Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

DASA SILA BANDUNG 1955 MASIH RELEVAN DAN HARUS MENJIWAI KAA BANDUNG KE-60

$
0
0
Politik
15-04-2015
EXECUTIVE SUMMARY SEMINAR TERBATAS GFI SELASA 14 APRIL 2015
DASA SILA BANDUNG 1955 MASIH RELEVAN DAN HARUS MENJIWAI KAA BANDUNG KE-60
Penulis : Tim Redaksi The Global Review
Selasa 14 April 2015, merupakan momen yang istimewa bagi Global Future Institute. Dalam rangka menyambut Konferensi Asia-Afrika (KAA) ke-60 19-24 April, lembaga kajian masalah internasional dan geopolitik yang berdiri sejak 11 Oktober 2007 tersebut, telah menggelar seminar terbatas betema: REVITALISASI  DASA SILA BANDUNG 1955.

Dari sekitar 40 peserta seminar yang memenuhi auditorium Wisma Daria yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dua pejabat pemangku kepentingan(stakeholder) kebijakan luar negeri khususnya terkait penyelenggaraan KAA hadir dan ikut berpartisipasi  dalam dialog dan tukar pikiran terkait tema tersebut.Andreas Sitepu, pejabat senior Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, dan Thomas Ardian Siregar, Kepala Museum KAA Bandung dan dan Ketua Asosiasi Museum Indonesia Wilayah Jawa Barat.

Selain itu, M Hasyim, staf senior bidang kajian Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), dan Entjeng Shobirin Nadj, Wakil Sekretaris Jenderal  Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU).

Hampir semua peserta, baik narasumber maupun peserta aktif seminar, sepakat bahwa DASA SILA BANDUNG masih relevan dan harus tetap dipertahankan, sehingga harus menjiwai dan menjadi sumber inspirasi negara-negara peserta KAA ke-60 baik yang berlangsung di Jakarta maupun Bandung.

Andreas Sitepu yang hadir dalam kapasitas mewakili Kementerian Luar Negeri RI, mengajukan beberapa poin penting antara lain:

  1. Berterima kasih atas undangan untuk ikut partisipasi dalam seminar yang diselenggarakan Global Future Institute.
  2. Dasa Sila Bandung yang diinspirasi oleh terbentuknya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga kini masih tetap relevan, karena selama ada Piagam PBB berarti Dasa Sila Bandung masih tetap relevan.
  3. Dasa Sila Bandung masih relevan dalam hidup berbangsa di berbagai negara.
  4. Setelah perang dunia kedua, kemudian perang dingin, KAA memberikan kontribusi yang luar biasa.
  5. Ada kawasan lain yang sangat membutuhkan bantuan dari spirit KAA, yaitu kawasan Pasifik Selatan.
  6. Kawasan Pasifik Selatan menjadi kawasan masa depan bagi negara-negara kuat (adidaya) dalam bidang food security dan energy security.
  7. Negara-negara kuat melihat Asia secara geografis sebagai pintu masuk yang strategis.
  8. Maka dari itu, jika kawasan ini diabaikan oleh negara-negara peserta KAA ke-60, maka Pasifik Selatan akan menjadi sasaran empuk berbagai kepentingan negara-negara besar.

Terkait dengan hal itu, Andreas Sitepu berjanji kepada Global Future Instittue maupun para peserta seminar, akan menyampaikan seruan GFI terhadap seluruh peserta KAA ke-60 maupun berkas-berkas seminar terkait lainnya, kepada para pimpinannya di Kementerian Luar Negeri.

Adapun, Thomas Ardian Siregar, Kepala Museum KAA, sebagai salah satu narasumber seminar menggarisbawahi beberapa poin penting:

  1. Keberadaan museum KAA masih belum banyak dikenal oleh masyarakat bahkan oleh generasi muda. Yang menjadi catatan penting adalah bagaimana merangkul generasi muda untuk mengetahui sejarah bangsanya melalui museum. Bahkan masyarakat Bandung banyak tidak mengetahui adanya museum KAA.
  2. Arti penting dari pelaksanaan KAA bagi Indonesia adalah seperti yang dinyatakan Prof. Wiswa Warnapala, Former Deputy Minister of Foreign Affairs of Sri Lanka : “The significance of the 1955 Asian African conference was that it signaled the final collapse of colonialism and the emergence of an international force capable of challenging the dominant role of the Western powers in the arena of international politics.” Dengan terjemahan bebasnya; “Sesuatu yang penting dari konferensi asia afrika tahun 1955 adalah bahwa hal itu ditandai runtuhnya kolonialisme serta munculnya kekuatan internasional yang mampu menantang peran yang dominan dari negara barat di arena politik internasional.”
  3. Sementara dalam konteks Politik Luar Negeri RI,  Konferensi Asia-Afrika memiliki arti strategis yakni… “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. (sebagaimana tercantum pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945)
  4. Konferensi Asia Afrika juga mengimplementasikan prinsip politik luar negeri Indonesia yakni bebas dan aktif.  Dengan artian, Bebas, bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan- kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif, bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian kejadian internasional, melainkan bersifat aktif seperti dalam hal turut menjaga perdamaian dunia. (Prof. Mochtar Kusumaatmaja, mantan Menteri Luar Negeri RI)
  5. Dalam konteks global, pelaksanaan KAA sebagai kebangkitan Asia Afrika untuk memajukan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia – Afrika dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Kedua, Memberantas diskriminasi ras dan kolonialisme. Ketiga,   Mendorong terbentuknya Gerakan Non-Blok(non-Aligned Movement) pada tahun 1961. Keempat, Memperbesar peranan Asia – Afrika di dunia internasional dan ikut   serta mengusahakan perdamaian dunia.
  6. Dasa Sila Bandung masih relevan.  Hal ini seperti dikatakan oleh Duta Besar Dian Triansyah Djani  bahwa “Dasasila Bandung masih menjadi panduan nilai dan semangat yang relevan dalam memecahkan berbagai masalah di dunia. Indonesia sendiri tetap berpegang pada prinsip ini dalam menjalankan hubungan diplomasi. Spirit itu tetap relevan hingga saat ini di mana sebagian besar negara di kedua benua Asia-Afrika tengah memiliki tantangan bersama di bidang ekonomi, pembangunan, kesejahteraan, kesehatan, terorisme, hingga pendidikan”
  7. Tantangan untuk move-on setelah KAA 1955?
  • Pada peringatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika yang berlangsung 2005, setidaknya ada 106 negara Asia Afrika yang hadir. Dengan rincian 54 negara Asia dan 52 negara Afrika. Peringatan KAA 2005 setidaknya menyepakati terbentuknya New Asian African Strategic Partnership dan Solidaritas NAASP bagi Palestina.
  • Terselenggaranya KTT Asia Afrika 2005 dan dengan terbentuknya NAASP serta komitmen untuk secara konsisten membantu Palestina membuktikan bahwa Solidaritas Asia Afrika masih terus hidup dalam benak bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Suatu semangat untuk membangun kerjasama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pada kedua benua tersebut.
  1. KTT Asia Afrika 2015 rencananya akan dihadiri oleh 109 negara Asia Afrika. Setidaknya ada 3  dokumen akhir yaitu, Bandung Message, Reinvigorating New Asia Africa Strategic Partnership and Declaration on Palestine.
  2. Pelaksanaan KTT Asia Afrika 2015 memiliki tantangan dan harapan.

       Tantangan:

  • Perubahan politik yang terjadi cukup cepat di masing – masing negara.
  • Dinamika permasalahan internasional yang kian kompleks (dari segi aktor maupun isu).
  • Perkembangan teknologi komunikasi yang juga turut mengubah gaya berinteraksi masyarakat global, termasuk gaya pemerintahan dan hubungan antar negara.

       Harapan:

  • Komitmen dari masing- masing negara agar dapat merealisasikan apa yang sudah diputuskan bersama dalam outcomes documents KTT Asia Afrika 2015.
  • KTT 2015 diharapkan mampu menjawab tantangan yang dihadapi oleh negara Asia Afrika tidak hanya di masa kini tetapi juga di masa mendatang.
  1. Upaya yang dilakukan Museum Konferensi Asia Afrika dalam mendiseminasikan nilai-nilai Bandung Spirit dengan berbagai cara:
  • Museum KAA menggelar ruang publik seluas-luasnya melalui berbagai kegiatan edukatif yang melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan dan memberdayakan generasi muda yang tergabung dalam komunitas-komunitas.
  • Pengembangan program Museum melalui konsep “Participatory Public” & “Community Development” .
  • Pameran Kolaborasi Budaya Indonesia-Jepang “Keris-Katana”,  Peringatan Ulang Tahun Konferensi Asia-Afrika, Pekan Literasi Asia Afrika
  1. Tiga prinsip KAA dalam mengkurasi berbagai program museum:
  • Kesetaraan,
  • Kerja sama,
  • Hidup berdampingan secara damai.

M Hasyim, dari Lemhanas, juga menyatakan bahwa DASA SILA BANDUNG masih tetap relevan hingga sekarang. Bahkan Hasyim mengajak seluruh peserta seminar, termasuk Kementerian Luar Negeri, agar menyikapi tema pelaksanaan KAA. Hasyim merasa perlu mengingatkan forum seminar bahwa Indonesia yang saat ini merupakan negara yang hidupnya berasal dari hutang luar negeri, berpotensi menjadi “boneka negara kuat.”

“Karena itu, negara-negara pemberi hutang kepada Indonesia, bisa kita pastikan tidak mungkin memberikan hutang dengan cuma-cuma atau tanpa pamrih. Apalagi hutang luar negeri Indonesia berasal dari negara-negara yang pernah menjajah Indonesia,” ujar M Hasyim mengingatkan.

Menurut Hasyim, kenyataan inilah yang harus menjadi landasan pemerintah Indonesia untuk terus menggelorakan semangat anti kolonialisme dan anti  imperialisme sebagaimana pernah dikumandangkan Bung Karno harus tetap dipertahankan. Apalagi di tengah-tengah gencarnya negara-negara asing melancarkan perang asimetris (perang melalui sarana-sarana non militer) terhadap Indonesia, maupun negara-negara di kawasan Asia-Afrika.

“Bayangkan, saat ini Lulusan-lulusan terbaik Universitas kita  diberikan beasiswa dan bekerja sebagai tenaga ahli di negara lain,” demikian M Hasyim mengakhiri uraiannya.

Menanggapi tema seminar tersebut, Hasyim menginformasikan kepada peserta seminar dan para pimpinan GFI, Lemhanas akan segera menyelenggarakan seminar yang senafas dengan tema yang terkandung dalam DASA SILA BANDUNG,  pada saat peringatan ulang tahun Lemhanas.

Entjeng Shobirin, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU melalui seminar ini memberikan beberapa poin penting antara lain:

  1. Mengenalkan museum kepada masyarakat semata-mata melalui pendekatan kultural saja tidaklah cukup.
  2. Kompetensi diplomasi para diplomat Indonesia  masih belum terbangkitkan dengan baik.
  3. Terkait revitalisasi Dasa Sila Bandung 1955 harus dipresentasikan dan disosialisasikan secara lebih meluas kepada seluruh lapisan masyarakat. Dan harus dilakukan melalui pendekatan yang lebih politis.
  4. Mengusulkan kepada Global Future Institute, agar menyelenggarakan seminar bertema sama namun dengan mengikutsertakan negara-negara peserta KAA, baik sebelum ataupun sesudah berlansungsunya KAA ke-60 mendatang.
  5. Juga mengusulkan kepada Global Future Institute, untuk menggelar forum khusus membahas tema-tema yang sangat krusial terkait kemerdekaan Indonesia. Dasar petimbagannya adalah, Indoenesia sebagai negara berdaulat akan berusia 70 tahun pada 17 Agustus 2015. Dan usia 70 tahun bagi sebuah negara, jika merujuk pada sejarah negara-negara lain, benar-benar berada dalam situasi rawan, antara tetap bertahan sebagai negara yang berdaulat dan utuh, atau pecah sebagai sebuah bangsa.
  6. Maka terkait dengan hal tersebut, DASA SILA BANDUNG dan Spirit KAA 1955 harus tetap dipertahankan karena masih tetap relevan. Bahkan Indonesia yang merupakan sponsor utama KAA 1955, justru yang saat ini paling berkepentingan dan memandang relevan DASA SILA BANDUNG 1955.

Bagi GFI, pandangan para narasumber maupun peserta aktif seminar, sungguh melegakan. Karena sehari sebelumnya, Global Future Institute dalam siaran persnya Senin 13 April 2015, sempat mensinyalir adanya beberapa indikasi yang bermaksud menggegelar Konferensi Asia-Afrika namun tidak didasari oleh Jiwa DASA SILA BANDUNG 1955.

Giat Wahyudi, Ketua Dewan Pakar Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), mengajukan pokok pikiran sebagai berikut. Jika pemerintah Jokowi sungguh akan menlaksanakan TRISAKTI (Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Budaya) sebagaimana digariskan Bung Karno, maka 60 tahun Dasa Sila Bandung punya nilai strategis untuk menggalang kekuatan dan kebersamaan negara-negara berkembang seantero Asia-Afrika, yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia memadai.

Hal ini penting sekali, mengingat dewasa ini dibeberapa negara Asia dan Afrika tengah terjadi perubahan politik kekuasaan dengan cara kekerasan bersenjata yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Bandung.

Yang patut disayangkan menurut Giat Wahyudi, terhadap peristiwa peringatan  60 tahun Dasa Sila Bandung, publik sama sekali tidak tahu, apakah perhelatan yang tengah disiapkan pemerintah via panitia yang diketuai Luhut Binsar Panjaitan sekadar peringatan saja, atau sekaligus sebagai ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-Negara Asia-Afrika?

Dalam pandangan Giat, yang saat ini juga sedang aktif melakukan riset arsip-arsip KAA 1955, Bila yang akan ditempuh adalah peringatan sekaligus konferensi, berarti kita melakukan Konferensi Asia-Afrika (KA-A) ketiga. Pernyataan ini perlu diketahui publik, sebab KTT Negara-Negara Asia-Afrika yang diselenggarakan sekarang tidak boleh terputus dengan KA-A pertama di Bandung dan KA-A kedua yang akan dilaksanakan di Aljajair tahun 1965, tetapi tidak terselenggara karena terjadi kudeta di sana, kemudian dipindah ke Kairo-Mesir. Hal lain yang perlu dikritisi pada peringatan KA-A kali ini, terpampangnya poster Nelson Mandela di Seantero Bandung, padahal Nelson Mandela bukan peserta KA-A 1955.

Giat mengingatkan para peserta seminar, kalau KTT Negara-Negara Asia-Afrika yang kini tengah disiapkan tidak dinyatakan sebagai KAA ketiga, berarti ada upaya terorganisir melalui institusi pemerintah untuk memanipulasi dan menggelapkan visi-misi dan sejarah Dasa Sila Bandung.

Akan hal itu Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia perlu membuat pernyataan resmi agar khalayak menjadi mafhum. Di sini kita tidak boleh lengah, meski Blok Timur sudah bangkrut sejak 1989, namun neo-kolonialisme-neo-imperialisme belum gulung tikar, sebaliknya semakin merajalela. Apalagi dengan adanya tren global ketika Amerika Serikat berusaha memaksakan terjadinya kutub tunggal (MonoPoliar) baik dari segi politik, ekonomi, maupun pertahanan. Sehingga pada perkembangannya bisa berdampak buruk bagi negara-negara berkembang, khususnya bagi Indonesia.

Berbanding lurus dengan hal itu, yakni munculnya perubahan politik kekuasaan di Irak, Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman – yang bersimbah darah sarat kekerasan bersenjata; peseteruan di Afganistan, pemberontakan Macan dan Elang Tamil yang terus menghantui Srilanka, dan ketegangan antara Filiphina dan Malaysia, sudah saatnya dibahas dalam 60 tahun KA-A.  Maka layak dibentuk Komisi Perdamaian, Komisi Kemanusiaan dan Komis anti Kejahatan trans-nasional.

Begitulah penegasan Giat Wahyudi, dikenal sebagai aktivis pergerakan nasional yang cukup dekat dengan beberapa anggota keluarga besar  Bung Karno dan pegiat di Yayasan Pendidikan Sukarno (YPS).

Berikut daftar peserta yang hadir dalam seminar:

  1. Thomas Siregar, Kepala Museum Konferensi Asia Afrika (KAA)
  2. Andreas Sitepu, Pejabat senior Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemenlu RI dan Mantan Dubes Indonesia untuk Papua Nugini
  3. M Hasyim, staf senior bidang kajian Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas)
  4. Batara R. Hutagalung, Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan Investigator Sejarah Kolonial Indonesia
  5. Giat Wahyudi, Ketua Dewan Pakar Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Periset Arsip KAA
  6. Faizal Rizki, Redaktur Senior Majalah Aktual
  7. Entjeng Shobirin Nadj, Wakil Sekretaris Jenderal  Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU)
  8. Nurrochman Oerip, mantan Dubes Indonesia untuk Kamboja dan Rusia
  9. Herman Prayitno, Mantan Direktur Utama Pelindo
  10. Indra Soegandi, Tokoh Senior Gerakan Marhaenis Bung Karno
  11. Taufik Hidayat, KOMPOLNAS
  12. Peter Kasenda, Sejarahwan Universitas 17 Agustus 1945
  13. Merphin Panjaitan, Staff Pengajar Universitas Kristen Indonesia
  14. Ani Khoirunnisa, M.Si, Staff Pengajar Universitas 17 Agustus 1945
  15. Fauziah, S.Sos, M.Si, Staff Pengajar Universitas 17 Agustus 1945
  16. Paul Litaay, Pengurus Ikatan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia(GMNI)
  17. Paulus Londo, Pengurus Ikatan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia(GMNI)
  18. Herman Kamra, Perhimpunan Alumni Mahasiswa Indonesia di Jerman
  19. Bin Lukman, Perhimpunan Alumni Mahasiswa Indonesia di Jerman dan Konsultan Hukum
  20. Dedi Tukan, Pengurus Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
  21. Teuku Adam, Pengurus Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Propinsi Aceh
  22. Teguh Budi H, Pengurus HMI Koorkom Universitas Nasional
  23. Kevin, Pengurus HMI Komisariat FE Universitas Nasional
  24. Nunu Nurjaya, Alumni HMI Komisariat FE Universitas Nasional
  25. Rene Johannes, Staff Pengajar Universitas Bakrie
  26. M. Badaruddin, Staff Pengajar Universitas Bakrie
  27. Amos S. Tammy, Mahasiswa Fakultas FISIP HI, Universitas Moestopo (Beragama)
  28. Rahman Wibowo, Universitas Nasional
  29. Aditya Iskandar, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada
  30. Aminudin, aktifis Nahdlatul Ulama
  31. Shury Saraswati, Fakultas Sastra Inggris Universitas Nasional
  32. Anisa Arumningtias, FISIP Universitas Nasional
  33. Agus Setiawan, FISIP Universitas Nasional
  34. Stella Leonardo, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Nasional
  35. Samsul Huda, pegiat sosial politik
  36. Eni Ashariati, MEDCO Energi
  37. Gadih N, Wartawan Geo Energi
  38. Sulastri, Wartawan Demokratis
  39. Ona, Wartawan Media Info
  40. Maidy, Wartawan Media Info
  41. Kafil Yamin, Wartawan Senior

 



Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Iluminasionis

$
0
0

Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Iluminasionis

by: Team Wisdoms4all

 

SHasil gambar untuk sukhrawardiyihabuddin Abul Fatuh Yahya bin Habsy bin Amirak Suhrawardi adalah pendiri aliran filsafat Islam Hikmatul Isyraq (Iluminasionis). Dia dilahirkan di Suhrawad pada tahun 549 H.

Beberapa tahun kemudian dia pergi ke kota Maraghih dan belajar filsafat dan ushul fiqih pada seorang ulama bernama Majduddin Jily. Setelah itu dia berangkat ke kota Ishfahan dan belajar kitab al-bashair (kitab ilmu logika) pada Zahîruddin Farsi.

Suhrawardi banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan para tokoh-tokoh dan guru-guru terkenal pada setiap kota yang dilalui. Perjalanannya yang terakhir di kota Halb dan Dimasyq (Suria), di kota ini dia mendapatkan kehormatan oleh raja Zâhir Syah. Akan tetapi, penghormatan yang berlebihan dari raja ini membuat iri dan hasad para ulama fiqih Sunni. Dan dengan alasan yang dibuat-buat, para ulama itu mendesak Shalahuddin Ayyubi untuk menghukum mati Syaikh Iysraq. Akhirnya, dia mati syahid pada tahun 587 H ketika dia berusia 37 tahun di kota Halb.

Sebagian memandang Suhrawardi sebagai seorang ulama yang memiliki karamah-karamah dan sebagian lain mengklaimnya sebagai kafir dan musyrik. Dikatakan bahwa alasan utama kesyahidan dia adalah karena dialognya tentang “akhir kenabian”. Para peneliti kontemporer berkeyakinan bahwa “wilayah” sebagai pokok akidah Suhrawardi dan menurut dia walaupun kenabian telah berakhir, namun “wilayah (kepemimpinan hakiki pasca Nabi)”, yang sebagaimana diyakini oleh Syiah, terus dan tetap berlanjut.

Berikut ini akan kami paparkan beberapa pokok-pokok pikiran Syaikh Isyraq tentang masalah-masalah ketuhanan dan alam:

  1. Cahaya dan Hakikatnya

Syaikh Isyraq dalam pembahasan ini beranggapan bahwa cahaya itu merupakan suatu hakikat yang gamblang, badihi, dan aksiomatik (tidak memerlukan defenisi). Dia menyatakan bahwa apabila terdapat sesuatu di alam eksistensi ini yang tidak membutuhkan penjelasan dan defenisi, maka kami katakan bahwa sesuatu itu adalah cahaya, karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas kecuali cahaya itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang setara dengan cahaya yang tidak memerlukan keterangan, penjelasan, dan defenisi. Dan yang kami maksud dengan ‘sesuatu tidak memerlukan defenisi’ di sini adalah suatu yang dalam zat dan kesempurnaannya tidak bergantung dan tidak bersandar pada sesuatu yang lain.[1]

  1. Cahaya dan Kegelapan

Pada pembahasan ini Syaikh Isyraq membagi maujud-maujud alam ke dalam sembilan kategori lalu menempatkannya dalam dua kategori umum yaitu, cahaya dan kegelapan, kemudian dari setiap dua kategori ini terbagi lagi ke dalam substansi dan aksiden. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu dalam zatnya sendiri terdapat cahaya atau dalam zatnya sendiri tidak terdapat cahaya. Oleh karena itu, maujud-maujud alam terbagi dua, yaitu maujud-maujud bercahaya dan maujud-maujud gelap. Maujud-maujud bercahaya ini terbagi dua lagi, yaitu maujud yang keberadaannya bergantung kepada yang lain disebut dengan cahaya tak murni atau cahaya aksidental dan maujud yang eksistensinya tidak bergantung kepada yang lain disebut cahaya murni atau cahaya substansial.

Sedangkan maujud-maujud gelap terbagi dua, yaitu maujud yang eksistensinya tidak memerlukan wadah disebut dengan substansi gelap (benda, barzakh) dan maujud yang eksistensinya bergantung kepada maujud-maujud lain disebut dengan aksiden-aksiden gelap. Perlu diperhatikan di sini bahwa yang kami maksud dengan barzakh adalah benda (jism) itu sendiri yang didefenisikan sebagai substansi yang dapat ditunjuk dan memiliki arah. Atau dikatakan bahwa benda adalah ‘substansi gelap’ atau barzakh yang hakikatnya tidak lain adalah kegelapan itu sendiri. Argumentasi atas kesamaan benda dengan kegelapan adalah bahwa secara praktis kita dapat melihat bahwa apabila cahaya tidak terpancar atas benda itu, maka ia akan senantiasa berada dalam kegelapan.

Di sini mungkin akan lahir dua kritikan dan sanggahan, pertama, apabila benda itu kita samakan dengan kegelapan, maka sirnanya cahaya dari sesuatu yang memungkinkan terpancarnya cahaya darinya adalah tidak sesuai dengan asumsi itu, dan kedua adalah sebagian benda senantiasa bercahaya, seperti matahari. Lantas bagaimana kita bisa menempatkan benda-benda seperti ini ke dalam kategori kegelapan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, perlu kami tekankan bahwa kegelapan bukan merupakan sesuatu yang bersifat temporal, namun kegelapan adalah ketidakmutlakan cahaya. Ketiadaan cahaya bukanlah jenis ketiadaan yang bersyarat dengan kemungkinan keberadaannya. Oleh karena itu, jika seluruh alam kita asumsikan kosong atau benda halus (yang tak memiliki kemungkinan bercahaya) dan karena kosong (tiada) atau benda halus ini tidak memiliki cahaya maka menjadi gelap dan tidak memiliki kemungkinan untuk memancarkan cahaya. Konklusinya, segala sesuatu yang tidak memiliki cahaya adalah gelap, dan karena barzakh (benda) kehilangan cahayanya maka dalam kegelapannya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Maka dari itu, semua benda adalah sama dengan substansi-substansi gelap.

Sementara untuk menjawab kritikan kedua perlu memperhatikan poin ini, benda-benda yang terus bercahaya seperti matahari, berbeda dengan benda-benda lain menurut kualitas kegelapan zatnya, satu-satunya perbedaan matahari dengan benda-benda lain adalah bahwa cahaya pada matahari bersifat tetap sedangkan cahaya pada benda-benda lain bersifat tidak tetap dan temporal. Ketetapan atau ketemporalan cahaya-cahaya ini sama sekali tidak berhubungan dengan zat benda-benda tersebut, oleh karena itu cahaya pada setiap benda-benda tersebut (yaitu benda yang senantiasa bercahaya dan benda yang terkadang bercahaya) tidak terpancar dari hakikat zatnya, akan tetapi cahaya tersebut bersifat aksidental atau menempel pada zatnya. Kesimpulannya, hakikat benda-benda tersebut adalah substansi gelap itu sendiri. Dengan demikian, setiap benda secara hakiki ialah substansi gelap.[2]

 

  1. Pencipta Cahaya-Cahaya

Syaikh Isyraq menyusun alam eksistensi itu ke dalam empat bagian, yaitu cahaya murni, cahaya tak murni, substansi gelap (benda), dan aksiden-aksiden gelap. Dia juga berusaha menunjukkan bahwa tiga bagian dari empat bagian tersebut wujud dan keberadaannya bergantung pada salah satu dari empat bagian, tiga bagian itu adalah cahaya tak murni, substansi gelap, dan aksiden-aksiden gelap. Ketiga bagian ini memerlukan cahaya murni. Pertama-tama Syaikh Isyraq berupaya menetapkan tentang kebutuhan hakiki cahaya tak murni, kemudian menunjukkan bahwa kebutuhan cahaya tak murni bukan kepada aksiden-aksiden gelap dan bukan kepada substansi gelap, melainkan kepada cahaya murni. Oleh karena itu, pencipta dan pengada cahaya-cahaya tak murni tidak lain adalah cahaya murni. Dalam hal ini, Syaikh Isyraq menjelaskan bahwa cahaya tak murni yang terindera secara lahiriah merupakan suatu hakikat yang yang bergantung dan butuh terhadap sesuatu yang lain, keberadaan cahaya tak murni ini bergantung kepada substansi gelap (benda, barzakh). Namun maujud yang bergantung ini (cahaya tak murni) bukan akibat dari substansi gelap, karena: pertama, apabila cahaya tak murni sebagai akibat dari benda, maka ia harus senantiasa bersama dengan benda di manapun ia berada, sementara terdapat benda-benda akan tetapi tidak mempunyai cahaya tak murni atau sebaliknya. Kedua, tidak satupun sebab bisa memiliki akibat yang lebih sempurna darinya, karena cahaya tak murni lebih sempurna dari pada benda, maka dari itu cahaya tak murni tidak bisa merupakan akibat dari benda. Oleh karena itu, sebab pengada dan pencipta cahaya tak murni yang terdapat dalam benda ialah bukanlah benda itu sendiri.

Aksiden-aksiden gelap juga tidak dapat dipandang sebagai sebab dan pencipta cahaya tak murni, karena: pertama, sebagian besar dari aksiden-aksiden gelap seperti bentuk dan warna merupakan akibat dari cahaya tak murni. Walaupun cahaya tak murni juga tergolong aksiden, namun sebagian aksiden-aksiden itu diwujudkan oleh cahaya tak murni. Kedua, aksiden-aksiden gelap ini adalah tersembunyi, tidak nampak, dan tidak terindera oleh mata, lantas bagaimana dapat menjadi sebab bagi keberadaan cahaya tak murni. Oleh karena itu, harus ada sebab bagi cahaya tak murni yang memberikan cahaya bagi benda-benda tersebut yang bukan dari substansi gelap atau barzakh. Jadi sebab cahaya tak murni adalah bukan benda dan juga bukan aksiden-aksiden gelap.

 

  1. Kebutuhan Benda kepada Cahaya Substansial (Murni)

Semua benda atau barzakh bersama dengan kumpulan dari aksiden-aksiden gelap seperti bentuk dan warna, dan semua benda-benda memiliki ukuran-ukuran tertentu; walaupun ukuran-ukuran ini secara hakiki tidak berada di luar zat benda-benda, atau dengan kata lain (menurut filsafat Iluminasi) ukuran itu tidak lain adalah benda itu sendiri, namun yang pasti, ukuran-ukuran ini berbeda pada seluruh benda dan setiap benda memiliki ukuran masing-masing. Aksiden-aksiden yang menyebabkan perbedaan pada benda-benda adalah bukan akibat dari benda-benda tersebut, karena kalau demikian maka segala benda memiliki aksiden-aksiden yang sama, yakni karena zat semua benda adalah sama maka segala aksiden yang merupakan akibat dari semua benda itu harus sama dan identik di semua tempat. Kesimpulannya bahwa semua benda mesti memiliki bentuk dan warna yang sama, sementara secara faktual tidaklah demikian. Dengan demikian, ukuran-ukuran ini adalah bukan akibat dari zat benda dan pasti adalah akibat dari suatu sebab yang bukan bersumber dari jenis benda-benda.

Yang pasti bahwa semua aksiden itu membutuhkan sebab. Kita telah ketahui bahwa keberadaan semua aksiden memerlukan benda dan juga eksistensi semua benda adalah bergantung pada aksiden-aksiden, yakni kebutuhan semua benda pada aksiden dari sisi bahwa tanpa aksiden mustahil terwujudnya keragaman dan kejamakan benda. Namun kesaling-butuhan antara aksiden dan benda ini adalah bermakna kemestian non-esensial dan hal ini tidak berarti bahwa satu sama lain merupakan sebab hakiki. Dari sisi lain bisa dikatakan bahwa kalau benda merupakan sebab hakiki aksiden dan aksiden sebab hakiki benda, maka akan terjadi lingkaran setan (daur) yakni keberadaan benda bergantung pada aksiden dan eksistensi aksiden bergantung pada benda dan ini berarti bahwa sebelum benda itu tercipta ia harus mewujudkan aksiden yang akan menghadirkannya dan begitu pula sebaliknya, realitas ini adalah mustahil terjadi karena tak satupun akibat tidak bisa menjadi sebab bagi kehadiran dirinya sendiri. Dan karena seluruh benda dan aksiden adalah zat-zat yang secara esensial bergantung pada yang lain, dengan demikian semuanya memerlukan suatu sebab hakiki yang bukan benda, bukan cahaya tak murni, dan juga bukan aksiden kegelapan. Sebab hakiki itu tidak adalah cahaya murni.[3]

 

  1. Ketidakterinderaan Cahaya Substansial

Syaikh Isyraq pada bagian ini menekankan bahwa cahaya murni tidak dapat diindera secara lahiriah. Dia menjelaskan bahwa setiap cahaya yang dapat diindera adalah cahaya tak murni, oleh karena itu jika ada cahaya murni, maka ia pasti tidak bisa terindera, tidak bisa ditunjuk, tak memiliki arah, dan tak memerlukan benda.[4]

 

  1. Cahaya Substansial merupakan Cahaya Linafsihi

Secara lahiriah Syaikh Isyraq mengemukakan bahwa cahaya linafsihi yakni cahaya untuk dirinya sendiri dan tidak bergantung kepada selainnya, cahaya seperti ini adalah cahaya murni. Dia menjelaskan bahwa cahaya tak murni adalah bukan cahaya bagi dirinya sendiri, karena eksistensi dan keberadaannya tidak mandiri, melainkan bergantung dan butuh kepada yang lain (benda), dengan demikian, cahaya seperti ini adalah cahaya bagi realitas yang lain dan bukan untuk dirinya sendiri (cahaya lighairihi). Oleh karena itu, cahaya murni adalah cahaya linafsihi atau cahaya bagi dirinya sendiri, dan setiap cahaya linafsihi merupakan cahaya yang murni.[5]

  1. Cahaya Substansial ialah Mengetahui Zatnya Sendiri

Syaikh Isyraq beranggapan bahwa seluruh maujud yang mengetahui zatnya sendiri adalah cahaya murni, yakni sekalipun maujud tersebut adalah binatang, kalau ia mengetahui dirinya sendiri maka niscaya merupakan cahaya murni. Lebih lanjut dia berkata bahwa setiap maujud yang sadar, mengetahui, dan tak lupa dengan wujudnya sendiri adalah bukan substansi gelap dan benda, karena zatnya bagi dirinya sendiri adalah cahaya, dan begitu pula ia juga bukan cahaya tak murni karena tidak memahami dirinya sendiri dan cahayanya tidak bagi dirinya sendiri, dan juga bukan aksiden gelap. Dengan demikian, maujud itu adalah cahaya murni.

Syaikh Isyraq memaparkan masalah ini secara lebih luas dan menyatakan bahwa kesadaran dan pengetahuan wujud mandiri atas zatnya sendiri adalah bersifat hudhuri dan bukan hushuli (lewat gambaran pikiran), karena:

  1. Pengetahuan atas zat sendiri yang berasal dari gambaran pikiran yang jika dibandingkan dengan subyek bukanlah subyek itu sendiri, gambaran pikiran atas zat sendiri senantiasa berada di luar zat subyek. Secara hakiki, karena yang dipahami adalah gambaran zat sendiri, konsekuensinya bahwa pengetahuan atas zatnya sendiri dan pengetahuan terhadap gambaran atas zat sendiri adalah sama, hal ini adalah mustahil. Perkara ini berbeda ketika memahami sesuatu yang berada di luar subyek dimana gambaran sesuatu itu dalam pikiran dan zatnya senantiasa berada diluar zat subyek.
  2. Apabila pengetahuan atas zat sendiri diperoleh dari gambaran pikiran, dan subyek tidak mengetahui bahwa gambaran itu adalah gambaran zatnya sendiri, maka pada dasarnya ia tidak mengetahui dirinya sendiri. Dan kalau ia memahami bahwa gambaran itu terkait dengan zatnya sendiri, maka ia mengetahui dirinya sendiri sebelum gambaran tentang dirinya sendiri.
  3. Dalam bentuk apapun tidak dapat dibayangkan bahwa zat sendiri itu dapat diketahui dengan perantaraan sesuatu (gambaran) yang bersifat tambahan pada zat. Karena gambaran itu apabila dikaitkan dengan zat merupakan sejenis sifat, dan kalau sifat tambahan ini kita posisikan berhubungan dengan zat itu sendiri, maka secara hakiki zat itu sendiri dipahami sebelum sifat itu. Dengan demikian, ilmu dan pengetahuan kita terhadap zat kita sendiri bukan dicapai dengan sifat tambahan tersebut.

Kesadaran dan pengetahuan atas zat itu sendiri tidak dicapai dengan gambaran pikiran atau sifat tambahan atas zat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap zat itu sendiri tidak memerlukan sesuatu yang lain di luar zat itu sendiri, karena zat kita hadir “disamping” kita, maka dari itu zat kita sendiri dipahami tanpa perantara dan mustahil kita lupa pada diri kita kecuali dengan zat kita sendiri.

Segala sesuatu yang dilupakan, seperti hati, otak, jantung, limpa, organ-organ lain, benda-benda, dan aksiden kegelapan ialah bukan hakikat zat yang diketahui dan dipahami secara hudhuri. Jadi yang kita ketahui dari zat kita sendiri bukanlah organ-organ dan benda-benda kita, karena kalau demikian, mustahil kita melupakan, karena tidak mungkin kita melupakan wujud dan zat kita sendiri.[6]

  1. Kaidah Cahaya

Apabila ingin diketahui tentang kaidah cahaya eksistensi, maka pahamilah bahwa cahaya adalah jelas dan terang dalam hakikat zatnya dan secara esensial menyebabkan terang dan jelasnya yang lain, karena kejelasan dan keterangan bagi cahaya bersifat esensial, dengan demikian cahaya itu lebih terang dan lebih jelas dari segala sesuatu yang keterangan dan kejelasannya bersifat non-esensial. Kehadiran cahaya-cahaya tak murni juga bukanlah bersifat tambahan atas zatnya, yakni cahaya-cahaya ini secara esensial tidak tersebunyi dan tidak nampak, bahkan terangnya dan kehadirannya ialah bersifat esensial. Dan juga bukan berarti bahwa kemestian cahaya adalah kejelasan, keterangan, dan kehadiran itu sendiri, karena apabila demikian, konsekuensinya cahaya secara esensial adalah bukan cahaya yang dalam kehadirannya bergantung kepada yang lain, akan tetapi cahaya dengan sendirinya adalah jelas, terang, dan hadir serta dalam kebercahayaannya merupakan kejelasan, keterangan, dan kehadiran itu sendiri.

Adalah suatu anggapan yang salah kalau kita pandang bahwa cahaya matahari itu sebagai sesuatu yang dihadirkan. cahaya ialah kehadiran itu sendiri. Jika semua masyarakat menjadi tiada, maka kebercahayaannya cahaya tidak akan menjadi sirna dan punah.

Dengan penjelasan lain, kita jangan memandang bahwa zat dan hakikat kita adalah sesuatu yang diikuti oleh kehadiran, yakni pada tingkatan zat tidak terdapat kehadiran dan tersembunyi. Akan tetapi, zat dan hakikat kita adalah kehadiran dan kebercahayaan itu sendiri, karena kata ‘keberadaan’ adalah predikat yang terdapat dalam pikiran, kata ‘hakikat’ dan ‘kuiditas’ juga tergolong majasi, dan begitu pula kata ‘ketidakhadiran’ merupakan perkara negasi. Semuanya ini tidak bisa menjadi hakikat dan kuiditas zat kita. Oleh karena itu, hakikat kita tak lain adalah kehadiran. Dengan demikian setiap maujud yang memahami zatnya sendiri ialah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah hadir bagi zatnya sendiri.

 

  1. Pembagian dan Sifat-Sifat Cahaya

Cahaya terbagi dua, pertama adalah yang dalam zatnya sendiri dan untuk zatnya sendiri merupakan cahaya, dan kedua ialah yang dalam zatnya sendiri adalah cahaya, namun bukan untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa cahaya tak murni bergantung kepada yang lain, maka dari itu bagi dirinya sendiri adalah bukan cahaya, walaupun dalam zatnya sendiri adalah cahaya karena keberadaannya bersandar kepada yang lain. Sementara substansi gelap atau benda yang tidak memiliki kehadiran dalam zatnya sendiri dan juga tak memiliki kehadiran bagi dirinya sendiri.

Kehidupan hakiki tidak lain adalah sesuatu yang memiliki kehadiran bagi dirinya sendiri. Secara hakiki, suatu maujud disebut hidup apabila memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aktivitas. Tentang pengetahuan cahaya atas zatnya sendiri telah kami bahas. Aktivitas cahaya juga bukan hal yang diragukan, karena cahaya secara esensial memberikan pancaran realitas. Oleh karena itu, setiap cahaya murni adalah hidup dan setiap yang hidup merupakan cahaya murni. Benda gelap atau setiap realitas kegelapan lainnya apabila mampu mengetahui zatnya sendiri, maka dalam zatnya adalah cahaya dan bukan benda gelap lagi.

Kalau benda dan realitas gelap lain mengharuskan kehidupan dan pengetahuan, maka semua benda niscaya hidup dan berilmu, sementara tidaklah demikian. Apabila kehidupan dan pengetahuan benda merupakan akibat dari aksiden-aksiden yang melekat pada benda, maka akan muncul masalah bahwa bagaimana mungkin aksiden itu bisa memberikan pengetahuan sementara ia sendiri tak memiliki pengetahuan. Tanpa diragukan bahwa aksiden bukan ilmu dan tidak hadir untuk benda, karena benda secara esensial adalah gelap dan bagaimana mungkin bisa mengetahui sesuatu yang lain? Sesuatu yang memahami realitas-realitas lain pada hakikatnya ia sebelumnya memahami dirinya sendiri, karena tanpa mengetahui dirinya sendiri, mustahil ia dapat mengetahui maujud-maujud lain.

Karena benda dan aksiden-aksiden tidak mengetahui dirinya sendiri maka keduanya juga tidak memiliki pengetahuan atas yang lain. Dengan dasar ini, berkumpulnya benda dan aksiden juga tidak akan menghasilkan pengetahuan atas zatnya sendiri. Karena wujud aksiden ialah bergantung kepada yang lain, maka kebersamaannya dengan benda tidak akan mewujudkan suatu realitas yang secara hakiki tak membutuhkan maujud lain, bahkan yang tak bergantung adalah benda tersebut. Dengan demikian, jika salah satu dari benda atau aksiden diasumsikan memiliki pengetahuan, maka yang sangat mungkin memiliki pengetahuan adalah benda itu karena memiliki kemandirian esensial dibandingkan aksiden. Benda dan aksiden adalah dua realitas dan bukan satu realitas, dan telah dipahami bahwa barzakh atau benda tidak mengetahui zatnya sendiri.

Lebih lanjut Syaikh Isyraq ingin menekankan bahwa sifat-sifat cahaya, yakni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri hanya, khusus dimiliki oleh cahaya murni. Dia mengungkapkan bahwa mungkin terdapat sesuatu (A) yang menjadi penyebab kehadiran dan pengetahuan bagi sesuatu yang lain (B), seperti cahaya tak murni merupakan perantara kehadiran bagi sesuatu yang lain. Namun kemestian sesuatu (A) bagi kehadiran dan pengetahuan sesuatu yang lain (B) bukanlah berarti bahwa sesuatu itu (A) merupakan penyebab kehadiran dan pengetahuan bagi dirinya sendiri, karena ketika sesuatu itu menghadirkan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus merupakan maujud yang berilmu secara mandiri supaya bisa mengetahui dan memahami sesuatu.

Berdasarkan pendahuluan di atas mesti diketahui bahwa tidak satupun faktor yang mampu mengubah sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan atas diri sendiri menjadi suatu hakikat yang memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, karena zatnya sendiri lebih “dekat” dari dirinya sendiri, dengan sifat ini, berarti bahwa ia tidak mengetahui dirinya sendiri dan ketidakberilmuan atas dirinya merupakan suatu sifat yang esensial, dengan demikian tidak satupun faktor yang dapat menjadikan ia menjadi realitas yang berilmu dan berpengetahuan terhadapat dirinya sendiri. Apakah mungkin sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya kemudian karena faktor eksternal bisa berpengetahuan? Walhasil, sebelum berilmu mengharuskan pengetahuan diri sendiri dan karena benda tidak mengetahui zatnya sendiri maka mustahil memiliki pengetahuan atas dirinya dan yang lainnya dengan perantaraan sesuatu yang lain diluar zat benda itu sendiri.

Dengan ungkapan lain, apabila diasumsikan terdapat faktor eksternal yang menyebabkan sesuatu yang tidak mengetahui dirinya sendiri menjadi mengetahui dirinya sendiri, maka faktor ini tidak lain adalah cahaya tak murni. Dalam hal ini, setiap benda yang dicahayai oleh cahaya tak murni, niscaya menjadikan benda itu akan yang mengetahui dirinya sendiri dan menjadi hidup, sementara hal ini tidaklah demikian. Setiap karakteristik yang ada pada cahaya tak murni, tetap saja ia tidak bisa mengubah benda menjadi maujud yang mengetahui dan memahami dirinya sendiri.[7]


  1. Kemustahilan Suatu Benda Mencipta Benda-Benda Lain

Dalam masalah ini Syaikh Isyraq menetapkan secara argumentatif bahwa benda bukan pencipta hakiki dan sebab bagi keberadaan benda lain. Dia menyatakan bahwa jiwa dan akal manusia merupakan cahaya murni, namun dengan sifat ini manusia tidak bisa mencipta dan mewujudkan suatu benda dari alam “ketiadaan” ke alam keberadaan. Dengan demikian, apabila cahaya murni yang hidup dan sangat aktif tidak bisa menghadirkan suatu benda, maka benda yang tak hidup mustahil melakukan hal itu.[8]

 

  1. Nur al-Anwar [9] dan Sifat-Sifatnya
  2. Perbedaan Cahaya-Cahaya Substansial

Syaikh Isyraq beranggapan bahwa perbedaan cahaya-cahaya murni (akal-akal) bersifat gradasional (bertingkat-tingkat). Dia menjelaskan bahwa semua cahaya-cahaya murni dari sisi zat dan hakikatnya adalah satu dan perbedaannya hanya dari aspek kesempurnaan, kekurangan, aksiden-aksiden, dan hal-hal yang ada di luar zat, karena kalau perbedaan cahaya-cahaya terletak pada zat, maka setiap zat dari cahaya-cahaya itu harus tersusun dari genus dan diferensia; yakni setiap zat cahaya-cahaya itu memiliki dua bagian yaitu aksiden-aksiden gelap dan substansi gelap (benda), dua bagian itu bukanlah cahaya ditambah cahaya. Dalam kondisi ini, bagaimana mungkin gabungan dari dua bagian tersebut secara esensial bisa membentuk cahaya? Apabila salah satu dari dua bagian itu adalah cahaya dan bagian lain adalah bukan cahaya, maka yang bukan cahaya itu mustahil dapat ikut campur dalam perwujudan cahaya, karena yang bukan cahaya pada hakikatnya bukan merupakan sumber cahaya, dan yang merupakan cahaya tidak lain adalah bagian yang lain. Dengan demikian gabungan dari dua bagian tersebut tidak bermanfaat.

