Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Misteri Supersemar, Surat Perintah 11 Maret 1966

$
0
0

Posted on by

suharto supersemar header

Keraguan akan keaslian naskah Supersemar yang disimpan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) muncul setelah tumbangnya Orde Baru (Orba) pada 1998. Keraguan publik soal otentisitas surat perintah dari Presiden Soekarno ke Menteri Panglima Angkatan Darat, Letjen Soeharto, dikala itu semakin diperkuat oleh beberapa saksi sejarah bekas tahanan politik Orba yang akhirnya buka suara.

Tiga Versi Supersemar, Misteri Lebih Dari Empat Puluh Tahun

Lebih dari empat puluh tahun berlalu, misteri Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) hingga kini belum juga terpecahkan. Di mana naskah asli surat tersebut juga masih belum bisa ditemukan.

Sejumlah versi proses terbitnya Supersemar pun beredar. Entah siapa yang benar. Namun dari sejumlah keterangan, yang tidak bisa dibantah adalah Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu.

Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu kini ada tiga versi versi:

Versi Pertama, yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.

Versi Kedua, berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno.

Versi Ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.

Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. “Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang bintang, padi dan kapas. Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).

Dari segi isi, kata Asichin, beberapa versi Supersemar tersebut relatif sama. Hanya ada perbedaan dari versi pertama dan kedua. Surat pertama terdiri dari empat poin yakni:

I. Mengingat,
II. Menimbang,
III. Memutuskan/Memerintahkan dan
IV. Selesai.

“Bedanya, di versi kedua tidak ada IV. Selesai,” ujar Asichin.

Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat.

Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut, Anderson mengatakan,Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti yang ada sekarang.

Jelas keterangan ini menyudutkan Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat. Sebab, dengan Supersemar berkop surat MBAD menunjukkan surat perintah itu memang diinginkan oleh Soeharto. Apalagi, muncul versi Soekarno dipaksa oleh beberapa jenderal utusan Soeharto untuk meneken Supersemar di bawah todongan senjata.

Jenderal M Jusuf, salah satu petinggi AD yang menemui Soekarno di Istana Bogor, pernah mengklaim memiliki naskah Supersemar. ANRI pernah berkali-kali meminta keterangan kepada Menteri Perindustrian Kabinet Dwikora itu. Namun, hingga akhir hayat M Jusuf pada 8 September 2004, upaya itu gagal.

Pada 31 Agustus 2005, ANRI pernah memawancarai keponakan M Jusuf, Andi Heri di Makassar. “Namun pengakuan keluarga katanya kami tidak pernah menyimpan”, ujar Asichin.

Pada 2008, pengakuan lain dibuat oleh Ubaydillah Thalib, putra Salim Thalib, staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI). Thalib mengatakan ayahnya, yang meninggal 2002 lalu, pernah bercerita kepadanya bahwa Supersemar yang ada selama ini adalah palsu.

“Teks itu tidak tersusun rapi seperti yang sekarang beredar, tapi memang diketik,” ujar Ubay saat itu.

Menurut Ubay, ayahnya sempat melihat sekilas teks tersebut saat diperintahkan oleh Letkol Sudharmono untuk menyimpan di ruangannya. “Tapi sayangnya yang melihat teks Supersemar itu hanya beberapa orang,” kata Ubay.

Cek Kosong Untuk Soeharto

Soekarno memberi surat lanjutan bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis.

Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tidak hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun juga soal isinya. Tiga versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secara isi memang sama, yakni perintah untuk mengamankan negara. Namun, bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?

Seperti diketahui, Supersemar telah dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si penerima, untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15 menteri yang dianggap beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta mengawasi pemberitaan di media massa saat itu.

Melihat langkah Soeharto itu, Soekarno segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari berikutnya atau 13 Maret 1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin penting ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan kepada Soeharto.

Surat itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa:

Pertama, Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis. Surat semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat, pemerintah dan presiden.

Kedua, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden.

Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.

Surat yang tidak banyak diketahui publik ini akhirya tak digubris Soeharto. Semua tahu bahwa setahun setelah penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu.

Sejarawan Asvi Warman Adam (2009) menilai Supersemar seperti blanko cek kosongyang bisa diisi semaunya oleh Soeharto. Hal ini terlihat dalam frasa “mengambil tindakan yang dianggap perlu” dalam poin perintah pertama surat itu.

Supersemar, kata Asvi, akhirnya ditafsirkan bukan hanya sebagai perintah pengamanan, namun juga pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Brigjen Amir Machmud, salah satu orang dekat Soeharto, setelah melihat surat itu menilai surat itu bernada penyerahan kekuasaan.

Menurut Asvi, seharusnya surat kepada militer jelas batas dan jangka waktu pelaksanaannya. Poin ketiga surat lanjutan Soekarno pada 13 Maret 1966 menunjukkan sang presiden telat menyadari ketidakjelasan jangka waktu pelaksanaan Supersemar.

Namun keterangan Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, setelah lepas dari tahanan Orde Baru, menunjukkan Sang Pemimpin Besar Revolusi tak seceroboh itu. Menurutnya, Supersemar terdapat frasa “setelah keadaaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.” Ketarangan Soebandrio itu dibenarkan oleh Pangkostrad Letjen Kemal Idris.

Kontroversi isi Supersemar ini akhirnya membuat persepsi bahwa Supersemar palsu sengaja dibuat mengarahkan ke transfer of authority. Sementara yang asli jelas merupakan perintah mengamankan negara atau delegation of authority. Ini pula yang diamini Roeslan Abdul Gani, salah satu menteri Soekarno saat itu.

Siapa yang mengetik Supersemar?

Kontroversi keberadaan (fisik) dan isi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) juga diikuti dengan misteri siapa yang mengetik surat sakti itu. Namun, dari sekian lama kontroversi bergulir, baru satu orang yang mengaku mengetik surat itu. Dia adalah Letkol (Purn) Ali Ebram.

Saat Supersemar terbit, Ebram adalah Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Dia mengaku mengetik Supersemar dengan didiktekan Presiden Soekarno. Ebram, yang tidak terbiasa mengetik, mengaku gemetar saat menekan tombol-tombol mesin cetak itu.

Dalam ‘Kudeta Supersemar’ (Wisnu: 2010) diceritakan, Ebram mengaku dipanggil oleh bosnya Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, untuk membawa mesin tik dan kertas berkop kepresidenan ke paviliun Hartini, ruang pribadi presiden di Istana Bogor. Ebram mengetik surat itu selama satu jam.

Menurut pengakuannya, di ruang lain, tiga petinggi Angkatan Darat yakni Brigjen M Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat, sudah menunggu. Keterangan Ebram klop dengan pengakuan Amirmachmud bahwa saat menunggu, ia melihat presiden masuk ke kamar dalam waktu yang cukup lama.

Namun, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo, mengatakan lain. Mangil mengatakan, sang pengetik adalah Sabur sendiri. Dengan membawa kertas dan mesin tik, kata Mangil, Sabur mengatakan sedang membuat surat perintah. Sabur, kata dia, mengetik hasil koreksi Supersemar setalah Soekarno mendiskusikan versi awal kepada tiga jenderal itu bersama dua wakil perdana menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh.

Sementara itu, Soebandrio, yang mengaku turut mengoreksi, mengaku tidak tahu siapa yang mengetik Supersemar. Dia hanya mengetahui Supersemar diketik oleh salah satu staf di Istana Bogor.

Sedangkan Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, mengatakan lain. Dari pengakuan seorang tentara di Istana Bogor, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Keterangan ini secara tidak langsung membantah Ebram sebagai pengetik Supersemar karena ia mengaku mengetik surat itu di atas surat berkop kepresidenan.

Namun sayang, Anderson tidak mau mengungkapkan siapa tentara pemberi informasi tersebut, berikut pangkatnya.

Pistol di Dada Soekarno

Dada Soekarno malam itu mungkin tak sebusung waktu ia mengatakan “ini dadaku mana dadamu” kepada Malaysia. Dini hari, 11 Maret 1966 di Istana Bogor, pistol FN-46 itu ditodongkan Brigjen Basuki Rachmat ke dada sang presiden. Soekarno dipaksa untuk meneken sebuah surat di dalam map merah jambu.

Dalam “Mereka Menodong Soekarno” Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu, mengaku langsung mencabut pistolnya. Namun, Soekarno menyuruh pengawalnya itu untuk memasukkan kembali ke sarungnya.

Sukardjo WilardjitoSaat membaca isi naskah di map merah itu, kata dia, Soekarno sempat bertanya “Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!” Secara refleks, kata Sukardjo, ia melihat naskah tersebut.

Kop surat, kata dia, tidak ada lambang kepresidenan. Dia justru melihat kop Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di sisi kiri atas surat tersebut.

“Untuk mengubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah,” kata Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf dan M Panggabean.

Surat yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itu akhirnya diteken oleh Soekarno. Keempat jenderal utusan Soeharto itu lantas membawa surat dengan sumringah. Setelah kejadian itu, Soekarno langsung mewanti-wanti Sukardjo.

“Kamu harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujar Sukardjo menirukan pesan Soekarno saat itu.

Dan benar saja, tak lama setelah kejadian itu, Sukardjo dilucuti oleh pasukan Kostrad dan RPKAD untuk kemudian ditahan. Dia dipenjara oleh Orde Baru tanpa peradilan selama 14 tahun. Selama ditahan, ia menerima penyiksaan, seperti disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.

Meski banyak yang membantah cerita tersebut, setidaknya itulah kesaksian dari Sukardjo, pengawal presiden, yang kedatangan tamu empat jenderal pada pukul 01.00 WIB. Selain soal pistol, kesaksian yang paling diragukan adalah kehadiran Brigjen M Panggabean. Dari beberapa versi cerita, cuma Sukardjo yang mengatakan kehadiran Panggabean di Istana Bogor. Jadi bukan 3 orang Jenderal, namun 4 orang Jenderal.

Namun, tak sedikit juga yang memperkuat kesaksian Sukardjo. Mereka yang memperkuat kesaksian Sukardjo adalah R Seoekiram, S Ponirah, Soeprapto Karto Siswoyo dan Rian Ismali. Keempatnya merupakan purnawirawan CPM dan TNI AD.

Akibat pengakuannya yang menghebohkan usai reformasi pecah pada 1998 itu, Sukardjo sempat menghadapi proses hukum atas tuduhan menyebarkan berita bohong. Namun, ia berhasil lolos dari jeratan hukum karena tuduhan itu tidak terbukti.

Sukardjo Wilardjito - pic by antarafoto

Kesaksian Sukardjo Wilardjito

Letda Inf Sukardjo WilardjitoPintu kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat yang ingin bertemu presiden. Mereka diutus oleh Suharto. Ada map merah muda di tangan salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang mesti ditandatangani Sukarno.

Naskah itu tidak segera ditandatangani Sukarno. Dia sempat bertanya tentang mengapa kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat. Seharusnya Surat Perintah itu ber-kop surat kepresidenan.

Tapi pertanyaan Sukarno hanya dijawab Jendral Basuki Rachmat, “Untuk membahas, waktunya sangat sempit. Paduka tandatangani saja”.

Kesaksian ini dituturkan Sukardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Sukarno.

Sesudah jatuhnya Sukarno, Sukardjo pernah dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun tanpa proses pengadilan, termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.

sukarno tandatangani supersemarSukardjo ini pernah mengejutkan orang dengan kesaksiannya yang bersikukuh menyatakan Basuki Rachmat dan Panggabean menodongkan pistol ke muka Sukarno karena ia bimbang untuk menandatangani.

Melihat itu, Sukardjo sebagai pengawal presiden secara refleks mencabut pistol untuk melindungi presiden.

Namun Sukardjo meletakkan pistolnya kembali, karena Sukarno tidak ingin melihat pertumpahan darah.

Surat yang akhirnya ditandatangani Sukarno itu dikenal kemudian dengan namaSupersemar. Surat Perintah Sebelas Maret.

Sukardjo juga bersaksi bahwa yang menghadap Sukarno adalah empat jendral dan bukan tiga jendral seperti yang disebutkan selama ini.

Jendral M. Yusuf (wikipedia)

Keempat jendral utusan Suharto itu adalah:

  1. Muhammad. Yusuf
  2. Maraden Panggabean
  3. Amir Machmud dan
  4. Basuki Rachmat.

Biarpun ada yang masih meragukan kesaksian Sukardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada kesaksiannya itu. Kemudian malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul “Mereka Menodong Bung Karno”.

Kesaksian Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean sendiri.

Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”. Sehingga kebenaran kesaksian Sukardjo itu masih perlu ditelusuri lagi. Benarkah demikian?

Ditodong atau tidak, rasanya Sukarno bukan orang yang mudah digertak. Bagaimanapun, apapun alasan Sukarno menandatangani naskah Supersemar, pada dasarnya kesaksian Sukardjo itu menggambarkan situasi yang tidak kompromistik.

Jendral Maraden Panggabean (wikipedia)

Situasi yang membuat Sukarno terjepit. Tak ada waktu bernegosiasi. Pokoknya teken sekarang! Ada bau konspirasi di balik itu. Dan hasilnya adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Bung Karno menyebutnya dengan istilah SP Sebelas Maret.

Sesudah menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa surat itu mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih.

Permintaan itu tidak pernah terwujud, karena ketika menandatangani surat itu, tanpa disadari Sukarno sedang menandatangani kejatuhannya.

Sesudah penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan “wahyu sebagai pemimpin” seakan sudah tercabut dari Sukarno.

Sebagai presiden, Sukarno sudah menandatangani ribuan surat. Tapi tandatangannya di surat yang satu ini, Supersemar, menjadi pedang yang menghunus kekuasaannya sendiri.

Jendral Amir Machmud (wikipedia)

Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Sukarno pada Suharto untuk mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI.

Belakangan mandat Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan yang menyingkirkan Sukarno.

Dengan Supersemar itu Suharto memperoleh surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.

Bung Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam pidatonya berteriak “Jangan jegal perintah saya!

Jangan saya dikentuti!”. Ini ekspresi kemarahan Sukarno kepada orang-orang yang dianggapnya telah menipunya, melangkahinya dan membangkang perintahnya.

Menjelang kejatuhannya, Bung Karno mulai agak kehilangan kontrol diri. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang emosional. Tampaknya Bung Karno mulai frustrasi. Dia sudah mulai merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.

Jenderal Basuki Rahmat (wikipedia)

Salah satunya yang bikin Sukarno merasa dikentuti, seperti katanya, adalah Supersemar tadi. Bagaimana tidak? Bung Karno merasa Supersemar diplintir!

Padahal Supersemar dimaksudkan Sukarno untuk memberi mandat pada Suharto agar segera memulihkan keamanan negara, bukan melengserkannya.

Kecurigaan presiden Sukarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi Supersemar, tercermin dari pidatonya.

Ketika itu Bung Karno mulai melihat tanda-tanda Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai “dimainkan” oleh Suharto. Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali, dirinya tidak bermaksud mengalihkan kekuasaannya pada Suharto.

Kata Bung Karno, “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.

Berdasarkan pidato Sukarno di atas, timbul kecurigaan orang. Mungkinkah Supersemar “sengaja” dinyatakan hilang? Betulkah naiknya Suharto sebagai presiden adalah inskonstitusional karena bertentangan dengan amanat Supersemar? Dan karenanya Supersemar mesti lenyap secara misterius? Apakah bisa dipercaya begitu saja bahwa dokumen negara sepenting itu bisa hilang?

Dua naskah Supersemar di Arsip Nasional disebutkan hanya fotocopy. Yang janggal, dua naskah itu tidak mirip karena diketik dengan spasi berbeda. Pertanyaannya, yang manakah di antara kedua naskah itu yang otentik? Atau apakah malah keduanya sama-sama tidak otentik?

Menurut kesaksian staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI) Salim Thalib, naskah Supersemar yang dikenal sekarang adalah palsu. Selain aslinya tidak serapi itu, isi naskah juga tidak sama dengan naskah aslinya.

Jadi betulkah tuduhan beberapa kalangan yang menyamakan ini dengan usaha penghilangan barang bukti? Kalau memang Supersemar tidak diplintir, apa buktinya bahwa Supersemar itu tidak diplintir?

Sebetulnya kenapa Supersemar itu mesti dirancang dan Sukarno mesti dipaksa menandatangani? Ada banyak teori konspirasi rumit tentang ini. Tapi saya tertarik dengan teori berikut ini.

Persaingan PKI dan Angkatan Darat

Latar belakangnya tak lepas dari persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Sebelum terjadinya G30S, persaingan antara PKI dan Angkatan Darat sudah dalam taraf saling jegal menjegal. Bahkan PKI sampai ingin membangun “Angkatan Kelima” dalam militer.

PKI ingin menggeser Angkatan Darat. Dan Angkatan Darat ingin menggeser PKI. Apalagi ketika itu Sukarno sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin usianya tidak lama lagi. Pokoknya siapa cepat, dia dapat. Antara PKI dan Angkatan Darat sudah betul-betul sikut-sikutan.

Begitu meletus konspirasi G-30S, inilah kesempatan Angkatan Darat untuk menghancurkan saingan beratnya itu. Tak ada ampun, pokoknya PKI harus musnah. Dan penghancuran itu akan lebih afdol jika presiden sendiri yang mengumumkan pembubaran PKI. Soalnya yang punya hak untuk membubarkan partai politik cuma presiden. Itu adalah hak prerogatif presiden. Tapi tunggu punya tunggu, Sukarno kok belum mau juga membubarkan PKI. Bagaimana ini?

Angkatan Darat melalui tangan Suharto pun mengambil jalan pintas. Potong kompas. Caranya, harus dibuat sebuah surat perintah yang telah terkonsep, yang membuat Angkatan Darat jadi punya alasan yuridis melibas PKI. Konsep surat itu pun dibuat. Konsep Supersemar. Isinya perintah presiden kepada Angkatan Darat (Suharto) untuk mengamankan negara.

Nah, dengan dalih mengamankan negara inilah Angkatan Darat jadi punya alasan mengganyang habis PKI. Angkatan Darat memang berlomba dengan waktu. Harus bergerak cepat. Kalau tidak, PKI bisa kembali bangkit mengumpulkan kekuatan dan mendepak jauh-jauh Angkatan Darat dari panggung kekuasaan. Now or never! Jadi sekarang Angkatan Darat tidak boleh kalah cepat!

Setelah itu Suharto memerintahkan para Jendral tadi untuk membawa surat itu kepada Sukarno. Dengan pesan khusus, “pokoknya harus ditandatangani Sukarno”.

Begitu Supersemar ditandatangani, itulah awal aksi pedang Orba. Nampaknya tanda tangan Sukarno tadi adalah pembuka jalan bagi pelaksana Supersemar untuk mengamankan yang bisa diamankan. Sesudah itu terjadi tragedi mengenaskan.

Di segala pelosok negeri berkubang darah jutaan rakyat dengan alasan pembasmian PKI demi keamanan negara. Korbannya tidak saja PKI, tapi juga orang-orang yang tiba-tiba di-PKI-kan atau dipaksa mengaku PKI. Berjuta rakyat mendadak tak bermasa depan dan terampas haknya karena dicap PKI.

Tak kurang Sukarno sendiri turut menjadi korban. Sukarno mengatakan dia mengutuk sekeras-kerasnya Gestok (G30S PKI). Pelakunya harus dihukum, kalau perlu ditembak mati. Tapi orang yang memperuncing peristiwa G30S PKI, hingga terjadi provokasi membenarkan pembunuhan jutaan rakyat juga harus diadili. Apakah Sukarno bermaksud menujukan ini pada Suharto?

Yang jelas, sesudah pernyataan Sukarno itu, terjadi de-Sukarnoisasi. Kita tahu bagaimana Sukarno diisolasi, dituduh terlibat G-30 S PKI tanpa bukti yuridis.

Tentu saja tuduhan itu aneh. Karena bagaimana mungkin Sukarno dituduh melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri? Buntutnya, semua yang berhubungan dengan Sukarno menjadi tabu dibicarakan di masa Orba. Bahkan beberapa departemen men-non-aktif-kan pegawai yang ketahuan pro-Sukarno.

Suharto dan Amerika

Setelah skenario berjalan seperti harapan, “para perancang” Supersemar lalu mabuk kemenangan. PKI yang dulu jadi saingan utamanya untuk merebut “kursi Sukarno” sudah tersungkur. Dan Sukarno sang pemilik kursi juga sudah dipaksa meninggalkan kursinya. Suharto tak menyia-nyiakan kesempatan. Kursi yang kosong tanpa pemilik itu harus diapakan lagi kalau bukan diduduki?

Dan ketika kursi Sukarno tadi diduduki Suharto, di situlah awal mula kasak kusuk politik tentang “penyelewengan Supersemar”. Apakah betul tuduhan bahwa ada permainan sistematis Amerika di balik semua ini?

Yang jelas, dengan diselewengkannya maksud Supersemar, yang paling berbahagia adalah Amerika. Karena itu berarti jatuhnya Sukarno. Akhirnya mimpi Amerika terkabul sudah. Terang-terangan Amerika menyatakan jatuhnya Sukarno sebagai kemenangan Amerika. Presiden Richard Nixon menggambarkan kemenangan itu sebagai, “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara”.

Sudah jelas. Karena hadiah sesungguhnya terletak pada kekayaan alam Indonesia yang menanti untuk dikuras. Dan batu penghalang yang menghalang-halangi Amerika menguras alam Indonesia, yaitu Sukarno, sudah dibikin terjungkal. Inilah awal kemenangan Amerika yang sejak 10 tahun sebelumnya ingin menggulingkan Sukarno.

Bung Karno berhasil mengusir penjajahan Belanda. Tapi setelah itu Bung Karno ambruk oleh Amerika. Mungkin karena cara Amerika lebih cerdik. Soalnya Amerika tidak memegang gagang keris secara langsung untuk menikam Sukarno. Keris itu diserahkannya kepada rakyat Sukarno sendiri, yang menghujamkannya langsung ke presidennya sendiri, di antaranya melalui provokasi perebutan kekuasaan dan akhirnya menunggangi G-30S.

Pasca G30S, rakyat menjadi sangat takut dengan yang kekiri-kirian. Ini artinya Indonesia meninggalkan Rusia dan berpaling ke Amerika.

Dan setelah Supersemar dijadikan surat sakti untuk memberantas sisa-sisa G-30S, lalu pemegang Supersemar diangkat menjadi presiden, Indonesia berubah haluan 180 derajat. Hampir semua jabatan vital dipegang oleh perwira Angkatan darat. Sehingga rakyat berbisik takut-takut dan bertanya siapa sebetulnya yang meng-kup Sukarno?

Di bawah pemerintahan yang hampir semuanya orang militer, rakyat Indonesia jadi takut dan kapok dengan yang segala yang berbau kiri. Semua orang tiba-tiba saja beragama. Banyak orang tiba-tiba rajin ke mesjid dan ke gereja. Soalnya takut dituduh PKI. Sehingga kiblat Indonesia berganti ke Amerika, tidak lagi ke Blok Timur.

Rusia yang tadinya sahabat Indonesia sekarang menyingkir. Amerika jingkrak-jingkrak! Soalnya mimpi mereka untuk menancapkan kuku di Indonesia akhirnya terwujud. Indonesia yang di bawah tanahnya banyak emas dan minyak itu akhirnya jatuh ke pelukan Amerika. Apa buktinya?

Kepentingan Amerika cuma satu. Pokoknya modal Amerika mesti masuk ke Indonesia. Hasilnya? Begitu pemegang Supersemar diangkat menjadi Presiden menggantikan Sukarno, maka produk undang-undang pertama yang digodok adalah RUU Penanaman Modal Asing Tahun 1967.

Setelah lahir UU Penanaman Modal Asing, sebut saja sumber daya alam mana di Indonesia yang sampai sekarang tidak dikuasai Amerika? Sukarno telah ditumbangkan oleh Amerika. Dan bagaimana pemangku Supersemar akhirnya lengser?

Ketika ayam jago yang dielus-elus tuannya tidak lagi berguna, maka ayam itu “di-kuali-kan” menjadi ayam sayur. Semua itu berawal ketika “kapitalisme Cendana” ternyata semakin me-raksasa nyaris mendesak kepentingan kapitalisme Amerika. Maka pemangku Supersemar pun akhirnya terdepak pula.

Di mana letak perbedaan kejatuhan Sukarno dan Suharto? Sukarno memang dijatuhkan sesudah menandatangani Supersemar, tapi tak pernah jatuh ke pelukan Amerika. Sedangkan Suharto sudah jatuh sejak awal. Bahkan ketika dia baru saja mengirim utusannya untuk memaksa Sukarno menandatangani Supersemar, di saat itu Suharto telah jatuh ke pelukan Amerika.

Tidak ada kekuasaan yang abadi. Setiap saat kekuasaan bisa saja jatuh. Tapi ada satu hal yang tidak otomatis jatuh bersama kekuasaan. Yaitu kehormatan. (Walentina Waluyanti– Nederland, 4 Maret 2010)

Amerika sebut Supersemar Sebagai Kudeta

Tuduhan bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah puncak dari kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto, semakin jelas dengan adanya dokumen Central Intelligence Agency (CIA). Telegram rahasia dari Kedubes AS di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri AS, sehari pasca-Supersemar, menyatakan: Indonesia baru saja melancarkan sebuah kudeta militer (military coup).

Dalam “Membongkar Supersemar”, Sejarawan Baskara T. Wardaya melampirkan telegram rahasia yang ia dapatkan itu. AS tidak hanya menyebut Supersemar sebagai kudeta. Tapi melihat caranya yang merangkak, negara adidaya itu menyebut Supersemar sebagai “kudeta militer yang khas negeri tersebut”.

Isi telegraph rahasia itu adalah: “Setelah lama ditunggu-tunggu kini Soekarno telah mempertaruhkan nasibnya terlalu jauh. Rencana dia untuk menyingkirkan jajaran kepemimpinan militer dan memasukkan seseorang yang dikenal sebagai pro-komunis sebagai Menteri Pertahanan telah mendorong militer untuk memotong kekuasaannya.”

Menteri yang dimaksud AS sebagai pro-komunis adalah Mayjen Sarbini. Dia ditunjuk oleh Presiden Soekarno menggantikan AH Nasution, yang dikenal dekat dengan AS. Saat Supersemar terjadi Nasution tidak menjabat apa-apa lagi. Dia lebih banyak menunggu di rumah sambil melihat dinamika politik yang terjadi.

Dukungan AS untuk penggulingan Soekarno semakin jelas dengan adanya memorandum dari Deputi Asisten Khusus Bidang Keamanan Nasional AS, Robert Komer, kepada Presiden Lyndon Jhonson. Dalam memo itu, Komer menyebut Supersemar sebagai“kudeta yang sukses”.

Memo yang dikirim sehari setelah Supersemar: “Mendukung sukses. Tidak sulit untuk menyadari betapa pentingnya kemenangan AD atas Soekarno (meskipun Soekarno tetap dihormati sebagai simbol negara). Indonesia memiliki jumlah penduduk – dan jumlah sumber alam – melebihi yang ada di seluruh Asia Tenggara. Selama ini Indonesia telah siap menjadi negara komunis yang ekspansionis, yang siap mengancam bagian belakang posisi Barat di Asia Tenggara.”

Dalam “Peristiwa G 30 S yang Saya Alami”, Soebandrio mengatakan, sangat jelas AS takut Indonesia dikuasai komunis. Wakil Perdana Menteri I di kabinet Dwi Kora itu mengatakan ada dua proyek AS di Indonesia. “Hancurkan PKI dan gulingkan Soekarno,” cetusnya.

Soebandrio dan sejumlah menteri yang berhaluan kiri memang banyak duduk di kabinet saat itu. Apalagi hubungan AS dan Soekarno terus memburuk pasca-pernyataan keras Soekarno tentang penghentian batuan negara adidaya ke Indonesia. “to hell with your aid,” cetus Soekarno saat itu.

Setelah Supersemar terbit, PKI mulai diberangus, Soebandrio dan 14 menteri kabinet Dwi Kora yang loyal dengan Bung Karno dan berhaluan kiri, ditangkap dan ditahan. Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.

“Dari posisi orang nomor dua di republik ini, mendadak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati,” ratap Soebandrio di penjara Cimahi. Namun, Soebandrio akhirnya lolos dari jerat maut berkat surat Presiden AS Lyndon Jhonson dan Ratu Inggris Elizabeth kepada Soeharto.

“Soebandrio jangan ditembak, saya tahu dia tidak terlibat dalam G 30S”, demikian surat yang akhirnya membuat Soebandrio tetap hidup dan menulis kesaksiannya setelah reformasi meletus.

Arsip Nasional Terus Mencari Supersemar Asli

Kepala ANRI M Asichin meyakini Supersemar asli itu benar-benar ada. Naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) entah di mana kini berada. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) mengaku hanya menyimpan versi palsu Supersemar.

Mungkinkah naskah asli surat perintah dari Presiden Soekarno ke Soeharto itu ditemukan? “Yang jelas kami terus berupaya,” kata Kepala ANRI, M Asichin, di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).

Asichin menjelaskan ANRI telah melakukan pencarian naskah asli Supersemar sejak tahun 2000 atau sejak reformasi membuka tabir kepalsuan surat, yang menjadi bahan ajaran siswa-siswa pada masa Orde Baru.

“Terakhir kami wawancarai Joko Pekik dan Rewang pada 2011,” kata Asichin tentang mantan dua anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang dibubarkan Soeharto setelah menerima Supersemar.

Namun, kata Asichin, pada wawancara Juni dan Juli 2011 itu, Joko Pekik dan Rewang juga tidak tahu perihal surat tersebut. “Mereka cuma mendengar saat itu soal Supersemar, soal ada tidak ada, mereka tidak tahu,” ujar Asichin.

Dalam rangka mencari Supersemar, ANRI juga pernah mewawancarai keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto. Asichin mengatakan, klaim M Jusuf memiliki naskah asli Supersemar tidak terbukti.

Kepada ANRI, Andi Heri, keponakan M Jusuf yang saat itu menjabat Wakil Wali Kota Makassar mengatakan, “Keluarga kami tidak menyimpan.” Wawancara itu dilakukan pada 31 Agustus 2005.

ANRI juga pernah mendatangi anak Jenderal (Purn) AH Nasution, namun hasilnya juga sama, nihil. “Dia juga tidak tahu,” kata Asichin. Secara pribadi, Asichin meyakini Supersemar asli itu benar-benar ada. Soekarno sendiri pernah mengatakannya pada pidato di HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1966.

“Pak Moerdiono juga pernah mengatakan beliau melihat dan beliau yakin ada,” kata Asichin. Mungkinkah naskah asli Supersemar ditemukan? Setidaknya keyakinan kepala ANRI bisa jadi modal untuk mencari Supersemar yang asli, yang telah memberi dampak bagi kehidupan bangsa Indonesia sampai saat ini.

Penemu Supersemar Akan Diberi Penghargaan

Meski UU Kearsipan mengatur ancaman pidana bagi penyembunyi arsip negara, hukuman untuk pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) nampaknya tidak terlalu ketat. Bahkan, Arsip Negara Republik Indonesia (ANRI) menjanjikan penghargaan bagi mereka yang mengembalikan surat sakti dari Soekarno ke Soeharto itu.

“Ya peraturan kan bukan untuk dilanggar,” ujar Kepala ANRI, M Asichin, di Jakarta, Sabtu (10/3). Aschin menjelaskan di UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan juga mengatur soal penghargaan bagi mereka yang memberikan arsip negara yang bernilai sejarah tinggi, seperti Supersemar. “Kita akan gunakan cara-cara persuasif,” ujarnya.

Seperti diketahui, ancaman pidana soal kearsipan di era Soeharto sangat besar. Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan menyatakan barangsiapa dengan sengaja memiliki arsip negara dengan melawan hukum, maka akan dipenjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.

Namun, pada revisi terakhir UU itu, yakni UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, aturan pidana soal penyimpanan arsip negara sedikit berubah. Bagi yang memiliki arsip negara secara melanggar hukum ia akan dibui maksimal lima tahun. Dan bagi yang memusnahkan arsip tidak sesuai prosedur yang diatur akan mendapat hukuman maksimal 10 tahun penjara.

Cari Supersemar, ANRI pernah temui Tutut dan Megawati

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) terus berupaya mencari keberadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Dalam waktu dekat, lembaga itu akan mewawancari Siti Hardiyanti (Tutut) Rukmana dan Megawati Soekarnoputri.

“Kita akan memasukan permohonan wawancara,” kata Kepala ANRI, Asichin, di Jakarta, Sabtu (10/3/2012). Asichin menjelaskan, adalah penting untuk mencari informasi seputar Supersemar kepada keluarga Soekarno dan Soeharto, sebagai pemberi dan penerima surat.

“Kita akan tanya pernah lihat tidak (naskah asli Supersemar-red), apapun jawaban beliau akan kita arsipkan,” kata Asichin.

Tidak hanya kepada keluarga pemberi dan penerima surat, ANRI juga akan mewawancarai tokoh-tokoh yang dekat dengan konteks peristiwa 1966 itu. Dia menyebut nama Akbar Tandjung dan Cosmas Batubara, pentolan gerakan mahasiswa tahun 1966. “Siapa tahu mereka tahu,” ujarnya.

Dalam rangka mencari Supersemar, ANRI juga pernah mewawancarai keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto. Asichin mengatakan, klaim M Jusuf memiliki naskah asli Supersemar tidak terbukti.  (Laurencius Simanjuntak/merdeka.com)

Keberadaan Supersemar asli masih misterius

Keberadaan naskah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar yang asli sampai saat ini masih misterius dan belum ditemukan, kata Binner Sitompul, Kepala Pusat Jasa Kearsipan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

“Kami telah melakukan pengujian terhadap empat naskah Supersemar yang ada saat ini, tapi keempat-empatnya belum ada yang asli,” katanya usai acara sosialisasi Undang-undang No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan di Tuapejat, Senin (17 Maret 2014) .

Ia menjelaskan, hasil uji forensik tanda tangan pada dokumen/arsip oleh Puslabfor Bareskrim Mabes Polri pada 31 Juli 2012 terkait naskah Supersemar menyebutkan, tanda tangan atas nama Soekarno adalah bukan tanda tangan original atau tarikan langsung, tetapi hasil produk cetak.

Selain itu, lambang Burung Garuda, isi dokumen, dan tanda tangan merupakan hasil produk cetak yang sama, imbuhnya.

Binner mengatakan, sesuai dengan amanat UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, ANRI berwenang melakukan autentikasi arsip statis dengan dukungan pembuktian secara ilmiah, namun pihaknya tetap mengharapkan peran dari berbagai pihak untuk mencari naskah Supersemar yang asli tersebut.

“Ini menyangkut kebenaran sejarah bangsa Indonesia, maka keaslian naskah Supersemar itu memang sudah saatnya dicari oleh semua pihak,” Katanya.

Ia mengatakan, pihak ANRI tidak bisa memastikan apakah naskah Supersemar asli hilang atau sengaja dihilangkan, namun diyakini naskah asli Supersemar memang ada.

“Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1966 yang juga menyebut soal Supersemar dan juga adanya pernyataan mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono pada saat wawancara sejarah lisan di ANRI tanggal 26 April 2008 menyebutkan bahwa dia menyebutkan bahwa Supersemar ada,” terangnya. (siri antoni/ antaranews.com)

suharto piye kabare enak dijamanku toh

[Video] Bung Karno Bicara Tentang Supersemar

 



The Rothschild Conspiracy

$
0
0

Mayer RothschildHari ini kita akan menunjukkan mata skeptis kita tentang keluarga perbankan Rothschild yang terkenal, dan teori konspirasi beraneka ragam di sekitar mereka. Hampir setiap situs teori konspirasi yang menganggap pemerintah dunia bertindak dalam konser di bawah bimbingan beberapa dewan rahasia bersedia menunjuk jari kepada Rothschild. Kita akan mengambil pandangan orang modern melihat keluarga misterius ini, melihat siapa mereka sebenarnya dan apa yang mereka benar-benar ada, dan melihat apa ada bukti  yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar mengarahkan urusan dunia. Mengapa negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China bersedia akan menyerah kedaulatan mereka, melakukan perang dan mengerahkan kontrol atas pasar sesuai dengan instruksi dari atas? Jawabannya, menurut orang-orang percaya, adalah uang.

Didorong oleh pencarian mereka untuk uang, Rothschild telah mengatakan untuk membunuh Presiden AS, dan untuk membuat hampir setiap perang sejak 1800 untuk membiayai kedua belah pihak. Beberapa orang mengatakan Rothschild (yang Yahudi) menyebabkan Holocaust, sementara yang lain mengatakan mereka kekuatan sejati di balik penciptaan Israel. Mereka akan, dan terus, untuk melakukan apa pun untuk uang. Bahkan salah satu yang paling awal dan paling berpengaruh Rothschild, Nathan, diklaim telah mengatakan:

Saya tidak peduli apa boneka yang ditempatkan di atas takhta Inggris untuk memerintah Kekaisaran di mana matahari tidak pernah terbenam. Orang yang mengontrol suplai uang Inggris mengendalikan Kerajaan Inggris, dan saya mengendalikan pasokan uang Inggris.

Seluruh cerita Rothschild ‘adalah salah satu dari uang, dan itu dimulai pada abad ke-18. Sejarah mereka mungkin bertanggung jawab atas keyakinan modern bahwa Yahudi mengendalikan pasokan uang di dunia, yang tidak sepenuhnya unrooted (tercerabut akarnya) sebenarnya. Sepanjang Kristen Eropa, hal itu biasa bagi dilembagakan anti-Semitisme untuk melarang orang-orang Yahudi dari memiliki properti; jadi pengusaha Yahudi tidak punya pilihan selain untuk bekerja di bidang perdagangan dan keuangan, di mana uang bisa disimpan cair dan mudah dipindahkan atau tersembunyi. Dengan menyangkal Yahudi stabilitas kepemilikan properti, Kristen tanpa disadari memaksa orang-orang Yahudi dari hari ke keahlian keuangan besar.

