Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Francis Fukuyama : Musuh Kita Hanyalah Syiah, yang “Berwilayah”

$
0
0

Jika kita menilai mengapa Amerika, Zionis dan Negara-negara Arab seperti Arab Saudi begitu gencar menjatuhkan Syiah khususnya Syiah Iran, itu karena Islam Muhammadi Original termanifestasi dalam Syiah Wilaiyah Khomeiniyah. Tentunya Negara-negara mayoritas Syiah yang berkiblat kepada Amerika dan Zionis tidak akan pernah diusik dan diganggu seperti Azarbeijan misalnya.

Rahasia ini terungkap ketika terjadi sebuah Rapat khusus yang dilakukan di Ursyalim dekat bukit Muria, mencoba men-Diagnosa kegagalan-kegagalan politik mereka dikancah International oleh Yoshihiro Francis Fukuyama.

Beliau adalah ilmuwan politik, ekonom politik, dan penulis Amerika Serikat.  Ia juga adalah anggota dewan International Forum for Democratic Studies yang didirikan oleh National Endowment for Democracy dan anggota departemen ilmu politik RAND Corporation.

Dalam rapatnya bersama petinggi-petinggi Amerika dan Zionis ia berkesimpulan, “ Peperangan software yang kita jalankan untuk menguasai perpolitikan dunia pada akhirnya akan dimenangkan oleh orang-orang SYIAH.”

Akhirnya Zionis dan Amerika membuat sebuah Konferensi di Ursyalim yang terkenal dengan Konferensi Ursyalim. Dengan data-data yang Ia punya, Fukuyama mulai memaparkan tema berjudul “ Mengenal dan Mengetahui Esensi Syiah”. Dalam pembukaan rapatnya Fukuyama berkata, “ Syiah adalah sebuah burung yang mana kepakan sayapnya begitu tinggi hingga senjata kita secanggih apapun tidak bisa menggapainya. Burung itu memiliki dua sayap, sayap pertama berwarna Merah dan yang satunya berwarna Hijau.”

Kemudian Ia menjelaskan maksud sayap -sayap tersebut, Adapun Sayap Hijau adalah Mahdawiyah (Mahdisme) dan Harapan bumi ini akan dipenuhi keadilan diakhir zaman. Mahdisme, Law and Justiceyang dibawa sayap ini menjadikan orang-orang syiah tidak akan pernah putus-asa dalam bergerak, karena pada akhirnya kemenangan akan jatuh kepada mereka melewati Mahdi yang mereka tunggu.

Mengalahkan mereka tidak lain kita harus mengikis dan memotong keyakinan mereka terhadap Mahdisme dengan kita buat Mahdi tandingan dalam tubuh mereka atau melencengkan keyakinan itu dengan keyakinan tandingan yang seolah itu dikatakan oleh Imam dan ulama mereka.

Sayap kedua yang berwarna merah adalah Kerinduan mereka terhadap kesyahidan, yang mana akar pemikiran ini bersumber dari Karbalaisme dan Huseinisme. Kebangkitan melawan Kedzaliman, Pantang Hina, Hidup mulia atau mati syahid, rela berkorban dan sifat-sifat heroik lainnya.

Huseinisme dan karbalaisme tidak bisa dikalahkan oleh politik, kebudayaan, ekonomi, sosial dan pernak-pernik gemerlap keduniaan. Selama kecintaan kepada Husein ibn Ali as dan kerinduan akan kesyahidan terpatri didalam sanubari mereka, maka selama itu kita akan gagal dan tidak akan pernah berhasil.

Inilah makna “Muhammadiyatul Hudust wa Huseiniyatul Baqa” Islam Muhammadi akan selalu tegak dan abadi ketika Huseinisme selalu diperingati dan hadir ditengah-tengah mereka. Ini ditegaskan oleh perkataan Nabi mereka yang mengatakan “Ana min Husein” yaitu Risalah Muhammadiyah dan pengeksekusinya dari Huseinisme, Karbalaisme dan Mahdisme sebagai keturunan terkahir Husein ibn Ali as.

Terakhir adalah burung ini selain memiliki dua sayap, Ia memiliki jubah atau Dzirah (baju besi) yang melindunginya,  mereka sebut dengan Wilayah Faqih. Seseorang yang memimpin dan mengomandoi mereka sebagai perpanjangan tangan Al-Mahdi sang Messiah terakhir kaum Syiah.

Kita sudah coba perang dengan mereka secara terbuka ketika kita menunggangi Irak selama 8 tahun, namun karena Wali faqih, kita terpukul mundur dan tidak bisa menghancurkan revolusi seumur biji jagung tersebut, padahal dari sisi militer, ekonomi dan politik seharusnya bisa dengan mudah dihancurkan. Begitu juga Hizbullah selain memiliki dua sayap itu, mereka tunduk patuh kepada Wali Faqih, penyebab kekalahan-kekalahan kita di negeri kawasan.

Hal pertama yang kita harus lakukan adalah Menggeser dan menjauhkan Mahdisme dari  pemikiran generasi mereka. Hal kedua menjauhkan Revolusi Huseinisme dan Karbalaisme dari benak mereka dengan merubah Image dan Pesan Huseini sehingga mereka sedikit demi sedikit hanya mempringati kesyahidannya saja dan melupakan pesan intinya (Menegakan Keadilan dan memerangi segala bentuk Kedzaliman)

Kita buat Image masyarakat benci terhadap Karbala dan Huseinisme dengan memanfaatkan sekelompok fanatis dari mereka lalu kita Ekspos atau kita buat sekelompok yang brutal dan berdarah-darah memukuli kepala mereka, Anak-anak dan Istri-istri mereka dengan benda tajam. Sehingga masyarakat jijik dan menjauh dari pesan asli Huseinisme dan Karbalaisme.

Hal ketiga masalah Wali Faqih, kita buat sekelompok dari kalangan mereka atau kita hasut mereka untuk membenci wali faqih, kita biayai mereka agar jauh dari ketaatan kepada wali faqih. Masalah ini membutuhkan waktu diskusi yang panjang, karena kita harus menyusup ke Hauzah-hauzah mereka, bertitle Ijtihad atau Marja sehingga ketika diadukan dengan Wali faqih memiliki bobot.

Sistem Hauzah harus digeser sedikit demi sedikit, sehingga mereka kelak hanya fokus kepada ritual-ritual kesyahidan dan kelahiran Imam mereka. Sibukan mereka dengan kajian ilmiah yang berhubungan dengan Perbedaan antara Sunni-syiah, kita tajamkan dimasalah ini, kalau perlu kita buat dari kalangan syiah yang menajamkan perseteruan Sunni-Syiah dengan mencaci-maki dan menghina akidah dan orang-orang yang dikultuskan Ahlu Sunnah.

Untuk masalah agenda 50 tahun kedepan dan 100 tahun kedepan,  kita akan atur ulang dengan seksama sehingga tidak terjadi blunder dimasa yang akan datang.

oleh : Yoshihiro Francis Fukuyama, sumber : http://relawankebaikan.blogspot.com



Islam and Modernity

$
0
0

Preface

The idea of the present book emerged in 2002 when the editors began developing
a postgraduate course on Islam and modernity at the International Institute
for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) in Leiden, The Netherlands.
Our aim was to engage with Western social thought as well as with the ideas
and visions of nineteenth- and twentieth-century thinkers in the Muslim world
concerning the political, socio-economic and cultural transformation of their
societies. We found that there was no single book we could use to introduce the
range of subjects that we thought essential for such a course. The scholarly literature
on various aspects of Islam and modernity is rich and complex and rapidly
expanding, but there is a dearth of general works that offer an interdisciplinary
perspective and overview of the major questions and debates in this literature.
We convened a workshop at ISIM on ‘Islam and Modernity, Key Issues and
Debates’ in October 2004. The present book is an outcome of continued deliberations
and revisions of the papers presented at the workshop.

The book aims to provide refl ections on major debates that have taken place
within and between the various scholarly disciplines that have addressed questions
of modernity in connection with Islam and Muslim societies. The book is
organised in three parts. The fi rst part, ‘Conceptualising Modernity’, consists of
two chapters that introduce theoretical and general issues in modernity studies.

The four chapters in the second part, ‘Negotiating Modernity’, offer an analysis
of the processes of modernisation of Muslim societies, focusing on certain specifi c
aspects of their social and political dynamics. The four chapters in the third part,
‘Debating Modernity’, survey how Muslim scholars and intellectuals have perceived
and responded to issues of modernity. The contributors to the book are
drawn from among the best-known scholars in the fi eld, whose earlier work we
found most seminal and stimulating in our teaching.

The immediate background to the importance of producing such a textbook
is under everybody’s eyes. Dramatic events have focused public attention on the
potential tensions between the Muslim world and the modern West. Are such tensions
rooted in real differences or in distorted perceptions? Compared to the other
world religions, Islam appears either more resistant to internal development, with
less prospect of change or, in spite of all efforts at reform, inherently pre-modern.
Islam, it is frequently claimed, has experienced neither a major reformation, as
has Christianity, nor been touched by Enlightenment. Or, paradoxically, as some
observers would have it, Islam would no longer be Islam if truly reformed.

Islam_and_Modernity_KEY_ISSUES_AND_DEBAT

 

 

 

 


MUI, Gerakan Islamis, dan Umat Mengambang, oleh: Moch Nur Ichwan

$
0
0

oleh: Moch Nur Ichwan

Abstrak

Artikel ini memfokuskan diri pada posisi MUI dalam gerakan Aksi Bela Islam (ABI), dan berargumen bahwa periode pasca-2015 adalah masa “bulan madu” MUI dengan gerakan-gerakan Islamis, dan gerakan ABI adalah bukti permulaan kemesraan hubungan mereka yang saling menguatkan (mutual empowering). Namun dalam konteks gerakan ABI, penulis melihat bahwa gerakan-gerakan Islamis lebih merupakan aktor utama, walaupun mereka mendasarkan gerakannya pada “fatwa” MUI itu. “Pendapat dan posisi keagamaan MUI” tidak dapat dibayangkan pengaruhnya yang luas tanpa adanya peran GNPFMUI dan segala unsur pendukungnya yang meningkatkannya menjadi “fatwa MUI” dan mengadvokasinya melalu berbagai media, forum dan jaringan. Tanpa legitimasi “fatwa MUI”, gerakan ABI tidak dapat dibayangkan juga akan mendapatkan simpati dan dukungan dari umat Islam secara luas, terutama “umat mengambang” (floating ummah) dan “umat terambang” (floated ummah). Dalam penutup tulisan ini penulis melihat bagaimana prospek MUI pasca-ABI. Kata Kunci: MUI, Gerakan Islamis, Aksi Bela Islam Pada akhir 2016 Indonesia diwarnai dengan adanya gerakan Aksi Bela Islam (ABI) pada 14 Oktober 2016, 4 November, dan 2 Desember–kedua yang terakhir dikenal dengan gerakan “411” dan “212”. Aksi ini dipicu oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), di Pulau Seribu pada 27 September 2016 yang dianggap sebagai “penodaan al-Qur’an”, “penghinaan terhadap ulama” dan bahkan “penghinaan terhadap umat Islam sedunia”. Gerakan ini menuntut agar Ahok segera diadili dan dipenjarakan.

Baca  Selanjutnya di:

MUI_Gerakan_Islamis_dan_Umat_Mengambang (1)


MENGAPA NASIONALISME KITA LEMAH?

$
0
0

MENGAPA NASIONALISME KITA LEMAH?

Oleh Aprinus Salam

Walaupun setiap ada kesempatan kita selalu memompakan semangat nasionalisme, tetapi kenyataannya nasionalisme kita lemah. Nasionalisme Indonesia seolah-olah baru terlihat pada kejadian tertentu, seperti pertandingan olahraga melawan Malaysia, Hari Kemerdekaan, atau hari Kebangkitan Nasional. Jika tidak ada peristiwa seperti itu, nasionalisme kita menyelinap entah ke mana. Mengapa? Homi K. Bhabha (1990) mungkin membantu kita dalam menjawab persoalan tersebut. Menurutnya, ada tiga aspek yang membuat nasionalisme di negara bekas jajahan selalu ambivalen dan ini menyebabkan nasionalisme demikian rancu dan rapuh. Pertama, dilihat dari sejarah kesatuan dan perbedaan; kedua dilihat dari aspek ruang dan waktu; dan ketiga berdasarkan aspek psikologis terkonsolidasinya perasaan cinta dan benci.

Selanjutnya baca di:MENGAPA_NASIONALISME_KITA_LEMAH


Usaha Pembinaan Identitas Budaya Sunda dalam Perkembangan Buku Pelajaran Bahasa Sunda

$
0
0

Pengantar

Pada umumnya orang mencoba mewariskan berbagai hal untuk generasi penerusnya. Misalnya, agama, bangsa, bahasa, ideologi politik atau ekspresi budaya sebagai faktor yang membentuk identitas (Brooker: 109-110). Menurut Eagleton, peranan budaya pun ikut berubah sejak kerajaan atau kesatuan politik menjadi negara-bangsa pada zaman modern (2000: 61-64). Oleh karena itu, budaya memainkan peranan penting untuk mempersatukan masyarakat dalam bahasa bersama (shared language), peninggalan budaya, sistem pendidikan atau nilai bersama (shared value). Dengan demikian juga, budaya memainkan peranan politik di dalam pembentukan negara-bangsa dan identitas budaya sekaligus ikut memainkan peranan penting selanjutnya pada setiap masyarakat.

Di masyarakat Sunda pun tidak terkecuali. Sudah lama orang Sunda membina identitas budaya baik secara sadar maupun tanpa disadari. Mereka mempertahankan identitas budaya dari zaman ke zaman. Perubahan zaman menyertai perubahan kebijakan politik yang mempengaruhi kebijakan pendidikan yang lantas memberi dampak besar pada warga masyarakat Sunda, khususnya pada pendidikan anak-anak. Perubahan ini jelas kelihatan dalam penyusunan buku pelajaran dari zaman Hindia Belanda sampai masa pasca reformasi ini.

Oleh karena itu mungkin terdeteksi usaha pembinaan identitas budaya dalam buku pelajaran bahasa Sunda. Memang buku pelajaran bahasa Sunda terus berkembang sampai masa kini. Pengajaran bahasa Sunda tidak pernah terhenti sejak sistem pendidikan barat diperkenalkan di kalangan masyarakat Sunda. Sejarah pengajaran bahasa Sunda beserta perkembangan buku pelajaran Bahasa Sunda membuktikan perhatian dari orang Sunda terhadap budaya dan bahasa mereka sendiri. Hal itu menjadi lebih jelas kalau kita membandingkannya dengan bahasa daerah yang lain, misalnya bahasa Bali, bahasa Madura, bahasa Batak, yang buku pelajarannya masing-masing pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada masa Hindia Belanda. Makalah ini akan membahas bagaimana orang Sunda membina identitas budaya dengan meneliti apa yang sudah tidak diajarkan lagi dan apa yang tetap diajarkan dalam buku pelajaran bahasa Sunda. 1 Penelitian mengenai buku pelajaran bahasa Sunda berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam rangka proyek bertema “Pewarisan Budaya di Indonesia” pada tahun 2007 – 2009 disponsori oleh Japan Scholarship for Promotion of Science dan juga …..

