Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

SILSILAH PARA NABI, RASUL DAN BANGSA-BANGSA DUNIA

$
0
0

Silsilah Para Nabi, Rasul dan Bangsa-Bangsa di Dunia

 Sepakat seluruh anggota teologi, ahli sejarah dan ilmuwan lainnya, bahwa manusia pertama yang mengisi planet bumi ini adalah pasangan ayahbunda Adam dan Hawa. Namun, tidak ada catatan pasti kapan kedua bapak manusia tersebut mulai mendiami permukaan bumi kecuali hanya ada beberapa konfirmasi yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an, menceritakan awal penciptaan Adam, dari mana dia diciptakan. Kemudian diciptakan pula istrinya Hawa, bagaimana mereka berdua menjalani hidup di surga dan beradu kejeniusan dengan malaikat, sampai perseteruan mereka dengan Iblis, sampai akhirnya takdir Allah menentukan kedua bangsa ciptaan Allah tersebut diusir dari surga untuk menjadi musuh abadi di dunia.

Allah SWT berfirman:

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة

 

Artinya : ” Ingatlah ketika Tuhanmu (Muhammad) berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi …. ” (QS: 02: 30)

 

Allah SWT di dalam Ilmu-Nya telah merencanakan penciptaan bapak manusia dan memposisikannya sebagai pemimpin segala makhluk di muka bumi (khalifa), keputusan tersebut diumumkan Allah kepada segenap malaikat, hanya saja pada awalnya para hamba Allah yang paling patuh itu, dengan otak malaikatnya menyangsikan kapability manusia sanggup mengemban tugas berat tersebut.

 

Maka Allah SWT meyakinkan kepada mereka, berfirman: ” Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketehui “, yaitu sambungan ayat tadi.

Proses Penciptaan Adam (manusia): Kemudian untuk kedua kalinya para Malaikat kembali dikagetkan dengan titah Allah kepada mereka, berfirman:

 

إذ قال ربك للملائكة إني خالق بشرا من طين, إذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين

 

Artinya : ” (ingatlah Muhammad) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiaannya dan Kutiupkan kepadanya roh ciptaan-Ku, maka hendaklah kamu sujud memberi hormat kepadanya “.

Para malaikat kaget bukan karena perintah sujud kepada makhluk yang lebih rendah materi penciptaaya dari pada materi asal mereka yaitu cahaya, sedangkan makhluk baru ini hanya dari tanah kering yang tak ubahnya laksana  Tagine Maroko  atau tungku tanah liat yang dipakai memasak jaman dulu. Untuk malaikat pun diperintahkan Allah kepada mereka pasti dikerjakan …

 

 

Imperium Pertama di Permukaan Bumi di Mulai:

Setelah Allah SWT mempermaklumkan kepada malaikat kehendak-Nya menciptakan Adam untuk diposisikan menjadi khalifah di planet bumi, maka ketika Adam dan ibunda Hawa menginjakkan kaki dipermukaan bumi, imperium pertama bumipun mulai ditancapkan. Dan syariat Allah pun sudah harus ditegakkan, oleh karena itu Allah senantiasa memberikan bimbingan-Nya kepada Adam melalui wahyu-wahyu-Nya, seperti dalam firman Allah:

 

إن الله اصطفى آدم ونوحا وآل إبراهيم وآل عمران على العالمين

Artinya : ” Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keturunan Ibrahim dan keturunan Imran melebihi segala umat (di masanya masing-masing) ” (QS: 03: 33)

 

 

Keturunan Adam yang melestarikan kehidupan umat manusia hingga sekarang:

Khalifah Adam dan permaisurinya Hawa mulai menata kehidupan baru mereka di istana bumi, bertanggung jawab masing-masing mengusir iblis yang senantiasa ingin menggagalkan misi mereka, disamping itu mereka berdua juga dituntut untuk melestarikan keturunan umat manusia di muka bumi. Menurut beberapa riwayat bahwa Adam dan Hawa setiap kali melahirkan bayinya selalu kembar emas (Laki-laki dan perempuan), oleh karena itu fiqhi munakahat mereka mewajibkan kawin silang, putra pertama menikahi kembaran adiknya begitu pula sebaliknya dan seterusnya, sampai berkembang biak keturunan umat manusia pada fase-fase awal.

 

 

Waktu itu dikerajaan Adam belum ada pencatatan sipil dan memang belum dibutuhkan saat itu, sehingga tidak ditemukan arsip yang mencatat berapa anak yang di lahirkan Khalifah Adam dan permaisurinya. Al-Qur’an hanya mencatat tentang ritual pengorbanan yang dilakukan oleh dua putra Adam, yaitu Habil dan Qabil, karena bertikai ingin mengawini gadis kembaran masing-masing, waktu itu bertentangan dengan fiqhi mereka. Akhirnya Khalifah Adam menengahi dengan memerintahkan masing-masing munajat memohon petunjuk dengan mempersembahkan kurban kepada Allah. Kurban Habil diterima disisi Allah karena disertai dengan ketulusan hati dan niat yang baik, sedangkan kurban Qabil ditolak karena dipenuhi dendam dan dengki. Pada akhirnya terjadi kriminal terbesar pertama dimuka bumi, Qabil dengan dendamnya membunuh dan menumpahkan darah saudaranya sendiri dan menyesal sampai hari kiamat ….

 

 

Kisah-kisah Adam as selengkapnya di dalam al-Qur’an, baca:

(QS: 2: 30-38; 3: 33, 84; 6: 2; 7: 11-12, 19-34; 15: 28, 33 ; 19: 59; 20: 22, 115-122; 22: 5; 23: 12; 30: 20; 32: 7; 35: 11; 38: 71, 76; 40: 67 ).

 

Silsilah 25 Rasul, beberapa orang nabi dan tokoh-tokoh monumental lainnya:

Adapun putra mahkota satu-satunya yang diabadikan dalam sejarah, pewaris tahta Adam dan melanjutkan keturunan umat manusia sampai sekarang ini adalah Nabi SHETS, kemudian dari keturunan keempat Sheth yang bernama Yartid menurunkan nabi dan rasul Allah selanjutnya setelah Adam as, yaitu nabi  IDRIS as rasul ke -2 .

Lihat: (QS: 19: 56-57; 21: 85 ).

 

 

Nabi Idris dan pasangannya melahirkan Malulsakh, kemudian dari Malulsakh terlahir Lamik yang kemudian Lamik inilah menurunkan langsung seorang nabi dan rasul besar, yaitu  NUH as. rasul ke-3  setelah Adam dan Idris as. Baca: (QS: 3: 33; 4: 163; 6: 84; 7: 59-64; 10: 71-72; 11: 25-48; 14: 9; 17: 3; 19: 58; 21: 76 ; 22: 42; 23: 23-29; 25: 37; 26: 19, 105-120; 54: 9-14, 13; 29: 14-15; 37: 76-82; 38: 12; 40: 31 ; 42: 30; 50: 12; 54: 15-16; 57: 26; 71: 1-27; 79: 49 ).

 

 

Nuh dikenal juga sebagai bapak kedua manusia setelah Adam as, karena pada masanya terjadi Bah besar yang menghancurkan hampir semua umat manusia dan makhluk-makhluk lain, kecuali segelintir saja dari keluarga dan pengikut Nuh serta beberapa pasang jenis hewan, unggus dan lainnya, yang ikut dalam perahu penyelamat Nuh. Nuh diperkirakan hidup pada: 3900 – 2900 SM, umur panjang itu hampir semuanya, yaitu 950 tahun dipergunakan berda’wak ke jalan Allah ( Lihat : QS. 29: 14). Namun sedikit saja kaumnya yang menerima da’wahnya sehingga Allah memberikan siksaan kepada orang-orang kafir dengan Bah raksasa tersebut.

 

 

Nabi Nuh memiliki tiga putra yang terkenal, tapi hanya satu yang mewaris tahtanya dan melahirkan semua rasul setelahnya sampai kepada rasul dan nabi besar kita Muhammad SAW. Putra Mahkota tersebut adalah SAM BIN NUH. Adapun putra-putra Nuh dan pewarisnya yang menurunkan para rasul pembawa risalah, sebagi berikut:

HAM : Yang diyakini menurunkan bangsa-bangsa: Sudan, Sind, India, Qibti-Mesir dan lain-lain …

YAFETH : Dia diyakini menurunka bangsa-bangsa: Turki, China, Ya’juj & Ma’juj dan lain-lain ….

SAM : Terakhir ini sebagaimana telah disebutkan tadi sebagai pewaris ayahnya Nuh, menurunkan dua putra pelanjut, yang dari keduanya lahir para rasul, nabi dan bangsa-bangsa besar di masanya. Kedua putra SAM bin Nuh adalah:

 

 

PERTAMA: Iram;

yang disebutkan sifatnya di dalam al-Qur’an, Iram yang memiliki menara raksasa sebagaimana diceritakan Al-Qur’an, menurunkan dua bangsa yang sangat besar dan kuat, yang juga dua-duanya disebutkan di dalam al-Qur’an, yaitu Add dan Tsamud. Kedua putra Iram yang kelak menurunkan kedua bangsa raksasa itu adalah:

 

Aush , menurunan secara berturut-turut: Add – Khulud – Raya dan Abdullah, yang terkhir ini menurunkan langsung  rasul Allah yang ke-4, yaitu Huud as  (2500 – 2200 SM), yang akhirnya umatnya mendapat bencana karena tidak menuruti dakwah rasul Allah Huud as. Kemudian dari Huud cucu Add bin Aus bin Iram bin Sam, menurunkan  rasul Allah yang ke-7, yaitu LUTH as  (1861-1686 SM), yang satu waktu dengan nabi Ibrahim as dan juga Lukman al-Hakim yang kisah kebijakannya diabadikan di dalam Al -Qur’an. Namun, lagi-lagi umat Luth inipun mendapatkan bencana besar dari Allah karena mengingkari da’wah rasul-Nya Luth. Dan dari keturunan Luth dengan rentang waktu yang cukup panjang, menurunkan bangsa-bangsa non-Arab dari garis keturunan SAM, seperti: (Babilon, Achor, Kan’an dll …).

 

‘Ars , yang terakhir ini menurunkan langsung bangsa Tsamud. Dari keturunan kelima Tsamud bernama Abir menurunkan langsung  rasul Allah yang ke-5, yaitu SHALEH as (2000 – 1900 SM), yang akhirnya umatnya juga kena siksa Allah karena kafir. Maka dengan demikian keturunan Iram bin Sam bin Nuh sudah selesai riwayat kerasulannya sampai di sini.Yang penting dicatat, bahwa bangsa-bangsa dari keturunan Iram bin Sam bin Nuh ini adalah sarat dengan bencana karena kesombongan dan keangkuhan mereka.

 

 

KEDUA: Arfakhshad;

yang terakhir inilah yang kemudian menurunkan rasul-rasul Allah berikutnya sampai kepada rasul penutup nabi besar Muhammad SAW, dari anak Sam bin Nuh. Dari keturuna ketujuh Arfakhshad yang bernama Azar menurunkan langsung nabi dan rasul Allah yang paling legendaris, yaitu  IBRAHIM as (1861-1686 SM), rasul Allah yang ke-6 . Dan dari Keturunan Arfakhshad ini juga lahir pembangkan ketuhanan terbesar di dunia raja Namrud.

 

 

Ibrahim juga dikenal dengan Bapak para nabi dan rasul, karena dialah yang menurunkan rasul-rasul selanjutnya hingga sampai kepada nabi besar kita Muhammad SAW. Sebagaimana juga dia dikenal sebagai Bapak  monoteisme , yang percaya hanya ada satu Tuhan. Dan ajarannya ini yang diikuti oleh para rasul selanjutnya sampai sekarang, mulai dari Yahudi, Nasrani sampai kepada agama penutup yaitu Islam.

 

 

Kemudian Ibrahim menurunkan tiga orang putra, dua di antaranya menjadi rasul, yaitu  ISMAIL rasul ke-8  dan  ISHAQ rasul yang ke-9 , satu lagi putra Ibrahim bernama Madayan menurunkan  rasul yang ke-12, yaitu Syuaib as . Maka ini juga sebabnya nabi Ibrahim disebut sebagai Bapak para nabi dan rasul karena ketiga putranya masing-masing menurunkan rasul untuk bangsa yang berbeda-beda. Adapun putra-putra Ibrahim tersebut, penulis susun dari putra nomor dua, sebagai berikut:

 

 

ISHAQ as , rasul yang ke-9  untuk Bani Israil: Menurunkan dua putra kembar, satu di antaranya mewarisinya menjadi rasul sesudahnya langsung, yaitu  Ya’qub rasul ke-10 , dari kedua putra kembar Ishaq ini masing-masing menurunka nabi dan rasul-rasul Bani Israil, sebagai berikut:

 

 

Eish : Menurunkan secara turun-temurun, masing-masing: Rum, tarekh, Amose. Kemudian dari keturunan ketiga Amose ini menurunkan langsung rasul yang  ke-13, yaitu AYYUB as , kemudian Ayub menurunkan putranya yang kelak menjadi rasul yang  ke-14, yaitu ZULKIFLI as . Kedua bapak dan anak ini diutus Allah menjadi rasul untuk Bangsa Syam (Demaskus-Suria sekarang).

 

 

Ya’qub as : Dia disebut juga sebagai Bapak Bani Israil, menurunkan 12 orang putra satu di antaranya menjadi rasul langsung sesudahnya, yaitu  YUSUF sebagai rasul yang ke-11 .

 

 

Putra-putra Ya’qub lainnya yang akan disebutkan disini selain Yusuf pada hanya tiga saja yang masing-masing menurunkan rasul-rasul Bani Israil, penulis urut dari yang paling kecil, sebagai berikut:

Benyamin : Dia adalah saudara kandung Yusuf seibu dan sebapak, dia jugalah satu-satunya keturunan Ya’qub yang menurunkan rasul di luar dari bani Israil. Benyamin menurunkan Abumatta, kemudian Matta dan menurunkan  YUNUS as, rasul yang ke-21  untuk bangsa Ninui – Irak.

 

 

Lawi : Menurunka Kohath, kemudian Imran yang melahirkan dua putra masing-masing menjadi rasul yang  ke-15 dan 16, yaitu MUSA (1436 SM) dan HARUN . Selanjutnya dari Harun menurunkan izar, kemudian Fahnaz yang menurunkan dua putra masing-masing: Pertama, Yasin menurunkan  ILYAS as, rasul ke-19 , dan kedua, Ukhtub menurunkan ALIYASA as, rasul ke-20 .

 

 

Yahudza : Menurunkan Bares – Hasrun – Raum – Ummanizab – Yauksaun – Salmun – Yuar – Ufiz, Isya dan ‘Uwaid yang menurunkan rasul  ke-17, yaitu DAUD as , kemudian dari Daud lahir putranya  SULAIMAN as, rasul ke-18 . Lalu dari Sulaiman secara terpisah menurunkan  ZAKARIA sebagai rasul ke-22 , kemudian menurunkan secara langsung YAHYA as rasul ke-23 . Dari garis lain Sulaiman juga menurunkan: Hezekia – Heli yang menurunkan Imran, lalu menu menurunkan bunda Maryam selanjutnya menurunkan  ISA as, rasul ke-24 .

 

 

Madyan:  Putra Ibrahim yang menurunkan Bangsa yang membawa namanya sendiri yaitu Madyan, kemudian secara tidak langsung menurunkan Safyun yang menurunkan langsung nabi  Syuaib as (Abad ke-16 SM), rasul ke-12  untuk Bangsa Arab jauh.

 

 

Smail as : Adalah putra pertama nabi Ibrahim as dari Ibu Hajar, di dikenal juga dengan Bapak Bangsa Arab, dia diutus untuk Bangsa Jurhum (Yaman dan Arab lainnya). Dari keturunan ke-61 Ismail lahirlah penghulu para nabi dan rasul, yaitu rasul penutup nabi besar  MUHAMMAD SAW

 

 

 

sumber : http://suaratuhan.blogspot.com/2013/03/silsilah-para-nabi-rasul-dan-bangsa.html

 

 

 



Jangan Bersedih, Surga-Nya Cukup Luas Untuk Semua Agama

$
0
0

bali-hindu-family-720x479 ISLAMTOLERAN.COM- Suatu ketika, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Salman Al-Farisi tampak gusar. Sebelum mengenal Nabi dan menjadi seorang Muslim, Salman adalah seorang penganut Nasrani yang tinggal bersama para biarawan di gereja. Salman mengenal para biarawan itu sebagai orang-orang yang baik dan saleh. Hal itu membuatnya sedih karena ia mengira bahwa para biarawan itu akan masuk neraka sebab mereka bukan Muslim. Betapa lembut dan pengasihnya hati seorang Salman, yang memikirkan nasib para biarawan baik hati yang sudah dia anggap seperti sahabat dan keluarganya sendiri.
1476261_10151999505085690_1796703469_n Mungkin ada di antara kita yang memiliki kegusaran yang sama seperti Salman. Hidup di tengah masyarakat yang bhinneka, kita semua tentu memiliki kenalan, sahabat, atau bahkan keluarga yang berbeda agama. Mereka orang-orang yang baik dan menjalani hidup sehari-hari sama seperti kita. Satu-satunya perbedaan hanyalah nama agamanya saja. Apakah hal ini akan membuat mereka masuk neraka? 1538054_254900274680929_838035889_o Allah menjawab kegusaran Salman dan kita semua lewat ayat berikut: “Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal saleh, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.” (Al-Baqarah:62) Tak peduli apa pun agama dan keyakinan seseorang, iman dan amal baik pasti akan mendapat balasan dari Tuhan. Bukankah Dia Sang Maha Adil dan Maha Pengasih? Tak sedikit pun hati yang tulus akan dikecewakan, dan tak sedikit pun perbuatan yang baik akan disia-siakan. (Gambar dari: http://www.indiatimes.com/) Dari 99 nama-Nya yang agung, Allah memiliki satu nama yaitu Rahman yang berarti Pengasih atau Maha Kasih. Sebagai sang Rahman, kasih-Nya memancar ke segenap penjuru alam raya dan apa yang ada di dalamnya. Kasih ini meliputi segala yang hidup di langit dan di bumi, baik yang merayap, berlari, berenang dan terbang. Dengan kasih sebesar itu, yang melampaui apa pun di dunia ini, sudah tentu kasih Allah juga memancar ke seluruh umat manusia tanpa memandang suku, bangsa, atau pun agamanya. ali bin abi tholib Sosok Allah sebagai sumber segala kasih begitu sentral dalam Islam, sehingga bacaan basmalah menjadi pembuka dalam hampir semua perbuatan umat Islam. Bacaan basmalah yang berbunyi: Bismillahirrahmanirrahim yang berarti “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Oleh sebab itu, amatlah keliru keyakinan yang mengatakan bahwa surga hanya diperuntukkan bagi satu agama saja. Kasih Allah cukup besar untuk merangkul seluruh manusia di berbagai belahan dunia, termasuk yang tak mengenal Islam. Meragukannya justru berarti kita telah meragukan kemahapengasihan Allah. (Gambar dari: http://s.hswstatic.com/) Dalam ayat lain Allah berfiman: “Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Shabi’in, Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan membuat keputusan di antara mereka kelak di hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (Al-Haj: 17) Ayat ini menjadi peringatan bagi orang-orang yang sombong karena merasa sudah memegang kunci surga. Mereka yang bahkan sudah berani menunjuk siapa yang akan masuk surga dan siapa yang akan masuk neraka. Padahal keputusan ini adalah milik Allah semata. Muslim atau pun bukan, semua hanya menunggu keputusan-Nya di hari kiamat kelak. Karena Dia-lah hakim yang sebenarnya. semua agama mengajarkan kebajikan .tenzin gyatso dalai lama XIV Jika kita selalu mengisi hidup ini dengan perbuatan baik dan cinta kasih pada sesama, maka pesan Allah adalah tidak akan ada ketakutan dan dukacita atas kita kelak di hari kiamat. Namun sebaliknya jika kita mengisi hidup ini dengan keangkuhan, sikap sombong, dan menebar kebencian pada sesama, maka layakkah kita menyebut diri sebagai penyembah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Surga-Nya cukup luas untuk kita semua, apa pun agamanya, selama kita mengisi hidup ini dengan kebaikan.( islamreformis.wordpress.com)

Sumber: http://www.islamtoleran.com/jangan-bersedih-surga-nya-cukup-luas-untuk-semua-agama/


Islam Kapitalis

$
0
0

Originally posted on :

Agama memang bukan muncul dan berkembang di tengah realitas yang sunyi. Islam hadir memberikan alternatif kehidupan dan semangat perlawanan di tengah iklim penindasan dan eksploitasi kemanusiaan.

Spirit Agama yang menolak manusia menghamba pada penindasan membuat Nabi, para Imam,  orang-orang suci dan para pejuang Islam datang di tengah masyarakat selalu berada dalam resiko.

View original 481 more words


KEBUDAYAAN MINAHASA DALAM KEBERAGAMAN SOSIAL INDONESIA

$
0
0

KEBUDAYAAN MINAHASA DALAM KEBERAGAMAN SOSIAL INDONESIA

Kontribusi Kebudayaan Minahasa

Bagi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia[1]

Oleh:

Dr. Richard A.D. Siwu, Ph.D.

 

Pendahuluan

Keberagaman sosial (social plurality) di Indonesia telah berabad lamanya, dengan adanya kemajemukan etnis dan budaya bahkan agama di persada Nusanara. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sejak dahulu sebetulnya telah menerima dengan sendirinya (take for ganted) kemajemukan (plurality).[2] Namun, konflik horizontal di berbagai wilayah Nusantara beberapa tahun terakhir, yang melibatkan penganut agama ataupun etnis yang berbeda, seakan mengindikasikan hal yang kontroversial. Menerima dengan sendirinya kemajemukan sosial tidak serta-merta identik dengan kerukunan hidup berdampingan dalam keberbedaan. Nampaknya masyarakat Indonesia masih harus belajar bagaimana hidup bersama dalam satu bangsa yang memiliki keberagaman sosial, kultural dan agama. Hal ini menyatakan pula bahwa kerukunan bukanlah sesuatu yang terberi, bukan hanya sekedar slogan, doktrin, ataupun top-down instruction, melainkan  suatu perilaku sosial yang dilandasi oleh penghayatan akan kebersamaan dalam keberagaman (senasib dan sepenanggungan).

Kerukunan adalah suatu kondisi kehidupan bersama dalam kemajemukan yang tercipta oleh masyarakat dan dari dalam diri manusia itu, bukan oleh faktor eksternal berupa peraturan dan indoktrinasi. Oleh karenanya, kerukunan hidup bermasyarakat bersifat dinamis.

Dalam rangka membangun suatu bangsa yang menerima adanya kemajemukan sosial, budaya danagama, memang dibutuhkan suatu pengorbanan dari masing-masing komponen,  tetapi juga kontribusi dari berbagai komponen bangsa, antara lain, baik agama-agama universal maupun kebudayaan-kebudayaan daerah.

Tulisan ini bermaksud untuk mendeskripsikan suatu kontribusi kultural dari kebudayaan daeah, khususnya kebudayaan Minahasa, bagi kerukunan umat beragama di Indonesia.

Kebudayaan Daerah Dalam Rangka Kebudayaan Nasional

 

Umumnya kebudayaan-kebudayaan etnis di Indonesia berakar pada sikap hidup agraria tradisional yang diwarnai oleh pandangan dunia yang totalistis-komnalistis. Dengan kata lain, baik pandangan hidup maupun konsep moral-etika mereka bersifat holistik. Mereka memahami manusia dan dunia sebagai dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, bahkan berkaitan dengan Yang Suci (Sacred) Tuhan, alam dan sesama mahluk; karenanya totalistik-komunalistik. Respek seseorang terhaap yang Maha Suci atau Tuhan harus tercermin pula lewat perilaku moral dalam kehidupan sosial. Jadi, apabila seseorang takut kepada Tuhan, dengan sendirinya ia akan menghargai sesama manusia. Dengan kata lain, apabila seseorang menghargai sesamanya dan lingkungannya, itu adalah pertanda bahwa ia takut akan Tuhan.

Pandangan hidup yang holistik memahami manusia tidak sebagai pribadi yang individualistis (sebagaimana terdapat pada masyarakat modern), melankan sebagai pribadi dengan sesama. Kata lain, pandangan hidup holistik memahami manusia pribadi di dalam komunitas yang berada dalam hubunan harmonis dengan alam-kosmos dan Tuhan.

Pendeknya, tolok ukur falsafah hidup kebudayaan daerah terletak pada smangat dan kehendak untuk memelihara keseimbangan, keharmonisan, kerukunan, kebersamaan dan kesetiakawanan. Latar dari pandangan hidup demikian tentu terdapat ekspektansi bahwa kebaikan, keselamatan dan kesentosaan dari Sang Ilahi, atau keharmonisan tata kosmos akan menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia dan lingkungan. Dengan wawasan demikian, kebudayaan daerah atau etnis ditempatkan dalam kerangka kebudayaan nasional atau bangsa.

Dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 dinyatakan paling kurang dua hal: (1) bahwa kebudayaan daerah diterima sebagai bagian dari kebudayaan bangsa; (2) bahwa kebudayaan daerah haruslah dalam rangka persatuan dan kemajuan bangsa.Yang terakhir disebutkan tentu dalam artian bahwa pengembangan dan pelestarian kebudayaan daerah bukanlah untuk penonjolan daerah semata yang dapat berakibat memecahkan persatuan bangsa.

Pertanyaan disini ialah, sanggupkah kebudayaan daerah menunjang kemajuan dan pembangunan bangsa? Mampukah nilai-nilai kebudayaan daerah memperkaya kebudayaan bangsa dan mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk memperjelas apa kontribusi kebudayaan daerah dan di mana tempat dan peranan kebudayaan daerah dalam rangka baik kebudayaan nasional maupun pluralisme sosial. Makalah ini hendak mendeskripsi secara singkat kontribusi budaya Minahasa dalam rangka menjawab pertanyaan termaksud.

 

 

Orientasi Nilai Budaya Minahasa

 

Setiap masyarakat etnis memiliki orientasi nilai budaya atau wawasan kultural (filosofi) mengenai kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam lingkungan dan semesta. Masyarakat etnis Minahasa (tradisional), memiliki sedikitnya lima orientasi nilai budaya, akni wawasan tentang: kerja, waktu, alam, hidup, dan sesama manusia.

Pertama-tama, bagi orang Minahasa, kerja adalah, tidak seperti yang dikatakan Max Weber “panggilan” (calling) atau “kewajiban religius” (religious obligation), bukan pula “profesi” (vocation), melainkan sebagai “keharusan” untuk hidup. Dengan kata lain, kerja adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia: makanan, tempat berteduh, pakaian. Jad, kerja bukanlah alat atau prasarana untuk memperoleh profit atau keuntungan (nilai tambah).

Selanjutnya, wawasan tentang kerja sesunguhnya berkatan pula dengan wawasan tentang waktu. Untuk orang Minahasa, waktu adalah berputar menurut musim: panas dan hujan silih bergani. Ketika musim hujan, secara alamiah orang sadar bahwa mereka harus menanam. Sebalikna, ketika musim panas datan, orang tahu mereka akan menuai atau panen, lalu istirahat. Jadi, kerja berkaitan dengan putaran musim,dan tidak berkaitan dengan wawasan tentang masa depa. Karenana, orang tidak merasa harus memburu waktu, sebab toh waktunya pasti akan tiba. Dalam ungkapan orang Tounteboan (Minahasa bagian selatan): mange-nger, si kamang wo si endo ca tumintas (pelan-pelan, atau tenang saja, toh hari dan kemujuran – berkah – tak akan lari pergi). Karenanya pula, ”jam karet” adalah lumrah, kalau tidak dikatakan bagian dari hidup sehari-hari.

Kedua wawasan yang baru disebutkan, serta-merta mempengaruhi wawasan orang tentang alam lingkungan. Manusia dan alam merupakan ciptaan yang saling erkit satu dengan yang lain, dalam arti satu hubungan totalistis. Karenanya, peristiwa manusiawi dan peristiwa alami saling mempengaruhi satu terhadap ang lain. Setiap peristiwa dalam lingkaran kehidupannya, misalnya: membuka kebun, memasuki rumah baru, kawin, dst., tidak semata hanya masalah rutin, tetapi hal yang sifatnya religius. Untuk itulah diadakan ritus-ritus atau upacara-upacara religius. Manusia dan alam dipahami berada dalam hubungan yang harmonis.

Tiga wawasan tadi membentuk wawasan tentang kehidupan. Kehidpan pertama-tama bukanlah satu ”antisipasi” akan suatu ”kepenuhan hidp” (fulfillment) di masa depan, melainkan suatu keikmatan bersama dalam komunitas. Itulah sebabnya mengapa pesta-pesta di Minahasa sangat penting secara ”religius”, karena semua itu merupakan pengungkapan rasa solidaritas dan syukur kepada Tuhan. Walaupun memang dalam filosofinya orang Minahasa terdapat konsep wale karondran, kasendukan, dan kaayaan (hidup setelah mati), namun dalamnya tidak ditemkan wawasan tentan ”kehidupan sebagai proses yang bergerak dan berkembang secara progresif menuju ke masa depan, ke titik akhir atau pemenuhan” (dalam wawasan teologi Kristen disebut eschaton).

Keempat orientasi hidup yang baru disebutkan pada akhirnya membentuk sikapnya terhadap sesama manusia. Manusia dalam konsep budaya Minahasa dipahami dalam rangka wawasan maesa-esaan wo maleo-leosan (saling mengasihi, memelihara persatuan dan kesatuan serta keseimbangan). Jadi terdapat hubungan dialektis antara individu dan komunitas atau masyarakat. Pada satu pihak, komunitas atau masyarakat merupakan produk individu-individu, pada lain pihak individu merupakan produk dari masyarakat. Keduanya berada dalam hubungan yang seimbang.

 

 

Si Tou Tinou Tumou Tou: Konsepsi Moral-Etik dalam Budaya Minahasa

 

Kebudayaan Minahasa, sama seperti kebudayaan-kebudayaan etnis lainnya, adalah kebudayaan masyarakat yang disebut pre-literary society. Cirinya terungkap lewat kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-temurun.[3] Dalam hal kebudayaan Minahasa hal-hal itu disebut nuwu’ i tua (petunjuk-petunjuk moral etik dan  petuah-petuah).

 

  • Sikap terhadap sesama (social behavior). Orientasi nilai yang berkaitan dengan sikap dan perilaku terhadap sesama dapat ditemukan pada ungkapan-ungkapan, misalnya, masigi-sigian, maupu-upusan, maleo-leosan, dst. Secara sederhana ungkapan-ungkapan ini biasanya dierjemahkan: ”saling menghormati”, ”saling mengasihi”, ”saling bersikap jujur” satu terhadap yang lain, dst. Namun, substansi ungkapan-unkapan ini tidak hanya dipahami secara harafiah, melainkan dalam rangka orientasi nlai yang hendak menjelaskan wawasan dan sikap kultural-religius orang Minahasa yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. Wawasan kultural ini hndak menjelaskan pula prinsip moral-etis orang Minahasa terhadap sesama, yakni saling menghormati dan mengasihi. Sikap ini sekaligus suatu pengejawantahan sikap hormat terhadap Yang Ilahi, Tuhan, yang biasanya disapa dengan sebutan-sebuan, a.l.: Opo Kasuruan Wangko, Opo Wananatas, Opo Wailan, dst).
  • Kewajiban moral terhadap sesama (moral obligation to serve). Kalau dalam orienasi nilai yang dsebutkan di atas ditemukan adanya suatu kesadaran untuk saling menghormati, maka pada orienasi nilai yang berikut ini adalah kesadaran akan kewajiban untuk melayani sesame manusia. Hal ini terungkap lewat, misalnya, dalam masyarakat Tounemboan, yang disebut masaali. Istilh ini pertama-tama suatu sikap dan tingkah laku anak-anak terhadap orang ua. Adalah kewajiban anak-anak untuk merawat orang tua mereka di saat lanjut usia. Obligasi untuk melayani orang tua sebagaimana biasanya terdapat pada berbagai kelompok etnis atau bangsa, dijumpai pula pada orang Minahasa. Dalam perspektif analisis sosio-kultural, pelayanan seperti ini merupakan juga ungkapan menenai kesadaran etis-religius akan kehormatan seseorang terhadap Yang Ilahi (Tuhan). Kata lain, penghormatan terhadap Tuhan diungkapkan pula lewat kehidupan moral-praktis, yakni melayani sesama manusia. Jadi, praktek pelayanan seperti terlihat pada masaali mengandung nilai etis-religius yang berkaitan dengan kesadaran akan kewajiban moral seseorang terhadap sesama manusia.
  • Kesadaran akan kebersamaan (solidarity and equality). Dalam kebudayaan Minahasa nilai-nilai kebersamaan adalah sangat penting, bahkan menjadi tolok ukur bagi kehidupan sosial. Hal ini nyata terlihat lewat berbagai peristiwa di sekitar kehidupan komnitas di Minahasa, msalnya: kedukaan, pesta nikah, dst. Misalnya, praktek marukup dalam masyarakat Tounemboan, hal yang serupa juga erdapat dapa kelompok etnis manapun di Minahasa, dapat dikategorikan pada orienasi nilai kebersamaan ini. Semua cara dan pacara dalam peristiwa-peristiwa ini tidak semata rutinitas, melankan mengunkap nilai-nlai etis-religius. Persekutuan yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa ini secara sosio-religius adalah ungkapan rasa kebersamaan dan kesamaan derajat (solidarity and equality).
  • Mapalus (institutionalization of work ethic). Masyarakat asli Minahasa memiliki satu etos kerja yang diinstitusionalisasikan lewat pranata mapalus. Pranata in serin diasosiasikan pada praktek ”gotong-roong” di Jawa atau daerah-daerah lain, yang mengungkap semangat dan praktek saling tolong menolong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun, pranata mapalus di Minahasa berkar pada budaya agraris di desa-desa, karenanya berbeda dengan praktek gotong royong, walaupun gotong royong menjadi bagian hakiki dari mapalus. Perbedaannya ialah, gotong royong berlangsung secara sukarela tanpa terorganisir ke dlam satu sistem kerja, sedang mapalus merupakan kegotongroyongan yang telah terorganisir atau terinstitusionalsasi dalam suatu sistem kerja. Jadi, dari sudut pandang etika sosial-kultural, mapalus merupakan institusionalisasi semangat kebersamaan. Hal in dapat dianggap sebagai wawasan tentang sistem erja dan,karenana, dapat dipahami sebut sebagai etos kerja orang Minahasa.[4]
  • Musyawarah mufakat (unanonimous concensus). Semua yang diungkapkan di atas berkaitan dengan ”pembangunan” komunitas desa. Orientasi nilai terakhir ini adalah tentang cara orang Minahasa menyelesaikan konflik sosial. Acuan orientasi nilai ini dijumpai dalam cerita tentang musyawarah mufakat di Batu Pinawetengan (yang bermacam-macam versi). Dalam kebudayaan Minahasa, penyelesaian konflik sosial berbeda dengan budaya Barat (modern). Dalam kebudayaan Barat modern orang harus memilih ”atau ini, atau itu” (either-or). Sedangkan konsep paumung atau masuat peleng lebih dekat pada konsep ”ini dan itu” atau ”bukan ini, bukan itu” (both-and dan neither-nor). Menurut apa yang dicatat oleh H.M. Tulu, tolok kur orang Minahasa menyelesaikan konflik sosial adalah: Esa, esa kita peleng, esa wia se Opo-opo Lumimuut wo si Toar… (Satu, satu kita saudara, disatukan oleh leluhur kita Toar dan Lumimuut). Singkatnya, tolok ukur penyelesaian konflik sosial dalam buadaa Minahasa adalah demi keutuhan komunitas dan integritas sosial. Jadi, ungkapan ”torang samua basudara”, dst., adalah suatu artikulasi filosofis dari orientasi nilai ini.

 

Sesuai dengan istilahnya, si tou tinou tumou tou artinya ”manusia terlahir untuk menghidupi orang lain”, maka konsep moral-etis dalam kebudayaan Minahasa adalah dalam rangka solidaritas kemanusiaan, kebersamaan dan kesetiakawanan. Manusia hidup untuk saling menghidupi satu dengan yang lain, bukan ntuk saling menelan satu dengan yang lain (tumongkok tou).

 

 

Bermasyarakat di Era Globalisasi dan Pluralisasi

 

Satu konsekuensi hidup di era globalisasi adalah pengalaman akan adanya suatu perjumpaan antar budaya dan agama. Perjumpaan itu berlangsung secara fisik maupun nonfisik. Perjumpaan secara fisik berlangsung lewat interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah atau kampus, di kantor atau tempat kerja, maupun di tempat belanja, dst. Sedang secara nonfisik, perjumpaan itu berlangsung lewat media massa, baik media cetak (buku, mjalah, surat kabar, dst), maupun media elektronik (radio, televisi, internet). Jadi, manusia mengalami suatu pergaulan sosial yang terbuka secara global dan plural.

Pergaulan sosial global dan plural menuntut suatu skap hidup baru mansia, yakni keterbukaan dan toleransi. Kalau biasanya manusia atau satu kelompok bersikap tertutup terhadap orang lain atau kelompok yang lain, kini mau tidak mau harus melihat dirinya sebagai bagian dari yang lain. Namun, keterbukaan ini bukannya tidak mempunai konsekuensi. Ia meminta pengorbanan dari masing-masing pihak, yakni keberanian dan kesediaan untuk mengorbankan a priori dan prasangka subyektif terhadap sesama yang lain. Seyogianya, manusia harus semakin meningkatkan kesadarannya bahwa ia hidup dalam satu komunitas yang majemuk. Harus ada kesadaran bahwa manusia hidup dalam konteks keberagaman sosial, budaya, dan agama. Era globalisasi manusia memasuki suatu kehidupan bermasyarakat yang beragam latarbelakang sosial dan budaya serta, yang dikenal dengan istilah pluralisme sosial.

Pluralisasi sosial bukannya tidak mempunyai dampak. Satu dampak globalisasi adalah meningkatnya mobilitas penduduk yang mengakibakan terjadinya perjumpaan antar manusia, antar kelompok, dan antar budaya dan agama. Selanjutnya, dalam arus globalisasi terjadi pergeseran paradigma bermasyarakat dari lokal ke global, dari homogen ke heterogen, yang berdampak secara mental-psikologis terhadap manusia. Dalam hal ini manusia didesak untuk mengubah sikap mental (mental attitude) dan cara berpikirnya (mindset). Ia dituntut untuk mengubah mentalitas primordial yang biasanya memiliki sense of belonging hanya pada ”kampung halamannya” secara lokal dan homogen.bahwa

Berbagai konflik sosial di Indonesia belakangan ini, yang melibatkan penganut agama maupun etnis yang berbeda, menjadi indikator bahwa masyarakat kita belum beradaptasi secara mental-psiklogis dengan pluralisme sosial. Pluralisme sosial itu sendiri berpotensi untuk suatu ketegangan yang bisa berpuncak pada konflik sosial. Kondisi konflik yang mengarah pada anarkisme adalah juga potensi bagi suatu disintegrasi sosial. Peristiwa-peristiwa ini menyatakan bahwa walaupun tlah bertahun-tahun masyarakat dan bangsa Indonesia hidup dalam suasana majemuk dan hidup berdampingan, namun nampaknya hal itu belumlah identik dengan ”kerukunan sejati”. Hal ini juga bisa menjadi indikator bahwa masyarakat majemuk agama kita masih harus membutuhkan lagi suatu proses belajar bersama untuk saling memahami, menghormati, dan menghargai satu terhadp yang lain.

 

 

Kesimpulan: Kontribusi Budaya Minahasa

 

Negara bangsa (nation-state) Indonesia adalah satu negara modern. Ciri negara modern adalah suatu penerimaan akan adanya kemajemukan sosial, baik secara kultural maupun keagamaan. Kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia pertama-tama didasarkan pada kenyataan adanya beragam etnis dan budaya yang berbeda-beda. Sebagai nation-state modern yang didirikan oleh Para Pendiri (the Founding Fathers), maka bangsa dan Negara Indonesia dibangunnya atas dasar filosofi Pancasila. Jadi, Pancasila itulah sebagai “perekat” keberagaman etnis, sosial, budaya dan agama menjadi satu bangsa. Dengan kata lain, Pancasila berfungsi pemersatu keberagaman (pluralitas) sosial, ultural, dan agama masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh Para Pendiri bangsa, Pancasila dipandang pula sebagai filosofi yang memiliki nilai-nilai kultural asli atau berakar pada kebudayaan asli bangsa Indonesia.

Era globalisasi adalah era pergaulan sosial masyarakat majemuk. Hidup dalam masyarakat majemuk dibutuhkan orientasi budaya yang mampu memberi kontribusi yang berwawasan bagi kemodernan, keterbukaan, dan kemajemukan sosial. Melihat budaya Minahasa yang memiliki orientasi nilai kultural bagi etos kerja, spirit kebersamaan, keterbukaan dan toleransi, maka ia turut memperkaya kebudayaan nasional yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang beradab dan kehidupan bermasyarkat yang inklusif. Hal demikian itulah yang biasanya diungkapkan lewat slogan: torang samua basudara, karena itu baku-baku sayang,…dst.

 

 

 

Daftar Kepustakaan

 

Deetje Tiwa-Rotinsulu & Agustien Kapahang-Kaunang (eds.).

Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta: Meridian, 2005.

Wil Lundstrom-Burghoorn.

Minahasa Civilization: A Tradition of Change. Goteborg, Sweden: Acta        Universitatis of Gothoburgensis, 1981.

Pamela K. Brubaker.

Globalization at What Price? Cleveland: The Pilgrim Press, 2001

David Lion.

Postmodernity. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1994.

W.A. visser’t Hooft.

”Pluralism – Temptation or Opportunity?” dalam The Ecumenical Review, 18,           1966.

  1. Coward.

Pluralism Challenge to World Religions. New York, 1985.

Sigmund Freud.

Civilization and Its Discontent. Translated and edited by James Strachey. New          York, 1962.

I Hassan.

”Pluralism in Postmodern Perspective”, dalam C. Jencks, The Post-Modern   Reader, 1992.

Max Weber.

The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism. New York, 1958

H.M. Taulu.

Sejarah Terciptanya Watu Pinawetengan. Manado, tanpa tahun.

R.A.D. Siwu.

”Opoism of the Minahasans can be used as a Framework for Doing Theology”,        dalam Yeow Choo Lak (ed.), ATESEA Occasional Papers No. 4: Doing Theology      with Religions of Asia. Singapore, 1987.

R.A.D. Siwu.

Fassafah Minahasa dalam Keindonesiaan. Tomohon: LETAK 2000

R.A.D. Siwu.

Kebenaran Memerdekakan. Etika Bermasyarakat, Berbudayan dan Beragama Era Globalisasi. Tomohon: LETAK 2000.

A.J. Sondakh.

Si Tou Timou Tumou Tou. Jakarta: Sinar Harapan, 2004.

[1] Disampaikan pada FGD Multikultur di Manado yang di Prakarsasi Mufakat Budaya Indonesia.

[2] Issue “pluralisme” muncul pertama di kalangan para teolog, a.l., W.A. Visser’t Hooft lewat tulisannya “Pluralism – Temptation or Opportunity?” dalam The Ecumenical Review, 18, 1966. Kemudian di kalangan sosiolog agama, misalnya, H. Coward, Pluralism: Challenge to World Religions, New York, 1985, dan secara khusus John Hick lewat tulisnnya “Religious Pluralism” dalam Encyclopedia of Religion, 12, New York, 1987. Dalam diskusi akademis “plurlisme” muncul pertama dalam tulisan I. Hassan, “Pluralism in Postmodern Perspective” dalam C. Jencks, The Post-Modern Reader (1992).

 

[3] Umumnya di masyarakat tradisional Indonesia hal-hal itu disebut adat. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952); Josselien de Jong menyebutnya ”the whole complex of customs, rules, beliefs and etiquette handed down by tradition from immemorial times…” (Taufik Abdullah, 1966).

[4] Etos kerja yang terdapat dalam praktek mapalus dapat dibandingkan dengan etos kerja yang diuraikan Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York, 1958.


Multikulturalisme, Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan Harmoni: Studi Kasus Kaharingan di Kalimantan Tengah

$
0
0

Multikulturalisme, Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan Harmoni:

Studi Kasus Kaharingan di Kalimantan Tengah[1]

 Oleh: Dr. Marko Mahin, MA[2]

 

Pendahuluan

Kaharingan adalah nama agama  masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.  Menurut masyarakat Dayak Ngaju,   Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen.   Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah (yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya)  terdapat  223.349 orang penganut agama Kaharingan (Kalimantan Tengah Dalam Angka 2008).  Kata Kaharingan berasal dari bahasa Dayak Ngaju, yang  muncul dan dipakai dalam upacara ritual keagamaan. Dalam basa sangiang yaitu bahasa ritual para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci, kata Kaharingan berarti “hidup atau kehidupan”  (Baier, Hardeland dan Schärer, 1987: 48).

Perkembangan agama Kaharingan tidak hanya terbatas di kalangan orang Dayak Ngaju saja.  Weinstock (1983), menginformasikan bahwa Kaharingan sebagai agama meluas ke suku Dayak Luangan.  Informasi yang senada juga kita dapati dalam tulisan Hudson (1967, 1972) bahwa suku Dayak Ma’anyan di wilayah sungai Barito menyebut sistem agama mereka juga sebagai Kaharingan.   Berdasarkan Komposisi Etnis berdasarkan Agama di Kalimantan Tengah Tahun 2000 tampak bahwa  hampir semua suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah, misalnya Dayak Tumon di daerah wilayah Barat, dan  Dayak Siang di wilayah Timur, menyebut agama yang mereka anut sebagai Kaharingan.

Kaharingan juga meluas ke luar  wilayah Kalimantan Tengah.  Anna Tsing melaporkan bahwa Dayak Meratus di Kalimantan Selatan menyebut agama mereka sebagai Kaharingan (Tsing, 1998: 400), begitu juga dengan   orang Dayak Tunjung dan Benuaq di Kalimantan Timur Baier (2007a, 2007b), serta masyarakat Dayak Uud Danum (Ot Danum) yang berada di Kecamatan Embalau dan Serawai Kalimantan Barat. (Bajik Simpei wawancara pribadi, Januari 2009, bdk. Musfeptial & Purwiati, 2004).

  1. Kaharingan dan Konflik Kebudayaan

Berdasarkan penelitian pada yang dilakukan tahun 2006-2009 (Mahin 2009), diketahui bahwa  konflik yang dihadapi oleh para penganut Kaharingan terkait erat dengan identitas etnis (Dayak) dan dan identitas agama (Kaharingan). Sejak zaman prakolonial, kolonial dan bahkan hingga zaman  kemerdekaan,  masyarakat Dayak melekat-erat (atau dilekat-eratkan) dengan imajinasi sebagai manusia liar, primitif, dan tanpa peradaban. Kebersahajaan dan keterisolasian mereka dilihat identik dengan ketidakberadaban dan tanpa agama (heiden/kafir).  Kalaupun dilihat atau dibicarakan “beragama”  atau “memiliki religi” agama yang mereka anut disebut sebagai agama nenek moyang, agama adat, agama bumi atau agama kebudayaan. Agama yang mereka anut dilihat sebagai agama yang belum atau tidak sempurna, karena mereka menyembah banyak dewa (politeisme) tidak mempunyai Kitab Suci, tidak mempunyai Nabi, tidak mempunyai sistem hukum yang jelas bagi para penganutnya, dan tidak berskala internasional atau hanya dianut oleh satu kelompok suku saja di wilayah yang terbatas.

Imajinasi liar namun populer  ini melahirkan pandangan tentang perlunya meng-adab-kan dan meng-agama-kan orang-orang Dayak.  Dari imaji ini muncullah pandangan bahwa bahwa agama Dayak itu tidak hanya agama kegelapan dan tidak mendatangkan keselamatan, tetapi juga tidak bisa diandalkan. Ia adalah kayu lapuk yang tidak bisa dijadikan sebagai tempat berpijak (Witschi, 1942: 85).  Sebagai agama suku, ia akan tumpas  dengan sendirinya karena tidak bisa berkembang (Kraemer 1947: 231).

Secara historis, konflik kebudayaan yang pertama dihadapi para penganut Kaharingan adalah ketika berjumpa dengan negara awal atau negara pra-kolonial yaitu Kesultanan Islam Banjar yang dengan tegas menjadikan Islam sebagai agama resmi, mensyaratkan bahwa bila orang Dayak mau menjadi bagian dari kekuasaan haruslah memeluk Islam terlebih dahulu dan melakukan re-afiliasi etnis, hal itu mengakibatkan orang Dayak tidak saja kehingan agama leluhurnya tetapi juga kehilangan ke-Dayak-annya dan berhenti menjadi orang Dayak (lihat Ras, 1968: 8, 442-443, 336-337, 374-375, 442-443).

Situasi tidak berdaya dan proses otherizing terus berlanjut hingga ke pemerintahan Negara Kolonial.  Walaupun tidak seperti pada masa prakolonial yang harus meninggalkan bahasa dan persekutuan suku, orang Dayak bila ingin menjadi bagian dari kekuasaan Negara Kolonial haruslah meninggalkan kebudayaan dan agama luhur para leluhurnya.

Pada masa kolonial Belanda, diperkenalkan dengan birokrasi negara moderen dengan segala peraturannya antara lain, penghapusan perbudakan, larangan perburuan kepala dan perang antar suku, wajib tinggal di kampung selama tidak ada kegiatan di ladang, pada hari Minggu wajib libur dan tidak boleh mengadakan keramaian adat,  wajib  sekolah bagi anak-anak yang telah berumur 7 tahun,  kalau tidak sekolah orang tuanya kena denda.  Para imam tradisional Dayak yang disebut oloh Balian dikenakan pajak profesi sebesar 10 florin per tahun (Schwanner, 1853:134).