Yang terbesar dari pakar keuangan adalah Mayer Amschel Rothschild, lahir pada tahun 1744 di daerah kumuh Yahudi Frankfurt. Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan awal, sebagai nya adalah salah satu puluhan ribu terpinggirkan, keluarga terbuang. Tapi begitu dia datang usia ia menjadi magang di sebuah bank kecil di Hamburg, di mana ia belajar perdagangan. Kembali ke Frankfurt pada usia 19, ia menawarkan layanan perbankan sendiri dengan cara yang sederhana, dimulai dengan perdagangan koin langka dan investasi terkait. Ia adalah energik, pintar, dan kebanyakan dari semua dia karismatik. Dan dia pintar, mencari klien kaya, dan bergaul dengan bangsawan setiap kali dia bisa. Pada usia 40, ia telah dikonsolidasikan paling penting kontaknya bisnis: Landgrave William, Pangeran dari Hesse, salah satu dari hanya sejumlah kecil dari bangsawan diberdayakan untuk memilih Kaisar Romawi Suci. Ketika William masih muda, ia telah terlibat dalam perdagangan koin langka dengan ayah Mayer, dan dua selalu tahu satu sama lain. Ketika William mewarisi kekayaan besar ayahnya sendiri, persahabatannya dengan Mayer Rothschild memberi Mayer kemampuan untuk mulai melakukan transaksi internasional yang lebih besar.

Ini adalah titik di mana nama Rothschild menjadi pertama terlibat dengan manipulasi uang di balik layar dari perang. Mayer adalah percaya pada bisnis keluarga, dan bersikeras menggunakan anak-anaknya sendiri – saat itu ia memiliki lima – sebagai mitra bisnisnya. Apa yang dia lakukan selanjutnya menjadi model bagi banyak pemodal Yahudi yang kuat yang diikuti: Dia dipasang masing-masing lima anak-anaknya sebagai agen di lima pusat keuangan utama Eropa: sulung Amschel Mayer Rothschild di Frankfurt, Salomon Mayer Rothschild di Wina, Nathan Mayer Rothschild di London, Calmann Mayer Rothschild di Naples, dan yang termuda Jakob Mayer Rothschild di Paris.

Salah satu transaksi Mayer awal adalah awal dari pseudohistory dan hiperbola sekitarnya segalanya Rothschild. Napoleon pada Maret melalui Eropa, dan versi populer dari cerita mengklaim bahwa William memberi keseluruhan kekayaannya untuk Mayer untuk melindunginya dari yang disita oleh Napoleon. Mayer mampu menyembunyikan uang dengan mengirimkan ke anaknya Nathan di London. Kantor London Rothschild harus menghabiskan suatu tempat, dan meminjamkannya ke mahkota Inggris, dalam rangka untuk membiayai tentara Inggris berperang Napoleon di Spanyol dan Portugal dalam Perang Peninsular. Bahkan, semua William berikan kepada Mayer beberapa surat-surat penting. Nathan sudah lama dikelola sebagian besar uang William, dan banyak dari itu sudah diinvestasikan dengan British Crown. William tidak asing dengan transaksi tersebut; ayahnya memperoleh banyak kekayaan yang di tempat pertama melalui pembiayaan perang Inggris di koloni Amerika, beberapa dekade sebelumnya.

Namun demikian, investasi cerdas Rothschild ‘uang William terbayar, jaring bunga yang cukup bahwa kekayaan mereka sendiri akhirnya melampaui  klien asli sarang-telur mereka. Ini menandai kelahiran dinasti perbankan Rothschild.

Empat dari lima putra Mayer memiliki anak-anak mereka sendiri, yang sebagian besar dikirim ke pusat-pusat keuangan lainnya untuk kepala kantor baru. Dengan dekrit Mayer, anggota keluarga menikah dengan sepupu pertama dan kedua, menjaga perusahaan disegel ketat terhadap orang luar. Pada tinggi badan mereka, kekayaan Rothschild ‘, jika itu telah dikumpulkan, akan menjadi keberuntungan tunggal terbesar dalam sejarah dunia. Eropa dikotori dengan puluhan rumah mewah mengejutkan yang dimiliki oleh anggota keluarga. Sepanjang abad ke-19, N M Rothschild and Sons di London mengisi peran sekarang dipegang oleh Dana Moneter Internasional, menstabilkan mata uang dari pemerintah utama dunia. Mereka diuntungkan berat, tetapi mereka juga menyediakan layanan internasional penting.

Perang Dunia I dan II, biaya yang melebihi kemampuan baik Rothschild atau bank lain untuk membiayai, dan mengakibatkan penciptaan Dana Moneter Internasional, menandai akhir ini bagian dari bisnis Rothschild ‘. Selain itu, Nazi Jerman hancur Rothschild Austria dan menyita semua aset mereka. Anggota keluarga melarikan diri ke Amerika Serikat, tapi kehilangan seluruh kekayaan mereka dengan Nazi, termasuk sejumlah istana dan sejumlah besar karya seni. aset yang cukup besar bank menjadi milik Nazi Jerman, dan ini adalah satu-satunya benih kebenaran klaim bahwa Rothschild “yang didanai Holocaust”.

Pada saat negara penciptaan Israel di akhir 1940-an, ada ratusan keturunan Rothschild, masih banyak di perbankan atau manajemen aset, banyak di filantropi, dan banyak di bisnis yang tidak terkait. Beberapa Rothschild didukung Israel; beberapa yang penuh semangat menentang. Ide pembentukan Rothschild tunggal terpadu telah lama pergi. Tidak diragukan lagi banyak lembaga keuangan yang terlibat dalam hari-hari awal Israel, beberapa Rothschild bank, banyak yang tidak. Ini adalah memutar dan berputar peristiwa biasa menjadi perbuatan yang kuat gelap yang mencirikan banyak klaim konspirasi Rothschild.

Contoh kasus: Pada 1815 Pertempuran Waterloo, Rothschild kurir mampu menyampaikan berita dari kemenangan Inggris untuk Nathan sehari penuh di depan utusan pemerintah. Nathan membeli obligasi dengan harga murah yang berfluktuasi dengan ketidakpastian, dan melakukan dengan sangat baik hari berikutnya ketika berita resmi datang dan harga naik. Versi teori konspirasi menyatakan bahwa Nathan pertama dibuang obligasi di pasar untuk menipu investor lain dengan berpikir dia mendengar bahwa pertempuran itu hilang, dan melalui tipu muslihat ini, dikalikan kekayaan keluarga. Bahkan tidak ada catatan sejarah sebelum ini ke 1940 Jerman film berjudul Die Rothschild Aktien auf Waterloo, digambarkan sebagai “Reich Ketiga pertama manifesto anti-Semit di film.” Yang benar adalah bahwa bank Rothschild sudah berinvestasi bertaruh pada perang berlarut-larut, dan ini keuntungan jangka pendek pada obligasi hanya mengimbangi kerugian jangka panjang.

Salah satu transaksi yang paling terkenal datang pada tahun 1825, ketika bank tidak diatur Inggris semua mengalami krisis karena manajemen yang buruk dari suku bunga. Nathan Rothschild memiliki jumlah besar sebelumnya membeli emas dari berjuang Bank of England pada harga jual kebakaran dan menjualnya ke bank nasional Perancis. Ketika Bank of England mengalami krisis likuiditas sebagai deposan berteriak-teriak untuk dana mereka, bank dapat meminjam uang yang sama kembali dari Nathan, dan dengan demikian terhindar dari bencana. Hampir setiap website konspirasi mengklaim bahwa ini adalah bagaimana Rothschild “mengambil alih Bank of England”. No Mereka memberi mereka pinjaman, yang dibayar kembali. Dalam tahun kemudian salah satu keturunan Rothschild duduk di Bank dewan Inggris untuk sementara waktu, tetapi tidak ada logika itu dapat dipertahankan bahwa 1.825 transaksi mereka merupakan “mengambil mereka”.

Bahkan, kutipan terkenal dari Nathan Rothschild tentang “mengendalikan pasokan uang Inggris” ternyata palsu. Saya tidak menemukan sumber asli untuk kutipan sama sekali, meskipun itu diulang dalam puluhan buku konspirasi dan puluhan ribu situs konspirasi. Saya melakukan pencarian menyeluruh dari semua arsip koran yang tersedia dari seumur hidup Nathan, dan memiliki beberapa teman memeriksa berbagai sistem perpustakaan universitas. Tidak ada kutipan seperti muncul dalam literatur akademik. Setelah seperti pencarian menyeluruh, saya merasa yakin menyatakan bahwa ia tidak pernah membuat pernyataan seperti itu.

Tapi kutipan tidak muncul untuk benar-benar dibuat oleh teori konspirasi. Kemungkinan besar versi revisi dan dibenahi dari kutipan ini dikaitkan dengan ayah Nathan, asli Mayer Rothschild:

Beri aku kontrol dari Bangsa pasokan uang, dan saya tidak peduli siapa yang membuat hukum-hukumnya.

Tapi seperti lagi, kutipan lebih dari Nathan, bahkan satu ini ternyata apokrif. Penulis G. Edward Griffin berhasil melacaknya, meskipun. Ia menemukan bahwa pepatah ini:

Dikutip Senator Robert L. Owen, mantan Ketua Komite Senat Perbankan dan Mata Uang dan salah satu sponsor dari Federal Reserve Act, Ekonomi Nasional dan Sistem Perbankan, (Washington, DC: US ​​Government Printing Office, 1939), p . 99. Kutipan ini tidak dapat diverifikasi dalam sebuah karya referensi utama. Namun, ketika kita menganggap kehidupan dan prestasi dari Rothschild tua, bisa ada sedikit keraguan bahwa sentimen ini, pada kenyataannya, prospek dan prinsip.

Dan ini memang benar. Di hari Rothschild, sebelum regulasi perbankan dan undang-undang antitrust ada, itu memang mungkin bagi kelompok-kelompok kecil untuk mendapatkan kepentingan mengendalikan di lembaga keuangan cukup bahwa dapat dikatakan bahwa mereka “dikendalikan” pasokan uang suatu negara. Terbukti Senator terdiri kutipan untuk mendukung pidato apa dia membuat, dan menghubungkannya dengan nama terkenal untuk memberikan beberapa kekuatan.

Beberapa mengklaim Rothschild memiliki separuh kekayaan dunia. Jika mereka melakukannya, itu hanya dengan cara yang sama yang Anda lakukan. Siapapun dengan rekening bank berbunga memiliki saham dalam dana apapun bank mereka berinvestasi di. Saham Dana sendiri dalam dana lain dan perusahaan publik, dan sebagainya. Pada tingkat tertentu, hampir setiap entitas keuangan memiliki, dan dimiliki oleh, entitas lain, di setiap negara. Ini persis seperti derajat Kevin Bacon. Gagasan bahwa orang bisa “mengontrol keuangan dunia” adalah menggelikan.

Tidak ada lagi hal seperti Rumah monolitik Rothschild dengan koneksi ke sejumlah signifikan dari semua skor dari independen usaha bisnis Rothschild hari ini. Hal yang paling dekat adalah Rothschild Kelanjutan Holdings AG, sebuah perusahaan Swiss yang mengelola kepentingan di banyak institusi Rothschild mendirikan. Tidak ada lagi anggota keluarga Rothschild di dewan (yang terakhir setelah pensiun pada tahun 2011), meskipun sekitar delapan Rothschild diyakini memiliki saham di dalamnya (seperti banyak perusahaan holding, itu swasta, jadi catatan yang tidak umum). Its pemilik lain termasuk Rabobank dan Hong Kong berdasarkan Jardine Matheson Holdings. The Rothschild dana yang dikelolanya sekarang fokus pada merger dan akuisisi. Jangan salah, itu adalah perusahaan besar dan sukses; tapi dengan miliaran aset, itu adalah ikan yang relatif kecil di laut dari lembaga keuangan dunia dengan triliunan aset, termasuk Deutsche Bank, Mitsubishi UFJ Financial Group, HSBC Holdings, BNP Paribas, Japan Post Bank, Crédit Agricole Group, Barclays PLC, Industri & Commercial Bank of China, Royal Bank of Scotland Group, JP Morgan Chase & Co, dan banyak lainnya. Siapa pun yang mencoba untuk menuding Rothschild tersebar sebagai “mengendalikan” bank dunia memiliki urutan sangat tinggi. Itu Fakta sedikit adalah sekitar 100 tahun dari tanggal.

Dengan analisis saya, Rothschild yang terbaik dianggap bukan sebagai bayangan konspirasi jahat, tapi sebagai kisah sukses besar kain untuk kekayaan, kumuh Yahudi untuk membiayai kekalahan Napoleon. Harga emas tetap dua kali sehari oleh lima anggota Bullion Association London: Barclays Capital, Deutsche Bank, Scotiabank, HSBC, dan Societe Generale, dan mereka melakukan pertemuan dua kali sehari mereka melalui telepon. Hari ini kebutuhan keuangan belaka, tetapi sampai tahun 2004, itu juga tradisi abad-tua sebagai besar sebagai dering bel di Bursa Efek New York. Lima wakil dibedakan termasuk Rothschild, dan mereka bertemu secara pribadi di ruang berpanel di kantor London dari N M Rothschild & Sons. ritual yang sekarang menjadi sesuatu dari masa lalu, seperti adalah kekuatan dinasti keuangan terbesar di dunia.

Some believe that world governments and economies are secretly controlled by the Rothschild banking family.  

by Brian Dunning

Filed under Conspiracies

Skeptoid Podcast #311
May 22, 2012
Podcast transcript | Download | Subscribe
Also available in Russian

Listen:

Share Tweet Reddit

Mayer Rothschild
Mayer Amschel Rothschild
(Public domain image)

Today we’re going to point our skeptical eye at the famous Rothschild banking family, and the multitudinous conspiracy theories surrounding them. Just about every conspiracy theory website that presumes the world’s governments act in willing concert under the guidance of some secret council points the finger at the Rothschilds. We’re going to take a modern-day look at this mysterious family, see who they really are and what they really do, and see exactly what evidence there is that shows that they are actually directing world affairs. Why would superpowers such as the United States, Russia, and China willing give up their sovereignty, conducting wars and exerting control over markets according to instructions from above? The answer, according to the believers, is money.

Driven by their quest for money, the Rothschilds have been said to assassinate US Presidents, and to create virtually every war since the 1800s in order to finance both sides.Some say the Rothschilds (who are Jewish) caused the Holocaust, while others say they were the true power behind the creation of Israel. They would, and continue, to do anything for money. In fact one of the earliest and most influential Rothschilds, Nathan, is claimed to have said:

I care not what puppet is placed upon the throne of England to rule the Empire on which the sun never sets. The man who controls Britain’s money supply controls the British Empire, and I control the British money supply.

The Rothschilds’ whole story is one of money, and it began in the 18th century. Their history is perhaps largely responsible for the modern belief that Jews control the world’s money supply, which is not entirely unrooted in fact. Throughout Christian Europe, it was common for institutionalized anti-Semitism to prohibit Jews from owning property; so Jewish businesspeople had no choice but to work in the fields of commerce and finance, where money could be kept liquid and easily transferred or hidden. By denying Jews the stability of property ownership, Christians unwittingly forced Jews of the day into great financial expertise.

The greatest of these financial adepts was Mayer Amschel Rothschild, born in 1744 in a Jewish slum of Frankfurt. Not much is known about his early life, as his was one of tens of thousands of marginalized, outcast families. But once he came of age he became an apprentice at a small bank in Hamburg, where he learned the trade. Returning to Frankfurt at the age of 19, he offered his own banking services in a modest way, beginning with trading of rare coins and related investments. He was energetic, clever, and most of all he was charismatic. And he was smart, seeking out wealthy clientele, and associating with nobility whenever he could. By the age of 40, he had consolidated his most important business contact: the Landgrave William, the Elector of Hesse, one of only a tiny number of nobles empowered to elect the Holy Roman Emperor. When William was younger, he had engaged in the trading of rare coins with Mayer’s father, and so the two had always known one another. When William inherited his own father’s massive fortune, his friendship with Mayer Rothschild gave Mayer the ability to begin conducting larger international transactions.

This was the point at which the Rothschild name became first involved with the manipulation of money behind the scenes of wars. Mayer was a firm believer in family business, and insisted on using his own sons — by then he had five — as his business partners. What he did next became the model for many powerful Jewish financiers who followed: He installed each of his five sons as his agents in the five major financial centers of Europe: the eldest Amschel Mayer Rothschild in Frankfurt, Salomon Mayer Rothschild in Vienna, Nathan Mayer Rothschild in London, Calmann Mayer Rothschild in Naples, and the youngest Jakob Mayer Rothschild in Paris.

One of Mayer’s earliest transactions was the start of the pseudohistory and hyperbole surrounding everything Rothschild. Napoleon was on the march through Europe, and the popular version of the story claims that William gave the entirety of his fortune to Mayer to protect it from being seized by Napoleon. Mayer was able to hide the money by sending it to his son Nathan in London. The London Rothschild office had to spend it somewhere, and loaned it to the British crown, in order to finance the British armies fighting Napoleon in Spain and Portugal in the Peninsular War. In fact, all William gave to Mayer were some important papers. Nathan had already long managed the bulk of William’s money, and much of it was already invested with the British Crown. William was no stranger to such transactions; his father had gained much of that wealth in the first place through the financing of Britain’s war on the American colonies, a few decades earlier.

Nevertheless, the Rothschilds’ savvy investments of William’s money paid off handsomely, netting sufficient interest that their own wealth eventually exceeded that of their original nest-egg client. This marked the birth of the Rothschild banking dynasty.

Four of Mayer’s five sons had sons of their own, most of whom were sent to other financial centers to head new offices. By Mayer’s edict, family members intermarried with first and second cousins, keeping the company sealed tight against outsiders. At their height, the Rothschilds’ wealth, if it had been pooled, would have been the largest single fortune in world history. Europe was littered with dozens of staggering mansions owned by family members. Throughout the 19th century, N M Rothschild and Sons in London filled the role now held by the International Monetary Fund, stabilizing the currencies of major world governments. They profited heavily, but they also provided a crucial international service.

World Wars I and II, the costs of which exceeded the abilities of either the Rothschilds or any other banks to finance, and resulted in the creation of the International Monetary Fund, marked the end of this part of the Rothschilds’ business. In addition, Nazi Germany devastated the Austrian Rothschilds and seized all of their assets. The family members escaped to the United States, but lost their entire fortunes to the Nazis, including a number of palaces and a huge amount of artwork. The banks’ sizable assets became the property of Nazi Germany, and this is the only seed of truth to the claim that the Rothschilds “funded the Holocaust”.

By the time of the state of Israel’s creation in the late 1940s, there were hundreds of Rothschild descendants, many still in banking or asset management, many in philanthropy, and many in unrelated businesses. Some Rothschilds supported Israel; some were passionately opposed. The idea of a single unified Rothschild establishment was long gone. No doubt many financial institutions were involved in Israel’s early days, some were Rothschild banks, many more were not. It is this twisting and spinning of ordinary events into dark powerful deeds that characterizes much of the Rothschild conspiracy claims.

Case in point: At the 1815 Battle of Waterloo, Rothschild couriers were able to deliver news of the British victory to Nathan a full day ahead of government messengers. Nathan bought bonds at a low price that was fluctuating with uncertainty, and did very well the next day when official news came and prices rose. The conspiracy theory version states that Nathan first dumped bonds on the market to fool other investors into thinking he had news that the battle was lost, and through this ruse, multiplied the family fortune. In fact there is no historical record of this prior to a 1940 German movie called Die Rothschilds Aktien auf Waterloo,described as “the Third Reich’s first anti-Semitic manifesto on film.” The truth is that the Rothschild bank was already heavily invested betting on a protracted war, and this short-term gain on bonds merely offset a long-term loss.

One of their most famous transactions came in 1825, when England’s unregulated banks all went into crisis due to poor management of interest rates. Nathan Rothschild had earlier bought huge amounts of gold from the struggling Bank of England at a fire sale price and sold it to the French national bank. When the Bank of England suffered a liquidity crisis as depositors clamored for their funds, the bank was able to borrow that same money back from Nathan, and thus averted disaster. Virtually every conspiracy website claims that this is how the Rothschilds “took over the Bank of England”. No. They gave them a loan, which was paid back. In later years one Rothschild descendant sat on the Bank of England’s board for a time, but by no logic can it be defended that their 1825 transaction constituted “taking them over”.

In fact, that famous quote from Nathan Rothschild about “controlling the British money supply” turns out to be a fabrication. I found no original source for the quote at all, though it’s repeated in dozens of conspiracy books and on tens of thousands of conspiracy websites. I did a thorough search of all available newspaper archives from Nathan’s lifetime, and had some friends check various university library systems. No such quote appears in the academic literature. After such a thorough search, I feel confident stating that he never made such a statement.

But the quote doesn’t appear to be completely made up by the conspiracy theorists. It’s most likely a revised and restyled version of this quote attributed to Nathan’s father, the original Mayer Rothschild:

Give me control of a Nation’s money supply, and I care not who makes its laws.

But like the longer, more specific quote from Nathan, even this one turns out to be apocryphal. Author G. Edward Griffin did manage to track it down, though. He found that this saying was:

Quoted by Senator Robert L. Owen, former Chairman of the Senate Committee on Banking and Currency and one of the sponsors of the Federal Reserve Act, National Economy and the Banking System, (Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office, 1939), p. 99. This quotation could not be verified in a primary reference work. However, when one considers the life and accomplishments of the elder Rothschild, there can be little doubt that this sentiment was, in fact, his outlook and guiding principle.

And this is certainly true. In Rothschild’s day, before banking regulation and antitrust laws existed, it was indeed possible for small groups to gain controlling interests in enough financial institutions that it could be argued that they “controlled” a nation’s money supply. Evidently the Senator made up the quote to support whatever speech he was making, and attributed it to a famous name to give it some clout.

Some claim the Rothschilds own half the world’s wealth. If they do, it’s only in the same way that you do. Anyone with an interest-bearing bank account owns shares in whatever funds their bank invests in. Those funds own shares in other funds and public companies, and so on. At some level, virtually every financial entity owns, and is owned by, any other entity, in every country. It’s exactly like the degrees of Kevin Bacon. The notion that anyone could “control the world’s finances” is ludicrous.

There is no longer any such thing as a monolithic House of Rothschild with connections to any significant number of all the scores of today’s independent Rothschild business ventures. The closest thing is Rothschilds Continuation Holdings AG, a Swiss company that manages interests in many Rothschild-founded institutions. There are no longer any Rothschild family members on its board (the last having retired in 2011), though about eight Rothschilds are believed to own stakes in it (like many holding companies, it’s privately held, so its records are not public). Its other owners include Rabobank and Hong Kong based Jardine Matheson Holdings. The Rothschild funds it manages now focus on mergers and acquisitions. Make no mistake, it’s a large and successful company; but with billions in assets, it’s a relatively small fish in the sea of world financial institutions with trillions in assets, including Deutsche Bank, Mitsubishi UFJ Financial Group, HSBC Holdings, BNP Paribas, Japan Post Bank, Crédit Agricole Group, Barclays PLC, Industrial & Commercial Bank of China, Royal Bank of Scotland Group, JP Morgan Chase & Co., and many others. Anyone trying to point the finger at the scattered Rothschilds as “controlling” world banks has an awfully tall order. That little factoid is about 100 years out of date.

By my analysis, the Rothschilds are best thought of not as an evil shadow conspiracy, but as a great success story of rags to riches, Jewish slum to financing the defeat of Napoleon. The price of gold is fixed twice a day by five members of the London Bullion Association: Barclays Capital, Deutsche Bank, Scotiabank, HSBC, and Societe Generale, and they conduct their twice-daily meeting over the telephone. Today this is mere financial necessity, but until 2004, it was also a century-old tradition as great as the ringing of the bell at the New York Stock Exchange. The five distinguished representatives included a Rothschild, and they met in person in a paneled room at the London office of N M Rothschild & Sons. That ritual is now a thing of the past, as is the power of the world’s greatest financial dynasty.


By Brian Dunning
https://platform.twitter.com/widgets/follow_button.b212c8422d3b3079acc6183618b32f10.en.html#dnt=false&id=twitter-widget-0&lang=en&screen_name=BrianDunning&show_count=true&show_screen_name=true&size=m&time=1457456077695

Please contact us with any corrections or feedback.

Cite this article:
Dunning, B. “The Rothschild Conspiracy.” Skeptoid Podcast. Skeptoid Media, 22 May 2012. Web. 8 Mar 2016. <http://skeptoid.com/episodes/4311&gt;

References & Further Reading

Anonymous. “Alleged Federal Reserve Ownership.” Web Skeptic: Researching outrageous claims on the internet. Anonymous, 10 Oct. 2008. Web. 18 May. 2012. <http://webskeptic.wikidot.com/federal-reserve-ownership&gt;

Ferguson, N. The House of Rothschild: Money’s Prophets, 1798-1848. London: Weidenfeld & Nicolson, 1997.

Griffin, G. The Creature from Jekyll Island: A Second Look at the Federal Reserve. Westlake Village: American Media, 1994.

Kaplan, H. Nathan Mayer Rothschild and the Creation of a Dynasty: The Critical Years 1806-1816.Stanford: Stanford University Press, 2006.

Neal, L. “The Financial Crisis of 1825 and the Restructuring of the British Financial System.”Federal Reserve Bank of St. Louis: Review. 1 May 1998, Volume 1998: 53-76.

Reeves, J. The Rothschilds: The Financial Rulers of Nations. London: Sampson Low Marston Searle and Rivington, 1887.

Thomas, L. “The Man Who May Become the Richest Rothschild.” The New York Times. 9 Mar. 2007, Newspape

Source: https://skeptoid.com/episodes/4311

 


Di Jawa Barat Ada Dedi Mulyadi yang Melindungi Kebebasan Beragama

$
0
0
Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta yang gemar berkesenian dan menghormati keberagaman.
4
 Jawa Barat kini punya dua sosok pemimpin daerah yang bertolakbelakang kualitas kepemimpinannya. Di pojok kiri ada Bima Arya, Walikota Bogor. Di pojok kanan ada Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta.
Kita tentu ingat Bima adalah Walikota yang Oktober lalu melarang peringatan Asyura oleh kaum muslim Syiah di Bogor.

Dedi, sebaliknya, mengeluarkan keputusan yang memberikan jaminan kebebasan kepada warganya untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.

Jaminan dari Bupati Purwakarta itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 450/2621/Kesra tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan. Surat tersebut efektif berlaku sejak 10 November lalu. SE ini dikeluarkan Dedi untuk menanggapi munculnya gerakan kelompok anti-Syiah di daerahnya.

SE itu berbunyi:

2“Dalam rangka memupuk sikap toleransi di tengah-tengah keberagaman dalam agama dan keyakinan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Da

“Ini muncul dari hasil komunikasi dengan para ulama dan tokoh agama setempat terkait potensi ekses negatif dari acara yang berbau intoleransi. Setelah berdiskusi, kami merasa bahwa deklarasi ini memang berpotensi menimbulkan konflik,” kata Truno, Rabu (11/11), seperti dikutip pikiran-rakyat.com.

Meski begitu, Polres masih berbaik hati dan akan menempuh langkah persuasif agar Annas tidak nekat melaksanakan deklarasi tersebut.

Sikap serupa ditunjukkan Komandan Distrik Militer (Dandim) 0619 Purwakarta, Letnan Kolonel CZI Cahyadi Amperawan. Cahyadi mengatakan sebaiknya deklarasi tersebut tidak dilakukan. Sebab pada akhirnya hanya mendiskriminasikan golongan tertentu.

“Kami khawatir jika deklarasi terjadi

sar 1945 sebagaimana diatur dalam pasal 29, bahwa hak memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing merupakan hak yang paling asasi seluruh umat manusia dan dilindungi oleh negara.”

“Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Purwakarta sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah bersama jajaran TNI dan Poliri menjamin seluruh penduduk Kabupaten Purwakarta untuk dapat melaksanakan peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, selama kegiatan peribadatan dimaksud tidak bertentangan dengan asas ketertiban umum”.

Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta yang gemar berkesenian dan menghormati keberagamanDalam wawancaranya dengan Kompas.com Kamis lalu (12/11), Mantan Wakil Bupati Purwakarta itu menyatakan bahwa SE itu dikeluarkan sebagai bentuk perlindungan Pemerintah Kabupaten Purwakarta terhadap seluruh masyarakat untuk bebas memiliki keyakinan sesuai hati nuraninya.

Dengan demikian, sambung Dedi, siapapun tak boleh mengganggu keyakinan seseorang, apapun agama dan aliran yang dianutnya. Semuanya dibebaskan untuk tetap melakukan ritual keagamaan dan keyakinannya, selama tidak mengganggu ketertiban umum.

SE itu dikeluarkan Dedi sebagai reaksi cepat Pemerintahan Kabupaten Purwakarta dalam menyikapi potensi intoleransi yang dimunculkan oleh kelompok intoleran di Kabupaten Purwakarta baru-baru ini. Kelompok intoleran itu adalah Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas).

Annas berencana mendeklarasikan perwakilannya di Kabupaten Purwakarta pada Ahad (15/11) di Aula Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Purwakarta. Dalam deklarasi itu Dedi diundang untuk menghadiri deklarasi dan diminta untuk memberikan sambutan. Bisa diduga kehadiran Dedi di acara itu diharapkan akan memberikan keabsahan bagi Annas.

3Alih-alih memenuhi undangan itu, Dedi justru menolak dengan tegas gagasan pendiskriminasian Syiah. Bahkan dengan tegas Dedi mengeluarkan SE yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beruntung, sikap Dedi yang tunduk pada konstitusi itu didukung Pimpinan Kabupaten Purwakarta lainnya.

Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Purwakarta AKBP Truno Yudo Wisnu Andiko sejauh ini tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan deklarasi tersebut. Senada dengan Dedi, Truno menilai rencana tersebut berbau intoleransi dan berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

malah akan menimbulkan konflik antara minoritas dan mayoritas di Purwakarta di masa datang,” kata Cahyadi, memperingatkan.

Meski seluruh Pimpinan Daerah Kabupaten Purwakarta sepakat tidak mengizinkan deklarasi itu, Annas tetap ngotot menyelenggarakan deklarasi yang ilegal itu. Ketua Annas Kabupaten Purwakarta Awod Abdul Gadir bahkan menyatakan persiapan deklarasi tersebut sudah hampir 90 persen.

“Saat ini, tinggal bagi-bagi surat undangan. Diizinkan atau tidak, kami tetap jalan,” kata Awod kepada poskotanews.com, Kamis sore (12/11).

SE yang dikeluarkan Dedi itu mendapat apresiasi dari masyarakat pengguna media sosial. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat Akhmad Sahal, misalnya, memuji Dedi melalui akun Twitter miliknya @sahal_AS.

“Pemimpin mestinya kek Kang @DediMulyadi71 ini, taat pd konstitusi, bkn konstituen. Topp!!” cuit kandidat doktor di University of Pennsylvania itu.

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad melalui akun Facebooknya menyebut Dedi adalah kepala daerah yang paling maju di antara semua kepala daerah di Jawa Barat.

Itu, lanjut Saidiman, bukan hanya karena Dedi mengeluarkan pernyataan dan Surat Edaran yang menjamin kebebasan beragama, tapi juga capaian-capaian pembangunan di wilayahnya. Tak heran kalau ia dicintai oleh hampir 100 persen warga Purwakarta.

“Saya sendiri memang punya kesimpulan bahwa kepala daerah yang diskriminatif cenderung tidak memiliki prestasi pembangunan, bahkan korup,” tulis peraih gelar magister kebijakan publik di The Australian National University itu.

Kritik Walikota Bogor

Tampaknya pandangan Dedi yang terbuka dan pro terhadap kebebasan beragama itu yang mendorongnya mengkritik kebijakan Walikota Bogor yang melarang komunitas Muslim Syiah memperingati Asyura beberapa waktu lalu. Bagi Dedi, aneh jika peringatan Asyura itu dipermasalahkan di Indonesia.

Menurut mantan Ketua Umum HMI Cabang Purwakarta itu, jika dilihat dari konteks budaya, Tanah Sunda seharusnya bebas dari perilaku diskriminatif dalam bentuk apapun. Apalagi wilayah Bogor yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda adalah tempat Prabu Siliwangi bertahta.

“Prabu Siliwangi itu sangat menjunjung tinggi pluralisme, menghormati untuk hidup secara damai. Dia sendiri menikah dengan seorang muslimah anak dari seorang Syeh di Karawang. Jadi, siapapun tokoh Sunda dengan atribut Siliwangi, hendaknya tidak melanggar aspek adat yang dimiliki,” ulas Dedi saat dihubungi jppn.com, Selasa (27/10).

Sebagai Bupati Purwakarta, Dedi berusaha keras melindungi seluruh warganya yang memiliki kepercayaan beraneka ragam, termasuk mereka yang menganut keyakinan di luar agama yang diakui negara. Karena itu, politisi Partai Golkar itu mengaku pernah meminta langsung kepada Presiden Joko Widodo untuk melindungi penghayat yang menganut keyakinan di luar agama yang diakui negara.

“Sebelum ada agama formal, ada kepercayaan leluhur di Mentawai, Sunda, Kejawen. Mereka adalah warga yang menghormati leluhurnya. Karena tidak bisa menulis nama agama di identitasnya, mereka akhirnya tidak punya akta dan kartu identitas, padahal mereka pengikut agama leluhur bangsa,” kata Dedi, menyayangkan.

Selain concern pada kebebasan beragama dan berkeyakinan, Dedi dinilai mampu mengintegrasikan budaya, inovasi, kreativitas, dan kolaborasi sebagai semangat inti dalam membangun Purwakarta. Dedi juga dinilai memiliki komitmen yang kuat untuk membangun dan memberi motivasi para pemimpin muda Indonesia supaya lebih produktif.

Atas upayanya itu, International Young Leaders Assembly (IYLA) mengundang sosok yang selalu menggunakan pakaian pangsi khas Sunda dan ikat kepala warna putih itu untuk berpidato di Markas PBB, New York, AS, pada pertengahan Agustus lalu.

Konferensi PBB itu dihadiri peserta anak-anak muda yang mewakili lebih dari 60 negara.​ Para pembicara dengan berbagai latar belakang dihadirkan dari AS, Paraguay, Kenya, Malaysia, dan Indonesia. Dari Indonesia, selain Dedi, hadir juga tokoh muda Gugun Gumilar, pendiri Institute of Democracy and Education, yang juga staf ahli bidang pendidikan dan agama Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

“Saya menjelaskan bagaimana pemimpin-pemimpin yang dilahirkan di sekolah-sekolah itu adalah leader yang mempunyai jiwa entrepreneurship, yang memahami lingkungannya dengan kuat. Kemudian tumbuh menjadi pemimpin yang berkarakter. Dan ketika memimpin, akan menjadi pemimpin yang berkarakter,” urai Dedi saat diwawancara Voice of America setelah sidang selesai. [ ]


SEJARAH KERATON PAJAJARAN

$
0
0

Karaton  Pajajaran Disarib ku dua gunung, lir bidadari nanggeuy. Gunung Pancar ngumawula, Gunung Salak ngajaga. Janggalamanik ngariksa, lengkob neros undak-undakan, nyangga dua karaton Agreng. Di K…

Source: SEJARAH KERATON PAJAJARAN


20 Fakta Yang Menyatakan Bangso Batak adalah Keturunan ISRAEL Yang Hilang

$
0
0

Silitonga No.16

20 Fakta Yang Menyatakan Bangso Batak adalah Keturunan ISRAEL Yang HilangHoras ma di hita saluhutna. Turi-turian naeng dipasahat hami sadarion ima mengenai “Fakta Yang Menyatakan Bangso Batak adalah Keturunan ISRAEL Yang Hilang”. Kami sendiri tidak tahu benar atau tidaknya mengenai hal ini. Kami hanya memaparkan turi-turian ini berdasarkan apa yang kami temukan. Sebelum hamu akka nadiparsangapan membaca lebih jauh, Kami bercerita sedikit alasan kenapa memamaparkan hal ini.
Ide memaparkan turi-turian ini dimulai dari obrolan singkat mengenai habatakon bersama Bapak Uda Kami Bapak Sinaga. Beliau bercerita sedikit tentang bangso batak, salah satunya yaitu bahwa “Bangso Batak adalah Keturunan ISRAEL Yang Hilang”. Dari hasil pembicaraan itu, kami mencoba mencari info lebih jauh mengenai hal itu. Kami pun menemukan sebuah tulisan yang mendukung obrolan bapa uda kami tsb. Dan turi-turiannya bisa kita baca dan simak sama-sama di bawah ini.

Bangsa Israel kuno terdiri dari 12 suku. Setelah raja Salomo wafat, negara Israel pecah menjadi dua bagian. Bagian Selatan terdiri dari dua suku yaitu Yehuda dan Benjamin yang kemudian dikenal dengan nama Yehuda, atau dikenal dengan nama Yahudi. Kerajaan Selatan ini disebut Yehudah, ibukotanya Yerusalem, dan daerahnya dinamai Yudea.

Bagian utara terdiri dari 10 suku, disebut sebagai Kerajaan Israel. Dalam perjalanan sejarah, 10 suku tersebut kehilangan identitas kesukuan mereka. Kerajaan utara Israel tidak lama bertahan sebagai sebuah negara dan hilang dari sejarah. Konon ketika penaklukan bangsa Assyria, banyak orang Kerajaan Utara Israel yang ditawan dan dibawa ke sebelah selatan laut Hitam sebagai budak. Sebagian lagi lari meninggalkan asalnya untuk menghindari perbudakan.

Sementara itu Kerajaan Yehudah tetap exist hingga kedatangan bangsa Romawi. Setelah pemusnahan Yerusalem pada tahun 70 oleh bala tentara Romawi yang dipimpin oleh jenderal Titus, orang-orang Yehudah pun banyak yang meninggalkan negerinya dan menetap di negara lain, terserak diseluruh dunia.

Jauh sebelum itu, ketika masa pembuangan ke Babilon berakhir dan orang-orang Yehudah atau disebut Yahudi diijinkan kembali ke negerinya, dan sepuluh suku Israel dari Kerajaan utara memilih tidak pulang tetapi meneruskan petualangan kearah Timur. Demikian juga dengan mereka yang diperbudak di selatan laut Hitam, setelah masa perbudakan selesai, tidak diketahui kemana mereka pergi melanjutkan hidup.