Selanjutnya baca di : Usaha_Pembinaan_Identitas_Budaya_Sunda_d


Membumikan Al Qur’an

$
0
0

Prof. Dr. M. Quraisy Shihab

Pengantar Pendijitalan

Hasil gambar untuk membumikan al quranTanpa bermaksud tidak menghormati karya besar dari DR. M. Quraish Shihab ini dan mengurangi keuntungan dari Penerbit Mizan — Bandung yang telah menyunting dan menerbitkan buku ini sebelumnya, maksud dan tujuan pedijitalan tulisan ini adalah untuk menanggapi keluhan beberapa kalangan yang berkepentingan dengan adanya tulisan ini, antara lain: 1. Susah didapatkannya buku ‘Membumikan Al-Qur’an’ ini. 2. Daya beli bagi beberapa mahasiswa atau pelajar maupun orang yang ingin mengakases tulisan ini dan, 3. Pendijital berkeyakinan bahwa tulisan yang baik perlu disebarkan-luaskan ke segala penjuru… bagaimanapun caranya! Dengan maksud itulah pendijital meluangkan waktu guna membuat buku dijital ini. Tulisan asli diambil dari media.isnet.org, juga tanpa seijin dari pengelola situs tersebut…, jadi pada dasarnya, jika ditinjau dari hukum formal, pendijitalan ini merupakan pembajakan! dikarenakan dilakukan tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari pihak yang berkepentingan. Bagi para pembaca buku ini, jika anda merasa mampu untuk membeli, maka belilah! Jika anda sudah mampu memenuhi kebutuhan makan malam anda diwarung sebelah tanpa menuliskan jumlah uang yang harus anda bayarkan dibuku ‘Hutang’ pada kolom nama anda, belilah! jika anda menggunakan buku ini sebagai bahan referensi tulisan, disertasi, tesis anda? cobalah menghubungi sang penulis atau paling tidak menghubungi penerbit Mizan — Bandung sebagai pemegang hak penerbitan tulisan ini Demikian, semoga bermanfaat dan selamat membaca! Jakarta, 16 Agustus 2012 Pendijital — idul.choliq@atheist.com

 

Selanjutnya Baca di : Membumikan_Al-Quran_DR._M._Quraish_Shiha


Inikah Syiah yang Dimaksud Ahok?

$
0
0

sembrani

Ternyata Ada Takfiri juga di Syiah

Ketika Ahok menyebut mengenai mazhab Syiah dan Wahhabi, ‘yang aneh-aneh’ itu’ di Metro TV, banyak yang kaget. Ahok yang bukan ahli agama kok ngomong begitu? Tahu apa beliau tentang Islam mazhab Syiah dan Wahhabi (Salafi)?

Tulisan ini awalnya berjudul, “Oh, Ternyata Ada Takfiri juga di Syiah“, kemudian saya gubah sedikit, agar nyambung dengan ‘peg’ ramainya perdebatan soal itu setelah debat di program Mata Najwa Metro TV 27 Maret 2017 silam.

Begini…

Dalam salah satu segmen debat itu, Calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebut mengenai program yang memperhatikan kelompok Muslimin dan mengedepankan Islam yang ramah, yang membawa rahmat kepada alam semesta (rahmatan lil ‘aalamiin).  Ini di antara yang dikatakan Ahok: “… di Masjid Raya Daan Mogot, kita membawa Islam yang rahmatan lil ‘aalamin, takmirnya membawa khutbah yang sejuk. Islam Nusantara. Bukan Wahabi, bukan Syiah. Bukan yang aneh-aneh…”

Anies vs Ahok Ahok dan Anies…

Lihat pos aslinya 1.320 kata lagi


Utusan Ke-9 Setelah Nabi Adam Adalah SEMAR Sang Pembawa Ajaran Langit untuk Nusantara

$
0
0
Utusan Ke-9 Setelah Nabi Adam Adalah SEMAR Sang Pembawa Ajaran Langit untuk Nusantara Homesejarahspiritual

Adalah satu kekeliruan, jika kita beranggapan Leluhur masyarakat Nusantara, adalah penganut animisme, penyembah benda-benda alam. Leluhur…

PARTIKEL-PARTIKEL TUHAN , FilosofI KOSONG ADALAH ISI
[VIDEO] Detik-Detik Puluhan Ribu Orang Penuhi Kawasan Renon, Tolak Ormas FPI Masuk ke Bali!
8 Agama Asli Indonesia ini Tak Pernah Diakui oleh Pemerintah Sejak Dulu

Adalah satu kekeliruan, jika kita beranggapan Leluhur masyarakat Nusantara, adalah penganut animisme, penyembah benda-benda alam.

Leluhur Nusantara di masa purba, telah memiliki keyakinan monotheisme, yang disebut “Ajaran Kapitayan”.

Berbagai kajian telah dilakukan untuk mencari data tentang Etnis penghuni Nusantara,  bahwa sejak masa “Berburu” pada jaman Purba, manusia sudah mengenal keyakinan dan harapan yang menjadi cikal bakal Agama Purba. Sejak jaman Pleistosen akhir para penghuni Nusantara sudah mengenal peradaban yang berkaitan dengan Agama, dari berbagai hasil budaya batu purba seperti Menhir, Dolmen, Yupa, Sarkofagus, dan punden berundak membuktikan bahwa penghuni Sudah mengenal Agama dengan berbagai ritual pemujaanya. berlanjut ke jaman perunggu sampai ke jaman logam banyak ditemukan hasil galian yang berhubungan dengan penguburan mayat dan kegiatan sosial yang mengindikasikan bahwa ada hubungan antara prilaku sosial dan Agama pada kehidupan penghuni Nusantara.
P.Mus dalam L.Inde vue de I’est . Cultes Indiens Etindigenes au Champa menjelaskan bahwa pada zaman purbakala pernah terdapat kesatuan kebudayaan pada wilayah yang luas meliputi India, Indochina, dan Nusantara termasuk kepulauan di wilayah Pasifik, mereka percaya kepada sesuatu yang ghaib dibalik benda-benda yang besar dan luas yang telah memberi keberuntungan atau kesialan dalam kehidupan mereka, juga percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki kedaulatan untuk memanggil, mendamaikan atau mengusir kekuatan ghaib tersebut. Kepercayaan tersebut yang disalah artikan oleh Ilmuan Orientalis dengan istilah Animisme dan Dinamisme.
kepercayaan yang disebut P.Mus sebagai Animisme Dinamisme tersebut pada hakikatnya adalah Agama Kuno penduduk Nusantara yang dalam istilah jawa dikenal dengan nama Kapitayan. Agama yang sudah dianut sekian lama sejak Masa Paleolitikum hingga zaman Modern dengan nama yang berbeda-beda di setiap wilayahnya seiring dengan perkembangan ras manusia dan membentuk suku-suku di Nusantara, Seperti berbeda-bedanya bahasa di setiap suku, Nama agama ini pun menjadi berbeda-beda di setiap wilayahnya seperti Isilah Sunda Wiwitan pada suku Sunda, Kejawen pada suku Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku Dayak, Ugamo Malim pada suku Batak dan nama yang lain pada setiap suku yang berbeda sebelum datangnya pengaruh Indus dan China pada awal abad Masehi dan membentuk kerajaan-kerajaan baru dengan agama baru.

AGAMA KAPITAYAN

Dalam keyakinan penganut kapitayan di Jawa, leluhur yang pertama kali dikenal sebagai penganjur Kapitayan adalah Danghyang Semar keturunan tegas dari Manusia Modern (Homo Sapiens) pertama yang di turunkan ke dunia yaitu Adam. Dalam kitab kuno Pramayoga dan Pustakaraja Purwa Silsilah Nabi Adam sampai Danghyang semar dijelaskan sebagai berikut :

Situs Semar Di Sirah Cipaku Sumedang
Nabi Adam => Nabi Syis => Anwas dan Anwar => Hyang Nur Rasa => Hyang Wenang => Hyang Tunggal => Hyang Ismaya => Wungkuhan => Smarasanta (Semar)

Dalam keyakinan penganut Kapitayan, leluhur yang pertama kali sebagai penyebar Kapitayan adalah Dang Hyang Semar putera Sang Hyang Wungkuham keturunan Sang Hyang Ismaya. Yang mengungsi ke Nusantara bersama saudaranya Sang Hantaga (Togog) akibat banjir besar di Negara asalnya dan akhirnya Semar tinggal di Jawa dan Togog di luar Jawa. Sedangkan saudaranya yang lain yaitu Sang Hyang Manikmaya, menjadi penguasa alam ghaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-Hyang-an.

Secara sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya yang bermakna hampa, kosong, suwung, awang uwung. Taya bermakna yang Absolute, yang tidak bisa dipikirkan dan dibayang bayangkan, tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena Kinaya Ngapa” yang artinya tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata Taya bermakna tidak ada tapi ada, ada tetapi tidak ada. Untuk itu agar bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna seutas benang, daya ghaib yang bersifat Adikodrati.

Tu atau To adalah tunggal dalam dzat, Satu pribadi. Tu Lazim disebut Sanghyang Tu-nggal, Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ke-tidak baikan.

Tu yang bersifat baik disebut Tu-han dengan nama Sanghyang Wenang, Tu yang bersifat tidak baik disebut han-Tu dengan nama Sang Manikmaya.  Baik Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya adalah sifat saja dari sanghyang Tunggal yang Ghaib.

Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat utamanya itu bersifat ghaib, untuk memujanya dibutuhkan sarana yang bisa didekati oleh panca indera dan alam pikiran manusia. demikianlah, dalam ajaran kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan sang taya yang mempribadi dalam Tu atau To itu ada dibalik segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To seperti : wa-Tu (Batu), Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak), Tu-tud (hati,limpa), To-san (pusaka), Tu-ban (mata air), To-peng, Tu-rumbuk (pohon beringin), Tu-gu.

Dalam melakukan puja bakti sesembahan kepada Sanghyang Taya maka disediakan sesaji Tu-mpeng dalam Tu-mpi (keranjang anyaman bambu), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yang sifat gaibnya tersembunyi dibalik sesuatu yang memiliki daya ghaib seperti wa-Tu, Tu-gu, Tu-rumbuk, Tu-lang, Tu-ndak, To-san, To-ya.
Namun untuk melakukan permohonan yang tidak baik, persembahan ini akan ditujukan kepada han-Tu yang bernama sang Manikmaya dengan persembahan yang buruk bernama Tu-mbal.
Berbeda dengan persembahan sesaji kepada Sanghyang Tu-nggal yang merupakan puja bakti melalui pelantara, para Rohaniawan kapitayan melakukan sembah-Hyang langsung kepada Sanghyang Tu-nggal di suatu ruangan khusus bernama Sanggar, bangunan persegi empat beratap Tu-mpang, dengan Tu-tuk (lubang) di dinding sebelah timur sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya, dengan mengikuti aturan tertentu :

– Mula mula sang Rohaniawan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tu-tuk (lubang) dengan kedua tangan diangkat keatas menghadirkan Sanghyang Taya kedalam Tu-tud (hati), setelah merasa Sanghyang taya hadir didalam hati, kedua tangan diturunkan di dada tepat pada Tu-tud (hati), posisi ini disebut Swadikep (sidakep/memegang ke-akuan diri), proses Tulajeg ini dilakukan dalam tempo lama.

– Setelah tulajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang kebawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama.

– Lalu dilanjut kan dengan posisi Tu-lumpuk (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki) dilakukan dalam relatif lama.

– Yang terakhir, dilakukan dengan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya) juga dilakukan dalam tempo yang lama.

Setelah melakukan sembahyang yang begitu lama itu, Rohaniawan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Sanghyang taya yang sudah disemayamkan didalam Tu-tud (hati).

Seorang pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai Tu-ah (kekuatan gaib yang bersifat positif) dan Tu-lah (kekuatan gaib penangkal negatif).

Mereka yang memiliki Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat dengan gelar ra-Tu atau dha-Tu.

Dalam ajaran kapitayan, para ra-Tu atau dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah setiap gerak geriknya akan ditandai oleh Pi, yaitu kekuatan dari sanghyang taya yang tersembunyi. itu sebabnya ra-Tu atau dha-Tu menyebut diri dengan kata ganti Pi-nakahulun

– jika berbicara disebut Pi-dha-Tu (Pi-dato)
– jika memberi pengajaran disebut Pi-wulang
– Jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh
– jika memberi nasihat disebut Pi-tutur
– jika memberi hukuman disebut Pi-dana
– jika memancarkan wibawa disebut Pi-deksa
– jika meninggal dunia disebut Pi-tara

Seorang ra-Tu atau dha-Tu adalah pengejawantahan kekuatan ghaib Sanghyang Taya, Citra pribadi sanghyang Tunggal.

Demikianlah ajaran yang dianut oleh bangsa Nusantara sejak zaman purba dan masih bertahan sampai hari ini dengan nama dan cara yang berbeda seiring dengan perkembangan ras manusia beserta kebudayaanya. pada masa Modern, ajaran tersebut masih secara utuh dianut oleh sebagian masyarakat suku pedalaman dengan istilahnya masing-masing seperti
Sunda Wiwitan pada suku SundaKejawen pada suku JawaKaharingan/Tjilik Riwut pada suku DayakUgamo Malim pada suku Batak.

Adapun agama-agama yang sekarang ada adalah pengaruh dari luar yang baru datang sejak awal Abad Masehi, seperti Agama Hindu dan Budha dari India dan China, Agama Kristen dari Eropa, dan Agama Islam yang merupakan pengaruh dari berbagai negeri seperti Persia, Arab, Rum, Gujarat, Tiongkok dan Champa.
=======================
Seluruh tulisan ini merupakan hasil kajian Pesantren Ramadhan bersama Ki Ngabehi H.Agus Sunyoto yang diselenggarakan di Pesantren Global Trabiyyatul’arifin, Pakis, Swojajar, Malang.

Referensi :1. Sejarah Nasi Ambeng, oleh Dr. Agus Sunyoto (Youtube)
2. Agama kapitayan dan Sejarah Nasi Ambeng

http://portalnewsindo.blogspot.com/2016/10/utusan-ke-9-setelah-nabi-adam-adalah.html



Demokrasi Meritokrasi

$
0
0
Foto Profil Yudi LatifYudi Latif
Demokrasi Meritokrasi

Saudaraku, demokrasi tanpa kepemimpinan hanya melahirkan gerombolan. Dalam gerombolan, kepentingan warga negara mudah menjelma menjadi anarki. Kekerasan, pemaksaan, dan pelanggaran pun tak terelakkan.

Tidaklah sama, antara pemerintahan otoriter dan pemerintahan otoritatif. Demokrasi bermaksud membasmi yang pertama, tetapi tak bisa tegak tanpa kedua. Kenyataan kini, aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya otoritas kepemimpinan atas gerombolan.

Demokrasi menghendaki kepemimpinan oleh banyak orang. Proses perekrutannya tak bisa mengandalkan pada keturunan seperti dalam aristokrasi; tidak juga pada kekayaan bawaan seperti dalam plutokrasi; tetapi harus berjejak pada prestasi (merit) warga negara di segala bidang. Dengan kata lain, demokrasi menghendaki kepemimpinan berdasarkan meritokrasi.