Pada zaman Jepang, Kaharingan tampaknya mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat.  Penguasa militer Jepang menyatakan bahwa Agama Kaharingan ada kaitan dan kemiripan dengan Agama Shinto (Mihing dan Rampai, 1978: 111).   Karena itu, misionaris Bigler (1947) melaporkan bahwa    pada zaman Jepang  untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam menangani  kebudayaan (bdk. Baier 2007a, 2007b).

Setelah berjumpa dengan Negara Pra-kolonial dan Kolonial (Belanda dan Jepang), masyarakat Dayak Ngaju berhadapan dengan Negara Pasca-kolonial yaitu  Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 1945.  Dalam negara yang baru terbentuk ini, teritorial hidup mereka digabungkan dengan Banjarmasin yang secara tidak langsung adalah sisa-sisa dari Negara Prakolonial. Hal itu semakin terasa ketika meletus pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Hal ini membuat mereka menjalankan politik partisi yaitu memisahkan diri serta membentuk provinsi baru yaitu Kalimantan Tengah.

Setelah terbentuk provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957, agama Kaharingan tidak banyak mengalami perubahan, tetap tidak diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.  Pemerintah Indonesia melihat Kaharingan hanya sebagai “agama suku”, atau “aliran kepercayaan”, atau salah satu aspek dari “adat” atau  “kebudayaan”.  Karena itu, Kaharingan ditempatkan di  bawah  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan bukan di bawah Departemen Agama.   Dengan demikian,  para penganut agama Kaharingan secara tidak langsung  diklasifikasikan sebagai orang-orang yang  “belum beragama”, yang  menurut  Atkinson (1987: 177) berkonotasi orang yang “tidak berpendidikan” (uneducated),  “yang terbelakang” (backward people),  dan “agama primitif” (uncivilized religion).

Kegelisahan sosial muncul pada masa awal berdirinya Orde Baru tepatnya ketika diadakan Sensus Penduduk 1971.  Sensus Penduduk ini sangat berpengaruh karena diadakan  pasca peristiwa 1965.  Dalam formulir isian untuk melakukan sensus hanya mencantumkan  5 kolom agama saja yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.  Akibatnya di Kalimantan Tengah terdaftar lebih dari 2.000 Kepala Keluarga dengan status “tidak beragama”. Hal ini semakin menggelisahkan ketika Jendral Amir Machmud yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada 1978, mengeluarkan Surat Edaran tentang pengisian kolom agama dalam KTP.  Bagi yang bukan beragama Islam, Kristen Katolik, Hindu dan Budha di buat tanda strip (-).[3]

Status “tidak beragama”,  memposisikan orang-orang Dayak Kaharingan untuk berhadapan dengan dua bahaya besar.  Bahaya pertama adalah menjadi target proselitisasi  baik oleh Pekabar Injil Kristen maupun oleh Pendakwah Islam  (Ramstedt, 1999: 5).   Kedua, karena mereka dipandang tanpa agama,  maka dalam iklim politik Indonesia yang khas  mereka bisa saja dituding komunis,  pemberontak dan pengkhianat negara. Dengan demikian umat Kaharingan betul-betul  berada pada posisi “terancam” ketika sentimen anti-komunis merebak pada pertengahan tahun 60-an (Kuhnt-Saptodewo, 2000:64).

Berbagai usaha telah dilakukan agar Kaharingan dapat menjadi agama resmi yang diakui oleh negara.   Namun usaha itu terhempang oleh persyaratan “unik”, seperti yang dikatakan oleh   Kipp & Rodgers  (1987: 21) bahwa  untuk  menjadi agama resmi  yang diakui oleh pemerintah haruslah: monotheistik, mempunyai kitab suci, mempunyai nabi dan mempunyai komunitas internasional.

Kendati mengalami banyak hambatan, tokoh-tokoh  agama dan  intelektual Kaharingan  tidak pernah berhenti untuk memperjuangkan keberadaan Agama Kaharingan di Indonesia.  Pada 20 Januari 1972, dua orang Dayak Kaharingan yaitu Simal Penyang dan Liber Sigai mengambil inisiatif untuk mendirikan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI).     Kemudian  pada tahun 1979, mereka mulai mencari kontak dengan Agama Hindu di Bali.  Pada tanggal 1 Januari, atas nama MBAUKI,  Lewis KDR, salah satu pemimpin Kaharingan, mengajukan surat permohonan resmi untuk mengadakan afiliasi dengan Agama Hindu.  Pada tanggal 19 April 1980, melalui SK Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia No. H/37/ SK/1980 Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan dikukuhkan sebagai badan Keagamaan yang bertugas untuk mengelola sebaik-baiknya Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan untuk kepentingan umat Kaharingan. Dengan demikian maka Agama Kaharingan berintegrasi dengan Agama Hindu, sehingga muncullah  Agama Hindu Kaharingan.

Setekah terintegrasi dengan Hindu bukan berarti masalah selesai, Kaharingan tetap mengalami pelabelan atau stigmatisasi, misalnya:

  • Kaharingan adalah agama orang-orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil yang letaknya jauh di pedalaman, di hulu-hulu sungai yang di kelilingi oleh hutan lebat dan pegunungan yang terjal. Kaharingan adalah agama orang-orang Dayak penghuni hutan hujan tropis seperti yang sering digambarkan media dan aktivis ekologis. Padahal Kaharingan adalah juga fenomena urban. Pada masa kini para penganut agama Kaharingan tersebar di 13 Kota Kabupaten dan 1 Kotamadya
  • Kaharingan adalah agama orang Dayak pada masa lampau, agama nenek moyang yang hidup pada masa lalu, dan yang pada masa kini sudah tidak ada penganutnya lagi.  Padahal Kaharingan adalah juga agama orang-orang Dayak Ngaju pada masa kini.
  • Kaharingan adalah agama lama (agama helu), agama usang yang sedang menuju kepunahan, karena itu tidak mungkin ada perkembangan atau perubahan-perubahan.  Padahal Kaharingan adalah agama yang dinamik dan berkembang. 
  1. Strategi Budaya Kaharingan

Berdasarkan penelitian pada yang dilakukan tahun 2006-2009 (Mahin 2009), diketahui bahwa agar dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di   panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis Kaharingan dengan sadar melakukan praktik-praktik sosial kebudayaan tertentu. Mereka menolak disebut “tanpa agama” atau “belum beragama”.  Bahkan  mereka menolak disebut Aliran Kepercayan (Palangka Post, 12/8/2003, Buletin Isen Mulang Edisi No. 107/Agustus 2003).  Mereka mengatakan “Kami bukan Aliran Kepercayaan, secara de facto kami adalah agama”. Mereka dengan aktif membangun diri sebagai umat agama menurut kriteria yang sangat khas Indonesia, yaitu melalui praktik-praktik:

  1. Merumuskan bahwa agama Kaharingan adalah agama yang percaya kepada Sang Pencipta Ranying Hatalla Langit yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Menyusun Kitab Suci yang disebut dengan Panaturan dan buku-buku keagamaan, antara lain:
    • Buku Ajar Agama Kaharingan yang berisi kumpulan doa, pengakuan iman (credo) dan tata cara beribadah. Pada tahun 1995  buku ini direvisi dengan judul baru Talatah Basarah.
    • Buku Tawur yang berisi petunjuk tata-cara memohon pertolongan Tuhan melalui  upacara menabur beras.
    • Buku Kandayu yang berisi lagu-lagu rohani Kaharingan, Buku Do’a yang berisi formula-formula doa,
    • Buku Pemberkatan Perkawinan yang berisi tata-cara melaksanakan ritual perkawinan
    • Buku Petunjuk Mengubur yang berisi tata-cara melaksanakan ritual penguburan
    • Buku Manyaki yang berisi formula-formula doa dan tata-cara melaksanakan ritual Manyaki
    • Buku Penyumpahan/Pengukuhan yang berisi tata-cara dan formula-formula doa yang harus diucapkan dalam acara Pengambilan Sumpah atau Pengukuhan Jabatan

 

  1. Menyelenggarakan ibadah (upacara ritual keagamaan) mingguan secara rutin yang disebut dengan Basarah yaitu setiap hari Kamis atau Jumat malam.
  2. Membangun rumah atau tempat ibadah yang disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan.
  3. Menyelenggarakan perayaan hari raya keagamaan tersendiri yaitu:
  • Hari Raya Maneneng Pakanan Batu yang secara hurufiah berarti “Hari Raya Mendiamkan Diri Memberi Makan Batu” dirayakan satu kali setahun setelah panen sekitar bulan Mei.
  • Hari Raya Turunya Ilmu Pengetahuan yang  dikenal dengan Bawi Ayah Muhun Bara Lewu Telu Akan Pantai Danum Kalunen
  • Hari Raya Pakanan Sahur Lewu atau Hari Raya Memberi Makan Roh Penjaga Kampung dilakukan satu kali setahun sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatalla Langit, Jatha Balawang Bulau atas perlindunngan dan rahmat-Nya melalui Leluhur Penjaga Kampung yang melindungi dan menjaga penduduk kampung.
  1. Mendirikan lembaga/organisasi keagamaan untuk melakukan pembinaan kepada umat yang tersebar di desa-desa, kecamatan dan kabupaten.
  2. Mendidik guru agama dan mencetak buku pelajaran agama dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi.
  3. Mengadakan acara Festival Tandak yang serupa dengan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi).
  4. Membangun Kompleks Pekuburan dan Sandung

 

 

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa  penganut Kaharingan telah melakukan  politik kultural dan keagamaan  ketika berhadapan dengan struktur-struktur objektif yang ada di sekitar mereka.  Mereka menjadi individu-individu yang aktif, atau sebagai  subjek yang menjalani proses dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen-agen yang lain. Mereka melakukan strategi kebudayaan untuk melawan budaya penyeragaman yaitu dengan melakukan reproduksi kebudayaan dan melancarkan heterodoxa. Mereka menyusun siasat dan strategi, mengorganisasikan dan menata diri sedemikian rupa, dengan tujuan  agar memiliki distingsi sosial yaitu  kekuasaan untuk mengontrol persepsi, pandangan, visi, juga cara pandang seseorang maupun kelompok sosial.

Beberapa strategi dan siasat dibangun dan terbangun untuk memperoleh relasi dan posisi yang menguntungkan secara sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yaitu:

  1. Melakukan proses rasionalisasi yaitu dengan melakukan sistematisasi, kanonisasi, dan kodifikasi ajaran dan ritual, serta birokratisasi kelembagaan.
  2. Melakukan proses mimesis yaitu upaya untuk menyesuaikan dan memantaskan diri dengan ide-ide negara. Misalnya pada 1980 dengan cara berintegrasi dengan agama Hindu (yang diakui dan dianggap resmi oleh Negara), sehingga menjadi Hindu Kaharingan.
  3. Melakukan proses mimikri yaitu respons terhadap kekerasan simbolik yang bersifat lembut dan tidak kasat mata dalam melakukan dominasi. Peniruan bukanlah bentuk ketertundukkan atau kepasrahan, tetapi upaya untuk mencemooh struktur-struktur objektif yang ada. Hal itu terjadi karena peniruan-peniruan itu bertujuan mengaburkan (membuat buram) bahkan melawan apa yang ditirunya.  Misalnya dengan membuat Kitab Suci Panaturan.
  4. Melakukan aprosiasi dan abrogasi atas definisi-definisi yang peyoratif dan diskriminatif, yang dilakukan dengan cara menolak sebutan “agama suku” dan semua sebutan lain yang sejenis (heiden, kafir, penyembah berhala, animisme, dinamisme, politeisme, agama adat, agama budaya dst.), serta kemudian menyatakan sebutan itu sebagai produksi  para missionaris yang berhasrat memproselitkan mereka.  Sebutan-sebutan itu dilihat sebagai politik para missionaris yang mencari pembenaran  agar mereka dapat dengan leluasa mengajak mereka pindah agama.  Proses abrogasi dan aprosiasi dilakukan  misalnya dengan menyatakan bahwa Kaharingan adalah agama yang diwahyukan, bukan agama budaya, bukan hasil karya-cipta manusia. Kaharingan adalah “agama langit” dan bukan “agama bumi”.  Kaharingan bukanlah agama suku atau agama lokal, bukanlah agama budaya yang merupakan hasil buah pikiran manusia, tetapi agama wahyu dan berasal dari langit, berasal dari Tuhan.
  5. Menolak untuk diprimitifkan apalagi melakukan self- primitivization, menolak dilihat masyarakat tradisional apalagi self-traditionalization.  Secara aktif melakukan proses agama-nisasi diri sendiri (self-religionization). Dengan cara ini maka mereka terhindar dari kekuatan sistematis yang telah mengembangkan berbagai cara untuk menjadikan orang-orang yang tidak beragama sebagai sasaran kebencian. Dengan self-religionization mereka dapat menghindari proselitisme bahkan menolaknya dengan alasan mereka sudah beragama dan menurut undang-undang penyebaran agama tidak boleh ditujukan kepada orang yang sudah memiliki agama.
  6. Menciptakan “ruang hidup dialogis” dimana di dalamnya ia tidak menjadi objek mati, tetapi menjadi subjek yang berjiwa yaitu subyek yang bisa bertanya, mendengar, menjawab, menyetujui dst.. Untuk itu pada tahun 1950-1957 masyarakat Kaharingan aktif dalam politik partisi pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah merupakan bentuk praktik Kaharingan untuk membentuk ruang publik baru dimana di dalamnya mereka dapat berkumpul untuk membicarakan nasib mereka sendiri.  Dalam ruang hidup itu mereka dapat terlibat dalam Pemilihan Umum, baik sebagai pemilih dan dipilih, serta berpeluang untuk terpilih menjadi anggota DPRD, dapat berpartisipasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, lebih jauh lagi dapat mengklaim dana APBD.

 

  1. Penutup

Berdasarkan paparan di atas tampak bahwa  kebudayaan (agama) dapat menjadi politik kelas, yaitu untuk mempertahankan dan memapankan status superior kelas dan kekuasaan kelas. Pada tataran ini maka simbol-simbol (agama atau kebudayaan) yang melekat pada kelas itu merupakan ungkapan ketidaksamaan atau ketidaksetaraan kelas, status, atau posisi sosial.  Lebih jauh lagi, simbol-simbol itu menjadi alat untuk mendominasi Simbol-simbol itu beroperasi sebagai indeks kekuasaan baik bagi yang mendominasi maupun yang didominasi.  Paparan di atas memperlihatkan bagaimana “repot”nya umat Kaharingan berhadapan dengan simbol-simbol agama besar yaitu  konsep Tuhan, kitab suci, rumah ibadah, dst..  Hal itu terjadi karena simbol-simbol itu  tidak hanya dipakai sebagai  medium untuk merefleksikan dan mempertahankan ketidaksetaraan kelas dan mereproduksi ketimpangan hubungan kekuasaan antara si dominan dan si terdominasi, serta membangun sistem oposisi biner bermakna hirarkis (dominan/subordinat), tetapi juga sebagai sarana untuk mendominasi, yaitu meligitimasi kedudukan si dominan.

Karena itu ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:

  1. Bahwa kebudayaan dan agama dapat menjadi sumber konflik karena bersifat dikotomi yaitu mengandung unsur hirarkis, bahkan oposisional yang sangat tidak adil dan menindas. Benar apa yang ditemukan oleh Anna Tsing (1998) bahwa ”perbedaan mencolok antara beradab dan tidak beradab mulai dengan apa yang dinamakan agama” (hlm. 261).
  2. Bahwa kebijakan atau tata-kelola Negara terhadap kebudayaan (agama) dapat menjadi sumber konflik, karena cenderung pada penyeragaman atau monokulturalisme.
  3. Bahwa pemilik agama dan kebudayan dapat melakukan berbagai macam strategi kebudayaan untuk mengelola konflik. Sehingga kekuasaan tidak lagi bersifat mutlak dan absolute.

 

 

Daftar Pustaka

Atkinson, Jane Monnig. 1987. “Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian

Minority Religion”, dalam Kip, Smith Susan dan Rodgers, Susan. Indonesian

 Religions in Transition.  Tucson: The University of Arizona Press, pp. 171-186.

Baier, Martin. 1977. Das Adatbussrecht der Ngaju-Dayak,  Ph.D.Thesis Universitas

Tuebingen/Jerman

_____ . 1998. Die Hindu Kaharingan-Religion als beispielloser Fall eines nachchristlitchen

            Nativismus.  Tribus: Jahrbuch des Linden  Museums nr. 47. Dezember 1998, Stuttgart:

            Linden-Museum Stuttgart.

_____ . 2002.  “Contribution to Ngaju History, 1690-1942“.  BRB Vol. 33. pp 75-79

_____ . 2007a  The Development of A New Religion in Central Kalimantan,

dalam BRB  Vol. 38, January 1, 2007

_____ .2007b   “The Development of the Hindu Kaharingan Religion, A New Dayak Religion in Central Kalimantan,  dalam Anthropos 102, 2007

_____ . 2008. Dari Agama Politeisme Ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa, tp.

Baier, Martin, Hardeland, August, Schaerer,  Hans. 1987.  Woerterbuch der, Bahasa Sangiang

– Ngaju-Dayakisch – Bahasa Indonesia – Deutsch.  VKI 128, Dordrecht: Foris Publication

Hardeland, August. 1858.  Dajacksch-Deutsches Wörterbuch, Amsterdam: Muller

Hudson, Alfred Bacon. 1967.  Padju Epat:  The Ethnography and Social Structure of A Ma’anjan

  Dajak Group in Southeastren Borneo, Phd. Thesis di CornellUniversity.

_____. 1972.   Padju Epat: The Ma’anyan of Indonesia Borneo,  New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Kraemer, H.  1947.  Christian Message in A Non Christian World.

Kipp, Rita Smith & Susan Rodgers (ed.),  1987           Indonesia Religions in Transision. Tucson:  The

University  of Arizona Press.

Kuhnt-Saptodewo, Sri Tjahjani. 1992.  Zum Seelengeleit bei den Ngaju am Kahayan, Akademischer

Verlag München.

_____. 1999.  “A bridge to the Upper World: Sacred Language of the Ngaju”. BRB No Vol. 30, p. 13-

27.

_____. 2000.  “Religion and Identity”. Thomas Engelberth, Andreas Schneider  (eds.)  Ethnic

            Minorities and Nationalism in Southeast Asia. Frankfurt: Peter Lang

Kriele, E.. 1915. Das Evangelium bei den Dajak auf Borneo.  Barmen: Verlag des  Missionshauses

Mahin, Marko. 2009.  Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah.  Disertasi S3 di

FISIP, Departemen Antropologi, Universitas Indonesia.

Mihing, Teras, dan Rampai, Kiwok.  1978. Sejarah Daerah Kalimantan Tengah, Proyek Penelitian

dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen P & K (Stensilan)

Miles, Douglas. 1976.  Cutlass and Crescent Moon,  Sydney:  Center for Asian Studies University of

Sydney.

Musfeptial & Purwiati, Heri.  2004.  Analisa Struktur dan Nilai Budaya Sastra Lisan Dayak Uud

            Danum. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Ramstedt, Martin. 1999.  Indonesianisation, Globalisation, and Islamisation Parameters of  the Hindu

 Discourse in Contemporary Indonesia, Paper in IIAS Seminar Hinduism in Moderen

Indonesia, 16-17 September 1999.

Ras, J.J. 1968.  Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff

Schärer, Hans. 1946.   Die Gottesidee der Ngadju Dajak in Süd-Borneo, Leiden: E.J. Brill

_____. 1963. Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People, The Hague:

Martinus Nijhoff.

Schiller, Anne. 1987.   Dynamic of Death: Ritual, Identity, and Religious Change among The 

            Kalimantan-Ngaju.  Ph.D.Disertation  in Cornell University.

_____.1997a. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity Among    The  Ngaju of Indonesia.  New York-Oxford: Oxford University Press.

_____.1997b. “Religion and Identity in Central Kalimantan: The Case of the  Ngaju Dayaks”.

Winzeler, Robert L. Indigenous People and the State: Politics, Land, and Ethnicity in the Malayan Peninsula and Borneo. New Haven, Connecticut: Yale University Southeast Asia Studies.

Schawanner, C.A.L.M. 1853.  Borneo (2 vols).  Amsterdam: PN van Kampen

Tsing, Anna Lowenhaupt.  1993.  In the realm of diamond queen:  Marginality in an out-of-the way

            place. Princeton, N.J.: Princeton University.

_____. 1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat

            Terasing(Terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin).  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Witschi, von Hermann. 1942.  Christus Siegt: Geschichte der Dajak-Mission auf Borneo,  Basel:

Basler Missionsbuchhandlung

Weinstock, Joseph, 1983. Kaharingan and The Luangan Dayaks:  Religion and Identity in Central

            East Borneo,Ph. D. Dissertation, Cornell University.

 

 

Artikel Koran, Bulletin dan Majalah

 

Buletin Isen Mulang. 2003.  “Kaharingan Menolak Disebut Aliran Kepercayaan”.

            Edisi No. 107/Agustus 2003

Palangka Post. 2003. “Kaharingan Menolak Disebut Aliran Kepercayaan”. Tanggal 12 Agustus

 

 

Laporan/Data Keagamaan:

 

Departemen Agama RI, Data Keagamaan Tahun 2003, Jakarta: Departemen Agama

Pemerintah Kota Palangka Raya. 2004.          Rencana Strategis Kota Palangka Raya Tahun 2004-2008, Palangka Raya: Pemkot Palangka Raya

 

Dokumen Integrasi Umat Kaharingan dengan Hindu Tahun 1980 dan Lain-Lain, Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kalimantan Tengah, tt.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Dipresentasikan pada Focus Group Discussion se Sulawesi & Kalimantan di Manado, pada tanggal 34  Desember 2014,

[2] Antropolog, Dosen di Universitas Kristen Palangka Raya. Email: kaharingan@gmail.com

[3] Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 berisi tentang Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221a Tahun 1975. isinya adalah sbb.:

 

Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model A dan B tentang Izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka bagi yang tidak menganut salah satu dari kelima Agama yang resmi diakui oleh Pemerintah seperti antara lain menganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lain-lain maka pada kolom Agama pada formulir yang dimaksud cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-).  Kata “kepercayaan” disamping kata “Agama” pada formulir Model 1 sampai dengan Model 7 supaya dicoret saja.

 


DEMOKRASI YANG MERANA: TERABAIKANNYA NILAI-NILAI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

$
0
0

 DEMOKRASI YANG MERANA: TERABAIKANNYA   NILAI-NILAI  LOKAL DALAM

 PENGEMBANGAN  DEMOKRASI DI INDONESIA

Prof Dr. A. Rasyid Asba,MA[1]

Abstrak

             Membicarakan nilai-nilai kelokalan, khususnya  masalah demokrasi/ hidup berkelompok (wanua)  masih   dapat dikatakan belum dibuka secara bebas karena dapat mengancam integrasi nasional,  khusunya kelompok politik yang masih  menganut paham sentralistik pewarisan Orde Baru. Tradisi sejarah kita, khususnya masalah demokrasi dan  kepemimpinan  manusia Bugis Makassar yang menganut paham egalitarian hampir dilupakan, meskipun tradisi itu   telah berabad-abad tumbuh, dan  kaya akan  nilai-nilai  demokrasi, kini hampir dilupakan, khususnya dalam mengembangkan nilai-nilai dimokrasi di era reformasi ini. Demokrasi nilai-nilai lokal   dianggapnya sebagai  barang museum  yang tak berfungsi,  keculai sebagai kenangan saja. Makalah ini  akan merefleksikan kembali  nilai-nilai kepemimpinan dan sistem demokrasi  dari berbagai kerajaan  yang penah eksis di Sulawesi Selatan, yang hingga kini  belum dilirik sebagai akses bangsa dalam menumbuh kembangkan nilai –nilai  kepemimpinan dan demokrasi di Indonesia. Akibatnya adalah ajaran demokrasi yang banyak diakses dari negara-negara Barat, cenderung  menjadi  ideal type yang pada akhirnya melahirkan ”demokrasi yang merana” tumbuh dan tidak sejalan dengan  buadaya politik kita.

Pengantar

Apa yang kita pahami tentang demokrasi, sebagai hasil pelajaran yang diterima dari berbagai literatur Barat, adalah  “pemerintahan dari rakyat” (Demos-Cratein). Keberhasilan  “Demokrasi”   di Barat   adalah suatu proses sejarah yang pangjang, setelah melalui  revolusi sosial [2]. Di  Eropa dan Amerika, sekitar tahun 1760-1800 terjadi penumbangan sistem kekuasaan-pemerintahan seperti monarchie, atau monokrasi, aristokrasi, plutokrasi, oligarchi dan sebagainya, kemudian berubah menjadi sistem kekuasaan yang berasal dari dan  kehendak rakyat. Ia disebut  demokrasi, pemerintahan atas kekuasaan rakyat, atau pemerintahan berasaskan kedaulatan rakyat

Revolusi di Eropa yang melahirkan Liberalisme, Demokrasi, disertai oleh sikap kebanyakan bangsa Eropa yang memandang manusia dari bangsa-bangsa bukan Eropa, sebagai manusia terkebelakang alias kolot, atau disebutnya sebagai orang Barbar, manusia tidak beradab. Bangsa-bangsa terkebelakang ( baca dunia ketiga sekarang) dipandangnya “wajar atau semestinya” untuk dijajah dan ditiupkan roh peradaban. Bangsa Eropa memberikan label dirinya  sebagai mission sacred (missi suci), sebagai panggilan untuk pengabdian.

Demokrasi yang masuk  itulah memberikan pengaruh yang  amat kuat kepada jalan pikiran bangsa-bangsa terjajah, bahwa sistem kekuasaan-pemerintahan demokrasi menjadi sistem terbaik bagi umat manusia untuk penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Demokrasi dengan berbagai  macam atributnya,  seperti Parlemen, Kongres, Dewan Perwakilan yang keanggotaannya  dipilih melalui Pemilihan Umum. Model tersebut dipandang simbol perwakilan  rakyat.  Berbagai macam cara, dan upaya penyelenggaraan pemilihan umum, berbagai macam mekanisme penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan atas nama rakyat, seperti: Monarchi konstitusional, dengan Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Parlemen/wakil rakyat. [3]

Raja hanya berupa lambang pemersatu yang “tak berbuat salah”. Melalui pemilihan umum dengan aneka sistem mobilisasi atau partisipasi rakyat kepada partai-partai politik. Sasaranya adalah  terbentuknya pemerintahan yang didukung oleh mayoritas pemilih, sehingga disebut Pemerintahan demokrasi. rakyat, lewat pemilihan umum, dengan berbagai sistem seperti sistem distrik atau sistem proporsional, dan sebagainya, semua itu atas nama demokrasi, atas nama rakyat. Ada cara pemilihan umum yang langsung memilih presiden menjadi Kepala Negara.  Ada juga memilih anggota Kongres atau Perwakilan Rakyat secara langsung seperti memilih Presiden, sehingga kedudukan Presiden sama kuatnya dengan Kongres atau Parlemen. Presiden berkuasa penuh selama masa jabatannya yang ditetapkan melalui konstitusi.

Sistem-sistem demokrasi yang aneka macam itulah yang bersumber dari Dunia Barat yang kita pelajari secara mendalam dan kita  mengatakan  bahwa sistem itulah yang terbaik untuk diterapkan  di Indonesia. Kita belum pernah secara amat sungguh-sungguh menengok kepada kehidupan kekuasaan yang (pernah) ada dan berlangsung dalam kalangan bangsa-bangsa Asia umumnya, atau bangsa-bangsa di Asia-Tenggara khususnya, untuk memperoleh perbandingan  yang sewajarnya dan mengatakan bahwa di Asia Tenggara bias juga mengimpor paham demokrasi ke negara-negara Barat.

Satu sistem kekuasaan pemerintahan, yang juga amat mendalam mempengaruhi kehidupan Politik di Asia, khususnya di Indonesia, adalah sistem birokrasi  yang sarat dengan  makna  filosofi. Kekuasaan Hindu, yang memandang kekuasaan itu sebagai sesuatu yang konkret. Barangsiapa memangku kekuasaan itu, dialah “Kekuasaan” itu sendiri. Karena itu “kekuasaan” dalam gagasannya tidak boleh dibagi-bagi, tidak boleh di pecah-pecah,  tidak boleh ada kekuatan lain yang menandinginya. Singkat kata tidak boleh ada opposisi  di dalam selimut kekuasaan. [4]Model tersebut pernah berlangsung  berbagai kerajaan di Jawa,  mulai dari Mataram Hindu sampai Kerajaan Majapahit, kurang lebih sepuluh abad lamanya. Tentu saja sistem itu (Manunggaling kawula gusti), sangat berbeda dari apa yang ditampilkan oleh Demokrasi Liberal dari Dunia Barat.

 

 

  1. BUDAYA POLITIK ORANG BUGIS MAKASSAR

Dalam tatanan kultural birokrasi berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan di masa lampau,  adat menempati posisi dan kekuasaan yang tertinggi,  raja hanyalah pelaksana adat, seperti yang dikutip dari  Leonard D. Andaya 2) :

 

” Di dalam tradisi cerita-cerita rakyat  Sulawesi dan Kalimantan , bukannya si penguasa yang merupkan kekuatan penggerak dunia, melainkan adat dan kebiasaan  yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka dan dikukuhkan oleh waktu…Nilai-nilai masyarakat yang sangat tua ini membentuk dunia orang-orang desa dan di dunia itulah terjadi interaksi antara manusia biasa, ningrat, penguasa, dan para dewa.Di mata orang desa para pelaku boleh berganti, tapi adat tinggal utuh dan pada akhirnya muncul sebagai pemenang dan pengukuh”

 

Konsepsi adat tersebut dikenal dengan istilah Pangngaderreng (Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar). Pangngaderreng terdiri atas lima bagian, yakni: 1) adeq (adat-istiadat), 2) wariq (sistem protokoler kerajaan), 3) bicara (sistem peradilan), 4) rapang (pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain), 5) saraq (syariat Islam).[5] Saraq sebagai bagian yang terakhir merupakan tambahan setelah Islam masuk di Sulawesi Selatan. Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat) yang bertugas untuk memutuskan urusan-urusan kerajaan yang bersifat keduniawian, sedangkan bagian yang kelima dikendalikan oleh Parewa Saraq (perangkat syariat) yang bertugas untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan syariat Islam misalnya perkawinan, pewarisan, dan sebagainya.

Jadi, pangngaderreng fungsinya sama dengan undang-undang dasar, pampawa adeq dan parewa saraq adalah pendamping dan pembantu-pembantu raja yang bertugas untuk melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan oleh perwakilan rakyat. Perwakilan rakyat ini terdiri atas beberapa orang, bergantung dari daerah mana asalnya; di  Soppeng misalnya, ia dikenal dengan nama Matoa Ennengnge Pulona (60 orang), di  Wajo dikenal dengan Arung Patang Puloe (40 orang), di Gowa disebut Bateq Salapanga (9 orang)., di Luwu di Kenal dengan Ade Aserae  (9 0rang) dan di Bone dikenal dengan Ade Pitue (7 orang)  Model permusyarawatan  untuk meyelengaraan kekauasaan yang berdasar  kerakyatan itu  telah ikut memperkaya  khasanah demokrasi di daerah Minangkabau   seperti lembaga  Minik mamak  yang merupakan  wadah di mana mereka yang dituakan oleh kaumnya bermusyawarah mufakat  buat menyelesaikan masalah-masalah bersama[6]

Struktur pemerintahan yang fungsional ini berjalan dengan kontrol budaya siriq yang begitu ketat, sehingga tidak mudah terjadi penyelewengan kekuasaan. Siriq merupakan sistem pranata sosial dan kultural masyarakat Bugis/Makassar yang menempatkan rasa malu dan pembelaan harga diri di atas segala-galanya.

Sayangnya, sistem pemerintahan kerajaan yang telah berjalan selama berabad-abad dan telah teruji oleh waktu ini telah porak poranda sejak kedatangan Belanda sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Para penguasa dalam kurun waktu itu selalu memperatasnamakan demokrasi namun dengan interpretasi sepihak yang pada dasarnya adalah praktek-praktek kekuasaan yang dilaksanakannya absolut dan diktator. Sedangkan pada masa reformasi ada kecenderunagan  elite /partai politik menganut  oligarki dengan mendahulukan kepentingan partai dari pada kepentingan rakyat.

Mula-mula pada tahun 1906, ketika kolonial Belanda menghapuskan semua dewan perwakilan rakyat di seluruh Sulawesi Selatan. Ia lalu mengganti dewan perwakilan rakyat itu dengan sistem pemerintahan Swapraja serta kepala-kepala adatgemeenschap. Ia juga menciptakan Korte Verklaring ( perjanjian pendek) yang dibacakan pada pelantikan raja yang salah satu isinya adalah pernyataan dan pengakuan tentang keabsahan kekuasaan Belanda.

Pada zaman Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno demokrasi yang  diperkenalkannya adalah demokrasi integralistik, yang pada hakikatnya memberi kekuasaan penuh di tangan satu orang, yakni presiden. Sistem kekuasaan ini menurut Zainal Abidin 3  merupakan konsep kekuasaan Hindu Jawa yang pernah dipraktekkan oleh Kerajaan Majapahit dan Mataram. Menurut konsep ini, kekuasaan itu harus dipegang oleh satu orang, yaitu maharaja atau dewaraja, tidak boleh dipecah atau dibagi ke bawah, karena kalau dipecah maka kekuasaan itu akan hancur dan rusak.

Hal yang sama juga telah dipraktekkan oleh pemerintah Orde Baru, meskipun dengan istilah yang berbeda, yakni Demokrasi Pancasila. Sebuah demokrasi yang legitimasi pembenarannya hanyalah berdasarkan sepihak yakni interpretasi dari pemerintah pusat, yang ujung-ujungnya melahirkan sistem pemerintahan sentralisitk. Dengan dalih kebudayaan nasional, yang berobsesi untuk mengakumulasi semua puncak-puncak kebudayaan daerah, maka hancurlah semua sistem pranata sosial teradisionil dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Padahal kebudayaan daerah itu bagaikan rumah-rumah kecil setiap suku bangsa itu, dan di sanalah mereka dilahirkan dan dibesarkan lewat nilai-nilai tradisionil yang ditanamkan kepadanya, sejak matahari terbit sampai tenggelamnya ke ufuk barat.

Sebelum abad XIV, masyarakat Bugis-Makassar  hidup dalam kelompok-kelompok kaum berdasarkan hubungan darah (genealogis) kelompok-kelompok kaum itu mendiami “wilayah kaum” yang tepencil letaknya dari wilayah kaum lainnya. Di Sulawesi Selatan, kaum-kaum itu dalam arti ikatan kekerabatan, atau persekutuan genealogis, disebut dengan berbagai istilah, seperti Anang; Bori’; Lembang; Lita’ dan lain-lain, masing- masing dipimpin oleh ketua kaum, juga dengan berbagai bentuk  sebutan, seperti: Matoa ; Amru,.Sullewatang,  Arung; Tumakaka dan sebagainya. Sifat dan model kepemimpinan yang disebut Ketua Kaum itu diangkat dari hasil pilihan di antara calon-calon dalam persekutuan  sendiri. Yang akan tepilih biasanya adalah dari keturunan tertua yang memiliki prestasi ketuaan atau keutamaan dalam hidupnya, sehingga meyakinkan warga kaumnya  memiliki kemampuan untuk mengayomi segenap warganya.

Persekutuan kaum itu, tersebar dalam wilayah yang luas, di pesisir laut, di lembah-lembah dan di dataran tinggi, masing-masing mempertahankan isolasinya, tetapi tidak pernah sepenuhnya dapat terbebas dari hubungan kelompok kaum lainnya. Serangan-serangan atau gangguan-gangguan dari persekutuan kaum yang menjadi tetangganya, selalu menjadi alasan untuk memperkuat pertahanan diri, juga dengan alasan yang sama untuk saling menyerang. Persaingan dan saling menyerang yang selalu dalam kemungkinan, menumbuhkan tata tertib kehidupan dalam kelompok menjadi disiplin. hidup yang terpelihara dengan cermat dan kuat. Berbagai usaha para Ketua Kaum untuk memelihara hubungan perdamaian antar kelompok kaum yang berdekatan dengan cara dan kondisi yang sesuai keperluannya masing-masing.

Di Kerajaan Gowa umpamanya, sembilan persekutuan kaum yang disebut bate-salapang (sembilan panji), bersepakat mengangkat seorang tokoh dari kalangan mereka, untuk menjadi tokoh pendamai yang dapat memberi keputusan yang adil, apabila terjadi sengketa di antara mereka. Tokoh itu disebut Paccallaya (Yang mencela). Tokoh ini semacam hakim arbitrase. Dengan demikian dapat dipelihara hubungan perdamaian antara kesembilan bori’ (kelompok kaum) itu.

Di Tanah Toraja, dibentuk persekutuan arruang atau ampu patangpulo lembang (persekutuan 40 kaum) melalui permusyawaratan  kaum yang disebut Basse-sallolo (sumpah setia antara saudara), untuk memelihara perdamaian di antara mereka.

Di Kerajaan  Wajo, tiga persekutuan kaum bersepakat memilih di antara mereka pemimpin yang disebut Arung Matoa Wajo, dan tokoh itulah yang menjadi pemimpin yang ditaati oleh semua. Pilihan secara berkala sesuai dengan masa jabatan yang disepakati dari calon-calon yang ada, memperkuat persatuan di antara persekutuan kaum itu.

Di Kerajaan Luwu dan Bone, selama beberapa waktu lamanya tak dapat diperoleh kesepakatan di antara ulu-anang (ketua kaum) untuk menghentikan saling serang menyerang di antara kaum. Kehidupan masyarakat anang, bagaikan ikan “saling terkam-menerkam, saling memangsa” (masa sianre  balena taue). Kekuatiran dan ketakutan mereka mewarnai kelakuan mempertajam saling curiga-mencurigai antara satu sama lainnya. Kelompok-kelompok kaum itu, kemudian didorong oleh rasa kuatir dan takut akan kepunahan, mengalami perobahan dengan ditemukannya konsepsi kekuasaan pemerintahan To-Manurung.

Sejak awal abad XIV Sulawesi Selatan menerima dan menyelenggarakan konsepsi kekuasaan pemerintahan To-Manurung, sebagai model kekuasaan yang diikuti pada dasarnya oleh gabungan negeri-negeri kaum dengan keunikannya masing-masing. Semua persekutuan kaum pada akhirnya menerima adanya satu persekutuan kaum yang menjadi modal pembentukan negeri (Bugis: wanua) yang lebih besar dan lebih kuat untuk dapat mengayomi orang banyak dari kelompok kaum yang telah bersekutu itu.

Rekayasa kekuasaan pemerintahan berdasar konsepsi To Manurung itu, lahir dari wawasan (cara pandang) orang Bugis Makassar abad XIV, yang bersumber dari mitologi (sastra suci) I La Galigo, tentang Dunia yang terdiri atas langit (dunia atas) yang disebut Botillangi’Bumi atau dunia tengah, yang disebutnya lino, dan Dunia di bawah bumi, yaitu pertiwi yang disebutnya Toddang -Tojang atau Urilliu’.            Ketiga aspek dunia itu , merupakan satu kesatuan yang membentuk Dunia. Hal itu berarti, bahwa, Dunia itu memiliki aspek atas yang disebut langit; aspek tengah yang disebut bumi, didiami oleh manusia; dan aspek bawah yang disebut Pertiwi, yang memiliki makna kebulatan dengan kedua aspek lainnya. Cara pandang cosmogonis seperti itu dinyatakan juga dalam segala macam kenyataan di dunia ini, seperti; struktur bangunan rumah tempat tinggal. Rumah itu memiliki tiga aspek, yaitu, aspek atas, disebut rakkeang (loteng), tempat menyimpan segala sesuatu yang dimuliakan, seperti padi, Kalompoang, Arajang dan barang-barang pusaka keluarga lainnya. Aspek tengah disebut ale-bola, tempat kediaman manusia. Aspek bawah, disebut awasao, tempat menyimpan peralatan untuk mata pencaharian hidup, seperti lukuh, cangkul, jaring penangkap ikan, malahan juga hewan ternak kecil, seperti ayam atau kambing.

Juga masyarakat tersusun dalam tiga lapisan, yaitu : (1) Lapisan_Atas, ialah  orang-orang yang berasal dari keturunan To-Manurung, (2) Lapisan menengah , yaitu para pemimpin adat/negeri atau anang dan keluarganya, dan (3) Lapisan bawah, ialah rakyat, to-maradeka, yang disebut juga to-tebbe’.[7]

Kedatangan To-Manurung , kalau mengikuti cara pandang ini adalah untuk menunjukkan adanya tempat di dunia ini yang dipandang atau dipercaya sebagai langit, tempat yang tinggi (atas) tempat yang mulia, yaitu aspek atas dari dunia. Siapapun yang (dipercaya) datang dari tempat yang tingg itu akan disebut to-manurung , yaitu orang yang turun dari tempat yang tinggi (mulia) itu.[8]

Untuk mendapatkan kedudukan istimewa maka ketiga aspek itu harus dipunyai, sehingga makna aspek dunia-bawah, mutlak dijadikan pasangan yang menyatukan dunia sebagai satu keutuhan. Orang dari lapisan atas juga dapat ditafsirkan sebagai orang yang memiliki keistimewaan yang dapat dipergunakan untuk keperluan manusia di bumi, bilamana ketiga aspek itu menyatu dalam dirinya. Kalau wawasan itu menjadi pandangan yang mendasari pengetahuan dan kepercayaan umum, maka niscaya ada sekelompok orang menjadi penggagas atau pelopor rekaya itu. Mereka tentu adalah orang-orang cendekia pada zamannya. Mereka adalah pemuka-pemuka kaum, matoa-ulu Anang, atau Arruang, Karaeng dan lain-lain, yang mempergunakan wawasan itu untuk menciptakan ketertiban atau tatanan baru, bagi terbentuknya masyarakat baru. Ia juga dapat dikatakan satu cara pada zaman purbakala untuk memberikan keyakinan kepada orang banyak tentang kebenaran (ketepatan) sesuatu konsepsi kepemimpinan yang akan ditaati oleh rakyat (orang banyak).[9]

Antara To-Manurung dengan Matoa Ulu-Anang atas nama warga kaum melakukan “Perjanjian Pemerintahan”[10] (Governmental contract) sebagai hukum dasar yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak (raja dengan rakyat) dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Dari sinilah berawal praktek-praktek demokrasi[11]  dalam lapangan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.

Penyelenggaraan pemerintahan kerakyatan atau demokrasi pada orang Bugis-Makassar dapat dikaji dari pengalaman tiga tana h(Negara) yang memiliki. mekanisme sendiri-sendiri, berdasarkan kondisi perkembangannya, yaitu : (1). Butta Gowa, (2). Tanah Bone, dan (3) Tanah Wajo. Konsepsi Pemerintahan Kerakyatan itu disebut Mangele’pasang-Massolompawo. Arti harfiahnya: Dorongan kekuatan (air) pasang, mengalirnya kemball (air) dari atas, ialah membawa makna tentang “Kedaulatan dari bawah (Rakyat), dan pengayoman kekuasaan dari atas”,. seperti konsep pemahaman demokrasi di Barat

Berbagai model permusyarawatan  untuk meyelengaraan kekauasaan yang berdasar  kerakyatan itu  telah ikit memperkaya  khasanah demokrasi kerajaan lokal Nusantara, seperti lembaga  Minik mamak  di Minangkabau merupakan wadah di mana mereka yang dituakan oleh kaumnya bermusyawarah mufakat  buat menyelesaikan masalah-masalah bersama

 

 B  DEMOKRASI “MANNGELE’ PASANG, MASSOLOMPAWO”

 

Sekitar abad ke XIV konsepsi To-Manurung berhasil menyatukan sejumlah kaum membentuk wanua (negeri), dan menggabungkan beberapa wanua negeri, menjadi tanah atau negara dalam konsep kerajaan lokal[12], dengan wilayah territorial yang luas dan meliputi sejumlah kaum, dan bersama-sama membangun tatanan kehidupan negara, yaitu Tanah (Bugis.)  Butta (Makassar), Lembang (Toraja), Lita’ (Mandar.)

Berbagi  kerajaan        di Sulawesi Selatan diawali dengan adanya  To-Manrung dengan mekanisme kekuasaan yang disesuaikan dengan  perkembangan keadaan setempat. Kedatangan To-Manurung, menjadi pangkal kegiatan penataan kehidunan ketata-negaraan, dalam wujud “kerajaan-kerajaan” . Sejak kedatangan To-Manurung            sebagai konsepsi kekuasaan pemerintahan yang membangun negeri-negeri kaum, menjadi kerajaan-kerajaan yang lebih luas wilayah territorialnya, dan semakin banyak pula petugas penyelenggara kekuasaannya atas rakyat yang semakin banyak pula jumlahnya, memerlukan penataan masyarakat yang lebih baik pula.

Pangngaderreng (Bugis.), Pangngadakkan (Makassar) yang menjadi rujukan penataan berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Acapkali orang memahami Panngadereng itu, sama saja dengan aturan-aturan adat, dan sistem norma. Panngadereng meliputi selain aspek-aspek norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai, norma-norma, juga meliputi hal-hal yang menyangkut perilaku seseorang dalam kegiatan nyata dalam masyarakat, bukan saja merasakannya sebagai “kewajiban” untuk melakukannya, melainkan lebih daripada itu, ialah adanya semacam kesadaran vang amat mendalam, bahwa seseorang itu, adalah bahagian integral dari Panngadereng. Panngaderreng, adalah bahagian dari diri dan hayatnya sendiri dalam interaksi secara total dalam kehidupannya, berpikir, merasa dan berkehendak yang terjelma dalam kelakuan dan hasil kelakuannya. Itulah mungkin yang dapat disebut “penghayatan dan pengamalan panngaderreng secara utuh”.

Pangadereng dengan demikian adalah aktualisasi seseorang (individu) memanusiakan diri dan merealisasi perwujudan masyarakat, membangun interaksi sosial . Panngadereng           itulah wujud kebudayaan orang Bugis-Makassar. Manusia sebagai individu adalah bahagian dari panngadereng-ny itu, pendukung kebudayaannya, ia terjelma menjadi pribadi “siri”  iapun bermartabat dan berharkat memikul tanggungjawab dan memiliki hak untuk mempertahankannya, dengan segala apa yang ada padanya. Dengan siri itu, seseorang mebawa diri berinteraksi dengan sesamanya. Dalam interaksi sosial terjelma konsep pesse adalah sikap  yang setara dengan SIR1, yang ditujukan terhadap upaya memelihara kebersamaan atau solidaritas, kesetiakawanan antar pribadi siri. pesse, menyatakan diri dalam kesadaran sikap kolegial. siri dan passe, menyatu dalam kesadaran makna. Itulah hakekat dari kualitas dari apa yang disebut “tau” (Manusia) yang hanya mungkin dapat mengaktualisasi dirinya, karena adanya tau yang lain. Kesadaran dengan kualitas itu, disebut “sipakatau”. Itulah makna sesungguhnya dari apa yang kita fahami dengan istilah Peradaban, yang disimpulkan dalam kalimat : “To-makkiade’, matanre ritu siri’na, na marilaleng ressena” (Orang yang beradab itu, tinggi siriI’-nya, dan mendalam pesse-nya”. Dalam masyarakat To-makkiade’ (beradab), seseorang itu beperilaku dengan kesopanan, berbudi pekerti, dan berakhlak mulia. Dengan kualitas individu seperti itulah dibangun hubungan-hubungan yang saling menghargai. sipakatau dalam kehidupan masyarakat dengan segala fungsi-fungsinya. Itulah yang menjadi pangkalan berkehidupan kerakyatan. Bagi masyarakat Bugis-Makassar “Demokrasi” seperti itulah yang memerlukan kualitas manusia sipakatau. Bagi orang Bugis-Makassar, demokrasi seperti itu bersumber dari kualitas manusia, yang memiliki siriI’ (martabat dan harga diri), dan memelihara pesse (kesetiakawanan), yang harus diamalkan dalam kehidupan politik,  Ekonomi dan kemasyarakatan lainnya, sebagai pernyataan diri dalam kesertaannya berinteraksi, berkehidupan bersama.

Empat  buah negara / kerajaan  yang menjadi perhatian tulisan  ini, yaitu Gowa, Bone, Wajo dan Luwu. Keempat  model dapat dikatakan sebagai contoh sebagai budaya politik, orang Bugis Makassar, terutama dalam abad-abad XV – XVII. Secara singkat, dapat dijelaskan  sebagai berikut :

  1. Kerajaan Gowa

Ada sembilan buah Negeri yang  disebut Bori atau Bate yang menjadi negeri asli yang membentuk Butta Gowa. Mula-mula kesembilan Bate itu berdiri dalam kemerdekaan dan otonominya masing-masing. Untuk memelihara persaudaraan di antara mereka ditunjuklah seorang bijaksana dari kalangan mereka sendiri menjadi pendamai apabila terjadi sengketa diantara mereka. Pejabat itu disebut Paccallaya, kedudukannya sebagai hakim arbitrasi di kalangan mereka yang ditaati keputusannya yang selalu didasarkan atas kesepakatan dalam permusyawaratan, yang dituntun oleh semangat “sipakatau” (kesamaan dan saling menghargai). Persatuan–persaudaraan yang demikian itu akhirnya dirasakan “terlalu longgar” dan “rapuh”, sehingga timbul gagasan untuk lebih memperkuat ikatan kesembilan negeri itu, menjadi satu negeri besar,  yang disebut Butta (negara). Gagasan itulah yang disebut Konsepsi Tu-Manurung dilaksanakan. seseorang yang disebut Tu-Manurung tidak ada hubungan kekerabatannya dengan kesembilan ketua kaum itu, juga tidak diketahui siapa ibu-bapanya, dan dari mana asal-usulnya. Ia datang dengan cara istimewa untuk dijadikan simbol atau lambang persatuan, dari  sembilan negeri dan menyebutnya Butta Gowa..

