Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Kita sudah terlambat buat selamatkan Makkah

$
0
0

WAWANCARA

Dr Irfan al-Alawi (1)

Kita sudah terlambat buat selamatkan Makkah

Makkah sudah seperti Manhattan atau Las Vegas. Sebanyak 98 persen situs Islam bersejarah sudah dihancurkan.

Faisal Assegaf | Wawancara via WhatsApp | 2 Januari 2015 | 15:58
Makkah, Arab Saudi. (cnn.com)
Tengoklah Makkah, terutama di sekitar Masjid Al-Haram, tempat kiblat orang Islam berada. Hotel, pusat belanja, dan apartemen-apartemen mewah mengelilingi areal itu.

Kalau malam Makkah bermandikan cahaya. Semua kini akibat dari proyek modernisasi di kota suci itu. Sampai-sampai banyak pihak menyamakan Makkah dengan Manhattan (jantung kota New York, Amerika Serikat) atau kota judi Las Vegas.  “Kita sudah kehilangan 98 persen tempat bersejarah di Makkah dan Madinah,” kata Direktur Eksekutif the Islamic Heritage Research Foundation, London, Inggris, Dr Irfan al-Alawi saat dihubungi melalui WhatsApp sehari menjelang pergantian tahun. “Tapi ini hanya sepuluh persen dari apa akan bakal terjadi nanti.”

Berikut penjelasan Dr Irfan kepada Faisal Assegaf dari Albalad.co.

Bisakah Anda jelaskan seberapa buruk akibat dari proyek perluasan Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi?

Ini adalah kehancuran Makkah dan namanya bukan lagi Makkah tapi Manhattan. Sebab hampir semua tempat bersejarah telah dihancurkan sekarang, termasuk tiang penanda lokasi rumah Ummu Hani di kawasan Masjid Al-Haram. Dia adalah bibi dari Nabi Muhammad. Dari rumah bibinya itulah Rasulullah melaksanakan isra dan mikraj.

Kediaman Hamzah, paman nabi, juga sudah lenyap, dan sumur Tuwa dalam ancaman digusur. (Di sumur Tuwa itulah Rasulullah menginap semalam sebelum paginya memasuki Kota Makkah. Tuwa adalah nama salah satu lembah di Makkah dan kini sudah dipenuhi banyak bangunan). Rumah kelahiran nabi sekarang sudah menjadi perpustakaan juga terancam dirobohkan.

Setelah proyek perluasan di Makkah selesai, Saudi bakal memulai perluasan serupa di Madinah. Sekarang saja hotel-hotel di sekitar Masjid Nabawi telah dihancurkan. Banyak masjid-masjid bersejarah di Madinah terancam dihilangkan.

Berapa banyak situs bersejarah di Makkah sudah dilenyapkan?

Kita sudah kehilangan 98 persen tempat bersejarah di Makkah dan Madinah, tapi ini hanya sepuluh persen dari apa akan bakal terjadi nanti.

Apa maksudnya?

Akan ada banyak hotel dan pusat belanja dibangun di sekitar dua masjid suci itu. Semua situs bernilai sejarah tidak akan tersisa. Seperti semua tiang bekas peninggalan zaman Abbasiyah di Masjid Al-Haram telah dihancurkan. Makkah nantinya bakal seperti Manhattan dipenuhi cahaya.

Pusat belanja di Menara Jam Makkah di hadapan Kabah sudah dilengkapi kereta gantung buat anak-anak berkeliling. Di sana juga terdapat sebuah aula di lantai paling atas bisa disewa buat menggelar pesta. Ironis memang. Ketika sebagian orang tengah beribadah di Masjid Al-Haram atau bertawaf mengelilingi Kabah, sebagian lagi sedang berpesta di Menara Jam Makkah.

Apa tempat bersejarah di Makkah telah dihancurkan dan mestinya amat disesali oleh kaum muslim seluruh dunia?

Tempat paling penting setelah Kabah adalah rumah Khadijah (istri pertama Nabi Muhammad) kini sudah digantikan oleh kamar-kamar kecil. Kemudian adalah rumah tempat nabi dilahirkan. Ketiga yakni Darul Arqam, rumah sahabat nabi dijadikan tempat rapat sekaligus sekolah. Di sana pula Umar bin Khattab bersyahadat. Tidak satu pun dari ketiga tempat bersejarah itu masih tersisa.

Orang-orang awam baru bisa mengetahui kalau mereka ditunjukkan oleh ahli sejarah. Hotel Hilton berdiri tegak sekarang dulunya rumah Abu Bakar.

Sejak kapan proyek perluasan itu menjadi ancaman serius bagi situs-situs bersejarah?

Proyek perluasan mulai mengancam warisan sejarah Islam semasa kepemimpinan Raja Fahad pada 1980-an.

Apakah ada perbedaan kebijakan dalam proyek perluasan antara Raja Fahad dan penggantinya?

Tidak banyak perbedaan. Hal ini diperburuk dengan penunjukan Imam Masjid Al-Haram Abdurrahman as-Sudais sebagai penasihat bagi proyek perluasan dua masjid suci itu. Sebab dia tidak cocok dengan posisi itu karena dia cuma seorang Wahabi, bukan arsitek atau ahli sejarah.

Raja Fahad masih sedikit hati-hati soal proyek perluasan ini, namun Raja Abdullah memimpin sekarang tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia baru diberitahu setelah bangunan bersejarah dirobohkan. Raja Abdullah juga tidak seintelek Fahad tapi bukan berarti dia tidak bagus sebagai raja. Dia raja baik namun para penasihatnya adalah orang-orang buruk lantaran mereka penganut paham wahabi garis keras.

Apakah Anda mengira Saudi bakal berani menghancurkan makam Nabi Muhammad?

Soal itu bukan sekadar selentingan. Ada banyak buku ditulis oleh cendekiawan wahabi di Saudi menyatakan mereka tengah menunggu saat tepat buat menggusur kubah kubur nabi dan memindahkan pusaranya dari dalam Masjid Nabawi karena itu bidah.

Maksud Anda mereka akan memindahkan kubur nabi ke Baqi atau menghancurkan sama sekali?

Rencana mereka adalah menggusur kubah makam dan kemudian memisahkan bilik tempat kubur nabi berada dari Masjid Nabawi. Saudi sudah memindahkan jasad ayahnya Rasulullah, Abdullah, pada awal 1970-an ke kompleks pekuburan Baqi. Pusara ayahnya itu tidak diberi nisan.

Begitu besarnya dampak negatif dari proyek perluasan itu, apakah kita bisa menyimpulkan sudah telat buat menyelamatkan Makkah tapi masih ada kesempatan melindungi Madinah?

Memang sudah terlambat buat menyelamatkan Makkah tapi kita masih ada peluang buat melindungi Madinah. Kita harus bertindak sekarang untuk menyelamatkan Madinah lantaran proyek perluasan di Madinah akan segera dimulai. Kita masih mampu menyelamatkan masjid-masjid bersejarah dan beberapa sumur pernah disinggahi nabi di sejumlah lokasi.

Namun Saudi selalu berkilah proyek itu buat memberikan kenyamanan bagi jamaah haji dan umrah?

Itu cuma alasan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi kekayaan sebab harga tanah dan properti di Makkah termasuk paling mahal di dunia. Saya sejatinya sudah menyarankan mereka memindahkan proyek modernisasi Makkah setidaknya 3,2 kilometer dari areal Masjid Al-Haram. Di sana terdapat gurun untuk dibangun. Mereka bisa membikin jaringan trem buat transportasi jamaah dari hotel ke Masjid Al-Haram. Mereka menolak gagasan saya itu.

Biodata

Nama:
Dr Irfan al-Alawi

Tempat dan Tanggal Lahir:
Ajayad, Makkah (Arab saudi), 1970

Pendidikan:
PhD bidang teologi Islam

Pekerjaan:
Direktur Eksekutif the Islamic Heritage Research Foundation
Pengajar bidang teologi Islam dan Tasawuf

Sumber:

http://albalad.co/wawancara/2015A232/kita-sudah-terlambat-buat-selamatkan-makkah/



Tanda kiamat telah muncul di Makkah

$
0
0

WAWANCARA

Dr Irfan al-Alawi (2)

Makkah sudah seperti Manhattan atau Las Vegas.

Faisal Assegaf | Wawancara via WhatsApp | 2 Januari 2015 | 16:22
Makkah, Arab Saudi. (www.skycrapercity.com)
Makkah, Arab Saudi. (www.skycrapercity.com)

Nabi Muhammad pernah bilang salah satu tanda kiamat sudah dekat adalah ketika orang berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit.

Bangunan tinggi meliputi apartemen, hotel, dan perkantoran sudah mengitari sekeliling Masjid Al-Haram dan Kabah. Direktur Eksekutif the Islamic Heritage Research Foundation, London, Inggris, Dr Irfan al-Alawi membenarkan salah satu tanda kiamat pernah dikatakan Rasulullah memang sudah ada di Makkah.

“Tanda kedua adalah Makkah akan menjadi hijau dan asri karena ditanami rerumputan dan pepohonan,” kata Dr Irfan saat dihubungi melalui WhatsApp sehari menjelang pergantian tahun. “Ketiga, bila Gunung Uhud sudah tidak kelihatan lagi saat rumah, gedung, dan toko-toko sudah berdiri mengelilingi Uhud.”

Berikut penuturan Dr Irfan kepada Faisal Assegaf dari Albalad.co.

Bagaimana Saudi hingga kini bisa menyembunyikan masalah hilangnya hampir semua situs bersejarah di Kota Makkah dari perhatian umat Islam seluruh dunia?

Saudi mempengaruhi kaum muslim dengan uang mereka. Saudi juga akan memeras mereka jika berani menentang proyek perluasan dua masjid suci itu. Apalagi para pemimpin Saudi beraliran Wahabi amat setia terhadap pentolan Zionis. Mereka bahkan memakai perusahaan keamanan swasta asal Israel buat melindungi Makkah. Saudi tidak loyal terhadap dunia muslim.

Banyak orang memandang Makkah sudah seperti Manhattan atau Las Vegas. Apakah Anda merasakan Makkah tidak sakral lagi?

Sebenarnya semua wilayah di Makkah adalah tanah haram dan sangat sakral. Tapi sekarang kita merasakan kesakralan itu hanya di dalam Masjid Al-Haram dan di dekat Kabah. Ketika kita keluar dari masjid, rasanya seperti kembali ke kehidupan dunia belaka layaknya Las Vegas.

Apakah memboikot haji dan umrah cara efektif buat menghentikan proyek penghancuran itu?

Itu memang salah satu cara efektif karena permintaan akan hotel-hotel mewah bakal terhenti. Juga lantaran harga minyak terus turun Saudi merasa rugi 50 persen sehingga mereka mesti terus mengumpulkan laba dari haji dan umrah.

Makkah sudah dipenuhi gedung pencakar langit. Apakah Anda setuju salah satu tanda kiamat sudah dekat telah muncul di Makkah?

Tentu saja ini merupakan salah satu tanda kiamat bakal segera terjadi. Tanda kedua adalah Makkah akan menjadi hijau dan asri karena ditanami rerumputan dan pepohonan. Ketiga, bila Gunung Uhud sudah tidak kelihatan lagi saat rumah, gedung, dan toko-toko sudah berdiri mengelilingi Uhud.

Apa tindakan Saudi terhadap Anda karena Anda dikenal sangat lantang menolak proyek perluasan dua masjid suci?

Saya tidak melihat ada tindakan langsung terhadap saya karena saya tidak benar-benar menentang pemerintah secara langsung. Tapi saya menolak ajaran Wahabi. Mereka membela proyek itu dengan alasan diperlukan. Para pemuka Wahabi itu bilang saya seorang sufi atau Zionis. Tapi banyak orang Saudi memuji tulisan-tulisan dan hasil investigasi saya.

Tulisan-tulisan itu membikin takut kaum Wahabi sehingga mereka sedikit berhati-hati. Namun setelah beberapa waktu proyek itu dimulai lagi. Saya berdoa insya Allah bisa menghentikan penghancuran lebih lanjut dan kehancuran di Madinah serta apa yang masih tersisa di Makkah.

Sumber:

http://albalad.co/wawancara/2015A237/tanda-kiamat-telah-muncul-di-makkah/


FALSAFAT ISLAM DI INDONESIA[1]

$
0
0

FALSAFAT ISLAM DI INDONESIA[1] 

Aan Rukmana  

 

Pendahuluan

            Menurut M. Amin Abdullah, ada trauma historis di kalangan umat Islam menyangkut kajian falsafat Islam sehingga bidang ini menjadi sulit untuk berkembang. Trauma historis ini terjadi dalam kontroversi pemikiran para failasuf Muslim antara Ibn Sīnā, al-Ghazālī dan Ibn Rusyd.[2] Dalam hal ini al-Ghazālī telah menjatuhkan vonis kafir atas pemikiran para failasuf (menyangkut tiga persoalan metafisika: tentang keabadian alam semesta, pengetahuan universal Tuhan dan masalah kebangkitan di akhirat) sehingga seolah menjadi sebuah preseden bahwa memelajari falsafat akan menggoyahkan aqidah dan membawa kepada kekufuran.[3] Meskipun al-Ghazālī tidak dapat dipersalahkan atas kondisi ini,[4] namun karena pemikiran al-Ghazālī lebih banyak berpengaruh di kalangan umat Islam daripada Ibn Sīnā dan Ibn Rusyd, maka sejak itu kecenderungan Ghazālian inilah—khususnya sikap anti falsafat—yang mewarnai perkembangan pemikiran Islam pada umumnya, termasuk di Indonesia.[5]

            Falsafat Islam di Indonesia baru dikenal dan dipelajari secara akademik sejak masa Harun Nasution memerkenalkan disiplin ilmu ini di lingkungan IAIN. Sebelumnya disiplin ilmu ini tidak mendapatkan perhatian dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Begitu juga halnya dengan lembaga pendidikan tertua di Indonesia seperti pesantren yang telah berkembang jauh sebelum berdirinya IAIN. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang secara resmi mengajarkan semua disiplin ilmu-ilmu keislaman seperti bahasa Arab, aqidah, tafsir, Hadīts, fiqh dan lainnya tidak memasukkan falsafat Islam ke dalam kurikulum pendidikan. Hal ini tentunya mudah dipahami karena kurikulum pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan perkembangan dari tradisi intelektual Islam di Nusantara selama berabad-abad, di mana kecenderungan utama dari ilmu-ilmu yang dipelajari tersebut berorientasi kepada kalām al-Asy‘arī, fiqh Syāfi‘ī dan tasauf al-Ghazālī. Sementara al-Ghazālī sendiri telah menempatkan falsafat Islam termasuk ke dalam disiplin ilmu yang membahayakan bagi keimanan seorang Muslim—meskipun al-Ghazālī tidak mengharamkan logika (manṭiq) sehingga ilmu ini tetap dipelajari dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Hanya saja setelah kritikan al-Ghazālī terhadap falsafat, disiplin ilmu ini menjadi tabu untuk dipelajari. Dalam hal ini menurut Amin Abdullah, ketabuan tersebut terbukti dengan langkanya literatur falsafat yang masuk dalam kurikulum pesantren maupun IAIN. Literatur falsafat Islam, jika diamati secara sungguh-sungguh kalaupun ada masih sangat terbatas.[6]

            Oleh karena itu kehadiran falsafat Islam di Indonesia, menjadi disiplin ilmu yang paling belakangan dikenal. Tafsir, Hadīts dan terutama fiqh telah lebih dahulu dikenal sejak masa pertumbuhan tradisi intelektual Islam di Indonesia melalui karya-karya yang ditulis oleh para ulama di Nusantara. Menurut Budhy Munawar-Rachman, di kalangan Muslim Indonesia falsafat baru mendapatkan apresiasi sekitar 20 tahun lalu. Sebelumnya falsafat Islam agak tabu dibicarakan, walaupun sudah ada beberapa orang yang menulis buku tentang falsafat Islam, seperti Zainal Abidin Ahmad dan Oemar Amir Hoesin. Keadaan itu mungkin karena judgment al-Ghazālī tentang falsafat yang begitu memengaruhi opini cendekiawan Muslim Indonesia.[7]

            Menurut Budhy, di antara tokoh yang harus disebut memberi kontribusi pada perkembangan falsafat Islam adalah Harun Nasution. Dialah yang memerjuangkan falsafat Islam menjadi bagian dari tradisi IAIN, dan memerkenalkan rasionalisme Mu‘tazilah. Tokoh lain yang bisa disebut ialah M. Rasjidi dan Mukti Ali. Belakangan, Nurcholish Madjid juga harus disebut sebagai cendekiawan yang berusaha mencari relevansi tradisi falsafat Islam klasik dalam mengembangkan pemikiran falsafat modern Islam.[8]

            Sebagai disiplin ilmu yang baru dipelajari secara resmi di perguruan tinggi agama Islam seperti IAIN falsafat Islam berjalan secara tertatih-tatih. Hal ini selain karena faktor kecurigaan umat Islam terhadap disiplin falsafat Islam juga karena kurangnya referensi yang diperlukan bagi kajian ilmu ini. Hampir selama beberapa tahun lamanya buku Falsafat dan Mistitisme dalam Islam yang ditulis oleh Harun Nasution[9] menjadi buku referensi utama di IAIN tanpa ada sumber-sumber lain sebagai pendukung. Akses kepada sumber-sumber langsung (sourcebook) karya para failasuf Muslim masih sulit dilakukan oleh para mahasiswa. Selain karena belum adanya pengetahuan-pengetahun dasar yang memadai mengenai falsafat Islam—karena belum pernah mereka pelajari sebelumnya di pesantren—juga karena sulitnya memelajari disiplin ilmu ini dengan sumber-sumber asli tersebut.

            Mulailah pada tahun 80an beberapa karya terjemahan dipublikasikan, baik yang menggunakan pendekatan sejarah seperti A History of Islamic Philosophy karya Madjid Fakhri (1986),[10] kumpulan karya tulis mengenai falsafat Islam seperti A History of Muslim Philosophy yang diedit oleh M.M. Sharif (1990)[11] atau dengan pendekatan tematik seperti karya Ahmad Fuad al-Ahwani (1985.)[12] Bersamaan dengan itu bermunculan pula karya-karya terjemahan mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam yang di dalamnya turut memerkenalkan sejumlah failasuf Muslim.

            Beberapa penulis di tanah air juga mulai bermunculan untuk mengisi kekosongan literatur falsafat Islam di Indonesia, di antaranya adalah buku yang ditulis oleh Oemar Amir Hoesin berjudul Filsafat Islam (1975),[13] A. Hanafi berjudul Pengantar Filsafat Islam(1982),[14] buku Ahmad Daudy berjudul Kuliah Filsafat Islam (1990), dan lainnya.[15]

            Nampaknya perkembangan falsafat Islam, setidaknya di masa awal pertumbuhan ilmu ini di Indonesia, justru banyak diuntungkan oleh gerakan pembaruan pemikiran Islam yang telah dimulai sejak tahun 70an, daripada akibat perkembangan internal di Jurusan Aqidah Falsafat di IAIN sendiri. Dapat dikatakan bahwa gerakan pembaruan telah menjadi stimulasi yang sangat kuat bagi perkembangan kajian falsafat Islam di mana melalui gerakan pembaruan tersebut falsafat Islam mulai diminati di kalangan umat Islam. Dari situlah kajian falsafat Islam berkembang dengan penuh semangat bersamaan dengan gerakan pembaruan Islam di Indonesia.

            Sebenarnya kebanyakan dari tokoh pembaru, kecuali Harun Nasution, tidak pernah secara khusus menyusun karya dan pemikiran mengenai falsafat Islam. Perhatian utama mereka, seperti Nurcholish Madjid misalnya, adalah kepedulian terhadap peran yang tepat bagi Islam dalam pembangunan nasional, dan dengan cara bagaimana agar nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan semangat nasionalisme model Barat. Gerakan yang dimotori Nurcholish ini, yang sering disebut gerakan Neomodernisme Indonesia, pada dasarnya merupakan gerakan keagamaan, dan motivasi utamanya ialah membangun kehidupan masyarakat Muslim yang progresif sesuai dengan konteks keindonesiaan. Mereka menegaskan bahwa fokus wacana teologi Islam harus dialihkan dari sekedar memerdebatkan persoalan-persoalan ritual—seperti gerakan pembaruan sebelum mereka yang dimotori oleh organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis dan lainnya—ke pencarian solusi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang tengah dihadapi umat Islam dewasa ini.[16]

            Namun para pemikir pembaruan ini telah berjasa memerkenalkan khazanah tradisi intelektual Islam klasik dan merangsang audiens mereka untuk memelajarinya. Harun Nasution dengan karyanya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974),[17] Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978),[18] Teologi Islam (1972),[19] Aliran Modern dalam Islam(1980),[20] telah menarik perhatian orang untuk memelajari khazanah intelektual Islam dengan perpektif yang luas. Dalam bukunya Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun telah menyajikan Islam dalam perspektif yang lebih luas, meliputi banyak aspek, sehingga Islam itu bukan hanya fiqh, tauhid, tafsir dan akhlak tetapi dapat dikaji dari banyak aspek seperti sejarah, budaya, falsafat, tasauf, teologi, hukum, institusi, dan politik. Dalam hal ini Harun Nasution telah memberikan sesuatu yang baru bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Dia tidak hanya melanjutkan apa yang telah berkembang di masanya, tetapi juga meratakan jalan bagi perkembangan pemikiran Islam selanjutnya, dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada berbagai kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di masa lalu. Oleh karena itu, perhatiannya banyak dicurahkan pada upaya mengembangkan wacana teologi, filsafat, tasauf dan perkembangan modern dalam Islam, dan untuk sebagian kecil, pada masalah fiqh.[21]

            Begitu pula dengan Nurcholish Madjid yang telah menyuarakan ide-ide pembaruan yang menimbulkan pengaruh besar di Indonesia. Gerakan intelektual yang digagasnya pada tahun 1970an dan dikenal dengan ‘Gerakan Pembaruan Pemikiran Keagamaan,’ telah berupaya untuk mereformulasikan postulat doktrin Islam yang paling pokok berkaitan dengan masalah ketuhanan, kemanusiaan, dan dunia, dan bentuk hubungan di antara semua aspek tersebut dalam kaitannya dengan realitas politik baru.[22]

            Nurcholish Madjid sendiri menaruh perhatian terhadap falsafat Islam. Ia telah menyusun sebuah antologi berjudul Khazanah Intelektual Islam (1994)[23] sebagai kumpulan risalah-risalah karya para teolog dan failasuf klasik seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Asy‘arī, Ibn Taymiyyah dan lainnya. Selain itu ia juga menulis beberapa artikel mengenai kalām dan falsafat Islam seperti yang terdapat dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban (1992.)[24] Meskipun Nurcholish tidak pernah menyusun sebuah buku khusus mengenai falsafat Islam namun kehadiran ide-idenya telah menarik minat kalangan terpelajar Islam untuk memelajari disiplin ilmu tersebut. Apalagi ia sendiri adalah pencetus kelahiran Jurusan Falsafah Agama di Paramadina.

            Para tokoh pembaruan lainnya seperti Jalaluddin Rakhmat juga turut memberikan perhatian terhadap falsafat Islam meskipun tidak secara langsung.[25] Pengaruh dari pemikiran-pemikiran para pembaru ini telah berhasil mengintegrasikan disiplin ilmu ini bersama dengan wacana pembaruan mereka. Bahkan minat sebagian mahasiswa untuk mengambil Jurusan Aqidah Falsafat tidak dapat dilepaskan dari kondisi ini.

            Selain itu publikasi karya-karya falsafat kontemporer, khususnya yang berhaluan Syī‘ah, juga bermunculan sebagai akibat dari pengaruh revolusi Islam di Iran pada tahun 1979. Karya-karya yang ditulis oleh Murtaḍā Muṭahharī,[26] ‘Alī Syarī‘atī,[27] Muḥammad Baqīr al-Ṣadr,[28] dan lainnya mulai membanjiri pembaca di tanah air. Ide-ide mereka, yang sebagian cukup kental dengan falsafat Islam, menjadi bahan diskusi di kalangan umat Islam, khususnya para mahasiswa Muslim. Karena itulah masa tahun 80an dapat dicatat sebagai masa meningkat gairah falsafat Islam bersama meningkat gairah kajian-kajian Islam pada umumnya.

            Kemudian seiring dengan semakin pesatnya perkembangan IAIN dan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia di mana sebagian telah menjadi UIN, jelas memainkan peran penting bagi pertumbuhan falsafat Islam di Indonesia. Hampir semua kampus UIN atau IAIN membuka Jurusan Aqidah Falsafat.[29] Meskipun jurusan ini tidak pernah menarik jumlah mahasiswa dalam jumlah sebesar jurusan-jurusan lainnya, namun Jurusan Aqidah Falsafat Islam telah turut mengukuhkan falsafat Islam di Indonesia yang tetap bertahan hingga sekarang. Begitu juga kampus-kampus lainnya seperti Paramadina, yang melalui ide Nurcholish Madjid, turut membuka jurusan bernama Falsafah Agama. Bahkan secara khusus berdiri pula lembaga seperti ICAS (Islamic College for Advance Study), yang kemudian menjadi IC (Islamic College), yang secara khusus mendedikasikan dirinya di bidang falsafat Islam dan mistisisme dengan membuka program studi bagi keduanya untuk tingkat magister.

            Sementara itu lembaga-lembaga kajian Islam, juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ini. Lembaga-lembaga kajian Islam tersebut seringkali mengadakan diskusi maupun seminar mengenai falsafat Islam. Dapat disebutkan lembaga seperti LSAF, LP3ES, bahkan termasuk JIL cukup sering mengadakan diskusi mengenai falsafat Islam khususnya kajian mengenai pemikiran para tokoh-tokoh klasik seperti Ibn Sīnā, al-Rāzī, Ibn Rusyd, Ibn Khaldūn dan lainnya, maupun para tokoh-tokoh modern seperti Muḥammad ‘Abduh, Muḥammad  Iqbal, Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid dan yang lainnya.

              

Sumber-sumber dan Dinamika Falsafat Islam di Indonesia

            Memasuki abad ke 20 tradisi falsafat dalam dunia Islam secara umum telah meredup.[30] Namun di beberapa wilayah yang menjadi pusat-pusat kebudayan dan falsafat seperti Mesir, Iran dan anak benua Indo-Pakistan, kajian falsafat Islam mulai hidup kembali dan menghasilkan para sarjana yang terdidik dengan metode falsafat Barat.

            Menurut Seyyed Hossein Nasr, pengaruh falsafat Barat terhadap setiap bagian dunia Islam dipengaruhi oleh bentuk kolonialisme. Lingkaran kaum modern di anak benua India, sebagai contoh, amat dipengaruhi oleh falsafat Inggris masa Victoria. Kelompok modern di Iran, di sisi lain, yang terpengaruh oleh bahasa dan kebudayaan Perancis dipengaruhi oleh Descartes dan falsafat Comtian. Kaum modern di Turki tertarik pada falsafat Jerman dan kelompok Westernis Mesir tertarik kepada falsafat Inggris dan Perancis bergantung kepada pengalaman individual mereka masing-masing.[31]

            Di wilayah jajahan Inggris dan Perancis seperti Mesir dan India, menunjukkan berbagai respon penting terhadap falsafat Barat yang kemudian menjadi bagian dari dinamika pemikiran falsafat Islam sampai sekarang. Para pemikir pembaruan Islam, baik generasi pertama maupun yang kemudian, menampakkan adanya pengaruh pemikiran falsafat Barat dan menjadi bagian dari metodologi mereka dalam menganalisis persoalan-persoalan umat Islam.

            Pengaruh ini terutama merembes melalui para juru bicara kaum modernis. Menurut Leaman, dalam falsafat kontemporer di dunia Arab, berbagai madzhab muncul. Disiplin falsafat tumbuh pesat melalui pengaruh pemikir seperti al-Afghānī (1838-1897) dan Muḥammad ‘Abduh (1894-1905) yang menjalankan agenda modernis mereka dengan menghubungkan Islam dengan bentuk kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern. Perdebatan antara Islam dan modernitas telah menjadi suatu topik yang berkelanjutan pada abad ini.[32]

            Mesir dan Syiria merupakan salah satu pusat aktifitas kebudayaan dan falsafat Islam di awal dekade abad ke-20 dan tetap memegang posisi ini setelah Perang Dunia Kedua. Di Mesir, lembaga penting bagi aktifitas falsafat di masa awal, seperti Universitas al-Azhar, Kairo, ‘Ayn al-Syams, dan Alexandria tetap berlangsung dominan. Lebih jauh, beberapa figur yang telah terkenal baik sebelum atau sesudah Perang Dunia Kedua, seperti Abdul Halim Mahmud (khususnya karya-karyanya yang awal), Uthman Amin, Ibrahim Madkour, A.A. Anawati, ‘Abd Rahman Badawi, Ahmad Fuad al-Ahwani, Sulayman Dunya, Muḥammad  Abu Rayyan, Abu al-A‘la al-Afifi, tetap menjadi tokoh yang berpengaruh sampai saat itu dan sekarang.[33]

            Di dunia Syī‘ah, falsafat Islam tetap bertahan melalui karya-karya Ṣadr al-Dīn al-Syīrāzī (w. 1641) yang secara umum dikenal dengan Mullāh Ṣadrā’. Dia telah melakukan sintesis yang membangun sistem bernama al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah yang mencakup elemen-elemen pemikiran Ibn Sīnā (w. 1240), Suhrawardī (w. 1191), Ibn ‘Arabī (w. 1240), dan beberapa teolog Syī‘ah ternama, seperti Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī (w. 1247) dan ‘Allāmah al-Hillī (w. 1325 M.)[34] Di antara tokoh-tokoh tradisional yang paling aktif dalam kebangkitan falsafat Islam di Iran adalah Sayyid Abū al-Ḥassan al-Qazwinī, Sayyid Muḥammad Kazīm, Ilāhī Qumsyā’ī, ‘Allāmah Sayyid Muḥammad Ḥussayn Ṭabāṭabā’ī, Murtaḍā Muṭahharī, Mahdi Ha’iri Yazdi, Sayyid Jalāl al-Dīn Asytiyānī, dan Jawād Musliḥ.[35]

            Di anak benua India, yang berada di bawah dominasi Inggris, berbagai aliran falsafat Anglo-Saxon menjadi pengaruh utama di universitas-universitas sampai sekarang. Para reformis awal seperti Seyyed Ahmad Khan dan ‘Allāmah Muhammad Iqbal adalah termasuk yang menaruh perhatian terhadap falsafat Barat. Lembaga falsafat, seperti All India Philosophical Congress telah aktif sampai masa kemerdekaan, maupun Indian and Pakistani Philosophical Congress, telah aktif sejak dekade terakhir masa kemerdekaan. Perhatian mereka terutama kepada falsafat Barat, khususnya Inggris dan Amerika. Dan kita dapat melihat tokoh yang paling menaruh perhatian dalam pemikiran Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh karya monumental yang ia edit A History of Muslim Philosophy, ialah M.M. Sharif, salah seorang tokoh intelektual Pakistan.[36]

            Di akhir abad ke-20 sejumlah sarjana Muslim falsafat Islam yang menulis dalam bahasa Eropa meningkat secara dramatis. Beberapa dari tokoh ini seperti Muhsin Mahdi, Fazlur Rahman, Jawad Falaturi, Ha’iri Yazdi, Nasr telah mengajar di universitas-universitas Barat dan melatih banyak murid, baik Muslim maupun non-Muslim. Sementara itu sejumlah pelajar Barat mendatangi dunia Islam untuk belajar falsafat dan subyek yang terkait, hingga beberapa di antaranya seperti Herman Landolt, James Morris, William Chittick, dan John Cooper dikenal baik memiliki otoritas mengenai pemikiran Islam secara umum dan falsafat Islam secara khusus. Sekarang banyak pelajar dari dunia Arab, Turki, Iran, Pakistan, Indonesia, Malaysia dan negeri Muslim lainnya datang ke Barat untuk belajar kepada para sarjana di atas, khususnya di McGill University dalam proses ini. Sebagai hasilnya, aktifitas falsafat Islam di Barat berhubungan erat dengan kehidupan falsafat Islam di dunia Islam.[37]

            Perkembangan umum kajian falsafat Islam ini telah memberikan pengaruh dan merupakan sumber utama bagi para tokoh Islam di tanah air. Sumber-sumber utama kajian falsafat Islam di Indonesia adalah pusat-pusat studi di Barat dan dunia Arab, sejak masa Harun Nasution hingga sekarang. Harun Nasution (McGill), Nurcholish Madjid, Syafii Maarif dan Mulyadhi Kartanegara (Chicago) banyak menyerap khazanah intelektual Islam melalui pusat-pusat studi di Barat.

            Di samping itu karya-karya falsafi yang penting pun mulai gencar diterjemahkan sejak keberhasilan revolusi Islam di Iran. Maka tidak mengherankan karya-karya falsafi dari kalangan failasuf Iran kontemporer diterjemahkan bersamaan dengan karya-karya failasuf Mesir dan India, seperti Muhammad Iqbal, Majid Fakhry, M.M. Sharif, Ahmad Fuad al-Ahwani, Abd al-Rahman Badawi, dan lain-lain. Inilah karya-karya terjemahan awal yang kemudian menjadi salah satu referensi penting bagi kajian falsafat Islam di Indonesia.

            Di sisi lain, tekanan politik terhadap sejumlah gerakan Islam turut berpengaruh bagi penguatan gerakan kebudayaan Islam. Menurut Ahmad Syafii Maarif kejatuhan Islam secara politik (dalam arti politik formal) di Indonesia ternyata tidak menyebabkan ia kehilangan élan vital dalam kerja intelektual sekalipun baru pada tahap ‘pemamah.’ Pukulan yang diterima pada sektor politik, telah mendorongnya untuk beranjak pada kegiatan yang lebih strategis dan berorientasi ke depan. Pengalaman politik yang penuh trauma sejak periode pasca Proklamasi kemerdekaan telah semakin menyadarkan kelompok cendekiawan Muslim yang baru muncul akan kenyataan bahwa energi yang terkuras untuk menangani politik praktis selama ini telah mengakibatkan terbengkalai kerja intelektual besar yang dulu telah dirintis oleh Haji Agus Salim dan angkatan Jong Islamieten Bond (JIB) sebelum Perang Dunia II.[38]

            Perkembangan yang signifikan bagi pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia terjadi sepanjang tahun 1970-80an. Syafii Maarif menilai bahwa generasi dan kalangan intelektual Muslim 1980an telah melakukan terobosan-terobosan pemikiran Islam yang boleh dibanggakan, sekalipun belum mampu sepenuhnya merumuskan jawaban Islam terhadap tuntutan-tuntutan perubahan zaman. Tetapi setidaknya mereka telah berupaya menyusun strategi tentang bagaimana ‘menggarami’ kehidupan budaya bangsa dengan nilai-nilai Islam yang dipahami secara benar dan komprehensif. Kemunculan lembaga-lembaga seperti Yayasan Paramadina dan Lembaga Studi Islam dan Falsafat (LSAF) adalah di antara bukti dari kiprah intelektual Muslim di bidang pemikiran Islam yang lebih mendalam dan menyeluruh.[39]

Di masa tahun 1970an, wacana pembaharuan pemikiran keislaman semakin marak. Generasi muda dari kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini sudah lebih menunjukkan kecenderungan pemikiran yang tidak lagi normatif memandang agama.  Mereka—tidak seperti pada masa Islam yang bercorak mistis dan sufistik—kemudian lebih tertarik pada pemahaman keislaman yang berdasarkan pendekatan-pendekatan empiris dan historis di dalam pembentukan visi keagamaannya. Hal itu, misalnya, dengan tepat digambarkan oleh Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja yang mengatakan bahwa, 

Indonesian Muslim intellectuals are increasingly concerned with the questions of the proper role of Islam in national development and how Islamic values can be reconciled with Western rationalism, rather than with the nature of an Islamic state…What distinguishes thinkers associated with this movement from earlier modernists is the combination of empirical and historical approaches they employ in formulating a vision of an Islamic society.[40]

(Para Intelektual Muslim Indonesia semakin peduli kepada pertanyaan-pertanyaan menyangkut peran Islam yang tepat dalam pembangunan nasional dan bagaimana nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan rasionalisme Barat daripada dengan sifat alami negara Islam…Apa yang membedakan para pemikir yang terlibat dengan gerakan tersebut daripada para pemikir modernis sebelumnya adalah kombinasi pendekatan empiris dan historis yang mereka gunakan dalam penyusunan visi mengenai masyarakat Islam)

Masa-masa tahun 70an dan 80an memang merupakan masa kelahiran pemikiran-pemikiran pembaruan Islam di Indonesia dengan tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Nurcholish Madjid, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, dan seterusnya yang telah meramaikan dinamikan pemikiran tanah air. Meskipun demikian ini laju lokomotif pembaruan ini tidak berjalan tanpa hambatan sebab telah bermunculan berbagai reaksi keras yang menentang ide-ide yang digulirkan oleh para tokoh tersebut. Hal ini telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan mewarnai alur pemikiran Islam di Indonesia sepanjang masa tersebut. Tahun 90an pemikiran Nurcholish Madjid mencapai puncak polemiknya melalui publikasi Media Dakwah menyangkut makalah Cak Nur yang berjudul “Penyegaran Paham Keagamaan di Kalangan generasi Muda Mendatang,” di Taman Ismail Marzuki 21 Desember 1992.[41]

            Sampai tahun 1980an, dimulailah suatu perkembangan penting bagi pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang sangat pesat generasi terpelajar Muslim. Begitu juga dengan penerbitan buku-buku Islam meningkat secara signifikan. Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi majalah Tempo bahkan menyimpulkan bahwa trend bacaan 1980an adalah cermin meningkatnya telaah keagamaan. Dari 7241 judul buku yang dihimpunnya sejak 1980, 1949 di antaranya adalah buku-buku bertemakan agama; dan dari jumlah terakhir itu, sebanyak 809 judul (70,5 %) adalah buku bertemakan Islam.[42]

            Buku-buku yang dikarang oleh para intelektual Muslim Indonesia sendiri juga mulai diterbitkan, meskipun buku-buku itu hanya berisi kumpulan karangan tercecer, makalah seminar, atau bahkan hasil wawancara yang disunting. Di sini, perkembangan penting yang harus dicatat adalah bahwa buku-buku itu bukan lagi semata-mata tentang ibadah formal yang sempit (misalnya, bagaimana sembahyang yang benar), melainkan tentang masalah-masalah dengan tingkat relevansi sosial yang tinggi (misalnya tentang Islam dan kemiskinan, zakat dan keadilan sosial, Islam dan keindonesiaan, dan lain-lain), juga tentang pemikiran Islam dalam lingkup yang luas (misalnya tentang falsafat Islam, mistisisme dalam Islam dan seterusnya.)[43]

            Ihsan Ali Fauzi menyebutkan beberapa percikan pemikiran 1980an antara lain:[44]Pertama, upaya rintisan untuk mengembangkan apa yang dikenal luas dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Sejak dekade 1970an, pemikir-pemikir Islam terkemuka di dunia, menurut aliran masing-masing, telah mulai mengembangkan rintisan ini, yang menjajar dari Islamisasi ilmu-ilmu sosial, Islamisasi ekonomi, dan Islamisasi sains dan teknologi. Rintisan dalam bidang pemikiran ini bermula dari keyakinan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai, dan karena itu suatu ilmu pengetahuan yang berisikan nilai Islam adalah sangat mungkin. Dekade 1980an ditandai dengan perbincangan luas mengenai soal ini.

            Kedua, semakin intensif dilaksanakannya diskusi, seminar dan publikasi di sekitar teologi Islam yang relevan dengan kenyataan keindonesiaan. Selain melalui pengaruh teolog katolik dengan gerakan pembebasan di Amerika Latin, dengan rumusan ‘Teologi Pembebasan,’ juga terdapat pengaruh pemikir Islam yang radikal dan revolusioner seperti ‘Alī Syarī‘atī dan Hassan Hanafi.

            Kelahiran ICMI pada akhir tahun 1990 juga turut mendukung perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Maarif kelahiran ICMI adalah klimaks dari sebuah proses sejarah umat Islam yang berliku dan panjang. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, berhimpun para cendekia dengan berbagai latar belakang kultural dan pengalaman keagamaan seperti yang terjadi di ICMI.

            Sampai terjadinya reformasi 1998 perkembangan pemikiran Islam semakin menunjukkan pertumbuhan siginifikan di mana ide-ide pembaruan yang telah dikaji sebelumnya semakin mendapat perhatian luas dengan tema-tema seperti demokrasi, kesetaraan, yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai kekuatan budaya semakin kuat—di mana sejak kegagalan Islam sebagai kekuatan politik, khususnya dengan pembubaran partai Masyumi tahun 1960, kekuatan Islam bergerak melalui jalur kultural.[45] Menurut Greg Barton Neomodernisme seperti yang diwakili Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid telah membantu menciptakan posisi intelektual/politik baru di dalam pemikiran Islam Indonesia, sebuah posisi yang menekankan nilai-nilai demokratik liberal dan pluralisme sosial.[46]

 


The megalithic site of Gunung Padang begins to reveal its secrets

$
0
0
Megalithic site of Gunung Padang

Gunung Padang is a remarkable archaeological region located 120 kilometres south of Jakarta in Indonesia, known for having the largest number of megaliths in the country. It has been the subject of much controversy in recent years as scientific research has suggested that one particular site, consisting of an ancient arrangement of megalithic stones, sits atop a hill that is actually a gigantic, pyramid-shaped tomb, dating back thousands of years. Such conclusions have, unsurprisingly, been met with fierce resistance from the academic and archaeological community. However, according to a report in Jakarta Post, excavation has now revealed an underground room built in prehistoric times, and the team have dated the youngest layer of the site to 5,200 BC.

According to several experts from the Gunung Padang independent and integrated research team (TTRM), the site could potentially be Indonesia’s oldest and most important prehistoric landmark and should be given priority in conservation efforts.

The ancient megalithic site if Gunung Padang

The ancient megalithic site if Gunung Padang, Indonesia. Credit: Alistair Coombs

Last year, Danny Hilman Natawidjaja, a senior geologist at Indonesia’s Centre for Geotechnical Research, conducted extensive surveys of the site, including geo-electric surveys, ground-penetrating radar, core samples, and analysis of stonework. Based on the results, he firmly believes that most of the 100-metre hill, upon which hundreds of megalithic stones are scattered, is actually man-made, built up on several stages over thousands of years by different cultures.

Despite initial opposition to claims that the entire hill was constructed by an ancient civilization, further research has come to confirm this finding and scientists have agreed to categorize the prismatic structure as a stepped pyramid that has an area of 3,094 square meters consisting of five levels. It stands more than 100 meters high and is believed to be the centre of a 25-hectare megalithic site. Dr Natawidjaja realises the challenge he has ahead of him: “It’s a strong case but not an easy case. We are up against the world’s belief.”

Gunung Padang

Gunung Padang has the highest concentration of megaliths in the country. Credit: Alistair Coombs.

Researcher Graham Hancock, who has suggested the site could potentially offer proof for a lost advanced civilization of prehistoric antiquity, states on his website that “the archaeological establishment is scrambling to find some reason to reject and pour scorn on the extraordinary consequences of the excavations now taking place at Gunung Padang”.

According to Hancock, archaeologists have been lobbying to get the work stopped and, at one point, succeeded in significantly slowing down the research efforts. However, in August of this year, Dr Natawidjaja and his team were given full permissions to continue with their work, including approval to excavate the concealed chambers, thanks to intervention from the President of Indonesia, who fully supports the investigation.

“Preliminary excavations have produced results that prove beyond doubt that Gunung Padang in indeed a man-made pyramid of great antiquity as Dr Natawidjaja had long ago proposed,” writes Graham Hancock. “It is now evident to all that the site is vastly older than the 2500 years that archaeologists had insisted upon for decades,” he adds.

10922420_321562201366289_4171680221430727428_n

 

 

Featured image: Gunung Padang. Credit: Alistair Coombs

By April Holloway

 

- See more at: http://www.ancient-origins.net/news-history-archaeology/megalithic-site-gunung-padang-begins-reveal-its-secrets-002167#sthash.7gIVJgWm.yjXnOyAD.dpuf

Source:

http://www.ancient-origins.net/news-history-archaeology/megalithic-site-gunung-padang-begins-reveal-its-secrets-002167


5 Sikap yang Seharusnya Kita Lakukan Ketika Nabi Kita Dihina

$
0
0

Co-founder PeaceGeneration, CEO Mizan Apps Publisher, Writer, Father. http://www.irfanamalee.com

  OPINI | 16 January 2015 | 10:39 Dibaca: 48   Komentar: 0  
 
 Jika kita berharap Nabi kita bebas dari dihujat dan dihina, pasti kita kecewa.

Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW kenyang dengan hujatan atau istihza’ (QS 36:30) dengan disebut sebagai orang gila atau majnun (QS 15:6) orang yang kena sihir (QS 17:47), mengada-ada (QS 16:101), dan kata-kata menyakitkan lainnya. Di abad pertengahan, dalam karya Divine Comedy, Dante menggambarkan nabi Muhammad masuk neraka dan gambaran yang menghina lainnya. Waktu saya kecil, heboh Salman Rushdy yang menerbitkan Ayat-ayat Setan. Di Indonesia, Arswendo pemred Tabloid Monitor dihujat habis-habisan dan masuk bui karena menyimpan Nabi Muhammad di urutan sekian pada daftar tokoh pilihan tablod tersebut. Di tahun 2000an muncul kartun-kartun sinis mulai dari media Denmark Jyllands-Posten, hingga kasus Charlie Hebdo akhir-akhir ini.

Jika kita berharap tidak akan ada lagi orang menghina nabi, pasti kita kecewa. Peristiwa ini pasti akan terus terjadi. Buktinya pasca penyerangan, Charlie Hebdo dengan jumawa terbit lagi dengan cover (yang diasumsikan sebagai) Nabi Muhammad dengan tulisan Je Suis Charlie (Saya Charlie) dengan tambahan kata-kata, semua dimaafkan. Tak tanggung-tanggung, edisi ini dicetak tiga juta exemplar dan terbit dalam berbagai bahasa. Dukungan moral dan finansial mengalir deras ke redaksi majalah yang tadinya hampir bangkrut itu.

Tapi kita juga jangan lupa, begitu banyak puja puji kekaguman terhadap sosok Muhammad SAW dari orang-orang non Muslim. Setelah menamatkan biografi Nabi Muhammad, Mahatma Gandhi menyampaikan kesannya, “Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh paling mempengaruhi manusia. Saya lebih yakin bahwa bukan pedanglah yagn memberikan kebesaran pada Islam. Tepi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad; serta pengabdian luar baisa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinan pada tuhan dan tugasnya”. Sejumlah biografi Muhammad ditulis dengan penuh respec oleh penulis nonmuslim seperti ternama seperti Annemarie Schimmel, Karen Armstrong, hingga Deepak Chopra. Serta yang paling fenomenal adalah Michael H. Hart yang menempatkan Muhammad pada urutan no. 1 manusia paling berpengaruh sepanjang sejarah.

Mari kita lihat, siapa yang menghina dan siapa yang memuji. Orang-orang yang menghina kebanyakan adalah orang orang yang tak mengenal sosok Muhamamd secara benar. Sementara orang-orang yang memuji adalah mereka yang membaca dengan hati terbuka. Charlie Hebdo, adalah media yang sepanjang karirnya spesialis menghina, bukan hanya Islam tapi agama-agama lain.

Pujian dan hinaan adalah bagian dari hidup setiap orang. Khusus bagi tokoh-tokoh besar dua hal itu memiliki intensitas yang lebih dahsyat. Semakin tinggi pohonnya, semakin besar anginnya. Ketika dipuji, mereka dipuja bahkan dikultuskan. Ketika dihina, dihina habis-habisan.

Bagaimana kita menyikapinya, tiru saja bagaimana Nabi kita menghadapinya.

1. Jangan hiraukan. Jangan share, jangan broadcast. Cuekkin aja. Para penghina itu akan semakin mendapat tempat ketika kita menanggapinya. “Allah telah menurunkan kepadamu, bahwa apabila kamu dengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok maka jangan kamu duduk beserta mereka, hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS 4:140)

2. Maafkan mereka. Saat futuh Makkah, Nabi datang dengan puluhan ribu pengikutnya. Bisa saja dia membantai orang Makkah yang dulu mengusir Nabi Muhamamd. Tetapi Nabi berseru, “…hari ini adalah hari permaafan, tak ada lagi perumpahan darah”. Agama ini bukanlah agama pendendam. “Upaya membalas kejahatan dengan kejahatan juga dapat menjadi sebuah kejahatan. Karena itu siapa yang memafkan musuhnya dan melakukan perdamaian balasannya ada di sisi Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai ornag yagn zhalim” (QS. Asy-Syura: 40)

3. Membalas dengan kebaikan. “Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, sehingga rasa permusuhan itu akan menjadi pertemanan” (QS. Fushilat [41]; 34). Nabi Muhammad membalas hinaan yang dilontarkan oleh pengemis Yahudi buta dengan memberinya makan setiap hari, hingga si pengemis tersebut luluh hatinya, saat dia menyadari kebaikan Nabi.

4. Mendoakannya: Setelah dilempari penduduk Thaif, dengan luka yang masih basah, Nabi Muhammad ditawari Malaikat untuk menimpakan gunung ke penduduk thaif. Tapi Nabi Muhammad menolak tawaran itu. Alih-alih Nabi Muhammad memaafkan dan mendokaan mereka. Di masa-masa berikutnya, thaif menjadi daerah penting dalam wilayah Islam. Mungkin kita ingat juga, salah satu pembuata film Fitna, akhirnya masuk Islam setelah menyaari kesalahannya. Mungkin itu karena doa kita, bukan sikap mengutuk dan balas dendam.

5. Jangan melakukan hal yang sama. Kadang tanpa sadar kita suka membuat lelucon tentang agama lain. Bersikaplah empatik. “ Janganlah menghina orang-orang yang menyembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas pengetahuan” (QS Al-An’am:108)

Hinaan tidak membuat yang dihina menjadi hina, tetapi hanya menunjukkan kehinaan pihak yang menghina. Kemuliaan Nabi kita tak seinci pun berkurang dengan hinaan. Kita tak usah panik dengan hinaan. Justru kita harus hati-hati dengan respons kita yang mungkin malah membuat Nabi Muhammad terhina oleh ulah umatnya. Suatu ketika, Nabi Muhamad pernah memalingkan muka dan mengadu pada Allah saat mengetahui salah seorang sahabatnya melakukan pelanggaran kemanusiaan dalam sebuah peperangan. Mungkin hal serupa akan ditunjukkan Nabi kita saat melihat sikap umat islam yang anarkis membela namanya. Jangan kecewakan Nabi kita, plis.

Khutbah CInta, edisi Jumat 16 Januari 2015

@irfanamalee @G_IslamCinta @PeaceGenID

http://edukasi.kompasiana.com/2015/01/16/5-sikap-yang-seharusnya-kita-lakukan-ketika-nabi-kita-dihina-696818.html

 


“Peradaban Sunda adalah Akar dari Seluruh Peradaban Dunia”

$
0
0

Sejarah Budaya Tertua

 Visi : Mulih ka jati Mulang ka Asal

10922420_321562201366289_4171680221430727428_nMisi :
Urang sunda apal kana jati sundana
– Urang sunda apal kana jati dirina
– Urang sunda apal yen asal muasal peradaban ti sunda, bakal balik deui ka sunda

Uraian/sub judul :
– Sejarah ilmu tertua
– Sejarah kenabian tertua
– Sejarah kerajaan tertua
– Sejarah agama tertua
– Sejarah tarekat tertua
– Sejarah kewalian tertua
– Sejarah leluhur tertua
– Sejarah kampung halaman tertua
– Sejarah budaya tertua

Metode :
Mun neang nu bener bakal neang oge nu salah, ahirna meunangna kabeneran jeung kasalahan, tungtungna lain mulang tapi malah pasea, tah kieu mun neang ka luar diri.
– Mun neang nu sabenerna moal aya nu sasalahna, ahirna meunang bebeneran moal meunang sasalahan, tungtungna mulang moal aya pasea, tah kieu mun neang ka jero diri.
– Matak mun neang ka jero diri mah moal kabobodo tenjo kasamaran tingali sabab meunang bukti nu nyari (eusi) bukti nu nyata (kulit).
– Sabab mun saukur nempo kulit teu nempo eusi mah tungtungna lain mulang tapi malah jadi agul ku payung butut.
– Da ari geus mulang mah tong boro bukti nu ka tukang, bukti nu ka hareup ge geus nyampak.
– Tapi nu agul ku payung butut mah tong boro bukti nu ka hareup, bukti nu ka tukang ge moal meunang.
– Sabab hirup mah ayeuna, lain kamari lain isuk.

Sejarah Ilmu Tertua

Ilmu Keabadian (Sundayana) adalah Ilmu Tertua

7e991-pktnkri_1500pxIlmu tertua (Sundayana) adalah ilmu keabadian yang diperlukan oleh Nabi Adam dan Siti Hawa agar bisa hidup abadi di surga.

Kenapa Adam dan Hawa belum hidup abadi? karena posisinya masih di surga taman (jannatullah/taman Allah), bukan di surga rumah (baitullah/rumah Allah).

Makanya kalau di jannatullah masih ada larangan yaitu mendekati pohon khuldi (pohon keabadian) apalagi memakan buahnya, sedangkan kalau di baitullah tidak ada larangan.

Pohon khuldi secara hakikat adalah ilmu keabadian agar bisa masuk baitullah.

Sedangkan buah khuldi secara hakikat adalah hasil keabadian yaitu bertemu dengan wujudullah (wujud Allah) atau pemilik baitullah.

Kenapa Adam dan Hawa Diturunkan ke Dunia?

99b8f-sundabaduyAdam dan Hawa diturunkan ke dunia karena telah mendekati pohon khuldi dan memakan buahnya tanpa memahami hakikatnya.

Tujuan diturunkan ke dunia agar belajar untuk memahami hakikat pohon khuldi (ilmu keabadian) dan buah khuldi (hasil keabadian).

Apa itu ilmu keabadian? Ilmu keabadian adalah ilmu “mulih ka jati, mulang ka asal” yaitu dengan kata lain “asal dari Allah kembali ke Allah”.

Istilah “mulih ka jati mulang ka asal” berasal dari tarekat tertua yaitu tarekat karahayuan pada jaman Nabi Nuh.