Cahaya-cahaya murni tidak terdapat perbedaan pada zat dan hakikatnya, jika tidak demikian maka setiap cahaya semestinya mempunyai dua bagian, yaitu cahaya dan bukan cahaya. Yang bukan cahaya ini merupakan aksiden pada cahaya atau sebaliknya, cahaya mengaksiden pada yang bukan cahaya atau kedua bagian itu merupakan substansi yang mandiri. Pada asumsi pertama, tidak akan melahirkan cahaya, karena aksiden hanya akan ada setelah keberadaan sesuatu yang aksiden menempel padanya dan karena aksiden berada di luar zat maka mustahil sebagai penyebab hakikat dan zat yang berbeda. Pada asumsi kedua, cahaya ini adalah bukan cahaya murni, akan tetapi cahaya tak murni yang mengaksiden pada substansi gelap. Asumsi ini adalah batal karena yang kita asumsikan pada bagian itu adalah cahaya murni dan mustahil bagian itu merupakan cahaya murni dan sekaligus juga merupakan cahaya tak murni. Sementara pada asumsi ketiga, tak satupun dari bagian-bagian itu saling beraksiden dan berpengaruh satu sama lain dan bahwa keduanya diasumsikan sebagai substansi maka pasti tak memiliki “wadah” yang sama. Dan Karena bagian-bagain itu bukan benda yang bersambungan satu sama lain, dengan dasar inilah tak satupun memiliki kebergantungan satu sama lain dan tidak bisa menjadi lahan bagi keberadaan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, cahaya-cahaya murni tak memiliki perbedaan dari zat dan hakikat.

Lebih lanjut Suhrawardi menuturkan bahwa kita mengetahui bahwa hakikat kita adalah cahaya murni dan karena itu kita memiliki pengetahuan atas diri sendiri, karena cahaya-cahaya murni tak memiliki perbedaan dari dimensi zat dan hakikat, dengan demikian semua cahaya murni semestinya memiliki pengetahuan atas diri sendiri, karena setiap hukum yang berlaku pada satu individu pasti juga berlaku pada individu-individu lain yang memiliki kesamaan hakikat. Hal ini juga merupakan dalil atas realitas itu.[10]

 

  1. Pengada Semua Benda adalah Realitas yang Berilmu

Suhrawardi pada persoalan ini menjelaskan sifat keberilmuan sebab pengada bagi benda-benda. Dia menyatakan bahwa karena yang memberikan cahaya dan mengadakan semua benda adalah cahaya murni, maka dari itu pemberi cahaya dan wujud merupakan suatu maujud yang hidup dan memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, karena ia adalah cahaya mandiri dan tidak bergantung.[11]

 

  1. Pembuktian Cahaya di atas Cahaya (Nur al-Anwar)

Syaikh Isyraq membuktikan bahwa apabila cahaya murni itu bergantung pada realitas yang lain maka kebutuhannya bukan pada substasni gelap atau benda tak hidup, karena benda tak hidup tidak bisa menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu (cahaya murni) yang lebih sempurna dan lebih tinggi dari semua aspek. Dan juga aksiden kegelapan bukan sumber eksistensi cahaya murni. Maka dari itu, kebutuhan dan kebergantungan cahaya murni niscaya pada cahaya murni yang lain. Karena tasalsul atau mata rantai yang tak terbatas pada keberadaan maujud-maujud adalah mustahil terjadi, dengan demikian mata rantai keberadaan cahaya-cahaya murni ini harus berakhir. Semua benda, aksiden kegelapan, cahaya tak murni, dan cahaya murni harus bergantung pada satu cahaya yang tidak ada lagi cahaya setelahnya, cahaya ini disebut cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar) yang Maha Meliputi, Pemberi Wujud, Maha Suci, Maha Agung, Maha Menguasai, dan Maha Kaya.[12]

 

  1. Ketunggalan Nur al-Anwar

Syaikh Isyraq dengan berpijak pada cahaya dan kegelapan, kemestian kesamaan dan perbedaan sesuatu, dan kebutuhan pada faktor pengada dan pencipta, menetapkan ketunggalan nur al-anwar. Dia menjabarkan bahwa keberadaan dua cahaya murni yang tak bergantung adalah mustahil, karena kedua cahaya ini dari sisi zat dan hakikat tidak terdapat perbedaan (sebagaimana penjelasan di atas). Kesamaan hakikat mustahil menjadi penyebab perbedaan individu-individu (baca: cahaya-cahaya) yang ada. Begitu pula kemestian esensial dari kesamaan zat dan hakikat tidak akan dapat mewujudkan perbedaan, dikarenakan kedua cahaya itu memiliki kesamaan pada zat dan hakikat, maka kemestian esensial kedua zat juga adalah sama. Perbedaan ini juga mustahil terwujud dengan aksiden-aksiden yang melekat pada zat, tak peduli apakah aksiden-aksiden itu cahaya-cahaya tak murni atau benda-benda, sementara tidak ada lagi maujud-maujud yang lebih tinggi dari cahaya murni yang bisa menghadirkan aksiden-aksiden tersebut. Adalah mustahil kalau kita asumsikan bahwa kedua cahaya murni itu mengadakan dirinya sendirinya atau satu sama lain saling mewujudkan, karena kemestian hal ini ialah kedua cahaya murni itu tanpa adanya faktor pengada telah mengada dan memiliki perbedaan, hal ini mustahil.

Oleh karena itu, cahaya murni yang tak bergantung ini pasti tunggal dan tak berangkap. Cahaya murni ini tidak lain adalah Nur al-Anwar yang seluruh cahaya bergantung dan butuh padanya serta dengan kepenciptaannya terwujudlah segala maujud. Begitu pula, tidak ada yang serupa dan identik dengan Dia dan Dia berpengaruh dan berkuasa atas segala hal, tidak satupun maujud yang berkuasa dan berpengaruh atas-Nya, dan tidak ada yang dapat menandingi-Nya, karena semua kodrat, kekuasaan, dan kesempurnaan berasal dari-Nya. Akibat (ma’lul) tak pernah seimbang dengan sebab.[13]

 

  1. Kemustahilan Ketiadaan Nur al-Anwar

Suhrawardi menegaskan bahwa Nur al-Anwar mustahil tiada, karena kalau ketiadaan-Nya bersifat mungkin, maka keberadaan-Nya pun bersifat mungkin. Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya Dia memerlukan Pengada yang akan mewujudkan-Nya. Walhasil Dia adalah maujud yang secara esensial bergantung dan membutuhkan maujud lain yang secara mutlak dan esensial tak bergantung yang disebut dengan Nur al-Anwar. Bagaimanapun rangkaian sebab dan akibat (kausalitas) harus berakhir pada Sebab Hakiki dan Pertama.

Suatu maujud tak akan pernah mengharuskan secara esensial ketiadaan dirinya sendiri, kalau demikian halnya, maka dari awal ia tidak akan pernah ada. Nur al-Anwar ialah tak berangkap (basith) dan keberadaan zat-Nya tidak berhubungan dengan syarat-syarat, segala sesuatu bergantung selain diri-Nya dan segala sesuatu butuh pada-Nya. Maka dari itu, karena Dia tak bersyarat dan tak memiliki lawan yang bisa memusnahkan-Nya, Dia terus ada dan abadi.[14]

 

  1. Kemanunggalan Sifat Nur al-Anwar dengan Zat-Nya

Pada bagian ini pembahasan berkenaan dengan kesatuan sifat Nur al-Anwar dengan zat-Nya. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa tidak satupun sifat yang bercahaya atau gelap menempel pada zat Nur al-Anwar. Dan juga tidak satupun sifat dari sifat-sifat-Nya yang hubungannya dengan zat-Nya bersifat mungkin, bahkan hubungan semua sifat-Nya dengan zat-Nya bersifat mesti dan niscaya. Berikut ini akan diutarakan beberapa dalil dan argumentasi:

  1. Apabila Nur al-Anwar memiliki aksiden-aksiden gelap maka mesti terdapat pada zat-Nya sisi kegelapan yang dihadirkan oleh aksiden-aksiden tersebut. Dalam kondisi ini, Nur al-Anwar terangkap dari dua dimensi kegelapan dan cahaya, dan akhirnya Dia bukan cahaya murni lagi. Sementara dipahami bahwa Dia ialah cahaya murni. Jika diasumsikan Nur al-Anwar memiliki suatu sifat cahaya yang tidak menyatu dengan zat-Nya, maka wadah sifat itu harus memiliki cahaya yang lebih terang yang kemudian menerangi zat Nur al-Anwar. Karena tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih terang dari Nur al-Anwar yang ia itu sebagai faktor yang mewujudkan sifat cahaya lain, kesimpulannya sifat cahaya lain lebih terang dari Nur al-Anwar yang sebagai akibat-Nya sendiri dan hal ini ialah mustahil.
  2. Senantiasa pemberi cahaya lebih terang dari penerima cahaya, karena ia merupakan sumber cahaya ini. Oleh karena itu, apabila Nur al-Anwar sendiri mewujudkan suatu sifat lain pada zat-Nya, maka zat dengan sifat lain itu lebih terang dan bercahaya dari zat Nur al-Anwar itu sendiri, dan hal ini adalah juga mustahil terjadi.
  3. Apabila Nur al-Anwar menciptakan suatu sifat lain dalam zat-Nya sendiri, maka zat-Nya yang sebagai pelaku adalah juga penerima atau Dia sebagai pemberi dan juga sebagai penerima. Dari satu sisi, pemberi dan pelaku berbeda dengan penerima, karena dalam hal itu semestinya setiap pemberi ialah juga penerima sesuatu dan setiap penerima juga adalah pemberi, sementara tidaklah demikian. Dengan demikian, Nur al-Anwar harus memiliki dua dimensi yang satu dimensi memberikan dan dimensi lain menerima. Karena mata rantai yang tak berhingga itu adalah mustahil terjadi, pada akhirnya akan berujung kepada zat Nur al-Anwar dan kesimpulannya, zat Dia menjadi terangkap dari dua dimensi yaitu dimensi yang memberi dan yang menerima.
  4. Dua dimensi tersebut adalah bukan cahaya tak bergantung, pada pembahasan yang lalu telah ditetapkan tentang kemustahilan keberadaan dua cahaya yang sama-sama tak bergantung. Dan juga dari dua dimensi itu tidak bisa diasumsikan bahwa satu dimensi tak bergantung dan dimensi lain bergantung, karena kalau cahaya bergantung bersandar pada cahaya tak bergantung akan lahir masalah sebagaimana pada poin (c). Apabila cahaya bergantung tidak bersandar pada cahaya tak bergantung, maka tidak terdapat dua dimensi, sementara diasumsikan zat-Nya memiliki dua dimensi dan hal ini adalah batal karena terjadi kontradiksi. Begitu pula dari dua dimensi tersebut tidak dapat diasumsikan bahwa satu dimensi sebagai cahaya dan dimensi lain adalah aksiden gelap, karena akan terdapat dimensi gelap pada zat Nur al-Anwar. Juga mustahil diasumsikan satu dimensi ialah benda dan dimensi lain ialah cahaya murni, karena dengan kondisi ini, tak akan terjadi kebergantungan satu sama lain dan tak akan berhubungan dengan zat Nur al-Anwar.

Dengan penjelasan di atas menjadi jelaslah bahwa Nur al-Anwar tak memiliki sifat yang terpisah dari zat-Nya yang kemudian menempel padanya dan lebih terang dari zat-Nya sendiri. Karena kembalinya ilmu segala sesuatu kepada zatnya, dengan makna bahwa zatnya bagi dirinya sendiri adalah jelas dan terang. Dan hal ini tidak lain ialah cahaya murni yang kehadirannya tak bergantung kepada yang lain. Dengan demikian, kehidupan dan pengetahuan Nur al-Anwar yang merupakan cahaya murni adalah menyatu dengan zat-Nya sendiri, dan bukan terpisah dari zat-Nya.[15]

 

 

 

  1. Urutan Penciptaan

 

  1. Satu Akibat (Ma’lul) hanya Terpancar dari Satu Sebab (‘Illah)

Syaikh Isyraq, sebagaimana filosof Peripatetik, menerima dan menetapkan suatu rumusan masyhur yang disebut dengan kaidah al-wahid. Dia menyatakan bahwa mustahil terpancar dari Nur al-Anwar satu cahaya dan satu non-cahaya (substansi gelap dan aksiden-aksiden gelap), karena:

  1. Aspek kemestian cahaya berbeda dengan kemestian kegelapan. Kalau keduanya (cahaya dan kegelapan) terpancar dari-Nya, maka zat Nur al-Anwar terangkap dari dua aspek itu. Sebagaimana kita ketahui tentang kemustahilan kerangkapan zat-Nya. Maka dari itu, terpancarnya kegelapan dari Nur al-Anwar adalah mustahil terjadi.
  2. Cahaya dari sisi kecahayaannya, apabila memiliki akibat, maka akibat itu tidak lain adalah cahaya itu sendiri. Adalah juga mustahil terpancar secara langsung dua cahaya sekaligus dari zat Nur al-Anwar (Sebab Pertama), karena dua cahaya ini adalah dua hakikat dan dua kemestian yang berbeda. Jika dua cahaya terpancar secara bersamaan dari-Nya, maka mengharuskan pada zat-Nya dua aspek dan dua dimensi. Dan keberadaan dua dimensi pada zat-Nya akan meniscayakan kerangkapan pada zat-Nya, dan hal ini adalah batil.

Dengan dasar perbedaan dua akibat yang terpancar dari Nur al-Anwar, semestinya di antara keduanya terdapat sisi kesamaan dan sisi perbedaan, dan Nur al-Anwar seharusnya mewujudkan dua sisi itu dalam wujud-Nya. Konsekuensi dari hal ini adalah pada zat-Nya terdapat dua sisi, keadaan ini adalah suatu kemustahilan.[16]

 

  1. Pancaran Pertama

Suhrawardi menetapkan akal atau cahaya substansial (murni) sebagai pancaran pertama yang terwujud dari Sebab Pertama. Dalam hal ini, dia sepaham dengan maktab Peripatetik, namun dalam pembuktian ide dan konsep ini, ia memilih metode dan jalan yang khas. Dalam kelanjutan pembahasan, dia mengkaji perbedaan antara pancaran pertama dengan Nur al-Anwar dan pengertian pancaran maujud. Ini tidak dilakukan oleh filosof agung Ibnu Sina.

Syaikh Isyraq dalam masalah ini menjelaskan bahwa apabila pencaran pertama dari Nur al-Anwar itu diasumsikan sebagai satu kegelapan, berdasarkan kemestian kejamakan dimensi pada zat-Nya, maka mustahil pancaran pertama itu ialah cahaya. Akan tetapi yang kita saksikan keberadaan fenomena cahaya-cahaya murni dan tak murni di alam eksistensi ini, maka dari itu, pancaran pertama adalah bukan kegelapan. Karena jika demikian yang terjadi, maka yang ada hanyalah kegelapan itu dan tidak menyisakan ruang bagi eksistensi cahaya-cahaya dan kegelapan-kegelapan lain, karena berpijak pada kaidah al-wahid, mustahil sekaligus terpancar cahaya dan kegelapan, dan juga kegelapan tidak bisa mewujudkan cahaya dan kegelapan lain. Dengan demikian akibat Nur al-Anwar hanyalah terbatas pada kegelapan itu, dan asumsi ini ialah batal karena bertolak belakang secara nyata dengan realitas yang ada di alam.

Dari dimensi bahwa Nur al-Anwar bukan sumber kejamakan, maka dari itu adalah mustahil terpancar dari-Nya satu maujud gelap, substansi gelap, dan aksiden-aksiden gelap dan begitu pula tidak mungkin terjadi dua cahaya murni terpancar langsung dari-Nya. Asumsi yang tertinggal hanyalah bahwa realitas yang pertama kali terpancar dari Nur al-Anwar adalah satu cahaya murni.

Apa perbedaan pancaran pertama ini dengan Nur al-Anwar? Tidak diragukan bahwa perbedaan keduanya mesti bukan pada aksiden-aksiden kegelapan, karena mustahil terpancar kegelapan bersama dengan cahaya dari Nur al-Anwar (karena kemustahilan kerangkapan zat-Nya dari dua dimensi). Disamping itu, dengan dalil Syaikh Isyraq telah menetapkan bahwa hakikat cahaya-cahaya murni adalah tidak berbeda. Oleh karena itu, perbedaan pancaran pertama dengan Nur al-Anwar ialah pada gradasi kesempurnaan. Sebagaimana di alam materi, pemberi cahaya lebih terang dan lebih sempurna dari penerima cahaya, realitas dan kenyataan ini juga terjadi pada cahaya-cahaya murni.

Supaya substansi permasalahan ini menjadi lebih jelas, perlu memperhatikan bahwa perbedaan yang terjadi pada cahaya-cahaya tak murni karena perbedaan kesempurnaan pemberi cahayanya masing-masing, walaupun penerima cahaya-cahaya itu adalah satu, seperti cahaya lampu dan cahaya matahari yang menerangi satu tembok, atau cahaya matahari secara langsung menerangi bumi atau cahaya matahari yang membias pada cermin. Adalah jelas bahwa cahaya langsung matahari lebih sempurna dari cahaya yang terbias dari cermin atau dari cahaya lampu. Asal perbedaan ini tidak lain adalah perbedaan kesempurnaan pemberi-pemberi cahaya dan perbedaan tingkat kelemahan penerima-penerima cahaya.

Begitu pula terkadang pelaku dan sumber cahaya adalah satu, namun perbedaan yang ada pada cahaya-cahaya karena faktor perbedaan derajat kesempurnaan dan tingkat kelemahan pada wadah-wadah cahaya. Karena cahaya murni tidak memiliki wadah, maka dari itu selain Nur al-Anwar, dia niscaya sempurna. Kesempurnaan cahaya murni bergantung pada kesempurnaan Nur al-Anwar, namun kesempurnaan Nur al-Anwar adalah karena tidak memiliki suatu sebab apapun, bahkan Ia adalah cahaya murni yang tidak memiliki sedikitpun kebutuhan dan kekurangan.

Pancaran pertama dari Nur al-Anwar ialah satu cahaya murni yang zatnya bergantung secara esensial dan hanya tercukupkan dengan-Nya. Perwujudan cahaya murni ini oleh Nur al-Anwar tak bermakna bahwa sesuatu itu terpisah dari-Nya, karena berpisah dan bersatu merupakan sifat-sifat benda, sementara Nur al-Anwar tidak memiliki sifat dan karakteristik benda. Begitu pula penciptaan ini tidak berarti perpindahan sesuatu dari Nur al-Anwar, karena aksiden tidak menerima perpindahan dan zat-Nya tidak mempunyai aksiden-aksiden. Realitas ini bisa kita misalkan dengan pancaran cahaya matahari dimana pancaran cahaya ini berhubungan dengan matahari, tetapi pancaran cahaya ini bukan sesuatu yang berpisah dan berpidah dari matahari. Pemisalan ini mirip dengan kenyataan cahaya-cahaya tak murni dan murni, bukan aksiden yang berpindah atau suatu benda yang berpisah atau terlepas dari benda lain.[17]

 

  1. Proses Penciptaan

Penjelasan Suhrawardi tentang masalah ini tak jauh berbeda dengan uraian-uraian Ibnu Sina. Dia memaparkan bahwa pancaran pertama dari-Nya juga tidak memiliki dimensi-dimensi keragaman, karena asumsi keberadaan keragaman pada pancaran pertama akan meniscayakan keberadaan keragaman pada zat-Nya, dan ini adalah mustahil. Maka dari itu, kalau hanya satu benda gelap yang terwujud dari cahaya pertama dan bukan suatu cahaya lain, maka pada titik itu juga proses keberadaan dan penciptaan akan terhenti, karena benda mustahil mewujudkan benda lain atau cahaya lain.

Apabila dari cahaya pertama terwujud cahaya A, dari cahaya A terpancar cahaya B, dan begitu seterusnya, maka mustahil akan tercipta benda. Cahaya-cahaya ini, dari aspek kecahayaan, mustahil terwujud benda darinya. Oleh karena itu, semestinya dari pancaran pertama itu juga tercipta satu cahaya murni dan satu benda, karena pancaran pertama ini memiliki aspek-aspek yang beragam, seperti kebergantungan esensial, kecukupan wujudnya dengan perantaraan Sebabnya sendiri, berpikir atas kekurangan dirinya sendiri dimana merupakan aksiden-aksiden kegelapannya, “memandang” Nur al-Anwar dan memandang zatnya sendiri, karena tidak ada hijab antara dia dengan Nur al-Anwar, dikarenakan hijab ialah sifat-sifat benda. Nur al-Anwar beserta cahaya-cahaya murni lain tidak bisa terperangkap dan terbatasi oleh sisi-sisi dan dimensi-dimensinya.

Dengan demikian, pancaran pertama yang “memandang” Nur al-Anwar mendapatkan dan mengetahui dirinya dalam kegelapan, karena cahaya sempurna meliputi cahaya tak sempurna, maka ketika “memandang” keagungan Nur al-Anwar tampaklah kegelapan dan kebutuhan zatnya, realitas ini sebagai persiapan bagi kehadiran bayangan dari zatnya dan bayangan ini tak lain adalah alam materi.

Dan juga pancaran pertama dari sisi kecukupan wujudnya dengan perantaraan Nur al-Anwar dan “memandang” jalaliyah-Nya, ia mampu mencipta cahaya murni lain. Walhasil, benda merupakan bayangan pancaran pertama dan cahaya murni lainnya merupakan pancaran cahayanya. Bayangannya sebagai konsekuensi kegelapan kebutuhan dan kebergantungan esensialnya; maksud kegelapan di sini ialah sesuatu yang tak memiliki cahaya dalam zatnya sendiri.[18]

 

  1. Perwujudan Keragaman dan Kejamakan

Mengenai kehadiran kejamakan di alam ini, dia menjelaskan bahwa ketika di antara cahaya-cahaya tidak terdapat hijab, cahaya bawah akan “memandang” (musyahadah) cahaya atas dan cahaya atas akan memancarkan (isyraq) cahayanya pada cahaya bawah. Maka dari itu, Nur al-Anwar akan memancarkan cahaya-Nya hanya pada cahaya yang terdekat dengan-Nya (cahaya pertama).

Kalau ada sanggahan atas perjelasan tersebut dan dikatakan bahwa pada kondisi itu, Nur al-Anwar menerima kejamakan, karena dari satu sisi Dia mewujudkan pancaran pertama dan pada sisi yang lain, Dia memancarkan cahaya pada pancaran pertama.

Jawaban atas sanggahan itu, kami katakan bahwa mustahil dua realitas secara langsung terwujud dari Nur al-Anwar. Namun di sini tidaklah demikian, karena hanya wujud pancaran pertama adalah akibat zat-Nya, sementara pancaran cahaya-Nya merupakan upaya perwujudan cinta kepada Nur al-Anwar pada zat pancaran pertama dimana tiada hijab di antara keduanya. Jadi dalam hal ini, terdapat banyak dimensi-dimensi, penerima-penerima cahaya, dan syarat-syarat yang berbeda. Berdasarkan perbedaan keadaan penerima-penerima dan kejamakan maujud dan syarat-syarat, satu wujud bisa menjadi sebab bagi semua fenomena yang berbeda.[19]

 

  1. “Pemberian” Nur al-Anwar

Dalam persoalan ini, Suhrawardi ingin menegaskan bahwa Dia tidak mencari tujuan-tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, hal ini ia sebut sebagai “pemberian Tuhan”. Ia, sebagaimana Ibnu Sina, menamakan penciptaan itu sebagai “pemberian Tuhan”. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa “pemberian” merupakan sesuatu yang layak untuk memberi. Seseorang yang berbuat sesuatu supaya dia dipuji oleh yang lain dan memberi balasan adalah pemberi manfaat. Oleh karena itu, tidak sesuatu yang paling dan Maha Pemberi kecuali suatu zat yang hakikatnya adalah cahaya, hakikat seperti ini lebih layak dari semuanya untuk memberikan pancaran dan rahmat.

Raja hakiki adalah segala sesuatu bergantung pada zat-Nya, dan zat-Nya tidak memerlukan kepada sesuatu yang lain. Raja hakiki ini tidak lain adalah Nur al-Anwar.[20]

 

  1. Kaidah Pancaran (Isyraq)

Suhrawardi dalam menjelaskan penciptaan menggunakan dua unsur seperti isyraq (pancaran) dan musyahadah (“memandang”). Pada kesempatan ini, dia memaparkan perbedaan di antara kedua unsur tersebut. Dia menyatakan bahwa mata manusia mempunyai pandangan (musyahadah) yang dapat melihat matahari dan juga memiliki isyraq dimana cahaya matahari menyinarinya. Isyraq dan musyahadah berbeda satu sama lain, karena isyraq atas mata pada tempat dimana mata itu diletakkan, yakni di bumi; dalam keadaan dimana musyahadah matahari berlangsung pada jarak yang sangat jauh dari, yakni dilangit, karena matahari pada tempat yang dapat dilihat. (Musyahadah ke langit dan isyraq ke bumi) Musyahadah dan isyraq ini akan semakin kuat bila hubungannya semakin bercahaya dan semakin dekat, misalnya apabila dalam kornea mata adalah bercahaya atau kalau matahari semakin dekat dengan kornea mata, maka musyahadah dan isyraq ini akan memiliki intensitas kuat.[21]

 

  1. Hubungan antara Cahaya Tinggi dan Cahaya Rendah

Di sela-sela penjelasan hubungan cahaya-cahaya, Suhrawardi juga memaparkan pengertian kelezatan dan dia lantas menuturkan tentang Nur al-Anwar dengan berpijak pada kelezatan ini.

Dia menyatakan bahwa cahaya rendah tidak meliputi cahaya tinggi, karena cahaya atas menguasainya, namun cahaya rendah bisa melihat cahaya tinggi. Ketika jumlah cahaya semakin banyak, setiap cahaya tinggi akan menguasai cahaya rendah dan cahaya rendah akan mencintai cahaya tinggi. Maka dari itu, Nur al-Anwar menguasai seluruh keberadaan dan segala sesuatu itu hanya akan mencintai-Nya, karena hanya yang Dia mempunyai kesempurnaan Hakiki, Dia paling indah, kehadiran-Nya bagi diri-Nya sendiri, dan kehadiran-Nya paling sempurna dan paling kuat.

Perlu diketahui bahwa tingkat kesempurnaan kelezatan dan intensitasnya sangat berbanding lurus dengan derajat pencapaian kesempurnaan dan pengetahuan, semakin sempurna pengetahuan dan kehadiran maka semakin sempurna pula kelezatan. Karena tidak ada sesuatu yang lebih sempurna dan lebih indah dari Nur al-Anwar dan tidak ada sesuatu yang dapat menandingi kehadiran Dia bagi diri-Nya sendiri dan bagi sesuatu yang lain, maka dengan ini, tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya dalam memberikan kelezatan bagi diri-Nya sendiri dan bagi maujud-maujud yang lain.

Dia mencintai zat-Nya sendiri dan obyek yang dicintai oleh maujud-maujud lain. Setiap cahaya tak sempurna pasti mencintai cahaya yang lebih sempurna. Sebagaimana kehadiran Nur al-Anwar atas diri-Nya sendiri adalah menyatu dengan zat-Nya, kelezatan dan kecintaan-Nya pun kepada wujud-Nya sendiri adalah menyatu dengan zat-Nya. Begitu pula, kebercahayaan Dia tidak dapat dibandingkan dengan kebercayaan yang lain, cinta dan kelezatan Dia pun tidak bisa dibandingkan dengan cinta dan kelezatan maujud lain. Dengan demikian, keseluruhan keberadaan dan fenomena eksistensi berjalan di atas alur kecintaan dan kekuasaan.[22]

 

 

  1. Perwujudan Cahaya-Cahaya dan Benda-Benda

Syaikh Isyraq menyatakan bahwa dari pancaran (cahaya) pertama akan terwujud cahaya kedua dan dari cahaya kedua ini muncul cahaya ketiga, cahaya ketiga melahirkan cahaya keempat, dan demikianlah seterusnya hingga batasan yang tidak diketahui.

Kemudian setiap dari cahaya-cahaya tersebut menyaksikan (musyahadah) Nur al-Anwar dan menjadi sekaligus sebagai obyek pancaran-Nya. Cahaya-cahaya tinggi akan memantulkan pancaran-Nya kepada cahaya yang lain. Setiap cahaya tinggi memancarkan cahayanya kepada cahaya rendah dan cahaya rendah ini menerima pancaran itu dengan perantaraan ataupun tidak, misalnya cahaya kedua menerima dua kali pancaran Nur al-Anwar, yaitu pancaran pertama diterima olehnya tanpa perantara dan pancaran kedua dengan perantaraan cahaya pertama. Kaidah ini juga berlaku pada cahaya ketiga dan cahaya-cahaya lain. Cahaya ketiga menerima pancaran sebanyak empat kali, yaitu dua kali dari cahaya yang berada di atasnya, satu dari Nur al-Anwar secara langsung, dan satu lagi dari cahaya pertama dengan tanpa perantara. Cahaya keempat menerima pancaran sejumlah delapan kali, yaitu empat pancaran dari cahaya ketiga, dua pancaran dari cahaya kedua, dan masing-masing menerima satu pancaran dari cahaya pertama dan Nur al-Anwar secara langsung. Demikianlah, pancaran-pancaran ini akan terus bertambah secara signifikan hingga mencapai jumlah yang tak terbatas, karena cahaya-cahaya murni ini bukanlah benda-benda yang bisa terhijab dari Nur al-Anwar. Disamping pancaran-pancaran tersebut, setiap cahaya rendah akan menyaksikan cahaya tinggi dan Nur al-Anwar, dan sebagaimana yang telah kami katakan bahwa musyahadah berbeda dengan isyraq. Pancaran-pancaran Nur al-Anwar ini akan terus berlanjut hingga mengandung unsur-unsur kejamakan, dengan demikian musyahadah-musyahadah dan isyraq-isyraq juga secara berurutan akan menerima unsur kejamakan.

Perlu diketahui bahwa pancaran-pancaran material, pada satu benda berpijak pada kuantitas sumber pancaran, akan mengalami suatu peningkatan intensitas. Terkadang pada satu tempat terdapat beberapa cahaya-cahaya dimana perbedaan dan jumlah cahaya-cahaya itu tidak dapat diketahui kecuali dari perbedaan dan jumlah sumber-sumber cahaya tersebut, seperti pancaran beberapa lampu pada satu dinding dimana apabila penghalang diletakkan dihadapan salah satu pancaran dari lampu-lampu itu, maka cahaya tidak terpancar dari lampu itu dan akan melahirkan bayangan, namun cahaya akan tetap terpancar pada lampu-lampu lain. Peningkatan intensitas pancaran ini berhubungan dengan kuantitas, bukan satu pancaran akan mengalami peningkatan intensitas dengan beberapa sumber atau dari gabungan unsur-unsur berbeda akan melahirkan pancaran-pancaran satu cahaya baru.

Terkadang terkumpul pancaran-pancaran yang banyak pada satu tempat, hal ini sama dengan kehadiran kehendak-kehendak yang berbeda terkait dengan beberapa obyek yang bersumber dari satu tempat, akan tetapi benda tidak akan mengetahui kejamakan dan keragaman ini. Hal ini akan berbeda kalau wadah pancaran-pancaran ini adalah suatu maujud yang hidup dan berilmu, niscaya dia akan memahami dan mengetahui jumlah pancaran-pancaran dan peningkatan intensitas pancaran dari setiap sumber.

Oleh karena itu, cahaya-cahaya tinggi dalam jumlah banyak akan terwujud dengan perantaraan satu sama lain yang eksistensi mereka berpijak pada kuantitas musyahadah dan jumlah pancaran-pancaran. Dan berdasarkan gabungan aspek-aspek dan hubungan-hubungan dengan cahaya-cahaya tinggi ini, akan terwujud cahaya-cahaya lain, seperti gabungan aspek kekuasaan dengan cahaya-cahaya tinggi akan melahirkan beberapa cahaya, atau gabungan dimensi cinta dengan cahaya-cahaya tinggi juga mewujudkan beberapa cahaya lain, demikianlah penggabungan ini seterusnya.

Dengan gabungan semua pancaran-pancaran, khususnya pancaran-pancaran cahaya yang lemah dan rendah, dengan dimensi kekurangan mereka akan mewujudkan langit dzawabet, kemudian berdasarkan penggabungan sebagian dari pancaran-pancaran ini dengan sebagian yang lain akan melahirkan bentuk-bentuk yang sesuai dengan dzawabet. Cahaya-cahaya pencipta dan pengatur ini, yakni arbâbul anwa’ (pengatur-pengatur spesies), merupakan akibat dari sisi ketidakbutuhan, cinta, dan kekuasaan cahaya-cahaya yang bersama dengan kesesuaian menakjubkan dari pancaran-pancaran kuat, sempurna, dan faktor-faktor lain. Arbâbul anwa’ tersebut mewujudkan, mengatur, dan berhubungan dengan semua spesies benda langit dan seluruh materi yang berada di bawah langit dzawabet. Mengenai eksistensi arbâbul anwa’ ini akan dibuktikan nantinya dengan menggunakan kaidah imkan asyraf.[23]

 

 

 

  1. Ilmu Tuhan Berdasarkan Kaidah Isyraq

Berkaitan dengan masalah ini Suhrawardi menjelaskan bahwa syarat penglihatan, sebagaimana pandangan Peripatetik, bukanlah menggambarkan sesuatu dalam mata atau cahaya yang keluar dari mata, menurut para teolog, tetapi sebagaimana mata dan sesuatu yang berada dihadapan kita adalah bukan hijab yang menghalangi aktivitas mata. Oleh karena itu, Nur al-Anwar adalah swa-berilmu, karena tidak ada hijab antara Dia dengan segala sesuatu, dengan ini, segala sesuatu itu menjadi jelas, nyata, dan diketahui oleh-Nya. Dengan demikian, mengetahui dan melihat bagi-Nya adalah satu. Kebercahayaan-Nya adalah kodrat-Nya itu sendiri, karena cahaya secara esensial merupakan pemberi rahmat dan sangat aktif.

Lebih lanjut Syaikh Isyraq memaparkan pandangannya sendiri tentang ilmu Tuhan terhadap maujud-maujud. Dia menyatakan bahwa konsep dan perspektif yang benar dalam ilmu Tuhan adalah yang bersandar pada kaidah isyraq, yaitu:

  1. Ilmu Tuhan terhadap zat-Nya sendiri, yakni zat-Nya bagi dirinya sendiri adalah gamblang, atau adalah cahaya bagi dirinya sendiri.
  2. Ilmu Tuhan terhadap maujud-maujud alam, yakni semua maujud alam ialah hadir dan nyata dihadapan Dia dan bagi-Nya. Kehadiran maujud-maujud bisa bermakna bahwa eksistensi eksternal mereka sendiri adalah hadir dihadapan Tuhan atau dapat berarti bahwa gambaran wujud mereka dalam alam pikiran maujud-maujud akal adalah hadir dihadapan Tuhan. Oleh karena itu, ilmu Tuhan adalah tergolong ke dalam kategori “hubungan”. Dan ketiadaan hijab yang merupakan perkara negasi dalam kaitannya dengan Tuhan adalah senantiasa berarti, karena tidak ada sesuatu yang terhijab dari-Nya.

Alasan dan argumentasi Suhrawardi atas pandangan di atas tentang proses penglihatan adalah bahwa perbuatan melihat adalah hasil hubungan sesuatu dengan mata, tanpa hijab. Oleh karena itu, hubungan Tuhan dengan segala maujud adalah penglihatan Dia itu sendiri. Ialah jelas bahwa kejamakan hubungan-hubungan ini tidak bertolak belakang dengan kesatuan wujud dan zat-Nya.[24]

 

  1. Kaidah Imkan Asyraf

Suhrawardi dalam menetapkan arbabul anwa’ berpijak pada kaidah imkan asyraf, dia menjelaskan bahwa salah satu dari kaidah isyraq adalah bahwa kalau dari satu spesies yang aktual terwujud satu individu yang rendah, maka seharusnya terwujud sebelumnya individu yang lebih tinggi dari spesies itu, karena Nur al-Anwar yang tak berangkap dan tak memiliki satupun bentuk kejamakan, setiap kali Dia telah mewujudkan individu yang rendah dan gelap tersebut, maka mustahil Dia menciptakan lagi setelahnya individu yang lebih tinggi darinya, karena kemustahilan terpancarnya maujud-maujud yang banyak secara bersamaan dan sekaligus dari wujud tunggal.

Dengan berpijak pada mukadimah di atas, Syaikh Isyraq menetapkan keberadaan cahaya murni pengatur (jiwa) pada diri manusia. Cahaya pengatur yakni suatu cahaya yang tidak sama sekali bergantung dengan materi, cahaya pengatur spesies yang bersifat universal ini seharusnya lebih tinggi dari cahaya pengatur (jiwa manusia), dengan demikian cahaya pengatur spesies ini harus telah terwujud sebelum keberadaan cahaya pengatur (jiwa manusia). Maka dari itu, keberadaan cahaya pengatur spesies dan cahaya pengatur (jiwa manusia) itu mesti diterima, karena maujud-maujud seperti ini secara esensial terwujud dan berada di luar alam materi. Oleh karena itu, tidak ada satupun hambatan dan halangan bagi perwujudan individu yang paling sempurna dari spesies itu.

Jangan salah dipahami bahwa rabb al-nu’ (pengatur spesies) manusia, misalnya, merupakan ruh dari badan manusia ini, karena maujud yang lebih tinggi (pengatur spesies) tidak mungkin terlahir pasca keberadaan maujud yang lebih rendah (badan manusia). Dan jangan dianggap bahwa arbabul anwa’ adalah maujud berangkap, akan tetapi hakikat-hakikat mereka itu merupakan cahaya tunggal, walaupun individu-individu material mereka senantiasa berangkap. Karena tidak kemestian bahwa individu-individunya harus identik secara keseluruhan dengan pengatur-pengatur spesiesnya. Dengan demikian, arbabul anwa’ merupakan maujud-maujud eksternal dan hakiki yang memiliki individu-individu. Apabila dikatakan bahwa manusia universal (pengatur spesies manusia) berada di alam non-materi, maka ke-universal- an dalam hal ini bukanlah makna yang hanya terdapat dalam pikiran. Manusia universal itu benar-benar ada dan terwujud di alam eksternal non-materi yang mengatur semua manusia (sebagai inidividu-individunya) di alam materi ini.[25]

 

 

 

  1. Perwujudan Basith dari Murakkab

Suhrawardi menjelaskan bahwa dari cahaya tinggi bersama dengan pancaran-pancarannya mewujudkan maujud lain yang tidak identik dengan dirinya. Dari cahaya-cahaya tinggi terpancar sesuatu yang pancaran-pancaran cahaya-cahaya tinggi ini sebagai bagian dari sebab bagi akibat-akibatnya. Oleh karena itu, dari kumpulan bagian-bagian yang merupakan sebab (A) akan terwujud akibat (B) yang basith (tunggal), kemudian akibat (B) ini yang telah menerima pancaran-pancaran sebab (A) itu dan juga akan menerima pancaran-pancaran yang banyak dari sumber-sumber lain. Dengan demikian, kumpulan baru suatu akibat (C) akan terwujud yang berbeda dengan akibat (B) dari sebab yang lalu (A). Perbedaan arbabul anwa’ dan cahaya-cahaya substansial lainnya dimulai dari sini. Dari kumpulan beberapa sesuatu akan terwujud suatu akibat yang tidak terlahir dari satu per satu dari kumpulan tersebut. Dengan demikian, mungkin terjadi suatu akibat basith (tunggal) terwujud dari sebab yang murakkab (berangkap).[26]

 

  1. Perbuatan Nur al-Anwar dan Cahaya-Cahaya lain

 

  1. Keazalian Perbuatan Nur al-Anwar

Syaikh dalam masalah ini memaparkan tentang ke-qadim-an alam. Ia menekankan bahwa dari Nur al-Anwar dan cahaya-cahaya tinggi tidak mungkin terwujud fenomena-fenomena hadits[27], kecuali sebagaimana yang akan kami jelaskan; yakni perwujudan realitas-realitas yang hadits mustahil bersumber dari cahaya-cahaya murni, kecuali fenomena-fenomena tersebut hadir karena pengaruh yang berasal dari gerak-gerak dan perubahan-perubahan, karena kalau wujud akibat (alam) hanya bergantung pada sesuatu sebab (Tuhan) maka ketika Tuhan berada alam juga pasti berwujud. Kalau antara alam dan Tuhan terdapat “jarak”, pasti terdapat faktor lain,yakni keberadaan akibat sepenuhnya tidak bergantung pada wujud sebab.

Oleh karena itu, segala sesuatu selain Nur al-Anwar adalah akibat dari Nur al-Anwar dan keberadaan akibat tidak bergantung kepada selain-Nya. Hal ini berbeda dengan kehadiran perbuatan-perbuatan kita yang juga bersandar kepada selain diri kita, seperti faktor waktu dan ketiadaan halangan dan syarat. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh dalam perbuatan-perbuatan kita. Akan tetapi, dalam penciptaan Tuhan tidak memerlukan waktu, karena waktu itu sendiri merupakan akibat dan ciptaan Nur al-Anwar.

Asy’ariyah beranggapan bahwa keberadaan Nur al-Anwar dengan segala sifat-sifat adalah qadim dan tetap, dengan demikian wujud akibat-Nya (alam) juga bersifat tetap dan qadim, karena keberadaan alam hanya bergantung kepada wujud Tuhan. Dan juga perlu diperhatikan bahwa dalam “ketiadaan mutlak” tidak terdapat asumsi tentang perubahan. Kalaupun dapat diasumsikan padanya suatu perubahan, maka keberadaan perubahan itu sendiri adalah fenomena hadits yang mesti membutuhkan sebab. Oleh karena itu, wujud bayangan-bayangan dan pancaran-pancaran Nur al-Anwar dan cahaya-cahaya tinggi adalah senantiasa berada. Keabadian ini, tak akan bertolak belakang dengan sifat suatu akibat, sebagaimana ketika matahari masih ada pancaran sinarnya pun masih tetap ada. Namun pancaran ini bergantung pada matahari, bukan sebaliknya.[28]

 

  1. Kuiditas adalah yang Tercipta dan bukan Wujud

Suhrawardi pada poin ini menjelaskan beberapa persoalan tentang sebab-akibat dan penciptaan. Dia menjabarkan bahwa:

  1. Karena “wujud” merupakan makna majasi yang diciptakan oleh manusia dalam pikiran, maka realitas yang tercipta dari sebab tidak lain adalah kuiditas (huwiyah, hakikat sesuatu) itu sendiri.
  2. Tak satupun dari maujud ciptaan, baik dalam awal kehadirannya maupun dalam keabadiannya, yang tak bergantung pada sebabnya; jika tidak demikian, maka konsekuensinya maujud yang merupakan realitas yang dicipta (mumkin al-wujûd), tiba-tiba (tanpa sebab) secara esensial berubah menjadi realitas yang mencipta (Wâjib al-Wujûd). Perubahan tiba-tiba dan tanpa sebab ini adalah batal.
  3. Pada fenomena yang baru tercipta adalah sangat mungkin akan mengalami kepunahan walaupun sebab pengadanya abadi. Dari sisi bahwa dia adalah sebuah fenomena, disamping bergantung pada sebab pengada juga butuh pada faktor-faktor tidak tetap lainnya.
  4. Adalah mungkin terjadi bahwa ‘sebab keabadian’ suatu fenomena ialah berbeda dengan ‘sebab pengadanya’, seperti sebuah patung yang ‘sebab keberadaannya’ ialah seorang seniman, namun ‘sebab keawetan (keabadian) nya’ ialah keringnya bahan-bahan patung itu. Terkadang sebab pengada adalah sama dengan sebab keabadian, seperti suatu wadah yang bentuknya bersandar pada kapasitas air, keabadian wadah di sini juga bergantung pada bentuk tersebut.
  5. Nur al-Anwar merupakan sebab bagi perwujudan dan keabadian semua maujud alam. Cahaya-cahaya tinggi dan substansial juga sebagai sebab-sebab perwujudan dan keabadian maujud alam.
  6. Karena benda-benda langit dalam kondisi yang terus berubah, hubungan mereka tidak pernah terputus dengan cahaya-cahaya pengaturnya dan terus di bawah pengaturan dan kekuasaannya.[29]

 

  1. Konklusi Pokok-Pokok Filsafat Hikmatul Isyraq

Di bawah ini akan kami simpulkan beberapa substansi pemikiran Suhrawardi dalam pembahasan ketuhanan dan ontologi, antara lain:

  1. Eksistensi dan keberadaan memiliki tingkatan dan gradasi;
  2. Hakikat eksistensi adalah cahaya, dan cahaya-cahaya ini bergradasi dan berderajat;
  3. Puncak cahaya-cahaya tersebut adalah Nur al-Anwar yang secara esensial adalah kaya, tidak bergantung, Pengada Mutlak, dan Pecinta zat-Nya dan Pecinta semua maujud selain-Nya, serta segala sesuatu di bawah kekuasaan-Nya;
  4. Cahaya terdekat dan paling identik (cahaya pertama yang terpancar dari-Nya) dengan Nur al-Anwar ialah apa yang disebut dengan Bahman;
  5. Hanya satu cahaya yang secara langsung dan tanpa perantara terpancar dari Nur al-Anwar;
  6. Cahaya-cahaya pada tingkatan berikutnya bersifat vertikal dan horisontal;
  7. Setelah penyempurnaan tingkatan cahaya, akan berpindah pada perwujudan alam materi dan benda (barzakh);
  8. Alam-alam eksistensi antara lain: alam akal dan cahaya-cahaya substansial (murni), alam mitsal, alam barzakh (benda), dan alam jiwa manusia yang dapat meliputi ketiga alam tersebut;
  9. Setiap cahaya tinggi berkuasa atas cahaya rendah dan cahaya rendah mencintai cahaya tinggi, dan dapat dikatakan:
  10. Tuhan (Nur al-Anwar) adalah Pecinta zat-Nya sendiri dan obyek yang dicintai, karena kesempurnaan adalah hadir bagi diri-Nya dan Dia merupakan cahaya yang paling sempurna dan paling indah;
  11. Segala sesuatu mencintai Nur al-Anwar dan Dia merupakan puncak segala tujuan;
  12. Sistem alam eksistensi diatur berdasarkan kecintaan dan kekuasaan;
  13. Selain Nur al-Anwar, kecintaan setiap cahaya kepada zat-nya sendiri berpijak pada kecintaannya kepada cahaya tinggi dan Nur al-Anwar;
  14. Apabila cinta dan kecintaan tiada, maka tidak akan pernah ada segala fenomena, realitas-realitas, dan maujud-maujud;
  15. Pancaran (isyraq) cahaya dengan metode manifestasi dan tajalli, yakni:
  16. Manifestasi Dia tidak memiliki batasan;
  17. Manifestasi ini bukan bermakna bahwa sesuatu terpisah dari-Nya, karena kebersatuan dan keberpisahan adalah sifat-sifat benda;
  18. Manifestasi bukan berarti perpindahan sesuatu dari Nur al-Anwar;
  19. Pancaran wujud Tuhan berarti tajalli, manifestasi, dan kehadiran wajah Tuhan;
  20. Antara cahaya dan pengetahuan (pencerapan) memiliki hubungan secara langsung, yakni:
  21. Setiap maujud yang mengetahui zat-nya sendiri adalah cahaya substansial (murni);
  22. Setiap maujud yang memahami zat-nya sendiri, pengetahuan atas zat ini ialah ilmu hudhuri, yakni zatnya tersingkap bagi dirinya sendiri;
  23. Tolok ukur ilmu maujud terkait dengan zat-nya sendiri ialah kehadiran bagi zatnya, bukan kenon-materian zat dari benda (Peripatetik);
  24. Jika sesuatu tersingkap bagi sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus hadir bagi dirinya supaya dia mengetahui yang lain itu e. Tak satupun maujud bisa memahamkan dan menghadirkan maujud (A) bagi maujud (A) itu sendiri, karena setiap sesuatu, apabila dia hadir bagi dirinya sendiri, maka berarti secara esensial dia adalah hadir, memahami, dan mengetahui dirinya sendiri.
  25. Sebagaimana pada maujud-maujud yang tercipta (mumkin al-wujud) bisa digambarkan bahwa salah satu tertinggi (asyraf) dari maujud yang lain, apabila ada maujud yang terendah (akhas), maka semestinya ada maujud yang tertinggi (asyraf) darinya yang merupakan sebabnya, dari kaidah (imakan asyraf) ini dapat ditetapkan dan dibuktikan arbabul anwa’ atau mutsul aflathuni (pengatur spesies-spesies).