To-Manurung di Gowa itu, seorang perempuan. Suami Tu-Manurung itu seorang terkemuka dari Tana Luwu bernama Karaeng Bayo. Ia ditemani oleh Lakipadada dari Tana Toraja. Hubungan itu dimaksudkan untuk mendapatkan makna, legitimasi dan pengakuan dari negeri (yang dipandang) tertua di Sulawesi Selatan. Dengan To-Manurung itu, para Gallarang, Kepala Kaum yang empunya negeri, mengadakan “Perjanjian Ulu-Kana” ”yang menjadi pedoman dasar penataan Butta Gowa.

To-Manurung  dijadikan Tu-Nisomba (Pujaan) dan ditempatkan dengan segala kemuliaan dalam istana yang dibuat oleh rakyat baginya. Kepadanya dan keluarganya dijamin keperluan hidupnya. Tetapi kepadanya tidak diberikan “kekuasaan-pemerintahan” atas negeri-negeri asal Butta-Gowa. Kesembilan Negeri itu tetap dalam kekuasaannya masing-masing Kepala Negeri atau Gallarang yang secara bersama-sama disebut “Bate-Salapng”.

Badan Musyawarah  Butta Gowa dihadiri oleh anggota Dewan Kerajaan yang terdiri atas sembilan orang Bate-Salapang, Sombaya (Raja) ri Gowas, Tu-Mabbicara Butta’ (Mangku Bumi), Tu-Mailalang Towa, (Menteri pendamping Raja);. Tu-Mailalang Lolo (Menteri pendamping Bate-Salapang), dan beberapa orang Pembesar Butta Gowa dalam perkembangannya (seperti Daenta Kalia (Kadhi); Tu-Makkajannangang, Pati Matarang dll. Badan musyawarah itu menetapkan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan “Pedoman Dasar”.

Butta Gowa pada bentuk kenegaraannya mula-mula bersifat konfederasi, tetapi lambat laun menjadi federasi dari kesembilan negeri asal (Bate-Salapang). Karena sifatnya itu,  maka Pimpinan Butta Gowa menjadi lebih dinamis dalam kegiatannya memperluas wilayah ke luar daerah asal. Negeri-negeri yang ditaklukan  atau yang menggabungkan diri secara suka-rela dijadikan negeri-negeri yang dilindungi (Protektorat), negeri-negeri otonom (Palili’) atau negeri-negeri yang dipandang sebagai negeri passiajingeng (negeri yang terbentuk karena kekerabatan). Kepada negeri-negeti itu diberikan pimpinan dari keturunan Tu-Manurung yang disebut Ana’-Karaeng ri Gowa. Mereka itu disebut juga Bate Ana’ Karaeng.

Sebagai negara maritim kerajaana Gowa memelihara hubungan politik, ekonomi dan kebudayaan lainnya dengan banyak negeri atau kerajaan lokal Nusantara, terutama yang terletak di kawasan Timur Nusantara. Bahkan, menjalin hubungan persahabatan diplomatik dengan negara-negara asing. Semua negeri atau kerajaan lokal Nusantara yang mengakui keutamaan, kedaulatan dan menerima perlindungan Butta Gowa sampai pada pertengahan abad XVII, meliputi wilayah yang amat luas, yaitu hampir seluruh kawasan Timur Nusantara, termasuk sebahagian Kalimantan  dan Filipina Selatan. Hubungan dengan negeri-negeri yang meliputi wilayah yang luas itu, berdasar pada “perjanjian” pemberian status “otonomi” atau “Palili”, dengan penerapan prinsip-prinsip “Sipakatau”, dalam hubungan Siri’ dan Pacce di antara semua. Satu kawasan yang disebut “Passitallikanna Butta Gowa”, satu wilayah territorial di mana berlaku kegiatan “persahabatan sehidup-semati” antara negeri-negeri yang mendapat perlindungan Butta Gowa. Bukan suatu kawasan kekuasaan emperium yang berpusat di Butta Gowa dibawah kekuasaan Sombaya ri Gowa. Hubungan yang demikian tidak dikenal dalam sejarah Butta-Gowa.

 

  1. Kerajaan Bone.

         Sebelum terbentuknya “Kawerrang Tanah Bone” (Kerajaan  Bone) tardapatlah tujuh buah negeri yang disebut wanua, tempat bergabungnya beberapa buah persekutuan kaum. Antara satu kaum dengan kaum lainnya dalam satu atau beberapa wanua saling bermusuhan dan saling perang memerangi yang tidak berkeputusan, bagaikan ikan yang saling menerkam. Maka, dalam kalangan para kepala Wanua dan Matoa-Ulu Anang, timbullah kekuatiran dan ketakutan atas ancaman kepunahan anak keturunan mereka bilamana permusuhan-permusuhan itu tidak dihentikan. Maka lahirlah gagasan untuk menemukan pemimpin yang kuat. Pemimpin yang mampu mendatangkan perdamaian dan kemakmuran dalam kalangan mereka. Gagasan itulah  disebut To-manurung.

To-Manurung di Bone disebut Manurunnge ri Matajang,  dinamakan Mata-silompo’e, seorang laki-laki. Untuk pasangannya ditemukan juga To-Manurup perempuan di Toro’. Pasangan To-Manurung ini melahirkan lima orang anak. Seorang Putera, di namakan La Umase dan empat orang perempuan yang tua bernama  We’ Pattanra-Wanua.[13]

La Umase’-lah yang menjadi Arumpone kedua, menggantikan orang tuanya. La Ummase membentuk  ikatan “Perjanjian Pemerintahan” separti terjadi di Butta Gowa. Isi Perjanjian itu berupa Ulu-Ada  atau kontrak social berupa  pedoman umum hubungan  antara raja dengan rakyat  Pemerintahan dilakukan oleh To-Manurung Matasilompo’e dengan ke-tujuh Arung-Kepala Wanua (Ade’pitu), didampingi para Matoa-Ulu Anang atas nama To-Tebbe’. Terbentuklah berdasar Ulu’Ada itu “Kawerrang”  (ikatan kesatuan) Tana Bone. Kawerrang itu berpusat di Watampone yang dipimpin oleh To-Manurung dengan gelar Mangkau’E ri Bone (yang berdaulat di Bone). Sejak awal, sifat pemerintahan kerajaan Bone adalah “Pemusatan” (sentralistik) dengan Arumpone sebagai tokoh sentral, didampingi oleh Ade’-pitu  (sebagai Dewan Pemerintahan Tanah-Bone). Anggota Ade’ Pitu itu sebelum terbentuk Kawerrang masih menjadi Kepala Wanua. Setelah itu semua melepaskan jabatan Kepala Wanua dan menjadi Dewan Pemerintah kerajan-Bone dibawah Arumpone. Semua wanua berada dalam kesatuan kerajaan, dan menjadi daerah yang langsung dibawah kekuasaan pemerintah pusat Kerajaan Bone.

La Umase’ Arumpone ke-2 tidak mempunyai anak untuk menggantikannya, maka anak saudara perempuannya We Pattanra-wanua, yang dikawini oleh Kepala Wanua Palakka yang tidak tergabung ke dalam kawerrang Tanah-Bone, bernama La Pattikkeng dikaruniai seorang Putera diberi nama La Saliu’ Kerrampelua. Lasaliu inilah sejak bayi dijadikan Putera Mahkota. La Umase’ yang dipersiapkan untuk menjadi penggantinya menjadi Arumpone ke-3 setelah mendapat persetujuan Majelis Ade’ Tanah Bone atas nama rakyat Tana Bone.

Sejak Arumponeke-3 La Saliu’ Kerrampelua, darah To-Manurung mendapat kekuatan “darah rakyat” yang menjadi sumber kekuatas Tanah Bone, dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Wanua Palakka menggabung ke dalamnya yang berkekuatan ekonomi besar. Maka dengan mempergunakan keturunan To-Manurung yang telah berdarah rakyat, terwujudlah secara meluas sifat “kerakyatan” Pemerintahan Tanah-Bone, “calon-calon” penguasa mulai dari Pusat sampai ke daerah terkecil, terdapatlah hubungan darah yang menjadi kekuatan utama mempertahankan keutuhan “Tanah Bone” sebagai Negara Kesatuan yang besar di Sulawesi Selatan.

Sulawesi-Selatan sebagai Negara Kesatuan yang besar, Tanah Bone memiliki wanua bawahan dengan lahan pertanian yang luas dan subur. Sifat utama Rakyat Bone adalah petani, sehingga kerajaan  Bone sebagai negara agraris lebih banyak memiliki kekuatan bertahan dibandingkan dengan Butta-Gowa yang memiliki sifat lebih agressif. Negeri-negeri yang mengakui supermasi dan menjadi sekutu Kerajaan Bone sepenuhnya mengikut Panngadereng  Kerajaan Bone, sehingga tersebarlah dengan peresapan yang lebih mendalam peradaban To-Bone, yang seolah-olah menjadi rujukan bagi tata-kehidupan orang Bugis di Sulawesi-Selatan. Apa yang disebut kaum bangsawan (Anakarung to-Bone) bersebarlah ke mana-mana sampai ke Sulawesi-Tengah dan Sulawesi-Tenggara., bahkan ke Kalimantan dan semenangjung Melayu menjadi pemuka masyarakat setempat. Karakteristik kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan lainnya pada orang Bone,, cenderung untuk menunggalengi (memonopoli). Musyawarah Tudang-sipulung dalam ikatan kekerabatan menjadi rujukan bagi segenap upaya kesejahteraan yang bersifat “Kerakyatan”, artinya selalu harus memenangkan kepentingan “orang banyak”.

 

                  III Kerajaan Wajo.

Tanah Wajo, terletak di tengah-tengah negeri-negeri orang Bugis. Berbatasan dengan Tanah-Luwu di sebelah Utara; Tanah-Soppeng di sebelah  Selatan; Tanah-Bone di sebelah Timur  dan Sidenreng di sebelah Barat. Letak Tanah Wajo secara geografis menjadi jantung Tana Ugi’ (Bugis) yang menerima dan memberi segala macam anasir kebudayaan  termasuk gagasan dan pemikiran dari negeri-negeri sekitarnya. Ia menjadi tempat lalu-lalang, lintasan antara kepentingan negeri-negeri sekitarnya, baik benda-benda keperluan hidup maupun gagasan-gagasan tentang sesuatu penemuan baru.

Negeri-negeri kaum yang pada mulanya membentuk Tanah-Wajo ada tiga  pertama  adalah   Bettem-pola, kedua  Talo’tenreng dan yang ketiga adalah  Tua’[14]. Nama-nama itu juga menjadi nama Negeri masing-masing. Para Pemimpin kaum dari tiga negeri itu juga, mendapat pengaruh tentang konsepsi kekuasaan To-Manurung. Tetapi ketiga pepimpin kaum itu tidak menerapkannya sebagai jalan satu-satunya untuk mempersatukan ketiganya menjadi negeri yang lebih besar dan terikat dalam satu kesatuan. Ketiga negeri tetap merasakan kemerdekaannya dan bersama-sama memiliki kebebasan untuk berhubungan secara serasi dengan yang lain untuk bekerjasama maupun untuk saling membantu menghadapi kesulitan bersama. Mereka rukun-rukun dalam persaudaraan beretangga.

Tetapi akhirnya mereka rasakan adanya keperluan yang amat mendesak untuk membangun persatuan itu secara lebih teguh dan erat. Karena adanya kegiatan-kegiatan negeri-negeri besar untuk memperluas wilayah kekuasaan masing-masing yang memungkinkan akan datangnya intervesni dari negeri-negeri ltu. Keperluan Tanah Wajo bersatu untuk memelihara dan menjaga serta mempertahankan diri dari intervensi itu. Karena letaknya di tengah-tengah yang dapat menghubungkan wilayah penghasil pertanian dengan wilayah atau negerti penghasil sumberdaya lautan dan hutan, maka negeri-negeri itu memiliki pengalaman yang panjang sebagai penyalur bahan-bahan keperluan hidup dari satu negeri ke negeri lainnya. Keperluan persatuan ketiga negeri kaum itu akhirnya menjadi kesepakatan mereka. Mereka memilih seorang Ketua diantara mereka dan menamakannya Arung Matoa Wajo. Penentuan pilihan terhadap seseorang untuk menjadi ketua itu dilakukan melalui satu pedoman yang menentukan Kriteria atau syarat-syarat umum untuk dapat dipilih dan melakukan tugas-tugas menjadi Arung Matoa. Pedoman itu juga semacam “Perjanjian Pemerintahan” yang isinya pada garis besarnya, sama dengan yang terdapat di Gowa dan di Bone.

Hanya saja, di Kerajaan Wajo’, lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan dan petugas-petugasnya terikat pada satu kesepakatan umum yang ditetapkan dalam Ulu-ada yang menyatakan “Merdeka Orang Wajo, hanya adat (hukum)-nya menjadi Pertuanan Orang Wajo)”. Prinsip Negara Hukum itulah membawa Tana-Wajo kepada kebesarannya dan dikenal sebagai salah satu Negara Pendekar “Demokrasi” di Nusantara. Hal itu secara amat jelas terselenggara dalam struktur kelembagaan Pemerintahannya melaksanakan “Mangele’ pasang, massolompawo”. Kerajaan  Wajo bertumbuh menjadi satu Negara Republik Aristokratik, dalam arti sekumpulan “orang pilihan terbaik” dari ketiga kaum, menjadi Ketua (Pemimpin) untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Arung-Matoa-Wajo, dalam memimpin pemerintahan di dampingi oleh tiga orang pejabat negara yang disebut Paddanreng, yaitu: (1). Paddanreng Bettempola. (2). Paddanreng  Talo’ Tenreng dan (3). Paddanreng Tua”. Ketiga Paddanreng itu tetap merangkap menjadi kepala negeri (Arung) dari negeri asal. Di samping tiga orang Paddanreng itu, terdapat lagi tiga orang pejabat tinggi  kerajaan , yang disebut Pabbate lompo, ialah wakil resmi ketiga negeri atau kaum yang disebut juga pabbate-Lompo dari Talo’ Tenreng, Bettempola dan Tua’, dengan panji masing-masing bergelar Patola (Aneka-warna); Pilla (merah), dan Cakkuridi (kuning). Pada mulanya Pabbate-Lompo itu menjadi Panglima Perang Tana Wajo. Tetapi selanjutnya para pejabat Negara itu, semuanya menjadi Pendamping Arung Matoa Wajo, dengan tugas sebagai Menteri-menteri Negara.

Ketiga orang Paddanreng dan tiga orang Pabbate-Lompo, bersama-sama merupakan Dewan Negara yang disebut Arung Ennennge, atau Petta Ennennge (Pertuanan yang enam). Bilamana Arung-Matoa Wajo’ hadir dalam musyawarah Dewan itu maka ketujuh Pembesar itu disebut Petta Wajo’ (Pertuanan Tana Wajo’). Di samping Petta Wajo itu terdapat sebuah Lembaga yang disebut Arung Mabbicara (Pertuanan yang menetapkan hukum), beranggota tiga puluh orang, masing-masing sepuluh orang dari tiga Negeri asal. Lembaga Arung Mabbicara ini dapat dipandang sebagai Parlemen Tana-Wajo’ yang bertugas: (1). Maddette’bicara (Menetapkan hukum-Undang-undang); (2). Mattetta’ mappano-mappate’ bicara (Mengesahkari aturan penyelenggaraan Undang-Undang untuk dijalankan oleh Petta Wajo’.

Selain lembaga-lembaga : (1). Petta Wajo’ = 7 orang; (2). Arung Mabbicara = 30 orang; dan (3). Suro-ribateng = 3 orang. Suro-ribateng itupun setiap orang berasal dari tiga negeri asal bertugas: a). Menyampaikan kepada Rakyat hasill-hasil permufakatan dan Perintah-Perintah dari Paddanreng. b). Menyampaikan kepada Rakyat perintah-perintah dari Bate-Lompo dan c). Menyampaikan kepada Rakyat permufakatan dan perintah-perintah dari Petta Wajo’. Seluruh Pejabat Negara Tanah-Wajo itu, Arung Matoa (1) + Paddanreng (3) + Arung Mabbi’cara (30) + Pabbate-Lompo, (3) + Suro-Ribateng (3) orang, maka semuanya berjumlah empat puluh orang, dan disebut juga Arung PatappuloE. Itulah yang menjadi penyelenggara Kedaulatan Rakyat, atau Penjelmaan Seluruh Rakyat  Tana-Wajo. Dalam ungkapan orang Wajo “Paopang, Palengenngi Tanah Wajo” (ialah yang (dapat) menelungkupkan dan menengadahkan Tana-Wajo.)

Pemerintahan daerah bawahan Tanah-Wajo, dilakukan oleh Paddanreng (kepala negeri), yang dibantu oleh Punggawa atau Matoa yang melakukan pimpinan atau pengaturan langsung kepada rakyat. Ialah yang disebut “Inanna To-Tebbe’e” (Ibu-Bapa Rakyat).     Jabatan Arung Matoa WaJo’  tidak diwariskan, turun-temurun dari satu keluarga . Arung Matoa Wajo, dipilih oleh 39 orang anggota Puang ri Wajo’, baik dari dalam maupun dari luar kalangan mereka. Adapun jabatan-jahatan lainnya diwariskan turun temurun  dari Pemangku jabatan asli negeri asal, karena merekalah yang sesungguhnya menjadi Pemilik Asli Ade’ Tana-Wajo, To-Maradeka, Ade’nami napopuang.

 

IV Kerjaan Luwu

Kerajaan Luwu pada awalnya  berpusat di Ware  adalah salah satu kerjaan tertua  di Sulawesi Selatan  dan merupakan cikal bakal kerjaan-kerajaan psisir di Sulawesi Selatan. Kisa mengenai wal mula terbentuknya kerajaan Luwu  masih banyak dibumbuhi dengan mitos. Disebutkan bahwa pendiri Kerajaan ini  adalah batara Guru. Bersemayan di atas tahtanya di Ware, kemudian dilanjutkan oleh putranya bernama batara lattu. Namun Pusat kekuasaan itu terputus dalam waktu yang tidak Jelas.

Raja Luwu umunya bergelar datu  selain itu juga dikenal Payungnnge ri Luwu. Gelar ini dikenakan pada setiap pemegang kendali pemerintahan

Pada dasarnya semua  pemegang kendali pemerintahan disebut Datu, namun tidak semua datu dapat  diberi predikat Payungnge ri Luwu. Sebelum menjadi payung mereka harus menempuh ujian berat  di temapat yang bernama “Tanah Bangkala”. Setelah lulus  barulah datu dinobatkan menjadi Payung. Struktur organisasi pemerintahan Kerajaan Luwu yang berlaku sejak pemerintahan Teri rawe Datu XIV sebagai berikut:

  1. Pajung atau datu sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan
  2. Cenning, Wakil datu  dalam persidangan jika berhalangan hadir dan juga bertugas mengumumkan perang
  3. Pakketenni Ade yang terdiri Patunru, Pabbicara, Torilaleng dan Balirante

 

Dalam mengentrol pemerintahan (semacam DPR) dibentuk dari Ade  Asera  yang terdiri dari

 

  1. Ana Tellue  yang teridiri dari wilayah pemerintahan yaitu Bua ( Maddika), Ponrang ( Maddika dan Baebunta (Makole)
  2. Bandera Tellue: Andi guru Anakkarung (mewakili kaum bangsawan), Andi Guru Antoriolong( mewakili pegawai Kerajaan) dan Andi Guru pappawaepu ( mewakili kaum pekerja)
  3. Bate-bate Tellu yang terdiri Matowa Wage (Mewakili rakyat Wage), Matoa Cenrana  ( mewakili rakyat Cenrana) dan matoa Lal;engtoro (mewakili rakyat Lalengtoro)

Dalam pembentukan  anggota pangngaderreng  terdiri atas dua badan  yaitu Ade Asera serta Ade Seppulo Seddi. Namun pada masa pemerintahan Pati pasaung Datu XVII yang didampingi oleh Mangawang Patunru  Musatafa, diadakan perubahan anggoata perubahan  panggngaderrengAde Seppulu seddi menjadi Ade Seppulu Dua, yaitu dengan menambahkan sebuah jabatan  bernama Qadhi atau yang digelar Datunna Syara dalam susunan pemangku adat. Hal itu disesuaikan dengan keadaan masyarakat setelah masuk Islam.

Di Dalam setiap persidangan  ada dua belas, maka tiap-tiap anggota harus  selalu mendasarkan pikiran dan pertimbangannya  pada hukum dasar kerajaan baru. Hukum dasar itu adalah  pengganti hukum dasar yang lama, berhubung karena Islam Menjadi agama resmi di Kerejaan Luwu.

Agama Islam masuk di Kerajaan Luwu pada masa pemerintahan  Patiarase yang merupakan datu ke VI sekitar abad ke 17. Ketiga wilayah  pemerintahan  dalam kerajaan Luwu  yang bergelar anak Tellue berkahir pada masa pemerintahan Andi Jemma yaitu datu ke 36 di Luwu, akan tetapi kekuasaannya  telah berakhir  pada masa pemerintahan Andi Kambo Opu daeng Risompa datu ke 34 yaitu sejak Belanda menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1906.

 

 

 

 

  1. PANNGADERENG SEBAGAI KEKUATAN HUKUM

Konsepsi kekuasaan kepemimpinan To-Manurung di Gowa, di Bone dan di Wajo yang dijadiken sasaran perhatian, masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri yang memberikan variasi model kerakyatan, yang berpangkalan dari kejadian sejarah perkembangannya masing-masing.  Seperti telah diuraikan  bahwa kelompok-kelompok persekutuan kaum (dalam ikatan genealogis), dengan ditemukannya konsepsi To-Manurung, menyebabkan terbentuknya dua pihak yaitu: (1) Pihak To-Manurung yang didatangkan, untuk diserahi tugas melakukan pemerintahan atas negeri-negeri yang  terbentuk atas kesepakatan beberapaa buah kelompok persekutuan kaum, dan (2) fihak pemimpin kaum (matoa-ulu anang) ates nama Rakyat yang menjadi pemilik asli negeri dan ketertibannya yang disebut Ade’.

Kedua fihak melakukan kesepakatan atau perjanjian pemerintahan. Perjanjian pemerintahan itu, dengan berbagai nama, seperti ulu-Ada,          Ade’-pura-onro, Ade’ Maraja, semua itu berarti ketentuan-ketentuan umum yang mendasar.

Isi perjanjian itu pada dasarnya menyebut tentang hak-hak dasar dan kewajiban utama kedua belah pihak dalam melakukan pemerintahan dan dan melaksanakan kewajiban kenegaraan oleh kedua-belah pihak. perjanjian itu dapat dipandang sebagai Pedoman Dasar atau Konstitusi awal, yaitu ketentuan-ketentuan (tertulis) yang menentukan pokok-pokok atau prinsip-prinsip tentang kekuasaan, tata-kehidupan negara dan hak milik kedua belah pihak. Semua negeri, atau Negara yang juga biasa disebut Kerajaan Lokal di Sulawesi Selatan memiliki apa yang kita sebut pedoman Dasar atau Konstitusi Awal itu. Perjanjian itu diucapkan ulang oleh setiap Raja baru yang dinobatkan. Isi perjanjian itu pada hakekatnya sama saja yang terdapat di seluruh negeri yang kedatangan konsepsi kekuasaan To-Manurung. Maka Pedoman Dasar yang dikemukakan di sini adalah yang menjadi pedoman Dasar atau Ulu-Kana Butta Gowa. yang terdapat dalam Lontara’ Pattrioloanga ri Tu-Gowa-ya.[15] dengan naskah asli bahasa Makassar.

Terjemahan

  1. Bahwa kami menjadikan engkau pertuanan (Raja) kami;

maka…. dipertuanlah Engkau, dan kami …. menjadi abdi (Rakyat).

  1. Sampiran (tempat bergantung)-lah Engkau;

Labu (tempat air)-lah kami (yang) bergantung.

  1. Bila patah sampiran (tempat bergantung),

maka pecah juga labu (tempat air).

dan bila patah sampiran (tempat bergantung),

tetapi, Tidak pecah labU (tempat air),

maka …. kamilah binasa.

  1. Bahwa kami tak terbunuh (oleh) senjatamu;

Engkaupun tak terbuhuh (oleh) senjata kami.

  1. Bahwa kami, Dewata saja membunuh kami;

Engkau-pun. Dewata saja membunuh engkau.

  1. Bersabdalah, (maka) kami (akan) melakukan;

Tetapi, bila kami (telah) menjunjung;

Kami tak akan memikul (lagi);

Bilamana kami (telah) memikul,

kami tak akan menjunjung (lagi).

  1. Anginlah engkau, (maka) karmil daun kayu;

Tetapi (hanya) daun kuning (saja) engkau luruhkan.

  1. Air-lah engkau, (maka) kami batang hanyut;

Tetapi (hanya) banjir bonang (saja) menghanyutkan.

  1. … . walaupun anak kami;

Walaupun isteri kami;

Kalau (mereka) tidak menyukai Negeri;

(Maka) Kami-pun tak menyukainya.

  1. Bahwa kami menjadikan engkau pertuanan (Raja) kami;

Batang-tubuh (pribadi) kami saja mempertuan engkau;

Tidak harta milik kami.

  1. Tidak engkau mengambil ayam (kami) dari tenggerannya;

Tidak engkau mencopet telur (kami) dari keranjangnya;

Tidak engkau mengambil kelapa sebiji-pun.

(dan) pinang setandan (pun) kepunyaan kami.

  1. Bilamana engkau ingini (dari) harta milik kami;

Engkau membelinya. yang layak engkau beli

Engkau tukar yang layak engkau tukar.

Engkau minta yang layak engkau minta

engkau tak mengambil harta milik kami.-

  1. Yang dipertuan (Raja), tidak menetapkan Peraturan dalam Negeri,

tanpa (kehadiran) Gallarang;

Gallarang tidak menetapkan permakluman perang,

tanpa (kehadiran) yang dipertuan (Raja).

 

Pedoman dasar,  seperti inilah menjadi rujukan untuk terbentuknya pola-pola umum panngadereng di, seluruh negeri, mengikuti karakteristik atau keunikan yang terdapat di Luwu, Bone, Goowa dan Wajo, sebagai negeri yang dipandang sebagai kakak oleh Negeri-negeri lainnya.

Panngadereng itu sebelum Islam memiliki empat unsur yaitu: 1).  Ade, ,bicara, rapang, dan  Wari.  Secara garis besar unsur-unsur itu diuraikan sebagai berikut :

l).   Ade’, sistem norma dan aturan-aturan dalam kahidupan masyarakat itulah disebut Ade’.. Ia adalah salah satu unsur Panngadereng, yang mendinamisasi kehidupan masyarakat, karena Ade’ meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam semua kegiatan kehidupan bermasyarakat. Maka pada segi ini ade’ berarti tata tertib yang bersitat normative, memberi pedoman kepada sikap hidup dalam menghadapi, menanggapi dan menciptakan hidup kebudayaan baik ideologis, mental spiritual,  maupun fisik.

Karena ade’ meliputi segala aktivitas kehidupan dalam masyarakat maka untuk memusatkan diri kepada tujuan penulisan makalah ini yaitu tentang pemerintahan dan kekuasaan, yakni yang menyangkut hak dan kewajiban rakyat dan pemimpin dalam kehidupan Negara (kerajaan), maka dikemukakan antara lain; yang disebut ade’ tana.

Ade’ tana, ialah Tata negara atau penataan negara, meliputi kegiatan penyelenggaraan kekuasean pemerintahan. yang berasas pada mangele’-pasang - massolompawo (kekuasaan dari rakyat – pengayoman dari Pemerintah), ialah asas kekuasaan dan pemerintahan yang bersifat Kerakyatan. Untuk mengetahui dari mana asal atau sumber kekuasaan itu, rujukannya adalah pada apa yang disebut  ulu’ada, yaitu Perjanjian Pemerintahan, seperti telah disebut di depan. Rakyat memberikan wewenang kekuasaan Pemerintahan (Mangele’pasang) kepada Pertuanan (Raja) untuk diselenggarakan bagi kepentingan Rakyat (Masolompawo). Kekuasaan itu berasal dari bawah (Rakyat), maka ia disebut Manngel’pasang) (membentangkan air pasang), dan Pemimpin atau Pemerintah menyalurkannya kembali (dengan kejernihan) untuk kemaslahatan Rakyat maka ia disebut Massolompawo: (Mengalirkan kejernihan dari atas). Itulah asas kerakyatan atau demokrasi di Sulawesi Selatan, menurut Panngadereng.

Semua ketetapan yang berasal dari (kesepakatan) Rakyat disebut Ade’ Maraja (aturan besar/pokok), yang dijadikan pedoman penyelenggaraan Pemerintahan yang dilakukan oleh para pelaksana kekuasaan pemerintahan.

Sebuah pedoman umum untuk dapat dipergunakan untuk melacak jenjang-jenjang pelaksana Pemerintahan itu, ialah yang disebut “Taro Ada” (Bugis) atau “Tappu’ kana”  (Makassar) yang berarti ketetapan yang tidak boleh berobah (Pura onro), berbunyi sebagai berikut :[16]

Rusa’taro Arung,                                 (Batal ketetapan Raja,

tenrusa’ taro ade’                                tidak batal ketetapan ade’

Rusa’ taro Ade’                                   Batal ketetapan Ade’ (Adat)

Tenrusa’ taro anang                            tak batal ketetapan kaum.

Rusa’ taro anang                                 Batal ketetapan kaum,

Tenrusa taro to-tebbe’             tak batal ketetapan rakyat.

Dart Taro-ada ini dapat disimak jenjang kekuasaan pemerintahan dan cakupan wilayah kekuasaan setiap pejabat yang terdiri atas:

  • Arung (Raja), sebagai Kepala Negara/Pemerintahan yang meliputi beberapa Negeri bawahan (Tana atau Butta)
  • Gallarang., Karaeng, Arung Palili, sebagai Ketua Adat yang meliputi beberapa wilayah persekutuan kaum atau Anang (wanua dll)
  • Matoa , Ulu Anang, Ampu Lembang, sebagai Pemimpin Kaum (keluarga Besar), yang meliputi wilayah kaum yang tersebar di seluruh negeri, dengan aneka nama (kampong, lembang dll.)

Matoa-Ulu Anang, Ampu, Tomakaka yang menjadi pengemong langsung dari To-tebbe’ (Rakyat) di situlah terletak sumber kekuasaan atau pangele’ pasang (kekuatan dorongah dari bawah.) Disitulah sumber Ade’ Maraja yang memelihara tradisi kehidupan yang amat dihormati dan ditaati, dalam melakukan kehidupan ketertiban masyarakat.

Anasir Panngadereng lainnya  yaitu (2). BICARA, ialah yang bertalian dengan masalah peradilan; (3). RAPANG, ialah yang bertalian erat dengan upaya mempertahankan tradisi dan etika kehidupan berkelanjutan, dan (4). WARI ialah yang memelihara klasifikasi tata urutan ketertiban berkehidupan, kekeluargaan dan hubungan antar Negara, Setelah Islam diterima menjadi agama umum dalam masyarakat Bugis-Makassar maka dijadikanlah SARA’ (Syariat Islam) menjadi unsur Panngadereng yang ke (5), Memberikan isi Panngadereng dengan semangat Iman dan  aqidah Islam.

 

 

 

SIMPULAN

Adalah jelas bahwa  untuk dapat hidup sehat, demokrasi model manapun  yang berkembang  di Indonesia  harus serasi dengan latar belakang kulturil yang melingkunginya. Secara umum dapat disebutkan bahwa  system  demokrasi sebagai salah satu bagian dari system kehidupan masyarakat Nusantara di masa lalu sarat dengan nilai-nilai demokrasi. Karena itu masalah demokrasi pasca reformasi ini   harus ditafsirkan ulang kembali  dalam konteks  Budaya Politik Ketimuran. Yang menjujung tinggi kegotong royonyan dan kolektivitas. demokrasi adalah   suatu yang harus diperjuangkan bukanlah sekedar  dihidangkan. Perjuangan kita adalah memperkaya nilai-nilai demokrasi yang secara historis telah tumbuh dan berakar di setiap kerajaan Nusantara.. Kakayaan nilai-nilai budaya tersebut seyogyanya dapat menjadi  harapan baru dalam memperkaya khasanah demokrasi di Masa depan

Salah satu keunikan  bentuk pemerintahan  di Sulawesi Selatan pada masa lalu  adalah terletak pada sistem pemerintahannya yang berbentuk kerajaan, tapi tidak absolut dan otoriter seperti halnya dengan sistem kerajaan lainnya. Penyelenggaraannya bersifat demokrasi, yakni raja tidak mesti turun-temurun, tapi dipilih dan diberhentikan oleh perwakilan rakyat. Prinsip- prinsip kerakyatan ini  dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah mangelleq pasang, yakni kekuasaan itu diibaratkan dengan air pasang yang naik ke pantai; suatu simbolisasi tentang  kekuasaan yang berasal dari rakyat untuk diserahkan kepada pemerintah agar dilaksanakan. Di sinilah letak keunikannya dibanding dengan sistem pemerintahan  lainnya di Nusantara .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Abidin, Andi Zainal, 1983. The Emergence  of Early  Kindoms in Sulawesi. Prelimanary  Remarks on Govenmental  Contracts  from  the Thirteenth to the Fifteenth  Century.

 

Abidin, Andi Zainal, 1985. Wajo  Abad XV-XVI. Suatu Penggalian Sejarah  Terpendam Sulawesi Selatan  dari Lontara. Bandung Penerbit Alumni

 

Bellwood, Peter. Man’s  Conkuest of the Facific. The Prehistory of  Southeast Asian and Oceania. New York: Oxford University Press.1979

 

Cadwell, Ian. South Sulawesi A.D. 1300-1600.: Ten  Bugis Texts. Dissertation Faculty  of Asian Studies. Australian  National university, Camberra. 1988.

 

Andaya, Leonard, Y. Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan Perang Makassar 1666-1669 dari buku:  Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, terjemahan Anthony Reid & David Marr, 1983

 

Noorduyn.J.  De Islamisering van Makassar  . BKI. CXII,247-266

H.J. Friedericy, De Standen bij de Boeginizen en Makassaren, 1933. BKI 90

Niemann, G.K. Geschiedenis van Tanete, Leiden: s-Grafenhage, Martinus Nijhoff 1883. hlm. 112-118.

 

Noorduyn, J.  Een Achttiende Eewse Kroniek van Wadjo, s-Gravenhage: H.L. Smits, 1955

 

Noorduyn, J.  “De handelsrelatie van het Makassarsche rijk volgens een notitie van Cornelis Speelman uit 1670”, dalam: Nederlandsche Historische Bronnen (No. 3, 1983) Ligvoet, A., “Transciptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo met vertaling en Aantekeningen”, dalam: BKI (1880, Bag. IV).

 

Makarausu Amansyah, “Pengaruh Islam dalam Adat Istiadat Bugis-Makassar”, dalam: Bingkisan (Thn II, no. 5)

 

Mallinckrodt, J., 1933. ‘Gegeven over Mandar en andere landschappen van Zuid-Celebes, dalam: Adatrecht Bundel XXXVI,  s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Matthes, B.F. Boegineesche Chrestomathie. Tweedie deel Amsterdam, Spin, 1872

 

Mattulada, H.A., Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press, 1998.

 

Patunru, Abdurrazak Daeng.,  Sejarah Gowa,  Makassar: YKSS, 1983

 

Patunru, Andurrazak Daeng, dkk. 1989. Sejarah Bone, Ujung Pandang: YKSS

 

Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004. Bingkisan Patunru. Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar: Pusat Kajian Indonesia Timur bekerjasana dengan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

  1. Lontarak

Peliheng Dg, Mangatta.  Lontara Bone. Milik  Mahcmud Nuhung,

Lontara Wajo milik Petta Ballasari

Lontara Bone milik Andi Mappayukki, Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi selatan dan Tenggra.

Lontara Gowa Koleksi Museum Makassar

 

[1] Prof Dr.A. Rasyid Asba, MA adalah  Ketua  Program Ilmu Sejarah Pascasarjana  Universitas `Hasanudin. Kini juga menjabat sebagai  Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin .  Makalah ini disampaikan dalam   Temu Akbar  II  2014   Mufakat Budaya Indonesia FGD Sesulawesi dan Kalimantan 3- 5 Desember   2014.

 

[2]  Dari berbagai negara bangsa di dunia  yang mapan demokrasinya sekarang telah melalui revolusi social. melalui proses sejarah yang pangjang dari Tirani  kerajaan – oligarki elite/ partai- baru melahirkan Revolusi sampai terbentuk demokrasi. Penjelasan serupa dapat kita lihat  dalam  David Held, Models of Democracy,  California, Stanford University Press, 1996. hal.296-305

 

[3] Akhir-akhir ini model demokrasi  yang dikembangkan seperti di Indonesia, tidak berjalan sepenuhnya karena munculnya oligarki elit/ partai  yang jauh dari misi suci  system demokrasi  .

[4] Menurut Anderson, Dalam pemikiran Jawa  alam semesta itu tidak berkembang dan tidak  menyusut dan dihunu oleh kekuatan yang tidak bisa diraba, misterius dan suci. Jumlahnya secara menyeluruh tidak berubah  walaupun distribusi kekuatan itu di dalam alam semesta beraneka ragam.. Semua jenis kekuatan itu sumbernya  dari pusat adan alam semesta yaitu sang Hyang Wenang atau Sang Hyang Tunggal. Karena  dalam budaya Jawa  dikenal berbagai kekuatan antara lain pulung, wahyu, andaru, teluh braja dan guntur. Untuk lebih jelasnya lihat Parsudi Suparlan. “ Demokrasi  dalam Masyarakat Pedesaan Jawa” dalam  majalah Prisme No.2 Feb. 1977, hal 66.

2)  Andaya, Leonard, Y. Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan Perang Makassar 1666-1669 dari buku:  Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, terjemahan Anthony Reid & David Marr, 1983

[5] Bandingkan dengan Noorduyn.J.  De Islamisering van Makassar  . BKI. CXII,247-266.

[6] Untuk lebih jelasnya lihat Mattulada “ Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Indonesia” Perisma  no 2 tahun 1977. hal 39

3) Andi Zainal Abidin,   The Emergence of Early Kindoms in  Sulawesi. Preliminary Remarks on Govermental  Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century.  Bandung Penerbit Alumni, 1983. Bandingkan dengan Benedict  Anderson . The Idea Power  in Javanese  Culture.  In Claire Holt and  Others (Ed) Vulture and Politics in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press. 1972.

[7] H.J. Friedericy, De Standen bij de Boeginizen en Makassaren, 1933. BKI 90, membagi lapisan sosial orang Bugis-Makassar, atas tiga strata, yaitu: (1) Arung dan anakarung-kaum bangsawan, (2) . Maradeka atau rakyat kebanyakan, dan (3) . Ata, Tetapi dikatakannya juga bahwa lapisan ata itu adalah sekunder yang datang kemudian.

 

[8] Biasanya tempat yang tinggi yang dijabarkan sebagai langit atau tempat yang tinggi, antara lain gunung. Ada gunung dipandang suci, tempat para dewa, atau begawan yang menuntut  ilmu-ilmu kebatinan dan sejenisnya. Tempat orang-orang luar biasa yang memiliki kesaktian. Gunung Bawakaraeng di Sulawesi Selatan dipercaya sebagai tempat keramat yang disucikan.

 

[9] Sama saja halnya pnda zaman moderen, juga memerlukan cara untuk meyakinkan rakyat tentang kebenaran sesuatu kekuasaan atau kepemimpinan yang diterima sebagai Pemimpin Rakyat atas nama “Demokrasi” atau “Kerakyatan”

 

[10] G.Catlin, dalam bukunya A History of the Political Philosophy menyebut perjanjian seperti itu Governmental-contract (hl.275) ….. a compact or quasicontract the ….the question rises who was to decide upon the details and to proceede against him who broke it. (Riekerk, 1959, hal.13.)

 

[11] Dijabarkan kepada Kerakyatan dalam arti Penguasa dalam melakukan tugas  kekuasaannya, selalu memihak atau memenangkan kepentingan Rakyat. Ia mengayomi kepentingan Rakyat.

 

[12] Sebutan umum “kerajaan lokal” dan “ raja” sebagai pimpinannya, sesungguhnya untuk masyarakat Sulawesi Selatan, kurang tepat, ia disebut “tanah” atau “butta”. Setiap tanah memiliki arajang. Kata arajang, itulah rupanya dijabarkan ke dalam isilah kerajaan dan raja. Arti, arajang, ialah kemuliaan (regalia) atau kebesaran.

 

[13] Lontara Bone Milik Andi Muh. Ali.. Watampone,  Koleksi Pribadi Lihat Pula Lontara Silsila raja Bone Koleksi Paliheng Daeng Mangatta di Sinjai

[14]  Untuk lebih jelasnya lihat Lontara Petta Ballasari. Sengkang ,Koleksi Pribadi

[15] Lontara, Gowa. Milik Andi Mappanyukki, Koleksi Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Bandingkan pula dengan penafsiran Leonard  Andaya  “The Heritage  of Arung Palakka . A. History  of South Sulawesi (Celebes) in the seventeenth century  “The  Hague: M. Nihhoof. 1981  Lihat juga Leonard Andaya “Kingship adapt Rivalry and The Rule  of Islam   in South Sulawesi”. JSAS, XV 1984 hal. 22-42

[16] Lihat Lontara  Bone Milik Andi Mapapnyukki. Koleksi Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara


MENGURAI KONFLIK DAN MEMBANGUN HARMONI DALAM KEBERAGAMAN 1)

$
0
0

MENGURAI KONFLIK DAN MEMBANGUN HARMONI

DALAM KEBERAGAMAN 1)

 

Oleh:

Juraid Abdul Latief 2)

 

Dalam dua dekade terakhir realitas harmoni Indonesia kerap terkoyak oleh serangkaian konflik berbau kekerasan (violence conflicts) yang marak merebak di berbagai daerah. Selain menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang tak sedikit, konflik juga mengakibatkan dampak sosial yang luar biasa. Berbagai konflik komunal bukan hanya sangat mengganggu stabilitas nasional tetapi juga mengancam integrasi bangsa. Komunitas kebangsaan yang diangankan sebagai sebuah bangunan yang solid, sontak berubah menjadi sebuah komunitas semu yang menurut Benedict Anderson (2002) tak lebih hanya sebatas komunitas imajiner. Inilah sebetulnya tantangan terberat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tersusun secara multikultur, multietnik, dan multiagama yang rapuh dan rentan jatuh dalam perpecahan, jika bangsa ini gagal mengelolanya secara baik. Menyikapi serangkaian konflik yang muncul diperlukan perhatian dari semua pihak.

Berbagai upaya penanganan konflik yang selama ini dilakukan elit masyarakat maupun pemerintah terkesan hanya menyelesaikan atau mengakhiri konflik, belum mengarah pada upaya transformasi konflik (conflict transformation) secara berkesinambungan. Akibatnya, meskipun konflik terlihat berhenti tetapi potensi konflik yang sama bisa saja muncul di lain waktu. Keberadaanya biasanya mengiringi dinamika sebuah masyarakat. Eksistensi konflik dengan demikian merupakan sesuatu yang alamiah dan wajar. Akan tetapi ketika konflik telah mengarah pada tindak kekerasan dan anarkhi maka dampak positif konflik sebagai sarana kohesivitas dan soliditas sebuah grup, kemudian berubah menjadi sesuatu yang desktruktif. Untuk itu diperlukan upaya alternatif yang berbeda dari cara-cara penyelesaian konflik yang selama ini ada.

Konflik: Konsepsi dan Resolusi

Konflik merupakan kenyataan hidup yang tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan atau karena ketidakseimbangan atau kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumberdaya serta sudut pandang terhadap suatu permasalahan. Konflik merupakan  fenomena yang selalu hadir (inherent omnipresence) dalam suatu komunitas. Pada tingkatan ini, konflik sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang menyertai pola interaksi manusia sepanjang masa. Persoalannya adalah ketika konflik berubah menjadi kekerasan atau anarkhi apalagi dengan melibatkan massa dalam jumlah yang sangat banyak. Harmoni sosial yang telah terbangun biasanya akan berubah menjadi kekacauan. Ada banyak teori yang menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya konflik.

Salah satu di antaranya adalah yang dikemukakan oleh Simon Fisher dkk (2002) yang menyebutkan beberapa teori tentang terjadinya konflik:

  1. Teori hubungan masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh polariasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
  2. Teori negosiasi konflik. Menganggap bahwa konflik terjadi oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
  3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini menganggap bahwa konflik disebakan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan sosial-yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaran.
  4. Teori identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
  5. Teori kesalahpahaman antar budaya. Teori berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
  6. Teori transformasi konflik. Bahwa konflik disebabkan oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Konflik kekerasan juga bisa dilihat dari perspektif konflik elit. Seperti diketahui pasca reformasi, selain beberapa kerusuhan, kondisi sosial politik di Indonesia ditandai dua gejala yang mencolok yakni konflik politik (political conflict) dan kekerasan politik (political violence). Tarik menarik kepentingan politik elit di satu sisi dapat menyumbang proses demokratisasi, tetapi dampak buruknya dapat memunculkan pengkotak-kotakan masyarakat yang akibatnya cenderung menimbulkan kekerasan kolektif.

Sementara itu untuk menyelesaikan suatu konflik, ada beragam versi atau model resolusi konflik, salah satunya seperti ditawarkan oleh Johan Galtung (2003). Galtung menawarkan tiga model yang saling terkait, yaitu; peace keeping, peace building, peace making. Peace keeping dilakukan ketika konflik benar-benar tak bisa dihentikan secara halus. Pelibatan aparat keamanan atau militer terpaksa ditempuh guna menghentikan konflik. Peace building merupakan strategi yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat konflik dengan jalan membangun jembatan komunikasi antara pihak yang terlibat. Sedangkan peace making, adalah upaya negoisasi antara kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dan kepentingan. Teori lain menyebutkan bahwa untuk menangani konflik diperlukan upaya yang disebut resolusi konflik.

Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai sebuah proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik melalui beberapa tahap sesuai status konflik. Ada empat tahapan dalam resolusi konflik yaitu:

  1. Tahap de-eskalasi konflik yang menekankan pada proses penghentian kekerasan. Militer atau aparat keamanan biasanya akan melakukan pekerjaan ini.
  2. Tahap negoisasi, langkah penyelesaian yang lebih berorientasi politik dengan melibatkan kelompok-kelompok yang bertikai. Tujuannya adalah untuk memaksa para pihak untuk memasuki meja perundingan.
  3. Tahap problem solving approach yang lebih bernuansa sosial. Ada empat komponen utama pada tahap problem solving approach. Pertama, masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Kedua, masing-masing pihak memberi informasi yang benar tentang konflik yang sedang terjadi meliputi penyebab, trauma yang timbul, hambatan struktural yang mungkin dihadapi dalam resolusi konflik. Ketiga, kedua belah mulai mencari alternatif solusi setidaknya signal-signal menuju perdamaian. Keempat, problem solving workshop yakni kesediaan pihak-pihak untuk menyediakan suasana kondusif bagi resolusi konflik.
  4. Tahap peace building, yakni tahap yang bersifat kultural dan struktural. Memerlukan waktu yang panjang dan konsistensi untuk mewujudkan perdamaian yang permanen.

Dari semua konsepsi di atas, satu hal yang sangat diharapkan dalam menangani konflik adalah kesediaan pihak-pihak yang memiliki otoritas agar bertindak secara objektif dan netral. Prinsip ini perlu diambil agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang merasa dirugikan dan merasa puas (satisfaction). Selain langkah-langkah yang bersifat kuratif, tentu saja perlu dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat prefentif agar potensi konflik kekerasan dapat diantisipasi.

Konflik dalam Perspektif Teori dan Historis

  1. Konflik Secara Umum

Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika kepentingan maupun tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat terjadi namun konflik dapat diselesaikan tanpa adanya kekerasan dan bahkan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Konflik kemungkinan akan selalu ada, apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan dalam kehidupan. Dari tingkat mikro, antar pribadi  masyarakat dan negara, semua bentuk hubungan manusia sosial, ekonomi dan kekuasaan mengalami pertumbuhan, perubahan dan konflik. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan tersebut. Perbedaan pandangan dan tujuan sering dipandang sebagai masalah yang hanya dapat diselesaikan jika kita semua pihak memiliki maksud yang sama, atau ketika suatu pandangan lebih kuat dari pada pandangan yang lain. Kemungkinan lainnya, perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat sebagai sumber daya yang menuntun ke arah pemahaman yang lebih luas terhadap suatu masalah dan perbaikan situasi yang sedang dihadapi.

Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia (individu-kelompok-masyarakat) dalam berbagai aspek kehidupan, contohnya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya serta distribusi kekuasaan yang tidak seimbang.  Dua elemen kuat seringkali bergabung dalam sebuah konflik yaitu Identitas dan Distribusi. Identitas diartikan sebagai mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang berdasarkan atas RAS, Agama, Kultur, Bahasa dan seterusnya. Ketika distribusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana suatu kelompok agama kekurangan sumber daya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik. Kombinasi antara faktor-faktor yang berbasiskan identitas secara kental dengan persepsi yang lebih luas tentang ketidakadilan ekonomi dan sosial seringkali menghidupkan apa yang kita sebut sebagai “konflik yang mengakar”. Karakteristik yang paling menonjol dari konflik internal adalah tingkat ketahanannya. Hal ini timbul karena seringkali dasarnya terletak pada isu identitas; istilah konflik etnis sering digunakan. Etnisitas adalah konsep yang luas mencakup banyak sekali elemen: RAS, Kultur, Agama, keturunan, sejarah, bahasa dan seterusnya. Tetapi pada dasarnya merupakan isu identitas. Seringkali faktor-faktor yang berhubungan dengan identitas ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja.