Tarekat adalah bagian dari agama karena agama itu meliputi syariat (amalan lahir) dan tarekat (amalan batin).

Kenapa ada 2 jenis amalan? Karena manusia terdiri dari 2 unsur yaitu jasmani (jasad) dan rohani (ruh). Makanya ada ilmu syariat (ilmu lahir/ilmu kulit) dan ilmu hakikat (ilmu batin/ilmu isi).

 Apa itu ilmu “mulih ka jati, mulang ka asal”?

Ilmu “mulih ka jati, mulang ka asal” adalah ilmu “pulang” yaitu pulang ke Allah.

Lengkapnya adalah “mulih ka jati, mulang ka asal, dipunut ku Gusti, dicandak ku nu rahayu”.

Pulangnya lewat mana? yaitu ke dalam diri, bukan ke luar diri. Jalurnya dari martabat alam terendah hingga martabat alam tertinggi.

Ada 5 martabat alam dari yang tertinggi hingga yang terendah :
1. Martabat alam zat
2. Martabat alam sifat
3. Martabat alam asma
4. Martabat alam ruh
5. Martabat alam jism (jasad)

Jadi “asal dari Allah, kembali ke Allah” adalah dari zat ke sifat ke asma ke ruh ke jism, kemudian kembali lagi dari jism ke ruh ke asma ke sifat ke zat.

Alam keabadian adanya di martabat alam zat. Jadi “asal dari zat, kembali ke zat” atau bisa disebut juga “asal dari alam keabadian, kembali ke alam keabadian”.

Jalur pulangnya adalah :
1. Mulih ka jati yaitu dari jism ke ruh
2. Mulang ka asal yaitu dari ruh ke asma
3. Dipunut ku Gusti yaitu dari asma ke sifat
4. Dicandak ku nu rahayu yaitu dari sifat ke zat

Ilmu “mulih ka jati, mulang ka asal, dipunut ku gusti, dicandak ku nu rahayu” disebut juga Sundayana (ajaran sunda). Jadi, ilmu keabadian adalah Sundayana.

Sedangkan buah keabadian adalah “mulih ka jati, mulang ka asal, congo nyurup dina puhu, dalitna kuring jeung kuring, sirnaning pati rawayan jati” disebut juga Rawayan Jati.

Sundayana adalah pohonnya (hakikat pohon khuldi), sedangkan Rawayan Jati adalah buahnya (hakikat buah khuldi).

Sundayana (pohon/ilmu) dan Rawayan Jati (buah/hasil/pancer) menjadi satu pondasi jalan hidup yang disebut ageman Sunda.

Sundayana membentuk Jatiwanda (kesempurnaan jiwa) sedangkan Rawayan Jati membentuk Jatiraga (kesempurnaan raga).

Jadi, ageman Sunda yang dibawa oleh Nabi Adam adalah ajaran intisari dari semua agama yang dibawa oleh para nabi karena hakikatnya semua agama samawi menyuruh umatnya untuk kembali atau pulang kepada Tuhannya hingga sempurna jiwa raganya.

Darimana asal muasal ilmu “mulih ka jati, mulang ka asal“?

Yaitu dari tarekat tertua yang bernama Karahayuan dengan wali mursyid (sunan) tertua yang bernama Syekh Sanusi.

Tarekat Karahayuan yang dibawa Syekh Sanusi ini mempunyai sanad (sandaran) atau mata rantai ijazah (ijin) ke Nabi Nuh, kemudian ke Nabi Idris hingga ke Nabi Adam.

Nama tarekat berkaitan dengan nama syariat. Sebelum jaman Nabi Nuh belum ada nama syariat atau nama agama karena pada waktu itu hanya ada satu agama yang dibawa oleh Nabi Adam.

Nama syariat dan tarekat baru muncul ketika jaman Nabi Nuh karena pada waktu itu umat Nabi Nuh mulai berbuat syirik dengan membuat ajaran agama sendiri tanpa sanad ke Nabi.

Jadi, pembawa asli pertama atau pelopor utama tarekat Karahayuan adalah Nabi Adam.

Pada jaman Nabi Adam belum ada nama syariat dan tarekat, hanya ada satu agama (satu ajaran inti/jalan hidup) yaitu ageman Sunda.

Sejarah Kenabian Tertua

 Nabi Adam Belajar Ilmu Keabadian

Tujuan diturunkannya Nabi Adam ke dunia adalah untuk belajar ilmu keabadian yaitu ilmu “mulih ka jati, mulang ka asal” dan buahnya (hasil dari ilmu keabadian).

Maka dimanakah letak ilmu “mulih ka jati, mulang ka asal” dan buahnya? apa simbol-simbolnya?

Simbol Sundayana (ilmu keabadan) dan letaknya adalah :
1. Simbol “mulih ka jati” adalah cai kahuripan yang terletak di Gua Pamijahan Tasik, Jawa Barat.
2. Simbol “mulang ka asal” adalah cai kadigjayaan yang terletak di Gua Pamijahan Tasik, Jawa Barat.
3. Simbol “dipunut ku Gusti” adalah tirta kamandanu yang terletak di Kediri, Jawa Timur.
4. Simbol “dicandak ku nu rahayu/congo nyurup dina puhu” adalah air abadi yang terletak di Gunung Bromo, Jawa Timur.

Berikutnya adalah simbol Rawayan Jati (buah keabadian yang terdiri dari buah batin/jiwa dan buah raga) dan letaknya :

5. Simbol “dalitna kuring jeung kuring” adalah air arsyil ‘azhim sumur bandung titik 0 yang terletak di jalan Cikapundung Bandung, Jawa Barat.
6. Simbol “sirnaning pati rawayan jati” adalah air kalimasada (air opat kalima pancer) Sumur Bandung titik 1 yang ada di belakang gedung Palaguna alun-alun Bandung, Jawa Barat.

Apa arti dari simbol-simbol tersebut?
1. Cai kahuripan adalah ilmu untuk memahami alam ruh yaitu dengan menghilangkan segala sesuatu selain Allah dalam diri.
2. Cai kadigjayaan adalah ilmu untuk memahami alam asma yaitu dengan meniadakan diri (pasrah) atau menghilangkan keakuan.
3. Tirta kamandanu adalah ilmu untuk memahami alam sifat yaitu hilangnya keakuan dan segala sesuatu selain Allah.
4. Air abadi adalah ilmu untuk memahami alam zat yaitu alam anti materi.
5. Air arsyil ‘azhim yaitu buah batin/jiwa dari ilmu keabadian (jatiwanda) yaitu bertemu dengan wujudullah (wujud Allah) secara batiniyah.
6. Air kalimasada yaitu buah lahir/raga dari ilmu keabadian (jatiraga) yaitu bertemu dengan wujudullah secara zahir.

Dimana Pintu Keluar dan Tempat Diturunkan Adam Hawa Ketika Keluar dari Jannatullah?

Pintu keluar jannatullah adalah di Laut Kidul Bungbulang Garut, Jawa Barat.

Adam dan Hawa ditempatkan terpisah, Adam di Gunung Halu Padalarang, Jawa Barat. Sedangkan Hawa di Laut Kidul Pelabuan Ratu Sukabumi, Jawa Barat.

Adam dan Hawa belajar ilmu mulih ka jati mulang ka asal makanya diturunkan di Tatar Sunda.

Setelah memahami ilmu mulih ka jati mulang ka asal, berikutnya adalah memahami buah (hasil) dari ilmu mulih ka jati mulang ka asal yang letaknya di Bandung karena Bandung adalah Baitullah hakikat (air ‘arsyil ‘azhim dan air kalimasada).

Adam dan Hawa belajar masing-masing di tatar Sunda hingga akhirnya bertemu di Padang Arafah, Arab Saudi.

Jadi, di Arab itu tempat bertemu dan sifatnya safar (bepergian), kalau kampung halaman Adam dan Hawa adalah di Bandung.

Bagaimana hubungannya dengan Ka’bah sebagai Baitullah yang terletak di Mekah? Ka’bah itu Baitullah syariat, kalau Bandung itu Baitullah hakikat.

Makanya kerajaan tertua adalah Kerajaan Parahyangan yang berpusat di Bandung dengan Nabi Adam sebagai Rajanya. Nabi Adam adalah Raja Parahyangan.

Asal muasal peradaban dari Bandung, dan akan muncul kembali dari Bandung.

Sejarah Kerajaan Tertua

Kerajaan Parahyangan adalah Kerajaan Tertua di Dunia

Kerajaan Parahyangan adalah kerajaan pertama bani Adam yang berpusat di Bandung dengan Nabi Adam sebagai rajanya.

Sejarah kerajaan tidak terlepas dari sejarah kenabian dan kewalian. Kalaupun yang menjadi raja bukan nabi, maka raja bertanggung jawab kepada nabi atau wali.

Kerajaan tertua kedua adalah Kerajaan Kahyangan Sunda yang berpusat di Kabuyutan Galunggung Tasik dengan Nabi Nuh sebagai rajanya.

Setelah peradaban pada jaman Nabi Nuh habis ditelan banjir besar maka berikutnya Nabi Nuh yang perahunya terdampar di gunung Galunggung Tasik membuat peradaban baru.

Berikutnya Kerajaan Kahyangan Sunda diteruskan oleh Kerajaan Sunda yang berpusat di Kabuyutan Ciburuy Garut dengan Nabi Ibrahim sebagai rajanya.

Jadi, Nabi Adam adalah Raja Parahyangan, kalau Nabi Nuh adalah Raja Kahyangan Sunda, sedangkan Nabi Ibrahim adalah Raja Sunda.

Penerus terakhir Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Bogor yang kemudian dihilangkan peradabannya (ngahiyang) untuk dimunculkan kembali di akhir jaman (sekarang).

Kemunculan kembali Kerajaan Pajajaran di akhir jaman akan berubah wujud menjadi kerajaan baru yang super modern dan berubah nama menjadi Kerajaan Atlantis yang berpusat di Bandung.

Kerajaan Kahyangan Sunda sebagai Pusat dari Seluruh Peradaban Dunia

Setelah terjadi banjir besar pada jaman Nabi Nuh, semua peradaban di bumi hancur, yang selamat hanya Nabi Nuh beserta sebagian keluarga dan para pengikutnya.

Perahu Nabi Nuh terdampar di gunung Galunggung Tasik atau sering disebut juga Kabuyutan Galunggung.

Sebagian penduduk Kabuyutan Galunggung pun ada yang selamat dari bencana banjir.

Kabuyutan Galunggung disebut juga Sundaland, atau lebih tepatnya Kabuyutan Galunggung adalah bagian dari wilayah Sundaland.

Nabi Nuh beserta pengikutnya dan orang-orang Kabuyutan Galunggung pun kemudian membangun kerajaan Kahyangan Sunda yang kemudian menjadi pusat peradaban dunia, yang dikenal sebagai Peradaban Atlantis.

Nabi Nuh sebenarnya bukan membangun dari nol tapi membangun kembali peradaban yang sudah ada sebelumnya yaitu peradaban atlantis yang telah dibangun oleh Kerajaan Parahyangan.

Jadi, meskipun Kahyangan Sunda menjadi pusat peradaban dunia tapi tetap akarnya adalah peradaban atlantis.

Sejarah Agama Tertua

 Agama Tertua adalah Jatisunda yang Dibawa oleh Nabi Nuh

Sejak Nabi Adam hingga Nabi Idris sampai Nabi Nuh belum ada nama syariat (agama) karena pada jaman itu hanya ada satu agama yang dibawa oleh Nabi Adam.

Ketika jaman Nabi Nuh, umatnya mulai melakukan penyimpangan syariat dengan membuat ajaran agama tanpa bersandar kepada Nabi.

Maka Nabi Nuh menamakan syariat (agama) yang dibawanya dengan nama Jatisunda untuk membedakan dari ajaran syariat lain yang menyimpang.

Bukan hanya penamaan syariat (amalan lahir) tapi juga Nabi Nuh menamakan tarekat (amalan batin) yang dibawanya dengan nama Karahayuan untuk membedakan dengan tarekat lain yang tidak bersandar kepada Nabi.

Suatu ajaran syariat atau tarekat itu dikatakan menyimpang patokannya adalah apakah ajarannya mempunyai sanad (sandaran) atau mata rantai ijazah (ijin) sampai ke Nabi atau tidak.

Sanad atau mata rantai ijazah diperlukan dalam menyebarkan ajaran syariat atau tarekat kepada umat untuk menjaga kemurnian ajaran sehingga tidak terjadi penyimpangan.

Sejarah Tarekat Tertua

Tarekat Tertua adalah Tarekat Karahayuan yang dibawa oleh Nabi Nuh

Tarekat Karahayuan yang dibawa oleh Nabi Nuh mempunyai sanad (sandaran) atau mata rantai ijazah (ijin) hingga ke Nabi Adam.

Tarekat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari agama yang dibawa oleh para nabi.

Agama yang dibawa oleh para nabi terdiri dari syariat (amalan lahir) dan tarekat (amalan batin).

Untuk kembali kepada Allah tidak cukup dengan syariat saja atau tarekat saja tapi harus mensucikan lahiriah dengan amalan lahir (syariat) dan mensucikan batin dengan amalan batin (tarekat).

Bedanya para nabi itu menyebarkan syariat secara umum dan terbuka sedangkan tarekat secara khusus dan tertutup.

Untuk syariat siapapun bisa melakukannya tapi untuk tarekat hanya orang-orang yang terpanggil dan sungguh-sungguh ingin pulang atau kembali kepada Allah yang bisa melakukannya.

Setelah melakukan syariat, berikutnya adalah melakukan tarekat karena tarekat adalah jalan untuk pulang kepada Allah dari jism ke ruh ke asma ke sifat dan berakhir di zat.

Tarekat Tertua Kedua adalah Sundaniyah dan Kejawen yang dibawa oleh Nabi Ibrahim

Ketika jaman Nabi Ibrahim, tarekat karahayuan bercabang menjadi dua yaitu tarekat sundaniyah dan tarekat kejawen.

Meskipun jadi bercabang dua tapi isinya sama hanya beda penamaan dan bahasa saja.

Tarekat Sundaniyah itu hanacaraka datasawala, kalau Tarekat Kejawen itu honocoroko dotosowolo.

Perubahan penamaan dan bahasa tarekat itu seiring dengan penyebaran umat yang semakin meluas serta perubahan bahasa dan budaya setempat.

Setelah mensucikan lahiriah dengan melakukan amalan syariat, untuk pulang menuju Allah, maka berikutnya adalah mensucikan batin dengan melakukan amalan tarekat.

Setelah melakukan syariat, maka tarekat adalah satu-satunya jalan pulang menuju Allah ke dalam diri melalui martabat alam ruh, asma, sifat dan zat.

Untuk pulang jalannya adalah ke dalam diri bukan ke luar diri. Tidak akan pernah bisa pulang kalau melalui jalan ke luar diri.

Meskipun sekarang banyak sekali jumlah atau cabang tarekat tapi semua tarekat menginduk ke tarekat karahayuan.

Sejarah Kewalian Tertua

Syekh Sanusi dari Tasik adalah Wali Mursyid (Sunan) Tertua Tarekat Karahayuan

Syekh Sanusi adalah wali mursyid pertama yang mempunyai ijazah (ijin) dari Nabi Nuh untuk menyebarkan tarekat karahayuan.

Pewaris atau penerus yang mempunyai sanad ke nabi ada dua jalur yaitu penerus penyebar syariat yang disebut faqih dan penerus penyebar tarekat yang disebut mursyid (wali mursyid/sunan).

Ada 5 tingkatan manusia yang melakukan perjalanan pulang menuju Allah :
1. Basyar adalah orang yang masih berada di martabat alam jism.
2. Annas adalah orang yang sudah masuk martabat alam ruh.
3. Insan adalah orang yang sudah masuk martabat alam asma.
4. Insan Kamil adalah orang yang sudah masuk martabat alam sifat.
5. Kamil adalah orang yang sudah masuk martabat alam zat.

Maka ada 5 tingkatan hati orang yang melakukan perjalanan pulang :
1. Basyar itu belum mempunyai hati karena belum masuk martabat alam ruh.
2. Shadr adalah hatinya annas.
3. Qalbu adalah hatinya insan.
4. Fuad adalah hatinya insan kamil.
5. Lub adalah hatinya kamil.

Sunan Rohmat dari Garut adalah Wali Mursyid (Sunan) Tertua Tarekat Sundaniyah

Sunan Rohmat adalah sunan pertama yang mempunyai ijazah (ijin) dari Nabi Ibrahim untuk menyebarkan Tarekat Sundaniyah.

Sunan adalah orang yang sudah pulang menuju Allah yang kemudian diberi ijazah (ijin) untuk mengantar orang lain pulang. Sunan disebut juga mursyid (pembimbing) atau wali mursyid.

Wali adalah orang yang sudah pulang batinnya. Sedangkan mursyid adalah wali yang diberi tugas untuk mengantar batin orang lain untuk pulang.

Tidak semua wali ditunjuk menjadi mursyid. Jumlah wali jauh lebih banyak daripada mursyid.

Jadi, mursyid itu pasti wali tapi wali belum tentu mursyid. Begitupun nabi pasti mursyid tapi mursyid belum tentu nabi. Jumlah mursyid itu jauh lebih banyak dari nabi.

Semua wali dan mursyid tarekat menginduk ke Sunan Rohmat dan mengakar ke Syekh Sanusi.

Maksudnya adalah Syekh Sanusi yang mengesahkan kewalian seseorang, sedangkan Sunan Rohmat yang mengesahkan ke-mursyid-an seorang wali.

Sejarah Leluhur Tertua

Penduduk Asli Kabuyutan Galunggung Tasik yang Selamat dari Banjir Nuh adalah Leluhur Tertua di Dunia

Beberapa penduduk asli kabuyutan galunggung yang selamat dari banjir Nuh menjadi leluhur tertua dunia karena mereka adalah orang asli Sundaland keturunan Nabi Adam dari Peradaban Atlantis yang berpusat di Bandung.

Sedangkan dari Nabi Nuh yang terdampar di kabuyutan galunggung menjadi leluhur tertua kedua yang kemudian menurunkan berbagai ras yang menyebar ke seluruh dunia.

Keturunan asli kabuyutan galunggung disebutnya Bani Sunda. Sedangkan keturunan dari Nabi Nuh disebutnya Bani Nuh.

Jadi, Bani Nuh adalah bani tertua di dunia tapi akarnya adalah dari Bani Sunda.

Sejarah Budaya Tertua

 Budaya Tertua di Dunia adalah Budaya Sunda

Budaya tertua adalah budaya sunda karena budaya sunda adalah budaya yang berasal dari peradaban tertua yaitu peradaban atlantis.

Budaya adalah hasil kegiatan lahiriyah atau hasil yang tampak (lahiriyah) sebagai perwujudan (manifestasi) dari batiniyah.

Bentuk hasilnya berupa nilai-nilai, norma, karakter, pola fikir, adat istiadat, bahasa, kesenian dan sopan santun.

Bentuk hasil yang lebih luas lagi adalah sistem pendidikan, ekonomi, politik, sosial, sains dan teknologi.

Bentuk hasil yang semakin kaya dan meluas yang dilakukan berabad-abad bisa membentuk sebuah peradaban.

Sejarah Kampung Halaman Tertua

Kampung Halaman Seluruh Manusia Sedunia adalah Bandung (Pusat Sundaland)

Kampung halaman seluruh manusia sedunia adalah Sundaland. Sedangkan wilayah utama Sundaland adalah Jawa Barat (Tatar Sunda).

Memang kalau kampung halaman Bani Sunda dan Bani Nuh adalah Kabuyutan Galunggung Tasik tapi akarnya adalah Bandung.

Maka sunda bukan hanya mengajarkan pulang secara batin dengan Sundayana (ilmu mulih ka jati mulang ka asal) tapi juga sunda (Sundaland) adalah tempat pulang (kampung halaman) secara lahir.

Budaya Tertua di Dunia adalah Budaya Sunda

Budaya tertua adalah budaya sunda karena budaya sunda adalah budaya yang berasal dari peradaban tertua yaitu peradaban atlantis.

Budaya adalah hasil kegiatan lahiriyah atau hasil yang tampak (lahiriyah) sebagai perwujudan (manifestasi) dari batiniyah.

Bentuk hasilnya berupa nilai-nilai, norma, karakter, pola fikir, adat istiadat, bahasa, kesenian dan sopan santun.

Bentuk hasil yang lebih luas lagi adalah sistem pendidikan, ekonomi, politik, sosial, sains dan teknologi.

Bentuk hasil yang semakin kaya dan meluas yang dilakukan berabad-abad bisa membentuk sebuah peradaban.

Peradaban Sunda Modern

 Peradaban Sunda Modern akan Dimulai oleh Kerajaan Atlantis yang Berpusat di Bandung

Setelah memahami bahwa asal muasal (akar/sejarah tertua) peradaban dari sunda maka berikutnya peradaban baru super modern akan muncul dari sunda.

Dimulai dengan berdirinya Kerajaan Atlantis di Bandung yang akan membentuk peradaban surgawi.

Kerajaan Atlantis akan dipimpin oleh Sajatining Ratu Adil (Raja Adil) beserta ratunya (Ratu Adil).

Banyak sebutan untuk Raja Adil diantaranya satria piningit, satrio pinanditho sinisihan wahyu, putera batara indra, cah angon, budak janggotan, nonoman sunda, kalki awatara, budha maitreya, ulul albab dll.

Raja Adil dan Ratu Adil akan tampil bukan dengan raga manusia biasa seperti pada umumnya, tapi Raja dan Ratu Adil akan tampil dengan sajatining raga (raga yang sempurna).

Raga yang sempurna ini akan tampak seperti berusia 33 tahun terus menerus (tidak menua dan abadi).

Raja dan Ratu Adil hakikatnya satu, Raja Adil adalah perwujudan Jatiraga (kesempurnaan lahir/mahadewa) dan Ratu Adil adalah perwujudan Jatiwanda (kesempurnaan batin/mahadewi). Sedangkan penyatuan kesempurnaan lahir batin disebutnya Jatisunda (mahabaratha).

Raja dan Ratu adil bukan hanya abadi raganya tapi juga abadi alamnya. Alam keabadian ini disebutnya Alam Sunda (alam surgawi).

Kerajaan Atlantis yang dipimpinnya akan membentuk peradaban abadi yaitu Peradaban Sunda (peradaban surgawi).

Raja dan Ratu adil secara zahir asalnya manusia biasa, tapi karena mereka telah melakukan perjalanan “mulih ka jati, mulang ka asal” secara sempurna maka merekapun mendapat buah (hasil) yang sempurna.

Raja Adil adalah bapak hakiki seluruh umat manusia, sedangkan Ratu Adil adalah ibu hakiki seluruh umat manusia.

Kalau Adam dan Hawa itu bapak dan ibu secara zahir seluruh umat manusia, bukan bapak dan ibu secara hakiki.

Ratu Adil itu secara hakikat berasal dari batin (wujud batinnya) Raja Adil, sedangkan Siti Hawa itu berasal dari tulang rusuk Adam bukan dari batin Adam.

Penyatuan Raja dan Ratu Adil secara hakiki pun menghasilkan “buah batin (buah Jatisunda)” yaitu para bidadara (buah Jatiraga) dan bidadari (buah Jatiwanda).

Dan yang terpenting dari semuanya adalah bahwa Allah “mihape awak (nitip badan)” ke Raja Adil sebagai zatil wujudullah lahir dan Ratu Adil sebagai zatil wujudullah batin karena untuk melihat zatil wujudullah (wujud zat Allah) asli tidak akan ada satupun manusia yang mampu melihatnya.

Maka bertemu Raja dan Ratu Adil, pada hakikatnya adalah bertemu dengan Allah.

Bukan hanya “mihape awak” tapi Allah juga memberikan kekuasaan penuh kepada Raja Adil dengan menyerahkan “pena lauh mahfudz” untuk mengatur takdir seluruh makhluk dan alam jagad.

Makanya energi yang dimiliki oleh Raja Adil bukan lagi energi murni atau energi anti materi tapi energi ilahiyah.

Dengan adanya Raja dan Ratu Adil, secara hakikat adalah turunnya Allah ke bumi untuk menjemput seluruh manusia masuk ke dalam surga.

Inilah rahmat (kasih sayang) Allah yang tidak terbatas, semua perjalanan “mulih ka jati, mulang ka asal” umat ditebus melalui Raja dan Ratu Adil karena tidak ada satu orang pun yang sanggup melakukan perjalanan “mulih ka jati, mulang ka asal” hingga mencapai Jatiwanda (kesempurnaan batin), Jatiraga (kesempurnaan lahir) dan Jatisunda (kesempurnaan lahir dan batin).

Kalau alam surga sudah diturunkan ke bumi, apakah masih akan terjadi kiamat? apakah ada pengumpulan manusia di padang mahsyar? apakah ada yang masuk neraka?

Jawabannya adalah sekarang semua terserah Raja Adil karena Allah sudah memberikan kekuasaan penuh kepada Raja Adil untuk mengatur takdir setiap makhluk dan alam jagad raya melalui “pena lauh mahfudz.”

SUMBER:

http://peradabansundamodern.blogspot.com/


AWAL MANIPULASI SEJARAH BANGSA SUNDA NUSANTARA

$
0
0

Pada awal berdirinya negara Amerika Serikat (4 Juli 1776), maharaja Sunda Nusantara, SRI BADUGA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD ALIOEDDIN AL MISRI memberikan pinjaman keuangan/ kolateral (ribuan ton emas) kepada negara Amerika Serikat. Beliau merupakan raja pertama yang mengakui kemerdekaan Amerika Serikat yang dipimpin presiden pertama, George Washington.

Beliau juga turut membantu dalam pembangunan gedung pemerintahan AS, “White House”. Oleh karena itulah bentuk gedung pemerintahan AS, “White House” serupa dengan Istana Bogor (salah satu istana Maharaja Sunda Nusantara).

Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris, dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (dari arsip kuno yang ditemukan, wilayah Amerika sebenarnya merupakan kerajaan bawahan dari kemaharajaan Sunda Nusantara). Raja Inggris, George III terguncang jiwanya atas kemerdekaan Amerika Serikat, dan menaruh dendam kepada kemaharajaan Sunda Nusantara.

Pada tanggal 10 Mei 1810, pasukan kemaharajaan Sunda Nusantara dibawah pimpinan SRI BADUGA MAHARAJA SULTAN ACHMAD AL MISRI dapat mengalahkan pasukan laut Kerajaan Perancis dibawah komando Herman Williem Daendels, yang hendak menyerang wilayah kedaulatan kemaharajaan Sunda Nusantara. H.W. Daendels beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendels dipenjarakannya. H.W. Daendels adalah perwakilan dari kerajaan Perancis (ketika itu Belanda masih dijajah oleh Perancis). Maharaja Sultan Achmad Al Misri, berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Serosowan Bantan.

Kekalahan tentara laut Perancis dibawah komando Daendels oleh Baginda Sultan Achmad diperingati dengan rasa syukur. Sultan Achmad yang pernah bersekolah di Inggris mengundang sahabatnya Thomas Stanford Raffles untuk merayakannya, karena menganggap Inggris adalah musuh bebuyutan Perancis. Beliau beranggapan bahwa Inggris akan merasa senang bila kemaharajaan Sunda Nusantara berhasil memukul Perancis dan menawan panglimanya. Namun ternyata T.S. Raffles membawa tugas misi khusus dari Raja Inggris, George IV, yang masih dendam pada maharaja Sunda Nusantara atas kemerdekaan negara Amerika Serikat. T.S. Raffles ditugaskan untuk membunuh Sultan Achmad, menghancurkan kemaharajaan Sunda Nusantara, dan membebaskan H.W. Daendels. Karena H.W. Daendels adalah bangsawan De’Orange yang masih sepupu keluarga Buckingham, dan ketika itu Perancis telah kalah oleh Inggris.

T.S. Raffles mengajak Sultan Achmad untuk berkeliling wilayah Nusantara, dengan tujuan Pulau Banda (bagian kepulauan Sunda Kecil, penghasil pala terbaik di dunia). Ketika itu Sultan Achmad hanya dikawal pasukan kecil saja, karena tujuannya hanya sekedar jalan-jalan. Sultan Achmad tidak menyadari bahwa ajakan sahabatnya itu sebenarnya adalah jebakan, karena sebelum keberangkatan, T.S. Raffles telah memerintahkan pasukan AL nya untuk menunggu di Laut Banda. Begitu sampai di laut Banda, rombongan Sultan Achmad dikepung oleh pasukan AL Inggris yang telah siap dengan persenjataan lengkap. Sultan Achmad tidak berdaya, kemudian diikat dan ditinggalkan begitu saja oleh T.S Raffles di sebuah pulau kosong, dengan tujuan agar mati. Kapal kebesaran Sultan Achmad diambil alih oleh T.S. Raffles dengan tujuan agar dia dapat kembali ke pusat kerajaan Sunda Nusantara tanpa dicurigai oleh pasukan kerajaan Sunda Nusantara.

Inilah sebabnya ketika rombongan kapal kebesaran Sultan Achmad (yang telah dikuasai T.S. Raffles) beserta kapal pasukan AL Inggris kembali ke pelabuhan Sunda Kalapa tak ada perlawanan, karena mengira mereka adalah rombongan Sultan Achmad dan sahabatnya T.S. Raffles. Siasat ini menyebabkan T.S. Raffles beserta pasukannya yang telah siap dengan persenjataan lengkap, dapat dengan mudah menduduki pusat kerajaan Sunda Nusantara. Setelah menguasai pusat pemerintahan kerajaan, selanjutnya T.S. Raffles mengambil alih beberapa wilayah strategis hingga sampai Malaka dan Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles juga menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten.

Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda (sahabat kerajaan Inggris) di Semarang, dan Herman William Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. T.S. Raffles berhasil membebaskan H.W. Daendels dan membuat perjanjian yang intinya mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan syarat mengikuti seluruh skenario rekayasa dan membungkam siapa saja yang mengetahui sejarah ini selanjutnya. Maka dimulailah kekejaman penjajahan Belanda sebagai kepanjangan Kerajaan Inggris.

Peristiwa ini menjadi awal pemalsuan sejarah Sunda Nusantara selama +/- 200 tahun. Sejak saat itu, ribuan ton emas dijarah, yang digunakan untuk modernisasi England & pembangunan persemakmuran negara jajahannya (Kanada, Australia, Singapura, Hongkong, Afrika Selatan dst). Keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dibantai dan dirampok. Arsip (bukti-bukti) pemerintahan dimusnahkan dan diambil untuk dihilangkan. Sebagian besar arsip yang menuliskan sejarah bumi dan pemerintahan masih disimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Universitas Leiden, Amsterdam. Inilah sebabnya Mahkamah Internasional berada di Belanda, karena sejarah aset dunia tersimpan disana beserta literatur pendukungnya.

Hilangnya kepempinan nasional Sunda Nusantara, menyebabkan kerajaan-kerajaan dibawah konfederasi Kemaharajaan Sunda Nusantara menjadi terpecah belah. Sejak saat itu, banyak terjadi perlawanan kepada pemeritah kolonial Hindia Belanda, ditandai dengan meletusnya Perang Pattimura (Maluku, 1817), Perang Paderi (Sumatera Barat, 1821-1837), Perang Diponegoro (Jawa Tengah, 1825-1830), dll. Namun perlawanan dari kerajaan-kerajaan ini dapat dipatahkan oleh Belanda, karena tidak ada persatuan lagi.

Para raja-raja yang soleh dan mau bekerjasama dengan Belanda, diperdaya dengan menyimpan harta emas mereka di Bank Zurich, Jerman, dimana harta Kesultanan Nusantara (Cirebon, G.Pakuan, Banten, Deli, Riau, Kutai, Makasar, Bone, Goa, Luwuk, Ternate, dll,) dalam nilai ratusan trilyun Dollar Amerika (dalam bentuk emas, logam mulia, berlian, dsb) di simpan di Bank Zurich, Jerman. Kemudian karena kekalahan Jerman pada PD I (1911-1914), maka harta tersebut diambil paksa oleh pemenang, Pihak Sekutu, yang selama perang banyak dibiayai oleh organisasi Yahudi. Inilah sebabnya kenapa Jerman benci Yahudi. Kemudian harta-harta tsb. dipercayakan untuk disimpan di negeri Belanda. Namun ketika Belanda kembali terjajah oleh Jerman pada Perang Dunia ke II, maka harta tsb. menjadi tercerai berai, dan sebagian digunakan oleh NAZI untuk membiayai perang mereka. Kekalahan Jerman di perang dunia ke II menyebabkan aset tersebut kemudian dibagi kepada negara Sekutu (dalam hal ini Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, Belanda).

Pada tahun 1934, Sultan Paku Buwono X memberikan bantuan jaminan keuangan (kolateral) kepada Liga Bangsa Bangsa (LBB) di Amerika Serikat, dengan tujuan membantu kebangkrutan ekonomi dunia. Liga Bangsa Bangsa (LBB) adalah cikal bakal dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Tercatat emas yg diberikan 57.169 ton emas 24 karat, yg kemudian diAKUI oleh pihak AS dalam perjanjian “The Green Hilton Agreement” & disaksikan Sri Paus (Vatikan).

Paska proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945), para Sultan/ Raja (konfederasi) dibawah Kemaharajaan Sunda Nusantara mendukung pemerintah Republik Indonesia dibawah kepemimpinan presiden pertama Ir. Soekarno, dengan syarat beliau juga bersedia memulihkan Kekaisaran Sunda Nusantara (maksudnya tetap mengakui keberadaan para Sultan/Raja di wilayah Sunda Nusantara, sebagaimana halnya di Malaysia atau Inggris). Presiden Soekarno setuju syarat tsb., dan oleh karena itu beliau juga diberi tahu mengenai aset bangsanya yang dipergunakan oleh bangsa lain dan digelapkan. Beliau juga diamanahkan oleh para Sultan/Raja Sunda Nusantara untuk berusaha mengembalikan aset bangsa tsb.

Atas hal tersebut maka Ir. Soekarno mengirim surat rahasia ke PBB, dan menyampaikan gugatan kepada negara Sekutu untuk mengembalikan aset bangsa tsb. dalam rangka pembangunan kembali bangsa Sunda Nusantara. Ingat uang kita sebelum Rupiah menggunakan nama SEN (SN=Sunda Nusantara). Labrakan Ir. Soekarno kepada berbagai ketidakadilan dan imperialisme dunia, karena beliau menyadari bahwa “Indonesia” adalah “SUPER POWER” sesungguhnya dan pemegang amanah dunia.

Gugatan Ir. Soekarno baru disambut baik, ketika Amerika Serikat dipimpin oleh presiden John F. Kennedy, dengan harapan AS mendapat dukungan Ir. Soekarno dalam perlawanan menghambat komunisme. Pada tahap awal disetujui pengembalian aset bangsa Sunda Nusantara pada tahun 1963, dengan ditandatanganinya perjanjian “Green Hilton Agreement”, yaitu pengembalian 57.147 ton emas kepada rakyat Republik Indonesia (pemilik sah) melalui pemerintahan Republik Indonesia sebagi pengemban amanah Kekaisaran Sunda Nusantara (Imperium of Zhunda Nuswantara), dengan disaksikan Sri Paus, yang banyak mengetahui sejarah aset dunia. Sayangnya rencana ini tidak berjalan baik, karena terjadi pembunuhan terhadap presiden John F. Kennedy, pada tahun 1964. Diduga pembunuhan ini dilakukan oleh organisasi rahasia Yahudi, yang menguasai ekonomi dan menyetir arah politik negeri AS hingga saat ini (Presiden John F. Kennedy tidak mau bekerjasama dengan organisasi ini).

Paska pembunuhan presiden John F. Kennedy, di bumi Nusantara juga terjadi gerakan penggulingan presiden Soekarno pada tahun 1965, yang diduga didalangi oleh CIA (dibawah kendali organisasi rahasia Yahudi). Kekayaan aset Nusantara masih banyak tersimpan di 93 account di bank-bank utama didunia (ciri negaranya berbendera merah dan putih menandakan sumber asetnya).

Organisasi rahasia Yahudi ini diduga hingga saat ini masih menjalankan misinya dalam rangka membentuk tatanan dunia baru di bawah kepemimpinan Yahudi, dengan menguasai sektor keuangan dunia (IMF), bisnis persenjataan, bisnis media dan sistem informasi, serta bisnis strategis lainnya. Pemalsuan sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk bangsa Sunda Nusantara juga didalangi oleh organisasi tersebut. Oleh karena itulah 90% bangsa kita tidak percaya akan cerita sejarah kebesaran bangsanya karena distorsi informasi ini, dan sebagian lagi tidak mau tahu karena lebih mengejar materi.

Marilah kita simak Doktrin Zionisme (Protocol VI) yang menyatakan:
“Kehancuran kekuasaan akan terjadi setelah orang-orang berilmu (aristocrat) kaum ‘the goyim’ jatuh statusnya menjadi kaum proletar bersamaan dengan kredit negara-negara yang semakin meningkat, karena ketergantungan mereka yang sangat besar kepada kegiatan monopoli berskala besar, yang kita bangun, yang menjadi sumber penghasilan mereka. Di satu sisi, promosi Pemerintahan Super sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan kepada mereka, kita terus tingkatkan.

Kelompok aristocrat non Yahudi masih tetap berbahaya bagi kita, karena mereka masih berstatus memiliki tanah-tanah pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Berbagai cara kita kembangkan agar tanah-tanah itu jatuh ke tangan kita dan kita kuasai, yaitu dengan cara:
1. Menaikkan beban tanah tersebut dengan cara menaikkan hutang mereka, dengan jaminan tanah-tanah mereka yang menyebabkan kepemilikan tanah terikat kepada kita dan pemiliknya akan tunduk tanpa syarat;
2. Kita bikin sulit kehidupan orang-orang berilmu (aristocrat) kaum non Yahudi yang akhirnya mereka akan musnah, karena kaum aristocrat mereka terbiasa dengan kehidupan yang mudah dan mewah;
3. Aktivitas spekulasi kita naikkan untuk mengembangkan kegiatan industri dan perdagangan, sehingga kegiatan industri akan semakin menguat;
4. Dengan kegiatan industri yang menguat, kita sedot sumberdaya manusia dan modal (finansial) dari tanah-tanah pertanian tersebut dan akhirnya, ke dua sumberdaya tadi akan berpindah tangan ke kita berupa akumulasi harta kekayaan, sehingga kaum aristocrat non yahudi akan jatuh statusnya menjadi kaum proletar;
5. Gaya hidup mewah kita perkenalkan kepada kaum aristocrat non Yahudi, yaitu dengan kita naikkan taraf pendapatan mereka, tetapi mereka harus membeli kebutuhan pokok dengan harga yang tinggi, karena berkurangnya hasil-hasil pertanian dan peternakan;
6. Kita ajarkan faham anarkis dan mabuk-mabukan kepada kaum buruh non Yahudi sebagai kaum terpelajarnya mereka yang akan mengurangi kegiatan industri dan menyempitnya lapangan pekerjaan.

Akhirnya, kaum aristocrat non Yahudi akan tunduk kepada kita hanya agar eksistensi mereka tetap dihargai dan mereka tidak menyadari bahwa kita tetap akan memusnahkan mereka. Kita samarkan proses keseluruhan ini dengan istilah meningkatkan produktivitas buruh melalui teori-teori politik ekonomi yang para ahli ekonomi kita ajarkan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut.”

Pada era pemerintahan Ir. Soekarno, beliau begitu lantang mengumandangkan politik “BERDIKARI” atau Berdiri Dengan Kaki Sendiri, bahwa bangsa Sunda Nusantara harus dapat mandiri, jangan tergantung kepada negara lain. Pada bulan Agustus 1965, beliau mengatakan “go to hell with your aid” sebagai kata talak/perceraian dengan IMF serta Bank Dunia dan memutuskan membangun Nusantara secara mandiri. Sayangnya politik ”BERDIKARI ini tidak berlangsung lama, karena pada bulan September 1965 terjadi kudeta berdarah terhadap presiden Soekarno (kudeta ini diduga melibatkan CIA). Selanjutnya dimulailah rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto, yang kebijakan politiknya dekat dengan kepentingan Amerika Serikat.

Bagaimana dengan kondisi negeri kita saat ini?? Sudahkah bangsa kita hidup dan berkehidupan seperti yang tercantum dalam doktrin Zionisme di atas…??? Bila kita tidak segera menyadarinya, maka bangsa kita akan menjadi jongosnya bangsa-bangsa adi kuasa dan akan menjadi kepanjangan tangan dari negara-negara adi kuasa/kaya (istilahnya negara donor)

 LINK Terkait (Referensi)

http://cacakala.blogspot.com/search?updated-min=2013-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2014-01-01T00:00:00-08:00&max-results=18


Mari berfikir dan berdzikir tentang Keluasan Alam Semesta Ciptaan Tuhan YME !

$
0
0

{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآياتٍ ِلأَولِي الأَلْبَابِ}(آل عمران/190).

{الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}(آل عمران/191).

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, (dan dalam) pengantian siang dan malam, adalah merupakan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan Allah) bagi Orang yang memiliki akal sehat Lub (Ulil Albab). Yaitu mereka yang selalu berdzikir (mengingat-ingat) Allah dalam (setiap) keadaan mereka: berdiri, duduk dan berbaring, dan mereka selalu memikirkan (bertafakur) tentang prose penciptaaan langit dan bumi. (sehingga mereka sampai pada keyakinan): Rabbana (Hai Tuhanku), tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia (bathil). Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab Neraka.”

{Al Qur’a, surah Ali Imron (3), ayat 190-191}

FILOSOFI :

“SANGKAN PARANING DHUMADI = INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJIUN = BHINEKA TUNGGAL IKA, TAN HANNA DHARMA MANGRWA”

Selain fakta visual di bawah ini, teman-teman seperjalanan ruhani bisa juga bertafakur dan berdzikir dengan menonton film  Interstelar di youtube. https://www.youtube.com/user/InterstellarMovie1  . dan/atau Film CONTACT: https://www.youtube.com/watch?v=7pfOFCUjmEU

news.lewatmana.com – Terkadang kita perlu berhenti dan memikirkan hal apa yang ada di sekitarkita, siapa kita dan apa yang harus diperhatikan. Percayalah, mungkin anda akan mengubah visi didunia ini setelah melihat postingan ini.

Pada saat yang bersamaan 25 pengingat ini membuat rahang merapat karna betapa tidak pentingnya kita dan membuat pikiran kita benar-benar takut dan penasaran.

1. Di sinilah kita semua hidup, Bumi kita.

via: visibleearth.nasa.gov

2. Ini tata surya, lingkungan kami.

via: foxnews.com

3. Ini adalah jarak berskala antara Bumi dan Bulan. Apakah Anda pikir bulan itu sangat jauh?

we-are-tiny-24

4. Bagaimana kalau saya katakan bahwa Anda bisa memasukkan setiap planet dari sistem tata surya kita antara Bumi dan bulan?

via: reddit.com

5. Jika Anda masih tidak punya ukuran seberapa kecil kita, di sini adalah Amerika Utara biladibandingkan dengan Jupiter.

via: astronomycentral.co.uk

6.  Pada cincin Saturnus bisa memuat Enam Baris bumi.

via: astronomycentral.co.uk

7. Berikut ini  adalah  bagaimana langit kita akan terlihat jika bumi memiliki cincin seperti Saturnus.

via: io9.com

8. Ini adalah komet, jika dibandingkan dengan Los Angeles. Besar, bukan?

via: mentalfloss.com

9. Jika itu besar, di sini adalah matahari. Kita adalah titik kecil kecil di sana.

via: twitter.com

10. Dan ini penampakan bumi jika dilihat  dari bulan.

NASA

11. Dan dari Mars.

NASA

12. Dari Saturnus.

NASA

13. Dan dari Neptunus, 4 miliar kilometer jauhnya.

NASA

14. Namun mari  lihat lagi terlihat seperti apakah kita  jika dibandingkan dengan matahari , betapa kecilnya kita .menakjubkan.

via: astronomycentral.co.uk

15.  Titik kecil itu adalah matahari, dilihat dari Planet Mars.

NASA

16. Apakah Anda tahu ternyata ada lebih banyak bintang di ruang angkasa daripada pasir disetiap pantai di Bumi?

via: science.nationalgeographic.com

17. Dan di antara semua bintang-bintang ini, banyak yang jauh lebih besar dari matahari kita.Lihatlah bagaimana jika dibandingkan dengan VY Canis Majoris.

via: wikipedia.org

18. Dan ruang galaksi  sangatlah besar. untuk membuat  kamu memahaminnya  : jika matahariadalah sel darah, maka Bima Sakti akan sama besarnya dengan Amerika Serikat!

via: reddit.com

19. Bima Sakti sangatlah besar. Di sinilah kita berada di dalamnya.

via: teecraze.com

20.  membayangkan bahwa semua bintang yang bisa kita lihat di malam hari hanyalah  bagian dari lingkaran kuning ini saja, Benar-benar  menakjubkan.

via: twitter.com

21. Namun jangan pernah berpikir bahwa Bima Sakti adalah galaksi terbesar di ruang angkasa. Ini dia jika dibandingkan dengan Ic 1011!

via: twitter.com

22. Ini adalah gambar yang diambil dari teleskop luar .  Dalam ruang ini saja ada jutaangalaksi, masing-masing galaksi mengandung jutaan bintang, dengan planet  yang mengorbitdi sekitar mereka.

via: hubblesite.org

23. Inilah salah satu galaksi tersebut. Itu bernama UDF 423, dan itu 10 miliar tahun  cahaya jauhnya . Apa Anda tahu artinya ? Ini berarti bahwa cahaya membutuhkan waktu 10 miliartahun untuk mencapai bumi. Jadi pada dasarnya, apa yang Anda lihat itu adalah kondisi galaksi 10 miliar tahun yang lalu! Waow!

via: wikisky.org

24. Harus diingat bahwa setiap satu inci pandangan Anda dari langit malam mengandungmiliaran galaksi, bintang, planet.

via: thetoc.gr

25. Namun tidak semuanya warna-warni di luar sana. Disini adalah tempat lubang hitam jika dibandingkan dengan orbit kami. Sebuah lubang hitam adalah wilayah ruang waktu di managravitasi begitu kuat sehingga tidak ada partikel atau cahaya sinar memasuki wilayah yangpernah bisa lepas dari itu.

via: mcdonaldobservatory.org

Jadi, setiap kali Anda berpikir tentang kehidupan  dan eksistensi anda, tentang baik dan burukdi dunia ini, perlu diingat bahwa kita hanya bagian kecil,  titik kecil yang hilang dalam ruang.Hanya sedikit rekap . Ini adalah di mana kita hidup.

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Sebagaimana yang kita lihat seperti di tata surya kita.

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Dan di lingkungan antar kita.

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Lingkungan kita  jika dibandingkan dengan galaksi kita.

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Dan bagaimana tampilannya jika dari jauh.

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Mari kita perkecil tampilannya sedikit lagi.

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Sedikit  lagi.

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Dan di sinilah kita, ini adalah alam semesta yang dapat diamati. Segala sesuatu yang kitakatakan sebelumnya, hanya terlihat sebagai titik merah. Mengagumkan?

photo credits: Andrew Z. Colvin (Own work) [CC-BY-SA-3.0], via Wikimedia Commons

Memikirkan tentang bagaimana kecil dan tidak penting kita jika dibandingkan dengan alam semesta ini ,benar-benar  membuat  pikiran saya melayang. Luar biasa!!

Sumber: justsomething.co

http://news.lewatmana.com/whoa-25-gambar-yang-membuatmu-harus-menilai-ulang-eksistensi-anda/



Benarkah Ibrahim, Abraham Adalah Brahma Dari India?

$
0
0
15 Jan 2015
Abraham, Sarah HagarSampai saat ini, banyak sejarawan terus berusaha membuka tabir kebenaran tentang asal usul Ibrahim atau Abraham, apakah dia sosok yang sama dengan Brahma dari India? Beberapa bukti ditulis Gene D Matlock B.A., M.A. dalam paper berjudul ‘Who Was Abraham‘, karya ini mengundang berbagai perdebatan dikalangan sejarawan meskipun bukti yang dilampirkannya sangat mendekati kebenaran.
Gene D Matlock, seorang yang bergelar BA, mulai terkenal karena buku-buku yang ditulisnya tentang sejarah agama dan ras non-Africanoid. Dia mengklaim telah membuat beberapa penemuan besar dimana India pernah menguasai seluruh dunia, juga orang-orang Indian Amerika merupakan imigran beberapa ratus tahun sebelum kedatangan orang Eropa. Salah satu bukunya yang terkenal adalah ‘Jesus and Moses Are Buried in India, Birthplace of Abraham and the Hebrews‘ dan ‘What Strange Mystery Unites the Turkish Nations, India, Catholicism, and Mexico?: A Concise But Detailed History of Things Divine and Earthly‘. Buku ini telah mempopulerkan namanya diawal tahun 2000-an, dan kemudian menerbitkan sebuah tulisan tentang Abraham tahun 2012 lalu.

Ibrahim, Abraham Adalah Brahma

Dalam paper yang ditulis Matlock, dia memulai awal pembicaraan tentang seorang sarjana keturunan Yahudi dan teolog Flavius Josephus yang hidup antara tahun 37 hingga 100 M. Teolog ini menulis dalam teksnya tentang seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles yang mengatakan:

“…orang-orang Yahudi ini berasal dari filsuf India, mereka diberi nama oleh orang India Calani” (Book I: 22)
Begitu pula Clearchus dari Soli menuliskan: “…orang-orang Yahudi keturunan dari filsuf India. Para filsuf disebut India Calani dan di Suriah Yahudi. Dalam buku Anacalypsis karya Godfrey Higgins, Vol I: hal 400 dituliskan nama ibukota mereka sangat sulit diucapkan, kota ini disebut Yerusalem”
“Megasthenes, yang dikirim ke India oleh Nikator Seleucid sekitar tiga ratus tahun sebelum kedatangan Isa, dan yang catatan dari pertanyaan itu setiap hari bertambah, mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berasal dari suku India atau sekte yang disebut Kalani…” 

Martin Haug PhD pernah menulis dalam buku yang berjudul ‘The Sacred Language, Writings, and Religions of the Parsis’ disebutkan bahwa orang-orang Majus dikatakan telah menyebut agama mereka Kesh-i-Ibrahim. Mereka menelusuri buku-buku agama merujuk kepada Abraham yang diyakini telah membawa mereka dari surga. Beberapa kesamaan terlihat antara Dewa Hindu Brahma dan istrinya Saraisvati mirip dengan Ibrahim dan Sarah. Menurut Matlock, kesamaan ini lebih dari sekadar kebetulan meskipun diseluruh wilayah India hanya ada satu kuil yang didedikasikan untuk Brahma, sekte ini disebut-sebut sebagai sekte Hindu terbesar ketiga.
Dalam sebuah buku karya Tomas Doreste berjudul ‘Moises Y Los Extraterrestres’, menuliskan bahwa Voltaire berpendapat bahwa Abraham (Ibrahim) berasal dari beberapa imam Brahman yang meninggalkan India untuk menyebarkan ajaran mereka diseluruh dunia. Dalam mendukung mendukung tesisnya, dia menyajikan unsur-unsur yang memiliki kesamaan nama dan fakta bahwa kota Ur sebagai tanah leluhur, kota ini berdekatan dengan perbatasan Persia menuju ke India, dimana Brahman disebutkan telah lahir di kota ini.
Pengaruh Brahma menyebar ke seluruh Persia hingga mencapai sungai Efrat dan Tigris, orang Persia mulai mengadopsi Brahma dan membuat kisahnya sendiri, kemudian mengatakan bahwa Tuhan telah tiba dari Bactria, sebuah daerah pegunungan yang terletak di tengah-tengah perjalan menuju India. Pada saat itu, Bactria merupakan wilayah Afghanistan kuno dan merupakan wilayah bangsa Yahudi prototipikal yang disebut Juhuda atau Jaguda, atau disebut juga Ur-Jaguda. Ur artinya ‘tempat atau kota’ sehingga Alkitab menyatakan bahwa Abraham ataupun Ibrahim berasal dari Ur-Kasdim. Kasdim, atau lebih tepatnya Kaul-Deva (Kauls Suci) bukan nama etnis tertentu, tetapi merupakan sebuah titel kasta imam kuno Hindu Brahman yang tinggal diwilayah yang sekarang disebut Afghanistan, Pakistan, dan negara bagian India Kashmir.
Dalam catatan ‘Anacalypsis Vol I halaman 405′ disebutkan bahwa suku Ioud atau Brahmana telah diusir atau meninggalkan Maturea, sebuah kerajaan Oude di India dan menetap di Goshen, atau Heliopolis di Mesir, dia memberi nama tempat yang ditinggalkan sebagai Maturea. Dia berasal dari agama atau sekte Persia dan Melkisedek. Orang Persia juga mengklaim Ibrahim, yang juga disebut Abraham, sebagai ayah mereka dan orang Yahudi. Menurut semua sejarah Persia kuno, Yahudi dan Arab merupakan keturunan Abraham.
Terah (ayah Abraham) awalnya berasal dari negara Timur yang disebut Ur, Kasdim atau Culdees, dia hidup didaerah yang disebut Mesopotamia. Beberapa saat setelah ayahnya tinggal disana, Abraham, atau Abram, Ibrahim, atau Brahma, dan istrinya Sara atau Sarai ataupun Sara-iswati, meninggalkan keluarga ayah mereka dan kemudian datang ke Kanaan. Identitas Ibrahim dan Sarah (Brahma dan Saraiswati) pertama kali ditunjukkan oleh para misionaris Jesuit.
Abraham, Sarah Hagar
Sementara dalam mitologi Hindu, Sarai-Svati merupakan adik Brahma, dimana Alkitab juga memberi dua cerita tentang Abraham. Dalam versi pertama, Abraham mengatakan kepada Firaun bahwa dia berbohong ketika memperkenalkan Sarai sebagai adiknya. Versi kedua, Abraham mengatakan kepada Raja Gerar bahwa Sarai adalah adiknya. Tetapi ketika raja memarahinya karena berbohong, Abraham mengatakan bahwa Sarai adalah istri dan adiknya (Genesis 20:12).

Dalam The Hindu History disebutkan; Uttara Kuru di Afghanistan Utara merupakan pusat pembelajaran, wanita India pergi ke sana untuk mempelajari dan menerima gelar Vak, yaitu Saraisvati. Hal ini diyakini bahwa Brahm, gurunya, begitu terkesan dengan kecantikannya, pendidikan, dan kecerdasan yang kuat, dan dia menikahinya.