#611th May 2012 13:18

Adzar_’Ali_Stany

M

Catatan Kaki:

[1] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 275.

[2] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 277.

[3] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 279.

[4] . Ibid, hal. 282.

[5] . Ibid, hal. 282.

[6] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 288.

[7] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 291.

[8] . Ibid.

[9] . Dalam istilah filsafat disebut dengan Wâjib al-Wujûd (Wujud Wajib, Tuhan).

[10] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 293.

[11] . Ibid.

[12] . Ibid, hal. 294.

[13]. Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 295.

[14] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 296.

[15] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 299.

[16] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 305.

[17] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 309.

[18] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 319.

[19] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 324.

[20] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 325.

[21] . Ibid, hal. 326.

[22] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 330.

[23]. Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 344.

[24] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 346.

[25] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 352.

[26] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 366.

[27] . Hadits, yang merupakan lawan dari qadim, dalam pengertian leksikalnya disebut dengan sesuatu yang baru. Sedangkan qadim adalah sesuatu yang lama dan lalu. Namun dalam istilah filsafat, hadits dimaknakan sebagai sesuatu yang diawali dengan ketiadaan wujudnya, yakni pernah tiada dan pada waktu atau tingkatan tertentu akan mengada. sementara qadim adalah sesuatu yang tidak diawali dengan ketiadaan wujudnya. Hadits atau huduts, sebagaimana qadim atau qidam, ini terdapat beberapa bagian, misalnya huduts dan qidam dahri, huduts dan qidam dzati (esensial), huduts dan qidam zamani (waktu).

[28] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 376.

[29] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 399.

#711th May 2012 13:20

Adzar_’Ali_Stany

sumber : http://www.alhassanain.com, http://syiah.org/forum/viewtopic.php?id=119

 

 

 


Ketuhanan dalam Filsafat Shadrian

$
0
0

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat (baca: wujud Tuhan).

Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.

Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.

Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ke-Tuhan-an terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.

Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi; Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

A. Perspektif Teologis Mulla Sadra

Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain.

Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi persepsi yang benar tentang Tuhan sebagai suatu wujud yang memiliki cakupan perwujudan hakiki atas semua realitas wujud-wujud (baca: wujud kontingen atau makhluk), Dia meliputi segala sesuatu, wujud secara hakiki hanya milik-Nya dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli-Nya.

Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban ilmu Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan wahyu sebagai teks suci Tuhan dan semua aliran pemikiran filsafat dan teologi.

Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri. Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis – setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.

Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud “awal” dan “esa” adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya.

Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat. Sebagaimana Al-Farabi berkata, “hakikat adalah Tuhan”, dan makna lain tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia menyatakan bahwa “hakikat” itu adalah kesesuaian ilmu dengan ” realitas sesuatu”, maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya.

Tuhan yang diyakini Al-Farabi sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarkannya sebagai seorang filosof, Tuhan sebagai “Sebab Tertinggi” untuk semua realitas eksistensi, “Sebab” seperti itu sama dengan konsep “Tunggal”nya Plato atau “Akal Ilahi”nya Aristoteles. Selain itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles, karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan “alam ide” (‘âlam mutsul, mundus imaginalis)[1], dan berlainan pula dengan Aristoteles yang memperkenalkan Tuhan sebagai “Tujuan Akhir” alam dan segala realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari “alam ketiadaan”. Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas.

Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai: “Sesuatu yang mencipta alam ini”, mereka memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam, dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya, istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya, istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (Wujud Wajib) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna, tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain.

Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan bahwa “keberwujudan” merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan kuiditas sebagai sesuatu yang “tercipta” tak memiliki wujud hakiki dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas – yang bersifat universal itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil terwujud dan mengaktual secara hakiki.

Oleh karena itu, tolok ukur “keberwujudan” mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud (tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena “berpijak” kepada wujud. Tanpa “keberpijakan” ini kuiditas mustahil tercipta.

Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan ontologi.

Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam, karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud secara aktual dan mustahil menjadi tiada.

Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara wujud (wajib) dan wujud kontingen (mumkin). Dalam argumen tersebut, secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen (mumkin) dan kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial, maka terbuktilah “wujud wajib” atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya, maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh wujudnya dari yang lain, mata rantai “pemberi wujud” ini harus berujung pada “Pemberi Wujud” yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu dengan “kuiditas” dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya. Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua makhluk dari “alam ketiadaan” atau hâdits[2] (lawan dari qadim, azali).

Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak “memancarkan” wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen (mumkin) “sebelum” dan “sesudah” penciptaan secara mutlak butuh kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan “keabadian” wujudnya bergantung kepada Tuhan.

Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat wa al- Tanbihat[3]. Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan kekuatan burhan tersebut.

Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam penegasan eksistensi Tuhan.

Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya, menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan Tuhan dari dimensi gerak alam.

Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Wujud Wajib atau wujud kontingen, kemudian kita letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wujud Wajib. Yang harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang ada “alam luar” niscaya Wujud Wajib, jadi jangan dipahami bahwa wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya, tapi kalau kita bisa “saksikan” secara langsung dan hudhuri maka wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti sebagaimana Dia juga swa-ada.

Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan dan sifat-sifat Tuhan, berkata, “Saksikanlah bagaimana argumen kami tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (burhan shiddiqin) lebih kuat dan lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya adalah kesaksian atas Wujud Wajib dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi, “Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka”. Saya berkata, “kandungan ayat ini untuk kaum tertentu”. Dan setelah itu Tuhan berfirman, “Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia saksi atas segala sesuatu”. Saya berkata, “kandungan ayat ini untuk shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi atas segala realitas bukan sebaliknya.”

Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya.

Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan satu cara yang disebut dengan “kemestian rasionalitas” menetapkan wujud Tuhan dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat mesti berwujud.

Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan forma (as-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya asy-Syifa[4] dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal fa’âl (active intellect)[5].

Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus dipengaruhi juga oleh “sesuatu yang lain”. Dia berkata, “Segala sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari sesuatu yang lain dan secara esensial “meminta” ketiadaan. Bukan cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang “meminta” ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan materi dan forma)”. Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa materi sebagai “sumber” kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya segala realitas wujud di alam.

Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak tergolong sebagai burhan shiddiqin[6]. Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (imkan) yang merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut.

Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai Wujud Wajib (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin (contingent existence), maksud dari “Wujud Wajib” adalah wujud murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah “wujud” hubungan atau bergantung dimana dalam “perwujudan” dan kesempurnaan “wujud”nya bergantung secara mutlak kepada Wujud Wajib[7].

Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan hakikat wujud (baca: Wujud Wajib) dan setelah itu, membuktikan wujud kontingen. Dengan demikian Wujud Wajib sebagai perantara untuk membuktikan wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua setelah Wujud Wajib tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wujud Wajib. Jadi, “wujud” kontingen tidak berada dalam satu tingkatan dengan Wujud Wajib, tapi Dia meliputi “wujud” kontingen secara hakiki.

Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat; sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud dibagi atas dua bagian yaitu Wujud Wajib dan wujud kontingen, wujud kontingen terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wujud Wajib adalah murni wujud dan suci dari kuiditas.

Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran:

Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu Sina;

Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra.

Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wujud Wajib dan wujud kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan tasalsul, tanpa Wujud Wajib.

Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis.

Dalam pahamannya, realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat majasi. Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang bersifat hakiki dan tunggal adalah Wujud Wajib dan bukan milik “wujud” kontingen; karena kalau milik “wujud” kontingen maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya.

Dengan demikian, hakikat wujud identik dan setara dengan Wujud Wajib yang mustahil meniada. Di sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat wujud, tapi bayangan dan citra wujud.

Mulla Sadra dalam kitab Masyâ’ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, “Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya”[8]. Dari alur pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wujud Wajib senantiasa menjadi Wujud Wajib dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama, jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan sumber segala keberadaan. Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya berbentuk, “kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama”? tetapi berbunyi, “kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan bergantung”? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut, sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an.

B. Gagasan Tentang Tuhan

Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang “keniscayaan wujud” dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara Wujud Wajib dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wujud Wajib merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi[9] merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut.

Dalam sistem metafisika hikmah muta’aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak.

Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud-Nya tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.

Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga dzat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya.

Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat “mencakupi” dan “meliputi”. Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya dzat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari ‘urafa dan hukama muta’aliyah.

C. Kesatuan Wujud

Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam. Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta’aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.

Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.

Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan kuantitas terpisah (kam al-munfashil) dari aksiden, dan aksiden termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (non materi) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.

Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, “Para filosof muta’allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna “meliputi” dan “mencakupi” realitas wujud-Nya.”[10]

D. Keazalian dan Keabadian Tuhan

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki (wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali. Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya.

Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu, juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi.

Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi.

Di sini Al-Al Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan, Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak.

Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana).

Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan; karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada.

Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam, Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu; karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu.

E. Nama dan Sifat Tuhan

Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan.

Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan “urgensi kebutuhan pengetahuan manusia terhadap Tuhan”. Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana pengetahuan “yang sedikit” itu bukan hanya tak “dilarang” atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan “yang sedikit” tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya.

Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, “Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik”. Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna “keberadaan, eksistensi” dan “kesatuan” yang terterapkan dan teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan.

Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam hikmah muta’aliyah ditegaskan bahwa kehakikian (al-ashâlah) itu milik wujud dan zat Tuhan adalah murni wujud yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada wujud dan zat Tuhan. Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan.

Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak.

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal manusia.

Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan “keluasan wujudnya” masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada.

Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.

Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan, Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan ma’rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia, ma’rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan.

Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy’ariah yang memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak sepaham dengan kelompok Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya.

Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk Tuhan. Dia berkata, “Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara subyek, obyek dan ilmu. Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem.

Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti “menunggu”.

F. Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan

Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Rezki, Keagungan, Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat. Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya) dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Murid, Karim dan Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan bukan berarti bahwa ada “bahan baku” atau “materi awal” sebelumnya dimana Tuhan menggunakan “bahan baku” tersebut sebagai bahan dasar dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila dibandingkan dengan “materi awal” tersebut dan juga wujud-Nya menjadi terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak yang dimiliki-Nya. Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada “materi awal” tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan, gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu.

Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu, kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan.

Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Hakim).

Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta (Khalik), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan, keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan. Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi segala realitas wujud dan makhluk. Tak ada keburukan mutlak yang merupakan lawan dari kebaikan mutlak di dalam tatanan alam ini, yang ada hanyalah keburukan aksidental yang bersifat nisbi, “keburukan” ini sebenarnya merupakan kebaikan pada tingkatan yang rendah, karena jika keburukan mutlak itu secara hakiki berwujud, maka bertentangan dengan wujud, ilmu dan hikmah Ilahi yang tak terbatas. Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna. Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan kesempurnaan-Nya pasti terbatas.

Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain.

G. Awal Dan Akhir Penciptaan Alam

Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah suatu wujud yang non materi (al-mujarrad), lantas bagaimana hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan alam “sezaman” dengan ke-qadim-an Tuhan?

Mulla Sadra berpegang pada konsep “manifestasi” dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filofof disebut dengan akal pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di bawah Tuhan.

Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam materi, alam ini bersifat hâdits zamani[11] yakni wujudnya didahului oleh “ketiadaan” dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan.

Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak, tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi, karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak “persamaan dan keserupaan” dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada dihadapannya.

Tuhan “bertajalli dan bermanifestasi” pertama kali di alam non materi tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal[12] lantas ke alam materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi.

Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta’aliyah. Pembahasan ini sangatlah ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu, secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.

Catatan Kaki:

[1] . Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri. Jadi, setiap realitas memiliki “bentuk non materi”nya di alam Ilahi, “bentuk non materi” itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato..

[2] . Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam makalah kami yang berjudul “Tuhan dalam filsafat”.

[3] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal. 18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66.

[4] . Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat.

[5] . Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa’âl, akal ini disamping berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga berfungsi “mencipta” jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini.

[6] . Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.

[7] . Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, bab penegasan tauhid.

[8] . Mulla Sadra, al-Masyâ’ir, hal. 69.

[9] . Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar berwujud secara hakiki.

[10] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115.

[11] . Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada – dalam waktu – dan sekarang baru tercipta dan hadir – juga dalam waktu -, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam.

[12] . Alam yang berada di antara alam akal dan alam materi.

 

by : TeamWisdom4all

sumber : alhassanain.com, http://syiah.org/forum/viewtopic.php?id=120


PROPOSAL TESIS TAFSĪR SURAH AL AʿLĀ  MULLA SADRA (STUDI ANALISA

Ini Poin Pidato Soekarno, SBY dan Jokowi di KAA

$
0
0

Posted by: Reply

143442_cdpancasyurkaniaacc2015idSatu Islam, Jakarta – Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar pertama kali tahun 1955 digagas Presiden RI pertama, Sukarno. Lima puluh tahun kemudian, KAA digelar kembali di Jakarta dan Bandung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tahun ini di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), peringatan 60 tahun KAA kembali digelar. Sukarno, SBY dan Jokowi menyampaikan pidato saat membuka KAA.

Pidato ketiga kepala negara mendapat apresiasi berbagai kalangan. Presiden pertama RI Soekarno berpidato selama 40 menit, tak kurang dari sepuluh kali tepuk tangan panjang memotong pidato proklamator Republik Indonesia itu.

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapatkan aplaus meriah saat berpidato d forum parlemen Konferensi Asia Afrika. Saat itu SBY berbicara dalam kapasitasnya sebagai Presiden Global Green Growth Institute (GGGI).

Sementara pidato Presiden Jokowi dinilai beberapa kalangan sangat berani karena mengkritisi beberapa lembaga dunia. Pidatonya dinilai sangat bagus oleh sejumlah kalangan. Di pidatonya, Jokowi  banyak ‘menyentil’ sikap negara-negara maju dan organisasi perkumpulan negara di dunia.

Berikut perbandingan pidato mereka.

1. Bung Karno

314265_10151222677025786_1452556604_nPresiden Sukarno atau Bung Karno berpidato dalam bahasa Inggris. Judul pidato Bung Karno adalah “Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru” yang disuarakan pada 18 April 1955.

Pidato Bung Karno dalam bahasa Inggris itu cukup panjang, 40 menit dan diselingi tepuk tangan. Pidato Bung Karno yang disampaikan secara berapi-api itu mengajak untuk melawan kolonialisme, menjadi negara merdeka seperti kutipannya:

Dan pada hari ini di dalam gedung ini berkumpullah pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa yang tadi itu! Mereka bukan lagi menjadi mangsa kolonialisme. Mereka bukan lagi menjadi alat perkakas orang lain dan bukan lagi alat permainan kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhinya. Pada hari ini Tuan-tuan menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa yang mempunyai tokoh dan martabat lain di dunia ini.

Orang sering mengatakan kepada kita, bahwa “kolonialisme sudah mati”. Janganlah kita mau tertipu atau terninabobokan olehnya! Saya berkata kepada Tuan-tuan, kolonialisme belumlah mati. Bagaimana kita dapat mengatakan ia telah mati selama daerah-daerah yang luas di Asia dan Afrika belum lagi merdeka!

Pidato Bung Karno juga mengajak negara yang dulunya dianggap negara dunia ketiga itu untuk bersatu, apapun latar belakangnya:

Ya, ada sifat berlainan di antara kita. Siapa yang membantahnya! Negeri-negeri kecil dan besar mengirimkan wakilnya kemari. Negeri-negeri mana rakyatnya memeluk hampir semua agama yang ada di kolong langit,– agama Buddha, Islam, Kristen, Konghucu, Hindu, Jainisme, agama Sikh, Zoroaster, Shinto, dan lain-lain. Hampir segala paham politik kita jumpai di sini. Demokrasi Monarchi, Theokrasi, dengan berbagai-bagai bentuk yang berbeda-beda. Dan praktis semua ajaran ekonomi ada wakilnya, di gedung ini, — Marhaenisme, Sosialisme, Kapitalisme, Komunisme, dalam segala variasi dan kombinasi yang aneka-warna.

Tetapi apa salahnya ada perbedaan-perbedaan asal ada persatuan cita-cita? Dalam Konferensi ini kita tak hcndak saling menentang, ini adalah Konferensi persaudaraan.

Ini bukan Konferensi Islam, bukan Konferensi Kristen, pun bukan Konferensi agama Buddha. Ini bukan pertemuan bangsa Melayu, atau bangsa Arab, atau pun bangsa-bangsa Indo-Arya. Konferensi ini pun bukan perkumpulan yang menyendiri, bukan suatu blok yang hendak menentang blok yang lain. Konferensi ini adalah suatu badan yang berpendirian luas dan toleran, yang berusaha memberi kesan kepada Dunia bahwa semua orang dan semua negeri berhak mempunyai tempat sendiri di kolong langit ini. Memberi kesan kepada dunia, bahwa adalah mungkin orang hidup bersama, saling bertemu, bicara antara yang satu dengan yang lain, dengan tidak kebilangan sifat kepribadiannya; namun untuk memberi sumbangan ke arah saling mengerti yang luas dalam soal-soal yang merupakan kepentingan bersama; serta pula mengembangkan kesadaran yang sejati mengenai sifat saling bergantung antara manusia-manusia dan bangsa-bangsa untuk keselamatannya dan agar dapat mempertahankan hidupnya di dunia ini.

2. SBY

143712_sbyfbsbyPidato SBY dalam peringatan emas KAA lalu disampaikan dalam bahasa Inggris tanpa teks yang disampaikan di JCC, Senayan, Jakarta pada 22 April 2005. Dalam pidatonya SBY menyampaikan tentang:

Palestina

Saya gembira karena melalui KAA ini Asia dan Afrika bersatu dalam mendukung saudara-saudara di Palestina, dalam perjuangan mereka untuk meraih kemerdekaan, negara berdaulat, hingga mereka bisa mendapatkan kebebasan, keadilan dan perdamaian

Ajak Ciptakan Good Governance

Jika dulu kita berjuang untuk kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika, saat ini kita berjuang untuk kemanusiaan yang disebut dengan keinginan menciptakan good governance. Dengan good governance seperi inilah Asia dan Afrika bisa benar-benar terbebas dan menunjukkan potensi sebenarnya.

Pada penutupan KAA 24 April 2005, SBY juga berpidato yang intinya mengajak membentuk kemitraan dan kerjasama untuk menghadapi tantangan pembangunan:

Ini adalah semangat yang sama yang menginsiprasi kita kemarin, di Jakarta untuk mengembangkan Kemitraan Strategis Asia-Afrika Baru. Melalui kemitraan ini, kita akan berkumpul bersama dengan sumber daya yang luas dengan energi kreatif yang luar biasa hebat dari Asia dan Afrika, untuk menyelesaikan beberapa masalah pembangunan yang sering kita hadapi.

Melalui kemitraan ini, kita akan berkontribusi signifikan untuk menaklukkan kemiskinan, sebagai siksaan konstan atas kondisi manusia. Dan melalui kemitraan, kita akan memajukan perdamaian, kemakmuran yang seimbang, dan keadilan sosial

3. Jokowi

143833_ncasyurkaniaacc2015idPresiden Jokowi berpidato dalam ajang puncak KAA di JCC, Senayan, Selasa 22 April 2015 ini. Jokowi berpidato cukup singkat. Hanya 8 alinea panjang. Berikut inti pidato Jokowi:

Kritik PBB atas Palestina

Makin kentara ketika PBB tidak berdaya, mandat PBB telah menafikan keberadaan badan dunia. Bangsa-bangsa di Asia Afrika mendesak reformasi PBB agar berfungsi optimal sebagai badan dunia yang mengutakaman keadilan bagi kita semua bagi semua bangsa. Bagi saya ketidakseimbangan global semakin menyesakkan dada. Kita dan dunia masih berutang kepada rakyat Palestina. Dunia tidak berdaya menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Kita tidak boleh berpaling dari penderitan rakyat Palestina. Kita harus mendukung sebuah negara Palestina yang merdeka.

Kritik Lembaga Keuangan Dunia

Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang. Saya berpendirian pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan pada tiga lembaga keuangan itu. Kita mendesak reformasi arsitektur keuangan global.

Saat ini butuh pimpinan global yang kolektif dan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru yang bangkit sebagai negara berpenduduk muslim di muka bumi dan Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga di dunia siap memainkan peran global. Indonesia siap bekerjasama dengan berbagai pihak mewujudkan cita-cita itu

Kerjasama untuk Pembangunan

Kita bisa melakukan itu semua dengan membumikan semangat Bandung dengan mengacu pada tiga cita-cita pertama kesejahteraan, kita harus mempererat kerjasama menghapuskan kemiskinan, mengembangankan kesehatan dan memperluas lapangan kerja. Kedua, solidaritas, kita harus tumbuh dan maju bersama dengan membangun kerjasama ekonomi, membantu menghubungkan konektivitas. Indonesia akan bekerja menjadi negara maritim.

ISIS

Ketiga, stabilitas internal dan eksternal kepada hak-hak asasi manusia. Kita harus tanya apa yang salah dengan kita. Kita harus bekerjasa sama atasi ancaman kekerasan, pertikaian dan radikalisme seperti ISIS. Kita harus nyatakan perang terhadap narkoba yang menghancurkan masa depan anak-anak kita. OKI dan Indonesia memprakarsai pertemuan informal organisasi kerjasama Islam. Kita juga harus bekerja keras menciptakan.

Sumber : detikom

 


THE LI BLOODLINE 13 Garis Keturunan Dari The Illuminati

$
0
0

“Dalam menulis tentang keluarga Li dan organisasi masyarakat rahasia Cina, Fritz Springmeier seperti orang yang terbangun di tengah malam saat orang lain tidur dan kemudian meraba-raba di dalam kegelapan mencoba merasakan jalan. Fritz Springmeier bisa berbagi dengan Anda apa yang telah Fritz Springmeier pelajari, tapi jelas ada banyak yang lebih besar yang dapat dipelajari”, tulis Fritz Springmeier.

Tahun-tahun  ketika  Fritz Springmeier mulai hanya sedikit tahu tentang keluarga Li, dan hanya dari apa yang ia dengar, ia bahkan tidak tahu bagaimana mengeja nama mereka dengan benar. Ejaan darinya: Lee (Sebenarnya nama keluarga Li dieja Lee di beberapa daerah seperti Hokkien, Teochew, Singapura dan oleh beberapa Cina Amerika.) Karena Fritz Springmeier tahu sedikit tentang keluarga tersebut, itu adalah salah satu fokus daerah utama Fritz Springmeier. saat melakukan penelitian ini.

Memahami Bagaimana Cara Bergabung dengan Nama Cina

Sebuah nama Cina terdiri dari nama keluarga (marga), yang ditulis pertama, dan kemudian muncul nama pribadi. Dengan cara Cina, nama Fritz Springmeier. Akan ditulis  Springmeier Fritz. Nama keluarga biasanya dari satu karakter masing-masing, meskipun ada pengecualian seperti Ouyong dan Situ. Ada lebih dari 6.000 nama keluarga Cina untuk sekitar satu milyar rakyat Cina. Nama keluarga China yang lebih sering muncul dalam negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Serikat, Inggris, & Aust berbicara. adalah Chan, Lin, Li, Wong, Huang, Mei, Yang, Chin, dan Fong. Di Cina daratan 5 keluarga teratas adalah Chen, Li, Zhang, Dia, dan Huang.

 

Nama Keluarga Lebih Bermakna Untuk Orang Cina Dari Pada Untuk Orang Amerika

Nama marga Tionghoa Li adalah nama yang sangat populer di Cina, mungkin tidak luas sebarannya sebagaimana Smith di negeri Amerika, tetapi tentu digunakan sebanyak nama Brown di Amerika. Orang Cina yang memiliki nama yang sama memiliki lebih banyak loyalitas kepada yang memiliki nama yang sama daripada kepada orang lain. Misalnya, dua Cina dengan nama Li akan menganggap diri saudara bahkan jika mereka orang asing.

Bahkan jika dua orang yang tidak mengenal hubungan darah, jika mereka memiliki nama yang sama itu secara umum dianggap telah kawin satu sama lain dalam satu keluarga (incest) di Cina. Di AS jika dua penyandang nama Browns tanpa ikatan darah jelas bertemu satu sama lain, mereka tidak akan merasa seolah-olah mereka kerabat dekat seperti yang akan dua orang Cina lakukan dengan nama yang sama. Nama Li memiliki sejarah panjang yang akan kembali ke orang tertentu bernama Kaisar Zhuanzu, Li yang pertama dan hidup sebelum 2000 SM Hal ini sesuai dengan Xing Zuan, kamus nama keluarga Cina. Keluarga Li memiliki sejarah panjang di Cina dengan banyak cerita. Selama Dinasti Tang sekitar 15 nama keluarga yang berbeda diberi kehormatan memiliki nama keluarga Li. Li Yuan adalah pendiri Dinasti Tang yang berlangsung 618-906 AD Anaknya yang memerintah setelah dia adalah Li Shimin. Dalam dinasti mereka, percetakan dan kertas uang diperkenalkan ke Cina. (Sungguh menarik bahwa Li terhubung pengenalan uang kertas.)

 

Apakah  Penyandang Nama Li Yang Berbeda Terkait Penting?

Dalam sejarah ada  tiga  keluarga Li yang menonjol sebagai raksasa:

  1. Para miliarder dan penguasa de facto dari Hong Kong Li Ka-shing
  2. Li Peng penguasa Red Cina
  3. Lee Kuan Yew Presiden (& diktator) Singapura

Fritz Springmeier tidak tahu yang mana dari keluarga Li yang adalah erat terkait dan yang tidak. Fritz Springmeier tidak tahu keluarga Li yang mana yang mengontrol Pemerintah China Merah, Hong Kong, dan Singapura dan memiliki posisi penting di Taiwan. Jika berbagai nama keluarga Li yang mengendalikan berbagai negara terkait, maka kita pasti melihatnya sebagai  salah satu keluarga paling kuat di dunia. Dalam hal kekuasaan, mereka akan sama kuatnya dengan Rockefeller. Mereka juga terhubung ke masyarakat okultisme rahasia, tetapi masyarakat rahasia yang keluarga Li adalah menjadi pemain utamanya adalah dalam perkumpulan rahasia Cina. Mereka akan dibahas di tempat lain dalam bab ini.

Mana  Keluarga Li (Lee) Yang  Bagian Dari Illuminati?

Fritz Springmeier telah belajar dari sumbernya bahwa Li Ka-shing dan keluarga Li yang kuat di Hong Kong pastilah merupakan  bagian dari konspirasi setan llluminati Li. Dalam hal apakah keluarga Li yang menjalankan Pemerintahan China Merah adalah bagian dari Illuminati?, Fritz Springmeier tidak tahu apakah ada yang langsung menghubungkan mereka. Namun, ada petunjuk yang membuat orang bertanya-tanya. Misalnya, mengapa Rockefeller dan Rothschild memiliki hubungan yang nyaman dengan Li yang ada di Pemerintah Cina Merah ini. Mengapa Perdana Menteri dari Republik Rakyat Cina Li Peng mengunjungi Rockefeller dan kapitalis lain ketika ia datang ke New York City, jika ia benar-benar adalah seorang komunis garis keras? Bukankah yang bernama kapitalis itu musuh utama Komunis mereka? Dan kemudian ketika kita menonton orang-orang yang berada di Skull & Bones Illuminati seperti George Bush memperlakukan seperti Li Cina dengan kedekatan, bahkan ketika itu Li Peng yang membantai orang yang tidak bersalah di Tiennamen Square, itu masih membuat kita bertanya-tanya. Bahkan, dengan potongan puzzle informasi lain dari teka-teki yang Fritz Springmeier miliki di tempatnya,  Frits tahu bahwa Pemerintah China Merah sudah bekerja sama dengan NWO dan adalah bagian dari New World Order (NWO).. Satu-satunya cara mengetahui bahwa China sudah bisa diam-diam menjadi bagian dari New World Order adalah dengan mengetahui bahwa para pemimpin keluarga itu mendukung New World Order. Hal ini sangat menunjukkan bahwa keluarga Li di Cina juga merupakan bagian dari Illuminati. Dari apa yang Fritz Springmeier tahu tentang kisaran kemungkinan dari mereka yang hanya simpatisan elit NWO kepada mereka yang menjadi anggota langsung dari Illuminati. Frits bersandar ke arah pandangan yang terakhir.

Lalu ada Singapura. Singapura adalah pemilik saham kunci stock dan barel pada New World Order. Mereka telah menjadi “Masyarakat tanpa uang cash” sebelum orang lain. Salah satu keluarga Li yang  namanya disebut Lee, Lee Kuan Yew, adalah  seorang pengacara berpendidikan Cambridge-Univerity, dia adalah diktator Singapura selama beberapa dekade. Dia memiliki hubungan dengan elit Inggris. Sebagai contoh kediktatorannya, Lee tidak menyukai rambut panjang pada pria, sehingga pria yang datang ke Singapura dengan rambut panjang paspor mereka akan diambil dan rambutnya akan dipotong atau masuk penjara. Pada tahun 1959, ketika Brittain (Inggris) memberikan Singapore Kemerdekaannya, keluarga Li (dalam hal ini juga dieja Lee) yang dikendalikan Partai Aksi Rakyat-lah yang memerintah negara itu.

Pada tahun 1976, Partai Aksi Rakyat telah memonopoli politik sehingga mereka memenangkan semua 69 kursi untuk parlemen. Lee Kuan Yew ditempatkan ke dalam posisi yang sangat kuat sebagai Presiden pada tahun 1965, di mana ia tetap Fritz Springmeie percayai sampai 1991. Para pemimpin Singapura membuat Singapura sangat anti-komunis selama perang dingin, dan ketika Nixon mulai perjalanannya untuk merayu China, Singapura mulai membuat misi politik itikad baik (goodwill politics) ke China. Pada tahun 1975, Orang Kepercayaan Lee: Menteri Luar Negeri S. Rajaratnam pergi ke China dan bertemu dengan Chou En-lai. Chou En-lai adalah mentor dan teman Li Peng.

Kehidupan awal Li Peng

Sebenarnya, untuk lebih spesifik setelah ayah Li Peng, seorang pemimpin komunis yang terkemuka, yang ditembak oleh nasionalis pada tahun 1931, Chou Enlai kurang atau lebih telah mengadopsi Li Peng dan membesarkannya. Chou Enlai mengirimkan Li Peng ke dalam sistem sekolah Moskow, di mana, ketika Rusia akhirnya menyadari kehebatannya ingin menjaga Li Peng dan melatih dia untuk tujuan mereka sendiri, dan Li harus melarikan diri untuk kembali ke China. Untuk alasan apa pun Li Peng adalah seorang penganjur gaya ekonomi Soviet. Sebelum ditempatkan ke posisi terkemuka yang ia pegang hari ini, Li Peng telah mengelola perekonomian China selama bertahun-tahun.

Lee bertemu Mao

Pada tahun 1976, Lee Kuan Yew sendiri bertemu dengan Mao Tse Tung- (yang kemudian menjadi pemimpin Cina Merah). Mao Tse-tung sendiri terkait erat dengan keluarga Li. Li Ta-chao adalah kepala partai komunis di Cina Utara selama pertempuran dengan Nasionalis. Pengawal Mao adalah anggota keluarga Li Li Yinqiao. Mentor Mao adalah Li Ta-chao, yang memiliki hubungan dengan Masyarakat Rahasia Red Spears. Tokoh Komunis awal lain yang memiliki peringkat tinggi seperti Chu Teh, Ho Lung, dan Liu Chib-Tan memiliki keanggotaan di Organisasi Masyarakat Rahasia Red Spears dan Li Ch’l-han, pemimpin komunis awal, adalah anggota Organisasi Masyarakat Rahasia Geng Hijau (Green Gang).  Kami akan membicarakan lagi kemudian mengenai keluarga Li dan hubungannya ke Organisasi Masyarakat Rahasia Cina, serta menjelaskan beberapa tentang berbagai persaudaraan rahasia yang kuat. Mungkin juga bimbingan Li Ta-chao yang telah menyebabkan Mao Tse-tung menulis upaya sistematis pertama oleh seorang Marxis Cina untuk mengkarakterisasi dasar kelas masyarakat rahasia, dan menekankan pentingnya mereka untuk revolusi. Mao bekerja sama dengan Ko-Ino Hui, sebuah organisasi masyarakat rahasia, yang membantu revolusi, tapi anehnya koleksi resmi karya Mao lalai, termasuk upaya banding Mao kepada mereka untuk membantu. (Mengabaikan ini dicatat pada halaman 4 Popular Movements & Secret Societies in China (Gerakan Populer & Secret Societies di Cina. 1840-1950) Mao Tse Tung-juga merupakan produk dari gereja Kristen Harlot (Pelacur). Mao sebagai anak laki-laki ingin belajar dari Kristus dan menghadiri sekolah misionaris, tetapi ketika ia pergi ke situ, mereka mengusir dia kasar karena dia orang Cina. Mao tak pernah lupa perlakuan buruk yang diterimanya di tangan orang-orang Kristen. Yang menjelaskan sebagian kebenciannya kepada Kristen.

 

Melihat Lebih Dekat Pada Keluarga Li Illuminati Di Hong Kong

Keluarga The Rothschild, dan keluarga Rockefeller memiliki rasa hormat yang sangat tinggi bagi orang-orang Cina dan Jepang dalam kaitannya dengan beberapa orang lain di dunia. Itulah salah satu alasan mengapa China dan Jepang sedang diberi kesempatan untuk menjadi pemain penting di New World Order.

Keluarga Li yang sangat kuat di Hong Kong merupakan bagian dari Illuminati. Keluarga ini mempertahankan hubungan masyarakat yang baik. Mereka dermawan. Miliarder Li Ka-shing menyumbangkan uang untuk membuat University di Shantou di Cina Selatan. Biaya rumah sakit Universitas & pengajaran dilaporkan pada $ 85.000.000 Di Fortune Magazine 7/13/92, p. 107.

Grafik berikut menunjukkan kerajaan keuangan Li Kashing, yang meluas di seluruh dunia.

  • Share 60 Broad Street New York City Li (dengan Olympia & York) Perkiraan nilai bangunan $ 100.000.000
  • Star TV, Hong Kong (negara di Asia dan MidEast) kapitalisasi Star: $ 300.000.000
  • HUSKY OIL, Calgary
    • Nilai Husky Oil, Calgary: $ 1300000000
  • CANADIAN IMPERIAL
    • Nilai pasar BANK OF COMMERCE Toronto Bank $ 4,3 miliar
    • PACIFIC PLACE, Vancouver $ 2000000000 pembangunan properti
  • SUNTEC CITY Singapura $ 1000000000 pengembangan properti dengan mitra

 

Menurut Fortune Magazine, 7/13/92, hal. 106, Li Ka-shing bernilai 4 Miliar US. dolar. Artikel lain mencatac bahwa ia membuat penjualan HK $ 13400000000 dari real estate pada tahun 1991 saja.

Li Ka-shing telah tinggal di rumah yang sama di sebuah bukit Hong Kong selama 30 tahun. Li Ka-shing hanya sedikit atau tidak ada bersekolah formal. Dia adalah otodidak. Anak-anaknya telah terdidik di Stanford. Victor menjadi seorang insinyur, dan putranya lainnya Richard mengambil jurusan ilmu komputer dan menjalankan Star TV Di Hong Kong.

Teman kaya lainnya dari Li Kashing bersama-sama dengan dia secara teratur untuk bermain game poker. Li Ka-shing adalah ketua atau kepala eksekutif dari empat perusahaan besar di Hong Kong. dia menyewa: Perusahaan CAVENDISH Investasi INTERNATIONAL dan HONG KONG ELECTRIC

Keduanya, orang Cina dan Barat menjadi Eksekutif untuk manajemen sehari-hari. Simon Murray, seorang Dalton yang bertugas di Legiun Asing Perancis, adalah salah satu manajer terpercaya Li. Murray telah bekerja untuk Jardine Matheson, bisnis yang dimiliki oleh salah satu dari Komite 300. Li telah membangun aliansi global dengan perusahaan-perusahaan Inggris, dan memiliki bagian ol Pearson, sebuah perusahaan holding Inggris yang pada gilirannya sebagai bunga di perbankan Senjata Lazard Di NY, London, dan Bagiannya. Seperti yang dapat dilihat Li Ka-shing adalah melakukan bisnis dengan anak laki-laki terbesar International Banking. Li juga memiliki perusahaan patungan dengan MTV, AT & T, Motorola, dan Time-Warner. Star TV milik Li menyiarkan 5 saluran untuk pemirsa sepanjang jalan dari Israel sampai ke Indonesia. Pemrograman berasal dari berita BBC, dan MTV, dan beberapa mitra kecil. Li memberi Madonna dan sebagian sias program Hollywood ke Asia. Li juga berinvestasi di Vancouver, B.C. Dia membeli situs Expo 86 yang merupakan 1/6 bagian dari pusat kota Vancouver. 27% dari 560.000 warga Vancouver adalah keturunan Tionghoa. Vancouver adalah kubu Triad. Ini akan dibahas tempat lain

Li Ka-shing telah diizinkan oleh elit untuk membeli perusahaan Kanada Husky Oil. Dia tidak bisa melakukan ini tanpa toleransi elit. Minyak dan Gas Journal, 18 November, ’91, p. 36 menyatakan bahwa Li kini memiliki 86% dari saham Husky Oil.

 

Sisa Dari Klan Li Di Hong Kong

Bank besar Bank of East Asia (BEA) dijalankan oleh Li Kwok-po. BEA tela bermitra dengan perusahaan seperti perusahaan yang terhubung dengan Illuminati sebagai G. Warburg. Li Kwok.po (juga dikenal sebagai David Li) juga berfungsi di legislatif Hong Kong sebagai anggota dewan yang mewakili masyarakat perbankan. Ia juga seorang wakil ketua komite menyusun wilayah masa depan administratif Cina Hong Kong yang akan segera terwujud. Dia dipilih untuk posisi ini oleh pemerintahan Cina Merah karena “Dia dipilih oleh Cina terutama karena latar belakang keluarganya. Perluasan keluarga Li, dengan sebagian besar anggotanya yang memegang paspor Inggris, adalah salah satu keluarga tua yang kaya dan berpengaruh di wilayah. “(Far Eastern Economic Review, Juni 1989, hal. 47) Li telah mendesak orang-orang Hong Kong untuk mempercayai pemerintah Komunis China. David Li tidak mengomentari pembantaian Tienamen Square ketika ditanya orang. David Li memegang paspor Inggris penuh dan bisa pergi ke mana pun yang menjadi keinginannya. Kebanyakan orang di Hong Kong hanya memiliki paspor Hong Kong yang memberikan mereka kewarganegaraan Inggris, tetapi tidak memberikan hak mereka untuk melakukan perjalanan. Paman David Li adalah Simon Li, yang merupakan pengacara pengadilan banding di Hong Kong, dan juga dipilih untuk BLDC.

Pamannya lainnya Ronald Li adalah mantan ketua Bursa Efek Hong Kong dan anggota dari Komite Konsultatif.Hukum Dasar.  Ronald Li dan putranya pernah tertangkap menggunakan posisi Bursa Efek mereka untuk melakukan korupsi uang dan  membuat pelanggaran, dan itu harus dibawa ke pengadilan. Fritz Springmeier, tidak tahu bagaimana ternyata, Pamannya yang lain, Li Fook-kow terpilih pada ’88 September untuk mewakili komunitas keuangan Hong Kong dalam pemerintahan. Ketika skandal itu pecah tentang elite, cabang-Bank Kredit BCCI Hong Kong dan Perdagangan Hong Kong (BCCHK) yang terlindung dari penyelidikan. Chief executive BCCHK itu Tariq Jamil yang bisa saja dipanggil untuk menjawab pertanyaan, dilewatkan negara. Otoritas Hong Kong tidak berusaha untuk menghentikannya. David Li didapati terlibat dan menyarankan bahwa Exchange Fund digunakan untuk membantu nya BEA memperoleh BCCHK.

Tokoh kunci lainnya dalam BCCHK, adalah Louis Saubolle, yang sebelumnya kepala kontak Bank Amerika dengan Red China. Louis Saubolle telah melakukan perjalanan ke daratan Cina secara teratur sejak tahun 1940-an. Ia dikabarkan telah melakukan praktek-praktek yang meragukan sementara menjadi ketua BCCHK, tapi ia meninggalkan negara itu untuk tujuan yang tidak diketahui.

  • A Li mengepalai American Express International di daerah.
  • Pel Wu adalah salah satu dari lima CEO yang dibayar terbaik di perbankan pada tahun 1990.
  • Beberapa keluarga Li di Hong Kong telah mengambil ornamen belakang Kristen yang merupakan kegiatan keji mereka yang lain. Satu keluarga Li, Florence Tim Oi Li, telah menjadi seorang imam Katolik wanita. (National Catholic Reporter, 19 Oktober, ’90, hal. 12.
  • Richard Li telah menjadi mogul media Asia.
  • Dan Victor Li menjalankan East-West Center di Hawaii.

 

China Merah

“Pengambilan keputusan yang sebenarnya dalam sistem politik China terjadi dalam Politbiro, dan khususnya di antara tujuh anggota komite, dalam konsultasi dengan sesepuh pensiunan Partai.” (The China Business Review, Jan-Feb 1993, hlm. 22 ).  Lingkaran dalam ini dari tujuh orang ini termasuk dua anggota keluarga Li: Li Peng, yang adalah kepala lingkaran dalam ini, dan Li Ruihuan, yang adalah kepala Propaganda Partai Komunis. Li Ruihuan telah menjadi anggota lingkaran dalam ini sejak tahun 1989. Orang-orang lain di lingkaran dalam adalah Jiang Zemin, Qiao Shi, Hu Jintao, Liu Huaqing, dan Zhu Rongji. Sebagai perdana menteri atau Perdana Menteri China Li Peng telah bertemu dengan banyak sekali para pemimpin dunia, dan banyak orang Illuminati. Berikut ini adalah contoh dari pertemuan Li Peng:

  • April 28, ’90 dengan pemimpin -Soviet
  • sekitar bulan Juli, ’91 -US- dengan Pejabat China Business Council yang meliputi anggota Illuminati.
  • 15 Agustus, 91- dengan Perdana Menteri Jepang Toshiki Kaifu
  • 3 September, ’91 – dengan Perdana Menteri Inggris John Major
  • 16 November, ’91 – dengan Sekretaris. Negara AS James A. Baker
  • 12-14 Desember, ’91 – dengan Perdana Menteri India P.V. Narasiaha Rao
  • 1 Februari, ’92 – dengan Presiden AS George Bush
  • 3 Februari, ’92- dengan elite kapitalis AS (anggota Illuminati)
  • 10 Februari, ’92 – dengan Yeltsin di Rusia

Apakah para pemimpin dunia berunding dengan satu sama lain?

Li Peng bukan satu-satunya anggota keluarga penting Li untuk menjadi Presiden atau Perdana Menteri China:

  • Li Xlannian adalah terlibat dalam perebutan kekuasaan setelah kematian Mao dan Presiden China. Selama beberapa tahun Li. Xiannian dianggap sebagai salah satu dari empat pemimpin puncak Red Cina. Selama bertahun-tahun Li Xiannian melakukan banyak perjalanan ke tempat-tempat seperti Afrika di mana ia mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan para pemimpin lainnya.
  • Li Desheng adalah anggota Politbiro Komite Sentral Partai Komunis, dan bertugas di pos-pos militer utama.
  • Li Qiang adalah anggota Komite Sentral Partai Komunis, dan diangkat menjadi Menteri Perdagangan Luar Negeri pada tahun 1978

Kontak / Kerjasama Illuminati & The Li’s

Jenderal Li Mi melarikan diri ke Golden Triangle dan diberikan persediaan melalui agen CIA. Li Mi Itu yang mulai menapaki ladang opium untuk menghasilkan narkoa yang akan dipasarkan oleh keluarga top Illuminati yang lain. Bukan kebetulan bahwa Li mulai produksi opium. Seluruh urusan adalah acara diperhitungkan dengan sangat hati-hati oleh Illuminati yang telah menjalankan usaha membuat jutaan narkoba selama berabad-abad. Pada tahun 1960, anggota keluarga Li lain mengambil alih setelah Li Mi meninggal. Namanya Li Wen-huan.

Kaum Elite membuat ruangan untuk Li untuk membuka Bank Umum Li untuk bisnis di Long Island, New York.

