṭin) dari tahapan eksistensi pertama yaitu al-Waḥdah; sedangkan yang kedua tersebut adalah al-Wāḥidiyah yang merupakan aspek Luar (al-ẓāhir) dari al-Waḥdah itu sendiri… [36]

Sejauh ini kita telah membahas mengenai al-Waḥdah dan al-Wāḥidiyah, yang secara berurut dikatakan sebagai tahapan eksistensi pertama dan kedua dari Sang Riil, tiada berpindah dan tetap subsis secara permanen (baqā) dalam “kesadaran” dan ‘ilmu Allah (fī ‘ilm al-Ḥaq), dan oleh karena kondisinya yang permanen sedemikian, ia adalah “realita-realita” (ḥaqā’iq) yang telah kita identifikasi sebagai al-ma’lūmah (j. al-ma’lūmāt).

Mengingat hal ini dan dengan kenyataan bahwa al-Wāḥidiyah tiada lain adalah manifestasi aspek zāhir al-Waḥdah, maka status al-Waḥdah dapat dipandang sebagai in potensia sekaligus sebagai “wadah” –yang akan dan selalu siap menerima setiap pancaran sinar suci (al-fayḍ al-Aqdas) dari Sang Riil (al-Ḥaq).[37]

Dipandang sebagai in potensia karena pada aspek Dalam al-Waḥdah terkandung segala potensi-potensi yang tak terbatas; dipandang sebagai wadah karena pada aspek Luarnya merupakan dasar atau “tempat” Sang Riil mewujudkan aktifitas kreatif-Nya dengan “pemunculan” potensi-potensi yang melekat padanya dan yang tak terbatas tersebut, melalui perintah dengan titah “كن” (“dan ketika Dia memutuskan sesuatu, Dia berfirman kepadanya, “jadilah” maka jadilah ia. Sūrah al-Baqarah, 2:117; sūrah Āli ‘Imrān, 3:47; dan sūrah Maryam, 19:35; dan sūrah al-Aḥqāf, 46:48” –yang keseluruhannya terjadi sebanyak 8 kali dalam al-Qur’ān).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Dhāt al-Ḥaq, yang dikatakan sebagai tahapan tertinggi dalam tingkatan-tingkatan eksistensi, dengan prinsip harmonisasi, memiliki 2 aspek, yaitu aspek Dalam (al-bāṭin) dan aspek Luar (al-ẓāhir);
  2. Aspek Dalam yang juga diistilahkan sebagai ghayb al-Huwiyah, iṭlāq al-huwiyah, kunhi dhāt, kanz makhfiy, al-‘amā, adalah aspek yang tidak bermanifestasi. Aspek tersebut adalah dalam kapasitas yang terisolasai dan tersendiri, tak terpaut oleh Nama-nama dan segala Sifat (al-asmā wa al-ṣifāt), jelasnya, aspek Dalam adalah aspek yang tidak bermanifestasi dan tanpa ada predikasi apa pun (lā ta‘ayyun) yang melekat pada-Nya, azālī dan selamnya. Dalam status ontologi seperti ini, Esensi atau Dhāt diberi sebutan sebagai Sang Riil (al-Ḥaq) atau Sang Dia (al-Hū);
  3. Aspek Luar yang juga diistilahkan sebagai al-Waḥdah, al-Barzakhiyah, al-Qābiliyah al-Ūlā, al-Ḥaqīqah al-Muḥammadiyah, dengan prinsip cinta (al-ḥubb atau al-‘Isyq), adalah aspek di mana Sang Riil memiliki predikasi (ta‘ayyun) serta memanifestasikan Diri-Nya;
  4. Manifestasi Diri Sang Riil dapat dibedakan ke dalam 2 kategori: yang pertama adalah manifestasi Sang Riil kepada Diri-Nya sendiri yang diistilah dengan al-Fayḍ al-Aqdas atau tajallī dhātī; dan yang kedua adalah manisfestasi Sang Riil kepada selain dari Diri-Nya (mā siwā Allāh) yang diistilahkan dengan al-Fayḍ al-Muqaddas atau tajallī syuhūdī. (lihat catatan kaki no. 35).
  5. Manifestasi pertama adalah al-Waḥdah. Al-Waḥdah terkandung di dalamnya unsur yang disebut inpotensia (al-ma‘lūmāt) yang tak terbatas –yang secara naturalnya menghendaki adanya pemunculan atau aktualisasi atau eksternalisasi. Dengan inpotensia yang melekat padanya inilah sehingga, sebagaimana halnya Dhāt al-Ḥaq, al-Waḥdah dikatakan memiliki aspek Dalam (al-bāṭin) dan aspek Luar (al-ẓāhir).
  6. Aspek Dalam al-Waḥdah, yang juga disebut dengan al-Aḥadiyah atau al-Ḥurūf al-‘Āliyah atau al-Ḥurūf al-Aṣliyah, adalah “tempat” di mana objek pengetahuan yang berifat global berada.
  7. Adapun aspek Luar al-Waḥdah, yang juga disebut dengan al-Wāḥidiyah atau al-Māhiyāt atau al-Ḥaqā’iq atau al-A‘yān al-Tsābitah, adalah “tempat” di mana objek pengetahuan yang berifat rinci berada.
  8. Aspek luar ini –populer diistilahkan dengan Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah), pada status ontologinya, menempati posisi sebagai “intermediary,” antara Sang Riil dengan alam phenomenal. Dengan status tersebut, Arketip Permanen memiliki “double nature,” yaitu passif dan aktif –kepada Sang Riil ia passif dan kepada alam phenomal ia aktif– dengan keaktifannya (hubungannya dengan dunia phenomenal) ia disebut sebagai “dasar” eksistensi (aṣl al-maujūdāt);[38] dan dengan kepasifannya (hubungannya dengan Sang Riil) ia disebut sebagai realitas, karena ia tetap permanen dalam “kesadaran” dan ilmu Allah (fī ‘ilm Allāh). Pada aspek luar inilah al-Makassarī menganalogikannya sebagai sang perindu yang merindukan taburan kasih (al-musta‘iddah al-qābilah li fuyūḍ al-wujūd al-muṭlaq) Sang Pemilik kasih.[39]

 

 

Berikut adalah skema dari tahapan-tahapan eksistensi al-Makassarī yang sejauh ini telah dipresentasikan:

لاتعين

غيب الهوية

اطلاق الهوية

كنه ذات

كنز مخفي

العماء

تعين الاول

الوحدة

البرزخية

القابلية الاولى

الحقيقة المحمدية

ذات الحق
الظاهر

 

الباطن

 

الظاهر

 

الباطن

 

الحروف العاليات

الحروف الاصلية

الاحدية

 

تعين االثاني

الواحدية

الاعيان الثابتة

الماهيات

الحقائق

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Arketip Permanen (al-A‘yān al-Tsābitah)[40]

Sebagaimana telah disinggung, bahwa Arketip Permanen, pada status ontologi, menjadi perantara antara Sang Riil dengan dunia phenomenal. Dengan status sedemikian, Arketip Permanen memiliki dual nature atau dua arah bersilangan, yaitu naik “ascend” dan turun “descend.” Ascend jika berkaitan dengan Sang Riil dan discend jika berkaitan dengan dunia phenomenal. Dalam situasinya yang naik, Arketip Permanen dikatakan passif karena ia adalah reseptif atau qābil (j. qawābil) dan karena ia hanyalah potensi-potensi (al-ma‘lūmāt) yang berada dalam kesadaran dan ilmu Sang Riil; sedangkan dalam situasinya yang turun, ia dikatakan aktif karena ia adalah orisinil dan dasar dari segala ciptaan (تستند اليها). Dengan kata lain, segala ciptaan (maujūdāt atau mā siwā Allāh) teraktualisasi berdasarkan “format” -nya yang ada dalam Arketip Permanen:

” … هي صورة هيئة معلومية الاشياء فى علم الله القديم الازلي وهى قديمة ازلية بقدم العلم وازليته… ”

Sesuai dengan sebutannya, al-A‘yān al-Tsābitah diterjemahkan sebagai Arketip Permanen. Dikatakan arketip karena ia adalah entitas-entitas (al-asyyā’ al-muta‘ayyinah), atau objek-objek pengetahuan (al-ma‘lūmāt al-‘ilmiyah), dan atau realitas-realitas sesuatu (ḥaqā’iq al-asyyā’); sedang pengkaitan atau penyipatannya dengan permanen karena entitas-entitas tersebut kukuh berada dalam kesadaran dan ilmu Allah, tak berpindah dan tak berubah, azālī dan abadī.[41] Dengan bersituasinya di dalam kesadaran dan ilmu Allah, maka entitas-entitas tersebut menjadi objek-objek pengetahuan. Dan sebagai objek-objek pengetahun ia adalah realitas-realitas yang sifatnya kukuh tetap dalam kesadaran dan ilmu Allah terdahulu dan selamanya. Pada status inilah Arketip Permanen memiliki konsideran eksistensi atau sebutan wujūd. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang esensinya yang tidak tereksternalisasi atau teraktualisasi dalam dunia phenomenal, maka Arketip Permanen tidak memiliki kualifikasi wujūd, sebagaimana yang ditekankan al-Makassarī:

“… واما القول بعدميتها فيكون باعتبار عدم وجوديتها فى الخارح، والقول بوجوديتها فيكون باعتبار معلوميتها، والمعلوم لايكون الا موجودا ولو باعتبار اذ لو كان معدوما من كل الوجوه لما علم ابدا عند التحقيق…”

“… dan adapun konsiderasi mengenai ke”tiada”annya, maka hal itu lantaran ia [Arketip Permanen] tidak memiliki eksistensi di alam phenomenal; sedangkan konsiderasi mengenai ke”ada”annya, maka hal itu lantaran ia adalah objek (yang diketahui) atau realitas atau entitas, oleh karena tidak disebut objek kecuali jika ia eksis, walaupun hanya sebagai konsideran, dan jika dikatakan ke”tiada”annya secara mutlak, maka Arketip Permanen selamanya tidak mungkin dapat diketahui  …”[42]

Dari penjelasan ini, nampaknya al-Makassarī insis untuk tidak mengatakan Arketip Permanen sebagai “sesuatu” yang memiliki kualifikasi ke”tiada”an secara mutlak, tetapi, tidak juga mengatakan ke”ada”annya secara mutlak:[43]

“… كما يصح ان يقال فى حقها انها ليست بموجودة ولا بمعدومة مطلقا من كل الوجوه …”

Dalam paragraph yang lain al-Makssarī menulis:

“ … jika demikian adanya… lalu apa dan siapa yang menjadi objek perintah (mukhāṭab) ketika Allah berfirman: “jadilah!” karena jika dikatakan bahwa objeknya adalah sesuatu yang “ada,” maka akan memberi implikasi bahwa Allah itu lemah (‘ājiz), karena Allah tidak sanggup meng-ada-kan; dan jika dikatakan bahwa objeknya adalah sesuatu yang “tiada,” maka [perintah Allah tersebut] berimplikasi “sia-sia” (‘abats), karena Allah memerintahkan sesuatu yang tiada… dengan kesulitan yang demikian, Arketip Permanen diberi kualifikasi ada dan kualifikasi tiada secara bersamaan. Dalam kualifikasi adanya itulah Allah berfirman kepadanya; dan dalam kualifikasi ketiadaannya itulah ia menerima (yaqbil) perwujudan… ”[44]

Dengan demikian, maka konsideran sesungguhnya dari Arketip Permanen ini adalah “eksis” dan “tidak eksis” pada saat bersamaan: disebut eksis karena ia merupakan objek perintah Sang Riil yang selalu siap menerima pengguyuran eksistensi (al-musta‘iddah al-qābilah li fuyūḍ al-wujūd al-muṭlaq) melalui titah “jadilah!” Dan objek perintah tersebut adalah entitas-entitas yang ber”ada” dalam kesadaran dan ilmu Allah;[45] disebut tidak eksis (al-i‘dām al-mumkinah)[46] karena ia tidak tereksternalisasi dalam dunia phenomenal (fī al-khārij), oleh karena, kualifikasi eksistensi hanya “berlaku” atau dapat dipredikasikan bagi sesuatu yang tereksternalisasi dalam alam phenomenal atau spasio temporal. Sederhananya, sebelum adanya perintah yang menghendaki perwujudannya di alam phenomenal, “Arketip Permanen memiliki kualifikasi tiada:”[47]

“… ما شمت رائحة الوجود الخارج ابدا…”

Hal lain yang perlu dicatat dari status ontologi Arketip Permanen sebagai intermiediari adalah hubungannya dengan Sang Riil serta dunia phenomenal. Dengan kata lain, apakah dengan naturenya yang naik dan berhubungan langsung dengan Sang Riil yang Eternal (qadīm), Arketip Permanen juga dapat dikonsiderasikan eternal? ataukah sebaliknya, apakah dengan naturenya yang turun dan berhubungan langsung dengan dunia phenomenal yang temporal lantas ia dikonsiderasikan baharu (ḥādith)?

Dalam status ontologi yang menempatkan Arketip Permanen seperti ini, tentu akan sangat sulit, kalau tidak mustahil, mengungkapkannya dalam bahasa lisan, artinya sesuatu yang pada prinsipnya sebagai intermediary, tidak dapat diberi istilah yang pasti. Dengan demikian, kita dipaksa untuk mengistilahkannya dengan istilah yang tidak presisi (i.e., menyebutnya dalam bentuk affirmatif atau negatif, atau affirmatif sekaligus negatif), seperti, ada atau tiada, atau ada dan tiada sekaligus, atau eternal atau tikdak eternal, atau eternal dan tidak eternal sekaligus, atau baharu, atau tidak baharu, dan atau baharu dan tidak baharu sekaligus –istilah-istilah yang mana juga digunakan oleh al-Makassarī dalam diskursusnya mengenai Arketip Permanen, dunia phenomenal dan lain sebagainya.

Kaitannya dengan status Arketip Permanen, al-Makassarī menerangkan sebagai berikut:

“… konsideran yang mengatakan bahwa Arketip Permanen adalah eternal dan baharu adalah konsideran yang sah sebagaimana kesahihan konsideran yang mengatakan bahwa Arketip Permanen adalah tidak eternal dan tidak baharu. Adapun konsideran keeternalannya adalah berdasar kepada sudut pandang keeternalan Ilmu Sang Riil; sedangkan konsideran kebaharuannya adalah berdasar kepada sudut pandang kebaharuan efek (ātsār) yang ditimbulkannya, yaitu dunia phenomenal; … adapun konsideran ketidak eternalannya adalah berdasar kepada sudut pandang bahwa yang eternal secara esensial hanya satu, yaitu Sang Riil; sedangkan konsideran ketidak baharuannya adalah berdasar kepada sudut pandang bahwa yang baharu tiada lain kecuali yang tereksternalisasi, yaitu dunia phenomenal …”[48]

Dari keterangan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa konsideran Arketip Permanen dapat dikatakan eternal, baharu, tidak eternal, dan tidak baharu dalam waktu yang bersamaan. Dan semua konsideran yang dapat dikatakan kepadanya hanyalah merupakan inference, karena dilihat dari sudut pandang esensinya (bi dhātihā) atau dirinya (bi nafsihā), Arketip Permanen jelas berbeda dengan Sang Riil yang Eternal dan dunia phenomenal yang baharu.

Jadi, jika dikatakan bahwa Arketip Permanen memiliki konsideran eternal, maka inferencenya adalah karena keberadaannya di dalam ilmu Sang Riil, dan ilmu Sang Riil adalah Eternal karena Dhāt Sang Riil Eternal; jika dikatakan kebaharu-annya, maka inferencenya adalah karena melihat efek yang ditimbulkannya (al-mu’atstsir bi ism al-atsr) yaitu alam phenomenal yang baharu, seperti halnya konsideran yang mengatakan eternalnya dunia phenomenal karena inferencenya yang melihat dari sudut pandang sang pemberi efek (al-atsr bi ism al-mu’atstsir) yaitu ilmu Sang Riil yang Eternal; begitupun halanya dengan konsideran Arketip Permanen yang tidak eternal, maka inferencenya adalah karena melihat bahwa yang eternal secara esensial, tiada lain kecuali Sang Riil, sebagaimana konsiderannya yang tidak baharu karena meilhat bahwa yang baharu yang tereksternalisasi, tiada lain kecuali dunia phenomenal.[49]


 

  1. Sarwa Alam dan Manusia Sempurna

Sarwa alam dalam pengertiannya adalah totalitas yang ada (al-maujūdāt) selain dari Allah (mā siwā Allāh) yang meliputi sekalian alam (al-‘ālamīn), baik alam nyata (ālam al-syahādah) maupun alam ghaib (ālam al-Ghayb), termasuk segala apa yang ada di “dalam” atau di “antara” keduanya. Sarwa alam juga berkonotasi dengan al-asyyā’ (sing. al-syay’), al-makhlūqāt (sing. al-makhlūq) dan al-kā’ināt (sing. al-kawn).[50] Sarwa alam adalah manifestasi-manifestasi Sang Riil dalam konteks tajallī syuhūdī atau al-fayḍ al-muqaddas yang mencakup 3 determinasi (ta‘ayyunāt) dalam tingkatan-tingkatan eksistensi, yaitu: (1) al-arwāḥ, (2) al-mitsāl, dan (3) al-syahādah.

Mengingat 2 manifestasi sebelumnya (i.e., al-Waḥdah, yang oleh al-Makassarī, didefinisikan sebagai objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh tetapi samar dan bersifat global dan “belum” berpartikularisasi, serta tidak terikat oleh ruang dan waktu (ghayr maj‘ūlah)[51] dan al-Wāḥidiyah yang didefinisikan sebagai objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh tetapi rinci dan “telah” terpartikularisasi di mana “sebelumnya” masih berupa fakultas-fakultas pengetahuan secara global, tidak terikat oleh ruang dan waktu (ghayr maj‘ūlah), al-arwāḥ adalah objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh dan rinci, dalam kapasitas aksidensi yang tiada memiliki form (ghayr muṣawwarah), warna (ghayr mulawwanah) dan matter (lā maḥsūsah) tetapi dalam situasi yang terikat oleh ruang dan waktu; sedangkan al-mitsāl adalah objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh, rinci, konkrit (maujūdah) dan terikat oleh ruang dan waktu, serta dalam kapasitas aksidensi yang telah memiliki form dan warna tetapi tidak memilik matter yang bersifat nyata (ghayr maḥsūsah bi al-ḥawass al-ẓāhirah); dan al-syahādah adalah objek atau pengetahuan Sang Riil yang bersifat menyeluruh dan rinci, konkrit dan terikat oleh ruang dan waktu, serta dalam kapasitas aksidensi yang telah memiliki form, warna dan matter yang bersifat nyata.[52]

Keterangan di atas jelas menunjukkan adanya perbedaan status ontologi antara tajallī dhātī atau al-fayḍ al-aqdas, (i.e. al-Waḥdah dan al-Wāḥidiyah) dengan tajallī syuhūdī atau al-fayḍ al-muqaddas (i.e., al-arwāḥ, al-mitsāl, dan al-syahādah). Yang tersebut pertama merupakan manifestasi-manifestasi Sang Riil yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, sehingga dikatakan dahulu (qadīm)[53]; sedangkan yang tersebut terakhir merupakan manifestasi-manifestasi Sang Riil yang “telah” terikat dengan ruang dan waktu, sehingga dikatakan baharu (ḥādits) atau diistilahkan dengan eksistensi umum (al-wujūd al-‘ām) atau eksistensi penyandaran (al-wujūd al-iḍāfī) atau eksistensi emanasi (al-wujūd al-mafāḍ).[54]

Kesimpulan ini, tentu, tidak akan menimbulkan sebuah kontra-indikasi dengan adanya istilah “emanasi” (al-fayḍ) yang dinisbahkan kepada segala wujūd (al-wujūd al-mafāḍ): (1) jika dipahami berbeda dengan doktrin emanasi ala Plotinusme dan neo-Platonisme, dan (2).jika al-fayḍ diterjemahkan sebagai manifestasi Sang Riil, sebagaimana yang juga ditekankan oleh al-Makassarī.

Emanasi ala Plotinusme dan neo-Platonisme, umumnya dipahami sebagai ajaran yang menekankan Sang Riil sebagai “sumber” yang transenden secara absolut.[55] Artinya, dalam proses dan tahapan emanasi, Sang Riil tidak “hadir,” sehingga emanasi, katakan, yang pertama adalah sumber atau yang menciptakan, yang kedua dan, begitu juga, seterusnya, sehingga yang, katakan, terakhir merupakan emanasi yang “terburuk” oleh karena ia merupakan emanasi yang “terjauh” dari seluruh rangkaian emanasi. Implikasinya, seluruh rangkaian emanasi “menemukan” dirinya sebagai eksistensi yang berdiri sendiri.

Konsep emanasi juga memberi penekanan akan “keharusan” eksistensi sesuatu dan negasi “keterlibatan” pihak lain (i.e., Sang Riil). Artinya, bahwa kreatifitas (irādah = masyī’ah) Sang Riil, dalam “melakukan” perwujudan sesuatu, di nafikan. Hukum keharusan ini digambarkan layaknya cahaya yang terbit dari matahari, di mana cahaya tersebut eksis “dengan” atau bersamaan eksistensi matahari, dan tanpa adanya “kehendak” matahari dalam perwujudannya. Implikasinya, Sang Riil hanayalah merupakan “Sebab” yang “mendahului” dari sisi kualitas esensi yang “disebabkan,” bukan mendahului dari sisi “waktu” kemunculannya. Implikasi selanjutnya adalah bahwa yang disebabkan tersebut tidak memiliki “awal” waktu kejadian serta “batas” waktu penghabisan. Dengan kata lain, baik Sebab maupun yang disebabkan, keduanya adalah eternal.

Para ṣūfī sebagaimana yang dipresentasikan Al-Makassarī, melihat emanasi dari perspektif yang berbeda dengan sistem emanasi yang dipopulerkan oleh Plotinus dan neo-Platonis.[56] Al-Makassarī menyebut bahwa emanasi harus dipahami dalam konteks kehadiran Sang Riil. Artinya, bahwa dalam setiap “serial” emanasi (i.e., dari tahap pertama hingga tahap terakhir), Sang Riil selalu memiliki ke“terlibat”an (tanzzala), baik dalam konteks emanasi kudus (al-fayḍ al-aqdas) ataupun dalam konteks emansi yang dikuduskan (al-fayḍ al-muqaddas). Oleh karena “tanpa kehadiran-Nya, sebagai Pemberi wujud, maka mustahil bagi sesuatu menemukan eksistensi dirinya:”[57]

“… انه لو لا ظهوره فى الكل ما كان وجود كل شئ …”

Dalam paraghraf berbeda al-Makassarī menyatakan:

“… كلما توجه الى اي شئ ما صورة ومعنى وجد الحق سبحانه وتعالى ظاهرا فيه ومتجليا به، وفيه، وله، بتجلى الايجاد والخلق …”

“… setiap kali memalingkan wajah dan menghadapkannya ke suatu arah, maka pasti akan menemukan Sang Riil yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menzahirkan serta memanifestasikankan Diri dengan, di dalam dan pada, sesuatu tersebut, manifestasi yang berarti mengadakan dan menciptakan …”[58]

Dengan demikian, dan dalam kasus emanasi, Sang Riil dapat dipandang sebagai Esensi yang tidak transenden secara mutlak, tetapi, tidak juga dipandang sebagai esensi yang imanen secara mutlak, sebagaimana yang dijelaskan al-Makassarī:

“… وهو القريب البعيد وهو الفاصل الواصل وهو المحيط بالكل من غير خلطة ولا ممازجة وهو مع الكل من غير مقارنة ولا اينانية وهو اقرب من كل شئ من غير اتصال وهو ابعد من كل شئ من غير انفصال وهو الذى ليس كمثله شئ وهو الاول والآخر وهو الظاهر والباطن وهو بكل شئ عليم …”

“… Dia lah [Allah] yang dekat sekaligus jauh, yang berpisah sekaligus berhubung, yang meliputi segala sesuatu tanpa bercampur dengannya, yang bersama dengan segala sesuatu tanpa berkaitan dan bersituasi kepadanya, yang dekat kepada segala sesuatu tanpa bersambung, yang jauh tanpa berpisah, yang tiada memiliki keserupaan, yang pertama dan yang akhir, yang zahir dan yang batin, dan yang mengetahui segala sesuatu  …”[59]

Dari pernyataan-pernyataan tersebut, jelas bahwa al-Makassarī tidak sejalan dengan implikasi-implikasi yang timbul dari asumsi yang menempatkan Tuhan sebagai Sebab yang passif, hal mana menunjukkan kelemahan dan kekurangan Allah. Al-Makassarī bahkan menulis bahwa:

“… ان الله تعالى متصف بجميع الكمالات وانه سبحانه خالق الكل من الموجودات ذواتهم وصفاتهم واحوالهم وافعالهم من الخير والشر والكل تحت قدرته وارادته وقدره وقضائه …”

“… Sesungguhnya Allah menyifati segala kesempurnaan, dan sesungguhnya Ia menciptakan segala yang ada, baik esensi, sifat, keadaan maupun perbuatannya, yang baik ataupun yang buruk, kesemua itu merupakan kudrat, keinginan, ukuran dan hukum-Nya …”[60]

Penciptaan Sang Riil di sini dapat dipahami dalam pengertian aktualisasi. Aktualisasi ini, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, melibatkan 3 hal yang saling terkait, yaitu: (1) Cinta Sang Riil agar dikenal, (2) Kebutuhan Arketip Permanen akan perwujudan, dan (3) Keputusan atau Keinginan (irādah) Sang Riil yang mendasari titah-Nya. Artinya, proses aktualisasi terjadi karena adanya “tekanan” (al-Karb) dalam Diri Sang Riil, sebagai akibat dari Cinta agar dikenal, yang kemudian terselesaikan melalui Keputusan-Nya untuk memberi perwujudan kepada potensi-potensi Arketip Permanen, yang selalu dan selamanya (lam yazal bih) siap menerima (qābil) perwujudan tersebut. Keputusan Sang Riil inilah kemudian menjadi basis adanya perintah titah jadilah (kun!) sehingga potensi-potensi Arketip Permanen (al-a’yān al-tsābitah) menjadi (fa yakun) konkrit di alam temporal (al-a’yān al-khārijah).[61]

Jadi, segala yang ada (maujūdāt), baik dalam bentuk perwujudnya yang spiritual maupun material, karena keterikatannya dengan alam temporal, konsiderannya adalah baharu (ḥādits). Akan tetapi, apakah perwujudannya di alam temporal dapat diartikan bahwa status segala yang ada selain dari Allah (mā siwā Allāh) atau Sarwa alam ini, secara inference, memiliki konsideran eksistensi secara “utuh” oleh karena menerima perwujudan dari Sang Mutlak, ataukah justeru karena menerima perwujudan dari Sang Mutlak, maka status eksistensinya dikonsederasikan sebagai eksistensi “semu” belaka? Status dan kedudukan Sarwa alam inilah yang akan kita urai dalam pembahasan berikut.

  • Alam Bayangan (Ẓill Allāh)

Ẓill secara literal bermakna bayangan atau refleksi sesuatu yang muncul dan terbayang jika sesuatu tersebut diterpa oleh cahaya. Dari pengertian ini didapati 3 hal yang menjadi requisit bayangan: (1) sesuatu atau person, (2) tempat atau locus, dan (3) cahaya. Person adalah penyebab, locus adalah tempat pemantulan bayangan, sedangkan cahaya merupakan prasyarat. Jika dianalogikan, maka person adalah Sang Riil, locus adalah Arketip Permanen, dan cahaya adalah Nama (Divine Name) atau aspek Luar (al-ẓāhir).

Nah, bayangan, pada prinsipnya, adalah kegelapan (ẓulmah). Disebut kegelapan karena sebelum menerima perwujudan ia adalah konsideran tiada, dan kegelapan sesungguhnya adalah kegelapan dalam ketiadaan. Arketip Permanen adalah locus atau tempat berpautnya bayangan. Cahaya (nūr) adalah salah satu dari Nama-nama Allah (al-asmā’ al-ḥusnā) yang merupakan aspek Luar Sang Riil. Person (i.e., Sang Riil) sesungguhnya adalah Cahaya itu sendiri (Sūrat al-Nūr: 24:35: “Allah adalah Cahaya [yang menyinari dalam konteks memberi eksistensi] Langit dan Bumi… Cahaya di atas segala cahaya”), oleh karena cahaya identik dengan eksistensi, dan eksistensi sesungguhnya adalah Sang Riil.[62] Jadi, bayangan tidak akan tereksternalisasi dalam bentuk konkrit (i.e., tersinari) tanpa adanya Person (Sang Riil) melalui cahaya-Nya (i.e., aspek Luar) yang menyinari, serta locus (maẓhar) tempat di mana cahaya terebut memantulkan cahaya sinarnya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bayangan, yang merupakan akibat, tidak muncul dengan sendirinya tanpa adanya sebab (Sang Riil) yang memunculkannya (i.e., pemilik bayangan). Jadi, bayangan, oleh karena tidak muncul dengan sendirinya, melainkan lantaran pemilik bayangan, maka bayangan dikatakan tidak memiliki konsideran eksistensi, tetapi, disandarkan kepada sang pemilik bayangan –penyandaran ini disebut sebagai penyandaran jauh (nisbah ba‘īdah).

Jika pengertian tersebut diaplikasikan atau dikaitkan dengan Sarwa alam (i.e., konsideran yang menyebut Sarwa alam sebagai bayangan Allah = ẓill Allāh), maka yang dimaksud adalah: (1) bahwa bayangan tidak akan terrefleksi (i.e. ada dengan sendirinya), kecuali ada yang merefleksikannya, yaitu pemiliknya, melalui cahaya dan locus sebagai media dan wadah refleksinya. Begitu pun halnya dengan Sarwa alam yang tidak dapat berdiri atau eksis dengan sendirinya melainkan Allah yang “membuatnya” eksis (al-qāim bi nafsih al-muqawwim li ghayrih),[63] dan (2) bahwa bayangan tidak memiliki kehendak dan kesanggupan dengan sendirinya, melainkan kehendak dan kesanggupan pemiliknya, begitu pun halnya dengan Sarwa alam yang tidak memiliki kehendak dan kesanggupan melainkan kehendak dan kesanggupan (irādat Allāh wa qudratih) Allah jua, sebagaiman yang ditegaskan al-Makassarī:

“… ان الله تعالى هو الفاعل الحقيقي فى الكل ولا مؤثر فى الوجود الا الله اولا وآخرا ظاهرا وباطنا …”

“… sesungguhnya Dialah Allah yang Maha Suci, Pelaku atas segala sesuatu, dan tiada yang dapat memberi bekas terhadapnya kecuali Allah jua, dari awal dan akhirnya, zahir dan batinnya …”.[64]

Walhasil, Sarwa alam yang disebut sebagai bayangan Allah memiliki status eksistensi yang dikonsederasikan sebagai eksistensi semu, dan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa eksistensi semu bukanlah berarti ketiadaan yang absolute melainkan ke-ada-an yang relatif atau meminjam istilah al-Makassarī: “ketiadaan yang nyata dalam rupa dan bentuk wujud” (‘adamun yaẓharu bi ṣūrat al-wujūd). Jelasnya, eksistensi Sarwa alam, bagi kalangan ṣūfī yang direpresentasikan oleh al-Makassarī, tidak di nafikan secara mutlak dan tidak pula dikukuhkan secara mutlak:

“ومن الكمل المحققين العارفين بالله تعالى قالوا في شهودهم بان العالم المراد بما سوي الله تعالى يكون موجودا باعتبار ومعدوما باعتبار، فلا يثبتونه كاثبات اهل الكلام من المتكلمين ولا ينفونه كنفي اهل الفناء الذين مغلوبين الحال ليس لهم شعور فى الوجود ابدا”

“Dan yang benar-benar telah sempurna pandangannya serta telah mencapai puncak pendakian spiritualnya, mereka berkata dalam kondisi syuhūd-nya: bahwa sesungguhnya Sarwa alam yang diistilahkan dengan segala sesuatu selain dari Allah (mā siwā Allāh)” itu memiliki konsideran dan sebutan “ada” dan “tiada” dalam waktu yang bersamaan. Mereka tiada mengukuhkan wujudnya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahli teologi (i.e., ahl al-Kalām = theologians) dan tiada pula menafikannya [menganggap mā siwā Allāh sebagai eksistensi yang tidak riil secara mutlak] sebagaimana anggapan ahl al-Fanā’, yang pada kondisi kefanaannya, menafikan segala bentuk eksistensi [selain dari eksistensi Allah]. [65]

Oleh karena, lanjut al-Makassarī, penafiyan Sarwa alam secara mutlak adalah termasuk pandangan golongan yang melampaui batas (ahl al-ifrāṭ); sedangkan pengukuhannya secara mutlak termasuk pandangan golongan yang tidak mencapai batas (ahl al-tafrīṭ). Kedua pandangan tersebut merupakan pandangan yang tidak sempurna, sehingga harus diambil pandangan tengah, yaitu dengan tidak menafikan tetapi tidak juga mengukuhkan eksistensi Sarwa alam, secara mutlak.[66]

  • Alam Metaphor (al-‘alam al-majāzī)

Terma lain yang sering dikaitkan dengan Sarwa alam dan bahkan, oleh al-Makassarī, digunakan secara bergantian dengan pengertian yang hampir tidak berbeda dengan terma bayangan (ẓill), adalah majāz atau metaphor. Jawāz, sebagai akar kata (ism maṣdar) majāz, berarti hal “kebolehan.” Dipahami dalam konteks theologi, maka Jawāz berarti hal potensial. Nah, Jā’iz sebagai bentuk aktif partisipal (ism fā‘il) merujuk kepada “sesuatu” yang in potensia (i.e., sesuatu yang mungkin).

