Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Pupujian, Cermin Kearifan Orang Sunda

$
0
0

Islam sebagai satu agama yang diyakini berasal dari Allah.Swt, sedangkan budaya lokal (Sunda) berasal dari hasil olah karsa, karya, dan cipta manusia Sunda hasil dari dialektika dengan realitas hidup.
Produk kebudayaan urang Sunda itu tidak sepenuhnya hasil murni kreativitas masyarakat Sunda, tapi ada akulturasi ataupun hibridasi dengan kebudayaan yang dibawa orang-orang di luar Sunda. Begitu juga antara Islam dan Sunda. Keduanya akan saling memengaruhi sehingga melahirkan ritual keagamaan dalam bingkai budaya yang me-lokal.
Agama (Islam) di tatar Sunda akan bermetamorfosa ke dalam pelbagai bentuk, sebagai “akibat samping” dari respon, kreasi atau reaksi para penyebar agama Islam dan kekukuhan masyarakat Sunda memegang kebudayaannya ketika berdialektika dalam sebuah ruang-waktu yang temporer.
Alhasil, dengan pertemuan antara Islam atau agama lain dengan realitas kultural masyarakat etnik Sunda, lahirlah apa yang diistilahkan dengan kearifan lokal (local wisdom) dalam beragama. Lantas, pertanyaan yang mesti kita kemukakan pada tulisan ini, adalah: bagaimana posisi ajaran Islam ketika tersebar di wilayah tatar Sunda..? Apakah Islam mendapat perlawanan sengit, penolakan halus, ataukah urang Sunda berkorvegensi dengan nilai-nilai Islam dalam merancang bangunan kebudayaannya..?
Terakhir, apakah nilai-nilai Islam “meng-ada” di tatar Sunda hanyalah untuk menyingkirkan nilai-nilai lokal yang sebetulnya memiliki derajat kebenaran ontologis yang sama dengan nilai-nilai agama yang berkarakter universal, termasuk Islam..?

Akulturasi Islam dan Sunda Secara historik

Menurut Ayatrohaedi (1986), masuknya Islam ke tanah Sunda diperkirakan pada masa Prabu Siliwangi dibawa oleh putra beliau, yaitu Prabu Ki Hyang Sancang / kian santang yang sengaja mencari Islam (dari sejarah inilah muncul istilah “ki sunda nu neangan islam, lain islam nu neangan” orang sunda yang mencari islam, bukan islam yang mencari orang sunda), sebelum Sunan Gunung Djati menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa (1527), boleh dikatakan masyarakat Sunda secara kultural bercirikan keislaman.
Menurut Saini KM (1995), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena secara kultural di antara keduanya (Islam dan Sunda) mempunyai persamaan paradigma yang bercirikan platonik. Maka, tak mengherankan jika Sunda sebagai kebudaayaan, bisa “bermanunggal ria” dengan Islam sebagai satu agama, yang diyakini oleh para penganutnya memiliki kebenaran-kebenaran universal. Bahasa antropologi budayanya adalah akulturasi.
Akulturasi Islam dengan Sunda bisa dilihat dari seni yang berkembang sampai sekarang dan masih dipraktikkan masyarakat Sunda pedesaan yang berasal dari muslim Sunda tradisional. Misalnya seni arsitektur mesjid yang menyerupai tiga konsep tangga kehidupan umat Sunda berbentuk “nyuncung” sehingga masjid dikenal dengan bale nyuncung.
Selain itu, ada naskah kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegon sebagai proses kreatif masyarakat Muslim Sunda, yang dahulunya mungkin dikategorikan modern, tapi sekarang – karena ada proses Indonesianisasi, Latinisasi dan Englanisasi – huruf pegon sebagai hasil dari dialektika budaya Sunda dan Arab Islam, menjadi terkubur dan menghilang; kecuali di pesantren-pesantren salaf tradisional masih ada santri yang ngalogat dengan menggunakan aksara pegon.
Banyak ulama zaman bareto yang menyusun kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara pegon ataupun aksara Latin, seperti yang terdapat di dalam tradisi pesantren tradisional. Ulama atau ajeungan itu diantaranya: KH. Ahmad Sanusi, KH Ahmad Maki bin KH Abdullah Mahfud, Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar, ‘Abdullah bin Nuh, dan masih banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan dalam tulisan ini.
“Pupujian”, cermin kearifan orang Sunda
Dalam seni suara pun, kita pasti pernah mendengar lantunan “pupujian” bertajuk “Anak Adam” di mesjid-mesjid atau di tajug pada masyarakat agraris, sebagai berikut:
“Anak Adam urang di dunya ngumbara
umur urang di dunya moal lila
anak adam umur urang teh ngurangan
saban poe saban peuting di kurangan.”
Kalimat “pupujian” atau “nadhoman” ini memiliki semangat profetik, yakni betapa tidak hidup itu akan berakhir dan menyadarkan para pemuji dan pendengarnya untuk menunaikan shalat ketika adzan telah dikumandangkan. Ini juga mengindikasikan urang Sunda memiliki semangat egalitarianisme dalam berinteraksi dengan masyarakat lewat cara mengajak Sunda Islam anu Eusleum secara lemah-lembut.
Mengapa “pupujian” dilakukan setelah selesai “ngong” adzan..? Sebab, inti hidup yang mesti direfleksikan Muslim Sunda adalah membuat hidupnya lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian.
Dengan mengingat kematian, maka diharapkan Ki Sunda dapat menghidupkan kembali sakralitas Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar tata-darigama yang sesuai dengan ajaran Agama Islam yang bernilai universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh budaya lokal. Yang terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas “pupujian” jangan dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada sunah Nabi.
Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan bahwa kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras. Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Garut, pun uwa Ajeungan Abbas Ase memberikan “pupujian” yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan jasad saya untuk terus beramal saleh. Kalau tidak salah, bunyi pupujian itu sbb:
“sanes bae yatim teh nu maot ramana
sanyatana yatim nu teu berelmu teu beramal
sanes kagindingan nu makean badan
saliim..saliim..”
Syair dalam versi terjemahan berbahasa Sunda ini, tanpa disertai syair berbahasa Arabnya menyadarkan saya bahwa kemajuan peradaban ditentukan oleh ilmu dan amal. Tentunya, apabila merujuk pada “pupujian” tersebut, selain ilmu dan amal, yang wajib dimiliki oleh muslim Sunda, adalah: kedamaian menebarkan ajaran agama Islam.
Itulah yang saya namakan dengan Ki Sunda Islam anu sawawa! Oleh karena itu, untuk konteks kekinian di kedalaman jati diri urang Sunda mestinya ditanamkan kearifan dalam ngageum Agama Islam, guna menciptakan relasi social-keagamaan yang tidak meminggirkan pemahaman keagamaan teurah Ki Sunda yang lainnya. Ingat, bahwa Ki Sunda pun dahulu pernah jatuh hati pada agama Hindu dan Budha.
Maka, Ki Sunda hari ini dan masa depan harus mewujud dalam wujud manusia yang mampu menafsirkan warisan kebudayaannya dan keberagamaannya secara arif dan bijaksana untuk kepentingan Sunda kiwari dan seluruh umat manusia. Itulah sumbangan Sunda buat bangsa, agama, dan Negara. Bahkan, buat dunia, lho! Wallahu a’lam..
diropea ti blog: kang Syukron


TEMU AKBAR II MUSYAWARAH MUFAKAT BUDAYA : SAINS, TEKNOLOGI & BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN

$
0
0

Jakarta, 28 – 30November 2014 Latar Belakang            

Perkembangan Sains dan Teknologi di abad 21 ini mengalami suatu lompatan pencapaian yang belum pernah ada dalam sejarah. Sains dan teknologi telah merubah jalannya dunia. Manusia kini hidup dalam realitas baru dengan berbagai kemudahannya, di sisi lain pula laju perubahan yang sangat pesat itu membawa dampak kegagapan-kegagapan dan berbagai krisis modernitas.

Dalam kontek sini, maka seharusnya umat manusia dan bangsa-bangsa perlu mempersiapkan diri baik secara mental maupun secara budaya. Khususnya dalam konsteks Indonesia, perkembangan sains dan teknologi itu sendiri seharusnya dapat dibangun beriringan dan berdasarkan kebutuhan riil serta kerangka landasan kearifan budaya lokal yang telah ada. Pendekatan ini diharapkan dapat mengantisipasi dan mengurangi dampak negative dari modernism seperti kerusakan lingkungan, tercerabutkan budaya dan peradaban lokal nasional, tersisihnya “unskilled labour”, meningkatnya konflik sosial-politik dan ekonomi, dan lain-lain.

Sebagai elemen paling mendasar dalam pembangunan suatu bangsa, kebudayaan menjadi fondasi daribangunanelemen lainnya. Kebudayaan merupakan proses yang terus menjadi di dalamdiri manusia, dibentuk dari cara dia mengelola kehidupannya. Karena manusia menjadi actor utamanya lengkap dengan kecenderungan alamiahnya positif maupun negative kebudayaan betapapun berusaha menciptakan keluhuran, tak terelakkan juga menghasilkan keburukan, sengaja atau tidak.

Karena itu tugas mulia kebudayaan adalah memproduksi karya-karya yang luhur bukan hanya untuk memuliakan manusia sebagai subyeknya, tapi juga mampu mengantisipasi, mencegah atau menanggulangi produk-produk buruk dari kebudayaan itu sendiri. Dalam realitas kontemporernya, Indonesia tampak kewalahan mengatasi hasil-hasil kebudayaan negatifnya yang destruktif, alih-alih menumbuhkan sisi baik/luhur dari potensi kulturalnya yang ada.

Menyadari pentingnya hal ini, MUFAKAT BUDAYA menyambut baik ajakan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk berpartisipasi dalam WORLD CULTURAL FORUM 2015.

Para budayawan melalui Forum MUFAKAT BUDAYA INDONESIA, akan hadir memberikan sumbangsih pemikirannya, baikdalamtataranvisimaupun program-program kongrit, Untuk itulah Mufakat Budaya menyelenggarakan Temu Akbar II, setelah Temu Akbar I diselenggarakan lima tahun lalu.

Urgensi Temu Akbar Mufakat Budaya II ini bukan hanya masalah-masalah terkini bangsa yang kian kompleks dan menggiriskan, tapi juga mengartikulasikan secara lebih kuat dan kualitatif hasil-hasil yang diperoleh dari Temu Akbar I seperti terbaca pada “Deklarasi Cikini” dalam lampiran. Paradigma peradaban Bahariadalah kata kunci dimana kebudayaan diposisikan sebagai solusi bagi persoalan-persoalan Indonesia, masa kini maupun masa depan.

Tujuan

  1. Mencapai consensus tentang sifat/karakter kebaharian dari kebudayaan nasional kita, lengkap dengan definisi, ciri-ciri, potensi maupun peluang-peluangnya.
  2. Merumuskan strategi integrasi kebudayaan, sains dan teknologi sebagai landasan atau basis pembangunan peradaban Indonesia dalam segala dimensinya, dalam rangka peneguhan eksistensi dan pemutakhiran kearifan lokal dan nasional yang ada.
  3. Merumuskan ide-ide dasarbagisebuahstrategikebudayaan, sainsdanteknologidalamkaitannyadenganpengembangansainsdanteknologiyang harus diupayakan oleh penyelenggara negara.
  4. Mencapai consensus tentang nilai, etik, atau moralitas kebudayaan yang dapat menjadi acuan perilaku dalam kehidupan praktis masyarakat pada umumnya, termasuk dalam hal pengembangan sains dan teknologi.

Bentuk Kegiatan

Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia mempertemukan antara 200-300 ilmuwan, cendekiawan, sastrawan terkemuka Indonesia dalamsatu forum dimana mereka dapat saling bertukar pikiran, gagasan, wawasan dan pengalamannya untuk membahas dan mencapai persetujuan (Mufakat) tentang  hal-hal yang ditetapkan.

Nama Acara         :    TEMU AKBAR II: MUFAKAT BUDAYA INDONESIA

Tema                     :   “ Sains-Teknologi dan Kebudayaan dalam Pembangunan Peradaban Bangsa ”

Waktu                   :    Jum’at-Minggu, 28 - 30 November 2014 

Tempat                 :    Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara

PROFIL PENGAGAS DAN PEMRASARAN

Radhar Panca Dahana (Pengagas)

Radhar Panca Dahana merupakan sastrawan Indonesia. Pria kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965 ini mengawali karirnya dalam bidang sastra sejak kecil. Sedari dulu ia gemar menulis, cerpen pertamanya “Tamu Tak Diundang” dimuat di Kompas saat usianya menginjak 10 tahun.  Perjuangannya dalam menunjukkan ‘eksistensinya’ dalam dunia tulis menulis dan sastra pada orang tuanya banyak menemui jalan terjal. Sampai akhirnya, namanya banyak dikenal orang dan membuatnya meraih penghargaan Paramadina Award pada tahun 2005.    

Drs. Ishak Ngeljaratan M.A ( KEYNOTE SPEAKER 1 )

Ishak Ngeljaratan, lahir pada tanggal 27 September 1936 di Tanimbar,  Sebelum jadi visiting lecturer di La Trobe University(Melbourne,  (Australia), pada tahun 1990 mengajar tetang perkembangan politik di Indonesia dengan mengacu pada perkembangan tema-tema literer dalam puisi dan fiksi Sastra Indsonesia. Dia mengkuti kajian bahasa-bahasa Asean di RELC, Singapura, 1989. Selain di Unhas, dia mengajar di STT Intim (Sekolah Tingg Teologi Indonesia Timur), Sekolah Tinggi calon Pastor CICM, dan berceramah di sejumlah universitas lain di Makassar, Palu, Ambon, Manado, dan Samarinda. Sangat disibukkan juga oleh seminar-seminar di daerah dan nasional.

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Nanda  ( KEYNOTE SPEAKER 3 )

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda memiliki nama lahir Putu Setia. Pada saat berkecimpung di era Brahmacari dan Grahasta Ia bekerja di Majalah TEMPO (1974-2006) dan pensiun sebagai Redaktur Senior. Sampai saat ini pun Ia masih menulis di Kelompok Media Tempo karena darahnya adalah wartawan sementara jiwanya adalah pendeta. Tulisan yang rutin bisa dibaca di Koran Tempo edisi Minggu.  

Dr. Daud Aris Tanudirjo ( PEMRASARAN 1)

Dr. Daud Aris Tanudirjo seorang Arkeolog terkemuka Indonesia, memperoleh gelar sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajahmada, kemudian ia mengambil gelar Master di The Australian National University , Australia, Januari 1989 – Januari 1991. Kemudian menempuah Gelar Doktoral di The Australian National University Januari 2000 – Januari 2002. Saat ini ia bekerja sebagai dosen di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajahmada.

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri ( PEMRASARAN 3)

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, adalah  Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2001-2004, Dia memperoleh gelar Magister  Sains dari Program Pasca Sarjana di bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, kemudian memperoleh gelar Doktor di bidang Ilmu Ekologi dan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan dari School for Resources and Environmental Studies, Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, Canada pada tahun 1991.

Prof.Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch.,Ph.D. ( PEMRASARAN 5 )

Prof.Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch.,Ph.D. adalah Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia bidang kebudayaan periode 2011 sampai 2014. Beliau menempuh pendidikan sarjana di Departemen Arsitektur dan Perencanaan , Fakultas Teknik Universitas Gajahmada. Ia memperoleh gelar Magister of Arch dari University of Winconsin, kemudian memperoleh gelar Doctor dalam bidang Tourism and Regional Development dari The University of Surrey & Bournemouth, United Kingdom.

Prof. Dr. Franz Magnis Suseno

Prof. Dr. Franz Magnis Suseno adalah seorang tokoh Katolik dan budayawan Indonesia. Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan. Magnis-Suseno juga dikenal sebagai seorang Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Tulisan-tulisannya telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan artikel. Buku “Etika Jawa” dituliskan setelah ia menjalani sabbatical year di Paroki Hati Kudus Yesus di Sukoharjo Jawa Tengah. Buku lain yang sangat berpengaruh adalah “Etika politik” yang menjadi acuan pokok bagi mahasiswa filsafat dan ilmu politik di Indonesia.

Azyumardi Azra, CBE

Azyumardi Azra, CBE adalah akademisi Muslim asal IndonesiaIa juga dikenal sebagai cendekiawan muslim. Azyumardi terpilih sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan mengakhirinya pada 2006.[2]. Pada tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire, sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris. Dengan gelar ini, maka Azyumardi adalah orang pertama di luar warga negara anggota Persemakmuran yang boleh mengenakan Sir di depan namanya.  

Dr. Bona Beding ( MODERATOR 1)

Bona Beding, anak seorang lamafa (juru tikam ikan paus) yang juga direktur Penerbit Lamalera. Ia memimpin masyarakat Lamalera di Pulau Lembata, NTT, menolak rencana konservasi Laut Sawu  yang akan berujung pada pelarangan terhadap tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional dan  menentang intervensi pihak luar, termasuk oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, seperti WWF dan Photovoices, yang dinilai telah menghasut dan berpotensi memicu konflik di masyarakat.

SYAIFURROCHMAN (MODERATOR 3)

Saifur Rohman bekerja sebagai pengajar tetap bidang filsafat pada Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Mengajar Program Doktor Universitas Tanjungpura, Pontianak, Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Unika Semarang, dan sejumlah program pascasarjana di Indonesia dan luar negeri. Pengalaman dua tahun terakhir adalah konsultan bidang bahasa dan filsafat di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sejak 2011 sampai sekarang). Tim ahli bidang filsafat untuk penyusunan perundang-undangan tentang kebudayaan oleh lembaga legislatif (sejak 2011 sampai sekarang).  

Teuku Kemal Fasya, S.Ag., M.Hum. (MODERATOR 4)

Teuku Kemal Fasya bekerja sebagai Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, aktif sebagai ketua Komunitas Peradaban Aceh,  Pembicara, fasilitator, dan peneliti di beragam seminar, training, dan workshop, terutama untuk tema-tema Aceh, gender, demokrasi, nasionalisme, kajian budaya, dan resolusi konflik.

RIZA DAMANIK (MODERATOR 5)

Riza Damanik memperoleh gelar sarjana Ilmu Kelautan dari Universitas Hasanuddin, Makassar (1998) dan selesai di Universitas Diponegoro, Semarang (2002).  Sejak 2012 aktif sebagai Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI); (2013-2014) Anggota Delegasi RI dalam perundingan instrumen internasional perlindungan nelayan/VGSSF di FAO, Roma Italia; (2013-sekarang) Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice.    

DEKLARASI CIKINI 2009 Mukadimah

Apa yang terjadi di Indonesia masa kini, adalah kebingungan dan kekeliruan yang akut di semua level dan elemen kehidupan kita. Hal ini diakibatkan oleh peran negara, cq pemerintah, yang terlampau dominan dan menafikan publik dalam semua proses pengambilan keputusan. Praksis kekuasaan seperti itu merupakan produk dari sebuah pendekatan kebudayaan yang dilandasi oleh cara berpikir yang agraris, orientasi kedaratan atau kontinental.

Orientasi dan tradisi berpikir semacam ini sesungguhnya adalah hasil kolonialisme sejak abad 17 oleh bangsa-bangsa Eropa, lebih tepat lagi mulai masa kolonialisme purba, yang dilakukan India (bangsa Arya) sejak permulaan Masehi. Kolonialisme itu melakukan satu proses pembudayaan melalui cara mencangkokkan (transplantasi kultural) khasanah simbolik dan sistem nilai pihak kolonial pada penduduk setempat.

Satu proses yang membuat semua perangkat kehidupan –eg. politik, hukum, ekonomi, agama, pendidikan, sains, dan sebagainya ditempatkan dan dimanfaatkan untuk melayani kepentingan kekuasaan semata. Semua hal tersebut jelas mengingkari bukan hanya fakta historis bahwa bangsa-bangsa di nusantara ini berjaya dan disegani dunia karena budaya maritim sejak lebih dari 5.000 tahun SM, tapi juga daya hidup tradisinya yang memiliki kemampuan teruji untuk tetap berkembang, melakukan proses pertukaran budaya yang konstruktif dan mutualistis, dengan karakter dasarnya yang toleran, terbuka dan egaliter.

Karena itu, kami yang tergabung dalam Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia yang bersidang dan berbincang, mufakat mendeklarasikan hal-hal berikut: (1). Menolak (dan mendesak dihentikannya) proses-proses berkebudayaan – dengan implikasinya dalam kehidupan hukum, politik ekonomi dan seterusnya—yang dilakukan dengan cara mencangkokkan begitu saja sistem nilai asing ke dalam kehidupan rakyat Indonesia di semua dimensinya. (2).  Mengembalikan cara-cara kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya tradisi kekuasaan serta praksis politik, pada kearifan bangsa-bangsa di kepulauan ini yang telah berkembang dan teruji lebih dari 5.000 tahun. (3). Keberadaan adab modern yang dipenetrasi kolonialime dan globalisme hingga di tingkat kognitif, memori hingga kemampuan imajinatif kita –termasuk sains dan teknologi– tidak lebih untuk memperkaya, Mempertinggi nilai tambah, dan mengakselerasi kekuatan kultural negeri ini.

Semua itu harus berlangsung lewat kearifan dan tradisi sebagaimana dimaksud di atas. (4). Dengan tradisi dan kearifan itulah kebudayaan nasional kita dibangun sebagai mosaik yang terus menjadi dari seluruh elemen sub etnik di nusantara ini, dan seharusnya tumbuh secara alamiah bersama interaksinya dengan kenyataan mutakhir hingga dapat menjadi sebuah identitas bernama: Indonesia.

Manusia, sebagai pelaku terpenting dari proses itu, merupakan entitas yang kongruen dengan jati diri bangsanya, yakni: makhluk budaya yang secara personal maupun komunal memiliki hak setara dengan institusi apa pun dalam berkontribusi bagi gerak pembangunan yang ada. (5). Untuk tugas-tugas kebangsaan itu, rakyat secara menyeluruh harus difasilitasi ruang gerak maupun ekspresinya untuk dapat menemukan sebuah imajinasi kolektif yang baru, di mana Indonesia sesungguhnya mendapat fondasi keberadaannya yang sejati.

Cikini, Jakarta, 28 Oktober 2009.

Penandatangan:

Abu Hamid. Ade Armando. Agus Pambagyo. Arbi Sanit. Aspar Paturusi. Bambang Pranowo. Bambang Widodo Umar. Bustami Rahman. Deddy Gumelar. Dolorosa Sinaga. Donny Gahral Adian. Edwin Partogi. Edy Utama. Eko Budiharjo. Ferdinand Marisan. Heryadi, Mayjen. Imelda Sari. Jaleswari Pramowardhani. Jansen H. Sinamo. Mochtar Naim. Nungky Nirmala. Pontjo Sutowo. Radhar Panca Dahana. Rahman Arge. Ratih Sang. Ray Sahetapy. Rizaldi Siagian. Rocky Gerung. Rosihan Anwar (alm). Setyanto P. Santosa. Soegeng Sarjadi. Sri Adiningsih. Sukardi Rinakit. Sys NS. Taufik Abdullah. Taufik Hidayat. Teuku Kemal Fasya. Tisna Sanjaya. Tubagus Andre. Tjia May On. Yasraf Amir Piliang. Yockie Soeryoprayogo. Yudi Latif.

TATA TERTIB

  1. Peserta Sidang Musyawarah Temu Akbar II Mufakat Budaya, adalah semua orang yang telah diundang oleh panitia penyelenggara Temu Akbar II Mufakat Budaya 2014
  2. Panitia adalah semua anggota panitia yang telah mempersiapkan penyelengaraan dan yang bertanggungjawab mengelola jalannya Acara Temu Akbar II MufakatBudaya 2014
  3. Partisipan adalah tamu pengamat yang dianggap perlu untuk diperkenankan menjadi peninjau acara, tapi tak diijinkan terlibat aktif sebagai peserta siding dan tak punya hak suara baik dalam sidang Pleno, maupun dalam sidang komisi.
  4. Sidang Pleno adalah sidang yang diikuti oleh semua pesertaTemu Akbar MufakatBudaya II 2014
  5. Sidang Komisi adalah sidang yang diikutioleh peserta yang telah dibagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan tema yang akan dibahas dan didiskusikan bersama masing anggota sidang komisi dengan dipimpin oleh moderator yang telah ditunjuk oleh panitia.

Deklarasi Teluk Jakarta 2014 Mufakat Budaya Indonesia

$
0
0

Deklarasi Teluk Jakarta 2014 Mufakat Budaya Indonesia Studi-studi sejarah dan arkeologi memberikan petunjuk bahwa kepulauan Indonesia pernah menjadi salah satu pusat peradaban bahari dunia. Indonesia perlu merevitalisasi peradaban kepulauan sebagai dasar kebudayaan bangsa.

Peradaban kepulauan mengandung arti kesatuan laut dan darat. Laut dan darat adalah kesatuan yang tidak dipisahkan. Memadukan budaya laut dan pulau melahirkan budaya Bhinneka Tunggal Ika.

Pembangunan Indonesia ke depan semestinya memperhatikan keseimbangan laut dan darat; orientasi kelautan harus diarusutamakan dalam setiap kebijakan publik.

Kebudayaan Indonesia adalah pertemuan ratusan suku bangsa serta asal daerah, agama dan kepercayaan yang harus diperlakukan setara. Kebudayaan adalah strategi menjawab tantangan zaman. Identitas dibentuk melalui perubahan. Publik, negara, dan masyarakat harus memberi ruang untuk menumbuhkan keanekaragaman. Yang diperlukan adalah upaya meluaskan interaksi di ruang budaya majemuk.

Karena itu, konsep kebudayaan nasional harus dipahami sebagai jejaring dari berbagai kebudayaan daerah dan kebudayaan Indonesia yang terus berkembang. Kini kita menghadapi krisis peran intelektual. Elite mengedepankan sikap materialistis. Kita kurang memelihara ingatan pada tradisi intelektual yang kaya sehingga tidak menampakan mata rantai kesinambungan dalam prestasi intelektual.

Produk elite politik hanya menghasilkan penumpulan hukum, intoleransi terhadap perbedaan dan kompetisi kekuasaan yang menghamba pada kepentingan para komprador, baik dalam dan luar negeri. Budaya cangkokan yang diarahkan oleh kepentingan asing menimbulkan eksploitasi pada kekayaan alam dan budaya Indonesia, tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, malah justru memperluas pelanggaran HAM.

Rekomendasi

1. Kita harus memperjuangkan lahirnya budaya integratif yang bersifat merangkul, setara, menerima perbedaan, untuk memadu kerjasama. Untuk mengatasi agresivitas dan kekerasan, baik struktural maupun kultural, dalam interaksi sosial, perlu mengaktualisasikan kembali peran kearifan lokal sebagai solusi konflik.

2. Restorasi kebudayaan harus menempatkan kembali pelajaran menulis, mengekspresikan bahasa, termasuk bahasa dan seni lokal, sebagai alat penghalusan budi pekerti, kesantunan dan pendalaman akal budi. Bahasa Indonesia harus dirawat di tengah kecenderungan kontaminasi bahasa asing. Bahasa Indonesia harus diberdayakan sebagai medium untuk memperkaya prestasi kultural.

3. Menumbuhkan peran masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik melalui pemberdayaan lembaga-lembaga penyiaran, seperti radio, televisi dan media cetak serta lembaga penyiaran komunitas agar tidak dihela pasar semata, namun justru menyampaikan aspirasi kekinian publik, nilai-nilai kearifan lokal dan Pancasila.

4. Penyelenggara negara harus hadir sebagai penjamin utama bagi seluruh proses restorasi kebudayaan dan membangkitkan kembali peradaban kepulauan Indonesia, karena ketidakhadiran peran negara merupakan pengkhianatan terhadap sejarah, konstitusi dan amanah yang telah diberikan oleh rakyat.

Teluk Jakarta, 30 November 2014

Peserta Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia

Tim Perumus

1. Riza Damanik

2. Dr. Benny Johanes

3. Dr. Tamrin Amal Tamagola

4. Dolorosa Sinaga

5. Prof. Dr. Edi Sedyawati

6. Ishak Ngeljaratan .

7.Radhar Panca Dahana

LINK TERKAIT :

http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fposbali.com%2Fdeklarasi-budaya-dari-ancol%2F&h=BAQFiUHPR


Sejarah: Salman al-Parsi (min Ahli Bayt Nabi) Pendiri Kerajaan Jeumpa Aceh

$
0
0
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam, dunia Arab dengan dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.

Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian ataupun sebagai barang sakral dalam ritual keagamaan pagan, menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat. Tentu dari para petani, pedagang sampai para pengolah, peneliti, tabib sampai tukang sihir terlibat dalam proses pembuatan kafur yang bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Aceh berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.

Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan Arab lebih dominan mudah menerima kedatangan Islam, dengan beberapa alasan (i) sumber utama al-Qur’an dan pengajarannya menggunakan bahasa Arab, yang tentu lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Arab seperti keturunan Arab yang sudah menyebar di sepanjang Barus-Fansur-Lamuri, (ii) hukum, budaya, pola hidup ataupun tradisi yang dibawa Islam lebih dekat dengan kebiasaan orang Arab yang memang sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang merupakan bapak kaum Arab, sehingga keturunan Arab pra-Islam ini mudah langsung mengikutinya karena sudah menjadi kebiasaan hidupnya, (iii) semangat kekeluargaan dan kesukuan sangat tinggi di kalangan bangsa Arab, termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati dan menghargai sesamanya, itulah sebabnya banyak orang Arab yang membela Rasul walaupun tidak masuk Islam, inilah yang terjadi pada keturunan perantauan Arab ini, ada kebanggaan kesukuan memeluk agama Islam yang dibawa dari tanah leluhurnya daripada mengikuti ajaran lain, (iv) tentu ajaran Islam yang rasional, adil, menawarkan persamaan kedudukan dan status menjadi daya tarik bagi masyarakat kosmopolit yang telah berbaur dengan berbagai peradaban besar sebagaimana yang dialami keturunan Arab (v) disamping kepandaian dan ketampanan para pembawa Islam keturunan Arab telah membuat jatuh hati para Raja dan Meurah, mengangkat mereka jadi menantu, penasihat atau panglima dan ada yang menggantikan kedudukan Raja atas dukungan komunitas Arab yang memang sudah mapan dan memiliki kedudukan terhormat.
Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang di Aceh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Aceh yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama ”Barousai”, yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Aceh.liv
Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke Cina yang meninggal di sana. Di samping untuk berdakwah tentu untuk memberikan sebuah tawaran umum para Khalifah kepada semua Raja: ”Engkau memeluk Islam, artinya bersaudara dengan kami, jika tidak engkau membayar jizyah sebagai tanda ketundukan pada Islam, jika engkau menolak keduanya, berarti akan terjadi peperangan, karena sabda Nabi saw : ”Aku diperintah memerangi manusia pembangkang sehingga mereka mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya”. Cina menjadi salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.
Sejak dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.lv
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.lvi
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.lvii
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Karena (i) beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada moyangnya (ii) beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini (iii) anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan, (i) beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana, (ii) beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), (iii) keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan (iv) menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia. Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel. Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.

i Masalah Islamisasi Nusantara, lihat misalnya : S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A General Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969,. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia Seminar, 1963. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 65-66. T. Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1973, hlm. 100. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
ii Azra, op.cit. hal. 28
iii Al-Attas, op.cit. hal. 54-55
iv Azra, op.cit. hal.30
v Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia; Bandung; Mizan; 1995; hal. 81.
vi Op.cit, hal. 92-93
vii A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, Bandung:al-Ma’arif, 1993, cet. 3, , hal. 7; . lihat juga A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. hal.146.
viii N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12. (Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100, 1941). William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
ix D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.)
x M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
xi Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific. The Prehistory of Southeast Asia and Oceania, New York: Oxford University Press. 1979. Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Orlando, Florida: Academic Press. 1985.
xii Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Dr. Ismail Hamid “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” .Jakarta: Pustaka Al-Husna cet. 1, 1989, hal. 11).
xiii Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Jakrta: Pustaka Panjimas; cet.III; 1996; Hal. 4-5.
xiv Lihat: W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, .Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970,
xv F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159.
xvi Lihat: artikel “Kafur”, A. Dietrich, Ensiklopedia Islam (E.I) 2 hal: 435-436.
xvii W. Heyd, Histoire du commerce du Levant [Sejarah Pergadangan di Kawasan Syria-Libanon], edisi Prancis yang disusun kembali oleh Furcy Raynand, Amsterdam: Adolf M, Hakkert, 1967, tambahan I, hal 590).
xviii Ibn Baytar, Traite des Simples par Ibn el-Beithar. Terj. Dr. L. Leclerc, 3 jil. –Paris: 1881-1887.
xix G. Celentano, L.V. Vaglieri, “Trois Epitres d’al-Kindi: textes et traduction avec XIX plaches facsimile des trois epitres”, dalam Annali dell Istituto universitario Orientale di Nipoli, jil 34, buku 3 (1974) hal 523-562.
xx Tibbetts, Arabic Texts, hal. 27-28.
xxi Wolters, Early Indonesian Commerce, hal. 178)
xxii Tibbetts, Arabic Texts, hal. 30
xxiii Ibid, hal. 37-38
xxiv Ibid, hal. 44-45
xxv K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), hal. 80, 81.
xxvi Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei,( Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), hal. 40-41)
xxvii Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal. 72).
xxviii Ibid, hal.114
xxix Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975), 2:299)
xxx Ibid, hal. 300
xxxi ibid
xxxii Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11
xxxiii Mills, Ma Huan, hal 122-123.
xxxiv Ibid, hal. 123-124
xxxv ibid
xxxvi T. Iskandar, Hikayat Atjeh, op.cit. hal. 17
xxxvii Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal. 72). W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 280.
xxxviii N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
xxxix Lebih terinci lihat misalnya : Dr. Subhi Shaleh, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Beirut : Dar Ilm li al-Maliyin, tt. Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, Damsyik : Maktabah al-Ghazaly, Thabaah Tsalist, 1981. Dr. M. Ali al-Hasan, al-Manar fi ‘ulum al-Qur’an, Amman : Matbaah al-Syuruq, 1983. Dr. Shabir Thayyimah, Hazha al-Qur’an, Bairut : Dar al-Jiil, 1989. Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, al-wahy al-Muhammady, Bairut : Dar al-Fiqr, 1968.
xl Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES,
xli Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of Mahomedanism. Published by John Murray, Albemarle-Street. 1830. Vol II, 2nd Ed, Chap X, hal. 74. 122
xlii JJ. Meinsma,. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage, 1903
xliii Lihat :Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Semarang:Menara Kudus. 1980.
xliv (Lihat misalnya: D.R. SarDesai,Vietnam, Trials and Tribulations of a Nation. 1988. ppg 33-34,. David P. Chandler, A History of Cambodia (Boulder: Westview Press, 1992.) George F. Hourani “Arab Seafaring” Princeton University Press, New Jersey, 1979. Nicholas Tarling, “The Cambridge History of Southeast Asia” vol.1 Cambridge University Press, Cambridge, 1992. Lafont, P. B., “Aperçu sur les relations entre le Campa et l’Asie du Sud-Est,” Actes du Séminaire sur le Campa organisé à l’Université de Copenhague, le 23 mai 1978 (Paris: 1988b) hal. 71-82. Manguin Pierre Yves, “Etudes cam II; l’introduction de l’Islam au Campa,” Bulletin de l’Ecole Française d’Extrême-Orient, Vol. LXVI (1979) hal.. 255-287.
xlv Lihat : Tun Suzanna Tun Hj.Othman dkk. Dinast-Dinastii Quraysh (Hasyimy) di Alam Melayu, Johor:tt.
xlvi Lihat : Wan Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arifin Syah, Utusan Melayu, 24 Juli 2006
xlvii A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, no.19 (April). Hal. 8
xlviii TD. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, op.cit. hal. 168-173
xlix Lihat :Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Semarang:Menara Kudus. 1980. Al-Murtadho, H. Sayid Husein, dan KH Abdullah Zaky Al-Kaaf, Drs. Maman Abd. Djaliel, 1999. Keteladanan Dan Perjuangan Wali Songo Dalam Menyiarkan Islam Di Tanah Jawa. CV Pustaka Setia, Bandung. Nasab-Alwi (Ammu al-Faqih), Situs Asyraaf Malaysia (Situs Persatuan Alawiyyin Malaysia) Martin van Bruinessen, 1994. Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 150. 305-329
l Lihat: Modus, No.15/Th.V/23-29 Juli 2007
li Ibid
lii Wan Huseein Azmi, Islam di Acheh, Kuala Lumpur: UKM.
liii ibid
liv D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17.
lv D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
lvi M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
lvii Ibid
Sumber:

Implementasi Kebudayaan by Prof.Dr. Wiendu Nuryanti

PERNYATAAN KEMERDEKAAN ADALAH PERNYATAAN BUDAYA

$
0
0

Sri-Edi Swasono

 Tuntutan kemerdekaan men­­transformasi diri sebagai tudingan terhadap Majelis Hakim di Pengadilan Den Haag (1928): “…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…”.

Joan Robinson (1962), ekonom Cambridge, mengatakan: “…ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme…mazhab klasik menjagoi perdagangan-bebas karena menguntungkan bagi Inggris, bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia…”.

Sedangkan Leah Greenfeld (2001), ekonom Harvard, mengatakan: “…pertumbuhan berkesinambungan perekonomian modern ternyata tidak dengan sendirinya berlangsung berkelanjutan, pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme…”.

Sementara itu Widjojo Soejono (2012) menegaskan: “…kewaspadaan (vigilance) adalah harga kemer­dekaan yang setiap nasionalis siap untuk membayarnya…”.

***

Pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan kemerdekaan tak lain adalah suatu pernyataan budaya, yaitu budaya untuk menegakkan onafhankelijkheid – melepaskan diri dari keter­gan­tungan, tidak lagi berlindung dari belas kasihan penjajahan, ke­be­ranian melepaskan diri dari ketertundukan sebagai koelie di negeri sendiri, menegaskan diri sebagai tuan di negeri sendiri, suatu pernyataan budaya meninggalkan underdog mentality-nya kaum inlander.

Kesadaran-kesadaran ber­daulat, mandiri, berharkat martabat, berke­hidupan cerdas (tidak sekedar berotak cerdas), tangguh, digdaya, dan mandraguna, merupakan tuntutan budaya yang harus dipenuhi sebagai bangsa merdeka. Barangkali kita gagal unlearning untuk memenuhi tuntutan-tuntutan budaya itu, kita alpa tidak segera menggariskan strategi budaya sebagai bangsa merdeka. Kita lengah-budaya menerima liberalisme dan kapitalisme. Kita terjerumus mengejar-ngejar to have more, lupa mengejar to be more. Kita terjerumus menge­jar ‘nilai-tambah ekonomi’. Pembangunan nasional harusnya mengejar pula ‘nilai-tambah sosial-kultural’ agar mampu meraih makna to be more itu. Akibatnya hasil utama pembangunan adalah pertumbuhan PDB, itu pun cuma 6%. Beginilah bila pem­bangunan lebih mengutamakan ‘daulat-pasar’-nya liberalisme dan kapitalisme, bukan mengutamakan ‘daulat-rakyat’.

Dengan pertumbuhan PDB sekedarnya itu kita sebaliknya banyak kehilangan kedaulatan nasional: kita tidak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, transportasi, kelautan, pertahanan (mesiu), tataguna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tidak berdaulat dalam legitasi nasional. Bambang Ismawan (15/10/14) sempat mencemaskan 60% penguasaan industri penting berada di tangan asing. Bagaimana keterjajahan ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya kita ajarkan di klas-klas ratusan fakultas ekonomi di Indonesia? Berapa banyak lagi kedaulatan nasional akan terenggut oleh keterjajahan akademis ini?

***

Keterjajahan baru ini seharusnya menumbuhkan perlawanan, bukan kepasrahan, selama nasionalisme masih di kandung badan. Seharusnya kita tidak perlu cemas sebagaimana dicemaskan Wakil Bupati Sleman (17/10/14): “…jangan heran orang-orang Singapura nanti berjualan buah di Sleman… jangan kaget orang-orang Malaysia berjualan di pasar tradisional kita…”. Kita harus selekasnya mengoreksi kelengahan-budaya ini dengan mengakhiri servilisme diri.

Kita tidak anti asing, tetapi kita tidak boleh membiarkan dan harus menolak ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi bukan ajang penyerahan kedaulatan. Masyarakat Ekonomi ASEAN harus tetap merupakan forum kerjasama, bukan forum persaingan apalagi pengangkangan dan ajang peram­pokan predatorik aset dan kepentingan nasional kita.

***

Seharusnyalah kita mampu mewujudkan “pembangunan Indo­ne­sia”, bukan sekedar “pembangunan di Indo­nesia”. Kita sendiri harus mampu menjadi aktor-aktor proaktif pembangunan nasional, bukan sekedar menjadi penonton.

Para pemimpin kita tidak seharusnya tiba-tiba saja kagum kepada investor asing seolah-olah investor asing adalah Deus ex machina – Dewa penolong, lalu lupa tanggungjawabnya untuk mandiri dan menye­lamatkan penderitaan rakyat.

Kita mengibar-ngibarkan bendera ekstravagansa Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangungan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang asal-usulnya karya-rekaan manca­negara, yang bukan karya anak-negeri melalui BAPPENAS, di situlah Indonesia “menari atas kendang orang lain”. Di MP3EI ada puncak pimpinan (Presiden, Wapres serta Ketua Harian) ada pula Badan Koordinasi, ada Komite (KP3EI yang didirikan 20/5/11), dan ada keanggotaannya yang berisi hampir seluruh anggota Kabinet, ada Badan Pelaksana, ada Tim Kerja Wilayah dst.

Namun hingga sekarang kita belum menyaksikan hasil menakjubkan MP3EI, kecuali perkembangan infrastruktur secara rutin-rutin saja selama 2011-2014. Barangkali ini justru merupakan berkah karena MP3EI menawarkan kegiatan dan sarana pembangunan nasional teramat strategis kepada investor-investor asing, yang malahan bisa menja­dikan kita tergantung atau tergadai dalam sistem pengelolaan asing. Amat terasa, berkat ke-inlander-an kita, para investor asing diposisikan sebagai Dewa Penolong bagi Indonesia.

Kita beruntung bahwa pemerintahan Jokowi-JK telah bersumpah setia pada Doktrin Trisakti, sehingga MP3EI gaya baru yang apapun tidak membuat Indonesia menjadi ajang bancaan dan jarahan asing, kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Tidak boleh lagi ada menteri yang hanya bisa manufacturing hope, tetapi harus bisa manufacturing miracles.

***

Nasionalisme dan rasa berkedaulatan harus menjadi panduan bagi birokrasi Indonesia menghadapi globalisasi. Dalam pertemuan KTT APEC di pinggiran Beijing baru-baru ini, suasana batin Asia Pacific Economic Cooperation tercemari dengan semangat economic competition, di mana seorang Kepala Negara sempat tergelincir lidah, melenceng dari mindset kerjasama, menggunakan istilah “bersaing”, mengucapkan perkataan “fair competition” dalam APEC yang sebenarnya adalah forum kerjasama.

Berdasar titik-tolak di atas, maka globalisasi harus kita hadapi melalui pendekatan beraliansi dalam scheme kerjasama pula, baik substansi maupun mekanismenya. Kita harus proaktif ikut berperan dalam the United Nations (PBB), WTO, APEC dan ASEAN-Economic Community, dst dst, yang pada hakikatnya masing-masing merupakan “forum kerjasama” – bukan “forum bersaing”, semua paket kerjasama harus disetujui in good faith oleh semua pihak yang bekerjasama.

Prinsip kerjasama harus saling meng­amankan konstitusi, kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing negara. Dalam kerjasama ekonomi internasional proteksi dan subsidi tidak perlu diha­ramkan, keduanya harus tetap meru­pakan pilihan sebagai sti­mulus dan motivasi melaksanakan pem­bangunan nasional kita.

Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat kebersamaan. Sebaliknya kerjasama global harus lebih ditonjolkan demi meredam persaingan yang saling merugikan. Kerjasama bukanlah suatu konspirasi. Kerjasama adalah upaya bersama untuk saling dukung-men­dukung bergotong-royong demi men­cari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak lain yang lebih lemah dan lengah.

Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab global.

Guru Besar UI

Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa


INDONESIA 2015-2045: Renungan untuk Pembangunan Strategi Kebudayaan

$
0
0

 (Bahan untuk Temu Akbar II Mufakat Budaya Indonesia, Hotel Mercure, Jakarta, 28-30 November 2014)

by Azyumardi Azra, CBE*

 Abstract

Indonesia in under President Joko Widodo and Vice President M. Jusuf Kalla faces not only economic challenge, but also political, social, cultural and religious challenges.  In these last contexts, Indonesia has been very fortunate to be a Unitary Republic (NKRI) with the National Constitution of 1945, Pancasila, and Bhinneka Tunggal Ika—the last two are the constitutional basis of a multicultural Indonesia. These basic principles, however, need to be revitalized in order for Indonesia to be able to progress and, more importantly, remain integrated towards 2045, when the nation-state will celebrate its centeninal.

 —-

          Membayangkan Indonesia sepanjang 2015-2045 di bawah kepemimpinan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, satu abad/milenium Indonesia pada 2045, yang merupakan masa yang tidak terlalu jauh dan juga tak terlalu panjang, hampir bisa dipastikan mengandung lebih banyak kontinuitas. Pada saat yang sama, berbagai bentuk perubahan juga berlangsung, meski boleh jadi tidak terlalu bersifat transformatif revolusioner.

Perkembangan Indonesia pada tahun-tahun 2015-2045 masih sangat dipengaruhi dinamika dalam kehidupan politik dan ekonomi. Komposisi kekuatan politik baik pada lembaga legislatif (DPR RI) dan eksekutif (Presiden) akan banyak mempengaruhi dinamika politik. Begitu pula corak kepemimpinan nasional yang telah dihasilkan Pilpres 2014, 2019. 2024 dan seterusnya menjadi faktor sangat menentukan bukan hany perjalanan politik Indonesia, tapi juga ekonomi, sosial dan budaya menuju 2045.

Dinamika politik jelas pula sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi sepanjang 2015-2045. Indonesia dapat memiliki postur ke dalam dan keluar lebih kuat, jika kegaduhan politik dan saling sandera di antara berbagai kekuatan politik sepanjang periode 2014-2019 berkurang sehingga memungkinkan konsentrasi lebih besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu, pemerintahan Jokowi-JK dengan gabungan kekuatan politik pendukung yang relatif lebih sedikit dibandingkan koalisi Prabowo-Hatta yang dikalahkannya pada Pilpres 2014 memerlukan upaya keras untuk dapat menarik sebagian kekuatan politik ‘Koalisi Merah Putih’ ke pangkuannya.

Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang meningkat saja tidak cukup, bahkan dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun—sedikitnya stagnan. Karena itu perlu akselerasi prasyarat yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, khususnya dengan pengembangan infra-struktur semacam jalan raya, ‘tol laut’, penambahan atau pengembangan kapasitas listrik, pelabuhan, bandara dan seterusnya.

Selain itu pertumbuhan ekonomi mesti disertai peningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat—khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan yang cenderung terus meningkat jumlahnya. Jelas, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pemerataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan, dapat meningkatkan gejolak ketidakpuasan masyarakat kelas bawah, khususnya buruh dan petani. Kejengkelan sosial (social resentment) yang tidak terkendali hampir bisa dipastikan dapat menimbulkan peningkatan kekerasan dan bahkan mungkin juga ‘revolusi sosial’ (social revolution) di tempat dan daerah tertentu yang termasuk kategori rawan.

Dalam keadaan seperti itu, kehidupan sosial budaya dapat terus mengalami disorientasi lebih luas. Proses globalisasi yang terus meningkat sejak awal Milenium 2000 tidak dapat dihentikan dan sangat sulit ditangkal. Sementara itu, ketahanan sosial-budaya nasional (socio-cultural resilience) hampir tidak dilakukan secara sistematis—karena tidak adanya strategi kebudayaan yang jelas—sehingga menimbulkan banyak ironi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya saja, kian banyak masyarakat Indonesia yang terlihat semakin dekat kepada agama dan melakukan banyak ritual keagamaan, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk tindakan koruptif dan maksiat tetap merajalela. Terlihat jelas pula, budaya kewargaan (civic culture) dan ‘keadaban publik’ (public civility) terus merosot.

Pancasila: Tantangan Ideologi Trans-Nasional

Masa 2015-2045 tetap mengundang keprihatinan dalam hal penguatan semangat kebangsaan dan kesatuan. Jika friksi politik terus terjadi sejak masa reformasi dan kini terus meningkat dalam masa pasca-Pilpres 2014, tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan adanya upaya sistimatis untuk memperkuat kembali faktor-faktor pemersatu (integrating forces) yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa-bernegara, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Khusus tentang dasar negara Indonesia, dalam berbagai forum diskusi dan seminar, sebagai narasumber saya berulangkali mendapat pertanyaan dari audiens tentang relevansi Pancasila dalam menghadapi berbagai tantangan ideologis lain, khususnya yang bersifat trans-nasional yang masih terus dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, katakanlah untuk periode 2015-2045.

Pertanyaan tersebut muncul jelas karena adanya keprihatinan melihat berbagai realitas, kondisi dan tantangan sosial, budaya dan politik yang dihadapi negara-bangsa Indonesia—baik secara internal maupun eksternal—yang kelihatan seolah-olah membuat tidak lagi relevan dan kondusif untuk berbicara mengenai Pancasila. Apalagi kalau kita terus berkeinginan agar Pancasila tetap menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi bagi Indonesia hari ini dan 100 tahun ke depan dan beyond.

Pada saat yang sama, dalam iklim kebebasan dan demokrasi masa pasca-Soeharto, orang atau kelompok manapun masih saja dengan bebas mengembangkan berbagai corak dan ekspresi sosial, budaya dan politiknya yang sering tidak sesuai dengan keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Seperti disinggung di atas, banyak kalangan warga dan masyarakat Indonesia mengalami disorientasi sosial, budaya, politik, dan bahkan keagamaan. Serbuan pandangan dan gaya hidup dalam aspek-aspek kehidupan tersebut mengalami globalisasi sehingga mengakibatkan kian tergerusnya banyak nilai positif dalam sistem dan tradisi sosial, budaya dan politik yang telah indigenous di Indonesia.

Pada saat yang sama dan terus melintasi masa lima tahun ke depan dan selanjutnya, ideologi-ideologi trans-nasional radikal yang tidak sesuai dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan Indonesia tetap berusaha keras merekrut warganegara dengan menggunakan berbagai retorik yang seolah-olah membenarkan argumen dan logika mereka. Pemerintah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak melakukan apa-apa atau bahkan sering seolah tidak berdaya apa-apa untuk mengkonter ideologi dan penyebaran berbagai bentuk ideologi dan gerakan transnasionalisme tersebut.

Ideologi dan gerakan trans-nasional yang menantang dan ingin mengganti dasar negara Pancasila tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam berbagai bentuk. Pertama, paham dan gerakan transnasional radikal, yang bergerak di bawah tanah, yang bahkan melakukan tindakan kekerasan dan terorisme, seperti al-Jama’ah al-Islamiyyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang kemudian terpecah—memunculkan Jamaah Ansharut Tauhid )JAT). Ketika kelompok yang dalam dan satu hal sering disebut terkait dengan al-Qa’idah, yang   bertujuan membentuk semacam ‘Kekhalifahan Nusantara’ di Asia Tenggara.  Belakangan ini juga muncul gerakan ISIS/IS dari wilayatimur Syria dan barat-utara Iraq yang juga mendeklarasikan diri sebagai ‘khilafah’ atau ‘dawlah Islamiyah’. Gerakan radikal dan brutal IS ini ternyata berhasil mendapat dukungan dari segelintir kalangan Muslim internasional, termasuk dari Indonesia.

Kedua, ideologi dan gerakan trans-nasional yang bergerak bebas secara terbuka, seperti Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang bertujuan untuk membangun ‘Kekhalifahan Internasional’ dan menegakkan syari’ah. Meski di banyak negara Timur Tengah dan Asia Tengah HT telah menjadi organisasi terlarang, di Indonesia HTI dapat memanfaatkan keterbukaan dan kebebasan demokrasi. Meski tidak berhasil mendapat dukungan signifikan dari kaum Muslimin Indonesia arus utama, HTI tetap aktif mengkampanyekan ‘syari’ah’ dan ‘khilafah’nya dalam ranah publik Indonesia.

Ketiga, paham dan gerakan trans-nasional yang lebih bersifat keagamaan dan cenderung non-politis seperti Jama’ah Tabligh, dan Ahmadiyah (keduanya asal India). Kedua kelompok ini lebih banyak mengkonsentrasikan kegiatan dalam kegiatan dakwah terhadap kaum Muslim lain atau internal di antara para jamaahnya sendiri. Mereka bergerak di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, melakukan kegiatan door-to-door mengajak kaum Muslimin Indonesia arus utama mengikuti mereka.

Tanpa perlu diskusi panjang lebar jelas paham dan gerakan trans-nasional menjadi tantangan bukan hanya terhadap realitas keagamaan (Islam) moderat Indonesia yang memiliki komitmen penuh pada  UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila selain menjadi dasar negara, juga memiliki makna simbolik sangat signifikan.

Indonesia beruntung memiliki kaum Muslimin wasatiyah, jalan tengah’ yang tergabung dalam ormas-ormas Islam arus utama sejak dari NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nahdlatul Wathan sampai al-Khairat yang telah memiliki komitmen final pada keempat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia. Mereka berulang kali menegaskan misalnya bahwa Pancasila adalah bentuk final perjuangan kaum Muslimin Indonesia.

Dalam konteks itu, Pancasila merupakan salah satu simbol terpenting yang muncul dari perjalanan bangsa mewujudkan negara  Indonesia yang bersatu berkat wawasan nasional dan kebudayaan yang kokoh. Dengan begitu dapat membuka jalan menuju kehidupan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera; dan lebih berbudaya (civilized), berharkat dan bermartabat dalam kancah internasional.

Simbolisme jelas sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan di masa depan. Sayang berbagai simbolisme penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, khususnya Pancasila—karena berbagai faktor—mengalami kemerosotan, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir, ketika Indonesia dalam penerimaan demokrasi yang lebih genuine dan otentik muncul berbagai ekses dan unintended consequencies.

Pancasila beserta ketiga prinsip dasar (yang sering juga disebut sebagai ‘pilar’) merupakan salah faktor pemersatu (integrating force)  terpenting dalam kebangkitan negara-bangsa Indonesia sejak masa pasca-kolonialisme dan kemerdekaan. Pancasila memungkinkan berdiri dan bertahannya negara-bangsa Indonesia yang bersatu, yang tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.

Pancasila dalam pandangan saya merupakan sebuah blessing bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam berbagai segi dan aspek kehidupan. Meski Pancasila sekarang masih tetap jarang menjadi wacana publik, karena adanya semacam ‘trauma’ akibat penggunaan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan status quo politik pada masa Orde Baru, tetapi Pancasila telah membuktikan dirinya sebagai dasar negara dan kerangka ideologi yang feasible dan viable bagi negara-bangsa hari ini dan ke depan, bukan hanya dalam periode kepemimpinan nasional 2014-2019, tetapi untuk masa yang jauh lebih lagi, melintasi 17 Agustus 2045, ketika Republik Indonesia genap berusia 100—satu abad alias satu milenium.

Kelahiran Pancasila sebagai dasar negara dan  common-platform dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia yang serba plural dan multi-kultural merupakan momentum dari tekad bersama bangsa Indonesia untuk tetap bersatu di tengah keragaman yang ada. Pancasila adalah kerangka dan dasar ideologis negara-bangsa Indonesia yang merupakan sebuah ‘deconfessional ideology’, ideologi yang tidak berbasiskan agama manapun. Tetapi, khususnya dengan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, Pancasila adalah sebuah ‘ideologi’ yang sesuai dan ‘bersahabat’ dengan agama. Sebagai ‘deconfessional ideology’, Pancasila adalah sebuah ‘blessing in disguise’—rahmat terselubung bagi umat beragama warganegara Indonesia.

Lebih jauh, dengan karakter Pancasila yang merupakan ‘religiously friendly ideology’ tidak ada alasan dan argumen yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lainnya, khususnya trans-nasionalisme keagamaan. Karena itulah setiap upaya mengganti Pancasila dengan ideologi-ideologi lain bersifat trans-nasional—khususnya berbasiskan agama—tidak pernah mendapat dukungan dari mayoritas umat beragama; dan karena itu bound to fail.

Rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila sepanjang 2015-2045 tetap merupakan kebutuhan sangat mendesak, bukan hanya karena merosotnya faktor-faktor pemersatu lainnya (seperti negara, kesadaran historis pengalaman bersama, nasionalisme, dan sebagainya) tetapi juga—sebagaimana dikemukakan terdahulu—karena meningkatnya usaha dan penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional untuk mengganti NKRI dengan ideologi Islam dan sistem/entitas politik khilafah internasional atau khilafah regional. Lagi-lagi  negara dan pemerintah sebelumnya tidak kelihatan tidak memiliki kemauan politik dan sekaligus cara tertentu untuk mencegah penyebaran ideologi dan gerakan trans-nasional semacam itu.

Selain itu, kita juga melihat meningkatnya gejala intoleransi terhadap perbedaan dan keragaman pandangan, khususnya dalam bidang keagamaan; gejala ini bahkan bahkan tidak jarang terwujud dalam berbagai bentuk radikalisme. Tawaran-tawaran instan yang ditawarkan ideologi dan gerakan  trans-nasional bukan tidak mungkin mendapatkan kian banyak pendukung, ketika demokrasi multi-partai yang diterapkan sejak 1999 belum juga berhasil mendatangkan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, sangat esensial merevitalisasi Pancasila dan sekaligus menjadikan demokrasi sebagai ‘the only game in town’ dengan lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Memandang realitas tersebut, rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan yang dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana umum (public discourse), sehingga menguakkan kembali kesadaran publik tentang Pancasila dan posisinya yang begitu krusial dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Kedua, Pancasila seyogyanya dijadikan sebagai ideologi terbuka (open ideology) yang memungkinkannya untuk senantiasa ‘diperbaharui’ dan ‘dimaknai’ secara agar tetap kontekstual dan relevan menjawab berbagai tantangan yang terus berubah secara sangat cepat. Ketiga; melakukan reassesment atas pemaknaan Pancasila selama ini yang memungkinkan bagi kontekstualisasi Pancasila dalam meresponi dan menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Keempat; melakukan sosialisasi pemaknaan kontekstual Pancasila ke dalam berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan-pendekatan dan metode-metode baru yang berbeda dengan indoktrinasi dan regimentasi pada masa Orde Baru.

Menjadi Indonesia

Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai; dan bahkan boleh jadi tidak akan pernah selesai termasuk dalam kurun 2015-2045. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined communities—komunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia nampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal yang dasar dalam kehidupan kebangsaan.

Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, kelahiran Pancasila, imagined communities itu mengambil reka bentuk dasarnya dalam sebuah ‘negara-bangsa’ Indonesia merdeka dan berdaulat, perlu pengembangan imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke depan, dalam menginjak milenium kedua. Dengan begitu Indonesia tidak lagi sebagai ‘imagined communities’, tapi ‘actual communities’ yang terintegrasi secara solid, kokoh dan tangguh dalam kerangka NKRI dan Pancasila.

Dalam konteks itu, salah satu tantangan berat bangsa di hari kini dan ke depan melintasi 2014-2019 menuju 2045 adalah memperkuat kembali identitas bangsa atau identitas nasional, yang mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional 1908 dan terus menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan perumusan Pancasila yang kemudian mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan.

Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup: 1.Semangat kebangsaan (nasionalisme) Indonesia; 2.Negara-bangsa (nation-state) Indonesia; 3.Dasar negara Pancasila; 4.Bahasa nasional, bahasa Indonesia; 5.Lagu kebangsaan Indonesia Raya; 6.Semboyan negara, ‘Bhinneka Tunggal Ika’; 7.Bendera negara, sangsaka merah putih; 8.Konstitusi negara, UUD 1945; 9. Integrasi Wawasan Nusantara; 10.Tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral dari budaya nasional setelah melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai ‘mengindonesia’.

‘Mengindonesia’, menunjukkan proses yang pada dasarnya tidak pernah selesai sesuai dengan berbagai perkembangan dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Menjadi Indonesia, dengan demikian, jelas bukanlah sesuatu yang sudah selesai atau dibiarkan begitu saja (taken for granted). Sebaliknya, ‘mengindonesia’ mengisyaratkan proses mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai; sesuatu gambaran—atau bahkan impian—yang ingin diwujudkan secara bersama.

Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, ‘mengindonesia’ berarti proses-proses untuk menggapai dan mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil dan makmur; berharkat dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional. Proses-proses ‘mengindonesia’ ini mestilah dibangkitkan dan diakselerasikan kembali, sehingga ‘keindonesiaan’ dapat terus bertumbuh dan menguat.

Identitas nasional jelas tidak statis; proses ‘mengindonesia’ mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal. Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan, sejak dari ekonomi, politik sampai budaya, secara signifikan telah mengubah lanskap Indonesia. Akibatnya jelas, secara internal terjadi perubahan-perubahan yang tidak selalu menguntungkan penguatan identitas nasional.

Dalam dasawarsa terakhir, kita bisa menyaksikan terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik dan sosial-budaya baik pada tingkat nasional maupun lokal. Equilibrium belum juga tercapai dengan baik setelah Indonesia mengalami reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1999. Euforia politik dan demokrasi dengan berbagai eksesnya terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustrasi di kalangan masyarakat; rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam identitas nasional. Karena itu, pencapaian equilibrium dalam proses-proses politik demokrasi mestilah menjadi sebuah prioritas yang mendesak.

Hemat saya, ketika negara-bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat, atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi demi kepentingan nasional, maka suatu kekuatan sosial/politik dengan ideologis trans-nasional boleh jadi mengambilalih negara, dan menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas negara-bangsa Indonesia. Ini jelas merupakan ancaman serius bukan hanya bagi Pancasila, tetapi juga bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia; dan karena itu, berbagai langkah untuk revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila beserta ketiga prinsip dasar`negara-bangsa Indonesia mesti segera dilakukan, sebelum semuanya menjadi sangat sedikit dan amat terlambat (too litle too late).

Penutup

Indonesia yang sampai sekarang tetap bersatu bagi banyak orang di berbagai negara Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia tetap merupakan realitas yang sulit mereka pahami. Dari waktu ke waktu saya mendengar pernyataan kalangan terpelajar dari wilayah-wilayah tersebut tentang bagaimana mungkin sebuah negara yang terdiri dari begitu beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa dan agama bisa bersatu dalam sebuah negara-bangsa.

Karena itu, masih terdapat kalangan dalam dan luar negeri yang mencemaskan masa depan Indonesia. Apakah negara-bangsa Indonesia yang bersatu tetap masih ada pada 2045 nanti? Mereka yang skeptis membayangkan: ‘Jangan-jangan Indonesia hanya tinggal nama menjelang usianya satu milenium’.

Skeptisisme itu punya beberapa alasan. Tapi saya berpendapat, terdapat juga banyak alasan untuk optimis. Hemat saya, faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap bersatu tidak boleh diterima secara taken for granted; berbagai usaha harus tetap dilakukan agar Indonesia tetap utuh dan bersatu.

Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah di antara lautan, laut dan selat—menjadi benua atau negara maritim—memang sejak waktu yang lama sampai sekarang masih dianggap sebagai ‘keajaiban’ (miracle), misalnya oleh Edward Ellis Smith, Indonesia: The Inevitable Miracle (1973). Atau sebagai ‘tidak mungkin’ seperti terlihat dalam judul karya Elizabeth Pisani, Indonesia Etc.,: Exploring Improbable Nation (2014)—negara-bangsa yang tidak mungkin dibayangkan [bisa bersatu].

