Ketika Maharaja Purnawarman (raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M)), berhasil dalam upaya penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km), ia mengadakan selamatan …
Source: Asal Muasal Shalat disebut Sembahyang ?

Ketika Maharaja Purnawarman (raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M)), berhasil dalam upaya penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km), ia mengadakan selamatan …
Source: Asal Muasal Shalat disebut Sembahyang ?
Enter a caption
http://tokobaca.com/produk-27810-illuminati-nusantara.html
“Divine Monotheistic Transcendent-Religious Unity “or “Satanic-Luciferian Occultisme”
Semakin Menarik dan membuat penasaran banyak orang, ternyata Isue Imperium dan Peradaban Atlantis yang Tenggelam di (Nusantara ?).. itu juga terkait erat dengan sejarah dan gerakan serta ajaran Illuminati dan Freemasonsry Internasional. dan Sejarah agama para Nabi Allah SWT di Nusantara dan Mesir, serta Timur Tengah. Jadi ingin tahu mana Illuminati yang benar dan mana yang Palsu? Benarkah para “Tukang Ukir Batu dan ahli Bangunan Batu Para Pembangun Candi yang masih ada/banyak keturunannya di sekitar Magelang dan kota-kota di Jawa, itu adalah kaum masonik yang sebenarnya, keturunan dari para Insinyur dan tukang batunya Nabi Raja Sualeman AS, para pembangun Kuil dan candi di seluruh dunia, aslinya Jawa?
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I*)
Selama ini, terdapat sebagian kalangan yang meragukan kiprah Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka bahkan beranggapan bahwa kisah tentang Walisongo sekadar mitos atau legenda. Alasannya, tidak mungkin Islam menyebar begitu meluas hanya dapat tempo yang sebentar. Padahal, berabad-abad sebelumnya, Islam mengalami banyak kesulitan untuk menyebar di Nusantara, khususnya di Jawa.
Memang diakui, pada awalnya tidak mudah bagi Islam untuk masuk dan berkembang di Nusantara. Bahkan dalam catatan sejarah, dalam rentang waktu sekitar 800 tahun, Islam belum bisa berkembang secara massif. Catatan Dinasti Tan dari China menulis, saudagar-saudagar dari Timur Tengah sudah datang ke kerajaan Kalingga di Jawa pada tahun 674 M, yakni dalam masa peralihan Khalifah Ali bin Abi Thalib ke Muawiyah. Pada abad ke-10, sejumlah rombongan dari suku Lor Persia datang ke Jawa. Mereka tinggal di suatu daerah di Ngudung (Kudus), sehingga dikenal sebagai Loram (dari kata Lor). Mereka juga membentuk komunitas-komunitas di daerah lain, seperti di Gresik yang dikenal dengan daerah Leran. Tapi tidak ada cerita perkembangan Islam selanjutnya.
Selain itu, berdasarkan catatan Jawa ditulis, Sultan Algabah dari Rum, mengirim 20.000 keluarga ke Jawa, namun semuanya mati terbunuh, dan hanya menyisakan 200 keluarga. Sang Sultan pun murka. Agar Islam tetap berkembang di Jawa, Sultan pun mengirim orang-orang yang dianggap wali dan memiliki karomah, salah satu tokohnya adalah Syeikh Subakir yang terkenal numbali tanah Jawa agar bisa ditempati. Pada abad ke-10 tersebut, Syeikh Subakir mengelilingi Jawa dan kemudian kembali lagi ke Rum. Setelah itu, tidak diketahui Islam berkembang atau tidak.
Dalam catatannya, Marcopolo menulis, ketika kembali dari China ke Italia tahun 1292 M, ia tidak melewati Jalur Sutera, tetapi melewati laut menuju Teluk Persia. Ia singgah di kota pelabuhan Perlak Aceh yang terletak di selatan Malaka. Menurutnya, di Perlak, ada tiga kelompok masyarakat, yaitu (1) China, yang seluruhnya beragama Islam; (2) Barat (Persia), yang seluruhnya beragama Islam; dan (3) pribumi, yang menyembah pohon, batu, dan roh, bahkan di pedalaman masih memakan manusia.
Seratus tahun setelah Marcopolo, datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa tahun 1405. Ia mencatat, ketika singgah di Tuban, ia menemukan ada 1000 keluarga China beragama muslim. Di Gresik juga ada 1000 keluarga China beragama muslim, demikian juga di Surabaya ada 1000 keluarga China beragama muslim. Pada kunjungan Cheng Ho yang ketujuh (terakhir) ke Jawa pada tahun 1433, ia mengajak juru tulisnya yang bernama Ma Huan. Menurut catatan Ma Huan, kota-kota di pantai-pantai utara Jawa, penduduknya yang China dan Arab beragama muslim, sedangkan penduduk pribumi rata-rata kafir sebab menyembah pohon, batu, dan roh.
Tujuh tahun setelah itu, yakni tahun 1440, datanglah seorang wali dari negeri Campa (Vietnam Selatan) ke Jawa beserta keluarganya, yaitu Syeikh Ibrahim Samarqandi dan dua putranya, Ali Murtadho dan Ali Rahmat. Mereka tinggal di daerah Tuban, tepatnya di Desa Gisikharjo Kec. Palang. Namun belum sempat berkembang, Syeikh Ibrahim meninggal dan dimakamkan di sana. Kedua putranya pun menuju Majapahit, sebab bibinya dinikahi raja Majapahit. Oleh raja, keduanya diangkat sebagai pejabat. Ali Murtadho sebagai raja pendeta (menteri agama) untuk orang-orang Islam, sedangkan Ali Rahmat sebagai imam di Surabaya. Ali Rahmat inilah yang kemudian dikenal sebagai Raden Rahmat Sunan Ampel.
Dari Sunan Ampel, lahirlah Sunan Bonang dan Sunan Drajat, serta putri-putrinya, kemudian murid-muridnya, seperti Sunan Giri dan Raden Fatah. Dari sini kemudian terbentuklah Walisongo. Ketika pertama datang tahun 1440, Sunan Ampel waktu itu belum menikah. Dan pada tahun 1470 atau butuh waktu sekitar 30 tahun inilah, Sunan Ampel mengembangkan Islam di tanah Jawa, sembari putra-putri dan murid-muridnya tumbuh dewasa. Inilah dimulainya era Walisongo, yakni pada tahun 1470.
Sekitar 40 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513, seorang Portugis bernama Tome Pires datang ke Jawa. Ia mencatat, sepanjang pantai utara Jawa, penguasanya adalah para adipati muslim. Padahal sebelumnya, menurut Ma Huan pada tahun 1433, sepanjang pantai utara Jawa adalah kafir. Ini mengindikasikan bahwa Islam berkembang secara massal baru sejak era Walisongo.
Kesaksian lainnya, pada tahun 1522, Antonio Pigafetta, seorang pengelana dari Italia yang menumpang kapal Portugis datang ke Jawa, ia menyaksikan penduduk pribumi di sepanjang utara Jawa seluruhnya muslim. Di pedalaman masih ada kerajaan majapahit, rajanya Raden Wijaya, namun sudah tidak berkembang. Sekali lagi, inilah bukti Islam berkembang luas baru pada era Walisongo.
Pertanyaannya: mengapa hanya dalam kurun waktu 40-50 tahun Islam diterima begitu meluas di Jawa, padahal sebelumnya sangat sulit berkembang? Faktor kesuksesan dakwah Walisongo salah satunya adalah dengan mengembangkan peradaban yang ditinggalkan Majapahit menjadi sebuah peradaban baru yang akarnya Majapahit tapi cirinya Islam. Contohnya, sampai era Demak awal, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok besar, seperti era majapahit. Pertama, Golongan Gusti, yakni orang-orang yang tinggal di dalam keraton. Kedua, Golongan Kawula, orang yang tinggal di luar keraton.Gusti artinya tuan, kawula artinya budak, yang tidak mempunyai apa-apa, hanya memiliki hak sewa, bukan hak milik, sebab yang punya adalah tuannya (gusti). Jadi, pada era Majapahit, semua hak milik adalah milik keraton. Jika raja ingin memberi seorang kawula yang berjasa, ia diberi tanah simah/perdikan.
Yang dirintis Walisongo, terutama Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, adalah mengubah struktur masyarakat gusti dan kawula yang tidak relevan dan tidak manusiawi tersebut. Digunakanlah struktur komunitas baru yang disebut “masyarakat”, berasal dari istilah Arab,musyarakah, yang berarti komunitas yang sederajat dan saling bekerjasama.
Salah satu metode Walisongo adalah dengan mengubah mindset masyarakat. Golongangusti menyebut kata ganti dirinya: intahulun, kulun atau ingsun. Sedangkan golongankawula menyebut kata ganti dirinya: kulo atau kawula. Orang Sunda menyebutnya: abdi; orang Sumatera: saya atau sahaya; orang Minang: hamba atau ambo. Walisongo mengubah semua sebutan yang berarti budak tersebut, dan diganti dengan ingsun, aku, kulun, atau awak, dan sebutan lain yang tidak mewakili identitas budak. Itulah konsep masyarakat yang tidak membedakan panggilan antara golongan gusti dan kawula. Bahkan dalam bahasa Kawi, tidak ada istilah “masyarakat”, “rakyat”, dan sebagainya.
Pada zaman Majapahit, selain golongan gusti, orang tidak mempunyai hak milik, seperti rumah, ternak, dan seterusnya, sebab semuanya milik keraton. Kalau keraton punya hajat, seperti ingin membangun jembatan atau candi dan membutuhkan tumbal, maka anak dari golongan kawula yang diambil dan dijadikan korban. Dengan mengubah struktur masyarakat, golongan kawula akhirnya bisa menolak karena merasa sederajat.
Orang Jawa era Majapahit terkenal arogan. Prinsip hidupnya adalah adigang adigung adiguna. Mereka bangga jika sudah bisa menundukkan dan merendahkan orang lain. Menurut kesaksian Antonio Pigafetta, pada waktu itu, tidak ada orang yang sombong melebihi orang Jawa. Kalau ia sedang berjalan, dan ada orang dari bangsa lain juga berjalan tetapi di tempat yang lebih tinggi, maka akan disuruh turun. Jika menolak, akan dibunuh. Itulah watak orang Jawa. Sehingga dalam bahasa Jawa asli (Kawi), tidak dikenal istilah “kalah”. Kalau seseorang berselisih dengan orang lain, maka yang ada adalah “menang” atau “mati”. Walisongo kemudian mengembangkan istilah ngalah, bukan dari asal kata kalah, tetapi bermakna seperti ngalas (menuju alas) ngawang (menuju awang-awang), maka ngalah berarti menuju Gusti Alah, yakni tawakkal.
Sebagai bukti kesombongan orang Jawa adalah ketika utusan dari China mengirimkan pesan dari rajanya kepada ke Raja Kertanegara, karena tersinggung, utusan tersebut dilukai. Istilah carok di Madura juga berasal dari tradisi Jawa Kuno. Carok dalam bahasa Kawi berarti berkelahi; warok berarti tukang berkelahi; dan Ken Arok disebut sebagai pemimpin tukang berkelahi. Oleh Walisongo, dikenalkan istilah baru, seperti sabar, adil, tawadhu’, dan sebagainya.
Walisongo melihat sebetulnya agama Hindu dan Buddha hanya dipeluk oleh kalangan Gusti di keraton-keraton. Masyarakat umumnya beragama Kapitayan, yakni pemuja Sang Hyang Taya. Taya artinya suwung, kosong. Tuhannya orang Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Taya didefinisikan secara sederhana dengan “tan keno kinaya ngapa”, tidak bisa diapa-apakan, dilihat, dipikir, dibayangkan. Kekuatan Sang Hyang Taya inilah yang kemudian ada di berbagai tempat, seperti di batu, tugu, pohon, dan disitulah mereka melakukan sesaji.
Agama Kapitayan inilah agama kuno yang dalam arkeologi, sisa-sisa peninggalannya dikenal dalam istilah Barat dengan dorman, menhir, sarkofagus, dan lainnya yang menunjukkan ada agama kuno di tempat itu. Oleh sejarawan Belanda, hal ini disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon-pohon, batu, dan ruh. Sedangkan menurut istilah Ma Huan, praktik seperti ini disebut kafir.
Nilai-nilai agama Kapitayan ini diambil alih oleh Walisongo, dalam menyebarkan Islam. Sebab konsep tauhid Kapitayan sama dengan Islam. Tan keno kinaya ngapa sama artinya dengan laisa kamitslihi syai’un. Istilah-istilah yang digunakan Walisongo pun masih istilah Kapitayan, seperti menyembah tuhan disebut sembahyang (sembah hyang taya). Tempat ibadah Kapitayan disebut sanggar, yakni bangunan empat persegi yang pada dindingnya ada lubang kosong (simbol dari Sang Hyang Taya, bukan patung atau arca seperti Hindu Buddha). Walisongo menyebutnya langgar.
Dalam Kapitayan, ada juga ritual berupa tidak makan dari pagi sampai malam. Walisongo tidak menggunakan istilah shaum atau siyam, tapi upawasa (puasa, poso). Poso dino pituberarti yaitu puasa padi hari kedua dan kelima. Nilainya sama dengan puasa tujuh hari. Dalam Islam, dikenal dengan Puasa Senin Kamis. Tumpeng dalam sesaji juga tetap dijalankan. Inilah yang dalam istilah Gus Dur disebut “mempribumikan Islam”.
Pada zaman Majapahit, ada upacara “sraddha”, yakni upacara setelah 12 tahun kematian seseorang. Ketika terjadi peringatan sraddha seorang raja Majapahit, Bhre Pamotan Sang Sinagara, seorang pujangga, Mpu Tanakung, membuat kidung “Banawa Sekar” (Perahu Bunga), untuk menunjukkan betapa upacara itu dilaksanakan dengan penuh kemewahan dan kemegahan. Masyarakat pantai atau sekitar telaga menyebut tradisi tersebut dengan istilah sadran atau nyadran (dari kata sraddha).
Walisongo yang berasal dari Campa juga membawa tradisi keagamaan, seperti peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 10 hari, 1000 hari kematian seseorang. Tradisi ini adalah tradisi Campa, bukan tradisi asli Jawa, bukan juga tradisi Hindu. Sebab tradisi tersebut juga ada di sebagian Asia Tengah, seperti Uzbekistan dan Kazakhstan. Dalam buku-buku tentang Tradisi di Campa, akan diketahui bahwa peringatan tersebut sudah ada sejak dulu.
Dalam tahayul Majapahit, hanya dikenal Yaksa, Pisaca, Wiwil, Raksasa, Gandharwa, Bhuta, Khinnara, Widyadhara, Ilu-Ilu, Dewayoni, Banaspati, dan arwah leluhur. Orang Majapahit terkenal sebagai orang yang rasional. Mereka pelaut dan mengenal orang-orang dari China, India, Arab, dan sebagainya. Dalam zaman Islam yang terpengaruh dari Campa, muncul banyak tahayul, seperti pocong. Ini jelas berasal dari keyakinan Islam, sebab orang Majapahit matinya dibakar dan tidak dipocong. Ada juga kuntilanak, tuyul, hingga Nyai Roro Kidul atau Ratu Laut Selatan yang muncul belakangan, sebab laut mana saja, oleh orang Majapahit, akan dilewati.
Era Walisongo, tidak ada penyebaran Islam dengan kekerasan senjata. Baru zaman Belanda, terutama pasca Perang Diponegoro, Belanda betul-betul kehabisan dana, sehingga berhutang jutaan gulden. Setelah Diponegoro ditangkap, ternyata pengikutnya tetap tidak pernah tunduk. Belanda akhirnya melakukan dekonstruksi cerita-cerita tentang Walisongo, seperti pada Babab Kediri. Dari babad inilah muncul kitab Darmo Gandul dan Suluk Gatholoco. Yang mengarang kitab ini bernama Ngabdullah, orang Pati, yang karena kemiskinan, membuatnya murtad menjadi Nasrani. Ia kemudian berganti nama menjadi Ki Tunggul Wulung dan menetap di Kediri.
Dalam serat karangannya, terdapat banyak cerita yang bertolak belakang dengan kenyataan sejarah, seperti Demak menyerang Majapahit tahun 1478 dan munculnya tokoh fiktif Sabdo Palon Naya Genggong yang bersumpah bahwa 500 tahun setelah penyerangan itu, Majapahit akan bangkit kembali. Padahal menurut naskah yang lebih otentik dan lebih kuno, pada tahun itu yang menyerang Majapahit adalah Raja Girindrawardhana, raja Hindu dari Kediri. Saking kuatnya dongeng itu, membuat Presiden Soeharto begitu percaya sehingga menetapkan disahkannya Aliran Kepercayaan pada tahun 1978 (500 tahun setelah 1478) sebagai simbol kebenaran sumpah Sabdo Palon akan kebangkitan Majapahit.
Diam-diam, ternyata Belanda membuat sejarah karangan sendiri untuk mengacaukan perjuangan umat Islam, terutama pengikut Diponegoro. Bahkan Belanda juga membuat Babad Tanah Jawi sendiri, yang berbeda dengan Babad Tanah Jawi yang asli. Contohnya, naskah tentang Kidung Sunda, digambarkan adanya peristiwa bubad, yakni ketika Gajahmada membunuh Raja Sunda dan seluruh keluarganya. Hal inilah yang membuat orang-orang Sunda memendam dendam pada orang-orang Jawa. Naskah itu sendiri muncul tahun 1860, yang membuatnya adalah orang Bali atas suruhan Belanda. Itu adalah peristiwa besar, mana mungkin tidak ditulis dalam Babad Sunda, termasuk dalam naskah Majapahit? Sekali lagi, inilah taktik Belanda dalam memecah masyarakat dengan membuat cerita-cerita palsu. Dari seluruh pendistorsian sejarah, semua pasti berawal dari naskah karangan Belanda pasca Perang Diponegoro.
Umat Islam adalah orang yang tidak mudah ditundukkan Belanda. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya dari orang-orang Belanda yang kafir. Buktinya, sejak tahun 1800-1900, terjadi 112 kali pemberontrakan yang dipimpin oleh para guru tarekat dan orang-orang dari pesantren. Akhirnya, Belanda membuat cara yang lebih sistematis, ketika tahun 1848 (pasca Perang Diponegoro), mereka membuat peraturan perundang-undangan, dimana orang kulit putih (Eropa) ditempatkan pada kelas tertinggi sebagai warga negara kelas satu; orang-orang Tionghoa dan Timur Asing sebagai warga negara kelas dua; dan warga pribumi (inlander) sebagai warga negara kelas tiga. KUHP pun dibagi menjadi dua, yakni KUHP untuk warga negara kelas satu yang disebut Raad van Justitie, serta KUHP khusus untuk warga negara kelas dua dan tiga yang disebut Landraad. Dalam perkara perdata, orang-orang Tionghoa dan Timur Jauh dapat berperkara di Raad van Justitie, tetapi tidak demikian dengan orang pribumi.
Demikian juga diskriminasi melalui lembaga sekolah. Menurut taktik Belanda ini, umat Islam bisa ditundukkan kalau anak-anak muslim dijadikan sebagai manusia modern dengan mengirim mereka ke sekolah, sebab pesantren resistensinya sangat tinggi. Dari sekolah inilah umat Islam menjadi modern, sehingga muncul Serikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Serikat Islam (1912), Muhammadiyyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persis (1923), dan sebagainya. Mereka adalah golongan orang-orang yang berpikiran modern. Dengan cara inilah Belanda menundukkan umat Islam. Buktinya, PKI lahir dari orang-orang sekolah, yakni dari SI Merah. SI pecah menjadi dua: SI Merah dan SI Hijau. SI Merah kemudian menjadi Serikat Rakyat yang pada Mei 1920 menjadi PKI. Sedangkan mereka yang di pesantren dituduh tradisional, primitif, dan tempatnya TBC (Tahayul Bid’ah, Churafat). Orang-orang pesantren ini akhirnya bertahan dengan mendirikan NU pada tahun 1926.
Warisan Walisongo terputus ketika pesantren meninggalkan tulisan Jawa. Pada abad ke-17 hingga 18, terutama setelah Terusan Suez dibuka, orang banyak pergi haji ke Tanah Suci. Pengaruh Timur Tengah pun mulai muncul. Salah satunya, munculnya tulisan pegon yang tanpa diduga akhirnya menjadi mainstream di pesantren. Dampaknya, pesantren tidak mewarisi warisan Walisongo yang tertulis dalam tulisan Jawa. Padahal peradaban baru pasca Majapahit adalah peradaban warisan Walisongo sangat tinggi nilainya, dan ditulis dalam tulisan Jawa.
Dalam teknologi metalurgi peleburan besi dan baja, misalnya, orang-orang Majapahit bisa membuat pusaka, keris, tombak, panah, bahkan barunastra, yakni panah yang berfungsi seperti torpedo air yang jika ditembakkan bisa membuat kapal jebol. Bahkan kerajaan Demak mampu membuat meriam-meriam ukuran besar dan diekspor ke Malaka, Pasai, bahkan Jepang. Fakta Jepang pernah membeli meriam dari Demak bersumber dari catatan bahwa ketika Portugis menaklukkan pelabuhan Malaka, benteng Malaka dilengkapi oleh meriam-meriam ukuran besar yang didatangkan dari Jawa. Portugis yang baru datang dari Eropa, kapal-kapal mereka dijebol meriam ketika mendekati pelabuhan Malaka. Buktinya saat ini bisa dilihat di Benteng Surosowan Banten, dimana di depannya ada meriam bernama “Ki Amuk” yang besar. Orang bisa masuk ke lubang meriam menggambarkan besarnya meriam yang ditembakkan. Bahkan capnya pun masih ada, yakni buatan Jepara. Istilah “bedil besar” dan “juru mudining bedil besar” menggambarkan meriam dan operator meriam. Itulah teknologi militer era Walisongo.
Bahkan dalam peradaban berbuasana, pada era Walisongo muncul pakaian kemben, surjan, dan sebagainya. Padahal zaman Majapahit, orang-orang tidak berpakaian sempurna. Ini bisa dilihat pada relief-relief candi, dimana laki-laki dan perempuan bertelanjang dada.
Zaman Majapahit, keseniannya adalah “wayang beber”, sedangkan era Walisongo adalah “wayang kulit”. Ceritanya tentang Mahabharata, oleh Walisongo dibuat versinya sendiri yang berbeda dengan versi asli India. Dalam versi India, Pandawa Lima memiliki satu istri, Drupadi. Ini berarti konsep poliandri. Walisongo mengubah konsep tersebut dengan menceritakan bahwa Drupadi adalah istri Yudhistira, saudara tertua. Werkudara atau Bima istrinya Arimbi, yang kemudian kawin lagi dengan Dewi Nagagini yang memiliki anak Ontorejo dan Ontoseno, dan seterusnya. Digambarkan bahwa semua Pandawa berpoligami. Padahal versi aslinya, Drupadi berpoliandri dengan lima pandawa.
Demikian halnya dalam cerita Ramayana. Hanuman memiliki dua ayah, yakni Kesari Raja Maliawan dan Dewa Bayu. Oleh Walisongo, Hanuman disebut sebagai anak dari Dewa Bayu. Walisongo bahkan membuat silsilah bahwa dewa-dewa itu keturunan Nabi Adam. Hal ini bisa dilihat dari pakem pewayangan Ringgit Purwa di Pustaka Raja Purwa Solo, yakni suatu pakem untuk para dalang. Jadi pakem yang dipakai para dalang itu adalah pakem Walisongo, bukan pakem India. Wayang inilah tontonan sekaligus tuntunan dalam dakwah Islam Walisongo.
Dalam dunia sastra, Majapahit mengenal kakawin dan kidung. Oleh Walisongo, ditambah dengan berbagai tembang, seperti tembang gedhe, tembang tengahan, dan tembang alit. Berkembang pula tembang macapat di daerah pesisir. Kakawin dan kidung hanya bisa dipahami oleh pujangga. Tetapi untuk tembang, masyarakat buta huruf pun bisa. Inilah metode Dakwah Walisongo melalui jalur kesenian dan kebudayaan.
Contoh lain, slametan yang dikembangkan Sunan Bonang dan kemudian sunan-sunan yang lain. Dalam agama Tantrayana yang dianut oleh raja-raja di Nusantara, salah satu sektenya adalah Bhairawa Tantra yang memuja Dewi Pertiwi, Dewi Durga, Dewi Kali, dan lainnya. Ritual mereka dengan membuat lingkaran yang disebut ksetra. Yang terbesar di Majapahit adalah ksetra laya, sehingga sekarang disebut daerah Troloyo.
Ritual tersebut dikenal dengan upacara Panca Makara (lima ma, malima), yaitu mamsa(daging), matsya (ikan), madya (arak), maithuna (seksual), dan mudra (semedi). Laki-laki dan perempuan membentuk lingkaran dan semuanya telanjang. Di tengahnya disediakan daging, ikan, dan arak. Setelah makan dan minum, mereka bersetubuh (maituna) beramai-ramai. Setelah memuaskan berbagai nafsunya tersebut, baru mereka bersemedi. Untuk tingkatan yang lebih tinggi, mamsa diganti daging manusia, matsa diganti ikan sura (hiu), dan madya diganti darah manusia.
Di Musem Nasional Jakarta, ada patung tokoh bernama Adityawarman yang tingginya tiga meter dan berdiri di atas tumpukan tengkorak. Dialah pendeta Bhairawa Tantra, pengamal ajaran malima. Dia dilantik menjadi pendeta Bhairawa dengan gelar Wisesa Dharani, penguasa bumi. Digambarkan, ia duduk di atas tumpukan ratusan mayat dan minum darah sambil tertawa terbahak-bahak.
Melihat hal tersebut, akhirnya Sunan Bonang membuat acara yang mirip. Ia masuk ke Kediri sebagai pusatnya Bhairawa Tantra. Tidak heran jika semboyan Kediri sekarang adalah Canda Bhirawa. Sunan Bonang berdakwah ke Kediri tapi tinggal di baratnya sungai, yakni di Desa Singkal Nganjuk. Di situ ia mengadakan upacara serupa, membuat lingkaran, tetapi pesertanya laki-laki semua, dan di tengahnya ada makanan, lalu berdoa. Inilah yang disebut tradisi kenduri atau slametan. Dikembangkan dari kampung ke kampung untuk menandingi upacara malima (Panca Makara). Oleh karenanya Sunan Bonang juga dikenal sebagai Sunan Wadat Cakrawati, sebab menjadi pimpinan atau imam Cakra Iswara (Cakreswara).
Jadi di daerah pedalaman dulu, orang disebut Islam jika sudah baca syahadat, khitan, dan slametan. Jadi malima itu aslinya bukan maling, main, madon, madat, dan mabuk, tapi lima unsur Panca Makara. Islam pun berkembang karena masyarakat tidak mau anaknya dijadikan korban seperti dalam Bhairawa Tantra. Mereka lebih memilih ikut slametan dengan tujuan biar slamet. Inilah cara Walisongo menyebarkan Islam tanpa kekerasan.
Kesimpulannya, sekitar 800 tahun Islam masuk ke Nusantara, sejak tahun 674 hingga era Walisongo tahun 1470, namun belum bisa diterima masyarakat secara massal. Dan baru sejak era Walisongo, Islam berkembang begitu meluas di Nusantara. Dan hingga kini, ajaran Walisongo pun masih dijalankan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
(Disarikan dari uraian Agus Sunyoto dalam acara Suluk Maleman dan Bedah Buku “Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Menguak Walisongo sebagai Fakta Sejarah”, 15 Maret 2013 di Pati Jawa Tengah)
ISLAMSEJATI.com- Selain dari manuskrip kuno peninggalan Plato, kemungkinan besar Atlantis terletak di Indonesia dikuatkan melalui metode Quranic Archeology, atau penelitian dari teks-teks kitab suci Al Quran yang dilakukan oleh Kepala Arkeolog Penelitian Gunung Padang, Ali Akbar.
“Meneliti dari manuskrip Al Quran dibolehkan karena dalam arkeologi, Al Quran adalah artefak,” papar Ali Akbar yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi yang bertajuk “Bencana dan Peradaban” serta peluncuran buku “Plato Tidak Bohong, Atlantis Ada di Indonesia” karya Danny Hilman yang berjudul di Gedung Krida Bhakti kompleks Sekretariat Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Senin (20/2)
“Nabi Adam, Nuh, Hud, Idris, Saleh dan seterusnya, itu tidak disebut dimensi ruangnya, tidak jelas dari mananya, baru kemudian Nabi Yusuf disebutkan dari Mesir. Nabi-nabi pra Ibrahim tidak disebutkan,” papar Ali
“Fakta ini membuat seluruh kemungkinan menjadi mungkin. Karena kosongnya sejarah ini maka semuanya jadi mungkin. Karenakan tidak ada tertulis di Al-qur’an dimana sebenarnya nabi-nabi itu,” tambahnya.
Sebagai contoh, disebutkan Ali Akbar tidak pernah disebutkan dimanakah Nabi Adam AS diturunkan dari surga. Yang disebutkan hanya Nabi Nuh, yang bahteranya mendarat di bukit Ararat.
“Tapi bukit Ararat itu dimana? Berangkatnya juga dari mana? Selain itu, umatnya para nabi terdahulu ini disebutkan hancur karena menyembah berhala. Berhala itu batu, berarti itu megalithikum, dan kita bisa menemukan seluruh situs Megalithikum di seluruh dunia,” ujarnya.
Karenanya, kemungkinan bahwa bangsa-bangsa terdahulu berasal dari Atlantis yang juga kemungkinannya ada di Indonesia menjadi terbuka lebar.
“Fakta bahwa Atlantis berada pada sekitar 11 ribu tahun yang lalu menjadi mungkin saja,” tandasnya.
Atlantis hingga kini belum 100% terbukti. Semoga penelitian ini memberikan dampak baik kepada umat muslim. Mari bantu sebarkan!
Piramida Sumber Receptor (penerima) Energi .
Terjemahan: Ahmad Yanuana Samantho
Situs Megalitik Kuno di seluruh dunia telah membingungkan kita selama berabad-abad. Dari yang ada di Pulau Paskah (Samudra Pasifik), Stonehenge (di Inggris), Stones Carnac (di Perancis), dan di Lembah Bada Sulawesi (Indonesia) – mereka semua memiliki satu kesamaan. Semua situs-situs tersebut tampaknya memiliki kebiasaan aneh mendirikan batu besar yang berdiri bermil-mil jauhnya dari tambang batu dari mana mereka dipotong. Sekarang, mengapa mereka akan pergi melalui semua kesulitan itu?
Ini adalah teori yang sangat menarik yang pernah saya jumpai baru-baru ini. Aku tidak melakukan penelitian, dan karena itu saya tidak memiliki pendapat tentang masalah ini, kecuali bahwa itu sangat menarik!
Batu Megalit Stonehenge diangkut dari tambangnya sejauh lebih dari 25 mil dari tempat struktur tersebut berdiri. Patung Kepala Misterius di Easter Island, yang beratnya sampai 14 ton, diangkut lebih dari 11 mil dari tempat mereka sekarang berdiri.
Pulau Paskah juga salah satu pulau paling terpencil di dunia yang dihuni, dengan pulau yang dihuni yang terdekat lebih dari 1.000 mil jauhnya. Situs Megalith Lembah Bada di Sulawersi, Indonesia, terbuat dari jenis batu tidak ditemukan di tempat dekat dengan sawah subur dan mengalir sungai di mana mereka tersebar. Mengapa? Nah, tidak ada yang tahu.
Lembah Bada Megalitik Stones: Palindo Palindo, “The Entertainer,” adalah salah satu dari banyak megalit tersebar di seluruh Lembah Bada. Sumber.
Bagaimanapun, kembali ke masalah reseptor energi. Tentang Pyramid Resonance, menurut artikel ini, Gunung Padang dibangun sepanjang “Sabuk Gelombang Infrasonik” yang melingkari bola dunia.
Bagi siapa saja yang tidak familiar, infrasonik adalah suara frekuensi rendah yang terjadi di bawah “batas” pendengaran manusia. Sama seperti cahaya inframerah adalah cahaya yang tidak dapat kita lihat dengan mata kita, namun memiliki efek lain; gelombang infrasonik juga dapat mempengaruhi kita, meskipun kita tidak bisa mendengarnya. Gelombang Infrasonik sering menjadi penyebab tempat dari yang diyakini angker, karena dapat menimbulkan perasaan mual, panik, kesedihan ekstrim, jijik, dan bahkan ketakutan. Anyway … mendapatkan out off topic lagi.
Lokasi Situs Megalitikum Gunung Padang, Candi Borobudur, lokasi Hipotetis (Dhani Irwanto) Ibu Kota Imperium Atlantis di Laut Jawa dan Situs Megalitikum Lembah Bada-Sulawesi berada dalam lingkaran terluar Gelombang Infrasonik yang berpusat di komplek Candi Angkor di negara Kerajaan Khmer, Asia Tenggara.
https://id.wikipedia.org/wiki/Angkor
https://id.wikipedia.org/wiki/Angkor
(“Gelombang Infra sonik ini dirasakan sendiri oleh saya Ahmad Yanuana Samantho dan beberapa teman, ketika beberapakali bermeditasi di Gunung Padang pada tahun 2013. Terasa dan terdengar seperti getaran halus atau vibrasi pulsa generator raksasa yang ada di dalam perut Situs Priramida Gunung Padang. Gambar di bawah” ***AYS)
Terlepas dari bagaimana gelombang infrasonik yang dapat Anda rasakan, itu adalah energi. Seperti semua energi, jika dimanfaatkan, dapat digunakan. Di bagian atas Gunung Padang, ada fenomena aneh yang menyebabkan kompas berputar secara acak. Hal ini menunjukkan bukti semacam medan magnet di sekitar struktur. Fenomena yang sama juga telah diamati di situs megalitik lainnya. Selanjutnya, banyak situs kuno, termasuk Piramida Agung Giza, Kompleks Candi Angkor, Stonehenge, Pulau Paskah, dan ratusan orang lain, juga terletak di ini “infrasonik Belt.”
Seperti disebutkan sebelumnya, saya tidak melakukan banyak penelitian ke dalam masalah, saya juga tidak pernah mendengar teori ini sampai saat ini. Oleh karena itu, saya tidak (belum) memiliki pendapat apapun terhadap masalah tersebut. Aku hanya berbagi ini karena saya merasa menjadi menarik.
Mengapa Hal Itu Mungkin?
Salah satu alasan utama saya suka teori ini, adalah bahwa hal itu tiba-tiba memberikan alasan untuk mengapa peradaban kuno telah melalui kesulitan mengangkut batu besar multi-ton ke tengah-tengah Situs dari sumbernya. Jika batu-batu ini adalah mampu “menerima” energi infrasonik dan mentransmisi itu … yah, itu alasan yang cukup baik.
Megalitik Carnac Stones di Prancis di Perancis adalah kompleks megalitik terbesar di dunia, yang terdiri dari lebih dari 3.000 menhir, berdiri di baris yang membentang selama beberapa kilometer
Mengapa hal itu tidak Mungkin?
Ini sudah terbukti bahwa mayoritas Piramida dan Struktur Megalitik diposisikan dengan keselarasan dengan bintang. Yang banyak orang bahkan tidak setuju pendapat itu lagi. Jadi, mereka tidak bisa benar-benar diposisikan sesuai dengan benda langit serta sabuk infrasonik.
Piramida besar Giza sejajar dengan Orion Piramida Agung Giza menyelaraskan sempurna dengan Orion Constellation.
Kemudian lagi, mungkin ada hubungan antara sabuk gelombang infrasonik dan bintang-bintang. Mungkin Piramida menerima sesuatu selain hanya infrasonik. Siapa yang tahu?
Setiap pendapat tentang masalah ini? Jangan ragu untuk komentar.
Anda juga dapat membaca lebih lanjut tentang “Teori Resonansi” di link berikut:
Pemetaan Resonansi dari Situs Kuno: http://transmissionsmedia.com/resonance-atlas-geographic-mapping-of-ancient-sites/
Resonansi Manusia: http://www.human-resonance.org/
Label: Peradaban Kuno Cerdas, Gunung padang, Indonesia, piramida, Sulawesi.
http://cryptoanthropologist.blogspot.com/2016/03/were-pyramids-and-megaliths-energy-receptors.html
——————————————————
( http://cryptoanthropologist.blogspot.com/2016/03/were-pyramids-and-megaliths-energy-receptors.html )
Ancient Megalithic Sites around the world have mystified us for centuries. From Easter Island, to Stonehenge, the Carnac Stones, and Bada Valley – they all have one thing in common. All of these sites seem to have a bad habit of erecting massive standing stones miles and miles away from the stone quarry from which they were cut. Now, why would they go through all that trouble?
![]() |
The Pyramid Energy Receptor. Source. |
This is a very interesting theory that I’ve come across recently. I’ve not done any research, and therefore I have no opinion on the matter, except that it’s very interesting!
Stonehenge Megaliths were transported from a quarry over 25 miles from where the structure stands. The mysterious Easter Island Heads, which weigh up to 14 tons, were transported over 11 miles from their quarry. Easter Island is also one of the most remote populated islands in the world, with the nearest inhabited island being over 1,000 miles away. The Bada Valley Megaliths in Sumatera, Indonesia, are made from a type of stone not found anywhere close to the lush rice fields and flowing streams in which they are scattered. Why? Well, no one knows.
![]() |
Palindo, “The Entertainer,” is one of many Megaliths |
Anyway. Back to the receptors. According to this article about Pyramid Resonance, Gunung Padang is built along a “Belt of Infrasound” that circumferates the globe. For anyone that isn’t familiar, infrasound is a low-frequency sound that occurs below the “limit” of human hearing. Just as infrared light is a light that we cannot see with our eyes, yet has other effects; infrasound can also affect us, although we cannot hear it. Infrasound is often the cause of places believed to be haunted, as it can induce feelings of nausea, panic, extreme sorrow, revulsion, and even fear. Anyway… getting off topic again.
Regardless of how infrasound makes you feel, it is an energy. Like all energy, if harnessed, can be used. At the top of Gunung Padang, there is a strange phenomenon that causes compasses to spin randomly. This shows the evidence of some sort of magnetic field around the structure. This same phenomenon has also been observed on other megalithic sites. Furthermore,numerous ancient sites, including the Great Pyramids of Giza, the Angkor Complex, Stonehenge, Easter Island, and hundreds of others, are also located on this “Infrasound Belt.”
As mentioned earlier, I haven’t done much research into the matter, nor have I ever heard this theory until recently. Therefore, I don’t (yet) have any opinion on the matter. I’m just sharing this because I find it to be interesting.
One of the main reasons I like this theory, is that it suddenly gives reason to ancient civilizations going through the trouble of hauling massive multi-ton stones into the middle of nowhere. If these stones were capable of “receiving” the infrasound energy and retransmitting it… well, that’s a good enough reason.
![]() |
The Carnac Stones in France is the largest Megalithic complex in the world,
consisting of over 3,000 menhirs,standing in rows that stretch for several kilometers. |
It’s already been proven that the majority of Pyramids and Megalithic Structures are positioned with alignment to the stars. That much is not even an opinion anymore. So, they can’t really be positioned according the celestial bodies as well as the infrasound belt.
![]() |
The Great Pyramids of Giza align perfectly with the Orion Constellation. |
Then again, maybe there is a relation between the infrasound belt and the stars. Maybe thePyramids are receiving something other than just infrasound. Who knows?
Any opinions on the matter? Feel free to comment.
You can also read more about the “Resonance Theory” at the following links:
The four faces of the Orion pyramids of Giza, Egypt have already been described in their quadrupolar phi angles facing the cardinal directions. This alignment to the geographic north and south poles forms a longitudinal circumference around the Earth along the modern 31° E and 149° W (in white , 4.1 ). This circle bisects the Earth into hemispheres marking the ancient prime meridian, 0° longitude. The location of Giza along this line is unique as it is the center of the landmass of Earth.
Empat wajah piramida Orion dari Giza Mesir, telah dijelaskan di sudut phi
empaqt kutub serangkai (quadrupolar) mereka menghadapi arah mata angin.
Keselarasan ini ke utara geografis dan kutub selatan membentuk lingkar
memanjang sekitar Bumi bersama hitungan modern 31° E dan 149° W
(di dalam putih, 4.1). Lingkaran ini membagi Bumi ke belahan menandai
meridian utama kuno, 0 ° bujur. Lokasi Giza sepanjang garis ini unik
karena merupakan pusat dari daratan Bumi.
The longitudinal circumference passing through Giza crosses the most landmass above sea level of any longitude, as does the site’s latitudinal circumference from 30 ° N to 30° S. These unique site specifications for the Orion pyramids would last for millennia before the inevitable changes due to catastrophic tectonic subduction events that occur repeatedly, perhaps in concert with the cycles of glaciation and magnetic polar reversal. Giza is 16.7% or about 1/6 of the Earth’s circumference from the N pole along this ancient prime meridian.
Lingkaran memanjang melewati Giza melintasi daratan paling atas permukaan laut bujur apapun, seperti halnya situs lingkar garis lintang dari 30 ° N sampai 30 ° S. Spesifikasi situs ini unik untuk piramida Orion yang akan bertahan selama ribuan tahun sebelum perubahan yang tak terelakkan karena bencana peristiwa subduksi tektonik yang terjadi berulang-ulang, mungkin dalam konser dengan siklus glasiasi dan pembalikan kutub magnet. Giza adalah 16,7% atau sekitar 1/6 dari lingkar bumi dari kutub utara di sepanjang meridian utama kuno ini.
The work of Carl Munck provides astonishingly detailed numerical analyses of the geometry expressed in the forms of the largest ancient limestone and granite architecture, revealing a geometric design code for specifying the exact global position in relation to Giza. Once Munck made the 31°prime meridian adjustment his efforts in decoding the numbers of presented by pyramid faces and other features were successful when using the same set of simple rules.The great complexity of the numerical codes contained in the specified geometries of ancient sites necessitates a thorough review of Munck’s convincing demonstration that all ancient sites are oriented in relation to the Orion pyramids of Giza.
Karya tulis Carl Munck memberikan analisis numerik menakjubkan rinci geometri yang dinyatakan dalam bentuk arsitektur batu kapur dan granit kuno terbesar, yang mengungkapkan kode desain geometris untuk menentukan posisi global yang tepat dalam kaitannya dengan Giza. Setelah Munck membuat 31° penyesuaian meridian utama usahanya didecoding jumlah yang disajikan oleh wajah piramida dan fitur lainnya berhasil bila menggunakan set yang sama sederhana aturannya. Kompleksitas kode numerik besar yang terkandung dalam geometri tertentu memerlukan situs kuno tinjauan menyeluruh demonstrasi meyakinkan Munck bahwa semua situs kuno yang berorientasi dalam kaitannya dengan piramida Orion Giza.
An aerial perspective of the Giza pyramids reveals the correlation of the Magnetic Resonance structure with the design plan of the pyramids and their geometric alignments to other ancient temple sites ( 4.1). To the southeast of the Sphinx, directly east of the smallest pyramid is the massive limestone wall that defines an angular alignment not observed elsewhere at the Giza complex. The Wall of the Crow is a 600’ long by 30’ high megalithic wall undercut by a portal with a lintel that is among the largest fitted stones on the Giza plateau. The interlocking masonry of this entrance to the Giza plateau is highly reminiscent of stonework found in the Andes, especially the megalithic site of Saqsaywaman, in modern day Peru near the ancient Inca capital of Cuzco.
Perspektif udara dari piramida Giza mengungkapkan korelasi struktur Resonansi Magnetic dengan rencana desain piramida dan keberpihakan geometris mereka ke situs candi kuno lainnya (4.1). Ke tenggara dari Sphinx, langsung timur dari piramida terkecil adalah dinding batu kapur besar yang mendefinisikan keselarasan sudut tidak diamati di tempat lain di kompleks Giza. The Wall of Crow adalah 600 ‘panjang 30’ dinding megalitik tinggi melemahkan oleh portal dengan ambang yang merupakan salah satu batu dipasang terbesar di dataran tinggi Giza. Pintu Batu yang saling mengunci ini masuk ke dataran tinggi Giza sangat mengingatkan kepada bebatuan yang ditemukan di Andes, terutama di situs megalitik Saqsaywaman, di zaman Peru modern dekat ibukota Inca kuno Cuzco.
The gigantic Wall of the Crow does not share the pyramidal alignment to the geographic poles, but is angled 5° off from due east. The wall def ines a division of two hemispheres along a great circumference around the Earth ‘as the crow flies’, passing through Giza’s antipode in the Pacific Ocean at 30 ° S, 149 ° W. Along that straight- line path lie the Angkor temples of Cambodia to the east and the Nazca lines of Peru to the west, an alignment described as the Sine Wave of ancient sites. The Wall of the Crow begins and ends at nodal points of the Magnetic Resonance fractal mapping (4.1), revealing the intimate relationship between the invisible resonance patterns and the layout of the limestone pyramid complex at Giza. As well, its name is another psychoacoustic reference to flight and the sine wave pattern produced by the flapping of a bird’s wings.
Tembok raksasa Wall of Crow (Tembok Burung Gagak?) tidak berbagi keselarasan piramida ke kutub geografis, tetapi miring 5 ° off dari arah timur. Dinding def Ines adalah sebuah bagian dari dua belahan di sepanjang lingkar besar di sekitar Bumi seperti lalat burung gagak’, melewati antipoda Giza di Samudra Pasifik pada 30° S, 149° W. Seiring bahwa jalan garis lurus yang terhampar di candi Angkor Kamboja di timur dan garis-garis Nazca Peru ke barat, kesejajaran digambarkan sebagai Sine Wave (Gelombang Sinus) dari situs kuno. The Wall of Crow dimulai dan berakhir pada titik-titik nodal dari pemetaan fraktal Magnetic Resonance (4.1), yang mengungkapkan hubungan intim antara pola resonansi tak terlihat dan tata letak kompleks piramida kapur di Giza. Serta, referensi lain adalah namanya psychoacoustic untuk penerbangan dan pola gelombang sinus yang dihasilkan oleh kepakan sayap burung.
This Sine Wave circumference is one half of a quadrupolar alignment that is offset to the same degree as the Earth’s magnetic North pole from the geographic N pole, the axis of Earth’s rotat ion. An alignment perpendicular to the Wall of the Crow passing through the center of the Great Pyramid, at an angle offset 5° from due north, describes the pyramids’ alignment to the magnetic North pole ( in red, 4.1 ), which fluctuates position near 78.3 °N 104.0 ° W in the Canadian arctic.
Lingkaran Gelombang Sinus (Sine Wave) ini adalah salah satu setengah dari keselarasanquadrupole (Empat Kutub Serangkai) yang diimbangi dengan tingkat yang sama seperti bumi magnet kutub utara dari geografis Kutub Utara sumbu rotasi bumi. Dan keselarasan tegak lurus dengan Wall of Crow melewati pusat dari Piramida Besar, pada sudut diimbangi 5 ° dari utara, menggambarkan keselarasan piramida ‘ke kutub magnet Utara (merah, 4.1), yang berfluktuasi posisi dekat 78.3 ° N 104,0 ° W di Arktik Kanada.
The distance from the magnetic North pole to Giza in miles is identical to that of Giza to Angkor, both about 4,754 miles from Giza (F#359) along a pair of perpendicular circumferences quartering the Earth. These two intersecting circles of aligned sites define the axis of the quadrupolar standing waves described here as Magnetic Resonance. If a great circle is drawn around Giza passing through all of the points at this 19.1% distance from Giza, Angkor is exactly 25% of its circumference away from the magnetic North pole (4.2). This isosceles triangle of sites delineates the two prime meridians passing through Giza, at prime resonant distances.
Jarak dari kutub Utara magnetik untuk Piramida Giza di dalam ukuran mil identik (sama) dengan Piramida Giza ke Angkor, baik tentang 4.754 mil dari Giza (F# 359) bersama sepasang lingkar tegak lurus quartering (seperempat) lingkaran Bumi. Kedua lingkaran berpotongan situs selaras menentukan sumbu gelombang quadrupole berdiri dijelaskan di sini sebagai Magnetic Resonance. Jika lingkaran besar diambil sekitar Giza melewati semua poin di ini 19,1% jarak dari Giza, Angkor adalah tepat 25% dari lingkar yang jauh dari kutub Utara magnetik (4.2). Segitiga sama kaki ini dari situs melukiskan dua meridian utama yang melewati Giza, pada jarak resonansi prima.
The golden ratio of phi is precisely expressed in the global circumference distances between Giza, Angkor and Nazca. Because of this perfect ratio any three consecutive numbers of the Fibonacci series can be used to precisely describe their proportionate distances, the unit of measure itself defined by the specific Fibonacci triplet chosen. The Fibonacci triplet beginning with prime Fibonacci #137 accurately expresses the Sine Wave circumference distances as a percent of the whole circumference.
Rasio Angka /bilangan emas phi justru dinyatakan dalam jarak lingkar global antara Giza, Angkor dan Nazca. Karena rasio sempurna ini setiap tiga angka berturut-turut dari seri Fibonacci dapat digunakan untuk tepat menggambarkan jarak proporsional mereka, satuan ukuran sendiri didefinisikan oleh triplet Fibonacci spesifik yang dipilih. Fibonacci triplet dimulai dengan perdana Fibonacci # 137 akurat mengungkapkan jarak lingkar Sine Wave sebagai persen dari seluruh keliling.
The Fibonacci triplet beginning with the next prime Fibonacci number, #359, accurately expresses the Sine Wave circumference distances in miles. This profound underlying relationship informs the application of the Mandelbrot set, which has been suspected by many as being a fundamental construct of the universe. The high degree of accuracy of these alignments forces the conclusion that ancient Sanskrit society’s capacity for aerial surveillance far exceeds that achieved today.
Fibonacci triplet dimulai dengan jumlah Fibonacci prima berikutnya, # 359, akurat mengungkapkan jarak lingkar Sine Wave dalam mil. hubungan yang mendasari mendalam menginformasikan penerapan Mandelbrot set, yang telah diduga oleh banyak sebagai konstruks mendasar dari alam semesta. Tingkat akurasi yang tinggi dari keberpihakan ini memaksa kesimpulan bahwa kapasitas masyarakat kuno Sansekerta untuk pengawasan udara jauh melebihi apa yang dicapai hari ini.
The Earth’s circumference distance from Giza to each resonant ancient site is coincident with two separate nine-digit sequences from the F series, presented in their entirety at this chapter’s end, with GPS distances for 127 sites. These megalithic and earthwork sites accurately reflect the Fibonacci number set 131-139 x 10-27 in percent of circumference distance. These exact Fibonacci site distance relationships are also accurately reflected in miles by the Fibonacci number set 353-361 x 10-71. The two number sets are linked by a triad of consecutive prime Fibonacci numbers –131, 137 and 359. This triplet is at prime placement within the order of the Fibonacci series (131, 137 and 359 are prime), but their values are also prime: 1066340417491710595814572169, 19134702400093278081449423917, and
475420437734698220747368027166749382927701417016557193662268716376935476241.
Lingkaran jarak Bumi dari Giza untuk setiap situs kuno resonansi bertepatan dengan dua terpisah urutan sembilan digit dari seri F, disajikan secara keseluruhan pada akhir bab ini, dengan jarak GPS untuk 127 situs. Situs-situs megalitik dan pekerjaan tanah secara akurat mencerminkan jumlah Fibonacci mengatur 131-139 x 10-27 dalam persen jarak lingkar. Fibonacci hubungan situs jarak yang tepat ini juga akurat tercermin dalam mil dengan jumlah Fibonacci mengatur 353-361 x 10-71. Dua nomor set dihubungkan oleh tiga serangkai nomor berturut-turut perdana Fibonacci -131, 137 dan 359. triplet ini adalah pada penempatan prima dalam urutan seri Fibonacci (131, 137 dan 359 yang prima), tetapi nilai-nilai mereka juga prima: 1066340417491710595814572169, 1913470240009327 8081449423917, dan
475420437734698220747368027166749382927701417016557193662268716376935476241
The Sine Wave alignment is a cross- section through the sphere of the Earth along which sacred ancient sites conform to the Fibonacci – ordered complex plane of the Mandelbrot set [ zn+1 = zn2+c ] (4.4). This circular network of phi – proportioned sites can also be visualized as a cross- section through the Magnetic Resonance fractal ( 4.5). Global positioning data for each site is provided in the final section of this chapter. The abbreviated name of the site is given with the percent of the circumference distance from Giza (An = Angkor, at 19.1% from Giza). Vibratory energy from Giza is simultaneously transduced at each resonant site after the 1.45 Hz oscillations of the Great Pyramid encircle the globe, taking 4 hours to return to their source. Piezoelectric stone structures worldwide transduce a broad – spectrum of vibratory energy into a magnetic field by virtue of the angular geometries specifically designed to focus infrasound.
Keselarasan The Sine Wave adalah bagian lintas melalui bidang bumi sepanjang yang situs kuno suci sesuai dengan bilangan Fibonacci yang – memerintahkan pesawat kompleks dariMandelbrot set [zn + 1 = Zn2 + c] (4.4). Jaringan phi melingkar ini – situs proporsional yang juga dapat divisualisasikan sebagai bagian lintas melalui fraktal Magnetic Resonance (4,5). Data Global positioning untuk setiap situs yang disediakan di bagian akhir dari bab ini. namanya disingkat dari situs ini diberikan dengan persen jarak lingkar dari Giza (An = Angkor, pada 19,1% dari Giza). Vibrasi (getaran) energi dari Giza secara bersamaan tertransduksi di setiap situs resonansi setelah osilasi 1,45 Hz dari Piramida Besar mengelilingi dunia, mengambil 4 jam untuk kembali ke sumber mereka. Struktur batu piezoelektrik ditransmisikan ke seluruh dunia secara luas – spektrum energi vibrasi dalam medan magnet berdasarkan geometri sudut khusus dirancang untuk fokus infrasonik.
The Sine Wave of ancient sites is presented as a circle in red, overlaid with a cross- section of the Magnetic Resonance structure in white. The sacred sites conforming to this planar alignment display Fibonacci- ordered distances from Giza that are provided in percent of the circle’s circumference of 24,892 miles (listed clockwise from Giza): Petra 1.0%, Ur 3.6%, Persepolis 5.3%, Moenjodaro 9.0%, Khajuraho 12.0%, Bodh Gaya 13.2%, Pyay 16.2%, Sukhothai 17.5%, Phimai 18.4%, Angkor 19.1%, Rapa Nui 40.3%, Vanuatu 39.3%, Nazca 30.9%, Machu Picchu 30.0%, Xingu 25%, Tassili N’ajjer 5.3% and Siwa 1.4%.
Gelombang Sinus situs kuno disajikan sebagai lingkaran merah, dilapis dengan penampang struktur resonansi Magnetik putih. Situs suci sesuai dengan tampilan planar keselarasan ini Fibonacci – memerintahkan jarak dari Giza yang disediakan dalam persen keliling lingkaran dari 24.892 mil (terdaftar searah jarum jam dari Giza): Petra 1,0%, Ur 3,6%, Persepolis 5,3%, Mohenjo Daro 9,0% , Khajuraho 12,0%, Bodh Gaya 13,2%, Pyay 16,2%, Sukhothai 17,5%, Phimai 18,4%, Angkor 19,1%, Rapa Nui 40,3%, Vanuatu 39,3%, Nazca 30,9%, Machu Picchu 30,0%, Xingu 25%, Tassili N ‘Ajjer 5,3% dan Siwa 1,4%.
Ultra low frequency standing waves aligned to the four faces of the Orion pyramids at Giza form concentric rings at precise Fibonacci distances, defined by the function [ zn+1 = zn2 modulo n ] presented geographically in the Magnetic Resonance map of Earth’s eastern hemisphere ( 4. 6 ). The series of great concentric circles expanding from the center – point at Giza form a progression proceeding in percent of Earth’s circumference: 3.6, 4.5, 5.3, 6.6, 7.3, 8.2, 9.0, 9.5 and 10.0%. The eastern hemisphere’s most prominent ancient stone architectural sites are demonstrated here in complete correspondence with the complex Magnetic Resonance alignments (4. 7 ). Global positions and Fibonacci distances from Giza are provided at the conclusion of this chapter for each numbered sacred site presented in the following sequence of Magnetic Resonance spherical maps.
Frekuensi Ultra rendah gelombangnya berdiri selaras dengan empat wajah piramida Orion di Giza membentuk cincin konsentris pada jarak Fibonacci yang tepat, yang didefinisikan oleh fungsi [zn + 1 = Zn2 modulo n] disajikan secara geografis di peta Magnetic Resonance dari belahan timur bumi (4 . 6). The serangkaian lingkaran konsentris besar memperluas dari pusat – titik di Giza membentuk melanjutkan kemajuan dalam persen lingkar bumi: 3,6, 4,5, 5,3, 6,6, 7,3, 8,2, 9,0, 9,5 dan 10,0%. paling menonjol situs arsitektur batu kuno timur belahan ini ditunjukkan di sini dalam korespondensi lengkap dengan keberpihakan Magnetic Resonance kompleks (4. 7). Posisi global dan jarak Fibonacci dari Giza disediakan pada akhir bab ini untuk setiap situs suci bernomor disajikan dalam urutan berikut peta Magnetic Resonance bola.
The world’s dominant contemporary religions are founded on sacred piezoelectric architecture sites located within the greater structure of infrasound resonance: the Vatican in Italy, Jerusalem’s Temple Mount in Israel, and Mecca in Saudi Arabia. The psychoacoustic technologies employed by religious architecture are the same in every system of belief.
Situs Agama kontemporer yang dominan di dunia yang didirikan pada situs arsitekturpiezoelektrik suci yang terletak di dalam struktur yang lebih besar dari resonansi infrasonik: Vatikan di Italia, Yerusalem Temple Mount di Israel, dan Mekkah di Arab Saudi. Teknologi psychoacoustic dipekerjakan oleh arsitektur religius adalah sama dalam setiap sistem kepercayaan.
A few recently discovered sites are presented here, including the submerged site in the Gulf of Khambat #30 off of Gudjerat. Among many piezoelectric temples in Malta #15 is a newly discovered submerged temple. The vaults of elongated skulls showing advanced cranial augmentation below Malta’s temples may have been developed through full- spectrum ULF wave entrainment from Giza transduced by the properties of the numerous limestone temple structures including the Hypogeum, Mnajdra, Ggantija, Hagar Qim, Hal Ginwi, Tarxiien, Tal Qadi, Tah’Hagrat, Skorba and Bugibba. Two ancient pyramid sites recently discovered are also in resonant alignment: the low – angle Orion pyramids of Montevecchia, Italy #21 and the pyramids of Samarqand, Uzbekis tan #26 yet to be fully documented. The dune – covered regions of the Sahara Desert of Northern Africa may conceal temple locations to be revealed by remote sensing using ground penetrating radar and sonar; tools only recently employed in archaeology that h ave revolutionized site surveillance capabilities and exposed dozens of new monumental temple sites.
Beberapa situs yang baru ditemukan disajikan di sini, termasuk situs terendam di Teluk Khambai # 30 off dari Gudjerat India. Di antara banyak kuil piezoelektrik di Malta # 15 adalah candi terendam baru ditemukan. Kubah tengkorak memanjang menunjukkan pembesaran tengkorak canggih bawah candi Malta mungkin telah dikembangkan melalui spektrum penuh gelombang ULF entrainment dari Giza yang ditransduksi oleh sifat dari berbagai struktur candi batu kapur termasuk Hypogeum, Mnajdra, Ggantija, Hagar Qim, Hal Ginwi, Tarxiien , Tal Qadi, Tah’Hagrat, Skorba dan Bugibba. Dua situs piramida kuno yang baru ditemukan juga sejalan resonansi: rendah – piramida sudut Orion dari Montevecchia, Italia # 21 dan piramida Samarqand, Uzbekistan # 26 belum sepenuhnya didokumentasikan. Gundukan – daerah tertutup Gurun Sahara Afrika Utara dapat menyembunyikan lokasi kuil untuk diungkapkan dengan penginderaan jauh menggunakan penetrating radar tanah dan sonar; alat yang baru saja digunakan dalam arkeologi yang telah merevolusi kemampuan pengawasan situs dan mengekspos puluhan situs candi baru yang monumental.
Yonaguni #48 is a gigantic geometrically carved platform over 450’ in length with megalithic arches and a cave opening that are hewn from a single massive outcropping of the Yaeyama mudstone formation off Iseki Pt. These marine sites are all less than 100’ of depth and must have been constructed over 9,000 years ago, when more of the Earth’s water was trapped in the polar glacial icecaps lowering sea levels. The design layout of the Orion’s belt constellation is observed at both the Xi’an pyramids #47 and the Borobudur limestone Buddhist temples #51 – 57. Several of Java’s Buddhist sites have clearly been designed using the same underlying geometry evident in the stepped pyramids of Mesoamerica, with a steep central ascending stairway.
Situs Megalitikum Yonaguni # 48 adalah platform raksasa geometris diukir lebih dari 450 meter panjang dengan lengkungan megalitik dan pembukaan gua yang dipahat dari tonjolan besar tunggal pembentukan (formasi) batu lumpur Yaeyama off Iseki Pt. Situs-situs kelautan semua kurang dari 100 meter kedalaman dan harus telah dibangun lebih dari 9.000 tahun yang lalu, ketika air dari Bumi lebih terjebak di kutub es pada zama glasial yang menurunkan permukaan air laut. Tata letak desain dari konstelasi sabuk Orion diamati baik di Xi’an piramida # 47 dan Borobudur kapur kuil Buddha # 51 – 57. Beberapa situs Buddha Jawa ini telah jelas telah dirancang menggunakan geometri dasar yang sama seperti terlihat di piramida berundak dari Mesoamerika, dengan tangga naik pusat yang curam.
Temple sites mapped in the eastern hemisphere represent the foundation of many contemporary religions including Islam, Hinduism and both Theravada and Mahayana traditions of Buddhism. Hindu sacred temples are spread throughout India and described here only by a few prime sites including Mahabalipuram #34 , where temples on the present shoreline sit adjacent to those now submerged off the coast and recently discovered by G. Hancock.
Situs candi dipetakan di belahan timur merupakan dasar dari banyak agama kontemporer termasuk Islam, Hindu dan kedua Theravada dan Mahayana tradisi Buddhisme. kuil suci Hindu yang tersebar di seluruh India dan dijelaskan di sini hanya oleh situs prime beberapa termasuk Mahabalipuram # 34, di mana kuil di pantai ini duduk berdekatan dengan orang-orang sekarang terendam di lepas pantai dan baru-baru ditemukan oleh G. Hancock.
The Gautama Buddha’s enlightenment occurred at Bodh Gaya, a site in resonant alignment with the infrasonic waves of Giza’s Orion complex, situated at Fibonacci distances from both Giza and Angkor. The Tibetan Buddhist capitol of Lhasa (29.68ºN, 91.17ºE ) #33 is aligned due east of Giza (29.97 º N, 31.11ºE) , at exactly one sixth of the latitudinal circumference at the 30th parallel. The Mandelbrot Set is also presented as a design principle underlying the layout of Angkor temples and many ancient images of the Buddha ( 4.12 ).
pencerahan Gautama Buddha terjadi di Bodh Gaya, situs sejalan resonansi dengan gelombang infrasonik kompleks Orion Giza, terletak di Fibonacci jarak dari kedua Giza dan Angkor. Ibukota Tibet Buddha dari Lhasa (29.68ºN, 91.17ºE) # 33 sejajar timur karena dari Giza (29,97 º N, 31.11ºE), tepat pada seperenam dari lingkar garis lintang di paralel ke-30. Mandelbrot Set juga disajikan sebagai prinsip desain yang mendasari tata letak candi Angkor dan banyak gambar kuno Buddha (4.12).
A spherical rendering presents the infrasound standing wave resonance pattern in the western hemisphere, where the resulting tectonic shifting generates earthquakes along ‘the Ring of Fire” ( 4.17 ). The relative geopositions of ancient sites reveal that the sacred mandala symbol encodes the unified structure of the cosmos by which the pyramids focus the ambient energy of planetary resonance. While the infrasound oscillations are most distinctly seen by infrared observations, the resonance also becomes visible to Doppler radar due to the suspension of wat er vapor in the multi – layered standing waves. A composite image of stationary vapor cover over the United States from January 23, 2003 ( 4.18 ) provides a clear view of the fixed network of infrasound focal points. The correlation between the IR measurements and vapor reflectivity demands a thorough comparison with ancient Native American sacred sites beyond the few earthworks and mounds mentioned here. A detail image of the Magnetic Resonance mapping of Mesoamerica (4.19 , left ) shows synchronicity with the sacred maps of the Mayan Elders presently involved in the activation of their pyramid sites beginning at Calakmul Pyramid.
Sebuah render bola menyajikan infrasonik berdiri pola gelombang resonansi di belahan bumi barat, di mana pergeseran tektonik yang dihasilkan menghasilkan gempa bumi di sepanjang ‘Cincin Api “(4.17). Posisi relatif dari situs kuno mengungkapkan bahwa simbol mandala suci mengkodekan struktur terpadu dari kosmos dimana piramida fokus energi ambient resonansi planet. Sementara osilasi infrasonik paling jelas terlihat oleh pengamatan inframerah, resonansi juga menjadi terlihat radar Doppler karena suspensi uap wat er di multi – berlapis gelombang berdiri. Gambar komposit penutup uap stasioner atas Amerika Serikat dari 23 Januari 2003 (4,18) memberikan pandangan yang jelas dari jaringan tetap focal point infrasonik. Korelasi antara pengukuran IR dan reflektifitas uap menuntut perbandingan menyeluruh dengan situs suci kuno asli Amerika di luar beberapa pekerjaan tanah dan gundukan disebutkan di sini. Sebuah gambar detail dari pemetaan Magnetic Resonance Mesoamerika (4,19, kiri) menunjukkan sinkronisitas dengan peta suci Maya Sesepuh saat ini terlibat dalam aktivasi situs piramida mereka mulai dari Calakmul Pyramid.
Mesoamerica and South America are regions of the highest concentration of ancient limestone and granite masonry anywhere in the world, as well as some of the most archaeologically rich and unexplored areas, like the Amazon basin. The region of highest density of limestone temples is surely the Yu catan peninsula, whose tropical forests still completely cover hundreds more temples including complete cities of temples spanning for unexcavated miles like at Piedras Negras. The many ruins of the Maya people are so extensive and unexplored. Even well known sites hold uncharted tunnel systems below. Only the most well known ancient temple sites are numerated here in the mapping of Magnetic Resonance in the Americas (4.20 ), but the extent of temples falling into this resonant band of alignment along the 30 .0% to 30.9% great circle distance from Giza must number well over a thousand major sites.
Mesoamerika dan Amerika Selatan merupakan daerah konsentrasi tertinggi kapur kuno dan granit batu mana saja di dunia, serta beberapa daerah yang kaya dan belum diselidiki paling archaeologically, seperti cekungan Amazon. Wilayah kepadatan tertinggi candi batu kapur adalah pasti Yu semenanjung Catan, yang hutan tropis masih benar-benar menutup ratusan candi termasuk kota lengkap candi mencakup untuk tergali mil seperti di Piedras Negras. Banyak reruntuhan orang Maya begitu luas dan belum diselidiki. Bahkan situs terkenal tahan sistem terowongan yang belum dipetakan di bawah ini. Hanya situs candi kuno yang paling terkenal yang disebutkan di sini pemetaan Magnetic Resonance di Amerika (4,20), tetapi sejauh mana candi jatuh ke pita resonansi ini sejajar sepanjang 30 0,0% menjadi 30,9% lingkaran besar jarak dari Giza harus jumlah lebih dari seribu situs utama.
The rainforests of the Amazon are slowly revealing their ancient civilizations; M. Heckenbecker has documented the solar and lunar alignments of complex ancient set tlements of indigenous peoples of the Xingu River #61 and its tributaries including the Cuelene River #64 . This region is also well known for its advanced indigenous traditions of trance entrainment using psychoacoustic whistles in all forms and materials, including stone, bone, wood, shell and ceramic. The most complex psychoacoustic instruments developed were the tri – harmonic stone flutes of the Bolivian Andes discussed earlier, and the most widespread cultural practices of psychoacoustic entrainment observed of any region in the world.
Hutan hujan Amazon secara perlahan mengungkapkan peradaban kuno mereka; M. Heckenbucker telah mendokumentasikan keberpihakan matahari dan bulan dari tlements set kuno kompleks masyarakat adat dari Xingu River # 61 dan anak-anak sungainya termasuk Cuelene River # 64. Wilayah ini juga terkenal karena tradisi adat canggih dari trance entrainment menggunakan peluit psychoacoustic dalam segala bentuk dan bahan, termasuk batu, tulang, kayu, kulit dan keramik. Instrumen psychoacoustic paling kompleks dikembangkan adalah tri – seruling batu harmonik dari Bolivia Andes dibahas sebelumnya, dan praktek-praktek budaya yang paling luas entrainment psychoacoustic diamati dari wilayah manapun di dunia.
One submerged limestone architectural complex is also plotted in resonant Fibonacci alignment: the sand- covered pyramids of the Guanahacabibes Gulf #71 at a depth of over 2,000’ off the west coast of Cuba.The dark oxidize d limestone blocks confirm that the stepped pyramid structures were built when the area was above sea level, having been catastrophically lowered by massive subduction events likely linked with the global catastrophe that abruptly ended the Pleistocene gla cial period and began the global warming trend defining the Holocene. Remote sensing and mapping of the submerged Cuban pyramid complex will provide details of the cosmic alignments of its buildings in the years to come, yet its placement within the structure of Magnetic Resonance can be determined by its geoposition. The distance from the Guanahacabibes Pyramids’ to Giza is 27.77% of Earth’s mean circumference, approximating F#133 (27.9 x 10- 26). This distance is 6,912 miles, which closely approximates F#3 55 ( 6936 x 10- 70). These megalithic structures stand among only a few others like Japan’s Yonaguni marine site that have been so completely preserved by their inundation as to have captured the very moment of devastation, to be archived along the continental shelf, silted upon for millennia. Sites of subterranean discoveries are also included in this analysis, namely at Sutatausa, Colombia and at La Maná and Cuenca in Ecuador, though of vast number of temple sites include uncharted subterranean chambers.
Satu kompleks arsitektur batu kapur yang terendam juga diplot dalam resonansi Fibonacci keselarasan: sand- menutupi piramida dari Guanahacabibes Teluk # 71 pada kedalaman lebih dari 2.000 ‘di lepas pantai barat dari Cuba.The blok gelap mengoksidasi d kapur mengkonfirmasi bahwa struktur piramida melangkah dibangun ketika daerah itu di atas permukaan laut, yang telah serempak diturunkan oleh peristiwa subduksi besar kemungkinan terkait dengan bencana global yang tiba-tiba berakhir Pleistosen periode resmi GLA dan mulai tren pemanasan global mendefinisikan Holocene. Penginderaan jauh dan pemetaan kompleks piramida Kuba terendam akan memberikan rincian dari keberpihakan kosmik bangunan di tahun-tahun mendatang, namun penempatannya dalam struktur Magnetic Resonance dapat ditentukan dengan geoposition nya. Jarak dari Guanahacabibes Piramida ‘ke Giza adalah 27,77% dari lingkar berarti bumi, mendekati F # 133 (27,9 x 10- 26). Jarak ini adalah 6.912 mil, yang erat mendekati F # 3 55 (6936 x 10- 70). Struktur megalitik berdiri di antara hanya beberapa orang lain seperti situs laut Yonaguni Jepang yang telah begitu benar-benar dipertahankan oleh genangan mereka sebagai telah menangkap saat kehancuran, untuk diarsipkan bersama landas kontinen, tertimbun lumpur pada selama ribuan tahun. Tempat penemuan bawah tanah juga termasuk dalam analisis ini, yaitu di Sutatausa, Kolombia dan di La Mana dan Cuenca di Ekuador, meskipun sejumlah besar situs candi termasuk ruang bawah tanah yang belum dipetakan
Another category of sacred sites built within the Magnetic Resonance alignment are the earthen mound formations of North America that also display resonant properties as clay is pi ezoelectric, like limestone and quartz. The locations of circular kivas and the adobe cliff dwellings of the American southwest are also presented. The largest rock formation symbolically designed as a sacred site by ancient people is the limestone Nazca Desert floor #98 . Lines were dug into the dark bedrock to expose white underlying limestone, forming paths likely used in processional group meditation. The various geoglyphs mark the prime locality where infrasound heart beat entrainment frequencies are f ocused and become amplified by the resonant calcite formations. Indeed, the very rock substrate of the area was apparently used as a psychoacoustic transducer of ULF signals from Giza, as symbolized by the sacred animals depicted including the spider, monk ey, killer whale and various birds, even one with a zigzag neck.
Kategori lain dari situs suci dibangun dalam Resonance keselarasan Magnetic adalah formasi gundukan tanah dari Amerika Utara yang juga menampilkan sifat resonansi seperti tanah liat adalah piezoelektrik, seperti batu kapur dan kuarsa. Lokasi dari kivas melingkar dan rumah tebing adobe dari daya Amerika juga disajikan. formasi batuan yang terbesar simbolis dirancang sebagai situs suci oleh orang-orang kuno adalah batu kapur Nazca Desert lantai # 98. Baris digali ke dalam batuan dasar gelap untuk mengekspos batu kapur yang mendasari putih, membentuk jalur kemungkinan digunakan dalam meditasi kelompok prosesi. Berbagai geoglyph menandai wilayah utama di mana frekuensi entrainment infrasonik jantung berdetak terfokus dan menjadi diperkuat oleh formasi kalsit resonan. Memang, substrat batu sangat daerah itu rupanya digunakan sebagai transduser psychoacoustic sinyal ULF dari Giza, seperti dilambangkan oleh binatang suci digambarkan termasuk laba-laba, biksu ey, paus pembunuh dan berbagai burung, bahkan satu dengan leher zigzag.
Sanskrit Atlantean Origin of Pyramids, UFOs and Subterran Cities
Edgar Cayce meramalkan pencahayaan yang tiba-tiba dari Dwarf bintang pendamping biner Merah
matahari kita, sekarang pada titik periapsis, menyelesaikan Presesi 36.666 tahun Abad. * * *
Sansekerta Atlantis Asal Pyramids, UFO dan Kota Subterranean
Ancient cult worship of giant reptilian humanoids in Africa, Papua New Guinea and the
Solomon Islands linked with an exoplanetary genetic program of human interspeciation.
kultus pemujaan kuno humanoid reptil raksasa di Afrika, Papua New Guinea dan
Kepulauan Solomon terkait dengan program genetik exoplanetary dari interspeciation manusia.
Giant skull from Alacao, Ecuador reveals exoplanetary genetics of hybrid dragon kings,
confirmed by archeological traces and comprehensive details from channeled sources.
tengkorak raksasa dari Alacao, Ekuador mengungkapkan genetika exoplanetary raja hibrida naga, dikonfirmasi oleh jejak arkeologis dan rincian yang luas dari sumber disalurkan.
Authentic 1947 UFO crash autopsy video of a Reticulum grey hybrid is supported by
matching ancient skulls from Mexico and Peru presenting nanotechnological circuitry.
Otentik 1947 UFO kecelakaan Video otopsi dari hybrid abu-abu Retikulum didukung oleh
pencocokan tengkorak kuno dari Meksiko dan Peru menyajikan sirkuit nanotechnological.
Survey of vertical elongation among skulls from diverse ancient cultures implicate the
giants of Paracas, Peru as human hybrids of a much larger species of nephilim giants.
Survei perpanjangan vertikal antara tengkorak dari budaya kuno beragam mengimplikasikan raksasa Paracas, Peru sebagai hibrida manusia dari spesies yang jauh lebih besar dari raksasa nephilim.
Photo reveals the mischievous kakamora –diminutive hobbits thriving on Makira, of the
Solomon Isles, implicated as an engineered human hybrid species derived from gnomes.
Foto mengungkapkan nakal kakamora hobbit –diminutive berkembang di Makira, dari
Isles Solomon, terlibat sebagai spesies hibrida manusia direkayasa berasal dari gnome.
Nuclear DNA of cave-dwelling Sasquatch reveals a genetically engineered hybrid species,
whose glowing eyes and hypnotic abilities are enabled by aerial and subterran technology.
DNA nuklir gua-tinggal Sasquatch mengungkapkan spesies hibrida rekayasa genetika,
yang matanya dan kemampuan hipnotis bercahaya diaktifkan oleh teknologi udara dan bawah tanah.
The Hummingbird Pyramid is discovered in La Maná, Ecuador among 17 ancient temples
cast in magnetic geopolymer basalts, yielding ceramics with Paleo-Sanskrit inscriptions.
Hummingbird Piramida ditemukan di La Mana, Ekuador antara 17 kuil-kuil kuno
cor di basal geopolimer magnetik, menghasilkan keramik dengan tulisan Paleo-bahasa Sansekerta.
Psychic readings by trance channel Edgar Cayce identify the Ohum civilization as the
Paleolithic builders of the La Maná pyramid complex, known as the capital city of On.
Psikis pembacaan oleh saluran trans Edgar Cayce mengidentifikasi peradaban Ohum sebagai pembangun Paleolitik piramida kompleks La Mana, yang dikenal sebagai ibukota On.
Artificial magnetic basalt pavement stones from walkways of the Hummingbird Pyramid
contain fine particles of ferromagnetic iron and nickel –as well as pyromagnetic pyrite.
Artificial magnetik batu basalt trotoar dari jalan setapak dari Hummingbird Pyramid
mengandung partikel halus dari besi feromagnetik dan nikel –as serta pirit pyromagnetic.
Magnetic earthenware pot sherds from the Hummingbird Pyramid’s upper walkways
contain finely pulverized quartz, tourmaline, pyrite, nickel, iron and laterite inclusions.
Magnetik gerabah pot pecahan dari jalan setapak atas Hummingbird Piramida
mengandung kuarsa ditumbuk halus, turmalin, pirit, nikel, besi dan inklusi laterit.
Megaceramic jars of the La Maná Pyramids are identified as high-tech semiconductor
onggi earthenware that sterilize their contents by transducing infrasound into EM fields.
guci keramik besar dari La Mana Piramida diidentifikasi sebagai semikonduktor teknologi tinggi gerabah onggi yang mensterilkan isinya oleh pentransduksi infrasonik ke bidang EM
The Baltic Sea object is an Atlantean ‘firestone’ monument dedicated to Jupiter, the One,
cast in titanium-loaded magnetic basalt geopolymer exhibiting strong EM vortex effects.
Laut Baltik objek monumen suatu Atlantis ‘firestone’ didedikasikan untuk Jupiter, Satu,
dilemparkan dalam titanium-loaded magnetik geopolimer basalt menunjukkan efek EM pusaran kuat.
Ecuador’s Llanganates Pyramids display the same distinct characteristics of magnetic
geopolymer basalt construction and geopositioning alignment as the La Maná pyramids.
Ekuador Llanganates Pyramids menampilkan karakteristik yang berbeda sama magnetik
geopolimer konstruksi basal dan geopositioning keselarasan sebagai piramida La Mana.
Mexico’s Altavista petroglyphs translated as Paleo-Sanskrit votive inscriptions, marking
synthetic basalt megaliths as a bioelectrical healing platform and riverbed temple complex.
Meksiko Altavista petroglyphs diterjemahkan sebagai prasasti nazar Paleo-bahasa Sansekerta, menandai megalith basal sintetis sebagai platform penyembuhan dan Candi sungai bioelektrik yang kompleks.
Ancient Sanskrit geoglyphs from the Amazon, Kazakhstan and Peru linked with gigantic
vimana skyglyphs expressing the sophisticated Vedic concept of DNA synchronization.
geoglyph Sansekerta kuno dari Amazon, Kazakhstan dan Peru terkait dengan raksasa
mesin terbang Vimana langit mengekspresikan konsep Veda canggih sinkronisasi DNA
The Schildmann Paleo-Sanskrit decipherment enables translation of ancient hieroglyphic
inscriptions on massive stone blocks located above the Great Pyramid’s main entrance.
The penguraian Schildmann Paleo-Sanskrit memungkinkan terjemahan hieroglif kuno
prasasti pada blok batu besar yang terletak di atas pintu masuk utama Piramida Besar itu.
Ceramic tablets from Glozel, France and painted mural texts from Lascaux Cave, France
express sophisticated laments concerning the diminishing state of planetary resonance.
tablet keramik dari Glozell, Prancis dilukis tangan teks mural dari Lascaux Cave, Prancis
mengungkapkan ratapan canggih mengenai negara berkurang dari resonansi planet.
Geopolymer reinforcement at Chauvet Cave, France reveals bioelectrical functions as a
Cave of the Womb, transducing the infrasonic granting of Indra, the deified planet Jupiter.
Penguatan geopolimer di Gua Chauvet, Prancis mengungkapkan fungsi bioelektrik sebagai
Gua Rahim itu, pentransduksi pemberian infrasonik dari Indra, planet didewakan Jupiter.
Indonesia’s Padang Pyramid consists of synthetic andesite identified by Edgar Cayce as
Atlantean firestone, cast with ferromagnetic metal inclusions for generating an EM vortex.
Di Indonesia Pyramid Gunung Padang terdiri dari andesit sintetis telah diidentifikasi oleh Edgar Cayce sebagai Atlantis firestone, cor dengan inklusi logam feromagnetik untuk menghasilkan sebuah pusaran EM.
Red ochre hand stencils and animal pictograms airbrushed in Tewet Cave, Indonesia
show inset hieroglyphic Sanskrit phrases that have been dated at 40,000 years in age.
Stensil oker tangan merah dan Piktogram hewan airbrushed di Tewet Cave, Indonesia
menunjukkan inset frase bahasa Sansekerta hieroglif yang telah tanggal di 40.000 tahun di usia.
Excavations at Gobekli Tepe, Turkey uncover megalithic standing stones with animal
pictograms representing dozens of embedded Paleo-Sanskrit hieroglyphic phrases.
Penggalian di Gobekli Tepe, Turki menemukan batu berdiri megalitik dengan hewan
Piktogram mewakili puluhan tertanam frase hieroglif Paleo-bahasa Sansekerta.
‘High Priest of Jupiter’: Caesar was honored by the elephant emblem for Roman concrete
geopolymer temples offering wireless electricity by transduction of planetary resonance.
‘Imam Jupiter’: Caesar dihormati oleh lambang gajah untuk beton Romawi
kuil geopolimer menawarkan listrik nirkabel dengan transduksi resonansi planet.
Pictographic texts from the Andean sites of Tiwanaku, Paracas, Nazca, Wari and Ica
present recognizable dinosaur species and the DNA double-helix with its base pairs.
teks piktografik dari situs Andean dari Tiwanaku, Paracas, Nazca, Wari dan Ica
menyajikan spesies dinosaurus dikenali dan DNA double-helix dengan pasangan basa-nya.
Neolithic artifacts from the Balkan region are engraved with Paleo-Sanskrit texts praising
protective influences of focused infrasound from the three main pyramids of Giza, Egypt.
artefak Neolitik dari daerah Balkan diukir dengan Paleo-Sansekerta teks memuji
pengaruh protektif infrasonik fokus dari tiga piramida utama Giza, Mesir.
Excavations in the Bosnian Valley of the Pyramids and the Ravne tunnel system uncover
megaceramic healing platforms and artificial sandstone artifacts bearing Paleo-Sanskrit texts.
Penggalian di Bosnia Lembah Piramida dan sistem terowongan Ravne mengungkap
mega platform penyembuhan keramik dan artefak batu pasir buatan bantalan Paleo-Sansekerta teks
Translations of Paleo-Sanskrit artifacts from the Illinois cave archive identify the ancient
Atlantean origin of so-called ‘alien abduction’, UFO phenomena and the giant Sasquatch.
Terjemahan dari Paleo-bahasa Sansekerta artefak dari Illinois gua arsip mengidentifikasi kuno
asal Atlantis yang disebut ‘penculikan alien’, fenomena UFO dan Sasquatch raksasa.
Paleo-Sanskrit artifacts from the Mediterranean region include texts that closely echo phrases from the Illinois archive concerning planetary resonance, pyramids, Sasquatch and spacecraft.
artefak paleo-bahasa Sansekerta dari wilayah Mediterania termasuk teks bahwa frasa erat gema dari arsip Illinois tentang resonansi planet, piramida, Sasquatch dan pesawat ruang angkasa.
High-tech alloys and metallic geopolymer stones from the Ark of Noah confirm the Great
Flood catastrophe as the second destruction of Atlantis that occurred ~30,000 years ago.
paduan teknologi tinggi dan batu geopolimer logam dari Tabut Nuh mengkonfirmasi Besar
Banjir bencana sebagai kehancuran kedua Atlantis yang terjadi ~ 30.000 tahun yang lalu.
Psychic readings by Edgar Cayce on the Tesla Gravity Motor and for T. Townsend Brown
detail resonant alloys used in Nazi/CIA manufacture of optically invisible antigravity drones.
pembacaan psikis oleh Edgar Cayce pada Tesla Gravity Motor dan untuk T. Townsend Brown rinci paduan resonansi yang digunakan dalam pembuatan Nazi / CIA drone anti-gravitasi optik tak terlihat
Nikola Tesla’s Life Readings by Edgar Cayce link his work with a prior Atlantean incarnation as Ajax of the House of Ode, from the land of Poseidia, known as Ax-tell in the Egyptian lands.
Nikola Tesla Hidup Bacaan oleh Edgar Cayce menghubungkan karyanya dengan reinkarnasi Atlantis sebelumnya sebagai Ajax DPR Ode, dari tanah Poseidon, yang dikenal sebagai Ax-kirim di tanah Mesir.
Precise Fibonacci alignment of the newly discovered Azores Pyramid is closely paralleled
by the Golden Rectangle configuration of the submerged Atlantean canal-city of Poseida.
Precise Fibonacci penyelarasan Azores Pyramid baru ditemukan erat sejajar
dengan konfigurasi Emas Rectangle dari Atlantis kanal-kota terendam Poseidra.
Stone tablets from Japan’s submerged Yonaguni monument bear Paleo-Sanskrit votive
texts paying homage to the vital infrasonic forces endowed by Indra, the planet Jupiter.
tablet batu dari terendam Yonaguni monumen Jepang menanggung nazar Paleo-bahasa Sansekerta teks membayar penghormatan kepada pasukan infrasonik penting diberkahi oleh Indra, planet Jupiter.
* * *
A New Golden Age Begins with Resonant Atomic Transmutation
A New Golden Age Dimulai dengan Transmutasi Atom Resonant
The Geyser Reactor replicates natural atomic transmutation for resonant nuclear conversion of silver to gold, gold to platinum, silver to palladium, zinc to palladium and zinc to copper!
Geyser Reaktor ulangan transmutasi alami atom untuk konversi nuklir resonansi perak untuk emas, emas untuk platinum, perak untuk paladium, seng untuk paladium dan seng untuk tembaga!
Alexander Putney gives The Lightwater Reactor transmutation system to the world, for
extending human longevity far beyond the normal rate, by controlled deuterium reactions.
Alexander Putney memberikan The Light Water Reactor sistem transmutasi ke dunia, untuk memperpanjang umur panjang manusia jauh melampaui tingkat normal, oleh reaksi deuterium dikendalikan.
Mo Pai Master generates HHO plasma flashes around his body while projecting qi energy,
after decades of training involving isometric abdominal exercise in underground chambers.
Mo Pai Guru menghasilkan kilatan HHO plasma sekitar tubuhnya sementara memproyeksikan energi qi, setelah beberapa dekade pelatihan yang melibatkan latihan perut isometrik di ruang bawah tanah.
Synchronous channels provide a mosaic of prophetic information containing accurate
and astonishing predictions on a wide range of suppressed topics of global importance.
saluran sinkron memberikan mosaik informasi kenabian yang mengandung akurat
dan prediksi menakjubkan pada berbagai topik ditekan dari kepentingan global.
The War Reaction: Psychopathic controllers desperate to block free Tesla technologies
instigate global chaos before Galactic Superwave and Red Dawn events now overtaking us.
Perang Reaksi: pengendali psikopat putus asa untuk memblokir teknologi Tesla gratis
menghasut kekacauan global yang sebelum Galactic Superwave dan Red Dawn peristiwa sekarang menyalip kami
Taiga forest sage Anastasia shares ancient Vedruss knowledge of the resonant healing
properties of Siberian cedar nut oil that contains every element on the Periodic Table.
Taiga bijak hutan Anastasia berbagi Vedruss pengetahuan kuno penyembuhan resonansi
Sifat dari minyak kacang Siberia cedar yang berisi setiap elemen pada tabel periodik.
Vedruss Elders achieve heartbeat synchronization through the DNA imprinting of seeds,
just as couples share thoughts and biorhythms by heartbeat/brainwave synchronization.
Vedruss Sesepuh mencapai sinkronisasi detak jantung melalui pencetakan DNA benih,
seperti pasangan berbagi pikiran dan bioritme oleh detak jantung / sinkronisasi gelombang otak.
* * *
Standing Wave Resonance Reflected Throughout the Cosmos
Standing Wave Resonance Tercermin Sepanjang Cosmos
The Universal Om generates standing wave resonance within all cosmic and atomic bodies,
enabling resonant temperatures for nuclear transmutations that emit light within all living cells.
Universal Om membangkitkan gelombang berdiri resonansi dalam semua badan kosmik dan atom, memungkinkan suhu resonansi untuk transmutasi nuklir yang memancarkan cahaya dalam semua sel hidup.
Pelagic alchemists sustain atomic conversions of copper into iron –into titanium and vanadium, while glass-blooded Antarctic icefish convert iron into manganese at the freezing point of water.
alkemis pelagis mempertahankan konversi atom tembaga menjadi besi –into titanium dan vanadium, sementara kaca berdarah Antartika icefish mengkonversi besi ke mangan pada titik beku air.
Chlorophyll transmutes magnesium into sulfur and phosphorus by sunlight-induced atomic reactions within porphyrin ring structures also employed by hemoglobin to convert iron into manganese.
Klorofil transmute magnesium dan sulfur dan fosfor oleh reaksi atom sinar matahari-diinduksi dalam struktur cincin porfirin juga digunakan oleh hemoglobin untuk mengkonversi besi menjadi mangan.
Vertebrates transmute potassium into calcium in the blood during the biomineral formation of bone.Bacteria digest bone by resonant atomic transmutation of phosphorus into carbon and fluorine.
Vertebrata mengubah kalium dan kalsium dalam darah selama pembentukan biomineral tulang. Bakteri mencerna tulang dengan transmutasi atom resonansi fosfor menjadi karbon dan fluor.
Atomic reactions of metals in human blood are replicated by resonant transmutation processes, applying phonon resonance principles for conversion of copper into silver, gold and platinum.
Reaksi atom logam dalam darah manusia direplikasi oleh proses transmutasi resonansi, menerapkan prinsip-prinsip phonon resonansi untuk konversi dari tembaga menjadi perak, emas dan platinum.
The electron is comprised of nonlinear standing waves revealed by quantum stroboscope imaging,
while atomic decay rates of all elements fluctuate in synchrony with infrasound from solar flares.
elektron terdiri dari gelombang berdiri nonlinear diungkapkan oleh kuantum pencitraan stroboscope,
sementara tingkat peluruhan atom dari semua unsur berfluktuasi selaras dengan infrasonik dari jilatan api matahari.
Standing waves envelop the Sun, Earth,Mars,Jupiter,Uranus,Saturn,Eceladus,Titan,Neptune,Pluto; and generate the quasar accretion discs of black holes and the nonlinear structures of galaxies.
gelombang berdiri menyelimuti Matahari, Bumi, Mars, Jupiter, Uranus, Saturnus, Enceladus, Titan, Neptunus, Pluto; dan menghasilkan cakram akresi quasar lubang hitam dan struktur nonlinier galaksi.
Infrasound pulsations are reported onboard the Int’l Space Station and in the Van Allen plasma belt, just as mainstream news admits a brown dwarf star is in our solar system hurling Oort comets.
denyutan infrasonik dilaporkan di papan Stasiun Luar Angkasa Intl dan di Van Allen sabuk plasma, seperti berita utama mengakui bintang katai coklat di tata surya kita melemparkan Oort komet
Red supergiant star Betelgeuse is now collapsing toward an imminent supernova event.
Bintang super raksasa merah Betelgeuse tidak runtuh menuju acara supernova dekat.
* * *
Breaking News – Earth’s Chakras Are Opening!
Breaking News – Chakra Bumi Membuka!
Mapping of strange, recurrent Fortean phenomena reveals clusters in Fibonacci alignment.
Pemetaan keanehan, fenomena Fortean berulang mengungkapkan cluster di dalam keselarasan Fibonacci.
Water vapor and smoke perpetually rise from superheated ground measured by surprised geologists at over 800°F in Cartagena,Hope Ranch,Santa Barbara and Colorado Springs.
uap air dan merokok terus-menerus naik dari superheated tanah diukur oleh ahli geologi terkejut melihat lebih dari 800 ° F di Cartagena, Hope Peternakan, Santa Barbara dan Colorado Springs.
Water vapor plumes rise just offshore at Laguna Beach while the flow rates of major rivers
and regional precipitation rates are directly correlated to the influences of solar flare activity.
bulu uap air naik hanya lepas pantai di Laguna Beach sedangkan tingkat aliran sungai besar dan tingkat curah hujan daerah secara langsung berkorelasi dengan pengaruh dari aktivitas flare matahari.
Huge boulders levitate in Gushan,Death Valley,Yellowwood and Limon State Parks,
while small stones fall from the sky in Dhenkanal, Ratria,Vleifontein and near Tucson.
batu-batu besar melayang di Gulshan, Death Valley, Yellowwood dan Taman Kota Limon,
sementara batu-batu kecil jatuh dari langit di Dhenkanal, Ratria, Vleifontein dan dekat Tucson.
A kilogram is no longer a kilogram – shifting local gravity offsets weights and measures.
Satu kilogram tidak lagi sama dengan satu kilogram – pergeseran offset gravitasi berat dan ukuran lokal.
A minute is no longer a minute – shifting gravity offsets clockworks in regions of Sicily,
while the seas boil off the coast, as lakes are heated through sub-zero Minnesota winters.
Semenit tidak lagi satu menit – pergeseran gravitasi offset clockworks di wilayah Sisilia,
sedangkan lautan mendidih lepas pantai, seperti danau yang dipanaskan melalui musim dingin di bawah nol Minnesota.
Uplifting of giant concentric bedrock formations in the Sahara by infrasound standing waves.
Menggembirakan dari formasi batuan dasar konsentris raksasa di Sahara oleh gelombang berdiri infrasonik.
Weather manipulation and artificial quake induction by mobile sea-based HAARP platforms is accomplished by ultra-low frequency emitters focused for high-atmospheric plasma lensing.
Cuaca manipulasi dan gempa induksi buatan dengan platform HAARP laut berbasis mobile dicapai dengan emitter frekuensi ultra-rendah difokuskan untuk high-atmosfer lansing plasma.
Giant circles appear on Doppler radar observations over Broome,Sydney, encompassing all of Switzerland, as well as Tucson and the entire Pacific northwest region of the United States.
lingkaran raksasa muncul di Doppler pengamatan radar lebih Broome, Sydney, meliputi semua Swiss, serta Tucson dan seluruh wilayah barat laut Pasifik dari Amerika Serikat.
Survey of tornado tracks reveals ULF weather manipulation by Nexrad towers in alignment with Giza.
Survei trek tornado mengungkapkan manipulasi cuaca ULF oleh menara NEXRAD sejalan dengan Giza.
Earth booms and humming in
booming bumi dan bersenandung di :
Derry,Beaufort,Llanidloes,Mawnan,Hull,Saffron Walden,Bridlington,Woodland,Bolton,Kiev,Malta,Goa,Erattupetta,Bac Tra My,Klai,Auckland,Sydney,Ontario,Sooke,White Rock,Nelson,Ranchlands,Panama, and in the US in Newport,Anderson,Kimberley,Rochester,Menomonee Falls,Swatara,Greenwich,Pelham,Richmond,Wilmington,Virginia Beach,Perry,Nashville,Louisville,Knoxville,Mobile,McCalla,northern Florida,Knob Noster,Denver,Clintonville,Croy Canyon,Seattle,Novato,Arroyo Grande and Atwater.
Spontaneous electrical surge in Pekanbaru causes power blackout immediately followed by mass seizures, killing 2; while power transformers explode in Bridgewater,Fort Worth,Yuma,Dublin,Constantine and Moscow.
lonjakan listrik spontan di Pekanbaru menyebabkan pemadaman listrik segera diikuti oleh kejang massa, menewaskan 2; sedangkan transformator daya meledak di Bridgewater, Fort Worth, Yuma, Dublin, Constantine dan Moskow.
Spontaneous fires blaze in ( kebakaran spontan menyala di) : Tenerife,Karachi,Freetown,Babura,Abuja,Enugu,Maiduguri,Calabar,Makurdi,Benin City,Kaduna,Bauchi,Jos,Omukondo,Onakaheke,Gulu,Tsholotsho,Lalapansi,Goodhope,Nairobi,Mombasa,Ho,Mpumalanga,Mapuve,Bodibe,Bloemfontein,Durban,Tshiozwi,Hopewell,Levubu,Cape Town,Mathendele,Landovica,Galway,Longford,Glasgow,Castlebellingham,Dublin,Crewe,Waterford,Halstead,Sandown,Basingstoke,London,Surrey,South Benfleet,Steeple,Egham,Wisbech,Messina,Peschici,Berici,Peterborough,Coventry,Hull,Llanwern,Worcester,northern Greece,Mundra,Ratria,Kakori, Mumbai,angalore,Chandigarh,Hyderabad,Chandigar,Kolkata,Charajpura,Thiruvananthapuram,Kishtwar,Gangyal,Rangrik, across Vietnam,Kota Baru,Kuala Lumpur,Santo Tomas,Bandar Seri Begawan,New NorciaDarwin,Rockhampton,Adelaide,Brisbane,Eaglehawk,Sydney,Georgetown,La Pampa,Melipilla,Nelson, and in the US in Seattle,Corvallis,Los Angeles,Soudan SP,Minneapolis,New Ulm,Roosevelt Park,Flint,
Omaha,Pueblo,Waxahachie,Anderson,Bluffton,Georgetown,Gautier,Crestview,Longwood,Homosassa,San Mateo,Vallejo,San Francisco,Clovis,Calaveras,Haverhill,Peabody,Brentwood and New York City.
The Essene Gospel of Peace identifies standing wave resonance as ‘The Holy Streams’ in Aramaic; Turin Shroud bears unmistakable markings of an intense ultraviolet flash produced by HHO plasma.
The Essene Gospel of Peace mengidentifikasi resonansi gelombang berdiri sebagai ‘The Holy Streams’ dalam bahasa Aram; Kain Kafan Turin beruang tanda jelas dari flash ultraviolet intens dihasilkan oleh HHO plasma.
Biocompatible helium/oxygen plasma dental torch cleans teeth and sterilizes oral biofilms, while the God Light plasma beam induces cellular regeneration, and the Angel Light makes matter transparent!
Biokompatibel helium / oksigen plasma obor gigi membersihkan gigi dan mensterilkan biofilm lisan, sedangkan sinar plasma Allah Cahaya menginduksi regenerasi sel, dan Angel Light membuat materi transparan!
Deuterium-depleted water significantly extends lifespans by greatly reducing the effects of cellular aging; HHO plasma burns clean Blacklight Power as they once did in La Mana,Perperikon, and Huashan.
air deuterium-habis secara signifikan memperluas rentang kehidupan dengan sangat mengurangi efek penuaan selular; HHO plasma membakar Daya Blacklight bersih seperti yang pernah mereka lakukan di La Mana, Perperikon, dan Huashan.
Luminous aerial HHO plasma plumes in Longview, Texas are photographed near ground-level, while high-altitude auroral discharges called red sprites glow high above Xiamen, China.
Luminous udara HHO bulu plasma di Longview, Texas yang difoto dekat tanah-tingkat, sementara ketinggian debit aurora disebut sprite merah menyala tinggi di atas Xiamen, Cina.
Plasma probes are videotaped in Limerick, Ireland and temporarily captured in Kera, Japan, as worldwide aerial displays of HHO plasma spirals, fractals and rings are recorded on video.
probe plasma direkam di Limerick, Irlandia dan sementara ditangkap di Kera, Jepang, sebagai menampilkan udara di seluruh dunia HHO plasma spiral, fraktal dan cincin dicatat di video.
Cloth samples support unusual details of Brazilian contactee Urandir Oliveira’s reported
transdimensional levitation experience of HHO plasma beam transport through his ceiling.
sampel kain mendukung rincian yang tidak biasa dari contactee Brasil Urandir Oliveira dilaporkan Pengalaman levitasi transdimensional dari HHO transportasi sinar plasma melalui langit-langit nya.
Cosmic rays are linked to 56 deaths by spontaneous acceleration malfunction in Toyota vehicles; intense electrical surges crash cruise ships and crack airplane windshields, as near Denver Int’l Airport.
sinar kosmik terkait dengan 56 kematian dengan kerusakan akselerasi spontan di Toyota kendaraan; intens lonjakan listrik kecelakaan kapal pesiar dan retak kaca depan pesawat, seperti di dekat Denver Int’l Airport.
Lightning strike induces healing powers in nine-year-old Muhammad Ponari in the village of Balongsari; healing medium Joao de Deus performs miraculous surgeries daily without anesthesia or bleeding.
Sambaran petir menyebabkan kekuatan penyembuhan di Muhammad Ponari sembilan tahun di Desa Balongsari; media penyembuhan Joao de Deus melakukan operasi ajaib sehari-hari tanpa anestesi atau perdarahan.
Ball lightning emits purple plasma beams in Soesterberg, destroying electrical systems in 100 homes. Plasma orb strikes gadget-loaded tourist bus near Kaliningrad causing extensive damage.
Bola petir memancarkan ungu balok plasma di Soesterberg, menghancurkan sistem listrik di 100 rumah. orb Plasma menyerang bus wisata gadget-loaded dekat Kaliningrad menyebabkan kerusakan yang luas.
Mesmerizing body art of the Surma culture of southwest Ethiopia reiterates standing wave patterns.
seni tubuh irama budaya Surma dari daya Ethiopia menegaskan kembali berdiri pola gelombang.
Celtic and Anglo-Saxon artifacts show chakras, pyramids and infrasound standing waves;
standing waves depicted on the megaliths at Darhad Valley, Gavrinis and Göbekli Tepe.
Celtic dan Anglo-Saxon artefak menunjukkan chakra, piramida dan gelombang infrasonik berdiri; gelombang berdiri digambarkan pada megalith di Darhad Valley, Gavrinis dan Göbekli Tepe.
Massive quartz and limestone basins discovered at many megalithic sites are identified
as concave piezoelectric transducers for the acoustic levitation of lightwater.
Besar kuarsa dan batu kapur cekungan ditemukan di banyak situs megalitik diidentifikasi
sebagai transduser piezoelektrik cekung untuk levitasi akustik Lightwater.
Tibetan acoustic levitation techniques filmed and reported by scientist in 1939.
teknik levitasi akustik Tibet difilmkan dan dilaporkan oleh ilmuwan pada tahun 1939.
Metropolis of many thousands of ancient circular stone structures identified in southern Africa;
Metropolis ribuan struktur batu melingkar kuno diidentifikasi di Afrika Selatan;
while thousands of similar ancient structures are noted as desert geoglyphs in the Middle East.
sementara ribuan bangunan kuno yang sama tercatat sebagai geoglyph gurun di Timur Tengah
Maya representations of the God Tláloc depict auroral plasma plumes and standing waves. Extensive networks of subterranean tunnel systems weave from Scotland to Turkey.