Jā’iz al-wujūd –istilah yang biasa digunakan dalam teologi, merupakan salah satu dari 3 kategori eksistensi (2 kategori lainnya adalah wājib al-wujūd dan mustḥīl al-wujūd. Yang tersebut pertama adalah eksistensi wajib yang didefinisikan sebagai kategori eksistensi yang menurut akal tidak dapat dipikirkan tiadanya; sedangkan yang tersebut terakhir adalah kategori eksistensi mustahil yang menurut akal tidak dapat dipikirkan adanya),[67] memiliki pengertian sebagai eksistensi potensial. Artinya, ia memiliki potensi untuk “eksis” dan “tidak eksis” secara bersamaan, dan hal itu tidak bertentangan dengan prinsip akal.

Nah, wājib al-wujūd dengan pengertian di atas merujuk kepada “sesuatu” yang sudah “seharusnya” ada sejak azālī, dengan sebutan azālī tersebut ia lantas dikatakan berdiri sendiri (qā’im bi nafsih), dan mustḥīl al-wujūd merujuk kepada sesuatu yang mustahil adanya, sejak azālī, dan selamnya dalam kondisi ketiadaan; sedangkan Jā’iz al-wujūd merujuk kepada sesuatu yang eksistensinya tidak dalam posisi keharusan maupun kemustahilan, sejak azālī. Sesuatu yang tidak eksis secara azālī serta tidak dalam ketiadaan yang abadi dan dalam kenyataannya “telah” ada secara phenomenal disebut sesuatu yang baharu (ḥādits). Sesuatu yang baharu dikatakan tidak memiliki eksistensi atau realitas dari dirinya sendiri, melainkan eksistensi yang diperoleh dari yang selain dari dirinya (qiyāmuh li ghayrih). “yang selain dari dirinya” ini adalah yang eksis dengan sendirinya (qā’im bi nafsih muqawwim li ghayrih) yang tiada lain adalah Sang Riil.

Kembali ke analisa semantik. Bahwa meski dalam pengertiannya mengandung implikasi “belum” karena statusnya sebagai sesuatu yang in potensia, tapi dalam kenyataannya “telah” karena tereksternalissai dan teraktualisasi sebagai phenomenal, maka jā’iz, bila diaplikasikan dalam konteks metafisika, dapat dipahami sebagai beralihnya sesuatu dari suatu fase ke fase yang lain atau beralihnya sesuatu dari potensial ke aktual atau beralihnya sesuatu dari ketiadaan ke keadaan. Akan tetapi, mengingat bahwa sesuatu yang in potensia tidak mungkin beralih dengan sendirinya, maka disimpulkan bahwa peralihan tersebut terjadi karena ada yang “mengalihkan” yaitu Sang Riil.

Untuk merecall kembali ingatan kita pada diskusi wujud yang menurut kategorinya, terbagi ke dalam kategori wujūd al-ḥaq dan wujūd al-khalq. Yang pertama disebut adalah wujud Sang Riil yang Maha Sempurna (kamāl) dan Maha Kaya (ghaniy) dalam konteks tidak membutuhkan sesuatu apapun; sedangkan yang disebut terakhir adalah wujud ciptaan atau Sarwa alam yang kurang (naqṣ) dan fakir (faqr) dalam konteks membutuhkan sesuatu yang lain selain dirinya dalam rangka perwujudannya, yaitu Sang Riil, karena tanpanya, Sarwa alam akan selamanya pada kondisi in potensia (i.e., jā’iz atau mumkin al-wujūd).

Sebagai “yang teralihkan” dari potensial menjadi actual atau dari tiada menjadi ada, di mana “menjadi ada”-nya ini tidak dapat diartikan sebagai hal atau keadaan yang tetap dan statis baginya, tetapi dipahami sebagai “peralihan” dari tiada menjadi ada, kemudian beralih kembali menjadi tiada, dan seterusnya dan selamanya dalam kondisi tersebut, maka eksistensi Sarwa alam dapat dikatakan sebagai eksistensi yang transien. Artinya, Sarwa alam memiliki konsideran eksistensi “ada” kemudian “tiada” secara bergantian dan berterusan tanpa ada 2 durasi waktu yang mengantarai keduanya. Karena, jika ada 2 durasi waktu atau lebih, maka Sarwa alam memiliki kualifikasi sebagai sesuatu yang independen (ginā) dari Sang Riil dalam durasi tersebut. Kondisi Sarwa alam yang transien inilah yang disebut dengan istilah penciptaan secara terus menerus (khalq jadīd).[68]

Kondisi penciptaan inilah yang dimaksud oleh al-Makassarī, ketika berbicara mengenai Arketip Permanen yang ia analogikan sebagai sang Perindu (‘āsyiq) dan yang kita jadikan sebagai inference dalam kaitannya dengan Sarwa alam:

“… وسميت عاشقا لافتقارها واحتياجها الى الوجود الواجب وكمالاته افتقارا ازليا ذاتيا لم يزل به …”

“… dan [Arketip Permanen] dianologikan sebagai sang Perindu oleh karena kerinduan dan pengharapannya akan perwujudan dari Sang wājib al-wujūd [Allah] dan kesempurnaan-Nya sebagai kerinduan esensial yang azālī dan abadi …”

Dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa konsideran eksistensi Sarwa alam adalah konsideran eksistensi semu. Semu dalam arti yang bukan illusi melainkan semu dalam pengertian bahwa ia adalah kategori eksistensi in potensi yang membutuhkan yang lain selain dari dirinya dalam konteks mengalihkannya dari potensial menjadi aktual. Dan pengalihan tersebut adalah pengalihan yang selalu dan melulu tanpa henti (i.e., dari tiada menjadi ada, kemudian kembali tiada, lalu menjadi ada, dan seterusnya… selamanya). Bahkan Sarwa alam dapat dikonsiderasikan sebagai realitas kaitannya dengan “pengalihannya” atau pembaharuannya yang terus-menerus. Artinya, pada momen transitnya menjadi ada itulah realitasnya. Perhatikan ilustrasi berikut:

tiada
dan seterusnya silih berganti tanpa

ada 2 durasi waktu mengantarainya

Jā’iz al-wujūd

(in potensia)

Ilustrasi di atas seolah-olah menunjukkan adanya interval waktu yang mengantarai peralihan in potensi dari tiada menjadi ada, dan kembali menjadi tiada lalu ada dan seterusnya, padahal peralihan tersebut ibarat sebuah koin yang memiliki 2 muka yang berbeda: yang satu memiliki warna putih, yang dianalogikan sebagai ke-ada-an, dan yang satunya berwarna hitam yang dianalogikan sebagai ke-tiada-an.

Jadi, status ontologi sesungguhnya dari apa yang diistilahkan sebagai Sarwa alam itu adalah ada-dan-tiada secara berterusan. Dan dengan ke-berterusan-an tersebut (i.e., pada momen transitnya menjadi ada) ia “nampak” selolah-olah “tetap” subsis pada momen itu (i.e., menjadi ada “tanpa” kembali menjadi tiada).

Frasa nampak seolah-olah di sini berarti bukan sesungguhnya. Dan sesuatu yang menampakkan hal yang bukan sesungguhnya inilah yang dimaksud dengan majāzī atau metaphor, sebagaimana jika dikatakan bahwa Ḥamzah adalah Singa Allah (Asadullāh) sebagai metaphor atau kiasan atas keberanian Ḥamzah r.a. Jadi, kualifikasi eksistensi Sarwa alam (konsiderannya sebagai eksistensi metaphor (wujūd majāzī) adalah kualifikasi kiasan atau metaphor.

Berkaitan dengan status Sarwa alam ini, al-Makassarī menulis:

“… انه عدم يترائي وانه يظهر بصورة الوجود وليس له وجود حقيقة وانما وجوده كلا وجود … انما هو عدم يظهر بصورة الوجود …”

“… [Sarwa alam] sesungguhnya adalah wujud yang tiada tetapi dapat disaksikan, ia jelas nampak dalam bentuk wujudnya (i.e., eksistensi), padahal sesungguhnya ia tidak memiliki wujud itu secara hakiki, bahkan kualifikasi wujud yang dimilikinya tersebut bukanlah wujud yang sesungguhnya … tetapi ketiadaan yang nampak atau terzahir dalam bentuk wujud…”[69]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Perlu diingat bahwa terma وحدة الوجود yang penulis terjemahkan sebagai “kesatuah wujūd” adalah istilah yang tidak pernah digunakan oleh Ibn ‘Arabī. Nampaknya, istilah ini digunakan untuk pertama kalinya oleh Ṣadr al-Dīn al-Kunāwī, salah seorang murīd dan expositor Ibn ‘Arabī. Untuk sejarah penggunaan istilah وحدة الوجود yang kemudian melekat pada sosok Ibn ‘Arabī ini, lihat William W. Chittick, “Rūmi and Waḥdat al-Wujūd,” dalam Amin Banani, Richard G Hocannisian, dan Georges Sabagh, eds., Poetry and Mysticism in Islam: the Heritage of Rūmī (New York: Cambridge Univ. Press, 1994).

[2] Lihat misalnya pernyataan H. Harifuddin Cawidu, “Dimensi Moral dalam Ajaran-ajaran Syekh Yusuf Taj al-Khalwaty al-Makassari” dalam 300 Tahun Pendaratan Syekh Yusuf di Afrika Selatan, 70: “Pernyataan-pernayataan Syeikh Yusuf dalam berbagai karya tulisnya menunjukkan adanya usaha mempertegas faham kesunniannya meskipun bila dianalisis lebih jauh mengandung secara tersirat corak tasawuf yang tidak diterima oleh, bahkan dikutuk dalam dunia sunni.”

[3] Lihat al-Makassarī, “al-Nafḥah al-Saylāniyyah fī al-Minḥah al-Raḥmāniyyah” dalam Yusuf Makassar, 50. Bandingkan Al-Makassarī, “Taḥṣīl al-‘Ināyah wa al-Hidāyah” dalam MS. Jakarta, PNRI., NA-108, 114-115.

[4] Secara detail dibahas dalam S. M. N. al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fanṣūrī (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). Berikutnya dikutip Mysticism of Hamzah.

[5] Perlu untuk dicatat, bahwa para pemikir dan ‘ulamā, sejak dahulu sampai sekarang, memiliki sudut pandang serta sikap yang berbeda-beda terhadap taṣawwuf –perbedaan mereka yang menemukan klimaks pada perbedaan pandangan mengenai taṣawwuf yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabī yang inti ajarannya adalah kesatuan wujūd. Sebahagian mereka memuji dan melihat Ibn ‘Arabī sebagai sosok yang agung lagi suci bak walī, sehingga melakukan pembelaan terhadap ajaran dan doktrinnya, seperti yang dilakukan oleh al-Imām al-Sya‘rānī –menyebut sebahagiannya, yang menulis al-Yawāqīt wa al-Jawāhir fī Bayān ‘Aqāid al-Akbar untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabī, dan al-Imām al-Suyūṭī yang menulis Tanbīh al-Ghābi fī Tabri’at Ibn ‘Arabī sebagai ungkapan kekaguman serta pembelaan terhadap Ibn ‘Arabī; sebahagian mengkritik dan menganggapnya sebagai sosok sesat dan menyesatkan bak syetan, sehingga melakukan penghujatan, seperti yang dilakukan oleh ‘Abbās al-‘Azawī dan ‘Abd al-Raḥmān al-Wakīl; dan sebahagian lagi bersifat netral (i.e. pada suatu sisi mengkaitkan Ibn ‘Arabī dengan pemikiran Ibn Sab‘in yang sesat, tetapi pada sisi lain menganggap Ibn ‘Arabī sebagai tokoh yang konsisten pada pendapatnya mengenai transendensi Tuhan), seperti Ibn Taymiya. Lihat Islam Sufistik, 76-77 dan 132-133, passim.

Menurut hemat penulis, penghujatan itu terjadi karena adanya pemahaman yang tidak konprehensif, tetapi bersifat parsial, terhadap doktrin kesatuan wujūd Ibn ‘Arabī, misalnya dengan melakukan inference pada sebuah pernyataan dengan mengatakan –sifatnya menuduh, bahwa “Ibn ‘Arabi meyakini eternalitas (qadīm) dunia phenomenal atau semesta alam” berdasarkan pada pernyataan Ibn ‘Arabī yang mengkaitkan alam phenomenal dengan Arketip Permanen yang pada status ontologinya “bersituasi” dalam kesadaran dan ilmu Allah yang eternal. Padahal, jika dipahami secara menyeluruh, pernyataan tersebut tidak menghendaki adanya inference sedemikian (i.e., inference eternalitas alam phenomenal karena eternlnya ilmu Allah yang juga eternal berdasarkan inference pada keeternalan Dhāt al-Ḥaq), oleh karena, ilmu Allah berbeda dengan alam phenomenal. Bahkan Ibn ‘Arabī –karena keterbatasan bahasa lisān– menyebut status Arketip Permanen ini dengan ekspressi “tidak eternal,” sekaligus ”tidak baharu” atau ”eternal” sekaligus ”baharu.” atau meminjam bahasa Izutsu: “… thus one is forced to resort, as Ibn ‘Arabī actually does, to a clumsy expression, like ‘it is neither eternal nor temporal,’ but it is, on the other hand, ‘both eternal and termporal.’ If from the whole of this complex expression we pick up only the phrase, ‘(it is) eternal’ and draw from it the conclusion that Ibn ‘Arabī maintained the doktrin of the eternity of the world, we would be doing him gross injustice. Lihat Toshiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press), 163. Berikutnya diringkas Sufism and Taoism.

Kesimpulan al-Attas dalam S. M. N. al-Attas, The Positve Aspect of Taṣawwuf (Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd., 1981), 2, menyebutkan bahwa kontroversi di seputar doktrin waḥdat al-wujūd yang berkepanjangan adalah akibat dari kesalah fahaman atas doktrin itu sendiri: “ … Suffice it for me to say here that Ibn ‘Arabī and his concept of waḥdat al-wujūd have been misunderstood by many people. Properly undersood, however, waḥdat al-wujūd represents the true metaphysical system encompassing the ontological, cosmological and psychological domains in the Islamic vision of reality and truth.”

[6] Lihat pembahasan mengenai kontroversi doktrin waḥdat al-wujūd vs waḥdat al-syuhūd dalam M. A. H. Ansari, Sufism and Shari’ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism (Kuala Lumpr: Islamic Foundation, 1986).

[7] Lihat al-Makassarī, “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī wa al-Minḥat al-Sālik al-Muhtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45. Karya al-Makassarī ini selanjutnya disebut sebagai al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī.

[8] Dua karya berbahasa Bugis, yaitu Qawā’id al-‘Aqāid dan Tauḥīd al-Khāliṣ, yang telah diidentifikasi sebagai karaya al-Makassarī, juga merupakan eksposisi mengenai tahapan-tahapan eksistensi. Lihat secara berurt Koleksi Manuskrip Bugis, MS Jakarta, PNRI, VT23, 177-193 dan 230-244. Selanjutnya, karya yang pertama akan diringkas Qawā’id, sedangkan yang terakhir diringkas Tauḥīd.

[9] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 64.

[10] Dalam tulisan ini, terma-terma makhlūqāt, maujūdāt, mā siwā Allāh akan digunakan silih-berganti dengan pengertian yang tidak berbeda, yaitu untuk menunjuk kepada suatu eksistensi yang relatif sebagai antonim dari eksistensi mutlak atau absolut.

[11] Wājib al-wujūd adalah salah satu dari tiga kategori eksistensi, 2 yang lainnya adalah mustaḥīl al-wujūd dan mumkin al-wujūd. Wājib al-wujūd adalah eksistensi yang tidak dapat dipikirkan “ketiadaannya;” sedangkan mustaḥīl al-wujūd adalah eksistensi yang tidak dapat dipikirkan “keberadaannya;” dan mumkin al-wujūd adalah eksistensi yang dapat dipikirkan “ketiadaan dan keberadaanya.” Nampaknya al-Makassarī merujuk kategori eksistensi wājib al-wujūd dengan menggunakan terma al-wujūd al-maḥḍ dan al-wujūd al-muṭlaq; sedangkan eksistensi mustaḥīl al-wujūd dengan al-‘adam al-maḥḍ dan al-‘adam al-muṭlaq; dan mumkin al-wujūd ia equivalensikan dengan terma al-wujūd al-‘ām dan al-wujūd al-iḍāfī dan al-wujūd al-mafāḍ. Lihat secara passim “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 64-71; bandingkan terma-terma “wājib al-wujūd,” ”al-mumtani‘ bi al-dhāt” dan ”al-mumkin bi al- dhāt” dalam Sayyid Syarīf ‘Alī bin Muḥammad bin ‘Alī al-Zain Abī al-Ḥasan al-Ḥusynī al-Jurjānī, al-Ta‘rifāt (Qāhirah: Dār al-Kitāb al-Miṣrī, 1990), 261 dan 242. Selanjutnya dirujuk sebagai al-Ta‘rifāt; dan Syeikh Ibrahim al-Bayjūrī, Syarh al-Sanusiyah (Jakarta: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.), 10-14, passim.

[12] Lihat Qawā’id, 177-179, passim. Bandingkan Mysticism of Hamzah, 68.

[13] Sufism and Taoism, 159

[14] Lihat al-Makassarī ”Kayfiyyat al-Manfiy wa al-Itsbāt” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 101.

[15] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 96.

[16] Lihat secara berurut dalam: Sufism and Taoism, 152-158; ‘Abd al-Karīm al-Jīlī, al-Insān al-Kāmil: Fī Ma‘rifat al-Awākhir wa al-Awā’il, 2 jilid (Beirut: Dār al-Fikr, 1975), 1:21-73.

[17] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 20-22.

[18] Lihat secara passim dalam “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 12-14 dan 52-58.

[19] S. M. N. al-Attas, The Degree of Existence (Kuala Lumpur: ISTAC, 1994), 3. Seterusnya dirujuk sebagai Degree of Existence.

[20] Lihat secara passim “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 12-14

[21] Menurut Ibn ‘Arabī “الله” adalah Nama yang meliputi segala Nama-nama Terindah Tuhan. Lihat Su‘ād al-Ḥakīm, al-Mu‘jam al-Ṣūfī: al-Ḥikmah fī Ḥudūd al-Kalimah (Beyrut: Dandarah, 1981), 79. Selanjutnya diringkas al-Mu‘jam al-Ṣūfī.

[22] Al-Mu‘jam al-Ṣūfī, 1120.

[23] Lihat Al-Makassarī, “Fatḥ al-Raḥmān bi Sharḥ Risālat al-Walī Raslān” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 21.

[24] Dikutip oleh J. S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam (New York: Oxford University Press, 1971), 139. Seterusnya akan disebut sebagai Sufi Orders. Bandingkan Hamzah Fanṣūrī “Asrār al-‘Ārifīn fī Bayān ‘Ilm al-Sulūk wa al-Tauḥīd” dalam Mysticism of Hamzah, 243:

Dahulu Allah dan tiada suatu serta-Nya pun; … Ia sekarang pun seperti dahulu juga; … Mahasuchi Allah tiada dapat diperikan; … Ma‘rifat itu bukan ma ‘rifat Dhāt, tetapi keadaan Dhāt dengan peri-Nya juga. Sebab inilah maka kata Ahl al-Sulūk Dhāt dengan keadaan-Nya esa. Tetapi yang kunhī-Nya, Dhāt itu tiada siapa datang kesana. Jangankan ‘awam, walī dan nabī dan mala‘ikat al-muqarrabīn pun tiada ke sana.

[25] Lengkapnya berbunyi: “ كان الله ولم يكن شئ غيره وكان عرشه على الماء وكتب فى الذكر كل شئ وخلق السماوات والارض.” Hadits riwayat Imām al-Bukhārī dari ‘Umar bin Ḥafṣ ini dikutip dalam Ibn ‘Asākir al-Dimasyqī, Tabyin Kadhib al-Muftarī fīmā Nusiba ilā al-Imām Abī al-Ḥasan al-Asy‘arī (Damasqus: Dār al-Fikr, tt.), 66. Versi lain dari ungkapan mengenai kondisi dhāt yang terisolasi dalam ke-Dia-an yang tersendiri ini, sebagaimana al-Makassarī mengutip al-Junayd al-Baghdādī berkata: كان الله ولا شئ معه وهو الآن علىى ما عليه كان  . lihat al-Makassarī, “Zubat al-Asrār fī Taḥqīq Ba‘d Masyārib al-Akhyār” dalam Menyingkap Intisari, 116. Karya al-Makassarī ini seterusnya disingkat sebagai Zubat al-Asrār.

[26] Diterjemahkan begitu karena tak satupun dari aspek-aspek Allah yang bertentangan. Mengutip al-Attas: “… these aspects are harmonized within the Ultimate Reality, whose inwardness is identical with his outwardness”. Lihat Degree of Existence, 5.

[27] Lihat secara passim “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 16-19.

[28] The principle of ontological movement adalah Istilah yang digunakan oleh al-Attas untuk menggambarkan tingkat-tingkat atau tahapan mainfestasi Allah atau ta‘ayyunāt. Lihat Degree of Existence, 5.

[29] Dikutip dalam Degree of Existence, 4. Bandingkan S. M. N. al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 82. Dalam komentarnya, Ibn Taymiyah mengatakan bahwa ḥadiīts qudsī ini tidak ditemukan (maurīd) secara naqlī, sehingga tidak dapat diberi “hukum” ṣaḥīḥ atau tidak (ولايعرف له سند صحيح ولا ضعيف). Meskipun demikian, bahwa para ṣūfī mengakui ketidak-warīd-an ḥadiīts tersebut secara naqlī (mu‘tarifun bi ‘adami tsubūthī naqlan), akan tetapi, mereka, khususnya, Ibn ‘Arabī begitu juga dengan Sa‘duddīn al-Farghānī menegaskan ke-warīd-annya melalui jalan ‘irfānī atau melalui intuisi (innahū tsābitun kasyfan). Lihat detailnya dalam Abū al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Maḥmūd al-Alūsī, Ruḥ al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur‘ān wa al-Sab‘i al-Matsānī, 15 jilid (Beirut: Dār al-Fikr, 1987), 14:21-22. Lihat penjelasan mengenai keabsahan intuisi sebagai salah satu sumber ilmu dalam Islam dalam S. M. N. al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqā’id of al-Nasafī (Kuala Lumpur: University of Malaya, 1988), 50. Bandingkan, Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī, A Commentary on the Creed of Islam, terj. Earl Edgar Elder (New York: Columbia University Press, 1950), 27.

[30] Lihat al-Ta‘rifāt. 201.

[31] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakart a, PNRI., NA-45, 90-108.

[32] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakart a, PNRI., NA-45, 35-36.

[33] Bandingkan Mysticism of Hamzah, 69; S. M. N. al-Attas, A Commentary on the Ḥujjat al-Ṣiddīq of Nūr al-Dīn al-Rānīrī (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986), 157-159. Yang terakhir disebut selanjutnya dirujuk sebagai Commentary.

[34] Bandingkan Commentary, 158.

[35] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 24-29.

[36] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 88-89.

[37] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 98-99 dan 120-121. Di sini nampak dengan jelas bahwa pembahasan al-Makassarī mengenai tahapan-tahapan eksistensi sangat dipengaruhi oleh Ibn ‘Arabī, meski yang terakhir disebut ini, sebagaimana ia dikenal, sangat detail dan presisi dalam setiap ungkapannya. Ibn ‘Arabī mendiskusikan hal ini dengan berusaha membedakan antara dua bentuk manifestasi Sang Riil yakni al-Fayḍ al-Aqdas dan al-Fayḍ al-Muqaddas. Al-Fayḍ al-Aqdas adalah terma yang digunakan oleh Ibn ‘Arabī untuk menjelaskan manifestasi-manifestasi al-Ghayb (tajallī ghayb); sedangkan al-Fayḍ al-Muqaddas digunakan sebagai penjelasan manifestasi-manifestasi al-Syahādah (tajallī syahādah). Tajallī ghayb dimaksudkan sebagai manifestasi Dhāt kepada Diri-Nya sendiri yang tiada lain adalah al-Waḥdah dan al-Wāḥidiyah yang subsis secara permanen (baqā) dalam keazaliannya; sedangkan tajallī syahādah adalah manifestasi Dhāt kepada selain Diri-Nya (al-‘ālam = mā siwā Allāh) yang tiada lain adalah “perintah” Allah kepada al-A‘yān al-Tsābitah untuk menerima perwujudan dari-Nya yang teraktualisasi melalui ciptaan-ciptaan. Lihat al-Mu‘jam al-Ṣūfī, 889-890.

[38] Bandingkan al-Mu ‘jam al-Ṣūfī, 832, di mana Ibn ‘Arabī menjelaskan Permanen Arketip ini sebagi asal-usul segala yang maujūd:  “والذى له الاثر فى كل موجود بل هو اصل الموجودات”; Degrees of Existence, 12, di mana al-Attas mengatakan: “…they are realities… original realities of things whose future states are to be actualized at the lower degrees of the ontological levels.

[39] Al-Attas menyebut aspek luar dari al-Waḥdah ini sebagai the center of infinite possibilities of determinations and the source of creative activity and the principle of diversity. Lihat Degrees of Existence, 6.

[40] Dalam penulisan sub-bab ini, terma-terma seperti al-Wāḥidiyah” atau “al-Māhiyāt” dan “al-Ḥaqā’iq” tidak digunakan, akan tetapi penulis memilih terma al-A‘yān al-Tsābitah untuk merujuk tahapan eksistensi kedua.

[41] Lihat al-Makassarī, “Risālah fī Ghāyat al-Ikhtiṣār wa Nihāyat al-Inẓār” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 121. Selanjutnya diringkas Ghāyat al-Ikhtiṣār.

[42] Lihat Ghāyat al-Ikhtiṣār, 121.

[43] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 124.

[44] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 125.

[45] Kualifikasi eksistensi Arketip Permanen ini dianalogikan Ibn ‘Arabī persis sama dengan “konsep-konsep” yang eksis dalam pikiran manusia (consepts in the human mind), lihat Sufism and Taoism, 161.

[46] Al-Makassarī membagi kategori “tiada” (al-‘adam) ke dalam 2 kategori: (1) al-‘adam al-mumkin, dan (2) al-‘adam al-mustaḥīl. Yang pertama adalah ke-tiada-an yang bersandar (al-i‘dām al-muḍāfah) yang berarti ketiadaan yang selalu dalam kesiapan menerima sinaran perwujudan dari Sang Riil, seperti Permanen Arketip; sedangkan yang kedua adalah ke-tiada-an yang mutlak (al-i‘dām al-muṭlaq) yang berarti ketiadaan yang tiada menerima sinaran perwujudan selamanya sejak azālī, seperti ke“serupa”an Allah (syarīk Allāh). Lihat, “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 69-71.

[47] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 123.

[48] Lihat al-Makassarī, “al-A‘yān al-Tsābitah” MS Jakarta, PNRI., NA-108, 252-255.

[49] Ghāyat al-Ikhtiṣār, 121-124, passim.

[50] Menarik untuk dicatat bahwa al-asyyā’ (sing. al-syay’), al-makhlūqāt (sing. al-makhlūq) dan al-kā’ināt (sing. al-kawn), yang diterjemahkan dengan Sarwa alam, adalah terma-terma yang dengan sendirinya memberi petunjuk adanya “keterlibatan” Sang Riil. Dengan menyebut al-asyyā’, misalnya, maka pikiran akan tertuju pada sifat “Kehendak” Sang Riil (masyīat Allāh); dengan menyebut al-makhlūqāt, maka pikiran akan tertuju pada Sang “Pencipta” (al-khāliq); dan dengan menyebut al-kā’ināt, maka pikiran akan tertuju pada Sang Pemilik Titah “kun” yakni dengan ucapan tersebut, maka “menjadilah” ia (al-kā’ināt).

[51] Maj‘ūlah secara literal berarti dijadikan atau sesuatu yang dijadikan. Sesuatu yang dijadikan dapat dipahami dalam 2 perspektif: (1) dijadikan dari tiada menjadi ada, dan (2) dijadikan dari ada menjadi ada. Prasa “dari tiada” dalam perspektif pertama, berarti bahwa sesuatu tersebut, dari sudut pandang esensi dirinya, tidak memiliki konsideran eksistensi; sedangkan prasa “dari ada” dalam perspektif kedua, berarti bahwa sesuatu tersebut, dari sudut pandang relasinya dengan Arketip Permanen, memiliki konsideran eksistensi. Nah, sesuatu yang dijadikan (i.e., baik dari tiada kemudian menjadi ada, maupun dari ada kemudain menjadi ada), akan selalu dan selamanya terikat dengan ruang dan waktu.

[52] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 53-60.

[53] Perlu dicatat, bahwa pada tataran ontologi, antara Sang Riil dengan Manifestasi Diri (tajallī dhātī) tidak menemukan adanya perbedaan prioritas-apriortas (i.e., dahulu-mendahului) dalam konteks waktu. Perbedaan tersebut muncul semata-mata sebagai hukum logika yang tidak memiliki korepondensi eksistensi dunia luar kecuali hanya dalam pikiran manusia.

[54] Lihat “al-Tuḥfat al-Ṭālib al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-45, 66-67.

[55] Lihat secara passim, Samuel Enoch Stumpf, Philosophy: History and Problems, cet. 5 (New York: McGraw-Hill, 1994), 125-129.

[56] Perlu untuk dicatat, bahwa sejauh penelusuran kita mengenai sistem filsafat metafisika yang dikembangkannya, al-Makassarī pada hakikatnya tidak memiliki sistem emanasi-emanasi dalam konteks Plotinusme dan neo-Platonisme, melainkan manifestasi-manifestasi (tajalliyāt), yang ia konotasikan dengan diterminasi-diterminasi (ta‘ayyunāt) atau desenden-desenden (tanazzulāt), Sang Riil dalam berbagai tahapan-tahapan penzahiran (ẓuhūr, sing. ẓāhir).

[57] Al-Makassarī, “Zubdat al-Asrār” dalam Menyingkap Intisari, 110. Bandingkan Ibn ‘Arabī dalam al-Mu‘jam al-Ṣūfī, 258: “sesungguhnya Sarwa alam tiada lain adalah manifestasi Sang Riil yang tereksternalisasi dari Arketip Permanen yang merupakan form atau dasarnya…

[58] Al-Makassarī, “Zubdat al-Asrār” dalam Menyingkap Intisari, 110.

[59] Al-Makassarī, “Kayfiyyat al-Manfiy wa al-Itsbāt bi Ḥadīts al-Qudsī,” dalam MS Jakarta, PNRI, NA-108, 106.

[60] Al-Makassarī, “Bidāyat al-Mubtadī” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 461.

[61] Lihat Ghāyat al-Ikhtiṣār, 124-25.

[62] Lihat Degree of Existence, 22-23, passim.

[63] Bandingkan “Tuḥfat al-Abrār li Ahl al-Asrār” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-101, 107.

[64] Lihat “Risālah fī Ghāyat al-Ikhtiṣār wa Nihāyat al-Inẓār” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 125-26.

[65] Lihat al-Makassarī ”Kayfiyyat al-Manfiy wa al-Itsbāt” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-108, 101.

[66] Lihat “al-Nafḥah al-Saylāniyah” dalam Yusuf Makassar, 68.

[67] Lihat definisi al-Makassarī mengenai kategori eksistensi ini dalam “Mir’at al-Muḥaqqiqīn” dalam MS Jakarta, PNRI., NA-101, 145.

[68] Untuk pembahasan komprehensif mengenai konsep penciptaan yang tiada henti (khalq jadīd), lihat Degree of Existence, 27-30.

[69] Lihat “al-Nafḥah al-Saylāniyah” dalam Yusuf Makassar, 68.


Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran

$
0
0

Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran

15 Juni 2017

Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran (Bag. 1)Kapal berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa Tulisan ini terbagi dan bersambung dalam tiga tulisan. Tajuknya diawali dengan “Perebutan Sunda Kelapa” agar mudah dicari. Selamat membaca. Pelabuhan Sunda Kelapa di utara Jakarta ibarat sebuah awal dan akhir, tergantung bagi siapa yang mengalaminya. Pelabuhan ini terletak di akhir sebuah Sungai bernama Ciliwung dan menjadi awal perjalanan dan penjelajahan lintas samudera.   Kejatuhannya ke tangan pasukan gabungan Demak Cirebon pimpinan Fatahillah pada 22 Juni 1527 menjadi awal cikal bakal berkembangnya sebuah kota metropolitan yang berganti nama dari Kalapa, menjadi Jayakarta, lantas Batavia sebelum kita kenal menjadi Jakarta.