Meritokrasi merupakan solusi atas nepotisme, kelembaman kepemimpinan serta daya saing bangsa. Demokrasi tanpa meritokrasi membuat kepemimpinan tercengkeram orang-orang yang mau meski tak mampu.

Tentang perjuangan menegakkan meritokrasi, Inggris memberi contoh terbaik. Hingga abad ke-18, Inggris terkenal sebagai rumah nepotisme. Sebagai negeri yang tidak pernah dijajah, tidak pernah sepenuhnya kalah dalam perang, dan tidak pernah diguncang revolusi politik, Inggris tak pernah berjeda untuk membuat awalan segar. Akibat ketiadaan “gangguan” ini membuat masyarakat Inggris tetap bermental pedesaan jauh setelah 80 persen penduduknya tinggal di kota. Dalam mental perdesaan inilah feodalisme bertahan, bersekutu dengan nepotisme.

Beruntung, Inggris segera mendapat tekanan dari luar dan dalam. Tekanan dari luar datang dari persaingan dan perseteruan internasional. Peperangan antarbangsa, sebagai perwujudan sempurna kompetisi internasional, ternyata memberi desakan kuat bagi keharusan menghargai merit. Perang bukan saja mendorong penemuan teknologi, tetapi juga merangsang penggunaan sumber daya manusia secara lebih baik. Sejak Perang Dunia I, tes IQ diberlakukan guna merekrut personel-personel ketentaraan. Tantangan ini pada gilirannya mendorong reformasi di bidang pendidikan.

Dari dalam, tekanan muncul dari menguatnya aspirasi-aspirasi sosialis yang melancarkan serangan terhadap segala jenis pengaruh keluarga terhadap dunia kerja. Aspirasi sosialis mempercepat tumbuhnya organisasi berskala besar yang mendorong promosi atas dasar merit. Mereka juga menuntut kesetaraan lebih besar dalam akses ke dunia pendidikan. Akhirnya, dalam melawan kepemimpinan konservatif, kaum sosialis mengidentifikasi kesetaraan dengan perluasan meritokrasi.

Pengalaman Inggris memberi pelajaran penting bagi kita. Nepotisme bisa tergerus jika bangsa memiliki competitive spirit dengan negara lain. Semangat berkompetisi bisa tumbuh jika kecenderungan inward looking berubah menjadi outward looking. Daya-daya juang tidak diorientasikan untuk “bertikai” di dalam, tetapi diarahkan untuk menandingi “pesaing” dari luar. Tidak adanya competitive spirit melemahkan dorongan untuk mengerahkan talenta-talenta terbaik bangsa, dan para pemimpin medioker yang tampil tak memiliki sense of crisis.

Sementara kita terus bertikai di dalam, sumber kekayaan kita terus dicuri dan dijarah orang luar tanpa penjagaan. Pada saat globalisasi dan perwujudan era perdagangan bebas mulai menebarkan ancaman, Indonesia tak memiliki kesiapan untuk bersaing. Hasil survei World Competitiveness Report oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam beberapa tahun terakhir menempatkan Indonesia rata-rata di urutan rendah dalam Growth Competitiveness Index/GCI) dan dalam Current Competitiveness Index/CCI).

Pengalaman Inggris mengisyaratkan pergeseran dari nepotisme ke meritokrasi memerlukan perjuangan kuasa. Ide-ide sosialistik tetap dibutuhkan sebagai pendobrak ketimpangan masyarakat yang ditimbulkan keturunan maupun kepemilikan. Perjuangan ini harus dimulai sejak dini, dalam akses orang terhadap dunia pendidikan. Seperti kata Pierre Bourdieu, pendidikan memberikan bukan sekadar skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi pemapanan tertib sosial, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif.

Pendidikan berorientasi meritokrasi harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasar jenis intelegensia tertentu—yang membuat orang dengan intelegensia lain dianggap sampah masyarakat.

Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman intelegensia manusia (linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal) sehingga bisa melahirkan calon pemimpin dengan merit dan karakter tangguh. Manusia berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan.

Jalan menuju demokrasi telah ditempuh dengan ongkos mahal. Terlalu sia-sia jika yang muncul hanya gerombolan. Kepemimpinan harus ditegakkan di segala lini dengan memulihkan otoritas berbasis meritokrasi.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

 


Mengapa Kita Harus Mencintai Ahlul Bait Nabi?

$
0
0

Khotbah #JUMAT bagi yang tak sempat Sholat Jumat….

Mengapa Kita Harus Mencintai Ahlul Bait Nabi?

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Qs. Al-Ahzab : 33)

“Jika dengan mencintai keluarga Nabi Saw aku disebut Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah sesungguhnya aku seorang Rafidhi (Syiah) dan cukuplah shalatku menjadi tidak sah dengan tidak menyertakan shalawat kepada mereka.” (Imam Syafi’i ra)

Sebagaimana pernyataan Imam Syafi’i ra di atas, akan timbul berbagai pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang mau berpikir tentang kebenaran sebuah keyakinan, siapakah yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul bait) yang hendak disucikan oleh Allah swt? adakah kewajiban untuk mencintai mereka sebagaimana kewajiban mencintai Nabi? mengapa dalam redaksi shalawat kepada Nabi kita harus menyertakan pula shalawat kepada keluarganya?

Keistimewaan seperti apa yang dimiliki keluarga Nabi sampai dalam setiap shalat kita harus menyertakan shalawat kepada mereka? Kalau mereka memiliki kedudukan yang agung dan mulia dalam agama ini, namun mengapa kajian tentang keluarga nabi tidak banyak kita dapatkan dalam kehidupan religius kita sehari-hari?

Tidaklah berlebihan, dalam ruang yang sempit ini saya mencoba menyelipkan sedikit tulisan mengenai mereka. Semoga dengan itu kita mau mengenal, mengikuti dan mencintai keluarga nabi atau yang sering kita dengar dengan ungkapan: Ahlul Bait.

Keistimewaan Keluarga Para Nabi

Telah menjadi sunatullah, Nabi-nabi memiliki keluarga yang dimuliakan, diagungkan dan anak keturunan mereka dipilih oleh Allah sebagai washi, pelanjut risalah kenabian. Berikut ini beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan masalah ini :

“Dan Kami menganugerahkan kepada Ishak dan Yaqub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik; dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang saleh; dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya); dan Kami lebihkan (pula) derajat sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Inilah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-An’am : 84).

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan al-kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasiq” (Qs. Al-Hadid : 26).

“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yaqub dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab kepada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia; dan sesungguhnya di akhirat mereka benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh” ( Qs. Al-Ankabut : 27)
Dan beberapa ayat lainnya yang tersebar dalam Al-Qur’an satu-satunya kitab Samawi yang tetap steril dari berbagai upaya penyelewengan dan perubahan.

Ayat-ayat di atas berbicara tentang sunatullah di muka bumi, dalam hal pemilihan washi para Nabi yang berasal dari keturunan mereka yang saleh dan suci, bukan yang fasiq dan bahwa pewarisan ilmu al-Kitab, hukum dan kenabian di antara putra-putra mereka yang suci telah ditetapkan sejak diturunkannya Adam as ke muka bumi. Silsilah yang suci ini memberikan gambaran yang jelas bahwa risalah Ilahiah ini tidak pernah keluar dari lingkaran keluarga-keluarga Nabi yang disucikan, dan tidak diwarisi oleh hati yang pernah dikotori oleh kesyirikan, kekejian dan kezaliman.

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 124)

Jika ajaran Nabi terdahulu saja yang hanya berlaku untuk masa dan kaum tertentu memerlukan silsilah yang suci dan jiwa yang bersih, maka bagaimana mungkin ajaran Islam tidak memerlukan silsilah yang suci yang akan saling mewarisi ajaran Muhammad Saw yang luhur dan kekal hingga hari kiamat?. Jika Nabi terdahulu saja memerlukan orang yang menggantikannya di dalam urusan tabligh dari kalangan keluarga dan keturunannya yang saleh, maka bagaimana mungkin Rasulullah Saw tidak membutuhkan orang-orang yang meneruskan ajaran ini dari keluarga dan keturunannya yang suci?
Jika ayat-ayat tentang nabi dan keturunannya menekankan bahwa pemilihan washi para nabi telah berlaku bagi keluarga nabi yang saleh dengan tujuan untuk menjaga kesucian risalah, maka bagaimana mungkin ajaran Muhammad Saw yang kekal tidak membutuhkan pribadi-pribadi suci dari keturunannya yang akan menjaga nilai-nilai ajaran Ilahi dari usaha penyimpangan?

Melalui pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas bahwa masalah pemilihan atau seleksi pelanjut kepemimpinan Ilahiah adalah semata-mata wewenang Dzat yang Maha Mengetahui, tanpa adanya campur tangan siapapun.

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (Qs. Fathir : 32).

Dalam ayat lain, dikisahkan tentang Nabi Musa as, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami.” Allah berfirman : “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.” (Qs. Thaha : 29-36).

Kita menyaksikan dalam ayat ini betapa Nabi Musa memohon kepada Allah SWT dengan penuh pengharapan dan kerendahan hati untuk memilih saudaranya, Harun, sebagai pembantunya dalam urusan Tabligh. Jika nabi Musa as saja, dengan segala ketinggian kedudukan dan kedekatannya kepada Allah SWT tidak memperkenankan dirinya untuk memilih langsung orang yang akan menggantikan dia sepeninggalnya dan yang membantunya dalam tugas-tugasnya, maka bagaimana mungkin umat Islam berhak memilih orang-orang yang menggantikan Rasulullah Saw sebagai khalifah sepeninggalnya? sebuah keberanian ‘ijtihad’ yang telah menimbulkan perselisihan, perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah dikalangan sahabat.

☆Imamah dan Ahlul Bait☆

Sekarang, seberapa banyakkah yang kita tahu tentang ayat muhkamah di dalam Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan keagungan keluarga Rasulullah yang mulia? Atau seberapa banyakkah kisah yang kita ketahui tentang Rasulullah yang selalu mengingatkan ummatnya akan pengutamaan Allah atas keluarganya.

Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, (juz 4 hal 123, cetakan Beirut Lebanon), Zaid bin Arqam berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Saw berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama “Khum”, yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah Saw berkata, “Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah.

Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan.”

Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.” Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.

Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh.” Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim).”
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Di antaranya juga terdapat dalam Sunan Ad-Darimi, Shahih Turmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lainnya. Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawai’iq telah menyampaikan silsilah hadits ini hingga kepada dua puluh lebih sahabat, lalu beliau (rahimahullah) menyatakan dengan tegas, ” Ketahuilah, sesunggguhnya hadits berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ahlul bait mempunyai jalur yang banyak, dan diriwayatkan lebih dari 20 orang sahabat.”

Dalam riwayat tersebut, Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab “Al-Ilmu” (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur’an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Quran bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya. Pertanyaanya, mengapa Al-Quran saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah?.

Di antara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. ” (Qs. Ibrahim: 4).

Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur’an secara mendetail? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah Saw memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya.

Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kafir pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci.

Sementara Allah SWT berfirman, ” Alif Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti”. (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, “Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini.” (Qs. Al-An’am : 38).

Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur’an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” (Qs. Al-Maidah : 3 ). Sebab, “Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah).” (Qs. Al-Maidah : 99).

Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur’an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al-Qur’an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf : 52).

Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur’an.
Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, “Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar.

Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu”.

Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya” Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali as sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati’i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, “Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya” Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.

Dan dengan firman Allah SWT, “Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah SWT untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, “Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran.” Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki ‘Roh Tuhan’ yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib.

Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. ” (Qs. Al-Baqarah : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.”

Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, diantaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi as. Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan.” Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.

Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakah Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman?. Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Qs. Al-Isra’: 71).

Jadi kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi Saw bukan sekedar cinta biasa, bukan sekedar efek dari kecintaan kepada Nabi Saw bukan pula sekedar upah terhadap dakwah Rasulullah Saw, bukan pilihan, melainkan kewajiban yang telah menjadi bagian dari syariat agama karena Ahlul Bait dan Itrah Nabilah yang menjadi pelanjut tugas kenabian untuk menjaga kemurnian risalah Ilahi. Kecintaan kita kepada Ahlul Bait adalah juga kecintaan kepada Rasulullah Saw, kecintaan kepada Allah SWT, kecintaan kepada Islam dan agama ini. Imam Syafii pernah mengatakan, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak menyertakan dalam shalatnya, shalawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya.”

 


The Temples of Atlantis: A Planetary Species of Architects

$
0
0

Unprecedented New Archaeological Evidence That A Highly Advanced “Lost Civilization” Flourished In A Remote Age Older Than Recorded Time

(German) Did the world’s first cultures inherit the same high wisdom from the same more ancient but now-vanished Mother Culture?

The ancient pyramid cultures all built these Triptych (Three-Door) Temples. Does this mean they shared the same religion?


Like the pyramids, the presence of these Triptych Temples worldwide throws enormous weight behind the “Atlantis” theory—the idea that civilization has much older roots than presently accepted by science; that there is a major forgotten episode in human history; that an advanced ancient culture once flourished but was destroyed in a cataclysm; and that history’s first known cultures were inheritors of its legacy.

There are two different versions of history

We already know the mainstream version found in history books.

But there’s another, more mysterious hidden history that’s not so widely known.
This little-known history describes the world’s first cultures as having inherited vast knowledge and ability from an older, more sophisticated but now-vanished Mother Culture, a great kingdom named Atlantis, once home to an advanced and spiritually sophisticated people.

This hidden history was proposed and maintained by Victorian-era scholars and archaeologists in the 1800s, after they discovered a series of mysterious ancient cultural parallels worldwide:

Above: No records exist of any contact between these civilizations. How, then, can we explain parallels like pyramid construction, corbel arches, and mummification?

To the Victorians it seemed inconceivable that these similar societies could have evolved separately; it was more logical to think they all evolved from the same parent source — Atlantis.

The Atlantis model of history stood unchallenged for decades. But it was suddenly abandoned in the mid-20th century when a new wave of Western scholars declared that not enough evidence exists to support it.

Now, the discovery of these parallel Triptych Temples offers groundbreaking new evidence supporting the Atlantis theory.

These Triptych Temples have not only escaped the attention of modern scholars, but also the attention of the great Victorian-era scholars who studied ancient cultural correspondences:

Why and how do all these temples exhibit the same parallel architecture, as if constructed by masons sharing a similar knowledge base? Do these Triptych temples indicate a shared religion inherited from the same Mother Culture?

In fact, the Triptych is the forgotten Universal Religion of Antiquity—the legacy of the much older Lost Civilization of Atlantis (see www.DeeperTruth.com).

This Universal Religion of the Triptych was contained and kept alive in what modern scholars call the ancient “Mystery Schools.” Held in the highest secrecy and reverence, the teachings of the Mystery Schools were said to contain the secrets of the universe and the keys to great and magical practices.

Members of the Mystery Schools were endowed with extraordinary insight and superhuman qualities and abilities. Forefathers of modern western thought — Homer, Pythagoras, Socrates, Plato, and Aristotle — were initiates of the Mysteries, who changed history with their philosophies and advanced knowledge.

With the dawn of Christianity came a period of great change. In a quest to gain authority over the masses, the Church began to root out all traces of the wisdom of the Mystery Schools. Even Plato’s famous Academy, which flourished for over 900 years from 387 BC until 529 AD, was closed down by Emperor Justinian, who claimed the Academy was Pagan.