Dengan demikian banyak diantara bangsa Israel kuno kemudian kehilangan identitas mereka sebagai orang Israel. Ada sekelompok penduduk di daerah Tiongkok barat, diterima sebagai puak Cina, tetapi secara umum profil wajah mereka agak berbeda dengan penduduk Cina pada umumnya. Perawakan mereka lebih besar, hidung agak mancung, namun berkulit kuning dan bermata sipit. Mereka menyembah Allah yang bernama Yahwe. Sangat mungkin mereka adalah keturunan sepuluh suku Israel yang hilang yang telah kimpoi campur dengan penduduk lokal sehingga kulit dan mata menjadi seperti penduduk asli.

Saya percaya banyak diantara para pembaca yang mengetahui bahwa di negeri Israel ada sekelompok kecil orang Israel yang berkulit hitam Mereka adalah suku Falasha, yang sebelum berimigrasi ke Israel hidup di Etiopia selama ratusan generasi. Fisik mereka persis seperti Negro dengan segala spesifikasinya yaitu kulit hitam legam, bibir tebal, rambut keriting, dll.

Mereka mengklaim diri mereka sebagai keturunan Israel atau disebut Beta Israel, dan dengan bukti-bukti yang dimiliki, mereka mampu memenuhi seluruh kriteria yang dituntut oleh Pemerintah Israel yang merupakan syarat mutlak supaya diakui sebagai Israel perantauan.

Setelah memperoleh pengakuan sebagai keturunan Israel, sebagian dari mereka kembali ke Tanah Perjanjian sekitar 15 tahun lalu dengan transportasi yang disediakan oleh Pemerintah Israel. Itulah sebabnya mengapa ada Israel hitam.

Mereka seperti orang Negro karena intermarriage dengan perempuan- perempuan lokal sejak kakek moyang mereka pergi ke Ethiopia. Kita tahu bahwa bahwa Ethiopia adalah salah satu negara yang penduduknya mayoritas Kristen yang paling tua didunia. Ingat sida-sida yang dibaptis oleh Filipus dalam Kisah 8:26-40. Bahkan sebelum era Kekristenan pun sudah ada penganut Yudaisme disana.Walaupun banyak yang kembali, sebahagian lagi tetap memilih menetap di negeri itu, dan merekalah yang menjaga dan memelihara Tabut Perjanjian yang konon ada disana.

Menurut kamus umum bahasa Indonesia Batak mempunyai arti (sastra), adalah petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara. Walaupun demikian orang Batak dikenali dengan sikap dan tindakannya yang khas, yaitu terbuka, keras dan apa-adanya.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang anthropolog dan juga pendeta dari Belanda, profesor Van Berben, dan diperkuat oleh prof Ihromi, guru besar di UI (Universitas In 782 donesia), bahwa tradisi etnik Tapanuli (Batak Toba) sangat mirip dengan tradisi bangsa Israel kuno.

Pendapat itu didasarkan atas alasan yang kuat setelah membandingkan tradisi orang Tapanuli dengan catatan-catatan tradisi Israel dalam Alkitab yang terdapat pada sebahagian besar kitab Perjanjian Lama, dan juga dengan catatan-catatan sejarah budaya lainnya diluar Alkitab.

Inilah 20 Fakta Yang Menyatakan Bangso Batak adalah Keturunan ISRAEL Yang Hilang
Beberapa diantara kesamaan tradisi Batak Toba dengan tradisi Israel kuno adalah sebagai berikut:

1). Pemeliharaan silsilah (Tarombo dan Marga)
Semua orang Tapanuli, terutama laki-laki, dituntut harus mengetahui garis silsilahnya. Demikian pentingnya silsilah, sehingga siapa yang tidak mengetahui garis keturunan kakek moyangnya hingga pada dirinya dianggap na lilu – tidak tahu asal-usul – yang merupakan cacat kepribadian yang besar.

Bangsa Israel kuno juga memandang silsilah sebagai sesuatu yang sangat penting. Alkitab, sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru sangat banyak memuat silsilah, terutama silsilah dari mereka yang menjadi figur penting, termasuk silsilah Yesus Kristus yang ditelusuri dari pihak bapak(angkat) Nya Yusuf, yang keturunan Daud dan pihak ibuNya (Maria).

TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga.

2). Perkimpoian yang ber-pariban
Ada perkimpoian antar sepupu yang diijinkan oleh masyarakat Batak, tapi tidak sembarang hubungan sepupu. Hubungan sepupu yang diijinkan untuk suami-istri hanya satu bentuk, disebut marpariban. Cukup report menerangkan hal ini dalam bahasa Indonesia karena bahasa ini tidak cukup kaya mengakomodasi sebutan hubungan perkerabatan dalam bahasa Batak. Yang menjadi pariban bagi laki-laki ialah boru ni tulang atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu. Sedangkan yang menjadi pariban bagi seorang gadis ialah anak ni namboru atau anak laki-laki dari saudara perempuan bapa.

Mari kita bandingkan dengan Alkitab. Pada kitab Kejadian, Yakub menikah dengan paribannya, anak perempuan Laban yaitu Lea dan Rahel. Laban adalah tulang dari Yakub. (Saudara laki-laki dari Ribka, ibu dari Yakub). Didunia ini sepanjang yang diketahui hanya orang Israel kuno dan orang Batak yang sekarang memegang tradisi hubungan pernikahan seperti itu.

3). Pola alam semesta
Orang Batak membagi tiga besar pola alam semesta, yaitu banua ginjang (alam sorgawi), banua tonga (alam dimensi kita), dan banua toru (alam maut). Bangsa Israel kuno juga membagi alam dengan pola yang sama.

4). Kredibilitas
Sebelum terkontaminasi dengan racun-racun pikiran jaman modern, setiap orang Batak, terutama orang tua, cukup menitipkan sebuah tempat sirih (salapa atau gajut), ataupun sehelai ulos, sebatang tongkat, atau apa yang ada pada dirinya sebagai surat jaminan hutang pada pihak yang mempiutangkan, ataupun jaminan janji pada orang yang diberi janji. Walaupun nilai ekonomis barang jaminan bisa saja sangat rendah tetapi barang tsb adalah manifestasi dari martabat penitip, dan harus menebusnya suatu hari dengan merelealisasikan pembayaran hutang ataupun janjinya. Budaya Israel kuno juga demikian.

5). Hierarki dalam pertalian semarga
Dalam budaya Batak, jika seorang perempuan menjadi janda, maka laki- laki yang paling pantas untuk menikahinya ialah dari garis keturunan terdekat dari mendiang suaminya. Ini dimaksudkan agar keturunan perempuan tsb dari suami yang pertama tetap linear dengan garis keturunan dari suami yang kedua. Misalnya, seorang janda dari Simanjuntak sepatutnya menikah lagi adik laki -laki mendiang

Dalam tradisi Israel kuno, kita dapat membaca kisah janda Rut dan Boas. Boas masih satu marga dengan mendiang suami Rut, Kilyon. Boas ingin menikahi Rut, tapi ditinjau dari kedekatannya menurut garis silsilah, Boas bukan pihak yang paling berhak. Oleh sebab itu dia mengumpulkan semua kerabat yang paling dekat dari mendiang suami Rut, dan mengutarakan maksudnya. Dia akan mengurungkan niatnya jika ada salah satu diantara mereka yang mau menggunakan hak adat-nya, mulai dari pihak yang paling dekat hubungan keluarganya hingga yang paling jauh sebelum tiba pada urutan Boas sendiri. Ya, mardakka do salohot, marnata do na sumolhot.

6). Vulgarisme
Setiap orang dapat marah. Tetapi caci maki dalam kemarahan berbeda- beda pada tiap-tiap etnik. Orang Amerika terkenal dengan serapah: son of a bitch, bastard, idiot, dll yang tidak patut disebut disini. Suku-suku di Indonesia ini umumnya mengeluarkan makian dengan serapah : anjing, babi, sapi, kurang ajar, dll.

Pada suku Batak makian seperti itu juga ada, tetapi ada satu yang spesifik. Dalam sumpah serapahnya seorang Batak tak jarang memungut sehelai daun, atau ranting kecil, atau apa saja yang dapat diremuk dengan mudah. Maka sambil merobek daun atau mematahkan ranting yang dipungut/dicabik dari pohon dia mengeluarka 6ea n sumpah serapahnya:, , Sai diripashon Debata ma au songon on molo so hudege, hubasbas, huripashon ho annon !!!”. Terjemahannya kira-kira begini:,,Beginilah kiranya Tuhan menghukum aku kalau kamu tidak kuinjak, kulibas, kuhabisi !!!”.

Robeknya daun atau patahnya ranting dimaksudkan sebagai simbol kehancuran seterunya. Orang-orang Israel kuno juga sangat terbiasa dengan sumpah serapah yang melibatkan Tuhan didalamnya. Vulgarisme seperti ini terdapat banyak dalam kitab Perjanjian Lama, diantaranya serapah Daud pada Nabal. (1 Sam. 25, perhatikan ayat 22 yang persis sama dengan sumpah serapah orang Batak).

7). Nuh dan bukit Ararat
Ada beberapa etnik didunia ini yang mempunyai kisah banjir besar yang mirip dengan air bah dijaman Nuh. Tiap etnik berbeda alur ceritanya tetapi polanya serupa. Etnik Tapanuli juga punya kisah tentang air bah, tentu saja formatnya berbeda dengan kisah Alkitab.

Apabila orang-orang yang sudah uzur ditanya tentang asal-usul suku Batak, mereka akan menceritakan mitos turun temurun yang mengisahkan kakek moyang orang Batak diyakini mapultak sian bulu di puncak bukit Pusuk Buhit.

Pusuk Buhit adalah sebuah gunung tunggal yang tertinggi di Tapanuli Utara, dipinggiran danau Toba. Pusuk Buhit sendiri artinya adalah puncak gunung. Pusuk Buhit tidak ditumbuhi pohon, jelasnya tidak ada bambu disana. Yang ada hanya tumbuhan perdu, ilalang, dan rumput gunung. Bambu – dari mana kakek moyang keluar – menurut nalar mendarat di puncak gunung itu dan mereka keluar dari dalamnya setelah bambunya meledak hancur. Mengapa ada bambu pada puncak Pusuk Buhit yang tandus dan terjal? Tentu saja karena genangan air yang mengapungkannya, yang tak lain adalah banjir besar.

Dapat dipahami mengapa jalan cerita menjadi seperti itu, karena setelah ribuan tahun terpisah dari induk bangsanya, narasi jadi berbeda. Bahtera Nuh berubah menjadi sebentuk perahu bambu berbentuk pipa yang kedua ujungnya ditutup, dan Bukit Ararat berubah menjadi Pusuk Buhit.

8). Mangokal Holi atau Eksumasi (Pemindahan tulang belulang)
Bagi orang Tapanuli, penggalian tulang belulang (eksumasi) dari kerabat yang masih satu dalam garis silsilah dan dikuburkan didaerah lain adalah praktek yang sangat umum hingga sekarang. Sering alasannya hanya untuk kepuasan batin belaka walaupun biayanya sangat mahal karena termasuk dalam kategori perhelatan besar.

Pada bangsa Israel kuno hal semacam adalah kebiasaan umum. Sejarah sekuler menuturkan bahwa tulang belulang Yusuf dibawa dari Mesir ketika bangsa ini keluar dari sana. Juga dalam kitab lain dalam Perjanjian Lama, sekelompok masyarakat berniat memindahkan tulang belulang dari satu pekuburan (walaupun kemudian dihalangi oleh seorang nabi).

9). Peratap/Ratapan
Adalah wajar bagi jika satu keluarga menangis disekeliling anggota keluarga / kerabat yang meninggal dan terbujur kaku. Mereka menangisi si mati, dan seseorang meratapinya. Meratap berbeda dengan menangis. Meratap dalam bahasa Tapanuli disebut mangandung.

Mangandung ialah menangis sambil melantunkan bait-bait syair kematian dan syair kesedihan hati.

Di desa-desa, terutama di daerah leluhur – Tapanuli – tidak mengherankan kalau seseorang orang yang tidak ada hubungan keluarga dengan orang yang meninggal, bahkan tidak dikenal oleh masyarakat setempat, namun turut mangandung disisi mayat. Masyarakat mendukung hal seperti itu. Kata-kata yang dilantukan dalam irama tangisan sangat menyentuh kalbu. Tak jarang pihak keluarga dari si mati memberi pasinapuran (ang pao) kalau si peratap tersebut pintar, sekedar menunjukkan rasa terima kasih.

Bagaimana dengan bangsa Israel? Dari sejarah diketahui bahwa ketika Yusuf (perdana menteri Mesir) meninggal, sanak keluarganya membayar para peratap untuk mangandung. Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berkali-kali mencatat kata -kata ratapan, meratap, peratap.

Kitab Ratapan yang ditulis oleh raja Salomo, dalam praktek Israel kuno adalah syair-syair yang dilantunkan sambil mangandung, kendati bukan pada acara kematian.

10). Hierarki pada tubuh
Dalam budaya Batak, kepala adalah anggota tubuh yang paling tinggi martabatnya. Menyentuh kepala seseorang dengan tidak disertai permintaan maaf yang sungguh-sungguh, bisa berakibat parah. Sebaliknya anggota tubuh yang paling rendah derajatnya ialah telapak kaki. Adalah penghinaan besar jika seseorang berkata kepada seseorang lain:,,Ditoru ni palak ni pathon do ho = Kau ada dibawah telapak kakiku ini”, sambil mengangkat kaki memperlihatkan telapak kakinya pada seteru. Penghinaan seperti ini hanya dilontarkan oleh seseorang yang amarahnya sudah memuncak dan sudah siap berkelahi.

Pada zaman dulu, dalam setiap pertemuan, telapak kaki selalu diusahakan tidak nampak ketika duduk bersila. Pada bangsa-bangsa Semitik tertentu di Timur Tengah, tradisi semacam ini masih tetap dijaga hingga sekarang karena memperlihatkan telapak kaki pada orang lain adalah pelanggaran etika yang berat, karena telapak kaki tetap dianggap anggota tubuh yang paling hina derajatnya.

11). Anak sulung
Dalam hierarki keluarga, posisi tertinggi diantara seluruh keturunan bapak/ibu ialah anak sulung. Ia selalu dikedepankan dalam memecahkan berbagai masalah, juga sebagai panutan bagi semua adik-adiknya. Jika ayah (sudah) meninggal, maka anak sulung yang sudah dewasa akan mengganti posisi sang ayah dalam hal tanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga seperti yang diungkapkan dalam umpasa : Pitu batu martindi-tindi, alai sada do sitaon na dokdok. Sitaon na dokdok itu adalah si anak sulung. Tanggung jawab itulah yang membuat dia besar, memberi karisma dan wibawa. Karisma dan wibawa, itulah profil yang melekat pada anak sulung.

12). Gender
Hingga sekarang posisi perempuan dalam hubungan dengan pencatatan silsilah selamanya tidak disertakan karena perempuan dianggap milik orang lain, menjadi paniaran ni marga yang berbeda. Hal yang sama terjadi pada bangsa Israel kuno ; bangsa ini tidak memasukkan anak perempuan dalam silsilah keluarga.

13). Pemberian Nama Bayi yang Lahir Tujuh Hari
Di dalam tradisi Parmalim – Agama Leluhur Batak Kuno, setiap anak bayi yang lahir selama tujuh hari harus di bawa ke Pancur untuk Permandian dan sekaligus pemberian nama. Permandian bayi yang sudah tujuh hari itu diserahkan ke Imam Parmalim. Setelah itu diberi nama dengan diadakannya Pesta Martutu Aek.

14). Monoteisme Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim
Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim, Agama Leluhur Bangso Batak Toba Parmalim, kaum minoritas yang tegar mempertahankan nilai leluhur batak. Kata Malim berasal dari bahasa Arab yang terdapat di kitab- kitab suci; yang berarti suci dan saleh dari asal kata Muallim.

Dalam bahasa Arab Muallim merujuk kepada istilah orang suci yang menjadi pembimbing dan sokoguru. Parmalim diistilah Batak berkembang ke dalam pengertian; orang-orang saleh berpakaian sorban putih. Parmalim merupakan agama monotheis asli Bangso Batak Toba. Parmalim sudah ada sejak 497 Masehi atau 1450 tahun Batak.

15). TUHAN menurut Hamalimon –Parmalim – Ugamo (Agama)
Malim Ugamo malim menyebut Tuhan adalah Mulajadi na Bolon (Awal Mula Yang Besar, red). Mulajadi na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak berujung. Bahwa Mulajadi na Bolon atau Tuhan itu wujud atau ada. Tetapi tidak dapat dilihat.

Dia tidak bermula dan tidak mempunyai ujung. Dia adalah mutlak absolut, Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Agung dan tidak dapat dibandingkan. Dia dekat dan jauh dari alam ciptaannya. Dia adalah kuasa yang menghukum dan kuasa mengampuni. Kuasa kasih dan kuasa murka. Demikianlah sifat-sifat Mulajadi Na Bolon, Tuhan yang satu bersadarkan Ugamo Malim.

Dalam Injil Perjanjian Lama, menceritakan Raja Salomo dikenal dengan Nabi Sulaiman, memerintahkan rakyatnya melakukan perdagangan dan membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Ophir patut diduga adalah Barus di Tapanuli. Perkiraan itu punya jejak spiritual berbentuk kepercayaan monotheisme. Misalnya Ugamo Parmalim yang menjadi agama asli etnis Batak, meyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ompu Mulajadi Na Bolon (Parmalim atau Ugamo Malim, pen).

Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Nestorian dari Persia yakni Iran, yang menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600an Masehi dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

16). Ibadah Parmalim
Dalam melaksanakan ibadah, Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.

17). Ibadah setiap Hari Sabtu – Samisara -Marari Sabtu
Dalam ritual Ugamo Parmalim sendiri, terdapat beberapa aturan dan larangan. Selain mengikuti 5 butir Patik ni Ugamo Malim (5 Titah Ugamo Malim), juga terdapat berbagai kewajiban lainnya seperti Marari Sabtu atau ibadah rutin yang diadakan setiap Sabtu. Dalam menjelang hari Sabtu, pengikut Parmalim dilarang bekerja atau melakukan kegiatan apapun. Penganut Parmalim melakukan ucapan syukur pada setiap hari Sabtu.

18). Larangan makan Babi, Anjing, Binatang liar, dan Darah
Ada pun larangan yang hingga kini masih tetap dipertahankan di antaranya adalah larangan untuk memakan daging babi dan darah hewan seperti yang lazim bagi umat Kristen. Memakan daging babi atau darah dianggap tidak malim (suci) di hadapan Debata. Padahal dalam ajaran Parmalim sendiri dikatakan, jika ingin menghaturkan pujian kepada Debata, manusia terlebih dahulu harus suci. Ketika menghaturkan pelean (persembahan) kesucian juga dituntut agar Debata dan manusia dapat bersatu. Selanjutnya, Raja Sisingamangaraja memiliki keturunan hingga 12 keturunan. Itu pun secara roh.

19). Ritual
Inilah yang kemudian menjadi acuan pada acara atau ritual-ritual besar Ugamo Parmalim yang diadakan rutin setiap Sabtu dan setiap tahunnya. Ritual-ritual besar Parmalim itu seperti Parningotan Hatutubu ni Tuhan (Sipaha Sada) dan Pameleon Bolon (Sipaha Lima), yang diadakan pertama pada bulan Maret dan yang kedua bulan Juli. Yang kedua diadakan secara besar-besaran pada acara ini para Parmalim menyembelih kurban kerbau atau lembu. “Ini merupakan tanda syukur kami kepada Debata yang telah memberikan kehidupan,” kata Marnangkok.

20.) Kisah – Mitos
Dalam Kitab Parmalim, yakni Tumbaga Holing, terdapat kisah manusia pertama, Adam dan Hawa termasuk taman eden dimana hawa digoda si ular. Hal itu dalam istilah bahasa Batak Toba. Parmalim itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak.

Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan Batak Toba dan Parmalim, agama leluhur Bangso Batak Toba, cenderung mendekati simbol-simbol agama Samawi, misalnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan. Jika dihubungkan cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah- rempah pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah tentang Raja (Nabi) Sulaiman/ Salomo membutuhkan rempah-rempah dari Ophir (Barus) di Tapanuli, diperkirakan jejak agama monotheisme Israel terserap dan kemudian mengakar dalam keyakinan Parmalim – Hamlimon – Ugamo Malim, agama Bangso Batak Toba.(Batak Network)

Sumber:

http://www.batakmulana.com/2016/03/20-fakta-yang-menyatakan-bangso-batak.html

 


Kisah Sedih di Balik Lagu “Bubuy Bulan”

$
0
0

Kisah sedih masyarakat Sunda Muslim atas Syahadah Imam Husein yang gugur terbantai di padang Karbala Irak, tergambar dan terlestarikan dalam lagu Bubuy Bulan ini:

MerahPutih Budaya – Masyarakat Jawa Barat sudah tidak asing dengan lagu ‘Bubuy Bulan’. Bubuy Bulan adalah lagu daerah khas Jawa Barat yang ditulis oleh Benny Korda.

Tidak jelas sejak kapan lagu ini dinyanyikan, tapi Bubuy Bulan kerap menemani masyarakat Jawa Barat saat melangsungkan berbagai acara hajat, seperti khitanan atau pun pesta pernikahan.

Lagu ini bercerita tentang kesedihan seseorang yang ditinggalkan oleh kekasih. Kesedihan itu bertambah buruk ketika seseorang itu melihat seseorang yang melewat setiap pagi dan melihat sorot matanya terkenang oleh kekasih yang dulu meninggalkannya.

Berikut liriknya:

Bubuy bulan
Bubuy bulan sangray bentang
Panon poe
Panon poe disasate

Unggal bulan
Unggal bulan abdi teang
Unggal poe
Unggal poe oge hade

Situ Ciburuy
laukna hese dipancing
Nyeredet hate
Ningali ngeplak caina

Duh eta saha
Nu ngalangkung unggal enjing
Nyeredet hate
Ningali sorot socana

 

Sumber: http://indonesiana.merahputih.com/budaya/2016/03/04/kisah-sedih-di-balik-lagu-bubuy-bulan/38935/


2 hari 2 malam di Purwakarta

$
0
0
Dijemput blue bird, ditempatkan di hotel paling top di Purwakarkarta, disuguhan keindahan tarian air mancur bercahaya di Taman Sri Baduga Maharaja. Subhanallah, sbg tamu-tamu istimewa VIP. Apakah ini realisasi mimpi ketemu dan dipanggil Sang Prabu Siliwangi dan mimpi ketemu Kang Dedi Mulyadi di alam malakut sana melalui mimpi-mimpi ku 2 tahun terakhir ini. Rahayu Sagung Dhumadi, mun Sang Hyang Pangersa tos mamparin titah Na, ngan nu jembar hatena, nu hade pangartina, nu lempeng lampahna, nu kapanggil wawujudkeun tatanan akhak Pajajaran Anyar nu diwasiatkeun ku Eyang Prabu Silih Wangi. Silih Asih,Silih Asuh, Silih Asah. Mugiya Gusti Sang Hyang Manon maparin berkah sadaya warga Tatar Sunda.  
3129
35414035
30
384bcf-12784087_495036020698263_1242430221_ne706c-8-bupati-dedi-mulyadi-dikejar-anggota-fpic6c8f-mahkota2bsanghiyang2bbinokasih 27bb1-11252208_818733758253759_1443922636_n f3e33-12797951_549455221880967_880210059_n23
4

Jangan Lupakan Sejarah! Konspirasi Menuju Disintegrasi Bangsa…?

$
0
0

 Jangan Lupakan Sejarah: Dari Pemberontakan PRRI/Permesta, Konflik Tolikara hingga Parade Tauhid Indonesia

Konspirasi Menuju Disintegrasi Bangsa…??

Quito Riantori

AS dan sekutunya punya kepentingan untuk mengendalikan pemerintahan Indonesia. Sejarah telah membuktikannya. Setiap kali rezim pemerintah RI tak mau tunduk terhadap kepentingan dan kemauan politik Paman Sam, maka dipastikan akan terjadi kerusuhan sosial di Indonesia. Kita bisa mengungkap kembali faktanya.

Pertama, Era 1950an. Pemberontakan PRRI/Permesta. Pemberontakan ini didalangi oleh Amerika Serikat. Bahkan tentara AS terlibat langsung di dalamnya. Terbukti dengan tertangkapnya seorang pilot AU AS, di Morotai, Maluku.

AS berkepentingan menjatuhkan rezim Soekarno. Karena pemerintahan RI berkiblat kepada poros Peking-Moskow yang berhaluan komunis/sosialis. Tragisnya pemberontakan tsb diprakarsai oleh partai Islam, Masyumi. Di dalamnya banyak terlibat tokoh-tokoh muslim modernis.

Kedua, G30S/PKI tahun 1965. Banyak catatan sejarah yang membuktikan keterlibatan intelijen AS, CIA, pada peristiwa Gerakan 30 September, G30S/PKI. CIA bekerjasama dengan segelintir perwira TNI AD. Mereka berhasil menghancurkan 3 kekuatan RI sekaligus. Yakni loyalis Perwira TNI AD, Pemimpin, kader dan anggota parpol PKI, serta Presiden Soekarno dan pendukungnya. Setelah itu AS menjadi penguasa sebenarnya atas negeri tercinta ini. Rezim Orba hanyalah boneka AS. Tak lebih dari itu. Selama 32 tahun kekayaan Indonesia disedot dan dirampas oleh AS. Tragisnya mayoritas alim ulama Indonesia dan ormas Islam tradisional tak menyadari akan hal ini. Mereka justru menjadi alat provokator CIA dan rezim Orba untuk menghancurkan komponen bangsa lainnya. Terjadilah penculikan, pembantaian, dan pembunuhan terhadap anggota PKI.

Sebenarnya secara tak langsung peristiwa di atas terjadi karena kebijakan Presiden Soekarno sendiri pada awal kemerdekaan RI. Tepatnya pada saat perundingan KMB 1949. Delegasi Indonesia bersedia menyepakati pasal yang sangat berbahaya. Yakni memasukkan mantan perwira tentara kolonial Belanda, KNIL, ke dalam tubuh perwira TRI. Sedangkan sebagian tentara TRI yang sudah terbukti loyal terhadap negara, justru mengalami proses rasionalisasi. Artinya terjadi demiliterisasi sebagian anggota TRI. Akhirnya terjadilah G30S/PKI dan Supersemar. Senjata makan tuan. Revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Bahkan menelan korban orang tua kandungnya sendiri. Cerita Joko Tingkir menyingkirkan Sultan Trenggono kembali terjadi dalam pentas sejarah Indonesia modern.

Ketiga, Kerusuhan Mei 1998. Gerakan demonstrasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa ini berhasil melengserkan Presiden Soeharto. Ditengarai CIA juga terlibat dalam peristiwa ini. Karena arah suksesi kepemimpinan nasional, tak sesuai dengan keinginan Paman Sam. Oleh karena itu Presiden Soeharto serta penggantinya harus merasakan akibatnya.

Awal kerusuhan Mei 1998 terjadi di universitas Trisakti, Jakarta. Aparat TNI menembak mati beberapa mahasiswa. Sesaat kemudian terjadilah penjarahan oleh massa. Provokasi anti pribumi dan anti China dihembuskan oleh mulut-mulut setan yang haus kekuasaan. Orang pintar juga tahu siapa setan yang dimaksud. Dialah dalang kerusuhan Mei 1998. Seseorang yang sangat berambisi ingin menjadi Presiden RI. Namun tak pernah tercapai hingga kini. Dia sebenarnya hanya boneka yang dikendalikan intelijen AS, CIA.

Keempat, Kerusuhan SARA di Maluku dan Palu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2004. Sesaat setelah SBY dan MJK menjabat sebagai presiden dan wapres RI. Konflik SARA ini juga buatan CIA. Guna menekan rezim SBY agar tunduk terhadap kemauan pemerintah Paman Sam dan Zionisme internasional. Faktanya konflik pun berhenti setelah rezim SBY melakukan MOU dengan perusahaan multinasional asal AS yang menanamkan modalnya dan mengeruk kekayaan alam Indonesia. Leluasalah mereka kembali merampas emas, minyak bumi, dan SDA lainnya. Kita semua tahu akan hal ini.

Kelima, konflik Tolikara. Kerusuhan ini juga rekayasa CIA. Demi menekan rezim Jokowi agar mau tunduk kepada kepentingan Barat dan AS. Untuk menegur pemerintahan Jokowi yang mulai bermesraan dengan RRC, Rusia dan Iran. Ini peringatan pertama. Peringatan kedua, segera menyusul.

Apa skenarionya..? Parade Tauhid Indonesia banyak disusupi agen takfiri. Sudah jelas arahnya. Yakni ingin menciptakan kebencian etnis dan agama. Memfitnah kaum nasrani yang cinta damai. Memfitnah Syiah yang berhaluan madzab cinta dan rahmatan lil alamin. Tampaknya skenario ini juga akan gagal. Jokowi cukup cerdas. Dan tetap tak mau bergeming. Tak mau tunduk kepada arogansi Paman Sam. Benar-benar si kerempeng yang bermental jenderal.

Inikah yang namanya merdeka…? Inikah yang namanya negara yang bermartabat dan berdaulat…? Salah siapakah ini…?

Ini jelaslah salah para penguasa, calon penguasa yang haus kekuasaan dan ingin menumpuk kekayaan pribadinya. Kedzaliman dan penjajahan terjadi di negeri muslim karena ulamanya takut mati dan cinta dunia. Namun ini juga kesalahan seluruh rakyat Indonesia. Mengapa demikian…?

Karena kita hanya pandai berkoar-koar. Hanya lantang meneriakkan yel merdeka, reformasi, bermartabat, berdaulat atau berdikari. Namun tak siap menanggung konsekuensinya. Kita tak siap diembargo. Kita tak siap dikucilkan oleh dunia internasional. Tak siap menjalani hidup susah sepanjang tahun. Tak siap hidup miskin dan sederhana selama puluhan tahun. Kita benar-benar lemah dan cengeng…! Tak setegar rakyat Iran dan Korea Utara…!

Mana mungkin bisa tahan lapar, jika badannya tambah tambun. Para pimpinan politisi oposan sebagian berusia muda, namun perutnya tambah buncit saja. Si kerempeng yang menerapkan pola hidup sederhana malah di caci maki. Pelakunya justru para habaib, ustadz, dan kiyai yang cinta dunia saat ini. Apakah aksi ini jujur bertolak dari hati nurani kalian…?? Lantas, dimana kejujuran dan keberanian kalian terhadap kedzaliman rezim Orba selama 32 tahun?

Apakah dosa dan kedzaliman si Kerempeng yang baru berkuasa setahun ini lebih besar dari Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun…?? Mana tulisan kritis kalian terhadap rezim Soeharto…? Mana aksi people power kalian pada tahun 1998…? Dimana jutaan massa kalian…? Mengapa tak berdemo di Senayan bergabung dengan mahasiswa pada tahun 1998..? Di mana kalian saat itu…? Kalian tak berani menunjukkan batang hidungnya. Tak ada orasi dari kalian untuk menentang thagut di gedung DPR/MPR. Inikah namanya laskar mujahidin…?? Hanya teman-teman mahasiswa yang turun berdemonstrasi ke jalan hingga mengepung gedung DPR/MPR. Kalian tak ada disana saat itu. Justru kalian mencemooh kalangan demonstran saat itu. Padahal kini kalian yang menikmati hasil reformasi. Kami hanya menjadi tulang berserakan yang tak berarti.

Antar komponen bangsa saling sikut. Saling tendang. Saling melaknat dan mengumpat. Saling memfitnah. Dan akhirnya menghalalkan pembantaian dan pembunuhan.

Mayoritas justru menindas minoritas. Memfitnah PKI. Memfitnah non pribumi. memfitnah etnis China. Memfitnah Syiah sesat dan halal darahnya…! Memfitnah kaum Nasrani. Memfitnah kaum minoritas lainnya. Demi tegaknya Tauhid…?! Demi ukhuwah Islamiyah…? Demi silaturahim dan halal-bihalal….? Demi memperingati kemerdekaan Republik…? Namun penuh fitnah dan provokasi di dalamnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun…

Kalian justru melupakan musuh sejatimu. Yakni setan besar Amerika Serikat dan Zionis Yahudi. Batang hidung kalian tak tampak pada hari al Quds. Kemana massa kalian yang anti Zionis, pada hari pembebasan Palestina….? Kalian tak sudi bergandengan tangan dan merapatkan barisan demi menghancurkan musuh. Ketidakpedulian kalian terhadap ketertindasan rakyat Palestina adalah kemenangan propaganda Israel dan setan besar Amerika.

Menuju Skenario Ketiga

Kita sebagai umat dan komponen bangsa harus cerdas membaca strategi musuh. Tetap menjaga persatuan nasional. Menghilangkan sentimen perbedaan suku, ras, dan agama. Meredam perbedaan madzab. Pihak minoritas Takfiri jelas tak sudi akan hal ini. Tapi, ingatlah..! Mayoritas umat dan bangsa ini cinta damai dan persatuan. Bangsa kita memanglah multi kultur. Namun bukan berarti mudah untuk dipecah-belah. Sangat berbeda dengan kondisi bangsa Timur Tengah yang mono kultur. Namun mereka mudah terprovokasi oleh isu perbedaan madzab. Seruan fitnah dan perpecahan yang dihembuskan oleh kaum Takfiri saat ini di Indonesia tak akan berhasil.

Intelijen Amerika tentunya segera merancang skenario ketiga. Yakni menciptakan krisis moneter dan krisis ekonomi. Dimulai dari menekan rupiah sehingga mata uang dollar Amerika terus naik meroket. Kemudian mereka menciptakan demonstrasi mahasiswa, dan menciptakan kerusuhan sosial. Jika skenario ini juga gagal, maka CIA menerapkan senjata pamungkasnya. Yakni memprovokasi segelintir elit perwira TNI yang haus kekuasaan agar mau melakukan kudeta militer.

CIA ingin mengulang kesuksesannya di Mesir melalui strategi kudeta militer. Yakni menyetir Jenderal Abdel Fattah as Sisi untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Mohammed Morsi yang berhaluan Islam fundamentalis. Rupanya CIA belum menemukan bahan bakar bonekanya di dalam tubuh TNI. Kalaupun ada, namun wayang tersebut sudah lama pensiun dari TNI.

Inilah medan tempur dan jalan peperangannya. Kita benar-benar bertaruh dan berharap banyak dengan kecerdasan dan ketangguhan rezim Jokowi untuk mematahkan skenario busuk tersebut. Ada secercah harapan. Rupiah masih kokoh bertahan dari gempuran kenaikan dollar. Mutasi, promosi dan penguatan doktrin kebangsaan di jajaran perwira tinggi TNI yang sangat loyal terhadap negara juga wajib ditingkatkan. Bila perlu mengarah kepada terbentuknya jiwa perwira TNI yang ultra nasionalis…! Rezim Jokowi benar-benar bekerja keras menahan serangan dari 2 arah yang mematikan ini.

Doa kami, rakyat yang cinta damai dan anti kekerasan, semoga Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya berhasil menghantarkan negara Indonesia yang bermartabat, berdikari, dan berdaulat penuh. Hingga menjadi macan Asia. Bisa mensejajarkan diri dengan Iran dan RRC.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 70. Jayalah Indonesia tercinta.

Tangerang, 17 Agustus 2015

Arya Penangsang 🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Lampiran: (Link Terkait: para “Kyai dan Ustadz” Provokator Agen Amerika binaan Jendral Kivlan Zein?)

http://www.suara-islam.com/read/index/16272/KH-Husni-Thamrin–Habib-Rizieq-Benar–tidak-Perlu-Minta-Maaf

http://www.suara-islam.com/read/index/8558/Ulama-Kharismatik—Hati-hati-ada-118-Orang-PKI-di-DPR-

 

 

http://www.posmetro.info/2016/02/hanya-di-era-jokowi-milisi-cina-po-tui.html

 

 



Soekarno, Jokowi dan Internasionalisme (Analisis Eko Sulistyo)

$
0
0

Sejak perumusan konstitusi dalam sidang BPUPKI Juni 1945, Soekarno sudah memajukan apa yang ia sebut dengan internasionalisme negara-negara pasca kolonial yang mempunyai ikatan kuat dengan nasionalisme. Menurut Soekarno,  internationalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar dalam bumi nasionalisme.  Sebaliknya nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme.


Negara-negara pasca kolonial mempunyai memori negatif atas Barat, yang dianggap sebagai simbol penjajahan di berbagai belahan dunia. Karena itu wajar  bila Barat  dianggap bukanlah guru yang patut ditiru. Menurut Soekarno,  nasionalisme bangsa-bangsa di Asia dan Afrika tidak sama dengan nasionalisme yang terdapat pada sistem negara-negara Barat yang agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya.

Konferensi Asia-Afrika (KAA) April 1955 yang menjadi cikal bakal Gerakan Non Blok (GNB) 1961,  adalah agenda aksi pembukaan UUD 1945 guna mewujudkan solidaritas antar bangsa pasca kolonial untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan sosial.  KAA juga dapat dilihat sebagai bentuk nyata perjuangan internasionalisme yang digagas Soekarno.

Internasionalisme Soekarno

Pada awalnya, perjuangan internasionalisme adalah sebuah bentuk konsep solidaritas dari kaum kiri internasional, untuk mempersatukan kaum buruh di seluruh belahan dunia untuk menghadapi penindasan  kapitalisme.

Internasionalisme kaum kiri ini menyatakan, kaum buruh  tidak punya tanah air.   Karena itu perjuangan negara-bangsa dianggap bukanlah perjuangan kaum buruh yang tertindas, bahkan  kerap dianggap tidak revolusioner.

Soekarno justru mempunyai konsep internasionalisme versi negara-negara pasca kolonial, yang mengambil pondasi pada kebangsaan dengan jiwa revolusioner.  Karena itu, nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme yang revolusioner. Bagi Soekarno, negara-bangsa adalah tanah berpijak untuk  solidaritas internasional melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.