Di India, anak Sungai Saraisvati disebut Ghaggar, sungai lain dari sungai yang sama adalah Hakra. Dalam tradisi Yahudi, Hagar merupakan pembantu Sarai, literatur Islam menyebutnya sebagai putri Mesir. Maka, kesamaan Ghaggar, Hakra dan Hagar terlihat disini. Alkitab Kejadian 25: 17-18 juga menyatakan bahwa Ismail bin Hagar, dan keturunannya tinggal di India. Matlock juga mengatakan, nama Ishak dan Ismail berasal dari bahasa Sansekerta, dijelaskan bahwa nama Ishaak dalam bahasa Sansekerta disebut Ishakhu yang artinya teman Siwa. Ishmael dalam bahasa Sansekerta disebut Ish-Mahal, yang artinya Siwa Agung. Abraham diceritakan telah melalui banjir yang terjadi di India seperti yang tertulis dalam Yosua 24: 2-3.
Kitab Kejadian menyebutkan beberapa keturunan selir Ketura, dalam teks literatur Islam mengklaim bahwa Ketura adalah nama lain dari Hagar. Mereka adalah Yoksan, Sheba, Dedan, Efir. Beberapa keturunan Nuh adalah Joktan, Sheba, Dedan, dan Ophir. Versi ini berbeda-beda, sehingga Matlock menduga bahwa para penulis Alkitab mencoba untuk menyatukan beberapa cabang berbeda dari Yudaisme.
Sekitar tahun 1900 SM, kultus Brahm dibawa ke Tengah dan Near East oleh beberapa kelompok India yang berbeda setelah hujan parah dan gempa yang memisahkan India Utara, bahkan mengubah sungai Indus dan Sarasvati.

Geografi klasik Strabo (Strabo’s Geography, XV.I.19) mengisyaratkan bahwa penduduk berusaha meninggalkan India Barat Laut. Dalam catatan itu disebutkan, Aristobolus mengatakan bahwa ketika dia dikirim pada misi tertentu di India, dia melihat sebuah negara lebih dari seribu kota, berikut pedesaan yang telah sepi karena Indus telah meninggalkan tempat tidur yang tepat. 

Dalam catatan ‘Indic Ideas in the Graeco-Roman World’ karya Subhash Kak disebutkan tentang pengeringan sungai Sarasvati sekitar tahun 1900 SM telah menyebabkan relokasi besar penduduk yang berpusat disekitar Sindhu dan lembah Sarasvati, bisa saja peristiwa ini menyebabkan migrasi ke arah barat dari India. Setelah waktu itu, elemen India mulai muncul diseluruh Asia Barat, Mesir, dan Yunani.
Kuttikhat Purushothama Chon, seorang sejarawan India meyakini Ibrahim diusir dari India dengan alasan bahwa bangsa Arya tidak bisa mengalahkan Asura, pedagang yang pernah memerintah di Lembah Indus, kota Harappa. Mereka menghabiskan waktu selama bertahun-tahun berjuang secara diam-diam melawan Asura, menghancurkan sistem besar seperti danau irigasi sehingga menyebabkan banjir yang merusak, dimana Ibrahim dan keluarganya menyingkir ke Asia Barat. Banjir ini tak hanya memaksa perpindahan Ibrahim, ulah suku Arya juga memaksa pedagang, pengrajin, dan orang terpelajar India melarikan diri ke Asia Barat.

Linguistik Abraham Terkait Brahma India

Matlock menegaskan, penyebutan Asura diberbagai wilayah hampir sama, diantaranya penyebutan Asyur (Inggris), Asirios (Spanyol), Asura atau Ashuras (India), Ashuriya, Asuriya (Sumeria dan Babilonia), Asir (Saudi), Ahura (Persia), Sura (Meksiko Tengah), dan masih banyak lagi daerah yang menyebut Asura dengan logat yang sama. Asura, mereka adalah orang-orang yang menyembah Surya atau Matahari.
Dalam hal identifikasi Indo-Eropa, selama ini diungkapkan untuk menyebut orang India, dan India bukanlah bangsa. Mereka adalah Bharata, dan Bharata juga bukan bangsa melainkan kumpulan negara seperti Eropa. Sejarawan Arab berpendapat bahwa Brahma dan Abraham, nenek moyang mereka, adalah orang yang sama. Persia umumnya menyebut Abraham sebagai Ibrahim Zeradust, Cyrus menganggap agama orang Yahudi sama dengan mereka. Orang Hindu pasti berasal dari Abraham, atau Israel dari Brahma.
Ram dan Abraham, mungkin orang yang sama, misalnya suku kata ‘Ab’ atau ‘Ap’ diartikan sebagai ‘ayah’ diwilayah Kashmir. Orang-orang Yahudi prototipikal menyebut Ab-Ram atau Ayah Ram. Dan kata Brahm berevolusi dari Ab-Ram, bukan sebaliknya. Kashmir menyebutnya Raham, juga berasal dari Ram, Ab-Raham adalah ‘Kasih Ilahi’. Dalam bahasa Ibrani, Ram merupakan istilah bagi ‘Pemimpin yang ditempatkan atau gubernur’. Menurut A.D Pusalker seorang sejarawan India, bahwa Ram masih hidup pada tahun 1950 SM yaitu sekitar waktu Abraham, Indo-Ibrani, dan Arya membuat migrasi terbesar dari India hingga ke Timur Tengah sejak Banjir Besar.
Menurut analisa Gene D Matlock, bahwa Ka’bah juga didedikasikan untuk Hindu, Allah Sang Pencipta, Brahma. Literatur Islam mengklaim Ka’bah didedikasikan untuk Ibrahim, kata Ibrahim tidak lain merujuk pada kata Brahma, hal ini dibuktikan dengan jelas jika menyelidiki arti akar kedua kata. Abraham juga disebut-sebut sebagai salah satu dari para nabi tertua bangsa Semit, nama ini berasal dari dua kata Semit ‘Ab’ yang berarti ‘Ayah’ dan ‘Raam atau Raham’ yang artinya ‘Agung’. Dalam kitab Kejadian, Abraham berarti ‘Ragam’, berasal dari bahasa Sansekerta dimana kata Brahma merupakan akar dari ‘Brah’ yang artinya ‘Tumbuh atau berkembang’. Dewa Brahma disebutkan sebagai Ayah dari semua laki-laki dan semua Dewa, dari-Nya semua makhluk diciptakan, bahwa Abraham tidak lain adalah Ayah surgawi.
Ibrahim, Abraham
Menurut Akshoy Kumar Mazumdar dalam buku ‘The Hindu History’ disebutkan bahwa Brahm adalah pemimpin spiritual dari bangsa Arya. Arya (bukan hasil Yah) secara alami meyakini berhala, Alkitab mengatakan bahwa mereka membuatnya. Setelah melihat peningkatan penyembahan berhala dan agama berkontribusi terhadap kejatuhan lebih lanjut pada umat-Nya, Brahm mundur dari Aria dan kembali memeluk agama filsafat India kuno (Yah), meskipun sedang tenggelam dalam kejahatan ulah manusia. Dia memutuskan, bahwa manusia bisa menyelamatkan diri hanya dengan berurusan dengan apa yang nyata, bukan dibayangkan.
Dr Mazumdar pernah menuliskan bahwa penurunan moral terjadi sangat cepat. Para peramal dan orang bijak hidup terpisah dari masyarakat, mereka jarang menikah dan sebagian besar memberi kontemplasi religius. Masyarakat tanpa cahaya yang tepat, dunia menjadi kejam secara ekstrim. Pemerkosaan , perzinahan, pencurian, dan lainnya menjadi sangat umum. Sifat manusia liar, Brahma memutuskan untuk mereformasi dan regenerasi rakyat. Dia membuat orang bijak untuk menikah dan bergaul dengan manusia. Kebanyakan menolak untuk menikah, tapi sepertiga menyetujui. Brahm menikah dengan adiknya Saraisvati, guru ini dikenal sebagai prajapatis (nenek moyang).

Dalam buku ‘The Languages of Harappans’ karya Maliti J Shendge disebutkan bahwa Asia Barat dan peradaban Lembah Indus adalah satu, tidak hanya membuktikan bahwa Harappa adalah Akkadia dan Sumeria, Shendge juga membuktikan bahwa ‘Abraham tak lain adalah Adam’ sebelum Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuknya.

Wilayah dari Tigris-Efrat ke Indus dan timur dihuni oleh bangsa Semit berbahasa Akkadia yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Asshuraiu. Nama India mereka sebagaimana dijelaskan Rgveda adalah ‘Asura’ yang tak lama menghilang. Daerah ini dihuni oleh suku yang berbeda dari kisah yang sama, tetapi kebanyakan selalu menganggap bahwa mereka adalah kelompok homogen. Bukti linguistik menunjukkan adanya populasi campuran Akkadia dan Sumeria, kelompok etnis lain juga mungkin ada dan jejak sejarah terlihat diperiode selanjutnya.

Ibrahim, Abraham, Brahma, Rama, Sosok Yang Sama

Jika orang Akkadia adalah sama dengan klan Asia Barat, seharusnya ada sesuatu yang dominan dalam mitologi Veda. Tetapi referensi masih samar, tidak ada referensi hubungan keduanya. Jika diamati, kata Brahman mengungkap asal bahasa yang terbentuk dari dua kata ‘Abu dan Rahmu’ yang berasal dari pasangan zaman purba dalam mitologi Semit. Akkadia menganggap Rahmu adalah Lahmu yang kemudian menjadi dewi Laksmi, lahir di laut dan dikenal oleh dewa dan roh jahat. Lahmu juga dianggap sebagai naga di Akkadia, tetapi dalam Ugaratic, Rahmu berhubungan dengan Abu Brahma, dimana Abu dan Rahmu diartikan sebagai Abrahma atau Brahma.
Perubahan ini berdasarkan atas pasangan yang telah mengalami transformasi dan memiliki hubungan di India. Jadi klan Asura yang berada di lembah Indus memuja Abu-Rahmu sebagai pasangan pertama di muka Bumi (Adam dan Hawa). Penelitian Shendge memperkuat dugaan bahwa Abraham dan Sarai atau Ibrahim dan Sarah, mungkin adalah sosok yang sama dengan Brahm dan Saraisvati. Ibraham kami adalah seorang imam bahkan mungkin pendiri kultus Abu-Rahmu yang membawa agama monoteistik ke Asia Barat.
Bukti linguistik tentang keberadaan Brahm dapat ditemukan diberbagai belahan dunia termasuk Persia (Braghman), Latin (Bragmani), Rusia (Rachmany), Ukrania (Rachmanya), Ibrani (Ram, pemimpin Tertinggi), Norwegia (Ilahi). Kalangan umat Hindu menyebut suku kata mistik OM terkait dengan bumi, langit, alam lain. OM juga merupakan nama Brahm, bangsa Aztec juga menyembah dan meneriakkan suku kata OM (OMeticuhlti dan OMelcihuatl). Kasta imam suku Maya menyebutnya Balam (B’lahm), juga bermakna Brahm, bangsa Inca menyembah matahari yang disebut Inti Raymi (Hindu Ram).
Tarahumara Indian Chihuahua berasal dari nama ‘Ra-Ram-Uri’ sama seperti Sumeria dan India Utara, kata ‘Uri’ diaratikan ‘manusia’. Dewa matahari bangsa Ra-Ram-Uri adalah ‘Ono-Ruame’. Pemimpin Ra-Ram-Uri disebut Si-Riame, dalam bahasa Sansekerta ataupun Kashmir, Su-Rama diartikan sebagai Rama Agung. Menurut legenda Meksiko kuno, Yoris berasal dari suku yang disebut Surem (Su-Ram) sebelum penaklukan Meksiko Tengah dan Amerika Selatan, wilayah sejauh Colorado Timur menyebutnya sebagai Sura. Sura dalam bahasa Kashmir diartikan Matahari. Masih banyak bukti linguistik yang menakjubkan terkait bahasa Kashmir, Sansekerta dan lainnya, muncul dalam bahasa Ra-Ram-Uri dimana hubungan kata ini terkait dengan Phoenicia kuno, Sumeria, dan India Utara.
Di India kuno, kultus Arya disebut ‘Brahm-Arya’, Arya menyembah banyak dewa dan Ibrahim berpaling dari kemusyrikan. Dengan demikian, dia bisa disebut menjadi ‘A-Brahm’ (bukan Brahman), Arya Asura menyebutnya ‘Ah-Brahm’, secara logika diasumsikan bahwa ayah dari peradaban Indus mungkin dari Yahudi. Yerusalem adalah orang Het (keturunan India dari kasta pemimpin), dalam kitab Kejadian 23:4 disebutkan bahwa Abraham meminta orang Het Yerusalem menjualnya plot pemakaman, orang Het menjawab: “…engkau pangeran di antara kami,…” Jika Abraham dihormati sebagai seorang pangeran oleh orang Het, dia juga anggota yang sangat dihormati keturunan penguasa dan kasta prajurit India. Alkitab tidak pernah menyebutkan bahwa Abraham bukanlah orang Het, orang Het mengatakan bahwa mereka mengakui Abraham, orang Het bukan etnis yang unik, baik itu orang Amori atau Amarru.
Marruta adalah nama kasta India jelata, kata ‘Amori’ (Marut) adalah nama kasta pertama dari Waisya India, mereka kaum pengrajin, petani, peternak, pedagang, dan lainnya. Menurut GD Pande dalam buku ‘Ancient Geography of Ayodhya’ disebutkan: “Marut mewakili Visah. Marut digambarkan membentuk pasukan atau kelompok. Rudra, ayah dari Marut, dia adalah tuan ternak”. Dalam hal ini, Khatti (Het) dan Marut (Amori) berfungsi sebagai ayah (pelindung) dan ibu (pendamping) Yerusalem.
Di India, orang Het juga dikenal sebagai Cedis atau Chedis (diucapkan Hatti atau Khetti). Sejarawan India mengklasifikasi mereka sebagai salah satu kasta Yadavas tertua. Cedi membentuk salah satu suku paling kuno diantara Ksatriyas (kelas bangsawan terdiri dari orang Het dan Kassites) dimasa Veda Awal. Pada awal periode Rgveda, raja Cedi memperoleh pengetahuan baru yang besar… salah satu kekuasaan terkemuka di India utara dalam Epik besar.

Ram atau Rama juga dari klan Yadava, jika Ibrahim, Abraham, Brahm, dan Ram adalah orang yang sama,… maka Ibrahim pergi ke Yerusalem bersama rakyatnya sendiri. Pengikut Ram yang memisahkan diri dalam komunitas mereka yang disebut Ayodhya, dalam bahasa Sansekerta berarti ‘Terkalahkan’. Kata Sanskerta untuk menyebut ‘tempur’ adalah Yuddha atau Yudh. Abraham dan kelompoknya berasal dari Ayodhya (Yehudiya, Yudea) umat yang tetap jauh dari kekafiran dan Amalek… (apakah Amalek adalah Arya?).

Melkisedek adalah seorang raja Yerusalem yang memiliki kekuatan mistik dan magis rahasia, dia juga disebut-sebut sebagai guru Abraham. Melik-Sadaksina adalah pemimpin besar India, seorang penyihir, dan raksasa spiritualis yang juga anak seorang raja Kassite. Di Kashmir dan bahasa Sansekerta, Sadak diartikan sebagai seseorang yang ajaib, berkekuatan supranatural. Zadok (Sadak) juga seorang imam supranatural yang memberkati Sulaiman. Jika demikian, mengapa kasta Kassite Melik-Sadaksina, tokoh mitos India secara tiba-tiba muncul di Yerusalem sebagai sahabat dan mentor Abraham?

Ajaran Ibrahim Dan Brahma

Fenisia dianggap sebagai suku pelaut dan pedagang yang saat ini menghuni wilayah Lebanon. Tetapi orang-orang Hindu memanggilnya Pancika atau Pani, orang Romawi menyebutnya Puni, nama yang berasal dari Rama. Orang Spanyol menyebut tanah Ra-Ram-Uri Chiahuahua diucapkan penduduk asli dengan lafaz ‘Shivava’. Dalam bahasa Sansekerta, Shivava diartikan sebagai Candi Siwa. Menurut ulama Hindu, Ram dan Dewa Siwa dulunya adalah dewa yang sama, Siwa dan Yah juga menonjol dalam praktik keagamaan asli Amerika dan ditemukan tertulis dalam Petroglyphs diseluruh Amerika Selatan.
Tidak satupun peradaban kuno termasuk China yang tidak terpengaruh pandangan agama Ram. Orang-orang Kristen dan Yahudi telah salah memahami bahwa Muhammad meniru ajarannya dari sumber Yahudi, yang benar adalah bahwa dalam periode waktu Muhammad, teologi Ram atau Ibrahim adalah dasar dari semua sekte agama, yang dilakukan Muhammad adalah untuk membersihkan manusia dari penyembahan berhala. Dalam buku Anacalypsis disebutkan:

“…Kuil Mekah didirikan koloni Brahmana dari India. Ini merupakan tempat suci sebelum masa Muhammad, dan mereka diizinkan untuk berziarah ke sana selama beberapa abad setelah waktunya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa popularitas tempat suci itu jauh sebelum masa nabi.”
Dalam catatan Ibid disebutkan: “…kota Mekah disebutkan para Brahmana pada buku-buku tua mereka, telah dibangun koloni dari India, dan penduduknya dari periode awal telah memiliki tradisi yang dibangun oleh Ismail, anak Agar. Kota ini, dalam bahasa Indus disebut Ishmaelistan.”

Sebelum memasuki periode Muhammad, orang-orang Hindu dari bangsa Arab disebut Tsaba. Tsaba atau Saba adalah kata Sansekerta, yang berarti ‘Majelis para Dewa’. Tsaba juga disebut Isya-Ayalam  atau Moshe-ayalam (Kuil Dewa Siwa) hanyalah nama lain dari Sabaism. Kata ini telah menyusut kedalam Islam, Muhamad sendiri merupakan keturunan keluarga Quaryaish yang pada awalnya Tsabaist. Tsabaists tidak menganggap Ibrahim sebagai Dewa yang sebenarnya, tetapi sebagai avatar atau ilahi yang disebut Avather Brahmo (Hakim Dunia Bawah).
Ketika memasuki periode Isa dengan bahasa masing-masing suku, simbolisme agama, tradisi bangsa Arab dan Yahudi hampir identik. Ketika itu, sebagian besar tidak terlihat perbedaan antara orang-orang Arab dan Yahudi. Sejarah membuktikan bahwa orang-orang Arab di periode Isa menyembah berhala, begitu pula kelas bawah dan orang-orang Yahudi yang berada di pedesaan.
Sejarah orang-orang Yahudi dimulai pada Zaman Perunggu di Timur Tengah ketika Allah menjanjikan seorang pemimpin pengembara disebut Abram, bahwa dia akan menjadi ayah dari orang-orang hebat jika melakukan seperti yang Tuhan katakan kepadanya. Yahudi menganggap Abraham sebagai Patriark pertama orang Yahudi, Abraham mengajarkan gagasan bahwa hanya ada satu Tuhan dimana sebelumnya orang-orang yang hidup pada waktu itu percaya pada banyak dewa. Tetapi ayah Abraham, Terach, adalah salah satu orang yang menjual berhala. Abraham ataupun Ibrahim adalah pondasi agama Kristen, Islam, dan Yahudi, sosok yang paling sulit dipahami dari semua tokoh-tokoh yang tercantum dalam kitab.
Sumber :

Referensi

Sumber : http://www.isains.com/2015/01/benarkah-ibrahim-abraham-adalah-brahma.html#ixzz3PzayvYJH

Follow us: @idsains on Twitter


Ada Konspirasi Jahat untuk Menjatuhkan Jokowi

$
0
0

289346_hut-pdi-perjuangan-ke-42_663_382

ISLAMTOLERAN.COM- Mencermati perkembangan situasi politik beberapa waktu terakhir, tergelitik rasa keinginan menjawab pertanyaan pokok dalam konteks terkait intelijen pengamanan. Yaitu, apakah ada upaya berupa sebuah konspirasi untuk menjatuhkan Jokowi sebagai presiden?

Dalam mencermati fungsi intelijen Lid, Pam dan Gal, maka pembacaan situasi harus didasari dari pertanyaan, fakta atau indikasi upaya conditioning (penggalangan) berupa penciptaan kondisi terkait pertanyaan tersebut diatas. Ini sangat penting bagi timsus inner circle Jokowi, untuk dapat dilakukannya tindakan penyelidikan lebih lanjut serta langkah pengamanan atau counter yang harus dilakukan.

Inti pertanyaan, dimana kekuatan Jokowi hingga menarik simpati konstituen pada saat pilpres? Titik ini yang akan diserang dengan paket wajar tetapi menghancurkan dan mematikan. Kekuatan pokok Jokowi adalah diharapkan akan membawa perubahan berupa kebaikan dan kemajuan kehidupan berbangsa, karena kejujurannya. Kemudian semuanya dikemas, maka menanglah dia.

Nah, kini untuk menghancurkannya, yang harus diwaspadai adalah serangan di titik kejujuran itu. Apabila diterjemahkan, komitmennya dalam pemberantasan korupsi harus tetap kuat, jangan sampai cacat. Terlepas dari dinamika politik yang menyebut adanya upaya kriminalisasi dan dinamika hukum yang menyebut politisasi, kekuatannya ada di rakyat, tetapi lawan yang mematikannya ada di Senayan.

Pemakzulan Gus Dur (Sebagai BDI)

BDI (Basic Descriptive Intelligence) adalah sebuah informasi dasar atau bisa disebut sebagai “the past”, yaitu kejadian masa lalu yang biasa dipergunakan oleh analis intelijen sebagai dasar analisa, dikaitkan dengan kejadian masa kini, agar analis dapat membuat sebuah ramalan intelijen (the future). Semua hanya disampaikan kepada user disamping disampaikannya juga saran tindakan atau counter yang harus diambil. Pemakzulan terhadap Gus Dur sebagai presiden adalah kejadian penting bagi Presiden Jokowi untuk dicermati, untuk menghindarkan dirinya dijatuhkan sebagai presiden. Mari kita bahas.

Beberapa bulan lalu penulis diundang ke BIN (Badan Intelijen Negara), diminta untuk mengkritisi buku yang ditulis oleh Kepala BIN (Letjen Pur Marciano Norman), yang berjudul “Mengawal Transformasi Indonesia Menuju Demokrasi Yang Terkonsolidasi.”

Penulis menilai buku tersebut (Intelijen Dari Masa Ke Masa) adalah karya tulis yang sangat baik untuk dibaca masyarakat karena diterbitkan oleh pimpinan Badan Intelijen Negara. Akurasinya tinggi.

Dari buku tersebut, penulis tertarik fakta terkait pelengseran Gus Dur yang ditulis oleh Marciano. Setelah Habibie jatuh (oleh DPR), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian yang terpilih menjadi presiden. Tokoh ini didukung oleh poros tengah yang mampu menumbangkan dominasi perolehan suara oleh PDIP yang sebenarnya berpeluang besar menang. Megawati akhirnya gagal menjadi presiden, dan kemudian menjadi Wapres bukan karena dicalonkan oleh PDIP, tetapi oleh Ketua Umum PKB (Alm.Matori Abdul Djalil), yang pasan badan dan kemudian dipecat oleh Gus Dur.

Pada awalnya Gus Dur, yang memiliki latar belakang personifikasi yang beragam yaitu sosok agamawan, budayawan, intelektual, reformis, dan lain-lain, ketika menempati posisi sebagai pemegang tertinggi kekuasaan eksekutif negara, mempunyai keinginan kuat untuk mereformasi sektor keamanan di Indonesia. Pada saat yang sama ia harus menghadapi sekian tantangan hingga tekanan dari sebagian pimpinan militer yang berusaha untuk menghambat reformasi politik total yang ingin diperjuangkannya.

Salah satu langkah penting yang dilakukan oleh Presiden Gus Dur di lingkungan intelijen dan militer Indonesia adalah menempatkan pejabat militer reformis di kalangan militer. Akibatnya Gus Dur menjadi kurang populer bahkan dimusuhi oleh sebagian perwira militer.

Upaya Gus Dur untuk merealisasikan niatnya dalam melakukan perubahan fundamental dalam organisasi TNI berhadapan dengan resistensi yang kuat oleh aliansi kelompok nasionalis di parlemen dan kalangan militer yang tidak senang dengan campur tangannya dalam upaya realisasi reformasi total. Dalam waktu bersamaan Gus Dur juga menghadapi eskalasi konflik di Aceh, Maluku, dan Poso, dimana timbul kerusuhan dan konflik.

Dengan menggunakan teori nalar konflik dan nalar konspirasi, saat itu muncul dugaan yang berkembang di kalangan kritis bahwa kerusuhan dan konflik itu sebenarnya telah di-setting pihak tertentu yang ingin Indonesia tidak stabil. Dalam keadaan seperti ini nyaris tidak ada catatan impresif dalam masalah keamanan di masa pemerintahan Gus Dur.

Gus Dur harus menghadapi kenyataan politik dimana ia harus lengser dari jabatannya karena tekanan-tekanan berat yang dilakukan oleh faksi-faksi di parlemen yang menghendaki pelengserannya. Sebagai penggantinya sebagai presiden, Megawati Soekarnoputri kemudian dilantik, yang sebelumnya adalah wakil presiden. Intinya Gus Dur yang demikian popular dimata rakyat, akhirnya lengser karena keputusannya menyentuh titik rawan terlalu dalam.

Indikasi dan Sarana Konspirasi Masa Kini

Secara umum teori konspirasi atau persekongkolan (conspiracy theory) adalah teori-teori yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Banyak teori konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah telah didominasi oleh para konspirator belakang layar yang memanipulasi kejadian-kejadian politik (Wiki).

Konspirasi adalah bagian dari sebuah operasi penggalangan, merupakan ilmu intelijen yang memerlukan beberapa sarana. Penggalangan (conditioning) menggunakan beberapa sarana seperti sabotase, riot (kerusuhan), teror, rumors yang melaksanakan aksinya secara klandestin (tertutup). Dimana tujuan akhirnya untuk merubah dan menciptakan opini, agar target mau berfikir, berbuat dan memutuskan seperti apa yang dikehendakinya.

Dari perkembangan politik yang berlaku, dimana dalam kasus kemelut penggantian Kapolri, proses hukum kini justru menjadi sentral kerawanan presiden, di titik inilah Jokowi harus hati-hati dan waspada terhadap upaya pelengseran. Apakah kasus pemilihan Komjen Pol Budi Gunawan oleh Jokowi merupakan awal dari pelemahan KPK?

Pembacaannya rasanya bukan seperti itu. Dimainkannya isu Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang tidak bersih, munculnya laporan tidak bersihnya para pimpinan KPK serta penetapan sebagai tersangka hanyalah sebagai trigger. Ini entry point yang akan menyudutkan presiden kearah pengambilan keputusan berbahaya dengan istilah “maju kena, mundur kena.”Institusi Polri, KPK dan DPR hanya dipergunakan sebagai sekedar alat yang akan merusak kredibilitas Jokowi sebagai Presiden.

Dinilai dari BDI, Polri dan KPK sudah dua kali terlibat konflik, mereka emosional, berebut pengaruh, mudah digosok. Kini citra Jokowi sebagai pemimpin yang kurang bermutu (maaf), kurang pandai, kurang pantas, tergantung, dan banyak penjatuhan nilainya, itulah sasarannya. Beberapa keputusan sulit memang di setting merupakan keputusannya.

Pembacaannya dari sisi “sense of intelligence” sederhana. Indikasi pertama, dari penjelasan Ketua Tim Independen, Buya Syafii Maarif, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/1/2015) menyatakan pencalonan BG bukan atas inisiatif Jokowi. “Jujur, itu sebetulnya pengajuan BG bukan inisiatif presiden. Ini benar, saya mendapat informasi yang cukup bagus,” tegasnya. Buya menolak menyebut inisiator pencalonan. “Saya tak mau menyebut nama. Itu sudah rahasia umum, Anda harus tahu itu, kata Buya.

Indikasi kedua, yaitu proses fit and proper test BG di DPR. Fraksi PDIP mendukung proses uji kelayakan BG di Komisi III dan paripurna DPR RI. Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Junimart Girsang (ahli hukum) menyatakan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/1/2015), “Fit and proper test tidak ada hubungannya dengan penetapan tersangka.” Junimart mengingatkan seluruh pihak untuk mengedepankan azaz praduga tidak bersalah. “Sampai nanti ada keputusan hakim,” ‎katanya. Sementara KPK pada hari yang sama menetapkan BG sebagai tersangka kasus Tipikor.

Indikasi ketiga, suksesnya Uji kelayakan BG di DPR, Rabu (14/1/2015) tanpa banyak masalah. Dalam rapat pleno Komisi III, Ketua Komisi III, Aziz Syamsuddin menyatakan Komisi III secara aklamasi menyetujui pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Selanjutnya Komisi III menyetujui untuk memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman. Dalam rapat paripurna DPR yang dilaksanakan hari Kamis (15/1/2015), yang dihadiri 411 anggota DPR (PDIP 80 anggota, Golkar 65, Gerindra 57, Demokrat 41, PAN 35, PKB 35, PKS 27, PPP 25, NasDem 34, dan Hanura 12). Dari 10 fraksi di DPR, hanya Demokrat yang menolak Budi Gunawan menjadi Kapolri.

Indikasi keempat, munculnya laporan terhadap para komisioner KPK. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri. BW sempat ditangkap untuk diperiksa kemudian dilepaskan. BW dijerat kasus pengarahan pemberian kesaksian palsu di sengketa pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah.

Selain BW, sisa tiga pimpinan KPK lainnya juga dilaporkan ke Mabes Polri. Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan karena kasus pengambilan secara ilegal saham sebuah perusahaan daerah. Kemudian menyusul Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Zulkarnain juga dilaporkan.

Indikasi lain yang memperkuat, Effendi Simbolon, menegaskan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Jika ingin melakukan impeachment sekaranglah saatnya. Karena banyak celah yang bisa dilakukan (untuk memakzulkan Presiden),” katanya saat diskusi publik bertajuk Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK di Jakarta, Senin, 26 Januari 2015.

Efendi menegaskan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/1/2015), “Kalau seperti ini keadaannya dan dia tidak membenahi, ini jadi peluang lawan politiknya, bisa didorong untuk dijatuhkan. Maksud saya, saya tidak rela kalau hanya Jokowi yang jatuh. Dua-duanya. Saya ingatkan, ini politik lho. Mana mungkin kelompok tertentu nunggu 5 tahun,” tegasnya. Kritik-kritik ini, sambung Effendi, bukan karena sakit hati. Bukan juga karena suruhan Megawati. Dia menganggap Jokowi belum berpengalaman sehingga belum memberikan kinerja maksimal. Dia juga mengkritik perekrutan menteri Jokowi yang dianggap tidak sesuai sistem.

Nah, dari beberapa indikasi yang diantaranya dapat dinilai sebagai fakta, jelas harus diuji oleh inner circle presiden, terlihat bahwa ada arah yang menyudutkan dan menurunkan kredibilitas serta citra Jokowi sebagai presiden. Jokowi bukan diuji dalam pengambilan keputusan, tetapi dia harus mengambil keputusan berbahaya karena menghadapi pressure beberapa pihak yang mana dukungan politik terhadap dirinya semakin menurun.

Analisis dan Kesimpulan

Dari beberapa analisis indikasi serta fakta diatas, sangat terasa bahwa bau konspirasi tercium semakin menyengat untuk melengserkan Jokowi. Konflik Polri-KPK hanya dipergunakan sebagai awal penurunan kredibilitas dan citranya. Bumbu penyedap lainnya adalah dilibatkannya DPR yang mungkini juga tidak faham dengan permainan ini.

Pengajuan Komjen Budi Gunawan yang informasinya bukan kebijakannya, pelemparan bola panas keputusan DPR ke tangannya, dukungan tidak realistis parpol pendukung, ungkapan impeachment dari kader tempat dia bernaung, keputusan penerbitan kepres pemberhentian komisioner KPK, semuanya hanya mengarahkan Jokowi ke jurang dalam dan gelap yang suatu saat akan sulit ditolong.

Jokowi yang terpaksa menunjuk tim Sembilan untuk membantu memecahkan masalah konflik Polri-DPR dinilai banyak pihak sebagai pemimpin yang lemah, tidak tegas dan kurang smart. Ada anggota DPR yang ikutan mengeritik.

Dalam teori konspirasi pengalangan, konspirator sadar bahwa dukungan rakyat terhadap Jokowi masih sangat kuat, masih diatas 50 persen. Ini langkah awal yang harus dirusaknya. Oleh karena itu kini dia meyakinkan rakyat bahwa Jokowi ternyata sosok yang salah untuk di dukung. Kesalahan mencalonkan Kapolri yang tersentuh masalah tipikor merupakan titik rawan dan fatalnya dan bukti dia tidak pro anti korupsi.

Si perencana kini menggunakan pakem intelijen penggalangan yang sangat terkenal “Let them think, let them decide.” Yang pengertiannya, biarlah rakyat berfikir dan biarkan rakyat memutuskan. Nah, kini mulai muncul demo skala kecil tetapi menggigit, survey negative, dan semua akan mengarah ke satu titik, memang Jokowi pantas di impeach. Itulah jahatnya sebuah tindak konspirasi, pihak yang menjadi sasaran dan target utama biasanya tidak menyadarinya. Menyesal setelah terjadi.

Solusi penyelamatan Jokowi, hanya satu. Jokowi mesti berani agak nekat, seperti perintahnya “tenggelamkan kapal pencuri ikan”, “tidak akan mengampuni hukuman mati bandar narkoba.” Daripada jatuh memalukan nanti seperti Gus Dur dilengserkan DPR, Jokowi bisa nekat sedikit, batalkan pelantikan Budi Gunawan, tata kembali institusi Polri, tunjuk Kapolri baru, selesaikan masalah komisioner KPK. Intinya Jokowi harus menunjukkan sikap pro pemberantasan korupsi.

Tidak usah ragu Pak Presiden, bapak adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Jabatan hebat yang kalau tegas akan di dukung rakyat. Kalau sudah berniat baik membangun Negara dan mensejahterakan rakyat, lurus, anti korupsi, masih tetap mau di lengserkan DPR, ya dipastikan Senayan akan di geruduk rakyat. Coba saja kalau berani itu DPR. Sebagai penutup, “Kemana saja itu pembantu-pembantu presiden? Kesannya Jokowi hanya solo karir!.” Atau memang konspirasi itu semakin kuat?

Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen,

Sumber: http://www.islamtoleran.com/ada-konspirasi-jahat-untuk-menjatuhkan-jokowi/


Benarkah Buddha Sosok Yang Sama Dengan Zulkifli?

$
0
0

2 Feb 2015

buddhaBerbagai pendapat telah mengungkap teori mereka, diantaranya para sejarawan  yang terus berusaha mempelajari asal ajaran Buddha dan bagaimana penyebarannya. Persamaan kisah dan penalaran ayat-ayat kitab suci telah merangsang sejarawan menafsirkan pendapat yang ‘mungkin’ saja benar, atau bisa saja semua ini hanya menduga berdasarkan kemiripan keduanya. Siapakah Buddha (Sidharta Gautama), dan siapakah Zulkifli? Apakah keduanya adalah sosok yang sama?
Ketika manusia menganut agama tertentu dan menjalani rutual untuk menyembah Tuhan, kemudian datang kecerdasan sejati sebenarnya dari ajaran Sidharta Gautama, yang juga disebut Buddha. Ajarannya mulai menyebar diwilayah penganut agam tertentu dan mengutuk ritual yang dilakukan oleh masyarakatnya. Kemudian mereka dibujuk untuk menyembah satu Tuhan, dia mengatakan bahwa kebahagiaan sejati dengan cara mengendalikan sikap dan kemurnian jiwa. Buddha mengatakan pada mereka bahwa penyebab utama semua penderitaan adalah hasrat manusia dan menjauh dari Tuhan. Mengendalikan nafsu dan senantiasa membersihkan diri dan jiwa manusia, pada akhirnya akan mencapai tahap kebahagiaan yang abadi. Dengan cara ini orang-orang terpikat oleh ajarannya.

Siapakah Buddha Dan Zulkifli?

Dan mereka beranggapan bahwa semua cerita tentang Tuhan tidak masuk akal, mereka melecehkan Tuhan dan berpaling, tetapi ada pula yang mengikuti ajaran Buddha. Maka lahirlah satu agama yang paling penting didunia sekitar abad ke-5 SM. Kemudian pada abad ke-4 SM, Buddha mengubah ajarannya menjadi empat aliran, diantaranya ajaran Mahasanghika yang lebih welas asih. Kemudian pada abad pertama masehi muncul ajaran Mayana, para penganut agama mengemukakan bahwa tuhan adalah Buddha, dan beberapa abad kemudian agama Buddha mulai melaksanakan ritual.
Mungkinkah agama terlahir dan menyebar sangat cepat, selama kurang dari 2 abad menyerukan suatu ajaran yang membuat sebagian besar manusia didunia berhenti mengikuti ajaran sebelumnya? Mengapa ajaran Buddha yang mulanya mendukung Atheism murni mulai berubah pandangan dan beradaptasi dengan konsep Ketuhanan?

Dalam hal penyusunan sejarah, beberapa sejarawan masih banyak yang tidak mengerti ilmu agama. Sebagian besar sejarah manusia berasal dari sana, tetapi terkandung sejarah itu tercantum dalam kitab suci agama. Agama lahir saat iman manusia sedang goyah, lahir dari kondisi ekonomi dan iklim sosial dan kebutuhan umum. Pada saat manusia mengalami kemajuan dalam siklus evolusi, manusia terus merespon dan mengembangkan respon mereka terhadap kondisi yang dihadapi.

Suatu pandangan baru lahir dalam catatan sejarah, bahwa ajaran Buddha lahir saat terjadi bencana kekeringan diseluruh dunia berlangsung selama 3 abad pada tahun 2200 SM. Jutaan manusia tewas kehausan dan kelaparan, rakyat terus memohon kepada tuhannya untuk menyelamatkan mereka dari bencana, tapi tidak menghasilkan apapun sampai mereka mulai ragu dan mempertanyakan “apakah Tuhan benar-benar ada?”, bahkan ketika bencana mulai surut, iman yang goyah tidak dapat dipulihkan. Dalam kondisi ini, Buddha datang dan menyerukan kepada mereka untuk tidak membuang waktu untuk beribadah dan memohon kepada setiap tuhan untuk mengakhiri penderitaan mereka.
Gautama Buddha, zulkifli
Dia menyerukan bahwa untuk menuju kebahagiaan harus mengendalikan hawa nafsu yang merupakan akar penyebab semua penderitaan, menganut prinsip jiwa manusia harus terlepas dari keduniawian. Karena  kondisi iman manusia sedang goyah, mereka memutuskan untuk berpaling dari ajaran sebelumnya dan memeluk agama baru secara besar-besaran, maka lahirlah agama Budhha.
Teori dan praktek kebatinan yang diajarkan Buddha membutuhkan waktu dalam penyerapan dan menyatukannya di masyarakat. Setelah beberapa abad penganut ajaran Buddha menyusut, aliran agama mulai bercabang menjadi beberapa aliran dibawah kekaisaran besar. Aliran ini mengambil langkah kebijaksanaan untuk menyebarkan agama semakin jauh dan meluas, setelah agama menyebar secara merata mereka mendapat tantangan pertama berupa pemberontakan yang dirasakan para penganut Buddha. Agama telah diatur sebagai tameng bagi biarawan egois yang tidak peduli pada kepentingan masyarakat.
Efek dari situasi ini, maka muncullah satu aliran yang lebih penuh kasih yaitu Mahasanghika. Beberapa abad kemudian kenangan tentang bencana besar yang pernah terjadi sudah hilang, pendapat tentang Tuhan yang maha kuasa penuh kasih muncul kembali sebagai penyejuk batin. Fikiran tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat, orang ingin menyembah setelah melihat semua kebesaran Tuhan. Untuk memenuhi kebutuhan spiritual tersebut, penganut Buddha harus menggabungkan konsep agama yang kemudian muncul aliran Mahayana.
Aliran ini mengemukakan bahwa Tuhan adalah Buddha itu sendiri, ajaran ini memunculkan pemikiran bahwa Tuhan semu disebut Bodhisatva. Penganut Buddha bahkan menyesuaikannya dengan praktek Tantric untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Meskipun telah disesuaikan, unsur agama tidak lagi memadai dan ajaran Buddha akhirnya menghilang dan terhapus setelah lebih dari satu millennium dan melewati beberapa tahap, tetapi tetap berkembang dibagian dunia lain. Semua ini berlangsung selama lebih dari 2 ribu tahun, sekitar tahun 1800-1000 SM. Ajaran ini menyebar beberapa peradaban dalam waktu singkat, terbagi menjadi aliran besar atau pemikiran, dan kemudian menyusut dalam satu millennium.
Sementara buku sejarah sama sekali tidak realistis dalam memaparkan sejarah ajaran Buddha, mengabaikan aspek ilmu agama dan menampilkan gambar yang tidak realistis. Setiap agama dan aliran termasuk ajaran Zoroastrianisme, Vaishnavism, Saivism, Yahudi, Kristen, Islam, agama dan budaya lainnya memiliki sejarah sendiri tentang bagaimana awal ajarannya, berevolusi, bermutasi dan berubah, tergantung pada kondisi sosial ekonomi yang terjadi pada saat itu. Zoroastrianisme lahir sebagai bentuk pemberontakan terhadap aturan agama yang menindas kaum tertentu yang membuat mereka melihat sisi jahat dari Tuhan, kemudian disebut sebagai penyembah setan diseluruh dunia. Aturan menindas yang sama dibuat orang-orang Mesopotamia, dimana mereka dianggap rendah dibandingkan Dewa.
Vaishnavism dan Saivism lahir dari bencana alam besar yang membuat mereka membayangkan Tuhan sebagai bagian dari alam semesta. Penyembahan berhala dilarang dalam agama Yahudi bukan karena perbuatan dosa, tetapi karena Musa ingin menyelamatkan kaummya dari pengaruh suku tetangga. Yudaisme lahir dari perjuangan besar yang dilakukan oleh Musa dalam menghadapi bencana kekeringan yang sama lemahnya dengan iman kaumnya. Begitu pula perpecahan tentang defenisi Tuhan dalam ajaran Kristen menjadi dua (ayah dan anak), semua ini akibat dari perpecahan pandangan antara dua sekte keagamaan.

Kelahiran Buddha

Sekitar abad ke-6 SM, lahir seorang pria bernama Siddharta Gautama di Kapilavastu atau Kapilavathu, dalam bahasa arab disebut Kafli. Dia adalah anak dari raja Suddhodana dan permaisuri Maha Maya, diaman Suddhodana adalah keturunan keluarga Sakya Kesastrian dan wilayahnya berdekatan dengan Nepal. Permaisuri Maha Maya juga adalah seorang putri raja yang memerintah Koliya Anjana wilayah Devadaha. Sebelum kelahiran Buddha, permaisuri bermimpi  empat orang dewa dari gunung yang tinggi dan melihat gajah putih yang indah. Dalam belalai gajah membawa bunga teratai, gajah mengelilinginya 3 kali sebelum masuk ke perut permaisuri.

Kelahiran Bodhisatta diperkirakan pada tahun 623 SM ketika bulan purnama Waisak. Sebagian besar pendapat mengatakan bahwa permaisuri Maha Maya meninggal tujuh hari setelah melahirkan Bodhisatta. Hari kelahiran Bodhisatta dikabarkan bermakna supranatural oleh seorang pria tua yang dipenjara dikaki bukit Himalaya, dia bergelar Asita yang juga disebut Kala Devala. Asita bergegas ke istana pada hari berikutnya untuk melihat putra Raja Suddodana, dia menemukan 32 tanda utama dan 80 tanda tanda kecil Bodhisatta sebagai petunjuk yang baik untuk manusia dan para dewa.

Asita menangis karena sedih tidak bisa mendengar ajaran Buddha di masa depan, kemudian berlutut member hormat kepada bayi Bodhisatta. Menurut Asitad, dia akan menetap di istana dan akan berhasil merubah kebiasaan di lingkungan istana, atau dia akan menjadi guru besar yang agung. Upacara pemberian nama pada pangeran muda dilaksanakan pada hari kelima setelah kelahirannya, dimana 108 orang bijak memberinya nama Siddharta Gautama yang berarti ‘cita-cita menjadi kenyataan’.
Siddharta tumbuh dan besar di istana, menjadi mahasiswa yang luar biasa cerdas dan mahir dalam ilmu negara, para guru yang mengenalnya terkejut dan dia adalah seorang yang lembut hati, tidak ada seorang pun yang pernah melihatnya menganiaya hewan sekalipun. Bahkan dia sangat sedih melihat petani yang bekerja keras membajak sawah dibawah terik matahari, sehingga membuatnya lari ke satu pohon ke pohon lainnya untuk bersemedi menghilangkan keresahan hati.

Buddha Dan Zulkifli, Sosok Yang Sama?

Beberapa pendapat mengatakan bahwa Zulkifli adalah sosok yang sama dengan Siddharta Gautama, Buddha. Darimana mereka berpendapat demikian, dan apa saja bukti yang mereka lampirkan? Untuk mempertimbangkan pendapat ini, maka sejarah hidup berdasarkan sumber yang dianggap mereka ‘ada kemungkinan’ keduanya adalah sosok yang sama.
Menurut Abul Kalam Azad seorang sarjana Urdu, Buddha Shakyamuni atau dikenal sebagai guru suci bagi umat budha tidak lain adalah Zulkifli, dimana Quran menyebutnya sebagai nabi yang memiliki kesabaran tingkat tinggi dan sangat baik. Dalam bahasa Arab, Zulkifli diartikan sebagai orang yang berasal dari Kifl, untuk menyebut Kapila atau Kapilavastu. Buddha Maitreya, yang dikenal dalam ajaran Budhha sebagai masa depan Budha, menurut analisis tidak lain adalah nabi terakhir yang disebutkan dalam buku Chakkavatti Sinhnad Suttanta tertulis ‘…akan muncul di dunia Buddha Maitreya yang baik hati, yang suci, yang tertinggi, menerangi, penuh kebijakan dalam tingkah laku, menguntungkan dan mengenal alam semesta’.
Zulkifli juga diartikan sebagai pelaksana amanat raja, dari raja yang sudah berusia lanjut dan ingin mengundurkan diri dari pemerintahan, namun dia tidak memiliki anak. Sang raja megatakan bahwa syarat untuk menggantikannya harus dapat berpuasa disiang hari, beribadah dimalam hari, dan selalu sabar ketika menghadapi urusan. Seorang yang bernama Basyar dengan suara nyaring menyatakan kesediannya, maka denga keberanian dan kemampuannya Basyar melaksanakan mandat raja, kemudian diberi gelar Zulkifli. Ismail, Idris dan Zulkifli adalah orang orang yang sabar dan Allah memberikan rahmat kepada semuanya karena kesabaran mereka.
Kata Buddha berarti orang bijak atau yang mendapat petunjuk, istilah ini juga diartikan sama dengan nabi. Nabi dalam bahasa arab identik dengn Buddha sebagaimana yang dipahami oleh umat Buddha, persamaan dari pengertian ini disimpulkan sebagai seseorang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mendapat kedudukan yang tinggi. Buddha pernah mengatakan tentang kedatangan Buddha Antim, yang berarti terakhir Buddha terakhir. Pada saat kematian Buddha, dia mengatakan hal tersebut kepada pengikut setianya yang bernama Ananda.
buddha
Tidak ada kata Budha disebutkan dalam Quran, tetapi menurut Alexander Berzin bahwa catatan dari para sejarawan dan peneliti telah mengaitkan beberapa ayat Quran dengan Budha, diantaranya dalam ayat At-Tin 95:1 disebutkan;

Demi (buah) Tin dan (buah) zaitun, dan gunung Sinai, dan demi kota (Mekah) yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik…..

Menurut Alexander Berzin, buah zaitun melambangkan Yerussalem, yaitu Isa. Gunung Sinai melambangkan Musa dan umatnya, kaum Yahudi. Mekkah melambangkan Islam dan Muhammad, dan buah Tin (berasal dari pohon Ara) tak lain adalah pohon Buddha, dimana pohon ini merupakan tempat Siddharta mencapai pencerahan. Menurut Al Qasimi, Allah bersumpah dengan buah Ara yang dimaksud adalah pohon Buddha, perumpamaan dalam Quran ditujukan untuk Buddha. Disebutkan dalam sejarah, bahwa Buddha duduk dibawah pohon Ara (Tin), dalam istilah islam disamakan dengan mencari wahyu dan duduk dalam mencari inspirasi.
Hamid Abdul Qadir, sejarawan abad ke-20 menuliskan dalam bukunya ‘The Great Buddha: History and His Teachings’ bahwa Buddha adalah nabi Zulkifli, yang berarti dia yang terlahir dari Kifli, dan Zulkifli disebutkan 2 kali dalam Quran. Mawlana Abul Azad Muslim, teolog abad 20 juga mengatakan bahwa Zulkifli dalam Quran mungkin sosok yang sama dengan Buddha. Dalam sejarah Islam, kisah nabi Zulkifli paling sedikit dibahas, mungkin menjadi faktor mengapa sebagian ulama menyamakan karakter Zulkifli dalam Alquran dengan Buddha yang secara kebetulan banyak kesamaan dalam kasus yang disesuaikan.
Bagaimana dengan pendapat sejarawan lain yang menyebutkan bahwa ajaran Buddha dimulai sejak abad ke-22 SM? Dan bagaimana pula kisah Idris yang disebutkan tentang bunga (Teratai, Lily)? Bukankah dalam ayat Al-Anbiya 21:85 juga disebutkan bahwa Ismail, Idris dan Zulkifli termasuk orang-orang yang sabar? Dan bukan tidak mungkin ajaran Buddha sudah dimulai jauh sebelum abad ke-5 SM.
Zulkifli juga disebutkan identifikasi sama dengan Yehezkiel, Joshua, Obaja, dan Yesaya. Mirza Tahir Ahmad, seorang Khalifah Keempat Ahmadiyah, juga mengidentifikasi Zulkifli sama dengan Buddha. Ada kesenjangan dalam pemahaman ini, diantaranya keterbatasan tentang sejarah Zulkifli yang sangat sedikit tercatat kitab suci. Siapa dia sebenarnya dan bagaimana umatnya, tidak ada yang mengetahui secara pasti, apakah Zulkifli sosok yang sama dengan Buddha, dimana periode waktu kehidupannya bersamaan sekitar abad ke-5 dan ke-6 SM.

Referensi

  • Buddha by Otgonbayar Ershuu, Painting of the parinirvana of Gautama Buddha, image courtesy of Wikimedia Commons

Sumber : http://www.isains.com/2015/02/benarkah-buddha-sosok-yang-sama-dengan.html#ixzz3QYYUkqTY

Follow us: @idsains on Twitter


WAHABI KACAUKAN INDONESIA MELALUI MILYARAN DOLLAR DANA AS-ISRAEL-SAUDI ARABIA

$
0
0

10547648_10204207082407168_4948625370960487162_n (1)Milyaran Dollar dana Wahabi mengalir ke Indonesia untuk hancurkan NU dan Syi’ah !! Gerakan anti Iran juga dilakukan di berbagai negara lain

Hamzah al-Hasan, aktivis Saudi mengungkap kenakalan Riyadh terhadap Tehran dengan membuka kantor-kantor perwakilan untuk kelompok oposisi Republik Islam di Kairo, Mesir

Fars News (15/2) melaporkan, Hamzah menilai undangan Riyadh kepada tokoh-tokoh anti-Iran yang tinggal di luar negeri dalam sebuah festival warisan budaya Arab Saudi sebagai langkah pendahuluan agar pihak-pihak lain juga melakukan hal yang sama.

Rezim al-Saud juga tengah mengupayakan sanksi terhadap Republik Islam Iran khususnya di sektor minyak dan menurut Hamzah, “Tampaknya Arab Saudi sangat mengkhawatirkan peningkatan popularitas Iran dan sambutan masyarakat r9786027689800egional terhadap perspektif revolusi Iran dan mereka beranggapan dengan mendukung kelompok oposisi, mereka dapat melemahkan posisi Republik Islam, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa langkah-langkah tersebut justru sangat membayahakan Saudi.”

Aktivis Saudi itu kemudian menyinggung perluasan aksi demo dan protes warga di Timur Arab Saudi serta menujukan pernyataannya kepada para pemimpin negara ini dengan mengatakan, “Berhati-hatilah dengan dinding kaca rumah kalian, jangan kalian melempar batu ke arah dinding rumah pihak lain, karena sekali saja batu terlempar ke arah kalian, maka tidak akan tersisa rumah kalian.”

Menyinggung watak esktrim para pejabat Arab Saudi yang berusaha mencari gara-gara dengan Iran, Hamzah mengatakan, “Meski semua pejabat al-Saud berwatak ekstrim, akan tetapi sebagian mereka lebih ekstrim dan menuntut konfrontasi politik, ekonomi, dan bahkan keamanan dengan Iran, dan menurut saya dukungan terhadap kelompok-kelompok anti-Republik Islam hanya salah satu dari langkah mereka.”

Hamzah juga mengungkap pembukaan kantor perwakilan kelompok anti-Republik Islam di Kairo, Mesir, dengan dukungan finansial dari Arab Saudi dan mengatakan, “Dukungan dana Riyadh kepada kelompok oposisi anti-Republik Islam sebenarnya bukan masalah baru karena sudah sejak lama rezim Saudi mendukung aktivitas kelompok-kelompok oposisi anti-Republik Islam di Iran.”

Kemenangan Revolusi Islami Iran pada tahun 1979 menarik perhatian masyarakat dunia dan menunjukkan kepada mereka bagaimana Iran yang dengan tangan kosong dapat memenangkan revolusi berdarah. Dengan menangnya revolusi itu, Al-Qur’an dan sunah Rasul serta Ahlul Baitnya berhasil dijadikan pondasi utama undang-undang negeri ini.

Revolusi agung Iran mendorong para cendikiawan dunia untuk semakin mengenal Iran lebih jauh, khususnya tentang mazhab Syiah; mereka semakin ingin menyentuh fakta yang ada dengan jiwa dan raga mereka. Mazhab Syiah adalah mazhab pecinta Ahlul Bait yang sering disebutkan dalam Al-Qur’an, begitu pula pujian-pujian serta hak-haknya yang istimewa.