 

Di sisi lain, kejatuhannya adalah akhir dari penguasaan terhadap pelabuhan dagang oleh Kerajaan Pakuan Pajajaran. Prosesnya meliputi peran banyak pihak, termasuk Kerajaan Pakuan Pajajaran, Portugis, Demak, Cirebon dan Banten.  Penyebabnya macam-macam, antara kepentingan dagang, keamanan, perluasan wilayah dan penaklukkan serta penyebaran agama. Setelah abai dan nyaris buta sejarah selama berbelas tahun, saya menemukan keasyikan baru untuk membaca dan mempelajari narasi sejarah. Dari berbagai penelusuran literatur, seringkali kepingan narasinya bikin terkejut, karena ternyata saling berhubungan.   Misalnya, saya baru tahu kalau Pangeran Cakrabuana dari Cirebon, ternyata adalah Walasungsang, putera pertama Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran dari istrinya bernama Subanglarang. Saya juga baru tahu kalau Syarif Hidayatullah ternyata adalah cucu Prabu Siliwangi. Ini hasil pernikahan Nyai Larasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Atau Fatahillah ternyata menantu, baik dari Sunan Gunung Jati (Cirebon) dan Raden Patah (Demak).  Tulisan ini bermaksud untuk menyederhanakan berbagai literatur yang dibaca mengenai Kerajaan Pakuan Pajajaran. Terutama untuk kaitannya dengan Cirebon, Demak, Portugis dan perebutan Pelabuhan Sunda Kelapa. (di berbagai literatur menyebutkan “Kalapa”, tetapi karena yang dimaksud “Kalapa” sama dengan “Kelapa”, saya menggunakan “Kelapa” jika menuliskan Sunda Kelapa dalam tulisan ini).

Meskipun pembahasannya akan dilakukan dalam tiga tulisan, tentu saja tidak semua detilnya bisa dijabarkan dan dibahas di sini. Karena itu, mari sama-sama mencari tahu dan menggali kembali narasi sejarah ini. Referensinya ada di akhir tulisan ini. Prasasti Batutulis di depan Istana Batutulis, Bogor. Pakuan Pajajaran dan Cirebon: Kisah Dua Putra Mahkota Kerajaan Pakuan Pajajaran, kerajaan berumur 222 tahun (1357-1579), diduga berpusat di Batutulis, Bogor sejak masa pemerintahan Prabu Siliwangi selama hampir 4 dasawarsa (1482-1521). Pada masa itu, tokoh-tokoh raja maupun adipati atau panglima memiliki banyak nama dan gelar. Karenanya kadang membingungkan. Misalnya, Prabu Siliwangi. Beliau juga dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata atau Ratu Jayadewata  (Danasasmita, 2003, hal 40,  2014, hal 41). Setelah beliau wafat, gelar lainnya yaitu Prabu Guru Dewataprana dan Prabu Ratu (Suryani, 2009).

Prasasti Batutulis di depan Istana Batutulis, Bogor.

Untuk konsistensi, tulisan ini selanjutnya akan menggunakan nama Prabu Siliwangi. Lebih jauh tentang Prabu Siliwangi, silahkan melihat tulisan: Napak Tilas dan Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi) Jejak kebesaran Prabu Siliwangi dituliskan oleh Prabu Surawisesa (1521-1535), puteranya yang menggantikan beliau, dalam Prasasti Batutulis, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1533. Dan disinilah cabangan yang menarik untuk disimak. Prabu Surawisesa, Putra Mayang Sunda Prabu Surawisesa (1521-1535) adalah anak Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama Mayang Sunda. Kisahnya disebut dan dipuji dalam Carita Parahiyangan. Bagaimana tidak? Selama 14 tahun memerintah, Prabu Surawisesa harus menghadapi 15 kali pertempuran!. Parit pelindung kerajaan Pakuan Pajajaran yang dibangun dengan kebijaksanaan memanfaatkan bentang alam, sangat membantu dalam menahan serangan lawan ke kerajaan,hingga saat terakhir kerajaan besar ini runtuh diserang Banten pada tahun 1579.

Prabu Surawisesa juga disebutkan dalam dokumen Portugis dan Negara Kretabhumi. Ia diutus ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk menemuiAlfonso d’Albuquerque di Malaka, dimana ia disebut sebagai Ratu Sangiang. Beliau mengunjungi Malaka dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521. Kunjungan pertama adalah sebagai penjajakan terhadap pihak Portugis dengan  4 buah kapal, yang nantinya akan diikuti oleh Tome Pires (1513). Kunjungan kedua menghasilkan kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke ibu kota Pakuan yang berjarak “dua hari berjalan kaki dari Kalapa”. Kunjungan ini menghasilkan perjanjian dagang dan keamanan yang menurut Soekanto (1956), ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Ini adalah perjanjian internasional pertama di nusantara. Kita tinggalkan sejenak peran Portugis di sini, yang akan dibahas dalam tulisan lain.

Kita akan kembali ke pangeran di Cirebon yang juga merupakan putera Prabu Siliwangi. Putra Putri Subanglarang Naskah Purwaka Caruban menyebutkan Prabu Siliwangi menikahi Subanglarang di Singapura pada tahun 1522 (hal 79). Dari Subanglarang, beliau memiliki tiga orang anak: Walasungsang (Pangeran Cakrabuana): lahir 1423 Larasantang: lahir 1426 (perempuan) Rajasangara: lahir 1428 Subanglarang meninggal di Pakuan pada 1441. Setahun setelahnya (1442), Walasungsang meninggalkan istana, diperkirakan pada umur 19 tahun. Kepergiannya diikuti juga oleh adiknya, Larasantang. Berbagai literatur menyebutkan bahwa permaisuri Subanglarang dan para puteranya menganut agama Islam. Keputusan para pangeran ini meninggalkan istana Pakuan Pajajaran disebutkan karena mereka menolak agama yang dianut ayahnya (Prabu Siliwangi), dan ingin belajar lebih dalam tentang agama Islam.

Prabu Siliwangi juga disebutkan tidak menentang atau menolak agama yang relatif baru dikenal di kerajaannya tersebut. Danasasmita (2014) menyebutkan bahwa Cirebon adalah daerah warisan Walasungsang dari Ki Gedeng Tapa, ayah Subanglarang. Walansungsangyang dikenal juga sebagai Pangeran Cakrabuana telah dinobatkan oleh Prabu Siliwangi sebagai Susuhunan (penguasa) Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Belakangan, terjadi ketegangan-ketegangan antara kerajaan Pakuan Pajajaran dan Cirebon. Selain itu, tekanan perluasan wilayah dari Demak dan Banten serta penyebaran agama Islam, menjadi salah satu pemicu alasan Prabu Siliwangi untuk mengutus puteranya, Prabu Surawisesa menemui Portugis. Dari sini terjadilah perjanjian dagang dan keamanan antara dua belah pihak. Perjanjian ini membuat Sultan Trenggana (1504-1546) dari Demak sangat gelisah. Kegelisahan Sultan Trenggana yang masa hidupnya sezaman dengan Prabu Surawisesa ini sangat beralasan. Jika Portugis menguasai Selat Malaka dan Pakuan Pajajaran menguasai Selat Sunda, dibantu oleh Portugis, maka nasib Demak yang bergantung pada perdagangan laut sama saja dengan di ujung tanduk.  Karena itu hal ini perlu strategi perlawanan.

Perebutan Sunda Kelapa: Awal Ketegangan (Bag 2)

Ada dua jenis musuh. Musuh ganyal (nyata) dan musuh alit (halus). Musuh ganyal kelihatan dan mudah dilawan.  Sebaliknya, musuh alit tidak kelihatan, berbentuk ideologi baru, cuma bisa diatasi dengan cara meningkatkan kecerdasan rakyat” Prabu Siliwangi (1482-1521), Carita Parahyangan. Di Proceeding Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, 11-13 November 1991, hal 38, 151. Tulisan ke-dua dari tiga tulisan.

Tulisan “Perebutan Sunda Kelapa: Kisah Para Pangeran Pakuan Pajajaran dari Dua Permaisuri” telah membahas sekilas tentang para pangeran dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini sebagai sedikit latar belakang untuk menunjukkan cikal bakal ketegangan yang terjadi pada masa itu, yang nantinya akan berujung pada perebutan pelabuhan Sunda Kelapa. Ketegangan Pakuan Pajajaran dan Cirebon Kita kembali sejenak kepada Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana di Cirebon. Beliau adalah putera Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran dari permaisurinya yang bernama Subanglarang. Literatur menyebutkan Subanglarang dan anak-anaknya memeluk agama Islam. Pangeran Walasungsang kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Cirebon. Ini disebut sebagai kerajaan Islam pertama di wilayah kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran.

Prabu Siliwangi, menurut berbagai literatur, tidaklah menentang agama yang dipeluk istri dan anak-anaknya itu, serta juga tidak menolak berdirinya kerajaan Islam.  Prabu Siliwangi menobatkan Pangeran Walasungsang sebagai Susuhunan (penguasa) Cirebon dengan gelarSri Mangana. Meskipun, tentu saja, kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana reaksi sesungguhnya Prabu Siliwangi pada saat itu.  Walasungsang dan adiknya, Nyai Larasantang naik haji ke Mekkah selama dua tahun. Nyai Larasantang mendapat gelar  Syarifah Mudha’im dan Walasungsang gelar Abdullah Iman setelah naik haji. Di sanalah, Nyai Larasantang bertemu dan menikah dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Mereka memiliki seorang anak bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 m (Tjandrasasmita, 2009,  hal 161). Ini bagian yang selama ini luput dari perhatian saya. Dengan kata lain, Syarif Hidayatullah merupakan cucu dari Prabu Siliwangi!.

Naskah Nagara Kretabhumi memberitakan pada tahun 1404 Saka (kurang jelas tahun berapa dalam masehi), Syarif Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang biasanya dan seharusnya dikirimkan ke kerajaan Pakuan Pajajaran setiap tahunnya. Lalu, Cirebon juga meminta bantuan pasukan angkatan laut Demak yang tangguh untuk berada di Cirebon. Hal ini tujuannya sebagai antisipasi jika Pasukan Pakuan Pajajaran menyerang. Syarif Hidayatullahadalah penguasa di Cirebon saat itu. Tetapi, kita dengan segera dapat mengetahui bahwa beliau memiliki dukungan penuh Pangeran Cakrabuana atau Walasungsang, yang juga dikenal sebagai Haji Abdullah Iman setelah naik haji. Prabu Siliwangi mengirimkan Tumenggung Jagabaya dengan 60 anggota pasukannya ke Cirebon. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa ada pasukan Demak di sana. Jagabaya dan pasukannya disergap oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon. Ia lalu diberitakan masuk Islam.

Ketika Prabu Siliwangi belakangan mendengar tentang hal ini, beliau sangat marah. Beliau segera mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Cirebon. Namun hal ini akhirnya dapat dicegah karena peran Ki Purwa Galih, pendeta tertinggi kerajaan (purohita).  Alasan lain batalnya penyerangan itu, bisa jadi karena Prabu Siliwangi masih mempertimbangkan keberadaan putera dan cucunya di Cirebon. Kuat di Darat, Lemah di Laut Meskipun demikian, Prabu Siliwangi tetap gelisah dengan adanya persekutuan Demak dan Cirebon serta mulai memikirkan langkah-langkah antisipasi. Sesungguhnya, kerajaan Pakuan Pajajaran adalah kerajaan kuat, terutama di darat. Portugis menuliskan setidaknya kerajaan ini memiliki 100.000 prajurit dan raja sendiri memiliki 40 ekor pasukan gajah. Namun, Pakuan Pajajaran tidaklah sekuat itu laut. Kerajaan ini hanya memiliki 6 junkdan lankaras yang tujuannya lebih kepada perdagangan antar pulau.  Pada jaman itu, kerajaan ini memiliki pelabuhan dagang di Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Karawang, Cimanuk dan pelabuhan internasional Sunda Kelapa.  Pelabuhan Sunda Kelapa digunakan untuk mengekspor lada dan beras ke negara-negara sahabatnya (Sunarto H & Viviane Sukanda Tessier, 1983, hal 15-16).

Cirebon sebenarnya tidaklah terlalu kuat dalam angkatan laut, tapi cukup terbantu dengan persekutuannya dengan Dema kyang  memiliki angkatan laut yang tangguh di masanya. Hal inilah yang tampaknya mendorong Prabu Siliwangi mengutus puteranya, Prabu Surawisesa untuk menemui utusan Portugis di Malaka pada tahun 1512 dan 1521. Pertemuan ini belakangan menghasilkan perjanjian internasional pertama di nusantara. Tugu peringatan Padrao ditanam di pantai sebagai tanda peringatan perjanjian. Dari berbagai literatur, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa Prabu Siliwangi beranggapan angkatan laut dan peralatan Portugis setidaknya dapat menahan, bahkan mengalahkan, serangan laut dari Demak Cirebon. Di masa Prabu Siliwangi, literatur tidak menyebutkan adanya perang antara Cirebon dan Pakuan Pajajaran.

Dugaannya adalah karena masih ada rasa hormat dan kesungkanan  para putera Prabu Siliwangi di Cirebon. Ketika Prabu Siliwangi wafat pada tahun 1521, situasinya menjadi amat berbeda.  Kesungkanan telah lenyap.  Kedua kerajaan ini menjadi sejajar dan mulai saling berhadapan. Cirebon dipimpin oleh Syarif Hidayatullah dengan dukungan Pangeran Walasungsang, Pakuan Pajajaran dipimpin oleh pangerannya, yaitu Prabu Surawisesa. Kedua pangeran ini satu ayah dari ibu yang berbeda.  Subanglarang adalah ibu dari Walasungsang, Larasantang dan Rajasangara. Sedangkan Mayang Sunda  adalah ibu Prabu Surawisesa. Masa pemerintahan Prabu Surawisesa selama 14 tahun (1521-1535) diguncang 15 kali pertempuran, termasuk pertempuran denan Cirebon selama 5 tahun (hal 85).

Belakangan, tahun 1531, Pakuan Pajajaran dan Cirebon menandatangani perjanjian damai dan menghentikan peperangan. Pada masa damai inilah Prabu Surawisesa memiliki waktu untuk kembali mengurusi negaranya, termasuk membuat Prasasti Batutulis (1533) untuk mengenang kebesaran ayahnya, Prabu Siliwangi. Tapi itu belakangan. Perjanjian damai itu sebelumnya diawali dengan pertempuran alot merebut pelabuhan Sunda Kelapa. Fatahillah, Demak dan Cirebon Ketika Banten berada di bawah kekuasaan Pajajaran, pusat pemerintahannya, termasuk Bupati Pajajaran saat itu berada di Banten Girang, yang sekarang terletak di Kampung Kala Dua dekat Kota Serang (Djajadiningrat, 1983, hal 124).

Sebelum menyerang Sunda Kelapa, strategi Syarif Hidayatullah adalah menyerang dan mengambil alih Banten terlebih dahulu. Strategi ini cukup jitu, karena Pakuan Pajajaran kehilangan salah satu pelabuhan pentingnya. Setiap mendengar tentang Sunda Kelapa, nama Fatahilah selalu ikut disebut. Ini tidak mengherankan, karena Fatahillah ikut merebut, bahkan memimpin serangan atas Banten pada tahun 1525-1526 dan setahun setelahnya (1527), Fatahillah bersama tentaranya dan bantuan Demak, merebut Sunda Kelapa dari Kerajaan Pajajaran dan memporakporandakan Portugis. Fatahillah dikenal juga dengan berbagai nama. Ia juga kerap disebut sebagai  Fadhillah Khan, Falatehan atau Ratu Bagus dari Pasei. Ayahnya adalah orang Arab dari Gujarat (India) yang pindah ke Pasei. Belakangan Pasei direbut oleh Portugis pada tahun 1521.

Sepulangnya Fatahillah dari Mekkah ke Jepara, ia disambut oleh Sultan Trenggana dari Demak. Fatahillah jelas membenci Portugis karena mereka menghancurkan pangkalan dan jaringan niaga orang Gujarat. Tahun 1526/1527, pasukan Demak yang dipimpin panglima Fatahillah berhasil mencegah pelaut Portugis mendarat di Kalapa. Karena jaringan pedagang Gujarat sudah cukup lama berada di Kalapa, maka mudah saja bagi Fatahillah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan kota ini. Ancaman Demak terhadap Pakuan Pajajaran tampak jelas dengan diambil alihnya Cirebon, Japura dan Losari ke dalam kekuasaan Demak.

Hubungan ini diperkokoh lagi dengan ikatan perkawinan. Fatahillah adalah menantu Syarif Hidayatullah  atau Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Ia menikahi Ratu Ayu, anak perempuan beliau. Selain itu, Fatahillah juga merupakan menantu dari Raden Patah dari Demak, karena ia menikahi Ratu Nyawa. Ratu Nyawa adalah janda dari Bratakelana, anak laki-laki Sunan Gunung Jati. Dari penjelasan ini, kita bisa melihat bagaimana ikatan perkawinan pada saat itu dapat memperkuat kekuasaan dan kerjasama kerajaan. Pati Unus, ipar Sultan Trenggana (1504-1546), pada tahun 1513 (tahun kedatangan Tome Pires ke Kerajaan Pakuan Pajajaran) sudah dua kali gagal menghalau Portugis dari Malaka. Karenanya beliau menyambut gembira Fatahillah yang diharapkan dapat membantunya mencegah Portugis membangun pangkalan kuat di pantai Jawa Barat bersama Kerajaan Pakuan Pajajaran. Adanya hubungan antara Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Portugis tentu saja membuat Demak gusar. Koalisi terbentuk antara Demak, Cirebon dan belakangan, Banten, setelah berhasil dikuasai Demak Cirebon. Tulisan lanjutannya dapat dilihat di:  Perebutan Sunda Kelapa: Pertarungan Dua Koalisi (Bag. 3)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/diella/perebutan-sunda-kelapa-awal-ketegangan-bagian-2_5946e641ff24053f613c1602

 

Tulisan terkait:

Jejak Prabu Siliwangi: Mencari Parit Pakuan Pajajaran Napak Tilas dan Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi Referensi: Danasasmita, 2014,

Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat Utama, Bandung Danasasmita, 2014,

Menelusuri Situs Prasasti Batutulis, Kiblat Utama Bandung Danasasmita, 2014,

Menelukan Kerajaan Sunda, Kiblat Utama Bandung Danasasmita, 2003,

Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Kiblat Utama Bandung Dienaputra, R. D. (2012).

Sunda, Sejarah, Budaya dan Politik. Abstrak. Heuken, 2016,

Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, Cipta Loka Caraka Hidayat, M. R. (2017).

Cirebon di bawah kekuasaan Mataram Tahun 1613-1705: Kajian historis mengenai hubungan politik, sosial dan agama (Bachelor’s thesis). Hidayat, 2008,

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan, Sundaislam Laffan, M. (2016).

Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka. Lubis, H. N. H. (2016).

Kerajaan Sunda. Abstrak. Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?, Irfan Teguh, 15 Maret 2017,

Tirto.co.id Muljana, S. (2005).

Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. Mumuh Muhsin, Z. (2012).

Kujang, Pajajaran, Dan Prabu Siliwangi. Abstrak. Syafi’ie, K. A., & Asli, U. P. L. Betawi dengan Kiprah Nasional dan Internasional. Tjandrasasmita,2009,

Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/diella/perebutan-sunda-kelapa-kisah-para-pangeran-pakuan-pajajaran-bag-1_5942ad191b578f57e57c0392


SUDAH SAATNYA BANGSA INDONESIA HARUS MELEK PANCASILA!!!

$
0
0

SUDAH SAATNYA BANGSA INDONESIA HARUS MELEK PANCASILA!!!

oleh: Hudojo Haripurnomo.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pidato membangun dunia kembali dimula sidang umum P.B.B September 1960, Bung Karno mengatakan: “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buda dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilanpuluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari penganut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan bebeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karateristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini”.

Dari kutipan tersebut diatas jelas bahwa Sila Pertama dari pancasila mencerminkan adanya budaya Pluralisme, dan budaya pluralisme inilah yang menjadi kunci dari persatuan bangsa Indonesia dalam mendirikan Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI).

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam sila yang kedua ini terkandung nilai-nilai: Pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala hak asasinya yang harus dihormati oleh siapapun; Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia.

3. Persatuan Indonesia- Nasionalisme.

Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan selama mempertahankan dan memberi kekuatan menjelang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya perjuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan membakar itu masih tetap menyala-nyala dan tetap memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia!. Akan tetapi nasionalisme Indonesia bukanlah Chauvinisme. Bangsa Indonesia sekali-kalai tidak menganggap dirinya lebih unggul dari bangsa-bangsa lain

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarataan/perwakilan” atau Demokrasi, demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari fitrah manusia, meskipun perlu diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondesi sosial yang khusus. Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia.

5. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Pada keadilan Sosial ini, dimaksud juga kemakmuran sosial, karena dua masalah ini tidak dapat dipisah-pisahkan.

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; ini tercantum pada paragraf ke-4 (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.

Melek Pancasila harus menggunakan prinsip-prinsip Pancasila tersebut diatas, untuk membentuk semangat suatu komunitas-nomunitas dalam masyarakat Indonesia yang beradab, menuju pada suatu masyarakat yang demokratis, adil dan makmur, bagi seluruh Rakyat Indonesia termasuk pada generasi-generasi bangsa yang berkelanjutan.

Sejak berkuasanya Orde Baru Pancasila telah dimodifikasi menjadi “Kesaktian Pancasila” yang digunakan sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pembantaian massal (Genosida) 1965-1966 oleh rezim militer fasis pimpinan jendral TNI AD Soeharto, sedangkan di era “reformasi”,  ideologi Negara Pancasila tidak mendepatkan perhatian secara khusus oleh rezim-rezim yang mengklaim dirinya sebagai rezim“Reformasi“ yang silih berganti. Dampaknya adalah sedikit demi sedikit bermunculanlah gerakan-gerakan konservatif, yang menggunakan “Topeng Pancasila”, tapi dalam perbuatannya menentang Pancasila. Ini tecermin dalam sikapnya mereka yang pengharaman pluralisme yang terkandung dalam jiwa Pancasila, yang merupakan kunci utama bagi persatuan bangsa Indonesia dalam suatu Negara Kesatuan Republik-Indonesia.

Semakin dalam kita mempelajari masalah-masalah utama tentang bagaimana terbentuknya Bangsa dan Tanah-air Indonesia, kita akan menyadari bahwa ia tak dapat dimengerti secara terpisah, dari keberadaaannya jutaan manusia-manusia yang menempati ribuan pulau-pulau, yang berderet-deret dari Sabang sampai Meraoke, yang bersatu padu dalam berjuang bersama-sama melawan penjajahan kolonialisme Belanda, adalah merupakan satu kesatuan. Masalah–masalah itu adalah merupakan masalah sistemik, artinya semuanya itu saling terkait dan tergantung satu sama lain.

Sebagai contoh misalnya:

  1. Menstabilkan populasi NKRI, hanya mungkin bila kemiskinan diseluruh NKRI dituntaskan.
  2. Kepunahan binatang dan spesis tumbuh-tumbuhan (pembakaran hutan-hutan), yang diganti dengan kebun-kebun Kelapa sawit, yang mono kultur, yang merusak ekosistem dalam skala besar-besaran akan berlanjut, selama NKRI terjerat utang luar negeri, yang bertumpuk-tumpuk.
  3. Kelangkaan sumber daya alam (kekayaan alam bumi Indonesia), karena telah tergadaikan dan terjual pada pihak asing, dan degradasi lingkungan, ditambah dengan pertambahan pesat populasi menimbulkan kerusakan komunitas-komunitas lokal, dalam bentuk kekerasan etnis, suku, agama, yang sudah menjadi ciri utama era orde baru dan era “reformasi” sekarang ini.
  4. Konflik keagamaan, kepercayaan, ideologi dll, hanya mungkin distabilkan bila masalah pluralisme di NKRI bisa di laksanakan sesuai dengan Pancasila 1 Juni 1945, UUD 45 naskah asli.
  5. Menstabilkan keadaan sosial, ekonomi dan politik di NKRI hanya mungkin jika di negeri ini bisa menegakkan supermasi hukum, dan TNI sudah benar-benar bisa bersifat profesional, sehingga tidak lagi melakukan keterlibatannya dalam politik, ekonomi, administrasi dan dunia usaha, dan keterlibatannya dalam partai-partai politik, terutama partai-partai politik yang beraliran Islam garis keras (wahabi, Ihwanul Muslimin dll).
  6. Gagasan-gagasan untuk memisahkan diri dari NKRI akan terus berlanjut jika staknasi dan demokrasi yang ambruladul, terus berkelanjutan, dan ditambah dengan semakin memaraknya budaya KKN di kalangan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, judikatif di kalangan birokrat-birokrat pemerintahan.

Akhirnya masalah–masalah tersebut di atas harus dilihat sebagai aspek-aspek yang berbeda dari krisis tunggal, yakni terutama adalah suatu krisis persepsi dalam menerima dan menanggapi hakekat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945, yaitu kemerdekaan penuh, demokrasi, harga diri dan jati diri sebagai bangsa yang mandiri dalam NKRI, UUD 45 naskah asli dan Pancasila 1 Juni 1945 seperti yang sudah diuraikan di atas.

Menurut pengamatan saya, krisis itu berasal dari fakta bahwa sebagian besar kita, dan khususnya lembaga-lembaga sosial kita yang besar, yaitu lembaga-lembaga politik (partai-partai politik), lembaga pemerinthan yaitu legislatif, eksekutif dan judikatif, kebudayaan, keagamaan, kemiliteran, kepolisian, kelompok–kelompok etnis, dan lembaga-lembaga sosial yang lainnya (ormas-ormas), masih mendukung konsep-konsep feodalisme, konservativisme, liberalisme, federalisme, kapitalisme, neloliberalisme, dan fasisme, yang berakar dari pandangan dunia yang sudah kedalu warso, yaitu pandangan dunia determintik-mekanistik (Cartesian), dalam menerima dan menanggapi persoalan terbentuknya bangsa dan tanah air Indonesia, yaitu terhadap motto “Bhineka tunggal Ika”, Pancasila 1 Juni 1945, dan UUD 45 naskah asli.

Sebagai contoh misalnya: Pandangan kuno itu tercermin dalam menerima dan menaggapi terjadinya suatu bangsa, yang megatakan bahwa: Syarat terjadinya suatu bangsa adalah “le désir d`etre ensamble” yaitu kehendak akan bersatu; Jadi bangsa, adalah gerombolan manusia-manusia yang mau bersatu, dan merasa dirinya bersatu, demikialah pandangan Ernes Renan ( 1823-1892). Atau Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persamaan nasib. Demikian menurut pandangan Otto Bauer (1881-1892), yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “Die Nationalitäten frage“, dikatakan bahwa “Ein Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft“ (“Suatu bangsa adalah merupakan persatuan dari komunitas orang dewasa yang menpunyai besamaan karakter dan nasib.”).

Dua pandangan tersebut adalah merupakan sebuah persepsi realisme, yang tidak memperhatikan tempat, yang didiami oleh manusia-manusia, karena pada saat itu belum muncul paradigma baru, yaitu Geopolitik (yang baru muncul pada tahun 1899 dari Rudoft Kjellen), yang memberikan defiinisi tentang adanya saling hubungan secara fundamental antara, orang dan tempat tinggalnya.

Selain dari pada itu pandangan Ernes Renan, maupun Otto van Bauer, dua-duanya tidak memadai untuk menangani hakekat kultural Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu Pembebasan, kemerdekaan penuh, demokrasi sejati, emansipasi, jati diri sebagai bangsa yang mandiri di dalam suatu negara yang didiami oleh beraneka ragam manusia-manusia, yang menganut bermacam-macam budaya, etnis, kepercayaan, agama, keyakinan, adat dll; yang mendiami deretan ribuan pulau-pulau dari Sabang sampai Meraoke.

Oleh karena itu dalam kaitannya dengan Geolpolitik, maka dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 Bung Karno mengatakan bahwa terjadinya suatu bangsa itu adalah: “Persatuan antara orang dan tempat, artinya ada hubungan yang saling tergantung satu sama lain antara orang dan tempatnya secara fundamental.”

Paradigma Geopolitik dapat dikategorikan sebagai suatu pandangan dunia holistik (kemenyeluruhan), ia memandang dunia sebagai suatu keseluruhan yang terpadu, ketimbang suatu kumpulan bagian-bagian yang terpisah. Ia dapat juga disebut suatu pandangan ekologis, jika istilah `ekologis` juga dipakai dalam arti yang luas dan lebih dalam dari biasanya. Ada dua macam kesadaran ekologi, yaitu ekologi-dangkal dan ekologi-dalam.

Ekologi-dangkal bersifat antroposentris, atau berpusat pada manusia. Memandang manusia berada di atas atau di luar alam, sebagai sumber nilai, dan alam dianggap bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai `guna`. Pandangan ekologi-dangkal tercermin dalam pandangan Ernes Renan, dan Otto Bauer, yang hanya berpusat pada manusianya saja. Ini tercermin dalam definisinya Ernes Renan, yang hanya mengutamakan perasaan manusianya saja “l`ame et le desir“, dan difinisi Otto Bauer yang mengutamakan “gemeinschaft“ (hidup bersama/paguyuban) dan perasaannya. Mereka hanya mengingat karakter tidak memikirkan tempat, tidak memikirkan bumi, yaitu bumi yang didiami oleh manusia-manusia itu. Karena mereka memandang manusia berada di atas atau diluar alam.

Geopolitik, dapat juga digolongkan dalam kesadaran ekologi dalam. Ekologi-dalam tidak memisahkan manusia – atau apapun-  dari lingkungan alamiah. Benar-benar melihat bumi bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental.

Dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno telah mendefinisikan apa yang disebut bangsa menurut pandangan dunia modern yaitu Geopolitik, yang senafas dengan pandangan ekologi dalam. Dalam konteks ini Bung Karno mengatakan: “Terjadinya suatu bangsa adalah: Persatuan antara orang dan tempat, artinya ada hubungan yang saling tergantung antara orang dan tempatnya secara fundamental.”

Yang dimaksud oleh Bung Karno dengan tempat adalah Tanah-air, dan tanah air itu adalah bumi yang didiami oleh manusia, yang dalam konteks ini adalah bangsa Indonesia. Bumi yang ditempati oleh bangsa Indonesia yang beraneka ragam etnisnya, budayanya, agamanya, kepercayaannya, dll; yang menempati kumpulan pulau-pulau yang terpisah-pisah, yang terbentang dari Sabang sampai ke Meraoke, adalah merupakan jaringan fenomena kehidupan, yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundametal, sehingga merupakan suatu kesatuan yaitu satu untaian dalam jaringan hehidupan, yang berjuang serentak bersama-sama melawan penjajahan kolonialisme Belanda. Kesatuan seperti itu tercermin dalam Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, yang medeklarasikan Satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air yaitu tanah air Indonesia.

Geopolitik mengakui adanya nilai intrinsik semua manusia yang hidup tersebar di deretan ribuan pulau-pulau, tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan, artinya manusia-manusia dan bumi yang ditempatinya (tanah air), yang berbentuk deretan ribuan pulau dari Sabang sampai Meraoke talah melakukan suatau proses, di mana bagian-bagian-nya, yaitu ribuan pulau-pulau yang ditempati oleh jutaan manusia-manusia telah berubah sifatnya menjadi suatu jaringan sistem hidup secara keseluruhan, yang disebut BINEKA TUNGGAL IKA, yang bersifat sistemik dalam rangka ketrekaitan, hubungan-hubungan, dan konteks.

Menurut pandangan sistemik, sifat-sifat dasar sebuah sistem kehidupan, adalah sifat-sifat keseluruhan, yang tidak dimiliki oleh bagian-bagiannya. Sifat-sifat itu muncul dari interaksi dan hubungan antara bagian-bagian. Sifat-sifat itu akan rusak ketika sistem tersebut dibedah baik secara fisik maupun teoritis, menjadi unsur-unsur yang terpisah-pisah. Artinya menganalisa NKRI harus melihat secara keseluruhan, bukan melihat dari satu bagian yang hanya secuil. Secara singkat dapat diperumpamakan: “seeing Forest vs seeing Trees” = melihat keseluruhan vs melihat detail yang cuma secuil), yang digunakan untuk menerangkan sifat keseluruhan. Artinya melihat keberhasilan atau kemunduran satu daerah di NKRI, lalu digunakan untuk menerangkan sifat-sifat dan keadaan NKRI secara keseluruhan. Secara singkat dapat dikatakan menganalisa NKRI harus menggunakan system berpikir Holistis (pemikiran sistem), bukan metode mekanistik (Cartesian).

Dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno menekankan bahwa “Nation Indonesia bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le désir d`etre ensamble” di atas daerah yang kecil seperti Minagkabau, atau Madura, atau Jogya, atau Sunda, atau Bugis, tapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut Geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t. tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S e l u r u h n y a!, karena antara manusia yang lebih dari 70.000.000 ini sudah ada (pada saat itu) “le désir d`etre ensamble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft“! Nation Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 ini sudah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan hebat).” [cuplikan dari pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, yang diucapkan oleh Bung Karno, Presiden Pertama dari NKRI]. Jadi apa yang dinamakam Bineka Tunggal Ika itu sudah menjadi suatu kenyataan!

Ketegangan yang utama dalam menanggapi Bineka Tunggal Ika itu adalah merupakan ketegangan antara bagian-bagian dan keseluruhan. Penekanan pada bagian-bagian disebut pandangan mekanistik, reduksionis atau atomik ( ilmu pengetahuan Catesian).

Penekanan kepada keseluruhan disebut holistik, organistik, atau ekologis ( ilmu pengetahuan tentang Sistem). Sudah sejak abad ke 20 ilmu pengetahuan yang berperspektif holistik telah dikenal sebagai ilmu “Sistemik”, dan cara berpikir yang dihasilkannya disebut `pemikiran sistem`

Rene Descaetes menciptakan metode berpikir analistik, yaitu memecah-mecah fenomena yang rumit ke dalam kepingan-kepingan informasi, untuk mengerti perilaku keseluruhan dari sifat-sifat bagian-bagiannya. Olah karena itulah maka pola pikir Cartesian telah gagal dalam memahami kebinekaan (Bhineka Tunggal Ika). Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa NKRI yang berbentuk deretan ribuan pulau dari Sabang sampai Meraoke adalah merupakan suatu kesatuan, yang disebut Bineka Tunggal Ika; adalah merupakan kumpulan dari bagian-bagian yang sudah berubah menjadi keseluruhan, jadi menganalisa kehidupan NKRI dengan ilmu pengetahuan Cartesian akan menemui kegagalan, yang dampaknya akan merusak kehidupan NKRI.