Maya representasi dari Allah Tlaloc menggambarkan bulu plasma aurora dan gelombang berdiri. jaringan yang luas dari sistem terowongan bawah tanah menenun dari Skotlandia ke Turki.
Conscious plasma orbs form intricate crop circles in England,Germany,Italy,Russia,Indonesia,Mexico, and in the US in Illinois,Michigan,Ohio,Tennessee,Louisiana and California.
bola plasma sadar membentuk lingkaran tanaman yang rumit di Inggris, Jerman, Italia, Rusia, Indonesia, Meksiko, dan di Amerika Serikat di Illinois, Michigan, Ohio, Tennessee, Louisiana dan California.
* * *
Cellphones OFF – Pyramid Telepathy ON!
Cellphones are wireless communication devices that function on microwaves, while human mental telepathy uses brainwaves for wireless communication. No cellphones will connect without a matching frequency, and for the same reason no two minds will connect telepathically without a matching frequency.
Ponsel adalah perangkat komunikasi nirkabel yang berfungsi pada oven microwave, sementara telepati mental manusia menggunakan gelombang otak untuk komunikasi nirkabel. Tidak ada ponsel akan menghubungkan tanpa frekuensi yang cocok, dan untuk alasan yang sama ada dua pikiran akan menghubungkan secara telepati tanpa frekuensi yang cocok.
Today cellphone towers are used to regulate the frequencies of BOTH wireless networks
AND our brainwave patterns. Cellphones work with microwaves, but brains DO NOT. In ancient times giant pyramids were used to regulate brainwave frequencies and human consciousness by coupling to earth’s heartbeat-based resonances. Synchronized low-frequency heartbeat booming was heard simultaneously at every pyramid and megalith site in the world, telepathically connecting all minds in all temples.
menara saat ini ponsel digunakan untuk mengatur frekuensi KEDUA jaringan nirkabel
DAN pola gelombang otak kita. Ponsel bekerja dengan oven microwave, tapi otak JANGAN. Pada zaman kuno piramida raksasa yang digunakan untuk mengatur frekuensi gelombang otak dan kesadaran manusia dengan kopling untuk resonansi berbasis detak jantung bumi. Disinkronkan frekuensi rendah detak jantung booming terdengar bersamaan di setiap piramida dan megalith situs di dunia, telepati menghubungkan semua pikiran di semua candi
Several thousand years ago a cataclysm crashed the collective pyramid telepathy network,
leaving our planet and her sacred temples in a silence devoid of energy.The pyramid telepathy network will be switched ON with the magnetic reversal of 2015,as predicted by the ancient pyramid builders themselves, the Maya and the Aztec!
Beberapa ribu tahun yang lalu bencana yang jatuh jaringan piramida telepati kolektif,
meninggalkan planet kita dan kuil-kuil suci di sebuah keheningan tanpa jaringan telepati energy.The piramida akan beralih ON dengan pembalikan magnetik 2015, seperti yang diperkirakan oleh pembangun piramida kuno itu sendiri, Maya dan Aztec!
Today’s microwaves break the DNA chain and by cancer shorten our lifespan, while
the pyramids’ heartbeating of tomorrow will unwind our DNA helix to become a
superconductive ladder to increase human longevity in HHO resonant plasmas.
oven microwave hari ini memutus rantai DNA dan kanker memperpendek umur kita, sedangkan piramida ‘pemukulan jantung besok akan bersantai helix DNA kami untuk menjadi tangga superkonduktif untuk meningkatkan umur panjang manusia di HHO plasma resonan.
Our shortwave physical universe of matter, space and time is fundamentally ordered by an
opposing longwave aspect – the non-physical or antimatter universe of pure energy, vibration.
semesta fisik gelombang pendek kami materi, ruang dan waktu secara fundamental diperintahkan oleh menentang aspek gelombang panjang – alam semesta non-fisik atau antimateri dari energi murni, getaran.
The nonlinear interaction of short and longwave cycles produces patterns of resonance reflecting throughout the cosmos in eternal oscillation between resonant synchrony and dissonant entropy.
Interaksi nonlinier siklus gelombang pendek dan panjang menghasilkan pola resonansi mencerminkan seluruh kosmos dalam osilasi abadi antara sinkron resonan dan entropi disonan
Human experiencial cycles mirror environmental electromagnetic cycles in perpetual reversal, from golden ages of collective telepathic consciousness to dark ages of chaos and tyranny.
siklus pengalaman manusia cermin siklus elektromagnetik lingkungan di pembalikan abadi, dari usia keemasan kolektif telepati kesadaran untuk zaman kegelapan kekacauan dan tirani.
The pulsed heartbeat of planetary resonance is now synchronizing human consciousness,
the new dimension bleeding through in circles where waters are purified and plasmas spin. In these hyperdimensional circles we find a completely different set of quantum-physical laws.
Detak jantung berdenyut resonansi planet sekarang sinkronisasi kesadaran manusia,
dimensi baru perdarahan melalui dalam lingkaran di mana perairan yang dimurnikan dan plasma berputar. Di kalangan hyperdimension ini kita menemukan yang sama sekali berbeda dari hukum kuantum-fisik.
The Prime Cross spherical rendering of Dr. A. Jadczyk’s
Octagonal Quantum Fractal
Copyright 2006-2015 Alexander Putney
Dedi Mulyadi bersama KH. Said Aqil Sirodj
– See more at: http://www.katakini.com/berita-islam-nusantara-ini-pendapat-bupati-purwakarta.html#sthash.SS8tJKCJ.dpuf
Sumber:
http://www.katakini.com/berita-islam-nusantara-ini-pendapat-bupati-purwakarta.html
Seabad lalu, Nikola Tesla, ilmuwan pilih tanding, melansir tesisnya dalam sebuah wawancara sederhana. Tesla meyakini sepenuhnya bahwa alam semesta kita semula adalah energi, dan energi terbentuk dari cahaya–yang kemudian mewujud (mawjud) jadi materi.
Sekadar membantu rekan pembaca menyusun ingatan, apa yang diyakini Tesla itulah yang kelak dirumuskan Einstein dalam Relativitas Khusus (1905) & Relativitas Umum (1915). Keputusan akhir dari kedua teori besar yang kemudian meruntuhkan mekanika-gravitasi Newton itu adalah kelahiran matra keempat dalam ranah kajian fisika: Waktu. Matra inilah yang lantas menyeret cahaya sebagai rambatan utama dan satu-satunya. Einstein sang penenun teori ulung itu berhasil menghitung kecepatan cahaya dalam kisaran 300.000 km/detik.
Angka fenomenal itu pasti sulit dibayangkan orang awam. Saking peliknya, kita tak lagi mengerti apa ketersambungan antara keyakinan Tesla dengan temuan Einstein. Ya, keduanya adalah seniman cahaya. Dua manusia unggul yang bukan Muslim (secara theis), namun berhasil membongkar selubung misteri (QS. An-Nuur [24]: 35) yang dimulai dengan ayat, “Allah adalah Cahaya di langit & di bumi… Cahaya Maha Cahaya…”
Tuhan menitis di alam ciptaan dengan turunan gradasi sepersekian triliun hingga terwujud sebagai materi. Persis seperti yang diyakini Tesla sepanjang hayat keilmuannya. Maka mudah belaka membuktikan bahwa kita manusia, adalah makhluk cahaya yang terus menghindari kondisi minazzulumat i-ilan n-Nuur: dari kegelapan menuju cahaya benderang. Semua bayi pasti menangis jika kamarnya digelapkan. Bahkan sampai usia dewasa pun, masih ada begitu banyak manusia yang anti-gelap. Saking takutnya, malah merubung gemerlap lampu kota di pusat keramaian. Tak ubahnya laron, yang sekali berjumpa cahaya, lalu memungkasi hidupnya sendiri.
Sejak api ditemukan Nabi Idris as, kegelapan malam terus direvolusi hingga penemuan bola lampu oleh Edison. Hanya kegelapan langit yang hingga kini tak jua bisa dikalahkan. Manusia terpaksa harus tunduk pada hukum alam, terkait malam gelap & terang siang. Bukti paling tak bisa dibantah bahwa manusia adalah makhluk cahaya yang turun dari Langit, terdapat pada bola mata.
Tanpa kedua bola mata, nyaris sulit bagi kita mencandra segala yang zahir pun bathin dalam hidup ini. Sebab mata adalah pantulan terbaik bagi cahaya, agar manusia bisa melihat. Bukan sebaliknya, mata yang melihat kerana adanya cahaya. Tak ayal banyak manusia yang merasa bisa melihat, tapi buta. Matanya diselubungi kepekatan yang luarbiasa gelap menyergap. Merasa melihat fenomena namun gagal menangkap noumenanya. Latar paling awal dari sebuah pola penciptaan yang tak berawal, tak berakhir.
Teori cahaya yang dirumuskan Tesla, juga mengamini itu. Sejak cahaya dibungkus energi (ether) & materi, segala sesuatu di semesta ini sulit dihabisi riwayatnya. Sebab kondisi sejati yang terjadi, kita terus-menerus menjadi. Sejak Alam Azali hingga tak terperi. Wajar jika kemudian para awliya, sufi, filosof, teolog, mendaku bahwa neraka pun surga, bukanlah akhir segalanya. Kita, seperti juga semesta raya mengembang ini, akan terus menjalani safar, perjalanan nir-ujung menuju Cahaya Keabadian-Nya, bersama-Nya, kepada-Nya, dan untuk-Nya semata.
Manusia yang merusak dirinya, serupa laron yang mengingkari cahaya. []
Gambir, 14 Jumadil Akhir 1437 H
Haleluya, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, Turut berduka cita atas Syahidnya Yesus AS dalam memperjuangan kebenaran dan keadilan universal. Dalam melawan kezalim rezim imperialis kolonialis Romawi.Easter Day.
Isa (bahasa Arab: عيسى, `Īsā; Essa; sekitar 1 – 32M) adalah nabi penting dalam agama Islam dan merupakan salah satu dari Ulul Azmi. Dalam Al-Qur’an, ia disebut Isa bin Maryam atau Isa al-Masih. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 29 M dan ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina.
Namanya disebutkan sebanyak 25 kali di dalam Al-Quran. Cerita tentang Isa kemudian berlanjut dengan pengangkatannya sebagai utusanAllah, penolakan oleh Bani Israil dan berakhir dengan pengangkatan dirinya ke surga.
Kata Isa ini diperkirakan berasal dari bahasa Aram, Eesho atau Eesaa. Yesus Kristus adalah nama yang umum digunakan umat Kristen untuk menyebutnya, sedangkan orangKristen Arab menyebutnya dengan Yasu’ al-Masih (bahasa Arab: يسوع المسيح).
Kemudian, ia diyakini mendapatkan gelar dari Allah dengan sebutan Ruhullah dan Kalimatullah. Karena Isa dicipta dengan kalimat Allah “Jadilah!”, maka terciptalah Isa, sedangkan gelar ruhullah artinya ruh dari Allah karena Isa langsung diciptakan Allah dengan meniupkan ruh kedalam rahim Maryam binti Imran.
Narasi Qur’an tentang Isa dimulai dari kelahiran Maryam sebagai putri dari Imran, berlanjut dengan tumbuh kembangnya dalam asuhan Zakariya, serta kelahiran Yahya. Kemudian Al-Qur’an menceritakan keajaiban kelahiran Isa sebagai anak Maryam tanpa ayah.
“ | (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). (Ali ‘Imran: 45) | ” |
Dikisahkan pula bahwa selama Isa berada didunia, ia tidak menikahi seorang wanita karena ia terlebih dahulu diangkat oleh Allah kelangit. Akan tetapi, ada riwayat yang mengatakan bahwa Isa akan menikah dengan salah satu umat Muhammad ketika ia turun dari langit, kejadian ini dikisahkan menjelang akhir zaman.
Dalam buku dikatakan bawa wujud fisik Isa digambarkan oleh Muhammad yaitu, rambutnya terbelah dua, wajahnya tampan, kulitnya putih agak kemerah-merahan. Muhammad bertemu dengan Isa, ketika ia sedang dalam Isra Mi’raj ke Sidrat al-Muntahā, dilangit kedua yang disebut sebagai Al-Maa’uun.[1]
Muslim percaya pada konsep kesucian Maryam, yang telah diceritakan sepanjang dalam beberapa ayat dalam Al Qur’an. Menurut kisah di Al-Qur’an, Maryam selalu beribadah dan telah dikunjungi oleh malaikat Jibril. Jibril mengatakan kepada Maryam tentang akan diberikan calon anak yang bernama Isa, Maryam sangat terkejut, karena ia telah bersumpah untuk menjaga kesuciannya kepada Allah dan tetap mempertahankan hal itu dan bagaimana pula dia bisa hamil tanpa seorang lelaki, lalu Jibril menenangkan Maryam dan mengatakan bahwa perkara ini adalah perkara yang mudah bagi Allah, yang ingin membuat dia sebagai tanda untuk manusia dan rahmat dari-Nya. Seperti halnya dalam konsep penciptaan Adam tanpa ibu dan bapak.
Pembicaraan mereka terekam dalam salah satu surah di dalam Al-Qur’an
“ | Jibril berkata; “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”. (surat Maryam: 21) | ” |
“ | …Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (Maryam: 35) | ” |
Beberapa ayat lain terkait dengan kelahiran Isa antara lain
“ | Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Ali Imran: 59) | ” |
“ | …dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam (Al Anbiyaa’: 21) | ” |
Setelah Isa berada di dalam rahim Maryam, ia lalu mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Disana ia melahirkan dan beristirahat di dekat sebuah batang pohon kurma. Isa kemudian berbicara memerintahkan ibunya dari buaian, untuk mengguncangkan pohon untuk mengambil buah-buah yang berjatuhan, dan juga untuk menghilangkan rasa takut Maryam dari lingkungan sekelilingnya Maryam berzinah, kemudian Maryam menunjuk kepada anaknya yang baru lahir itu, maka Isa pun menjawab
“ | Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Alkitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi; dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.. (Maryam: 30-32) | ” |
Referensi dalam hadits lain adalah: “Ketika setiap manusia lahir. Setan menyentuh seorang bayi di kedua sisi tubuh dengan dua jarinya, kecuali Isa, putera Maryam, Setan mencoba menyentuhnya tapi gagal, karena dia hanya menyentuh plasentanya saja.”[2]
Menurut al-Tabari, hal ini disebabkan karena doa Maryam: “Aku berlindung kepada-Mu, untuk dia dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Menurut teks-teks Islam, Isa diutus kepada Bani Israil, untuk mengajarkan tentang ke-esaan Tuhan dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Muslim percaya Isa telah dinubuatkan dalam Taurat, membenarkan ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Isa digambarkan juga dalam ajaran Islam, memiliki mukjizat sebagai bukti kenabiannya, seperti berbicara sewaktu masih bayi dalam peraduan, memberikan nyawa/kehidupan pada burung yang terbuat dari tanah liat, menyembuhkan orang yang terkena lepra, menyembuhkan orang tuna netra, membangkitkan orang mati dan meminta makanan dari surga atas permintaan murid-muridnya. Beberapa kisah menyebutkan bahwa Yahya bin Zakariyya[3] pernah bertemu dengan Isa di sungai Yordan, sewaktu Yahya pergi ke Palestina.
Sungai Yordan tempat dimana Isa bin Maryam pernah bertemu dengan Yahya bin Zakariyya. menurut beberapa kisah.[4]
Beberapa ayat dari Al Qur’an yang menegaskan tentang kenabian Isa antara lain:
“ | Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Alkitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka, dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (Maryam: 30-35) | ” |
“ | …dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku”. Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus. Maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka, lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim yakni siksaan hari yang pedih (kiamat). (Az Zukhruf: 63-65) | ” |
“ | Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu). (Al Maa’idah: 75) | ” |
“ | …dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”. Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka, dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (Al Maa’idah: 116-117) | ” |
Qur’an juga menceritakan perihal Isa yang diberikan kekuatan dengan ruh kudus oleh Tuhan.
“ | Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat, dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus, dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (Al Baqarah: 253) | ” |
“ | (Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”. (Al Maa’idah: 110) | ” |
Al-Qur’an menerangkan dalam surat An Nisaa’:157 bahwa Isa tidaklah dibunuh maupun disalib oleh orang-orang kafir. Adapun yang mereka salib adalah orang yang bentuk dan rupanya diserupakan oleh Allah seperti Isa.[5]
“ | …dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. (An Nisaa’: 157) | ” |
Muslim menyangkal adanya penyaliban dan kematian atas diri Isa ditangan musuhnya. Al-Qur’an menerangkan Yahudi mencari dan membunuh Isa, tetapi mereka tidak berhasil membunuh dan menyalibkannya. Isa diselamatkan oleh Allah dengan jalan diangkat ke langit dan ditempatkan disuatu tempat yang hanya Allah yang tahu tentang hal ini. Al Qur’an menjelaskan tentang peristiwa penyelamatan ini.
“ | Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya, dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (An Nisaa’:158) | ” |
Eskatologi Islam | ||
---|---|---|
|
||
|
||
|
||
|
||
Portal Islam |
Dari keterangan hadist Muhammad diceritakan bahwa menjelang hari kiamat/akhir zaman Isa akan di turunkan oleh Allah dari langit ke bumi.[6]Peristiwa itu tergambar dari hadist berikut:
Menurut Islam, hal pertama yang dilakukan Isa setelah turun dari langit adalah menuaikan salat sebagaimana yang dijelaskan oleh hadist-hadist di atas. Isa akan menjadi makmum dalam salat yang di imami oleh Imam Mahdi.
Adapun lokasi turunnya Isa dijelaskan oleh Muhammad dalam sebuah hadist berikut:
Kedatangan Isa akan didahului oleh kondisi dunia yang dipenuhi kedzaliman, kesengsaraan & peperangan besar yang melibatkan seluruh penduduk dunia, setelah itu kemunculan Imam Mahdi yang akan menyelamatkan kaum muslimin, kemudian kemunculan dajjal yang akan berusaha membunuh Imam Mahdi, setelah dajjal menyebarkan fitnahnya selama 40 hari, maka Isa akan diturunkan dari langit untuk menumpas dajjal.
Turunnya Isa ke bumi mempunyai misi menyelamatkan manusia dari fitnah Dajjal dan membersihkan segala penyimpangan agama ,ia akan bekerjasama dengan Imam Mahdi memberantas semua musuh-musuh Allah.
Salah satu tugas besar dia setelah membunuh dajjal adalah menyelamatkan ummat manusia dari fitnah Ya’juj dan Ma’juj.[10]
Dahsyatnya fitnah Ya’juj dan Ma’juj digambarkan dalam sebuah hadist rasulullah sebagai berikut:
“ | …dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat-tempat yang tinggi. (Al Anbiyaa’ 21:96) | ” |
Maka mereka akan menyerang manusia, sedangkan kaum Muslim akan berlarian dari mereka ke kota-kota dan benteng-benteng mereka, kemudian mereka mengambil binatang-binatang ternak bersama mereka. Sedangkan mereka (Ya’juj dan Ma’juj) meminum semua air di bumi, sehingga apabila sebahagian mereka melewati sebuah sungai maka merekapun meminum air sungai tersebut sampai kering dan ketika sebagian yang lain dari mereka melewati sungai yang sudah kering tersebut, maka mereka berkata: “Dulu di sini pernah ada air”, dan apabila tidak ada lagi manusia yang tersisa kecuali seorang saja di sebuah kota atau benteng, maka berkatalah salah seorang dari mereka: “Mereka-mereka penduduk bumi sudah kita habisi, maka yang tertinggal adalah penduduk langit”, kemudian salah seorang dari mereka melemparkan tombaknya ke langit, dan tombak tersebut kembali dengan berlumur darah yang menunjukkan suatu bala dan fitnah.
Maka tatkala mereka sedang asyik berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus ulat ke pundak mereka seperti ulat belalang yang keluar dari kuduknya, maka pada pagi harinya mereka pun mati dan tidak terdengar satu nafaspun. Setelah itu kaum Muslim berkata: “Apakah ada seorang laki-laki yang mau menjual dirinya untuk kami berani mati) untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh musuh kita ini?” maka majulah salah seorang dari mereka dengan perasaan (menganggap) bahwa ia telah mati, kemudian dia menemui bahwa mereka semua telah mati dalam keadaan sebagian mereka di atas sebagian yang lain (berhimpitan), maka laki-laki tersebut menyeru: “Wahai semua kaum Muslim bergembiralah kamu sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri sudah membinasakan musuhmu”, maka mereka pun keluar dari kota-kota dan benteng-benteng dan melepaskan ternak-ternak mereka ke padang-padang rumput kemudian padang rumput tersebut dipenuhi oleh daging-daging binatang ternak, maka semua susu ternak tersebut gemuk (penuh) seperti tunas pohon yang paling bagus yang tidak pernah dipotong.”[13]
Menurut suatu riwayat, Isa setelah turun dari langit akan menetap dibumi sampai wafatnya selama 40 tahun. Ia akan memimpin dengan penuh keadilan, sebagaimana yang diceritakan dalam hadist berikut:
Diceritakan dalam sebuah hadist bahwa Isa akan melaksanakan haji.
Setelah Isa menjadi pemimpin yang adil di akhir zaman, Allah akan mewafatkan dia. Hanya Allah saja yang tahu kapan dan dimana Isa akan diwafatkan. Setelah wafatnya Isa Al-Masih kemudian dunia akan mengalami kiamat.
Dalam berdakwah, Isa didampingi para pengikutnya yang disebut al-Hawâriyyûn, yang jumlahnya 12 orang, sesuai dengan jumlah suku (sibith) Bani Israil, sehingga masing-masing hawari ini ditugaskan untuk menyampaikan risalah Injil bagi masing-masing suku Bani Israil. Namun nama-nama hawari tersebut tidaklah disebutkan di dalam Al-Quran. Kisah para sahabat Isa ini terdapat dalam surat Al-Mâ’idah: 111-115 dan surat Ãli-‘Imrân: 52. Dalam surat tsb diceritakan bahwa al-Hawâriyyûn meminta Isa untuk menurunkan makanan dari langit. Nama surat Al-Maidah yang berarti makanan diambil karena mengandung kisah ini. Kejadian turunnya makanan dari langit ini makin menambah ketebalan iman para pengikut Isa
Isa disebutkan dengan banyak nama di dalam Al-Quran. Sebutan yang paling umum adalah “Isa bin Maryam” (Isa putra Maryam), kadang-kadang diawali dengan julukan lain. Isa juga diakui sebagai seorang nabi dan utusan (rasul) Allah. Istilah wadjih (“patut dihargai dalam dunia ini dan selanjutnya”), mubārak (“diberkati” atau “sumber manfaat bagi orang lain”), `abd-Allah (hamba Allah) adalah semua yang digunakan dalam Al-Qur’an dalam memberikan nama/julukan kepada Isa.
Nama lain yang sering disebutkan adalah Al-Masih, yang diterjemahkan ke “Mesias“. Islam menganggap semua nabi, termasuk Isa, sebagai manusia biasa dan tanpa berbagi dalam Ketuhanan, sehingga tidak sama dengan konsep Kristen tentang Mesias. Muslim menjelaskan penggunaan kata Masih dalam Al Qur’an sebagai merujuk kepada Isa, yaitu status sebagai seorang yang diurapi dan merupakan bentuk pujian, dengan mukjizatnya antara lain ialah dapat menyembuhkan orang sakit dan menyembuhkan mata orang buta. Ayat Qur’an juga menggunakan istilah kalimatullah (yang berarti “firman Tuhan”) sebagai penjelasan tentang Isa, yang mengakui dirinya sebagai sebagai utusan Allah, dan berbicara atas nama Allah.
Ajaran Islam menganggap Isa hanya sebagai utusan Allah saja. Kepercayaan yang menganggap Isa sebagai Allah atau Anak Allah, menurut Islam adalah perbuatan syirik(mengasosiasikan makhluk sama dengan Allah), dan dengan demikian dianggap sebagai suatu penolakan atas konsep Keesaan Tuhan (tauhid).
Islam melihat Isa sebagai manusia biasa yang mengajarkan bahwa keselamatan datang dengan melalui kepatuhan manusia kepada kehendak Tuhan dan hanya dengan cara menyembah Allah saja. Dengan demikian, Isa dalam ajaran Islam dianggap sebagai seorang muslim, begitu pula dengan semua nabi Islam. Islam dengan demikian menolak konsep trinitas dalam Ketuhanan Kristen, seperti juga konsep tentang Ketuhanan Yesus.
Muslim meyakini bahwa Isa adalah sebagai seorang nabi pendahulu Muhammad, dan menyatakan bahwa setelah ia akan muncul seorang nabi terakhir, sebagai penutup dari para nabi utusan Tuhan. Hal ini berdasarkan dari ayat Al-Qur’an, di mana Isa menyatakan tentang seorang rasul yang akan muncul setelah dia, yang bernama Ahmad. Islam mengasosiasikan Ahmad sebagai Muhammad. Muslim juga berpendapat bahwa bukti Isa telah memberitahukan tentang akan hadirnya seorang nabi terakhir ada di dalam kitabnya.
Suatu argumentasi dari pakar muslim[16] menyatakan bahwa kata bahasa Yunani parakletos, yang berarti “penghibur” yang diramalkan akan datang dalam Injil Yohanes, sesungguhnya adalah kata periklutos, yang berarti “termasyhur, agung, terpuji”. Kata terakhir ini dalam bahasa Arab dianggap sebagai Ahmad, atau Muhammad, diperkuat dengan sebuah dalil al-Qur’an, yang berbunyi:
“ | …dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)“. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. (A-Shaf 61:6). | ” |
—————-
Sebaliknya, kaum Nasrani (Kristen) justru mengkhususkan ‘Isa yang diyakini sebagai anak Tuhan. Ini pula yang menjadi doktrin penting di dalam konsep Trinitas agama Kristen.
Ketika wafat, ‘Isa lagi-lagi menjadi perbincangan hangat. Kaum Yahudi mengaku telah menyalib dan membunuhnya. Kaum Nasrani juga berpandangan serupa, serta menyakini bahwa beberapa hari kemudian ‘Isa di angkat oleh Tuhan.
Adapun Islam, sejak awal meluruskan pandangan keliru mereka dengan menegaskan tentang kemuliaan akhlak Maryam sebagai perawan suci, yang Allah takdirkan mengandung dan melahirkan ‘Isa meski perempuan itu tidak pernah disentuh oleh seorang lelaki pun.
Begitu pula mengenai sangkaan orang bahwa ‘Isa mati di kayu salib, Islam juga meluruskan pandangan keliru dengan menegaskan bahwa beliau tidak mati disalib melainkan diselamatkan Allah dan diangkat ke langit, ditempatkan ke langit kedua, kemudian menunggu untuk diturunkan kembali ke dunia pada akhir Zaman.
Kontroversi itu menarik perhatian Dr.Muslih Abdul Karim, MA, sehingga oleh beliau kemudian dijadikan tema disertasi gelar Doktornya (1995). “Banyak saudara kita sesama muslim yang kurang memahami tentang siapa itu Nabi ‘Isa. Oleh karena itu, perlu ada rujukan yang berpijak pada kebenaran, Al-Qur’an dan Hadits shahih (valid),” pria ramah ini memberikan alasan mengapa ia begitu concern (perhatian) terhadap sosok ‘Isa.
Dosen pasca-sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengkaji tentang turunnya ‘Isa di akhir zaman. Menurutnya, munculnya Dajjal, Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ke bumi, dan peristiwa Kiamat memang sudah dekat.
Berikut ini redaksi Fimadani ringkaskan pendapat beliau dalam wawancaranya dengan Majalah Hidayatullah yang dimuat dalam edisi 08/XVIII/Desember tahun 2005:
Awal Kehidupan Dakwah ‘Isa
Sebagai utusan Allah, Nabi ‘Isa berdakwah kepada Umatnya, Bani Israil. Ada yang beriman, yaitu kaum Hawariyyun, ada pula yang kafir (menentangnya), kebanyakan dari kalangan Yahudi.
Pengikutnya semakin besar. Kaum Yahudi dan penguasa Romawi saat itu gerah, pasalnya, materi dakwah Nabi ‘Isa berhasil mengubah kebiasaan-kebiasaan para pembesar Romawi, seperti; gemar berzina, minuman keras, dan suap-menyuap. Itulah sebabnya ‘Isa dikejar-kejar.
‘Isa lalu berpindah-pindah tempat. Kaum Hawariyyun bisa menyimpan rahasia tentang keberadaannya sehingga ‘Isa lolos dari upaya pengejaran. Namun rupanya ada seorang murid ‘Isa yang berkhianat. Dialah Yudas, yang telah disuap oleh aparat kerajaan Romawi.
Lalu ketemulah tempat persembunyian Nabi ‘Isa. Ketika hendak ditangkap, Allah mengangkat ‘Isa ke langit sehingga selamat dari tipu daya dan fitnah kaum Yahudi. Pada saat itu, tentara Yahudi menangkap Yudas yang oleh Allah dimiripkan dengan ‘Isa, baik suara maupun tampilan fisiknya.
Allah berfirman, “.. wa maa qataluuhu wa mashalabuuhu wa laakin syubbihalahum..”(dan mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka…). (An Nisa’ :57)
Jadi, yang disalib dan dibunuh itu bukanlah ‘Isa melainkan Yudas yang diserupakan oleh Allah seperti Nabi ‘Isa.
Pengangkatan Fisik Nabi ‘Isa
Umat Islam berbeda pendapat mengenai pengankatan Nabi ‘Isa, apakah fisiknya atau hanya ruhnya saja. D i kalangan umat Islam sendiri ada beberapa versi, bahkan di kalangan ahlus-sunnah wal jama’ah juga begitu.
Di kalangan kita sendiri, semua sepakat dalam hal ‘Isa adalah hamba dan utusan Allah, namun berbeda pendapat dalam hal wafatnya.
Dalam Tafsir Al Maraghi karya Syaikh Maraghi misalnya, dinyatakan bahwa Nabi ‘Isa sudah meninggal dunia. Yang diangkat adalah derajat dan kemuliaannya. Ini pula yang dinyatakan oleh Buya HAMKA dalam Tafsir Al Azhar nya, yang tampaknya mengacu pada Maraghi. Pendapat serupa juga dianut Syaikh Mahmud Syaltut. Jadi, pendapatnya hampir sama dengan apa yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani.
Ada pula yang menyebut Nabi ‘Isa diangkat dalam keadaan tidur, misalnya dalamTafsir Al-Alusi. Namun Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa Nabi ‘Isa diangkat roh dan jasadnya, dalam keadaan hidup, dan tidak tidur.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Yahudi dan Kristen
Orang Yahudi menyakini telah menyalib dan membunuh ‘Isa. “Dan karena ucapan mereka. Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih ‘Isa putra Maryam..” (An Nisa’: 157)
Keyakinan seperti itu juga diikuti oleh kaum Nasrani, yang juga menyakini bahwa setelah meninggal, beberapa hari kemudian ‘Isa diangkat ke langit oleh Tuhan. Penyaliban Isa merupakan salah satu prinsip doktrin agama Kristen (terutama sejak Konsili Nicea tahun 400an). Seseorang tidak dianggap sebagai pemeluk Nasrani kecuali yang percaya kepada penyaliban ‘Isa untuk menebus dosa umat manusia.
Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang membantah itu semua.
“Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti ‘Isa akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An Nisa’: 159)
“Dan sesungguhnya ‘Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari Kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu tentang kiamat itu…” (Az Zukhruf: 61)
“… dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang shaleh.” (Ali ‘Imran :46)
Ada kata “kahlan” dalam ayat itu yang berarti dewasa, usia antara 30-40 tahun, jumhur ulama menyebutnya 33 tahun. Pada usia itulah (33 tahun) ‘Isa di angkat ke langit dan kelak akan turun lagi (ke bumi). Ath Thabari dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa ‘Isa berbicara ketika masih bayi dan ketika dewasa saat membunuh Dajjal.
Ayat-ayat di atas menerangkan bahwa Nabi ‘Isa memang masih hidup dan kelak akan turun di akhir zaman.
Dimana ‘Isa Sekarang Berada?
‘Isa diangkat oleh Allah dan sekarang ditempatkan di langit kedua. Kenapa di langit kedua? Karena kelak akan turun ke bumi lagi. Barangkali logika kita sulit menerima tentang hal ini. Kalau di langit kedua, di sebelah mana, bagaimana caranya, makan apa? Wallahu a’lam. Itu urusan Allah. Kalau menurut logika memang barangkali sulit di mengerti sebab ini masalah ghaib, yang dapat menerima adalah keimanan kita. Yang jelas itu ada di dalam Hadits, bukan omongan saya.
Perihal ‘Isa akan turun ke bumi pada akhir zaman diterangkan oleh banyak Haditsshahih, termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Kalau nanti akan turun, berarti memang benar bahwa Nabi ‘Isa belum meninggal.
Kisah Turunnya Nabi ‘Isa
Dari Aus bin ‘Aus, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “‘Isa bin Maryam akan turun di (masjid) menara putih di Damaskus (Suriyah).” (Riwayat Thabrani). Allah izinkan Nabi ‘Isa turun dengan di antar dua malaikat.
Menurut Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, saat itu kaum muslimin tengah bersiap-siap untuk shalat shubuh di masjid menara putih Damaskus (Suriah). Iqamat dikumandangkan, lalu ‘Isa turun. Melihat kedatangan utusan Allah, Imam Mahdi yang saat itu menjadi pimpinan kaum muslimin mempersilahkan ‘Isa untuk menjadi Imam shalat. Namun ‘Isa menolak dan mempersilahkan Al Mahdi untuk menjadi imam. Ibnu Katsir 800 tahun yang lalu sudah menyebutnya, dan menara putih itu sampai sekarang masih ada di Damaskus.
Rombongan 70 ribu orang Yahudi bersenjata lengkap yang dipimpin oleh Dajjal hendak menyerang dan membunuh kaum muslimin. Usai shalat, maka Nabi ‘Isa dan Al-Mahdi keluar dari masjid dan terjadilah pertempuran hebat.
Begitu melihat Nabi ‘Isa, Dajjal pun lari ketakutan dan bersembunyi ke dalam barisan pasukannya, seperti garam yang dimasukkan ke dalam air, lenyap begitu saja. Namun Nabi ‘Isa tetap mengetahui keberadaan Dajjal dan pada akhirnya ‘Isa berhasil membunuh Dajjal.
Ini diterangkan dalam Hadits riwayat Ahmad dan Hakim. Hadits tersebut diriwayatkan Ahmad dengan dua sanad, satu di antaranya dengan perawi-perawi Hadits shahih.
Setelah membunuh Dajjal, ia menghancurkan salib, membunuh babi, menyudahi peperangan, dan harta benda melimpah ruah. Ini terdapat di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad.
Maksudnya menghancurkan salib adalah benar-benar dihancurkan dalam arti sebenarnya. Salib adalah simbol penyembahan kepada Nabi ‘Isa sebagai Tuhan Yesus. Menurut Ibnu Hajar, ini untuk meruntuhkan agama Nasrani (Kristen). Juga membunuh babi, karena selama ini orang Nasrani mengaku pengikut ‘Isa tetapi mereka menghalalkan (memakan) babi.
Menurut Dr Muslih Abdul Karim, penghancuran salib itu dilakukan juga oleh kaum Muslimin. Salib kan tidak cuma ada satu. Sama halnya seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika menghancurkan berhala-berhala, diikuti pula oleh umatnya.
‘Isa juga menyerukan Tauhid dan menerapkan syariat Islam. Ia menjadi penguasa yang adil. Selain itu, ‘Isa melaksanakan ibadah Haji dan juga umrah, serta berziarah ke makam Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Keterangan tentang hal ini bersandar pada beberapa Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Bukhari, Ahmad dan Hakim.
Dalam surat An Nisa’ ayat 159 dinyatakan bahwa kelak Ahlul-Kitab akan beriman kepada Nabi ‘Isa. Maksudnya adalah bahwa ereka (Ahli Kitab) mengaku bahwa ‘Isa itu adalah utusan Allah, hamba –Nya, dan beriman kepada kalimat Allah yang disampaikan kepada Maryam. Bukan seperti anggapan orang Yahudi sekarang yang menganggap ‘Isa adalah anak pelacur, atau seperti anggapan orang Nasrani yang menyakini bahwa ‘Isa adalah Yesus, anak Allah. Dengan demikian, semua agama runtuh kecuali agama Islam. Jadi, apa yang disebut sebagai Ahlul-Kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Peristiwa ini akan terjadi sebelum kematian ‘Isa. Sebelumnya ada rentetan peristiwa, diantaranya ialah munculnya Imam Mahdi, al malhamah kubra (peperangan besar), munculnya Dajjal, dan kemudian Dajjal terbunuh. Jadi, ahlul-kitab akan beriman setelah melakukan peperangan melawan kaum muslimin.
Menurut Hadits riwayat al-Hakim dan beberapa Hadits lain, ‘Isa tinggal selama 40 tahun. Ia mengemban misi yang diperintahkan Allah kepadanya. Setelah dunia aman dan tenteram selama tujuh tahun, ia meninggal dunia, di shalati, dan dimakamkan oleh kaum muslimin. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, ‘Isa akan dimakamkan disamping makam Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (di Madinah).
Ciri-ciri Kemanusiaan ‘Isa
Ada banyak ciri-ciri kemanusiaan ‘Isa dalam Al-Qur’an, Allah menerangkan bahwa ibunya dan ‘Isa sendiri itu makan dan minum. Perilaku itu berlaku pada Tuhan atau manusia? Nah, kalau misalnya sehabis makan, kenyang, lalu apa? (maaf) tentu akan buang air besar. Apakah Tuhan buang air besar?
Selain itu, ‘Isa berada di dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan, sama seperti kita, lalu kemudian lahir. Masa’ Tuhan dilahirkan?
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dijelaskan bahwa kelak di akhir zaman ‘Isa melaksanakan ibadah Haji, lalu menikah. Kemudian, ‘Isa akan meninggal. Bagaimana Tuhan bisa meninggal?
Untuk mengenali ciri fisik Nabi ‘Isa, telah disebutkan dalam hadits berikut. Menurut Hadits riwayat Ahmad dari Abu Hurairah, dia berbadan sedang (tidak tinggi dan juga tidak pendek), kulitnya putih kemerah-merahan, berambut lurus, seolah-olah rambut kepalanya meneteskan air walaupun tidak basah, mengenakan dua potong pakaian berwarna kekuning-kuningan.
Hadits Ahad dalam Kisah Turunnya ‘Isa
Menurut Ibnu Katsir, Hadits-hadits tentang turunnya ‘Isa sebelum kiamat itu mutawatir, minimal diriwayatkan oleh 33 sahabat Nabi. Begitu pula pendapat Al Kautsari, Al Maududi, Al Kattani, dan lain-lain. Menurut Al Maududi, ada lebih dari 70 Hadits yang menceritakan perihal tentang turunnya Nabi ‘Isa di akhir zaman.
Berita tentang ‘Isa bukan dari Hadits ahad (riwayat perorangan) seperti pendapat beberapa pihak. Dan seandainya satu saja Hadits dan itu shahih, misalnya dari Bukhari atau Muslim, itu sudah cukup (untuk menjadi dalil).
The Indonesian Pyramids |
Terjemahan dan ilustrasi (sedang dalam proses editing) oleh: Ahmad Y. Samantho
Orang-orang Sunda (Jawa Barat) telah menurunkan kisah, melalui cerita rakyat mereka, bahwa orang Mesir di masa lampau telah mengunjungi pulau mereka. Mereka bahkan memiliki ukiran batu yang konon menggambarkan seorang Mesir membungkuk bersujud kepada orang Indonesia. Anggapan awal dari keberadaan Piramida di negeri ini dimulai dengan serangkaian ekspedisi Turangga Seta melakukan pemetaan relief di Candi Penataran (Blitar, Jawa Timur) dari tahun 2007 sampai 2009.
Kolonisasi Indonesia oleh orang Mesir kuno sepenuhnya didokumentasikan oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam volume-nya, The History of Java – John Murrey Publishing, London – 1830. Lukisan makam dan tulisan menunjukkan bahwa orang Mesir sedang turun berdagang di Laut Merah dan juga ke Samudera Hindia sebelum tahun 2000 SM. Mereka membuat kunjungan rutin ke Lebanon sebelum tahun 2500 SM untuk membeli kayu cedar. Selama masa pemerintahan Firaun perempuan Hatshepsut (1503-1482 SM), kapal yang panjangnya 90 sampai 100 kaki berlayar ke dan dari Tanah Punt … (David Pratt, Agustus 2011- http://www.davidpratt.info/americas1. htm.)
Geoglyphology
Rincian tulisan ini hasil dari studi geoglyphical yang baru ditemukan Lalakon dan Satahurip Piramida di Jawa Barat, Indonesia. Asal struktur ini akan dipelajari dengan menggunakan geometri bola untuk mengikuti bantalan dibuat oleh detail punggungan dirancang ke piramida. Praktek menggunakan geometri struktur kuno untuk merilis rincian tersembunyi dari tujuan mereka bukanlah praktek baru. Praktek ini telah turun temurun sejak sebelum pembangunan piramida Mesir. Saya sebut re-penemuan dan penerapan Geoglyphology praktek kuno ini.
Geoglyphology
This paper details the results of a geoglyphical study of the newly discovered Lalakon and Satahurip Pyramids in West Java, Indonesia. The origin of these structures will be studied using spherical geometry to follow the bearings created by the ridge detail designed into the pyramid. The practice of using the geometry of ancient structures to release hidden details of their purpose is not a new practice. This practice has been handed down through generations since before the building of the Egyptian pyramids. I call the re-discovery and application of this ancient practice Geoglyphology.
Salah satu fungsi Geoglyphology, yang berhubungan dengan Arkeologi, adalah untuk memperluas kedua daerah pencarian dan basis pengetahuan yang tersedia untuk Arkeolog tersebut. Sampai saat ini sebagian besar informasi yang tersedia untuk Arkeolog yang diperoleh dari informasi yang pulih di situs penggalian. Dalam beberapa tahun terakhir telah ditemukan bahwa sebagian besar dari struktur arsitektur, monolitik dan geoglyphic kuno yang dibangun di seluruh dunia memiliki sesuatu yang sama. kesamaan itu adalah bahwa struktur yang selaras sedemikian rupa bahwa studi tentang keselarasan linier mereka memperkenalkan cerita yang jauh lebih besar dan sangat memperluas data yang tersedia untuk arkeolog dan disiplin terkait.
One function of Geoglyphology, as it relates to Archeology, is to expand both the search area and the knowledge base available to the Archaeologist. Until now the majority of the information available to the Archaeologist is gleaned from the information recovered at the dig site. In recent years it has been discovered that a great majority of the ancient architectural, monolithic and geoglyphic structures built around the world have something in common. That commonality is that the structures were aligned in such a manner that the study of their linier alignment unveils a much larger story and immensely expands the data available to the archeologist and the related disciplines.
Data pulih dari situs yang termasuk Geoglyphology dalam penelitian mereka termasuk; Memperoleh jangkauan geografis budaya yang sedang dipelajari, tingkat kecanggihan yang ada dalam kaitannya dengan pemahaman mereka tentang matematika dan geometri, pengetahuan mereka tentang geografi dunia, penemuan situs arkeologi lain yang tidak diketahui sebelum studi, dan penanggalan budaya itu sendiri dari data yang dikumpulkan di lokasi offsite terkait, diidentifikasi oleh keberpihakan di situs penggalian. Keberhasilan studi ini menunjukkan bahwa Geoglyphology dapat memainkan peran utama dalam memperluas basis pengetahuan tersedia untuk arkeolog tersebut. Informasi lebih lanjut tentang Geoglyphology dapat ditemukan di http://www.thefaramfoundation.com.
Data recovered from sites that included Geoglyphology in their study included; Obtaining the geographical range of the culture being studied, the level of sophistication that existed in relation to their understanding of mathematics and geometry, their knowledge of world geography, the discovery of other archeological sites that were unknown prior to the studies, and the dating of the culture itself from the data collected at related offsite locations, identified by the alignments at the dig site. The success of these studies shows that Geoglyphology can play a major role in expanding the knowledge base available to the Archeologist. More information on Geoglyphology can be found at http://www.thefaramfoundation.com .
Catatan: Perhitungan dilakukan selama penulisan makalah ini diperlukan penggunaan perangkat lunak yang disebut “Google Earth”. software Google mampu menghitung bantalan bola benar pada permukaan melengkung bumi dan kemudian menampilkannya dengan benar pada bidang datar. Titik akhir dari semua radial ditentukan dengan menggunakan software Google Earth sebelum yang disajikan di sini sebagai garis lurus. Oleh karena itu, kelengkungan bumi yang biasanya ada di garis tidak hadir.
Note: The calculations performed during the writing of this paper required the use of software called “Google Earth”. Google’s software is able to calculate true spherical bearings on the curved surface of the earth and then display them correctly on a flat plane. The endpoints of all radials were determined using the Google Earth software prior to being presented here as straight lines. Therefore, the curvature of the earth that would normally exist in the lines is absent.
—————
Penelitian kami telah menunjukkan bahwa beberapa jenis pembagian wilayah di seluruh dunia terjadi jauh sebelum piramida Mesir dibangun. Tampaknya peradaban yang ada sebelum orang Mesir juga membangun monumen dan piramida untuk menguraikan wilayah-wilayah kuno untuk anak cucu. Beberapa contoh dari geoglyph yang telah ditemukan, yang garis wilayah kuno, adalah:
Our research has shown that some type of worldwide territorial apportionment took place long before the Egyptian pyramids were built. It appears that civilizations that existed prior to the Egyptians were also building monuments and pyramids to outline these ancient territories for posterity. A few examples of geoglyphs that have been discovered, which outline ancient territories, are:
Pyramids Bosnia – (26.400 SM) piramida ini awalnya diuraikan apa yang sekarang dikenal sebagai Eropa dan Afrika dan Kanada. Ini kemudian diubah dengan piramida yang dibangun dekat Bosnia Piramida asli dari Sun yang mengurangi wilayah digambarkan hanya mencakup Eropa. Celtic kemudian didorong, oleh peradaban lain, barat ke Eropa Barat dan Denmark. Bosnia Piramida adalah yang tertua dan terbesar piramida ditemukan sejauh ini. Batas-batas yang awalnya digariskan oleh piramida dan struktur di zaman kuno telah dipecah menjadi wilayah yang lebih kecil dan lebih kecil, negara dan menyatakan sebagai waktu telah berlalu.
Bosnian Pyramids – (26,400 BC) These pyramids originally outlined what is now known as Europe and Africa and Canada. This was later amended by pyramids being constructed near the original Bosnian Pyramid of the Sun which reduced the described territory to include only Europe. The Celts were later driven, by other civilizations, west into Western Europe and Denmark. The Bosnian Pyramid is the oldest and largest pyramid discovered thus far. The boundaries that were originally outlined by the pyramids and structures in ancient times have been broken up into smaller and smaller territories, countries and states as time has passed.
Yonaguni Pyramid – (c10,000 BC) piramida ini menguraikan wilayah yang sama yang Jepang berusaha untuk membangun kembali dalam Perang Dunia Kedua.
Yonaguni Pyramid – (c10,000 BC) This pyramid outlines the same territory which Japan was attempting to re-establish in the Second World War.
Lalakon Pyramid – (. Belum tanggal oleh studi onsite) Pembangunan piramida ini sangat mirip dengan konstruksi yang tidak biasa digunakan dalam piramida Bosnia.
Lalakon Pyramid – (Not yet dated by an onsite study.) The construction of this pyramid is very similar to the unusual construction used in the Bosnian pyramids.
Caral, Peru – (c10,000 BC) Garis wilayah yang dikenal sebagai Amerika Selatan.
Caral, Peru – (c10,000 BC) Outlines the territory known as South America.
Gulfo de Cintra geoglyph – (Built sebelum 7000 SM) The Gulfo de Cintra geoglyph adalah penanda wilayah sebelum Giza Pyramid sedang dibangun. Usia geoglyph dikonfirmasi oleh fakta bahwa Nabta Playa geoglyph di Mesir Selatan, yang telah tanggal sebagai berusia 7000 tahun, menunjuk ke geoglyph Gulfo de Cintra. The Gulfo de Cintra geoglyph menunjuk kembali ke Nabta Playa.
Gulfo de Cintra Geoglyph – (Built before 7000 BC) The Gulfo de Cintra geoglyph was the territorial marker prior to the Giza Pyramid being built. The age of the geoglyph is confirmed by the fact that the Nabta Playa geoglyph in Southern Egypt, which has been dated as being 7000 years old, points to the Gulfo de Cintra geoglyph. The Gulfo de Cintra Geoglyph points back to Nabta Playa.
Inspiration Peak, Minnesota USA – Lebih tua dari 3100 SM, sebagaimana ditentukan oleh lokasi yang diidentifikasi oleh salah satu radial dari Stonehenge. Inspiration Peak awalnya digambarkan wilayah yang meliputi keseluruhan Amerika Utara dan Mesoamerika. Hal ini juga dibagi melalui pertempuran bersejarah dan treaties.border.
Inspiration Peak, Minnesota USA – Older than 3100 BC, as determined by its location being identified by one of the radials of Stonehenge. Inspiration Peak originally depicted a territory covering the entirety of North America and Mesoamerica. This too was divided up through historic battles and treaties.border.
Alasan usia Inspiration Peak tidak dapat ditentukan lebih tua dari C3100 SM adalah karena referensi dikonfirmasi tertua untuk penanda ini adalah Stonehenge (C3100 SM), yang menunjukkan Inspiration Peak sebagai titik pusat dari wilayah yang berdekatan. Ini adalah protokol umum untuk orang dahulu untuk memasukkan satu bantalan di sebuah monumen besar yang menunjuk ke geoglyph menguraikan wilayah yang berdampingan. Seperti yang akan ditampilkan, piramida Indonesia memvalidasi wilayah kuno Amerika Selatan, Mesoamerika dan Amerika Utara, kemudian menjadi Amerika Serikat. Dalam hal ini Luxor, lokasi spiritual utama dari Mesir, yang menunjukkan dari Lalakon Pyramid Indonesia dan apa yang sekarang Inggris ditunjukkan oleh Sadahurip Pyramid Indonesia. referensi ini ke Luxor dan Inggris adalah menunjukkan wilayah di satu sisi wilayah subjek sebagai Afrika dan wilayah di sisi lain dari wilayah subjek menjadi Inggris. Hal ini sendiri dapat memberikan petunjuk mengenai usia dua piramida. Caral, Peru, yang berusia 7.000 tahun, disebut langsung sebagai penanda survei mendefinisikan Wilayah Amerika Selatan. Stonehenge, penanda saat ini untuk wilayah Celtic, Giza, penanda saat ini untuk apa yang sekarang Afrika, dan Inspiration Peak MN, penanda saat ini untuk apa yang sekarang Amerika Serikat, tidak direferensikan di sini. Piramida indonesia menunjuk ke Luxor daripada Giza, dan ujung utara Inggris bukan Stonehenge, dan pulau Newport, RI bukan Inspiration Peak. Ini akan terjadi jika Piramida Indonesia dibangun sebelum penanda wilayah sungai tersebut memiliki telah dibangun. Semua tiga dari penanda disebutkan dibangun setelah 3100 SM. Itu berarti bahwa Piramida Indonesia akan harus telah dibangun antara 7.000 SM, usia mapan Caral Peru, dan 3100 SM tanggal sebelum Stonehenge, Giza dan Inspiration Peak yang didirikan. Yang akan menempatkan usia piramida Indonesia pada usia antara 5000 dan 12.000 tahun. Ini akan menarik untuk melihat apa yang sebenarnya usia piramida akan dihitung menjadi. Meskipun informasi saat ini melarang pacaran Piramida Indonesia sebelum zaman es, konstruksi mirip dengan piramida Bosnia yang tanggal ke sebelum Zaman Es.
The reason the age of Inspiration Peak cannot be determined to be older than c3100 BC is because the oldest confirmed reference to the this marker is Stonehenge (c3100 BC), which points out Inspiration Peak as being the center point of the adjoining territory. It is a common protocol for the ancients to include one bearing in a major monument which points to the geoglyph outlining the adjoining territory. As will be shown, the Indonesian pyramids validate the ancient territories of South America, Mesoamerica and North America, later to become the United States. In this case Luxor, the main spiritual location of the Egyptians, is pointed out from the Indonesian Lalakon Pyramid and what is now England is pointed out by the Indonesian Sadahurip Pyramid. This reference to Luxor and England is pointing out the territory on one side of the subject territories as being Africa and the territory on the other side of the subject territories being England. This in itself may give a clue as to the age of the two pyramids. Caral, Peru, which is 7,000 years old, is referred to directly as the survey marker defining the South American Territory. Stonehenge, the current marker for the Celtic Territory, Giza, the current marker for what is now Africa, and Inspiration Peak MN, the current marker for what is now the United States, are not referenced here. The indonesian pyramids point to Luxor rather than Giza, and to the north tip of England instead of Stonehenge, and the island of Newport, RI instead of Inspiration Peak. This would be the case if the Indonesian Pyramids were built prior to the afore mentioned territorial markers having been built. All three of the markers mentioned were constructed after 3100 BC. That would mean that the Indonesian Pyramids would have had to have been constructed between 7,000 BC, the established age of Caral Peru, and 3100 BC a date prior to Stonehenge, Giza and Inspiration Peak being established. That would place the Indonesian pyramids age at between 5000 and 12,000 years old. It will be interesting to see what the actual age of the pyramids will be calculated to be. Although current information prohibits the dating the Indonesian Pyramids prior to the Ice Age, the construction is similar to the Bosnian Pyramids which date to before the Ice Age
Stonehenge – (c2900 BC) Menggambarkan wilayah dari pantai barat Eropa ke pantai barat yang sekarang Kanada.
Stonehenge – (c2900 BC) Depicts the territory from the west coast of Europe to the west coast of what is now Canada.
Giza Pyramid – (c2560 BC) Klaim wilayah Libya (Nama kuno untuk Afrika). Selain itu, Mesir dirujuk sepanjang sejarah geoglyphic sebagai titik fokus dari sebuah koalisi yang meliputi lima wilayah yang disebutkan sebelumnya.
Giza Pyramid – (c2560 BC) Claims the territory of Libya (The ancient name for Africa). In addition, Egypt is referenced throughout geoglyphic history as the focal point of a coalition which includes five territories mentioned previously.
Chichen Itza, Meksiko – (c600 AD) Menguraikan wilayah Mesoamerika, Karibia dan Teluk Meksiko.
Chichen Itza, Mexico – (c600 AD) Outlines the territory of Mesoamerica, the Caribbean and the Gulf of Mexico.
Beberapa wilayah lain telah dipelajari dan dikonfirmasi di bagian lain dunia, seperti Piramida China, tapi fokus utama di sini adalah wilayah gabungan dari daerah yang disorot dalam studi tentang Lalakon dan Sadahurip geoglyph.
Several other territories have been studied and confirmed in other parts of the world, such as the Pyramids of China, but the main focus here are the combined territories of the areas highlighted in the study of the Lalakon and Sadahurip geoglyphs.
INDONESIA
Peta Indonesia
Peta Indonesia
(Jawa Barat, lokasi Piramida, berwarna hijau.)
Pyramid Lalakon – Jawa Barat
(06 57’29.11 “S 107 31’15.31” E)
The Lalakon Pyramid agak terlihat suram dibandingkan dengan sebagian piramida lain di dunia. piramida telah terdegradasi dari serangan oleh angin musim yang lazim di daerah. Satu hal yang akan mengurangi keagungan adalah fakta bahwa, seperti Piramida Bosnia, piramida ini dipotong dari punggung bukit a. Ini benar-benar sangat brillient. Hal ini akan memungkinkan pembangun untuk membawa bumi yang tidak terpakai yang telah dihapus dari struktur menurun. Yang tampaknya apa yang dilakukan di sini. Di sisi timur laut dari piramida tampaknya ada jumlah yang tidak wajar bumi di lereng terus menerus turun ke lembah di bawah.
The Lalakon Pyramid is rather dismal sight in comparison with most other pyramids of the world. The pyramid has degraded from attacks by the monsoons that are prevalent in the area. One thing that detracts from its majesty is the fact that, just like the Bosnian Pyramids, this pyramid is cut out of a ridgeline. This was really quite brillient. This would allow the builder to carry the unused earth that was removed from the structure downhill. That appears to be what was done here. On the northeast side of the pyramid there appears to be an unnatural amount of earth in a continuous slope down to the valley below.
Penelitian kami menunjukkan bahwa piramida memang memiliki empat punggung tetapi bahwa mereka tidak simetris. Pengalaman menunjukkan bahwa piramida non-simetris terutama digunakan untuk menunjukkan arah bukannya dibangun sebagai monumen. Ini punggung directional digunakan untuk menguraikan suatu wilayah, menyampaikan pesan, atau untuk mengenang mana pembangun itu dari. Karena Lalakon Piramida tidak dibangun dari batu, atau ditutupi dengan menghadap batu, bumi telah aus punggung selama bertahun-tahun sampai hampir tidak dikenali sebagai piramida. Hal ini membuat lebih sulit untuk menentukan lokasi punggung dari yang untuk menentukan bantalan directional. Bantalan ini akan menunjukkan wilayah, atau poin penting, yang pembangun berniat untuk berkomunikasi.
Our research shows that the pyramid does have four ridges but that they are not symmetrical. Experience has shown that non-symmetrical pyramids are primarily used to denote direction rather than being constructed as a monument. These directional ridges are used to outline a territory, convey a message, or to memorialize where the builder was from. Since the Lalakon Pyramid was not constructed of stone, or covered with a stone facing, the earth has worn away the ridges over the years until it is barely recognizable as a pyramid. This makes it more difficult to determine the location of the ridges from which to determine the directional bearings. These bearings will indicate the territory, or important points, which the builder intending to communicate.
Dalam hal ini studi topografi dilakukan untuk menentukan titik tertinggi di piramida. Jika ada Ridgelines mereka kemudian akan menjadi terlihat. Beberapa pegunungan mungkin tidak sempurna karena erosi tapi garis aslinya dapat ditentukan. Setelah pemeriksaan dekat ditetapkan bahwa ada empat pegunungan di piramida yang selaras sepanjang bantalan dari 62, 111, 180, dan 298 Degrees. konfirmasi lain bahwa ini adalah geoglyph sah adalah kenyataan bahwa itu berisi bantalan kardinal di makeup-nya. Ini adalah protokol kuno untuk memverifikasi bahwa ini adalah geoglyph benar. Itu sekarang perlu untuk menggunakan software khusus, Google Earth, yang menghitung menggunakan benar utara untuk jarak penuh dari radial ke tempat tujuan. rute yang tidak dapat diplot pada peta datar karena ketika Anda transisi peta dari bola ke bidang datar, distorsi parah terjadi. bantalan magnetik tidak dapat digunakan karena deviasi magnetik yang terjadi ketika menggunakan judul magnetik. Hasil temuan kami ikuti.
In this case a topographical study was performed to determine the highest points on the pyramid. If there are ridgelines they will then become visible. Some ridges may not be perfect due to erosion but the original line can be determined. After close examination it was determined that there were four ridges on the pyramid which were aligned along the bearings of 62, 111, 180, and 298 Degrees. Another confirmation that this is a legitimate geoglyph is the fact that it contains a cardinal bearing in its makeup. This is the ancient protocol for verifying that this is a true geoglyph. It was now necessary to use special software, Google Earth, which computes using true north for the full distance of the radials to the intended destination. That route cannot be plotted on a flat map because when you transition a map from a sphere to a flat plane, severe distortion occurs. Magnetic bearings cannot be used due to the magnetic deviation that occurs when using magnetic headings. The results of our findings follow.
The Lalakon Pyramid Dari Atas
Utara
The North Side of the Lalakon Pyramid
Selatan
The South Side of the Lalakon Pyramid
Endpoint untuk bantalan ditampilkan dalam foto di atas.
062 Gelar Radial – Jadi Tip dari Baja
111 Gelar Radial – Kepulauan Galapagos, Timur Pasifik
180 Gelar Radial – Tip Southern Amerika Selatan
298 Gelar Radial – Luxor, Mesir (Juga disorot oleh Piramida Bosnia, yang dari jenis yang sama konstruksi.)
Keempat titik akhir yang tercantum di atas kemungkinan besar tidak berarti banyak bagi pembaca. Sebagai informasi berikut akan membuktikan, Lalakon dan Salahurip piramida, dan kemungkinan besar banyak piramida tanah lainnya di Indonesia, memiliki hubungan dengan Mesir. Endpoint radial disajikan di sini telah digunakan selama ribuan tahun, jadi ini bukan konsep baru. Persimpangan poin mengenai dua atau lebih geoglyph ini tidak biasa karena banyak titik terminasi digunakan berkali-kali selama dalam menyajikan informasi kuno ini. Hasil yang mengikuti menunjukkan penyampaian disengaja informasi yang menghubungkan Mesir Amerika dan Asia. Waktu periode di mana piramida Indonesia dibangun hanya dapat ditentukan oleh penggalian di lokasi, yang sangat merekomendasikan.
The four endpoints listed above most likely do not mean much to the reader. As the following information will attest, the Lalakon and Salahurip pyramids, and most likely the many other earthen pyramids in Indonesia, have ties to Egypt. The radial endpoints presented here have been used for millennia, so these are not new concepts. The intersection of the points concerning two or more geoglyphs is not unusual since many termination points are used many times over in presenting this ancient information. The results that follow show an intentional conveyance of information connecting Egypt the Americas and Asia. The time period in which the Indonesian pyramids were built can only be determined by an onsite excavation, which is highly recommend.
Orang mungkin bertanya; mengapa piramida Indonesia titik lainnya ke Mesir dan wilayah di Amerika? yayasan kami sebelumnya telah merilis penelitian, di berbagai bagian dari teka-teki di seluruh dunia dari wilayah kuno pada subjek. Dalam penelitian ini saya akan menyajikan versi singkat dari fenomena ini dan kemudian verifikasi informasi dalam diagram dan teks. Selama penelitian kami pola telah berkembang yang tampaknya sejalan dengan pernyataan Plato bahwa, pada awalnya, ada wilayah tertentu yang ditugaskan untuk para dewa kuno. (Untuk presentasi ini saya akan menganggap “Dewa” berarti;. Mereka yang memiliki pengetahuan lebih dari yang kita lakukan) Pernyataan-pernyataan ini dapat ditemukan dalam “Critias” yang Plato. Sebagian dari teks yang disajikan di sini:
One might ask; why do Indonesian pyramids point to Egypt and territories in the Americas? Our foundation has previously released studies, on the various parts of a worldwide puzzle of ancient territories on the subject. In this study I will present the short version of this phenomenon and then verify the information in the diagrams and text. During our research a pattern has been developing which seems to align with Plato’s statement that, in the beginning, there were certain territories that were assigned to the ancient gods. (For this presentation I will presume “Gods” to mean; those who have more knowledge than we do.) These statements can be found in the Plato’s “Critias“. A portion of that text is presented here:
… “Pada hari-hari tua para dewa telah seluruh bumi didistribusikan di antara mereka dengan penjatahan Tidak ada pertengkaran,. Untuk Anda tidak dapat benar mengira bahwa para dewa tidak tahu apa yang tepat untuk masing-masing memiliki, atau, mengetahui ini, bahwa mereka akan berusaha untuk mendapatkan untuk diri mereka sendiri dengan anggapan bahwa yang lebih baik milik orang lain. mereka, semua dari mereka dengan hanya pembagian, diperoleh apa yang mereka inginkan dan dihuni kabupaten mereka sendiri …
…“In the days of old the gods had the whole earth distributed among them by allotment. There was no quarrelling; for you cannot rightly suppose that the gods did not know what was proper for each of them to have, or, knowing this, that they would seek to procure for themselves by contention that which more properly belonged to others. They, all of them by just apportionment, obtained what they wanted and peopled their own districts…
… Sekarang dewa yang berbeda memiliki jatah mereka di tempat yang berbeda yang mereka susun dalam rangka. Hephaestus dan Athena, yang adalah kakak dan adik, dan melompat dari ayah yang sama, memiliki sifat umum, dan bersatu juga dalam cinta filsafat dan seni, baik yang diperoleh sebagai bagian umum mereka tanah ini, yang secara alami disesuaikan untuk kebijaksanaan dan kebajikan; dan di sana mereka ditanamkan anak pemberani tanah, dan dimasukkan ke dalam pikiran mereka urutan pemerintah; nama mereka yang diawetkan, tapi tindakan mereka telah menghilang dengan alasan penghancuran mereka yang menerima tradisi, dan selang usia “….
…Now different gods had their allotments in different places which they set in order. Hephaestus and Athene, who were brother and sister, and sprang from the same father, having a common nature, and being united also in the love of philosophy and art, both obtained as their common portion this land, which was naturally adapted for wisdom and virtue; and there they implanted brave children of the soil, and put into their minds the order of government; their names are preserved, but their actions have disappeared by reason of the destruction of those who received the tradition, and the lapse of ages”.…
Gizaradials
The 045 dan 135 radial tingkat di mana mereka meninggalkan piramida Giza.
The 045 dan 135 radial adalah dua radial yang berasal dari piramida Giza dan memenuhi protokol dari dahulu. Namun ada banyak geoglyph kecil di seluruh dunia yang mengarah ke Giza dan memvalidasi tujuan itu geoglyphic. Dalam salah satu penelitian kami, kami menemukan bahwa 045 dan 135 radial derajat, yang berasal dari Giza, memainkan peran penting dalam menentukan batas-batas wilayah Celtic, kemudian digambarkan oleh Stonehenge. Dalam penelitian ini kami menemukan radial yang sama digunakan dalam Lalakon Pyramid untuk menyoroti wilayah Amerika. Saya yakin bahwa ketika kita mendapatkan pengetahuan lebih radial ini akan ikut bermain lagi.
The 045 and 135 radials are the only two radials that emanate from the Giza pyramid and meet the protocols of the ancients. There are however many minor geoglyphs around the world which point to Giza and validate it’s geoglyphic purpose. In one of our studies we found that the 045 and 135 degree radials, emanating from Giza, played an important part in defining the boundaries of Celtic territories, later depicted by Stonehenge. In this study we found the same radials used in the Lalakon Pyramid to highlight the territories of the Americas. I’m sure that as we gain more knowledge these radials will come into play again.
Dimana Lalakon radial Giza dan Batas Teritorial
Amerika (Dalam tinta merah.) Bertemu
(The Giza radial pergi lebih dari setengah jalan di seluruh dunia dan datang dari sisi barat. Itulah
mengapa Mesir ke timur. Garis merah adalah batas antara tiga wilayah.)
(The Giza radials go more than half way around the world and come in from the west side. That is
why Egypt is to the east. The red lines are the boundaries between the three territories.)
THE Sadahurip PYRAMID
mtsadhurip
The Sadahurip Pyramid, Garut, Indonesia
The beberapa pegunungan di sisi dapat terlihat jelas.
(7.179926S 108.041611E)
The Sadahurip Pyramid, Garut, Indonesia
The multiple ridges on the sides can be clearly seen.
(7.179926S 108.041611E)
radial mt Sadahurip
Bantalan yang berhubungan dengan Gunung Sadahurip Pyramid
(Seperti dilihat dari atas)
Bearings associated with the Mount Sadahurip Pyramid
(As viewed from above)
Endpoint untuk bantalan ditampilkan dalam foto di atas.
Endpoints for the bearings displayed in the above photos.
008 Gelar Radial – Cape Hatteras – Timur yang paling titik di wilayah Amerika Utara, kemudian menjadi Amerika Serikat.
037 Gelar Radial – Northwest Corner of Wilayah Amerika Utara, di perbatasan antara Amerika Serikat dan Kanada.
043 Gelar Radial – Tip dari Semenanjung Yucatan, Meksiko – Lokasi Chichen Itza, titik pusat untuk wilayah Mesoamerika.
131 Gelar Radial – Pusat Kawah Meteor terkait dengan Wilayah Amerika Selatan, seperti yang didefinisikan oleh Caral, Peru Geoglyphs.
163 Gelar Radial – Caral Peru – Pusat titik Wilayah Amerika Selatan.
180 Gelar Radial – Tip Southern dari Amerika Selatan – titik Southern di Wilayah Amerika Selatan.
253 Gelar Radial – Titik Dimana Panama Bertemu Columbia (East Side), The perbatasan antara wilayah Mesoamerika dan Wilayah Amerika Selatan.
275 Gelar Radial – Titik Dimana Panama Bertemu Columbia (West Side), The perbatasan antara wilayah Mesoamerika dan Wilayah Amerika Selatan.
329 Gelar Radial – Utara Tip of Scotland – The Sadahurip piramida kemungkinan besar dibangun sebelum Stonehenge, penanda saat ini, dibangun.
360 Degree Radial – Newport Island, RI USA – Disebutkan dalam Geoglyphs setua 7000 tahun. Salah satu penanda survei utama untuk Wilayah Amerika Utara.
mtsadradials
008 Degree Radial – Cape Hatteras – Eastern most point in the North American Territory, later to be the USA.
037 Degree Radial – Northwest Corner of the North American Territory, at the boundary between the US and Canada.
043 Degree Radial – Tip of the Yucatan Peninsula, Mexico – Location of Chichen Itza, the center point for the Mesoamerican territory.
131 Degree Radial – Center of the Meteor Crater associated with the South American Territory, as defined by the Caral, Peru Geoglyphs.
163 Degree Radial – Caral Peru – Center point of the South American Territory.
180 Degree Radial – Southern Tip of South America – Southern point in the South American Territory.
253 Degree Radial – The point Where Panama Meets Columbia (East Side), The border between the Mesoamerican Territory and the South American Territory.
275 Degree Radial – The point Where Panama Meets Columbia (West Side), The border between the Mesoamerican Territory and the South American Territory.
329 Degree Radial – North Tip of Scotland – The Sadahurip pyramid was most likely built before Stonehenge, the current marker, was built.
360 Degree Radial – Newport Island, RI USA – Mentioned in Geoglyphs as old as 7000 years. One of the major survey markers for the North American Territory.
The Sadahurip Pyramid Radial Endpoint
Dalam diagram sebelumnya kelengkungan garis hilang karena mereka ditarik pada permukaan yang datar; Namun, semua lini diplotkan pada komputer, menggunakan rute lingkaran besar, sebelum mereka ditempatkan pada peta, menggunakan titik akhir. Jika Anda akan merujuk kembali ke foto sebelumnya yang menunjukkan radial yang membentuk tiga wilayah, Anda akan melihat bahwa titik survei pusat untuk semua tiga wilayah Amerika yang ditunjukkan oleh Sadahurip Pyramid. Dalam foto berikutnya radial dari kedua Lalakon dan Satahurip Piramida, dan radial derajat Giza 045 dan 135, diplot bersama-sama dalam satu diagram untuk menunjukkan bahwa mereka tidak anomali tapi hati-hati untuk menunjukkan hubungan dengan tiga wilayah dari Amerika.
In the previous diagram the curvature of the lines is missing since they were drawn on a flat surface; however, all lines were plotted on a computer, using the great circle route, before they were placed on the map, using the endpoints. If you will refer back to the previous photos showing the radials that make up the three territories, you will see that the center survey point for all three territories of the Americas is pointed out by the Sadahurip Pyramid. In the next photo the radials of both the Lalakon and Satahurip Pyramids, and the Giza 045 and 135 degree radials, are plotted together in one diagram to demonstrate that they are not an anomaly but were carefully crafted to point out a relationship with the three territories of the Americas.
Tiga wilayah kuno digambarkan pada foto sebelumnya adalah:
Sebuah Wilayah Amerika Utara Kuno yang akhirnya akan menjadi Amerika Serikat. Daerah dijelaskan didefinisikan oleh panah kecil pada titik laut atas di dunia, garis menunjuk ke titik paling timur di Amerika Serikat dan redline berjalan di selatan Florida ke Semenanjung Baja. Wilayah Amerika Utara asli berlari dari khatulistiwa ke Kutub Utara.
The three ancient territories depicted on the previous photo are:
An Ancient North American Territory that would eventually become the USA. The area is explained is defined by the small arrow at the upper northwest point on the globe, the line pointing to the eastern most point in the USA and the redline running just south of Florida to the Baja Peninsula. The original North American Territory ran from the equator to the North Pole.
javacombined
The Lalakon dan Sadahurip Pyramid radial Gabungan.
KESIMPULAN
Data yang dikumpulkan menunjukkan pola global yang pasti dan penguasaan canggih geometri. Interaksi dan tampilan koneksi di seluruh dunia antara wilayah meninggalkan keraguan bahwa budaya kuno meninggalkan spidol, sengaja atau tidak sengaja, untuk generasi berikutnya untuk menemukan. geoglyph kecil di seluruh dunia, ditemukan pada penelitian sebelumnya tetapi tidak disebutkan di sini, dukungan dan memvalidasi perkembangan terus menerus dari protokol yang digunakan di sini sebagai memiliki yang diturunkan, dari generasi ke generasi, selama ribuan tahun. Informasi ini diverifikasi dan berulang oleh siapapun yang memiliki komputer dan keinginan untuk memvalidasi informasi. Dalam nama ilmu pengetahuan dan umat manusia informasi ini harus menerima studi lebih lanjut.
CONCLUSIONS
The data that were gathered show a definite global pattern and a sophisticated mastery of geometry. The interaction and display of a worldwide connection between territories leaves no doubt that an ancient culture left markers, intentionally or unintentionally, for later generations to discover. Smaller geoglyphs around the world, discovered in previous studies but not mentioned here, support and validate a continuous progression of the protocols used here as having being passed down, from generation to generation, for millennia. This information is verifiable and repeatable by anyone with a computer and the desire to validate the information. In the name of science and mankind this information should receive further study.
Sources:
The History of Java – John Murrey Publishing, London – 1830
David Pratt, Aug 2011- http://www.davidpratt.info/americas1.htm
Turangga Seta expeditions conducting mapping of reliefs in Candi (Temple of) Penataran (Blitar, East Java) from 2007 to 2009
Wikipedia (Using the appropriate keyword under the Creative Commons License.)
Google (Using the appropriate keyword.)
Google Earth (Using the ruler function.)
The Faram Foundation Archives (afaram@thefaramfoundation.com)
Suggested keywords: geoglyphs, spherical geometry, lalakon pyramid, satahurip pyramid, indonesia, west java, yonaguni pyramid, kensington runestone, newport tower, stonehenge, caral peru, giza pyramid, nabta playa, chichin itza, west java history, inspiration peak, topography, platos critias, turangga seta expeditions, ancient signposts, indonesian history, history of egypt, luxor egypt, treaty of hidalgo .
sumber:
The History of Java – John Murrey Publishing, London – 1830
David Pratt, Agustus 2011- http://www.davidpratt.info/americas1.htm
ekspedisi Turangga Seta melakukan pemetaan relief di Candi (Temple of) Penataran (Blitar, Jawa Timur) 2007-2009
Wikipedia (Menggunakan kata kunci yang tepat di bawah Lisensi Creative Commons.)
Google (Menggunakan kata kunci yang sesuai.)
Google Earth (Menggunakan fungsi penguasa.)
The Faram Yayasan Archives (afaram@thefaramfoundation.com)
kata kunci yang disarankan: geoglyph, geometri bola, piramida Lalakon, satahurip piramida, Indonesia, Jawa Barat, piramida Yonaguni, kensington Runestone, newport tower, stonehenge, Caral Peru, piramida giza, Nabta playa, itza Chichin, sejarah jawa barat, puncak inspirasi, topografi , platos Critias, Turangga ekspedisi seta, rambu-rambu kuno, sejarah indonesia, sejarah Mesir, luxor Mesir, perjanjian hidalgo.
Wahyu ilmu kuno yang telah menandai wilayah budaya kuno selama lebih dari 10.000 tahun.
Lebih dari 150 grafik dan foto untuk mengilustrasikan poin yang dibuat dalam buku.
The revelation of an ancient science that has marked the territories of ancient cultures for over 10,000 years.
Over 150 graphs and photos to illustrate the points made in the book.
Untuk memesan dari Amazon.com, atau untuk meninjau isi buku, klik di bawah ini.
To order from Amazon.com, or to review the contents of the book, click below.
Click here for Amazon.com in the US
Click here for Amazon.com in the UK
Klik di sini untuk Amazon.com di AS
Klik di sini untuk Amazon.com di Inggris
Untuk jadwal presentasi di fungsi Anda – silahkan klik di sini.
tumblr pengunjung
© 2015 Faram Yayasan
The Original Text
The Sadahurip Pyramid, Garut, Indonesia- West Java, Indonesia
http://www.thefaramfoundation.com/indonesianpyramids.htm
West Java has passed down, through their folklore, that the Egyptians once visited their island. They even have a stone carving that supposedly depicts an Egyptian bowing down to an Indonesian. The early presumption of a Pyramid existence in this country began with a series of Turangga Seta expeditions conducting mapping of reliefs in Candi (Temple of) Penataran (Blitar, East Java) from 2007 to 2009. The colonization of Indonesia by the ancient Egyptians is fully documented by Sir Thomas Stamford Raffles in his volume, The History of Java – John Murrey Publishing, London – 1830. Tomb paintings and writings show that the Egyptians were trading down the Red Sea and into the Indian Ocean before 2000 BC. They made regular excursions to Lebanon before 2500 BC for cedar. During the reign of female pharaoh Hatshepsut (1503-1482 BC), ships 90 to 100 feet long were sailing to and from the Land of Punt… David Pratt, Aug 2011- http://www.davidpratt.info/americas1.htm .
Geoglyphology
This paper details the results of a geoglyphical study of the newly discovered Lalakon and Satahurip Pyramids in West Java, Indonesia. The origin of these structures will be studied using spherical geometry to follow the bearings created by the ridge detail designed into the pyramid. The practice of using the geometry of ancient structures to release hidden details of their purpose is not a new practice. This practice has been handed down through generations since before the building of the Egyptian pyramids. I call the re-discovery and application of this ancient practice Geoglyphology.
One function of Geoglyphology, as it relates to Archeology, is to expand both the search area and the knowledge base available to the Archaeologist. Until now the majority of the information available to the Archaeologist is gleaned from the information recovered at the dig site. In recent years it has been discovered that a great majority of the ancient architectural, monolithic and geoglyphic structures built around the world have something in common. That commonality is that the structures were aligned in such a manner that the study of their linier alignment unveils a much larger story and immensely expands the data available to the archeologist and the related disciplines.
Data recovered from sites that included Geoglyphology in their study included; Obtaining the geographical range of the culture being studied, the level of sophistication that existed in relation to their understanding of mathematics and geometry, their knowledge of world geography, the discovery of other archeological sites that were unknown prior to the studies, and the dating of the culture itself from the data collected at related offsite locations, identified by the alignments at the dig site. The success of these studies shows that Geoglyphology can play a major role in expanding the knowledge base available to the Archeologist. More information on Geoglyphology can be found at http://www.thefaramfoundation.com .
Note: The calculations performed during the writing of this paper required the use of software called “Google Earth”. Google’s software is able to calculate true spherical bearings on the curved surface of the earth and then display them correctly on a flat plane. The endpoints of all radials were determined using the Google Earth software prior to being presented here as straight lines. Therefore, the curvature of the earth that would normally exist in the lines is absent.
Our research has shown that some type of worldwide territorial apportionment took place long before the Egyptian pyramids were built. It appears that civilizations that existed prior to the Egyptians were also building monuments and pyramids to outline these ancient territories for posterity. A few examples of geoglyphs that have been discovered, which outline ancient territories, are:
Bosnian Pyramids – (26,400 BC) These pyramids originally outlined what is now known as Europe and Africa and Canada. This was later amended by pyramids being constructed near the original Bosnian Pyramid of the Sun which reduced the described territory to include only Europe. The Celts were later driven, by other civilizations, west into Western Europe and Denmark. The Bosnian Pyramid is the oldest and largest pyramid discovered thus far. The boundaries that were originally outlined by the pyramids and structures in ancient times have been broken up into smaller and smaller territories, countries and states as time has passed.
Yonaguni Pyramid – (c10,000 BC) This pyramid outlines the same territory which Japan was attempting to re-establish in the Second World War.
Lalakon Pyramid – (Not yet dated by an onsite study.) The construction of this pyramid is very similar to the unusual construction used in the Bosnian pyramids.
Caral, Peru – (c10,000 BC) Outlines the territory known as South America.
Gulfo de Cintra Geoglyph – (Built before 7000 BC) The Gulfo de Cintra geoglyph was the territorial marker prior to the Giza Pyramid being built. The age of the geoglyph is confirmed by the fact that the Nabta Playa geoglyph in Southern Egypt, which has been dated as being 7000 years old, points to the Gulfo de Cintra geoglyph. The Gulfo de Cintra Geoglyph points back to Nabta Playa.
Inspiration Peak, Minnesota USA – Older than 3100 BC, as determined by its location being identified by one of the radials of Stonehenge. Inspiration Peak originally depicted a territory covering the entirety of North America and Mesoamerica. This too was divided up through historic battles and treaties.border.
The reason the age of Inspiration Peak cannot be determined to be older than c3100 BC is because the oldest confirmed reference to the this marker is Stonehenge (c3100 BC), which points out Inspiration Peak as being the center point of the adjoining territory. It is a common protocol for the ancients to include one bearing in a major monument which points to the geoglyph outlining the adjoining territory. As will be shown, the Indonesian pyramids validate the ancient territories of South America, Mesoamerica and North America, later to become the United States. In this case Luxor, the main spiritual location of the Egyptians, is pointed out from the Indonesian Lalakon Pyramid and what is now England is pointed out by the Indonesian Sadahurip Pyramid. This reference to Luxor and England is pointing out the territory on one side of the subject territories as being Africa and the territory on the other side of the subject territories being England. This in itself may give a clue as to the age of the two pyramids. Caral, Peru, which is 7,000 years old, is referred to directly as the survey marker defining the South American Territory. Stonehenge, the current marker for the Celtic Territory, Giza, the current marker for what is now Africa, and Inspiration Peak MN, the current marker for what is now the United States, are not referenced here. The indonesian pyramids point to Luxor rather than Giza, and to the north tip of England instead of Stonehenge, and the island of Newport, RI instead of Inspiration Peak. This would be the case if the Indonesian Pyramids were built prior to the afore mentioned territorial markers having been built. All three of the markers mentioned were constructed after 3100 BC. That would mean that the Indonesian Pyramids would have had to have been constructed between 7,000 BC, the established age of Caral Peru, and 3100 BC a date prior to Stonehenge, Giza and Inspiration Peak being established. That would place the Indonesian pyramids age at between 5000 and 12,000 years old. It will be interesting to see what the actual age of the pyramids will be calculated to be. Although current information prohibits the dating the Indonesian Pyramids prior to the Ice Age, the construction is similar to the Bosnian Pyramids which date to before the Ice Age.
Stonehenge – (c2900 BC) Depicts the territory from the west coast of Europe to the west coast of what is now Canada.
Giza Pyramid – (c2560 BC) Claims the territory of Libya (The ancient name for Africa). In addition, Egypt is referenced throughout geoglyphic history as the focal point of a coalition which includes five territories mentioned previously.
Chichen Itza, Mexico – (c600 AD) Outlines the territory of Mesoamerica, the Caribbean and the Gulf of Mexico.
Several other territories have been studied and confirmed in other parts of the world, such as the Pyramids of China, but the main focus here are the combined territories of the areas highlighted in the study of the Lalakon and Sadahurip geoglyphs.
INDONESIA
Map of Indonesia
(West Java, the location of the Pyramids, is in green.)
THE LALAKON PYRAMID
The Lalakon Pyramid – West Java
(06 57’29.11″S 107 31’15.31″E)
The Lalakon Pyramid is rather dismal sight in comparison with most other pyramids of the world. The pyramid has degraded from attacks by the monsoons that are prevalent in the area. One thing that detracts from its majesty is the fact that, just like the Bosnian Pyramids, this pyramid is cut out of a ridgeline. This was really quite brillient. This would allow the builder to carry the unused earth that was removed from the structure downhill. That appears to be what was done here. On the northeast side of the pyramid there appears to be an unnatural amount of earth in a continuous slope down to the valley below.
Our research shows that the pyramid does have four ridges but that they are not symmetrical. Experience has shown that non-symmetrical pyramids are primarily used to denote direction rather than being constructed as a monument. These directional ridges are used to outline a territory, convey a message, or to memorialize where the builder was from. Since the Lalakon Pyramid was not constructed of stone, or covered with a stone facing, the earth has worn away the ridges over the years until it is barely recognizable as a pyramid. This makes it more difficult to determine the location of the ridges from which to determine the directional bearings. These bearings will indicate the territory, or important points, which the builder intending to communicate.
In this case a topographical study was performed to determine the highest points on the pyramid. If there are ridgelines they will then become visible. Some ridges may not be perfect due to erosion but the original line can be determined. After close examination it was determined that there were four ridges on the pyramid which were aligned along the bearings of 62, 111, 180, and 298 Degrees. Another confirmation that this is a legitimate geoglyph is the fact that it contains a cardinal bearing in its makeup. This is the ancient protocol for verifying that this is a true geoglyph. It was now necessary to use special software, Google Earth, which computes using true north for the full distance of the radials to the intended destination. That route cannot be plotted on a flat map because when you transition a map from a sphere to a flat plane, severe distortion occurs. Magnetic bearings cannot be used due to the magnetic deviation that occurs when using magnetic headings. The results of our findings follow.
The Lalakon Pyramid From Above
The North Side of the Lalakon Pyramid
The South Side of the Lalakon Pyramid
Endpoints for the bearings displayed in the above photos.
062 Degree Radial – So Tip of Baja
111 Degree Radial – Galapagos Islands, Eastern Pacific
180 Degree Radial – Southern Tip of South America
298 Degree Radial – Luxor, Egypt (Also highlighted by the Bosnian Pyramids, which are of the same type of construction.)
The four endpoints listed above most likely do not mean much to the reader. As the following information will attest, the Lalakon and Salahurip pyramids, and most likely the many other earthen pyramids in Indonesia, have ties to Egypt. The radial endpoints presented here have been used for millennia, so these are not new concepts. The intersection of the points concerning two or more geoglyphs is not unusual since many termination points are used many times over in presenting this ancient information. The results that follow show an intentional conveyance of information connecting Egypt the Americas and Asia. The time period in which the Indonesian pyramids were built can only be determined by an onsite excavation, which is highly recommend.
One might ask; why do Indonesian pyramids point to Egypt and territories in the Americas? Our foundation has previously released studies, on the various parts of a worldwide puzzle of ancient territories on the subject. In this study I will present the short version of this phenomenon and then verify the information in the diagrams and text. During our research a pattern has been developing which seems to align with Plato’s statement that, in the beginning, there were certain territories that were assigned to the ancient gods. (For this presentation I will presume “Gods” to mean; those who have more knowledge than we do.) These statements can be found in the Plato’s “Critias“. A portion of that text is presented here:
…“In the days of old the gods had the whole earth distributed among them by allotment. There was no quarrelling; for you cannot rightly suppose that the gods did not know what was proper for each of them to have, or, knowing this, that they would seek to procure for themselves by contention that which more properly belonged to others. They, all of them by just apportionment, obtained what they wanted and peopled their own districts…
…Now different gods had their allotments in different places which they set in order. Hephaestus and Athene, who were brother and sister, and sprang from the same father, having a common nature, and being united also in the love of philosophy and art, both obtained as their common portion this land, which was naturally adapted for wisdom and virtue; and there they implanted brave children of the soil, and put into their minds the order of government; their names are preserved, but their actions have disappeared by reason of the destruction of those who received the tradition, and the lapse of ages”.…
The 045 and 135 degree radials where they leave the Giza pyramid.
The 045 and 135 radials are the only two radials that emanate from the Giza pyramid and meet the protocols of the ancients. There are however many minor geoglyphs around the world which point to Giza and validate it’s geoglyphic purpose. In one of our studies we found that the 045 and 135 degree radials, emanating from Giza, played an important part in defining the boundaries of Celtic territories, later depicted by Stonehenge. In this study we found the same radials used in the Lalakon Pyramid to highlight the territories of the Americas. I’m sure that as we gain more knowledge these radials will come into play again.
Where the Lalakon the Giza Radials and the Territorial Boundaries
of the Americas (In red ink.) Meet
(The Giza radials go more than half way around the world and come in from the west side. That is
why Egypt is to the east. The red lines are the boundaries between the three territories.)
THE SADAHURIP PYRAMID
The Sadahurip Pyramid, Garut, Indonesia
The multiple ridges on the sides can be clearly seen.
(7.179926S 108.041611E)
Bearings associated with the Mount Sadahurip Pyramid
(As viewed from above)
Endpoints for the bearings displayed in the above photos.
008 Degree Radial – Cape Hatteras – Eastern most point in the North American Territory, later to be the USA.
037 Degree Radial – Northwest Corner of the North American Territory, at the boundary between the US and Canada.
043 Degree Radial – Tip of the Yucatan Peninsula, Mexico – Location of Chichen Itza, the center point for the Mesoamerican territory.
131 Degree Radial – Center of the Meteor Crater associated with the South American Territory, as defined by the Caral, Peru Geoglyphs.
163 Degree Radial – Caral Peru – Center point of the South American Territory.
180 Degree Radial – Southern Tip of South America – Southern point in the South American Territory.
253 Degree Radial – The point Where Panama Meets Columbia (East Side), The border between the Mesoamerican Territory and the South American Territory.
275 Degree Radial – The point Where Panama Meets Columbia (West Side), The border between the Mesoamerican Territory and the South American Territory.
329 Degree Radial – North Tip of Scotland – The Sadahurip pyramid was most likely built before Stonehenge, the current marker, was built.
360 Degree Radial – Newport Island, RI USA – Mentioned in Geoglyphs as old as 7000 years. One of the major survey markers for the North American Territory.
The Sadahurip Pyramid Radial Endpoints
In the previous diagram the curvature of the lines is missing since they were drawn on a flat surface; however, all lines were plotted on a computer, using the great circle route, before they were placed on the map, using the endpoints. If you will refer back to the previous photos showing the radials that make up the three territories, you will see that the center survey point for all three territories of the Americas is pointed out by the Sadahurip Pyramid. In the next photo the radials of both the Lalakon and Satahurip Pyramids, and the Giza 045 and 135 degree radials, are plotted together in one diagram to demonstrate that they are not an anomaly but were carefully crafted to point out a relationship with the three territories of the Americas.
The three ancient territories depicted on the previous photo are:
An Ancient North American Territory that would eventually become the USA. The area is explained is defined by the small arrow at the upper northwest point on the globe, the line pointing to the eastern most point in the USA and the redline running just south of Florida to the Baja Peninsula. The original North American Territory ran from the equator to the North Pole.
The Lalakon and Sadahurip Pyramid Radials Combined.
CONCLUSIONS
The data that were gathered show a definite global pattern and a sophisticated mastery of geometry. The interaction and display of a worldwide connection between territories leaves no doubt that an ancient culture left markers, intentionally or unintentionally, for later generations to discover. Smaller geoglyphs around the world, discovered in previous studies but not mentioned here, support and validate a continuous progression of the protocols used here as having being passed down, from generation to generation, for millennia. This information is verifiable and repeatable by anyone with a computer and the desire to validate the information. In the name of science and mankind this information should receive further study.
Sources:
The History of Java – John Murrey Publishing, London – 1830
David Pratt, Aug 2011- http://www.davidpratt.info/americas1.htm
Turangga Seta expeditions conducting mapping of reliefs in Candi (Temple of) Penataran (Blitar, East Java) from 2007 to 2009
Wikipedia (Using the appropriate keyword under the Creative Commons License.)
Google (Using the appropriate keyword.)
Google Earth (Using the ruler function.)
The Faram Foundation Archives (afaram@thefaramfoundation.com)
Suggested keywords: geoglyphs, spherical geometry, lalakon pyramid, satahurip pyramid, indonesia, west java, yonaguni pyramid, kensington runestone, newport tower, stonehenge, caral peru, giza pyramid, nabta playa, chichin itza, west java history, inspiration peak, topography, platos critias, turangga seta expeditions, ancient signposts, indonesian history, history of egypt, luxor egypt, treaty of hidalgo .
The revelation of an ancient science that has marked the territories of ancient cultures for over 10,000 years.
Over 150 graphs and photos to illustrate the points made in the book.
To order from Amazon.com, or to review the contents of the book, click below.
Click here for Amazon.com in the US
Click here for Amazon.com in the UK
To schedule a presentation at your function – please click here.
© 2015 The Faram Foundation
Terjemahan (sedang dalam Proses Editing) oleh Ahmad Y. Samantho
14 November 2015
Ringkasan
Tanah Punt adalah mitra dagang Mesir, ia dikenal memproduksi dan mengekspor emas, dupa, resin aromatik, kayu manis, kayu eboni, gading dan binatang. Daerah ini diketahui dari catatan Mesir kuno tentang ekspedisi perdagangan untuk itu. Orang Mesir secara berlanjut punya hubungan perdagangan dengan Puntites (bangsa Punt), seperti yang tercatat dalam sejarah mereka dari 4 ke Dinasti ke-26. (27 – abad ke-6 SM) ekspedisi Mesir yang paling terkenal ke Punt, dan satu dari mereka yang kita memperoleh sebagian besar informasinya adalah salah satunya dari dinasti ke-18: Ratu Hatshepsut (1473-1458 SM) dan dicatat dalam relief yang baik sekali rinci di dinding kuil kamar mayatnya di Deir El-Bahari, Mesir.
Lokasi yang tepat dari Tanah Punt tidak diketahui, dan selama bertahun-tahun itu telah dikutip sebagai bagian dari Saudi, Tanduk Afrika, kini Somalia, Sudan atau Eritrea. Perdebatan berlangsung di mana letak negeri Punt, para sarjana dan sejarawan pada setiap sisi menawarkan dukungan yang masuk akal untuk klaim mereka.
Setelah mengumpulkan kelimpahan bukti antara lain seperti yang tercantum di bawah ini, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di Sumatera, Indonesia.
Voyages through ocean | Trades with SE Asia | In tropical region in the East |
Maritime trade in SE Asia | Native houses | Betel palm trees |
Styrax trees and benzoin resin | Ebony trees | Cinnamon |
Camphor | Balsam | Nutmeg oil |
Short-horned cows | Ponies | Pig-tailed macaques |
One-horned rhinoceros | Dogs | Clouded leopards |
Ivory | Monkeys | Turtles and tortoises |
Fishes and sea creatures | Precious metal | People characteristics |
Gestures of people | Chief and his wife names | Petticoat |
Headbands | Necklaces | Bracelets and anklets |
Bracing rings | Weapons (machetes) | Mourn hats |
Naga people | Letters/alphabets | Languages |
Myths and legends |
Introduction
Egyptian Expeditions to the Land of Punt
Queen Hatshepsut Expedition
– The Temple of Deir el-Bahari
– Archaeological Discoveries
– Wall-sculptures on Middle Colonnade
Existing Location Hypotheses of Punt
Sumatera Hypothesis of Punt
– Sumatera Island
– Enggano Island
– Supporting Evidence
– Location Hypothesis
Land of Punt and its relation with Atlantis
References
Tanah Punt, juga disebut Pwenet or Pwene ( ) oleh orang Mesir kuno, adalah mitra dagang Mesir, ia dikenal telah memproduksi dan mengekspor emas, dupa, resin aromatik, ebony, gading, kulit kura-kura dan hewan liar. Daerah ini diketahui dari catatan Mesir kuno tentang ekspedisi perdagangan itu. Beberapa sarjana ahli Alkitab telah mengidentifikasi dengan tanah Alkitab Put.
Penyebutan yang jelas pertama kata Punt berasal dari Kerajaan Lama. Seperti yang disebut prasasti Batu Palermo yang memberitahu kita, pada masa pemerintahan Raja Sahure sekitar 2500 SM, ada sebuah ekspedisi Punt yang kembali dengan 80.000 ukuran ‘ntyw (ånti) komoditi, yang para sarjana percaya itu adalah kemenyan yang berasal dari pohon dengan nama yang sama. Kemenyan adalah resin yang digunakan untuk membuat dupa, yang orang Mesir mendambakannya untuk ritual di kuil;. kemenyan itu komoditas yang paling berharga dari Punt. Ekspedisi Sahure juga membawa kembali 23.030 pengusung – kayu yang menjadi berharga mahal di negara gurun seperti Mesir dan 6.000 ukuran elektrum, sebuah paduan logam (alloy) alami dari emas dan perak, di antara Fragmen item lainnya dari dekorasi kuil kamar mayat ini raja di Abusir diinterpretasikan sebagai representasi penduduk Punt.
Orang Mesir menyebut Tanah Punt Ta netjer. Secara harfiah diterjemahkan, ini berarti Tanah Dewata. Sejak Ra, dewa matahari, diberikankan tempat yang sangat penting dalam jajaran (Pantheon) Mesir, sejarawan percaya bahwa Punt disebut sebagai Abode dari para dewa karena lokasinya di sebelah timur Mesir, ke arah matahari terbit. Nama itu bisa juga merujuk pada kayu unggul diimpor dari Punt, yang pergi ke bangunan candi Mesir dan kemenyan dan dupa aromatik lainnya yang dibawa dari Punt yang digunakan secara luas dalam ritual keagamaan orang Mesir kuno.
Literatur yang lebih tua dan sastra non-mainstream saat ini) menyatakan bahwa label “Tanah Tuhan Allah”, ketika ditafsirkan sebagai “tanah suci” atau “tanah para dewa / leluhur” atau “tanah suci”, berarti bahwa orang Mesir kuno melihat Tanah Punt sebagai tanah air leluhur mereka. WM Flinders Petrie percaya bahwa Ras Dynastic datang dari atau melalui Punt dan EA Wallis Budge menyatakan bahwa tradisi dari Periode Dinasti Mesir diadakan dari rumah asli orang Mesir itu adalah Punt.
Lokasi yang tepat dari Tanah Punt tidak diketahui, dan selama bertahun-tahun itu telah disebut sebagai bagian dari Saudi, Tanduk Afrika, kini Somalia, Sudan atau Eritrea. Perdebatan berlangsung ke mana Punt terletak, dengan para sarjana dan sejarawan pada setiap sisi menawarkan dukungan yang masuk akal untuk klaim mereka.
Sebuah relief dari Dinasti ke-4 menunjukkan bangsa Punt dengan salah satu putra Firaun Khufu, dan Dokumen Dinasti ke-5 menunjukkan Perdagangan reguler di antara kedua negeri ini, Di antara banyak harta yang dibawa ke Mesir dari Punt adalah emas, kayu hitam (ebony), hewan liar, kulit binatang, gading, cangkang kura-kura, rempah-rempah, hutan yang berharga, kosmetik, kemenyan dan pohon kemenyan. Akar pohon kemeyan/dupa dibawa kembali dari Punt oleh ekspedisi Ratu Hatshepsut tahun 1493 SM, ini masih bisa dilihat di luar kompleks kuilnya di Deir al-Bahari.
Pada Dinasti ke-12, Punt diabadikan dalam literatur Mesir di Kisah yang sangat populer Pelaut yang terdampar di mana seorang pelaut Mesir berbicara dengan ular besar yang menyebut dirinya sebagai “Lord of Punt” dan mengirimkan pelaut itu kembali ke Mesir sarat dengan emas, rempah-rempah dan hewan yang berharga. Mungkin karena kisah inilah maka Punt menjadi lebih dikenal sebagai tanah semi-mitos buat bangsa Mesir dan, setelah Hatshepsut melakukan pelayaran di sana, tidak ada lagi yang ditulis tentang hal itu dengan cara faktual.
Punt datang untuk menmberikan daya tarik aneh untuk rakyat Mesir sebagai “tanah yang kaya” dan dikenal sebagai Te Netjer, tanah Dewata dari mana semua hal baik datang ke Mesir. Punt juga dikaitkan dengan Leluhur Mesir dari mana mereka itu datang, Punt dilihat sebagai tanah air kuno mereka dan, selanjutnya, tanah di mana para dewa tinggal. Persis mengapa Punt diangkat dari realitas ke mitologi tidak diketahui tetapi, setelah Dinasti ke-18, tanah itu semakin lebih surut dalam benak /ingatan orang Mesir sampai hilang dalam legenda dan cerita rakyat.
Bukti yang paling kuat tentang tanah Punt berasal dari sebuah kuil yang didedikasikan untuk firaun perempuan Hatshepsut, Dinasti Mesir ke-18 , yang memerintah selama lebih dari 20 tahun sekitar tahun 1465 SM. Sebuah ukiran relief besar tentang misi perdagangan ke Punt adalah fitur pada dinding candi, dikenal karena ekspedisi terkenal Ratu Hatshepsut di 1493 BC, yang membawa kembali pohon hidup ke Mesir, menandai upaya pertama yang berhasil diketahui pada saat fauna tanaman asing. Kita bahkan tahu nama-nama penguasa Punt selama masa pemerintahan Hatshepsut, yaitu: Parehu dan istrinya Ati. Relief di dinding candi di sana menunjukkan kepala/ Pimpinan bangsa Punt dan istrinya yang menerima utusan dari Mesir. Dari deskripsi yang selamat, tanah Punt adalah negara yang damai dan makmur yang tampaknya memiliki berbagai macam barang yang sangat dihargai untuk komoditi perdagangan.
Catatan yang paling awal tentang ekspedisi Mesir ke Punt dibuat oleh Firaun Sahure dari Dinasti Kelima (abad 25 SM). Namun, emas dari Punt dicatat sebagai telah ada di Mesir sejak saat Firaun Khufu dari Dinasti Keempat.
Selanjutnya, ada lebih banyak ekspedisi ke Punt pada dinasti Mesir keenam, kesebelas, keduabelas dan kedelapan belas. Dalam dinasti keduabelas, perdagangan dengan Punt dirayakan dalam sastra populer di dalam Kisah Pelaut yang yang terdampar (karena kapalnya karam)
Di masa pemerintahan Mentuhotep III (dinasti ke-11, ca 2000 SM), seorang pejabat kerajaan bernama Hannu menyelenggarakan satu atau lebih pelayaran ke Punt, tapi tidak pasti apakah ia secara pribadi pergi dalam ekspedisi ini. Misi Perdagangan firaun dinasti ke-12 Senusret I, Amenemhat III dan Amenemhat IV juga telah berhasil berlayar dalam perjalanan ke dan dari tanah misterius Punt tersebut.
Dalam Dinasti XVIII Mesir, Hatshepsut membangun armada Laut Merah untuk memfasilitasi perdagangan antara kepala Teluk Aqaba dan titik selatan sejauh Punt untuk membawa barang-barang keperluan mayat ke Karnak dalam pertukaran dengan emas Nubia. Hatshepsut secara pribadi membuat ekspedisi kuno Mesir yang paling terkenal yang berlayar ke Punt. Selama pemerintahan Ratu Hatshepsut di abad ke-15 SM, kapalnya secara teratur menyeberangi Laut Merah untuk mendapatkan aspal, tembaga, ukiran jimat, naptha dan barang lainnya yang diangkut di darat dan turun ke laut mati ke Eilat di kepala Teluk Aqaba di mana mereka bergabung dengan kemenyan dan dupa yang datang ke utara baik melalui laut dan darat di sepanjang rute perdagangan melalui pegunungan berjajar di sepanjang utara pantai timur laut Merah.