  1. Konflik dalam Perspektif Sosiologis dan Kultural

Secara sosiologis, konflik sesungguhnya dipahami dalam dua wajah yang berbeda yaitu :1) Konflik dapat dianggap sebagai sebuah patologi sosial akibat kegagalan proses integrasi masyarakat atau komunitas. Dalam kerangka ini, konflik biasanya dipahami sebagai sesuatu yang destruktif dan oleh karena itu mungkin harus dihindarkan. Interpretasi semacam ini mengandung nuansa pesimistis dalam melihat konflik sebagai suatu fenomena. 2) Konflik dilihat dari segi fungsionalnya yakni sebagai sebuah mekanisme untuk menyempurnakan proses integrasi sosial. Dalam pemahaman semacam ini, konflik dapat dilihat dari sudut yang lebih optimistis, yakni sebuah cara untuk menghilangkan berbagai elemen disintegrasi dalam rangka untuk membentuk suatu komunitas yang solid. Dalam artian ini, konflik tidak perlu dihindari melainkan sebaliknya harus dikelola dan kemudian dicarikan solusinya.

  1. Konflik Berdasarkan Sumber-Sumber Konflik

Bila diteropong  lebih seksama sumber-sumber konflik di tingkat lokal menyangkut beberapa aspek yaitu :

  • Tekanan yang makin keras terhadap peran negara sebagai sebuah kekuatan yang berdaulat atas wilayah dan warganya. Walaupun hingga akhir abad ke-20 negara sebagai sebuah institusi yang masih eksis, namun berbagai tekanan oleh kekuatan-kekuatan baik dari dalam maupun dari luar telah meletakkan negara pada posisi yang defensif.
  • Posisi negara yang makin terancam oleh mobilisasi kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap situasi dan kondisi tertentu; sebagaimana yang dikemukakan oleh Karl Marx (1980) bahwa ketidak-puasan seringkali menjadi sumber konflik.
  • Konflik di tingkat lokal dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para pemimpin kelompok di dalam suatu negara dengan cara mengeksploitasi suasana pluralitas demi kepentingan pribadi/kelompoknya melalui penggalangan dukungan massa. Konflik yang melanda berbagai kawasan di Balkan maupun Afrika tidak lepas dari peran para pemimpin yang mengeksploitasi perbedaan dalam rangka memperoleh dukungan masa guna kepentingan pribadi atau kelompoknya.
  1. Konflik Primordial

Di luar bentuk eksploitasi pluralitas, konflik juga dapat terbangun dari akibat pola primordial. Ketika masih berlangsung pegelompokan negara menjadi Blok Barat dan Blok Timur atau Kapitalisme-liberal versus Marxisme-Leninisme, eksploitasi pluralitas menjadi tidak relevan. Namun ketika Perang Dingin berakhir, maka benih-benih primordialisme mulai muncul ke permukaan.

Selama era Orde Baru kita merasakan bahwa konflik horisontal berupa bentrokan antar masa yang disertai dengan kekerasan nyaris tidak pernah terjadi. Kehidupan antar umat beragama, antar suku, antar etnis dan antar kelompok dalam masyarakat berlangsung dalam kedamaian. Tetapi pada era reformasi ini, dimana kehidupan dinyatakan oleh para pakar politik lebih demokratis, justru diwarnai oleh konflik horisontal dengan disertai oleh tindakan kekerasan. Pada tahun 2009 tercatat ada 58 kasus dan pada tahun 2010 meningkat dengan 81 kasus. Kemudian pada awal tahun 2011 muncul kasus kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang Provinsi Banten. Tiga orang tewas dalam kasus kekerasan tersebut. Berikutnya di Temanggung masa membakar gereja, sekolah, panti asuhan dan  merusak kantor polisi. Beberapa hari kemudian muncul penyerangan terhadap Pondok Pesantren YAPI di Pasuruan.

Kasus-kasus kekerasan diatas tidak hanya antar umat beragama tetapi juga terjadi interen umat beragama. Masalah kesenjangan sosial ekonomi, pengangguran, kemiskinan, perilaku antar etnis dan ketidakmampuan paratur menjadikan masyarakat mudah diprovokasi melakukan tindak kekerasan. Kasus di Temanggung misalnya, pelaku kerusuhan ternyata para petani miskin yang tidak tahu apa-apa, tetapi melibatkan provokator dari luar kota Temanggung.   Dalam hal ini sebenarnya para elit atau tokoh agama, sudah bersepakat untuk mencari solusi atau jalan keluar yang terbaik dari konflik yang terjadi.

Pada era Orde baru, konflik yang terjadi lebih bersifat vertikal. Antara pemerintah dengan  rakyat. Misalnya konflik antara TNI dengan para pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, kemudian antara TNI dengan pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan  juga di Timor Leste. Pada waktu itu TNI (pada waktu itu disebut ABRI), memiliki peran sangat menonjol; baik secara teritorial maupun secara politis karena mereka juga mendapat jatah kursi di lembaga legislatif dan berbagai posisi di pemerintahan. Peran yang sangat menonjol dari TNI ini bertolak belakang dengan kebebasan berserikat, berkumpul atau menyatakan pendapat dari masyarakat dalam kerangka kehidupan berdemokrasi. Kontrol sosial politik militer yang sangat kuat memang menghasilkan kehidupan berdemokrasi yang lemah. Tetapi konflik horisontal dapat dikendalikan dengan baik. Kondisi persatuan dan kesatuan masyarakat cukup kokoh dan terkendali.

Ketika era reformasi bergulir, kehidupan menjadi lebih demokratis. Kebebasan berserikat (antara lain mendirikan partai politik), berkumpul dan menyatakan pendapat (misalnya melalui demonstrasi) lebih semarak. Tetapi kebebasan tersebut sering bersifat anarkis, tanpa mempedulikan hukum yang berlaku. Sikap penegak hukum juga sering tidak tegas, misalnya terhadap kelompok sosial keagamaan yang melakukan tindakan anarkis dan penuh kekerasan. Hal ini dapat dimaklumi karena penegak hukum dihadapkan pada situasi dilematis. Mereka tidak mau dituduh melanggar HAM sementara masyarakat yang dirugikan menuntut mereka bertindak tegas.

Menurut Aryanto Sutadi (2008), konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Dalam hal ini dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horisontal dan vertikal, dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.

Konflik horisontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal maksudnya adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat.

Beberapa contoh konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia misalnya: Konflik antar kampung/desa/wilayah karena isu etnis, isu aliran kepercayaan, isu ekonomi (seperti rebutan lahan ekonomi pertanian, perikanan, pertambangan) isu solidaritas (suporter olah raga, kebanggaan group), isu ideologi dan isu sosial lainnya (tawuran antar anak sekolah, antar kelompok geng).

Contoh peristiwa konflik vertikal misalnya: konflik ideologi untuk memisahkan dari wilayah RI, konflik yang dipicu oleh perlakuan tidak adil dari pemerintah berkaitan dengan pembagian hasil pengolahan sumber daya alam, kebijakan ekonomi yang dinilai merugikan kelompok tertentu, dampak pemekaran wilayah, dampak kebijakan yang dinilai diskriminatif.

Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta, melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat, yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.

Dari pengamatan empiris, konflik masal lebih sering terjadi seiring menggeloranya era reformasi yang dampaknya tidak hanya mengganggu ketentraman dan kedamaian, melainkan juga cukup menghawatirkan bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Beberapa contoh konkrit masalah konflik yang cukup serius baik yang bersifat vertical ataupun horisontal yang terjadi pada akhir-akhir ini antara lain:

  1. Konflik yang bernuansa separatisme: konflik di NAD, Maluku, dan Papua.
  2. Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Kalbar, Kalteng, dan Ambon.
  3. Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, faham radikal.
  4. Konflik yang benuansa politis: konflik akibat isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan.
  5. Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok pedagang.
  6. Konflik Sosial lainnya: konflik antar anak sekolah, mahasiswa,
  7. Konflik bernuansa solidaritas liar: tawuran antar wilayah, antar suporter sepak bola.
  8. Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan Achmadiyah, isu aliran sesat.
  9. Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM, BOS, LPG. Dan sebagainya.

Dari kajian terhadap konflik-konflik besar yang telah terjadi di Indonesia beberapa peristiwa yang telah menjadi pemicu konflik sangat bervariasi, contohnya:

  1. Pemicu konflik di Poso dan di Maluku yang berkepanjangan sampai beberapa tahun, diawali oleh perkelahian antara seorang pemuda dengan seorang pemuda beragama lain walaupun tinggalnya tidak berjauhan.
  2. Konflik masal antar wilayah di NTB, Jateng dan beberapa Wilayah lainnya diawali oleh peristiwa pemukulan pemuda yang sedang berkunjung rumah pacanya di wilayah tetangga.
  3. Beberapa konflik masal di Papua diawali dengan peristiwa tindakan keras oknum aparat terhadap warga masyarakatnya.
  4. Pemicu konflik isu Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah sering berawal dari tindakan petugas lapangan yang kurang profesional.

 

 

Resolusi (Negara dan Masyarakat Sipil) Multikultural

Dalam bagian solusi terkait masyarakat multikultural, banyak ahli memberikan saran untuk mengatasi konflik sosial (yang melibatkan massa) baik massa berbasis agama maupun berbasis ideologi non agama. Seperti usulan Jack Rothman, misalnya, mengusulkan dua jalur resolusi konflik. Jika konflik melibatkan massa (agama maupun non agama), harus dilakukan hal-hal:

  1. Tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengaturan administratif, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi.
  2. Memberikan insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas yang mampu menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat.
  3. Tindakan persuasif, terutama terhadap ketidakpuasan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi realitas sosial, politik dan ekonomi
  4. tindakan normatif, yakni melakukan proses pembangunan persepsi dan keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan dicapai.

Sementara untuk konflik kekerasan yang lebih bersifat vertical, perlu dilakukan dengan jalan rekonsiliasi atau penyelesaian politik yang menguntungkan masyarakat luas. Telah banyak pekerjaan dilakukan oleh Negara dan masyarakat sipil dalam upaya menyelesaikan konflik sosial agama (SARA) yang terjadi di Indonesia, sepanjang tahun 2000 sampai 2006 yang lalu, tetapi tetap saja konflik sosial (SARA) terus terjadi, bahkan belakangan terus berkembang pada tataran yang lebih ruwet.

Jalur negosiasi, mediasi dilakukan oleh Negara dan masyarakat sipil sebenarnya sebagai upaya penyelesaiaan konflik SARA yang terus merebak, tetapi belum bisa menghilangkan konflik-kekerasan di nusantara. Hal ini, oleh para pengamat, sosiolog, agamawan, teolog, ahli politik dan kebijakan karena terjadinya “hegemonisasi” Negara atas rakyatnya sehingga Negara menganggap apa yang dikerjakan Negara selalu akan “diamini”, padahal tidak, kasus tarnsmigrasi adalah contoh serius disini yang menjadikan bom waktu konflik sosial di Indonesia tahun 1997 di Sanggauledo, Sambas di Palangkaraya, di samping Ambon dan Aceh yang tidak terungkap kepermukaan karena yang dominan adalah konflik GAM-TNI.

Ada persoalan serius yang seringkali dilupakan, sebenarnya secara sosiologis apa substansi konflik sosial (SARA) yang terus terjadi, karena itu penjelasan pengantar diawal tentang perlunya memetakan apa penyebab konflik sosial (SARA) dan mekanisme apa yang telah dikerjakan dalam proses penyelesaian perlu mendapatkan perhatian para pengambil kebijakan dan para aktivis perdamaian. Masalah radikalisasi gerakan keagamaan memang bukan hanya “milik Islam” tetapi juga agama-agama lain, baik tradisi Abraham (Yahudi, Kristen dan Islam), tetapi juga Hindu dan Buda, serta agama-agama lokal yang ada di Indonesia. Semangat gethoisme Hindu Bali aliran mainstream (Mahayana) yang melarang menggunakan bahasa Pali dan Sanskerta oleh agama Kristen/Katolik dan orang Islam adalah bentuk-bentuk pemaknaan symbol yang berlebihan. Pelarangan sekolah SMU dan Rumah Sakit Kristen di Bali yang diprotes penganut Hindu di Badung dan bukit Kintamani adalah bentuk gehtoisme dalam Hinduisme di Bali.

Sementara Gethoisme agama-agama lokal di Palangkaraya dan Pontianak juga muncul, sehingga mereka menuntut adanya pemberlakuan nama-nama suku tertentu yang menganut agama-agama suku mereka untuk nama-nama tempat yang dipakai publik (seperti Bandara, nama jalan dan tempat-tempat umum lainnya).

Dari penjelasan di atas, ringkasnya dapat dikatakan bahwa masalah SARA di Indonesia merupakan masalah yang demikian pelik, membutuhkan ketelitian dan kejelian untuk mengurainya sehingga bisa memberikan sumbangan yang memadai dalam konteks menjadikan Indonesia sebagai miniatur dunia yang masyarakatnya perlahan-lahan menjadi masyarakat yang beradab, bukan masyarakat yang uncivilized karena terbebani konflik SARA yang terus berkesinambungan dari tahun-ketahun.

Dalam konteks rumitnya konflik kekerasan SARA yang seperti itu, maka Negara sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih memadai untuk terjadinya proses dialektika antar kelompok di masyarakat sehingga antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dapat saling menghargai, memahami dan bekerja sama. Tanpa ruang yang memadai untuk seluruh elemen masyarakat, yang akan terjadi adalah munculnya kekuatan-kekuatan baru yang akan menumbuhkan konflik kekerasan di masa yang akan datang. Negara harus bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan Indonesia menjadi Negara yang damai dan agama menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya kelompoknya sendiri. Dengan demikian, resolusi konflik kekerasan berbasis agama harus dikembangkan dari hal-hal yang paling sederhana, kecil tetapi berkesinambungan, tidak mengesankan hanya karena proyek Negara, yang akan berakhir dengan bentuk-bentuk formalitas belaka. Formalisasi harus kita akhiri menuju kerja yang sistematik dan bermanfaat untuk semua.

Beberapa contoh konflik yang terjadi pada masyarakat yaitu kerusuhan di Poso yang berawal dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah tersebut bertumpu pada sub sistem budaya yang menyangkut masalah suku dan agama serta kurangnya keadilan dimana ada sebagian masyarakat yang merasa didiskriminasikan. Dimana kerusuhan diawali dengan pertikaian antarpemuda yang berbeda agama yang melakukan pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti Bugis, Jawa dan Gorontalo yang terjadi di Poso pada kerusuhan ke III. Kasus lain, adanya masalah pertikaian umat Islam yang berbeda aliran agama Islam. Kasus itu terjadi pada bulan oktober  2012 di Bandung, dimana salah satu Ormas Islam tidak setuju adanya umat Amadiyah di Bandung. Tempat peribadahan umat Ahmadiyah pun tak luput dari perusakan. Menurut walikota Bandung, Dada Rosada” Warga Bandung juga tidak setuju akan datangnya Ahmadiyah, karena selama ini tanpa kehadiran Ahmadiyah daerah Bandung sudah dalam keadaan kondusif”.

Contoh di atas merupakan salah satu dampak negatif dari konflik sosial. Konflik sosial yang negatif akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat yaitu retaknya persatuan kelompok, perubahan kepribadian individu dan banyaknya kerugian baik harta benda, jiwa dan mental bangsa Indonesia.

Permasalahan multikulturalisme membutuhkan strategi untuk memecahkan masalah tersebut. Strategi yang tepat hendaknya dimulai dari kesadaran masyarakat untuk saling menghormati keberagaman di masyarakat.    Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI) Retno Listyati mengingatkan, bangsa ini jangan sampai membiarkan eksistensi pancasila diragukan sebagai falsafah hidup. Sebab Dasar Negara ini merupakan cermin impian seluruh bangsa Indonesia tentang pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang diidealkan bersama dalam keberagaman.

Berkaitan dengan multikulturalisme dan kekurangsiapan mental bangsa Indonesia, maka di lingkungan pendidikan harus terdapat pengajaran multikulturalisme. Karena paradigma pendidikan sekarang lebih menekankan pada pengembangan intelektual dan mengabaikan pembentukan sikap moral dan penanaman nilai budaya. Saat  ditanyakan tentang multikulturalisme,  banyak yang hanya memahami secara sempit, yaitu sebatas mengetahui keberagaman budaya dan tidak terlalu memahami bahwa persoalan multikulturalisme tidak bisa hanya disandarkan pada kuantitas semata. Padahal multikulturalisme mencakup arti yang sangat luas, termasuk memahami sudut pandang serta cara berkomunikasi dan mengerti akan keberagaman dan keyakinan yang berbeda, serta sebagai salah satu  fondasi dalam upaya membangun jalan resolusi konflik. Fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan terlihat pada kekerasan dan tawuran antarpelajar yang melibatkan antarsekolah dan tidak jarang melakukan pengrusakan serta memakan korban. Berbagai sebab yang menyulut terjadinya tawuran memang beraneka ragam, akan tetapi tujuannya tidak jelas. Persoalan permasalahan yang terjadi karena kurangnya kepahaman masyarakat mengenai pengetahuan multikulturalisme. Padahal, pendidikan multikultural dapat memberikan kebijakan pendidikan berbasis karakter.

 

Multikulturalisme dalam Konflik

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi yang memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Fondasi Multikultural

Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut:

Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.

  1. Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan sistem dari masing-masing kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.
  2. Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan sebagai modal terciptanya semangat persatuan dan kesatuan.

Dewasa ini pada era globalisasi, secara teoritis, tidak mungkin ada suatu bangsa yang homogen dan monolitis. Hanya terdiri dari satu etnis atau satu agama. Globalisasi dengan salah satu wujudnya berupa  free trade, telah menciptakan ”bordeless world ”. Dunia tanpa batas. Karena barang, modal, jasa dan manusia akan mengalir dari suatu negara ke negara lain tanpa hambatan administrasi. Apalagi pada dasarnya memang tidak ada negara satupun di dunia ini yang mampu hidup tanpa bantuan negara lain. Jepang adalah negara industri yang kaya raya, tetapi tidak mampu mengembangkan pertanian dan perkebunan. Demikian juga dengan negara-negara di Timur Tengah yang kaya karena minyak pasti memerlukan produk pertanian dan bahan makanan dari negara lain.

Hampir semua bangsa di dunia harus menerima kenyataan bahwa negaranya tergantung kepada negara lain. Konsekuensinya mereka terpaksa menerima kehadiran bangsa lain yang berbeda secara etnis, agama maupun tradisi. Setelah ratusan tahun kemudian bangsa yang tadinya homogen menjadi heterogen. Amerika yang mayoritas berpenduduk Eropa dan Kristen harus hidup berdampingan  dengan penduduk berasal dari Afrika dan Asia yang beragama Islam. Sebaliknya Malaysia yang mayoritas Melayu beragama Islam harus hidup berdampingan dengan penduduk dari etnis Cina beragama Kristen. Contoh heterogenitas dalam suatu negara ini masih dapat diperpanjang lagi. Dan heterogenitas adalah sumber konflik.

Konflik horisontal dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme dan mengancam keutuhan NKRI. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005, pengelolaan keragaman budaya di Indonesia dapat dilakukan dengan :

  1. Pelaksanaan dialog antar budaya yang terbuka dan demokratis.
  2. Pengembangan multikultural dalam rangka meningkatkan toleransi dalam masyarakat.
  3. Membangun kesadaran hidup multikultural menuju terciptanya keadaban.

Pendapat Deutch yang dikutip oleh Bernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan beberapa pengelolaan konflik atau bisa disebut manajemen konflik, yaitu:

  • Destruktif

Destruktif adalah bentuk penanganan konflik dengan menggunakan acaman, paksaan, atau kekerasan. Adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau bisa dikatakan individu cenderung menyalahkan. Konflik destruktif menimbulkan kerugian bagi individu atau individu-individu yang terlibat di dalamnya. Konflik seperti ini misalnya terjadi pada dua remaja yang tidak dapat bekerja sama karena terjadi sikap permusuhan antar perorangan. Ada banyak keadaan di mana konflik dapat menyebabkan orang yang mengalaminya mengalami goncangan (jiwa). Selain itu juga banyak kerugian yang ditimbulkan karena konflik destruktif, misalnya :

  1. Perasaan cemas/tegang (stres) yang berlebihan.
  2. Komunikasi yang kurang.
  3. Persaingan yang semakin berat.
  • Konstruktif

Konstruktif merupakan bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan negosiasi sehingga terjadi satu tawar menawar yang menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat pula menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat berpikir secara logis dalam penyelesaian masalah. Setiap konflik yang ada dalam kehidupan apabila dapat dikelola dengan baik, maka akan sangat bermanfaat dalam hal memajukan kreativitas dan inovasi, meskipun konflik memiliki sisi konstruktif dan sisi destruktif (Winardi, 1994).

Konflik ini berkebalikan dengan konflik destruktif karena konflik konstruktif justru menyebabkan timbulnya keuntungan-keuntungan dan bukan kerugiankerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya. Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat (Fisher, 2002). Menurut Johnson setiap orang memiliki Relegiusitas masing-masing dalam mengelola konflik. Relegiusitas-relegiusitas ini merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa kanak-kanak dan berlanjut hingga remaja.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.

Aryanto Sutadi, Naskah Akademik Tentang Penyelenggaraan Kemanan Negara Republik Indonesia, Draft Ke-4, Juli 2008, hal. 20.

Echols, J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: P.TGramedia.

Fisher, dkkk. 2002. Mengelola Konflik, Ketrampilan Dan Strategi Untuk Bertindak. The British Council.

Galtung, Johan. (2003). Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka.

Gramedia, Mardianto, dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau dari Status Keikutsertaan dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam di Universitas Gajah Mada. Jurnal Psikologi, No. 2.

Indati, A. 1996. Konflik Pada Anak; Pengaruh Lingkungan dan Tahap Perkembangannya. Laporan penelitian (tidak diterbitkan). Yogjakarta. Fakultas Psikologi, UGM.

Judith Squires, Culture, Equality and Diversity, 2002, dalam Kelly, Paul, Multiculturalism Reconsidered, UK: Black Well Publisher.

Juraid Abdul Latief, 2014. Under the Shadow of Tolerance, Peace, and Democracy: Tracing Back the Origins of Religious Violence and Radicalism in Indonesia. At the Seminar  “Indonesia’s” International Image In the Post-Soeharto Era at  J.W. Goethe University of Frankfurt on Thursday, October 9th 2014.

Kymlica, 2002, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES.

Madjid, R. 1997. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka.

Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Bandung: CV. Mandarmaju.

 

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

 

  1. Nama Lengkap : Prof. Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum.
  2. Tempat tanggal lahir : Bima, 30 November 1958
  3. Pekerjaan       : Dosen Tetap Jurusan IPS FKIP Universitas Tadulako
  4. Pangkat/Golongan :  Pembina Utama  / IV E
  5. Alamat : Jalan Banteng Blok C1 No. 4 Palu Selatan

                                             Mobile : 081342777355

                                              e-mail : juraidalatief@yahoo.com

  1. Riwayat Pendidikan :

SD            : SDN Bima, Tahun 1971

SMP         : SLTP di Bima, Tahun 1974

SLTA       : SMA di Bima, Tahun 1977

S1             : Fakultas Sastra Unhas, Tahun 1983

S2             : Program Pascasarjana UGM, Tahun 1996

S3             : Program Pascasarjana UNHAS, Tahun 2004

  1. Pekerjaan : Dosen Tetap Jurusan Ilmu Sosial FKIP Universitas Tadulako sejak   tahun 1985
  2. Pangkat/Golongan : Pembina Utama, IV/ E
  3. Pengalaman Jabatan :
  4. Ketua Jurusan Ilmu Sosial FKIP Universitas Tadulako (1999-2001).
  5. Anggota Penjaminan Mutu FKIP (2009-2013)
  6. Anggota Dewan Pertimbangan Untad (2011-2014)
  7. Wakil Ketua Dewan Profesor Untad (2012- Sekarang).
  8. Ketua Prodi S2 Pendidikan IPS PPs Untad

 

  1. Riwayat Orang Tua :

Nama Ayah                    :  Haji Abdul Latief (Alm.)

Nama Ibu                        :  Hajjah Siti Djamilah

Alamat                           :  Kelurahan Dodu Kecamatan RasanaE Timur Kota Bima.

  1. Karya Imiah :
  2. Buku
  • Manusia, Filsafat, dan Sejarah, diterbitkan oleh Bumi Aksara, Jakarta (2001)
  • Dunia Militer di Indonesia, diterbitkan oleh Gama Press (2001)
  • Pemberontakan Tolitoli, Sarekat Islam dan Perjuangan Kaum Tertindas, diterbitkan oleh UNTAD Press (2002).
  • Naskah I Lagaligo sebagai Karya Sastra Dunia, Devisi Sosial Humaniora UNHAS (2003)
  • Sejarah Intelektual, diterbitkan oleh Tadulako University Press (2004)
  • Pendidikan Pancasila, diterbitkan oleh Yayasan Masyarakat Indonesia Baru (2005)
  • Aspek Sosial Budaya dalam Pengembangan Pendidikan Multikultural, diterbitkan oleh World Vision Indonesia (2012).

 

  1. Tulisan di Jurnal Ilmiah
    • Pemberontakan Petani Tolitoli 1919, Majalah Gagasan Universitas Tadukako (1996).
    • Konsep Demokrasi dalam Budaya Bugis Makassar, Majalah Kebudayaan Depbikbud di Jakarta (1997)
    • Alternatif Baru dalam Pengajaran Sejarah di Era Globalisasi, Jurnal Ilmiah Kreatif Univ. Tadulako (1998)
    • Pengaruh Film terhadap pembentukan kepribadian Kaum Muda, Jurnal Ilmiah Kreatif Univ. Tadulako (1999).
    • Kondisi dan Kinerja Program Studi Sejarah dan Program Studi PPKn pada Jurusan IPS FKIP Universitas Tadulako, Jurnal Imiah Kreatif Univ. Tadulako (2000).
    • Faktor-Faktor yang mempengaruhi tingkat Partisipasi Anak Usia Sekolah di daerah terpencil di Sulawesi Tengah, Jurnal Nasional Vidya Karya, UNLAM Banjarmasin (2005)
    • Peran Agama dalam Perubahan Sosial dan Politik di Tolitoli pada`Awal Abad XX, Jurnal Nasional Sosial dan Humaniora UNHAS Makassar (2005)
  1. Hasil Penelitian :
    • Mitologi Sawerigading di Poso (1987)
    • Kerajinan Tradisional di Sulawesi Tengah (1988)
    • Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Tengah (1990/1991)
    • Gerakan Sosial di Napu (1991)
    • Pengobatan Tradisional di Sulawesi Tengah (1992)
    • Serpihan Perjuangan Rakyat Poso (1992/1993).
    • Budaya Disiplin Nasional di Sulawesi Tengah (1996)
    • Arti Pentingnya Nilai-nilai Kebudayaan Daerah terhadap Pembangunan Nasional di Sulawesi Tengah (1997)
    • Pengaruh Pemberian Mata Kuliah PSPB terhadap Sikap Nasionalisme Mahasiswa Program Studi Sejarah (1997).
    • Pengelolaan Kawasan Pesisir Banawa Selatan yang Berbasis Masyarakat (UCE-CEPI CANADA, 1998/2000).
    • Faktor-Faktor yang mempengaruhi Tingkat Partisipasi Anak Usia Sekolah di Daerah Terpencil di Sulawesi Tengah (DP2M DIKTI, 2005)
    • Pengembangan Model Pembelajaran Solidaritas dan Harmoni Sosial di Lingkungan Bermain Anak-anak Korban Konflik Poso (PSN DIKTI, 2009)
    • Pengembangan Model Sekuritas Sosial untuk Pemberdayaan Kaum Perempuan dari Kerawanan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Poso (PSN DIKTI, 2010)
  1. Instruktur/Pemakalah :
  1. Pemakalah dalam Seminar Nasional Folktale Sawerigading di Palu, tahun 1987.
  2. Pemakalah dalam Konprensi Nasional Sejarah di Ujung pandang tahun 1996.
  3. Pemakalah dalam Seminar Nasional Militer, Birokrasi, dan Demokrasi di Makassar, Palu, dan Manado, tahun 2000.
  4. Pemakalah dalam Seminar Internasional dan Festival Lagaligo di Arung Pancana Toa Tanete Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, tahun 2002.
  5. Instruktur dan pemakalah dalam DIKLAT Nasional Peningkatan Profesionalisame Guru di Bima NTB, 6 S/D 7 April 2008.
  6. Instruktur dan pemakalah dalam DIKLAT NASIONAL Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Profesionalisme Guru di Palu Sul-Teng, 17 S/D 19 Mei 2008.
  7. Pemakalah dalam Seminar Mencari Nama Museum Sulawesi Tengah, 25 Mei 2008.
  8. Instruktur dan pemakalah dalam DIKLAT DAERAH Peningkatan Mutu Guru di Parigi Moutong Sul-Teng, 12 Juni 2008.
  9. Pemakalah pada Seminar Indonesia’s Internasional Image In The Post Soeharto Era at J.W. Goethe University of Frankfurt on Thursday, October 9th , 2014.
  10. Detasering :
    1. Anggota Tim Detasering DIKTI DIKNAS Tahun 2005 di Universitas Khairun, Ternate
    2. Anggota Tim Detasering DIKTI DIKNAS Tahun 2006 di Universitas Khairun, Ternate
    3. Konsultan :
    4. Konsultan Manajemen di LPMP Tahun 2008
    5. Konsultan Monev Pembinaan dan Peningkatan Mutu SMP pada Dinas Pendidikan Daerah Sulawesi Tengah Tahun 2009
    6. Anggota Tim Asistensi pada PKB PNFI Dinas Pendidikan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2010, 2011, 2012, 2013.
    7. Jabatan :
      1. Anggota Dewan Pertimbangan Universitas Tadulako (2011 S/D sekarang
      2. Anggota Pengurus Penjaminan Mutu FKIP Untad (2010-2014)
      3. Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Tengah (2010-2015)
      4. Wakil Ketua Dewan Profesor Untad (2012-2015)

 

Palu, 01 Desember 2014.

 

 

Prof. Dr. Juraid Abdul Latief,  M.Hum

NIP. 195811301985031004

 

 

 


DEKLARASI TELUK MANADO 2014 MUFAKAT BUDAYA INDONESIA SE SULAWESI & KALIMANTAN

$
0
0

DEKLARASI TELUK MANADO 2014

MUFAKAT BUDAYA INDONESIA

SE SULAWESI & KALIMANTAN

 

BANGSA Indonesia adalah bangsa yang hidup di Nusantara yang memfasilitasi terjadinya proses persilangan budaya. Kondisi tersebut telah memungkinkan terjadinya proses produksi dan reproduksi kebudayaan sebagai satu dinamika sejarah yang mampu melintasi zaman dalam samudera perubahan.

Namun demikian, sebagai sebuah perjalanan menuju bangsa yang besar, ada saatnya guncangan datang merintang sebagaimana dalam beberapa dekade ini telah terjadi tragedi kebudayaan, berupa keterasingan budaya yang menyebabkan masyarakat kehilangan dan dihilangkan jati-dirinya, sehingga menjalani hidup dalam kesadaran palsu, menjadi insan imitasi yang kehilangan kepribadian. Fenomena ini tergambar pada fakta sosial, yaitu berbangsa Indonesia tetapi tidak berkebudayaan Indonesia.

Realitas budaya yang kelam tersebut tidak boleh diabaikan karena akan membuat bangsa Indonesia tumpas dan musnah ditelan perubahan zaman.  Bangsa Indonesia harus merebut kembali jati-diri yang telah terlanjur tercerabut dalam proses sosial kesejarahannya.

Melalui Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia 2014, kami, peserta Mufakat Budaya se-Sulawesi dan Kalimantan, mendeklarasikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Pemerintah dan segenap pemangku kepentingan budaya dipandang perlu melakukan pemetaan kebudayaan yang bertujuan untuk menghindari jati-diri palsu dan menemukan kembali jati-diri yang sejati yang sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga dapat dilakukan upaya-upaya mengembalikan hak-hak budaya warga bangsa seturut tradisi mereka. Pemerintah hendaknya mendukung dan membangun realitas aktual kebudayaan yang mempunyai daya tahan dan daya cipta kebudayaan sehingga tangguh dan dapat menjadi  kekayaan bangsa yang menopang etos kerja unggul yang toleran, serta menyelenggarakan pengelolaan SDA pro-lingkungan, dan penegakan hukum yang tegas.

 

  1. Pemerintah dan segenap pemangku kepentingan budaya dipandang perlu melakukan berbagai upaya yang bertujuan memulihkan hubungan antar- sesama masyarakat berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal yang bermartabat; Menolak hubungan antar-sesama anak bangsa Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai kepentingan yang sifatnya pragmatis; Menolak demokrasi yang mengokohkan primodialisme yang bersifat sempit dengan cara mengatasnamakan agama, etnis, serta daerah. Karena itu perlu diperjuangkan kebudayaan yang memosisikan hubungan antara semua anak bangsa agar setara, harmonis dan terintegrasi; Memulihkan peran keluarga dan lembaga-lembaga sosial kebudayaan sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal secara berkelanjutan; Mengarahkan kebijakan negara pada kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat.

 

  1. Pemerintah dan segenap pemangku kepentingan budaya agar mengelola kekuasaan, kepemimpinan dan kepemerintahan di Indonesia secara patut serta padan dengan corak zaman baik pada masa kini maupun masa yang akan datang, mampu beradaptasi sesuai dengan dinamika dan perkembangan global yang unggul, yang menjujung tinggi kemanusian dan keberadaban. Pemerintah diminta harus mampu menjalankan prinsip kemandirian yang menafikan budaya menjiplak dan menolak didikte oleh prinsip-prinsip berbangsa yang tidak sesuai kebudayaan Indonesia. Sesungguhnya budaya Indonesia mengandung nilai-nilai kekuasaan, kepemimpinan dan kepemerintahan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Karena itu negara harus hadir melakukan langkah-langkah strategis untuk mengaktualisasi nilai-nilai budaya Indonesia dalam sistem pemerintahan Indonesia.

 

  1. Pemangku kepentingan budaya dipandang perlu terus melakukan kelincahan budaya berupa sikap keterbukaan dalam menerima perjumpaan budaya. Sikap tersebut diejawantahkan secara strategis terhadap upaya untuk menghindari benturan peradaban yang destruktif. Memiliki sikap batin yang  terbuka pada proses produksi dan reproduksi budaya untuk kemanusiaan dan keberadaban, siap bergerak secara dinamis lintas lapis budaya, sehingga terjadi kematangan budaya dan mampu mengaktualisasi kearifan budaya,   sehingga budaya tidak hanya menjadi slogan tetapi menjadi jiwa zaman yang menghidupkan dan memberi arah masa depan. Pemangku kepentingan budaya berkewajiban memampukan budaya sebagai filter yang andal untuk tidak saja menyaring efek negatif budaya global, namun sekaligus menjadi inspirasi kehidupan.

 

Teluk Manado, 4 Desember 2014.

Temu Akbar II 2014 Mufakat Budaya Indonesia

Mufakat Budaya Indonesia se-Sulawesi & Kalimantan

 

Kami yang bertanda tangan di bawah ini: Prof. Dr. H. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc., Dr. Donatianus, BSEP., M.Hum (Pontianak), Dr. Marko Mahin, MA., (Palangkaraya), Dr. Nasrullah, S.Sos.I., MA., Dr. Syahlan Mattiro, SH, M.Si., (Banjarmasin), Prof. Dr. H. Nasruddin Suyuti, M.Sc., Dr. Syamsumarlin, M.Si., (Kendari), Prof. Dr. Edward Poellinggomang, MA., Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA., Prof. Dr. A. Rasyid Asba, MA., (Makassar), Prof. Dr. H. Juraid Abdul Latief, M.Hum., Dr. Haliadi Sadi, MA., (Palu), Prof. Dr. H. Nani Tuloli, Dr. Basri Amin, MA., Dr. Alim S. Niode, M.Hum., (Gorontalo), Bara Pattiraja (Kupang), Prof. Dr. Edy Sedyawati, Radhar Panca Dahana, Bambang Prihadi, Mario Purwanto, Ita Siregar, Rima Nurmaeda, Mirzan Insani (Jakarta), Prof. Dr. Richard Siwu, MA., Prof. Dr. Kamajaya Al Katuuk, MA., Dr. Veronica A. Kumurur, Dr. Ivan RB Kaunang, SS., M.Hum., Drs. Alex J. Ulaen, DEA., Drs. Albert Kusen, MA., Drs. Rusli Manorek, Drs. Max Sudirno, Resimalfah Monantun, SS., Febiyanti Mattheis, S.Sos., Lerri Adrian Ruus, SS., Vick Chenorre, SS., Eric MF Dajoh (Manado).

 

Tim Perumus: 1. Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA., 2. Dr. Marko Mahin, MA., 3. Dr. Donatianus, BSEP., M.Hum., 4. Dr. Basri Amin, MA., 5. Prof. Dr. Kamajaya Al Katuuk, MA., 6. Eric MF Dajoh.



LAPORAN KEGIATAN TEMU AKBAR II MUFAKAT BUDAYA INDONESIA FGD SE SULAWESI & KALIMANTAN DI MANADO

$
0
0

PENDAHULUAN

Adalah tugas kebudayaan menjaga peradaban, di mana kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaannya bertumbuh. Kita tidak mungkin menarik mundur peradaban, lalu menyerahkan seluruh upaya mengatasi persoalan hidup pada kebiasaan menghalalkan pelbagai  cara untuk berkuasa, atau menguasai.

Kita harus merayakan kehidupan, melanjutkan hidup, memaknai nilai-nilai kemanusiaan, keadaban dalam keseimbangan harmoni untuk mencapai hidup yang berkelanjutan. Cita-cita kita, adalah Indonesia masa depan dengan peradaban kebangsaan, persaudaraan sejati, kemerdekaan berdaulat, keadilan bagi semua, dan perdamaian abadi.

Multikulturalisme adalah kenyataan hari ini, yang kemudian mempertemukan kita dengan sikap-sikap yang kontradiksi dan ambiguitas, ketidakadilan yang memisahkan dan melemahkan kita. Namun, fakta ini, disadari atau tidak, ternyata sudah mengajarkan kita, bertumbuh menjadi dewasa sebagai sebuah bangsa: memahami perkembangan identitas, solidaritas antar-manusia, pemikiran kritis, dan aksi nyata.

Untuk itulah, dipandang perlu pada tingkat regio Sulawesi dan Kalimantan, diadakan Focus Group Discussion guna merumuskan makna: “Multikulturalisme sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan Harmoni” sebagai bagian dari Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia, yang kemudian akan merumuskan pokok-pokok pikiran berdasarkan tema regional untuk disumbangkan dalam World Culture Forum II di Bali, pada tahun 2015 ini.

 

TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan, sebagai berikut:

  • Mencapai konsensus tentang sifat/karakter dari kebudayaan nasional kita, lengkap dengan

definisi, ciri-ciri, potensi maupun peluang-peluangnya.

 

  • Merumuskan kebudayaan sebagai landasan atau basis dari pembangunan atau

pengembangan negara dan bangsa Indonesia dalam segala dimensinya termasuk dalam

peneguhan eksistensinya sebagai individu maupun kelompok komunitas.

 

  • Merumuskan ide-ide dasar bagi sebuah strategi kebudayaan yang harus diupayakan oleh

penyelenggara negara.

 

  • Mencapai konsensus tentang nilai, etik, atau moralitas kebudayaan yang dapat menjadi

acuan perilaku dalam kehidupan praktis masyarakat pada  umumnya.

 

NAMA KEGIATAN

Temu Akbar II 2014 Mufakat Budaya Indonesia

Focus Group Discussion se Sulawesi & Kalimantan

menuju World Culture Forum II 2015. di Bali

TEMA

“Multikulturalisme Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan Harmoni.”

 

WAKTU PELAKSANAAN DAN TEMPAT

Rabu – Jumat, 3 – 5 Desember 2014

Hotel Aryaduta Manado, Sulawesi Utara

 

SUSUNAN ACARA

Rabu, 3 Desember 2014

 

Sidang Pleni I

Pengantar: Radhar Panca Dahana

Pembicara I: Dr. Marko Mahin

Pembicara II: Prof. Dr. H. Juraid Abdul Latief, M.Hum

Pembicara III: Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc

 

Sidang Pleno II

Pembukaan

Sambutan Penanggung Jawab oleh Pendiri Mufakat Budaya Indonesia, dan Anggota Komite Pengarah World Culture Forum, Bapak Radhar Panca Dahana

Sambutan dan Pembukaan oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Bapak Prof. Dr. Kacung Marijan.

 

Kamis, 4 Desember 2014

Sidang Pleno III

– Menyepakati isu dan agenda utama

– Pembentukan kelompok diskusi

– Pemilihan anggota kelompok diskusi

– Penetapan Moderator, Pengembang/Pemrasaran/Pencatat Proses dan Logistik

– Focus Group Discussion I oleh Pengembang/Pemrasaran

– Focus Group Discussion 2: Pembahasan Isu, Agenda/Tema

– Focus Group Discussion 3: Pembahasan dan Perumusan

– Pemaparan Hasil Rumusan Kelompok Diskusi

– Perumusan Hasil Akhir FGD se Sulawesi dan Kalimantan.

 

Sidang Pleno IV

– Pembacaan Deklarasi.

– Penutupan oleh Pendiri Mufakat Budaya indonesia/Anggota Komite Pengarah WCF,

Bapak Radhar Panca Dahana.

 

Jumat, 5 Desember 2014

Penyelesaian Akhir

 

PESERTA

Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia – Focus Group Discussion se Sulawesi dan Kalimantan ini, mempertemukan 40 ilmuwan, cendekiawan, seniman dan budayawan di kawasan ini dalam satu forum, di mana mereka dapat saling bertukar pikiran dan pengalaman untuk membahas dan merumuskan hal-hal yang dianggap fundamental bagi keberlangsungan kebudayaan. Ke-40 orangpeserta tersebut adalah sebagai berikut:

 

Pontianak

  1. Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc. – Gurubesar di FISIP Univ. Tanjung-pura, Pontianak.
  2. Dr. Donatianus, BSEP., M.Hum – Pengajar/peneliti independen di Pontianak.

Palangkaraya

  1. Dr. Marko Mahin – Pengajar dan peneliti di Universitas Kristen/STT GKE, Palangkaraya.

Banjarmasin

  1. Dr. Nasrullah, S.Sos.I., MA. – Pengajar di FISIP Univ. Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
  2. Syahlan Mattiro, SH., M.Si. – Pengajar di FISIP Univ. Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Kupang

  1. Bara Pattirajawane – Pemangku adat/Penyair di Kupang NTT.

Kendari

  1. Prof. Dr. H. Nasruddin Suyuti, M.Sc. – Gurubesar di FISIP Univ. Halu Oleo, Kendari.
  2. Dr. Syamsumarlin, M.Si. – Pengajar di FISIP Univ. Halu Oleo, Kendari.

Makassar

  1. Prof. Dr. Rasyid Asba, MA. – Gurubesar di Univ. Hasanuddin, Makassar.
  2. Prof. Dr. Edward Poelinggomang, MA. – Gurubesar di Univ. Hasanuddin Makasasar,

dan STT Intim, Makassar.

  1. Prof. Dr. Hamka Napping, MA – Gurubesar di Univ. Hasanuddin, Makassar.

Palu

  1. Dr. Haliadi Sadi. – Pengajar di FISIP Univ. Tadulako, Palu.
  2. Prof. Dr. H. Juraid Abdul Latief, M.Hum. – Gurubesar di FISIP Univ. Tadulako, Palu.

Gorontalo

  1. Prof. Dr. Nani Tuloli. – Gurubesar di FISIP Univ. Negeri Gorontalo.
  2. Basri Amin, Ph.D. – Pengajar di FISIP Univ. Negeri Gorontalo.
  3. Dr. Alim S Niode, M.Hum. – Pengajar di Fakultas Pertanian Univ. Negeri Gorontalo.

Jakarta

  1. Radhar Panca Dahana – Pendiri MBI/Anggota Komite Pengarah WCF.
  2. Prof. Dr. Edy Sedyawati – Anggota Komite Pengarah WCF.
  3. Krisniati Marchellina – Seniman.
  4. Bambang Prihadi – Seniman.
  5. Rima Nurmeida – Seniman.
  6. Ita Siregar – Seniman.
  7. Mirzan Insani – Seniman.
  8. Mario Purwanto – Seniman.
  9. Lanny – Staf Sekretariat WCF.
  10. Gani – Staf Ditjen Kebidayaan Kemendikbud.
  11. Syahrial – Staf Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.

Manado

  1. Prof. Dr. Richard AD Siwu. – Gurubesar di Univ. Kristen Tomohon.
  2. Drs. Alex J. Ulaen, DEA. – Pengajar di Univ. Sam Ratulangi, Manado.
  3. Prof. Dr. Kamajaya Al Katuuk. – Gurubesar di Univ. Negeri Manado.
  4. Dr. Veronica Adeline Kumurur. – Pengajar di Univ. Sam Ratulangi, Manado
  5. Dr. Ivan RB Kaunang, SS., M.Hum. – Pengajar di Univ. Sam Ratulangi, Manado.
  6. Drs. Rusli Manorek. – Kepala BPNB Sulutenggo.
  7. Drs. Max Sudirno – Pengajar/Peneliti Sosial Independen di Sulawesi Utara.
  8. Resimalfah Monantun, SS. – Peneliti Sosial Independen di Sulawesi Utara.
  9. Lerri Adrian Ruus, SS. – Peneliti Sosial Independen di Sulawesi Utara.
  10. Febiyanti Mattheis, S.Sos. – Peneliti Sosial Independen di Sulawesi Utara.
  11. Nita Syamsuddin. – Seniman
  12. Vick Chenorree. – Seniman

 

TIM KERJA 

Penanggungjawab                                          : Radhar Panca Dahana.

Koordinator                                                     : Eric MF Dajoh.

Sekretariat & Urusan Keuangan                     : Budi Kristanto.

Urusan Acara & Persidangan                         : Max Sudirno

Febiyanti Mattheis

Nita Kansil.

Urusan Publikasi-Dokumentasi & Humas       : Ronny Buol

Allan Zefo Umboh.

Urusan Akomodasi & Logistik-Perlengkapan  : Vick Chenorre

Budi Kristanto.

 

Lampiran-lampiran:

  1. Makalah Prof. Dr. H. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc.
  2. Makalah Prof. Dr. H, Djuraid Abdul Latief, M.Hum.
  3. Makalah Dr. Marko Mahin, MA.
  4. Makalah Prof. Dr. Richard Siwu, MA.
  5. Makalah Prof. Dr. H. Rasyid Asba, MA.
  6. Notulen Hasil Diskusi Kelompok I – IV.
  7. Naskah Deklarasi.
  8. Foto-foto kegiatan.
  9. Pemberitaan Media.

Wahabisme berasal dari Illuminati

$
0
0

Wahabisme berasal dari Illuminati

 

Sheikh Nazim, pada tanggal 18 May 2012, telah membuat sebuah analisis yang vital dan berbobot tentang asal-usul sebenarnya dari Wahabisme yang telah mengganggu dunia muslim, sebagai berikut[i]:

Menurut Sheik Nadzim, faksi radikal Islam yang kini dikenal sebagai Salafi Wahabi, sebenarnya adalah gerakan yang diciptakan melalui intrik oleh Inggris dan koordinasi dengan masyarakat rahasia okultisme (illuminati-Freemasonry), yang bertujuan mengobarkan  “Benturan Peradaban ” (Clash of Civilizations). Dan meskipun sebagian besar orang Barat tidak menyadarinya, mereka hampir sepenuhnya bertanggung jawab atas ekstremisme yang secara keliru dituduhkan kepada Islam.

Zarqawi, dalam suratnya kepada Osama bin Laden, menggambarkan bahwa sebenarnya mereka yang mengaku Mujahidin adalah orang-orang yang telah ditipu oleh CIA untuk percaya bahwa mereka seolah-olah sedang bertempur dalam “perang suci/jihad”, sebagai berikut: “Ini adalah intisari dari Sunni dan saripati kebaikan negeri ini. Secara umum, mereka memiliki doktrin Sunni dan secara alami terkait dengan keyakinan Salafi . ”

Menariknya, respon terbaru mereka terhadap orang lain yang mempertanyakan keasliannya,  justru mereka telah mengakui asal-usul Masonik mereka, meskipun mereka meminta maaf kepada orang-orang yang diklaimnya sebagai pendirinya, yaitu agen Freemason dan Inggris seperti Jamaluddin al-Aghani, dan Mohammad Abduh, yang sebenarnya bukan perwakilan wahabi yang sebenarnya. Tapi ini adalah usaha yang lemah untuk menyamarkan kejahatan mereka yang sesungguhnya dan pelayanan mereka kepada kekuatan-kekuatan Barat. Sebaliknya, Salafi sekarang hanya mengaku sebagai pengikut setia saja dari Abdul Wahhab, pendiri Wahhabisme, dimana mereka belum menyadari bahwa sebenarnya dia bekerja sebagai agen Inggris.

Umat Islam pada dasarnya telah terkonsolidasi selama jangka waktu sekitar 1000 tahun, sampai munculnya Wahhabisme. Umat Islam telah mengembangkan empat aliran dasar pemikiran hukum, yang disebut Mazhab. Hal Ini telah dikembangkan dari sikap toleran yang memungkinkan untuk sampai pada kesimpulan yang berbeda walau berdasarkan penilaian bukti yang sama. Pada titik tertentu, bagaimanapun juga, perkembangan hukum Islam akhirnya dihentikan dengan apa yang disebut “Penutupan Pintu Ijtihad “, untuk menghindari kontroversi lebih lanjut. Maka mapanlah empat mazhab fiqh.

Berbagai mazhab pemikiran-pemahamam fiqh tersebut tidak dianggap sebagai sekte keagamaan. Mereka adalah aliran pemahaman pendapat hukum, dan masing-masing dianggap sebagai ortodoks dan saling kompatibel .