As a result, students of the Mystery Schools went into hiding. To safeguard the wisdom, they shrouded their ancient secrets in allegories and symbols and placed it all under the guardianship of various streams of “esoteric” societies, the members of which have included Galileo, Copernicus, Da Vinci, Kepler, Isaac Newton, and Napoleon.

The ancient knowledge waned a little more with each successive retelling, and as Christianity grew to empire status, the teachings began to die out. Ancient Triptych temples fell into ruin as did the wisdom they once preserved. It appeared that many, if not all, connections to the original source were severed or so diluted that the true Mysteries were about to become lost.

It was during this era that a powerful secret society called the Masonic Fraternity — the Freemasons — stepped onto the stage of history and began what would become their triumphant quest to keep the details of the Mystery School teachings alive, and pass the torch on to a new generation.

Commissioned by the Church to build Europe’s Gothic cathedrals, the Freemasons secretly encoded the Triptych’s wisdom into the facades of churches, castles, cathedrals, stone landmarks, reliefs, monuments, and statues, where it remains concealed today.

This partly explains why countless medieval Gothic cathedrals built by the Freemasons all share the same master blueprint—a mystifying “Cathedral Code” of sorts, which is yet to be discovered, analyzed, or explained by modern scholars:

Above: Gothic cathedrals with Triptych entrances.

In fact, all the great Secret Societies (before they were taken over in modern times and co-opted for nefarious purposes, which many are being used for today) once shared the same Universal Religion of the Triptych; hence the universality of the Triptych entrance.

Above: Secret Society headquarters with Triptych entrances. Written In Stone takes you on a journey through history’s earliest and greatest civilizations to show you the presence of the Triptych—an undocumented and mysterious ancient cultural correspondence.

The book highlights how different peoples in different times and places understood and practiced the same Universal Religion / Sacred Science which they all symbolized by the same Triptych three-door entry.

It also shows how history’s operative Freemasons fully understood the ancient legacy of the Triptych, and secretly incorporated its design into the entryways of churches, castles, cathedrals and other sacred structures.

Related: Atlantis: The Egyptian and Greek Connections – Real Pictures & Interpretations;

This quest for lost wisdom will carry you across the Nile in Egypt, to the ancient lands of Persia and China, into remote regions of India and Southeast Asia, high up the Andes Mountains, and deep into Mesoamerica’s thick jungles to discover and decipher ancient architecture and gain true insight into the ruins of the world’s most magnificent ancient empires.

We’ll see how the Renaissance itself was nothing short of a “rebirth” of the Universal Religion / Sacred Science in Europe, and a rediscovery of ancient Triptych wisdom:

Above: The real-life “Da Vinci Code”  is the ancient Triptych behind Christ! Leonardo da Vinci encoded the Triptych and its esoteric meaning in The Last Supper, a fact still not recognized by scholars.

We’ll also see how the Masonic Fraternity is no longer a true repository of the Triptych / Universal Religion / Sacred Science wisdom, having lost its original purpose, but does still hold the lost wisdom in its symbolism, ceremony, and ritual.

As a result, few Freemasons and even fewer Westerners know of the existence of the Triptych / Sacred Science; it is an enlightening and empowering tradition that enables humans to excel and reach seemingly superhuman levels of accomplishment.

It’s no coincidence that Freemasonry has included many famous and world-changing men, including Washington, Benjamin Franklin, Voltaire, and Mozart.

By Richard Cassaro, Written in Stone;

http://humansarefree.com/2013/12/the-temples-of-atlantis-planetary.html


Islam Indonesia, Islam Paling Istimewa Se-Dunia

$
0
0

MusliModerat

17 jam ·

Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah orang yang sudah meninggal: setiap hari dikirimi doa, tumpeng. Tapi, hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.
Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.


Ternyata, jaman dulu ada orang belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya C. Snock Hurgronje. C. Snock Hurgronje itu hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in, tapi tidak islam, sebab tuganya menghancurkan Islam Indonesia, karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok mewlawan Belanda.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk, namanya C. Snock Hurgronje. C. Snock Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Tapi C. Snock Hurgronje belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.

Begitu ke Indonesia, C. Snock Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari C. Snock Hurgronje itu tidak ada.

Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya pangeran. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun, tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.

Maka, ketika C. Snock Hurgronje bingung, dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syeh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa. Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). C. Snock Hurgronje tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz. Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk, konslet. Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice, padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, di sini namanya beras, di sana masih ruz, rice. Begitu bukanya cuil, di sini namanya menir, di sana masih ruz, rice. Begitu dimasak, di sini sudah dinamai sego, nasi, di sana masih ruz, rice. Begitu diambil cicak satu, di sini namanya upa, di sana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, di sini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan ajur, lembut, di sini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat C. Snock Hurgronje judeg, pusing. Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal: (1)kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting), (2)mambu rokok (bau rokok), (3)tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit). Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) C. Snock Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa.

Maka, jangankan C. Snock Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di Arab. Iihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah. Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” (saja). Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”.

Lha, akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini sari pati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia. Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa sedang dalam kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian itu bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit. Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan ada di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-kaya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah. Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni. Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa beragama hindu. Hindu itu, orang kok ngurusin dunia, kastanya keempat: Sudra. Yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia. Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama. Dibawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra. Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama. Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta Paria, yang hidup dengan meminta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama.

Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini. Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang di sini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhairawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco. Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang. Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa.

Akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo. Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara. Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus. Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau tumbuh Sumanto. Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya ngepet.

Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet.

Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet. 1500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka dari Turki Utsmani mengirim kembali ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa, namanya Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki Syekh Subakir, kemudian mereka diusir, ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro. Karena Syekh Subakir sepuh, dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi), melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik. Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan. Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah-kan, diceritain ini. kalau ngeyel, didatangi: tapuk mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di (daerah) Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Disana punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.

Nah, Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang. Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan:

……………. masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi. Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau mananam syaikhun, ustadzun, di sini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun, disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan. Kalau sekarang dibalik: akhi, ukhti. Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat.

Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati. Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya? Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang. Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo. Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: …ndemok silit, gudighen.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat. Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan. Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia. Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,.”fanfuhur ruuh”(maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed.)

Versi Basa Sunda-nya :

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuangya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.

Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah. Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta. Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa. Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu, kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar. Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.

Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo, sabut ngapati, mitoni, ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi. Maka menurut NU ada ngapati, mitoni, karena itu turunnya nyawa.

Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil: lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya. Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak.

Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya Asmorodono, mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati.

Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh, laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan.

Setelah Dhandanggula, menurut Mbah Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma. Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain? Khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya.

Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur. Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh: megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung. Manusia di pocong Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya: siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?

Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nakir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut. Ditanya: “Man rabbuka?”, dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir, karena tidak bisa mengucapkan Allah. Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka. “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti ini itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?”, menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya:”Plaakkk!!”. Di-canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng, takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di-udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol, ajur mumur seperti gedhebok bosok. Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tapuk mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok: nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung. Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu. Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah, kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil. Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho, ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.

Di sini itu, apa-apa dengan lambang, simbol: kolo-kolo teko, janur gunung. Udan grimis panas-panas, caping gunung.

Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing. Tidak cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Di sana, shalat ‘imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun. Di sana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih di sawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua.

Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang. Padahal tugas imam adalah menunggu makmum. Ditunggu memakai pujian.
Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana, – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk.

Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro…… Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……., langsung deh, para makmum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.

Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat di sana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allau Akbar, matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaanya dilantunkan dengan keras, agar makmum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:


kanjeng Nabi Muhammad,
lahir ono ing Mekkah,
dinone senen,
rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir. Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing.
Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya.

“Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.

Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber.

Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:

Gundul-gundul pacul, gembelengan
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar. Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan. Kalau kepala memangku amanah rakyat kok gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi. Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan. Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan,menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.

Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda. Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.

Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada pertanggungjawaban. Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggungjawabi disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama. Meski, nama ini tidak gagah. KH. Ahmad Dahlah menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in. Tabi’in bukan ashhabus-shahabat, tetapi tabi’in, maknanya pengikut. Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa?

Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari. Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali. Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng. Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath, murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah. Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.

Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran. Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman.

Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya. Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.

Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.

Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “Waddluha” keluarnya “Waddluhe”. Orang Turki diajari “Mustaqiim” keluarnya “Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “Lakanuud” keluarnya “Lekenuuik”. Orang Sunda diajari “Alladziina” keluarnya “Alat Zina”. Di Jawa diajari “Alhamdu” jadinya “Alkamdu”, karena punyanya ha na ca ra ka. Diajari “Ya Hayyu Ya Qayyum” keluarnya “Yo Kayuku Yo Kayumu”. Diajari “Rabbil ‘Aalamin” keluarnya “Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga. Orang Jawa tidak punya huruf “Dlot” punyanya “La”, maka Ramadlan” jadi “Ramelan”. Orang Bali disuruh membunyikan “Shiraathal…” bunyinya “Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin”. Di Sulawesi, “’Alaihim” keluarnya “’Alaihing”.

Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran, namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam.

Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut. Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.

Maka di sini, di Nusantara ini, jangan heran. Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung. Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir. Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum,” ada saksinya.

Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran. Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu. Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia. Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi.

Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris. Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang. Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama.

Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia. Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja.

Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.

SUMBER:

http://www.muslimoderat.net/2017/04/islam-indonesia-islam-paling-istimewa-sedunia.html#ixzz4dKxHtPil


Raden Pamanah Rasa, Menelusuri Jejak Kakek Sunan Gunung Jati

$
0
0

Rabu, 01 Maret 2017 07:30Pustaka

Raden Pamanah Rasa, Menelusuri Jejak Kakek Sunan Gunung Jati

14081041_1758349027764781_1481045411_nRaden Pamanah Rasa, kakek dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)–dalam konteks Sunda-Siliwangi-Padjajaran merupakan episode The Last Kujang di abad XVI. Sosok pemimpin Sunda yang muncul dari latar kesedihan dinasti terdahulu, dengan kharisma yang merambat ke seantero Nusantara, tak terkecuali tatkala kepulauan ini terjamah  para pendatang dari Eropa. Sosok raja Sunda yang berkarakter ‘teuas peureup lemes usap, pageuh keupeul lega awur’ yaitu kepemimpinan yang memiliki keteguhan dalam berprinsip dengan tetap menjunjung tinggi makna welas asih, serta memiliki jiwa yang bersahaja yang tetap memikirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dialah sosok raja besar yang diakui oleh beragam keyakinan.

13221402_1031817820187172_5483801363094429836_oNovel ini, kabarnya, menjadi sebuah gong untuk penulisan-penulisan novel selanjutnya tentang kemaharajaan Nusantara yang belum terungkap. Novel ini ditulis berdasarkan kisah tutur dalam tradisi lisan. Penulis berupaya menuliskan apa yang tak sempat dituliskan. Ruang-ruang yang samar, bahkan gelap, dalam sejarah rupanya memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menggali narasi dengan mengandalkan imajinasi, mencoba mencari titik sambung antara satu dan lain masa, membentangkan garis hubungan antara tempat yang satu dan tempat lainnya. Dari awal sampai akhir cerita, sangat tampak bahwa penulis cerdas dalam menata data sejarah ke dalam bentuk novel, patut diacungi jempol. Sejarah yang mana, dari mana, bagaimana tingkat kesahihannya, dipadu dengan data yang berasal dari tradisi lisan menjadikan ‘sejarah’ Raden Pamanah Rasa yang putus kejadiannya menjadi hidup dan berkesinambungan. Novel ini menyiratkan pesan yang mengajak kita untuk berani mempertaruhkan bahwa tradisi lisan patut diperhatikan dengan seksama keberadaannya.


Hasil gambar untuk raden pamanah rasaSejarah bukanlah sekadar kejadian di masa lalu, sesungguhnya ia merupakan “ruh” yang mewarnai kehidupan suatu bangsa, maka bangsa yang beradab tidak pernah melupakan kisah sejarah para leluhurnya. Dalam novel Raden Pamanah Rasa ini banyak tersaji nama tokoh sejarah di zaman kerajaan dan itu membantu mengingatkan kita kepada “jati diri dan cara-ciri kebangsaan” yang dibentuk oleh keberadaan sejarah kerajaan besar beserta tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Selain gambaran sejarah, melalui novel ini, penulis mampu mengungkap dan menuturkan dengan baik nilai-nilai filosofi adi luhung yang disisipkan melalui jalan cerita, bahkan cukup banyak peristilahan dengan sengaja tidak diganti ke dalam bahasa Indonesia agar tidak mengurangi makna yang sesungguhya. Raden Pamanah Rasa, kisah berlatar sejarah Nusantara yang digali dari sumber tradisi lisan, memang sangat pelik untuk diungkapkan dalam kondisi kekinian. Setidaknya diperlukan gaya ungkap yang memadukan alur rasional, emosional, dan spiritual. Penulis benar-benar melesat jauh melebihi genre-nya. Keyakinan ia dalam menggali sumber kisah, bukan hanya mengandalkan modalitas auditif, melainkan visual dan kinestetik. Ia melumatkan secara kritis dirinya dalam sumber, sehingga misi kisah menghunjam jantung perenungan dan mendobrak kesadaran akan kejatidirian.

Raden Pamanah Rasa atau dalam cerita pantun dikenal dengan nama Mundinglaya Di Kusuma atau Sunan Pagulingan ketika posisinya menjadi Rama adalah putra Sunan Prabu Dewa Niskala atau Ningrat Kancana bergelar Adipati Kertabumi ketika memegang posisi sebagai Ratu Galuh atau Prabu Anggalarang ketika menjadi Raja Sunda di Pakujajar. Ketika berdiam di Cirebon Girang, Prabu Anggalarang bergelar Ki Gedeng Singapura.

Hasil gambar untuk raden pamanah rasa

Setelah terjadinya Perang Bubat, bukan saja menggagalkan pernikahan Mayong Wuruk (Hayam Wuruk) dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, Raden Purwa Andayaningrat atau Hyang Bunisora yang ketika menjadi Mahapatih Pakuan dikenal dengan nama Mahapatih Anapaken atau Batara Guru Niskala Wastukancana memindakan Kerajaan Galuh dari Panjalu ke Lawang Gintung dengan nama Galuh Anyar atau Kerajaan Pakujajar. Sementara Adipati Kertabumi atau Ningrat Kancana atau ketika berasa di Muntur/Panjalu dikenal dengan nama Prabu Di Muntur, pindah ke Jonggol mendirikan Kerajaan Subang Larang. Di Kerajaan Subang Larang inilah Ningrat Kancana bergelar Ki Gedeng Singapura. Kerajaan ini diperuntukan untuk putra mahkotanya yaitu Raden Pamanah Rasa.