Pada paruh pertama abad ke 20, muncullah cara berpikir yang baru, yaitu :Pemikiran sistem” dalam rangka keterkaitan, hubungan-hubungan, dan konteks. Menurut pandangan Sistem,sifat-sifat dasar sebuah organisme, atau sistem hidup, adalah sifat-sifat keseluruhan, yang tidak dimiliki oleh bagian-bagiannya. Sifat-sifat itu muncul dari interaksi dan hubungan antara bagian-bagian. Sifat-sifat itu akan rusak ketika sistem tersebut dibedah baik secara fisik maupun teoritis, menjadi unsur-unsur yang tepisah-pisah. Walaupun kita dapat mengenal bagian-bagian individuil dalam sistem apapun, bagian-bagian ini tidak tepisah-pisah, dan sifat dasar keseluruhan senantiasa berbeda-beda dari sekedar jumlah bagian-bagiannya. Demikianlah seharusnya kita selalu menggunakan metode berpikir sistemik dalam menganalisa apapun, khususnya dalam menganalisa kehidupan NKRI.

Memang dalam menerima dan memahami Bhineka Tunggal Ika itu, ada orang-orang yang pola pikirnya keblinger, karena mereka masih dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan Catesian yang sudah kadaluwarsa, dalam menganalisa kehidupan NKRI; kecuali itu mereka juga dipengaruhi juga oleh keinginan-keinginan, sikap-sikap politik, dan faktor-faktor psikologis lainnya, sehingga terjadilah kesalahan persepsi, dalam menerima dan menaggapi Motto “Bineka Tunggal Ika.” Persepsi di sini didefinisikan sebagai proses yang kita gunakan untuk menginterprestasikan data-data sensoris. Data sensoris itu sampai kepada kita melalui lima indra kita. Hasil penelitian telah mengidentifisikan dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu pengaruh struktural dan pengaruh fungsional.

Pengaruh struktural pada persepsi berasal dari aspek-aspek rangsangan, yang terpapar pada kita; sedangkan pengaruh fungsional merupakan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi persepsi, dan oleh karena itu membawa subjektivitas ke dalam proses. Kecenderungan adanya persepsi manusia yang dipengaruhi oleh keinginan-keinginan, siksp-siksp politik, dan faktor-faktor psikologi lainnya, seperti yang sudah disinggung diatas, secara umum disebut Persepsi selektif.

Menurut pengamatan saya di era “reformasi”  ini pola pikir Cartesian dan persepsi selektif telah merusak kehidupan Pancasila dan UUD 1945. Ini tercermin dalam amandemen UUD 45, yang telah menghasilkan produk UUD 1999-2002, suatu UUD yang telah mengkhianati Pancasila dan UUD 45, Ini tercermin dalam produk kebijakan ekonominya yang menolak ekonomi Pancasila yang berdasarkan pada Pasal 33 UUD 45, yang bukan hanya menjadi rujukan kita bersama, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dalam pembangunan ekonomi bagi kepentingan Rakyat banyak.

Pola pikir Cartesian dan Persepsi selektif juga nampak dalam pandangan yang menolak kebhinekaan, yang tercermin dalam bukunya May-jen TNI (Pur) Kivlan Zen, yang berjudul “Konflik dan Integrasi” TNI-AD. Yang pada halaman 142-143, di situ dinyatakan bahwa perlunya diadakan penafsiran ulang terhadap motto “Bhineka Tunggal Ika” , dan Pasal 1 UUD 1945, yakni Negara berbentuk kesatuan menjadi persatuan; Pembukaan UUD 45 dan lagu tanah airku, yang berbunyi  “tanah tumpah darahku” agar diubah menjadi  “tanahku yang tercinta”. Sungguh luar biasa sikap politik dan keinginan Mayjen TNI (Pur) Kivlan Zen ini ?!

Bisa dipercaya bahwa persepsi Mayjen TNI (pur) Kivlan Zen, dalam menerina dan menanggapi motto Bhineka Tunggal Ika, jelas berlatar belakang politik yang didasari pada keinginannya untuk memecah belah kesatuan bangsa Indonesia; seperti kehendak para penyeleweng-penyeleweng Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang didukung secara tersembunyi oleh kaum kolonialisme, neokolonialisme, Imperialisme, dan juga golongan neoliberalisme (neolib) diera “reformasi” ini, yang menghendaki adanya perubahan dari kesatuan menjadi persatuan, artinya merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Federal a´la van Mook.

Pembentukan negara federal a´la van Mook telah ditentang keras oleh mayoritas rakyat Indonesia penggerak revolusi Agustus 1945, karena federalisme hakekatnya adalah memecah belah potensi bangsa Indonesia yang berkepribadian “Tunggal Ika“, dan federalisme itu adalah alat imperialisme dalam menjalankan politik “divide et impera“ (politik pecah belah).

Meskipun Mayjen TNI Kivlan Zen nampaknya kukuh untuk mempertahankan kedaulatan Rebiblik Indonesia, namun ia menghendaki kelompok militer yaitu TNI/AD yang pro kelompok Islam konservatif lah yang memimpin negara ini. Rencana ini, kata Kivlan, sudah disusun sejak 1968. Bisa dipercaya bahwa rencana seperti itu adalah sejajar dengan tujuan Kartosuwiryo, yang hendak merubah NKRI menjadi NII (Negara Islam Indonesia), yang sesuai dengan strategi politik partai Masyumi yang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang, karena keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Saat sekarang ini telah bermunculaan kehendak untuk merubah NKRI menjadi Negara Syariat Islam Indonesia, yang menganut sistem Keklifahan, yang dipelopori oleh HTI.

Kivlan menyebut periode 1993-1998 adalah “ijo royo-royo“. Islamophobia terhadap Islam mulai berkurang. Panglima ABRI dijabat oleh Feisal Tanjung. Bersamaan dengan itu orang-orang yang pro terhadap Islam mulai naik posisinya.”Kita menang selama lima tahun,” ungkapnya. “Tapi reformasi 1998 akhirnya menghancurkan semua,” lanjutnya. Untuk melanjutkan perjuangannya, Kivlan mengaku kini menjadi calon anggota legislatif. Partai yang dipilih adalah PPP. “Partai ini bersejarah,” katanya.( JAKARTA (voa-islam.com) – Saat menyampaikan sambutannya dalam Pengajian Politik Islam di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan, Ahad (29/9/2013), )

Nampaknya mayor Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen, mantan Kas Kostrad (Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat), putera Minangkabau kelahiran Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, 24 Desember 1946. Seorang jenderal yang kontroversial namun teguh dalam prinsip jika terkait kedaulatan R.I. Oleh karena itu bisa dipercaya bahwa Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen ingin megganti NKRI menjadi Negara Federal yang berhaluan Islam, dimana kelompok militer yaitu TNI/AD kelompok pro Islam konservatiflah yang memimpin negara ini.

Sejarah bangsa Indonesia telah mencatat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sanggup dan mampu mengatasi berbagai gempuran dari luar, yaitu gempuran dari kaum kolonialisme, neokolonialisme dan NeoImperialaisme: Pengalaman sejarah ini tercermin dalam gempuran dari kolonialisme Belanda dalam bentuk aksi militer yang kedua, kita bangsa Indonesia, yang Bhineka Tunggal Ika tetap survive, dihantam oleh federalisme van Mook, yang hendak merobek-robek dada kita, kita tetap survive. Dihantam oleh krisis ekonomi sebagai akibat dari pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda, tatkala lautan-lautan kita boleh dikatakan sunyi-senyap karena bersih ditinggalkan oleh kapal-kapal K.P.M., kita tetap survive. Dihantam oleh DI-TII, P.R.R.I-Permesta dengan bantuannya dari luar, yaitu Imperialisme AS, kita tetap survive (cuplikan dari pidato Penemuan Kembali Revolusi kita,- Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959).

Dengan Proklamasi Kemerdekaan, yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 keadaan masyarakat kita tidak begitu saja segera berubah dari masyarakat warisan kolonial menjadi masyarakat seperti yang dicita-citakan oleh Proklamasi Kemerdekaan itu. Kemerdekaan itu oleh Bung Karno disebut sebagai jembatan emas untuk memasuki masyarakat yang kita kehendaki, yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, yang masih harus terus dibina, oleh karena itu segala potensi masih harus dikerahkan. Karena tindakan memproklamirkan kemerdekaan itu ternyata bertentangan dengan kehendak sekutu (Inggris dan Amerika), sehingga timbul pertentangan yang perlu diselesaikan. Sementara itu penjajah Belanda tentu juga berusaha memperkuat kedudukannya. Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration (disingkat NICA), yang dipimpin oleh Dr.H.J.van Mook, sebagai Lt.Gouverneur General telah berusaha memecah belah kekuatan Rakyat Indonesia, yaitu dengan cara membentuk “negera-negara”  federalisme a´la van Mook, yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Sumatra Utara, dan lain-lain , sebagai kelanjutan konferensi yang diselenggarakan di Denpasar dan Malino (Sulawesi Selatan).

Njatalah bahwa mereka tidak mau mengerti apa yang kita namakan revolusi Agustus 1945. Modal pokok bagi setiap revolusi nasional adalah menentang imperialisme dan kolonialisme, menentang penjajahan model baru di era Globalisasi pasar bebas, pimpinan imperialisme AS; artinya kita harus melakukan konsentrasi kekuatan nasional bukan perpecahan nasional. Meskipun kita menyetujui pemberian autonomi-daerah seluas-luasnya sesuai dengan Motto Bhineka Tunggal Ika, maka federalisme a´la van Mook, harus kita kikis-habis selekas-lekasnya, oleh karena federalisme a´la van Mook itu pada hakekatnya adalah alat pemecah belah kekuatan nasional. Jahatnya politik pemecah belah ini ternyata sekali pada tahun 1950, dan mencapai klimaknya dalam pemberontakan P.R.R.I.Permesta.

Demikianlah dampak –dampak sitemik dari krisis Persepsi, yang terjadi karena sebagian besar dikalangan banggsa Indonesia nampaknya masih belum Melek Pancasila. Sayangnya pemerintah yang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan reformasi, sampai sekarang belum pernah melakukan gerakan revolusi mental yang nyata, misalnya mengadakan Indoktrinasi Pancasila 1 Juni 1945,secara integral terhadap semua Rakyat Indonesia, dari lapisan atas, menebgah dan bawah, sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran rakyatnya agar supaya Melek Pancsila 1 Juni 1945 ciptaan Bung Karno. Hal ini perlu ditekankan karena, ada banyak golongan yang menggunakan Pancsila hanya sebagai Topeng untuk menyelubungngi maksud jahatnya, misalnya Pancasila Sakti produk rezim totaliterisme militer fasis pimpinan jenderal TNI AD Soeharto.

Hudojo Haripurnomo.

E-Mail : roeslan12@gmail.com



TERJEMAH KITAB BIDAYATUL HIDAYAH (IMAM AL GHAZALI RH)

$
0
0

KITAB BIDAYATUL HIDAYAH

I. Risalah Nasihat

Mukadimah

Aku mendengar dari orang yang kupercaya tentang sejarah perjalanan hidup Syaikh al-Imam az-Zahid. Se­moga Allah senantiasa memberikan taufik pada beliau dan memeliharanya dalam menjalankan risalah agama­Nya. Sejarah perjalanan hidup beliau memperkuat keinginanku untuk menjadi saudaranya di jalan Allah Swt. karena mengharapkan janji yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang saling mencinta.
https://bambangbelajar.files.wordpress.com/2014/01/3373a-bidayatul2bhidayah.jpg
Persaudaraan tidak harus dengan bertemu muka dan berdekatan secara fisik, tapi yang dibutuhkan adalah adanya kedekatan hati dan perkenalan jiwa. Jiwa-jiwa merupakan para prajurit yang tunduk; jika telah saling mengenal, jiwa-jiwa itu pun jinak dan menyatu. Oleh karenanya, aku ikatkan tali persaudaraan dengannya di jalan Allah Swt.. Selain itu, aku harap beliau tidak mengabaikanku dalam doa-doanya ketika sedang berkhal­wat serta semoga beliau memintakan kepada Allah agar diperlihatkan kepadaku bahwa yang benar itu benar dan aku diberi kemampuan untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta aku diberi kemampuan untuk meng­hindarinya. Kemudian aku dengar beliau memintaku untuk memberikan keterangan berisi petuah dan nasihat serta uraian singkat seputar landasan-landasan akidah yang wajib diyakini oleh seorang mukalaf.

Menasihati Diri

Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran un­tuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggal­kan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.”
Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, se­dangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagai­mana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasi­hati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenar­kan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pa­da diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru na­sihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang di­turunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-­apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal per­buatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).
Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena eng­kau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak me­nyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cin­ta pada dunia? Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiur­kan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ke­timbang Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengam­bil pelajaran. Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara (Alquran) telah memberi­tahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberi­tahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’ (Q.S. al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, ‘Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada me­reka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.’ (Q.S. asy­Syuara: 205-206).”
Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt. sebagai­mana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat se­bagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk meng­hadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengum­pulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, pa­dahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perleng­kapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan­mu menghadapi panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada Allah sesuai de­ngan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan ber­siap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini merupakan kewa­jiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tak tercegah.”
Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat ke­matian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh ka­rena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama. Sean­dainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah SWT.
Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika beliau bersabda,”Salatlah seperti salat­nya orang yang akan berpisah (dengan dunia).” Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.
Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mem­persiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.
Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.

Akidah Seorang Mukmin

Kemudian, seorang mukalaf minimal harus meyakini tafsiran dari kata-kata “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jika ia membenarkan Rasul saw., maka ia juga harus membenarkan beliau dalam hal sifat-sifat Allah Swt. Dia Zat Yang Maha hidup, Berkuasa, Mengetahui, Berbicara, dan Berkehendak Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Namun, ia tak harus meneliti hakikat sifat-sifat Allah tersebut serta tak harus mengetahui apakah kalam dan ilmu Allah bersifat qadim atau baru. Bahkan, tak jadi masalah walaupun hal RI tak pernah terlintas dalam benaknya sampai ia matt da lam keadaan mukmin. Ia tak wajib mempelajari dalil dalil yang dikemukakan oleh para ahli kalam. Selama hatinya meyakini al-Haq, walaupun dengan iman yang tak disertai dalil dan argumen, ia sudah merupakan mukmin. Rasulullah saw. tidak membebani lebih dari itu.
Begitulah keyakinan global yang dimiliki oleh bangsa Arab dan masyarakat awam, kecuali mereka yan berada di negeri-negeri dimana masalah-masalah tentang qadim dan barunya kalam Allah, serta istiwa dan nuzul Allah, ramai diperdebatkan. Jika hatinya tak terlibat dengan hal itu dan hanya sibuk dengan ibadah dan amal salehnya, maka tak ada beban apa pun baginya. Namun, jika ia juga memikirkan hal itu, maka minimal ia harus mengakui keyakinan orang-orang salaf yang mengatakan bahwa Alquran itu qadim, bahwa Al­quran adalah kalam Allah, bukan makhluk, bahwa is­tiwa Allah adalah benar, bahwa menanyakan tentangnya adalah bidah, dan bahwa bagaimana cara istiwa itu ti­dak diketahui. Ia cukup beriman dengan apa yang di­katakan syariat secara global tanpa mencari-cari hakikat dan caranya. Jika hal itu masih tidak berguna juga, di­mana hatinya masih bimbang dan ragu, jika memung­kinkan, hendaknya keraguan tersebut dihilangkan de­ngan penjelasan yang mudah dipahami walaupun tidak kuat dan tidak memuaskan bagi para ahli kalam. Itu sudah cukup dan tak perlu pembuktian dalil. Namun, lebih baik lagi kalau kerisauannya itu bisa dihilangkan dengan dalil yang sebenarnya. Sebab, dalil tidak sem­purna kecuali dengan memahami pertanyaan dan jawab­annya. Bila sesuatu yang samar itu disebutkan, hatinya akan ingkar dan pemahamannya tak mampu menang­kap jawabannya. Sebab, sementara kesamaran tersebut tampak jelas, jawabannya pelik dan membingungkan sehingga sukar dipahami akal. Oleh karena itu, orang­-orang salaf tak mau mengkaji dan membahas masalah ilmu kalam. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan masyarakat awam yang lemah.
Adapun orang-orang yang sibuk memahami berba­gai hakikat, mereka memiliki telaga yang sangat mem­bingungkan. Tidak membicarakan masalah ilmu kalam kepada orang awam adalah seperti melarang anak kecil mendekati pinggir sungai karena takut tenggelam. Se­dangkan orang-orang tertentu diperbolehkan karena me­reka mahir dalam berenang. Hanya saja, ini merupakan tempat yang bisa membuat orang lupa diri dan mem­buat kaki tergelincir, dimana, orang yang akalnya lemah merasa akalnya sempurna. Ia mengira dirinya bisa me­ngetahui segala sesuatu dan dirinya termasuk orang hebat. Bisa jadi, mereka berenang dan tenggelam dalam lautan tanpa ia sadari. Hanya segelintir orang saja dari mereka yang menempuh jalan para salaf dalam meng­imani para rasul serta dalam membenarkan apa yang diturunkan Allah Swt. dan apa yang diberitakan Ra­sul-Nya dimana mereka tak mencari-cari dalil dan ar­gumen. Melainkan, mereka sibuk dengan ketakwaan.
Demikianlah, ketika Nabi saw. melihat para sahabatnya sibuk berdebat, beliau marah hingga memerah kedua pipi beliau dan berkata, “Apakah kalian diperintahkan untuk ini. Kalian mengumpamakan sebagian isi Kitab­ullah dengan yang lain. Perhatikan! apa yang Allah pe­rintahkan pada kalian kerjakanlah, sedangkan yang dilarang kalian tinggalkan.” Ini merupakan peringatan terhadap manhaj yang benar. Lengkapnya, hal itu kami jelaskan dalam kitabQawa’id al-Aqaa’id.

II. Permulaan Hidayah

Bismillahirahmanirrahim
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam atas makh­luk-Nya termulia, Muhammad, Rasul dan hamba-Nya, serta atas keluarga dan sahabat beliau.
Ketahuilah wahai manusia yang ingin mendapat curahan ilmu, yang betul-betul berharap dan sangat haus kepadanya, bahwa jika engkau menuntut ilmu guna bersaing, berbangga, mengalahkan teman sejawat, meraih simpati orang, dan mengharap dunia, maka sesungguhnya engkau sedang berusaha menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhirat dengan dunia. Dengan demikian, engkau mengalami kegagalan, perdaganganmu merugi, dan gurumu telah membantumu dalam berbuat maksiat serta menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut. Gurumu itu seperti orang yang menjual pedang bagi perompak jalanan, sebagaimana Rasul saw. bersabda, “Siapa yang membantu terwujudnya perbuatan maksiat walaupun hanya dengan sepenggal kata, ia sudah menjadi sekutu baginya dalam per­buatan tersebut.”
Jika niat dan maksudmu dalam menuntut ilmu un­tuk mendapat hidayah, bukan sekadar mengetahui riwa­yat, maka bergembiralah. Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya untukmu saat engkau ber­jalan dan ikan-ikan paus di laut memintakan ampunan bagimu manakala engkau berusaha. Tapi, engkau harus tahu sebelumnya bahwa hidayah merupakan buah dari ilmu pengetahuan. Hidayah memiliki permulaan dan akhir serta aspek lahir dan batin. Untuk mencapai titik akhir tersebut, permulaannya harus tersusun rapi. Be­gitu pula, untuk menyingkap aspek batinnya, harus di­ketahui terlebih dahulu aspek lahirnya.
Oleh karena itu, di sini akan aku tunjukkan padamu permulaan dari sebuah hidayah agar engkau bisa men­coba dirimu dan menguji hatimu. Apabila engkau men­dapati hatimu condong pada hidayah tersebut lalu di­rimu berusaha untuk menggapainya, maka setelah itu engkau bisa melihat perjalanan akhir darinya yang me­laju dalam lautan ilmu. Sebaliknya, jika engkau men­dapati hatimu berat dan lengah dalam mengamalkan apa yang menjadi konsekuensinya, ketahuilah bahwa jiwa yang mendorongmu untuk menuntut ilmu tersebut adalah jiwa al-ammaarah bi as-su’ (yang memerintahkan pada keburukan). Jiwa tersebut bangkit karena taat ke­pada setan terkutuk untuk dijerat dengan tali tipuannya. Ia terus memberikan tipudayanya kepadamu sampai engkau betul-betul binasa. Ia ingin agar engkau mem­perbanyak kejahatan dalam bentuk kebaikan sehingga ia bisa memasukkanmu dalam kelompok orang yang me­rugi dalam amalnya. Yaitu, mereka yang sesat di dunia ini, yang mengira bahwa mereka telah melakukan suatu perbuatan baik. Saat itu setan menceritakan padamu tentang keutamaan ilmu, derajat para ulama, serta berba­gai riwayat di seputarnya. Namun, setan tersebut membuatmu lalai dari sabda Nabi saw., “Siapa yang ber­tambah ilmu, tapi tidak bertambah hidayah, ia hanya bertambah jauh dari Allah.” Juga dari sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Orang yang paling keras siksanya di hari kiamat, adalah orang alim yang ilmunya tak Allah berikan manfaat padanya.”
Nabi saw. berdoa:
Allahumma innii a’udzubika min ‘ilmi laa yanfa’u wa qalbin laa yakhsya’ wa ‘amalin laa yurfa’u wa du’ain laa yusma’u
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari amal yang tak diterima, dan dari doa yang tak didengar.”
Sabda Nabi saw., “Di malam aku melakukan Israk, aku melewati sekelompok kaum yang bibir mereka digun­ting dengan gunting api neraka. Lalu aku bertanya, ‘Sia­pa kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang memerintahkan kebaikan tapi tidak melakukan­nya, dan mencegah keburukan tapi kami sendiri me­ngerjakannya!”
Oleh karena itu, jangan engkau serahkan dirimu untuk ­diperdaya oleh jerat tipuannya. Celaka sekali bagi orang bodoh, karena ia tidak belajar. Tapi celaka seribu bagi orang alim yang tak mengamalkan ilmunya!
Ketahuilah bahwa dalam menuntut ilmu, manusia terbagi atas tiga jenis:
(1) Seseorang yang menuntut ilmu guna dijadikan bekal untuk akhirat dimana ia ha­nya ingin mengharap rida Allah dan negeri akhirat. Ini termasuk kelompok yang beruntung;
(2) Seseorang yang menuntut ilmu guna dimanfaatkan dalam kehidupan­nya di dunia sehingga ia bisa memperoleh kemuliaan, kedudukan, dan harta. Ia tahu dan sadar bahwa keada­annya lemah dan niatnya hina. Orang ini termasuk ke dalam kelompok yang berisiko. Jika ajalnya tiba sebelum sempat bertobat, yang dikhawatirkan adalah peng­habisan yang buruk (su’ ul-khatimah) dan keadaannya menjadi berbahaya. Tapi jika ia sempat bertobat sebe­lum ajal tiba, lalu berilmu dan beramal serta menutupi kekurangan yang ada, maka ia termasuk orang yang beruntung pula. Sebab, orang yang bertobat dari dosa­nya seperti orang yang tak berdosa;
(3) Seseorang yang terperdaya oleh setan. Ia pergunakan ilmunya sebagai sarana untuk memperbanyak harta, serta untuk berbang­ga dengan kedudukannya dan menyombongkan diri de­ngan besarnya jumlah pengikut. Ilmunya menjadi turn­puan untuk meraih sasaran duniawi. Bersamaan dengan itu, ia masih mengira bahwa dirinya mempunyai posisi khusus di sisi Allah karena ciri-ciri, pakaian, dan ke­pandaian berbicaranya yang seperti ulama, padahal ia begitu tamak kepada dunia lahir dan batin.
Orang dari kelompok ketiga di atas termasuk golongan yang binasa, dungu, dan tertipu. Ia tak bisa diharap­kan bertobat karena ia tetap beranggapan dirinya ter­masuk orang baik. Ia lalai dari firman Allah Swt. yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman. Mengapa ka­lian mengatakan apa-apa yang tak kalian lakukan?!” (Q.S. ash-Shaff: 2). Ia termasuk mereka yang disebutkan Rasul saw., “Ada yang paling aku khawatirkan dari kalian ke­timbang Dajjal.” Beliau kemudian ditanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ulama su’ (bu­ruk).” Sebab, Dajal memang bertujuan menyesatkan, se­dangkan ulama ini, walaupun lidah dan ucapannya me­malingkan manusia dari dunia, tapi amal perbuatan dan keadaannya mengajak manusia ke sana.
Padahal, realita lebih berbekas dibandingkan ucapan. Tabiat manusia lebih terpengaruh oleh apa yang dilihat ketimbang meng­ikuti apa yang diucap. Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatannya lebih banyak daripada perbaikan yang di­sebabkan oleh ucapannya. Karena, biasanya orang bo­doh mencintai dunia setelah melihat si alim cinta pada dunia. Ilmu pengetahuan yang dimilikinya, menjadi fak­tor yang menyebabkan para hamba Allah berani ber­maksiat pada-Nya. Nafsunya yang bodoh tertipu, tapi masih memberi angan-angan dan harapan padanya. Bahka, ia mengajaknya untuk mempersembahkan sesuatu untuk Allah dengan ilmunya. Nafsu tersebut membuat­nya beranggapan bahwa ia lebih baik dibandingkan hamba Allah yang lain.
Maka dari itu, jadilah engkau ter­masuk golongan yang pertama. Waspadalah agar tidak menjadi golongan kedua karena betapa banyak orang yang menunda-nunda, ternyata ajalnya tiba sebelum ber­taubat sehingga akhirnya rugi dan kecewa. Lebih dari itu, waspadalah! Jangan sampai engkau menjadi golong­an ketiga karena engkau betul-betul akan binasa, tak mungkin selamat dan bahagia.
Apabila engkau bertanya, “Apa permulaan dari hida­yah tersebut sehingga aku bisa menguji diriku dengan­nya?” Maka ketahuilah bahwa hidayah bermula dari ketakwaan lahiriah dan berakhir dengan ketakwaan ba­tiniah. Tak ada balasan kecuali dengan takwa dan tak ada hidayah kecuali bagi orang-orang bertakwa. Takwa adalah ungkapan yang mengandung makna melaksana­kan perintah Allah Swt. dan menghindarkan larangan-­larangan-Nya. Masing-masing ada dua bagian. Di sini aku akan menunjukkan kepadamu secara ringkas aspek lahiriah dari takwa dalam dua bagian tersebut secara bersamaan. Aku masukkan bagian ketiga agar tulisan menjadi lengkap dan cukup. Allah tempat meminta pertolongan.

A. Bagian Pertama: Amal-amal Ketaatan

Ketahuilah bahwa perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunah. Yang wajib merupakan harta po­kok. Dia adalah modal perdagangan yang dengannya na bisa selamat. Sementara yang sunah merupakan laba yang dengannya kita bisa meraih derajat mulia.
Nabi saw. bersabda, “Allah Swt. berfirman, ‘Tidaklah orang­-orang mendekatkan diri pada-Ku dengan melaksanakan apa yang Kuwajibkan pada mereka, dan tidaklah se­orang hamba mendekatkan diri padaku dengan amal­-amal sunah, sehingga Aku mencintainya. Jika Aku su­dah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang mendengar, matanya yang melihat, lidahnya yang ber­bicara, tangannya yang memegang, dan kakinya yang berjalan.”
Engkau tidak akan dapat menegakkan perintah Allah, kecuali dengan senantiasa mengawasi hati dan anggota badanmu pada setiap waktu dan pada setiap tarikan nafasmu, dari pagi hingga sore. Ketahuilah bahwa Allah Swt. menangkap isi hatimu, mengawasi lahir dan batin­mu, mengetahui semua lintasan pikiranmu, langkah-lang­kahmu, serta diam dan gerakmu. Saat bergaul dan me­nyendiri, engkau sedang berada di hadapan-Nya. Tidak ada yang diam, dan tak ada yang bergerak, melainkan semuanya diketahui oleh Penguasa langit, Allah Swt.
 “Dia mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyi­kan hati” (Q.S. Ghafir: 19),
 “Dia Maha Mengetahui yang rahasia dan tersembunyi” (Q.S. Thaha: 7).
Oleh karena itu, hendaklah engkau beradab di hadapan Allah Swt. de­ngan adab seorang hamba yang hina dan berdosa di hadapan-Nya. Berusahalah agar Allah tidak melihatmu sedang melakukan sesuatu yang dilarang dan tidak me­laksanakan apa-apa yang diperintah. Hal itu hanya bisa terwujud jika engkau bisa membagi waktu dan meng­atur wirid-wiridmu dari pagi hingga petang. Jagalah perintah Allah Swt. yang diwajibkan kepadamu, sejak dari bangun tidur hingga engkau kembali ke pemba­ringan.