Setelah Bush menjadi duta besar untuk China, Carter memilih 6 ° (6 derajat Pilgrim mmbr Soc.) Thomas S. Gates untuk mewakili AS  di China. David Rockefeller memberi persetujuanya untuk pemilihan Gates, dan Gates dipindahkan langsung dari bekerja di dewan JP Morgan & Co ke Peking. Bank Illuminati telah berbaris selama bertahun-tahun membuat pinjaman ke pemerintah China Merah. Salah satu artikel yang Fritz Springmeie baca untuk memahami di mana Clinton akan pergi dengan China Merah  di bulan Jan-Feb 1993 edisi The China Business yang di sampulnya ada gambar Clinton dan Li Peng dengan pertanyaan “SEBUAH ERA BARU?”. Seperti banyak artikel elit itu adalah panjang pada retorika, propaganda. Dll,  Fritz Springmeier pikir intinya adalah bahwa Clinton akan mengikuti sarannya penasihat China dan bahwa Clinton tidak ingin mengganggu ketenangan dalam hubungan kita dengan Komunis Cina. Ide yang ditanam oleh pertanyaan di sampul adalah tentang ukuran hal, elit kita bergerak lebih dekat kepada mereka di “era baru.”

The Li Family and Chinese Secret Societies

 

Keluarga Li dan Organisasi Masyarakat Rahasia Cina

Dalam penyelidikan Fritz Springmeier tentang Triad, ia menemukan bahwa keluarga Li adalah salah satu keluarga utama yang telah mengontrolnya. Triad adalah Organisasi Masyarakat Rahasia Cina yang merupakan sesuatu dari persilangan antara Free-Mason dan Mafia – sesuatu yang ada di garis P2 Freemasonry – kecuali  jauh lebih besar. Triad tidak dikenal di dalam negeri ini tetapi mereka lebih kuat dan banyak daripada Mafia. Hal ini diketahui bahwa Mafia pernah diundang untuk bekerja sama dengan Triad pada tahun 1970, dan pada saat itu Mafia tidak suka dengan arogansi Triad. Namun, menurut pendapat Fritz Springmeier, Triad tidak sombong mengingat betapa kuatnya mereka pada saat itu. Fritz Springmeier menyarankan pembaca membaca artikel tentang Triad untuk lebih memahami tentang hal ini. Demi kelengkapan, Fritz Springmeier akan mendaftar beberapa catatan masa lalu dan masa kini Li yang telah jadi pemimpin penting Triad.

(Lihat di bawah) Fritz Springmeier tidak mencoba untuk melelahkan Anda dengan semua nama-nama aneh ini, tapi membuka latar pada pemahaman keluarga Illuminati kuat ini, jika rincian spesifik tidak diberikan, kita berisiko kehilangan beberapa gambar. Kontrol Li di Hong Kong dan Triad yang menjalankan Hong Kong. Apakah ada hubungan antara keluarga Li dan Triad. Ya ada yang besar, tapi ini sangat rahasia.

 

 

Pemimpin Keluarga Triad

  • Li Chi-tang – pemimpin luar negeri
  • Li Hslen – chih
  • Li Hsiu-ch’eng – Hunan
  • Li Hung – Henan
  • Li Kaiyuan-Ch’en – Triad, Shanghai
  • Li Lap Ting – provinsi Kwangsi
  • Li Ping-Qing – Triad, Shanghai
  • Li Shih-chin
  • Li Wen-mao – utara Peking, Fatshan
  • Li Yuan-fa – Hunan
  • Li Chol Fat -Hong Kong
  • Li Jarfar Mah – Inggris

 

Keluarga The Li Dan Ilmu Genetika

Keluarga Li juga telah melahirkan beberapa ilmuwan terbesar dalam bidang penelitian genetik. Penelitian genetika telah menjadi sebuah minat yang sangat antusias dari Hirarki Satanic.

Ringkasan

Fakta-fakta yang Fritz Springmeier miliki tentang apa yang terjadi dengan keluarga Li adalah hanya cukup untuk memberikan kita dengan gambaran dasar. keluarga Li di Hong Kong merupakan bagian dari Hirarki setan dan tangan bekerja di dalam sarung tangan dengan elit Inggris dan Amerika. Mereka juga membantu menjalankan Triad. Apakah benar atau tidak Li di Hong Kong terkait dengan Li di Pemerintah China Merah yang menjalankan Cina? Fritz Springmeier tidak tahu, tetapi jelas bahwa beberapa klan Li menjalankan China Merah dan juga Singapura. Kedua negara ini bekerja bergandengan tangan dengan hirarki setan sehingga membuat orang curiga apakah pemimpin mereka adalah bagian dari hirarki juga. Jika ini Li melakukan menganggap diri saudara-mana sedarah mereka mungkin-kita tahu bahwa menurut adat Cina mereka akan melakukan hal ini untuk sebagian besar pula, maka inilah yang membuat keluarga Li keluarga penting yang sangat kuat di seluruh dunia.

BIBLIOGRAPHY .

Books

  • Booth, Martin. The Triads: The Growing Global Threat from the Chinese Criminal Societies.
  • Chesneaux, Jean. Popular Movements and Secret Societies in China 1840-1950.
  • ?  The New Emperors.

Magazines (various issues of the following)

  • Banker’s Monthly
  • Business News
  • The China Business Review
  • Far Eastern Economic Review
  • Fortune
  • Hawali Business
  • Publishers Weekly
  • Maclean’s
  • National Catholic Reporter

Newspapers

  • Christian Science Monitor
  • Los Angeles Times
  • New York Times
  • Washington Post

Interviews.

 

Lebih Dalam tentang Organisasi Masyarakat Rahasia Cina

Artikel ini terutama akan berurusan dengan Triad yang memiliki begitu banyak nama lain akan mengambil banyak halaman untuk memberi nama mereka semua. Salah satu nama yang Triad miliki adalah Organisasi Masyarakat Langit dan Bumi (Heaven and Earth Society).

Nama utama lainnya termasuk Liga Hung, Three United Association. Freemason telah sangat tertarik pada Triad dan beberapa Mason telah melakukan studi mendalam dan menulis buku tentang Triads termasuk G. Schlegel tertulis (The Hung League. 1866), JSM Ward (The Hung  Society- lihat kutipan lainnya di halaman 2.), Dan WG Sterling (The Hung Society, 1925.) (Artikel ini akan dipangkas kembali-dan mungkin beberapa informasi dapat diberikan dalam newsletter di masa depan). Sejarah Cina adalah sejarah dinasti otoriter dan perkumpulan rahasia yang menentang mereka. Sepanjang sejarah China, ada pada dasarnya hanya ada satu jalan lain untuk menentang kemapanan, adalah bahwa melalui perkumpulan rahasia. Masyarakat rahasia telah menjadi jalan bagi yang tak berdaya, untuk berjuang melawan apa yang pernah mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan mereka.

Tidak pernah Ada ada kekurangan rekrut untuk perkumpulan rahasia Cina, dan tidak pernah ada kekurangan penyebab yang dapat digunakan untuk menggalang terhadap massa rakyat miskin untuk memotivasi orang untuk bergabung dengan perkumpulan rahasia. Tampaknya tidak ada akhir untuk pasokan lelaki yang bersedia untuk juga memimpin masyarakat rahasia. Bahkan, Fritz Springmeier tahu lebih dari 250 organisasi masyarakat rahasia Cina, beberapa di antaranya tidak lagi ada. Jelas, kita  tidak akan menutupi bahwa banyak organisasi masyarakat rahasia dalam artikel ini. Kriteria apa yang Fritz Springmeier miliki untuk memilih apa yang akan Fritz Springmeier tulis dalam artikel ini. Pertama, Fritz Springmeier ingin menunjukkan kesesuaian  organisasi masyarakat rahasia Cina dengan organisasi masyarakat rahasia Barat. Kesesuaian ini adalah alasan bahwa Triad dapat bekerja sama dengan Mafia, CIA, dan Illuminati. Titik-titik kesesuaian ini menjelaskan bagaimana Freemasonry dapat bekerja dengan beberapa perkumpulan rahasia Cina.

Sebagai contoh, Fritz Springmeier memiliki salinan majalah The New Age, September 1964, hal. 38, yang dikeluarkan oleh Dewan Tertinggi Derajat 33 (33º) yang menyatakan, Chinese Wootsu [sic] Society Compared to Freemasonry ‘Brother (‘Chinese Wootsu [sic] Organisasi Masyarakat Dibandingkan dengan Saudara Freemasonry-nya).’, Morris B. de Pass, 33 °, Master of Kadosh of Peking Scottish Rite Bodies, dalam laporan tahunannya, termasuk kisah menarik berikut ini dalam hal Wootsu Society. “Selama setahun yang lalu Fritz Springmeier merasa senang bertemu seorang ‘Old China Hand,‘ yang dirinya adalah anggota Scottish Rite Mason, yang belajar dari latar belakang China Fritz Springmeier, bertanya apakah Fritz punya pengetahuan tentang organisasi Cina kuno yang mirip dengan Masonry. Fritz Springmeier merasa yakin dia dalam pikiran ‘Wootsu Society (Woo berarti 5, dan Tsu berarti’ Leluhur ‘) atau, dalam bahasa Inggris “the Society of the Five Ancestors“… Beberapa orang asing yang tinggal di Cina … yang berpendapat bahwa “the Society of the Five Ancestors” adalah gerakan Cabang Timur itu yang berkembang di negara-negara Barat dalam bentuk Freemasonry …. prinsip dari organisasi Masyarakat Wootsu memang memiliki banyak kesamaan dengan orang-orang Freemasonry.

Mereka memberi penghormatan kepada Buddha, yang mereka terima sebagai inkarnasi dari Dewa Agung yang mereka percaya pada keabadian yang mereka ajarkan ‘Kesetiaan kepada Kematian’ ; dan mereka mempraktekkan kerahasiaan. Organisasi Masyarakat ini berbeda dari Masonry bahwa tidak ada mitra dari Volume Hukum Suci sebagai bagian tak terpisahkan dari Furniture nya; … Dan terbuka untuk pria dan wanita. Mungkin tidak ada yang lebih baik untuk melambangkan hubungan dan tumpang tindih antara organisasi masyarakat rahasia okultisme Barat dan Timur, daripada kehidupan Sun-Yat-Sen. Sun Yat-Sen memimpin Cina untuk menggulingkan monarki dan menciptakan republik. Sun Yat-Sen adalah pemimpin dalam beberapa kelompok Triad, seperti yang berbasis di Hong Kong, Organisasi Masyarakat Chung Wo Tong dan Kwok On Wui organisasi Masyarakat di Honolulu dan Chicago.

Segera setelah tiba di Hawaii ia membentuk Tai Shan Luk, kelompok Triad baru. Sun Yat-Sen memainkan peran kunci dalam juga mendirikan 268 cabang lain dari Triad. Di Jepang ia mendirikan T’ung Meng Hui. Di Singapura dan Malaysia ia mendirikan Loji-loji Triad juga. Dia adalah Freemason peringkat tinggi, dan ia menghadiri sebuah sekolah Anglikan di Hong Kong. Sun Yat-Sen dan jutawan Chang Ching-Chang yang merupakan pedagang seni internasional yang bekerja bersama-sama. Perjalanan Sun Yat-Sen di AS dan Eropa memperoleh dukungan untuk revolusinya. Beberapa pemimpin besar Cina lainnya yang non-komunis juga memiliki keanggotaan di kedua organisasi: Triad dan Freemasonry.

Ritual Triad

Ritual triad adalah urusan yang rumit, tetapi terus dirampingkan selama bertahun-tahun. Inisiasi ritual menarik sumber dari 3 agama: Taoisme (magic), Buddhisme, dan apa yang bisa disebut Konfusianisme. Taoisme menekankan pentingnya keturunan darah, sihir, dan alkimia. Inisiasi tradisional berlangsung sekitar delapan jam, dan termasuk tarian ritual, rahasia getaran tangan, korban darah, dan menusuk jari para inisiat baru.

Triad memiliki sejarah yang sangat panjang dan banyak warisan. Dalam rangka untuk mencoba untuk mengkapsulkan apa mereka? harus melihat apa yang mereka lakukan pada saat tertentu. Pada saat persaudaraan rahasia mereka seperti Mason, di lain waktu mereka memiliki lebih dari penampilan tentara revolusioner, dan di lain waktu mereka terlihat seperti Mafia. Mereka semua adalah hal-hal ini. Dan mereka adalah kelompok yang jauh lebih kompleks untuk dipahami dari beberapa perkumpulan rahasia lain yang mungkin masuk ke beberapa label yang bagus. Kadang-kadang layanan mereka sebagai pembunuh bayaran yang disewa oleh orang lain. Warisan dan sejarah mereka membuat mereka hampir seperti sub-budaya, dan sub-budaya yang sulit bagi penegak hukum untuk menembusnya. Sumpah darah dan tradisi mengikat mereka bersama-sama

Asal Usul.

Organisasi Masyarakat The White Lotus  sejak abad yang lalu telah menggabungkan diri sendiri ke Organisasi Masyarakat Hung yang pada gilirannya berubah menjadi Organisasi Masyarakat Triad yang juga dikenal sebagai Three United Society. Beberapa orang terus menyebutnya Hung Society. Organisasi Masyarakat Hung memiliki banyak nama lokal, dan seperti Freemasonry yang bersembunyi di balik serikat perdagangan.

Menyusupi BOXERS

Triad menyusupi Boxers dan bahkan berhubungan dengan mereka, tetapi Boxers kalah melawan kekuatan asing.

 

Set Up Cabang Di Amerika Serikat

Selama hari-hari heboh rusuh emas di California banyak orang Cina mulai datang ke Amerika. Pondok Loji-loji Triad bermunculan di laundrymen (para tukang cuci pakaian) Cina di San Francisco. Pada 1854, Organisasi Masyarakat Triad yang disebut ‘Five Companies’ memiliki 35.000 anggota di California. Di AS Loji-loji Triad dikenal sebagai penjepit-yang berarti ‘hujan’ atau ‘tempat pertemuan. “Di mana pun orang Cina hidup mereka diam-diam menyiapkan Loji-loji Triad sehingga segera ada Loji di Laramie, Cheyenne, Kansas City, Seattle, Vancouver, California, New York, Boston, dan Klondike. Triad di luar negeri Ini berada di bawah yurisdiksi Organisasi Masyarakat Mun Hung di Canton. Kelompok Triad ini pada gilirannya di bawah kelompok Chi Kung Tong. Kelompok mendapat dimulai di Australia dan Malaysia.

 

Triad & Hong Kong

Ketika Inggris mulai berkuasa Hong Kong, wilayah Hong Kong telah memiliki reputasi untuk menjadi surga bagi para bajak laut, dan Triad telah mendirikan loji-loji dan diam-diam mulai untuk memerintah. Pada tahun 1845, Inggris telah membuat keanggotaan dalam Triad ilegal, dan dalam masa tahun kemudian para anggota Triad ditemukan dideportasi kembali ke China komunis. Namun, Triad telah mengontrol banyak hal dan Inggris tidak pernah mampu menegakkan hukum kecuali untuk beberapa penangkapan yang tersebar. Misalnya pada 1970-an, 35% dari polisi di Hong Kong yang berafiliasi dengan Triad. Bahkan, pria Inggris Ernest Taffy ‘Hunt, Inspektur Polisi dari Biro Triad Colony of Hong Kong dibayar suap selama 18 tahun mulai dari sekitar $ HK 700,000 sampai $ HK 12 per tahun mulai tahun 1955. Setiap koran Hong Kong begitu sering melaporkan penggerebekan polisi terhadap Triad, tapi kita harus bertanya-tanya berapa banyak persaingan antar antar kelompok Triad dan banyak yang hanya untuk pertunjukan, dan berapa banyak yang benar-benar sesuatu yang menyakiti Triad.

Di bawah control Triad pabrik-pabrik di Hong Kong telah mematikan items untuk toko-toko seks di seluruh dunia. Kondisi hidup daerah yang dikuasai Triad di Hong Kong adalah neraka yang nyata di bumi. Triad telah mengemas orang dalam kedaaan sanitasi yang diabaikan, kotoran yang luar biasa, dan korupsi dari jiwa manusia yang lengkap. Tidak ada pertanyaan apa jenis kehidupan yang Triad ingin membawa orang, jumlah degenerasi menjadi jumlah korupsi moral dan kotoran. Seperti Mason (tetapi untuk tingkat yang jauh lebih rendah) telah ada organisasi masyarakat Triad yang saling membantu beberapa untuk anggota mereka sendiri, tetapi secara umum ini telah langka. Triad telah menuntut pemerasan uang dari hampir semua orang di Hong Kong. Sejarah pemerasan dan ancaman mereka dll banyak di buku lama yang panjang. Singkatnya, seluruh ekonomi perdagangan Hong Kong berada di bawah kekuasaan mereka. Dan keluarga Li seperti sekarang bekerja dengan mereka. Lihat artikel Li dalam masalah ini. Berbagai skandal selama beberapa dekade telah berulang kali menunjukkan bahwa Triad telah benar-benar menyusup ke dalam kekuatan pemerintah dan polisi Hong Kong. Dina mana selalu ada etnis Tionghoa yang dipekerjakan disusupi Triad. Dan kemudian bahkan banyak non-Cina yang dibeli. Orang-orang di Hong Kong yang telah menyaksikan Triad melakukan tindakan ilegal tepat di depan umum yang telah sering membuat frustrasi oleh karena kurangnya respon polisi.

 

Triad & China

Sebelum Komunis mengambil alih kekuasaan, Triad menjalankan China. Misalnya, pada tahun 1917, ditemukan bahwa Triad bersama dengan Wakil Presiden Republik China mencuri dana publik untuk membeli opium untuk berurusan dengan perdagangan narkoba. Para pemimpin China bebas telah pemimpin Triad. Banyak dari mereka juga telah jadi anggota Freemason.

Setelah Komunis mengambil alih, Triad harus berjalan dengan cara gerakan bawah tanah. Kaum komunis tidak pernah menghentikan Triad, tetapi mereka membuat mereka menjadi jauh lebih rahasia. Anda mungkin ingat ketika Peristiawa Pembantaian di Lapangan Tiananmen terjadi, surat kabar diam-diam melaporkan bahwa Triad telah menyelundupkan para pemimpin gerakan demokrasi keluar dari China Merah

Seperti baru saja dikatakan, Komunis tidak pernah mematahkan kekuatan Triad. Bahkan faktanya, pemerintah Cina Merah tidak hanya telah brutal tidak efektif melawan Triad, sebagian besar polisi di mana-mana telah menjadi anggota Triad. Triad adalah kelompok persaudaraan kriminal paling kuat di dunia, kecuali untuk Illuminati dan keluarga yang membentuk Komite 300 Illuminati.  Mafia adalah kacang kecil dibandingkan dengan Triad. Triad hampir tak tersentuh oleh kelompok penegak hukum. Misalnya, bahkan di Inggris hampir tidak ada memiliki etnis Cina di kepolisian mereka yang dapat mencoba menyusup ke Triad.

Triad telah beroperasi di Amerika Serikat selama lebih dari 100 tahun, dan yang menangani produksi dan peredaran narkoba besar yang bekerja sama dengan para  Illuminati Kings, dan kebanyakan orang Amerika bahkan tidak tahu mereka ada. Dan meskipun Amerika memiliki etnis Cina, warga Amerika keturunan Cina tidak berbicara dialek Cina, yang agen rahasia harus tahu untuk masuk ke operasi Triad.

 

Kelompok Triad yang Berbeda

Ada banyak kelompok Triad. Pada 1931, ada delapan kelompok Triad utama dan mereka telah membagi Hong Kong menjadi wilayah geografis dan kelompok etnis yang masing-masing yang bertanggung jawab untuk mengontrolnya. Delapan yang utama pada waktu itu adalah the Wo, the rung, the Tung, the Chuen, the Shing, the Fuk Yee Hing, the Yee On, and the Luen. Masing-masing memiliki markas sendiri, sub-masyarakat sendiri, dan penutup publik (public covers) sendiri. Penutup Fuk Yee Hing adalah bahwa itu terdaftar sebagai masyarakat yang baik hati bagi para pekerja. Organisasi Itu  telah memiliki 12 kantor cabang dan keanggotaan 10.000 orang. Cover Yee On sebagai Yee On Perusahaan  Gilda Komersial dan Industri. The Wo dioperasikan sebagai asosiasi Gratifikasi Kematian. Cara apapun masing-masing menemukan beberapa penutup untuk bersembunyi di baliknya. Sebagian besar Dubs Seni Bela Diri adalah front atau berafiliasi dengan Triad, dan terus menjadi, tidak hanya di Hong Kong, tetapi untuk beberapa derajat di negara-negara lain juga. Sebagai contoh bagaimana membagi kelompok Triad adalah – salah satu yang besar, Organisasi Masyarakat Wo itu sendiri dibagi menjadi tiga faksi utama: Wo Shing Tong, Wo Yung Yee, dan Wo Hop To, yang selama bertahun-tahun berjuang untuk mendominasi wo Society. Pada akhir 1950-an, ada 41 organisasi-organisasi afiliasinya ke Masyarakat Triad Wo. Hari ini Wo Shing Wo adalah yang paling kuat dari kelompok Triad Wo.

Salah satu kelompok Triad yang bekerja sama dengan Illuminati adalah Sun Yee On alias Yee On Komersial dan Industri Guild. Sun Vee On adalah pengendali utama dari Kowloon Walled City yang memproduksi mainan seks untuk pasar internasional. Selain Wo Shing Wo dan Sun Yee On, masyarakat Triad besar ketiga di zaman modern adalah 14K Society. Mungkin Chiang Kai-shek dan mentornya Tu yang bertelinga besar, bertanggung jawab untuk menyiapkan liga untuk mengawasi semua berbagai kelompok Triad yang disebut Five Continents Overseas Chinese Hung League. Ini didirikan pada tahun 1945, ketika orang Cina beroperasi di Asia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Afrika. Sebagai catatan pada Tu, salah satu temannya adalah Charlie Soong (kantor-pembawa untuk Triad) yang telah mengikuti kuliah di Vanderbilt University dengan mengorbankan jutawan Julian S. Can. Chalie Soong putri Al-lag yang memiliki koneksi ke Sun Yat-Sen, dan juga menjadi membantu Triad pada saat ia menikah  dengan Kung Hsiang-hsi seorang bankir dan pengusaha.

Kerajaan perbankan The Kung bersama dengan veneer Kristen milik Soong yang berasal dari keanggotaan Gereja Methodist mereka membantu cabang Triad dalam hubungan internasional mereka. Hari ini di Hong Kong mungkin ada sebanyak 60 organisasai Masyarakat Triad yang berbeda operasi. Jumlah terbesar adalah Sun Yee On dengan 33.000 anggota. 60 organisasi Masyarakat Ini dapat digolongkan menjadi tiga gaya yang berbeda. Yang pertama adalah struktur tradisional. Tipe kedua adalah mereka yang benar-benar terstruktur. Jenis ketiga adalah yang paling berbahaya, mereka kecil, merajut erat sel atau komite pusat yang merencanakan kegiatan kriminal dengan efisiensi bisnis seperti akut.

 

 

Markas Besar Operasi Triad

Vancouver BC, San Francisco, New York, London, Manchester, dan Amsterdam (belum lagi Macao dan Hong Kong) adalah beberapa pangkalan besar Operasi Triad. Uang dicari dengan pemerasan, perjudian, prostitusi, narkoba atau cara lain untuk membuat keuntungan. Triad telah bekerja sama dengan CIA dalam menciptakan jaringan narkoba. Penciptaan Segitiga Emas sebagai sumber untuk narkoba adalah operasi bersama CIA-Triad. Komunis China tidak bisa melewatkan kesempatan untuk melanggar susila Amerika. Pemerintah Cina Merah telah diam-diam bekerja sama dengan Triad dalam memasok heroin dan opium yang mengetahui bahwa narkoba ini akan pergi ke pangkalan militer AS. Garnisun AS di Jerman yang menyediakan narkoba kelas tinggi yang didatangkan melalui Triad, baik yang tumbuh di bawah pengawasan Triad atau di tempat-tempat seperti China Merah. Salah satu gembong dalam perdagangan narkoba ini adalah Lumpy Ho, yang front bisnisnya dikenal sebagai Dutch Connection (Koneksi Belanda). Polisi-polisi korup yang merupakan anggota Triad yang melarikan diri drive anti-korupsi di Hong Kong akan melarikan diri ke Vancouver BC, di mana mereka telah menghabiskan upaya mereka membangun daerah itu sebagai basis besar operasi Triad.

Sebenarnya, mereka telah bercabang ke Victoria dan Seattle, WA. Triad diketahui telah beroperasi di London sejak tahun 1890-an, dan mungkin telah beroperasi bahkan sebelum itu. Tidak sampai 1960. budaya narkoba yang mulai menangkap perhatian Triad, lebih karena keterlibatannya yang besar dalam perdagangan narkoba. Pada tahun 1971, Triad memperkenalkan Pure No. 4 di sini ke Inggris untuk menggantikan ‘Brown Sugar’ yang Rolling Stones bernyanyi tentangnya. Pada tahun 1973, pemerintah Inggris bergerak melawan pada agen Squad Narkoba Amerika dan Inggris dan memaksa beberapa pengunduran diri. Hal ini tidak benar-benar jelas apa rincian kekacauan itu, tapi prosesnya adalah bahwa selama 2 tahun pada dasarnya tidak ada skuad anti narkoba yang koheren di London. Setiap wilayah di Inggris di mana etnis Tionghoa berada, Triad memiliki beberapa jenis operasi. Ini berarti semua kota-kota Inggris. Di Skotlandia dan Irlandia kelompok Triad yang berbeda telah berkelahi satu sama lain untuk menguasai wilayah itu. Tak heran Illuminati seperti Triad.

Keluarga Li dengan koneksi mereka mengendalikan Triad, memiliki kendaraan yang sempurna untuk mengoperasikan perdagangan narkoba. Jika ada yang tidak suka perdagangan narkoba, kebencian mereka akan diarahkan ke sebuah kelompok etnis, daripada menyadari siapa raja yang nyata. Sebagian besar kurir untuk Triad saat ini orang Eropa. Dan Perdagangan menggunakan bank-bank Inggris yang sekarang lebih banyak dari bank-bank Hong Kong. Parlemen Inggris memiliki komite pada tahun 1985 untuk mengawasi Triad. Mereka melaporkan bahwa Triad tidak menimbulkan ancaman bagi Inggris

The Mafia telah mencoba untuk mempertahankan posisinya dalam kegiatan perdagangan narkoba, tapi Mafia tidak dalam posisi untuk membeli langsung dari sumber utama. The Chiu Chau Triad telah beroperasi di Saigon dan Vietnam selama perang Vietnam membawa narkoba untuk para prajurit Amerika. Sindikat Korsika (kejahatan terorganisir) memiliki koneksi di Vietnam. Mereka memperkenalkan Mafia ke Triad.

 

Tattoo that identifies members of the Triad “1 08″ group in Singapore (photograph from the secret society branch of the Singapore police)

 

Tattoo yang mengidentifikasi anggota Triad kelompok “1 08″ di Singapura (foto dari cabang masyarakat rahasia polisi Singapura)

 

Orang Korsika telah dikenal sebagai sambungan Perancis dalam perdagangan narkoba. Mereka telah bekerja dengan pasokan coining dari Turki, melalui Lebanon, dan kemudian ke Marseilles, Perancis. Sekarang kapal narkoba Triad Asia ke AS melalui Amerika Selatan, dan Triad hampir sama sekali mengendalikan perdagangan narkoba di New York City sekarang. Sayang ingat bahwa para pemimpin Triad melakukan ini hanya setelah bekerja kesepakatan dengan keluarga top llluminati. Jika bagian atas keluarga Illuminati tidak bekerja sama, Triad akan keluar dari bisnis. Salah satu unit yang lengannya kuat dari kelompok Triad New York disebut Hip Sing Tong adalah Flying Dragons. On Lee Ong, kelompok Triad yang lain di NY  yang memiliki Ghost Shadows (Roh Bayangan) sebagai unit lengan yang kuat mereka

Jika seseorang mengambil kota seperti Toronto, Kanada, ada populasi Cina dan Vietnam sejumlah setidaknya 175.000 orang.  Ini adalah kolam besar orang yang membangun  Loji-loji Triad. Ada 10 Organisasi Masyarakat Triad yang beroperasi di Kanada.

Di Australia, organisasi masyarakat Triad Yee Hing Masyarakat dengan ormas amal Mun Ji Dong yang telah terdaftar sebagai “amal masonik” selama 80 tahun. The Mun Ji Dong telah memutuskan untuk beroperasi secara legal.

 

Upacara Publik

Triad akan merayakan secara  publik Dewi Keberuntungan dan  Dewa Bumi setiap tahun di sebuah festival besar di mana bom bambu akan dinyalakan. Pada 1982 Tin Hau Festival. dua kelompok dari 14K Triad dan 500 anggota organisasai masyarakat Wo Shing Wo  secara terbuka memakai Triad T-shirt di festival. Hal ini secara terbuka melanggar hukum yang melarang Triad dari iklan publik, tetapi Triad berhasil lolos dengan dengan impunitas.

 

Penegakan

Senjata tradisional  Triad adalah pisau daging dan pisau tajam tukang daging yang mereka gunakan untuk memangkas orang.

Triad Banyak berhubungan Dengan Kelompok Lain

Selain bekerja sama dengan CIA, Mafia, yang bekerja untuk Illuminati, dan bekerja dengan keluarga Illuminati sendiri, Triad bekerja dengan geng jalanan, geng-geng pemuda, dan kelompok kejahatan terorganisir lainnya. Mereka juga telah bekerja dengan semua jenis kelompok persaudaraan rahasia termasuk Freemason. Secara historis mereka telah bekerja sama berkali-kali dengan organisasi masyarakat rahasia Cina lainnya. Triad juga bekerja sama dengan kelompok kejahatan terorganisir Jepang Yakusa, dan Filipina yang menyelenggarakan kelompok kejahatan. The Yakusa juga memindahkan narkoba ke AS terutama melalui Hawaii. Ini berlangsung dengan kerjasama Yakusa/Triad. Organisasi Masyarakat The Triad Taiwan bekerja paling dekat dengan Yakuza, terutama Four Seas dan United Bamboo Societies.

 

Triad Di Perbankan

Triad memiliki akuntan mereka sendiri, dan operasi keuangan sendiri sehingga Triad yang besar untuk pencucian uang. Kartu kredit curian dan barang imitasi yang terlihat, Seperti hal yang sebenarnya juga pembuat uang untuk Triad.,. Triad juga memiliki pengacara sendiri, yang tergabung dalam organisasi masyarakat mereka. Selain membuat tas Gucci palsu, Triad mahir menempa paspor palsu. Salah satu item yang diambil perdagangan narkoba adalah emas, karena produsen obat ingin dibayar dengan emas. Perdagangan emas ini harus diawasi oleh Illuminati, karena emas selalu menjadi komoditas penting bagi Hierarchy Satanic. Ini adalah nilai mereka melampaui makna moneter.

Ringkasan

Triad adalah persaudaraan gaib yang telah berkembang menjadi organisasi utama masyarakat kejahatan yang terorganisir secara internasional. Ini memiliki banyak kesepakatan dengan berbagai keluarga Illuminati, dan bekerja sama dengan mereka. Keluarga Li mengambil peran besar di suatu tempat dengan Triad, tapi apa peran persisnya yang saya belum tahu.

Keluarga Li diwakili Salem, OR & di kota Pantai Barat lainnya oleh Keluarga Wong, yang merupakan bagian dari garis keturunan mereka. Vol. 2 sentuhan pada Wong & Family bagian mereka dalam kejahatan terorganisir.

Sumber:

http://www.lovethetruth.com/books/13_bloodlines/li.htm

 

 

 

 


Permainan Kekuasan Inggris di China dan Jepang: yang di-Shanghaikan oleh Communism

$
0
0

Permainan Kekuasan Inggris di China dan Jepang: yang di-Shanghaikan oleh Communism

 

Deanna Spingola[1], pada 4 November 2008,  mempertanyakan Siapakah Sun Yat-sen  dan apa yang memotivasi kegiatan brutal Jepang terhadap negara tetangganya?

Selanjutnya ia menceritakan isi buku permainan kekuasaan Inggris di China: yang di-Shanghaikan oleh komunisme. Inggris secara merusak telah ikut campur tangan di Asia pada abad ke-19 dan Amerika ikut campur tangan di Asia pada abad ke-20. Lalu  siapakah yang berada di balik tindakan mereka?

Kuhn, Loeb and Company telah membiayai invasi Rusia ke Jepang pada tahun 1905, sementara Rothschild yang orang Eropa, telah membiayai Negara Rusia yang entah bagaimana gagal untuk menerima pengiriman persenjataan dengan tepat waktu. Tujuan Rusia, yang layak pada tahun 1895, adalah membangun pelabuhan di tepian Lautan Pacific yang bebas dari es dan untuk mengakuisisi wilayah disewakan China yang hanya cukup untuk kelanjutan jalan kereta api benuanya.1 Konflik telah menghancurkan ekonomi Rusia, yang jadi persiapan untuk revolusi yang terencana dengan baik berdasarkan filosofi dari Karl Marx (1818-1883). The House of Rothschild, sejak tahun 1863, memiliki kantor pusat di empat kota: London, Paris, Wina dan Frankfurt.2

Pada tanggal 30 Januari 1902, Jepang menandatangani aliansi Anglo-Jepang dengan Inggris. Jepang akan menjadi “Polisi Mahkota Kerajaan Inggris di Asia”,  untuk melakukan pekerjaan kotor – pembunuhan dan penyebab kematian. Upaya Aliansi termasuk memberikan kredit berbunga tinggi dari bank-bank Rothschild Inggris – yang dikendalikan untuk membiayai pembelian persenjataan Jepang dan perkapalan dari perusahaan-perusahaan Inggris. Inggris kemudian menuntut Rusia untuk meninggalkan Jazirah Kwantung, wilayah yang disewa dari Cina selama enam tahun sebelumnya. Rusia telah menghabiskan $ 300.000.000 pada improvements (perbaikan).3 Aliansi ini diperpanjang setelah terjadi Perang Rusia-Jepang dan pada tahun 1911 setelah aneksasi Jepang terhadap Korea (yang jadi bagian dari Jepang pada 1910-1945). Seperti yang diarahkan, Jepang mengadopsi standar emas. Carroll Quigley menyatakan hal berikut mengenai standar emas: “Sebagai akibatnya, banyak orang, termasuk pemodal dan ekonom, yang terkejut menemukan, bahwa pada abad kedua puluh, standar emas memberikan pertukaran yang stabil dan harga yang tidak stabil”4 Orang yang memiliki/mengontrol sebagian besar komoditas apapun, dapat mendikte nilai harganya, sesuatu yang perlu dipertimbangkan mengenai periode 50-tahun ketat penjarahan Jepang di seluruh Asia.

Sebagai bagian dari perjanjian British-Jepang, tiga ratus bankir Jepang dilatih Inggris untuk mengatur sistem perbankan Jepang. Sistem perbankan itu akan menciptakan penghancuran kesulitan pada tahun 1927 dan lagi pada 1990-an. Inggris, telah menantang dengan utang perang berat untuk JP Morgan Amerika, yang akan mengakhiri aliansi 1902 pada bulan Desember 1921. JP Morgan dan bank lain, tersiram dengan keuntungan perang, telah memfokuskan pada peluang investasi di Jepang.5

Beberapa jenderal Jepang telah menerima suap dari Vickers-Maxim, perusahaan yang mempersenjatai negara kepulauan kecil untuk Perang Rusia-Jepang pada tahun 1905. Vickers-Maxim telah menguji persenjataan mereka di Perang Spanyol-Amerika (yang sebagiannya dibiayai oleh J & W Seligman Co.) untuk mengontrol ‘emas putih’ (gula) Kuba. Vickers-Maxim telah memasok senjata untuk Perang Boer (1899-1901) untuk merebut ladang emas dan berlian dari Witwatersrand.6

Sejak tiga perang tersebut, “the Brotherhood of Death” (‘Persaudaraan Kematian’) telah menargetkan negara menerima persenjataan berat, yang menjadi rejeki nomplok keuangan untuk para bankir dari ‘target kematian’ dan kroni mereka, para ‘pedagang kematian’. Perang untuk mengurangi penduduk diduga lalu diikuti dengan konferensi perdamaian dan kebijaksanaan perlucutan senjata, yang dihadiri oleh para bankir dan politisi gaya Kissinger. Pemerintah sepakat membatalkan senjata mahal yang lama dan menggantinya dengan yang lebih baru, senjata yang lebih mematikan, lebih mahal lagi dan lebih menguntungkan.

Rothschild adalah pemegang saham terbesar Vickers-Maxim yang merupakan ciptaan, melalui konsolidasi perusahaan, Sir Ernest Cassel, bankir pribadi Edward VII yang memerintah dari 22 Januari 1901 hingga 6 Mei 1910. Staf penasehat raja termasuk Leopold dan Alfred de Rothschild dan berbagai anggota keluarga Sassoon. Cassel adalah teman dekat Winston Churchill dan ayahnya, Randolph, seorang teman akrab Nathaniel Rothschild.7

Cassel membuat keberuntungan dalam tambang emas, konsentrat besi baja dan perusahaan kereta api Siberia.8 The House of Rothschild membeli Agensi Kantor Berita Internasional Reuters yang berbasis di London di akhir 1800-an. Dalam waktu itu hanya untuk mempropagandakan Perang Dunia I, House of Rothschild membeli kendali kantor berita utama: Havas di Perancis dan Wolff di Jerman dalam mengatur kebijakan luar negeri.9 Kebijakan luar negeri Inggris dan Rothschild adalah satu dan sama.

Yale University, yang hanya karena menerima sumbangan yang cukup besar, diberi nama Elihu Yale (1649-1721) yang merupakan gubernur British East India Company (EIC) yang mulai menyelundupkan opium ke Cina mulai pada tahun 1773. Yale akan menjadi rumah masa depan organisasi masyarakat rahasia Skull and Bones (S & B), yang didirikan pada tahun 1832 oleh William Russell (penyelundup opium). Banyak keluarga anggota S & B menjadi kaya melalui perdagangan narkoba: Coffin, Sloane, Taft, Bundy, Payne dan Whitney. Averell Harriman (anggota S & B), mantan Duta Besar untuk Moskow, adalah mitra bisnis Prescott Bush (anggota S & B), ayah dari George HW Bush (anggota S & B), yang diangkat sebagai Kepala Kantor Penghubung AS ke Republik Rakyat China sejak 26 September, 1974 – 7 Desember 1975. Clark T. Randt, Jr., (anggota S & B) adalah Duta Besar AS saat ini untuk  China. Duta dibebankan tugas  mewakili kepentingan perusahaan Amerika Serikat.

Setelah Perang Candu Pertama Inggris terhadap Cina (1839-1842), kekuatan sesungguhnya di balik Kaisar Cina adalah keluarga Soong yang merupakan agen House of Sassoon, Yahudi pedagang opium multi-nasional berasal yang dari Baghdad, yang kemudian terpaksa mengungsi ke Bombay, India. Mereka memperoleh hak eksklusif dari Inggris ke pasar opium Shanghai dan Hong Kong dari mana Ratu menerima bagian keuntungan yang sehat jutaan dolar. Pada tahun 1890, sekitar 10 persen dari total penduduk China adalah penghisap opium.10  Pada tahun 1874, anggota Yale School of Divinity tertarik perhatiannya pada dugaan dekadensi yang meresap di China oleh – tidak diragukan lagi yang semua disebabkan karena opium.11 Jadi, pada tahun 1903, satu tahun setelah aliansi Jepang/Inggris, Yale Divinity School telah mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit di seluruh China – yang dikenal sebagai Yale di Cina.

The Sassoons lebih suka menjalankan kepentingan keuangan mereka dari perkebunan mewah Inggris mereka untuk bersosialisasi dengan royalty (keluarga kerajaan) dan elit lainnya seperti AJ Balfour, HG Wells dan Winston Churchill yang sedang naik daun.12 Selain keuntungan dari narkoba dan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah India, Albert Sassoon telah mendirikan pabrik tekstil besar di Bombay. Awal-hari outsourcing telah mendestabilisasi pabrik Lancashire dan menghancurkan harapan warga Inggris yang punya ketergantungan pada pabrik untuk pekerjaan. Pada tahun 1872, meskipun adanya serangan ekonomi ini, Albert telah dianugrahi gelar kebangsawanan oleh Ratu Victoria, yang terpengaruh secara ekonomi oleh runtuhnya industry tekstil.13 Pada tahun 1887, Edward Albert Sassoon, putra Sir Albert, menikahi Aline Caroline de Rothschild dari keluarga perbankan Perancis, cucu perempuan dari  Yakub (James) Mayer Rothschild, putra Mayer.

Dr. Sun Yat-sen (November 12, 1866 – 12 Maret 1925), yang dihormati sebagai Bapak pendiri negara Cina modern dan pendiri Partai Nasionalis (NP), lahir di provinsi Guangdong. Ia menjadi warga negara Amerika ketika tinggal dengan kakaknya di Hawaii, di mana ia memeluk konsep – “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Dia kembali ke China pada tahun 1883 dan dibaptis sebagai seorang Kristen. Terganggu oleh kolonialisme dan eksploitasi Inggris, Dr Sun meninggalkan praktek medisnya dan terlibat dalam plot reformasi 1895, dan berupaya untuk membangun democracy.14 Rencana plot itu gagal dan beberapa kaum reformis dieksekusi. Dr Sun melarikan diri. Pada tanggal 11 Oktober 1896, ia diduga diculik dan terus menjadi tahanan di Kedutaan China di London (yang didirikan tahun 1877).15   Dia kembali ke China setelah kudeta yang berhasil melawan kaisar Qing dan memproklamasikan Presiden Sementara yang baru Republik Cina pada tanggal 29 Desember 1911. Dia berharap untuk membangun perdamaian, kebebasan, dan kesetaraan di negaranya.16 Namun, sebagian besar dari orang di China utara yang dikendalikan oleh pimpinan pangeran perang, yang tidak mendukung.

Dr Sun Yat-sen menikah Soong Ching-ling, istri keduanya, yang merupakan salah satu saudara Soong, di Jepang pada tanggal 25 Oktober 1915. Saudara sepupunya adalah lulusan Harvard, Tse-ven Soong, kepala Bank Sassoon, yang dikendalikan dari China, dan pemodal HH Kung, Menteri Keuangan. Tse-ven Soong adalah Gubernur Bank Sentral China dan kemudian menjadi Menteri Keuangan China (1928-1931, 1932-1933). Keluarga The Soong, dengan uangnya Rothschild/Sassoon, telah mengontrol pemerintahan China dan telah mengukir negara ke wilayah narkoba yang didominasi oleh para panglima perang. Kedua Kerajaan Inggris dan keluarga Soong mendapatkan keuntungan substansial dari bisnis opium yang  sangat adiktif yang menghancurkan-pikiran mereka.17

Pada tahun 1921, dalam upaya mempersatukan China, Dr. Sun Yat Sen membangun pemerintahan militer di Guangzhou (Canton), Provinsi Guandong di China Selatan. Ia kemudia terpilih sebagai presiden dan jendral Panglima Perang.18   Akademi Militer Whampoa dibangun pada tahun 1924 dengan Chiang Kai Sek sebagai Komandannya. Akademi ini disuplai, didanai dan didukung oleh staff penasehat militer Rusia. Penasehat prinsip Miiter Sun Yat Sen, Jendral Soviet Vasily Blucher, telah membantu mendirikan akademi. Setidaknya tujuh ratus taruna/kadet berasal dari Green Gang (Geng Hijau).19

Untuk mempercepat penaklukan panglima perang di China utara, ia menerima bantuan Soviet dan bekerja sama dengan partai komunis setempat setelah ia ditolak oleh kekuatan Barat (seperti Ho Chi Minh telah ketika ia mengajukan petisi Woodrow Wilson di Konferensi Perdamaian Versailles 1919 dan kembali ditolak oleh Truman pada tahun 1945 dan 1946 ketika ia menulis surat meminta bantuan). Dr. Sun Yat Sen meninggal karena penyakit kanker hati pada tanggal 12 Maret 1925, pada usia 58 di Union Medical College Hospital di  Peking yang didirikan pada tahun 1921 oleh Yayasan Rockefeller setelah ia mendirikan Dewan Medis Yayasan Rockefeller China pada tahun 1915 untuk membaratkan praktek medis tradisional Cina.20 Jutaan pasien Cina diasumsikan mendapat keuntungan besar.

Kematian Sun Yat-sen telah memecah Partai Nasionalis (NP). Sayap kanan Chiang Kai-shek mengambil alih Tentara Revolusioner Nasional, dan sayap kiri Wang Jingwei mengambil alih pemerintahan Nasional, ini skenario yang sempurna untuk perang saudara. Dengan pasukan Soviet yang diperintahkan oleh Jenderal Michael Borodin, Chiang Kai-shek telah menjarah kubah pusat perbankan nasional bank Rothschild/Sassoon/Soong di Shanghai. Ini membuat marah para bankir. Tse-ven Soong membuat tawaran yang menggiurkan Chiang jika ia mau mengalihkan loyalitasnya: $ 3 juta dalam bentuk tunai, untuk kehidupan adiknya Mai-Ling Soong (adik janda Dr. Sun) dan presiden Cina. Chiang setuju. Ia memerintahkan Rusia keluar dari China dan menjadi agent Inggris.21 Ketika Chiang dan Soong menikah, Tse-ven Soong telah memberi adiknya mansion (rumah mewah) pribadinya.22

Chiang Kai-shek menikahi Mai-Ling Soong, adik dari agen Rothschild, pada tanggal 1 Desember 1927 dan “dipilih” menjadi presiden Cina pada tanggal 10 Oktober, 1928. 23     Aliansi baru Chiang terungkap ketika ia secara misterius meninggalkan Nanking, kemudian menjadi ibukota Republik Cina, dan mengekspos warganya yang rentan terkena kekejaman brutal selama enam minggu pada awal Serangan Jepang  pada 13 Desember 1937.

Pada 1920, Kota Shanghai, yang jadi fokus kepentingan ekonomi Barat dengan terdapatnya mayoritas pekerja industri di negara itu dan basis terbesar pendukung komunis di Cina. Partai Komunis China (PKC) yang telah mendominasi pemerintah kota Shanghai. NP dan PKC secara resmi masih sekutu.24 Namun, pada tanggal 12 April 1927, bertindak atas perintah dari Ekstrateritorial International Settlements di Shanghai yang dipimpin oleh Lord William Johnston Keswick, 25 Sindikat Gang Hijau dan Chiang Kai-shek, memimpin Nasionalis tentara dalam pemerintahan teror, telah membersihkan kaum kiri dan aktivis buruh dari Shanghai dalam apa yang disebut sebagai pembantaian Shanghai.