Indonesia yang beragam, bhinneka atau multikultural, dalam perspektif historis dan sosiologis Eropa sangat sulit dibayangkan bisa bertahan dalam waktu panjang. Pengalaman historis Eropa yang monokultural, tapi penuh perang intra-etnis Kaukasian (kulit putih), konflik intra-budaya dan intra-agama yang berdarah-darah abad demi abad. Tidak heran kalau Eropa terpecahbelah menjadi sangat banyak negara (kini 53 ditambah 6 wilayah protektorat). Perpecahan itu kini kelihatan belum berhenti. Ancaman separatisme untuk pembentukan negara baru terlihat di Flanders, berbahasa Flemish/Belanda dan Walloon yang berbahasa Prancis (keduanya di wilayah Belgia), Catalunya dan Basque (di kawasan Spanyol), Venesia dan Tyrol Selatan (di wilayah Italia), Pulau Korsika (termasuk Prancis)—untuk menyebut beberapa nama saja. Cukup banyak di antara negara Eropa yang telah lama eksis atau yang tengah berjuang memerdekakan diri berpenduduk hanya ratusan ribu orang.

Banyak kalangan Indonesia juga bisa merasa heran kenapa kawasan yang tidak begitu beragam, monokultural, cenderung mudah dan cepat terpecah belah. Padahal, masyarakat-masyarakat di wilayah tersebut secara historis dan sosiologis cenderung ‘seragam’ baik secara etnis atau ras, budaya dan agama.

Tetapi pengalaman historis, sosiologis dan keagaman itu, sering digunakan kalangan akademis dan pengamat Eropa untuk melihat Indonesia. Di antara mereka misalnya penulis Belanda, J.S. Furnivall dalam bukunya Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1939). Melihat Indonesia dari perspektif Eropa, Furnivall meramalkan skenario kehancuran (doomed scenario) bagi Kepulauan Indonesia. Menurut prediksi dia bekas wilayah Belanda (Nederland East Indies) ini menjadi berbagai kepingan ‘negara’ begitu Perang Dunia II usai karena tidak ada satu faktorpun yang bisa menyatukan seluruh suku bangsa dengan berbagai keragaman budaya dan agamanya.

Tapi Indonesia tetap bersatu, meski proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 disertai perang revolusi mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda kembali menguasai Indonesia. Negara-bangsa ini juga tetap bertahan ketika kalangan pengamat asing meramalkan Indonesia bakal mengalami ‘Balkanisasi’ berikutan krisis moneter, ekonomi dan politik 1997-1999. Mundurnya orang kuat Indonesia selama lebih tiga dasawarsa, Presiden Soeharto pada Mei 1998, memunculkan turbulensi politik sangat mencemaskan.

Indonesia tetap dalam kesatuan melewati masa sulit penuh turbulensi politik dan ekonomi itu sejak masa awal kemerdekaan, krisis ekonomi dan politik 1960-an dan terakhir 1997-1999. Kenapa bisa demikian? Penulis berargumen, ada sejumlah faktor historis, budaya, sosial dan keagamaan yang membuat Indonesia tetap bersatu dan utuh.

Dalam kaitan itu, penting mencatat pandangan Elizabeth Pisani, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia terlihat ‘kasual’ tapi menyenangkan, yang dengan ejaan lama terbaca: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya”. Djakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Kata ‘d.l.l’. (dan lain-lain) itu menurut Misha Glenny dalam harian The Guardian (24 Juli 2014) yang oleh Pisani dipakai sebagai anak judul bukunya, Indonesia Etc. sekali lagi merupakan cara kasual untuk menyatakan kemerdekaan sebuah negara bangsa. Kata ‘d.l.l.’ itu tidak jelas maksudnya; tidak tersirat sama sekali tentang negara-bangsa Indonesia yang dibayangkan. Juga tidak ada tentang identitas negara Indonesia; tapi banyak hal bisa tercakup di dalamnya

Kenapa Indonesia tetap bisa bersatu? Mereview buku Pisani, Joshua Kurlantzick dalam The New York Times (1 Agustus 2014) mencatat: ‘[Indonesia] has welded so much difference together through collectivism in villages and clans—collectivism that makes people more secure in their daily lives. Its citizens have generally fostered a level of cultural tolerance rare in such large nations’.  Kolektivisme dan toleransi budaya [dan juga agama], itulah di antara faktor terpenting membuat Indonesia tetap bersatu.

 

**AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010).

Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); dan Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA, 2010-12).

Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang).

Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-16).

Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); dan editor, Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012. Lebih 30 artikelnya berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.

Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban. Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat MIPI Award’ dari Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIP). Selanjutnya, pada 18 September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi  Fukuoka Prize 2014 Jepang atas jasa dan kontribusinya yang signifikan dalam peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya Asia.

Dia dapat dikontak melalui azyumardiazra1@gmail.com / azyumardiazra1@yahoo.com


Article 2

$
0
0
Analisis
12-12-2014
Pentingnya Menegakkan Kedaulatan Laut Dalam Kerangka Supremasi Maritim
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute
Lepas dari yang sedang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam memberantas pencurian ikan di laut, beberapa catatan kiranya perlu kami paparkan di sini. Dengan bentangan luas dari Sabang sampai Merauke, wilayah laut Indonesia memiliki potensi kerawanan dalam pencurian hasil laut dari berbagai negara, terutama negara-negara tetangga yang berbatasan langsung.

Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan territorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusid (ZEE), serta terdiri lebih dari 17.500 pulau, menyimpan kekayaan yang luar biasa.

Masalahnya adalah, dengan luas wilayah laut Indonesia yang begitu besar penjagaan keamanan laut dari para pencuri menjadi pekerjaan rumah yang masih belum selesai bagi pemerintah. Dengan laut yang maha luas itu, potensi ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 triliun dolar AS per tahun.

Menurut kajian Isran Noor, dalam bukunya Indonesia Negara Maritim Terbesar di Asia, kerugian akibat pencurian ikan timbul antara lain karena lemahnya pengawasan dan kongkalingkong aparat. Dengan merujuk dari berbagai sumber, terungkap bahwa rata-rata selama satu dekade terakhir negara mengalami kerugian sebesar Rp 30 triliun per tahun akibat pencurian oleh negara asing.

Artinya, jika harga satu kilogram ikan adalah dua dolar AS, maka ikan yang dicuri 166.000 ton per tahun. Belum lagi dengan semrawutnya tata kelola laut juga menyebabkan keengganan sejumlah pihak untuk memanfaatkan “jalur transportasi” dan sandar yang tentunya Indonesia mengalami lost opportunity pada jumlah yang tak kecil dibandingkan dengan kehilangan akibat pencurian.

Puncak dari masalah kelautan Indonesia adalah kehadiran militer asing, kapal selam maupun permukaan, yang tidak terkontrol dan merupakan ancaman serius bagi kedaulatan Republik Indonesia.

Maka solusinya tiada lain adalah menegakkan kedaulatan laut dan mengembangkan supremasi maritime. Langkah pertama yang bisa ditempuh adalah:

  1.  Memperbanyak jumlah kapal patrol laut, yang diperlengkapi dengan perangkat yang memungkinkan untuk memonitor semua aktivitas, mengejar kapal-kapal yang berlayar dan beroperasi secara illegal. Serta diperlengkapi pula dengan alat pertahanan dan pelumpuhan.
  2. Semua pemerintahan daerah hendaknya memfasilitasi penjagaan keamanan dan kedaulatan negara di perbatasan laut dengan negara asing dengan memperbanyak kapal-kapal patrol.
  3. Semua pemerintahan daerah segera memfasilitasi Latihan Gabungan(Latgab) TNI, yang meliputi wilayah ribuan hektar dengan kontur tanah dan laut yang mencerminkan suatu medan tempur yang sesungguhnya.
  4. Keberadaan Angkatan Laut, di masa depan perlu ditingkatkan kemampuan dan kekuatannya sehingga setara dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Konsepsi Supremasi Maritim Kita Masih Kabur  

Tentu saja, upaya menegakkan supremasi maritime di tanah air, bukan sekadar soal memperbanyak peralatan militer angkatan laut kita. Lebih dari pada itu, perlu kejelasan doktrin strategi yang ditetapkan oleh para penyusun dan pembuat kebijakan strategis pertahanan kita. Semboyan angkatan laut kita “Jalesveva Jayamahe”(Di Laut kita jaya), seharusnya menjadi acuan dan rujukan dalam pengembangan supremasi maritim. Sehingga melahirkan kejayaan maritim yang sesungguhnya.

Pada tataran ini, para penyusun dan pembuat kebijakan strategis pertahanan nasional sudah saatnya mempertimbangkan tren konflik global antara AS versus Cina yang semakin menguat di kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara, dan di Indonesia pada khususnya. Maka dari itu, dalam menyusun doktrin strategi maupun kebijakan maritime (Ocean Policy), harus sekaligus menjawab mengenai posisi dan peran Indonesia di kawasan Asia.

Indonesia memiliki semua persyaratan untuk menjadi negara besar di dunia. Baik karena cakupan wilayahnya yang sangat luas dan populasi penduduknya yang tinggi. Ditambah lagi letak strategis Indonesia, baik geopolitik maupun ekonomi yang dimiliki Indonesia, yang memungkinkan negara kita ini menjadi Golden Bridge(Jembatan Emas), tak hanya pelayaran antar benua, ekonomi, maupun politik. Melainkan sebagai jembatan peradaban dari Timur, Islam, dan Barat.

Tentu saja juga karena kepemilikan kita terhadap potensi sumberdaya alam yang kaya, energi, termasuk energi surya yang terbesar di seluruh dunia. Tentu saja semua itu baru sebatas potensi. Namun semua hal itu membuat kita optimis bisa menjadi negara yang berpotensi tumbuh sebagai kekuatan global di masa depan.

Menyadari luasnya laut Indonesia maka sudah saatnya Indonesia sekarang mencanangkan adanya pergeseran orientasi dari pengembangan matra darat ke matra laut, sehingga tercipta kembali superioritas Angkatan Laut Indonesia seperti di era pemerintahan Bung Karno.

Selain itu, isu pengamanan perairan laut Indonesia harus ditempatkan dalam kerangka untuk mengawal keamanan dan pertahanan Indonesia di matra laut, seraya untuk menjaga kekayaan ekonomi maritim kita yang begitu kaya dalam wilayah geografis Indonesia. Untuk itu, perlu pembangunan infrastruktur suprastruktur pertahanan dan keamanan maritim yang memadai. Jadi kata kunci di sini adalah, membangun kekuatan pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.

Sebagai konsekwensi dari hal tersebut, maka pemberdayaan Angkatan Laut RI mutlak perlu. Sejumlah armada kapan dengan sistem persenjataan yang lengkap, berikut sejumlah skuadron pesawat tempur yang harus menaungi udara Indonesia, amatlah penting dan harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan visi kemaritiman Presiden Jokowi.

Terkait dengan hal tersebut, gagasan yang ditulis oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor, menarik untuk kita simak sebagai sebuah rujukan awal. Dalam bukunya, Indonesia Negara Maritim Terbesar di Asia, Isran Noor menulis bahwa Indonesia sudah saatnya mengembangkan sebuah doktrin kedaulatan dan strategi kebijakan laut (Ocean Policy) untuk menunjukkan superioritasnya di Asia. Yang kemudian diikuti dengan upaya memodernisasikan peralatan militernya pada skala yang sejajar dengan negara-negara di Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, India dan Iran.

Maka itu, Isran Noor menekankan pentingnya kita memiliki doktrin maritim yang superior, dengan menegakkan apa yang beliau istilahkan Pearl Chain of the Archipelago (Rantai Mutiara Nusantara), sebagaimana dilambangkan “rantai emasdi dada” Garuda, yang menggambarkan kekokohan, kemanusiaan, dan persatuan.

Dengan kata lain, kenyataan bahwa Indonesia punya banyak pulau, maka harus dihubungkan secara sistemik dengan pertahanan dan keamanan yang kokoh, yang menjamin kedaulatan dan kehidupan seluruh rakyat Indonesia, dari rongrongan dan gangguan keamanan pihak musuh, baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk mendukung doktrin maritim tersebut, kita membutuhkan armada laut, udara, dan juga darat yang representative dengan sistem persenjataan modern.

Terkait dengan gagasan strategis tersebut, dibutuhkan sebuah kerangka berpikir baru dalam pengembangan industri strategis pertahanan di bidang maritim. Itulah pentingnya kita punya doktrin maritim. Karena melalui doktrin maritim itulah, Angkatan Laut kita akan mampu membangun master plan organisasi kemiliteran kita di matra laut.

Begitulah. Membangun visi besar kemaritiman, sehingga memungkinkan Indonesia memiliki supremasi di kawasan Asia. Visi besar ini harus menjadi acuan pemerintahan Jokowi-JK dalam membangun kebijakan kelautan strategis, yang memberikan arah pergerakan dan pembangunan militer yang kuat. Khususnya di matra laut.

Maka itu, saatnya semua komponen strategis bangsa yang punya perhatian besar terhadap gagasan menengakkan superemasi maritim di Indonesia, untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan apa yang dihadapi, seberapa besar keterbatasan anggaran yang tersedia, luasnya lautan dan pulau-pulau yang harus dijaga kedaulatan dan keamanannya, potensi konflik perbatasan yang bisa terjadi sewaktu-waktu, potensi-potensi personil yang dimiliki angkatan laut kita, ketersediaan sumberdaya manusia, serta infrastruktur militer yang tersedia.

Sumber:

http://theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16786&type=4#.VI6SXDGG9Jd

 



Tol Laut Ditunda?

$
0
0
15-12-2014
Tol Laut Ditunda? (3/Habis)
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
 http://theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16801&type=4#.VJD8qSuG9Jf
Teori geopolitik Alfred T Mahan (1840–1914) tentang “Kekuatan Maritim” mengajarkan, bahwa sea power (kekuatan laut) tidak hanya berimplikasi militer, namun juga memiliki tujuan (geo) ekonomi serta aspek-aspek lain. Berbasis praktek-praktek empiris, terdapat tiga elemen pokok pada “kekuatan laut”,antara lain yaitu: (1) kontrol lalu lintas komersil dan perdagangan internasional; (2) kemampuan operasi tempur Angkatan Laut (AL) dan penggunaan instrumen AL dalam aspek diplomasi; dan ke (3) sebagai penggetar (deterens) dan pengaruh politik di masa damai. Pertanyaan menariknya, “Adakah geliat militer kita terutama TNI-AL menampakkan ketiga hal di atas, atau tidak sama sekali?”

Hal tersebut —konsep sea power— dianggap berbeda dengan land power (kekuatan darat) ataupun air power (kekuatan udara) yang katanya hanya berorientasi militer belaka. Sea power memang tidak terpisah dengan kepentingan (geo) ekonomi sebuah negara bangsa. Meski penulis sebenarnya kurang setuju bila land power danair power dinilai hanya berorientasi militer semata, karena pada saat-saat dan momentum tertentu keduanya juga berimplikasi terhadap (geo) ekonomi dalam arti luas. Tak boleh tidak. Ketiganya, baik itu kekuatan laut, darat maupun udara hanya sekedar matra atau ‘pintu” daripada sebuah tujuan dan kerapkali bersinergi pada situasi tertentu, artinya ia tidak boleh mengunggulkan salah satu matra saja, sementara lainnya diabaikan. Mutlak harus timbul atau ada harmonisasi secara simultan dengan intensitas berbeda setelah melalui audit lingkungan yang selalu berubah.Dalam perspektif (perilaku) geopolitik, semuanya memang tergantung dari ruang(space), waktu (time), perjuangan (struggle) dan kondisi sasaran (the people). Tetapi silahkan tunda dulu diskusi soal hal tersebut, kita lanjut tentang sea power. Dan pada akhirnya, doktrin Mahan hingga kini masih dinilai keramat oleh AL Amerika, “Barang siapa menguasai Lautan Hindia, maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”.

Cina pun tampaknya demikian. Entah meniru pola atau ‘mencuri’ ajaran Mahan, terlihat ia lebih membesarkan kekuatan laut daripada kekuatan matra-matra lainnya. Saat ini saja, The People’s Liberation Army Navy (PLAN) —-sebutan AL Cina— relatif dapat diandalkan. Penelusuran Tim Riset GFI, Jakarta, bahwa PLAN punya 250.000 tentara terdiri atas 35.000 orang pada Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai), sedang infantry mariner berjumlah 56.000 personel. Belum lagi 56.000 personel Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut), dan lain-lain. Bukan itu saja. Kepemilikan kapal selam oleh PLAN pun cukup fantastis. Ia telah memiliki 100  unit kapal selam dimana sebelumnya hanya 35 unit. Sedang kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100 buah. Luar biasa. Pengembangkan postur angkatan laut Cina memang tidak main-main.

Sekitar dekade 2008-an lalu, anggaran pertahanan sebesar 60 miliar USD dan diprakirakan banyak pihak, bahwa enam – tujuh tahun ke depan akan meningkat dua kali lipat. Sehingga era 2015-an mendatang, Cina diyakini memiliki anggaran militer sekitar 120 miliar USD atau bahkan lebih. Sudah barang tentu, fakta-fakta ini mencemaskan Barat terutama Amerika (AS) dan sekutu, apalagi kelompok negara dan beberapa anasir pemain global yang mempercayai ramalan The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”-nya Samuel P Huntington, bahwa akan meletus perang terbuka AS versus Cina dan melibatkan polarisasi baru antara AS + Uni Eropa melawan Cina + Kelompok Negara Islam.

Ketika perayaan ulang tahun PLAN ke-60 yang lalu, ia sengaja pamer kekuatan(show fo force) kepada publik global atas kekuatan AL-nya. Cina mengeluarkan berbagai jenis kapal, seperti kapal selam misalnya, atau kapal penghancur, frigate, dll termasuk kapal yang memiliki fasilitas rumah sakit. Hal ini merupakan bukti bahwa transformasi sea power di Cina berjalan gemilang. Bahkan Negeri Tirai Bambu sudah mulai menitikberatkan modernisasi angkatan lautnya di bidang teknologi dan informasi.

Tak boleh dipungkiri, bahwa pengembangan dan pembesaran PLAN kemungkinan besar dilatar-belakangi selain kian memanasnya suhu politik di Laut Cina antara Paman Mao sendiri melawan beberapa negara di sekitar perairannya dengan tajuk ‘sengketa perbatasan’ — akan tetapi yang utama ialah penguatan “String of Pearls”. Inilah strategi handal Cina di perairan dalam rangka mengamankan energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi) termasuk mengawal hilir mudik ekspor-impornya di berbagai negara melalui perairan (Lihat gambar String of Pearls).

Retorika menggelitik muncul, “Sudahkah geostrategi Indonesia mengantisipasi trendpolitik global di perairan tersebut?” Ya. Retorika ini mugkin cuma CERMIN BERSAMA agar kita jangan gaduh (sendiri) di tataran hilir, sementara persoalan POKOK bangsa justru diabaikan. Lihatlah, panggung politik terlihat glamour namun tak punya makna apa-apa bagi Kepentingan Nasional RI. Para elit masih sibuk serta gaduh pada tataran hilir belaka. Atau kegaduhan itu cuma penyesatan bagi rakyat karena adahidden agenda lain yang ingin diloloskan?

Hentikan segera “skenario-skenario tandingan”! Stop pagelaran-pagelaran politik bertema “Gatot Koco Kembar”! Rakyat butuh keamanan, kenyamanan, dan kepastian-kepastian. Atau jangan-jangan, kita —tanpa sadar—- telah “hanyut” dalam geostrategi asing yang sengaja dicipta untuk melemahkan republik ini dari sisi internal, sedang sebagian anak bangsa dan elit politik justru menari-nari mengikuti irama gendang yang ditabuh oleh asing?

Agaknya, pembangunan sistem pertahanan keamanan (sishankam) kita kurang berbasis ancaman nyata dan ancaman potensial yang selaras dengan kecenderungan dan perkembangan geopolitik global. Sishankam selama ini hanya bertumpu pada tugas pokok dengan penguatan matra tertentu. Kita gagal mengingat, bahwa sudah sekian dekade sebagian wilayah udara ‘direbut’ oleh Singapore —para elit adem ayem saja— atau illegal fishing kian semarak, penyelundupan dan pencurian pasir berlanjut secara masif dan sistematis, serta berbagai kejadian lain merobek martabat bangsa dan menggerus nilai-nilai kedaulatan negara. Pertanyaan lagi, “Sudahkah negeri ini memiliki sistem pengawasan terhadap ALKI pasca satelit palapa dijual; apakah kita punya pola pengamanan perairan, ataupun pertahanan lepas pantai, pemantauan selat, dll guna mengamankan ALKI?”

Jika merujuk keterpaduan antara sea power dan land power misalnya, seyogyanya harus bercokol batalyon-batalyon kavaleri ataupun arteleri di Bakauheni dan Merak guna mengawasi pintu masuk di ALKI I (Selat Sunda), demikian pula di Selat Lombok dan selat-selat lain yang terlintasi oleh ALKI. Mungkin perlu digagas pengawasan dan sistem pengamanan laut lain melalui pemanfaatan air power di setiap ALKI. Itulah sinergitas kematraan.

Poros Maritim Dunia (Tol Laut) sejatinya merupakan implementasi sea power dalam lingkup terbatas, ia akan menjadi program super dahsyat di kawasan Asia Pasifik bila bangsa ini telah meraih dan menggenggam dulu TRISAKTI-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat dalam berkebudayaan), atau paling minimal —bila ‘mendesak’ di bangun Tol Laut— terlebih dulu Indonesia harus memiliki pola pengamanan (dan pengawasan) yang handal, profesional, sinergi, dan canggih terhadap titik-titik strategis di wilayah perairan. Kenapa demikian, bahwa Tol Laut cenderung bahkan mungkin berpotensi menimbulkan ‘bencana geopolitik’ bagi negara ini jika pembangunan infrastruktur, sistem keamanan laut, dll diserahkan kepada asing sebagaimana usul Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Bila semua dilimpahkan ke asing, niscaya sistem dan mekanisme di pelabuhan-pelabuhan dalam kendali mereka. Kapal-kapal kita akan menjadi tamu di negeri sendiri. Kapan boleh merapat atau tidak, tergantung si pemegang sistem. Ketika Bu Susi hendak memberi kewenangan pemberantasanillegal fishing kepada Paman Sam, bukankah itu bermakna bahwa prosedur dan mekanisme pengamanan laut pun di bawah kontrol asing pula?

Lengkaplah sudah, jika pembangunan infrastruktur (dan otomatis sistemnya) diserahkan kepada asing termasuk proses penegakkan hukumnya, maka tinggal menunggu waktu kapan perairan NKRI yang kaya sumberdaya ini diakuisisi.

Sebagaimana isyarat di prolog tulisan ini, bahwa program dan kebijakan yang berdimensi strategis, namun tidak dibarengi pengetahuan tentang anatomi permasalahan, tanpa basis mendalam soal geopolitik, dan tidak ada kajian tentang mana kebutuhan (agenda) prioritas bangsa, justru kebijakan tadi malah menimbulkan masalah baru yang lebih besar dan kompleks. Pada akhirnya pemerintah justru menjadi bagian dari masalah, bukan bagian solusi bangsanya.

Perairan Indonesia yang telah memiliki PAGAR sesuai Deklarasi Djuanda 1957, UNCLOS 1982, UU 6/1996, dan PP 36/2002, dengan sendirinya akan tercabik-cabik dari sisi internal justru seizin “tuan rumah”-nya sendiri. Alangah ironis! Hal inilah yang diibaratkan oleh Dr Y Paonganan memberi akses ‘kamar pribadi’ di rumah dan pekarangan kepada maling, nanti istri kita pun akan dicuri.

Selanjutnya, manakala mencermati posisi silang Indonesia, kemudian menyatukan abstraksi posisi tadi dengan mapping pangkalan militer (milik AS) yang bercokol hampir di setiap ujung-ujung (geo) persilangan dan sekitarnya —- lalu dibarengi cermatan jeli atas perilaku geopolitik Barat yang cenderung ofensif, mungkin sudah bisa diterka kemana muara motivasi politik AS terhadap Indonesia. Masih ingatstatement Nixon? Penulis Amerika, Charlie Illingworth, menyatakan: “Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Sovyet atau China.” Pertanyaannya, bukankah perilaku (geopolitik) merupakan cermin dari motivasi yang ingin diraih? Sesungguhnya, kita telah dijadikan TARGET oleh Paman Sam sejak doeloe!

Perlu disimak bersama, bahwa inti gerakan Poros Maritim Dunia ialah melintang secara horizontal dari Timut ke Barat, dan sebaliknya — dimana hal tersebut senafas dengan usulan ALKI IV yang dahulu pernah digagas oleh Paman Sam dan Australia, namun ditolak Indonesia karena disinyalir akan mengacak-acak pagar perairan NKRI tercinta. Kenapa? ALKI I, II, dan III bersifat vertikal dari Selatan ke Utara atau sebaliknya, maka seandainya dulu disetujui ALKI IV minimal akan ada tigakey point (titik temu) dimana kapal-kapal asing yang seharusnya cuma melintas (dengan cepat) malah diberi peluang untuk melakukan meeting di ALKI atas namarendezvous (pertemuan di laut – bahasa Prancis), konsolidasi, dll dalam pekarangan (perairan) kita sendiri. Bukan itu saja. Secara filosofi, hakiki lintasan pada ALKI I – III itu bermula dari luar NKRI dan berakhir di luar NKRI — tanpa boleh berhenti sama sekali kecuali force majeure (darurat), sedangkan filosofi lintasan Tol Laut justru berawal dari dalam NKRI menuju/dan berakhir di dalam NKRI lagi. Istilahnya berputar-putar di lingkar dalam. Belum lagi akan banyak key point atau titik pertemuan justru di dalam perairan Indonesia. Inilah yang perlu disadari bersama, dan barangkali inilah penyebab kegelisahan Y Paonganan, pakar kelautan Indonesia.

Ya. Kajian ini memang belum dapat disebut kebenaran, dan tak ada secuilpun niatan membenarkan diri. Sama sekali tidak. Sangat terbuka untuk kritik dan saran demi kesempurnaan esensi catatan ini. Tak ada maksud dan tujuan apapun di benak penulis selain mimpi kejayaan bangsa dan negara menjadi nyata di Abad XXI ini. Kenapa demikian, betapa ramalan leluhur tidak pernah berhenti mengusik mimpiku di setiap malam, bahwa kejayaan Nusantara niscaya terulang setiap tujuh abad. Abad VII disebut Nusantara I masa Sriwijaya; Abad XIV dinamai Nusantara II zaman Majapahit; dan Abad XXI adalah Nusantara III — itulah era INDONESIA JAYA. Lalu, kapan?

Bangkitlah bangsaku!

Tulisan ini lanjutan dua artikel sebelumnya yang berjudul: 1) Membaca Poros Maritim Dunia dan Posisi Silang dari Perspektif Geopolitk, dan yang ke 2) Hakekat Geopolitik, Geostrategi dan Geoekonomi di website The Global Review.

Bahan bacaan:

—- Menuju Ketahanan Nasional bidang Pertahanan, Energi dan Pangan, The Global Review, The Journal of International Studies, Edisi VI, Nopember 2014. ————————————

—- ‘Sea Power’ dan Poros Maritim, Suryo Wibisono, OPINI, Kedaulatan Rakyat, 26 Nopember 2014.—–

—- Lemhanas: 50 Persen Perdagangan Dunia Lewat Perairan Indonesia,http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=13659——

—– Menjadi Poros Maritim Dunia, Mampukah Kita?http://news.detik.com/read/2014/11/12/174430/2746580/103/menjadi-poros-maritim-dunia-mampukah-kita?nd772204btr ——

String of Pearls, stragei handal Cina mengamankan pasokan energinya di perairan

String of Pearls, stragei handal Cina mengamankan pasokan energinya di perairan

Pangkalan militer asing mengepung, lalu abstraksikan dengan (geo) posisi silang Indonesia

Pangkalan militer asing mengepung, lalu abstraksikan dengan (geo) posisi silang Indonesia


Peradaban Atlantis Nusantara

$
0
0
Kajian Mengenai Atlantis di Indonesia“Ada banyak versi tentang Atlantis, Edgar Cayce bilang bahwa Lemuria itu nama benuanya, dan Atlantis itu nama negaranya (diperkirakan eksis 24.000 – 10.000 SM.) Negara Atlantis itu terbagi dalam beberapa daerah atau pulau atau kalau sekarang istilahnya mungkin provinsi atau negara bagian. Daerah kekuasaan Atlantis terbentang dari sebelah barat Amerika sekarang sampai ke Indonesia. Atlantis menurut para ahli terkena bencana alam besar paling sedikit 3 kali sehingga menenggelamkan negara itu.peradaban atlantis nusantara

Jadi, kemungkinan besar Atlantis itu tenggelam tidak sekaligus, tetapi perlahan-lahan, dan terakhir yang meluluh lantakkan negara itu terjadi sekitar tahun 10.000 SM. Pada masa itu es di kutub mencair dan menenggelamkan negara itu. Terjadi banjir besar yang dahsyat, dan penduduk Atlantis pun mengungsi ke dataran-dataran yang lebih tinggi yang tidak tenggelam oleh bencana tersebut. Itulah sebabnya di beberapa kebudayaan mulai dari timur sampai barat, terdapat mitos-mitos yang sejenis dengan kisah perahu Nabi Nuh.
Kemungkinan besar karena memang mereka berasal dari satu kebudayaan dan tempat yang sama. Mereka mengungsi ke daerah yang sekarang kita kenal dengan Amerika, India, Eropa, Australia, Cina, dan Timur Tengah. Mereka membawa ilmu pengetahuan-teknologi dan kebudayaan Atlantis ke daerah yang baru.”

Atlantis itu tenggelam tidak sekaligus, tetapi perlahan-lahan
Di kalangan para Spiritualis, termasuk Madame Blavitszki — pendiri Teosofi — yang mengklaim bahwa ajarannya berasal dari seorang “bijak” berasal dari benua Lemuria di India, Atlantis ini lebih dikenal dengan nama benuanya, yaitu Lemuria. Di dalam kebudayaan Lemuria, spiritualitasnya didasari oleh sifat feminin, atau mereka lebih memuja para dewi sebagai simbol energi feminin, ketimbang memuja para dewa sebagai simbol energi maskulin.

Hal ini cocok dengan spiritulitas di Indonesia yang pada dasarnya memuja dewi atau energi feminin, seperti Dwi Sri dan Nyi Roro Kidul (di Jawa) atau Bunda Kanduang (di Sumatera Barat, Bunda Kanduang dianggap sebagai simbol dari nilai-nilai moral dan Ketuhanan). Bahkan di Aceh pada masa lalu yang dikenal sebagai Serambi Mekkah pernah dipimpin 4 kali oleh Sultana (raja perempuan) sebelum masuk pengaruh kebudayaan dari Arab Saudi yang sangat maskulin. Sebelum itu di kerajaan Kalingga, di daerah Jawa Barat sekarang, pernah dipimpin oleh Ratu Sima yang terkenal sangat bijak dan adil. Di dalam kebudayaan lain, kita sangat jarang mendengar bahwa penguasa tertinggi (baik spiritual atau politik adalah perempuan), kecuali di daerah yang sekarang disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah masa Atlantis (Lemuria) ada 5 ras yang berkuasa, yaitu: kulit kuning, merah, coklat, hitam, dan pucat. Pada masa itu kebudayaan yang menonjol adalah kulit merah, jadi kemungkinan besar kebudayaan Indian/Aztec/Maya juga berasal dari Atlantis. Tetapi, kemudian kebudayaan itu terkebelakang dan selanjutnya kebudayaan kulit hitam/coklat di India yang mulai menguasai dunia. Inilah kemungkinan besar jaman kejayaan yang kemudian dikenal menjadi Epos Ramayana (7000 tahun lalu) dan Epos Mahabarata (5000 tahun lalu). Tetapi, kemudian kebudayaan ini pun hancur setelah terjadi perang Baratayuda yang amat dahsyat itu, kemungkinan perang itu menggunakan teknologi laser dan nuklir (sisa radiasi nuklir di daerah yang diduga sebagai padang Kurusetra sampai saat ini masih bisa dideteksi cukup kuat).