Begitulah, sampai awal abad ke-19, dengan munculnya kolonialisme dan strategi umum penjajah Inggris melakukan politik “Divide and Rule” (Devide et impera/Pecah Belah dan Kuasai)  telah mengganggu situasi ini.

Menurut artikel Wikipedia tentang Syariah :

Selama abad ke-19 sejarah hukum Islam mengalami perubahan yang tajam karena adanya tantangan baru yang dihadapi dunia Muslim, yaitu:

  1. kenyataan bahwa negara-negara Barat telah meningkat menjadi kekuatan global dan menjajah sebagian besar dunia, termasuk wilayah Muslim;
  2. Masyarakat telah berubah dari tahapan budaya pertanian ke tahap industry;
  3. Munculnya ide-ide sosial dan politik yang baru sehingga model tatanan sosial perlahan-lahan bergeser dari hirarki ke arah egaliter;
  4. Kekaisaran Ottoman (Kekhalifahan Turki Ustmaniyah) dan seluruh dunia Muslim sedang melemah sehingga tuntutan untuk reformasi menjadi lebih keras.
  5. Di negara-negara Muslim, hukum negara yang dikodifikasikan mulai mengganti atau menggeser peran pendapat hukum dari para ulama. Negara-negara Barat penjajah kadang memberi inspirasi, kadang juga malah menekan, dan kadang-kadang memaksa negara-negara Muslim untuk mengubah system hukum mereka. Gerakan sekulerisme mendorong diberlakukannya undang-undang Negara, yang menyimpang dari pendapat para ahli hukum Islam. Walau para ulama hukum Islam tetap diberi otoritas tunggal untuk memberi bimbingan dalam hal ritual, ibadah, dan hal-hal spiritualitas, sementara di sisi lain mereka dipreteli kewewenanganya untuk mengatur urusan politik kenegaraaan.
  6. Komunitas Muslim dipecah menjadi berbagai kelompok yang bereaksi secara berbeda terhadap perubahan. Pemecahbelahan ini terus berlanjut sampai hari ini (Brown 1996, Hallaq 2001 Ramadan 2005, Aslan 2006, Safi 2003).
    1. Kaum Sekuler percaya hukum negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip sekuler, bukan pada teori hukum Islam.
    2. Kaum Tradisionalis percaya bahwa hukum negara harus didasarkan pada mazhab pemahaman hukum tradisional. Namun, pandangan hukum Islam tradisional dianggap tidak dapat diterima oleh sebagian besar umat Islam modern, terutama di wilayah seperti hak-hak perempuan atau perbudakan.[6]
    3. Kaum Reformis percaya bahwa teori-teori hukum Islam yang baru dapat menghasilkan hukum Islam modern[7] dan menyebabkan pendapat yang dapat diterima di berbagai bidang seperti hak-hak perempuan.[8]
    4. Kaum Salafi berusaha untuk mengikuti Muhammad dan para sahabatnya, tabi’in (pengikut para sahabat ), tabiut tabiin ( pengikut tabi’in ) dan mereka yang mengikuti ini 3 generasi .

Namun, bagaimanapun juga sebuah artikel yang sangat baik sekarang telah diposting pada publikasi Salafi, yang tidak hanya mengakui, tapi benar-benar memaparkan asal-usul Masonik dan menyimpang dari pendiri gerakan Salafi, dan penerus mereka, Ikhwanul Muslimin .

Sebaliknya , mereka berpegang pada klaim bahwa Salafisme berasal dari abad awal Islam, dari zaman kaum salaf, yang berarti generasi awal, dan yang mengacu pada waktu sebelum pengembangan Mazhab. Bertentangan dengan klaim mereka, meskipun benar bahwa kata “Salaf” mengacu pada arti generasi awal ini, penggunaan istilah salafi dengan cara ini sebenarnya merupakan perkembangan modern.

Interpretasi sejarah yang menipu ini berasal dari Abdul Wahhab, yang muncul pada pertengahan abad ke-18. Menurut memoarnya, ada mata-mata Inggris bernama Hempher, yang ditugaskan ke Timur Tengah untuk menemukan cara-cara melemahkan Islam, dengan tujuan meningkatkan kontrol Inggris di kawasan ini. Misinya akhirnya difokuskan pada dukungannya  terhadap  Abdul Wahhab, dan mendukung dia melalui keluarga Saudi, melalui siapa ia menyisipkan pesan destruktif Inggris tentang Islam.

Pada dasarnya, inovasi Abdul Wahhab ini  membuat alasan hukum bagi para pengikutnya untuk melawan umat Islam yang lainnya, dengan menuduh “kafir”, dengan dalih “memurnikan” Islam, tetapi dalam kenyataannya mereka malah melayani strategi Inggris untuk melawan kebesaran Kekaisaran Ottoman (Kekhalifahan Turki Ustmaniyah). Abdul Wahhab melakukannya dengan mengklaim bahwa semua sejarah Islam, kecuali untuk generasi salaf, yaitu, dari saat para Imam Mazhab dan seterusnya, telah  keluar dari Islam.

Setelah kaum muslimin telah dilepaskan ikatannya kepatuhan dari para imam mazhab hukum tradisional mereka, memberi peluang bagi Inggris dan agen-agen mereka untuk datang sendiri. Dan ini adalah tujuan dari gerakan Salafi. Kerajaan Saudi Arabia kemudian secara resmi dipasang Inggris di Arabia pada tahun 1932, dan sejak itu bertindak sebagai pelindung kepentingan minyak Rockefeller, yang merupakan komandan kedua dalam Illuminati/Freemasonry, setelah Rothschild. Terutama sejak tahun 1973, ketika terjadi Krisis Minyak yang didalangi Zionis Masonik Inggris untuk memperkaya Saudi, mereka telah menggunakan kekayaan yang luar biasa yang mereka miliki untuk memajukan penafsiran menyimpang mereka terhadap agama Islam.

Sementara Saudi telah berada di bawah perjanjian dengan CIA untuk membiayai banyak kegiatan rahasianya, termasuk pendanaan bagi kaum Mujahidin di Afghanistan, dan dukungannya terhadap gerakan teroris Islam di seluruh dunia, banyak dari para ulama Saudi serta pemerintah Saudi Arabia menampakkan pada publik wajah yang seolah menolak terorisme dan Osama bin Laden. Mereka mengklaim bahwa kegiatan terorisme dan anti-pemerintah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip sejati Salafisme.

 

Klaim ini tidak benar. Pada saat ini tujuan Salafisme adalah untuk menanamkan terorisme, tetapi secara umum, sebenarnya tujuan Salafisme adalah untuk mendirikan Mazhab baru , untuk menjauhkan umat Muslim dunia dari para ulama Islam tradisional, dan dengan demikian memimpin mereka di mana saja untuk sesuai dengan kepentingan Barat.

[i] Courtesyhttp://www.terrorism-illuminati.com/content/islamic-radicals-admit-masonic-origins

About these ads

Reference Source: http://mybeliefs.co.uk/2012/05/18/illuminati-origins-of-wahabism/

 


Menguak Zionisme dan Wahabisme

$
0
0

wahabi Sebuah studi baru-baru ini meneliti tentang kesamaan rezim Israel dan kerajaan Arab Saudi dalam hal kejahatan, rasialisme dan ekstremisme agama dan madzhab. Di mana kedua kekuasaan ini sama-sama didirikan oleh para intelijen Inggris dengan menjadikan keberlangsungannya bergantung pada keberlangsungan yang lain. Dan kerajaan Arab Saudi didirikan untuk menjadi landasan proyek Zionis Israel di Palestina.

Studi yang dilakukan oleh DR. Walid Saed al-Bayati berjudul “Arab Saudi dan Israel Penjahat Terbesar Sejarah Modern” menyatakan bahwa tujuan pembentukan kerajaan Arab Saudi adalah faktor utama didirikannya rezim Israel dan keberlanjutan rezim ini setelah kurang dari 16 tahun sejak berdirinya kerajaan Saudi.

Studi ini menyatakan bahwa kedekatan historis dan gen antara rezim Israel dan kerajaan Arab Saudi menguatkan adanya kemiripan bahkan sampai pada batas kesamaan secara sempurna di antara keduanya:

Pertama: Landasan

Masing-masing kekuasaaan ini dibentuk berdasarkan perintah para intelijen Inggris. Kerajaan Saudi yang ada saat ini dalam sejarahnya didirikan dan diatur oleh Harry St John Philby, yang dikenal dengan Haji Abdullah Philby, salah satu agen intelijen Inggris di Jazirah Arab kala itu. Dan Israel telah dipersiapkan sejak adanya janji atau pernyataan Mantan Menteri Luar Negeri Inggris Leonid Arthur Balfour pada November 1917 (untuk membentuk negara Israel) yang ia kirim ke salah satu tokoh terbesar Yahudi, Lionel Walter de Rothschild.

10547648_10204207082407168_4948625370960487162_n (1)

Kedua: Sektarianisme agama dan madzhab

Kita sama-sama tahu dan melihat kerajaan Arab Saudi sama seperti Israel, didirikan atas dasar sektarian sebagai hasil penyimpangan Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin Abdul Halim, yang dikenal dengan Ibnu Taimiyah. Seperti pengkafiran terhadap semua umat Islam, penolakan mereka khususnya Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap madzhab-madzhab Islam, merubah keyakinan kaum muslim di Jazirah Arab dengan memaksa mereka meninggalkan madzhab mereka dan mengikuti madzhab Wahabi yang telah ditolak oleh semua madzhab Islam dan dianggap keluar dari ajaran Islam.

Muhammad bin Abdul Wahab mengkafirkan siapa pun dari kalangan umat Islam yang bertentangan dengannya tanpa memperhatikan apa pun. Para penganut ajaran Wahhabi menganggap hanya diri mereka saja yang muslim dan selain mereka adalah kafir dan harus dibunuh. Tindakan mereka sama seperti apa yang dia lakukan penganut Yahudi terhadap penganut agama lain sebelum atau sesudah mereka.

Ketiga: Merampas Tanah

Orang-orang Yahudi merampas tanah Palestina dengan dalih adanya ikatan historis dengan tanah tersebut menurut kitab Taurat yang disimpangkan sebagai upaya mengembalikan Haikal Sulaiman yang mereka klaim. Mereka terus membunuh, mengusir penduduk asli, mencaplok tanah dan merusak infrastruktur dalam rangka mewujudkan proyek Zionis di Palestina, sementara ikatan mereka dengan negeri Palestina terputus sejak 134 Sebelum Masehi. Itu berarti lebih dari dua ribu tahun dan dengan demikian tidak ada lagi apa yang disebut dengan hak sejarah bagi mereka di Palestina.

Serupa dengan komplotan keluarga Saudi yang menyatu dengan pemikiran Wahhabi Salafi untuk menduduki tanah Jazirah Arab dan memerangi suku-suku Arab dengan memanfaatkan kekuatan militer sekutunya yaitu tentara Inggris, dipimpin oleh Kapten Arthur William Shakespeare.

9786027689800

Umat manusia tidak mengenal kejahatan seperti yang dilakukan oleh komplotan Ibnu Saud dan Ibnu Abdul Wahab dalam membunuh kaum perempuan, merobek perut mereka yang hamil, memerangi siapa pun yang menentangnya, membantai laki-laki dan anak laki-laki. Sama seperti yang mereka ulangi di Irak.

Tetapi petaka yang terbesar adalah mereka telah meletakkan nama Ibnu Saud untuk semua Jazirah Arab yang dipenuhi keberagaman suku dan ras, dan telah merubah sejarahnya yang panjang. Bahkan Nabi Terakhir SAW tidak pernah menamakan wilayah-wilayah Islam di masanya dengan namanya sendiri meskipun beliau menyandang kemulian insani. Sebagaimana penamaan kota Yatsrib menjadi Madinah atas perintah ilahi yang dinyatakan dalam al-Quran. Adapun Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Saud (1876M – 1953M) dan putra-putranya tidak mempunyai hak merampok sejarah Jazirah Arab, sebagaimana orang-orang Yahudi tidak mempunyai hak yang sama di Palestina, yang telah mereka tinggalkan sejak tahun 1200 Sebelum Masehi.

Keempat: Penyimpangan kitab suci dan sunnah para rasul

Di sisi lain, mirip yang dilakukan nenek moyang mereka yang yahudi, keluarga Saud pun merubah risalah langit. Mereka secara langsung tidak bisa merubah nash-nash al-Qur’an namun mereka memutarbalikkan artinya dan menafsirkannya dengan hawa nafsu mereka seperti yang dilakukan Ibnu Taimiyyah dan Ibn Abdul Wahhab dengan pernyataan mereka bahwa Allah berjasad. Mereka menghina Nabi saw dengan menyandarkan kehinaan, kesalahan, kelemahan, menyimpangkan sejarah dan riwayat hidupnya, dan menyadarkan kepada beliau kekufuran serta hal-hal yang tidak boleh disandarkan kepada manusia biasa, bagaimana boleh disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dan secara khusus kami telah menulis tentang hal itu dalam kajian-kajian yang telah dipublikasikan maka tidak perlu kami mengulanginya lagi di sini.

Mereka memiliki watak munafik dengan klaim hanya mereka saja yang berhak atas Islam karenanya mereka berbeda dengan kaum muslim dalam penampilan, pakaian dan kebiasaan-kebiasaan yang membuat jijik manusia namun mereka menganggapnya sebagai keindahan. Ironisnya sebagian orang-orang bodoh tergoda akan hal itu.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebeneran)? “ (Al- Munafiqun : 4)

Kelima: Penghancuran bekas peninggalan para nabi serta pemusnahan warisan Islam

Di Palestina, khususnya di Yerusalem kita melihat orang-orang Yahudi berupaya keras menghancurkan Masjidil Aqsha dengan terus menerus menggali fondasinya dengan dalih penelitian atau pencarian bekas peninggalan Haikal Sulaiman yang mereka klaim. Ini belum lagi penghancuran mereka atas peninggalan kuno penganut agama lain, khususnya masjid-masjid Islam bersejarah seperti yang dirilis dokumen resmi pusat-pusat penelitian sejarah.

Di lain pihak, sejarah kerajaan Saudi didasari pada penghancuran sistematis seluruh bukti-bukti sejarah Islam di Jazirah Arab. Tidak tersisa di Mekah kecuali Ka’bah dan Masjidil Haram yang mereka “permainkan” setiap tahun dengan dalih pembangunan hingga hilang bentuk aslinya. Di Mekkah mereka pun menghancurkan semua bekas peninggalan Nabi Muhammad Saw termasuk tempat kelahiran beliau, rumah beliau, rumah Sayyidah Khadijah ra, tempat kelahiran Sayyidah Fathimah Az-Zahra ra dan rumah-rumah Nabi Muhammad yang lain serta rumah-rumah para sahabat mulia.

Di Madinah Munawwaroh tidak tersisa kecuali makam Rasulullah Saw setelah mereka hancurkan semua peninggalan-peninggalan Islam khususnya yang berhubungan dengan pemerintahan Rasul di Madinah. Mereka menghancurkan rumah-rumah beliau, rumah-rumah Ahlul Baitnya yang suci, rumah-rumah Bani Hasyim dan masjid-masjid Islam. Mereka juga menghancurkan dengan sengaja Makam Baqi (Kuburan bersejarah umat Islam) setelah menghancurkan kubah-kubahnya dan masjid-masjid khususnya yang berhubungan dengan para Imam Ahlul Bait, di samping semua peninggalan yang ada pada masa Hijrah nabi.

Mereka juga telah berupaya menghancurkan kubah agung yang dibangun di atas kuburan Rasulullah Saw dan andai ketika itu tidak ada upaya penghentian dan penentangan umat Islam niscaya tidak ada lagi yang tersisa dari makam Nabi Muhammad Saw.

Sesungguhnya semua penghancuran dan kejahatan yang telah terjadi atau yang sedang terjadi pada mulanya adalah fatwa langsung dari Ibnu Abdul Wahhab, kemudian dari para ulama su’u mereka seperti Ibnu Utsaimin, Ibnu Jabran, Aali Syaikh dan baru-baru ini Muhammad Al-Arifi (Ulama saudi yang akhir-akhir ini terus menghina dan mengkafirkan umat Islam yang berbeda pemahaman dengannya).

Kemiripan dan kesamaan antara kejahatan kaum Yahudi dan kaum Wahhabi sampai pada tahap kesesuaian dalam kebencian mereka terhadap semua yang datang dari langit dan kedengkian mereka terhadap Risalah Islam yang representatif dari Ahlul Bait Nabi dan para pengikutnya.

Sebagaimana kerusakan dan pengrusakan adalah watak yang melekat pada kaum Yahudi begitu juga halnya watak yang melekat pada kaum Wahhabi. Mereka telah merusak keyakinan dan syariat Islam sebagaimana mereka telah merusak kehidupan dan sejarah Islam.

Kerusakan anak-anak Saud dan kaum Wahhabi adalah bentuk lain dari kerusakan kaum Yahudi jika kita mengetahui hubungan gen di antara mereka. Karena etnis keluarga Saud ternyata kembali pada kakek mereka yang seorang Yahudi bernama Markhan sebagaimana dinyatakan dalam silsilah keturunan mereka. Walaupun kemudian para sejarawan mereka dengan berbagai upaya berusaha memalsukan fakta sejarah ini.

Namun, kemudian menjadi kebenaran tak terbantahkan setelah ensiklopedia Israel sendiri menerbitkan adanya hubungan etnis ini.

Setiap hari surat kabar Eropa dan Amerika tak henti-hentinya mengabarkan kepada kita berita para pangeran dan putri dari keluarga Saud. Pengadilan di Eropa dan Amerika Serikat dipenuhi dengan berbagai kasus perdata, pidana dan kewarganegaraan. Beberapa dari mereka datang untuk membunuh, memperkosa, menipu dan menyalahgunakan status diplomatik untuk menyelundupkan, menjual dan membeli narkotika serta perdagangan wanita dan organ manusia.

Kedua negara ilusi ini, Zionis Israel dan kerajaan Arab Saudi telah membawa virus kehancuran mereka sendiri sejak awal didirikannya. Kerusakan, ketidakadilan dan penyimpangan adalah bagian dari unsur-unsur kehancuran itu dan unsur-unsur itu terkumpul dengan bentuk berbeda pada kedua negara ini. Tetapi tidak berhenti di sini saja, ketika kita mulai mendengar laporan terbaru dari sekutu terpenting mereka, AS yang mempertanyakan keuntungan melanjutkan dukungan mereka atas Israel di Palestina dan keberlanjutan hubungan mereka dengan Arab Saudi sebagai teman lama, khususnya di saat minyak Saudi tidak lagi menjadi faktor yang mempengaruhi Amerika dalam mengambil keputusan.

Di sisi lain para pakar militer AS menyakini Arab Saudi tidak layak menjadi pusat komando militer AS di Teluk Persia, seperti yang diutarakan Donald Rumsfeld dan Laksamana David Nichols, namun hanya dijadikan sebagai pusat penyimpanan senjata.

Dari pendapat mereka kemudian pusat komando AS dipindahkan ke Qatar beberapa tahun yang lalu. Kemudian terjadilah beberapa kesepakatan pembelian peralatan militer seperti pesawat tempur, rudal, tank, amunisi dan berbagai jenis senjata. Baru-baru ini juga terjadi kesepakatan pembelian rudal Patriot yang dijual kepada Arab Saudi dengan harga miliaran dolar. Rencana penjualan senjata ke Arab Saudi dan ke sejumlah negara Teluk adalah langkah penyimpanan senjata sampai tiba saatnya peperangan melawan Iran.

Perbatasan Arab Saudi akan menjadi tempat peluncuran rudal zionis Israel untuk menyerang Iran atau Hizbullah. Peperangan yang nantinya akan menghabiskan peralatan militer AS yang disimpan di kawasan Teluk dan juga memusnahkan peralatan militer Arab Saudi. Di saat itulah Arab Saudi akan menyaksikan dirinya lebih kecil dari batu kerikil yang ditendang anak-anak. (*)

SUMBER:

http://donhasan.blogspot.com/2013/06/menguak-zionisme-dan-wahabisme.html


“ Kawin Paksa ” NU dan Wahabbi ala KH Ali Mustafa Yaqub

$
0
0

Bantahan cerdas dan santun dari seorang santri NU untuk tulisan nyeleneh yang ditulis oleh Kiyai selaku Imam Masjid Istiqlal jakarta berjudul ” Wahabi dan NU banyak titik temunya bahkan 90% banyak persamaanya ” silahkan baca bantahannya

“ Kawin Paksa ”
Posted by: E T 18 Feb 2015

Satu Islam, Jakarta –
Website resmi milik PBNU, nu.or.id Rabu, 18 Februari 2015 memmpublikasi artikel opini mengenai bantahan wacana bertemunya NU dengan Wahabi yang ditulis oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Ali Mustafa Yaqub.

Tulisan Ali Mustafa Yaqub yang berjudul “Titik Temu Wahabi-NU” sendiri dimuat di Republika, Sabtu, 14 Februari 2015. Upaya rekonsiliasi dua mazhab yang berlawanan yang digagas Imam Besar Masjid Istiqlal yang pernah berfoto bersama Presiden Amerika Serikat (AS), Barak Obama ini mendapat bantahan Nur Khalik Ridwan.

Nur Khalik Ridwan , Khalik Ridwan sebagaimana ditulis di akhir artikelnya menyebut dirinya sebagai adalah Imam Tahlil di sebuah Kampung di Yogyakarta. Ia memberi judul artikelnya “Tanggapan atas Tulisan KH Ali Mustafa Yaqub soal Wahabi-NU”

Oleh Nur Khalik Ridwan.

Tulisan KH. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub berjudul Titik temu NU-Wahabi, yang dimuat di sebuah Harian di Jakarta, menggugah pikiran al-Faqir, yang benar-benar mengharap pertolongan Allah ini. Penulisnya sangat dikenal di kalangan para pengkaji ilmu hadits, karena beliau ini adalah guru besar di bidang hadits. Al-Faqir, yang menanggapi tulisan ini, termasuk orang yang mengoleksi buku-buku dan membaca tulisan-tulisannya. Bahkan kadang-kadang, al-Faqir menggunakannya sebagai referensi ngisi pengajian, khutbah jum’at, dan kultum, terutama ketika mengutip hadits, meskipun tidak seluruhnya al-Faqir setujui.

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat al-Faqir kepadanya, sebagai seorang yang pernah membaca buku-bukunya, dan karenanya secara tidak langsung al-Faqir memandangnya sebagai guru, tulisan ini bermaksud menanggapi tulisan guru kita ini. Awalnya al-Faqir tidak ingin menanggapinya. Akan tetapi pikiran dan refleksi al-Faqir terganggu terus menerus, karena tulisan itu langsung mengemukakan hal penting bagi bangunan besar gerakan NU, nilai, tradisi, pejuang, dan simbol mua’sis-nya, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, guru besar kami semua (di samping Mbah Wahab dan Gus Dur), baik secara langsung lewat karya-karyanya, lewat jam`iyah NU, atau secara ghaibi.

1

Guru kita ini menggunakan istilah “Wahhabi”, dan karenanya setuju menggunakan dan melihat mereka, paling tidak, menggunakan perspektif para lawan-lawan Wahhabi. Kalau guru kita ini telah menyelami dan berempati dengan mereka, tentu istilah yang sering dikenal di kalangan mereka adalah pengikut as-salafush ash-shalih, al-firqah an-najihah, dan al-muwahhidun. Dengan menggunakan kata Wahhabi, guru kita ini secara sadar atau tidak, telah menggunakan perspektif lawan-lawan Wahhabi, dalam menyebut kelompok ini.

Akan tetapi melihat keseluruhan isinya, tidak menggambarkan itu. Tentu al-Faqir tidak mungkin menyebutkan bahwa ini adalah ketidaktahuan guru kita ini, sebab dia sendiri sangat yakin mengatakan: “Untuk menilai Wahhabi kita haruslah membaca kitab-kitab yang menjadi rujukan paham Wahhabi.” Dan, bisa diduga guru kita ini telah melahap banyak kitab-kitab paham Wahhabi. Hanya saja, penggunaan istilah Wahhabi oleh guru kita ini yang sebenarnya digunakan lawan-lawan Wahhabi; dan substansi isi tulisannya yang sangat empatik terhadap Wahhabi serta menihilkan aspek letak perbedaan mendasarnya dengan NU, menimbulkan kemusykilan tersendiri bagi al-Faqir.

2

Guru kita ini gelisah karena banyak orang NU tidak merujuk langsung dari rujukan asli Wahhabi, sehingga banyak yang salah faham. Secara tidak langsung, umat Nahdliyin dan tokoh-tokohnya telah diperingatkan, tentang rujukan-rujukan asli Wahhabi oleh guru kita ini dengan 3 tokoh, yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Murid yang faqir ini melihat bahwa penyataan ini ada kesilapannya.

Pertama, menghubungkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dengan Wahhabi, tidak seratus persen benar. Muhammad bin Abdul Wahhab sang pendiri Wahhabi, memang lahir dari kalangan madzhab Hanbali, tetapi dia sendiri merasa independen dengan tokoh-tokoh madzhab Hanbali, bahkan dengan madzhab Hanbali sendiri. Hal ini merujuk pernyataannya sendiri, yaitu:

“Aku tidak menyeru kepada madzhab sufi, madzhab ahli fiqh, ahli kalam, atau imam dari para imam yang mereka ini sangat dimuliakan, seperti Ibnu Qayyim, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir. Sebaliknya, aku hanya menyeru agar orang berpaling hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku menyeru kepada sunnah Rasulullah …” (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VI, dalam kitab “ar-Rasâ’il asy-Syakhsyiyah”, hlm 252).

Kutipan dari pendiri Wahhabi ini menjelaskan bahwa Wahhabi tidak menyeru umat Islam untuk mengikuti tokoh-tokoh sebelumnya. Akan tetapi haruslah dipahami bahwa pandangan yang cocok dan sesuai dengan versi pendiri Wahhabi dari imam-imam lain (seperti Ibnu Taimiyah) bisa diambil, sedangkan yang tidak cocok, tidak diambil. Dalam praktiknya, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, dikutip-kutip, tetapi sekadar yang cocok dan sesuai dengan pandangan Wahhabi saja.

Contohnya, ditunjukkan oleh buku Risâlatu at-Tahdzîr min Firâq azh-Zhalâl, bahwa Ibnu Taimiyah menyarankan bagi orang-orang yang terkena semacam kelumpuhan (al-khadar) pada kaki, hendaklah mengucapkan: “Ya Muhammad…” Pernyataan Ibnu Taimiyah ini ada dalam karyanya berjudul al-Kalim ath-Thayyib (terbitan al-Maktab al-Islami, cetakan ke-5 tahun 1405 H/1985 M). Hanya saja, pernyataannya ini juga menyalahi apa yang ia tulis sendiri dalam karyanya at-Tawassul wa al-Wasîlah. Nah, Muhammad bin Abdul Wahhab mengambil faham dalam mengharamkan tawassul dari kitab at-Tawassul wa al-Wasîlah dan tidak menyetujui apa yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Kalim ath-Thayyib.

Oleh karena itu, kalau menghubungkan Wahhabi dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, tidaklah seratus persen benar, mengingat kutipan pendiri Wahhabi tadi yang menegaskan dirinya independen, meskipun di sana-sini keduanya memang sering dikutip (termasuk dalam rumusan trilogi tauhidnya).

Kedua, kesilapan yang lain dalam soal ini adalah pandangan guru kita ini yang mengatakan bahwa yang otentik untuk memahami pandangan Wahhabi adalah dari 3 tokoh di atas, dan al-Faqir telah menunjukkan otentik dari kutipan pendiri Wahhabi sendiri, bahwa itu adalah keliru, karena pendiri Wahhabi mengatakan dirinya independen dari tokoh-tokoh lain, meskipun kadang-kadang dia mengutip tokoh-tokoh lain.

Kesilapan dalam soal ini, justru terletak pada keengganan guru kita ini untuk merujuk Wahhabi pada tokoh-tokoh penerus Wahhabi-Arab Saudi, dari mulai pengganti Muhammad bin Abdul Wahhab sampai sekarang ini, dan ini tidak kalah otentiknya. Di antara mereka ini adalah tokoh-tokoh generasi penerus pendiri Wahhabi sampai nama Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, marja’ Wahhabi dari jalur pendiri Wahhabi terakhir yang paling dihormati; dan kemudian tokoh-tokoh di luar Alu Syaikh, semacam Abdul Aziz bin Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Tanpa memahami ini, Wahhabi hanya akan dianggap statis, sementara akhlak, perilaku, dan kejahatan-kejahatannya di seluruh dunia Islam yang berhubungan dengan anasir-anasir Wahhabi, dengan sendirinya dianggap bukan bagian dari Wahhabi.

Ketiga, kesilapan lain, menurut al-Faqir adalah, kalau Wahhabi hanya dirujukan pada kitab-kitab pendirinya, tanpa menghiraukan pada praktik, perilaku, dan akhlak komunitas mereka, yang dalam sejarahnya telah begitu terang banyak dijelaskan kekejamannya oleh banyak buku, akan menemukan kegagalan mendasar dalam memotret Wahhabi. Karena mengira Wahhabi itu statis dan hanya bersumber dari Muhammad bin Abdul Wahhab, meskipun harus diakui orang ini adalah pendirinya.

Kalau dibatasi saja mempertahankan versi rujukan Wahhabi dari pendirinya semata, konsekuensinya juga harus menerima kejahatan-kejahatan, penyerangan-penyerangan Wahhabi kepada muslim lain, yang dicap oleh Wahhabi sebagai bid’ah dan musyrik, bahkan pada saat pendirinya saat itu masih hidup. Pada saat itu, mereka sudah melakukan penyerangan dan penghancuran-penghancuran sebagai jalan dakwahnya. Apakah ini juga terpikirkan dari guru kita ini, yang menganggap Wahhabi memiliki titik temu dengan NU, al-Faqir tidak tahu, dan dengan begitu penyamaan Wahhabi dan NU begitu saja, sangat menggetirkan jiwa.

3

Guru kita ini menyebutkan bahwa untuk memahami NU, harus membaca khususnya karya Imam Muhammad Hasyim Asy`ari. Selintas lalu tampak benar pernyataan ini. Akan tetapi bagi mereka yang mendalaminya, akan menemukan hal lain, yaitu rujukan NU tentu saja bukan hanya karya Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari, karena mu’assis NU itu juga banyak, meskipun di antara para mu’asis ini, Hadhratusy Syaikh dipandang sebagai imam agung dan qutub-nya. Pandangan Hadhratusy Syaikh dalam kasus hukum kentongan berbeda dengan guru lain yang sudah terkenal, menunjukan keragaman itu.

Rujukan NU juga bersumber dari AD NU dan Bahtsul Masail yang dikeluarkan NU yang terus menerus berkembang, dan ini yang menjadi pedoman organisasi dan orang yang merasa menjadi bagian dari organisasi NU. Hasil-hasil Bahtsul Masail ini, juga menjadi salah satu yang harus dikaji kalau ingin memahami NU. Bahwa tentu saja memahami karya-karya Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari penting, tentu al-Faqir setuju. Tetapi sangat jelas, bahwa hidup seseorang dan jam`iyah semacam NU, lebih luas dari sekadar karya pendirinya, sehingga dari sudut dan jalur lain haruslah dibaca. Bahkan memahami Hadhratusy Syaikh saja, karya-karyanya saja tidaklah cukup. Hadhratusy Syaikh lebih besar dari sekadar karya-karya tulisnya.

4

Guru kita ini telah membandingkan Hadhratusy Syaikh dengan Ibnu Taimiyah, dan menemukan ada 20 persamaan, meskipun belum disebutkan persamaan itu, meskipun guru kita ini belum menyebutkan perbedaannya. Mungkin saja, guru kita ini akan menyebutkannya di kemudian hari. Hanya saja, di sini, al-Faqir ingin menambahkan bahwa Hadhratusy Syaikh memandang Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, termasuk orang yang mengharamkan apa yang menjadi kesepakatan kaum muslimin, dalam kitab Risalah Aswaja demikian:

Golongan tradisi yang tetap eksis berpegang teguh pada doktrin ajaran yang diinginkan salafush sholih, bermadzhab kepada satu madzhab tertentu, berpegang pada kitab-kitab mu’tabarah yang beredar, mencintai ahlil bait, para wali, dan orang-orang sholih, berharap berkah mereka baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, melakukan ritus ibadah seperti ziarah kubur, mentalqin mayit, shadaqah untuk mayit, dan meyakini adanya syafaat atau pertolongan, kemanfaatan doa, mengerjaan tawasul, dan lain-lain.

Sebagin dari masyarakat kita terdapat kelompok yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang menyepakati bid’ahnya beberapa hal di atas, sebagaimana juga dikemukakan oleh Abdul Wahhab an-Najdi dan Ahmad bin Taimiyah dan dua muridnya, yani Ibnu Qayyim dan Ibnu Abdil Hadi. Kelompok kedua ini secara tegas mengharamkan apa yang menjadi kesepakatan kaum muslimin sebagai bentuk ibadah sunnah, yakni pergi menziarahi makam Rasulullah. Firqah ini secara terus menerus melakukan penentangan keras terhadap kaum muslimin atas rutinitas yang mereka lakukan (pasal II, kitab Risalah Aswaja).

Pandangan Hadhratusy Syaikh terhadap Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, sudah terang benderang seperti di atas. Mustahillah guru kita ini, yang katanya telah mempelajari kitab-kitab pendiri Wahhabi dan Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari, sampai tersilap soal ini. Kalau ini bisa diterima, yaitu bahwa guru kita ini telah membaca kitab-kitab Hadhratusy Syaikh, maka bagaimanakah kiranya dia sampai gegabah menunjukan persoalan perbedaan Hadhratusy Syaikh dengan wahhbi dan pendiri Wahhabi hanya kecil saja, kalau Hadhratusy Syaikh saja mengatakan demikian tentang Ibnu Taimiyah.

5

Guru kita ini merujuk Protocol Zionis No. 7, bahwa kaum Zinois berupaya menciptakan konflik dengan menciptakan permusuhan dan pertentangan. Anggap saja betul dan tidak perlu didebat, maka semata Zionis yang berupaya menciptakan konflik permusuhan dan pertentangan di dunia muslim, sungguh al-Faqir tidak sefaham. Dalam dunia modern ini, begitu luas sebab dan kelompok orang berkontestasi dalam sistem sosial, menyebabkan ada konflik dan pertentangan dalam sebuah kasus. Kalau semua konflik dan pertentangan dirujukan pada Zionis, tentulah tidak bijak, karena itu akan menghapus sama sekali kebodohan internal, keangkuhan, ego, dan kepentingan kelompok sebagai bagian dari penyebab konflik dan pertarungan, dan diganti semata menyalahkan kelompok lain atau orang lain.

Mereka yang mempelajari kelompok-kelompok klandestin di seluruh dunia saja, yang menyebabkan konflik, pertarungangan, penguasaan dan sejenisnya, telah diungkap dalam berbagai buku, banyak sekali, dan akan lebih bijak menjadi pertimbangan daripada sekadar menyalahkan Zionis semata. Kalau al-Faqir lebih setuju memandang kelemahan umat Islam ke dalam, baik dari sudut pemahaman kelompok-kelompok Islam, tanpa melupakan sebab-sebab eksternal. Lha wong sejak zaman sahabat Nabi sudah ada konflik dan pertarungan yang begitu keras di kalangan Islam sendiri, kan tidak bisa itu dihubungkan dengan Zionis, bukan.

6

Guru kita ini menyebutkan bahwa perbedaan NU dan Wahhabi hanya kecil saja. Hal ini menurut al-Faqir kurang pas, karena dua sudut: pertama, menarik kesimpulan titik temu NU dan Wahhabi dengan mendasarkan pada tulisan-tulisan dari dua tokoh semata, kuranglah pas. Kalaupun dianggap memang ada persamaannya, harusnya disebut titik temu antara Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Tidak sampai pada taraf mengangkatnya menjadi “titik temu NU-Wahhabi”, karena kata ini akan berbeda dengan kata “titik temu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari dan Muhammad bin Abdul Wahhab”. Akan tetapi karena guru kita ini sudah terlanjur menariknya dari kedua tokoh itu menjadi titik temu antara NU-Wahhabi, terjadilah kerancua itu.

Kedua, perbedaan Wahhabi dengan NU sangat prinsipil, bukan perbedaan kecil dan sambil lalu. Kalau perbedaannya hanya kecil, tidaklah sampai Hadhratsuy Syaikh Hasyim Asy`ari memperingatkan seperti di atas, kaitannya dengan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Kalau perbedaannya hanya kecil dan sambil lalu saja antara mayoritas Aswaja dan Wahhabi, tidaklah mungkin pejuang-pejuang Aswaja dari generasi ke generasi di seluruh dunia muslim, menyusun kitab berjilid-jilid untuk menunjukkan hakikat dan sejatinya Wahhabi.

Pertimbangan lain dapat disebutkan: banyak orang NU dan tokoh NU sendiri di mana-mana front bahu membahu menbentengi Aswaja dari arus besar Wahhabi sejak awal berdiri NU. Sampai-sampai para mu’asis NU harus mengirim Komite Hijaz ke Arab Saudi. Nah, di tengah konteks itu menganggap perbedaan NU-Wahhabi sangat kecil, sangat kurang bijak.

Tulisan guru kita ini, dipahami dari jurusan mafhum yang lain, bisa dimaknai bahwa kerja-kerja dari para pejuang NU itu tidak didasarkan pada perbedaan fundamental dan pemahaman yang benar tentang Wahhabi dan NU. Al-Faqir harus menitikkkan air mata ketika menulis ini, karena langsung ingat Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari yang bekerja keras membentengi Aswaja dari arus Wahhabi, Romo Kiai Saleh Lateng yang menjadi ketua Lajnatun Nashihin yang bertugas mengenalkan NU ke berbagai daerah, dan Mbah Wahhab Chasbulloh yang meladeni perdebatan-perdebatan di berbagai tempat dengan orang-orang yang terpengaruh ajaran Wahhabi. Mungkinkah mereka tidak memahami Wahhabi secara otentik?

7

Perbedaan penting antara Wahhabi dan NU, di antaranya al-Faqir hanya menyebutkan dalam tulisan ini sebagian saja, yaitu:

Pertama, dakwah Wahhabi mengabsyahkan dan mencontohkan kekerasan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim, dibuktikan dengan dibunuhnya para ulama sunni dari empat madzhab, tokoh sufi, dan mereka yang tidak sejalan dengan pikiran Wahhabi pada awal pendirian Wahhabi; dan saat ini unsur-unsur Wahhabi juga terlibat di banyak pergolakan-kekisruhan di seluruh dunia muslim. Sejarah soal ini bisa dilacak dari kitab-kitab sejarah yang mendokumentasikannya, baik dari mereka yang membela korban-korban, maupun dari para algojo Wahhabi. Mustahil guru kita ini tersilap dalam soal ini. Al-Faqir, melihat pembunuhan sesama muslim dan mengabsyahkannya adalah fundamental, harus dipertimbangkan untuk melihat Wahhabi.

Dalam soal ini, sejarawan Wahhabi, Ibnu Bisyr mengakui dengan terus terang bahwa: “Syaikh (maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) memerintahkan untuk melakukan jihad terhadap siapa saja yang mengingkari tauhid (versi pendiri Wahhabi) (Ibnu Bisyr, `Unwân al-Majd fî Târîkh Najd (Riyadh: Daratul Malik Abdul Aziz, 1982, I: 48). Dalam praktiknya, jihad kaum Wahhabi dulu itu, adalah untuk memerangi orang-orang Islam di kalangan berbagai madzhab yang menolak mereka, memberontak pada pemerintahan Islam. Anehnya Wahhabi bisa bergandengan dengan Amerika dalam penemuan minyak dan Inggris dalam pendirian Arab Saudi. Di sisi lain, Wahhabi membunuhi sesama kaum muslimin, yang telah dianggapnya musyrik, pelaku bid’ah, dan sejenisnya, yang sejatinya adalah para pengikut madzhab empat, kalangan sufi, dan para pecinta ahlul bait Nabi. Di sini pentingnya melihat Wahhabi juga dari sudut korban, bukan dari pernyataan kitab pendirinya saja.

Kedua, akhlak pendiri Wahhabi sangat sombong sekali, dan ini berbeda dengan Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari yang sangat santun dan toleran; juga berbeda dengan khazanah nilai-nilai NU yang tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Pendiri Wahhabi menganggap Islam yang dibawakannya, pada saat itu, adalah hal baru yang sebelumnya tidak diajarkan oleh para gurunya. Al-Faqir batasi saja dari kata-kata pendiri Wahhabi demikian: “Demi Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, sungguh saya telah mencari ilmu dan orang yang mengenali saya meyakini bahwa saya memiliki pengetahuan, dan saya saat itu tidak mengetahui makna la ilaha illallah, dan saya tidak mengetahui agama Islam sebelum kebaikan yang Allah karuniakan ini; dan begitu juga guru-guru saya, tidak seorang pun di antara mereka mengetahui hal itu (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid VII, dalam kitab “Rasâ’il asy-Syakhsyiyah”, risalah ke-28, hlm. 186-187 dan seterusnya).

Bagi al-Faqir, kesombongan terhadap para guru yang mengajari dan memberi ilmu adalah fundamental yang harus dipertimbangkan dari pendiri Wahhabi, dan secara umum bagi gerakan Wahhabi. Bagi orang NU, hubungan guru-murid adalah fundamental, dibawa sampai mati, karena tidak ada yang disebut mantan guru. Pendiri Wahhabi, dengan gamblang, dengan kesombongannya, menyebutkan tidak ada seorang pun dan bahkan guru-gurunya yang tahu Islam dan makna la ilaha illalah sebelum ia mendakwahkan Islam.

Ketiga, Wahhabi menganggap Asy`ariyah sebagai tidak beriman, padahal NU adalah pengikut Asy`ariyah, dan juga mengakui Maturidiyah sebagai bangunan teologi Sunni. Dalam kitab at-Tauhîd alldzî huwa haqqullah ‘alâ al-‘abîd karangan pendiri Wahhabi, dua kali soal Asy`ariyah disinggung: dalam bab 16, disebutkan keharusan “penetapan sifat-sifat Allah adalah berbeda dengan sekte Asy`ariyah yang meniadakan sifat-sifat bagi Allah”; dalam bab 2 tentang fadhlu at-tauhîd dikemukakan keharusan “penetapan sifat-sifat Allah berbeda halnya dengan sekte Asy`ariyah yang meniadakan sifat-sifat Allah.” (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, Jilid I, juz 1, dalam kitab “Kitâb at-Tauhîd alladzî huwa Haqqullâh `alâ al-`Abîd”, bab 15, komentar 20).

Bagi Wahhabi, kelompok Asy`ariyah ini dianggap melakukan ta’thîl, tidak menetapkan sifat Allah, meniadakan sifat Allah, karena melakukan ta’wil dalam beberapa ayat sifat. Padahal menurut pendiri Wahhabi: “Barang siapa mengingkari sesuatu dari asma dan sifat, maka dia tidak beriman” (Dikutip dari al-Fatâwa wa al-Masâ’il (hlm. 44), dalam Ahmad bin Abdul Karim Najib dalam, Fashlu al-Khithâb fi Bayâni ‘Aqîdati asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb kamâ Waradat fî Kutubihi, wa Rasâ’ilihi wa Fatawâhu, hlm. 16.). Ini belum lagi bila penulis kutipkan dari Wahhabi-Wahhabi kontemporer, akan lebih banyak, dan ini tidak diperlukan lagi.

Keempat, orang-orang NU dan jam`iyah NU mengakui tarekat dan mengamalkannya. Kalau kita lihat pandangan guru-guru Wahhabi soal ini, justru menganggap tarekat tidak bersumber dari Islam. Kalau al-Faqir membatasi dari kutipan Muhammad bin Abdul Wahhab, dia memang hanya mengatakan: “Faktor yang menyebabkan manusia menjadi kafir dan meninggalkan agama adalah sikap berlebih-lebihan kepada orang saleh” (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, Jilid I, juz 1, dalam kitab “Kitâb at-Tauhîd alladzî huwa Haqqullâh `alâ al-`Abîd”, bab 18.). Pendiri Wahhabi juga mengatakan: “Mengetahuai bahwa awal mula sebab terjadinya kesyirikan di muka bumi ini adalah adanya cara pandang yang salah dalam menyikapi orang-orang saleh” (Ibid., bab 18 komentar 2). Di bagian lain, pendiri Wahhabi menganggap Ibnu Arabi, Fakhru ar-Razi, Ibnu al-Farid, dan lain-lain sebagai telah kafir.

Sementara NU menerima tarekat, dan Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari sendiri tidak mengakafirkan syaikh-syaikh besar di kalangan sufi, tetapi kalau ada kata-kata yang ganjil, menurutnya sebaiknya dita’wilkan, sebagaimana beliau menyebutkan dengan mengutip al-Allamah al-Amir di dalam kitab Hasyiyah Imam Abdi as-Salam, berkata: “Ucapan dengan interpretasi di atas, merupakan kufur yang shorih, karena tidaklah mungkin terjadi yang namanya hulul dan ittihad. Bila hal tersebut benar terjadi pada diri para pembesar wali maka kejadian itu harus dita’wili dengan sesuatu yang cocok dengan kondisi dan derajat kewalian mereka. Sebagaimana faham Wahdatul Wujud yang mereka anut. Seperti ucapan mereka tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah. Mereka menghendakinya dengan makna bahwa “apa saja yang ada di dalam jubah bahkan apapun yang wujud di dalam seluruh alam ini, tidaklah ia terwujud kecuali atas kehendak Allah.” (dalam kitab Risalah Aswaja, pasal II)

Kelima, Wahhabi berakidah tasybih, menyerupakan Allah dengan makhluknya, yang bersumber dari penolakannya atas ta’wil dalam beberapa ayat sifat, dan pada saat yang sama tidak melakukan tafwidh, sehingga membaca ayat-ayat yang mengindikasikan jisim apa adanya. Sementara NU tidak berakidah tajsim.

Keenam, taqlid menurut Wahhabi bagian dari kekufuran, sementara NU tidak menganggap itu, dan bahkan menerima adanya taqlid. Pendiri Wahhabi sendiri mengatakan itu dengan jelas, memasukkannya sebagai bagian dari persoalan jahiliyah sebagai awal dan akhir kekufuran, yaitu: “Bahwasanya agama mereka ditetapakan atas dasar-dasar yang teragung, yaitu taqlid. Dan taqlid ini adalah kaidah terbesar dari semua kekufuran, awal dan akhirnya” (Muhammad bin `Abdul Wahhab, Mu’allafât, jilid I, juz 1, hlm. 336). Pada kesempatan lain, pendiri Wahhabi, juga mengatakan: “Yang keenam dari persoalan jahiliyah adalah berhujjah dengan mutaqaddimin.” Sementara NU itu bermadzhab dengan mengambil pendapat-pendapat dari imam madzhab, terutama Imam an-Nawawi dan Imam ar-Rafi`i di kalangan madzhab Syafi’i.

Yang lain-lain, bisa didaftar lebih banyak lagi perbedaan NU dan Wahhabi. Akan tetapi 6 hal di atas cukup untuk menunjukkan perbedaan dengan Wahhabi itu menyangkut soal-soal penting. Bahwa kemudian guru kita menggap hal-hal seperti itu tidak prinsip, itu urusan lain.

8

Masalah sumber pendasaran tentang Wahhabi, dari tulisan guru kita ini, tampak otentik kalau didasarkan pada sumber asli dari pendirinya (meskipun kemudian dilebarkan kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim). Sungguh al-Faqir tersentuh, karena seakan-akan mereka yang merujuk apada sumber selain pendirinya, dianggap kurang otentik. Padahal sumber untuk memahami Wahhabi tentu saja, bisa jadi dari lawan debat, dan yang penting justru harus ditemukan sumber dari korban-korban kejahatan dan kekejaman Wahhabi.

Sumber-sumber di luar karya pendiri Wahhabi akan menjadi pembanding yang sangat penting. Di situlah kemudian pentingnya mengoposisikan dan mencari singgungannya, dan melihatnya bahwa kalau ternyata terjadi pertentangan, justru sumber dari korban-korban itu penting untuk didengar. Dalam hal ini, lawan-lawan dan orang-orang yang dimusyrikkan oleh Wahhabi, menjadi sasaran kekerasan dan tindak kejahatannya. Jadi, membaca karya pendirinya memang penting, tetapi tidak boleh berhenti di sini. Jangan alpa pula menelisik relasi-relasi dan sumber-sumber lain dari para korban dan yang membela korban, juga penting.

9

Menurut guru kita ini, titik temu NU dan Wahhabi ada pada tiga poin: pertama, sumber syariat Islam, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma, dan qiyas. Guru kita menegaskan, hadits shahih digunakan untuk mendasari dalam beragama, kendatipun tidak mutawatir dan hanya ahad. Al-Faqir tidak akan mendebat soal ini, karena memang betul, kalau merujuk pada praktik Wahhabi di Arab Saudi. Akan tetapi soal hadits yang dhaif untuk fadhail a’mal orang-orang Wahhabi tidak mau menerimanya, sementara kalangan NU menerimanya dalam praktik.

Kedua, konsekuensi pengakuan atas ijma, Wahhabi mengakui dan mempraktikkan adzan jumatnya dua kali dan shalat tarawihnya 20 rekaat. al-Faqir setuju ada persamaan soal ini. Hanya saja, persoalan ini tidak prinsipil, karena ini adalah furu’. Sehingga persamaan yang ditariknya sebagai persamaan fundamental, tidak mengena.