Mereka telah mengeksekusi mati 5.000 sampai 6.000 orang yang ditangkap dan mendorong PKC menjadi gerakan bawah tanah.26 Dalam waktu enam bulan gerakan Komunis China telah menghentikan sebanyak dua puluh lima ribu orang yang tewas di Shanghai, Nanking, Wusih, Soochow, Changchow, Hangchow, dan Canton.27 Mungkin, sebagian besar dari mereka yang tewas bahkan tidak bisa sepenuhnya menguraikan ideologi komunis tapi mereka berharap untuk mengurangi penderitaan dan kemiskinan mereka sendiri. Chiang telah diperkenalkan ke Gang Hijau sejak tahun 1906 dan disponsori untuk keanggotaan pada tahun 1908 dan berpartisipasi dalam kegiatan geng sebagai seorang perwira tentara Cina sebelum revolusi 1911. Catatan kepolisiannya di pemukiman internasional yang dikelola Inggris di Shanghai menyebutkan termasuk pembunuhan, pemerasan, dan perampokan bersenjata.28

The Green Gang, yang beroperasi dengan konsesi dari Perancis, adalah komplotan kriminal dan organisasi masyarakat rahasia yang paling kuat di Cina yang telah diserap ke dalam sistem korporasi negara setelah 1932. Ketika impor opium dilarang pada tahun 1917, narkoba bergerak di bawah tanah dan para pedagang Shanghai membangun pabrik kilang mereka sendiri. Setelah itu, distribusi narkoba ilegal didominasi oleh Gang Hijau, yang dipimpin oleh Tu Yue-sheng yang dikepalai oleh Chung Wai Bank dan ketua dewan direksi dari Commercial Bank of China yang membuatnya mudah untuk membiayai perusahaan narkoba.29

Lord Keswick sebenarnya telah mengarahkan kebijakan opium China melalui Tse-ven Soong, yang melakukan operasi bisnis sehari-hari untuk Jardine Matheson dari tahun 1927 sampai 1942. Keswick adalah Direktur Jardine Matheson dan terkait erat dengan pengelolaan Kota Hong Kong dan Shanghai Bank. Selain itu, ia adalah Ketua Dewan Kota Shanghai, Gubernur Perusahaan Teluk Hudson, Direktur Bank of England, Wakil Ketua Aliansi Assurance, dan Direktur British Petroleum. Shanghai menjadi depot narkoba. Sebelumnya, Keswick telah bekerja sama dengan Sam dan Abe Bronfman untuk menemukan Perusahaan narkoba Murni secara ilegal mendistribusikan wiski ke Canada.30

Pada bulan Juni 1932, Tse-ven Soong mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan setelah gagal mengumpulkan uang yang cukup untuk melawan komunisme. Dia setuju untuk kembali jika pemerintah China akan menjadikan opium sebagai sumber pendapatan baru yang bisa memecahkan krisis keuangan China. Akibatnya, jutaan hektar lahan direbut dari produksi pangan yang sangat berdampak pada penyediaan makanan jangka pendek China dan mengurangi kelangsungan hidup para petani. Kelaparan terburuk terjadi di Provinsi Shaanxl antara tahun 1928 dan 1933, yang memusnahkan sepertiga dari populasi penduduk. Sebanyak enam juta orang meninggal dalam empat provinces.31

Kebebasan pribadi telah diserang di seluruh dunia, terutama sejak pendirian Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR) dan organisasi spin-off nya yang berperan dalam kontrol tiranik di Timur Jauh. Pada tahun 1925, Institut Hubungan Pacific (IPR) didirikan pada dua belas negara. Hal ini dibiayai oleh Rockefeller dan Yayasan Carnegie dan dikendalikan oleh aliansi Morgan dan kepentingan Rockefeller di Wall Street.32 Pembiayaan lain berasal dari Standard Oil, IT & T, Vacuum Oil, Shell Oil, International Business Machines (IBM), International General Electric, Majalah Time, JP Morgan, National City Bank dan Chase National Bank dan individu pribadi dengan Wall Street connections.33

Harry Dexter White dan Owen Lattimore, keduanya adalah pejabat Departemen Luar Negeri tingkat tinggi, adalah anggota IPR dan telah merencanakan kehancuran ekonomi Cina. Mereka memalsukan dokumen yang mengklaim bahwa Komunis Tiongkok yang hanya mempromosikan reformasi pertanian kepada petani. Dari tahun 1943-1949, majalah populer Amerika Serikat, seperti Saturday Evening Post dan Colliers, memberi sanksi kepada gerakan Komunis. Mao Tse-tung, yang telah berjuang di sisi revolusioner Dr Sun Yat Sen pada tahun 1911, digambarkan sebagai seorang reformis. Pada tahun 1945, Lattimore menyarankan, kepada Presiden Truman, pemerintahan koalisi Komunis/Nasionalis yang menjadi dasar dari kebijakan China Truman, mengumumkan pada tanggal 15 Desember 1945.34 Dr Chi Chao-ting, yang berkolaborasi dengan agen intelijen Soviet, bekerja untuk Institut Pacific Relations, dan kemudian menjadi pegawai tinggi Partai Komunis China.35

Garis partai IPR dan garis partai Kremlin berasal dari sumber yang sama – sayap kiri Hegelian Dialectic (yang merupakan oposisi yang diatur). Sayap kanan adalah Fasisme. Friedrich Wilhelm Nietzsche yang dipengaruhi Darwin (1844-1900) yang mendirikan Nietzscheism, pelopor dari Fasisme, yang dipeluk oleh Mussolini dan Hitler setelah Perang Dunia. Doktrin Fasisme Mussolini, ditulis bersama oleh Giovanni Gentile dan Marx sebelumnya Manifesto Komunis (1848) yang memberikan kutub politik yang berlawanan yang dibesarkan selama Perang Dingin.

Lattimore meninggalkan IPR untuk menganggap sebuah pos sebagai penasihat politik Chiang Kai-shek pada tahun 1941. Dia telah direkomendasikan oleh sesama traveler, Lauchlin Currie, penasehat ekonomi pemerintah Presiden Roosevelt.36 Pemerintah AS diperkirakan mengadopsi rencana IPR untuk memotong bantuan dan amunisi untuk Chiang Kai-shek, yang akhirnya menghasilkan penindasan 600.000.000 orang Cina antara tahun 1945 dan 1949.37  Tapi Chiang mendapat $ 3 juta-nya, rumah mewah, terhubung istri dengan baik dan kehidupan yang relatif enak. Orang Cina yang selamat, yang disebut kerusakan jaminan (collateral damage), mendapatkan tirani komunisme.

 

Catatan Akhir:

  1. Archibald R. Colquhoun, China in Transformation, Harper & Brothers, New York, 1912. Pg. 147
  2. The House of Rothschild, Paris Conference, October 11, 1863, The New York Times
  3. Des Griffin, Descent into Slavery, Emissary Publications, Clackamas, Oregon, 2001, pgs. 190-199
  4. Carroll Quigley, Tragedy And Hope: A History of the World in our Time, pg. 53
  5. Sterling and Peggy Seagrave, The Yamoto Dynasty: the Secret History of Japan’s Imperial Family, Broadway Books, New York, 1999, pgs. 101-102
  6. Eustace Mullins, The World Order: A Study in the Hegemony of Parasitism
  7. Martin Gilbert, M.A., Churchill’s London: Spinning Top of Memories of Ungrand Places and Moments in Time. An address to The International Churchill Society, London, England, 17 September 1985
  8. Ernest Cassel / Entrepreneur – Economy-point.org
  9. Eustace Mullins, Secrets of the Federal Reserve: The London Connection, Chapter 5, pgs. 59-60
  10. Tales of Old Shanghai – Opium
  11. Lecture By Prof. Seelye, The Yale Divinity School: Missions — Condition Of Pagan World-Fail, The New York Times, December 12, 1874. This is a must read – so incredibly arrogant!
  12. C. Knuth, The Empire of “The City”: The Secret History of British Financial Power, CPA Books, 1995, pg. 75
  13. The Jewish Opium Trade and Britain: The Truth at Last: Hong Kong’s opium dens [1997], October 1, 2007
  14. Colquhoun, op. cit., p. 106
  15. Marie-Claire Bergere, Sun Yat-sen, Stanford University Press, 2000, pg. 62
  16. Colquhoun, op. cit., pp. 283-4
  17. Organized Crime
  18. Wikipedia: Sun Yat-sen
  19. Alfredo Schulte-Bockholt, The Politics of Organized Crime and the Organized Crime of Politics: A Study in Criminal Power, Lexington Books, 2006 pages 78-82
  20. Rockefeller Fund Tells China Plans; Medical Board Will Operate Union College, Peking, on Most Modern Lines. Commission To Scan Field Scholarships Provided for Training in America — Women of Far East to be Taught. June 16, 1915
  21. Des Griffin, op. cit., pp. 190-9
  22. Derek Sandhaus, Party Like it’s 1929, August 22, 2008
  23. Des Griffin, op. cit., pp. 190-9
  24. Alfredo Schulte-Bockholt, op. cit., pp. 78-82
  25. Dope, Inc., Executive Intelligence Review News Service, June 1992, pg 279
  26. Exploring Chinese History, Rebellion and Revolution – Nationalist Movement
  27. Alfredo Schulte-Bockholt, op. cit., pp. 78-82
  28. Ibid
  29. Post Japanese
  30. Organized Crime
  31. Ibid
  32. Carroll Quigley, op. cit., p. 947
  33. David Allen Rivera, Final Warning: A History Of The New World Order, Chapter Four, British East India Company
  34. David Allen Rivera, Communism Comes to Asia and Cuba
  35. Professor on Trial, Time Magazine, December 29, 1952
  36. Ah Kiang, American Involvement in China
  37. Cleon Skousen, The Naked Capitalist, pgs. 44-47

[1]Tentang Penulis: Deanna Spingola telah menjadi desainer selimut dan adalah penulis dua buku. Dia telah melakukan perjalanan secara ekstensif mengajar dan berceramah tentang metode unik. Dia selalu menjadi pembaca setia karya non-fiksi yang dirancang untuk mendidik daripada menghibur. Dia aktif dalam penelitian sejarah keluarga dan mengikuti kuliah tentang topik itu. Saat ini ia adalah direktur lokal Family History Center. Dia memiliki minat yang besar dalam politik dan arah kebijakan pemerintah saat ini, terutama yang berkaitan dengan Konstitusi. Situs Web Deanna itu

 

 


Article 7

$
0
0

Sembilan Naga, Gengster Legendaris Asal Indonesia

  
Mylinekerr – DI dunia remang-remang, nama “Gang of Nine” menjadi legenda. Dibekingi Keluarga Cendana dan petinggi militer, segala sepak terjangnya hampir tak tersentuh. Taipan Tommy Winata-bersama Sugianto Kusuma alias Aguan-disebut-sebut sebagai godfather-nya. Bisnis mereka terentang dari properti hingga judi, dari obat terlarang hingga otomotif.

Benarkah? Dalam wawancara dengan TEMPO, Tommy membantah keras seluruh keterlibatannya di situ. Malah, “Gua baru dengar (nama kelompok itu) sekarang,” katanya. Tapi sejumlah sumber, termasuk mantan preman dan bandar judi Anton Medan, mempercayai keberadaannya. Isi perut “Geng Sembilan” berikut ini dirinci berdasarkan keterangan mereka.
Kecuali Tommy dan Yorrys, yang juga membantah, beberapa nama yang ada di sini tidak dapat dikontak oleh TEMPO.


* Tommy Winata
Mengendalikan Bank Artha Graha, yang dulu bernama Bank Propelat, milik Kodam Siliwangi. Bank Artha Graha adalah pilar utama kerajaan bisnis Tommy: Grup Artha Graha.

* Sugianto Kusuma (Aguan)
Nama ini mulai dikenal orang ketika pada 1970-an terlibat penyelundupan barang elektronik via Palembang. Dialah yang memperkenalkan Tommy Winata dengan Angkatan Darat atau Yayasan Kartika Eka Paksi semasa Jenderal Edi Sudradjat menjabat Kepala Staf Angkatan Darat. “Pak Aguan adalah senior saya,” kata Tommy, “Beberapa keputusan bisnis yang penting selalu saya konsultasikan padanya.

* Yorrys T. Raweyai (Thung Hok Liong)
Ketua Umum Pemuda Pancasila ini bertindak sebagai “panglima” yang mengamankan seluruh operasi jaringan ini di lapangan.

* Arief Prihatna (Cocong)
Menurut sumber TEMPO dan Anton Medan, di bidang ini Arief merupakan pemain lama (sejak 1975) urusan memasukan barang lewat pintu belakang. Ia bergabung dengan Tommy sekitar 1985 dan punya jaringan luas di kalangan militer. Seorang mantan karyawati di perusahaan Cocong mengaku bagaimana dia secara rutin mengirimkan “upeti” berupa barang elektronik ke kalangan tentara dan polisi Tak mengherankan, ia mulus memasukkan mobil mewah, barang elektronik, serta obat tradisional (Cina) dari Singapura, Thailand, Taiwan, dan Hong Kong. Arie Sigit (cucu Soeharto) pernah memimpin konsorsium importir obat tradisional ini.

* Edi “Porkas” Winata
Kepada TEMPO, Tommy mengaku kenal baik tokoh ini. Imbuhan nama di tengah muncul karena reputasinya sebagai bandar judi Porkas (perusahaan milik Sigit Hardjojudanto, seperti disebut pula oleh majalah Time pekan lalu). Dia dikenal sebagai “tangan kanan” Tommy dalam bisnis ini. Menurut Anton Medan, beberapa nama berada di bawah lindungan Tommy pula.
Di Jakarta, menurut sebuah sumber, pusat operasi mereka-lewat permainan mickey mouse, rolet, bakarat, black jack, dan lain-lain-adalah Pertokoan Duta Merlin, Jalan Ketapang, dan Jalan Kartini. Belakangan, pusat operasi itu dipindahkan ke Jalan Kunir di kawasan Kota, yang kini dikenal sebagai markas “Konsorsium Judi Indonesia”-jelas bukan nama organisasi resmi-dengan Edi sebagai pemimpinnya.

* Kwee Haryadi Kumala (A Sie)
Bersama kakaknya, Cahyadi Kumala (Sui Teng), Haryadi adalah spesialis pembebasan tanah. Anton Medan juga menyebut keterlibatan Teddy Hwat dan Robert Kardinal (saudara Yorrys) dalam urusan tanah ini. Di sektor ini mereka banyak bekerja sama dengan Bambang Trihatmodjo, misalnya di Jonggol dan Sentul. Bahkan, menurut Anton dan sumber TEMPO, beberapa aset Cendana saat ini telah dialihkan ke Tommy Winata: Jonggol (3.200 hektare), Cikarang (5.000 hektare), Sawangan, Sentul, Cikampek, dan perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara (25.000 hektare).

* Arie Sigit
Arie mengenal Tommy lewat pamannya, Bambang Tri. Arie-menurut sumber TEMPO-punya bisnis sampingan menarik, misalnya ekstasi, dengan omzet ratusan miliar per bulan. Tapi, dalam sebuah wawancara dengan majalah Panji beberapa waktu lalu, Arie membantah isu ini dengan tegas. Namun, sebuah sumber menjelaskan bahwa jaringan bisnis itu meliputi Bandung, Medan, Jawa Tengah, Yogya, Surabaya, dan Bali, selain Malaysia dan Australia.
Pemasok utama “komoditas” ini adalah Hong Lie, buron yang dikaitkan dengan pembunuhan Nyo Beng Seng. Hong Lie sekarang bermukim di Hong Kong. Menurut seorang sumber, salah satu lokasi “perakitan” barang terlarang ini, di Tangerang, pernah digerebek polisi pada 1998 lalu, tapi kasusnya lalu dipetieskan.

* Iwan Cahyadi Karsa (Eng Tiong)
Melalui PT Sumber Auto Graha (SAG), belum lama ini Iwan membeli 14 ribu unit mobil Timor. Menurut Anton dan sumber lainnya, SAG memperjualbelikan mobil mewah completely built-up yang diselundupkan Arief Cocong.

* Johnny Kesuma
Melalui PT Artha Graha Investama, dia adalah orang kepercayaan Tommy di bidang investasi. Johnny adalah adik Aguan. Semula ia mengendalikan PT Amcol Graha Industries, yang pernah memegang lisensi manufaktur Sony. Menurut sumber TEMPO, saat ini ia dicekal. Sebelumnya, ia lebih banyak tinggal di Singapura. Saham Graha Investama juga dimiliki oleh Bakti Investama (dulu milik Mamiek Soeharto).

Jaringan Sembilan Naga menembus berbagai daerah di Indonesia. Upeti untuk pejabat militer, kepolisian, atau pemda, membuat bisnis ini kian kuat. Jarum jam sudah bergerak ke angka 01.00 WIB, Sabtu dini hari. Malam pun kian larut dan menebar hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Namun, beberapa sudut Kota Jakarta tetap saja “panas” dan berdenyut. Sebuah siklus sosial yang tetap hidup. Jakarta memang tak pernah “mati” dari kehidupan malam, terutama bagi mereka yang doyan dengan dunia hiburan dan perjudian.

Datanglah ke Kabuki, Hotel Prinsen Park, Kawasan Lokasari di Jakarta Barat. Lalu, Pelangi dan Raja Kota di Jalan Hayam Wuruk, termasuk Raja Mas di Kawasan Glodok, Jakarta Barat. Siapa pun bisa gambling dan mengadu nasib di tempat usaha milik Rudi atau kalangan penjudi sering memanggilnya dengan sebutan Rudi Raja Mas. Cukup dengan menitipkan Rp 1 juta di pintu masuk sebagai deposit, pengunjung bisa terlibat dalam kegiatan di dalam. Pernah menonton film God of Gamblers? Persis begitulah suasana di dalamnya. Ada puluhan meja rolet, kasino, dan ratusan mesin mickey mouse. Puluhan pekerja, dan ada juga puluhan penjaga berbadan tegap dengan rambut potongan cepak. Kabarnya, dari tiga lokasi perjudian itu, Rudi bisa menyedot Rp 5 miliar dana segar per malam. Hitung saja kalau di dikalikan 30 hari. Maka, tak kurang dari Rp 150 miliar per bulan. Hatta, berjudi bukanlah hal yang sulit di Jakarta.

Riwayatnnya memang sudah ada sejak zaman Belanda. Setelah Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan izin judi pada pertengahan tahun 1967, berlombalah orang membuka bisnis yang menurut ajaran agama tergolong haram jadah. Ketika itu para penjudi alias junket sudah menghambur-hamburkan rupiah di beberapa lokasi perjudian. Misalnya di Petak IX, Copacobana, Jakarta Theatre, dan Lofto Fair Hailal. Muncullah beberapa pengusaha Indonesia keturunan Cina yang jadi primadona di bisnis ini. Sebut saja Yan Darmadi. Semasa Gubernur Ali Sadikin, Yan berhasil meraup Rp 1,5 miliar. Selain memiliki saham di empat lokasi perjudian tadi, Yan juga disebut-sebut membuka kasino di Surabaya pada tahun 1980. Konon, seperempat penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Buaya itu berasal dari Yan Darmadi. Tapi, kondisi tersebut tak lama bertahan. Setahun kemudian (1981), Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo mencabut kembali izin tersebut. Toh, jaringan mafia judi di Jakarta bukannya terputus, melainkan malah meluas ke seluruh Indonesia dalam konfigurasi Sembilan Naga. Jaringan ini mirip dengan Triad di Hong Kong dan Makau. Merekalah yang menguasai dan mengatur lokasi perjudian. Mereka membentuk satuan “pengamanan” yang mengikutsertakan jasa centeng amatir sampai jenderal profesional. Kini ada sedikitnya 44 lokasi perjudian di Jakarta (lihat tabel). Mulai dari kelas kakap hingga kelas teri. Dari yang terbuka, seperti toto gelap (togel), sampai yang tertutup (kasino dan rolet). Semua itu bertebaran di setiap sudut Jakarta. Sementara kota-kota besar lainnya, seperti Medan, Riau, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya dan Manado, juga tak kalah gesit. Menurut mantan raja judi Anton Medan, tempat bermain judi terbesar di Jakarta kini ada di Gedung ITC Mangga Dua, Jakarta Barat. Di situ, beberapa bandar besar seperti Tomy Winata, Engsan, Yasmin, Chandra dan David berkolaborasi membangun usaha dan jaringan. Baik untuk wilayah Jakarta maupun seluruh Indonesia. Termasuk pengaturan upeti bagi sejumlah oknum pejabat tinggi TNI, Polri, Pemda DKI, ormas pemuda dan kemasyarakatan, serta wartawan. Dari lokasi itu, para bandar bisa meraup Rp 10 miliar-Rp 15 miliar per malam. Setelah dipotong modal pemilik saham, sisanya di bagikan ke seluruh jaringan pengamanan tadi. Ada yang per sepuluh hari, per bulan, atau per minggu. Untuk Jakarta, ada sejumlah nama dan kawasan perjudian potensial yang bisa disebut sebagai jaringan “Sembilan Naga” tadi. Selain Tomy Winata, Engsan, Yasmin dan David, masih ada Apow, pemilik rumah judi mickey mouse (MM) di Pancoran (Glodok), Jalan Boulevard (Kelapa Gading), Kasturi di Mangga Besar, Ruko Blok A di Green Garden serta di Jalan Kejayaan, Jakarta Barat. Nah, dari tiga lokasi itu, ia minimal meraup Rp 2 miliar setiap malam. Di beberapa lokasi lain, Apow juga membangun jaringan usaha sejenis dengan Juhua dan Ali Oan di Asemka, Jakarta Barat, serta di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.

Setingkat Apow, ada Rudi Raja Mas. Nah, taipan ini tergolong hoki. Lokasi kasino, rolet serta MM-nya terletak di Stadium dan Pelangi di Kawasan Hayam Wuruk. Kabuki Hotel Prinsen Park di Lokasari, Jakarta Barat, serta di Jalan Kunir, Jakarta Utara, termasuk yang di Pulau Ayer, juga mulai membawa keuntungan besar baginya. Kabarnya, dari semua itu, ia bisa menarik Rp 10 miliar per malam. Rudi tak sendirian. Untuk usaha di Pulau Ayer misalnya, ia menggaet Haston, Arief, Cocong, Edi P. dan Umar. Sementara untuk lokasi di kompleks perjudian kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, Rudi bekerja sama dengan Tomy Winata, Arief, dan Cocong. Dibandingkan dengan lokasi perjudian lain di Jakarta, gedung berlantai dua di Jalan Kunir I ini relatif agak sulit ditembus, terutama bagi mereka yang belum akrab dengan “kaki tangan” pemilik lokasi itu. Selain ditutup dengan pagar seng, tempat usaha itu juga dikawal puluhan tukang pukul. Nah, dari sejumlah lokasi perjudian yang ditelusuri FORUM, permainan kasino memang relatif banyak diminati penjudi. Permainan ini menggunakan piringan berlubang-lubang kecil yang dapat diputar dan dilengkapi dengan sebuah bola kecil. Setiap pemain memasang koin di meja berangka 0-38, yang terbagi dalam tiga bagian berdasarkan kelipatan bayarannya. Bagi pemilik koin yang angkanya sama dengan tempat bola, ialah sang pemenang. Selain jaringan “Sembilan Naga” yang bermarkas di Jakarta tadi, di pentas judi nasional ada beberapa nama lainnya yang juga termasuk dalam jaringan tersebut. Misalnya Wang Ang (Bandung), Pepen (Manado), Dedi Handoko (Batam, Tanjung Pinang dan sekitarnya), Jhoni F. (Surabaya), Olo Panggabean (Medan dan Aceh), dan Firman (Semarang). “Mereka inilah yang menguasai jaringan mafia judi di beberapa titik di Indonesia. Bahkan, kabarnya sudah masuk dalam jaringan mafia judi Hong Kong dan Singapura,” kata sumber FORUM di Markas Besar Polri. Pasar Atom, Andika Plaza, dan Darmo Park merupakan daerah perjudian elite di Kota Surabaya. Jenisnya kasino dan bola tangkas. Tapi, tak semua orang bisa masuk ke arena itu karena dijaga ekstra ketat. Salah satunya dengan memakai sistem “kartu anggota”.

Selain Jhoni F., kabarnya YE alias W, yang dulu tak aktif, kini kambuh lagi. Malah, ia kembali menjalin hubungan dengan Rudi Raja Mas dan Chandra di Jakarta. Rata-rata per bulannya, omzet yang masuk minimal mencapai Rp 5 miliar. Sementara di beberapa kota besar di Sumatra, seperti Medan, Pekanbaru, Palembang dan Jambi, judi buntut sudah beroperasi selama puluhan tahun tanpa hambatan berarti dari aparat keamanan. Di Medan, misalnya, bisnis yang paling terkenal adalah kupon togel Singapura serta permainan judi KIM yang dikelola Olo Panggabean. Mereka mengedarkan kupon-kupon melalui agen setiap Senin, Kamis, Sabtu dan Minggu. Dalam sekali putaran, Olo kabarnya menerima bersih sekitar Rp 2 miliar.

Operasi mereka berjalan lancar-lancar saja. Kalau pun ada gertakan dari pemerintah, biasanya tak lama kemudian akan “aman” lagi. Pernah sekali waktu, para bandar judi sempat kaget ketika pada Mei 2000, Preiden Abdurrahman Wahid–waktu itu masih berkuasa–menuding Tomy Winata sebagai dalang judi di atas kapal pesiar. Namun belakangan tudingan itu ditarik melalui Jaksa Agung Marzuki Darusman. Pemilik kapal itu, kata Marzuki, adalah Rudi Susanto. Ialah kabarnya yang menggelar perjudian di atas kapal pesiar di lepas pantai teluk Jakarta yang menghebohkan itu. Sumber FORUM menyebutkan, sekali berlabuh, usaha Rudi Susanto tadi bisa mencetak duit sedikitnya Rp 500 miliar bersih. Sayangnya, banjir rupiah yang didapat para bandar judi seperti Rudi Susanto dan kawan-kawannya, jarang sekali disimpan di Indonesia.

“Setelah itu, mereka beli dolar dan langsung mentransfer ke salah satu bank asing di luar negeri,” kata sumber FORUM di Bursa Efek Jakarta. Maraknya praktek perjudian di Indonesia tentu tak terlepas dari sebuah riwayat hitam bangsa ini. Apiang Jinggo alias Yan Darmadi adalah pemilik Peta Sembilan dan Kopabana, dan boleh dibilang sebagai raja judi pertama (era Orde Lama). Apiang memang sempat berkibar beberapa tahun, saat Ali Sadikin melegalkan judi di Jakarta. Namun, setelah keluar kebijakan pemerintah yang melarang judi, bisnisnya kabarnya sempoyongan. Tapi, kondisi itu tak berlangsung lama. Meski ada larangan, operasi bawah tanah tetap saja jalan. Nah, generasi kedua, diwarisi Robert Siantar dan Abah.

Sedangkan Sie Hong Lie, Liem Engsan alias Hasan, Apyang alias Atang Latif, serta mendiang Nyo Beng Seng alias Darmansyah, termasuk Anton Medan sendiri, adalah generasi ketiga. “Waktu itu saya menguasai tujuh lokasi di Jakarta. Sisanya di Batam, Jambi dan Medan,” kata Anton Medan. Sedangkan Tomy Winata, Rudi Raja Mas, dan sederet nama lainnya tadi adalah pewaris generasi keempat. Di luar nama-nama tadi, masih ada tokoh lain yang beroperasi sampai ke mancanegara. Sebut saja Sie Hong Lie, ia memiliki usaha judi Lotere Phom Penh di Kamboja. Juga peternakan, pacuan kuda, serta bukit timah di Singapura dan Penang, Malaysia. Selain itu, ia memiliki dua kapal pesiar, Delfin Star dan Lido Star, yang bermarkas di Singapura.

Ada lagi nama Apyang, selain mengelola judi di Chrismast Island, Australia, bersama Robby Sumampouw, ia juga membuka bank, properti, dan hotel di Jakarta. Sementara mendiang Nyo Beng Seng punya jaringan judi di Genting Highland (Malaysia), Las Vegas (AS), Macau dan Perth, Australia. Usaha di Indonesia adalah perusahaan rekaman Irama Tara. Mengapa mereka bisa begitu aman dan kuat?

Menurut Anton Medan, semua itu tak terlepas dari jaringan pengamanan alias beking yang dibangun. Biasanya, setiap pergantian pucuk pemimpin TNI, Polri atau Gubernur DKI, para gembong itu kerap mencari jalan masuk sebagai partner. Maklum sajalah, sebagai pemimpin, tentu mereka membutuhkan dana operasional yang tak sedikit. Nah, pundi yang paling aman dan sulit terlacak adalah dari sektor 303 ini.

Uang yang mirip-mirip dana nonbudgeter bagi para pemimpin TNI, Polri, Pemda DKI, tokoh ormas dan OKP, termasuk wartawan, itu justru ada di bandar 303 ini. Akses ke para petinggi itu tidaklah sulit. Sebab, begitu ada sinyal mau dipromosikan sebagai salah satu petinggi, para bandar itu langsung mengirimkan kurir sebagai salam perkenalan. Hubungan itu terus terjalin secara alamiah pula. “Makanya, mustahil kalau ada jenderal yang bilang tak pernah makan duit judi,” kata Anton. Upeti yang disalurkan juga tergolong tak sedikit.

Untuk oknum perwira tinggi TNI dan Polri misalnya, perbulan Rp 15 miliar. Sementara setingkat di bawahnya Rp 10 miliar. Turun ke bawahnya lagi, Rp 5 miliar. Begitulah seterusnya. “Itu belum termasuk permohonan bantuan dalam bentuk barang seperti mobil dan komputer,” ujar sumber di Mabes Polri. Begitu juga dengan pejabat tinggi di Pemda DKI Jakarta. Masih menurut Anton, upetinya bisa Rp 10 miliar per bulan. Sementara Ketua OKP dan ormas, berkisar Rp 200-500 juta per bulan. “Yang berat itu kan dari kalangan aparat. Mulai dari Polsek dan Koramil hingga jenderal. Dana operasionalnya lumayan besar,” kata salah seorang bandar kepada FORUM. Makanya, unjuk rasa masyarakat antijudi tak pernah disambut selayaknya. Maka jangan pernah mimpi, masalah judi tuntas.

sumber: kaskus

 

http://www.lintasdumay.com/2012/02/sembilan-naga-gengster-legendaris-asal.html?fb_action_ids=10206565633689476&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5B805424286136213%5D&action_type_map=%5B%22og.comments%22%5D&action_ref_map=%5B%5D&m=1


TERRORISM AND THE ILLUMINATI ONLINE

$
0
0

Download entire book as PDF

Read Embedded version here

TERORISME DAN ILLUMINATI ONLINE

Download seluruh buku sebagai PDF
Baca versi Tertanam di sini

Tentang Buku

Bertentangan dengan mitos yang dibuat, Islam tidak menimbulkan ancaman bagi Barat. Sebaliknya, Islam “teroris” organisasi telah diciptakan untuk melayani tujuan imperialis Barat. Kelompok-kelompok ini saling terkait dengan kekuatan Barat melalui jaringan perkumpulan rahasia okultisme. Hubungan ini tanggal kembali ke abad keenam SM, dan kelahiran Kabbalah, di Babel; plot untuk mencari dominasi dunia melalui penggunaan sihir dan penipuan.

LembagaHerodes Agung  yang dibentuk serangkaian hubungan dinasti koperasi. Konspirasi pertama mereka: untuk merusak gerakan Kristen muncul, dikenakan pada Kekaisaran Romawi sebagai Katolik, yang mereka akan berjuang sejak untuk supremasi atas peradaban Barat.

Selama Perang Salib, ini keluarga dinasti terkait dengan rekan-rekan mereka di Timur, anggota Muslim Ismaili yang sesat Mesir, yang dikenal sebagai pembunuh. Templar diyakini telah “menyelamatkan” sejumlah ini “Mistik Timur”, dan membawa mereka ke Skotlandia, menjadi dasar Scottish Rite Freemasonry. Legenda juga menyebabkan pembentukan “Asiatic Brethren”, yang didirikan oleh pengikut terkenal Yahudi palsu mesias, Shebbetae Zevi. The Asiatic Brethren kemudian menjadi penerus dari Illuminati, dan menjadi terlibat dalam pengembangan Mesir Rite Freemasonry.

Dengan penaklukan Napoleon dari Mesir, Freemason di pasukannya kembali dengan saudara-saudara mereka di Mesir, memicu hubungan yang penting untuk perkembangan Okultisme Kebangkitan akhir abad kesembilan belas.

Asosiasi ini adalah bagian dari strategi besar, seperti yang digariskan oleh Albert Pike, yang awalnya dirancang plot selama tiga perang dunia, yang berpuncak pada ketiga terhadap dunia Islam. Namun, karena dunia Islam telah berhasil dibongkar, baik melalui instigations Barat, dan dengan cara korupsi mereka sendiri, mereka tidak mampu memobilisasi segala jenis ancaman. Oleh karena itu harus dibikin.

Ini adalah agenda Gerakan Oxford, untuk menyebarkan Scottish Rite Freemasonry di Timur Tengah, yang dipimpin oleh Lord Palmerston, Benjamin Disraeli dan Edward Bullwer-Lytton, seorang tokoh terkemuka okultisme, sebagai kepala SRIA, atau Inggris Rosicrucian, yang berevolusi secara langsung dari Asiatic Brethren.

Agen dari strategi ini adalah penipu terkenal dengan nama Jamal ud Din al Afghani, yang menjadi pendiri apa yang disebut Salafi “reformasi” gerakan Islam. Menurut K. Paul Johnson, itu Afghani, sebagai kepala okultisme Hermetic Brotherhood of Luxor, atau HB L, yang bertanggung jawab untuk mengajar Helena Blavatsky doktrin sentral nya. Helena P. Blavatsky, medium terkenal dan mistik, adalah ibu baptis dari gerakan New Age, yang buku-bukunya dianggap sebagai “kitab suci” Freemasonry. Banyak okultis terkemuka lainnya yang berafiliasi dengan Rosicrucian Inggris dan Ritus Mesir Freemasonry perjalanan ke Mesir pada saat itu, dan mereka kembali, cabang didirikan dari HB L, dari mana muncul Ordo Templi Orientis (OTO), anggota paling terkenal dari yang Aleister Crowley.

Nazi adalah hasil dari penggabungan dari OTO Crowley dan Thule Gesselschaft Jerman. Hal ini mungkin untuk alasan ini bahwa Hitler, ketika ia ingin membuat lengan Intelijen Jerman di Mesir, menghubungi Salafi terkemuka dan Freemason, bernama Hasan al Banna. Dengan kematian Nazi setelah Perang Dunia II, kontrol organisasi dipindahkan ke CIA. Itu kepala akhirnya nya, Allen Dulles yang mempelopori langkah untuk menyewa mantan Nazi untuk melatih para teroris.

Pada tahun 1954, setelah ditemukan bahwa Ikhwanul Muslimin bertanggung jawab atas serangan terhadap hidupnya, Presiden Gamal Nasser dari Mesir memerintahkan tindakan keras. Anggota melarikan diri dari Ikhwanul Muslimin kemudian shuttled ke sekutu CIA, Arab Saudi.

Gerakan Salafi sejak datang untuk dipelopori oleh Arab Saudi, dan diidentifikasi sebagai satu dan sama dengan bid’ah Wahhabisme. Wahhabisme diciptakan oleh Inggris, pada abad kedelapan belas untuk melemahkan Kekaisaran Ottoman, dan untuk mencapai kontrol Barat sumber daya minyak utama dunia. Hari ini, promosi Wahhabisme merupakan bagian dari agenda Barat yang lebih besar, yang melibatkan CIA, untuk merendahkan Islam. Menurut William Engdahl, itu Henry Kissinger yang mengatur Krisis Minyak 1973. Kekayaan berikutnya dicapai oleh Arab Saudi kemudian menjabat sebagai dana tertentu tersembunyi untuk operasi rahasia CIA.

Ketika John Loftus, seorang pejabat Departemen Kehakiman pada tahun delapan puluhan, diizinkan untuk membaca dengan teliti dokumen rahasia pemerintah, ia menemukan bahwa British Secret Service yakin intelijen Amerika bahwa Nazi Arab Ikhwanul Muslimin akan sangat diperlukan sebagai “pejuang kemerdekaan” dalam persiapan untuk perang besar berikutnya, yang diantisipasi melawan Uni Soviet.

Dan, ketika Amerika berharap untuk memikat Soviet ke versi mereka sendiri dari Vietnam, mereka melakukannya dengan mendanai faksi Ikhwanul Muslimin di Afghanistan. Dibiayai dan dikoordinasikan melalui bantuan dinas rahasia Pakistan, ISI, menjadi yang terbesar operasi rahasia CIA dalam sejarah.

Itu semua bagian dari yang lebih besar Operasi Iran-Contra. Melalui kegiatan licik dari Aspen Institute dan Club of Rome, bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin, agen Inggris Ayatollah Khomeini dipasang di Iran. Amerika kemudian mulai perdagangan senjata ilegal dengan negara, dana yang diperoleh digunakan untuk mendanai sayap kanan preman Contra dari Nicargua, dengan imbalan kokain yang memicu Amerika retak epidemi. Dana ini, selain pertumbuhan perdagangan heroin di Afghanistan, yang digunakan untuk membiayai perang rahasia AS di Afghanistan.

Melalui strategi ini, tidak hanya Amerika berhasil membangkrutkan Uni Soviet, tetapi mereka juga berhasil menciptakan jaringan tunas dari teroris Islam, dicuci otak dalam ideologi radikal Wahhabisme dan Salafisme, yang tersebar di seluruh dunia, dan yang kemudian menyalahkan sebagai bertanggung jawab untuk operasi bendera palsu besar yang dikenal sebagai 9/11, yang memungkinkan perencana tersembunyi untuk memulai perang mereka Teror, Samuel Huntington “Clash of Civilizations”, atau awal dari Pike WWIII.

 

Charts Genealogoical

The House of Herodes

Menelusuri nenek moyang Charlemagne, Raja Arthur, dan Konstantin Agung dan Odin, dari Yehuda, Pahlawan dari Perang Troya, Alexander Agung, Herodes Agung, Caesar, Marc Antony dan Cleopatra, dan keluarga pendiri Mithraisme, termasuk Antiokhus IV dari Commagene, dan Imam-raja-raja Emesa. [PDF]
Silsilah dari Stuarts dan Sinclairs

Dari Raja Daud, Yusuf dari Arimatea, Maria Magdalena, Odin dan Guillame de Gellone. [PDF]
Silsilah dari House of Guelph

Dari Raja Daud, Yusuf dari Arimatea, Maria Magdalena, Odin dan Guillame de Gellone [PDF]
Stuart, Sinclairs dan House of Guelph

Silsilah Gabungan, yang mengarah ke persatuan Elizabeth Stuart dan Frederick V, Pemilih dari Palatinate dari Rhine, dan George I, pertama Hanoverian Raja Inggris. [PDF]
The Order of the Garter

Menelusuri silsilah Ratu Inggris, dan anggota Ordo Garter, dari George I terkemuka, Pangeran St Germain, dan Ethiopia, Abram Petrovich Gannibal. [PDF]

Sebuah Benturan Peradaban>

 

About the Book

Contrary to myth being fabricated, Islam does not pose a threat to the West. Rather, Islamic “terrorist” organizations have been created to serve Western imperialistic objectives. These groups are intertwined with Western power through a network of occult secret societies. This relationship dates back to sixth century BC, and the birth of the Kabbalah, in Babylon; a plot to seek world domination through the use of magic and deception.

Herod the Great incepted a series of cooperative dynastic relationships. Their first conspiracy: to corrupt the emerging Christian movement, imposed upon the Roman Empire  as Catholicism, with which they would struggle ever since for supremacy over Western civilization.

During the Crusades, these dynastic families associated with their counterparts in the East, members of the heretical Ismaili Muslims of Egypt, known as the Assassins. Templars were believed to have “rescued” a number of these “Eastern Mystics”, and brought them to Scotland, being the basis Scottish Rite Freemasonry.  The legend also led to the formation of the “Asiatic Brethren”, founded by followers of the infamous Jewish false-messiah, Shebbetae Zevi.  The Asiatic Brethren then became the successors of the Illuminati, and became involved in the development of Egyptian Rite Freemasonry.

With Napoleon’s conquest of Egypt, Freemasons in his army reconnected with their brethren in Egypt, sparking a relationship that was pivotal to the development of the Occult Revival of the late nineteenth century.

These associations were part of a grand strategy, as outlined by Albert Pike, who originally devised a plot for three world wars, culminating in a third against the Muslim world. However, because the Islamic world had been successfully dismantled, both through the instigations of the West, and by way of their own corruption, they were incapable of mobilizing any kind of threat.  It therefore had to be contrived.

This was the agenda of the Oxford Movement, to spread Scottish Rite Freemasonry in the Middle East, headed by Lord Palmerston, Benjamin Disraeli and Edward Bullwer-Lytton, a leading occult figure, as head of the SRIA, or English Rosicrucians, which evolved directly from the Asiatic Brethren.

The agent of this strategy was a notorious impostor by the name of Jamal ud Din al Afghani, who became the founder of what is called the Salafi “reform” movement of Islam. According to K. Paul Johnson, it was Afghani, as head of the occult Hermetic Brotherhood of Luxor, or HB of L, who was responsible for teaching Helena Blavatsky her central doctrines. Helena P. Blavatsky, the famous medium and mystic, was the godmother of the New Age movement, whose books are considered the “bibles” of Freemasonry. Numerous other leading occultists affiliated with the English Rosicrucians and Egyptian Rite Freemasonry travelled to Egypt at the time, and on their return, established branches of the HB of L, out of which emerged the Ordo Templi Orientis (OTO), the most notorious member of which was Aleister Crowley.

The Nazis were the result of a merging of the O.T.O of Crowley and the Thule Gesselschaft of Germany. It is presumably for this reason that Hitler, when he wished to create an arm of German Intelligence in Egypt, contacted a leading Salafi and Freemason, named Hasan al Banna. With the demise of the Nazis following WWII, control of the organization was transferred to the CIA.  It was its eventual head, Allen Dulles who spearheaded the move to hire ex-Nazis to train the terrorists.

In 1954, after it was discovered that the Muslim Brotherhood was responsible for an attack on his life, President Gamal Nasser of Egypt ordered a crackdown. Fleeing members of the Muslim Brotherhood were then shuttled to the CIA’s ally, Saudi Arabia.

The Salafi movement has since come to be spearheaded by Saudi Arabia, and identified as one and the same as the heresy of Wahhabism.  Wahhabism was created by the British, in the eighteenth century to undermine the Ottoman Empire, and to achieve Western control of the world’s primary oil resource.  Today, the promotion of Wahhabism is part of a larger Western agenda, involving the CIA, to denigrate Islam. According to William Engdahl, it was Henry Kissinger who orchestrated the Oil Crisis of 1973.  The subsequent wealth achieved by Saudi Arabia then served as a hidden slush fund for CIA covert operations.

When John Loftus, a Justice Department official in the eighties, was permitted to peruse classified government documents, he discovered that the British Secret Service convinced American intelligence that the Arab Nazis of the Muslim Brotherhood would be indispensable as “freedom fighters” in preparation for the next major war, which was anticipated against the Soviet Union.

And so, when the Americans wished to lure the Soviets into their own version of Vietnam, they did so by funding factions of the Muslim Brotherhood in Afghanistan.  Financed and coordinated through the assistance of the Pakistani secret service, the ISI, it became the largest CIA covert operation in history.  

It was all part of the larger the Iran-Contra Operation.  Through the devious activities of the Aspen Institute and the Club of Rome, in collaboration with the Muslim Brotherhood, British agent the Ayatollah Khomeini was installed in Iran.  The Americans then began illegally trading arms with the country, proceeds of which were used to fund the right-wing Contra thugs of Nicargua, in return for cocaine which sparked America’s crack epidemic.  These funds, in addition to growing heroin trade in Afghanistan, were used to fund the US’s covert war in Afghanistan.

Through this strategy, not only did the Americans succeed in bankrupting the Soviet Union, but they also managed to create a budding network of Islamic terrorists, brainwashed in the radical ideologies of Wahhabism and Salafism, who dispersed across the world, and who were then blamed as responsible for the great false flag operation known as 9/11, which allowed its hidden planners to embark on their War on Terror, Samuel Huntington’s “Clash of Civilizations”, or the beginnings of Pike’s WWIII.

Genealogoical Charts

  • The House of Herod

    Tracing ancestors of Charlemagne, King Arthur, and Constantine the Great and Odin, from Judah, the Heroes of the Trojan War, Alexander the Great, Herod the Great, Caesar, Marc Antony and Cleopatra, and the founding families of Mithraism, including Antiochus IV of Commagene, and the Priest-Kings of Emesa. [PDF]

  • Lineage of Stuarts and Sinclairs

    From King David, Joseph of Arimathea, Mary Magdalene, Odin and Guillame de Gellone. [PDF]

  • Lineage of the House of Guelph

    From King David, Joseph of Arimathea, Mary Magdalene, Odin and Guillame de Gellone [PDF]

  • The Stuarts, Sinclairs and the House of Guelph

    The Combined Lineage, leading to the union of Elizabeth Stuart and Frederick V, Elector of the Palatinate of the Rhine, and George I, first Hanoverian King of England.[PDF]

  • The Order of the Garter

    Tracing genealogy of Queen of England, and leading members of the Order of the Garter, from George I, Count St. Germain, and the Ethiopian, Abram Petrovich Gannibal. [PDF]

 


Tanah Punt, Sundaland, dalam Legenda Leluhur Bangsa Nusantara?

Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibnu ‘Arabi

$
0
0

Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibnu ‘Arabi

Batasan-batasan apa yang melingkari sebuah filsafat sehingga bisa disebut sebagai filsafat Islam? Jika filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemikiran orang Islam, lalu mengapa tidak disebut filsafat muslim? Apa sebenarnya corak pembeda dari sebuah filsafat sehingga disebut sebagai filsafat Islam?