Epos Ramayana (7000 tahun lalu) dan Epos Mahabarata (5000 tahun lalu)

Selanjutnya, kebudayaan itu mulai menyebar ke mesir, mesopotamia (timur tengah), cina, hingga ke masa sekarang. Kemungkinan besar setelah perang Baratayuda yang meluluhlantakkan peradaban di dunia waktu itu, ilmu pengetahuan dan teknologi (baik spiritual maupun material) tak lagi disebarkan secara luas, tetapi tersimpan hanya pada sebagian kecil kelompok esoteris yang ada di Mesir, India Selatan, Tibet, Cina, Indonesia (khususnya Jawa) dan Yahudi. Ilmu Rahasia ini sering disebut sebagai “Alkimia”, yaitu ilmu yang bisa mengubah tembaga menjadi emas (ini hanyalah simbol yang hendak mengungkapkan betapa berharganya ilmu ini, namun juga sangat berbahaya jika manusia tidak mengimbanginya dengan kebijakan spiritual)
Kelompok-kelompok Esoteris ini mulai menyadari bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tanpa mengembangkan kebajikan spiritual, akan sangat berbahaya bagi peradaban dunia. Itulah sebabnya kelompok-kelompok Esoteris ini memulai kerjanya dengan mengembangkan ilmu spiritual seperti tantra, yoga, dan meditasi (tentu saja dengan berbagai versi) untuk meningkatkan Kesadaran dan menumbuhkan Kasih dalam diri manusia. Ajaran-ajaran spiritual inilah yang kemudian menjadi dasar dari berbagai agama di dunia. Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi disimpan dahulu dan hanya diajarkan kepada orang-orang yang dianggap telah mampu mengembangkan Kesadaran dan Kasih dalam dirinya.
Tetapi, manusia memang mahluk paling ironik dari berbagai spesies yang ada di bumi. Berabad kemudian, ilmu spiritual ini justru berkembang menjadi agama formal yang bahkan menjadi kekuatan politik. Agama justru berkembang menjadi pusat konflik dan pertikaian di mana- mana. Sungguh ironik, ilmu yang tadinya dimaksudkan untuk mencegah konflik, justru menjadi pusat konflik selama berabad-abad. Tapi, itu bukan salah dari agama, tetapi para pengikut ajaran agama itulah yang tidak siap untuk memasuki inti agama: spiritualitas.
masa Aufklarung dan Renaissance, kelompok-kelompok Esoteris ini mulai bergerak lagi.
Pada masa abad pertengahan di Eropa, masa Aufklarung dan Renaissance, kelompok-kelompok Esoteris ini mulai bergerak lagi. Kali ini mereka mulai menggunakan media yang satunya lagi — ilmu pengetahuan dan teknologi — untuk mengantisipasi perkembangan agama yang sudah cenderung menjadi alat politis dan sumber konflik antar bangsa dan peradaban. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini disimpan mulai diajarkan secara lebih luas. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Leonardo Da Vinci, Dante Alegheri, Copernicus, Galio Galilae, Bruno, Leibniz, Honore de Balzac, Descartes, Charles Darwin bahkan sampai ke Albert Einstein T.S. Elliot, dan Carl Gustave Jung adalah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni modern yang berhubungan — kalau tidak bisa dikatakan dididik — oleh kelompok-kelompok Esoteris ini.
Tetapi, sejarah ironik kembali berkembang, kebudayaan dunia saat ini menjadi sangat materialistis. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya digunakan untuk “menyamankan” kehidupan sehari-hari manusia, sehingga manusia punya lebih banyak waktu untuk mengembangkan potensi spiritualitas di dalam dirinya, justru menjadi sumber pertikaian dan alat politik. Konflik terjadi di mana-mana. Ribuan senjata nuklir yang kekuatannya 1000 kali lebih kuat dari bom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945, kini ada di bumi, dan dalam hitungan detik siap meluluhlantakkan spesies di bumi.
Belum lagi eksploitasi secara membabi buta terhadap alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pemanasan global di mana-mana. Menurut para ahli, hutan di bumi saat ini dalam jangka seratus tahun telah berkurang secara drastis tinggal 15%. Ini punya dampak pada peningkatan efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global, diperkirakan kalau manusia tidak secara bijak bertindak mengatasi kerusakan lingkungan ini, maka 30 sampai 50 tahun lagi, sebagian besar kota-kota di dunia akan tenggelam, termasuk New York City, Tokyo, Rio De Jenero, dan Jakarta. Dan sejarah tenggelamnya negeri Atlantis akan terulang kembali.
Jaman ini adalah jaman penentuan bagi kebudayaan “Lemuria” atau “Atlantis” yang ada di bumi.
Jaman ini adalah jaman penentuan bagi kebudayaan “Lemuria” atau “Atlantis” yang ada di bumi. Pada saat ini dua akar konflik, yaitu “agama” dan “materialisme” telah bersekutu dan saling memanfaatkan satu sama lain serta menyebarkan konflik di muka bumi. Agama menjadi cenderung dogmatik, formalistik, fanatik, dan anti-human persis seperti perkembangan agama di Eropa dan timur tengah sebelum masa Aufklarung. Esensi agama, yaitu spiritualitas yang bertujuan untuk mengembangkan Kesadaran dan Kasih dalam diri manusia, malah dihujat sebagai ajaran sesat, bid’ah, syirik, dll. Agama justru bersekutu kembali dengan pusat-pusat kekuasaan politik, terbukti pada saat ini begitu banyak “partai-partai agama” yang berkuasa di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan pada paham materialisme juga sudah terlanjur menguasai dunia. Persekutuan antara kaum agama dan materialisme, atau “agama-materialistik” ini mulai menggejala di mana-mana, berwujud dalam bentuk-bentuk teror yang mengancam dunia.
Sudah saatnya, para spiritualis di “Lemuria” mulai bersatu kembali. Segala pertikaian remeh temeh tentang materialisme-spiritualistik atau spiritualisme-materialistik harus diselesaikan sekarang. Tugas yang sangat penting tengah menanti, bukan tugas prophetik, tetapi tugas yang benar-benar menyangkut keberlangsungan eksisteksi seluruh spesies di “Lemuria”, di bumi yang amat indah ini. Tugas ini tidak bisa dikerjakan oleh satu dua orang Buddha atau Nabi atau Wali atau Resi atau Avatar seperti pada masa lalu. Tetapi, seluruh “manusia-biasa” juga harus terlibat di dalam tugas ini.
Jika hipotesis Prof. Santos memang benar, bahwa Atlantis pada masa lalu itu berada di Indonesia, maka hal itu berarti kita yang tinggal di sini punya tugas (karma) yang penting. Ini bukan suatu kebetulan. Kita yang tinggal di Indonesia harus bangkit kembali, bangkit Kesadarannya, bangkit Kasihnya, bangkit Sains dan Teknologinya untuk mengubah jalannya sejarah Lemuria yang selama ini sudah salah arah. Kejayaan masa lalu bukan hanya untuk dikenang, atau dibanggakan, tetapi harus menjadi “energi-penggerak” kita untuk mengambil tanggung jawab dan tugas demi kejayaan Indonesia dan keberlanjutan peradaban Lemuria beserta seluruh spesies yang ada di bumi ini. Seperti kata Bapak Anand Krishna, dalam bukunya yang bertajuk Indonesia Jaya, “Masa depanmu jauh lebih indah dan jaya daripada masa lalumu, wahai putra-putri Indonesia!”
peradaban atlantis nusantara
Indonesia Bangkit! Lemuria Jaya!

Seri 1 Falsafah India

$
0
0

Perbincangan Pertama

LINTASAN SEJARAH

 Prof.Dr. Abdul Hadi WM

Sumber paling awal dari falsafah India ialah Veda.  Kitab  kuna ini  telah mulai disusun sekitar abad ahun 1500 SM dan rampung penulisannya sekitar tahun 600 SM.  Ditulis dalam bahasa Sanskerta,  Veda sebagai kitab suci orang Hindu dan sekaligus sumber renungan falsafah, berasal dari pemikiran maharesi dan resi-resi orang Arya yang bijak dan piawai. Mereka telah mendiami wilayah lembah Indus sejak lebih kurang tahun 3000 SM, atau mungkin lebih kemudian dari tarikh tersebut. Sebelum datangnya orang Arya, India telah lama didiami orang-orang Dravidia. Orang Arya berkulit terang kemudian berhasil mendesak orang Dravidia yang berkukit gelap, dan berhasil mempengaruhi pemikiran keagamaan dan tradisi intelektualnya..

Asal-usul orang Dravidia tidak diketahui dengan pasti, tetapi dari warisan peradaban dan kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka membuktikan bahwa orang-orang Dravidia itu satu rumpun dengan penduduk Sumeria, sebuah pusat peradaban kuna di Iraq. Aksara dan bahasa yang mereka gunakan menunjukkan pertautan dengan aksara dan bahasa yang digunakan orang-orang Sumeria sekitar tahun 6000 SM. Mula-mula-orang Darvidia mendiami wilayah Dekkhan sekitar tahun 6000 sebelum Masehi. Tetapi dalam abad-abad berikutnya mereka didesak ke selatan oleh orang Arya yang mendominasi India utara.

Sebelum datangnya orang Arya, orang Dravidia telah memiliki tingkat kehidupan eknomi dan peradaban yang tinggi. Bukti-buktinya dapat dilihat pada peninggalan kebudayaan yang dijumpai di bekas puing-puing bangunan bangunan kota kuna Mohenyo Daro dan Harappa di lembah Indus, sekarang

 Pakistan. Dua kota ini dibangun sekitar tahun 6000 tahun sebelum Masehi dan musnah ditelan banjir besar sekitar tahun 5000 SM.  Sisa-sisa kebudayaan dan peradaban kuno yang dijumpai dari puing-puing dua kota kuna itu ialah tatanan kota dan bangunan pelabuhan yang modern. Di bidang keagamaan, Mohenjo Daro dan Harappa mewariskan pemujaan ‘lingga’ yang merepresentasikan phallus dan merupakan lambang dari  energi yang melahirkan dinamika kehidupan. Pasangan lingga disebut ‘yoni’ atau alat vital wanita dan merupakan lambang dari bumi atau kesuburan. Pemujaan lingga dikaitkan dengan Syiwa, dewa tertinggi penganut mazab Syaiwa dalam agama Hindu.

Meskipun mereka didesak ke selatan oleh orang-orang Arya yang datang

lebih kemudian, namun dalam perkembangan selanjutnya  mereka tetap berkembang sebagai komponen utama penduduk India.  Pada abad ke-3 SM mereka mendirikan kemaharajaan Andhra yang membentang dari lembah Dekkhan hingga ke arah timur dan barat. Tidak lama kemudian, pada permulaan abad ke-2 SM mereka mendirikan kerajaan lain di India selatan, yaitu kerajaan Pandyan dengan  ibukotanya Kortai. Wilayah ini sekarang disebut Tamil Nadu.  Pada masa dua kerajaan ini kesusuastraan, musik, drama dan seni rupa berkembang pesat di kalangan orang-orang Dravidia. Tingkat kehidupan ekonomi mereka juga sangat tinggi. Pedagang-pedagang mereka berlayar ke Afrika dan kepulauan Nusantara untuk membeli barang-barang komoditi yang penting dalam perdagangan ketika itu.

            Nama India berasal dari kata-kata Sanskerta sindhu, yang artinya sungai deras. Nama itu berkaitan dengan kedatangan orang Arya mulai berduyun-duyun pindah ke India sekitar tahun 3000 SM. Kata-kata tersebut kemudian dikenakan oleh orang-orang Arya pada lembah yang dialiri oleh sungai deras di tempat mereka tinggal untuk pertama kalinya di India, yaitu Punjab, India Utara. Wlayah ini terkenal subur karena merupakan hulu lima sungai besar yang mengalir di India. Orang Persia, rumpun lain dari ras Arya, kemudian menyebut wilayah itu sebagai Hindustan, artinya negeri Hindu atau tanah tempat mengalirnya sungai yang deras dan subur. Orang Yunani menyebut Indos, dan dalam bahasa Latin disebut Indus. Berdasarkan hal ini orang-orang Eropa kemudian memberi nama India.

            Kitab Veda menyebut wilayah Hindustan sebagai Sapta-sindhavas, (Tujuh sungai deras). Daerah yang disebut Sapta-sindhavas ini sekarang dikenal sebagai Punjab yang artinya “lima sumber mata air, tempat mengalirnya lima sungai besar”. Kelima sungai ini ialah Gangga, Mahanadi, Godavari, Kistna dan Kaweri. Sungai lainnya yang mengalir di India ialah Jamuna. Orang Buddha menyebut Jambudvipa, karena asal-usl agama ini berada di daerah aliran sungai Jamuna.

Sekitar tahun 1500 SM kelompok-kelompok orang Arya yang tinggal di seluruh anak benua India semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan melampui orang-orang Dravidia yang telah lebih dahulu mendiami negeri itu. Kecuali itu mereka semakin mendominasi perkembangan kebudayaan dan peradaban di Asia Selatan. Mereka mempengaruhi hampir semua aspek dan lapangan kehidupan sosial, terutama kehidupan keagamaan dan pemikiran.

            Tidak banyak diketahui asal-usul nama Arya. Max Muller, seorang sarjana Jerman abad ke-19, menyatakan bahwa mereka merupakan bagian dari rumpun bangsa yang berasal dari Herat, Afghanistan sekarang, dan lazim disebut Ariana atau orang-orang Arya. Herat adalah tempat tidak jauh dari utara Hindu-kush. Nama kota itu berasal dari kata Arya juga. Kata-kata Arya sendiri berasal dari kata ar dalam bahasa Sanskerta, sama artinya dengan  kata Latin aro dan arvum, atau kata Inggeris arable (tanah yang baik untuk ditanami). Dengan begitu orang Arya berarti orang yang tinggal di negeri yang tanahnya subur. Teapi bagaimana pun sebutan ini diberikan kepada orang-orang yang berkembang cepat dari kehidupan mengembara (nomaden) menjadi masyarakat yang pandai bercocok tanam dan mengolah daerah pertanian. Tidak lama setelah menjadi masyarakat agraris feudal mereka pun menjelma menjadi masyarakat yang mampu mendirikan negara karena mengenal tradizsi baca tulis dengan baik.

            Cepatnya perkembangan orang Arya menjadi bangsa yang berkebudayaan dan berperadaban tinggi dapat dilihat dalam sejarahnya. Kitab Veda, yang merupakan sumber awal falsafah India, telah mulai ditulis sekitar tahun 1500 SM. Setelah itu mereka segera pula mampu membentuk masyarakat dengan tatanan yang mapan dan mendirikan kerajaan-kerajaan yang makmur dan tangguh sistem pemerintahannya. Pada abad ke-7 SM orang-orang Arya di Hindu-kush mendirikan kemaharajaan besar dengan munculnya Dinasti Saisunaga dan Nanda (642 – 320 SM). Pada masa inilah kitab Veda, Upanishad dan Brahmana rampung penulisannya dan dengan itu falsafah pun berkembang dengan suburnya. Raja-raja dari dua dinasti ini memerintah di Magadha dan dengan tampilnya dua kerajaan ini kaum Brahmana, yang sebelumnya merupakan penguasa tunggal kehidupan keagamaan orang-orang Arya mulai mendapat saingan dari kasta Ksatrya. Kasta ini tumbuh dari kalangan perajurit dan pahlawan-pahlawan di medan pertempuran.

Dinasti Saisunaga didirikan oleh Bimbisara. Ia membangun kembali kota Rajragrha menjadi kota yang megah dengan bangunan-bangunan yang menakjubkan dan menetapkan kota tersebut sebagai ikubota kerajaan Magadha. Penggantinya Ajasatru (Kunika) membindahkan ibukota kerejaan ke Pataliputra, sebuah kota baru yang dibangun lebih medah lagi dari Rajrgrha.  Pada masa pemerintahan Bimbisara dan Ajasatru inilah hidup dua tokoh besar keagamaan yaitu Mahavira, pengasas Jainisme, dan Siddharta Gautama dari Kapilavastu, pengasas Buddhisme.

            Telah dikemukakan bahwa pada masa pemerintahan dua raja inilah kitab Veda, Brahmana dan Upanishad telah rampung penyusunannya. Pada masa ini pulalah kitab-kitab sutra yang memuat ajaran etika, politik dan pemerintahan juga mulai ditulis. Kesusastraan berkembang pesat. Kisah-kisah binatang atau fable, yang biasa disebut jataka, banyak sekali dihasilkan pada masa ini. Suburnya penulisan jataka terjadi karena pesan-pesan moral keagamaan dapat disalurkan dan disampaikan secara menarik, sehingga tidak mengherankan jika penyebar-penyebar agama Hindu dan Buddha menggunakan jataka sebagai media dakwah mereka.

            Di antara kisah-kisah binatang terkenal ialah Pancatantera karangan Baidaba pada abad ke-2 SM. Kitab ini disadur ke dalam bahasa Pahlewi menjadi Sukaptati pada abad ke-5 M. Pada abad ke-8 M, Sukasaptati disadur kembali ke dalam bahasa Arab menjadi Khalilah wa Dimnah oleh Ibn al-Muqaffa`. Melalui sadurannya ke dalam bahasa Arab inilah kitab ini menjadi masyhur di seluruh dunia. Ditulis dalam bentuk cerita berbingkai, Pancatantera dan sadurannya itu memuat pemikiran tentang politik dan kemasyarakatan. Pada abad ke-13 M salah satu versi dari Pancatantera disadur ke dalam bahasa Jawa Kuno menjadi Cerita Tantri.

            Berkembangnya kesusastraan, falsafah dan seni ini menunjukkan bahwa orang-orang Arya telah membawa peradaban yang tinggi ke wilayah ini. Tingginya tingkat peradaban dan berkembang pesatnya kebudayaan pada zaman Dinasti Saisunaga ini dikemukakan pula dalam kitab Veda. Kitab Veda misalnya menceriterakan bahwa tehnik pengolahan logam seperti timah, perak, emas, tembaga, besi putih dan kuningan telah berkembang pesat ketika itu. Veda juga juga memberitahu bahwa orang-orang  India telah mampu membuat kain bermutu tinggi dari bahan kapas, linen, sutra dan wol. Tetapi sayang pada abad ke-6 M maharaja Darius dari Persia merebut sebagian wilayah lembah Indus, sehingga wilayah kekuasaan orang Arya di India menjadi berkurang. Pada abad ke-3 M raja Macedonia Alexandre Agung juga menyerbu dan menaklukkan India. Kebudayaan mengalami kemunduran untuk sementara waktu. Sejak itu pula Opunjab dan Sindi menjadi tapal batas resmi antara kerajaan-kerajaan India dan kemeharajaan Persia.

            India berhasil membebaskan diri dari kekuasaan Macedonia pada awal abad ke-12 M setelah hampir 100 tahun menduduki wilayah ini. Ketika itu di wilayah lain orang-orang Arya mendirikan kerajaan baru di bawah pemerintahan Dinasti Maurya (320 – 185 SM). Di ibukota kerajaan Maurya inilah traisi intelektual dan kebudayaan orang Arya dipelihara dan dikembangkan kembali. Salah seorang raja dari Dinasti Maurya yang terkenal ialah Asoka 272 – 232 SM). Ia mula-mula menganut mazab Brahmanisme, kemudian menjadi penganut Jainisme dan akhirnya memeluk agama agama Buddha. D bawah kekuasaannya itulah agama Buddha dan pemikirannya berkembang di India. Pada zamannya sastra dan kesenian berkembang pesat.

            Dinasti orang-orang Arya berikutnya yang terkenal ialah Dinasti Kusana (50 – 320 M). Tetapi kebudayaan Arya mengalami puncak kegemilangannya kembali pada zaman Dinasti Gupta (320 – 600 M), sejaman dengan pemerintahan Dinasti Sassan di Persia. Raja kedua dari dinasti ini, Vikramaditya alias Chandragupta II berhasil memperluas wilayah kerajaan orang-orang Arya. Ia menaklukkan Malwa dan Ujjain,, serta menyerbu Ayodya dan mengammbil alih  kota yang dianggap sebagai tempat lahirnya  Rama, tokoh utama epos Ramayana, yang dipercaya sebagai titisan dari Wisnu.

            Arti penting zaman Gupta bagi sejarah intelektual India ialah suburnya perkembangan sastra secular, puisi-puisi keagamaan dan penulisan sutra, yaitu tafsir dan penjelasan aliran-aliran falsafah yang disampaikan melalui uraian-uraian ringkas dalam bentuk aforisma. Aliran-aliran utama falsafah Hindu seperti Nyaya, Vaiseshika, Samkhya, Yoga, Uttara Mimamsa dan Vedanta, mendapat rumusan yang mantap karena suburnya penulisan sutra yang dilakukan oleh para filosof terkemuka pada zaman ini. Suburnya penulisan sutra ini menyebabkan aliran-aliran pemikiran menentang otoritas Veda dapat dikurangi pengaruhnya, khususnya Jainisme dan Buddhisme. Hingga masa yang kemudian Jainisme hanya memperoleh pengikut kecil di India, sedangkan Buddhisme pada akhirnya harus kehilangan pengaruh di India disebabkan kerasnya sikap raja-raja Dinasti Gupta yang fanatik terhadap agama Hindu. Mulai abad ke—3 M penyebar-penyebar agama Buddha lebih memusatkan perhatian mereka ke luar India dalam menyebarkan agamanya, sedangkan di India sendiri agama ini tidak begitu mendapatkan tempat disebabkan hegemoni Hinduisme.

            Persoalan penting yang dihadapi para pengkaji falsafah India, khususnya perkembangan falsafah Hindu, ialah bagaimana menjelaskan periode-periode perkembangannya. Sejarah falsafah Hindu berbeda dari sejarah falsafah Yunani atau Cina, yang babakan sejarahnya dapat dijelaskan lebih mudah disebabkan tersedianya sumber-sumber mengenai kronologi perkembangannya, termasuk riwayat hidup tokoh-tokohnya, secara rinci. Sarparelli Radhakrishnan (1957) mengatakan bahwa sukarnya membuat garis perkembangan sejarah falsafah India secara rinci disebabkan lamanya dan kompleksnya perkembangan falsafah India. Kecuali itu dapat dikatakan bahwa falsafah India tidak memiliki kronologi perkembangan yang jelas disebabkan banyaknya dokumen yang hilang, termasuk catatan tentang kehidupan tokoh-tokohnya. Namun demikian garis besar sejarah falsafah India dapat dituls sejauh berkenaan dengan munculnya sejumlah tokoh yang mengembangkan aliran falsafah yang berbeda-beda. Secara garis para sarjana membagi perkembangan falsafah India menjadi empat babakan, seperti berikut:

  1. Babakan Veda, berlangsung pada tahun 1500 – 600 SM. Meskipun kabur , namun dapat dikatakan bahwa babakan ini bermula semenjak orang-orang Arya tinggal di India dan mengembangkan kebudayaan dan tradisi keagamaannya dengan mantapnya. Babakan ini agak sukar disebut babakan pemikiran falsafah dalam arti yang sebenarnya. Alasannya karena agama, falsafah, sastra, legenda dan masalah-masalah lain seperti mitos dan adat istiadat bercampur baur dan saling dikaitkan satu dengan yang lain. Pada babakan ini 4 Veda (Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda dan Atharva Veda), kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanishad telah tersusun secara lengkap. Rg Veda merupakan sumber paling awal falsafah Oindia, berisi nyanyian pujaan kepada dewa-dewa orang Arya yang kelihatannya merupakan penjelmaan dari kekuatan-kekuatan alam. Corak ketunananya bersifat polytheistis. Ini berbeda dengan kandungan Upanishad yang mengajarkan faham monisme pantheistis (advaita). Kitab Brahmana lebih merupakan dokumen keagamaan, khususnya tafsir tentang upacara keagamaan dan makna dari upacara-upacara yang diselenggarakan, terutama upacara korban. Tetapi sekalipun tidak bercorak filosofis seperti Upanishad, uraian-uraian dalam kitab Brahmana merangsang bagi timbulnya renungan filosofis. Aranyaka mengajarkan praktek meditasi dan tapabarata, ditulis oleh ahli-ahli yoga. Sedangkan nyanyian-nyanyian dalam kitab itu ditulis oleh para penyar. Jika kitab Brahmana merupakan karya para pendeta dan merupakan pedoman bagi pemimpin upacara keagamaan, Upanishad ditulis oleh para spiritualis yang memiliki kecenderungan filosofis. Pada masa akhir periode in muncul aliran-aliran pemikiran yang menolak otoritas Veda sebagai sumber kearifan (darsana), yaitu Carvaka (materialisme), Jainisme dan Buddhisme. Kecuali Carvaka, Jainisme dan Buddhisme kemudian tumbuh menjadi agama tersendiri yang berbeda dari agama Hindu.
  2. Babakan Viracarita atau Epos, berlangsung sekitar tahun 500 hingga 200 SM. Pada kurun ini perkembangan falsafah India ditandai dengan penyajian gagasan secara tidak lansng melalui karya sastra seperti fable dan viracarita (cerita kepahlawanan). Viracarita paling masyhur yang syarat dengan ajaran falsafah dan moral ialah Mahabharata karangan Rsi Vyasa dan Ramayana karangan Rsi Valmiki. Suburnya viracarita menandakan kian besarnya peranan golongan Ksatrya dalam masyarakat mendampingi peranan golongan Brahmana. Pada masa inilah Bhagavad Gita (Nyanyian Ketuhanan) muncul. Pada mulanya ia merupakan bagian dari kitab Mahabharata, namun kemudian dikembangkan menjadi renungan filosofis tersendiri dan dianggap sebagai salah satu kitab suci orang Hindu.  Aliran-aliran falsafah yang menolak otoritas Veda mencapai perumusan yang kitan mantap. Aliran-aliran falsafah ortodoks India yang jumlahnya enam (Sad Darsana Samgraha) seperti Nyaya, Vaishesika, Samkhya, Yoga, Purva Mimamsa dan Vedantara dirumuskan pada abad ke-4 dan 3 SM, disusul dengan penyusunan Bhagavad Gita sebagai kitab yang benar-benar terpisah dari Mahabharata. Pada babakan kedua ini falsafah berkembang dengan suburnya di India sebagaimana di Yunani, Cina dan Persia. Pada kurun ini mulai muncul aliran-aliran seperti materialisme, skeptisisme, naturalisme. Aliran-aliran ini berkembang bersama berkembangnya sistem-sistem heredoks dari Buddhisme dan Jainisme.  Pada masa ini pula banyak sekali muncul kitab-kitab yang menguraikan masalah etika dan kemasyarakatan yang disebut Dharmasastra.
  3. Babakan Sutra, berlangsung abad ke-2 – 12 M. Uraian mengenai berbagai mazab falsafah mulai disusun secara lebih sistematik dan giat diperdebatkan sehingga dari masing-masing mazab tumbuh aliran-aliran pemikiran yang lebh kecil yang merupakan cabang-cabang dari mazab besar. Tidak jarang terjadi sinthesa antara aliran yang satu dengan yang lain, mazab yang satu dengan nmazab yang lain. Pada umumnya uraian-uraian falsafah ortodoks seperti Nyaya (realisme logis), Vaishesika (pluralisme ralistis), Sam,khya (dualisme evoluioner), Yoya (disiplin meditasi), Purva Mimamsa (penelitian terhadap Veda secara interpretative, khususnya berkenaan dengan amal perbuiatan) dan Vedanta (penelitian ebih mendalam tentang ajaran dalam kitab Veda) disajikan dalam bentuk sutra atau ungkapan-ungkapan ringkas (aforisme). Tidak jarang sutra juga berperan untuk mengingatkan pembaca pada rincian falsafah yang menjadi induk sebuah aliran. Karena dinyatakan dalam bentuk sutra, maka kitab-kitab falsafah itu perlu ditafsirkan secara hermeneutik. Masing-masing sistem falsafah ortodoks memiliki sutra yang berbeda. Pada abad ke-12 M falsafah India mengalami kemunduran.
  4. Babakan Kaum Terpelajar, berlangsung pada akhir abad ke-13 – 19 M. Pada kurun ini kita temui kaum terpelajar yang giat menulis tafsir terhadap ktab sutra. Muncul para flosof besar seperti Sridharta, Ramanuja, Madhva, Sankara, Vacaspati, Udayana, Bhaskara, Jayanta, Kumarila Batta, Vijnanabhiksu, Taghunata dan lain-lain. Tiga aliran utama dari Vedanta dirumuskan oleh filosof besar seperti Sankara, Ramanuja dan Madhva. Pada masa ini Islam telah berkembang di India dan mengembangkan tradisi pemikiran ftersendiri. Ada abad ke-19 Inggris menguasai India dan menyebabkan tertanamnya pengaruh pemikiran Barat di kalangan sarjana dan kaum intelektual India. Pada akhir abad ke-19 muncul gerakan pembaruan pemikiran Hinduyang dianjurkan oleh Brahjma Samoj dan Arya Samoj, dua gerakan pembaru yang penting dan berpengaruh hingga abad ke-20. Dari gerakan iini lahir para filosof terkemuka abad ke-20 seperti Tagore, Sri Aurobindo, Svami Vivekananda, Radhakrishnan, A. K. Komaraswamy dan lain-lain. Dari kalangan Islam muncul tokoh-tokoh seperti Mir Damad, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan lain-lain.

Seri 2 Falsafah India

$
0
0

Perbincangan Kedua

SEMANGAT DAN KECENDERUNGAN FALSAFAH DI INDIA

Prof.Dr. Abdul Hadi WM

              Pemikiran falsafah di India berkembang mengikuti arah perkembangan agama, dengan demikian wataknya menjadi berbeda dari falsafah Yunani yang berkembang mengikuti arah yang lain, yaitu kegiatan pemikiran yang hampir sepenuhnya rasional, khususnya semenjak Aristoteles. Selain dari itu perkembangannya menempuh rentang waktu yang panjang dan selama itu pula hampir sepenuhnya tidak tersentuh oleh pengaruh dari luar, kecuali pada abad-abad setelah berkembangnya agama Islam dan munculnya penjajahan Inggeris.

            Falsafah Yunani berkembang sekitar tujuh abad sejak munculnya tokoh-tokoh seperti Democritos, Heraclitus dan Parmenedes hingga Plotinus pada abad ke-3 M, tetapi falsafah India muncul pada abad ke-6 SM dan terus berkembang hingga abad ke-20. Ia hidup berdampingan bukan hanya dengan kebudayaan India, tetapi juga agama-agama yang tumbuh beserta mazab-mazab dan aliran-aliran sempalannya.

Di India memang pernah muncul aliran-aliran seperti naturalisme dan metrialisme (Carvaka), tetapi secara umum pemikiran yang berkembang terpusat falsafah pada masalah ruhaniah atau spiritual. Ini terutama disebabkan karena sumber falsafah India adalah kitab suci seperti Veda yang dipandang serangkaian teks yang ditulis oleh para maharesi dan resi berdasarkan wahyu atau ilham yang mereka meroleh melalui perenungan dan meditasi. Jadi tidak seperti falsafah Yunani yang berkembang disebabkan pemikiran rasional dan adu argumentasi yang sengit, para filosof India mengembangkan tradisi falsafahnya dengan menafsirkan kitab suci. Tentu saja mereka mengenal bentuk-bentuk pemikiran rasional dan kegiatan adu argumentasi, sebagaimana diperlihatkan oleh falsafah Nyaya dan Vaishesika. Tetapi intuisi memainkan peranan penting dalam pencarian kebenaran.