Menurut Soekarno, antara nasionalisme dan internasionalisme, tidak ada pertentangan, di mana internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme. Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.

Mengenai internasionalisme, Soekarno menjelaskan: “Semua bangsa saling terkait satu sama lain, tidak mungkin mengisolasi diri dari kenyataan sejarah tersebut.”  Semua masalah besar di dunia  saling berkaitan, kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum berkembang.

Konsepsi internsionalisme Soekarno  mengambil bentuk yang lebih nyata dalam Pidato di muka Sidang Umum PBB XV tanggal 30 September 1960 yang diberi judul To Build The World a New (Membangun Dunia Kembali). Indonesia mengajukan sebuah proposal global di mana “dunia yang baru itu diminta memperbaiki keseimbangan dunia yang lama.”

Dunia baru pasca PD II tersebut ditandai dengan bangkitnya negara-negara baru dan gelombang besar pembebasan nasional dan emansipasi ekonomi yang melanda Asia, Afrika dan  Amerika Latin.  Kekuatan “dunia baru” ini, menurut Soekarno akan menjadi kekuatan penyeimbang dalam tatanan internasional yang didominasi kekuatan “dunia lama” yang dianggap mempunyai cacat ideologis, karena  praktek kolonialisme dan imperialisme yang  pernah dijalankan.

Sikap Soekarno atas tatanan internasional yang tidak adil dalam konteks Perang Dingin, kemudian membawa ide-idenya menjadi semakin konfrontatif dengan “dunia lama” yang diwakili kekuatan  neo-kolonialiseme.  Sikap konfrontatif itu semakin ditunjukan dengan keluarnya Indonesia dari PBB,  dan politik konfrontasi melawan Malaysia yang dianggap  boneka imperialisme  yang  mengancam kedaulatan bangsa Indonesia.

Soekarno lalu menjadi drijen utama mendorong negara-negara Asia-Afrika  untuk tidak bersikap pasif dan hanya “tidak berpihak,” namun harus membangun kekuatan dan jalan sejarahnya sendiri secara aktif.

Soekarno lalu mencanangkan pembentukan New Emerging Forces sebagai reaksi terhadap  dominasi negara-negara imperialis “dunia lama” dan  bercita-cita membentuk sendiri forum konferensi negara-negara baru itu di Jakarta,  sebagai reaksi terhadap dominasi PBB yang dinilainya terlalu condong ke Barat.

Internasionalisme ala Soekarno jelas mengkhawatirkan bagi negara-negara  kekuatan “dunia lama” yang dikomandani Amerika Serikat  dan mendapat dukungan sekutu ideologisnya dalam Perang Dingin. Karena itu dilakukan upaya menghentikan pengaruh internasionalisme Soekarno, agar tidak menjadi kekuatan penyeimbang di tataran global yang berujung pada penjatuhnya kekuasaan Soekarno 1965.

Dengan tumbangnya kekuasaan Soekarno, maka salah satu motor utama gerakan internasional yang menuntut keseimbangan global dalam tatanan dunia baru berhasil diperlambat jalannya.  Pemerintahan Orde Baru menutup jalan menuju tatanan dunia baru ala Soekarno yang kritis atas dominasi Barat dan kapitalisme, Orde Baru menjadi  “perpanjangan tangan” kepentingan  dunia lama, dengan mengikuti  blue print jalan kapitalisme yang diformulasikan oleh IMF dan Bank Dunia.

Beban Jokowi
Pemerintahan Jokowi-JK memiliki beban sejarah yang  krusial untuk mengembalikan peran Indonesia yang besar dan strategis sebagai penyeimbang dan penyuara keadilan global, yang tidak hanya menguntungkan kepentingan nasional, tapi mengambil peran strategis dalam membangun “keseimbangan global” antara negara Selatan dan Utara.

Sebagai pengagum Soekarno, Jokowi secara tegas dalam visi-misi  menyatakan bahwa konsep Trisakti Soekarno menjadi landasan kebijakan Jokowi.  Dalam hubungan antara kepentingan nasional dan relasi internasional, Jokowi mendapat ilham dari  Internasionalisme Soekarno, yang disesuaikan dengan konteks kekinian.  Jokowi ingin Indonesia kembali mempunyai peran strategis di politik global dan regional, demi mewujudkan To Build The World a New  yang menguntungkan Indonesia dan Negara-negara Selatan.

Dalam visi-misi kedaulatan dan kemandirian bangsa, Jokowi menyatakan, bangsa yang mandiri dan berdaulat adalah yang mampu hidup sederajat dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri. Kemandirian bangsa yang hendak dibangun adalah kemandirian saling bergantung antar bangsa. Dalam globalisasi  dan perdagangan bebas, ketergantugan antar bangsa ini menjadi sesuatu yang tidak terhindari.
Dalam misi kepresidenan dikatakan secara tegas, Indonesia akan melakukan reposisi  peran dalam isu-isu global.  Indonesia akan mengambil peranan  sebagai kekuatan dalam isu-isu regional dan keterlibatan secara selektif dalam isu-isu global.

Isu-isu global yang strategis, yang sudah sering disuarakan Negara-negara Selatan, Grup-77 dan GNB, akan dijadikan isu prioritas seperti memperkuat  PBB, aktif dalam Organisasi Konferensi Islam. Paling progresif, Indonesia akan mendorong reformasi lembaga keuangan dan moneter global seperti Bank Dunia dan IMF.  Indonesia juga akan memperkuat kerja sama Selatan-Selatan sebagai bagian dari perjuangan membangun tatanan dunia yang lebih adil, sejajar  dan  saling menguntungkan.

Dari  agenda-agenda tersebut tampak jelas, Jokowi ingin agar Indonesia tidak lagi menjadi instrumen pasif atau penikmat  dari tatanan dunia yang sudah ada yang dirasa kurang adil, tapi ingin berperan untuk menjadi penyeimbang antara negara-negara GNB dan Selatan dalam berbagai tatanan global yang strategis.

Tentu saja misi “Internasionalisme Baru”  yang menjadi visi-misi dari  Presiden Jokowi ini tidak dapat  dijalankan sendirian. Indonesia perlu sekutu-sekutu di panggung internasional, baik tingkat negara, regional maupun lembaga internasional untuk mewujudkannya. Dengan legasi kuat Soekarno dalam GNB; sebagai negara Islam demokratis terdepan;  posisi strategis dalam ekonomi global, maka Indonesia mempunyai  harapan menjadi kekuatan yang mampu mendorong keseimbangan global menuju tata dunia baru.

Di tangan pemerintahan Jokowi-JK, legasi itu akan mempunyai makna  strategis, apakah Indonesia akan berperan To Build The World a New  seperti yang pernah dijanjikan Soekarno, ataukah menjadi sebuah bangsa biasa-biasa saja yang ikut arus kepentingan global. Di tangan Presiden Jokowi nasib itu akan dipertaruhkan. ***

Eko Sulistyo adalah Deputi Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden

 

Sumber: Suara Pembaruan (Cetak), Selasa 14 April 2015, halaman 10

 

Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat m.baranews.co


Islam Nusantara Hasil Persentuhan Budaya dengan Ajaran Islam

$
0
0

BERITA, BUDAYA, NASIONAL, SEJARAH, TASAWUF, UNCATEGORIZED,WARTA NU 0

10 Maret 2016,

Data Buku
Judul : Sejarah Islam di Nusantara
Penulis : Michael Laffan
Penerjemah : Indi Aunullah & Rini Nurul Badariah
Penerbit  : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : September 2015
Tebal : xx + 328 halaman
ISBN : 978-602-291-058-9
Perensensi: Naufil Istikhari Kr, Aktif di Lingkaran Metalogi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sejarah Islam di Nusantara - Michael LaffanJAKARTA, ISLAMNUSANTARA.COM – Berikut adalah resensi dari buku “Sejarah Islam Nusantara” yang ditulis oleh Michael Laffan. Narasi besar Islam yang merentang selama ratusan tahun di bumi Nusantara harus diletakkan sebagai endapan ganjil dari pelbagai unsur yang hiruk. Islam yang kita saksikan sekarang merupakan hasil kloning sempurna dari kultur hibrida, dari lanskap budaya yang berbeda-beda.

Maka, ketika belakangan ini mencuat diskursus ‘Islam Nusantara’ yang diwedarkan sebagai bentuk capture identitas dalam konteks sosio-antropologis, argumen-argumen penolakan yang bersifat ambisius dan dadakan perlu segera diluruskan. Mengapa? Lewat Sejarah Islam di Nusantara, Michael Laffan menyediakan jawabannya.

Sinopsis

—-
Agama Islam tidak dilahirkan di Indonesia, namun justru negara inilah yang memiliki penduduk muslim dengan jumlah terbesar di dunia. Bagaimanakah cara agama ini masuk dan berkembang di antara suku dan budaya yang beragam di nusantara? Fondasi pertanyaan ini kemudian menggerakkan Michael Laffan, Profesor Sejarah di Universitas Princenton, untuk meneliti proses tumbuh kembangnya Islam di Indonesia yang memiliki corak dan ciri khusus. Dari aneka ragam sumberdaya, Laffan mereka ulang sejarah interaksi dan diskusi ihwal Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Islam di Indonesia kerap digambarkan bersifat moderat berkat peran yang dimainkan Sufisme mistis dalam membentuk pelbagai tradisinya. Menurut para pengamat Baratmulai dari para administrator kolonial, para cendekiawan orientalis Belanda, hingga para antropolog modern seperti Clifford Geertzpenafsiran Islam yang damai ala Indonesia terus-menerus mendapat ancaman dari luar oleh tradisi-tradisi Islam yang lebih keras dan intoleran.

Sejarah Islam Nusantara menawarkan sebuah penilaian yang lebih berimbang terhadap sejarah intelektual dan kultural Indonesia. Michael Laffan menyusuri bagaimana citra populer mengenai Islam Indonesia dibentukolehberbagai perjumpaan antara para cendekiawan kolonial Belanda dan para pemikir Islam reformis. Tak berhenti sampai di situ, Laffan juga menyuguhkan peran-peran tradisi Arab, Cina, India, dan Eropa yang telah saling berinteraksi sejak awal masuknya Islam. Hasil perkawinan lintas budaya dan intelektualitas inilah yang kemudian melahirkan Islam Nusantara.

“Sejarah Islam Nusantara merupakan kontribusi keilmuan yang mengesankan dan penting, mengandung informasi berlimpah dan sudut pandang kritis bagi para cendekiawan dan peneliti yang sebidang.
Christina Sunardi, American Journal of Islamic Social Sciences

Terlepas dari gaya berapi-api yang kadang jenaka, buku ini padat dan dapat menjadi bahan diskusi…. Menarik.”
Anthony H. Johns, Journal of Southeast Asian Studies

“Michael F. Laffan menulis buku yang gembur, sangat informatif, dan sangat inspiratif. Semua orang yang ingin menekuni Islam di Indonesia dan Orientalisme Belanda harus membacanya.”
Stephan Conermann, Sehepunkte

“Buku ini merupakan sumbangsih besar bagi Islam di Indonesia.
Barbara Watson Andaya, co-writer A History of Malaysia

Hasil riset profesor sejarah dari Universitas Princeton ini mendedahkan secara eksplisit bahwa ‘Islam (di) Nusantara’ memiliki akar-akar sejarah yang menghunjam jauh ke masa silam. Dengan lain kata, apa yang disebut sebagai ‘Islam Nusantara’ tak lain adalah salinan pucat dari sejarah Islam di Nusantara itu sendiri.

Di titimangsa ini, yang gamang mulai tampak terang: bahwa ‘Islam Nusantara’ bukanlah aliran sempal (firqah) yang mencoba memekarkan diri dari kelopak keislaman yang sudah menangkai lebih dulu. ‘Islam Nusantara’, seperti yang akan kita lihat, adalah ejawantah langsung dari relasi-relasi subtil antarmanusia, juga antarbangsa.

Peran Ordo Sufi

Seperti halnya kebanyakan sejarawan, Michael Laffan percaya bahwa kesuksesan Islam menapak bumi Nusantara sangat ditentukan oleh peran penting ordo-ordo sufi yang memiliki reputasi baik sejak awal kedatangannya. Namun ia masih ragu mengenai faktor paling dominan dalam proses islamisasi yang mencengangkan tersebut.

Namun yang pasti, sufi-sufi yang berdatangan dari seberang seperti Persia, India dan Afrika Utara kadang-kadang merupakan pedagang yang sekaligus juru dakwah Islam. Di abad-abad pertama milineum kedua, mudah sekali kita temukan sosok sufi yang nyambi jadi petani, pedagang, hakim, dan “profesi duniawi” lainnya.

Para penyebar Islam yang umumnya multitalenta itu, telah mengejutkan dan membuat decak kagum orang-orang pribumi sehingga mereka cepat sekali beradaptasi. Uniknya, dalam temuan Michael Laffan, untaian kearifan-kearifan kaum sufi dengan mudah menjadi tren dan diadopsi oleh penguasa setempat (hal, 27).

Hal ini tidak lepas dari yang namanya -dalam istilah Michael Laffan- “gravitasi kecendekiaan” yang bersumber dari Mesir, Baghdad, Damaskus hingga Turki Utsmani. Terma-terma sufistik yang menjadi tren di Timur Tengah, lewat persilangan-persilangan mencengangkan, lalu dibawa dan akhirnya menjadi tren juga. Tren sufisme di abad-abad lampau sama pentingnya dengan tren mode zaman sekarang (hal, 253-254).

Antara abad 15 hingga 18, ordo-ordo sufi dengan leluasa keluar-masuk istana. Tampaknya, penetrasi lembut antara ajaran sufi dan politik kekuasaan menjadi penyokong utama langgengnya agama Islam di Nusantara. Pola-pola semacam itu lazim terjadi di Asia Tenggara, terutama di sekitar poros Patani-Malaka-Jawa.

Islam yang Terus Berubah

Abad-abad berikutnya semakin rumit dan musykil. Ketika pondasi Islam boleh dibilang sudah kukuh, sengkarut yang silang menyilang gencar terjadi. Ordo-ordo sufi mulai menarik diri dari istana. Sementara itu, gerakan-gerakan revivalisme Islam mulai tumbuh dan langsung mengambil jalur politik-kekuasaan.

Di sisi lain, katup kolonialisme yang kian menganga turut membawa dampak buruk bagi posisi Islam Nusantara. Sejak itu, polarisasi dalam Islam tidak dapat dihindari lagi. Muncullah Wahhabisme, Pan-Islamisme, dan seterusnya.

Sementara Islam bersusah payah menghadapi perpecahan yang menggerogoti tubuhnya sendiri, dari luar tengah mengarah serbuan getol dari misionaris Kristen yang dibonceng pemerintah Hindia Belanda. Bab 6 dan 7 secara khusus memotret perseteruan dan perebutan panggung yang dramitis itu.

Dalam konteks yang lebih serius dan rumit, Christiaan Snouck Hurgronje hadir sebagai eksemplar yang sangat menentukan terhadap narasi Islam di dunia yang lebih modern kelak. Michael Laffan mencurahkan perhatiannya pada segmentasi ini secara detail di bab 8, 9, dan 10.

Pada bab-bab berikutnya, Michael Laffan menyoroti setiap perubahan di dalam sejarah ‘Islam Nusantara’ yang arkaik dan tumpang tindih dengan pelbagai dimensi kecil namun penting. Dengan tetap meyakini bahwa sejarah tidak pernah final, Michael Laffan juga berkesimpulan bahwa ‘Islam Nusantara’ juga bukan adonan yang persis bulat dan final.

Sejak awal Michael Laffan mengingatkan bahwa yang khas bagi ‘Islam Nusantara’ justru karena ia tidak benar-benar khas (sejauh khas diidentikkan dengan orisinal). Sebab, ‘Islam Nusantara’ merupakan hasil tungkus-lumus, persentuhan, perpaduan dari ajaran, perilaku, budaya dan citarasa yang aduhai jamaknya. Dan itu mustahil dikrop untuk menjadi satu warna.

Apa yang ditulis Michael Laffan dalam buku ini, pada dasarnya, sekadar patahan-patahan sumir, potongan-potongan kecil, atau celah-celah mungil yang terjadi di dalam lipatan-lipatan sejarah yang enggan dibahas oleh sejarawan lain.Pembaca tidak akan menemukan keutuhan, misalnya, sebagaimana buku-buku M.C. Ricklefs.

Tetapi justru di situ nilai plusnya. Dengan gaya penulisan yang tidak konvensional, Michael Laffan berhasil memetakan serpihan-serpihan penting sejarah ‘Islam Nusantara’ ke dalam narasi yang enak dibaca. Hanya, pembaca yang belum tahu secara persis anatomi sejarah Indonesia, jelas akan kesulitan mencerna konteksnya. (ISNU)

Sumber:

NU Online/http://www.islamnusantara.com/islam-nusantara-hasil-persentuhan-budaya-dengan-ajaran-islam/


Pancasila adalah Perwujudan Syariat Islam ala Indonesia

$
0
0

Satu Islam, Jakarta – Apa yang dilakukan oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat selain bersidang dua kali setahun?Ppertanyaan itu biasa disampaikan secara terang-terangan atau tersamar dan memang sebelumnya, tugas anggota MPR memang hanya dua kali bersidang itu. (Baca: NU dan PDI-P Usulkan 1 Juni Hari Lahir Pancasila)

Hal itu disampaikan oleh Anggota DPR/MPR RI, Jalaluddin Rakhmat dalam acara Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara di Kampung Pacinanan, Desa Cicalengka Wetan, Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung, Minggu 28 Februari 2016 lalu.

“Lain halnya dengan sekarang. Setiap anggota MPR bertugas melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan kepada masyarakat,” kata Jalaluddin.

Tujuannya, lanjut Jalaluddin, adalah terus menghidupkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya Pancasila, Bhinekka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang Undang Dasar 1945.

“Kita tahu, saat ini berbagai informasi sedemikian mudah masuk ke setiap ruang publik maupun privat. Arus positif dan negatif berlomba mempengaruhi pola pikir masyarakat dengan berbagai cara,” terangnya.

Menurutnya, harus diakui bahwa situasi banjir informasi saat ini tidak kondusif bagi bangsa Indonesia yang masih dalam proses mematangkan diri. Karena itu, masyarakat wajib memiliki patokan nilai yang jelas untuk bertindak, yaitu Pancasila.

Sebagai dasar negara, kata Jalaluddin lebih lanjut, perjalanan Pancasila berakar pada perdebatan yang pernah terjadi antara para tokoh pendiri bangsa ini. Sebagian dari mereka menghindari Syariat Islam sebagai dasar negara, sementara Bung Karno dan rekan-rekannya memilih Pancasila.

“Setelah melewati diskusi panjang dan berbagai pertimbangan, tercapailah kesepakatan bahwa Pancasila yang dipilih sebagai dasar negara,” katanya.

Menurut pria yang kerap bersama Gus Dur ini, kehadiran Pancasila merupakan angin segar bagi pemeluk agama selain Islam karena hak ibadah mereka dijamin. Bukan hanya itu, mereka juga diayomi, bebas dari rasa takut, dan tidak diancam siapa pun.

Sayangnya, saat ini ada sebagian orang yang setuju dengan syariat Islam, menolak Pancasila. Mereka bahkan setuju negara Republik Indonesia hilang, digantikan kekhalifahan di seluruh dunia. Mungkin dalam konsep mereka, Indonesia akan menjadi semacam provinsi saja.

“Jelas, secara langsung atau tidak langsung mereka menolak Pancasila dan NKRI dan ingin menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara. Lantas pertanyaannya adalah syariat Islam yang mana?” ujarnya. (Baca: Staf Kepresidenan: Ada PNS yang Intoleran dan Menolak Pancasila)

Menurut Jalaluddin, sekarang ada kelompok orang yang mengaku menegakkan negara Islam dengan jalan kekerasan. Ironisnya, yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang berbeda paham dengan mereka sungguh mengerikan. Tanpa kecuali, perempuan dan anak pun ikut menjadi korban.

Padahal, lanjut Jalaluddin, wajah Islam tak pernah bengis, Nabi Muhammad saw tak pernah mengajarkan kekejian. Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan. (Baca: Jalaluddin Rakhmat: Islam Madani Diinspirasi dari Pemikiran Rousseau)

“Karenanya, jika ada orang mengaku Islam tapi teriakannya merusak kerukunan antara umat beragama, saya akan meragukan keislamannya,” tegasnya.

Meski begitu dirinya percaya, keyakinan seperti ini diimpor dari luar untuk memecah belah kaum muslimin. Hal itu bisa diketahui secara luas melalui sejarah, di zaman Nabi saw, pemeluk agama lain bisa hidup damai dengan umat Islam yang mayoritas.

“Demikian pula di Indonesia. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu sangat ramah, santun, dan penuh kasih sayang,” terangnya.

Jalaluddin yang juga cendikiawan muslim ini mengatakan, kedatangan kelompok yang mengaku Islamnya paling murni inilah yang bikin onar. Ketakutan diembuskan, rasa saling curiga disebarkan di antara umat Islam dan antara umat Islam dengan pemeluk agama lain.

“Padahal, kita tahu bahwa perilaku tidak saling hormat antara pemeluk agama ini akan menghancurkan NKRI. Sebenarnya, untuk apa kita sibuk mempertentangkan Pancasila dan syariat Islam? Pada dasarnya, Pancasila itu sangat islami. Coba perhatikan masing-masing silanya banyak sekali ayat Alquran yang membenarkannya,” katanya.

“Jadi tidak ada yang bertentangan. Jika kita membela Pancasila, artinya kita sedang membela Islam. Dengan panduan negara ini kita bisa hidup bersama dengan tetap menghargai perbedaan, hidup tenang silih asah silih asih silih asuh. Kita akan tenang jika kita memperlakukan sesama manusia secara adil dan beradab. Sikap itulah yang diajarkan Pancasila dan Alquran,” sambungnya.

Tindakan mengkafirkan orang lain karena berbeda agama atau paham justru bertentangan dengan agama itu sendiri. “Tugas anggota MPR adalah memastikan bahwa sikap saling menghargai ini menjadi modal negara untuk terus membangun dirinya menuju kemajuan,” pungkasnya.

Acara sosialisasi ini dihadiri oleh aparat pemerintah setempat, tokoh masyarakat dan sekitar 160 orang dari masyarakat umum.

Sumber:


Kabut Misteri Surat Perintah Sebelas Maret

$
0
0
Kabut Misteri Surat Perintah Sebelas Maret
Supersemar di Arsip Nasional Republik Indonesia (Foto: MerahPutih/Noer Ardiansjah)

MerahPutih Nasional – Serangkaian peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah bangsa ini merdeka laksana kisah “epic” Mahabharata, di mana menyematkan segala lakon baik maupun jahat.

Berkenaan dengan sejarah, seperti yang diucapkan oleh Sang Proklamator Ir Soekarno agar sekiranya sebagai generasi bangsa, haram untuk sekali-kali melupakan sejarah atau yang mungkin lebih dikenal dengan istilah “Jas Merah”.

Ironisnya, rangkaian peristiwa bersejarah itu seolah menjadi saksi bisu yang tersembunyi di dalam sebuah catatan rahasia para penguasa yang tak ternilai harganya, seperti peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Surat yang saat ini berada di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), menurut salah seorang sejarawan sekaligus penulis beberapa buku tentang Nusantara merupakan catatan sejarah yang penuh dengan misteri dan juga tipu daya.

“Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu. Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu ada tiga versi,” kata Ahmad Yanuana Samantho, sejarawan sekaligus penulis kepada merahputih.com, Selasa (8/3).

Keyakinan ia terhadap ketidakotentikan surat tersebut, sama seperti yang dikatakan oleh mantan Kepala ANRI, M Asichin.

Ahmad Samantho, yang mengutip perkataan M Asichin menegaskan bahwa lazimnya surat kepresidenan, sudah semestinya pada bagian kop surat berlambang bintang, padi, dan kapas. Bukannya Burung Garuda, apalagi polosan seperti yang terakhir.

Belum lagi, kata Ahmad, kontroversi terkait empat jenderal yang menghadap Bung Karno sebelum peristiwa Supersemar terjadi.

“Inilah yang masih misterius. Besar kemungkinan issue empat orang ini (jenderal) benar adanya. Akan tetapi, yang satu tidak masuk ke dalam istana Bogor menemui Bung Karno, melainkan menunggu di mobil di luar pagar istana Bogor,” kata Ahmad.

“Versi lain, menurut Letnan Satu (Lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu berjumlah 4 orang; Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amir Machmud, Brigjen M Jusuf, dan M Panggabean. Mungkin itu, Jenderal Suharto sendiri yang keempatnya. Atau mungkin, dia menunggu di ruangan bersama tentara pengawal di Istana Bogor yang menyaksikan bagaimana Supersemar itu dibuat atau diketik secara dadakan,” paparnya. (Ard)

Sumber:  http://news.merahputih.com/draft/kabut-misteri-surat-perintah-sebelas-maret

MerahPutih Nasional – Terhitung mundur pada 50 tahun yang lalu, tepatnya hari Jumat tanggal 11 Maret 1966, lembaran sejarah baru bangsa tertoreh dalam balutan kabut misterius yang belum juga terungkap hingga detik ini, Supersemar.

Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret adalah waktu di mana Republik Indonesia mengalami sebuah transisi besar dalam tampuk kekuasaan bangsa Nusantara. Surat mandat tersebut, konon merupakan titah kepada Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan guna mengatasi situasi keamanan.

Alhasil, menurut beberapa sumber yang ada bahwa Supersemar itu seolah menjadi jalan pembuka bagi Soeharto untuk meraih takhta presidensial Ir Soekarno.

“Faktanya menurut Sejarawan Asvi Varman Adam, Soekarno memberi surat lanjutan bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis,” kata Ahmad Yanuana Samantho kepada merahputih.com, Selasa (8/3).

Tak ayal, lanjut Ahmad, ihwal tersebut menimbulkan kontroversi Supersemar yang tidak hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun juga soal isinya. Adapun tiga versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secara isi memang sama, yakni perintah untuk mengamankan negara. Namun, bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?

Seperti yang dikatakan oleh Mantan Kepala ANRI M Asichin, Ahmad Samantho juga mengatakan bahwa ketiga surat tersebut adalah palsu. Supersemar yang disimpan di etalase Arsip Negara itu kini ada tiga versi.

Adapun ketiga versi tersebut menurut Ahmad Samantho sebagai berikut:

Versi pertama, yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.

Versi Kedua, berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat tersebut terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno

Versi Ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.

“Saya setuju dengan Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu,” kata dia.

Sementara itu, Benedict Anderson selaku pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat. Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti yang ada sekarang.

Lebih dalam sejarawan yang juga penulis tentang perjalanan Nusantara itu mengatakan bahwa seperti diketahui, Supersemar telah dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si penerima, untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15 menteri yang dianggap beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta mengawasi pemberitaan di media massa saat itu.

Ditambah, peran tentara guna menggerakkan oknum massa rakyat (yang telah terprovokasi AD waktu itu) untuk melakukan dan penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh PKI atau simpatisan Soekarno yang daftarnya disediakan oleh Agen CIA.

“Melihat langkah Soeharto itu, Soekarno segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari berikutnya atau 13 Maret 1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin penting ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan kepada Soeharto,” tambahnya.

Surat itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa pertama, Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis. Surat semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat, pemerintah dan presiden. Kedua, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden. Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.

“Surat yang tidak banyak diketahui publik ini akhirnya tak digubris Soeharto. Semua tahu bahwa setahun setelah penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu,” pungkasnya. (Ard)

Sumber:

http://news.merahputih.com/nasional/2016/03/10/ini-dia-3-versi-surat-perintah-sebelas-maret/39110/

Salah satu Supersemar yang Palsu

 

From :  ay_samantho,

Bismillahirahmanirrahim,

  1. Bagaimana tanggapan Pak Ahmad terkait Supersemar?

Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu. Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu kini ada tiga versi versi.

Saya setuju dengan Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. “Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang bintang, padi dan kapas. Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3/2012)

  1. Apa komentar Pak Ahmad terkait kontroversi Supersemar yang menyebutkan ada empat jenderal yang menemui Soekarno, bukan tiga?

Nah inilah yang masih misterius, besar kemungkinan issue 4 orang ini benar adanya, tapi yang satu tidak masuk ke dalam istana Bogor menemui Bung Karno, melainkan menunggu di mobil di luar pagar istana Bogor. atau mungkin dia menunggu di ruangan bersama tentara pengawal di Istana Bogor yang menyaksikan bagaimana Supersemar itu dibuat/diketik secara dadakan.

Versi lain, menurut Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu : 4 orang itu: Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf dan M Panggabean.

  1. Pasalnya ada tiga versi Supersemar, bukan satu. Mantan Kepala ANRI, M Asichin menyatakan bahwa yang ketiganya adalah palsu. Bagaimana pandangan Pak Ahmad?

Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu. Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu kini ada tiga versi versi:

Versi Pertama, yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.

Versi Kedua, berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno.

Versi Ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.

Saya setuju dengan Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. “Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang bintang, padi dan kapas. Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).

Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat. Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti yang ada sekarang.

  1. Apa saja sih, rentetan kontroversi atau kejanggalan dalam Supersemar yang menyebutkan bahwa Soekarno merasa ditipu? Beliau menyebut SP 11 Maret adalah tindakan pengamanan keadaan bukan pelengseran dirinya.

Faktanya menurut Sejarawan Asvi Varman Adam,  Soekarno memberi surat lanjutan bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis.

Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tidak hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun juga soal isinya. Tiga versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secara isi memang sama, yakni perintah untuk mengamankan negara. Namun, bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?

Seperti diketahui, Supersemar telah dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si penerima, untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15 menteri yang dianggap beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta mengawasi pemberitaan di media massa saat itu, serta tentara serta menggerakkan oknum massa rakyat (yang telah terprovokasi AD waktu tu,)  untuk  melakukan dan penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh PKI atau simpatisan Sukarno yang daftarnya disediakan oleh Agen CIA.

Melihat langkah Soeharto itu, Soekarno segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari berikutnya atau 13 Maret 1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin penting ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan kepada Soeharto.

Surat itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa:

Pertama, Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis. Surat semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat, pemerintah dan presiden.

Kedua, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden.

Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.

Surat yang tidak banyak diketahui publik ini akhirya tak digubris Soeharto. Semua tahu bahwa setahun setelah penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu.

Sejarawan Asvi Warman Adam (2009) menilai Supersemar seperti blanko cek kosong yang bisa diisi semaunya oleh Soeharto. Hal ini terlihat dalam frasa “mengambil tindakan yang dianggap perlu” dalam poin perintah pertama surat itu.

Supersemar, kata Asvi, akhirnya ditafsirkan bukan hanya sebagai perintah pengamanan, namun juga pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Brigjen Amir Machmud, salah satu orang dekat Soeharto, setelah melihat surat itu menilai surat itu bernada penyerahan kekuasaan.

Jelas saja, kalau kemudian Bung Karno merasa terjebak dan tertipu oleh Jendral Soeharto dan konspirasi CIA-nya.  Karena yang terjadi kemudian, faktanya Presiden Soekarno telah dikudeta, kemudian beliau menjadi tahanan Rezim Orde Baru Suharto serta dibuat sakit parah, bahkan hanya disediakan dokter hewan untuk menangani Bung Karno di tahanan Istana Bogor dan Wisma Yasso Jakarta, sampai akhir hayatnya.

Padahal Presiden Soekarno hanya memerintahkan Jendral Soeharto untuk mengamankan chaos, (yang sebenarnya adalaah rekayasa intelejen CIA dan beberapa gelintir oknum jendral TNI-AD. Sayangnya Rekayasa ideology-social-politik-keamanan dan budaya nasional oleh agen-agen Amerika (CIA) dan Mossad serta antek-antek dalam negerinya, telah berhasil sedemikian rupa menciptakan system kemasyarakatan dan kenegaraan yang sangat menguntungkan Amerika lebih dari 35 tahun (sampai sekarang) dan merugikan NKRI, bahkan mengorbankan ratusan ribu sampai jutaaan nyawa dan nasib para pendukung, fans dan simpatisan Bung Karno, serta keluarga Bung Karno.

  1. Adakah indikasi, kalau Supersemar ini merupakan konspirasi intelijen CIA?

Ya sangat Jelas sekali, Ini konspirasi CIA dan para Pengusaha Pertambangan Yahudi Amerika-Israel, sebagaimana sudah saya katakan di atas. Untuk lebih jelasnya silah Anda/pemirsa semua bisa baca di blog saya, di:

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/09/17/sejarah-tahun-1965-yang-tersembunyi/

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/12/14/konspirasi-hebat-antara-freemasonry-lluminati-cia-dan-suharto-dan-freeport-versus-john-f-kennedy-dan-sukarno/

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/06/11/soemitro-djojohadikusumo-the-hidden-story-of-freeport/

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2011/10/27/jfk-cia-dan-freeport-indonesia/

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/12/14/konspirasi-hebat-antara-freemasonry-lluminati-cia-dan-suharto-dan-freeport-versus-john-f-kennedy-dan-sukarno/

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2011/12/23/ford-country-membangun-elite-untuk-indonesia/

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2013/02/23/mafia-berkeley-dan-pembunuhan-massal-di-indonesia/

  1. Kalau seandainya iya, siapakah tokoh yang dijadikan wayang dalam peristiwa tersebut?

Banyak sekali wayangnya. Yang paling Utama Peran wayangnya adalah Suharto sendiri, bersama beberapa kroninya di Angkatan Darat. Dalangnya adalah Konspirasi Pengusaha Amerika Jaringan Illuminati-Fremasonry yang Merngusaai Pemerintahan dan Militer USA (Amerika).

Akhir tahun 1996, sebuah tulisan bagus oleh Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah “JFK, Indonesia, CIA and Freeport.”

Lisa Pease,  mendapatkan data jika pada Maret 1965, Augustus C.Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Augustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di Negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.

Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jendral Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.

Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.

  1. Pertanyaan terakhir, apakah Supersemar itu ada?

Ada, karena faktanya ada Kudeta atau ada peralhan kekuasaan Negara RI tahun 1965,  yang itu terjadi dengan paksa dan menumpahkan banyak darah. Bahkan korbannya (yang dituduh anggota PKI atau Simpatisan PKI) sampai sekitar 3 juta orang, kata Jendral Sarwo Edi.

Tapi yang aslinya disembunyikan oleh rezim Suharto, yaitu yang berkop MBAD. Mungkin jendral M. Yusuf yang menyimpan arsip/salinannya, tapi karena pertimbangan keamanan diri dan keluarganya, M.Yusuf tak berani membuka rahasianya. Takut terancam oleh kaki tangan Rezim Suharto dan Agen CIA. (AYS/BHIn-Tu-Ika.com)

Supersemar, Alat Kudeta Halus Soeharto terhadap Sukarno?

Nasional / Jumat, 11 Maret 2016 21:35 WIB (MP/bro)

MerahPutih Peristiwa – Hari ini Jumat, (11/3) tepat 50 tahun peringatan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Sejak dikeluarkan tanggal 11 Maret 1966, keberadaan Supersemar yang asli masih menjadi misteri terbesar dalam sejarah Indonesia.

Selain dari keberadaan dari naskah asli Supersemar, kontroversi lain lahir darinya yaitu cara Supersemar itu didapatkan. Supersemar dipandang desakan terhadap Presiden Sukarno untuk berikan kekuasaan lebih kepada Soeharto. Selain itu, interprestasi Soeharto terhadap Supersemar sehingga membuatnya melakukan aksi-aksi di luar kendali Presiden Sukarno.

Pada 11 Maret 1966,  MC Ricklefs menyebut, permainan manuver halus antara Sukarno dan Soeharto-yang menghasilkan kekerasan berdarah di Ibu Kota-berakhir dengan meyakinkan untuk kemenangan Soeharto.

“Dengan kekuasaan Supersemar yang diperolehnya, Soeharto dan para pendukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tapi tak mampu berbuat apa-apa,” demikian MC Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.

Supersemar yang tersimpan di etalase arsip negara ada tiga versi. Itu yang membuat kontroversi terkait Supersemar dan menimbulkan pertanyaan keberadaan naskah asli. Versi itu menyebut surat dari Presiden Soekano untuk menunjuk Soeharto memulihkan ketertiban dan keamanan (tidak lebih dari itu), kedua menunjuk Soeharto untuk membubarkan PKI dan membersihkan sisa-sisanya, ketiga bahwa surat tersebut untuk mengalihan kekuasaan.

Ricklefs menyebut setelah Supersemar itu diterima Jenderal Soeharto, tanggal 12 Maret, PKI dan organisasi masa dilarang. Kemudian tanggal 18 Maret, Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri kabinet lainnya ditahan. Soeharto membersihkan sisa-sisa demokrasi terpimpin dan membuatnya semakin kuat.

Sekira 180 anggota MPRS berkurang akibat penahanan. Dalam situasi seperti itu, sentimen anti-Sukarno meninggkat di kalangan anggota MPRS. Soeharto kemudian mengundang MPRS untuk bersidang pada Juni-Juli 1966. MPRS meratifikasi Supersemar, melarang PKI, mengharamkan Marxisme sebagai doktrin politik, menuntut pemilu diadakan pada 1968, dan mendesak Sukarno beri penjelasan tetnagn pelanggaran susila, korupsi, dan mismanajemen ekonomi yang dilakukan pemerintahan demokrasi terpimpin dan tentang peran Sukarno sendiri dalam usaha kudeta pada 1965.

“Gelar ‘Presiden Seumur Hidup’ yang dianugerahkan MPRS pada bulan Mei 1963 ditanggalkan. Sukarno juga dilarang untuk mengeluarkan keputusan presiden,” demikian Ricklefs.

Soeharto kemudian menunjuk anggota baru parleman yang kosong akibat penahanan. Soeharto kemudian mendesak agar dilangsungkan sidang pada Maret 1967.

Suharto memiliki kekuatan sangat besar, yaitu dengan bertambannya sentimen terhadap Presiden Sukarno, penyingkiran terhadap para pendukung Sukarno dalam pemerintahan dan MPRS. Sementara itu, Presiden Sukarno semakin lemah. Tawaran dari sebagian angkatan bersenjata untuk melakukan perlawanan ditolak oleh Presiden Sukarno. Sukarno menghindari perang saudara.