Semasa Kerajaan Pakujajar yang berdiri di atas falsafah negara yaitu Negara Kerta Bumi, posisi Ratu dipegang oleh Ningrat Kancana atau Dewa Niskala, sedangkan posisi Resi dipegang oleh Rahyang Kancana atau Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan yang ketika di Jawa bernama Mayong Wuruk atau Hayam Wuruk. Kerajaan Pakujajar tidak lama berdiri karena hadirnya Amuk Murugul atau Adipati Nangganan yang menginginkan posisi Rama Agung. Obsesis Amuk Murugul ini diwujudkan dengan upaya mengadudomba dua saudara yaitu Prabu Anggalarang dengan Prabu Susuk Tunggal. Akibat dari fitnah inilah kemudian muncul Perang Cogreg. Sebagai akibatnya kedudukan Prabu Anggalarang dari posisi Ratu dan menurunkan Prabu Susuk Tunggal dari posisinya sebagai Resi, kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Lawang Gintung ke Sumedang Larang dengan nama Pakuan Pajajaran.

Sebelum peristiwa ini Raden Pamanah Rasa yang waktu itu posisinya masih sebagai Putra Mahkota Kerajaan Galuh, pernah saling berhadapan dengan Amuk Murugul yaitu dalam peristiwa sayembara yang diselenggarakan oleh Ki Gedeng Tapa penguasa di Cirebon Girang, untuk memperebutkan putrinya Nyai Subang Larang. Sayembara ini dimenangkan oleh Raden Pamanah Rasa yang menyamar menjadi Raden Sunu sebagai perwakilan wilayah Surantaka. Kemudian keduanya menikah. Ini merupakan pernikahan kedua bagi Raden Pamanah Rasa, karena sebelumnya setelah menaklukan Harimau Putih atau Giling Wesi dari Kerajaan Harimau, telah menikah dengan Nyai Ambet Kasih atau Putri Buniwangi, putri Ki Gedeng Sendang Kasih penguasa di Surantaka yang tak lain adalah adik Raja Galuh (ayah Raden Pamanah Rasa), Prabu Anggalarang. Pernikahan Raden Pamanah Rasa dengan Nyai Ambet Kasih merupakan wujud cinta yang telah lama bersemi, karena sejak kecil sebenarnya Raden Pamanah Rasa dididik dan diangkat putra oleh Ki Gedeng Sendang Kasih.

Kegemaran Raden Pamanah Rasa mengembara, menyebabkan posisi sebagai Surantakan ditinggalkan dan diurus oleh Nyai Ambet Kasih. Baru setelah turunnya Prabu Anggalarang dari posisi Ratu dan memindahkan pusat Kerajaan ke Sumedang Larang dengan nama Pakuan Pajajaran, Raden Pamanah Rasa menerima jabatan sebagai Raja Pakuan Pajajaran.

Datangnya Portugis ke Malaka menjadi pekerjaan berat bagi Raden Pamanah Rasa dalam posisi sebagai Raja Sunda. Ekspedisi Portugis yang datang ke Malaka dengan persenjataan modern (menggunakan senapan dan meriam) bukan tandingan para datuk di Nusantara yang pada saat itu masih menggunakan senjata tradisional. Misi ekspedisi Portugis yang datang untuk menjalin hubungan perdagangan dengan raja-raja di Nusantara ternyata menyimpan misi rahasia yaitu penyebaran agama katolik. Keadaan ini juga membuat bingung para datuk karena ternyata misi dagang itu dipersenjatai lengkap seperti layaknya pasukan atau angkatan perang. Tentu saja ketika para datuk di Malaka bertekuk lutut, mereka dipaksa untuk menyampaikan ajaran agama baru itu. Inilah yang kemudian membuat bingung para datuk, sebab Nusantara pada saat itu telah menganut agama islam. Ketika dalam pertemuan, akhirnya para datuk menyetujui niat ganda pasukan Portugis itu dengan catatan mendapat persetujuan dari Raja Sunda yang pada saat ini sedang dipegang oleh Raden Pamanah Rasa. Pernikahan ketiganya dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuk Tunggal. Pernikahan ini sebagai pertanda disatukannya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.

Akhirnya utusan Portugis dibawah pimpinan Laksamana Bungker bertemu dengan Raden Pamanah Rasa bergelar Sri Baduga Maharaja, di suatu tempat ketika sedang mencangkul. Tentu saja utusan Portugis merasa heran bagaimana mungkin seorang Raja Sunda yang demikian dikagumi para datuk di Nusantara ternyata hanya seorang tukang berkebun. Utusan Portugis memang tidak tahu bila Raden Pamanah Rasa sedang menyamar. Utusan Portugis itupun menyampaikan niatnya. Raden Pamanah Rasa bersedia untuk hadir di Malaka. Sebelum pergi ke Malaka, Raden Pamanah Rasa melakukan sowan ke Banten Girang, kepada seorang guru agama yaitu Tubagus Hasanudin putra Amuk Murugul atau ketika masih di Jawa Timur dikenal dengan nama Damar Wulan. Sowannya Sri Baduga atau Raden Pamanah Rasa merupakan perwujudan kesederajatan antara Sunda dan Islam. Missi Raden Pamanah Rasa sebagai Raja Sunda ke Malaka juga mewakili negeri-negeri islam di Nusantara pada saat itu seperti Malaka, Goa, Aceh dan negeri lainnya.

Raden Pamanah Rasa memimpin delegasi islam di Malaka menghadapi perwakilan Portugis. Diskusi panjang terjadi karena berubahnya niat Portugis yang awalnya ingin berdagang, kemudian mengemban misi agama. Raden Pamanah Rasa meminta perwakilan Portugis itu menyatakan dengan tegas apa yang dikatakan perwakilan itu merupakan kebijakan Ratu di negerinya. Raden Pamanah Rasa menolak menyebaran agama karena di Nusantara sudah menganut islam, tapi bila ingin berdagang dengan tangan terbuka negeri-negeri di Nusantara. Akhirnya Portugis mengakui bila tujuan utamanya adalah berdagang, sehingga dipersilakan membuka kantor perwakilan dagang di Nusantara. Ketika Portugis memilih perwakilan dagang di Malaka, dengan tegas Raden Pamanah Rasa menolak karena daerah itu sudah cacat hukum. Sebab sebelumnya Portugis sudah mengerahkan pasukan bersenjata untuk mengintimidasi para datuk. Akhirnya disetujuilah kantor perwakilan dagang Portugis itu di ujung timur Nusantara.

Sepulang dari Malaka, Raden Pamanah Rasa tidak kembali ke Pakuan Pajajaran melainkan ke Gunung Gede, menyambut kedatangan saudaranya yang memegang surat suci dari Ratu Sunda. Di tempat inilah kemudian diikrarkan untuk pembagian kekuasaan. Sejak saat inilah Gelar Siliwangi mulai dipergunakan.

Novel  yang  didasarkan pada cerita lisan dan historiografi ini dengan gaya penulisan yang mengalir mampu merekonstruksi jejak sejarah kebesaran raja-raja Nusantara di masa silam, khususnya Kemaharajaan Sunda di masa akhir. Novel Raden Pamanah Rasa: Kemaharajaan Nusantara yang Tak Terungkap, membuktikan bahwa history is stranger than fiction – sejarah lebih ajaib dari fiksi. Kearifan budaya Pasundan yang indah dan adiluhung dihidupkan kembali dalam kisah heroik Raden Pamanah Rasa – Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata – sebuah cerita yang memiliki ruh dan jiwa leluhur Parahyangan.

Novel ini bukan sekadar fiksi, ada perspektif alternatif yang rinci terkait terma Siliwangi yang ditampilkan secara apik dan rapi. Peminat susastra dan sejarah yang tertarik akan perspektif alternatif perlu membaca novel ini. Menjelajah sejarah, untuk menemukan narasi besar biografi kekuasaan, memerlukan beragam pendekatan. Salah satunya dengan teknik jurnalisme investigasi, seperti yang dilakukan penulis dalam penyusunan novel ini. Tak hanya data tertulis dari buku referensi maupun situs di internet, novelnya disusun pula dari interpretasi lapangan dengan menemui sumber-sumber lain yang juga penting. Sehingga pengambilan versi mana yang dipilih, merupakan pertangungjawabannya dan kerja intelektual sebagai seorang sastrawan yang mempunyai passion kesejarahan. Ini bukan masalah memilih mana yang paling kontroversial. Raden Pamanah Rasa dibuat dalam aroma untuk menemukan substansi etika novel sejarah, yang juga mempertimbangkan secara cerdas estetikanya.

Buku ini sungguh berisi dan memberikan wawasan baru mengenai ke-Sunda-an pada zaman Pajajaran. Semua Wangsa Sunda yang peduli akan budayanya dan Kasundaan wajib mengoleksi dan membacanya. Baca dan akan kalian temukan sentuhan romantisme Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Ambet Kasih yang melengkapi keindahan novel ini seakan kalian menonton sebuah film yang mengasyikkan.

Menurut info novel ini segera difilmkan secara serial di sebuah stasiun TV swasta nasional. Tunggu tanggal mainnya!

Data Buku:
Judul     : Raden Pamanah Rasa, Kemaharajaan Nusantara yang Tak Terungkap (Novel Prekuel dari Dwilogi Prabu Siliwangi)
Penulis : E. Rokajat Asura
ISBN     : 978-602-7926-23-3
Penerbit: Imania, April, 2016
Tebal     : 266 halaman
Peresensi: Faried Wijdan, penikmat buku-buku sejarah Nusantara

SUMBER:

http://www.nu.or.id/post/read/75791/raden-pamanah-rasa-menelusuri-jejak-kakek-sunan-gunung-jati


Bahaya Kekhalifahan dan Negara Islam dan angka 666

$
0
0

==Bahaya Kekhalifahan dan Negara Islam== Dan angka 666==

Saya tidak sedang menyudutkan agama Islam di sini. Justru saya sedang bicara tentang suatu keutuhan dan kesatuan agama tauhid yang diajarkan sejak Adam sampai al-Mahdi. Orang Kristen telah keliru memahami kitab-kitab Perjanjian Baru hanya untuk konteks sektarian mereka dan karenanya membelanya. Demikian juga orang Islam yang tidak lagi mengimani al-Mahdi, membuang Alkitab, dan tergesa-gesar benar menolak atau menerima sesuatu yang kami nyatakan sebagai suatu konteks sektariann.Saya tidak sedang menyudutkan agama Islam maupun agama Kristen, karena jika keduanya adalah agama yang dinisbahkan kepada Yesus dan Muhammad, maka sejatinya keduanya adalah benar dan harus dilihat dari titik mulanya, dan titik temunya.

Orang Kristen misalnya banyak berspekulasi mengenai Kitab Wahyu dalam konteks Kekristenan belaka. Menurut saya ini sangat sektarian sekali. Apakah ketika saya mengambil interpetrasi Thomas McElwain mengenai Wahyu 12 tentang kelahiran al-Mahdi sebagai sektarian? Tidak, kami berbeda dengan kalian. Kami bahkan tidak mendukung kekuasaan Syiah Dubaelas yang populer dan kini berkuasa lumayan berpengaruh. Kami tetap menerima Alkitab, mengimani Yesus, dan hal-hal tradisional Judaisme serta Kekristenan lain yang pada mulanya. Kami BUKAN SINKRETIS tapi boleh jadi sangat puritan kembali ke akar Ibrahim, kembali ke sumber-Nya, tanpa tebang pilih dan diskriminasi sedikit pun tidak seperti kalian.. (Hehehehe)

Dekalog/alFurqan saja sebagai sumber segala hukum, ia adalah hukum ilahiah dan sumber bagi hukum moral dan spiritual, tak peduli apa sekte kalian. Islam, Kristen, Yahudi, Sikh, Hndu, Buddha, Kejawen atau lainnya kalau memeliharanya itu berarti kembali ke akar dan sumber ini.

Kekhalifahan dan Negara Islam tidak menginginkan ini. Mereka sangat sektarian. Negara-negara teokratis sangat sektarian dan membaca Apokaliptik serta menanamkan paham Era Mesianik dengan sangat sektarian. Kami menentang ini.

Orang Kristen misalnya sudah banyak membahas tentang era akhir zaman ini dari Kitab Wahyu maupun Kitab Daniel, yang merujuk ke konteks sektarian mereka. Sedangkan, orang Islam pasti akan tersinggung berat kalau saya mengatakan bahwa kedua kitab itu tak lain juga menubuatkan tentang penyimpangan yang dilakukan oleh pengikut anak keturunan Ibrahim yang bernama Muhammad ibn Abdullah sampai pengkhianatan mereka kepada Ali dan Muhammad al-Mahdi.

Angka 666 misalnya selalu diartikan tanpa berhati-hati melihat konteks utuh Kitab Wahyu itu dan kesatuan Millah Ibrahim, konteks leksikal tatabahasa dan konteks nubuat dan historis keagamaan Millah Ibrahim dengan selalu memberi makan ego sektarianisme penafsirnya.

“Yang penting di sini ialah hikmat: barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya ialah enam ratus enam puluh enam.: *Wah 13:18)

Binatang di sini adalah menyimbolkan Ottoman yang telah saya tulis lengkap sebelumnya. Dan, Ottoman membuat Berhala, sebagaimana juga saya tulis di tulisan itu. Thomas McElwain dalam TBI:NJV menyebutkan bahwa bilangan dari seorang manusia dari binatang itu adalah salah satu sultan dari 36 sultan dari 6 abad kekuasaan Ottoman.

Mudah sekali menemukan sultan itu. Yaitu, Sulaiman the Magnificent. Ia lahir pada 6 November 1549. Mari kita hitung tanggal ini: 6 tambah 11 menghasilkan 66, 1549 menghasilkan 66. Sulaiman meninggal pada 6 September 1566. Mari kita hitung lagi. 6 tambah 9 menghasilkan 15 dan itu kembali kepada 6. 1566 menghasilkan angka 666 juga. Sulaiman dan putranya juga dikenal hidup memerintah dalam era Sultanate of Women, Yaitu, ketika garwo ampilnya Hurrem diangkat menjadi garwo padmi kedua dan berkuasa di balik layar, lalu putri Hurrem, Mihrima berkuasa di balik PM berikutnya yang adalah suaminya, lalu menantu Hurrem, Nurbanu, yang walau kemudian tidak sejalan dengan Hurrem dan Mihrima tapi sangat berkuasa di balik layar. Hurrem dan Nurbanu berasal dari Kekristenan Eropa Timur, Ortodoks, dan ketiganya berkuasa sekitar 66 tahun juga.

Sampai hari ini jika ada umat Islam yang membangga-banggakan kekhalifahan Ottoman, mengelu-elukan Sulaiman, dan sujud kepada Berhala kekuasaan mereka, maka sesunggguhnya mereka telah tersesat dan tidak mengenal ajaran Yesus, Muhammad dan Ali sesungguhnya.