Di dalam buku ini, Seyyed Hossein Nasr mendiskusikan tiga ahli hikmah muslim termasyhur, yaitu Ibnu Sina (Avicenna), Suhrawardi, dan Ibnu ‘Arabi, yang diharapkan bisa mengekspresikan—melalui mereka—sudut pandang tiga mazhab penting dalam filsafat Islam, yaitu ilmuwan-filsuf, iluminasionis, dan sufi. Dalam totalitas mereka masing-masing, ketiga tokoh ini menampilkan aspek signifikan dari intelektualitas Islam—menyingkap cakrawala-cakrawala yang telah menentukan kehidupan intelektual banyak ahli hikmah terkemuka dalam Islam.Buku yang ada di genggaman Anda ini memberikan sumbangan penting dalam memberikan pemahaman yang lebih luas tentang filsafat Islam, dengan berusaha melihat dari dalam dan tidak terjebak dalam perspektif Barat. Nasr mampu membuat kita lebih mendalami kekayaan dan pluralitas pandangan dan aliran dalam Islam, dengan mengkaji pandangan dan pengaruh Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibnu ‘Arabi dalam filsafat Islam secara khusus dan pemikiran secara umum. Inilah bacaan awal yang tepat bagi mereka yang ingin mempelajari filsafat Islam.
Selamat menyelami samudra khazanah filsafat Islam.(less)
Paperback, 244 pages
Published October 2014 by Ircisod
ISBN13
9786022557098
edition language
Indonesian
other editions

Seyyed Hossein Nasr

Author profile

born

in Tehran, Iran

April 07, 1933
gender
male
website
genre
influences
Frithjof Schuon
About this author

Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr was born on April 7, 1933 (19 Farvadin 1312 A.H. solar) in Tehran into a family of distinguished scholars and physicians. His father, Seyyed Valiallah, a man of great learning and piety, was a physician to the Iranian royal family, as was his father before him. The name “Nasr” which means “victory” was conferred on Professor Nasr’s grandfather by the King of Persia. Nasr also comes from a family of Sufis. One of his ancestors was Mulla Seyyed Muhammad Taqi Poshtmashhad, who was a famous saint of Kashan, and his mausoleum which is located next to the tomb of the Safavid king Shah Abbas, is still visited by pilgrims to this day.

Seyyed Hossein Nasr, currently University Professor of Islamic Studies at the George Washington University, Washington D.C. is one of the most important and foremost scholars of Islamic, Religious and Comparative Studies in the world today. Author of over fifty books and five hundred articles which have been translated into several major Islamic, European and Asian languages, Professor Nasr is a well known and highly respected intellectual figure both in the West and the Islamic world. An eloquent speaker with a charismatic presence, Nasr is a much sought after speaker at academic conferences and seminars, university and public lectures and also radio and television programs in his area of expertise. Possessor of an impressive academic and intellectual record, his career as a teacher and scholar spans over four decades.

Professor Nasr began his illustrious teaching career in 1955 when he was still a young and promising, doctoral student at Harvard University. Over the years, he has taught and trained an innumerable number of students who have come from the different parts of the world, and many of whom have become important and prominent scholars in their fields of study.

He has trained different generations of students over the years since 1958 when he was a professor at Tehran University and then, in America since the Iranian revolution in 1979, specifically at Temple University in Philadelphia from 1979 to 1984 and at the George Washington University since 1984 to the present day. The range of subjects and areas of study which Professor Nasr has involved and engaged himself with in his academic career and intellectual life are immense. As demonstrated by his numerous writings, lectures and speeches, Professor Nasr speaks and writes with great authority on a wide variety of subjects, ranging from philosophy to religion to spirituality, to music and art and architecture, to science and literature, to civilizational dialogues and the natural environment.

For Professor Seyyed Hossein Nasr, the quest for knowledge, specifically knowledge which enables man to understand the true nature of things and which furthermore, “liberates and delivers him from the fetters and limitations of earthly existence,” has been and continues to be the central concern and determinant of his intellectual life.
(less)


[Misteri] Kuil Hatshesut (+/- 1.470 SM), berkisah tentang Peradaban Purba Nusantara?

Legenda AJISAKA, mengungkap zuriat NABI ISHAQ di NUSANTARA

Startling Similarity between Hindu Flood Legend of Manu and the Biblical Account of Noah

$
0
0
Matsya protecting Svayambhuva Manu and the seven sages at the time of Deluge

In 1872, the amateur Assyriologist, George Smith, made a discovery that would shock the world. Whilst studying a particular tablet from the ancient Mesopotamian city of Nineveh, he comes across a story that many would have been familiar with. When Smith succeeded in deciphering the text, he realized that the tablet contained an ancient Mesopotamian myth that paralleled the story of Noah’s Ark from the Book of Genesis in the Old Testament.

Today, we are aware that flood myths are found not only in Near Eastern societies, but also in many other ancient civilizations throughout the world. Accounts of a great deluge are seen in ancient Sumerian tablets, the Deucalion in Greek mythology, the lore of the K’iche’ and Maya peoples in Mesoamerica, the Gun-Yu myth of China, the stories of the Lac Courte Oreilles Ojibwa tribe of North America, and the stories of the Muisca people, to name but a few. One of the oldest and most interesting accounts originates in Hindu mythology, and while there are discrepancies, it does bear fascinating similarity to the story of Noah and his ark.

‘The Deluge’ by Francis Danby, 1840.

‘The Deluge’ by Francis Danby, 1840. (Wikimedia Commons)

The Hindu flood myth is found in several different sources. The earliest account is said to have been written in the Vedic Satapatha Brahmana, whilst later accounts can be found in the Puranas, including the Bhagavata Purana and the Matsya Purana, as well as in the Mahabharata. Regardless, all these accounts agree that the main character of the flood story is a man named Manu Vaivasvata. Like Noah, Manu is described as a virtuous individual. The Satapatha Brahmana, for instance, has this to say about Manu: “There lived in ancient time a holy man / Called Manu, who, by penances and prayers, / Had won the favour of the lord of heaven.”

Manu was said to have three sons before the flood – Charma, Sharma, and Yapeti, while Noah also had three sons – Ham, Shem, and Japheth.

Both Noah and Manu are described as virtuous men.  ‘Noah and his Ark’ by Charles Wilson Peale, 1819

Both Noah and Manu are described as virtuous men.  ‘Noah and his Ark’ by Charles Wilson Peale, 1819 (Wikimedia Commons)

In the Book of Genesis, the cause of mankind’s destruction is given as such, “And God saw that the wickedness of man was great in the earth, and that every imagination of the thoughts of his heart was only evil continually. / And it repented the Lord that he had made man on the earth, and it grieved him at his heart. / And the Lord said, I will destroy man whom I have created from the face of the earth; both man, and beast, and the creeping thing, and the fowls of the air; for it repenteth me that I have made them.”

Augsburger Wunderzeichenbuch, Folio 1 (Genesis 7, 11-14), 1552.

Augsburger Wunderzeichenbuch, Folio 1 (Genesis 7, 11-14), 1552. (Wikimedia Commons)

In the story of Manu, however, the destruction of the world is treated as part of the natural order of things, rather than as a divine punishment. It is written in the Matsya Purana that “Manu then went to the foothills of Mount Malaya and started to perform tapasya (meditation). Thousands and thousands of years passed. Such were the powers of Manu‘s meditation that Brahma appeared before him. “I am pleased with your prayers,” said Brahma. “Ask for a boon [favor].” “I have only one boon to ask for,” replied Manu. “Sooner or later there will be a destruction (pralaya) and the world will no longer exist. Please grant me the boon that it will be I who will save the world and its begins at the time of the destruction.” Brahma readily granted this boon.”

In the flood myth from the Old Testament, God who saves Noah by instructing him to build an Ark. In the Hindu version of the story, it is also through divine intervention, in the form of the god Vishnu, that mankind is preserved from total destruction. In this story, the god appears to Manu in the form of a little fish whilst he was performing his ablutions in a pond. Manu kept the fish, which grew so quickly that its body occupied the entire ocean in a matter of days. It was then that Vishnu revealed his identity to Manu, told him about the impending destruction, and the way to save humanity. There is also a large boat involved in this story too. Vishnu instructed Manu to build a boat and fill it with animals and seeds to repopulate the earth:

O kind-hearted man, you have care in your heart, listen now. Soon the world will be submerged by a great flood, and everything will perish. You must build strong ark, and take along rope on board. you must also take with you the Seven Sages, who have existed since the beginning of time, and seeds of all things and pair of each animal, when you are ready, I will come to you as Fish and I will have horns on my head. Do not forget my words, without me you cannot escape from the flood.

When the time came, Manu was to tie the boat to the horn of fish, so that it could be dragged around. Interestingly, this would not be the only time that Vishnu saves mankind from destruction, as he would re-appear as avatars over the course of time to preserve life on earth.

Incarnation of Vishnu as a Fish, from a devotional text.

Incarnation of Vishnu as a Fish, from a devotional text. (Wikimedia Commons)

After the flood, Noah’s Ark is said to have rested on mountains of Ararat. Similarly, Manu’s boat was described as being perched on the top of a range of mountains (the Malaya Mountains in this case) when the waters had subsided. Both Noah and Manu were then said to repopulate the earth, and all human beings could trace their ancestry to either one of these flood survivors.

‘Noah's ark on Mount Ararat’ by Simon de Myle, 1570 AD.

‘Noah’s ark on Mount Ararat’ by Simon de Myle, 1570 AD. (Wikimedia Commons)

Featured image: Matsya protecting Svayambhuva Manu and the seven sages at the time of Deluge (Wikimedia Commons)

References

International Gita Society, 2015. All 18 Major Puranas. [Online]
Available at: http://www.gita-society.com/scriptures/ALL18MAJORPURANAS.IGS.pdf

The Bible: Standard King James Version, 2015. [Online]
Available at: http://www.kingjamesbibleonline.org/

Wilkins, W. J., 1900. Hindu Mythology, Vedic and Puranic. [Online]
Available at: http://www.sacred-texts.com/hin/hmvp/hmvp19.htm

www.bbc.co.uk, 2015. A History of the World in 100 Objects, Episode16: Flood Tablet. [Online]
Available here.

www.mysteryofindia.com, 2014. Similarities between Noah’s Ark and Manu’s Boat. [Online]
Available at: http://www.mysteryofindia.com/2014/12/similarities-noahs-ark-manus-boat.html

www.mythencyclopedia.com, 2015. Floods. [Online]
Available at: http://www.mythencyclopedia.com/Fi-Go/Floods.html

By Ḏḥwty

           

 

Read more: http://www.ancient-origins.net/human-origins-religions/startling-similarity-between-hindu-flood-legend-manu-and-biblical-020318#ixzz3YqiKD700
Follow us: @ancientorigins on Twitter | ancientoriginsweb on Facebook

SOURCE: http://www.ancient-origins.net/human-origins-religions/startling-similarity-between-hindu-flood-legend-manu-and-biblical-020318#

 


Ilmuwan: Peradaban Dunia Berawal dari Indonesia!

$
0
0

lmuwan: Peradaban Dunia Berawal dari Indonesia!

cropped-bayt-al-hikmah-institute.jpg

Teori ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, Stephen Oppenheimer, seperti memutarbalikkan sejarah yang sudah ada.

Lewat bukunya yang merupakan catatan perjalanan penelitian genetis populasi di dunia, ia mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara!

Stephen Oppenheimer

Hal itu disampaikan Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis 28 Oktober 2010.

Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia.

Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan Sundalandatau Indonesia.

Apa buktinya? “Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi yang juga dihadiri Jimly Asshiddiqie.

Lulusan fakultas kedokteran Oxford University melalui bukunya mengubah paradigma yang ada selama ini, bahwa peradaban paling awal adalah berasal dari daerah Barat.

Perjalanan yang dilakukannya dimulai dengan komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini.

Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia.

Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia. Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah.

Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.

Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur.

Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam.

“Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya,” ujar dia.

Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara.

Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.

Klik disini untuk melihat animasi peta diatas atau lihat versi GIF animasi dibawah halaman ini

Eden In The East juga mengungkapkan bahwa berbagai suku di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus bagi agama-agama Barat yang tertua.

Buku ini ‘membalikkan’ sejumlah fakta-fakta yang selama ini diketahui dan dipercaya masyarakat dunia tentang sejarah peradaban manusia.

“Buku ini memang juga ada biasnya. Karena penulis istrinya orang Malaysia sehingga ada perspektif Malaysia,” kata Jimly yang hadir dalam acara itu. (Fina Dwi Yurhami/vivanews/icc.wp.com)

JOURNEY OF MANKIND (tunggu beberapa saat hingga gambar GIF animasi bergerak):

***

Peradaban Berawal dari Indonesia

Journey of Mankind

Journey of Man: A Genetic Odyssey 

*****

((( IndoCropCircles.wordpress.com )))

Tulisan ini dipublikasikan di Arkeologi Dunia, Arkeologi Indonesia, Konspirasi Indonesia. Tandai permalink.

https://indocropcircles.wordpress.com/2012/01/06/ilmuwan-peradaban-dunia-berawal-dari-indonesia/

94 Balasan ke Ilmuwan: Peradaban Dunia Berawal dari Indonesia!

  1. Dino berkata:

    masa iya..? coba check kembali. baru publikasi lagi…Tq

  2. jeprietno berkata:

    saya sangat mengapresiasi informasi dalam tulisan ini ….. trimakasih.

    Rate This
  3. bilifit ornot berkata:

    konon katanya; ribuan tahun yg lalu nenek moyang kita yg dari jawa ber-imigrasi sampai ke-timur tengah, thailan dan india, sebagai bukti coba perhatikan; bukankah huruf arab, thailan dan india sangat mirip dgn huruf jawa kuno atau huruf palawa?

    6
    0
    Rate This
  4. guntur berkata:

    wah simbah buyut saya nenek moyang manusia (-_-“)

    4
    0
    Rate This
  5. Han berkata:

    Siapa Oppenheimer ??.. orang mana dia ?? !!

    0
    8
    Rate This
  6. Insan berkata:

    Bisa jadi hasil penelitian Openheimer tersebut sejalan dengan isyarat dalam Al-Quran bahwa Nabi Sulaiman AS adalah penguasa haikal Sulaiman yang kekayaan dan kemajuannya sangat termasyur dijamannya yang kemudian hancur sehancur-2nya terkena azab Yang Maha Kuasa karena kekafiran sebagian generasi-2 penerusnya setelah Nabi Sulaiman AS wafat. Azab yang mendera wilayah Haikal Sulaiman itu sedemikian hancurnya hingga cocok jika digambarkan sebagai tenggelamnya sebagian daratan Sundalend (Asia Tenggara ) saat ini dan menyisakan ribuan pulau besar dan kecil yang kini didiami oleh bangsa Indonesia. Namun demikian walahu alam karena hanya Allah SWT lah Yang Maha Mengetahuinya.

    16
    3
    Rate This
  7. mando berkata:

    selama ini kebanyakan orang indonesia meng-agungkan kebudayaan barat padahal budaya nusantara jauh diatas pada masanya, karena kufur nikmat akhirnya kena azab agar jadi pelajaran dimasa selanjutnya, hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui.

    19
    0
    Rate This
  8. kangleek berkata:

    tp aku gak sepakat jk dikatakan sebagai sundaland.. mungkin lbh tepat istilahnya adalah JAWA (JAVA). jika nenek moyang kita berlayar ke negeri lain, liat aja di israel ada istilah Java tel aviv.. banyak juga istilah jawa digunakan oleh negeri2 lain di dunia spt pasaran wage, pahing, pon kliwon mjd nama2 tempat atau istilah di banyak negara.. peneliti UGM pernah mengungkap itu ketika memaparkan soal candi Cetho di karanganyar.. tapi mang ada yg blg itu zaman sulaiman mgkn benar.. soalnya sulaiman hidup pd masa tahun yg disebut di atas.. wajar saja jika raja jawa tersebut adalah sulaiman krn dia adlh raja yg kekuasaannya tidak akan tertandingi spanjang masa.. jd mgkn dia menguasai seluruh dunia..

    6
    15
    Rate This
    • kups berkata:

      maksudnya sundaland itu bukan suku sunda atau kerajaan sunda mas, hehee.. coba mas e baca ini dulu biar lebih terbukahttp://id.wikipedia.org/wiki/Paparan_Sunda

      7
      0
      Rate This
      • spedaonthel berkata:

        iya, memang. anda benar. Secara geologi, Sunda adalah landas kontinen lempeng benua antara lempeng Samudra Hinda dan lempeng Eurasia di Asia Tenggara, yang selanjutnya disebut “Paparan Sunda”. Massa daratan utama antara lain dari Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Jadi Sundaland itu adalah ISTILAH KAWASAN GEOLOGI.(lihat gambar diatas)

        7
        1
        Rate This
      • Sang Pejuang berkata:

        Iya, sunda di Jawa Barat juga ada yang mengemukakan bahwa mereka itu bukan suku/etnis namun nama agama kuno dulu. Kata “Su” yang berarti abadi atau sejati, “Na” yang berarti api dan “Da” yang berarti besar atau agung. Sunda berarti “Api Abadi yang Agung” tak lain adalah Matahari. Sunda zaman dahulu adalah sebuah ajaran agama yaitu agama Matahari. Sampai sekarang budayawan sunda pun masih meneliti asal usul suku sunda, karena sampai saat ini asal usul suku sunda belum jelas. Menurut versi Belanda dulu dinamain sama belanda sebagai Jawa Gunung.

        8
        1
        Rate This
      • spedaonthel berkata:

        Sebelum agama Hindu, di Indonesia belum ada agama, adanya hanya budaya kepercayaan, seperti di Jawa mereka mempunyai kitab budaya yang dikenal sebagai Kitab Primbon. Jika Sunda adalah agama atau budaya kepercayaan, mana kitabnya?

        Jadi Sunda adalah suatu wilayah kawasan, didalamnya terdiri dari banyak ras, lalu kawasan itu terpecah jadi beberapa kawasan: Malaya (Semenanjung Malaka & Sumatera) Kalimantan (Dayak) dan Sunda (Jawa, Bali & Nusa Tenggara). Lalu terpecah lagi karena perbedaan bahasa, Semenanjung Malaya bahasa Melayu Kuno, di Sumatera bahasa Melayu Modern, di Jawa bahasa Sunda dan Jawa, di Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara juga demikian, semua memiliki bahasa berbeda.

        Pada situs-situs Sunda, memang selalu memakai istilah yang “mengangungkan” nenek moyang dan juga Hyang, karena suku Sunda terkenal sangat menghormati nenek moyang dan alam, baik itu gunung, hutan ataupun astronomi.

        Jadi sebelum terpecah seperti disebutkan diatas, seluruh kawasan itu disebut sebagai Sundaland, dan bukan berarti berpaut ke suatu ajaran Agama. Tapi bisa jadi, itu hanya suatu kepercayaan kuno yang tidak memilik kitab, namun memiliki tembang-tembang syair yang mengagungkan nenek moyang, alam dan jagad raya.

        14
        4
        Rate This
    • Penasaran berkata:

      sabar mas… sabar.. ^ ^ bkan msalah itunya..

      0
      0
      Rate This
    • wadink berkata:

      ah, anda terlalu sentimental terhadap suku sunda… jangan gitu mas… fanatisme tu ga boleh mas… aplagi mengubah sejarah… ckckckc

      4
      1
      Rate This
    • Ando Ajo berkata:

      wakakkaka ente gak velajar Sejarah ya di sekolah ? atau IPS-Geography mungkin?
      kalo lihat komen ente diatas, ane menyimpulkan ente gak belajar itu
      blajar dulu sono, habis itu makan mie ayam, baru boleh komen
      wkakakakkaka

      0
      0
      Rate This
      • Guru Besar Bahasa Indonesia berkata:

        ente ga belajar bahasa indonesia ya? belajar dulu baru boleh komen

        0
        0
        Rate This
    • JAKA SANTANA berkata:

      LIHAT PETA DUNIA YG AWAL … GA ADA TUH JAVA LAND yang ADA SUNDALAND

      2
      1
      Rate This
  9. AA berkata:

    jika saja naskah-naskah kuno yang ada di musieum belanda ttg kerajaan sunda kuno (sebelum berdirinya kerajaan-kerjaan sebagaimana tercatat dalam buku-buku sejarah) bisa diteliti ulang, mungkin lebih terkuak lagi fakta-fakta kenapa ada selat sunda, kepulauan sunda besar, sunda kecil.
    dan sayangnya naskah-naskah kuno tersebut yg di rampas dan di bawa ke negeri belanda tidak bisa / sulit untuk diambil kembali oleh oleh ahli waris sah negeri yang bernama Indonesia ini

    6
    1
    Rate This
  10. M Zaini berkata:

    setuujuu pak, nabi sulaiman raja diraja yang membangun peradapan dan mungkin candi borobudur

    4
    0
    Rate This
    • prabu siliwangi berkata:

      harus diakui sunda itu nama besar bro…bukan hanya nama sebuah pulau saja..tapi sunda itu nama sebuah benua yang sangat kaya raya…

      4
      0
      Rate This
  11. nakulo sadewo berkata:

    pernah juga say membaca kutipan dari buku dharmogandul yang menerangkan ” kasusastran Jawa dadi sesengkerane kasususastran sak jagad ” ( kesusasteraan Jawa menjadi pusat kesusasteraan seantero jagad ).

    4
    3
    Rate This
  12. prabu siliwangi berkata:

    saya pernah baca di sebuah situs.., INDONESIA = INISOENDA

    3
    0
    Rate This
    • Sang Pejuang berkata:

      Kenapa gak…INDONESIA = INISANDOE/INIANDOES…dll
      Sunda itu bukan sebuah suku teman…..!!!!!!
      Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu Sisa letusan gunung purba yang sangat besar kala itu. Gunung itu dahulu disebut Gunung Sunda yang meletus pertama kali sekitar 105.000 tahun yang lalu. Sekitar 55.000 sampai 50.000 tahun yang lalu Gunung Sunda meletus untuk keduakalinya, nah letusan yang kedua ini menjadikan Gunung Sunda terpecah menjadi tiga Gunung yang lebih kecil, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukittunggul. Tahukah kalian bahwa saat itu dataran Gunung Sunda Purba telah dihuni oleh manusia purba. Homo Sapiens dan Manusia Jawa (Wajak) yang hidup antara 50.000 sampai 62.000 tahun yang lalu, katanya merekalah yang tinggal di lereng dan lembah Gunung Sunda purba. Apakah ada kaitannya dengan nama suku di Jawa Barat yaitu suku Sunda ?
      Sunda sebenarnya berasal dari kata “Su” yang berarti abadi atau sejati, “Na” yang berarti api dan “Da” yang berarti besar atau agung. Sunda berarti “Api Abadi yang Agung” tak lain adalah Matahari sebagai penyokong kehidupan manusia. Matahari adalah lambang Hyang agung yang berada di langit. Banyak yang menamakan Sunda sebagai : pemberi kehidupan, Hyang Manon (di Mesir), Guru Hyang, Guring (Sangkuriang), Su-ra. Sunda zaman dahulu adalah sebuah ajaran agama yaitu agama Matahari. Konon di tatar Jawa Barat Agama Sunda yang selanjutnya berkembang ke Mesir dan berbagai benua kala itu. Kita mengenal sekarang suku Sunda tinggal di bumi Parahyangan, “Pa” berarti tempat, “Ra” berarti Matahari dan “Hyang” berarti leluhur, jadi “Parahyangan” berarti “Tempat Para Leluhur”. Agama Sunda saat itu mengajarkan cinta kasih dan rasa syukur berterima kasih atas karunia, oleh karena itu Agama Sunda mengajarkan diadakan upacara Bende-Ra (Panji Matahari) yang disertai sesajian kepada Sang Hyang (para leluhur). Penghormatan kepada Matahari mereka simbolkan pada bangunan unik seperti Pepunden Berundak, Candi, Pyramid, obelish yang semua puncak bangunannya menunjuk ke atas yaitu Matahari. Bahkan dalam upacara tersebut juga sering dibuat Sang-Hu-Tumpeng, yaitu nasi yang dibentuk kerucut lancip keatas yang juga menghormati Matahari. Jadi Sunda awalnya adalah Agama Matahari buteman-teman, bukan suku atau ras manusia.

      13
      0
      Rate This
  13. herman berkata:

    wah saya sih masih ragu tetapi memang bukti2 tntang indonesia memang banyak…

    1
    0
    Rate This
  14. Ikem berkata:

    “Eden In The East juga mengungkapkan bahwa berbagai suku di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus bagi agama-agama Barat yang tertua.”

    Berdasarkan Penggalan kalimat di atas, maka saya hendak menyimpulkan bahwa; Peradaban kehidupan umat manusia di muka bumi berasal dari TIMUR INDONESIA. Timur Indonesia yang dimaksud adalah West Papua.

    Kenapa tidak…. Semua komentar di atas dan yang belum terungkap adalah berdasarkan penelitian-penelitian terlebih dahulu tentang daerah dan peristiwa yang diteliti dan dipublikasikan. Pertanyaan, Siapa yang meneliti lebih mendalam dan komprehensif tentang West Papua..? Belum ada. Maka ada kemungkinan kesimpulan akhirku benar, bahwa bila diteliti suatu saat ada kemungkinan besar hal itu dapat terjadi bahwa Peradaban Umat Manusia datang dari Timur.

    2
    1
    Rate This
  15. zura berkata:

    seharusnya ada gambar peta nya donk !!!

    0
    0
    Rate This
    • spedaonthel berkata:

      Lah, itu diatas sudah ada gambar petanya bahkan videonya pak!!! Hihihihihi, kalau koneksi internet hanya memakai hape ya beginilah jadinya, tiap artikel tak bisa dilihat dengan detail dan tuntas. Sesuatu yang miss-komunikasi dan sangat BERBAHAYA jika akses internet hanya pakai hape karena tak semua halaman dapat dilihat dengan sempurna. Masalah ini sering dialami khususnya oleh netter di Indonesia. :)

      4
      2
      Rate This
    • paray berkata:

      peta jaman kapan? krna peta sekarang jauh berbeda dgn keadaan skarang. dahulu sundaland daratan yg luas p.jawa,xmntan,sumatra,malaka dll. dahulu masih nymbung, kmudian d pisahkan oleh brbagai bncana gunung mltus, gmpa, bnjir bsar hingga dataran trsebut pcah dan trbntuklah pulau2 sprti skrang.

      1
      2
      Rate This
  16. iyuh berkata:

    kok dia bisa yakin gitu??? -___-

    0
    2
    Rate This
    • Dia kan peneliti boss, yakin karena sudah melakukan penelitian mendalam dan lama

      2
      0
      Rate This
    • Andrew berkata:

      Ya yakin, wong dia pake riset gitu.

      1
      0
      Rate This
    • Rose White berkata:

      Ya jawabannya sederhana. Seperti Anda ko bisa ga yakin begitu??? Sejujurnya sebagian besar manusia adalah korban pembentukan informasi dari sebagian kalangan tanpa berusaha mencari kebenarannya atau membuka sedikit terhadap kemungkinan. Semisal di sekolah dasar kita diajarkan bahwa candi itu dibangun oleh Baboon tentu saat ini sebagian akan skeptis bila ada yang menyatakan candi itu dibangun oleh manusia. Toh hanya segelintir orang yang benar2 tau bukti2 atau yang berusaha mencari bukti mengenai sejarah.

      3
      1
      Rate This
  17. ajust berkata:

    apapun kita semua berasal dari keturunan yang sama…..tiada yg lebih Agung dari Kebesaran Tuhan Yang Maha Tunggal

    3
    0
    Rate This
  18. Oka Santosa berkata:

    yahhh…bigini deh memang watak orang indonesia yg gemar terhadap pujian
    karna sejak jaman dulu sdh menjadi budaya yg mengakar jika dipuji pasti lupa diri
    …namun menurut saya sih …si penulis ini kurang kerjaan di inggris makanya jual buku kemari
    kalo dijual di inggris atau di jerman pasti di kewain….hihihi….!!!!!

    2
    3
    Rate This
  19. Lebhus Bhumi berkata:

    santai pak bro mas bro, di dunia ini masih banyak misteri yang belum bisa di jawab, setiap informasi yang anda berikan bisa memberikan banyak wacana, hanya masalah waktu yang akan membawa kita pada kebenaran, wacana-wacana yang terkumpul itu seperti sebuah potongan puzzle, yang akan di tata menurut tempatnya, yang pada akhirnya akan menjadi sebuah kenyataan yang jelas, tentang sejarah kehidupan manusia yang banyak kita baca dari manuskrip-kitab-muzhab-artefak-dan peninggalan-peninggalan masa lalu, biarkan kita-kita ini mempelajari banyak hal, tidak terkungkung oleh penafsiran-penafsiran yang sempit, bukan kah sejarah itu untuk di pelajari se luas-luasnya? terima kasih.

    4
    0
    Rate This
  20. aria berkata:

    Kebudayaan eropa dan afrika kuno bicara tentang nenek moyang mereka datang dari timur, sementara kebudayaan amerika kuno bilang nenek moyangnya datang dari barat, bukan utara atau selatan. Cari aja tengah2 dari omongan mereka tuh, udah ketauan dimananya. Sebagai contoh, mustahil bila asal mula peradaban manusia modern berasal dari arab dan sekitarnya yg tandus dan tak subur, nenek moyang kita semua pun tak bodoh. Peradaban hanya bisa terbentuk disaat urusan manusia dengan perut teratasi, disaat itulah manusia baru bisa sibuk dengan hal2 lain, dan jawa dulu yg sundaland telah dan masih menjadi tempat tersubur dimuka bumi ini. So it’s a yes that Cultures, Religions, Sciences & All modernization begins here in our land. Just saying!

    14
    1
    Rate This
  21. ogahaah berkata:

    Ikuuuuuuuutan Bangga bin bersyukur aja deh jadi orang indonesia. Ajib tenan

    2
    0
    Rate This
  22. yuwi jamal berkata:

    wah ternyata banyak sejarah yang selama ini kita tidak tahu tentang negara yang telah kita tinggali selama ini. oh iya silahkan kunjungi blog saya ya makasih :)salam kenal saya yuwi

    1
    0
    Rate This
  23. ki sunda berkata:

    bangga aing jadi urang sunda ……………., tah kanggo urang sunda prak guar deui budaya karuhun urang , tembongkeun ajen wewesen teh , kaluarkeun sima aing sima maung , bukti geus nyata , hayu eskavasi tuh gunung padang di cianjur , cenah mah umur carbon di kajeroan 5 – 10 meter teh umurna 14500 – 25000 SM, eta geus di uji lain ukur ku urang indonesia hungkul tapi ku peneliti agu geus di anggap kahot ku balarea (lab BETA Miami Florida),lamun mah teu percaya ka urang indonesia (lab BATAN indonesia ).
    http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Gunung_Padang

    6
    1
    Rate This
  24. adks berkata:

    saya juga heran knapa harus sundaland…??!
    knapa tidak jawaland atw yg lain.”tentu ini akan bayak yang menolak .karena banyak nya suku di indonesia.munkin dari suku sunda sendiri.sampai ada yang mengartikan sunda penyembah matahari.tapi tidak sampai sekarang tidak ada orng sunda yg menyembah matahari .bahkn suku baduy sekalipun.
    tapi saya yakin sunda ajaran leluhur sunda tak seburuk dugaan banyak orang.
    dari membaca artikel ini mungkin sunda tdk butuh di bela.krn sunda akan menujkan jati dirinya sendiri.

    1
    7
    Rate This
    • Safe’i berkata:

      Pada inget gak dulu Nusa Tenggara (Timur dan Barat) disebut Sunda Kecil. Apa hubungan sunda di Jawa Barat sama sunda kecil di Nusa Tenggara, bahasa ama logat aja jauh banget bedanya. Jadi sunda di sini sama kayak tulisan di atas bukan berhubungan dengan salah satu suku tapi daerah…

      5
      0
      Rate This
  25. juli berkata:

    mas-mas, aa aa, om-om, saudaraku sekalian mungkin kata sunda dan parahyangan setelah saya baca tanggapannya diatas bisa dikomparasi dg temuan Borobudur peninggalan nabi Sulaiman yang dibukukan oleh KH. hasan bisri, konon kabarnya Nabi Sulaiman menguasai nusantara yg terdapat kerajaan saba beserta sang ratu sheba dimana wilayahnya dikenal sbg hutan saba ataw Wanasaba atw Wonosobo yang pd waktu itu rakyatnya menyembah matahari dengan analisa adanya petilasan ratu boko di yogya yg menghadap matahari. Mungkin bisa juga dikomparasi dg ditemukannya fosil tertua sangiran, apa bener itu kera berjalan tegak sejak kapan ada kera berjalan tegak, dan di babad tanah jawa pada bab awal juga diceritakan masalah turunnya nabi Adam hingga berkembang sekarang. Yang jadi pertanyaan apakah benar manusia pertama turun di Arab atw eropa yg negerinya ada 4 musim dan kalau pd saat itu bumi msh sangat dingin apakah mungkin mereka turun disana dengan pakaian seadanya bahkan tidak berpakaian sama sekali? bukankah negeri di khatulistiwa adalah sumber energi dan lebih hangat seperti iklim di nusantara, nah monggo silahkan dikaji dan dianalisa kembali Dan apabila benar maka ini akan menjadi sejarah umat manusia bahwa manusia nusantara entah dari jawa, sunda, sumatera, sulawesi, maluku, papua intinya yg mendiami bumu bernama Indonesia adalah manusia unggulan dan punya amanah utk memperbaiki keadaan negeri dan dunia karena konon khabarnya juga manusia di negeri ini punya darah Aulia, para nabi dan Rasul Allah….. Semoga Allah memberikan kuasa dan rahmat Nya di negeri yang gemah ripah loh jinawi, swarnadipa dan rahmatan lil Alamin

    10
    0
    Rate This
  26. uchie berkata:

    gubraaaaakkkkkkkkk deeeee!!!!!!! hadeeehhhhhh…. SUNDALAND itu BUKAN SUKU denmas brooo…belom paham2 juga y?

    1
    0
    Rate This
    • Ando Ajo berkata:

      hahahha jangan pusing :p
      biarin aja, tu artinya waktu sekolah dia gak masuk pas pelajaran GEOGRAPHY wakkakakak

      0
      0
      Rate This
    • England = Negri inggris = penduduk bangsa inggris
      Sundaland = Negri Sunda = penduduk orang sunda = Tanah sunda jadi Sundaland itu tempat tinggal suku sunda begitu bro gitu aja kok repot

      1
      0
      Rate This
  27. Iday berkata:

    Sundaland is a country my friends.. Sundaland adalah sebutan masa kini utk sbh peradaban tinggi d masa lampau.. Sblum sebutan java island/pula jawa/orang jawa/suku jawa sndiri itu ada.. Jd sptnya g usah meributkan nama jawa atau sunda.. Krn bukan itu esensinya.. Koq repot protes soal nama (yg mrasa wong jowo).. Iri tnda tk mampu! Hehe.. Piss ahh..

    2
    1
    Rate This
  28. talim sumitra berkata:

    Saya bangga jadi orang INDONESIA yang mana adalah cikal bakalnya peradaban manusia di dunia. dan ternyata kata sundaland (tanah sunda) itu nama tertua yg selanjutnya diteruskan dengan nama kerajaan pertama di indonesia Salakanagara (kerajaan sunda di jawa barat)& seterusnya sampay ke Prabusiliwangi jaya dewata terakhir sangiang Surawisesa. tapi jangan lupa… kita harus lebih bangga lagi jadi diri kita sendiri…!!!

    3
    0
    Rate This
  29. kalau lah memang peradaban manusia berasal dari Sundaland, mungkin Tuhan telah menentukan demikian.Tinggal kearifan dan kepintaran manusia sekarang untuk menguak tabir ini semua.Seiring perkembangan teknologi yang lebih maju maka sedikit demi sedikit akan terkuak misteri ini.

    3
    0
    Rate This
  30. urip bbkn berkata:

    izin share gan.mksh

    0
    0
    Rate This
  31. Basstyo berkata:

    Penamaan SUNDALAND dibuat oleh orang asing, karena yang membuat penelitian adalah mereka bukan orang Indonesia baik Sunda, Jawa dll. Jadi ini semua tidak ada kaitannya sama sekali dengan “kesukuan”, mungkin juga penelitian ini pada saat itu belum ada suku sunda karena ini sudah lama sekali penelitian ini.
    Seperti dalam perkomputeran ada nama javascript, java games, ini tidak ada kaitannya dengan suku jawa (java), ada lagi merk sepeda motor juga pakai nama Java tahun 1950’an.
    Kalau masalah kepercayaan bahwa penyembahan matahari dengan suku sunda/Baduy sekarang memang tidak ada, coba lihat sejarah kapan suku Baduy mulai ada. Mungkin yang menyembah matahari sebelum suku baduy eksis dibumi sunda.
    Penamaan pulau-pulau di Indonesia pun sekarang sudah berubah seperti Borneo menjadi Kalimantan, Celebes menjadi Sulawesi dll… karena orang kita tidak pernah meneliti dan membuat menamakan dalam Peta dunia.
    Yang ditulis dalam sejarah adalah puluhan ribu tahun lalu bukan yang hitungan ratusan atau abad yang lalu.
    Jadi kita harus lebih bijak dalam membaca dan berfikir untuk sejarah.
    Saran saya bacalah sejarah dengan utuh jangan sepotong-sepotong, lalu diskriminatif atau memojokkan diri sendiri dengan yang ada sekarang.

    11
    1
    Rate This
  32. bdgrent berkata:

    wah keren tuh apabila benar harusnya menjadi kebanggan bagi indonesia

    1
    0
    Rate This
  33. Tidak ada nabi yang paling kaya dan seorang raja perkasa yang punya kekuasaan terluas dijamanya dengan nama jawa “SU”…..”MAN” selain Nabiallah Sulaiman a. s. , yang bisa komunikasi dengan makhluk2 lain, juga mampu memerintah bangsa raksasa atw Butho ijo atau jin ( Suparman, Sudirman, Suratman, Sukarman, ………. ) jangan2 malah ada situs Istana Sulaiman as. di negeri ini……

    0
    2
    Rate This
  34. tikus urban berkata:

    saya pikir kalian asal ngomong, ngalor ngidul tidak jelas..

    0
    0
    Rate This
  35. xxxxxx berkata:

    artikel yang sangat bagus dan menginspirasikan saya it’s very amazing about indonesia

    2
    0
    Rate This
  36. Heru Budiyanto berkata:

    Woiiii…. Sundaland itu hanya penyebutan Benua / Dataran Sunda aja, bukan merujuk pada satu suku. Mau Sundaland kek.. Javaland kek…, Tokek kek.. harusnya nggak usah jadi perdebatan. Yang harus kita ambil pointnya disini adalah bahwa setelah mengetahui semua informasi ini, kita harusnya bangga dong sama bangsa kita ini yang merupakan kebudayaan tertua di dunia. Okreks…… !!!

    5
    1
    Rate This
  37. rahma wati berkata:

    keren ya,

    0
    0
    Rate This
  38. mustika berkata:

    Yakin juga. Krn situs tertua..Ada di Indonesia….

    0
    0
    Rate This
  39. faqih berkata:

    Orang indonesia-melayu menrumuskan peradaban duniahanya dalam waktu beberapa bulan tanpa data sejarah yang kuat (hanya menduga). Orang barat sana merumuskan peradaban dunia dalam waktu beratus-ratus taun dengan terus menerus dilakukannya studi yang komperhensif. Yaa logikanya dikira-kira aja yang bener yang mana :)

    0
    0
    Rate This
  40. faqih berkata:

    Kalo menurut saya hal-hal saintifik gini ga perlu ngambil kesimpulan dari ayat-ayat firman Tuhan. Terjemahan tiap orang bakal beda, karena memang firman Tuhan memiliki makna kiasan yang tiap orang/kelompok punya representasi sendiri. Kalo hal saintifik gini mesti pake data yang jelas,kongkrit dan dapat dipertanggung jawabkan

    0
    0
    Rate This
  41. Ando Ajo berkata:

    wakakak ikut nimbrung ahh

    ane dah beli tuh buku pas dia muncul di BERITA TV (Eden In The East) waktu tuh Om Bule ngadain jumpa pers di Indonesia. well.., dari yang ane udah baca di buku itu, sepertinya emang bener apa yang diunkapkan si Om Bule.
    doski melakukan (klo gak salah inget) 6 tahun penelitian sebelum merilis tuh buku, dan klo gak salah inget tuh Om Bule melakukan/menganalisa lewat tes DNA (entah hewan termasuk juga manusia) ampe kultur budaya (dari dongeng pengantar tidur ampe cara mencari nafkah). dan sepertinya semua yang si Om Bule lakuin (tes dan analisanya) bareng temen-temen dia pastinya, sepertinya semua itu MASUK AKAL.

    well.., kalo gak percaya coba beli (paling gak pinjem) dah tuh buku ‘Eden In The East’

    1
    0
    Rate This
  42. sundapura berkata:

    LOL buat yang bilang nabi sulaeman yang membangun borobudur, jelas2 di borobudur itu ada patung buda diatasnya, emangnya nabi sulaeman agamanya buda gitu?… :D

    jangan karena kita ingin merasa hebat lalu kita mengklaim semuanya yang bahkan tidak ada kaitannya dengan kita, ujung2nya malu2in!…

    ini sama kayak kelakuan kita yang selalu menyalahkan orang lain berkonsfirasi untuk menjatuhkan kita, padahal kita sendiri yang memang bodoh… :D

    nah untuk artikelnya, mungkin kedepan akan makin banyak ditemukan fakta2 sejarah di nusantara ini yang banyak orang tidak akan mengakui dah bahkan menolaknya mentah2 karena tidak sesuai dengan apa yang selama ini mereka percayai dan mereka dengar dari nenek moyangnya… jadi bersiap2lan, suatu saat kebenaran akan terungkap bagaimanapun caranya, karena manusia itu butuh pembelajaran untuk bisa sampai kepada kebenaran…

    3
    0
    Rate This
  43. Krisan berkata:

    Wah baru nemu ini, dan aku kagum, cm agak ironis krn d st d sebutkan manusianyalah yg menghancurkan negeriny, mau kerajaan Saba’ atau atlantis d gambarkan manusianya sombong dan rusak. Sepertinya sikap ‘orang indonesia purba’ menurun k orang indonesia modern yg artinya tunggu saja kehancuran negeri ini seperti negeri2 sblmny d tanah ini.

    1
    0
    Rate This
  44. pentol berkata:

    lihatlah relif di candi penataran
    gambaran relif tersebut adalah apa yang perna terjadi di jaman dahulu

    0
    1
    Rate This
  45. mustika berkata:

    Ya..situs gunung padang mrpkn piramida lbh tua Dr di mesir. Semua tenggelam Dan muncul kepulauan Indonesia bbrp ribu thn setelahnya

    0
    0
    Rate This
  46. Adks berkata:

    Siapa Yang Bilang Orng Baduy Tetap Memegang Teguh Ajaran Lelurnya..! Tanyaain Coba Kapan Leluhur Mereka Mulai Ada…?.
    Kata Orang Baduy…,”!,! Yeuh Kabeh Kokolot Di Dieu Teh Ti Baheula Ge Pan Sunda, Basa Kami Ge Sunda.Kami Ge Cicing Di Nagara Sunda..!

    3
    0
    Rate This
  47. adks berkata:

    Penanaman Sebuah Nama Tidak Datang Begitu Saja…!? Tentu Ada Sebuah Alur Cerita Dan Sebuah Makna. Kalau Muncul Nama Sundaland..!Dari Manakah Kita Harus Meminta Alamat Dan Peta Sejarahnya..!?

    0
    0
    Rate This
    • Satu berkata:

      merinding ,.. betul sundaland is poseidon,. cikal bakal dari seluruh peradaan dan kebudayaan manusia di muka bumi,.. ntar lagi akan jadi pusat dunia

      0
      0
      Rate This
  48. Nasrul Isa berkata:

    He…numpang lewat nih. Maybe…..ha…ha…, tapi jangan lupa mengingat bangsa kita yang seperti sekarang, mungkin juga lenyapnya peradaban dimulai dari Indonesia juga.

    3
    0
    Rate This
  49. adks berkata:

    Maaf Mengambil Contoh Orng Baduy.,!Karena Merekalah Yg Masih Asli Orng Sunda.!Klw Orng Sunda Yg Ada Di Jawa Barat.! Apa Masih Bisa Di Sebut Asli.Karena Sudah Banyak Percampuran {kimpoy} .Kalau Masalah Memahami Sejarah Orng Bisa Berbeda,Setiap Pendapat Tidak Bisa Di Sebut Final Karena Karena Tidk Akan Ada Akhirnya.Jadi Janganlah Pengetahuan Sejarah Yg Kita Miliki Untuk Menjustis Pemahaman Orng Lain.!

    0
    1
    Rate This
  50. sejarah suku jawa,bahwa penduduk asli pulau jawa itu adalah suku sunda, suku jawa itu belum ada karena suku jawa adalah hasil perkawinan suku sunda dan bangsa tamil dari india maka lahirlah orang jawa yg berkulit sawo matang jadi di pulau jawa ini penduduk asli nya adalah orang sunda jadi suku sunda itu leluhur orang jawa. Itulah kerajaan pertama di pulau jawa adanya di jawa barat setelah ada perkawinan campuran suku sunda dan orang tamil barulah ada orang jawa yg kemudian menyebar ke arah timur yaitu jawa tengah dan jawa timur.

    2
    0
    Rate This
  51. wahyu berkata:

    sunda,jawa,batak,batduy atau apapun itu kita sebangai anak bangsa harus bangga,bukan malah saling menghujat harusnya ikut menggali kebanarannya…

    2
    0
    Rate This
  52. risang dj berkata:

    artikel yg sangat menarik…terlepas dari diskusi/cenderung ada debatnya dikit…yg menurut saya ,saling melengkapi,untuk membantu kita /masing” dalam mengambil kesimpulan…dan menelaah lebih lanjut…..
    Yg mempunyai argument/data yg bisa menguatkan…..monggo…silakan diposting….untuk menambah wawasan pembaca yg lainnya

    0
    0
    Rate This
  53. Q30 berkata:

    menyimak ulasan di atas, menurut saya, awal mula peradaban manusia itu di bagian Timur Indonesia, mengapa??? karena jawabannya adalah hal yang sangat mendasar, di bagian Timur Indonesia LEBIH DULU MERASAKAN PANCARAN SANG SURYA baru Indonesia bagian Barat.