Ketiga, keduanya sama-sama menganut madzhab: Wahhabi menganut madzhab Hanbali dan NU menganut salah satu dari empat madzhab, yaitu Syafi`i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali. Al-Faqir setuju ini, kalau merujuk pada praktik Wahhabi kolektif di Arab Saudi soal hukum, tetapi juga harus diingat, Hanbali-nya Wahhabi telah menimbulkan percekcokan di kalangan madzhab Hanbali sendiri, dan oleh sebagian imam yang juga menjadi panutan, dianggap penyimpangan dari madzhab Hanbali. Sementara kalau merujuk pada pendiri Wahhabi sendiri, justru dia mengatakan tidak bermadzhab kepada siapa saja, sehingga oleh para penerusnya disebut bermadzhab “Islam tidak bermadzhab”. Pernyataan pendiri Wahhabi soal ini sudah jelas, al-Faqir telah mengutipnya di atas. Sementara, pandangan soal teologi Wahhabi banyak yang menyalahi salafush sholih, meskipun mereka mengklaim pengikut madzhab Salafush Sholih.

10

Peringatan guru kita ini patut direnungkan, yaitu Wahhabi dan NU adalah dua keluarga besar umat Islam yang harus saling mendukung; dan agar kita tidak menjadi relawan gratis Zionis untuk melaksanakan agenda Zionisme. Al-Faqir sangat setuju, ada upaya-upaya menuju jalan baik sesama umat Islam untuk membangun masa depan umat. Hanya saja, melihat substansi isi dan realitas Wahhabi di dunia muslim dan realitas di kalangan NU sendiri, himbauan ini bermata dua.

Dengan menunjukkan persamaannya saja, dan mengatakan yang baik-baik saja, tanpa melihat jerohan isinya Wahhabi dalam sepanjang sejarahnya, adalah naïf: satu sisi justru tampak membenarkan perilaku-perilaku Wahhabi meskipun tidak dikatakan, tetapi di sisi lain mengerem arus pembendungan arus Wahhabi dari kalangan NU. Apalagi di berbagai front dan medan, para pejuang NU harus berjibaku meladeni serangan-serangan dan tuduhan bid’ah, syirik, dan sejenisnya dari kalangan Wahhabi, maka himbauan dari guru kita ini, bagi al-Faqir, sangat menggetirkan, apalagi dilakukan seorang tokoh yang duduk di jajaran elit PBNU. Apalagi terus kemudian dibumbui dengan weden-weden relawan Zionis, bertambah-tambahlah getirnya al-Faqir ini, karena bagi pejuang-pejuang NU yang ada di berbagai front dan medan yang terus memertahankan diri dari serangan-serangan Wahhabi itu, konsekuensinya akan dianggap sebagai relawan Zionis kalau terus meladeninya, nau`dzubillah min dzalik.

Al-Faqir menyarankan kepada guru kita ini, kalau memang berniat baik untuk mengubah Wahhabi dan NU menuju kebaikan:

Pertama, tunjukkanlah di mana letak-letak kejahatan dan kebiadaban Wahhabi, apa kontribusi Wahhabi bagi kekacauan di dunia muslim, dan mintalah ia untuk berubah, dan juga di manakah letak sumbangsih Wahhabi yang harus dipertahankan bagi peradaban muslim; dan di mana letak kelemahan tokoh-tokoh dan kiai NU, kelemahan tradisinya, dan mintalah untuk bisa berubah dan bisa diubah, tetapi juga ungkapkan pula di mana letak sumbangsih NU bagi peradaban modern umat Islam di dunia, yang harus dipertahankan.

Kedua, kalau guru kita punya niat baik yang demikian, maka guru kita ini juga harus melakukan langkah-langkah kongkret, jangan semata bombastis, harus berani merajut kebajikan dunia muslim, dengan membenahi NU dan Wahhabi, lalu juga kelompok-kelompok lain di dalam Islam, dan dicarilah titik temuanya. Jangan hanya Wahhabi saja yang ingin direhabilitasi ke dalam NU, karena dunia muslim masih ada banyak kelompok. Kalau niat baik itu hanya untuk Wahhabi saja, al-Faqir khawatir guru kita ini dianggap oleh orang-orang NU di berbagai front yang sedang berhadapan dengan serangan-serangan Wahhabi, sebagai mengamputasi.

Kalau memang ada niat baik merajut kebersamaan sesama kaum muslimin di seluruh dunia, al-Faqir mengusulkan titik temunya perlu berangkat dari pandangan semesta lalu mengerucut pada kemusliman minimal, yaitu: sama-sama manusia (yang ilang kamanungsane diminta untuk menggali akar-akar kesatuan manusia dan hakikat manusia); sama-sama khalifah Allah, yang harus merawat bumi dengan jalan sebaik-baiknya dan seimbang; sama-sama min ahlil qiblah; sama-sama telah syahadah, sembahyang, puasa, zakat, dan haji.

Tanpa ada kemauan melakukan dua hal itu, al-Faqir sangat khawatir, bahwa maksud baik yang diinginkan guru kita ini untuk mempersatukan umat Islam, lagi-lagi akan difahami oleh orang-orang NU di berbagai front, justru sebagai modus membiarkan kekejaman dan kejahatan-kejahatan kaum Wahhabi atas tradisi-tradisi NU tanpa diminta untuk menghentikannya, sementara orang NU harus mengghentikan pembentengannya dari serangan-serangan kaum Wahhabi, dan para pejuang NU di berbagai front itu harus disebut sebagai relawan gratis Zionis, yang telah dikerangkakan oleh guru kita ini.

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat al-Faqir kepada guru kita ini, yang notabene adalah imam besar di sebuah masjid yang besar, dan penulis hanya seorang imam kecil di sebuah musholla yang kecil, semoga tulisan ini memberi manfaat kepada segenap warga NU. Tanggapan ini al-Faqir buat, karena semata-mata ingin mencari ridha Allah, dan bertabaruk kepada guru besar kita semua: Kanjeng Nabi Muhammad, para wali, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari, Mbah Wahab Chasbullah, Gus Dur, dan semua pejuang Aswaja di kalangan NU, agar Islam dan NU kehadirannya selalu bermanfaat bagi umat manusia. Wallah Maqshudi wa mathlubi. Amin.

Yogyakarta, 16 Feberuari 2015

*) Penulis adalah Imam Tahlil di sebuah Kampung di Yogyakarta, seorang Haddadi


Pak Mul, is The Great Inspirator for Me

$
0
0

Pak Mul, is The Great Inspirator for Me

By Ahmad Yanuana Samantho

 

  activities-of-icas-jkt-in-early-years-16.jpg Kemajuan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan, falsafah dan hikmah ilaihiyah (Irfan) yang menopang terbinanya cikal-bakal sebuah peradaban yang maju, tak bisa lepas dari peran para guru dan dosen serta para mualim (penyebar ilmu) di masyarakat. Inilah yang saya alami dan rasakan dalam hubungan pribadi saya dengan para guru dan dosen saya yang sangat berjasa dalam karier kehidupan pribadi saya maupun teman-teman saya di Indonesia.

Salah satu tokoh yang menurut saya adalah “The Great Inspirator and Intelectual Motivator” adalah Prof.Dr. Mulyadhi Kartanegara, yang kami lebih akrab memanggilnya “Pak Mul”. Mungkin juga banyak teman-teman sekelas saya di Program Magister Filsafat Islam dan Islamic Mysticisms (Tasawuf-Irfan) ICAS-Universitas Paramadina angkatan pertama 2003 yang merasakan hal yang sama.  Begitu juga teman-teman dan adik kelas kami yang lainnya sejak angkatan 2004 sampai 2013 di Program Magister Filsafat Islam dan Mysticism ICAS-Universitas Paramadina, atau para mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UGM, serta universitas lainnya, bahkan forum-forum majlis Ta’lim seperti Jamaah Kajian Islam Yayasan Paramadina, dll, di mana Pak Mul telah berkiprah.

Di mata saya, Pak Mul adalah guru dan dosen yang tak pernah pelit berbagi ilmu pengetahuan, wawasan dan hikmah ilahiyah. Passion (gairah)-nya yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan, khususnya Filsafat Islam dan Tasawuf-Irfan (Islamic Mysticism), menjadi energy yang inspiratif dan memotivasi kami dengan sepenuh daya, sebesar kecintaannya terhadap ilmu-ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan umum yang luas. Opini saya ini mungkin mengungkapkan fakta bahwa karena jasa beliaulah, saya dan banyak teman lainnya mendapatkan kemajuan, keberkahan dan kesejahteraan serta kebahagiaan dalam kariernya dan kehidupannya.

Tanpa ada sentuhan batin dan intelektual beliau yang tulus-ikhlas, tak mungkin rasanya saya sekarang berada dalam posisi ini, menjadi seorang penulis lebih dari 6 buku, dosen-peneliti dan penceramah yang mulai dikenal publik Nusantara. Karena inspirasi dan movitasi dari beliaulah selama masa-masa kuliah saya di ICAS-Paramadina 2003-2005 serta pengalaman magang kerja bersama Pak Mul di Pusat Kajian Filfasat, Ilmu dan Tasawuf (Puskafit UIN Syarif Hidayatullah) tahun 2005-2006, maka tahun 2015 ini saya pun bertekad ikuti jejak beliau: pasang target menulis minimal 4-5 Buku dalam setahun. Setelah sebelumnya sejak Tahun 2011-2013 saya menghasilkan dan mempublikasikan 3 Buku Best Seler: “Peradaban Atlantis Nusantara”, “Garut Kota Illuminati”, “Sejarah ISIS dan Illuminati”.

Perkenalan saya dengan nama Mulyadhi Kartanegara berawal dari membaca buku beliau yang berjudul: “Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan” (Mizan, 2003) serta berbagai artikel tulisan beliau di Jurnal Ulumul Qur’an dan bulletin KKA (Klub Kajian Agama) Yayasan Paramadina, semasa almarhum Cak Nur (Prof.Dr. Nurcholis Madjid) masih hidup, di era tahun 1990-an. Perkenalan secara intelektual itu akhirnya bersambung, ketika kemudian saya mendapat Beasiswa Kuliah S-2 Program Magister Filsafat Islam dari Islamic College for Advance Studies (ICAS) yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta, di awal tahun 2003. Di Kampus yang bertempat di gedung Yayasan Paramadina di Palaza 3 Pondok Indah inilah Pak Mul mengajar beberapa mata kuliah yang disampaikannya dengan penuh gairah, sangat inspiratif dan betul-betul memotivasi kami untuk terus giat mengali lebih dalam berbagai khazanah ilmu pengetahuan, filsafat serta sejarah peradaban Islam dan dunia. Antara lain Pak Mul mengajar mata kuliah: “Sejarah Peradaban Islam”, “Pengantar Filsafat Islam”,  dan “Introduction to Islamic Worldview” pada tahun 2003-2004.activities-of-icas-jkt-in-early-years-16.jpg

Gairah mengkaji sejarah Peradaban Islam, kajian Filsafat Islam pun tak berhenti di ruang-ruang kelas ICAS saat kuliah. Ketika Pak Mulyadhi buka pengajian mingguan rutin di rumahnya di Kompleks Matahari Pondok Petir, Pamulang, maka kami pun ikut ngaji filsafat Islam di rumah beliau.  Sekitar 15-20 orang biasanya hadir di rumah beliau. Beberapa kawan seperti Aan Rukmana (kini Ketua Jurusan Falsafah-Agama di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina), dan yang lainnya, pun kerap diminta membantu Pak Mul dalam mengetikkan beberapa buku beliau. Saya pun lalu diminta membantu Pak Mul untuk menjalankan roda kegiatan lembaga Penelitian PUSKAFIT yang beliau bersama Rektor UIN Syahid dirikan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2005. Kesempatan ini saya gunakan untuk magang kerja intelektual dan agar lebih leluasa menyerap hikmah dan ilmu pengetahuan dari Pak Mul dan komunitas intelektualnya, walau tak lama, karena tahun 2007 saya dikirim ICAS ke Iran untuk Short Course Illuminative Philosophy (Hikmah al-Isyraq) selama sekitar 3 bulan, mengkoordinir 10 mahasiswa ICAS-Paramadina di ICIS (International Center for Islamic Studies, sekarang Universitas Jamiatul Mustofa di kota Qom-Iran).

Dalam pengajian informal di rumahnya, Pak Mul selalu berbagi pengalaman dan kegairahan beliau yang sedang menulis atau menyusun beberapa buku. Caranya menulis buku cukup unik untuk kami anak muda yang sudah mulai ada ketergantungan kepada perangkat teknologi komputer. Pak Mul, ketika sedang menulis buku, tidak langsung mengetikkannya di komputer atau mesin ketik manual, tetapi beliau selalu menuliskannya dengan tangannya sendiri pada sebuah buku tulis tebal, yang selalu ia bawa ke mana-mana, jadi beliau merasa lebih bebas untuk kapan saja dan di mana saja menuangkan ide-ide, pikiran dan gagasannya ke dalam tulisan hanya dengan berbekal sebuah buku tulis dan ballpen sederhana. Setiap sedang menulis suatu buku, beliau sering memperlihatkan buku catatannya atau draft tulisannya kepada kami, murid-murid beliau.  Menurut beliau, kalau ingin segera menulis buku, jangan terlalu banyak pertimbangan memikirkan segala tetek-bengek aturan menulis dan tata bahasa. “Tuangkan dan tumpahkan saja dulu semua ide dan pemikiran serta data-datanya dalam sebuah tulisan. Barulah nanti setelah tertuang, ditata ulang dan diedit sesuai aturan penulisan dan tata bahasanya, sesuai dengan jenis tulisannya masing-masing.” Begitu nasehat Pak MUl kepada kami.   Bahkan nasehat dan kiat-kiat yang beliau ajarkan kepada kami pun akhirnya beliau bukukan menjadi sebuah buku saku berjudul “Seni Mengukir Kata: Kiat-kiat menulis Efektif-Kreatif”, yang diterbitkan tahun 2005 oleh penerbit Mizan Learning Center (MLC), Bandung.

Kecintaan beliau kepada sejarah peradaban Islam dan tradisi pemikiran filosofis dan tasawuf, telah menjadi inspirasi yang juga menular juga kepada saya. Akibat inspirasi dan motivasi beliau-lah saya kemudian mendirikan dan mengelola sebuah lembaga penelitian dan publikasi Bayt al-Hikmah Institute, yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan kajian Filsafat, Hikmah dan Irfan (Islamic Mysticism) serta Peradaban (Budaya, Sains dan Teknologi). Pemikiran dan gagasan Pak Mul-lah yang menginspirasi pendirian dan aktifitas Bayt al-Hikmah Institute tersebut. Kini situsnya di dunia maya yang beralamat di http://www.baytalhikmahinstitute.com dan http://www.ahmadsamantho.wordpress.com telah dikunjungi lebih dari 5,5 juta pembacanya, dengan rata-rata pengujung hariannya sekitar 4000-5000 visitor perharinya dari seluruh penjuru dunia. Alhamdulillah, semoga upaya sederhana ini bermanfaat bagi membangkitkan kembali peradaban unggul dan luhur umat manusia yang didasari oleh nilai-nilai ilahiyah dan terwujudnya perdamaian dan kesejahteraan umat manusia di dunia.

Saya ingat betul apa yang diajarkan oleh Prof. Mulyadhi dan juga beberapa dosen lainnya yang hebat di ICAS-Paramadina, bahwa fundasi kebangkitan sebuah perabadan suatu bangsa adalah kuatnya fundasi pemikiran dan falsafah-ideologi serta moralitas mayoritas warga bangsa tersebut. Maka bila ingin kembali membangun peradaban, bangunlah tatanan pemikiran filosofis serta moralnya. Untuk kepentingan itulah maka Bayt al-Hikmah Institute didedikasikan kepada kemanusiaan yang diharapkan lebih adil dan beradab di masa yang akan datang.  Bayt al-Hikmah Institute kini menjadi konsentrasi garapan terakhir saya, setelah menyelesaikan masa pengabdian saya bekerja di ICAS-Paramadina University sejak 2005-2009 dan STFI Sadra,  terakhir sebagai Kepala Biro Akademik Program Magister ICAS di tahun 2010-2013. *** AYS.


Bertemu Walisongo di Candi Prambanan dan Borobudur

$
0
0

Tulisan sangat menarik,silahkan dibaca dan dishare

'Bertemu Walisongo di Candi Prambanan dan Borobudur*) Jika memakai ilmu perbandingan, bisa dibilang Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebanding dengan Masjidil Haram. Hal itulah yang membuat saya makin kagum pada Walisongo. Maksudnya begini, kalau ada "Masjidil Haram", berarti logikanya ada puluhan "masjid agung" kan? Kalau ada tempat ibadah Hindu-Buddha selevel "Masjidil Haram", berarti bukan tidak mungkin Indonesia zaman dahulu sudah dipenuhi ribuan "mushola" umat Hindu-Buddha. Orang tidak mungkin bisa membuat sesuatu berskala besar tanpa bisa membuat sesuatu yang berskala kecil-kecil dulu. Tentu kita jadi bisa membayangkan kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu adalah golongan mayoritas. Kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu sangat mendominasi, bagaimana bisa Walisongo membalik kondisi tersebut? *** Kalau Anda belajar sejarah, Anda pasti makin heran dengan Walisongo. Silakan Anda baca dengan teliti isi buku Atlas Walisongo karya sejarawan Agus Sunyoto. Menurut catatan Dinasti Tang China, pada waktu itu (abad ke-6 M), jumlah orang Islam di nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan orang. Dengan klasifikasi yang beragama Islam hanya orang Arab, Persia, dan China. Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk agama Islam. Bukti sejarah kedua, catatan Marco Polo singgah ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam catatannya, komposisi umat beragama di nusantara masih sama persis dengan catatan Dinasti Tang; penduduk lokal nusantara tetap tidak ada yang memeluk agama Islam. Bukti sejarah ketiga, dalam catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 M, tetap tercatat hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jadi, kalau kita kalkulasi ketiga catatan tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima penduduk pribumi. Agama Islam hanya dipeluk oleh orang asing. Selang beberapa tahun setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel datang dari daerah Champa (Vietnam). Beberapa dekade sejak hari kedatangan Sunan Ampel, terutamanya setelah dua anaknya tumbuh dewasa (Sunan Bonang dan Sunan Drajat) dan beberapa muridnya juga sudah tumbuh dewasa (misalnya Sunan Giri), maka dibentuklah suatu dewan yang bernama Walisongo. Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi. Anehnya, sekali lagi anehnya, pada dua catatan para penjelajah dari Benua Eropa yang ditulis pada tahun 1515 M dan 1522 M, disebutkan bahwa bangsa nusantara adalah sebuah bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam. Para sejarawan dunia hingga kini masih bingung, kenapa dalam tempo tak sampai 50 tahun, Walisongo berhasil mengislamkan banyak sekali manusia nusantara. Harap diingat zaman dahulu belum ada pesawat terbang dan telepon genggam. Jalanan kala itu pun tidak ada yang diaspal, apalagi ada motor atau mobil. Dari segi ruang maupun dari segi waktu, derajat kesukarannya luar biasa berat. Tantangan dakwah Walisongo luar biasa berat. Para sejarawan dunia angkat tangan saat disuruh menerangkan bagaimana bisa Walisongo melakukan mission impossible: Membalikkan keadaan dalam waktu kurang dari 50 tahun, padahal sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa nusantara selalu menolak agama Islam. Para sejarawan dunia akhirnya bersepakat bahwa cara pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah yang membuat Walisongo sukses besar. Menurut saya pribadi, jawaban para sejarawan dunia memang betul, tapi masih kurang lengkap. Menurut saya pribadi, yang tentu masih bisa salah, pendekatan dakwah dengan kebudayaan cuma "bungkusnya", yang benar-benar bikin beda adalah "isi" dakwah Walisongo. *** Walisongo menyebarkan agama Islam meniru persis "bungkus" dan "isi" yang dahulu dilakukan Rasulullah SAW. Benar-benar menjiplak mutlak metode dakwahnya kanjeng nabi. Pasalnya, kondisinya hampir serupa, Walisongo kala itu ibaratnya "satu-satunya". Dahulu Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya orang yang berada di jalan yang benar. Istrinya sendiri, sahabat Abu Bakar r.a., sahabat Umar r.a., sahabat Utsman r.a., calon mantunya Ali r.a., dan semua orang di muka Bumi waktu itu tersesat semua. Kanjeng nabi benar-benar the only one yang tidak sesat. Tetapi, berkat ruh dakwah yang penuh kasih sayang, banyak orang akhirnya mau mengikuti agama baru yang dibawa kanjeng nabi. Dengan dilandasi perasaan yang tulus, Nabi Muhammad SAW amat sangat sabar menerangi orang-orang yang tersesat. Meski kepala beliau dilumuri kotoran, meski wajah beliau diludahi, bahkan berkali-kali hendak dibunuh, kanjeng nabi selalu tersenyum memaafkan. Walisongo pun mencontoh akhlak kanjeng nabi sama persis. Walisongo berdakwah dengan penuh kasih sayang. Pernah suatu hari ada penduduk desa bertanya hukumnya menaruh sesajen di suatu sudut rumah. Tanpa terkesan menggurui dan menunjukkan kesalahan, sunan tersebut berkata, "Boleh, malah sebaiknya jumlahnya 20 piring, tapi dimakan bersama para tetangga terdekat ya." Pernah juga ada murid salah satu anggota Walisongo yang ragu pada konsep tauhid bertanya, "Tuhan kok jumlahnya satu? Apa nanti tidak kerepotan dan ada yang terlewat tidak diurus?" Sunan yang ditanyai hal tersebut hanya tersenyum sejuk mendengarnya. Justru beliau minta ditemani murid tersebut menonton pagelaran wayang kulit. Singkat cerita, sunan tersebut berkata pada muridnya, "Bagus ya cerita wayangnya..." Si murid pun menjawab penuh semangat tentang keseruan lakon wayang malam itu. "Oh iya, bagaimana menurutmu kalau dalangnya ada dua atau empat orang?" tanya sunan tersebut. Si murid langsung menjawab, "Justru lakon wayangnya bisa bubar. Dalang satu ambil wayang ini, dalang lain ambil wayang yang lain, bisa-bisa tabrakan." Sang guru hanya tersenyum dan mengangguk-angguk mendengar jawaban polos tersebut. Seketika itu pula si murid beristighfar dan mengaku sudah paham konsep tauhid. Begitulah "isi" dakwah Walisongo; menjaga perasaan orang lain. Pernah suatu hari ada salah satu anggota lain dari Walisongo mengumpulkan masyarakat. Sunan tersebut dengan sangat bijaksana menghimbau para muridnya untuk tidak menyembelih hewan sapi saat Idul Adha. Walaupun syariat Islam jelas menghalalkan, menjaga perasaan orang lain lebih diutamakan.  Di atas ilmu fikih, masih ada ilmu ushul fikih, dan di atasnya lagi masih ada ilmu tasawuf. Maksudnya, menghargai perasaan orang lain lebih diutamakan, daripada sekadar halal-haram. Kebaikan lebih utama daripada kebenaran. Dengan bercanda, beliau berkomentar bahwa daging kerbau dan sapi sama saja, makan daging kerbau saja juga enak. Tidak perlu cari gara-gara dan cari benarnya sendiri, jika ada barang halal lain tapi lebih kecil mudharatnya.  Kemudian, ketika berbicara di depan khalayak umum, beliau menyampaikan bahwa agama Islam juga memuliakan hewan sapi. Sunan tersebut kemudian memberikan bukti bahwa kitab suci umat Islam ada yang namanya Surat Al-Baqarah (Sapi Betina).  Dengan nuansa kekeluargaan, sunan tersebut memetikkan beberapa ilmu hikmah dari surat tersebut, untuk dijadikan pegangan hidup siapapun yang mendengarnya. Perlu diketahui, prilaku Walisongo seperti Nabi Muhammad SAW zaman dahulu, Walisongo tidak hanya menjadi guru orang-orang yang beragama Islam. Walisongo berakhlak baik pada siapa saja dan apapun agamanya. Justru karena kelembutan dakwah sunan tersebut, masyarakat yang saat itu belum masuk Islam, justru gotong-royong membantu para murid beliau melaksanakan ibadah qurban. *** Kalau Anda sekalian amati, betapa gaya berdakwah para anggota Walisongo sangat mirip gaya dakwah kanjeng nabi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana bisa? Hal tersebut bisa terjadi karena ada manual book cara berdakwah, yaitu Surat An-Nahl ayat ke-125. Ud'u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau'izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a'lamu biman dhalla 'an sabiilihi wa Huwa a'alamu bilmuhtadiin. Terjemahannya kira-kira; Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk. Menurut ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, tafsir ayat dakwah tersebut adalah seperti berikut: Potongan kalimat awal, ud'u ilaa sabiili Rabbika, yang terjemahannya adalah "Ajaklah ke jalan Tuhanmu", tidak memiliki objek. Hal tersebut karena Gusti Allah berfirman menggunakan pola kalimat sastra. Siapa yang diajak? Tentunya orang-orang yang belum di jalan Tuhan. Misalnya, ajaklah ke Jakarta, ya berarti yang diajak adalah orang-orang yang belum di Jakarta. Dakwah artinya adalah "mengajak", bukan perintah. Jadi cara berdakwah yang betul adalah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Apabila harus berdebat, pendakwah harus menggunakan cara membantah yang lebih baik. Sifat "lebih baik" di sini bisa diartikan lebih sopan, lebih lembut, dan dengan kasih sayang. Sekali lagi, apabila harus berdebat, harap diperhatikan. Para pendakwah justru seharusnya menghindari perdebatan. Bukannya tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba ada ustadz yang mengajak debat para pendeta, biksu, orang atheis, dan sebagainya. Berdakwah tidak boleh berlandaskan hawa nafsu. Harus ditikari ilmu, diselimuti rasa kasih sayang, dan berangkat niat yang tulus. Apalagi ayat dakwah ditutup dengan kalimat penegasan bahwa hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran sejati. Hanya Allah SWT yang tahu hambaNya yang masih tersesat dan hambaNya yang sudah mendapat petunjuk.  Firman dari Allah SWT tersebut sudah merupakan warning untuk para pendakwah jangan pernah merasa sudah suci, apalagi menganggap objek dakwah sebagai orang-orang yang tersesat. Anggaplah objek dakwah sebagai sesama manusia yang sama-sama berusaha menuju jalanNya. Ayat dakwah itulah yang dipegang Nabi Muhammad SAW dan para pewarisnya saat berdakwah. Maka dari itu, kita jangan kagetan seperti para sejarawan dunia, karena kesuksesan dakwah Walisongo sebenarnya bukanlah hal yang aneh. *** Kanjeng nabi saja bisa mengubah Jazirah Arab hanya dalam waktu 23 tahun, apalagi Walisongo yang “hanya” ditugaskan Allah SWT untuk mengislamkan sebuah bangsa. Dakwah bisa sukses pada dasarnya dikarenakan dua faktor saja. Pertama, karena niat yang tulus. Walisongo menyayangi bangsa Indonesia, maka dari itu bangsa nusantara dirayu-rayu dengan penuh kelembutan untuk mau masuk agama Islam. Bila ada kalangan yang menolak, tetap sangat disayangi. Sekalipun orang tersebut enggan masuk agama Islam, tapi bila ada yang sedang sakit, ia tetap dijenguk dan dicarikan obat. Kalau orang tersebut sedang membangun rumah, maka Walisongo mengerahkan para santrinya untuk menyumbang tenaga. Bahkan, kepada pihak-pihak yang tidak hanya menolak agama Islam, tapi juga mencela sekalipun, Walisongo tetap bersikap ramah. Kedua, karena “satu kata satu perbuatan”. Walisongo membawa ajaran agama Islam ke nusantara, tentu kesembilan alim ulama tersebut harus menjadi pihak pertama yang mempraktekkan. Agama Islam adalah agama anugerah untuk umat manusia, maka para wali tersebut selalu berusaha praktek menjadi anugerah bagi umat manusia di sekitarnya. Semuanya dimanusiakan, karena Walisongo mempraktekkan inti ajaran agama Islam; rahmatan lil ‘alamin. Islam tidak mengenal konsep rahmatan lil muslimin. Begitulah... Jadi, saya sangat senang kalau bisa berwisata ke Candi Prambanan atau Candi Borobudur, karena di kedua tempat tersebut saya jadi bisa bertemu Walisongo. Pertemuan secara batin. Tulisan ini bukan untuk menjawab orang-orang yang sering meremehkan Walisongo. Tulisan ini hanyalah tulisan rindu seseorang yang penuh dosa. Di tengah ketidakberdayaan menatap gaya dakwah yang terlalu mudah memvonis orang lain masuk neraka, saya seringkali jadi merindukan Walisongo. *) Tulisan asli oleh @[100000282510053:2048:Doni Febriando], dari buku "Kembali Menjadi Manusia" yang bisa didapatkan di jaringan toko buku GRAMEDIA atau TOGAMAS. Foto adalah ilustrasi. Yang ingin membagikan sudah saya izinkan sejak saya belum meposting tulisan ini.'
Sofian J. Anom bersama Mohamad Guntur Romli dan 47 lainnyaBertemu Walisongo di Candi Prambanan dan Borobudur*)

borobudurJika memakai ilmu perbandingan, bisa dibilang Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebanding dengan Masjidil Haram. Hal itulah yang membuat saya makin kagum pada Walisongo.

Maksudnya begini, kalau ada “Masjidil Haram”, berarti logikanya ada puluhan “masjid agung” kan? Kalau ada tempat ibadah Hindu-Buddha selevel “Masjidil Haram”, berarti bukan tidak mungkin Indonesia zaman dahulu sudah dipenuhi ribuan “mushola” umat Hindu-Buddha.

Orang tidak mungkin bisa membuat sesuatu berskala besar tanpa bisa membuat sesuatu yang berskala kecil-kecil dulu.

Tentu kita jadi bisa membayangkan kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu adalah golongan mayoritas. Kalau umat beragama Hindu dan Buddha zaman dahulu sangat mendominasi, bagaimana bisa Walisongo membalik kondisi tersebut?

***

UFO DI ATAS BOROBUDURKalau Anda belajar sejarah, Anda pasti makin heran dengan Walisongo. Silakan Anda baca dengan teliti isi buku Atlas Walisongo karya sejarawan Agus Sunyoto.

Menurut catatan Dinasti Tang China, pada waktu itu (abad ke-6 M), jumlah orang Islam di nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan orang. Dengan klasifikasi yang beragama Islam hanya orang Arab, Persia, dan China. Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk agama Islam.

Bukti sejarah kedua, catatan Marco Polo singgah ke Indonesia pada tahun 1200-an M. Dalam catatannya, komposisi umat beragama di nusantara masih sama persis dengan catatan Dinasti Tang; penduduk lokal nusantara tetap tidak ada yang memeluk agama Islam.

Bukti sejarah ketiga, dalam catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 M, tetap tercatat hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jadi, kalau kita kalkulasi ketiga catatan tersebut, sudah lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima penduduk pribumi. Agama Islam hanya dipeluk oleh orang asing.

Selang beberapa tahun setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel datang dari daerah Champa (Vietnam).

ANCIENT LOTUS LAKE OF BOROBUDUR, ARTICHLESBeberapa dekade sejak hari kedatangan Sunan Ampel, terutamanya setelah dua anaknya tumbuh dewasa (Sunan Bonang dan Sunan Drajat) dan beberapa muridnya juga sudah tumbuh dewasa (misalnya Sunan Giri), maka dibentuklah suatu dewan yang bernama Walisongo. Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi.

Anehnya, sekali lagi anehnya, pada dua catatan para penjelajah dari Benua Eropa yang ditulis pada tahun 1515 M dan 1522 M, disebutkan bahwa bangsa nusantara adalah sebuah bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam.

Para sejarawan dunia hingga kini masih bingung, kenapa dalam tempo tak sampai 50 tahun, Walisongo berhasil mengislamkan banyak sekali manusia nusantara.

Harap diingat zaman dahulu belum ada pesawat terbang dan telepon genggam. Jalanan kala itu pun tidak ada yang diaspal, apalagi ada motor atau mobil. Dari segi ruang maupun dari segi waktu, derajat kesukarannya luar biasa berat. Tantangan dakwah Walisongo luar biasa berat.

Para sejarawan dunia angkat tangan saat disuruh menerangkan bagaimana bisa Walisongo melakukan mission impossible: Membalikkan keadaan dalam waktu kurang dari 50 tahun, padahal sudah terbukti 800 tahun lebih bangsa nusantara selalu menolak agama Islam.

Para sejarawan dunia akhirnya bersepakat bahwa cara pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah yang membuat Walisongo sukses besar.

UFO DI ATAS BOROBUDURMenurut saya pribadi, jawaban para sejarawan dunia memang betul, tapi masih kurang lengkap. Menurut saya pribadi, yang tentu masih bisa salah, pendekatan dakwah dengan kebudayaan cuma “bungkusnya”, yang benar-benar bikin beda adalah “isi” dakwah Walisongo.

***
Walisongo menyebarkan agama Islam meniru persis “bungkus” dan “isi” yang dahulu dilakukan Rasulullah SAW. Benar-benar menjiplak mutlak metode dakwahnya kanjeng nabi. Pasalnya, kondisinya hampir serupa, Walisongo kala itu ibaratnya “satu-satunya”.

Dahulu Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya orang yang berada di jalan yang benar. Istrinya sendiri, sahabat Abu Bakar r.a., sahabat Umar r.a., sahabat Utsman r.a., calon mantunya Ali r.a., dan semua orang di muka Bumi waktu itu tersesat semua. Kanjeng nabi benar-benar the only one yang tidak sesat.

Tetapi, berkat ruh dakwah yang penuh kasih sayang, banyak orang akhirnya mau mengikuti agama baru yang dibawa kanjeng nabi. Dengan dilandasi perasaan yang tulus, Nabi Muhammad SAW amat sangat sabar menerangi orang-orang yang tersesat.

Meski kepala beliau dilumuri kotoran, meski wajah beliau diludahi, bahkan berkali-kali hendak dibunuh, kanjeng nabi selalu tersenyum memaafkan. Walisongo pun mencontoh akhlak kanjeng nabi sama persis. Walisongo berdakwah dengan penuh kasih sayang.

ANCIENT LOTUS LAKE OF BOROBUDUR, ARTICHLESPernah suatu hari ada penduduk desa bertanya hukumnya menaruh sesajen di suatu sudut rumah. Tanpa terkesan menggurui dan menunjukkan kesalahan, sunan tersebut berkata, “Boleh, malah sebaiknya jumlahnya 20 piring, tapi dimakan bersama para tetangga terdekat ya.”

Pernah juga ada murid salah satu anggota Walisongo yang ragu pada konsep tauhid bertanya, “Tuhan kok jumlahnya satu? Apa nanti tidak kerepotan dan ada yang terlewat tidak diurus?”

Sunan yang ditanyai hal tersebut hanya tersenyum sejuk mendengarnya. Justru beliau minta ditemani murid tersebut menonton pagelaran wayang kulit.

Singkat cerita, sunan tersebut berkata pada muridnya, “Bagus ya cerita wayangnya…” Si murid pun menjawab penuh semangat tentang keseruan lakon wayang malam itu. “Oh iya, bagaimana menurutmu kalau dalangnya ada dua atau empat orang?” tanya sunan tersebut. Si murid langsung menjawab, “Justru lakon wayangnya bisa bubar. Dalang satu ambil wayang ini, dalang lain ambil wayang yang lain, bisa-bisa tabrakan.”

Sang guru hanya tersenyum dan mengangguk-angguk mendengar jawaban polos tersebut. Seketika itu pula si murid beristighfar dan mengaku sudah paham konsep tauhid. Begitulah “isi” dakwah Walisongo; menjaga perasaan orang lain.

Pernah suatu hari ada salah satu anggota lain dari Walisongo mengumpulkan masyarakat. Sunan tersebut dengan sangat bijaksana menghimbau para muridnya untuk tidak menyembelih hewan sapi saat Idul Adha. Walaupun syariat Islam jelas menghalalkan, menjaga perasaan orang lain lebih diutamakan.

Di atas ilmu fikih, masih ada ilmu ushul fikih, dan di atasnya lagi masih ada ilmu tasawuf. Maksudnya, menghargai perasaan orang lain lebih diutamakan, daripada sekadar halal-haram. Kebaikan lebih utama daripada kebenaran.

Dengan bercanda, beliau berkomentar bahwa daging kerbau dan sapi sama saja, makan daging kerbau saja juga enak. Tidak perlu cari gara-gara dan cari benarnya sendiri, jika ada barang halal lain tapi lebih kecil mudharatnya.

Kemudian, ketika berbicara di depan khalayak umum, beliau menyampaikan bahwa agama Islam juga memuliakan hewan sapi. Sunan tersebut kemudian memberikan bukti bahwa kitab suci umat Islam ada yang namanya Surat Al-Baqarah (Sapi Betina).

Dengan nuansa kekeluargaan, sunan tersebut memetikkan beberapa ilmu hikmah dari surat tersebut, untuk dijadikan pegangan hidup siapapun yang mendengarnya.

Perlu diketahui, prilaku Walisongo seperti Nabi Muhammad SAW zaman dahulu, Walisongo tidak hanya menjadi guru orang-orang yang beragama Islam. Walisongo berakhlak baik pada siapa saja dan apapun agamanya.

Justru karena kelembutan dakwah sunan tersebut, masyarakat yang saat itu belum masuk Islam, justru gotong-royong membantu para murid beliau melaksanakan ibadah qurban.

***

Kalau Anda sekalian amati, betapa gaya berdakwah para anggota Walisongo sangat mirip gaya dakwah kanjeng nabi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana bisa? Hal tersebut bisa terjadi karena ada manual book cara berdakwah, yaitu Surat An-Nahl ayat ke-125.

Ud’u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wa Huwa a’alamu bilmuhtadiin. Terjemahannya kira-kira; Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk.

BorobudurMenurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, tafsir ayat dakwah tersebut adalah seperti berikut: Potongan kalimat awal, ud’u ilaa sabiili Rabbika, yang terjemahannya adalah “Ajaklah ke jalan Tuhanmu”, tidak memiliki objek. Hal tersebut karena Gusti Allah berfirman menggunakan pola kalimat sastra.

Siapa yang diajak? Tentunya orang-orang yang belum di jalan Tuhan. Misalnya, ajaklah ke Jakarta, ya berarti yang diajak adalah orang-orang yang belum di Jakarta.

Dakwah artinya adalah “mengajak”, bukan perintah. Jadi cara berdakwah yang betul adalah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Apabila harus berdebat, pendakwah harus menggunakan cara membantah yang lebih baik. Sifat “lebih baik” di sini bisa diartikan lebih sopan, lebih lembut, dan dengan kasih sayang. Sekali lagi, apabila harus berdebat, harap diperhatikan.

Para pendakwah justru seharusnya menghindari perdebatan. Bukannya tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba ada ustadz yang mengajak debat para pendeta, biksu, orang atheis, dan sebagainya.

Berdakwah tidak boleh berlandaskan hawa nafsu. Harus ditikari ilmu, diselimuti rasa kasih sayang, dan berangkat niat yang tulus.

Apalagi ayat dakwah ditutup dengan kalimat penegasan bahwa hanya Tuhan yang mengetahui kebenaran sejati. Hanya Allah SWT yang tahu hambaNya yang masih tersesat dan hambaNya yang sudah mendapat petunjuk.

Firman dari Allah SWT tersebut sudah merupakan warning untuk para pendakwah jangan pernah merasa sudah suci, apalagi menganggap objek dakwah sebagai orang-orang yang tersesat. Anggaplah objek dakwah sebagai sesama manusia yang sama-sama berusaha menuju jalanNya.

Ayat dakwah itulah yang dipegang Nabi Muhammad SAW dan para pewarisnya saat berdakwah. Maka dari itu, kita jangan kagetan seperti para sejarawan dunia, karena kesuksesan dakwah Walisongo sebenarnya bukanlah hal yang aneh.

***

Kanjeng nabi saja bisa mengubah Jazirah Arab hanya dalam waktu 23 tahun, apalagi Walisongo yang “hanya” ditugaskan Allah SWT untuk mengislamkan sebuah bangsa.

Dakwah bisa sukses pada dasarnya dikarenakan dua faktor saja. Pertama, karena niat yang tulus. Walisongo menyayangi bangsa Indonesia, maka dari itu bangsa nusantara dirayu-rayu dengan penuh kelembutan untuk mau masuk agama Islam. Bila ada kalangan yang menolak, tetap sangat disayangi.

Sekalipun orang tersebut enggan masuk agama Islam, tapi bila ada yang sedang sakit, ia tetap dijenguk dan dicarikan obat. Kalau orang tersebut sedang membangun rumah, maka Walisongo mengerahkan para santrinya untuk menyumbang tenaga. Bahkan, kepada pihak-pihak yang tidak hanya menolak agama Islam, tapi juga mencela sekalipun, Walisongo tetap bersikap ramah.

Kedua, karena “satu kata satu perbuatan”. Walisongo membawa ajaran agama Islam ke nusantara, tentu kesembilan alim ulama tersebut harus menjadi pihak pertama yang mempraktekkan.

Agama Islam adalah agama anugerah untuk umat manusia, maka para wali tersebut selalu berusaha praktek menjadi anugerah bagi umat manusia di sekitarnya.

Semuanya dimanusiakan, karena Walisongo mempraktekkan inti ajaran agama Islam; rahmatan lil ‘alamin. Islam tidak mengenal konsep rahmatan lil muslimin.

Begitulah… Jadi, saya sangat senang kalau bisa berwisata ke Candi Prambanan atau Candi Borobudur, karena di kedua tempat tersebut saya jadi bisa bertemu Walisongo. Pertemuan secara batin.

Tulisan ini bukan untuk menjawab orang-orang yang sering meremehkan Walisongo. Tulisan ini hanyalah tulisan rindu seseorang yang penuh dosa.
Di tengah ketidakberdayaan menatap gaya dakwah yang terlalu mudah memvonis orang lain masuk neraka, saya seringkali jadi merindukan Walisongo.

*) Tulisan asli oleh Doni Febriando, dari buku “Kembali Menjadi Manusia” yang bisa didapatkan di jaringan toko buku GRAMEDIA atau TOGAMAS. Foto adalah ilustrasi.

Yang ingin membagikan sudah saya izinkan sejak saya belum meposting tulisan ini.


Garut Kota Illuminati


Wahabi Berdasarkan Al Qur’an dan Hadits

$
0
0

Wahabi Berdasarkan Al Qur’an dan Hadits


Banyak orang2 awam tertarik mengikuti Salafi karena dianggap aliran ini memurnikan ajaran Islam dari Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat yang dulu disingkat dgn TBC. Ulama Salafi menamakan aliran mereka berubah2. Dulu sekali Muwahhidun, kemudian jadi Salafi, lalu Ahlus Sunnah, dan juga Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ini sama dengan nama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang asli. Ulama Aswaja yang asli, Sufi, dan Syi’ah menamakan kelompok Salafi ini sebagai Wahabi. Nama ini sesuai dengan pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab An Najdi at Tamimi, seorang Bani Tamim yang lahir di Najd tahun 1703 dan meninggal tahun 1792.

10547648_10204207082407168_4948625370960487162_n (1)Namun jika Aswaja asli mengamalkan zikir berjamaah, Maulid Nabi, Tahlilan, Yasinan, dsb, maka Wahabi ini menganggap itu semua sesat. Karena Wahabi hanya menerima hadits yang menyatakan semua Bid’ah itu sesat dan masuk neraka. Mereka menolak hadits Bid’ah Hasanah / Ni’mal Bid’ah yang dipahami para sahabat seperti Khalifah Umar bin Khoththob ra, Abu Bakar ra, Zaid bin Tsabit dan juga para ulama Salaf seperti Imam Syafi’ie yang lahir tahun 150 H.

Walhasil mereka memfitnah Aswaja sebagai sesat, Musyrik karena ziarah dan doa di kuburan, dsb. Mereka pandang juga Sufi sebagai sesat/ghulluw. Banyak dari kelompok ini menganggap semua Syi’ah sesat bahkan belakangan ada yang bilang “Syi’ah bukan Islam”. Ini memprihatinkan mengingat sebagian perawi hadits dari Sahih Bukhari, Muslim, dsb ternyata Syi’ah rafidhoh.

Sebaliknya, banyak ulama dari Aswaja, Sufi, dan juga Syi’ah menuding Wahabi sebagai aliran sesat, khawarij, dan buatan Zionis Inggris. Buatan Yahudi untuk memecah-belah ummat Islam dan membunuh Muslim. Kaum Salafi Wahabi menganggap ini adalah fitnah dari Musuh Islam. Musuh Allah. Kaum Salafi Wahabi menganggap kelompok mereka sebagai Pembela Islam, Penegak Sunnah.

Nah jika antara Wahabi dan non Wahabi ini saling klaim bahwa musuhnya yang melontarkan fitnah dan memang jutaan Muslim sudah dibunuh oleh Wahabi sejak kelahirannya, siapakah yang ahli fitnah sebenarnya? Mari kita kaji Al Qur’an dan Hadits dan fakta-fakta yang sudah terjadi.

Nabi menubuwatkan bahwa di akhir zaman akan timbul fitnah. Bahkan secara khusus Nabi menyebut Najd, tempat kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai sumber fitnah dan “Tanduk Setan”:

Tanduk SetanIbnu Umar berkata, “Nabi berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, Terhadap Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.’ Mereka berkata, ‘Dan Najd kami.’ Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.’ Maka, saya mengira beliau bersabda (Najd) pada kali yang ketiga, ‘Di sana (Najd) terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan.’” [HR Bukhari]

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/…/ciri-khawarij-tak-mengamalkan-a…/

 

 

Map of Najd

Peta Najd
Foto2 bisa dilihat di sini:
http://kabarislamia.com/…/wahabi-berdasarkan-al-quran-dan-…/

Ini dikuatkan dengan hadits lainnya:

Hadis riwayat Sahal bin Hunaif ra.: Dari Yusair bin Amru, ia berkata: Saya berkata kepada Sahal: Apakah engkau pernah mendengar Nabi saw. menyebut-nyebut Khawarij? Sahal menjawab: Aku mendengarnya, ia menunjuk dengan tangannya ke arah Timur, mereka adalah kaum yang membaca Alquran dengan lisan mereka, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama secepat anak panah melesat dari busurnya. (Shahih Muslim No.1776)

Saat mengatakan itu, Nabi berada di Madinah, Hijaz. Ada pun di timur Madinah/Hijaz adalah Najd, tempat lahirnya Muhammad bin Abdul Wahhab:

Dan memang tempat miqat untuk haji penduduk Najd adalah Qorn yang artinya tanduk. Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang ada di Najd. Dan di Riyadh dan wilayah-wilayah Najd lainnya ada Pangkalan Militer Zionis AS (Amerika Serikat) yang dipakai untuk menyerang negara-negara Islam di sekitarnya seperti Iraq yang menewaskan presiden Iraq, Saddam Hussein.

Pangkalan Udara Militer AS di Arab Saudi

Pangkalan Udara Militer AS di Arab Saudi

Ada 5 Pangkalan Udara Amerika Serikat di Arab Saudi seperti: Eskan Village Air Base, Saudi Arabia King Abdul Aziz Air Base, Dhahran, Saudi Arabia King Fahd Air Base, Taif, Saudi Arabia King Khalid Air Base, Khamis Mushayt, Saudi Arabia Riyadh Air Base, Riyadh, Saudi Arabia

Lihat foto tentara Arab Saudi dan Zionis AS yang bersahabat mesra. Yang mereka perangi adalah negara2 Islam di sekeliling Arab Saudi.

Arab Saudi Pinjamkan Pangkalan Militer Kepada AS untuk Serang Iraq

Arab Saudi Pinjamkan Pangkalan Militer Kepada AS untuk Serang Iraq

Silahkan baca. Media Massa “Islam” Wahabi yang didanai Arab Saudi memutar-balikkan fakta bahwa Iran membantu AS menyerang Iraq. Padahal di Iran tidak ada Kedubes dan Pangkalan Militer AS. Justru Kedubes dan Pangkalan Militer AS ada di Arab Saudi:

Arab Saudi atau Iran yang Bantu AS Serang Iraq?

http://kabarislamia.com/…/arab-saudi-atau-iran-yang-bantu-…/ Ini bukan masalah membela Syi’ah. Tapi sekedar menyampaikan yang haq. Kebenaran.

Di hadits di bawah Nabi menyebut bahwa dari Bani Tamim, suku Muhammad bin Abdul Wahhab berasal, akan muncul kaum Khawarij yang ibadahnya seperti hebat dan rajin membaca Al Qur’an, namun tidak mereka pahami dan tidak juga diamalkan (cuma di kerongkongan saja):

Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy ra berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil.

Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesetnya anak panah dari sasaran (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)

Hadits di atas yang menyebut dari Bani Tamim, suku Muhammad bin Abdul Wahhab (MBAW) akan muncul Khawarij, dan juga hadits dari Najd, tempat kelahiran MBAW sebagai sumber fitnah dan tanduk setan harusnya membuat kita sadar bahwa Wahabi lah sebagai sumber fitnah meski ibadah mereka terlihat hebat.

Rasulullah saw bersabda: ”Nanti pada akhir zaman akan muncul kaum mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melebihi kerongkongan, mereka memecah Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya, dan mereka akan terus bermunculan sehingga keluar yang terakhir daripada mereka bersama Dajjal, maka jika kamu berjumpa dengan mereka, maka perangilah sebab mereka itu seburuk-buruk makhluk dan seburuk-buruk khalifah. ” ( Sunan Nasai/4108, Sunan Ahmad/19783 )

Dajjal adalah Yahudi. Zionis Yahudi. Dan dari foto2 di atas, Wahabi dari sejak era lahirnya memang selalu dekat dengan Zionis Yahudi membunuhi ummat Islam yang mereka fitnah sebagai musyrik. Cuma jika ummat Islam di Mekkah dan Madinah mereka perangi karena mereka anggap Musyrik, lalu ummat Islam yang lurus di mana? Di Najd yang disebut Nabi sebagai sumber fitnah?