01. Adab Tidur

Jika engkau ingin tidur, hamparkan tempat tidurmu dengan menghadap kiblat. Lalu tidurlah diatas sisi kananmu seperti tidurnya mayit di liang kuburnya. Ketahuilah bahwa tidur adalah bagaikan kematian dan terjaga adalah bagaikan bangkit. Bisa jadi, Allah meng­genggam rohmu di malam itu. Maka dari itu, bersiap­-siaplah untuk menghadapinya dengan tidur dalam ke­adaan suci dan usahakan agar wasiatmu telah tertulis di bawah kepalamu. Engkau tidur seraya bertobat dan meminta ampunan dari semua dosa dengan tekad tidak akan berbuat maksiat lagi. Bertekadlah untuk berbuat baik kepada semua muslim jika Allah membangunkanmu. Ingatlah bahwa engkau akan berbaring di liang ku­bur seperti itu seorang diri, hanya ditemani oleh amal­mu. Engkau hanya akan dibalas sesuai dengan amal perbuatanmu itu.
Jangan sampai engkau menghendaki tidur yang ba­nyak dengan menghampar kasur empuk karena tidur adalah menghentikan kehidupan. Kecuali, jika bangun­mu justru menjadi bencana bagimu sehingga tidur ter­sebut lebih membuat agamamu selamat. Ketahuilah bahwa malam dan siang seluruhnya berjumlah dua pu­luh empat jam. Jangan sampai tidurmu sepanjang siang dan malam lebih dari delapan jam. Karena, jika engkau berumur sekitar enam puluh tahun cukup bagimu mem­buang dua puluh tahun darinya, atau sepertiga dari umurmu itu.
Ketika tidur, kembalilah bersiwak dan bersuci. Ber­tekadlah untuk bangun malam atau bangun sebelum subuh. Dua rakaat di tengah malam merupakan salah satu harta kekayaan yang berharga mulia. Perbanyaklah harta kekayaanmu itu guna menghadapi hari miskinmu. Sebab, harta kekayaan dunia sama sekali tak akan ber­guna jika engkau binasa.
Ketika tidur, ucapkanlah:
 Bismika rabbii wadha’tu janbii wabismika arofa’uhu faghfirlii dzanbii. Allahumma bismika ahya wa amuut wa a’udzubika allahumma min-syarri kulli dzii syarri. Wa min syarri kullidabbatin anta akhidzdzi binashiyatiha, inni rabbi ’alaa shirath mustaqiim. Allahumma antal wali falaiisa qablaka syai’in, wa antal akhirufalaisa ba’da katsi’in Wa antazhzhihiru falaisa fauqaka syai’in Wa antal bathinu falaisa duunaka syai’in Iqdhii ‘anniid dunya wa aghninii minal faqri. Allahumma antalkhalaqta nafsii wa anta tatawwafaha, laka mamatuha wa mahyaha, in amattaha faghfirlaha wa in ahyaitaha fahfazhha bimatahfazhu bihi ‘ibadakash shalihiin. Allahumma inni as ‘alukal ‘afwa wal ‘afiyata fiiddiin waddunya wal aakhirati. Allahummaaiqithnii fii ahabiissa ‘ati ilaika was ta’malnii bi ahabbil ‘amal ilaika hatta tuqarribanii ilaika zulfa wa tub ‘idanii ‘an sakhathika ba’da an as alakafatu’thiinii wa astaghfiraka fataghfirulii wa ad’uuka fatastajiibulii.
“Dengan nama-Mu wahai Tuhanku, kuletakkan pung­gungku dan dengan nama-Mu pula kuangkat serta am­punilah dosa-dosaku. Ya Allah, lindungi aku dari siksa­Mu pada hari para hamba-Mu dibangkitkan. Ya Allah, dengan nama-Mu aku hidup dan mati. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan segala sesuatu yang memiliki keburukan serta dari kejahatan setiap yang melata. Eng­kaulah yang menggenggam ubun-ubunnya. Sesungguh­nya Tuhanku berada di jalan yang lurus. Ya Allah, Eng­kaulah Yang Maha Pertama yang tidak didahului oleh sesuatu dan Engkau pula Yang Maha Terakhir yang tak ada sesuatu sesudah-Mu. Engkau Mahatampak, tak ada sesuatu di atas-Mu. Engkau Maha Tersembunyi, tak ada sesuatu di bawah-Mu. Bayarkanlah hutangku dan ang­katlah aku dari kemiskinan. Ya Allah, Engkau yang menciptakan diriku dan engkau pula yang mewafatkan­nya. Kematian dan kehidupannya ada pada kekuasaan­Mu. Jika engkau matikan diriku ini, maka ampunilah dia, dan jika engkau hidupkan, maka jagalah dia seba­gaimana engkau menjaga para hamba-Mu yang saleh. Ya Allah aku meminta pada-Mu pengampunan dan ke­selamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, bangunkan aku dalam waktu terbaik menurutmu. Buatlah aku me­lakukan perbuatan-perbuatan yang paling Kau senangi sehingga hal itu akan mendekatkan diriku pada-Mu dan menjauhkannya dari murka-Mu setelah aku meminta pada-Mu. Setelah aku meminta pada-Mu, maka Engkau memberikannya, aku meminta ampunan pada-Mu maka Kau terima, dan aku berdoa pada-Mu maka Kau ka­bulkan untukku.”
Kemudian bacalah ayat al-Kursi dan amana ar-rasalu (surat al-Baqarah: 285) sampai akhir surat. Lalu surat al-­Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, serta al-Mulk. Usahakan engkau tidur dalam keadaan berzikir pada Allah SWT. dan dalam keadaan suci karena siapa yang melakukan itu, ia akan naik berserta rohnya ke arasy, dan dicatat sebagai orang yang sedang salat sampai bangun kern­bali. Apabila engkau sudah bangun, lakukanlah apa yang telah kujelaskan sebelumnya padamu. Hendaklah engkau hidup teratur seperti itu dalam sisa umurmu. Apabila engkau tak bisa melakukannya secara konsisten, sabarlah sebagaimana sabarnya orang sakit ketika me­nahan pahitnya obat dan ketika menunggu saat kesem­buhan. Renungkanlah umurmu yang berusia pendek. Jika engkau hidup seratus tahun misalnya, maka usia tersebut sangat pendek jika dibandingkan dengan lama-mu tinggal di negeri akhirat karena ia merupakan nege­ri keabadian. Perhatikan bahwa jika engkau bisa bersa­bar menghadapi beban penderitaan dan kehinaan dalam mencari kehidupan dunia selama sebulan atau setahun karena berharap bisa beristirahat sesudahnya selama dua puluh tahun misalnya, lalu bagaimana engkau tak mau bersabar selama beberapa hari untuk ibadah guna meng­harap kehidupan abadi? Jangan perpanjang angan-­anganmu, karena hal itu akan memberatkanmu dalam beramal. Perhitungkanlah dekatnya kematianmu lalu ka­takan pada dirimu: Jika aku bisa bersabar menghadapi penderitaan hari ini barangkali aku mati malam nanti, dan aku akan bersabar pada malamnya karena barang­kali aku mati esok hari. Sesungguhnya kematian tidak hanya datang pada saat tertentu, kondisi tertentu, atau pada usia tertentu. Yang jelas, ia pasti datang dan harus siap dihadapi. Bersiap-siap menghadapi kematian lebih utama ketimbang bersiap-siap menghadapi dunia. Eng­kau tahu bahwa dirimu tidak akan lama tinggal di da­lam dunia. Oleh karena itu, yang tersisa dari hidupmu barangkali hanya tinggal satu hari atau satu tarikan na­fas. Tanamkan hal ini dalam hatimu setiap hari. Pak­sakan dirimu untuk bersabar dalam taat kepada Allah SWT. hari demi hari. Jika engkau memperhitungkan akan hidup selama lima puluh tahun, maka engkau akan su­lit untuk bisa bersabar dalam menaati Allah SWT.
Manakala engkau bisa bersabar selalu setiap hari, ketika meninggal engkau akan mendapati kebahagiaan yang tak ada habis-habisnya. Sementara jika engkau me­nunda-nunda dan meremehkan, kematian itu akan men­datangimu pada waktu yang tak kau duga sehingga engkau akan menyesal dengan penyesalan yang tak ber­ujung. Ketika pagi, sekelompok makhluk mulia bertahmid dan ketika mati, datang berita yang benar itu kepada­mu, “Setelah beberapa waktu, engkau akan mengetahui kebenaran berita Alquran tersebut” (Q.S. Shaad: 88).
Jika sebelumnya kami sudah menunjukkan urutan wirid padamu, kami akan sebutkan di sini bagaimana cara dan adab-adab melaksanakan salat dan puasa serta bagaimana adab menjadi imam dan panutan, juga ba­gaimana melaksanakan salat jumat.

02. Adab Shalat

Apabila engkau telah selesai membersihkan kotoran dan najis yang terdapat di badan, pakaian, dan tempat salat, juga engkau telah menutup aurat dari pusar sam­pai dengkul, maka berdirilah menghadap ke arah kiblat dengan kaki yang lurus tapi tidak dirapatkan sedang­kan engkau berada dalam posisi tegak. Lalu bacalah surat an-Naas guna berlindung dari setan yang terku­tuk. Hadirkan hatimu ketika itu. Buanglah segala bisik­an dan rasa was-was. Perhatikan kepada siapa engkau sedang menghadap dan bermunajat sekarang. Hendak­nya engkau malu untuk bermunajat kepada Tuhan de­ngan hati yang lalai dan dada yang penuh dengan bi­sikan dunia beserta kebejatan syahwat. Sadarlah bahwa Allah Swt. mengetahui semua yang tersembunyi di da­lam dirimu dan melihat hatimu. Allah hanya menerima salatmu sesuai dengan kadar kekhusyukan, ketundukan, dan ketawaduanmu.
Sembahlah Allah dalam salatmu seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tak melihat-Nya, sesung­guhnya Dia melihatmu. Jika hatimu tidak hadir dan ang­gota badanmu tidak bisa tenang maka hal itu disebab­kan engkau tidak betul-betul mengenal keagungan-Nya. Bayangkan jika ada seorang saleh di antara keluargamu yang melihatmu ketika engkau salat. Pada saat itu, pasti hatimu akan khusyuk dan anggota badanmu akan te­nang. Lalu, tanyakan pada dirimu, “Wahai jiwa yang buruk, tidakkah engkau malu kepada Pencipta dan Tu­anmu?” Apabila engkau mampu salat secara khusyuk dan tenang karena dilihat seorang hamba yang hina, yang tak bisa memberikan manfaat atau bahaya pada­mu, sedang engkau mengetahui bahwa Dia melihatmu tapi engkau tak takut pada keagungan-Nya, apakah Allah SWT. lebih rendah dibandingkan hamba-Nya itu? Betapa durhaka dan bodohnya engkau! Betapa engkau memusuhi dirimu itu!
Obatilah hatimu dengan cara itu, barangkali ia akan menjadi hadir dalam salatmu. Salatmu hanyalah saat engkau sadar kepadanya. Adapun salat yang engkau kerjakan dengan hati yang lalai dan lupa, maka ia butuh pada istigfar dan perenungan.
Manakala hatimu sudah hadir, jangan lupa meng­ucapkan ikamah kalau engkau salat sendirian. Tapi, jika engkau menunggu datangnya jamaah yang lain hendak­nya engkau melakukan azan lalu ikamah. Apabila eng­kau sudah mengucapkan ikamah, berniatlah dan bacalah dalam hatimu, “Aku laksanakan salat lohor karena Allah Swt.” Usahakan niat tersebut hadir dalam hatimu ketika engkau bertakbir. Jangan sampai niatmu tak kau sadari sebelum takbir selesai. Angkatlah tanganmu saat bertakbir ke arah pipi dan pundakmu dengan jari-jari yang tidak dihimpitkan. Jangan terlalu menempel atau­pun menjauh. Yang penting ibu jarimu berada di hadapan kedua cuping telingamu, ujung-ujung jarimu berada di atas kuping, serta telapak tangan di atas pundak. Jika kedua telapak tanganmu sudah berada pada posisi ter­wbut bertakbirlah lalu turunkan kembali dengan perla­han. Saat diangkat atau diturunkan, jangan kau hentak­kan tanganmu ke depart secara keras dan jangan pula diangkat sampai ke belakang. Selain itu, jangan kau gerakkan ia ke kanan atau ke kiri. Ketika diturunkan, mulailah engkau meletakkan tanganmu di atas dada. Iangan kanan berada di atas yang kiri. Renggangkan lari-jari kananmu di lengan tangan yang kiri. Genggam di atas siku. Setelah bertakbir bacalah:
Allahu akbar kabiiran walhamduilllah katsiiran wa subhanalla bukrattan wa ashiilla, inni wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samawati wal ardha haniifan musliman wa ma ana minal musyrikin. Inni shalatii wa nusukii wa mahyaya wamamatii lillahi rabbil ‘alamiin laa syarikallahuwa bi dzalika umirtu wa ana minal muslimiin. 
“Allah Mahabesar dengan segala sifat kebesaran-Nya. Pujian bagi Allah sebanyak-banyaknya dan Mahasuci Allah pada tiap pagi dan sore. Aku hadapkan wajahku pada Tuhan yang mencipta langit dan bumi dengan lu­rus dan aku bukan dari golongan yang musyrik. Se­sungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata karena Tuhan seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintah dan aku ter­masuk dari golongan Islam (menyerah dan patuh).”
Setelah itu, bacalah al-Fatihah dengan tekanan yang kuat. Usahakan untuk membedakan antara huruf dhad dan zha’ dalam bacaan salatmu. Lalu ucapkan amin se­cara terpisah dengan kata walaad-dhaliin.
Nyaringkan bacaanmu pada salat subuh, magrib, dan isya. Maksudnya, pada dua rakaat yang pertama, ke­cuali jika engkau menjadi makmum. Jika menjadi mak­mum, nyaringkan bacaanamin. Lantas, dalam salat subuh, bacalah salah satu surat yang panjang setelah bacaan surat al-Fatihah. Sementara pada waktu magrib, cukup surat yang pendek. Adapun pada salat lohor, asar, dan isya, bacalah surat yang pertengahan. Misalnya su­rat al-Buruj dan yang semisalnya. Ketika salat subuh yang dilaksanakan dalam perjalanan, bacalah surat al­-Kafirun dan surat al-Ikhlas. Jangan engkau sambungkan akhir bacaan surat dengan takbir untuk rukuk, tapi pi­sahkan antara keduanya dengan seukuran bacaan subhanallah.
Ketika berdiri, usahakan untuk senantiasa menunduk dengan hanya memandang tempat salatmu. Hal itu, akan membuatmu lebih berkonsentrasi dan membuat hatimu lebih khusyuk. Jangan engkau menoleh ke kiri atau ke kanan pada saat sedang salat.
Lalu bertakbirlah untuk rukuk. Angkat tanganmu dengan cara yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pan­jangkan bacaan takbir sampai engkau berada pada po­sisi rukuk. Lalu, letakkan telapak tanganmu di atas lu­tut sementara jari-jemarimu berada pada posisi yang renggang. Tegakkan lututmu serta bentangkan pung­gung, leher, dan kepalamu secara lurus. Lantas, jauhkan sikumu dari pinggang. Sementara untuk wanita tidak demikian karena mereka hendaknya menempelkan yang satu dengan yang lain. Lalu ucapkan:
Subhana rabbiyal ‘azhiim
“Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung.”
Bacaan tersebut diucapkan sebanyak tiga kali. Jika engkau salat sendirian, bagus pula kalau ditambah sam­pai menjadi tujuh atau sepuluh kali. Kemudian angkat kepalamu sampai berdiri tegak seraya mengangkat ta­ngan dan membaca:
Sami ‘allahu liman hamidah
“Allah mendengar siapa yang memuji-Nya.”
Apabila engkau telah berdiri tegak lurus, ucapkan:
 Rabbana lakal hamdu mil’as samawati wa mil ardhi wa mil ama syi’ta min syai’in ba’du
“Wahai Tuhan kami, segala puji bagi-Mu sepenul langit dan bumi dan sepenuh apa yang Kau kehendak sesudah itu.”
Apabila engkau sedang dalam melakukan salat subuh, bacalah doa qunut pada rakaat kedua ketika dalan posisi iktidal. Lalu, sujudlah dengan bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan. Pertama-tama, letakkanlal kedua lututmu diikuti kemudian oleh kedua tanganmi lalu dahimu yang berada dalam keadaan terbuka. Letakkan hidung beserta dahimu. jauhkan sikumu dari pinggang dan angkat perutmu dari paha (Hal ini tidak berlaku bagi wanita). Letakkan kedua tanganmu di atas tanah sejajar dengan pundakmu. Jangan kau bentangkan lenganmu di atas tanah. Dan ucapkan:
Subhana rabbiyal ‘alaa
“Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi”
Doa di atas dibaca sebanyak tiga kali, tujuh kali, atau sepuluh kali jika engkau salat sendirian.
Lalu, angkat kepalamu dari sujud seraya bertakbir sampai engkau duduk dengan tegak. Duduklah di atas kaki kiri. Tegakkan kaki kananmu. Letakkan kedua ta­nganmu di atas paha dengan jari-jemari yang renggang. Lantas ucapkan (minimal):
‘rabbighfirlii warhamnii warzuqni wajburnii wa ‘afinii wa ‘afuanii
“Ya Tuhan, ampunilah aku, sayangilah aku, berikar rezeki padaku, pimpinlah aku, tambahkan kekurang­anku, dan maafkanlah daku.”
Kemudian lakukan sujud yang kedua sama seperti sebelumnya. Lalu duduk tegak sebentar untuk istirahat pada setiap rakaat yang tak disertai tasyahud.
Setelah itu, engkau berdiri dan meletakkan kedua tangan di atas tanah. Jangan engkau mendahulukan sa­lah satu kakimu ketika berdiri. Mulailah dengan takbir untuk berdiri saat hampir selesai dari duduk istirahat. Panjangkan bacaan takbir tersebut sampai pada posisi setengah berdiri. Usahakan agar duduk istirahat tersebut berlangsung sebentar. Lalu, laksanakan rakaat ke­dua seperti rakaat pertama. Ulangi membaca taawud ketika memulai. Lalu duduklah pada rakaat kedua un­tuk membaca tasyahud pertama. Saat duduk tasyahud, letakkan tangan kananmu di atas paha kanan dengan jari yang tergenggam kecuali jari telunjuk dan ibu jari. Berilah isyarat dengan jari telunjukmu yang kanan saat membaca illallah(kecuali Allah), bukan pada kata-kata Iaa ilaha (tiada Tuhan). Sementara itu, engkau letakkan tangan kirimu dengan jari jari terbuka di atas paha kiri. Duduklah di atas kaki kiri dalam tasyahud pertama ini seperti ketika duduk antara dua sujud. Adapun pada tasyahud akhir, duduklah secara tawaruk (di atas pang­kal paha). Setelah mengucapkan salawat atas Nabi Saw., bacalah doa yang sudah dikenal. Duduklah di atas pang­kal paha yang kiri sementara kaki kirimu keluar dari sisi bawah. Tegakkan posisi kaki kananmu lalu ucapkan salam dua kali dari ke kanan dan kiri. Menolehlah hing­ga tampak putihnya kedua pipimu dari kedua sisi. Ber­niatlah untuk menyudahi salat dan arahkan salammu pada para malaikat dan kaum muslim yang berada di sampingmu. Begitulah gerakan salat sendirian.
Tiang penopang salat adalah kekhusyukan dan ke­hadiran hati disertai bacaan, dan pemahaman. Ha­san al-Basri rahimahullah berkata, “Setiap salat yang tidak disertai oleh kehadiran hati akan cepat terkena hukum­an.” Rasul Saw. bersabda, “Seorang hamba adakalanya melakukan salat tapi ia tidak mendapat seperenam atau sepersepuluh dari salatnya. Karena, ganjaran salat bagi seorang hamba sesuai dengan kadar kekhusyu’kannya.”

03. Adab Menjadi Imam

Seorang imam hendaknya meringankan salat. Anas bin Malik r.a. berkata, “Aku tidak melakukan salat di belakang seorang pun yang lebih ringan dan lebih sem­purna salatnya dari pada salat Rasulullah Saw.”
Seorang imam hendaknya tidak bertakbir sebelum muazin membacakan iqamah dan sebelum shaf salat lu­rus sempurna. Ia harus meninggikan suara ketika ber­takbir, sementara makmum tidak meninggikan suara kecuali sebatas yang bisa ia dengar sendiri. Imam harus berniat menjadi imam guna memperoleh keutamaan. Ji­ka sang imam tak berniat, salat para jamaah tetap sah apabila mereka telah berniat mengikutinya. Mereka ju­ga memperoleh pahala bermakmum. Imam tidak boleh menyaringkan bacaan iftitah dan ta’awudz sebagaimana dalam salat sendirian. Tapi ia menyaringkan bacaan al­-Fatihah dan surat sesudahnya dalam salat-salat subuh, serta dalam dua rakaat pertama magrib dan isya. Dalam salat jahar (yang dibaca secara keras), makmum menya­ringkan ucapan amin dengan bersama-sama imam, bu­kan sesudah imam. Lalu, imam diam sejenak setelah membaca surat al-Fatihah. Di saat itulah makmum membaca surat al-Fatihah agar sesudahnya ia bisa men­dengarkan bacaan imam. Pada salat jahar, makmum ti­dak membaca surat kecuali jika ia tidak mendengar su­ara imam. Hendaknya seorang imam tidak membaca tasbih dalam rukuk dan sujud lebih dari tiga kali dan juga tidak memberikan tambahan dalam tasyahud awal setelah membaca salawat kepada Nabi. Pada dua rakaat terakhir, imam cukup membaca surat al-Fatihah, tidak usah menambah-nambahnya lagi. Juga ketika tasyahud akhir imam cukup membaca tasyahud dan salawat ke­pada Rasulullah Saw. Ketika bersalam, imam hendaknya berniat memberikan salam kepada semua jamaah se­dangkan jamaah atau makmum dengan salamnya berniat menjawab salam imam. Setelah itu imam berdiam se­bentar dan menghadap kepada para jamaah. Jika yang ada di belakangnya adalah para wanita, maka ia tidak usah menoleh sampai mereka bubar. Hendaknya mak­mum tidak berdiri sampai imam berdiri, lalu imam per­gi entah ke arah kanan atau tapi lebih baik ke arah kanan.
Imam tidak boleh berdoa untuk dirinya sendiri da­lam membaca qunut subuh tapi hendaknya ia meng­ucapkan Allahumma ihdina (Ya Allah, tunjukkan kami) dengan suara nyaring, sedangkan para makmum mengamininya tanpa mengangkat tangan mereka ka­rena hal itu tak terdapat dalam riwayat. Selebihnya makmum membaca sendiri sisa dari doa qunut tersebut, yakni dimulai dari Innaka la yaqdhi wa la yuqdha ‘alaika. Makmum tidak boleh berdiri sendirian secara terpisah, Ia harus masuk ke dalam barisan atau menarik orang lain untuk membuat barisan dengannya. Makmum tak boleh berdiri di depan iman, mendahului, atau bergerak secara bersamaan dengan gerakan imam. Tapi, Ia harus melakukannya sesudah imam. Ia tak boleh ru­kuk kecuali setelah imam sempurna dalam posisi rukuk. Begitu pun, ia tak boleh sujud selama dahi imam belum sampai di tanah.

04. Adab Salat Jum’at

Ketahuilah bahwa Jum’at merupakan hari raya bagi orang-orang yang beriman. Ia merupakan hari mulia yang khusus diperuntukkan Allah bagi umat ini. Di da­lamnya ada saat-saat penting yang apabila seorang muk­min meminta kebutuhannya kepada Allah SWT, pasti Allah akan mengabulkan. Oleh karena itu, persiapkan­lah dirimu untuk menghadapi hari raya tersebut semen­jak hari Kamis dengan cara membersihkan pakaian dan banyak bertasbih dan istigfar pada Kamis petang (sore)-nya, karena keutamaan saat itu sama dengan keutamaan hari Jumat. Berniatlah untuk berpuasa untuk hari Jumat. Te­tapi harus dengan hari Kamis atau hari Sabtu, tidak boleh dikerjakan pada hari Jumat saja.
Jika subuh telah tiba, mandilah dengan niat mandi Jumat karena mandi pada hari Jumat hukumnya sunah muakkad. Kemudian berhiaslah dengan memakai pakai­an putih karena itulah pakaian yang paling dicintai Allah Swt, lalu pakailah parfum yang paling wangi yang ka­mu miliki, dan bersihkan badanmu dengan bercukur rambut, menggunting kuku, bersiwak, dan yang lainnya, kemudian segeralah bergegas menuju mesjid dan berjalanlah dengan perlahan dan tenang. Nabi Saw. ber­sabda, “Siapa yang pergi untuk salat Jumat di waktu yang pertama seakan-akan ia telah berkurban unta, si­apa yang pergi pada waktu kedua seakan-akan ia ber­kurban sapi betina, siapa yang pergi di waktu ketiga, seakan-akan ia berkurban kambing kibas, siapa yang pergi di waktu ke empat seakan-akan ia berkurban ayam, siapa yang pergi di waktu kelima seakan-akan ia ber­kurban telur. Jika imam sudah keluar atau naik mim­bar, maka lembaran-lembaran itu pun dilipat dan pena­-pena diangkat, sementara para malaikat berkumpul di mimbar untuk mendengarkan zikir / peringatan.”
Disebutkan bahwa kedekatan manusia dalam pan­dangan Allah SWT, bergantung pada cepatnya mereka menuju salat Jumat. Kemudian, apabila engkau berada di mesjid, usahakan untuk berada di shaf yang pertama. Jika manusia sudah banyak berkerumun, jangan mele­wati pundak mereka dan jangan pula lewat di hadapan mereka yang sedang salat. Duduklah dekat tembok agar mereka tidak lewat di depanmu. Sebelum itu lakukan­lah salat tahiyyatul masjid. Lebih baik lagi, kalau engkau salat sebanyak empat rakaat. Dalam setiap rakaat, sete­lah membaca surat al-Fatihah, engkau membaca surat al-­Ikhlas sebanyak lima puluh kali. Disebutkan dalam satu riwayat bahwa siapa yang melakukan amalan tersebut, ia tidak akan meninggal dunia sampai melihat tempat du­duknya di surga atau hal itu diperlihatkan padanya. Jangan sampai engkau meninggalkan salat tahiyyatul masjid walaupun imam sedang berkhotbah. Disunahkan agar dalam empat rakaat itu engkau membaca surat al-­An’am, surat al-Kahfi, surat Thaha, dan surat Yasin. Jika tidak mampu, engkau bisa membaca surat Yásin, surat ad-Dukhan’ , surat Alif Lam Mim, as-Sajadah, dan surat al-Mulk. Sebaiknya engkau membaca surat tersebut pa­da malam Jumat karena di dalamnya banyak sekali ke­utamaan. Siapa yang tak bisa, perbanyaklah membaca surat al-Ikhlas.
Perbanyaklah membaca salawat atas Rasulullah SAW. khususnya pada hari tersebut. Manakala imam atau khatib sudah naik mimbar, berhentilah dari salat dan berbicara. Sibukkan dirimu dengan menjawab panggilan azan serta dengan mendengarkan khotbah dan ceramah. Sama sekali tak boleh berbicara ketika khatib sedang berkhotbah. Dalam riwayat disebutkan, “Siapa yang ber­kata kepada temannya, `Diamlah” saat imam berkhot­bah maka ia telah berbuat sia-sia. Dan siapa yang ber­buat sia-sia, maka ia tak mendapat keutamaan Jumat.” itu karena perintah diam itu sendiri berbentuk ucapan. Sebaiknya larangan diberikan dalam bentuk isyarat, bu­kan dengan kata-kata.
Lalu ikutilah perbuatan imam seperti telah disebut­kan sebelumnya. Apabila telah selesai, sebelum berbi­cara bacalah surat al-Fatihah, surat al-Ikhlas, surat al‑Falaq dan surat an-Naas, masing-masing tujuh kali. Itu akan melindungimu dari Jumat ke Jumat, juga akan menjagamu dari setan. Setelah itu, bacalah:
“Allahumma yaa ghaniyy yaa hamiid yaa Mubdii yaa mu’iid  yaa rahiimi yaa waduud aghninii bihalalika ‘an haramika bi fadhlika ‘an ma’shiyatika wabifadhlika ‘amman siwaak.”
“Ya Allah wahai Zat Yang Mahakaya, Maha Terpuji, Maha Memulai, Maha Mengembalikan, Maha Penya­yang, dan Maha Pemberi. Berilah kecukupan padaku dengan yang halal bukan yang haram; dengan taat, bu­kan maksiat; dan dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.”
Setelah itu, lakukanlah salat dua rakaat atau enam rakaat yang dilakukan dengan dua-dua. Semua itu ter­dapat dalam riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw. dalam kondisi yang berbeda-beda.
Kemudian menetaplah di mesjid sampai waktu maghrib atau asar. Hendaknya engkau selalu memperhatikan waktu yang mulia. Sebab, waktu mulia tersebut terdapat sepanjang hari itu, tapi tidak ditentukan secara pasti. Mudah-mudahan engkau memperolehnya ketika sedang berada dalam kondisi yang khusyuk dan tunduk kepa­da Allah SWT. Selama di mesjid, jangan engkau mende­kati majelis cerita dan kisah. Tapi, hendaknya engkau menghampiri majelis yang berisi ilmu yang bermanfaat. Majelis itulah yang bisa membuatmu lebih takut kepada Allah dan membuatmu kurang cinta pada dunia. Jika suatu ilmu tak mampu mengajakmu untuk meninggal­kan dunia menuju akhirat, maka lebih baik tak usah mengetahui ilmu tersebut. Berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tak bermanfaat.
Perbanyaklah berdoa ketika matahari terbit, tergelin­cir, dan terbenam, ketika khatib naik mimbar, dan ke­tika orang-orang berdiri untuk menunaikan salat, karena kemungkinan besar itulah waktu-waktu yang mulia.
Berusahalah untuk bersedekah semampumu pada hari tersebut walaupun sedikit. Dengan demikian, eng­kau telah mengumpulkan antara salat, puasa, sedekah, membaca Alquran, zikir, dan iktikaf. Jadikan hari ter­sebut sebagai waktu yang khusus kau peruntukkan bagi akhiratmu ; barangkali is menjadi penebus dosa bagi hari-hari lainnya dalam seminggu.