Dinasti penerus Hatshepsut ke-18, seperti Thutmose III dan Amenhotep III juga melanjutkan tradisi perdagangan Mesir dengan Punt. Perdagangan dengan Punt berlanjut ke awal dinasti ke-20 sebelum sebelum masa akhir yang mengakhiri Kerajaan Baru Mesir. Dari sini, kontak perdagangan tampaknya telah tidak ada lagi, tetapi dengan satu pengecualian, referensi ke Punt membayangkan hal itu sebagai negeri dongeng dan magis. pengecualian adalah referensi ke Gunung Punt yang terjadi sebagai sebuah prasasti pada stela rusak yang ditemukan di Tel Defenneh yang bertanggal waktu kembali ke Dinasti ke-26. Ini juga menyatakan mukjizat dan berkat bahwa ada hujan di atas Gunung Punt pada akhir Desember / Januari awal.
Ratu Hatshepsut adalah putri Thothmes ke-1, Firaun ketiga dari Dinasti XVIII, dan istrinya, Ratu Ahmes Nefertari. Dia mewarisi hak berdaulat/berkuasa dalam kebajikan keturunan ibunya dari baris kedua belas Dinasti tua.
Kisah ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt dicatat untuk anak cucunya dalam seni Mesir di dinding candi peringatannya di Deir el-Bahari (bahasa Arab untuk “The Monastery/Biara bagian Utara”), sebuah kompleks candi kamar mayat dan kuburan yang terletak di barat tepi sungai Nil. Hal ini dipisahkan dari Lembah para Raja dengan puncak el-Qurn (bahasa Arab untuk “The Horn”/Tanduk yang dikenal oleh orang Mesir sebagai “Dehent”) dan terletak tepat di seberang air dari kompleks candi di Karnak dan Luxor di Thebes. Gunung ini membentuk piramida alami yang menjulang di lembah para raja dan Deir el-Bahari, dan disucikan untuk Hathor dan Meretseger.
The Temple at Deir el-Bahari
Gambar 1. Kuil Deir El-Bahari
Yang Pertama meninggalkan deskripsi tentang biara Koptik yang ditinggalkan yang pernah berdiri di atas reruntuhan kuil Hatshepsut adalah penjelajah Inggris terkenal Richard Pococke yang berhenti di sini pada tahun 1737. Jean-François Champollion menyalin teks dari portal granit candi dan dinding Main Sanctuary Amon-Ra. John Gardner Wilkinson memperkenalkan nama Deir el-Bahari (“Biara Utara”) dalam literatur dunia pada tahun 1835. Richard Lepsius mengikutinya dengan identifikasi reruntuhan sebagai kuil Hatshepsut.
Penggalian rutin dimulai oleh arkeolog Perancis Auguste Mariette (1821-1881)., Pendiri Layangan Investigasi Antiquities. Penyelidikan kompleks Arkeologi Mesir Deir el-Bahari dimulai pada tahun 1881, setelah benda milik firaun yang hilang mulai muncul di pasar barang antik Perancis arkeolog Gaston Maspero (1846 – 1916), direktur Dinas Purbakala Mesir pada saat itu, pergi ke Luxor pada 1881 dan mulai menerapkan tekanan untuk keluarga Abdou El-Rasoul, warga Gurnah yang telah merampok makam dari generasi ke generasi .
Lembaga pertama yang berjasa besar untuk studi Egyptological adalah Dana Misi Eksplorasi Mesir (EEF) yang dipimpin oleh arkeolog Perancis Edouard Naville .. (1844-1926) Penggalian di kuil dimulai pada 1890-an Antara tahun 1893 dan 1899 itu berhasil membersihkan teras atas dan sebagian besar halaman yang terkubur, kapel dan tiang-tiang. Atap dipasang selama Portico dari Obelisk dan portico dari Teras Tengah. Dinding Utama Sanctuary Amon-Ra diperkuat dan perlindungan sementara dilakukan dari Altar Matahari, kompleks Royal Cult, Hathor Chapel dan Hilir Utara Portico. Pada tahun 1911, Naville diserahi konsesi Deir el-Bahari (yang memungkinkan dia memiliki hak tunggal menekskavasi) dan Herbert Winlock yang legendaris memulai apa yang akan menjadi 25 tahun penggalian. Dan restorasi Winlock tiba di Deir el-Bahari mengepalai misi dari Metropolitan Museum of Art yang tinggal di sana selama dua puluh tahun ke depan (1911 – 1931), menembus teras dan dua landai candi yang tidak tertutup.
Ketika Leszek Dabrowski datang dengan kelompoknya spesialis dari Warsawa University Centre of Mediterranean Archaeology (PCMA), mereka menemukan baris demi baris blok berhiasan yang diatur oleh pendahulu terkenal mereka, Menunggu untuk direstorasi dikembalikan ke posisi semula di dinding, kolom dan architraves dari candi. Orang Polandia diundang untuk mengambil alih proyek Organisasi Antiquities Mesir. Kazimierz Michalowski tetap di kepala misi dari awal pendiriannya pada Musim gugur 1961sampai kematiannyaTahun 1981
Penemuan arkeologi
Firaun pertama untuk membangun di Deir el Bahri adalah Nebhepetre Mentuhotep II, dari Dinasti Kesebelas yang bersatu negara itu setelah Periode Menengah Pertama. Dia memilih untuk membangun nya Temple Mortuary dan makam di Deir el-Bahari bukan dengan para pendahulunya di Dra Abu el Naga dan juga memelopori gaya arsitektur baru yang meskipun terlihat segar tampaknya telah terinspirasi oleh bentuk Kerajaan lama piramida kompleks. Dia membangun sebuah Kuil Valley (sekarang benar-benar hancur) dihubungkan dengan jalan lintas yang panjang ke Temple Mortuary yang dia bernama Akh Sut Nebhepetre (“Splendid adalah tempat Nebhepetre”). The Mortuary Temple terdiri dari teras bertengger terhadap tebing dengan bangunan batu besar (digambarkan sebagai mastaba oleh beberapa dan piramida oleh orang lain) di atasnya dan mendalam poros ke makamnya di bawahnya.
The first pharaoh to build at Deir el Bahari was Nebhepetre Montuhotep II, of the Eleventh Dynasty who reunified the country after the First Intermediate Period. He chose to build his Mortuary Temple and tomb at Deir el-Bahari instead of with those of his predecessors at Dra Abu el Naga and also pioneered a new architectural style which despite its fresh look seems to have been inspired by the form of Old Kingdom pyramid complexes. He constructed a Valley Temple (now completely destroyed) connected by a long causeway to a Mortuary Temple which he named Akh Sut Nebhepetre (“Splendid are the places of Nebhepetre”). The Mortuary Temple consisted of a terrace perched against the cliff with a large stone edifice (described as a mastaba by some and a pyramid by others) above it and a deep shaft to his tomb below it.
Makam enam putri ditemukan dalam kandang dari Mortuary Kuil Mentuhotep. Makam yang digali selama fase pertama pembangunan tetapi pintu masuk mereka ditutupi dengan batu saat candi itu diperbesar. Setiap makam berisi sarkofagus dibentuk dari enam besar lembaran bergabung bersama-sama dengan strip logam. Setiap sarkofagus indah dihiasi dengan adegan kehidupan sehari-hari dan presentasi persembahan.
The tombs of six princesses were found within the enclosure of the Mortuary Temple of Montuhotep. The tombs were excavated during the first phase of construction but their entrances were covered with masonry when the temple was enlarged. Each tomb contained a sarcophagus formed out of six large slabs joined together with metallic strips. Each sarcophagus was beautifully decorated with scenes of daily life and the presentation of offerings.
Banyak pejabat Mentuhotep dikuburkan di makam digali dari tebing sekitar Temple Mortuary nya termasuk; kanselir Akhtoy, wazir Dagi (TT103 Sheikh Abd el-Qurna) dan Ipi (TT315 Deir el-Bahari), bendahara Khety (TT311 Deir el- Bahari), royal pengawal Horhotep (TT 314 Deir el-Bahari) dan kepala pelayan Henenu (TT313 Deir el-Bahari). Ada juga kuburan massal di mana enam puluh tentara dimakamkan. diperkirakan bahwa mereka semua meninggal selama dinas aktif di Nubia dan diberi kehormatan dimakamkan dekat dengan firaun mereka.
Many of Montuhotep’s officials were buried in tombs excavated from the cliffs around his Mortuary Temple including; the chancellor Akhtoy, viziers Dagi (TT103 Sheikh Abd el-Qurna) and Ipi (TT315 Deir el-Bahari), the treasurer Khety (TT311 Deir el-Bahari), royal guardsman Horhotep (TT314 Deir el-Bahari) and chief steward Henenu (TT313 Deir el-Bahari). There is also a mass grave in which sixty soldiers were interred. It is thought that they all died during active service in Nubia and were given the honor of being buried close to their pharaoh.
Amenhotep saya membangun sebuah kuil di Deir el-Bahari dan dimakamkan nya besar Kerajaan Istri (Ahmose-Meritamun) terdekat di Thebes Tomb. Namun, kuil Amenhotep adalah di tempat utama yang dipilih oleh Hatshepsut Temple Mortuary dan jadi dibongkar untuk memungkinkan monumen nya akan dibangun. tampaknya rencana semula adalah membangun kuil kamar mayat nya di samping, tapi penambahan teras yang lebih rendah berarti bahwa itu harus dihapus secara keseluruhan. satu-satunya yang tersisa bukti bahwa candi ada adalah beberapa batu bata bertuliskan nama Amenhotep ini. patung-patung firaun dipindahkan ke Mentuhotep ini Mortuary Temple.
Amenhotep I built a temple at Deir el-Bahari and buried his Great Royal Wife (Ahmose-Meritamun) nearby in Theban Tomb. However, Amenhotep’s temple was in the prime spot chosen by Hatshepsut for her Mortuary Temple and so it was dismantled in order to allow her monument to be constructed. It seems that the original plan was to build her mortuary temple beside his, but the addition of the lower terrace meant that it had to be removed in its entirety. The only remaining evidence that the temple existed are a few bricks inscribed with Amenhotep’s name. The statues of the pharaoh were moved to Montuhotep’s Mortuary Temple.
Hatshepsut membangun terbesar, terbaik diawetkan dan bisa dibilang candi yang paling mengesankan di lokasi, dia Mortuary Temple bernama Djeser-Djeseru (“Maha Kudus”), terbaik-diawetkan dari tiga kompleks. Her Temple Mortuary jelas terinspirasi oleh yang dari Montuhotep dan dibangun sehingga tiang-tiang di setiap sisi pusat jalan pelipisnya sesuai dengan dua tingkat Mentuhotep ini Mortuary Temple. Setelah kematiannya pelipisnya dirusak oleh Tuthmosis II dan kemudian oleh Akhenaten (karena antipatinya terhadap Amon).
Hatshepsut built the largest, best preserved and arguably the most impressive temple at the site, her Mortuary Temple named Djeser-Djeseru (“Holy of Holies”), best-preserved of the three complexes. Her Mortuary Temple is clearly inspired by that of Montuhotep and was built so that the colonnades at each side of the central ramp her temple correspond with the two levels of Montuhotep’s Mortuary Temple. After her death her temple was vandalized by Thuthmosis II and then by Akhenaten (because of his antipathy towards Amon).
Senenmut (yang menjadi penasihat Hatshepsut, tutor untuk putrinya dan mungkin kekasihnya) yang diberikan kehormatan memiliki sebuah makam (TT353 Deir el-Bahari) yang dibangun di dalam kantor polisi dari Temple Mortuary nya. Dia juga memiliki sebuah makam yang dibangun di Sheikh Abd el -Qurna (TT71) dan makam di Deir el-Bahari dikenal sebagai “rahasia” makam. ini rusak parah di zaman kuno, tetapi beberapa dekorasi masih terlihat. ini adalah makam yang luar biasa besar tapi itu tidak selesai dan Senenmut dimakamkan di makam yang lain. Sial baginya, makam yang lain juga dirusak.
Senenmut (who was Hatshepsut’s adviser, tutor to her daughter and possibly her lover) was given the honor of having a tomb (TT353 Deir el-Bahari) constructed within the precinct of her Mortuary Temple. He also had a tomb built in Sheikh Abd el-Qurna (TT71) and so the tomb at Deir el-Bahari is known as the “secret” tomb. It was badly damaged in antiquity, but some of the decoration is still visible. It is an unusually large tomb but it was not finished and Senenmut was buried in his other tomb. Unfortunately for him, his other tomb was also vandalized.
Tuthmosis III juga membangun kompleks candi di sini yang ia didedikasikan untuk Amon. Hal itu dimaksudkan untuk menggantikan Hatshepsut Mortuary Temple sebagai fokus dari “Festival Indah of the Valley” tapi rusak parah selama Dinasti Twentieth. Setelah waktu itu digunakan sumber bahan bangunan dan di kali Kristen menjadi situs pemakaman Koptik.
Thuthmosis III also built a temple complex here which he dedicated to Amon. It was intended to replace Hatshepsut’s Mortuary Temple as the focus of the “Beautiful Festival of the Valley” but was badly damaged during the Twentieth Dynasty. After that time it was used a source of building materials and in Christian times became the site of a Coptic cemetery.
Selama tahun 1870 jumlah item dari makam kuno muncul untuk dijual di Mesir. Setelah penyelidikan oleh Maspero dan asistennya Brugsch itu menegaskan bahwa keluarga yang tinggal di desa Qurna telah menemukan sebuah makam dan telah menjarah barang-barang selama periode tahun . Ironisnya, makam (terdaftar sebagai TT320 atau DB320) ternyata rumah sejumlah firaun yang telah pindah ke sana untuk melindungi mereka dari perampok makam. Cache diadakan lebih dari lima puluh mumi termasuk Raja Seqenenre Taa II, Ahmose I , Amenhotep I, Tuthmosis I, II dan III, Seti I dan Ramses II, III, dan IX, Pinudjem II dan II dan Siamun.
During the 1870’s a number of items from ancient tombs appeared for sale in Egypt. Following investigations by Maspero and his assistant Brugsch it was confirmed that a family living in the village of Qurna had discovered a tomb and had been looting items over a period of years. Ironically, the tomb (listed as TT320 or DB320) turned out to house a number of pharaohs who had been moved there in order to protect them from tomb robbers. The cache held over fifty mummies including those of King Seqenenre Taa II, Ahmose I, Amenhotep I, Tutmosis I, II and III, Seti I and Ramesses II, III, and IX, Pinudgjem I and II and Siamun.
Cache dari 163 mumi dikuburkan kembali dari Imam Amon juga ditemukan di sebuah makam di Bab el Gasus. Diperkirakan bahwa imam tersebut adalah orang-orang yang mengorganisir penguburan dari mumi Firaun di TT320.
Selama periode Ptolemaic, Hatshepsut Mortuary Temple diadaptasi untuk membentuk sebuah kuil Amenhotep bin Hapu dan Imhotep. Di Akhir Masa tempat itu sering dikunjungi oleh sekelompok ironworkers dari Hermonthis.
A cache of 163 reburied mummies of the Priests of Amon were also found in a tomb at Bab el Gasus. It is thought that these priests were the ones who organized the reburial of the pharaohs mummies in TT320.
During the Ptolemaic period, Hatshepsut’s Mortuary Temple was adapted to form a shrine to Amenhotep son of Hapu and Imhotep. In the Late Period the place was frequented by a group of ironworkers from Hermonthis.
Pada pertengahan 1970-an Abdel Monem Abdel Haleem Sayed dari Universitas Alexandria, Mesir, penggalian tes yang dilakukan di Wadi Gawasis, dan menemukan potsherds dengan dicat (tangan bersambung) prasasti dan tertulis ekspedisi rekaman stelae untuk Bia-Punt (yang “saya” dari Punt ) dari sebuah wilayah yang disebut Sʒww, dari pemerintahan Senusret I, Amenemhat II, Senusret II dan Senusret III. Sayed juga menemukan beberapa ukiran, jangkar putaran atasnya dan fragmen kayu cedar diukir dengan tanggam, kemungkinan besar dari sebuah kapal. berdasarkan bukti ini Sayed menyarankan bahwa Mersa / Wadi Gawasis adalah pelabuhan fir’aun dari Sʒww untuk pelayaran ekspedisi untuk menyepak bola pada Dinasti Keduabelas. bukti aktual lain menggali perdagangan dengan Punt terjadi selama penggalian yang dimulai pada tahun 2001. di sini, tim yang dipimpin oleh Kathryn Bard dan Rodolfo Fattovich mengungkapkan struktur seremonial, kayu kapal, jangkar batu, tali, dan artefak lainnya dating ke awal dan kemudian Twelfth Dinasti. Mereka juga menemukan produk yang sebenarnya mungkin dibawa dari Punt, termasuk hutan eboni karbonisasi dan obsidian (kaca vulkanik), serta sebagai pisau dari dayung kemudi. Mereka bahkan menemukan kotak kargo bantalan dicat teks hieroglif menggambarkan isi sebagai “hal-hal yang indah Punt” (Bard, 2011).
In the mid-1970s Abdel Monem Abdel Haleem Sayed of the University of Alexandria, Egypt, conducted test excavations at Wadi Gawasis, and found potsherds with painted (hieratic) inscriptions and inscribed stelae recording expeditions to Bia-Punt (the “mine” of Punt) from a locality called Sʒww, from the reigns of Senusret I, Amenenhat II, Senusret II and Senusret III. Sayed also uncovered some carved, round-topped anchors and a fragment of carved cedar timber with a mortise, most likely from a ship. Based on this evidence Sayed suggested that Mersa/Wadi Gawasis was the pharaonic port of Sʒww for seafaring expeditions to Punt in the Twelfth Dynasty. Another unearthing actual evidence of trade with Punt occurred during excavations beginning in 2001. Here, a team led by Kathryn Bard and Rodolfo Fattovich revealed ceremonial structures, ship timbers, stone anchors, ropes, and other artifacts dating to early and later Twelfth Dynasty. They also uncovered actual products presumably brought from Punt, including carbonized ebony woods and obsidian (a volcanic glass), as well as blades of a steering oar. They even found cargo boxes bearing painted hieroglyphic text describing the contents as the “wonderful things of Punt” (Bard, 2011).
Bukti arkeologi termasuk gambar pada tembikar dan batu menunjukkan bahwa spesies sapi, zebu atau brahman (Bos indicus) yang berasal di Asia Selatan, hadir di Mesir sekitar 2000 SM. Bos indicus diyakini memiliki pertama kali muncul di Sub-Sahara Afrika antara 700 dan 1500 AD, dan diperkenalkan ke Tanduk Afrika sekitar 1000 AD (Marshall, 1989).
Archaeological evidence including pictures on pottery and rocks suggest that a species of cattle, zebu or brahman (Bos indicus) originating in South Asia, were present in Egypt around 2000 BC. Bos indicus are believed to have first appeared in Sub-Saharan Africa between 700 and 1500 AD, and were introduced to the Horn of African around 1000 AD (Marshall, 1989).
Pada Radiologi Klinik dari Bonn Universitätsklinikum, korpus delicti – elang polos dari antara harta Firaun Hatshepsut – menjadi sasaran komputerisasi aksial tomografi scan (CAT scan) pada tahun 2011. Ini menjadi jelas sangat cepat bahwa apa yang mereka temukan adalah tidak kering-up parfum. campuran tersebut berisi sejumlah besar minyak kelapa dan minyak pala apel.
At the Radiology Clinic of the Bonn Universitätsklinikum, the corpus delicti – a plain flacon from among the possessions of Pharaoh Hatshepsut – was subjected to computerized axial tomography scan (CAT scan) in 2011. It became obvious very quickly that what they had found was not dried-up perfume. The mix contained large amounts of palm oil and nutmeg apple oil.
Wall-patung di Tengah Colonnade
Dinding Djeser-Djeseru diilustrasikan dengan otobiografi Hatshepsut, termasuk cerita dari perjalanan dongeng nya ke Tanah Punt. Juga ditemukan di Djeser-Djeseru adalah akar utuh dari pohon kemenyan, yang pernah menghiasi façade depan kuil. Pohon-pohon ini dikumpulkan oleh Hatshepsut di ekspedisi nya untuk Punt, menurut sejarah, ia membawa kembali lima berkapal-kapal barang, termasuk flora dan fauna.
The walls of Djeser-Djeseru are illustrated with Hatshepsut’s autobiography, including stories of her fabled trip to the Land of Punt. Also discovered at Djeser-Djeseru were the intact roots of incense trees, which once decorated the front façade of the temple. These trees were collected by Hatshepsut in her expedition to Punt; according to the histories, she brought back five shiploads of goodies, including flora and fauna.
Penulis menyajikan ilustrasi dari dinding-patung di barisan tiang tengah Deir el-Bahari (Djeser-Djeseru) yang dibuat oleh Johannes Duemichen (1869), Auguste Mariette (1877) dan Eduard Naville (1898) di bawah ini. Sebagian besar deskripsi dan transliterasi tulisan rahasia yang dikutip dari laporan Naville dan Edwards ‘, menghilangkan pendapat pribadi mereka dan menambahkan informasi oleh penulis lain.
The author presents illustrations of wall-sculptures on middle colonnade of Deir el-Bahari (Djeser-Djeseru) made by Johannes Duemichen (1869), Auguste Mariette (1877) and Eduard Naville (1898) below. Most of the descriptions and hieroglyph transliterations are cited from Naville’s and Edwards’ reports, omitting their personal opinions and adding information by other authors.
Figure 2. Illustrations of wall-sculptures on middle colonnade of Deir el-Bahari (Johannes Duemichen, 1869)
Figure 3. Illustrations of wall-sculptures on middle colonnade of Deir el-Bahari (Auguste Mariette, 1877)
Gambar 3. Ilustrasi dinding-patung di barisan tiang tengah Deir el-Bahari (Auguste Mariette, 1877)
Sebuah laporan dari yang pelayaran lima kapal bertahan pada relief di kuil kamar mayat Hatshepsut di Deir el-Bahari. Sepanjang teks candi, Hatshepsut mempertahankan fiksi bahwa utusan nya Kanselir Nehsi, yang disebutkan sebagai kepala ekspedisi, telah melakukan perjalanan ke Punt “untuk mengekstrak upeti dari penduduk asli” yang mengakui kesetiaan mereka kepada firaun Mesir. pada kenyataannya, ekspedisi Nehru adalah misi perdagangan sederhana untuk tanah, Punt, yang saat ini sebuah pos perdagangan mapan. Selain itu, Nehru kunjungan ke Punt tidak terlampau berani karena ia didampingi oleh setidaknya lima berkapal-kapal marinir Mesir dan disambut hangat oleh kepala Punt dan keluarga dekat. The Puntites diperdagangkan tidak hanya di produk mereka sendiri dupa, kayu eboni dan pendek-bertanduk sapi , tetapi juga emas, gading dan kulit binatang. menurut relief candi, Tanah Punt diperintah pada waktu itu oleh Raja Parehu dan Ratu Ati. ini ekspedisi juga digambarkan Hatshepsut terjadi pada tahun 9 dari pemerintahan firaun wanita dengan berkat dewa Amon:
A report of that five-ship voyage survives on reliefs in Hatshepsut’s mortuary temple at Deir el-Bahari. Throughout the temple texts, Hatshepsut maintains the fiction that her envoy Chancellor Nehsi, who is mentioned as the head of the expedition, had travelled to Punt “in order to extract tribute from the natives” who admit their allegiance to the Egyptian pharaoh. In reality, Nehsi’s expedition was a simple trading mission to a land, Punt, which was by this time a well-established trading post. Moreover, Nehsi’s visit to Punt was not inordinately brave since he was accompanied by at least five shiploads of Egyptian marines and greeted warmly by the chief of Punt and his immediate family. The Puntites traded not only in their own produce of incense, ebony and short-horned cattle, but also gold, ivory and animal skins. According to the temple reliefs, the Land of Punt was ruled at that time by King Parehu and Queen Ati. This well illustrated expedition of Hatshepsut occurred in year 9 of the female pharaoh’s reign with the blessing of the god Amon:
“Dikatakan Amon, Tuhan dari Thrones dari Dua Tanah: ‘Ayo, datang dengan damai putri saya, anggun, yang seni dalam hati saya, Raja Maatkare [yaitu Hatshepsut] … Aku akan memberikan kepadamu Punt, seluruh itu … aku akan memimpin tentara Anda dengan tanah dan air, di pantai misterius, yang bergabung dengan pelabuhan anti … mereka akan mengambil anti sebanyak yang mereka suka. mereka akan memuat kapal mereka untuk kepuasan hati mereka dengan pohon-pohon hijau [yaitu segar] anti, dan semua hal yang baik dari negeri itu. ‘”
“Said by Amon, the Lord of the Thrones of the Two Land: ‘Come, come in peace my daughter, the graceful, who art in my heart, King Maatkare [ie Hatshepsut] … I will give thee Punt, the whole of it … I will lead your soldiers by land and by water, on mysterious shores, which join the harbors of ảnti … They will take ảnti as much as they like. They will load their ships to the satisfaction of their hearts with trees of green [ie fresh] ảnti, and all the good things of the land.’”
Figure 4. Egyptian boats arriving at Punt (Eduard Naville, 1898)
Figure 5. Egyptian boats arriving at Punt (Eduard Naville, 1898) (continued)
Gambar 5. perahu Mesir tiba di Punta (Edouard Naville, 1898) (lanjutan)
.. Deskripsi ekspedisi dimulai dengan kedua tokoh sini kita melihat lima kapal Mesir tiba Dua yang pertama sudah tertambat, dan telah memukul layar mereka, sementara tiga orang lainnya yang datang dengan kanvas spread, pada yang terakhir reis atau Pilot memberikan firman perintah :. “ke sisi port” kapal pertama telah dikirim keluar perahu, yang bongkar tas dan botol besar atau amphoras, mungkin berisi makanan dan minuman yang akan disajikan kepada kepala Punt. prasasti dalam karakter besar di atas kapal adalah sebagai berikut:
The description of the expedition begins with these two figures. Here we see five Egyptian ships arriving. The first two are already moored, and have struck their sails, while the three others are coming up with canvas spread; on the last one the reis or pilot gives the word of command: “to the port side”. The first ship has sent out a boat, which is unloading bags and large jars or amphoras, probably containing the food and drink which is to be presented to the chief of Punt. The inscription in large characters above the ships is as follows:
“The navigasi di laut, mulai dari perjalanan yang baik kepada Tuhan Land, pendaratan bahagia di Tanah Punt oleh tentara raja, sesuai dengan resep dari raja para dewa, Amon, penguasa takhta dari dua lahan, dalam rangka untuk membawa produk yang berharga dari seluruh negeri, karena cinta yang besar terhadap [sini nama Hatshepsut dihapus dengan beberapa tanda-tanda yang diikuti, dan telah diganti dengan nama Ramses II] … … untuk raja-raja yang berada di negeri ini selamanya. ”
“The navigation on the sea, the starting on the good journey to the Divine Land, the landing happily in the Land of Punt by the soldiers of the king, according to the prescription of the lord of the gods, Amon, lord of the thrones of the two lands, in order to bring the precious products of the whole land, because of his great love towards [here the name of Hatshepsut is erased with some signs which followed, and it has been replaced by the name of Rameses II] …… to the kings who were in this land eternally.”
Figure 6. The Land of Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 6. Tanah Punt (Edouard Naville, 1898)
Gambar Tanah Punt dibagi menjadi empat baris. Dalam dua dari mereka pemisahan dibuat oleh garis air di mana ikan dan kura-kura berenang. Apa yang terlihat di atas air dapat dianggap sebagai taking-tempat di segera sekitar pantai, sedangkan di mana ada garis sederhana di bawah angka mereka dimaksudkan untuk menjadi pedalaman lebih lanjut.
The picture of the Land of Punt was divided into four rows. In two of them the separation is made by a line of water in which fishes and tortoises are swimming. What is seen above the water may be considered as taking-place in the immediate vicinity of the shore, whereas where there is a simple line under the figures they are meant to be further inland.
Di pantai kita menemukan gubuk dari orang;. Mereka dibangun pada tiang, dengan tangga memberikan akses kepada mereka, jelas untuk melindungi tahanan terhadap binatang liar pondok ini terbuat dari anyaman, mungkin kelapa-tangkai; mereka semua bentuk dan konstruksi yang sama. mereka berdiri di bawah naungan pohon, dan pohon lainnya memiliki bentuk konvensional, yang, dilihat dari prasasti, mungkin menandakan dupa dan ebony pohon. dekat pondok mereka pasti pohon ebony, cabang-cabang dari yang ditebang oleh orang Mesir “dalam jumlah besar”, dan yang cukup tinggi untuk ternak untuk beristirahat di bawah naungan mereka.
On the shore we find the huts of the people; they are built on poles, with ladders giving access to them, evidently in order to protect the inmates against wild animals. These huts are made of wickerwork, probably of palm-stalks; they are all of the same shape and construction. They stand under the shade of palms, and of other trees having a conventional form, which, judging from the inscriptions, may signify incense and ebony trees. Near the huts they are certainly ebony trees, the branches of which are cut down by the Egyptians “in great quantities”, and which are high enough for the cattle to rest under their shade.
. The Puntite, tidak seperti orang Mesir kuno, memiliki rambut panjang dan rambut wajah kecil yang Puntite adalah seorang pria baik berbentuk tinggi, rambutnya lebih terang; hidungnya lurus, jenggotnya panjang dan runcing tumbuh di rantai nya saja; dia memakai hanya cawat dengan sabuk di mana keris adalah tetap. prasasti terukir di depan tubuhnya menyatakan bahwa dia adalah “The Great dari Punt, Parehu”. kaki kiri kepala, Parehu, ditutupi dengan bracing cincin. dalam salah satu adegan, tangan kirinya memegang senjata melengkung. The Puntites dicat merah, tapi tidak gelap seperti orang Mesir. Dia diikuti oleh istrinya, dua putranya, dan putrinya, untuk masing-masing terpasang prasasti pendek . kedua pemuda tersebut hanya digambarkan sebagai “anak-anaknya”, dan gadis muda sebagai “putrinya”. pasangan nya, orang yang sangat tunggal dan unbeautiful, digambarkan sebagai “istrinya, Ati”. Dia memakai gaun kuning, gelang pada pergelangan tangannya, gelang pada pergelangan kakinya, dan kalung dari manik-manik alternatif dan rantai kerja putaran tenggorokannya. rambutnya, seperti itu dari putrinya, terikat dengan ikat kepala di kening. fitur nya adalah menjijikkan, dan pipinya yang rusak oleh kerutan wajah. Dia amat gemuk, anggota badan dan tubuhnya yang terbebani oleh gulungan kulit. putrinya, meskipun jelas cukup muda, sudah menunjukkan kecenderungan yang sama deformitas. The berkulit dari seluruh keluarga yang dicat dari lampu merah, dan rambut mereka hitam, sehingga menunjukkan bahwa mereka tidak ras negro. ditumpangkan prasasti hieroglif, yang meluas ke beberapa panjang di luar itu ilustrasi, menyatakan bahwa “Hither datang [yang] besar dari Punt, punggung mereka membungkuk , kepala tertunduk, untuk menerima tentara Mulia “.
The Puntite, unlike ancient Egyptians, had longer hair and little facial hair. The Puntite is a tall, well-shaped man, his hair is brighter; his nose is straight, his beard long and pointed grows on his chain only; he wears only a loincloth with a belt in which a dagger is fixed. The inscription engraved in front of his body states that he is “The Great of Punt, Parehu”. The left leg of the chief, Parehu, is covered with a bracing of rings. In one scene, his left hand holds a curved weapon. The Puntites are painted red, but not as dark as the Egyptians. He is followed by his wife, his two sons, and his daughter, to each of whom is attached a short inscription. The two youths are simply described as “his sons”, and the young girl as “his daughter”. His spouse, a very singular and unbeautiful person, is described as “his wife, Ati”. She wears a yellow dress, bracelets on her wrists, anklets on her ankles, and a necklace of alternate bead and chain work round her throat. Her hair, like that of her daughter, is bound with a headband on the brow. Her features are repulsive, and her cheek is disfigured by facial wrinkles. She is hideously obese, her limbs and body being weighed down by rolls of skin. Her daughter, though evidently quite young, already shows a tendency towards the same kind of deformity. The complexions of the whole family are painted of a light red, and their hair black, thus showing that they are not of negro race. The superimposed hieroglyphic inscription, which extends to some length beyond that of the illustration, states that “Hither come the Great [ones] of Punt, their backs bent, their heads bowed, to receive the soldiers of His Majesty”.
Keledai, dibebani dengan bantal tebal, dan tiga petugas membawa tongkat pendek, memunculkan belakang prosesi. Selama telinga binatang ini beban berat yang terukir dalam karakter hieroglif, “The pantat besar yang membawa istrinya”. The pria yang membimbing dan mengikuti pantat memakai upcurved-janggut di mana-mana karakteristik dari penduduk asli Punt dalam seni Mesir.
An ass, saddled with a thick cushion, and three attendants carrying short staves, bring up the rear of the procession. Over the ears of this beast of heavy burden is engraved in hieroglyphic characters, “The great ass that carries his wife”. The men who guide and follow the ass wear the upcurved-beard everywhere characteristic of the natives of Punt in Egyptian art.
Di pantai utusan kerajaan Hatshepsut setelah mendarat, disertai dengan pengawalan militer, mengatur di atas meja, atau berdiri, hadiah yang ia telah membawa untuk presentasi kepada Pangeran Punt. Utusan itu adalah pakaian sipil, dan bersandar pada stafnya dari . perintah tentara dipersenjatai dengan tombak dan kapak, dan membawa perisai besar bulat di bagian atas -. peralatan biasa infanteri dari garis kapten mereka tidak membawa perisai, tetapi dipersenjatai dengan busur, selain tombak dan kapak . pengikutnya Kita tahu dari tulisan lain nama utusan ini: .. “ia disebut Nehisi”, yang negro misinya adalah cukup damai Di sebuah meja kecil ia telah menempatkan hadiah yang ditawarkan oleh ratu, yang bukan dari besar nilai :. kalung, mungkin terbuat dari manik-manik porselin biru, kapak, pisau dan beberapa gelang teks di atas meja berbunyi:
On the shore Hatshepsut’s royal envoy having landed, accompanied by his military escort, arranges on a table, or stand, the gifts which he has brought for presentation to the Prince of Punt. The envoy is in civil dress, and leans upon his staff of command. The soldiers are armed with spear and hatchet, and carry a large shield rounded at the top – the ordinary equipment of infantry of the line. Their captain carries no shield, but is armed with a bow, in addition to the spear and hatchet of his followers. We know from another inscription the name of this messenger: “he is called Nehsi”, the negro. His mission is quite peaceful. On a small table he has placed the presents offered by the queen, which are not of great value: necklaces, probably made of blue porcelain beads, an axe, a dagger and a few bracelets. The text above the table reads:
Pendaratan utusan kerajaan di Tanah Ilahi, dengan tentara yang menemaninya, di hadapan para pemimpin Punt, untuk membawa semua hal-hal baik dari penguasa (kehidupan, kekuatan dan kesehatan) untuk Hathor, nyonya Punt, di memerintahkan agar dia dapat memberikan kekuatan jiwa dan kesehatan untuk yang Mulia. ”
Ini adalah cara memutar untuk menyatakan bahwa hal-hal yang baik tersebut dimaksudkan, bukan untuk dewi, tetapi sebagai alat tukar untuk produk didambakan Punt.
Parehu tampaknya takut, ia mengangkat tangannya ke arah Mesir.
“The landing of the royal messenger in the Divine Land, with the soldiers who accompany him, in presence of the chiefs of Punt, to bring all good things from the sovereign (life, strength and health) to Hathor, the lady of Punt, in order that she may grant life strength and health to Her Majesty.”
This is a circuitous manner of stating that the said good things are intended, not for the goddess, but as a means of exchange for the coveted products of Punt.
Parehu seems afraid; he is raising his hands towards the Egyptians.
“Kedatangan para pemimpin Punt, membungkuk dan membungkuk untuk menerima para prajurit, mereka memberikan pujian untuk …… Amon (mungkin diletakkan di sana bukan ratu).”
Dibalik Parehu berdiri istrinya, Ati, dua putra dan putrinya, sebagaimana dapat dilihat dari publikasi Mariette ini. Tapi blok yang paling berharga ini sayangnya menghilang, serta teks itu berisi, yang mengungkapkan keheranan dari Puntites saat melihat . orang-orang asing Naville memberikan terjemahan dari kata-kata mereka sebagai direproduksi oleh Mariette: “mereka mengatakan dalam meminta perdamaian :? Anda tiba di sini pada apa, untuk tanah ini yang orang Mesir tidak tahu Apakah Anda datang melalui cara-cara langit, atau Anda berwisata air ke lahan hijau, tanah ilahi yang Ra telah diangkut Anda? untuk raja Mesir tidak ada cara tertutup, kita hidup dari napas yang ia memberi kita. ”
“The coming of the chiefs of Punt, bowing and stooping in order to receive these soldiers; they give praise to …… Amon (probably put there instead of the queen).”
Behind Parehu stood his wife, Ati, two sons and his daughter, as may be seen from Mariette’s publication. But this most valuable block has unfortunately disappeared, as well as the text it contained, which expressed the astonishment of the Puntites at the sight of the strangers. Naville gave a translation of their words as reproduced by Mariette: “They say in asking for peace: you arrived here on what way, to this land which the Egyptians did not know? Have you come through the ways of the sky, or have you travelled on water to the green land, the divine land to which Ra has transported you? For the king of Egypt there is no closed way, we live of the breath which he gives us.”
Dari apa yang kita lihat pada baris atas hubungan seksual antara utusan dan Puntites segera menjadi ramah. Sementara para pelaut Mesir, dibantu oleh penduduk asli dari Punt, yang sibuk terlibat dalam memuat kapal, utusan Hatshepsut menawarkan resepsi resmi untuk Parehu, nya istri dan keluarga. wawancara perpisahan ini dilakukan dengan upacara besar di kedua sisi. Sebuah tenda telah bernada perintah Rasul, sebelum yang Parehu dan keluarganya, “kepala dari Punt”, muncul lagi.
“Kedatangan kepala Punt, membawa barang-nya di pantai di hadapan utusan kerajaan.”
From what we see on the upper row the intercourse between the messenger and the Puntites soon becomes cordial. While the Egyptian sailors, assisted by the natives of Punt, are busily engaged in loading the ships, Hatshepsut’s envoy offers an official reception to Parehu, his wife and family. This parting interview is conducted with great ceremony on both sides. A tent has been pitched by order of the messenger, before which Parehu and his family, “the chiefs of Punt”, appear again.
“the coming of the chief of Punt, bringing his goods on the shore in presence of the royal messenger.”
The Lady Ati adalah appareled seperti sebelumnya, tapi kaki kanan dari Parehu ditutupi dari pergelangan kaki ke atas lutut dengan suksesi dekat cincin logam. Benda-benda yang dibawa, dan yang disebut upeti, yang benar barang yang akan ditukar terhadap produk dari Mesir, mereka terdiri dari emas cincin, tumpukan senjata melengkung, senjata yang sama yang Party memiliki di tangannya, dan tumpukan besar dari dupa terkenal yang disebut anti, yang ada beberapa varietas, dan dari mana . Mesir membuat penggunaan besar seperti bahwa pengadaan itu adalah alasan utama yang mendorong mereka untuk mengirim ekspedisi ke punt anak-anak Parehu, salah satu dari mereka membawa mangkuk emas-debu; petugas bantalan sebuah guci besar di bahunya, dan pantat, yang telah kembali menikmati hak istimewa enak membawa Lady Ati, memunculkan belakang. tumpukan anti sini diwakili dalam ringkasan cara yang sangat oleh garis belaka, tetapi dalam beberapa mata pelajaran lain yang sedikit benjolan berbentuk tidak teratur . dari karet yang berharga semua rumit didefinisikan utusan berdiri di depan paviliun nya – dihilangkan dalam ilustrasi – dan ternyata dalam tindakan mengundang tamunya untuk mengambil bagian dari perjamuan yang, atas perintah Hatshepsut, ia telah menyiapkan bagi mereka .
The Lady Ati is appareled as before, but the right leg of Parehu is covered from the ankle to above the knee with a close succession of metal rings. The objects which are brought, and which are called tributes, are properly goods to be exchanged against the products of Egypt; they consist of gold in rings, a heap of curved weapons, the same weapon which Parehu has in his hand, and a big heap of the famous incense called ảnti, of which there were several varieties, and of which the Egyptians made such great use that the procuring of it was the main reason which induced them to send expeditions to Punt. The sons of Parehu, one of them carrying a bowl of gold-dust; an attendant bearing a large jar on his shoulder; and the ass, which has again enjoyed the unenviable privilege of carrying the Lady Ati, bring up the rear. The pile of ảnti is here represented in a very summary fashion by a mere outline, but in some of the other subjects the little irregularly shaped lumps of the precious gum are all elaborately defined. The envoy stands in front of his pavilion – omitted in the illustration – and is apparently in the act of inviting his guests to partake of the banquet which, by order of Hatshepsut, he has prepared for them.
Utusan dikatakan menerima hal-hal ini, tapi ratunya telah memerintahkan dia untuk bermurah hati, dan untuk menunjukkan sesuatu perhotelan kerajaan nya. Nehisi akan menghibur para pemimpin dari Punt untuk perjamuan di tendanya.
The messenger is said to receive these things, but his queen has ordered him to be generous, and to show something of her royal hospitality. Nehsi will entertain the chiefs of Punt to a banquet in his tent.
Figure 7. Fragments of the scene of the Land of Punt (Eduard Naville, 1898)
The considerable part of this wall which is lost contained very interesting scenes, of which fragments only have been recovered. There could be seen the huts of the negroes with the big dog crouching at the door; the Egyptians felling branches of ebony-trees, “cutting ebony in great quantity”, the wood being carried to the ships by the negroes, who brought also their dogs, which may have been used in Egypt for the chase of the antelope and the wild bull. In the ebony trees, under the shade of which the huts are built, birds have made their nests and laid eggs, which are being taken away by the Egyptians. It is difficult to recognize what birds they are, owing to the incorrectness of the proportions. The Egyptians were seen also taking the eggs from the nests of the birds. The places where the fragments were found would make us think that this wall was ruined before the occupation of the temple by the Copts.
A small fragment, the top of which is destroyed, shows the lower part of an animal which looks like a rhinoceros.
Figure 8. Loading Egyptian boats in Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 8. Memuat kapal Mesir di Punta (Edouard Naville, 1898)
Berbagai adegan di dinding ini tidak diatur dengan keteraturan yang sama seperti di sisi lain dari barisan tiang. Mereka kadang-kadang menempati seluruh tinggi dinding, seperti misalnya deskripsi Tanah Punt, atau mereka menempatkan satu di atas . lain, seperti yang terjadi di sini dalam subjek yang sangat menarik sekarang sebelum kita, kita melihat para pelaut Mesir, beberapa membawa anakan di keranjang tersandang dari kutub, seperti sebelumnya, yang lain sarat dengan guci besar, dan semua bergegas di papan bersama papan miring mencapai mungkin dari pantai, yang, bagaimanapun, tidak ditampilkan dalam gambar. geladak sudah menumpuk tinggi dengan barang berharga mereka, di antaranya dapat diamati tiga kera, yang membuat diri mereka sempurna di rumah. tersandang ke main-tiang . kapal terdekat, kecapi digambarkan, dari bentuk yang mungkin bahkan sekarang terlihat di tangan musisi asli di Kairo dan kota-kota besar lainnya kapten berdiri pada platform di haluan, mengeluarkan perintah-nya, dan, kecil seperti .. skala, tindakan yang sangat alami dari manusia di depannya, yang berteriak agar dengan tangannya ke mulutnya, tidak harus diabaikan Beberapa lagi yang dibawa oleh pelaut pembebanan ini digambarkan sebagai berikut:
The various scenes on this wall are not arranged with the same regularity as on the other side of the colonnade. They sometimes occupy the whole height of the wall, as for instance the description of the Land of Punt, or they are put one over the other, as is the case here. In the very interesting subject now before us, we see the Egyptian sailors, some carrying the saplings in baskets slung from poles, as before; others laden with big jars; and all hurrying on board along inclined planks reaching presumably from the shore, which, however, is not shown in the picture. The decks are already piled high with their precious cargo, among which may be observed three macaques, who make themselves perfectly at home. Slung to the main-mast of the nearest vessel, a harp is depicted, of a shape which may even now be seen in the hands of native musicians in Cairo and other large towns. The captain stands on the platform at the prow, issuing his commands; and, small as is the scale, the very natural action of the man in front of him, who shouts the order with his hand to his mouth, must not be overlooked. Some more are being brought by the sailors. The loading is described as follows:
“The pemuatan kargo-kapal dengan jumlah besar dari keajaiban dari tanah Punt, dengan semua hutan yang baik dari tanah suci, tumpukan karet anti, dan pohon-pohon anti hijau, dengan ebony, gading murni, dengan hijau inti dari ảamu, dengan kayu kayu manis, kayu khesit, balsam, soter-dupa, mesṭemtu, dengan hal-hal seperti Anau, monyet, anjing, dan dengan kulit macan tutul dari selatan, dengan penduduk negara dan anak-anak mereka. Jangan dibawa ke raja apapun, karena dunia itu. ”
“The loading of the cargo-boats with great quantities of marvels of the land of Punt, with all the good woods of the divine land, heaps of gum of ảnti, and trees of green ảnti, with ebony, with pure ivory, with green nub of ảamu, with cinnamon wood, khesit wood, balsam, soter-incense, mesṭemtu, with ảnảu, monkeys, dogs, and with skins of leopards of the south, with inhabitants of the country and their children. Never were brought such things to any king, since the world was.”
Sementara ini dua kapal terakhir menerima kargo mereka, tiga lainnya telah membongkar sauh, dan terlihat dengan layar mereka mengatur dan diisi oleh angin yang menguntungkan. Sebuah prasasti singkat menyatakan bahwa ini adalah “pelayaran damai dan sejahtera tentara nya Mulia kembali ke Thebes, dengan membawa orang-orang Punt. mereka membawa keajaiban seperti Tanah Punt sebagai tidak pernah dibawa oleh Raja Mesir, karena kebesaran Raja para Dewa, Amon, Lord of Thebes “.
While these last two vessels are receiving their cargoes, the other three have already weighed anchor, and are seen with their sails set and filled by a favorable wind. A short inscription states that this is “the peaceful and prosperous voyage of the soldiers of his Majesty returning to Thebes, bringing with them the men of Punt. They bring such marvels of the Land of Punt as have never been brought by any King of Egypt, on account of the greatness of the King of the Gods, Amon, Lord of Thebes”.
Dari titik ini, posterities pahatan membentuk adegan terus menerus, orang-orang di daftar bawah yang hampir sempurna, sedangkan orang-orang di daftar atas yang sayangnya begitu banyak memisahkan diri bahwa di banyak tempat masih ada hanya kaki para tokoh dan garis-garis air sungai. di beberapa yang terbaik diawetkan, kita melihat para pelaut Mesir membawa anakan setengah-berkembang yang telah diambil dengan bola bumi sekitar akar, dan sedang diangkut di keranjang tersandang pada tiang, masing-masing tiang dilakukan oleh empat orang . ini, karena mereka wend jalan mereka menuju kapal, yang disertai oleh penduduk asli dari Punt. di satu tempat di mana ada kesenjangan besar di dinding, sisa-sisa prasasti menunjukkan bahwa gajah dan kuda di antara binatang memulai dari menyepak bola untuk pemuasan Hatshepsut. Sebuah komentar-komentar dari prasasti pendek diselingi di sana-sini antara angka. “Berdiri stabil pada kaki Anda, Bohu!” kata salah satu pembawa. “Anda membuang berat badan terlalu banyak pada bahu saya”, retort Bohu.
From this point, the sculptured posterities form a continuous scene, those in the lower register being almost perfect, whereas those in the upper register are unfortunately so much broken away that in many places there remain only the feet of the figures and the water lines of the river. In several of the best preserved, we see the Egyptian sailors carrying half-grown saplings which have been taken up with a ball of earth about the roots, and are being transported in baskets slung upon poles, each pole carried by four men. These, as they wend their way towards the ships, are accompanied by natives of Punt. In one place where there is a great gap in the wall, the remains of the inscription show that an elephant and a horse were among the animals embarked from Punt for the gratification of Hatshepsut. A running commentary of short inscriptions is interspersed here and there between the figures. “Stand steady on your legs, Bohu!” says one of the bearers. “You throw too much weight upon my shoulders”, retorts Bohu.
Selama anakan yang sedang dilakukan di keranjang, tertulis nehet anti, yaitu untuk mengatakan, sycamore anti Di tempat lain kita melihat pohon-pohon tumbuh penuh batang adalah besar; .. Daun adalah oval runcing, dan pada persimpangan batang dan cabang yang lebih besar terlihat sedikit benjolan berwarna tembaga bentuk tidak teratur, yang mewakili gum resin yang memancarkan melalui kulit
Over the saplings which are being carried in baskets, is inscribed nehet ảnti; that is to say, the sycamore of ảnti. Elsewhere we see the full-grown trees. The trunk is massive; the leaf is a sharp-pointed oval; and at the junction of the trunk and the larger branches are seen little copper-colored lumps of irregular form, representing the resinous gum which has exuded through the bark.
Gambar 9. kapal Laden meninggalkan Punt (Edouard Naville, 1898)
Adegan berikutnya menggambarkan perjalanan kembali ke Mesir, dan kedatangan bahagia ekspedisi di Thebes.
“The navigasi, kedatangan dalam damai, pendaratan di Thebes dengan sukacita oleh tentara raja; dengan mereka adalah pemimpin negeri ini, mereka membawa hal-hal seperti tidak pernah dibawa ke raja pun, dalam produk dari tanah Punt , melalui kekuatan besar dewa mulia ini Amon Ra, penguasa takhta dari dua tanah. ”
Figure 9. Laden boats leaving Punt (Eduard Naville, 1898)
The next scene describes the voyage back to Egypt, and the happy arrival of the expedition at Thebes.
“The navigation, the arrival in peace, the landing at Thebes with joy by the soldiers of the king; with them are the chiefs of this land, they bring such things as never were brought to any king, in products of the land of Punt, through the great power of this venerable god Amon Ra, the lord of the thrones of the two lands.”
Perjalanan pulang, seperti pelayaran luar, yang melewati ;. Dan insiden berikutnya panorama penasaran ini di batu berlangsung di Thebes Kami diperlihatkan apa-apa dari kedatangan skuadron, atau dari bongkar muat kapal, sisa yang posterities terutama terdiri dari prosesi imam, tentara, dan pelaut. urutan prosesi ini bertemu dan berhasil satu sama lain agak membingungkan. prasasti hieroglif di bagian bangunan juga sangat dimutilasi, sehingga subjek dalam banyak hal harus diambil sebagai penerjemah mereka sendiri. tampaknya mungkin bahwa mereka tidak semua mewakili kembalinya ekspedisi dari Punt, tetapi beberapa mungkin memiliki referensi ke upacara yang disertai pembukaan candi. kesatuan komposisi sebagai seluruh bersejarah apalagi dirugikan oleh pengenalan anak sungai asing lainnya selain yang dibawa dari Punt, mana dapat disimpulkan bahwa artis, untuk menghasilkan efek yang lebih cemerlang, memperkenalkan perwakilan dari berbagai negara yang pada kesempatan lain, telah meletakkan mereka upeti di kaki Hatshepsut.
The return voyage, like the outward voyage, is passed over; and the next incidents of this curious panorama in stone take place in Thebes. We are shown nothing of the arrival of the squadron, nor of the unlading of the ships; the rest of the posterities consisting mainly of processions of priests, soldiers, and sailors. The order in which these processions meet and succeed each other is somewhat confusing. The hieroglyphic inscriptions in this part of the building are also greatly mutilated, so that the subjects in many instances have to be taken as their own interpreters. It seems possible that they do not all represent the return of the expedition from Punt, but that some may have reference to the ceremonies which accompanied the opening of the temple. The unity of the composition as an historic whole is moreover impaired by the introduction of other foreign tributaries besides those brought from Punt; whence it may be concluded that the artist, in order to produce a more brilliant effect, introduced the representatives of various nations who on other occasions, had laid their tribute at the feet of Hatshepsut.
Figure 10. Chiefs of Punt bowing before Egyptians (Eduard Naville, 1898)
Gambar 10. Kepala Punt membungkuk sebelum Mesir (Edouard Naville, 1898)
Gambar 8 dan Gambar 10, yang akan ditempatkan di atas angka 9, menunjukkan pendaratan dari kapal di Thebes di hadapan ratu. Representasi ini, dimana hampir semua bagian atas telah hilang, sangat menarik, karena kita lihat Afrika jumlahnya besar yang datang ke Mesir dengan kapal.
Figure 8 and Figure 10, which is to be placed over Figure 9, shows us the landing from the ships at Thebes in the presence of the queen. This representation, of which nearly all the upper part has been lost, is particularly interesting, because we see Africans in great number who have come to Egypt with the ships.
Dimulai pada akhir kereta panjang yang pawai menuju queen, kita melihat Puntites membawa ebony, senjata melengkung, dan mengemudi sapi. Sebelum mereka yang orang Mesir membawa dupa-pohon berharga. Berikutnya datang dua baris laki-laki, setiap baris yang dibagi dalam dua di awal. di bawah satu kita menemukan lagi Puntites dengan amphoras, mungkin penuh dengan balsam, dan keranjang yang berisi anti. salah satu dari mereka mengarah kera a. roti panjang menunjuk dan obelisk yang resin yang bentuk yang telah diberikan. di depan prosesi Puntites empat kepala berlutut, dengan mengangkat tangan ke arah ratu, dan memohon dia untuk bermurah hati kepada mereka.
“Mereka mengatakan, memohon Yang Mulia nya, hujan es kepadamu, Raja Mesir, Lady Ra, bersinar seperti disk surya ……”
Beginning at the end of the long train which marches towards the queen, we see Puntites carrying ebony, curved weapons, and driving cows. Before them are Egyptians bringing the precious incense-trees. Next come two rows of men, each row being divided in two at the beginning. In the lower one we find again Puntites with amphoras, probably filled with balsam, and baskets containing ảnti. One of them leads a macaque. The long pointed loaves and the obelisks are resin to which that shape has been given. In front of the procession of Puntites are four chiefs kneeling, with hands raised towards the queen, and imploring her to be merciful to them.
“they say, imploring her Majesty, hail to thee, King of Egypt, Lady Ra, shining like the solar disk ……”
The Puntites memiliki jenis dan gaun yang sama seperti yang kita lihat dalam deskripsi negara mereka. Di atas mereka adalah pemimpin dari “the Irem”. Sejauh yang kami bisa menilai dari apa yang tersisa dari kepala kepala berlutut dan dari berdiri yang . orang yang mengikuti membawa emas dan macan tutul atau macan kumbang, dan yang mungkin menjadi salah satu dari mereka, Irem tidak negro atas dua orang negro, disebut kepala “dari Neuw”; orang-orang ini adalah sama seperti yang terlihat di dekat gubuk . blok yang mereka diwakili pulih dalam merobohkan salah satu dinding bagian atas.
Menurut Brugsch, yang Irem adalah Blemmyes Seperti Mesir, mereka milik cabang Hamitic, mereka membawa emas dan macan tutul atau macan kumbang.
The Puntites have the same type and dress as we saw in the description of their country. Above them are the chiefs of “the Irem”. As far as we can judge from what is left of the head of the kneeling chief and from the standing man who follows bringing gold and a leopard or a panther, and who may be one of them, the Irem are not negroes. Above are two negroes, called the chiefs “of Nemyuw”; these men are the same as those seen near the huts. The block on which they are represented was recovered in pulling down one of the upper walls.
According to Brugsch, the Irem are the Blemmyes. Like the Egyptians, they belong to the Hamitic branch; they bring gold and a leopard or a panther.
Pada tahun kedelapan dari Seti I (1283 SM), Irem memberontak. Namun, kampanye melawan Irem adalah jauh lebih serius daripada salah satu kampanye Levantine Seti. Seti I, berangkat dari sungai Nil, berhasil mengambil lima sumur dan 400 orang dengan menggunakan kereta. pentingnya sumur dan penggunaan kereta (bukan kapal, seperti yang diharapkan untuk tempat di dalam Lembah Nil) menunjukkan bahwa Irem adalah daerah pastoral di luar Lembah Nil. ini lokasi Irem membuat identifikasi dengan Yam dari Kerajaan Lama semua lebih mungkin.
Sejak kepala Nephew ini digambarkan sebagai orang negro, itu harus ditempatkan di suatu tempat di lembah Nil atas Kurgus.
In the eighth year of Seti I (1283 BC), Irem revolted. However, the campaign against Irem was far less serious than any one of Seti’s Levantine campaigns. Seti I, setting off from the Nile, managed to take five wells and 400 people with the use of chariots. The importance of wells and the use of chariots (not boats, as might be expected for a place inside the Nile Valley) suggest that Irem was a pastoral area outside the Nile Valley. This location of Irem makes its identification with the Yam of the Old Kingdom all the more likely.
Since Nemyew’s chiefs are portrayed as negroes, it should be placed somewhere in the Nile valley above Kurgus.
Semua orang-orang ini seharusnya di hadapan Ratu, yang, bagaimanapun, tidak tampaknya telah dirinya diwakili. Pada jenis berdiri dihiasi seperti takhta itu cartouche dan nama ka nya. Teks yang sebelahnya hancur hampir setengah dari tingginya.
“…… The membungkuk sebelum Pengguna Kau (Hatshepsut) oleh para pemimpin Punt
…… Anti dari Nubia dari khenthunnefer, semua tanah ………… dari
…… Membungkuk, membawa barang-barang mereka di tempat di mana Mulia nya.
…… Jalan yang tidak pernah telah diinjak oleh orang lain, melainkan diperhitungkan
…… Penguasa Thebes, sebagai penghargaan untuk setiap tahun.
…… Sebagai diperintahkan kepadanya oleh ayahnya, yang menempatkan semua tanah di bawah kakinya hidup selamanya. ”
All these men are supposed to be in presence of the queen, who, however, does not seem to have been herself represented. On a kind of stand adorned like a throne was her cartouche and her ka name. The text which was next to it is destroyed to nearly half of its height.
“…… the bowing down before Usertkau (Hatshepsu) by the chiefs of Punt
…… the Ảnti of Nubia of khenthunnefer, all lands………… of
…… stooping, bringing their goods in the place where is her Majesty.
…… roads which never had been trodden by others; it was reckoned
…… the lord of Thebes, as a tribute for each year.
…… as was ordered to her by her father, who put all lands under her feet living eternally.”
Nubia merupakan wilayah sepanjang sungai Nil terletak di apa yang sekarang Sudan utara dan selatan Mesir. Nama Nubia berasal dari yang dari orang Noba, nomaden yang menetap daerah di abad ke-4, dengan runtuhnya kerajaan Meroe. sebelum abad ke-4, dan seluruh zaman klasik, Nubia dikenal sebagai Kush, atau Khent Hunnefer, atau Khent-hen-Nefer, atau Khenthennofer, atau, dalam penggunaan Yunani klasik, termasuk dengan nama Ethiopia (Ethiopia). Nubia memiliki besar pengaruh pada Mesir. Bahkan cara Nubia memakai rambut mereka disalin oleh orang Mesir.
Nubia is a region along the Nile river located in what is today northern Sudan and southern Egypt. The name Nubia is derived from that of the Noba people, nomads who settled the area in the 4th century, with the collapse of the kingdom of Meroë. Before the 4th century, and throughout classical antiquity, Nubia was known as Kush, or Khent Hunnefer, or Khent-hen-nefer, or Khenthennofer, or, in Classical Greek usage, included under the name Ethiopia (Aithiopia). Nubia had a great influence on Egypt. Even the way the Nubians wore their hair was copied by the Egyptians.
Gambar 11. Ratu korban ke Amon produk ekspedisi (Eduard Naville, 1898)
Dalam rangka untuk mengungkapkan rasa syukur dia Amon, yang telah menunjukkan jalan ke kapal dan membawa mereka kembali dengan selamat, Hatshepsut paling menguduskan hal terbaik dari Punt untuk dewa. Ini kita melihat dia melakukan dalam sebuah adegan yang menempati seluruh ketinggian dinding. Hatshepsut berdiri, mengenakan mahkota atef, memegang lambang kekuasaan raja, dan diikuti oleh ka nya, mendedikasikan untuk Amon produk pilihan dari negara-negara asing.
Figure 11. The queen offering to Amon the products of the expedition (Eduard Naville, 1898)
In order to express her thankfulness to Amon, who had shown the way to her ships and brought them back safely, Hatshepsu must consecrate the best things of Punt to the god. This we see her doing in a scene which occupies the whole height of the wall. Hatshepsu standing, wearing the atef crown, holding the insignia of royal power, and followed by her ka, dedicates to Amon the choice products of the foreign countries.
Raja sendiri, raja Mesir Hulu dan Hilir, Ramaka mengambil hal-hal yang baik dari Punt, dan barang-barang berharga dari Tanah Ilahi, menyajikan hadiah dari negara-negara selatan, upeti dari Kusch keji, kotak (emas dan berharga batu) dari tanah yang negro ke Amon Ra, penguasa tahta dua tanah. raja Ramaka, dia hidup, dia berlangsung, dia penuh sukacita, dia memerintah atas tanah seperti Ra selamanya. ”
“The king himself, king of Upper and Lower Egypt, Ramaka takes the good things of Punt, and the valuables of the Divine Land, presenting the gifts of the southern countries, the tributes of the vile Kusch, the boxes (of gold and precious stones) of the land of the negroes to Amon Ra, the lord of the throne of the two lands. The king Ramaka, she is living, she lasts, she is full of joy, she rules over the land like Ra eternally.”
Figure 12. Incense trees planted in the Garden of Amon (Eduard Naville, 1898)
Gambar 12. pohon Dupa ditanam di Taman Amon (Edouard Naville, 1898)
Kargo berharga yang ratu merasa terikat untuk menawarkan kepada Amon diwakili dalam empat gambar berikut. Dinding di sini dibagi menjadi dua baris. Dimulai di bagian bawah, kita lihat dulu produk yang benar mereka dari Tanah Punt, empat pohon-pohon besar, dupa-pohon yang ditanam di taman Amon, di mana mereka telah makmur dan mencapai ketinggian sehingga ternak dapat dengan mudah berjalan di bawah cabang Berbagai hal telah dikumpulkan di bawah naungan pohon-pohon: .. Abu, yang berarti gading under gading adalah zat yang disebut kash, yang maknanya diragukan, tapi Naville menganggap menjadi kura-shell menilai dari yang menentukan.
The valuable cargo which the queen feels bound to offer to Amon is represented in the four following figures. The wall is here divided into two rows. Beginning at the bottom, we see first the products which are properly those of the Land of Punt, four large trees, incense-trees planted in the garden of Amon, where they have prospered and reached such a height that cattle may easily walk under their branches. Various things have been collected in the shade of the trees: ảbu, which means ivory. Under the tusks is a substance called kash, the meaning of which is doubtful, but Naville considers being tortoise-shell judging from the determinative.
Ternak adalah sapi pendek bertanduk, lanjut kita lihat ebony, tas zat yang disebut mesṭem (Naville dan Mariette menyatakan sebagai antimon, digunakan untuk pencelupan mata), maka senjata melengkung mirip dengan yang dimiliki oleh Parehu (yang ảamu dari yang Puntites), dan cincin dan kotak penuh ASEM logam (Naville mengasumsikan sebagai paduan emas dan perak).
The cattle are the short-horned cows, further we see ebony, bags of the substance called mesṭem (Naville and Mariette allege as antimony, used for dyeing the eyes), then the curved weapons similar to the one held by Parehu (the ảamu of the Puntites), and rings and boxes full of the metal åsem (Naville assumes as an alloy of gold and silver).
Figure 13. Measuring the heaps of incense from Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 13. Mengukur tumpukan dupa dari Punt (Edouard Naville, 1898)
Dupa Anti, yang ada sebanyak empat belas macam yang berbeda, adalah produk yang paling penting dari Punt. Kita lihat di sini bahwa banyak kantong zat yang yang kepala bagian dari kargo kapal, telah dikosongkan, dan . dupa, setelah diukur dengan cara gantang, dikumpulkan di tumpukan besar teks menjelaskan bahwa “ini adalah tumpukan hijau [segar] anti jumlahnya besar; pengukuran anti hijau dalam jumlah besar untuk Amon, penguasa singgasana dari dua lahan, dari keajaiban Tanah Punt, dan hal-hal yang baik dari Ilahi Tanah “. di atas tumpukan adalah dupa-pohon dalam pot.” pohon anti hijau tiga puluh satu, membawa antara keajaiban menyepak bola ke Mulia dewa ini, Amon Ra, penguasa tahta dua tanah; tidak pernah hal seperti terlihat sejak dunia adalah “.
The incense ảnti, of which there were as many as fourteen different sorts, was the most important product of Punt. We see here that the numerous bags of that substance which were the chief part of the cargo of the ships, have been emptied, and the incense, after having been measured by means of bushels, is gathered in large heaps. The text explains that “these are heaps of green [fresh] ảnti in great number; the measuring of green ảnti in great quantity to Amon, the lord of the thrones of the two lands, from the marvels of the Land of Punt, and the good things of the Divine Land”. Above the heaps are incense-trees in pots. “Trees of green ảnti thirty-one, brought among the marvels of Punt to the Majesty of this god, Amon Ra, the lord of the throne of the two lands; never was such thing seen since the world was.”
. Di balik empat orang mengosongkan gantang mereka berdiri seorang pria yang angka telah terhapus Dia disebut “penulis, pelayan Thoth [mes?]” Kami tidak tahu mengapa sosoknya telah terhapus;. Dia mungkin telah salah teman-teman dan pendukung Hatshepsut, dan karena itu nama dan sosoknya hancur. Kita akan melihat contoh-contoh lain dari nama-nama pejabat yang terhapus.
Dewa Thoth sendiri bertindak sebagai penulis, dan menyimpan catatan dari semua yang telah dibawa dari Punt dan menawarkan untuk dewa:
“Untuk merekam secara tertulis, untuk membuat rekening;. Sama sekali jutaan, ratusan ribu, puluhan ribu, ribuan, ratusan [jumlah tak terbatas] dari hal-hal baik dari Tanah Punt, diberikan kepada Amon Ra”
Behind the four men emptying their bushels stood a man whose figure has been rubbed off. He is called “the writer, the steward Thoth[mes?]”. We do not know why his figure has been erased; he may have been one of the friends and supporters of Hatshepsu, and therefore his name and figure were destroyed. We shall see other instances of names of officials being erased.
The god Thoth himself acts as writer, and keeps a record of all that has been brought from Punt and offered to the god:
“to record in writing, to make up the accounts; altogether millions, hundreds of thousands, tens of thousands, thousands, hundreds [an infinite number] of good things of the Land of Punt, given to Amon Ra.”
Thoth, yang dikatakan berada di sebuah kuil, nama yang diragukan, dan yang disebut kepala rekhytu, telah terhapus. Penghancuran ini tentu bukan pekerjaan dari salah satu Thothmes, dan harus ditugaskan untuk kemudian hari.
Thoth, who is said to reside in a temple, the name of which is doubtful, and who is called the chief of the rekhytu, has been erased. This destruction is certainly not the work of any of the Thothmes, and must be assigned to a later date.
Figure 14. Products of the southern lands (Eduard Naville, 1898)
Gambar 14. Produk dari daratan selatan (Edouard Naville, 1898)
Atas produk dari Punt adalah mereka yang seharusnya datang dari negara-negara selatan (Upper Nile), yaitu daerah Upper Nile, dihuni oleh orang-orang negro yang kita lihat diwakili sebelumnya, dan oleh Anti dari Nubia. Barang-barang ini harus memiliki . dibawa oleh kafilah, menunjukkan bahwa sudah ada perdagangan reguler didirikan antara lembah sungai Nil dan pantai Kami lihat di sini jerapah, sapi bertanduk panjang, dua jenis macan tutul atau macan tutul: yang “selatan”, yang lebih besar , dan yang tampaknya telah hanya obyek dari rasa ingin tahu, sementara “orang-orang dari utara” yang diselenggarakan oleh kerah, dan mungkin lebih atau kurang jinak, sehingga dapat digunakan untuk berburu. seperti dalam kasus Punt kita melihat besar kuantitas Asem, cincin dan kotak, senjata melengkung dan ebony, selain kulit telur macan tutul, busur, bulu, dan burung unta.
Above the products of Punt are those which are supposed to come from the southern countries (Upper Nile), viz the regions of the Upper Nile, inhabited by the negroes whom we saw represented before, and by the Anti of Nubia. These goods must have been brought by caravans, showing that there was already a regular trade established between the valley of the Nile and the coast. We see here a giraffe, long-horned cattle, two kinds of leopards or leopards: the “southern”, which is larger, and which seems to have been only an object of curiosity, while “those of the north” are held by collars, and were probably more or less tame, so as to be used for hunting. As in the case of Punt we see great quantities of åsem, in rings and boxes, curved weapons and ebony, besides skins of leopards, bows, feathers, and ostrich eggs.
Atas kesenjangan besar di tengah-tengah gambar kita melihat puncak beberapa kolom teks dan fragmen dari cartouche yang tampaknya menjadi yang Thutmose I. Mungkin mengacu pada kampanyenya di Asia, menuju Efrat, sejauh tempat yang disebut Niy, di mana Thothmes III, cucunya, seperti yang kita tahu dari biografi salah satu pejabatnya, gajah diburu, menewaskan sejumlah besar dari mereka. beberapa tanda-tanda • titik kiri ke sebuah prasasti dari jenis yang sama seperti yang berhubungan perbuatan raja muda.
Above the large gap in the middle of the figure we see the tops of several columns of text and fragments of a cartouche which seems to be that of Thothmes I. It probably refers to his campaign in Asia, towards the Euphrates, as far as a place called Niy, where Thothmes III, his grandson, as we know from the biography of one of his officials, hunted elephants, killing a great number of them. The few signs • left point to an inscription of the same kind as that which relates the deeds of the younger king.
Figure 15. Weighing precious metals from the southern countries (Eduard Naville, 1898)
Gambar 15. Beratnya logam mulia dari negara-negara selatan (Eduard Naville, 1898)
Semua hal yang baik dari negara-negara selatan dibawa ke Amon oleh dewa Tetun, dewa Nubia, yang hadir pada berat dari logam mulia ini berat adalah pengawas oleh Horus:
“Jumlah tersebut, hak salah satu Thoth, untuk menimbang perak, emas, lapis lazuli, perunggu.”
Pada patung hanya ada penimbangan Asem di cincin;. bawah ini adalah weightsṭebennu, beberapa di antaranya memiliki bentuk banteng Seperti Thoth lakukan dalam kasus Punt, Aman Kabui sini mencatat jumlah yang tidak terbatas dari hal-hal yang baik dari tanah selatan.
All the good things from the southern countries are brought to Amon by the god Tetun, the god of Nubia, who is present at the weighing of the precious metals. This weighing is superintended by Horus:
“The balance, the right one of Thoth, for weighing silver, gold, lapis lazuli, malachite.”
On the sculpture there is only the weighing of åsem in rings; below are the weightsṭebennu, some of which have the form of bulls. As Thoth did in the case of Punt, Safekhabui here records an unlimited number of good things from the lands of the south.
Ada Lokasi Hipotesis dari Punt
Perdebatan Punts tempat di peta dimulai pada tahun 1850-an, ketika Antiquities Layanan baru dibentuk Mesir mulai membersihkan kuil-kuil besar di dan sekitar Thebes. Berdasarkan baru terungkap teks hieroglif yang menggambarkan Punt sebagai sumber zat aromatik yang terletak di sebelah timur Mesir, Heinrich Karl Brugsch pertama kali diusulkan, di tahun 1850-an, yang Punt berbaring di Semenanjung Arab. tampaknya cukup sederhana. Setelah semua, orang Yunani telah memuliakan “parfum of Arabia”, negeri yang terletak di sebelah timur karena Mesir.
The debate over Punt’s place on the map began in the 1850s, when the newly formed Antiquities Service of Egypt began clearing the great temples in and around Thebes. Based on newly revealed hieroglyphic texts that described Punt as a source of aromatic substances situated to the east of Egypt, Heinrich Karl Brugsch first suggested, in the late 1850s, that Punt lay on the Arabian Peninsula. It seemed straightforward enough. After all, the Greeks had glorified the “perfumes of Arabia”, a land that lies due east of Egypt.
Auguste Mariette mengubah pemikiran ini dengan dua penemuan. Salah satunya adalah daftar hieroglif bahwa Firaun Tuthmosis III kiri di Karnak Temple di Thebes yang termasuk Punt di lahan tersebut selatan Mesir. Yang lainnya adalah Hatshepsut relief, yang antara bukti lain yang disandangnya yang poin ke Afrika, menunjukkan hewan jelas Afrika sebagai produk atau penduduk asli Punt, termasuk jerapah dan badak, baik yang ditemukan di Arab. untuk lokasi Punt, Mariette menetap di pantai Somalia, yang juga dikenal aromatik nya , termasuk dupa dongeng.
Auguste Mariette changed this thinking with two discoveries. One was a hieroglyphic list that the Pharaoh Tuthmosis III left at Karnak Temple in Thebes that included Punt in those lands south of Egypt. The other was Hatshepsut’s bas-relief, which, among other evidence it bears that points to Africa, shows distinctly African animals as products or natives of Punt, including the giraffe and rhinoceros, neither of which is found in Arabia. For the location of Punt, Mariette settled on the Somali coast, which also is known for its aromatics, including the fabled incense.
Hipotesis Mariette diadakan baik ke abad berikutnya. Kemudian, pada tahun 1960, berdasarkan studi rinci tentang flora dan fauna dan elemen lain dari Punt diwakili dalam Hatshepsut relief, Rolf Herzog ditempatkan Punt sepanjang Upper Nile selatan Mesir, khususnya antara sungai Atbara dan pertemuan sungai Putih dan Biru Niles. Punt, Herzog merasa, dicapai darat dan sungai, tetapi tidak oleh laut.
Mariette’s hypothesis held well into the next century. Then, in the 1960s, based on a detailed study of the flora and fauna and other elements of Punt represented in Hatshepsut’s bas-relief, Rolf Herzog placed Punt along the Upper Nile south of Egypt, specifically between the Atbara River and the confluence of the White and Blue Niles. Punt, Herzog felt, was reached overland and by river, but not by sea.
Namun bantuan Hatshepsut tampaknya bertentangan sikap itu, seperti Kenneth Kitchen menunjukkan dalam 1971 review pekerjaan Herzog ini. Paling tidak terbantahkan, mencatat Kitchen, ikan yang pemahat Hatshepsut digambarkan di bawah kapal Punt, bersama dengan makhluk laut lainnya seperti lobster berduri dan cumi-cumi , jelas dikenali sebagai spesies yang berenang sampai hari ini di Laut Merah.
Yet Hatshepsut’s relief appears to contradict that stance, as Kenneth Kitchen pointed out in a 1971 review of Herzog’s work. Most indisputably, Kitchen notes, the fish that Hatshepsut’s carvers depicted beneath the Punt ships, along with other marine creatures such as spiny lobster and squid, are clearly recognizable as species that swim to this day in the Red Sea.
Dapur, dalam hampir empat dekade menulis tentang masalah Punt, telah berhasil mendirikan apa yang saat ini adalah posisi yang paling banyak diterima pada lokasi Punt. Itu terletak, dia mengusulkan, dalam apa yang sekarang timur Sudan dan Ethiopia utara, memperluas .. dari Laut Merah ke Nil Saudi adalah keluar dari pertanyaan, Kitchen mengatakan Mungkin bukti yang paling bertentangan adalah linguistik, ia menulis: “Adapun Parehu, satu-satunya bernama kepala Punt, p konsonan dalam nama-nya dan bahwa dari menyepak bola itu sendiri juga tegas mengecualikan Arabia “. Old bahasa Arab Selatan memiliki sebuah f tapi tidak ada p. dengan demikian, Kitchen menulis,” Saudi akan memiliki Farehu, kepala funt “! Mesir memiliki kedua konsonan, sehingga transkripsi dapat diandalkan, ia menambahkan .
Kitchen, in nearly four decades of writing on the subject of Punt, has succeeded in establishing what today is the most widely accepted position on the location of Punt. It was situated, he proposes, in what is today eastern Sudan and northern Ethiopia, extending from the Red Sea to the Nile. Arabia was out of the question, Kitchen says. Perhaps the most contrary evidence is linguistic, he writes: “As for Parehu, the only named chief of Punt, the consonant p in his name and that of Punt itself also firmly excludes Arabia”. Old South Arabian languages possess an f but no p. Thus, Kitchen writes, “Arabia would have had a Farehu, chief of Funt”! Egyptian has both consonants, so the transcription is reliable, he adds.
Ahli lainnya, sementara mengakui masalah p, tidak begitu cepat untuk mengabaikan Saudi sebagai Tanah Punt Dalam 2003 kertas -. Salah satu yang Kitchen dirinya disebut “brilian, yang paling mengesankan tour de force” bahkan ketika dia menantang premis – Dmitri Meeks maju gagasan bahwa Punt berbaring sepanjang pantai barat seluruh Semenanjung Arab, dari Teluk Aqaba ke Yaman. Meeks mengatakan bahwa ketika orang mengambil semua referensi kuno untuk menyepak bola masuk ke rekening, gambar menjadi jelas. “Punt, kita diberitahu oleh orang Mesir, terletak – dalam kaitannya dengan Lembah Nil – baik ke utara, kontak dengan negara-negara di timur dekat dari daerah Mediterania, dan juga ke timur atau tenggara, sementara perbatasannya terjauh yang jauh ke selatan “, tulisnya.” Hanya Semenanjung Arab memenuhi semua indikasi ini. ”
Other experts, while acknowledging the p problem, are not so quick to dismiss Arabia as the Land of Punt. In a 2003 paper – one that Kitchen himself called “a brilliant, most impressive tour de force” even as he challenged its premise – Dmitri Meeks advanced the notion that Punt lay along the entire western coast of the Arabian Peninsula, from the Gulf of Aqaba to Yemen. Meeks says that when one takes all ancient references to Punt into account, the picture becomes clear. “Punt, we are told by the Egyptians, is situated – in relation to the Nile Valley – both to the north, in contact with the countries of the Near East of the Mediterranean area, and also to the east or southeast, while its furthest borders are far away to the south”, he writes. “Only the Arabian Peninsula satisfies all these indications.”
Dalam salah satu hipotesis yang paling baru yang diusulkan, Stanley Balanda, dalam 2005 -. 2006 kertas, menawarkan semacam kompromi antara teori Dapur dan Meeks Balanda berpendapat bahwa ekspresi kunci dalam teks Hatshepsut telah disalahartikan mengatakan “laut” atau “sepanjang laut depan” ketika itu benar-benar berarti “di kedua sisi laut”. dari petualang Hatshepsut memang telah, seperti Balanda diterjemahkan salah satu dari sedikit hieroglif, “bernada tenda untuk perwakilan dan ekspedisi raja untuk teras dupa di kedua sisi laut untuk menerima para kepala negeri ini “, maka salah satu tempat di laut Merah menampilkan dirinya di atas semua orang lain. ini adalah selat Bab el Mandeb di ujung selatan laut, di mana saat ini Djibouti dan Yaman saling berhadapan di menyempit tidak lebih luas selat Inggris. Punt dari, Balanda mengusulkan, adalah wilayah ukuran tdk membentang di kedua sisi selat, yang terletak di jantung kegiatan komersial Puntite.
In one of the most recently proposed hypotheses, Stanley Balanda, in a 2005 – 2006 paper, offers a sort of compromise between the Kitchen and Meeks theories. Balanda argues that a key expression within Hatshepsut’s text has been misinterpreted as saying “by the sea” or “along the sea front” when it really means “on both sides of the sea”. If Hatshepsut’s expeditionaries had indeed, as Balanda translates one bit of hieroglyphs, “pitched tents for the king’s representative and his expedition to the incense terraces on both sides of the sea in order to receive the chiefs of this land”, then one place on the Red Sea presents itself above all others. This is the straits of Bab el Mandeb at the sea’s southern end, where today Djibouti and Yemen face each other across narrows no wider than the English Channel. Punt, Balanda proposes, was a region of indeterminate size stretching out on both sides of the strait, which lay at the heart of Puntite commercial activities.
Sumatera Hipotesis dari Punt
Ekspedisi Mesir yang paling terkenal untuk menyepak bola, dan satu dari yang kita peroleh sebagian besar informasi kami adalah salah satu yang dilakukan oleh 18-dinasti Ratu Hatshepsut (1473-1458 SM) dan dicatat dalam relief baik sekali rinci di dinding kuil kamar mayat nya di Deir El-Bahari. ekspedisi ini dipimpin oleh petugas Nubian, Nehsi. rute “dengan tanah dan laut” paling mungkin pergi dari Koptos darat melalui Wadi Hammamat ke pelabuhan laut Merah Queisir, dibongkar lima kapal yang diangkut oleh keledai untuk akan kembali berkumpul pada saat kedatangan di pelabuhan (Kitchen 1993). teks yang menyertai relief Deir el-Bahari khusus mengulangi tiga kali ekspedisi pergi “dengan tanah dan laut” dan metode ini sama perjalanan yang digunakan pada ekspedisi yang dipimpin oleh henu pada masa pemerintahan raja Mentuhotep III dan pada ekspedisi dipasang oleh raja Ramses III. ekspedisi dari Senusret I memberikan beberapa bukti paling jelas dari ekspedisi Mesir utama untuk menyepak bola dengan menggunakan Red Sea rute.
The most famous Egyptian expedition to Punt, and the one from which we derive most of our information is the one conducted by 18th-dynasty Queen Hatshepsut (1473 – 1458 BC) and recorded in the splendidly detailed reliefs on the walls of her mortuary temple at Deir El-Bahari. This expedition was led by the Nubian officer, Nehsi. The route “by land and sea” most probably went from Koptos overland via Wadi Hammamat to the Red Sea port of Queisir, the dismantled five ships being transported by donkey to be re-assembled on arrival at the port (Kitchen 1993). The text accompanying the Deir el-Bahari reliefs specifically repeats three times that the expedition went “by land and sea” and this same method of travel was used on the expedition led by Henu in the reign of king Mentuhotep III and on the expedition mounted by king Ramesses III. The expedition of Senusret I provides some of the clearest evidence of a major Egyptian expedition to Punt using the Red Sea route.
Papirus Harris I, dokumen Mesir kontemporer yang rinci peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan awal 20 dinasti raja Ramses III, mencakup deskripsi eksplisit dari ekspedisi Mesir kembali dari Punt:
“Saya mencincang galley besar dengan tongkang sebelum mereka. Mereka diutus ke laut besar air terbalik, mereka tiba di negara Punt. Mereka sarat dengan produk-produk dari Land.They Allah tiba dengan selamat di gurun-negara Coptos: .. mereka tertambat dalam damai, membawa barang yang mereka bawa mereka [barang] yang dimuat, dalam perjalanan darat, pada keledai dan atas laki-laki, sedang ulang ke kapal di pelabuhan Coptos mereka [barang dan Puntites] dikirim ke depan hilir, tiba di pesta, membawa upeti ke hadirat kerajaan. ”
Papyrus Harris I, a contemporary Egyptian document which detailed events that occurred in the reign of the early 20th dynasty king Ramesses III, includes an explicit description of an Egyptian expedition’s return from Punt:
“I hewed great galleys with barges before them. They were sent forth into the great sea of the inverted water, they arrived at the countries of Punt. They were laden with the products of God’s Land.They arrived safely at the desert-country of Coptos: they moored in peace, carrying the goods they had brought. They [the goods] were loaded, in travelling overland, upon asses and upon men, being reloaded into vessels at the harbor of Coptos. They [the goods and the Puntites] were sent forward downstream, arriving in festivity, bringing tribute into the royal presence.”
Sayed di pertengahan 1970-an ditemukan potsherds dengan dicat (tangan bersambung) prasasti dan tertulis ekspedisi rekaman stelae untuk Bia-Punt (yang “saya” dari Punt), beberapa ukiran, jangkar putaran atasnya dan fragmen kayu cedar diukir dengan tanggam sebuah, kemungkinan besar dari sebuah kapal. Dia menyarankan bahwa Mersa / Wadi Gawasis adalah port ofSʒww fir’aun untuk ekspedisi pelayaran untuk menyepak bola di Keduabelas Dinasti. Beard dan Fattovich pada tahun 2001 mengungkapkan struktur seremonial, kayu kapal, jangkar batu, tali, dan artefak lainnya dating ke awal dan kemudian Twelfth Dinasti. Mereka juga menemukan hutan karbonisasi ebony dan obsidian (kaca vulkanik), serta pisau dari dayung kemudi. Mereka bahkan menemukan kotak kargo bantalan dicat teks hieroglif menggambarkan isi sebagai “hal-hal yang indah Punt”.
Sayed in the mid-1970s found potsherds with painted (hieratic) inscriptions and inscribed stelae recording expeditions to Bia-Punt (the “mine” of Punt), some carved, round-topped anchors and a fragment of carved cedar timber with a mortise, most likely from a ship. He suggested that Mersa/Wadi Gawasis was the pharaonic port ofSʒww for seafaring expeditions to Punt in the Twelfth Dynasty. Bard and Fattovich in 2001 revealed ceremonial structures, ship timbers, stone anchors, ropes, and other artifacts dating to early and later Twelfth Dynasty. They also uncovered carbonized ebony woods and obsidian (a volcanic glass), as well as blades of a steering oar. They even found cargo boxes bearing painted hieroglyphic text describing the contents as the “wonderful things of Punt”.
Bukti yang jelas seperti untuk rute laut ke Punt praktis tak terbantahkan, dan sekarang umumnya diterima oleh kebanyakan ahli bahwa beberapa jika tidak sebagian besar ekspedisi digunakan Laut Merah untuk bepergian untuk menyepak bola. The atribusi dari Punt sebagai “Land of the Gods”, ” tanah Leluhur “,” tanah Suci “atau” Divine Land “disebut sebagai Abode of the Gods di mana lokasinya di sebelah timur Mesir ke arah matahari terbit, berarti Punt pasti terletak di sebelah timur Mesir. ekspedisi untuk melakukan perjalanan ke Punt menggunakan jalur laut mulai di laut Merah.
Such clear evidence for a sea route to Punt is practically irrefutable, and it is now generally accepted by most scholars that some if not most expeditions used the Red Sea to travel to Punt. The attribution of Punt as “Land of the Gods”, “Land of the Ancestors”, “Holy Land” or “Divine Land” referred to as the Abode of the Gods where its location is to the east of Egypt in the direction of the sunrise, means that Punt definitely located east of Egypt. The expeditions to travel to Punt used the sea route began at the Red Sea.
Orang Mesir yang tidak terlalu fasih dalam bahaya perjalanan laut, dan perjalanan panjang ke Punt adalah situasi yang melibatkan paparan bahaya. Imbalan memperoleh dupa, kayu eboni dan barang berharga lainnya jelas lebih besar daripada risiko.
The Egyptians were not particularly well versed in the hazards of sea travel, and the long voyage to Punt is a situation involving exposure to danger. The rewards of obtaining incense, ebony and other valuable goods clearly outweighed the risks.
Ekspedisi untuk menyepak bola dengan Hatshepsut tercatat dalam relief baik sekali rinci di dinding kuil kamar mayat mulia nya di Deir El-Bahari. Reputasinya dan prestasi diperbesar dicapai oleh kembali sukses pada bahaya laut, ritual dan perayaan setelah prestasi dan indikator kepemimpinan dan keterampilan dalam memotivasi dan mengatur masyarakat Mesir untuk prestasi tinggi, pameran betapa sulitnya pelayaran menuju dan kembali dari Punt itu. hal-hal seperti juga dilakukan oleh mantan dan mengikuti firaun, meskipun tidak terdokumentasi dengan baik. ini komplikasi dan prestasi akan menunjukkan bahwa pelayaran tidak terjadi semata-mata di laut Merah, tapi di laut terbuka, Samudera Hindia. jarak yang sangat panjang akan menjelaskan mengapa begitu sedikit pelayaran yang dibuat di sana, tidak mungkin di laut Merah saja. The prasasti di dinding Deir El-Bahari “melintasi laut besar di Baik Jalan ke Tanah para Dewa” dan dari Papyrus Harris I “Mereka diutus ke laut besar air terbalik …” menggambarkan rute itu merupakan laut ( “laut besar”).
The expedition to Punt by Hatshepsut is recorded in the splendidly detailed reliefs on the walls of her glorious mortuary temple at Deir El-Bahari. Her reputation and magnified accomplishment achieved by the successful return upon the dangers of the sea, ritual and celebration after the achievement and the indicator of her leadership and skill in motivating and governing the Egyptian society to high achievement, exhibit how difficult the voyages leading to and returning from Punt was. Such things were also accomplished by the former and following pharaohs, though not well documented. These complications and achievements would indicate that the voyages did not take place solely in the Red Sea, but in the open sea, the Indian Ocean. The very long distance would explain why so few voyages were made there, unlikely in the Red Sea alone. The inscription on the wall of Deir El-Bahari “traversing the Great Sea on the Good Way to the Land of the Gods” and from Papyrus Harris I “They were sent forth into the great sea of the inverted water…” depict the route was an ocean (“Great Sea”).
Relief pilar di Deir El-Bahari jelas sangat penting karena mereka menunjukkan secara detail flora dan fauna dan penduduknya. Adegan menggambarkan tidak hanya produk perdagangan yang Negara diperdagangkan dengan orang Mesir, tetapi juga beberapa fauna dan flora Punt. mantan dapat digolongkan sebagai barang mewah yang paling penting adalah dupa (aNTI), digunakan secara luas di Mesir ibadah ritual agama. barang lainnya termasuk ebony, gading, emas / elektrum, kayu manis, kayu khesit, balsam, resin , cangkang kura-kura dan senjata. fauna digambarkan termasuk spesies yang beragam seperti sapi sesingkat-bertanduk, kera babi-ekor, badak bercula satu, monyet, anjing, kulit macan tutul, dan berbagai macam ikan juga ditampilkan. The flora memiliki telah diidentifikasi sebagai telapak sirih, pohon eboni dan pohon kemenyan. pondok rakyat yang dibangun di atas tiang, dengan tangga memberikan akses kepada mereka, yang terbuat dari anyaman dari bentuk dan konstruksi yang sama.
The colonnade reliefs at Deir El-Bahari are clearly of crucial importance since they show in great detail its flora and fauna and its inhabitants. The scenes illustrate not only the trade products which the Puntites traded with the Egyptians but also some of the fauna and flora of Punt. The former may be classed as luxury goods of which the most important is incense (ảnti), used widely in Egyptian religious ritual worship. Other goods include ebony, ivory, gold/electrum, cinnamon wood, khesit wood, balsam, resin, tortoise shells and weapons. The fauna depicted include such diverse species as short-horned cows, pig-tailed macaques, one-horned rhinoceros, monkeys, dogs, skins of clouded leopards and a wide variety of fishes are also displayed. The floras have been identified as the betel palm, the ebony tree and the styrax tree. The huts of the people are built on poles, with ladders giving access to them, made of wickerwork of the same shape and construction.
Bukti arkeologi sejauh ini agak jarang dan kecuali bukti tambahan muncul, tidak mungkin bahwa siapa pun akan pernah bisa menentukan lokasi Punt dengan jumlah pasti. Semua yang satu dapat lakukan adalah membuat hipotesis untuk keberadaannya dengan tingkat wajar probabilitas, dengan mengumpulkan bukti-bukti membentuk senyawa karakteristik diamati (istilah mirip dengan “fenotipe” dalam biologi). bukti harus dari bukti asli kuat atau paling mungkin mewakili fenotipe. The kaya senyawa dari fenotipe, semakin kuat kemungkinan hipotesis. Mengandalkan metode ini dan setelah mengumpulkan bukti, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di Sumatera, Indonesia.
Archaeological evidence is so far somewhat sparse and unless additional evidence turns up, it is unlikely that anyone will ever be able to pinpoint the location of Punt with total certainty. All that one can do is make a hypothesis for its whereabouts with a fair degree of probability, by gathering evidence shaping a compound of observable characteristics (term similar to “phenotypes” in biology). The evidence shall be of genuine proofs strongly or most probably representing the phenotypes. The richer the compound of the phenotypes, the stronger the likelihood of the hypothesis. Relying on this method and after gathering evidence, the author makes a hypothesis that the Land of Punt is located in Sumatera, Indonesia.
Pulau Sumatera
Sumatera adalah sebuah pulau di Indonesia bagian barat, pulau terbesar yang sepenuhnya di Indonesia (dua pulau besar, Kalimantan dan Papua, dibagi antara Indonesia dan negara-negara lain) dan pulau terbesar keenam di dunia. Samudera Hindia berbatasan dengan barat, barat laut , dan sisi barat daya dari dengan rantai pulau “Barrier Islands” Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano yang berbatasan dengan pantai barat daya. Di sisi timur laut Selat sempit Malaka memisahkan pulau dari Semenanjung Melayu, perpanjangan dari benua Eurasia. di tenggara sempit Selat Sunda memisahkannya dari Jawa. ujung utara berbatasan dengan Kepulauan Andaman, sementara di sisi timur adalah pulau Bangka dan Belitung, Selat Karimata dan Laut Jawa.
Sumatera is an island in western Indonesia, the largest island that is entirely in Indonesia (two larger islands, Kalimantan and Papua, are shared between Indonesia and other countries) and the sixth largest island in the world. The Indian Ocean borders the west, northwest, and southwest sides of it with the island chain “Barrier Islands” of Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai and Enggano bordering the southwestern coast. On the northeast side the narrow Strait of Malaka separates the island from the Malay Peninsula, an extension of the Eurasian continent. On the southeast the narrow Sunda Strait separates it from Java. The northern tip borders the Andaman Islands, while on the eastern side are the islands of Bangka and Belitung, Karimata Strait and the Java Sea.
Sumatera dikenal di zaman kuno dengan nama Sansekerta dari Swarnadwipa (“Pulau Emas”) dan Swarnabhumi (“Tanah Emas”), karena deposito emas dari dataran tinggi pulau itu. Geografer Arab disebut pulau seperti Lamri (Lamuri, Lambri atau Ramni) dalam 10 ke abad ke-13, mengacu pada sebuah kerajaan dekat modern Banda Aceh yang merupakan pendaratan pertama bagi para pedagang. Akhir abad ke-14 nama Sumatera menjadi populer dalam referensi untuk kerajaan Samudra Pasai, yang adalah meningkatnya daya sampai digantikan oleh Kesultanan Aceh. Sultan Alauddin Shah Aceh, pada surat yang ditulis pada tahun 1602 yang ditujukan kepada Ratu Elizabeth I dari Inggris, menyebut dirinya sebagai “raja Aceh dan Samudra”. kata itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta samudra, yang berarti “berkumpul bersama perairan, laut atau samudra”.
Sumatera was known in ancient times by the Sanskrit names of Swarnadwīpa (“Island of Gold”) and Swarnabhūmi (“Land of Gold”), because of the gold deposits of the island’s highland. Arab geographers referred to the island as Lamri (Lamuri, Lambri or Ramni) in the 10th to 13th centuries, in reference to a kingdom near modern-day Banda Aceh which was the first landfall for traders. Late in the 14th century the name Sumatera became popular in reference to the kingdom of Samudra Pasai, which was a rising power until it was replaced by Sultanate of Aceh. Sultan Alauddin Shah of Aceh, on letters written in 1602 addressed to Queen Elizabeth I of England, referred to himself as “king of Aceh and Samudra”. The word itself is from Sanskrit samudra, meaning “gathering together of waters, sea or ocean”.
Odoric dari Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, dan datang ke kerajaan Sumatera. Ibnu Battutah mengatakan dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (“Wandering ke Timur “) yang pada tahun 1345 ia berhenti di kerajaan Samatrah. pada abad berikutnya, nama Samudra, sebuah kerajaan di Aceh, diambil oleh wisatawan menyebutkan seluruh pulau. penulis Eropa di abad ke-19 ditemukan bahwa penduduk asli tidak memiliki nama untuk pulau
Odoric of Pardenone in the story of his voyage in 1318 mentioned that he sailed to the east of the Coromandel, India, for 20 days, and came to the kingdom Sumoltra. Ibn Bathutah told in the book of Rihlah ila l-Masyriq (“Wandering to the East”) that in 1345 he was stopped in the kingdom of Samatrah. In the following century, the name of Samudra, a kingdom in Aceh, was taken by travelers to mention the whole island. European writers in the 19th century found that the indigenous inhabitants did not have a name for the island.
Banyak wisatawan termasuk Ibnu Majid, Roteiro, Amerigo Vespucci, Masser, Ruy d’Araujo, Alfonso Albuquerque dan Antonio Pigafetta mencatat nama-nama: Samatrah, Camatarra, Samatara, Samatra, Camatra, Camatora, Sumatera, Sumatera, Samotra, Sumatera, Zamatra dan Zamatora . Rekaman kolonial Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake di abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra (Sumatera Indonesia).
Many travelers including Ibn Majid, Roteiro, Amerigo Vespucci, Masser, Ruy d’Araujo, Alfonso Albuquerque and Antonio Pigafetta recorded the names: Samatrah, Camatarra, Samatara, Samatra, Camatra, Camatora, Somatra, Samoterra, Samotra, Sumotra, Zamatra and Zamatora. Records of the Dutch and English colonials, since Jan Huygen van Linschoten and Sir Francis Drake in the 16th century, have always been consistent in the writing of Sumatra (Indonesian Sumatera).
Sumatera adalah lahirnya peradaban Melayu. Sebuah nama Bhumi Malayu, ditulis di Padang Roco Prasasti tanggal 1286 dan 1347 CE ditemukan di Dharmasraya (central sumatera), Adityawarman menyatakan dirinya sebagai penguasa Malayapura. The Majapahit catatan, Nagarakretagama tanggal 1365 CE, disebutkan bahwa tanah Melayu didominasi oleh Kerajaan Majapahit. dari catatan ini, nama Malayu tampaknya diidentifikasi dengan daerah sekitar lembah Batanghari dari muara ke pedalaman di masa kini tengah-timur Sumatera. orang-orang yang mendiami pantai timur Sumatera dan bagian dari semenanjung Melayu mengidentifikasi diri mereka sebagai Melayu dengan bahasa yang umum disebut bahasa Melayu. Setelah tiba di abad ke-16, orang Eropa mengidentifikasi orang-orang pribumi yang hidup di kedua pantai selat Malaka sebagai orang Melayu. istilah ini diperpanjang ke negara tetangga orang dengan ciri-ciri yang sama.
Sumatera is the cradle of Malay civilization. A name Bhumi Malayu, written in the Padang Roco Inscription dated 1286 and 1347 CE found in Dharmasraya (central Sumatera), Adityawarman declared himself as the ruler of Malayupura. The Majapahit record, Nagarakretagama dated 1365 CE, mentioned that the land of Melayu was dominated by Majapahit Empire. From these records, the name Malayu seems to be identified with the area around the Batanghari valley from estuarine to hinterland in present-day central-eastern of Sumatera. The people inhabiting the eastern coast of Sumatera and parts of the Malay peninsula identified themselves as Malay with a common language called the Malay language. After the arrival in the 16th century, the Europeans identified the native people living on both coasts of the Malaka strait as Malay people. This term extended to neighboring peoples with similar traits.
Sementara mencari budaya kuno Sumatera sangat vogue hari ini, penulis berfokus pada pulau-pulau terpencil di lepas pantai barat daya Sumatera untuk melacak kembali budaya. Rantai Pulau Andaman, Nicobar, Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano yang terisolasi pulau menghadap Samudera Hindia. pulau-pulau ini memiliki kondisi sifat dan budaya tetapi Enggano adalah yang paling terisolasi dan belum berkembang. Ada banyak literatur wisatawan awal yang cukup besar pada Enggano dari sedini 1596.
While searching the ancient culture of Sumatera is very vogue today, the author focuses on the remote islands off the southwestern coast of Sumatera to trace back its culture. The island chain of Andaman, Nicobar, Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai and Enggano are isolated island facing the Indian Ocean. These islands have similar nature conditions and cultures but Enggano is the most isolated and undeveloped. There is a considerable early traveler literature on Enggano from as early as 1596.
Figure 16. Sumatera Island
Pulau Enggano
. Pulau Enggano merupakan pulau kecil sekitar 100 km sebelah barat daya dari Sumatera Ada enam desa di pulau itu, yang semuanya terletak di hanya jalan utama pulau itu, yang melintasi utara pantai timur pulau itu: Kahayapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok dan Banjarsari. Malakoni, Apoho, dan Meok memiliki lebih Enggano pribumi, dan desa-desa lainnya memiliki populasi imigran yang lebih besar. Ada feri ke Bengkulu dari Kahayapu dan Malakoni.
Enggano Island is a small island about 100 km southwest of Sumatera. There are six villages on the island, which are all located on the island’s only main road, which traverses the island’s northeast coast: Kahayapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok and Banjarsari. Malakoni, Apoho, and Meok have more Enggano natives, and the other villages have larger immigrant populations. There are ferries to Bengkulu from Kahayapu and Malakoni.
Figure 17. Enggano Island
Nama pulau menyarankan beberapa kontak awal dengan para pedagang Portugis (engano di Portugis berarti “kesalahan”). Akun diterbitkan awal adalah bahwa dari Cornelis de Houtman. Pada 5 Juni 1596 empat kapal di bawah komando Cornelis de Houtman mendekati tanah . Ini tampaknya sebuah pulau. Meskipun beberapa anggota kru mencoba untuk pergi ke darat untuk mendapatkan pasokan segar, mereka kembali ke kapal mereka setelah melihat beberapa penduduk asli yang muncul untuk menjadi sangat agresif. Pada tahun 1602, 1614, 1622, dan 1629 kapal-kapal Belanda lainnya datang untuk Enggano dan kadang-kadang berhasil perdagangan beberapa barang. Namun, secara umum penduduk tidak cenderung untuk mencari banyak kontak dengan pengunjung.
The name of the island suggests some early contact with Portuguese traders (engano in Portuguese means “mistake”). The earliest published account is that of Cornelis de Houtman. On the 5th of June 1596 four ships under the command of Cornelis de Houtman approached land. It appeared to be an island. Although some crew members tried to go ashore to get fresh supplies, they returned to their ships after seeing some natives who appeared to be very aggressive. In 1602, 1614, 1622, and 1629 other Dutch ships came to Enggano and sometimes succeeded in trading some goods. However, in general the population was not inclined to seek much contact with the visitors.
Pada tahun 1645 pemerintahan kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) mengirim dua kapal untuk mendapatkan budak dari Enggano. Dalam pertempuran sengit dua tentara Belanda tewas, namun para prajurit lainnya berhasil menangkap 82 orang. Dalam perjalanan kembali ke Batavia enam dari Engganese meninggal. nasib para tawanan lainnya tidak diketahui. sangat mungkin bahwa mereka tidak pernah kembali ke Enggano, dan meninggal sebagai budak di Batavia. ekspedisi ini tidak dianggap sukses, sehingga untuk waktu yang lama Belanda kehilangan minat mereka di Enggano.
In 1645 the Dutch colonial administration in Batavia (present-day Jakarta) sent two ships to get slaves from Enggano. In the fierce fighting two Dutch soldiers were killed, but the other soldiers succeeded in capturing 82 people. On the way back to Batavia six of the Engganese died. The fate of the other captives is not known. It is likely that they never returned to Enggano, and died as slaves in Batavia. The expedition was not considered a success, so for a long time the Dutch lost their interest in Enggano.