Pada 12 Maret MPRS menanggalkan semua kekuasan dan gelar Sukarno serta mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Saat itu, Presiden pertama Indonesia secara de facto pensiun dengan status tahanan rumah dan diisolasi di Istana Bogor. Sukarno tetap berada di sana hinggga wafatnya pada bulan Juni 1970.

Sumber: http://news.merahputih.com/nasional/2016/03/11/supersemar-alat-kudeta-halus-soeharto-terhadap-sukarno/39167/

 

 


Wawancara Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi: Kota saya, aturan saya

$
0
0

Dedi Mulyadi melukiskan dirinya sebagai orang yang rasional. Tak peduli dianggap kafir atau raja syirik.

Terakhir kali Dedi Mulyadi muncul di surat kabar adalah ketika ditolak kedatangannya di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Rabu lalu (13/1/2016). Saat itu ia didemo ratusan orang dari Paguyuban Muslim Sunda (PMS) serta Front Pembela Islam (FPI).

Meski ada demo, acara jalan terus. Ia tetap jadi pembicara di bincang bertema “Inspiring Leaders”, yang digelar Cyrus Network dan Citra Activation. “Saya sudah biasa (didemo),” kata Bupati Purwakarta, Jawa Barat, tersebut.

Hari itu memang bukan penolakan pertama untuk Dedi. Sebab, ia identik dengan demonstrasi. Hampir tiap kehadirannya disambut spanduk: “Menolak Dedi Mulyadi si Raja Syirik dari Purwakarta”. “Padahal saya tak percaya dukun,” tuturnya tersenyum.

Siang itu, ia memakai pangsi (baju adat sunda) putih-putih bertulis Dangiang Ki Sunda, plus ikat kepala ala si Cepot, tokoh wayang golek. Pangsi adalah baju kebesarannya sejak 2003.

“Saya memiliki tujuh setel,” ujarnya kepada Fajar WH, Yandi Mohammad, Heru Triyono dan fotografer Bismo Agung dari Beritagar.id di Jin Xiang Chinese Restaurant, Bellanova Country Mall, Bogor, Jawa Barat, saat wawancara.

Makanan di hadapannya tak disentuh. Ia berulangkali memandang jam, dan telepon selulernya. Matanya sayu, setengah terbuka. Sepertinya ia lelah menempuh perjalanan dari UI ke Bogor –menghindari pendemo yang mulai merangsek masuk ke kampus.

“Saya tidak kabur. Tapi mengejar acara juga di Cirebon,” kata pria berusia 44 tahun ini.

Tidak harmonisnya hubungan Dedi dengan kelompok tertentu, seperti FPI, dimulai ketika ia gencar menghiasi Purwakarta dengan aneka patung seperti Bima dan Gatotkaca pada 2009 –periode pertamanya menjabat.

Patung-patung itu dibakar massa. Alasan ulama setempat, pendirian patung adalah cikal bakal kemusyrikan. Sementara Dedi memandangnya dari aspek budaya dan seni. “Patung macan di halaman kantor polisi kenapa tidak dipermasalahkan?” tanya Dedi.

Kontroversi berlanjut ketika ia mengaku menikahi Nyi Roro Kidul. Ia juga membuat kereta kencana untuk dikendarai sang istrinya itu, dan memajangnya di pendopo kantor. “Menikahi itu artinya menjaga dan merawat isi laut, bukan menikah betulan,” ujarnya.

Belakangan, Dedi bahkan dituding meninggalkan salam syariat Islam: Assalaamu Alaikum, dan menggantinya dengan salam adat Sunda: sampurasun.

Puncak polemik sampurasun terjadi ketika pendiri FPI Rizieq Shihab berceramah di Purwakarta, Senin (15/11/2015). Rizieq mempelesetkan sampurasun menjadi campur racun untuk menyindir. Maksud Rizieq, sampurasun yang disampaikan Dedi sama halnya meracuni akidah umat.

Terlepas dari itu, salam sampurasun dibuat mendunia oleh Dedi ketika memperkenalkannya di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, Agustus lalu. Sebelum pidato di acara International Young Leaders Assembly (IYLA) itu, Dedi mengucapkan salam itu di depan 700 peserta dari 90 negara.

“Di sana saya menyampaikan Indonesia itu mempunyai Islam Nusantara yaitu Islam berbasis budaya, dengan kebudayaan pada wilayah masing-masing,” kata Dedi.

Kepada Beritagar.id ia bicara banyak soal tudingan syirik dan visi Purwakarta ke depan. Tapi ia masih mengatakan tidak soal kemungkinannya maju sebagai calon Gubernur Jawa Barat. “Kalau memang maju, kamu yang pertama tahu,” katanya, tertawa. Berikut petikan wawancaranya.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ketika diwawancara Beritagar.id di Jin Xiang Chinese Restaurant, Bellanova Country Mall, Bogor, Rabu lalu (13/1/2016)
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ketika diwawancara Beritagar.id di Jin Xiang Chinese Restaurant, Bellanova Country Mall, Bogor, Rabu lalu (13/1/2016)
© Bismo Agung /Beritagar.id

Mendapatkan begitu banyak penolakan di wilayah Jakarta dan sekitarnya tapi Anda masih berani datang (ke Depok)?
Kasihan panitia. Saya niat baik memenuhi undangan, masa tidak jadi. Beberapa seminar yang saya hadiri terkadang didemo, tapi yang ini (di Universitas Indonesia) memang lebih ramai.

Apakah kedatangan Anda masuk kategori tidak aman, karena tampaknya perlu pengawalan ketat dari pihak kepolisian?
Tidak juga. Tapi pengawalan saya saat ini naik kelas. Harusnya level bupati dikawal polisi berpangkat AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) saja, tapi sekarang harus pakai Kombes (Komisaris Besar Polisi: tingkat ketiga perwira menengah di polisi) ha-ha.

Anda nyaman dianggap sebagai raja syirik? Tidak takut dengan teror yang terus menghantui…
Biar saja. Kalau soal teror saya sudah biasa. Sejak kecil, ketika menjadi penggembala domba juga ada peristiwa intimidasi atau penghadangan dari penggembala lain. Ya, terkadang hanya karena saling ledek, tapi saya bisa melewatinya.

Sejauh apa teror yang Anda terima belakangan ini?
Saya pernah dicegat di tengah jalan, tapi saya tidak bisa cerita. Tapi yang pasti saya menghadapinya dengan senyuman. Karena merasa dilindungi oleh negara, yang saya rasakan masih hadir.

Yang justru menjadi perhatian saya adalah ada akun yang selalu menyerang lewatpostingannya. Tapi itu hal biasa, kadarnya masih bisa ditoleransi.

Tapi bagaimana sikap Anda terhadap terhadap kaum antitoleransi di kabupaten yang Anda pimpin? Bahkan dulu patung-patung yang Anda dirikan sampai dirobohkan…
Kejadian itu saya pahami sebagai gejolak politik lokal jelang pilkada. Ya, pemahaman masing-masing saja, asalkan satu golongan yang tidak sepakat dengan golongan lainnya tidak saling mengganggu. Jika itu terjadi, tugas negara yang mencegah, saya akan tegas.

Sebenarnya yang tidak menyukai Anda ini kelompok yang mana? Apakah mereka yang dulu merobohkan patung-patung itu?
Beda, tapi masih itu juga lingkarannya. Saya sebenarnya tidak ada masalah, karena hak orang untuk menjadi berbeda, asal tidak melanggar hukum. Tujuan saya mendirikan patung itu pada 2009 adalah bagian dari konsep pembangunan Purwakarta yang berbasis budaya.

Kenapa konsep menghidupkan kearifan lokal itu berkembang jadi tuduhan syirik?
Tuduhan itu penilaian orang, terserah. Sebagai bupati, saya hanya berusaha melaksanakan kewajiban konstitusional saya ke masyarakat. Kami ingin maju tanpa meninggalkan budaya, dan sama sekali tidak bermaksud merusak Islam.

Rizieq Shihab, pendiri Front Pembela Islam (FPI) menuding Anda sebagai bupati yang percaya takhayul, mengarah ke syirik dan bukan memasyarakatkan sampurasun, tapi malah campur racun. Komentar Anda?
Saya ini rasional, bukan irasional. Saya tidak percaya dukun. Segala tindakan saya itu berdasarkan aspek pikiran dan hati. Salam sampurasun adalah budaya leluhur kami, saya menghargainya. Terdiri dari dua kata: Sampuring dan Ingsun. Maknanya mengajak orang berbuat kemuliaan.

Pertanyaannya begini. Kalau saya hormat kepada bendera merah putih apakah juga syirik? Saya rasa tidak, karena itu bentuk penghormatan perjuangan kepada pahlawan bangsa. Sama halnya dengan budaya, saya menghormati dan menghargai budaya saya. Bisa berupa patung, sejarah atau literatur budaya.

Anda dinilai sudah keluar jalur ketika menyatakan telah menikahi Nyi Roro Kidul? Bahkan Anda membuat kereta kencana untuk dikendarai dia dan memajangnya di pendopo kantor…
Kalau itu benar, yang pertama marah adalah istri saya. Coba tunjukkan surat nikah saya dengan Nyi Roro Kidul, ada tidak? Pernyataan itu adalah ungkapan cinta atas kekayaan laut. Nah, Nyi Roro Kidul kan disimbolkan sebagai kekuasaan dan keindahan laut. Menikahinya memiliki maksud kita harus menjaganya.

Kebijakan membuat kereta kencana dan dipertontonkannya ke publik bukankah justru memicu silang pendapat?
Itu adalah persepsi. Menurut saya kereta ini adalah pusaka dan simbol terhadap karakter manusia, yang juga bagian dari budaya. Ada empat karakter manusia yang diwakilinya: ketajaman pendengaran, penglihatan, penciuman, dan pengucapan.

Apakah benar cerita soal kereta itu diberi kemenyan dan mengaraknya setahun sekali untuk acara budaya?
Kereta ini pusaka, sama dengan bendera pusaka, yang dikibarkan pada upacara 17 Agustus, setahun sekali. Untuk menjaga kesakralannya ya diarak. Kalau wewangian yang saya berikan adalah untuk rasa nyaman saja. Coba bayangkan kalau mobil kita bau, bagaimana rasanya? Tidak enak.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ketika diwawancara Beritagar.id di Jin Xiang Chinese Restaurant, Bellanova Country Mall, Bogor, Rabu lalu (13/1/2016)
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ketika diwawancara Beritagar.id di Jin Xiang Chinese Restaurant, Bellanova Country Mall, Bogor, Rabu lalu (13/1/2016)
© Bismo Agung /Beritagar.id

Sebenarnya bagaimana pandangan Anda soal agama dan kearifan lokal?
Saya memandang Islam itu universal, yang menghargai dan bersikap arif terhadap tradisi lokal. Keuniversalan Islam terhadap budaya lokal itu membuat proses transformasi masyarakat tidak tercerabut dari akarnya. Contoh, menutup aurat itu adalah ajaran agama, nah cara berbusana untuk menutup aurat itu adalah budaya. Sudah pasti cara berpakaian masing-masing negara berbeda.

Kearifan lokal dalam hubungannya dengan pakaian itu Anda terapkan juga ke anak buah? Seperti Anda memakai pangsi putih-putih plus ikat kepala ala si Cepot…
Tidak diharuskan, tapi disarankan, asalkan mereka berpakaian yang bernilai kultur dan itu bebas bentuknya, sesuai selera. Kalau saya sejak 2003 sudah mengkampanyekan pakaian itu (pangsi). Dulu saya pakai juga setelan hitam-hitam, karena banyak keliling desa, kalau pakai putih bisa kotor. Sekarang disesuaikan karena banyak keliling kampus.

Kenapa memilih warna putih dan hitam?
Putih itu kan lambang air dan hitam lambang tanah dan besi. Singkatnya, dua perpaduan warna itu mengandung gagasan keselarasan. Saya yang mendesain sendiri baju ini, dan yang menjahit adalah mang Ade, langganan saya.

Nilai nilai budaya kesundaan yang Anda usung ini kabarnya hanya gimik saja, sementara program pembangunan yang Anda lakukan justru tidak berjalan…

Silakan dicek ke Purwarkarta. Tanya pengusaha di sana. Lihat infrastrukturnya, pariwisatanya, serta pelayanan publik dan kesehatannya. Anda tahu berapa gaji Ketua RT (Rukun Tetangga) di wilayah saya?. Gajinya mencapai Rp 700 ribu per bulan, sementara gaji kepala desanya Rp 4 juta. Ini terbesar di Jawa Barat.

Tapi di mana konsep kebudayaan itu masuk di dalam pembangunan yang Anda maksud?
Ya infrastrukur yang berkebudayaan. Maksudnya adalah bangunan sekolah, kantor pelayanan publik seperti puskesmas juga ada nilai budayanya.

Perwujudan kebudayaan ini sebagai alat untuk mencapai pembangunan. Apa tujuannya?
Untuk membangun identitas. Dari identitas itu implikasi ekonominya bisa sangat luas. Lihat Cina yang identik dengan kungfu dan budayanya. Kita jangan labil, berubah-berubah, karena mengikuti budaya orang. Yang ada kita tidak dapat apa-apa kecuali jadi pembeli dan pengikut. Kita harus memulai membangun karakter kebudayaan secara kuat agar bangsa ini produktif.

Apakah konsep itu sudah terasa dampaknya di Purwakarta?
Ada. Misalnya kuliner sate maranggi, sebagai identitas Purwakarta. Per hari, untuk saat ini bisa menghabiskan dua ton daging. Bayangkan. Angka ini signifikan.

Lho, bukannya sate maranggi memang dari dulu ramai?
Lebih ramai sekarang. Tidak hanya satu atau dua tempat saja, tapi banyak pendatang baru. Banyak sekarang ini orang kaya baru, dan setelah saya cek pajaknya sudah tinggi-tinggi karena pengusahanya beli vila di mana-mana. Ada regulasi dari kepala daerah yang berjalan dan itu memberikan efek ekonomi.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ketika diwawancara Beritagar.id di Jin Xiang Chinese Restaurant, Bellanova Country Mall, Bogor, Rabu lalu (13/1/2016)
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ketika diwawancara Beritagar.id di Jin Xiang Chinese Restaurant, Bellanova Country Mall, Bogor, Rabu lalu (13/1/2016)
© Bismo Agung /Beritagar.id

Ada kepala daerah yang sukanya membuat taman, blusukan, ngedalang, menertibkan pedagang atau bahkan marah-marah. Kalau Anda lebih identik dengan yang mana?
Saya semuanya. Dalang iya, bikin taman iya, bangun rumah adat iya, bangun sekolah terintegrasi iya dan juga infrastruktur jalan. Bahkan saya membuat lagu yang dinyanyikan oleh Charly (van Houten). Semua ide-ide ini datang alamiah, dan spontan. Jika ada yang harus dibuat atau dibangun, ya saya lakukan tidak usah lama-lama.

Apakah yang Anda lakukan itu mampu memangkas banyak tahapan birokrasi?
Birokrasi tetap ada, tapi kecepatan bekerjanya yang ditambah. Kalau mengandalkan struktur birokrasi di Purwakarta terlalu berat. Birokrasi kan kuncinya satu, yang penting honornya jangan dipotong.

Dalam bayangan Anda, ingin dibuat seperti apa Purwakarta ke depan?
Kami bertekad membangun branding dengan tetap mempertahankan indentitas sebagai orang desa yang berbudaya. Jadi kota sebagai penyedia jasa dan pelayanan, sementara desa sebagai tempat produksi. Saya sampaikan itu ketika pidato di acara International Young Leaders Assembly (IYLA) di Markas PBB di New York beberapa waktu lalu. Anda lihat Cina. Mereka contoh keberhasilan branding budaya itu.

Sudah dua periode Anda menjadi bupati, menurut Anda branding Purwakarta berhasil?
Yang jelas kini gagasan-gagasan tradisional telah dilirik kota lain. Kalau dulu kan malu bicara soal tradisi.

Beberapa pihak mengatakan kontroversi yang dilakukan Anda untuk mendongkrak nama Anda dan juga Purwakarta?
Begini, sudut pandang negara ini konstitusi. Jadi apa yang dilakukan saya sebagai bupati landasannya adalah undang-undang. Selama saya tidak melanggar undang-undang, saya akan melakukan apa yang jadi tujuan Purwakarta. Kota saya, ya aturan saya.

Tapi misalnya soal kebijakan larangan jam apel di atas jam 21.00 yang merupakan bagian dari program “Desa Berbudaya”. Bukankah itu akan menimbulkan kontroversi lagi?

Kita ini harus bangun bangsa yang produktif. Itu harus dimulai dari pola tidur yang baik. Anak sekolah bagaimana mau produktif kalau tidurnya tengah malam. Padahal paginya harus bangun jam empat atau lima karena jam enam sudah masuk sekolah. Aturan ini mengajak untuk hidup sehat.

Darimana Anda mengadopsi kebijakan ini?
Jujur dari luar negeri. Di sana anak-anak ada di bawah pengawasan orangtuanya. Di Indonesia? Anak anak di bawah 17 tahun begitu bebas pacaran, membeli rokok, minuman, naik mobil dan motor. Sebab itu orangtua di Purwakarta saya kasih buku kendali anak.

Bagaimana sistem pengawasannya?
Ada CCTV (Closed Circuit Television) dan melalui buku kendali anak itu. Di buku itu dicatat sang anak bangun dan tidur jam berapa yang harus ditandatangani. Buku ini di bawah dinas pendidikan. Artinya orangtua punya catatan perjalanan hidup sang anak, termasuk soal makan.

Sampai soal makan diatur, apakah tidak berlebihan?
Gizi harus terkontrol. Buku ini untuk mengecek mulai dari kesehatan dan tingkat kenakalan. Di Purwakarta ada aturan setiap seminggu di malam Jumat si anak harus makan telor dan minum susu satu gelas. Kemudian yang miskin harus makan daging dua kilo gram per bulan. Anggaran yang tersedia lebih dari Rp15 miliar.

Apakah pemerintah daerah harus sedetail itu untuk turun tangan?
Harus sampai teknisnya. Di Australia itu orang bikin dapur saja harus izin wali kota. Dapurnya menghadap mana, jendelanya ada berapa, di mana meletakkan kompornya. Di Indonesia? Kencing saja bisa di mana-mana dan bangun rumah seenaknya.

Masyarakat tidak merasa terintervensi dengan kebijakan Anda ini?
Waktu awalnya iya. Tapi itu kan biasa. Misalnya soal bangun pagi. Beberapa warga mengeluh pemakaian gas jadi banyak karena anak minta air hangat. Tapi cerita saat ini berbeda. Masyarakat merasa anak-anaknya jadi sehat, tidak rewel, karena tidur jam 21.00.

Anda disebut-sebut bakal bertarung untuk calon gubernur Jawa Barat?
Saya tidak bisa mengomentari itu, karena bukan dukun.

Tapi Anda berambisi jadi Gubernur Jawa Barat?
Segala sesuatu itu terukur. Kalau elektabilitas rendah buat apa. Bagi saya kerjakan tugas dengan baik saja sebagai bupati, fokus. Persoalan besok ada rencana A, B atau C, ya itu hasil dari kerja keras yang kita lakukan.

Sampai sekarang partai Anda (Golongan Karya) belum menawarkan untuk maju? Atau mungkin dari partai lain…
Belum ada sampai hari ini.

Bisa diceritakan awal mula kenapa Anda tertarik ke dunia politik?
Sejak SD saya memang suka menjadi ketua murid. Berlanjut kemudian menjadi Ketua Umum HMI Cabang Purwakarta, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), lalu bupati.

Ketika kecil, selain menggembala domba, saya suka mendengarkan radio dan kebetulan bapak juga suka dengan politik. Bapak ini tentara susah. Oleh mata-mata Belanda ia diracun. Pulangnya muntah darah, dan sakit. Saya sering dikisahkan sepak terjang politisi dari tentara bernama Jenderal Muhammad Jusuf. Sebab itu saya jadi tertarik politik, dan bercita-cita jadi tentara.

Siapa yang menumbuhkan nilai-nilai kesundaan pada Anda?
Alamiah, malah saya mah baru. Sejak wakil bupati saya mulai concern pada budaya. Tapi waktu kecil latar belakang saya sudah Sunda. Misalnya nonton wayang. Nah pengalaman itu masuk ke dalam alam pikiran saya.

Apa mimpi terbesar Anda?
Mewujudkan ide-ide yang ada di pikiran. Saya punya mimpi membentuk masyarakat yang kuat dan otonom. Kemudian membuat bahasa kita dihormati -dipakai oleh warga dunia, makanan kita digandrungi, berikut fashion, atau keseniannya. Itu lah peradaban. Ini mimpi saya sebagai orang Purwakarta, juga Jawa Barat dan orang Indonesia.

Mimpi yang Anda sampaikan itu seperti tahapan karier politik: dari bupati, gubernur, lalu menjadi presiden…
Ha-ha itu Anda yang berdoa. Bukan saya.

Sumber:

https://beritagar.id/artikel/bincang/wawancara-bupati-purwakarta-dedi-mulyadi-kota-saya-aturan-saya


Letkol Laut (P) Salim: Tuntutlah Ilmu ke Indonesia, Bukan Negeri China

$
0
0

Keterangan Foto: Bung Karno sudah canangkan Indonesia menjadi pusat peradaban dunia

Maritimnews, Jakarta – Pamen TNI AL yang berdinas di Staf Asops Panglima TNI Letkol Laut (P) Salim dalam uraiannya mengemukakan bahwa Hadist Rasulullah Saw yang menyebutkan “Uthlubul ilmi walaw fi shin” atautuntutlah limu walaupun sampai ke negeri China” merupakan penafsiran yang keliru. Karena kata “shin” yang dimaksud dalam hadist tersebut bukanlah negeri China melainkan Nusantara yang kini bernama Indonesia.

Menurut Salim berdasarkan penafsirannya, Shin merupakan negeri yang berperadaban maju. Hadist itu disebutkan Rasulullah  di masa kenabiannya antara tahun 610 -633 masehi (usia kenabian Rasulullah 23 tahun). Dia berpendapat bahwa negeri yang berperadaban maju di masa itu bukan China melainkan Nusantara.

Pasalnya, di masa itu China sedang berkecamuk perang saudara besar-besaran diantara 5 dinasti yaitu Sui, Chen, Jian, Jin dan Tang yang telah memporak-porandakan seluruh dimensi dalam aspek kehidupan bermasyarakatnya. Sedangkan di belahan bumi lainnya juga masih mengalami keterbelakangan dan terus dilanda perang saudara.

Namun, ada sebuah negeri yang memiliki kriteria gemah ripah loh jinawi di mana iklim tropis dan bersahabat dilindungi oleh langit biru yang ceria serta dihiasi oleh banyak mahkluk indah berwarna-warni beterbangan, dilengkapi oleh dataran  hijau yang subur kaya hayati maupun nabati disertai dengan terbentang luasnya lautan nan biru penuh isi. Itulah negeri yang merupakan kepingan surga yang jatuh serta mendapat berkah dari langit maupun bumi. Dan di situlah Negeri Shind.

Sambungnya, Hadits ini disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa kenabian Beliau dimana kondisi di muka bumi ini sedang dikonsumsi oleh demoralisasi secara masif yang bersifat jahilliyah (kebodohan-red) yang dapat berakhir kepada kemunduran bahkan kehancuran peradaban kemanusiaan itu sendiri.

“Sudah sepatutnya Beliau mereferensikan umat manusia untuk mengambil ilmu dari negeri-negeri yang maju dan layak dijadikan uswatun hasanah (contoh kebaikan-red),” ungkap Salim.

Lebih lanjut, lulusan AAL tahun 1995 itu menyebutkan sebuah wilayah yang kita kenal sekarang dengan sebutan Indonesia ini, pada era tersebut didominasi oleh sebuah kerajaan besar yang mendunia. Yang apabila disebutkan namanya niscaya akan menggetarkan hati lawan maupun kawan.

“Negeri ini elok dan permai tetapi jangan sekali-kali meremehkannya, serentak para ksatrianya akan meluluhlantakkan para musuh,” ujar Salim mengutip beberapa bagian buku Negeri Atlantis yang ditulis oleh Prof. Arysio Santos.

Julukan Lumbung Pangan Dunia pun tersematkan karena pencapaian keakbarannya dalam swasembada pangan, dengan disertai masyarakatnya yang taat hukum, berperadaban maju, tertata dalam bernegara dan sudah tentunya sebagai penguasa maritim dunia.

“Kerajaan ini dikenal dengan sebutan Kerajaan Sriwijaya dan era keemasan wilayah Negeri Shin ini dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit yang tidak kalah dahsyatnya,” tegas Pamen TNI AL yang pernah berdinas di Pusat Kajian Maritim (Pusjianmar) Seskoal tersebut.

Belum lagi, ulasnya, ketika membicarakan masa-masa jauh sebelum keemasan kerajaan-kerajaan itu yang terpampang dalam relief-relief candi yang ditemukan di Indonesia. Semuanya merujuk pada tingginya peradaban Nusantara masa lalu.

“Bila kita perhatikan dengan seksama di relief-relief yang terdapat di candi-candi yang ada di Nusantara, terpahat jelas bahwa peradaban leluhur kita semua adalah sangat tinggi. Manusia dari seluruh penjuru dunia datang untuk belajar dan tunduk kepada nenek moyang kita. Salah satu contohnya pada relief Candi Penataran, yang menyebutkan banyak peradaban dari luar datang untuk ditatar atau digurui,” bebernya.

Bukti lainnya ialah Situs Gunung Padang dan temuan-temuan lain yang belum terdeteksi. Hal itu semakin meyakinkan Pamen TNI AL asal Surabaya itu untuk membuktikan bahwa bangsa ini merupakan pusat peradaban dunia.

“Sejarah peradaban bangsa kita lebih tua dan jauh lebih maju dari peradaban manapun di dunia,” tegasnya.

Jauh sebelum Letkol Laut (P) Salim lantang berbicara soal itu saat ini, para founding fathers NKRI seperti Bung Karno dan Tan Malaka sudah kerap memberikan signal serupa. Bung Karno dalam beberapa pidatonya sudah menyebutkan bahwa Indonesia merupakan mercusuar dunia. Dengan falsafah Pancasilanya yang dia gagas bersama Panitia 9, Bung Karno telah mendengungkan negara Indonesia akan menjadi mercusuar dunia yang menerangi dari kegelapan akibat sistem yang diterapkan dan dipaksakan oleh salah satu kaum.

Sama halnya dengan Tan Malaka, melalui serentetan pengalamannya berkeliling di berbagai belahan bumi, pahlawan asal Payakumbuh, Sumatera Barat itu menyebutkan bahwa Indonesia merupakan Laboratorium dunia atau pusat keilmuan dunia. Selanjutnya Tan Malaka juga menyerukan untuk usir China, Arab, India, Belanda dan sebagainya dari tanah air Indonesia. Namun, bukan orangnya yang diusir melainkan sistem dan kebudayaannya yang bertentangan dengan filosofi kita.

Alhasil, figur ini menjadi incaran internasional kemudian karena dianggap berbahaya buat hegemoni mereka. Tan Malaka pun akhirnya tidak jelas keberadaanya hingga saat ini.

Setidaknya hal itu menjadi penting untuk membangkitkan kepercayaan diri bangsa yang telah sakit kronis ini dari berbagaistigma yang disematkan oleh asing termasuk China. Terlebih dalam menjalankan visi poros maritim dunia yang sejatinya merupakan visi yang melawan dunia, laiknya Bung Karno dan Tan Malaka dahulu.

“Di saat ini orang hiruk pikuk memperbincangkan siapa yang berhak memimpin bangsa, lupa bahwa kita keturunan bangsa yang peradabannya tinggi. Inilah karakter bangsa kita yang mudah diadu domba dibilang kita keturunan orang hebat malah dibuat mainan oleh bangsa lain. Mari kita lawan sistem itu dengan kembali ke Pancasila dan UUD 45,” pungkas Salim. (TAN)

Sumber:

http://maritimnews.com/2016/03/14/letkol-laut-p-salim-tuntutlah-ilmu-ke-indonesia-bukan-negeri-china/

 


Zionisme, Palestina, Judaisme

$
0
0

Radar Banten, 14 Juli 2014 Isu Palestina dan Israel, tak dapat diingkari, memang pelik dan tak kunjung usai. Tak lain karena isu ini seringkali menyulut konflik dan kebencian, singkatnya: perang da…

Source: Zionisme, Palestina, Judaisme

Anthony_Dawton_Girl_in_the_Middle_of_her_House_Gaza_City__940

Radar Banten, 14 Juli 2014

Isu Palestina dan Israel, tak dapat diingkari, memang pelik dan tak kunjung usai. Tak lain karena isu ini seringkali menyulut konflik dan kebencian, singkatnya: perang dan pertumpahan darah, selain juga turut melibatkan tenaga dan pikiran Negara-negara lain di dunia ini. Juga, haruslah diakui, Negara Israel saat ini adalah buah dari perjuangan ideologi yang disebut sebagai “Zionisme”. Sukses Zionisme adalah buah persekutuan, lebih tepat disebut sebagai perselingkuhan, antara kaum Zionisme Yahudi dengan imperialisme Barat. Namun di sini perlu ditekankan bahwa Zionisme sesungguhnya adalah ideologi sekular, meski seringkali menggunakan klaim religius, yang secara kebetulan memang sangat dramatis dan sukses mencapai tujuannya pada abad ke-20.

Zionisme Versus Judaisme

Tambahan lagi, sebagaimana ditegaskan Yakov Rabkin, Judaisme dan Zionisme adalah dua hal yang saling bertentangan. Bahkan menurutnya Zionisme telah mencemari dan merusak jantung teologi Judaisme itu sendiri. Bagi Yakov Rabkin, Zionisme tak ubahnya separatisme yang mengatasnamakan Yahudi, namun kenyataannya malah menodai spirit Judaisme. Yakov Rabkin menyatakan, “Ancaman Zionislah yang mendatangkan bahaya terbesar, karena berusaha merenggut komunitas tradisional dari hak asasinya sendiri, baik dalam Diaspora maupun Eretz Israel, yang menjadi target cita-cita messianiknya. Zionisme menentang seluruh aspek Yudaisme tradisional: dalam konsep yang diajukannya tentang identitas Yahudi modern dan nasionalis; dalam sikapnya yang merendahkan komunitas Yahudi tradisional dibandingkan dengan gaya hidup baru yang dipromosikannya; dan sikapnya terhadap konsep agama tentang Diaspora dan penyelamatan jiwa. Ancaman Zionis menjangkau setiap aspek dalam masyarakat Yahudi. Ancaman itu tanpa henti dan kian luas. Karenanya, zionisme harus berhadapan dengan oposisi yang tak kenal kompromi”. (Lihat Jurnal al Huda Volume VI, Nomor 16, 2008, Hal. 9-18).

Ia juga mengingatkan kita bahwa, “para Zionis bukan kaum Yahudi pertama yang menduduki Palestina. Kehadiran kaum Yahudi di Tanah Israel terus mengalir sejak dihancurkannya Temple (Kuil). Old Yishuv, juga sejumlah pemukiman Yahudi taat yang terkenal dalam sejarah, sudah ada di Yerusalem dan beberapa kota Palestina yang lain, ketika Zionis pertama tiba lebih dari seratus tahun yang lalu. Faktanya, penduduk lama Palestina, bangsa Arab dan Yahudi, sulit sekali diasosiasikan dengan apa yang disebut “tanah tanpa rakyat” yang didengungkan oleh para Zionis yang mengklaim diri sebagai “rakyat tanpa tanah.” Para Zionis tiba di sebuah wilayah yang selama berabad-abad telah dihuni oleh Muslim, Yahudi dan Kristen yang hidup berdampingan dalam damai. Tapi di mata ideologi Zionisme, Tanah itu kosong. Zionis bukan hanya mengabaikan bangsa Arab, tapi juga nyaris tak peduli pada kaum Yahudi yang taat. Mayoritas Yahudi Sephardic bergabung dengan tata ekonomi masyarakat Arab. Yahudi Ashkenazim yang sama salehnya juga telah menata kehidupan mereka dalam struktur masyarakat yang saling bantu dan penuh toleransi”. (Ibid)

Dan, seperti sama-sama kita tahu, ideologi zionisme ini disusun dengan sasaran jelas, sebagaimana diakui oleh penggagasnya, Theodore Herzl: “membentuk sebuah negara Yahudi”. Hasilnya, dalam jarak rentang waktu 50 tahun sejak Kongres Zionis pertama di Basel, Swiss, tahun 1897, negara Yahudi, yang diberi nama Israel, itu berdiri pada 14 Mei 1948, dengan restu Ingris dan Abdul Aziz dari klan Saud Saudi Arabia yang saat ini keturunannya menjadi penguasa Saudi Arabia. Dalam pandangan kelompok Yahudi (yang sesungguhnya kelompok sekuler itu), istilah Zionisme dinisbahkan kepada sebuah bukit bernama Zion di Jerusalem. Inilah klaim religius yang sengaja mereka gunakan demi mendapatkan legitimasi dari mayoritas penganut Yahudi di dunia, meski seperti yang akan kita lihat, tidak semua orang Yahudi setuju dengan Zionisme. Istilah zionisme itu sendiri kemudian identik dengan Jerusalem.

Penggunaan klaim religius tersebut setidak-tidaknya memang menuai untung dan berguna sebagai retorika politik. Sebab, bagi para penganut dan ras Yahudi, istilah Zion memang mengandung makna religius, dan memiliki akar sejarah yang panjang, juga tentu saja memiliki landasan tekstual dalam kitab suci dan dalam mitos serta catatan-catatan sejarah mereka. Tepat, dalam konteks inilah, seperti terbukti, telah menginformasikan kepada kita betapa lihainya kaum Zionis yang sebenarnya sekular tersebut menggunakan istilah “Zionisme” yang mengandung makna sakral untuk menamai gerakan mereka, sehingga mampu menarik banyak dukungan orang Yahudi di seluruh dunia, utamanya dari orang-orang Yahudi di Eropa dan Amerika, lebih khusus lagi yang memiliki pengalaman buruk dengan dunia modern Eropa di era Perang Dunia Kedua, semisal di Jerman era Hitler.

Ragam Faksi dan Golongan

Akan tetapi, penting untuk diketahui, bahwa respon keagamaan di kalangan Yahudi sendiri terhadap Zionisme dan negara Israel memiliki banyak varian:

Pertama, kelompok penentang keras Zionisme, seperti The Haredim Movement dan Neturei Karta. Kelompok Haredim ini memandang bahwa tanah Israel memang dijanjikan Tuhan untuk mereka, di mana tanah tersebut kemudian dicabut oleh Tuhan dari mereka karena ketidakpercayaan atau pengingkaran orang-orang Yahudi sendiri terhadap perjanjian dengan Tuhan. Di sini, dikatakan misalnya, jika Yahudi menaati Taurat, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Sedangkan orang-orang Yahudi Neturei Karta memandang bahwa negara Israel adalah produk dari Zionisme tak bertuhan (Godless Zionism) alias orang-orang ateis yang mengklaim diri sebagai penganut dan keturunan Yahudi. Orang-orang Yahudi Neturei Karta adalah kelompok anti-Zionis, orang-orang Yahudi ultra-ortodoks, yang tidak mengakui negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi ini. Kelompok ini mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan internasionalisasi Kota Jerusalem.

Kedua, kutub dan kelompok keagamaan Yahudi yang berlawanan dengan kelompok Haredim dan Neturei Karta, seperti Gush Emunim. Berbeda dengan Neturei Karta dan Haredim, kelompok ini memberikan biaya kepada para pemukim Yahudi di Tepi Barat, setelah kemenangan Israel dalam perang tahun 1967, yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel itu. Mereka juga menyatakan bahwa mereka kembali ke area tertentu untuk mempromosikan kehidupan Yahudi. Nah, menurut mereka, cara ini akan mempercepat kedatangan Sang Messiah, atau yang dalam bahasa Arab disebut sebagai al Masih.

Dan Ketiga, adalah orang-orang Yahudi yang dapat dikatakan sebagai kelompok di antara kedua kutub tersebut, yaitu kelompok-kelompok Yahudi yang memberikan dukungan kepada negara Israel, tetapi tidak melihatnya dari sudut keagamaan. Pendirian negara Israel, menurut mereka, bukanlah tanda-tanda akan datangnya Sang Messiah. Namun, mereka mendukung pemukiman Yahudi dan menentang pengembalian wilayah itu kepada Palestina.

Selanjutnya, di antara orang-orang Yahudi kelompok tengah ini adalah orang-orang Yahudi yang disebut sebagai “Mainstream Religious Zionists”, yang salah satu tokohnya adalah Rabbi Meimon (1875-1962) yang pernah menyatakan bahwa “Negara Ibrani harus didirikan dan dijalankan sesuai prinsip agama Ibrani, yakni Torah Israel. Keyakinan kita sudah jelas: sejauh yang kita, para penduduk, memahaminya, agama dan negara saling membutuhkan satu sama lain” (Lihat Pilkington, Judaism, halaman 249-250).

Kutub kelompok Yahudi lain yang terbilang sangat keras dalam klaim keagamaan, misalnya, diwakili oleh kelompok Kach, bentukan Rabbi Meir Kahane. Inilah kelompok Yahudi garis keras yang sangat terkenal ketika salah seorang aktivisnya, Yigal Amir, membunuh Yitzak Rabin, pada 4 November 1995. Yigal Amir sendiri adalah mahasiswa Universitas Bar Ilan dan aktivis kelompok sayap kanan Eyal, sebuah kelompok garis keras yang mengikuti ajaran Meir Kahane. “Saya bertindak sendiri atas perintah Tuhan, dan saya tidak menyesal,” tandas Yigal Amir, setelah menembak Yitzhak Rabin kala itu. Amir mewakili ekstremis Yahudi, yang menentang penyerahan wilayah Tepi Barat ke Palestina. Sebab, sesuai ajaran Rabbi Meir Kahane, Tepi Barat merupakan inti dari Eretz Israel yang sudah dijanjikan oleh Tuhan dan khusus diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Benarkah demikian? Ternyata tidak semua orang Yahudi sepakat dengan klaim Rabbi Meir Kahane itu.