B. Bagian Kedua: Menghindari Maksiat

Ketahuilah, bahwa agama Islam terdiri atas dua ba­gian: meninggalkan apa yang dilarang dan melakukan amal ketaatan. Meninggalkan apa yang dilarang jauh lebih sulit karena melakukan amal ketaatan dapat di­lakukan setiap orang, sedangkan meninggalkan syahwat hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang tergolong shid­diqun. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. bersabda, “Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan keburukan, sedangkan orang yang berjihad adalah yang berjuang melawan hawa nafsunya.” Ketahuilah bahwa ketika engkau bermaksiat sesungguhnya engkau melakukan maksiat tersebut dengan anggota badanmu padahal ia merupakan nikmat dan amanat Allah yang diberikan kepadamu. Mempergunakan nikmat Allah dalam rang­kat bermaksiat kepada-Nya adalah puncak kekufuran. Dan berkhianat terhadap amanat yang dititipkan Allah kepadamu betul-betul merupakan perbuatan yang me­lampaui batas. Anggota badanmu adalah rakyat atau gembalaanmu, maka perhatikan dengan baik bagaimana kamu menggembalakan mereka. Masing-masing kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung ja­wab atas yang dipimpinnya. Sadarlah bahwa semua anggota badanmu akan menjadi saksi atasmu pada hari kiamat dengan lidah yang fasih. Ia akan menyingkap rahasiamu di hadapan semua makhluk. Allah Swt. berfirman, “Pada hari dimana lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas perbuatan yang kalian lakukan” (Q.S. an-Nur: 24) Allah Swt berfirman, “Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka sedangkan tangan mereka berbicara pada Kami dan kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Yasin: 65).
Oleh karena itu, peliharalah semua anggota badanmu dari maksiat, khususnya tujuh anggota badanmu karena neraka Jahannam memiliki tujuh pintu. Masing-masing mereka mempunyai bagian tersendiri. Yang masuk ke dalam pintu-pintu neraka Jahannam itu adalah mereka yang bermaksiat kepada Allah Swt. dengan tujuh anggota badan tersebut, yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.
Mata diciptakan agar bisa memberi petunjuk padamu di waktu gelap, agar bisa kau pergunakan pada saat diperlukan, agar dengannya engkau melihat semua keajaiban langit dan bumi, dan agar engkau bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Maka dari itu, peliharalah matamu itu dari empat hal: melihat yang bukan mahram-nya, melihat gambar bagus dengar syahwat, melihat seorang muslim dengan pandangan meremehkan, serta melihat aib seorang muslim.
Adapun telinga, maka peliharalah ia agar tidak mendengar bidah, gibah, perkataan keji, takut pada kebatilan, atau kejelekan orang. Telinga tersebut diciptakan untukmu agar engkau bisa mendengar kalam Allah Swt, sunah Rasulullah Saw, dan kata hikmah para wali serta agar engkau bisa mempergunakannya untuk bisa menggapai surga yang penuh kenikmatan, kekal abadi di sisi Tuhan Penguasa alam semesta. Jika engkau mempergunakan telinga tersebut pada sesuatu yang dibenci ia akan menjadi beban atau musuh bagimu. Begitu pula ia akan berbalik arah dari yang seharusnya bisa mengantarkanmu menuju kesuksesan, menjadi mengantarkanmu menuju kehancuran. Ini benar-benar merupakan kerugian. Jangan engkau mengira bahwa dosanya hanya dibebankan kepada si pembicara, sedangkan si pende­ngar terbebas dari dosa. Karena, dalam riwayat disebut­kan, pendengar adalah sekutu bagi yang berbicara. Ia adalah salah satu pihak dari dua orang yang sedang bergibah (bergunjing).
Adapun lidah, maka ia diciptakan agar dengannya engkau bisa banyak berzikir kepada Allah Swt, mem­baca Kitab Suci-Nya, memberi petunjuk kepada makh­luk Allah lainnya, serta mengungkapkan kebutuhan agama dan duniamu yang tersimpan dalam hati. Apa­bila engkau mempergunakannya bukan pada tujuan yang telah digariskan berarti engkau telah kufur terhadap nik­mat Allah Swt. Lidah merupakan anggota badanmu yang paling dominan. Tidaklah manusia diceburkan ke dalam api neraka melainkan sebagai akibat dari apa yang di­lakukan oleh lidah. Maka peliharalah ia dengan semua kekuatan yang kau miliki agar ia tidak menjerumuskan­mu ke dalam dasar neraka. Sebuah riwayat menyebut­kan, “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kata yang dengannya ia ingin membuat teman-teman­uya tertawa, namun karena itu ia jatuh ke dasar neraka selama tujuh puluh musim.” Dalam riwayat lain dise­butkan bahwa ada seorang syahid yang terbunuh di da­lam peperangan pada masa Rasulullah Saw. Lalu sese­orang berkata, “Selamat baginya yang telah memperoleh surga!” Tapi Rasul Saw. kemudian bersabda, “Dari mana engkau tahu? Barangkali ia pernah mengatakan sesuatu yang tak berguna dan bakhil terhadap sesuatu yang takkan pernah mencukupinya.” Maka, peliharalah lidah­mu dari delapan perkara:
Pertama: berdusta. Jagalah lidahmu agar jangan sam­pai berdusta baik dalam keadaan yang serius maupun bercanda. Jangan kau biasakan dirimu berdusta dalam canda karena hal itu akan mendorongmu untuk ber­dusta dalam hal yang bersifat serius. Berdusta termasuk induk dosa-dosa besar. Kemudian, jika engkau dikenal mempunyai sifat seperti itu (pendusta) maka orang tak akan percaya pada perkataanmu dan untuk selanjutnya engkau akan hina dan dipandang sebelah mata. Apabila engkau ingin mengetahui busuknya perkataan dusta yang ada pada dirimu, maka lihatlah perkataan dusta yang dilakukan orang lain serta bagaimana engkau membenci, meremehkan, dan tidak menyukainya. La­kukanlah hal semacam itu pada semua aib dirimu. Se­sungguhnya engkau tidak mengetahui aibmu lewat diri­mu sendiri tapi lewat orang lain. Apa yang kau benci dari orang lain, pasti juga orang lain membencinya dari­mu. Oleh karenanya, jangan kau biarkan hal itu ada pada dirimu.
Kedua: menyalahi janji. Engkau tak boleh menjanji­kan sesuatu tapi kemudian tidak menepatinya. Hendak­nya engkau berbuat baik kepada manusia dalam bentuk tingkah laku, bukan dalam bentuk perkataan. Jika eng­kau terpaksa harus berjanji, jangan sampai kau ingkari janji tersebut, kecuali jika engkau betul-betul tak ber­daya atau ada halangan darurat. Sebab, menyalahi janji merupakan salah satu dari tanda-tanda nifak dan buruk­nya akhlak. Nabi Saw. bersabda, “Ada tiga hal, yang jika ada di antara kalian yang jatuh ke dalamnya maka ia termasuk munafik, walaupun ia puasa dan salat. Ya­itu, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.”
Ketiga: gibah (menggunjing). Peliharalah lidahmu dari menggunjing orang. Dalam Islam, orang yang melaku­kan perbuatan tersebut lebih hebat daripada tiga puluh orang pezina. Begitulah yang terdapat dalam riwayat. Makna gibah adalah membicarakan seseorang dengan sesuatu yang ia benci jika ia mendengarnya. Jika hal itu engkau lakukan, maka engkau adalah orang yang telah melakukan gibah dan aniaya, walaupun engkau berkata benar. Hindarilah untuk menggunjing secara halus. Ya­itu, misalnya engkau nyatakan maksudmu secara tidak Iangsung dengan berkata, “Semoga Allah memperbaiki orang itu. Sungguh tindakannya sangat buruk padaku. Kita meminta kepada Allah agar Dia memperbaiki kita dan dia.” Di sini terkumpul dua hal yang buruk, yaitu gibah (karena dari pernyataanya kita bisa memahami hal itu) dan merasa bahwa diri sendiri bersih tidak ber­salah. Tapi, jika engkau benar-benar bermaksud men­doakannya, maka berdoalah secara rahasia jika engkau merasa berduka dengan perbuatannya. Dengan demi­kian, jelaslah bahwa engkau tak ingin membuka rahasia dan aibnya. Kalau engkau menampakkan dukamu ka­rena aibnya, berarti engkau sedang membuka aibnya. Cukuplah firman Allah Swt. ini menghalangimu dari gibah, “Jangan sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian senang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Pasti kalian tidak me­nyukainya” (Q.S. al-Hujurat: 12).
Allah mengibaratkanmu dengan pemakan bangkai manusia. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika engkau menghindari perbuatan tersebut. Jika engkau mau me­renung, engkau tak akan menggunjing sesama muslim. Lihatlah pada dirimu, apakah dirimu itu mempunyai aib, baik yang tampak secara lahiriah maupun yang ter­sembunyi? Apakah engkau sudah meninggalkan mak­siat, baik secara rahasia maupun terang-terangan? Jika engkau menyadari hal itu, ketahuilah bahwa ketidak­berdayaan seseorang untuk menghindari apa yang kau nisbatkan padanya sama seperti ketidakberdayaanmu. Sebagaimana engkau tidak suka jika kejelekanmu di­sebutkan, ia juga demikian. Apabila engkau mau me­nutupi aibnya, niscaya Allah akan menutupi aibmu. Ta­pi apabila engkau membuka aibnya, Allah akan jadikan lidah-lidah yang tajam mencabik-cabik kehormatanmu di dunia, lalu Allah akan membuka aibmu di akhirat di hadapan para makhluk-Nya pada hari kiamat. Apabila engkau melihat lahir dan batinmu lalu engkau tidak menemukan aib dan kekurangan, baik dari aspek aga­ma maupun dunia, maka ketahuilah bahwa ketidaktahuanmu terhadap aibmu itu merupakan kedunguan yang sangat buruk. Tak ada aib yang lebih hebat daripada kedunguan tersebut. Sebab, jika Allah menginginkan ke­baikan bagimu, niscaya Dia akan memperlihatkan aib-­aibmu. Tapi, apabila engkau melihat dirimu dengan pan­dangan rida, hal itu merupakan puncak kebodohan. Selanjutnya, jika sangkaanmu memang benar, bersyu­kurlah pada Allah Swt. Jangan malah engkau rusak de­ngan mencela dan menghancurkan kehormatan mereka. Sebab, hal itu merupakan aib yang paling besar.
Keempat: mendebat orang. Karena, dengan mende­bat, kita telah menyakiti, menganggap bodoh, dan men­cela orang yang kita debat. Selain itu, kita menjadi ber­bangga diri serta merasa lebih pandai dan berilmu. Ia juga menghancurkan kehidupan. Manakala engkau mendebat orang bodoh, ia akan menyakitimu. Sedang­kan manakala engkau mendebat orang pandai, ia akan membenci dan dengki padamu. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang meninggalkan perdebatan sedang ia dalam keadaan salah, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di tepi surga. Dan siapa yang meninggal­kan perdebatan padahal dia dalam posisi yang benar Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di sur­ga yang paling tinggi.”
Jangan sampai engkau tertipu oleh setan yang ber­kata padamu, “Tampakkan yang benar, jangan bersikap lemah!” Sebab, setan selalu akan menjerumuskan orang dungu kepada keburukan dalam bentuk kebaikan. Jangan sampai engkau menjadi bahan tertawaan setan sehingga dia mengejekmu. Menampakkan kebenaran kepada mereka yang mau menerimanya adalah suatu kebaikan. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan cara memberikan nasihat secara rahasia bukan dengan cara mendebat. Se­buah nasihat memiliki karakter dan bentuk tersendiri. Harus dilakukan dengan cara yang baik. Jika tidak, ia hanya akan mencemarkan aib orang. Sehingga kebu­kannya lebih banyak daripada kebaikan yang ditim­hulkannya. Orang yang sering bergaul dengan para fa­kih zaman ini memiliki karakter suka berdebat sehingga ia sulit diam. Sebab, para ulama su’ tersebut mengata­kan padanya bahwa berdebat merupakan sesuatu yang mulia dan mampu berdiskusi merupakan satu kebang­gaan. Oleh karena itu, hindarilah mereka sebagaimana engkau menghindar dari singa. Ketahuilah, perdebatan merupakan sebab datangnya murka Allah dan murka makhluk-Nya.
Kelima: mengklaim diri bersih dari dosa. Allah Swt. berfirman, “Jangan kalian merasa suci. Dia yang lebih me­ngetahui siapa yang bertakwa” (Q.S. an-Najm: 32). Seba­gian ahli hikmat ditanya, “Apa itu jujur yang buruk?” Mereka menjawab, “Seseorang yang memuji dirinya sendiri.” Janganlah engkau terbiasa demikian. Ketahui­lah bahwa hal itu akan mengurangi kehormatanmu di mata manusia dan mengakibatkan datangnya murka Allah Swt. Jika engkau ingin membuktikan bahwa membanggakan diri tak membuat manusia bertambah hormat padamu, lihatlah pada para kerabatmu manakala mereka membanggakan kemuliaan, kedudukan, dan har­ta mereka sendiri, bagaimana hatimu membenci mereka dan muak atas tabiat mereka. Lalu engkau mencela me­reka di belakang mereka. Jadi sadarlah bahwa mereka juga bersikap demikian ketika engkau mulai membang­gakan diri. Di dalam hatinya, mereka mencelamu dan hal itu akan mereka ungkapkan ketika mereka tidak ber­ada di hadapanmu.
Keenam: mencela. Jangan sampai engkau mencela ciptaan Allah Swt, baik itu hewan, makanan, ataupun manusia. Janganlah engkau dengan mudah memastikan seseorang yang menghadap kiblat sebagai kafir, atau munafik. Karena, yang mengetahui semua rahasia hanyalah Allah Swt. Oleh karena itu, jangan mencampuri urusan antara hamba dan Allah Swt. Ketahuilah bahwa pada hari kiamat engkau tak akan ditanya, “Mengapa engkau tidak mencela si fulan? Mengapa engkau men­diamkannya?” Bahkan, walaupun engkau tidak mencela iblis sepanjang hidupmu dan engkau melupakannya, engkau tetap tak akan ditanya tentang hal itu serta tak akan dituntut karenanya pada hari kiamat. Tapi, jika engkau mencela salah satu makhluk Allah Swt. baru engkau akan dituntut. Jangan engkau mencerca sesuatu pun dari makhluk Allah Swt. Nabi Saw. sendiri sama sekali tidak pernah mencela makanan yang tidak enak. Jika beliau berselera dengan sesuatu, beliau memakan­nya. Jika tidak, beliau tinggalkan.
Ketujuh: mendoakan keburukan bagi orang lain. Pe­liharalah lidahmu untuk tidak mendoakan keburukan bagi suatu makhluk Allah Swt. Jika ia telah berbuat aniaya padamu, maka serahkan urusannya pada Allah Swt. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Seorang yang dianiaya mendoakan keburukan bagi yang menganiaya dirinya sehingga menjadi imbang, kemudian yang meng­aniaya masih memiliki satu kelebihan yang bisa ia tuntut kepadanya pada hari kiamat.” Sebagian orang terus mendoakan keburukan bagi Hajjaj sehingga sebagian salaf berkata, “Allah menghukum orang-orang yang te­lah mencela Hajjaj untuknya, sebagaimana Allah meng­hukum Hajjaj untuk orang yang telah ia aniaya.”
Kedelapan: bercanda, mengejek, dan menghina orang. Peliharalah lidahmu baik dalam kondisi serius maupun canda karena ia bisa menjatuhkan kehormatan, menu­runkan wibawa, membuat risau, dan menyakiti hati. Ia juga merupakan pangkal timbulnya murka dan marah serta dapat menanamkan benih-benih kedengkian di da­lam hati. Oleh karena itu, jangan engkau bercanda de­ngan seseorang dan jika ada yang bercanda denganmu,jangan kau balas. Berpalinglah sampai mereka mem­bicarakan hal lain.
Semua itu merupakan cacat yang terdapat pada li­dah. Yang perlu kau lakukan adalah mengasingkan diri atau senantiasa diam kecuali dalam keadaan darurat. diceritakan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. meletak­an sebuah batu di mulutnya agar tidak berbicara ke­uali saat perlu saja. Beliau menunjuk lidahnya lalu berkata, “Inilah yang menjadi segala sumber bagiku. kekanglah ia sekuat tenagamu, karena ia merupakan faktor utama yang membuatmu celaka di dunia dan akhirat.”
Adapun perut, maka jangan kau isi ia dengan ba­rang haram atau syubhat. Berusahalah untuk mencari yang halal. Jika engkau telah mendapatkan yang halal, berusahalah mengkonsumsinya tidak sampai kenyang. Sebab, perut yang kenyang bisa membekukan hati, me­rusak akal, menghilangkan hafalan, memberatkan ang­gota badan untuk beribadah dan menuntut ilmu, mem­perkuat syahwat, serta membantu tentara setan. Jika kenyang dari makanan halal merupakan awal segala keburukan, bagaimana jika dari yang haram? Mencari sesuatu yang halal merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Beribadah dan menuntut ilmu yang disertai mengkonsumsi makanan haram seperti membangun di atas kotoran hewan. Apabila engkau merasa cukup sela­ma setahun memakai baju yang kasar, lalu selama se­hari semalam memakan dua potong roti garing, lalu engkau tidak menikmati apa yang lezat bagi manusia, maka engkau tak butuh pada yang lain. Barang yang halal sangat banyak. Engkau tidak perlu meyakinkan dirimu dengan menyelidiki hal-hal yang tersembunyi. Tapi engkau harus menjaga diri dari yang sudah jelas kau ketahui bahwa itu adalah haram. Atau setelah di­lihat dari ciri-ciri yang terkait dengan harta tersebut, engkau bisa menduga bahwa itu adalah haram. Apayang sudah diketahui tampak jelas secara lahir, semen­tara yang bersifat dugaan tampak dengan adanya ciri­ciri. Misalnya harta penguasa dan para pekerjanya, har­ta orang yang tak bekerja kecuali dengan cara menjual khamar, riba, judi, dan sebagainya. Jika engkau tahu bahwa sebagian besar hartanya adalah haram, maka apa yang kau terima darinya, walaupun mungkin halal, ia termasuk haram karena adanya dugaan yang kuat tadi. Yang jelas-jelas haram adalah memakan harta wakaf tanpa izin atau syarat dari si pemberi wakaf. Siapa yang melakukan maksiat, kesaksiannya tertolak, dan wakaf atau apa pun yang ia terima atas nama kesufian adalah haram.
Kami telah menyebutkan hal-hal yang terkait dengan masalah syubhat, halal, dan haram dalam satu kajian tersendiri pada kitab Ihya Ulumiddin. Pelajarilah kitab tersebut karena mengetahui yang halal dan haram wajib hukumnya bagi setiap muslim sebagaimana salat lima waktu.
Adapun kemaluan, peliharalah ia dari semua yang diharamkan Allah. Jadilah sebagaimana yang disebut­kan Allah Swt, “Mereka yang menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau sahaya yang mereka miliki, maka mereka tak dapat dicela” (Q.S. al-Mukminun: 5-6). Engkau baru bisa menjaga kemaluan dengan men­jaga pandangan mata, menjaga hati untuk tidak mere­nungkannya, serta menjaga perut dari yang syubhat dan dari rasa kenyang. Karena, semua itu merupakan peng­gerak dan tempat tumbuhnya syahwat.
Kedua tangan, harus engkau pelihara agar ia tidak kau jadikan alat untuk memukul seorang rnuslim, untuk mendapat harta haram, untuk menyakiti sesama makh­luk, untuk berkhianat terhadap amanat dan titipan, ser­ta untuk menuliskan sesuatu yang tak boleh diucapkan karena pena merupakan lidah pula. Oleh karena itu,peliharalah pena tersebut sebagaimana engkau menjaga lidah.
Janganlah engkau pergunakan kedua kaki untuk menuju pintu seorang penguasa lalim. Sebab, berjalan menuju para penguasa lalim tanpa ada keperluan me­rupakan maksiat yang besar karena berarti ia bersikap tawadu dan memuliakan mereka yang telah berbuat la­lirn. Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk ber­paling dari mereka dalam firman-Nya yang berbunyi, “Janganlah kalian condong kepada mereka yang telah berbuat lalim, niscaya kalian tersentuh api neraka dan kalian tidak mempunyai penolong selain Allah. Lalu kalian tidak ditolong” (QS. Hud: 113). Jika engkau pergi menemui mereka un­tuk mendapat harta, berarti engkau berusaha meraih sesuatu yang haram. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang bersikap merendah kepada orang kaya, sepertiga aga­manya telah hilang.” ini terhadap orang kaya yang sa­leh, lalu bagaimana merendah terhadap orang kaya yang lalim?
Ringkasnya, ketika engkau bergerak dan diam de­ngan anggota badanmu, itu semua merupakan nikmat Allah Swt. Maka dari itu, janganlah engkau menggerak­kan anggota badanmu dalam rangka maksiat kepada Allah. Tetapi pergunakanlah untuk taat kepada-Nya. Ke­tahuilah, jika engkau tak patuh maka bencananya akan kembali padamu, sementara jika kamu mau menanam, maka buahnya akan menjadi milikmu. Adapun Allah, Dia tak butuh padamu dan tak butuh pada amal per­buatanmu. Setiap jiwa tergantung pada amal perbuatan­nya. Jangan sampai engkau berkata, “Allah Maha Pe­murah Dan Maha Penyayang. Dia Maha Mengampuni dosa mereka yang bermaksiat.” Ini merupakan ungkapan yang benar tapi ditujukan pada sesuatu yang batil. Orang yang mengucapkannya termasuk dungu seperti kata Rasul Saw., “Orang yang cerdik adalah yang bisa menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk hari sesudah mati. Sedangkan orang yang dungu adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”.
Ketahuilah bahwa ucapanmu itu seperti ucapan se­seorang yang ingin menjadi fakih dalam ilmu agama tanpa mau belajar, tapi justru sibuk dengan sesuatu yang batil lalu berkata, “Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Dia Maha berkuasa untuk mencurahkan ke dalam hatiku berbagai ilmu yang Dia tanamkan di hati para nabi dan wali-Nya tanpa usaha dan belajar.” Itu seperti ucapan orang yang menginginkan harta, tapi tak mau menanam, berdagang, atau berusaha kemudian berujar, “ Allah Maha Pemurah. Dia memiliki kekayaan langit dan bumi. Dia Maha Berkuasa untuk memberikan kepadaku sebagian dari khazanah kekayaan-Nya sehingga aku tak perlu bekerja. Hal itu telah Dia lakukan kepada para hamba-Nya.” Jika engkau mendengar ucapan kedua orang di atas, engkau pasti menganggap kedua orang itu bodoh dan engkau pasti mengejeknya walaupun sifat pemurah dan kuasa Allah yang ia sebutkan benar. Demikian pula, Orang-orang yang alim dalam bidang-bidang agama akan menertawakanmu jika engkau menuntut ampunan tanpa ada usaha. Allah Swt. berfirman, “Bagi manusia apa yang ia usahakan” (Q.S. an-Najm: 39), “Kaliaan dibalas sesuai dengan amal perbuatan kalian” (Q.S. ath-Thar: 16), “Orang-orang abrar (berbuat baik) berada dalam kenikmatan sedangkan mereka yang selalu berbuat dosa berada di neraka Jahim” (Q.S. al-Infithar: 13-14).
Apabila engkau tetap menuntut ilmu dan mencari harta dengan bersandar pada kemurahan-Nya serta terus membekali diri untuk akhirat, maka Tuhan Pemelihara dunia dan akhirat adalah satu. Dia Maha Pemurah dan Penyayang baik di dunia maupun di akhirat. Ketaatanmu tidak membuat-Nya bertambah pemurah. Ha­nya saja, kemurahan-Nya adalah Dia memudahkan jalan menuju negeri kenikmatan yang abadi dan kekal dengan senantisa sabar dalam meninggalkan syahwat selama beberapa saat. Ini merupakan puncak kemurahan. Jangan engkau rusak dirimu dengan ajaran jahat para pengangguran. Ikutilah para nabi dan orang-orang saleh. Jangan engkau terlalu berharap bisa memanen se­suatu yang tak kau tanam. Sedangkan orang yang ber­puasa, salat, berjihad, serta bertakwa, semoga ia diam­puni.
Ini adalah beberapa hal yang patut dipelihara oleh anggota badanmu. Engkau juga harus membersihkan hatimu karena ia merupakan bentuk ketakwaan secara batin. Hati adalah segumpal daging yang jika baik ma­ka seluruh badan menjadi baik. Tapi jika segumpal da­ging itu rusak, maka seluruh badan menjadi rusak. Ber­usahalah untuk memperbaiki hatimu itu agar seluruh anggota badanmu juga baik. Hati menjadi baik dengan selalu merasakan kehadiran Allah.

Seputar Maksiat Hati

Ketahuilah, bahwa agama Islam terdiri atas dua ba­gian: meninggalkan apa yang dilarang dan melakukan amal ketaatan.
Meninggalkan apa yang dilarang jauh lebih sulit karena melakukan amal ketaatan dapat di­lakukan setiap orang, sedangkan meninggalkan syahwat hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang tergolong shid­diqun. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. bersabda, “Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan keburukan, sedangkan orang yang berjihad adalah yang berjuang melawan hawa nafsunya.” Ketahuilah bahwa ketika engkau bermaksiat sesungguhnya engkau melakukan maksiat tersebut dengan anggota badanmu padahal ia merupakan nikmat dan amanat Allah yang diberikan kepadamu. Mempergunakan nikmat Allah dalam rang­kat bermaksiat kepada-Nya adalah puncak kekufuran. Dan berkhianat terhadap amanat yang dititipkan Allah kepadamu betul-betul merupakan perbuatan yang me­lampaui batas. Anggota badanmu adalah rakyat atau gembalaanmu, maka perhatikan dengan baik bagaimana kamu menggembalakan mereka. Masing-masing kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung ja­wab atas yang dipimpinnya. Sadarlah bahwa semua anggota badanmu akan menjadi saksi atasmu pada hari kiamat dengan lidah yang fasih. Ia akan menyingkap rahasiamu di hadapan semua makhluk. Allah Swt. berfirman, “Pada hari dimana lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas perbuatan yang kalian lakukan” (Q.S. an-Nur: 24) Allah Swt berfirman, “Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka sedangkan tangan mereka berbicara pada Kami dan kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Yasin: 65).
Oleh karena itu, peliharalah semua anggota badanmu dari maksiat, khususnya tujuh anggota badanmu karena neraka Jahannam memiliki tujuh pintu. Masing-masing mereka mempunyai bagian tersendiri. Yang masuk ke dalam pintu-pintu neraka Jahannam itu adalah mereka yang bermaksiat kepada Allah Swt. dengan tujuh anggota badan tersebut, yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.
Mata diciptakan agar bisa memberi petunjuk padamu di waktu gelap, agar bisa kau pergunakan pada saat diperlukan, agar dengannya engkau melihat semua keajaiban langit dan bumi, dan agar engkau bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Maka dari itu, peliharalah matamu itu dari empat hal: melihat yang bukan mahram-nya, melihat gambar bagus dengar syahwat, melihat seorang muslim dengan pandangan meremehkan, serta melihat aib seorang muslim.
Adapun telinga, maka peliharalah ia agar tidak mendengar bidah, gibah, perkataan keji, takut pada kebatilan, atau kejelekan orang. Telinga tersebut diciptakan untukmu agar engkau bisa mendengar kalam Allah Swt, sunah Rasulullah Saw, dan kata hikmah para wali serta agar engkau bisa mempergunakannya untuk bisa menggapai surga yang penuh kenikmatan, kekal abadi di sisi Tuhan Penguasa alam semesta. Jika engkau mempergunakan telinga tersebut pada sesuatu yang dibenci ia akan menjadi beban atau musuh bagimu. Begitu pula ia akan berbalik arah dari yang seharusnya bisa mengantarkanmu menuju kesuksesan, menjadi mengantarkanmu menuju kehancuran. Ini benar-benar merupakan kerugian. Jangan engkau mengira bahwa dosanya hanya dibebankan kepada si pembicara, sedangkan si pende­ngar terbebas dari dosa. Karena, dalam riwayat disebut­kan, pendengar adalah sekutu bagi yang berbicara. Ia adalah salah satu pihak dari dua orang yang sedang bergibah (bergunjing).
Adapun lidah, maka ia diciptakan agar dengannya engkau bisa banyak berzikir kepada Allah Swt, mem­baca Kitab Suci-Nya, memberi petunjuk kepada makh­luk Allah lainnya, serta mengungkapkan kebutuhan agama dan duniamu yang tersimpan dalam hati. Apa­bila engkau mempergunakannya bukan pada tujuan yang telah digariskan berarti engkau telah kufur terhadap nik­mat Allah Swt. Lidah merupakan anggota badanmu yang paling dominan. Tidaklah manusia diceburkan ke dalam api neraka melainkan sebagai akibat dari apa yang di­lakukan oleh lidah. Maka peliharalah ia dengan semua kekuatan yang kau miliki agar ia tidak menjerumuskan­mu ke dalam dasar neraka. Sebuah riwayat menyebut­kan, “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kata yang dengannya ia ingin membuat teman-teman­uya tertawa, namun karena itu ia jatuh ke dasar neraka selama tujuh puluh musim.” Dalam riwayat lain dise­butkan bahwa ada seorang syahid yang terbunuh di da­lam peperangan pada masa Rasulullah Saw. Lalu sese­orang berkata, “Selamat baginya yang telah memperoleh surga!” Tapi Rasul Saw. kemudian bersabda, “Dari mana engkau tahu? Barangkali ia pernah mengatakan sesuatu yang tak berguna dan bakhil terhadap sesuatu yang takkan pernah mencukupinya.” Maka, peliharalah lidah­mu dari delapan perkara:
Pertama: berdusta. Jagalah lidahmu agar jangan sam­pai berdusta baik dalam keadaan yang serius maupun bercanda. Jangan kau biasakan dirimu berdusta dalam canda karena hal itu akan mendorongmu untuk ber­dusta dalam hal yang bersifat serius. Berdusta termasuk induk dosa-dosa besar. Kemudian, jika engkau dikenal mempunyai sifat seperti itu (pendusta) maka orang tak akan percaya pada perkataanmu dan untuk selanjutnya engkau akan hina dan dipandang sebelah mata. Apabila engkau ingin mengetahui busuknya perkataan dusta yang ada pada dirimu, maka lihatlah perkataan dusta yang dilakukan orang lain serta bagaimana engkau membenci, meremehkan, dan tidak menyukainya. La­kukanlah hal semacam itu pada semua aib dirimu. Se­sungguhnya engkau tidak mengetahui aibmu lewat diri­mu sendiri tapi lewat orang lain. Apa yang kau benci dari orang lain, pasti juga orang lain membencinya dari­mu. Oleh karenanya, jangan kau biarkan hal itu ada pada dirimu.
Kedua: menyalahi janji. Engkau tak boleh menjanji­kan sesuatu tapi kemudian tidak menepatinya. Hendak­nya engkau berbuat baik kepada manusia dalam bentuk tingkah laku, bukan dalam bentuk perkataan. Jika eng­kau terpaksa harus berjanji, jangan sampai kau ingkari janji tersebut, kecuali jika engkau betul-betul tak ber­daya atau ada halangan darurat. Sebab, menyalahi janji merupakan salah satu dari tanda-tanda nifak dan buruk­nya akhlak. Nabi Saw. bersabda, “Ada tiga hal, yang jika ada di antara kalian yang jatuh ke dalamnya maka ia termasuk munafik, walaupun ia puasa dan salat. Ya­itu, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.”
Ketiga: gibah (menggunjing). Peliharalah lidahmu dari menggunjing orang. Dalam Islam, orang yang melaku­kan perbuatan tersebut lebih hebat daripada tiga puluh orang pezina. Begitulah yang terdapat dalam riwayat. Makna gibah adalah membicarakan seseorang dengan sesuatu yang ia benci jika ia mendengarnya. Jika hal itu engkau lakukan, maka engkau adalah orang yang telah melakukan gibah dan aniaya, walaupun engkau berkata benar. Hindarilah untuk menggunjing secara halus. Ya­itu, misalnya engkau nyatakan maksudmu secara tidak Iangsung dengan berkata, “Semoga Allah memperbaiki orang itu. Sungguh tindakannya sangat buruk padaku. Kita meminta kepada Allah agar Dia memperbaiki kita dan dia.” Di sini terkumpul dua hal yang buruk, yaitu gibah (karena dari pernyataanya kita bisa memahami hal itu) dan merasa bahwa diri sendiri bersih tidak ber­salah. Tapi, jika engkau benar-benar bermaksud men­doakannya, maka berdoalah secara rahasia jika engkau merasa berduka dengan perbuatannya. Dengan demi­kian, jelaslah bahwa engkau tak ingin membuka rahasia dan aibnya. Kalau engkau menampakkan dukamu ka­rena aibnya, berarti engkau sedang membuka aibnya. Cukuplah firman Allah Swt. ini menghalangimu dari gibah, “Jangan sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian senang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Pasti kalian tidak me­nyukainya” (Q.S. al-Hujurat: 12).
Allah mengibaratkanmu dengan pemakan bangkai manusia. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika engkau menghindari perbuatan tersebut. Jika engkau mau me­renung, engkau tak akan menggunjing sesama muslim. Lihatlah pada dirimu, apakah dirimu itu mempunyai aib, baik yang tampak secara lahiriah maupun yang ter­sembunyi? Apakah engkau sudah meninggalkan mak­siat, baik secara rahasia maupun terang-terangan? Jika engkau menyadari hal itu, ketahuilah bahwa ketidak­berdayaan seseorang untuk menghindari apa yang kau nisbatkan padanya sama seperti ketidakberdayaanmu. Sebagaimana engkau tidak suka jika kejelekanmu di­sebutkan, ia juga demikian. Apabila engkau mau me­nutupi aibnya, niscaya Allah akan menutupi aibmu. Ta­pi apabila engkau membuka aibnya, Allah akan jadikan lidah-lidah yang tajam mencabik-cabik kehormatanmu di dunia, lalu Allah akan membuka aibmu di akhirat di hadapan para makhluk-Nya pada hari kiamat. Apabila engkau melihat lahir dan batinmu lalu engkau tidak menemukan aib dan kekurangan, baik dari aspek aga­ma maupun dunia, maka ketahuilah bahwa ketidaktahuanmu terhadap aibmu itu merupakan kedunguan yang sangat buruk. Tak ada aib yang lebih hebat daripada kedunguan tersebut. Sebab, jika Allah menginginkan ke­baikan bagimu, niscaya Dia akan memperlihatkan aib-­aibmu. Tapi, apabila engkau melihat dirimu dengan pan­dangan rida, hal itu merupakan puncak kebodohan. Selanjutnya, jika sangkaanmu memang benar, bersyu­kurlah pada Allah Swt. Jangan malah engkau rusak de­ngan mencela dan menghancurkan kehormatan mereka. Sebab, hal itu merupakan aib yang paling besar.
Keempat: mendebat orang. Karena, dengan mende­bat, kita telah menyakiti, menganggap bodoh, dan men­cela orang yang kita debat. Selain itu, kita menjadi ber­bangga diri serta merasa lebih pandai dan berilmu. Ia juga menghancurkan kehidupan. Manakala engkau mendebat orang bodoh, ia akan menyakitimu. Sedang­kan manakala engkau mendebat orang pandai, ia akan membenci dan dengki padamu. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang meninggalkan perdebatan sedang ia dalam keadaan salah, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di tepi surga. Dan siapa yang meninggal­kan perdebatan padahal dia dalam posisi yang benar Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di sur­ga yang paling tinggi.”
Jangan sampai engkau tertipu oleh setan yang ber­kata padamu, “Tampakkan yang benar, jangan bersikap lemah!” Sebab, setan selalu akan menjerumuskan orang dungu kepada keburukan dalam bentuk kebaikan. Jangan sampai engkau menjadi bahan tertawaan setan sehingga dia mengejekmu. Menampakkan kebenaran kepada mereka yang mau menerimanya adalah suatu kebaikan. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan cara memberikan nasihat secara rahasia bukan dengan cara mendebat. Se­buah nasihat memiliki karakter dan bentuk tersendiri. Harus dilakukan dengan cara yang baik. Jika tidak, ia hanya akan mencemarkan aib orang. Sehingga kebu­kannya lebih banyak daripada kebaikan yang ditim­hulkannya. Orang yang sering bergaul dengan para fa­kih zaman ini memiliki karakter suka berdebat sehingga ia sulit diam. Sebab, para ulama su’ tersebut mengata­kan padanya bahwa berdebat merupakan sesuatu yang mulia dan mampu berdiskusi merupakan satu kebang­gaan. Oleh karena itu, hindarilah mereka sebagaimana engkau menghindar dari singa. Ketahuilah, perdebatan merupakan sebab datangnya murka Allah dan murka makhluk-Nya.
Kelima: mengklaim diri bersih dari dosa. Allah Swt. berfirman, “Jangan kalian merasa suci. Dia yang lebih me­ngetahui siapa yang bertakwa” (Q.S. an-Najm: 32). Seba­gian ahli hikmat ditanya, “Apa itu jujur yang buruk?” Mereka menjawab, “Seseorang yang memuji dirinya sendiri.” Janganlah engkau terbiasa demikian. Ketahui­lah bahwa hal itu akan mengurangi kehormatanmu di mata manusia dan mengakibatkan datangnya murka Allah Swt. Jika engkau ingin membuktikan bahwa membanggakan diri tak membuat manusia bertambah hormat padamu, lihatlah pada para kerabatmu manakala mereka membanggakan kemuliaan, kedudukan, dan har­ta mereka sendiri, bagaimana hatimu membenci mereka dan muak atas tabiat mereka. Lalu engkau mencela me­reka di belakang mereka. Jadi sadarlah bahwa mereka juga bersikap demikian ketika engkau mulai membang­gakan diri. Di dalam hatinya, mereka mencelamu dan hal itu akan mereka ungkapkan ketika mereka tidak ber­ada di hadapanmu.
Keenam: mencela. Jangan sampai engkau mencela ciptaan Allah Swt, baik itu hewan, makanan, ataupun manusia. Janganlah engkau dengan mudah memastikan seseorang yang menghadap kiblat sebagai kafir, atau munafik. Karena, yang mengetahui semua rahasia hanyalah Allah Swt. Oleh karena itu, jangan mencampuri urusan antara hamba dan Allah Swt. Ketahuilah bahwa pada hari kiamat engkau tak akan ditanya, “Mengapa engkau tidak mencela si fulan? Mengapa engkau men­diamkannya?” Bahkan, walaupun engkau tidak mencela iblis sepanjang hidupmu dan engkau melupakannya, engkau tetap tak akan ditanya tentang hal itu serta tak akan dituntut karenanya pada hari kiamat. Tapi, jika engkau mencela salah satu makhluk Allah Swt. baru engkau akan dituntut. Jangan engkau mencerca sesuatu pun dari makhluk Allah Swt. Nabi Saw. sendiri sama sekali tidak pernah mencela makanan yang tidak enak. Jika beliau berselera dengan sesuatu, beliau memakan­nya. Jika tidak, beliau tinggalkan.
Ketujuh: mendoakan keburukan bagi orang lain. Pe­liharalah lidahmu untuk tidak mendoakan keburukan bagi suatu makhluk Allah Swt. Jika ia telah berbuat aniaya padamu, maka serahkan urusannya pada Allah Swt. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Seorang yang dianiaya mendoakan keburukan bagi yang menganiaya dirinya sehingga menjadi imbang, kemudian yang meng­aniaya masih memiliki satu kelebihan yang bisa ia tuntut kepadanya pada hari kiamat.” Sebagian orang terus mendoakan keburukan bagi Hajjaj sehingga sebagian salaf berkata, “Allah menghukum orang-orang yang te­lah mencela Hajjaj untuknya, sebagaimana Allah meng­hukum Hajjaj untuk orang yang telah ia aniaya.”
Kedelapan: bercanda, mengejek, dan menghina orang. Peliharalah lidahmu baik dalam kondisi serius maupun canda karena ia bisa menjatuhkan kehormatan, menu­runkan wibawa, membuat risau, dan menyakiti hati. Ia juga merupakan pangkal timbulnya murka dan marah serta dapat menanamkan benih-benih kedengkian di da­lam hati. Oleh karena itu, jangan engkau bercanda de­ngan seseorang dan jika ada yang bercanda denganmu,jangan kau balas. Berpalinglah sampai mereka mem­bicarakan hal lain.
Semua itu merupakan cacat yang terdapat pada li­dah. Yang perlu kau lakukan adalah mengasingkan diri atau senantiasa diam kecuali dalam keadaan darurat. diceritakan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. meletak­an sebuah batu di mulutnya agar tidak berbicara ke­uali saat perlu saja. Beliau menunjuk lidahnya lalu berkata, “Inilah yang menjadi segala sumber bagiku. kekanglah ia sekuat tenagamu, karena ia merupakan faktor utama yang membuatmu celaka di dunia dan akhirat.”
Adapun perut, maka jangan kau isi ia dengan ba­rang haram atau syubhat. Berusahalah untuk mencari yang halal. Jika engkau telah mendapatkan yang halal, berusahalah mengkonsumsinya tidak sampai kenyang. Sebab, perut yang kenyang bisa membekukan hati, me­rusak akal, menghilangkan hafalan, memberatkan ang­gota badan untuk beribadah dan menuntut ilmu, mem­perkuat syahwat, serta membantu tentara setan. Jika kenyang dari makanan halal merupakan awal segala keburukan, bagaimana jika dari yang haram? Mencari sesuatu yang halal merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Beribadah dan menuntut ilmu yang disertai mengkonsumsi makanan haram seperti membangun di atas kotoran hewan. Apabila engkau merasa cukup sela­ma setahun memakai baju yang kasar, lalu selama se­hari semalam memakan dua potong roti garing, lalu engkau tidak menikmati apa yang lezat bagi manusia, maka engkau tak butuh pada yang lain. Barang yang halal sangat banyak. Engkau tidak perlu meyakinkan dirimu dengan menyelidiki hal-hal yang tersembunyi. Tapi engkau harus menjaga diri dari yang sudah jelas kau ketahui bahwa itu adalah haram. Atau setelah di­lihat dari ciri-ciri yang terkait dengan harta tersebut, engkau bisa menduga bahwa itu adalah haram. Apayang sudah diketahui tampak jelas secara lahir, semen­tara yang bersifat dugaan tampak dengan adanya ciri­ciri. Misalnya harta penguasa dan para pekerjanya, har­ta orang yang tak bekerja kecuali dengan cara menjual khamar, riba, judi, dan sebagainya. Jika engkau tahu bahwa sebagian besar hartanya adalah haram, maka apa yang kau terima darinya, walaupun mungkin halal, ia termasuk haram karena adanya dugaan yang kuat tadi. Yang jelas-jelas haram adalah memakan harta wakaf tanpa izin atau syarat dari si pemberi wakaf. Siapa yang melakukan maksiat, kesaksiannya tertolak, dan wakaf atau apa pun yang ia terima atas nama kesufian adalah haram.
Kami telah menyebutkan hal-hal yang terkait dengan masalah syubhat, halal, dan haram dalam satu kajian tersendiri pada kitab Ihya Ulumiddin. Pelajarilah kitab tersebut karena mengetahui yang halal dan haram wajib hukumnya bagi setiap muslim sebagaimana salat lima waktu.
Adapun kemaluan, peliharalah ia dari semua yang diharamkan Allah. Jadilah sebagaimana yang disebut­kan Allah Swt, “Mereka yang menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau sahaya yang mereka miliki, maka mereka tak dapat dicela” (Q.S. al-Mukminun: 5-6). Engkau baru bisa menjaga kemaluan dengan men­jaga pandangan mata, menjaga hati untuk tidak mere­nungkannya, serta menjaga perut dari yang syubhat dan dari rasa kenyang. Karena, semua itu merupakan peng­gerak dan tempat tumbuhnya syahwat.
Kedua tangan, harus engkau pelihara agar ia tidak kau jadikan alat untuk memukul seorang rnuslim, untuk mendapat harta haram, untuk menyakiti sesama makh­luk, untuk berkhianat terhadap amanat dan titipan, ser­ta untuk menuliskan sesuatu yang tak boleh diucapkan karena pena merupakan lidah pula. Oleh karena itu,peliharalah pena tersebut sebagaimana engkau menjaga lidah.
Janganlah engkau pergunakan kedua kaki untuk menuju pintu seorang penguasa lalim. Sebab, berjalan menuju para penguasa lalim tanpa ada keperluan me­rupakan maksiat yang besar karena berarti ia bersikap tawadu dan memuliakan mereka yang telah berbuat la­lirn. Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk ber­paling dari mereka dalam firman-Nya yang berbunyi, “Janganlah kalian condong kepada mereka yang telah berbuat lalim, niscaya kalian tersentuh api neraka dan kalian tidak mempunyai penolong selain Allah. Lalu kalian tidak ditolong” (QS. Hud: 113). Jika engkau pergi menemui mereka un­tuk mendapat harta, berarti engkau berusaha meraih sesuatu yang haram. Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang bersikap merendah kepada orang kaya, sepertiga aga­manya telah hilang.” ini terhadap orang kaya yang sa­leh, lalu bagaimana merendah terhadap orang kaya yang lalim?
Ringkasnya, ketika engkau bergerak dan diam de­ngan anggota badanmu, itu semua merupakan nikmat Allah Swt. Maka dari itu, janganlah engkau menggerak­kan anggota badanmu dalam rangka maksiat kepada Allah. Tetapi pergunakanlah untuk taat kepada-Nya. Ke­tahuilah, jika engkau tak patuh maka bencananya akan kembali padamu, sementara jika kamu mau menanam, maka buahnya akan menjadi milikmu. Adapun Allah, Dia tak butuh padamu dan tak butuh pada amal per­buatanmu. Setiap jiwa tergantung pada amal perbuatan­nya. Jangan sampai engkau berkata, “Allah Maha Pe­murah Dan Maha Penyayang. Dia Maha Mengampuni dosa mereka yang bermaksiat.” Ini merupakan ungkapan yang benar tapi ditujukan pada sesuatu yang batil. Orang yang mengucapkannya termasuk dungu seperti kata Rasul Saw., “Orang yang cerdik adalah yang bisa menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk hari sesudah mati. Sedangkan orang yang dungu adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”.
Ketahuilah bahwa ucapanmu itu seperti ucapan se­seorang yang ingin menjadi fakih dalam ilmu agama tanpa mau belajar, tapi justru sibuk dengan sesuatu yang batil lalu berkata, “Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Dia Maha berkuasa untuk mencurahkan ke dalam hatiku berbagai ilmu yang Dia tanamkan di hati para nabi dan wali-Nya tanpa usaha dan belajar.” Itu seperti ucapan orang yang menginginkan harta, tapi tak mau menanam, berdagang, atau berusaha kemudian berujar, “ Allah Maha Pemurah. Dia memiliki kekayaan langit dan bumi. Dia Maha Berkuasa untuk memberikan kepadaku sebagian dari khazanah kekayaan-Nya sehingga aku tak perlu bekerja. Hal itu telah Dia lakukan kepada para hamba-Nya.” Jika engkau mendengar ucapan kedua orang di atas, engkau pasti menganggap kedua orang itu bodoh dan engkau pasti mengejeknya walaupun sifat pemurah dan kuasa Allah yang ia sebutkan benar. Demikian pula, Orang-orang yang alim dalam bidang-bidang agama akan menertawakanmu jika engkau menuntut ampunan tanpa ada usaha. Allah Swt. berfirman, “Bagi manusia apa yang ia usahakan” (Q.S. an-Najm: 39), “Kaliaan dibalas sesuai dengan amal perbuatan kalian” (Q.S. ath-Thar: 16), “Orang-orang abrar (berbuat baik) berada dalam kenikmatan sedangkan mereka yang selalu berbuat dosa berada di neraka Jahim” (Q.S. al-Infithar: 13-14).
Apabila engkau tetap menuntut ilmu dan mencari harta dengan bersandar pada kemurahan-Nya serta terus membekali diri untuk akhirat, maka Tuhan Pemelihara dunia dan akhirat adalah satu. Dia Maha Pemurah dan Penyayang baik di dunia maupun di akhirat. Ketaatanmu tidak membuat-Nya bertambah pemurah. Ha­nya saja, kemurahan-Nya adalah Dia memudahkan jalan menuju negeri kenikmatan yang abadi dan kekal dengan senantisa sabar dalam meninggalkan syahwat selama beberapa saat. Ini merupakan puncak kemurahan. Jangan engkau rusak dirimu dengan ajaran jahat para pengangguran. Ikutilah para nabi dan orang-orang saleh. Jangan engkau terlalu berharap bisa memanen se­suatu yang tak kau tanam. Sedangkan orang yang ber­puasa, salat, berjihad, serta bertakwa, semoga ia diam­puni.
Ini adalah beberapa hal yang patut dipelihara oleh anggota badanmu. Engkau juga harus membersihkan hatimu karena ia merupakan bentuk ketakwaan secara batin. Hati adalah segumpal daging yang jika baik ma­ka seluruh badan menjadi baik. Tapi jika segumpal da­ging itu rusak, maka seluruh badan menjadi rusak. Ber­usahalah untuk memperbaiki hatimu itu agar seluruh anggota badanmu juga baik. Hati menjadi baik dengan selalu merasakan kehadiran Allah.