    0
    0
    Rate This
  54. xxx berkata:

    yang merasa suku sunda jgn besar kepala dulu, yg dimaksud sundaland tu, bkan cuma orang sunda tok dodol, tapi seluruh wilayah nusantara. contoh benua amerika, ada bnyk negara disana termasuk amerika serikat USA(ASU),dan bkan berarti benua amerika itu miliknya sndri….

    1
    2
    Rate This
  55. terimakasih atas postingannya gan,
    wahhh kalo sekarang masih ada ga kira-kira bukunya gan?
    terimakasih ; )

    0
    0
    Rate This
  56. javanforest zirowo berkata:

    walau bagaimanapun kalo orang jatuh dari gedung lantai 4 tetap sakit

    0
    0
    Rate This
  57. jono berkata:

    Wuaaaaahhhhh………..( Gile lu ndro)

    0
    0
    Rate This
  58. voz berkata:

    membacanya seakan menerawang jaman dulu…

    0
    0
    Rate This
  59. adks berkata:

    Apa Coba Penduduk Asli Benua Amerika

    0
    0
    Rate This
  60. denny berkata:

    MERDEKA

    0
    0
    Rate This
  61. Muhammad Khoirudin berkata:

    indonesia=1945+..?90 ada di dlm surah al balad yg artinya negri,.iya kn toh.

    0
    0
    Rate This


Berpikir Jernih di Keruh Jokowi

$
0
0
Bagaimana menempatkan diri di tengah keriuhan pandangan, argumentasi, dukungan, kecaman, omelan, rumor, fitnah dll? Jangan sampai kita hanya jadi bagian yg memperkeruh suasana sehingga tidak lagi bisa mengamati dan bersikap secara jernih. Yuk simak yg berikut ini:

Opini Radhar Panca Dahana, Budayawan

(Media Indonesia 4-5-2015)

Berpikir Jernih di Keruh Jokowi

OLYMPUS DIGITAL CAMERAKita masih berjuang, dengan sifat, bentuk, dan esensi yang sama dengan 70 tahun atau 100 tahun lalu bangsa ini. Karena siapa yang tidak tahu, kolonialisme juga imperialisme tidak pernah mati. Ia hidup bukan sebagai zombi tapi sebagai kuman yang membelah diri, bahkan menjadi mutan yang lebih sakti, tegas, telengas, walau seperti renik ia sembunyi. Dalam hati, dalam pikiran, bahkan dalam dunia spiritual kita.

SUNGGUH menarik! Berita berita mengabarkan pendapat Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan, yang menyatakan Indonesia masih membutuhkan IMF atau lembaga-lembaga keuangan global lainnya. Sementara itu, dalam sidang KAA yang lalu, dengan gagah dan berani–belum pernah dilakukan presiden sebelumnya–Joko Widodo (Jokowi), presiden itu, menegaskan, “IMF, World Bank, ADB, dsb… sudahlah usang!“ dan kita tidak perlu lagi tergantung pada mereka.

Apa yang menarik ialah berita di seputar pidato itu yang memberi tahu kita isi dan tulisannya justru diproses oleh staf-staf khusus Kantor Kepresidenan di bawah arahan kepalanya, Luhut. Maka, bila sang Kepala Staf berpendapat IMF masih dibutuhkan, tentu saja isi pidato tidak akan berisi penyangkalan. Artinya, mudah saja, Jokowi merombak pidatonya sendiri, tidak berpatokan pada tim penulisnya: Jokowi tidak (bisa) dikendalikan oleh staf-stafnya yang mungkin berusaha mendesakkan opini, kepentingan, atau ideologinya.

Cerita seperti ini terbukti bukan hanya pada KAA kemarin, tetapi sejak dulu hingga di masa kampanye.Berbagai rekomendasi, usulan, ajuan, bahkan acuan yang dibuat oleh tim sukses Jokowi-JK bisa saja sekonyong berhenti di kertas atau bibir ketika Jokowi justru beraksi dengan cara, gaya, bahkan pelisanannya yang personal. Sangat personal. Tentu saja ini bisa dicek kembali pada para anggota tim sukses.

Dalam kenyataannya, hingga sekitar setahun masa pemerintahannya, kita mendengar dan menjadi saksi bagaimana para staf atau pembantunya, hingga pejabat lembaga-lembaga negara, mengeluarkan pernyataan juga kebijakan yang tidak selaras bahkan bertentangan dengan arahan atau perintah atasannya, sang Presiden. Semua hal itu memberi kita bukti, setidaknya indikasi, bagaimana Jokowi dan kuasa rakyatnya ternyata dikepung oleh ambisi, intensi, interes, hingga ancaman dari banyak pihak yang ada di sekitarnya, baik yang ada di luar kantor (negeri) hingga yang bersembunyi di balik pintu ruang kerja atau laci mejanya.

Dalam banyak pemberitaan mutakhir kita dapat menengarai bagaimana, misalnya, beberapa pernyataan, keluhan tentang kesulitan untuk bisa berkomunikasi dengan Presiden. Maksud im plisitnya, mereka mengalami kesulitan untuk mendesakkan pendapat, kehendak, aspirasi, intensi, atau interes kelompok masingmasing.

Sebaliknya, justru Jokowi kelihatan mendekat dengan para penentangnya, kaum oposan dari koalisi KMP. Dalam psikologi komunikasi atau budaya politik, situasi itu memberi kita eksposisi tentang fleksibilitas diplomasi atau negosiasi yang ternyata jauh lebih keras atau kenyal dengan para pendukungnya sendiri ketimbang–justru-dengan lawan-lawannya. Apa yang terjadi dan bermain di balik ini, tentu saja Anda dapat memperkirakannya sendiri. Tekanan internal tidak hanya datang dari kubu lawan, tapi justru lebih keras dari kubunya sendiri.Dari staf atau bawahannya sendiri.

Menjernihkan diri

Di titik itulah, kita pun terbawa oleh permainan opini oleh kelompok penekan itu. Setidaknya untuk mendapatkan kesan bahwa setahun pemerintahan Jokowi menciptakan lebih banyak kegagalan ketimbang kesuksesan, keruwetan dalam hubungan antara lembaga, kekeruhan dalam visi hingga cara kerjanya (bahkan blusukan yang dulu dipuji kini pun menjadi caci maki).

Hampir umumnya pengamat tidak mampu melucuti diri atau membersihkan pikiran dan interes pribadi sekurangnya, dari kelindan pikiran, opini atau retorika ‘kebenaran’ yang dimainkan oleh kelompok penekan itu, baik dalam mimbar seminar, diskusi di kafe-kafe, maupun infotainment dan media sosial. Katakanlah, sebagai misal, pengurangan subsidi BBM yang gigantik dan hanya menguntungkan kelas menengah-atas itu, kini menjadi satu peluru tajam untuk menyerang Jokowi dari janjinya untuk berpihak pada rakyat, ketika konsekuensi pengurangan subsidi itu secara logis menaikkan harga BBM, termasuk listrik, gas, dan sebagainya.

Ada semacam kecenderungan di kalangan pemikir, akademisi, atau pengamat (dengan latar alasan beragam) memosisikan diri berlawanan secara konfliktual–bahkan seperti beroposisi–hanya untuk mengimpresikan posisi intelektualnya yang kritis, bebas, independen, atau sekadar mencari efek selebratikal (popular).

Satu kecenderungan yang memiliki risiko justru kian kacaunya cara berpikir kita sehingga ketika melihat danau jernih ia menjadi keruh karena justru buteknya pikiran kita sendiri.

Situasi ini dapat dilihat dalam berbagai isu yang belakangan menjadi semacam trending topic seperti masalah: hukuman mati, penenggelaman bajak ikan asing, tol laut, poros maritim, kriminalisasi dalam relasi KPK-Polri, penggantian Kapolri-Wakapolri, polemik Kantor Kepresidenan, hingga utang LNRI, dan seterusnya. Apa yang semestinya, menjadi rumit, bahkan keruh ketika dengan retorika politis `murahan’ diputar balik logikanya dengan apa yang tidak semestinya.

Di sini kita paham, politik modern, posmodern, atau demokratis–apalah sebutan itu semua–sama sekali tidak bekerja untuk menjernihkan persoalan, menciptakan transparansi, apalagi mempraksiskan apa yang disebut dengan `edukasi politik’ bagi rakyat semesta.

Namun, tentu saja sebagian orang boleh menyela, demikianlah memang nasib sebuah kekuasaan, seorang Presiden dalam lingkungan hidup politik yang telengas dan hampir tanpa adab ini. Itulah dinamika politik, lebih jauh, itulah romantika demokrasi. Hmm…sebuah excuse yang tampak arif dan hampir cerdas walau sesungguhnya manipulatif. Menerima satu keadaan yang bias, deviatif, bahkan keliru sebagai satu kenyataan yang taken for granted bahkan given.

Tidak. Kita tidak bisa, bahkan tidak selayaknya, menerima itu begitu saja.Apa benar semua kenyataan itu given alias undeniable reality, kenyataan tak terhindar dari zaman mutakhir ini? Benarkah demikian? Bagaimana jika dia tidak for granted tapi justru by design alias sebagian pihak justru menghendaki dan dapat mengambil profit dari kekeruhan itu? Apa k i t aberdiam diri bila ke mungkinan itu ternyata m e m a n g (sekurang nya sebagian) nyata?

Ancaman mutan imperialisme

Tentu saja tidak. Dari postulasi logis ini, kita bisa bersikap sebagai bagian dari kerja intelektual (mind-set) kita, untuk sekurangnya bekerja dengan semua kemungkinan di atas. Mengantisipasi posibilitas negatif ataupun positifnya.Satu sikap yang konstruktif setidaknya untuk menggiring kita untuk mengenali, mendapatkan data primer, dan memahami dengan lebih baik dalam jarak (distance); menciptakan kejernihan dalam akal kita, yang hanya berbasis pada data dan fakta yang akurat, adekuat dan terukur, bukan berbasis gosip, isu, atau trending topic apalagi sekadar cicitan burung-burung liar.

Dalam prosesus intelektual dan mental itu, tidak lain, sebagai seorang pemikir yang hendak mencapai kualitas ultimnya sebagai arif dan bijaksana, tidak cukup dibutuhkan kecerdasan dan data saja, tapi juga kesabaran. Data dan bukti tidak serta-merta hadir di depan mata kita. Kadang ia datang bersama jalannya waktu alias dari nasib. Tak dapat satu manusia pun memaksakan terang mata fisik dan batinnya karena dibukakan kenyataan (faktual yang senyatanya), tanpa melibatkan waktu atau proses di dalamnya.

Kalaupun data atau kenyataan faktual itu hadir di mata fisik dan batin kita, seorang pemikir (yang modern itu!) masih membutuhkan waktu lagi untuk mengomprehensi hingga mentransendensinya hingga menjadi makna atau hikmah. Maka sebuah kearifan atau kebijaksanaanlah yang kemudian mengekspresikan diri (opininya) melalui proses (waktu) yang tidak sementara itu. Akan tetapi, di mana (orang) arif dan bijaksana itu? Adakah di kalangan kita, para pemikir kita?

Saya tidak tengah membela pemerintah sekarang, Jokowi, apalagi dengan membabi buta. Namun, saya hanya mengingatkan persoalan bangsa dan negara ini begitu kompleks saat ini, ketika bumi sudah terkoneksi sedemikian rupa, sehingga harga cabai di Panarukan turut ditentukan oleh serangan skuadron F-16 Arab Saudi ke Yaman. Banyak tantangan dan hambatan yang menyulitkan kita menyiapkan negeri yang memberi kemudahan, setidaknya ruang dan peluang yang cukup terbuka bagi generasi masa depan, anak cucu kita, bertarung menghadapi adab dan zaman yang kian keras dan telengas.

Tak dapat kita menuntut kemudahan apalagi kenikmatan ketika kita mengerti betapa ancaman mengerikan (dalam konstelasi geopolitik, geoekonomi dan sebagainya hingga soal iklim dan lingkungan) telah menghadang keturunan keturunan kita.

Tak ada tempatnya kita menagih hasil kemerdekaan yang diperjuangkan dengan keringat, darah, dan air mata pendahulu kita untuk kita nikmati apalagi dengan cara yang hedon. Kita masih berjuang, setidaknya untuk mengisi kemerdekaan itu sebagai dititipkan pada founding fathers-mothers kita.

Kita masih berjuang, dengan sifat, bentuk, dan esensi yang sama dengan 70 tahun atau 100 tahun lalu bangsa ini. Karena siapa yang tidak tahu, kolonialisme juga imperialisme tidak pernah mati.

Ia hidup bukan sebagai zombi tapi sebagai kuman yang membelah diri, bahkan men jadi mutan yang lebih sakti, tegas, telengas, walau se perti renik ia sembu nyi. Dalam hati, da lam pikiran, bahkan dalam dunia spiritual kita.

Apakah ini omong kosong? Anda akan melihat buktinya, nanti.

  • Anda dan 16 lainnya menyukai ini.
  • Ezki Suyanto Setuju….makasih Mbak Elin Driana bagus banget…
  • Diah Wihardini Wow… beda ya kl (I assume he is an) anthropologist yg nulis, very philosophical
  • Elin Driana Bbrp bagian yang menohok:“Tak dapat kita menuntut ke mudahan apalagi kenikmatan ketika kita mengerti betapa an caman mengerikan (dalam konstelasi geopolitik, geoekonomi dan sebagainya hingga soal iklim dan lingkungan) telah menghadang keturunan keturunan kita.”“Tak ada tempatnya kita menagih hasil kemerdekaan yang diperjuangkan dengan keringat, darah, dan air mata pendahulu kita untuk kita nikmati apalagi dengan cara yang hedon. Kita masih berjuang, setidaknya untuk mengisi kemerdekaan itu sebagai dititipkan pada founding fathers mothers kita”.
  • Nunu R. Nugraha Bacaan yang segar dan konstruktif!
  • Agus Kurniawan Saya masih ingat ketika Pak Radhar Tribaskoro pada masa kampanye tidak menyukai -bahkan secara personal – JKW, lawan dari yang didukung Pak Radhar. Tapi pada tulisan ini agak berubah. Saya tidak tahu ini perubahan sikap atau sekedar ide tulisan
  • Ahmad Yanuana Samantho
    Tulis komentar…

Atlantis di Samudera Hindia (Ulasan Buku Stephen Oppenheimer Eden in The East)

$
0
0

Atlantis di Samudera Hindia Eden  in The East

oleh: Koenraad Elst

 

Salah satu dari banyak julukan menghina dilemparkan orang kafir di AIT-adalah bahwa mereka tidak lebih baik dari “keanehan Atlantis “. Sebenarnya, hal ini tidak sepenuhnya beneden-in-the-east_samp (1) (1)ar. Beberapa AIT skeptis yang telah menerapkan pikiran mereka untuk merekonstruksi sejarah kuno, memang memikirkan pusat tempat tinggal manusia di lokasi yang sekarang jauh di bawah permukaan laut. Ketika Proto-Indo-Eropa dituturkan, permukaan laut masih belum pulih dari titik rendah telah dicapai selama Zaman Es, sekitar 100 meter lebih rendah dari tingkat saat ini. Itu pada periode sekitar 12-7000 tahun yang lalu bahwa icecaps meleleh dan diisi ulang laut, sehingga banyak desa dataran rendah harus ditinggalkan.

Setelah semua, itu adalah taruhan yang aman bahwa lebih dari setengah dari umat manusia hidup di zona kurang dari 100 m di atas permukaan laut. Dalam konteks perdebatan hadir pada pemanasan global, dikatakan bahwa kenaikan permukaan laut hanya satu meter akan menjadi bencana besar bagi negara-negara seperti Bangla Desh atau Belanda. The Maledives benar-benar akan hilang dengan munculnya hanya beberapa meter. Tapi yang lebih penting, pusat-pusat penduduk yang paling besar saat ini berada tepat di atas permukaan laut: Tokyo, Shanghai, Kolkata, Mumbai, London, New York, Los Angeles dl.l Jika permukaan laut akan naik 100 m, sebagian besar pusat populasi termasuk seluruh negara akan menjadi benua yang tenggelam, Atlantis sangat nyata. Akibatnya, tidak ada yang terlalu mengada-ada dalam asumsi keberadaan pusat-pusat populasi dan budaya, 10 atau 15 ribu tahun yang lalu, dalam apa yang sekarang lokasi kapal selam di landas kontinen di luar garis pantai kami.

7e991-pktnkri_1500pxDalam buku terbaru, Eden di Timur: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara (Phoenix paperback, London 1999 (1998)), Stephen Oppenheimer telah berfokus pada salah satu bagian tersebut dari landas kontinen: wilayah antara Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan , Thailand, Vietnam, China dan Taiwan, yang sebagian besar dihuni selama Zaman Es. Berpikir bahwa ini adalah maka pusat paling maju peradaban, ia menyebutnya Eden, nama Bibel surga (dari Sumeria edin, “dataran aluvial”), karena sumber Barat-Asia termasuk Alkitab tidak mencari asal-usul manusia atau setidaknya peradaban di Timur. Dalam beberapa kasus, seperti di referensi Sumeria, ini “Timur” jelas merupakan pra-Harappan dan Harappan budaya, tetapi bahkan lebih banyak negara timur tampaknya terlibat.

1525541_811567728860179_1083464198_nOppenheimer adalah seorang dokter medis yang tinggal di Asia Tenggara selama beberapa dekade. Dia jelas dipengaruhi oleh Marxisme, misalnya di mana ia menolak agama sebagai alat untuk “mengontrol kerja orang lain”, dengan mengacu eksplisit untuk Karl Marx Das Kapital (p.483). Bukunya didasarkan pada penelitian ilmiah yang kuat (genetik, antropologi, linguistik dan arkeologi), dan dalam hormat yang sangat berbeda dari banyak buku Atlantis yang menarik “wahyu” dan “menyalurkan”.

Jenis studi  lapangan yang paling merupak bukti, di besar-besaran yang tetap cukup menarik, adalah mitologi komparatif: banyak budaya, dan khususnya mereka yang berada di zona Asia-Pasifik, memiliki mitos yang sangat paralel dari satu atau lebih banjir. Ini bukan sindiran buram peristiwa Freudian dalam alam bawah sadar tapi jelas sejarah referensi untuk saat-saat bencana dalam kebangkitan dinyatakan panjang-ditarik-keluar dari permukaan laut setelah zaman es. Sebab, memang, kenaikan ini bukan proses yang berkesinambungan tetapi berlangsung dengan menyembur sesekali, memusnahkan seluruh suku yang tinggal di dekat pantai. Yang terakhir tiba-tiba naik seperti berlangsung ca. 5500 SM, setelah itu permukaan laut jatuh kembali beberapa meter ke tingkat ini.

Menurut Oppenheimer, Atlantis Tenggara-Asia,  sementara ini disebut Sundaland karena sekarang adalah anak paparan benua Sunda, adalah pemimpin dunia dalam Revolusi Neolitik (awal pertanian), yang menggunakan batu untuk menggiling biji-bijian liar sedini 24.000 tahun yang lalu, lebih dari sepuluh ribu tahun lebih tua dari Mesir atau Palestina. Sebelum dan terutama selama banjir bertahap dataran rendah mereka, di mana kaum Sundalanders menyebar ke tanah tetangga: daratan Asia termasuk China, India dan Mesopotamia, dan dunia pulau dari Madagaskar ke Filipina dan New Guinea, mana mereka kemudian dijajah Polinesia sejauh Pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru.

Oppenheimer sejalan dengan arkeolog terhadap ahli bahasa dalam kontroversi ini tentang tanah air dari keluarga bahasa Austronesia (Melayu, Tagalog, Maori, Malgasy dll): ia menempatkan itu di Sundaland dan wilayah atasnya yang kini mencapai pantai dari Southeast (Asia Tengrara)- negara-negara Asia Tenggara, sedangkan sebagian besar ahli bahasa mempertahankan bahwa Cina selatan adalah tanah asal. Bagian dari argumen menyangkut kronologi: Oppenheimer mengusulkan kronologi yang lebih tinggi dari argumen  Peter Bellwood dan teori out-of-Cina lainnya. Pengalaman saya dengan studi IE membuat saya mendukung kronologi yang lebih tinggi, untuk temuan baru (misalnya bahwa “pra-IE” orang-orang seperti Pelasgians dan Etruria, tidak untuk berbicara tentang Harappans, ternyata “Aryan” pendatang telah lebih awal) memiliki secara konsisten telah mendorong tanggal fragmentasi PIE kembali ke masa lalu.

Alasan lain untuk tidak bergantung terlalu banyak pada teori-teori dari ahli bahasa adalah bahwa linguistik Austronesia adalah bidang yang sangat menuntut, yang terdiri dari studi ratusan bahasa kecil yang sebagian besar tidak memiliki literatur, sehingga jumlah ahli asli jauh lebih kecil daripada di kasus IE, dan bahkan dalam kasus terakhir linguis adalah tempat di dekat konsensus tentang pertanyaan tanah air. Bukti linguistik adalah bukti yang sangat lembut, dan biasanya data mengakui lebih dari satu rekonstruksi sejarah, jadi saya tidak berpikir ada bukti kuat terhadap Sundaland tanah air hipotesis. Sebaliknya, bukti arkeologi dan genetik mendukung penyebaran populasi berbahasa Austronesia dari Paparan Sunda tampaknya cukup.

Hal ini sangat yakin bahwa beberapa Austronesia ini harus telah mendarat di India, beberapa perjalanan mereka ke Madagaskar, beberapa untuk tinggal dan bergaul dengan penduduk asli. Oleh karena itu kehadiran beberapa kata Austronesia dalam bahasa India semua keluarga, yang paling menonjol ayi / bayi, “ibu” (seperti dalam nama gadis-gadis Marathi ‘Tarabai, Lakshmi-bai dll), atau kata-kata untuk “bambu”, “buah” , “Sayang”. Lebih spektakuler, ahli bahasa seperti Isidore Dyen telah dilihat kosakata umum yang cukup besar dalam leksikon inti Austronesia dan Indo-Eropa, termasuk kata ganti, angka (misalnya Melayu dva, “dua”) dan istilah untuk elemen. Oppenheimer tidak masuk ke pertanyaan ini, tetapi invasionists diehard mungkin menggunakan temuan yang menunjukkan invasi Arya ke India bukan dari barat laut, tapi dari tenggara.

Tapi dia tidak menyebutkan legenda Manu Vaivasvata menyelamatkan komunitas dan keluarganya dari banjir dan berlayar sampai sungai-sungai India untuk menetap tinggi dan kering di Saptasindhu. Jelas, asal-usul peradaban Veda terkait dengan banjir pasca-glasial, mungkin memicu migrasi terbesar dalam sejarah manusia.

Tamil memiliki tradisi akademi sastra merekaatau Sangam ang ada selama sepuluh ribu tahun, dan bahwa kursi yang (bersama dengan seluruh modal Tamil) harus pindah tiga kali karena naiknya permukaan laut. Mereka juga percaya bahwa negara mereka sekali membentang jauh ke selatan, termasuk Sri Lanka dan Maledives, seorang benuaTamil yang hilang disebut Kumarikhandam. Jika legenda ini ternyata cocok dengan bukti geologi cukup rapi, akademisi kami akan salah untuk mengabaikan mereka sebagai isapan jempol dari imajinasi. Tapi rekan India atau Kumarikhandam buku Oppenheimer di Sundaland belum ditulis. Ini memang mungkin kesimpulan praktis yang paling penting yang bisa ditarik dari buku ini: memperpanjang sejarah India dengan ribuan tahun dengan eksplorasi pusat populasi sekarang-kapal selam.

Keluarga bahasa lain yang berasal di beberapa bagian dari Sundaland adalah Austro-Asiatik, yang meliputi bahasa Mon-Khmer di Indocina (titik demografis gravitasinya menjadi Vietnam) tetapi juga Nikobar dan bahasa Munda dari Chotanagpur, pada satu waktu mungkin berbicara di seluruh Gangga basin. Ini adalah Mundas yang membawa budidaya padi dari Asia Tenggara ke baskom Gangga, dari mana ia mencapai Lembah Indus menjelang akhir usia Harappan (ca. 2300 SM). Dalam hubungan ini, perlu dicatat bahwa Oppenheimer menegaskan bahwa “budidaya gandum dikembangkan di Lembah Indus” (p.19), barley menjadi tanaman favorit dari Arya Veda (yava). Berbeda dengan Mundas yang membawa budidaya padi dari timur India dan akhirnya dari Asia Tenggara ke baratlaut India, dan tidak seperti orang-orang Indo-Eropa Kurgan yang invasi ke Eropa dapat diikuti dengan cara jejak tanaman mereka diimpor (esp. Millet), yang Weda Arya hanya menggunakan produk asli. Ini tidak membuktikan tapi jelas mendukung kecurigaan bahwa bangsa Arya yang asli Lembah Indus.

Mengenai polemik politik, klaim yang biasa bahwa sistem kasta dengan diskriminasi tajam dibentuk oleh bangsa Arya menyerang ke berkubu supremasi mereka adalah balas oleh temuan bahwa bahkan suku yang paling terpencil di perbukitan India ternyata memiliki aturan endogami ketat, sering dijaga dengan hukuman yang lebih berat untuk urusan cinta antar-suku dari yang ada di masyarakat Sanskerta-Hindu. Di sini, Oppenheimer menegaskan bahwa dalam masyarakat suku Austro-Asiatic dan Austrone-sian, di mana banyak dari suku-suku India berasal, kesenjangan tertanam: “Namun struktur kelas yang melumpuhkan Britain lebih dari negara Eropa lainnya, adalah sebagai apa-apa dibandingkan dengan hirarki bertingkat dalam masyarakat tradisional Austronesia dari Madagaskar melalui Bali ke Samoa. (…) ini kesadaran peringkat demikian jelas bukan sesuatu yang hanya dijemput oleh masyarakat Austronesia dari pengaruh India nanti. ” (P.484) hierarki sosial bukanlah pemaksaan rasialis oleh Arya, tapi fenomena di dekat universal terutama menonjol di antara masyarakat Indo-Pasifik termasuk sebagian besar populasi non-Arya.

Stephen Oppenheimer membuat kasus yang sangat rinci dan sangat kuat untuk pentingnya budaya cekung Sundaland untuk budaya kemudian di lingkungan yang luas. India juga memperoleh keuntungan dari prestasi tertentu yang diimpor dari sana. Apa yang belum hilang adalah studi serupa untuk budaya sama pentingnya dan juga diabaikan dari tanah cekung luar pantai India.

 

Dr. Koenraad Elst 2002.

Dr. Koenraad Elst was born in Leuven, Belgium, on 7 August 1959, into a Flemish (i.e. Dutch-speaking Belgian) Catholic family. He graduated in Philosophy, Chinese Studies and Indo-Iranian Studies at the Catholic University of Leuven. During a stay at the Benares Hindu University, he discovered India’s communal problem and wrote his first book about the budding Ayodhya conflict. While establishing himself as a columnist for a number of Belgian and Indian papers, he frequently returned to India to study various aspects of its ethno-religio-political configuration and interview Hindu and other leaders and thinkers. His research on the ideological development of Hindu revivalism earned him his Ph.D. in Leuven in 1998. He has also published about multiculturalism, language policy issues, ancient Chinese history and philosophy, comparative religion, and the Aryan invasion debate.

 

 

An Atlantis in the Indian Ocean
(Review of Stephen Oppenheimer’s Eden in the East)

Koenraad Elst

 

One of the many insulting epithets thrown at AIT disbelievers is that they are no better than “Atlantis freaks”. Actually, this is not entirely untrue. Some AIT skeptics who have applied their minds to reconstructing ancient history, have indeed thought of centres of human habitation in locations now well below sea-level. When Proto-Indo-European was spoken, the sea level was still recovering from the low point it had reached during the Ice Age, about 100 metres lower than the present level. It was in the period of roughly twelve to seven thousand years ago that the icecaps melted and replenished the seas, so that numerous low-lying villages had to be abandoned.

After all, it is a safe bet that more than half of mankind lived in the zone of less than 100 m above sea level. In the context of the present debate on global warming, it is said that a rise in sea level of just one metre would be an immense catastrophe for countries like Bangla Desh or the Netherlands. The Maledives would completely disappear with a rise of only a few metres. But more importantly, most big population centres today are located just above sea level: Tokyo, Shanghai, Kolkata, Mumbai, London, New York, Los Angeles etc. If the sea level would rise 100 m, most population centres including entire countries would become a sunken continent, a very real Atlantis. Consequently, there is nothing far-fetched in assuming the existence of population centres and cultures, 10 or 15 thousand years ago, in what are now submarine locations on the continental shelf outside our coastlines.

In a recent book, Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia (Phoenix paperback, London 1999 (1998)), Stephen Oppenheimer has focused on one such part of the continental shelf: the region between Malaysia, Sumatra, Java, Borneo, Thailand, Vietnam, China and Taiwan, which was largely inhabitable during the Ice Age. Thinking that this was then the most advanced centre of civilization, he calls it Eden, the Biblical name of Paradise (from Sumerian edin, “alluvial plain”), because West-Asian sources including the Bible do locate the origin of mankind or at least of civilization in the East. In some cases, as in Sumerian references, this “East” is clearly the pre-Harappan and Harappan culture, but even more easterly countries seem to be involved.

Oppenheimer is a medical doctor who has lived in Southeast Asia for decades. He is clearly influenced by Marxism, e.g. where he dismisses religion as a means to “control other people’s labour”, with explicit reference to Karl Marx’s Das Kapital (p.483). His book is based on solid scientific research (genetic, anthropological, linguistic and archaeological), and is in that respect very different from the numerous Atlantis books which draw on “revelations” and “channeling”.

The most airy type of evidence, in its massiveness nonetheless quite compelling, is comparative mythology: numerous cultures, and especialy those in the Asia-Pacific zone, have highly parallel myths of one or more floods. These are not opaque allusions to Freudian events in the subconscious but plainly historical references to the catastrophic moments in the otherwise long-drawn-out rise of the sea level after the Ice Age. For, indeed, this rise was not a continuous process but took place with occasional spurts, wiping out entire tribes living near the coast. The last such sudden rise took place ca. 5500 BC, after which the sea level fell back a few metres to the present level.

According to Oppenheimer, the Southeast-Asian Atlantis, provisionally called Sundaland because it now is the Sunda shelf, was the world leader in the Neolithic Revolution (start of agriculture), using stones for grinding wild grains as early as 24,000 ago, more than ten thousand years older than in Egypt or Palestine. Before and especially during the gradual flooding of their lowland, the Sundalanders spread out to neighbouring lands: the Asian mainland including China, India and Mesopotamia, and the island world from Madagascar to the Philippines and New Guinea, whence they later colonized Polynesia as far as Easter Island, Hawaii and New Zealand.

Oppenheimer aligns with the archaeologists against the linguists in the controversy about the homeland of the Austronesian language family (Malay, Tagalog, Maori, Malgasy etc.): he locates it in Sundaland and its upper regions which now make up the coasts of the Southeast-Asian countries, whereas most linguists maintain that southern China was the land of origin. Part of the argument concerns chronology: Oppenheimer proposes a higher chronology than Peter Bellwood and other out-of-China theorists. My experience with IE studies makes me favour a higher chronology, for new findings (e.g. that “pre-IE” peoples like the Pelasgians and the Etruscans, not to speak of the Harappans, turn out to have been earlier “Aryan” settlers) have consistently been pushing the date of the fragmentation of PIE back into the past.

Another reason for not relying too much on the theories of the linguists is that Austronesian linguistics is a very demanding field, comprising the study of hundreds of small languages most of which have no literature, so the number of genuine experts is far smaller than in the case of IE, and even in the latter case linguists are nowhere near a consensus on the homeland question. Linguistic evidence is very soft evidence, and usually the data admit of more than one historical reconstruction, so I don’t think there is any compelling evidence against a Sundaland homeland hypothesis. Conversely, archaeological and genetic evidence in favour of the spread of the Austronesian-speaking populations from Sundaland seems to be sufficient.

It is quite certain that some of these Austronesians must have landed in India, some on their way to Madagascar, some to stay and mix with the natives. Hence the presence of some Austronesian words in Indian languages of all families, most prominently ayi/bayi, “mother” (as in the Marathi girls’ names Tarabai, Lakshmi-bai etc.), or words for “bamboo”, “fruit”, “honey”. More spectacularly, linguists like Isidore Dyen have discerned a considerable common vocabulary in the core lexicon of Austronesian and Indo-European, including pronouns, numerals (e.g. Malay dva, “two”) and terms for the elements. Oppenheimer doesn’t go into this question, but diehard invasionists might use his findings to suggest an Aryan invasion into India not from the northwest, but from the southeast.

But he does mention the legend of Manu Vaivasvata saving his company from the flood and sailing up the rivers of India to settle high and dry in Saptasindhu. Clearly, the origins of Vedic civilization are related to the post-Glacial flood, probably the single biggest migration trigger in human history.

The Tamils have a tradition that their poets’ academy or Sangam existed for ten thousand years, and that its seat (along with the entire Tamil capital) had to be moved thrice because of the rising sea level. They also believe that their country once stretched far to the south, including Sri Lanka and the Maledives, a lost Tamil continent called Kumarikhandam. If these legends turn out to match the geological evidence quite neatly, our academics would be wrong to dismiss them as figments of the imagination. But the Indian or Kumarikhandam counterpart to Oppenheimer’s book on Sundaland has yet to be written. This indeed is probably the most important practical conclusion to be drawn from this book: extend India’s history by thousands of years with the exploration of now-submarine population centres.

Another language family originating in some part of Sundaland was Austro-Asiatic, which includes the Mon-Khmer languages in Indochina (its demographic point of gravity being Vietnam) but also Nicobarese and the Munda languages of Chotanagpur, at one time possibly spoken throughout the Ganga basin. It is the Mundas who brought rice cultivation from Southeast Asia to the Ganga basin, whence it reached the Indus Valley towards the end of the Harappan age (ca. 2300 BC). In this connection, it is worth noting that Oppenheimer confirms that “barley cultivation was developed in the Indus Valley” (p.19), barley being the favourite crop of the Vedic Aryans (yava). Unlike the Mundas who brought rice cultivation from eastern India and ultimately from Southeast Asia to northwestern India, and unlike the Indo-European Kurgan people whose invasion into Europe can be followed by means of traces of the crops they imported (esp. millet), the Vedic Aryans simply used the native produce. This doesn’t prove but certainly supports the suspicion that the Aryans were native to the Indus Valley.

Concerning the political polemic, the usual claim that the caste system with its sharp discrimination was instituted by the invading Aryans to entrench their supremacy is countered by the finding that even the most isolated tribes on India’s hills turn out to have strict endogamy rules, often guarded with more severe punishments for inter-tribal love affairs than exist in Sanskritic-Hindu society. Here, Oppenheimer confirms that in the Austro-Asiatic and Austrone-sian tribal societies, where many of India’s tribals originate, inequality is deeply entrenched: “Yet the class structure which cripples Britain more than any other European state, is as nothing compared with the stratified hierarchies in Austronesian traditional societies from Madagascar through Bali to Samoa. (…) This consciousness of rank is thus clearly not something that was only picked up by Austronesian societies from later Indian influence.” (p.484) Social hierarchy is not a racialist imposition by the Aryans, but a near-universal phenomenon especially pronounced among Indo-Pacific societies including most non-Aryan populations.

Stephen Oppenheimer makes a very detailed and very strong case for the importance of the culture of sunken Sundaland for the later cultures in the wide surroundings. India too certainly benefited of certain achievements imported from there. What is yet missing is a similar study for the equally important and likewise neglected culture of the sunken lands outside India’s coast.

 


Hindu dan Neo-Paganisme

$
0
0

by Koenraad Elst (Terjemahan Google belum diedit)

Almarhum Ram Swarup (1920-1998), filsuf Hindu yang paling penting dari setengah abad pertama independen, India  suka menunjukkan bahwa budaya lain harusserupa dengan tradisi Hindu sebelum Kristen atau Islam memusnahkannya. Seperti yang ia katakan dalam penelitian jalur-melanggar nya kemusyrikan, Kata-kata sebagai Wahyu (1980):

“Ada waktu ketika Dewa Pagan tua yang cukup memuaskan dan mereka telah menginspirasi  dari laki-lakiterbaik dan perempuan untuk tindakan kebesaran, cinta, kebangsawanan, pengorbanan dan kepahlawanan. Oleh karena itu, hal yang baik untuk beralih ke dalam pikiran dan membayar mereka penghormatan kami. Kami tahu haji (ibadah ziarah/pilgrim), sebagaimana dipahami biasanya, sebagai pelancongan untuk mengunjungi sebuah kuil atau tempat suci. Tapi ada juga bisa menjadi haji dalam waktu dan kita bisa perjalanan kembali dan membuat penawaran kami dari hati kepada orang-orang Nama dan Formulir. dan Pasukan yang pernah menjelma dan menyatakan hidup manusia lebih tinggi (…) Masyarakat Mesir, Persia, Yunani, Jerman dan negara-negara Skandinavia yang tidak kalah kuno dari bangsa India, tetapi mereka kehilangan Dewa mereka, dan karena itu mereka kehilangan rasa kontinuitas sejarah dan identitas. (…) Apa yang benar dari Eropa juga benar dari Afrika dan Amerika Selatan. Negara-negara benua tersebut baru-baru ini telah mendapatkan kebebasan politik semacam, tapi (…) jika mereka ingin meningkat dalam arti yang lebih dalam, mereka harus memulihkan jiwa mereka, Dewa mereka (…) Jika mereka melakukan cukup diri berputar, maka Dewa mereka sendiri akan mengajukan makna baru dalam menanggapi kebutuhan baru mereka. (…) Jika ada aspirasi yang cukup, memohon dan meminta, tidak ada keraguan bahwa bahkan Dewa ternyata hilang bisa kembali lagi. Mereka di sana sepanjang waktu. “(P.131-133)

Proses budaya self-penemuan kembali setelah berabad-abad kekristenan sudah dalam ayunan penuh di banyak bagian Eropa dan Amerika Utara (saya hanya sedikit informasi tentang benua lain dan akan meninggalkan mereka di luar lingkup artikel ini). Di Eropa, dua organisasi mencoba untuk menyatukan berbagai kelompok nasional: berdasarkan Inggris ‘Pagan Federasi’ dan Lithuania berdasarkan ‘World Congress of Religions Etnis’. Keduanya telah membuat kenalan singkat dengan Hindu. Memimpin Pagan pemikir Prudence Jones memiliki korespondensi dengan Ram Swarup, yang artikel tentang kemusyrikan juga telah dipublikasikan di media Pagan lainnya, misalnya di Gereja berdasarkan California dari ‘majalah’ Semua Worlds Telur Hijau ‘. Konferensi pembukaan WCER yang (Vilnius 1998 dihadiri oleh tiga NRI Hindu, salah satunya hadir lagi tahun ini, dan delegasi dari India itu sendiri sedang dalam perjalanan tapi tidak bisa membuatnya karena kelambatan Lithuania dalam menangani aplikasi visa . ideolog terkemuka WCER Jonas Trinkunas (Lithuania) dan Denis Dornoy (Perancis, yang tinggal di Denmark) juga mengirimkan pesan kepada Dharma Sansad, yang “parlemen agama”, pada bulan Februari 1999:

Untuk para delegasi di Dharma Sansad, Ahmedabad, 5-8 Februari 1999: Salam hormat,

Sebagai pekerja untuk kebangkitan agama nenek moyang kita, dan sebagai convenors dari Kongres Dunia Agama Etnis, kami senang dan merasa terhormat untuk berkomunikasi dengan perwakilan terbesar yang masih hidup agama kuno di dunia, yang Sanatana Dharma. Kami ingin membayar rasa hormat kami kepada orang-orang yang telah terus turun api Veda selama ribuan tahun, bahkan ketika dikepung oleh pasukan musuh, dan yang saat ini membimbing masyarakat Hindu melalui tantangan zaman modern.

Kami ingin menarik perhatian para pemimpin Hindu dengan upaya saat ini dilakukan untuk menjaga agama leluhur dari penduduk asli Amerika, Afrika, dan lainnya “Pagan” masyarakat dalam menghadapi subversi budaya mereka dan agresi terhadap praktik dharma mereka dengan agen diri benar agama misionaris. Kami mendukung upaya damai dari segala bangsa untuk menjaga warisan budaya dan spiritual mereka terhadap subversi dan kehancuran. Kami juga ingin menarik perhatian Anda terhadap upaya untuk menghidupkan kembali atau merekonstruksi agama leluhur bangsa-bangsa yang kewalahan oleh Kristenisasi atau Islamisasi di masa lalu. Dengan asal mula yang sama atau hanya dengan inspirasi umum, agama-agama kuno berbagi banyak dengan Sanatana Dharma, baik yang suku dan manifestasi Sansekerta-nya. Oleh karena itu kami ingin menyampaikan harapan dan niat membangun kerjasama kami yang ramah. “

Jelas, ada ukuran kesamaan antara Hindu dan Pagan revivalisme, baik tipologis (sebagai agama non-Ibrahim) dan strategis. Atas saran Ram Swarup, saya telah melakukan beberapa observasi partisipan dari gerakan ini, atau spektrum gerakan, dalam beberapa tahun terakhir. Saya telah membuat banyak teman di kalangan ini, dan saya bersimpati dengan gagasan tentang kebangkitan agama-agama leluhur lalim dihilangkan. Yang mengatakan, saya punya perasaan campur aduk tentang kinerja aktual ini inkarnasi baru yang masih muda dari agama tua, yang menderita beberapa penyakit masa kanak-kanak yang serius. Secara khusus, saya ingin menarik perhatian saat ini untuk beberapa masalah dalam pertemuan dan pemula kerjasama antara Hindu dan Pagan revivalisme.

Gaya hidup: Satu hal yang pasti akan menyerang pendatang baru Hindu di kalangan neo-Pagan tertentu sebagai nyaman, adalah dominasi tampak dari apa yang orang India mengetahui dengan baik sebagai hippyism, jenis perilaku longgar dan disiplin yang ransel wisatawan Barat telah ditampilkan saat sojourning di India. Wiccas (neo-penyihir) menari telanjang di bawah sinar bulan mungkin tidak ide Shankaracharya tentang Dharma. Dan sementara ketelanjangan tidak perlu seperti bermoral dengan cara apapun, faktanya adalah bahwa longgar moralitas yang orang Asia cenderung mengidentifikasi sebagai biasanya modern Barat sepenuhnya norma di sebagian kalangan neo-Pagan. Sebagai Fred Lamond terang mengakui dalam bukunya harus membaca Agama pengenalan tanpa Keyakinan, Essays di panteisme Teologi, Perbandingan Agama dan Etika (Janus Publ, London tahun 1997, p.111.): “Etika praktis kami adalah 90% sama” seperti yang mapan agama, tapi “satu-satunya daerah di mana prinsip-prinsip kami berbeda tajam dari mereka adalah dalam etika seksual. Untuk berhala, keintiman seksual sebelum menikah bukanlah suatu dosa atau tidak bermoral (…) kita menganggap berbagi gairah seksual dalam berbagai situasi sebagai sakramen yang jauh dari merugikan jiwa kita, bisa menjadi pintu gerbang ke transendensi-diri dan kesatuan dengan Tuhan. “

The Church of All Worlds bahkan mempromosikan “polyamory” sebagai alternatif rumah tangga monogami. Jermanik berorientasi neo-pagan (Odinism, Asatru / “loyalitas kepada para dewa”) adalah lebih utama dalam hal ini, sebagian karena mereka merekrut lebih banyak di antara orang-orang bekerja kelas, yang kurang tertarik untuk variasi artistik dalam gaya hidup; Meskipun demikian, salah satu ideolog paling berbakat mereka pada 1980-an, Stephen Bunga alias Edred Thorsson, kemudian disebut-sebut dirinya sebagai dalam hal Freudian cabul polimorf bersemangat. Hindu di India, dan mungkin bahkan lebih orang Hindu di luar negeri yang telah mengalami struktur rajutan keluarga dekat dan bersamaan “nilai-nilai keluarga” sebagai aset besar dalam keberhasilan profesional mereka (“masyarakat Model imigran” Margaret Thatcher), mungkin akan merasa lebih dekat dengan moralitas munafik Evangelis dari ke jangak neo-pagan.

Tabu Hindu lainnya, seperti pada daging sapi-makan atau makan daging pada umumnya, sama-sama asing Barat neo-pagan. Meskipun vegetarian adalah tren besar di beberapa kalangan, orang lain merayakan berburu dan do-it-yourself membantai makan berikutnya sebagai bagian dari kembali ke cara yang lebih alami dari kehidupan. Bahkan di antara vegetarian, motif lebih sering kesehatan dan ekologi (produksi daging memerlukan permukaan tanah jauh lebih besar daripada produksi pangan nabati dengan nilai gizi yang sama) daripada pertimbangan Hindu seperti kasih sayang dengan semua makhluk hidup dan tabu di menyentuh , apalagi mencerna, jaringan hewan dalam keadaan dekomposisi.

Dari sudut pandang Hindu ortodoks, kelompok yang paling neo-Pagan akan memiliki status yang sama dengan suku-suku dari hutan India Tengah. Meskipun suku-suku diakui sebagai sesama India berhala, Hindu dengan definisi Savarkar ini, mereka tetap sering dianggap sebagai orang liar karena mereka mengabaikan tabu tertentu dan karena moralitas tidak begitu ketat mereka (seperti dalam asrama pemuda umum di mana eksperimen seksual didorong) . Hutan kota dari Barat telah entah bagaimana melahirkan gaya hidup yang sama dengan harimau penuh dan ular hutan angker dari India.

Tidak adanya tradisi yoga: Hal lain yang neo-pagan memiliki kesamaan dengan suku-suku Indian dibandingkan dengan arus utama Hindu-Buddha melek, adalah bahwa mereka tidak memiliki tradisi mapan yoga.