Fenomena ini begitu menakutkan bagi Barat dan musuh utama Islam, yaitu Israel. Mereka khawatir Iran dapat memberi pengaruh bagi negara-ngera lain yang mana hal itu pasti membahayakan kepentingan mereka. Oleh karena itu mereka berusaha menciptakan “kelompok-kelompok minoritas agama” yang sebelumnya sama sekali tidak ada, dengan tujuan terciptanya perpecahan dan ikhtilaf di antara umat Islam. Sehingga dengan demikian mazhab Ahlul Bait menemukan kendala dalam menyebarkan pemikirannya.

Di antara kelompok-kelompok minoritas yang ada, adalah kelompok Wahabi. Kelompok ini lebih menonjol ketimbang yang lainnya karena selalu difasilitasi secara luar biasa baik dari segi finansial maupun dukungan lainnya. Yang jelas, tak lama setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, dengan gencar Wahabi menulis buku, menyiarkan program-program televisi, radio, dan lain sebagainya, yang berisikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap mazhab Syiah; dengan tujuan menciptakan citra bahwa Syiah tidak rasional dan perlu dijauhi oleh kita semua.

Dalam sejarah mazhab-mazhab tidak ada yang melebihi Wahabi dalam hal dukungan finansial yang mereka dapat. Hanya sebuah buku yang berjudul Asy -Syiah va At-Tashih (buku yang mengkritik Syiah) ini saja dicetak sebanyak delapan juta eksemplar di kota Khartoum, ibukota Sudan, dan dua juta eksemplar di kota-kota lain negeri itu lantaran banyak penduduk Sudan yang tertarik dengan mazhab Ahlul Bait.

Banyak yang mengamati fenomena ini dan sampai ada yang menyatakan bahwa ada sekitar 40.000 website yang menyerukan pertentangannya terhadap Syiah. Ada kurang lebih 10.000 judul buku yang ditulis untuk mencela mazhab ini. Namun, anehnya usaha mereka semakin membuat banyak orang bertanya-tanya penasaran, memangnya ada apa dengan mazhab itu? Akhirnya mereka malah mencari tahu dan berusaha menyaksikan dengan mata kepala sendiri seperti apakah Syiah yang dipojokkan itu?

Banyak sekali para pencari kebenaran yang berdatangan ke Iran dan berhubungan langsung dengan para ulama setempat. Lalu mereka menyadari bahwa segala yang pernah ia dengar sebelumnya hanyalah omong kosong. Akhirnya mereka justru memeluk mazab ini. Sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:

“…dan mereka memeluk agama Allah secara berkelompok-berkelompok.”

Dengan demikian tanpa ada upaya serta langkah apapun dari pihak ulama Syiah, dengan sendirinya banyak sekali dan bahkan terus bertambah orang yang berminat untuk mempelajari mazhab ini; sebagaimana halnya yang kita saksikan di Mesir, Jordania, dan tanah Arab lainnya. Tak hanya di Arab saja! Bahkan Amerika dan Eropa juga mulai mengikuti arus yang ada.

Sungguh menajubkan sekali, sejarah telah terulang. Vatikan juga pernah melakukan usaha yang sama demi merusak citra Islam sehingga muncul Islamophobia. Namun ternyata hasil yang didapat terbalik, justru gencar gerakan pro Islam kita saksikan akhir-akhir ini di Amerika dan Eropa. Dengan izin Allah, Eropa yang kini mayoritas beragama Kristen kelak akan memeluk Islam, Insya Allah.

Wahabi, yang lebih tepatnya Wahabiah adalah aliran yang muncul pada abad ke 8 yang disebarkan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Tujuannya adalah menciptakan perpecahan antar umat Islam. Mereka mengkafirkan semua orang selain penganut alirannya sendiri.

Wahabiah dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah Harani pada abad ke 8. Ia bertentangan dengan sunah Rasulullah saw.; misalnya sama sekali tidak mau menikah. Karena pemikiran-pemikirannya yang menyeleweng, sesuai keputusan ulama setempat waktu itu ia sampai dipenjara sebanyak empat kali. Ibnu Taimiyah mendapat banyak kritikan pedas dari ulama Ahlu Sunah dan juga dicap kafir. Sebagian ulama Ahlu Sunah yang telah mengkafirkannya seperti:

  1. Taqiuddin As-Sabki, salah seorang pembesar mazhab Syafi’iyah.[1]
  2. Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ad-Dzahabi, ahli sejarah dan ilmu Rijal yang diakui di kalangan Ahlu Sunah, yang mana ia dulu juga murid Ibnu Taimiyah. Ia mengkritik Ibnu Taimiyah dalam tulisannya yang berjudul Bayanu Zughlil Ilm wal Thalab.[2]
  3. Ibnu Hajar Haitami, orang yang mengakui bahwa Ibnu Taimiah adalah hamba yang telah dihinakan Tuhan yang menjadi tuli dan dibutakan oleh-Nya.
  4. Qadhi Tajuddin As-Sabki, yang menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang yang membahayakan ulama. Ia pernah menulis dalam salah satu bukunya: “Ia telah menggiring murid-muridnya ke jurang neraka.”[3]
  5. Allamah Taqiuddin Al-Hishni, menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan penyakit. Ia orang yang sesat dan suka mengumbar fitnah.
  6. Ibnu Hajar Al-Asqalani, penulis syarah Sahih Bukharidan dikenal dengan sebutan Amir Al-Hadits. Ia begitu membenci Ibnu Taimiyah karena dikenal sebagai orang yang suka mencela dan tidak menerima hadits-hadits sahih. Ibnu Hajar menulis: “Ia selalu menolak hadits-hadits sahih dan sering mencela orang-orang (seperti Allamah Al-Hilli yang sezaman dengannya yang mana beliau disebut Ibnu Taimiyah dengan sebutan Ibnu Mutanajjis atau “anak orang yang najis”). Ia sangat berlebihan dalam hal itu sampai-sampai ia sempat pernah mencela Ali bin Abi Thalib.[4]
  7. Alusi, penulis tafsir yang terkenal juga termasuk orang-orang yang telah mengkafirkannya. Ia juga sependapat dengan Ibnu Hajar dengan berkata, “Ia memang terkenal dengan caciannya dan perkataan kotornya.”[5]
  8. Sayid Hasan As Saqaf, termasuk orang yang sezaman dengan kita, begitu juga Zahid AL-Kautsari serta sekelompok ulama lain berkata bahwa ia orang yang mengikuti Muawiyah dan selalu menyerang serta memojokkan Imam Ali as juga mencari aib-aibnya, orang seperti itu disebut oleh penganut Wahabi sebagai Syaikh Al-Islam dan pemikiran-pemikirannya dianggap sebagai wahyu yang turun dari langit.

Pemikiran Ibnu Taimiyah sempat redup pada suatu dekade dalam sejarah, namun tak lama kemudian dihidupkan kembali dan disebarluaskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Tujuan pencetus dan penyebar aliran ini hanyalah terciptanya perpecahan di antara umat Islam dan mengkafirkan kelompok-kelompok selain kelompoknya sendiri.

Kebijakan diskriminasi yang diterapkan rezim Al Saud menyebabkan meluasnya protes rakyat di Arab Saudi. Anehnya, Amerika Serikat selalu mendukung kebijakan Riyadh dan bersikap bungkam terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang semakin tak terkendalikan di Saudi.

Gelombang protes rakyat terhadap kebijakan diskriminatif rezim Al Saud telah memasuki tahap baru. Sikap Riyadh yang membatasi penggunaan fasilitas umum dan mengkhususkan miliaran dolar hasil ekspor minyak negara kepada keluarga kerajaan membuat kondisi semakin tidak dapat ditolerir rakyat.

Dari 22 juta penduduk Saudi, sekitar 2,5 -3 juta warga bermazhab Syiah (12 Imam, Zaidi, dan Ismailiyah). Pemerintah Riyadh memperlakukan mereka seperti warga tingkat kedua atau orang asing. Warga Syiah sama sekali tidak mempunyai peran dan pengaruh di pemerintahan Saudi. Mereka merasa seakan-akan bukan warga Saudi karena pemerintah kerajaan menganggap mereka seperti warga asing dan menempatkannya di tingkat sosial yang terendah.

Mayoritas warga Syiah Saudi tinggal di wilayah timur negara ini yang kaya minyak. Menurut laporan, jumlah warga Syiah Saudi antara 10 hingga 15 persen dari 22 juta penduduk negara itu. Namun warga Syiah meragukan kebenaran data tersebut. Mereka meyakini kebanyakan umat Syiah menyembunyikan mazhab mereka. Hal itu disebabkan tekanan dan diskriminasi pemerintah.

Pandangan Syiah bahwa setiap penguasa tidak dinilai sebagai “Wali Amr” dan penentangan terhadap penguasa zalim adalah kewajiban syariat, dianggap sebagai bahaya besar bagi rezim Saudi. Para pejabat Riyadh menyadari akan hal itu, oleh karena itu mereka mengambil langkah antisipasi dengan cara mengurangi jumlah warga Syiah yang bekerja di bidang-bidang yang dianggap sensitif.

Para pejabat Saudi rata-rata bermazhab Wahabi, di mana dalam pemikiran mereka ingin menghidupkan prinsip dan norma-norma umat Islam sesuai dengan pandangan mereka. Mereka menilai semua umat Islam yang bermazhab selain Wahabi dianggap kafir dan mengkafirkan lembaga-lembaga lain, bahkan untuk memberantas para oposisi, mereka menggunakan istilah “Takfiri” atau pengkafiran.

Selama abad 20, pemerintah Riyadh dan Wahabi telah memberlakukan tiga diskriminasi; mazhab, ekonomi dan politik terhadap warga Syiah, bahkan hingga kini sikap diskriminasi itu tetap subur di Saudi. Rezim Al Saud juga membatasi aktivitas-aktivitas keagamaan warga Syiah, termasuk pembangunan Husainiyyah, masjid, berpakaian khusus seperti pakaian hitam di hari Asyura.

Selain adanya diskriminasi mazhab dan keyakinan , warga Syiah juga menjadi kelompok paling teraniaya di Saudi. Provinsi timur Saudi yang merupakan wilayah berpenduduk Syiah adalah wilayah yang tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah kerajaan. Pemerintah Riyadh memperlakukan berbeda terhadap wilayah ini, misalnya dalam hal pendidikan, kesehatan dan pembangunan jalan. Warga Syiah juga tidak mendapat posisi penting dalam pemerintahan. Jabatan-jabatan penting, seperti bagian keamanan, negara, militer dan polisi diserahkan kepada keluarga kerajaan dan kelompok Wahabi. Bahkan warga Syiah di provinsi timur negara ini tidak pernah mendapat pekerjaan penting. Manajemen dan pengelolaan sekolah, universitas, dan lembaga-lembaga lain di wilayah itu diserahkan kepada warga non-Syiah.

Menurut koran Inggris Independent, pada dekade terakhir ini, warga Syiah Saudi menjadi korban diskriminasi dan perlakuan buruk dari para pejabat Riyadh. Koran tersebut menilai kebijakan rezim Al Saud terhadap warga Syiah seperti sikap rezim Apartheidterhadap warga kulit hitam di Afrika Selatan.

Mantan Duta Besar Mesir untuk Riyadh, Fathi al-Shazli menegaskan bahwa rezim Saudi terang-terangan telah melanggar hak-hak warga Syiah negara ini. Ditambahkannya, kezaliman dan diskriminasi Al Saud terhadap wilayah timur Saudi yang berpenduduk Syiah tampak jelas, sehingga tak seorangpun dapat mengingkarinya.

Menurutnya, kebijakan anti-warga Syiah oleh pemerintah Saudi disebabkan ketakutan mereka terhadap ideologi Syiah. Mereka mengangap warga Syiah sebagai ancaman. Oleh sebab itu, pemerintah Wahabi tidak ingin memenuhi hak-hak warga Syiah.

Dalam laporan tahunan lembaga-lembaga pembela HAM tentang kondisi HAM di Arab Saudi menyebutkan bahwa diskriminasi terhadap warga Syiah semakin meningkat. Menurut laporan tersebut, para pejabat keagamaan Saudi tidak mengizinkan warga Syiah melakukan aktivitas keyakinannya, jika hal itu dilanggar maka mereka diancam akan ditangkap. Hal itu tampak jelas di kota Mekah dan Madinah. Gelombang protes warga Saudi terhadap diskriminasi itu memaksa pemerintah Riyadh secara lahiriyah mengurangi tekanannya terhadap warga Syiah.

Bungkamnya negara-negara Barat khususnya Amerika terhadap pelanggaran HAM di Saudi dan mengambil sikap keras terhadap pelanggaran HAM di negara-negara lain membuat para aktivis sipil Barat protes. Mereka menyebut langkah pemerintah Presiden AS Barack Obama sebagai langkah yang hanya berbau pamer dan disesuaikan dengan kepentingannya.

Pengamat bidang strategi Arab Saudi, Fuad Ibrahim menandaskan, tujuan rezim al-Saud melakukan rangkaian kejahatan di wilayah Qatif, timur negara ini adalah untuk mematahkan tekad rakyat.

“Ulah pasukan keamanan Arab Saudi pada hari Kamis lalu membantai rakyat Qatif kembali menunjukkan niat busuk rezim yang anti warga Syiah,” ungkap Fuad Ibrahim Jum’at (10/2) saat diwawancarai al-Alam.

Seraya mengisyaratkan bahwa tidak ada peluang untuk berdialog dengan pembunuh yang menumpahkan darah rakyatnya sendiri, Fuad Ibrahim mengatakan, dialog dengan rezim al-Saud sama halnya dengan ikut serta dalam kejahatan Riyadh.

“Rezim al-Saud khawatir meluasnya kebangkitan Islam di Arab Saudi khususnya di wilayah yang dihuni warga Syiah dan mereka mengirim pasukannya untuk menumpas aksi demo warga demi mempertahankan kekuasaannya,” tandas Fuad Ibrahim.

Pengamat bidang strategi Arab Saudi ini menekankan, meski adanya dukungan penuh negara Barat khususnya Amerika Serikat terhadap rezim al-Saud, namun kehancuran rezim ini dalam waktu dekat dapat dipastikan terjadi.

Menteri Pertahanan dan Dukungan Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran, Brigjen Ahmad Vahidi, kembali menekankan kemampuan para ahli Republik Islam Iran dan menyatakan bahwa saat ini tengah digulirkan sejumlah program dalam proyek produksi pesawat tempur dan militer.

IRNA melaporkan, hal itu dikemukakan Vahidi Senin (19/2) dalam Konferensi Organisasi Antariksa di Fakultas Penerbangan Shahid Sattari. Dikatakannya, Republik Islam Iran saat ini sudah mencapai kemajuan pesat dalam produksi berbagai pesawat militer, tempur, dan sipil.

“Ini menunjukkan kepercayaan diri dan kemampuan para ahli dalam negeri,” tegas Vahidi seraya menyatakan bahwa di sektor penerbangan telah dicapai terobosan-terobosan penting. Salah satunya adalah pesawat tempur Saeqeh yang kini telah bergabung dengan armada Angkatan Udara Republik Islam Iran.

Vahidi menjelaskan, “Banyak negara dunia yang memproduksi berbagai jenis pesawat akan tetapi di bawah lisensi negara tertentu atau proyeknya dilakukan secara kolektif. Akan tetapi kini Iran mampu memproduksi pesawat sendiri.”

Vahidi menegaskan, “Republik Islam Iran juga memiliki pusat reparasi terbesar untuk berbagai jenis mesin pesawat tempur maupun sipil.”

Salah satu di antara bukti keberhasilan Republik Islam Iran di bidang penerbangan adalah pesawat Iran-140 yang dapat digunakan untuk sektor militer maupun sipil.

Menyinggung kemampuan Iran di bidang rudal, Vahidi menjelaskan bahwa tingkat kemampuan ilmiah Iran di bidang produksi rudal telah diakui dan saat ini Republik Islam termasuk dalam jajaran 10 besar negara dunia dalam produksi rudal. Apalagi ditambah dengan nilai unggul dari fakta bahwa rudal-rudal tersebut merupakan produksi dalam negeri dan hasil kerja keras para ahli pribumi

[1] Pengantar buku Al-Radd Al-Mudhi’ah Ala Ibn Taimiyah.

[2] Sebagian orang mengingkari bahwa tulisan tersebut milik Dzahabi. Namun orang-orang seperti Hafidz Sahawi dalam kitabnya Al-I’lan bit Taubikh hlm. 77 menulis bahwa itu milik Dzzahabi.

[3] Thabaqat Asy Syafi’iyah, jld. 4, hlm. 76, nomor 759.

[4] Lisan Al-Mizan, jld. 6, hlm. 319.

[5] Ruh Al-Ma’ani, jld. 1, hlm. 18-19

Sumber: http://syiahali.wordpress.com/2012/04/28/wahabi-kacaukan-indonesia-melalui-milyaran-dollar-dana-as-israel-saudi/


Sabilulungan: Merajut Harmonisme Kehidupan Melalui Nilai Budaya Para Leluhur

$
0
0

“Runtut raut sauyunan.”

Sabilulungan: Merajut Harmonisme Kehidupan Melalui Nilai Budaya Para LeluhurPepatah Sunda yang berarti “hidup rukun bersama” tersebut mungkin sudah jarang ditemui pada masyarakat saat ini, selain di buku-buku sekolah dan slogan-slogan tanpa ada dalam kenyataan hidup sehari-hari. Terbukti tingkat pelanggaran atau aksi kekerasan atas nama agama dan intolernasi di wilayah Jawa Barat masih memegang rekor tertinggi di seluruh Indonesia.


Hal ini mendorong Paguyuban Sabilulungan yang terdiri dari sekumpulan majelis taklim yang ada di sejumlah kota di Jawa Barat untuk mensinergikan berbagai golongan berbeda yang berasal dari lintas agama, mazhab, suku, dan penganut nilai-nilai lokal yang ada di wilayah Jawa Barat sehingga perbedaan-perbedaan tersebut berubah menjadi kekuatan pemersatu.

Kang Junaedi, salah satu pengurus paguyuban Sabilulungan berpusat di wilayah Depok, Jawa Barat, mengatakan kepada ABI Press tentang keprihatinan atas tergerusnya nilai-nilai kebudayaan Sunda dan terus meningkatnya intoleransi di wilayah Jawa Barat. Maka Sebagai warga Jawa Barat, Kang Junaedi bersama Sabilulungan berusaha mengingatkan pentingnya menggali kembali nilai-nilai kebudayan leluhur yang menekankan pada prinsip kerukunan hidup.

“Akar budaya Sunda itu dekat dengan nilai-nilai ketuhanan yang bertauhid, meski berbeda agama dan mazhab,” tutur Kang Junaedi.

Untuk mencapai itu semua, komunitas Sabilulungan (yang berarti Gotong Royong atau saling tolong-menolong dalam bahasa Indonesia), berusaha untuk menyatukan kembali masyarakat Jawa Barat, khususnya Sunda untuk saling tolong-menolong dan membangun keharmonisan hidup bersama dengan cara menghidupkan kembali nilai-nilai lokal dari masyarakat Sunda itu sendiri.

Intoleransi Bukan Budaya Sunda

Sebab secara akar sejarah Sunda telah terikat dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam rahmatan lil ‘alamin, dengan adanya tokoh Prabu Siliwangi, Raden Kian Santang atau Syeh Kuro, yang kesemuanya sangat lekat dengan ajaran tauhid. Karena itu, tak heran jika akar-akar budaya Sunda sangat dekat dengan nilai-nilai yang dibawa oleh para nabi dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang sangat toleran.

“Intoleransi tidak sesuai dengan fitrah budaya Jawa Barat itu sendiri,” tegas Kang Junaedi.

Dengan kembali pada ajaran nilai-nilai karuhun atau leluhur yang memang sangat erat dengan nilai-nilai ajaran para nabi, bukan hanya intoleransi yang tidak sesuai dengan fitrah masyarakat Sunda, bahkan nilai-nilai para leluhur juga mengajarkan untuk menghormati dan hidup harmonis dengan alam ini dengan cara menjaga lingkungan sekitar.

“Bagaimana cara melestarikan alam, bagaimana cara menghormati tanaman, seperti yang dipraktekkan masyarakat Badui misalnya,” terang Kang Junaedi.

Hal ini sejalan dengan peribahasa Sunda, “Tatangkalan dileuweung teh kudu di pupusti,”yang artinya “pepohonan di hutan itu harus dihormati.

Maka apa yang dilakukan oleh Sabilulungan adalah melanjutkan wasiat para leluhur untuk merajut keharmonisan masyarakat Sunda dan Jawa Barat pada umumnya yang tentu saja juga sejalan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh para nabi dan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Maka, bila budaya adalah jatidiri dan jati diri leluhur masyarakat Sunda adalah nilai-nilai yang ada pada para nabi yang dibawa oleh para wali dan leluhur masyarakat Sunda seperti halnya Raden Kian Santang atau Prabu Siliwangi, maka pantaskah bila nilai luhur karuhun itu kita tinggalkan? (Lutfi/Yudhi)

http://ahlulbaitindonesia.org/berita/7074/sabilulungan-merajut-harmonisme-kehidupan-melalui-nilai-budaya-para-leluhur/


You Can’t Understand ISIS If You Don’t Know the History of Wahhabism in Saudi Arabia

$
0
0

9786027689800BEIRUT — The dramatic arrival of Da’ish (ISIS) on the stage of Iraq has shocked many in the West. Many have been perplexed — and horrified — by its violence and its evident magnetism for Sunni youth. But more than this, they find Saudi Arabia’s ambivalence in the face of this manifestation both troubling and inexplicable, wondering, “Don’t the Saudis understand that ISIS threatens them, too?”

10547648_10204207082407168_4948625370960487162_n (1)It appears — even now — that Saudi Arabia’s ruling elite is divided. Some applaud that ISIS is fighting Iranian Shiite “fire” with Sunni “fire”; that a new Sunni state is taking shape at the very heart of what they regard as a historical Sunni patrimony; and they are drawn by Da’ish’s strict Salafist ideology.

Other Saudis are more fearful, and recall the history of the revolt against Abd-al Aziz by the Wahhabist Ikhwan (Disclaimer: this Ikhwan has nothing to do with the Muslim Brotherhood Ikhwan — please note, all further references hereafter are to the Wahhabist Ikhwan, and not to the Muslim Brotherhood Ikhwan), but which nearly imploded Wahhabism and the al-Saud in the late 1920s.

Many Saudis are deeply disturbed by the radical doctrines of Da’ish (ISIS) — and are beginning to question some aspects of Saudi Arabia’s direction and discourse.

THE SAUDI DUALITY

Saudi Arabia’s internal discord and tensions over ISIS can only be understood by grasping the inherent (and persisting) duality that lies at the core of the Kingdom’s doctrinal makeup and its historical origins.

One dominant strand to the Saudi identity pertains directly to Muhammad ibn ʿAbd al-Wahhab (the founder of Wahhabism), and the use to which his radical, exclusionist puritanism was put by Ibn Saud. (The latter was then no more than a minor leader — amongst many — of continually sparring and raiding Bedouin tribes in the baking and desperately poor deserts of the Nejd.)

1488099_10201101646600175_1359592031_nThe second strand to this perplexing duality, relates precisely to King Abd-al Aziz’s subsequent shift towards statehood in the 1920s: his curbing of Ikhwani violence (in order to have diplomatic standing as a nation-state with Britain and America); his institutionalization of the original Wahhabist impulse — and the subsequent seizing of the opportunely surging petrodollar spigot in the 1970s, to channel the volatile Ikhwani current away from home towards export — by diffusing a cultural revolution, rather than violent revolution throughout the Muslim world.

But this “cultural revolution” was no docile reformism. It was a revolution based on Abd al-Wahhab’s Jacobin-like hatred for the putrescence and deviationism that he perceived all about him — hence his call to purge Islam of all its heresies and idolatries.

MUSLIM IMPOSTORS

The American author and journalist, Steven Coll, has written how this austere and censorious disciple of the 14th century scholar Ibn Taymiyyah, Abd al-Wahhab, despised “the decorous, arty, tobacco smoking, hashish imbibing, drum pounding Egyptian and Ottoman nobility who travelled across Arabia to pray at Mecca.”

In Abd al-Wahhab’s view, these were not Muslims; they were imposters masquerading as Muslims. Nor, indeed, did he find the behavior of local Bedouin Arabs much better. They aggravated Abd al-Wahhab by their honoring of saints, by their erecting of tombstones, and their “superstition” (e.g. revering graves or places that were deemed particularly imbued with the divine).

All this behavior, Abd al-Wahhab denounced as bida — forbidden by God.

Like Taymiyyah before him, Abd al-Wahhab believed that the period of the Prophet Muhammad’s stay in Medina was the ideal of Muslim society (the “best of times”), to which all Muslims should aspire to emulate (this, essentially, is Salafism).

Taymiyyah had declared war on Shi’ism, Sufism and Greek philosophy. He spoke out, too against visiting the grave of the prophet and the celebration of his birthday, declaring that all such behavior represented mere imitation of the Christian worship of Jesus as God (i.e. idolatry). Abd al-Wahhab assimilated all this earlier teaching, stating that “any doubt or hesitation” on the part of a believer in respect to his or her acknowledging this particular interpretation of Islam should “deprive a man of immunity of his property and his life.”

One of the main tenets of Abd al-Wahhab’s doctrine has become the key idea of takfir.Under the takfiri doctrine, Abd al-Wahhab and his followers could deem fellow Muslims infidels should they engage in activities that in any way could be said to encroach on the sovereignty of the absolute Authority (that is, the King). Abd al-Wahhab denounced all Muslims who honored the dead, saints, or angels. He held that such sentiments detracted from the complete subservience one must feel towards God, and only God. Wahhabi Islam thus bans any prayer to saints and dead loved ones, pilgrimages to tombs and special mosques, religious festivals celebrating saints, the honoring of the Muslim Prophet Muhammad’s birthday, and even prohibits the use of gravestones when burying the dead.

“Those who would not conform to this view should be killed, their wives and daughters violated, and their possessions confiscated, he wrote. “

Abd al-Wahhab demanded conformity — a conformity that was to be demonstrated in physical and tangible ways. He argued that all Muslims must individually pledge their allegiance to a single Muslim leader (a Caliph, if there were one). Those who would not conform to this view should be killed, their wives and daughters violated, and their possessions confiscated, he wrote. The list of apostates meriting death included the Shiite, Sufis and other Muslim denominations, whom Abd al-Wahhab did not consider to be Muslim at all.

There is nothing here that separates Wahhabism from ISIS. The rift would emerge only later: from the subsequent institutionalization of Muhammad ibn ʿAbd al-Wahhab’s doctrine of “One Ruler, One Authority, One Mosque” — these three pillars being taken respectively to refer to the Saudi king, the absolute authority of official Wahhabism, and its control of “the word” (i.e. the mosque).

It is this rift — the ISIS denial of these three pillars on which the whole of Sunni authority presently rests — makes ISIS, which in all other respects conforms to Wahhabism, a deep threat to Saudi Arabia.

BRIEF HISTORY 1741- 1818

Abd al-Wahhab’s advocacy of these ultra radical views inevitably led to his expulsion from his own town — and in 1741, after some wanderings, he found refuge under the protection of Ibn Saud and his tribe. What Ibn Saud perceived in Abd al-Wahhab’s novel teaching was the means to overturn Arab tradition and convention. It was a path to seizing power.

“Their strategy — like that of ISIS today — was to bring the peoples whom they conquered into submission. They aimed to instill fear. “

Ibn Saud’s clan, seizing on Abd al-Wahhab’s doctrine, now could do what they always did, which was raiding neighboring villages and robbing them of their possessions. Only now they were doing it not within the ambit of Arab tradition, but rather under the banner of jihad. Ibn Saud and Abd al-Wahhab also reintroduced the idea of martyrdom in the name of jihad, as it granted those martyred immediate entry into paradise.

In the beginning, they conquered a few local communities and imposed their rule over them. (The conquered inhabitants were given a limited choice: conversion to Wahhabism or death.) By 1790, the Alliance controlled most of the Arabian Peninsula and repeatedly raided Medina, Syria and Iraq.

Their strategy — like that of ISIS today — was to bring the peoples whom they conquered into submission. They aimed to instill fear. In 1801, the Allies attacked the Holy City of Karbala in Iraq. They massacred thousands of Shiites, including women and children. Many Shiite shrines were destroyed, including the shrine of Imam Hussein, the murdered grandson of Prophet Muhammad.

A British official, Lieutenant Francis Warden, observing the situation at the time, wrote: “They pillaged the whole of it [Karbala], and plundered the Tomb of Hussein… slaying in the course of the day, with circumstances of peculiar cruelty, above five thousand of the inhabitants …”

Osman Ibn Bishr Najdi, the historian of the first Saudi state, wrote that Ibn Saud committed a massacre in Karbala in 1801. He proudly documented that massacre saying, “we took Karbala and slaughtered and took its people (as slaves), then praise be to Allah, Lord of the Worlds, and we do not apologize for that and say: ‘And to the unbelievers: the same treatment.'”

In 1803, Abdul Aziz then entered the Holy City of Mecca, which surrendered under the impact of terror and panic (the same fate was to befall Medina, too). Abd al-Wahhab’s followers demolished historical monuments and all the tombs and shrines in their midst. By the end, they had destroyed centuries of Islamic architecture near the Grand Mosque.

But in November of 1803, a Shiite assassin killed King Abdul Aziz (taking revenge for the massacre at Karbala). His son, Saud bin Abd al Aziz, succeeded him and continued the conquest of Arabia. Ottoman rulers, however, could no longer just sit back and watch as their empire was devoured piece by piece. In 1812, the Ottoman army, composed of Egyptians, pushed the Alliance out from Medina, Jeddah and Mecca. In 1814, Saud bin Abd al Aziz died of fever. His unfortunate son Abdullah bin Saud, however, was taken by the Ottomans to Istanbul, where he was gruesomely executed (a visitor to Istanbul reported seeing him having been humiliated in the streets of Istanbul for three days, then hanged and beheaded, his severed head fired from a canon, and his heart cut out and impaled on his body).

In 1815, Wahhabi forces were crushed by the Egyptians (acting on the Ottoman’s behalf) in a decisive battle. In 1818, the Ottomans captured and destroyed the Wahhabi capital of Dariyah. The first Saudi state was no more. The few remaining Wahhabis withdrew into the desert to regroup, and there they remained, quiescent for most of the 19th century.

HISTORY RETURNS WITH ISIS

It is not hard to understand how the founding of the Islamic State by ISIS in contemporary Iraq might resonate amongst those who recall this history. Indeed, the ethos of 18th century Wahhabism did not just wither in Nejd, but it roared back into life when the Ottoman Empire collapsed amongst the chaos of World War I.

The Al Saud — in this 20th century renaissance — were led by the laconic and politically astute Abd-al Aziz, who, on uniting the fractious Bedouin tribes, launched the Saudi “Ikhwan” in the spirit of Abd-al Wahhab’s and Ibn Saud’s earlier fighting proselytisers.

The Ikhwan was a reincarnation of the early, fierce, semi-independent vanguard movement of committed armed Wahhabist “moralists” who almost had succeeded in seizing Arabia by the early 1800s. In the same manner as earlier, the Ikhwan again succeeded in capturing Mecca, Medina and Jeddah between 1914 and 1926. Abd-al Aziz, however, began to feel his wider interests to be threatened by the revolutionary “Jacobinism” exhibited by the Ikhwan. The Ikhwan revolted — leading to a civil war that lasted until the 1930s, when the King had them put down: he machine-gunned them.

For this king, (Abd-al Aziz), the simple verities of previous decades were eroding. Oil was being discovered in the peninsular. Britain and America were courting Abd-al Aziz, but still were inclined to support Sharif Husain as the only legitimate ruler of Arabia. The Saudis needed to develop a more sophisticated diplomatic posture.

So Wahhabism was forcefully changed from a movement of revolutionary jihad and theological takfiri purification, to a movement of conservative social, political, theological, and religious da’wa (Islamic call) and to justifying the institution that upholds loyalty to the royal Saudi family and the King’s absolute power.

OIL WEALTH SPREAD WAHHABISM

With the advent of the oil bonanza — as the French scholar, Giles Kepel writes, Saudi goals were to “reach out and spread Wahhabism across the Muslim world … to “Wahhabise” Islam, thereby reducing the “multitude of voices within the religion” to a “single creed” — a movement which would transcend national divisions. Billions of dollars were — and continue to be — invested in this manifestation of soft power.

It was this heady mix of billion dollar soft power projection — and the Saudi willingness to manage Sunni Islam both to further America’s interests, as it concomitantly embedded Wahhabism educationally, socially and culturally throughout the lands of Islam — that brought into being a western policy dependency on Saudi Arabia, a dependency that has endured since Abd-al Aziz’s meeting with Roosevelt on a U.S. warship (returning the president from the Yalta Conference) until today.

Westerners looked at the Kingdom and their gaze was taken by the wealth; by the apparent modernization; by the professed leadership of the Islamic world. They chose to presume that the Kingdom was bending to the imperatives of modern life — and that the management of Sunni Islam would bend the Kingdom, too, to modern life.

“On the one hand, ISIS is deeply Wahhabist. On the other hand, it is ultra radical in a different way. It could be seen essentially as a corrective movement to contemporary Wahhabism.”

But the Saudi Ikhwan approach to Islam did not die in the 1930s. It retreated, but it maintained its hold over parts of the system — hence the duality that we observe today in the Saudi attitude towards ISIS.

On the one hand, ISIS is deeply Wahhabist. On the other hand, it is ultra radical in a different way. It could be seen essentially as a corrective movement to contemporary Wahhabism.

ISIS is a “post-Medina” movement: it looks to the actions of the first two Caliphs, rather than the Prophet Muhammad himself, as a source of emulation, and it forcefully denies the Saudis’ claim of authority to rule.

As the Saudi monarchy blossomed in the oil age into an ever more inflated institution, the appeal of the Ikhwan message gained ground (despite King Faisal’s modernization campaign). The “Ikhwan approach” enjoyed — and still enjoys — the support of many prominent men and women and sheikhs. In a sense, Osama bin Laden was precisely the representative of a late flowering of this Ikhwani approach.

Today, ISIS’ undermining of the legitimacy of the King’s legitimacy is not seen to be problematic, but rather a return to the true origins of the Saudi-Wahhab project.

In the collaborative management of the region by the Saudis and the West in pursuit of the many western projects (countering socialism, Ba’athism, Nasserism, Soviet and Iranian influence), western politicians have highlighted their chosen reading of Saudi Arabia (wealth, modernization and influence), but they chose to ignore the Wahhabist impulse.

After all, the more radical Islamist movements were perceived by Western intelligence services as being more effective in toppling the USSR in Afghanistan — and in combatting out-of-favor Middle Eastern leaders and states.

Why should we be surprised then, that from Prince Bandar’s Saudi-Western mandate to manage the insurgency in Syria against President Assad should have emerged a neo-Ikhwan type of violent, fear-inducing vanguard movement: ISIS? And why should we be surprised — knowing a little about Wahhabism — that “moderate” insurgents in Syria would become rarer than a mythical unicorn? Why should we have imagined that radical Wahhabism would create moderates? Or why could we imagine that a doctrine of “One leader, One authority, One mosque: submit to it, or be killed” could ever ultimately lead to moderation or tolerance?

Or, perhaps, we never imagined.

This article is Part I of Alastair Crooke’s historical analysis of the roots of ISIS and its impact on the future of the Middle East. Read Part II here.

Close
Fighting in Iraq

1 of 17


The Covert Origins of ISIS

$
0
0

 [UPDATED 9.03.14]

Evidence exposing who put ISIS in power, and how it was done.

The Islamic militant group ISIS, formerly known as Al-Qaeda in Iraq, and recently rebranded as the so called Islamic State, is the stuff of nightmares. They are ruthless, fanatical, killers, on a mission, and that mission is to wipe out anyone and everyone, from any religion or belief system and to impose Shari’ah law. The mass executions, beheadings and even crucifixions that they are committing as they work towards this goal are flaunted like badges of pride, video taped and uploaded for the whole world to see. This is the new face of evil.

Would it interest you to know who helped these psychopaths rise to power? Would it interest you to know who armed them, funded them and trained them? Would it interest you to know why?

This story makes more sense if we start in the middle, so we’ll begin with the overthrow of Muammar Gaddafi in 2011.

The Libyan revolution was Obama’s first major foreign intervention. It was portrayed as an extension of the Arab Spring, and NATO involvement was framed in humanitarian terms.

The fact that the CIA was actively working to help the Libyan rebels topple Gaddafi was no secret, nor were the airstrikes that Obama ordered against the Libyan government.However, little was said about the identity or the ideological leanings of these Libyan rebels. Not surprising, considering the fact that the leader of the Libyan rebels later admitted that his fighters included Al-Qaeda linked jihadists who fought against allied troops in Iraq.

These jihadist militants from Iraq were part of what national security analysts commonly referred to as Al-Qaeda in Iraq. Remember Al-Qaeda in Iraq was ISIS before it was rebranded.

With the assistance of U.S. and NATO intelligence and air support, the Libyan rebels captured Gaddafi and summarily executed him in the street, all the while enthusiastically chanting “Allah Akbar”. For many of those who had bought the official line about how these rebels were freedom fighters aiming to establish a liberal democracy in Libya, this was the beginning of the end of their illusions.

Prior to the U.S. and NATO backed intervention, Libya had the highest standard of living of any country in Africa. This according to the U.N.’s Human Development Index rankings for 2010.However in the years following the coup, the country descended into chaos, with extremism and violence running rampant. Libya is now widely regarded as failed state (of course those who were naive enough to buy into the propaganda leading up to the war get defensive when this is said).

Now after Gaddafi was overthrown, the Libyan armories were looted, and massive quantities of weapons were sent by the Libyan rebels to Syria. The weapons, which included anti-tank and anti-aircraft missiles were smuggled into Syria through Turkey, a NATO ally. The times of Londonreported on the arrival of the shipment on September 14th, 2012. (Secondary confirmation in this NYT article) This was just three days after Ambassador Chris Stevens was killed by the attack on the U.S. embassy in Benghazi. Chris Stevens had served as the U.S. government’s liaison to the Libyan rebels since April of 2011.

While a great deal media attention has focused on the fact that the State Department did not provide adequate security at the consulate, and was slow to send assistance when the attack started, Pulitzer Prize winning journalist Seymour Hersh released an article in April of 2014 which exposed a classified agreement between the CIA, Turkey and the Syrian rebels to create what was referred to as a “rat line”. The “rat line” was covert network used to channel weapons and ammunition from Libya, through southern turkey and across the Syrian border. Funding was provided by Turkey, Saudi Arabia and Qatar.

With Stevens dead any direct U.S. involvement in that arms shipment was buried, and Washington would continue to claim that they had not sent heavy weaponry into Syria.

It was at this time that jihadist fighters from Libya began flooding into Syria as well. And not just low level militants. Many were experienced commanders who had fought in multiple theaters.

The U.S. and its allies were now fully focused on taking down Assad’s government in Syria. As in Libya this regime change was to be framed in terms of human rights, and now overt support began to supplement the backdoor channels. The growing jihadist presence was swept under the rug and covered up.

However as the rebels gained strength, the reports of war crimes and atrocities that they were committing began to create a bit of a public relations problem for Washington. It then became standard policy to insist that U.S. support was only being given to what they referred to as“moderate” rebel forces.

This distinction, however, had no basis in reality.

In an interview given in April of 2014, FSA commander Jamal Maarouf admitted that his fighters regularly conduct joint operations with Al-Nusra. Al-Nusra is the official Al-Qa’ida branch in Syria. This statement is further validated by an interview given in June of 2013 by Colonel Abdel Basset Al-Tawil, commander of the FSA’s Northern Front. In this interview he openly discusses his ties with Al-Nusra, and expresses his desire to see Syria ruled by sharia law. (You can verify the identities of these two commanders here in this document from The Institute for the Study of War)

Moderate rebels? Well it’s complicated. Not that this should really come as any surprise. Reuters had reported in 2012 that the FSA’s command was dominated by Islamic extremists, and the New York Times had reported that same year that the majority of the weapons that Washington were sending into Syria was ending up in the hands Jihadists. For two years the U.S. government knew that this was happening, but they kept doing it.

And the FSA’s ties to Al-Nusra are just the beginning. In June of 2014 Al-Nusra merged with ISIS at the border between Iraq and Syria.

So to review, the FSA is working with Al-Nusra, Al-Nusra is working with ISIS, and the U.S. has been sending money and weapons to the FSA even though they’ve known since 2012 that most of these weapons were ending up in the hands of extremists. You do the math.

[UPDATE 9.03.14]: Retired Lt. Gen. Tom McInerney admits: “We Helped Build ISIS”:
Note that the first version of this video I uploaded (here) was quickly taken down. To insure that this clip does not disappear we have provided a secondary download link here. So if the video below isn’t playing then use that link and upload it elsewhere.

Syria, we backed I believe, in some cases some of the wrong people and not in the right part of the Free Syrian Army (FSA) that’s a little confusing to people. So I’ve always maintained, and go back quite some time that we were backing the wrong types. I think it’s going to turn out maybe this weekend in a new special that Brett Baer is going to have Friday that’s gonna show some of those weapons from Benghazi ended up in the hands of ISIS. So we helped build ISIS.

In that context, the sarin gas attacks of 2013 which turned out to have been committed by the Syrian rebels, makes a lot more sense doesn’t it? If it wasn’t enough that U.N. investigators,Russian investigators, and Pulitzer prize winning journalist Seymour Hersh all pinned that crime on Washington’s proxies, the rebels themselves threatened the West that they would expose what really happened if they were not given more advanced weaponry within one month.

By the way, this also explains why Washington then decided to target Russia next.

This threat was made on June 10th, 2013. In what can only be described as an amazing coincidence, just nine days later, the rebels received their first official shipment of heavy weapons in Aleppo.

After the second sarin gas fiasco, which was also exposed and therefore failed to garner public support for airstrikes, the U.S. continued to increase its the training and support for the rebels.

In February of 2014, Haaretz reported that the U.S. and its allies in the region, Saudi Arabia, Jordan and Israel, were in the process of helping the Syrian rebels plan and prepare for a massive attack in the south. According to Haaretz Israel had also provided direct assistance in military operations against Assad four months prior (you can access a free cached version of the page here).

Then in May of 2014 PBS ran a report in which they interviewed rebels who were trained by the U.S. in Qatar. According to those rebels they were being trained to finish off soldiers who survived attacks.

“They trained us to ambush regime or enemy vehicles and cut off the road,” said the fighter, who is identified only as “Hussein.” “They also trained us on how to attack a vehicle, raid it, retrieve information or weapons and munitions, and how to finish off soldiers still alive after an ambush.”

This is a blatant violation of the Geneva conventions. It also runs contrary to conventional military strategy. In conventional military strategy soldiers are better off left wounded, because this ends up costing the enemy more resources. Executing captured enemy soldiers is the kind of tactic used when you want to strike terror in the hearts of the enemy. It also just happens to be standard operating procedure for ISIS.

One month after this report, in June of 2014, ISIS made its dramatic entry, crossing over the Syrian border into Iraq, capturing Mosul, Baiji and almost reaching Baghdad. The internet was suddenly flooded with footage of drive by shootings, large scale death marches, and mass graves. And of course any Iraqi soldier that was captured was executed.

Massive quantities of American military equipment were seized during that operation. ISIS took entire truckloads of humvees, they took helicopters, tanks, and artillery. They photographed and video taped themselves and advertised what they were doing on social media, and yet for some reason Washington didn’t even TRY to stop them.

U.S. military doctrine clearly calls for the destruction of military equipment and supplies when friendly forces cannot prevent them from falling into enemy hands, but that didn’t happen here. ISIS was allowed to carry this equipment out of Iraq and into Syria unimpeded. The U.S. military had the means to strike these convoys, but they didn’t lift a finger, even though they had been launching drone strikes in Pakistan that same week.

Why would they do that?

Though Obama plays the role of a weak, indecisive, liberal president, and while pundits from the right have had a lot of fun with that image, this is just a facade. Some presidents, like George W. Bush, rely primarily on overt military aggression. Obama gets the same job done, but he prefers covert means. Not really surprising considering the fact that Zbigniew Brzezinski was his mentor.

Those who know their history will remember that Zbigniew Brzezinski was directly involved in the funding and arming the Islamic extremists in Pakistan and Afghanistan in order to weaken the Soviets.

By the way Osama bin Laden was one of these anti-Soviet “freedom fighters” the U.S. was funding and arming.

This operation is no secret at this point, nor are the unintended side effects.

Officially the U.S. government’s arming and funding of the Mujahideen was a response to the Soviet invasion in December of 1979, however in his memoir entitled “From the Shadows” Robert Gates, director of the CIA under Ronald Reagan and George Bush Senior, and Secretary of Defense under both George W. Bush and Barack Obama, revealed that the U.S. actually began the covert operation 6 months prior, with the express intention of luring the Soviets into a quagmire. (You can preview the relevant text here on google books)

The strategy worked. The Soviets invaded, and the ten years of war that followed are considered by many historians as being one of the primary causes of the fall of the USSR.

This example doesn’t just establish precedent, what we’re seeing happen in Iraq, Afghanistan and Syria right now is actually a continuation of a old story. Al-Nusra and ISIS are ideological and organizational decedents of these extremist elements that the U.S. government made use of thirty years ago.

The U.S. the went on to create a breeding ground for these extremists by invading Iraq in 2003. Had it not been for the vacuum of power left by the removal and execution of Saddam, Al-Qaeda in Iraq, aka ISIS, would not exist. And had it not been for Washington’s attempt at toppling Assad by arming, funding and training shadowy militant groups in Syria, there is no way that ISIS would have been capable of storming into Iraq in June of 2014.

On every level, no matter how you cut it, ISIS is a product of U.S. government’s twisted and decrepit foreign policy.

Now all of this may seem contradictory to you as you watch the drums of war against ISIS begin to beat louder and the air strikes against them are gradually widenedhttp://www.wjla.com/articles/2014/08/president-obama-considers-possible-…). Why would the U.S. help a terrorist organization get established, only to attack them later?

Well why did the CIA put Saddam Hussein in power in 1963?, Why did the U.S. government back Saddam in 1980 when he launched a war of aggression against Iran, even though they knew that he was using chemical weapons? Why did the U.S. fund and arm Islamic extremists in Afghanistan against the Soviets?

There’s a pattern here if you look closely. This is a tried and true geopolitical strategy.

Step 1: Build up a dictator or extremist group which can then be used to wage proxy wars against opponents. During this stage any crimes committed by these proxies are swept under the rug. [Problem]

Step 2: When these nasty characters have outlived their usefulness, that’s when it’s time to pull out all that dirt from under the rug and start publicizing it 24/7. This obviously works best when the public has no idea how these bad guys came to power.[Reaction]

Step 3: Finally, when the public practically begging for the government to do something, a solution is proposed. Usually the solution involves military intervention, the loss of certain liberties, or both. [Solution]

ISIS is extremely useful. They have essentially done Washington dirty work by weakening Assad. In 2014, while the news cycle has focused almost exclusively on Ukraine and Russia, ISIS made major headway in Syria, and as of August they already controlled 35% of the country.

Since ISIS largely based in Syria, this gives the U.S. a pretext to move into Syria. Sooner or later the U.S. will extend the airstrikes into Assad’s backyard, and when they do U.S. officials are already making it clear that both ISIS and the Syrian government will be targeted. That, after all, is the whole point. Washington may allow ISIS to capture a bit more territory first, but the writing is on the wall, and has been for some time now.

The Obama administration has repeatedly insisted that this will never lead to boots on the ground, however, the truth of the matter is that anyone who understands anything about military tactics knows full well that ISIS cannot be defeated by airstrikes alone. In response to airstrikes ISIS will merely disperse and conceal their forces. ISIS isn’t an established state power which can be destroyed by knocking out key government buildings and infrastructure. These are guerrilla fighters who cut their teeth in urban warfare.

To significantly weaken them, the war will have to involve ground troops, but even this is a lost cause. U.S. troops could certainly route ISIS in street to street battles for some time, and they might even succeed in fully occupying Syria and Iraq for a number of years, but eventually they will have to leave, and when they do, it should be obvious what will come next.

The puppets that the U.S. government has installed in the various countries that they have brought down in recent years have without exception proven to be utterly incompetent and corrupt. No one that Washington places in power will be capable of maintaining stability in Syria. Period.

Right now, Assad is the last bastion of stability in the region. He is the last chance they have for a moderate non-sectarian government and he is the only hope of anything even remotely resembling democracy for the foreseeable future. If Assad falls, Islamic extremist will take the helm, they will impose shari’ah law, and they will do everything in their power to continue spreading their ideology as far and wide as they can.

If the world truly wants to stop ISIS, there is only one way to do it:

1. First and foremost, the U.S. government and its allies must be heavily pressured to cut all support to the rebels who are attempting to topple Assad. Even if these rebels that the U.S. is arming and funding were moderate, and they’re not, the fact that they are forcing Assad to fight a war on multiple fronts, only strengthens ISIS. This is lunacy.

2. The Syrian government should be provided with financial support, equipment, training and intelligence to enable them to turn the tide against ISIS. This is their territory, they should be the ones to reclaim it.

Now obviously this support isn’t going to come from the U.S. or any NATO country, but there are a number of nations who have a strategic interest in preventing another regime change and chaotic aftermath. If these countries respond promptly, as in right now, they could preempt a U.S. intervention, and as long this support does not include the presence of foreign troops, doing so will greatly reduce the likelihood of a major confrontation down the road.

3. The U.S. government and its allies should should be aggressively condemned for their failed regime change policies and the individuals behind these decisions should be charged for war crimes. This would have to be done on an nation by nation level since the U.N. has done nothing but enable NATO aggression. While this may not immediately result in these criminals being arrested, it would send a message. This can be done. Malaysia has already proven this by convicting the Bush administration of war crimes in abstentia.

Now you might be thinking: “This all sounds fine and good, but what does this have to do with me? I can’t influence this situation.”

That perspective is quite common, and for most people, it’s paralyzing, but the truth of the matter is that we can influence this. We’ve done it before, and we can do it again.

I’ll be honest with you though, this isn’t going to be easy. To succeed we have to start thinking strategically. Like it or not, this is a chess game. If we really want to rock the boat, we have to start reaching out to people in positions of influence. This can mean talking to broadcasters at your local radio station, news paper, or t.v. station, or it can mean contacting influential bloggers, celebrities, business figures or government officials. Reaching out to current serving military and young people who may be considering joining up is also important. But even if it’s just your neighbor, or your coworker, every single person we can reach brings us closer to critical mass. The most important step is to start trying.

If you are confused about why this is all happening, watch this video we put out on September 11th, 2012

If this message resonates with you then spread it. If you want to see the BIG picture, and trust me we’ve got some very interesting reports coming, subscribe to StormCloudsGathering on Youtube, and follow us on Facebook, twitter and Google plus.

BONUS ARTICLE (an interesting tangent): Were the Libyan rebels being led by a CIA plant?



NEGERI TETESAN SURGA

$
0
0

NEGERI TETESAN SURGA

Beruntunglah bangsa Indonesia (Nusa Dwipa Suwarna) karena disini doeloe tinggal salah satu anak Nabi Adam AS yang terkenal paling cerdas dan cinta terhadap Tuhannya (persembahan sebagai ujud syukur) dan tingkah laku yang mulia (njawani).

Itulah Nabi Sheth AS atau lebih dikenal dengan gelar Semar atau Samiri yang artinya serba samar-samar atau rahasia. Atau bangsa Nusantara ini menjulukinya dengan Sandi atau Candi.

Jadi kalau bangsa Israel mengklaim yang paling cerdas dan pintar jawabannya SALAH besar. Kitalah bangsa yang dimuliakan itu diatas bangsa-bangsa lainnya di seluruh dunia.

Bangsa yang sukanya bekerja pada malam hari mengikuti perintah Tuhannya sebagai ujud suwung dan syukur atas segala nikmat yang diberikan di bumi surga ini (Baca Bani Israil, Bani : artinya keturunan, Isra’ : artinya berjalan atau bekerja dan Al Lail artinya malam).

The mother home city buat seluruh Peradaban Dunia yang ada.
Makanya warga asing akan betah tinggal disini dan merasa tidak asing berada di bumi nusantara ini.
Negeri dengan ribuan suku bangsa, budaya dan bahasa.

Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.

With Andi Arief Dua; M Arief Pranoto; Ahmad Yanuana Samantho.

 

NEGERI TETESAN SURGA </p>
<p>Beruntunglah bangsa Indonesia (Nusa Dwipa Suwarna) karena disini doeloe tinggal salah satu anak Nabi Adam AS yang terkenal paling cerdas dan cinta terhadap Tuhannya (persembahan sebagai ujud syukur) dan tingkah laku yang mulia (njawani).</p>
<p>Itulah Nabi Sheth AS atau lebih dikenal dengan gelar Semar atau Samiri yang artinya serba samar-samar atau rahasia. Atau bangsa Nusantara ini menjulukinya dengan Sandi atau Candi.</p>
<p>Jadi kalau bangsa Israel mengklaim yang paling cerdas dan pintar jawabannya SALAH besar. Kitalah bangsa yang dimuliakan itu diatas bangsa-bangsa lainnya di seluruh dunia. </p>
<p>Bangsa yang sukanya bekerja pada malam hari mengikuti perintah Tuhannya sebagai ujud suwung dan syukur atas segala nikmat yang diberikan di bumi surga ini (Baca Bani Israil, Bani : artinya keturunan, Isra' : artinya berjalan atau bekerja dan Al Lail artinya malam).</p>
<p>The mother home city buat seluruh Peradaban Dunia yang ada.<br />
Makanya warga asing akan betah tinggal disini dan merasa tidak asing berada di bumi nusantara ini.<br />
Negeri dengan ribuan suku bangsa, budaya dan bahasa.</p>
<p>Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.</p>
<p>With Andi Arief Dua; M Arief Pranoto; Ahmad Yanuana Samantho.