Komentar
Satria Dwi KurniaSatria Dwi Kurnia Kalau gue jadi Yohanes, gue gak akan menulis sesuatu yg jauh ke depan, sementara dia hidup dalam pengasingan.. Pun kalau gue dalam posisi menerima wahyu, gw akan cenderung berpikir bhw wahyu itu akan terwujud dalam waktu yg dekat dalam radius yg sangatLihat Selengkapnya

 

Tri Adi WidiatmokoTri Adi Widiatmoko Tp elu bukan Yohanes bro…wkwk

 

Satria Dwi KurniaSatria Dwi Kurnia Emanng.,, dan elo juga bukan Yesus broooo… 😀🙊

 

Tri Adi WidiatmokoTri Adi Widiatmoko Yo mesti…wkwk
Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Gayatri MuthariGayatri Muthari Tentu. Ramalan harapan. Makanya, gak bisa dipahami sebagai yang terlalu detail dan banyak simbol. Sesuai pernyataanmu Pun kalau gue dalam posisi menerima wahyu, gw akan cenderung berpikir bhw wahyu itu akan terwujud dalam waktu yg dekat dalam radius ygLihat Selengkapnya

 

Gayatri MuthariGayatri Muthari Satria Dwi Kurnia bentar elo lagi ngomong ke tri atau piyee wkwkwk
Gayatri MuthariGayatri Muthari Satria Dwi Kurnia Intinya tuh balike Yhudi, seperti kata Aryanto Nugroho , gue suka banget waktu mas Aryanto bilang kembali ke titik Judaisme, semacam itu. Wkwkwk. Terus gue baca Amy-Jill Levine, kalau membaca kisah Yesus dan murid2nya mesti ingat mereka itu orang Yahudi dan hidup sebagai orang Yahudi…. Eh Muhammad, Khadija, Ali dan Fatimah ternyata juga. Hahahahaha

 

Satria Dwi KurniaSatria Dwi Kurnia Gayatri Muthari.. Gue lagi ngomong ke elu lah…Kan gw komenin status elo. Tapi kalau ada yg tersindir mah gue gak tau yeeeee 😀😀😀😀😜😜😜😜
Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Gayatri MuthariGayatri Muthari Satria Dwi Kurnia wkwkwwkk iye, Yesus kan lagi ngomong ke Yohanes, bukan ke gue :v
Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Tri Adi WidiatmokoTri Adi Widiatmoko Wkwkwkwkwkk
Suka · Balas · 1 · 23 jam
Satria Dwi KurniaSatria Dwi Kurnia Gue pikir anggapan yg terlalu wah ttg penulis kitab itu harus disingkirkan. Dari awal mereka sudah sadar kemungkinan multi tafsir. Jadi kenapa mesti ada satu tafsir? Tapi lain cerita kalau pembacanya sendiri yg memilih untuk terikat pada satu bentuk tafsir. Itu pilihan bebas 🙂
Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Ahmad Yanuana Samantho
Tulis balasan…
Linda GunawanLinda Gunawan Kebiasaan Adventis dalam menghitung mulai mempengaruhi ya mbak…
Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Gayatri MuthariGayatri Muthari Linda Gunawan Maksudnya? Ini dalam TBI:NJV kok. Dan, memang ada latarbelakang Judaisme dalam Perjanjian Lama. Saya sudah menerjemahkan mukadimah untuk Wahyu dalam TBI:NJV beberapa waktu lalu. Kalau Adventism kan sangat sektarian dan menydutkan banget GLihat Selengkapnya

 

Linda GunawanLinda Gunawan Sederhana mbak…
berhitungnya. Kebiasaan lama mereka menghitung angka yang tertera dlm KS untuk mencari tahu byk hal. Menghitung untuk tahu kapan akhir jaman, menghitung untuk tahu gelar paus itu 666, dsb 😀
Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Gayatri MuthariGayatri Muthari Linda Gunawan ooh. terbukti hitungan mereka gak tepat kalau menurut yg kubaca. Kepausan Roma terlalu jauh dari konteks zaman dan hidup Yohanes yg Yahudi di wilayah Arab. lagian gak disebut kota Roma atau Washington Mbak. Tapi Yerusalem. :v

 

Linda GunawanLinda Gunawan Kayaknya pola pikir mbak bergeser jauh nih akhir akhir ini..seperti dapat insight2 baru. Ada kalanya pengen diskusi…tapi tiba tiba hilang postingan dan malas cari.

Saya boleh ya ntar bahas tentang Maria Kleopas dan Yesus menikah 3x?

Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Gayatri MuthariGayatri Muthari Linda Gunawan bukan bergeser. saya lelah bertaqiyah. Kalau Maria Klopas itu hanya soal saya baca di tulisan2 orang Yahudi, kok Mbak. dan soal Yesus menikah, sudah lama banget saya bahas,karena itu adalam TBI NJV dan tulisan2 Thomas McElwain yg lain. BuLihat Selengkapnya
Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Tri Adi WidiatmokoTri Adi Widiatmoko Sya nyimak..saat nyai2 berdebat

 

Linda GunawanLinda Gunawan Iya…tapi menarik kok. Sama menariknya dengan sekte Esenni yang diduga sebagai kepercayaan yg dianut oleh Yohanes pembaptis yang sangat mempengaruhi sikap dan pandangan Yesus.

Dimana Yoseph diduga sebagai simpatisan mereka. Dan ini akan mempengaruhi Maria untuk selibat setelah kemungkinan kematian Yusuf suaminya. Dan jadi lumrah juga ketika Yesus memilih untuk selibat.

Tapi karena tdk dibahas di KS, ini juga asumsi.

😀

 

Jacobs BeuJacobs Beu Mbuleett….
Itov Sakha BungItov Sakha Bung salam ya salaam..alhamdulillah, terimakasih

semangat pagi Shaykah Gayatri Muthari
sehat dan bahagia tuk mu

Suka · Balas · 1 · 23 jam

 

Suber AlkhatiriSuber Alkhatiri Ooooo ini sprt kisah di antv yaaa… putri huren yg bermata biru
Yohanes Erwin HermawanYohanes Erwin Hermawan 6 tambah 11 menghasilkan 66?

 

Suka · Balas · 1 · 21 jam


Evolusi Lambang negara RI: Garuda Pancasila

$
0
0

Copas dari Kang Yeddi Aprian Syakh Al-Athas

Foto Yeddi Aprian Syakh Al-Athas.
Foto Yeddi Aprian Syakh Al-Athas.
Foto Yeddi Aprian Syakh Al-Athas.
Yeddi Aprian Syakh Al-Athas menambahkan 3 foto baru.

GARUDA / GAR-HUDA / GAL-HUDA / GALLUS-HUDA = AYAM JANTAN RAKSASA YANG MEMBERI PETUNJUK
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Originally Written by:
Yeddi Aprian Syakh Al-Athas

Bismillahir rahmaanir rahiim,

Sampurasun…

Kita kembali pada Kajian ARKEO-LINGUISTIK tentang asal muasal nama “GARUDA” dalam Mitologi Nuh-Sayna-Tha-Ra (Nusantara).

GARUDA Batara Wishnu, Burung HUDHUD Nabi Sulaiman, AYAM JANTAN Raja Solomon, dan Burung PHOENIX dalam Mitologi Yunani kesemuanya merujuk kepada sosok yang sama yang disebut dalam banyak nama.

Dalam Kitab Al-Quran Umat Islam, Burung Hud-Hud ditulis sebagai “HUDHUDA”.

“Dan dia (Sulaiman) memeriksa burung-burung lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat HUDHUDA, apakah dia (HUDHUDA) termasuk sesuatu yang GHAIB? Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar akan menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang jelas”. Maka tidak lama kemudian datanglah HUDHUDA lalu ia berkata: “Aku mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya, dan kubawa kepadamu dari SABA suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”. (QS. An-Naml 27: 20-23)

Sedangkan dalam Kitab Targum II Ester Umat Yahudi yang ditulis pada abad ke-2 SM Burung Hud-Hud disebut sebagai “AYAM JANTAN”.

“Solomon memberikan perintah, dia akan mengirim (raja) dan bala tentara melawan engkau yang terdiri dari jenis binatang-binatang darat dan burung-burung di udara. Kemudian sesudah itu, seekor AYAM JANTAN pergi dengan sesuka hatinya dan entah kemana. Raja Solomon memberi perintah untuk menangkapnya, membawa dengan paksa dan dia memang bermaksud akan membunuhnya. Tetapi kemudian AYAM JANTAN itu muncul dihadapan Raja dan berkata, “Aku telah melihat-lihat seluruh bumi dan menyakinkan sebuah kota dan kerajaan SHEBA yang belum tunduk kepadamu, tuanku Raja. Mereka diperintah oleh seorang Ratu bernama SHEBA. Kemudian aku menemukan kota yang dibentengi di EASTLAND dan sekelilingnya dihiasi batu-batu emas dan perak, yang mengalasi jalan-jalan”.
(Kitab Targum II Ester, abad ke-2 SM)

Namun jauh sebelum itu, leluhur kita sudah lebih dahulu mengenalnya sebagai “GAL-HUDA” yang diambil dari kata “GALLUS” dan “HUDA”.

GALLUS / Gallus Gallus = Nama Latin Ayam Jantan Hutan.
Soal ayam hutan silahkan cek :
www.id.wikipedia.org/wiki/Ayam_hutan

HUDA = Yang memberi petunjuk

GALLUS-HUDA = Ayam Jantan yang memberi petunjuk.

Nah, kata GALLUS-HUDA kemudian mengalami penyederhanaan lafal menjadi GAL-HUDA kemudian menjadi GAR-HUDA dan menjadi GARUDA.

Dalam sebuah Hadits Rasulullah saw disebutkan,
“Jika kalian mendengar kokok AYAM JANTAN, maka mintalah keutamaan dari Allah, karena AYAM JANTAN (ketika berkokok) ia melihat MALAIKAT”. (HR. Bukhari No. 3303)

“Jika kalian mendengar kokok AYAM JANTAN maka mintalah karunia Allah, sebab ia melihat MALAIKAT. Dan jika kalian mendengar ringkikan Keledai maka berlindunglah kepada Allah dari setan, sebab ia tengah melihat setan. (HR. Abu Daud No. 4438)

Dari kedua hadits tersebut, kita akhirnya paham bahwa AYAM JANTAN yang memiliki nama latin GALLUS GALLUS yang oleh leluhur kita disebut sebagai GALLUS-HUDA / GAL-HUDA / GAR-HUDA / GARUDA adalah binatang yang memberikan petunjuk (HUDA) kepada manusia akan datangnya makhluk cahaya yang bernama MALAIKAT yang turun setiap PAGI HARI untuk memberikan rejeki kepada semua makhluk di bumi.

Lalu dimanakah gerangan sosok GALLUS-HUDA / GAL-HUDA / GAR-HUDA / GARUDA yang menjadi inspirasi Lambang Negara Indonesia ini berada?

Pertanyaan ini telah dijawab oleh Nabi Sulaiman dalam QS. 27:20 bahwa sesungguhnya GALLUS-HUDA / GAL-HUDA / GAR-HUDA / GARUDA yg berwujud AYAM JANTAN RAKSASA merupakan bagian dari sesuatu yang GHAIB atau sengaja di-GHAIB-kan oleh Allah.

Dan Hipotesa Nabi Sulaiman ini ternyata dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw ketika ISRA MI’RAJ.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad saw berjalan di langit dunia, beliau melihat seekor AYAM JANTAN RAKSASA. Apabila sebelah sayapnya lagi akan menutupi bumi bagian timur. akinya berada di atas bumi yang paling bawah sedangkan kepalanya di Arasy. Bulunya berwarna sangat putih. Di bawah bulu-bulu putihnya terdapat bulu-bulu halus berwarna hijau.

Rasulullah saw berkata,
“Saya belum pernah melihat warna yang seindah itu sebelumnya. Ia menebarkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya sambil meneriakkan tasbih mensucikan Allah dengan ucapan berikut ini: “Maha Suci Allah Yang Maha Raja, Yang Maha Suci, Yang MahaBesar, Yang Maha Tinggi, Tidak ada Tuhan Kecuali Dia Yang Maha Hidup dan Berdiri Tegak.”
Bila ia meneriakkan tasbih tersebut, maka AYAM JANTAN yang ada di dunia pun sama-sama bertasbih dan mengepak-ngepakkan sayapnya serta mulai berkokok. Kalau AYAM di langit berhenti bertasbih, maka AYAM di dunia pun diam semua.”

Rasulullah saw kemudian bersabda,
“Sejak saya melihat AYAM JANTAN itu, saya menjadi rindu dan ingin melihatnya lagi.”

(Sumber: Kitab Durratun Nasihin)

Jadi AYAM JANTAN RAKSASA yang dilihat oleh Nabi Muhammad saw itulah yang oleh Nabi Sulaiman disebut sebagai HUDHUDA dan oleh leluhur kita disebut sebagai GALLUS-HUDA / GAL-HUDA / GAR-HUDA / GARUDA.

Mitos tentang GALLUS-HUDA / GAL-HUDA / GAR-HUDA / GARUDA rupanya memiliki kesamaan dengan mitos Burung PHOENIX sebagaimana diulas oleh Prof. Aryo Santos dalam bukunya “Atlantis, The Lost Continent Finally Found” yang disebut Santos sebagai sosok “CHERUB”.

CHERUB atau KARIBU adalah makhluk seperti MALAIKAT yang berkepala seperti ELANG dan memiliki sayap yang bertugas menjaga surga dan Pohon Kehidupan (Tree of Life).
CHERUB atau KARIBU rupanya berasal dari Mitos Hindu tentang GARUDA yang dikaitkan dengan GARUTMAT (Raja Burung) yang digambarkan dalam sosok setengah manusia setengah burung, wahana kendaraan Batara Wisnu. Kisah tentang GARUDA ditemukan di dalam Kitab Mahabharata, lebih tepatnya pada bagian pertama yaitu Adiparwa.

GALLUS-HUDA / GAL-HUDA / GAR-HUDA / GARUDA adalah burung mitologis yang memiliki banyak nama dan julukan di berbagai tempat.

Dalam bahasa Sansekerta, ia disebut sebagai GARUDA. Namun dalam bahasa Pali, ia disebut sebagai GARULA.

Di Jepang, ia disebut sebagai KARURA, yg digambarkan sebagai makhluk besar yg memiliki napas panas, bertubuh manusia dan berkepala seperti seekor elang.

Di Thailand, ia disebut sebagai KRUT atau KRUT PHA, yg berarti Kendaraan Wishnu.

Di Mongolia, ia disebut sebagai ULAN BATOR atau ULAANBAATAR yg berarti Pahlawan Merah.

Di India, ia disebut sebagai JATAYU yg digambarkan sebagai tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana berwujud seekor burung yg membunuh Rahwana.

Di Yunani, ia disebut sebagai PHOENIX yang berarti BURUNG API. Namun aslinya mitologi PHOENIX berasal dari Mesir yang berarti BURUNG MATAHARI yang disebut sebagai BENU. Makhluk ini dikenal melalui Buku “Book of The Dead” atau dari teks-teks Mesir kuno lainnya. Kata PHOENIX diambil dari bahasa Yunani yaitu PHOENICIA yang artinya berwarna merah atau ungu kemerahan.
Legenda yang tidak biasa dari PHOENIX adalah sebelum ia meninggal, ia membangun sarang dan meletakkan telurnya. Kemudian untuk menetaskan telurnya, PHOENIX membuat dirinya menjadi api dan terbakar (bersama dengan sarang) menjadi abu. Dari abu tersebut kemudian muncullah PHOENIX baru. Oleh karena itu, pada satu waktu tertentu, hanya ada satu burung PHOENIX.