C. Adab Bergaul

Ketahuilah bahwa ‘sahabatmu’ yang tak pernah ber­pisah denganmu entah dalam keadaan diam, bepergian, tidur, diam, bahkan dalam hidup dan matimu adalah Tuhan Penciptamu. Selama engkau mengingatNya, niscaya Dia menjadi ‘Teman dudukmu’. Sebab, Allah Swt. berkata, “Aku adalah teman duduk bagi orang yang berzikir pada-Ku.” Selama hatimu sedih karena tak mampu menunaikan kewajiban agamamu, maka Dia se­nantiasa menyertaimu. Sebab Allah Swt. berkata, “Aku berada bersama mereka yang hatinya sedih karena-Ku.” Apabila engkau betul-betul mengenali-Nya, niscaya engkau akan menjadikan-Nya sebagai ‘sahabat’ dan niscaya engkau akan meninggalkan yang lainnya. Jika engkau tak mampu melaksanakan hal itu setiap waktu, maka eng­kau harus menyediakan waktu di malam dan di siang hari untuk kau pergunakan berkhalwat bersama Tuhan dan merasakan kenikmatan bermunajat kepada-Nya. Ber­kenaan dengan hal itu, engkau harus mengetahui adab­-adab menjalin hubungan dengan Tuhan. Yaitu, menun­dukkan kepala, menjaga pandangan mata, mengkonsen­trasikan pikiran, senantiasa diam, menenangkan anggota badan, segera mengerjakan perintah, meninggalkan la­rangan, tidak menolak takdir, senantiasa berzikir dan berpikir, mengutamakan yang hak atas yang batil, putus asa dari makhluk, tunduk dengan perasaan hormat, ri­sau diliputi oleh rasa malu, tenang dalam berusaha ka­rena yakin atas jaminan-Nya, bertawakal kepada karunia Allah Swt. Semua ini harus menjadi karaktermu sepan­jang siang dan malam. Itulah adab menjalin hubungan dengan ‘Teman yang tak pernah berpisah denganmu.’ Adapun semua makhluk, dalam waktu tertentu akan berpisah denganmu.

01. Adab Seorang Alim (Guru)

Jika engkau seorang alim, maka adab yang kau harus kau perhatikan adalah sabar, selalu santun, duduk dengan wibawa disertai kepala yang tunduk, tidak ta­kabur terhadap semua hamba kecuali pada mereka yang lalim dengan tujuan menghapus kelalimannya, bersikap tawadu dalam setiap majelis dan pertemuan, tidak ber­senda gurau, menyayangi murid, berhati-hati terhadap orang yang sombong, memperbaiki negeri dengan cara yang baik dan tidak marah, tidak malu untuk mengaku tidak tahu, memperhatikan pertanyaan si penanya dan berusaha memahami pertanyaannya, mau menerima hu­jah dan mengikuti yang benar dengan kembali kepada­nya manakala ia salah, melarang murid mempelajari ilmu yang berbahaya dan mengingatkannya agar tidak menuntut ilmu untuk selain rida Allah Swt, melarang murid sibuk dengan hal-hal yang bersifat fardu kifayah sebelum menyelesaikan yang fardu ain (yang termasuk  fardu ain adalah memperbaiki yang lahir dan batinnya dengan takwa) serta membekali dirinya terlebih dahulu dengan sikap takwa tersebut agar sang murid bisa mencontoh amalnya, kemudian mengambil manfaat dari ucapannya.

02. Adab Seorang Murid

Jika engkau seorang murid, maka adab yang harus dimiliki oleh seorang murid terhadap gurunya adalah mendahuluinya dalam memberi hormat dan salam, tidak banyak berbicara di hadapannya, tidak mengatakan apa yang tak ditanya oleh gurunya, tidak bertanya sebelum diberi izin, tidak mengungkapkan sesuatu yang bertentangan dengan ucapannya, misalnya dengan ber- kata, “Pendapat si fulan berbeda dengan dengan ucapanmu”, tidak menunjuk sesuatu yang berseberangan dengan pendapatnya sehingga terlihat ia lebih tahu tentang yang benar daripada gurunya, tidak bertanya kepada teman duduk gurunya dalam majelisnya, tidak menoleh ke sekitarnya, melainkan ia harus duduk dengan menundukkan pandangan disertai sikap tenang dan etika sebagaimana ketika menunaikan salat. Murid juga tak boleh banyak bertanya ketika guru sedang bosan. Jika guru berdiri maka sang murid juga harus berdiri untuknya, tidak diikuti dengan pembicaraan dan pertanyaan, tidak bertanya kepadanya dalam perjalanan menuju rumah.
Tidak berburuk sangka pada perbuatan-perbuatan yang secara lahiriah tidak bisa diterima, karena ia lebih mengetahui rahasia dibalik itu semua. Sehubungan dengan hal itu perhatikan pertanyaan Musa a.s kepada Nabi Khidir a.s, “apakah engkau sengaja melubangi perahu itu untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh kamu telah melakukan kesalahan yang besar” (Q.S al-Kahfi: 71) ia salah dalam menyikapi perbuatan Nabi Khidir a.s. karena bersandar pada apa yang tampak secara lahir.
Kisah Nabi Musa.as dan Nabi Khidir.as dalam al-Qur’an dan Hadist
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 60-82 yang tafsir maknanya sebagai berikut ;
60. dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya[*]: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.
61. Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.
63. Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”.
64. Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami[**].
66. Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
67. Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.
68. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
69. Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”.
70. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
72. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”.
73. Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”.
74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”.
75. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”
76. Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.
77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.
78. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
80. dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
81. dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS al-Kahfi ayat 60-82)
 [*] Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa a.s. itu ialah Yusya ‘bin Nun.
[**] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut.
Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Dengan ucapan itu, Allah mencelanya, sebab Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba yang berada di pertemuan antara laut Persia dan Romawi, hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!’
Musa bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka dijawab, “Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada!’
Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi bersama seorang pelayan bernama Yusya’ bin Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat hingga keduanya tiba di sebuah batu besar. Mereka membaringkan tubuhnya sejenak lalu tertidur. Tiba-tiba ikan tersebut menghilang dari tempat tersebut. Ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan pelayannya merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Pada pagi harinya, Musa berkata kepada pelayannya,
آتِنَا غَدَاءنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
Bawalah ke mari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa berkata,
ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصاً
‘Itulah tempat yang kita cari,’ lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.’ (QS. Al-Kahfi: 64)
Setibanya mereka di batu tersebut, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain, lalu Musa memberi salam kepadanya
Khidir (orang itu) bertanya, ‘Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan tadi?’ Musa menjawab, ‘Aku adalah Musa.’ Khidir bertanya, ‘Musa yang dari Bani Israil?’ Musa menjawab, ‘Benar!’
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْد. قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً
‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’‘ (QS. Al-Kahfi: 66–67)
Khidir berkata, ‘Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku tidak mengetahuinya.’
Musa berkata,
سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً
Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69)
Kemudian, keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-bincang dengan para penumpang kapal tersebut agar berkenan membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidhir, lalu penumpang kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah.
Tiba-tiba, seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk atau dua kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, ‘Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang meminum air laut tadi!’
Khidhir lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidhir melubanginya. Melihat kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang kapal ini telah bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan penumpangnya?’
Khidhir menjawab,
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً. قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْراً
Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku.’ Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.’’ (QS. Al-Kahfi: 72–73)
Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang bermain bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik rambut anak itu dan membunuhnya.
Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya,
أَقَتَلْتَ نَفْساً زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئاً نُّكْراً
Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’ (QS. Al-Kahfi: 74)
Khidhir menjawab,
أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِي صَبْراً
Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?’ (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh.
فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْر. قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْراً
Khidhir berkata bahwa, melalui tangannya, dia menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.’‘ (QS. Al-Kahfi: 77–78).
Semoga Allah menganugerahkan rahmat kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita sangat menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar sehingga kita memperoleh cerita tentang urusan keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no. 2380)

03. Adab Seorang Anak

Jika engkau mempunyai kedua orang tua, maka adab seorang anak kepada kedua orang tuanya adalah memerhatikan ucapan mereka, berdiri manakala mereka berdiri, mengerjakan perintah mereka, tidak berjalan di depan mereka, tidak meninggikan suara di atas suara mereka, menyambut panggilan mereka, mencari rida me­reka, merendahkan diri di hadapan mereka, tidak meng­ungkit-ngungkit amal bakti yang telah dilakukan ke­pada mereka, tidak menatap mereka secara tajam, tidak bermuka masam kepada mereka, dan tidak pergi ke­cuali dengan izin mereka.
Ketahuilah! Setelah itu manusia terbagi atas tiga ke­lompok: sebagai teman, sebagai kenalan, atau sebagai orang awam (orang bodoh).

1. Bergaul Dengan Orang Awam (Bodoh)

Jika engkau kebetulan bertemu dengan orang bodoh, maka hendaknya engkau tidak ikut serta dalam pem­bicaraan mereka, mengabaikan ucapan-ucapan dusta me­reka, tidak memperhatikan ucapan-ucapan buruk me­reka, berusaha untuk tidak sering bertemu dan butuh pada mereka, mengingatkan perbuatan mungkar mereka secara lemah lembut, serta memberikan nasihat manaka­la diharapkan bisa mereka terima.

2. Bergaul dengan Saudara atau Teman

Sedangkan terhadap saudara dan teman, ada dua tugas yang harus kau perhatikan:

Tugas pertama,

Terlebih dahulu engkau harus meli­hat kriteria orang yang bisa dijadikan sahabat atau te­man. Jangan engkau bersahabat kecuali dengan orang yang benar-benar layak dijadikan saudara atau sahabat. Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang bergantung pada agama teman karibnya. Oleh karena itu, hendaknya kalian memperhatikan siapa yang harus dijadikan teman karib.” Manakala engkau ingin mencari teman yang bisa menyertaimu dalam belajar serta bisa menemanimu dalam urusan agama dan dunia, perhatikan lima hal be­rikut ini:
1.       Akal.Tidak ada untungnya bergaul dengan orang bodoh karena bisa berakhir kepada kemalangan dan terputusnya hubungan. Paling-paling mereka hanya akan memberikan mudarat kepadamu serta ingin memanfaatkanmu. Musuh yang pandai lebih baik daripada teman yang bodoh. Imam Ali r.a. berkata:
Janganlah engkau bergaul dengan orang bodoh
Hendaknya kau betul-betul menghindarinya
Betapa banyak orang bodoh yang menghancurkan
si penyabar ketika ia menginginkannya
Seseorang diukur dengan orang lain
di mana orang itu mengikutinya
Seperti sepasang sendal yang sama
di mana sendal itu menyerupainya
Sesuatu dan yang lain
mempunyai ukuran dan kemiripan
Hati yang satu menjadi petunjuk
bagi hati yang lain ketika berjumpa
2.       Akhlak Yang Baik.Jangan engkau bersahabat dengan orang yang buruk akhlaknya. Yaitu, orang yang tak bisa menahan diri ketika muncul amarah dan syahwat. Alqarnah al-‘Atharidi rahimahullah, dalam wasiatnya kepada putranya manakala akan wafat, telah mengungkapkan hal itu, “Wahai anakku, jika engkau ingin bergaul dengan manusia, bergaullah dengan orang yang jika kau layani dia menjagarnu, jika kau temani dia membaguskanmu. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau ulurkan tanganmu untuk kebaikan ia juga mengulurkannya, jika melihat kebaik­anmu ia mengingatnya, dan jika melihat keburukan­mu ia meluruskannya. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau mengungkapkan sesuatu, ia mem­benarkan ucapanmu itu, jika engkau mengusahakan sesuatu ia membantu dan menolongmu, serta jika kalian berselisih dalam sebuah persoalan ia mengalah padamu.” Imam Ali r.a. mengungkapkan syair rajaz­nya:
Sesungguhnya saudaramu adalah yang ada bersamamu,
yang membiarkan dirinya menderita demi kepentinganmu,
Dan yang jika bingung dia menjelaskannya padamu
Dia rusak integritas dirinya untuk mengumpulkan dirimu
3.      Baik Dan Saleh. Jangan engkau bersahabat dengan orang fasik yang selalu berbuat maksiat besar. Karena, orang yang takut kepada Allah tak akan terus berbuat maksiat besar. Engkau tak akan aman dari bencana yang ditimbulkan oleh orang yang berbuat maksiat besar itu. Ia akan selalu berubah-rubah sikap sesuai dengan kondisi dan kepentingan. Allah Swt. berfir­man, “Jangan engkau ikuti orang yang Kami lalaikan hati­nya dari berzikir kepada Kami dan mengikuti hawa nafsu­nya. Orang itu telah betul-betul melampaui batas” (Q.S. al-­Kahfi: 28). Hindarilah bergaul dengan orang fasik. Sebab, selalu menyaksikan kefasikan dan maksiat akan membuatmu toleran dan meremehkan maksiat. Karena itu, hatimu akan memandang remeh masalah gibah. Seandainya mereka melihat cincin emas atau pakaian sutera yang dipergunakan seorang fakih, me­reka akan sangat mengingkarinya. Padahal, gibah le­bih hebat daripada itu.
4.      Tidak Tamak terhadap Dunia. Bergaul dengan orang yang tamak terhadap dunia merupakan racun yang membunuh. Sebab, kecenderungan untuk meniru sudah menjadi hukum alam. Sebuah tabiat bisa mencuri tabiat lainnya tanpa disadari. Dengan demikian, berteman dengan orang tamak bisa membuatmu lebih tamak, sebaliknya berteman dengan orang zuhud bisa membuatmu lebih zuhud.
5.      Jujur. Jangan engkau bersahabat dengan pembohong karena bisa jadi engkau tertipu olehnya. Ia seperti fatamorgana. Ia membuat dekat yang jauh darimu dan membuat jauh yang dekat darimu.
Bisa jadi kelima hal ini tidak kau dapati pada orang-orang yang berada di sekolah atau di mesjid. Dengan demikian, engkau harus memilih salah satu, entah meng­asingkan diri karena hal itu akan membuatmu selamat, atau engkau bergaul dengan mereka sesuai dengan karakter mereka. Hendaknya engkau mengetahui bahwa saudara itu ada tiga macam:(1) Saudara untuk akhiratmu. Dalam hal ini engkau harus melihat pada agamanya. (2) Saudara untuk duniamu. Dalam hal ini, engkau harus memperhatikan akhlaknya. (3) Saudara untuk bersenang-senang Dalam hal ini  engkau harus selamat dari kejahatan, fitnah, dan keburukannya.
Manusia itu ada tiga jenis: ada yang seperti makanan dimana memang selalu diperlukan, ada yang seperti obat di mana hanya sewaktu-waktu saja diperlukan dan ada pula yang seperti penyakit di mana sama sekali tak diperlukan, tapi seorang hamba kadangkala diuji de­ngannya. Jenis yang ketiga inilah yang tidak menyenangkan dan tidak pula memberikan manfaat Maka, engkau harus berpaling darinya agar selamat. Ketika menyaksikan tingkah lakunya kalau paham engkau akan mendapatkan manfaat yang besar. Yaitu, dengan menyaksikan kondisi dan perbuatannya yang buruk, engkau akan membenci dan menghindar darinya. Orang yang bahagia adalah yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain. Seorang mukmin merupakan cermin bagi mukmin yang lain. Nabi Isa a.s. pernah ditanya, “Siapa yang telah mengajarkan adab padamu?” Nabi Isa a.s. menjawab, “Tak ada yang mengajariku. Tapi aku me­lihat kejahilan orang bodoh, maka aku pun menghin­darinya.” Benar sekali yang beliau katakan. Seandainya manusia meninggalkan apa yang mereka benci dari orang lain, adab mereka akan menjadi sempurna dan tak perlu lagi kepada para muaddib (orang yang mengajarkan adab atau etika).

Tugas kedua,

Memperhatikan hak-hak persahabatan. Manakala telah terjalin persekutuan, telah terbina hu­bungan antara engkau dengan temanmu itu, maka engkau harus memperhatikan hak-hak dan adab-adab persahabatan. Nabi Saw. bersabda, “Perumpamaan dua orang saudara adalah seperti dua tangan, yang satu membersihkan yang lain.” Nabi Saw. pernah masuk ke dalam semak belukar lalu memetik dua ranting siwak, yang satu bengkok dan yang satu lagi lurus. Waktu itu beliau bersama para sahabatnya. Lalu beliau memberi­kan yang lurus sedangkan yang bengkok beliau simpan untuk dirinya sendiri, lantas mereka bertanya, “Wahai Rasulullah engkau yang lebih berhak atas ranting yang lurus ini daripadaku.” Nabi Saw. menjawab, “Tidaklah seseorang menyertai temannya walaupun sesaat di wak­tu siang, melainkan ia ditanya, ‘Apakah ia telah me­nunaikan hak Allah Swt. dalam persahabatannya itu atau justru ia melalaikannya.’ Nabi Saw. juga berkata, “Tidaklah dua orang bersahabat, melainkan yang paling dicintai Allah Swt. adalah yang paling mengasihi te­mannya.”
Adab dalam bergaul atau bersahabat adalah meng­utamakan teman dalam hal harta. Jika tidak, maka de­ngan mengeluarkan kelebihan harta ketika dibutuhkan,atau membantu dengan jiwa saat diperlukan secara langsung tanpa diminta, menyimpan rahasia, menyembunyikan aib, tak menyampaikan cemoohan orang kepadanya,memberitakan pujian orang kepadanya, penuh perhatian terhadap apa yang dibicarakannya, memanggil dengan nama yang paling disukainya, memuji kebaikannya, berterima kasih atas bantuannya, membela kehormatannya di saat ia tidak ada sebagaimana ia membela kehormatannya sendiri, menasihatinya dengan lemah lembut dan jelas jika memang diperlukan, memaafkan ketika ia salah dan tidak malah mencaci, mendoakannya di saat berkhalwat dengan Allah, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah meninggal, tetap setia kepada keluarga dan kerabatnya manakala ia sudah meninggal dunia, ikut meringankannya dan bukan justru memberatkan hajatnya, menghibur hatinya dari segala kerisauan, menampakkan kebahagiaan atas kemudahan yang ia dapatkan, bersedih atas hal buruk yang menimpanya, menyembunyikan di dalam hati apa yang ia sembunyikan sehingga ia benar-benar setia secara lahir maupun batin, mendahuluinya dalam mengucapkan salam ketika ber­temu, melapangkan majelis untuknya, membantunya ke­tika berdiri, serta diam ketika ia berbicara sampai selesai dengan tidak menyela atau memotongnya. Ringkasnya, hendaknya ia memperlakukan temannya itu sebagaimana ia senang kalau diperlakukan demikian. Siapa yang tak mencintai saudaranya sebagaima ia mencintai dirinya sendiri, berarti ia telah dihiasi nifak (sifat munafik). Ini merupakan bencana baginya di dunia dan di akhirat. Itulah adab-adab yang harus kau perhatikan berkenaan dengan hak orang awam yang bodoh dan hak para sahabat.