Di India falsafah disebut darsana, artinya lebih kurang sama dengan sophia dalam bahasa Yunani atau al-hikmah dalam bahasa Islam, yang artinya lebih kurang adalah kearifan hidup.  Dilandasi kearifan bahwa kebenaran merupakan pancaran dari alam ketuhanan yang bersifat transendental, upaya akal budi dipandang tidak cukup untuk membangun sistem kearifan. Walaupun cenderung memusatkan perhatian pada kehidupan spiritual, tidak berarti bahwa falsafah merupakan sesuatu yang asing dari kehidupan praktis. Sebaliknya orang India yakin bahwa terdapat hubungan yang erat antara falsafah dan kehidupan praktis.  Menurut filosof-filosof India India, orang yang mengenal kebenaran dan mencapai kearifan akan membuat seseorang bahagia, tidak merasa asing dalam kehidupan, memiliki kebebasan dalam arti yang sebenarnya dan tidak mengalami kesukaran dalam menghadapi persoalan-persoalan. Jelas di sini bahwa falsafah dipandang bukan semata-mata sebagai kegiatan akademis, tetapi lebih sebagai kegiatan sehari-hari yang melibatkan semua kalangan dalam masyarakat.

            Ciri lain yang membedakan falsafah India dari Yunani ialah metodenya. Dalam upayanya mencapai kebenaran para filosof India juga mengggunakan metode penyelidikan diri (instrospektif). Dengan cara pemeriksaan diri mereka berusaha menjawab persoalan apa hakikat kehidupan, apa hakikat ilmu pengetahuan dan apa arti keberadaan manusia dalam hidupnya yang singkat di dunia. Falsafah India mencoba dengan metode introspeksi merumuskan sistem kearifaan menyangkut  Tuhan, hubungan Tuhan dengan dunia, dan juga hubungan manusia dengan Tuhan serta sesamanya.

            Karena menggunakan pendekatan yang berbeda, falsafah India mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap idealisme. Ini nampak terutama pada faham advaita (monisme idealistis) seperti diajarkan Sankara. Di samping itu ada kecenderungan umum di kalangan filosof India, yaitu memadukan penalaran akliah dan intuitif. Tetapi di atas segala-galanya karena berpegang pada kitab yang diwahyukan (sruti) mencakup Veda, Kama-kanda, yaitu Samhita dan Bahmana (Tafsir atas Veda), dan Jnana-kanda yaitu Upanishad, maka falsafah selalu berkaitan erat dengan agama seperti halnya di Eropa pada Abad Pertengahan dan dalam tradisi Islam sejak abad ke-8 M hingga sekarang.

            Dengan perkataan lain malahan dapat dikatakan bahwa falsafah berkembang sebagai tafsir yang beranekara ragam terhada Veda-sruti, Upanishad dan kitab suci lainnya. Dalam upaya menafsirkan kitab sruti dengan metode, pendekatan dan penekanan yang berbeda-beda itu, maka muncullah kecenderungan pemikiran yang berbeda-beda pula.

 

Tujuan Falsafah

            Ciri falsafah India seperti yang telah dikemukakan berkaitan erat dengan tujuan falsafah yang hendak dikembangkan oleh para filosof India. Para filosof di India secara umum selalu menbicarakan masalah yang berhubungan erat dengan alam kerohanian.  Bagi mereka baik dalam kehidupan maupun dalam pemikiran falsafah, spiritualitas merupakan motif dan tujuan utama. Terkecuali tentu saja dalam falsafah materialisme atau Carvaka. Alam dan manusia dilihat pertama-tama dari segi kerohaniannya, bukan dari segi jasmani atau keperluan materialnya. Kesejahteraan material dan kesehatan jasmani memang penting, tetapi tujuan kehidupan bersifat kerohanian.Kalau demikian tujuan falsafah juga adalah demikian, yaitu meningkatkan kemampuan dan kecerdasan rohani  sehingga memungkinkan manusia dapat mencapai kebenaran dan kebahagian dalam arti yang sebenarnya, sebab kebenaran dan kebahagiaan merupakan bagian dari alam kerohanian.

            Dikatakan pula bahwa falsafah berkaitan langsung dengan kehidupan secara umum, bukan sekadar kegiatan intelektual yang terpencil dari kehidupan praktis. Sikap yang demikian itu tampak dalam semua aliran falsafah India. Memang rahasia kehidupan alam material dan segi jasmani kehidupan ini sangat menarik untuk direnungi dan dipikirkan, dan dalam kenyataan merangsang pemikiran falsafah di India sebagaimana di Yunani dan Cina. Tetapi bagaimana pun juga falsafah harus mampu mencari kebenaran yang lebih tinggi dari sekadar hasil pemikiran rasional dan kegiatan intelektual. Falsafah tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan motif  ’pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri’. Dalam kenyataan semua sistem falsafah India sendiri selalu dimulai dengan mengemukakan persoalan berkenaan dengan segi-segi praktis dan tragis dari kehidupan manusia. Pemecahan problem diutamakan, sehingga falsafah dapat dijadikan pedoman untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan. Lagi pula tidaklah cukup mengetahui kebenaran apabila tidak bisa dihayati dan tidak dihidupkan.

            Berdasarkan anggapan dan sikap ini, pemurnian moral merupakan tujuan utama falsafah India. Pemurnian moral dapat dicapai antara lain melalui pengendalian diri, renunsiasi, kedamaian jiwa, peningkatan iman dan moksa, yaitu pembebasan jiwa dari kungkungan kehidupan serba jasmani dan kebendaan.

            Telah pula dikatakan bahwa dalam memahami realitas dan hakikat kehidupan, filosof India menggunakan metode penyelidikan diri. Di sini falsafah digambarkan sebagai atmavidya, pengetahuan tentang diri atau hakikat diri. Pemikiran falsafah memang bisa dimulai dari dunia luar, obyek-obyek di luar diri manusia, tetapi juga bisa dimulai dari dalam diri manusia, dari kehidupan subyektif batinnya. Tetapi ujung-ungnya kebenaran akan dapat disaksikan dalam diri. Karena itu tujuan falsafah bukan untuk mencari kebenaran obyektif semata-mata, tetapi terlebih-lebih kearifan dalam melihat hakikat diri serta pemahaman mendalam tentang kedudukan manusia di alam semesta, hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.

            Walaupun terdapat kecenderungan yang berbeda-beda dalam melihat hakikat kebenaran tertinggi, namun semua aliran falsafah India memiliki kecenderungan yang kuat terhadap monisme idealistik, yaitu faham bahwa hakikat segala sesuatu itu bermuara pada wujud tunggal yang meresapi alam dan kehidupan, namun sekaligus mengatasi segala sesuatu.  Doktrin falsafah yang berbeda-beda tidak dipertentengkan karena dianggap sebagai kepelbagaian ungkapan dari kebenaran yang sama, hanya saja penafsiran dan penyampaiannya yang beranekaragam.

            Kaa-kata yang digunakan untuk falsafah di India ialah darsana. Kata-kata ini berasal dari akar kata drs, yang artinya melihat atau menyaksikan secara langsung melalui mata kalbu.  Penalaran akal dipandang tidak cukup karena pengetahuan yang diperoleh melaluinya bukan merupakan penyaksian langsung, melainkan melalui perantaraan logika yang dapat saja menjadi tirai penghalang bagi penyaksian terhadap kebenaran hakiki dan sejati.. Karena itu falsafah india memeri jalan bagi berkembangnya metode intuitif yang dapat dilakukan dengan meditasi dan samadi.

 

Kecenderungan

Berdasarkan metode dan penekanan penafsiran yang berbeda-beda  terhadap Veda, Upanishad dan kitab Brahmana, muncullah berbagai aliran pemikiran atau faham falsafah dengan kecondongan yang berbeda dalam hal tujuan yang ingin dicapainya. Faham-faham tersebut secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu ritualisme, absolutisme atau monisme, theisme dan heretisme.

Perama, ritualisme. Aliran ini berusaha memperdalam dan mempertajam ajaran Veda tentang upacara keagamaan. Ajaran ritualisme diambil terutama dari Kalpa Sutra dan sangat keras berpegang pada Veda. Tokoh-tokoh aliran falsafah ini banyak membicarakan aturan membaca sendiri kitab Veda (svadhyaaya). Mengaji kitab suci dipandang sebagai bentuk pengurbanan dan wujudnya yang tertinggi ialah tapas (disiplin diri). Untuk keperluan pelaksanaan tapas mereka mendirikan lembaga asramas, yang terdiri dari empat kelas atau jenjang pendidikan. Di lembaga ini kitab Veda dipelajari secara mendalam. Pemikiran ritualis tampak dalam sistem falsafah Purva Mimamsa, yang merupakan salah satu dari enam sistem falsafah ortodoks/klasik tepenting dalam falsafah India. Salah satu ajaran ritualis yang penting ialah ahimsa (anti kekerasan) dan sakalo-dharmah (kebajikan spiritual).

            Kedua, absolutisme atau monisme. Perkembangan aliran pemikiran ini didasarkan faham monisme (advaita) Upanishad. Brahman, Dewa Tertnggi,  digambarkan sebagai satu-satunya realitas yang ada sebelum penciptaan alam semesta.  Brahman tanpa awal, tanpa akhir, tak dilahirkan dan kekal, tak pernah binasa, tak terpikirkan dan mustahil diketahui. Dalam proses penciptaan yang mula-mula muncul ialah mahat (intuisi intelektual, kecerdasan) dan manas (pikiran rasional). Setelah itu muncul unsur-unsur lain, halus dan kasar, tak tampak dan tampak.

            Beberapa topik penting dalam aliran falsafah ini antara lain ialah : (1) Maya. Dunia benda adalah maya (bersifat khayali)  dan tidak punya tempat dalam penciptaan ; (2) Evolusi menempuh dua tahapan : mula-mula mengalir dari Brahman (Jiwa Tertinggi), dan ini melahirkan faktor-faktor alam, unsur-unsur fisik dan kejiwaan yang saling bercampur baur. Kedua, bergerak dari Prajapati, sang Pencipta, melahirkan benda-benda dan makhluq-makkhluq individual yang aneka ragam dan berbeda-beda ; (3) Penciptaan terjadi secara periodik.

            Ketiga, theisme. Aliran ini mentransformasikan Brahman yang tanpa pribadi (impersonal) dan mutlak, menjadi Tuhan yang berpribadi, mendekati faham monotheistik. Brahman digambarkan sebagai Parama-devah (Tuhan Tertinggi). Dia mengawasi seluruh peristiwa di dunia penciptaan, pengatur dan pembinasa. Peranan Brahman dalam tradisi keagamaan India yang kemudian dipertukarkan pula dengan Syiwa dan Visynu. Nama Syiva  bersama Rudra, petapa di hutan yang menakutkan dan pemburu binatang, muncul mula-mula dalam Rig Veda. Di bagian lain di India diganti dengan pemujaan terhadap Visynu.

            Keempat, heretisme. Faham ini menolak kewenangan Veda, Brahmana Purana dan Upanishad sebagai sumber asas dalam mencari kebenaran atau kearifan. Carvaka (materialisme), Jaina dan Buddhisme adalah faham-faham heretik India yang menonjol dan tetap berkembang hingga masa yang akhir ini.

Walau pun terdapat kecenderungan yang berbeda-beda dalam menafsirkan sumber otoritatif pemikiran falsafah, namun secara umum pemikiran falsafah ini menujukan pembahasan pada gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang secara umum dikemukakan dalam kiab Veda, Brahamana dan Aranyaka Upanishad. Di antara persoalan-persoalan asas yang dibahas dalam hampir semua sstem falsafah India ialah:

  1. Masalah kekekalan jiwa (atman). Dalam beberapa aliran falsafah India,

atman sebagai jiwa individual dibedakan dari paramatman, yaitu Jiwa sejagat. Beberapa aliran lagi menolak kepercayaan terhadap jivatman (jiwa indvidual) dan melihatnya hanya sebagai bagian dari Paramatman.

  1. Faham materialisme mengemukakan tentang  kekekalan materi atau

substansi asali. Aliran-aliran yang menolak faham materialisme juga membahas persoalan ini, masing-masing menggunakan metode dan cara penafsiran yang berbeda-beda. Aliran-aliran ini sepakat bahwa alam semesta dicipta oleh Brahman dari materi yang kacau tak beraturan. Walau pun segala sesuatu yang dibentuk dari materi bisa hancur dan rusak, namun materi itu sendiri sebagai substansi asali tetap kekal. Sekalipun demikian alam materi dianggap maya (khayali).

  1. Hampir semua sistem falsafah India meyakini bahwa jiwa hanya

mampu mengekspresikan kesadaran melalui pikiran atau sarana rohani lain. Apabila perbuatan atau keinginan atau     hasrat itu diwujudkan secara jasmani maka disebut manas. Jadi yang disebut manas ialah pikiran atau kesadaran yang terwujud dalam kehidupan nyata.

  1. Pada umumnya faham-faham falsafah India berpendapat bahwa

kehidupan merupakan lingkaran samsara.  Samsara timpul disebab bergabungnya roh dengan badan. Untuk mencapai kebahagiaan sejati harus dilakukan pembebasan (moksha). Sehingga roh terselamatkan dari cengkraman hasrat jasmani atau hawa nafsu, dan dengan demikian akan memperoleh kebahagian.

  1. Masalah sorga dan neraka. Penempatan manusia dalam sorga atau

pun neraka  ditentukan  oleh karma atau amal perbuatannya.

  1. Di balik sorga dan neraka terdapat tahapan kehidupan yang disebut

Salokya. Salokya merupakan tempat Brahman. Adapun kedudukan seseorang di dalam tahapan Salokya ada beberapa macam: (a) Samipya, berada di dekat Brahman; (b) Surupya, menyerupai Brahman; (c) Sayyujya, persatuan penuh dengan Brahman. Yang terakhir ini kadang disebut nirvana atau nirguna. Orang yang mencapai tahapan ini akan hanyut dalam ketiadaan mutlak.

 

Monisme dan Theisme

Sebagaimana telah dijelaskan penafsiran yang berbeda terhadap Upanishad melahirkan pemikiran ketuhanan yang berbeda-beda, khususnya monisme dan theisme. Timbulnya penafsiran ke arah itu didasarkan keterangan Upadanishad yang mengatakan bahwa, ”Brahman-Atman tidak hanya keseluruhan yang tidak binasa, tetapi juga sebagai Tuhan dan raja atas segala hal, yang mengawasi segala sesuatu secara batin, bersemayam di dalam alam semesta, namun berbeda dari alam semesta.

            Perkembangan ke arah theisme tampak pada munculnya pemakaian istilah ’deva’ sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta dan Yang Maha Kuasa. Kecenderungan tersebut mencapai puncak dalam Svetasvatara Upanishad. Di situ ditampilkan nama-nama tuhan seperti Rudra  Siva, akhirnya Siva saja. Sankara, seorang pengasas falsafah monisme (advaita) yang terkemuka, menampilkan nama Isvara, yang kemudian ditukar menjadi Wishnu. Sedangkan nama Brahman dipakai olehnya untuk menyebut Paramatman yang belum turun ke tempat penciptaan.

            Sebetulnya nama Siva berasal dari kepercayaan bangsa Dravida, penduduk yang mendahului bangsa Arya mendiami India. Dalam istiadat Dravida mula-mula pemujaan terhadap Siva terkait dengan pemujaan terhadap lingga (lambang phallus). Pemujaan lingga ini berlaku pada zaman Mohenjo Daro dan Harappa, lebih kurang 6000 tahun sebelum Masehi. Kemudian pemujaan serupa mengalami transformasi dan muncul dalam bentuk dongeng Veda. Dewa Siva dilukiskan sebagai seorang pemanah sakti yang menakutkan, tinggal di hutan dan gemar makan orang.

Yang paling akhir tokoh Siva muncul dalam viracarita (epos) orang Dravida, yang menggambarkan bahwa Siva adalah petapa agung, sekaligus dewa yang menyukai pemujaan terhadap phallus. Selamanya Siva tenang, menyendiri dan khusuk dalam tafakkur. Kekuatan lingganya yang luar biasa melahirkan banyak wujud.  Dalam dirinya pribadi lelaki dan wanita bersatu padu dalam dirinya. Sebagai  wanita ia adalah sakti, maya dan prakrti, yaitu daya cipta yang terdapat dalam alam benda. Sebagai lelaki ia adalahPurusha, jiwa semesta yang kekal dan abadi. Tetapi dalam Mahabharata, tidak jelas apakah Siva atau Wishnu yang dipandang sebagai Tuhan tertinggi. Wishnu atau Isvara dilukiskan menjelma sebagai Krishna. Apabila Siva tampil, maka kedudukan Wishnu merosot. Ketegangan dan persaingan antara dua dwa itu terus terjadi. Tetapi kemudian kedua pribadi dewa itu disatukan dalam figur Hari Hara. Hari adalah nama Wishnu dan Hara adalah nama Siva.

            Siva juga dikenal sebagai Raja Penari dengan sebutan Siva Nataraja.  Keinginan untuk memadukan dewa bangsa Arya dan Dravida itu memunculkan gagasan Trimurti, yaitu gagasan Satu Tuhan dalam tiga rupa: Brahma, Wishnu dan Siva. Tetapi ternyata dalam perkembangannya tidak berhasil mendamaikan aliran yang berbeda-beda. Karena aliran yang memuja ketiga dewa ini mengembangkan sistem pemujaan yang berbeda-beda. Pada aliran Samkhya Yoga, Siva dilukiskan sebagai Tuhan yang senang memburu cintya dengan kecintaan dan jiwa harus memberi jawaban dengan menyerahkan diri sepenuhnya ke tangan Siva. Caranya ialah dengan melakukan Yoga. Ajaran tentang Yoga mencapai puncak di tangan Patanjali. Siva sebagai Tuhan tertinggi juga ditekankan dalam aliran Bhakti.

            Gambaran tentang Wishnu  lebih rumit lagi, apalagi ia digambarkan sebagai dewa yang sering menjelma dalam diri manusia. Tujuannya ialah untuk melindungi orang-orang baik yang berperang melawan kejahatan. Di antara penjelmaannya ialah Krishna, Rama dan Buddha Gautama.

Sad Darsana Samgraha

Kitab Veda terakhir dan khususnya lagi Upanishad memberi ruang luas bagi timbulnya aneka aliran pemikiran. Seorang penulis Buddhis mengatakan bahwa tidak kurang 62 aliran falsafah yang berbeda-beda muncul dari penafsiran terhadap Upanishad. Pertentangan juga telah muncul sejak awal, khususnya antara faham ortodoks dan heterodoks. Tetapi perbedaan dan pertentangan tersebut tidaklah didasarkan atas permasalahan teologis, yaitu tentang keberadaan dan ketakberadaan Tuhan. Beberapa faham ortodoks ada yang monistik, ada yang pantheistik dan ada pula yang dualistik dan non-theistik. Pada awalnya 4 dari faham ortodoks itu non-thetistik, tetapi kemudian tinggal satu saja yang demikian.

Aliran ortodoks dalam falsafah India ada enam, lazim Sad Darsana Samgraha, artinya  enam sistem kebijakan falsafah. Kata-kata darsana  diartikan sebagai kebijakan atau kearifan jiwa dalam memecahkan masalah atau hakikat segala sesuatu, khususnya  berkenaan denganTuhan, manusia dan alam semesta. Keenam sistem itu ialah: Nyaya, Vaishesika, Samkhya, Yoga, Purva Mimamsa dan Uttara Mimamsa. Falsafah Nyaya berpasangan dengan Vasihesika disebut Nyaya-Vaishesika; Samkhya berpasangan dengan Yoga, disebut Samkhya-Yoga; Uttara Mimamsa dan Uttara Mimamsa berpasangan dan disebut Vedanta (ajaran Veda yang terakhir).

Samkhya dikatakan merupakan sistem yang lahir paling awal. Mula faham teologinya dualis, tetapi kemudian dalam perkembangannya menempuh arah lain. Setelah berpasangan dengan aliran Yoga, ia cenderung menjadi monis. Sementara itu faham Nyaya dan Vaishesika bercorak dualis, sedang Vedanta bercorak non-dualis (advaita), alias monisme pantheistik,

            Darsana merupakan sistem atau ajaran falsafah spiritual berjenjang. Dalam mencapai kebenaran jenjang-jenjang itu dilukiskan sebagai berikut: (1) Dvaita (dualis); (2) Dvaita-dvaita (dualisme bersyarat); (3) Advaita (monisme idealistis). Ketiga jenjang itu dicapai sejalan dengan kematangan dan pencapaian pencari kebenaran dalam melaksanakan sadhana.

            Dvaita memandang Paramatman dan Jivatman sebagai terpisah dan berbeda. Kedudukan jivatman  ialah sebagai hamba dan Paramatman  sebagai Gustinya. Pembebasan jiwa manusia (moksha) dilakukan melalui jalan bhakti (amal ibadah).

            Dvaita-dvaita memandang bahwa antara seorang bhakta (pemuja) berbeda dengan Brahman atau Siva yang dipuja atau disembah. Tetapi apabila sang bhakta telah melaksanakan disiplin keruhanian yang ketat, pandangan hatinya akan berubah dan menyaksikan bahwa dirinya pada hakikatnya adalah Brahman atau Siva.

            Advaita  menganggap Atman atau Jivatman  identik dengan Brahman. Ajaran ini sesuai bagi mereka yang dalam kehidupannya terdahulu  mencapai kehidupan spiritual yang tinggi. Jalan pembebasan advaitaialah jnana atau pengetahuan (makrifat).

 

Tiga Jalan Besar

            Seluruh darsana itu menggariskan adanya tiga jalan besar yang dapat ditempuh seseorang dalam mencapai kebenaran tertinggi. Tiga jalan tersebut sekaligus menjadi persoalan falsafah dari aliran yang berbeda-beda. Jalan pertama dalam mencapai kebenaran, yaitu pembebasan dan kebahagiaan, ialah jalan karma. Yaitu memperbanyak perbuatan baik dan amal saleh. Jalan kedua ialah jalan yoga, dilakukan melalui amalan sadhana dan samadhi, yaitu meditasi, disiplin diri dan lain-lain berkenaan dengan aliran yoga. Jalan ketiga ialah jalan bhakti, sebagaimana telah diuraikan.

            Karma arti harfiahnya ialah upacara kurban dan segala bentuk perbuatan berkenaan dengan hal tersebut. Mula-mula hal ini diuraikan dalam kitab Brahmana dan kemudian dikemukakan secara sistematis alam Kalpa Sutra. Dalam kitab yang terakhir ini karma diangkat menjadi semacam kewajiban dan amalan utama kehidupan. Dalam pengertian ini karma terdiri dari tiga hal: (1) Kawya, perbuatan yang diperbolehkan; (2) Pratisiddha, perbuatan yang dilarang dan apabila dilakukan akan mendatangkan dosa dan berakibat buruk bagi yang melakukan; (3) Nitya, perbuatan yang wajib dilakukan oleh setiap kasta menurut tatacaranya masing-masing. Dari karma-karma tersebut ada yang menghasilkan dharma (kebenaran) dan adharma (ketidakbenaran).

Falsafah dan Intuisi

            Berbeda dengan falsafah Yunan yang hanya menggunakan penalaran akliah, falsafah India selain menggunakan penalaran, juga menggunakan kaedah intuitif dan mistikal. Kaedah ini ditekankan mengikuti kitab Veda dan ajaran Saivagama. Dalam lingkupkait falsafah India, intuisi diartikan sebagai ‘Pemancaran isyarat dari kehidupan, alam atau akal ruhani, yang muncul setelah adanya hubungan antara jiwa dengan dunia luar, dan hubungan tersebut memberikan kekuatan kepada jiwa atau pikiran untuk mengungkapkan kebenaran’.

            Intuisi sering pula diartikan sebagai penerimaan langsung pengetahuan melalui gerakan perenungan, samadhi dan pengilhaman. Kata-kata untukintuisi ialah prajna dan  pratiba. Arti dari kata prajna ialah kemampuan terpendam yang diperoleh seseorang melalui proses pencerahan batin atau kesadaran semesta. Kesadaran tersebut menerangi pikiran, akal, nalar dan inteligensi, sedangkan hasilnya ialah kemampuan melihat obyek-obyek secara mendalam. Ia tidak bertentangan dengan nalar, karena sebelum memperoleh intuisi seseorang biasanya telah banyak mengerahkan pikiran dan nalarnya untuk mencapai kebenaran atau mengetahui hakikat sesuatu. Jadi penyingkapan pengetahuan tentang obyekitu terjadi sebagai hasil akhir pemikiran yang mendalam, tetapi hasilnya diperoleh secara tiba-tiba atau secara langsung tanpa disadari, khususnya ketika seseorang melakukan samadhi dan mendapat pencerahan di tengah-tengah samadhinya.

            Oleh karena itu intuisi juga disebut pasyati buddhi atau kesadaran melihat serta kecerdasan memandang kebenaran (rtamibharaha). Rtamibharaha, artinya ialah pengenalan dan pemahaman atas kebenaran yang terlahir secara spontan dan lengkap, tanpa melalui proses penyelidikan. Bisa juga disetarakan dengan pemahaman supra rasional sebagaimana dikemukakan oleh Fritjof Capra, A.K. Comaraswamy, Seyyed Hussein Nasr dan Frithjof Schuon. Yang jelas dalam aliran Yoga Patanjali, pencapaian kebenaran intuitif semacam itu dilakukan melalui sadhana atau amalan disiplin diri melalui jalan Yoga. Puncak sadhana ialah samadhi.


Seri 3 Falsafah India

$
0
0

Perbincangan Ketiga

KITAB VEDA

             Tradisi pemikiran falsafah di India, sebagaimana telah dikemukakan,  berakar lama dalam sejarah bangsa India dan merupakan perpaduan  antara pemikiran orang Arya dan Dravidia. Seperti di tempat lain, watak dan kecenderungan umum yang berkembang di dalamnya banyak dipengaruhi oleh sumber-sumber dan upaya menafsirkan sumber-sumber tersebut.. Sumber utama falsafah India ialah kitab Veda, Brahmana, Upanishad dan Saivagama. Ketiga kitab ini mempunyai sejarah dan cirri tersendiri, serta dianggap sebagai kitab suci penganut agama Hindu.

Veda atau Samhita

Kitab Veda merupakan kitab suci orang Hindua dan sering pula disebut Samhita,  artinya tembang atau nyanyian, karena isinya sebagian besar adalah sajak-sajak atau pujian kepada dewa-dewa yang dinyanyikan dalam berbagai upacara keagamaan. Veda berasal dari kata vid, mengetahui, maksudnya diturunkan sebagai pengetahuan. Pengetahuan yang dipaparkan ialah rahasia kehidupan dan cara mencapai kebenaran tertinggi. Kitab ini mulai disusun oleh para resi sekitar tahun 1500 SM, lebih seribu tahun setelah orang Arya mendiami negeri-negeri di sekitar lembah Indus atau Hindustan. Secara bertahap kitab Veda disempurnakan susunan dan bahasanya antara tahun 1000 s/d 600 SM.

Kitab ini terdiri dari empat bagian yang masing-masing menjadi kitab tersendiri, walaupun satu dengan yang lain tidak terpisahkan:

  1. Rig Veda, berisi sajak-saak pujian kepada dewa-dewa Arya yang awal, seperti Varuna, Indra, Agni dan lain-lain.
  2. Yajur Veda, kumpulan doa-doa.
  3. Sama Veda, himpunan sajak-sajak yang dinyanyikan dalam berbagai upacara keagamaan.
  4. Atharva Veda, kumpulan mantra-mantra untuk keperluan umum dan keagamaan.

Yajur Veda disadur dari Rig Veda, berupa kumpulan doa yang dinyanyikan dalam

berbagai upacara kurban. Kitab ini terdiri dari dua bagian: Yajur Veda Hitam dan Yajur Veda Putih. Yang pertama lebih tua dan kurang sistematis, yang kedua lebih sistematis.

Atharva Veda berhubungan dengan keluarga mithis, yaitu Atharva yang mengemban kewajiban melaksanakan upacara pemujaan api suci, dan Angira, yang bertugas sebagai tukang sihir dan ahli jampi-jampi.

Rig Veda terdiri dari 1028 sukta (hymne) dan disusun dalam sepuluh kitab (mandala). Kitab ini ditulis oleh para resi terkemuka, di antaranya Ghosa, seorang resi perempuan. Komentar tambahan diberikan oleh Sayana pada abad ke-14 M. Rig Veda dianggap sebagai asal-usul teologi Veda.

Setiap mandala ditulis oleh maha resi dan resi yang berbeda-beda, sesuai bidangnya.

Mandala  I ditulis oleh 16 resi, di dalamnya ada 33 dewa yang menjadi tujuan pemujaan, khususnya Martuta, Agni dan Indra.

Mandala II ditulis oleh 3 resi untuk Agni dan Indra, serta dewa-dewa yang merupakan bawahan kedua mereka itu.

Mandala III  ditulis 8 resi, termasuk dua sungai Wipasya dan Syutudni yang membantu Visvamitra  dengan memberikan laluan yang mudah ketika hendak menyebrangi sungai tersebut.

Mandala IV terdiri dari 58 hymne, ditulis oleh beberapa resi seperti  Vamadeva, Masadutyu, Purumulha dan Ajamilka. Dewa-dewa yang dijadikan tujuan pemujaan selain Agni dan Indra, juga Dewa Langit dan Dewa Bumi, Varuna.

Mandala V berisi pujian untuk dewa-dewa Agni, Indra, Visvadeva, Maruta, Asyvin, Varuna, Parjanya (dewa awan) dan Prathivi (dewi bumi).

Mandala X , dalam bagian ini ada dewa-dewa baru dimunculkan seperti Dewa Surya, Vacha (dewa percakapan), Yama, Mitra dan lain-lain. Varuna pada mulanya merupakan kumpulan dewa-dewa yang berkedudukan sebagai aditya, sejajar dengan Aineshaspentas (tujuh roh halus) dalam agama Zarathustra (Zoroaster).

Sebetulnya kepercayaan Arya di India, yang merupakan akar agama Hindu, berkembang dari tradisi Dua Tuhan seperti agama Arya di Iran atau Persia, yakni Zoroaster. Tetapi  kemudian tumbuh menjadi agama Polytheistis, dan kemudian lagi menjadi Monisme Pantheistis.

Dijelaskan bahwa Prajapati, sebagai pencipta segala sesuatu, telah menciptakan dua kekuatan besar di alam semesta, yaitu Deva (Persia: daeva) dan Asura (Persia: Ahura). Deva, artinya dia yang bersinar terang, teapi dalam agama Zoroaster menjadi dewa kegelapan. Asura, artinya kekuatan yang muncul dari kegelapan, dalam agama Zoroaster menjelma Dewa Terang, yang disebut Ahura Mazda atau Ormudz.

 

Cabang-cabang Veda

Di bawah keempat Veda, ada empat kitab disebut Upaveda. Upa artinya bawah. Keempat Upaveda itu ialah: Ayur Veda, menguraikan obat-obatan dan pengobatan, beserta mantra-mantranya; Gandharva Veda, menguraikan musik, nyanyian dan tari-tarian; Dhanur Veda, menguraikan ilmu perang; Sthapatya Veda atau Syilpa Veda, menguraikan seni bangunan atau arsitektur.

Di bawah Upa Veda ada empat Vedangas, masing-masing: Syiksha, menguraikan fonetik atau tata bunyi kata; Chhanda, ilmu persajakan; Vyakarana, menguraikan tata bahasa, puncaknya ialah karya Panini; Nirukta, menguraikan perbendaharaan kata dan etimologi. Contoh terkenal ialah karya Yasha; Yyotisha, menguraikan astronomi, hari dan waktu mengadakan upara kurban; kalpa, menguraikan seluk-beluk penyelenggaraan upacar keagamaan, khususnya upacara kurban.