Kisah Nyata seorang pendiri ONH Plus

$
0
0
 “Ibadah umroh dan haji, kini sudah menjadi modus populer kelompok pengusaha kapitalis greedy (serakaH) untuk menyedot dana kaum muslim awam se-dunia. Banyak umat tertipu. Hikmah haji dan umroh semakin blur dengan dihabisinya situs-situs bersejarah para manusia suci historis islam, yang seharusnya jadi teladan dan sumber inspirasi umat. Umat diiming-imingi janji “surga dan pahala” atas kesalehan ritual– dengan mengabaikan keutamaan kesalehan sosial”. (Resume diskusi dengan eks mahasiswaku di ICAS angk.2005, Novie Chamelia, yang kini kandidat doktor dari Unair Surabaya )

Kisah Nyata seorang pendiri ONH PLus

by Ghuzila Humeid
SEJARAH ONH PLUS INDONESIA Tahun 1981 Adalah sepasang kakak beradik yang bernama Muhammad Fauzan dan Fathurrahman (Amang) yang berkeinginan untuk mengadu nasibnya di negeri arab (Saudi Arabia) sebagai tenaga kerja terlatih guna memperbaiki nasibnya yang lebih baik dan disisi lain agar dapat menunaikan ibadah haji sekaligus. Muhammad Fauzan tadinya merupakan seorang ahli perkapalan dan bekerja di PT. Pelni serta pernah bekerja di Mercedez Indonesia dan terakhir bergelut di dunia teknik pendingin. Sedangkan adiknya yang cerdas dan pernah mengenyam pendidikan di sekolah teknik penerbangan Singosari –Malang. Karena kecerdasannya itu di usia yang masih muda beliau pernah mengajar menggantikan gurunya untuk mengajar teknik penerbangan di sekolahnya.
Di waktu luangnya dimanfaatkan oleh beliau untuk kursus teknik elektronika  pada seorang guru teknik terkenal di Malang yaitu bapak Prof. Dr. Ichwan Hariadi. Akibat mimpi yang dialami ibunya ketika bermimpi  melihat pesawat jatuh maka nasib menjadi seorang pilot-pun kandas dan beliau meneruskan keilmuwannya pada bidang service peralatan elektronik.   Pucuk dicinta ulam-pun tiba tak dinyana ternyata kafil (penjamin) dari pihak orang Saudi ternyata seorang  pegawai pemerintah kerajaan Saudi yang bernama H. Abdul Basyir Al Mandura yang saat itu posisinya sebagai karyawan di pabrik pembuatan kain penutup Ka’bah (Masna’ Kiswatul Ka’bah).
Singkat cerita kerjaan kakak beradik ini maju berkembang pesat dan makin dikenal baik oleh kalangan warga arab maupun keluarga kerajaan Saudi. Tak sedikit order atau permintaan pekerjaan itu dibagi-bagi dan ditularkan kepada teman-temannya yang sesama perantauan baik dalam bentuk pekerjaan maupun dalam bentuk kursusan agar mereka dapat meneruskan ilmunya kepada rekan lainnya yang membutuhkannya.   Tahun 1983. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa system pemerintahan kerajaan Saudi saat itu yang masih tradisional dan memegang teguh ajaran Islam secara murni  dan menjadikan hukum Islam di atas segala-galanya termasuk urusan ibadah haji merupakan issue yang sangat penting. Hal-hal yang berhubungan dengan urusan haji sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah kerajaan tak terkecuali kalau diketemukan ada pihak yang menyelenggarakan urusan ibadah haji diluar selain pihak kerajaan maka hukumannya adalah dipancung atau dipenggal kepalanya.   Kebetulan mulai tahun 1983 sejak perluasan masjidil Haram menjadi areal yang lebih luas dan nyaman maka jumlah jama’ah yang melaksanakan ibadah haji kian lama kian besar jumlahnya, termasuk juga kafil-nya Fathurrahman , H. Abdul Basyir Al Mandura yang selalu menjadi Muassasah dari pihak kerajaan. Kebetulan saat itu banyak tamu dari Indonesia yang sebagian besar merupakan pejabat penting  dan tamu kerajaan tak tertangani oleh pihak kerajaan.
Di satu sisi Fathurrahman yang memang jago dalam memanage teman-temannya saat itu sedang membuka usaha catering atau jasa makanan ala menu Indonesia untuk disalurkan kepada tamu kerajaan asal Indoensia sebagai usaha sampingan dikala musim haji tiba.   Beliau saat itu kebetulan memperkerjakan puluhan karyawan dari mukimin yang menetap di Arab Saudi maupun beberapa mahasiswa Kairo yang lagi cuti belajar dan melaksanakan ibadah haji sambil mencari tambahan rezeki dengan ikut dalam usaha jasa makanan ini. Rupanya niat tulus ini ditanggapi dengan serius oleh majikannya (kafil) Basyir dan dilaporkannya ke pihak kerajaan Saudi.
Tak selang lama H. Fathurrahman  (H. Amang) ini akhirnya mendapatkan dispensasi khusus dari  pihak kerajaan dan tidak berlaku untuk yang lainnya yaitu boleh melayani tamu khusus kerajaan  mulai dari turun pesawat di Jeddah, Mekkah, Madinah , Mekkah dan kembali lagi ke Jeddah hingga naik pesawat untuk kembali ke tanah air.   Seiring waktu berjalan maka makin lama tamu pejabat Indonesia yang tanganinya makin banyak dengan hanya berbekal dari mulut ke mulut dengan system “Jeddah to Jeddah”. Mengapa hanya demikian? Jawaban beliau karena kebanyakan tamu Allah itu mintanya diperlakukan secara istimewa dan biar mereka bisa ibadah makin kusyu’ tanpa perlu memikirkan lagi pemondokannya yang jauh, masalah makanannya yang beda, masalah transportasinya maupun urusan barang-barang yang akan dibawanya saat dating maupun saat pulang kembali ketanah air. Inilah cikal bakal ONH Plus yang dipelopori oleh H. Fathurahman (H. Amang) kala itu masih terkenal dengan istilah Jeddah to Jeddah.
Guna mengakomodir keperluan dan layanan yang lebih baik akhirnya H. Amang memutuskan untuk membagi-bagi lagi beberapa temannya yang sudah trampil dan ahli untuk berdiri sendiri diluar benderanya H. Amang. Beberapa rekan partner dari  Indonesia yang ikut berkecimpung di dunia ONH plus kala itu diantaranya seperti  dari yayasanya Lemhanas maupun dari Sekretariat Negara (Setneg).   Ditengah niat dan usaha yang tulus untuk melayani tamu Allah tanpa pamrih ini rupanya dinodai oleh sebagian kecil anak buahnya  guna mendapatkan uang yang berlimpah dari hasil sampingan melayani tamu Allah tersebut. Diantaranya ada yang mempermainkan tiket, jasa hotel, kendaraan ,makanan hingga jasa dam haji. Memang tak sedikit dari mereka begitu pulang kampung langsung menjadi kaya raya tapi tetap miskin dimata Allah karena memakan harta tamu Allah yang seharusnya dilayani dengan tanpa pamrih.
Keserakahan itu makin lama kian berkembang pesat, dari dua-tiga bendera lambat laun beranak-pinak menjadi puluhan hingga ratusan jasa pelayanan Haji plus (ONH Plus). Diantaranya yang terkenal saat itu adalah dari keluarga cendana yaitu Tiga Utama. Memang kalau urusan uang, iman lemah maka tamu Allah-pun diembat. Tak sedikit janji-janji manis yang diberikan oleh mantan teman-teman dan anak buahnya H. Amang ini berbuntut panjang dan pertengkaran yang tiada henti akibat mereka di khianati oleh biro haji ONH Plus yang memberangkatkannya.   Tak sedikit diantara biro haji yang hanya sekedar mengambil fee dari selisih paket harga yang ditawarkan lalu dioperkan kepada biro haji lainnya dengan harga yang lebih murah.
Hingga akhirnya bsia ditebak sendiri, muncul berbagai ketidak beresan disana-sini, mulai urusan visa yang bodong alias palsu, hotel yang tidak sesuai janji, mutu makanan yang diluar standar mutu sampai urusan  ditelantarkannya jama’ah haji yang ada di Jeddah hingga tidak bisa kembali ke tanah air. Naudzu Billahi Mindzaalik.   Pernah suatu hari H. Amang menangis tatkala sahabatnya yang dipercayakannya  dan dikenal baik itu ternyata ingkar janji. Bicara ada 5 pesawat yang datang di Jeddah  dengan kepala regunya masing-masing yang membawa uang saku buat layanan Jeddah to Jeddah ternyata begitu mendarat mereka tidak membawa uang sepeser-pun. Uangnya habis digondol sama temannya di Jakarta. Berhubung ini adalah tamunya Allah  maka segala sesuatunya harus dilayaninya dengan sebaik mungkin.   Pernah iseng-iseng saya tanya bagaimana bisa mengatur ratusan hingga ribuan jama’ah haji plus ini? Jawabnya cukup simple, katanya : “Kamu harus taruh otakmu dan gandakan hatimu, kalau perlu dilipatgandakan menjadi 1000 hati”. Ternyata kalimat di atas bermakna sangat dalam sekali, bahwa ujian haji buat tamu Allah itu sangat –sangat besar sekali dan syetan-pun diberi kekuatan sepenuhnya untuk menggodanya di bulan haji ini. Dan ternyata ibadah haji kalau mengandalkan bekal pikiran saja maka semuanya pasti akan sia-sia dan tidak sampai pada akal yang waras sekalipun.   Ya …bagaimana tidak, jama’ah haji yang datang  5 pesawat secara bergantian tersebut  datang dengan tanpa jaminan uang sekalipun untuk bekal akomodasi selama di tanah arab, semuanya sudah diserahkan kepada biro perjalanan nakal di tanah air. Mereka semuanya pasrah…. Ya….pasrah merupakan kunci dari segala sumber kunci setelah semua usaha dan daya serta niat tulus yang dilakukannya ternyata “DIUJI” oleh Allah.
Ditengah kepasrahan yang tinggi dan otak-pun buntu total ternyata Allah menggerakkan Kalbu H. Amang untuk segera menuju ke salah satu pimpinan pemilik bis antar kota Jeddah – Mekkah lalu diuraikannya maksud dan tujuannya serta berjanji akan membayar seluruh biaya bis tersebutsetelah tiba ditujuan. Ternyata cukup berbekal “Kalam” atau ucapan yang benar dan ikhlas sang pimpinan bis inipun luluh dan berbinar matanya serta menyanggupi untuk mengantarkan seluruh rombongan 5 pesawat ONH plus Indonesia menuju Mekkah.
Saat dalam perjalanan-pun H. Amang sekali lagi otaknya berfikir tentang bagaimana nanti caranya untuk mendapatkan uang serta memikirkan mau nginap dimana nih jama’ah haji yang sudah setelngah jalan menuju Mekkah Al Mukarromah. Ditengah kegalauannya itu ternyata sekali lagi kalbunya mengisyaratkan agar tamu allah itu segera diturunkan di hotel A.   Begitu masuk ke hotel, ternyata sang pemilik hotel langsung menyambutnya bak raja. Padahal tidak kenal sedikitpun, dan beliau mengutarakan maksud dan tujuannya serta bercerita bahwa saat menuju kesini bus-nya belum di bayar. Aneh bin ajaib, sang pemilik hotel inipun tertawa dan menyanggupi membayar seluruh biaya angkutan bis dari Jeddah menuju Mekkah. Padahal biaya hotel belum juga dibayar. Sekali lagi kalam (ucapan) yang benar inipun ditukar dengan kalam (ucapan)  yang lain dengan maksud yang berbeda.   Kisah inipun bergulir seperti ada yang mengatur hingga para jam’ah haji yang merupakan tamu Allah itu kembali lagi ke tanah air hinga selamat.
Itulah kisah nyata perjalanan ONH Plus Indonesia yang awalnya  diniati dengan baik dan tulus ternyata masih ada juga oknum sebuah biro atau lembaga perjalanan haji yang masih memakan uang haram dari para tamu Allah ini. Semoga Allah mengampuninya dan kembali ke jalan yang benar.   Nun jauh disana tepatnya dikota Probolinggo, tubuh sang perintis ONH Plus H. Amang (Fathurrahman) inipun masih utuh dan hangat terbujur kaku dengan bungkus kain kafan putih serta bau harum semerbak mewangi yang tiada taranya tatkala tubuhmu yang tak bernyawa itu masih mendapatkan rezeki dari Tuhannya. Ya, walaupun kau meninggal tanggal 13 September 2001 tapi tubuhmu tak ubahnya laksana orang yang sedang tidur, komplit dengan keringat dari sisi-sisi kulitmu. Semoga amal ibadahmu selalu diterima disisi-NYA   Jakarta, 26 Oktober 2012  
Suka ·
  • Ghuzilla Humeid Mengenai jasad utuhnya bisa ditanyakan ke penduduk Tisnonegaran yang saat itu ikut datang untuk melihat pemakaman istri dari kakaknya H. Fathurrahman. Mungkin lantaran lewat almarhumah istri kakaknya agar dibukakan salah satu rahasia ilahi-NYA buat penduduk sekitarnya yang tatkala itu tanpa sengaja saat menggali makam disamping makam Almarhum H. Fathrurahman tiba-tiba sirap atau kayu penutup makam adiknya itu longsor dan saat itu terbuka jelas wajah segar H. Fathurrahman yang terlihat seperti orang yang sedang tidur juga kain kafan dan kayu penutupnya dalam keadaan baik dan tidak dimakan rayap sedikit-pun.
    Subhanallah….
  • Ahmad Yanuana Samantho
    Tulis komentar…

TOKOH Di Balik Kerusuhan Di INDONESIA

$
0
0

vocPenjajahan yang membutuhkan selama 350 tahun yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan dan perkembangan perilaku anak bangsa. Apalagi karena jauh sebelum Belanda menjajah, yakni sekitar abad 14, tak lama setelah Perang Salib berakhir, kedatangan kapal-kapal VOC, sebuah perusahaan niaga di Belanda, ditunggangi sebuah kelompok persaudaraan rahasia Yahudi yang menamakan diri Vrijmetselarij (Freemasonsry). 

Ketika Belanda menguasai Indonesia, kelompok ini tumbuh dan berkembang pesat dengan merekrut tak hanya para kaum terpelajar, politikus, pejabat negara dan aktivis, namun juga kaum ningrat (lihat artikel bersambung Mewaspadai Bahaya Freemasonry). Tujuannya, tentu saja, selain untuk memperluas jaringan, juga untuk mendapatkan limpahan materi guna mewujudkan impian mendirikan negara baru di tanah yang dijanjikan, Palestina, dan menciptakan tatanan dunia baru dimana Yahudi sebagai penguasa seluruh negara di dunia. Negara impian itu, Israel, telah berdiri pada 1948, sementara cita-cita menciptakan tatanan dunia baru masih sedang berproses. Saat Indonesia dijajah Jepang, kelompok ini sempat kocar-kacir karena negeri Matahari Terbit termasuk negara yang memusuhinya.

Namun setelah Jepang pergi dan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno bergulir, organisasi yang selalu melakukan gerakan secara diam-diam ini kembali eksis. Meski akhirnya, karena Soekarno membenci Barat dan berpihak kepada Rusia dan China (komunis), pada 1961 keberadaan organisasi ini beserta underbouw-nya, dilarang. Soekarno sendiri kemudian digulingkan melalui sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan CIA (Central Intelligence Agency) dan antek-antek kelompok ini yang satu di antaranya merupakan seorang pendeta kelahiran Amsterdam, Belanda, bernama Pater Beek.

Pendeta Katolik ini pulah lah yang mendudukkan Soehartosebagai presiden pengganti Soekarno.

Pater Beek

Pater Beek

Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534.  Seperti halnya kebayakan pemuda Belanda kala itu, cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam yang sedang dikuasai negara mereka, juga menarik minat Beek remaja untuk ‘bertualang’ di negara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda tersebut.

Kesempatan datang kala ia berusia 22 tahun.  Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan misi kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan yang dilakukan negaranya terhadap Bumi Pertiwi. Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari. Menurut buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu ia bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas masyarakatnya: Islam. Tak heran jika kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Contohnya adalah Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat diKristenkan dengan lebih mudah. Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas dan licik. Sesuai dengan karekternya.

Tugas Beek selesai, dan ia kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk kembali ke Indonesia sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya membuat ia terobsesi untuk juga melakukan seperti apa yang diusulkan kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan mengKristenkan pemeluknya demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Ia pun berupaya agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan lagi ke Indonesia.

Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi pastur, namun baru kembali ke Indonesia pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika M. Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemason.

Mungkinkah itu? Jawabannya, ya.

Pada abad ke-13, Amsterdam hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang dalam bendungan Amstel.

Seiring berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol-lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak.

Namun, pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’.

Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam-lah yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak.

Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa.

Dari sejarah ini jelas bahwa sebelum kembali lagi ke Indonesia, bisa jadi Beek telah direkrut oleh Freemason karena banyak yang percaya bahwa lambang VOC merupakan kamuflase dari lambang Freemason yang berbentuk bintang David.  Apalagi pemilik saham mayoritas di VOC adalah Yahudi yang bermukim di Amsterdam.

Seperti disinggung pada bagian pertama, Freemason berambisi mendirikan negara di Palestina dan menciptakan Tatanan Dunia Baru dimana Yahudi sebagai penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk mewujudkan kedua ambisi ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar. Meski anggota organisasi persaudaraan rahasia bangsa Yahudi ini merupakan orang-orang kaya yang berkecimpung di berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan, seniman dan sebagainya, namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain untuk mendukung perealisasian ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan kemana-mana, termasuk ke Indonesia, negara yang kaya akan hasil bumi, terutama rempah-rempah.

Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij. Melalui organisasi ini, Freemason membuat jaringan di segala bidang, terutama di pemerintahan, agar antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam bidang investasi. Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason mengeruk kekayaan Indonesia.

Penjajah Belanda tentu saja tahu akan hal ini, namun karena sepak terjang Freemason tidak merugikan, bahkan dalam beberapa hal menguntungkan, Belanda membiarkannya saja. Itu sebabnya selama Belanda menjajah Indonesia, Vrijmetselarij tumbuh dan berkembang dengan baik. Sepak terjang Vrijmetselarij yang mana yang menguntungkan Belanda?

Pater Beek

Seperti telah disinggung pada bagian pertama tulisan ini, selama berkiprah di Indonesia, Vrijmetselarij (Freemason) merekrut anak bangsa dari berbagai kalangan, termasuk kalangan bangsawan. Dengan perekrutan seperti ini, tentu saja anak bangsa yang direkrut menjadi ‘sungkan’ terhadap Belanda dan semangat mereka untuk mendepak penjajah itu menjadi kendor.

Organisasi Boedi Oetomo yang pendiriannya dimotori Vrijmetselarij bahkan sangat anti Islam, sehingga dalam brosur organisasi kepemudaan yang selama ini didengung-dengungkan pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi pencetus nasionalisme itu, Boedi Oetomo tak segan-segan mencaci-maki Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ajarannya. Padahal, hasil kajian Pater Beek sendiri menyebutkan bahwa Islam merupakan sumber utama perlawanan rakyat Pulau Jawa terhadap pemerintah Belanda. Jadi, jelas, dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.

Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi. Jika Beek ingin kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah negeri Zamrud Khatulistiwa, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan,Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.

Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Ordo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak pria ini direkomendasikan, minatnya telah menarik perhatian para petinggi organisasi itu untuk merekrut dan memanfaatkannya.

Jesuit, CIA dan Freemasonry

Mengapa Beek direkrut CIA?

Jawabannya mudah. Amerika Serikat (AS) adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini dikuasai sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya. Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang yang menggantikan Belanda menjajah negara ini.

Setahun sebelum Beek kembali ke Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya  Amerika Serikat yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam Amerika Serikat dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.

Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek.

Fakta bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;

Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”.

Soekarno

 

Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam disertasi doktoralnya yang berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde

 

Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.

Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat peng-Katolikkan di Indonesia.

Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;

(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.

Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda.  Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, di mana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.

Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan. Pendeta Katolik ini pulalah yang mendudukkan Soeharto sebagai presiden pengganti Soekarno.

Tujuan misi kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan yang dilakukan negaranya terhadap Bumi Pertiwi. Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari. Menurut buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu ia bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas masyarakatnya; Islam. Tak heran jika kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama Rasulullah Saw ini.

Contohnya Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat dikristenkan dengan lebih mudah. Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas dan licik. Sesuai dengan karekternya.
Seperti disinggung pada bagian pertama, Freemason berambisi mendirikan negara di Palestina dan menciptakan tatanan dunia baru dimana Yahudi sebagai penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk mewujudkan kedua ambisi ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar. Meski anggota organisasi persaudaraan rahasia bangsa Yahudi ini merupakan orang-orang kaya yang berkecimpung di berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan, seniman dan sebagainya, namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain untuk mendukung perealisasian ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan kemana-mana, termasuk ke Indonesia, negara yang kaya akan hasil bumi, terutama rempah-rempah.
Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij. Melalui organisasi ini, Freemason membuat jaringan di segala bidang, terutama di pemerintahan, agar antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam bidang investasi. Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason mengeruk kekayaan Indonesia


Penjajah Belanda tentu saja tahu akan hal ini, namun karena sepak terjang Freemason tidak merugikan, bahkan dalam beberapa hal menguntungkan, Belanda membiarkannya saja. Itu sebabnya selama Belanda menjajah Indonesia, Vrijmetselarij tumbuh dan berkembang dengan baik. Sepak terjang Vrijmetselarij yang mana yang menguntungkan Belanda? Baca bagian selanjutnya

 

Seperti telah disinggung pada bagian pertama tulisan ini, selama berkiprah di Indonesia, Vrijmetselarij merekrut anak bangsa dari berbagai kalangan, termasuk kalangan bangsawan. Dengan perekrutan seperti ini, tentu saja anak bangsa yang direkrut menjadi ‘sungkan’ terhadap Belanda dan semangat mereka untuk mendepak penjajah itu menjadi kendor.
Organisasi Boedi Oetomo yang pendiriannya dimotori Vrijmetselarij bahkan sangat anti Islam, sehingga dalam brosur organisasi kepemudaan yang selama ini didengung-dengungkan pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi pencetus nasionalisme itu, Boedi Oetomo tak segan-segan mencaci-maki Nabi Muhammad Saw dan ajarannya. Padahal, hasil kajian Pater Beek sendiri menyebutkan bahwa Islam merupakan sumber utama perlawanan rakyat Pulau Jawa terhadap pemerintah Belanda. Jadi, jelas, dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.

Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi. Jika Beek ingin kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah negeri Zamrud Khatulistiwa, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan, Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.

Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Orgo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak pria ini direkomendasikan, minatnya telah menarik perhatian para petinggi organisasi itu untuk merekrut dan memanfaatkannya. 


Mengapa Beek direkrut CIA? 


Jawabannya mudah. Amerika Serikat (AS) adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini dikuasai sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya. Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang yang menggantikan Belanda menjajah negara ini.

Setahun sebelum Beek kembali ke Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya AS yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran komunis. Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam AS dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.

Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek.
Fakta bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;
“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal antikomunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”. 

Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.

Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengkatolikkan di Indonesia.

Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.

 

Siapa sajakah pion-pion ini?

 
Pada era 1960-an, Angkatan Darat (AD) merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat antikomunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.
Selain kedua hal tersebut, TNI AD juga merupakan kesatuan yang memiliki struktur hingga ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga TNI AD tak ubahnya bagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, tongkat komando tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur dalam agama Katolik, karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.
Kesamaan struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek maupun CIA. Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan bantuan persenjataan, kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya untuk menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang, namun akibatnya akan sangat terasa hingga kapan pun, termasuk pada 2011 ini.

Kerja sama TNI AD dengan CIA dijalin pada 1950-an, saat Bung Hatta menjadi perdana menteri. Salah satu realisasi kerja sama ini adalah pengiriman 17 orang pilihan di lingkungan TNI AD untuk menjalani latihan di Saipan Training Station (Pusat Pelatihan Saipan) di Pulau Mariana yang berjarak 82 kilometer sebelah barat daya Manila, Philipina. Menurut Ken Comboy dalam buku berjudul ‘Intel: Dunia Intelijen Indonesia’, Saipan Training Station merupakan pusat pelatihan para agen mata-mata dan pasukan khusus yang sepaham dengan Amerika. Setelah 17 orang dari TNI AD dikirim ke sana, selanjutnya ada lagi yang dikirim, namun dalam jumlah yang berbeda-beda.


Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis, bantuan senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?

Selama kerja sama dijalankan, Pater Beek secara intens bergaul dengan para perwira AD untuk mencari pion-pion yang dapat dikendalikan. Ia dengan mudah diterima karena menurut Richard Tanter, Beek merupakan pribadi yang powerfull dan mudah bergaul. Dalam setiap obrolan maupun pertemuan-pertemuan, ia sanggup menghasilkan visi kuat yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Ia juga memiliki gaya bicara yang lugas dan meyakinkan, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan magnet bagi para lawan bicaranya. Dengan kelebihan seperti ini, mendekati para perwira AD dan mencari informasi tentang mereka bukan lah hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu singkat, tiga orang telah terbidik. Salah satunya Soeharto. Mengapa? Dan siapa yang dua lagi?

Bagi Pater Beek, Soeharto merupakan orang yang paling tepat untuk dimanfaatkan demi misi-misi dan kepentingannya, karena selain bukan Muslim yang taat, Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Soeharto juga seorang pembohong, licik, dan korup. Tak jauh berbeda dengan karakter Beek sendiri. Waktu kemudian membuktikan bahwa pilihan Beek menjadikan Soeharto sebagai pion utama, sama sekali tidak salah, karena melalui tangan Soeharto lah misi-misi dan tujuannya tercapai.
Nama Soeharto mulai melejit setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam serangan itu Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin serangan. Namun berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika Soeharto mengkhianati Latief, sahabatnya, terbongkar kalau ketika serangan terjadi, Soeharto justru sedang lahap menyantap soto babat.
Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA).
Menurut Sembodo, karir Soeharto di TNI lebih banyak karena keberuntungan dibanding karena prestasi. Selepas dari Yogyakarta, Soeharto diangkat menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, namun melakukan korupsi dan dicopot dari jabatannya. Karir Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD Jenderal AH Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu disekolahkan di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.
Menurut John Helmi Mempi dan Umar Abduh dalam artikel berjudul ‘Orde Baru, Freemason dan Pater Beek 35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelijen Indonesia di Bawah Soeharto, Beek mendekati Soeharto melalui istrinya, Siti Hartinah atau yang akrab dipanggil Ibu Tin Soeharto, yang lebih dulu dikatolikkan dan ditahbiskan menjadi anggota Ordo Jesuit. Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.


Dua perwira lain yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang ia butuhkan. Apalagi karena kedua orang ini lah yang mendukung Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.
Jadi, setelah mendapatkan pion utama untuk menyukseskan misinya, Beek mendapatkan pembantu-pembantu pion utamanya itu. Maka lengkap sudah pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal mencari pion-pion pendukung lain sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.

 

 

Yoga Sugama dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 Mei 1925. Kala Perang Dunia II meletus, ia mendapat pendidikan militer di Tokyo, Jepang, hingga perang usai. Ketika perang kalah, ia alih profesi menjadi penerjemah di Markas Jenderal Mac Arthur dan kembali ke Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk. Ia bergabung dengan dinas intelijen yang dikenal dengan nama Bagian V.
Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat itulah ia bertemu Soeharto yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta, dan menjalin hubungan yang sangat baik. Ketika Mabes Angkatan Darat berniat mengangkat Bambang Supeno menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto yang berambisi menduduki jabatan itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng. Hasilnya, dibuat suatu isu rekayasa bahwa jika Mabes mengangkat Bambang, maka beberapa perwira akan membangkang. Sabotase sukses, dan Soeharto mendapatkan jabatan yang seharusnya diemban Bambang. Atas jasanya, Yoga diangkat menjadi perwira intelijen.
Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu. Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek. Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel. Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.
Pula, Orde Baru pun sengaja menyembunyikan sosok ini rapat-rapat agar apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa itu, tidak terungkap kebenarannya, sehingga sejarah yang dicatatkan dalam buku-buku dan dicekokkan kepada para siswa di sekolah-sekolah maupun kepada para mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi, cenderung tidak akurat, berbau rekayasa dan bahkan ada yang menyesatkan. Contohnya adalah peritiwa meletusnya G-20S/PKI.
Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.

 

Ali Murtopo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 23 September 1924. Karirnya di militer dimulai ketika bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1950-an, ia ditugaskan di Kodam Diponegoro, bergabung dengan pasukan “Banteng Raider”, pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan Darul Islam (DI).
Pada 1959, ketika meletus pemberontakan di sejumlah daerah, ia dikirim ke Sumatera dengan jabatan sebagai kepala staf Resimen II, dan Yoga Sugama sebagai komandan resimennya. Begitu pemberontakan PRRI berhasil ditumpas, Ali Murtopo kembali ke Jawa Tengah dan melanjutkan tugasnya di Kodam Dipenogoro. Di sini lah ia bertemu Soeharto.
Ketika Mabes Angkatan Darat ingin mengangkat Bambang Supeno sebagai Panglima Divisi Diponegoro, ia dilibatkan Soeharto dalam rapat rahasia di Kopeng yang akhirnya membuat Bambang gagal menduduki jabatan bergengsi itu. Atas jasanya, Soeharto mengangkatnya menjadi Asisten Teritorial.
Ali Murtopo dan Soeharto berpisah setelah Soeharto dicopot dari jabatan sebagai Panglima Divisi Diponegoro akibat korupsi, dan ‘disekolahkan’ Presiden Seokarno di SSKAD. Mereka berkumpul lagi setelah Ali ditarik Soeharto ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai Deputi I KSAD. Ketika Jenderal AH Nasution mengangkat Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) dengan pangkat brigadir jenderal, Soeharto mengangkat Ali menjadi asisten kepala staf CADUAD.
Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri. Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawen atau Islam abangan.

Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan begini;
“Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bias menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa. Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan system politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto”.
Maka jelas apa yang membuat Beek merasa cocok merekrut orang ini. Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri.

 

Untuk mencapai tujuan yang besar, maka dibutuhkan modal dan sarana yang besar pula. Pater Beek tentu menyadari hal ini, sehingga menjadikan Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo saja tidak cukup, maka harus ada pion-pion yang menjadi pendukung ketiga pilar utamanya ini agar tujuan tercapai.

Sebelum dan selama mendekati Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo, Beek juga mendekati orang-orang di luar institusi militer. Di antaranya adalah mahasiswa yang dalam beberapa peristiwa, terbukti dapat dijadikan motor paling efektif untuk melancarkan sebuah gerakan dan membuat perubahan.
Bagi Beek, merekrut mahasiswa Islam untuk menjadi ‘anggota pasukannya’ tentu lah tidak mudah. Maka dengan didukung agen-agen CIA dan Freemason yang lain, ia menggarap mahasiswa Katolik. Maka berdirilah PMKRI pada 25 Mei 1947.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menulis, berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta. Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948. Federasi KSV yang didirikan pada 1949 diketuai Gan Keng Soei (KS Gani) dan Ouw Jong Peng Koen (PK Jong). Sedang PMKRI Yogyakarta yang didirikan pada 25 Mei 1947 diketuai pertama kali oleh St. Munadjat Danusaputro.
Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).
Menurut Mujiburrahman dalam desertasi bertajuk ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Releations in Indonesia’s New Orde’, kedua bersaudara ini merupakan kader utama Beek di PMKRI. Kedua orang ini merupakan motor gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dan membasmi PKI. Setelah kedua ‘musuh’ tersebut dihancurkan, mereka kemudian mengorganisasikan penindasan terhadap Islam.

Selain kedua bersaudara tersebut, dalam desertasinya Mujiburrahman juga menyebut kader Beek yang lain, yakni Cosmas Batubara dan Harry Tjan Silalahi. Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.
Harry Tjan Silalahi yang lahir di Jogjakarta pada 11 Februari 1934 pernah menjabat sebagai sekjen Partai Katolik. Ia aktif berorganisasi sejak masih SMA, dimana kala itu ia menjadi anggota Chung Lien Hui, organisasi keturunan Tionghoa. Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.

Setelah lulus SMA, Harry pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum UI. Ia lulus pada 1962. Selama kuliah, ia aktif di perkumpulan Sin Ming Hui dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan terpilih menjadi sekjen. Dari sini lah ia dikenal Pater Beek dan direkrut.

 

Selain menggarap mahasiswa di dalam negeri, melalui Ali Moertopo, Beek juga menggarap mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di luar negeri. Mahasiswa-mahasiswa ini kelak akan menjadi bagian dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang menjadi think thank Orde Baru dalam setiap kebijakannya. Tentang pembangunan jaringan ini diungkap sendiri oleh Harry Tjan Silalahi dalam tulisan berjudul ‘Centre Lahir dari Tantangan dan Jaman’. Begini petikannya;
“Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar negeri tersebut. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Bapak Daoed Joesoef, PPI Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.
Menurut M Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, para mahasiswa dan pemuda-pemuda Katolik tersebut kemudian diberi pelatihan oleh Pater Beek yang dikenal dengan sebutan Kaderisasi Sebulan (Kasbul), untuk dijadikan ‘laskar Kristus’ yang menjalankan kristenisasi di Indonesia secara besar-besaran. Dalam fikiran mereka ditanamkan doktrin bahwa Islam adalah musuh, Islam adalah agama pedang, Islam adalah perampok Yerusalem, Islam adalah perebut Konstantinopel, dan Islam adalah agama anti-Kristus. Tuduhan-tuduhan yang sungguh jauh dari kebenaran.
Tentang apa saja pelajaran yang diberikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu, Richard Tanter menjelaskannya sebagai berikut;
“(Pater) Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu bulanan secara regular bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastur maupun rohaniawan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan keterampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan public, keterampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis social”.
Sedang Cosmos Batubara menjelaskan begini; “Beliau (Pater Beek) hanya memberikan training-training untuk menghadapi komunis. Kita didoktrin agar kuat melawan Marxisme-Leninisme. Juga diajarkan bagaimana kelompok komunis itu beraksi, dan bagaimana menghadapi mereka. Itu kami pelajari. Kalau tidak, bagaimana kami bias melawan CGMI”.
Apa yang dikatakan Cosmas ini membenarkan adanya Kasbul, namun membantah menyerang Islam. Namun Richard Tanter mengungkapkan begini; “Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar, baik bagi Indonesia maupun gereja, adalah komunisme dan Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan; sama-sama memiliki kualitas ancaman”.
Jadi, jelas, Beek memang menggunakan ‘pasukannya’ untuk terlebih dahulu menghancurkan komunis di Indonesia, dan setelah itu Islam. Tantang hal ini, Tanter mengatakan begini; “Pasca 1965, posisi militan yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa”.
Dengan metode menggunakan mahasiswa sebagai ‘pasukan tempur’, Pater Beek sukses menghancurkan dua musuh sekaligus, komunis dan Islam, dan bahkan waktu kemudian membuktikan bahwa setelah itu kristenisasi berjalan dengan mulus di Indonesia. Tentu saja, setelah Soeharto menjadi presiden.

 

Hingga kini bagaimana pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dapat meletus, masih dianggap misteri bagi banyak orang. Tentu saja, karena selama ini sejarawan sekalipun hanya mengaitkan peristiwa itu dengan Soekarno, Soeharto, PKI, Angkatan Darat, dan CIA. Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, Sembodo meyakini bahwa jika peristiwa itu dikaitkan pula dengan Pater Beek, maka masalahnya menjadi benderang.
Soekarno, lelaki flamboyan kelahiran Blitar, Jawa Timur, memang tak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak mahasiswa, ia telah terlibat dalam perjuangan anti-kolonialisme, sehingga sempat merasakan pengapnya penjara Sukamiskin dan beberapa tempat pembuangan. Sepak-terjangnya pun banyak yang kontroversial. Ketika Jepang menjajah Indonesia, ia ‘bekerja sama‘ dengan negeri Matahari Terbit itu, sehingga ribuan rakyat Indonesia dikirim ke kamp kerja paksa romusha. Setelah Indonesia merdeka, ia dan Bung Hatta bekerja sama menyingkirkan Muso, sahabatnya sendiri ketika masih di Surabaya. Memasuki usia 50-an, ia mulai berseberangan dengan Hatta, sehingga pasangan yang beken disebut Dwi Tunggal itu retak, dan ‘bermesra-mesraan’ dengan komunis. Ia pun akhirnya terjungkal dari tampuk kekuasaan dengan cara yang amat menyedihkan.
Peran Soekarno pada 1950-1960-an dalam jagat perpolitikan internasional terbilang cukup menonjol. Bersama Nehru, Castro, Tito dan yang lainnya, ia memelopori berdirinya poros baru di luar poros Amerika Serikat (AS) dan sekutu-kutunya (Blok Barat), serta Uni Soviet bersama konco-konconya (Blok Timur). Poros itu kemudian dikenal dengan sebutan Non Blok. Poros baru ini menentang segala bentuk kolonialisme, namun kemudian banyak yang melihat, terutama AS dan antek-anteknya, bahwa orientasi politik Soekarno cenderung ke kiri alias ke Blok Timur. Ini tercermin dari program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia, kampanye ganyang Malaysia dan operasi Pembebasan Irian Barat yang dianggap merugikan kepentingan Barat. Apalagi karena selain merupakan basis utama kristenisasi, kala itu Barat, khususnya AS, telah tahu kalau di bumi Papua terkandung bahan tambang yang melimpah ruah, termasuk emas. Lebih parah lagi, kala itu pun tanpa tedeng aling-aling Soekarno menjalin hubungan baik dengan pempimpin China, Mao Zedong.
Tak ayal, Blok Barat kebakaran jenggot. Tentang hal ini, dalam buku berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto’, John Rossa menulis begini;
“Bagi mereka (AS), Presiden Soekarno merupakan sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang dipermanenkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955), hujatan berulang kali terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia, ditafsirkan Washington sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow dan Beijing. Einshower dan Dulles bersaudara-Allen sebagai kepala CIA dan John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri-memandang semua pemimpin nasionalis Dunia Ketiga yang ingin netral di tengah-tengah perang dingin, sebagai antek-antek komunis”.
Kondisi yang tak menguntungkan ini membuat AS dan konco-konconya mencari cara untuk menyingkirkan Soekarno, sebuah cara yang sangat halus, rapih, dan terkoordinir dengan sangat baik agar pihak luar, bahkan bangsa Indonesia sendiri, tak tahu kalau mereka lah otak penggulingan ini. Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan intelijen. Maka, menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana penggulingan ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.
Semula, keterlibatan Beek dalam penggulingan Soekarno hanya dianggap sebagai fiksi belaka, namun setelah Aad van den Heuval, mantan presenter radio dan televise KRO, merilis laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt, Goedenavond’ (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005, publik Eropa sekalipun langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam penggulingan itu.
Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.

 

Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap wara-wiri ke Indonesia untuk meliput gejolak politik di negara kepulauan ini. Jika ditugaskan ke Indonesia, biasanya memakan waktu satu atau dua bulan. Dalam kurun waktu inilah Heuvel bertemu Pater Beek dan mewawancarainya.

Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini;
“Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga”.
Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya yang sebagai berikut;
“Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin”.

Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah negeri ini, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Baru tumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang G-30S/PKI yang telah diterbitkan pun semuanya tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lobang Buaya, Jakarta Timur.
Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin terhadap komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas Katolik di Indonesia.
Dari pernyataan ini saja sulit membantah bahwa Beek tidak memiliki peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua RI. Apalagi karena dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam Pusaran Politik’, Benny G. Setiono antara lain menulis begini;
“Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat, menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia sangat membenci komunisme …”
Selain itu, dalam artikel yang diterbitkan harian Belanda, De Telegraaf, pada 20 Juli 1993, Jos Hagers mengatakan bahwa Pater Beek adalah otak kudeta 1965 yang bertujuan untuk memancing perebutan kekuasaan oleh Jenderal Soeharto dan memungkinkan pendongkelan Presiden Soekarno.

 

Tak perlu meragukan kelicikan, kecerdasan dan kehebatan Pater Beek dalam menyusun sebuah strategi. Serpak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang begitu intens untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘saudara’ China dan Uni Soviet, membuat semua agen CIA, termasuk Beek, mencari momentum untuk memukul balik partai yang keberadaannya didukung Presiden Soekarno itu. Terlebih karena pada awal 1965, para buruh yang telah direkrut PKI menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.

Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu. Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.
Dalam kejadian ini, enam jenderal dibunuh dan mayatnya dicemplungkan ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan saat era Orde Baru, disebutkan bahwa PKI lah pelaku utama peristiwa itu dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Apalagi karena menjelang kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk yang di daerah-daerah, telah mengetahui akan adanya kejadian itu.
Namun, jika merujuk pada artikel Jos Hagers yang diterbitkan De Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa jadi akibat ulah Beek. Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di Angkatan Darat, isu Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu.
Yang lebih menarik, seperti diungkap Richard Tanter, Beek telah menyiapkan sejumlah langkah setelah kasus itu meledak. Begini kata Tanter;
“Pada periode menjelang peristiwa 1965, (Pater) Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum komunis dan ia terlibat dalam persiapan gerakan Katolik bawah tanah. Dalam periode akhir Demokrasi Terpimpim, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang anti-komunis. (Pater) Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan pinjam, bank, dan lain sebagainya. Tiap jaringan anti-komunis tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah sosial. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi bagian basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung”.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan, mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk organisasi-organisasi itu adalah para mahasiswa Katolik yang telah dipersiapkan melalui Kasbul. Bahkan sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang pada 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya Subchan Z.E, dan sekjennya Harry Tjan Silalahi, salah seorang kader Beek.

Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi-organisasi lain juga terbentuk. Di antaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Bersama Front Pancasila, organisasi-organisasi melakukan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi underbouw-nya. Tuntutan mereka dipertegas dalam resolusi Front Pancasila saat menggelar Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.

Dari semua organisasi mahasiswa tersebut, yang paling fenomenal adalah pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) karena organisasi yang dibentuk pada 25 Oktober 1965 ini merupakan organisasi yang dibentuk berkat kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb. Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). ‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi ini adalah kader orang itu, yakni Cosmas Batubara.
Sembodo menegaskan. Cosmas termasuk kader Beek yang giat menggalang aksi mahasiswa untuk mempercepat tergulingnya Soekarno dan hancurnya PKI. Sembodo bahkan berani menyebut bahwa KAMI lah organisasi yang menjadi poros utama Beek untuk menciptakan puting beliung yang menghancurkan Soekarno dan komunis.
Masih menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Van den Heuval dalam laporan-laporannya menjelaskan, Beek mulai menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di Universitas Admajaya. Dari sini lah ia membangun sel-sel di kalangan mahasiswa karena menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar yang dapat digerakkan. Terbukti, ketika para pendukung Soekarno, terutama tentara, bereaksi, mahasiwa lah yang dikerahkan untuk memukul balik reaksi itu.

Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul ‘Bayang-bayang PKI’. Dalam buku itu tertulis begini;
“Selama bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan anti-komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik. Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-komunis. Antara lain, ia sering disebut-sebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA”.

 

Tokoh di belakang layar kadangkala tampil juga ke hadapan publik. Bukan untuk mendeklarasikan dirinya sebagai mastermind dari suatu kejadian, melainkan untuk memantau, mengendalikan, dan memastikan bahwa apa yang telah didesainnya berjalan sesuai track yang benar.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menjelaskan, kala gerakan KAMI semakin membesar untuk menggulingkan Soekarno, Pater Beek muncul di antara para demonstrannya di jalan-jalan raya di Jakarta. Richard Tanter bahkan menyatakan begini soal kemunculan Beek di tengah orang-orang yang dikerahkannya itu;
“Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing”.
Dengan kata lain, Beek muncul ke hadapan publik dengan cara menyamar, sehingga orang-orang tak dapat mengenali kalau dia sesungguhnya bukan pribumi. Luar biasa!
Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal gerakan, organisasi ini seolah-olah mendukung sang the founding father dan hanya menuntut pembubaran PKI. Akan tetapi, ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI dibubarkan.

Saat KAMI terpojok begini lah Beek mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan. Dalam buku berjudul ‘Army and Politics in Indonesia’, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Soekarno justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad dimana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor. Maka, seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI seperti Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.
Dalam bukunya, Harold Crouch menulis, Ali Murtopo tidak sendiri dalam mengobarkan kembali aksi KAMI itu, tapi dibantu oleh Kemal Idris dan Sarwo Edhi. Bahkan agar terkesan gerakan KAMI mendapat dukungan luas dari masyarakat dan jumlah peserta demonstrasi semakin lama semakin banyak, Ali Murtopo membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI, kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka dapat ikut serta berdemo. Crouch menyebut, jaket itu berasal dari CIA.

Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian dalam buku ‘Bayang-bayang PKI’. Katanya:
“Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket kuning UI”.
Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran ini lah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.

 

Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G-30 S/PKI, merupakan awal karir Soeharto yang paling cemerlang. Tentu saja, karena dia lah pion yang telah disiapkan Beek untuk menggantikan Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Pembunuhan enam jenderal dalam peristiwa G-30 S/PKI membuat Angkatan Darat mengalami kekosongan kepemimpinan, dan ‘tangan-tangan’ Beek di sekitar Soekarno yang mendorong agar Soeharto ditunjuk untuk mengatasi ‘pemberontakan para PKI’, membuat Soekarno mengeluarkan Supersemar yang menurut versi Markas Besar Angkatan Darat, menugaskan Soeharto yang kala itu telah diangkat menjadi Panglima kesatuannya dengan pangkat Letnan Jenderal, untuk mengamankan dan menjaga keamanan Negara, serta institusi kepresidenan. Isi Supersemar itu lah yang menjadi dasar Soeharto untuk membubarkan PKI dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 30 juta orang itu. Sebagian ditahan, dan sebagian lagi dibunuh. Namun yang hingga kini juga masih ‘menakjubkan’, meski anggota PKI hanya sebanyak itu, yang terbunuh dalam tragedi paling berdarah di Indonesia itu justru jauh lebih banyak. Bahkan saking banyaknya, hingga kini jumlah orang yang dibunuh masih simpang siur.
Dalam buku berjudul ‘The Indonesian Killings 1965-1966, Studies from Java and Bali’, Robert Cribb menyebutkan data yang bervariasi tentang jumlah orang yang dibunuh kala itu. Misalnya, Donald Kirk menyebut yang dibunuh 150,000 orang, Ben Anderson dan Ruth McVey menyebut 200.000 orang, Sudomo menyebut antara 450.000 hingga 500.000 orang, Adam Malik menyebut 150.000 orang, dan L.N. Palar menyebut 100.000 orang.


Bagaimana Soeharto bisa ‘sehebat’ itu?

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek. Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah-daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA. Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu, dihabisi. Hal ini terungkap setelah wartawati AS, Kathy Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedubes AS di Jakarta, pejabat CIA, dan Deplu AS. Mantan pejabat Kedubes AS, Lydman, misalnya, mengakui kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara inilah maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.
Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto? Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA. Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.
Yang lebih menarik, dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan bahwa sebelum sampai kepada Soeharto, daftar itu oleh CIA diserahkan dulu kepada Kim Adhyatma, ajudan Adam Malik. Tak heran jika dalam bukunya yang berjudul ‘Legacy of Ashes, History of the CIA’, wartawan New York Times, Tim Weiner, menyebut kalau Adam Malik merupakan seorang agen CIA. Bahkan wartawan itu menyebut, pahlawan nasional berjulukan si Kancil itu merupakan pejabat tertinggi di Indonesia yang pernah direkrut Dinas Intelijen Amerika.

 

Soekarno digulingkan melalui cara yang sangat terencana dan sistematis yang melibatkan MPRS.

Melalui sidang umum yang digelar pada 1966, lembaga tertinggi negara itu mengeluarkan dua ketetapannya, yaitu TAP MPRS No. IX/1966 yang mengukuhkan Supersemar menjadi Ketetapan (TAP) MPRS, dan TAP MPRS No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar, untuk setiap saat menjadi presiden apabila Soekarno berhalangan. Lembaga itu juga meminta Soekarno mempertanggungjawabkan sikapnya terkait dukungan terhadap PKI.

Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawaban, namun pidato yang diberi judul ‘Nawaksara’ itu dianggap tidak lengkap. Pada 10 Januari 1967, Soekarno kembali membacakan pertanggungjawabannya yang kali ini diberi judul ‘Pelengkap Nawaskara’. Namun pada 16 Februari 1967, MPRS juga menyatakan menolak pertanggungjawaban itu.
Akhirnya, berkat permintaan MPRS, pada 20 Januari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Penandatangan ini merupakan akhir dari karir Soekarno sebagai presiden RI karena sesuai TAP MPRS No. XV/1966, secara de facto Soeharto menjadi kepala pemerintahan Indonesia menggantikan dirinya.
Naiknya Soeharto menjadi presiden disahkan melalui Sidang Istimewa MPRS dengan agenda pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai penggantinya. Bahkan dalam sidang itu, MPRS mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi yang disandang sang the founding father.

Jejak Beek dalam kudeta ini mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya dari dunia luar, sehingga tak dapat lagi berhubungan dengan rekan-rekan sesama pejuang yang merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Padahal ketika Soeharto ketahuan korupsi ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soekarno memaafkannya. Meski Soeharto ‘disekolahkan’ dulu di SSKAD sebelum ditarik ke Jakarta, ke Markas Besar Angkatan Darat.

Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.
Meski kemudian Soeharto menetapkan Negara dalam keadaan berkabung selama sepekan, apa yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno jelas terlalu berlebihan mengingat Soekarno tidak memiliki kesalahan fatal terhadapnya. Perlakuan Soeharto ini patut diduga mewakili kepentingan yang lain, yakni kepentingan orang yang menaikkannya menjadi presiden; Beek. Karena Beek benci komunis, maka praktis dia juga membenci Soekarno.

 
Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya.

 

Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan yang mempermudah misi Pater Beek selanjutnya, yakni menghancurkan Islam. Maka tak heran jika selama 32 tahun Orde Baru berkibar, banyak terjadi peristiwa yang menyakiti umat Islam.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan kalau untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep yang diterapkan gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara. Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya begini;

“Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.
Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’. Dengan kata lain, Beek menempatkan orang-orangnya untuk ‘cawe-cawe’ di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto. Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul ‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru’, disebut sebagai ‘negara organik’.
Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa. Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme, karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.
Di atas konsep seperti itu lah Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme. Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis dimana yang paling atas memegang kontro, terhadap orang-orang di bawahnya. Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.

Konsep Orde Baru ini, kata Sembodo, bila ditilik lebih mendalam tidak jauh berbeda dengan sistem gereja Katolik yang berpusat di Vatikan, karena selama Orde Baru berkuasa, Soeharto sama seperti Paus yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap umatnya.
Namun, jelas Sembodo lebih jauh dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, karena gereja tidak boleh politis, maka Pater Beek membutuhkan ‘alat sebagai perpanjangan tangannya’ untuk ikut cawe-cawe dalam pemerintahan Orde Baru. Sebuah alat yang efektif dan berpengaruh, serta mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan. Maka dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikan lah CSIS (the Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat. Lembaga ini lah yang kemudian memasok gagasan dan menjaga agar Orde

Baru menerapkan sistem negara organik versi gereja pra Vatikan II.
Selain lewat CSIS, Beek juga menempatkan bidak-bidaknya di birokrasi dan militer. Di birokrasi misalnya, ada nama Cosmas Batubara dan Daoed Joeseof yang menempati jabatan menteri dalam kabinet Soeharto; dan di militer ada Ali Murtopo, Yoga Sugama serta LB Murdani yang memiliki kedudukan strategis. Ali Moertopo dengan Opsus-nya, sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan tak terbatas dan berandil besar dalam mengebiri politik anti-Islam. Bahkan Ali Moertopo juga menempati posisi kunci dalam Aspri (Asisten Presiden) bersama Mayjen Soedjono Humardani.
Kini jelas lah kalau Orde Baru memang era yang pendiriannya ‘ditopang’ Beek demi memuluskan misinya menghancurkan Islam dan menegakkan Katolik di Indonesia. Tentang hal ini, Richard Tanter berkata begini;

“Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek dengan dalih, sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evel (tentara)”.

 

Ketika pertama kali mendengar nama CSIS, yang ada di benak saya adalah bahwa organisasi ini hanya organisasi para ‘orang pintar’ yang peduli pada masalah perpolitikan di Indonesia dan berusaha memberikan kontribusi positif bagi negeri ini. Anggapan ini sebagian kecil tidak salah, tapi sebagian besar saya merasa kecele karena kala itu saya memang tak tahu bagaimana sejarah berdirinya organisasi ini.

Majalah Q&R edisi 7 Februari 1998 menulis begini tentang CSIS ;
“CSIS tidak dapat dipisahkan dari almarhum Letjen Ali Moertopo dan Mayjen Soedjono Humardani, dua perwira tinggi di awal ‘Orde Baru’ dikenal sangat akrab dengan Presiden Soeharto. Namun kedua tokoh ini (kemudian ditambah dengan nama Jenderal Benny Moerdani, mantan Pangab), sangat berkait dengan suatu masa; tatkala pemerintahan Presiden Soeharto memandang politik Islam dengan syak wasangka. Bukan kebetulan pula anggota teras kepemimpinan CSIS umumnya beragama Katolik dan keturunan Cina. Tokohnya yang paling senior, Dr. Daoed Joesoep, meskipun ia seorang muslim asal Sumatera Timur, juga ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dikenal sebagai perumus kebijakan yang tidak kena di hati umat Islam Indonesia, misalnya keputusannya untuk tidak meliburkan murid di bulan Ramadan. Walhasil, CSIS dianggap identik dengan sikap anti-Islam”.
CSIS yang didirikan pada 1871 memang organisasi yang terdiri dari orang-orang yang anti-Islam. Maka, tak mengherankan kalau di tempat ini bertemu dua aliran, tentara dan sipil. Aliran tentara dipimpin langsung oleh Ali Moertopo, sedang aliran sipil di bawah komando Harry Tjan Silalahi. Kedua aliran ini kemudian bersatu untuk menggalang politik anti-Islam.
Tentang peran Pater Beek dalam pembentukan CSIS disampaikan oleh Jenderal Soemitro. Dalam buku ‘Soemitro dan Peristiwa Malari’, mantan Pengkopkamtib ini pun menyebut-nyebut nama Pater Beek. Ia menyatakan, ia menerima banyak laporan tentang siapa di belakang studi bentukan Ali Moertopo itu. Menurut laporan-laporan tersebut, CSIS dibentuk Ali Moertopo bersama Soedjono Humardani, sebagian golongan Katolik, dan sekelompok orang Tionghoa yang umumnya berafiliasi dengan Pater Beek. Jelas, bahwa lembaga yang dimaksud Soemitro adalah CSIS.
Selain memengaruhi Soeharto, lewat Ali Moertopo dan Soedjono Humardani, CSIS juga berusaha bermain lewat Golkar yang sejarah pendiriannya memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Orde Baru.

Pada awalnya, di masa revolusi, Golkar merupakan kumpulan organisasi anti-komunis yang bergabung dalam Front Nasional. Organisasi-organisasi yang bergabung dalam Golkar antara lain organisasi buruh tani, pegawai negeri, perempuan, pemuda, intelektual, artis dan seniman. Sebagaimana diuraikan Harold Cruch dalam bukunya, organisasi-organisasi sipil tersebut dikendalikan oleh tentara yang peranannya dominan lewat SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Begitu Soekarno tumbang, Golkar pun dijadikan mesin politik Orde Baru.