Pada 1771, orang Inggris Charles Miller mengunjungi Enggano Pengalamannya diterbitkan pada tahun 1778, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda di 1779. Miller berhasil mendarat dan bertemu penduduk pribumi Dia digambarkan sebagai berikut:
In 1771, the Englishman Charles Miller visited Enggano. His experiences were published in 1778, and translated into Dutch in 1779. Miller succeeded in landing and meeting the indigenous population. He described as follows:
“Dengan susah payah dan bahaya kita memukuli sisi seluruh Selatan-barat itu, tanpa menemukan tempat di mana kita bisa mencoba untuk mendarat, dan kami kehilangan dua jangkar dan telah sangat dekat mengalami karam kapal sebelum kami menemukan tempat yang aman di mana kita mungkin menjalankan kapal. akhirnya, namun kami menemukan pelabuhan yang luas di ujung tenggara pulau dan saya langsung pergi ke dalam perahu, dan memerintahkan kapal untuk mengikuti saya secepat mungkin, untuk itu maka tenang mati. Kami mendayung langsung ke teluk ini, dan segera setelah kami telah mendapat bulat titik sebuah pulau yang memberhentikan pelabuhan, kami menemukan semua pantai ditutupi dengan biadab telanjang yang semua dipersenjatai dengan tombak dan klub, dan dua belas kano semua penuh mereka yang, sampai kita telah melewati mereka dan berbaring tersembunyi, segera bergegas keluar pada saya, membuat suara mengerikan: ini, Anda mungkin mengira, khawatir kami sangat, dan seperti yang saya punya hanya satu Eropa dan empat tentara hitam, selain empat lascars bahwa mendayung perahu. saya pikir itu yang terbaik untuk mengubah, jika mungkin di bawah senjata dari kapal sebelum aku memberanikan diri untuk berbicara dengan mereka. ”
“With great difficulty and danger we beat up the whole South-west side of it, without finding any place where we could attempt to land; and we lost two anchors and had very near suffered shipwreck before we found a secure place into which we might run the vessel. At last, however we discovered a spacious harbor at the southeast end of the island and I immediately went into it in the boat, and ordered the vessel to follow me as soon as possible, for it was then a dead calm. We rowed directly into this bay; and as soon as we had got round the point of an island which lay off the harbor, we discovered all the beach covered with naked savages who were all armed with lances and clubs; and twelve canoes all full of them who, till we had passed them, had lain concealed, immediately rushed out upon me, making a horrid noise: this, you may suppose, alarmed us greatly; and as I had only one European and four black soldiers, besides the four lascars that rowed the boat. I thought it best to turn, if possible under the guns of the vessel before I ventured to speak with them.”
Akhirnya, ia bertemu ini “biadab yang mulia” dan belajar sesuatu dari alam, feminis, ateis dan properti-berbagi budaya mereka.
“Mereka adalah tinggi, dibuat dengan baik orang, orang-orang pada umumnya sekitar lima kaki delapan atau sepuluh inci tinggi;. Para wanita lebih pendek dan lebih kikuk dibangun Mereka adalah dari warna merah, dan memiliki lurus, rambut hitam, yang laki-laki dipotong pendek, tapi wanita membiarkan tumbuh panjang, dan menggulung dalam lingkaran di atas kepala mereka sangat rapi. orang-orang pergi sepenuhnya telanjang, dan wanita mengenakan tidak lebih dari slip yang sangat sempit daun pisang. mereka tampaknya melihat segala sesuatu tentang kapal sangat penuh perhatian, tetapi lebih dari motif pencurian daripada dari rasa ingin tahu, karena mereka menyaksikan kesempatan dan unshipped kemudi perahu, dan mendayung pergi dengan itu “.
Eventually, he met these “noble savages” and learned something of their natural, feminist, atheist and property-sharing culture.
“They are a tall, well-made people; the men in general are about five feet eight or ten inches high; the women are shorter and more clumsily built. They are of a red color, and have straight, black hair, which the men cut short, but the women let grow long, and roll up in a circle on the top of their heads very neatly. The men go entirely naked, and the women wear nothing more than a very narrow slip of plantain leaf. They seemed to look at every thing about the vessel very attentively; but more from the motive of pilfering than from curiosity, for they watched an opportunity and unshipped the rudder of the boat, and paddled away with it.”
R Francis, pedagang minyak kelapa, tinggal di Enggano selama periode 1865 – 1866 dan 1868 – 1870. Dia pasti telah membuat kesan yang mendalam pada orang-orang Engganese, karena mereka masih berbicara tentang Francis ini pada 1930-an ketika ahli bahasa Jerman Hans Kahler mengunjungi pulau. Italia explorer Elio Modigliani mengunjungi Pulau Enggano antara tanggal 25 April dan 13 Juli 1891. Dia rinci peran rupanya dominan perempuan dalam budaya Enggano di L’Isola delle Donne ( “The island of Women”), pertama kali diterbitkan pada 1894, dan masih merupakan sumber informasi yang penting, bukan hanya karena teks, tetapi juga karena ilustrasi. pada tahun 1994 mereka ilustrasi disambut dengan kejutan besar di Enggano. Ketika Modigliani pada Enggano beberapa desa yang masih terletak di perbukitan. segera setelah ini, semua Engganese pindah ke daerah pesisir. Bahkan, pada abad kesembilan belas para pedagang Bugis dari Sulawesi tampaknya telah tertarik ke Enggano dengan jumlah besar kelapa. Rijksmuseum Belanda memiliki koleksi penting Enggano artefak dan publikasi mereka dengan Pieter J ter Keurs mereproduksi gambar Modigliani.
R Francis, trader in coconut oil, stayed on Enggano during the periods 1865 – 1866 and 1868 – 1870. He must have made a deep impression on the Engganese people, for they were still talking about this Francis in the 1930s when the German linguist Hans Kähler visited the island. Italian explorer Elio Modigliani visited Enggano Island between April 25 and July 13, 1891. He detailed the apparently dominant role of women in Enggano culture in L’Isola delle Donne (“The Island of Women”), first published in 1894, and still an important source of information, not only because of the text, but also because of the illustrations. In 1994 those illustrations were greeted with great surprise on Enggano. When Modigliani was on Enggano some villages were still located in the hills. Soon after this, all the Engganese moved to the coastal areas. In fact, in the nineteenth-century the Buginese traders from Sulawesi seemed to have been attracted to Enggano by the large quantities of coconuts. The Dutch Rijksmuseum has an important collection of Enggano artifacts and their publication by Pieter J ter Keurs reproduces Modigliani’s drawings.
Populasi pergi ke penurunan berat pada 1870-an, mungkin dari penyakit Angka populasi turun dari 6.420 pada tahun 1866 menjadi hanya 870 pada tahun 1884 dan setelah penurunan dramatis ini populasi menurun lebih jauh (Suzuki, 1958; Winkler, 1903; Keurs, 2011) . Belanda mengirim petugas medis untuk menyelidiki. karena titik tertinggi pulau ini hanya 281 m di atas permukaan laut, itu akan telah sangat terpengaruh oleh tsunami yang terkait dengan letusan Krakatau pada tahun 1883, serta oleh puing-puing gunung berapi yang besar. adat The populasi tidak pernah pulih dan hanya berjumlah sekitar 400 jiwa di awal 1960-an. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menggunakan pulau untuk rehabilitasi remaja pelaku dari Jawa, yang berkinerja kerja paksa, membersihkan semak dan membangun sawah. Seperti disebutkan di atas, populasi telah pulih agak sejak saat itu.
The population went into severe decline in the 1870s, possibly from disease. The population figure dropped from 6.420 in 1866 to only 870 in 1884 and after this dramatic decline the population decreased even further (Suzuki, 1958; Winkler, 1903; Keurs, 2011). The Dutch sent medical officers to investigate. Since the island’s highest point is only 281 m above sea level, it would have been severely affected by the tsunami associated with the Krakatoa eruption in 1883, as well as by the massive volcanic debris. The indigenous population never recovered and numbered only about 400 souls in the early 1960s. Therefore, the Indonesian government uses the island for rehabilitation of juvenile offenders from Java, who perform forced labor, clearing bush and constructing rice fields. As noted above, the population has recovered somewhat since that time.
Ada lima Engganese sub-klan: … Kauno, Kaitora, Karubi, Kaohao dan Karaba The subdivisi dari klan tampaknya bervariasi (Keurs, 2011) Banyak dari sub-klan, namun, tidak ada lagi Hal ini karena orang bermigrasi . ke pulau-pulau lain dan menikah non-Engganese, sehingga menciptakan situasi tidak aktif untuk sub-klan bersangkutan Terutama ketika Engganese, matrilineal, perempuan menikah pria-Engganese non, biasanya patrilineal, sub-klan kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup, untuk anak-anak yang biasanya tergabung dalam keluarga manusia.
There are five Engganese sub-clans: Kauno, Kaitora, Kaarubi, Kaohoa and Kaaruba. The subdivision of the clans seems to vary (Keurs, 2011). Many of these sub-clans, however, no longer exist. This is because people migrated to other islands and married non-Engganese, thus creating an inactive situation for the sub-clans concerned. Especially when Engganese, matrilineal, women married non-Engganese men, usually patrilineal, the sub-clan lost an opportunity for survival; for the children were normally incorporated in the family of the man.
Ada lima Engganese sub-klan: … Kauno, Kaitora, Karubi, Kaohao dan Karaba The subdivisi dari klan tampaknya bervariasi (Keurs, 2011) Banyak dari sub-klan, namun, tidak ada lagi Hal ini karena orang bermigrasi . ke pulau-pulau lain dan menikah non-Engganese, sehingga menciptakan situasi tidak aktif untuk sub-klan bersangkutan Terutama ketika Engganese, matrilineal, perempuan menikah pria-Engganese non, biasanya patrilineal, sub-klan kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup, untuk anak-anak yang biasanya tergabung dalam keluarga manusia.
The island of Enggano represents a major linguistic and historical puzzle. Its inhabitants are said to be Austronesian speakers, yet their language shows few cognates with mainstream Austronesian vocabulary (Blench, 2014). They had no cloth, grew no cereals, but only vegetative crops and lived in beehive-shaped houses on stilts, and quite unlike any peoples in neighboring regions. There is a considerable early traveler literature in Dutch cited in the bibliography, but little in the way of ethnographic accounts except Modigliani (1893, 1894).
Sekitar pergantian abad kedua puluh, ketika misionaris bersiap-siap untuk mengkonversi penduduk, mantan sistem perumahan dan organisasi sosial yang di breakdown dan sulit sekarang untuk merekonstruksi sifat yang tepat mereka. Dalam beberapa tahun terakhir Keurs (2006, 2008, 2011 ) telah menjadi etnografer utama untuk mengambil minat pada topik ini dan publikasi internet nya (Keurs, dan) termasuk ringkasan dari apa yang dapat diekstraksi dari literatur, foto-foto item yang tersisa dari budaya material di museum Eropa dan bibliografi berharga.
Around the turn of the twentieth century, when missionaries were gearing up to convert the population, the former systems of housing and social organization were in breakdown and it is hard now to reconstruct their exact nature. In recent years Keurs (2006, 2008, 2011) has been the main ethnographer to take an interest in this topic and his internet publication (Keurs, nd) includes a summary of what can be extracted from the literature, photographs of remaining items of material culture in European museums and a valuable bibliography.
Membandingkan fitur yang digambarkan dalam relief Deir El-Bahari dengan orang-orang dari masa kini dan kuno Enggano menghasilkan pertandingan dekat. Fitur Kuno Enggano yang dikutip dari buku dan artefak koleksi Modigliani di Rijksmuseum Belanda dan Museum Bengkulu
Comparing the features depicted in the Deir El-Bahari reliefs with those of the present-day and ancient Enggano produces close matches. Ancient Engganese features are cited from Modigliani’s book and artefact collections in the Dutch Rijksmuseum and Bengkulu Museum.
Pada awal abad Masehi, India dan Barat disebut Asia Tenggara “Golden Khersonese”, “Tanah Emas”, dan itu tidak lama setelah itu bahwa daerah menjadi terkenal karena lada dan produk-produk dari hutan hujan, hutan aromatik pertama dan resin, dan kemudian Persyaratan terbaik dan paling langka dari rempah-rempah. dari “Silk Route”, “Emas Route”, “Dupa Route”, “Gading Route”, “Cinnamon Route” dan “Spice Route” antara lain diciptakan mengacu rute ke . Timur dan Asia Tenggara dari ketujuh ke abad kesepuluh orang Arab dan pemikiran Cina emas di Asia Tenggara, serta rempah-rempah yang menciptakannya; oleh para pelaut abad kelima belas dari pelabuhan di Atlantik, di sisi berlawanan dari belahan bumi, akan berlayar ke lautan yang tidak diketahui untuk menemukan Kepulauan Spice ini. Mereka semua tahu bahwa Asia Tenggara adalah ibukota rempah-rempah dunia. dari sekitar 1000 Masehi sampai abad kesembilan belas-orang ‘era industri’, semua perdagangan dunia lebih atau kurang diatur oleh surut dan aliran rempah-rempah dan keluar dari Asia Tenggara.
1) Trading of Valuable Goods
In the early centuries AD, Indians and Westerners called Southeast Asia the “Golden Khersonese”, the “Land of Gold”, and it was not long thereafter that the region became known for its pepper and the products of its rainforests, first aromatic woods and resins, and then the finest and rarest of spices. Terms of “Silk Route”, “Gold Route”, “Incense Route”, “Ivory Route”, “Cinnamon Route” and “Spice Route” among others were created referring to routes to East and Southeast Asia. From the seventh to the tenth centuries Arabs and Chinese thought of Southeast Asia’s gold, as well as the spices that created it; by the fifteenth century sailors from ports on the Atlantic, at the opposite side of the hemisphere, would sail into unknown oceans in order to find these Spice Islands. They all knew that Southeast Asia was the spice capital of the world. From roughly 1000 AD until the nineteenth-century ‘industrial age’, all world trade was more or less governed by the ebb and flow of spices in and out of Southeast Asia.
Selama tiga ribu tahun sejarah firaun Mesir diperdagangkan barang dengan negara-negara lain, sementara pemerintah Mesir mencoba untuk mengontrol perdagangan dan keuntungan dari itu ini termasuk cedar kayu dari Lebanon;. Ebony dan gading dari Afrika, dupa, mur dan minyak dari Punt; lapis lazuli dari emas Afghanistan;. dari Nubia, dan bahkan penting logam tembaga dan besi dari sekutu terbaik mereka kadang-kadang, mereka membeli tembikar lumpur atau kuda dari peradaban lain
During three millennia of pharaonic history Egyptians traded goods with other countries, while the Egyptian government tried to control this trade and profit from it. These included cedar wood from Lebanon; ebony and ivory from Africa; incense, myrrh and oils from Punt; lapis lazuli from Afghanistan; gold from Nubia, and even the important metals copper and iron from their best allies. Occasionally, they bought mud pottery or horses from other civilizations.
Selama Akhir Periode banyak perdagangan Mesir berada di tangan Fenisia dan Yunani, yang telah menetap di Delta. Naukratis pada sebagian lengan barat Sungai Nil adalah untuk beberapa waktu hanya pelabuhan internasional. Persia di bawah Darius I berbuat banyak untuk perdagangan lebih lanjut di seluruh kerajaan mereka. The kanal yang menghubungkan Sungai Nil dan dengan demikian Mediterania dengan Laut merah merah-digali dan tetap digunakan sampai akhir Roman Times.
During the Late Period much of Egyptian trade was in the hands of Phoenicians and Greeks, who had settled in the Delta. Naukratis on the western most arm of the Nile was for some time the only international port. The Persians under Darius I did much to further trade throughout their empire. The canal connecting the Nile and thus the Mediterranean with the Red Sea was re-excavated and remained in use until late Roman Times.
Kapal dikenal bangsa Mesir Kuno pada awal 3000 SM, dan mungkin sebelumnya. Mesir Kuno tahu bagaimana merakit papan kayu menjadi lambung kapal, dengan tali anyaman digunakan untuk menyerang papan bersama-sama, dan alang-alang atau rumput boneka antara papan membantu . untuk menutup jahitan The Archaeological Institute of America melaporkan bahwa tanggal kapal awal – 75 kaki panjang, dating ke 3000 SM – mungkin harus mungkin milik Firaun Aha.
Shipbuilding was known to the Ancient Egyptians as early as 3000 BC, and perhaps earlier. Ancient Egyptians knew how to assemble planks of wood into a ship hull, with woven straps used to lash the planks together, and reeds or grass stuffed between the planks helped to seal the seams. The Archaeological Institute of America reports that the earliest dated ship – 75 feet long, dating to 3000 BC – may have possibly belonged to Pharaoh Aha.
Pedagang Austronesia telah membawa rempah-rempah ke pasar Afrika melalui rute maritim selatan. Item Budaya yang berasal dari Asia Tenggara, atau setidaknya Asia tropis, yang disebarkan dulu ke pantai tenggara Afrika sebelum bergerak ke utara. Salah satu faktor penting dalam memastikan rute rempah-rempah tua dari Asia Tenggara adalah jejak cengkeh dari Maluku dan Filipina selatan utara ke Cina Selatan dan Indocina dan kemudian selatan lagi di sepanjang pantai ke Selat Malaka. dari sana cengkeh pergi ke pasar rempah-rempah India dan poin lebih barat (Miller, 1969 ). UNESCO mengakui arah utara-selatan dari commerce melalui Filipina sebagai bagian dari rute rempah-rempah maritim kuno. The Philippine-Maluku hub bertahan hingga masa Islam dan dicatat dalam tulisan-tulisan sejarah dan geografis Arab.
Austronesian traders had brought spices to African markets via a southern maritime route. Cultural items that came from Southeast Asia, or at least tropical Asia, were diffused first to the southeastern coast of Africa before moving northward. An important factor in ascertaining the old spice routes from Southeast Asia is the trail of cloves from Maluku and the southern Philippines north to South China and Indochina and then south again along the coast to the Strait of Malacca. From there the cloves went to India spice markets and points further west (Miller, 1969). UNESCO recognize the north-south direction of commerce through the Philippines as part of the ancient maritime spice route. The Philippine-Maluku hub persisted into Muslim times and is chronicled in Arabic historical and geographic writings.
Rute kayu manis dimulai pada kayu manis dan daerah cassia penghasil Indocina utara dan Tiongkok selatan dan kemudian kemungkinan melanjutkan dari Cina Selatan pelabuhan rempah-rempah ke selatan selama musim dingin menyusuri koridor Filipina. Rute yang mungkin berbalik tenggara pada saat itu ke Sumatera dan / atau Java untuk mengambil varietas yang berbeda dari kayu manis dan cassia bersama dengan ebony dan benzoin. dari barat daya Indonesia pelayaran kemudian mengambil pedagang Austronesia di hamparan besar dari Samudera Hindia ke Afrika.
The cinnamon route started in the cinnamon and cassia-producing regions of northern Indochina and southern China and then likely proceeded from South China spice ports southward during the winter monsoon down the Philippine corridor. The route likely turned southeast at that point to Sumatra and/or Java to pick up different varieties of cinnamon and cassia along with ebony and benzoin. From southwestern Indonesia the voyage then took the Austronesian merchants across the great expanse of the Indian Ocean to Africa.
2) Di Wilayah Tropis di Timur
Relief pilar di Deir el-Bahari jelas menunjukkan flora besar rinci dan fauna, budaya dan kehidupan sosial penghuninya di Tanah Punt. Adegan termasuk pohon sirih kelapa, pohon ebony, pohon kemenyan, gading, emas / elektrum, kayu manis, khesit kayu, balsam, resin, cangkang kura-kura, sapi, kera, monyet, anjing, macan tutul dan berbagai macam ikan yang jelas spesifik dari daerah tropis hijau dengan intensitas curah hujan yang tinggi. prasasti pada stela rusak ditemukan di Tel Defenneh menyatakan mukjizat dan berkat bahwa ada hujan di atas Gunung Punt pada akhir Desember / Januari awal juga menunjukkan daerah tropis di kisaran belahan bumi selatan.
The colonnade reliefs at Deir el-Bahari are clearly show in great detail flora and fauna, culture and social life of its inhabitants in the Land of Punt. The scenes include betel palm trees, ebony trees, incense trees, ivory, gold/electrum, cinnamon wood, khesit wood, balsam, resin, tortoise shells, cows, macaques, monkeys, dogs, leopards and a wide variety of fishes are clearly specific of a green tropical region with high intensity of rainfall. The inscription on a damaged stela found at Tel Defenneh declaring a miracle and a blessing that there was rain upon the Mountain of Punt in late December/early January also indicate a tropical region in the range of southern hemisphere.
Obsidian ditemukan selama penggalian di Wadi Gawasis bersama dengan kotak kargo bantalan dicat teks hieroglif menggambarkan isi sebagai “hal-hal yang indah Punt” menunjukkan bahwa Tanah Punt terletak di daerah gunung berapi.
Orang Mesir disebut Tanah Punt Ta netjer atau Tanah Dewata. Sejak Ra, dewa matahari, diadakan tempat yang sangat penting dalam jajaran Mesir, sejarawan percaya bahwa Punt disebut sebagai Abode para Dewa dan lokasinya di timur, ke arah matahari terbit.
Bukti arkeologi menunjukkan bahwa sapi pendek bertanduk yang hadir di Mesir sekitar 2000 SM, diyakini memiliki pertama kali muncul di Sub-Sahara Afrika antara 700 dan 1500 AD, dan diperkenalkan ke Tanduk Afrika sekitar 1000 Masehi. Ini menjadi indikasi bahwa ekspedisi Punt, di mana sapi merupakan salah satu jenis hewan perdagangan, yang ke arah Timur.
Obsidian uncovered during the excavations at Wadi Gawasis along with cargo boxes bearing painted hieroglyphic text describing the contents as the “wonderful things of Punt” indicate that the Land of Punt is located in a volcanic region.
The Egyptians called the Land of Punt Ta Natjer or the Land of the Gods. Since Ra, the sun god, held a very important place in the Egyptian pantheon, historians believe that Punt was referred to as the Abode of the Gods and its location is in the east, in the direction of the sunrise.
Archaeological evidence suggest that short-horned cows were present in Egypt around 2000 BC, believed to have first appeared in Sub-Saharan Africa between 700 and 1500 AD, and were introduced to the Horn of African around 1000 AD. It becomes an indications that the Punt expeditions, in which cow is one kind of the trading animals, were towards the East.
Figure 18. Native houses: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Enggano, Modigliani (1894); (d) Enggano, The Rijksmuseum; (e) Enggano, Bengkulu Museum; (f) Nicobar, Modigliani (1894); (g) Enggano, Modigliani (1894); (h) Rejang, Bengkulu Museum; (i) Nias, Dewoz Art Collection; (j) Mentawai
Naville (1898) menggambarkan gubuk dari Puntite;. Mereka dibangun di atas tiang, dengan tangga memberikan akses kepada mereka, jelas untuk melindungi tahanan terhadap binatang liar pondok ini terbuat dari anyaman, mungkin kelapa-tangkai; mereka semua bentuk dan konstruksi yang sama.
. Modigliani (1894) menggambarkan rumah Engganese asli disebut cacario dan berbeda jauh dari orang-orang di Malaysia dan lainnya antara lantai ini biasanya dibuat dengan dua atau empat potong kayu besar, dan bulat dipotong, rumah-rumah ukuran biasa berkisar dari 3 sampai 4 meter dengan diameter
Naville (1898) describes the huts of the Puntite; they are built on poles, with ladders giving access to them, evidently in order to protect the inmates against wild animals. These huts are made of wickerwork, probably of palm-stalks; they are all of the same shape and construction.
Modigliani (1894) describes the native Engganese houses are called cacario and differ much from those in Malaysia and other intermediate. The floor is usually made with two or four large pieces of wood, and round cut; the houses of ordinary size ranges from 3 to 4 meters in diameter.
Rijksmuseum menggambarkan rumah Engganese yang sangat khas. Mereka sekarang tidak ada lagi, yang terakhir dihancurkan di sekitar tahun 1903. Model ini menunjukkan angka burung kayu terpasang di atap. Selain itu, pintu yang sempit terlihat jelas. Pintu tidak ditampilkan . Model rumah ini memiliki tiang pusat. rumah Beehive di Enggano adalah untuk pria dan wanita, dan kadang-kadang digunakan untuk anak bungsu dari keluarga. itu terlalu kecil dan tidak nyaman, dengan tidak ada pembukaan untuk udara segar yang akan digunakan oleh keluarga . Berbagai rumah sarang lebah berdiri dalam lingkaran dan dengan demikian membentuk penyelesaian. gedung utama berdiri di tengah dan sedikit lebih besar dari sisa rumah. model rumah di Florence dan Jakarta juga menunjukkan gambar ini.
The Rijksmuseum describes the Engganese houses are very typical. They now no longer exist, the last was demolished in around 1903. This model shows a wooden bird figure attached on the roof. In addition, the narrow doorway clearly visible. The door is not shown. This house model has no central pole. Beehive houses on Enggano were for man and woman, and sometimes used for the youngest child of a family. It was too small and uncomfortable, with no opening for fresh air to be used by an extended family. Various beehive houses stood in a circle and thus formed a settlement. The main house was standing in the middle and was slightly larger than the remainder of the houses. House models in Florence and Jakarta also show this picture.
Angka-angka pada baris bawah, (f) ke (j), dikembangkan rumah mirip dengan Engganese arsitektur di sekitar wilayah tersebut.
The figures on the lower row, (f) to (j), are developed houses similar to Engganese architecture around the region.
Figure 19. Engganese house door and frame:
(a) Modigliani (1894); (b) The Rijksmuseum
Figure 20. Betel palm tree: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera; (d) to (f) the corresponding nuts
Gambar 20. pohon palem Sirih: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera; (d) ke (f) yang sesuai kacang
Seperti yang dijelaskan oleh Neville (1898), rumah-rumah penduduk asli Punt berdiri di bawah naungan pohon. Ada banyak dari pohon-pohon ini ditanam di Punt seperti yang ditunjukkan pada relief tiang di Deir el-Bahari. Pada fragmen diilustrasikan oleh Naville, ditampilkan kera memanjat pohon kelapa, tampaknya pohon yang sama di Punt yang ditanam di negara-negara selatan, dari kacang yang dibawa dari Punt.
As described by Naville (1898), the native houses of Punt stand under the shade of palms. There are many of these trees grown in Punt as shown on the reliefs of colonnade at Deir el-Bahari. On a fragment illustrated by Naville, shown a macaque climbing a palm tree, seemingly the same tree in Punt that was planted in southern countries, from nuts that were brought from Punt.
Penulis mengidentifikasi tress sawit sirih atau pinang pohon palem, di antara pohon-pohon populer di Sumatera dan umumnya wilayah di Asia Tenggara. Sirih atau pinang (Areca catechu) adalah jenis palem yang tumbuh di banyak Pasifik tropis, Asia dan bagian Afrika timur. kelapa ini diyakini berasal di Filipina, tetapi tersebar luas di budidaya dan dianggap naturalisasi di Cina selatan (Guangxi, Hainan, Yunnan), Taiwan, India, Bangladesh, Maladewa, Sri Lanka, Kamboja , Laos, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, New Guinea, banyak pulau-pulau di Samudra Pasifik, dan juga di Hindia Barat. spesies ini dikenal sebagai pinang dan penang di Indonesia dan Malaysia, jambi atau jambe di Jawa, Sunda , Bali dan Melayu Kuno
The author identifies the palm tress as betel or areca palm trees, among the popular trees in Sumatera and generally the regions in Southeast Asia. Betel or areca palm (Areca catechu) is a species of palm which grows in much of the tropical Pacific, Asia and parts of east Africa. The palm is believed to have originated in the Philippines, but is widespread in cultivation and is considered naturalized in southern China (Guangxi, Hainan, Yunnan), Taiwan, India, Bangladesh, the Maldives, Sri Lanka, Cambodia, Laos, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, New Guinea, many of the islands in the Pacific Ocean, and also in the West Indies. The species is known aspinang or penang in Indonesian and Malaysian, jambi or jambe in Javanese, Sundanese, Balinese and Old Malay.
Sirih atau pinang ditanam untuk tanaman benih komersial penting, yang sirih atau pinang. Warna kacang muda berwarna hijau dan jatuh tempo adalah varietas kuning, cokelat muda sampai merah. Tanjungpinang dan Pangkalpinang kota di Indonesia, Indonesia Provinsi Jambi dan Pulau Penang lepas pantai barat Semenanjung Malaysia adalah beberapa tempat dinamai nama lokal untuk sirih. Sebenarnya, ada banyak kota dan areal nama di Indonesia dan Malaysia menggunakan kata-kata Pinang atau jambe. ini menunjukkan sirih betapa pentingnya kacang dalam peradaban Austronesia, khususnya di hari modern Indonesia dan Malaysia.
Betel or areca palm is grown for its commercially important seed crop, the betel or areca nut. The color of the young nuts is green and the matures are varieties of yellow, light brown to red. Tanjungpinang and Pangkalpinang cities in Indonesia, Indonesian province of Jambi and Penang Island off the west coast of Peninsular Malaysia are some of the places named after a local name for betel nut. Actually, there are numerous city and areal names in Indonesia and Malaysia using the wordspinang or jambe. This shows how important betel nut in the Austronesian civilization, especially in the modern day Indonesia and Malaysia.
Sirih juga populer untuk mengunyah di seluruh wilayah beberapa negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, China (terutama Hunan), Taiwan, Vietnam, Filipina, Myanmar, India dan Pasifik, terutama Papua Nugini, di mana sangat populer. mengunyah pinang cukup populer di kalangan kelas pekerja di Taiwan.
Sirih sawit juga digunakan sebagai spesies lansekap. Kontes Sirih log climbing (lomba Panjat pinang) adalah daya tarik yang paling populer untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Habitat orang Rejang bernama Pinang Berlapis, sekarang nama sebuah kecamatan, secara harfiah berarti “pohon sirih berlapis”. Orang Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan Mesir seperti yang akan dibahas di sini setelah itu.
The betel nut is also popular for chewing throughout some Asian countries, such as Indonesia, Malaysia, China (mainly Hunan), Taiwan, Vietnam, the Philippines, Myanmar, India and the Pacific, notably Papua New Guinea, where it is very popular. Chewing betel nut is quite popular among working classes in Taiwan.
The betel palm is also used as a landscaping species. Betel log climbing contest (lomba panjat pinang) is the most popular attraction to celebrate the Independence Day of the Republic of Indonesia.
The habitat of the Rejang people was named Pinang Belapis, now the name of a sub-district, literally means “layered betel trees”. Rejang people allegedly have similar culture with the Egyptians as will be discussed here afterwards.
Gambar 21. pohon Styrax: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (cat Gunung Padang situs piramida; (d) dan (e) hutan di Sumatera; (f) Styrax benzoin; (g) getah; (h) dan (i) resin; (j) resin dibakar oleh dukun
Prasasti pada relief tiang di Deir el-Bahari menyebutkan (Edwards, 1891):
“… Mereka akan mengambil anti sebanyak yang mereka suka. Mereka akan memuat kapal mereka untuk kepuasan hati mereka dengan pohon-pohon hijau segala sesuatu [yaitu segar] Anti, dan baik dari negeri itu.”
“The pemuatan kargo-kapal dengan jumlah besar dari keajaiban dari tanah Punt, dengan semua hutan yang baik dari tanah suci, tumpukan karet anti, dan pohon-pohon anti hijau …”
Figure 21. Styrax trees: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) at Gunungpadang pyramid site; (d) and (e) forests in Sumatera; (f) Styrax benzoin; (g) sap; (h) and (i) resins; (j) resin burnt by a shaman
The inscriptions on the colonnade reliefs at Deir el-Bahari mention (Edwards, 1891):
“… They will take ảnti as much as they like. They will load their ships to the satisfaction of their hearts with trees of green [ie fresh] ảnti, and all the good things of the land.”
“The loading of the cargo-boats with great quantities of marvels of the land of Punt, with all the good woods of the divine land, heaps of gum of ảnti, and trees of green ảnti …”
“… Di pelabuhan anti Punt …”
“Ini adalah tumpukan hijau ANTI (segar) di sejumlah besar; pengukuran Anti hijau dalam jumlah besar untuk Amon, penguasa takhta dari dua lahan, dari keajaiban Tanah Punt, dan hal-hal yang baik dari Divine Land ”
“Pohon hijau Anti tiga puluh satu, membawa antara keajaiban Punt ke Mulia dewa ini, Amon Ra, penguasa tahta dua tanah; tidak pernah hal seperti terlihat sejak dunia itu.”
Anti (Neville, 1898), Ana (Mariette, 1877) atau ‘baru (beberapa penulis lain) termasuk pohon-pohon dengan nama yang sama diyakini oleh penulis menjadi pohon kemenyan dan resin benzoin.
“…in the harbors of ảnti of Punt …”
“these are heaps of green (fresh) ảnti in great number; the measuring of green ảnti in great quantity to Amon, the lord of the thrones of the two lands, from the marvels of the Land of Punt, and the good things of the Divine Land”
“Trees of green ảnti thirty-one, brought among the marvels of Punt to the Majesty of this god, Amon Ra, the lord of the throne of the two lands; never was such thing seen since the world was.”
Ảnti (Naville, 1898), anå (Mariette, 1877) or ‘ntyw (some other writers) including the trees with the same name is believed by the author to be styrax trees and benzoin resin.
Naville (1898) dan Edwards (1891) menjelaskan dengan begitu banyak kata-kata anti atau benzoin ditemukan pada relief tiang di Deir el-Bahari. ANTI (benzoin) digolongkan sebagai barang mewah yang digunakan secara luas di Mesir ibadah ritual agama. Tujuan utama dari . ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt adalah eksplorasi anti anti (kemenyan), yang ada sebanyak empat belas macam yang berbeda, itu produk yang paling penting dari Punt pohon ini dikumpulkan oleh ekspedisi Hatshepsut untuk menyepak bola;. dia membawa kembali lima berkapal-kapal barang, termasuk flora dan fauna, dan kemudian dibudidayakan di Taman Amon. resin anti dari recultivation di negara-negara selatan kemudian menjadi produk utama dari daerah. akar utuh pohon anti ditemukan di Djeser-Djeseru , yang pernah menghiasi façade depan kuil.
Naville (1898) and Edwards (1891) describes with so many words of ảnti or benzoin found on the colonnade reliefs at Deir el-Bahari. Ảnti (benzoin) is classed as luxury goods used widely in Egyptian religious ritual worship. The main purpose of the Hatshepsut’s expedition to the Land of Punt is the exploration of ảnti. The ảnti(styrax), of which there were as many as fourteen different sorts, was the most important product of Punt. These trees were collected by Hatshepsut’s expedition to Punt; she brought back five shiploads of goodies, including flora and fauna, and then cultivated in the Garden of Amon. Ảnti resin from the recultivation in the southern countries then became the main product of the area. Intact roots of ảnti trees were discovered at Djeser-Djeseru, which once decorated the front façade of the temple.
Styrax benzoin digunakan oleh orang Mesir kuno dalam seni wewangian dan dupa. The apotek dari Shemot (Kitab Keluaran) akan menjadi akrab dengan menggunakan aromatik. Styrax benzoin memiliki sejarah direndam di zaman kuno dan pernah bekerja sebagai dupa di Mesir. Semua senyawa yang diidentifikasi dalam resin benzoin terdeteksi dalam residu organik arkeologi dari pedupaan keramik Mesir, dengan demikian membuktikan bahwa resin ini digunakan sebagai salah satu komponen dari campuran bahan-bahan organik dibakar sebagai dupa di Mesir kuno (Modugno et al 2006). Formula parfum Mesir kuno (1200 SM) yang terkandung benzoin sebagai salah satu bahan utamanya (Keville et al, nd).
Styrax benzoin was used by the ancient Egyptians in the art of perfumery and incense. The apothecary of Shemot (book of Exodus) would have been familiar with its aromatic uses. Styrax benzoin has a history steeped in antiquity and was once employed as an incense in Egypt. All the compounds identified in benzoin resin were detected in an archaeological organic residue from an Egyptian ceramic censer, thus proving that this resin was used as one of the components of the mixture of organic materials burned as incense in ancient Egypt (Modugnoa et al, 2006). An ancient Egyptian perfume formula (1200 BCE) contained benzoin as one of its chief ingredients (Keville et al, nd).
Anti atau ana mungkin dupa sama onycha (Yunani: ονυξ), salah satu komponen dari bakti Ketoret (dupa) yang muncul dalam buku Taurat Keluaran (Kel 30: 34-36) dan digunakan dalam Yerusalem Salomo sarjana Temple. The internasional ternama Alkitab Bochart menyatakan, pada satu titik dalam penelitiannya, bahwa onycha sebenarnya benzoin, permen-resin dari spesies Styrax (Abrahams, 1979). Abrahams menyatakan bahwa penggunaan benzoin dalam dupa Alkitab tidak terbayangkan sejak suku Siro-Arab dipertahankan rute perdagangan yang luas sebelum Hellenisme. Styrax benzoin yang tersedia melalui impor ke tanah Alkitab selama era Perjanjian Lama. Herodotus dari Halicarnassus di abad ke-5 SM menunjukkan bahwa berbagai jenis resin kemenyan diperdagangkan.
Ảnti or anå is probably the same incense as onycha (Greek: ονυξ), one of the components of the consecrated Ketoret (incense) which appears in the Torah book of Exodus (Ex 30:34-36) and was used in the Jerusalem’s Solomon’s Temple. The internationally renowned Bible scholar Bochart stated, at one point in his research, that onycha was actually benzoin, a gum-resin from the Styrax species (Abrahams, 1979). Abrahams states that the use of benzoin in the Biblical incense is not inconceivable since Syro-Arabian tribes maintained extensive trade routes prior to Hellenism. Styrax Benzoin was available via import to the biblical lands during the Old Testament era. Herodotus of Halicarnassus in the 5th century BC indicates that different kinds of styrax resins were traded.
Nama “benzoin” mungkin berasal dari bahasa Arab Luban Jawi (لبان جاوي, “Javan kemenyan”); .. Bandingkan pertengahan timur istilah gum benjamin dan benjoin The Hindustan merujuk benzoin sebagai lobanee atau luban Kata “storax” adalah perubahan dari kemenyan Latin Akhir. dalam himne gaib itu στόρακας atau στόρακα. kata shecheleth asli diganti dengan onycha dengan terjemahan Septuaginta. onycha pada gilirannya berasal dari batu onyx yang berarti “kuku”. penulis lain mengatakan bahwa bahasa Ibrani Sechelt mengidentifikasi dengan shehelta Suryani yang diterjemahkan sebagai “air mata atau destilasi” dan bahwa konteks dan etimologi tampaknya memerlukan karet dari beberapa pabrik aromatik. kitab Pengkhotbah berisi storax sebagai salah satu bahan ketika menyinggung dupa suci . Kemah Alkitab The Hindustan menggunakan benzoin untuk membakar di kuil-kuil mereka – suatu keadaan sangat mendukung hipotesis bahwa benzoin merupakan bagian dari rumus dupa Keluaran.
The name “benzoin” is probably derived from Arabic lubān jāwī (لبان جاوي, “Javan frankincense”); compare the mid-eastern terms gum benjamin and benjoin. The Hindustanis refer to benzoin as lobanee or luban. The word “storax” is an alteration of the Late Latin styrax. In the Orphic hymns it is στόρακας or στόρακα. The original word shecheleth was replaced with onycha by the Septuagint translation. Onycha in turn is derived from the onyx stone meaning “fingernail”. Another writer says that the Hebrew shecheleth identifies with the Syriac shehelta which is translated as “a tear or distillation” and that the context and the etymology seem to require the gum of some aromatic plant. The book of Ecclesiasticus lists storax as one of the ingredients when alluding to the sacred incense of the biblical tabernacle. The Hindustanis use benzoin to burn in their temples – a circumstance strongly in favor of the hypothesis that benzoin is part of the incense formula of Exodus.
Benzoin telah lama legenda di Asia Tenggara. Resin benzoin secara lokal dikenal sebagai Kemenyan dalam bahasa Melayu dari Kuno Melayu akar kamanyang, atau menyan di Jawa dan Bali. Akun Arab mengacu ke Jawa, Luban Jawi (“Javan kemenyan”), di mana menyan adalah kata aslinya. Jika kita menghapus awalan ke dan saya kemudian akar adalah nyan. Juga, kata itu kadang-kadang disingkat Nyan. tempat bernama Trunyan di Bali adalah dari kata Taru nyan berarti “pohon kemenyan” yang banyak tumbuh di sana. kata nyan adalah kemiripan dekat dengan kata tertulis aNTI (Naville, 1898), Ana (Mariette, 1877) atau ‘baru (beberapa penulis lain) di Mesir.
Benzoin has long been stuff of legend in Southeast Asia. Benzoin resin is locally known as kemenyan in Malay from Ancient Malay root kamanyang, or menyan in Java and Bali. The Arab account refers to Java, lubān jāwī (“Javan frankincense”), where menyan is the original word. If we remove the prefixes ke and me then the root is nyan. Also, the word is sometimes abbreviated to nyan. A place named Trunyan in Bali is from the words taru nyan mean “styrax tree” that a lot grow there. The wordnyan is in close resemblance with the inscribed word ảnti (Naville, 1898),anå (Mariette, 1877) or ‘ntyw (some other writers) in Egypt.
Benzoin telah lama legenda di Asia Tenggara. Resin benzoin secara lokal dikenal sebagai Kemenyan dalam bahasa Melayu dari Kuno Melayu akar kamanyang, atau menyan di Jawa dan Bali. Akun Arab mengacu ke Jawa, Luban Jawi (“Javan kemenyan”), di mana menyan adalah kata aslinya. Jika kita menghapus awalan ke dan saya kemudian akar adalah nyan. Juga, kata itu kadang-kadang disingkat Nyan. tempat bernama Trunyan di Bali adalah dari kata Taru nyan berarti “pohon kemenyan” yang banyak tumbuh di sana. kata nyan adalah kemiripan dekat dengan kata tertulis aNTI (Naville, 1898), Ana (Mariette, 1877) atau ‘baru (beberapa penulis lain) di Mesir.
Benzoin resin is produced by several species of styrax trees. It is used as a component in incenses, perfumes, and medicines. In Southeast Asia, two types of this resin are produced: Siam benzoin, extracted from Styrax tonkinensis in Laos, Vietnam and southern China; and Sumateran benzoin, extracted from Styrax paralleloneurum and Styrax benzoin in Sumatera. Sumateran benzoin is a resin produced by styrax trees, widely managed in forest gardens in the highlands of North Sumatera and scattered in the whole island.
Daun kemenyan dibulatkan menjadi memanjang berbentuk oval, berukuran 4 – panjang 15 cm dan 5 – lebar 7,5 cm, di kemiripan dekat dengan orang-orang di relief tiang di Deir el-Bahari.
Styrax benzoin adalah spesies pohon asli ke Sumatera di Indonesia. Nama-nama umum untuk pohon termasuk karet benjamin tree, loban (dalam bahasa Arab), Kemenyan (di Indonesia dan Malaysia), onycha dan pohon benzoin Sumatera. Ini adalah anggota umum dari hutan Sumatera, di mana ia tumbuh sekitar 24 sampai 48 meter di maksimum height.Styrax benzoin dibudidayakan di Sumatera sebagai sumber utama resin benzoin di Indonesia.
The styrax leaves are rounded to elongated oval-shaped, measuring 4 – 15 cm long and 5 – 7.5 cm wide, in close resemblance to those on the colonnade reliefs at Deir el-Bahari.
Styrax benzoin is a species of tree native to Sumatera in Indonesia. Common names for the tree include gum benjamin tree, loban (in Arabic), kemenyan (in Indonesia and Malaysia), onycha and Sumateran benzoin tree. It is a common member of the forests of Sumatera, where it grows to about 24 to 48 meters in maximum height.Styrax benzoin is cultivated in Sumatera as a main source of benzoin resin in Indonesia.
Styrax benzoin di Indonesia biasanya disebut durame sebagai Kemenyan (Styrax benzoine), Kemenyan bulu (Styrax benzoine var hiliferum), Kemenyan toba (Styrax genjang), dan siam Kemenyan (Styrax tokinensis). Styrax benzoin memiliki beberapa sinonim seperti Benzoin officinale (Hayne ); Benzoina vera (Rafin); Cyrta dealbata (Miers); Lithocarpus benzoin (Royle); Plagio Spermum benzoin (Pierre); Styrax benjuifer (Stokes), dan Styrax dealbata (Gurke).
Styrax benzoin in Indonesia is usually referred to as kemenyan durame (Styrax benzoine), kemenyan bulu (Styrax benzoine var hiliferum), kemenyan toba (Styrax paralleloneurum), and kemenyan siam (Styrax tokinensis). Styrax benzoin has several synonyms like Benzoin officinale (Hayne); Benzoina vera (Rafin); Cyrta dealbata (Miers); Lithocarpus benzoin (Royle); Plagiospermum benzoin (Pierre);Styrax benjuifer (Stokes); and Styrax dealbata (Gurke).
Benzoin menyesatkan bernama kemenyan, istilah biasanya diterapkan pada eksudat resin dari Boswellia spp Arab dan Afrika. Ada kemungkinan bahwa ini menggunakan kemenyan jangka berasal dari benzoin asal Indonesia yang diperdagangkan oleh orang-orang Arab, yang dianggap sebagai bentuk kemenyan, setidaknya 700 tahun yang lalu.
Benzoin is misleadingly called frankincense, a term usually applied to the resinous exudate from Boswellia spp of Arabia and Africa. It is possible that this use of the term frankincense derives from benzoin of Indonesian origin that was traded by the Arabs, who regarded it as a form of frankincense, at least 700 years ago.
Pada abad ke-9, kedua jenis resin benzoin sudah diperdagangkan di China dan digunakan sebagai komponen obat tradisional (Sumatera benzoin) dan parfum (Siam benzoin). Pedagang Arab berperan dalam perluasan perdagangan, seperti yang menjadi cepat salah satu produk perdagangan yang paling mahal dari Timur.
In the 9th century, both types of benzoin resin were already being traded in China and used as components of traditional medicine (Sumateran benzoin) and perfumes (Siam benzoin). Arab traders were instrumental in the expansion of its trade, as it was fast becoming one of the most expensive trade products from the East.
Teks geografis Arab dari abad ke-9 dan seterusnya mengacu Fansur dan Bâlûs sebagai sumber nilai kualitas tinggi kamper dan benzoin. Ada bukti yang menunjukkan bahwa, pada abad kesepuluh, pedagang Arab mengunjungi Fansur dan Bâlûs melalui Ceylon, dalam ekspedisi dagang yang secara khusus ditujukan untuk membeli kapur barus terkenal di kawasan itu dan benzoin. Fansur diidentifikasi sebagai Pancur dan Bâlûs adalah Barus, dua daerah di pantai barat daya Sumatera. Beberapa penulis menulis bahwa Pancur disinyalir Punt.
Arab geographical texts from the 9th century onwards refer to Fansur and Bâlûs as the sources of high quality grades of camphor and benzoin. There is evidence to suggest that, in the tenth century, Arab merchants visited Fansur and Bâlûs via Ceylon, in trading expeditions which were specifically aimed at purchasing the region’s famous camphor and benzoin. Fansur is identified as Pancur and Bâlûs is Barus, two regions in the southwest coast of Sumatera. Some authors write that Pancur was allegedly Punt.
Sumatera benzoin memiliki pangsa pasar modern lebih besar dari sekitar 4.000 ton per tahun dibandingkan dengan 70 nada untuk Siam benzoin (Katz et al, 2002), meskipun kurang dihargai di pasar internasional.
Resin benzoin telah diekstraksi selama berabad-abad dari pohon liar yang terjadi secara alami di Sumatera, dan sebagai pasar diperluas masyarakat setempat mulai menanam pohon benzoin di kebun mereka. Hal ini tidak jelas kapan budidaya mulai tetapi telah ada selama setidaknya 200 tahun. The sistem manajemen digambarkan dalam laporan Belanda pada akhir abad ke-19, dan praktek hari ini tidak berbeda jauh dari yang dilaporkan kemudian.
Sumateran benzoin has the bigger modern market share of around 4,000 tones per year compared to 70 tones for Siam benzoin (Katz et al, 2002), though it is less valued on the international market.
Benzoin resin has been extracted for centuries from wild trees that occur naturally on Sumatera, and as the market expanded local people started to plant benzoin trees in their gardens. It is not clear when cultivation began but it has existed for at least 200 years. The management system was described in Dutch reports in the late 19th century, and today’s practice does not differ much from the one reported then.
Bukit Kemenyan di Bengkulu, dari namanya yang berarti “bukit benzoin” adalah hutan kemenyan. Tempat ini berada di area yang orang Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan orang Mesir seperti yang akan dibahas di sini setelah itu.
Bukit Kemenyan in Bengkulu, from its name meaning “the hill of benzoin” was a styrax forest. This place is in the area of Rejang people which allegedly has similar culture with the Egyptians as will be discussed here afterwards.
Figure 22. Ebony trees: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) to (g) various kinds of ebony trees found in Indonesia; (h) to (j) ebony woods
Gambar 22. pohon Ebony: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) ke (g) berbagai jenis pohon ebony yang ditemukan di Indonesia; (h) ke (j) ebony hutan
Seperti yang dijelaskan oleh Naville (1898) dan Edwards (1891), orang Mesir diperdagangkan kayu hitam dari Punt. Relief pilar di Deir el-Bahari menunjukkan orang Mesir penebangan cabang ebony-pohon (seperti pada gambar di atas), dengan tulisan ” pemotongan ebony dalam jumlah besar “(Edwards, 1891), kayu yang dibawa ke kapal oleh orang-orang negro. habni The tertulis (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan” ebony “. kapal-kapal itu sarat dengan ebony. Dimulai pada akhir kereta panjang yang pawai menuju ratu, yang Puntites membawa ebony. Tumpukan kayu ebony di Taman Amon di antara barang-barang perdagangan.
As described by Naville (1898) and Edwards (1891), the Egyptians were trading ebony wood from Punt. The colonnade reliefs at Deir el-Bahari show the Egyptians felling branches of ebony-trees (as in the above figure), with inscription “cutting ebony in great quantity” (Edwards, 1891), the wood being carried to the ships by the negroes. The inscribed habni (Naville, 1898) generally translates “ebony”. The ships were loaded with ebony. Beginning at the end of the long train which marches towards the queen, the Puntites were carrying ebony. Piles of ebony wood in the Garden of Amon were among the trading goods.
Ebony adalah kayu hitam yang pekat, yang paling sering dihasilkan oleh beberapa spesies yang berbeda dalam genus Diospyros. Ebony cukup padat tenggelam dalam air. Ini adalah halus bertekstur dan memiliki akhir yang sangat halus ketika dipoles, menjadikannya bernilai sebagai kayu hias.
Ebony memiliki sejarah panjang digunakan, dengan potongan-potongan ukiran telah ditemukan di makam-makam Mesir Kuno. Pada akhir abad ke-16, lemari baik untuk perdagangan mewah yang terbuat dari kayu eboni di Antwerp. Kekerasan padat kayu meminjamkan dirinya untuk halus cetakan framing panel bergambar halus rinci dengan ukiran di sangat rendah bantuan (relief), biasanya mata pelajaran alegoris, atau dengan adegan yang diambil dari sejarah klasik atau Kristen. dalam waktu singkat, lemari seperti itu juga sedang dilakukan di Paris, di mana para pembuat mereka dikenal sebagai ébénistes, yang tetap istilah Perancis untuk pembuat lemari.
Ebony is a dense black wood, most commonly yielded by several different species in the genus Diospyros. Ebony is dense enough to sink in water. It is finely-textured and has a very smooth finish when polished, making it valuable as an ornamental wood.
Ebony has a long history of use, with carved pieces having been found in Ancient Egyptian tombs. By the end of the 16th century, fine cabinets for the luxury trade were made of ebony in Antwerp. The wood’s dense hardness lent itself to refined moldings framing finely detailed pictorial panels with carving in very low relief (bas-relief), usually of allegorical subjects, or with scenes taken from classical or Christian history. Within a short time, such cabinets were also being made in Paris, where their makers became known as ébénistes, which remains the French term for a cabinetmaker.
Spesies dari kayu eboni termasuk Diospyros ebenum (Ceylon ebony), asli India selatan dan Sri Lanka; Diospyros crassiflora (Gabon ebony), asli Afrika Barat, dan Diospyros celebica (Makassar ebony), asli Indonesia dan berharga untuk yang mewah, multi berwarna biji-bijian kayu. Mauritius ebony, Diospyros tesselaria, sebagian besar dimanfaatkan oleh Belanda pada abad ke-17. Beberapa spesies dalam genus Diospyros Yield sebuah ebony dengan sifat fisik yang sama, tapi bergaris daripada merata hitam (Diospyros ebenum).
Species of ebony include Diospyros ebenum (Ceylon ebony), native to southern India and Sri Lanka; Diospyros crassiflora (Gabon ebony), native to western Africa; andDiospyros celebica (Makassar ebony), native to Indonesia and prized for its luxuriant, multi-colored wood grain. Mauritius ebony, Diospyros tesselaria, was largely exploited by the Dutch in the 17th century. Some species in the genus Diospyrosyield an ebony with similar physical properties, but striped rather than evenly black (Diospyros ebenum).
Southeast Asian ebonies include Diospyrosareolata in Malay Peninsula (Thailand and Malaysia); Diospyrosbantamensis in Sumatera, Java and Kalimantan; Diospyrosblancoi, often referred to by other name Diospyrosdiscolor, Diospyros blancoi ormabolo, origin of the Philippines; Diospyrosborneensis in China, Thailand, Malay Peninsula, Sumatera and Kalimantan; Diospyrosbuxifolia, ki merak, rangkemi ormeribu in India, Indochina, Thailand, and the whole of archipelago as far as New Guinea; Diospyroscanaliculata (synonym: Diospyroscauliflora, Diospyrosxanthochlamys) in India, Myanmar, Indochina, Thailand and the archipelago, the fruit is used as ubar (dye) for nets and clothing; Diospyroscelebica, Makassar ebony, endemic to Sulawesi, and in danger of extinction; Diospyrosclavigera (synonym:Diospyrosmalaccensis); kayu arang, in Malay Peninsula, Singapore, Lingga Islands, up to Bangka; Diospyrosconfertiflora, nyangit toan, in Thailand, Malay Peninsula, Sumatera, Kalimantan and Bangka, in peat forest, heath forest and lower montane forest up to an altitude of 1250 m above sea level; Diospyroscurranii, spreads in Southeast Asia (Myanmar, Laos, Cambodia, Thailand), Sumatera, Kalimantan as far as the Philippines; Diospyrosdigyna (synonym: Diospyrosnigra, Diospyrosebenaster), sawo hitam, black persimmon, black sapote, zapote negro, believed to originate from Mexico and Guatemala, and in medieval Spanish conquistadors brought to the Philippines, which later spread to Sulawesi and Maluku, the fruit has a green skin, which become black when ripe, brown and sweet flesh, eaten fresh or made into drinks and pastries; Diospyrosdiscocalyx, endemic to Borneo (Sabah);Diospyrosdurionoides, kayu arang durian, endemic to Kalimantan; Diospyrosevena,kayu malam, limited in the Pacific Islands and Kalimantan; DiospyrosFerrea, bibisan, spread from West Africa, India, Indochina, the archipelago as far as north to Ryukyu and east to Australia, Melanesia and Polynesia; and some other more than 50 species.
Figure 23. Cinnamon: (a) trees in Kerinci, Sumatera; (b) wood transported by people; (c) drying barks; (d) barks
Gambar 23. Cinnamon: (a) pohon di Kerinci, Sumatera; (b) kayu diangkut oleh orang-orang; (c) gonggongan pengeringan; (d) gonggongan
Tulisan pada tiang di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa kayu manis adalah produk dari Punt. Tesheps yang tertulis (Naville, 1898) diterjemahkan oleh Naville kayu manis. Khesyt yang tertulis (Naville, 1898) mungkin bisa berarti pohon cassia.
Cinnamon atau kayu cassia diperoleh dari beberapa pohon dari genus Cinnamomum bahwa kulit kayu digunakan dalam kedua makanan manis dan gurih. Sementara kayu manis kadang-kadang dianggap “kayu manis benar”, paling kayu manis dalam perdagangan internasional berasal dari spesies terkait, yang juga disebut sebagai “cassia” untuk membedakan mereka dari “kayu manis benar”. Cinnamon adalah nama untuk mungkin selusin spesies pohon dan produk rempah-rempah komersial yang beberapa dari mereka hasilkan. Semua adalah anggota dari genus Cinnamomum dalam keluarga Lauraceae .
The inscription on the colonnade at Deir el-Bahari describe that cinnamon wood is the product of Punt. The inscribed tesheps (Naville, 1898) is translated by Naville as cinnamon wood. The inscribed khesyt (Naville, 1898) can probably mean cassia tree.
Cinnamon or cassia wood is obtained from several trees from the genusCinnamomum that the bark is used in both sweet and savory foods. WhileCinnamomum verum is sometimes considered to be “true cinnamon”, most cinnamon in international commerce is derived from related species, which are also referred to as “cassia” to distinguish them from “true cinnamon”. Cinnamon is the name for perhaps a dozen species of trees and the commercial spice products that some of them produce. All are members of the genus Cinnamomum in the family Lauraceae.
Cinnamon begitu sangat berharga di antara bangsa-bangsa kuno yang dianggap sebagai cocok hadiah untuk raja dan bahkan untuk dewa :. Sebuah prasasti baik mencatat karunia kayu manis dan cassia ke kuil Apollo di Miletus Orang Yunani digunakan Kasia atau malabathronto anggur rasa , bersama-sama dengan absinth wormwood (Artemisia absinthium) Sementara Theophrastus memberikan rekening baik dari tanaman, ia menjelaskan metode penasaran untuk panen: .. cacing menggerogoti kayu dan meninggalkan kulit di belakang resep Mesir untuk kyphi, aromatik digunakan untuk pembakaran, termasuk kayu manis dan cassia dari zaman Helenistik seterusnya. karunia penguasa Helenistik ke kuil kadang-kadang termasuk cassia dan kayu manis serta dupa, mur, dan dupa India (kostos), sehingga orang bisa menyimpulkan bahwa orang-orang Yunani yang digunakan untuk tujuan yang sama.
Cinnamon was so highly prized among ancient nations that it was regarded as a gift fit for monarchs and even for a god: a fine inscription records the gift of cinnamon and cassia to the temple of Apollo at Miletus. The Greeks used kásia or malabathronto flavor wine, together with absinth wormwood (Artemisia absinthium). While Theophrastus gives a good account of the plants, he describes a curious method for harvesting: worms eat away the wood and leave the bark behind. Egyptian recipes for kyphi, an aromatic used for burning, included cinnamon and cassia from Hellenistic times onward. The gifts of Hellenistic rulers to temples sometimes included cassia and cinnamon as well as incense, myrrh, and Indian incense (kostos), so one might conclude that the Greeks used it for similar purposes.
Melalui Abad Pertengahan, sumber kayu manis adalah misteri bagi dunia Barat. Dari membaca penulis Latin yang dikutip Herodotus, orang Eropa telah belajar bahwa kayu manis datang Laut Merah ke pelabuhan perdagangan Mesir, tapi dari mana asalnya kurang dari . yang jelas Ketika Sieur de Joinville disertai rajanya ke Mesir pada perang salib di 1248, ia melaporkan – dan percaya – apa yang ia telah diberitahu: kayu manis yang memancing di jaring di sumber Sungai Nil keluar di ujung dunia ( yaitu Tanah Punt).
Dengan cara latar belakang, kayu manis ditanam terutama di Cina, Vietnam dan Indonesia, sementara relatif jarang dan lebih mahal, Ceylon cinnamon, berasal dari Sri Lanka. 85% dari kayu manis di pasar dunia saat ini berasal dari Indonesia, dalam ukuran besar berasal dari Sumatera pusat, daerah juga lebih dikenal sebagai Kerinci. tanah subur lereng lembah tinggi Kerinci dengan curah hujan yang melimpah secara luas tumbuh pohon kayu manis memproduksi kayu manis kualitas tinggi.
Through the Middle Ages, the source of cinnamon was a mystery to the Western world. From reading Latin writers who quoted Herodotus, Europeans had learned that cinnamon came up the Red Sea to the trading ports of Egypt, but where it came from was less than clear. When the Sieur de Joinville accompanied his king to Egypt on crusade in 1248, he reported – and believed – what he had been told: that cinnamon was fished up in nets at the source of the Nile out at the edge of the world (ie the Land of Punt).
By way of background, cinnamon is grown primarily in China, Vietnam and Indonesia, while its rarer and more expensive relative, Ceylon cinnamon, comes from Sri Lanka. 85% of the cinnamon in today’s world market originates from Indonesia, in great measure originates from central Sumatera, an area also better known as Kerinci. The fertile soils of the slopes of the Kerinci high valley with abundant rainfall are widely grows cinnamon trees producing high quality cinnamon.
Figure 24. Camphor: (a) tree; (b) leaves and seeds; (c) crystal
Gambar 24. Kamper: (a) pohon; (b) daun dan biji; (c) kristal
Kamper laurel pohon (Cinnamomum camphora) adalah pohon yang menghasilkan camphor.Cinnamomum camphora adalah pohon cemara besar yang ditemukan di Asia (khususnya di Sumatera dan Kalimantan). Kamper juga ditemukan di pohon kapur (Dryobalanops spp), pohon kayu tinggi dari wilayah yang sama.
Camphor laurel tree (Cinnamomum camphora) is a tree that produces camphor.Cinnamomum camphora is a large evergreen tree found in Asia (particularly in Sumatera and Kalimantan). Camphor is also found in the kapur tree (Dryobalanops sp), a tall timber tree from the same region.
Harum kamper pohon dan produk-produknya, seperti minyak kamper, telah didambakan sejak zaman kuno. Memiliki sejarah yang kaya penggunaan tradisional, itu terutama digunakan sebagai fumigan selama era Black Death dan dianggap sebagai bahan yang berharga di kedua parfum dan cairan pembalsem di Mesir Kuno dan Babilonia.
The fragrant camphor tree and its products, such as camphor oil, have been coveted since ancient times. Having a rich history of traditional use, it was particularly used as a fumigant during the era of the Black Death and considered as a valuable ingredient in both perfume and embalming fluid in Ancient Egypt and Babylon.
Kata kamper berasal dari kata camphre Prancis, diri dari Medieval Latin camphora, dari bahasa Arab Kafur, dari bahasa Sansekerta, कर्पूरम् (karpūram). Istilah akhirnya berasal dari bahasa Melayu Kuno kapur barus yang berarti “kapur dari Barus”. Barus adalah nama sebuah pelabuhan kuno yang terletak di dekat kota Sibolga yang modern di pantai barat pulau Sumatera (hari ini Sumatera Utara, Indonesia). pelabuhan ini awalnya dibangun sebelum perdagangan India-Batak di kamper, benzoin dan rempah-rempah. Pedagang dari India, Timur Asia dan Timur Tengah akan menggunakan barus jangka kapur untuk membeli cairan diekstrak kering pohon kamper laurel (Cinnamomum camphora) dari suku Batak lokal;. pohon kamper sendiri endemik ke wilayah itu dalam bahasa proto-Melayu-Austronesia, itu juga dikenal sebagai kapur Barus. Bahkan sekarang, suku-suku lokal dan Indonesia pada umumnya mengacu pada bola naftalena aromatik dan kapur barus sebagai kapur Barus.
The word camphor derives from the French word camphre, itself from Medieval Latincamfora, from Arabic kafur, from Sanskrit, कर्पूरम् (karpūram). The term ultimately was derived from Old Malay kapur barus which means “the chalk of Barus”. Barus was the name of an ancient port located near modern Sibolga city on the western coast of Sumatera island (today North Sumatera Province, Indonesia). This port was initially built prior to the Indian-Batak trade in camphor, benzoin and spices. Traders from India, East Asia and the Middle East would use the term kapur barus to buy the dried extracted ooze of camphor laurel trees (Cinnamonum camphora) from local Batak tribesmen; the camphor tree itself is endemic to that region. In the proto-Malay-Austronesian language, it is also known as kapur Barus. Even now, the local tribespeople and Indonesians in general refer to aromatic naphthalene balls and moth balls as kapur Barus.
Tulisan pada tiang di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa balsam adalah produk dari Punt. Åhemtu yang tertulis (Naville, 1898) diterjemahkan oleh Naville sebagai balsam. Åhemtu mungkin juga berarti kapur barus, kamper adalah salah satu bahan untuk menyusun balsam .
Balsam adalah solusi resin tanaman khusus dalam pelarut tanaman tertentu (minyak esensial). Resin tersebut dapat mencakup resin asam, ester atau alkohol. Eksudat adalah mobile untuk cairan yang sangat kental dan sering mengandung partikel resin mengkristal. Seiring waktu dan sebagai hasil dari pengaruh lainnya eksudat kehilangan komponen liquidizing atau mendapat kimia diubah menjadi bahan padat (yaitu dengan autoksidasi).
Kamper dianggap sebagai bahan yang berharga dalam cairan pembalseman di Mesir Kuno dan Babilonia. Beberapa penulis membutuhkan balsam mengandung benzoat atau asam sinamat atau ester mereka. Seperti disebutkan di atas, bahan ini banyak di Sumatera.
The inscription on the colonnade at Deir el-Bahari describe that balsam is the product of Punt. The inscribed åhemtu (Naville, 1898) is translated by Naville as balsam. Åhemtu probably also means camphor, as camphor is one of the ingredients to concoct balsam.
Balsam is a solution of plant-specific resins in plant-specific solvents (essential oils). Such resins can include resin acids, esters or alcohols. The exudate is a mobile to highly viscous liquid and often contains crystallized resin particles. Over time and as a result of other influences the exudate loses its liquidizing components or gets chemically converted into a solid material (ie by autoxidation).
Camphor is considered as a valuable ingredient in the embalming fluid in Ancient Egypt and Babylon. Some authors require balsams to contain benzoic or cinnamic acid or their esters. As mention above, this material are numerous in Sumatera.
Figure 25. Nutmeg: (a) and (b) trees; (c) fruits; (d) seeds; (e) oils
Gambar 25. Pala: (a) dan (b) pohon; (c) buah; (d) biji; (e) minyak
Corpus delicti – sebuah flacon polos dari antara harta Firaun Hatshepsut – yang terkandung dalam jumlah besar kelapa dan minyak pala (Wiedenfeld et al, 2011).
. Pala dan adik-rempah pala yang keduanya produk dari pohon pala, berasal dari beberapa spesies pohon dalam genus Myristica Genus terdiri dari sekitar 100 spesies ditemukan di seluruh daerah tropis, terutama di wilayah Malaya, tetapi ini, yang paling penting spesies komersial Myristica fragrans, pohon cemara asli ke Kepulauan Banda di Maluku dari Indonesia yang mengandung cukup dari minyak esensial aromatik untuk membuatnya berharga bagi Pala budidaya adalah benih kering tanaman ;. gada adalah aril kering sekitar shell melampirkan benih. Pala biasanya digunakan dalam bentuk bubuk. ini adalah satu-satunya buah tropis yang merupakan sumber dari dua rempah-rempah yang berbeda, diperoleh dari berbagai bagian tanaman. Beberapa produk komersial lainnya juga dihasilkan dari pohon-pohon, termasuk minyak esensial , oleoresin diekstraksi, dan pala mentega.
The corpus delicti – a plain flacon from among the possessions of Pharaoh Hatshepsut – contained large amounts of palm and nutmeg oil (Wiedenfeld et al, 2011).
Nutmeg and its sister-spice mace are both products of the nutmeg tree, derived from several species of tree in the genus Myristica. The genus comprises about 100 species found throughout the tropics, especially in the Malayan region; but of these, the most important commercial species is Myristica fragrans, an evergreen tree indigenous to the Banda Islands in the Maluku of Indonesia which contains enough of an aromatic essential oil to make it valuable for cultivation. Nutmeg is the dried seed of the plant; mace is the dried aril surrounding the shell enclosing the seed. Nutmeg is usually used in powdered form. This is the only tropical fruit that is the source of two different spices, obtained from different parts of the plant. Several other commercial products are also produced from the trees, including essential oils, extracted oleoresins, and nutmeg butter.
Pala juga dibudidayakan di Pulau Penang di Malaysia, di Karibia, terutama di Grenada, dan di Kerala, negara sebelumnya dikenal sebagai Malabar dalam tulisan-tulisan kuno sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, di India selatan. Spesies lain yang digunakan untuk memalsukan rempah-rempah termasuk Papua pala Myristica argentea dari New Guinea, dan Myristica malabarica dari India. pada abad ke-17 karya Hortus Botanicus malabaricus, Hendrik van Rheede catatan bahwa orang India belajar penggunaan pala dari Indonesia melalui rute perdagangan kuno.
Nutmeg is also cultivated on Penang Island in Malaysia, in the Caribbean, especially in Grenada, and in Kerala, a state formerly known as Malabar in ancient writings as the hub of spice trading, in southern India. Other species used to adulterate the spice include Papuan nutmeg Myristica argentea from New Guinea, and Myristica malabarica from India. In the 17th-century work Hortus Botanicus Malabaricus, Hendrik van Rheede records that Indians learned the usage of nutmeg from the Indonesians through ancient trade routes.
Figure 26. Short-horned cows: (a) to (f) Punt, Naville (1898) and Punt, Deir el-Bahari intermittent; (g) Sumatera; (h) Madura; (i) Bali; (j) Java
Gambar 26. sapi Short-bertanduk: (a) sampai (f) Punt, Naville (1898) dan Punt, Deir el-Bahari berselang; (g) Sumatera; (h) Madura; (i) Bali; (j) Jawa
Seperti yang dijelaskan oleh Neville (1898) dan Edwards (1891), orang Mesir juga perdagangan ternak pendek bertanduk dari Punt. Dari ilustrasi Neville dan relief di di Deir el-Bahari, ternak diidentifikasi sebagai sapi. Ini adalah jauh berbeda dengan yang bertanduk panjang ternak, juga pada relief, dari negara-negara selatan, yaitu daerah Upper Nile yang lebih seperti ternak sanga.
As described by Naville (1898) and Edwards (1891), the Egyptians were also trading short-horned cattle from Punt. From Naville’s illustration and the reliefs at at Deir el-Bahari, the cattle are identified as cows. These are much different with the long-horned cattle, also on the reliefs, from the southern countries, viz the regions of the Upper Nile which are more like sanga cattle.
Nama Asia Tenggara untuk sapi adalah banteng atau tembadau (liar), sapi vs lembu (dijinakkan). Banteng (Bos javanicus) adalah spesies ternak liar yang ditemukan di Asia Tenggara. Banteng telah didomestikasi di beberapa tempat di Asia Tenggara, dan ada sekitar 1,5 juta banteng domestik, yang disebut Bali sapi (Bos javanicus domesticus), sapi atau lembu. hewan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi di wilayah tersebut dan digunakan sebagai hewan bekerja dan untuk daging mereka. Banteng juga telah diperkenalkan ke Australia Utara, di mana kami telah menetapkan populasi liar yang stabil.
Southeast Asian name for cow is banteng or tembadau (wild), sapi or lembu(domesticated). Banteng (Bos javanicus) is a species of wild cattle found in Southeast Asia. Banteng have been domesticated in several places in Southeast Asia, and there are around 1.5 million domestic banteng, which are called Bali cow (Bos javanicus domesticus), sapi or lembu. These animals have high economic value in the region and are used as working animals and for their meat. Banteng have also been introduced to Northern Australia, where they have established stable feral populations.
Dalam mitos mereka, sapi dianggap sebagai hewan suci di nusantara. Batara Guru memiliki status tertinggi dewa di dunia atas dilambangkan seperti biasa naik sapi ilahi, Lembu Andini.
Subspesies berikut diakui: banteng Jawa (Bos javanicus javanicus), ditemukan di Jawa dan Bali, laki-laki hitam dan perempuan adalah penggemar banteng Kalimantan (Bos javanicuslowi), dari Kalimantan, mereka lebih kecil dari Jawa bantengand tanduk curam; sapi jantan berwarna coklat. Burma banteng (Bos javanicus birmanicus), di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos dan Vietnam, laki-laki ini dan betina biasanya penggemar, tapi di Kamboja, 20% dari sapi jantan kehitaman, dan di Semenanjung Malaya di Thailand, sebagian besar sapi jantan hitam.
In their myth, cow is regarded as a divine animal in the archipelago. Batara Guru having the highest status of god in the upper world is symbolized as always rides a divine cow, Lembu Andini.
The following subspecies are recognized: Java banteng (Bos javanicusjavanicus), found in Java and Bali, the males are black and females are buff. Kalimantan banteng (Bos javanicuslowi), from Kalimantan, they are smaller than Java bantengand the horns are steeper; bulls are chocolate-brown. Burma banteng (Bos javanicusbirmanicus), in Myanmar, Thailand, Cambodia, Laos and Vietnam, these males and females are usually buff, but in Cambodia, 20% of the bulls are blackish, and on the Malayan Peninsula in Thailand, most of the bulls are black.
Bos sondaicus terjadi pada Pleistosen Jawa dan milik Bovine Subfamili. Telah dijelaskan oleh ahli paleoantropologi Belanda Eugène Dubois pada tahun 1908. holotype dari Bos palaesondaicus adalah tengkorak dari Trinil. Spesies ini adalah kemungkinan nenek moyang banteng (Bos javanicus) .
Zebu (Bos primigenius indicus atau Bos indicus atau Bos taurus indicus), kadang-kadang dikenal sebagai sapi indicine, sapi berpunuk atau brahmana, adalah spesies atau sub-spesies sapi dalam negeri yang berasal dari Asia Selatan. Zebus ditandai dengan punuk lemak di pundak mereka , dewlap besar dan kadang-kadang melorot telinga. sapi Zebu diduga berasal dari aurochs Asia, kadang-kadang dianggap sebagai subspesies, Bos primigenius namadicus. aurochs Asia liar menghilang selama waktu Peradaban Lembah Indus dari jangkauan di lembah Indus dan bagian lain dari Asia Selatan mungkin karena saling memelihara zebu domestik dan fragmentasi yang dihasilkan dari populasi liar karena hilangnya habitat (Rangarajan, 2001).
Bos palaesondaicus occurred on Pleistocene Java and belongs to the Bovinaesubfamily. It has been described by the Dutch paleoanthropologist Eugène Dubois in 1908. The holotype of Bos palaesondaicus is a skull from Trinil. This species is the likely ancestor to the banteng (Bos javanicus).
Zebu (Bos primigenius indicus or Bos indicus or Bos taurus indicus), sometimes known as indicine cattle, humped cattle or brahman, is a species or sub-species of domestic cattle originating in South Asia. Zebus are characterized by a fatty hump on their shoulders, a large dewlap and sometimes drooping ears. Zebu cattle are thought to be derived from Asian aurochs, sometimes regarded as a subspecies, Bos primigenius namadicus. Wild Asian aurochs disappeared during the time of the Indus Valley Civilization from its range in the Indus basin and other parts of the South Asia possibly due to inter-breeding with domestic zebu and resultant fragmentation of wild populations due to loss of habitat (Rangarajan, 2001).
Sapi Jawa dan Sumatera sapi diyakini berasal dari zebu (kata-kata SAPI, lembu dan zebu diyakini dari asal yang sama). Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa spesies hadir di Mesir sekitar 2000 SM, diyakini memiliki pertama kali muncul di Sub Sahara Afrika antara 700 dan 1500 AD, dan diperkenalkan ke Tanduk Afrika sekitar 1000 AD (Marshall, 1989). ini menjadi indikasi bahwa ekspedisi Punt, di mana sapi merupakan salah satu jenis hewan perdagangan, yang ke arah Timur.
Java cow and Sumatera cow are believed to be derived from zebu (the words sapi, lembu and zebu are believed from the same origin). Archaeological evidence suggest that the species were present in Egypt around 2000 BC, believed to have first appeared in Sub-Saharan Africa between 700 and 1500 AD, and were introduced to the Horn of African around 1000 AD (Marshall, 1989). It becomes an indication that the Punt expeditions, in which cow is one kind of the trading animals, were towards the East.
Figure 27. Ponies: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) West Sumatera; (d) Batak; (e) Java; (f) Sumba and Sumbawa; (g) Flores; (h) Sandalwood (Sumba)
Gambar 27. Ponies: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera Barat; (d) Batak; (e) Jawa; (f) Sumba dan Sumbawa; (g ) Flores; (h) Sandalwood (Sumba)
Prasasti pada relief tiang di Deir el-Bahari menyebutkan “The pantat besar yang membawa istrinya” mengacu Equus tersebut. Remains of acara prasasti yang gajah dan kuda di antara binatang memulai dari Punt untuk pemuasan Hatshepsut
The inscriptions on the colonnade reliefs at Deir el-Bahari mention “The great ass that carries his wife” referring to the equus. Remains of the inscription show that an elephant and a horse were among the animals embarked from Punt for the gratification of Hatshepsut.
The Equus dari Punt, salah satu adalah untuk membawa wanita obesitas Ati dan yang lainnya untuk mengangkut barang, telah memanjang kembali, perut ramping, anggota badan baik, sempit dada dan bingkai, leher panjang dan tipis, kepala-baik saja dengan memanjang, meruncing dan lurus profil; dan mata kecil yang menyerupai kuda daripada keledai, kecuali telinga yang besar dan panjang. tinggi adalah sekitar 1 meter, sedikit lebih pendek dari kuda Indonesia yang sekitar 1,2 meter.
The equus of Punt, one was for carrying the obese lady Ati and the other for transporting goods, has elongated back, slim belly, fine limbs, narrow chest and frame, long and thin neck, fine head with elongated, taper and straight profile; and small eyes which resembles a pony rather than an ass, except its ears are large and long. Its height is about 1 meter, a little bit shorter than the Indonesian ponies which are around 1.2 meters.
Keturunan yang berbeda dari kuda asli Indonesia yang ramping, tapi masih kuat dan kokoh, sehingga mereka layak disebut kuda dari kuda. Kuda diperkirakan telah turun dari kuda Mongolia dan darah Arab atau saham Cina kuno. Secara umum, mereka juga -informed, dan sebagian besar dari kesalahan mereka sebagian menyalahkan pada hijauan miskin yang mereka memiliki akses. satu-satunya jenis lain dari negara yang kualitas yang lebih baik adalah Sandalwood Pony.
The different breeds of native Indonesian horses are slender, but still strong and sturdy, so they deserve to be called ponies than horses. The ponies are thought to have descended from Mongolian Horse and Arabian blood or ancient Chinese stock. In general, they are well-conformed, and most of their faults are partly to blame on the poor forage to which they have access. The only other breed of the country which is of better quality is the Sandalwood Pony.
Kuda memiliki kepala halus atau agak berat dengan profil lurus atau sedikit cembung. Leher panjang untuk beberapa keturunan tapi pendek untuk orang lain, otot dan tipis, withers rendah untuk menonjol. Dada dan bingkai sempit, belakang biasanya panjang, dan kuartal miring. kaki-baik saja tapi sulit dengan kuku yang baik. Mereka biasanya rata-rata sekitar 1,2 meter tetapi mungkin berdiri hingga 1,3 meter, dan umumnya cokelat, tetapi dapat warna apapun.
The ponies have a fine head or rather heavy with a straight or slightly convex profile. The neck is long for some breeds but short for the others, muscular and thin, the withers are low to prominent. The chest and frame are narrow, the back is usually long, and the quarters sloping. The legs are fine but tough with good hooves. They usually average about 1.2 meters but may stand up to 1.3 meters, and are generally brown, but can be any color.
Kuda telah terus-menerus telah diresapi dengan darah tambahan, sebagian besar Arab untuk meningkatkan kualitas mereka, sehingga dapat diharapkan bahwa keturunan pribumi yang lebih ramping dan lebih pendek dari apa yang bisa kita lihat sekarang. Jadi yang telinga hanya mungkin lebih besar dan lebih lama.
Pony adalah maskot dari Kota Bengkulu, ditampilkan sebagai patung bernama Patung Kuda Kerdil (berarti patung kerdil kuda, atau kuda) yang terletak di pusat kota.
The ponies have continually been infused with additional bloods, mostly Arabian to improve their quality, so that it can be expected that the indigenous breeds were slenderer and shorter than what we can see now. So were the ears just possible larger and longer.
Pony is the mascot of Bengkulu City, shown as a statue named Patung Kuda Kerdil (means the statue of pigmy horse, or pony) located at the city center.
Figure 28. Pig-tailed macaques: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Siberut; (d) Sumatera; (e) Kalimantan; (f) Sabah; (g) Thailand; (h) Pagai; (i) Cambodia; (j) used for picking coconuts in Sumatera
Gambar 28. kera Pig-tailed: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahri; (c) Siberut; (di) Sumatera; (e) Kalimantan; (f) Sabah; (g ) Thailand; (h) Halaman; (di) Kamboja; (j) digunakan untuk memilih kelapa di Sumatera
Relief pada tiang di Deir el-Bahari acara kera, pertama di atas geladak kapal sarat dan yang lainnya di kereta panjang yang pawai menuju ratu. Pada fragmen diilustrasikan oleh Naville, menunjukkan kera memanjat pohon kelapa, tampaknya di negara-negara selatan di mana mereka dipijahkan ada. fragmen lain dari daftar atas relief menunjukkan kera memegang bayinya. prasasti menggambarkan mereka sebagai Anau (Naville, 1898) yang umumnya diterjemahkan “kera”.
The reliefs on the colonnade at Deir el-Bahari show macaques, first on the decks of the laden ships and the others in the long train which marches towards the queen. On a fragment illustrated by Naville, shown a macaque climbing a palm tree, seemingly in the southern countries where they were breeded there. The other fragment of the upper register of the reliefs shows a macaque holding her baby. The inscriptions describe them as ảnảu (Naville, 1898) which generally translates “apes”.
Kera babi ekor ditemukan di bagian selatan Semenanjung Melayu (hanya memperluas ke selatan Thailand), Kalimantan, Sumatera dan Pulau Bangka, diklasifikasikan sebagai “selatan babi ekor kera” (Macaca nemestrina), dan di Pagai Islands, Siberut island, Bangladesh, Kamboja, China, India, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam, diklasifikasikan sebagai “utara babi ekor kera” (Macaca leonina). nama lokal di Indonesia dan Malaysia adalah beruk.
Pig-tailed macaques are found in the southern half of the Malay Peninsula (only just extending into southernmost Thailand), Kalimantan, Sumatera and Bangka Island, classified as “southern pig-tailed macaque” (Macaca nemestrina), and in Pagai Islands, Siberut Island, Bangladesh, Cambodia, China, India, Laos, Myanmar, Thailand, and Vietnam, classified as “northern pig-tailed macaque” (Macaca leonina). The local name in Indonesian and Malaysian is beruk.
Kera babi ekor hidup di ketinggian mulai dari permukaan laut dan mulai di atas 2.000 m. Mereka tinggal di hutan, sebagian besar hutan hujan dan rawa-rawa. Mereka lebih memilih padat, hutan hujan lembab.
Dalam kelompok atau koloni, kera ingin pergi ke tanah untuk mencari buah-buahan jatuh. Kadang-kadang mereka pergi ke sungai atau danau untuk minum dan bermain. Master melahirkan baru, kadang-kadang terlihat membawa bayinya. Sementara kera muda kadang terlihat atas dan ke bawah pohon dan bermain mengejar. kera biasanya berani mendekati manusia dan dapat menjadi teman laki-laki. Di daerah Pariaman, Sumatera Barat, kera diajarkan untuk membantu orang memilih kelapa.
Pig-tailed macaques live in elevations starting at sea level and ranging to above 2000 m. They live in forests, mostly rainforests and swamps. They prefer dense, humid rainforest.
Within a group or colony, macaques like to go down to the ground to look for fell fruits. Sometimes they go to the river or lake to drink and play. The new master childbirth, sometimes seen carrying her baby. While the young macaques sometimes look up and down the tree and playing chase. Macaques are usually dare to approach human and can be friends of men. In the area of Pariaman, West Sumatera, macaques are taught to help people picking coconuts.
Pada tahun 2010, sebuah studi genetik dilakukan pada sisa-sisa mumi dari baboon yang seharusnya dibawa kembali dari Punt oleh orang Mesir kuno. Dipimpin oleh tim peneliti dari Museum Mesir dan Universitas California, para ilmuwan menggunakan analisis isotop oksigen untuk memeriksa rambut dari dua mumi babon yang telah diawetkan di Museum Inggris. Salah satu babun mendistorsi data isotop, sehingga nilai-nilai isotop oksigen yang lain dibandingkan dengan yang modern babon spesimen dari daerah tujuan. para peneliti menemukan bahwa mumi paling erat cocok spesimen yang modern terlihat di Eritrea dan Ethiopia sebagai lawan mereka di negara tetangga Somalia. apapun Namun, penelitian ini tidak terbukti karena alasan berikut. para peneliti hanya bisa mengidentifikasi asal babon dari Lembah para Raja. The babon lainnya, dari Thebes, tampaknya telah menghabiskan beberapa waktu tinggal di Mesir sebagai hewan peliharaan eksotis. Sementara itu tinggal di Mesir, dan mengkonsumsi diet lokal, nilai isotop oksigen yang berubah. perubahan itu berarti bahwa peneliti tidak tahu di mana itu dari. Oleh karena itu, tanda tangan isotop dapat diidentifikasi hanya dari satu babon dan lokalisasi yang masih sangat kabur.
In 2010, a genetic study was conducted on the mummified remains of baboons that were supposedly brought back from Punt by the ancient Egyptians. Led by a research team from the Egyptian Museum and the University of California, the scientists used oxygen isotope analysis to examine hairs from two baboon mummies that had been preserved in the British Museum. One of the baboons had distorted isotopic data, so the other’s oxygen isotope values were compared to those of modern-day baboon specimens from regions of interest. The researchers found that the mummies most closely matched modern specimens seen in Eritrea and Ethiopia as opposed to those in neighboring Somalia. However, this study has not proved anything for the following reasons. The researchers were only able to identify the origin of the baboon from the Valley of the Kings. The other baboon, from Thebes, appears to have spent some time living in Egypt as an exotic pet. While it was living in Egypt, and consuming the local diet, its oxygen isotope value changed. That change means that researchers could not tell where it was from. Therefore, isotopic signature could be identified only from one baboon and the localization is still very vague.
Ada legenda terkenal di kalangan Rejangese yang menceritakan sebuah kisah tentang seorang putih babi ekor monyet (beruk putih). Orang Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan Mesir seperti yang akan dibahas di sini setelah itu.
There is a famous legend among the Rejangese which tells a story of a white pig-tailed macaque (beruk putih). Rejang people allegedly have similar culture with the Egyptian as will be discussed here afterwards.
Figure 29. One-horned rhinoceros: (a) Punt, Deir el-Bahari; (b) Java; (c) Sumatera; (d) India; (e) Vietnam, declared extinct in 2011
Gambar badak 29. Satu-bertanduk: (a) Punt, Deir el-Bahari; (b) Jawa; (c) Sumatera; (d) India; (e) Vietnam, dinyatakan punah pada 2011
Dua fragmen register atas relief pada tiang di Deir el-Bahari menunjukkan badak bercula satu di Punt.
Naville (1898) berpendapat bahwa hanya mungkin tanduk badak adalah salah satu produk dari Punt, bertuliskan nama yang umumnya diterjemahkan “gading”. Pada relief, benda-benda yang disebut “gading”, memiliki bentuk yang jauh lebih seperti cula badak dari gading gajah. Namun, penulis berpendapat bahwa benda-benda yang dimaksud adalah kerbau atau sapi tanduk, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.
Two fragments of the upper register of the reliefs on the colonnade at Deir el-Bahari show a one-horned rhinoceros in Punt.
Naville (1898) argues that just possible the horns of the rhinoceros are among the products of Punt, bearing the name which generally translates “ivory”. On the relief, the objects called “ivory”, have a shape much more like rhinoceros horns than elephant tusks. However, the author argues that the objects in question are buffalo or cow horns, as will be described hereinafter.
Badak bercula satu di Asia Tenggara dikenal sebagai badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), badak Sunda atau lebih kecil badak bercula satu. Setelah yang paling luas dari badak Asia, badak Jawa berkisar antara pulau Jawa dan Sumatera, di seluruh Asia Tenggara, dan ke India dan Cina. spesies ini terancam punah, dengan hanya satu populasi yang dikenal di alam liar, dan tidak ada orang di penangkaran. Hal ini mungkin mamalia besar terlangka di bumi, dengan populasi sesedikit 58-61 di Ujung Kulon Taman nasional di ujung barat Jawa di Indonesia. Sebuah populasi kedua di Taman nasional Cat Tien di Vietnam telah dikonfirmasi sebagai punah pada tahun 2011. penurunan dari badak Jawa adalah disebabkan perburuan liar, terutama untuk tanduk mereka, yang sangat dihargai di tradisional obat cina.
One-horned rhinoceros in Southeast Asia is known as Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus), Sunda rhinoceros or lesser one-horned rhinoceros. Once the most widespread of Asian rhinoceroses, the Javan rhinoceros ranged from the islands of Java and Sumatera, throughout Southeast Asia, and into India and China. The species is critically endangered, with only one known population in the wild, and no individuals in captivity. It is possibly the rarest large mammal on earth, with a population of as few as 58 to 61 in Ujung Kulon National Park at the western tip of Java in Indonesia. A second population in Cat Tien National Park in Vietnam was confirmed as extinct in 2011. The decline of the Javan rhinoceros is attributed to poaching, primarily for their horns, which are highly valued in traditional Chinese medicine.
Dalam keluarga yang sama, badak India (Rhinoceros unicornis), juga disebut lebih besar badak bercula satu dan badak India besar, adalah badak asli benua India. Ini sekali berkisar di seluruh bentangan Indo-Gangga Plain, tapi perburuan yang berlebihan dan pembangunan pertanian berkurang jangkauan mereka secara drastis menjadi 11 situs di India utara dan selatan Nepal.
Ada sebuah legenda di antara Rejangese yang menceritakan sebuah cerita tentang seorang pria bernama Si Pahit Lidah (secara harfiah berarti “pahit lidah) pertemuan dengan sekelompok badak, bahwa salah satu dari mereka menjadi batu sekarang disebut Batu Badak (badak batu) karena nya orang ajaib. Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan Mesir seperti yang akan dibahas di sini setelah itu.
In the same family, the Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis), also called the greater one-horned rhinoceros and great Indian rhinoceros, is a rhinoceros native to the Indian subcontinent. It once ranged throughout the entire stretch of the Indo-Gangetic Plain, but excessive hunting and agricultural development reduced their range drastically to 11 sites in northern India and southern Nepal.
There is a legend among the Rejangese which tells a story about a man named Si Pahit Lidah (literally means “bitter tongue) meeting with a group of rhinoceros, that one of them became a stone now called Batu Badak (rhinoceros stone) because of his magic. Rejang people allegedly have similar culture with the Egyptians as will be discussed here afterwards.
Gambar 30. Anjing: (a) dan (b) Punt, Naville (1898c) Punt, Deir el-Bahari; (d) dan (e) ajag, asli anjing Asia Tenggara
Relief pada tiang di Deir el-Bahari dan fragmen diilustrasikan oleh Naville menunjukkan anjing asli berkeliaran di sekitar rumah dan kebun atau dipandu. Prasasti menggambarkan anjing sebagai produk dari Punt.
Figure 30. Dogs: (a) and (b) Punt, Naville (1898); (c) Punt, Deir el-Bahari; (d) and (e) ajag, native Southeast Asian dog
The reliefs on the colonnade at Deir el-Bahari and a fragment illustrated by Naville show native dogs roaming around the houses and garden or guided. The inscriptions describe dogs as being the product of Punt.
Ajag (Cuon alpinus javanicus atau Cuon alpinus sumatrensis) yang juga dikenal sebagai anjing liar Asiatic adalah penduduk asli canid ke Asia Tenggara. Spesies ini ditemukan di pulau Sumatera dan Jawa, mendiami terutama di daerah pegunungan dan hutan. Ini adalah media dalam ukuran dengan bulu coklat kemerahan, menyoroti sepanjang leher bagian bawah dari dagu yang lebih rendah ke ujung depan perut. ekor panjang dan berat dengan bulu kehitaman.
Ajag (Cuon alpinus javanicus or Cuon alpinus sumatrensis) also known as the Asiatic wild dog is a canid native to Southeast Asia. The species is found on the islands of Sumatera and Java, inhabits mainly in mountainous areas and forests. It is medium in size with reddish brown fur, highlights along the lower neck from the lower chin to the front end of belly. The tail is long and heavy with blackish fur.
Peter Savolainen dari KTH Royal Institute of Technology di Swedia (2015) dan Ya-Ping Zhang dari Kunming Institute of Zoology di Cina (2015) menunjukkan bahwa manusia pertama dijinakkan anjing di Asia Tenggara 33.000 tahun yang lalu, dan bahwa sekitar 15.000 tahun yang lalu subset dari nenek moyang anjing mulai bermigrasi ke arah Timur Tengah dan Afrika. gerakan mereka itu mungkin terinspirasi oleh yang sahabat manusia mereka, tetapi itu juga mungkin bahwa mereka memulai perjalanan mereka secara mandiri. Salah satu faktor pendorong yang mungkin bisa saja mencairnya gletser, yang mulai mundur sekitar 19.000 tahun yang lalu. itu tidak sampai 5000 tahun setelah mereka pertama kali mulai menyebar dari Asia Tenggara yang anjing diduga telah mencapai Eropa. Sebelum akhirnya membuat jalan mereka ke Amerika, salah satu kelompok ini untuk Asia-kembali dua kali lipat di mana mereka kawin silang dengan anjing yang telah bermigrasi ke Cina utara. Kalau saja lebih dari hewan peliharaan saat ini adalah bahwa aktif.
Peter Savolainen of the KTH Royal Institute of Technology in Sweden (2015) and Ya-Ping Zhang of the Kunming Institute of Zoology in China (2015) suggest that humans first domesticated dogs in Southeast Asia 33,000 years ago, and that about 15,000 years ago a subset of dog ancestors began to migrate toward the Middle East and Africa. Their movement was likely inspired by that of their human companions, but it’s also possible that they began their journey independently. One possible motivating factor could have been melting glaciers, which started retreating approximately 19,000 years back. It wasn’t until 5000 years after they first began spreading out from Southeast Asia that dogs are thought to have reached Europe. Before finally making their way to the Americas, one of these groups doubled-back to Asia where they interbred with dogs that had migrated to northern China. If only more of today’s pets were that active.
Figure 31. Clouded leopards: (a) skins, Mariette (1877); (b) Punt, Naville (1898); (c) Sumatera; (d) Kalimantan; (e) Java
Gambar 31. macan tutul Clouded: (a) kulit, Mariette (1877); (b) Punt, Naville (1898); (c) Sumatera; (d) Kalimantan; (e) Jawa
Tulisan pada tiang di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa kulit macan tutul adalah produk dari Punt. The tertulis ånemu nu åbyu (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan kulit macan tutul. Relief menunjukkan tumpukan kulit macan tutul yang Mariette dan Duemichen digambarkan mereka sebagai Jenis berkabut tapi Naville tidak. sebuah fragmen diilustrasikan oleh Naville menunjukkan leopard menderu di Punt.
The inscription on the colonnade at Deir el-Bahari describes that leopard skins are the product of Punt. The inscribed ånemu nu åbyu (Naville, 1898) generally translates leopard skins. The reliefs show a heap of leopard skins which Mariette and Duemichen illustrated them as clouded type but Naville not. A fragment illustrated by Naville shows a roaring leopard in Punt.
Macan dahan (Neofelis nebulosa) yang ditemukan dari kaki bukit Himalaya melalui daratan Asia Tenggara ke Cina. The Sunda mendung macan tutul (Neofelis diardi) ditemukan di Sumatera dan Kalimantan secara genetik berbeda dan telah dianggap sebagai spesies terpisah sejak tahun 2006.
Clouded leopard (Neofelis nebulosa) is found from the Himalayan foothills through mainland Southeast Asia into China. The Sunda clouded leopard (Neofelis diardi) found in Sumatera and Kalimantan is genetically distinct and has been considered a separate species since 2006.
Sunda macan tutul adalah kucing terbesar di Kalimantan, dan memiliki membangun kekar. Ekornya dapat tumbuh menjadi sepanjang tubuhnya, membantu keseimbangan. Its mantel ditandai dengan berbentuk tidak teratur, oval gelap bermata yang dikatakan berbentuk seperti awan, maka nama umum nya.
The Sunda clouded leopard is the largest cat in Kalimantan, and has a stocky build. Its tail can grow to be as long as its body, aiding balance. Its coat is marked with irregularly-shaped, dark-edged ovals which are said to be shaped like clouds, hence its common name.
The Javan leopard (Panthera pardus melas) adalah subspesies macan tutul terbatas pada pulau Jawa Indonesia, craniometric sekutu berbeda dari macan tutul dari seluruh Asia, dan merupakan takson yang berbeda yang memisahkan diri dari macan tutul Asia ratusan lainnya dari ribuan tahun yang lalu.
The Javan leopard (Panthera pardus melas) is a leopard subspecies confined to the Indonesian island of Java, craniometrically distinct from leopards from the rest of Asia, and are a distinct taxon that split off from other Asian leopards hundreds of thousands of years ago.
Figure 32. Elephants: (a) and (b) Puntite ivory, Naville (1898); (c) and (d) Sumatera; (e) Kalimantan
Gambar 32. Gajah: (a) dan (b) Puntite gading, Naville (1898); (c) dan (d) Sumatera; (e) Kalimantan
Tulisan di tiang di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa gading adalah produk dari Punt. UAB yang tertulis (Naville, 1898) atau ABW umumnya diterjemahkan gading. Relief menunjukkan tumpukan gading dimuat di kapal dan di Taman Amon. sisa-sisa acara prasasti yang gajah dan kuda di antara binatang memulai dari Punt untuk pemuasan Hatshepsut.
The inscriptions on the colonnade at Deir el-Bahari describe that ivory is the product of Punt. The inscribed uảb (Naville, 1898) or abw generally translates ivory. The reliefs show stacks of ivory loaded on the ship and in the Garden of Amon. Remains of the inscription show that an elephant and a horse were among the animals embarked from Punt for the gratification of Hatshepsut.
Sumatera gajah (Elephas maximus Sumateranus) adalah salah satu dari tiga subspesies yang diakui gajah Asia, dan asli pulau Indonesia dari Sumatera. Secara umum, gajah Asia lebih kecil dari gajah Afrika dan memiliki titik badan tertinggi di kepala. Ujung bagasi mereka memiliki satu proses jari-seperti. kembali mereka adalah cembung atau tingkat. Betina biasanya lebih kecil dibandingkan laki-laki, dan memiliki pendek atau tidak ada gading.
The Sumateran elephant (Elephas maximus Sumateranus) is one of three recognized subspecies of the Asian elephant, and native to the Indonesia island of Sumatera. In general, Asian elephants are smaller than African elephants and have the highest body point on the head. The tip of their trunk has one finger-like process. Their back is convex or level. Females are usually smaller than males, and have short or no tusks.
The Borneo gajah (Elephas maximus borneensis), juga disebut Borneo pygmy elephant, mendiami bagian timur laut Kalimantan. Hal ini telah menjadi biasa untuk merujuk pada gajah Borneo sebagai subspesies sebuah ‘kerdil’. Tapi gajah dewasa Sabah dari kedua jenis kelamin yang sama di ketinggian dengan mereka rekan-rekan di Semenanjung Malaysia. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam salah satu karakter antara dua populasi tawanan.
Sekarang punah gajah Java (Elephas maximus sondaicus) pernah dihuni Jawa identik dengan gajah Kalimantan.
The Borneo elephant (Elephas maximus borneensis), also called the Borneo pygmy elephant, inhabits northeastern Borneo. It has become commonplace to refer to Borneo elephants as a ‘pygmy’ subspecies. But adult elephants of Sabah of both genders are similar in height to their counterparts in Peninsular Malaysia. There was no significant difference in any of the characters between the two captive populations.
The now extinct Java elephant (Elephas maximus sondaicus) once inhabited Java is identical to the Kalimantan elephant.
Hutan Sumatera yang berlimpah dengan gajah, akibatnya ditemukan gading dalam kelimpahan, dan dilakukan baik ke pasar Cina dan Eropa. Hewan-hewan sendiri yang sebelumnya obyek dari traffic yang cukup besar dari Achin, Afghanistan ke pantai Coromandel, dan kapal itu dibangun secara tegas untuk transportasi mereka.
Salah satu habitat gajah sumatera di Seblat, Sumatera tenggara, di wilayah Kerinci-Seblat National Park. Tempat ini berada di area yang orang Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan orang Mesir seperti yang akan dibahas di sini setelah itu.
The Sumateran forests abounding with elephants, ivory is consequently found in abundance, and is carried both to the China and Europe markets. The animals themselves were formerly the objects of a considerable traffic from Achin, Afghanistan to the coast of Coromandel, and vessels were built expressly for their transport.
One of the habitats of Sumateran elephant is in Seblat, southeast Sumatera, within the area of Kerinci-Seblat National Park. This place is in the area of Rejang people which allegedly has similar culture with the Egyptians as will be discussed here afterwards.
Figure 33. “Ivories”: (a) and (b) Puntite ivory, Naville (1898); (c) and (d) inscriptions on cow/buffalo horns, Kerinci, Sumatera; (e) buffalo
Gambar 33. “Ivories”: (a) dan (b) Puntite gading, Naville (1898); (c) dan (d) prasasti di tanduk sapi / kerbau, Kerinci, Sumatera; (e) kerbau
Naville (1898) berpendapat bahwa hanya mungkin tanduk badak adalah salah satu produk dari Punt, bertuliskan nama yang umumnya diterjemahkan “gading”. Namun penulis berpendapat bahwa mereka adalah sapi atau kerbau tanduk karena tanduk sapi / kerbau dapat dibuat menjadi ornamen dan barang berharga lainnya. tidak diketahui bahwa cula badak digunakan sebagai obat-obatan di Mesir. relief pada dinding tiang dari Deir el-Bahari acara angka yang lebih seperti sapi atau kerbau tanduk daripada gading gajah. sapi-sapi yang sudah dibahas di atas . kerbau air (kerbau Indonesia dan Malaysia), juga disebut kerbau Asia dan kerbau Asiatic, adalah sapi asli besar untuk Asia Tenggara dan benua India. The kerbau adalah salah satu hewan dari nilai ekonomi dan agama terbesar digunakan sebagai korban korban di Asia Tenggara, sub-benua India dan Cina selatan. kerbau air juga sering digunakan untuk membajak sawah, untuk mempersiapkan tanah untuk menanam dengan bajak kayu buatan tangan, karena waktu kuno di Asia Tenggara.
Naville (1898) argues that just possible the horns of the rhinoceros are among the products of Punt, bearing the name which generally translates “ivory”. But the author argues that they are cow or buffalo horns because cow/buffalo horns can be made into ornaments and other valuables. It is unknown that rhino horn was used as medicines in Egypt. The reliefs on the colonnade wall of Deir el-Bahari show figures which are more like cow or buffalo horns rather than elephant tusks. The cows are already discussed above. Water buffalo (Indonesian and Malaysian kerbau), also called Asian buffalo and Asiatic buffalo, is a large bovine native to Southeast Asia and the Indian Subcontinent. The water buffalo is one of the animals of greatest economic and religious value used as a sacrificial victim in the Southeast Asia, Indian sub-continent and southern China. Water buffalos are also commonly used to plough the rice fields, to prepare the soil for planting with handmade wooden plows, since the ancient time in Southeast Asia.