Kitab-kitab tersebut (Vda, Upa Veda dan Vedangas) disebut syruti (sastra suci), Syru artinya mendengar, artinya didengar  melalui proses pewahyuan atau pengilhaman oleh seorang Maharesi atau Resi yang melakukan samadhi atau meditasi. Pasangannya ialah smriti (sastra tradisional), mencakup buku-buku berisi tafsir terhadap Veda. Tafsir Veda atau smriti Veda dibedakan dalam dua kelompok: (1) Brahmana dan (2) Upanishad. Kitab Brahmana berisi uraian atau tafsir tentang upacara keagamaan; Upanishad berisi uraian falsafah ketuhanan dan agama. Jenis yang lain disebut Aranyaka, kitab yang dibaca di hutan sewaktu menyendiri.

Veda sebagai kitab banyak menguraikan masalah upacara kurban, dasar falsafah dan penyelenggaraannya. Dalam upacara kurban ada empat petugas: Brahmana, pendeta yang bertugas membacakan doa-doa; Hotri, orang yang melaksanakan upacara kurban; Richas, pendeta yang bertugas menyanyikan lagu-kagu pujaan kepada dewa yang diambil dari Sama Veda; Adhvaryu, pendeta yang membuat rumusan upacara kurban.

Setiap Veda memiliki Brahmana atau tafsir. Tafsir Rig Veda adalah Aitareya Brahmana dan Kaushitaki; Sama Veda, memiliki 8 tafsir, paling terkenal Chandogya; Yajur Veda, kitab tafsirnya untuk Yajur Veda hitam ialah Taittireya dan Yajur Veda Putih ialah Syatapatha. Atharva Veda memiliki 1 tafsir, yaitu Gopatha.

Kitab Brahmana sebagai tafsir terhadap Veda berisi penjelasan lebih rinci mengenai pokok-pokok ajaran Veda. Contoh terbaik ialah kitab tafsir yang disebut Syatapatha Brahmana (Tafsir Seratus Jalan Agama). Kitab ini menguraikan secara rinci seluk beluk penyelenggaraan atau tatacara kurban. Melalui kitab ini pembaca mengetahui dewa tertinggi yang dipuja dan merupakan tujuan upacara kurban ialah Prajapati, dewa pencipta. Sebagai pencipta Prajapati memiliki energi kreatif, yang ditunjukkan oleh-Nya dalam tindakan penciptaan. Dalam upacara energi kreatifnya ini harus diambil dengan memberikan sebelas kurban. Adapun kurban yang wajib disajikan ialah manusia, kuda, sapi, kelinci dan kambing jantan. Kurban manusia sudah lama ditinggalkan.

Dalam uraian mengenai Prajapati tampak jelas teologi yang dikembangkan bercorak monistis (serba esa). Misalnya diuraikan dalam Syatapatha Brahmana  3, IX:1 – 5.

 

Kini Prajapati, tuhan pencipta, telah mencipta mahluk hidup, merasa dirinya tercampak keluar. Mahluk-mahluk berpaling bersamanya; mahluk-mahluk tidak tinggal bersamanya untuk mencari kegembiraan dan makanan.

            Dia berpikir di dalam dirinya: Aku telah mengeluarkan diriku, dan obyek-obyek yang telah kucipta tidak menyertaiku; ciptaanku berpaling jauh dariku, mahluk-mahluk tidak tinggal bersamaku demi kegembiraan dan makananku.

            Prajapati berpikir di dalam dirinya: Bagaimana aku harus memperkuat diriku lagi; bagaimana mahluk-mahluk bisa kembali kepadaku; bisa tinggal bersamaku demi kegembiraan dan makananku.

            Dia berdoa dan berharap, menghasratkan mahluk-mahluk. Dia menyaksikan di depannya sesajian sebelas kurban tersedia.  Dengan sesajian itulah Prajapatui memperkuat dirinya; mahluk-mahluk kembali kepadanya, ciptaannya tinggal demi kegembiraan dan makanannya. Dengan sesajian dia menjadi benar-benar lebih baik.

 

Dalam Syatapatha Brahmana  2, I:3-16 dijelaskan bahwa baik dewa-dewa maupun asura (roh jahat) berasal dari Prajapati. Kedua kekuatan ini bertarung sama dengan lain untuk dapat menguasai langit. Asura membangun altar api yang disebut rauhina, artinya tempat untuk naik. Dengan membangun altar tinggi dia berpikir apat mencapai langit dan menguasai kerajaan langit. Salah seorang dewa, Indra, yang merupakan saingan asura, mengetahui bahwa altar tersebut sangat bagus dan dapat didaki dengan baik meuju langit. Dia berpikir, kalau tidak dihambat pasti para dewa kalah dalam pertarungan dengan para asura.  Kemudian Indra mengambil sebuah kepingan batu dari altar tersebut dan memindahkan ke tempat lain. Sesudah itu dia menjelma menjadi seorang Brahman. Ketika para asura hendak mendaki ke langit melalui altar api, Indra mendorong batu besar itu sehingga altar runtuh.  Sesudah itu dia merubah batu menjadi petir dan menjerat leher para asura.

Dalam Syatapatha Brahmana 1, II:1-8, dimunculkan Visnu sebagai dewa utama karena beberapa pertimbangan. Pertama, karena dia dianggap sebagai avatara (inkarnasi) dari Prajapati yang paling utama. Kedua, karena dalam lomba lari melawan para asura yang larinya kencang,, dia menjelma menjadi kijang sehingga dapat mengalahkan larinya para asura. Kecepatan Visnu dalam berlari dilukiskan seperti kecepatan api kurban, yang sanggup membesarkan diri dengan cepat. Dengan kecepatannya itu Visnu membuat rombongan dewa menjadi penguasa dunia.

Api kurban dalam kitab ini disamakan dengan ‘jiwa terdalam’; yang memiliki kekuatan mencapai keabadian dalam waktu cepat seperti dewa-dewa. Selanjutnya pemujaan api disamakan dengan tindakan menurunkan obyek-obyek langit ke bumi, sehingga menemukan tempat berdiam di tengah masyarakat manusia.

Spekulasi metafisika dan linguistik Hindu yang awal dapat dijumpai dalam kitab ini. Begitu doktrin samsara, muncul pertama dalam kitab ini. Doktrin ini kemungkinan besar diambil dari budaya local. Namun pengembangannya lebih lanjut dijumpai dalam Upanishad.

 

Perbincangan Keempat

             UPANISHAD

 

 

Sumber utama falsafah India kedua setelah kitab Veda ialah Upanishad. Kitab ini mulai disusun sekitar tahun 800 SM dan mungkin selesai pada tahun 400 SM. Tidak kurang 112 naskah kitab ini djumpai dalam bahasa aslinya Samskerta. Beberapa di antaranya digubah pada abad ke-15 M. Sesuai tekanan pembahasannya kitab ini dibagi ke dalam beberapa buku. Di antara upanishad-upanishad yang terkenal ialah Brhadanyaka Upanishad, Chandogya Upanishad, Mundaka Upanishad, Kalpa Upanishad, Prasna Upanishad, Isa Upanishad dan Svetasvatara Upanishad. Uraian paling panjang tentang spekulasi falsafah Veda terdapat dalam Brhadanyaka  dan Chandogya.

Apabila kitab Brahmana banyak menguraikan masalah upacara keagamaan, khususnya penyelenggaraan upacara kurban, Upanishad sepenuhnya berbicara masalah-masalah yang termasuk bidang falsafah spekulatif. Kitab Brahmana bersifat legalistis, seperti uraian dalam ilmu fiqih dan syariah; sedangkan Upanishad sebagaimana kitab-kitab tasawuf, bersifat filosofis puitik.

Kitab Brahmana menguraikan masalah karma kanda, yaitu ajaran agama yang ditafsirkan untuk keperluan dharma, amal ibadah dan muamalah. Upanishad menguraikan jnana kanda (jnana = pengetahuan), yaitu tafsir agama untuk keperluan peningkatan ilmu dan renungan falsafah. Upanishad berisi uraian pengetahuan keagamaan dan ketuhanan secara falsafah. Tujuan uraian-uraian tersebut ialah menunjukkan bagi penempuh jalan kerohanian dalam mencapai moksha, pembebasan rohani. Menurut penulis Upanishad, moksha sebagai tujuan akhir dari semua peribadatan dapat dilakukan melalui jalan pengetahuan (jnana).

Secara etimologis kata Upanishad dibentuk dari kata ’upa’ (di bawah), ’ni’ (dekat) dan ‘shad’ (duduk). Dari bentukan kata-kata ini dapat diartikan sebagai duduk dekat guru untuk mendengarkan ajaran esoteric tentang kebenaran tertinggi. Ini dijelaskan misalnya dalam Prasna Upanishad: Awal mulanya ada enam orang murid menghadap guru mereka untuk menuntut pelajaran kerohanian. Lalu sang guru membeberkan rahasia terdalam ajaran Veda, sedangkan keenam muridnya duduk di dekatnya serta mendengarkan dengan khidmat pelajaran dari gurunya.

Karena lazim dibaca atau direnungi di hutan pada saat seseorang melakukan tapabrata atau menyendiri di hutan (vanaprastha), kitab ini juga disebut Aranyaka, artinya kitab renungan di hutan.  Sebagai sumber pemikiran falsafah, kitab ini menunjukkan beberapa perubahan dalam pemikiran falsafah di India, khususnya menyangkut masalah keagamaan dan ketuhanan, serta masalah eksistensi manusia. Sikap baru dalam ajaran ketuhanan tampak misalnya dalam Aitarya Upanishad II: 6. Apabila dalam Rig Veda yang awal digambarkan dewa-dewa yang banyak, maka dalam Aitarya dimunculkan gagasan tentang Hakikat yang tunggal dari alam semesta dan kehidupan. Dalam Aiterya II:6 dinyatakan:

“Siapakah dia yang kita renungi (samadhi) sebagai diri?  (Diri) yang dengannya seseorang melihat, yang dengannya seseorang mendengar, yang dengannya seseorang mencium (bebauan), yang dengannya seseorang mencetuskan perkataan, yang dengannya seseorang membedakan manis dan kecut, yang merupakan hati, dan pikiran, pencerapan indera, injuksi, pemahaman, pengetahuan, hikmah, penglihatan batin, pemikiran, penjelasannya, pertolongan, ingatan, ketetapan, keinginan, nafas, cinta dan kehendak yang kuat? Semua ini hanya nama-nama dari pengetahuan. Diri itu adalah Brahman, Indra, Prajapati, semua dewa, lima unsur kasar: bumi, udara  angkasa, air, cahaya; semua ini dan itu yang bercampur dengan yang kecil sebagaimana adanya, benih berbagai jenis makhluq,  yang lahir melalui indung telur, rahim ibu, yang muncul dari panas, dari germs, kuda, lembu, manusia, gajah dan semua yang bernafas, apa ia berjalan atau terbang dan juga yang kekal.”

Penulis Upanishad tidak diketahui dan mungkin para brahman, yaitu para pemimpin upacara keagamaan dan kurban, pendeta atau ulama yang menguasai ilmu tafsir. Masing-masing kitab dalam Upanishad merupakan tafsir terhadap masalah keagamaan dan ketuhanan yang berbeda-beda, yang muncul pada masa yang berbeda-beda pula. Di antara yang penting ialah:

 

  1. Kena dan Chandogya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan kitab Sama Veda.
  2. Katha, Prasyna, Mundaka dan Manduka Upanishad menguraikan masalah yang berhubungan dengan Atharva Veda.
  3. Brhad-aryanaka Upanishad menguraikan masalah yang berhubungan dengan

Syatapatha Brahmana.

  1. Aiterya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan Rig Veda.
  2. Taittiriya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan Yajur Veda hitam.
  3. Isya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan Vajasaneyi-

Samhita bab 14.

 

            Yang terakhir ini sangat penting sebaab berisi ajaran monisme pantheistis  yang merupakan ciri pemikiran penulis Upanishad. Yang tak kalah penting ialah bagian dari Chandogya Upanishad yang menguraikan upacan magis OM (AUM). Om dijelaskan sebagai inti segala sesuatu, yang kemudian diubahsuai menjadi simbol ’diri tertinggi’. Dikatakan, seseorang yang mengetahui maknanya terdalam, yang tersembunyi, diperbolehkan membacakannya dalam upacara kurban. Dari kata-kata magis, kata Om lebih jauh diubahsuai lagi menjadi inti pengetahuan esoterik.

 

”Hendaknya seseorang merenungi (makna) kata Om (Aum), yang disebut Udghita, karena Udgitha bagian dari Sama Veda) dinyanyikan dengan diawali bunyi Om. Inti segala sesuatu ialah tanah, inti tanah ialah air, inti air ialah tanaman, inti tanaman ialah manusia, inti manusia ialah perkataan, inti perkataan ialah Rig Veda, inti Rig Veda ialah Sama Veda, inti Sama Veda ialah Udgitha (yakni Om).”

 

Doktrin monisme pantheistis dalam Upanishad melahirkan pandangan monisme idealistis. Ajaran ini disebut Vedanta (Veda yang terakhir) karena dikembangkan dari Veda yang ditulis pada periode akhir, merupakan bagian terakhir dari Veda. Monisme pantheistis Upanishad mengajarkan bahwa hakikat segala sesuatu itu tunggal dan meliputi segala sesuatu (immanent, tasybih). Sekali pun demikian hakikat yang tunggal ini mengatasi segala sesuatu (transenden, tanzih). Sedangkan monisme idealistik diuraikan dalam Upanishad:

”Hanya Satu yang maujud tanpa yang kedua dan alam benda hanyalah maya (ilusi). Yang Tunggal itu ialah Brahman (Pencipta), sedangkan yang lain tidak nyata (neti-neti). Brahman adalah atman (diri, nafs, jiwa), Diri Tertinggi dan sekaligus ’diri khayali’, diri individual”.

Dalam Upanishad kita jumpai uraian tentang Samsara, yang kelak berkembang menjadi konsep kunci falsafah India, Hindu maupun Buddha. Samsara sering diartikan sebagai mata rantai penderitaan yang dialami makhluq hidup, khususnya manusia, secara terus menerus. Di sini kehidupan dipandang sebagai lingkaran penciptaan, perputaran kehidupan dan kematian yang tak pernah berakhir. Roda samsara akan berakhir apabila  seseorang telah mencapai moksha. Ajaran mengenai samsara didasarkan atas kepercayaan, bahwa, ”Jiwa adalah emanasi atau penurunan dari roh ketuhanan, percikan nyala dari api abadi, tetesan air dari lautan ketuhanan, di mana masing-masing  jiwa itu menjelma dalam jasad waktu berulang kali. Sekali menjelma dewa, kemudian manusia, kadang khewan atau tumbuhan. Mata rantai emanasi itu berakhir setelah jiwa bebas dari ketentuan lahir dan kemudian kembali ke sumber hakekat ketuhanannya dari mana seseorang datang.

 

 

               Garis Besar Ajaran Veda dan Upanishad

Garis umum ajaran Vedanta yang dalam Upanishad kurang lebih adalah  sebagai berikut:

Pertama, dalam Veda periode akhir pluralitas dewa semakin kurang mendapat perhatian. Dewa yang satu dengan yang lain tidak begitu dibeda-bedakan, karena hal tersebut dirasakan begitu membingungkan. Perkembangan baru muncul: dicari asas penyatu dan pemersatu alam semesta. Pribadi-pribadi dewa yang begitu banyak itu dianggap sebagai nama-nama untuk menyebut satu hakikat yang sama. Nama-nama diberikan untuk menyebut fungsi-fungsi kreatif yang dijalankan oleh masing-masing dewa.

Misalnya nama dewa Visvakarman, yang artinya Tuhan segala sesuatu; Prajapati, Tuhan segala ciptaan; Brahmanaspati atau Brahaspati, Tuhan Brahman atau Kekuatan Suci; Purusha, pribadi lelaki yang mati melalui upacara kurban untuk melahirkan jagat raya yang aneka ragam.

Kedua, setelah itu muncul persoalan mengenai dualisme Keberadaan dan ketidak-beradaan. Yang disebut ketidakberadaan ialah materi yang penuh kegelapan, serba kacau dan tak berbentuk. Keberadaan adalah sebaliknya, alam rohani yang terang benderang, teratur dan mempunyai bentuk.

Ketiga, dalam Rig Veda yang ditambahkan pada periode kemudian, terdapat tiga nyanyian (samhita) dalam fasal ke-10, yang memberi petunjuk adanya gambaran awal tentang monisme pantheistik, yang kelak dibahas panjang lebar dalam Upanishad.

Penulis fasal ini bertanya, “Siapa Tuhan yang harus kupuja dalam nyanyianku?” Dijawab, ”Pada awal mulanya adalah Benih Emas. Sesudah dilahirkan ia segera menjadi Tuhan yang satu, pencipta segala sesuatu.”

Tuhan dilukiskan lahir dari ketidakberadaan atau kegelapan. “Luapan air dahsyat muncul, mengandung dan melahirkan segala sesuatu sebagai Benih dan Api. Kemudian daripadanya muncul daya kehidupan Yang Satu, Benih Emas.” Benih Emas itu ialah Prajapati, Tuhan segala makhluq.

Prajapati sebagai Tuhan adalah transenden (tanzih). Dia memerintah berdasarkan hukum. Dia adalah roh imanen (tasybih), meliputi segala sesuatu dan merupakan inti kehidupan segala sesuatu. Ini dilukiskan dalam Rig Veda 10:129:

 

”Ketika itu belum ada Keberadaan atau pun Ketidakberadaan, belum ada langit atau pun cakrawala, atau segala sesuatu di atas keduanya. Apakah yang diliputi? Di mana? Dalam naungan siapa? Apakah air, yang dalam, yang tak terselami itu?

 

Sebermula adalah kegelapan yang terbungkus dalam kegelapan; semuanya ini tidak lain adalah air yang tak kelihatan. Apa pun itu, Yang Esa ini, yang mengada, yang tersembunyi, dalam kekosongan ini, diadakan oleh daya dari panas (tapas).

Sebermula adalah keinginan yang merupakan benih pertama dari budi menyelimutinya. Para bijak, yang mencari-cari dalam hati mereka, mendapatkan pertalian Keberadaan dalam Ketidakberadaan.

Tali mereka direntang kian kemari. Adakah sesuatu di atas atau di bawah?? Para pemberi benih ada di sana, ada juga daya-daya; di bawah ada svadha (energi) dan di atasnya kehendak hati.

Siapa yang benar-benar tahu? Siapa yang dapat menyatakan saat kelahiran ini, ketika penurunan (visrshthi) dimulai. Dengan penurunan ini para dewa kemudian memperoleh wujudnya. Siapa tahu kapan saat itu terjadi?

Kapan penurunan ini muncul, entahlah (apa Tuhan) menciptakannya atau tidak, hanya dia sang pengamat di surga tertinggi, yang tahu. (Hanya dia yang tahu) atau mungkin juga ia tidak tahu.”

Ini dapat dikaitkan dengan yang diuraikan dalam Upanishad. Dalam Upanishad  dilukiskan Prajapati melakukan penciptaan setelah melakukan tapabrata dan yoga yang keras. Di sini dikemukakan bahwa yang mendorong penciptaan adalah kekuatan yang disebut Kama (kehendak). Kama merupakan daya hidup yang berada di balik keadaan samsara yang dialami makhluq hidup. Dalam Atharva Veda, kama dinyatakan sebagai anak pertama dari penciptaan.

 Keempat, penciptaan dilukiskan sebagai tindakan pengurbanan diri dari Yang Maha Ada dan Yang Maha Awal. Tindakan itu dilakukan agar Yang Satu melahirkan kepelbagaian atau yang aneka ragam. Yang Maha Ada disebut Purusha. Dia adalah Ada yang maha tinggi, pribadi pasif dan inti jiwa manusia (atman). Dalam Purusha Sukta (Nyanyian Untuk Purusha), purusha dilukiskan sebagai raksasa pertama  yang merupakan model segala upacara kurban dan tujuan pengurbanan.

Doktrin tentang purusha diduga muncul dari upacara kurban manusia yang pernah dilakukan bangsa Arya, tetapi kemudian dihapuskan. Keterangan mengenai ini dapat dilihat dalam Rig Veda:

”Ketika para dewa melaksanakan upacara kurban dengan mempersembahkan Purusha sebagai kurbannya,  musim semi adalah mentega yang meleleh, musim panas adalah bahan bakarnya, musim gugur adalah sesajinya. Sang Kurban, Purusha, yang dilahirkan  pada awal mula ini, mereka sirami air di atas jerami, sungguh dialah yang dikurbankan oleh para dewa, para sadhya dan para resi”.

Dari kurban awal inilah konon segala sesuatu diciptakan. Dunia tidak lain adalah tubuh Manusia Pertama yang dipotong-potong,

Sebagai model kurban, Purusha identik dengan alam semesta, sekaligus melampaui alam semesta. Tuhan adalah satu, segala sesuatu dan meliputi segala sesuatu. Melalui keterangan ini tampak kencenderungan monisme pantheistis yang dimaksud.

Kelima, Purusha Sukta  memadukan dua unsur ajaran, yang kelak dikembangkan menjadi pemikiran utama dalam kitab Brahmana dan Upanishad. Dua unsur tersebut ialah: (a) Penciptaan merupakan hasil dari pengurbanan diri Purusha; (b) Alam Semesta sebagai jagat besar (macrocosmos) memiliki padanan dalam jagat kecil (microcosmos), yaitu manusia. Artnya, antara dunia dan manusia terdapat persamaan dalam keberadaan.

Keenam, dalam Rig Veda dan terutama dalam Atharva Veda, untuk menunjukkan pentingnya upacara kurban maka proses  terciptanya dunia selalu diidentikkan dengan jalannya pengurbanan. Dengan demikian peranan pemimpin upacara kurban, yaitu Brahmana,  sangat penting. Upacara kurban dipandang sebagai tindakan suci dan setiap tindakan suci identik dengan keseluruhan yang terdapat di alam raya. Dalam kitab Purusha Sukta diuraikan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta, termasuk jiwa, pikiran dan materi identik dengan bagian dalam diri binatang suci yang dikurbankan. Dari perkembangan ini muncul pemakaian istilah Brahman, yang menjadi konsep kunci dalam falsafah Veda.

Kata brahman, brahma dan brahmana sering diperdebatkan asal usulnya. Ada yang menghubungkan dengan kata brhat (besar, luas), Pendapat ini dianggap tidak sesuai dengan arti utama perkataan tersebut, yaitu ’sabda suci’ atau ’rumusan suci’. Yang lain mengatakan bahwa kata Brahma atau Brahman berasal dari kata brhman (ucapan suci) dan brahmn (dia yang memperoleh kuasa dari ucapan suci).

Brahmn bisa berupa dunia dan bisa juga berupa manusia. Karena itu nama Brahma kemudian dikenakan kepada Dewa Pencipta, karena Dialah pemilik tertinggi ucapan suci dan sekaligus memperoleh kuasa untuk menciptakan segala sesuatu, melalui pengurbanan tentu saja. Kata brahmana juga dikenakan kepada kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu, yaitu para pemimpin yang berwenang atas ucapan suci dan memimpin upacara keagamaan. Kata brahmana juga dikenakan pada teks-teks suci tentang upacara kurban dalam kitab Veda. Brahman juga diartikan sebagai kekuatan suci yang dimiliki Tuhan dan terdapat dalam jiwa manusia.

Ketujuh, sejak masa akhir Veda ini maka istilah Brahman dan Atman menjadi konsep kunci dalam falsafah Veda, melengkapi konsep Purusha. Atman sering diartikan sebai jiwa individual, sedang brahman diartikan sebagai jiwa alam semesta. Kadang kedua kata tersebut saling dipertukarkan. Kadang juga kata Atman dipakai untuk menyebut jiwa segala sesuatu.

Kata Brahman, Atman dan Purusha sering pula digunakan untuk  menyebut dua hal yang sama, yaitu ’Hakikat jiwa manusia’. Keberadaan ketiganya  di luar waktu, karena itu ia kekal dan merupakan sumber segala perubahan. Ini misalnya dikemukakan dalam Chandogya Upanishad 3:14: ”Kedirianku ini, yang ada dalam hati, adalah Brahman. Kalau aku bertolak dari sini, aku malah memasukinya.”

Munculnya konsep Brahman sebagai Pencipta, dan konsep atman dan Purusha, merupakan hal yang baru dari perkembangan idea-dea ketuhanan. Bahkan dikatakan sebagai penemuan besar yang dijumpai dalam Upanishad. Begitu pula penyamaan Atman dan Brahman, yaitu penyamaan jiwa individual (atman) dengan asas jagat raya (Brahman). Dalam Chandogya Upanishad  3:14 juga dikatakan, ”Orang harus memuja Brahman sebagai Yang Haqq…Orang harus memuja Sang Diri (atman) yang memuat budi (buddhi), yang tubuhnya adalah nafas, yang wujudnya adalah cahaya, yang kediriannya adalah ruang angkasa, yang merubah wujudnya sesuai dengan kehendak, yang pikirannya cepat, yang pemahamannya benar…”

Upanishad lebih jauh menggambarkan Brahman sebagai makanan, dan nafas sebagai alam semesta. Ini kedengaran aneh di telinga orang modern, tetapi  bukannya tanpa alasan.   Dalam Taittiriya Upanishad misalnya dinyatakan bahwa unsur dasar kehidupan ialah makanan dan makanan merupakan materi hidup. Dalam Kaushitaki Upanishad disebutkan bahwa nafaslah yang merupakan unsur kehidupan. Dari kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi penulis Upanishad materi merupakan unsur asas pertama dari kehidupan dan karenanya identik dengan Brahman; sedangkan roh merupakan unsur asas kedua.

Kalau diringkas demikianlah logikanya: (a) Brahman adalah makanan sebab makhluq-makhluq fana dilahirkan dari makanan.  Makanan merupakan materi hidup dan asas kehidupan itu sendiri; (b) Kehidupan menampakkan diri dalam nafas, dan nafas tergantung pada makanan. Karena itu makhluq bernafas tergantung pada makanan; (c) Kehidupan kemudian tergantung pada manas (pemikiran diskursif), vijnana (kesadaran batin) dan buddhi (akal yang dapat membeda-bedakan sesuatu); (d). Pada manas tergantung ananda (kebahagiaan); (e) Kebahagiaan adalah jalan pencerahan rohani.

 

Ketujuh, hubungan atman dengan dunia kebendaan, bersifat sementara. Seperti atman, hidup manusia tak mengenal awal dan awal, selalu berputar dalam roda samsara atau perputaran tanpa henti yang menimbulkan penderitaan. Karena merupakan perputaran tanpa awal dan tanpa akhir, maka kehidupan merupakan beban yang menakutkan dan inilah yang menjadi sumber derita

Ada konsep lain sebagai pasangan samsara, yaitu karma, yang diartikan sebagai perbuatan atau akibat dari perbuatan. Karma merupakan salah satu sumber utama penderitaan. Karma adalah perbuatan masa lalu yang menentukan kehidupan masa depan.

 

Beberapa Konsep Kunci

            Sebagai tambahan akan dijelaskan beberapa konsep kunci atau istilah-istilah penting dalam falsafah India. Konsep-konsep kunci itu antara lain ialah samsara, moksha, dharma, Purusha, prakrti dan lain-lain.

  1. Samsara adalah perpanjangan hidup tanpa akhir. Dalam Maitri Upanishad, hidup itu sendiri disebut sebagai kejahatan. Untuk itu yang dicari manusia ialah pembebasan (moksha) dari samsara, melalui karma yang baik. Memang kehidupan itu mesti dicintai dan dipertahankan, walaupun ia merupakan kejahatan. Tetapi ia dicintai dan dipertahankan agar keberadaannya ditundukkan oleh kemampuan dan tujuan yang lebih tinggi. Caranya dengan menggunakan akal budi dan mawas diri.

Akal harus dilebur dan diangkat sehingga mencapai taraf pandangan murni dan dengan demikian menyaksikan Yang Satu – Diri yang nyata dan Ada yang benar. Ini dirumuskan dalam rangkaian kata: SAD-CIT-ANANDA atau ADA, KESADARAN & KEBAHAGIAAN.

Rumus Sad-Cit-Ananda disebut hubungan segi tiga yang mengatasi hubungan segi tiga KAMA, ARTHA & DHARMA (Nafsu/Kenikmatan, Kekayaan dan  Upaya Mencari Kebenaran).

Manusia hidup di dunia ini diikat oleh dharma. Moksha dapat membebaskan manusia dari ikatan dengan dharma dan adharma (kebenaran dan ketidakbenaran). Masalah ini dibicarakan dalam kitab Bhagavad Gita.

            Tujuan moksha: Arti kata moksha secara harfiah ialah pembebasan, kelepasan, kebebasan dan pelepasan. Tindakan moksha digambarkan seperti ular yang dibebaskan (vimukta) dari kulitnya. Juga dilukiskan sebagai ’anak panah atman yang dilepaskan dari busurnya’. ”Anak panah atman’ ialah kata-kata OM. Ia dilepaskan menuju sasarannya, yaitu Brahman (Mundaka Upanishad II, 2:4).

Tetapi dalam ajaran Advaita (monisme) Vedanta dan Samkhya Yoga, moksha diartikan sebagai pemencilan jiwa secara menyeluruh dari keberadaan, masuk sepenuhnya kedalam dirinya sendiri, kembali ke keabadian sebagai yang mutlak dalam dirinya.

  1. Doktrin Purusha terdapat terutama dalam Upanishad. Doktrin ini dijadikan sumber pemikiran falsafah ketuhanan dalam beberapa madhab pemikiran India pasca Veda, khususnya dalam aliran Samkhya (Kebijakan akhir). Dalam Samkhya membagi keberadaan dalam 25 kategori. Dari 25 kategori itu 24 di antaranya merupakan perkembangan prakrti (artinya ’alam’, ’yang terkena hukum perubahan dan pergantian’). Kategori ke-25 adalah purusha, pribadi yang tak bisa hansur oleh perubahan, kekal, tak terkenan perubahan dan kesementaraan.

Istilah purusha  digunakan dalam falsafah Samkhya, tetapi maknanya agak berbeda   dengan istilah yang sama yang digunakan dalam Rig  Veda dan Upanishad.

24 kategori itu ialah: (a) Alam; (b) Mahat, yang agung, disebut juga buddhi, yang mengatur informasi yang diterima dari indera. Buddhi (budi) disebut juga sebagai common sense, akal sehat; (c) Lima organ indera – 5 kategori; (d) Lima organ motoris atau penggerak tubuh: alat bicara, tangan, kaki, alat pelepasan dan alat perkembangan tubuh – semuanya 5 kategori; (e) Lima unsur halus sebagai padanan panca indera, yaitu obyek penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pencecapan; (f) Lima unsur halus yang berasal dari lima unsur halus, yaitu ‘ruang’ yang berasal dari penglihatan, ‘api’ dari penglihatan, ‘udara’ dari perabaan, ‘air’ dari pencecapan dan ‘tanah’ dari penciuman – semuanya 5 kategori. Mahat muncul langsung dari alam; (g) Ahamkara, prinsip ego dari mahat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Garis besar pemikiran falsafah yang digambarkan di atas memunculkan aliran-aliran berbeda, khususnya antara faham materialis dan spiritualis, monisme (advaita) dan dualisme (dvaita).

 

 

 


Seni, Budaya, Kaum Muda, dan “Budhi”

$
0
0

SYS NS
Pendiri Mufakat Budaya Indonesia,
Seniman

Seni, Budaya, Kaum Muda, dan BudhiSecara umum ingin saya katakan bahwa dalam perspektif kaum muda seni dan budaya merupakan media ekspresi yang mewakili semangat pembebasan terhadap berbagai aturan atau nilai yang dipandang tidak pas dan tidak cocok lagi dengan kehendak zaman.


Di sisi lain, masih dalam perspektif kaum muda, seni dan budaya merupakan media aktualisasi diri yang mengekspresikan dinamika serta kebebasan mengusung gagasan-gagasan baru. Karena itu, seni dan budaya harus memenuhi kriteria universal, yaitu kreatif, komunikatif, dinamis, bermutu, mewakili perasaan dan pikiran mayoritas penikmatnya, dan mampu menjadi media kontrol sosial yang efektif.