 

Selama era Orde Baru, Golkar merupakan partai yang tak terkalahkan karena setiap warga Indonesia, terutama pegawai negeri, dipaksa memilih partai berlambang pohon beringin. Atau hak-haknya sebagai rakyat dikebiri dan dipersulit dalam mengurus banyak hal, termasuk KTP. Tak heran, karena seperti juga CSIS, Golkar adalah organisasi bentukan Beek yang dihidupkan demi menjaga Soeharto tetap langgeng di tampuk kekuasaan, dan misinya tercapai dengan baik.
Dalam buku berjudul “Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengutip penuturan Romo Dick Hartoko yang tertulis di Tempo, yang isinya begini; “Awal mula dari Golkar adalah ide seorang Romo Jesuit Beek”. Romo ini bahkan menegaskan, Beek punya kedekatan dengan salah seorang pendiri CSIS, Ali Moertopo, yang kala itu masih aktif di Opsus dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).
Menurut Sembodo, Romo Dick Hartoko sama sekali tidak salah karena Ali Moertopo mendapat tugas dari Beek untuk menjadikan Golkar sebagai mesin politik yang efektif, sehingga dapat memenangi Pemilu dan mengalahkan partai Islam dan partai nasionalis. Bahkan untuk lebih memastikan kemenangan Golkar, Ali Moertopo mendirikan Badan Pemilihan Umum (Bapilu) yang sebagian besar orang-orangnya beragama Katolik.

Tentang hal ini, Harold Crouch mengatakan begini; “Mengabaikan organisasi-organisasi Sekber-Golkar yang lama, strategi pemilihan Golkar dirancang oleh sebuah komite yang dikumpulkan oleh Ali Moertopo, yang sebagian besar terdiri dari bekas aktivis dari kesatuan aksi. Yakin akan kebutuhan untuk ‘memodernisasi’ politik Indonesia dengan mengurangi peranan partai-partai ‘tradisional’, para anggota komite yang dikenal dengan nama Badan Pemilihan Umum (Bapilu) itu berpandangan sekuler, di dalamnya banyak anggota yang beragama Katolik”.
Crouch juga tak keliru, karena pada pemilu pertama di era Orde Baru, yakni pada 1971, Jusuf Wanandi, kader Beek, aktif di badan ini. Dia kemudian menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar.
Selain Bapilu, bidak-bidak Beek melakukan banyak manuver untuk membuat Golkar tak terkalahkan pada masa Orde Baru. Ketika diwawancarai Majalah Sabili, Suripto mengatakan, sebetulnya banyak pihak yang mengusulkan sistem dua partai seperti di Amerika, namun gagasan itu dimentahkan oleh Ali Moertopo yang menghendaki tiga partai. Satu partai jelas Golkar, sedang dua partai lainnya yang beraliran nasionalis dan Islam. Sejarah kemudian membuktikan, gagasan Ali Moertopo lah yang diimplementasikan Orde Baru, namun, tentu saja dengan mengebiri partai nasionalis dan Islam sehingga sepanjang era tersebut, kedua partai ini tak lebih dari figuran dalam dunia perpolitikan Indonesia agar Indonesia dipandang sebagai negara yang demokratis.
Pengebirian PNI sebagai representasi partai nasionalis, dilakukan dengan menggembosi partai itu melalui kekuatan birokrasi. Para pegawai negeri “ditekan” agar memilih Golkar, dan yang membangkang akan dipecat atau kenaikan pangkatnya ditunda.
Mengenai hal ini, Harold Crouch menjelaskan begini; “Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Komendagri (Koperasi Departemen Dalam Negeri), suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, darimana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970, rupanya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan bahwa departemennya akan menjadi tulang punggung Golkar. Walaupun menteri selalu mengatakan bahwa para pegawai negeri masih diperbolehkan menjadi anggota partai masing-masing, tetapi ia menyatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan ia juga menyatakan bahwa keanggotaan partai sekurang-kurangnya akan menjadi hambatan bagi kenaikan pangkat”.

Pengebirian terhadap partai berideologi Islam dilakukan bidak-bidak Pater Beek dengan dua cara. Pertama, melarang berdirinya kembali Masyumi, sehingga ketika partai yang menjadi empat besar pada Pemilu 1955 itu mengajukan izin pendirian kembali, Presiden Soeharto sang penguasa Orde Baru menolaknya dengan alasan karena partai tersebut terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Ini alasan yang dibuat-buat, karena alasan yang sesungguhnya adalah Masyumi memiliki basis pendukung yang besar dari kalangan umat Islam. Jika izin pendirian kembali Masyumi diberikan, partai ini akan menjadi ganjalan besar bagi Golkar.
Alasan lain mengapa Soeharto melarang Masyumi berdiri diutarakan Dr. George J. Aditjondro dengan ungkapan sebagai berikut; “Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa atas partisipasinya dalam penumpasan Gestapu. Padahal Soeharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri Negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam melawan tentara ini lah yang melicinkan dipraktikkannya doktrin lesser evil Pater Beek tersebut”.

 

Upaya-upaya penghancuran Islam tak pernah henti hingga Orde Baru tumbang pada 1998. Cara yang dilakukan umumnya sama, merangkul umat Islam dan dikemudian mediskeditkannya dengan berbagai rekayasa. Tokoh-tokoh yang terlibat pun semakin banyak, yang semuanya merupakan orang-orang Orde Baru yang mungkin saja termasuk ‘orang-orang binaan’ Pater Beek. Satu di antaranya yang sangat terkenal adalah LB Moerdani.
Tentang tokoh yang satu ini, George J. Aditjondro dalam artikel berjudul “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan L.B. Moerdani” memberikan uraian sebagai berikut;
“Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Soeharto, salah seorang kadernya disimpan di Korea Selatan sebagai Konjen. Itu lah L.B. Moerdani. Sudah sejak di Kostrad pada zaman konfrontasi dengan Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Moerdani. Banyak yang menduga perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Moerdani pada kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa, sementara Moerdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang yang berkuasa”.
Meski permusuhan antara Ali Moertopo dan LB Moerdani membuat karir Moerdani terhambat, namun akhirnya Moerdani kemudian muncul juga ke permukaan.
Karir Moerdani meroket setelah peristiwa Malari pada 1974. Apalagi karena setelah itu Soeharto membubarkan Aspri (Asisten Presiden), lembaga yang dikuasai penuh oleh Ali Moertopo. Tentang hal ini George J. Aditjondro mengungkapkan begini;
“Tapi setelah terjadi Malari, Ali Moertopo tidak bisa lagi menghalangi Moerdani untuk tampil ke depan. Sejak ini lah bintang Moerdani mulai menanjak. Moerdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Moertopo pada masa pasca Malari, Berjaya lagi oleh naiknya Moerdani”.

L.B. Moerdani beragama Katolik dan sangat membenci Islam. Ini lah yang membuat dia mudah diterima CSIS. Bahkan masuknya Moerdani ke lembaga yang dibentuk Pater Beek itu ibarat ikan menemukan air. Tentang hala ini, George J. Aditjondtro berkata begini;
“Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itu lah sebabnya mengapa Moerdani sekarang tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Moertopo)”.
Dalam memilih kader, cara Moerdani dan Ali Moertopo relatif tak berbeda. Jika Moertopo ‘memukul’ Islam dengan menggunakan orang Islam juga, Moerdani pun begitu. Cara ini terbukti efektif karena selama Moerdani ‘merajalela’, Islam di Indonesia benar-benar berada dalam suasana suram karena terdiskreditkan dan terpojokan.
Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus ‘Jamaah Imran’ yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA 206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal dengan kasus Pembajakan Wolya. Kecurigaan ini muncul karena seperti kasus meletusnya G-30 S/PKI yang menguntungkan Soeharto, kasus Jamaah Imran dan Pembajakan Woyla juga menguntungkan Moerdani.
Dalam biografi LB Moerdani yang ditulis Julius Pour terdapat kronologis awal kasus itu yang bunyinya sebagai berikut;
“Sabtu 28 Maret 1981, pesawat terbang Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 206 tujuan Medan, tinggal landas dari Bandar Udara Talangbetutu, Palembang …. Mendadak, terdangar keributan kecil dari arah kabin penumpang. Co-Pilot Hedhy Juwantoro juga mendengar suara ribut yang masuk ke ruang kokpit. Ia baru saja akan memalingkan kepalanya ketika tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar menyerbu dalam kokpit sambil berteriak; “Jangan bergerak, pesawat kami bajak ….””

Pembajakan itu dilakukan oleh lima laki-laki. Pemerintahan Orde Baru menyebut, para pembajak ini merupakan bagian dari Jamaah Imran, sebuah jamaah radikal yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, dan dipimpin oleh Imran.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’. Sembodo menjelaskan bahwa Jamaah Imran adalah kelompok yang dibentuk setelah Komando Jihad ‘dilumpuhkan’ Ali Moertopo.
Tiga bulan setelah jamaah ini terbentuk, seorang anggota intelijen dari kesatuan TNI Yon Armed Cimahi, yang menurut Umar Abduh bernama Najamuddin, menyusup dan memprovokasi agar kelompok ini melakukan gerakan radikal untuk melawan pemerintahan Soeharto secara terbuka. Anggota intel ini bahkan menunjukkan senjata jenis apa saja yang cocok untuk dipakai setiap anggota Jamaah Imran, dan meminta setiap anggota Jamaah itu difoto sambil memegang senjata yang ia perlihatkan. Bodoh, anggota jamaah itu mau saja tanpa menelaah dulu apa maksud dan tujuan si penyusup. Tentang hal ini, diuraikan Umar Abduh sebagai berikut;
“Gerakan pemuda Islam Bandung pimpinan Imran terpedaya, terjebak dalam isu provokasi intelijen tersebut, apalagi setelah Najamuddin menjanjikan akan memberikan suplai berbagai jenis senjata organic ABRI, seraya menunjukkan contoh konkret senjata mana yang yang diperlukan dan pantas untuk masing-masing orang. Bodohnya, ketika beberapa anggota kelompok ini diminta agar masing-masing difoto seraya memegang senjata hasil pemberian yang dijanjikan dan berlangsung hanya sesaat oleh Najamuddin itu, tidak seorang pun dari anggota gerakan Imran keluar sikap kritisnya”.
Setelah menunjukkan senjata-senjata yang layak dipakai Jamaah Imran, Najamuddin kemudian memprovokasi jamaah itu agar segera melakukan gerakan terbuka melawan pemerintahan Soeharto. Cara pertama yang disarankan adalah menyerang kantor polisi-kantor polisi dan merebut senjatanya agar dengan demikian jamaah itu memiliki senjata sendiri sebagai bekal melawan pemerintah. Bodohnya lagi, provokasi itu termakan pimpinan dan anggota jamaah, dan Polsek Cicendo, Bandung, diserang.

Soal penyerangan ini, Umar Abduh menjelaskan sebagai berikut; “Dengan bermodalkan sebuah Garrand tua itulah kelompok ini terjebak dalam skenario premature melalui provokasi penyerangan Polsek Cicendo, Bandung. Melalui modus operasi penyerangan pos polisi yang dilengkapi dengan seragam militer sebagai akibat, entah sengaja atau kebetulan, telah menahan sebuah kendaraan bermotor roda dua bernomor polisi sementara (profit) milik anggota jamaah. Momentum ini dimanfaatkan Najamuddin untuk merealisir terjadinya aksi kekerasan bersenjata, antara lain menyiapkan magazine dan amunisi senapan Garrand hasil curian, satu hari menjelang penyerangan pos polisi tersebut. Penyerangan akhirnya berlangsung brutal, dengan bermodalkan satu pucuk senjata Garrand hasil curian (pemberian Najamuddin), Salman dan kawan-kawan berhasil menembak mati 3 polisi serta melukai satu orang di Polsek tersebut, dan merampas senjata genggam sebanyak 3 buah”.

 

Penyerangan Polsek Cicendo menggegerkan Nusantara. Karena kasus ini merupakan hasil ‘olahan’ intelijen, dengan mudahnya 13 dari sekitar 30 anggota Jamaah Imran dapat dibekuk dalam waktu teramat singkat. Yang berhasil meloloskan diri, di antaranya Imran Ahmad Yani Wahid (sang pemimpin jamaah), Zulfikar, Mahrizal, Abu Sofian, Wendy dan HM Yusuf Djanan, kabur ke Surabaya dan Malang.

Selama di pelarian, entah apakah Najamuddin tetap berhubungan dengan Imran cs untuk dapat terus memprovokasinya ataukah tidak, namun Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA” menjelaskan, selama dalam pelarian ini lah Imran cs memiliki niat untuk membajak pesawat, dan kemudian berangkat ke Palembang untuk melaksanakan aksinya.
Soal keberangkatan Imran cs ke Palembang ini dijelaskan Umar Abduh sebagai berikut; “Setelah memperoleh bekal yang dianggap cukup, maka dengan mengandalkan tiga pucuk revolver jenis Colt 38 hasil rampasan di Polsek Cicendo, Bandung, dan satu pucuk revolver maccarov kaliber 32 hasil pemberian Ir. Yacob Ishak (Mayor TNI-AU) dan dua buah granat serta beberapa batang dinamit, selanjutnya mereka berangkat menuju Palembang pada 25 Maret. Rombongan pembajak tersebut berangkat dari Lawang-Malang tanggal 22 Maret, dan sampai di Palembang tanggal 26 Maret”.
Pada 28 Maret 1981, Imran cs menuju Bandara Talangbetutu, Palembang. Untuk mengelabui petugas, Imran memerintahkan Ma’ruf yang berseragam Pramuka membawa senjata api dan bahan peledak. Pada saat Imran cs melewati pintu terakhir bandara, maka Ma’ruf yang sudah siap dengan ransel di tangan, sekonyong-konyong berteriak sambil berlari; “ … Bang, ransel ketinggalan ..! Ransel ketinggalan …!”
Aksi Ma’ruf ini berhasil mengecoh petugas pemeriksaan, sementara ransel berhasil diterima dengan selamat oleh Imran cs tanpa diperiksa lagi. Drama pembajakan Garuda pun berlangsung.
LB Moerdani diuntungkan oleh kasus ini, karena dia lah yang memimpin langsung operasi pembebasan para sandera, dan melumpuhkan para pembajak. Namanya pun kian bersinar, dan menjadi salah satu sosok yang disegani, juga ditakuti di negeri ini.

 

——————————-

 

 

ABRI

Mengapa? Dan siapa yang dua lagi?

Soeharto Muda

 

Bagi Pater BeekSoeharto merupakan orang yang paling tepat untuk dimanfaatkan demi misi-misi dan kepentingannya, karena selain bukan Muslim yang taat, Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Soeharto juga seorang pembohong, licik, dan korup. Tak jauh berbeda dengan karakter Beek sendiri. Waktu kemudian membuktikan bahwa pilihan Beek menjadikan Soeharto sebagai pion utama, sama sekali tidak salah, karena melalui tangan Soeharto lah misi-misi dan tujuannya tercapai.

Nama Soeharto mulai melejit setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam serangan itu Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin serangan. Namun berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika Soeharto mengkhianati Latief, sahabatnya, terbongkar kalau ketika serangan terjadi, Soeharto justru sedang lahap menyantap soto babat.

Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA).

Menurut Sembodo, karir Soeharto di TNI lebih banyak karena keberuntungan dibanding karena prestasi. Selepas dari Yogyakarta, Soeharto diangkat menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, namun melakukan korupsi dan dicopot dari jabatannya. Karir Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD Jenderal AH Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu disekolahkan di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.

Menurut John Helmi Mempi dan Umar Abduh dalam artikel berjudul ‘Orde Baru, Freemason dan Pater Beek 35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelijen Indonesia di Bawah Soeharto, Beek mendekati Soeharto melalui istrinya, Siti Hartinah atau yang akrab dipanggil Ibu Tin Soeharto, yang lebih dulu diKatolikkan dan ditahbiskan menjadi anggota Ordo Jesuit. Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.

Dua perwira lain yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang ia butuhkan.  Apalagi karena kedua orang inilah yang mendukung Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.

Jadi, setelah mendapatkan pion utama untuk menyukseskan misinya, Beek mendapatkan pembantu-pembantu pion utamanya itu. Maka lengkap sudah pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal mencari pion-pion pendukung lain sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.

Yoga Sugama (tengah)

 

Yoga Sugama dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 Mei 1925. Kala Perang Dunia II meletus, ia mendapat pendidikan militer di Tokyo, Jepang, hingga perang usai. Ketika perang kalah, ia alih profesi menjadi penerjemah di Markas Jenderal MacArthur dan kembali ke Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk. Ia bergabung dengan dinas intelijen yang dikenal dengan nama Bagian V.

Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat itulah ia bertemu Soeharto yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta, dan menjalin hubungan yang sangat baik. Ketika Mabes Angkatan Darat berniat mengangkat Bambang Supeno menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto yang berambisi menduduki jabatan itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng. Hasilnya, dibuat suatu isu rekayasa bahwa jika Mabes mengangkat Bambang, maka beberapa perwira akan membangkang.  Sabotase sukses, dan Soeharto mendapatkan jabatan yang seharusnya diemban Bambang. Atas jasanya, Yoga diangkat menjadi perwira intelijen.

Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu. Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek. Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel. Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaransejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.

Pula, Orde Baru pun sengaja menyembunyikan sosok ini rapat-rapat agar apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa itu, tidak terungkap kebenarannya, sehingga sejarah yang dicatatkan dalam buku-buku dan dicekokkan kepada para siswa di sekolah-sekolah maupun kepada para mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi, cenderung tidak akurat, berbau rekayasa dan bahkan ada yang menyesatkan. Contohnya adalah peritiwa meletusnya G-20S/PKI.

Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.

Ali Murtopo

 

Ali Murtopo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 23 September 1924. Karirnya di militer dimulai ketika bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1950-an, ia ditugaskan di Kodam Diponegoro, bergabung dengan pasukan “Banteng Raider”, pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan Darul Islam (DI).

Pada 1959, ketika meletus pemberontakan di sejumlah daerah, ia dikirim ke Sumatera dengan jabatan sebagai kepala staf Resimen II, dan Yoga Sugama sebagai komandan resimennya. Begitu pemberontakan PRRI berhasil ditumpas, Ali Murtopo kembali ke Jawa Tengah dan melanjutkan tugasnya di Kodam Dipenogoro. Di sini lah ia bertemu Soeharto.

Ketika Mabes Angkatan Darat ingin mengangkat Bambang Supeno sebagai Panglima Divisi Diponegoro, ia dilibatkan Soeharto dalam rapat rahasia di Kopeng yang akhirnya membuat Bambang gagal menduduki jabatan bergengsi itu. Atas jasanya, Soeharto mengangkatnya menjadi Asisten Teritorial.

Ali Murtopo dan Soeharto berpisah setelah Soeharto dicopot dari jabatan sebagai Panglima Divisi Diponegoro akibat korupsi, dan ‘disekolahkan’ Presiden Seokarno di SSKAD. Mereka berkumpul lagi setelah Ali ditarik Soeharto ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai Deputi I KSAD. Ketika Jenderal AH Nasution mengangkat Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) dengan pangkat Brigadir Jenderal, Soeharto mengangkat Ali menjadi Asisten Kepala Staf CADUAD.

Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisiusdan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri.  Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawenatau Islam abangan.

Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan begini;

Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bias menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa. Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto”.

Maka jelas apa yang membuat Beek merasa cocok merekrut orang ini. Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri.

Untuk mencapai tujuan yang besar, maka dibutuhkan modal dan sarana yang besar pula. Pater Beek tentu menyadari hal ini, sehingga menjadikan Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo saja tidak cukup, maka harus ada pion-pion yang menjadi pendukung ketiga pilar utamanya ini agar tujuan tercapai.

Sebelum dan selama mendekati Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo, Beek juga mendekati orang-orang di luar institusi militer. Di antaranya adalah mahasiswa yang dalam beberapa peristiwa, terbukti dapat dijadikan motor paling efektif untuk melancarkan sebuah gerakan dan membuat perubahan.

Bagi Beek, merekrut mahasiswa Islam untuk menjadi ‘anggota pasukannya’ tentulah tidak mudah. Maka dengan didukung agen-agen CIA dan Freemason yang lain, ia menggarap mahasiswa Katolik. Maka berdirilah PMKRI pada 25 Mei 1947.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menulis, berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta. Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948. Federasi KSV yang didirikan pada 1949 diketuai Gan Keng Soei (KS Gani) dan Ouw Jong Peng Koen (PK Jong).  Sedang PMKRI Yogyakarta yang didirikan pada 25 Mei 1947 diketuai pertama kali oleh St. Munadjat Danusaputro.

Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).

Menurut Mujiburrahman dalam desertasi bertajuk ‘Feeling Threatened Muslim-Christian Releations in Indonesia’s New Orde’, kedua bersaudara ini merupakan kader utama Beek di PMKRI. Kedua orang ini merupakan motor gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dan membasmi PKI. Setelah kedua ‘musuh’ tersebut dihancurkan, mereka kemudian mengorganisasikan penindasan terhadap Islam.

Selain kedua bersaudara tersebut, dalam desertasinya Mujiburrahman juga menyebut kader Beek yang lain, yakni Cosmas Batubara dan Harry Tjan Silalahi. Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.

 

Penjajahan selama 350 tahun yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia*) memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan dan perkembangan perilaku anak bangsa. Apalagi karena jauh sebelum Belanda menjajah, yakni sekitar abad ke-14, tak lama setelah Perang Salib berakhir, kedatangan kapal-kapal VOC, sebuah perusahaan niaga di Belanda, ditunggangi sebuah Kelompok Persaudaraan Rahasia Yahudi yang menamakan diri Vrijmetselarij (Freemasonry).

Pater Beek

 

Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534.  Seperti halnya kebayakan pemuda Belanda kala itu, cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam yang sedang dikuasai negara mereka, juga menarik minat Beek remaja untuk ‘bertualang’ di negara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda tersebut. Kesempatan datang kala ia berusia 22 tahun.  Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan misi kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan yang dilakukan negaranya terhadap Bumi Pertiwi. Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari. Menurut buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu ia bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indoensia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas masyarakatnya; Islam. Tak heran jika kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Contohnya Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat diKristenkan dengan lebih mudah. Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas dan licik. Sesuai dengan karekternya.

Tugas Beek selesai, dan ia kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk kembali ke Indonesia sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya membuat ia terobsesi untuk juga melakukan seperti apa yang diusulkan kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan mengKristenkan pemeluknya demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Ia pun berupaya agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan lagi ke Indonesia.

Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi pastur, namun baru kembali ke Indonesia pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika M. Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemason.

 

 

Mungkinkah itu? Jawabannya, ya.

Pada abad ke-13, Amsterdam hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang dalam bendungan Amstel.

Seiring berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol-lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak.

Namun, pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’.

Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam-lah yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak.

Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa.

Dari sejarah ini jelas bahwa sebelum kembali lagi ke Indonesia, bisa jadi Beek telah direkrut olehFreemason karena banyak yang percaya bahwa lambang VOC merupakan kamuflase dari lambang Freemason yang berbentuk bintang David.  Apalagi pemilik saham mayoritas di VOC adalah Yahudi yang bermukim di Amsterdam.

Seperti disinggung pada bagian pertama, Freemason berambisi mendirikan negara di Palestina dan menciptakan Tatanan Dunia Baru dimana Yahudi sebagai penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk mewujudkan kedua ambisi ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar. Meski anggota organisasi persaudaraan rahasia bangsa Yahudi ini merupakan orang-orang kaya yang berkecimpung di berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan, seniman dan sebagainya, namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain untuk mendukung perealisasian ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan kemana-mana, termasuk ke Indonesia, negara yang kaya akan hasil bumi, terutama rempah-rempah.

Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij. Melalui organisasi ini, Freemason membuat jaringan di segala bidang, terutama di pemerintahan, agar antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam bidang investasi. Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason mengeruk kekayaan Indonesia.

Penjajah Belanda tentu saja tahu akan hal ini, namun karena sepak terjang Freemason tidak merugikan, bahkan dalam beberapa hal menguntungkan, Belanda membiarkannya saja. Itu sebabnya selama Belanda menjajah Indonesia, Vrijmetselarij tumbuh dan berkembang dengan baik. Sepak terjang Vrijmetselarij yang mana yang menguntungkan Belanda?

Pater Beek

 

Seperti telah disinggung pada bagian pertama tulisan ini, selama berkiprah di Indonesia, Vrijmetselarij merekrut anak bangsa dari berbagai kalangan, termasuk kalangan bangsawan. Dengan perekrutan seperti ini, tentu saja anak bangsa yang direkrut menjadi ‘sungkan’ terhadap Belanda dan semangat mereka untuk mendepak penjajah itu menjadi kendor.

Organisasi Boedi Oetomo yang pendiriannya dimotori Vrijmetselarij bahkan sangat anti Islam, sehingga dalam brosur organisasi kepemudaan yang selama ini didengung-dengungkan pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi pencetus nasionalisme itu, Boedi Oetomo tak segan-segan mencaci-maki Nabi MuhammadShallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ajarannya. Padahal, hasil kajian Pater Beeksendiri menyebutkan bahwa Islam merupakan sumber utama perlawanan rakyat Pulau Jawa terhadap pemerintah Belanda. Jadi, jelas, dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia,  Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.

Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi. Jika Beek ingin kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah negeri Zamrud Khatulistiwa, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan,Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.

Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Ordo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak pria ini direkomendasikan, minatnya telah menarik perhatian para petinggi organisasi itu untuk merekrut dan memanfaatkannya.

Jesuit, CIA dan Freemasonry

Mengapa Beek direkrut CIA?

Jawabannya mudah. Amerika Serikat (AS) adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini dikuasai sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya. Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang yang menggantikan Belanda menjajah negara ini.

Setahun sebelum Beek kembali ke Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya  Amerika Serikat yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam Amerika Serikat dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.

Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek.

Fakta bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;

Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”.

Soekarno

 

Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde

 

Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.

Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesiabermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengKatolikkan di Indonesia.

Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya,  yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;

(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.

Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda.  Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.

Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.

ABRI

 

 

 

 

 

Siapa sajakah pion-pion ini?

Pada era 1960-an, Angkatan Darat (AD) merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat anti-Komunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.

Selain kedua hal tersebut, TNI AD juga merupakan kesatuan yang memiliki struktur hingga ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga TNI AD tak ubahnya bagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, tongkat komando tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur dalam agama Katolik, karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.

Kesamaan struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek maupun CIA. Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan bantuan persenjataan, kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya untuk menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang, namun akibatnya akan sangat terasa hingga kapan pun, termasuk pada 2012 ini.

Kerja sama TNI AD dengan CIA dijalin pada 1950-an, saat Bung Hatta menjadi Perdana Menteri. Salah satu realisasi kerja sama ini adalah pengiriman 17 orang pilihan di lingkungan TNI AD untuk menjalani latihan di Saipan Training Station (Pusat Pelatihan Saipan) di Pulau Mariana yang berjarak 82 kilometer sebelah barat daya Manila, Philipina. Menurut Ken Comboy dalam buku berjudul ‘Intel: Dunia Intelijen Indonesia’, Saipan Training Station merupakan pusat pelatihan para agen mata-mata dan pasukan khusus yang sepaham dengan Amerika. Setelah 17 orang dari TNI AD dikirim ke sana, selanjutnya ada lagi yang dikirim, namun dalam jumlah yang berbeda-beda.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis, bantuan senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?

Selama kerja sama dijalankan, Pater Beek secara intens bergaul dengan para perwira AD untuk mencari pion-pion yang dapat dikendalikan. Ia dengan mudah diterima karena menurut Richard Tanter, Beek merupakan pribadi yang powerfull dan mudah bergaul. Dalam setiap obrolan maupun pertemuan-pertemuan, ia sanggup menghasilkan visi kuat yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Ia juga memiliki gaya bicara yang lugas dan meyakinkan, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan magnet bagi para lawan bicaranya. Dengan kelebihan seperti ini, mendekati para perwira AD dan mencari informasi tentang mereka bukan lah hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu singkat, tiga orang telah terbidik. Salah satunya Soeharto.

Mengapa? Dan siapa yang dua lagi?

Soeharto Muda

 

Bagi Pater BeekSoeharto merupakan orang yang paling tepat untuk dimanfaatkan demi misi-misi dan kepentingannya, karena selain bukanMuslim yang taat, Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Soeharto juga seorang pembohong, licik, dan korup. Tak jauh berbeda dengan karakter Beek sendiri. Waktu kemudian membuktikan bahwa pilihan Beek menjadikan Soeharto sebagai pion utama, sama sekali tidak salah, karena melalui tangan Soeharto lah misi-misi dan tujuannya tercapai.

Nama Soeharto mulai melejit setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam serangan itu Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin serangan. Namun berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika Soeharto mengkhianati Latief, sahabatnya, terbongkar kalau ketika serangan terjadi, Soeharto justru sedang lahap menyantap soto babat.

Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA).

Menurut Sembodo, karir Soeharto di TNI lebih banyak karena keberuntungan dibanding karena prestasi. Selepas dari Yogyakarta, Soeharto diangkat menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, namun melakukan korupsi dan dicopot dari jabatannya. Karir Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD Jenderal AH Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu disekolahkan di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.

Menurut John Helmi Mempi dan Umar Abduh dalam artikel berjudul ‘Orde Baru, Freemason dan Pater Beek 35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelijen Indonesia di Bawah Soeharto, Beek mendekati Soeharto melalui istrinya, Siti Hartinah atau yang akrab dipanggil Ibu Tin Soeharto, yang lebih dulu diKatolikkan dan ditahbiskan menjadi anggota Ordo Jesuit. Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.

Dua perwira lain yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang ia butuhkan.  Apalagi karena kedua orang inilah yang mendukung Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.

Jadi, setelah mendapatkan pion utama untuk menyukseskan misinya, Beek mendapatkan pembantu-pembantu pion utamanya itu. Maka lengkap sudah pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal mencari pion-pion pendukung lain sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.

Yoga Sugama (tengah)

Yoga Sugama dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 Mei 1925. Kala Perang Dunia II meletus, ia mendapat pendidikan militer di Tokyo, Jepang, hingga perang usai. Ketika perang kalah, ia alih profesi menjadi penerjemah di Markas Jenderal MacArthur dan kembali ke Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk. Ia bergabung dengan dinas intelijen yang dikenal dengan nama Bagian V.

Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat itulah ia bertemu Soeharto yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta, dan menjalin hubungan yang sangat baik. Ketika Mabes Angkatan Darat berniat mengangkat Bambang Supeno menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto yang berambisi menduduki jabatan itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng. Hasilnya, dibuat suatu isu rekayasa bahwa jika Mabes mengangkat Bambang, maka beberapa perwira akan membangkang.  Sabotase sukses, dan Soeharto mendapatkan jabatan yang seharusnya diemban Bambang. Atas jasanya, Yoga diangkat menjadi perwira intelijen.

Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu. Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek. Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel. Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaransejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.

Pula, Orde Baru pun sengaja menyembunyikan sosok ini rapat-rapat agar apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa itu, tidak terungkap kebenarannya, sehingga sejarah yang dicatatkan dalam buku-buku dan dicekokkan kepada para siswa di sekolah-sekolah maupun kepada para mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi, cenderung tidak akurat, berbau rekayasa dan bahkan ada yang menyesatkan. Contohnya adalah peritiwa meletusnya G-20S/PKI.

Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.

Ali Murtopo

 

Ali Murtopo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 23 September 1924. Karirnya di militer dimulai ketika bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 1950-an, ia ditugaskan di Kodam Diponegoro, bergabung dengan pasukan “Banteng Raider”, pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan Darul Islam (DI).

Pada 1959, ketika meletus pemberontakan di sejumlah daerah, ia dikirim ke Sumatera dengan jabatan sebagai kepala staf Resimen II, dan Yoga Sugama sebagai komandan resimennya. Begitu pemberontakan PRRI berhasil ditumpas, Ali Murtopo kembali ke Jawa Tengah dan melanjutkan tugasnya di Kodam Dipenogoro. Di sini lah ia bertemu Soeharto.

Ketika Mabes Angkatan Darat ingin mengangkat Bambang Supeno sebagai Panglima Divisi Diponegoro, ia dilibatkan Soeharto dalam rapat rahasia di Kopeng yang akhirnya membuat Bambang gagal menduduki jabatan bergengsi itu. Atas jasanya, Soeharto mengangkatnya menjadi Asisten Teritorial.

Ali Murtopo dan Soeharto berpisah setelah Soeharto dicopot dari jabatan sebagai Panglima Divisi Diponegoro akibat korupsi, dan ‘disekolahkan’ Presiden Seokarno di SSKAD. Mereka berkumpul lagi setelah Ali ditarik Soeharto ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai Deputi I KSAD. Ketika Jenderal AH Nasution mengangkat Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) dengan pangkat Brigadir Jenderal, Soeharto mengangkat Ali menjadi Asisten Kepala Staf CADUAD.

Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisiusdan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri.  Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawenatau Islam abangan.

Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan begini;

Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bias menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa. Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto”.

Maka jelas apa yang membuat Beek merasa cocok merekrut orang ini. Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri.

Untuk mencapai tujuan yang besar, maka dibutuhkan modal dan sarana yang besar pula. Pater Beek tentu menyadari hal ini, sehingga menjadikan Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo saja tidak cukup, maka harus ada pion-pion yang menjadi pendukung ketiga pilar utamanya ini agar tujuan tercapai.

Sebelum dan selama mendekati Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo, Beek juga mendekati orang-orang di luar institusi militer. Di antaranya adalahmahasiswa yang dalam beberapa peristiwa, terbukti dapat dijadikan motor paling efektif untuk melancarkan sebuah gerakan dan membuat perubahan.

Bagi Beek, merekrut mahasiswa Islam untuk menjadi ‘anggota pasukannya’ tentulah tidak mudah. Maka dengan didukung agen-agen CIA dan Freemason yang lain, ia menggarap mahasiswa Katolik. Maka berdirilah PMKRI pada 25 Mei 1947.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menulis, berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta. Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948. Federasi KSV yang didirikan pada 1949 diketuai Gan Keng Soei (KS Gani) dan Ouw Jong Peng Koen (PK Jong).  Sedang PMKRI Yogyakarta yang didirikan pada 25 Mei 1947 diketuai pertama kali oleh St. Munadjat Danusaputro.

Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).

Menurut Mujiburrahman dalam desertasi bertajuk ‘Feeling Threatened Muslim-Christian Releations in Indonesia’s New Orde’, kedua bersaudara ini merupakan kader utama Beek di PMKRI. Kedua orang ini merupakan motor gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dan membasmi PKI. Setelah kedua ‘musuh’ tersebut dihancurkan, mereka kemudian mengorganisasikan penindasan terhadap Islam.

Selain kedua bersaudara tersebut, dalam desertasinya Mujiburrahman juga menyebut kader Beek yang lain, yakni Cosmas Batubara dan Harry Tjan Silalahi. Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.

Harry Tjan Silalahi yang lahir di Jogjakarta pada 11 Februari 1934 pernah menjabat sebagai sekjen Partai Katolik. Ia aktif berorganisasi sejak masih SMA, dimana kala itu ia menjadi anggota Chung Lien Hui, organisasi keturunan Tionghoa. Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.

Setelah lulus SMA, Harry pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum UI. Ia lulus pada 1962. Selama kuliah, ia aktif di perkumpulan Sin Ming Hui dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan terpilih menjadi sekjen. Dari sini lah ia dikenal Pater Beek dan direkrut.

(10) Selain menggarap mahasiswa di dalam negeri, melalui Ali MoertopoBeek juga menggarap mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di luar negeri. Mahasiswa-mahasiswa ini kelak akan menjadi bagian dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang menjadi think thank Orde Baru dalam setiap kebijakannya. Tentang pembangunan jaringan ini diungkap sendiri oleh Harry Tjan Silalahi dalam tulisan berjudul ‘Centre Lahir dari Tantangan dan Jaman’. Begini petikannya;

Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar negeri tersebut. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Bapak Daoed Joesoef, PPI Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.

Menurut M. Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, para mahasiswa dan pemuda-pemuda Katolik tersebut kemudian diberi pelatihan oleh Pater Beek yang dikenal dengan sebutan Kaderisasi Sebulan (Kasbul), untuk dijadikan ‘laskar Kristus’ yang menjalankan Kristenisasi di Indonesia secara besar-besaran. Dalam fikiran mereka ditanamkan doktrin bahwa Islam adalah musuh, Islam adalah agama pedang, Islam adalah perampok Yerusalem, Islam adalah perebut Konstantinopel, dan Islam adalah agama anti-Kristus. Tuduhan-tuduhan yang sungguh jauh dari kebenaran.

Tentang apa saja pelajaran yang diberikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu, Richard Tantermenjelaskannya sebagai berikut;

(Pater) Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu bulanan secara reguler bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastur maupun rohaniawan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan keterampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan publik, keterampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis sosial”.

Sedang Cosmas Batubara menjelaskan begini; “Beliau (Pater Beek) hanya memberikan training-training untuk menghadapi Komunis. Kita didoktrin agar kuat melawan Marxisme-Leninisme. Juga diajarkan bagaimana kelompok Komunis itu beraksi, dan bagaimana menghadapi mereka. Itu kami pelajari. Kalau tidak, bagaimana kami bias melawan CGMI”.

Apa yang dikatakan Cosmas ini membenarkan adanya Kasbul, namun membantah menyerang Islam. Namun Richard Tanter mengungkapkan begini; “Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar, baik bagi Indonesia maupun Gereja, adalah Komunisme dan Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan; sama-sama memiliki kualitas ancaman”.

Jadi, jelas, Beek memang menggunakan ‘pasukannya’ untuk terlebih dahulu menghancurkan Komunis di Indonesia, dan setelah itu Islam. Tantang hal ini, Tanter mengatakan begini; “Pasca 1965, posisi militan yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa”.

Dengan metode menggunakan mahasiswa sebagai ‘pasukan tempur’, Pater Beek sukses menghancurkan dua musuh sekaligus, Komunis dan Islam, dan bahkan waktu kemudian membuktikan bahwa setelah itu Kristenisasi berjalan dengan mulus di Indonesia. Tentu saja, setelah Soeharto menjadi presiden.

Korban G 30 S/PKI

Hingga kini bagaimana pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dapat meletus, masih dianggap misteri bagi banyak orang. Tentu saja, karena selama ini sejarawan sekalipun hanya mengaitkan peristiwa itu dengan SoekarnoSoeharto, PKI, Angkatan Darat, dan CIA. Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, Sembodo meyakini bahwa jika peristiwa itu dikaitkan pula dengan Pater Beek, maka masalahnya menjadi benderang.

Soekarno, lelaki flamboyan kelahiran Blitar, Jawa Timur, memang tak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak mahasiswa, ia telah terlibat dalam perjuangan anti-Kolonialisme, sehingga sempat merasakan pengapnya penjara Sukamiskin dan beberapa tempat pembuangan. Sepak-terjangnyapun banyak yang kontroversial.  Ketika Jepang menjajah Indonesia, ia ‘bekerja sama‘ dengan negeri Matahari Terbit itu, sehingga ribuan rakyat Indonesia dikirim ke kamp kerja paksa romusha. Setelah Indonesia merdeka, ia dan Bung Hatta bekerja sama menyingkirkan Muso, sahabatnya sendiri ketika masih di Surabaya.  Memasuki usia 50-an, ia mulai berseberangan dengan Hatta, sehingga pasangan yang beken disebut Dwi Tunggal itu retak, dan ‘bermesra-mesraan’ dengan Komunis. Ia pun akhirnya terjungkal dari tampuk kekuasaan dengan cara yang amat menyedihkan.

Peran Soekarno pada 1950-1960-an dalam jagat perpolitikan internasional terbilang cukup menonjol. Bersama Nehru, Castro, Tito dan yang lainnya, ia memelopori berdirinya poros baru di luar poros Amerika Serikat (AS) dan sekutu-kutunya (Blok Barat), serta Uni Soviet bersama konco-konconya (Blok Timur). Poros itu kemudian dikenal dengan sebutan Non Blok. Poros baru ini menentang segala bentuk kolonialisme, namun kemudian banyak yang melihat, terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya, bahwa orientasi politik Soekarno cenderung ke kiri alias ke Blok Timur. Ini tercermin dari program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia, kampanye ganyang Malaysia dan operasi Pembebasan Irian Barat yang dianggap merugikan kepentingan Barat. Apalagi karena selain merupakan basis utama Kristenisasi, kala itu Barat, khususnya Amerika Serikat, telah tahu kalau di bumi Papua terkandung bahan tambang yang melimpah ruah, termasuk emas. Lebih parah lagi, kala itu pun tanpa tedeng aling-aling Soekarno menjalin hubungan baik dengan pempimpin China, Mao Zedong.

Tak ayal, Blok Barat kebakaran jenggot. Tentang hal ini, dalam buku berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto’, John Rossa menulis begini;

Bagi mereka (Amerika Serikat), Presiden Soekarno merupakan sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang dipermanenkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955), hujatan berulang kali terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia, ditafsirkan Washington sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow dan Beijing. Einshower dan Dulles bersaudara-Allen sebagai kepala CIA dan John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri-memandang semua pemimpin nasionalis Dunia Ketiga yang ingin netral di tengah-tengah perang dingin, sebagai antek-antek komunis”.

Kondisi yang tak menguntungkan ini membuat Amerika Serikat dan konco-konconya mencari cara untuk menyingkirkan Soekarno, sebuah cara yang sangat halus, rapih, dan terkoordinir dengan sangat baik agar pihak luar, bahkan bangsa Indonesia sendiri, tak tahu kalau mereka lah otak penggulingan ini. Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan intelijen. Maka, menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana penggulingan ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.

Semula, keterlibatan Beek dalam penggulingan Soekarno hanya dianggap sebagai fiksi belaka, namun setelah Aad van den Heuval, mantan presenter radio dan televise KRO, merilis laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt, Goedenavond‘ (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005, publik Eropa sekalipun langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam penggulingan itu.

Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemarda ni. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.

Aad van den Heuvel

 

Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap wara-wiri ke Indonesia untuk meliput gejolak politik di negara kepulauan ini. Jika ditugaskan ke Indonesia, biasanya memakan waktu satu atau dua bulan. Dalam kurun waktu inilah Heuvel bertemu Pater Beek dan mewawancarainya.

Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini;

Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga”.

Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya yang sebagai berikut;

Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin”.

Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah negeri ini, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Barutumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang G-30S/PKI yang telah diterbitkanpun semuanya tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lobang Buaya, Jakarta Timur.

Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin terhadap Komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas Katolik di Indonesia.

Dari pernyataan ini saja sulit membantah bahwa Beek tidak memiliki peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua RI.  Apalagi karena dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam Pusaran Politik’, Benny G. Setiono antara lain menulis begini;

Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat, menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia sangat membenci Komunisme …”

Pater Beek

 

Tak perlu meragukan kelicikan, kecerdasan dan kehebatan Pater Beek dalam menyusun sebuah strategi. Serpak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang begitu intens untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘saudara’ China dan Uni Soviet, membuat semua agen CIA, termasuk Beek, mencari momentum untuk memukul balik partai yang keberadaannya didukung Presiden Soekarno itu. Terlebih karena pada awal 1965, para buruh yang telah direkrut PKI menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.

Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu. Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.

Dalam kejadian ini, enam jenderal dibunuh dan mayatnya dicemplungkan ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan saat era Orde Baru, disebutkan bahwa PKI lah pelaku utama peristiwa itu dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Apalagi karena menjelang kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk yang di daerah-daerah, telah mengetahui akan adanya kejadian itu.

Namun, jika merujuk pada artikel Jos Hagers yang diterbitkan De Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa jadi akibat ulah Beek. Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di Angkatan Darat, isu Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu.

Yang lebih menarik, seperti diungkap Richard Tanter, Beek telah menyiapkan sejumlah langkah setelah kasus itu meledak. Begini kata Tanter;

Pada periode menjelang peristiwa 1965, (Pater) Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan ia terlibat dalam persiapan gerakan Katolik bawah tanah. Dalam periode akhir Demokrasi Terpimpim, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang anti-Komunis. (Pater) Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan pinjam, bank, dan lain sebagainya. Tiap jaringan anti-Komunis tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah sosial. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi bagian basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung”.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan, mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk organisasi-organisasi itu adalah para mahasiswa Katolik yang telah dipersiapkan melalui Kasbul. Bahkan sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang pada 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya Subchan Z.E, dan sekjennya Harry Tjan Silalahi, salah seorang kader Beek.

Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi-organisasi lain juga terbentuk. Di antaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Bersama Front Pancasila, organisasi-organisasi melakukan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi  underbouw-nya. Tuntutan mereka dipertegas dalam resolusi Front Pancasila saat menggelar Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.

Dari semua organisasi mahasiswa tersebut, yang paling fenomenal adalah pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) karena organisasi yang dibentuk pada 25 Oktober 1965 ini merupakan organisasi yang dibentuk berkat kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb. Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). ‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi ini adalah kader orang itu, yakni Cosmas Batubara.

Sembodo menegaskan. Cosmas termasuk kader Beek yang giat menggalang aksi mahasiswa untuk mempercepat tergulingnya Soekarno dan hancurnya PKI. Sembodo bahkan berani menyebut bahwa KAMI-lah organisasi yang menjadi poros utama Beek untuk menciptakan puting beliung yang menghancurkan Soekarno dan Komunis.

Masih menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Van den Heuval dalam laporan-laporannya menjelaskan, Beek mulai menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di Universitas Admajaya. Dari sini lah ia membangun sel-sel di kalangan mahasiswa karena menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar yang dapat digerakkan. Terbukti, ketika para pendukung Soekarno, terutama tentara, bereaksi, mahasiwalah yang dikerahkan untuk memukul balik reaksi itu.

Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul ‘Bayang-bayang PKI’. Dalam buku itu tertulis begini;

Selama bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan anti-Komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik. Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-Komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-Komunis. Antara lain, ia sering disebut-sebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA”.

Pater Beek

 

Tokoh di belakang layar kadangkala tampil juga ke hadapan publik. Bukan untuk mendeklarasikan dirinya sebagai  mastermind dari suatu kejadian, melainkan untuk memantau, mengendalikan, dan memastikan bahwa apa yang telah didesainnya berjalan sesuai track yang benar.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menjelaskan, kala gerakan KAMI semakin membesar untuk menggulingkan SoekarnoPater Beek muncul di antara para demonstrannya di jalan-jalan raya di Jakarta. Richard Tanter bahkan menyatakan begini soal kemunculan Beek di tengah orang-orang yang dikerahkannya itu;

Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing”.

Dengan kata lain, Beek muncul ke hadapan publik dengan cara menyamar, sehingga orang-orang tak dapat mengenali kalau dia sesungguhnya bukan pribumi. Luar biasa!

Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal gerakan, organisasi ini seolah-olah mendukung sang the founding father dan hanya menuntut pembubaran PKI. Akan tetapi, ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI dibubarkan.

Saat KAMI terpojok beginilah Beek mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan. Dalam buku berjudul ‘Army and Politics in Indonesia’, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Soekarno justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad dimana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor. Maka, seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI seperti Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.

Dalam bukunya, Harold Crouch menulis, Ali Murtopo tidak sendiri dalam mengobarkan kembali aksi KAMI itu, tapi dibantu oleh Kemal Idris dan Sarwo Edhi. Bahkan agar terkesan gerakan KAMI mendapat dukungan luas dari masyarakat dan jumlah peserta demonstrasi semakin lama semakin banyak, Ali Murtopo membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI, kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka dapat ikut serta berdemo. Crouch menyebut, jaket itu berasal dari CIA.

Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian dalam buku ‘Bayang-bayang PKI’. Katanya:

Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket kuning UI”.

Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.

Monumen Lubang Buaya

Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G-30 S/PKI, merupakan awal karir Soehartoyang paling cemerlang. Tentu saja, karena dialah pion yang telah disiapkan Beek untuk menggantikan Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Pembunuhan enam jenderal dalam peristiwa G-30 S/PKI membuat Angkatan Darat mengalami kekosongan kepemimpinan, dan ‘tangan-tangan’ Beek di sekitar Soekarno yang mendorong agar Soeharto ditunjuk untuk mengatasi ‘pemberontakan para PKI’, membuat Soekarno mengeluarkan Supersemaryang menurut versi Markas Besar Angkatan Darat, menugaskan Soeharto yang kala itu telah diangkat menjadi Panglima kesatuannya dengan pangkat Letnan Jenderal, untuk mengamankan dan menjaga keamanan Negara, serta institusi kepresidenan. Isi Supersemar itu lah yang menjadi dasar Soeharto untukmembubarkan PKI dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di Parlemen.

Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 30 juta orang itu. Sebagian ditahan, dan sebagian lagi dibunuh. Namun yang hingga kini juga masih ‘menakjubkan’, meski anggota PKI hanya sebanyak itu, yang terbunuh dalam tragedi paling berdarah di Indonesia itu justru jauh lebih banyak. Bahkan saking banyaknya, hingga kini jumlah orang yang dibunuh masih simpang siur.

Dalam buku berjudul ‘The Indonesian Killings 1965-1966, Studies from Java and Bali’, Robert Cribb menyebutkan data yang bervariasi tentang jumlah orang yang dibunuh kala itu. Misalnya, Donald Kirk menyebut yang dibunuh 150,000 orang, Ben Anderson dan Ruth McVey menyebut 200.000 orang, Sudomo menyebut antara 450.000 hingga 500.000 orang, Adam Malik menyebut 150.000 orang, dan L.N. Palar menyebut 100.000 orang.

Bagaimana Soeharto bisa ‘sehebat’ itu?

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek. Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah-daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA. Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu, dihabisi. Hal ini terungkap setelah wartawati Amerika Serikat, Kathy Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pejabat CIA, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Lydman, misalnya, mengakui kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara inilah maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.

Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto? Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA. Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.

Yang lebih menarik, dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan bahwa sebelum sampai kepada Soeharto, daftar itu oleh CIA diserahkan dulu kepada Kim Adhyatma, ajudan Adam Malik. Tak heran jika dalam bukunya yang berjudul ‘Legacy of Ashes, History of the CIA’, wartawan New York Times, Tim Weiner, menyebut kalau Adam Malik merupakan seorang agen CIA. Bahkan wartawan itu menyebut, pahlawan nasional berjulukan si Kancil itu merupakan pejabat tertinggi di Indonesia yang pernah direkrut Dinas Intelijen Amerika.

Soekarno digulingkan melalui cara yang sangat terencana dan sistematis yang melibatkan MPRS.

 

Soekarno

Melalui Sidang Umum yang digelar pada 1966, Lembaga Tertinggi Negara itu mengeluarkan dua ketetapannya, yaitu TAP MPRS No. IX/1966 yang mengukuhkan  Supersemar menjadi Ketetapan (TAP) MPRS, dan TAP MPRS No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar, untuk setiap saat menjadi presiden apabila Soekarno berhalangan. Lembaga itu juga meminta Soekarno mempertanggungjawabkan sikapnya terkait dukungan terhadap PKI.

Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawaban, namun pidato yang diberi judul ‘Nawaksara’ itu dianggap tidak lengkap. Pada 10 Januari 1967, Soekarno kembali membacakan pertanggungjawabannya yang kali ini diberi judul ‘Pelengkap Nawaskara’. Namun pada 16 Februari 1967, MPRS juga menyatakan menolak pertanggungjawaban itu.

Akhirnya, berkat permintaan MPRS, pada 20 Januari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Penandatangan ini merupakan akhir dari karir Soekarno sebagai presiden RI karena sesuai TAP MPRS No. XV/1966, secara de facto Soeharto menjadi kepala pemerintahan Indonesia menggantikan dirinya.

Naiknya Soeharto menjadi presiden disahkan melalui Sidang Istimewa MPRS dengan agenda pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai penggantinya. Bahkan dalam sidang itu, MPRS mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi yang disandang sang the founding father.

Jejak Beek dalam kudeta ini mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya dari dunia luar, sehingga tak dapat lagi berhubungan dengan rekan-rekan sesama pejuang yang merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Padahal ketika Soeharto ketahuan korupsi ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soekarno memaafkannya. Meski Soeharto ‘disekolahkan’ dulu di SSKAD sebelum ditarik ke Jakarta, ke Markas Besar Angkatan Darat.

Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.

Meski kemudian Soeharto menetapkan Negara dalam keadaan berkabung selama sepekan, apa yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno jelas terlalu berlebihan mengingat Soekarno tidak memiliki kesalahan fatal terhadapnya. Perlakuan Soeharto ini patut diduga mewakili kepentingan yang lain, yakni kepentingan orang yang menaikkannya menjadi presiden; Beek. Karena Beek benci Komunis, maka praktis dia juga membenci Soekarno.

Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya.

Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan yang mempermudah misiPater Beek selanjutnya, yakni menghancurkan Islam. Maka tak heran jika selama 32 tahun Orde Baru berkibar, banyak terjadi peristiwa yang menyakiti umat Islam.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan kalau untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep yang diterapkan Gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara. Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya begini;

Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.

Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’. Dengan kata lain, Beek menempatkan orang-orangnya untuk ‘cawe-cawe’ di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto. Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul ‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru’, disebut sebagai ‘Negara Organik’.

Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa. Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme, karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.

Di atas konsep seperti itu lah Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme. Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis dimana yang paling atas memegang kontrol, terhadap orang-orang di bawahnya. Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.

Konsep Orde Baru ini, kata Sembodo, bila ditilik lebih mendalam tidak jauh berbeda dengan sistem Gereja Katolik yang berpusat di Vatikan, karena selama Orde Baru berkuasa, Soeharto sama seperti Paus yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap umatnya.

Namun, jelas Sembodo lebih jauh dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, karena gereja tidak boleh politis, maka Pater Beek membutuhkan ‘alat sebagai perpanjangan tangannya’ untuk ikut cawe-cawe dalam pemerintahan Orde Baru. Sebuah alat yang efektif dan berpengaruh, serta mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan. Maka dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikanlah CSIS (the Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat. Lembaga inilah yang kemudian memasok gagasan dan menjaga agar Orde Baru menerapkan sistem negara organik versi Gereja pra Vatikan II.