Negara Rasialis

Kita juga tidak buta ketika pada kenyataannya istilah “Jewish State” memang menunjukkan negara Israel merupakan negara yang rasialis. Karena itulah, di antara cendekiawan Yahudi kemudian banyak yang menentang negara Israel, misalnya saja Dr. Israel Shahak, tak lain karena sifat-sifat agressif dan diskriminatifnya Negara Israel. Dr. Israel Shahak mencatat: “Dalam pandangan saya, Israel sebagai negara Yahudi membawa bahaya tidak saja bagi dirinya sendiri dan bagi warganya, tetapi juga bagi semua bangsa dan negara lain, baik di Timur Tengah maupun di luarnya.”

Dr. Israel Shahak menyebut contoh, bagaimana sampai tahun 1993 Partai Likud menyetujui usul Ariel Sharon agar Israel menentukan perbatasannya berdasarkan Bible. Padahal, bagi Zionis maksimalis, wilayah Israel Raya (Eretz Yizrael) itu meliputi: Palestina, Sinai, Jordan, Suriah, Lebanon, dan sebagian Turki. Shahak juga menguraikan berbagai sikap diskriminatif Israel terhadap warga non-Yahudi (Lihat Israel Shahak, Jewish History, Jewish Religion 1999:2, London, Pluto Press, 1994, halaman 2, 10).

Tak hanya Dr. Israel Shahak, Roger Friedland dan Richard Hect, dalam bukunya, To Rule Jerusalem, menyebutkan bahwa sejak awalnya Yahudi memang tidak pernah sepakat terhadap Zionisme. Para penentang Zionisme ini beralasan bahwa Judaisme adalah agama, dan bukan satu bangsa. Sebagian besar Yahudi religius yang mengunjungi Jerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara sekular dan demokratis bagi Yahudi adalah satu ‘anathema’ atau barang haram. Dengan demikian, motif dan ideologi zionisme memang murni sekular, dengan membajak klaim religius demi mendapatkan legitimasi. (Sulaiman Djaya)



Menggugat Sukarno dan Sejarah Yang Belok Kanan

$
0
0

11 March 2016

belok

AKHIR- akhir ini, ada suasana baru mengembirakan yang tengah tumbuh di tengah gerakan kiri kaum muda Indonesia. Suasana baru ini adalah mulai tumbuhnya minat dan hasrat yang menyala untuk membahas dan mengedepankan gagasan sosialisme a la Indonesia yang dipelopori oleh pendiri Indonesia, Sukarno. Sebagian dari tumbuhnya antusiasme terhadap Sukarno tampil dari pembicaraan tentang hal-hal permukaan seperti wibawa, ketegasan maupun jargon-jargon revolusionernya. Sebagian yang lain mulai mengarah pada hal yang substansial berkaitan dengan saripati gagasannya, yakni pembacaan tentang situasi Indonesia berdasar pada sudut pandang materialisme historis, materialisme dialektika dan rumusan sosialisme dalam konteks keindonesiaan.

Semua dari gagasan yang hadir di ruang publik ini memperlihatkan dukungan dan kecintaan atas ajaran-ajaran Sukarno dengan memperlihatkan keutamaannya. Berbeda dengan karya-karya aktual tentang Sukarno yang memperlihatkan kecintaan terhadap Sukarno dengan menunjukkan keutamaan dari gagasan beliau, tulisan ini adalah manifestasi dari kecintaan dialektik atas Sukarno dan ajaran-ajarannya. Kecintaan yang termanifes melalui gugatan atas kontradiksi pemikiran, posisi politik dan langkah-langkah Sukarno dalam mengusung Sosialisme Indonesia yang ia yakini.

Melalui gugatan atas Sukarno, maka kita dapat belajar dari kesalahannya dan mengusung kembali api dari gagasannya, yakni sosialisme, tanpa terjerembab dalam kesalahan yang sama. Mengingat sosialisme sebagai sebuah proyeksi politik dilahirkan kembali dan disodorkan dalam arena politik, melalui proses menyejarah yang tak henti dari kritisisme-diri dan gugatan atas praksis yang telah terbangun, bukan semata-mata penonjolan atas keistimewaan dari yang telah menjadi bagian dari sejarah. Seperti yang pernah diuraikan oleh filsuf Slovenia Slavoj Zizek, bahwa eksperimentasi sosialisme yang berlangsung di negara-negara Amerika Latin tidak membutuhkan dukungan dan pembelaan apologetik. Yang dibutuhkan menuju keberhasilan eksperimentasi sosialisme tersebut adalah gugatan keras dan kritik yang tajam untuk mendorong pada kemajuan eksperimentasi politik.

Tulisan ini setidaknya melihat ada hal yang patut dielaborasi terkait dengan bagaimana kita memahami sekaligus mengkritisi pikiran dan aksi politik Sukarno dalam biografi politiknya. Salah satu kekuatan sekaligus kelemahan dari gagasan Sukarno adalah terkait dengan karakter kiri sinkretik yang terus ia jalankan untuk membangun jalan sosialisme Indonesia. Kekirian sinkretik dari gagasan Sukarno adalah bagian dari pemikiran khasnya dibandingkan dengan para pemikir pergerakan kiri nasional di Indonesia.

Sinkretisme Sukarno bukanlah sebuah sinkretisme tanpa basis fondasi ekonomi-politik yang jelas. Di dasar pemikiran sinkretisme Sukarno, terbangun pemahaman sejarah berdasarkan gagasan materialisme historis, bahwa corak bangunan masyarakat adalah refleksi dari pertarungan sosial di antara kelas-kelas sosial untuk menguasai alat-alat produksi, yang mana di dalamnya terjadi konsentrasi kekuasaan dan akumulasi kemakmuran oleh kelas dominan dengan mengeksploitasi kelas-kelas sosial yang ada di bawah kendalinya. Singkatnya, dominasi kelas borjuis atas kelas proletar, buruh dan petani. Dalam corak masyarakat kapitalistik seperti ini, maka upaya untuk mengatasinya adalah dengan mengintroduksi gagasan politik revolusioner untuk mewujudkan tatanan sosialisme.

Membaca konteks sejarah era tahun 1920-an, di tengah konflik dan pertikaian antara kaum sosialis, Islam dan nasionalis dan surutnya dua organ politik utama pergerakan nasional yakni Sarekat Islam dan PKI, gagasan politik Sukarno tampil melalui ide pembelahan dan persatuan. Dihadapkan pada krisis absennya organ politik pergerakan sekitar tahun 1920-an, Sukarno mengusung pembelahan antara kaum reaksioner pro penjajahan dan kaum progresif revolusioner (di berbagai kubu baik komunis, nasionalis maupun Islam) yang tidak saja menggugat kolonialisme, namun juga kaum-kaum yang menggugat tatanan ekonomi-politik yang melandasi rezime kolonialisme, yakni kapitalisme dalam wujud imperialisme.

Dalam formulasi awal gagasan Sukarno yang tertera dalam tulisannya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, secara brilyan sinkretisme kiri berhasil meyakinkan kaum pergerakan dari berbagai corak ideologis untuk bersatu dan membangun organ politik revolusioner untuk mencapai Indonesia Merdeka berdasarkan pada perjuangan sosialisme. Eksperimentasi politik persatuan yang dituntun oleh corak gagasan marxisme dan sinkretik dari Sukarno, terbukti berhasil membangun strategi blok sejarah yang mempertemukan berbagai gugus ideologis dan kepentingan-kepentingan partikular dan sektoral dalam perumusan politik kolektif yang solid dan radikal. Dimana aspirasi persatuan nasional diletakkan dalam pembelahan kaum revolusioner dan kaum reaksioner, dan tujuan revolusioner untuk menuntaskan revolusi nasional dalam koalisi front nasional yang inklusif sekaligus radikal.

Problem dari praksis politik kiri-sinkretik Sukarno justru terjadi pada saat-saat yang menentukan, ketika langkah untuk mewujudkan Indonesia menuju sosialisme tengah berlangsung pada era tahun 1960-an. Dalam saat-saat yang menentukan seperti itu, Sukarno terlihat berada dalam kegalauan untuk merekonsiliasikan antara karakter sinkretik yang termanifes dalam jargon persatuan Indonesia, dan gagasan marxisme yang melihat bahwa dalam saat-saat menentukan dalam perjalanan sejarah, maka konflik sosial dan dialektika perbenturan antara aliansi-aliansi kelas sosial yang berbeda kepentingan melalui politik revolusi adalah sebuah jalan yang harus dilalui untuk mencapai emansipasi.

Apabila perjalanan sejarah mengenal kata ‘andaikata’, tentunya kudeta merangkak Suharto, penghancuran gerakan kiri maupun pembantaian 500 ribu sampai 3 juta nyawa manusia tidak perlu terjadi, ketika sejak awal Sukarno menginsafi bahwa dalam praksis politik pada akhirnya idenya tentang sosialisme a la Indonesia harus mengintervensi kenyataan dan siap akan konsekuensi radikal dan paling jauh dari impelementasinya. Justru jalan ini yang tidak ditempuh Sukarno. Ia malahan menghindarinya.

Ketika pada saat-saat menentukan seputar 1965, Sukarno berani untuk mengambil jalan kaum Jacobin di Revolusi Prancis, Lenin di Revolusi Rusia yang membersihkan revolusi dari pengaruh kaum Menshevik, maupun Abraham Lincoln dalam revolusi menentang perbudakan maka trajektori politik Indonesia kemungkinan akan tidak tersabotase oleh jalan politik kontra revolusi. Sebab sebuah cita-cita politik emansipatoris revolusioner haruslah siap dengan bayaran yang paling besar, seperti halnya sebuah cita-cita demokrasi untuk mengusung kesetaraan manusia. Seperti halnya ketika Abraham Lincoln menyatakan perang terhadap perbudakan, pelajaran yang dapat kita ambil adalah sebuah cita-cita demokrasi, kebebasan dan kesetaraan sosial membutuhkan determinisme politik dan sentralisme kekuasaan bukan kompromi politik.

Demikianlah kalau kita kembali kebelakang, apabila Sukarno sadar bahwa cita-citanya tentang Indonesia yang bersatu dan sosialisme tidak dapat direalisasikan semata-mata dengan kompromi politik semata, namun ada saat-saat yang menentukan dimana kenyataan sosial yang keras membutuhkan realisasi teoritik sampai ke arah yang paling radikal. Bahwa resiko dari mengedepankan ide Sosialisme Indonesia, maka harga yang harus dibayar adalah keberanian untuk menghadapi lawan-lawan ideologis gagasan tersebut sebelum berkembang menghancurkan bangunan revolusi itu sendiri. Kalau saja itu terjadi mungkin riwayat sejarah Indonesia akan belok kiri, tidak belok kanan.***

Penulis adalah pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga

Sumber:

http://indoprogress.com/2016/03/menggugat-sukarno-dan-sejarah-yang-belok-kanan/

 


HUBUNGAN  TUBUH DAN PIKIRAN PADA KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN MENURUT MULLA SADRA

$
0
0

oleh: Turan Koç

(Terjemahan Google Translate, sebagian besar belum diedit AYS)

molasadra

Mulla Sadra

Istilah “dunia” dan “dunia lain” seperti “bumi-langit” dan “awal-akhirat”, adalah salah satu pasangan konsep yang telah dipertimbangkan bersama-sama dalam pemikiran Islam tradisional. Dunia Ini dan dunia lainnya terjadi dalam hubungan genus tertentu  di berbagai perspektif, dan mereka dianalisis dalam konteks itu. Alam atau dunia persepsi akal digunakan entah sebagai langkah dalam diskusi metafisik untuk bergerak di luar dunia ini. Sehingga, setiap ketidaktahuan tentang dunia ini tentu membawa beberapa ketidaktahuan tentang dunia lain. Dengan kata lain, seseorang harus tahu keberadaan pertama atau saat kita sebelum dia tahu dunia lain (Al Qur’an, 56: 62). Begitu juga Mulla Sadra berangkat dari prinsip ini, dan mendasarkan bukti dan argumentasi bagi keberadaan kehidupan setelah kematian pada pengetahuan kita tentang dunia ini (IV. II, p. 237).

Memang, argumentasi tentang realitas dunia lain (akhirat) dan keadaan di dunia yang independen dari setelah adanya kematian; ada yang mengatakan, tidak ada hubungan kausal antara argumen untuk dunia lain dan realitas dunia ini. Namun, keyakinan kita mengenai realitas dunia lain dan bagaimana keberadaan kita di dunia yang akan, secara fundamental mempengaruhi kehidupan kita sekarang.

murid-icas-di-rumah-mulla-sadra

Rumah tempat mulla Sadra menyepi, di Kashyan Iran

Pada awal diskusi kita, saya ingin membuat poin penting. Seperti diketahui, argumen filosofis bagi keberadaan dunia lain pada umumnya berusaha untuk membuktikan keabadian, sementara argumen yang bergantung pada keyakinan agama teistik telah terutama mencoba untuk membuktikan kebangkitan. Tapi, posisi Mulla Sadra cukup menarik di sini, karena ia mencoba untuk menunjukkan ajaran kebangkitan diterima oleh Islam dalam hal argumen filosofis.

Konsepsi Mulla Sadra tentang “Kebangkitan kembali (Ma’ad), seperti seluruh filsafatnya, tergantung pada pengajaran tentang “gerakan substansial” (al-Harakat al-jawhariyya). Gerakan besar ini terjadi melalui suatu tujuan, yang telah dibuang / diturunkan di sifat hal oleh Allah. Sadra mengatakan, “Allah tidak menciptakan hal-hal tanpa ada tujuan … Tidak ada hal yang mungkin/kontingen tanpa agen dan tujuan” di dunia (IV II, pp 243-244;.. Risalah al-Hasyr, p 81.). Semua hal kontingen (mumkinul wujud), dengan sifatnya, mencoba untuk mencapai melalui gerakan substansial / immaterial untuk tujuan terakhir yang tidak memiliki tujuan lain selain untuk itu. Dan tujuan yang semuanya mencoba untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dari posisi sekarang dan lebih lengkap berkaitan dengan keberadaan. Begitu juga manusia yang sangat tidak sempurna dan bahkan ‘tidak pantas untuk menyebutkan namanya di awal keberadaannya’ (Al Qur’an, 76: l) adalah dalam proses kesempurnaan. Gerakan ini dan keinginan telah diwariskan dalam esensi hal (IV / II, p 244;. Risalah, hal 91.).

Di sisi lain, keberadaan (Wujud) dan menjadi sadar tentang keberadaan adalah kebaikan dan kebahagiaan. Semakin tinggi dan lebih lengkap keberadaan, adalah semakin tinggi kemungkinan untuk diselamatkan dari non-eksistensi yang untuk itu ada (IV. II, hal.121). Lebih jelas, keberadaan tidak disengaja, dan konsep, makna dan hakekat dari hal yang sesuatu selain identitas sebenarnya; karena keberadaan nyata. Jadi, ketika kita meninggalkan tubuh kita, kesadaran kita tentang esensi kita sendiri akan menjadi lebih kuat karena fakta bahwa kehadiran kita untuk diri kita sendiri akan lebih lengkap dan lebih tegas (IV. II, pp. 123-124).

Memang, konsepsi Mulla Sadra manusia dan hubungan tubuh-pikiran (jiwa), dengan demikian, sangat berbeda dari konsepsi dualistik klasik manusia, meskipun ia sering menggunakan beberapa istilah seperti “roh”, “tubuh”, “substansi”,” materi “, dll tampaknya konsepsinya tentang manusia adalah salah satu yang tergantung pada inseparableness pikiran dan tubuh satu sama lain, yaitu, pada konsepsi holistik manusia. Menurut Sadra, ada hubungan antara tubuh dan jiwa, seperti hubungan Aristoteles mengaku antara materi dan bentuk. “Man keluar dari potensi untuk aktual dan dari dunia ini ke yang lain, dan kemudian ia mencapai Allah (mawla) yang merupakan tujuan dari tujuan dan titik terakhir dari keinginan dan gerakan” (IV.II, p. 159 ).

Hal ini adalah diri (dhawat) dengan sifat berorientasi pada tujuan mereka dan kesempurnaan mereka. Dan di antara semua makhluk hanya manusia adalah kepribadian tunggal yang naik dari tingkat terendah ke derajat tertinggi dengan melestarikan identitas pribadinya, yang memiliki kelanjutan tertentu. kelanjutan ini diwujudkan melalui gerakan substansial berlangsung contiguously. Dan itu, bagi manusia ada tiga tingkatan eksistensi: alami, mental dan intelektual. Tidak mungkin baginya untuk menetap ke dalam penciptaan kedua (nash’a Thaniya) tanpa menyelesaikan tiga jenis keberadaan. Oleh karena itu, dari awal masa bayi untuk mencapai kesempurnaan-Nya manusia adalah fana, manusia duniawi, dan ini adalah manusia pertama. Dengan kemajuan dalam eksistensi ini ia menjadi murni dan mencapai tingkat tertentu kelembutan, dan bahwa keberadaan mental dan dunia lain menjadi aktual baginya. Ini adalah jenis kedua manusia, untuk siapa ada fakultas dan organ yang sesuai. Kemudian, ketika dia transfer dari tingkat eksistensi mental untuk tingkat eksistensi intelektual tingkat ketiga keberadaan berlangsung (IV. II, pp. 96-97).

mulasadra4Menurut Mulla Sadra, perkembangan ini atau proses evolusi menemukan sangat artinya dalam gerakan total seluruh alam semesta dan di yang berorientasi pada target tertentu. Fakta ini dan tujuan akhir adalah apa agama yang disebut Kembali (Ma’ad). Seluruh alam semesta dan sementara orang itu berada dalam proses bersebelahan mencapai target, yaitu, untuk Kembali, dengan yang lenyap (zawal) dan pada saat yang sama dengan yang reexisted (hudûth) terus-menerus dalam gerakan substansial. Oleh karena itu, Mulla Sadra menjelaskan Kembali dalam hal dua prinsip. Yang pertama adalah untuk membuktikan perlunya tujuan untuk sifat primordial substansial, dan kedua, untuk membuktikan ini berkenaan dengan agen aktif. Sejak, ada orientasi alami bagi manusia menuju kesempurnaan, dan ilahi, disposisi alami sehubungan dengan mencapai Prinsip Aktif. Manusia adalah dalam proses bergerak, maju dan berubah terus-menerus dari bentuk yang tidak sempurna menuju bentuk yang paling sempurna. Mungkin kesempurnaan berlaku untuk manusia dapat direalisasikan hanya di lain-dunia. Oleh karena itu, jika seorang pria melengkapi dan terdiri dari semua tingkat penciptaan faktual, maka ia akan mencapai batas resmi terakhirnya pada akhir gerakan bawaan substansial dalam pertanyaan, dan sedang menyelesaikan nya duniawi ini keberadaan berorientasi pada penciptaan dunia lain (nash ‘ a) (IV. II, pp. 158-159).

Karena lain-dunia, menurut Mulla Sadra, adalah ciptaan (insya ‘) dan origination (ibda’) berbeda dari dunia ini, sehingga juga bentuk (QS) pria yang mengambil tidak akan ada bentuk alami berkaitan dengan dunia ini, meskipun memiliki kualitas dipahami masuk akal oleh indera eksternal (IV. II, p. 254). Bahkan, manusia adalah keseluruhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa (nafs). Baik tubuh dan jiwa ada dalam satu keberadaan tunggal, meskipun mereka berbeda mengenai tingkat mereka. Oleh karena itu, semakin jiwa mencapai kesempurnaan dalam keberadaannya, lebih murni dan lembut tubuh menjadi, dan jiwa sangat menyatu dengan tubuh, sehingga kesatuan di antara mereka menjadi lebih kencang dan bisa dipecahkan. Sehingga, ketika keberadaan intelektual aktualisasikan mereka menjadi satu kesatuan tanpa oposisi.

Hubungan antara tubuh dan jiwa, seperti yang seharusnya oleh sebagian besar orang, tidak seperti hubungan antara seorang pria dan tempat atau pakaiannya yang dapat dilepas dan jatuh di waktu. Alasan untuk yang sesat di sini adalah bahwa mereka mengira mayat yang kita miliki hanya untuk tujuan yang diawetkan, bukan untuk eksistensi, adalah tubuh nyata. Sebaliknya, tubuh yang benar adalah lebih primordial yang terang dan kekuatan hidup adalah operasi di dalamnya. Jadi tidak mungkin untuk bergerak dari itu seperti kita bergerak dari sebuah rumah yang telah dibiarkan seperti itu. The penggundulan (tajarrud) untuk makhluk perseptif tidak meninggalkan beberapa atributnya sambil menjaga dengan itu yang lain. Sebaliknya, proses ini berlangsung dengan bergerak dari tingkat yang lebih rendah dan tidak sempurna dari eksistensi keberadaan yang lebih tinggi dan lebih terhormat. Dengan kata lain, hal itu terjadi bahwa breaking tertentu off berlangsung perlahan dari penciptaan alam ini menuju penciptaan yang kedua karena fakta bahwa jiwa menjadi secara bertahap lebih mandiri. Ini terjadi hanya melalui transformasi jiwa secara bertahap dalam gerakan substansial dengan mengintensifkan dari posisi lemah untuk satu lebih kuat. The penggundulan manusia dan transferensinya dari dunia ini ke dunia lain terjadi dengan cara ini. Ketika jiwa mencapai kesempurnaan dan menjadi intelijen yang sebenarnya, fakultas juga diperkuat sesuai dengan itu (IV II, pp 51;.. 98-100; 180). Akhir dari perjalanan ini dari jiwa adalah untuk bersatu dengan Intelek Aktif. Sebab, jika tidak mungkin untuk itu untuk menghadapi dengan sesuatu, maka tidak akan ada tujuan keberadaannya. Intelek Aktif yang merupakan tujuan untuk sesuatu untuk sementara, akan akhirnya bentuknya (IV. II, p. 140).

Di tingkat keberadaan dunia lain, semua manusia dalam bentuk yang masuk akal, meskipun ada perbedaan dalam tingkat antara mereka. Mereka begitu kuat, lengkap dan abadi berkaitan dengan keberadaan dan aktualisasi mereka bahwa tidak mungkin untuk membandingkan eksistensi ini dengan adanya ini-duniawi mereka.

sensibles ini, bertentangan dengan anggapan orang biasa, namun, tidak dapat dirasakan oleh indra berlalu dr ingatan dan binasa. Di sisi lain, mereka tidak, karena beberapa pemikiran, imaginal / keadaan mental atau makhluk imaginal yang tidak memiliki eksistensi dalam realitas (Sadra mengatakan bahwa Ghazali menerima pandangan ini, tetapi tampaknya bagi saya bahwa itu tidak mudah untuk setuju dengan dia di sini ). Begitu juga mereka tidak, seperti yang dipahami oleh beberapa filsuf Peripatetik, negara intelektual atau posisi spiritual, atau kesempurnaan mental. Ini adalah nyata ( ‘Ayni) bentuk substansial, hadir dan entitas yang masuk akal. Mereka berdua mempengaruhi orang lain dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh mereka; karena mereka tidak tdk berlaku (mu’attal). Lebih jelas, tidak ada hal seperti tdk berlaku dalam keberadaan; Namun, mereka tidak milik dunia alam ini juga dapat dirasakan oleh orang-rasa alami organ (IV II, pp 147;.. 174-175; 198; 225). Kebangkitan orang mati dan penggundulan bentuk dari materi akan berlangsung sebagai ciptaan kedua (insya ‘). Meskipun keberadaan makhluk dunia lain menyerupai apa yang kita lihat dalam mimpi atau dalam cermin, penciptaan dunia lain dan bentuk ada di sana benar-benar berbeda karena fakta bahwa mereka memiliki zat suara dan eksistensi yang kuat. formulir ini, menurut mereka yang bersatu gnosis persis dengan penalaran demonstratif, adalah makhluk sangat ada dan realitas asli (IV. II, p. 176).

badan dunia lain memiliki sifat perantara, yang mengumpulkan kedua penggundulan (tajarrud), dan inkarnasi (tajassud). Sebuah badan dunia lain adalah seperti sebuah bayangan yang tak terpisahkan bagi jiwa, dan dua ini memiliki sifat dipahami yang telah bersatu dalam keberadaan. Dengan kata lain, tidak seperti ini-duniawi tubuh, tubuh dunia lain yang identik dengan jiwa (IV. II, pp. 183-184). Yang paling penting di sini adalah bahwa keberadaan dunia lain tidak diregenerasi dari prinsip materi atau asal, tapi benar-benar tergantung pada penciptaan, originasi dan penemuan Allah (insya ‘, ibda’, ikhtira ‘).

Hal yang paling masuk akal dan penting mengenai keberadaan kedua kami adalah bahwa hal itu akan menjadi ciptaan belaka, seperti penciptaan pertama kami, bukannya mengumpulkan berbagai macam komponen (IV. II, pp. 161-162). “Pembuatan (ijad) benar-benar dari-Nya; properti hanya preferensi dan tugas untuk membuat-Nya, atau fitur dikalikan diperluas dan terpancar tindakan dan keberadaan (wujud) (IV. II, p. 162) Nya. Selanjutnya, dari perspektif ini, bahkan posterioritas dan secondariness hanya evaluasi dengan perbandingan untuk originasi kami (hudûth). Jika tidak, penciptaan ini sendiri lebih sebelum dan yg; karena sebelum alam berkaitan dengan esensi dan keunggulan dalam merancang keberadaan. Oleh karena itu posterioritas yang begitu dengan referensi khusus untuk originasi dan kesempurnaan kami.

Dalam konteks ini, hal penting mengenai ajaran Mulla Sadra of Return adalah bahwa keberadaan kami yang pertama, yang, rangkaian awal telah terjadi dengan cara penciptaan tanpa waktu dan gerakan, sedangkan seri of Return akan terjadi dalam waktu dan gerakan. Ada beberapa macam eksistensi bagi manusia sebelum dia telah dibawa sebagai entitas material. Karena sifat yang melekat ia secara bertahap condong atau kemajuan terhadap dunia lainnya. Dia kembali ke tujuan yang dimaksudkan. Singkatnya, ia mulai keberadaan resmi dunia lain dengan ini-duniawi bahan keberadaan (IV. II, pp. 195-96).

Menurut Mulla Sadra, penegasan kembali tubuh (Ma’ad jismani) terutama tergantung pada prinsip-prinsip sebelas berikut, yang, pada saat yang sama, esensi dari filsafat umum nya:

①. Faktor dasar dalam semuanya ada, dan tidak hakekat (Mahiya) dan objektivitas (shay’iyya). Dengan kata lain, itu adalah identitas nyata yang ada hal yang disertai dengan itu:

②. Personifikasi dan perbedaan dari segala sesuatu dari orang lain adalah sangat keberadaan eksistensi khususnya. Adapun hal-hal yang disebut kecelakaan beton tidak tapi tanda-tanda bagi makhluk eksistensial individu. Ini berubah, tetapi entitas individu bertahan tanpa mengubah.

③. Sifat keberadaan dengan esensi sederhana (dhat) di mana tak ada komposisi eksternal maupun mental, menerima kelemahan dan kekuatan. Lebih jelas, itu adalah terus-menerus dalam proses perubahan.

④. Keberadaan menerima pergerakan mengintensifkan. Substansi perubahan keberadaan substansial dan mengalami transfigurasi. Bagian dari gerakan contigeneous tunggal tidak hadir sebenarnya.

⑤. Hal-hal yang identik dengan bentuk mereka. Pedang adalah pedang dengan ketajaman, tidak dengan besi. Materi dapat memiliki, setidaknya, potensi dari suatu hal, dan menjadi subjek untuk gerakan dan efek. Identitas suatu hal bentuknya yang sempurna.

⑥. Dalam segala hal, entitas kesatuan yang identik dengan keberadaannya, tidak dalam proses tunggal dan di satu derajat tunggal (yaitu, dalam urutan yang sama). Pada tingkat materi, yang bertentangan tidak datang bersama-sama, tetapi ketika tingkat eksistensi berlangsung, kemungkinan seperti itu datang menjadi ada.

⑦. Identitas dan individuasi dari tubuh adalah dengan jiwanya (nafs), bukan dengan mayat-nya (jirm). Jadi keberadaan dan individuasi manusia adalah terus-menerus sebagai jiwanya tetap dengan dia. Mengubah bagian bersama hidupnya tidak penting. identitas manusia tetap sama di semua perubahan ini dan transfigurasi sampai ia mengambil bentuk lain; karena ini merupakan acara yang berlangsung dalam suatu kesatuan bertahap dan bersebelahan. sifat substansial dan batas-batas eksistensial yang datang menjadi ada dengan cara gerakan substantif tidak penting. Yang penting adalah apa yang tersisa dan bertahan, dan ini bukan tapi jiwa. Oleh karena itu, tubuh tetap sebagai yang sama, meskipun dalam gerakan konstan. Begitu juga di akhirat, meskipun mengalami perubahan mendasar yang membuat mustahil untuk menyebutnya peduli, masih tubuh yang sama.
Hal ini dapat ditanya apakah tubuh manusia adalah sama di masa kecilnya dan di tahun lanjutan. Jika tubuh diambil di sini sebagai materi, tidak akan mungkin untuk mengatakan, “Ya.” Tapi, jika diambil sebagai genus, ini merupakan situasi yang ambigu. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa orang tersebut adalah sama dalam kedua situasi, yaitu, di masa muda dan di tahun lanjutan.

⑧. Kekuatan imaginal bukanlah zat yang melekat dalam tubuh. Juga tidak ada di setiap tempat di dunia alam. Ini ada di tempat perantara antara dipisahkan dunia intelektual dan alam.

⑨. Bentuk-bentuk imaginal ada dalam jiwa seperti tindakan ada dengan agen. Gambar yang jiwa diciptakan melalui materi di dunia ini akan dibuat tanpa perlu peduli dan merasakan persepsi di dunia lain. Ketika jiwa keluar dari dunia ini tidak akan ada perbedaan antara imajinasi dan sensasi. Karena kekuatan imaginal telah menjadi lebih kuat, dan mencapai posisi yang dapat melihat dengan mata gambar apa yang dilihatnya dengan mata akal.

⑩. Bentuk-bentuk kuantitatif dan bentuk badan akan dibawa oleh lembaga jiwa di dunia lain tanpa berbagi dengan masalah ini, hanya mereka dibawa tentang berbagi dengan materi oleh agen. Semua ini ada baik dalam otak maupun di fakultas imajiner, maupun dalam dunia imajinasi universal. Singkatnya, keberadaan ini di dunia lain absen dari dunia ini.

⑪. Tempat tinggal eksistensi merupakan salah satu karena fakta bahwa mereka terhubung satu sama lain; tapi genera dari dunia dan kreasi yang besar dalam jumlah, dan tidak terbatas pada tiga. Terendah ini adalah dunia bentuk alami, yang tunduk menjadi dan pembubaran, yang tengah adalah, dunia bentuk persepsi sensual terisolasi dari materi, dan tertinggi adalah dunia bentuk dimengerti dan gambar ilahi. Di antara semua hal yang ada hanya manusia untuk tetap dalam tiga dunia tersebut. Seorang pria dari awal masa bayi nya dan seterusnya mengalami alami menjadi. Dan kemudian dia secara bertahap menjadi begitu murni dan lembut bahwa ia akhirnya mencapai ke (nafsani) tingkat dan keberadaan dunia lain nyaman untuk dibangkitkan mental. Ini adalah tingkat kedua kemanusiaan nya. Akhirnya, karena fakta bahwa ia secara bertahap menjadi lebih disempurnakan, ia mencapai tingkat ketiga keberadaan disebut manusia dimengerti (IV. II, pp. 185-194).

Jelas, menurut Mulla Sadra, personifikasi manusia berlangsung dengan jiwanya, bukan dengan tubuhnya. Hal yang kita sebut tubuh sebenarnya merupakan hal yang ambigu. Dan tidak mungkin untuk mengatakan bahwa ada diri tetap dan bertekad untuk manusia sepanjang proses keseluruhan keberadaannya. Oleh karena itu, hal ini juga tidak mungkin untuk mengatakan bahwa setiap manusia diberikan akan dibangkitkan dengan tubuh yang ia miliki dalam suatu periode tertentu (IV. II, p. 200).

Sekarang, tergantung pada ajaran ini Kembali yang kami telah mencoba segera menjelaskan, Mulla Sadra mengangkat beberapa kritik terhadap teolog yang telah menerima pemulihan tubuh atau membawanya kembali, terhadap para filsuf yang telah menerima keabadian spiritual, dan terhadap transmigrationists yang telah menyatakan bahwa jiwa transmigran dari satu ke tubuh lain. Sekarang, saya ingin memeriksa ini masing-masing:

Kinestetik KEBANGKITAN
Menurut Mulla Sadra, kesalahan terbesar para teolog (bahkan sebagian besar umat Islam) yang menerima terulangnya tubuh fisik setelah kehidupan, adalah anggapan bahwa manusia terdiri dari pengumpulan bagian-bagian seperti materi, bentuk, tubuh dan jiwa. Bagi mereka entitas penting bukan orang (shakhs) sendiri, tetapi bagian yang merupakan dia dalam anggapan mereka. Oleh karena itu, setiap orang akan binasa, bukan karena binasa bagian dengan kematian, tetapi karena evanescence dari sintesis dan komposisi. Jika, di kemudian hari, setiap jenis rekomposisi valid berlangsung antara bagian-bagian, orang asli akan kembali sekali lagi. Dengan kata lain, kebangkitan, biasanya, tidak tapi berkumpul bersama semua bagian yang tersebar di mana-mana di bumi dalam satu tempat dan membawa tentang mereka semua dalam urutan tertentu. Pandangan ini, menurut Mulla Sadra, terbuka untuk beberapa kritik. Untuk mulai dengan, pandangan ini melihat peristiwa kematian sebagai segera berakhir dari hubungan tertentu antara bagian dan sebagai pemutusan komposisi dan pengaturan antara organ. Hidup sedang terlihat di sini sebagai kategori hubungan, dan jelas ini tidak valid. Kedua, mengumpulkan bagian-bagian hancur dalam bersama-sama sekali lagi tidak mewajibkan terulangnya orang mati (tidak penting bahwa pertemuan ini bersama-sama dilakukan benar-benar atau secara khusus). Dan akhirnya, pandangan seperti itu entah bagaimana akan memerlukan tubuh dengan dua jiwa, dan ketidakabsahan ini, seperti yang akan kita lihat di bawah, jelas (IV. II, pp. 168-70).

Menurut Mulla Sadra, mereka yang memegang pandangan seperti itu tidak tahu bahwa kebangkitan akan terjadi hanya dengan cara mengubah dari ini menghilang dan reoriginating penciptaan menjadi eksistensi tetap dan abadi, dan dengan cara mengubah dari yang diciptakan dari air dan debu ke dalam keberadaan yang berbeda (IV II, pp 153;.. 157). Para teolog telah mengembangkan berbagai penjelasan mengenai membawa kembali jiwa untuk tubuh fisik ini seperti, a) penghapusan kemustahilan tentang terulangnya tubuh hancur, dan b) membawa jiwa kembali ke bagian penting (IV. II, p. 164). Bahwa desakan mereka untuk kembali jiwa hanya untuk tubuh mendekati mereka ke transmigrationists. Perbedaan yang paling penting antara mereka adalah bahwa para teolog menerima pembuatan jiwa dalam waktu dan itu akan dikembalikan ke tubuh dalam setelah-dunia, tidak di dunia ini, sementara yang lain menerima bahwa itu adalah pra-abadi dan akan kembali kepada badan di dunia ini. Semua aspirasi ini dan upaya, menurut Mulla Sadra, berasal hanya dari fakta bahwa mereka tidak tahu yang sebenarnya. Kedua akal dan wahyu mengatakan bahwa entitas berulang di dunia setelah-apa dibebankan dengan tugas dan merupakan sumber dari segala perbuatan dan tindakan (IV II, pp 165;.. 167). Mulla Sadra mengatakan, “Karena mereka tidak masuk ke rumah melalui pintu mereka, mereka tidak mampu untuk menyelesaikan jenis-jenis masalah” (IV. II, p. 201).

Di sisi lain, pernyataan dari orang-orang yang menjaga terulangnya tubuh dan jiwa dalam perselisihan dengan satu sama lain mengenai rekomposisi tubuh. Adalah berulang tubuh (Ma’ad) identik dengan tubuh ini, atau itu hanya replika (mithl) itu? Adalah kesamaan dan kemiripan berkaitan dengan masing-masing organ, bentuk dan bentuk, atau mereka yang berkaitan dengan cara lain? Para teolog telah mampu memberikan jawaban yang koheren untuk pertanyaan ini. Menurut Mulla Sadra, yang penting di sini adalah persepsi. Adapun hal yang mengamati, itu adalah jiwa itu sendiri, meskipun persepsi ini dapat terjadi hanya melalui berbagai instrumen. Hal ini untuk alasan ini bahwa, jika seorang pria melakukan kejahatan ketika ia masih muda, ia akan dihukum di tahun-tahun maju. “Memang,” kata Mulla Sadra, “berulang identik sebagai jiwa dan tubuh dengan orang ini; jiwa adalah jiwa yang sama, dan tubuh adalah tubuh yang sama. Sehingga, jika Anda melihat dia, Anda akan berkata, ‘Aku melihat begitu dan begitu seseorang yang telah berkecimpung di dunia’ “(IV. II, pp. 165-166).

Saya percaya bahwa penekanan yang dilakukan oleh Mulla Sadra tentang dimensi etis dan peradilan berkaitan dengan keberadaan dunia lain sangat penting untuk identitas pribadi. Dengan kata lain, harus dilihat untuk setiap orang yang diberikan karena ia adalah baik oleh kami dan oleh dia juga harus diperhitungkan mengenai etika dan hukum.