Di Persia iadikenal sebagai Burung ROC atau RUKH yg digambarkan sebagai burung pemangsa yang sangat besar dan berwarna putih. Ia mampu membawa terbang seekor gajah dan paus dengan cakarnya. Burung ini terkenal dalam kisah Sinbad pada buku “Hikayat 1001 malam”. Burung ROC kemudian dipopulerkan di Barat oleh petualang Venesia, bernama Marco Polo.
Dia menulis tentang deskripsi Burung ROC:
“Keseluruhannya seperti elang, kecuali ukurannya yang sangat besar, begitu besarnya sehingga panjang dan tebal bulunya dua belas kali panjang dan tebal proporsional. Dan burung itu begitu kuat sehingga ia sanggup mencengkeram gajah dengan cakarnya dan membawanya tinggi ke udara dan menjatuhkannya sehingga gajah hancur berkeping-keping, begitulah cara burung itu membunuh gajah, kemudian dia kembali mengambil bangkai gajah itu dan memakannya di waktu luang.”

Sedangkan di Arab, ia disebut sebagai Burung ‘ANQA, burung raksasa yang tinggal di sebuah gunung yg tinggi yg bernama Gunung Falaj, yang apabila terbang, ia bisa menutupi awan layaknya awan, lehernya seperti leher unta, memiliki empat sayap, dua panjang dan dua lagi pendek, bulunya berwarna-warni dan memiliki kebiasaan suka mengangkat kuda, unta, gajah dan binatang yg lainnya dengan cakarnya dan membawanya ke sarangnya. Makhluk ini dikenal melalui Buku “Aja’ib al-Makhluqat” yang ditulis oleh Al-Qazvini pada awal abad 15.

Dalam Mitologi Hindu, ia disebut sebagai GARUDA YAKSA RETNA PEKSI JALA DARA yg bertugas menjaga jagad awang-awang (angkasa) yg kemudian menjadi kendaraan Batara Wishnu.

Dalam Mitologi Budha, ia disebut sebagai GARUDEYAMANTRA, yg digambarkan sebagai burung pemakan daging yg hebat dan memiliki kemampuan berorganisasi secara sosial.

Dalam Kitab Bible Umat Kristen, ia disebut dalam Nubuat Nabi Yesaya sebagai BURUNG BUAS DARI TIMUR yg akan menyelamatkan Kerajaan Allah yg akan datang bersama Bangsa Ajam (Non Arab).

Dalam Kitab Targum II Ester Umat Yahudi, ia disebut sebagai AYAM JANTAN (GALLUS GALLUS) yang digambarkan sebagai burung intelijen Raja Solomon.

Dan dalam Kitab Al-Quran Umat Islam, ia disebut sebagai HUDHUDA yang digambarkan sebagai burung intelijen Nabi Sulaiman.

Wallahu a’lam.

Mari kita berdiskusi sehat untuk kejayaan Nusantara.

Rahayu ^_^

***
* Garuda bukan Elang Jawa…
* MALAIKAT = DEWA = CAHAYA = PENERANG
* Di Candi SUKUH, arca sosok GARUDA memiliki JALU/TAJI di kakinya persis seperti AYAM JANTAN.

 



Histori of Sri Vijaya-Malayu: Melayu dan Iskandar Dzulkarnain AS

$
0
0

Xeno 101

Halaman Disukai · 16 April

Foto Xeno 101.
 Asal-usul Kerajaan Melayu (terkait dengan Zulkarnain AS???)
Sri Vijaya-Malayu1300
Singapore and Sumatran KingdomsThe early chapters of the Sejarah Melayu (Malay Annals)[1] sound as though they preserve traditions of Malay history that were established in the pre-Islamic period. The ideology and symbolism, which underlie them, no doubt prevailed in Singapore during the 14th century. The Malay Annals begins with the story of a king named Raja Shulan who was a descendant of Iskander Zulkarnain (a figure in Persian mythology distantly inspired by Alexander the Great) and his son, Raja Culan, who set out to conquer China. The Chinese, hearing of his plan, deployed a leaky old ship manned by elderly toothless and hairless men to intercept him at Temasik. There they met Raja Chulan, who inquired of them how far away China was. The Chinese told him that they had left home when they were young men, and the voyage was so long that they had become aged. Raja Chulan then gave up his designs on China. Raja Chulan is clearly modelled on Rajaraja Chola, ruler of a south Indian kingdom, who attacked Srivijaya in 1025. This episode indicates that the attack was still remembered when the story became embedded in the annals.

Raja Chulan had a love affair with a fairy princess who lived beneath the sea (another common motif in ancient Southeast Asian myths). She bore him three princes who later appeared, as if by magic, on the summit of a hill called Seguntang Mahameru near Palembang, Sumatra. The Raja of Palembang, Demang Lebar Daun (“Chief Broad Leaf”), abdicated so that one of the three princes, Sang Nila Utama, whom the signs indicate was divinely inspired, could become king. Upon his coronation, Sang Nila Utama changed his Malay name to Sri Tri Buana, which is in Sanskrit. Demang Lebar Daun promised that the Malays would be perpetually loyal to Sri Tri Buana’s descendants, and in return Sri Tri Buana promised that the rulers would never oppress their subjects by shaming them.

Sri Tri Buana in Sanskrit means “Lord of the Three Worlds”, an allusion to the belief that the universe was divided into a heaven of gods, a world of humans, and an underworld of demons. Some early Southeast Asian kings used this phrase as a title. A Buddhist text written around 1345 was dedicated to the explication of a doctrine of the “Lord of the Three Worlds”. According to this doctrine, all living things can be ranked on the basis of merit, thereby justifying hereditary social stratification.[2] The concept of the “Three Worlds” was also popular in 14th-century Java. Queen Tribhuwanottunggadewi (“Goddess of the Three Worlds”), who reigned in Java from 1328 to 1350, was a devout Buddhist. During her reign, Majapahit incorporated Temasik as a vassal. The Malay Annals and other stories of archetypal heroes stress subjects’s obligation to be absolutely loyal to their rulers, and the rulers’ duty to never shame their subjects.

The choice of Singapore as a new site for a capital would have been dictated by several factors. One of the important factors would have been the topographical advantage of Singapore, which was similar to that of Seguntang in Palembang: a hill overlooking an estuary. Thus Singapore may have been chosen as Palembang’s successor because of the presence of the hill now called Fort Canning. Many brick ruins existed on the hill when the British arrived in 1819; this mirrored the situation in Palembang, where numerous ruins of brick sanctuaries and religious statues were discovered on Seguntang Hill.

It is ironic that the kingdom of Malayu is completely omitted from the Malay Annals. A kingdom by this name already existed by the early seventh century when it sent a mission to Tang China. The eminent historian O. W. Wolters[3]believed that the narratives on Singapore mentioned in the Malay Annals were fabricated in order to conceal a period in history beginning in the late 11th century when Palembang’s role as a centre for Malay political and economic might was usurped by Malayu in Jambi. The archaeological remains unearthed in Singapore since 1984 show this to be untrue. The omission of Malayu and Jambi from the Malay Annals, however, must be attributed in some fashion to the identification of Malacca’s rulers with Palembang rather than Jambi.

The fall of Singapura can be seen as a cautionary tale based on the original oath of mutual obligations between ruler and subject. Like Paduka Sri Maharaja, who unjustly sentenced a boy to death, Iskandar Shah violated his ancestors’s oath: he unjustly shamed one of his wives by exposing her in the market. She was the daughter of a high official, Sang Rajuna Tapa, who took revenge by stealthily opening the city gate so that Batara Majapahit of Java could conquer the city. Iskandar Shah broke Sri Tri Buana’s covenant never to shame his subjects; the fall of Singapura was the direct result of the violation of this ancient agreement. In 15th-century Malacca, public shaming was a form of formal punishment equivalent to execution:

“Punishments for transgressing royal privilege were death, confiscation of the offending item, and public humiliation . . . closely tied to the Malay idea of aib (shame or disgrace). The tearing of garments and bedding and the smearing of the face in the case of misdemeanours towards the Bendahara were publicly executed, with the Kanun condoning mob participation in meting out punishment, no doubt to increase the offender’s sense of humiliation.”[4]

According to a 16th-century author, people in the Philippines could be enslaved for murder or debt, but also “for insulting any woman of rank, or taking away her robe in public and leaving her naked, or causing her to flee or defend herself so that it falls off, which is considered a great offence”.[5]

References
1. Sejarah Melayu, or, Malay Annals. (1970). (C. C. Brown, Trans.). Kuala Lumpur: Oxford University Press. Call no.: RSING 959.503 SEJ.
2. Lithai, P. (1982). The three worlds according to King Ruang: A Thai Buddhist cosmology (F. E. Reynolds, & M. Reynolds, Trans.). Berkeley: Center for South and Southeast Asian Studies, Berkeley Buddhist Series no. 4.
3. Wolters, O. W. (1970). The fall of Srivijaya in Malay history. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Call no.: RSING 959.5 WOL.
4. Khasnor Johan. (1999). The Undang-Undang Melaka: Reflections on Malay society in fifteenth-century Malacca. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 72(2), 131–150. Call no.: RSING 959.5 JMBRAS.
5. Junker, L. L. (1999). Raiding, trading and feasting: The political economy of Philippine chiefdoms (p. 133). Honolulu: University of Hawaii Press. Call no.: RSEA 306.09599 JUN.

 

The information in this article is valid as at 2014 and correct as far as we are able to ascertain from our sources. It is not intended to be an exhaustive or complete history of the subject. Please contact the Library for further reading materials on the topic.

Next EventPrev Event

WALI SONGO

$
0
0
Foto WALI SONGO.
WALI SONGOSukai Halaman

Islam Kejawaan
(Taddaburan/maiyahan)

Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari dikirimi doa dan tumpeng.

Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.

Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.

Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.

Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.

Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.

Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.

Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .

Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.

Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.

Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.

Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).

Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.

Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.

Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.

Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.

Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.

Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.

Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.

Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.

Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.

Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.

Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.

Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.

Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.

Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.

Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.

Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : “…. masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”

Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.

Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.

Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?

Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.

Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.

Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.

Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.

Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.

Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.

Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.

Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.

Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.

Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.

Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.

Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.

Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?

Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.

Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.

Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.

Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.

Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat ‘imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.

Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.

Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma’mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.

Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma’mum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.

Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. “Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.

Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:

Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.

Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.

Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.

Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.

Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.

Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.

Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.

Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.

Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali.

Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.

Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.

Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.

Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.

Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.

Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.

Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.

Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.

Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.

Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.

Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.

Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.

Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.

Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.

Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.

Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.

Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.

Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.

Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.

Copas :
Bp. Agus Sunyoto Lesbumi

 


Inilah 10 Kesesatan Hizbut Tahrir Alias HTI

$
0
0

Inilah 10 Kesesatan Hizbut Tahrir Alias HTI

#BubarkanHTI

Bagi sebagian umat Islam, retorika Hizbut Tahrir tentang mengembalikan kejayaan Islam melalui sistem kepemimpinan Khilafah mungkin terkesan menarik. Namun kalau dipelajari, sistem pemerintahan yang ditawarkan sebenarnya mengandung banyak persoalan serius.

Berikut sejumlah cacat pikir sistem Khilafah yang ditawarkan HT.

Pertama, HT memutlakkan konsep Khilafah sebagai satu-satunya model pemerintahan dalam Islam. Dalam konsep ini, HT tidak percaya bahwa Indonesia boleh berdiri independen sebagai sebuah negara bangsa. HT percaya bahwa kaum muslim Indonesia harus tunduk pada pemerintahan Khilafah dunia Islam di bawah seorang Khalifah yang mungkin saja berada di negara lain (misalnya di Arab Saudi atau di Iraq atau di tempat lain). Pemimpin pemerintahan di Indonesia harus tunduk pada Khalifah itu.

Kedua, sebagai konsekuensi dari pandangan pertama, HT tidak percaya pada konsep Negara Kesatuan RI yang berdaulat. Indonesia adalah bagian dari Khilafah Islam. Indonesia adalah semacam ‘negara bagian’ dari Khilafah. Bila Indonesia menolak keputusan Khalifah, pemimpin di Indonesia bisa diganti. Lebih buruk lagi, bila Indonesia tetap menolak setelah ada ancaman sanksi oleh Khalifah, Indonesia bisa diperangi.

Ketiga, HT tidak percaya pada Pancasila, pada UUD 45 dan segenap rujukan konstitusi negara Indonesia. HT tidak percaya pada demokrasi, tidak percaya pada pemilu. Bila saat ini HT menerimanya, itu hanya untuk sementara. Dalam bayangan HT, suatu saat nanti Indonesia harus diubah menjadi menjadi bagian dari Khilafah Islam.

Keempat, HT menomorduakan warga non-Islam. Dengan kata lain, HT diskriminatif. Dalam konsep Khilafah Islam yang dibayangkan HT, kaum, non-Islam adalah warga kelas dua. Melalui jargon izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan orang-orang Islam), HT menganakemaskan kelompok Muslim seraya menganaktirikan kelompok yang lain. Ini tidak berarti warga non-Islam tidak mendapat pelayanan pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Tapi kaum non-muslim tidak memiliki hak politik yang sama, misalnya dalam hal memilih pemimpin.

Baca:

Kelima, dalam Khilafah yang dibayangkan HT, kalaulah ada partai politik, maka partai politik itu haruslah berupa partai politik Islam. Kalaulah ada pemilu, pemilu tersebut hanya boleh diikuti umat Islam.

Keenam, pemilu pada dasarnya hanyalah pilihan terakhir. Yang ideal dalam pola pemilihan pemimpin adalah pemilihan melalui keputusan organisasi semacam majelis alim-ulama yang mempersatukan para ulama dan cerdik pandai. Dalam hal ini setiap negara yang menjadi bagian dari Khilafah (misalnya saja Indonesia, Malaysia, Brunei, Iraq dan seterusnya) akan mengajukan nama para calonnya yang akan ditetapkan semacam Majelis Sentral Alim Ulama di pusat Khilafah.

Ketujuh, HT tidak percaya pada parlemen yang mengendalikan Khalifah dan pemerintah. Dalam konsep HT, begitu seorang pemimpin terpilih dan dibaiat (disumpah), seluruh rakyat dalam Khilafah harus tunduk dan percaya padanya. Si pemimpin kemudian harus menjalankan kepemimpinan dengan senantiasa merujuk pada Syariah. Ia lah yang menunjuk para pembantunya, termasuk menunjuk pemimpin di setiap daerah yang menjadi bagian dari Khilafah.

Kedelapan, dalam konsep ini seorang Khalifah tidak memiliki batas waktu kepemimpinan. Dia baru diganti kalau wafat, tidak lagi melandaskan kepemimpinannya pada Syariah atau memimpin dengan cara yang zalim. Bila ia melanggar Syariah, ia boleh ditumbangkan dengan kekerasan.

Kesembilan, selama ia masih memimpin berdasarkan Syariah, keputusan Khalifah tidak boleh tidak dituruti. Rakyat dan para alim ulama, kaum cerdik pandai, bisa saja memberi masukan, namun keputusan terakhir da di tangan Khalifah. Mereka yang berani tidak taat akan dianggap sebagai melakukan pembangkangan. Dan mereka yang membangkang bisa dihukum mati.

Kesepuluh, HT anti-keragaman hukum. HT menganggap tidak perlu ada UU yang dibuat oleh para wakil rakyat. HT percaya Syariah saja sudah cukup. Namun bila memang ada kebutuhan untuk mengeluarkan peraturan, Khalifah dan pembantu-pembantunya dapat saja membuat peraturan yang mengikat seluruh warga.

Itulah setidaknya sepuluh persoalan serius dalam tawaran konsep Khilafah menurut HT yang jelas-jelas bertentangan dengan gagasan NKRI dan demokrasi. Masih ada yang tertarik?