Karakteristik rumah Asia Tenggara adalah tanduk bercabang di atap, yang dianggap sebagai simbol kerbau, dianggap seluruh wilayah sebagai penghubung antara surga dan dunia ini. Rumah-rumah panggung yang paling terkenal dari Indonesia adalah dari Dayak di Kalimantan, Minangkabau dan Batak di Sumatera, dan Toraja di Sulawesi.
A characteristic of Southeast Asian houses is the forked horn on the roof, which is considered to be a symbol of the buffalo, regarded throughout the region as a link between heaven and this world. The most famous stilt houses of Indonesia are those of the Dayak in Kalimantan, the Minangkabau and Batak in Sumatera, and the Toraja in Sulawesi.
Figure 34. Monkeys: (a) Punt, Naville (1898); (b) silvery langur (Sumatera and Kalimantan); (c) Javan langur; (d) Sumateran langur; (e) Javan slow loris
Gambar 34. Monkeys: (a) Punt, Naville (1898); (b) keperakan lutung (Sumatera dan Kalimantan); (c) lutung jawa; (d) Sumatera lutung; (e) Javan kukang
Tulisan pada tiang di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa monyet adalah produk dari Punt. Kefu yang tertulis (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan monyet. Fragmen diilustrasikan oleh Naville menunjukkan angka monyet.
The inscription on the colonnade at Deir el-Bahari describe that monkeys are the product of Punt. The inscribed ḳefu (Naville, 1898) generally translates monkey. Fragments illustrated by Naville shows figures of monkeys.
Ada lebih dari 200 primata (kera dan monyet) spesies di dunia, 40 spesies atau 25% dari yang hidup di Indonesia. Sayangnya, 70% dari primata Indonesia terancam punah karena kehilangan habitat dan degradasi dan juga perburuan untuk perdagangan . Salah satu faktor utama yang mengancam primata Indonesia adalah perdagangan ilegal karena sebagian besar primata yang diperdagangkan liar tertangkap. Setiap tahun, ribuan primata dari berbagai spesies ditangkap dari alam untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan atau untuk konsumsi daging. The primata rebus untuk daging mereka termasuk lutung jawa (Trachypithecus auratus), ekor panjang kera (Macaca fascicularis), lutung Sumatera (Presbytis thomasi, Presbytis melalophos), dan kera babi (Macaca nemestrina, Macaca leonina). daging primata ini palsu diyakini memiliki sifat penyembuhan, misalnya untuk menyembuhkan asma. Kebanyakan primata di Indonesia telah dilindungi oleh hukum yang berarti bahwa perdagangan dan kepemilikan ilegal.
There are more than 200 primate (apes and monkeys) species in the world, 40 species or 25% of which live in Indonesia. Unfortunately, 70% of Indonesian primates are threatened by extinction due to habitat loss and degradation and also the poaching for trade. One of the major factors threatening Indonesian primates is the illegal trade because most of the traded primates are wild caught. Every year, thousands primate from various species are caught from the wild to be traded as pets or for meat consumption. The primates poached for their meat include Javan langur (Trachypithecus auratus), long-tailed macaque (Macaca fascicularis), Sumateran langur (Presbytis thomasi, Presbytis melalophos), and the pig-tailed macaque (Macaca nemestrina, Macaca leonina). The meats of these primates are falsely believed to have healing properties, for example to cure asthma. Most primates in Indonesia have been protected by law meaning that the trade and ownership is illegal.
Figure 35. Turtles and tortoises: (a) to (c) and (f) to (h) Puntite turtle, tortoise and shells, Mariette (1877) and Deir el-Bahari; (d) Asian box turtle; (e) Asian forest tortoise; (i) Malaysian giant turtle; (j) tortoise shell
Gambar 35. Turtles dan kura-kura: (a) ke (c) dan (f) ke (h) Puntite penyu, kura-kura dan kerang, Mariette (1877) dan Deir el-Bahari; (d) Asian kura-kura kotak; (e) Asia hutan kura-kura; (i) raksasa penyu Malaysia; (j) tempurung kura-kura
Relief pada tiang di Deir el-Bahari memperlihatkan garis-garis air di mana ikan, kura-kura dan kura-kura berenang. Hal bawah gading di bawah naungan pohon-pohon adalah zat yang disebut kash (Naville, 1898), makna yang diragukan, namun Naville menganggap menjadi kura-shell menilai dari yang menentukan.
The reliefs on the colonnade at Deir el-Bahari show lines of water in which fishes, turtle and tortoise are swimming. Things under the tusks in the shade of the trees is a substance called kash (Naville, 1898), the meaning of which is doubtful, but Naville considers being tortoise-shell judging from the determinative.
Indonesia adalah negara yang kaya kura-kura air tawar, kura-kura dan spesies. Kebanyakan dari mereka menghadapi kepunahan karena hilangnya habitat, perburuan dan konsumsi manusia terrapins. Di antara spesies ini Asia Tenggara sempit berkepala softshell turtle (Chitra chitra), biuku (Batagur affinis), dicat terrapin (Batagur borneoensis), Roti pulau ular-necked turtle (Chelodina mccordi), penyu hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi), Cantor raksasa softshell turtle (Pelochelys cantorii), kura-kura hutan Asia (emys Manouria emys), dan penyu berduri (Heosemys spinosa).
Indonesia is a country which rich of freshwater turtles, tortoises and terrapins species. Most of them are facing extinction due to habitat loss, hunting and human consumption. Among the endangered are Southeast Asian narrow-headed softshell turtle (Chitra chitra), southern river terrapin (Batagur affinis), painted terrapin (Batagur borneoensis), Roti island snake-necked turtle (Chelodina mccordi), Sulawesi forest turtle (Leucocephalon yuwonoi), Cantor’s giant softshell turtle (Pelochelys cantorii), Asian forest tortoises (Manouria emys emys), and spiny turtle (Heosemys spinosa).
Kotak penyu Asia kura-kura dari genus Cuora dalam keluarga Geoemydidae. Ada sekitar 12 spesies. Kura-kura kotak tersebut jatuh pingsan (Pyxidea mouhotii syn Cuora mouhotii) sering dimasukkan dalam genus ini, atau dipisahkan dalam genus monotypic Pyxidea. Genus Cuora didistribusikan dari Cina ke Indonesia dan Filipina. kura-kura hutan Asia (Manouria emys), juga dikenal sebagai kura-kura coklat Asia, adalah spesies kura-kura ditemukan di India (Assam), Bangladesh, Burma (atau Myanmar), Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sumatera , Kalimantan). raksasa Malaysia kura-kura atau penyu sungai Borneo (Orlitia borneensis) adalah spesies kura-kura dalam keluarga Ailuridae ditemukan di Indonesia dan Malaysia. ini adalah monotypic dalam genus Orlitia.
Asian box turtles are turtles of the genus Cuora in the family Geoemydidae. There are about 12 species. The keeled box turtle (Pyxidea mouhotii syn Cuora mouhotii) is often included in this genus, or separated in the monotypic genus Pyxidea. GenusCuora is distributed from China to Indonesia and the Philippines. Asian forest tortoise (Manouria emys), also known as Asian brown tortoise, is a species of tortoise found in India (Assam), Bangladesh, Burma (or Myanmar), Thailand, Malaysia and Indonesia (Sumatera, Kalimantan). Malaysian giant turtle or Bornean river turtle (Orlitia borneensis) is a species of turtles in the Bataguridae family found in Indonesia and Malaysia. It is monotypic within the genus Orlitia.
Kepulauan Asia Tenggara dengan obat-obatan yang, rempah-rempah dan zat aromatik, dengan kayu berharga dan tempurung kura-kura adalah link penting dalam jaringan perdagangan yang luas kuno, interkoneksi benua. Sebuah akun Romawi kuno, Taprobana, yang kini Pulau Kalimantan, menghasilkan mutiara, batu transparan, muslim dan tempurung kura-kura.
The Southeast Asian archipelago with its medicines, spices and aromatic substances, with precious timbers and tortoise shell was an important link in the ancient far-reaching trade network, interconnecting continents. An ancient Roman account, Taprobana, the present-day Kalimantan Island, produces pearls, transparent stones, muslins and tortoise shell.
Figure 36. Fishes of the Punt (Mariette, 1877)
Figure 37. Salt and fresh water fishes in Southeast Asia
Gambar 37. Garam dan air tawar ikan di Asia Tenggara
Perikanan merupakan bagian integral dari cara hidup banyak orang Asia Tenggara. Dua belas negara yang berbatasan dengan wilayah semua tradisional bangsa memancing meskipun besarnya usaha penangkapan bervariasi dari satu ke yang lain. Mereka adalah Myanmar, Burma, Cina, termasuk daratan dan Taiwan provinsi, Hongkong, Indonesia, Kamboja, Macau, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. arus laut permukaan di wilayah tersebut berubah arah sepenuhnya sesuai dengan dua musim hujan, dengan pengecualian dari Selat Malaka di mana air mengalir selalu ke arah utara, meskipun intensitas bervariasi sesuai dengan musim. ini adalah perbedaan dalam karakteristik lingkungan daerah yang menentukan spesies dan fitur ekologi sumber daya. fitur khusus kawasan sumber daya, yang telah diperoleh dari lingkungan tersebut di atas di wilayah tersebut, yang sifat multispesies dari komunitas ikan, yang cepat tumbuh dan genjah dari ikan individu dengan rentang hidup yang relatif singkat; mengakhiri beberapa atau hampir semua pemijahan sepanjang tahun berkepanjangan.
Fisheries are integral to the way of life of many Southeast Asians. Twelve countries bordering on the region are all traditionally fishing nations though the magnitude of fishing effort varies from one to the other. They are Myanmar, Burma, China, including the mainland and Taiwan Province, Hongkong, Indonesia, Cambodia, Macau, Malaysia, The Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam. The surface sea current in the region changes its direction completely in accordance with the two monsoon seasons, with the exception of the Malaka Strait where waters flow always in a northerly direction, although the intensity varies according to the season. These are the distinctions in the environmental characteristics of the region that determine the species and ecological features of the resources. The region-specific features of the resources, which have been derived from the above-mentioned environment in the region, are the multispecies nature of fish community; the fast growing and early maturing of the individual fish with relatively short life span; end the multiple or almost all year-round prolonged spawning.
Daerah ini juga ditandai dengan distribusi berlimpah terumbu karang, terutama di bagian-paling barat dan timur, sedangkan mangrove banyak mana ada debit besar air tawar. The Coral Triangle adalah di enam negara Indo-Pasifik Indonesia, Malaysia, Filipina, Kepulauan Solomon, Papua Nugini dan Timor-Leste.
Asia Tenggara memiliki garis pantai 173.000 kilometer dan wilayah laut lebih dari 4,4 juta kilometer persegi (UNESCAP 2006). Asia Tenggara diperkirakan memiliki 2.500 spesies ikan (ASEAN 2002). Negara-negara pantai di wilayah ini adalah produsen signifikan ikan. The Coral segitiga pelabuhan 600 spesies karang dan lebih dari 1.300 spesies ikan karang-terkait (ASEAN 2013).
The region is also characterized by the abundant distribution of coral reefs, especially in the western-most and eastern parts, while mangroves are numerous where there is substantial discharge of fresh water. The Coral Triangle is in the six Indo-Pacific countries of Indonesia, Malaysia, Philippines, Solomon Islands, Papua New Guinea and Timor-Leste.
Southeast Asia has a coastline of 173,000 kilometers and a sea area of over 4.4 million square kilometers (UNESCAP 2006). Southeast Asia has an estimated 2,500 fish species (ASEAN 2002). The coastal countries in the region are significant producers of fish. The Coral Triangle harbors 600 species of coral and more than 1,300 reef-associated fish species (ASEAN 2013).
Figure 38. Gold: (a) and (b) Punt, Naville (1898); (c) Lebongdonok ancient mine (Sumatera); (d) Sriwijaya costume (Sumatera)
Gambar 38. Emas: (a) dan (b) Punt, Naville (1898); (c) Lebong Donok tambang kuno (Sumatera); (d) Sriwijaya kostum (Sumatera)
Emas dari Punt dicatat sebagai telah di Mesir sejak saat Firaun Khufu dari Dinasti Keempat. Kelima Dinasti Firaun Sahure ekspedisi juga membawa kembali elektrum, sebuah paduan alami dari emas dan perak, antara barang-barang lainnya.
Gold from Punt is recorded as having been in Egypt as early as the time of Pharaoh Khufu of the Fourth Dynasty. The Fifth Dynasty Pharaoh Sahure’s expedition also brought back electrum, a natural alloy of gold and silver, among other items.
Prasasti pada tiang di Deir el-Bahari menyebutkan logam mulia termasuk emas produk dari Punt. Beberapa cincin emas ditampilkan pada relief. Naville menggambarkan prasasti sebagai cincin dan kotak penuh ASEM logam, yaitu elektrum Yunani, juga disebut di åsemos papirus Mesir, paduan emas dan perak. relief menunjukkan upeti yang dibawa oleh orang-orang dari Punt terdiri dari emas di cincin, antara barang-barang lainnya. anak-anak Parehu, salah satu dari mereka membawa semangkuk emas-debu.
The inscriptions on the colonnade at Deir el-Bahari mention precious metals including gold are the product of Punt. Several gold rings are shown on the reliefs. Naville describes the inscription as rings and boxes full of the metal åsem, ie the Greek electrum, also called in Egyptian papyri åsemos, an alloy of gold and silver. The reliefs show tributes brought by the people of Punt consist of gold in rings, among other items. The sons of Parehu, one of them carries a bowl of gold-dust.
naskah Cina dan India kuno berbicara tentang harta emas dipercaya dapat ditemukan di berbagai bagian Asia Tenggara. Salah satu daerah ini dikenal dengan nama Sansekerta nya Suvarnadvipa ( “Pulau Emas”), yang menurut sebagian ulama mengacu Sumatera, meskipun orang lain berpikir bahwa nama ini mungkin sesuai dengan wilayah yang lebih besar di Asia Tenggara. Sementara bukti tekstual mungkin ambigu, ada banyak bukti fisik yang menunjukkan bahwa Sumatera adalah situs dari industri pertambangan emas berkembang di masa pra-sejarah. Ketika Eropa awal penjelajah dan pedagang datang ke pulau, mereka menemukan aluvial ditinggalkan luas dan kerja emas bawah tanah. Luasnya beberapa kerja ini menunjukkan kehadiran yang sangat besar, tenaga kerja terorganisir, dan tampaknya mungkin bahwa imigran India mengajarkan penduduk asli seni sulit shaft bangunan dan terowongan. Beberapa situs yang lebih besar termasuk Lebongdonok di Bengkulu, di mana batu grinding besar dan koin emas klasik telah ditemukan, penggalian bawah tanah di palaeo-aluvial ditutupi oleh endapan vulkanik di Jambi, dan Salido di West bahan Sumatera. Limbah ditemukan di sekitar Lebongdonok diuji 180-200 g / t Au dan 300 -. 1200 g / t Ag, menunjukkan bahwa nilai bonanza hanya sangat tinggi yang ditambang Ada bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa emas meleleh dan bekerja di Kotacina, yang merupakan pusat utama perdagangan antara abad 12 dan 14, yang terletak 6 km sebelah barat daya dari Belawan di Sumatera timur laut, dan merkuri yang digunakan untuk penggabungan. endapan aluvial lokal yang mungkin merupakan sumber utama dari emas. Cara kerja batu terdekat keras terletak 50 km sebelah barat daya dari Kotacina.
Ancient Chinese and Indian manuscripts speak of unbelievable gold treasures to be found in various parts of Southeast Asia. One of these areas was known by its Sanskrit name of Suvarnadvipa (“Island of Gold”), which according to some scholars refers to Sumatera, although others think that this name may correspond to a larger region in Southeast Asia. While textual evidence may be ambiguous, there is plenty of physical evidence to indicate that Sumatera was the site of a flourishing gold mining industry in pre-historic times. When early European explorers and traders came to the island, they found widespread abandoned alluvial and underground gold workings. The extensiveness of some of these workings suggests the presence of a very large, organized workforce, and it seems probable that Indian immigrants taught the native population the difficult art of building shafts and tunnels. Some of the larger sites include Lebongdonok in Bengkulu, where large grinding stones and classical gold coins have been found, underground excavations in palaeo-alluvials covered by volcanic deposits in Jambi, and Salido in West Sumatera. Waste material found in the vicinity of Lebongdonok assayed 180 – 200 g/t Au and 300 – 1200 g/t Ag, suggesting that only very high bonanza grades were mined. There is archeological evidence that indicates that gold was melted and worked at Kotacina, which was a major trading center between the 12th and 14th centuries, located 6 km southwest of Belawan in northeast Sumatera, and that mercury was used for amalgamation. Local alluvial deposits were probably the main source of gold. The nearest hard rock workings are located 50 km southwest of Kotacina.
Selain bukti fisik ini ada cerita, legenda, dan laporan tertulis yang menyarankan bahwa emas memainkan peran penting dalam sejarah awal Sumatera. Berikut adalah beberapa contoh. Pada abad ke-14, yang Sumatera penguasa Adityawarman, yang memiliki kehormatan judul Kanakamedinindra (“emas Tanah Tuhan”), diduga telah memindahkan ibukotanya ke pantai malaria dipenuhi dari Sumatera Barat, karena deposito emas kaya hadir di pedalaman. Banyak cerita telah diberitahu selama berabad-abad di kawasan Lebong . tentang Sultan Daulah Mahkuta Alamsyah, seorang “keturunan Alexander Agung”, yang pernah memerintah kerajaan besar dari Pagaruyung dan mengirim penjelajah keluar atas pegunungan untuk mencari logam mulia Kapten William Dampier (1651 – 1715), seorang navigator Inggris dan naturalis dicapai dan penulis, yang membuat tiga perjalanan di seluruh dunia, melaporkan pada tahun 1689 bahwa sejumlah besar emas yang ditambang di Aceh.
In addition to this physical evidence there are stories, legends, and written reports that suggest that gold played an important role in the early history of Sumatera. Here are a few examples. In the 14th century, the Sumateran ruler Adityawarman, who had an honorific title of Kanakamedinindra (“Gold Land Lord”), is thought to have moved his capital to the malaria-infested coast of West Sumatera, because of rich gold deposits present in the hinterland. Many stories have been told over the ages in the Lebong district about Sultan Daula Mahkuta Alamsyah, a “descendant of Alexander the Great”, who once ruled the mighty empire of Pagarruyung and sent his explorers out over the mountains to search for precious metals. Captain William Dampier (1651 – 1715), an English navigator and accomplished naturalist and writer, who made three voyages around the world, reported in 1689 that significant amounts of gold were mined in Aceh.
Kegiatan ini pertama kali didokumentasikan emas pertambangan di Sumatera adalah re-pembukaan Salido tambang emas kuno perak kaya di Sumatera Barat pada tahun 1669 oleh VOC, perusahaan dagang Belanda yang selama dua abad memonopoli perdagangan antara Eropa dan Asia. Pemerintah yang Hindia Belanda dimulai penyelidikan geologi dikombinasikan dengan eksplorasi mineral pada tahun 1850 dan industri swasta diikuti 30 tahun kemudian. Antara 1899 dan 1940, 14 tambang emas dikembangkan, termasuk dua operasi pengerukan aluvial, sebagian besar yang berumur pendek dan tidak ekonomis.
The first documented gold mining activity in Sumatera is the re-opening of the ancient silver-rich Salido gold mine in West Sumatera in 1669 by the VOC, a Dutch trading company that for two centuries monopolized trade between Europe and Asia. The government of the Netherlands East Indies initiated geological investigations combined with mineral exploration in 1850 and private industry followed 30 years later. Between 1899 and 1940, 14 gold mines were developed, including two alluvial dredging operations, most of which were short-lived and uneconomic.
Hari ini Indonesia adalah negara pertambangan terkemuka di Asia untuk perusahaan timah, nikel, tembaga, emas dan coalmines. Ini telah dilakukan dengan bantuan perusahaan asing dan investasi asing.
]Seperti dijelaskan oleh Naville, emas dari Punt tidak emas murni tetapi paduan emas dan perak, tertulis sebagai asem. Kasus yang sama dalam ekspedisi Firaun Sahure ini. Limbah bahan yang ditemukan di sekitar Lebong Donok tambang kuno, Sumatera barat daya, mengandung campuran emas dan perak, bisa menjadi tambang emas Punt. Åsemphonetically menyerupai emas, berarti “emas” dalam bahasa Melayu. Lebong Donok adalah di daerah Rejang orang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan Mesir seperti yang akan dibahas di sini setelah itu.
Today Indonesia is a leading mining country in Asia for its tin, nickel, copper, gold and coalmines. This has been done with the help of foreign companies and foreign investment.
As described by Naville, the gold of Punt is not pure gold but an alloy of gold and silver, inscribed as åsem. Same case is in the Pharaoh Sahure’s expedition. Waste material found in the vicinity of Lebongdonok ancient mine, southwest Sumatera, contains mixture of gold and silver, could be the gold mine site of Punt. Åsemphonetically resembles emas, means “gold” in Malay. Lebongdonok is in the area of Rejang people which allegedly has similar culture with the Egyptian as will be discussed here afterwards.
Figure 39. Puntite chief and his wife: (a) and (c) Mariette (1877); (b) and (d) Deir el-Bahari
Gambar 39. Kepala Puntite dan istrinya: (a) dan (c) Mariette (1877); (b) dan (d) Deir el-Bahari
.. The Puntite, tidak seperti orang Mesir kuno, memiliki rambut panjang dan rambut wajah kecil Mereka dicat merah, tapi tidak gelap seperti orang Mesir The Puntite adalah seorang pria tinggi, baik berbentuk, rambutnya lebih terang, rapi dipotong; hidungnya lurus, jenggotnya panjang dan runcing tumbuh di rantai nya saja; .. dia memakai hanya cawat dengan sabuk di mana belati tetap prasasti terukir di depan tubuhnya menyatakan bahwa dia adalah “The Great dari Punt, Parehu” The kaki kiri dari kepala, Parehu, ditutupi dengan bracing cincin. dalam satu adegan, tangan kirinya memegang senjata melengkung. pasangan nya, orang yang sangat tunggal dan unbeautiful, digambarkan sebagai “istrinya, Ati”. Dia memakai gaun kuning, tanpa baju di penampilan pertama, gelang di pergelangan tangannya, gelang pada pergelangan kakinya, dan kalung dari manik-manik alternatif dan rantai kerja putaran tenggorokannya. rambutnya, seperti itu dari putrinya, terikat dengan ikat kepala dari alis. fitur nya adalah menjijikkan, dan pipinya yang rusak oleh kerutan wajah. Dia amat gemuk, anggota badan dan tubuhnya yang terbebani oleh gulungan kulit.
The Puntite, unlike ancient Egyptians, had longer hair and little facial hair. They are painted red, but not as dark as the Egyptians. The Puntite is a tall, well-shaped man, his hair is brighter, neatly cut; his nose is straight, his beard long and pointed grows on his chain only; he wears only a loincloth with a belt in which a dagger is fixed. The inscription engraved in front of his body states that he is “The Great of Punt, Parehu”. The left leg of the chief, Parehu, is covered with a bracing of rings. In one scene, his left hand holds a curved weapon. His spouse, a very singular and unbeautiful person, is described as “his wife, Ati”. She wears a yellow dress, without shirt at the first appearance, bracelets on her wrists, anklets on her ankles, and a necklace of alternate bead and chain work round her throat. Her hair, like that of her daughter, is bound with a headband on the brow. Her features are repulsive, and her cheek is disfigured by facial wrinkles. She is hideously obese, her limbs and body being weighed down by rolls of skin.
Warna merah terang kulit menunjukkan warna lebih ringan dari Mesir yang merah tua. Warna kulit, rambut wajah kecil, hidung lurus dan jenggot pada rantai hanya khas mongoloid. Rambut kepala dan jenggot abu-abu, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria tua, seperti dalam tradisi Melayu yang lebih tua lebih bijaksana, disebut tetua ( “tua”). Berasal dari istilah, hari ini ketua Indonesia dan Malaysia (juga “tua”) adalah panggilan untuk kepala meskipun dia muda. isyarat-nya, baik dalam adegan berangkat utusan kerajaan dan dalam penawaran pertukaran, dengan membungkuk dan membungkuk nya, naik tangannya dengan telapak tangan menghadap ke depan, naik tangan tepat di depan dadanya dengan ibu jari menunjuk ke depan dan jari lipat mundur, berat sedikit tubuh kecil ke depan, posisi kaki dan ekspresi wajah menunjukkan dia orang yang bijaksana, dan ini adalah gerakan khas tradisi Melayu dalam menghadapi orang lain dengan hormat dan sopan. wanita menunjuk sama tetapi dengan busur yang kuat dan membungkuk, dan di adegan pertukaran menawarkan lengan kirinya lurus ke bawah dengan telapak tangan menghadap ke depan, juga tradisi khas Melayu bagi seorang wanita untuk bersikap sopan dan menghormati orang lain, terutama laki-laki, jadi dia tidak memiliki penyakit kelainan karena beberapa penulis hakim. The kerutan wajah dan tertimbang turun dari tubuhnya digulung dan kulit tubuh, dan melewati bahwa harus me-mount kuda, menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita tua gemuk.
The light red color of the skin indicates its lighter color than the Egyptians which are dark red. The skin color, little facial hair, straight nose and beard on the chain only is typical of mongoloid. The chief’s hair and beard are grey, indicating that he is an old man, as in the Malay tradition that the elder is wiser, called tetua (“elder”). Derived from the term, today’s Indonesian and Malaysian ketua (also “elder”) is a call to a chief though he is young. His gestures, in both scenes of heading off the royal envoy and in the offering of exchange, with his bowing and stooping, rising his hands with palms facing forward, rising right hand in front of his chest with thumb pointing forward and fingers folding backward, a little bit body weight forward, feet positions and face expression indicate him a wise man, and these are typical gestures of Malay tradition in facing others honorably and politely. The lady gestures the same but with strong bow and stoop, and in the scene of exchange offering her left arm straight downward with palm facing forward, also a typical Malay tradition for a woman to be polite and to honor others, especially men, so she does not have a deformity sickness as some writers judge. The facial wrinkles and weighted down of her rolled limbs and body skin, and her passes that must mount a horse, show that she is an obese old woman.
Sebuah catatan oleh Charles Miller (1771) – yang menggambarkan Engganese adalah tinggi, dibuat dengan baik orang, laki-laki pada umumnya sekitar 5 kaki 8 atau 10 inci tinggi sedangkan wanita lebih pendek dan lebih kikuk dibangun – menegaskan karakteristik di atas.
Nama kepala Punt, Parehu adalah nama Engganese khas. Modigliani (1894) menyebutkan banyak nama pria yang mirip seperti Paraúha, Puríhio, Pachèhu, Paradúa, Pahobèio dan lain-lain mulai dengan Pa. Sementara nama istri Chief, Ati, yang penulis memiliki pendapat bahwa itu adalah nama nick dan nama lengkap tidak diketahui. Ati serta Eti serupa lainnya, Ita, Yati, Tati, dan Tuti adalah nama-nama nick sangat umum di nusantara.
A note by Charles Miller (1771) – which describe the Engganese are a tall, well-made people; the men in general are about 5 feet 8 or 10 inches high while the women are shorter and more clumsily built – confirms the above characteristics.
The name of the Punt chief, Parehu is a typical Engganese name. Modigliani (1894) mentions many similar man names like Paraúha, Puríhio, Pachèhu, Paradúa, Pahobèio and others begin with Pa. While the name of the chief’s wife, Ati, the author has an opinion that it is a nick name and the full name is unknown. Ati as well as other similar Eti, Ita, Yati, Tati, and Tuti are very common nick names in the archipelago.
Figure 40. Paraúha, an Engganese man (Modigliani, 1894)
Gambar 40. Paraúha, seorang pria Engganese (Modigliani, 1894)
Wanita memakai kemeja selama korban pertukaran tetapi tidak di berangkat. Kemeja diduga hadiah dari utusan. Rok nya ternyata ikat pinggang, saat ini masih dipakai oleh penduduk pulau barat daya Sumatera, dinyatakan sebagai kain transparan dalam seni Mesir . putri kepala juga memakai jenis yang sama dari rok. Modigliani (1894) menjelaskan rok perempuan Engganese sebagai terbuat dari manik-manik kaca digantung pada serat tanaman tipis yang menggantung turun dari sabuk strip tenunan rotan, ikat kedua ujungnya dengan kabel di belakang . dan kemudian mendorong mereka untuk menyembunyikan mereka di dalam di atas ini biasanya sabuk yang kembali ke dada, dan juga terbuat dari anyaman rotan dan tanaman serat.
The lady wears shirt during the exchange offering but not in the heading off. The shirt is allegedly a present from the envoy. Her petticoat is apparently a girdle, now still worn by the southwestern islanders of Sumatera, expressed as a transparent cloth in Egyptian art. The chief’s daughter also wears the same type of petticoat. Modigliani (1894) describes the petticoat of Engganese woman as made of glass beads strung on thin plant fibers that hang down from a belt of woven strips of rattan, tie both ends with wires behind and then drives them to hide them inside. Above this is usually a belt which goes back towards the chest; and also made of woven rattan and plant fibers.
Gambar 41. Petticoats: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Enggano, Modigliani (1894); (d) Enggano, Rijksmuseum; (e) dan (f) Enggano wanita yang mengenakan pesta dan berkabung rok, masing-masing (Modigliani, 1894); (g) pada 1855 ukiran
Ikat kepala, kalung, gelang dan gelang diidentifikasi di bawah ini.
Figure 41. Petticoats: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Enggano, Modigliani (1894); (d) Enggano, Rijksmuseum; (e) and (f) Engganese women wearing feast and mourn petticoats, respectively (Modigliani, 1894); (g) on a 1855 engraving
The headband, necklaces, bracelets and anklets are identified below.
Figure 42. Lady’s hair headbands: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) and (d) Enggano, Rijksmuseum; (d) Mentawai
Gambar 42. bando rambut Lady: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) dan (d) Enggano, Rijksmuseum; (d) Mentawai
Di Enggano, ikat kepala itu diproduksi dan dipakai oleh wanita dewasa dan imam. Nama generik untuk headband tali (Rijksmuseum). Imam dalam kehidupan sehari-hari yang dikenali oleh, antara lain mengenakan Taali (Kruyt, 1938). Sampai pakaian awal abad kedua puluh dan aksesoris dari kulit pohon sebagai sehari-hari (undecorated) dan upacara (dihiasi) pakaian yang dikenakan. Sebagian karena pengenalan kain tenun menjadi kulit pakaian ke dalam tidak digunakan. dihiasi kulit pohon pakaian dan aksesoris yang pada awal abad kedua puluh masih dikenakan saat upacara (Rijksmuseum ).
In Enggano, the headband was produced and worn by adult women and priests. The generic name for headband tali (Rijksmuseum). Priests in daily life were recognizable by, among other wearing a tali (Kruyt, 1938). Until the early twentieth century clothes and accessories from tree bark as everyday (undecorated) and ceremonial (decorated) worn clothing. Partly due to the introduction of woven fabrics became bark clothing into disuse. Decorated tree bark clothing and accessories were in the early twentieth century still worn during ceremonies (Rijksmuseum).
Figure 43. Necklaces: (a) and (c) Punt, Mariette (1877); (b) and (d) Punt, Deir el-Bahari; (e), (j), (k) and (l) Enggano, Modigliani (1894); (f) and (g) Enggano, shell beads, Modigliani (1894); (h) and (i) Enggano, Rijksmuseum; (m) Enggano; (n) Mentawai; (o) Nicobar
Gambar 43. Kalung: (a) dan (c) Punt, Mariette (1877); (b) dan (d) Punt, Deir el-Bahari; (e), (j), (k) dan (l) Enggano, Modigliani (1894); (f) dan (g) Enggano, manik-manik shell, Modigliani (1894); (h) dan (i) Enggano, Rijksmuseum; (m) Enggano; (n) Mentawai; (o) Nicobar
Kalung manik digambarkan sebagai kalung untuk wanita, dikenakan selama festival di Enggano Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka dikenakan oleh laki-laki (Modigliani 1894) Mereka dibuat dengan manik-manik yang diimpor;. Pada abad ke-19 dan bahkan mungkin sebelum itu, yang komoditas yang populer. Seringkali, rantai tersebut diberikan dengan hiasan potongan dari kerang nautilus. Ini motif yang diukir (Rijksmuseum).
Bead necklaces are described as necklaces for women, worn during festivals in Enggano. However, it is also possible that they were worn by men (Modigliani 1894). They are made with imported beads; in the 19th century and perhaps even before that, are a popular commodity. Often, such chains were provided with a decoration of pieces of a nautilus shells. It motifs were carved out (Rijksmuseum).
Figure 44. Bracelets and anklets: (a), (c) and (e) Punt, Mariette (1877); (b), (d) and (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) and (h) Enggano, Modigliani (1894); (i) to (k) Enggano, Rijksmuseum; (l) Mentawai
Gambar 44. Gelang dan gelang: (a), (c) dan (e) Punt, Mariette (1877); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) dan (h) Enggano, Modigliani (1894); (i) ke (k) Enggano, Rijksmuseum; (l) Mentawai
Gelang dan gelang kaki di Enggano yang dikenakan di sekitar lengan atas, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Mereka terbuat dari daun anyaman kering dan dihiasi dengan manik-manik atau sebagai chaplets. Jenis lain adalah dari akar bahar (Antiphates sp), tanaman laut yang akan menangkal penyakit .
Bracelet and anklet in Enggano are worn around the upper arms, wrists and ankles. They are made of woven dried leaves and ornamented with beads or as chaplets. Another type is from akar bahar (Anthipathes sp), a sea plant that would ward off illness.
Figure 45. Bracing of rings: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) and (d) “Batu Gajah” stone, Palembang Museum; (e) “Basemah Warrior” stone, South Sumatera
Gambar 45. Bracing cincin: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) dan (d) “Batu Gajah” batu, Palembang Museum; (e) “Basemah Prajurit” batu, Sumatera Selatan
Kaki kiri dari kepala, Parehu, ditutupi dengan bracing cincin. Sebuah batu pra-sejarah ditemukan di Kabupaten Lahat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu menunjukkan laki-laki memakai bracing cincin di kedua sisi dari batu. Batu ini milik Basemah budaya, yang disebut “batu gajah” (“gajah batu”), sekarang di Museum Palembang, orang selatan Sumatera. Basemah adalah kelompok kuno bangsa terutama dihuni barat daya dan selatan Sumatera. Mereka memiliki pengaruh besar untuk orang lain dihuni barat, tengah dan Sumatera utara.
The left leg of the chief, Parehu, is covered with a bracing of rings. A pre-historic stone found in Lahat Regency bordering the province of Bengkulu shows men wearing bracing of rings on both sides of the stones. This stone belongs to the Basemah culture, called “batu gajah” (“elephant stone”), is now in Palembang Museum, south Sumatera. Basemah people was an ancient group of peoples mainly inhabited the southwest and south Sumatera. They had great influence to other peoples inhabited west, central and north Sumatera.
Cincin bracing masih digunakan saat ini oleh orang-orang dari Padaung dan Kayan suku di Myanmar dan beberapa orang Dayak di Kalimantan.
Ring bracing is still used today by the people of Padaung and Kayan tribes in Myanmar and several Dayak peoples in Kalimantan.
Figure 46. Daggers and machetes: (a), (c) and (e) Punt, Naville (1898); (b), (d) and (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) to (i) Enggano, Modigliani (1894); (j) to (l) Enggano, (m) to (o) Indonesia and Malaysia; (p) Betawi (Jakarta) machete dance
Gambar 46. Daggers dan parang: (a), (c) dan (e) Punt, Naville (1898); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) ke (i) Enggano, Modigliani (1894); (j) ke (l) Enggano, (m) ke (o) Indonesia dan Malaysia; (p) Betawi (Jakarta) tari parang
Kepala Punt memakai hanya cawat dengan sabuk di mana keris adalah tetap. Dalam satu adegan, tangan kirinya memegang senjata melengkung mungkin dengan selubung. Sebagian besar Puntites terus seperti ini senjata dalam setiap adegan. Tulisan pada pilar dari Deir el-Bahari juga menyebutkan bahwa senjata ini adalah produk yang disebut ảamu dari Puntites (Naville, 1898). Melihat bentuk, ini senjata melengkung merakit parang yang dikenal sebagai golok di Indonesia dan banyak digunakan untuk rumah, pertanian dan hutan bekerja serta untuk senjata.
The chief of Punt wears only a loincloth with a belt in which a dagger is fixed. In one scene, his left hand holds a curved weapon probably with sheath. Most of the Puntites hold this kind of weapon in every scene. The inscription on the colonnade of Deir el-Bahari also mentions that this weapon is a product called the ảamu of the Puntites (Naville, 1898). Looking at the shape, these curved weapons assembles machetes which are known as golok in Indonesia and widely used for house, farm and forest works as well as for weapon.
Modigliani (1894) menyebutkan bahwa nama keris Engganese adalah eohoári Dia juga memberikan daftar senjata lainnya: .. Cache Epèiti, yaitu pisau besar, canohè epèiti lainnya, pisau yang indah karena pekerjaan yang paling hiasan Epacamáio, epochipò andafíia , digunakan untuk memotong kayu di hutan dan bekerja memiliki pisau lebar yang Cachia tidak akan menolak. pisau kecil lainnya yang digunakan untuk keperluan kuliner dan untuk pekerjaan kecil disebut eachiebára dan EAO. Helfrich (1891) menyebutkan bahwa istilah Engganese untuk “pisau” adalah pakamai.
Modigliani (1894) mentions that the name of the Engganese dagger is eohoári. He also gives a list of other weapons: epèiti cacuhia, ie a large knife, the other epèiti canohè, a beautiful knife because of most ornate work. Epacamáio, epochipò andafíia, are used to cut wood in the forest and to work having wide blades whichcacuhia would not resist. Other smaller knives that are used for culinary uses and for small jobs are called eachiebára and eáo. Helfrich (1891) mentions that the Engganese term for “knife” is pakamai.
Epacamáio (Modigliani) dan pakamai (Helfrich) adalah istilah yang sama yang berarti “parang” atau “pisau”, atau umumnya bekerja alat atau senjata terdiri dari pisau tajam yang menempel di gagang a. Epacamáio adalah gaya Italia kata kamai, sehingga kamai adalah istilah asli. Jika kita menghapus pa awalan maka akar adalah kamai. The Deir el-Bahari prasasti bertuliskan ảamuảamu jangka (baca kh · a · mu) untuk senjata Puntite adalah lidah Mesir dan tulisan hieroglif dari istilah bahasa kamai. Engganese adalah khususnya yang telah diisolasi dari ekspansi bahasa di Indonesia bagian barat. Nothofer (1986, 1994) mengacu pada bahasa ini sebagai “Paleo-Hesperonesia”.
Epacamáio (Modigliani) and pakamai (Helfrich) are the same terms which mean “machete” or “knife”, or generally working tool or weapon composed of a sharp blade attached on a hilt. Epacamáio is the Italian style of the word pakamai, so pakamai is the native term. If we remove the prefix pa then the root is kamai. The Deir el-Bahari inscription bearing the term ảamu (read kh·a·mu) for the Puntite weapon is the Egyptian tongue and hieroglyphic writing of the terms kamai. Engganese language is in particular having been isolated from language expansion in the western Indonesia. Nothofer (1986, 1994) refers to this language as “Palaeo-Hesperonesian”.
The macan (Sumatera Barat kurambik atau karambiak) adalah Tenggara genggam, pisau melengkung kecil Asia menyerupai cakar. Dikenal sebagai kerambit di Indonesia asli dan Melayu, ia juga disebut macan di Filipina dan di sebagian besar negara-negara Barat. Jika kita menghapus infiks ar maka akar adalah kambit, akar sama dengan Engganese kamai, yang menyerupai ảamu tertulis.
The karambit (West Sumatran kurambik or karambiak) is a small Southeast Asian hand-held, curved knife resembling a claw. Known as kerambit in its native Indonesian and Malay, it is also called karambit in the Philippines and in most Western countries. If we remove the infix ar then the root is kambit, the same root as the Engganese kamai, which resemble the inscribed ảamu.
Vegetasi khas di Asia Tenggara adalah woodier dan parang karena itu dioptimalkan untuk tindakan memotong kuat dengan pisau lebih berat dan “sweet spot” maju lebih lanjut dari pegangan; pisau juga miring lebih obtusely untuk mencegah dari mengikat dalam memotong. parang adalah istilah kolektif untuk pedang, pisau besar dan parang berasal dari seluruh nusantara. sebuah golok adalah alat pemotong, mirip dengan parang yang datang dalam banyak variasi dan ditemukan di seluruh nusantara. Hal ini digunakan sebagai alat pertanian serta senjata. kata golok (kadang-kadang salah eja dalam bahasa Inggris sebagai “gollock”) adalah asal Indonesia tetapi juga digunakan di Malaysia dan dikenal sebagai gulok dan bolo di Filipina. di Malaysia istilah ini biasanya dipertukarkan dengan lebih lama dan lebih luas parang. di wilayah Sunda dari Jawa Barat dikenal sebagai bedog. The badik atau badek adalah pisau atau belati dikembangkan oleh Bugis dan Makassar orang dari Sulawesi selatan.
Typical vegetation in Southeast Asia is woodier and the machete is therefore optimized for a stronger chopping action with a heavier blade and a “sweet spot” further forward of the handle; the blade is also beveled more obtusely to prevent it from binding in the cut. Parang is a collective term for swords, big knives and machetes hailing from all over the archipelago. A golok is a cutting tool, similar to a machete that comes in many variations and is found throughout the archipelago. It is used as an agricultural tool as well as a weapon. The word golok (sometimes misspelled in English as “gollock”) is of Indonesian origin but is also used in Malaysia and is known as gulok and bolo in the Philippines. In Malaysia the term is usually interchangeable with the longer and broader parang. In the Sundanese region of West Java it is known as bedog. The badik or badek is a knife or dagger developed by the Bugis and Makassar people of southern Sulawesi.
Figure 47. The people of Punt: (a) and (b) Punt, Mariette (1877); (c) to (e) Punt, Deir el-Bahari; (f)to (j) Enggano, Modigliani (1894); (k) Enggano, engraving (1855) (l) Nias (1854); (m) and (n) Mentawai; (o) Java, Borobudur temple relief (9th century)
Gambar 47. Orang-orang Punt: (a) dan (b) Punt, Mariette (1877); (c) ke (e) Punt, Deir el-Bahari; (f) ke (j) Enggano, Modigliani (1894); (k) Enggano, ukiran (1855) (l) Nias (1854); (m) dan (n) Mentawai; (o) Jawa, Borobudur relief candi (abad ke-9)
. The Puntites, tidak seperti orang Mesir kuno, memiliki rambut panjang dan rambut wajah kecil, dicat merah, tapi tidak gelap seperti orang Mesir Mereka adalah tinggi, baik berbentuk, memiliki hidung lurus, jenggot panjang dan runcing tumbuh di rantai nya saja; mereka hanya memakai cawat dengan ikat pinggang, rambut mereka terikat dengan ikat kepala, kalung di leher mereka;. mereka kenakan loin-kain dari cara yang sama seperti yang dikenakan oleh orang Mesir tapi syal berada di dalam untuk menutupi alat kelamin ini adalah khas orang Melayu kuno diamati di Kepulauan Barrier (Enggano, Mentawai, Nias, Andaman, Nicobar dan beberapa orang lain).
The Puntites, unlike ancient Egyptians, had longer hair and little facial hair, painted red, but not as dark as the Egyptians. They are a tall, well-shaped, have straight nose, long beard and pointed grows on his chain only; they wear only a loincloth with a belt, their hair are bound with headbands, a necklace on their necks; they wear loin-cloths of the same fashion as that worn by the Egyptians but shawls are inside to cover the genitals. These are the typical of ancient Malay people observable in the Barrier Islands (Enggano, Mentawai, Nias, Andaman, Nicobar and some others).
Barrier Islands cawat adalah sabuk perut terselip kain untuk menutupi kelamin, Modigliani menulis sebagai EAPI. Pakaian bervariasi dari ukuran kecil cukup untuk menutupi genital untuk sepenuhnya mengembangkan pinggul dan paha.
The Barrier Islands loin-cloth is a belly belt tucked into a cloth to cover the genital, Modigliani writes as an eapi. The clothes vary from small size enough to cover the genital to fully envelop the hip and thighs.
Figure 48. Head wears: (a) and (b) Punt, Mariette (1877); (c) to (e) Enggano, Modigliani (1894); (f) to (j) Enggano, Rijksmuseum
Gambar 48. Kepala memakai: (a) dan (b) Punt, Mariette (1877); (c) ke (e) Enggano, Modigliani (1894); (f) ke (j) Enggano, Rijksmuseum
Ikat kepala dari Puntites mengelilingi kepala di atas alis dan memperketat di belakang. Jenis lain dari ikat kepala adalah dengan topi yang menonjol ke atas dan melengkung pada kebutuhannya.
Modigliani (1894) menggambarkan headband dari Engganese untuk laki-laki sebagai lingkaran, kain kuda atau rambut babi hutan kecil dan dihiasi dengan bulu-bulu dari berbagai warna. Ini calledeprúru còio, berarti bulu babi. Rijksmuseum mencatat bahwa ikat kepala yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Karena rambut panjang yang Engganese pria sebelumnya, band ini sangat cocok untuk menjaga rambut membungkuk off wajah.
The headband of the Puntites encircles the head above the brow and tightened at the back. The other type of the headband is with a hat protruding upward and curled at its extremity.
Modigliani (1894) describes the headband of the Engganese for men as a small circle, horse or boar hair fabric and adorned with feathers of various colors. It’s calledeprúru còio, means pig bristles. Rijksmuseum notes that the headbands were worn in daily activities. Because of the long hair that Engganese men had earlier, these bands were very suitable to keep the hair bent off the face.
Topi Puntite mencuat ke atas dan melengkung di ekstremitas mirip dengan berkabung topi Engganese. Modigliani (1894) menggambarkan topi berkabung, tciáua, sebagai tanda khusus di kepala, topi aneh yang terbuat dari pandan atau daun nipa menyerupai topi Frigia. Rijksmuseum mencatat bahwa berkabung hat dikenakan oleh duda selama tiga bulan yang masa berkabung berlangsung. keriting harus menunjuk ke belakang.
The Puntite’s hat protruding upward and curled at the extremity is similar to the Engganese mourning hat. Modigliani (1894) describes the mourning hat, tciáua, as special sign on the head, a strange cap made of pandanus or nipa leaf resembling a Phrygian cap. Rijksmuseum notes that mourning hat is worn by a widower during the three months that the mourning period lasts. The curl should point backwards.
24) Orang-orang Naga
Dalam Dinasti ke-12, Punt diabadikan dalam literatur Mesir di The Tale of terdampar Sailor di mana seorang pelaut Mesir converses dengan “ular besar” yang menyebut dirinya sebagai “Lord of Punt” dan mengirimkan pelaut kembali ke Mesir sarat dengan emas, rempah-rempah, dupa, gading gajah, dan hewan yang berharga. “ular” di Austronesia serta bahasa Sansekerta adalah naga. penulis menafsirkan ular dipenuhi oleh orang Mesir sebagai orang Naga, mungkin ular-penyembah, yang secara historis menghuni pulau Asia tenggara. The “besar ular” berarti kepala naga yang menyebut dirinya sebagai Tuhan dari Punt, karena istilah “besar” diterjemahkan dari hieroglif Mesir berarti “kepala” serta “besar Punt” dimaksudkan ” kepala Punt “.
In the 12th Dynasty, Punt was immortalized in Egyptian literature in The Tale of the Shipwrecked Sailor in which an Egyptian sailor converses with a “great serpent” who calls himself the “Lord of Punt” and sends the sailor back to Egypt laden with gold, spices, incense, elephants’ tusks, and precious animals. “Serpent” in the Austronesian as well as Sanskrit languages is naga. The author interprets the serpent met by the Egyptians as the Naga people, possibly the serpent-worshipers, who historically inhabited the Southeast Asian islands. The “great serpent” means the chief of the Nagas who called himself as the Lord of Punt, since the term “great” translated from the Egyptian hieroglyphics means “chief” as well as “the great Punt” is meant “the chief of Punt”.
The Tale of terdampar Sailor menyebabkan perubahan dalam pemahaman orang Mesir ‘tentang Tanah Punt menjadi mitos karena munculnya ular mitologis yang berbicara dengan manusia. Namun, cerita berasal dari papirus yang writter mungkin embelished dengan hal-hal dari mitos.
The Tale of the Shipwrecked Sailor caused a change in the Egyptians’ understanding about the Land of Punt to become a myth because of the emergence of a mythological serpent who conversed with humans. However, the story is derived from a papyrus that the writter may embelished it with the things from the myths.
Tamil epik Manimekalai menyatakan sebuah pulau antara Srilanka dan Jawa – mungkin Sumatera -. Dihuni oleh Nagas kanibalisme Ibukota Jawa disebut-sebut sebagai Nagapuram, menunjukkan bahwa Java juga dihuni oleh Naga, di mana raja-raja mereka Bhumichandra dan Punyaraja yang mengaku keturunan dari Indra.
The Tamil epic Manimekhalai states an island betwen Srilanka and Java – pressumably Sumatera – inhabited by the cannibalistic Nagas. The capital of Java was mentioned as Nagapuram, suggests that Java was also inhabited by the Nagas, in which their kings were Bhumichandra and Punyaraja who claimed descent from Indra.
Satu tempat yang lebih terkait dengan Nagas oleh epik adalah Puhar, ibukota Chola, yang pernah menjadi ibukota dari Nagas yang diusir oleh orang pertama Chola raja Mucukunda dengan bantuan setan Indra. Adik epik Silappadikaram membandingkan Puhar dengan modal Naga, dan Puhar telah dikenal sebagai nagaram atau Pattinam. orang-orang Naga muncul sampai abad ketiga SM sebagai kelompok yang berbeda di awal Sri Lanka kronik serta awal karya sastra Tamil. pada abad ketiga SM mereka mulai berasimilasi dengan bahasa dan budaya Tamil, dan kehilangan identitas terpisah mereka.
One more place associated with the Nagas by the epic is Puhar, the capital of the Cholas, which was once the capital of the Nagas who were driven out by the first Chola king Muchukunta with the aid of the Indra’s demon. The sister epicSilappadikaram compares Puhar with the Naga capital, and Puhar has been known as Nagaram or Pattinam. The Naga people appear until the third century BC as a distinct group in the early Sri Lankan chronicles as well as early Tamil literary works. In the third century BC they started to assimilate to Tamil language and culture, and lost their separate identity.
Ada orang-orang modern dengan nama yang sama mendiami bagian timur laut India dan barat laut Myanmar. The Nagas yang dibiarkan tak terganggu untuk waktu yang lama, telah mempertahankan budaya dari zaman yang paling kuno sampai hari ini. Beberapa pihak ditelusuri asal mereka untuk kepala-orang pemburu Melayu dan ras dari laut selatan. cerita rakyat tersebut, lagu-lagu rakyat dan legenda Nagas menunjuk asal mereka ke arah tenggara. Nagas adat dan budaya yang mirip dengan suku di laut selatan dalam banyak aspek. The bordir dari Naga pakaian menyerupai jenis dilakukan pada pakaian Indonesia. The Nagas menggunakan cowrie-kerang dan keong-kerang dalam dekorasi kilt mereka, harus menggunakan kerang laut selama tinggal sebagai orang asing mereka dan memperoleh pengetahuan dari laut selatan. Shakespeare, yang menulis sejarah dari Assam, juga menulis bahwa Nagas yang mirip dengan yang suku Dayak dan mereka mencintai laut-kerang, yang tidak ditemukan di desa-desa Naga. praktek Pengayauan adalah umum hingga abad ke-20 dan mungkin masih dipraktekkan di suku Naga terisolasi dari Myanmar. mereka banyak kebiasaan dan cara hidup seperti pengayauan, sistem asrama, tato, Platform pemakaman, alat tenun, teras sawah dll sangat mirip dengan mereka yang tinggal di bagian terpencil di Asia Tenggara menunjukkan bahwa tempat tinggal kuno mereka adalah dekat laut, jika tidak di beberapa pulau.
There are modern people with the same name inhabiting the northeastern part of India and northwestern Myanmar. The Nagas being left undisturbed for such a long time, have retained the culture of the most ancient times till today. Some authorities traced their origin to the head-hunters of Malay and the races of Southern Seas. The folktale, folk songs and legends of Nagas pointed their origin to the southeast. Nagas custom and culture are similar to those tribes in the Southern Seas in many aspects. The embroidery on the Naga clothes resembles the kind done on the Indonesian clothes. The Nagas uses the cowries-shells and conch-shells in decorating their kilts, must have used marine shells during their sojourned and acquired the knowledge from the Southern seas. Shakespeare, who wrote the history of Assam, also wrote that the Nagas are resembled to those tribes of Dayaks and they loved the marine-shells, which is not found in Naga villages. Headhunting practice was common up to the 20th century and may still be practised in isolated Naga tribes of Myanmar. Their many customs and way of life like headhunting, dormitory system, tattooing, platform burial, looms, terraces rice field etc very similar to that of those living in the remote parts of Southeast Asia indicates that their ancient abode was near the sea, if not in some islands.
Naga adalah dewa atau kelas makhluk mitologi yang ditemukan dalam agama Hindu dan Buddha. Mereka tinggal di tempat bawah tanah Bumi kita. Ada legenda tentang Nagas dalam cerita rakyat Hindu suku hadir dari India Selatan (Adivasis) dan penduduk asli Australia. Dalam legenda ini, Naga dihuni benua besar yang ada di suatu tempat di Samudera Pasifik. ini tenggelam dan sisa-sisa itu membentuk kepulauan Indonesia dan Australia. Nagas ini dikatakan telah mengembangkan peradaban bawah tanah berteknologi lebih maju dari kita dan mereka dianggap memiliki kekuatan super.
Dalam legenda Kamboja, Naga adalah ras reptil makhluk yang memiliki kerajaan besar atau kerajaan di wilayah Samudera Pasifik. Tujuh berkepala ular Naga digambarkan sebagai patung pada candi Kamboja seperti Angkor Wat mungkin mewakili tujuh balapan dalam Naga masyarakat.
Naga is a deity or a class of mythological beings found in Hinduism and Buddhism. They dwell in underground premises of our Earth. There are legends about Nagas in the folklore of present tribal Hindus of Southern India (Adivasis) and the aboriginals of Australia. In these legends, the Nagas inhabited a big continent that existed somewhere in the Pacific Ocean. It sank and the remnants of it formed the Indonesian archipelago and Australia. These Nagas are said to have developed a subterranean civilization technologically much more advanced than ours and they are thought to possess superhuman powers.
In a Cambodian legend, the Nagas were a reptilian race of beings who possessed a large empire or kingdom in the Pacific Ocean region. The seven-headed Naga serpents depicted as statues on Cambodian temples such as Angkor Wat possibly represent the seven races within the Naga society.
Hampir setiap kuil di Indonesia dihiasi dengan kepala ular yang disebut Makara, serta rumah-rumah, alat musik dan seni hias lainnya. Badak Jawa Naga biasanya digambarkan sebagai pelindung atau wali, sehingga sering ditemukan di diukir gerbang, pintu masuk, tangga atau langkah-langkah dengan keyakinan untuk melindungi bangunan-bangunan yang menempati.
Dalam seni Cina, naga biasanya digambarkan sebagai makhluk seperti ular yang panjang, bersisik, berkaki empat dan bertanduk. The naga Cina melambangkan kekuatan dan keberuntungan, air terutama mengawal, hujan dan banjir. Dalam terminologi ‘yin dan yang’ , naga adalah ‘yang’ (laki-laki) yang melengkapi ‘fenghuang’ (phoenix Cina) yang merupakan ‘yin’ (perempuan). The naga Cina emblem budaya berwibawa dan magis.
Almost every temple in Indonesia is decorated with serpent heads called Makara, as well as houses, musical instruments and other ornamental arts. The Javan Naga is usually described as a protector or guardian, so commonly found in the carved gates, entrances, stairs or steps with a belief to protect the buildings he occupies.
In Chinese art, dragons are usually depicted as a snake-like creature that is long, scaly, quadruped and horned. The Chinese dragon symbolizes strength and good luck, especially escorting water, rain and flooding. In the terminology of ‘yin and yang’, dragon is a ‘yang’ (male) that complements ‘fenghuang’ (the Chinese phoenix) that is a ‘yin’ (female). The Chinese dragon emblems the authoritative and magical culture.
25) Maritime Trade
Maritim Asia Tenggara terdiri dari lebih laut dari darat. Ada Semenanjung Malaya, beberapa pulau besar dan puluhan ribu pulau-pulau kecil. Hal ini tidak mengherankan karena itu dari awal kali, kekuasaan di Asia Tenggara dikaitkan dengan sistem pasar maritim.
Penciptaan sistem pasar berlangsung pada awal Pleistosen, dengan munculnya spesialisasi dan awal Zaman Neolitik. Tanda-tanda awal dari sistem pasar di tempat kerja dapat dilihat dengan munculnya barter dalam suku. Terbuka atau pasar tenda dikembangkan di mana pedagang memiliki toko-toko mereka dan di mana pengrajin membuat dan menjual barang dagangan mereka. The pasar tidak hanya tempat untuk pembelian barang, mereka juga menempatkan bagi orang-orang untuk berkumpul untuk banyak tujuan lain. The pasar dikembangkan dekat sungai-mulut atau saluran air strategis lainnya. beras dan produk pertanian lainnya dikirim ke mereka di sungai dari dataran tinggi lebih subur dan produktif. dalam pertukaran untuk beras dan produk pertanian lainnya, mereka menerima garam dan ikan kering dari pusat hilir, dan berbagai barang impor – metalware berharga, keramik, dan kain khususnya, sering diproduksi sejauh India dan China.
Maritime Southeast Asia consists of more sea than land. There is the Malay peninsula, several large islands and tens of thousands of small islands. It is not surprising therefore that from early times, power in Southeast Asia was associated with maritime market system.
The creation of a market system took place as early as the Pleistocene, with the advent of specialization and the start of the Neolithic Age. The earliest signs of the market system at work can be seen with the advent of bartering within tribes. Open-air or tented marketplaces were developed where merchants had their shops and where craftsmen made and sold their wares. The marketplaces are not only places for the purchase of goods, they are also places for the people to gather for many other purposes. The marketplaces were developed near river-mouths or other strategic waterways. Rice and other agricultural products were shipped down to them on the rivers from the more fertile and productive uplands. In exchange for their rice and other agricultural products, they received salt and dried fish from the downstream centers, and a variety of imported goods – precious metalware, ceramics, and cloth in particular, often produced as far away as India and China.
Tuntutan bisnis yang berkembang dan perdagangan disebabkan sistem uang yang akan dikembangkan. Bentuk awal dari uang biasanya akan specie, atau uang komoditas, contoh berkisar dari kerang, daun tembakau, untuk batu bulat besar, untuk manik-manik.
Pulau-pulau kecil yang, bersama dengan lembah aluvial, area disukai untuk penyelesaian awal karena kelimpahan mereka ikan dan telapak tangan pesisir, dan keuntungan defensif yang pengetahuan lokal terumbu dan bagian-bagian yang tersedia. Banyak muara sungai utama, di sisi lain, yang berbahaya malaria sampai dijinakkan untuk sawah permanen. ini meninggalkan peran dalam beberapa penting jalur laut ke perahu-atau pulau-tinggal orangutan laut (orang laut).
The demands of growing business and trade caused a money system to be developed. Earliest forms of money would usually be specie, or commodity money, examples range from seashells, to tobacco leaves, to large round rocks, to beads.
Small islands were, along with alluvial valleys, a favored area for early settlement because of their abundance of fish and coastal palms, and the defensive advantages which local knowledge of reefs and passages provided. Many of the major river estuaries, on the other hand, were dangerously malarial until tamed for permanent rice fields. This left a role in some of the crucial sea-lanes to the boat- or island-dwelling orang laut (sea people).
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, yang pasar juga tumbuh lebih besar, dan umumnya diubah menjadi pelabuhan. The pelabuhan dominan pertama yang timbul di kepulauan itu Sriwijaya di Sumatera. Dari abad ke-5, ibukota, Palembang, menjadi pelabuhan utama dan berfungsi sebagai entrepot di Spice Route antara India dan kekayaan China. Sriwijaya dan pengaruh memudar ketika perubahan teknologi bahari di abad ke-10 memungkinkan pedagang Cina dan India untuk kapal kargo langsung antara negara mereka dan juga memungkinkan negara Chola di India selatan untuk melaksanakan serangkaian serangan destruktif pada harta Sriwijaya, mengakhiri fungsi entrepot Palembang.
In line with population growth, those marketplaces also grew bigger, and generally transformed into seaports. The first dominant seaport to arise in the archipelago was Sriwijaya in Sumatera. From the 5th century, the capital, Palembang, became a major seaport and functioned as an entrepot on the Spice Route between India and China. Sriwijaya’s wealth and influence faded when changes in nautical technology in the 10th century enabled Chinese and Indian merchants to ship cargo directly between their countries and also enabled the Chola state in southern India to carry out a series of destructive attacks on Sriwijaya’s possessions, ending Palembang’s entrepot function.
Pelabuhan perdagangan besar Malaka didirikan pada awal abad ke-15. Malacca tumbuh menjadi pelabuhan perdagangan utama di Asia Tenggara. Orang Cina di bawah dinasti Ming telah memutuskan bahwa mereka akan menjalin hubungan perdagangan langsung di wilayah tersebut. China memperpanjang nya perlindungan kepada Malaka dan ini membantu untuk mencegah tantangan regional lainnya untuk kekuatannya. Islam tiba dengan pedagang dari India pada akhir abad ke-13 dan 14 dan pengaruhnya telah menyebar sejauh bahwa pada pertengahan abad ke-15, Malaka, yang unggulan perdagangan pelabuhan di Asia Tenggara, adalah kesultanan Muslim.
The great trading port of Malaka was founded at the beginning of the 15th century. Malaka grew to become the major trading port in Southeast Asia. The Chinese under the Ming dynasty had decided that they would establish direct trading links in the region. China extended its protection to Malaka and this helped to deter other regional challenges to its power. Islam arrived with traders from India in the late 13th and 14th centuries and its influence had spread to the extent that by the mid-15th century, Malaka, the pre-eminent trading port in Southeast Asia, was a Muslim sultanate.
Dalam upaya untuk mematahkan monopoli Arab pada perdagangan antara Eropa dan Asia, Portugis memutuskan untuk menjalin hubungan perdagangan langsung di Asia. Portugal adalah kekuatan Eropa pertama yang mendirikan jembatan pada rute perdagangan Asia Tenggara maritim menguntungkan, dengan penaklukan Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera digantikan Portugal sebagai kekuatan Eropa utama di wilayah tersebut. pada 1599, Spanyol mulai menjajah Filipina. pada tahun 1619, bertindak melalui Dutch East India Company, Belanda mengambil kota Sunda Kelapa, menamainya Batavia (sekarang Jakarta) sebagai dasar untuk perdagangan dan ekspansi ke daerah lain di Jawa dan wilayah sekitarnya. pada tahun 1641, Belanda mengambil Malaka dari Portugis. Kesempatan Ekonomi tertarik Overseas Chinese ke daerah di besar . nomor pada 1775, Republik Lanfang, mungkin republik pertama di wilayah ini, didirikan di Kalimantan Barat, Indonesia, sebagai negara sungai dari Kekaisaran Qing; republik berlangsung sampai 1884, ketika jatuh di bawah pendudukan Belanda sebagai Qing pengaruh memudar
In an effort to break the Arab monopoly on trade between Europe and Asia, the Portuguese decided to establish direct trading links in Asia. Portugal was the first European power to establish a bridgehead on the lucrative maritime Southeast Asia trade route, with the conquest of the Sultanate of Malaka in 1511. The Netherlands and Spain followed and soon superseded Portugal as the main European powers in the region. In 1599, Spain began to colonize the Philippines. In 1619, acting through the Dutch East India Company, the Dutch took the city of Sunda Kelapa, renamed it Batavia (now Jakarta) as a base for trading and expansion into the other parts of Java and the surrounding territory. In 1641, the Dutch took Malaka from the Portuguese. Economic opportunities attracted Overseas Chinese to the region in great numbers. In 1775, the Lanfang Republic, possibly the first republic in the region, was established in West Kalimantan, Indonesia, as a tributary state of the Qing Empire; the republic lasted until 1884, when it fell under Dutch occupation as Qing influence waned.
Bahasa Melayu, pertama kali dikembangkan di sekitar muara Sungai Batanghari di Sumatera, mendominasi wilayah Asia Tenggara. Bahasa Melayu menunjukkan hubungan yang paling dekat dengan sebagian besar bahasa lain dari Minangkabau, Kerinci, Rejang, dan jelas, tapi tidak begitu dekat, terkait dengan bahasa Austronesia lainnya dari Kalimantan, Jawa dan bahasa Cham dari Vietnam. Melayu menyebar bahasa melalui kontak antaretnis dan perdagangan di seluruh nusantara sejauh Filipina. kontak ini mengakibatkan lingua franca yang disebut Bazaar Malay (melayu Pasar, “pasar Melayu”). Hal ini umumnya percaya bahwa Bazaar Melayu adalah pidgin, sarana gramatikal disederhanakan komunikasi yang berkembang antara dua atau lebih kelompok yang tidak memiliki bahasa yang sama. Bazaar Melayu masih digunakan secara terbatas di Singapura dan Malaysia.
Malay language, first developed around the estuary of Batanghari River in Sumatera, dominated the regions of Southeast Asia. Malay language shows the closest relationship to most of the other languages of Minangkabau, Kerinci, Rejang, and is clearly, but not so closely, related to the other Austronesian languages of Kalimantan, Java and to the Cham languages of Vietnam. Malay language spread through interethnic contact and trade across the archipelago as far as the Philippines. This contact resulted in a lingua franca that was called Bazaar Malay (melayu pasar, “market Malay”). It is generally believed that Bazaar Malay was a pidgin, a grammatically simplified means of communication that develops between two or more groups that do not have a language in common. Bazaar Malay is still used to a limited extent in Singapore and Malaysia.
Kata Melayu untuk “pasar” adalah pekan, yang berasal dari pakan Melayu Kuno. Ekspresi “hari pekan” dikenal di beberapa daerah berarti “hari ketika pasar diadakan”, yang biasanya diadakan di interval 7 hari (a minggu), maka pekan adalah istilah umum untuk “minggu”. pekan juga istilah untuk daerah pemukiman yang lebih besar, terutama karena daerah ini dikembangkan dari pasar. dalam perkembangan yang lebih maju, pekan menjadi sebuah istilah untuk sebuah kota perdagangan. Pekanbaru , Pekan Labuhan, Pekan Nagori Dolok & Pekan Perigi di Sumatera; Pekan di Pahang, Malaysia, dan Pekan Tutong di Brunei, adalah beberapa tempat dinamai kota perdagangan.
The Malay word for “market” is pekan, derived from Old Malay pakan. Expression of “hari pekan” is known in some regions means “the day when the market is held”, which is usually held in the interval of 7 days (a week), then pekan is the common term for “week”. Pekan is also the term for the larger residential areas, mainly because these areas were developed from marketplaces. In the more advanced development, pekan becomes a term for a trading town. Pekanbaru, Pekan Labuhan, Pekan Nagori Dolog and Pekan Perigi in Sumatera; Pekan in Pahang, Malaysia; and Pekan Tutong in Brunei, are some of the places named after the trading town.
Tanah Punt dalam hieroglif Mesir, Punt, transliterasi p-wn-nt, Gardiner Kode {Q3 E34 N35 X1 N25} dieja pwenet. Tanda terakhir adalah forcountry yang menentukan, tanah. The feminin “t” yang berakhir tidak diucapkan selama Kerajaan Baru, maka pengucapan yang pwene atau puene. pwene adalah kemungkinan pakan atau pa’an dalam bahasa Melayu Kuno. orang Mesir terus dalam hubungan perdagangan dengan Puntites, seperti yang tercatat dalam sejarah mereka dari 4 ke Dinasti 26 (27 -. abad 6 SM) Mereka diakui pasar di Punt seperti apa yang orang-orang yang disebut pakan atau pa’an, “pasar”, atau tempat perdagangan.
The Land of Punt in Egyptian hieroglyphs, , transliteration p-wn-nt, Gardiner Code {Q3 E34 N35 X1 N25} are spelled pwenet. The last sign is the determinative forcountry, land. The feminine “t” ending was not pronounced during the New Kingdom, then the pronunciation is pwene or puene. Pwene is likely the pakan or pa’an in Old Malay. The Egyptians were continuously in trading relationship with the Puntites, as recorded in their history from the 4th to the 26th Dynasties (27th – 6th centuries BC). They recognized the marketplace in Punt as what the people called pakan or pa’an, “the market”, or the trading place.
Tempat kemungkinan untuk perdagangan di antara mereka berada di Sumatera daya, provinsi kini Bengkulu, di mana ia dengan mudah dicapai dari Samudera Hindia. The Enggano Pulau ini terletak di bahwa pantai yang budaya kuno Bengkulu masih bisa digambarkan dari terisolasi Engganese. orang-orang Bengkulu kuno tempat lahir Neo-Malayan, menyebar hampir seluruh nusantara.
The probable place for the trading between them was in southwest Sumatera, the present province of Bengkulu, where it was easily reached from the Indian Ocean. The Enggano Island is located off that coast of which the ancient culture of Bengkulu is still can be portrayed from the isolated Engganese. The ancient Bengkulu people was the cradle of Neo-Malayan, spreads almost the whole archipelago.
Berdasarkan bukti di atas, penulis hipotesis Tanah Punt terletak di sekitar pantai Bengkulu, Sumatera barat daya. Wilayah ini mudah diakses dari Samudera Hindia.
Bengkulu telah dihuni dari zaman prasejarah. Sebagian masuk ke pedalaman, sementara yang lain mendiami wilayah pesisir. Mereka buaian Neo-Malayan, terdiri dari Rejang, Serawai / Pasemah, Kaur, Lembak dan Ketahun.
The Rejangese adalah sebuah kelompok etnis yang tinggal terutama di pantai barat daya pulau Sumatera, di lereng pegunungan yang sejuk pegunungan Barisan, di provinsi Bengkulu, Indonesia. The Rejangese yang lazim di Kabupaten Rejang Lebong (kabupaten Lebong Utara , Lebong Selatan, Curup dan Kepahiang), di Kabupaten Bengkulu Utara (kabupaten dari Taba Penanjung, Pondok Kelapa, Kerkap, Arga Makmur dan Lais), di Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong dan Bengkulu Tengah Kabupaten. Mayoritas dari mereka tinggal di sepanjang lereng pegunungan Bukit Barisan.
Based on the evidence above, the author hypothesizes the Land of Punt is located around Bengkulu coast, in southwest Sumatera. This region is easily accessed from the Indian Ocean.
Bengkulu has been inhabited from prehistoric times. Most go into the interior, while others inhabit coastal areas. They were the cradle of Neo-Malayan, composed of Rejang, Serawai/Pasemah, Kaur, Lembak and Ketahun.
The Rejangese are an ethnic group living mainly on the southwest coast of the island of Sumatera, on the cool mountain slopes of the Barisan mountain range, in the province of Bengkulu, Indonesia. The Rejangese are prevalent in Rejang Lebong Regency (districts of Lebong Utara, Lebong Selatan, Curup and Kepahiang), in North Bengkulu Regency (districts of Taba Penanjung, Pondok Kelapa, Kerkap, Arga Makmur and Lais), in Kepahiang Regency, in Lebong Regency and in Central Bengkulu Regency. Majority of them lived in along the slopes of Bukit Barisan mountain range.
The Rejangese berbicara bahasa Rejang, di daerah Argamakmur, Muara Aman, Curup, Kepahiang dan Rawas Ada lima dialek utama: .. Lebong, Musi, Kebonagung, Pesisir dan Rawas Rejangese tidak jelas dekat dengan bahasa Melayu-Polinesia lainnya. McGinn (2009) diklasifikasikan itu antara Bidayuh dan Melanau bahasa Kalimantan. Rejang tidak menjadi bingung dengan kelompok Rejang-Baram dari bahasa yang digunakan di Sarawak dan Kalimantan, yang sangat berbeda.
The Rejangese speak the Rejang language, in the regions of Argamakmur, Muaraaman, Curup, Kepahiang and Rawas. There are five major dialects: Lebong, Musi, Kebanagung, Pesisir and Rawas. Rejangese is not obviously close to other Malayo-Polynesian languages. McGinn (2009) classified it among the Bidayuh and Melanau languages of Kalimantan. Rejang is not to be confused with the Rejang-Baram group of languages spoken in Sarawak and Kalimantan, which are quite different.
Rejang alfabet milik kelompok script yang dikenal sebagai surat ulu ( “script hulu”), yang meliputi Bengkulu, Lembak, Lintang, Lebong dan Serawai naskah varian. Hal ini juga kadang-kadang dikenal sebagai Kaganga, setelah tiga huruf pertama, dan . berhubungan dengan Batak dan Bugis huruf Rejang alfabet adalah salah satu istilah adat lebih umum digunakan untuk merujuk pada tiga kelompok utama dari script Sumatera selatan: surat incung demikian mengacu pada naskah rakyat Kerinci, surat ulu ke script Lebong, Lembak, Lintang, Pasemah, Rejang dan Serawai, andsurat Lampung ke skrip dari Lampung, Abung dan Komering.
The Rejang alphabet belongs to a group of scripts known as surat ulu (“upstream script”), which includes Bengkulu, Lembak, Lintang, Lebong and Serawai script variants. It is also sometimes known as Kaganga, after the first three letters, and is related to the Batak and Buginese alphabets. Rejang alphabet is one of the more commonly used indigenous terms to refer to the three main groups of the southern Sumatran scripts: surat incung thus refers to the script of the people of Kerinci, surat ulu to the script of Lebong, Lembak, Lintang, Pasemah, Rejang and Serawai, andsurat Lampung to the script of Lampung, Abung and Komering.
Rejang adalah Sumaterans asli, setidaknya dinodai oleh kemudian diperkenalkan adat Melayu dan Jawa (Marsden, 1784). The Rejang telah diisolasi dari dunia luar selama berabad-abad. Mereka memegang apresiasi yang mendalam untuk sejarah mereka dan ketidakpuasan yang tajam untuk budaya orang lain . faktor-faktor ini saja membuat mereka sangat curiga dan agak tertutup berpikiran untuk orang luar.
Rejang is the original Sumaterans, least tainted by later-introduced Malay and Javanese customs (Marsden, 1784). The Rejang have been isolated from the outside world for centuries. They hold a deep appreciation for their history and a keen dissatisfaction for anyone else’s culture. These factors alone make them highly mistrustful and somewhat closed-minded to outsiders.
Rejang berasal dari kata ra dan hyang, yang berarti dewa yang mulia ( “Hyang”). “Ra” adalah judul atau sebutan untuk orang yang terhormat dalam sejarah kuno nusantara. Rahyang juga dapat diartikan sebagai “Tuhan Ra “. Ra, dewa matahari, diadakan tempat yang sangat penting dalam dewa Mesir. label” tanah Allah “, ketika ditafsirkan sebagai” tanah suci “atau” tanah para dewa / leluhur “atau” tanah suci “, mengacu ta Natjer, yaitu The Land of Punt. Sejarawan percaya bahwa Punt disebut sebagai Abode para dewa karena lokasinya di sebelah timur Mesir, ke arah matahari terbit, dewa matahari Ra. prasasti di dinding tiang Deir el-Bahari merujuk Punt sebagai “Divine Land”
Rejang is derived from the words ra and hyang, meaning the noble god (“Hyang”). “Ra” is a title or designation for a respectable person in the ancient history of the archipelago. Rahyang can also be interpreted as the “God Ra”. Ra, the sun god, held a very important place in the Egyptian pantheon. The label “Land of God”, when interpreted as “holy land” or “land of the gods/ancestors” or “divine land”, refers to Ta Natjer, ie The Land of Punt. Historians believe that Punt was referred to as the Abode of the Gods because of its location to the east of Egypt, in the direction of the sunrise, the sun god Ra. The inscriptions on the colonnade walls of Deir el-Bahari refer Punt as the “Divine Land”.
Ketika awal penjelajah Eropa dan pedagang datang ke pulau, mereka menemukan aluvial ditinggalkan luas dan kerja emas bawah tanah. Sebuah aluvial dan kerja emas bawah tanah ditemukan di situs besar Lebongdonok, di wilayah orang Rejang yang luas, menunjukkan adanya sangat besar, terorganisir tenaga kerja, di mana batu grinding besar dan koin emas klasik telah ditemukan. limbah Limbah ditemukan di sekitar Lebongdonok menunjukkan bahwa nilai bonanza hanya sangat tinggi yang ditambang.
When early European explorers and traders came to the island, they found widespread abandoned alluvial and underground gold workings. An extensive alluvial and underground gold workings found at large site Lebongdonok, in the region of Rejang people, suggest the presence of a very large, organized workforce, where large grinding stones and classical gold coins have been found. Waste material found in the vicinity of Lebongdonok suggests that only very high bonanza grades were mined.
Pohon Kemeyan memproduksi resin benzoin ditemukan banyak di Taman Nasional Bukit Duabelas, Bagian dari Kerinci-Seblat National Park. Orang-orang Rejang mendiami wilayah ini. Nama-nama tempat seperti Bukit Kemenyan (“benzoin hill”) dan Tanjung Kemenyan (“benzoin semenanjung “) sekitar wilayah ini menunjukkan bahwa pohon kemenyan yang dibudidayakan di wilayah tersebut.
Kerinci lembah tinggi utara dari Bengkulu, di mana orang-orang Kerinci menghuni, adalah asal dari pohon kayu manis.
Legenda di antara Bengkulu dan Lampung suku bercerita terkait dengan kontak dengan pedagang asing.
Styrax trees producing benzoin resin are found a lot in the Bukit Duabelas National Park, Part of the Kerinci-Seblat National Park. The Rejang people inhabit this region. Place names like Bukit Kemenyan (“benzoin hill”) and Tanjung Kemenyan (“benzoin peninsula”) around this region indicate that styrax trees were cultivated in the region.
Kerinci high valley north of Bengkulu, where the Kerinci people inhabit, is the origin of cinnamon trees.
Legends among the Bengkulu and Lampung tribes tell stories related to contacts with foreign traders.
2) The Fenisia
Fenisia yang mungkin pelaut paling produktif dan pedagang dari dunia kuno. Mereka adalah budaya perdagangan maritim giat yang tersebar di seluruh Mediterania 1550-300 SM. Mencatat penampilan pertama dari Fenisia di Samudera Hindia terhubung dengan pembentukan pelabuhan Ezion-Geber di 950 SM. selama lebih dari seribu tahun, Fenisia berlayar di bawah bendera yang berbeda di Mediterania, Atlantik, Laut Merah dan Samudera Hindia. Hal ini juga memungkinkan bagi mereka untuk berlayar dengan perdagangan mereka sendiri ekspedisi karena mereka tahu tentang manfaat berlayar ke Timur Jauh. Tidak ada keraguan mereka mampu menyeberangi lautan luas menggunakan arus dan angin.
The Phoenicians were perhaps the most prolific seafarers and traders of the ancient world. Theirs was an enterpresing maritime trade culture that spread across the Mediterranean from 1550 to 300 BC. The first recorded appearance of the Phoenicians in the Indian Ocean is connected with the establishment of the port of Ezion-Geber in 950 BC. For more than a thousand years, the Phoenicians sailed under different flags in the Mediterranean, the Atlantic, the Red Sea and the Indian Ocean. It is also possible for them to sail by their own trading expeditions since they knew about the benefits of sailing to the Far East. There is no doubt they were capable of crossing vast oceans using currents and winds.
Studi linguistik dan alfabet dari budaya Rejang yang dilakukan oleh antara lain Sir Thomas Stamford Raffles (1817), J Taman Harrison (1896), EEG Schroder (1927) dan MA Jaspen (1983) menunjukkan beberapa korelasi dengan Phoenician kuno dan Mesir. Penulis membuat perbandingan antara tiga kelompok utama dari script selatan Sumatera :. Rencong (atau Ancung) di Kerinci, Rejang di Bengkulu dan Lampung di Sumatera bagian selatan, dan prototipe Mesir dan Proto-Sinaitic (Old Phoenicia) seperti gambar di bawah juga menunjukkan Brahmin-dipengaruhi script, Ugarit dan Latin modern.
Linguistic and alphabet studies of the Rejang culture conducted by among others Sir Thomas Stamford Raffles (1817), J Park Harrison (1896), EEEG Schroder (1927) and MA Jaspen (1983) show some correlations to the ancient Phoenician and Egyptian. The author makes comparisons among the three main groups of the southern Sumatran scripts: Rencong (or Ancung) in Kerinci, Rejang in Bengkulu and Lampung in southern Sumatera, and the Egyptian prototype and the Proto-Sinaitic (Old Phoenicia) as shown below. Also shown the Brahmin-influenced scripts, Ugarit and the modern Latin.
Figure 49. Ancient Phoenician-Nusantara-Indian alphabet correspondences
Gambar 49. Kuno korespondensi abjad Fenisia-Nusantara-India
Seperti yang bisa kita lihat dari perbandingan di atas, Lampung, Rejang dan Rencong mirip Fenisia Proto-Sinaitic daripada India Brahmi. Ketiga wilayah Sumatera yang sangat sedikit dipengaruhi oleh budaya India dalam sejarah. Alfabet Phoenician berasal dari hieroglif dan Mesir menjadi salah satu sistem penulisan paling banyak digunakan, disebarkan oleh pedagang Fenisia di seluruh dunia Mediterania, di mana ia berkembang dan diasimilasi oleh banyak budaya lainnya.
As we can see from the above comparisons, the Lampung, Rejang and Rencong closely resemble the Phoenician’s Proto-Sinaitic rather than the Indian’s Brahmi. These three regions of Sumatera were very little influenced by Indian culture in the history. The Phoenician alphabet is derived from Egyptian hieroglyphics and became one of the most widely used writing systems, spread by Phoenician merchants across the Mediterranean world, where it evolved and was assimilated by many other cultures.
Fenisia yang terkenal di Yunani Klasik dan Roma sebagai “pedagang di ungu”, merujuk pada monopoli mereka pada pewarna ungu berharga dari siput murex, digunakan, antara lain, untuk pakaian raja dan untuk penyebaran abjad mereka. Perdagangan komoditi berharga juga terlibat permata, di mana batu rubi dan berlian yang dipotong pertama dan dipoles di India (Greater India). para ulama yang paling kredibel tahu bahwa Fenisia yang sangat rahasia dengan sumber kerajaan perdagangan mereka. sumber bahan dan resep untuk persiapan larutan zat warna masih misteri.
The Phoenicians were famed in Classical Greece and Rome as “traders in purple”, referring to their monopoly on the precious purple dye of the murex snail, used, among other things, for royal clothing, and for the spread of their alphabets. The trade of precious commodity also involved precious gems, where rubies and diamonds were first cut and polished in India (Greater India). The most credible scholars knew that the Phoenicians were very secretive with the sources of their trading empire. The source of the materials and the recipe for the preparation of the dye solution are still in mystery.
Fenisia menggunakan cedar Lebanon untuk membangun kapal komersial dan militer, serta rumah-rumah, istana dan kuil-kuil. Tidak ada bukti dari hutan cedar kuno di Lebanon, pohon-pohon cedar saat bisa sangat baik telah ditransplantasikan dari tempat lain pada zaman kuno. . cerita-cerita timah dipercaya melibatkan Phoenician misteri masih tetap ke mana Fenisia benar-benar bangkit dari, pasti bukan dari wilayah Mediterania karena tidak ada cerita tentang hal itu ada sejarah pelaut India perdagangan di laut lepas ;. untuk mereka lebih dikenal sebagai broker atau perantara untuk kepentingan logistik. The rahasia dari Fenisia membuat pertanyaan yang tak terjawab dari mana Fenisia muncul.
The Phoenicians used the cedar of Lebanon for building commercial and military ships, as well as houses, palaces and temples. There is no evidence of ancient cedar forests in Lebanon, the current cedar trees could very well have been transplanted from elsewhere during ancient times. The stories of tin credibly involve the Phoenician. The mystery still remains as to where the Phoenicians truly arose from, certainly not from the Mediterranean region because there is no story about it. There is no history of Indian sailors trading on the open seas; for they were better known as brokers or middlemen for the sake of logistics. The secretive of the Phoenicians makes unanswered question from where the Phoenicians arose.
Bentuk dibuktikan tertua nama Phoenicia adalah Mycenaean po-ni-ki-jo, po-ni-ki, akhirnya dipinjam dari fnḫw Mesir Kuno (fenkhu) “Asiatik, Semit”. Akun Herodotus ‘(ditulis ca 440 SM) mengacu dengan mitos Io dan Europa (sejarah, I: 1) :. “Menurut Persia informasi terbaik dalam sejarah, Fenisia mulai pertengkaran orang ini, yang sebelumnya berdiam di tepi Laut Erythraean, setelah bermigrasi ke Mediterania dan menetap di bagian yang kini mereka menghuni, mulai sekaligus, mereka mengatakan, untuk bertualang di perjalanan panjang, freighting kapal mereka dengan barang-barang dari Mesir dan Asyur … “tersirat dalam account tersebut bahwa Fenisia, serta Mesir, yang berasal dari “Timur” atau “Asian” di pantai Erythraean Sea. Samudera Hindia ini sebelumnya bernama Laut Erythraean (Herodotus, Dicaearchus, Eratosthenes, Posidonius dan Strabo), di mana Fenisia sebelumnya berdiam dan perlu perjalanan panjang untuk bermigrasi ke Mediterania.
The oldest attested form of the name Phoenicia is the Mycenaean po-ni-ki-jo, po-ni-ki, ultimately borrowed from Ancient Egyptian fnḫw (fenkhu) “Asiatics, Semites”. Herodotus’ account (written ca 440 BC) refers to the myths of Io and Europa (History, I:1): “According to the Persians best informed in history, the Phoenicians began the quarrel. These people, who had formerly dwelt on the shores of the Erythraean Sea, having migrated to the Mediterranean and settled in the parts which they now inhabit, began at once, they say, to adventure on long voyages, freighting their vessels with the wares of Egypt and Assyria …” Implicit in these accounts that the Phoenicians, as well as the Egyptian, were originated from the “East” or “Asian” at the shore of Erythraean Sea. The Indian Ocean was formerly named the Erythraean Sea (Herodotus, Dicaearchus, Eratosthenes, Posidonius and Strabo), where the Phoenicians formerly dwelt and need long voyages to migrate to the Mediterranean.
Velikovsky (2006) berkaitan nama Phoenicia untuk Pontifex, yang berarti “Imam”. Kata “Paus” tidak berasal dari bahasa Latin. Hal ini tidak berasal dari “pons”, tapi mungkin dari “Punt”. Ketika dikatakan bahwa Ratu Hatshepsut, setelah mengunjungi Punt, membangun sebuah “menyepak bola” untuk dewa Amon, ini berarti tempat suci ibadah. dengan mendirikan sebuah “tendangan” di Mesir, Ratu Hatshepsut juga memperkenalkan lembaga imam besar, menyalin pelayanan bait Allah di Yerusalem, dibangun di atas model Fenisia.
Velikovsky (2006) relates the name Phoenicia to pontifex, which means “high priest”. The word “pontiff” is not of Latin origin. It is not derived from “pons”, but probably from “Punt”. When it is said that Queen Hatshepsut, after visiting Punt, built a “punt” for the god Amon, this means a sacred place of worship. By erecting a “punt” in Egypt, Queen Hatshepsut also introduced the institution of the high priest, copying the service of the temple in Jerusalem, built on a Phoenician model.
aliansi Salomo dengan Hiram, raja Fenisia, menjelaskan pengaruh Fenisia yang kuat dalam kehidupan kerajaan Yehuda dan Israel. Pengaruh ini ditekankan dalam tulisan suci dalam kisah ereksi candi, yang dibangun dengan bantuan Hiram , yang tersedia Solomon dengan bahan bangunan dan dengan kepala pengrajin, seorang pria asal Ibrani-Fenisia (I raja-raja 7: 13-14) Juga ekspedisi umum untuk Ophir dan transfer damai wilayah dari domain dari satu raja itu. yang lain (I Raja-raja 9:11) mungkin telah membawanya tentang itu seluruh Palestina pada waktu itu disebut Phoenicia. Hal ini sangat mungkin bahwa ekspedisi Mesir ke Tanah Punt pada periode kemudian juga dengan bantuan Fenisia.
Solomon’s alliance with Hiram, the king of the Phoenicians, explains the strong Phoenician influence in the life of the kingdom of Judah and Israel. This influence is stressed in the scriptures in the story of the erection of the temple, built with the help of Hiram, who provided Solomon with building material and with the chief craftsman, a man of Hebrew-Phoenician origin (I Kings 7:13-14). Also the common expedition to Ophir and the peaceful transfer of territory from the domain of one king to that of the other (I Kings 9:11) might have brought it about that the whole of Palestine at that time was called Phoenicia. It is very likely that the Egyptian expeditions to the Land of Punt at the later period were also by the help of the Phoenicians.
Asal-usul dari Mesir serta Fenisia adalah Tanah Punt, Bengkulu. Kita bisa berspekulasi bahwa orang Mesir yang sebelumnya Puntites dan Fenisia nanti. Selama Akhir Periode banyak perdagangan Mesir berada di tangan Fenisia dan Yunani . Sebuah sejarah panjang kontak dengan orang Mesir membuat Puntites (atau Bengkulu) belajar dari Mesir cara Voyage dan perdagangan barang mewah produk mereka. itu wajar bahwa produsen selalu tertarik untuk menjual produk mereka langsung ke konsumen untuk mendapatkan keuntungan mereka sendiri. mereka diduga memiliki kerjasama dengan Bugis di Sulawesi untuk membangun kapal. pedagang Bugis yang sering dikunjungi Bengkulu dan Pulau Enggano di zaman kuno untuk perdagangan kelapa kualitas tertinggi (Helfrich, 1891). The Rejang alfabet juga terkait dengan Bugis. The Bugis memiliki “Phinisi” kapal, kemiripan dekat dengan nama “Phoenicia”, yang telah terbukti sulit untuk berlayar lautan yang luas.
The origins of the Egyptians as well as the Phoenicians are the Land of Punt, ieBengkulu. We could speculate that the Egyptians were the earlier Puntites and the Phoenicians the later. During the Late Period much of Egyptian trade was in the hands of Phoenicians and Greeks. A long history of contacts with the Egyptians made the Puntites (or Bengkulu) learned from the Egyptians how to voyage and to trade luxurious goods of their products. It is natural that the producers always keen to sell their products directly to the costumers to gain their own profit. They allegedly had a cooperation with the Buginese in Sulawesi to build the ship. Buginese traders were frequently visited Bengkulu and Enggano Island in the ancient times for the trading of supreme quality coconuts (Helfrich, 1891). The Rejang alphabet is also related to the Bugis. The Buginese has “Phinisi” ship, a close resemblance with the name “Phoenicia”, which has been proven tough to sail the vast oceans.
Kelimpahan kayu dengan kualitas tinggi di Sumatera mungkin bisa memfasilitasi mereka untuk membangun kapal yang lebih canggih daripada orang Mesir. Sumber barang untuk perdagangan, yaitu murex siput, dupa dan berharga permata antara lain tentang asal-usul Asia Tenggara. Puntites ini yang telah berhasil melakukan perdagangan ini disebut Fenisia, dari akar “Punt”, “Pwene” atau “Phinisi”. untuk memiliki monopoli barang yang diperdagangkan Asia di Mediterania, Fenisia terus kerahasiaan sumber-sumber sampai di abad ke-18 Belanda dan Inggris berhasil mengeksplorasi sumber daya dalam jumlah besar. Samudera Hindia masyarakat pesisir Sumatera serta Bugis terkenal dengan kemampuan mereka dalam perdagangan. legenda dan lagu-lagu mereka juga bercerita tentang perdagangan luar negeri (merantau, “mengembara”). The Bugis bersama dengan Barito Dayak di Kalimantan yang ditelusuri untuk memiliki hubungan dengan Malagasi di zaman kuno itu.
The abundance of wood with high quality in Sumatera could probably facilitate them to build more sophisticated ships than those of the Egyptians. The source of goods to trade, ie murex snail, incense and precious gems among others are of the Southeast Asian origins. These Puntites who had managed to do this trade are called the Phoenicians, from the roots “Punt”, “Pwene” or “Phinisi”. To have the monopoly of the Asian traded goods in the Mediterranean, the Phoenicians kept the secrecy of the sources until in the 18th century the Dutch and the British managed to explore the resources in great amount. The Indian Ocean coastal people of Sumatera as well as the Buginese are renowned for their proficiency in trade. Their legends and songs also tell stories about oversea trading (merantau, “to wander about”). The Buginese along with the Barito Dayak in Kalimantan are traced to have relationships to the Malagasy in the antiquity.
Juga, sejarah panjang kontak dengan orang Mesir membuat Puntites belajar hieroglif menulis, tapi kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi naskah abjad. The Kampung, Rajang, Rencong dan Bugis abjad adalah warisan dari script ini seperti yang telah dibahas di atas.
Also, a long history of contacts with the Egyptians made the Puntites learn hieroglyphics writing, but then developed it further to become alphabetic script. The Lampung, Rejang, Rencong and Bugis alphabets are the legacies of this script as has been discussed above.
) Tanah Ophir
Keterampilan maritim terkenal Fenisia kagum King Solomon (973-33 SM) bahwa ia meminta Raja Tirus untuk mengirim dia tukang kayu Phoenician dan pelaut veteran untuk bergabung armadanya ke tanah Ophir di 945 SM (Kings 1: 9-26 …) ada kepastian yang tepat meskipun tentang lokasi tanah Ophir lokasi geografis dari Ophir digambarkan dengan cara yang persis sama seperti tanah Punt Kedua negara berbohong “jauh, ke selatan-timur”, yang kapal berlayar dari pelabuhan di Laut Merah dan pelayaran putaran berlangsung tiga tahun dalam kedua kasus. barang-barang yang dibawa dari Ophir yang kurang lebih sama dengan yang orang Mesir dibawa dari Punt dan port mereka yang lain. Raja Salomo menerima kargo emas, perak, “kayu cendana”, batu mulia, gading, kera dan burung merak setiap tiga tahun.
The renowned maritime skills of the Phoenicians amazed King Solomon (973 – 33 BC) that he asked the King of Tyre to send him Phoenician carpenters and veteran sailors to join his fleet to the land of Ophir in 945 BC (Kings 1: 9-26). There is no exact certainty though about the location of the land of Ophir. The geographical location of Ophir is described in exactly the same way as the Land of Punt. Both countries lie “far away, to the south-east”; the ships set sail from a port on the Red Sea and the round voyage lasts three years in both cases. The goods brought from Ophir are more or less the same as those the Egyptians brought from Punt and their other ports. King Solomon received a cargo of gold, silver, “algum wood”, precious stones, ivory, apes and peacocks every three years.
Keberadaan Alkitab Eldorado dari Tanah Ophir (I Raja-raja 10:11, II Tawarikh 09:21) diyakini menjadi tujuan akhir dari Suku Hilang Israel. Dalam Kejadian 10 (Tabel Nations) dikatakan . menjadi nama salah satu dari anak-anak Yoktan Joktan atau Yoktan adalah anak kedua dari dua anak Eber, cucu besar Sem -. bin Nuh dalam literatur pra-Islam, Ophir disebutkan dalam tiga pra-Islam Arab dan Ethiopia sumber :. The Kitab-al-Magall, Gua Harta, dan Benturan Adam dan Hawa dengan Setan The Kitab al-Magall menyatakan bahwa pada hari-hari Reu, seorang raja Saba (Sheba) bernama “Firaun “dicaplok Ophir dan Hawila ke kerajaannya, dan” membangun Ophir dengan batu emas, untuk batu dari gunung-gunung yang emas murni “.
The existence of the Biblical Eldorado of the Land of Ophir (I Kings 10:11, II Chronicles 9:21) is believed to be the final destination of the Lost Tribes of Israel. In Genesis 10 (the Table of Nations) is said to be the name of one of the sons of Joktan. Joktan or Yoktan was the second of the two sons of Eber, the great grandson of Shem – the son of Noah. In pre-Islamic literature, Ophir is mentioned in the three pre-islamic Arabic and Ethiopic sources: The Kitab-al-Magall, The Cave of Treasure, and the Conflict of Adam and Eve with Satan. The Kitab al-Magall states that in the days of Reu, a king of Saba (Sheba) named “Pharoah” annexed Ophir and Havilah to his kingdom, and “built Ophir with stones of gold, for the stones of its mountains are pure gold”.
Jones-Gregorio pada tahun 1994 membuat studi untuk tesisnya tentang kata-kata Mesir dan Barat Semit di dasar budaya Rejang di Jaspen ini Rejang kamus. Dia menyimpulkan bahwa banyak dari kata-kata Rejang tampaknya tidak diragukan lagi Mesir kuno dan Phoenicia.
Tabel 1. kata-kata Mesir-Rejang-Indonesia-Melayu korespondensi (Jones-Gregorio, 1994)
Jones-Gregorio in 1994 made a study for his thesis about Egyptian and West Semitic words in the Rejang culture base on Jaspen’s Rejang dictionary. He concludes that many of the Rejang words seem to be unquestionably ancient Egypt and Phoenicia.
Table 1. Egyptian-Rejang-Indonesian-Malay words correspondence (Jones-Gregorio, 1994)
Table 2. Hebrew-Rejang-Indonesian-Malay words correspondence (Jones-Gregorio, 1994)
Figure 50. Possible locations of the port of Punt
Gambar 50. lokasi Kemungkinan pelabuhan Punt
Kemungkinan lokasi dari pelabuhan Punts yang Ipuh, Bengkulu, Mana dan Bintuhan tetapi yang paling mungkin adalah Bengkulu.
Bengkulu sebagai lokasi yang paling mungkin adalah untuk alasan bahwa kondisi pantai mendukung kapal ke pelabuhan dan jarak terdekat dengan budaya Rejang utama, habitat kemenyan, habitat kayu manis dan tambang emas kuno Lebong Donok. Sebuah port baru adalah membangun di daerah Pulau Baai pada tahun 1984. Teluk ada pada situs dan lereng lembut pantai memfasilitasi tempat yang baik untuk menyimpan.
Inggris East India Company (EIC) mendirikan pusat lada-perdagangan dan garnisun di Bengkulu (Bencoolen) di 1685. Pada 1714 Inggris membangun Benteng Marlborough, yang masih berdiri. The pos perdagangan tidak pernah menguntungkan bagi Inggris, terhambat oleh lokasi yang Eropa menemukan tidak menyenangkan, dan oleh ketidakmampuan untuk menemukan lada yang cukup untuk membeli. ini menjadi port sesekali panggilan untuk kapal berlayar EIC East Indiaman. Meskipun kesulitan-kesulitan ini, Inggris tetap bertahan, mempertahankan kehadiran mereka selama kira-kira 140 tahun sebelum menyerahkan itu kepada Belanda sebagai bagian dari Anglo-Belanda Perjanjian 1824 dalam pertukaran untuk Malaka. Bengkulu tetap menjadi bagian dari Hindia Belanda sampai pendudukan Jepang dalam Perang Dunia 2.
The possible locations of the port of Punts are Ipuh, Bengkulu, Mana and Bintuhan but the most probable is Bengkulu.
Bengkulu as the most probable location is for the reasons that the coast conditions support the ships to harbor and the closest distance to the main Rejang culture, the styrax habitat, the cinnamon habitat and the ancient gold mine of Lebong Donok. A new port was build at the area of Pulau Baai in 1984. The bay existed at the site and the gentle slope of the coast facilitate a good place for harboring.
The English East India Company (EIC) established a pepper-trading center and garrison at Bengkulu (Bencoolen) in 1685. In 1714 the British built Fort Marlborough, which still stands. The trading post was never profitable for the British, being hampered by a location which Europeans found unpleasant, and by an inability to find sufficient pepper to buy. It became an occasional port of call for the EIC’s East Indiamen sailing ships. Despite these difficulties, the British persisted, maintaining their presence for roughly 140 years before ceding it to the Dutch as part of the Anglo-Dutch Treaty of 1824 in exchange for Malacca. Bengkulu remained part of the Dutch East Indies until the Japanese occupation in World War 2.
Lokasi kemungkinan lainnya adalah Ipuh, Manna dan Bintuhan. Pada Ipuh, tidak ada teluk yang bisa melindungi kapal ke pelabuhan tetapi kemiringan pantai yang lembut. Dikatakan bahwa ada sebuah pasar kuno di Ipuh. Manna adalah sebuah kota tua dan pasar yang telah terdaftar di peta Eropa dari sejak abad ke-16. Serawai, suku terbesar kedua di Bengkulu setelah Rejang, mendiami daerah sekitar Manna, antara lain di kabupaten Talbot, Seluma, Talo, Pino, Keltum, Manna dan Seginim.
The other probable locations are Ipuh, Manna and Bintuhan. At Ipuh, there is no bay that could protect the ships to harbor but the coast slope is gentle. It is said that there was an ancient marketplace at Ipuh. Manna is an old town and marketplace that has been registered in the European maps from as early as the 16th century. Serawai, the second largest tribe in Bengkulu after Rejang, inhabit the area around Manna, among others in the districts of Talbot, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna and Seginim.
Tanah Punt penunjukan sebagai Ta netjer oleh orang-orang Mesir yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Tanah para Dewa, adalah tempat tinggal para dewa, dan lokasinya adalah menuju matahari terbit, di mana dewa matahari Ra. Tanah Dewa bisa ditafsirkan sebagai “tanah leluhur”, yang berarti bahwa orang Mesir kuno dilihat tanah Punt sebagai tanah leluhur mereka.
The Land of Punt designation as Ta Netjer by the Egyptian people which literally can be translated as the Land of the Gods, is the abode of the gods, and its location is toward the sunrise, where sun god Ra. The Land of Gods can be interpreted as “the land of the ancestors”, which means that the ancient Egyptians viewed the Land of Punt as their ancestral land.
Dari pembahasan di atas dan jumlah kelimpahan bukti, itu jelas layak untuk menyimpulkan bahwa Tanah Punt di Sumatera. Sehubungan dengan Tanah Punt sebagai tanah leluhur orang Mesir kuno, dapat disimpulkan bahwa tanah leluhur orang Mesir adalah di Sumatera, dengan lokasi yang paling mungkin adalah di Bengkulu.
From the discussion above and the abundance amount of the evidence, it is clearly allegable to conclude that the Land of Punt in Sumatera. In connection with the Land of Punt as the ancestral land of the ancient Egyptians, it can be concluded that the ancestral land of the Egyptians is in Sumatra, with the most probable location is in Bengkulu.
Kisah Atlantis berasal dari Mesir, yang dikatakan terkandung dalam prasasti di sebuah kuil di Mesir. Secara umum, Mesir memiliki catatan rekening paling lengkap dan akurat dari peristiwa masa lalu, bahkan yang paling kuno. Hal ini juga mengatakan bahwa asal Mesir berada di Atlantis, sebagai wilayah yang telah ditaklukkan. Kita bisa berspekulasi bahwa Mesir kuno diberitahu oleh imam sebenarnya adalah kelompok etnis primordial dan diyakini nenek moyang mereka sebelum para deluges dan bencana lainnya. Mesir berada di antara pengungsi dan korban bencana ;. kemudian dimukimkan kembali di tanah yang sekarang disebut Mesir dalam penyelamatan, mereka membawa catatan dan register, dan selanjutnya diawetkan mereka di kuil-kuil mereka, atau kenangan mereka ditulis kembali setelah di tempat baru.