3. Bergaul Dengan Kenalan

Hati-hatilah terhadap mereka karena sesungguhnya engkau tidak mengenal keburukan kecuali dari orang yang telah kau kenal. Adapun seorang teman, maka ia adalah orang yang bisa membantumu, sedangkan seorang awam tak akan berpengaruh bagimu. Sesungguh­nya keburukan itu semuanya berasal dari para kenalan yang menampakkan persahabatan lewat lidah mereka. Oleh karena itu, usahakan untuk mengabaikan mereka. Apabila engkau terpaksa berhadapan dengan mereka di sekolah, di mesjid, di pasar, atau di sebuah negeri, eng­kau tak boleh menghinakan mereka. Sebab, engkau tak mengetahui bisa jadi ia lebih baik darimu.
Jangan pula engkau mengagungkan dunia yang me­reka miliki karena engkau bisa binasa. Sebab, dunia dan isinya dalam pandangan Allah Swt. sangat kecil. Be­tapapun hebatnya penduduk dunia menurutmu, ia tetap jatuh di mata Allah Swt. Engkau tak boleh mengor­bankan agamamu guna mendapat dunia mereka. Orang yang melakukan hal itu pasti menjadi rendah di mata mereka, dan untuk selanjutnya tak akan diberi. Apabila mereka memusuhimu, jangan kau lawan dengan per­musuhan pula karena engkau tak mungkin bisa sabar menghadapi perlawanan mereka karena agamamu dapat menjadi pudar karenanya dan engkau akan kepayahan.
Jangan merasa senang dengan penghormatan, san­jungan, dan kecintaan yang mereka berikan. Karena, se­benarnya satu persen pun hal itu tak ada dalam hati mereka. Jangan engkau kaget dan marah kalau mereka mencelamu ketika engkau tidak ada, karena jika engkau jujur, hal itu juga engkau lakukan bahkan terhadap sahabat, kerabat, guru, dan kedua orang tuamu. Engkau juga menyebut-nyebut di belakang mereka apa yang tak kau ucapkan di hadapan mereka. Jangan engkau ber­sikap tamak terhadap harta, kedudukan, dan bantuan mereka. Karena, orang yang tamak akan gagal pada hari kemudian. Sikap tamak tersebut betul-betul hina. Jika engkau meminta kebutuhanmu pada seseorang, la­lu ia memenuhinya, maka berterima kasihlah pada Allah dan padanya. Tapi manakala orang itu tak bisa membantumu, jangan engkau mencela dan mengeluhkannya karena hal itu bisa menimbulkan sikap permusuhan. Jadilah seorang mukmin yang selalu pemaaf. Jangan menjadi seorang rnunafik yang hanya mencari salah. Katakanlah, “Dia memang tak bisa memberi karena alasan tertentu yang tak kuketahui.”
Jangan sekali-kali engkau menasihati seseorang sebelum terlebih dahulu engkau melihat tanda-tanda ia akan menerimanya. Jika tidak, ia tak akan mendengar dan hanya akan menjadi musuhmu. Jika mereka berbuat salah dalam satu persoalan dan mereka tetap tak mau belajar, maka jangan engkau mau mengajari mereka. Sebab mereka hanya akan memanfaatkan ilmumu dan akan menjadi musuhmu. Kecuali jika sikap mereka itu terkait dengan maksiat yang mereka lakukan, maka ingatkan mereka pada kebenaran secara lemah lembut dan tidak kasar. Jika engkau lihat sikap mereka baik, bersyukurlah kepada Allah yang telah menjadikanmu dicintai oleh mereka. Tapi kalau mereka bersikap buruk, maka serahkan diri mereka kepadaAllah Swt. Dan berlindunglah engkau pada Allah Swt. dari keburukan mereka itu. Jangan engkau mencerca mereka. Begitu pula, jangan engkau berkata pada mereka, “Mengapa engkautak menghormatiku? Aku adalah Fulan bin Fulan. Aku seorang yang mulia dalam segi ilmu.” Itu adalah ucapan seorang yang dungu. Orang yang paling dungu adalah orang yang menganggap dirinya bersih lalu menyanjung diri sendiri. Ketahuilah bahwa Allah Swt. membuat mereka bisa menguasaimu akibat dosamu sebelumnya. Oleh karena itu, istigfarlah terhadap dosamu itu dan sadarlah bahwa hal itu merupakan hukuman Allah atasmu. Perhatikan hak-hak mereka, abaikan perbuatan batil mereka, ungkapkan kebaikan mereka, serta diamkan keburukan mereka. Janganlah engkau bergaul dengan Para fakih, terutama mereka yang sibuk dengan perselisihan dan perdebatan. Waspadalah terhadap mereka. Karena kedengkian, mereka memang sedang menantikanmu terjatuh dalam keraguan, lalu mematahkanmu dengan prasangka, mata mereka menguntitmu dari belakang, mereka terus mengingat kesalahanmu saat bergaul dengan mereka sehingga hal itu bisa menjadi senjata untuk menghadapimu ketika mereka marah dan berdebat kusir. Mereka tak akan memaafkan dan mengampuni kesalahanmu itu, serta tidak pula menutupi aibmu. Me­reka selalu membuat perhitungan denganmu, dengki baik pada yang sedikit maupun yang banyak, serta te­rus menghasungmu untuk mencela dan membenci te­man dan saudara. Jika senang, mereka akan bertutur kata manis. Sebaliknya, jika marah dalam hati mereka terpendam murka. Dari luar yang tampak pakaiannya, sementara dari dalam mereka layaknya serigala. Inilah yang terjadi pada sebagian besar mereka, kecuali orang­-orang yang dilindungi Allah Swt. Bergaul dengan me­reka hanya membawa kerugian dan berteman dengan mereka hanya membawa penyesalan.
Itu sikap mereka yang menunjukkan persahabatan denganmu. Lalu bagaimana dengan mereka yang jelas-­jelas memusuhimu? Al-Qadhi Ibn Ma’ruf rahimahullah Ta’ala. berkata:
Berhati-hatilah terhadap musuhmu sekali
namun berhati-hatilah terhadap temanmu seribu kali
Bisa jadi temanmu itu berubah
dan dikenal paling berbahaya
Makna yang sama juga terdapat dalam syair berikut:
Musuhmu lebih bermanfaat daripada sahabatmu
Maka itu, jangan engkau memperbanyak sahabat
Sungguh kebanyakan penyakit yang kau lihat
berasal dari makanan atau minuman
Berusahalah engkau menjadi seperti yang dikatakan oleh Hilal bin al-Ala’ ar-Raqi:
Ketika aku memberi maaf dan tidak dengki pada seseorang
Aku istirahatkan diriku dari risaunya permusuhan
Aku hormati musuhku manakala melihatnya
guna menghilanghan keburukanku dengan penghormatan
Aku tampakkan keceriaan pada orang yang kumurka
Seakan-akan ia telah membuat hatiku bahagia
Aku tak selamat dari orang yang tak kukenal
maka bagaimana aku bisa selamat dari orang yang kucinta
Manusia adalah penyakit dan obatnya adalah meninggalkan mereka
tapi memusuhi mereka berarti memutuskan hubungan saudara
Berdamailah dengan mereka agar engkau selamat dari musibahnya
dan usahakan selalu untuk mendapatkan cinta
Bergaullah dengan manusia dan sabarlah dalam menghadapi mereka
Hendaknya engkau tuli, bisu, dan buta, serta warak
Demikian pula hendaklah engkau seperti yang disebutkan oleh Para ahli hikmat: Hadapilah  teman yang dan musuhmu dengan wajah rida, tidak bersikap hina, dan tidak pula takut pada mereka. Sebaliknya engkau harus berwibawa, tapi tidak sombong dan harus bersikap tawadu. Jadi, pada semua persoalan, engkau harus bersikap pertengahan. Sebab, semua yang ekstrem akan tercela, sebagaimana disebutkan:
Engkau harus bersikap pertengahan karena ia
merupakan cara yang tepat menuju jalan yang benar
Jangan engkau teledor atau keterlaluan di dalamnya
karena masing-masing sikap itu adalah tercela
Jangan engkau melihat ke arah samping, jangan banyak menoleh ke belakang, serta jangan memperhatikan kelompok-kelompok orang. Apabila engkau duduk, maka duduklah dengan tidak tergesa-gesa. Hindarilah mema­sukkan jari-jarimu ke dalam jari-jari yang lain, memai­nkan janggut atau memainkan cincinmu, membersihkan gigi, memasukkan jari ke hidung, banyak meludah, meng­usir lalat dari wajah, serta hilir-mudik di depan orang-­orang dan di dalam salat.
Duduklah dengan tenang. Aturlah bicaramu dan de­ngarkan ucapan yang baik yang datang dari orang lain dengan tidak keterlaluan dalam menunjukkan kekagum­an. Jangan memintanya untuk mengulang. Berpalinglah dari pembicaraan yang membuat tawa dan yang berupa kisah. Jangan engkau beritakan kekagumanmu tentang anakmu. Juga, jangan kau sampaikan syair, pembicara­an, tulisan, serta semua yang khusus untukmu. Jangan berhias seperti wanita. Jangan merendahkan diri seperti seorang budak. Jangan terlalu banyak bercelak dan di­poles. Jangan memaksa ketika butuh dan jangan meng­hasung orang lain untuk berbuat lalim.
Jangan engkau memberitahukan jumlah harta keka­yaanmu kepada salah seorang keluargamu, kepada anak­mu, apalagi kepada orang lain. Karena, jika mereka me­lihatnya sedikit, engkau akan hina di mata mereka dan jika banyak, mereka tak akan senang kepadamu. Hin­dari mereka tapi tidak dengan sikap keras. Lembutlah pada mereka tapi tidak dengan sikap lemah. Jangan eng­kau candai ibumu atau budakmu, karena dengan de­mikian harga dirimu bisa jatuh. Apabila engkau ber­selisih maka tetap jaga wibawa dan kehormatan. Jangan sampai engkau berbuat jahil dan tergesa-gesa. Berpikir­lah terlebih dahulu sebelum mengeluarkan argumen. Jangan banyak menunjuk dengan tangan. Jangan ba­nyak menoleh ke orang di belakangmu. Jangan berlutut.
Apabila marahmu telah mereda, baru berbicara. Jika sultan atau penguasa mendekatimu, engkau harus betul-betul waspada terhadapnya. Hindarilah teman yang ada maunya, karena ia musuh yang paling utama. Dan jangan sampai engkau lebih memuliakan harta ketim­bang kehormatanmu.
Penjelasan ini cukup bagimu sebagai permulaan dari sebuah hidayah. Cobalah dirimu untuk mengaplikasi­kannya. Jadi ada tiga bagian: melakukan amal ketaatan, meninggalkan maksiat, dan bergaul dengan sesama. Itu semua sudah mencakup hubungan antara seorang ham­ba dan Khalik serta makhluk-Nya. Jika engkau merasa hal itu sesuai dengan dirimu, kemudian engkau condong serta ingin melakukannya, berarti Allah telah memercik­kan cahaya iman ke dalam hatimu dan telah melapang­kan dadamu.
Sadarilah bahwa permulaan ini mempunyai akhir dan di baliknya ada berbagai rahasia, pengetahuan, dan hal-hal yang tersingkap. Semua itu telah kami jelaskan dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin. Karena itu berusahalah untuk mempelajarinya. Namun, jika engkau merasa berat dalam melakukan berbagai pelajaran di atas, lalu mengingkarinya dan engkau berkata pada dirimu sendiri, “Apa gunanya ilmu tersebut dalam forum para ula­ma? Kapankah pengetahuan tersebut bisa membuatmu mengalahkan para rekan dan rival? Bagaimana ia bisa menaikkan kedudukanmu di pemerintahan? Bagaimana mungkin ia bisa menyebabkanmu memperoleh harta ser­ta jabatan ahli wakaf dan hakim?” Maka sadarlah bahwa setan telah menjerumuskanmu dan telah membuat mu lupa terhadap tempat kembalimu. Maka itu carilah setan lain yang sejenis denganmu guna mengajarkan apa yang kau sangka bermanfaat dan bisa mengantarmu memperoleh keinginanmu. Kemudian, ketahuilah bahwa milikmu yang berada di tempatmu tidak betul-betul murni menjadi milikmu apalagi yang berada di desa.atau di negerimu. Selain itu, engkau juga tak kan men­dapat kekayaan abadi dan nikmat yang kekal di sisi Tuhan.
Wassalamualaikum wa rahmatullah wa barakaatuhu. Segala puji bagi Allah, Yang Mahapertama, Yang Maha Ter­akhir, Yang Mahatampak dan Yang Maha Tersembunyi. Tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Salawat dan salam atas Nabi Muhammad, beserta keluarga dan pa­ra sahabat beliau semua.

 


Membongkar Kode Istana Atlantis di Museum TMII

$
0
0

Hazmi SRONDOL 

FOLLOW

karyawan swasta

Penulis, founder “Blogger Reporter Indonesia” | http://www.hazmisrondol.com | email: hazmi@bloggerreporter.org

HEADLINE

Membongkar Kode Istana Atlantis di Museum TMII

26 Maret 2013   12:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:11  13272  20 33

13642487211512336462

Saya melongo.

Hasil gambar untuk museum purna bhakti taman miniTerkejut luar biasa dengan sebuah penjelasan pendek tentang suku Asmat yang tertempel di dinding dekat pintu masuk Museum Asmatdi TMII ini.

Membongkar Kode Istana Atlantis di Museum TMIILha siapa yang tidak kaget, plus rasa gembira yang luar biasa. Gembira akhirnya saya mendapatkan referensi lain yang lebih orisinil dan asli sesuai apa adanya tentang suku Asmat di Papua ini. Bukan informasi standar ala wikipedia atau kebanyakan informasi yang beredar di buku atau media massa lainnya.

Harap maklum, sudah terlalu lama bangsa Indonesia ini di kerdilkan. Bertahun-tahun kebesaran masa lampau Nusantara disembunyikan. Jikalau mendadak muncul bukti-bukti kejayaan ini, data dibelokkan persepsinya atau malah sekalian dikaburkan.

Coba cek pandangan bangsa lain tentang Indonesia sekarang ini. Pasti pandangannya ya begitu-begitu saja, dari tubuhnya yang mungil, berkulit gelap yang diidentikan dengan kotor, masyarakatnya yang primitif dan bertelanjang dada kemana-mana dan hal-hal yang negatif lainnya. Semua ini tujuannya sederhana saja—ingin membuat bangsa ini tidak percaya diri dengan kemampuannya.

Jika sudah tidak percaya diri, tentu mudah sekali menjadikan bangsa ini menjadi bangsa terjajah. Baik terjajah secara ideologi, politik, budaya maupun ekonomi. Boro-boro negosiasi—untuk berdehem saja jadi sungkan dihadapan mereka.

Dan di museum Asmat TMII ini, akhirnya saya bisa menemukan salah satu bukti kesengajaan mereka mengkerdilkan bangsa Indonesia ini. Digambarkannya suku Asmat sebagai suku primitif dan kuno. Lebih parahnya—dianggap suku kanibal, pemangsa sesama manusia.

Padahal buktinya apa? Apa hanya karena ada ada foto suku Asmat tidur beralaskan kepala tengkorak manusia? Lha apa bedanya dengan kita yang mungkin kerja atau tinggal di perumahan bekas kuburan atau pemakaman?

Informasi kanibalisme ini pun setelah aku coba telusuri, sungguh mengagetkan. Informasi ini hanya berdasarkan pada kata ‘konon’ dan ‘katanya’ saja. Konon dan katanya dari pendapat suku lainnya. Lebih menyesakkan lagi, cap kanibal ini di perkuat denga kejadian hilangnya  satu anggota keluarga Rockefeller— salah satu keluarga terkaya di dunia. Keluarga yang mensponsori dan mendonasikan keuangannya untuk pendirian lembaga terbesar di dunia bernama PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

1364248773341157756Michael Clark Rockefelle yang melakukan ekpedisi di Papua sekitar akhir tahun 1961 memang hilang, tapi apakah memang betul karena di kanibal suku Asmat? Jangan-jangan hanya hilang karena dicaplok buaya atau diterkam harimau. Atau jangan-jangan malah dibunuh pemandunya yang dari belanda itu hanya gara-gara ongkos hantarnya tidak cocok?

Kalaulah memang hendak dijadikan ‘bahan makanan’, kenapa mesti berulang kali ia ke pedalaman Papua sambil wira-wiri membawa ukiran khas suku Asmat? Belum lagi, banyaknya foto mas Michael ini yang asyik bermain kamera dan dikeliling wajah orang Asmat yang tampak ramah dan tersenyum lepas?

Nah, berita hilangnya ini satu sisi memang mengangkat nama Papua dan Asmat di seluruh dunia. Namun jika dikaitkan dan menjadi cap kanibal tentu merugikan dan berlebihan. Kadang saya jadi gemas dan pengen diadakan penelusuran sejarah yang sangat menyesatkan ini oleh pihak-pihak yang netral dan kompeten.

Sedangkan kita tahu, kasus-kasus kanibalisme di dunia dan di eropa terjadi karena pelakunya menderita penyakit kejiwaan. Sarap tingkat akut. Dan mungkinkah manusia-manusia dengan kejeniusan seni, seni mengukir, ukiran tanpa sketsa namun hasilnya luar biasa? Yang menjadi koleksi hampir semua museum dan rumah seni dunia? Itu disebut sakit jiwa? Oh no, tidak saudaraku sebangsa dan setanah air. Tidaaaaak!

Hasil gambar untuk museum purna bhakti taman mini

1364248773341157756

Oke, jika memang masih dianggap suku Asmat primitif hanya gara-gara memakai koteka—yuk kita lihat makna dan filosofi kehidupan suku Asmat yang tertempel di museum Asmat TMII ini. Disana dijelaskan bahwa:

“Orang Asmat sangat menghormati pohon. Bagi mereka, pohon adalah kehidupan. Mereka mengangap dirinya pohon dan sebaliknya, pohon adalah diri mereka. Mereka mengibaratkan akar pohon itu sebagai kaki, batang sebagai badan, ranting sebagai tangan dan buah adalah kepalanya. Itulah alasan mengapa orang Asmat menyebut dirinya sebagai as-asmat yang berarti manusia kayu atau manusia pohon atau asmat-ow, yang berarti manusia sejati.”

Hmm, tunggu. Ini sangat penting dan essensial. Hal yang sangat filosofis dan bukan main-main. Hal yang menyangkut ‘kelas’ manusia dimata Tuhannya. Manusia sejati. Dimana penjelasan tambahannya tertulis:

“Kehidupan orang asmat tidak dapat dipisahkan dengan alam sekitarnya. Mereka meyakini sejatinya manusia itu harus bersatu dengan alam. Mereka pun menyebut dirinya sebagai ‘ow Kanak Anakat’ yang artinya “Akulah Manusia Sejati”…”

Sungguh, saya sempat terdiam lama didepan penjelasan ini. Mendadak teringat Plato yang mengatakan serupa, tentang fungsi akal budi untuk menyelaraskan dengan alam dan menuju ke Sang Baik (Tuhan). Filosofi TAO juga berujung hal yang sama, bahkan filosofi ‘menyatu dengan alam semesta’ dalam ajaran Tao adalah tujuan utama manusia hidup dan menjadi sempurna sebelum bertemu Tuhannya.

Kita juga bisa melihat filosofi menyatu dengan alam ini pun menjadi filosofi utama Bushido (jalan pedang/ksatria) para Samurai (ksatria Jepang). Bagi mereka, ketika mereka sudah ‘menyatu dengan alam’ maka ia akan mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu dan jajaran para Samurai.

Tak heran jika dahulu rakyat Jepang sangat menghindari pembuatan jalan berkelok kelok dan lebih menyukai pembuatan tunnel (terowongan) untuk jalur kereta/transportasi. Mereka khawatir, pembangunan yang menyakiti pohon dengan menebangnya akan berarti menentang alam. Pilihan bijak dan terbukti sukses membawa Jepang sebagai salah satu negara dengan sistem transportasi terbaik di dunia.

Nah, bagi yang masih belum puas dengan pembanding diatas, coba cek lagi istilah ‘moksa’ atau ‘mukti’ dalam ajaran Hindu. Konsep serupa pun terlihat disana. Kondisi penyatuan atman dan brahmanmenuju kebebasan rohani dan jiwa tanpa keterikatan dengan dunia dan materi. Kondisi yang juga menjelaskan tentang menyatunya manusia dan alam semesta ini sebagai tanda kesempurnaan manusia.

Bahkan dalam dunia tasawuf pun, konsep ma’rifat juga mirip dengan konsep Asmat ini. Pada tingakatan pemahaman spritual manusia, tiap orang mempunyai level tersendiri. Dari terendah yaitu level syariat—dimana seremoni ritual ibadah dan pemahaman terhadap Tuhan hanya berdasarkan text book atau kata-kata yang tertuang pada ayat Al Qur’an semata. Lalu meningkat pada level pemahaman ke hakikat, yaitu pemahaman makna dibalik kata atau arti mendalam dari sebuah ayat Al Qur’an.

Dan akhirnya masuk kedalam level tertinggi yaitu ma’rifat—sebuah kondisi dimana manusia sempurna ibadah syariat-nya, jelas pemahaman hakikatnya dan akhirnya bersatu dengan alam—“berputar” seperti gerakan galaxy dan tata surya sebagai bentuk bertasbih dengan seluruh nafas dan jiwany kepada Tuhan pencipta alam semesta. Dan saat itu adalah saat yang dinanti-nantikan, saat dimana terbukanya hijab (pembatas) antara Tuhan dan mahluknya.

Nah, Jika dikaitkan dengan tingkatan itu—bisa saya artikan bahwa filosofi orang Asmat seperti melompat beberapa tingkat. Langsung ke level tertinggi.

Jadi, masih pantaskah kita yang sama-sama satu bangsa ini menganggap orang Asmat primitif dengan kedalaman filosofi hidupnya? Apakah kita masih merasa jika kita memakai jas dan mereka memakai hiasan ala pohon-pohonan berarti kita lebih canggih daripada mereka? Bisa jadi, kitalah yang masih ‘primitif’ karena dangkal pemahaman esensi kehidupannya dan mudah terbawa opini penjajah.

Sungguh, akhirnya tersisip rasa kagum dengan orang Asmat ini. Bahkan saya sempat saya bertanya-tanya, agaimana pemahaman menyatu dengan alam ini bisa sampai kepada mereka?

Rasanya tak mungkin jika mereka tahu dengan seketika. Ujug-ujug ngerti. Seperti menemukan batu di pinggir jalan saja.

Saya menduga, jauh sebelum kita dan mereka saat ini telah ada peradaban tinggi yang menguasai seluruh wilayah Nusantara ini. Termasuk di wilayah Papua dan suku Asmat didalamnya. Peradaban yang memberikan pengajaran filosofi tinggi kepada leluhur suku Asmat. Peradaban yang telah membuat Nusantara ini sudah begitu teratur dan tertib dengan adat dan istiadatnya. Bahkan kearifan lokal ini tampak mudah menyatu dengan ajaran-ajaran agama baru yang kemudian hari masuk ke wilayahnya.

Dan saya menduga, budaya dan kearifan lokal ini adalah peninggalan kebudayaan yang oleh Plato disebut dengan kebudayaan “ATLANTIS” .

Ya, saya tahu. Sepertinya terdengar bombastis.

Tapi jika melihat banyaknya penemuan baru perihal bukti-bukti keberadaan Atlantis di Nusantara ini, seperti yang tertuang dalam buku Atlantis The Lost Continent Finnaly Found karya Prof. Arisio Santos dari Brazil dan buku biru berjudul EDEN In The EAST karya Prof. Sthepen Oppenheimer dari Oxford University sepertinya memang benar bahwa Nusantara ini memang Atlantis yang hilang. Hilang dengan timeline waktu yang sangat jauh belasan ribu tahun kebelakang.

Apalagi setelah sebagian sejarawan dan arkelog Indonesia berani menggugat penjelasan standar ala penjajah perihal arti relief di Candi Borobudur di Magelang dan Candi Cetho di lereng gunung Lawu. Candi yang merupakan pengisahan ulang sejarah leluhurnya. Dimana jelas terlihat di kedua candi itu gambaran bahwa bangsa-bangsa lain seperti Mesir, Inca, Maya, Indian, Arab, Sumeria, Eropa dan lain sebagainya merupakan bekas wilayah kekuasaaan Atlantis atau Nusantara ini.

Bahkan lebih mencengangkan, banyaknya termuan benda terbang seperti pesawat dan lainnya terdapat dalam relief candi Borobudur dan sikap menghormat dan bersimpuh bangsa-bangsa lain ke nenek moyang kita di Candi Cetho. Hal semakin memperjelas bukti bahwa Nusantara pernah menguasai hampir 2/3 belahan bumi serta kecangihan teknologi bangsa ini. Kebesaran dan kecanggihan sebelum akhirnya tenggelam oleh kesombongan serta “hadiah” mencairnya es dan meletusnya gunung-gunung yang memisahkan nusantara menjadi pulau-pulau terpisah.

Saya mengerti, semakin banyak informasi kebesaran Nusantara ini akan muncul juga informasi tandingan menutupi dan mengaburkannya. Tak perlu saya jelaskan lagi alasannya. Yang pasti, Atlantis identik dengan pusat tambang logam mulia EMAS dan ini sangat berbahaya bagi bangsa lain yang berkepentingan jika sampai muncul kesadaran bersama rakyat Indonesia.

Tambang emas yang sudah terbukti dengan adanya gunung di Papua dan kini sudah ditemukan lagi gunung dengan kandungan emas 10 kali lipat di kepulauan Sumatra.

Saya juga mendadak ingat saat Bung Karno—founding father bangsa ini pernah juga membahas Atlantis ini sekitar 48 tahun yang lalu di markas ALRI Tanjung Priok. Saat itu Bung Karno mengatakan, “ada kupasan yang mengatakan bahwa di selatan Pulau Jawa ini ada satu Pulau besar, yang seperti Nusa Tembini, kepulauan pulau Nusa ini, seperti Nusa Tembini diereh oleh seorang Raja Putri.”

Di mana Raja Putri itu, mempraktekkan hukum matriarchal. Namun, kerajaan Nusa Tembini tenggelam ke dasar laut yang dikenang dengan cerita Nyi Roro Kidul. Menurut bung Karno, kisah Nusa Tembini ini sangat identik dengan kepercayaan orang eropa mengenai kerajaan lautan Atlantis. Walau saat itu Bung Karno tidak ingin Indonesia menganggap kisah ini hanya menjadi cerita mistik belaka. Namun hal ini menjadi orientasi negara agar memperkuat sisi maritim dan kelautannya.

Bahkan sampai presiden penerusnya—Pak Harto mempunyai pandangan yang serupa tetapi beda gaya. Pak Harto memilih menyembunyikan pengetahuan beliau tentang keberadaan ibukota kerajaan Atlantis di Nusantara ini—tepatnya di pulau Jawa. Namun beliau tetap memberikan kisi-kisi berupa peta istana Atlantis yang ternyata berada tidak jauh dari lokasi acara di TMII hari itu (Minggu, 24 Maret 2013). Tempat itu bernama Museum Purna Bhakti Pertiwi. Hasil gambar untuk museum purna bhakti taman mini

1364248892340351555

Seperti yang kita ketahui, cerita kemegahan istana Atlantis ini sangat menginspirasi siapa saja. Konsep berupa menara tinggi yang menembus awan dan tangga yang melingkar yang pernah menjadi inspirasi Raja Namrud untuk membuat tiruannya bernama menara Babelonia. Konsep bentuknya pun kini juga menginspirasi gedung tertinggi di dunia—Burj Khalifa di Dubai. Namun kebesarannya masih belum bisa menyamai istana Atlantis yang asli.

Menurut kode pak Harto dalam design museum Purna Bhakti Pertiwi yang mirip dengan bentuk nasi tumpengan yang membudaya di era kepemimpinannya, jika kita lihat dengan mengungakan google maps atau wikimapia–terlihat keterkaitan yang kuat antara Gunung Penanggungan di Jawa Timur dengan peta atau kode rahasia dari pak Harto ini.

Dan hal itulah yang juga menjadi dasar ketertarikan yang besar untuk menghadiri acara kunjungan ke museum TMII yang diadakan bersama blogger-blogger lain. Disamping untuk mengikis ketidak-pede-an diri Indonesia terhadap bangsa lain dan titik balik kebangkitan Nusantara. Saya menduga masih banyak kode-kode lain tentang Atlantis yang juga disembunyikan oleh pak Harto di museum-museum TMII.

Syukur-syukur bisa terlibat dalam penemuan emas yang luar biasa banyaknya. Banyak emas yang bukan sebesar gunung lagi namun sebesar pulau. Namun jika belum terbongkar rahasianya, setidaknya saya bisa banyak mengumpulkan bahan untuk membuat novel konspirasi ala Dan Brown yang International Best Seller beneran ini. Cuman masalahnya, kode sudah terlanjur di bahas di artikel ini dan jadi semakin banyak yang tahu. Hal ini berarti mesti bersiap-siap mendapat pesaing baru dalam berburu data–baik dengan penulis atau blogger lain.

Maklum, soal data tulisan novel ini—strategy siapa cepat dapat masih berlaku. Apalagi selama bulan April 2013 ini berlangsung acara besar museum-museum di TMII.

Yak, mulai tancap gas!

…. twitter: @hazmiSRONDOL

http://www.kompasiana.com/srondol/membongkar-kode-istana-atlantis-di-museum-tmii_551fca84a333111841b65e19

[Bekasi 26 Maret 2013]

Atlantis NusantaraBerbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya

Sampul Depan

Perbedaan buku ini dengan karya Arysio Santos-orang Brazil yang kali pertama mengatakan bahwa Atlantis itu di Nusantara-terletak pada berbagai temuan lokalnya seperti:

• Piramida di Jawa Barat yang lebih besar dari piramida Mesir
• Situs Gunung Padang di Cianjur
• Situs Batujaya di Kerawang-Bekasi
• Situs Pasemah di Pagar Alam, Sumatra
• Relief-relief di Candi Penataran, Blitar.
• Berbagai situs purba yang belum tereksplor, dll

Kenyataan bahwa sebuah peradaban besar pernah mengambil tempat di bumi Nusantara kini bukan hanya cerita belaka. Berbagai penemuan spektakuler dan mencengangkan terbaru, diungkap dalam buku ini. Beberapa teks yang termuat pada Kitab Suci pun menjadi basis pembahasan sehingga spiritual menjadi kental dalam buku ini.

Penerbit: Phoenix 

« Ringkas

https://books.google.co.id/books/about/Atlantis_Nusantara.html?id=4rRiCgAAQBAJ&source=kp_cover&redir_esc=y


Video Dokumenter Masyarakat Adat Budaya & Adab Sunda

$
0
0

Ada beberapa Kampung Masyarakat Adat Sunda di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Konon mereka adalah beberapa kelompok Masyarakat Adat Sunda yang menyebar (mengungsi) dari Pusat Ibukota Kerajaan Pakuan Pajajaran di Bogor, setelah Kerajaan Sunda Pakuan Pajajararan diserbu dan dibumi hanguskan oleh Pasukan Kesultanan Banten Pimpinan Maulana Yusuf.

  1. Yang lari ke arah Barat kemudian membangun Kampung Adat Baduy Kanekes Banten,
  2. Yang lari ke Selatan membangun KamputAdatCiptaGelar
  3. dan kampung Adat Sinar Resmi Di Sukabumi.
  4. Yang masih bertahan di Kota Bogor di Kampung Adat Urug. dan Kampung Budaya Sindang Barang.
  5. Yang Lari ke Timur, membangun Kampung Adat Sunda Cirendeu di Cimahi Bandung  dan Kampung Adat  Cikondang di  Pangalengan Bandung.
  6. Kampur Adat Cigugur di Kuningan,
  7. serta Kampung Adat Sunda….. di Ciamis.

Secara tersurat fenomena ini tertulis dalam Uga Wangsit Siliwangi yang dibuat oleh Prabu Surawisesa / Prabu Siliwangi ke 5 (Naskah Pantun Bogor)

Mari kita nikmati saksikan warisan kearifan Perennial Sunda Nusantara berikut ini dari situs-situs Budaya Masyarakat Sunda yang masih hidup dan akan terus menghidupkan kita ini:

 

 

 

Upacara Seren Taun Kasepuhan Sinar Resmi ( ABAH ASEP NUGRAHA ) Part 1 :

 

 

 

 

 

Kampung Adat Cikondang Pangalengan Bandung.

 

 

 


Masyarakat Adat Budaya & Adab Sunda

Ziarah Sejarah, Budaya dan Spiritual ke Situs Trowulan-Majapahit, Mojokerto dan Makam Sunan Ampel Surabaya

$
0
0
Ahmad Yanuana Samantho menambahkan 42 foto baru — bersama Kiageng Selo dan 3 lainnya.

2 Mei · 

Foto Ahmad Yanuana Samantho.
Foto Ahmad Yanuana Samantho.Ziarah Sejarah

, Budaya dan Spiritual ke Situs Trowulan-Majapahit, Mojokerto dan Makam Sunan Ampel Surabaya. Thanks to KH Ra Abul Azis dan Pak Timbul Soeroso (Letkol Pol.Purn). 

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

 

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

 

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

 

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Deddy Endarto
23 Desember 2014 ·KAWASAN YANG DISEBUT DENGAN NUSANTARA DALAM KELOLA MARITIM NAGA LAUT SELATAN

Ada pertanyaan : Seberapa luas sesungguhnya kawasan yang disebut Nusantara itu ?. Menurut penelitian para ahli internasional yang mencakup beberapa basis ilmu pengetahuan, mereka meneliti tentang penyebaran suku bangsa, bahasa atau lingustik, sebaran DNA atau genetika, pengaruh kekuasaan, peninggalan arkeologis dan catatan kuno, maka disimpulkanlah kawasan Nusantara adalah wilayah yang berada didalam garis kuning pada gambar.

Akan tetapi ijinkan “saya berpendapat dan berteori lain”. Bahwa dasar penelitian diatas haruslah diperkaya dengan sudut pandang lainnya, bahwa ada juga beberapa kerajaan masa lalu bergabung kedalam kawasan bukan karena alasan penaklukan ataupun diplomatik, tetapi secara suka rela masuk dalam aliansi Nusantara karena kesamaan visi dan misi kawasan. Secara umum ada tiga hal pokok yang mendasari visi dan misi kawasan : yang pertama adalah upaya pertahanan / militer yang dikelola bersama sebagai benteng stabilitas wilayah, kedua adalah upaya dominasi perdagangan atas komoditi sumber daya alam setempat yang tidak ditemukan di kawasan lain (70% sumber daya alam dunia saat itu disupply dari kawasan ini), ketiga sebagai langkah menuju kemakmuran bersama dengan perdagangan lintas anggota maupun pemasaran bersama komoditi kepada non anggota di kawasan lainnya. Bila semua kerajaan itu dimasukkan, maka saya merevisinya dengan garis merah pada gambar.

Pada perjalanan sejarahnya, ternyata barikade tersebut mampu ditembus oleh kaum kolonial yang melakukan strategi pecah belah, imperialisme, kapitalisme dan upaya penyucian budaya serta peradaban lokal. Masa suram yang cukup panjang akhirnya bisa juga diakhiri, dengan hampir serentaknya kawasan memerdekakan dirinya baik secara perjuangan fisik ataupun upaya diplomatik. Tetapi problem baru muncul, negara modern baru yang dibentuk oleh masing-masing area ternyata berplatform kepada basis keilmuan negara penjajahnya, ini disebabkan kondisi bangsa Nusantara telah tercabut dari akar budaya dan peradaban aslinya akibat kerusakan yang disengaja kaum penjajahnya.

Niat baik selalu mempunyai jalan juga. Atas kesadaran dan keinginan berjaya seperti pendahulunya, beberapa negara modern baru dalam kawasan sepakat kembali ke pola masa lalu dengan membentuk organisasi bernama ASEAN (Association of South East Asia Nations) pada 08 Agustus 1967 lewat deklarasi Bangkok. Beranggota awal : Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand. Dan saat ini berkembang menjadi 10 negara keanggotaannya bertambah dengan : Brunai Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja. Pelan tetapi pasti, arah dari organisasi ini berupaya melakukan napak tilas para pendahulunya.

Tetapi ini bukanlah jalan mulus, aliansi militer yang dibangun oleh kawasan bertajuk SEATO yang berdiri tahun 1955 harus dibubarkan pada tahun1977. Lobby kuat para penjajah modern yang berganti baju menjadi negara penentu kebijakan dalam forum PBB maupun perusahaan multinasional jelas tidak ingin bangsa Nusantara berhasil melakukan blokade kawasan yang dapat merugikan kepentingannya mengeksploitasi sumber daya Nusantara. Bahkan target berikutnya adalah jelas ….. ASEAN juga harus dilenyapkan dari percaturan pemain utama ekonomi global. Maka adalah tugas bagi kita semua, untuk mengembalikan kesadaran berbangsa dan berperadaban Nusantara kepada seluruh kawasan melalui pendidikan budaya dan sejarah. Hal ini penting supaya kita bisa menghindari kesalahan serupa yang dilakukan leluhur kita ketika menghadapi politis pecah belah (lewat SARA) maupun tipuan kapitalisme (diberi kekayaan tapi jelas penjajahnya jauh lebih kaya lagi) dan sebagainya. Jadikan budaya dan sejarah sebagai basis Nasionalisme lokal, regional dan kawasan. KALAU LELUHUR KITA BISA … MENGAPA KITA HARUS MENYERAH ATAS SEMUANYA INI …

Jaya – Jaya – Wijayanti
Surabaya, 23 Desember 2014
DEDDY ENDARTO seperti yang saya berikan pada kuliah umum PARA PEMUDA CALON PEMIMPIN KAWASAN NUSANTARA 2014 — bersama Sri Murdiningsih, Joe Palaka Baladewa, Cak Rokim Bakul Jasa, dan 16 lainnya.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Deddy Endarto
14 Desember 2014 ·

Ini adalah SILABUS RUTIN yang saya gunakan untuk presentasi “WAWASAN KEBANGSAAN & NASIONALISME” baik di lingkungan SIPIL maupun MILITER. Permasalahannya dengan beban seperti itu waktu yang disediakan (umumnya 30 menit sampai 1 jam) terasa sering kurang. Padahal sudah saya padatkan sedemikian rupa dibantu gambar-gambar dan paper pelengkap.

Ngomong soal MAJAPAHIT memang harus punya banyak waktu bak belajar dari novel tebal bersambung pula … — bersama Mundardjito Otti, Catrini Ari, Deni Indianto, Cahyo Baskoro Sudjatmo, Supriyadi Trowulan Trowulan, Dwi Astawulan, Yadi Soeriadi, Adit Wahyudi, Bhatara Bhumi Majapahit, Pengky Priyocahyono, A.h. Thony, Eva Kusuma Sundari, Edi Iriyanto dan Tim Sukses Gus Ipul.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Catrini Ari
21 November 2014 ·

Peluncuran dan Diskusi Buku “Inspirasi Majapahit” dan “Majapahit: Inspiration for the World” hari Jumat, 21 Nov 2014 jam 14.00 di Mandala Majapahit Trowulan. Penulis Indonesia, Singapura, Australia, Inggris, dll. Mari hadiri sekaligus dalam Festival Trowulan Majapahit 2014 — bersama Yeni Stania Martokusumo, Nirman Dez, Ning Suryati, dan 33 lainnya.

 

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

 

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

Foto Ahmad Yanuana Samantho.

 


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live