KEABADIAN
Beberapa pemikir yang mengikuti filsuf (filsuf) dan peripatetics -Sadra terutama menyebutkan Ibnu Sina (Avicenna) – menerima bahwa Return akan berlangsung hanya dengan cara hidup spiritual. Dengan kata lain, hanya ada sebuah keabadian dimengerti. Menurut mereka, ketika hubungan tubuh dengan jiwa berakhir itu akan hancur dan menyita keberadaannya. Jika tidak, itu akan menjadi kambuh badan hancur. Adapun jiwa, itu adalah, abadi (Baqi) substansi terisolasi; oleh karena itu, tidak ada non-eksistensi untuk itu. Bila sambungan jiwa dengan tubuh berakhir, ia akan kembali ke dunia entitas berangkat (IV. II, p.165). Selain itu, beberapa pemikir antara filsuf yang bahkan curiga tentang kelangsungan hidup makhluk yang tidak mencapai kesempurnaan intelektual (IV II, pp 115;.. 147). Hubungan antara jiwa-jiwa di dunia lain adalah sama dengan ineligibles. Dan kebahagiaan mereka juga akan berlangsung dengan cara yang sama. kesenangan dan penderitaan mereka menyerupai situasi dalam mimpi, meskipun mereka akan unggul dari mereka sehubungan dengan efek dan kemurnian.

Kritik yang paling memutuskan pandangan ini oleh Mulla Sadra adalah bahwa para filsuf, menurut dia, telah ingin mengisi dunia lain dengan gambar dan nama belaka. Namun, tidak ada eksistensi yang nyata untuk nama. Mulla Sadra mengatakan bahwa pandangan Ibnu Sina dan Farabi cukup jauh dari benar. Mereka subyektif menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang kebangkitan fisik dan mempertahankan bahwa ini hanya metafora. Mulla Sadra melihat pandangan ini sebagai kesalahan yang tidak dapat diterima. Menurut dia, mereka harus menerima pandangan seperti itu karena fakta bahwa mereka tidak dapat hamil kebangkitan fisik (Hasyr al-jismani) (IV. II, pp. 214-215). Baginya, Ibnu Sina tidak bisa memahami hubungan antara cerdas dan dimengerti (IV. II, pp. 150-151). Bahkan, keberadaan kita di dunia lain akan menjadi mental, keberadaan perceptional. Kehadiran penyebab aktif, tidak tanggap penyebab, cukup ada. Karakteristik dari jiwa ini, dan memiliki sifat yang melindungi bentuk tanpa peduli (IV. II, p. 147).

Hal lain tentang masalah ini adalah penegasan bahwa roh manusia akan bersatu dalam semangat universal tunggal setelah badan hancur. Di sini mereka menerima bahwa roh manusia menyerupai air dituangkan ke dalam cangkir yang berbeda. Dikatakan bahwa roh manusia akan bersatu setelah tubuh mereka (yang cangkir mereka) yang hancur, seperti air (s) dalam cangkir yang berbeda bersatu dalam kolam besar ketika cangkir mereka yang rusak. Mulla Sadra melihat klaim ini sebagai pernyataan tidak berdasar dan ilusi. Dia mengevaluasi setiap perbandingan antara jiwa manusia dan roh-roh dalam benda-benda fisik sebagai silogisme yang tergantung pada menyesatkan dan kesalahan (IV. II, p. 50).

REINKARNASI
Transmigrasi jiwa dari badan elemental atau alami untuk tubuh lain disebut reinkarnasi atau metempsychosis. Hal ini tidak penting apakah itu terjadi dengan cara naik atau turun (IV. II, p. 4). Menurut Mulla Sadra, alasan percaya pada reinkarnasi, setidaknya di kalangan teistik, adalah kesalahpahaman dari nabi melanjutkan dan bijaksana, atau mengambil makna dari beberapa ayat Al-Qur’an sebagai ucapan literal dan kenabian sebagai yang menunjukkan ke transmigrasi atau reinkarnasi ( IV. II, pp. 27-30). Mulla Sadra mencoba untuk menunjukkan kepalsuan ajaran ini dalam hal argumen logis dan filosofis.

Sebagaimana disebutkan di atas, ada hubungan khusus antara tubuh dan jiwa, dan kombinasi ini merupakan integrasi alam dan kesatuan. Mereka tak terpisahkan dalam gerakan penting dan substansial. Jiwa dan tubuh muncul dari potensi ke aktualitas bersama-sama, dan derajat, kekuatan dan tindakan jiwa berada pada tingkat yang sama dengan orang-orang dari tubuh selama proses gerakan substansial. Tidak mungkin ada kombinasi antara dua hal; salah satunya adalah yang sebenarnya sementara yang lain adalah potensi (IV II, pp 2-3;.. 205-206). Ada penyatuan itu, misalnya, antara materi dan bentuk dalam komposisi alami yang terdiri dari materi dan bentuk, dan karena itu tidak mungkin untuk mempertahankan salah satu dari mereka dan untuk menghancurkan yang lain. Sebab, seperti diketahui, bentuk semuanya kelengkapan dan kesempurnaan. Hubungan masing-masing jiwa dengan tubuh adalah sama. Ada ketidakterpisahan antara mereka untuk menjadi dan pembubaran. Dengan kata lain, ada koeksistensi dan pembawaan sejak lahir di antara mereka. Ketika embrio menjadi janin, maka kehidupan dan gerakan fisik awal. Namun, karena ada jenis intelektual atau lainnya eksistensi dari satu alam ini bagi jiwa-jiwa manusia, kerusakan tubuh tidak memerlukan penghancuran itu, karena, jiwa telah memperoleh keberadaan lain. Kehidupan dan gerakan tubuh tunduk jiwa. Oleh karena itu, transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain tidak mungkin (IV II, pp 4;.. 55).

Jadi, untuk membuktikan kebangkitan fisik seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an tidak perlu, bertentangan dengan pemahaman Ghazali ini, setiap badan lainnya yang tidak melanggar identitas pribadi yang pertama (duniawi) manusia. Apa yang benar mengenai Kembali adalah kembali tubuh seperti kembali jiwa (IV. II, pp.207-208). Ini harus diingat bahwa, menurut Mulla Sadra, tubuh sedang dibawa dan didasari oleh jiwa. Alasan gagal dan menghilang dari tubuh sedang mengalami perubahan jiwa karena pendekatan untuk penciptaan kedua. Untuk alasan ini, adalah mustahil untuk menerima ajaran reinkarnasi (IV. II, pp. 47-48). Jadi, kita tidak harus mengambil ekspresi yang ditemukan dalam beberapa ayat dan perkataan kenabian akan berarti juga dangkal reinkarnasi.

Mulla Sadra mencoba untuk membuktikan kemustahilan reinkarnasi dalam hal doktrin gerakan substansial. Dan ia sangat menyatakan bahwa ada perbedaan yang sangat penting antara pandangannya dan ajaran reinkarnasi. Kita dapat meringkas bukti nya tentang ketidakmungkinan turun jenis reinkarnasi sebagai berikut: Untuk mulai dengan, ⓐ) dalam proses kesempurnaan, yaitu, dari awal konstitusi bentuk manusia untuk akhir penggundulan atau stripping off tubuh mereka (tajarrud), transformasi ini dan evolusi berlangsung sebagai kesempurnaan bersebelahan substansial. Ada kesatuan materi-bentuk atau inseparableness dari tubuh dan jiwa di sini. Menjadi setelah pembubaran dan pembubaran setelah hanya pengandaian. Ada kesinambungan dalam eksistensi (wujud), tidak becomings bertentangan satu sama lain. Ⓑ) Kedua, hal itu terjadi bahwa kesenjangan (periode tanpa gerak) datang sekitar antara waktu di mana jiwa berangkat dari tubuh pertama dan waktu di mana ia bersatu dengan yang kedua, dan tidak mungkin untuk menerima ini; karena tidak aktif (t’atil) tidak terpikirkan. Ⓒ) Ketiga, dan ini berkaitan dengan turun jenis transmigrasi, dan bukti khusus, bahwa waktu pembubaran setiap tubuh manusia harus berdekatan dengan waktu originasi dari tubuh hewan yang akan menerima jiwanya. Pandangan seperti ini tidak dapat diterima karena fakta bahwa itu memerlukan suatu perencanaan populasi, meskipun tidak ada hubungan antara mereka dan tanpa preferer (murajjih). Di sisi lain, dapat bahwa hal-hal yang berasal bisa jauh lebih banyak dari mereka yang hilang. Dalam kasus seperti itu beberapa jiwa tentu akan tetap tidak aktif. Tetapi tidak ada hal yang tidak aktif dalam keberadaan (IV. II, pp. 8-17).

Dengan demikian, ajaran Mulla Sadra of Return sangat berbeda dari ajaran reinkarnasi dalam dua cara.

ORIGINAL TEXT:

BODY-MIND RELATION WITH REGARD TO LIFE AFT DEATH ACCORDING TO MULLA SADRA
Body-Mind Relationship with Regard to Life after Death according to Mulla Sadra
Turan Koç
The terms “world” and “other world” just like “the earth-heavens” and “beginning-return”, are one of the pairs of concepts that have been considered together in traditional Islamic thought. This world and the other world take place in a certain genus of relation in various perspectives, and they are analysed in that context. Natural world or the world of sense perception is used somehow as a step in metaphysical discussions to move beyond this world. Such that, any ignorance about this world necessarily brings about some ignorance about the other world. In other words, one must know our first or present existence before he knows the other world (Qur’an, 56: 62). So also Mulla Sadra sets out from this principle, and bases his proof and argumentation for the existence in the life after death on our knowledge of this world (IV. II, p. 237).

Indeed, the argumentations about the reality of other world and the state of affairs in that world are independent from after death existence; that is to say, there is no causal connection between the arguments for the other world and the reality of this world. However, our beliefs concerning the reality of other world and how our existence in that world would be, fundamentally affect our present life.

At the beginning of our discussion, I would like to make an important point. As is well known, philosophical arguments for otherworldly existence have generally tried to prove the immortality, while the arguments that depend on a theistic religious faith have particularly tried to prove the resurrection. But, Mulla Sadra’s position is quite interesting here, since he tries to demonstrate the teaching of resurrection accepted by Islam in terms of philosophical arguments.

Mulla Sadra’s conception of Return (ma‘ad), like his entire philosophy, depends on his teaching of “substantial movement” (al-harakat al-jawhariyya). This substantial movement takes place through a purpose, which has been disposed/inherited in the very nature of things by God. Sadra says, “God has created no things without purpose … There is no contingent thing without an agent and purpose” in the world (IV. II, pp. 243-244; Risalah al-hashr, p. 81). All contingent things, by their very nature, try to reach through a substantial/ immaterial movement to a last purpose that has no other purpose for it. And the purpose to which everything tries to achieve is higher than its present position and more complete with regard to existence. So also human being who is extremely imperfect and even ‘not deserve to mention his name in the very beginning of his existence’ (Qur’an, 76: l) is in this process of perfection. This movement and desire have been inherited in the essence of things (IV/II, p. 244; Risalah, p. 91).

At the other hand, existence (wujûd) and being conscious of existence are goodness and happiness. The higher and more complete the existence is, the higher the possibility to be saved from the non-existence for it is (IV. II, p.121). More clearly, the existence is not accidental, and the concept, the meaning and the quiddity of a thing are something other than its real identity; because the existence is real. Thus, when we left our bodies, our consciousness concerning our own essences would have been stronger due to the fact that our presence to ourselves would be more complete and firmer (IV. II, pp. 123-124).

Indeed, Mulla Sadra’s conception of human being and body-mind (soul) relationship, as such, is quite different from the classical dualistic conception of human being, although he frequently uses some terms such as “spirit”, “body”, “substance”, “matter”, etc. It seems that his conception of man is the one that depends on the inseparableness of the mind and the body from each other, that is, on a holistic conception of man. According to Sadra, there is a relationship between body and soul, just like the relationship Aristotle claims to be between matter and form. “Man comes out from potential to actual and from this world to the other, and then he reaches God (mawla) who is the purpose of the purposes and the last point of the desires and the movements” (IV.II, p. 159).

Things are the selves (dhawat) with natures oriented to their purposes and their perfectness. And among all creatures only the human being is a single personality who ascends from the lowest degree to the highest degrees by preserving his personal identity, which has a specific continuation. This continuation realised through substantial movement takes place contiguously. And that, for human being there are three levels of existence: natural, mental and intellectual. It is impossible for him to settle down into a second creation (nash’a thaniya) without completing these three kinds of existence. Hence, from the very beginning of babyhood to achieving his perfectness a man is a mortal, natural man, and this is the first human being. By progressing in this existence he becomes pure and reaches a certain degree of gentleness, and that a mental and otherworldly existence becomes actual for him. This is a second kind of human being, for whom there are appropriate faculties and organs. Then, when he transfers from the level of mental existence to the level of intellectual existence a third level of existence takes place (IV. II, pp. 96-97).

According to Mulla Sadra, this progression or the process of evolution finds its very meaning in a total movement of the whole universe and in being oriented towards a certain target. This fact and its final purpose is what the religion called the Return (ma’ad). The whole universe and meanwhile the man are in a contiguous process of reaching a target, that is, to a Return, by being vanished (zawal) and at the same time by being reexisted (hudûth) constantly in the substantial movement. Therefore, Mulla Sadra explains the Return in terms of two principles. The first of these is to prove the necessity of a purpose for substantial primordial natures, and secondly, to prove this with regard to an active agent. Since, there is a natural orientation for man towards perfection, and a divine, natural disposition regarding to reach the Active Principle. Man is in a process of moving, progressing and changing constantly from an imperfect form towards the most perfect form. The true possible perfectness for man can be realised only in the other-world. Therefore, if a man completes and comprises all the levels of factual creation, then he will reach his last formal limit at the end of his substantial congenital movement in question, and being completed his this-worldly existence orients to an otherworldly creation (nash’a) (IV. II, pp. 158-159).

Since the other-world, according to Mulla Sadra, is a creation (insha’) and an origination (ibda’) different from this world, so also the form (sûrah) that man takes on there will not be a natural form pertaining to this world, although it has a sensible quality perceivable by the external sense organs (IV. II, p. 254). In fact, man is a whole that consists of body and soul (nafs). Both the body and the soul exist in one single existence, even though they are different regarding their levels. Hence, the more the soul achieves perfectness in its existence, the purer and gentler the body becomes, and the soul strongly unites with the body, so the unity between them becomes firmer and unbreakable. Such that, when the intellectual existence actualised they become one single entity without any opposition.

The relation between the body and the soul, as supposed by most of the people, is not like a relation between a man and a place or his dress that can be taken off and dropped in time. The reason for being misguided here is that they suppose the corpse that we have only for the purpose of being preserved, not for the existence, is a real body. On the contrary, the true body is more primordial one that the light and force of life is operative in it. So it is impossible to move from it just like we are moving from a house that had been left as such. The denudation (tajarrud) for a perceptive being is not to leave some of its attributes while keeping with it the others. On the contrary, this process takes place by moving from a lower and imperfect level of existence to a higher and more honourable existence. In other words, it happens that a certain breaking off takes place slowly from this natural creation towards a second creation due to the fact that the soul becomes gradually more independent. This takes place only through a transformation of the soul gradually in its substantial movement by intensifying from a weak position to a stronger one. The denudation of man and his transference from this world to the other world occurs in this way. When the soul reaches its perfection and becomes actual intelligence, its faculties are also strengthened in accordance with it (IV. II, pp. 51; 98-100; 180). The final end of this journey of the soul is to unite with Active Intellect. For, if it is not possible for it to encounter with something, then there will be no purpose for its existence. The Active Intellect that is a purpose for something for a while, will be at last its form (IV. II, p. 140).

In the level of otherworldly existence, all human beings are in sensible forms, although there is a difference in degree among them. They are so strong, complete and perennial with regard to their existence and actualisation that it is impossible to compare this existence with their this-worldly existence.

These sensibles, contrary to the supposition of ordinary people, however, cannot be perceived by these evanescent and perishing senses. On the other hand, they are not, as some thought, imaginal/mental states or imaginal beings that have no existence in reality (Sadra says that Ghazzali accepted this view, but it seems to me that it is not easy to agree with him here). So also they are not, as understood by some Peripatetic philosophers, intellectual states or spiritual positions, or mental perfections. These are real (‘ayni) substantial forms, present and sensible entities. They both affect others and at the same time are affected by them; since they are not inoperative (mu‘attal). More clearly, there is no thing as inoperative in existence; however, they neither belong to this natural world nor can be perceived by these natural sense organs (IV. II, pp. 147; 174-175; 198; 225). The resurrection of the dead and the denudation of the forms from matter will take place as a second creation (insha’). Although the existence of otherworldly beings resembles to what we saw in dreams or in the mirrors, otherworldly creation and the form existed there are completely different due to the fact that they have a sound substance and a strong existence. These forms, according to those who united exact gnosis with demonstrative reasoning, are the very existent beings and genuine realities (IV. II, p. 176).

Otherworldly bodies have an intermediary nature, which gathers together both denudation (tajarrud), and incarnation (tajassud). An otherworldly body is like an inseparable shadow for soul, and these two have perceivable properties that have been united in existence. In other words, unlike this-worldly bodies, otherworldly bodies are identical with the souls (IV. II, pp. 183-184). The most important thing here is that the otherworldly existence is not regenerated from a material principle or an origin, but it depends completely on the creation, origination and invention of God (insha’, ibda’, ikhtira’).

The most reasonable and important thing regarding to our second existence is that it will be a mere creation, just like our first creation, rather than gathering various parts together (IV. II, pp. 161-162). “Making (ijad) is absolutely from Him; properties are only preferences and assignments for His making, or multiplied features to be expanded and emanated His acts and existence (wujûd) (IV. II, p. 162). Furthermore, from this perspective, even the posteriority and secondariness are only evaluations by comparison to our origination (hudûth). Otherwise, this creation itself is more prior and antecedent; because it is prior to the nature with regard to the essence and superiority in designing the existence. Therefore its posteriority is so with a special reference to our origination and perfection.

In this context, an important thing regarding Mulla Sadra’s teaching of Return is that our first existence, that is, the series of beginning has occurred by way of creation without time and movement, while the series of Return will occur in time and movement. There are some sorts of existence for human being before he has been brought about as a material entity. Because of his inherent nature he gradually inclines or advances towards the other world. He returns to the intended purpose. In short, he begins the otherworldly formal existence with his this-worldly material existence (IV. II, pp. 195-96).

According to Mulla Sadra, affirmation of bodily return (ma‘ad jismani) depends mainly on the following eleven principles, which are, at the same time, the essence of his general philosophy:

① . The basic factor in everything is existence, and not quiddity (mahiya) and objectivity (shay’iyya). In other words, it is a real identity that no thing has accompanied with it:

② . The personification and the distinction of everything from the others is the very being of its particular existence. As for the things called concrete accidents are not but the signs for individual existential beings. These change, but the individual entity endures without changing.

③ . The nature of existence with its simple essence (dhat) in which there is neither external nor mental composition, accepts weakness and strength. More clearly, it is constantly in a process of changing.

④ . Existence accepts the movement of intensifying. Any substance in its substantial existence changes and undergoes transfiguration. The parts of a single contigeneous movement are not present actually.

⑤ . Things are identical with their form. A sword is a sword with its sharpness, not with its iron. Matter can have, at least, the potentiality of a thing, and becomes a subject for its movements and effects. The identity of a thing is its perfect form.

⑥ . In everything, the unitary entity that is identical with its existence, is not in a single process and in one single degree (that is, in the same order). At the material level, the opposites don’t come together, but when the level of existence progresses, such a possibility comes into being.

⑦ . The identity and the individuation of the body is with its soul (nafs), not with its corpse (jirm). So the existence and individuation of man is continual as his soul remains with him. Changing of the parts along his life is not important. Human identity remains the same in all these changes and transfigurations until he takes on an otherworldly form; because this is an event that took place in a gradual and contiguous unity. Substantial properties and the existential limits that come into being in the way of substantive movement are not important. The important thing is what remains and endures, and this is not but the soul. Hence, the body remains as the same, even though it is in constant movement. So also in the afterlife, although it undergoes a fundamental change that makes impossible to call it matter, it is still the same body.
It can be asked whether the body of a man is the same in his childhood and in advanced years. If the body is taken here as matter, it will not be possible to say, “Yes.” But, if it is taken as genus, this is an ambiguous situation. But we can say that the person in question is the same in both situations, that is, in youth and in advanced years.

⑧ . The imaginal power is not a substance inherent in the body. Neither does it exist in any place in natural world. It exists in an intermediary place between separated intellectual world and the natural world.

⑨ . The imaginal forms exist in the soul just like an act exists with an agent. The images that the soul created through matter in this world will be created without any need to the matter and sense perception in the other world. When the soul goes out from this world there will exist no difference between imagination and sensation. Because the imaginal power has become stronger, and achieved a position that it can see by the eye of image what it sees by the eye of sense.

⑩ . The quantitative forms and corporal shapes will be brought about by the agency of the soul in the other world without any share with the matter, just they were brought about sharing with matter by an agent. All these exist neither in the brain nor in the imaginary faculties, nor in the world of universal imagination. In short, this existence is in another world absent from this world.

⑪ . The abode of existence is one due to the fact that they are connected to each other; but the genera of the worlds and creations are great in amount, and not limited to three. The lowest of these is the world of natural forms, which subject to being and dissolution, the middle one is, the world of sensual perceptual forms isolated from matter, and the highest is the world of intelligible forms and divine images. Among all existing things it is only human being to be remained in these three worlds. A man from the very beginning of his babyhood onwards undergoes a natural becoming. And later on he gradually becomes so pure and gentle that he finally reaches to a mental (nafsani) level and otherworldly existence convenient to be resurrected. This is the second level of his humanness. Finally, because of the fact that he gradually becomes more perfected, he reaches the third level of existence called intelligible man (IV. II, pp. 185-194).

Clearly, according to Mulla Sadra, personification of man takes place with his soul, not with his body. The thing that we call body is in fact an ambiguous thing. And it is impossible to say that there is a fixed and determined self for human being along the process of his entire existence. Hence, it is also impossible to say that any given man will be resurrected with a body that he has in a given period (IV. II, p. 200).

Now, depending on this teaching of Return which we have tried to explain shortly, Mulla Sadra raised some criticisms against the theologians who have accepted the restoration of the body or bringing it back, against the philosophers who have accepted a spiritual immortality, and against the transmigrationists who have maintained that the soul transmigrates from one to another body. Now, I would like to examine these respectively:

BODILY RESURRECTION
According to Mulla Sadra, the greatest mistake of theologians (even of most Muslims) who accept the recurrence of the physical body in after life, is the supposition that human being consists of gathering of the parts such as matter, form, body and spirit. For them the essential entity is not the person (shakhs) himself, but the parts that constitute him in their supposition. Hence, any person would perish, not because of perishing of his parts with death, but because of the evanescence of the synthesis and composition. If, later on, any kind of valid recomposition takes place among the parts, the original person will be returned once again. In other words, resurrection, typically, is not but gathering together all the parts scattered everywhere in the earth in a single place and bringing about them all in a specific order. This view, according to Mulla Sadra, is open to some criticisms. To begin with, this view sees the event of death as coming to an end of a certain relation between the parts and as termination of the composition and arrangement among the organs. Life is being seen here as a category of relation, and obviously this is invalid. Secondly, gathering the disintegrated parts into together once again doesn’t necessitate the recurrence of the dead person (it is not important that this gathering together is done absolutely or specifically). And finally, such a view will somehow necessitate a body with two souls, and the invalidity of this, as we will see below, is obvious (IV. II, pp. 168-70).

According to Mulla Sadra, those who hold such a view don’t know that the resurrection will take place only by way of changing from this vanishing and reoriginating creation into a fixed and everlasting existence, and by way of changing from being created from water and dust into a different existence (IV. II, pp. 153; 157). Theologians have developed various explanations concerning the bringing back of the soul to this physical body such as, a) elimination of impossibility about the recurrence of the destroyed body, and b) bringing the soul back to an essential part (IV. II, p. 164). That their insistence on returning of the soul only to a body approximate them to the transmigrationists. The most important difference between them is that the theologians accept the creation of the soul in time and it will be returned to the body in the after-world, not in this world, while the others accept that it is pre-eternal and will return to any body in this world. All these strivings and efforts, according to Mulla Sadra, stem only from the fact that they don’t know the truth. Both reason and revelation say that the recurring entity in the after-world is what charged with duties and is the source of all deeds and acts (IV. II, pp. 165; 167). Mulla Sadra says, “Since they don’t go into the houses through their doors, they are unable to settle these kinds of problems” (IV. II, p. 201).

On the other hand, the assertions of those who maintain the recurrence of both body and soul are in a disagreement with each other concerning the recomposition of the body. Is the recurring body (ma‘ad) identical with the present body, or is it only a replica (mithl) of it? Are the sameness and resemblance with regard to each one of the organs, shapes and forms, or are they with regard to any other way? Theologians have been unable to give a coherent reply to these questions. According to Mulla Sadra, the important thing here is the perception. As for the perceiving thing, it is the soul itself, although this perception can take place only through various instruments. It is for this reason that, if a man committed a crime when he was young, he would have been punished in the advanced years. “Indeed”, says Mulla Sadra, “the recurrent is identical as soul and body with this person; soul is the same soul, and body is the same body. Such that, if you see him, you will say, ‘I saw so and so a person who had been in the world’” (IV. II, pp. 165-166).

I believe that the emphasis made by Mulla Sadra on ethical and judicial dimensions with regard to otherworldly existence is extremely important for personal identity. In other words, to be seen for any given person as he is both by us and by him should also be taken into account regarding the ethics and law.

IMMORTALITY
Some thinkers who follow the philosophers (falasifa) and Peripatetics –Sadra especially mentions Ibn Sina (Avicenna)– accept that the Return will take place only by way of spiritual survival. In other words, there is only an intelligible immortality. According to them, when the relation of the body with the soul comes to an end it will be destroyed and seized its existence. Otherwise, it will be the recurrence of a destroyed entity. As for the soul, it is an isolated, immortal (baqi) substance; hence, there is no non-existence for it. When the connection of the soul with the body comes to an end, it will return to the world of departed entities (IV. II, p.165). Furthermore, some thinkers among the falasifa have even been suspicious about the survival of the souls that do not achieve the intellectual perfection (IV. II, pp. 115; 147). The relationship between the departed souls in the other world is the same as that of ineligibles. And their happiness also will take place in the same way. Their pleasures and sufferings resemble the situations in dream, although they will be superior to them with regard to the effect and purity.

The most sever criticism of these views by Mulla Sadra is that the philosophers, according to him, have wanted to fill the other world with mere images and names. However, there is no real existence for the names. Mulla Sadra said that the views of Ibn Sina and Farabi are quite far from being true. They subjectively interpret Qur’anic verses concerning physical resurrection and maintain that these are only metaphors. Mulla Sadra sees this view as an unacceptable mistake. According to him, they had to accept such a view due to the fact that they are unable to conceive the physical resurrection (hashr al-jismani) (IV. II, pp. 214-215). For him, Ibn Sina couldn’t understand the relationship between the intelligent and the intelligible (IV. II, pp. 150-151). In fact, our existence in the other world will be a mental, perceptional existence. The presence of active causes, not perceptive causes, is sufficient there. The characteristic of the soul is this, and it has a nature that preserves the forms without matter (IV. II, p. 147).

Another point concerning this problem is the assertion that the spirits of human beings will unite in a single universal spirit after the bodies are destroyed. Here they accept that human spirits resemble the water poured into different cups. It is said that human spirits will unite after their bodies (which are their cups) are destroyed, just like the water (s) in different cups unite in a large pool when their cups are broken. Mulla Sadra sees this claim as a groundless assertion and an illusion. He evaluates any comparison between human souls and the spirits within the physical objects as a syllogism that depends on sophistry and fallacy (IV. II, p. 50).

REINCARNATION
The transmigration of the soul from an elemental or natural body to another body is called reincarnation or metempsychosis. It is not important whether it takes place by way of ascending or descending (IV. II, p. 4). According to Mulla Sadra, the reason of believing in reincarnation, at least in theistic circles, is the misunderstanding of proceeding prophets and the wise, or taking the meanings of some Qur’anic verses as literal and prophetic sayings as denoting to transmigration or reincarnation (IV. II, pp. 27-30). Mulla Sadra tries to demonstrate the falsity of this teaching in terms of logical and philosophical arguments.

As pointed out above, there is a special connection between body and soul, and this combination is a natural and unitary integration. They are inseparably in an essential and substantial movement. The soul and the body emerge from potentiality to actuality together, and the degrees, powers and acts of the soul are at the same level with those of the body during the process of substantial movement. There cannot be a combination between two things; one of which is actual while the other is potential (IV. II, pp. 2-3; 205-206). There is such a union, for example, between matter and form in a natural composition consisting of matter and form, and therefore it is impossible to retain one of them and to destroy the other. For, as it is known, the form of everything is its completeness and perfectness. The relation of each soul with its body is the same. There is inseparability between them in being and dissolution. In other words, there is a coexistence and innateness between them. When an embryo becomes a fetus, then the life and physical movement start. However, since there is an intellectual or other kinds of existence than this natural one for human souls, the destruction of the body doesn’t necessitate the destruction of it, because, the soul has obtained another existence. The life and the movement of the body are subject to the soul. Therefore, the transmigration of the soul from one body to the other is impossible (IV. II, pp. 4; 55).

So, to prove the physical resurrection as described in the Qur’an there is no need, contrary to Ghazzali’s understanding, any other body which doesn’t violate personal identity of the first (this-worldly) man. What is true concerning the Return is the returning of the body just like the returning of the soul (IV. II, pp.207-208). It must be kept in mind that, according to Mulla Sadra, the body is being brought about and constituted by the soul. The reason of failing and vanishing of the body is undergoing the change of the soul due to its approximation to the second creation. For this reason, it is impossible to accept the teaching of reincarnation (IV. II, pp. 47-48). So, we should not take the expressions found in some verses and prophetic sayings to be connoting superficially reincarnation.

Mulla Sadra tries to prove the impossibility of reincarnation in terms of his doctrine of substantial movement. And he strongly maintains that there are very important differences between his view and the teaching of reincarnation. We can summarise his proofs about the impossibility of descending kind of reincarnation as follows: To begin with, ⓐ) in the process of perfection, that is, from the very beginning of the constitution of human forms to the end of their denudation or stripping off their body (tajarrud), this transformation and evolution takes place as a substantial contiguous perfection. There is a unity of matter-form or inseparableness of body and soul here. Being after dissolution and dissolution after being is only a supposition. There is continuity in existence (wujûd), not becomings contrary to each other. ⓑ) Secondly, it happens that a gap (a period without motion) comes about between the time in which the soul departed from the first body and the time in which it united with the second one, and it is impossible to accept this; because inactivity (t‘atil) is unthinkable. ⓒ) Thirdly, and this is with regards to descending kind of transmigration, and a special proof, that the dissolution time of each human body should be adjacent to the origination time of the body of any animal that will accept his soul. Such a view is unacceptable due to the fact that it necessitates a population planning, though there is no connection between them and without a preferer (murajjih). On the other hand, it can be that the originating things can be much more in number than those that vanish. In such a case some souls will necessarily remain inactive. But there is no thing inactive in existence (IV. II, pp. 8-17).

Accordingly, Mulla Sadra’s teaching of Return is quite different from the doctrine of reincarnation in two ways. Firstly, the transmigrationist speaks of a transmigration that takes place in this world, not in the other world. But, according to Mulla Sadra, this world is a process that is to be lived once. Happiness and suffering will take place in the other world. For, to be stripped off matter doesn’t necessitate denudation from size and quantity. The thing that carries out the power of perfection appropriate to the morality of the souls would be spectral imaginations or imaginal shapes. Since these are brought about by the soul, not because of its receptivity but because of its activity. Although the soul can achieve a higher level of independency, it even senses/tastes a kind of suffering and happiness in accordance with the deeds it commits in this world.

Secondly, transmigrationists speak of alternation of both place and person; but, according to Mulla Sadra, there is no such a thing. For him, changing takes place in a process of perfection, and person remains the same all along this process. Man’s acquiring various forms and shapes during this process don’t mean the loss of his personality. Therefore, there is no transition from the second creation to the first creation for that person (IV. II, pp. 19-21; Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany, 1975, pp. 248-249).

Another difficulty is that human beings would be in two different kinds of existence, imaginal and intellectual, in the other world, while they were only a single species in this world. According to Mulla Sadra, the soul itself, because of the fact that it has an unnatural existence, is a substance with a nature that is able to accept various kinds of form, although it is form for this natural species and its perfection. With these peculiarities it resembles the hyle that accepts various kinds coming about from potentiality to actuality. To sum up, human being is a natural species composed from matter with a temperament in equilibrium and a perfect soul related to it. This temperament is preserved by the soul that commits the deeds and acts peculiar to it. When various states and dispositions settle down and gain stability in each soul, it comes about with these from potentiality to actuality, and takes another form. So the souls will get a different existence in the second creation. In short, the souls that are one single species in the beginning of the creation can be differentiated in many in the second creation (IV. II, pp. 19-20).

The proof that has been put forward by Mulla Sadra against the impossibility of the ascending kind of reincarnation is shortly as follows: Although there is a soul for an animal which does not have the faculty of speech and thought, this soul has been imprinted in the temperament. It is because of this peculiarity of an animal soul that it is impossible for it to transmigrate from one body to the other.

Indeed, according to Mulla Sadra, the world is a world as substance and existence, not with its specific accidents and external peculiarities. Otherwise, because of the change of its shapes, appearances and manifestations it would be another world every year, and even every day, then the term “other-world” would be a reincarnation. So also the Return would be the reconstitution of this world after it had been destroyed. However, the other-world is a complete world, and there is no sense in asking where it is (IV. II, pp. 204-205).

Now, according to Mulla Sadra, the logical fallacy in interpreting some Qur’anic verses, prophetical sayings and the views of some sages as pointing to reincarnation stems from failing to conceive the differences between the resurrection (hashr) and reincarnation (nas’h). This misunderstanding also originates from the ignorance that the other-world is an intermediary domain between the natural world and the intellectual domain. On the other hand, it is possible that they might accept such a view because of the fact that the souls were in need of the bodies at the beginning of their first creation. If we accept that the soul is in a substantial, essential movement, and at the end of this movement, by achieving a complete perfectness it obtains its independency through a formal existence, then there will be no misunderstanding of this kind. Hence, we have to understand the Qur’anic expressions that the otherworldly bodies will be identical with our present bodies with special reference of the form (sûra), not the body. After all, the individual body of a man remains the same all along his life with its form, not with its matter. “The crucial point concerning the resurrection (hashr) of human body is that the continuation of it, while remaining the same, will take place through its form and self (dhat) together with an ambiguous matter, not with its particular matter; because the matter changes constantly (IV. II, p. 32). Our existence in this world is a typical example of this, since our personification and unity in this-worldly existence has been kept the same from childhood to the end of life through the soul itself. As for the matter, it is an extremely ambiguous thing.

CONCLUSION
As it can be seen easily from the explanations we have already presented, it can be said that Mulla Sadra’s view of substantial movement and also the teaching of Return which has been developed by him on the basis of this view is a new and original way of explanation both in the history of thought of Islam and in the history of thought of the world. As we pointed out at the out set, although the terminology that Mulla Sadra used connotes a dualistic point of view of man, it is completely different from it. Hence, it is impossible to explain his conception of human being on the basis of a view aroused largely from the ancient Greek thought based on the body-mind distinction. There is almost no connection, for example, between Cartesian conception of man that is based on body-mind distinction, and Mulla Sadra’s conception of man. Hence, I believe that Sadra’s conception of man is much more appropriate to the Qur’anic holistic conception of man. So also this conception of man may be considered to be in agreement with some of the contemporary science-supported explanations of man.

Finally, I would like to remind you that there is a great similarity between Mulla Sadra’s teaching of Return and that of Ghazzali. Hence, I think that some criticism of Mulla Sadra, which has been raised against Ghazzali in this context, is a little bit extreme one.

BIBLIOGRAPHY

– al-Asfar, ed. Mohammed Rida al-Muzaffar, Tehran, 1387 AH, vol. IV, part II.

– Risala al-Hashr, ……?

– Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany, 197

Source:

http://readncogitation.blogspot.co.id/2016/03/body-mind-relation-with-regard-to-life.html?m=1


KAJIAN – Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi

$
0
0

KAJIAN – Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi

 taoisme book

 

Redaksi Islam Indonesia kali ini menurunkan rubrik “Kajian” berupa tulisan berseri tentang sosok fenomenal sekaligus kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam, yakni Syaikh Akbar Ibn Arabi. Tujuannya agar kita dapat sedikit memahami pemikiran salah satu ulama produktif dengan jumlah karya tidak kurang dari 300 buah itu, yang telah banyak mempengaruhi perkembangan khazanah keilmuan Islam. Dengan tulisan berseri ini, Redaksi Islam Indonesia berharap masyarakat Muslim Indonesia dapat memperluas wawasan tentang berbagai pemikiran yang berkembang di dunia Islam, sekaligus menyadari bahwa keragaman khazanah keilmuan Islam justru menunjukkan kekayaan dan keluasan agama Ilahi ini. Dalam kesempatan lain, rubrik “Kajian” juga akan menuangkan pemikiran tokoh-tokoh dan isu-isu penting lain yang diupayakan bersifat kritis dan mendalam.

* * *

Salah satu kekuatan Ibn Arabi ialah ketaatannya menggunakan alat seperti bahasa, logika dan teks dalam tiap aspek pemikirannya. Bagi seorang literalis, Ibn Arabi akan tampak memenuhi seleranya. Dalam bab Taharah (Bersuci) karya Al-Futuhat Al-Makkiyah yang pernah diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Menghampiri Sang Kudus”, Ibn Arabi terlihat sangat literalis, sedemikian sehingga kalangan tekstualis kehilangan alasan untuk melawan dan menolak argumennya.

Tapi, di sisi lain, Ibn Arabi berhasil menjadikan teks-teks Arab (yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis) seperti bola yang dia mainkan terus-menerus. Kata-kata bahasa Arab memang mendukung cara berfikir seperti ini. “Liarnya” Ibn Arabi (dalam menggunakan teks-teks) itu terakomodasi karena dia menguasai bahasa Arab bahkan dia menemukan ‘dzauq araby’ (rasa bahasa Arab asli) di dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya. Dan yang lebih utama, seperti kata Toshihiko Izutsu, bahasa Al-Qur’an itu sudah merasuki tiap pengalaman batin Ibn Arabi.