Apa pun bentuk dan jenisnya, seni dan budaya merupakan media efektif untuk menyuarakan pembaruan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, setiap seniman dan kaum muda haruslah mencerminkan identitas para demokrat. Yaitu orang-orang yang menjunjung tinggi persamaan dan kesamaan, serta selalu menghormati perbedaan.

Selebihnya, karena kita tinggal di Indonesia, kita pun harus pandai memuliakan pluralitas alias keberbagaian. Bagi saya, di tangan kaum muda, seni dan budaya juga mesti mencerminkan religiositas alias nilai-nilai agamais, kebangsaan, dan kerakyatan. Dengan begitu, karya seni dapat memadukan pertimbangan artistik, estetik, dan etik.

Sebagai pekerja budaya, dari kerja teater, media massa, hiburan, manajemen pergelaran, hingga pemikir dan pekerja politik, saya merasa bersyukur dapat mengalami secara penuh perjalanan kebudayaan dalam tiga fase politik terpenting bangsa Indonesia: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

Ini sebuah rasa syukur yang tidak berlebihan, tapi memang karena saya mendapat pelajaran banyak dari perjalanan hidup yang setidaknya menjadi saksi dari ekspresi-ekspresi kultural di semua elemen dan lapisan kehidupan negeri ini. Mulai pengamen, seniman, broadcaster, pengamat yang cuma “ngamat-ngamati“, para maestro kondang hingga presiden yang nyeni.

Dari pengalaman itulah saya merasa paham, mafhum, dan akhirnya yakin bahwa kebudayaan kita sesungguhnya tidak pernah mandek, berhenti; tapi ia terus berjalan, berproses dan mengembangkan (bentuk maupun kualitas) dirinya. Bagaimanaia diukur, dalam acuan estetik, artistik, statistik dan sebagainya, itu bukan urusan atau bidang saya. Saya hanya pelaku sekaligus saksi.

Dan saya bersuka ria karena itu. Saat peralihan kekuasaan dari Orla ke Orba, tepatnya ketika Soeharto menjadi pejabat presiden pada 1967 hingga menjadi penguasa di paruh awal 70-an, saya merasakan dengan sangat bagaimana kegairahan budaya dan kesenian begitu kuat saat itu.

Muncul inspirasi-inspirasi baru, gagasan artistik yang inovatif hingga percobaan atau eksperimen-eksperiman kultural yang menggetarkan. Kitaingat bagaimana masa itu melahirkan Rendra, Danarto, Arifin C Noer, Teguh Karya dalam teater. Lalu Djadug Djajakusuma, Syuman Djaya, Ami Prijono melahirkan warna-warna baru dalam perfilman Indonesia.

Begitu pun dalam dunia tari yang melahirkan Sardono W Kusumo hingga Retno Maruti, hingga dunia sastra tergetar oleh karya-karya Budi Darma, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan banyak lainnya. Hingga empat puluh tahun kemudian kita pun tahu, masih nama-namadiatasyangmenjadi referensi utama dari dunia seni atau artistik kita.

Artinya, empat puluh tahun kemudian ternyata kita gagal melahirkan karya dan seniman-seniman yang memiliki maqom atau pencapaian artistik yang setara. Bahkan bisa dibilang merosot, drastis bahkan. Mengapa? Apa yang terjadi dengan para seniman dan para pekerja budaya kita lainnya?

Pertanyaan itu sebenarnya paralel juga dengan kesangsian dan kecemasan akan terjadinya pula kemerosotan kehidupan berbangsa kita di semua level praktisnya. Termasuk dalam kehidupan politik, bisnis (ekonomi), hingga hidup beragama atau akademis kita. Saat ini kita mengalami kerancuan, atau semacam kekacauan acuan dan orientasi, di hampir semua lapangan kehidupan kita.

Hal-hal yang dulu dianggap sakral, luhur atau mulia, kini seperti menjadi sesuatu yang sangat biasa, artinya dapat ditinggalkan atau tak perlu dipedulikan lagi. Lalu orang menyeberang jalan sembarangan, berkendaraan tanpa mengindahkan rambu dan marka jalan, sekolah hanya untuk kedok menutupi tindakan kriminal, menjadi pejabat hanya untuk menipu rakyatnya sendiri, jadi bagian dari parlemen hanya menggunakan konstituen sebagai arsenal pemenuhan hedonis saja, menjadi pedagang cuma untuk menguras dompet publik sampai pada simpanan kebutuhan primernya.

Apa sebenarnya yang telah terjadi? Saya melihat sederhana saja: kebudayaan telah melupakan kata dasar utamanya: budhi. Kita semua telah kehilangan “budhi”, satu hal yang mampu mengolah kendali semua kecenderungan menyimpang kita serta mengutamakan apa yang kita sebut baik dan benar.

Maka, saya amat sangat berharap agar masalah “budhi” ini harus menjadi mata pelajaran utama sekolah di negeri tercinta, Indonesia. Saya sebagai salah satu pendiri Mufakat Budaya Indonesia selalu berdoa semoga para pendiri lain, seniman, budayawan, sejarawan, politisi, ilmuwan, cendekiawan, akademisi, birokrat, dan pengamat bisa menjadikan “kegelisahan” itu sebagai penyemangat.

Budhi” inilah materi dalam Temu Akbar II, setelah Temu Akbar I dengan Deklarasi Cikini 2009 yang melahirkan “rekomendasi” untuk penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin.
(bbg)

Sumber:

http://nasional.sindonews.com/read/930610/18/seni-budaya-kaum-muda-dan-budhi-1417242498/


Deklarasi Budaya “Napak Tatar Nusantara kasundaan ti Dayeuh Bandung”

$
0
0

Salam Sholawat Sampurasun….

99b8f-sundabaduy“Budaya Nusantara menyimpan begitu banyak bukti melekatnya jejak dawah agama hanif/Islam dlm kehidupan leluhur kita,untuk mengenal kembali sejarah leluhur nusantara, Qisa dan komunitas adat sunda Kabuyutan mempersembahkan:

Deklarasi budaya

“Napak Tatar Kasundaan Nusantara  ti Dayeuh Bandung”

pada hari rabu 24 desember 2014 jam 13-17

bertempat Museum Sri Baduga jln BKR no 185 tegal lega kota bandung,

terbuka untuk umum.DEklarasi budaya Sunda

Acara:

1.Aksi & tafsir seni budaya ka sundaan oleh Abah Yusuf Bakhtiar (sesepuh kabuyutan bandung) dan kabuyutan se bandung,
2.Pemaparan sejarah Nusantara oleh Ahmad Samantho (penulis buku Peradaban Nusantara)
3. Lagu religi: Qisa kolaborasi dgn musisi kabuyutan / “JAS MERAH” jangan sekali kali meninggalkan sejarah (Bung Karno)
Panitia “Panji Parahyangan”



Geopolitik Zaman Edan dan Abstraksi di Era Modern

$
0
0

Geopolitik Zaman Edan dan Abstraksi di Era Modern

Rangga Warsita, Sang Pujangga NusantaraMasih ingat ujaran Rangga Warsita perihal eling ‘lan waspada dalam cuplikan bait Zaman Edan? Apabila ditelusuri, dikaji, lalu dikomtemplasikan secara out of the box, siapa menyangka bahwa untaian bait pujangga Kasunanan Surakarta (1802 – 1873) itu merupakan ajaran geopolitik tingkat tinggi. Entah dulu ditujukan kepada rakyat kala itu, atau barangkali dipersembahkan untuk anak cucu di masa depan melalui kiasan (sastra) secara filosofi, maka tergantung the man behind the gun dalam sistem apapun.

Walau prakteknya kini, oleh beberapa kalangan, ujaran eling lan waspada lebih diartikan (dan cenderung dilarikan) ke ranah spiritual. Kenapa ia tidak dijadikan titik pijak kajian terhadap hal-hal yang lebih besar, kompleks dan strategis? Kembali pada urgensi the man behid the gun di atas, siapa mampu menangkap hal tersirat daripada yang tersurat, siapa bisa menguak sesuatu terdalam dari yang dianggap paling dalam. Begitulah hakiki ajaran.

 

Mari simak penggal ajarannya yang dikenal dengan sebutan “Zaman Edan”. Konon istilah ini kali pertama diperkenalkan dalam SERAT KALATIDA yang terdiri atas 12 bait tembang sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:

 

amenangi zaman édan,

éwuhaya ing pambudi,

mélu ngédan nora tahan,

yén tan mélu anglakoni,

boya keduman mélik,

kaliren wekasanipun,

ndilalah kersa Allah,

begja-begjaning kang lali,

luwih begja kang éling klawan waspada.

 

Adapun terjemahannya adalah:

 

menyaksikan zaman gila,

serba susah dalam bertindak,

ikut gila tidak akan tahan,

tapi kalau tidak mengikuti (gila),

tidak akan mendapat bagian,

kelaparan pada akhirnya,

namun telah menjadi kehendak Allah,

sebahagia-bahagianya orang yang lalai,

akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

 

Ajaran Rangga Warsita di muka tadi, saya sebut ‘Geopolitik Zaman Edan’ sesuai judul tulisan ini, atau boleh juga dinamai ‘Geopolitik Eling lan Waspada’ selaku sari ajaran. Silahkan pilih mana.

 

Ya. Eling itu bahasa Jawa, artinya ingat. Ingat kepada siapa? Secara horizontal, siapa lagi? Kalau tidak ingat akan jati diri baik selaku pribadi, keluarga terutama jati diri sebagai bangsa, selain paling utama —secara vertikal— ialah mengingat Tuhannya (Wirid/Dzikir). Inilah salah satu substansi ajaran beliau.

 

Kemudian abstraksi horizontal misalnya, bahwa selama ini kita dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, pasrah, rukun, toleran, dst yang pada gilirannya menjadi ciri dalam percaturan dunia sekaligus (mungkin) sebagai merek bangsa selaku bagian integral warga dunia. Tidak boleh dielak, brand atas kerukunan serta keramahan bangsa ini pernah mengglobal. Maka ibarat koin emas, brand tersebut laku keras dimana saja. Indonesia disukai banyak bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan Ban Kie Moon, selaku Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kemarin pun menyatakan secara resmi pada forumUnited Nation Alliance of Civilization (UNAOC) ke-6 yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Centre, Bali, Jumat (29/8/2014), “Indonesia merespentasikan kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan, hal itu merupakan cerminan dari semboyan Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika atau Unity in Diversity yang kita angkat sebagai tema UNAOC 2014,” kata Ban. “Lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika, saya berharap akan muncul saling pengertian antarbangsa di dunia, menghindari terjadinya konflik dan korban jiwa dari warga sipil, serta mendorong kemajuan yang baik bagi peradaban dunia,” lanjut Ban.

 

Akan tetapi, dari tinjauan internal sendiri, justru terasa bahwa warga kini telah berubah “galak”. Ada apakah gerangan? Muncul benih intoleransi, saling curiga bahkan kerapkali terlihat beringas, terutama manakala menyikapi warna-warni perbedaan yang dulu justru dimaknai sebagai ‘taman sari’ Indonesia. Unity in Diversity. Riskannya kini, rakyat mudah ditunggangi oleh anasir-anasir asing yang sepertinya tidak menginginkan kondisi gayengdan guyub tersebut. Betapa sedih, ketika rakyat hanyut diadu-domba, maka perhatiannya teralih cuma di hilir persoalan, tidak lagi mampu — apalagi peduli terhadap hal-hal penting, strategis, yang merupakan hulu permasalahan bangsa. Mereka gampang diperalat untuk memberangus dan menindas sesama atas nama perbedaan suku, ras, sosial budaya (dan bahkan agama). Pada gilirannya,  semakin lama kian terasa bahwa republik ini — ibarat kapal di tengah samudera—- sedang oleng dihantam badai (konflik) internal. Inilah sekilas tinjauan keadaan zaman dari perspektif  ELING-nya sang pujangga.

 

Selanjutnya, makna waspada pada “geopolitik”-nya Rangga Warsita adalah kecermatan dan sikap (budi) kehati-hatian terhadap lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah. Apa boleh buat. Gerak memang keniscayaan, perubahan adalah kepastian, dan keduanya tak bisa dilawan. Dengan kata lain, siapapun ‘kita’ tidak akan dapat menghindar dari perubahan (dan kemajuan) peradaban. Tersirat pesan sang pujangga, mutlak kita harus memiliki kewaspadaan atas segala sesuatu yang datang-pergi silih berganti, terutama kewaspadaan pada nilai-nilai yang masuk, khususnya lagi terhadap nilai dan ideologi apapun yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa. Intinya, bangsa ini tidak boleh lupa akan jati diri, oleh karena status orang lupa itu hukumnya seperti sosok yang gundah hatinya, bingung pikirannya. Lalu dalam bersikap dan bertindak, orang bingung pun cenderung menuruti (ego) sendiri. Sak karepe dewe. Merasa hebat, ingin benar sendiri, maunya menang sendiri, padahal hakiki bingung ialah tidak paham akan jati (diri)-nya sendiri.

 

Dari fenomena sekilas di atas, sang pujangga telah mengingatkan jauh-jauh hari melalui bait-bait sastranya, “ …sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.”  Pertanyaannya adalah, bagaimana menjadi bangsa bahagia (dan makmur), sedang kita sendiri gagal mengingat, niscaya cenderung (lupa) terseret arus dan (bingung) terombang-ambing ombak (globalisasi) lingkungan yang selalu berubah. Mana kewaspadaan sebagai diri dan bangsa?

 

Milan Kundera berkata, “Perjuangan melawan kekuasaan (zalim) adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Inilah urgensi sejarah sebagai alat bangsa guna melawan lupa. Bangsa yang tidak mempelajari sejarah, akan mengalami amnesia, dan niscaya terjengkang pada lubang (kekeliruan) yang sama hanya berbeda bentuk dan model belaka. Jas Merah, kata Bung Karno (BK), “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

 

Berbasis data serta pengalaman empirik, salah satu pola kolonialisme ialah ‘menghancurkan dulu sejarah negeri yang dijajah’ — maka pantaslah apabila tata cara seperti itu dijadikan metode baku dalam kolonialisme. Juri Lina, penulis Swedia menyatakan pada buku Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry(2004), “Bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri, antara lain: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya, (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.”  Dan tak kurang, pointers diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit (17/1/2013) cenderung menebalkan asumsi Lina tadi. GFI mensinyalir, ada hal-hal berulang dalam kolonisasi di muka bumi yaitu ‘pengaburan atau pembengkokan sejarah leluhur di negara koloni (terjajah)’. Itulah agenda besarnya.

 

Menurut GFI, langkah-langkah pengaburan histori bangsa terjajah melalui beberapa tahapan antara lain: pertama, penghancuran bangunan fisik agar generasi baru tidak dapat mengenali (bukti-bukti) kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain tak bisa menarik hikmah dan mengutip nilai-nilai emas histori sebagai teladan sebab tidak dapat dibuktikan secara ilmiah; kedua, diputus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya bodoh, primitif, tidak beradab, penyembah berhala, dan lain-lain; ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah.

 

Inti kedua asumsi tadi sepintas identik, hanya GFI menambahkan poin: ‘dibuat sejarah baru versi penjajah’ — hal inilah yang tidak terlintas di benak Lina. Entah kenapa, atau mungkin negaranya tidak pernah dijajah? Bisa jadi. Memang ada beberapa negara yang tidak pernah dijajah seperti Arab Saudi, Islandia, SWEDIA, Nepal, Denmark, Norwegia, Thailand. dan Turki.

 

Dalam konteks (geopolitik) global, Indonesia dianggap mengalami amnesia. “LUPA AKAN JATI DIRI.” Betapa negeri agraris beriklim tropis dengan dua musim dan curah hujannya tinggi, kenapa mesti mengimpor berbagai komoditi yang sebenarnya berlimpah ruah di Bumi Pertiwi? Celakanya lagi, komoditi yang diimpor justru berasal dari berbagai negara empat musim. Sungguh ironi. Bukankah peluang untuk cocok tanam dan berproduksi lebih besar di negeri dua musim seperti takdir Ibu Pertiwi daripada di negeri-negeri empat musim? Indonesia itu anak kandung matahari dimana sinar mentari tidak pernah bosan menyinari buminya. Tetapi agaknya, para elit politik dan segenap pengambil kebijakan di negeri ini enjoy saja menjalani ironi geopolitik semacam ini. Kenapa? Adakah mereka benar-benar tidak memahami (takdir) geopolitik negerinya sendiri, atau pura-pura tidak paham karena faktor fee dari berbagai impor komoditi bila dibanding dengan melemahnya martabat, tergerusnya nilai kedaulatan dan nasib anak cucu kelak?

 

Hidup memang pilihan. Maka pertanyaannya, “Pilih menjadi komprador atau nasionalis?” Silahkan memilih mana. Adalah hak setiap warga negara, kendati tidak sedikit yang enjoysebagai pengkhianat, namun banyak pula yang rela gelisah menyaksikan carut marut bangsa ini akibat laku komprador. Mereka tetap memilih gelisah sebagai kaum nasionalis daripada komprador. Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak ‘kembang sore’ dan ‘bunga –bunga sedap malam’. Dan saya memiliki keyakinan, bahwa kejayaan Indonesia sudah di depan mata. Bagi segenap anak negeri, nasionalisme adalah pilihan utama, sedangkan komprador sebenarnya cuma pelarian atas jiwa-jiwa kompromis dan (mungkin) KEGUGUPAN MENGHADAPI HARI TUA serta akibat hedonisme yang membadai sebagaimana penggalan syair (geopolitik) Rangga Warsita:

 

“… menyaksikan zaman gila,

            serba susah dalam bertindak,

            ikut gila tidak akan tahan,

            tapi kalau tidak mengikuti (gila),

tidak akan mendapat bagian..”

 

Dan agaknya, keadaan inikah yang tengah menerjang Ibu Pertiwi?

 

Sekarang kita membahas penitrasi nilai dan ideologi asing di Indonesia dari perspektif  ‘geopolitik eling lan waspada’-nya sang pujangga. Tak boleh dipungkiri,  di satu pihak, meski secara de jure, ideologi bangsa ini adalah Pancasila namun dalam implementasi sudah jarang disebut (apalagi diamalkan?). Di pihak lain, liberalisme sebagai nilai bahkan ideologi asing telah “diterima  masyarakat” kita hampir tanpa kritik tanpa selidik. Inilah yang kini terjadi.

 

Menurut Dina Y Sulaeman, salah satu research associate GFI dalam artikelnya bertajuk “Tentang Liberalisme Ekonomi (2): Membongkar Kerapuhan Asumsi Liberalisme”. Bahwa benang merah liberalisme yang telah merambah di segala sektor dapat dilacak muaranya. Misalnya, ketika liberalisme digunakan dalam ilmu agama, muncul teori bahwa manusia memiliki kebebasan untuk merevisi agama. Argumennya, toh agama dilahirkan untuk kebahagiaan manusia. Ketika aturan agama sudah tidak sejalan lagi dengan standar kebahagiaan zaman kini, manusia sah-sah saja melakukan revisi. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi politik, lahirlah teori demokrasi; semua warga berhak memilih sendiri pemimpinnya dan menentukan sendiri aturan hukum bagi diri mereka sendiri. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi ekonomi, maka lahirnya teori pasar bebas: biarkan semua orang beraktivitas dalam pasar, jangan ada intervensi pemerintah. Argumennya, manusia adalah makhluk rasional, dia akan mampu melakukan pilihan-pilihan rasional dalam bertransaksi sehingga mampu meraih keuntungan maksimal bagi dirinya. Ketika semua manusia rasional, pasar (proses jual-beli) akan berjalan dengan sendirinya dengan teratur. Jangan ada intervensi pemerintah untuk mengurusi pasar. Biarkan saja pasar beroperasi sendiri.

 

Sebagaimana isyarat di muka, geliat ekonomi pasar bebas niscaya membuat siapapun tidak dapat menghindar arus modal asing masuk di internal negeri, yang gilirannya akan cenderung ikut pula menguasai aset-aset negara. Inilah keniscayaan peradaban. Kita tidak perlu xenophobia, tetapi juga jangan terbawa oleh arus besar, karena hal tersebut —jika terseret arus— membuat lupa akan jati diri. Kita tak boleh lupa dengan pakem nusantara dan konstitusi negara. Jika lalai, maka ibarat orang tersesat, meski sudah tahu bahwa rute yang dijalani keliru tetapi terus (ndableg) menyusuri jalur jalan dengan tata cara menduga-duga. Tentu kian jauh tersesat. Lazimnya jika tersesat, siapapun mestinya kembali dulu ke titik awal.

 

Sudah mengerti bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu harus dikuasi negara, ini malah dijual ke asing; apakah ‘mereka’ tidak paham bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara serta dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, kok masih juga dan hendak dilego atas nama globlalisasi, IPO, privatisasi, dan akuisisi?

 

Semakin lama negeri ini kian terjerumus di lubang imperialisme modern berkedok soft loan,atau structural adjustment programme (SAP) dan lain-lain. Oleh sebab faktor lupa, bangsa ini menjadi lengah dan tidak mampu melihat modus kolonialisme baru via gerak investasi asing, liberalisme, pasar bebas, dan seterusnya. Maka inilah ujud jalan yang menyesatkan namun terus juga dilalui oleh elit-elit bangsa dengan berbagai alasan, pembenaran teori, dll. Seharusnya kita kembali ke titik awal (UUD 1945) agar tidak tersesat kian dalam.

 

Telah beberapa pemilihan umum digelar, tidak juga datang patriot sejati memimpin negeri ini. Sebaliknya, sejak dekade 2000-an melalui model pemilu langsung, atau pemilihan kepada daerah (pilkada) berpintu one man one vote dalam skema ‘otonomi daerah’ malah merekomendasi dan melegitimasi penjahat jadi pejabat publik, mengubah syetan duduk sebagai tuan-tuan bahkan seringkali menjadi ‘tuhan’. Banyak Petruk dadi Ratu di antero negeri. Apa boleh buat. Tak boleh gebyah uyah menilai memang, karena tidak semuanya begitu. Ada sedikit sosok patriot lahir dari model pemilihan semacam ini. Namun secara umum, bangunan asumsi dalam sistem politik kita kini, bahwa dengan bermodal pencitraan, rakyat cenderung tertipu. Keliru memilih, lalu menyesali atas pilihan sendiri.

 

Di tengah gelombang amnesia bangsa ini, pilihan-pilihan publik selalu dilandasi sensasi dan tampilan citra sosok yang berbasis modus tebar sembako, money politic, pengheroan di media mainstream, banyaknya banner, riuhnya tancap baliho, dll maka “Jadilah!”,  bimsalabim! Bukankah citra itu realitas semu belaka; bukankah sensasi itu belum bekerja dan tidak membuat sejahtera? Ia tak nyata. Keduanya, baik sensasi maupun pencitraan itu semacam aroma masakan, baru tercium baunya belum rasanya! Atau juga seperti sihir, mimpi di siang bolong.

 

Maka inti asumsi GFI menyikapi dinamika politik serta kondisi ini, bahwa model politik semacam ini yang berkuasa adalah pemilik modal, para donatur di balik layar. Pertanyaannya, “Kenapa semua terjadi di Bumi Pertiwi?” Jawabannya sederhana, “Kita abai terhadap ajaran ‘eling dan waspada’-nya Rangga Warsita.” Ajarannya malah dilarikan ke ranah spiritual dalam konteks mikrokosmos. Jagad cilik, jagad gede!

 

Kita mundur sejenak untuk mengulas sekilas nasehat Milan Kundera tentang perjuangan melawan lupa. Ya, hakiki Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955) misalnya, inti ruhnya juga “geopolitik eling dan waspada”. Tak bisa tidak. Eling atau selalu ingat —ini ujud perjuangan melawan lupa— supaya bangsa-bangsa di Dunia Ketiga khususnya, agar senantiasa menggelorakan SEMANGAT ANTI-IMPERIALISME. Bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan di muka bumi. Itu pesan tersirat yang harus diingat. Dan juga mutlak WASPADA terhadap lingkungan yang senantiasa berubah. Artinya, berbekal pakem eling dan waspada inilah sebuah bangsa akan mampu mempeta (mapping) apapun baik pergerakan pola, perubahan bentuk maupun modus-modus penjajahan model baru nantinya.

 

Agaknya, cuplikan pidato pada konferensi di Bandung masih sangat relevan guna memotret fenomena yang sekarang berlangsung di beberapa negara Asia-Afrika, terutama ‘topan badai’ yang menerpa Indonesia, “Kolonialisme juga memiliki penampilan yang modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan juga kontrol fisik yang dilakukan sekelompok kecil orang asing dalam sebuah bangsa.” (BK, 1955).

 

Apabila ingin mengkaji statement BK di atas, awal pertanyaan selidiknya adalah, “Apakah ekonomi kita dalam kendali asing; benarkah sebagian tokoh dan kaum intelektual Indonesia dalam kontrol pihak luar?” Lalu, apa saja bentuk kontrol fisik oleh segelintir orang asing kepada bangsa kita? Ini dulu yang harus dijawab dan mutlak di-breakdown sebelum membahas hal-hal yang lebih dalam. Namun sementara abaikan dulu, kita akan bahas pada artikel lain, mari lanjutkan tulisan sederhana ini.

 

Dan ternyata, banyak dari kita lupa pada semangat itu. Semangat anti-imperialisme. Akibatnya semakin lama justru kian terjajah. Tanpa sadar, kekayaan alam (SDA) dijual habis-habisan, lalu ditawar-tawarkan kepada bangsa luar atas nama investasi, menarik modal asing, IPO dan lain-lain. Jadi teringat ujaran BK terkait antisipasi kolonialisme jenis baru di era modern kelak, “Biarlah kekayaan alam kita tersimpan sampai nanti putra-putra bangsa ini mampu mengolahnya sendiri”

 

Menyikapi hal tersebut, ada empat unsur retorika yang tak mampu dibendung, “Apakah kebijakan (obral SDA dan aset negara) tersebut, semata-mata demi kemakmuran rakyat, atau hanya sekedar pencitraan, atau karena politik balas budi, atau jangan-jangan untuk meraih fee yang tak seberapa bila dibanding nasib generasi penerus nantinya?” Entahlah. Dan tampaknya, para elit dan segenap pengambil kebijakan di republik ini lupa atas tampilnya kembali neo-imperialisme sesuai isyarat BK di atas.

 

Ya, geopolitik memang dapat dipandang sebagai (ilmu) teori, wawasan, konsepsi, dan lain-lain, akan tetapi bila geopolitik diabstraksikan sebagai KEADAAN TERTENTU, maka sesungguhnya Indonesia kini telah masuk ke dalam kubangan “Zaman Edan” sebagaimana ujaran Rangga Warsita, sang pujangga.

 

Bangun dan bangkitlah bangsaku!

 

Jaran Kepang, ekspresi sosok kesurupan akibat kemasukan "sesuatu" dari luar ...Jaran Kepang, ekspresi sosok kesurupan akibat kemasukan “sesuatu” dari luar …

 

Rangga Warsita, Sang Pujangga NusantaraRangga Warsita, Sang Pujangga Nusantara

 

 


Article 2

$
0
0

BUDAYA KEPULAUAN DAN NEGARA MARITIM

Peradaban kepulauan mengandung arti kesatuan laut dan darat.

Laut dan darat adalah kesatuan yang tidak dipisahkan.

Memadukan budaya laut dan pulau melahirkan budaya Bhinneka Tunggal Ika”

(Deklarasi Teluk Jakarta: Mufakat Budaya Indonesia)

 Philips Tangdilintin

Sekretaris Dewan Pakar ISKA Sulsel

 Philips TangdilitinBudayawan-filsuf Ishak Ngeljaratan kembali mendapat pengakuan sebagai cendekiawan kondang nasional. Beliau diminta menjadi keynote speaker pada Temu Akbar-II ‘Mufakat Budaya Indonesia’, FGD (Focus Group Discussions) Menuju World Culture Forum Bali II, 2015. Sekitar 150 tokoh, cendekiawan, spiritualis, ilmuwan, budayawan, seniman, insan media, dan pemuda menghadiri Sidang Pleno dan Komisi dari tanggal 28-30 Nopember di Jakarta Utara, dan menghasilkan rumusan bersama dengan nama “Deklarasi Teluk Jakarta 2014” menyusul “Deklarasi Cikini” yang dihasilkan oleh Temu Akbar-I, 2009. Nama deklarasi diambil dari nama lokasi pertemuan, tempat lahirnya deklarasi. Sayangnya, peristiwa penting dan strategis itu praktis luput dari liputan media masa.

Adalah budayawan kondang Radhar Panca Dahana, penanggungjawab Temu Akbar-II yang langsung menelpon dan mengundang beliau sebagai keynote speaker bersama Daoed Joesoef. Ketika Ishak bertanya “mengapa justru minta orang desa untuk menjadi keynote speaker di acara sepenting itu”, Radhar berkomentar: “Kami mencari cendekiawan sejati yang pemikirannya autentik dan jujur, belum terkontaminasi berbagai kepentingan pragmatis”. Topik makalah Ishak “Indonesia Yang Semakin Indonesia” disampaikan dariatas mimbar dengan gaya seorang demagog sehingga benar-benar memukau hadirin dan menuai pengakuan tulus Radhar dkk. Konsep-konsep kunci Ishak seperti ‘akseptansi’(sebagai ganti ‘toleransi’) langsung menjadi istilah kunci dalam diskusi-diskusi komisi dan mewarnai deklarasi.

Inferioritas Budaya

Temu akbar ini nampaknya bertolak dari kondisi kian memrihatinkan dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Berbagai konflik horizontal menandai keretakan sosial dalam masyarakat kita yang selalu membanggakan diri sebagai bangsa yang agamis-religius. Yang paling memrihatinkan, berbagai kekerasan itu justru membawa-bawa atribut agama. Agama sudah direndahkan menjadi alat politik praktis dan kepentingan pragmatis-ekonomis.

Karena agama sudah menjadi bagian dari masalah, kita membutuhkan pendekatan budaya untuk merekat kembali bangsa kita. Namun, kita juga sadar sedang mengalami entropi kebudayaan, dimana budaya lokal-etnis diakui bahkan dibanggakan tetapi tidak lagi fungsional dalam memandu perilaku; lebih banyak dijadikan bahan seminar, diskusi, kajian akademik dan penelitian yang hasilnya tersimpan rapih di perpustakaan. Karena menderita inferioritas budaya, kita lebih suka mendewakan dan meniru budaya asing. Dalam Lokakarya Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman Sulawesi Selatan di Makassar medio Oktober 2014 lau, seorang pemudi dengan cerdas dan lantang menyatakan “bangsa kita ini dapat dipetakan atas dua kelompok: kalau tidak kebarat-baratan, ya kearab-araban!”

Disinilah letak nilai strategis dari Temu Akbar-II, yang bahkan mencatat betapa budaya cangkokan yang diarahkan oleh kepentingan asing menimbulkan eksploitasi pada kekayaan alam dan budaya Indonesia, tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, malah justru memperluas pelanggaran HAM.

Peran Cendekiawan

Indonesia adalah Negara Kepulauan yang sedang membangun diri menjadi Negara Maritim. Suatu negara layak menyandang predikat Negara Maritim bila sudah mampu menjaga kedaulatan di laut dan berhasil menguasai-mengolah-menggunakan kekayaan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Disamping itu, sebagaimana ditegaskan dalam deklarasi, Indonesia juga harus merevitalisasi peradaban kepulauan sebagai dasar kebudayaan bangsa. Peradaban kepulauan mengandung arti kesatuan laut dan darat. Laut dan darat adalah kesatuan yang tidak dipisahkan. Memadukan budaya laut dan pulau melahirkan budaya Bhinneka Tunggal Ika. Pembangunan Indonesia ke depan semestinya memperhatikan keseimbangan laut dan darat; orientasi kelautan harus diarusutamakan dalam setiap kebijakan publik. Kebudayaan Indonesia adalah pertemuan ratusan suku bangsa serta asal daerah, agama dan kepercayaan yang harus diperlakukan setara.