The story of Atlantis came from Egypt, which is said to be contained in the inscription on a temple in Egypt. In general, Egypt has records of the most complete and accurate account of the events of the past, even the most ancient. It is also said that the origin of the Egyptians were in Atlantis, as a region that has been conquered. We could speculate that the ancient Egypt told by the priest is actually a primordial ethnic group and believed to be their ancestors prior the deluges and other catastrophes. The Egyptians were among the refugees and survivors of the catastrophes; then resettled on the land which is now called the Egypt. In the rescue, they brought records and registers, and hereinafter preserved them in their temples, or their memories were written back after being in a new place.
Hubungan antara Tanah Punt dan Atlantis adalah baik tanah leluhur orang Mesir. Ini jelas memperkuat hipotesis oleh penulis bahwa negara Atlantis adalah Sundaland, mengingat Sumatera pernah berada dalam wilayah Sundaland. Orang Mesir primordial, yaitu , wilayah ditaklukkan oleh Atlantis, di Sumatera, sedangkan ibu kota Atlantis berada di apa yang sekarang disebut Laut Jawa.
Linkage between the Land of Punt and Atlantis is both an ancestral land of the Egyptians. This clearly reinforces the hypothesis by the author that the state of Atlantis is Sundaland, considering Sumatera was once located within the territory of Sundaland. The primordial Egyptians, that is, a region conquered by Atlantis, is in Sumatera, while the capital city of Atlantis is in what is now called the Java Sea.
***
Johannes Duemichen, Historiche Inschriften Altägyptischer Denkmäler, Leipzig, 1869
Auguste Mariette-Bey, Deir-El-Bahari, Documents Topographiques, Historiques et Ethnographiques, Recueillis dans Ce Temple, Leipzig JC Hinrichs, 1877
Amelia Ann Blanford Edwards, Pharaohs Fellahs and Explorers, Chapter 8: Queen Hatasu, and Her Expedition to the Land of Punt, Harper & Brothers, New York, 1891 (First edition), pp 261-300
WM Flinders Petrie, AS Murray and FLL Griffith, Tanis, Part 11, Nebesheh (Am) and Defenneh (Tahpanhes), Trubner & Co, London, 1888
Eduardo Naville, The Temple of Deir El Bahari, The Offices of The Egypt Exploration Fund, London, 1898
Shih-Wei Hsu, The Palermo Stone: the Earliest Royal Inscription from Ancient Egypt, Altoriental. Forsch., Akademie Verlag, 37 (2010) 1, 68–89
Kathryn A Bard and Rodolfo Fattovich, The Middle Kingdom Red Sea Harbor at Mersa/Wadi Gawasis, Boston University and University of Naples “l’Orientale”, 2011
Fiona Marshall, Rethinking the Role of Bos indicus in Sub-Sahara Africa, Current Anthropology Vol 30, No 2, 1989.
Elio Modigliani, L’Isola Delle Donne, Viaggio ad Engano, Ulrico Hoepli Editore – Libraio Della Real Casa, Milano, 1894
Pieter J ter Keurs, Enggano, Digital publications of the National Museum of Ethnology, nd
Masakazu Kashio, Dennis V Johnson, Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from Styrax Species), RAP Publication: 2001/21, Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand, 2001
HJ Abrahams, Onycha, Ingredient of the ancient Jewish incense: An attempt at identification in Econ, 1979
Francesca Modugnoa, Erika Ribechinia and Maria Perla Colombini, Aromatic resin characterisation by gas chromatography–mass spectrometry: Raw and archaeological materials, Journal of Chromatography A Volume 1134, Issues 1-2, 17 November 2006, Pages 298-304.
Kathi Keville, Mindy Green, Aromatherapy: A Complete Guide to the Healing Art, nd
Theo van Leeuwen, A Brief History of Mineral Exploration and Mining in Sumatra, Proceedings of Sundaland Resources 2014 MGEI Annual Convention, 2014
OL Helfrich & JAJC Pieters, Proeve van Eene Maleisch-Nederlandsch-Enganeesch Woordenlijst, Batavia Albrecht Rusche, ‘s Hage M Nijhoff, 1891
Archive of Materials for the Study of the Rejang Language of Sumatrahttp://www.ohio.edu/people/mcginn/rejanglang.htm
Immanuel Velikovsky, From the Exodus to King Akhnaton, Paradigma Ltd, 2009
Charles Robert Jones-Gregorio, Egyptian And West Semitic Words In Sumatra’s Rejang Culture, Dominican School of Theology and Philosophy St Albert the Great College, 1994
Paul Dickson, Dictionary of Middle Egyptian in Gardiner Classification Order, Creative Commons, 2006
Bonn Universitätsklinikum, Bonn scientists shed light on the dark secret of Queen Hatshepsut’s flacon, https://www.uni-bonn.de/Press-releases/deadly-medication
14 November 2015
Sumber: http://atlantislautjawa.blogspot.co.id/p/tanah-punt-adalah-sumatera.html
Tanah Punt adalah mitra dagang Mesir, dikenal memproduksi dan mengekspor emas, dupa, resin aromatik, kayu manis, kayu eboni, gading dan binatang. Daerah ini diketahui dari catatan ekspedisi perdagangan Mesir kuno. Orang Mesir terus berhubungan dagang dengan masyarakat Punt, sebagaimana tercatat dalam sejarah mereka dari Dinasti ke-4 sampai ke-26 (abad ke-27 – ke-6 SM). Ekspedisi Mesir ke Tanah Punt yang paling terkenal, dan sebagian besar informasinya diperoleh dari ekspedisi yang dilakukan oleh Dinasti ke-18, yaitu Ratu Hatshepsut (1473 – 1458 SM) dan tercatat secara terinci dalam relief pada dinding kuil penyimpanan mayat di Deir El-Bahari, Mesir.
Lokasi tepatnya Tanah Punt tidak diketahui, dan selama bertahun-tahun telah diperkirakan berada di Saudi, Tanduk Afrika, Somalia, Sudan atau Eritrea. Perdebatan terus berlangsung dimana Punt terletak, para ilmuwan dan sejarawan telah memberikan argumen masing-masing atas klaim mereka.
Setelah mengumpulkan banyak bukti antara lain seperti yang tercantum di bawah ini, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di Sumatera, Indonesia.
Pelayaran lautan | Perdagangan dengan Asia Tenggara | Di wilayah tropis di Timur |
Perdagangan maritim di Asia Tenggara | Rumah adat | Pohon pinang |
Pohon dan getah kemenyan | Pohon eboni | Kayumanis |
Kapur barus | Balsem | Minyak pala |
Sapi tanduk pendek | Kuda poni | Beruk |
Badak bercula satu | Anjing | Macan tutul |
Gading | Monyet | Penyu dan kura-kura |
Ikan dan satwa laut | Logam mulia | Karakteristik penduduk |
Bahasa tubuh | Nama tetua dan istrinya | Bawahan |
Ikat kepala | Kalung | Gelang tangan dan kaki |
Gelang-gelang penguat | Senjata (golok) | Topi berkabung |
Orang Naga | Aksara/alfabet | Bahasa |
Mitos dan legenda |
Tanah Punt, disebut pula Pwenet atau Pwene (hieroglif ) oleh masyarakat Mesir kuno, adalah mitra dagang Mesir, diketahui memproduksi dan mengekspor emas, dupa, getah kering wewangian, kayumanis, kayu eboni, gading dan hewan-hewan. Daerah ini diketahui dari catatan ekspedisi perdagangan Mesir kuno. Beberapa sarjana Alkitab telah mengidentifikasikannya sebagai Put.
Penyebutan pertama tentang Tanah Punt berasal dari Kerajaan Lama Mesir. Seperti yang tertera pada Batu Palermo, sekitar 2500 SM pada masa pemerintahan Raja Sahure, sebuah ekspedisi ke Tanah Punt telah kembali dengan membawa ‘ntyw (ånti)) berjumlah 80.000 satuan, dimana para ilmuwan percaya bahwa itu adalah kemenyan. Berasal dari pohon dengan nama yang sama, kemenyan adalah getah kering yang digunakan untuk membuat dupa, yang diincar oleh orang-orang Mesir untuk digunakan dalam ritual-ritual di kuil; kemenyan adalah komoditas yang paling berharga yang berasal dari Tanah Punt. Ekspedisi Sahure juga membawa kembali 23.030 batang kayu – kayu adalah barang yang amat berharga untuk negara gurun seperti Mesir – dan 6.000 satuan electrum, sebuah paduan alami emas dan perak, diantara barang-barang lainnya. Fragmen dari dekorasi kuil penyimpanan jenazah raja di Abusir diinterpretasikan sebagai representasi penduduk Punt.
Orang-orang Mesir menyebut Tanah Punt sebagai Ta Netjer. Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Tanah Dewata. Karena Ra, dewa matahari, merupakan bagian yang sangat penting dalam jajaran dewa-dewa di Mesir, sejarawan percaya bahwa Tanah Punt juga merupakan tempat tinggalnya para dewa karena lokasinya di sebelah timur Mesir, kearah matahari terbit. Nama tersebut juga dapat merujuk pada kayu unggul yang diimpor dari Tanah Punt, yang digunakan dalam pembangunan kuil-kuil di Mesir dan kemenyan serta bahan wewangian lainnya yang dibawa dari Tanah Punt dan digunakan secara luas dalam ritual keagamaan Mesir kuno.
Literatur lama (dan sastra non-mainstream saat ini) menyatakan bahwa sebutan “Tanah Dewata”, dapat ditafsirkan sebagai “tanah suci” atau “tanah para leluhur”, berarti bahwa orang Mesir kuno melihat Tanah Punt sebagai tanah leluhur mereka. WM Flinders Petrie percaya bahwa ras Dinasti Mesir berasal dari atau melalui Punt dan EA Wallis Budge menyatakan bahwa tradisi Mesir dalam periode Dinasti menunjukkan bahwa tanah asli orang Mesir adalah Tanah Punt.
Lokasi tepatnya Tanah Punt sampai saat ini tidak diketahui, dan selama bertahun-tahun telah diperkirakan berada di Saudi, Tanduk Afrika, Somalia, Sudan atau Eritrea. Perdebatan terus berlangsung dimana Tanah Punt terletak, para ilmuwan dan sejarawan telah memberikan argumen masing-masing atas klaim mereka.
Sebuah relief pada masa Dinasti ke-4 menggambarkan orang-orang Punt bersama dengan salah satu putra Firaun Khufu, dan didalam sebuah dokumen pada masa Dinasti ke-5 disebutkan adanya perdagangan reguler antara kedua negara. Diantara berbagai macam barang berharga yang dibawa ke Mesir dari Tanah Punt adalah emas, kayu eboni, hewan liar, kulit binatang, gading, tempurung kura-kura, rempah-rempah, kayu berharga, kosmetik, dupa dan pohon kemenyan. Akar pohon kemenyan yang dibawa dari Punt dalam ekspedisi Hatshepsut tahun 1493 SM masih bisa dilihat diluar kompleks Deir el-Bahari.
Pada masa Dinasti ke-12, Tanah Punt diabadikan dalam literatur Mesir yang dikenal dengan Tale of the Shipwrecked Sailor (“Kisah Pelaut yang Terdampar”) dimana seorang pelaut Mesir bertemu dengan “naga agung” yang menyebut dirinya “raja Punt” dan mengirimkan pelaut tersebut kembali ke Mesir dengan membawa emas, rempah-rempah dan hewan yang berharga. Mungkin karena kisah ini, Tanah Punt menjadi lebih dianggap sebagai tanah semi-mitos bagi orang-orang Mesir, dan setelah ekspedisi Hatshepsut, tidak ada tulisan yang ditulis dengan cara yang faktual. Tanah Punt menjadi daya tarik yang mengagumkan bagi orang-orang Mesir sebagai “tanah yang kaya” dan dikenal sebagai Ta Netjer, Tanah Dewata darimana semua hal yang baik datang ke Mesir. Tanah Punt juga dikaitkan dengan nenek moyang orang-orang Mesir apabila dilihat bahwa mereka melihatnya sebagai tanah air kuno mereka, dan terlebih lagi tanah dimana para dewa tinggal. Persisnya mengapa Tanah Punt berubah dari realitas ke mitologi tidak diketahui, tetapi setelah Dinasti ke-18, Tanah Punt lama kelamaan menghilang dari ingatan orang Mesir dan kemudian masuk kedalam legenda dan cerita rakyat.
Bukti paling kuat tentang Tanah Punt berasal dari sebuah kuil yang didedikasikan untuk firaun wanita Hatshepsut, dari Dinasti Mesir ke-18, yang memerintah selama lebih dari 20 tahun mulai sekitar tahun 1465 SM. Relief-relief mengenai misi perdagangan ke Tanah Punt terdapat pada dinding kuil tersebut, yang terkenal sebagai ekspedisi Ratu Hatshepsut pada 1493 SM, yang membawa kembali pohon hidup ke Mesir dan menandai keberhasilan pertama upaya pembudidayaan flora dan fauna asing. Diketahui pula nama-nama tetua Tanah Punt selama pemerintahan Hatshepsut: Parehu dan istrinya, Ati. Relief pada dinding kuil tersebut menunjukkan tetua masyarakat Tanah Punt dan istrinya menerima utusan dari Mesir. Dari deskripsi yang masih terbaca, Tanah Punt adalah sebuah masyarakat yang damai dan makmur, dan tampaknya memiliki berbagai macam barang perdagangan yang sangat berharga.
Catatan paling awal tentang ekspedisi Mesir ke Tanah Punt adalah yang dilakukan oleh Firaun Sahure dari Dinasti ke-5 (abad ke-25 SM). Namun, emas dari Tanah Punt tercatat telah terdapat di Mesir pada awal masa Firaun Khufu dari Dinasti ke-4.
Selanjutnya, diketahui telah dilakukan ekspedisi ke Tanah Punt pada masa Dinasti Mesir ke-6, ke-11, ke-12 dan ke-18. Pada masa Dinasti ke-12, perdagangan dengan Punt dituliskan dalam sebuah sastra populer Tale of the Shipwrecked Sailor (“Kisah Pelaut yang Terdampar”).
Pada masa pemerintahan Mentuhotep III (Dinasti ke-11, ca 2000 SM), seorang petugas bernama Hannu melakukan sekali atau lebih pelayaran menuju Tanah Punt, tetapi tidak pasti apakah ia secara pribadi ikut serta dalam ekspedisi ini. Misi perdagangan para firaun Dinasti ke-12, Senusret I, Amenemhat III dan Amenemhat IV, juga telah berhasil berlayar menuju dan kembali dari Tanah Punt.
Pada masa Dinasti Mesir ke-18, Ratu Hatshepsut membangun armada Laut Merah untuk memfasilitasi perdagangan di ujung Teluk Aqaba yang mengarah ke selatan menuju Tanah Punt untuk membawa keperluan jenazah ke Karnak dan dipertukarkan dengan emas Nubia. Hatshepsut secara khusus membentuk tim ekspedisi Mesir kuno yang paling terkenal untuk berlayar ke Tanah Punt. Selama pemerintahan Ratu Hatshepsut pada abad ke-15 SM, kapal-kapal telah secara teratur menyeberangi Laut Merah untuk mendapatkan bitumen, tembaga, ukiran amulet, napthadan barang lainnya yang diangkut melalui darat dan Laut Mati menuju ke Eilat di ujung Teluk Aqaba dimana disana diperoleh dupa dan wewangian yang datang dari utara melalui darat dan laut, di sepanjang rute perdagangan yang melalui pegunungan terbentang kearah utara di sepanjang pantai timur Laut Merah.
Penerus Hatshepsut pada Dinasti ke-18, seperti Thutmose III dan Amenhotep III, juga melanjutkan tradisi perdagangan Mesir dengan Tanah Punt. Perdagangan ini terus berlangsung sampai ke awal Dinasti ke-20 dan diakhiri oleh Kerajaan Baru. Semenjak ini, kontak dagang tampaknya telah tidak ada, selain satu pengecualian, dan Tanah Punt berubah menjadi sebagai tanah dongeng dan magis. Pengecualiannya adalah penyebutan Gunung Punt yang terdapat dalam sebuah prasasti pada sebuah tugu yang telah rusak di Tel Defenneh yang berusiakan masa Dinasti ke-26. Juga disebutkan pada prasasti tersebut tentang terjadinya suatu mukjizat dan berkat bahwa hujan telah turun di Gunung Punt pada akhir Desember atau awal Januari.
Ratu Hatshepsut adalah putri Thutmose I, firaun ketiga dari Dinasti ke-18, dan istrinya, Ratu Ahmes Nefertari. Ia mewarisi hak daulat turun-temurun ibunya dari garis keturunan Dinasti ke-12 yang terdahulu.
Kisah ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt tercatat dalam seni Mesir pada dinding kuil memorialnya di Deir el-Bahari (bahasa Arab yang berarti “wihara utara”), sebuah kompleks kuil penyimpanan jenazah dan kuburan yang terletak di tepi barat Sungai Nil. Lokasi ini dipisahkan dari Lembah Para Raja oleh bukit Al-Qurn (bahasa Arab yang berarti “tanduk” dan dikenal oleh orang Mesir sebagai Dehent) dan terletak tepat di seberang sungai dari kompleks kuil di Karnak dan Luxor di Thebes. Pegunungannya berderet membentuk piramida-piramida alami yang menjulang di Lembah Para Raja dan di Deir el-Bahari, dan disakralkan untuk Hathor dan Meretseger.
Gambar 1. Kuil di Deir El-Bahari
Yang pertama kali mengungkapkan tentang deskripsi biara di Koptik yang sudah ditinggalkan dan pernah berdiri di atas reruntuhan kuil Hatshepsut adalah penjelajah Inggris terkenal Richard Pococke yang mengunjunginya pada tahun 1737. Jean-François Champollion menyalin tulisan pada portal granit kuil dan dinding Biara Utama Amon-Ra. John Gardner Wilkinson memperkenalkan nama Deir el-Bahari (“Biara Utara”) melalui literatur dunia pada tahun 1835. Richard Lepsius mengikutinya dengan mengidentifikasi reruntuhannya sebagai kuil Hatshepsut.
Penggalian rutin dimulai oleh arkeolog Perancis Auguste Mariette (1821 – 1881), pendiri Egyptian Antiquities Service. Penyelidikan arkeologi di kompleks Deir el-Bahari dimulai pada tahun 1881, setelah benda-benda milik firaun yang hilang mulai muncul di pasar barang antik. Arkeolog Perancis Gaston Maspero (1846 – 1916), Direktur Dinas Purbakala Mesir pada saat itu, mengunjungi Luxor pada tahun 1881 dan mulai memberikan tekanan kepada keluarga Abdou El-Rasoul, yang tinggal di Gurnah dan telah turun-temurun melakukan penjarahan makam.
Lembaga pertama yang punya jasa besar untuk melakukan studi tentang Mesir adalah misi Egypt Exploration Fund (EEF) yang dipimpin oleh arkeolog Perancis Edouard Naville (1844 – 1926). Penggalian di kuil dimulai pada tahun 1890-an. Antara tahun 1893 dan 1899 berhasil membersihkan Teras Atas dan sebagian besar halaman yang terkubur, kapel dan tiang-tiang. Atap dipasang diatas serambi obelisk dan serambi Teras Tengah. Dinding Biara Utama Amon-Ra diperkuat dan perlindungan sementara dipasang di kompleks Altar Matahari, Kultus Kerajaan, Kapel Hathor dan Serambi Utara Bawah. Pada tahun 1911, Naville menyerahkan konsesinya di Deir el-Bahari (sebagai hak penggalian satu-satunya), dan Herbert Winlock yang legendaris memulai yang kemudian disebut 25 tahun penggalian dan restorasi. Winlock tiba di Deir el-Bahari sebagai kepala misi Metropolitan Museum of Art yang tinggal di sana selama 20 tahun berikutnya (1911 – 1931), menembus teras dan dua lereng kuil yang tak tertutup.
Ketika Leszek Dabrowski datang dengan kelompok spesialisnya dari Universitas Warsawa Centre of Mediterranean Archaeology (PCMA), mereka menemukan baris demi baris blok hiasan yang disusun oleh pendahulu terkenal mereka, menunggu untuk dikembalikan ke posisi semula di dinding, kolom dan balok kuil. Polandia diundang oleh Egyptian Antiquities Organization untuk mengambil alih proyek. Kazimierz Michalowski menjadi kepala misi ini dari awal di musim gugur tahun 1961 sampai akhir hayatnya pada tahun 1981.
https://www.youtube.com/watch?v=VdlseZ-QFyI
Dinding-dinding di Djeser-Djeseru mengilustrasikan otobiografi Hatshepsut, termasuk cerita tentang perjalanannya ke Tanah Punt. Juga ditemukan di Djeser-Djeseru adalah akar utuh pohon kemenyan, yang pernah menghiasi halaman depan kuil. Pohon-pohon ini dikumpulkan oleh Hatshepsut dalam ekspedisinya ke Tanah Punt; menurut sejarah, ia membawa lima kapal penuh barang, termasuk flora dan fauna.
Penulis menyajikan ilustrasi dinding di ruang tengah Deir el-Bahari (Djeser-Djeseru) yang dibuat oleh Johannes Duemichen (1869), Auguste Mariette (1877) dan Eduard Naville (1898) di bawah ini.
Gambar-gambar 2. Ilustrasi dinding ruang tengah di Deir el-Bahari (Johannes Duemichen, 1869)
Gambar 3. Ilustrasi dinding ruang tengah di Deir el-Bahari (Auguste Mariette, 1877)
Gambar 4. Kapal-kapal Mesir tiba di Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 5. Kapal-kapal Mesir tiba di Tanah Punt (Eduard Naville, 1898) (continued)
Gambar 6. Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 7. Pecahan-pecahan relief (Eduard Naville, 1898)
Gambar 8. Memuati kapal-kapal Mesir di Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 9. Kapal-kapal yang penuh muatan meninggalkan Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 10. Orang-orang Tanah Punt bersembah di Mesir (Eduard Naville, 1898)
Gambar 11. Persembahan ratu kepada Amon berupa hasil-hasil ekspedisi (Eduard Naville, 1898)
Gambar 12. Pohon kemenyan yang ditanam di Taman Amon (Eduard Naville, 1898)
Gambar 13. Menakar tumpukan kemenyan dari Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Gambar 14. Produk Wilayah Selatan (Eduard Naville, 1898)
Gambar 15. Menimbang logam muli dari Wilayah Selatan (Eduard Naville, 1898)
Ekspedisi Mesir yang paling terkenal ke Tanah Punt dan sebagian besar informasi yang dapat diperoleh adalah yang dilakukan pada masa Dinasti ke-18 oleh Ratu Hatshepsut (1473 – 1458 SM). Ekspedisi tersebut tercatat pada prasasti dan relief dengan lengkap dan terinci pada dinding kamar mayat Kuil Hatshepsut di Deir El-Bahari. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang bangsa Nubia, yang bernama Nehsi. Jalurnya “melalui darat dan laut”, kemungkinan pemberangkatannya dari Koptos, dilanjutkan dengan perjalanan darat melalui Wadi Hammamat menuju ke pelabuhan Laut Merah di Queisir. Kelima kapalnya dibongkar terlebih dahulu kemudian diangkut dengan keledai dan dirangkai kembali sesampainya di pelabuhan (Kitchen 1993). Terdapat tiga kali pengulangan tulisan pada relief di Deir el-Bahari bahwa ekspedisi tersebut dilakukan “melalui darat dan laut” dan cara yang sama telah dilakukan dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Henu pada masa pemerintahan Firaun Mentuhotep III dan Firaun Ramses III. Ekspedisi Senusret I menunjukkan bukti-bukti yang cukup jelas bahwa perjalanan ke Tanah Punt adalah menggunakan jalur Laut Merah.
Papirus Harris I, sebuah dokumen Mesir kontemporer yang terinci tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Firaun Dinasti ke-20 awal, Ramses III, mencakup deskripsi yang eksplisit tentang kembalinya ekspedisi Mesir dari Tanah Punt, seperti dibawah ini.
“Saya membuat kapal-kapal besar beserta tongkang-tongkang. Mereka dikirim ke lautan luas di balik air, mereka tiba di Tanah Punt. Mereka sarat dengan barang-barang dari Tanah Dewata. Mereka tiba dengan selamat di daerah gurun Coptos: mereka tertambat dengan damai, membawa barang-barang yang mereka bawa. Mereka [barang-barang] diangkut, dalam perjalanan darat, menggunakan keledai dan manusia, kemudian memuatkannya kembali keatas kapal di pelabuhan Coptos. Mereka [barang-barang dan orang-orang Punt] dikirim ke hilir, berjalan beramai-ramai, membawa persembahan untuk raja.”
Abdel Haleem Sayed dari Universitas Alexandria, Mesir pada pertengahan 1970-an menemukan pecahan-pecahan tembikar yang bertuliskan hieroglif, batu prasasti yang bertuliskan catatan ekspedisi ke Bia-Punt (“tambang Punt”), jangkar yang berukir bulatan pada bagian atas dan kepingan-kepingan kayu cedar dengan pahatan tanggam, yang kemungkinan besar adalah bagian-bagian kapal. Ia menyarankan bahwa Mersa/Wadi Gawasis adalah sebuah pelabuhan kerajaanSʒww dalam ekspedisi laut ke Tanah Punt pada Dinasti ke-12. Beard dan Fattovich pada tahun 2001 menemukan bangunan-bangunan seremonial, kayu-kayu kapal, jangkar-jangkar batu, tali dan artefak lainnya yang berusiakan awal dan akhir Dinasti ke-12. Mereka juga menemukan kayu eboni yang telah terkarbonisasi dan obsidian (kaca vulkanik), serta lempengan-lempengan dayung kemudi. Mereka malahan juga menemukan kotak-kotak barang bertuliskan hieroglif yang menerangkan bahwa isinya adalah “barang-barang bagus dari Punt”.
Bukti-bukti jelas tentang jalur laut untuk menuju ke Punt praktis tak terbantahkan, dan saat ini secara umum telah diterima oleh mayoritas ilmuwan bahwa beberapa atau sebagian besar ekspedisi tersebut adalah melalui Laut Merah. Julukan sebagai “Tanah Dewata”, “Tanah Leluhur”, “Tanah Suci” atau “Tanah Kedewaan” yaitu tempat tinggal para dewa yang berada jauh di timur kearah matahari terbit, menunjukkan bahwa Tanah Punt pasti berada di sebelah timur Mesir. Jalur ekspedisi ke Tanah Punt yang melalui laut adalah dimulai dari Laut Merah dan dilanjutkan dengan Samudera Hindia.
Orang Mesir sementara ini dianggap tidak terlalu fasih untuk menghadapi bahaya dalam perjalanan di laut, dan perjalanan panjang ke Tanah Punt adalah penuh dengan bahaya. Imbalan yang diperoleh dalam mendapatkan kemenyan, kayu eboni dan barang berharga lainnya jelas sangat bernilai tinggi dengan melihat besarnya risiko yang harus dihadapi tersebut.
Ekspedisi ke Tanah Punt oleh Ratu Hatshepsut tercatat pada relief dengan lengkap dan terinci didalam kuilnya di Deir el-Bahari. Pencapaian reputasi dan prestasi yang besar setelah ekspedisinya menempuh bahaya laut dan kembali dengan sukses, upacara dan perayaan setelah pencapaiannya dan indikator kepemimpinan dan keterampilannya dalam memotivasi dan mengatur masyarakat Mesir agar berprestasi tinggi, menunjukkan betapa sulitnya perjalanan menuju dan kembali dari Tanah Punt. Hal-hal seperti ini juga dilakukan oleh para firaun sebelum dan sesudahnya, meskipun tidak terdokumentasi dengan baik. Kesulitan yang dihadapi beserta prestasi yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa jalur pelayarannya tidak semata-mata di Laut Merah saja, yang bahayanya relatif kecil, tetapi di laut terbuka, yaitu Samudera Hindia. Jarak yang sangat jauh menjelaskan mengapa begitu sedikit pelayaran yang dilakukan kesana, sehingga tidak mungkin hanya di Laut Merah saja. Prasasti pada dinding Deir El-Bahari yang berbunyi “melintasi Lautan Luas pada Jalan Baik menuju ke Tanah Dewata” dan dalam Papyrus Harris I yang berbunyi “Mereka dikirim ke Lautan Luas di balik air” menunjukkan bahwa jalur pelayarannya adalah melalui samudera (“Lautan Luas”) dan tujuannya berada di balik cakrawala air (pandangan yang jauh dan tertutup oleh lengkung permukaan air laut yang luas), menunjukkan indikasi yang jelas bahwa pelayarannya adalah melalui Samudera Hindia.
Relief di Deir el-Bahari jelas sangat penting karena menunjukkan secara terinci perihal flora, fauna dan penduduk Tanah Punt. Suasananya tidak saja menggambarkan barang-barang yang diperdagangkan oleh penduduk Tanah Punt dengan Mesir, tetapi juga beberapa fauna dan flora di Tanah Punt. Barang yang diperdagangkan dapat disebut sebagai barang mewah, antara lain yang utama adalah kemenyan (ảnti), yang digunakan secara luas di Mesir dalam ritual pemujaan keagamaan. Barang-barang lainnya antara lain kayu eboni, gading, emas/elektrum, kayumanis, kayu khesit, balsem, getah kering, cangkang kura-kura dan senjata. Faunanya digambarkan meliputi spesies yang beragam seperti sapi bertanduk pendek, beruk, badak bercula satu, monyet, anjing, macan tutul, dan berbagai macam satwa laut. Floranya diidentifikasi sebagai pohon pinang, pohon eboni, pohon kemenyan dan pohon kayumanis. Rumah-rumahnya berbentuk panggung yang dilengkapi dengan tangga, semuanya dibuat serupa.
Bukti arkeologi sejauh ini agak jarang sehingga siapa pun tidak akan pernah bisa menentukan lokasi Tanah Punt dengan pasti, kecuali ditemukan bukti-bukti lain yang lebih kuat. Satu hal yang dapat dilakukan hanyalah membuat sebuah hipotesis tentang lokasinya dengan tingkat probabilitas yang wajar, dan dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk membentuk sebuah rangkaian karakteristik yang dapat diamati (mirip dengan “fenotip” dalam biologi). Bukti-buktinya harus jelas sehingga dapat dengan kuat atau paling mungkin untuk mewakili fenotipnya. Semakin banyak rangkaian buktinya dalam fenotip, semakin tinggi kekuatan hipotesisnya. Dengan mengandalkan metode ini dan setelah mengumpulkan bukti-bukti, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di Sumatera, Indonesia.
Pulau Sumatera adalah sebuah pulau di Indonesia bagian barat, pulau terbesar yang seluruhnya berada didalam wilayah negara Indonesia (dua pulau besar lainnya, Kalimantan dan Papua, terbagi antara Indonesia dan negara-negara lain) dan pulau terbesar keenam di dunia. Bagian barat, baratlaut dan baratdayanya berbatasan dengan Samudera Hindia, dan di lepas pantai baratdayanya terdapat sederetan “Kepulauan Halang” yaitu Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano. Di sebelah timurlaut berbatasan dengan Selat Malaka yang memisahkannya dengan Semenanjung Malaya. Di sebelah tenggara berbatasan dengan Selat Sunda yang memisahkannya dengan Pulau Jawa. Ujung utaranya berbatasan dengan Kepulauan Andaman, sementara di sebelah timurnya terdapat Kepulauan Bangka-Belitung, Selat Karimata dan Laut Jawa.
Sumatera pada zaman dahulu dikenal dalam bahasa Sansekerta dengan Swarnadwipa (“Pulau Emas”) dan Swarnabhumi (“Tanah Emas”), karena terkenal dengan penambangan emasnya di dataran tingginya. Geografer Arab menyebut pulau ini dengan Lamri (Lamuri, Lambri atau Ramni) pada abad ke-10 sampai ke-13, mengacu pada sebuah kerajaan didekat Banda Aceh sekarang yang merupakan tempat pendaratan pertama para pedagang Arab. Mulai akhir abad ke-14, nama Sumatera (penyebutan orang Barat untuk “Samudera”) lebih dikenal, merujuk kepada Kerajaan Samudera Pasai yang berkuasa pada waktu itu sebelum digantikan oleh Kesultanan Aceh.
Odoric dari Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa ia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, dan sampai ke Kerajaan Sumoltra. Ibnu Battutah menuliskan dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (“Berkelana ke Timur”) bahwa pada tahun 1345 ia singgah di Kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama Samudera, sebuah kerajaan di Aceh, digunakan oleh para pengunjung untuk memberi nama seluruh pulau.
Para pengunjung lain termasuk Ibnu Majid, Roteiro, Amerigo Vespucci, Masser, Ruy d’Araujo, Alfonso Albuquerque dan Antonio Pigafetta mencatat nama-nama: Samatrah, Camatarra, Samatara, Samatra, Camatra, Camatora, Somatra, Samoterra, Samotra, Sumotra, Zamatra dan Zamatora. Catatan kolonial Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake pada abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra (Sumatera dalam bahasa Indonesia).
Sumatera adalah cikal-bakalnya peradaban Melayu. Sebuah nama Bhumi Malayu tertulis pada Prasasti Padang Roco bertahun 1286 dan 1347 M ditemukan di Dharmasraya dimana Adityawarman menyatakan dirinya sebagai penguasa Malayapura. Catatan Majapahit,Nagarakretagama bertahun 1365 M, menyebutkan bahwa Tanah Melayu dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Dari catatan ini, nama Malayu tampaknya dikenal sebagai daerah di sekitar lembah Batanghari dari muara ke pedalaman, yang berada di bagian timur Pulau Sumatera. Orang-orang yang mendiami pantai timur Sumatera dan sebagian Semenanjung Malaya mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu dengan bahasanya yang umum disebut bahasa Melayu. Setelah kedatangan orang Eropa pada abad ke-16, mereka mengidentifikasikan orang-orang pribumi yang hidup di kedua pantai Selat Malaka tersebut sebagai orang Melayu. Sebutan ini kemudian diterapkan juga untuk orang-orang di wilayah lainnya yang memiliki ciri-ciri yang sama.
Karena budaya di Pulau Sumatera saat ini telah banyak terpengaruhi oleh budaya-budaya lain, penulis melacak kembali budaya kuno pulau tersebut dengan memfokuskan pada suku-suku terpencil di lepas pantai baratdaya Sumatera serta suku-suku terpencil di daratan Pulau Sumatera. Deretan pulau-pulau Andaman, Nicobar, Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano yang menghadap ke Samudera Hindia adalah pulau-pulau yang sedikit banyak masih terisolasi. Penduduk pulau-pulau ini memiliki budaya yang hampir sama tetapi Pulau Enggano adalah yang paling terisolasi dan belum berkembang. Selain itu, terdapat cukup banyak literatur yang ditulis oleh para pengunjung Pulau Enggano semenjak tahun 1596.
Gambar 16. Pulau Sumatera
Pulau Enggano adalah sebuah pulau kecil yang terletak sekitar 100 km di lepas pantai baratdaya Sumatera. Di pulau tersebut saat ini terdapat enam desa, yang semuanya terletak di sekitar satu-satunya jalan utama yang melintasi pantai timurlaut pulau itu: Kahayapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok dan Banjarsari. Desa-desa Malakoni, Apoho dan Meok lebih banyak penduduk pribuminya, sedangkan desa-desa lainnya lebih banyak pendatangnya. Penyeberangan feri telah menghubungkan desa-desa Kahayapu dan Malakoni dengan kota Bengkulu.
Gambar 17. Pulau Enggano
Nama pulau ini diduga berasal dari kontak awal dengan para pedagang Portugis (engano dalam bahasa Portugis berarti “kesalahan”). Referensi paling awal tentang pulau ini adalah oleh Cornelis de Houtman. Pada 5 Juni 1596, empat kapal dibawah komando Cornelis de Houtman mendekati pulau ini. Meskipun beberapa awak kapal mencoba masuk ke darat untuk mendapatkan bahan segar, tetapi mereka kembali lagi ke kapal setelah melihat beberapa penduduk asli yang muncul dan sangat agresif. Pada tahun 1602, 1614, 1622 dan 1629 kapal-kapal Belanda lainnya datang ke Enggano dan kadang-kadang berhasil memperdagangkan beberapa barang. Namun, secara umum penduduk cenderung tidak suka melakukan kontak dengan pengunjung.
Pada tahun 1645, pemerintah kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) mengirim dua kapal untuk mendapatkan budak dari Enggano. Dalam suatu pertempuran sengit dua tentara Belanda tewas, namun para prajurit lainnya berhasil menangkap 82 orang penduduk Enggano. Dalam perjalanan kembali ke Batavia, enam orang diantaranya meninggal. Nasib tawanan lainnya tidak diketahui. Sangat mungkin bahwa mereka tidak pernah kembali ke Enggano, dan meninggal sebagai budak di Batavia. Ekspedisi ini tidak dianggap sukses, sehingga untuk waktu yang lama Belanda kehilangan minat mereka di Enggano.
Pada tahun 1771, seorang Inggris Charles Miller mengunjungi Enggano. Pengalamannya diterbitkan pada tahun 1778, dan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda pada tahun 1779. Miller berhasil mendarat dan bertemu penduduk asli. Ia menggambarkannya sebagai berikut.
“Dengan susah payah dan bahaya kami menjelajahi seluruh sisi baratdaya, tanpa menemukan tempat dimana kami bisa mencoba untuk mendarat; dan kami kehilangan dua jangkar dan kapal telah hampir karam sebelum kami menemukan tempat yang aman dimana kami mungkin bisa menjalankan kapal. Namun, akhirnya kami menemukan tempat berlabuh yang luas di ujung tenggara pulau dan saya langsung pergi dengan perahu, dan memerintahkan kapal untuk mengikuti saya secepat mungkin, karena tempatnya sepi sekali. Kami mendayung langsung ke teluk ini; dan segera setelah kami mencari tempat di pulau ini untuk berlabuh, kami mendapati bahwa di sepanjang pantai telah ada orang-orang tanpa busana yang semuanya bersenjatakan tombak dan pemukul; dan duabelas perahu yang semuanya penuh dengan orang-orang itu, yang sebelum kami melewati, mereka bertiarap sembunyi, kemudian segera bergegas mendekati saya, dengan suara-suara yang mengerikan: yang ini, anda mungkin mengira, sangat khawatir tentang kami; dan karena saya hanya punya seorang Eropa dan empat tentara orang hitam, selain empat orang pelaut India yang mendayung perahu. Saya berpikir bahwa yang terbaik adalah berbalik, jika memungkinkan dengan todongan senjata dari kapal sebelum saya memberanikan diri untuk berbicara dengan mereka.”
Akhirnya, ia menemui “orang-orang liar yang mulia” itu dan belajar sesuatu dari budaya mereka yang alamiah, feminis, ateis dan saling memiliki.
“Mereka bertubuh tinggi dan berpostur baik; prianya pada umumnya sekitar lima kaki dan delapan atau sepuluh inci [173 – 178 sentimeter] tingginya; wanitanya lebih pendek dan tubuhnya lebih bungkuk. Mereka berwarna kemerahan, dan berambut hitam lurus, yang laki-laki dipotong pendek, tapi yang wanita membiarkannya tumbuh panjang, dan menggulungnya dalam lingkaran diatas kepala mereka dengan sangat rapi. Laki-lakinya sepenuhnya telanjang, dan wanitanya mengenakan tidak lebih dari sehelai daun pisang yang sangat sempit. Mereka tampaknya mengamati segala sesuatu tentang kapal dengan penuh perhatian; tetapi lebih ke motif pencurian daripada rasa ingin tahu, setelah mereka memperoleh kesempatan kemudian sebuah kemudi perahu dilepasnya, dan mendayung membawanya pergi.”
R Francis, seorang pedagang minyak kelapa, pernah tinggal di Pulau Enggano pada 1865 – 1866 dan 1868 – 1870. Ia telah sangat dikesan dan selalu diingat oleh orang-orang Enggano, karena mereka masih membicarakannya pada tahun 1930-an pada waktu ahli bahasa Jerman, Hans Kahler mengunjungi pulau tersebut. Seorang penjelajah Itali, Elio Modigliani telah mengunjungi Pulau Enggano antara tanggal 25 April dan 13 Juli 1891. Ia menggambarkan secara terinci bahwa rupanya dalam budaya masyarakat Enggano peran perempuan adalah lebih dominan, yang ditulis dalam L’Isola delle Donne (“Pulau Perempuan”), pertama kali diterbitkan pada tahun 1894, dan masih menjadi sumber informasi yang penting sampai sekarang, bukan hanya karena tulisannya saja, tetapi juga ilustrasi-ilustrasinya. Pada tahun 1994, ilustrasi-ilustrasi tersebut disambut dengan meriah di Enggano. Ketika Modigliani berada di Enggano, beberapa desa masih berada di perbukitan. Tidak lama sesudahnya, masyarakat Enggano sebagian besar pindah ke daerah pesisir. Bahkan, pada abad ke-19, seorang pedagang Bugis dari Sulawesi, Boewang tampaknya telah tertarik dengan Enggano karena sejumlah besar kelapanya. Rijksmuseum di Belanda memiliki koleksi penting tentang artefak Enggano dan telah dipublikasikan oleh Pieter J ter Keurs beserta reproduksi ilustrasi-ilustrasi Modigliani.
Populasinya menurun tajam pada tahun 1870-an, mungkin karena wabah penyakit atau bencana lainnya. Jumlah penduduknya turun dari 6.420 pada tahun 1866 menjadi hanya 870 pada tahun 1884 dan setelah penurunan drastis ini populasinya terus menurun lebih jauh lagi (Suzuki, 1958; Winkler, 1903; Keurs, 2011). Belanda mengirim petugas medis untuk menyelidikinya. Karena titik tertinggi pulau ini hanya 281 meter diatas permukaan laut, penurunan populasinya kemungkinan sangat dipengaruhi oleh tsunami yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, ataupun oleh jatuhan material letusan gunung tersebut. Penduduk aslinya tidak pernah kembali ke jumlah semula dan hanya berjumlah sekitar 400-an jiwa pada awal 1960-an. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menggunakan pulau tersebut untuk merehabilitasi para penjahat muda dari Jawa, yang diberlakukan kerja paksa untuk membersihkan semak dan membangun sawah. Dengan demikian, penduduknya telah sedikit pulih semenjak saat itu.
Di Pulau Enggano saat ini terdapat 5 sub-suku: Kauno, Kaitora, Karubi, Kaohao dan Karaba. Pembagian sub-suku ini tampaknya bervariasi (Keurs, 2011). Beberapa sub-suku, walaupun begitu, sekarang ini sudah tidak ada. Hal ini disebabkan oleh migrasi ke pulau-pulau lain dan pernikahan dengan yang bukan dari suku Enggano, sehingga membuat sub-suku yang bersangkutan menjadi tidak aktif atau hilang. Terutama apabila seorang perempuan dari suku Enggano yang matrilineal menikah dengan pria bukan dari suku Enggano yang biasanya patrilineal, sub-suku tersebut kehilangan kesempatan untuk berkelanjutan; karena anak-anak biasanya ikut keluarga pria.
Pulau Enggano mengandung teka-teki yang besar perihal linguistik dan sejarahnya. Penduduknya dikatakan penutur Austronesia, namun kosakata mereka hanya sedikit yang menunjukkan kekerabatan dengan kosakata Austronesia (Blench, 2014). Mereka tidak membuat kain, tidak menanam bahan makan, tetapi hanya memanfaatkan tanaman yang ada, tinggal di rumah-rumah panggung berbentuk bundar, dan hampir tidak seperti orang-orang di daerah tetangganya. Terdapat banyak literatur yang ditulis oleh para pengunjung awal dalam bahasa Belanda yang dikutip dalam daftar pustaka, tetapi sedikit yang menyebutkan tentang etnografi mereka kecuali Modigliani (1893, 1894).
Sekitar pergantian abad ke-20, ketika para misionaris memulai mengkonversi penduduknya, sistem perumahan dan organisasi sosial sebelum itu telah banyak berubah dan saat ini sulit untuk merekonstruksi kondisi aslinya. Dalam beberapa tahun terakhir, Keurs (2006, 2008, 2011) telah menjadi etnografer utama yang berminat perihal masalah ini dan dalam publikasi internetnya (Keurs, tanpa tahun) terdapat ringkasan yang diambil dari literatur, foto-foto benda-benda peninggalan budaya di museum Eropa dan daftar pustaka yang penting.
https://www.youtube.com/watch?v=Q23As6Humgs
https://www.youtube.com/watch?v=r_HqVAeJFls
Suku Rejang adalah sebuah kelompok suku yang tinggal terutama di pantai baratdaya pulau Sumatera, di lereng pegunungan yang sejuk di Pegunungan Barisan, di provinsi Bengkulu. Masyarakat suku Rejang secara umum terdapat di Kabupaten Rejang Lebong (Kecamatan Lebong Utara, Lebong Selatan, Curup dan Kepahiang), di Kabupaten Bengkulu Utara (Kecamatan Tabapenanjung, Pondokkelapa, Kerkap, Argamakmur dan Lais), di Kabupaten Kepahiang, di Kabupaten Lebong dan di Kabupaten Bengkulu Tengah. Sebagian dari mereka tinggal di sepanjang lereng pegunungan Bukit Barisan.
Masyarakat Rejang berbicara bahasa Rejang, di daerah Argamakmur, Muaraaman, Curup, Kepahiang dan Rawas. Ada lima dialek utama: Lebong, Musi, Kebonagung, Pesisir dan Rawas. Bahasa Rejang tidak memiliki kaitan yang jelas dengan bahasa Melayu-Polinesia lainnya. McGinn (2009) berpendapat bahwa Bahasa Rejang adalah satu kelompok dengan bahasa Bidayuh dan Melanau di Kalimantan. Bahasa Rejang tidak ada kaitannya dengan bahasa Rejang-Baram yang digunakan di Sarawak dan Kalimantan, yang sama sekali berbeda.
Suku Rejang memiliki sebuah abjad, yang merupakan satu kelompok aksara yang dikenal sebagaisurat ulu, yang meliputi varian yang terdapat di Bengkulu, Lembak, Lintang, Lebong dan Serawai. Abjad Rejang juga kadang-kadang dikenal sebagai Kaganga, mengacu kepada tiga huruf pertamanya, dan berhubungan dengan abjad Batak dan Bugis. Abjad Rejang adalah istilah adat yang lebih umum digunakan untuk merujuk pada tiga kelompok utama aksara Sumatera Selatan:surat incung di Kerinci, surat ulu di Lebong, Lembak, Lintang, Basemah, Rejang dan Serawai, dansurat Lampung di Lampung, Abung dan Komering.
Orang Rejang adalah orang Sumatera yang asli, sedikit dipengaruhi oleh budaya dan adat Melayu dan Jawa (Marsden, 1784). Orang Rejang telah terisolasi dari dunia luar selama berabad-abad. Mereka memegang teguh sejarahnya dan tidak mudah dipengaruhi oleh budaya lain. Faktor-faktor ini membuat mereka sangat tidak percaya dan berpikiran agak tertutup terhadap orang luar.
Nama Rejang berasal dari kata ra dan hyang, yang berarti dewa (“Hyang”) yang mulia. “Ra” adalah nama atau sebutan untuk orang yang terhormat dalam sejarah kuno Nusantara. Rahyang juga dapat diartikan sebagai “Dewa Ra”. Ra, dewa matahari, mendapatkan tempat yang sangat penting dalam jajaran dewa di Mesir. Sebutan “Tanah Dewata”, yang dapat ditafsirkan sebagai “Tanah Suci” atau “Tanah para Dewa/Leluhur” dan mengacu pada Ta Netjer, adalah Tanah Punt. Sejarawan percaya bahwa Tanah Punt dapat disebut sebagai tempat tinggalnya para dewa dan lokasinya terdapat di sebelah timur Mesir, kearah matahari terbit, kearah dewa matahari Ra. Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan bahwa Tanah Punt adalah sebagai “Tanah Suci”.
Dataran tinggi Basemah (atau Pasemah), berada di pegunungan Barisan sebelah barat Lahat, Sumatera Selatan, terkenal dengan batu-batu megalitik yang misterius dan tersebar di seluruh daerah tersebut. Batu-batu tersebut telah berusia sekitar 3600 tahun, tetapi hanya sedikit yang diketahui ataupun peradaban yang membuatnya. Sementara museum-museum di Palembang dan Jakarta telah menyimpan batu-batu tersebut, masih ada banyak yang berada di tempat aslinya.
Situs megalitik ini dianggap salah satu situs yang paling terpencil dan misterius di Asia Tenggara. Di daerah antara Lahat dan Pagaralam, terdapat sekitar 26 situs yang meliputi batu kubur, patung megalit dan tempat pemujaan bertingkat. Strukturnya adalah sekumpulan budaya simbolik monumental di Sumatera. Seni batu di daerah ini adalah unik dan terdiri dari tokoh-tokoh heroik dengan ekspresi wajah yang dramatis. Orang-orang Basemah masih menggunakan patung-patung ini sebagai situs untuk pemujaan, dan memohon restu dan perlindungan terhadap bencana alam kepada roh nenek moyang mereka.
Beberapa peneliti meyakini bahwa orang-orang Basemah berasal dari Kalimantan sebelum bermigrasi ke Sumatera dan dataran tinggi Basemah. Saat ini, kelompok masyarakat Basemah meliputi suku Basemah dan beberapa suku lain yang terkait, yang terpusat di puncak sebuah gunung berapi, Gunung Dempo. Masyarakat Basemah menyebar dari lereng gunung kearah barat, selatan dan baratdaya di sepanjang pegunungan Barisan. Orang-orang Basemah tinggal di Provinsi Sumatera Selatan di sebagian Kabupaten Lahat dan di seluruh Kota Pagaralam. Beberapa masyarakat Basemah juga tinggal di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan di Kabupaten Kaur Utara, Provinsi Bengkulu.
Perbandingan hal-hal yang digambarkan pada relief di Deir el-Bahari dengan masyarakat Enggano dulu dan sekarang, serta beberapa masyarakat lain di sekitarnya, menunjukkan banyak sekali kecocokan. Gambaran mengenai masyarakat kuno Enggano diperoleh dari buku Modigliani dan artefak-artefak koleksi Rijksmuseum Belanda, Museum Bengkulu dan Museum Palembang.
Pada awal abad Masehi, orang-orang Barat menyebut Asia Tenggara sebagai Golden Khersonese (“Tanah Emas”), demikian pula orang-orang daratan India menyebutnya sebagai Suwarnadwipa (“Pulau Emas”). Tidak lama setelah itu, daerah ini menjadi terkenal karena lada, hasil hutan, kayu dan getah wangi dan rempah-rempah yang terbaik dan paling langka. Istilah-istilah diantaranya “Jalur Sutera”, “Jalur Emas”, “Jalur Dupa”, “Jalur Gading”, “Jalur Kayumanis” dan “Jalur Rempah-rempah” adalah diciptakan untuk menunjukkan jalur ke Timur dan Asia Tenggara. Dari abad ke-7 sampai ke-10, orang-orang Arab dan Tiongkok tertarik dengan emas di Asia Tenggara, serta rempah-rempah yang telah terlebih dulu ada. Dilakukan pula oleh para pelaut abad ke-15 dari pelabuhan-pelabuhan di Samudera Atlantik, di belahan bumi yang berlawanan, dan berlayar ke lautan yang tidak diketahui untuk menemukan Kepulauan Rempah-rempah ini. Mereka semua tahu bahwa Asia Tenggara adalah pusat rempah-rempah dunia. Dari sekitar tahun 1000 Masehi sampai abad ke-19 di “era industri”, semua perdagangan dunia kurang lebih diatur oleh pasang surut dan aliran rempah-rempah yang berasal dari Asia Tenggara.
Selama tiga ribu tahun, para firaun Mesir telah memperdagangkan barang-barang dengan negara-negara lain, sementara mereka mencoba mengontrol perdagangan tersebut dan untuk memperoleh keuntungan darinya. Barang dagangan tersebut termasuk kayu cedar Lebanon; kayu eboni dan gading dari Afrika; dupa, myrrh dan minyak dari Punt; lapis lazuli dari Afghanistan; emas dari Nubia, dan bahkan logam-logam penting seperti tembaga dan besi dari sekutu dekat mereka. Kadang-kadang, mereka membeli tembikar atau kuda dari masyarakat lainnya.
Pada Periode Akhir, banyak perdagangan Mesir beralih ke tangan orang-orang Fenisia dan Yunani, yang telah tinggal di Delta Sungai Nil. Naukratis yang berada di sisi barat Sungai Nil untuk beberapa waktu telah menjadi satu-satunya pelabuhan internasional. Persia dibawah Darius I melakukan lebih banyak perdagangan di seluruh kerajaannya. Kanal yang menghubungkan Sungai Nil, demikian juga Mediterania, dengan Laut Merah (disebut juga Terusan Suez Lama) digali dan tetap digunakan sampai akhir periode Romawi.
Pembuatan kapal dikenal oleh bangsa Mesir kuno semenjak awal 3000 SM, dan mungkin sebelumnya. Mesir kuno tahu cara merakit papan kayu menjadi lambung kapal, dengan lilitan tali untuk mengikat papan-papan, dan alang-alang atau rumput yang disisipkan diantara papan untuk membuat kedap sambungannya. Archaeology Institute of America melaporkan bahwa kapal yang tertua – 75 kaki panjangnya, berusia 3000 SM – mungkin adalah milik Firaun Aha.
Pedagang Austronesia telah membawa rempah-rempah ke pasar Afrika melalui jalur maritim selatan. Benda-benda budaya yang berasal dari Asia Tenggara, atau setidaknya Asia tropis, pertama kali menyebar di pantai tenggara Afrika sebelum bergerak ke utara. Suatu faktor penting tentang jalur kuno rempah-rempah dari Asia Tenggara telah teramati, yaitu jejak cengkeh dari Maluku dan Filipina selatan yaitu kearah utara menuju Tiongkok Selatan dan Indocina dan kemudian kearah selatan lagi menuju pantai Selat Malaka. Dari sini cengkeh sampai ke pasar rempah-rempah India dan menuju kearah barat (Miller, 1969). UNESCO mengakui arah utara-selatan perdagangan melalui Filipina sebagai bagian dari rute rempah-rempah maritim kuno. Jaringan Filipina-Maluku berlanjut hingga masa Islam dan tertulis dalam catatan- catatan sejarah dan geografi Arab..
Jalur kayumanis dimulai dari daerah-daerah penghasil kayumanis dan kasia di Indocina utara dan Tiongkok selatan dan sepertinya kemudian dilanjutkan dari pelabuhan rempah-rempah di Tiongkok selatan kearah selatan dalam musim dingin menuju Filipina. Jalur ini mungkin kemudian berpindah kearah tenggara menuju Sumatera dan/atau Jawa untuk mengambil varietas kayumanis dan kasia yang berbeda bersama dengan kayu eboni dan kemenyan. Dari barat daya Indonesia kemudian para pedagang Austronesia berlayar melalui lautan luas Samudera Hindia menuju Afrika.
Relief-relief di Deir el-Bahari jelas menunjukkan flora dan fauna, budaya dan kehidupan sosial penduduk Tanah Punt secara terinci. Gambaran-gambaran diantaranya pohon pinang, pohon eboni, pohon kemenyan, gading, emas/elektrum, kayumanis, kayu khesit, balsem, getah, cangkang kura-kura, sapi, beruk, monyet, anjing, macan tutul dan berbagai macam ikan yang jelas merupakan gambaran yang spesifik di daerah tropis dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Prasasti pada sebuah tugu yang telah rusak dan ditemukan di Tel Defenneh mengatakan bahwa telah terjadi suatu mukjizat dan berkat bahwa hujan telah turun di Gunung Punt pada akhir Desember atau awal Januari.
Obsidian yang ditemukan dalam penggalian di Wadi Gawasis menunjukkan bahwa Tanah Punt terletak di daerah vulkanik.
Orang Mesir menyebut Tanah Punt sebagai Ta Netjer atau Tanah Dewata. Karena Ra, dewa matahari, adalah dewa yang sangat penting dalam jajaran dewa-dewa Mesir, sejarawan percaya bahwa Tanah Punt adalah tempat tinggalnya para dewa dan lokasinya berada di sebelah timur, ke arah matahari terbit.
Bukti arkeologi menunjukkan bahwa sapi bertanduk pendek terdapat pertama kali di Mesir sekitar 2000 SM, diyakini telah pertama kali terdapat di Sub-Sahara Afrika antara 700 dan 1500 M, dan dibawa ke Tanduk Afrika sekitar 1000 M. Hal ini menunjukkan bahwa ekspedisi ke Tanah Punt, dimana sapi merupakan salah satu jenis hewan perdagangan, adalah kearah timur.
Gambar 18. Pondok-pondok penduduk: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Enggano, Modigliani (1894); (d) Enggano, Rijksmuseum; (e) Enggano, Museum Bengkulu; (f) Nikobar, Modigliani (1894); (g) Enggano, Modigliani (1894); (h) Rejang, Museum Bengkulu; (i) Nias, Dewoz Art Collection; (j) Mentawai
Naville (1898) menggambarkan bahwa pondok-pondok di Tanah Punt dibangun diatas tiang dan dilengkapi dengan tangga, dimaksudkan untuk melindungi terhadap binatang buas. Pondok tersebut terbuat dari anyam-anyaman, mungkin daun kelapa; semuanya berbentuk sama.
Modigliani (1894) menggambarkan bahwa pondok orang Enggano disebut cacario dan berbeda jauh dengan yang di Malaysia dan sekitarnya. Lantainya biasanya tersusun dari dua atau empat potong kayu besar, dan dipotong membentuk lingkaran; rumah biasa berukuran diameter 3 sampai 4 meter.
Rijksmuseum menggambarkan bahwa pondok orang Enggano adalah sangat khas. Sekarang sudah tidak ada lagi, pondok yang terakhir telah rusak sekitar tahun 1903. Pondok jenis ini dipasang hiasan burung dari kayu pada atapnya. Selain itu, pintunya sempit. Pondok jenis ini tidak memiliki tiang tengah. Pondok berbentuk sarang lebah di Enggano ini adalah untuk pria dan wanita, dan kadang-kadang digunakan untuk anak bungsu keluarga. Pondok jenis ini terlalu kecil dan tidak nyaman, dengan tidak ada bukaan untuk pertukaran udara yang digunakan oleh penghuninya. Beberapa pondok sarang lebah tersusun dalam satu lingkaran dan merupakan sebuah pemukiman. Pondok utama berada di tengah dan sedikit lebih besar dari pondok-pondok yang lain. Gambar pondok jenis ini terdapat juga di Florence dan Jakarta.
Gambar-gambar pada baris bawah, (f) sampai (j), adalah pondok-pondok yang merupakan pengembangan arsitektur yang mirip pondok Enggano di sekitar wilayah tersebut.
Gambar 19. Bingkai pintu pondok Enggano:
(a) Modigliani (1894); (b) Rijksmuseum
Gambar 20. Pohon pinang: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera; (d) – (f) buah pinan
Seperti yang dijelaskan oleh Neville (1898), rumah-rumah penduduk asli Tanah Punt berada dibawah naungan pohon. Terdapat banyak pohon-pohon ini ditanam di Tanah Punt seperti yang ditunjukkan pada relief-relief di Deir el-Bahari. Pada fragmen yang diilustrasikan oleh Neville, terlihat seekor beruk memanjat pohon palem, yang kemungkinan adalah sejenis dengan pohon-pohon di Tanah Punt yang kemudian ditanam di Wilayah Selatan, dari bijinya yang dibawa dari Tanah Punt.
Penulis mengidentifikasi pohon-pohon palem tersebut sebagai pohon pinang, yang merupakan pohon yang sangat dikenal di Sumatera dan di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Pohon pinang (Areca catechu) adalah jenis pohon palem yang tumbuh di daerah-daerah tropis Pasifik, Asia dan Afrika timur. Pohon pinang diyakini berasal dari Filipina, tetapi telah dibudidayakan secara meluas dan dianggap dinaturalisasikan di Tiongkok selatan (Guangxi, Hainan, Yunnan), Taiwan, India, Bangladesh, Maladewa, Sri Lanka, Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Papua, pulau-pulau di Samudera Pasifik bagian barat, dan juga di Samudera Hindia. Spesies ini dikenal sebagai pinang atau penang di Indonesia dan Malaysia, jambi atau jambe di Jawa, Bali dan Melayu Kuno.
Pohon pinang ditanam karena buahnya memiliki nilai komersial yang tinggi. Buah yang muda berwarna hijau dan setelah masak berwarna kuning, cokelat muda sampai merah. Tanjungpinang dan Pangkalpinang di Indonesia, Provinsi Jambi dan Pulau Penang lepas pantai barat Semenanjung Malaysia adalah beberapa tempat yang dinamai berdasarkan pohon pinang. Sebenarnya, ada banyak nama kota dan daerah di Indonesia dan Malaysia yang menggunakan kata-kata pinang atau jambe. Hal ini menunjukkan bahwa pinang merupakan bagian yang penting bagi peradaban Austronesia, khususnya Indonesia dan Malaysia.
Pinang juga dikenal sebagai bahan untuk makan sirih, sangat populer di beberapa negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Tiongkok (terutama Hunan), Taiwan, Vietnam, Filipina, Myanmar, India dan Pasifik, terutama Papua Nugini. Mengunyah pinang cukup populer di kalangan pekerja di Taiwan.
Pohon pinang, dengan berbagai jenisnya, juga digunakan sebagai pohon penghias landskap. Lomba panjat pinang adalah daya tarik yang paling populer untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut legenda mereka, tempat tinggal awal orang Rejang bernama Pinang Berlapis, sekarang nama sebuah kecamatan. Orang Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan orang Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.
Gambar 21. Pohon kemenyan: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) di lokasi piramida Gunungpadang; (d) dan (e) hutan kemenyan di Sumatera; (f) Styrax benzoin; (g) getah; (h) dan (i) getah kering; (j) getah kering yang dibakar oleh seorang dukun
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan (Edwards, 1891):
“… Mereka akan mengambil ảnti sebanyak yang mereka suka. Mereka akan memuati kapal mereka untuk kepuasan hati mereka dengan pohon-pohon ảnti hijau [segar], dan semua hal yang baik dari negeri itu.”
“Pemuatan kapal barang dengan sejumlah besar keajaiban dari tanah Punt, dengan kayu-kayu yang baik dari Tanah Suci, tumpukan getah ảnti, dan pohon-pohon ảnti hijau …”
“… di pelabuhan ảnti Punt …”
“ini adalah tumpukan ảnti hijau [segar] yang banyak jumlahnya; penimbangan ảnti hijau dalam jumlah besar untuk Amon, penguasa takhta dua wilayah, dari keajaiban Tanah Punt, dan hal-hal yang baik dari Tanah Suci”
“Tiga puluh satu pohon ảnti hijau, yang dibawa diantara keajaiban Punt untuk Dewa yang mulia ini, Amon Ra, penguasa tahta dua wilayah; belum pernah terlihat seperti itu sejak dulu.”
Ảnti (Naville, 1898), anå (Mariette, 1877) atau ‘ntyw (beberapa penulis lain) termasuk pohon dengan nama yang sama, diyakini oleh penulis adalah pohon dan getah kemenyan.
Naville (1898) dan Edwards (1891) menjelaskan dengan begitu banyak kata-kata tentang ảnti atau kemenyan yang terdapat pada relief di Deir el-Bahari. Ảnti (kemenyan) digolongkan sebagai barang mewah yang digunakan secara luas di Mesir untuk ritual keagamaan. Tujuan utama ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt adalah untuk mendapatkan ảnti. Ảnti (kemenyan), yang terdiri dari empat belas jenis yang berbeda, adalah produk Tanah Punt yang paling penting. Pohon-pohon ini dikumpulkan dalam ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt; dibawanya menggunakan lima buah kapal barang, selain flora dan fauna lainnya, dan kemudian dibudidayakan di Taman Amon di Wilayah Selatan. Getah kering ảnti yang disadap dari penanaman kembali di Wilayah Selatan kemudian menjadi produk utama daerah tersebut. Akar pohon ảnti yang masih utuh dipercaya ditemukan di Djeser-Djeseru, yang pernah menghiasi halaman di depan kuil.
Kemenyan telah digunakan oleh masyarakat Mesir kuno dalam campuran wewangian dan dupa mereka. The apothecary of Shemot (dalam Kitab Keluaran) telah mengenal penggunaan wewangian. Kemenyan memiliki sejarah yang terpendam di zaman kuno dan pernah digunakan sebagai dupa di Mesir. Senyawa-senyawa yang diidentifikasi sebagai getah kemenyan kering telah terdeteksi dalam residu organik yang terdapat didalam keramik pedupaan di Mesir, dengan demikian terbukti bahwa getah kering ini digunakan sebagai salah satu komponen campuran bahan organik yang dibakar sebagai dupa pada zaman Mesir kuno (Modugno et al, 2006). Formula parfum Mesir kuno (1200 SM) adalah mengandung kemenyan sebagai salah satu bahan utamanya (Keville et al, tanpa tahun).
Ảnti, anå atau ‘ntyw mungkin adalah suatu jenis bahan pembuat dupa yang sama dengan onycha(Yunani: ονυξ), salah satu komponen yang digunakan dalam kebaktian Ketoret yang terdapat dalam Kitab Taurat Keluaran (Kel 30: 34-36) dan digunakan didalam kuil Sulaiman di Yerusalem. Bochart, peneliti Alkitab terkenal menyatakan dalam salah satu topik penelitiannya bahwa onychasebenarnya adalah kemenyan, suatu getah kering yang disadap dari spesies pohon Styrax(Abrahams, 1979). Abrahams menyatakan bahwa penggunaan kemenyan sebagai dupa dalam Alkitab bukannya tidak bisa terbayangkan karena suku Siro-Arab mempertahankan jalur perdagangan yang luas sebelum Helenisme. Styrax benzoin telah didatangkan ke tanah-tanah yang disebutkan dalam Alkitab selama era Perjanjian Lama. Herodotus dari Halicarnassus pada abad ke-5 SM menyatakan bahwa berbagai jenis getah kemenyan kering telah diperdagangkan. Nama benzoin yang dikenal dalam bahasa Inggris kemungkinan berasal dari bahasa Arab luban jawi (لبا جاوي, “kemenyan dari Jawa”); dikaitkan dengan istilah di Timur Tengah gum benjamin danbenjoin. Orang-orang Hindustan menyebut kemenyan sebagai lobanee atau luban.
Kata storax adalah kata yang sama dalam bahasa Latin Akhir styrax yang berarti “kemenyan”. Juga terdapat dalam himne puji-pujian στόρακας (storaxas) atau στόρακα (storaxa). Katashecheleth berubah menjadi onycha setelah diterjemahkan dalam Kitab Septuaginta. Kata onychaberasal dari batu onyx yang berarti “kuku”. Penulis lain mengatakan bahwa shecheleth dalam bahasa Ibrani adalah sama dengan shehelta dalam bahasa Suryani yang diterjemahkan sebagai “air mata atau destilasi” dan bahwa konteks dan etimologinya tampaknya berasal dari getah tanaman wewangian. Kitab Pengkhotbah menyebutkan bahwa storax adalah salah satu bahan untuk meramu dupa suci tabernakel dalam Alkitab. Orang-orang Hindustan menggunakan kemenyan untuk dibakar di kuil-kuil mereka – suatu hal yang sangat mendukung hipotesis bahwa kemenyan merupakan bagian campuran untuk meramu dupa dalam Kitab Keluaran.
Kemenyan telah lama melegenda di Asia Tenggara. Kemenyan yang dalam bahasa Melayu berasal dari bahasa Melayu Kuno kamanyang, di Jawa dan Bali disebut menyan. Istilah internasionalnya, benzoin, berasal dari bahasa Arab yang merujuk ke Jawa, luban jawi(“kemenyan dari Jawa”), sehingga istilah aslinya adalah menyan. Apabila kita menghilangkan awalan ke dan me maka kata dasarnya adalah nyan. Penyebutan kata ini juga kadang-kadang hanya nyan saja. Nama Trunyan di Bali berasal dari kata taru nyan yang berarti “pohon kemenyan”, yang banyak tumbuh disana. Kata nyan adalah memiliki kemiripan dengan istilah ảnti(Naville, 1898), anå (Mariette, 1877) atau ‘ntyw (beberapa penulis lain) yang terdapat pada prasasti-prasasti di Mesir.
Getah kemenyan disadap dari beberapa jenis pohon kemenyan. Kemenyan digunakan sebagai bahan campuran dalam membuat dupa, parfum dan obat-obatan. Di Asia Tenggara, dihasilkan dua jenis getah kering: kemenyan Siam, dihasilkan dari Styrax tonkinensis di Laos, Vietnam dan Tiongkok selatan; dan kemenyan Sumatera, dihasilkan dari Styrax paralleloneurum dan Styrax benzoin di Sumatera. Kemenyan Sumatera adalah getah kering yang disadap dari pohon kemenyan, banyak dihasilkan di hutan dataran tinggi Sumatera Utara dan tersebar di seluruh pulau.
Daun pohon kemenyan berbentuk bulat panjang, berukuran 4 – 15 cm panjangnya dan 5 – 7,5 cm lebarnya, sangat mirip dengan yang tergambar pada relief di Deir el-Bahari.
Styrax benzoin adalah sebuah spesies pohon yang asli Sumatera. Nama-nama umumnya antara lain pohon gum benjamin, pohon loban (dalam bahasa Arab), pohon kemenyan (di Indonesia dan Malaysia), pohon onycha dan pohon benzoin Sumatera. Pohon kemenyan adalah phon yang umum dikenal di hutan Sumatera, tumbuh dengan tinggi sekitar 24 sampai 48 meter. Styrax benzoin telah dibudidayakan di Sumatera sebagai penghasil utama getah kemenyan kering di Indonesia.
Styrax benzoin di Indonesia biasanya disebut kemenyan durame (Styrax benzoine), kemenyan bulu (Styrax benzoine var hiliferum), kemenyan Toba (Styrax paralleloneurum), dan kemenyan siam (Styrax tokinensis). Styrax benzoin memiliki beberapa sinonim seperti Benzoin officinale(Hayne); Benzoina vera (Rafin); Cyrta dealbata (Miers); Lithocarpus benzoin (Royle);Plagiospermum benzoin (Pierre); Styrax benjuifer (Stokes); dan Styrax dealbata (Gurke).
Kemenyan telah disalahartikan sebagai frankincense, yang biasanya dimaksudkan dengan getah eksudat dari Boswellia spp di Arab dan Afrika. Ada kemungkinan bahwa istilah frankincenseberasal dari kemenyan yang berasal dari Indonesia dan diperdagangkan oleh orang-orang Arab, yang dianggap sebagai salah satu jenis frankincense, paling tidak 700 tahun yang lalu.
Pada abad ke-9, kedua jenis getah kemenyan kering sudah diperdagangkan di Tiongkok dan digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional (kemenyan Sumatera) dan wewangian (kemenyan Siam). Para pedagang Arab berperan dalam perluasan perdagangan kemenyan, dan telah menjadi salah satu barang dagangan yang paling mahal dari Timur.
Naskah-naskah geografi Arab pada abad ke-9 dan seterusnya menyebutkan Fansur dan Balus sebagai penghasil kamper dan kemenyan dengan kualitas tinggi. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa, pada abad ke-10, pedagang Arab mengunjungi Fansur dan Balus melalui Srilanka, dalam ekspedisi perdagangan yang khusus ditujukan untuk membeli kamper dan kemenyan yang terkenal di kawasan itu. Fansur diidentifikasi sebagai Pancur dan Balus adalah Barus, dua daerah di pantai baratdaya Sumatera. Beberapa penulis menduga bahwa Pancur adalah Tanah Punt.
Kemenyan Sumatera memiliki pangsa pasar modern yang lebih besar, yaitu sekitar 4.000 ton per tahun dibandingkan dengan 70 ton per tahun untuk kemenyan Siam (Katz et al, 2002), meskipun harganya lebih rendah di pasar internasional.
Getah kemenyan telah disadap selama berabad-abad dari pohon liar yang tumbuh secara alami di Sumatera, dan setelah pasarnya meluas masyarakat setempat mulai menanam pohon kemenyan di kebun mereka. Tidak jelas kapan budidaya tersebut dimulai tetapi telah ada setidaknya selama 200 tahun. Cara pengelolaannya telah digambarkan dalam laporan Belanda pada akhir abad ke-19, dan cara-cara yang dilakukan saat ini tidak jauh berbeda.
Bukit Kemenyan di Bengkulu, dari namanya adalah sebuah hutan kemenyan. Daerah ini berada di wilayah suku Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan orang Mesir, yang akan dibahas setelah ini.
Gambar 22. Pohon eboni: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) – (g) berbagai macam pohon eboni Indonesia; (h) – (j) kayu eboni
Seperti yang dijelaskan oleh Naville (1898) dan Edwards (1891), orang-orang Mesir memperdagangkan kayu eboni dari Tanah Punt. Relief di Deir el-Bahari memperlihatkan orang-orang Mesir sedang memotong cabang-cabang pohon eboni (seperti pada gambar diatas), dengan tulisan “memotong eboni dalam jumlah besar” (Edwards, 1891), kayunya kemudian dibawa ke atas kapal oleh orang-orang negro. Yang tertulis habni (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan sebagai “eboni”. Kapal-kapal itu sarat dengan kayu eboni. Dalam antrian panjang menghadap ratu, orang-orang Punt membawa kayu eboni. Tumpukan kayu eboni yang terlihat di Taman Amon adalah diantara barang-barang yang diperdagangkan.
Kayu eboni (kayu hitam) adalah kayu yang dihasilkan sebagian besar oleh pohon dari spesies yang berbeda-beda dalam genus Diospyros. Kayu eboni adalah kayu yang cukup padat sehingga tenggelam dalam air. Kayunya bertekstur halus dan permukaannya dapat menjadi sangat halus setelah dipoles, sehingga menjadi barang-barang hias yang bernilai tinggi.
Kayu eboni memiliki sejarah panjang pemanfaatannya, dan potongan-potongan ukiran kayu eboni telah ditemukan di makam-makam Mesir kuno. Pada akhir abad ke-16, lemari yang terbuat dari kayu eboni merupakan barang perdagangan yang mewah di Antwerp. Kayu yang keras dan padat membuatnya mudah dibentuk dengan halus dan dimanfaatkan sebagai benda ukiran yang terukir rinci dengan relief-relief yang halus, biasanya untuk relief-relief figuratif atau yang diambil dari sejarah klasik atau Kristen. Tidak lama kemudian, lemari-lemari yang seperti itu juga dibuat di Paris, dengan para pembuatnya dikenal dengan sebutan ébénistes, yang sampai sekarang masih menjadi istilah Perancis untuk pembuat lemari.
Spesies-spesies kayu eboni meliputi Diospyros ebenum (eboni Srilanka) yang berasal dari India selatan dan Srilanka; Diospyros crassiflora (eboni Gabon) yang berasal dari Afrika barat; danDiospyros celebica (eboni Makassar) yang berasal dari Indonesia dan berharga karena kesan mewahnya dan serat kayunya yang berwarna-warni. Eboni Mauritius (Diospyros tesselaria) sebagian besar dimanfaatkan oleh Belanda pada abad ke-17. Beberapa spesies dalam genusDiospyros merupakan eboni dengan sifat fisik yang sama, tetapi lebih bergaris-garis daripada hitam merata (Diospyros ebenum).
Eboni Asia Tenggara meliputi Diospyros areolata di Semenanjung Malaya (Thailand dan Malaysia); Diospyros bantamensis di Sumatera, Jawa dan Kalimantan; Diospyros blancoi, sering disebut dengan nama lain Diospyros discolor, Diospyros blancoi atau mabolo, berasal dari Filipina; Diospyros borneensis di Tiongkok, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan; Diospyros buxifolia, ki merak, rangkemi atau meribu di India, Indocina, Thailand, dan seluruh nusantara sejauh Papua; Diospyros canaliculata (sinonim: Diospyros cauliflora, Diospyros xantho Chlamys) di India, Myanmar, Indocina, Thailand dan Nusantara, buahnya digunakan sebagai ubar (pewarna) untuk jaring dan pakaian; Diospyros celebica, eboni Makassar, endemik di Sulawesi, dan dalam bahaya kepunahan; Diospyros clavigera (sinonim: Diospyros malaccensis); kayu arang, di Semenanjung Malaya, Singapura, Kepulauan Lingga, hingga Bangka; Diospyros confertiflora, nyangit toan, di Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan dan Bangka, di hutan gambut, hutan kerangas dan hutan pegunungan rendah hingga ketinggian 1.250 meter di atas permukaan laut; Diospyros curranii, tersebar di Asia Tenggara (Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand), Sumatera, Kalimantan sejauh Filipina; Diospyros digyna (sinonim: Diospyros nigra,Diospyros ebenaster), sawo hitam, kesemek hitam, sapote hitam, zapote negro, diyakini berasal dari Meksiko dan Guatemala, dan penakluk Spanyol abad pertengahan membawanya ke Filipina, yang kemudian menyebar ke Sulawesi dan Maluku, buahnya memiliki kulit hijau, yang menjadi hitam saat masak, dagingnya coklat dan manis, dimakan segar atau dibuat menjadi minuman dan kue-kue; Diospyros discocalyx, endemik di Sabah; Diospyros durionoides, kayu arang durian, endemik di Kalimantan; Diospyros evena, kayu malam, hanya terdapat di Kepulauan Pasifik dan Kalimantan; Diospyros Ferrea, bibisan, tersebar dari Afrika Barat, India, Indocina, Nusantara sampai ke utara di Ryukyu dan ke timur di Australia, Melanesia dan Polynesia; dan beberapa yang lainnya lebih dari 50 spesies.
Gambar 23. Kayumanis: (a) hutan di Kerinci, Sumatera; (b) kayu diangkut oleh orang; (c) pengeringan kulit; (d) kulit kayus
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa kayumanis adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis tesheps (Naville, 1898) diterjemahkan oleh Naville sebagai “kayumanis”. Yang tertulis khesyt (Naville, 1898) mungkin dapat berarti kayu kasia.
Kulit kayumanis, diperoleh dari sejumlah pohon dalam genus Cinnamomum, umumnya digunakan sebagai bumbu makanan. Sementara ada yang menganggap yang benar-benar kayumanis, namun dalam perdagangan internasional terdapat kasia yang juga disebut kayumanis. Kayumanis dihasilkan dari selusin lebih spesies pohon yang juga menghasilkan rempah-rempah komersial lain yang semuanya adalah anggota genus Cinnamomum dalam keluarga Lauraceae.
Kayumanis begitu sangat berharga bagi bangsa-bangsa kuno dan dianggap cocok sebagai hadiah untuk para raja dan bahkan para dewa: sebuah prasasti telah mencatat hadiah kayumanis dan kasia di kuil Apollo di Miletus. Orang-orang Yunani menggunakan kásia atau malabathron untuk tambahan rasa anggur, bersama-sama dengan absinth wormwood (Artemisia absinthium). Theophrastus menilai tanaman tersebut adalah baik dan menjelaskan cara yang aneh untuk memperolehnya: setelah kayunya digerogoti oleh cacing maka tinggal kulitnya. Ramuan Mesirkyphi, suatu wewangian untuk dibakar, adalah mengandung kayumanis dan kasia semenjak zaman Helenistik dan seterusnya. Hadiah penguasa Helenistik untuk kuil kadang-kadang termasuk kasia dan kayu manis serta dupa, myrrh dan kostos (dupa India), sehingga dapat disimpulkan bahwa orang-orang Yunani menggunakannya untuk tujuan yang sama.
Selama Abad Pertengahan, asal kayumanis adalah sebuah misteri bagi dunia Barat. Dari penulis Latin yang dikutip oleh Herodotus, orang Eropa telah mengetahui bahwa kayumanis datang dari Laut Merah ke pelabuhan perdagangan Mesir, tapi dari mana asalnya kurang jelas. Ketika Sieur de Joinville menyertai rajanya ke Mesir dalam perang salib pada 1248, ia melaporkan – dan percaya – ia telah diberitahu: kayumanis tertangkap dalam jaring di Sungai Nil yang datangnya dari ujung dunia.
Melihat latar belakangnya, kayumanis ditanam terutama di Indonesia, Vietnam dan Tiongkok, dan yang jarang dan relatif lebih mahal berasal dari Srilanka. 85% kayumanis di pasar dunia saat ini berasal dari Indonesia, sebagian besar berasal dari Sumatera, di suatu daerah yang disebut Kerinci. Tanah yang subur di lereng dataran tinggi Kerinci dengan curah hujan yang tinggi secara luas ditumbuhi oleh pohon kayumanis yang menghasilkan kulit kayumanis berkualitas tinggi.
Gambar 24. Kamper: (a) pohon; (b) daun dan buah; (c) kristal
Pohon kamper (Cinnamomum camphora) adalah pepohonan yang menghasilkan kamper, sejenis pohon besar yang terdapat di Asia (khususnya di Sumatera dan Kalimantan). Kamper juga dapat disadap dari pohon kapur (Dryobalanops spp), pohon yang tinggi di daerah tersebut juga.
Pohon kamper yang harum dan yang dihasilkannya, seperti minyak kamper, telah didambakan sejak zaman kuno. Kamper memiliki sejarah yang luas dalam penggunaannya secara tradisional, terutama digunakan sebagai fumigan pada zaman Kematian Hitam (Black Death) di Mesir dan dianggap sebagai bahan yang berharga dalam pembuatan wewangian dan cairan pembalseman di Mesir dan Babilonia kuno..
Kata camphor dalam bahasa Inggris adalah berasal dari bahasa Perancis camphre, yang berasal dari bahasa Latin Pertengahan camfora, dari bahasa Arab kafur dan dari bahasa Sansekerta कर्पूरम् (karpūram). Semua istilah tersebut berasal dari bahasa Melayu Kuno kapur barus yang berarti “kapur dari Barus”. Barus adalah nama sebuah pelabuhan kuno yang terletak di dekat kota Sibolga sekarang di pantai barat pulau Sumatera (di Provinsi Sumatera Utara). Pelabuhan ini awalnya dibangun sebelum adanya perdagangan kamper, kemenyan dan rempah-rempah antara Batak dan India. Para pedagang dari India, Asia Timur dan Timur Tengah menggunakan istilah “kapur barus” untuk membeli getah kering yang disadap dari pohon kamper (Cinnamomum camphora) dari penduduk lokal suku Batak; pohon kamper adalah endemik di daerah itu. Dalam bahasa proto Melayu-Austronesia juga dikenal sebagai “kapur barus”. Bahkan sampai sekarang, bahasa-bahasa daerah dan Indonesia pada umumnya masih menyebut bola-bola naftalena dan pengusir serangga sebagai “kapur barus”.
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa balsem adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis åhemtu (Naville, 1898) diterjemahkan oleh Naville sebagai “balsem”. Åhemtumungkin juga yang dimaksud adalah kamper karena kamper adalah salah satu bahan untuk meramu balsem.
Balsem adalah campuran resin tanaman khusus yang terdiri dari larutan bahan organik tertentu (berupa minyak). Resin tersebut dapat meliputi resin-resin asam, ester atau alkohol. Eksudatnya berupa cairan yang agak cair sampai kental dan sering mengandung partikel resin yang mengkristal. Setelah dalam waktu lama dan karena beberapa pengaruh, eksudatnya kehilangan komponen cairnya atau tereaksi secara kimiawi sehingga berubah menjadi bahan yang padat (teroksidasi dengan sendirinya).
Kamper dianggap sebagai bahan yang berharga dalam meramu cairan balsem di Mesir dan Babilonia kuno. Beberapa penulis menyatakan bahwa balsem mengandung asam benzoat dan sinamat atau ester-esternya. Seperti disebutkan diatas, bahan-bahan tanaman ini banyak terdapat di Sumatera.
Gambar 25. Pala: (a) dan (b) pohon; (c) buah; (d) biji; (e) minyak
Corpus delicti (istilah yurisprudensi Barat tentang bukti kejahatan sebelum menjatuhkan hukuman) – berupa sebuah botol kecil – yang terdapat diantara harta Firaun Hatshepsut mengandung sejumlah besar minyak kelapa dan pala (Wiedenfeld et al, 2011).
Biji dan kulit pala yang keduanya adalah produk pohon pala, berasal dari beberapa spesies pohon dalam genus Myristica. Genus ini terdiri dari sekitar 100 spesies yang terdapat di daerah tropis, terutama di wilayah Malaya; tetapi spesies komersial yang paling penting adalah Myristica fragrans, sebuah pohon asli dari Kepulauan Banda di Maluku yang mengandung cukup banyak sari minyak wewangian sehingga sangat bernilai untuk dibudidayakan. Biji pala adalah biji yang terdapat di bagian dalam buah pala; kulit pala adalah kulit bagian luarnya yang telah dikeringkan. Biji pala biasanya terdapat dalam bentuk bubuk. Pala adalah satu-satunya buah tropis yang menghasilkan dua macam rempah-rempah yang berbeda, yang diambil dari buah pala. Produk-produk komersial lainnya juga dihasilkan dari pala, termasuk minyak, salep dan mentega.
Pala juga dibudidayakan di Pulau Penang di Malaysia, di Karibia, terutama di Grenada, dan di Kerala, negara yang sebelumnya dikenal sebagai Malabar dalam tulisan-tulisan kuno sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di India selatan. Spesies lain yang mirip dengan pala antara lain Myristica argentea dari Papua dan Myristica malabarica dari India. Pada abad ke-17, sebuah karya Hendrik van Rheede yang berjudul Hortus Botanicus malabaricus menulis bahwa orang India belajar pemanfaatan pala dari orang Indonesia melalui rute perdagangan kuno.
Gambar 26. Sapi tanduk pendek: (a) – (f) Punt, Naville (1898) dan Punt, Deir el-Bahari, berselang-seling; (g) Sumatera; (h) Madura; (i) Bali; (j) Jawa
Seperti yang dijelaskan oleh Naville (1898) dan Edwards (1891), orang-orang Mesir juga memperdagangan sapi bertanduk pendek dari Tanah Punt. Dari ilustrasi Naville dan relief di Deir el-Bahari, terlihat sapi-sapi ini berbeda dengan sapi bertanduk panjang yang juga terdapat pada relief, dari Wilayah Selatan, yaitu daerah Nil Hulu yang lebih seperti sapi sanga (sapi Afrika).
Nama-nama Asia Tenggara untuk sapi adalah banteng atau tembadau (liar), dan sapi atau lembu(dipelihara). Banteng (Bos javanicus) adalah spesies sapi liar yang terdapat di Asia Tenggara. Banteng telah didomestikasi di beberapa tempat di Asia Tenggara, dan telah terdapat sekitar 1,5 juta banteng domestik, yang disebut sapi Jawa (Bos javanicus domesticus), sapi atau lembu. Hewan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi di wilayah tersebut dan digunakan sebagai hewan pekerja dan pedaging. Banteng juga telah diperkenalkan ke Australia Utara, dimana telah terbentuk populasi liar yang stabil.
Subspesies-subspesies berikut telah dikenal: banteng Jawa (Bos javanicus javanicus) terdapat di Jawa dan Bali, yang jantan berwarna hitam dan betinanya kekuning-kuningan. Banteng Kalimantan (Bos javanicus lowi) terdapat di Kalimantan, lebih kecil dari banteng Jawa dan memiliki tanduk yang tajam; sapi jantannya berwarna coklat. Banteng Burma (Bos javanicus birmanicus) terdapat di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos dan Vietnam, baik yang jantan maupun betinanya berwarna kekuning-kuningan, tetapi di Kamboja, 20% sapi jantannya berwarna kehitaman, dan di Semenanjung Malaya di Thailand, sebagian besar jantannya berwarna hitam.
Dalam mitos mereka, sapi dianggap sebagai hewan suci di Nusantara. Batara Guru dianggap sebagai dewa tertinggi yang dilambangkan selalu menaiki seekor sapi suci, yaitu Lembu Andini.
Fosil Bos palaesondaicus telah ditemukan di Jawa berusiakan masa Pleistosen dan termasuk dalam subfamili Bovinae. Penemuan ini dikemukaan pertama kali oleh ahli paleoantropologi Belanda Eugène Dubois pada tahun 1908. Holotip Bos palaesondaicus adalah berupa sebuah tengkorak yang ditemukan di Trinil. Spesies ini adalah kemungkinan nenek moyang banteng (Bos javanicus).
Zebu (Bos primigenius indicus atau Bos indicus atau Bos taurus indicus), kadang-kadang dikenal sebagai sapi India, sapi berpunuk atau sapi brahman, adalah spesies atau subspesies sapi domestik yang berasal dari Asia Selatan. Zebu ditandai dengan punuk lemak di bahunya, kulit leher yang besar dan kadang-kadang telinga yang teruntai. Zebu diduga berasal dari auroch Asia, dan kadang-kadang dianggap sebagai suatu subspesies tersendiri, Bos primigenius namadicus.Auroch Asia liar telah punah dalam masa Peradaban Lembah Indus, dari kumpulannya yang tersebar di sekitar lembah Indus dan bagian lain di Asia Selatan, mungkin karena perkawinan silangnya dengan zebu dan fragmentasi populasi liar karena kehilangan habitatnya (Rangarajan, 2001).
Sapi Jawa dan sapi Sumatera diyakini berasal dari zebu (istilah “sapi”, “lembu” dan “zebu” diyakini dari asal yang sama). Bukti arkeologi menunjukkan bahwa spesies ini mulai terdapat di Mesir sekitar 2000 SM, diyakini telah pertama kali terdapat di Sub-Sahara Afrika antara 700 dan 1500 M, dan dibawa ke Tanduk Afrika sekitar 1000 M. Hal ini menunjukkan bahwa ekspedisi ke Tanah Punt, dimana sapi merupakan salah satu jenis hewan perdagangan, adalah kearah timur, ke Asia Tenggara/Selatan.
Gambar 27. Kuda poni: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera Barat; (d) Batak; (e) Jawa; (f) Sumba and Sumbawa; (g) Flores; (h) Sandalwood (Sumba)
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan “Keledai besar yang membawa istrinya” yang menjelaskan tentang seekor kuda berukuran kecil yang tergambar pada relief. Sisa-sisa prasasti yang telah rusak menyebukan bahwa gajah dan kuda adalah diantara hewan-hewan yang dibawa dari Tanah Punt untuk dipersembahkan kepada Ratu Hatshepsut.
Kuda-kuda di Tanah Punt, salah satunya adalah untuk membawa wanita gemuk Ati dan yang lainnya untuk mengangkut barang, memiliki punggung panjang, perut ramping, kaki-kaki ramping, dada dan bahu tipis, leher panjang dan ramping, kepala kecil, memanjang dan meruncing, postur badan lurus, dan matanya yang kecil lebih menyerupai kuda daripada keledai, kecuali telinganya yang besar dan panjang. Tingginya sekitar 1 meter lebih sedikit, sedikit lebih pendek daripada kuda Indonesia sekarang yang sekitar 1,2 meter.
Keturunan kuda asli Indonesia yang berbeda-beda adalah pendek dan ramping, tetapi masih kuat dan kokoh, sehingga lebih cocok disebut poni daripada kuda. Kuda poni ini diperkirakan keturunan kuda Mongolia yang disilangkan dengan kuda Arab atau kuda Tiongkok kuno. Pada umumnya, kuda-kuda ini berpostur baik, dan sebagian besar kekurangannya adalah karena makanan yang diberikan. Satu-satunya jenis yang memiliki kualitas yang lebih baik adalah kuda poni Sandalwooddari Sumba.
Kuda-kuda poni Indonesia memiliki kepala yang kecil atau sedikit lebih besar dengan profil lurus atau sedikit cembung. Lehernya panjang untuk beberapa keturunan tetapi pendek untuk yang lainnya, berotot dan ramping; kumbanya pendek dan menonjol. Dada dan bahunya tipis, punggungnya biasanya panjang, dan silang punggungnya miring. Kaki-kakinya ramping tetapi diperkuat dengan kuku-kukunya yang baik. Tinggi rata-ratanya sekitar 1,2 meter tetapi dapat mencapai 1,3 meter, dan umumnya berwarna cokelat, walaupun dapat berwarna yang lain.
Kuda-kuda poni Indonesia telah terus-menerus disilangkan dengan darah tambahan, umumnya kuda Arab untuk meningkatkan kualitasnya, sehingga dapat diperkirakan bahwa aslinya adalah lebih ramping dan lebih pendek dari apa yang kita lihat sekarang. Begitu pula telinganya mungkin lebih besar dan lebih panjang.
Kuda poni adalah maskot Kota Bengkulu, ditampilkan sebagai patung bernama Patung Kuda Kerdil yang terdapat di pusat kota.
Gambar 28. Beruk: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Siberut; (d) Sumatera; (e) Kalimantan; (f) Sabah; (g) Thailand; (h) Pagai; (i) Kamboja; (j) untuk memetik kelapa di Sumatera
Relief di Deir el-Bahari memperlihatkan beberapa ekor beruk, pertama diatas geladak kapal yang sarat dan yang lainnya di antrian panjang pawai untuk menghadap ratu. Pada sebuah pecahan yang diilustrasikan oleh Neville, terlihat seekor beruk sedang memanjat pohon pinang, kemungkinan di Wilayah Selatan dimana beruk-beruk tersebut telah dikembangbiakkan disana. Pecahan lain pada baris atas relief menunjukkan seekor beruk yang menggendong bayinya. Pada prasasti disebutkan sebagai ảnảu (Naville, 1898) yang umumnya diterjemahkan sebagai “kera”.
Beruk terdapat di bagian selatan Semenanjung Melaya (hanya sampai ke Thailand selatan), Kalimantan, Sumatera dan Bangka, diklasifikasikan sebagai “beruk selatan” (Macaca nemestrina), dan di Kepulauan Pagai, Kepulauan Siberut, Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, India, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam, diklasifikasikan sebagai “beruk utara” (Macaca leonina). “Beruk” adalah nama lokal di Indonesia dan Malaysia.
Beruk hidup di ketinggian mulai dari permukaan laut dan sampai di atas 2.000 m. Beruk tinggal di hutan-hutan, sebagian besar hutan hujan dan rawa-rawa. Lebih disukai hutan hujan yang lebat dan lembab.
Dalam satu kelompok atau koloni, beruk turun ke tanah untuk mencari buah-buahan yang jatuh. Kadang-kadang mereka pergi ke sungai atau danau untuk minum dan bermain. Induk yang baru melahirkan kadang-kadang terlihat membawa bayinya. Sementara beruk muda kadang-kadang turun-naik pohon dan bermain kejar-kejaran. Beruk biasanya berani mendekati manusia dan dapat menjadi teman. Di daerah Pariaman, Sumatera Barat, kera diajarkan untuk membantu memetik kelapa.
Pada tahun 2010, sebuah studi genetik dilakukan pada mumi babon yang diperkirakan dibawa kembali dari Tanah Punt oleh orang Mesir kuno. Dipimpin oleh tim peneliti dari Museum Mesir dan Universitas California, para ilmuwan menggunakan analisis isotop oksigen untuk memeriksa rambut dari dua mumi babon yang telah diawetkan di Museum Inggris. Salah satu babon telah terdistorsi data isotopnya, sehingga nilai-nilai isotop oksigen yang lain yang dibandingkan dengan spesimen babon modern dari daerah yang diperkirakan. Para peneliti menyimpulkan bahwa mumi tersebut paling cocok dengan spesimen modern yang terdapat di Eritrea dan Ethiopia daripada negara tetangganya, Somalia. Namun, penelitian ini tidak membuktikan apa-apa dengan alasan-alasan berikut. Para peneliti hanya bisa mengidentifikasi asal babon dari Lembah Para Raja. Babon lainnya, dari Thebes, tampaknya telah menghabiskan beberapa waktu tinggal di Mesir sebagai hewan peliharaan eksotis. Sementara tinggal di Mesir, dan mengkonsumsi makanan lokal, nilai isotop oksigennya berubah. Perubahan itu berarti bahwa peneliti tidak tahu dari mana asalnya. Oleh karena itu, tanda-tanda isotop yang dapat diidentifikasi hanya dari satu babon dan asal-usulnya masih sangat kabur.
Terdapat sebuah legenda yang terkenal di kalangan suku Rejang yang menceritakan tentang kisah seekor beruk putih. Masyarakat Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah itu.
Gambar 29. Badak bercula satu: (a) Punt, Deir el-Bahari; (b) Jawa; (c) Sumatera; (d) India; (e) Vietnam, dinyatakan punah pada 2011
Dua pecahan dari baris atas relief di Deir el-Bahari menunjukkan adanya badak bercula satu di Tanah Punt.
Naville (1898) berpendapat bahwa mungkin tanduk badak adalah salah satu produk dari Tanah Punt, bertuliskan nama yang umumnya diterjemahkan “gading”. Pada relief, benda-benda yang disebut “gading”, memiliki bentuk yang lebih mirip cula badak daripada gading gajah. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tanduk kerbau atau sapi, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Badak bercula satu di Asia Tenggara dikenal sebagai badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), badak Sunda atau badak bercula satu kecil. Sebagai badak Asia yang dulunya tersebar luas, badak Jawa terdapat di pulau Jawa dan Sumatera, di seluruh Asia Tenggara, sampai ke India dan Tiongkok. Spesies ini terancam punah, dengan hanya satu lokasi populasi yang dikenal di alam liar, dan tidak ada yang di penangkaran. Badak bercula satu mungkin merupakan mamalia besar terlangka di bumi, dengan populasinya yang hanya 58 – 61 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa. Populasi kedua di Taman Nasional Cat Tien di Vietnam telah dikonfirmasi punah pada tahun 2011. Penurunan populasi badak Jawa adalah disebabkan oleh perburuan liar, terutama untuk diambil culanya, yang sangat bernilai tinggi dalam pengobatan tradisional Tiongkok.
Dalam keluarga yang sama, badak India (Rhinoceros unicornis), juga disebut badak bercula satu besar atau badak India besar, adalah badak asli dari anak benua India. Sebagai yang dulunya tersebar di Dataran Indo-Gangga, tetapi perburuan yang berlebihan dan perluasan pertanian telah mempersempit wilayahnya secara drastis menjadi tinggal 11 lokasi saja di India utara dan Nepal selatan.
Terdapat sebuah legenda di kalangan suku Rejang yang menceritakan sebuah kisah tentang seorang pria bernama Si Pahit Lidah yang bertemu dengan sekelompok badak, dan salah satu telah menjadi batu yang sekarang disebut Batu Badak karena disihir. Masyarakat Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.
Gambar 30. Anjing: (a) dan (b) Punt, Naville (1898); (c) Punt, Deir el-Bahari; (d) dan (e) ajag, anjing asli Asia Tenggara
Relief di Deir el-Bahari dan pecahan yang diilustrasikan oleh Naville memperlihatkan anjing-anjing lokal Tanah Punt yang berkeliaran di sekitar rumah dan kebun atau sedang dipandu. Tulisan pada prasasti menjelaskan bahwa anjing adalah produk dari Tanah Punt.
Ajag (Cuon alpinus javanicus atau Cuon alpinus sumatrensis) yang juga dikenal sebagai anjing liar Asia adalah sejenis canid yang asli di Asia Tenggara. Spesies ini terdapat di Sumatera dan Jawa, mendiami terutama di daerah pegunungan dan hutan. Berukuran sedang dengan bulu coklat kemerahan, dan berwarna cemerlang di sepanjang leher bagian bawah dari bawah dagu sampai ke ujung depan perut. Ekornya panjang dan lebat dengan bulu kehitaman.
Peter Savolainen dari KTH Royal Institute of Technology di Swedia (2015) dan Ya-Ping Zhang dari Kunming Institute of Zoology di Tiongkok (2015) menunjukkan bahwa manusia pertama kali menjinakkan anjing di Asia Tenggara 33.000 tahun yang lalu, dan bahwa sekitar 15.000 tahun yang lalu subset nenek moyang anjing mulai bermigrasi ke Timur Tengah dan Afrika. Penyebarannya mungkin terinspirasi oleh persahabatannya dengan manusia, tetapi mungkin juga secara mandiri. Salah satu faktor pendorongnya mungkin adalah mencairnya gletser, yang dimulai sekitar 19.000 tahun yang lalu. Tidak sampai 5.000 tahun setelah pertama kali menyebar di Asia Tenggara, anjing diduga telah mencapai Eropa. Sebelum akhirnya menyebar ke Amerika, salah satu kelompok yang di Asia melakukan perkawinan silang dengan yang telah bermigrasi ke Tiongkok utara.
Gambar 31. Macan tutul: (a) kulit, Mariette (1877); (b) Punt, Naville (1898); (c) Sumatera; (d) Kalimantan; (e) Jawa
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa kulit macan tutul adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis ånemu nu åbyu (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan sebagai “kulit macan”. Pada relief terlihat tumpukan kulit macan yang oleh Mariette dan Duemichen diilustrasikan sebagai jenis yang bertutul tapi Naville tidak. Sebuah pecahan yang diilustrasikan oleh Naville memperlihatkan seekor macan sedang mengaum di Tanah Punt.
Macan tutul (Neofelis nebulosa) terdapat di kaki pegunungan Himalaya, Asia Tenggara dan Tiongkok. Macan tutul Sunda (Neofelis diardi) terdapat di Sumatera dan Kalimantan yang secara genetik berbeda dan telah dianggap sebagai spesies yang berbeda sejak tahun 2006.
Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) adalah subspesies macan tutul yang hanya terdapat di Jawa, memiliki bentuk kepala yang berbeda dengan sekutunya di Asia, dan merupakan takson yang berbeda yang memisahkan diri dari macan tutul Asia lainnya semenjak ratusan ribu tahun yang lalu.
Macan tutul Sunda adalah kucing terbesar yang terdapat di Kalimantan, dan memiliki tubuh yang kekar. Ekornya bisa tumbuh menjadi sepanjang tubuhnya, untuk membantu keseimbangan. Kulitnya ditandai dengan bentuk yang tidak teratur, oval bermata gelap yang menyerupai awan, sehingga namanya juga disebut sebagai “macan berawan” (clouded leopard).
Gambar 32. Gajah: (a) dan (b) gading di Punt, Naville (1898); (c) dan (d) Sumatera; (e) Kalimantan
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa gading adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis uảb (Naville, 1898) atau abw umumnya diterjemahkan sebagai “gading”. Pada reliefnya terlihat tumpukan gading yang dimuat keatas kapal dan juga terdapat di Taman Amon. Prasasti yang telah rusak menyebutkan gajah dan kuda adalah diantara hewan-hewan yang dibawa dari Tanah Punt untuk dipersembahkan kepada Ratu Hatshepsut.
Gajah Sumatera (Elephas maximus Sumateranus) adalah salah satu dari tiga subspesies gajah yang dikenal dengan gajah Asia, dan asli dari Sumatera. Secara umum, gajah Asia lebih kecil daripada gajah Afrika dan memiliki titik tertinggi di kepalanya. Ujung kaki-kakinya terdapat anggota yang menyerupai jari-jari. Punggungnya cembung atau rata. Yang betina biasanya lebih kecil dibandingkan yang jantan, dan memiliki gading yang pendek atau tidak ada sama sekali.
Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis), juga disebut gajah kerdil Kalimantan, saat ini terdapat di bagian timur laut Kalimantan. Telah biasa disebut bahwa gajah Kalimantan adalah subspesies yang kerdil. Tetapi kedua jenis kelamin gajah dewasa dari Sabah dapat memiliki tinggi yang sama dengan rekan-rekannya di Semenanjung Malaya. Tidak terdapat perbedaan karakter yang signifikan diantara kedua jenis hewan asli tersebut.