Selain lewat CSIS, Beek juga menempatkan bidak-bidaknya di birokrasi dan militer. Di birokrasi misalnya, ada nama Cosmas Batubara dan Daoed Joeseof yang menempati jabatan menteri dalam kabinet Soeharto; dan di militer ada Ali Murtopo, Yoga Sugama serta LB Murdani yang memiliki kedudukan strategis. Ali Moertopo dengan Opsus-nya, sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan tak terbatas dan berandil besar dalam mengebiri politik anti-Islam. Bahkan Ali Moertopo juga menempati posisi kunci dalam Aspri (Asisten Presiden) bersama Mayjen Soedjono Humardani.

Kini jelas lah kalau Orde Baru memang era yang pendiriannya ‘ditopang’ Beek demi memuluskan misinya menghancurkan Islam dan menegakkan Katolik di Indonesia. Tentang hal ini, Richard Tanter berkata begini;

Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek dengan dalih, sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evil (tentara)”.

Ketika pertama kali mendengar nama CSIS, yang ada di benak saya adalah bahwa organisasi ini hanyaorganisasi para ‘orang pintar’ yang peduli pada masalah perpolitikan di Indonesia dan berusaha memberikan kontribusi positif bagi negeri ini. Anggapan ini sebagian kecil tidak salah, tapi sebagian besar saya merasa kecele karena kala itu saya memang tak tahu bagaimana sejarah berdirinya organisasi ini.

Majalah Q&R edisi 7 Februari 1998 menulis begini tentang CSIS ;

“CSIS tidak dapat dipisahkan dari almarhum Letjen Ali Moertopo dan Mayjen Soedjono Humardani, dua perwira tinggi di awal ‘Orde Baru’ dikenal sangat akrab dengan Presiden Soeharto. Namun kedua tokoh ini (kemudian ditambah dengan nama Jenderal Benny Moerdani, mantan Pangab), sangat berkait dengan suatu masa; tatkala pemerintahan Presiden Soeharto memandang politik Islam dengan syak wasangka. Bukan kebetulan pula anggota teras kepemimpinan CSIS umumnya beragama Katolik dan keturunan Cina. Tokohnya yang paling senior, Dr. Daoed Joesoep, meskipun ia seorang Muslim asal Sumatera Timur, juga ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dikenal sebagai perumus kebijakan yang tidak kena di hati umat Islam Indonesia, misalnya keputusannya untuk tidak meliburkan murid di bulan Ramadan. Walhasil, CSIS dianggap identik dengan sikap anti-Islam”.

CSIS yang didirikan pada 1971 memang organisasi yang terdiri dari orang-orang yang anti-Islam. Maka, tak mengherankan kalau di tempat ini bertemu dua aliran, tentara dan sipil. Aliran tentara dipimpin langsung oleh Ali Moertopo, sedang aliran sipil di bawah komando Harry Tjan Silalahi. Kedua aliran ini kemudian bersatu untuk menggalang politik anti-Islam.

Tentang peran Pater Beek dalam pembentukan CSIS disampaikan oleh Jenderal Soemitro. Dalam buku ‘Soemitro dan Peristiwa Malari’, mantan Pengkopkamtib inipun menyebut-nyebut nama Pater Beek. Ia menyatakan, ia menerima banyak laporan tentang siapa di belakang studi bentukan Ali Moertopo itu. Menurut laporan-laporan tersebut, CSIS dibentuk Ali Moertopo bersama Soedjono Humardani, sebagian golongan Katolik, dan sekelompok orang Tionghoa yang umumnya berafiliasi dengan Pater Beek. Jelas, bahwa lembaga yang dimaksud Soemitro adalah CSIS.

Selain memengaruhi Soeharto, lewat Ali Moertopo dan Soedjono Humardani, CSIS juga berusaha bermain lewat Golkar yang sejarah pendiriannya memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Orde Baru.

Pada awalnya, di masa revolusi, Golkar merupakan kumpulan organisasi anti-Komunis yang bergabung dalam Front Nasional. Organisasi-organisasi yang bergabung dalam Golkar antara lain organisasi buruh tani, pegawai negeri, perempuan, pemuda, intelektual, artis dan seniman. Sebagaimana diuraikan Harold Cruch dalam bukunya, organisasi-organisasi sipil tersebut dikendalikan oleh tentara yang peranannya dominan lewat SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Begitu Soekarno tumbang, Golkar pun dijadikan mesin politik Orde Baru.

Golkar

Selama e

ra Orde BaruGolkar merupakan partai yang tak terkalahkan karena setiap warga Indonesia, terutama pegawai negeri, dipaksa memilih partai berlambang pohon beringin. Atau hak-haknya sebagai rakyat dikebiri dan dipersulit dalam mengurus banyak hal, termasuk KTP.  Tak heran, karena seperti juga CSIS, Golkar adalah organisasi bentukan Beek yang dihidupkan demi menjaga Soeharto tetap langgeng di tampuk kekuasaan, dan misinya tercapai dengan baik.

Dalam buku berjudul “Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengutip penuturan Romo Dick Hartoko yang tertulis di Tempo, yang isinya begini; “Awal mula dari Golkar adalah ide seorang Romo Jesuit Beek”. Romo ini bahkan menegaskan, Beek punya kedekatan dengan salah seorang pendiri CSIS, Ali Moertopo, yang kala itu masih aktif di Opsus dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

Menurut Sembodo, Romo Dick Hartoko sama sekali tidak salah karena Ali Moertopo mendapat tugas dari Beek untuk menjadikan Golkar sebagai mesin politik yang efektif, sehingga dapat memenangi Pemilu dan mengalahkan partai Islam dan partai nasionalis. Bahkan untuk lebih memastikan kemenangan Golkar, Ali Moertopo mendirikan Badan Pemilihan Umum (Bapilu) yang sebagian besar orang-orangnya beragama Katolik.

Tentang hal ini, Harold Crouch mengatakan begini; “Mengabaikan organisasi-organisasi Sekber-Golkar yang lama, strategi pemilihan Golkar dirancang oleh sebuah komite yang dikumpulkan oleh Ali Moertopo, yang sebagian besar terdiri dari bekas aktivis dari kesatuan aksi. Yakin akan kebutuhan untuk ‘memodernisasi’ politik Indonesia dengan mengurangi peranan partai-partai ‘tradisional’, para anggota komite yang dikenal dengan nama Badan Pemilihan Umum (Bapilu) itu berpandangan sekuler, di dalamnya banyak anggota yang beragama Katolik”.

Crouch juga tak keliru, karena pada pemilu pertama di era Orde Baru, yakni pada 1971, Jusuf Wanandi, kader Beek, aktif di badan ini. Dia kemudian menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar.

Selain Bapilu, bidak-bidak Beek melakukan banyak manuver untuk membuat Golkar tak terkalahkan pada masa Orde Baru. Ketika diwawancarai Majalah Sabili, Suripto mengatakan, sebetulnya banyak pihak yang mengusulkan sistem dua partai seperti di Amerika, namun gagasan itu dimentahkan oleh Ali Moertopo yang menghendaki tiga partai. Satu partai jelas Golkar, sedang dua partai lainnya yang beraliran nasionalis dan Islam. Sejarah kemudian membuktikan, gagasan Ali Moertopo-lah yang diimplementasikan Orde Baru, namun, tentu saja dengan mengebiri partai nasionalis dan Islam sehingga sepanjang era tersebut, kedua partai ini tak lebih dari figuran dalam dunia perpolitikan Indonesia agar Indonesia dipandang sebagai negara yang demokratis.

Pengebirian PNI sebagai representasi partai nasionalis, dilakukan dengan menggembosi partai itu melalui kekuatan birokrasi. Para pegawai negeri “ditekan” agar memilih Golkar, dan yang membangkang akan dipecat atau kenaikan pangkatnya ditunda.

Mengenai hal ini, Harold Crouch menjelaskan begini; “Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Komendagri (Koperasi Departemen Dalam Negeri), suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, darimana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970, rupanya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan bahwa Departemennya akan menjadi tulang punggung Golkar. Walaupun menteri selalu mengatakan bahwa para pegawai negeri masih diperbolehkan menjadi anggota partai masing-masing, tetapi ia menyatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan ia juga menyatakan bahwa keanggotaan partai sekurang-kurangnya akan menjadi hambatan bagi kenaikan pangkat”.

Pengebirian terhadap partai berideologi Islam dilakukan bidak-bidak Pater Beek dengan dua cara. Pertama, melarang berdirinya kembali Masyumi, sehingga ketika partai yang menjadi empat besar pada Pemilu 1955 itu mengajukan izin pendirian kembali, Presiden Soeharto sang penguasa Orde Baru menolaknya dengan alasan karena partai tersebut terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Ini alasan yang dibuat-buat, karena alasan yang sesungguhnya adalah Masyumi memiliki basis pendukung yang besar dari kalangan umat Islam. Jika izin pendirian kembali Masyumi diberikan, partai ini akan menjadi ganjalan besar bagi Golkar.

Alasan lain mengapa Soeharto melarang Masyumi berdiri diutarakan Dr. George J. Aditjondro dengan ungkapan sebagai berikut; “Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa atas partisipasinya dalam penumpasan Gestapu. Padahal Soeharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri Negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam melawan tentara ini lah yang melicinkan dipraktikkannya doktrin lesser evil Pater Beek tersebut”.

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir

 

Sebagai musuh nomor satu Pater Beek setelah Komunis dihancurkan, Islam memang mengalami tekanan yang amat hebat. Celakanya, umat Islam sendiri kurang cerdas dalam menyikapi keadaan, sehingga baru merasakan akibatnya di belakang hari.

Ketika masih berkuasa, Soekarno berkali-kali membuat kebijakan kontroversial. Di antaranya mendukung PKI, dan melarang Masyumi. Kebijakan Soekarno ini membuat tokoh-tokoh partai Islam itu bekerja sama dengan Soeharto untuk ikut menghabisi kekuatan Komunis dan menggulingkan Soekarno, tanpa mengetahui ada siapa di belakang Soeharto. Begitu Komunis tumbang dan Soekarno terguling, Soeharto menyingkirkan partai ini dengan menjadikannya sebagai partai terlarang juga.

Namun, seperti diungkap Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, para pendiri Masyumi tidak kekurangan akal. Agar tetap dapat berkiprah di kancah perpolitikan nasional, mereka mendirikan partai baru yang dinamakan Parmusi (Partai Muslim Indonesia). Pater Beek tentu saja tak tinggal diam. Dia menyusupkan DJ. Naro, salah seorang bidaknya, untuk memecah-belah partai itu, sehingga Parmusi terpecah menjadi dua kubu. Dengan dalih untuk meredam kemelut, pemerintahan Soeharto turun tangan, maka jatuhlah Parmusi ke tangan “Beek” karena Parmusi kemudian dipimpin MS Mintaredja yang merupakan “orangnya pemerintahan Soeharto”.

Tentang hal ini, Harold Crouch menyatakan begini; “Rupanya konflik yang timbul di dalam Parmusi dibangkitkan oleh Naro dengan dorongan anggota-anggota Opsus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Mereka (Opsus) tidak berharap bahwa Naro akan memegang jabatan ketua umum partai, tetapi menciptakan situasi yang memungkinkan pemerintah melangkah masuk dan mengajukan calon ‘hasil kompromi’”.

Cara kedua Pater Beek cs mengebiri politik umat Islam adalah dengan merangkul, namun sekaligus mendiskreditkannya. Pekerjaan ini dilakukan oleh Ali Moertopo dengan cara mendekati mantan orang-orang DI (Darul Islam). Pada 1965, sebagaimana diungkap Ken Comboy dalam bukunya yang berjudul“Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, Ali Moertopo berhasil menyelundupkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaran mantan orang-orang DI. Sugiyarto bahkan berhasil membangun hubungan dengan Mohammad Hasan, salah seorang komandan DI di Jawa Barat. Orang-orang DI pertama kali dimanfaatkan Ali Moertopo untuk mengejar orang-orang Komunis, dan ini dibenarkan Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” dengan uraian sebagai berikut;

Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan, ketika Ali Moertopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII guna menghadapi bahaya laten Komunis dari Utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Moertopo ini selanjutnya diolah oleh Danu Mohammad Hasan dan dipandu Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak Kartosuwiryo) dan H. Isma’il Pranoto (Hispran)”.

Pada saat Ali Moertopo melakukan infiltrasi ke DI inilah, menurut Sembodo, Komando Jihad didirikan, dan langsung ‘dimainkan’ Ali Moertopo untuk kepentingan politik pemerintahan Soeharto. Di antaranya, untuk mendapatkan tambahan suara dalam jumlah signifikan bagi Golkar. Tentang hal ini Ken Comboy mengatakan begini;

“ … Opsus melihat kesempatan untuk menghidupkan kembali kelompok kanan berlatar belakang agama ini. Ini dikarenakan Ali Moertopo sedang mencari kelompok-kelompok pemilih yang akan mendukung Golkar, mesin politik Orde Baru, dalam Pemilu 1971. Dengan harapan para pemimpin Komando Jihad ini akan mampu mengerahkan simpatisan mereka …”

Sembodo menambahkan, setelah Komandio Jihad terbentuk, Ali Moertopo menyusupkan Pitut Soeharto, orangnya, untuk berhubungan dengan para pimpinan Komando Jihad. Cara Pitut untuk melaksanakan tugasnya adalah dengan melakukan ‘barter’ minyak. Tentang hal ini diutarakan Ken Comboy sebagai berikut;

Guna melancarkan usahanya, ia (Pitut) mengunakan pendekatan unik. Atas persetujuan Pertamina, suatu perusahaan Negara di bidang minyak dan gas, Pitut mendapatkan hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa. Kemudian minyak tersebut ditawarkan kepada para pemimpin Darul Islam yang kemudian memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka. Balasannya; mereka harus memberikan suaranya kepada Golkar”.

Cara yang ditempuh Pitut berhasil, sehingga pada Pemilu 1971 Golkar menang mutlak. Namun menjelang Pemilu 1977, para pimpinan Komando Jihad membuat Ali Moertopo berang karena Danu sebagai salah seorang pimpinan Komando Jihad, mengatakan kalau organisasinya akan memberikan suaranya kepada PPP, bukan kepada Golkar. Dengan tuduhan akan melakukan makar, empat bulan sebelum Pemilu digelar, semua pimpinan Komando Jihad dan anggota-anggotanya yang berjumlah puluhan orang, ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Tentang hal ini, Janet Steele memberikan uraian sebagai berikut dalam bukunya yang berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru”;

Pada Pemilu 1977, Laksamana Soedomo (seorang militer beragama Katolik), panglima Kopkamtib, mengumumkan adanya komplotan anti-pemerintah bernama “Komando Jihad”. Pemilihan waktu pengumuman itu dipercaya berkaitan dengan otak segala skenario, yakni asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo, menimbulkan kepercayaan bahwa “Komando Jihad” adalah upaya yang didukung pemerintah untuk mendiskreditkan politik Islam sebelum pemilu berlangsung”.

Sedang mengenai proses penangkapan, Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” menguraikan begini;

Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jaktim yang digelar pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para rekrutan baru H. Isma’il Pranoto mencapai 41 orang, 24 orang di antaranya diproses hingga sampai pengadilan. H. Isma’il Pranoto (Hispran) divonis seumur hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga disebut sebagai para pejabat daerah struktur II Neo NII tersebut, baru diajukan ke persidangan pada tahun 1982, setelah ‘disimpan’ dalam tahanan militer selama 5 tahun, dengan vonis hukuman yang bervariasi. Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6 tahun penjara. H. Isma’il Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif PNPS No 11 Tahun 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen TNI-AD Witarmin. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa maker dari kalangan Islam”.

—-

Di Jawa Tengah sendiri aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun oleh Opsus, seperti Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang, akan tetapi yang diproses hingga ke pengadilan hanya sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap anggota Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun berlangsung tahun 1978-1979”.

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, salah seorang korban Komando Jihad, menuturkan pengalamannya ketika berada dalam pemeriksaan dan penahanan di Latsusda Diponegoro, Semarang; “Pemeriksaan yang dilakukan atas diri saya adalah dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam. Bahkan sering-sering semalam suntuk. Kalau jawaban-jawaban saya tidak sesuai dengan kehendak pemeriksa, bukan saja ditolak, tetapi juga dicaci-maki yang menyakitkan hati, lalu pemeriksaan ditunda semauya. Pernah juga saya diperiksa oleh pemeriksa dari Jakarta, yaitu sdr. Bahar (pangkatnya saya lupa), selama empat hari empat malam tanpa memperhatikan kondisi fisik. Permintaan saya untuk istirahat, hanya diperkenankan sekali, sehingga pemeriksaan ini benar-benar di luar kemampuan fisik saya. Namun toh tetap dilanjutkan. Maka TERPAKSALAH jawaban yang saya berikan mengikuti apa maunya, yang penting cepat selesai dan istirahat”.

Adanya penangkapan-penangkapan ini memberikan pembenaran bagi Ali Moertopo untuk mengeluarkan pernyataan melalui pemerintah, bahwa telah muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah belah NKRI. Dengan cara ini, Ali Moertopo berhasil membangun image bahwa umat Islam adalah warganegara yang tidak setia kepada NKRI, dan karena takut dianggap ikut-ikutan melakukan makar, maka umat Islam pun berbondong-bondong memilih Golkar.

Kenneth E. Ward mengakui, rezim Orde Baru sedari awal memang sudah menempatkan umat Islam melulu identik dengan Darul Islam, sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam. Pendapat Kenneth ini dibenarkan William Widdle dengan pernyataannya yang sebagai berikut;

Saya selalu berpendapat bahwa sejak awal orang CSIS (organisasi think thank Orde Baru yang didirikan Ali Moertopo) memang terlalu berprasangka terhadap politik Islam di Indonesia. Banyak kebijakan mereka, termasuk Golkar, diciptakan untuk melawan politik Islam yang sebetulnya, menurut pendapat saya, tidak perlu dilawan”.

Heru Cahyono dalam buku “Peranan Ulama dalam Golkar, 1970-1980, dari Pemilu Sampai Malari”,memberikan uraian yang hampir serupa. Ia menguraikan bahwa kebijakan politik Soeharto terhadap Islam amat merugikan umat Islam, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam, berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami. Inilah strategi kelompok Ali Murtopo untuk mengebiri politik umat Islam dan menjadikan Islam sebagai kambing hitam demi kepentingan politik Pater Beek, Soeharto, dan dirinya sendiri.

LB Moerdani

 

Upaya-upaya penghancuran Islam tak pernah henti hingga Orde Baru tumbang pada 1998. Cara yang dilakukan umumnya sama, merangkul umat Islam dan dikemudian mediskeditkannya dengan berbagai rekayasa. Tokoh-tokoh yang terlibatpun semakin banyak, yang semuanya merupakan orang-orang Orde Baru yang mungkin saja termasuk ‘orang-orang binaan’ Pater Beek. Satu di antaranya yang sangat terkenal adalah LB Moerdani.

Tentang tokoh yang satu ini, George J. Aditjondro dalam artikel berjudul “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan L.B. Moerdani” memberikan uraian sebagai berikut;

Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Soeharto, salah seorang kadernya disimpan di Korea Selatan sebagai Konjen. Itulah L.B. Moerdani. Sudah sejak di Kostrad pada zaman konfrontasi dengan Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Moerdani. Banyak yang menduga perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Moerdani pada kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa, sementara Moerdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang yang berkuasa”.

Meski permusuhan antara Ali Moertopo dan LB Moerdani membuat karir Moerdani terhambat, namun akhirnya Moerdani kemudian muncul juga ke permukaan.

Karir Moerdani meroket setelah peristiwa Malari pada 1974. Apalagi karena setelah itu Soeharto membubarkan Aspri (Asisten Presiden), lembaga yang dikuasai penuh oleh Ali Moertopo. Tentang hal ini George J. Aditjondro mengungkapkan begini;

Tapi setelah terjadi Malari, Ali Moertopo tidak bisa lagi menghalangi Moerdani untuk tampil ke depan. Sejak inilah bintang Moerdani mulai menanjak. Moerdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Moertopo pada masa pasca Malari, Berjaya lagi oleh naiknya Moerdani”.

L.B. Moerdani beragama Katolik dan sangat membenci Islam. Inilah yang membuat dia mudah diterima CSIS. Bahkan masuknya Moerdani ke lembaga yang dibentuk Pater Beek itu ibarat ikan menemukan air. Tentang hala ini, George J. Aditjondtro berkata begini;

Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa Moerdani sekarang tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Moertopo)”.

Dalam memilih kader, cara Moerdani dan Ali Moertopo relatif tak berbeda. Jika Moertopo ‘memukul’ Islam dengan menggunakan orang Islam juga, Moerdani pun begitu. Cara ini terbukti efektif karena selama Moerdani ‘merajalela’, Islam di Indonesia benar-benar berada dalam suasana suram karena terdiskreditkan dan terpojokan.

Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus ‘Jamaah Imran’ yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA 206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal dengan kasus Pembajakan Wolya. Kecurigaan ini muncul karena seperti kasus meletusnya G-30 S/PKI yang menguntungkan Soeharto, kasus Jamaah Imran dan Pembajakan Woyla juga menguntungkan Moerdani.

Dalam biografi LB Moerdani yang ditulis Julius Pour terdapat kronologis awal kasus itu yang bunyinya sebagai berikut;

Sabtu 28 Maret 1981, pesawat terbang Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 206 tujuan Medan, tinggal landas dari Bandar Udara Talangbetutu, Palembang …. Mendadak, terdangar keributan kecil dari arah kabin penumpang. Co-Pilot Hedhy Juwantoro juga mendengar suara ribut yang masuk ke ruang kokpit. Ia baru saja akan memalingkan kepalanya ketika tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar menyerbu ke dalam kokpit sambil berteriak; “Jangan bergerak, pesawat kami bajak ….””

Pembajakan itu dilakukan oleh lima laki-laki. Pemerintahan Orde Baru menyebut, para pembajak ini merupakan bagian dari Jamaah Imran, sebuah jamaah radikal yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, dan dipimpin oleh Imran.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’. Sembodo menjelaskan bahwa Jamaah Imran adalah kelompok yang dibentuk setelah Komando Jihad ‘dilumpuhkan’ Ali Moertopo.

Tiga bulan setelah jamaah ini terbentuk, seorang anggota intelijen dari kesatuan TNI Yon Armed Cimahi, yang menurut Umar Abduh bernama Najamuddin, menyusup dan memprovokasi agar kelompok ini melakukan gerakan radikal untuk melawan pemerintahan Soeharto secara terbuka. Anggota intel ini bahkan menunjukkan senjata jenis apa saja yang cocok untuk dipakai setiap anggota Jamaah Imran, dan meminta setiap anggota Jamaah itu difoto sambil memegang senjata yang ia perlihatkan. Bodoh, anggota jamaah itu mau saja tanpa menelaah dulu apa maksud dan tujuan si penyusup. Tentang hal ini, diuraikan Umar Abduh sebagai berikut;

Gerakan pemuda Islam Bandung pimpinan Imran terpedaya, terjebak dalam isu provokasi intelijen tersebut, apalagi setelah Najamuddin menjanjikan akan memberikan suplai berbagai jenis senjata organik ABRI, seraya menunjukkan contoh konkret senjata mana yang yang diperlukan dan pantas untuk masing-masing orang. Bodohnya, ketika beberapa anggota kelompok ini diminta agar masing-masing difoto seraya memegang senjata hasil pemberian yang dijanjikan dan berlangsung hanya sesaat oleh Najamuddin itu, tidak seorang pun dari anggota gerakan Imran keluar sikap kritisnya”.

Setelah menunjukkan senjata-senjata yang layak dipakai Jamaah Imran, Najamuddin kemudian memprovokasi jamaah itu agar segera melakukan gerakan terbuka melawan pemerintahan Soeharto. Cara pertama yang disarankan adalah menyerang kantor polisi-kantor polisi dan merebut senjatanya agar dengan demikian jamaah itu memiliki senjata sendiri sebagai bekal melawan pemerintah. Bodohnya lagi, provokasi itu termakan pimpinan dan anggota jamaah, dan Polsek Cicendo, Bandung, diserang.

Soal penyerangan ini, Umar Abduh menjelaskan sebagai berikut; “Dengan bermodalkan sebuah Garrand tua itulah kelompok ini terjebak dalam skenario premature melalui provokasi penyerangan Polsek Cicendo, Bandung. Melalui modus operasi penyerangan pos polisi yang dilengkapi dengan seragam militer sebagai akibat, entah sengaja atau kebetulan, telah menahan sebuah kendaraan bermotor roda dua bernomor polisi sementara (profit) milik anggota jamaah. Momentum ini dimanfaatkan Najamuddin untuk merealisir terjadinya aksi kekerasan bersenjata, antara lain menyiapkan magazine dan amunisi senapan Garrand hasil curian, satu hari menjelang penyerangan pos polisi tersebut. Penyerangan akhirnya berlangsung brutal, dengan bermodalkan satu pucuk senjata Garrand hasil curian (pemberian Najamuddin), Salman dan kawan-kawan berhasil menembak mati 3 polisi serta melukai satu orang di Polsek tersebut, dan merampas senjata genggam sebanyak 3 buah”.

Teror Imran

 

Penyerangan Polsek Cicendo menggegerkan Nusantara. Karena kasus ini merupakan hasil ‘olahan’ intelijen, dengan mudahnya 13 dari sekitar 30 anggota Jamaah Imran dapat dibekuk dalam waktu teramat singkat. Yang berhasil meloloskan diri, di antaranya Imran Ahmad Yani Wahid (sang pemimpin jamaah), Zulfikar, Mahrizal, Abu Sofian, Wendy dan HM Yusuf Djanan, kabur ke Surabaya dan Malang.

Selama di pelarian, entah apakah Najamuddin tetap berhubungan dengan Imran cs untuk dapat terus memprovokasinya ataukah tidak, namun Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA” menjelaskan, selama dalam pelarian ini lah Imran cs memiliki niat untuk membajak pesawat, dan kemudian berangkat ke Palembang untuk melaksanakan aksinya.

Soal keberangkatan Imran cs ke Palembang ini dijelaskan Umar Abduh sebagai berikut; “Setelah memperoleh bekal yang dianggap cukup, maka dengan mengandalkan tiga pucuk revolver jenis Colt 38 hasil rampasan di Polsek Cicendo, Bandung, dan satu pucuk revolver maccarov kaliber 32 hasil pemberian Ir. Yacob Ishak (Mayor TNI-AU) dan dua buah granat serta beberapa batang dinamit, selanjutnya mereka berangkat menuju Palembang pada 25 Maret. Rombongan pembajak tersebut berangkat dari Lawang-Malang tanggal 22 Maret, dan sampai di Palembang tanggal 26 Maret”.

Pada 28 Maret 1981, Imran cs menuju Bandara Talangbetutu, Palembang. Untuk mengelabui petugas, Imran memerintahkan Ma’ruf yang berseragam Pramuka membawa senjata api dan bahan peledak. Pada saat Imran cs melewati pintu terakhir bandara, maka Ma’ruf yang sudah siap dengan ransel di tangan, sekonyong-konyong berteriak sambil berlari; “ … Bang, ransel ketinggalan ..! Ransel ketinggalan …!”

Aksi Ma’ruf ini berhasil mengecoh petugas pemeriksaan, sementara ransel berhasil diterima dengan selamat oleh Imran cs tanpa diperiksa lagi. Drama pembajakan Garuda pun berlangsung.

LB Moerdani diuntungkan oleh kasus ini, karena dia lah yang memimpin langsung operasi pembebasan para sandera, dan melumpuhkan para pembajak. Namanya pun kian bersinar, dan menjadi salah satu sosok yang disegani, juga ditakuti di negeri ini.

Roda selalu berputar dan sinar bintang tak selalu benderang. Begitupula dengan karir seseorang, termasuk karir LB Moerdani. Pada 1988, Soeharto mencopotnya dari jabatan sebagai Panglima ABRI, dan sejak itu karirnya meredup.

Setahun setelah pencopotan dilakukan, atau sekitar pertengahan 1989, dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia, Soehartomengatakan begini; “Biar jenderal atau menteri, yang bertindak inskonstitusional akan saya gebuk”.

Pernyataan Soeharto ini kontan membuat orang percaya bahwa yang dimaksud ‘Bapak Orde Baru’ itu adalah LB Moerdani. Apalagi karena sebelum pemecatan terjadi, Moerdani sempat menyarankan agar Soeharto jangan maju lagi sebagai presiden pada pemilu 1993, sehingga hubungan antara keduanya menjadi tegang.

Salah seorang yang percaya bahwa Moerdani akan melakukan kudeta adalah Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Terkait hal ini, majalah Tempo edisi 10 Februari 2008 memberitakan begini; “Mayjen (Purn) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad malah mengatakan Benny akan melakukan kudeta. Informasi ini menurut Kivlan Zen dilaporkan Prabowo Subiyanto kepada mertuanya (Soeharto) yang berujung pada pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang MPR 1988”.

Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, pasca pemecatan, Moerdani ‘bermain’ melalui dua orang kepercayaannya, yakni Try Soetrisno yang menggantikan dirinya sebagai Panglima ABRI, dan Harsudiono Hartas yang menjabat sebagai Kasospol ABRI. Berkat manuver politikHarsudiono pada pemilihan presiden 1993, BJ Habibie yang sempat digadang-gadang bakal menjadi wakil Soeharto, tersingkir, dan Try Sutrisno naik menjadi wakil presiden. ’Permainan’ Moerdani berhasil, karena selama Try Sutrisno menjadi pendamping Soeharto, sepak terjang Moerdani yang selama bertahun-tahun mendiskreditkan dan membunuhi umat Islam, tak pernah diungkit-ungkit. Meski dia sempat diadili oleh Mahkamah Militer karena kasus Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menurut Solidaritas Nasional untuk Tragedi Tanjung Priok (SONTAK) menelan korban tewas hingga sekitar 400 umat Islam, namun dia tidak menjadi tersangka dan tetap dapat menghirup udara bebas. Padahal seperti disebut Janet Steele dalam buku berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru“, kasus berdarah di kawasan Jakarta Utara ini jelas merupakan hasil operasi intelijen. Bahkan saat diwawancarai majalah Tempo untuk edisi 19 Januari 1985, Moerdani mengakui kalau ia menyebut Tanjung Priok sebagai “asbak“. Ini lah kutipan kata-kata LB Moerdani ketika itu.

Ibarat seperti orang merokok, abunya tentu saja tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tannjung Priok memang sengaja dijadikan semacam ‘asbak’, tempat penyaluran emosi“.

Untuk diketahui, Tanjung Priok merupakan salah satu basis Islam di Jakarta dan menurut Sembodo, kawasan itu juga sedang dijadikan salah satu basis Kristenisasi. Tak heran jika dalam waktu singkat di situ didirikan sejumlah gereja yang pembangunannya pun tidak dirundingkan dulu dengan warga.

Kasus Tanjung Priok meledak setelah anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, bernama Sersan Satu Hermanu, meminta warga mencopot poster berisi imbauan agar wanita mengenakan jilbab yang dipasang di Mushala As-Saadah. Ketika permintaan ditolak, anggota Babinsa itu mencopot poster, namun tanpa mencopot sepatu dahulu kala memasuki mushala. Warga pun marah, dan kasus berkembang menjadi pembataian massal di Jalan Yos Sudarso, jalan utama di Jakarta Utara, yang dilakukan oleh militer. LB Moerdani sendiri kala itu sempat mengklaim bahwa yang tewas hanya 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Namun banyaknya warga yang hilang setelah kejadian itu membuat klaim ini tak dipercaya. Apalagi setelah SONTAK melakukan pendataan, yang tewas dan hilang ternyata mencapai sekitar 400 orang, sementara yang luka juga mencapai ratusan orang. Banyaknya warga yang hilang karena setelah pembantaian berlangsung, jasadnya diangkut dengan kendaraan militer dan kemudian dibuang entah kemana, dan hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.

Sembodo menyebut, dengan naiknya Try Sutrisno menjadi Wapres, Moerdani bahkan tetap dapat ‘mengendalikan’ Orde Baru.

LB Moerdani meninggal pada 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, akibat stroke dan infeksi paru-paru dan dimakamkan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, dengan diiringi upacara militer.

 

Nasib Rakyat Negara Terkaya di Dunia

Pater Beek telah meninggalkan jejak yang luar biasa buruk bagi bangsa Indonesia, meski tak semua buku-buku yang membahas tentang dirinya, seperti misalnya buku berjudul “Pater Beek SJ: Larut Tetapi Tidak Hanyut”, tidak mengungkap secara utuh sepak terjang pastur bernama lengkap Josephus Gerardus Beek itu selama berkiprah di Nusantara. Maklum, buku ini merupakan sebuah autobiografi. Penulisnya J.B Soedarmanta dan diterbitkan Penerbit Obor pada September 2008. Buku ini bahkan menyebut Beek sebagai sosok yang memiliki kepribadian unik, menarik : tegas, disiplin, logis, realistik, sportif, konsekuen dan saleh.

Namun demikian, buku ini juga menyebut peranan besar Beek dalam pengembangan agama Katolik di Indonesia, dan juga merupakan pendiri CSIS serta Kasebul. Bahkan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Indonesia (Kabakin) Letjen Soetopo Yuwono pernah meminta Vatikan agar menarik orang ini, dan dikabulkan. Namun Beek kembali lagi ke Indonesia pada 1974.

Selain itu, sepak terjang Beek juga sempat membuat pastur-pastur yang lain gerah, sehingga mereka mengajukan protes, dan salah seorang koleganya mengatakan begini;

Secara teoretis, idenya sebetulnya positif, tetapi pada prakteknya menjadi kisruh.”

Beek meninggal pada 17 September 1983 di RS Saint Carolus, Jakarta, dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Giri Sonta, kompleks pemakaman dan peristirahatan ordo Serikat Yesus di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Sebelum meninggal, seperti ditulis Benny G. Setiono dalam buku berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, kepada Oei Tjoe Tat, seorang politikus, Pater Beek mengaku terus terang bahwa ia sangat menyesal dan kecewa ikut mendongkel Presiden Soekarno karena pemerintahan penggantinya yang dipimpin Soeharto ternyata jauh lebih jelek dari perkiraannya. Bahkan lebih jelek dari pemerintahan Sukarno. Itu sebabnya ia empat kali ziarah ke makam Bung Karno untuk mohon ampun atas segala dosa-dosanya.

Mungkin, dari apa yang telah diungkap ulang pada blog ini, sejarah bangsa Indonesia harus ditulis ulang agar para siswa dan mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sejarah negerinya sendiri, sehingga mereka dapat belajar dari masa lalu, dan memberikan yang terbaik untuk masa kini. Sebab, apa yang terjadi di masa kini juga merupakan buah dari perjalanan sejarah masa lalu.

Membiarkan saja sejarah yang ditulis di atas kebohongan akan membuat Indonesia makin terjerumus dalam beragam kesulitan yang sulit diakhiri, karena sama saja artinya membiarkan negara ini tetap dalam genggaman para pembohong pencipta kebohongan sejarah itu. Waktu telah membuktikan, rezim pembohong takkan dapat memakmurkan rakyat. Kasus penguasaan lahan tambang di Papua oleh Freeport adalah salah satu contohnyanya (lebih detil disini -16), karena demi kepentingan pribadi, lahan yang seharusnya dapat memakmurkan masyarakat sekitar, justru hanya membuat masyarakat kian merana, terjerembab dalam kemiskinan yang kian dalam.

Kita butuh pionir untuk dapat meluruskan sejarah, pionir yang kredibel, akuntabel, dan memiliki mental negarawan sejati, bukan negarawan yang mengaku peduli pada kepentingan bangsa dan negara, namun ternyata antek negara lain yang memiliki peran besar dalam merusak negeri ini.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar permohonan kita. Aamiin

Terkait:

  1. Tinggalkan Indonesia, Belanda Taruh Orang-orangnya
  2. Keberadaan Freemasonry di Indonesia
  3. Mewaspadai Bahaya Freemasonry
  4. Mengapa Indonesia Sangat Penting Bagi Gerakan Dajjal- Freemansory?
  5. Berawal di Mesir Berakhir di Palestina
  6. Laskar Iblis
  7. Mengapa Gerakan Freemasonry Tersebar
  8. Ancaman Global Freemasonry
  9. Simbol dan Program Internasional Freemasonry
  10. Sepak Terjang Freemasonry dan Fatwa Ikatan Dunia Islam Tentang Freemasonry

Sumber: sangpemburuberita

Harry Tjan Silalahi yang lahir di Jogjakarta pada 11 Februari 1934 pernah menjabat sebagai sekjen Partai Katolik. Ia aktif berorganisasi sejak masih SMA, dimana kala itu ia menjadi anggota Chung Lien Hui, organisasi keturunan Tionghoa. Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.

Setelah lulus SMA, Harry pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum UI. Ia lulus pada 1962. Selama kuliah, ia aktif di perkumpulan Sin Ming Hui dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan terpilih menjadi sekjen. Dari sini lah ia dikenal Pater Beek dan direkrut.

(10) Selain menggarap mahasiswa di dalam negeri, melalui Ali MoertopoBeek juga menggarap mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di luar negeri. Mahasiswa-mahasiswa ini kelak akan menjadi bagian dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang menjadi think thank Orde Baru dalam setiap kebijakannya. Tentang pembangunan jaringan ini diungkap sendiri oleh Harry Tjan Silalahi dalam tulisan berjudul ‘Centre Lahir dari Tantangan dan Jaman’. Begini petikannya;

Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar negeri tersebut. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Bapak Daoed Joesoef, PPI Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.

Menurut M. Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, para mahasiswa dan pemuda-pemuda Katolik tersebut kemudian diberi pelatihan oleh Pater Beek yang dikenal dengan sebutan Kaderisasi Sebulan (Kasbul), untuk dijadikan ‘laskar Kristus’ yang menjalankan Kristenisasi di Indonesia secara besar-besaran. Dalam fikiran mereka ditanamkan doktrin bahwa Islam adalah musuh, Islam adalah agama pedang, Islam adalah perampok Yerusalem, Islam adalah perebut Konstantinopel, dan Islam adalah agama anti-Kristus. Tuduhan-tuduhan yang sungguh jauh dari kebenaran.

Tentang apa saja pelajaran yang diberikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu, Richard Tantermenjelaskannya sebagai berikut;

(Pater) Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu bulanan secara reguler bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastur maupun rohaniawan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan keterampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan publik, keterampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis sosial”.

Sedang Cosmas Batubara menjelaskan begini; “Beliau (Pater Beek) hanya memberikan training-training untuk menghadapi Komunis. Kita didoktrin agar kuat melawan Marxisme-Leninisme. Juga diajarkan bagaimana kelompok Komunis itu beraksi, dan bagaimana menghadapi mereka. Itu kami pelajari. Kalau tidak, bagaimana kami bias melawan CGMI”.

Apa yang dikatakan Cosmas ini membenarkan adanya Kasbul, namun membantah menyerang Islam. Namun Richard Tanter mengungkapkan begini; “Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar, baik bagi Indonesia maupun Gereja, adalah Komunisme dan Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan; sama-sama memiliki kualitas ancaman”.

Jadi, jelas, Beek memang menggunakan ‘pasukannya’ untuk terlebih dahulu menghancurkan Komunis di Indonesia, dan setelah itu Islam. Tantang hal ini, Tanter mengatakan begini; “Pasca 1965, posisi militan yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa”.

Dengan metode menggunakan mahasiswa sebagai ‘pasukan tempur’, Pater Beek sukses menghancurkan dua musuh sekaligus, Komunis dan Islam, dan bahkan waktu kemudian membuktikan bahwa setelah itu Kristenisasi berjalan dengan mulus di Indonesia. Tentu saja, setelah Soeharto menjadi presiden.

Korban G 30 S/PKI

Hingga kini bagaimana pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 dapat meletus, masih dianggap misteri bagi banyak orang. Tentu saja, karena selama ini sejarawan sekalipun hanya mengaitkan peristiwa itu dengan SoekarnoSoeharto, PKI, Angkatan Darat, dan CIA. Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, Sembodo meyakini bahwa jika peristiwa itu dikaitkan pula dengan Pater Beek, maka masalahnya menjadi benderang.

Soekarno, lelaki flamboyan kelahiran Blitar, Jawa Timur, memang tak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak mahasiswa, ia telah terlibat dalam perjuangan anti-Kolonialisme, sehingga sempat merasakan pengapnya penjara Sukamiskin dan beberapa tempat pembuangan. Sepak-terjangnyapun banyak yang kontroversial.  Ketika Jepang menjajah Indonesia, ia ‘bekerja sama‘ dengan negeri Matahari Terbit itu, sehingga ribuan rakyat Indonesia dikirim ke kamp kerja paksa romusha. Setelah Indonesia merdeka, ia dan Bung Hatta bekerja sama menyingkirkan Muso, sahabatnya sendiri ketika masih di Surabaya.  Memasuki usia 50-an, ia mulai berseberangan dengan Hatta, sehingga pasangan yang beken disebut Dwi Tunggal itu retak, dan ‘bermesra-mesraan’ dengan Komunis. Ia pun akhirnya terjungkal dari tampuk kekuasaan dengan cara yang amat menyedihkan.

Peran Soekarno pada 1950-1960-an dalam jagat perpolitikan internasional terbilang cukup menonjol. Bersama Nehru, Castro, Tito dan yang lainnya, ia memelopori berdirinya poros baru di luar poros Amerika Serikat (AS) dan sekutu-kutunya (Blok Barat), serta Uni Soviet bersama konco-konconya (Blok Timur). Poros itu kemudian dikenal dengan sebutan Non Blok. Poros baru ini menentang segala bentuk kolonialisme, namun kemudian banyak yang melihat, terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya, bahwa orientasi politik Soekarno cenderung ke kiri alias ke Blok Timur. Ini tercermin dari program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia, kampanye ganyang Malaysia dan operasi Pembebasan Irian Barat yang dianggap merugikan kepentingan Barat. Apalagi karena selain merupakan basis utama Kristenisasi, kala itu Barat, khususnya Amerika Serikat, telah tahu kalau di bumi Papua terkandung bahan tambang yang melimpah ruah, termasuk emas. Lebih parah lagi, kala itu pun tanpa tedeng aling-aling Soekarno menjalin hubungan baik dengan pempimpin China, Mao Zedong.

Tak ayal, Blok Barat kebakaran jenggot. Tentang hal ini, dalam buku berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto’, John Rossa menulis begini;

Bagi mereka (Amerika Serikat), Presiden Soekarno merupakan sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang dipermanenkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955), hujatan berulang kali terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia, ditafsirkan Washington sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow dan Beijing. Einshower dan Dulles bersaudara-Allen sebagai kepala CIA dan John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri-memandang semua pemimpin nasionalis Dunia Ketiga yang ingin netral di tengah-tengah perang dingin, sebagai antek-antek komunis”.

Kondisi yang tak menguntungkan ini membuat Amerika Serikat dan konco-konconya mencari cara untuk menyingkirkan Soekarno, sebuah cara yang sangat halus, rapih, dan terkoordinir dengan sangat baik agar pihak luar, bahkan bangsa Indonesia sendiri, tak tahu kalau mereka lah otak penggulingan ini. Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan intelijen. Maka, menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana penggulingan ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.

Semula, keterlibatan Beek dalam penggulingan Soekarno hanya dianggap sebagai fiksi belaka, namun setelah Aad van den Heuval, mantan presenter radio dan televise KRO, merilis laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt, Goedenavond‘ (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005, publik Eropa sekalipun langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam penggulingan itu.

Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemarda ni. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.

Aad van den Heuvel

 

Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap wara-wiri ke Indonesia untuk meliput gejolak politik di negara kepulauan ini. Jika ditugaskan ke Indonesia, biasanya memakan waktu satu atau dua bulan. Dalam kurun waktu inilah Heuvel bertemu Pater Beek dan mewawancarainya.

Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini;

Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga”.

Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya yang sebagai berikut;

Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin”.

Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah negeri ini, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Barutumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang G-30S/PKI yang telah diterbitkanpun semuanya tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lobang Buaya, Jakarta Timur.

Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin terhadap Komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas Katolik di Indonesia.

Dari pernyataan ini saja sulit membantah bahwa Beek tidak memiliki peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua RI.  Apalagi karena dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam Pusaran Politik’, Benny G. Setiono antara lain menulis begini;

Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat, menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia sangat membenci Komunisme …”

Pater Beek

Tak perlu meragukan kelicikan, kecerdasan dan kehebatan Pater Beek dalam menyusun sebuah strategi. Serpak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang begitu intens untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘saudara’ China dan Uni Soviet, membuat semua agen CIA, termasuk Beek, mencari momentum untuk memukul balik partai yang keberadaannya didukung Presiden Soekarno itu. Terlebih karena pada awal 1965, para buruh yang telah direkrut PKI menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.

Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu. Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.

Dalam kejadian ini, enam jenderal dibunuh dan mayatnya dicemplungkan ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan saat era Orde Baru, disebutkan bahwa PKI lah pelaku utama peristiwa itu dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Apalagi karena menjelang kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk yang di daerah-daerah, telah mengetahui akan adanya kejadian itu.

Namun, jika merujuk pada artikel Jos Hagers yang diterbitkan De Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa jadi akibat ulah Beek. Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di Angkatan Darat, isu Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu.

Yang lebih menarik, seperti diungkap Richard Tanter, Beek telah menyiapkan sejumlah langkah setelah kasus itu meledak. Begini kata Tanter;

Pada periode menjelang peristiwa 1965, (Pater) Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan ia terlibat dalam persiapan gerakan Katolik bawah tanah. Dalam periode akhir Demokrasi Terpimpim, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang anti-Komunis. (Pater) Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan pinjam, bank, dan lain sebagainya. Tiap jaringan anti-Komunis tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah sosial. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi bagian basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung”.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan, mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk organisasi-organisasi itu adalah para mahasiswa Katolik yang telah dipersiapkan melalui Kasbul. Bahkan sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang pada 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Ketua umumnya Subchan Z.E, dan sekjennya Harry Tjan Silalahi, salah seorang kader Beek.

Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi-organisasi lain juga terbentuk. Di antaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Bersama Front Pancasila, organisasi-organisasi melakukan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi  underbouw-nya. Tuntutan mereka dipertegas dalam resolusi Front Pancasila saat menggelar Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.

Dari semua organisasi mahasiswa tersebut, yang paling fenomenal adalah pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) karena organisasi yang dibentuk pada 25 Oktober 1965 ini merupakan organisasi yang dibentuk berkat kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb. Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). ‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi ini adalah kader orang itu, yakni Cosmas Batubara.

Sembodo menegaskan. Cosmas termasuk kader Beek yang giat menggalang aksi mahasiswa untuk mempercepat tergulingnya Soekarno dan hancurnya PKI. Sembodo bahkan berani menyebut bahwa KAMI-lah organisasi yang menjadi poros utama Beek untuk menciptakan puting beliung yang menghancurkan Soekarno dan Komunis.

Masih menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Van den Heuval dalam laporan-laporannya menjelaskan, Beek mulai menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di Universitas Admajaya. Dari sini lah ia membangun sel-sel di kalangan mahasiswa karena menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar yang dapat digerakkan. Terbukti, ketika para pendukung Soekarno, terutama tentara, bereaksi, mahasiwalah yang dikerahkan untuk memukul balik reaksi itu.

Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul ‘Bayang-bayang PKI’. Dalam buku itu tertulis begini;

Selama bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan anti-Komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik. Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-Komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-Komunis. Antara lain, ia sering disebut-sebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA”.

Tokoh di belakang layar kadangkala tampil juga ke hadapan publik. Bukan untuk mendeklarasikan dirinya sebagai  mastermind dari suatu kejadian, melainkan untuk memantau, mengendalikan, dan memastikan bahwa apa yang telah didesainnya berjalan sesuai track yang benar.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menjelaskan, kala gerakan KAMI semakin membesar untuk menggulingkan SoekarnoPater Beek muncul di antara para demonstrannya di jalan-jalan raya di Jakarta. Richard Tanter bahkan menyatakan begini soal kemunculan Beek di tengah orang-orang yang dikerahkannya itu;

Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing”.

Dengan kata lain, Beek muncul ke hadapan publik dengan cara menyamar, sehingga orang-orang tak dapat mengenali kalau dia sesungguhnya bukan pribumi. Luar biasa!

Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal gerakan, organisasi ini seolah-olah mendukung sang the founding father dan hanya menuntut pembubaran PKI. Akan tetapi, ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai presiden. Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI dibubarkan.

Saat KAMI terpojok beginilah Beek mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan. Dalam buku berjudul ‘Army and Politics in Indonesia’, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Soekarno justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad dimana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor. Maka, seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI seperti Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.

Dalam bukunya, Harold Crouch menulis, Ali Murtopo tidak sendiri dalam mengobarkan kembali aksi KAMI itu, tapi dibantu oleh Kemal Idris dan Sarwo Edhi. Bahkan agar terkesan gerakan KAMI mendapat dukungan luas dari masyarakat dan jumlah peserta demonstrasi semakin lama semakin banyak, Ali Murtopo membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI, kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka dapat ikut serta berdemo. Crouch menyebut, jaket itu berasal dari CIA.

Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian dalam buku ‘Bayang-bayang PKI’. Katanya:

Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket kuning UI”.

Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim. Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.

Monumen Lubang Buaya

Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G-30 S/PKI, merupakan awal karir Soehartoyang paling cemerlang. Tentu saja, karena dialah pion yang telah disiapkan Beek untuk menggantikan Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Pembunuhan enam jenderal dalam peristiwa G-30 S/PKI membuat Angkatan Darat mengalami kekosongan kepemimpinan, dan ‘tangan-tangan’ Beek di sekitar Soekarno yang mendorong agar Soeharto ditunjuk untuk mengatasi ‘pemberontakan para PKI’, membuat Soekarno mengeluarkan Supersemaryang menurut versi Markas Besar Angkatan Darat, menugaskan Soeharto yang kala itu telah diangkat menjadi Panglima kesatuannya dengan pangkat Letnan Jenderal, untuk mengamankan dan menjaga keamanan Negara, serta institusi kepresidenan. Isi Supersemar itu lah yang menjadi dasar Soeharto untukmembubarkan PKI dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di Parlemen.

Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 30 juta orang itu. Sebagian ditahan, dan sebagian lagi dibunuh. Namun yang hingga kini juga masih ‘menakjubkan’, meski anggota PKI hanya sebanyak itu, yang terbunuh dalam tragedi paling berdarah di Indonesia itu justru jauh lebih banyak. Bahkan saking banyaknya, hingga kini jumlah orang yang dibunuh masih simpang siur.

Dalam buku berjudul ‘The Indonesian Killings 1965-1966, Studies from Java and Bali’, Robert Cribb menyebutkan data yang bervariasi tentang jumlah orang yang dibunuh kala itu. Misalnya, Donald Kirk menyebut yang dibunuh 150,000 orang, Ben Anderson dan Ruth McVey menyebut 200.000 orang, Sudomo menyebut antara 450.000 hingga 500.000 orang, Adam Malik menyebut 150.000 orang, dan L.N. Palar menyebut 100.000 orang.

Bagaimana Soeharto bisa ‘sehebat’ itu?

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek. Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah-daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA. Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu, dihabisi. Hal ini terungkap setelah wartawati Amerika Serikat, Kathy Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pejabat CIA, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Lydman, misalnya, mengakui kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara inilah maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.

Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto? Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA. Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.

Yang lebih menarik, dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan bahwa sebelum sampai kepada Soeharto, daftar itu oleh CIA diserahkan dulu kepada Kim Adhyatma, ajudan Adam Malik. Tak heran jika dalam bukunya yang berjudul ‘Legacy of Ashes, History of the CIA’, wartawan New York Times, Tim Weiner, menyebut kalau Adam Malik merupakan seorang agen CIA. Bahkan wartawan itu menyebut, pahlawan nasional berjulukan si Kancil itu merupakan pejabat tertinggi di Indonesia yang pernah direkrut Dinas Intelijen Amerika.

Soekarno digulingkan melalui cara yang sangat terencana dan sistematis yang melibatkan MPRS.

Soekarno

 

Melalui Sidang Umum yang digelar pada 1966, Lembaga Tertinggi Negara itu mengeluarkan dua ketetapannya, yaitu TAP MPRS No. IX/1966 yang mengukuhkan  Supersemar menjadi Ketetapan (TAP) MPRS, dan TAP MPRS No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar, untuk setiap saat menjadi presiden apabila Soekarno berhalangan. Lembaga itu juga meminta Soekarno mempertanggungjawabkan sikapnya terkait dukungan terhadap PKI.

Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawaban, namun pidato yang diberi judul ‘Nawaksara’ itu dianggap tidak lengkap. Pada 10 Januari 1967, Soekarno kembali membacakan pertanggungjawabannya yang kali ini diberi judul ‘Pelengkap Nawaskara’. Namun pada 16 Februari 1967, MPRS juga menyatakan menolak pertanggungjawaban itu.

Akhirnya, berkat permintaan MPRS, pada 20 Januari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Penandatangan ini merupakan akhir dari karir Soekarno sebagai presiden RI karena sesuai TAP MPRS No. XV/1966, secara de facto Soeharto menjadi kepala pemerintahan Indonesia menggantikan dirinya.

Naiknya Soeharto menjadi presiden disahkan melalui Sidang Istimewa MPRS dengan agenda pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai penggantinya. Bahkan dalam sidang itu, MPRS mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi yang disandang sang the founding father.

Jejak Beek dalam kudeta ini mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya dari dunia luar, sehingga tak dapat lagi berhubungan dengan rekan-rekan sesama pejuang yang merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang. Padahal ketika Soeharto ketahuan korupsi ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soekarno memaafkannya. Meski Soeharto ‘disekolahkan’ dulu di SSKAD sebelum ditarik ke Jakarta, ke Markas Besar Angkatan Darat.

Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.

Meski kemudian Soeharto menetapkan Negara dalam keadaan berkabung selama sepekan, apa yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno jelas terlalu berlebihan mengingat Soekarno tidak memiliki kesalahan fatal terhadapnya. Perlakuan Soeharto ini patut diduga mewakili kepentingan yang lain, yakni kepentingan orang yang menaikkannya menjadi presiden; Beek. Karena Beek benci Komunis, maka praktis dia juga membenci Soekarno.

Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya.

Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan yang mempermudah misiPater Beek selanjutnya, yakni menghancurkan Islam. Maka tak heran jika selama 32 tahun Orde Baru berkibar, banyak terjadi peristiwa yang menyakiti umat Islam.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengatakan kalau untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep yang diterapkan Gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara. Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya begini;

Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.

Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’. Dengan kata lain, Beek menempatkan orang-orangnya untuk ‘cawe-cawe’ di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto. Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul ‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru’, disebut sebagai ‘Negara Organik’.

Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa. Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme, karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.