Dajjal mahir menipu ummat Islam. Membuat api terlihat sebagai air dan sebaliknya. Nah cara menipu yang paling ampuh itu lewat informasi. Boleh dikata Media Informasi dunia bahkan sarana mencari informasi dan menyebar informasi seperti Google, Facebook, dsb dikuasai Yahudi. Nah yang menguasai 90% “Media Islam” yang ada pun ternyata antek Yahudi. Antek Dajjal. Sehingga bisa menyebar fitnah dengan mudah.

Tanpa modal yang besar, organisasi seperti NU dan Muhammadiyah sulit sekali membangun stasun TV. Namun Wahabi yang jauh lebih kecil, karena didanai pemerintah Arab Saudi yang merupakan sekutu AS dan Israel dengan mudah bisa mendirikan stasiun TV dan Radio serta berbagai Media Online sehingga fitnah begitu gencar. Para ulama NU dan Al Azhar mereka fitnah.

Skema yang harus kita pahami ini:

Israel>AS>Arab Saudi>Wahabi

Israel mengontrol AS yang merupakan anteknya. Zionis AS mengontrol Arab Saudi. Dan Arab Saudi yang mendanai ulama, lembaga, dan Media Massa Wahabi mengontrol Wahabi. Dengan cara ini Wahabi dengan mudah memecah-belah Islam dengan cara memfitnah Muslim lain sebagai sesat, kafir, dan sebagainya. Untuk memuluskan ini, Wahabi menyusupi organisasi2 Islam seperti NU, Muhammadiyyah, bahkan MUI.

Bagi Wahabi yang sudah anti Kerajaan Arab Saudi seperti Al Qaidah skemanya seperti ini:

Israel>AS>Wahabi

Mesranya Arab Saudi / Wahabi dengan Zionis AS dan Inggris hingga menyediakan Pangkalan Militer ini merupakan tanda bahwa mereka munafik:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [Al Maa-idah 51]

Hanya orang munafik yang dekat dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang saat ini tengah memusuhi Islam dan membantai ummat Islam:

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” [Al Maa-idah 52]

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/…/haram-berteman-dengan-kafir-har…/

Fitnah sudah menyebar. Bagaimana dengan “TANDUK SETAN”? Yang paling mirip dengan Tanduk Setan adalah ini:

Tanduk Setan

 

Tanduk Setan

http://kabarislamia.com/…/tanduk-setan-dan-fitnah-sudah-mu…/

Ternyata hotel yang ada di Menara Raksasa dengan beratapkan Tanduk itu dikelolah oleh Jaringan Hotel Fairmont yang dimiliki oleh Zionis Yahudi. Abraj al-Bait dikelola oleh Jaringan Fairmot Hotel. Benjamin Swig, seorang tokoh Zionis Yahudi dan banker kenamaan dunia adalah pendiri Fairmont pada tahun 1945. Fairmont ini juga mengelola banyak kasino atau pusat judi di Monte Carlo, Las Vegas, dan lainnya.

http://www.fairmont.com/makkah

http://www.eramuslim.com/…/simbol-simbol-iblis-di-saudi-tan…

Dajjal itu Yahudi. Sebagai orang kafir, tidak bisa masuk Mekkah dan Madinah. Namun pengikut Dajjal seperti orang2 munafik / copet bisa masuk. Nah mungkin seperti itu. Meski Zionist Yahudi tidak bisa masuk kota Mekkah dan Madinah, namun pengikutnya bisa sehingga bisa mengelola hotel tsb dan juga hotel2 lain seperti Hilton, dsb.

Lho bukankah Salafi Wahabi ini Islam yang murni? Selalu memakai Al Qur’an dan Hadits?

Benar. Tapi cuma di kerongkongan. Tidak paham dan tidak diamalkan. Makanya mereka akhirnya su’u zhon, memfitnah Muslim sbg sesat/musyrik/kafir, bahkan membunuhnya. Ini seperti hadits Nabi di bawah:

Hadis riwayat Ali ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia yang terbaik. Mereka membaca Alquran, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, secepat anak panah meluncur dari busur. Apabila kalian bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka berpahala di sisi Allah pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.1771)

“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Suatu kaum dari umatku akan keluar membaca Al Qur’an, mereka mengira bacaan Al-Qur’an itu menolong dirinya padahal justru membahayakan dirinya. Shalat mereka tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka.” (HR. Muslim)

“Mereka baik dalam berkata tapi jelek dalam berbuat, mengajak untuk mengamalkan kitab Allah padahal mereka tidak menjalankannya sedikitpun.” (HR. Al-Hakim)

Berbagai ayat Al Qur’an dan Hadits mereka pakai, namun kesimpulan lain yang mereka dapat dan amalkan. Berbagai larangan Allah dalam Al Qur’an seperti Su’u Zhon (Buruk Sangka), Mengolok-olok sesama, Mengkafirkan sesama Muslim, dan membunuh sesama Muslim. Berbagai caci-maki terhadap sesama Muslim seperti Ahlul Bid’ah, Sesat, Kafir dan sebagainya terlontar dari mulut mereka.

Kaum Khawarij ini merasa paling benar. Bahkan Khawarij pertama merasa lebih benar dari Nabi sehingga menuduh Nabi tidak adil. Khawarij masa kini menuduh Jumhur Ulama yang merupakan Pewaris Nabi sebagai tidak adil.

Ulama Salaf

Rasulullah SAW bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ] Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya? 1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah 2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah 3) Imam Syafie lahir:150 hijrah 4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah 5) Imam Asy’ari lahir: 240 hijrah Aswaja berpegang pada 1 dari 4 mazhab yang pendirinya lahir dalam 3 abad pertama Islam. Mereka mempelajari Sifat 20.

Wahabi tidak berpegang pada 1 mazhab. Tapi kepada Muhammad bin Abdul Wahhab dan penerusnya. Mereka anggap Sifat 20 yang disusun Imam Asy’ari yang lahir tahun 240 H sebagai bid’ah sesat. Mereka pelajari Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma wa Shifat yang disusun MBAW yang lahir tahun 1115 H yang juga bid’ah. Ini melemahkan aqidah ummat Islam sehingga dalil2 kenapa Tuhan itu ada dan siapa Tuhan yang sebenarnya tidak dijelaskan.

Hadits di bawah mirip sekali dengan Wahabi yang menuduh Muslim sebagai Musyrik hanya karena ziarah dan berdoa di kuburan padahal mereka tak tahu isi doa tsb. Mereka su’u zon menganggap orang yang berdoa di kuburan berdoa minta kepada kuburan. Bukan berdoa kepada Allah guna mendoakan si mayit.

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan al-Bazzâr. Disahihkan oleh Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3201).

Wahabi lebih banyak membunuh Muslim daripada orang2 kafir. Makanya ada ulama saat ditanya militan Wahabi, lebih senang mengaku sebagai kafir daripada Muslim. Saat ditanya oleh Muslim yang tahu dia ulama kenapa mengaku sebagai kafir, ulama tsb berkata: “Jika saya mengaku sebagai kafir, maka saya aman. Tapi jika saya mengaku Muslim, maka saya bisa disangka sebagai sesat atau musyrik dan dibunuh.”

Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya diantara ummatku ada orang-orang yang membaca Alquran tapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah melesat dari busurnya. Sungguh, jika aku mendapati mereka, pasti aku akan bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum Aad. (Shahih Muslim No.1762)

Wahabi biasanya merasa paling suci, pembela Islam, Ghuroba, Salafi, sementara Muslim lain mereka anggap ahli bid’ah dsb. Ini berlawanan dengan firman Allah:

“…Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” [An Najm 32]

Allah benci dengan orang-orang yang sombong:

”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman:18]

Nabi berkata bahwa orang yang sombong meski hanya sedikit saja niscaya tidak akan masuk surga:

Dari Ibn Mas’ud, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Tidak akan masuk sorga, seseorang yang di dalam hatinya ada sebijih atom dari sifat sombong”. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw: “Sesungguhnya seseorang menyukai kalau pakainnya itu indah atau sandalnya juga baik”. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt adalah Maha Indah dan menyukai keindahan. Sifat sombong adalah mengabaikan kebenaran dan memandang rendah manusia yang lain” [HR Muslim]

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2007/11/20/janganlah-sombong/

Kaum Wahabi senantiasa menyempal dari jama’ah Islam. Mereka bangga sebagai Ghuroba / orang2 asing. Padahal Allah senantiasa menyuruh kita berjama’ah. Jadi Ahlus Sunnah Wal JAMA’AH:

“Untuk golongan kanan, yaitu segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.” [Al Waaqi’ah 38-40]

Dua orang lebih baik dari seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah Azza wajalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah) (HR. Abu Dawud)

Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Karena itu jika terjadi perselisihan maka ikutilah suara terbanyak. (HR. Anas bin Malik)

Kekuatan Allah beserta jama’ah (seluruh umat). Barangsiapa membelot maka dia membelot ke neraka. (HR. Tirmidzi)

Mereka pelintir ayat2 Al Qur’an yang menyatakan KEBANYAKAN ORANG (Bukan kebanyakan Muslim) sebagai kebanyakan Muslim:

“Dan kebanyakan MANUSIA tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103

Arti dari ayat di atas adalah: “KEBANYAKAN ORANG” atau “KEBANYAKAN MANUSIA”. Bukan KEBANYAKAN MUSLIM!

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/…/beda-jamaah-vs-firqoh-dan-ghuro…/

Jika kita kaji perang Iraq, Libya, Suriah, dsb kita bisa menyaksikan Wahabi seperti Arab Saudi, Qatar, dan Turki bekerjasama dengan zionis AS dan Israel menghancurkan negara2 Islam tsb. Saddam Hussein, Khaddafi, dan Assad jadi korban mereka.

KORBAN WAHABI

Kaum muslimin kompak bersatu menghadapi yang lain. (HR. Asysyihaab)

Kaum Wahabi biasanya menjauh dari para ulama Aswaja yang asli. Bahkan sering menghina para ulama tsb sebagai Ahli Bid’ah, Musyrik, dsb. Mereka cuma menghormati “ulama” Wahabi yang lahir di akhir zaman. Ulama NU mereka fitnah sebagai Syi’ah, Ulama Al Azhar dianggap sesat, dan Syekh Al Buthi mereka bunuh karena dianggap pembela Syi’ah. Ini berlawanan dengan firman Allah.

Firman Allah:

“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]

Nah kita kalau tak tahu harus bertanya kepada Ulama yang senang berzikir kepada Allah. Bukan ulama Su’ yang lupa kepada Allah.

Allah meninggikan ulama dibanding orang2 awam. Pemahaman Ulama terhadap Al Qur’an dan Hadits atau masalah, itu lebih baik daripada pemahaman orang-orang awam:

” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/…/menghormati-dan-mengikuti-ulama…/

Pendapat Ulama tentang Wahabi

1. Dr. Ali Jumah, mufti Mesir mengatakan bahwa Wahabi Salafi adalah gerakan militan dan teror. [1]

2. Dr. Ahmad Tayyib, Syekh al-Azhar mengatakan bahwa Wahabi tidak pantas menyebut dirinya salafi karena mereka tidak berpijak pada manhaj salaf.[2]

3. Dr. Yusuf Qardawi, intelektual Islam produktif dan ahli fiqh terkenal asal Mesir, mengatakan bahwa Wahabi adalah gerakan fanatik buta yang menganggap dirinya paling benar tanpa salah dan menganggap yang lain selalu salah tanpa ada kebenaran sedikitpun.[3] Gerakan Wahabi di Ghaza, menurut Qardawi, lebih suka memerangi dam membunuh sesama muslim daripada membunuh Yahudi.[4]

4. Dr. Wahbah Az-Zuhayli (وهبة الزحيلي), mufti Suriah dan ahli fiqh produktif, menulis magnum opus ensiklopedi fiqh 14 jilid berjudul Al Muwsuatul Fiqhi al-Islami (الموسوعة الفقه الإسلامي ) . Az-Zuhayli mengatakan seputar Wahabi Salafi (yang mengafirkan Jama’ah Tabligh): “mereka [Wahabi] adalah orang-orang yang suka mengkafirkan mayoritas muslim selain dirinya sendiri.”[5]

5. KH. Agil Siradj, ketua PBNU, mengatakan dalam berbagai kesempatan melalui artikel yang ditulisnya, wawancara tv, dan seminar bahwa terorisme modern berakal dari ideologi Wahabi.[6]

6. Syekh Hisyam Kabbani, ketua tariqah Naqshabandi dunia, mengatakan bahwa Wahabi Salafi adalah gerakan neo-Khawarij.[7] Yaitu aliran keras yang menghalalkan darah sesama muslim dan terlibat dalam pembunuhan khalifah ke-3 Utsman bin Affan.

http://www.alkhoirot.net/…/wahabi-salafi-menurut-ulama-sunn…

Pandangan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah tentang Wahabi:

beda dengan orang orang wahabi, mereka tak punya sanad guru, namun bisanya cuma menukil dan memerangi orang muslim.

mereka memerangi kebenaran dan memerangi ahlussunnah waljamaah, memaksakan akidah sesatnya kepada muslimin dan memusyrikkan orang orang yg shalat.

http://majelisrasulullah.org/index.php…

Wahabi itu ucapannya bagus. Mengajak kita kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Namun prakteknya buruk. Malah su’u zhon, gemar mencaci-maki bahkan melaknat, mengkafirkan, bahkan banyak yang membunuh sesama Muslim:

“ Akan ada perselisihan dan perseteruan pada umatku, suatu kaum yang memperbagus ucapan dan memperjelek perbuatan, mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan, mereka lepas dari Islam sebagaimana anak panah lepas dari busurnya, mereka tidak akan kembali (pada Islam) hingga panah itu kembali pada busurnya. Mereka seburuk-buruknya makhluk. Beruntunglah orang yang membunuh mereka atau dibunuh mereka. Mereka mengajak pada kitab Allah tetapi justru mereka tidak mendapat bagian sedikitpun dari Al-Quran. Barangsiapa yang memerangi mereka, maka orang yang memerangi lebih baik di sisi Allah dari mereka “, para sahabat bertanya “ Wahai Rasul Allah, apa cirri khas mereka? Rasul menjawab “ Bercukur gundul “. (Sunan Abu Daud : 4765)

Mufti Mekkah Syekh Abdullah Az Zawawi yang Disembelih Wahhabi
Mufti Mekkah Syekh Abdullah Az Zawawi yang Disembelih Wahhabi
http://kabarislamia.com/…/sejarah-wahabi-dan-muhammad-bin-…/

Kang Said: Satu Digit Lagi, Wahabi Jadi Teroris
Satu digit lagi, kader-kader wahabi menjadi teroris. Nilai-nilai wahabi memberikan udara segar bagi tumbuhnya bibit terorisme. Nilai itu memberikan ruang lebar bagi perpecahan sesama muslim dan sesama manusia.

Demikian dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj yang akrab disapa Kang Said dalam sambutan pembukaan Pelatihan Aswaja dan Empat Pilar di Kantor PBNU, jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jum‘at (19/20) sore.

“Wahabi memang bukan teroris. Namun, ajarannya sangat dekat dengan kekerasan,” kata Kang Said di hadapan sedikitnya seratus peserta pelatihan.

Ajaran wahabi, menurut Kang Said, tidak ramah manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan membawa masalah perbedaan sikap beragama pada masalah teologis. Mereka mengklaim kebenaran hanya milik kelompok sendiri dalam segala hal.

Mereka, lanjut Kang Said, memaksakan kebenaran kepada kelompok lain. Mereka mewujudkan paksaan tergantung pada kesempatan dan kenekatan.

Kalau ada kesempatan, kenekatan, dan fasilitas lain seperti senjata, maka mereka akan bergerak memaksakan kehendak, tutup Kang Said.

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,4…

Yang istimewa adalah hadits ini. Bahwa kerajaan Khawarij ini tiap kali dihancurkan, selalu muncul kembali. Kerajaan besar, biasanya jika hancur tidak akan kembali. Contohnya Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Turki Usmani, dsb. Namun kerajaan Arab Saudi yang berpusat di Najd (di sebelah timur Madinah), tiap kali dihancurkan selalu muncul lagi. Kerajaan Arab Saudi yang sekarang adalah Kerajaan yang ketiga!

“ Akan muncul sekelompok manusia dari arah Timur, yang membaca al-Quran namun tidak melewati tenggorokan mereka. Tiap kali Qarn (kurun / generasi) mereka putus, maka muncul generasi berikutnya hingga generasi akhir mereka akan bersama dajjal “ (Diriwayatkan imam Thabrani di dalam Al-Kabirnya, imam imam Abu Nu’aim di dalam Hilyahnya dan imam Ahmad di dalam musnadnya)

The first Saudi State 1744-1818
The second Saudi state 1824-1891

http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Saudi_Arabia

KERAJAAN SAUDI-WAHABI PERTAMA : 1744-1818
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE-II : 1843-1891
KERAJAAN SAUDI-WAHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902

https://ewahabi.wordpress.com/…/sejarah-kemunculan-wahabi-…/

Jadi Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal sekarang sebagai pusat Wahabi adalah Kerajaan Arab Saudi yang ketiga!

Kenapa Kerajaan Arab Saudi bisa selalu bangkit meski 2x dihancurkan Kekhalifahan Turki Usmani? Bantuan dana dan senjata Zionis Inggris lah jawabannya. Tidak ada perang antara Arab Saudi dan Inggris. Yang ada adalah foto2 mesra bersama:

ibn-saud-cox-bell

“Dari sinilah fitnah-fitnah akan bermunculan, dari arah Timur, dan sifat kasar juga kerasnya hati pada orang-orang yang sibuk mengurus onta dan sapi, kaum Baduwi yaitu pada kaum Rabi’ah dan Mudhar “.(HR. Bukhari)

“ Tidak ada satu pun negeri, kecuali akan didatangi oleh dajjal “. (HR. Bukhari : 1782)

http://kabarislamia.com/…/kenapa-wahabi-kelak-jadi-pengiku…/

Dari sini kita bisa menilai kesesatan Wahabi dari Al Qur’an dan Hadits dari poin2:

– Pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di Najd. Tempat sumber fitnah

– Muhammad bin Abdul Wahhab dari Bani Tamim. Suku Dzul Khuwaitsirah yang akan melahirkan kaum Khawarij

– Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di akhir zaman tahun 1115 H

– Wahabi senantiasa bersahabat dengan Zionis Inggris dan AS (Yahudi dan Nasrani) dan memerangi / mengkafirkan / menganggap sesat ummat Islam.

– Senantiasa mengucapkan berpegang kepada Al Qur’an dan Hadits tapi meninggalkan Ulama. Al Qur’andan Hadits cuma di kerongkongan.

– Merasa paling takwa, pembela Islam, dan menuduh Muslim lain sebagai Musyrik dan tak jarang membunuhnya karena itu.

UNDERSTANDING “THE BIG GAME OF THE MIDDLE EAST” in ten minutes – HOW THE BRITISH CONQUERED ISLAM THE EMERGENCE OF WAHHABISM (OFTEN KNOWN AS SALAFISM) AND ITS HISTORICAL ROOTS

In his memoirs Mr. Hempher (British spy in Middle East) describe in detail how, in the middle of the eighteenth century, he made contact with Adbul Wahhab (Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab) to create a subversive version of Islam, the notorious sect of Wahhabism that would undermine Ottoman empire in the region and serve British colonial interests. Wahhabism became the founding cult of the Saudi regime after the British established the Saudi monarchy in 1932. Later after the British empire bowed out of the region (50’s) the US took for themselves most of this British colonial oil rich territories in a partnership that we can name the ‘Anglo-American Empire’.

Since then, the Saudis have collaborated closely with the Americans -to whom they owe their tremendous oil wealth- in funding various Islamic fundamentalist organizations and other American covert operations, particularly the “jihad” in Afghanistan. But the Saudis simulatenously use the immense wealth at their dispossal to disseminate this disruptive brand of Islam to various parts of the world, categorized by some of the largest propaganda campaign in history.

Mr. Hempher memoirs are interesting reading in light of the role that the state of Saudi Arabia has and continues to play with regards to supporting and advancing Western power in the Middle East and elsewhere. Especially astounding is the very dubious and virulent form of Islam, that Wahhabism and Salafism represent, which is currently wrecking havoc on Islamic traditions, and dividing the Muslim community in petty squabbles over trivial details, allowing the War on Islam to proceed effectively unchecked. Read: http://surrenderingislam.com/memoirs-mr-hempher-british-spy…http://surrenderingislam.com/memoirs-mr-hempher-british-spy…

http://www.liveleak.com/view?i=522_1357746513

 


Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (11)

$
0
0
Epicentrum Perubahan Geopolitik  
Abad ke 20 lalu disebut Era Atlantik. Artinya ialah, bahwa ilmu pengetahuan, peradaban, kemakmuran, atau segala sesuatu yang membuat ‘terang benderang’ dunia — khususnya faktor HEGEMONI itu berasal, berpihak dan ada di Barat, yang dalam hal ini adalah negara-negara di seputaran Benua/Lautan Atlantik. Hegemoni dalam arti mikro terlihat viakecanggihan militer serta nilai mata uang pada sebuah kawasan tertentu, atau bahkan daya tukarnya di dunia. Namun kendati abad lalu disebut ‘matahari terbit dari Barat’ (Era Barat), tetapi TITIK PUSAT (epicentrum)-nya justru ada di Kawasan Heartland atau Jantung Dunia, ataupunWorld Island (Timur/Asia Tengah) —meminjam istilah Mackinder— selaku kawasan utama penyuplai atas moncernya hegemoni Barat di panggung politik global. Artinya, tanpa eksploitasi dan kolonialisme Barat di Jantung Dunia, hegemoninya niscaya meredup. Makanya GFI, Jakarta, kerap menyatakan bahwa geopolitical shift (pergeseran geopolitik) sesungguhnya bukan berpindah dari Atlantik ke Asia Pasifik, tetapi gerak bandulnya kuat bergoyang dari Jalur Sutera dalam hal ini adalah Heartland, menuju ke Laut Cina sebagai ‘titik besar’ arah pergeseran dimaksud. Bukankah Laut Cina itu sendiri merupakan lintasan Garis Hidup Imperialisme (Jalur Sutera) sebagaimana isyarat BK di KAA, Bandung? Sebagaimana diulas pada prolog tulisan ini, perairan nusantara termasuk lintasan ataupun penggalan dari Jalur Sutera yang diperebutkan para adidaya dunia. Mencermati lebih dalam geopolitical shift abad ke 21 dari Atlantik menuju ke Asia Pasifik, bahwa epicentrum dimaksud tentunya akan berubah pula. Memang titik (pergeseran) makronya kuat diduga ada di Laut Cina, tetapi epicentrumnya di sebelah mana? Sebagai pembanding di Era Atlantik lalu, meski warna hegemoni ada di Atlantik/Barat, namun titiknya malah diHeartland (Timur/Asia Tengah), jantungnya dunia. Asumsi (sementara) GFI, Jakarta, epicentrum  di Era Asia Pasifik kemungkinan ada dan berada di Indonesia. Tampaknya asumsi GFI tadi sejalan dengan pendapat Dirgo D Purbo, bahwa Indonesia adalah Heartland-nya Asia Pasifik. Menurutnya, kita layak ‘jual mahal’ dalam pengertianleverage terhadap negara-negara yang memiliki kepentingan ekonomi di  NKRI. Dirgo menambahkan, bahwa 80% APBN Australia misalnya — itu tergantung dari (perairan) geografis Indonesia. Betapa berbagai ekspornya (dan impornya) dari/dan ke negara-negara Asia Timur seperti Taiwan, Korea, Jepang dan Cina selalu dan selalu melintas di perairan Indonesia dalam hal ini adalah Selat Lombok. Boleh dibayangkan, jika suatu saat Selat Lombok ditutup oleh Indonesia dengan alasan kemananan nasional terganggu, atau alasan lain —- maka Aussie bakal ‘merengek-rengek’.   Selain menurut Dirgo, terkait asumsi epicentrum geopolitik di Asia Pasifik itu ada di negeri tercinta ini, sekurang-kurangnya ada dua rujukan lain yang bisa dijadikan referensi. Antara lain:   Pertama: “Pentagon Papers Eisenhower Administration” (1953). Entah bocor atau sengaja dilepaskan, tetapi sesuai UU Amerika memang setiap 30-an tahun, peristiwa yang dinilai‘top secret’ pun wajib dibuka ke ranah publik. Hal inilah yang kini tersebar. Bahwa dokumen dimaksud mengungkap pertemuan Presiden AS, Eisenhower dengan para Gubernur Amerika. Dalam rapat tersebut Eisenhower memberi pernyataan dan tercatat:   “You dont know, really, why we are so concered with the far off southeast corner in Asia. … So, when The United State vote $400 million to help that war, we are not voting for a giveaway program. We are voting for the cheapest way that we can to prevent occurence of something that would be of the most terrible significance for The Unites State of America. Our security, our power and ability to get certaint thing we need from the riches of the Indonesia territory, and from Southest Asia”   Terjemahan bebasnya:   –“Anda benar-benar tidak paham, mengapa kita begitu peduli dengan sebuah sudut di tenggara Asia (Indonesia).”– –“jika kita kehilangan semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan ‘empire” Indonesia yang kaya?”– –Jadi, ketika Amerika Serikat memutuskan mengeluarkan $400 juta dolar (tahun 1953) untuk membantu perang itu, kita tidak memilih untuk program “giveaway”. Kami memilih cara termurah yang kami bisa untuk mencegah terjadinya sesuatu yang paling mengerikan bagi Amerika Serikat–khususnya keamanan kita, kekuatan dan kemampuan untuk mendapatkan hal-hal tertentu kita butuhkan dari kekayaan di wilayah Indonesia, dan dari Asia tenggara.”–   Dokumen yang dulu top secret kini telah berubah menjadi surat terbuka sesuai masa berlakunya. Intinya AS ingin memastikan kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Amerika.   Kedua: Statement Richard Nixon, Presiden AS tahun 1969-1974 yang dicuplik oleh Charlie Illingworth, penulis Amerika. Illingworth menulis:   “Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina.”   Dari dua referensi (plus pendapat Dirgo D Purbo) di atas, telah dapat ditebak bahwa zona penyuplai di Asia Pasifik kini dan nanti — sebagaimana dulu Heartland dijadikan kawasan penyuplai bagi hegemoni Barat pada Era Atlantik kemarin, bahwa epicentrum geopolitik di Era Asia Pasifik pastilah Indonesia, negeri kaya namun rakyatnya banyak yang terlunta-lunta. Ini perlu dipahami bersama, sebab itulah yang sekarang tengah berproses masif, sistematis dan konsepsional – strategis di kalangan adidaya terkait perpindahan epicentrum geopolitik global. Maknanya apa? Ya. Indonesia telah dan akan dijadikan area atau ajangbancaan (rebutan) bersama oleh kaum adidaya dunia baik kini maupun kedepan menggantikan posisi Heartland. Sekali lagi, ini yang penting dipahami bersama. Pertanyaan menggelitik timbul, “Lalu, bagaimana para elit dan pengambil kebijakan di negeri ini bersikap atas keadaan itu?”   Bersambung ke 12 …     Kawasan Heartland, jantung dunia yang menjadi epicentrum hegemoni Barat di Era Atlantik (Abad ke 20)Kawasan Heartland, jantung dunia yang menjadi epicentrum hegemoni Barat di Era Atlantik (Abad ke 20)   Indonesia disinyalir menjadi epicentrum geopolitik di Era Asia Pasifik menggantikan posisi Heartland?Indonesia disinyalir menjadi epicentrum geopolitik di Era Asia Pasifik menggantikan posisi Heartland?

Siapa di Balik Perubahan Kota Suci Mekkah

$
0
0

Siapa di Balik Perubahan Kota Suci MekkahTRIBUNJOGA.COM - Ribuan jamaah saling berdesakan naik turun bukit sambil melempar batu ke dinding simbol melawan terhadap setan. Simbol Jamaah Haji melakukan langkah sama seperti apa yang dilakukan Ibrahim kepada setan.

Jelang ibadah haji selesai, jamaah mengemasi barang-barangnya setelah ibadah lempar jumroh, ribuan orang jumlahnya, di jembatan Jamarat, bertemulah gelombang yang sudah menyelesaikan ibadah dengan yang akan melaksanakan ibadah.

Mereka bertemu hingga terjadilah tragedi, beberapa jamaah tersandung bawaan dan terinjak-injak oleh himpitan orang-orang di belakang mereka. Kerumunan ribuan orang panik, hingga 90 menit kemudian, setidaknya 345 orang terbaring mati atau sekarat dan lebih dari 1.000 lainnya luka-luka.

Pada tragedi 12 Januari 2006, 76 peziarah tewas ketika asrama mereka runtuh, kejadian itu dua tahun setelah kasus 250 meninggal dengan kejadian yang hampir sama.
Tak mudah menemui peristiwa itu bagi Kerajaan Saudi yang telah menguasai Mekah sejak 1924.

istPengamanan Jamaah Haji adalah bagian dari janji Kerajaan Saudi dengan Umat Islam di seluruh dunia, khususnya ketika mereka menjalankan ibadah di Madinah hingga Mekah.

Arab Saudi adalah rumah spiritual bagi dunia 1,6 miliar Muslim dan setiap tahun sebanyak 3 juta orang tiba untuk melakukan haji.

14 abad berlalu sejak Nabi Muhammad wafat pada tahun 632, haji telah menjadi salah satu tempat ziarah tahunan terbesar di dunia hingga dipermudah pada 1950-an, ketika perjalanan udara lewat udara mulai memudahkan orang untuk menjangkau Mekah.

Pekerjaan bagi Raja Arab Saudi, Abdullah, bagaimana menjaga Dua Masjid Suci, hingga pelayanan jamaah agar tak terulang tragedi 2006 yang tak bisa ditoleransi. Setelah tragedi itu, penasihat raja menganjurkan mencari perubahan radikal dari sistem bus umum, jalan dan kereta api dengan desain lingkungan baru.

Hingga akhirnya Raja melakukan pencarian data ke seluruh dunia untuk mencari siapa yang bisa melakukan perubahan itu, mereka menemukan sesuatu di Toronto. Faks pertama datang dengan tawaran kontrak dalam 30 tahun dengan dana $227-miliar untuk master plan pada awal November 2008.

Sayangnya, Hugh O’Donnell dari Toronto sebuah perusahaan konstruksi MMM Grup mengabaikannya. Dia mengabaikan email yang didapatkan lantaran tidak mengenali pengirim. Tetapi pada 25 November 2008, sebuah paket tiba di kantor O’Donnell di Ottawa dari Hossny Al Rahman.

Dia adalah Seorang pegawai pemerintah Arab Saudi dan teman yang telah bertemu O’Donnell pada tahun 1996 di sebuah konferensi di Ottawa. Gayung bersambut, Pemerintah Saudi ingin mengundang perusahaan konsultan internasional yang sangat berpengalaman untuk mempersiapkan rencana komprehensif untuk Mekkah, Madinah dan Al Mashaer.

Saudi ingin peta jalan untuk mengarahkan pembangunan besar-besaran yang terjadi saat ini, Rahman percaya bahwa O’Donnell, mantan wakil menteri asisten Energi, Pertambangan dan Sumber Daya, bisa menggunakan pengalamannya dengan sistem informasi geografis, atau GIS, dalam proyek Saudi.’

Diberitakan worldobserveronline, saat ini, Kerajaan menghabiskan $ 500.000.000.000 untuk membangun enam kota baru pada tahun 2020, rumah untuk lima juta penduduk yang sudah menghasilkan satu juta pekerjaan.

ist

Di tengah transformasi tersebut, ada beberapa permasalahan terjadi, Rumah istri nabi. Khadijah di Mekah telah diratakan, diganti dengan kamar mandi umum. Dar al Arqam, di mana Muhammad berbicara kepada pengikutnya selama 14 tahun, telah diratakan dan diganti dengan Hilton.

Termasuk sebuah benteng, dibangun pada tahun 1781, telah dibuldoser pada tahun 2002 dan diganti dengan sebuah hotel kaca dan beton di mana kamar suite selama haji biayanya $ 7.000 per malam.

ist

Teluk Institute di Washington memperkirakan 95 persen bangunan 1.000 tahun Mekah telah hancur selama 20 tahun terakhir. “Apa yang dilakukan di Mekah adalah seperti menghancurkan Colosseum di Roma untuk membangun sebuah hotel,” kata Sadiq Malki, seorang profesor ilmu politik di Universitas King Abdulaziz di Jeddah.

“Aku tidak bisa pergi ke Mekah dan menunjukkan anak-anak saya makam istri nabi atau Dar Al Arqam. Mereka sudah diaspal lebih untuk pengembangan komersial. Apa yang terjadi adalah sejelas melihat matahari di langit,”katanya. (tribunjogja.com)


Renungan untuk Pembangunan Strategi Kebudayaan

$
0
0

INDONESIA 2015-2045;

Renungan untuk Pembangunan Strategi Kebudayaan

 

Azyumardi Azra, CBE*

 

Abstract

Indonesia in under President Joko Widodo and Vice President M. Jusuf Kalla faces not only economic challenge, but also political, social, cultural and religious challenges.  In these last contexts, Indonesia has been very fortunate to be a Unitary Republic (NKRI) with the National Constitution of 1945, Pancasila, and Bhinneka Tunggal Ika—the last two are the constitutional basis of a multicultural Indonesia. These basic principles, however, need to be revitalized in order for Indonesia to be able to progress and, more importantly, remain integrated towards 2045, when the nation-state will celebrate its centeninal.

           Membayangkan Indonesia sepanjang 2015-2045 di bawah kepemimpinan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, satu abad/milenium Indonesia pada 2045, yang merupakan masa yang tidak terlalu jauh dan juga tak terlalu panjang, hampir bisa dipastikan mengandung lebih banyak kontinuitas. Pada saat yang sama, berbagai bentuk perubahan juga berlangsung, meski boleh jadi tidak terlalu bersifat transformatif revolusioner.

Perkembangan Indonesia pada tahun-tahun 2015-2045 masih sangat dipengaruhi dinamika dalam kehidupan politik dan ekonomi. Komposisi kekuatan politik baik pada lembaga legislatif (DPR RI) dan eksekutif (Presiden) akan banyak mempengaruhi dinamika politik. Begitu pula corak kepemimpinan nasional yang telah dihasilkan Pilpres 2014, 2019. 2024 dan seterusnya menjadi faktor sangat menentukan bukan hany perjalanan politik Indonesia, tapi juga ekonomi, sosial dan budaya menuju 2045.

Dinamika politik jelas pula sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi sepanjang 2015-2045. Indonesia dapat memiliki postur ke dalam dan keluar lebih kuat, jika kegaduhan politik dan saling sandera di antara berbagai kekuatan politik sepanjang periode 2014-2019 berkurang sehingga memungkinkan konsentrasi lebih besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK dengan gabungan kekuatan politik pendukung yang relatif lebih sedikit dibandingkan koalisi Prabowo-Hatta yang dikalahkannya pada Pilpres 2014 memerlukan upaya keras untuk dapat menarik sebagian kekuatan politik ‘Koalisi Merah Putih’ ke pangkuannya.

Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang meningkat saja tidak cukup, bahkan dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun—sedikitnya stagnan. Karena itu perlu akselerasi prasyarat yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, khususnya dengan pengembangan infra-struktur semacam jalan raya, ‘tol laut’, penambahan atau pengembangan kapasitas listrik, pelabuhan, bandara dan seterusnya.

Selain itu pertumbuhan ekonomi mesti disertai peningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat—khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan yang cenderung terus meningkat jumlahnya. Jelas, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pemerataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan, dapat meningkatkan gejolak ketidakpuasan masyarakat kelas bawah, khususnya buruh dan petani. Kejengkelan sosial (social resentment) yang tidak terkendali hampir bisa dipastikan dapat menimbulkan peningkatan kekerasan dan bahkan mungkin juga ‘revolusi sosial’ (social revolution) di tempat dan daerah tertentu yang termasuk kategori rawan.

Dalam keadaan seperti itu, kehidupan sosial budaya dapat terus mengalami disorientasi lebih luas. Proses globalisasi yang terus meningkat sejak awal Milenium 2000 tidak dapat dihentikan dan sangat sulit ditangkal. Sementara itu, ketahanan sosial-budaya nasional (socio-cultural resilience) hampir tidak dilakukan secara sistematis—karena tidak adanya strategi kebudayaan yang jelas—sehingga menimbulkan banyak ironi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya saja, kian banyak masyarakat Indonesia yang terlihat semakin dekat kepada agama dan melakukan banyak ritual keagamaan, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk tindakan koruptif dan maksiat tetap merajalela. Terlihat jelas pula, budaya kewargaan (civic culture) dan ‘keadaban publik’ (public civility) terus merosot.

 

Pancasila: Tantangan Ideologi Trans-Nasional

Masa 2015-2045 tetap mengundang keprihatinan dalam hal penguatan semangat kebangsaan dan kesatuan. Jika friksi politik terus terjadi sejak masa reformasi dan kini terus meningkat dalam masa pasca-Pilpres 2014, tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan adanya upaya sistimatis untuk memperkuat kembali faktor-faktor pemersatu (integrating forces) yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa-bernegara, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Khusus tentang dasar negara Indonesia, dalam berbagai forum diskusi dan seminar, sebagai narasumber saya berulangkali mendapat pertanyaan dari audiens tentang relevansi Pancasila dalam menghadapi berbagai tantangan ideologis lain, khususnya yang bersifat trans-nasional yang masih terus dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, katakanlah untuk periode 2015-2045.

Pertanyaan tersebut muncul jelas karena adanya keprihatinan melihat berbagai realitas, kondisi dan tantangan sosial, budaya dan politik yang dihadapi negara-bangsa Indonesia—baik secara internal maupun eksternal—yang kelihatan seolah-olah membuat tidak lagi relevan dan kondusif untuk berbicara mengenai Pancasila. Apalagi kalau kita terus berkeinginan agar Pancasila tetap menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi bagi Indonesia hari ini dan 100 tahun ke depan dan beyond.

Pada saat yang sama, dalam iklim kebebasan dan demokrasi masa pasca-Soeharto, orang atau kelompok manapun masih saja dengan bebas mengembangkan berbagai corak dan ekspresi sosial, budaya dan politiknya yang sering tidak sesuai dengan keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Seperti disinggung di atas, banyak kalangan warga dan masyarakat Indonesia mengalami disorientasi sosial, budaya, politik, dan bahkan keagamaan. Serbuan pandangan dan gaya hidup dalam aspek-aspek kehidupan tersebut mengalami globalisasi sehingga mengakibatkan kian tergerusnya banyak nilai positif dalam sistem dan tradisi sosial, budaya dan politik yang telah indigenous di Indonesia.

Pada saat yang sama dan terus melintasi masa lima tahun ke depan dan selanjutnya, ideologi-ideologi trans-nasional radikal yang tidak sesuai dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan Indonesia tetap berusaha keras merekrut warganegara dengan menggunakan berbagai retorik yang seolah-olah membenarkan argumen dan logika mereka. Pemerintah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak melakukan apa-apa atau bahkan sering seolah tidak berdaya apa-apa untuk mengkonter ideologi dan penyebaran berbagai bentuk ideologi dan gerakan transnasionalisme tersebut.

Ideologi dan gerakan trans-nasional yang menantang dan ingin mengganti dasar negara Pancasila tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam berbagai bentuk. Pertama, paham dan gerakan transnasional radikal, yang bergerak di bawah tanah, yang bahkan melakukan tindakan kekerasan dan terorisme, seperti al-Jama’ah al-Islamiyyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang kemudian terpecah—memunculkan Jamaah Ansharut Tauhid )JAT). Ketika kelompok yang dalam dan satu hal sering disebut terkait dengan al-Qa’idah, yang   bertujuan membentuk semacam ‘Kekhalifahan Nusantara’ di Asia Tenggara.  Belakangan ini juga muncul gerakan ISIS/IS dari wilayatimur Syria dan barat-utara Iraq yang juga mendeklarasikan diri sebagai ‘khilafah’ atau ‘dawlah Islamiyah’. Gerakan radikal dan brutal IS ini ternyata berhasil mendapat dukungan dari segelintir kalangan Muslim internasional, termasuk dari Indonesia.

Kedua, ideologi dan gerakan trans-nasional yang bergerak bebas secara terbuka, seperti Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang bertujuan untuk membangun ‘Kekhalifahan Internasional’ dan menegakkan syari’ah. Meski di banyak negara Timur Tengah dan Asia Tengah HT telah menjadi organisasi terlarang, di Indonesia HTI dapat memanfaatkan keterbukaan dan kebebasan demokrasi. Meski tidak berhasil mendapat dukungan signifikan dari kaum Muslimin Indonesia arus utama, HTI tetap aktif mengkampanyekan ‘syari’ah’ dan ‘khilafah’nya dalam ranah publik Indonesia.

Ketiga, paham dan gerakan trans-nasional yang lebih bersifat keagamaan dan cenderung non-politis seperti Jama’ah Tabligh, dan Ahmadiyah (keduanya asal India). Kedua kelompok ini lebih banyak mengkonsentrasikan kegiatan dalam kegiatan dakwah terhadap kaum Muslim lain atau internal di antara para jamaahnya sendiri. Mereka bergerak di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, melakukan kegiatan door-to-door mengajak kaum Muslimin Indonesia arus utama mengikuti mereka.

Tanpa perlu diskusi panjang lebar jelas paham dan gerakan trans-nasional menjadi tantangan bukan hanya terhadap realitas keagamaan (Islam) moderat Indonesia yang memiliki komitmen penuh pada  UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila selain menjadi dasar negara, juga memiliki makna simbolik sangat signifikan.

Indonesia beruntung memiliki kaum Muslimin wasatiyah, jalan tengah’ yang tergabung dalam ormas-ormas Islam arus utama sejak dari NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nahdlatul Wathan sampai al-Khairat yang telah memiliki komitmen final pada keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Mereka berulang kali menegaskan misalnya bahwa Pancasila adalah bentuk final perjuangan kaum Muslimin Indonesia.

Dalam konteks itu, Pancasila merupakan salah satu simbol terpenting yang muncul dari perjalanan bangsa mewujudkan negara  Indonesia yang bersatu berkat wawasan nasional dan kebudayaan yang kokoh. Dengan begitu dapat membuka jalan menuju kehidupan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera; dan lebih berbudaya (civilized), berharkat dan bermartabat dalam kancah internasional.

Simbolisme jelas sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan di masa depan. Sayang berbagai simbolisme penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, khususnya Pancasila—karena berbagai faktor—mengalami kemerosotan, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir, ketika Indonesia dalam penerimaan demokrasi yang lebih genuine dan otentik muncul berbagai ekses dan unintended consequencies.

Pancasila beserta ketiga prinsip dasar (yang sering juga disebut sebagai ‘pilar’) merupakan salah faktor pemersatu (integrating force)  terpenting dalam kebangkitan negara-bangsa Indonesia sejak masa pasca-kolonialisme dan kemerdekaan. Pancasila memungkinkan berdiri dan bertahannya negara-bangsa Indonesia yang bersatu, yang tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.

Pancasila dalam pandangan saya merupakan sebuah blessing bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam berbagai segi dan aspek kehidupan. Meski Pancasila sekarang masih tetap jarang menjadi wacana publik, karena adanya semacam ‘trauma’ akibat penggunaan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan status quo politik pada masa Orde Baru, tetapi Pancasila telah membuktikan dirinya sebagai dasar negara dan kerangka ideologi yang feasible dan viable bagi negara-bangsa hari ini dan ke depan, bukan hanya dalam periode kepemimpinan nasional 2014-2019, tetapi untuk masa yang jauh lebih lagi, melintasi 17 Agustus 2045, ketika Republik Indonesia genap berusia 100—satu abad alias satu milenium.

Kelahiran Pancasila sebagai dasar negara dan  common-platform dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia yang serba plural dan multi-kultural merupakan momentum dari tekad bersama bangsa Indonesia untuk tetap bersatu di tengah keragaman yang ada. Pancasila adalah kerangka dan dasar ideologis negara-bangsa Indonesia yang merupakan sebuah ‘deconfessional ideology’, ideologi yang tidak berbasiskan agama manapun. Tetapi, khususnya dengan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, Pancasila adalah sebuah ‘ideologi’ yang sesuai dan ‘bersahabat’ dengan agama. Sebagai ‘deconfessional ideology’, Pancasila adalah sebuah ‘blessing in disguise’—rahmat terselubung bagi umat beragama warganegara Indonesia.

Lebih jauh, dengan karakter Pancasila yang merupakan ‘religiously friendly ideology’ tidak ada alasan dan argumen yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lainnya, khususnya trans-nasionalisme keagamaan. Karena itulah setiap upaya mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lain bersifat trans-nasional—khususnya berbasiskan agama—tidak pernah mendapat dukungan dari mayoritas umat beragama; dan karena itu bound to fail.

Rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila sepanjang 2015-2045 tetap merupakan kebutuhan sangat mendesak, bukan hanya karena merosotnya faktor-faktor pemersatu lainnya (seperti negara, kesadaran historis pengalaman bersama, nasionalisme, dan sebagainya) tetapi juga—sebagaimana dikemukakan terdahulu—karena meningkatnya usaha dan penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional untuk mengganti NKRI dengan ideologi Islam dan sistem/entitas politik khilafah internasional atau khilafah regional. Lagi-lagi  negara dan pemerintah sebelumnya tidak kelihatan tidak memiliki kemauan politik dan sekaligus cara tertentu untuk mencegah penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional semacam itu.

Selain itu, kita juga melihat meningkatnya gejala intoleransi terhadap perbedaan dan keragaman pandangan, khususnya dalam bidang keagamaan; gejala ini bahkan bahkan tidak jarang terwujud dalam berbagai bentuk radikalisme. Tawaran-tawaran instan yang ditawarkan ideologi dan gerakan  trans-nasional bukan tidak mungkin mendapatkan kian banyak pendukung, ketika demokrasi multi-partai yang diterapkan sejak 1999 belum juga berhasil mendatangkan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, sangat esensial merevitalisasi Pancasila dan sekaligus menjadikan demokrasi sebagai ‘the only game in town’ dengan lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Memandang realitas tersebut, rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan yang dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana umum (public discourse), sehingga menguakkan kembali kesadaran publik tentang Pancasila dan posisinya yang begitu krusial dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Kedua, Pancasila seyogyanya dijadikan sebagai ideologi terbuka (open ideology) yang memungkinkannya untuk senantiasa ‘diperbaharui’ dan ‘dimaknai’ secara agar tetap kontekstual dan relevan menjawab berbagai tantangan yang terus berubah secara sangat cepat. Ketiga; melakukan reassesment atas pemaknaan Pancasila selama ini yang memungkinkan bagi kontekstualisasi Pancasila dalam meresponi dan menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Keempat; melakukan sosialisasi pemaknaan kontekstual Pancasila ke dalam berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan dan metode-metode baru yang berbeda dengan indoktrinasi dan regimentasi pada masa Orde Baru.

 

Menjadi Indonesia

Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai; dan bahkan boleh jadi tidak akan pernah selesai termasuk dalam kurun 2015-2045. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined communities—komunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia nampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal yang dasar dalam kehidupan kebangsaan.

Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, kelahiran Pancasila, imagined communities itu mengambil reka bentuk dasarnya dalam sebuah ‘negara-bangsa’ Indonesia merdeka dan berdaulat, perlu pengembangan imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke depan, dalam menginjak milenium kedua. Dengan begitu Indonesia tidak lagi sebagai ‘imagined communities’, tapi ‘actual communities’ yang terintegrasi secara solid, kokoh dan tangguh dalam kerangka NKRI dan Pancasila.

Dalam konteks itu, salah satu tantangan berat bangsa di hari kini dan ke depan melintasi 2014-2019 menuju 2045 adalah memperkuat kembali identitas bangsa atau identitas nasional, yang mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional 1908 dan terus menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan perumusan Pancasila yang kemudian mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan.

Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup: 1.Semangat kebangsaan (nasionalisme) Indonesia; 2.Negara-bangsa (nation-state) Indonesia; 3.Dasar negara Pancasila; 4.Bahasa nasional, bahasa Indonesia; 5.Lagu kebangsaan Indonesia Raya; 6.Semboyan negara, ‘Bhinneka Tunggal Ika’; 7.Bendera negara, sangsaka merah putih; 8.Konstitusi negara, UUD 1945; 9. Integrasi Wawasan Nusantara; 10.Tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral dari budaya nasional setelah melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai ‘mengindonesia’.

‘Mengindonesia’, menunjukkan proses yang pada dasarnya tidak pernah selesai sesuai dengan berbagai perkembangan dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Menjadi Indonesia, dengan demikian, jelas bukanlah sesuatu yang sudah selesai atau dibiarkan begitu saja (taken for granted). Sebaliknya, ‘mengindonesia’ mengisyaratkan proses mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai; sesuatu gambaran—atau bahkan impian—yang ingin diwujudkan secara bersama.

Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, ‘mengindonesia’ berarti proses-proses untuk menggapai dan mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil dan makmur; berharkat dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional. Proses-proses ‘mengindonesia’ ini mestilah dibangkitkan dan diakselerasikan kembali, sehingga ‘keindonesiaan’ dapat terus bertumbuh dan menguat.

Identitas nasional jelas tidak statis; proses ‘mengindonesia’ mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal. Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari ekonomi, politik sampai budaya, secara signifikan telah mengubah lanskap Indonesia. Akibatnya jelas, secara internal terjadi perubahan-perubahan yang tidak selalu menguntungkan penguatan identitas nasional.

Dalam dasawarsa terakhir, kita bisa menyaksikan terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik dan sosial-budaya baik pada tingkat nasional maupun lokal. Equilibrium belum juga tercapai dengan baik setelah Indonesia mengalami reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1999. Euforia politik dan demokrasi dengan berbagai eksesnya terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustrasi di kalangan masyarakat; rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam identitas nasional. Karena itu, pencapaian equilibrium dalam proses-proses politik demokrasi mestilah menjadi sebuah prioritas yang mendesak.