Salah satu buah yang paling penting dari peradaban adalah sistem teknik yang memungkinkan manusia untuk mencapai luar, (cq mimpi-diserap) kesadaran-diserap dunia biasa. Ini tidak membuat ketimpangan dalam kategori yang luas dari non-Ibrahim atau “Pagan” agama. Saya sadar bahwa ini pasti akan menaruh beberapa pembaca off sebagai elitis, tetapi ada perbedaan yang nyata antara teknik yang dikembangkan secara sistematis kesadaran seperti yang dipraktikkan di Hindu dan biara-biara Budha (dan oleh orang awam setiap pagi dan sore), di satu sisi , dan seluruh spektrum pengalaman biasa agama di sisi lain: ritual, perayaan, praktek kebaktian, bahkan pengalaman mistik tidak menentu sebagai orang mungkin memiliki saat-saat yang luar biasa di (dari cinta pertama yang pengalaman hampir mati). Cara terbaik untuk mewujudkan perbedaan ini adalah untuk bertemu dengan yogi dicapai: kualitas kedamaian yang mendalam ia memancarkan adalah tidak seperti apa pun. Ini tidak berarti bahwa kegiatan lain, agama dan sekuler, yang entah bagaimana buruk dan harus dijauhi. Tidak sama sekali: sedangkan pakar Barat yoga sering mencemooh “agama terorganisir” dengan ritual, saya belum pernah mendengar dari seorang praktisi India atau Asia Timur yang tidak mengamati beberapa kalender ritual (misalnya Zen sebagai tradisi meditasi adalah sangat ritual) . Mahasiswa tingkat lanjut dari teknik yoga tidak menetapkan diri terhadap agama rakyat sekitarnya, tapi beradaptasi dengan itu dan menambah wawasan mereka sendiri untuk itu sebagai permata mahkota. Kedua dalam bahasa Cina Taoisme dan dalam agama Hindu, kita melihat bagaimana agama rakyat akan berubah dengan memiliki tradisi spiritual sebagai titik acuan di tengah-tengahnya. Bertentangan dengan apa orientalis awal bayangkan, 99% dari orang-orang di Timur tidak bijak; Namun, mereka menyadari keberadaan dan kedekatan kelas seperti pelihat, dan ini menanamkan agama mereka dengan tidak ada kualitas dalam agama-agama Pagan murni naturalistik.

Apakah tradisi spiritual seperti itu ada dalam agama-agama pra-Kristen Eropa? Dalam budaya Yunani dan Helenistik, kita pasti melihat jejak itu, tetapi mereka biasanya dikaitkan dengan pengaruh Mesir atau Asia. Druid biasanya dikreditkan dengan tradisi seperti itu, tapi sejauh kita bisa melihat, klaim pusat mereka untuk menghormati dalam masyarakat Celtic adalah menghafal mereka dari perpustakaan seluruh narasi mitologis dan historis. Ini mirip dengan Brahmana belajar Veda dan klasik lainnya dengan hati, yang merupakan bagian dari mereka “karmakanda”, “ritualisme”, berbeda dari “jnanakanda”, pencarian pengetahuan mutlak dikembangkan di lapisan yang lebih muda dari Veda, Upanishad. Selain itu, sebagai cacat serius pada reputasi mereka sebagai orang bijak melamun, Druid juga officiates di pengorbanan berdarah, diduga bahkan pengorbanan manusia, yang bahkan orang-orang Romawi yang kuat ditemukan menjijikkan dan barbar. Dalam perkembangan agama Veda, kita melihat hewan kurban bertahap dalam mendukung korban pengganti simbolis (kelapa dll), tetapi agama Druidic dicegah dari membuat kemajuan tersebut dari kebiadaban dengan peradaban karena dibunuh oleh tentara Romawi dan misionaris Kristen. Ketika neo-Druid di organisasi seperti Obod, “Order of Penyair Hitam, Ovates dan Druid”, praktek agama sama sekali lebih damai, mereka dapat membenarkan bahwa (misalnya ketika The Times mencemooh mereka pada 22 Juni 1998 sebagai “susu dan air kafir “bahkan tidak mengorbankan perawan manusia di Summer Solstice di Stonehenge) dengan menjelaskan bahwa mereka menyediakan evolusi yang Druidry akan pergi melalui, memiliki selamat melalui dua ribu tahun terakhir.

Pada setiap tingkat, pembacaan yang tersisa (sering terdistorsi) Pagan literatur bangsa Celtic dan juga dari masyarakat Jerman menunjukkan banyak perayaan kehidupan, keberanian dan semangat, dan beberapa meditasi mendalam pada misteri kehidupan dan kematian, tetapi tidak seperti tradisi yoga. Neo-berhala yang memahami bahwa ada sesuatu yang hilang membuat untuk itu dengan meminjam berat dari tradisi yang hidup di Asia. Dengan demikian, Obod telah diimpor banyak pengetahuan Hindu-Buddha ke dalam kurikulum sebagai pengganti doktrin yang tidak diketahui dan diperbaiki mana Druid kuno harus diajarkan. Untuk beberapa hal, ini adalah sejarah dibenarkan karena tradisi Eropa dan Asia Pagan memang memiliki doktrin tertentu yang sama, misalnya keyakinan reinkarnasi baik-dibuktikan oleh pengamat Yunani-Romawi tradisi Druidic, di Virgil Aeneis dan sumber-sumber Eropa Pagan lainnya. Tapi sampai batas tertentu, itu mungkin hanya fantasi: itu benar-benar mungkin bahwa Celtic kami dan nenek moyang Jerman itu kehilangan beberapa perkembangan filsafat yang terjadi di bagian yang lebih beradab dunia. Dan apa pun yang mereka kenal dan mengajar sebagian besar telah hilang, atau hanya didaftarkan oleh biarawan Kristen yang tidak mengerti banyak lagi. Jadi, cara baik, neo-Pagan mencoba untuk memasok ajaran terdalam untuk tradisi yang cerita rakyat dan teks yang masih hidup minim hanya diawetkan kerangka, tidak punya pilihan selain untuk melihat untuk bertahan tradisi seperti Hindu.

Xenofobia: Atau, beberapa ideolog neo-Pagan menolak masukan dari tradisi Asia atau lainnya. Di Belanda, akhir Noud van den Eerenbeemt, seorang kafir Jerman, digunakan untuk mengajarkan sesuatu yang disebut “yoga Runic”, yang berarti serangkaian postur tubuh meniru bentuk tanda-tanda alfabet Jerman tua atau Runes. Saya pikir ini adalah sedikit konyol, karena postur Hatha yoga-dirancang untuk menghasilkan efek tertentu dalam energetika tubuh, tidak meniru bentuk visual tertentu. Namun, beberapa kafir menolak untuk alasan yang sama sekali berbeda: yoga adalah penemuan non-Eropa, maka “tidak layak untuk orang Eropa”. Mereka tampaknya tidak menyadari bahwa alfabet Runic sendiri pernah diimpor dari selatan, dan bahwa bahasa-bahasa Indo-Eropa sendiri, dan pengetahuan agama yang mereka bawa, yang pernah diimpor dari Timur: setidaknya dari Rusia, menurut teori dominan, atau bahkan mungkin dari Afghanistan atau India.

Mereka adalah orang-orang yang menolak Kristen atas dasar asal luar negeri: sebuah “agama Asia tidak layak untuk Eropa”, seperti Hindu. Yang sepenuhnya keliru: jika Kristen adalah suatu sistem kepercayaan yang keliru, itu salah bahkan untuk orang di negara-negara asalnya, seperti Islam pada awalnya ditolak bahkan oleh rekan-rekan dari Nabi, orang-orang Arab. Sebaliknya, jika Kristen benar, maka bisa dipastikan bahwa kita semua harus drop agama leluhur kami dan memeluk Kristen, seperti Paulus, dan Constantine, dan Clovis, dan Vladimir.

Hindu berdiri memperingatkan bahwa untai minoritarian tapi aktivis dalam Pagan kebangkitan dimotivasi oleh xenophobia tersebut, yang sebagian besar didasarkan pada ketidaktahuan atau setidaknya pada realisasi cukup sifat sinkretis bahkan agama leluhur mereka sendiri. Seringkali mereka adalah orang-orang yang peduli sedikit tentang agama dan tentang etnis, menggunakan agama hanya untuk memberikan beberapa warna untuk penegasan mereka identitas etnis. Kesan saya adalah bahwa dalam gerakan Odinist di Amerika Serikat, dengan polarisasi ras yang semakin meningkat, ini “bangga putih” kecenderungan bukan hanya pinggiran memalukan, seperti di Eropa, tapi mungkin mewakili mainstream. Dan jika tidak itu belum, itu akan menjadi dominan dalam waktu dekat: kulit putih masuk ke status minoritas di Amerika Serikat, mereka putih yang berada di akhir penerimaan perubahan sosial (ingat bahwa Odinists sebagian besar kelas pekerja) mungkin akan kehilangan hambatan mereka saat ini tentang ras identifikasi diri pada model Afrika-Amerika. Sedangkan Kristen memiliki berbagai mereka sendiri rasisme putih (KKK, Christian Identity), massa mengambang besar sekuler kulit putih Amerika akan semakin menemukan kumpul-titik budaya di Eropa, esp. Jerman neo-Paganisme. Mereka Odinists yang mengambil jarak mereka dari pembangunan tersebut akan segera menemukan diri mereka kalah oleh rekrutan baru untuk siapa warna lebih penting daripada pengalaman religius.

Di Eropa juga kita melihat bahwa nasionalis atau rasis kalangan sekuler murni mempengaruhi Pagan terminologi (kelompok Flemish Odal, yang Ostarra berkala Austria, berkala Sleipnir Jerman, penggunaan luas dari Celtic Cross oleh Euro-nasionalis), tetapi karena lebih menyeluruh sekularisasi budaya Eropa, ini tetap lebih murni kode politik yang tidak mengganggu kebangkitan sebenarnya agama leluhur. Kebanyakan neo-Pagan termasuk kelompok Odinist di Eropa melalui undang-undang mengecualikan neo-Nazi, setan dan lainnya pinggiran karakter tersebut.

Dalam upaya kerjasama, Hindu tidak akan banyak bersentuhan dengan faksi xenophobia antara revivalis Pagan, justru karena yang terakhir tidak tertarik imigran coklat, kecuali negatif. Dan kecuali untuk identifikasi Hindu dengan sistem kasta, yang pada gilirannya telah diidentifikasi dengan jenis sistem apartheid rasial. Seperti yang dapat Anda check-in David Duke buku Awakening saya, Alkitab Hak rasialis di Amerika Serikat, sistem kasta Hindu secara luas dipahami sebagai sistem yang diberlakukan oleh “penjajah Arya” pada “gelap pribumi berkulit” untuk melestarikan kemurnian ras mereka . Bahwa Indo-Arya tidak berhasil dalam dugaan upaya pelestarian ras dan akhirnya cokelat berkulit sendiri adalah masalah lain; sebenarnya adalah bahwa Veda dianggap oleh bodoh Barat sebagai deskripsi penaklukan kentang oleh kulit putih, dan sebagai perintah untuk ras pertahanan diri.

Di benua Eropa juga, ada gerakan yang disebut tradisionalis, terinspirasi oleh Rene ‘Gue’non dan Julius Evola, yang mengambil pandangan yang sama dari sistem kasta, dan yang melihatnya sebagai bagian dari warisan Indo-Eropa, maka relevan juga untuk cabang Eropa dari keluarga Indo-Eropa yang besar. Jelas, ini bukan teman yang Anda butuhkan, dan jika orang-orang seperti mendekati Anda, jangan sabar menjelaskan kepada mereka bahwa dasar dari ilmu pengetahuan modern diletakkan oleh orang-orang berkulit gelap seperti Harappans: matematika, astronomi, menulis dll Mungkin itu akan berubah pandangan mereka tentang perbedaan ras dan budaya.

Tauhid vs syirik: Titik filosofis yang sangat kecil dari perselisihan menyangkut gagasan kemusyrikan. Untuk banyak neo-pagan Barat, ini adalah titik pusat dari perbedaan dengan agama-agama Ibrahim, dan sehingga mereka mengacungkan politeisme mereka sebagai sifat mendefinisikan agama mereka. Dengan demikian, Belgia berkala Antaios menyebut dirinya media untuk “studi musyrik”. Sementara sebagian besar umat Hindu tidak punya masalah dengan kemusyrikan, mereka akan menemukan masalah dalam dirinya sendiri kurang penting: tergantung bagaimana Anda mendefinisikan “dewa”, sesuatu yang bisa dikatakan untuk kedua tauhid dan syirik. Para filsuf Yunani kuno, meskipun tidak diragukan lagi Pagan, tetap berusaha untuk prinsip pemersatu yang mendasari seluruh ciptaan. Hal ini hanya karena perang salib Yahudi-Christo-Islam melawan politeisme bahwa ini telah menjadi suatu masalah penting bagi orang Barat mencoba untuk menghidupkan kembali akar Pagan mereka. Sebagai Ram Swarup dikatakan:

“Namun kelahiran Banyak Dewa tidak akan pemberita kematian Satu Tuhan, di sisi lain, itu akan memperkaya dan memperdalam pemahaman kita tentang kedua Untuk Satu Tuhan dan Banyak Dewa yang rohani satu (…) A murni tauhid.. persatuan gagal untuk mewakili kesatuan hidup Roh dan mengekspresikan cinta hanya kecerdasan yang seragam dan umum. Demikian pula, Dewa murni politeistik tanpa prinsip persatuan di antara mereka kehilangan koherensi batin mereka. (…) Pendekatan Veda mungkin yang terbaik. Ini memberi kesatuan tanpa mengorbankan keragaman. (…) Monoteisme tidak diselamatkan oleh politeisme, atau politeisme oleh monoteisme, tetapi keduanya disimpan dengan pergi jauh ke dalam kehidupan jiwa. (…) Tergantung pada budaya di mana mereka lahir, mistikus telah diberikan monoteistik serta rendering politeistik dan interpretasi dari kehidupan dan pengalaman batin mereka. ” (The Word sebagai Wahyu: Nama Dewa, 1980, p.128-133)

Apakah Hindu agama etnis? Ketika WCER merupakan sendiri, ada banyak diskusi tentang bagaimana merumuskan identitas Pagan nya. Istilah Pagan atau Heathen dihindari karena anggota, esp. dari Eropa Timur, mengatakan bahwa istilah telah datang terdengar begitu negatif setelah berabad-abad indoktrinasi Kristen, bahwa itu hanya membawa konotasi yang salah: amoralitas, kekerasan, keterbelakangan. Istilah “politeistik” juga tidak dapat diterima, karena Paganisme mengakui juga sudut pandang panteistik dan bahkan ateis, dan dalam kerangka politeistik kita menemukan bahwa praktik keagamaan sering mengambil bentuk henoteisme, yaitu menyembah dewa tunggal yang dipilih dari antara banyak (apa Hindu memanggil devata Ishta, “dewa yang dipilih”). Usulan lain adalah “agama lama” atau “agama leluhur”, istilah yang sudah digunakan oleh beberapa kelompok revivalis Pagan, esp. di Skandinavia (misalnya Forn Sidr, “kebiasaan sebelumnya”). Secara pribadi, saya pikir itu akan menjadi yang terbaik, karena menggambarkan persis status agama yang dihidupkan kembali, terlepas dari yang menjadi politeistik atau panteistik atau apa pun. Hal ini juga akan sama dengan istilah Sansekerta Sanatana Dharma, “adat istiadat kekal / tugas / perintah”.

Konferensi pendiri menetap untuk istilah “etnis”, memang istilah Yunani dimana orang-orang Yahudi Helenis dan Kristen pertama yang ditunjuk berhala. Catatan, bagaimanapun, bahwa sebagai setara dengan bahasa Ibrani Goyim, “bangsa-bangsa”, itu akan tetap termasuk Yudaisme itu sendiri, ini menjadi etnis keunggulan agama par. Pendiri deklarasi WCER (lihat http://www.wcer.org) membuat jelas jelas bahwa tidak ada eksklusivisme etnis yang sempit yang dimaksud, menempatkan agama etnis dalam rangka “universalisme”. Ini akan membuktikan diperlukan, untuk istilah “etnis” dengan sendirinya mungkin menarik semua jenis etnisis politik rewel yang perlu dididik tentang interwovenness Pagan agama lintas batas etnis. Dengan demikian, agama Jermanik adalah setidaknya terdiri dari agama pribumi pra-Indo-Eropa Eropa utara ditambah agama yang masuk Indo-Eropa, yang memiliki banyak kesamaan dengan kedua tetangga Baltik dan Slavia agama, dan bahkan dengan lebih jauh Yunani, Romawi, dan agama Hindu. Ketika kita mempelajari agama-agama kuno, kita menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, misalnya fokus mereka pada langit berbintang sebagai lokus nyata dari para dewa bermain.

Bagi umat Hindu, pertanyaan harus dihadapi apakah Hindu memenuhi syarat sebagai “etnis” agama. Secara historis, deskripsi yang memiliki titik, namun Hindu memiliki, mulai dari dataran sungai dari India utara, menyebar ke sudut terjauh dari selatan dan perbukitan pedalaman dan hutan, asimilasi pernah suku baru atau kelompok etnis. Hal ini juga menyebar ke Tengah dan Asia Tenggara. Hari ini, menyebar di Barat, baik oleh migrasi dan dengan menarik mualaf Barat spontan. Jadi, itu adalah sesuatu untuk dipikirkan.

Kesimpulan: Hindu harus menyambut kebangkitan agama pra-Kristen Barat, sering agama serumpun melalui asal Indo-Eropa yang umum, jika tidak setidaknya tipologis terkait agama yang tidak berdasarkan pada nabi monopoli atau kitab suci. Pada saat yang sama, mereka harus waspada terhadap motif yang tidak murni dan tren degeneratif, atau fenomena yang mungkin diterima dalam kerangka multikultural tapi yang mereka tidak perlu melibatkan diri. Agama-agama leluhur Eropa saat ini dalam tahap formatif, tahap meraba-raba dalam gelap, dari penemuan kembali secara bertahap atau diri pemulihan. Pada tahap ini mereka menarik orang dengan berbagai motif dan tingkat yang berbeda dari pengetahuan dan pemahaman. Masih belum matang, agama-agama ini sering melihat ke Hindu untuk bimbingan.

Dr. Koenraad Elst, 25 September, 1999.

Naskah asli:

Hindus and Neo-Paganism

Koenraad Elst

The late Ram Swarup (1920-98), definitely the most important Hindu philosopher of independent India’s first half-century, liked to point out that other cultures had traditions similar to Hinduism before Christianity or Islam wiped them out. As he put it in his path‑breaking study of polytheism, The Word as Revelation (1980): “There was a time when the old Pagan Gods were pretty fulfilling and they inspired the best of men and women to acts of greatness, love, nobility, sacrifice and heroism. It is, therefore, a good thing to turn to them in thought and pay them our homage. We know pilgrimage, as ordinarily understood, as wayfaring to visit a shrine or a holy place. But there can also be a pilgrimage in time and we can journey back and make our offerings of the heart to those Names and Forms and Forces which once incarnated and expressed man’s higher life. (…) The peoples of Egypt, Persia, Greece, Germany and the Scandinavian countries are no less ancient than the peoples of India; but they lost their Gods, and therefore they lost their sense of historical continuity and identity. (…) What is true of Europe is also true of Africa and South America. The countries of these continents have recently gained political freedom of a sort, but (…) if they wish to rise in a deeper sense, they must recover their soul, their Gods (…) If they do enough self-churning, then their own Gods will put forth new meanings in response to their new needs. (…) If there is sufficient aspiration, invoking and soliciting, there is no doubt that even Gods apparently lost could come back again. They are there all the time.” (p.131-133) The cultural process of self-rediscovery after centuries of Christianity is already in full swing in many parts of Europe and North America (I have only little information about other continents and will leave them outside the scope of this article). In Europe, two organizations try to unite the various national groups: the England based ‘Pagan Federation’ and the Lithuania based ‘World Congress of Ethnic Religions’. Both have made a brief acquaintance with Hinduism. Leading Pagan thinker Prudence Jones had a correspondence with Ram Swarup, whose articles on polytheism have also been published in other Pagan media, e.g. in the California based Church of All Worlds’ magazine ‘Green Egg’. The opening conference of the WCER (Vilnius 1998 was attended by three NRI Hindus; one of them was present again this year, and a delegation from India itself was on its way but couldn’t make it because of Lithuania’s slowness in handling the visa applications. The WCER’s leading ideologues Jonas Trinkunas (Lithuania) and Denis Dornoy (French, living in Denmark) also sent a message to the Dharma Sansad, the “religious parliament”, in February 1999: To the delegates at the Dharma Sansad, Ahmedabad, 5-8 February 1999: Respectful greetings, As workers for the revival of the religion of our ancestors, and as convenors of the World Congress of Ethnic Religions, we are happy and honoured to communicate with the representatives of the world’s largest surviving ancient religion, the Sanatana Dharma. We want to pay our respect to the people who have kept alight the Vedic fire for thousands of years, even when besieged by hostile forces, and who are currently guiding Hindu society through the challenges of the modern age. We wish to draw the attention of the Hindu leaders to the efforts currently made to maintain the ancestral religions of the Native Americans, Africans, and other “Pagan” peoples in the face of the subversion of their cultures and aggression against their dharmic practices by agents of self-righteous missionary religions. We support the peaceful efforts of all nations to safeguard their cultural and spiritual heritage against subversion and destruction. We also wish to draw your attention to the efforts to revive or reconstruct the ancestral religions of those nations who were overwhelmed by Christianization or Islamization in the past. By common origin or simply by a common inspiration, these ancient religions share a lot with the Sanatana Dharma, in both its tribal and its Sanskritic manifestations. We therefore wish to express our hope and intention of establishing a friendly cooperation.” Clearly, there is a measure of common ground between Hinduism and Pagan revivalism, both typologically (as non-Abrahamic religions) and strategically. At Ram Swarup’s suggestion, I have done some participant observation of this movement, or spectrum of movements, in the last couple of years. I have made many friends in these circles, and I sympathize with the whole idea of the revival of the wrongfully eliminated ancestral religions. That said, I do have mixed feelings about the actual performance of this fledgling new incarnation of the old religion, which suffers from some serious childhood diseases. In particular, I would like to draw attention at present to a few problems in the encounter and budding cooperation between Hinduism and Pagan revivalism. Lifestyle : One thing which is bound to strike Hindu newcomers in certain neo-Pagan circles as uncomfortable, is the seeming predominance of what Indians know all too well as hippyism, the kind of loose and undisciplined behaviour which Western rucksack travellers have displayed while sojourning in India. Wiccas (neo-witches) dancing naked in the moonlight may not be the Shankaracharya’s idea of Dharma. And while nakedness as such need not be immoral in any way, the fact is that the looser morality which Asians tend to identify as typically modern-Western is entirely the norm in most neo-Pagan circles. As Fred Lamond candidly admits in his must read introduction Religion without Beliefs, Essays in Pantheist Theology, Comparative Religion and Ethics (Janus Publ., London 1997, p.111): “Our practical ethics are 90% the same” as those of established religions, but “the only area where our principles differ sharply from theirs is in sexual ethics. To Pagans, sexual intimacy before marriage is neither sinful nor immoral (…) we regard shared sexual passion under most circumstances as a sacrament which, far from harming our souls, can be a gateway to self-transcendence and unity with the divine.” The Church of All Worlds even promotes “polyamory” as an alternative to the monogamous household. The Germanic oriented neo-Pagans (Odinism, Asatru / “loyalty to the gods”) are more mainstream in this regard, partly because they recruit more among working class people, who are less attracted to artistic variations in lifestyle; nonetheless, one of their most gifted ideologues in the 1980s, Stephen Flowers a.k.a. Edred Thorsson, subsequently touted himself as � in Freudian terms � a zealous polymorphous pervert. Hindus in India, and perhaps even more the overseas Hindus who have experienced a close knit family structure and the concomitant “family values” as a great asset in their professional success (Margaret Thatcher’s “model immigrant community”), would probably feel closer to the prudish morality of Evangelicals than to the libertine neo‑pagans. Other Hindu taboos, as on beef-eating or meat-eating in general, are equally foreign to Western neo-Pagans. Though vegetarianism is a major trend in some circles, others celebrate hunting and do-it-yourself slaughtering of your next meal as part of the return to a more natural way of life. Even among the vegetarians, the motive is more often health and ecology (meat production requiring a much larger land surface than the production of vegetable food with the same nutritional value) rather than Hindu considerations such as compassion with all sentient beings and the taboo on touching, let alone digesting, animal tissue in a state of decomposition. From an orthodox Hindu viewpoint, most neo-Pagan groups would have a status similar to the tribals of forested Central India. Though the tribals are recognized as Indian fellow Pagans, Hindus by Savarkar’s definition, they are nonetheless commonly perceived as savages because of their disregard for certain taboos and because of their not so strict morality (as in the common youth dormitories where sexual experimentation is encouraged). The city jungles of the West have somehow spawned a lifestyle similar to that of the tiger infested and snake haunted jungles of India. Absence of a yogic tradition : Another point which neo-Pagans have in common with the Indian tribals as compared with the literate Hindu-Buddhist mainstream, is that they do not have an established tradition of yoga. One of the most important fruits of civilization is a system of techniques allowing man to reach beyond the ordinary, world-absorbed (c.q. dream-absorbed) consciousness. This does create an inequality within the broad category of non-Abrahamic or “Pagan” religions. I am aware that this is bound to put some readers off as being elitist, but there is a real difference between the systematically developed techniques of consciousness as practised in Hindu and Buddhist monasteries (and by laymen every morning and evening), on the one hand, and the whole spectrum of ordinary religious experience on the other: ritual, celebration, devotional practices, even erratic mystical experiences as anyone may have in exceptional moments (from first love to near death experiences). The best way to realize this difference is to meet an accomplished yogi: the quality of profound peace he radiates is unlike anything else. This doesn’t mean that other activities, religious and secular, are somehow bad and to be shunned. Not at all: whereas Western adepts of yoga often deride “organized religion” with its rituals, I have never heard of an Indian or East Asian practitioner who did not observe some calendar of rituals (e.g. Zen as a tradition of meditation is heavily ritualized). Advanced students of yogic techniques don’t set themselves against the surrounding folk religion, but adapt to it and add their own insights to it as a jewel to the crown. Both in Chinese Taoism and in Hinduism, we see how folk religion gets transformed by having the spiritual tradition as a point of reference in its midst. Contrary to what early Orientalists imagined, 99% of the people in the Orient are not sages; yet, they are aware of the existence and nearness of such a class of seers, and this infuses their religion with a quality absent in the purely naturalistic Pagan religions. Did such a spiritual tradition exist within the pre-Christian religions of Europe? In Greek and Hellenistic culture, we certainly see traces of it, but they are usually attributed to Egyptian or Asian influence. The Druids are usually credited with such a tradition, but as far as we can see, their central claim to honour within Celtic society was their memorization of a whole library of mythological and historical narratives. This was similar to the Brahmins learning the Vedas and other classics by heart, which is part of their “karmakanda”, “ritualism”, distinct from the “jnanakanda”, the search for absolute knowledge developed in the younger layers of the Vedas, the Upanishads. Moreover, as a serious blemish on their reputation as dreamy sages, the Druids were also officiates at bloody sacrifices, allegedly even human sacrifice, which even the robust Romans found repulsive and barbaric. In the development of Vedic religion, we see animal sacrifice phased out in favour of symbolic replacement sacrifices (coconuts etc.), but Druidic religion was prevented from making such progress from barbarity to civilization because it was killed by Roman armies and Christian missionaries. When the neo-Druids in organizations like OBOD, the “Order of Bards, Ovates and Druids”, practise an altogether more peaceful religion, they can justify that (e.g. when The Times derided them on 22 June 1998 as “milk-and-water Pagans” for not even sacrificing human virgins on Summer Solstice in Stonehenge) by explaining that they supply the evolution which Druidry would have gone through, had it survived through the last two thousand years. At any rate, a perusal of the remaining (often distorted) Pagan literature of the Celts and also of the Germanic peoples shows a lot of celebration of life, of courage and passion, and some insightful meditations on the mysteries of life and death, but nothing like a yogic tradition. Neo-Pagans who understand that something is missing make up for it by borrowing heavily from the living traditions of Asia. Thus, the OBOD has imported a lot of Hindu-Buddhist lore into its curriculum as a substitute for the unknown and irretrievable doctrines which the ancient Druids must have taught. To some extent, this is historically justified because European and Asian Pagan traditions did have certain doctrines in common, e.g. the belief in reincarnation is well-attested by Greco-Roman observers of the Druidic tradition, in Virgil’s Aeneis and other European Pagan sources. But to some extent, it may be just fantasy: it is really possible that our Celtic and Germanic ancestors did miss out on some philosophical developments which were taking place in more civilized parts of the world. And whatever they did know and teach has largely been lost, or only been registered by Christian monks who didn’t understand much of it anymore. So, either way, neo-Pagans trying to supply the innermost teachings to a tradition of which folklore and scanty surviving texts have only preserved a skeleton, have no choice but to look to surviving traditions like Hinduism. Xenophobia : Alternatively, some neo-Pagan ideologues reject any input from Asian or other traditions. In the Netherlands, the late Noud van den Eerenbeemt, a Germanic heathen, used to teach something he called “Runic yoga”, meaning a series of body postures imitating the shapes of the old Germanic alphabet signs or Runes. I think this was a bit silly, as Hatha-yogic postures are designed to produce certain effects in the energetics of the body, not to impersonate certain visual shapes. However, some heathens rejected it for a wholly different reason: yoga is a non-European invention, hence “unfit for European people”. They were apparently unaware that the Runic alphabet itself was once imported from the south, and that the Indo-European languages themselves, and the religious lore they carried, were once imported from the East: at least from Russia, according to the dominant theory, or perhaps even from Afghanistan or India. Those are the people who reject Christianity on grounds of its foreign origin: an “Asian religion unfit for Europeans”, just like Hinduism. That is wholly mistaken: if Christianity was an erroneous belief system, it was erroneous even for people in its countries of origin, just as Islam was initially rejected even by the compatriots of the Prophet, the Arabs. Conversely, if Christianity is true, it stands to reason that we should all drop our ancestral religion and embrace Christianity, just like Paul did, and Constantine, and Clovis, and Vladimir. Hindus stand warned that a minoritarian but activist strand within the Pagan reawakening is motivated by such xenophobia, which is largely based on ignorance or at least on the insufficient realization of the syncretic nature of even their own ancestral religions. Often they are people who care little about religion and more about ethnicity, using religion only to give some colour to their assertion of ethnic identity. My impression is that in the Odinist movement in the USA, with its increasing racial polarization, this “white pride” tendency is not just an embarrassing fringe, as it is in Europe, but may well represent the mainstream. And if it isn’t that yet, it will become predominant in the near future: as whites slip into minority status in the USA, those whites who are on the receiving end of the social changes (remember that Odinists are largely working-class) will probably lose their current inhibitions about racial self-identification on the African-American model. Whereas Christians have their own variety of white racism (KKK, Christian Identity), the large floating mass of secularized white Americans will increasingly find a cultural rallying-point in European, esp. Germanic neo-Paganism. Those Odinists who take their distances from such development will soon find themselves outnumbered by the new recruits for whom colour is more important than religious experiences. In Europe too we see that purely secular nationalist or racist circles affect Pagan terminology (the Flemish group Odal, the Austrian periodical Ostarra, the German periodical Sleipnir, the widespread use of the Celtic Cross by Euro-nationalists), but because of the more thorough secularization of European culture, this remains more purely a political code which does not interfere with the actual revival of ancestral religion. Most neo-Pagan including Odinist groups in Europe statutorily exclude neo-Nazis, Satanists and other such fringe characters. In efforts at cooperation, Hindus will not much come into contact with the xenophobic faction among the Pagan revivalists, precisely because the latter are not interested in brown immigrants, except negatively. And except for the identification of Hinduism with the caste system, which in turn has been identified with a kind of racial apartheid system. As you can check in David Duke’s book My Awakening, the Bible of the racialist Right in the USA, the Hindu caste system is widely understood as a system imposed by the “Aryan invaders” on the “dark skinned natives” to preserve their racial purity. That the Indo-Aryans didn’t succeed in the alleged endeavour of race preservation and ended up brown skinned themselves is another matter; fact is that the Vedas are regarded by ignorant Westerners as a description of the subjugation of the browns by the whites, and as an injunction to racial self-preservation. In continental Europe too, there is a movement of so-called Traditionalists, inspired by Rene’ Gue’non and Julius Evola, who take a similar view of the caste system, and who see it as part of the Indo-European heritage, hence relevant also for the European branches of the great Indo-European family. Obviously, these aren’t the friends you need, and if such people approach you, do patiently explain to them that the basis of modern science was laid by dark skinned people like the Harappans: mathematics, astronomy, writing etc. Perhaps that will change their outlook on racial and cultural differences. Monotheism vs. polytheism : A very minor philosophical point of disagreement concerns the notion of polytheism. To many Western neo-Pagans, this is the central point of difference with the Abrahamic religions, and so they brandish their polytheism as the defining trait of their religion. Thus, the Belgian periodical Antaios calls itself a medium for “polytheist studies”. While most Hindus have no problem with polytheism, they will find the issue in itself less important: depending how you define “god”, something can be said for both monotheism and polytheism. The ancient Greek philosophers, though undoubtedly Pagan, nonetheless sought for a unifying principle underlying the whole of creation. It is only because of the Judeo-Christo-Islamic crusade against polytheism that this has become such a crucial issue for Westerners trying to revive their Pagan roots. As Ram Swarup puts it: “And yet the birth of Many Gods will not herald the death of One God; on the other hand, it will enrich and deepen our understanding of both. For One God and Many Gods are spiritually one. (…) A purely monotheistic unity fails to represent the living unity of the Spirit and expresses merely the intellect’s love of the uniform and the general. Similarly, purely polytheistic Gods without any principle of unity amongst them lose their inner coherence. (…) The Vedic approach is probably the best. It gives unity without sacrificing diversity. (…) Monotheism is not saved by polytheism, nor polytheism by monotheism, but both are saved by going deep into the life of the soul. (…) Depending on the cultures in which they were born, mystics have given monotheistic as well as polytheistic renderings and interpretations of their inner life and experiences.” (The Word as Revelation: Names of Gods, 1980, p.128-133) Is Hinduism an ethnic religion? When the WCER constituted itself, there was a lot of discussion about how to formulate its Pagan identity. The term Pagan or Heathen was avoided because members, esp. from Eastern Europe, said that the term had come to sound so negative after centuries of Christian indoctrination, that it simply carried the wrong connotations: immorality, violence, backwardness. The term “polytheistic” was also not acceptable, because Paganism admits also of pantheistic and even atheistic viewpoints, and within polytheistic frameworks we find that religious practice often takes the form of henotheism, i.e. worship of a single god chosen from among many (what Hindus call the ishta devata, the “chosen deity”). Another proposal was the “old religion” or the “ancestral religion”, terms already used by some Pagan revivalist groups, esp. in Scandinavia (e.g. Forn Sidr, “the earlier customs”). Personally, I think that would have been the best, as it describes exactly the status of the religion being revived, regardless of its being polytheistic or pantheistic or whatever. It would also be similar to the Sanskrit term Sanatana Dharma, “the eternal mores / duty / order”. The founding conference settled for the term “ethnic”, indeed a Greek term by which the Hellenized Jews and first Christians designated the Pagans. Note, however, that as the equivalent of Hebrew Goyim, “the nations”, it would nonetheless include Judaism itself, this being the ethnic religion par excellence. The founding declaration of the WCER (see http://www.wcer.org) makes it unambiguously clear that no narrow ethnic exclusivism is meant, it puts the ethnic religions in the framework of “universalism”. This will prove necessary, for the term “ethnic” all by itself may well attract all kinds of cranky political ethnicists who will need to be educated about the interwovenness of Pagan religions across ethnic frontiers. Thus, Germanic religion is at the very least composed of the pre-Indo-European native religion of northern Europe plus the religion of the incoming Indo-Europeans, the latter having lots in common with the neighbouring Baltic and Slavic religions, and even with the more distant Greek, Roman, and Hindu religions. When we study the ancient religions, we find that they have lots in common, e.g. their focus on the starry sky as the manifest locus of the gods at play. For Hindus, the question should be faced whether Hinduism qualifies as an “ethnic” religion. Historically, that description has a point, yet Hinduism has, starting from the riverine plains of northern India, spread to the farthest corners of the south and the inland hills and forests, assimilating ever new tribes or ethnic groups. It has also spread to Central and Southeast Asia. Today, it is spreading in the West, both by migration and by attracting spontaneous Western converts. So, that is something to think about. Conclusion : Hindus should welcome the revival of the pre-Christian religions of the West, often cognate religions through the common Indo-European origins, otherwise at least typologically related religions which are not based on a monopolistic prophet or scripture. At the same time, they should be watchful for impure motives and degenerative trends, or for phenomena which may be acceptable in a multicultural framework but with which they need not involve themselves. The ancestral religions of Europe are at present in a formative stage, a stage of groping in the dark, of gradual rediscovery or self‑reconstitution. At this stage they attract people with a variety of motives and divergent levels of knowledge and understanding. Still immature, these religions often look to Hinduism for guidance. � Dr. Koenraad Elst, 25 September, 1999.


Agama Cepat Saji

$
0
0

OPINI

Jum’at,  17 April 2015  −  08:47 WIB
Agama Cepat Saji
Prof DR Komaruddin Hidayat
Prof DR Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

Salah satu aspek fundamental agama adalah keyakinan tentang keabadian jiwa yang disertai tawaran surga dan neraka.

Aspek ini kadang disebut sebagai doktrin eskatologis dan salvation (keselamatan). Jiwa yang selamat akan masuk surga, yang celaka akan hidup sengsara di neraka. Apakah hakikat surga dan neraka, di sana banyak ragam tafsiran. Namun, yang umumnya diyakini adalah ada keabadian jiwa dan balasan baikburuk dari tindakannya selama hidup di dunia.

Deskripsi dan metafora tentang surga yang disajikan dalam Alquran memang sangat cocok dan memikat bagi masyarakat padang pasir yang damba pada istana di atas padang luas nan hijau, dikelilingi sungai dan taman buah yang subur. Karena karakter masyarakat padang pasir yang didominasi kaum laki, deskripsi surga juga terasa yang diutamakan pembaca laki-laki. Makanya, di surga tersedia bidadari yang cantik-cantik. Jadi, apa yang lebih memukau selain istana megah di tamn hijau dengan bidadari yang telah menanti?

Namun, dalam berbagai statement Alquran, ketika berbicara tentang keindahan surga seringkali diawali dengan kata perumpamaan. Lalu terdapat riwayat sabda Rasulullah bahwa surga yang dijanjikan itu tidak mungkin bisa dideskripsikan karena mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar, bahkan belum pernah terbayang dalam pikiran. Masing- masing agama punya gambaran tentang surga dan bagaimana usaha untuk meraihnya.

Keyakinan dan harapan masuk surga setelah meninggalkan dunia menjadi penekan dan daya tarik sangat kuat agar seseorangmenemukan jalan untuk masuk ke sana. Setidaknya ada tiga tawaran yang bisa ditempuh yaitu dengan memperbanyak ritual keagamaan seperti menegakkan salat, puasa, haji, umrahdanmemperbanyak zikir. Kemudian ada tawaran lagi berupa jalan amal sosial sebanyak mungkin dengan meringankan beban kemiskinan, kebodohan, dan sakit.

Terakhir, dengan menyebarkan ajaran agama agar orang lain masuk dan ikut jalan kebenaran dan keselamatan sebagaimana paham dan keyakinan agama yang dianutnya. Lebih dari itu, memerangi mereka yang menentang agama Allah. Cara yang terakhir inilah yang akhirakhir ini sering disebut sebagai kelompok jihadis. Pada kenyataannya pemahaman, penghayatan, dan praktik beragama seseorang berbeda-beda. Ada yang senang melakukan ibadah sosial dengan modal pikiran, tenaga, dan hartanya, tetapi malas melakukan ritual seperti sembahyang lima kali sehari semalam.

Sebaliknya, ada yang sangat rajin melakukan ritual, tetapi lemah dalam ibadah sosialnya. Lalu, yang sekarang fenomenal adalah menempuh jalan jihadis untuk membela agama Allah dengan jalan kekerasan. Mereka yang tidak sepaham berarti tidak taat pada hukum Allah. Makanya, mereka mesti diingatkan dengan jalan damai. Jika tidak mau, bahkan menghalangi gerak mereka, layak dilawan dengan senjata. Itu jihad dengan janji masuk surga kalau terbunuh.

Bagi kelompok jihadis tak dikenal istilah kalah dalam memperjuangkan tegaknya agama Allah. Kalaupun mati dalam perjuangan, itu pun sebuah kemenangan. Surga yang indah dan bidadari telah menanti. Lebih indah ketimbang kehidupan dunia. Mengapa orang tertarik bergabung ke dalam gerakan radikal dengan risiko mengorbankan kehidupan yang selama ini dijalani dan bahkan mempertaruhkan nyawanya?

Misalnya saja mereka yang bergabung ke ISIS, motif dan daya tariknya bermacam-macam. Kalau meminjam analisis Marx yang banyak dikritik itu, mereka merasa kalah menghadapi gelombang kapitalisme dan modernisasi sehingga mencari jalan lain yang terjangkau dan menawarkan jalan pintas pada kehidupan lain yang menjanjikan kebahagiaan. Apa itu? Ya surga.

Dengan semangat dan keyakinan berperang menghadapi musuh Tuhan, bayangan surga sudah sangat dekat. Kematian di jalan Tuhan adalah pintu gerbang menuju surga. Sebuah tawaran surga cepat saji. Yang diperlukan adalah keyakinan kuat dan bulat, plus nyali memasuki zona pertempuran. Hidup atau mati keduanya sebuah kemenangan.

Benarkah ada jaminan mereka yang bergabung dalam gerakan radikalisme keagamaan mesti langsung masuk surga sebagai pahlawan pembela agama Tuhan? Tak ada jawaban empiris yang meyakinkan karena kita belum pernah mati dan yang mati tak pernah hidup kembali untuk berbagi cerita.

(ars)

 


Titik Temu Agama-Agama

$
0
0

OPINI 

Jum’at,  3 April 2015  −  08:56 WIB
Titik Temu Agama Agama
Prof Dr Komaruddin Hidayat
Prof Dr Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

Secara teologis dan sosiologis keragaman agama di muka bumi merupakan kehendak dan desain Tuhan. Umat Islam sangat familier dengan berbagai pernyataan Alquran bahwa Allah menciptakan manusia terbagi-bagi ke dalam beragam etnis, warna kulit, bangsa, dan agama.

Membayangkan keseragaman agama dan budaya adalah satu utopia dan melawan kehendak Tuhan. Namun, karena yang beragama adalah manusia yang memiliki nafsu, akal budi, dan kebebasan berpikir, berkehendak, dan bergerak, keragaman beragama, berbangsa, dan berbudaya seringkali menimbulkan benturan, bahkan bisa saling ingin memusnahkan.


Ini sangat berbeda dari keragaman nabati dan hewani yang terjaga keseimbangannya dalam kondisi harmonis. Ekologi alam yang harmonis ini rusak garagara intervensi manusia. Sejarah menunjukkan, peperangan antarbangsa dan agama memang pernah dan selalu saja terjadi. Namun, dalam waktu bersamaan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia selalu berkembang.

Inovasi sains dan teknologi terus bermunculan. Upaya-upaya perdamaian juga tak pernah henti. Jadi, wajah sejarah selalu menampilkan dua sisi yang berlawanan. Antara peperangan dan perdamaian. Antara agenda membangun kebajikan dan tindakan destruktif antikemanusiaan. Hanya, kalau ditimbang, niat dan usaha baik manusia untuk menciptakan perdamaian dan keadaban jauh lebih besar ketimbang mereka yang melakukan kejahatan.

Kalau saja panggung kehidupan manusia dikuasai dan didominasi kekuatan jahat, niscaya sudah lama peradaban ini hancur lebur. Dua kali perang dunia sudah cukup jadi pelajaran yang amat berharga. Kalau sampai meletus perang dunia ketiga, betapa besar dan dahsyat kerusakan yang akan terjadi.

Peradaban manusia akan kembali dari nol kilometer lagi. Lalu, di mana peran agama yang diyakini pemeluknya sebagai panduan ilahi untuk mengatur dan menyejahterakan manusia? Mengingat semesta, manusia, dan agama datang dari sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Mutlak, idealnya terjadi hubungan yang harmonis, sinergis, dan konstruktif antara ketiganya.

Semua agama besar dunia ketika awal mula kemunculannya selalu tampil sebagai kekuatan anti penindasan, anti dekadensi moral, dan anti kebodohan. Para pembawa agama selalu mengajak dan mendidik umatnya untuk menegakkan etika sosial, membasmi kebodohan dan kemiskinan, serta mengajak hidup damai gotong-royong membangun peradaban. Agenda besar agama ini dalam perjalanannya dibantu oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ilmu pengetahuan dan teknologi membantu masyarakat agar hidup menjadi mudah dan nyaman dijalani. Teknologi semacam mobil, listrik, telepon, komputer, kulkas, dan pesawat terbang menawarkan jasa agar hidup menjadi nyaman dan efisien. Tetapi, untuk apa semua ini? Apa makna dan tujuan hidup? Di sinilah agama hadir.

Karena memberikan bimbingan dan pencerahan hati dan pikiran untuk memahami makna dan tujuan hidup yang sejati, agama tetap saja bertahan dan berkembang di tengah kemajuan sains dan teknologi yang senantiasa melakukan inovasi dan penuh kompetisi itu. Sangat disayangkan, keragaman agama yang ada tidak selalu menunjukkan kerja sama yang harmonis dan progresif untuk melakukan layanan kemanusiaan.

Misalnya dalam memberantas korupsi, kemiskinan, dan kebodohan. Karena agama menyangkut keyakinan akan keselamatan hidup duniaakhirat dan cenderung melibatkan emosi setiap menghadapi perbedaan iman, umat beragama sangat rentan konflik ketika menghadapi umat yang berbeda.

Indonesia sebagai bangsa besar yang masyarakatnya sangat plural dari segi etnis, bahasa, budaya, dan agama, umat beragamanya mesti tampil sebagai pilar kohesi bangsa dan motor pemberantas kemiskinan, kebodohan, dan korupsi. Makanya, sangat ironis kalau berita yang mengemuka adalah umat beragama justru heboh berkonflik hanya karena beda mazhab dan terlibat perang yang jelas-jelas menghancurkan peradaban dan antikemanusiaan.

Kita mesti lapang hati dan pikiran untuk menerima perbedaan. Setiap agama adalah unik, beda dari yang lain. Yang mesti kita dorong adalah titik temu dalam agenda kemanusiaan dan memajukan bangsa. Jangan sampai gerakan keagamaan akan dicatat sejarah sebagai perusak kerukunan dan keutuhan berbangsa. Tunjukkan bahwa agama itu motor kemajuan, kecerdasan, keberadaban, dan kedamaian.

(bbg)

 


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live