Di atas konsep seperti itu lah Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme. Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis dimana yang paling atas memegang kontrol, terhadap orang-orang di bawahnya. Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.

Konsep Orde Baru ini, kata Sembodo, bila ditilik lebih mendalam tidak jauh berbeda dengan sistem Gereja Katolik yang berpusat di Vatikan, karena selama Orde Baru berkuasa, Soeharto sama seperti Paus yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap umatnya.

Namun, jelas Sembodo lebih jauh dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, karena gereja tidak boleh politis, maka Pater Beek membutuhkan ‘alat sebagai perpanjangan tangannya’ untuk ikut cawe-cawe dalam pemerintahan Orde Baru. Sebuah alat yang efektif dan berpengaruh, serta mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan. Maka dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikanlah CSIS (the Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat. Lembaga inilah yang kemudian memasok gagasan dan menjaga agar Orde Baru menerapkan sistem negara organik versi Gereja pra Vatikan II.

Selain lewat CSIS, Beek juga menempatkan bidak-bidaknya di birokrasi dan militer. Di birokrasi misalnya, ada nama Cosmas Batubara dan Daoed Joeseof yang menempati jabatan menteri dalam kabinet Soeharto; dan di militer ada Ali Murtopo, Yoga Sugama serta LB Murdani yang memiliki kedudukan strategis. Ali Moertopo dengan Opsus-nya, sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan tak terbatas dan berandil besar dalam mengebiri politik anti-Islam. Bahkan Ali Moertopo juga menempati posisi kunci dalam Aspri (Asisten Presiden) bersama Mayjen Soedjono Humardani.

Kini jelas lah kalau Orde Baru memang era yang pendiriannya ‘ditopang’ Beek demi memuluskan misinya menghancurkan Islam dan menegakkan Katolik di Indonesia. Tentang hal ini, Richard Tanter berkata begini;

Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek dengan dalih, sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evil (tentara)”.

Ketika pertama kali mendengar nama CSIS, yang ada di benak saya adalah bahwa organisasi ini hanyaorganisasi para ‘orang pintar’ yang peduli pada masalah perpolitikan di Indonesia dan berusaha memberikan kontribusi positif bagi negeri ini. Anggapan ini sebagian kecil tidak salah, tapi sebagian besar saya merasa kecele karena kala itu saya memang tak tahu bagaimana sejarah berdirinya organisasi ini.

Majalah Q&R edisi 7 Februari 1998 menulis begini tentang CSIS ;

“CSIS tidak dapat dipisahkan dari almarhum Letjen Ali Moertopo dan Mayjen Soedjono Humardani, dua perwira tinggi di awal ‘Orde Baru’ dikenal sangat akrab dengan Presiden Soeharto. Namun kedua tokoh ini (kemudian ditambah dengan nama Jenderal Benny Moerdani, mantan Pangab), sangat berkait dengan suatu masa; tatkala pemerintahan Presiden Soeharto memandang politik Islam dengan syak wasangka. Bukan kebetulan pula anggota teras kepemimpinan CSIS umumnya beragama Katolik dan keturunan Cina. Tokohnya yang paling senior, Dr. Daoed Joesoep, meskipun ia seorang Muslim asal Sumatera Timur, juga ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dikenal sebagai perumus kebijakan yang tidak kena di hati umat Islam Indonesia, misalnya keputusannya untuk tidak meliburkan murid di bulan Ramadan. Walhasil, CSIS dianggap identik dengan sikap anti-Islam”.

CSIS yang didirikan pada 1971 memang organisasi yang terdiri dari orang-orang yang anti-Islam. Maka, tak mengherankan kalau di tempat ini bertemu dua aliran, tentara dan sipil. Aliran tentara dipimpin langsung oleh Ali Moertopo, sedang aliran sipil di bawah komando Harry Tjan Silalahi. Kedua aliran ini kemudian bersatu untuk menggalang politik anti-Islam.

Tentang peran Pater Beek dalam pembentukan CSIS disampaikan oleh Jenderal Soemitro. Dalam buku ‘Soemitro dan Peristiwa Malari’, mantan Pengkopkamtib inipun menyebut-nyebut nama Pater Beek. Ia menyatakan, ia menerima banyak laporan tentang siapa di belakang studi bentukan Ali Moertopo itu. Menurut laporan-laporan tersebut, CSIS dibentuk Ali Moertopo bersama Soedjono Humardani, sebagian golongan Katolik, dan sekelompok orang Tionghoa yang umumnya berafiliasi dengan Pater Beek. Jelas, bahwa lembaga yang dimaksud Soemitro adalah CSIS.

Selain memengaruhi Soeharto, lewat Ali Moertopo dan Soedjono Humardani, CSIS juga berusaha bermain lewat Golkar yang sejarah pendiriannya memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Orde Baru.

Pada awalnya, di masa revolusi, Golkar merupakan kumpulan organisasi anti-Komunis yang bergabung dalam Front Nasional. Organisasi-organisasi yang bergabung dalam Golkar antara lain organisasi buruh tani, pegawai negeri, perempuan, pemuda, intelektual, artis dan seniman. Sebagaimana diuraikan Harold Cruch dalam bukunya, organisasi-organisasi sipil tersebut dikendalikan oleh tentara yang peranannya dominan lewat SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Begitu Soekarno tumbang, Golkar pun dijadikan mesin politik Orde Baru.

Golkar

 

Selama era Orde BaruGolkar merupakan partai yang tak terkalahkan karena setiap warga Indonesia, terutama pegawai negeri, dipaksa memilih partai berlambang pohon beringin. Atau hak-haknya sebagai rakyat dikebiri dan dipersulit dalam mengurus banyak hal, termasuk KTP.  Tak heran, karena seperti juga CSIS, Golkar adalah organisasi bentukan Beek yang dihidupkan demi menjaga Soeharto tetap langgeng di tampuk kekuasaan, dan misinya tercapai dengan baik.

Dalam buku berjudul “Pater Beek, Freemason dan CIA’, Sembodo mengutip penuturan Romo Dick Hartoko yang tertulis di Tempo, yang isinya begini; “Awal mula dari Golkar adalah ide seorang Romo Jesuit Beek”. Romo ini bahkan menegaskan, Beek punya kedekatan dengan salah seorang pendiri CSIS, Ali Moertopo, yang kala itu masih aktif di Opsus dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

Menurut Sembodo, Romo Dick Hartoko sama sekali tidak salah karena Ali Moertopo mendapat tugas dari Beek untuk menjadikan Golkar sebagai mesin politik yang efektif, sehingga dapat memenangi Pemilu dan mengalahkan partai Islam dan partai nasionalis. Bahkan untuk lebih memastikan kemenangan Golkar, Ali Moertopo mendirikan Badan Pemilihan Umum (Bapilu) yang sebagian besar orang-orangnya beragama Katolik.

Tentang hal ini, Harold Crouch mengatakan begini; “Mengabaikan organisasi-organisasi Sekber-Golkar yang lama, strategi pemilihan Golkar dirancang oleh sebuah komite yang dikumpulkan oleh Ali Moertopo, yang sebagian besar terdiri dari bekas aktivis dari kesatuan aksi. Yakin akan kebutuhan untuk ‘memodernisasi’ politik Indonesia dengan mengurangi peranan partai-partai ‘tradisional’, para anggota komite yang dikenal dengan nama Badan Pemilihan Umum (Bapilu) itu berpandangan sekuler, di dalamnya banyak anggota yang beragama Katolik”.

Crouch juga tak keliru, karena pada pemilu pertama di era Orde Baru, yakni pada 1971, Jusuf Wanandi, kader Beek, aktif di badan ini. Dia kemudian menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar.

Selain Bapilu, bidak-bidak Beek melakukan banyak manuver untuk membuat Golkar tak terkalahkan pada masa Orde Baru. Ketika diwawancarai Majalah Sabili, Suripto mengatakan, sebetulnya banyak pihak yang mengusulkan sistem dua partai seperti di Amerika, namun gagasan itu dimentahkan oleh Ali Moertopo yang menghendaki tiga partai. Satu partai jelas Golkar, sedang dua partai lainnya yang beraliran nasionalis dan Islam. Sejarah kemudian membuktikan, gagasan Ali Moertopo-lah yang diimplementasikan Orde Baru, namun, tentu saja dengan mengebiri partai nasionalis dan Islam sehingga sepanjang era tersebut, kedua partai ini tak lebih dari figuran dalam dunia perpolitikan Indonesia agar Indonesia dipandang sebagai negara yang demokratis.

Pengebirian PNI sebagai representasi partai nasionalis, dilakukan dengan menggembosi partai itu melalui kekuatan birokrasi. Para pegawai negeri “ditekan” agar memilih Golkar, dan yang membangkang akan dipecat atau kenaikan pangkatnya ditunda.

Mengenai hal ini, Harold Crouch menjelaskan begini; “Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Komendagri (Koperasi Departemen Dalam Negeri), suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, darimana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970, rupanya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan bahwa Departemennya akan menjadi tulang punggung Golkar. Walaupun menteri selalu mengatakan bahwa para pegawai negeri masih diperbolehkan menjadi anggota partai masing-masing, tetapi ia menyatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan ia juga menyatakan bahwa keanggotaan partai sekurang-kurangnya akan menjadi hambatan bagi kenaikan pangkat”.

Pengebirian terhadap partai berideologi Islam dilakukan bidak-bidak Pater Beek dengan dua cara. Pertama, melarang berdirinya kembali Masyumi, sehingga ketika partai yang menjadi empat besar pada Pemilu 1955 itu mengajukan izin pendirian kembali, Presiden Soeharto sang penguasa Orde Baru menolaknya dengan alasan karena partai tersebut terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Ini alasan yang dibuat-buat, karena alasan yang sesungguhnya adalah Masyumi memiliki basis pendukung yang besar dari kalangan umat Islam. Jika izin pendirian kembali Masyumi diberikan, partai ini akan menjadi ganjalan besar bagi Golkar.

Alasan lain mengapa Soeharto melarang Masyumi berdiri diutarakan Dr. George J. Aditjondro dengan ungkapan sebagai berikut; “Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa atas partisipasinya dalam penumpasan Gestapu. Padahal Soeharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri Negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam melawan tentara ini lah yang melicinkan dipraktikkannya doktrin lesser evil Pater Beek tersebut”.

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir

 

Sebagai musuh nomor satu Pater Beek setelah Komunis dihancurkan, Islam memang mengalami tekanan yang amat hebat. Celakanya, umat Islam sendiri kurang cerdas dalam menyikapi keadaan, sehingga baru merasakan akibatnya di belakang hari.

Ketika masih berkuasa, Soekarno berkali-kali membuat kebijakan kontroversial. Di antaranya mendukung PKI, dan melarang Masyumi. Kebijakan Soekarno ini membuat tokoh-tokoh partai Islam itu bekerja sama dengan Soeharto untuk ikut menghabisi kekuatan Komunis dan menggulingkan Soekarno, tanpa mengetahui ada siapa di belakang Soeharto. Begitu Komunis tumbang dan Soekarno terguling, Soeharto menyingkirkan partai ini dengan menjadikannya sebagai partai terlarang juga.

Namun, seperti diungkap Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”, para pendiri Masyumi tidak kekurangan akal. Agar tetap dapat berkiprah di kancah perpolitikan nasional, mereka mendirikan partai baru yang dinamakan Parmusi (Partai Muslim Indonesia). Pater Beek tentu saja tak tinggal diam. Dia menyusupkan DJ. Naro, salah seorang bidaknya, untuk memecah-belah partai itu, sehingga Parmusi terpecah menjadi dua kubu. Dengan dalih untuk meredam kemelut, pemerintahan Soeharto turun tangan, maka jatuhlah Parmusi ke tangan “Beek” karena Parmusi kemudian dipimpin MS Mintaredja yang merupakan “orangnya pemerintahan Soeharto”.

Tentang hal ini, Harold Crouch menyatakan begini; “Rupanya konflik yang timbul di dalam Parmusi dibangkitkan oleh Naro dengan dorongan anggota-anggota Opsus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Mereka (Opsus) tidak berharap bahwa Naro akan memegang jabatan ketua umum partai, tetapi menciptakan situasi yang memungkinkan pemerintah melangkah masuk dan mengajukan calon ‘hasil kompromi’”.

Cara kedua Pater Beek cs mengebiri politik umat Islam adalah dengan merangkul, namun sekaligus mendiskreditkannya. Pekerjaan ini dilakukan oleh Ali Moertopo dengan cara mendekati mantan orang-orang DI (Darul Islam). Pada 1965, sebagaimana diungkap Ken Comboy dalam bukunya yang berjudul“Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, Ali Moertopo berhasil menyelundupkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaran mantan orang-orang DI. Sugiyarto bahkan berhasil membangun hubungan dengan Mohammad Hasan, salah seorang komandan DI di Jawa Barat. Orang-orang DI pertama kali dimanfaatkan Ali Moertopo untuk mengejar orang-orang Komunis, dan ini dibenarkan Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” dengan uraian sebagai berikut;

Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan, ketika Ali Moertopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII guna menghadapi bahaya laten Komunis dari Utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Moertopo ini selanjutnya diolah oleh Danu Mohammad Hasan dan dipandu Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak Kartosuwiryo) dan H. Isma’il Pranoto (Hispran)”.

Pada saat Ali Moertopo melakukan infiltrasi ke DI inilah, menurut Sembodo, Komando Jihad didirikan, dan langsung ‘dimainkan’ Ali Moertopo untuk kepentingan politik pemerintahan Soeharto. Di antaranya, untuk mendapatkan tambahan suara dalam jumlah signifikan bagi Golkar. Tentang hal ini Ken Comboy mengatakan begini;

“ … Opsus melihat kesempatan untuk menghidupkan kembali kelompok kanan berlatar belakang agama ini. Ini dikarenakan Ali Moertopo sedang mencari kelompok-kelompok pemilih yang akan mendukung Golkar, mesin politik Orde Baru, dalam Pemilu 1971. Dengan harapan para pemimpin Komando Jihad ini akan mampu mengerahkan simpatisan mereka …”

Sembodo menambahkan, setelah Komandio Jihad terbentuk, Ali Moertopo menyusupkan Pitut Soeharto, orangnya, untuk berhubungan dengan para pimpinan Komando Jihad. Cara Pitut untuk melaksanakan tugasnya adalah dengan melakukan ‘barter’ minyak. Tentang hal ini diutarakan Ken Comboy sebagai berikut;

Guna melancarkan usahanya, ia (Pitut) mengunakan pendekatan unik. Atas persetujuan Pertamina, suatu perusahaan Negara di bidang minyak dan gas, Pitut mendapatkan hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa. Kemudian minyak tersebut ditawarkan kepada para pemimpin Darul Islam yang kemudian memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka. Balasannya; mereka harus memberikan suaranya kepada Golkar”.

Cara yang ditempuh Pitut berhasil, sehingga pada Pemilu 1971 Golkar menang mutlak. Namun menjelang Pemilu 1977, para pimpinan Komando Jihad membuat Ali Moertopo berang karena Danu sebagai salah seorang pimpinan Komando Jihad, mengatakan kalau organisasinya akan memberikan suaranya kepada PPP, bukan kepada Golkar. Dengan tuduhan akan melakukan makar, empat bulan sebelum Pemilu digelar, semua pimpinan Komando Jihad dan anggota-anggotanya yang berjumlah puluhan orang, ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Tentang hal ini, Janet Steele memberikan uraian sebagai berikut dalam bukunya yang berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru”;

Pada Pemilu 1977, Laksamana Soedomo (seorang militer beragama Katolik), panglima Kopkamtib, mengumumkan adanya komplotan anti-pemerintah bernama “Komando Jihad”. Pemilihan waktu pengumuman itu dipercaya berkaitan dengan otak segala skenario, yakni asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo, menimbulkan kepercayaan bahwa “Komando Jihad” adalah upaya yang didukung pemerintah untuk mendiskreditkan politik Islam sebelum pemilu berlangsung”.

Sedang mengenai proses penangkapan, Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” menguraikan begini;

Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jaktim yang digelar pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para rekrutan baru H. Isma’il Pranoto mencapai 41 orang, 24 orang di antaranya diproses hingga sampai pengadilan. H. Isma’il Pranoto (Hispran) divonis seumur hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga disebut sebagai para pejabat daerah struktur II Neo NII tersebut, baru diajukan ke persidangan pada tahun 1982, setelah ‘disimpan’ dalam tahanan militer selama 5 tahun, dengan vonis hukuman yang bervariasi. Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6 tahun penjara. H. Isma’il Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif PNPS No 11 Tahun 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen TNI-AD Witarmin. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa maker dari kalangan Islam”.

—-

Di Jawa Tengah sendiri aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun oleh Opsus, seperti Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang, akan tetapi yang diproses hingga ke pengadilan hanya sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap anggota Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun berlangsung tahun 1978-1979”.

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, salah seorang korban Komando Jihad, menuturkan pengalamannya ketika berada dalam pemeriksaan dan penahanan di Latsusda Diponegoro, Semarang; “Pemeriksaan yang dilakukan atas diri saya adalah dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam. Bahkan sering-sering semalam suntuk. Kalau jawaban-jawaban saya tidak sesuai dengan kehendak pemeriksa, bukan saja ditolak, tetapi juga dicaci-maki yang menyakitkan hati, lalu pemeriksaan ditunda semauya. Pernah juga saya diperiksa oleh pemeriksa dari Jakarta, yaitu sdr. Bahar (pangkatnya saya lupa), selama empat hari empat malam tanpa memperhatikan kondisi fisik. Permintaan saya untuk istirahat, hanya diperkenankan sekali, sehingga pemeriksaan ini benar-benar di luar kemampuan fisik saya. Namun toh tetap dilanjutkan. Maka TERPAKSALAH jawaban yang saya berikan mengikuti apa maunya, yang penting cepat selesai dan istirahat”.

Adanya penangkapan-penangkapan ini memberikan pembenaran bagi Ali Moertopo untuk mengeluarkan pernyataan melalui pemerintah, bahwa telah muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah belah NKRI. Dengan cara ini, Ali Moertopo berhasil membangun image bahwa umat Islam adalah warganegara yang tidak setia kepada NKRI, dan karena takut dianggap ikut-ikutan melakukan makar, maka umat Islam pun berbondong-bondong memilih Golkar.

Kenneth E. Ward mengakui, rezim Orde Baru sedari awal memang sudah menempatkan umat Islam melulu identik dengan Darul Islam, sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam. Pendapat Kenneth ini dibenarkan William Widdle dengan pernyataannya yang sebagai berikut;

Saya selalu berpendapat bahwa sejak awal orang CSIS (organisasi think thank Orde Baru yang didirikan Ali Moertopo) memang terlalu berprasangka terhadap politik Islam di Indonesia. Banyak kebijakan mereka, termasuk Golkar, diciptakan untuk melawan politik Islam yang sebetulnya, menurut pendapat saya, tidak perlu dilawan”.

Heru Cahyono dalam buku “Peranan Ulama dalam Golkar, 1970-1980, dari Pemilu Sampai Malari”,memberikan uraian yang hampir serupa. Ia menguraikan bahwa kebijakan politik Soeharto terhadap Islam amat merugikan umat Islam, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam, berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami. Inilah strategi kelompok Ali Murtopo untuk mengebiri politik umat Islam dan menjadikan Islam sebagai kambing hitam demi kepentingan politik Pater Beek, Soeharto, dan dirinya sendiri.

LB Moerdani

 

Upaya-upaya penghancuran Islam tak pernah henti hingga Orde Baru tumbang pada 1998. Cara yang dilakukan umumnya sama, merangkul umat Islam dan dikemudian mediskeditkannya dengan berbagai rekayasa. Tokoh-tokoh yang terlibatpun semakin banyak, yang semuanya merupakan orang-orang Orde Baru yang mungkin saja termasuk ‘orang-orang binaan’ Pater Beek. Satu di antaranya yang sangat terkenal adalah LB Moerdani.

Tentang tokoh yang satu ini, George J. Aditjondro dalam artikel berjudul “CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan L.B. Moerdani” memberikan uraian sebagai berikut;

Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Soeharto, salah seorang kadernya disimpan di Korea Selatan sebagai Konjen. Itulah L.B. Moerdani. Sudah sejak di Kostrad pada zaman konfrontasi dengan Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Moerdani. Banyak yang menduga perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Moerdani pada kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa, sementara Moerdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang yang berkuasa”.

Meski permusuhan antara Ali Moertopo dan LB Moerdani membuat karir Moerdani terhambat, namun akhirnya Moerdani kemudian muncul juga ke permukaan.

Karir Moerdani meroket setelah peristiwa Malari pada 1974. Apalagi karena setelah itu Soeharto membubarkan Aspri (Asisten Presiden), lembaga yang dikuasai penuh oleh Ali Moertopo. Tentang hal ini George J. Aditjondro mengungkapkan begini;

Tapi setelah terjadi Malari, Ali Moertopo tidak bisa lagi menghalangi Moerdani untuk tampil ke depan. Sejak inilah bintang Moerdani mulai menanjak. Moerdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Moertopo pada masa pasca Malari, Berjaya lagi oleh naiknya Moerdani”.

L.B. Moerdani beragama Katolik dan sangat membenci Islam. Inilah yang membuat dia mudah diterima CSIS. Bahkan masuknya Moerdani ke lembaga yang dibentuk Pater Beek itu ibarat ikan menemukan air. Tentang hala ini, George J. Aditjondtro berkata begini;

Moerdani adalah orang Katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Moerdani dengan CSIS. Sebagai orang Katolik ekstrim kanan, Moerdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa Moerdani sekarang tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Moertopo)”.

Dalam memilih kader, cara Moerdani dan Ali Moertopo relatif tak berbeda. Jika Moertopo ‘memukul’ Islam dengan menggunakan orang Islam juga, Moerdani pun begitu. Cara ini terbukti efektif karena selama Moerdani ‘merajalela’, Islam di Indonesia benar-benar berada dalam suasana suram karena terdiskreditkan dan terpojokan.

Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus ‘Jamaah Imran’ yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA 206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal dengan kasus Pembajakan Wolya. Kecurigaan ini muncul karena seperti kasus meletusnya G-30 S/PKI yang menguntungkan Soeharto, kasus Jamaah Imran dan Pembajakan Woyla juga menguntungkan Moerdani.

Dalam biografi LB Moerdani yang ditulis Julius Pour terdapat kronologis awal kasus itu yang bunyinya sebagai berikut;

Sabtu 28 Maret 1981, pesawat terbang Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 206 tujuan Medan, tinggal landas dari Bandar Udara Talangbetutu, Palembang …. Mendadak, terdangar keributan kecil dari arah kabin penumpang. Co-Pilot Hedhy Juwantoro juga mendengar suara ribut yang masuk ke ruang kokpit. Ia baru saja akan memalingkan kepalanya ketika tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar menyerbu ke dalam kokpit sambil berteriak; “Jangan bergerak, pesawat kami bajak ….””

Pembajakan itu dilakukan oleh lima laki-laki. Pemerintahan Orde Baru menyebut, para pembajak ini merupakan bagian dari Jamaah Imran, sebuah jamaah radikal yang didirikan di Bandung, Jawa Barat, dan dipimpin oleh Imran.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’. Sembodo menjelaskan bahwa Jamaah Imran adalah kelompok yang dibentuk setelah Komando Jihad ‘dilumpuhkan’ Ali Moertopo.

Tiga bulan setelah jamaah ini terbentuk, seorang anggota intelijen dari kesatuan TNI Yon Armed Cimahi, yang menurut Umar Abduh bernama Najamuddin, menyusup dan memprovokasi agar kelompok ini melakukan gerakan radikal untuk melawan pemerintahan Soeharto secara terbuka. Anggota intel ini bahkan menunjukkan senjata jenis apa saja yang cocok untuk dipakai setiap anggota Jamaah Imran, dan meminta setiap anggota Jamaah itu difoto sambil memegang senjata yang ia perlihatkan. Bodoh, anggota jamaah itu mau saja tanpa menelaah dulu apa maksud dan tujuan si penyusup. Tentang hal ini, diuraikan Umar Abduh sebagai berikut;

Gerakan pemuda Islam Bandung pimpinan Imran terpedaya, terjebak dalam isu provokasi intelijen tersebut, apalagi setelah Najamuddin menjanjikan akan memberikan suplai berbagai jenis senjata organik ABRI, seraya menunjukkan contoh konkret senjata mana yang yang diperlukan dan pantas untuk masing-masing orang. Bodohnya, ketika beberapa anggota kelompok ini diminta agar masing-masing difoto seraya memegang senjata hasil pemberian yang dijanjikan dan berlangsung hanya sesaat oleh Najamuddin itu, tidak seorang pun dari anggota gerakan Imran keluar sikap kritisnya”.

Setelah menunjukkan senjata-senjata yang layak dipakai Jamaah Imran, Najamuddin kemudian memprovokasi jamaah itu agar segera melakukan gerakan terbuka melawan pemerintahan Soeharto. Cara pertama yang disarankan adalah menyerang kantor polisi-kantor polisi dan merebut senjatanya agar dengan demikian jamaah itu memiliki senjata sendiri sebagai bekal melawan pemerintah. Bodohnya lagi, provokasi itu termakan pimpinan dan anggota jamaah, dan Polsek Cicendo, Bandung, diserang.

Soal penyerangan ini, Umar Abduh menjelaskan sebagai berikut; “Dengan bermodalkan sebuah Garrand tua itulah kelompok ini terjebak dalam skenario premature melalui provokasi penyerangan Polsek Cicendo, Bandung. Melalui modus operasi penyerangan pos polisi yang dilengkapi dengan seragam militer sebagai akibat, entah sengaja atau kebetulan, telah menahan sebuah kendaraan bermotor roda dua bernomor polisi sementara (profit) milik anggota jamaah. Momentum ini dimanfaatkan Najamuddin untuk merealisir terjadinya aksi kekerasan bersenjata, antara lain menyiapkan magazine dan amunisi senapan Garrand hasil curian, satu hari menjelang penyerangan pos polisi tersebut. Penyerangan akhirnya berlangsung brutal, dengan bermodalkan satu pucuk senjata Garrand hasil curian (pemberian Najamuddin), Salman dan kawan-kawan berhasil menembak mati 3 polisi serta melukai satu orang di Polsek tersebut, dan merampas senjata genggam sebanyak 3 buah”.

Teror Imran

 

Penyerangan Polsek Cicendo menggegerkan Nusantara. Karena kasus ini merupakan hasil ‘olahan’ intelijen, dengan mudahnya 13 dari sekitar 30 anggota Jamaah Imran dapat dibekuk dalam waktu teramat singkat. Yang berhasil meloloskan diri, di antaranya Imran Ahmad Yani Wahid (sang pemimpin jamaah), Zulfikar, Mahrizal, Abu Sofian, Wendy dan HM Yusuf Djanan, kabur ke Surabaya dan Malang.

Selama di pelarian, entah apakah Najamuddin tetap berhubungan dengan Imran cs untuk dapat terus memprovokasinya ataukah tidak, namun Sembodo dalam buku “Pater Beek, Freemason dan CIA” menjelaskan, selama dalam pelarian ini lah Imran cs memiliki niat untuk membajak pesawat, dan kemudian berangkat ke Palembang untuk melaksanakan aksinya.

Soal keberangkatan Imran cs ke Palembang ini dijelaskan Umar Abduh sebagai berikut; “Setelah memperoleh bekal yang dianggap cukup, maka dengan mengandalkan tiga pucuk revolver jenis Colt 38 hasil rampasan di Polsek Cicendo, Bandung, dan satu pucuk revolver maccarov kaliber 32 hasil pemberian Ir. Yacob Ishak (Mayor TNI-AU) dan dua buah granat serta beberapa batang dinamit, selanjutnya mereka berangkat menuju Palembang pada 25 Maret. Rombongan pembajak tersebut berangkat dari Lawang-Malang tanggal 22 Maret, dan sampai di Palembang tanggal 26 Maret”.

Pada 28 Maret 1981, Imran cs menuju Bandara Talangbetutu, Palembang. Untuk mengelabui petugas, Imran memerintahkan Ma’ruf yang berseragam Pramuka membawa senjata api dan bahan peledak. Pada saat Imran cs melewati pintu terakhir bandara, maka Ma’ruf yang sudah siap dengan ransel di tangan, sekonyong-konyong berteriak sambil berlari; “ … Bang, ransel ketinggalan ..! Ransel ketinggalan …!”

Aksi Ma’ruf ini berhasil mengecoh petugas pemeriksaan, sementara ransel berhasil diterima dengan selamat oleh Imran cs tanpa diperiksa lagi. Drama pembajakan Garuda pun berlangsung.

LB Moerdani diuntungkan oleh kasus ini, karena dia lah yang memimpin langsung operasi pembebasan para sandera, dan melumpuhkan para pembajak. Namanya pun kian bersinar, dan menjadi salah satu sosok yang disegani, juga ditakuti di negeri ini.

Roda selalu berputar dan sinar bintang tak selalu benderang. Begitupula dengan karir seseorang, termasuk karir LB Moerdani. Pada 1988, Soeharto mencopotnya dari jabatan sebagai Panglima ABRI, dan sejak itu karirnya meredup.

Setahun setelah pencopotan dilakukan, atau sekitar pertengahan 1989, dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia, Soehartomengatakan begini; “Biar jenderal atau menteri, yang bertindak inskonstitusional akan saya gebuk”.

Pernyataan Soeharto ini kontan membuat orang percaya bahwa yang dimaksud ‘Bapak Orde Baru’ itu adalah LB Moerdani. Apalagi karena sebelum pemecatan terjadi, Moerdani sempat menyarankan agar Soeharto jangan maju lagi sebagai presiden pada pemilu 1993, sehingga hubungan antara keduanya menjadi tegang.

Salah seorang yang percaya bahwa Moerdani akan melakukan kudeta adalah Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Terkait hal ini, majalah Tempo edisi 10 Februari 2008 memberitakan begini; “Mayjen (Purn) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad malah mengatakan Benny akan melakukan kudeta. Informasi ini menurut Kivlan Zen dilaporkan Prabowo Subiyanto kepada mertuanya (Soeharto) yang berujung pada pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang MPR 1988”.

Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, pasca pemecatan, Moerdani ‘bermain’ melalui dua orang kepercayaannya, yakni Try Soetrisno yang menggantikan dirinya sebagai Panglima ABRI, dan Harsudiono Hartas yang menjabat sebagai Kasospol ABRI. Berkat manuver politikHarsudiono pada pemilihan presiden 1993, BJ Habibie yang sempat digadang-gadang bakal menjadi wakil Soeharto, tersingkir, dan Try Sutrisno naik menjadi wakil presiden. ’Permainan’ Moerdani berhasil, karena selama Try Sutrisno menjadi pendamping Soeharto, sepak terjang Moerdani yang selama bertahun-tahun mendiskreditkan dan membunuhi umat Islam, tak pernah diungkit-ungkit. Meski dia sempat diadili oleh Mahkamah Militer karena kasus Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menurut Solidaritas Nasional untuk Tragedi Tanjung Priok (SONTAK) menelan korban tewas hingga sekitar 400 umat Islam, namun dia tidak menjadi tersangka dan tetap dapat menghirup udara bebas. Padahal seperti disebut Janet Steele dalam buku berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru“, kasus berdarah di kawasan Jakarta Utara ini jelas merupakan hasil operasi intelijen. Bahkan saat diwawancarai majalah Tempo untuk edisi 19 Januari 1985, Moerdani mengakui kalau ia menyebut Tanjung Priok sebagai “asbak“. Ini lah kutipan kata-kata LB Moerdani ketika itu.

Ibarat seperti orang merokok, abunya tentu saja tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tannjung Priok memang sengaja dijadikan semacam ‘asbak’, tempat penyaluran emosi“.

Untuk diketahui, Tanjung Priok merupakan salah satu basis Islam di Jakarta dan menurut Sembodo, kawasan itu juga sedang dijadikan salah satu basis Kristenisasi. Tak heran jika dalam waktu singkat di situ didirikan sejumlah gereja yang pembangunannya pun tidak dirundingkan dulu dengan warga.

Kasus Tanjung Priok meledak setelah anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, bernama Sersan Satu Hermanu, meminta warga mencopot poster berisi imbauan agar wanita mengenakan jilbab yang dipasang di Mushala As-Saadah. Ketika permintaan ditolak, anggota Babinsa itu mencopot poster, namun tanpa mencopot sepatu dahulu kala memasuki mushala. Warga pun marah, dan kasus berkembang menjadi pembataian massal di Jalan Yos Sudarso, jalan utama di Jakarta Utara, yang dilakukan oleh militer. LB Moerdani sendiri kala itu sempat mengklaim bahwa yang tewas hanya 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Namun banyaknya warga yang hilang setelah kejadian itu membuat klaim ini tak dipercaya. Apalagi setelah SONTAK melakukan pendataan, yang tewas dan hilang ternyata mencapai sekitar 400 orang, sementara yang luka juga mencapai ratusan orang. Banyaknya warga yang hilang karena setelah pembantaian berlangsung, jasadnya diangkut dengan kendaraan militer dan kemudian dibuang entah kemana, dan hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.

Sembodo menyebut, dengan naiknya Try Sutrisno menjadi Wapres, Moerdani bahkan tetap dapat ‘mengendalikan’ Orde Baru.

LB Moerdani meninggal pada 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, akibat stroke dan infeksi paru-paru dan dimakamkan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, dengan diiringi upacara militer.

Nasib Rakyat Negara Terkaya di Dunia

 

Pater Beek telah meninggalkan jejak yang luar biasa buruk bagi bangsa Indonesia, meski tak semua buku-buku yang membahas tentang dirinya, seperti misalnya buku berjudul “Pater Beek SJ: Larut Tetapi Tidak Hanyut”, tidak mengungkap secara utuh sepak terjang pastur bernama lengkap Josephus Gerardus Beek itu selama berkiprah di Nusantara. Maklum, buku ini merupakan sebuah autobiografi. Penulisnya J.B Soedarmanta dan diterbitkan Penerbit Obor pada September 2008. Buku ini bahkan menyebut Beek sebagai sosok yang memiliki kepribadian unik, menarik : tegas, disiplin, logis, realistik, sportif, konsekuen dan saleh.

Namun demikian, buku ini juga menyebut peranan besar Beek dalam pengembangan agama Katolik di Indonesia, dan juga merupakan pendiri CSIS serta Kasebul. Bahkan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Indonesia (Kabakin) Letjen Soetopo Yuwono pernah meminta Vatikan agar menarik orang ini, dan dikabulkan. Namun Beek kembali lagi ke Indonesia pada 1974.

Selain itu, sepak terjang Beek juga sempat membuat pastur-pastur yang lain gerah, sehingga mereka mengajukan protes, dan salah seorang koleganya mengatakan begini;

Secara teoretis, idenya sebetulnya positif, tetapi pada prakteknya menjadi kisruh.”

Beek meninggal pada 17 September 1983 di RS Saint Carolus, Jakarta, dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Giri Sonta, kompleks pemakaman dan peristirahatan ordo Serikat Yesus di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Sebelum meninggal, seperti ditulis Benny G. Setiono dalam buku berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, kepada Oei Tjoe Tat, seorang politikus, Pater Beek mengaku terus terang bahwa ia sangat menyesal dan kecewa ikut mendongkel Presiden Soekarno karena pemerintahan penggantinya yang dipimpin Soeharto ternyata jauh lebih jelek dari perkiraannya. Bahkan lebih jelek dari pemerintahan Sukarno. Itu sebabnya ia empat kali ziarah ke makam Bung Karno untuk mohon ampun atas segala dosa-dosanya.

Harta Rakyat Indonesia Sirna Oleh Rekomendasi Negara-negara Kolompok G-20

 

http://kissanak.wordpress.com/2012/05/11/green-hilton-memorial-agreement-geneva-1963/

 

gambar diambil dari http://kissanak.wordpress.com/2012/05/11/green-hilton-memorial-agreement-geneva-1963/

 

“The Green Hilton Agreement”.. Sebuah perjanjian Soekarno – John F Kennedy tahun 1963 yang berisi harta Rakyat Indonesia berupa 57.150 ton batang emas murni (setara Rp. 31.718 Trilyun). Harta yang kalau orang Indonesia biasa menyebutnya adalah harta revolusi.Banyak pengamat Amerika melihat perjanjian yang kini dikenal dengan nama “The Green Hilton Agreement” itu sebagai sebuah kesalahan bangsa Amerika Serikat. Tetapi bagi Indonesia, itulah sebuah kemenangan besar yang diperjuangkan Bung Karno lewat diplomasi yang luar biasa.Sebab volume batangan emas tertera dalam lembaran perjanjian itu terdiri dari 17 paket sebanyak 57.150 ton lebih emas murni..!.Harganya kalau di rupiahkan sangat fantastik yaitu Rp. 31.718 Trilyun.
Harta tersebut merupakan harta peninggalan kerajaan-kerajaan terdahulu yang kemudian di wariskan kepada sejumlah kerajaan-kerajaan Islam pada waktu zaman penjajahan Belanda atau VOC. Melalui monopoli yang luar biasa serta pemaksaan dan perampasan pihak VOC dan Belanda akhirnya mendapatkan harta yang luar biasa tersebut. Ketika pada perang dunia ke 2 dimana pihak Belanda di Invasi oleh Pihak Jerman serta merta harta yang luar biasa banyak tersebut akhirnya pindah dan di alihkan ke gudang-gudang harta Jerman.Dan ketika Jerman kalah perang dari Amerika Serikat yang bekerjasama dengan pihak sekutu maka secara otomatis harta tersebut pindah kepemilikan menjadi milik Amerika Serikat.

 

Dengan harta tersebut Amerika Serikat menguasai keuangan dunia dengan mendirikan IMF world bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.Dengan harta tersebut bangsa Amerika memaksakan dollar nya menjadi mata uang dunia. Dengan harta tersebut Amerika mencetak uang dollarnya dengan “sak enak udele” yang berguna untuk pembangunan-pembangunan negaranya, pembangunan industrialisasinya dan pembangunan militernya hingga menjadi negara adidaya dunia. Amerika berhutang banyak pada rakyat Indonesia, karena harta itu bukan punya pemerintah dan bukan punya negara Indonesia, melainkan “harta rakyat Indonesia”. Tetapi, bagi bangsa Amerika, perjanjian kolateral ini dipandang sebagai sebuah kesalahan besar sejarah Amerika. Kekalah diplomasi keuangan Amerika terhadap Indonesia.

 

Kendati perjanjian itu mengabaikan pengembaliannya, namun Bung Karno mendapatkan pengakuan bahwa status kolateral tersebut bersifat sewa (leasing). Biaya yang ditetapkan Bung Karno dalam perjanjian sebesar 2,5% setahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya. Dana pembayaran sewa kolateral ini dibayarkan pada sebuah account khusus atas nama The Heritage Foundation yang pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas restu yang dimuliakan Sri Paus Vatikan. Pada bulan April 2009, dana yang tertampung dalam The Heritage Foundation sudah tidak terhitung nilainya. Jika biaya sewa 2.5% ditetapkan dari total jumlah batangan emasnya 57.150 ton, maka selama 34 tahun hasil biaya sewanya saja sudah setera 48.577 ton emas..!Artinya kekayaan itu sudah menjadi dua kali lipat lebih, dalam kurun kurang dari setengah abad atau setara dengan USD 3,2 Trilyun atau Rp 31.718 Trilyun, jika harga 1 gram emas Rp 300 ribu. Hasil lacakan terakhir, dana yang tertampung dalam rekening khusus itu jauh lebih besar dari itu. Sebab rekening khusus itu tidak dapat tersentuh oleh otoritas keuangan dunia manapun, termasuk pajak.Iya pajak dari negara manapun termasuk negara Amerika sebagai tempat penyimpanannya.

 

Hal tersebut mengundang para Konglomerat dunia untuk menyimpan hartanya di Heritage Foundation karena yang tak tersentuh pajak tersebut.Diantaranya Donald Trumph, Raja Yordania dan Raja Maroko. Disamping harta rakyat Indonesia di Heritage Foundation tersebut ada pula harta Kerajaan Turki yang pada awal abad 20 mulai terjadi revolusi yang dilakukan Kemal Atturk dan juga pendudukan bangsa-bangsa lain selama perang dunia ke 1 dan 2.Pada tahun 2008 pihak Turki pernah meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mencairkan harta di Heritage Foundation namun tidak di gubris Pemerintahan Indonesia di karenakan ketidak tahuan atau kemalasan. Sehingga sampai saat ini pun harta tersebut masih milik rakyat Indonesia sebagai pemilik sah.Bukan milik pemerintah Indonesia.

 

Hal tersebut didasarkan bagaimana Soekarno tidak menanda tangani dokumen tersebut tanpa stempel garuda. bahwa beliau khawatir harta itu akan dicairkan oleh pemimpin Indonesia yang korup, suatu saat kelak.Perjanjian itu berkop surat Burung Garuda bertinta emas di bagian atasnya yang kemudian menjadi pertanyaan besar pengamat Amerika. Yang ikut serta menekan dalam perjanjian itu tertera John F. Kennedy selaku Presiden Amerika Serikat dan William Vouker yang berstempel “The President of The United State of America” dan dibagian bawahnya tertera tandatangan Soekarno dan Soewarno berstempel “Switzerland of Suisse”.

 

Barangkali ini pulalah penyebab, mengapa Bung Karno kemudian dihabisi karir politiknya oleh Amerika sebelum berlakunya masa jatuh tempo The Green Hiltom Agreement. Ini berkaitan erat dengan kegiatan utama Soeharto ketika menjadi Presiden RI ke-2. Dengan dalih sebagai dalang Partai Komunis Indonesia atau PKI, banyak orang terdekat Bung Karno dipenjarakan tanpa pengadilan seperti Soebandrio dan lainnya. Menurut tutur mereka kepada pers, ia dipaksa untuk menceritakan bagaimana ceritanya Bung Karno menyimpan harta nenek moyang di luar negeri. Yang terlacak kemudian hanya “Dana Revolusi” yang nilainya tidak seberapa. Tetapi kekayaan yang menjadi dasar perjanjian The Green Hilton Agreement ini hampir tidak terlacak oleh Soeharto, karena kedua peneken perjanjian sudah tiada.

 

Padahal, hasil penelusuran penulis. Bung Karno tidak pernah memberikan mandat kepada siapapun. Dan setelah tahun 1965, Bung Karno ternyata tidak pernah menerbitkan dokumen-dokumen atas nama siapapun. Sebab setelah 1963 itu, pemilik harta rakyat Indonesia menjadi tunggal, ialah Bung Karno itu sendiri. Namun sayang, CUSIP Number (nomor register World Bank) atas kolateral ini bocor. Nah, CUSIP inilah yang kemudian dimanfaatkan kalangan banker papan atas dunia untuk menerbitkan surat-surat berharga atas nama orang Indonesia.Pokoknya siapapun, asal orang Indonesia ber-passport Indonesia dapat dibuatkan surat berharga dari UBS, HSBC dan bank besar dunia lainnya. Biasanya terdiri dari 12 lembar, diantaranya ada yang berbentuk Proof of Fund, SBLC, Bank Guransi, dan lainnya. Nilainya pun fantastis, rata-rata diatas USD 500 juta. Bahkan ada yang bernilai USD 100 milyar..!

 

Ketika dokumen tersebut dicek, maka kebiasaan kalangan perbankkan akan mengecek CUSIP Number. Jika memang berbunyi, maka dokumen tersebut dapat menjalani proses lebih lanjut. Biasanya kalangan perbankkan akan memberikan Bank Officer khusus bagi surat berharga berformat ini dengan cara memasan Window Time untuk sekedar berbicara sesama bank officer jika dokumen tersebut akan ditransaksikan.Makanya, ketika terjadi musibah tsunami di Aceh dan gempa besar lainnya di Indonesia, maka jenis dokumen ini beterbangan sejagat raya bank. Tapi anehnya, setiap orang Indonesia yang merasa namanya tercantum dalam dokumen itu, masih miskin saja hingga kini. Mengapa? Karena memang hanya permainan banker kelas kakap untuk mengakali bagaimana caranya mencairkan aset yang terdapat dalam rekening khusus itu.

 

Melihat kasus ini, tak heran bila banyak pejabat Indonesia termasuk media massa Indonesia menyebut “orang gila” apabila ada seseorang yang mengaku punya harta banyak, milyaran dollar Amerika Serikat. Dan itulah pula berita yang banyak menghiasi media massa. Ketidakpercayaan ini satu sisi menguntungkan bagi keberadaan harta yang ada pada account khusus ini, sisi lain akan membawa bahaya seperti yang sekarang terjadi. Yakni, tidak ada pembelaan rakyat, negara dan pemerintah Indonesia ketika harta yang luar biasa banyak ini benar-benar ada.

 

Kisah sedih itu terjadi. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut serta dalam pertemuan G20 April silam. Karena Presiden SBY tidak pernah percaya, atau mungkin ada hal lain yang kita belum tahu, maka SBY ikut serta menandatangani rekomendasi G20. Padahal tandatangan SBY dalam sebuah memorandum G-20 di London itu telah diperalat oleh otoritas keuangan dunia untuk menghapuskan status harta dan kekayaan rakyat Indonesia yang diperjuangkan Bung Karno melalui kecanggihan dan taktik diplomatik yang luar biasa. Mengapa? Karena isi memorandum itu adalah seakan memberikan otoritas kepada lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan baru bagi mengatasi keuangan global yang paling terparah dalam sejarah ummat manusia. Krisis menghancurkan ekonomi mapan Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Atas dasar rekomendasi G20 itu, segera saja IMF dan World Bank mendesak Swiss untuk membuka 52.000 rekening di UBS yang oleh mereka disebut aset-aset bermasalah. Bahkan lembaga otoritas keuangan dunia sepakat mendesak Vatikan untuk memberikan restu bagi pencairan aset yang ada dalam The Heritage Foundation demi menyelamatkan ummat manusia.Memang, menurut sebuah sumber terpercaya, ada pertanyaan kecil dari Vatikan, apakah Indonesia juga telah menyetujui? Tentu saja, tandatangan SBY diperlihatkan dalam pertemuan itu. Berarti sirnalah sudah harta rakyat dan bangsa Indonesia.
Barangkali inilah kesalahan terbesar kita yang tidak pernah belajar sejarah, kebodohan dalam mengarsip dokumen negara, yang kurang mempercayai hal-hal yang memang menunjukkan bangsa kita adalah bangsa besar.Mengapa rakyat dan pemerintah tidak pernah percaya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pilihan yang di anugerahkan kekayan alam yang luar biasa, hanya karena kesungguhan kita dan kurangnya rasa bersyukur kita, separah kah itu kah kita…??

 

 


Misteri Pedang Sayyidina Ali, dari Negeri Panjalu (Tanah Pasundan) ?

$
0
0

Ahmad Yanuana Samantho:

Misteri Pedang Sayyidina Ali, dari Negeri Panjalu (Tanah Pasundan) ?
Pada acara tahunan dalam Prosesi Upacara Adat Nyangku masyarakat Panjalu, Ciamis, ada upacara yang paling ditunggu-tunggu yaitu pencucian pedang yang dipercaya merupakan warisan dari Sayyidina Ali r.a.

Menurut babad Panjalu, pedang tersebut diberikan langsung oleh Sayyidina Ali kepada Raja Panjalu yang bernama Prabu Borosngora.

pedangali1

Bukti bahwa pedang ini berasal dari Sayiddina Ali r.a, dibilahnya tertulis 3 kalimat bahasa arab yang berbunyi :

La Fabasirtha Ali Ya Ali al dzulfikaqar Wa Ali Wasohbihi Azma’in, Laa Syaefi Illa Dzulfiqar, Laa Fatta Illa Aliyya Karomallahu Wajnahu.

“Ini adalah pedang milik Syaidinna Ali Karomallohu Wajhnahu“.

Pedang ini juga pernah diteliti oleh Ir. Suhamir, ahli purbakala dari pusat, hasilnya disimpulkan bahwa bahan logamnya bukan berasal dari Nusantara (sumber : Upacara Ritual Nyangku).

Misteri Prabu Borosngora

Prabu Borosngora yang mendapatkan anugerah Pedang Sayyidina Ali ternyata masih diselimuti misteri. Hal ini dikarenakan jika berdasarkan penelitian ahli sejarah, Raja Panjalu ini indentik dengan figur Prabu Bunisora atau Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati (1357-1371) dari Kemaharajaan Sunda.

Prabu Bunisora sendiri adalah adik Maharaja Sunda bernama Maharaja Linggabuana yang gugur melawan pasukan Majapahit di palagan Bubat pada 1357 (sumber : Benarkah Prabu Borosngora dan Bunisora adalah orang yg sama?).

Dengan demikian, jika melihat masa kehidupan kedua tokoh, Sayyidina Ali berasal dari abad ke-7M, sementara Prabu Borosngora hidup pada abad ke-14M, artinya terdapat rentang waktu 700 tahun, dan sangat mustahil kedua tokoh ini bertemu.

Nampaknya keberadaan Pedang Sayyidina Ali ini, terkait erat dengan seorang Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara, yang hidup di masa perkembangan awal Islam, beliau bernama Rakeyan Sancang.

Rakeyan Sancang diceritakan, pernah turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) (Sumber : Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara?).

Boleh jadi, dikarenakan perjalanan waktu yang sudah sangat lama, kisah Rakeyan Sancang ini telah tertukar dengan tokoh yang hidup 700 tahun setelahnya, yaitu Raja Panjalu, Prabu Borosngora.

WaLlahu a’lamu bishshawab

Originally posted on Kanzunqalam's Blog:

Pada acara tahunan dalam Prosesi Upacara Adat Nyangku masyarakat Panjalu, Ciamis, ada upacara yang paling ditunggu-tunggu yaitu  pencucian pedang yang dipercaya merupakan warisan dari Sayyidina Ali r.a.

Menurut babad Panjalu, pedang tersebut diberikan langsung oleh Sayyidina Ali kepada Raja Panjalu yang bernama Prabu Borosngora.

pedangali1

Bukti bahwa pedang ini berasal dari Sayiddina Ali r.a, dibilahnya tertulis 3 kalimat bahasa arab yang berbunyi :

La Fabasirtha Ali Ya Ali al dzulfikaqar Wa Ali Wasohbihi Azma’in, Laa Syaefi Illa Dzulfiqar, Laa Fatta Illa Aliyya Karomallahu Wajnahu.

Ini adalah pedang milik Syaidinna Ali Karomallohu Wajhnahu“.

Pedang ini juga pernah diteliti oleh Ir. Suhamir, ahli purbakala dari pusat, hasilnya disimpulkan bahwa bahan logamnya bukan berasal dari Nusantara (sumber : Upacara Ritual Nyangku).

Misteri Prabu Borosngora

Prabu Borosngora yang mendapatkan anugerah Pedang Sayyidina Ali ternyata masih diselimuti misteri. Hal ini dikarenakan jika berdasarkan penelitian ahli sejarah, Raja Panjalu ini indentik dengan figur…

View original 170 more words


Misteri Pedang Sayyidina Ali, dari Negeri Panjalu (Tanah Pasundan) ?

$
0
0

Misteri Pedang Sayyidina Ali, dari Negeri Panjalu (Tanah Pasundan) ?.

Misteri Pedang Sayyidina Ali, dari Negeri Panjalu (Tanah Pasundan) ?

Pada acara tahunan dalam Prosesi Upacara Adat Nyangku masyarakat Panjalu, Ciamis, ada upacara yang paling ditunggu-tunggu yaitu  pencucian pedang yang dipercaya merupakan warisan dari Sayyidina Ali r.a.

Menurut babad Panjalu, pedang tersebut diberikan langsung oleh Sayyidina Ali kepada Raja Panjalu yang bernama Prabu Borosngora.

pedangali1

Bukti bahwa pedang ini berasal dari Sayiddina Ali r.a, dibilahnya tertulis 3 kalimat bahasa arab yang berbunyi :

La Fabasirtha Ali Ya Ali al dzulfikaqar Wa Ali Wasohbihi Azma’in, Laa Syaefi Illa Dzulfiqar, Laa Fatta Illa Aliyya Karomallahu Wajnahu.

Ini adalah pedang milik Syaidinna Ali Karomallohu Wajhnahu“.

Pedang ini juga pernah diteliti oleh Ir. Suhamir, ahli purbakala dari pusat, hasilnya disimpulkan bahwa bahan logamnya bukan berasal dari Nusantara (sumber : Upacara Ritual Nyangku).

Misteri Prabu Borosngora

Prabu Borosngora yang mendapatkan anugerah Pedang Sayyidina Ali ternyata masih diselimuti misteri. Hal ini dikarenakan jika berdasarkan penelitian ahli sejarah, Raja Panjalu ini indentik dengan figur Prabu Bunisora atau Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati (1357-1371) dari Kemaharajaan Sunda.

Prabu Bunisora sendiri adalah adik Maharaja Sunda bernama Maharaja Linggabuana yang gugur melawan pasukan Majapahit di palagan Bubat pada 1357 (sumber : Benarkah Prabu Borosngora dan Bunisora adalah orang yg sama?).

Dengan demikian, jika melihat masa kehidupan kedua tokoh, Sayyidina Ali berasal dari abad ke-7M, sementara Prabu Borosngora hidup pada abad ke-14M, artinya terdapat rentang waktu 700 tahun, dan sangat mustahil kedua tokoh ini bertemu.

Nampaknya keberadaan Pedang Sayyidina Ali ini, terkait erat dengan seorang Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara, yang hidup di masa perkembangan awal Islam, beliau bernama Rakeyan Sancang.

Rakeyan Sancang diceritakan, pernah turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) (Sumber : Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara?).

Boleh jadi, dikarenakan perjalanan waktu yang sudah sangat lama, kisah Rakeyan Sancang ini telah tertukar dengan tokoh yang hidup 700 tahun setelahnya, yaitu Raja Panjalu, Prabu Borosngora.

WaLlahu a’lamu bishshawab

Islam Masuk ke Garut Sejak Abad 1 Hijriah

Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan dengan tokoh fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan Sunan Gunung Jati pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sangiang (1521-1535 M).

Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy Effendie kepada garut.go.id di Garut, Selasa.

Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Sindangksih, Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda, Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Walangsungsang, Lara Santang dan Raden Sangara, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua yakni Prabu Surawisesa.

Sementara itu, Raden Walangsungsang memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.

Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.

Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islam- kan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.

Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).

Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padaghal istrinya Islam.

“Info Terbaru”

Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.

Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankayana, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak memiliki anak sehingga menangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri.

Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.

Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.

Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia.

Anaknya oleh Ki Parangdami dopanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.

Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.

Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali.

Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan.

Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman.

Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.

Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live