Seperti diketahui, bahasa Arab merupakan bahasa ‘huruf’ dan bukan bahasa ‘kata’. Satu huruf dalam bahasa Arab bisa memiliki banyak makna. Oleh sebab itu, dalam Alqur’an, Allah memulai dengan kata ‘ba’ dalam bismillah. Jika merujuk pada kamus, seperti ‘Lisanul Arab’ atau ‘Majma’ Al Ma’any’, kita akan menemukan bahwa huruf ‘ba’ itu saja memiliki banyak makna. Dan Ibn Arabi sangat pandai bermain-main dengan kelenturan kata sehingga berujung pada kesimpulan—yang bisa dikatakan—bersifat paradoksal. Jadi dia memulai dari seorang yang tampak literalis tapi berujung dengan seoarang yang non-literalis bahkan bisa dikatakan anti terhadap teks.

Fenomena ini tampaknya timbul dari seorang ahli suluk yang telah menyatu padu dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam pengantar terjemahan buku Taoisme-Sufisme karya Toshihiko Izutsu (Mizan, 2015) dikatakan bahwa Ibn Arabi sebenarnya menceburkan dirinya dalam pemahaman Al-Qur’an—yang ‘beyond’ imajinasi manusia. Oleh sebab itu, siapapun bisa “menggunakan” Al-Qur’an; mulai dari kelompok garis keras seperti ISIS hingga kaum Sufi; mulai dari filsuf dan sarjana zaman dahulu hingga sekarang. Hampir tidak ada orang yang tidak bisa memanfaatkan kandungan Al-Qur’an. Mau digunakan sebagai jalan kesesatan “hujjatun ‘alaih” atau jalan kebenaran “hujjatun lahu”. Keduanya sama-sama bisa menggunakan Al-Qur’an. Dan Ibn Arabi memahami “kemahakayaan” sekaligus “keliaran” Al-Quran itu.

Ibn Arabi menurunkan pengalaman ber-agama-nya dalam teks bahasa Arab yang sangat kaya dan lentur itu. Hal ini juga diakui oleh Toshihiko (yang berpendapat) bahwa teks-teks Ibn Arabi dibuat sedemikian rupa mirip isyarat-isyarat bagi mereka yang ingin membaca di balik teks. Penerjemahan buku ini (Taoisme-Sufisme) juga merujuk pada beberapa teks yang dikutip oleh Toshihiko dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa aslinya. Di sisi ini, teks asli Ibn Arabi memungkinkan untuk “digelandang” ke arah yang berbeda oleh orang yang berbeda. Bahkan, orang bisa melihat kemungkinan tabrakan antara terjemahan Toshihiko dari teks-teks asli Ibn Arabi dalam bahasa Arab dengan terjemahan orang lain.

Oleh sebab itu, tidak salah apabila orang membaca Ibn Arabi merasa bahwa semua agama sama. Atau merasa, hanya agama Islam satu-satunya agama yang benar. Keduanya sama-sama valid. Apa pasal? Karena teks Ibn Arabi berusaha sedapat mungkin mengikuti teks-teks Al-Qur’an yang juga memungkinkan kesalahpahan yang sama. Ini bukan karena niat buruk si penafsir melainkan karena kekayakan makna yang terkandung dalam teks tersebut.

Seperti sudah diketahui oleh para peneliti, ketika menyebut dirinya dengan ‘‘Ibn Arabi”, sebenarnya dia ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya merupakan orang yang menjiwai ‘Arab’. Namun, perlu diketahui, bahwa Arab itu bukan rujukan etnik. Tidak sedikit orang mengira bahwa Arab itu etnisitas dan itu anggapan yang salah. Kajian-kajian kontemporer menunjukkan bahwa Arab itu adalah bahasa. Dan makna Arab sebagai bahasa itulah dirujuk oleh Al-Qur’an saat menyebut dirinya sebagai “Arab”.

Atas dasar itu, ada bangsa yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan etnisitas Arab tapi kini justru menjadi salah satu tonggak Arab seperti bangsa Mesir. Mesir sebenarnya bangsa Afrika dan tidak memiliki hubungan geonologis dengan Arab. Namun, kini Mesir bisa dikatakan sebagai salah satu produsen sastra Arab yang terbesar di dunia Islam. Sampai ada lelucon yang mengatakan: Mesir menulis, Lebanon mencetak, dan Irak membaca.

Demikianlah watak bahasa Arab yang bisa dipakai siapa saja. Sampai sekarang, meskipun telah luntur, tradisi menulis dengan teks Arab masih bisa kita lihat di sejumlah pesantren. Inilah yang dimaksud dengan ‘arabiyun mubin’ di dalam Al-Qur’an. Ayat ini tidak merujuk pada etnik karena di sisi lain, Al-Qur’an juga mengecam Arab sebagai etnik. Ibn Arabi menggunakan bahasa yang sangat lentur ini karena bahasa Arab mungkin dianggap berbeda dengan bahasa lain. Di antara perbedaannya ialah bahasa Arab itu tidak diproduksi oleh kaumnya. Orang Arab tidak memproduksi bahasa Arab. Mereka hanya memakai bahasa Arab. Dan menariknya. selain bangsa Mesir, bangsa Persia juga sangat berjasa dalam mengembangkan bahasa Arab ini, melalui tokoh semisal Sibawayh.

Untuk mengenal cara berpikir Ibn Arabi, perlu juga diketahui bahwa orang Arab secara historis tidak memiliki budaya tapi hanya memproduksi syair dan untaian kata. Mereka tidak memiliki karya tulis, (hasil karya) pemikiran, sedemikian sehingga Allah menyebut mereka sebagai “ummiyiin” atau orang-orang yang buta huruf. Oleh sebab itu, bahasa yang mereka pakai merupakan bahasa yang murni (asli) tanpa intervensi karakteristik budaya bangsa-bangsa pemakainya. Selain pengguna bahasa Arab terdiri dari berbagai bangsa, kita ketahui juga bahwa di Madinah (Yastrib) pada masa itu terdapat bangsa Yahudi, Afrika, berbagai suku Arab, dan sebagainya.

Dengan hampir tidak adanya budaya dari beragam bangsa itu yang mempengaruhi makna atau etimologi bahasa Arab, maka ia merupakan bahasa murni yang bisa dipakai oleh siapa saja. Mengapa qari (pembaca Alqur’an) Indonesia suaranya bisa sama dengan “makharij” orang yang lahir di tanah Arab? Inilah kekhasan dan keluarbiasaan bahasa Arab. Jadi bahasa Arab itu sendiri dalam dirinya – ketika Allah pilih sebagai bahasa Al-Qur’an – adalah suatu mukjizat. Mungkin inilah salah satu makna ayat yang berbunyi: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran (dan pengingatan), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”(QS. 54: 17).

Begitu mudahnya orang bisa menyebut, mengungkap, menghafal, dan memahami kalimat-kalimat Arab di dalam Al-Quran ini sedemikian sehingga orang dari Sulawesi Barat bisa mengucapkan sama persis seperti orang di tanah Arab yang jaraknya ribuan kilometer. Ketika orang yang bukan dari tanah Arab membaca Al-Quran, ia bisa seperti orang Arab. Demikianlah kekuatan bahasa Arab.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahasa Arab itu terdiri dari huruf-huruf. Dalam kaidah bahasa Arab yang mengatakan “ziadatun mabani tadullu ala ziadatin ma’ani” yang berarti huruf satu ditambah huruf lainnya akan menambah makna dari huruf tersebut. Implikasinya, huruf ‘ba’ memiliki makna ‘dengan’, atau bisa berarti ‘bersama’, ‘di dalam’, ‘disebabkan’ dan lain-lain. Ketika ditambah ‘ismullah’ dan menjadi ‘bismillah’, bisa dibayangkan berapa makna yang timbul dari kata itu. Dan kata ‘ism’ itu sendiri ada ‘musytak’-nya, masdar-nya, bisa di-saraf-kan dan bahasa inilah yang dipakai secara imajinatif oleh Ibn Arabi. Nyaris mustahil bagi orang yang ingin memahami Ibn Arabi tapi tidak menggunakan pintu bahasa Arab ini.

BzQfr9fCQAE-_EY

Toshihiko Izutsu memiliki kepakaran dalam bidang “permainan bahasa” ala Ibn Arabi. Bisa dikatakan, Toshihiko memiliki kepekaan semantik dan cita rasa bahasa yang baik. Karenanya, dia mulai mempresentasikan pemikiran Ibn Arabi dengan mengatakan bahwa, bagi Ibn Arabi, apapun yang kita lihat, rasakan, dengarkan, dan semua kita yang saling bertatapan saat ini adalah “mimpi”. Tentu, sebagai seorang literalis, Ibn Arabi berpijak pada hadis ini: “Annasu niyamun idza maatuu intabahuu” yang berarti semua manusia tidur, barulah terbangun setelah mereka mati.

Pintu masuk yang dipilih oleh Toshihiko ini memang ‘canggih’ dan dahsyat. Dari sekian banyak pengalaman, ternyata ia memilih pintu masuk ini. Dan ini termasuk salah satu sisi kreatifnya. Kemudian kata Ibn Arabi, karena kita ini mimpi, ia perlu ditakwil. Apa arti ditakwil? Artinya dicari makna sesungguhnya. Seperti kita yang saling bertatapan dan saling berdialog (dalam sebuah forum pertemuan atau kelas), menurut Ibn Arabi, semua ini perlu ditakwil agar kita menemukan makna sebenarnya di alam yang sesungguhnya.

Selanjutnya Ibn Arabi mulai mendedah alam mimpi itu dengan berbagai contoh. Misalnya, Ibn Arabi mengatakan bahwa Nabi Yusuf tidak bisa dibandingkan dengan Nabi Muhammad. Hal ini disebabkan Nabi Muhammad sejak awal telah mengatakan bahwa manusia ini tertidur dan sedang bermimpi. Mimpinya pun bermacam-macam. Ada yang bermimpi (sedang) jadi presiden, meski kelihatannya jadi presiden. Namun, kata Ibn Arabi, mimpi kita ini bukanlah mimpi palsu, ilusi atau tanpa makna. Ini adalah, menurut Ibn Arabi, mimpi di dalam mimpi. Siapakah yang mimpinya di dalam mimpi? Orang yang mimpinya benar seperti para nabi yang melihat ‘ru’yah shodiqah’ maupun yang mimpinya semu dan tidak bermakna seperti kaum materialis.

Kembali ke soal Nabi Yusuf. Ibn Arabi berkata bahwa Nabi Yusuf sejak muda bermimpi melihat “ahada asyara kaukaban wa syamsa wal qamara raitu hum li saajidiin,” (sebelas bintang, bulan, dan matahari bersujud kepadanya. – Q.S. Yusuf; 5) . Lalu Ayahnya meminta beliau merahasiakan mimpi tersebut, agar saudara-saudaranya tidak berbuat makar kepadanya.

Menurut Ibn Arabi, maqam (kedudukan spiritual) Nabi Yusuf di bawah Nabi Muhammad. Mengapa? Karena Nabi Yusuf masih ingin mengetahui mimpi di dalam mimpi. Sementara Nabi Muhammad telah mengatakan bahwa semua ini adalah mimpi. Dan takwil mimpi kita akan terungkap setelah kita mati, yakni ketika kita semua terbangun ke alam yang lain.

Nah, karena kita saat ini sedang mimpi, menurut Ibn Arabi, ada dua cara agar kita terbangun dari mimpi kita. Kedua cara itu, meminjam istilah filsafat, adalah cara ‘epistemologis’ dan ‘ontologis’.

Cara ontologis bangun dari mimpi adalah dengan ‘ifna ad-zat’ (penghilangan ego). Yaitu merontokkan diri di hadapan Sang Maha Hadir. Dan dengan mem-fana-kan atau menghilangkan ego, sesungguhnya kita telah mengoyak hijab tidur di alam biologis ini. Kita telah membangunkan diri hakiki kita. Salah satu yang bisa kita pahami dari fana ialah sirna atau binasa. Lalu bagaimana metode ‘pembinasaan’ ego itu?

Ibn Arabi banyak sekali berbicara tentang fana. Mungkin di antara yang cukup mempengaruhi Ibn Arabi dalam soal terminologi fana ini adalah gurunya sendiri, Syekh Abu Madyan. Orang-orang bisa melihat Ibn Arabi dalam melakukan metode ontologis dari memandang Ibn Arabi sebagai orang yang sangat syar’i. Maksudnya, dia menjalankan syariat sangat teguh. Sedemikian sehingga orang ini dikenal dalam literatur hagiografisnya sebagai seorang yang sangat kecil tubuhnya, kurus, dan pucat wajahnya. Jika kita melihat langsung di masa hidupnya, mungkin kita tidak mengenali bahwa inilah orang yang memiliki pemikiran hebat karena penampilannya yang kusam, kurus, kering, pucat disebabkan seringnya puasa dan melancong.

Bagi Ibn Arabi, ketika orang melepaskan unsur-unsur biologisnya, ketika itu pula orang bangun dari tidur biologisnya. Ia terjaga ke suatu kesadaran spiritual. Ini salah satu cara dan cara lainnya, menurut Ibn Arabi, meninggalkan nalar. Meninggalkan nalar di sini bukan berarti menjadi orang yang irasional. Tetapi membatasi rasionalitas dan menerima apa yang datang dari Allah sebagai pengetahuan sepenuh hati.

Perlu diingat, (yang dimaksud ialah) meninggalkan interpretasi atau analisis atas pengetahuan yang datang – biasa ia menyebutnya sebagai ‘waridat’ atau isyarat yang datang padanya. Karena menurutnya, (proses) nalar seperti inilah yang membuat manusia tertidur di alam nalarnya. Nalar ini membawa kita ke interpretasi sehari-hari di alam mimpi dan sudah terbiasakan seperti itu. Sedemikian terbiasanya nalar ini mengikuti panca indra alam mimpi itu, maka nalar ini perlu ditinggalkan dulu untuk dapat bangun dari tidur biologis.

Ibn Arabi juga mengatakan bahwa akal manusia berderajat sebagaimana wujud manusia. Akal manusia biologis akan mengikuti panca indranya dan karena panca indra merupakan alat yang terbatas maka akal ikut terbatasi. Oleh sebab itu, menurut Ibn Arabi, di alam mimpi ini, orang harus sering menggunakan imajinasinya (quwwah khayaliyyah). []

Salah satu cara menarik Ibn Arabi dalam memaparkan pemikirannya ialah dengan menarik kita ke dalam perasaan atau pengalamannya. Dia ingin mengatakan kepada kita bahwa meskipun alam wujud ini bertingkat-tingkat, namun bentuknya bukan seperti bangunan bertingkat yang bersifat ‘spasiotemporal’. Yang terjadi ialah satu tingkatan selalu ada bersamaan dengan tingkatan lainnya. Hanya saja, berbagai tingkatan itu layaknya kelap kelip cahaya yang ketika di sini mati, di sana tetap menyala dan demikian pula sebalinya. Lampu yang jadi media cahaya di tiap tingkatan pun selalu tersedia meski tidak selalu terpakai.

Sebagai ilustrasi, Ibn Arabi membawakan pada kita kisah Nabi Idris dan Nabi Ilyas. Menurutnya, kedua nabi ini jatidirinya sama meski punya dua sosok yang berbeda. Nabi Idris mendaki alam malakut dan sesampainya di tempat tertinggi, Allah mengatakan pada nabi yang diutus sebelum Nabi Nuh itu untuk turun lagi dan mengulang secara terbalik. Allah tidak hanya menyuruhnya turun ke alam manusia, tapi memintanya turun hingga ke alam paling bawah dan hidup layaknya benda-benda mineral. Untuk itu, Dia mengutus Nabi Idris dalam sosok Nabi Ilyas.

Nabi Ilyas, menurut Ibn Arabi, merupakan nabi yang mengaktualisasikan semua potensi biologisnya sampai dia turun dari alam binatang menuju ke alam bebatuan dan mineral, lalu mengaktualisasikan seluruh potensi mineralnya hingga turun lagi ke alam yang paling rendah. Kata Ibn Arabi, di alam yang paling rendah ini dia menemukan hakikat yang sama yang dia temukan di alam yang tinggi (malakut). Karena kedua alam itu bertemu kembali, kedua alam itu adalah dua dimensi dari Wajah Al-Haq yang berbeda.

Perjalanan kita, menurut Ibn Arabi, dari alam dzarra, rahim, dan seterusnya adalah perjalanan yang tiada henti. Manusia saja yang mengira bahwa perjalanannya akan berhenti. Padahal Allah tidak menghentikan apapun. Mustahil bagi-Nya menghentikan sesuatu. Toh, Dia Maha Kaya dan tidak takut kehilangan apa-apa. Allah Maha Pemurah lagi Maha Pemberi tidak mungkin menghentikan kemurahan dan pemberian. Dia akan memberi semua sarana bagi tiap makhluk untuk terus menyempurna. Dan inilah yang dimaksud dengan wahdatul wujud: penyatuan wujud dalam berbagai tingkatan, derajat dan dimensi yang berbeda-beda.

Wahdatul wujud berarti wujud yang berderajat atau bertingkat. Tapi dalam setiap tingkatannya, ada kesadaran yang berbeda-beda. Misalnya, ketika kita ada pada kesadaran indrawi dan biologis, maka kesadaran kita pada tingkatan wujud lainnya untuk sementara ‘off’. Begitu pula dengan tingkat wujud yang lain lagi juga ‘off’.  Nah, saat kita ‘off” atau mati dari kesadaran indrawi dan biologis, barulah kita ‘on’ di kesadaran tingkatan lain. Begitu kita mati dari kesadaran indrawi ini, maka kita memasuki kesadaran alam selanjutnya. Sesaat setelah  tingkatan ini ‘off’, kesadaran pada tingkatan lainnya akan ‘on’.

Namun, menurut Ibn Arabi, ‘off’ bukan berarti tidak ada, atau baru diciptakan. Hal ini karena prinsip Ibn Arabi bukan prinsip penciptaan, tapi prinsip penyadaran dan kebangkitan sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi: “Semua manusia tidur. Setelah mati (off) barulah mereka terbangun.”

Pada titik ini, pandangan Ibn Arabi berbedan dengan para teolog. Para teolog berpijak pada ‘creatio ex nihilo’ atau ‘penciptaan dari ketiadaan’. Kata Ibn Arabi, mengapa Allah (harus) mengadakan dan menciptakan sesuatu? Bukankah Allah selalu Ada?! Dan karena Dia selalu Ada, maka tentu tajalli dan penampakan-Nya selalu ada. Dan Allah memberikan tajalli kepada siapa saja, dan kepada seluruh titik alam ini dengan pancaran cahaya-Nya, bayang-bayang eksistensi-Nya, dengan kehendak-Nya, tanpa batas.

Jadi, penciptaan segala sesuatu itu bukan dari suatu ketiadaan, karena ketiadaan itu bukan sesuatu untuk dapat menjadi sumber bagi penciptaan. Atau bahwa Dia menciptakan satu tingkatan lalu setelah sekian lama menciptakan tingkatan lain lagi. Mengapa (harus) menunggu? Kesadaran manusia-lah yang melihat demikian, lantaran -“on-off”-kesadarannya. Manusia mimpi memasuk satu tingkatan dan kesadarannya di tingkatan lain “off” sampai dia “off” (baca: mati) dari tingkatan yang pertama dan “on” di tingkatan berikutnya dan begitu seterusnya.

Menariknya, dengan pemaparannya ini, Ibn Arabi telah ‘menghangatkan’ cara berfikir filsafat yang cenderung kering dan dingin. Bahkan, dia telah ‘mendidihkan’ filsafat hingga bergolak. Sedemikian sehingga orang yang memiliki latar belakang filsafat saat membaca Ibn Arabi akan menemukan suatu pergolakan, pendidihan, dan penghangatan. Ketika filsuf berbicara tentang konsep-konsep universal yang seolah tidak ada wujudnya di alam ini, Ibn Arabi mampu mengamati dan menafsirkan isyarat-isyarat yang detail dan kecil di alam ini. Termasuk mengamati kisah-kisah hagiografis para nabi.

Oleh sebab itu, dalam ontobiografinya, Ibn Arabi mengisahkan perjalanan hidupnya sejak kecil dengan detail, termasuk pertemuannya dengan tokoh lain seperti Ibn Rusyd, bagaimana dia menghafal Al-Qur’an, berjalan dari Andalusia dan sebagainya yang semuanya diingat dengan baik. Hal ini berbeda dengan filsuf yang cenderung tidak suka dengan hal-hal yang detail atau partikular. Karena kelebihan ini, para filsuf Islam juga memiliki ketertarikan pada pemikiran Ibn Arabi.

Boleh dikatakan, Ibn Arabi turut mempengaruhi perjalanan filsafat Islam sebagaimana dia mempengaruhi perjalanan tasawuf dalam Islam. Hal ini tidak lepas dari kekayaan dan kehangatan pemikirannya, imajinasinya yang melanglang buana serta ‘eksploitasnya’ yang mendalam dan cantik terhadap Al-Qur’an. Termasuk bagaimana dia menggunakan keunggulan bahasa Al-Qur’an ini dalam membuka cakrawala pemikiran Islam.

Sebagai contoh, dalam tema tanzih dan tasybih, biasanya orang mengatakan ‘subhanallah’ diartikan Allah itu tidak menyerupai (tasybih) makhluk. Kemudian kita nafikan (tanzih) keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Sementara kata Ibn Arabi, ketika Allah menyatakan ‘laisa kamitslihi syaiun wa hua as-sami’ul bashir’, itu berarti; ‘tiada keserupaan yang menyerupai-Nya,’ pada saat yang sama Dia menyatakan; ‘dan Dia Maha Mendengar dan Melihat’.

Bukankah mendengar dan melihat juga pekerjaan makhluk? Tentu tidak serupa dengan dengan makhluk-Nya tapi (tetap) ada penyerupaan. Oleh sebab itu, ketika berbicara tentang Nabi Nuh dan kaumnya, Ibn Arabi mengatakan bahwa Nabi Nuh dan kaumnya saling bertentangan. Kaumnya menyembah berhala (tasybih) sedang Nabi Nuh ingin menafikan berhala (tanzih). Menurut Ibn Arabi, ini adalah mazhab Furqan atau memisahkan antara tasybih dan tanzih. Yang benar, bagi Ibn Arabi, ialah mazhab Qur’an. Arti Qur’an adalah ‘al-jam’u bayna al-tasybih wa al-tanzih’ (mengumpulkan antara tasybih dan tanzih).

Kembali kepada Nabi Nuh. Kata Ibn Arabi, sekiranya Nabi Nuh menganut mazhab Qur’an maka beliau tidak akan menafikan umatnya. Dan inilah (keunggulan) mazhab Rasulullah Saw. Mazhab Rasulullah Saw tidak menafikan penyembah berhala apalagi menghancurkannya. Beliau menggabungkan semua dalam rahmat dan kasih sayang. Bukankah orang yang menyembah berhala juga bermaksud menyembah Allah Swt? Jadi, beliau bisa menerima sekalipun berhala-berhala itu tidak boleh di tempat-tempat tertentu dimana tanzih harus dilakukan.

Edy/Islam Indonesia/Ditranskrip dari Bedah Buku Taoisme dan Sufisme karya Toshihiko Izutsu. 2 Maret 2016 di UIN Sunan kalijaga

Sumber:

http://islamindonesia.id/berita/kajian-ibn-arabi-hidup-ini-hanyalah-mimpi-bagian-pertama.htm


Titik-titik Peradaban Nusantara, Trans TV

$
0
0

Kita ini sejatinya luar biasa, bahkan leluhur leluhur kita lebih melek teknologi , lebih beradab dan lebih berbudaya.

Perhatikan Siapa yang Adidaya/Adikuasa di Dunia..?!

pada abad ke-3 tahun 270, ada seorang pegawai bea cukai dari
pelabuhan Guangzou, Wan Shen, dia menulis, kapal dagang dari
selatan (jawa) dagang ke cina, ukuran kapalnya tiga kali lebih
besar dari kapal ukuran cina. Bisa dinaiki 700 orang awak kapal
dan mampu memuat 10.000 ton barang. Yang mana saat itu
bangsa Cina belum mampu membuat kapal sebesar itu.

Belum lagi kemampuan membuat bangunan-bangunan (candi) yang besar. Itu semua tercatat. Bahkan sejak tahun 648 Indonesia untuk pertama kali, Sudah memiliki kitab undang-udang hukum pidana dan perdata, namanya kitab Kalingga Darma Sastra. Disusun oleh Raja Kalingga, Kartisea Singa, istrinya yang terkenal bernama Ratu Sima. Ini merupakan KUHP pertama, terdiri dari 119 pasal
Save nusantara
Jaya jaya wijayanti

Mari kita Lawan Upaya Kolonial Penjajah ini. Simaklah tayangan berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=jzFDP3Uzl1Q

dan lain-lain EPISODE film dokumenter situs sejarah lainnya di Youtube TITIK PERADABAN,  TRANS TV.

 

 


Profil Prof.Dr. Abdul Hadi WM, guru kami yang inspiratif, sebagaimana diceritakan putrinya.

$
0
0

4 mins ·

 Profil guru kami yang inspiratif sebagaimana diceritakan putrinya.

Abdul Hadi WM's photo.

Abdul Hadi WM

AYAH SAYA dan PENDETA-PENDETA.

Beberapa hari lalu, teman facebook saya yang juga adik kelas sejurusan di Unpad jurusan Sejarah, Adif Sahab membagikan foto-foto jadul mengenai iklan-iklan produk dan jasa yang memasang ucapan “Selamat Natal dan Tahun Baru” dalam beberapa majalah Muhammadiyah sekitar tahun 1980an. Meskipun kiriman foto-fotonya mengingatkan saya pada kontroversi ucapan Selamat Natal dari Buya Hamka, yang oleh cucu-cucunya seperti kakanda Sadrah Prihatin Rianto mendapat bantahan bahwa beliau pernah mengharamkannya. Akan tetapi, saya juga justru terpikir untuk menuliskan tentang sosok Muhammadiyah yang paling saya kenal ini, yang membesarkan saya dengan tradisi Muhammadiyah yang sama sekali tidak seperti mainstream kenal tentang Muhammadiyah maupun mainstream kenal tentang mainstream Muhammadiyah.

27bb1-11252208_818733758253759_1443922636_nAyah saya berasal dari keluarga besar yang kaya oleh keberagaman tradisi religius dan spiritual. Terlahir di Madura, dari rahim seorang putri Jawa, dan buah seorang peranakan Tionghoa, namun sangat Melayu di mata saya. Kakek buyut dari sebelah ayahnya adalah seorang pengikut Sufi dari tradisi seperti lazimnya NU di Nusantara, dari mazhab sufi Syaikh Abdul Qadir Jailani. Kakek-kakek dalam seluruh keluarganya yang merupakan para saudagar dan priyayi peranakan Tionghoa kemudian merintis ranting atau cabang Muhammadiyah di daerah mereka di Pasongsongan, Madura dan sekitarnya. Sejak itu, hampir seluruh keluarga besarnya menjadi pengikut Muhammadiyah, dan banyak terdapat tanah-tanah yang diwakafkan atau dibangun untuk mushola, serta sekolah-sekolah Muhammadiyah seperti TK dan SD. Tentu saja ini unik, bayangkan sudahlah mereka ini minoritas keturunan Tionghoa Muslim yang mewarisi tradisi yang agak banyak perbedaan dari orang-orang Madura di sekeliling mereka, mereka pun menjadi minoritas Muhammadiyah di tengah-tengah warga NU Madura.
Seingat saya, kakek saya dari pihak ayah saya bukanlah pribadi yang menggebu-gebu, antusias atau semacam itu dalam masalah keagamaan. Beliau tampaknya lebih menonjol sebagai seorang pengusaha yang tekun dan sangat menyukai kesenian, karena mahir bermain biola. Ini mungkin karena ayahnya (kakek dari ayah saya) konon sering menyelenggarakan acara kesenian lokal, menyenandungkan Macapatan khas setempat dan sering mengembara — baik untuk tujuan bisnis maupun tujuan spiritual yang terkesan lebih sufistik daripada “berkarakter Muhammadiyah.”

abdulhadiwmtogaNamun, yang paling saya ingat sebagai pribadi yang religius dan spiritual adalah nenek saya, atau ibu dari ayah saya. Nenek saya adalah seorang putri bangsawan Jawa dari trah Mangkunegaran III, yang entah bagaimana, kemudian menjadi aktivis Aisiyah mengikuti tradisi keluarga besar suaminya. Saya masih ingat bagaimana nenek saya selalu mengingatkan saya sholat ketika saya masih kanak-kanak dan berlibur di rumahnya, tidur di ranjangnya yang dipenuhi kembang-kembang melati. Dan, yang paling membekas bagi saya adalah bagaimana ia menasehati saya untuk selalu berpakaian sopan, mengenakan rok atau celana di bawah lutut, tetapi tidak sekalipun menyuruh saja berjilbab atau berkerudung.

Konon, ayah saya baru belajar bahasa Melayu formal ketika kelas 3 SD, dan ia mengklaim sebagai cucu paling pintar di sekolah di antara seluruh cucu kakeknya sehingga mengenang betapa kakeknya sangat bangga dan men-cucuemas-kannya. Saya rasa gabungan dari “tradisi dagang” dari para peranakan Tionghoa yang berdagang dan “tradisi priyayi” dari para peranakan Tionghoa yang menjadi arsitek, insinyur, mubaligh, dll dalam keluarga besar ini memberi pengaruh penting kepada kakek-kakek dari ayah saya untuk mengutamakan pendidikan dan sangat mengapresiasi kehidupan intelektual.

abdulhadiwmSelain itu, saya merasa bahwa nenek saya lebih memberikan pengaruh kepada ayah saya yang kemudian memilih tidak terjun menjadi pedagang meneruskan bisnis keluarga, tetapi menjadi priyayi seperti keluarga pihak ibunya sebagai seorang pengajar. Di hari-hari kemudian, ketika ayah saya harus meninggalkan Madura untuk melanjutkan pendidikan di pulau Jawa, ayah saya bertemu dan menjadi akrab kembali dengan tradisi keluarga besar ibunya. Adalah menarik ketika saya justru mendapat nama kedua dari “Serat Wedhatama” yang dikarang oleh salah satu saudara sepupu kakek buyut dari ibunya, Mangkunegaran IV. Jujur, saya merasa nama yang saya dapatkan dari ayah saya sungguhlah berat dari makna yang zahir maupun yang batin.

Ayah saya adalah salah satu dari pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) bersama Amin Rais, yang pernah seasrama dengannya, dan almarhum penyair Slamet Sukirnanto dan seperti umumnya mahasiswa Muslim ketika itu, ia juga merupakan kader HMI. Dan, melalui perjalanan hidupnya ia bersahabat dengan tokoh-tokoh NU seperti Gus Mus dan Gus Dur, serta tidak pernah tertarik untuk terikat dengan kelompok-kelompok kesenian berdasarkan ideologi. Melalui ayah saya, saya mengenal Taufik Ismail, tetapi juga mengenal karya-karya Pram tanpa merendahkan atau menghina sama sekali ideologi komunisme dan Marxisme. Ketika saya masih kanak-kanak, saya dan adik-adik saya bahkan dibiarkan diasuh oleh keluarga Njoto yang bertetangga dengan kami, yang istri Njoto (RA Soetarni) merupakan saudara sepupu nenek saya dari trah MN III, dari satu rahim perempuan jelata yang sama, yang diperselir oleh seorang pangeran MN III.

Melalui ayah saya pula, saya pertama kali berkenalan dengan Syiah dan agama-agama lain. Di akun facebooknya, misalnya ayah saya menjadi pengajar “gratisan”, bahkan secara terbuka sering membagikan lukisan-lukisan atau foto-foto perempuan cantik yang kadang-kadang berpakaian seksi atau bergaya sensual. Darinya (dan tentu ibu saya yang seorang pelukis), saya berkenalan dengan beragam mazhab senirupa, dimana rumah kami tidak pernah kosong dari lukisan berbagai aliran seni.
Tidak jarang orang menganggap bahwa ayah saya telah menganut Syiah, padahal dalam ritual-ritualnya ia tidak pernah meninggalkan fikih sesuai tradisi Muhammadiyah yang berijtihad merujuk dari keempat-empat mazhab fikih Sunni yang populer. Akan tetapi, ayah saya tidak pernah sekali pun menganjurkan saya berkerudung atau berjilbab, bahkan tidak pula memberi komentar ketika pada hari ulangtahunnya di tahun 1997 saya memutuskan berjilbab. Begitulah pula kepada ibu saya, tidak pernah menyuruh bahkan tidak pernah mengomentari pilihan pakaian ibu saya sama sekali. Itulah sebabnya jangan terkejut jika bukan hanya saya yang memutuskan kembali meneruskan tradisi berkerudung gaya nenek saya, tetapi ayah saya mendukung sepenuhnya adik tengah saya tidak berjilbab, dan adik bungsu saya yang membuka jilbabnya.

Justru ibu saya yang mengikuti yang mainstream dan populer dalam keberagamaan masyarakat, kadang-kadang juga tidak bisa mengikuti jalan pikiran ayah saya. Namun, ayah saya juga sangat mendapat pengaruh dari ayah mertuanya — kakek saya — yang merupakan pengikut Sosrokartonoan, seorang Javanolog, pemikir, perenung dan pencinta dunia yang sama dengannya. Tampaknya, di antara seluruh menantu lelakinya, ayah saya merupakan satu-satunya menantu kakek saya (yang priyayi sekali itu) yang mana ia bisa berbagi dunia pemikiran dan spiritual yang sama-sama mereka tekuni.

Dalam banyak hal, saya sesungguhnya banyak bertentangan pendapat dengan ayah saya. Ada kalanya saya merasa perlu menjadi antitesis dari seorang Abdul Hadi WM. Apalagi, di antara seluruh putrinya, saya merupakan satu-satunya yang dididik di sekolah Muhammadiyah, ditarik menjadi aktivis IMM, tertarik menjadi kader HMI dan tertarik kepada dunia serta tema-tema yang ditekuninya. Saya tidak tahu bagaimana ini terjadi. Ibu saya telah berusaha mengajari saya bermain musik, sampai meminjam gitar terbaik milik sahabatnya almarhum Franky Sahilatua, tetapi saya malah mengikuti jejak ayah saya yang sama sekali tidak mahir bermain musik. (Ibu mengeluh, dan menyindir saya karena seluruh saudara kandungnya bisa bermain gitar dan sebagian besar mahir bermain piano). Mungkin ini juga karena sejak SMP saya terbiasa menjadi asisten pribadinya, mengetik tesisnya yang baru diperbaiki, atau membantu membaca karya-karya sayembara yang ia menjadi jurinya. Kadang-kadang bahkan kami bertengkar berebut buku dari perpustakaan kecilnya, atau dia marah karena saya mengambil buku yang sedang diperlukannya untuk mengajar atau menulis makalah.

Ya, ayah saya berasal dari keluarga yang bineka, baik secara aliran ke-Islam-an maupun agama. Meskipun berMuhammadiyah, ayah saya tidak melarang ibu saya ikut bahkan menyelenggarakan tahlilan, apalagi berziarah, dan bahkan dirinya senang berMaulidan ala NU dan lebih akrab dengan penyair-penyair NU seperti Gus Mus dan familinya Zawawi Imron daripada seniman-seniman Muhammadiyah. Almarhum adik tengahnya pernah menjadi anggota Ahmadiyah dan menikah dengan seorang perempuan Ahmadiyah lalu bercerai. Kini keponakannya dan mantan saudari iparnya tetap menjadi Ahmadiyah, dan ayah saya sama sekali tidak pernah terucap mengkafirkan mereka apalagi mengajak-ajak mereka keluar dari Ahmadiyah.

Sewaktu kecil saya ingat kami selalu pergi ke rumah saudara-saudara atau sahabatnya yang Kristen untuk mengucapkan selamat Natal, atau saudara ibu saya yang Kristen. Ketika mendapat penghargaan Habibie beberapa tahun silam, ayah saya tiba-tiba bangun dari kursi dan memeluk Romo Magniz Suseno yang hadir meskipun keduanya belum saling mengenal. Saya teringat suatu peristiwa lucu ketika Romo Fransesco Marini menjenguk saya di rumah sakit, mereka berdua mengobrol akrab dan kadang-kadang antara jawaban dengan pertanyaan saling tidak menyambung karena Romo Marini tidak memakai alat bantu pendengarannya, dan ayah saya juga sebenarnya akhir-akhir ini telah berkurang ketajaman pendengarannya. Jadilah, saya berusaha keras untuk menahan tawa (bagaimana tidak, kan yang satu bapak saya, dan yang satu guru Alkitab saya!).

Beberapa hari lalu, ayah saya, ibu saya dan saya pergi mengunjungi tetangga sebelah yang adalah keluarga pendeta Protestan dari Gereja Kemah Injil untuk mengucapkan selamat Natal. Ayah saya seperti biasa menguasai percakapan dan bercerita begitu banyak hal tentang agama-agama dan aliran-aliran di dunia, yang kadang kala saya sanggah, juga bercerita tentang teman-temannya yang pendeta Protestan, Mormon, dan lain-lain. Juga ia bercerita tentang pengalamannya keliling dunia menyaksikan berbagai tradisi keagamaan, termasuk ke pedalaman-pedalaman seperti Mentawai yang ia sayangkan dipaksakan untuk berpindah agama dari agama lokal menjadi antara tiga: Islam atau Kristen/Katholik. Sementara itu pak pendeta bahkan agak kesulitan mengikutinya, masih begitu keberatan dengan penyebaran aliran Mormon dan gereja-gereja ‘yang bidat dalam pandangannya’ yang didukung dirjen kemenag. Satu-satunya kalimat ayah saya yang penting saya garisbawahi adalah tidak mengapa semua aliran itu berkembang, biarkan saja, yang terpenting tidak membuat kerusakan.

RA Gayatri WM

 


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live