(madinaonline/gerpol)

 


Islam dan Demokrasi Indonesia Setelah Pilkada DKI

$
0
0

30 April 2017

Zainal Abidin Bagir | CRCS | Perspektif

Aksi Bela Islam 212. Foto: ZAB.

Siapa atau apakah yang menang dalam Pilkada DKI Jakarta yang baru usai? Perdebatan tentang berbagai alasan pro-Anies dan anti-Ahok sudah berlangsung selama beberapa bulan. Setelah Pilkada, berdasarkan hasil exit poll beberapa lembaga, kesimpulannya sulit dibantah: Faktor agama memainkan peran utama bagi kekalahan Ahok-Djarot. (Lihat grafik exit poll SMRC dan 3 lembaga lain di Tempo di bawah; dan dari Indikator Politik) Yang lebih impresif adalah kenyataan bahwa Ahok kalah meskipun, seperti ditunjukkan LSI dan Median, tingkat kepuasan warga Jakarta atas kepemimpinannya sangat tinggi!

Suka atau tidak, sentralnya isu agama telah meminggirkan debat-debat lebih penting tentang kebijakan perkotaan yang meskipun ada namun tak menonjol. Pilkada DKI 2017 memang berbeda dari beberapa pilkada, pemilu, dan pemilihan presiden sebelumnya, yang hampir selalu menunjukkan rendahnya faktor agama. Karena itulah beberapa media, khususnya media berbahasa Inggris, dengan cepat mengambil kesimpulan luas yang bukan saja menekankan faktor agama dalam Pilkada (misalnya “Christian governor ousted”, atau “Muslim candidate elected”), tapi lebih jauh lagi menyimpulkan bahwa “Indonesia makin konservatif”, bahkan kemenangan Anies-Sandi adalah “kemenangan prasangka atas pluralisme”.

Dari Majalah Tempo 24-30 April 2017

Sejauh mana ketepatan klaim-klaim di atas? Imam Shamsi Ali (dan juga Yenni Wahid) mengkritik keras media yang menyebut bahwa kemenangan Anies-Sandi adalah kemenangan kelompok radikal. Baginya, ini adalah kemenangan demokrasi Indonesia; adanya sebagian kelompok Muslim “radikal” tak berarti kemenangan Anies adalah kemenangan radikalisme.

Benar juga bahwa sebagian pendukung Anies-Sandi berharap akan membantu penegakan syariat, dalam pemahaman spesifik mereka, namun keduanya tak menjanjikan itu. Bagi sebagian kelas bawah Muslim, agama mungkin sekadar menjadi ungkapan dari kekecewaan lebih nyata atas kebijakan-kebijakan Ahok (seperti yang diungkapkan Ian Wilson). Berdasarkan survei, tak sedikit (artinya banyak “Muslim biasa”) yang meyakini bahwa Ahok memang melakukan penodaan agama (meskipun mayoritas tak pernah mendengar ucapan Ahok), dan ini juga tidak selalu berarti mereka intoleran, namun ada konteks khusus yang tidak bisa diabaikan dalam hal ini.

Beragam makna kemenangan Anies-Sandi

Sebagaimana semua peristiwa politik, khususnya pemilihan umum, yang terjadi adalah koalisi saling memanfaatkan: ada kelompok-kelompok agama, politik, dan kepentingan ekonomi. Makna kemenangan ini bisa berbeda bagi Anies-Sandi, mantan capres Prabowo, Partai Gerindra dan PKS, konglomerat mitra Donald Trump di Indonesia, Hary Tanoesoedibjo, kelompok-kelompok yang menentang Ahok karena kebijakan penggusuran dan reklamasi, dan berbeda pula bagi kelompok-kelompok Muslim di atas.

Bagi yang terakhir, kemenangan Anies-Sandi telah menaikkan posisi tawar mereka dan meningkatkan kepercayaan diri yang luar biasa. Dalam Pemilihan Presiden 2004, 2009, 2014, dan Pilkada DKI 2012, Pemilu 2014, bahkan Pilkada DKI 2017 putaran pertama (!), semua tokoh yang didukung FPI tak pernah menang. Baru kali ini menang secara cukup meyakinkan.

Kalaupun klaim bahwa kemenangan Anies-Sandi adalah kemenangan radikalisme tak bisa diterima, yang lebih jelas adalah bahwa Pilkada DKI telah menjadi upaya scaling-up kelompok-kelompok seperti FPI, FUI, HTI dan GNPF-MUI yang berhasil. Yaitu upaya untuk menjadikan agenda-agenda mereka diterima lebih banyak Muslim hingga, harapannya, bisa diinstitusionalisasikan. Dalam Pilkada DKI, caranya adalah dengan melipatgandakan dosis argumen dan sentimen agama selama masa kampanye, jauh melampaui pilkada-pilkada lain, hingga ke tingkat yang belum pernah kita lihat.  Merekalah yang mengkampanyekan untuk memilih gubernur Muslim sejak setahun silam, mengorganisasi rangkaian demonstrasi yang fenomenal untuk menjaga kemurnian Islam dari “penistaan” Ahok, memimpin gerakan doa dan salat berjamaah bertema anti-Ahok sebagai “pemimpin kafir”, lalu memasuki masjid-masjid di banyak wilayah Jakarta hingga, puncaknya, sempat muncul gerakan untuk tidak mensalatkan pendukung Ahok karena mereka adalah Muslim “munafik”.

Kepada merekalah (yang disebut khusus adalah nama Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, dan Ustadz Sambo, ketua panitia Tamasya Al-Maidah) Prabowo menyampaikan ucapan terimakasih. Ketika Rizieq datang ke Istiqlal untuk syukuran kemenangan pada 19 April malam, di antara teriakan yang terdengar adalah “Islam menang”.

Tonggak pencapaian baru

Dilihat dalam rentang sejarah yang sedikit lebih jauh, gerakan “NKRI Bersyariah” ala FPI, khilafah ala HTI, atau ide-ide lain oleh kelompok-kelompok yang bersatu dalam Pilkada DKI itu, telah diupayakan melalui banyak jalur sejak Reformasi 1998. Di jalur hukum: memasukkan kembali “syariah” dalam proses Amandemen UUD 1945 yang tak terlalu berhasil; mempengaruhi pembentukan beberapa UU (seperti tampak dalam polarisasi UU Anti-Pronografi dan UU Sistem Pendidikan Nasional); pembuatan perda-perda keagamaan atau regulasi lebih rendah seperti SK Bupati dan Gubernur (untuk isu anti-maksiat, baca Qur’an, pakaian muslimah, dan sebagainya); upaya pemurnian agama melalui pengadilan (seperti ditunjukkan meningkatnya kasus-kasus pengadilan terkait “penodaan agama” setelah 1998); juga upaya mempengaruhi lembaga judisial tertinggi, Mahkamah Konstitusi (judicial review UU Pencegahan Penodaan Agama, UU Perkawinan, dan yang sedang berjalan kini adalah pasal terkait zina dalam KUHP yang ingin diperluas).

Di luar itu, FPI di Jakarta atau kelompok-kelompok vigilante lain di tingkat lebih lokal berupaya “memurnikan” ruang publik melalui kekerasan, pemaksaan penutupan tempat-tempat hiburan, atau penyerangan kelompok-kelompok “sesat”. Jalur lain adalah masuk dan menjadi bagian lembaga-lembaga keislaman yang lebih mainstream seperti MUI, bahkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Sekolah-sekolah umum pun menjadi saluran strategis lain untuk “diislamkan”.

Tentu beragam peristiwa itu, yang dilakukan beragam kelompok, dengan strategi berbeda—mulai dari yang halus hingga kekerasan fisik—tak bisa disamakan. Namun yang terjadi dalam enam bulan terakhir ini adalah bahwa serangkaian Aksi Bela Islam hingga kampanye Pilkada DKI telah mempersatukan kelompok-kelompok itu, dengan partisipasi massif dari banyak wilayah, melampaui Jakarta.

Pamor organisasi yang lebih mapan seperti Muhammadiyah dan NU tampak kalah, anggotanya berhasil ditarik, bahkan beberapa tokoh Muslim moderat pun mendukung. Elite pemimpin gerakan itu, seperti Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, Zaitun Rasmin, dan banyak lainnya, telah berhasil menarik Presiden Jokowi untuk berbagi panggung dengan mereka pada aksi terbesar 2 Desember 2016; mereka masuk ke Istana untuk bertemu Wakil Presiden; tampil bersama beberapa Menteri, dan duduk bersama Kapolri dan Panglima TNI. Ini adalah tonggak baru pencapaian.

Persaingan, pemaksaan, dan politisasi

Yang dibahas di sini adalah keberhasilan scaling-up kelompok-kelompok Islam tersebut melalui arena Pilkada DKI. Mengenai aspirasi yang mereka perjuangkan, banyak yang dapat dikritik, tapi tidak semua dapat dengan serta-merta dianggap tidak layak untuk suatu negara demokrasi. Bahkan ide “NKRI Bersyariah”, misalnya, dijustifikasi Rizieq Shihab sebagai ide yang demokratis. Ia menunjukkan sebagian dari syariat yang sifatnya personal dan terkait hukum keluarga telah lama diakomodasi dalam negara Pancasila ini; yang diperjuangkannya adalah memperluas akomodasi itu, melalui mekanisme yang sesuai dengan peraturan Indonesia.

Demokrasi Indonesia menyediakan arena bagi aspirasi semua warga negara, termasuk kelompok-kelompok Muslim tertentu, yang bersaing dengan banyak aspirasi kelompok-kelompok Muslim lain dan beragam kelompok lain yang diidentifikasi dengan agama atau tidak. Jika batas-batas bagi aspirasi yang legitimate didefinisikan melalui, misalnya, empat pilar atau pondasi yang menopang Indonesia (NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika), kenyataannya batas-batas itu terus ditafsirkan.

Sementara kontestasi penafsiran tak bisa dihindari, yang seharusnya dijaga di alam demokrasi adalah keamanan ruang deliberasi itu bagi semua warga dan tak ada dominasi oleh kelompok manapun. Namun kenyataannya, penafsiran itu bukan hanya berlangsung melalui argumentasi verbal, namun kerap dipaksakan dengan keras, kalau tidak brutal, melalui aksi-aksi vigilante (main hakim sendiri).

Dalam kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan Gubernur DKI, dan menjadi titik sentral dinamika Pilkada DKI 2017, tuntutan penegakan hukum dilakukan dengan mobilisasi ratusan ribu (atau, sebagian mengklaim jutaan) orang. Dan setiap langkah proses itu diwarnai dengan beragam bentuk intimidasi. Aksi-aksi besar itu disebut “super damai”, dan bebas dari kerusuhan, namun tak kurang diwarnai siar kebencian. Harus diingat juga bahwa sebelum ini, penolakan Ahmadiyah, Syiah, dan Millah Abraham dilakukan bukan hanya dalam perdebatan publik dan mengikuti mekanisme hukum, tapi juga dengan pengusiran paksa ribuan orang, bahkan ada yang berakibat korban jiwa.

Di dunia media sosial yang sulit dikendalikan, batas-batas keadaban digerus dengan lebih keras. Ungkapan kebencian pada etnis Tionghoa dilakukan tanpa kendali, diwarnai ancaman “halal darahnya” dan makin lama tampak seperti makin ditoleransi. Di kalangan Muslim, ungkapan seperti “kafir” dan “munafik” dimaknai dan diterjemahkan dalam pernyataan verbal yang makin lama makin sempit.

Ini bukanlah persoalan teologis bahwa ungkapan yang memiliki dasar dalam Qur’an itu bisa dimaknai sedemikian atau tidak. Tetapi menyebut sesama warga negara dalam pergaulan sehari-hari sebagai “kafir” atau “munafik” adalah tindakan politik yang sekaligus menandai makin rendahnya batas keadaban dan toleransi. Ketika diterjemahkan menjadi penolakan mensalatkan jenazah pendukung kandidat gubernur, ini bukan soal akidah atau syariah, tapi politisasi agama secara oportunistik.

Mengatasi polarisasi

Sebagian dampak Pilkada DKI tak berhenti setelah pilkada usai. Wacana yang berkembang dalam beberapa bulan terakhir ini telah mengubah sikap keberagamaan sebagian masyarakat. Karenanya sulit diingkari bahwa Pilkada DKI bukan sekadar mencerminkan aspirasi masyarakat, tapi—melalui proses politisasi agama, mobilisasi, dan “pelintiran kebencian” (hate-spin)—telah mengubah keberagamaan masyarakat.

Keberhasilan politisasi agama secara masif bisa dibayangkan akan memotivasi pengulangannya di pilkada-pilkada dan pilpres berikutnya,. Penggunaan wacana “penodaan agama”, yang didasarkan pada UU yang sudah terbukti problematis dan menimbulkan banyak korban, mungkin akan lebih marak juga, karena ia makin terbukti efektif. Dampak lain yang belum banyak dibicarakan adalah aktifnya kembali laskar-laskar adat/agama lain di wilayah-wilayah di mana Muslim adalah minoritas, seperti di Manado dan Kupang. Jika tren ini didiamkan, integritas NKRI adalah taruhannya.

Dengan semua dampak ini, meskipun Pilkada berjalan sukses tanpa gugatan kecurangan, dan hasilnya diterima semua pihak, sulit merayakan keberhasilan itu dengan suka cita. Ini memang demokrasi, tapi dengan kualitas rendah, yang meninggalkan luka-luka serius.

Sementara persaingan antara beragam kelompok masyarakat adalah hal yang inheren dalam demokrasi, yang diharapkan dari negara adalah ketegasan untuk menjaga ruang kontestasi agar tak didominasi atau diwarnai intimidasi, bahkan kekerasan. Jika negara bersikap “netral” dalam hal ini, sesungguhnya ia telah berpihak pada kelompok-kelompok yang bersuara lebih nyaring dan berusaha mendominasi.

Perdebatan selanjutnya mesti masuk ke wilayah yang lebih teknis, mengenai instrumen-instrumen demokratis untuk menghindari polarisasi dan potensi disintegrasi itu. Bagi polisi, misalnya, tugas terbesar bukan sekadar mengamankan aksi-aksi massa, tapi juga mencegah tercemarnya ruang publik dengan hasutan dan ujaran kebencian yang makin marak dan bahkan sebagiannya telah diterjemahkan menjadi tindakan. Polisi telah memiliki instrumennya, dan tak perlu ragu-ragu menggunakannya, ketimbang bermain-main dengan tuduhan makar atau skandal seks untuk menjaga “keseimbangan” di antara pihak-pihak yang bertikai.

Pada akhirnya problem yang kita hadapi bukanlah masalah agama, yang sejak awal sejarah Indonesia telah memainkan peran penting dan menemukan saluran-saluran perjuangannya yang beradab. Persoalannya juga bukan semata masalah hukum. Tapi bagaimana membangun masyarakat beradab dan berkeadilan, agar demokrasi tetap bermakna.

Zainal Abidin Bagir adalah dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada.

http://crcs.ugm.ac.id/news/10772/islam-dan-demokrasi-indonesia-setelah-pilkada-dki.html

Leave a Reply


Buku (Pdf) KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN BOGOR Dalam Pusaran Sejarah Dunia. Gratis. (infaq fi sabilillah sukarela semampunya)

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live