Gajah Jawa (Elephas maximus sondaicus), yang sekarang sudah punah, pernah terdapat di Jawa. Gajah ini identik dengan gajah Kalimantan.
Hutan Sumatera adalah banyak dihuni oleh gajah, sehingga terdapat banyak gading yang dihasilkan, dan diperdagangkan baik di pasar Tiongkok maupun Eropa. Gajah itu sendiri dulunya merupakan hewan yang dipergunakan dalam lalulintas perdagangan yang cukup besar dari Achin, Afghanistan sampai ke pantai Koromandel, dan kapalnya dibuat secara khusus untuk mengangkutnya.
Salah satu habitat gajah di Sumatera adalah di Seblat, Sumatera tengah-selatan, di wilayah Taman Nasional Kerinci-Seblat. Wilayah ini meliputi tempat tinggal masyarakat suku Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.
Gambar 33. Tanduk: (a) dan (b) Punt, Naville (1898); (c) dan (d) prasasti yang tertulis pada tanduk sapi/kerbau, Kerinci, Sumatera; (e) kerbau
Naville (1898) berpendapat bahwa mungkin cula badak adalah salah satu produk dari Tanah Punt, bertuliskan nama yang umumnya diterjemahkan “gading”. Tetapi penulis berpendapat bahwa istilah yang dimaksud adalah tanduk sapi atau kerbau karena tanduk sapi/kerbau dapat dibuat menjadi perhiasan, peralatan rumah tangga dan barang-barang berharga lainnya sehingga memiliki nilai yang tinggi. Selain itu, tidak dikenal di Mesir bahwa cula badak digunakan sebagai ramuan obat-obatan, seperti di Tiongkok. Relief di Deir el-Bahari memperlihatkan gambar-gambar yang lebih menyerupai tanduk sapi atau kerbau daripada gading gajah atau cula badak.
Pembahasan tentang sapi di Sumatera telah disebutkan diatas. Kerbau (istilah di Indonesia dan Malaysia), juga disebut kerbau Asia, adalah hewan sapi-sapian besar yang asli di Asia Tenggara dan anak benua India. Kerbau adalah salah satu hewan dengan nilai ekonomi dan agama tertinggi yang digunakan sebagai hewan korban di Asia Tenggara, sub-benua India dan Tiongkok selatan. Kerbau juga sering digunakan untuk membajak sawah, untuk mempersiapkan tanah yang digunakan untuk pertanian menggunakan bajak kayu, di Asia Tenggara sejak zaman kuno.
Gambar 34. Monyet: (a) Punt, Naville (1898); (b) lutung putih (Sumatera dan Kalimantan); (c) lutung Jawa; (d) lutung Sumatera; (e) monyet Bali
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan bahwa monyet adalah produk dari Punt. Yang tertulis kefu (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan sebagai “monyet”. Pecahan yang diilustrasikan oleh Naville menunjukkan gambar-gambar monyet di Tanah Punt.
Terdapat lebih dari 200 spesies primata (kera dan monyet) di dunia, 40 spesies atau 25% terdapat di Indonesia. Sayangnya, 70% primata di Indonesia terancam punah karena kehilangan habitatnya dan lingkungannya mengalami degradasi, dan juga perburuan untuk diperdagangkan. Salah satu faktor utama yang mengancam primata di Indonesia adalah perdagangan ilegal karena sebagian besar primata yang diperdagangkan adalah dari penangkapan liar. Setiap tahun, ribuan primata dari berbagai spesies telah diburu untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan atau untuk dikonsumsi dagingnya. Primata yang dikonsumsi dagingnya antara lain lutung Jawa (Trachypithecus auratus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung Sumatera (Presbytis thomasi, Presbytis melalophos), dan monyet babi (Macaca nemestrina, Macaca leonina). Daging primata ini telah salah diyakini memiliki khasiat penyembuhan, misalnya asma. Sebagian besar primata di Indonesia telah dilindungi oleh hukum sehingga perdagangan dan kepemilikannya adalah ilegal.
Gambar 35. Penyu dan kura-kura: (a) – (c) dan (f) – (h) penyu, kura-kura dan tempurungnya di Punt, Mariette (1877) dan Deir el-Bahari; (d) penyu kotak Asia; (e) kura-kura hutan Asia; (i) penyu raksasa Malaysia; (j) tempurung kura-kura
Pada bagian bawah setiap baris relief di Deir el-Bahari diperlihatkan gambar air dimana ikan, penyu dan kura-kura juga digambarkan. Barang-barang yang terdapat dibawah gambar gading yang terdapat dibawah sebuah pohon adalah tertulis kash (Naville, 1898), yang maknanya diragukan, tapi Naville menganggapnya sebagai tempurung kura-kura dilihat dari asal katanya.
Indonesia adalah negara yang kaya akan spesies penyu, kura-kura dan terrapin air tawar. Kebanyakan menghadapi kepunahan karena hilangnya habitat, perburuan dan konsumsi manusia. Diantara spesies-spesies yang hampir punah ini adalah penyu tempurung-lunak kepala-kecil Asia Tenggara (Chitra chitra), penyu air selatan (Batagur affinis), penyu warna-warni (Batagur borneoensis), penyu kepala ular Pulau Roti (Chelodina mccordi), penyu hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi), penyu tempurung-lunak raksasa Cantor (Pelochelys cantorii), kura-kura hutan Asia (Manouria emys emys), dan penyu berduri (Heosemys spinosa).
Penyu kotak Asia adalah sebuah penyu dari genus Cuora dalam keluarga Geoemydidae; terdapat sekitar 12 spesies. Penyu kotak lunas (Pyxidea mouhotii sin Cuora mouhotii) sering dimasukkan dalam genus ini, atau dipisahkan dalam genus monotip Pyxidea. Genus Cuora tersebar dari Tiongkok sampai Indonesia dan Filipina. Kura-kura hutan Asia (Manouria emys), yang juga dikenal dengan kura-kura coklat Asia, adalah spesies kura-kura yang terdapat di India (Assam), Bangladesh, Myanmar, Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan). Penyu raksasa Malaysia atau penyu sungai Kalimantan (Orlitia borneensis) adalah spesies kura-kura dalam keluarga Ailuridae yang terdapat di Indonesia dan Malaysia, termasuk dalam genus monotipOrlitia.
Kepulauan Asia Tenggara dengan bahan obat-obatan, rempah-rempah dan zat aromatiknya, serta dengan kayu berharga dan tempurung kura-kuranya adalah sebuah tautan yang penting dalam jaringan perdagangan kuno yang luas, hubungan antar benua. Catatan Romawi kuno, Taprobana, yang kini adalah Pulau Kalimantan, menghasilkan mutiara, batu permata, kain kasa dan tempurung kura-kura.
Gambar 36. Ikan-ikan di Tanah Punt (Mariette, 1877)
Gambar 37. Ikan laut dan ikan air tawar di Asia Tenggara
Pada bagian bawah setiap baris relief di Deir el-Bahari diperlihatkan gambar air dimana ikan, penyu dan kura-kura juga digambarkan.
Perikanan merupakan bagian yang integral dalam cara hidup masyarakat Asia Tenggara. Dua belas negara di wilayah ini (Myanmar, Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Indonesia, Kamboja, Macau, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam) yang saling berbatasan adalah bangsa-bangsa nelayan tradisional meskipun besarnya usaha penangkapan bervariasi dari satu negara dengan yang lain. Arus permukaan laut didalam wilayah tersebut berubah arah sepenuhnya dalam kedua musim, dengan pengecualian di Selat Malaka dimana arusnya selalu kearah utara, meskipun besarnya bervariasi sesuai dengan musim. Perbedaan karakteristik lingkungan setiap kawasan tersebut menentukan keragaman spesies dan ekologi sumberdayanya. Keragaman sumberdaya yang khusus untuk setiap kawasan, yang diperoleh dari lingkungan setiap kawasan tersebut, mengakibatkan adanya berbagai macam sifat spesies ikan; dari ikan yang tumbuh dan dewasa dalam rentang hidup yang relatif singkat, sampai yang bertelur beberapa kali atau terus-menerus sepanjang tahun.
Wilayah tersebut juga ditandai dengan penyebaran terumbu karang yang berlimpah, terutama di bagian paling barat dan timur wilayah, serta bakau dimana terdapat aliran air tawar dari sungai. Sebutan “Segitiga Karang” adalah meliputi enam negara Indo-Pasifik yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Kepulauan Solomon, Papua Nugini dan Timor-Leste.
Asia Tenggara memiliki garis pantai sepanjang 173.000 kilometer dan wilayah laut lebih dari 4,4 juta kilometer persegi (UNESCAP, 2006). Asia Tenggara diperkirakan memiliki 2.500 spesies ikan (ASEAN, 2002). Negara-negara pantai di wilayah ini adalah produsen ikan yang signifikan. Segitiga Karang merupakah tempat bagi 600 spesies karang dan lebih dari 1.300 spesies ikan yang terkait dengan karang (ASEAN, 2013).
Gambar 38. Emas: (a) dan (b) Punt, Naville (1898); (c) dari tambang purba Lebongdonok (Sumatera); (d) busana Sriwijaya
Emas dari Tanah Punt tercatat telah ada di Mesir sejak Firaun Khufu dari Dinasti ke-4. Ekspedisi Firaun Sahure dari Dinasti ke-5 juga membawa elektrum dari Tanah Punt, sebuah paduan alami emas dan perak, diantara barang-barang lainnya.
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan bahwa logam mulia termasuk emas adalah produk dari Tanah Punt. Beberapa cincin emas terlihat pada relief. Naville membaca tulisan pada prasasti sebagai cincin-cincin dan kotak yang penuh dengan logam åsem, yang dalam bahasa Yunani elektrum, juga disebut sebagai åsemos dalam papirus Mesir, suatu paduan emas dan perak. Pada relief terlihat persembahan yang dibawa oleh orang-orang dari Tanah Punt yang terdiri dari emas berbentuk cincin, diantara barang-barang lainnya. Salah satu anak Parehu membawa semangkuk serbuk emas.
Naskah-naskah Tiongkok dan India kuno berbicara tentang harta emas yang dipercaya dapat ditemukan di berbagai bagian Asia Tenggara. Salah satu daerah ini dikenal dengan nama Sansekerta Suvarnadvipa (“Pulau Emas”), yang menurut sebagian ilmuwan mengacu kepada Sumatera, meskipun ada yang berpendapat bahwa nama ini mungkin wilayah yang lebih besar di Asia Tenggara. Walaupun bukti tekstual masih disangsikan, namum terdapat banyak bukti fisik yang menunjukkan bahwa Sumatera adalah tempatnya industri pertambangan emas yang berkembang di masa pra-sejarah. Pada waktu penjelajah Eropa dan pedagang datang ke pulau tersebut, mereka menemukan sisa-sisa aluvial yang meluas dan sebuah pertambangan emas bawah tanah. Sisa-sisa penambangan yang sangat ekstensif menunjukkan bahwa telah dikerahkan tenaga kerja yang sangat banyak dan terorganisir, dan mungkin imigran India mengajarkan penduduk asli tentang cara-cara mengatasi kesulitan membuat bangunan dan terowongan. Situs-situs yang besar adalah Lebongdonok di Bengkulu, dimana batu asah besar dan koin emas klasik telah ditemukan, penggalian bawah tanah di aluvial purba yang ditutupi oleh endapan vulkanik di Jambi, dan Salido di Sumatera Barat. Bahan limbah yang diambil di sekitar Lebongdonok mengandung 180 – 200 g/t emas dan 300 – 1200 g/t perak, menunjukkan bahwa pertambangan tersebut adalah sangat besar. Terdapat bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa di Kotacina telah terdapat peleburan dan kerajinan emas, yang merupakan pusat perdagangan utama antara abad ke-12 dan ke-14, terletak 6 km sebelah baratdaya Belawan di Sumatera Utara, dan air raksa telah digunakan untuk penyelaputan. Endapan aluvial yang terdapat di sekitarnya mungkin merupakan sumber emas utamanya. Penambangan yang terdekat terletak 50 km di sebelah baratdaya Kotacina.
Selain bukti fisik tersebut, terdapat cerita, legenda dan laporan tertulis yang menunjukkan bahwa emas memainkan peran penting dalam sejarah awal Sumatera. Berikut adalah beberapa contoh. Pada abad ke-14, penguasa Sumatera, Adityawarman, yang mendapat gelar kehormatan Kanakamedinindra (“Penguasa Tanah Emas”), diduga telah memindahkan ibukotanya dari pantai Sumatera Barat yang terkena wabah malaria, ke pedalaman yang kaya akan emas. Banyak cerita turun-temurun di kawasan Lebong tentang Sultan Daulah Mahkuta Alamsyah, seorang “keturunan Alexander Agung”, yang pernah memerintah kerajaan besar Pagaruyung, mengirim penjelajah menuju pegunungan untuk mencari logam mulia. Kapten William Dampier (1651 – 1715), seorang navigator Inggris, naturalis dan penulis terkenal, yang telah melakukan tiga kali perjalanan ke seluruh dunia, melaporkan pada tahun 1689 bahwa sejumlah besar emas ditambang di Aceh.
Kegiatan pertambangan emas di Sumatera yang pertama kali didokumentasikan adalah pembukaan kembali tambang emas kuno Salido yang kaya akan perak di Sumatera Barat pada tahun 1669 oleh VOC, perusahaan dagang Belanda yang selama dua abad memonopoli perdagangan antara Eropa dan Asia. Pemerintah Hindia Belanda memulai penyelidikan geologi bersamaan dengan eksplorasi mineral pada tahun 1850 dan industri swasta mengikutinya 30 tahun kemudian. Antara 1899 dan 1940, 14 tambang emas telah dikembangkan, termasuk dua pekerjaan pengerukan aluvial, yang sebagian besar berumur pendek dan tidak ekonomis.
Saat ini Indonesia adalah negara pertambangan terkemuka di Asia sebagai penghasil timah, nikel, tembaga, emas dan batubara, dengan bantuan perusahaan dan investasi asing.
Seperti dijelaskan oleh Naville, emas dari Punt bukanlah emas murni tetapi paduan emas dan perak, tertulis sebagai åsem. Hal yang sama juga disebutkan dalam ekspedisi Firaun Sahure. Bahan limbah yang ditemukan di sekitar tambang kuno Lebong Donok, Sumatera Barat, mengandung campuran emas dan perak, bisa jadi adalah tambang emas di Tanah Punt yang disebut dalam prasasti. Secara fonetis, istilah åsem atau åsemos memiliki kemiripan dengan kata “emas” dalam bahasa Melayu. Lebong Donok terdapat dalam kawasan masyarakat suku Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.
Gambar 39. Orang Tanah Punt: (a) dan (b) Punt, Mariette (1877); (c) – (e) Punt, Deir el-Bahari; (f) – (j) Enggano, Modigliani (1894); (k) Enggano, lukisan (1855) (l) Nias (1854); (m) dan (n) Mentawai; (o) Jawa, relief candi Borobudur (abad ke-9).
Gambar 40. Tetua Punt dan istrinya: (a) dan (c) Mariette (1877); (b) dan (d) Deir el-Bahari
Orang-orang Tanah Punt, tidak seperti orang Mesir kuno, memiliki rambut panjang dan sedikit bulu muka. Pada gambarnya, mereka dicat berwarna merah, tetapi tidak segelap orang Mesir. Prianya adalah tinggi, berpostur baik, rambutnya lebih terang dan dipotong rapi; hidungnya lurus, jenggotnya panjang dan runcing tumbuh di dagunya saja; ia hanya memakai cawat dengan sabuk dimana sebuah belati diselipkan. Tulisan di depannya menjelaskan bahwa ia adalah “Punt agung, Parehu”, yang maksudnya adalah tetua Tanah Punt. Kaki kiri tetua Tanah Punt, Parehu, dililit dengan gelang-gelang pelindung. Dalam salah satu penampilan, tangan kirinya memegang sebuah senjata melengkung. Istrinya, orang yang bertubuh janggal dan tidak cantik, dijelasakan sebagai “istrinya, Ati”. Ia mengenakan gaun kuning, tanpa baju pada penampilan pertama, gelang pada pergelangan tangan dan kakinya, dan kalung dari manik-manik dan rantai pada lehernya. Rambutnya, seperti halnya putrinya, diikat dengan ikat kepala sampai ke alis. Posturnya kurang enak dilihat, dan pipinya banyak kerutan. Ia amat gemuk, anggota badan dan tubuhnya penuh dengan lipatan daging.
Warna kulit yang merah terang pada relief menunjukkan warna kulit yang lebih terang daripada orang Mesir yang diwarnai merah tua. Warna kulit, bulu muka sedikit, hidung lurus dan jenggot yang hanya tumbuh pada dagu adalah ciri orang mongoloid. Rambut dan jenggotnya abu-abu, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria tua, seperti dalam tradisi Melayu bahwa yang tua adalah lebih bijak, sehingga disebut “tetua”. Berasal dari hal tersebut, saat ini “ketua” di Indonesia dan Malaysia adalah panggilan untuk seorang kepala meskipun ia masih muda. Sikapnya, baik dalam adegan pertemuan dengan utusan kerajaan maupun dalam penawaran barter barang, adalah dengan sedikit membungkuk, mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke depan, melipat tangannya tepat didepan dadanya dengan ibu jari menunjuk ke depan dan jari-jari lainnya dilipat, titik berat tubuhnya sedikit ke depan, posisi kaki dan ekspresi wajahnya menunjukkan ia adalah orang yang bijaksana, dan ini adalah gerakan khas tradisi Melayu dalam menghadapi orang lain secara hormat dan sopan. Yang wanita bersikap sama tetapi dengan lebih membungkuk, dan dalam adegan penawaran barter lengan kirinya lurus kebawah dengan telapak tangan menghadap kedepan, juga tradisi khas Melayu bagi seorang wanita untuk bersikap sopan dan menghormati orang lain, terutama laki-laki, jadi ia bukan memiliki kelainan penyakit seperti yang dituduhkan oleh beberapa penulis. Kerutan wajah dan lipatan daging pada tubuh dan anggota badannya, serta jalannya yang harus menaiki kuda, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita tua yang gemuk.
Catatan Charles Miller (1771) bahwa pria Enggano pada umumnya memiliki postur baik dan bertubuh tinggi sekitar 5 kaki 8 – 10 inci (173 – 178 sentimeter) sedangkan wanitanya lebih pendek dan tubuhnya lebih bungkuk juga mendukung gambaran diatas.
Masyarakat Tanah Punt, seperti halnya tetuanya, hanya mengenakan cawat dengan ikat pinggang, rambutnya terikat dengan ikat kepala dan kalung di lehernya; mereka mengenakan kain pinggang dengan cara yang sama seperti yang dikenakan oleh orang Mesir tetapi selendangnya berada didalam untuk menutupi alat kelaminnya. Cara berpakaian seperti ini adalah khas orang Melayu kuno yang terdapat di Kepulauan Halang (Enggano, Mentawai, Nias, Andaman, Nicobar dan beberapa orang lain). Cawat orang-orang Kepulauan Halang adalah berupa sabuk yang diselipkan kain untuk menutupi alat kelamin, ditulis oleh Modigliani sebagai eapi. Cawatnya bervariasi dari ukuran kecil yang hanya cukup untuk menutupi alat kelamin sampai yang sepenuhnya menutupi pinggul dan paha.
Nama tetua Punt, Parehu adalah nama khas Enggano. Modigliani (1894) telah menyebutkan banyak nama pria Enggano yang mirip, seperti Paraúha, Puríhio, Pachèhu, Paradúa, Pahobèio dan lain-lain yang dimulai dengan Pa. Sementara nama istrinya, Ati, penulis berpendapat bahwa itu adalah nama panggilan dan nama lengkapnya tidak diketahui. Ati serta yang serupa seperti Eti, Ita, Yati, Tati dan Tuti adalah nama-nama panggilan yang sangat umum di Nusantara.
Gambar 41. Paraúha, seorang pria Enggano (Modigliani, 1894)
Gambar 42. Bawahan: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Enggano, Modigliani (1894); (d) Enggano, Rijksmuseum; (e) dan (f) wanita Enggano mengenakan bawahan masing-masing untuk perayaan dan berkabung (Modigliani, 1894); (g) pada sebuah lukisan tahun 1855
Istri tetua Punt mengenakan kemeja didalam adegan penawaran barter tetapi tidak sewaktu pertemuan pertama. Kemeja tersebut diduga merupakan hadiah dari utusan Mesir. Pakaian bawahannya rupanya sebuah rumbai, seperti yang saat ini masih dipakai oleh penduduk Kepulauan Halang (Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano), yang digambarkan sebagai kain transparan dalam seni lukis Mesir. Putrinya juga memakai bawahan dengan jenis yang sama. Modigliani (1894) menjelaskan bahwa pakaian bawahan wanita Enggano terbuat dari manik-manik kaca yang digantung pada ujung serat tanaman tipis yang menggantung turun dari sabuk yang terbuat dari anyaman rotan, diikat kedua ujungnya ke belakang dengan tali dan kemudian disisipkan kedalam untuk menyembunyikannya. Diatasnya biasanya dikenakan sabuk yang dilingkarkan kearah dada; dan juga terbuat dari anyaman rotan dan serat tanaman.
Gambar 43. Ikat kepala wanita: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) dan (d) Enggano, Rijksmuseum; (d) Mentawai
Rambut istri tetua Tanah Punt, seperti halnya putrinya, diikat dengan ikat kepala sampai ke alis. Di Enggano, ikat kepala dibuat dan dipakai oleh wanita dewasa dan para dukun. Nama generik ikat kepala ini adalah tali (Rijksmuseum). Para dukun dalam kehidupan sehari-harinya dikenali dengan, antara lain mengenakan tali (Kruyt, 1938). Sampai awal abad ke-20, pakaian dan aksesoris dari kulit kayu dikenakan sebagai pakaian sehari-hari (tak berdandan) dan dalam perayaan (berdandan). Setelah dikenal kain tenun, pakaian dari kulit kayu tidak dikenakan lagi. Pakaian dan aksesoris yang dihiasi dengan kulit kayu masih dikenakan pada awal abad ke-20 saat perayaan (Rijksmuseum).
Gambar 44. Hiasan kepala pria: (a) dan (b) Punt, Mariette (1877); (c) – (e) Enggano, Modigliani (1894); (f) – (j) Enggano, Rijksmuseum
Ikat kepala pria Tanah Punt adalah mengelilingi kepala diatas alis dan mengikatnya di belakang. Jenis lain adalah ikat kepala yang dilengkapi dengan topi yang mencuat ke atas dan melengkung pada ujungnya.
Modigliani (1894) menggambarkan ikat kepala pria Enggano sebagai lingkaran kecil, terbuat dari rambut kuda atau babi hutan dan dihiasi dengan bulu-bulu dengan berbagai warna. Jenis ini disebut eprúru cóio, yang berarti bulu babi. Rijksmuseum mencatat bahwa ikat kepala ini yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Karena pria Enggano dulunya berambut panjang, ikat kepala ini sangat cocok untuk menjaga rambut agar tidak menutupi wajah waktu membungkuk.
Orang-orang Tanah Punt sebagian mengenakan hiasan kepala yang mencuat ke atas dan melengkung pada ujungnya mirip dengan topi berkabung orang-orang Enggano. Modigliani (1894) menggambarkan topi berkabung orang Enggano, tciáua, sebagai tanda khusus di kepala, sebuah topi aneh yang terbuat dari pandan atau daun nipa yang menyerupai topi Frigia. Rijksmuseum mencatat bahwa topi berkabung dikenakan oleh seorang pria yang ditinggal mati istrinya selama tiga bulan masa berkabung berlangsung. Lengkungan ujung harus kearah belakang.
Gambar 45. Kalung: (a) dan (c) Punt, Mariette (1877); (b) dan (d) Punt, Deir el-Bahari; (e), (j), (k) dan (l) Enggano, Modigliani (1894); (f) dan (g) Enggano, manik-manik kerang, Modigliani (1894); (h) dan (i) Enggano, Rijksmuseum; (m) Enggano; (n) Mentawai; (o) Nikobar
Tetua Tanah Punt maupun istrinya mengenakan kalung dari manik-manik dan rantai pada lehernya. Kalung manik-manik orang Enggano digambarkan sebagai kalung untuk wanita, dikenakan selama perayaan. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka dikenakan oleh laki-laki (Modigliani 1894). Kalung tersebut terbuat dari manik-manik yang didatangkan dari daerah lain; pada abad ke-19 dan mungkin sebelumnya, dan merupakan barang dagangan yang populer. Seringkali, rantai tersebut dihiasi dengan potongan kerang nautilus. Motifnya dihasilkan dengan cara mengukirnya (Rijksmuseum).
Gambar 46. Gelang tangan dan kaki: (a), (c) dan (e) Punt, Mariette (1877); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) dan (h) Enggano, Modigliani (1894); (i) – (k) Enggano, Rijksmuseum; (l) Mentawaii
Tetua Tanah Punt mengenakan gelang pada pergelangan tangannya, sedang istrinya mengenakannya pada pergelangan kaki dan tangannya. Gelang tangan dan gelang kaki di Enggano dikenakan di sekitar lengan atas, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Gelang-gelang tersebut terbuat dari anyaman daun kering dan dihiasi dengan manik-manik atau semacam tasbih. Jenis lain adalah dari akar bahar (Antiphates sp), tanaman laut yang dapat menangkal penyakit.
Gambar 47. Gelang-gelang pelindung kaki: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) – (e) Batu Gajah, Museum Palembang; (f) – (h) batu-batu pra-sejarah budaya Basemah, Sumatera Selatan
Kaki kiri tetua Tanah Punt, Parehu, dililit dengan gelang-gelang pelindung. Batu-batu pra-sejarah yang ditemukan di Kabupaten Lahat dan sekitarnya, yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu, menunjukkan gambar pria-pria yang mengenakan gelang-gelang pelindung kaki yang terpahat pada batu. Batu-batu ini dipercaya berasal dari budaya Basemah, diantaranya yang disebut “Batu Gajah”, sekarang disimpan di Museum Palembang, Sumatera Selatan. Orang Basemah adalah kelompok masyarakat purba yang terutama menghuni bagian baratdaya dan selatan Sumatera. Mereka memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat-masyarakat purba lainnya yang menghuni bagian barat, tengah dan utara Sumatera, antara lain Lampung, Rejang, Kerinci dan Batak.
Gelang-gelang pelindung kaki saat ini masih dikenakan oleh orang-orang suku Padaung dan Kayan di Myanmar dan beberapa orang Dayak di Kalimantan.
Gambar 48. Belati dan golok: (a), (c) dan (e) Punt, Naville (1898); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) – (i) Enggano, Modigliani (1894); (j) – (l) Enggano, (m) – (o) Indonesia dan Malaysia; (p) tari golok Betawi (Jakarta)
Tetua Punt hanya mengenakan cawat dengan sabuk dimana sebuah belati diselipkan. Dalam salah satu adegan, tangan kirinya memegang senjata melengkung mungkin dengan selubung. Sebagian besar orang-orang Tanah Punt memegang senjata seperti ini pada setiap adegan. Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari juga menyebutkan bahwa senjata ini adalah produk yang disebut ảamu dari Punt (Naville, 1898). Melihat bentuknya, senjata melengkung ini menyerupai sebuah parang yang dikenal dengan “golok” di Indonesia dan banyak digunakan untuk pekerjaan di rumah, pertanian dan hutan serta sebagai senjata.
Modigliani (1894) menyebutkan bahwa nama belati Enggano adalah eohoári. Ia juga memberikan daftar senjata lainnya: epèiti cacuhia, yaitu pisau besar, yang lainnya epèiti canohè, pisau yang indah karena banyak hiasannya. Epacamáio, epochipò dan afíia, digunakan untuk memotong kayu di hutan dan untuk bekerja dan memiliki bilah yang lebar dimana cacuhia tidak dapat digunakan. Pisau kecil lainnya yang digunakan untuk keperluan memotong sayuran dan untuk pekerjaan kecil lainnya disebut eachiebára dan eáo. Helfrich (1891) menyebutkan bahwa istilah Enggano untuk “pisau” adalah pakamai.
Epacamáio (Modigliani) dan pakamai (Helfrich) adalah istilah yang sama yang berarti “parang” atau “pisau”, atau secara umum alat kerja atau senjata yang terdiri dari sebuah bilah tajam yang terpasang pada tangkai kayu. Epacamáio adalah gaya penulisan Itali untuk pakamai, sehinggapakamai adalah istilah aslinya. Jika kita menghapus awalan pa maka kata dasarnya adalahkamai. Prasasti di Deir el-Bahari yang bertuliskan ảamu (baca kh·a·mu) untuk menyebutkan senjata dari Punt adalah lidah Mesir dan tulisan hieroglif untuk kata kamai. Bahasa Enggano adalah secara khusus telah terisolasi dari ekspansi bahasa di Indonesia bagian barat. Nothofer (1986, 1994) menyebut bahasa ini sebagai “Paleo-Hesperonesia”.
Karambit (Sumatera Barat kurambik atau karambiak) adalah pisau genggam, melengkung kecil di Asia Tenggara yang menyerupai sebuah cakar. Dikenal sebagai kerambit di Indonesia dan Malaysia, pisau ini juga disebut karambit di Filipina dan di sebagian besar negara-negara Barat. Jika kita menghapus sisipan ar maka kata dasarnya adalah kambit, kata dasar yang sama dengan bahasa Enggano kamai, yang menyerupai ảamu seperti tertulis pada prasasti di Mesir.
Vegetasi yang khas di Asia Tenggara adalah hutan dan oleh karena itu parang dioptimalkan untuk memotong kayu dengan kuat dimana pisau tidak dapat digunakan dan bagian pemotong utamanya lebih maju dari pegangannya; bilahnya juga diasah dengan sudut lebih tumpul untuk mencegah tertancap dalam potongan kayu. Parang adalah istilah kolektif untuk pedang, pisau besar dan golok yang berasal dari seluruh Nusantara. Golok adalah alat pemotong, mirip dengan parang yang terdiri dari banyak variasi dan terdapat di seluruh Nusantara. Golok digunakan sebagai alat pertanian serta senjata. Istilah “golok” (kadang-kadang dieja dalam bahasa Inggris menjadi “gollock”) adalah istilah asli Indonesia tetapi juga digunakan di Malaysia dan dikenal sebagai gulokdan bolo di Filipina. Di Malaysia istilah ini biasanya dipertukarkan dengan parang yang lebih panjang dan lebih lebar. Di wilayah Sunda di Jawa Barat dikenal sebagai bedog. Badik atau badekadalah pisau atau belati yang terdapat dalam masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan.
Pada masa Dinasti ke-12, Tanah Punt diabadikan dalam literatur Mesir Tale of the Shipwrecked Sailor (“Kisah Pelaut yang Terdampar”) dimana seorang pelaut Mesir berbicara dengan seekor “naga agung” yang menyebut dirinya sebagai “Penguasa Punt” dan mengirimkan pelaut tersebut kembali ke Mesir dengan membawa banyak emas, rempah-rempah, dupa, gading gajah dan hewan yang berharga. Penulis menafsirkan bahwa “naga agung” yang dijumpai oleh orang-orang Mesir tersebut adalah dari masyarakat Naga, yang mungkin adalah pemuja ular, yang secara historis mendiami pulau-pulau di Asia Tenggara. “Naga agung” adalah berarti tetua masyarakat Naga yang menyebut dirinya sebagai Penguasa Punt, karena istilah “agung” yang diterjemahkan dari tulisan hieroglif Mesir berarti “tetua”, seperti halnya “Punt agung” yang dimaksudkan adalah “tetua Punt”.
Tale of the Shipwrecked Sailor menyebabkan berubahnya pemahaman masyarakat Mesir tentang Tanah Punt menjadi sebuah mitos karena munculnya tokoh mitologi naga yang berbicara dengan manusia. Namun, kisah tersebut adalah bersumber dari sebuah papirus sehingga penulisnya mungkin telah membumbui kisahnya dengan hal-hal yang berbau mitos.
Sebuah epik dalam karya sastera Tamil, Manimekalai, menyebutkan tentang sebuah pulau antara Srilanka dan Jawa – mungkin Sumatera – yang dihuni oleh masyarakat Naga yang kanibalis. Ibukota Jawa disebut-sebut sebagai Nagapuram, menunjukkan bahwa Jawa juga dihuni oleh masyarakat Naga, dengan raja-rajanya Bhumichandra dan Punyaraja yang mengaku keturunan Indra.
Di Srilanka, satu tempat yang juga terkait dengan masyarakat Naga didalam epik tersebut adalah Puhar, ibukota Chola, yang pernah menjadi ibukota masyarakat Naga yang diusir oleh raja pertama Chola Muchukunta dengan bantuan makhluk gaib Indra. Epik saudaranya,Silappadikaram, menyebutkan bahwa Puhar adalah ibukota masyarakat Naga, dimana Puhar telah dikenal sebagai Nagaram atau Pattinam. Masyarakat Naga di Srilanka telah ada sampai abad ke-3 SM sebagai kelompok yang berbeda di awal karya sastera Tamil. Pada abad ke-3 SM mereka mulai berasimilasi dengan bahasa dan budaya Tamil, dan kehilangan identitasnya.
Saat ini terdapat masyarakat suku Naga yang mendiami bagian timurlaut India dan baratlaut Myanmar. Masyarakat suku Naga telah dalam waktu yang lama tidak terganggu pengaruh luar dan telah mempertahankan budaya dari zaman yang paling kuno sampai sekarang. Beberapa peneliti telah menelusuri asal mereka dari suku-suku pengayau ras Melayu dan ras-ras dari laut selatan. Cerita, lagu-lagu dan legenda rakyat suku Naga menunjuk asal mereka ke arah tenggara. Adat dan budaya suku Naga mirip dengan suku di laut selatan dalam banyak aspek. Bordir pada pakaian suku Naga menyerupai yang terdapat pada pakaian suku-suku di Indonesia. Suku Naga menggunakan kerang dan keong dalam dekorasi tubuh mereka, menunjukkan bahwa mereka memperoleh pengetahuan dari laut selatan. Shakespeare, yang menulis sejarah Assam, juga menulis bahwa suku Naga mirip dengan suku Dayak dan mereka menyukai kerang laut, yang tidak ditemukan di desa-desa suku Naga. Praktek pengayauan adalah umum hingga abad ke-20 dan mungkin masih dipraktekkan di suku Naga yang terisolir di Myanmar. Banyak kebiasaan dan cara hidup seperti pengayauan, sistem rumah bersama, tato, batu pemakaman, alat tenun, sawah berteras dan sebagainya yang sangat mirip dengan mereka yang tinggal di bagian terpencil di Asia Tenggara, menunjukkan bahwa tempat tinggal kuno mereka adalah dekat laut atau di pulau-pulau.
Naga adalah dewa atau makhluk mitologi yang tedapat dalam agama Dharma dan Buddha. Mereka tinggal di dunia bawah (Patala). Terdapat beberapa legenda tentang masyarakat Naga antara lain dalam cerita rakyat suku di India Selatan (Adivasis) dan dalam masyarakat aborigin Australia. Dalam legenda ini, masyarakat Naga menghuni benua besar yang ada di suatu tempat di laut selatan yang kemudian tenggelam dan sisa-sisanya membentuk kepulauan (Indonesia dan Australia). Masyarakat Naga ini dikatakan telah mengembangkan peradaban dunia bawah yang lebih maju dan mereka memiliki kekuatan super.
Dalam legenda Kamboja, Naga adalah makhluk reptil yang memiliki kerajaan besar di wilayah laut selatan. Ular naga berkepala tujuh digambarkan sebagai patung pada candi-candi di Kamboja seperti Angkor Wat, mungkin mewakili tujuh ras dalam masyarakat Naga.
Hampir setiap candi di Indonesia dihiasi dengan kepala naga yang disebut Makara, demikian juga rumah-rumah, alat-alat musik dan seni ornamental lainnya. Naga Jawa biasanya digambarkan sebagai pelindung atau pengayom, sehingga umum ditemukan dalam pahatan gerbang, pintu masuk, atau undakan tangga dengan maksud melindungi bangunan yang ia tempati.
Dalam seni Tiongkok, naga biasanya digambarkan sebagai makhluk menyerupai ular yang panjang, bersisik dan berkaki empat serta bertanduk. Naga Tiongkok melambangkan kekuatan dan tuah, khususnya mengawal air, hujan dan banjir. Dalam peristilahan ‘yin’ dan ‘yang’, naga adalah ‘yang’ (jantan) yang melengkapi ‘fenghuang’ (phoenix Tiongkok) yang bersifat ‘yin’ (betina). Naga Tiongkok dijadikan lambang kebudayaan yang berwibawa dan bertuah.
Maritim Asia Tenggara terdiri lebih dari laut daripada daratan. Terdapat Semenanjung Malaya, beberapa pulau besar dan puluhan ribu pulau-pulau kecil. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal, kekuasaan di Asia Tenggara dikaitkan dengan sistem perdagangan maritim.
Penciptaan sistem pasar berlangsung pada awal Pleistosen, dengan munculnya spesialisasi dan mulainya Zaman Neolitik. Tanda-tanda awal bekerjanya sistem pasar dapat dilihat dengan munculnya barter dalam suku-suku. Pasar terbuka atau dengan peneduh dikembangkan dimana pedagang memiliki tempat berdagangnya dan dimana pengrajin membuat dan menjual barang dagangannya. Pasar bukan hanya tempat untuk pembelian barang, tetapi juga menjadi tempat bagi orang-orang untuk berkumpul dengan banyak tujuan yang lain. Pasar dikembangkan di dekat muara sungai atau saluran air strategis lainnya. Beras dan produk pertanian lainnya dikirim kesana melalui sungai dari dataran tinggi yang lebih subur dan produktif. Dalam pertukarannya dengan beras dan produk pertanian lainnya, mereka menerima garam dan ikan kering dari hilir, dan berbagai barang impor – perlengkapan dari logam mulia, keramik dan kain khususnya, banyak diproduksi sejauh India dan Tiongkok.
Tuntutan usaha dan perdagangan yang maju mengakibatkan sistem uang untuk dikembangkan. Bentuk paling awal dari uang biasanya berupa uang logam, atau uang komoditas seperti kerang, daun tembakau, batu bulat dan manik-manik.
Pulau-pulau kecil, bersama dengan lembah aluvial, adalah daerah disukai untuk transaksi awal karena kelimpahannya akan ikan dan kelapa, dan keuntungan defensif atas pengetahuan lokal seperti terumbu karang dan jalur pelayaran. Banyak muara sungai utama, di sisi lain, adalah berbahaya terhadap malaria kecuali kemudian diberantas untuk dijadikan sawah permanen. Yang berperan dalam pembentukan jalur pelayaran utama adalah orang-orang perahu atau orang-orang laut.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pasar juga tumbuh lebih besar, dan umumnya berubah menjadi pelabuhan. Pelabuhan utama pertama yang muncul di Nusantara adalah Sriwijaya di Sumatera. Dari abad ke-5, ibukotanya, Palembang, menjadi pelabuhan utama dan berfungsi sebagai tempat penyaluran Jalur Rempah-rempah antara India dan Tiongkok. Kekayaan dan pengaruh Sriwijaya memudar ketika kemajuan teknologi bahari di abad ke-10 dikuasai oleh para pedagang Tiongkok dan India dengan kapal barang yang langsung antara kedua negara dan juga memungkinkan negara Chola di India selatan untuk melaksanakan serangkaian serangan yang menghancurkan kekayaan Sriwijaya, sehinggi mengakhiri fungsi Palembang sebagai pelabuhan perantara.
Pelabuhan dagang besar Malaka didirikan pada awal abad ke-15. Malaka tumbuh menjadi pelabuhan dagang utama di Asia Tenggara. Tiongkok dibawah dinasti Ming telah memutuskan bahwa mereka menjalin hubungan perdagangan langsung di wilayah tersebut. Tiongkok diperpanjang perlindungannya untuk Malaka dan hal ini membantu mencegah tantangan regional lainnya perihal kekuatannya. Islam tiba dengan para pedagang dari India pada akhir abad ke-13 dan ke-14 dan pengaruhnya meluas sehingga Malaka pada pertengahan abad ke-15, yang merupakan pelabuhan dagang unggulan di Asia Tenggara, menjadi kesultanan Muslim.
Dalam upaya untuk mematahkan monopoli Arab dalam perdagangan antara Eropa dan Asia, Portugis memutuskan untuk menjalin hubungan perdagangan langsung di Asia. Portugis adalah kekuatan Eropa pertama yang memelopori jalur perdagangan ke wilayah maritim kaya Asia Tenggara, dengan menaklukkan Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera menggantikan Portugis sebagai kekuatan Eropa utama di wilayah tersebut. Pada 1599, Spanyol mulai menjajah Filipina. Pada tahun 1619, bertindak melalui Dutch East India Company (VOC), Belanda menguasai kota Sunda Kelapa, menamainya Batavia (sekarang Jakarta) sebagai basis untuk perdagangan dan ekspansi ke daerah lain di Jawa dan wilayah sekitarnya. Pada tahun 1641, Belanda mengambil Malaka dari Portugis. Peluang ekonomi menarik Tiongkok ke wilayah tersebut dalam jumlah yang besar. Pada 1775, Republik Lanfang, mungkin republik pertama di wilayah ini, didirikan di Kalimantan Barat, sebagai negara sungai dibawah Kekaisaran Qing; republik ini berlangsung sampai 1884, ketika jatuh di bawah pendudukan Belanda dan ketika pengaruh Kekaisaran Qing memudar.
Bahasa Melayu, yang pertama kali berkembang di sekitar muara Sungai Batanghari di Sumatera, mendominasi wilayah Asia Tenggara. Bahasa Melayu menunjukkan kaitannya yang paling dekat dengan sebagian besar bahasa lain di Minangkabau, Kerinci, Rejang, dan jelas, tetapi tidak begitu erat, terkait dengan bahasa Austronesia lainnya di Kalimantan, Jawa dan Cham di Vietnam. Penyebaran bahasa Melayu adalah melalui kontak antar etnis dan perdagangan di seluruh Nusantara sejauh Filipina. Kontak ini menghasilkan sebuah lingua franca yang disebut Melayu Pasar. Secara umum dipercaya bahwa Melayu Pasar adalah sebuah pidgin, sarana komunikasi gramatikal yang disederhanakan yang berkembang antara dua atau lebih kelompok yang tidak memiliki bahasa yang sama. Melayu Pasar masih digunakan dalam batas tertentu di Singapura dan Malaysia.
Istilah dalam bahasa Melayu untuk “pasar” adalah pekan, yang berasal dari bahasa Melayu Kunopakan. Ungkapan “hari pekan” dikenal di beberapa daerah yang berarti “hari ketika pasar diadakan”, yang biasanya dalam selang 7 hari (seminggu), maka pekan kemudian menjadi istilah umum untuk “minggu”. Pekan juga istilah untuk daerah pemukiman yang lebih besar, terutama karena daerah ini dikembangkan dari pasar. Dalam perkembangan yang lebih maju, pekan menjadi sebuah istilah untuk sebuah kota perdagangan. Pekanbaru, Pekan Labuhan, Pekan Nagori Dolok dan Pekan Perigi di Sumatera; Pekan di Pahang, Malaysia; dan Pekan Tutong di Brunei, adalah beberapa tempat yang dinamai sebagai kota perdagangan.
Tanah Punt dalam hieroglif Mesir adalah , transliterasi p-wn-nt, Kode Gardiner {Q3 E34 N35 X1 N25} dan diucapkan pwenet. Tanda terakhir adalah yang menunjukkan negara atau wilayah. Akhiran feminin “t” tidak diucapkan dalam masa Kerajaan Baru, maka pengucapannya adalah pwene atau puene. Pwene kemungkinan adalah pakan atau pa’an dalam bahasa Melayu Kuno. Orang Mesir terus melakukan hubungan perdagangan dengan orang Punt, seperti yang tercatat dalam sejarah mereka dari Dinasti ke-4 sampai ke-26 (abad ke-27 – ke-6 SM). Mereka mengenal tempat di Tanah Punt dengan apa yang orang-orang menyebutnya pakan atau pa’an, yang berarti tempat perdagangan.
The probable place for the trading between them was in southwest Sumatera, the present province of Bengkulu, where it was easily reached from the Indian Ocean. The Enggano Island is located off that coast of which the ancient culture of Bengkulu is still can be portrayed from the isolated Engganese. The ancient Bengkulu people was the cradle of Neo-Malayan, spreads almost the whole archipelago.
Tempat yang memungkinkan untuk melakukan perdagangan antara orang-orang Mesir dan Punt adalah berada di Sumatera baratdaya, yang kini di Provinsi Bengkulu, dimana tempat ini mudah dicapai dari Samudera Hindia. Pulau Enggano terletak di lepas pantainya dimana budaya kuno Bengkulu masih dapat tergambarkan oleh penduduk Enggano yang terisolasi. Bengkulu kuno adalah tempat lahirnya bangsa Neo-Melayu, yang menyebar hampir ke seluruh Nusantara.
Bengkulu telah dihuni dari zaman prasejarah. Sebagian terdapat di pedalaman, sementara yang lain mendiami wilayah pesisir. Bengkulu , yang masyarakatnya terdiri dari suku-suku Rejang, Serawai/Pasemah, Kaur, Lembak dan Ketahun, adalah tempat lahirnya bangsa Neo-Melayu.
Pada waktu penjelajah Eropa dan pedagang datang ke pulau Sumatera, mereka menemukan sisa-sisa aluvial yang meluas dan penambangan emas bawah tanah. Sisa-sisa penambangan yang sangat ekstensif menunjukkan bahwa telah dikerahkan tenaga kerja yang sangat banyak dan terorganisir, dimana batu asah besar dan koin emas klasik telah ditemukan. Bahan limbah yang diambil di sekitar Lebongdonok menunjukkan bahwa pertambangan tersebut adalah sangat besar.
Pohon yang menghasilkan kemenyan banyak terdapat di Taman Nasional Bukit Duabelas, bagian dari Taman Nasional Kerinci-Seblat. Orang-orang Rejang mendiami wilayah ini. Nama tempat seperti Bukit Kemenyan dan Tanjung Kemenyan di sekitar wilayah ini menunjukkan bahwa pohon kemenyan telah dibudidayakan di wilayah tersebut. Dataran tinggi Kerinci di sebelah utara Bengkulu, yang dihuni oleh orang-orang Kerinci, adalah asal pohon kayu manis. Legenda-legenda yang terdapat diantara masyarakat suku di Bengkulu dan Lampung bercerita tentang hal-hal yang terkait dengan hubungan dengan pedagang asing.
Studi linguistik dan alfabet budaya Rejang di Sumatera baratdaya yang dilakukan oleh antara lain Sir Thomas Stamford Raffles (1817), J Park Harrison (1896), EEEG Schroder (1927) dan MA Jaspen (1983) menunjukkan beberapa korelasi bahasa dan alfabet Rejang dengan bahasa dan alfabet Fenisia dan Mesir kuno. Studi yang dilakukan oleh Dhani Irwanto (2015) menunjukkan bahwa abjad Lampung, Rejang dan Rencong adalah lebih dekat dengan abjad Fenisia Proto-Sinaitic daripada abjad Brahmi. Ketiga wilayah Sumatera tersebut dalam sejarahnya sangat sedikit dipengaruhi oleh budaya India. Abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir dan menjadi salah satu sistem penulisan yang paling banyak digunakan, disebarkan oleh pedagang Fenisia ke seluruh masyarakat Laut Tengah, dimana kemudian berkembang dan diasimilasi oleh banyak budaya lainnya.
1) Bangsa Fenisia
Bangsa Fenisia (bahasa Inggris: Phoenicia) pada zaman dahulu hidup di wilayah Timur Tengah (ca 1550 – 300 SM), atau sekarang di Lebanon dan Suriah yang merupakan daerah pesisir laut. Mereka memiliki 4 kota penting, yaitu Tirus, Sydon, Byblos dan Kartago, yang merupakan kota dagang. Tiga kota pertama sekarang masih ada di Lebanon, walaupun sudah mengalami banyak perubahan. Kartago berada di Tunisia. Di Byblos mereka membangun pelabuhan yang sangat besar.
Bangsa Fenisia terkenal dengan sebutan middlemen yaitu sekelompok orang yang membawa suatu barang dari suatu negara ke negara lain. Mereka juga yang mengenalkan papyrus ke negara lain. Mereka membuat suatu jenis kapal dari kayu cedar yang memiliki layar dan juga dayung, dan di bagian depannya terdapat bentuk kepala naga. Di dalam kapal terdapat banyak barang yang digunakan sebagai barter.
Bangsa Fenisia adalah mungkin pelaut dan pedagang yang paling produktif di masa lalu. Mereka memiliki budaya perdagangan maritim yang giat dan tersebar di seluruh Laut Tengah. Kegiatan bangsa Fenisia di Samudera Hindia dimulai dengan pembangunan pelabuhan Ezion-Geber di ujung Laut Merah pada 950 SM. Selama lebih dari seribu tahun, bangsa Fenisia berlayar dibawah bendera yang berbeda-beda di Laut Tengah, Samudera Atlantik, Laut Merah dan Samudera Hindia. Juga memungkinkan bagi mereka untuk berlayar dengan ekspedisi perdagangan mereka sendiri karena mereka tahu tentang manfaat berlayar ke Timur Jauh. Tidak ada keraguan bahwa mereka mampu menyeberangi lautan luas dengan memanfaatkan arus laut dan angin.
Gambar 49. Jalur perdagangan bangsa Fenisia
Bangsa Fenisia dikenal pada masa Yunani dan Romawi klasik sebagai “pedagang ungu”, merujuk pada monopoli mereka atas pewarna ungu terbuat dari siput murex yang sangat berharga, yang digunakan antara lain untuk busana para bangsawan, dan untuk penyebaran abjad mereka. Perdagangan komoditas berharga juga meliputi permata, dimana batu rubi dan berlian dipotong dan diasah di Hindia (India Raya, termasuk Indonesia). Para ilmuwan yang paling kredibel tahu bahwa bangsa Fenisia adalah sangat merahasiakan asal barang perdagangan mereka. Sumber bahan dan resep untuk pembuatan larutan zat pewarna tersebut sampai sekarang masih misteri.
Bangsa Fenisia menggunakan kayu cedar Lebanon untuk membuat kapal komersial dan militer, serta rumah-rumah, istana dan kuil-kuil. Tidak ada bukti bahwa hutan cedar kuno di Lebanon adalah asli; pohon-pohon cedar yang ada saat ini kemungkinan besar telah ditransplantasikan dari tempat lain pada zaman kuno. Sejarah logam timah juga selalu melibatkan bangsa Fenisia. Dari mana asal bangsa Fenisia sampai saat ini masih menjadi misteri, pasti bukan dari wilayah Laut Tengah karena tidak ada catatan dan cerita tentang hal itu. Kerahasiaan bangsa Fenisia menjadikan dari mana asal mereka sebagai pertanyaan yang tak bisa dijawab. Pelaut India tidak memiliki kemampuan untuk berdagang melalui laut lepas; mereka lebih dikenal sebagai perantara untuk kepentingan logistik, sehingga kecil kemungkinan asal bangsa Fenisia adalah dari India.
Bukti tertua tentang asal nama Fenisia adalah dari kata Mycenaea po-ni-ki-jo, po-ni-ki, yang berasal dari kata Mesir kuno fnḫw (fenkhu) yang berarti “Asiatik, Semit”. Tulisan Herodotus (ditulisca 440 SM) yang mengacu pada mitos Io dan Europa (History, I: 1) berbunyi sebagai berikut.
“Menurut informasi Persia yang terbaik dalam sejarah, orang-orang Fenisia memulai pertengkaran. Orang-orang ini, yang sebelumnya berdiam di tepi Laut Eritraea, telah bermigrasi ke Laut Tengah dan menetap di bagian yang kini mereka huni, diawali pertama kali, seperti yang mereka katakan, dengan petualangan yang panjang, mengangkut dengan kapal mereka barang-barang dari Mesir dan Asyur …”
Samudera Hindia (termasuk Samudera Pasifik) sebelumnya bernama Laut Eritraea (Herodotus, Dicaearchus, Eratosthenes, Posidonius dan Strabo), dimana orang-orang Fenisia sebelumnya berdiam di pantainya dan perlu perjalanan panjang untuk bermigrasi ke Laut Tengah. Tersirat dalam ungkapan tersebut bahwa orang-orang Fenisia adalah berasal dari “Timur” atau “Asia” di Samudera Hindia dan Pasifik.
Penulis membuat perbandingan antara tiga kelompok utama aksara Sumatera Selatan: Rencong (atau Ancung) di Kerinci, Rejang di Bengkulu dan Lampung di Sumatera bagian selatan, Proto-Mesir dan Proto-Sinai (Fenisia Kuno) seperti yang ditunjukkan dalam tabel dibawah ini. Juga ditampilkan aksara-aksara yang dipengaruhi oleh aksara Brahmi, Ugarit dan Latin modern.
Gambar 50. Perbandingan aksara Fenisia Kuno, Nusantara dan India
Seperti dapat kita lihat dari perbandingan diatas, aksara Lampung, Rejang dan Rencong adalah lebih mendekati aksara Fenisia Proto-Sinai daripada aksara India Brahmi. Dalam sejarahnya, ketiga wilayah Sumatera tersebut sangat sedikit dipengaruhi oleh budaya India. Abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir dan menjadi salah satu sistem penulisan yang paling banyak digunakan, disebarkan oleh pedagang Fenisia ke seluruh Laut Tengah, dimana ia berkembang dan diasimilasi oleh banyak budaya lainnya.
Velikovsky (2006) mengaitkan nama Fenisia dengan pontifex, yang berarti “pendeta besar”. Kata “pontiff” bukan berasal dari bahasa Latin, bukan berasal dari “pons”, tapi mungkin dari “Punt”. Dikisahkan bahwa Ratu Hatshepsut, setelah ekspedisinya mengunjungi Tanah Punt, kemudian membangun sebuah “Tanah Punt” yang baru untuk dewa Amon dan menjadikannya tempat suci untuk pemujaan. Dengan mendirikan sebuah “Punt” di Mesir, Ratu Hatshepsut juga memperkenalkan lembaga kependetaan yang besar dengan menyalinnya dari kuil di Yerusalem yang dibangun dengan model Fenisia.
Aliansi Raja Sulaiman dengan Hiram, raja Fenisia, menunjukkan pengaruh Fenisia yang kuat dalam kehidupan kerajaan Yehuda dan Israel. Pengaruh ini juga terlihat jelas dalam Alkitab dalam kisah pembangunan kuil yang dibangun dengan bantuan Raja Hiram, yang memberi Raja Sulaiman bahan bangunan dan seorang kepala tukang keturunan Ibrani-Fenisia (Kitab Raja-raja 7: 13-14). Ekspedisi ke Tanah Ophir dan pemindahan wilayah dari raja yang satu dengan yang lain secara damai (Kitab Raja-raja 9: 11) juga mungkin telah menjadikan seluruh Palestina pada waktu itu disebut Fenisia. Ekspedisi Mesir ke Tanah Punt dalam periode akhir adalah besar kemungkinannya juga dibantu oleh orang-orang Fenisia.
Dapat diduga bahwa asal-usul bangsa Mesir serta Fenisia adalah Tanah Punt, yaitu Bengkulu. Kita bisa mengandaikan bahwa orang Mesir dan kemudian orang Fenisia sebelumnya adalah orang Punt. Dalam masa Periode Akhir Mesir banyak perdagangan Mesir berpindah tangan ke orang-orang Fenisia dan Yunani. Sejarah panjang kontak dengan orang Mesir membuat orang-orang Tanah Punt (atau Bengkulu) belajar dari orang Mesir cara-cara berlayar dan berdagang barang mewah produk mereka. Hal itu wajar bahwa produsen selalu tertarik untuk menjual produk mereka langsung ke konsumen untuk mendapatkan keuntungan mereka sendiri. Diduga, mereka memiliki kerjasama dengan orang Bugis di Sulawesi untuk membangun kapal. Pedagang Bugis sering mengunjungi Bengkulu dan Pulau Enggano di zaman kuno untuk memperdagangkan kelapa berkualitas tinggi (Helfrich, 1891). Aksara Rejang juga memiliki kaitan yang erat dengan aksara Bugis. Orang Bugis memiliki kapal Phinisi, yang mirip dengan nama “Phoenicia” (Fenisia), dan telah terbukti terampil untuk berlayar di lautan yang luas.
Kelimpahan kayu dengan kualitas tinggi di Sumatera dapat memfasilitasi mereka untuk membangun kapal yang lebih canggih daripada kepunyaan orang Mesir. Sumber barang yang diperdagangan oleh orang Fenisia, yaitu antara lain siput murex, dupa dan permata adalah barang-barang yang asli Asia Tenggara. Orang-orang Tanah Punt bersama dengan orang-orang Bugis yang berhasil melakukan perdagangan ini kemudian disebut orang Fenisia, dari asal kata “Punt”, “Pwene” atau “Phinisi”. Agar dapat memonopoli barang-barang dari Asia yang diperdagangkan di Mediterania, bangsa Fenisia terus merahasiakan asalnya sampai pada abad ke-18 ketika Belanda dan Inggris berhasil mengeksplorasi sumber daya dalam jumlah yang besar. Orang-orang pesisir Samudera Hindia di Sumatera serta orang-orang Bugis adalah terkenal dengan keterampilan mereka dalam berdagang. Legenda dan lagu-lagu mereka juga bercerita tentang perdagangan keluar dari daerah mereka (merantau). Masyarakat Bugis, begitu juga Dayak Barito di Kalimantan, telah ditelusuri melakukan hubungan dengan masyarakat Madagaskar pada zaman kuno.
Juga, sejarah panjang kontak dengan orang-orang Mesir membuat orang-orang Tanah Punt dan Bugis (dan yang kemudian menjadi Fenisia) belajar menulis hieroglif, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi aksara abjad. Abjad Lampung, Rejang, Rencong dan Bugis adalah warisan dari aksara ini seperti yang telah dibahas diatas.
Keterampilan maritim bangsa Fenisia yang terkenal membuat kagum Raja Sulaiman (antara 973 dan 33 SM) sehingga ia meminta Raja Tirus untuk mengirim para tukang kayu dan veteran pelaut Fenisia untuk bergabung kedalam armadanya untuk menuju ke Tanah Ophir pada 945 SM (Kitab Raja-raja 1: 9-26). Meskipun demikian, sampai saat ini belum diketahui dimana lokasi tepatnya Tanah Ophir. Secara geografis, Tanah Ophir digambarkan dengan cara yang sama persis dengan Tanah Punt. Keduanya berada “amat jauh, ke tenggara”; kapal Raja Sulaiman berlayar dari sebuah pelabuhan di Laut Merah dan sekali putaran pelayaran berlangsung selama tiga tahun. Barang-barang yang dibawa dari Tanah Ophir kurang lebih sama dengan yang dibawa oleh orang Mesir dari Tanah Punt dan pelabuhan-pelabuhannya yang lain. Raja Sulaiman menerima satu kapal penuh muatan yang berupa emas, perak, kayu “algum”, batu mulia, gading, kera dan burung merak setiap tiga tahun.
Keberadaan Eldorado di Tanah Ophir (Kitab Raja-raja 10: 11, Kitab Tawarikh 09: 21) diyakini adalah merupakan salah satu Suku Hilang Israel. Dalam Kitab Kejadian 10 (Daftar Bangsa-bangsa) disebutkan bahwa Eldorado adalah nama salah satu anak-anak Yoktan. Yoktan adalah anak kedua dari dua anak Eber, cicit Sem – anak Nuh. Dalam literatur-literatur pra-Islam, Tanah Ophir disebutkan dalam tiga sumber Arab dan Ethiopia pra-Islam: Kitab al-Magall, Gua Harta Karun dan Pertentangan Adam dan Hawa dengan Setan. Kitab al-Magall menyatakan bahwa pada hari-hari Reu, seorang raja Negeri Saba bernama “Firaun” menggabungkan Ophir dan Hawila kedalam kerajaannya, dan “membangun Ophir dengan batu emas, karena batu dalam gunung-gunungnya adalah terdiri dari emas murni”.
Onycha adalah salah satu komponen yang digunakan dalam kebaktian Ketoret yang terdapat dalam Kitab Taurat Keluaran (Kel 30: 34-36) dan digunakan didalam kuil Sulaiman di Yerusalem. Bochart, peneliti Alkitab terkenal menyatakan dalam salah satu topik penelitiannya bahwa onychasebenarnya adalah kemenyan, suatu getah kering yang disadap dari spesies pohon Styrax(Abrahams, 1979), yang kemungkinan didatangkan dari Sumatera. Kemenyan telah didatangkan ke tanah-tanah yang disebutkan dalam Alkitab selama era Perjanjian Lama.
Penulis berkesimpulan bahwa lokasi Tanah Ophir adalah sama dengan Tanah Punt atau berada di wilayah yang berdekatan. Keduanya menjadi perhatian raja-raja di Mesir dan Timur Tengah karena kekayaannya akan logam mulia, kayu, batu mulia, wewangian, binatang dan hasil hutan. Karena Tanah Punt adalah tanah asal orang-orang Mesir, hal yang sama dapat diberlakukan pula untuk Tanah Ophir. Kisah Atlantis yang tercatat dalam dokumentasi Mesir diduga bersumber dari Tanah Punt atau Tanah Ophir, yaitu di Sumatera yang merupakan wilayah Atlantis.
Jones-Gregorio pada tahun 1994 melakukan studi dalam tesisnya tentang hubungan antara bahasa Mesir dan Semit Barat dengan bahasa Rejang berdasarkan kamus Rejang yang disusun oleh MA Jaspen (1983). Ia menyimpulkan bahwa banyak kata-kata dalam bahasa Rejang yang memiliki kemiripan dekat dengan bahasa Mesir kuno dan Fenisia.
Tabel 1. Kaitan silabus Mesir-Rejang-Indonesia-Malaysia (Jones-Gregorio, 1994)
Tabel 2. Kaitan silabus Ibrani-Rejang-Indonesia-Malaysia (Jones-Gregorio, 1994)
Gambar 51. Kemungkinan lokasi pelabuhan Punt
Berdasarkan bukti-bukti diatas, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di sekitar pantai Bengkulu, Sumatera baratdaya. Wilayah ini mudah dicapai dari Samudera Hindia. Lokasi yang mungkin untuk pelabuhan Punt adalah Ipuh, Kota Bengkulu, Mana dan Bintuhan tetapi yang paling mungkin adalah Kota Bengkulu.
Kota Bengkulu sebagai lokasi yang paling mungkin adalah dengan alasan bahwa kondisi pantainya mendukung bagi kapal untuk berlabuh dan berada pada jarak yang terdekat dengan pusat budaya Rejang, habitat pohon kemenyan dan tambang emas kuno Lebong Donok. Sebuah teluk yang terdapat di situ dan lereng pantainya yang landai menjadikannya tempat yang terbaik untuk berlabuh. Sebuah pelabuhan baru telah dibangun di pantai tersebut, yaitu di Pulau Baai, pada tahun 1984.
Perusahaan Inggris, East India Company (EIC) mendirikan pusat perdagangan lada dan garnisun di sekitar Kota Bengkulu (Bencoolen) pada tahun 1685. Pada tahun 1714, mereka membangun Benteng Marlborough, yang sampai sekarang masih berdiri. Pos perdagangan tersebut tidak pernah menguntungkan bagi Inggris, karena terhambat oleh lokasi yang tidak disenangi oleh orang Eropa, dan karena ketidakmampuannya untuk mendapatkan lada yang cukup banyak untuk dibeli. Kemudian hanya menjadi pelabuhan sesekali kunjung saja bagi East Indiaman, kapal yang disewa EIC. Meskipun terdapat kesulitan-kesulitan ini, Inggris tetap bertahan dan berada disana selama kira-kira 140 tahun sebelum menyerahkannya ke Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 dalam pertukarannya dengan Malaka. Bengkulu tetap menjadi bagian dari Hindia Belanda sampai pendudukan Jepang dalam Perang Dunia Kedua.
Kemungkinan lokasi yang lain adalah Ipuh, Manna dan Bintuhan. Di Ipuh tidak ada teluk yang dapat melindungi kapal untuk berlabuh tetapi pantainya landai. Dikatakan bahwa pernah ada pasar kuno di Ipuh. Manna adalah kota tua dan pasar yang telah terdapat pada peta-peta buatan Eropa sejak abad ke-16. Suku Serawai, suku terbesar kedua di Bengkulu setelah suku Rejang, mendiami daerah di sekitar Manna, antara lain di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna dan Seginim.
Sebutan Tanah Punt sebagai Ta Netjer oleh orang-orang Mesir yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Tanah Dewata, merupakan tempat tinggalnya para dewa dan lokasinya adalah kearah matahari terbit, tempatnya Dewa Matahari Ra. Sebutan Tanah Dewata dapat ditafsirkan sebagai “tanah para leluhur”, yang berarti bahwa orang Mesir kuno melihat Tanah Punt sebagai tanah leluhur mereka.
Dari pembahasan diatas dan banyaknya bukti-bukti, dengan jelas dapat diduga bahwa Tanah Punt terdapat di Sumatera. Berkaitan dengan Tanah Punt sebagai tanah leluhur orang-orang Mesir kuno, maka dapat disimpulkan bahwa tanah asal bangsa Mesir adalah di Sumatera, dengan lokasi yang paling mungkin adalah di Bengkulu.
Kisah Atlantis berasal dari Mesir, yang dikatakan terdapat pada prasasti di sebuah kuil di Mesir. Secara umum, Mesir memiliki catatan yang paling lengkap dan akurat tentang kejadian-kejadian masa lalu, bahkan sampai yang paling kuno. Disebutkan juga bahwa asal bangsa Mesir adalah di Atlantis, sebagai sebuah wilayah yang telah ditaklukkannya. Kita bisa menduga bahwa Mesir purba yang diceritakan oleh pendeta Mesir tersebut sebenarnya adalah suku primordial yang merupakan nenek moyang mereka sebelum banjir besar dan bencana lainnya. Mereka adalah diantara para pengungsi dan korban bencana; kemudian bermukim kembali di daratan yang sekarang disebut Mesir. Dalam penyelamatan, mereka membawa catatan, dan selanjutnya disimpan dalam kuil-kuil mereka, ataupun ingatan mereka ditulis kembali setelah berada di tempat barunya.
Kaitan antara Tanah Punt dan Atlantis adalah keduanya merupakan tanah asal bangsa Mesir. Hal ini dengan jelas memperkuat hipotesis penulis bahwa negara Atlantis adalah di Sundalandia, mengingat Sumatera adalah dulunya berada didalam wilayah Sundalandia. Primordial bangsa Mesir yang merupakan wilayah yang ditaklukkan oleh Atlantis terdapat di Sumatera, sedangkan ibukota Atlantis terdapat di tempat yang sekarang disebut Laut Jawa.
***
Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto
Dari naskah asli Land of Punt is Sumatera
Johannes Duemichen, Historiche Inschriften Altägyptischer Denkmäler, Leipzig, 1869
Auguste Mariette-Bey, Deir-El-Bahari, Documents Topographiques, Historiques et Ethnographiques, Recueillis dans Ce Temple, Leipzig JC Hinrichs, 1877
Amelia Ann Blanford Edwards, Pharaohs Fellahs and Explorers, Chapter 8: Queen Hatasu, and Her Expedition to the Land of Punt, Harper & Brothers, New York, 1891 (First edition), pp 261-300
WM Flinders Petrie, AS Murray and FLL Griffith, Tanis, Part 11, Nebesheh (Am) and Defenneh (Tahpanhes), Trubner & Co, London, 1888
Eduardo Naville, The Temple of Deir El Bahari, The Offices of The Egypt Exploration Fund, London, 1898
Shih-Wei Hsu, The Palermo Stone: the Earliest Royal Inscription from Ancient Egypt, Altoriental. Forsch., Akademie Verlag, 37 (2010) 1, 68–89
Kathryn A Bard and Rodolfo Fattovich, The Middle Kingdom Red Sea Harbor at Mersa/Wadi Gawasis, Boston University and University of Naples “l’Orientale”, 2011
Fiona Marshall, Rethinking the Role of Bos indicus in Sub-Sahara Africa, Current Anthropology Vol 30, No 2, 1989.
Elio Modigliani, L’Isola Delle Donne, Viaggio ad Engano, Ulrico Hoepli Editore – Libraio Della Real Casa, Milano, 1894
Pieter J ter Keurs, Enggano, Digital publications of the National Museum of Ethnology, nd
Masakazu Kashio, Dennis V Johnson, Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from Styrax Species), RAP Publication: 2001/21, Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand, 2001
HJ Abrahams, Onycha, Ingredient of the ancient Jewish incense: An attempt at identification in Econ, 1979
Francesca Modugnoa, Erika Ribechinia and Maria Perla Colombini, Aromatic resin characterisation by gas chromatography–mass spectrometry: Raw and archaeological materials, Journal of Chromatography A Volume 1134, Issues 1-2, 17 November 2006, Pages 298-304.
Kathi Keville, Mindy Green, Aromatherapy: A Complete Guide to the Healing Art, nd
Theo van Leeuwen, A Brief History of Mineral Exploration and Mining in Sumatra, Proceedings of Sundaland Resources 2014 MGEI Annual Convention, 2014
OL Helfrich & JAJC Pieters, Proeve van Eene Maleisch-Nederlandsch-Enganeesch Woordenlijst, Batavia Albrecht Rusche, ‘s Hage M Nijhoff, 1891
Archive of Materials for the Study of the Rejang Language of Sumatrahttp://www.ohio.edu/people/mcginn/rejanglang.htm
Immanuel Velikovsky, From the Exodus to King Akhnaton, Paradigma Ltd, 2009
Charles Robert Jones-Gregorio, Egyptian And West Semitic Words In Sumatra’s Rejang Culture, Dominican School of Theology and Philosophy St Albert the Great College, 1994
Paul Dickson, Dictionary of Middle Egyptian in Gardiner Classification Order, Creative Commons, 2006
Bonn Universitätsklinikum, Bonn scientists shed light on the dark secret of Queen Hatshepsut’s flacon, https://www.uni-bonn.de/Press-releases/deadly-medication
Posted by :Arjuna RinaldyPosted date : 29 Maret 2016In Bapak Gede, Kebangsaan, Kerajaan0
Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.“Akan ada banjir darah di Jawa dan ada gelombang kelaparan. Tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung Dimas Pangeran Diponegoro sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda.”Semoga setelah masyarakat memusatkan perhatian di Cidahu, Sukabumi, mereka juga mengingat perjuangan masa lalu para pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah Indonesia yang merdeka dan menjadi bangsa terhormat, seperti yang diajarkan Eyang Santri Pada Bung Karno.
akarnews – Eyang Santri yang nama mudanya Pangeran Djojokusumo adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran. Ia cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo, yaitu: Pangeran Prabuamidjojo. Di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755.
Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.
Pangeran Djojokusumo lahir pada tahun 1770. Di masa remajanya ia berguru dengan banyak ulama. Bahkan, ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra Jawa.
Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan sosial agar kelak menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.
Tahun 1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari: Raden Ronggosutresno yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tahu masalah seluk beluk agama.
Untuk kebutuhan semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu. Di sini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini, termasuk Pangeran Djojokusumo. Masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.
Setelah Serat Centhini selesai, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Kyai Yosodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa.
Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’. Kemampuan ilmunya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V, sahabatnya, wafat. Ia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI. Saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang.
Eyang Santri.
Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa. Akhirnya ia bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.
Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya. Kelak, jika Surabaya bisa ditaklukkan maka impian dan cita cita sesepuh (Kanjeng Sultan Agung) akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud.
Tokoh Penting Perang Diponegoro
Pada tahun 1824 Pangeran Diponegoro memukul Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya. Patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di Banaran. Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin. Ia akhirnya berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.
Usai memukul wajah Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya, Pangeran Mangkubumi. Sang paman berkata dengan amat hati-hati: “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah.” Lalu Mangkubumi berkata lagi, “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat, bila kamu memulai perang. Hubungi banyak ulama, karena ulamalah yang akan membelamu.” Dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom, ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten, juga menemui Kyai Modjo, ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.
Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan di Banyumas. Ia mendapat dukungan para Kenthol Banyumasan dan Kentol Bagelen dan para Bangsawan ningrat. Di pesisir timur ia mendapat dukungan dari Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto. Sementara, di Solo ia diminta bertemu Pakubuwono VI.
Pertemuan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830. Karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan 6.000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.
Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan bertemu langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya, Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.
Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran Djojokusumo. Di sana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman Pakubuwono VI. Di sini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan, kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan dan Kompeni.
Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi. Setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata, “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka. Masalahnya, sekarang berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut.
Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata, “Akan ada banjir darah di Jawa dan ada gelombang kelaparan. Tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung Dimas Pangeran Diponegoro sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda. Tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakanku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro, maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan. Ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam.”
Akhirnya, Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.
Lalu Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro. Pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan. Setelah bertapa, Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi. Di sinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia di mana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda.
Setelah kesepakatan Paras, Boyolali, Mereka: Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju Alas Krendowahono di sekitar Karanganyar. Di sini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’.
Seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito hadir dalam pertemuan di Krendowahono. Kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri Orang Jawa.
Singkatnya, Perang Diponegoro meletus. Di tengah perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta. Namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam. Pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu. Tapi tidak ketemu. Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun Utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana hingga lima hari.
Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak. Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda. Pangeran Djojokusumo melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap. Di sinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda. Dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi, tepatnya ke Desa Cidahu. Di sana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, juga mengajar mengaji penduduk setempat.
Cidahu, Peristirahatan Terakhir
Mata air Cidahu, Gunung Salak.
Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil Eyang Santri. Setelah Perang Diponegoro lama usai, tahun 1850, datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo. Mereka meminta Sang Pangeran pulang ke Solo. Tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.
Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Tahun 1880-an ia dikunjungi oWahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern.
Pada suatu pagi, Wahidin naik Gunung Salak dan berupaya menemui Eyang Santri. Setelah di rumah Eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi. Di sana juga Eyang Santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santrilah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru, Bangsa Indonesia! Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton, ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa.
Di awal tahun 1900-an, H.O.S. Tjokroaminoto ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah Eyang Santri. Bahkan, pembentukan afdeeling A Syarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas.
Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu. Waktu itu ia masih amat muda. Begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.
Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung. Setelah masuk THS, beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.
Ada beberapa cerita bahwa wajah eyang santri awet muda, ini persis dengan ilmu ciranjiwin-hidup abadi-dalam terminologi India? Yang jelas Eyang Santri wafat tahun 1929 di usianya yang 159 tahun. Semoga setelah masyarakat memusatkan perhatian di Cidahu, Sukabumi, mereka juga mengingat perjuangan masa lalu para pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah Indonesia yang merdeka dan menjadi bangsa terhormat, seperti yang diajarkan Eyang Santri Pada Bung Karno.
Sumber:
http://www.akarnews.com/1682-eyang-santri-1-menyatukan-yogyakarta-dan-surakarta-melawan-belanda
“Gandrik! Aku Putune Ki Ageng Sela!”
akarnews – Bila kita berbicara mengenai dinasti Mataram Baru atau Mataram Islam, maka tentu tidak lepas dari silsilah trah Bondan Kejawan atau Lembu Peteng artinya sapi yang gelap/ hitam. Mungkin dahulu orang yang dinamai “Lembu Peteng” secara fisik kuat seperti sapi dan berkulit gelap. Bondan Kejawan adalah putra dari raja terakhir Majapahit, Brawijaya V “Bhre Kertabhumi” dalam Babad Tanah Jawi dan Pararaton bernama Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dari istri selir Putri Wandan Kuning.
Dari keturunan Lembu Peteng atau Bondan Kejawan ini kelak menjadi penerus tahta kerajaan Majapahit yang runtuh akibat perang saudara. Bondan Kejawan kemudian menikah dengan Dewi Nawangsih putri dari Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub) dari istri seorang “bidadari” yaitu Dewi Nawangwulan (Legenda Jaka Tarub).
Lembu Peteng mempunyai anak bernama Ki Getas Pendawa. Dari Ki Getas Pendawa lahirlah seorang anak yang bernama Bagus Sogom/ Bagus Sunggam (versi Mangkunegaran) kelak bernama Ki Ageng Ngabdulrahman Sela/ Ki Ageng Sela (karena tinggal di desa Sela).
Kisah Ki Ageng Sela pada umumnya bersifat legenda menurut naskah-naskah babad, dan dipercaya sebagian masyarakat jawa benar-benar terjadi.
Menangkap Halilintar/ Petir
Ki Ageng Sela disebutkan pernah mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak. Ia berhasil membunuh seekor banteng sebagai persyaratan seleksi, namun ngeri melihat darah si banteng. Akibatnya, Sultan Trenggana menolaknya masuk ketentaraan Demak. Ki Ageng Sela kemudian menyepi di desa Sela sebagai petani sekaligus guru spiritual. Ia pernah pula menjadi guru Jaka Tingkir (Hadiwijaya), pendiri Kesultanan Pajang. Ia kemudian mempersaudarakan Jaka Tingkir dengan cucu-cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Suatu ketika, saat Ki Ageng Sela sedang bertani disawah ketika cuaca mendung dan akan turun hujan. Beberapa saat kemudian air hujan turun dengan derasnya disertai dengan petir yang menyambar-nyambar. Sesaat kemudian petir tersebut akhirnya menyambar Ki Ageng Sela. Dengan kesaktiannya Ki Ageng Sela dapat menangkap petir itu yang kemudian berubah menjadi seorang kakek tua.
“Wahai halilintar, berhentilah kamu mengganggu para penduduk,” ujar Ki Ageng.
“Baiklah aku tak akan mengganggu penduduk serta anak cucumu,” jawab sang petir. Oleh Ki Ageng, petir tersebut diikat di pohon Gandrik. Penduduk sangat lega karena mereka tidak takut disambar petir lagi ketika berada disawah.
Petir atau halilintar yang ditangkap tersebut akhirnya dipersembahkan Ki Ageng Sela kepada Sultan Demak. Oleh kerajaan dibuatlah kerangkeng jeruji dari besi untuk mengurung kakek “petir” tadi dan dipertontonkan di alun-alun Demak. Suatu saat ada seorang nenek-nenek membawa kendi berisi air. Kendi isi air itu disodorkan kepada si kakek “petir” dan diminumnya. Seketika terdengar suara menggelegar memekakkan telinga dan hancurlah kerangkeng besi tersebut bersamaan dengan lenyapnya kakek dan nenek petir tersebut.
Maka dikalangan masyarakat jawa mempercayai mitos; jika sedang menghadapi hujan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar mereka akan berteriak, “Gandrik… aku putune Ki Ageng Selo.” (Gandrik aku cucunya Ki Ageng Sela). Dengan berteriak mengucapkan kalimat tersebut dipercaya tidak akan tersambar petir.
Konon kabarnya pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir), adalah untuk memperingati kesaktian Ki Ageng Sela yang bisa menangkap Petir tersebut. Lawang Bledheg yang dibuat sendiri oleh Ki Ageng Sela ini dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng. Di Lawang Bledheg bertuliskan Candra Sengkala yang berbunyi “Nogo Mulat Saliro Wani”, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M.
Ki Ageng Sela dan Bende Kyai Bicak
Ki Ageng Sela juga dikaitkan dengan asal usul pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak. Dikisahkan pada suatu hari Ki Ageng Sela menggelar pertunjukan wayang dengan dalang bernama Ki Bicak. Ki Ageng jatuh hati pada istri dalang yang kebetulan ikut membantu suaminya. Maka, Ki Ageng pun membunuh Ki Bicak untuk merebut Nyi Bicak. Akan tetapi, perhatian Ki Ageng kemudian beralih pada bende milik Ki Bicak. Ia tidak jadi menikahi Nyi Bicak dan memilih mengambil bende tersebut. Bende Ki Bicak kemudian menjadi warisan turun temurun keluarga Mataram. Roh Ki Bicak dipercaya menyatu dalam bende tersebut. Apabila hendak maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Bila berbunyi nyaring pertanda pihak Mataram akan menang. Tapi bila tidak berbunyi pertanda musuh yang akan menang.
Larangan Ajaran Ki Ageng Sela
Selain pusaka, Ki Ageng Sela meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi larangan-larangan yang harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keselamatan, yang kemudian ditulis para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali Ki Ageng Sela.
Makam Ki Ageng Sela, Purwodadi.
Sumber: http://www.akarnews.com/1582-ki-ageng-sela-sang-penangkap-petir
Makam Ki Ageng Selo terletak di desa Selo Tawang Harjo, Kab. Grobogan, Prov. Jawa Tengah.
Tak Jauh dari makam beliau, terdapat pula makam kakek buyutnya yaitu Ki Ageng Tarub dan makam ayahandanya yaitu Ki Ageng Getas Pendawa.
Apabila anda menyukai berwisata spiritual atau wisata ziarah, tempat ini bisa menjadi pilihan yang dapat dikunjungi.
Posted by: Warsa Tarsono in Sosok, Wawancara January 18, 2016 499 Views
Belakangan ini, beberapa kalangan umat Islam sangat sensitif terhadap sesuatu yang dianggap simbol-simbol Islam. Mereka dengan mudah menuduh orang lain melakukan pelecehan terhadap Islam hanya karena suatu benda yang dianggap sebagai simbol Islam digunakan atau ditempatkan tidak seperti kebiasaannya.
Sebelum tulisan Arab di pakaian Agnes Mo, kalangan ini juga mempermasalahkan karpet yang digunakan untuk tari Bali dan kertas sampul Al-Quran yang dibuat terompet.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, kondisi seperti itu adalah cermin dari masyarakat yang belum matang. Mereka memiliki pemahaman agama yang tanggung, karena itu simbol, bagi mereka, menjadi penting.
Radhar sendiri baru-baru ini merasakan langsung bagaimana belum matangnya keberagamaan sebagian masyarakat. Saat Federasi Teater Indonesia yang ia pimpin menggelar FTI Award 2015, akhir Desember lalu di Jakarta, massa Front Pembela Islam melakukan razia terhadap salah satu peraih penghargaan itu: Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Dedi dianggap telah melakukan syirik lantaran menghidupkan budaya Sunda di daerahnya.
Untuk mengetahui implikasi sosial lebih jauh dari masyarakat yang demikian, Warsa Tarsono dari Madina Online secara khusus mewawancarai Radhar Panca Dahana di kantornya, di daerah Lebak Bulus, Jakarta. Berikut petikannya:
Apa pendapat Anda tentang masyarakat yang mudah sekali menuduh pihak lain melecehkan agamanya?
Kalau ada orang atau kelompok yang begitu sensitif, cepat tersinggung, biasanya menunjukkan orang itu belum matang. Itu bisa terjadi pada kalangan anak muda, tapi juga bisa pada kalangan dewasa bahkan orangtua yang kepribadiannya belum kuat.
Di dalamnya ada rasa tidak percaya diri. Ada semacam kegalauan yang diakibatkan oleh disorientasi dan dislokasi. Ketidakmampuan untuk memahami keadaan sehingga dia tidak bisa menjelaskan dengan baik apa yang terjadi. Orang-orang ini berada dalam satu tingkat yang cukup labil, tidak stabil. Ketidaksetabilan inilah yang memunculkan manusia, yang dalam ukuran kualitatif, menjadi orang mediokratif, medioker.
Menurut Anda, apa penyebabnya?
Seperti saya jelaskan tadi, ketidakmampuan untuk memahami zaman ini, situasi mutakhir, dunia kontemporer ini. Apalagi kalau itu dikaitkan dengan kaidah-kaidah keagamaan: akidah dan syariah. Pada situasi itulah kegamangan, kerisauan, dan kegalauan itu muncul. Nah, orang-orang yang galau seperti ini menjadi mudah tersinggung bila melihat, mendengar atau mendapatkan sesuatu yang diyakininya selama ini ditempatkan atau digunakan tidak sesuai kebiasaannya.
Penyebab lainnya adalah karena pemahaman Islam yang tanggung. Mereka tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang agamanya sendiri. Itu karena Islam yang mereka yakini adalah Islam yang diperoleh secara taken for granted. Karena itu jadinya tanggung. Dalam arti, dia percaya tapi dalam pelaksanaan hidupnya tidak menjalankan keyakinannya.
Orang-orang seperti ini menjadikan agama sebagai gua perlindungan saja. Kalau menurut Peter Berger, agama hanya menjadi tudung suci (secret canopy). Karena itu penggunaan simbol-simbol agama menjadi menguat seperti jenggot, peci, kopiah kupluk, baju gamis, baju putih, baju koko dan simbol-simbol lain yang menunjukkan dia Muslim yang baik, padahal perbuatannya belum tentu. Maka wajar kalau para koruptor saat datang ke pengadilan itu pakai baju Islam dan perempuannya pakai jilbab.
Nah, ini tentu saja tidak baik bagi kehidupan beragama kita. Bahkan dalam banyak hal dia menjadi ancaman terhadap agama, umat beragama, dan terhadap kehidupan beragama itu sendiri.
Jadi ini bukan karena pengaruh Wahabi yang cenderung formalistik-simbolistik?
Tidak juga. Pengaruh yang Anda anggap negatif itu, entah itu Wahabisme atau apa saja itu sebenarnya tidak akan berbicara banyak kalau kondisi mental kultural kita tidak rapuh. Dia tidak akan ada gunanya mempengaruhi orang kalau integritas dan kepribadiannya kuat. Seorang suami yang kepribadiannya kuat dan teguh, kalau ditawari 10 perempuan cantik pun itu tidak akan berpengaruh padanya. Kalau orang itu hatinya teguh dan jiwanya kuat jika ditawari jabatan atau uang sebanyak apapun untuk melakukan tindakan jahat dia tidak akan melakukannya.
Tadi Anda mengatakan, kegamangan terhadap realitas dan pemahaman Islam yang tanggung menjadikan sikap beragama masyarakat formalistik-simbolistik. Apakah ada konsekuensi lanjutan dari pola keberagamaan seperti itu?
Tentu saja ada. Ancaman yang paling besar adalah menciptakan ambiguitas, kebingungan, kegalauan yang makin akut. Ancaman yang akut ini dampaknya suatu saat –saya perkirakan akan terjadi 10 tahun lagi– akan menciptakan agnotisme sosial. Keraguan terhadap tauhidnya sendiri. Bahkan keraguan kepada Tuhannya sendiri. Dan saat ini tanda-tanda itu sudah semakin terlihat.
Itu, misalnya, bisa kita lihat dari konsepsi tauhid yang mereka pahami. Menurut saya, konsepsi tauhid mereka sekarang ini ilusif. Mereka meyakini hal-hal yang tidak bisa mereka jelaskan dan tidak mereka praktekkan. Mengerjakan semua salat, baik wajib atau sunnah, tapi dia juga mengerjakan semua yang dilarang oleh agamanya.
Praktik demikian, menurut saya, sudah merupakan pengingkaran dan pengkhianatan yang berarti pemurtadan dari agamanya. Itu sudah atheis sebenarnya. Karena agama hanya dijadikan slogan. Sebagai stempel. Sebagai plester saja di jidatnya.
Kondisi itu terjadi pada semua kalangan Islam?
Iya, bahkan juga para pemuka agama. Tauhid mereka ilusif. Katakanlah begini, mereka mengejar jabatan, mengejar rezeki dengan susah payah, bahkan sebagian mereka menjual agama melalui slogan-slogannya. Ayat-ayat dijual melalui panti asuhan, billboard, dan lain-lain. Mereka mengejar dunianya itu begitu rupa. Hal itu sebenarnya memperlihatkan dia tidak percaya bahwa Tuhan Maha Memberi Rezeki.
Dia mengejar dunia sampai melupakan akidahnya dan Tuhannya sendiri. Itu menandakan bahwa sebenarnya dia sudah tidak percaya sama Tuhannya sendiri.
Bukan berarti tidak ada yang saleh atau tidak ada kiai yang baik. Mereka ada, tapi orang-orang itu tidak lagi berperan penting dalam kehidupan masyarakat kita. Ujaran-ujaran, petuah-petuahnya tidak lagi menjadi acuan. Tidak lagi digugu dan ditiru. Ulama mestinya menjadi acuan. Kata-kataya digugu dan perbuatannya ditiru.
Sayangnya, mereka sudah tidak lagi diperlakukan seperti itu. Sebaliknya, yang digugu dan ditiru adalah orang-orang yang bisa memberikan dampak material, finansial, dan dampak sosial yang sama sekali jalannya benar-benar melanggar dari apa yang dia yakini.
Saya harus mengatakan kenyataan yang sesungguhnya. Boleh saja Anda tidak setuju dan membantahnya, tapi tolong berikan buktinya. Kenyataan ini biar pun pahit haruslah kita terima karena itu realitas objektif kita. Kenyataan pahit ini bukan menjadi alasan kita untuk jadi pecundang, bukan menjadi alasan kita untuk putus asa dan frustrasi, tapi justru kita harus buat lebih hebat lagi.
Artinya, perjuangan dan usaha kita harus berlipat untuk bisa mengatasi itu. Bangsa Indonesia tidak bisa bekerja dengan cara yang biasa untuk bisa mengatasi itu. Harus dengan cara yang luar biasa.
Menurut Anda, apakah pengingkaran terhadap nilai-nilai agama itu hanya terjadi di kalangan penganut Islam saja?
Ini terjadi juga pada agama-agama lain. Tanya saja mereka, orang-orang Kristiani, Budha, dan agama-agama lainnya. Menurut saya, hal ini tidak terlihat saja karena mereka bukan mayoritas, tapi itu terjadi.
Apakah ini cermin dari kegagalan pendidikan kita atau ada hal lainnya?
Sistem. Sistem yang kita berlakukan ini. Baik itu sistem kemasyarakatan, sistem negara dan pemerintahan, politik, hukum, ekonomi. Itu yang membuat kita kacau. Kita mempergunakan sistem yang tidak kita bikin sendiri. Kita menggunakan sistem yang tidak berbasis pada tradisi kita, pada kesejarahan kita, pada jati diri kita. Kita menggunakan sistem orang lain. Sama saja dengan kita memakai baju orang lain. Tidak pas, tapi kita pas-paskan. Dan tetap saja tidak enak kita pakai.
Sistem itu mengakibatkan kerusakan pada kehidupan fundamental kita. Sampai di tingkat mental, spiritual, dan kultural. Kenapa? Karena sistem itu menyerang ke berbagai tingkat. Dia tidak menyerang materinya, tapi software-nya. Hardware-nya malah bagus-bagus. Gedung tinggi, teknologi canggih. Tapi manusia di baliknya rusak.
Mulai kapan kita mengalami ini?
Mengerasnya sekitar 20 tahun terakhir. Terutama ketika kemajuan teknologi informasi, komputasi, dan transportasi menggila dua dekade terakhir. Nah, karena kemajuan di bidang itu kita mengalami tsunami data.
Tsunami data ini bentuknya, kalau dalam bahasa teknisnya, disebut big data. Big data itu tidak mampu diproses oleh processor dan program kita yang tradisional. Perumpamaannya, sistem operasi yang kita gunakan masih DOS atau WS, sementara datanya hanya bisa diolah oleh Pentium 5. Sehingga kalau tidak hank, operasinya jadi kacau. Kesimpulan-kesimpulannya jadi kacau.
Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki ini semua?
Jangan tanya jalan keluarnya kepada saya. Saya punya jalan keluar, tapi saya tidak menganggap itu paling benar. Kalau saya katakan, saya menjadi sok tahu. Jadi lebih baik kita berkumpul, menciptakan musyawarah. Melakukan musyawarah untuk mendapatkan mufakat berbasis pada hikmah dan kebijaksanaan serta permusyawaratan. Itu butir Sila Keempat Pancasila. Laksanakan itu, sudah.[]
https://www.youtube.com/watch?v=vKkr9SoOjzo
Sumber:
Bangunan Kuil Kuno Maya dan Candi Indonesia memiliki sejumlah kesamaan yang aneh. Ini adalah dua budaya dan dua peradaban yang benar-benar terpisah jarak yang jauh. Mereka ada di sisi berlawanan dari planet, dipisahkan oleh Samudra Pasifik.
Sejarah sekuler mengajarkan kita bahwa Peradaban Kuno tidak memiliki kontak dengan satu sama lain. Jadi bagaimana mungkin mereka membangun bangunan yang sama dan menyembah para dewa yang sama? Bahkan, kesamaan ini tidak hanya antara Maya dan Indonesia, tetapi sejumlah tak terhitung dari Peradaban Kuno lain juga.
Kesamaan apa, Anda mungkin bertanya? Satu kesamaan yang jelas bahwa kita semua tahu adalah adanya Piramida di seluruh dunia. Piramida telah ditemukan di 6 benua di seluruh dunia, dan siapa tahu, mungkin ada beberapa di Antartika juga.
Tentu saja, Mesir adalah dunia-terkenal dengan Piramida Giza. Piramida Aztec dan Maya di seluruh Meksiko dan Amerika Selatan juga cukup terkenal. Tapi bagaimana dengan ratusan Piramida di Cina, Piramida besar terkubur di Indonesia, Piramida bawah laut di lepas pantai Jepang, ratusan lagi yang saya belum mendaftarnya, dan siapa orang lain yang tahu berapa banyak ada yang tersisa untuk diungkap.
Jadi apa sebenarnya artinya semua? Ini adalah beberapa teori saya dengar untuk persamaan ini sejauh ini. Mengapa begitu banyak budaya yang membangun piramida? “Piramida hanya membuat arsitektur geometris .” Mengapa mereka semua selaras dengan bintang? “Mengapa Anda tidak akan menyesuaikan piramida Anda ke rasi bintang-bintang? Tidak ada lagi kah piramida untuk beribadah. “Bagaimana dan mengapa ada begitu banyak piramida di seluruh dunia? “Apakah salah satu peradaban hanya menyalin satu lainnya.”
Yang aneh lagi dari keterpisahan jaran ribuan mil ini adalah pemisahan atau perbedaan zamannya. Tapi itu benar-benar sebuah pertanyaan untuk hari lain. Dan untuk teori pribadi saya mengenai kesamaan lintas-budaya kuno – baik, itu untuk hari lain juga.
Berikut adalah beberapa foto untuk Anda untuk menganalisis dan membiarkan teori liar.
Chichen Itza, Meksiko. Maya Empire, antara 600-900 AD.
Chichen Itza Pyramid di Meksiko
Copan Temple, Honduras. Mayan Empire, Masehi abad ke-5 atau sebelum.
Copan Pyramid, Honduras
Candi Sukuh, Jawa Tengah, Indonesia. Seharusnya abad ke-15 Kuil Hindu.
Candi Sukuh Pyramid, Indonesia
Hal aneh tentang ini menjadi struktur abad ke-15, adalah bahwa tidak ada yang lain dibangun selama era yang terlihat apa-apa bahkan samar-samar mirip dengan ini. Sangat struktur yang rumit, seperti Borobudur dan Prambanan, dibangun pada abad 9 – jauh sebelum abad ke-15. Struktur digambarkan di atas jelas jauh lebih tua dari itu.
Tikal Pyramid, Guatemala. Mayan Empire, 400 SM
Tikal Maya Pyramid di Guatemala
Di bawah ini: Ak Yom, Kamboja. Rezim Khmer, 900 Masehi
Ini adalah kuil tertua di kompleks Angkor. Tanggal pasti penciptaannya tetap tidak terdefinisi.
Sumber.
Candi Sukuh, 15 Century Hindu Temple, Indonesia.
lega ‘Dewa Matahari’, Candi Sukuh Indonesia
Gate of the Sun, Bolivia. Tiwanaku Budaya, 1500 SM
Gate of the Sun, Bolivia
Dwarpala, Candi Sewu, Indonesia. Kerajaan Mataram, 782 Masehi
Patung Dwarpala di Candi Sewu, Indonesia
Simian Sculpture, Copan, Honduras. Mayan Empire,
abad ke-5 Masehi atau sebelumnya.
Ukiran di Copan Temple, Honduras
Jika Anda perhatikan tanggal pada dua “Dwarpala” Patung ini, Anda akan melihat bahwa dua candi ini sebenarnya dibangun selama periode waktu yang sama. Ini sangat aneh, sebagai salah satu adalah Candi Hindu di Jawa Tengah, sementara yang lain adalah Candi Maya di Honduras.
Jadi, yang bangsa Maya sebenarnya Hindu? Atau apakah Jawa entah bagaimana mengadopsi kebudayaan Maya? Atau ada kemungkinan yang ketiga, pengaruh luar yang mereka berdua diikuti?
Anda benar-benar akan menemukan posting lebih banyak seperti ini mengambang di internet. Ini termasuk hampir pasti merupakan replika dari Dwarpala, yang banyak yang mengklaim ditemukan di Chichen Itza. Namun, Anda hanya akan melihat foto yang sama persis dari “Maya Dwarpala,” dan hanya pada posting seperti ini – tidak pernah hanya di foto sebenarnya dari Chichen Itza. Ini membuat saya percaya bahwa klaim tertentu adalah palsu.
Ada juga gambar lain dari bantuan di Candi Penataran yang menggambarkan setan dengan lidahnya menjulur keluar. Hal ini seharusnya menanggung kemiripan dengan bantuan serupa dari sebuah kuil Maya di Meksiko. Meskipun saya tidak ragu bahwa wajah seperti itu muncul di banyak tempat di Jawa, saya tidak bisa menempatkannya di Penataran sendiri.
Anyway, mari kita mengabaikan palsu untuk saat ini. Tidak diragukan lagi, ada banyak kesamaan lebih nyata yang mencakup berbagai peradaban di seluruh lautan dan seluruh waktu. Ketika saya menemukan mereka, saya akan menambahkannya di dalamnyaya.
—————
Original Text:
Secular history teaches us that these Ancient Civilizations had no contact with each other. So how is it that they built the same buildings and worshipped the same gods? In fact, these similarities are not just amongst Mayans and Indonesians, but an uncountable number of other Ancient Civilizations as well.
![]() |
Honestly, they look Identical. |
What similarities, you may ask? One obvious similarity that we all know is the existence of Pyramids all around the world. Pyramids have been discovered on 6 continents around the world, and who knows, there’s probably some on Antarctica as well.
Of course, Egypt is world-famous for its Pyramids of Giza. The Aztec and Mayan Pyramids around Mexico and South America are also quite well known. But how about the hundreds of Pyramids in China, the massive buried Pyramids in Indonesia, the underwater Pyramids off the coast of Japan, hundreds more that I haven’t listed, and who knows how many others there are left to uncover.
So what exactly does it all mean? These are some of the theories I’ve heard for these similarities so far. Why would so many cultures build pyramids? “pyramids just make geometric/ architectural sense.” Why are they all aligned to the stars? “Why wouldn’t you align your pyramids to the stars? There’s nothing else to worship.” How and why are there so many pyramids around the world? “One civilization simply copied the other one.”
Odder than the separation of miles is the separation of time. But that’s really a question for another day. And as for my personal theory regarding ancient cross-culture similarities – well, that’s for another day as well.
Here are a few photos for you to analyze and let the theories run wild.
1. Square-Based Pyramids
Chichen Itza, Mexico. Mayans Empire, between 600 – 900 AD.
![]() |
Source. |
Copan Temple, Honduras. Mayan Empire, 5th century A.D. or before.
![]() |
Source. |
Candi Sukuh, Central Java, Indonesia. Supposedly a 15th century Hindu Temple.
![]() |
Source. |
The odd thing about this being a 15th century structure, is that nothing else built during that era looks anything even vaguely similar to this. Extremely intricate structures, such as Borobodur and Prambanan, were built in the 9th Century — long before the 15th century. The structure pictured above is clearly much older than that.
2. Tall Pyramids
Tikal Pyramid, Guatemala. Mayan Empire, 400 B.C.
Ak Yom, Cambodia. Khmer Regime, 900 A.D.
This is the oldest temple in the Angkor complex. The exact date of its creation remains undefined.
![]() |
Source. |
3. The Sun God
Candi Sukuh, 15th Century Hindu Temple, Indonesia.
![]() |
Source. |
Gate of the Sun, Bolivia. Tiwanaku Culture, 1500 B.C.
![]() |
Source. |
4. Dwarpala, the Gatekeeper
Dwarpala, Candi Sewu, Indonesia. Mataram Kingdom, 782 A.D.
![]() |
Source |
Simian Sculpture, Copan, Honduras. Mayan Empire, 5th century A.D. or before.
If you note the dates on these two “Dwarpala” Statues, you’ll see that these two temples were actually built during the same time period. This is particularly strange, as one is a Hindu Temple in central Java, while the other is a Mayan Temple in Honduras.
So, were the Mayans actually Hindu? Or did Javanese somehow adopt Mayan culture? Or was there perhaps a third, outside influence that they both followed?
You’ll actually find a lot more posts like this floating around the internet. These include an almost exact replica of Dwarpala, which many claim is found at Chichen Itza. However, you will only ever see the exact same photo of “Mayan Dwarpala,” and only on posts such as this – never just in actual photos of Chichen Itza. This leads me to believe that that particular claim is false.
There’s also another image of a relief at Candi Penataran which depicts a demon with his tongue sticking out. This is supposed to bear resemblance to a similar relief from a Mayan temple in Mexico. Although I have no doubt that such a face appears in multiple places across Java, I simply cannot place it in Penataran itself.
Anyway, let’s ignore the fakes for now. Undoubtedly, there are many more real similarities that span various civilizations across oceans and across time. When I find them, I’ll add them in.
(Bagian pertama dari artikel ini Apakah bangsa Maya adalah bangsa Naga India/Hindia Timur/Nusantara)
1. Insiden se-Zaman yang Aneh : Kali Yuga 3102 SM dan Maya Yuga dimulai 3114 SM
2. penampilan Maya : Maya orang dari Amerika Tengah terlihat persis seperti Manippur atau Nagaland orang.
3. Arsitektur Maya menyerupai monumen Palawa dan Asia Tenggara
4. Membenarkan nama mereka Nagas (nama Sansekerta untuk ular) Simbol Ular ditemukan di setiap bangunan Naga.
5. “Maya” – adalah arsitektur Dewa (ilahiyah) dalam mitologi Hindu. Membenarkan nama Maya, kita melihat banyak bangunan besar di negara-negara Maya Meksiko, Honduras, Belize dan Guatemala.
6. 1000 pilar mandap disebutkan dalam Veda dan ditemukan di Madurai dan tempat-tempat lainnya. Kami mendengar sekitar 1000 pilar mandap di Chichen Itza di ujung Yucatan Semenanjung.
7.Patchouli adalah permainan yang dimainkan oleh kedua Mayas dan India
8. Kata catamaran Tamil digunakan di Meksiko, di mana Mayas berkembang selama berabad-abad.
9. Rute Migrasi : Sri Lanka-Asia Tenggara-Amerika Tengah-Amerika Selatan adalah rute migrasi Naga. Semua tempat-tempat ini disebut Naka Loka (Nagaland) di bahasa Tamil dan sastra Sansekerta .
Pelabuhan sungai Indus Patala digunakan untuk perjalanan ke negara-negara di bawah semenanjung India dan sehingga mereka disebut Patala Loka.
10. Nagas disebutkan dalam Veda (Pancavimsa Brahmana-iv.9,4) dan mereka adalah ras kuno
11. Nagas dalam cerita Nala Damayanthi di Mahabharata dan Sangam Tamil sastra menyebutkan jenis khusus dari pakaian yang dibuat oleh Nagas.