Hemat saya, ketika negara-bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat, atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi demi kepentingan nasional, maka suatu kekuatan sosial/politik dengan ideologis trans-nasional boleh jadi mengambilalih negara, dan menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas negara-bangsa Indonesia. Ini jelas merupakan ancaman serius bukan hanya bagi Pancasila, tetapi juga bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia; dan karena itu, berbagai langkah untuk revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila beserta ketiga prinsip dasar`negara-bangsa Indonesia mesti segera dilakukan, sebelum semuanya menjadi sangat sedikit dan amat terlambat (too litle too late).

 

Penutup

Indonesia yang sampai sekarang tetap bersatu bagi banyak orang di berbagai negara Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia tetap merupakan realitas yang sulit mereka pahami. Dari waktu ke waktu saya mendengar pernyataan kalangan terpelajar dari wilayah-wilayah tersebut tentang bagaimana mungkin sebuah negara yang terdiri dari begitu beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa dan agama bisa bersatu dalam sebuah negara-bangsa.

Karena itu, masih terdapat kalangan dalam dan luar negeri yang mencemaskan masa depan Indonesia. Apakah negara-bangsa Indonesia yang bersatu tetap masih ada pada 2045 nanti? Mereka yang skeptis membayangkan: ‘Jangan-jangan Indonesia hanya tinggal nama menjelang usianya satu milenium’.

Skeptisisme itu punya beberapa alasan. Tapi saya berpendapat, terdapat juga banyak alasan untuk optimis. Hemat saya, faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap bersatu tidak boleh diterima secara taken for granted; berbagai usaha harus tetap dilakukan agar Indonesia tetap utuh dan bersatu.

Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah di antara lautan, laut dan selat—menjadi benua atau negara maritim—memang sejak waktu yang lama sampai sekarang masih dianggap sebagai ‘keajaiban’ (miracle), misalnya oleh Edward Ellis Smith, Indonesia: The Inevitable Miracle (1973). Atau sebagai ‘tidak mungkin’ seperti terlihat dalam judul karya Elizabeth Pisani, Indonesia Etc.,: Exploring Improbable Nation (2014)—negara-bangsa yang tidak mungkin dibayangkan [bisa bersatu].

Indonesia yang beragam, bhinneka atau multikultural, dalam perspektif historis dan sosiologis Eropa sangat sulit dibayangkan bisa bertahan dalam waktu panjang. Pengalaman historis Eropa yang monokultural, tapi penuh perang intra-etnis Kaukasian (kulit putih), konflik intra-budaya dan intra-agama yang berdarah-darah abad demi abad. Tidak heran kalau Eropa terpecahbelah menjadi sangat banyak negara (kini 53 ditambah 6 wilayah protektorat). Perpecahan itu kini kelihatan belum berhenti. Ancaman separatisme untuk pembentukan negara baru terlihat di Flanders, berbahasa Flemish/Belanda dan Walloon yang berbahasa Prancis (keduanya di wilayah Belgia), Catalunya dan Basque (di kawasan Spanyol), Venesia dan Tyrol Selatan (di wilayah Italia), Pulau Korsika (termasuk Prancis)—untuk menyebut beberapa nama saja. Cukup banyak di antara negara Eropa yang telah lama eksis atau yang tengah berjuang memerdekakan diri berpenduduk hanya ratusan ribu orang.

Banyak kalangan Indonesia juga bisa merasa heran kenapa kawasan yang tidak begitu beragam, monokultural, cenderung mudah dan cepat terpecah belah. Padahal, masyarakat-masyarakat di wilayah tersebut secara historis dan sosiologis cenderung ‘seragam’ baik secara etnis atau ras, budaya dan agama.

Tetapi pengalaman historis, sosiologis dan keagaman itu, sering digunakan kalangan akademis dan pengamat Eropa untuk melihat Indonesia. Di antara mereka misalnya penulis Belanda, J.S. Furnivall dalam bukunya Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1939). Melihat Indonesia dari perspektif Eropa, Furnivall meramalkan skenario kehancuran (doomed scenario) bagi Kepulauan Indonesia. Menurut prediksi dia bekas wilayah Belanda (Nederland East Indies) ini menjadi berbagai kepingan ‘negara’ begitu Perang Dunia II usai karena tidak ada satu faktorpun yang bisa menyatukan seluruh suku bangsa dengan berbagai keragaman budaya dan agamanya.

Tapi Indonesia tetap bersatu, meski proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 disertai perang revolusi mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda kembali menguasai Indonesia. Negara-bangsa ini juga tetap bertahan ketika kalangan pengamat asing meramalkan Indonesia bakal mengalami ‘Balkanisasi’ berikutan krisis moneter, ekonomi dan politik 1997-1999. Mundurnya orang kuat Indonesia selama lebih tiga dasawarsa, Presiden Soeharto pada Mei 1998, memunculkan turbulensi politik sangat mencemaskan.

Indonesia tetap dalam kesatuan melewati masa sulit penuh turbulensi politik dan ekonomi itu sejak masa awal kemerdekaan, krisis ekonomi dan politik 1960-an dan terakhir 1997-1999. Kenapa bisa demikian? Penulis berargumen, ada sejumlah faktor historis, budaya, sosial dan keagamaan yang membuat Indonesia tetap bersatu dan utuh.

Dalam kaitan itu, penting mencatat pandangan Elizabeth Pisani, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia terlihat ‘kasual’ tapi menyenangkan, yang dengan ejaan lama terbaca: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya”. Djakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Kata ‘d.l.l’. (dan lain-lain) itu menurut Misha Glenny dalam harian The Guardian (24 Juli 2014) yang oleh Pisani dipakai sebagai anak judul bukunya, Indonesia Etc. sekali lagi merupakan cara kasual untuk menyatakan kemerdekaan sebuah negara bangsa. Kata ‘d.l.l.’ itu tidak jelas maksudnya; tidak tersirat sama sekali tentang negara-bangsa Indonesia yang dibayangkan. Juga tidak ada tentang identitas negara Indonesia; tapi banyak hal bisa tercakup di dalamnya

Kenapa Indonesia tetap bisa bersatu? Mereview buku Pisani, Joshua Kurlantzick dalam The New York Times (1 Agustus 2014) mencatat: ‘[Indonesia] has welded so much difference together through collectivism in villages and clans—collectivism that makes people more secure in their daily lives. Its citizens have generally fostered a level of cultural tolerance rare in such large nations’.  Kolektivisme dan toleransi budaya [dan juga agama], itulah di antara faktor terpenting membuat Indonesia tetap bersatu.

 

 

 

Bahan untuk Temu Akbar II

Mufakat Budaya Indonesia

Hotel Mercure, Jakarta, 28-30 November 2014

 

 

**AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010).

Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); dan Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA, 2010-12).

Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang).

Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-16).

Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); dan editor, Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012. Lebih 30 artikelnya berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.

Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban. Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat MIPI Award’ dari Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIP). Selanjutnya, pada 18 September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi  Fukuoka Prize 2014 Jepang atas jasa dan kontribusinya yang signifikan dalam peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya Asia.

Dia dapat dikontak melalui azyumardiazra1@gmail.com / azyumardiazra1@yahoo.com


ISIS Dan Sejarah Wahhabisme di Arab Saudi

$
0
0

 Anda tidak Bisa Memahami ISIS

Jika Anda Tidak Tahu Sejarah Wahhabisme di Arab Saudi

9786027689800Alastair Crooke dari Beirut Libanon, menulis di Huffington Post[1] bahwa kehadiran dramatis Da’ish (ISIS) di pentas Irak telah mengejutkan banyak orang di Barat. Banyak orang telah bingung – dan merasa ngeri – oleh kekerasan dan magnet yang nyata terhadap para pemuda “Sunni-Wahabi”. Tapi lebih dari itu, mereka menemukan ambivalensi Arab Saudi dalam menghadapi perwujudan ISIS, antara yang meresahkan dan yang bisa dijelaskan. Orang layak bertanya: “Bukankah Saudi memahami bahwa ISIS juga dapat mengancam mereka?”

Tampaknya -bahkan sekarang- bahwa elit penguasa Arab Saudi telah terpecah belah. Sebagian merasa salut bahwa ISIS memerangi “api” Syiah Iran dengan “api” Sunni;  bahwa negara Sunni baru mulai terbentuk di jantung apa yang mereka anggap sebagai warisan sejarah Sunni; dan mereka tertarik oleh ideologi ketat Salafi Da’ish itu.

10547648_10204207082407168_4948625370960487162_n (1)Sebagian orang Arab Saudi lainnya yang lebih merasa ketakutan, mengingat sejarah pemberontakan terhadap Abd al-Aziz oleh kaum Ikhwan Wahhabi (catatan: Ikhwan ini tidak ada hubungannya dengan Ikhwannya Ikhwanul Muslimin -Harap dicatat, semua referensi lebih lanjut di akhir adalah dengan Ikhwan Wahhabi, dan bukan Ikhwanul Muslimin Mesir), tapi dengan Wahhabisme yang hampir meledak dan al-Saud di akhir 1920-an. Banyak juga warga Saudi yang sangat terganggu oleh doktrin-doktrin radikal Da’ish (ISIS) – dan mulai mempertanyakan beberapa aspek arah wacana dan Arab Saudi

KEMENDUAAN SAUDI ARABIA

Perselisihan intern Arab Saudi dan ketegangan mengenai  ISIS hanya dapat dipahami dengan memahami dualitas yang melekat (dan yang terus berlangsung) yang terletak pada inti dari riasan doktrinal Kerajaan Saudi dan akar historisnya.

Salah satu mata rantai dominan identitas Saudi berkaitan langsung dengan Muhammad ibn’Abd al-Wahhab (pendiri Wahhabisme), dan penggunaan puritanisme ekslusionisnya yang radikal, yang diletakkan oleh Ibn Saud, (yang terakhir kemudian tidak lebih dari seorang pemimpin kecil –di antara banyak- perdebatan terus-menerus dan suku Badui perampok di latar dan gurun yang sangat miskin dari Najd)

wahabiAlur kedua untuk dualitas yang membingungkan ini, berkaitan tepatnya dengan pergeseran Raja Abd-al Aziz berikutnya terhadap tata kenegaraan pada tahun 1920: penertiban-nya atas kekerasan Ikhwani (dalam rangka untuk memiliki kedudukan diplomatik sebagai negara-bangsa dengan Inggris dan Amerika); pelembagaan tentang dorongan Wahhabi asli – dan selanjutnya merebut kesempatan aliran keran petrodollar yang bergelombang pada 1970-an, untuk menyalurkan kekerasan Ikhwani saat jauh dari rumahnya menuju ekspor ideologi – dengan menyebarkan revolusi budaya, bukan revolusi kekerasan di seluruh dunia Muslim .

Tapi “revolusi budaya” ini bukanlah reformisme yang jinak. Itu adalah revolusi berdasarkan kebencian Jacobin Abd al-Wahhab seperti tentang perbusukan dan bid’ah yang ia anggap sebagai seruannya untuk membersihkan Islam dari semua ajaran sesat dan penyembahan berhala.

MUSLIM PENIPU

Penulis dan jurnalis Amerika, Steven Coll, telah menulis bagaimana Abd al-Wahhab murid yang keras dan suka mencela dari  sarjana abad ke-14:  Ibnu Taimiyah,  membenci ” Seni yang sopan, merokok tembakau, penghisapan ganja, kemegahan dentuman drum bangsawan Mesir dan Ottoman (Turki Ustamiyah) yang melakukan perjalanan di Saudi untuk berdoa di Mekah. ”

Dalam pandangan Abd al-Wahhab, ini tidaklah Islami, mereka bukan Muslim; mereka adalah penipu yang menyamar sebagai Muslim. Juga, memang, dia menemukan perilaku orang Arab Badui lokal jauh lebih baik. Mereka memperparah Abd al-Wahhab dengan penghormatan mereka terhadap orang-orang suci, dengan mendirikan batu nisan mereka, dan “takhayul” mereka (misalnya memuja kuburan atau tempat-tempat yang dianggap sangat dijiwai dengan ruh ilahi). Semua perilaku ini menurut Abdul Wahab adalah Bid’ah yang diharamkan oleh Allah.

Seperti tokoh sebelum dia yaitu Ibn Taimiyah, Abd al-Wahhab percaya bahwa masa Nabi Muhammad tinggal di Madinah adalah masa ideal masyarakat Islam (“masa yang terbaik”), yang semua Muslim harus bercita-cita untuk menirunya  (ini, pada dasarnya, adalah Salafisme).

1525660_193977374128987_857492685_n Taimiyah telah menyatakan perang terhadap Syiah, tasawuf dan filsafat Yunani.  Pembicaraannya juga menentang ziarah makam nabi dan perayaan ulang tahunnya (Maulid Nabi), menyatakan bahwa semua perilaku ini hanya seperti mewakili tiruan dari ibadah penyembahan Kristen Yesus sebagai Tuhan (yaitu penyembahan berhala). Abd al-Wahhab menyamakan semua ajaran sebelumnya ini, yang menyatakan bahwa “keraguan” kepada interpretasi tertentu dari Islam (wahabi) sebagai perhormatan terhadap kaum beriman dapat  “menghalangi kekebalan milik seorang pria dan hidupnya. ”

Salah satu prinsip utama ajaran Abd al-Wahhab yang telah menjadi ide utama adalah takfiri (pengkafiran). Di bawah doktrin Takfiri, Abd al-Wahhab dan para pengikutnya bisa menganggap sesama muslim kafir kepada mereka yang terlibat dalam kegiatan yang dikatakan mengganggu pada kedaulatan Otoritas mutlak (yaitu, Raja). Abd al-Wahhab mencela semua Muslim yang menghormati orang mati, orang-orang suci, atau malaikat. Dia menyatakan bahwa sentimen tersebut dapat mengurangi pengabdian lengkap seseorang terhadap Allah, dan hanya kepada Allah. sehingga Islam Wahhabi melarang setiap doa yang ditujukan kepada orang-orang suci dan orang-orang tercinta yang telah meninggal, ziarah ke makam dan masjid khusus, festival keagamaan merayakan orang-orang suci, yang menghormati ulang tahun Nabi Muslim Muhammad, dan bahkan melarang penggunaan batu nisan saat menguburkan orang mati.

“Mereka yang tidak sesuai dengan pandangan ini harus dibunuh, istri dan anak-anak perempuan mereka dilecehkan, dan harta benda mereka disita”, tulisnya.”

Abd al-Wahhab menuntut kesesuaian di mana sebuah kesesuaian yang harus ditunjukkan dengan cara fisik dan nyata. Dia berpendapat bahwa semua Muslim secara individu harus bersumpah setia kepada pemimpin tunggal Muslim (khalifah, jika ada satu). Mereka yang tidak sesuai dengan pandangan ini harus dibunuh, istri dan anak-anak perempuan mereka boleh dilanggar kehormatannya, dan harta benda mereka boleh disita, tulisnya. Daftar  hokum mati buat orang murtad termasuk untuk kaum sufi dan  Syiah, dan kelompok Muslim lainnya, yang dianggap Abd al-Wahhab bukanlah Muslim sama sekali.

Tidak ada satru hal pun di sini yang dapat membedakan Wahhabisme dengan ISIS. Keretakan hanya akan muncul kemudian: dari pelembagaan berikutnya doktrin Muhammad ibn’Abd al-Wahhab tentang “Satu Penguasa, Satu otoritas, dan Satu Masjid” – tiga pilar yang dibawa masing-masing untuk merujuk kepada raja Saudi, otoritas mutlak resmi Wahhabisme, dan kontrol dari “kata-kata” (yaitu masjid).

Ini adalah celah ini – penolakan ISIS terhadap tiga pilar di mana seluruh otoritas Sunni saat ini terletak – membuat ISIS, yang dalam segala hal lainnya sama sesuai dengan Wahhabisme, tapi juga dapat menjadi ancaman yang mendalam ke Arab Saudi.

Sejarah Singkat Wahabi antara Tahun 1741- 1818

Advokasi atau pembelaan Abd al-Wahhab terhadap pandangan ultra radikal pastilah menyebabkan pengusirannya dari kotanya sendiri – dan pada 1741, setelah beberapa lama pengembaraan, ia menemukan perlindungan di bawah perlindungan Ibn Saud dan sukunya. Apa yang Ibn Saud dirasakan dalam pengajaran agama Abd al-Wahhab adalah sarana untuk membatalkan tradisi dan konvensi Arab. Itu adalah jalan menuju merebut kekuasaan.

“Strategi mereka – seperti yang ISIS miliki hari ini – adalah untuk membawa orang-orang yang mereka taklukkan menjadi tunduk. Mereka bertujuan untuk menanamkan rasa takut.

wahabi bunuh muslim yang mereka kafirkanKlan Ibn Saud, merebut doktrin Abd al-Wahhab, sekarang bisa melakukan apa saja yang selalu mereka lakukan, yang merampok desa-desa tetangga dan merampok  harta mereka. Hanya sekarang mereka melakukannya tidak dalam lingkup tradisi Arab, melainkan di bawah bendera jihad. Ibn Saud dan Abd al-Wahhab juga telah memperkenalkan kembali gagasan kemartiran (mati syahid) atas nama jihad, karena diberikan orang-orang martir masuk langsung ke surga.

Pada awalnya, mereka sedikit menaklukkan masyarakat setempat dan mereka dikuasai. (Penduduk yang ditaklukkan diberi pilihan terbatas, pindah agama ke Wahhabisme atau mati). Pada 1790, Aliansi Wahahbi menguasai sebagian besar Semenanjung Arab dan berulang kali menyerang Madinah, Suriah dan Irak.

Strategi mereka – seperti  yang ISIS lakukan saat ini – adalah dengan membawa orang-orang yang mereka taklukkan menjadi tunduk. Mereka bertujuan untuk menanamkan rasa takut. Pada 1801, Sekutu menyerang Kota Suci Karbala di Irak. Mereka membantai ribuan umat Islam Syiah, termasuk wanita dan anak-anak. Banyak mesjid Syiah hancur, termasuk  makam Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad yang dibunuh Yazid bin Muawiyyah.

Seorang pejabat Inggris, Letnan Francis Warden, yang mengamati situasi pada saat itu, menulis: “Mereka menjarah seluruh tempat  itu [Karbala], dan menjarah Makam Hussein … membunuh penduduk Karbala dalam satu hari, dengan kekejaman yang aneh, membantai lima ribu penduduk … ”

Osman Ibnu Bishr Najdi, sejarawan dari negara Saudi pertama, menulis bahwa Ibn Saud melakukan pembantaian di Karbala pada tahun 1801. Dia dengan bangga mencatat pembantaian dengan mengatakan, “kami mengambil harta dan penduduk Karbala dan menyembelihnya dan mengambil orang-orangnya (sebagai budak), maka puji Allah, Tuhan semesta alam, dan kami tidak meminta maaf untuk itu dan berkata: “Dan terhadap orang-orang kafir: perlakuan yang sama.”

Pada tahun 1803, Abdul Aziz kemudian masuk ke Kota Suci Mekkah, yang menyerah di bawah pengaruh teror dan panik (nasib yang sama akan menimpa Medina, juga). Pengikut Abd al-Wahhab telah membongkar monumen bersejarah dan semua makam dan masjid di tengah-tengah mereka. Pada akhirnya, mereka telah menghancurkan arsitektur Islam berabad-abad di dekat Masjidil Haram.

Tapi pada bulan November 1803, seorang pembunuh Syiah membunuh  Raja Abdul Aziz (untuk membalas dendam atas pembantaian di Karbala). Putranya, Saud bin Abdul Aziz, menggantikan dia dan terus melakukan penaklukan Arab. Penguasa Ottoman (Turki Utsmaniyah)  bagaimanapun, tidak bisa lagi hanya duduk diam dan menonton karena kerajaan mereka dilahap sepotong demi sepotong.  Pada tahun 1812, tentara Ottoman, yang terdiri dari Mesir, mendorong Aliansi keluar dari Madinah, Jeddah dan Mekah. Pada tahun 1814, Saud bin Abdul Aziz meninggal karena demam. Namun anak malang itu Abdullah bin Saud, diambil oleh Ottoman ke Istanbul, di mana ia  dieksekusi (pengunjung ke Istanbul melaporkan melihat dia yang telah dipermalukan di jalan-jalan Istanbul selama tiga hari, kemudian digantung dan dipenggal, kepalanya terpenggalnya ditembakkan dari meriam kanon, dan hatinya dipotong dan tubuhnya ditusuk).

Pada tahun 1815, pasukan Wahhabi dihancurkan oleh orang Mesir (yang bertindak atas nama Ottoman) dalam pertempuran yang menentukan. Pada tahun 1818, Ottoman merebut dan menghancurkan ibukota Wahhabi di Dariyah. Negara Saudi pertama tidak ada lagi. Wahhabi yang tersisa mundur ke padang gurun untuk berkumpul kembali, dan di sana mereka tetap, diam untuk sebagian besar abad ke-19.

Pengembalian Sejarah Dengan Isis

Tidak sulit untuk memahami bagaimana berdirinya Negara Islam  ISIS di Irak kontemporer yang mungkin beresonansi di antara orang-orang yang mengingat sejarah ini. Memang, etos Wahhabisme abad ke-18 tidak hanya layu di Najd, tapi meraung kembali ke kehidupan ketika Kekaisaran Ottoman runtuh di antara kekacauan Perang Dunia I.

Al Saud – dalam kebangkitan abad ke-20 ini – dipimpin singkat oleh Raja Abd-al Aziz, dan politik licik yang, menyatukan suku-suku Badui yang gelisah, meluncurkan Saudi “Ikhwan” dalam semangat Abd-al Wahhab dan semangat pertempuran Ibn Saud sebelumnya.

Ikhwan adalah reinkarnasi dari gerakan sengit bersenjata pelopor semi-independen awal yang berkomitmen Wahhabi “moralis” yang hampir telah berhasil merebut Arabia di awal 1800-an. Dalam cara yang sama seperti sebelumnya, Ikhwan kembali berhasil menaklukan Mekkah, Madinah dan Jeddah antara 1914 dan 1926. Abd-al Aziz, bagaimanapun, mulai merasa kepentingannya yang lebih luas terancam oleh revolusioner “Jacobinisme” dipamerkan oleh Ikhwan. Ikhwan memberontak – mengarah ke perang saudara yang berlangsung sampai tahun 1930-an, ketika Raja telah menjatuhkan mereka: dia menembak mereka dengan senapan mesin.

Untuk raja ini, (Abd-al Aziz), verities sederhana dekade sebelumnya yang mengikis. Minyak yang ditemukan di semenanjung. Inggris dan Amerika mendekati Abd-al Aziz, tapi masih  cenderung mendukung Sharif Husain sebagai satu-satunya penguasa yang sah dari Saudi. Saudi diperlukan untuk mengembangkan sikap diplomatik yang lebih canggih.

Jadi Wahhabisme dipaksa berubah dari gerakan jihad revolusioner dan pemurnian teologis Takfiri, kepada gerakan dakwah sosial, politik, teologis, dan religius konservatif (seolah dakwah Islam) dan untuk membenarkan lembaga yang menjunjung tinggi kesetiaan kepada keluarga kerajaan Saudi dan kekuasaan mutlak Raja.

Kekayaan Minyak Menyebarkan Wahhabisme

Dengan munculnya bonanza minyak – sebagai sarjana Perancis, Giles Kepel menulis, tujuan Saudi adalah untuk “menjangkau dan menyebarkan Wahhabisme di seluruh dunia Muslim . Untuk “mewahhabikan ” Islam, sehingga mengurangi” banyak suara pendapat dalam agama “ke dalam” kredo tunggal “. Gerakan yang akan melampaui pembagian kebangsaan. Miliaran dolar terus menerus diinvestasikan dalam manifestasi dari soft power ini.

Campuran memabukkan miliaran dolar dan proyeksi soft power – dan ambisi Saudi untuk mengelola kelompok Sunni Islam dengan maksud untuk memajukan kepentingan Amerika. Karena bersamaan tertanamnya Wahhabisme bidang pendidikan, sosial dan budaya di seluruh negeri Islam – maka dapat dibawa menjadi ketergantungan kebijakan Arab Saudi kepada Barat,  ketergantungan yang telah bertahan sejak pertemuan Abd-al Aziz dengan Roosevelt di atas kapal perang AS (saat presiden AS dkembali ari Konferensi Yalta) hingga saat ini.

Barat memandang Kerajaan dan pandangan mereka  dengan mengambil kekayaan; dengan modernisasi yang jelas; dengan pengakuan sebagai pemimpin dari dunia Islam. Mereka memilih untuk menganggap bahwa Kerajaan tunduk kepada perintah kehidupan modern – dan bahwa pengelolaan Sunni Islam juga Kerajaan, akan mengikatnya untuk kehidupan modern.

“Di satu sisi, ISIS adalah sangat Wahhabi. Di sisi lain, ISIS sangat ultra radikal dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada dasarnya sebagai gerakan korektif untuk Wahhabisme kontemporer.”

Namun pendekatan Saudi Ikhwan ke Islam tidak mati di tahun 1930-an. Ini mundur, tetapi tetap mempertahankan kekuasaannya atas bagian dari sistem – maka dualitas yang kita amati saat ini dalam sikap Saudi terhadap ISIS. Di satu sisi, ISIS adalah sangat Wahhabi. Di sisi lain, ultra radikal dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada dasarnya sebagai gerakan korektif untuk Wahhabisme kontemporer.

ISIS adalah Gerakan “pasca-Madinah”: terlihat pada tindakan pertama dua khalifah, bukan kepada contoh Nabi Muhammad sendiri, sebagai sumber emulasi, dan tegas menyangkal klaim kewenangan Saudi  untuk memerintah.

Sebagai monarki Saudi berkembang di era minyak menjadi lembaga yang lebih meningkat, daya tarik pesan Ikhwan mendapatkan pembumian (meskipun ada kampanye modernisasi Raja Faisal). “Pendekatan Ikhwan” menikmati – dan masih menikmati – dukungan dari banyak orang terkemuka dan para wanita dan syekh. Dalam arti, Osama bin Laden justru merupakan wakil yang berkembenag di akhir dari pendekatan Ikhwani ini.

Hari ini, ISIS yang melemahkan legitimasi  Raja Saudi Arabia tidak dilihat menjadi bermasalah, melainkan kembali ke asal-usul sebenarnya dari proyek Saudi-Wahhab.

Dalam manajemen kolaboratif wilayah oleh Saudi dan Barat dalam mengejar banyak proyek Barat (melawan sosialisme, Ba’athisme, Nasserisme, Soviet dan pengaruh Iran), para politisi Barat telah menyoroti pilihannya membaca Arab Saudi (kekayaan, modernisasi dan pengaruh), tetapi mereka memilih untuk mengabaikan dorongan Wahhabi.

Akhir kata, gerakan Islam yang lebih radikal yang dirasakan oleh badan intelijen Barat sebagai lebih efektif dalam menjatuhkan Uni Soviet di Afghanistan – dan dalam memerangi pemimpin dan negara-negara Timur Tengah yang tak disukasi intelejen Barat.

Mengapa kita perlu kemudian heran adalah bahwa Pangeran Bandar Saudi  menjalankan mandat Barat untuk mengelola pemberontakan di Suriah terhadap Presiden Assad harus memunculkan  kekerasan jenis neo-Ikhwan,  gerakan pelopor penyebaran ketakutan: ISIS? Dan mengapa kita harus terkejut – mengetahui sedikit tentang Wahhabisme – yang “memoderasi” pemberontakan di Suriah akan menjadi aneh daripada mitos unicorn? Mengapa kita harus membayangkan bahwa Wahhabisme radikal akan membuat moderat? Atau mengapa kita bisa membayangkan bahwa doktrin “Satu pemimpin, Satu otoritas, Satu masjid: tunduk, atau dibunuh” akhirnya pernah bisa menyebabkan moderasi atau toleransi?

Atau, mungkin, kita tidak pernah membayangkan.

 

ISIS memang merupakan bom waktu yang dimasukkan ke dalam jantung Timur Tengah. Tapi kekuatan destruktif nya yang tidak seperti yang umum pahami. Hal ini bukan  dengan ” Beheaders bulan Maret “; tidak dengan pembunuhan; penyitaan kota dan desa; kekasarannya dari “keadilan” – meskipun mereka mengerikan – yaitu kebohongan yang benar-benar berdaya ledak. Namun Hal ini lebih kuat daripada tarik eksponensial pada pemuda Muslim, gudang yang besar senjata dan ratusan juta dolar

“Kita harus memahami bahwa Barat kini tidak bisa berbuat apa-apa kecuali duduk dan menonton.”

Potensi yang sebenarnya untuk kehancuran terletak di tempat lain – di dalam ledakan Arab Saudi sebagai peletak dasar Timur Tengah modern. Kita harus memahami bahwa Barat kini benar-benar hampir tidak bisa berbuat apa-apa kecuali duduk dan menonton.

Petunjuk yang benar-benar potensi meledak, seperti sarjana Saudi Fouad Ibrahim telah tunjukkan (tapi yang telah berlalu, hampir seluruhnya diabaikan, atau maknanya sudah diketahui), adalah disengaja dan diniatan ISIS digunakan dalam doktrinnya – dari bahasa Abd-al Wahhab, pendiri Wahhabisme abad ke-18, bersama-sama dengan Ibn Saud, dan proyek Saudi:

Abu Omar al-Baghdadi, “pangeran terpercaya” yang pertama di Negara Islam Irak (ISIS), yang pada tahun 2006 telah merumuskan, misalnya, prinsip-prinsip negara calon nya … Di antara tujuannya adalah menyebarkan monoteisme (tauhid) “yang merupakan tujuan [yang untuknya manusia diciptakan] dan [yang tujuan mereka harus dipanggil kepada] Islam …” Bahasa ini ulangan tepat formulasi Abd-al Wahhab. Dan, tidak mengherankan, tulisan-tulisan yang terakhir dan Wahhabi komentar tentang karya-karyanya tersebar luas di daerah-daerah di bawah kendali ISIS ‘dan dibuat menjadi subjek sesi belajar. Al-Baghdadi selanjutnya adalah tercatat menyetujuinya, “generasi muda [telah] dilatih berdasarkan doktrin yang terlupakan dari kesetiaan dan pengingkaran.”

Dan apa tradisi “dilupakan” ini “kesetiaan/lyalitas/dan pengingkaran (al-Wala wa al-Bara) ?” Ini adalah doktrin Abd al-Wahhab bahwa kepercayaan satu-satunya (baginya sebuah tuhan Allah antropomorfik) – yang sendirian layak disembah – dalam dirinya sendiri tidak cukup untuk membuat pria atau wanita Muslim?

Sesorang bisa menjadi tidak benar benar beriman, kecuali menambahkan, ia harus aktif menolak (dan menghancurkan) subjek ibadah lainnya. Daftar mata pelajaran potensial ini seperti subjek pemujaan idola, yang dikutuk al-Wahhab sebagai penyembahan berhala, begitu luas bahwa hampir semua umat Islam berisiko jatuh di bawah definisi tentang “orang-orang kafir.” Oleh karena itu mereka menghadapi pilihan: Entah mereka mengkonversi visinya kepada ajaran Islam al-Wahhab – atau dibunuh, dan istri-istri mereka, anak-anak mereka dan harta fisik diambil sebagai rampasan jihad. Bahkan mereka yang mengekspresikan keraguan tentang doktrin ini, al-Wahhab mengatakan, seharusnya dieksekusi.

“Melalui penerapan disengajanya bahasa Wahhabi ini, ISIS sengaja menyalakan sekering untuk meledakan daerah yang lebih besar – salah satu yang memiliki kemungkinan yang sangat nyata yang dinyalakan, dan jika harus berhasil, akan mengubah Timur Tengah secara tegas.”

 

Intinya,  saya percaya Fuad Ibrahim membuat, tidak hanya untuk menekankan kembali reduksionisme ekstrim visi al-Wahhab, namun mengisyaratkan sesuatu yang sama sekali berbeda: Itu melalui adopsi disengaja atas bahasa Wahhabi ini, ISIS sengaja menyalakan sekering untuk meledakan daerah yang lebih besar – salah satu yang memiliki kemungkinan yang sangat nyata yang dinyalakan, dan jika harus berhasil, akan mengubah Timur Tengah tegas.

Karena ini  justru adalah formulasi dakwah  idealis, puritan, oleh al-Wahhab yang merupakan “bapak” bagi seluruh “proyek” Saudi (satu yang ditekan keras oleh Kekhalifahan Ottoman pada tahun 1818, tapi secara spektakuler dibangkitkan pada tahun 1920, menjadi kerajaan Saudi yang kita kenal sekarang). Tapi karena kebangkitan di tahun 1920, proyek Saudi selalu dilakukan di dalamnya, “gen” penghancuran diri sendiri.
Ekor Saudi Telah Mengibaskan Inggris Dan As Di Timur Tengah

Paradoksnya,  adalah pejabat Inggris maverick, yang membantu menanamkan gen itu ke dalam negara baru. Pejabat Inggris yang merapat ke Aziz, salah satunya adalah Harry St. John Philby (ayah dari petugas M-I6 yang memata-matai untuk agen KGB Soviet, Kim Philby). Ia menjadi penasihat dekat Raja Abd al-Aziz, setelah mengundurkan diri sebagai pejabat Inggris, dan sampai kematiannya, menjadi anggota kunci dari pengadilan Penguasa. Dia, seperti Lawrence of Arabia, adalah Arabist. Dia juga seorang mualaf untuk Wahhabi Islam dan dikenal sebagai Sheikh Abdullah.

St John Philby adalah seorang King Maker: ia bertekad untuk membuat temannya, Abd al-Aziz, menjadi penguasa Saudi. Walau memang, jelas bahwa dalam memajukan ambisi ini ia tidak bertindak atas instruksi resmi. Ketika, misalnya, ia mendorong Raja Aziz untuk memperluas di Najd utara, ia diperintahkan untuk berhenti. Tapi (sebagai penulis Amerika, Stephen Schwartz mencatat), Aziz sangat menyadari bahwa Inggris telah berjanji berulang kali bahwa kekalahan Ottoman akan menghasilkan negara Arab, dan ini tidak diragukan lagi, mendorong Philby dan Aziz untuk bercita-cita untuk menjadi penguasa baru yang kemudian.

Tidak jelas apa yang terjadi antara Philby dan Penguasa (tampaknya, rinciannya, entah bagaimana telah dirahasiakan), tapi  akan muncul bahwa visi Philby itu tidak terbatas pada pembangunan negara dengan cara konvensional, melainkan adalah salah satu transformasi yang lebih luas terhadap umat Islam (atau komunitas kaum mukminin/orang beriman) dengan instrumen Wahhabisme yang akan menjadikan al-Saud sebagai pemimpin bangsa Arab. Dan agar hal ini terjadi, Aziz dibutuhkan untuk memenangkan persetujuan Inggris (dan kemudian banyak dukungan Amerika). “Ini adalah langkah pertama yang Abd al-Aziz dibuat sendiri, dengan saran dari Philby,” catat Schwartz.

British Godfather Of Saudi Arabia

Dalam artian, Philby dapat dikatakan menjadi “godfather” untuk pakta penting ini, di mana kepemimpinan Saudi akan menggunakan kekuatan untuk “mengelola” umat Islam Sunni atas nama kepentingan dan tujuan Barat (berkenaan dengan sosialisme, Ba’athisme, Nasserisme, pengaruh Soviet, Iran, dll) – dan sebagai imbalannya, Barat akan menyetujui Arab Saudi diberikan soft-power untuk mewahabikan umat Islam (dengan kehancuran tradisi intelektual Islam yang bersamaan dan rusakanya keragaman dan menabur atas perpecahan dalam dunia Islam).

“Dalam hal politik dan keuangan, strategi Saud-Philby telah sukses secara mengejutkan. Tapi itu selalu berakar pada kebodohan intelektual Inggris dan Amerika. Penolakan untuk melihat ‘gen’ berbahaya dalam proyek Wahhabi, potensi terpendam untuk bermutasi setiap saat, kembali ke aslinya menjadi berdarah, ketegangan puritan yang gagaimanapun, ini baru saja telah terjadi: ISIS itu “.

 

Akibatnya – sejak saat itu sampai sekarang – kebijakan Inggris dan Amerika telah terikat dengan tujuan Saudi (seketat kepada orang-orang mereka sendiri), dan telah sangat bergantung pada Arab Saudi untuk arah dalam mengejar wacananya di Timur Tengah.

Untuk memenangkan dukungan Barat (dan melanjutkan terus dukungan Barat), bagaimanapun juga, diperlukan perubahan modus: “proyek” harus berubah dari gerakan Islam bersenjata, da’wah gerakan garda depan Islam menjadi sesuatu yang menyerupai tatanan negara. Hal ini tidak pernah akan mudah karena kontradiksi yang melekat terlibat (moralitas puritan terhadap politik riil dan uang) – dan karena waktu telah berkembang, masalah mengakomodasi “modernitas” yang dibutuhkan kenegaraan, telah menyebabkan “gen” menjadi lebih aktif, bukannya menjadi lebih lembam.

Bahkan Abd al-Aziz sendiri menghadapi reaksi alergi: dalam bentuk pemberontakan serius dari milisi Wahhabi sendiri, Saudi Ikhwan. Ketika perluasan kontrol oleh Ikhwan mencapai perbatasan wilayah yang dikuasai oleh Inggris, Abd al-Aziz berusaha menahan milisinya (Philby yang mendesak dia untuk mencari perlindungan Inggris), tetapi Ikwhan, sudah kritis, mereka menggunakan teknologi modern (telepon, telegraf dan senapan mesin), “yang marah dengan meninggalkan jihad karena alasan politik real duniawi… mereka menolak untuk meletakkan senjata mereka, dan malah memberontak terhadap raja mereka … Setelah serangkaian bentrokan berdarah, mereka hancur pada tahun 1929. Anggota Ikhwan yang tetap setia, kemudian diserap ke dalam Garda Nasional Saudi. ”

Anak Raja Aziz dan ahli warisnya, al-Saud, menghadapi berbagai bentuk reaksi (kurang berdarah, tetapi lebih efektif). Anak Aziz digulingkan dari tahta oleh lembaga agama – yang mendukung saudaranya Faisal – karena perilaku mewah dan boros nya. kemewahannya, gayanya yang sombong, telah menyinggung kemapanan agama yang diharapkan menjadi “Imam Muslim,” untuk mengejar kesalehan, gaya hidup dakwah.

Raja Faisal, pengganti Saud, pada gilirannya, ditembak oleh keponakannya pada tahun 1975, yang telah muncul di pengadilan untuk pura-pura membuat sumpah kesetiaan, tetapi sebaliknya, ia malah mengeluarkan pistol dan menembak raja di kepalanya. Keponakan telah terganggu oleh perambahan keyakinan Barat dan inovasi (bid’ah) ke dalam masyarakat Wahhabi, sehingga merugikan cita-cita asli dari proyek Wahhabi.

Perebutan Mesjid al Haram pada 1979

 

Jauh lebih serius, bagaimanapun, adalah menghidupkan kembali Ikhwan dari Juhaiman al-Otaybi, yang memuncak dalam perebutan Masjidil Haram oleh sekitar 400-500 orang bersenjata pada tahun 1979. Juhaiman berasal dari suku Otaybi berpengaruh dari Najd, yang memiliki memimpin dan menjadi elemen utama dalam Ikhwan asli tahun 1920-an.

Juhaiman dan pengikutnya, banyak dari mereka berasal dari pesantren di Madinah, mendapat dukungan diam-diam, di antaranya dari  para ulama lainnya, Sheikh Abdel-Aziz Bin Baz, mantan Mufti Arab Saudi. Juhaiman menyatakan bahwa Syekh Bin Baz tidak pernah keberatan terhadap pengajaran Ikhwannya (yang juga kritis terhadap kelemahan ulama terhadap “orang tak beriman”), tapi bin Baz telah menyalahkan dia untuk sebagian besar penekanan pada dinasti al-Saud yang berkuasa saat itu, yang telah kehilangan legitimasinya karena korup, hidup mewah dan telah menghancurkan budaya Saudi dengan kebijakan westernisasi agresif. ”

Secara signifikan, pengikut Juhaiman memberitakan pesan Ikhwani mereka di sejumlah masjid di Arab Saudi yang  awalnya tanpa ditangkap, tetapi ketika Juhaiman dan sejumlah Ikhwan akhirnya ditahan untuk diinterogasi pada tahun 1978. Anggota  dewan ulema (termasuk bin Baz) memeriksanya secara lintas untuk bid’ah, tapi kemudian memerintahkan pembebasan mereka karena mereka melihat mereka sebagai tidak lebih dari tradisionalis yang menekankan kembali kepada  gerakan Ikhwan– seperti kakek Juhaiman – dan karenanya itu bukan ancaman.

Bahkan ketika perebutan masjid dikalahkan dan diatasi, tingkat tertentu kesabaran para ulama untuk pemberontak tetap ada. Ketika pemerintah meminta fatwa yang memungkinkan angkatan bersenjata untuk digunakan dalam masjid, bahasa bin Baz dan ulama senior lainnya yang ingin tahu terkendali. Para ulama tidak menyatakan Juhaiman dan pengikutnya sebagai non-Muslim, meskipun pelanggaran mereka terhadap kesucian Masjid al Haram, tetapi mereka hanya disebut al-jamaah al-musallahah (kelompok bersenjata).

Kelompok yang dipimpin Juhaiman jauh dari terpinggirkan dari sumber penting kekuasaan dan kekayaan. Dalam arti, mereka itu berenang dalam keramahan, perairan menerima. Kakek Juhaiman telah menjadi salah satu pemimpin Ikhwan asli, dan setelah pemberontakan melawan Abdel Aziz, banyak kawan kakeknya di tentara diserap ke Garda Nasional – memang Juhaiman sendiri telah melayani dalam Pasukan keamanan – sehingga Juhaiman mampu untuk mendapatkan senjata dan keahlian militer dari simpatisannya  di Garda Nasional, dan senjata yang diperlukan dan makanan untuk mempertahankan pengepungan yang pra-posisi, dan tersembunyi, dalam Masjidil Haram. Juhaiman juga dapat memanggil orang-orang kaya untuk mendanai perusahaan.

ISIS vs Saudi yang kebarat-baratan

Titik berharga dalam sejarah ini adalah untuk menggarisbawahi betapa kepemimpinan Saudi yang tak mudah, harus berada dalam kemunculan ISIS di Irak dan Suriah. Manifestasi Ikhwani sebelumnya, ditekan – tetapi semua ini terjadi di dalam kerajaan.

ISIS bagaimanapun, adalah protes penolakan neo-Ikhwani yang terjadi di luar kerajaan – dan lebih dari itu, mengikuti ketidakpuasan Juhaiman dalam kritik tajam atas keluarga penguasa al-Saud.

Perpecahan yang mendalam ini adalah yang kita lihat sekarang di Arab Saudi, antara arus modernisasi yang Raja Abdullah merupakan bagiannya, dan orientasi “Juhaiman” yang mengikuti bin Laden, dan pendukung ISIS Saudi dan pembentukan agama Saudi yang merupakan bagiannya. Ini juga merupakan perpecahan yang ada dalam keluarga kerajaan Saudi sendiri.

Menurut koran milik Saudi Al-Hayat, di Juli 2014 “jajak pendapat Saudi yang dirilis pada situs jejaring sosial, mengklaim bahwa 92 persen dari kelompok sasaran percaya bahwa ‘ISIS sesuai dengan nilai-nilai Islam dan hukum Islam . ‘”komentator terkemuka Saudi, Jamal Khashoggi, baru-baru ini memperingatkan ‘ pendukung ISIS Saudi yang” menonton dari bayang-bayang. ”

Ada pemuda yang marah dengan mentalitas miring dan pemahaman hidup dan syariah, dan mereka membatalkan warisan dari abad-abad sebeleumnya dan keuntungan yang seharusnya dari modernisasi yang belum selesai. Mereka berubah menjadi pemberontak, amir dan khalifah menyerang daerah yang luas lahan kami. Mereka membajak pikiran anak-anak kita dan membatalkan perbatasan. Mereka menolak semua aturan dan peraturan perundang-undangan, melemparkan [a] cara … untuk visi mereka tentang politik, pemerintahan, kehidupan, masyarakat dan ekonomi. [Untuk] warga yang menyatakan diri “Amirul Mukminin,” atau khalifah, Anda tidak punya pilihan lain … Mereka tidak peduli jika Anda berdiri di antara orang-orang Anda dan jika Anda seorang yang terpelajar, atau dosen, atau pemimpin suku, atau pemimpin agama, atau politisi yang aktif atau bahkan hakim … Anda harus mematuhi Amirul Mukminin dan berjanji sumpah setia kepadanya. Ketika kebijakan mereka dipertanyakan, Abu Obedia al-Jazrawi berteriak dan berkata: “. Diam ! referensi kami adalah buku dan Sunnah dan hanya itu.”

“Apa yang salah kita lakukan?” Khashoggi bertanya. Dengan 3.000-4.000 pejuang Arab di Negara Islam saat ini, ia menyarankan kebutuhan untuk “melihat ke dalam untuk menjelaskan kebangkitan ISIS ‘”. Mungkin sudah waktunya, katanya, mengakui “kesalahan politik kita,” untuk “memperbaiki kesalahan para pendahulu kita.”

Modernisasi Raja Yang Paling Rentan

Raja Saudi saat ini, Abdullah, secara paradoks semua lebih rentan justru karena ia telah menjadi yang memodernisasi. Raja telah menahan pengaruh lembaga keagamaan dan polisi agama – dan secara penting telah mengizinkan empat sekolah yurisprudensi (fiqh)  Sunni yang akan digunakan, oleh orang-orang yang mengikuti mereka (al-Wahhab, sebaliknya, menolak semua sekolah yurisprudensi (fiqh) lain selain dirinya sendiri).

“Pertanyaan politik yang penting adalah apakah fakta sederhana keberhasilan ISIS, dan manifestasi penuh (yang berkembang) dari semua kesalehan asli dan kepemimpinan impuls pola dasar, akan merangsang dan mengaktifkan  ‘gen’  ingkar- di dalam kerajaan Saudi. Jika tidak, dan Arab Saudi ditelan oleh semangat ISIS, Teluk tidak akan pernah sama lagi. Arab Saudi akan dihancurkan  dan Timur Tengah akan tak dapat dikenali lagi”

Hal ini bahkan mungkin juga bagi warga Syiah di Arab Saudi timur untuk memohon Fiqh Ja’afri dan beralih ke ulama Syiah Ja’afari untuk menguasai. ( di dalam kontras yang jelas, al-Wahhab memiliki permusuhan tertentu terhadap Syiah dan menahan mereka untuk menjadi berontak, Seperti yang baru-baru terjadi pada 1990-an, ulama seperti bin Baz, Mantan Mufti – dan Abdullah Jibrin menegaskan pandangan adat Wahabi bahwa Syiah adalah kafir).

Beberapa ulama Saudi kontemporer akan menganggap reformasi seperti hampir merupakan provokasi terhadap doktrin Wahhabi, atau setidaknya, contoh lain dari westernisasi. ISIS, misalnya, menganggap setiap orang yang mencari yurisdiksi (fiqh) lain daripada yang ditawarkan oleh Negara Islam itu sendiri adalah bersalah tidak beriman- karena semua itu yurisdiksi (fiqh) “lain” itu mewujudkan inovasi (bid’ah) atau “pinjaman” dari budaya lain dalam pandangannya.

“Pertanyaan politik yang penting adalah apakah fakta sederhana keberhasilan ISIS, dan manifestasi penuh (yang berkembang) dari semua kesalehan asli dan kepemimpinan impuls pola dasar, akan merangsang dan mengaktifkan  ‘gen’  ingkar- di dalam kerajaan Saudi. Jika tidak, dan Arab Saudi ditelan oleh semangat ISIS, Teluk tidak akan pernah sama lagi. Arab Saudi akan dihancurkan  dan Timur Tengah akan tak dapat dikenali lagi”

“Mereka memegang cermin untuk masyarakat Saudi yang tampaknya mencerminkan kembali kepada mereka gambar ‘kemurnian’ yang hilang”

Singkatnya, ini adalah sifat dari bom waktu yang dilempar ke Timur Tengah. ISIS menyindir  Abd al-Wahhab dan Juhaiman (yang tulisan-tulisan pembangkangnya yang beredar dalam ISIS) menyajikan provokasi yang kuat: mereka memegang sebuah cermin untuk masyarakat Saudi yang tampaknya mencerminkan kembali kepada mereka gambar dari “kemurnian” yang hilang dan keyakinan awal dan kepastian yang berubah tempat dengan menunjukkan kekayaan dan kepuasan.

Ini adalah”bom”  ISIS dilemparkan ke dalam masyarakat Saudi. Raja Abdullah – dan reformasinya – yang populer, dan mungkin dia bisa mengandung wabah baru ketidakpuasan Ikwhani. Tapi akankah ada opsi yang tetap mungkin setelah kematiannya?

Dan di sini adalah kesulitan dengan berkembang kebijakan AS, yang tampaknya menjadi salah satu dari “yang terkemuka dari belakang” lagi – dan untuk mencari negara-negara dan masyarakat Sunni untuk bersatu dalam memerangi ISIS (seperti di Irak dengan Dewan Kebangkitan).

Ini adalah strategi yang tampaknya sangat tidak masuk akal. Siapa yang ingin memasukkan diri ke dalam keretakan internal-Arab yang  sensitif ini? Dan akankah serangan bersama Sunni pada ISIS akan membuat situasi Raja Abdullah lebih baik, atau mungkin itu merangsang kemarahan dan ketidakpuasan domestik Saudi lebih jauh? Jadi siapa tepatnya yang ISIS ancam? Ini tidak bisa lebih jelas. Tidak secara langsung mengancam Barat (meskipun Barat harus tetap waspada, dan tidak menginjak kalajengking tertentu).

[1] Fmr. MI-6 agent; Author, ‘Resistance: The Essence of Islamic Revolution’

http://www.huffingtonpost.com/alastair-crooke/isis-wahhabism-saudi-arabia_b_5717157.html


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live