12. Lebih dari dua puluh Naga penyair membuat puisi Tamil yang berada di antologi Tamil Sangam.
13. Naga Sri Lanka dan Asia Tenggara Nagas bebas berbaur dengan ras Non Naga. Agastya Rishi menikah dengan seorang pangeran Naga dengan nama Yasomati di Asia Tenggara. Rig Veda Agastya berbeda ,yang menikah Lopamudra, seorang putri dari Vidharba. (Peradaban Veda menyebar jauh di selatan di luar Vidharba selama rig hari Veda. Ini meledak mitos Barat untuk divisi Arya-Dravida).
Periode ke-14. Nagas dalam Mahabharata menikah dengan wanita mereka dengan Arjuna (Ulupi dan Chitrangatha) .Salah satunya adalah Tamil juga dikenal sebagai Miss Alli Rani.
15. Lord Krishna adalah Anti Naga dan Indra adalah Pro Naga, menurut kitab suci Hindu.
16. Krishna dua bentrokan dengan Nagas: Khandava Vana (Gondwana tanah) dan Kaliya Marthan (menari di kepala ular)
Cucu 17. Arjuna pembunuhan Parikesit memuncak dalam migrasi Nagas luar India.
pembantaian 18. Janamejayan itu dihentikan oleh kantor baik Astika dan Jaratkaru.
kesepakatan damai 19.Brahmin ini telah bekerja di tepi Narmadha (Mahismati) dan Brahmana ingat ini setiap hari di mereka Sandhyavandana Mantra.
20. Padma Purana mengatakan dari tujuh wilayah neraka Mahatala, Rasatala dan Patala ditempati oleh Nagas dan Danava. Akhiran ATL di banyak nama Naga mungkin ATALA.
21. Paramapatha Sopana patam / gambar adalah permainan Ular Tangga dimainkan oleh orang Tamil dan Telugus, di mana dalam semua gambar pemimpin Naga diambil.
22.Ophir-Oviyar- Chitra-Painter- adalah nama lain dari Nagas. Mungkin mereka memakai Tato ular di tubuh mereka. Ophites (jamaah ular) disebutkan dalam literatur Yunani. Hippolytus dan Clement dari Alexandria menyebutkan sekte ini.
Sarpa Rakja (Rani) disebutkan dalam Pancha Vimsa Brahmana. Aligi dan Viligi disebutkan dalam Atharva Veda. Aligi dan Viligi ditemukan di tablet tanah liat Sumeria. Mereka mungkin Nagas / Mayas. Mungkin Krishna umat ingin mengejek mereka dengan menggambarkan mereka sebagai ular dengan nama mereka ditulis. Ketika seseorang mencapai ular persegi dengan menggulirkan dadu, pemain mendapatkan poin negatif dan pergi ke bagian bawah papan.
23. Amerika yang lahir Swami BV Tripurari bertanya, “Apa hukum psikologis misterius akan menyebabkan orang Asia, dan Amerika untuk keduanya menggunakan payung sebagai tanda royalti, untuk menciptakan permainan yang sama, bayangkan kosmologi yang sama, dan atribut warna yang sama dengan yang berbeda arah? ”
Hindu dan Mayas menggunakan payung sebagai simbol kerajaan yang disebutkan di Sangam Tamil sastra dan sastra Sanskerta di ribuan tempat.
Hindu, Jain, Buddha atribut empat warna berbeda untuk Timur, Selatan, Barat dan Utara. Mayas ikuti it.Maya warna: East-merah, kuning Selatan-, West-hitam, North- putih. Hal ini sedikit berbeda dari umat Buddha dan Hindu. Siwa lima wajah dikaitkan dengan warna. warna Buddha untuk arah bahkan disebutkan oleh wisatawan Muslim seperti Albiruni. Mahabharata atribut empat warna untuk empat Yuga (putih, kuning, merah dan hitam).
Nama 23.Sanskrit untuk Towns: Guatemala = Gauthama alaya; Tiwanaku = Deva Naga;. Tikal = Trikala, Teotihuachan = Deva Takshan, Mitla = Mithila, Orinoco = Ori Nagan, Machu Pichu = Macha Pucham (persis tampak seperti dinding ikan Ada satu tempat yang lebih dengan nama yang sama di Himalaya / Nepal, Jaina Island, Mani, Copan = Sopana, Cholula = Chola, Aryballus = Arya Bala, Chetumal = Ketumala Dwipa = Guatemala, Aztec = Astika (Rishi yang disimpan Nagas). Banyak nama-nama Sansekerta dan Tamil dapat diturunkan oleh seorang peneliti pasien. Kami bisa membenarkan itu dengan mengamati gelombang migrasi. Tula, Yacatehctli (Yaga Deva Thali) Yaxchilan (Yaksha Seelan) juga terdengar seperti nama Sansekerta.
24. Selama tujuh belas raja-raja Mesir yang hidup 3500 tahun yang lalu memiliki judul Ramses.It sama mungkin Rama Seshan (Wisnu) atau Ramesan (Siwa). firaun Mesir Ramses kepala yang dihiasi dengan ular seperti kepala Tuhan Siwa. Wisnu memiliki itu (ular Adi Seshan) sebagai tempat tidurnya.
25. Swastika, gajah, teratai: Hindu motif teratai, Swastika dan gajah ditemukan di patung Maya. Amerika tidak punya gajah. Jutaan tahun lalu mammoth hanya berkeliaran Amerika utara.
26. Maya Allah Quetza coatl (Plumed Serpent) mungkin kata yang menyimpang berarti Garuda Sathru (musuh elang).
27. Api Lahir: Salah satu raja yang memerintah sekitar 378 AD diterjemahkan sebagai Api lahir. Dropadi, Rajashani Chauhans dan Cheras dan kerajaan satyaputra dari Tamil Nadu mengatakan bahwa mereka sedang Api lahir. Mereka milik Agni Kula. Nagas mungkin milik kula Agni.
28. Maya raja yang memerintah sekitar 700 AD disebut Kan Maxx yang tidak lain adalah Maha Nakan / ular besar (Kan adalah ular dalam bahasa Maya, Na (kan), Maxx adalah Maha)
Palenque (kata Palingu Tamil): Salah satu nama kota adalah Palengue. Ada batu candi yang terlihat seperti kuil marmer. Palingu adalah kata Tamil untuk Marmer, Cermin, Crystal dll. Ther eis ada keraguan bahwa Tamil Nagas juga adalah bagian dari migrasi. Salah satu dari dua puluh penyair Naga Tamil adalah Nagan Maruthan Ila yang telah banyak memberikan kontribusi.
29. Naskah Mayas sangat bulat yang tampak seperti Palalva Grantha.
Bangsa Mayas adalah orang-orang yang misterius. Mereka memerintah bagian dari Amerika Tengah antara 2600 SM dan 1500 AD. Peninggalan mereka terlihat di Meksiko, Belize Honduras dan Guatemala. Meskipun kita memiliki bukti arkeologi dari 2600 SM, kalender mereka dimulai dari 11 Agustus 3114 SM. Mereka terkenal karena kalender mereka akurat, bahasa tertulis, astronomi dan sistem matematika. Tapi semua ini menjadi perhatian kita hanya karena bangunan besar dan indah mereka. Mereka membangun struktur besar. Orang-orang Spanyol yang kejam datang pada tahun 1540 dan membantai banyak orang dan menjarah emas mereka. Orang-orang Spanyol menghancurkan budaya Maya dan bahasa, tapi tidak bisa melakukan apa pun untuk keajaiban arsitektur karena mereka yang begitu besar.
Kalender Maya dimulai pada 11 Agustus 3114 SM. Kalender India Kaliyuga dimulai pada 3102 SM. Tapi mitologi Hindu sangat jelas tentang keberadaan mereka jauh sebelum Kaliyuga. Kaliyuga adalah yang terakhir dari empat yuga. Tapi bangsa Mayas diam tentang keberadaan mereka sebelum tanggal ini 3114 SM. Kesamaan kejadian menakjubkan antara Hindu dan Mayas, khususnya tahun kalender mereka, adalah sebuah teka-teki. Sekarang kita telah memecahkan teka-teki dengan semua informasi yang tersedia.
Bangsa Maya adalah Naga India. Mereka bermigrasi setelah bertengkar dengan Krishna dan Arjuna. Keduanya membakar Khandava Vana (hutan) untuk kepentingan masyarakat umum. Tetapi orang-orang suku Naga yang tinggal di dalam hutan membenci tindakan ini. Sepertinya banyak Nagas yang menolak Arjuna dan Kresna tewas. Indra adalah pro Nagas. Tapi anti Naga Krishna memiliki perjuangan sebelumnya dengan pemimpin Naga lain yang disebut Kaliya. Ketika ia keberatan gembala sapi yang masuk ke wilayahnya Krishna pergi dan membunuh Kaliya. Mereka yang meriwayatkan cerita Purana “Kaliya Mardhanam” perlahan-lahan diproyeksikan sebagai setan dan ular. Tetapi kenyataan dari hal ini mereka benar-benar orang-orang yang mengenakan simbol ular (totem).
(Khandava Vana disebut Gondwana tanah dalam pelajaran geografi dan orang-orang Naga suku disebut Ghondus dalam pelajaran antropologi).
Berikut bentrokan ini, permusuhan antara Naga dan Pandawa melebar. Krishna meninggal sebelum Kaliyuga dimulai. Setelah semua Pandawa bersaudara kematian, Naga ingin mengambil dendam pada cucu Arjuna Parikesit. Ketika mereka sedang menunggu kesempatan Parikesit dikutuk oleh Shamika bahwa ia akan mati oleh “gigitan ular”. Pada kenyataannya pelihat itu teman dan pemimpin Naga suku Taksaka diberi tugas dari “gigitan ular”. Taksaka menantang Parikesit dan mengatakan bahwa ia akan dibunuh dalam waktu tujuh hari. Raja Parikesit mengambil semua tindakan pencegahan. Tapi seperti Shivaji lolos dalam keranjang buah dari penjara perkasa Moghul Kaisar Aurangazeb, musuh Parikesit ini memasuki istana Parikesit dalam keranjang buah dan membunuhnya. Purana simbolis menulis bahwa Parikesit dibunuh oleh “gigitan ular”.
Seperti pembunuhan Indira Gandhi diikuti oleh serangan balas dendam pada Sikh, anak Parikesit ini Janamejayan pergi pada pembunuhan, yang dijelaskan secara simbolis sebagai Sarpa Yagna (pengorbanan ular) di tepi sungai Narmadha. Banyak Nagas tewas, sebenarnya dibantai. Kata bahasa Inggris ular berasal dari kata Sansekerta (s) naga.
Pada hari-hari pernikahan dicampur ada dan beberapa Nagas menikah dengan raja-raja dan Brahmana. Salah satunya adalah pelihat disebut Astika. Dia diminta untuk pergi sebagai seorang utusan untuk pembicaraan damai, karena ayahnya Jaratkaru menikah dengan seorang wanita Naga. Dia berhasil dalam misi perdamaian dan menghentikan semua pembunuhan. Kemudian mulai migrasi Naga dari port disebut Patala. Itulah yang Hindu disebut Patala loka (Salah satu dari tujuh dunia “bawah” bumi). port adalah pintu gerbang cara untuk Sri Lanka, Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Hindu menggambarkan tanah ini sebagai Naka Loka / Naga Land. Ketika mitologi Hindu mengatakan bahwa Bali dan raja setan lainnya dikirim ke Patala Loka apa yang mereka maksudkan adalah mereka diusir dari daratan. Pelabuhan Patala di muara sungai Indus disebutkan bahkan oleh wisatawan asing. Bros (Bharukacha) adalah port lain di tepi sungai Narmadha. Kedua port ini ditangani banyak perdagangan luar negeri dengan Barat di India kuno.
Ketika Arjuna membakar Khandava Vana, salah satu pemimpin diizinkan untuk melarikan diri dari pembakaran. Namanya Maya Danava. Dia mengucapkan terima kasih Arjuna dan Yadavas untuk ini dan dia dibangun istana untuk Pandawa sebagai tanda terima kasih. Dia memimpin migrasi besar-besaran ke Asia Tenggara dan kemudian ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan. hari ia meninggalkan Bharat suci syukur diingat oleh Mayas sebagai 11 Agustus 3114 SM. Bertepatan dengan sangat baik dengan tanggal aturan Janamejayan ini, Arjunas cicit, sekitar 3100 SM.
Brahmana melakukan hal yang menakjubkan tiga kali sehari. Mereka membaca Perjanjian Perdamaian berusia 5000 tahun selama ritual sehari-hari disebut Sandhyavandhanam. Mereka memuji Nagas sebagai Maha Yasa: (besar dan orang-orang terkenal) dan meminta mereka untuk menjauhkan diri atas nama Astika dan Jaratkaru. mantra dimulai dengan Narmadhayai Nama: (! Salute ke sungai Narmadha).
(Silakan baca Brahmana layak entri ke Guinness Book of Records)
Nagas yang ahli penenun. Mereka memiliki beberapa jenis khusus dari pakaian yang begitu bagus dan tampak persis seperti kulit ular. literatur Sangam Tamil berusia 2.000 tahun mengacu pada kain ini di dua tempat (Porunar Garis 82-83;. Puram.383). Di tempat lain Raja Ay dipuji oleh Nallur Nathaththanar untuk memberikan kain Naga langka untuk dewa Siwa (Sirupan. Garis 96-99). Ini berarti bahwa ia menghiasi patung Siwa dengan kain. Itu disampaikan ke Ay oleh Neela Nagan.
Sastra Sanskerta juga penuh dengan referensi tersebut. Karkotakan, pemimpin suku Naga, memberi Nala kain langka untuk mengungkapkan identitasnya kepada istrinya Damayanti ketika keduanya dipisahkan. Jadi ini adalah tipe yang jarang dari kain hanya orang-orang tertentu mampu untuk membelinya. Hal ini dalam Mahabharata (3 / 73-3).
——————————
(Silakan baca Are Maya, India Nagas? & Bagian pertama dari Menakjubkan kesamaan … .. sebelum membaca posting ini).
30. Mayas diikuti oleh suku Aztec dan Inca. Ada peradaban lain yang disebut Olemec. Semua yang terkait satu sama lain. Raksasa 13 kaki diameter batu Aztec kalender terkenal di kota Meksiko telah mendapat dua ular di atasnya. Hindu menggambarkannya sebagai Kala Sarpa. Kuil putaran di Cali xtlahuaca adalah atas nama Kali. Teocalli adalah piramida yang berarti Deva Kali.
31. Maya candi dan piramida mirip dengan candi Hindu. Mereka memiliki menara, langkah-langkah yang mengarah ke tempat yang lebih tinggi. Kings mengenakan topi bulu seperti Krishna. perhiasan mereka mengkhianati asal India mereka. Kami melihat banyak perhiasan di seluruh tubuh seperti raja India. Bahkan raja-raja Mesir tidak akan datang dekat ini untuk raja-raja India di perhiasan.
32. Anak laki-laki dipanggil setelah ayah mereka atau kakek seperti masyarakat Tamil. Belajar adalah dengan pengulangan seperti Hindu Veda Adhyayanam. Mayas memiliki upacara seperti Namakaranam, Punyaha vachana dan Gurukula. Mereka bernama anak-anak mereka setelah bunga, elang dan ular. India nama Tamil dan Sansekerta sebagian besar nama-nama bunga, terutama bunga teratai dan melati.
33. tentara India mengorbankan diri sebelum Kali sebelum perang. Ini disebut Navakandam atau Kala Bali. Hal ini Sangam literatur tamil dan Mahabharata (kisah Irawan) .Self Immolation (Kumarila Bhatta, Kapila) dipraktekkan oleh orang-orang kudus Hindu. Hal ini dilakukan oleh Mayas juga.
33. raja India memiliki Simhasana / Singa tahta. Kata yang sangat Caesar adalah kata Sansekerta Kesari. Beberapa menyebut diri mereka sebagai SING (singa). Rumania yang menyebut diri mereka Carsars. Tapi singa tidak hadir di Amerika Selatan. Jadi Mayas digunakan Jaguar (harimau hitam) Asana.
34. kalender Veda memiliki Mala Matha (bulan suci setiap lima tahun). Tapi Mayas memiliki lima hari tidak murni bukan setiap bulan.
35. Mayas melihat kelinci atau kelinci di bulan seperti India. Mereka memiliki sendiri Rahu dan Ketu melahap bulan mereka (gerhana).
36. Tikal kuil Mayas dibandingkan dengan Madurai Meenakshi Temple .Tikal mungkin Tri Kala, Dewa Siwa atau Sri Kala.
37. Tortilla dibuat seperti kami Chapati / Roti. Bukan gandum mereka dibuat dengan tepung jagung.
38. Sun Ibadah adalah lazim di negara-negara Maya. Ini berlanjut sampai Inca hari (Ina = Sun dalam bahasa Sansekerta)
39. Jika ada yang bertanya diri sendiri beberapa pertanyaan, jawaban akan mengungkapkan hubungan antara Hindu-Mayas
a) Siapa yang mengajarkan Mayas konsep Zero?
b) Siapa yang mengajari mereka untuk menulis?
c) Siapa yang mengajari mereka astronomi?
d) Siapa yang mengajari mereka untuk merekam segala sesuatu di batu seperti Asoka?
e) Siapa yang mengajari mereka untuk menggunakan payung untuk raja seperti India?
f) Siapa yang mengajari mereka untuk memberikan warna untuk empat arah seperti warna untuk Siwa empat wajah?
g) Siapa yang mengajari mereka untuk memulai lebih dekat tahun ke Kaliyuga?
h) Siapa yang mengajari mereka untuk membangun candi seperti menara tinggi dan yard persegi besar dan koridor?
i) mana mereka berasal?
Semua ini tidak dapat terjadi dalam isolasi. Yang paling dekat untuk semua kebiasaan ini adalah Hindu.
40. Mayas digunakan Jades hijau dan mutiara seperti perempuan India
41. Mayas percaya pertanda.
42. Maya mitologi dan mitologi Hindu memiliki kesamaan.
43. Pohon ibadah: Salmali Pohon (kapas pohon sutra) disembah oleh Caribeans, negara-negara Amerika Tengah dan negara-negara Afrika Barat. Mayas dipuja sebagai kita menyembah beberapa trees.It disebut Ceiba.
44. Duduk rumput dan Palnquin menunjukkan koneksi India. Tapi satu misteri Mayas tidak pernah tahu roda. Ini mengingatkan misteri besar. Jika mereka tahu budaya lain di dunia mereka akan menggunakan roda dan kereta. Mengapa mereka tidak menggunakannya? Penelitian di masa depan mungkin menjawab pertanyaan ini.
45. Sistem Kasta: Mereka memiliki sistem kasta seperti India.
46. raja India Seperti mereka digunakan tahun masa pemerintahan dalam prasasti mereka. Hal ini sangat mirip dengan Chola dan Pandya.
47. Mereka percaya di surga dan Karpaka Vriksha dan Amrita (pohon Pertama di dunia)
48. sastra Tamil penuh dengan Ball Games, tapi Tamil menggunakan tangan dan Mayas digunakan Foot (bola).
49. Viracocha adalah nama Allah di Amerika Tengah. Virakurcha adalah nenek moyang Pallava ini.
50. Semua dewa Hindu memiliki ular atau berhubungan dengan ular. Naga / patung Maya adalah dengan ular. Dewa dalam budaya lain seperti Ariadne, Astarte, Ishtar, Wadjet, potnia Theron, Ormugudinna dan beberapa dewa Maya memiliki ular. penulis Barat juga telah mencatat bahwa semua peradaban Kolombia Pre terobsesi dengan ular.
51.Cholan Maya: Ada pemberontakan baru-baru ini tahun 1994 di Southern Mexico dan orang-orang yang memimpin pemberontakan yang Cholan Maya, keturunan bangsa yang dulu pernah diproduksi yang terbesar dari semua peradaban Kolombia Pre. Chola adalah salah satu dari tiga dinasti Tamil kuno.
52. Salah satu raja Maya terkenal adalah Pacal yang meninggal pada 683 AD. Dia disebut Sun Tuhan seperti India menyebutnya Tuhan Rama sebagai Surya Kula tilaka (Sun Clan terkenal).
53. Aztecs yang mengikuti Mayas memiliki simbol elang mencengkeram ular di paruhnya. Jadi ada setiap kemungkinan dua kelompok saingan ada di Amerika Tengah. Bahkan di Tamil Nadu Chera, Chola dan Pandya adalah Tamil Hindu, tetapi belum mereka berjuang di antara mereka sendiri selama lebih dari 1500 tahun.
54. Pembakaran dan Massacre: Spanyol Diego de Landa menandatangani sebuah dekrit pada tahun 1562 dan semua buku Maya dibawa ke kota Mani dan dibakar. sejumlah besar buku dibakar, membual Mr Landa. Pada tahun 1546 suku Maya yang menolak kuk perdamaian yang diusulkan oleh umat Katolik Romawi tanpa pandang bulu dibantai. Mereka disimpan buku di perpustakaan seperti buku Hindu disimpan di Takshaseela dan perpustakaan Nalanda.
55. Seperti Hindu Kapalikas, Mayas mengenakan gaun hitam di upacara.
56. Mereka juga menempatkan penawaran mereka di Tank seperti Hindu. Mereka duduk di Yoga padang rumput.
57. Hukuman yang dijatuhkan untuk kejahatan yang sama seperti umat Hindu.
58. kings Anda suka Tamil mereka memiliki pelari membawa pesan atau benda-benda keagamaan atau kerajaan yang diperlukan. raja Tamil membanggakan di prasasti ahli waris dan prasasti pelat tembaga bahwa mereka dimandikan dengan air yang berasal dari dua laut semenanjung India.
59. Seperti Roma, warna merah muda yang berasal dari moluska sebuah dihargai tinggi oleh Mayas .. India diekspor ini ke Roma kuno 2000 tahun yang lalu.
60. Chac adalah dewa hujan mereka mirip dengan Veda Indra. Beberapa percaya bahwa itu hanyalah Chakra nama lain dari Indra.
61. batu gerinda mereka digunakan tampak persis seperti Tamil Ammi dan Kuzavi.
62. Bikshu Chamanlal menulis sebuah buku “Hindu America”, 75 tahun yang lalu yang menarik banyak publisitas tentang topik ini. Kemudian ia menerbitkan sebuah buku “INDIA-IBU US ALL” di mana dia memberikan ringkasan Hindu Amerika. Tetapi lebih penemuan yang dibuat, penafsiran yang lebih baru dan lebih baru datang. Dia mengatakan Ramayana, Mahabharata, himne Weda, upacara benang Suci dan lebih banyak ritual yang dilakukan oleh Inca Ayers dan Mayas. Setiap orang harus membaca kontribusi asli dalam bidang ini. Ia menyebutkan teratai, gajah, swastika, motif Surya, Indra, Triloknath (Tloque Nahuaque) dan dewa-dewa lainnya, Hell dll di Amerika Selatan dan negara-negara Amerika Tengah.
63. buku baru yang diterbitkan di Amerika Serikat, memberikan rencana kuil Maya. Mereka yang tahu candi Hindu Vastu Shastra harus membandingkannya dengan candi Hindu dan melakukan penelitian. “Chronicle of the Kings Maya dan Queens” oleh Thames and Hudson akan berguna untuk penelitian tersebut.
64. raja Maya mengenakan lobus telinga seperti raja Hindu. musisi Temple yang dicat Bonampak dekorasi. Hal ini seperti prosesi kuil India. Raja-raja memiliki banyak selir disebut Pallas (Pallu adalah kepala sari dalam bahasa India)
66. Kita melihat Kuravanji (colomche) dan jenis Kathakali tarian di dunia Maya.
67. Seperti Hindu menempatkan beras di mulut mayat, Mayas menempatkan jagung dan batu giok manik-manik.
68. puzzle lain: Kalhana yang menulis sejarah raja-raja Kashmir (Raja Tarangini) berbeda dari orang lain di Kaliyuga. perhitungan-Nya menunjukkan bahwa Kaliyuga dimulai sekitar 2600 SM. Mayas juga memiliki perbedaan seperti itu. catatan mereka menunjukkan year2600 SM. Tapi tradisi mengatakan bahwa usia mereka dimulai pada 3114 SM lebih dekat dengan Hindu Kaliyuga. Ini juga menunjukkan hubungan India mereka. Kita dapat menyimpulkan bahwa ada dua perhitungan yang berbeda untuk Kaliyuga seperti Maya usia.
Untuk keterangan lebih lanjut hubungi swami_48@yahoo.com
For further details contact swami_48@yahoo.com
Quechua |
Sanskrit |
akapana(clouds colored by sun) | aka (painting) |
chani (price) | jani (produce) |
chinkat (jaguar) | sinha (lion) |
chirau (resplendent) | sura (to shine) |
huakra (horn) | vakra (curved) |
kakarpa (tent) | k’arpara (parasol) |
mita (time) | mita (step passage of time) |
muti (pounded corn) | mut (to pound) |
nana (sister) | nanda (sister) |
pakkni (to break) | pike (to break) |
paksa (the moon) | paksa (the full moon) |
pisi (small) | pis (to break into small piece) |
pitata (bedroom) | pita (house, cottage) |
simpa (cord) | samb (to tie) |
soro (spiritual liqour) | sura (spiritual liquor) |
sokta (six) | s’as (six) |
(Quecha is Inca language;source for this words table: The Ayar-Incas – By Miles Poindexter published by Horace Liveright New York volume 1-2. 1930 p. 211-215).
(Quecha adalah bahasa Inca; sumber untuk kata tabel ini: The Ayar-Inca – Oleh Miles Poindexter diterbitkan volume Horace Liveright New York 1-2 1930 p 211-215..).
Amazing Similarities between Mayas and Hindu Nagas
Original Text:
Amazing Similarities between Mayas and Hindu Nagas
Amazing Similarities between Mayas and Hindu Nagas
( The first part of this article is Are Mayas, Indian Nagas?)
1. Strange co incidence: Kali Yuga 3102 BC and Maya Yuga beginning 3114 BC
2. Maya appearance: Maya people of Central America look exactly like Manippur or Nagaland people.
3. Maya architecture resembled Pallava and South East Asian monuments
4. Justifying their name NAGAS (Sanskrit name for snake) Snake Symbol is found every wherein Naga buildings.
5. “Maya”– was the divine architect in Hindu mythology. Justifying the name Maya, we see a lot of huge buildings in the Maya countries Mexico, Honduras, Belize and Guatemala.
6. 1000 pillar mandap is mentioned in Vedas and it is found in Madurai and other places. We hear about 1000 pillar mandap in Chichen Itza at the tip of Yucatan peninsula.
7.Patchouli is a game played by both Mayas and Indians
8.Tamil word catamaran is used in Mexico, where Mayas flourished for centuries.
9. Migration Route: Sri Lanka-South East Asia—Central America—South America was the Nga migratory route. All these places are called Naka Loka (Nagaland) in Tamil and Sanskrit literature.
Indus river port Patala was used for travel to the countries down below Indian peninsula and so they were called Patala Loka.
10. Nagas are mentioned in Vedas ( Pancavimsa Brahmana–iv.9,4 ) and they are an ancient race
11. Nagas in Nala Damayanthi story in Mahabharata and Sangam Tamil literature mention special type of clothes made by the Nagas.
12. Over twenty Naga poets composed Tamil poems which were in the Tamil Sangam anthology.
13. Sri Lanka Nagas and SE Asia Nagas freely mingled with Non Naga races. Agastya Rishi married a Naga princes by name Yasomati in South East Asia. Rig Vedic Agastya was different who married Lopamudra, a princess of Vidharba.( Vedic civilization spread far south beyond Vidharba during Rig Vedic days. This explodes the Westerner’s myth of Aryan-Dravidian divisions).
14.Mahabharata period Nagas married their women to Arjuna (Ulupi and Chitrangatha) One of them is a Tamil also known as Miss Alli Rani.
15. Lord Krishna was Anti Naga and Indra was Pro Naga, according to Hindu scriptures.
16. Krishna’s two clashes with Nagas: Khandava Vana (Gondwana land) and Kaliya Marthan (dancing on the head of a snake)
17. Arjuna’s grandson Parikshit’s assassination culminated in the migration of Nagas outside India.
18. Janamejayan’s massacre was stopped by the good offices of Astika and Jaratkaru.
19.Brahmin’s peace deal was worked out on the banks of Narmadha (Mahismati) and Brahmins remember this every day in their Sandhyavandana Mantra.
20. The Padma Purana says of the seven infernal regions Mahatala, Rasatala and Patala are occupied by Nagas and Danavas. The suffix ATL in many Naga names may be ATALA.
21. Paramapatha Sopana Patam/picture is a Snake and Ladder game played by Tamils and Telugus, where in all the Naga leader pictures are drawn.
22.Ophir—Oviyar— Chitra—Painter– is another name of Nagas. Probably they wore Tattoos of snakes on their bodies. Ophites (snake worshippers) is mentioned in Greek literature. Hippolytus and Clement of Alexandria mention this sect.
Sarpa Rakja (Rani) is mentioned in Pancha Vimsa Brahmana. Aligi and Viligi are mentioned in Atharva Veda. Aligi and Viligi are found in Sumerian clay tablets. They may be Nagas/Mayas. Probably Krishna devotees wanted to ridicule them by depicting them as snakes with their names written. When one reaches a snake square by rolling the dices, the player gets negative points and go to the bottom of the board.
23. American born Swami B. V. Tripurari asks, “What mysterious psychological law would have caused Asians, and Americans to both use the umbrella as a sign of royalty, to invent the same games, imagine similar cosmologies, and attribute the same colours to the different directions?”
Hindus and Mayas use umbrella as a royal symbol which is mentioned in Sangam Tamil literature and Sanskrit literature in thousands of places.
Hindus, Jains, Buddhists attribute four different colours to East, South, West and North. Mayas follow it.Maya colours :East-red, South- yellow, West- black, North- white. It is slightly different from Buddhists and Hindus. Shiva’s five faces are attributed with colours. Buddhists colours for directions was even mentioned by a Muslim traveller like Albiruni. Mahabharata attributes four colours for four Yugas (white,yellow,red and black).
23.Sanskrit Names for Towns: Guatemala =Gauthama alaya; Tiwanaku= Deva Naga;Tikal=Trikala,Teotihuachan=Deva Takshan,Mitla=Mithila, Orinoco= Ori Nagan, Machu Pichu= Macha Pucham (exactly looking like fish wall. There is one more place with the same name in the Himalayas/Nepal, Jaina Island, Mani, Copan= Sopana,Cholula=Chola,Aryballus= Arya Bala, Chetumal=Ketumala Dwipa=Guatemala,Aztec=Astika (Rishi who saved Nagas). Loads of Sanskrit and Tamil names can be derived by a patient researcher. We can justify it by observing waves of migrations. Tula, Yacatehctli (Yaga Deva Thali) Yaxchilan (Yaksha Seelan) also sound like Sanskrit names.
24. Over seventeen Egyptian kings who lived 3500 years ago had the same title Ramses.It may be Rama Seshan (Vishnu) or Ramesan (Shiva). Egyptian pharaohs Ramses heads are decorated with snake like Lord Shiva’s head. Vishnu had it (snake Adi Seshan) as his bed.
25. Swastika, elephant, lotus: Hindu motifs lotus, Swastika and elephant are found in Maya sculptures. Americas have not got elephants. Millions of years ago mammoths only roamed American north.
26. Maya God Quetza coatl (Plumed Serpent) may be a distorted word meaning Garuda Sathru (enemy of eagle).
27. Fire is Born: One of the kings who ruled around 378 AD is translated as Fire is born. Draupadi, Rajashani Chauhans and Cheras and Velirs of Tamil Nadu say that they were are Fire born. They belong to Agni Kula. Nagas may belong to Agni kula.
28. The Maya king who ruled around 700 AD is called Kan Maxx which is nothing but Maha Nakan/ great snake (Kan is snake in Mayan language, Na(kan), Maxx is Maha)
Palenque (Tamil word Palingu): One of the town names is Palengue. There is a stone temple which looks like marble temple. Palingu is a Tamil word for Marble, Mirror, Crystal etc. Ther eis no doubt that Tamil Nagas also were part of the migration. One of the twenty Tamil Naga poets is Maruthan Ila Nagan who has contributed a lot.
29.The very script of Mayas is round which looks like Palalva Grantha.
( Please read Are Mayans, Indian Nagas? & First part of Amazing similarities….. before reading this post).
30. Mayas were followed by Aztecs and Incas. There was another civilization called Olemec. All are related to one another. The famous gigantic 13 feet diameter Aztec stone calendar in Mexico city has got two serpents on it. Hindus describe it as Kala Sarpa. The round temple in Cali xtlahuaca is in the name of Kali. Teocalli is a pyramid meaning Deva Kali.
31. Maya temples and pyramids are similar to Hindu temples. They have towers, steps leading to higher place. Kings wore feather caps like Krishna. Their jewellery betrays their Indian origin. We see a lot of jewellery all over body like Indian kings. Even Egyptian kings won’t come this close to Indian kings in jewellery.
32. Boys were called after their fathers or grandfathers like Tamil community. Learning was by repetition like Hindu Veda Adhyayanam. Mayas had ceremonies like Namakaranam, Punyaha vachana and Gurukula. They named their children after flowers, eagle and snake. Indian Tamil and Sanskrit names are mostly flower names, particularly lotus and jasmine.
33. Indian soldiers sacrifice themselves before Kali before any war. This is called Navakandam or Kala Bali. This is in Sangam tamil literature and Mahabharata (story of Iravan).Self Immolation (Kumarila Bhatta, Kapila) was practised by Hindu saints. This was practised by Mayas as well.
33. Indian kings had Simhasana/ Lion throne. The very word Caesar is a Sanskrit word KESARI. Some called themselves as SING (lion). Romanians were calling themselves Carsars. But lion was absent in South America. So Mayas used Jaguar (black tiger) Asana.
34. Vedic calendar has a Mala Matha (impure month every five years). But Mayas had five impure days instead every month.
35. Mayas saw hare or rabbit in moon like Indians. They had their own Rahu and Ketu devouring moon (eclipse).
36. Tikal temple of Mayas is compared to Madurai Meenakshi Temple .Tikal may be Tri Kala ,Lord Shiva or Sri Kala.
37. Tortilla is made like our Chapati/Roti. Instead of wheat they made it with corn flour.
38. Sun Worship was prevalent in Maya countries. It continued until Inca days (Ina=Sun in Sanskrit)
39. If anyone asked oneself a few questions , the answers would reveal the relationship between Hindus-Mayas
a) Who taught the Mayas the concept of Zero?
b) Who taught them to write?
c) Who taught them astronomy?
d) Who taught them to record everything on stone like Asoka?
e) Who taught them to use umbrella for kings like Indians?
f) Who taught them to give colours for four directions like colours for Shiva’s four faces?
g) Who taught them to begin the year nearer to Kaliyuga?
h) Who taught them to build temples like tall towers and big square yards and corridors?
i) Where did they come from?
All these can’t happen in isolation. The closest for all these customs is Hindus.
40. Mayas used green Jades and pearls like Indian women
41. Mayas believed in omens.
42. Maya mythology and Hindu mythology have similarities.
43. Tree worship: Salmali Tree (silk cotton tree) was worshipped by the Caribeans, Central American countries and West African countries. Mayas worshipped it as we worship some trees.It is called Ceiba.
44. Sitting Pasture and Palnquin show Indian connection. But one mystery Mayas never knew the wheel. This reminds a great mystery. If they knew any other culture in the world they would have used wheels and chariots. Why didn’t they use it? Future research may answer this question.
45. Caste system: They had caste system like India.
46. Like Indian kings they used regnal years in their inscriptions. This is very similar to Cholas and Pandyas.
47. They believed in heaven and Karpaka Vriksha and Amrita (First tree of the world)
48. Tamil literature is replete with Ball Games, but Tamils used hands and Mayas used Foot (ball).
49. Viracocha is a God’s name in Central America. Virakurcha is Pallava’s ancestor.
50. All Hindu Gods have snakes or associated with snakes. Naga /Mayan sculptures are with snakes. Gods in other cultures such as Ariadne, Astarte, Ishtar, Wadjet, Potnia Theron, Ormugudinna and several Maya gods have snakes. Western authors have also noted that all the Pre Colombian civilizations are obsessed with serpents.
51.Cholan Maya: There was a rebellion as recently as 1994 in Southern Mexico and the people who led the rebellion were Cholan Maya, descendants of a nation that had once produced the greatest of all the Pre Colombian civilizations. Chola is one of the three ancient Tamil dynasties.
52. One of the famous Maya kings is Pacal who died in 683 AD. He is called Sun Lord like Indians call Lord Rama as Surya Kula Tilaka (Sun Clan famous).
53. Aztecs who followed Mayas had a symbol of eagle clutching a snake in its beak. So there is every possibility two rival groups existed in Central America. Even in Tamil Nadu Chera, Chola and Pandyas were Tamil Hindus, but yet they fought among themselves for over 1500 years.
54. Arson and Massacre: Spaniard Diego de Landa signed a decree in 1562 and all the Maya books were brought to town of Mani and burnt down. Large number of books were burnt ,boasted Mr Landa. In 1546 Maya tribes who refused the yoke of peace proposed by Roman Catholics were indiscriminately slaughtered. They stored books in libraries like Hindu stored books in Takshaseela and nalanda libraries.
55. Like Hindu Kapalikas, Mayas wore black dress in ceremonies.
56. They also put their offerings in Tanks like Hindus. They sat in Yoga pasture.
57. The punishments meted out for crimes were just like Hindus.
58. Like Tamil kings they had runners to bring messages or necessary religious or royal objects. Tamil kings boasts in heir epigraphs and copper plate inscriptions that they bathed with water that came from two seas of peninsular India.
59. Like Romans, pink colour derived from a mollusc was prized high by Mayas.. India exported this to ancient Rome 2000 years ago.
60. Chac was their rain god similar to Vedic Indra. Some believe that it was nothing but Chakra another name of Indra.
61. The grinding stone they used looked exactly like Tamil’s Ammi and Kuzavi.
62. Bikshu Chamanlal wrote a book “Hindu America”, 75 years ago which drew lot of publicity on this topic. Later he published a book “INDIA-MOTHER OF US ALL” in which he gave a summary of Hindu America. But more the discoveries made, newer and newer interpretations come. He says Ramayana, Mahabharata, Vedic hymns, Sacred thread ceremony and many more rituals were practised by Inca Ayers and Mayas. Everyone must read his original contribution in this field. He mentioned the lotus, elephant, swastika, Surya motifs, Indra, Triloknath (Tloque Nahuaque) and other gods, Hell etc in South American and Central American countries.
63. New books published in USA, give the Maya temple plans. Those who know Hindu temple Vastu Shastra must compare it with Hindu temples and do some research.”Chronicle of the Maya Kings and Queens” by Thames and Hudson will be useful for such a research.
64. Mayan kings wore ear lobes like Hindu kings. Temple musicians are painted in Bonampak frieze. It is like Indian temple procession. The kings had a lot of concubines called Pallas (Pallu is a sari head in Indian languages)
66. We see Kuravanji (colomche) and Kathakali type of dances in the Maya world.
67. Like Hindus put rice at the mouth of a dead body, Mayas put maize and jade beads.
68. Another puzzle: Kalhana who wrote the history of Kashmir kings (Raja Tarangini) differs from others on Kaliyuga. His calculation shows that Kaliyuga began around 2600 BC. Mayas also had such a difference. Their records show the year2600 BC. But the tradition says that their age begins at 3114 BC closer to Hindu’s Kaliyuga. This also shows their Indian link. We can conclude that there were two different calculations for Kaliyuga like Maya age.
For further details contact swami_48@yahoo.com
Quechua |
Sanskrit |
akapana(clouds colored by sun) | aka (painting) |
chani (price) | jani (produce) |
chinkat (jaguar) | sinha (lion) |
chirau (resplendent) | sura (to shine) |
huakra (horn) | vakra (curved) |
kakarpa (tent) | k’arpara (parasol) |
mita (time) | mita (step passage of time) |
muti (pounded corn) | mut (to pound) |
nana (sister) | nanda (sister) |
pakkni (to break) | pike (to break) |
paksa (the moon) | paksa (the full moon) |
pisi (small) | pis (to break into small piece) |
pitata (bedroom) | pita (house, cottage) |
simpa (cord) | samb (to tie) |
soro (spiritual liqour) | sura (spiritual liquor) |
sokta (six) | s’as (six) |
(Quecha is Inca language;source for this words table: The Ayar-Incas – By Miles Poindexter published by Horace Liveright New York volume 1-2. 1930 p. 211-215).
———————–
Mayas were a mysterious people. They ruled parts of Central America between 2600 BC and 1500 AD. Their relics are seen in Mexico, Belize Honduras and Guatemala. Though we have archaeological evidence from 2600 BC, their calendar begins from 11th August 3114 BC. They were famous for their accurate calendar, written language, astronomical and mathematical systems. But all these came to our attention only because of their big and beautiful buildings. They built massive structures. The ruthless Spaniards came in 1540 and massacred a lot of people and plundered their gold. The Spaniards destroyed Maya culture and language, but couldn’t do anything to the architectural wonders because they were so huge.
Maya calendar begins on 11th August 3114 BC. Indian calendar Kaliyuga begins in 3102 BC. But Hindu mythology is very clear about their existence long before Kali yuga. Kaliyuga is the last of the four yugas. But Mayas are silent about their existence before this date 3114 BC. The amazing co incidence between Hindus and Mayas, particularly their calendar years, was a puzzle. Now we have solved the puzzle with all the information available.
Mayas were Indian Nagas. They migrated after a big fight with Krishna and Arjuna. Both of them burnt the Khandava Vana (forest) for the sake of general public. But the tribal Naga people living inside the forest resented this act. It looks like lot of Nagas who resisted Arjuna and Krishna were killed. Indra was pro Nagas. But anti Naga Krishna had an earlier fight with another Naga leader called Kaliya. When he objected cowherds coming into his area Krishna went and killed Kaliya. Those who narrated the Puranic stories “Kaliya Mardhanam” slowly projected them as demons and snakes. But the fact of the matter is they were actually people who wore snake symbol (totem).
(Khandava Vana is called Gondwana land in geography lessons and the tribal Naga people are called Ghondus in anthropology lessons).
Following this clash, the enmity between the Nagas and Pandavas widened. Krishna died just before the Kaliyuga began. After all the Pandava brothers demise, the Nagas wanted to take a revenge on Arjuna’s grandson Parikshit. When they were waiting for an opportunity Parikshit was cursed by Shamika that he would die by “snake bite”. In reality the seer’s friend and tribal Naga leader Takshaka was given that task of “snake bite”. Takshaka challenged Parikshit and said that he would be assassinated within seven days. King Parikshit took all the precautions. But like Shivaji escaped in a fruit basket from the prison of mighty Moghul emperor Aurangazeb, Parikshit’s enemies entered Parikshit’s palace in a fruit basket and killed him. Puranas symbolically wrote that Parikshit was killed by “snake bite”.
Like Indira Gandhi’s assassination was followed by revenge attacks on Sikhs, Parikshit’s son Janamejayan went on a killing spree what was described symbolically as a Sarpa Yagna (snake sacrifice) on the banks of river Narmadha. A lot of Nagas were killed, actually massacred. The English word snake originated from Sanskrit word (s)naga.
Brahmin’s Peace Agreement
In those days mixed marriages existed and some Nagas were married to kings and Brahmins. One of them was a seer called Astika. He was asked to go as an emissary for peace talks, because his father Jaratkaru was married to a Naga woman. He was successful in his peace mission and stopped all the killings. Then started the Naga migration from a port called Patala . That is what Hindus called Patala loka (One of the seven worlds “below”the earth). The port was the gate way to Sri Lanka, South East Asia and South America. Hindu scriptures describe these lands as Naka Loka/ Naga Land. When Hindu mythologies said that Bali and other demon kings were sent to Patala Loka what they meant was they were banished from the mainland. Port Patala at the estuary of Indus river was mentioned even by foreign travellers. Broach (Bharukacha) was another port on the banks of river Narmadha. Both these ports handled much of the foreign trade with the West in ancient India.
When Arjuna burnt the Khandava Vana, one leader was allowed to escape from the burning. His name was Maya Danava. He thanked Arjuna and Yadavas for this and he constructed the palace for the Pandavas as a token of gratitude. He led a massive migration to South East Asia and then to Central America and South America. The day he left the holy Bharat was gratefully remembered by the Mayas as 11th August 3114 BC. It coincided very well with the date of Janamejayan’s rule, Arjunas great grandson, around 3100 BC.
Brahmins are doing an amazing thing thrice a day. They recite the 5000 year old Peace Agreement during their daily ritual called Sandhyavandhanam. They praise the Nagas as Maha Yasa: (Great and famous people) and request them to keep away in the name of Astika and Jaratkaru. The mantra starts with Narmadhayai Nama: (Salute to river Narmadha!).
(Please read Brahmins deserve an entry into Guinness Book of Records)
Divine garments and Nagas:
Nagas were expert weavers. They had some special type of clothes which were so nice and looked exactly like snake skin. 2000 year old Sangam Tamil literature refers to this cloth in two places (Porunar. Lines 82-83;Puram.383). In another place King Ay was praised by Nallur Nathaththanar for giving the rarest Naga cloth to Lord Shiva (Sirupan. Lines 96-99). It means that he adorned Shiva’s statue with the cloth. It was presented to Ay by Neela Nagan.
Sanskrit literature is also replete with such references. Karkotakan, Naga tribal leader, gave Nala a rare cloth to reveal his identity to his wife Damayanti when both were separated. So this is a rare type of cloth only certain people can afford to buy it. It is in Mahabharata (3/73-3).
(Please read Amazing similarities between Mayas and Hindus (Nagas)
Penelitian geo-arkeologis empat tahun yang komprehensif menunjukkan keberadaan konstruksi kompleks besar di Visoko Loire. Kompleks ini bernama Lembah Pyramida Bosnia dan meliputi struktur berikut: – Piramida Matahari Bosnia (sebelumnya bernama “Bukit Visocica “) – Piramida Bulan Bosnia (sebelumnya bernama “Bukit Pljesevica “) – Piramida Dragon Bosnia (sebelumnya bernama “Buci Bukit “) – Temple of Earth (sebelumnya bernama “Bukit Krstac “) – Pyramida Cinta Bosnia (sebelumnya bernama “Bukit Cemerac “) – Tumulus di Vratnica (sebelumnya bernama “Bukit Toprakalija “di Vratnica) – Struktur” Dolovi “(Vratnica) – Terowongan bawah tanah kompleks “Ravne” (pintu masuk ke terowongan 2,5 km dari Piramida Matahari Bosnia) – Jaringan terowongan bawah tanah “KTK” (pintu masuk ke terowongan 1 km dari Piramida Matahari Bosnia )
Berdasarkan banyak gambar yang diambil dari udara dan ruang dari Piramida Matahari Bosnia, menjadi jelas bahwa gambaran geometrisnya hadir dengan tiga sisi yang menunjukkan bentuk segitiga geometris. Meskipun unsur-unsur seperti itu terjadi di alam, jarang, jika pun pernah, ada bentuk yang tepat, dan jarang direplikasi di sisi berlawanan dari gundukan. Dalam hal ini, kedua belah pihak segitiga sama sisi, sisinya dengan baik didefinisikan. Pencitraan satelit dari daerah setempat di bagian tengah dari Bosnia dan Herzegovina (Landsat, Radarsat, Hyperion, Ikonos, milik Dr. Amer Smailbegovic), menunjukkan bahwa ada lima bukit yang menunjukkan anomali geospasial jelas di mana dua atau lebih bangunan yang segitiga. Semua dari bukit-bukit tersebut menunjukkan sisi segitiga dan beberapa elemen tangga dan fitur langkah di sisi dengan dataran tinggi datar di atas. Dalam kasus Piramida Matahari Bosnia, tiga dari empat sisi menunjukkan bukti fitur geometris. Bukti geologi tidak menunjukkan setiap faulting signifikan atau proses glasiasi di daerah yang lain akan mempengaruhi eksistensi, geometri dan tekstur sisi ini.
Piramida Matahari Bosnia, Visoko, Bosnia dan Herzegovina
Pengukuran yang dilakukan oleh Institut Geodesi Bosnia dan Herzegovina menunjukkan bahwa sisi Piramida Matahari Bosnia (BPS) yang persis sejajar dengan sisi arah mata angin dunia (Utara-Selatan, Timur-Barat), yang merupakan salah satu karakteristik sering dicatat terhadap piramida yang ada di Mesir, Peru, Guatemala atau China. Sisi utara dari BPS berorientasi bintang Utara (seperti Piramida Besar Mesir), secara paralel dengan posisi Bintang Utara.
Topografi satelit dari Piramida Matahari Bosnia dan orientasi terhadap arah mata angin
(Courtesy of dr. Amer Smailbegovic)
Lokasi geospasial “anomali” atau piramida, di peta topografi
dengan orientasi yang tepat dengan arah mata angin NSWE.
Hasil inersia termal diperoleh dari ASTER thermal detector (resolusi 60m) menunjukkan bahwa target yang diamati dapat terdiri dari bahan yang kurang terkonsolidasi dan cenderung “lebih cepat dingin” masing-masing dengan lingkungan mereka (dianggap lebih padat). Temuan akan konsisten dengan pengamatan awal lapangan yang dicatat dalam Laporan Geologi, dan juga penggalian baru-baru ini di situs. Hasilnya tampil konsisten dengan apa yang diharapkan dari struktur buatan – bahan dengan kepadatan rendah, porositas, yang ada rongga internal / ruang, lorong-lorong dll. Semua berkontribusi untuk meningkatnya kehilangan panas .
Inersia Thermal yang Jelas
Hasil pemboran inti, baik tes-sumur tenggelam dan penggalian terbatas pada bulan Agustus dan Oktober 2005, dengan tindak lanjut pada tahun 2006 dan 2007, telah mengkonfirmasi pengamatan sebelumnya dan, mengungkapkan bahwa permukaan piramida terdiri dari batu pasir dan breksi blok berlapis, yang telah diproses secara manual dan / atau dipotong sesuai dimensi yang dibutuhkan. Agen mengikat yang ditemukan antara blok batu pasir menunjukkan adanya suatu “breksi klastik,” konglomerat warna-warni yang terdiri dari kerikil, batu pasir dan serpih dengan matriks ikat atau semen terdiri dari partikel pasir karbon kuarsa, feldspar dan serpihan mika. Sisi datar dari blok, zona kontak, dan agen mengikat jelas terlihat. Pembersihan rinci lebih lanjut dari garis kontak antara dua blok batu pasir mengungkapkan bahwa blok secara manual diproses di bawah dan permukaan datar dan halus, dengan agen mengikat setelah diterapkan ke permukaan.
monolit batu pasir, dibentuk oleh tangan manusia
dan ditempatkan di akses monumental dataran tinggi
Elevasi yang ditampilkan pada peta kontur interval resolusi tinggi ini menunjukkan kemiringan bahkan keseluruhan dan desain tangga-undakan, yang diamati di sisi Piramida Matahari
3-D kontur geodesi peta interval Bosnia Piramida Matahari
(Courtesy: Geodesi Institut Bosnia-Herzegovina)
Detektor otomatis anomali linear/LINANAL (awalnya dikembangkan untuk studi tektonik dari kelurusan topografi) memperkirakan sudut patahan dari 43,822 derajat (+/- 1,6) pada aspek wajah/sisi yang terkena, yang diulang dalam amplop kesalahan yang sama di semua sisi yang terkena fenomena, yang diamati tidak seharusnya membingungkan dengan aspek segitiga biasanya terjadi dalam pengaturan tektonik, bagi mereka kejadian hanya menunjukkan triangulasi satu sisi dan tidak merata dalam penampilan dengan sudut datang yang jauh lebih rendah atau lebih besar, sedangkan anomali diamati menunjukkan dua atau lebih bahkan sisi segitiga dengan 4, ~~ 40-48 derajat patahan sudut.
Selanjutnya, tidak ada pemogokan kesalahan yang diamati sesuai dengan kejadian segitiga pada gundukan, sehingga menghilangkan kemungkinan bahwa mereka produk sekunder dari gerakan tektonik baru-baru ini. (Furthermore, no observed fault strikes correspond with the triangular occurrences on the mounds, thus eliminating the possibility that they were a secondary product of recent tectonic movements.)
Hasil dari deteksi kelurusan otomatis pada yang tersedia, set data resolusi tinggi yang melalui Piramida Matahari Bosnia (dan gambar dasar untuk sebuah referensi cepat). Catatan orientasi preferensial roman muka (Courtesy of Dr. Amer Smailbegovic)
Analisis radar gabungan dari RADARSAT dan sistem radar SPOT menunjukkan bahwa ada kelurusan jelas hadir di Piramida Matahari Bosnia dan akses ke dataran tinggi yang mungkin menunjukkan teras yang terkuburkan, dinding dan / atau lorong / pintu masuk atau rongga dan ruang dalam struktur. Selain itu, pencahayaan topografi buatan berbasis radar menunjukkan bahwa piramida melestarikan bentuk yang tidak biasa, mereka bahkan ketika diterangi dari arah yang berbeda. Adanya struktur buatan tersebut juga diperkuat oleh banyaknya laporan dari personil militer yang ditempatkan di Piramida itu sendiri dan mengalami penembakan berat. Mereka telah melaporkan getaran yang tidak biasa tanah, bergema dan gerakan tanah setiap kali gundukan itu terkena tembakan artileri selama operasi perang di Bosnia 1992-1995. Bukti akustik ini menunjukkan bahwa rongga / ruang memang ada di dalam struktur. Selama musim dingin 2006/2007, dua tim independen dari ahli georadar dari Jerman (LGA Bautechnick GMBH dengan Dr. Andreas Hasenstab sebagai pemimpin tim) dan Serbia (Institut Geofisika dari Belgrade dengan Dr. Dejan Vuckovic sebagai kepala penelitian), menyimpulkan bahwa total 44 anomali (keanehan) ditemukan di Bosnia Lembah Piramida dan termasuk teras, langkah, struktur batu berbentuk, lorong-lorong dll
Ahli georadar dari perusahaan Jerman LGA Bautechnick GMBH menemukan 44 struktur buatan manusia yang berjarak 18 meter di kedalaman seluruh Lembah Pyramida Bosnia .
Peralatan georadar Jerman menunjukkan kemungkinan lorong dalam Piramida Matahari Bosnia
Tiga piramida utama di Lembah Pyramid Bosnia membentuk segitiga sama sisi. Kantor The Kadastral dari County (Kabupaten) Visoko yang melakukan pengukuran GPS dari puncak bukit dan menetapkan bahwa semua sudut yang simetris (60 derajat). Pengukuran mereka menunjukkan bahwa jarak antara ketiga puncak-puncak bukit yang sama (approx. 2,2 km) dengan kurang dari 2%, kesalahan yang memverifikasi struktur buatan.
Grafik topografi (1: 24.000) dengan semua tiga lokasi (piramida Bosnia Matahari, Bosnia Piramida Bulan dan Piramida Bosnia Naga), membentuk segitiga sama sisi lembah
(Courtesy of Kadastral Office, Kota Visoko).
Yayasan Taman “The Archaeological Park””: Piramida Matahari Bosnia telah menghabiskan lebih dari 300.000 jam kerja menggali lokasi arkeologi di Visoko – Lembah Pyramids Bosnia. Fakta ini saja membuat proyek ini proyek arkeologi terbesar di dunia.
1.9.1. Piramida Matahari Bosnia
Piramida Matahari Bosnia benar-benar tertutup oleh tanah dan vegetasi tumbuhan. Selama tahun 1950 dan 1960-an, pemerintah daerah menyelenggarakan kegiatan penanaman pohon. Pohon berhasil tumbuh hanya di bawah setengah dari Piramida. Ketebalan tanah di Barat, Utara dan sisi Timur dari Piramida bervariasi dari atas (20cm) ke bawah (1.5 meter). Hal ini disebabkan erosi. Sisi Selatan, yang jahitannya menjadi rusak, memiliki lapisan tanah 3-6 meter. Itulah alasan mengapa sisi ini telah kehilangan keteraturannya. Barang bukti fisik berbentuk batu monolit dan terawat baik yang digali selama kampanye geo-arkeologi yang sedang berlangsung tahun 2006-2008.
Situs penggalian di Bosnia Piramida Matahari
Batu monolit di sisi Utara dari piramida Bosnia Matahari suprastruktur yang menghadap piramida-luar piramida
Sampel dari blok batu dianalisis dalam tiga lembaga ilmiah negeri Bosnia (Institut Teknik Sipil di Tuzla, Institut bahan di University of Zenica dan Institut Konstruksi di University of Sarajevo). Kekerasan lebih dari 100 MPs dan kehadiran kalsium karbonat dan magnesium karbonat menuju ke arah petunjuk adanya bahan sintetis kuno – beton pertama! Menurut Prof. Muhamed Pasic dari University of Zenica, mereka “tanah liat yang dibakar secara sedang/moderat, hancur dengan air yang memiliki sifat mengikat lanjutan”. Ini telah menjadi dasar semen Romawi juga.
Blok beton disimpan satu di atas yang lainnya, membentuk kemiringan piramida
Empat baris blok (ketebalan 40-45 cm ) diikuti oleh lapisan lempung (45 cm) dan dua baris blok yang mengikuti.
blok beton membentuk kemiringan yang sama di semua arah.
Akar pohon tidak dapat menembus permukaan semen dari Piramida. Menurut profesor biologi Sulejman Redzic dari Univesity of Sarajevo, akar yang sama menerobos material konglomerat alami sedalam 20-25 meter (lembah sungai Neretva , 120 km sebelah selatan dari Visoko)
Sudut Utara-Timur Piramida jelas menunjukkan karakteristik konstruksi.
Causeway yang mengarah ke puncak piramida Matahari Bosnia beraspal dengan piringan batu pasir; piramida dibangun dari bahan yang sama sekali berbeda (blok konglomerat beton). Foto udara ini menunjukkan sudut antara Barat dan Utara, dan Utara dan Timur. Bagian Atas Piramida datar seperti piramida di Cina, Meksiko atau Mesir.
geomorfologi fluvial
– Perbandingan antara dua bukit alami di US (Hazen Hill dan Fowler Hill) dan Piramida Matahari Bosnia ( “Visocica”); wajah segitiga dalam kasus perbukitan alami membentuk drainase air permanen seperti dinding buatan piramida Matahari Bosnia( sisi Utara dan Timur).
blok beton ditutupi oleh “batu pasir” lapisan tipis dan halus
Ahli geofisika dari Universitas Belgrade melakukan screening geo-radar (Sonda # 12)
Satelit radar telah menembus permukaan sisi Utara dari Bosnia Piramida Matahari sedalam empat meter. Garis hitam lurus menunjukkan lorong-lorong bawah tanah – substruktur piramidal. Beberapa dari mereka berpotongan pada 90 derajat.
Dengan ketinggian 190 meter,Piramida Bulan Bosnia adalah yang terbesar kedua di dunia: sebelah Piramida MatahariBosnia (220 meter) dan lebih tinggi dari Khufu Piramida Besar Mesir (148 meter). Ini adalah piramida tiga sisi dengan dataran tinggi yang berasal dari Timur, yang mengarah ke atas struktur. Sisi lain (Utara, Barat, Selatan) sesuai dengan mata angin. Untuk pembangunan piramida ini, piringan batu pasir dan ubin yang digunakan bersama-sama dengan tanah liat sebagai bahan konstruktif.
Layout tiga piramida utama: Sun (kanan atas), Bulan (bawah) dan Naga (kiri) membentuk segitiga sama sisi dengan jarak 2,2 km antara puncak-puncak piramida.
Geometri, bentuk, orientasi, materi yang konstruktif – mereka semua membuktikan perencanaan yang sempurna dan pelaksanaan kompleks.
Bayangan Bosnia Piramida Matahari membentuk paralel “piramida” di samping piramida Bulan Bosnia pada hari titik balik matahari musim panas (Juni 22), hari yang sangat penting bagi orang-orang kuno
Bayangan Piramida Matahari Bosnia benar-benar meliputi Pyramid Bulan Bosnia
sebelum matahari terbenam pada 20 Agustus
Kerja lapangan arkeologi di Bosnia Piramida Bulan menunjukkan bahwa di bawah lapisan tanah dan kayu. Terdapat struktur batu / tanah liat besar, tiga-sisi “bertingkat” piramida dengan causeway (gang jalan) beraspal yang datang dari Timur.
Piramida Bulan Bosnia – ubin batu pasir, hati-hati berbentuk dan cocok bersebelahan
Penemuan Piramida Bualn Bosnia – dinding vertikal pada tahun 2006, 1 meter, dibangun dari piringan batu pasir
Piramida Bulan Bosnia
– Penemuan struktur persegi panjang pada tahun 2006, kira-kira 3 × 2 meter, dibangun dari piringan batu pasir Menurut Profesor Muhamed Pasic dari University of Zenica (Institute for Materials), yang sedang menuju 3 tahun pengujian panjang di laboratorium hampir 100 sampel dari Piramida Bulan Bosnia “…piringan batu pasir di Piramida Bulan Bosnia adalah formasi homogen dari bahan asal silikat – pasir kuarsa dan dari kalsium karbonat-magnesium dengan konten total sekitar 84% massa, sedangkan komponen lainnya ferrous, kalium, natrium dan titanium oksida. Pada kelas ini bahan silikat alami dengan kerapatan 2,6 g/cm3, terbukti bahwa yang meningkatkan volume massa ke arah sedimentasi dan dalam arah yang sama, menurunkan porositas, serta sifat tahan air dan yang meningkatkan sifat kekuatan. “Dia menyimpulkan: “Kami memiliki tren yang berlawanan pada mosaik yang digali di dataran tinggi dan di kaki bukit Pyramid . Anomali geologi seperti menegaskan pernyataan bahwa mosaik yang dibentuk oleh komposisi membelah dan membentuk piring diambil dari kedalaman yang berbeda dari tambang! “
Piramida Bulan Bosnia, Sonda # 20, 120 meter dari bawah: piring batu pasir persegi panjang menyusun salah satu teras di lereng Barat ini “bertingkat” piramida.
Berbentuk piringan batu pasir, disimpan di atas satu sama lain, ditemukan 1 meter di Bosnia Piramida Bulan
ubin batu pasir berbentuk menemukan satu meter di lereng Barat Bosnia Piramida Bulan; batu pasir merupakan bahan umum di Bosnia digunakan saat ini sebagai bahan konstruksi juga.
Teras beraspal dekat dengan puncak Bosnia Piramida Bulan, causeway Timur; piring batu pasir yang disimpan dalam beberapa baris.
Bagian dari Causeway yang mengarah ke atas Piramida Bulan Bosnia menunjukkan deretan piring batu pasir dengan lapisan tanah liat di antara mereka (mungkin berfungsi sebagai isolasi dan bahan perekat).
Bagian dari Causeway yang mengarah ke atas Piramida Bulan Bosnia menunjukkan baris
piring batu pasir dengan lapisan tanah liat di antara mereka (mungkin menjabat sebagai isolasi dan bahan perekat).
Detil dari teras batu pasir dari kaki Piramida Bulan Bosnia – bertentangan dengan beberapa ahli geologi yang mengklaim bahwa teras sebenarnya adalah bagian dari pelat alami dari Miosen yang pecah karena gerakan tektonik; rincian ini menunjukkan garis lurus dengan 90 derajat yang khas untuk kegiatan manusia
Teras di sisi Barat dari Piramida Bulan Bosnia – itu ditemukan di bawah 1 meter dari tanah dan tanah liat; itu menunjukkan kemiringan tebing up dari 8 derajat dari Utara ke arah Selatan; juga, ada kemiringan lain dari 8 derajat turun dari Barat ke Timur.
Teras Batu pasir di sisi selatan dari Bosnia Piramida Bulan ditemukan di bawah 1 lapisan meter tanah dan tanah liat; menunjukkan kemiringan 8 derajat mendaki dari Selatan ke Utara (berlawanan dengan teras di kaki sisi Barat). Ini membuktikan bahwa teras ini bukan hasil dari gerakan tektonik tapi direncanakan kegiatan manusia. Sejumlah teras ini pada piramida wajah Barat tidak memiliki kemiringan sama sekali (Sonda # 18-20) – itu diratakan
Contoh kompleks piramida utama di seluruh dunia menunjukkan bahwa di bawah piramida, lorong-lorong bawah tanah dan ruang telah dibangun. Ini kasus piramida di Giza (terowongan menghubungkan piramida, sphinx, Nil), Teotihuacan (underground diperbesar gua 4-ruang dengan lorong-lorong), Langkah piramida di Saqqara (underground “labirin”), China (terowongan bawah tanah yang dibangun dari batu pasir, batu bata dan tanah liat), Tenerife (gua-terowongan di Guimar). Banyak temuan lapangan menunjukkan bahwa jaringan terowongan yang luas ada di Bosnia Lembah Piramida. Ini adalah hipotesis (Principal penyidik Semir Sam Osmanagich) bahwa sistem terowongan menghubungkan semua benda kolosal, air sumur dan struktur penting lainnya. Penggalian saat ini berlangsung telah disajikan dengan temuan beberapa monolit berbentuk dalam terowongan. Ratusan meter dari terowongan telah dijamin dengan dukungan kayu. Terowongan yang definitif tidak poros tambang karena tidak ada alat, batubara, perak, emas atau lainnya werefound materi yang layak dan mereka tampak jauh lebih tua dari Middle Age atau zaman Romawi.
Examples of the main pyramidal complexes worldwide show that under the pyramids, underground passageways and chambers had been built. It’s the case of pyramids in Giza (tunnels connect the pyramids, sphinx, Nile), Teotihuacan (underground enlarged 4-chamber cave with passageways), Step pyramid in Saqqara (underground “labyrinth”), China (underground tunnels built from sandstone, bricks and clay), Tenerife (cave-tunnels in Guimar). Numerous field findings suggest that an extensive tunnel network exists in the Bosnian Valley of the Pyramids. It is hypothesized (Principal investigator Semir Sam Osmanagich) that the tunnel system connects all of the colossal objects, water wells and other structures of importance. The current excavations in progress have already presented with findings of several shaped monoliths in the tunnels. Hundreds of meters of tunnels have been secured by wooden support. The tunnels were definitively not the mining shafts as no tools, coal, silver, gold or any other worthy material werefound and they appear much older than Middle Age or Roman times.
Ukuran terowongan bawah tanah “Ravne” pada saat penemuan pada tahun 2006. Terowongan yang dibangun dalam materi konglomerat. Approx. 50 cm dari lapisan konglomerat di atas bahan napal (air-ketat) .Tunnel kompleks banjir di masa lalu dan banyak puing-puing yang tersisa.
Jarak dari pintu masuk terowongan ke Bosnia Piramida Matahari adalah 2,5 km. Pekerjaan difokuskan pada pembersihan dan dijamin dengan dukungan kayu terowongan utama yang terjadi di arah Pyramid (NW-SE).
Selama proses pembersihan, banyak terowongan sisi ditemukan. terowongan sisi berbaring di 90 derajat ke terowongan utama. Semua dari mereka diblokir dengan drywalls dan materi isi-in dibawa dari luar.
Drywall detail dalam underground tunnel kompleks “Ravne” (70 meter dari pintu masuk) bahan .Tidak ikat telah used.Stones dibulatkan, khas untuk tempat tidur sungai.
monolit batu pasir berbentuk Jelas ditemukan di meteran 185 dari terowongan bawah tanah di Ravne, di bawah lapisan tebal konglomerat dan pasir yang menunjukkan usia yang cukup tua dari emplacement.The berat monolit diduga menjadi lebih dari 7 metrik ton.
prasasti kuno potensial ditemukan di pasir monolit “K-1” di terowongan bawah tanah
“Ravne”
simbol yangdiukir di permukaan monolit “K-1” ditemukan setelah penghapusan konglomerat
Penemuan monolit “K-2” di bawah konglomerat di meter 210 dari pintu masuk
Batu Monolith “K-2” yang benar-benar dibersihkan pada bulan Agustus 2008; batu itu duduk di atas piringan batu pasir yang membuat tempat tidur untuk monolith. Ada bahan semen di antara batu tidur dan monolit. Ini adalah bukti nyata bahwa lokasi ini dibuat oleh para pembangun untuk beberapa alasan (upacara?) dan batu pasir monolit ditempatkan di sini. Dowsers dari Italia mengklaim bahwa 20 meter di bawah monolit, ada persimpangan dari dua arus air bawah tanah.
Monolit “K-2, permukaan terlihat seperti itu dibentuk dan mungkin mewakili topografi medan
Penemuan bahan organik di dalam dinding konglomerat pada bulan November 2007. Sampel dikirim untuk radiokarbon ke Jerman (Christian-Albrechts University, Kiel) dan Polandia (Silesian University of Technology, Gliwice). Hasil penelitian menunjukkan usia masing-masing 31.000 dan 34.000 tahun. Jika bahan lebih tanggal mengkonfirmasi temuan ini akan berarti bahwa jaringan terowongan bawah tanah dibanjiri lebih dari 30.000 tahun yang lalu dengan terowongan dan megalith dengan simbol sudah di tempat.
Peta migrasi pertama ke Eropa. Menurut antropologi Genetika dan tes DNA baru-baru ini, oasis budaya tertua di Eropa adalah Spanyol ( “lukisan gua” cerdik tanggal hingga 32.000 tahun BP), Balkan (Visoko adalah di tengah-tengah Balkan) dan Ukraina, juga lebih dari 30.000 tahun
Penemuan dan pembersihan puing-puing di terowongan bawah tanah “KTK”; Oktober 2007 – Februari 2008. Terowongan tinggi 3 meter dan lebar 2,5 meter.
“KTK” terowongan bawah tanah setelah pembersihan; Sebanyak 150 meter dibersihkan dan diamankan. terowongan utama terletak di antara dua sungai (sungai Bosna dan sungai Fojnica) dan pergi ke arah dari Bosnia Piramida Matahari
Kompleks piramida di dunia terdiri dari piramida, kuil, struktur berundak, terowongan bawah tanah, dll. Dalam kasus Lembah PiramidaBosnia, bahan bangunan ya, dalam desa Vratnica , dua gundukan telah digali: “Toprakalija” dan “Dolovi”. “Toprakalija” memiliki bentuk kerucut dan itu mengingatkan salah satu bukit pemakaman di Inggris. Dua teras yang lebih besar juga telah ditemukan di gundukan “Toprakalija” dan mereka menunjukkan kehadiran piring bertekstur sama dan blok seperti padaPiramida Bulan Bosnia, namun lebih besar ukurannya.
Gundukan “Toprakalija” di Vratnica, bentuk bulat seperti dalam kasus tumulus di Inggris.
Penggalian di gundukan “Toprakalija” mengungkapkan blok batu pasir bertekstur dan lapisan tanah liat yang digunakan sebagai bahan konstruktif.
Blok batu pasir mencapai berat lebih dari 20 ton; menurut analisis, blok terdiri dari dua lapisan bertekstur atas lapisan, ketebalan 8-10 cm, ketebalan basis 50-55 cm. Alam tidak membuat blok dua lapisan, transportasi dan cocok mereka bersama-sama.
Pekerjaan arkeologi adalah proses yang lambat dan membutuhkan banyak kesabaran. Mencari tahu jawaban atas lima pertanyaan: apa, siapa, kapan, bagaimana dan mengapa dapat berlangsung beberapa dekade dalam kasus kompleks piramida Bosnia. artefak penting tertentu telah ditemukan di lokasi yang berbeda di Visoko lembah. Dalam tahun-tahun mendatang, lebih akan ditemukan dan kami akan lebih dekat dengan jawaban dari kompleks misterius ini yang mengubah pemahaman kita tentang sejarah dunia.
Archaeological work is a slow process and requires a lot of patience. Figuring out answers to five questions: what, who, when, how and why may take decades in the case of the Bosnian pyramid complex. Certain important artifacts have been found at the different locations in Visoko valley. In the years to come, more will be discovered and we will get closer to the answers of this mysterious complex that is changing our understanding of the world history.
Fragmen dari lingkaran batu (upacara meja, roda, bagian dari kolom?) Ditemukan di “KTK” terowongan di tahun 2007.
piringan/pelat batu pasir dengan simbol diukir ditemukan di terowongan bawah tanah “Ravne” pada tahun 2008
Telapak Kaki di batu pasir, mengikuti anatomi kaki manusia, sesuai dengan nomor sepatu 36, ditemukan di teras di Tumulus di Vratnica; mungkin cetakan yang berfungsi sebagai unit untuk pengukuran atau ekspresi artistik
Batu “jimat”, ditemukan di lereng Piramida Bosnia Naga, dua jenis batu gabungan.
piring batu pasir dengan simbol diukir dan garis, mungkin topografi medan ditemukan pada tahun 2006 di Bosnia Piramida Matahari.
“Alat-membuat cetakan”, ditemukan di bawah tanah kompleks terowongan “Ravne” pada tahun 2007.
Keramik piramida, ditemukan di sekitar piramida Bosnia di desa mostre, Visoko Municipality, oleh arkeolog Jerman pada bulan Oktober 2008, ornamen segitiga, yang diukir di dinding piramida 4-sisi dengan bagian atas datar.
Bosnia piramida proyek kronologi 2005-2008
TAHUN April 2005- 2005 – Penemuan Piramida Matahari Bosnia dan Piramida Bulan Bosnia oleh Semir Sam Osmanagich (lebih lanju lihat: www.samosmanagich.com) selama kunjungannya ke kota Visoko di Central Bosnia. Ia mengklaim bahwa ada struktur buatan manusia yang tersembunyi di bawah tanah dan vegetasi di Visoko Loire.
– Agustus 2005 – Osmanagich menyewa kontraktor dan ahli geologi untuk melakukan survei geologi awal. Hasil pertama menunjukkan adanya anomali geologi dan batu pasir beraspal di dataran tinggi
– Agustus 2005 – Osmanagich menemukan pintu masuk ke terowongan bawah tanah yang oleh penduduk setempat disebut “gua”. Setelah prospeksi pertama, Osmanagich berhipotesis bahwa jaringan terowongan besar bawah tanah ada di bawah Lembah Piramida Bosnia, klaim yang kemudian dikonfirmasi selama proses penggalian dan pembersihan.
– Oktober 2005 – Osmanagich menerbitkan buku “Piramida Matahari Bosnia – Penemuan Piramida Eropa Pertama” dan mengumumkan keberadaan Piramida Matahari dan Bulan dan jaringan terowongan bawah tanah kepada dunia pada konferensi pers. Media lokal (kantor berita FENA, Harian Avaz, stasiun TV) dan badan-badan dunia (AP, France Press, Reuters) mengirim berita keluar: piramida Eropa pertama dan terbesar di dunia telah ditemukan di Bosnia.- Piramida Matahari Bosnia dengan ketinggian 220 meter dan Piramida Bulan Bosnia ( 190 meter) yang jauh lebih tinggi dari Piramida besar Mesir (148 meter) atau Piramida Matahari di Teotihuacan di Meksiko (74 meter).
– Oktober / November – penggalian Pertama di Bosnia Piramida Matahari oleh Osmanagich minat yang besar dan publisitas, ribuan orang mengunjungi situs – Desember – Osmanagich mendirikan non-profit dan non-pemerintah “Archaeological Park: Bosnia Piramida Matahari” foundation (lebih: http://www.bosnianpyramidofthesun.com untuk penelitian arkeologi dan perlindungan Ribuan heritage.- budaya e-mail dan surat dukungan yang diterima.
TAHUN 2006- Geo-Arkeologi musim berlangsung 200 hari, dari bulan April sampai November, dan itu proyek arkeologi terbesar di dunia. Yayasan mempekerjakan 100 pekerja (ahli dan penggali) dan ratusan relawan yang digali puluhan bagian pada kedua matahari dan bulan piramida, memperlihatkan berbentuk batu persegi dan piring. Dekat dengan 250.000 pengunjung datang untuk melihat penggalian piramida Eropa pertama. Presiden Bosnia, Perdana Menteri, menteri, profesor universitas dan banyak lainnya diperpanjang support.- Beberapa arkeolog lokal mereka yang pernah mengunjungi lokasi proyek diminta untuk dihentikan, mengklaim bahwa “tidak mungkin bahwa piramida ada di Bosnia”. Mereka mencari dan mendapat dukungan dari Asosiasi Arkeologi Eropa yang dipimpin oleh Dr. Anthony Harding, Dr. Predrag Novakovic dan Dr. Blagoje Govedarica yang menandatangani beberapa petisi kepada Pemerintah Bosnia untuk menghentikan proyek di mana mereka mengklaim bahwa Yayasan adalah “merusak kota abad pertengahan” (?)
Pemerintah membentuk komisi yang menolak klaim sebagai tidak benar dan false.Perfect orientasi sisi segitiga dari Bosnia Piramida Matahari (Utara, Timur-Barat) ditentukan oleh Institute Negara Geodesi dari Sarajevo (Eng. Enver Buza). sisi utara Piramida sempurna sesuai lokasi Northern Star (error 12 detik saja, Great Pyramid Mesir memiliki kesalahan dari 2 menit). Keberadaan tiga piramida “bukit” melalui pencitraan satelit (yang kemudian dinamai oleh Osmanagich sebagai Piramida Bosnia Naga, Kuil Bumi dan Bosnia Pyramid of Love) oleh ahli geofisika Dr. Amer Smailbegovic. Dia mengkonfirmasi temuan dengan analisis satelit termal ( “cepat kehilangan panas”) dan analisis radar satelit (lorong-lorong dalam sisi Utara dari Bosnia Piramida Matahari).
Kota Departemen Perencanaan Kota di Visoko (Eng. Emir Bukurevic) menegaskan bahwa tiga piramida (Matahari, Bulan dan Naga), saat puncak mereka terhubung oleh garis, membentuk segitiga anequilateral dengan sudut bagian dalam pada 60 derajat dan jarak 2,1 km (error + / – 2%) Biologi Dr. Sulejman Redzic dari University of Sarajevo menegaskan bahwa tanaman Mediterania ditemukan di piramida Bosnia Matahari karena suhu yang lebih tinggi (5 derajat) – karena sifat berongga piramida (keberadaan terowongan, dalam . ruang, dll) Pedologist Dr. Husnija Resulovic dari University of Sarajevo menegaskan bahwa lab analysisshow tanah yang yang mencakup piramida berusia lebih dari 12.000 tahun (semua laporan ilmiah di: http://www.icbp.ba)
(. Dijalankan oleh Mr. Sci Selim Beslagic) – Institut Teknik Sipil dari Tuzla menganalisa sampel dari blok konglomerat dari Bosnia Piramida Matahari dan menyimpulkan bahwa mereka dengan sifat beton seperti superior; sampel dari piring batu pasir dari Bosnia Piramida Bulan yang berkualitas baik juga; dalam kedua kasus mereka digunakan sebagai bahan konstruksi untuk membangun struktur geologi Mesir Dr. Aly Barakat, yang datang melalui Pemerintah Mesir untuk memberikan pendapatnya tentang situs, setelah 42 hari dia menghabiskan di Bosnia, mengumumkan pada konferensi pers pada bulan Juni bahwa piramida Bosnia Matahari adalah kombinasi dari kekuatan alam dan antropogenik – manusia telah berbentuk bukit yang ada untuk geometri piramida, dengan empat sisi segitiga dan kemudian dilapisi dengan blok batu. Dia menyebutnya pertama “primitif piramida”.
– Dua minggu setelah pengumuman Dr. Barakat ini pertemuan diadakan di Kairo antara Mesir Departemen Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Dewan Tertinggi untuk Antiquities. Pada Agenda adalah “efek dari penemuan piramida Bosnia ke pariwisata Mesir”. Setelah pertemuan Dr. Zahi Hawass (politik) menyatakan bahwa “piramida Bosnia hanya tumpukan batu”. Mesir Kuno Lammia El Hadidi dan Dr. Muhamed Ibrahim Aly, setelah mengunjungi situs tersebut, menegaskan kepalsuan dari situs arkeologi di Bosnia akhir tahun itu. Media Semua terkemuka dunia mengunjungi Bosnia Lembah Piramida dan dilaporkan dari situs. Mereka melihat bahwa akhirnya salah satu berita positif datang dari Bosnia: CNN (berita selama dua hari pada bulan Juli 2006, ABC ditayangkan 30 menit khusus pada tahun 2007, BBC memiliki laporan tiga kali, TV nasional dari Jerman, Belgia, Italia, Arab Saudi, Jepang, Kroasia, Slovenia, dll)
TAHUN 2007- Dua pintu masuk ke terowongan bawah tanah ditemukan. Terowongan banjir di masa lalu; membersihkan pekerjaan dimulai. Untuk alasan keamanan dukungan kayu telah diinstal. Segera menjadi jelas bahwa terowongan dibangun pada zaman pra-sejarah. Banyak terowongan sisi dan persimpangan, drywalls, blok megalitik dan ukiran ditemukan. Dr. Harry Oldifield dari Inggris difilmkan medan elektromagnetik di dalam dan sekitar piramida dengan kamera khusus untuk pertama kalinya dalam penelitian ilmiah dari piramida di seluruh dunia. Tim dari empat ahli Mesir resmi (melalui Pemerintah Mesir) datang untuk menyelidiki proyek: Dr. Nabil Swelim (arkeolog dan ahli Mesir kuno, penemu empat piramida di Mesir), Dr. Aly Barakat (ahli geologi), Dr. Mona Fouad Ali (arkeolog dari Kairo Universitas) dan Dr. Soliman Hamid (arkeolog dari Universitas Kairo).
Kesimpulan setelah 15 hari kunjungan, yang diumumkan secara terbuka, adalah bahwa “Bosnia Piramida Matahari adalah piramida terbesar di dunia”. Tumulus telah ditemukan di sekitar piramida dengan blok batu 20-ton. ilmuwan Bosnia Dr Mohamed Pasic dari University of Zenica menyelesaikan pengujian laboratorium pada puluhan everal blok dan pelat sampel dari piramida dan menyimpulkan bahwa mereka artifisial dipotong, diangkut dan dipasang ke Bosnia Piramida Bulan.
Kroasia ilmuwan Dr Ivan Simatovic membentuk analisis geometris dari Bosnia Piramida Matahari membuktikan kepalsuan Beberapa analisis (Gabor Szakacs Hungaria, Dr. Muris Osmanagic dari Bosnia dan Paolo Stekel dari Brazil) mengklaim bahwa ukiran pada blok megalitik di terowongan bawah tanah memiliki kemiripan dengan tulisan Eropa tertua
– (.. Dr Oleg Khavroshkin dan dr Vladislav Tsyplakov) Runic dan Glozelian Tim dari Schmidt Institute dari Russian Academy of Natural Sciences (Moskow) dilakukan screening bidang seismik piramida Bosnia dan menyimpulkan bahwa hasil dapat dibandingkan dengan piramida Mesir dari Giza dan mereka menunjukkan hasil dari struktur buatan ahli geofisika terkemuka Jerman dari LGA Bautechnik Institute dengan Dr. Andreas Hasenstab dilakukan screening geo-radar dari Bosnia Valley of the Pyramids menemukan 44 anomali (lorong bawah tanah, area beraspal, lapisan blok batu , dll).
TAHUN 2008- bahan organik (sepotong kayu) ditemukan dalam bahan konglomerat yang menutupi blok megalitik di terowongan. Sampel adalah radiokarbon diuji di Kiel Lab di Jerman (berusia 31.000 tahun) dan Gliwice Lab di Polandia (berusia 34.000 tahun). Hasil mengejutkan memperingatkan bahwa aktivitas manusia canggih hadir di Bosnia tengah pada saat yang sama seperti lukisan gua cerdik di Spanyol dan Perancis (32.000 tahun yang lalu).
Fisikawan Dr. Anna Pazdur dari Universitas Silesia Polandia mengumumkan berita pada Konferensi Pers di Sarajevo pada bulan Agustus 2008- jumlah besar artefak arkeologi telah ditemukan selama empat tahun penggalian. pembersihan lebih lanjut dalam terowongan bawah tanah dikonfirmasi jaringan buatan besar dari zaman pra-sejarah. Sampel dari pemboran inti dari Bosnia Piramida Matahari dan Vratnica tumulus telah menunjukkan sifat-sifat yang terbaik beton berkualitas (analisis oleh Institut untuk Bahan dari University of Zenica, Bosnia dan Institut Teknik Sipil dari Universitas Sarajevo, Bosnia) Pertama International Konferensi ilmiah tentang Bosnia Lembah Piramida diadakan di Sarajevo pada 25-30 Agustus 2008. Lebih dari 50 ahli dari Mesir (20 terkemuka arkeolog, ahli geologi dan ahli Mesir Kuno,), China, Arab Saudi, Rusia, Polandia, Kroasia, UK , Austria, Bosnia dan Montenegro menyimpulkan / direkomendasikan:
(1) bahwa Bosnia Lembah Piramida adalah “lokasi arkeologi yang sangat penting yang memerlukan penelitian multidisiplin lebih lanjut,”
(2) bahwa “Kedua Konferensi Ilmiah yang akan diadakan dalam dua tahun yang harus getter spesialis piramida dari seluruh dunia,”
(3) “Pusat Studi Pyramid adalah yang didirikan di Sarajevo” dan dianjurkan
(4) bahwa “tentu saja arkeologi di tingkat pascasarjana akan didirikan di universitas-universitas Bosnia sebagai dukungan untuk BosnianValley proyek Piramid.” – Profesor arkeologi klasik dari University of Alexandria Dr. Mona Haggagcalled penemuan ini “menulis halaman baru dalam sejarah Eropa dan Dunia. ”
© situs Doctor Osmanagic: http://www.piramidasunca.ba
Sumber:
http://www.gizaforhumanity.org/scientific-analysis-of-the-bosnian-valley-of-the-pyramids/
1.2. Perfect orientation – Cardinal sides of the world
Bosnian Pyramid of the Sun, Visoko, Bosnia and Herzegovina |
1.3. Apparent thermal inertia measurements
Satellite topography of Bosnian Pyramid of Sun and orientation toward cardinal points (Courtesy of dr. Amer Smailbegovic) |
Location of geospatial “anomalies” or pyramids, on topographic map with their exact orientation with cardinal NSWE directions. |
1.4. Geological-sedimentary analyses
Apparent Thermal Inertia |
The elevation that is shown on this high resolution interval contour map indicates an even overall slope and a stair-step design, observable on the sides of the Pyramid of the Sun. |
3-D geodetic contour interval map of the Bosnian Pyramid of the Sun (Courtesy: Geodetic Institute of Bosnia-Herzegovina) |
tc. |
Georadar experts from German company LGA Bautechnick GMBH found 44 man-made structures within 18 meters in depth throughout Bosnian Valley of the Pyramids. |
German georadar equipment shows possible passageways within the Bosnian Pyramid of the Sun |
Topographic chart (1:24,000) with all three locations (Bosnian pyramids of the Sun, Bosnian Pyramid of the Moon and Pyramid of the Bosnian Dragon), formed an equilateral triangle the valley (Courtesy of Cadastral Office, Municipality of Visoko). |
Excavation sites on the Bosnian Pyramid of the Sun. |
Stone monoliths on the Northern side of the Bosnian pyramid of the Sun superstructure of the pyramid-outer facing of the pyramid |
. |
Concrete blocks form the same slope in all directions. |
Tree roots can not permeate the cement surface of the Pyramid. |
North-East corner of the Pyramid clearly shows construction characteristics. |
Fluvial geomorphology |
Concrete blocks are covered by thin and smooth “sandstone” layer |
![]() |
Geophysicists from the Belgrade University conducting geo-radar screening (sonda # 12) |
1.9.1. Bosnian pyramid of the sun
Layout of three main pyramids: Sun (top right), Moon (bottom) and Dragon (left) form the equilateral triangle with a distance of 2,2 km between the tops of the pyramids. |
Geometry, shape, orientation, constructive material – they all prove the perfect planning and execution of the complex. |
Shadow of the Bosnian Pyramid of the Sun form the parallel “pyramid” next to the Bosnian pyramid of the Moon on a day of summer solstice (June 22), extremely important day for the ancient people |
Shadow of the Bosnian Pyramid of the Sun completely covers Bosnian Pyramid of the Moon just before the sunset on August 20th |
Archaeological field work on the Bosnian Pyramid of the Moon shows that under layers of soil and wood. There exists a huge stone/clay structure, three-sided “terraced” pyramid with paved causeway coming from East. |
Bosnian Pyramid of the Moon – sandstone tiles, carefully shaped and fit next to each other |
Bosnian Pyramid of the Moon– discovery of the vertical wall in 2006, 1 meter deep, built from sandstone plates |
Bosnian Pyramid of the Moon |
Bosnian Pyramid of the Moon, sonda # 20, 120 meters from the bottom: rectangular sandstone plates compose one of the terraces at the Western slope of this “terraced” pyramid |
Shaped sandstone plates, stowed on top of each other, found 1 meter deep at the Bosnian Pyramid of the Moon |
Shaped sandstone tiles discovered one meter deep on Western slope of the Bosnian Pyramid of the Moon; sandstone is common material in Bosnia used today as a construction material as well. |
Paved terrace close to the top of the Bosnian Pyramid of the Moon, Eastern causeway; sandstone plates are stowed in several rows. |
Section of the Causeway that leads to the top of the Bosnian Pyramid of the Moon shows rows of sandstone plates with layers of clay in between them (probably served as the insulation and adhesive material) |
Section of the Causeway that leads to the top of the Bosnian Pyramid of the Moon shows rows of sandstone plates with layers of clay in between them (probably served as the insulation and adhesive material) |
Terrace on Western side of the Bosnian Pyramid of the Moon – it was uncovered under 1 meter of soil and clay; it shows slope climbing up of 8 degrees from North to South direction; also, there is another slope of 8 degrees going down from West to East. |
Sandstone terrace on Southern side of the Bosnian Pyramid of the Moon discovered under 1 meter layers of soil and clay; shows slope of 8 degrees climbing up from South to North (opposite to terrace at the foot of the Western side). It proves that these terraces are not a result of the tectonic movements but are planned human activities. A number of these terraces on the Western pyramid face has no slope at all (sonda # 18-20) – it is leveled |
1.11.Tumulus in Vratnica
Size of underground tunnel “Ravne” at the time of discovery in 2006. Tunnels are built in conglomerate material. Approx. 50 cm of conglomerate layers are above the marl material (water-tight).Tunnel complex was flooded in distant past and lot of debris remained. |
Distance from the tunnel entrance to the Bosnian Pyramid of the Sun is 2.5 km. Work is focused on cleaning and secured by wooden support the main tunnel that goes in direction of the Pyramid (NW-SE). |
During the process of cleaning, a lot of side tunnels were discovered. Side tunnels lay at 90 degrees to the main tunnel. All of them are blocked with drywalls and fill-in material brought from the outside. |
Drywall detail in underground tunnel complex “Ravne”(70 meters from the entrance).No connective material has been used.Stones are rounded, typical for river beds. |
Apparent shaped sandstone monolith found at the 185th meter of the underground tunnel in Ravne, under a thick layer of conglomerate and sand indicating its fairly old age of emplacement.The weight of the monolith is presumed to be over 7 metric tones. |
Potential ancient inscriptions found on sandstone monolith“K-1” in the underground tunnel “Ravne” |
Carved symbols on the surface of monolith “K-1” discovered after removal of conglomerate |
Discovery of the monolith “K-2” under the conglomerate at 210th meter from the entrance |
Monolith “K-2, surface looks like it was shaped and might represent the topography of the terrain |
Map of first migrations to Europe. According to the Anthropological Genetics and recent DNA testing, the oldest cultural oasis in Europe are Spain (ingenious “cave paintings” dated up to 32.000 years BP), Balkan (Visoko is in the middle of Balkan) and Ukraine, also over 30,000 years |
Discovery and cleaning of the debris in the underground tunnel “KTK”; October 2007 – February 2008. Tunnel was 3 meters high and 2.5 meters wide. |
“KTK” underground tunnel after cleaning; total of 150 meters were cleaned and secured. Main tunnel is located between two rivers (river Bosna and river Fojnica) and goes in direction of the Bosnian Pyramid of the Sun. |
1.12. Artifacts
“Toprakalija” mound in Vratnica, rounded shape like in a case of tumulus in England. |
Excavation on “Toprakalija” mound revealed textured sandstone blocks and clay layers used as a constructive material. |
Sandstone blocks reach the weight of over 20 tons; according to the analysis, the blocks consist of two layers textured top layers, 8-10 cm thickness, base thickness 50-55 cm. Nature does not make two-layer blocks, transport and fit them together. |
Fragments of the stone circle (ceremonial table, wheel, part of the column?) discovered in “KTK” tunnel in 2007. |
Sandstone plate with carved symbols discovered in underground tunnel “Ravne” in 2008 |
Sandstone foot, follows the anatomy of human foot, matches shoe number 36, discovered on the terrace at Tumulus in Vratnica; possible mold served as a unit for measurement or artistic expression |
Stone “amulet”, discovered on the slope of the Pyramid of the Bosnian Dragon, two types of stone combined. |
Sandstone plate with carved symbols and lines, possible topography of the terrain discovered in 2006 on the Bosnian Pyramid of the Sun. |
“Tool-making mold”, discovered in underground tunnel complex “Ravne” in 2007 |
Ceramic pyramid, discovered in the vicinity of the Bosnian pyramids in village Mostre, Visoko Municipality, by German archaeologists in October 2008, ornaments are triangles, carved on the walls of 4-sided pyramid with the flat top. |
– August 2005 – Osmanagich discovered an entrance to underground tunnel which locals called “cave”. After first prospection, Osmanagich hypothesized that huge underground tunnel network existed under the Bosnian Valley of the Pyramids. That claim was later confirmed during the excavation and cleaning process. – October 2005 – Osmanagich published the book “Bosnian Pyramid of the Sun – Discovery of the First European Pyramid” and announced to the world existence of the Pyramids of Sun and Moon and underground tunnel network at the press conference. Local media (state news agency FENA, Daily Avaz, TV stations) and world agencies (AP, France Press, Reuters) sent the news out: first European and biggest pyramids in the world have been discovered in Bosnia.- Bosnian Pyramid of the Sun with its height of 220 meters and Bosnian Pyramid of the Moon (190 meters) are much higher than the Great Pyramid of Egypt (148 meters) or Pyramid of the Sun in Teotihuacan in Mexico (74 meters). – October/November – First excavations on the Bosnian Pyramid of the Sun by Osmanagich great interest and publicity, thousands of people visiting the site – December – Osmanagich established a non-profit and non-government “Archaeological Park: Bosnian Pyramid of the Sun” Foundation (more: http://www.bosnianpyramidofthesun.com for the archaeological research and protection of cultural heritage.- Thousands of e-mails and support letters were received. YEAR 2006- Geo-Archaeological season lasted 200 days, from April to November, and it was the biggest archaeological project in the world. Foundation employed 100 workers (experts and diggers) and hundreds of volunteers who unearthed dozens of sections on both Sun and Moon pyramid, exposing shaped rectangular stone blocks and plates. Close to 250,000 visitors came to see the excavations of the first European pyramids. Bosnian President, Prime Minister, ministers, university professors and many others extended their support.- Several local archaeologists who never visited the site asked project to be stopped, claiming that “it was impossible that pyramids existed in Bosnia”. They seek and got the support from European Archaeological Association led by Dr. Anthony Harding, Dr. Predrag Novakovic and Dr. Blagoje Govedarica who signed several petitions to the Bosnian Government to halt the project in which they claimed that Foundation is “damaging medieval town”(?) Government formed the commission who rejected the claims as untrue and false.Perfect orientation of the triangular sides of the Bosnian Pyramid of the Sun (North, East-West) was determined by the State Institute for Geodesy from Sarajevo (Eng. Enver Buza). Northern side of the Pyramid perfectly matches the location of the Northern Star (error 12 seconds only, Great Pyramid of Egypt has an error of 2 minutes). Existence of three more pyramidal “hills” through the satellite imaging (later named by Osmanagich as a Pyramid of the Bosnian Dragon, Temple of Earth and Bosnian Pyramid of Love) by geophysicist Dr. Amer Smailbegovic. He confirmed his findings by satellite thermal analysis (“quick heat loss”) and satellite radar analysis (passageways within the Northern side of the Bosnian Pyramid of the Sun). Municipal Department for Urban Planning in Visoko (Eng. Emir Bukurevic) confirmed that three pyramids (Sun, Moon and Dragon), when their tops are connected by line, form anequilateral triangle with inner angles at 60 degrees and distance of 2.1 km (error +/- 2%) Biologist Dr. Sulejman Redzic of University of Sarajevo confirmed that Mediterranean plants are found on the Bosnian Pyramid of the Sun because of higher temperature (5 degrees) – due to the hollow nature of the pyramid (existence of tunnels, inner chambers,etc.) Pedologist Dr. Husnija Resulovic of University of Sarajevo confirmed that lab analysisshow that soil that cover the pyramid was over 12,000 years old (all scientific reports at: http://www.icbp.ba ) – Institute for Civil Engineering from Tuzla (run by Mr. Sci. Selim Beslagic) analyzed samples from the conglomerate blocks from the Bosnian Pyramid of the Sun and concluded that they are with superior concrete-like properties; samples of the sandstone plates from the Bosnian Pyramid of the Moon are of excellent quality as well; in both cases they were used as a construction material to build the structures Egyptian geologist Dr. Aly Barakat, who came through the Egyptian Government to give his opinion about the site, after 42 days he spent in Bosnia, announced at the press conference in June that Bosnian Pyramid of the Sun is the combination of natural and anthropogenic forces – man has shaped existing hill to the geometry of pyramid, with four triangular sides and later coated with stone blocks. He called it first “primitive pyramid”. – Two weeks after Dr. Barakat’s announcement the meeting was held in Cairo between Egyptian Ministry of Tourism, Ministry of Culture and Supreme Council for Antiquities. On Agenda was “effects of discovery of Bosnian pyramids to Egyptian tourism”. After the meeting Dr. Zahi Hawass (politically) proclaimed that “Bosnian pyramids are just the pile of rocks”. Egyptologists Lammia El Hadidi and Dr. Muhamed Ibrahim Aly, after visiting the site, confirmed the artificiality of archaeological sites in Bosnia later that year. All leading world’s media visited Bosnian Valley of the Pyramids and reported from the site. They noticed that finally one positive news was coming from Bosnia: CNN (breaking news for two days in July 2006, ABC aired 30-minute special in 2007, BBC had reports three times, national TV’s from Germany, Belgium, Italy, Saudi Arabia, Japan, Croatia,Slovenia, etc.) YEAR 2007- Two entrances to the underground tunnels were discovered. Tunnels were flooded in distant past; clean up work started. For safety reasons the wooden support has been installed. Very soon it became obvious that the tunnels are built in pre-historical times. Lot of side tunnels and intersections, drywalls, megalithic blocks and carvings were discovered. Dr. Harry Oldifield from England filmed the electromagnetic fields in and around the pyramids with special camera for the first time in scientific research of pyramids worldwide. Team of four Egyptian experts officially (thru Egyptian Government) came to investigate project: Dr. Nabil Swelim (archaeologist and Egyptologist, discoverer of four pyramids in Egypt), Dr. Aly Barakat (geologist), Dr. Mona Fouad Ali (archaeologist from Cairo University) and Dr. Soliman Hamid (archaeologist from Cairo University). YEAR 2008- Organic material (piece of wood) was found in conglomerate material that covered megalithic block in the tunnel. Sample was radiocarbon tested in Kiel Lab in Germany (31,000 years old) and Gliwice Lab in Poland (34,000 years old). Shocking results warned that advanced human activities were present in central Bosnia at the same time like ingenious cave paintings in Spain and France (32,000 years ago). Physicist Dr. Anna Pazdur of Poland’s Silesian University announced the news at the Press Conference in Sarajevo in August of 2008- Great number of archaeological artifacts has been found during the four years of excavations. Further cleaning in the underground tunnels confirmed huge artificial network from the pre-historical times. Samples of core drilling from the Bosnian Pyramid of the Sun and Vratnica tumulus have shown properties of the best quality concrete (analysis by Institute for Materials of the University of Zenica, Bosnia and Institute for Civil Engineering of the University of Sarajevo, Bosnia) First International Scientific Conference about the Bosnian Valley of the Pyramids was held in Sarajevo on August 25-30, 2008. More than 50 experts from Egypt (20 leading archaeologists, geologists and Egyptologists,), China, Saudi Arabia, Russia, Poland, Croatia, UK, Austria, Bosnia and Montenegro concluded/recommended: © Doctor Osmanagic website: www.piramidasunca.ba |
– See more at: http://www.katakini.com/berita-demokrasi-kita-buntu-kearifan-lokal-sunda-perlu-digali.html#sthash.cWOIGPWX.WjL0OsIm.dpuf
Sumber:http://www.katakini.com/berita-demokrasi-kita-buntu-kearifan-lokal-sunda-perlu-digali.html
Diposting Oleh Aditia Gunawan
Bibliografi:
Deskripsi Naskah:
UPDATE: His original web address was taken from him so the new URL is now with a dash:
Great article! Thanks for sharing! This might explain all the strange weather and plane crashes or belly landings lately… and I’ve noticed on Aviation Herald a lot of spontaneous smoke and fires that put themselves out with NO sign of incident when investigators review the situation but there are plenty of passenger witnesses and crew and many emergency landings. Empty planes have even ignited spontaneously just sitting on the tarmac for no apparent reason.
artikel bagus! Terima kasih telah berbagi! Ini mungkin menjelaskan semua aneh cuaca dan pesawat crash atau pendaratan perut akhir-akhir ini … dan saya perhatikan tentang Penerbangan Herald banyak asap spontan dan kebakaran yang menempatkan diri mereka dengan NO tanda insiden ketika peneliti meninjau situasi tapi ada banyak penumpang saksi dan kru dan banyak pendaratan darurat. pesawat kosong bahkan menyala secara spontan hanya duduk di aspal tanpa alasan yang jelas.
This might also explain the “perma-cloud” and mist that has been hovering over our city and outskirts for months on end and it is supposed to be completely sunny and hot here in Ecuador during the summer. This is not typical weather AT ALL and we certainly can’t blame it on “weather control” since that is primarily in NA and Europe or offshore. Something is certainly changing this planet and the WHOLE solar system too!
Hal ini mungkin juga menjelaskan “perma-awan” dan kabut yang telah melayang di atas kota dan pinggiran kami selama berbulan-bulan dan itu seharusnya benar-benar cerah dan panas di sini di Ekuador selama musim panas. Ini bukan cuaca khas AT ALL dan kami pasti tidak bisa menyalahkan pada “kontrol cuaca” karena itu terutama di NA dan Eropa atau lepas pantai. Sesuatu pasti berubah planet ini dan tata surya SELURUH juga!
This might also explain all of the hotspots where people are hearing “The Hum”, unexplainable booms and anomalous events that are occurring more and more every day in these areas! …not to mention the “sheets of rain” that have been flooding cities recently like Calgary in a matter of minutes. Alex Putney has documented and posted 13 years of these events on his Timecycle page:
Hal ini juga mungkin menjelaskan semua hotspot di mana orang mendengar “The Hum”, booming dijelaskan dan peristiwa anomali yang terjadi lebih banyak dan lebih setiap hari di daerah ini! … Belum lagi “lembar hujan” yang telah membanjiri kota baru-baru ini seperti Calgary dalam hitungan menit. Alex Putney telah didokumentasikan dan diposting 13 tahun peristiwa ini pada halaman Timecycle nya:
http://www.human-resonance.org/timecycle.html
or
(3 Ws)(dot)Human-Resonance(dot)org/timecycle(dot)html
Alex is looking to be more and more correct every day! Check it out!
Human Resonance