Disinilah kita sangat membutuhkan peran dan panduan kaum intelektual. Sayangnya, temu akbar juga mencatat bahwa kini kita menghadapi krisis peran intelektual. Elite bangsa ini lebih mengedepankan sikap materialistik-hedonistik. Produk elite politik hanya menghasilkan penumpulan hukum, intoleransi terhadap perbedaan dan kompetisi kekuasaan yang menghamba pada kepentingan para komprador, baik dalam maupun luar negeri. Perilaku para cendekiawan terutama yang menjadi elite partai politik tidak menyisakan lagi budaya dan kearifan lokal terutama dalam penanganan konflik internal, karena orientasi mereka adalah kekuasaan dan jabatan semata.

Rekomendasi

Oleh karena itu tantangan kita ke depan adalah menjabarkan gagasan-gagasan strategis yang dihasilkan Temu Akbar-II, kedalam program-program aksi. Khususnya yang sudah dirumuskan dalam empat rekomendasi berikut. (1) Kita harus memperjuangkan lahirnya budaya integratif yang bersifat merangkul, setara, menerima perbedaan, untuk memadu kerjasama. Untuk mengatasi agresivitas dan kekerasan, baik struktural maupun kultural, dalam interaksi sosial, perlu mengaktualisasikan kembali peran kearifan lokal sebagai solusi konflik. (2) Restorasi kebudayaan harus menempatkan kembali pelajaran menulis, mengekspresikan bahasa, termasuk bahasa dan seni lokal, sebagai alat penghalusan budi pekerti, kesantunan dan pendalaman akal budi. Bahasa Indonesia harus dirawat di tengah kecenderungan kontaminasi bahasa asing. Bahasa Indonesia harus diberdayakan sebagai medium untuk memperkaya prestasi kultural.  (3) Menumbuhkan peran masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik melalui pemberdayaan lembaga-lembaga penyiaran, seperti radio, televisi dan media cetak serta lembaga penyiaran komunitas agar tidak dihela pasar semata, namun justru menyampaikan aspirasi kekinian publik, nilai-nilai kearifan lokal dan Pancasila. (4) Penyelenggara negara harus hadir sebagai penjamin utama bagi seluruh proses restorasi kebudayaan dan membangkitkan kembali peradaban kepulauan Indonesia, karena ketidakhadiran peran negara merupakan pengkhianatan terhadap sejarah, konstitusi dan amanah yang telah diberikan oleh rakyat.


MUFAKAT BUDAYA INDONESIA

$
0
0

MUFAKAT BUDAYA INDONESIA

“Kebudayaan Indonesia adalah pertemuan ratusan suku bangsa

serta asal daerah, agama dan kepercayaan yang harus diperlakukan setara”

 

Philips Tangdilintin

Sekretaris Dewan Pakar ISKA Sulsel

 

Tanggal 28-30 November 2014 yl, telah berlangsung satu peristiwa penting dan strategis yang praktis luput dari perhatian dan liputan media: Temu Akbar II 2014 ‘Mufakat Budaya Indonesia’, FGD (Focus Group Discussions) Menuju World Culture Forum Bali II, 2015. Sekitar 150 tokoh, cendekiawan, spiritualis, ilmuwan, budayawan, seniman, insan media, dan pemuda menghadiri Sidang Pleno dan Komisi, dan menghasilkan rumusan bersama yang diberi nama Deklarasi Teluk Jakarta 2014, menyusul Deklarasi Cikini yang dihasilkan oleh Temu Akbar-I 2009. Kedua deklarasi itu diambil dari nama lokasi pertemuan, tempat lahirnya deklarasi.

Yang menarik dari Temu Akbar-II ini adalah dihadirkannya budayawan-filsuf Sulsel kelahiran Tanimbar, Ishak Ngeljaratan, sebagai keynote speaker bersama Daoed Joesoef. Adalah budayawan kondang Radhar Panca Dahana, penanggungjawab Temu Akbar-II yang langsung menelpon dan mengundang beliau. Ketika Ishak bertanya “mengapa justru minta orang desa untuk menjadi keynote speaker di acara sepenting itu”, Radhar berkomentar: “Kami mencari cendekiawan sejati yang pemikirannya autentik, belum terkontaminasi oleh berbagai kepentingan pragmatis”. Topik materi yang disampaikan Ishak “Indonesia Yang Semakin Indonesia” disampaikan dari mimbar dengan gaya seorang demagog sehingga benar-benar memukau hadirin dan menuai pengakuan tulus Radhar. Konsep-konsep kunci Ishak seperti ‘akseptansi’(sebagai pengganti ‘toleransi’) langsung menjadi istilah kunci dalam diskusi-diskusi komisi dan mewarnai deklarasi.

Budaya Cangkokan

Urgensi dan nilai strategis dari temu akbar ini nampaknya bertolak dari kondisi memrihatinkan dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Berbagai konflik horizontal menandai keretakan sosial dalam masyarakat kita yang selalu membanggakan diri sebagai bangsa yang agamis-religius. Yang lebih memrihatinkan, kekerasan di berbagai daerah justru membawa-bawa atribut agama, karena agama sudah dijadikan alat politik praktis dan kepentingan pragmatis-ekonomis.

Maka ketika agama justru menjadi bagian dari masalah, kita membutuhkan pendekatan budaya untuk merekat kembali bangsa kita. Namun, kita juga sadar sedang mengalami entropi kebudayaan, dimana budaya lokal-etnis diakui bahkan dibanggakan tetapi tidak lagi fungsional dalam perilaku; lebih banyak dijadikan bahan seminar, diskusi, kajian akademik dan penelitian yang hasilnya tersimpan rapih di perpustakaan. Karena menderita inferioritas budaya, kita lebih suka mendewakan dan meniru budaya asing. Dalam Lokakarya Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman Sulawesi Selatan di Hotel Jolin Makassar 14-23 Oktober 2014, seorang pemudi dengan cerdas dan lantang menyatakan “bangsa kita ini dapat dipetakan atas dua kelompok: kalau tidak kebarat-baratan, ya kearab-araban!”

Temu Akbar-II bahkan mencatat, budaya cangkokan yang diarahkan oleh kepentingan asing menimbulkan eksploitasi pada kekayaan alam dan budaya Indonesia, tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, malah justru memperluas pelanggaran HAM.

Negara Maritim?

Indonesia adalah Negara Kepulauan yang sedang membangun diri menjadi Negara Maritim. Suatu negara layak menyandang predikat Negara Maritim bila sudah mampu menjaga kedaulatan di laut dan berhasil menguasai-mengolah-menggunakan kekayaan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Disamping itu, sebagaimana ditegaskan dalam deklarasi, Indonesia juga harus merevitalisasi peradaban kepulauan sebagai dasar kebudayaan bangsa. Peradaban kepulauan mengandung arti kesatuan laut dan darat. Laut dan darat adalah kesatuan yang tidak dipisahkan. Memadukan budaya laut dan pulau melahirkan budaya Bhinneka Tunggal Ika. Pembangunan Indonesia ke depan semestinya memperhatikan keseimbangan laut dan darat; orientasi kelautan harus diarusutamakan dalam setiap kebijakan publik.

Disinilah kita sangat membutuhkan peran dan panduan kaum intelektual. Sayangnya, temu akbar juga mencatat bahwa kini kita menghadapi krisis peran intelektual. Elite bangsa ini lebih mengedepankan sikap materialistik-hedonistik. Produk elite politik hanya menghasilkan penumpulan hukum, intoleransi terhadap perbedaan dan kompetisi kekuasaan yang menghamba pada kepentingan para komprador, baik dalam dan luar negeri.

Harapan kita kini terarah pada program-program pro-rakyat Kabinet Kerja yang sedang bekerja keras dan cerdas. Untuk pertama kalinya kita menyaksikan pemerintahan yang benar-benar bergerak cepat dan berani mengambil langkah terobosan di berbagai bidang, khususnya di bidang kelautan. Kita berharap saja semoga parlemen yang dikuasai oleh “koalisi sementara permanen” KMP tidak terus menggunakan berbagai trik dan intrik untuk mengganjal program-program pro-rakyat tersebut.

Rekomendasi

Akhirnya, tugas kita ke depan adalah mendukung dan menjabarkan gagasan-gagasan strategis yang dihasilkan Temu Akbar-II, kedalam program aksi. Khususnya yang sudah dirumuskan dalam empat rekomendasi berikut. (1) Kita harus memperjuangkan lahirnya budaya integratif yang bersifat merangkul, setara, menerima perbedaan, untuk memadu kerjasama. Untuk mengatasi agresivitas dan kekerasan, baik struktural maupun kultural, dalam interaksi sosial, perlu mengaktualisasikan kembali peran kearifan lokal sebagai solusi konflik. (2) Restorasi kebudayaan harus menempatkan kembali pelajaran menulis, mengekspresikan bahasa, termasuk bahasa dan seni lokal, sebagai alat penghalusan budi pekerti, kesantunan dan pendalaman akal budi. Bahasa Indonesia harus dirawat di tengah kecenderungan kontaminasi bahasa asing. Bahasa Indonesia harus diberdayakan sebagai medium untuk memperkaya prestasi kultural.  (3) Menumbuhkan peran masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik melalui pemberdayaan lembaga-lembaga penyiaran, seperti radio, televisi dan media cetak serta lembaga penyiaran komunitas agar tidak dihela pasar semata, namun justru menyampaikan aspirasi kekinian publik, nilai-nilai kearifan lokal dan Pancasila. (4) Penyelenggara negara harus hadir sebagai penjamin utama bagi seluruh proses restorasi kebudayaan dan membangkitkan kembali peradaban kepulauan Indonesia, karena ketidakhadiran peran negara merupakan pengkhianatan terhadap sejarah, konstitusi dan amanah yang telah diberikan oleh rakyat.


KRITIK PEMIKIRAN ISLAM ATAS MARX TENTANG MATERIALISME SEJARAH (HISTORICAL MATERIALISM)

$
0
0

ABSTRAK
KRITIK PEMIKIRAN ISLAM ATAS MARX TENTANG MATERIALISME
SEJARAH (HISTORICAL MATERIALISM)
(Aspek filsafat dan perkembangan ekonomi pemikiran Marx)
Oleh:
Munandar Sulaeman
Staf Pengajar Program Pascasarjana FISIP; Staf Lab. Sosiologi Penyuluhan Fapet
Universitas Padjadjaran Bandung; Email : mdr_Sul @yahoo.com

Abstract
Understanding of Marx’s theory still felt limited both the substance and assess its relevance to current conditions, let alone discuss or criticize. Literature study is expected to clarify the concept or theory of historical materialism, both in terms of philosophy and sociology and economics, as well as the possibility of criticism. Marx ‘s thesis that human history is a history of mastery of the material; thinking is the result of modification and transformation of the philosophy of Hegel and Feuerbach thought. Marx criticized Hegel’s philosophical thinking (about self-creation) and criticize the philosophy of Feuerbach pemikirian of mechanistic materialism. Critics of Marx’s historical materialism is synonymous with criticism of materialism , namely the productive forces in society also merupan result of human reason, as thinking people ( social reality ) is the result of force production . Another criticism that the production system ( old ) may also develop other cultural patterns . Groups who live under the same economic and cultural conditions, it can adopts a different thought. The dialectic of history is not a claim on the correct explanation, because the thesis, antithesis and synthesis in the social history of the law . Not always a new stage of history will be higher than the previous stage, often there is a period of disintegration . View of thesis, antithesis and synthesis in the history there is less tendency to examine the differences and will reduce the incidence or occurrence sejarah.Pandangan historical materialism ( dialectic ) is often used or justification to commit acts of violence, but can only change history ( material productive forces ) in the community can do peacefully. Infrastructure and superstructure sometimes there is conflict itself ,and can also be a determinant of cultural history.

Key words : Materials History , Criticism , Dialectics


Pendahuluan

Karl Marx (1818-18183) adalah pemikir teori sosial (sosiologi) yang banyak mempengaruhi pemikir ilmu sosial lainnya dan sekaligus hasil pemikirannya menjadi polemik dikalanganilmuwan sosial. Salah satu tema pemikirannya yang menghubungkan filsafat denganperkembangan sejarah ekonomi, membuahkan pemikiran progresif dan dinamis untuk suatugerakan (action) yaitu materialisme sejarah.

Pengertian materialisme sejarah dijelaskan oleh Engels (dalam “introduction to socialism: utopian and scientific, 1892)1

Historical materialism designote(s) that view of course of history which seeks the ultimate cause and the great moving power of all infortant historic even in the economicdevelopment of society in the change in the mode of production and change, in theconsequent dibvision of society into distinc classes, and the struggle of these classes againt one another. (Materialisme sejarah memberi isyarat bahwa pandangan tentangrangkaian daripada sejarah sebagai rangjkaian sebab utama dan sebagai kekuatanpenggerak yang besar dari seluruh peristiwa-peristiwa sejarah penting di dalamperkembangan ekonomi masyarakat, menurut perubahan pada cara-cara produksi dan pertukaran, yang mempunyai konsekuensi pembagian masyarakat menjadi kelas-kelas yang jelas, dan perjuangan dari kelas-kelas tersebut berlawanan satu dengan yang lainnya).

Pengertian tersebut tersebar dalam karya Marx dan Engels dalam “The German ideology”(1846). Kajian Marx ini tidak lepas dari pengalaman intelektualnya dalam mengkritisi pemikiranfilsafat Hegel (tentang self creation) dan mengkritisi pemikirian filsafat Feurbach tentangmaterialisme mekanistik. Dengan demikian pemikiran tentang materialisme sejarah tidak dapatdilepaskan dari upaya mengkritisi filsafat materialisme dalam konteks sejarah perkembanganekonomi, sehingga perlu mempelajari kritik filsafat Marx terhadap Hegel dan Feurbach. Kritik Marx Terhadap Hegel dan Feurbach

Sebelum muncul pandangan tentang materialisme sejarah dari Marx, maka Hegel (1770-1831) berpendapat bahwa:2
(1). Alam ini adalah proses menggelarnya fikiran-fikiran , sehingga dari proses tersebut timbul proses alam, sejarah manusia, organisme dan kelembagaan masyarakat (pandangan historical idealism).

(2) Bagi Hegel materi adalah kurang riil dibandingkandengan jiwa, karena fikiran atau jiwa adalah esesnsi dari alam.

(3) Dunia menurut Hegel adalah selalu dalam proses perkembangan (perubahan).

Proses perubahan tersebut bersifat dialektika, artinya perubahan-perubahan tersebut berlangsung melalui tahap afirmasi atau tesis, antitesis (pengingkaran) dan sampai pada sintesis atau integrasi. Segala perkembangan baik dalam benda atau dalam ide, terjadi dengan cara mengalahkan kontradiksi (dialektika) 3.

Pandangan Hegel tersebut dikenal dengan filsafat historical idealism. Yang mengartikansejarah adalah sejarah gagasan dan berarti pula bahwa lokomotif perubahan itu adalah gagasan (ide), dimulai dari benak manusia kemudian dilakukan dalam kehidupan manusia Penafsiran lain terhadap pandangan Hegel (dialektika) yaitu bahwa pelajaran sejarah apapun yang ada didalam kehidupan tidak mengikuti perkembangan akumulatif dari masa ke masa. Tetapi perkembangan masyarakat itu justru karena adanya pertentangan (kekuatan contradiction, kontradiksi). Bagi Hegel kontradiksi itu ada di dalam gagasan yang dikenal tesis, antitesis dan sintesis yang dikenal pula dengan dialektika.

Marx menolak idealisme Hegel, ia membalikan filsafat Hegel, dan menyatakan bahwa hanya materi (bukan ide atau gagasan) yang pokok sebagai lokomotif perubahan. Materi yang diperlihatkan oleh organisasi ekonomi dari masyarakat serta cara-cara produksi (mode of production), maka akan menentukan kelembagan politik dan sosial dari masyarakat (superstruktur) . Kekeliruan Hegel menurut Marx dan Engels, karena Hegel menyajikan dalam bentuk mistik. Jika pandangannya dibebaskan dari bentuk mistiknya, maka anggapan sejarah adalah dialektika akan merupakan kebenaran yang dalam. Dialektika bagi Marx dan Engels adalah fakta empirik, yang dapat diketahui dengan penyelidikan tentang alam, yang dikuatkan lebih lanjut oleh hubungan-hubungan sebab akibat yang diperlihatkan oleh ahli sejarah dan sains.

Proses dialektika bukan proses mekanik dan diterministik, tetapi banyak faktor yang berinteraksi, di mana produk bahan keperluan hidup merupakan faktor dominan4. Marx menolak idealisme hegel, tetapi menerima dialektikanya, sehingga historical idealism fikiran Hegel diadopsi aspek historisnya saja dan ditambahkan aspek dialektikanya, sehingga Marx menyusunnya menjadi idealisme sejarah (historical idealism) , yang akhirnya menjadi historical materialism, setelah mengkritik dengan pedas dan mengambil aspek materialisme dari Feurbach .

Demikian pula pandangan Feurbach (1804-1872), dikenal sebagai tokoh pemikiran materialisme mekanik (mechanistic materialism) , pandangannya menolak metafisika . Menurut Feurbach yang penting bagi manusia adalah usahanya bukan akalnya, sebab pengetahuan hanya sebagai alat untuk mencapai usaha manusia berhasil . manusia sebagai makhluk alamiah (Gattung) 5 . Materialisme mekanik adalah sebagai doktrin yang menyatakan bahwa alam itu diatur oleh huku-hukum alam yang dapat dijelaskan oleh sains fisik6.

Demikian pula materialisme mekanik dari Feurbach tidak luput dari kritik Marx, yang ditulisnya dalam Tesis-tesis mengenai Feurbach (Theses on Feurbach). Marx menyatakan bahwa: Pendekatan Feurbach tidak historis, ia membuat manusia abstrak mendahului masyarakat, ia tidak menurunkan manusia menjadi saleh dan gagal melihat bahwa rasa saleh itu sebagai produk sosial. Gagasan Feurbach hanya merupakan “renungan” realitas materi padahal ada realitas timbal balik antara kesadaran dan praksis manusia. Kenyataan material diyakini manusia sebagai penentu kegiatan manusia, tetapi tidak menganalisis modifikasi dunia obyektif dengan subyektif dengan kegiatan manusia Dengan demikian doktrin materialis Feurbach tidak mampu menangani fakta , maka kegiatan revolusioner adalah tindakan manusia yang dilakukan secara sadar dan dikehendaki. Di mana ini dalam kaitan pengaruh “searah” kenyataan materi mempengaruhi gagasan. Keadaan dirubah oleh manusia dan sang pendidik harus dididik7.

Keberatan Marx terhadap para materialis kareana menggunakanmetode dialektis, melainkan statis, sehingga tidak historis. Padahal Marx berusaha menerapkan materialismedialektis bagi kehidupan masyarakat. Marx tidak tahan melihat kenyataan dan tidak mau menggantungkan diri kepada hukum-hukum alam (yang bersifat mekanistik). Manusia dalam pandangan Marx tidak lepas dari hubungan-hubungan kemasyarakatan yang melahirkan manusia. Pertumbuhan manusia menyibukan manusia untuk giat bekerja dan berproduksi.

Dengan demikian Marx mengambil “materialisme” dan meninggalkan unsur filsafat “mekanistiknya” dari pandangan Feurbach, untuk kemudian menggabungkan dengan “historisnya” yang diambil dari Hegel.; Sehingga Marx jalan sendiri dengan hasil adopsi dari kedua filosof tersebut dengan pandangan “materialisme sejarah” dengan menggunakan metode
dialektika dari Feurbach. Marx dalam hal ini menjadi peramu pemikiran filsafat ulung, melalui kritik dan mengembangkannya secara empirik.

Perkembangan Ekonomi (Kekuatan-kekuatan Produksi)

Gagasan brilian Marx yang melakukan kritik dan interpretatif dan melakukan pembalikanterhadap gagasan Hegel dan Feurbach, kemudian melanjutkan pemikirannya dengan menghubungkan ekonomi dengan filsafat. Para filosof kerjanya terbatas hanya berfikir tentang dunia, tetapi yang diperlukan sekarang adalah mengubah dunia. Dari penelitiannya tentang
asejarah perkembangan ekonomi. Bahwa kehidupan manusia seluruhnya ditentukan atau dikuasai oleh hubungan-hubungan ekonomis. Segala aktivitas rohani, ilmu pengetahuan, kesenian, agama,. etika dan politik yang serba superstruktur adalah merupakan endapan dari hubungan-hubungan ekonomi yang ditentukan oleh sejarah. Hakekat manusia adalah mahluk pekerja (homo laborans, homo faber) , hanya bagi Hegel dipandang sebagai manusia abstrak, sedangkan bagi Marx justru kerja adalah sesuatu yang sudah “tercuri” dari manusia.

Pertumbuhan manusia yang pesat, menimbulkan pembagian kerja guna memenuhi keperluan hidupnya. Untuk memenuhi keperluan tersebut adalah “produksi bahan-bahan “. Landasan material hidup kemasyarakatan itu adalah : cara-cara produksi barang material (mode of production). Seingga bagi Marx ada dua faktor yang bekerja pada produksi barang yaitu: 8
1. Kekuatan-kekuatan material yang produktif yang dikenal dengan forces of production, meliputi : (a) material kasar (b) alat-alat produksi (alat kerja, mesin dsb) (c) kecakapan pekerja (skill) dan (d) pengalaman bekerja
2. Hubunga-hubungan produksi, yaitu hubungan-hubungan antar manusia dalam berproduksi yang dikenal social relation of production. Perkembangan yang terus menerus dari kekuatan yang berproduksi di dalam sejarah berpindah-pindah dari generasi masyarakat yang satu kepada kegenerasi masyarakat berikutnya. Menurut Marx Suatu riwayat produk adalah hasil dari tindakan seluruh geberasi yang turun temurun dan tiap generasi berdiri di atas bahu generasi yang mendahuluinya sambil melanjutkan perkembangan kegiatan pergaulannya dan modifikasi orde sosialnya, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang telah berubah. Bahkan obyek-obyek dari kepastian indera yang paling sederhana pun hanya diberikan kepadanya melalui perkembangan sosial, pergaulan kegiatan dan hubungan niaga.

Sejarah perkembangan (cara-cara produksi) bagi Marx adalah hasil dari generasi kegenerasi sesuai dengan orde sosialnya dimana masing-masing generasi saling memberikan landasan untuk generasi berikutnya. Makna sejarah bagi Marx adalah 10:

….Segera setelah proses kehidupan manusia (dalam pengasingan–tidak empiris) dapat dijelaskan, maka sejarah yang hanya kumpulan fakta seperti materialis abstrak atau kegiatan yang ada di dalam bayangan fikiran seperti halnya para
idealis, akan berhenti. Maka nilai ilmu tulen, ilmu positif, yaitu penampakan dari kegiatan praktis dari proses praktis perkembangan ekonomi manusia. Bagi Marx sejarah yang hanya ada dalam pikiran dan materiallisme abstrak adalah tidak mempunyai nilai untuk membangun masyararakatnya. Marx bersemangat untuk menyusun sejarah perkembangan ekonomi yang empirik yang mendorong manusia yang kreatif dan empiris dalam hubungannya dengan alam. Marx mempelajari sejarah dan prinsip-prinsip dan hukum-hukum sosialnya. Masyrakat yang diselidikinya mempunyai dinamika atau logika perkembangan masing masing yang khas intern. Dari satu generasi kegenerasi selanjutnya meneruskan kegiatan tradisionalnya atau memodifikasinya (Distorsiteleologis) tipologi masyarakat yang ditelusuri Marx adalah segi perbedaan progresifnya dan pembagian tenaga kerjanya (seperti dalam naskah naskah 1984) bahwa perluasan pembagian tenaga kerja itu sama artinya dengan pertumbuhan keterasingan dan pemilikan pribadi masyarakat kelas terbentuk dari pemilikan bersama yang secara orisinil tak berbeda namun tergantung kepada spesialisasi pembagian tenaga kerja (misal buruh yang diupah) yang terabaikan dari jangkauan kemampuan sebagai pemproduksi universal.
Menurut Marx …; bahwa tingkat pembagian kerja menentukan pula hubungan-hubungan pribadiantar orang diantara mereka dalam kaitanya dengan bahan-bahan produksi, instrumen, dan hasil kerja11.

Kondisi masyarat dengan tipologi masyarakatnya dipelajari Marx dengan bahan-bahan sejarah Eropa dari masyarakat suku sampai masyarakat kuno (Yunani dan Romawi). Untuk perkembangan kesukuan mengkaji masyarakat timur (India dan Cina). Bahan lain masyarakat suku Jerman dan kekacauan kekaisaran Roma membentuk rangkaian dengan masyarakat feodal Eropa Barat, sehingga sejarah perkembangan ekonominya dideskripsikan dengan tipologi
sebagai berikut

1. Masyarakat primitif ( kesukuan). Ciri masyarakat ini pemilikan tanah bersama, pembagian kerja sederhana, tidak ada kelas, tidak ada milik pribadi, hubungan sosial kekerabatan dan pembagian kerjanya spontan dalam keluarga.
2. Masyarakat purba (Ancient) Ciri masyarakat ini mulai ada perkembangan, penduduk dan perdagangan mulai bertambah. Kemudian untuk mengorganisir sistim produksi mulai tumbuh sistem perbudakan yang efektif dan terspesialisasi. Masyarakat perbudakan menjadi cikal bakal kelas yang akan tumbuh konflik kelas, contohnya bangsa Romawi dan Greek.
3.Masyarakat Feodal. Cirinya dalam kemakmuran bertumpu dalam tanah, struktur yang dihasilkan secara alamiah yaitu aristokrasi feodal yang di dasarkan pada wilayah dan bersifat hirarkis. Tumbuh majikan penguasa feodal yang mengontrol para pengrajin dan pekerja terampil.
4. Masyarakat modern (Kapitalis). Cirinya tumbuh kapitalis, diawali dengan produksi yang melebihi konsumsi, sehingga berkeinginan untuk menjadi pedagang . Pada tahap kapitalis buruh upah proletar memiliki hubungan dengan majikan borjuis semata, sebagai penjual tenaga kerja yang kegiatan produksinya dipergunakan untuk menghasilkan produk-produk yang akan dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal.
5. Masyarakat komunis (scientific communism). Adalah suatu tahap dimana pemilikan pribadi akan lenyap, kekutan-kekutan produksi menjadi milik bersama (communal property). Pribadipribadi akan berinteraksi dalam hubungan-hubungan komunal , tidak hanya ekonomi.

Kritik Terhadap Pemikiran Marx
Kritik terhadap Marx yang dimaksud adalah kritik terhadap pandangannya bahwa sejarh itu bersifat bendawi atau materialisme sejarah sebagai salah satu teori pokoknya Marx, sehingga tidak mengkritisi Marxisme. Sebelum mengkritisi ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bahwa Marx sendiri tidak semarxis pengikutnya, terkadang pada pernyataan tertentu

Marx sendiri memberikan catatan penting tentang pandangannya. Diantarnya pada suatu kesempatan menyatakan : bahwa “Saya tidak se-Marxis anda, saya adalh Marx bukan Marxis”. Kritik yang patut disampaikan mengenai kelestarian suatu teori, teori tentu dasarnya empiric, namun sejarah materi tidak selamanya berlaku untuk masa kini dan mendatang, sehingga teori harus sebagai premis apriori sebagai hasil serangkaian kerja ilmiah logis. Metode ilmiah
demikian tidak terpenuhi pada sejarah materi. 12

Mengenai teori tentang masyarakat sebagai dasar (infrastruktur) adalah ekonomi (ekonomi basis) dan bagian lainya bangunan atas (super struktur) yang dikategorikan nilai, ideology, politik dan budaya, tidak selamanya benar, karena ekonomi sebagai basis tidak selamanya mendahului superstruktur. Adakalanya nilai budaya sejumlah falsafah, kepribadian,
gagasan, pandangan dan nilai agama atau ideologi keagamaan maju mendahuli zamannya.

Marx telah berhasil menyusun tipologi masyarakatnya berdasarkan asumsi metrialisme sejarah. Namun kritik terhadap materialisme sejarah identik dengan kritik untuk materialisme, yaitu kekuatan produksi dalam masyarakat juga merupan hasil akal manusia, sebagaimana pemikiran masyarakat (realitas sosial) adalah hasil dari kekuatan produksi. Kritik lain bahwa dalam sistem produksi (lama) dapat juga mengembangkan corak kebudayaan yang lain. Demikian pula kelompok yang hidup dibawah kondisi ekonomi dan budaya sama, ternyata dapat menganut sistem pemikiran yang berlainan. Kritik lain bahwa dialektika pada sejarah bukanlah suatu klaim penjelasan paling benar, sebab tesis, antitesis dan sintesis dalam sejarah itu senantiasa terjadi. Demikian pula tidak selamanya tahap baru sejarah akan lebih tinggi dari tahap sebelumnya. sering pula ada masa disintegrasi. Pandangan tesis, antitesis dan sintesis dalam sejarah ada tendensi kurang mengkaji perbedaan dan akan mereduksi kejadian atau peristiwa sejarah. Pandangan materialisme sejarah (dialektika) sering digunakan atau pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan, padahal dapat saja perubahan sejarah (kekuatan produksi bahan) dalam masyarakat dapat dilakukan secara damai.

Kritik dari pandangan agama (Islam) berkaitan dengan konsep materialisme sejarah (masyarakat), telah ditegaskan dalam Al Quran bahwa masyarakat terpolarisasi antara masyarakat miskin (tertindas,, lemar, terampas) dan kaya (penindas, para tiran, angkuh, mewah, berlimpah, klik penguasa). Kemudian polarisasi masyarakat dimensi ruhaniah antara orang beriman (tauhidullah, taqwa, saleh, syuhada) dan masyarakat tidak beriman atau kafirun (termasuk musyrik, fasik, mufsid, togut).

Hal tersebut Islam membenarkan adanya realitas kesadaran kelas, sebagai hukum sosial. Namun tidak mutlak bendawi atau materi penentu sejarah. Keberhasilan gerakan moral Islam atau yang membangun masyarakat adalah dari
12 Muttahari, Masyarakat dan Sejarah. Penerbit Mizan. Bandung 1985, hal. 125-144. Muttahri mengkritik secara
luas. Yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini 9 kalangan tertindas atau dhuafa, syahid, kelas massa/ummah.13 Demikian jelas tampaknya bahwa pemikiran sejarah materi terbantahkan oleh sejarah kehidupan manusia itu sendiri sebagai sunatullah atau hukum sosial. Masyarakat dalam Al Quran digambarkan sebagai masyarakat ideal. Masyarakat adalah sebagai ummatan wahidah (masyarakat yang satu), ummatan wasathan (masyarakat pertengahan), ummatan muqtashidah (masyarakat terpuji, tidak berlebihan), khairi ummah (masyarakat yang baik, unggul), Baldatun thoyibah (negeri baik yang bemusyawarah anti kekerasan). 14 Gambaran masyarakat ideal menunjukkan tidak ada masalah dalam pengaturannilai, norma dan juga pengaturan spiritual dan material. Semuanya sudah ada aturan yang jelas, sehingga tidak ada gambaran masyarakat sebagai produksi dari sejarah materi. Masyarakat dalam pandangan Islam bukan hasil proses dan mekanisme sosial budaya materi, tetapi materi dan ruhani sama sama dibangun, sehingga menghasilkan masyarakat ideal.

Footnote:
1 Bottomore T. , Harris, Kiernan, Miliband, A Dictionary of Marxist Thought. (Harvard University, 1983} hlm 206.
2 Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj. Rasjidi (Bulan Bintang,1984) hlm302-306.

3 Sebagai catatan konsep dialektika itu sendiri semula diginakan Fichte (1732-18140 dalam ulasannya yang disebut
triade meliputi tesis, antitesis dan sintesis, kemudian digunakanmetode filsafat oleh Hegel dan diperdalam oleh
Marx dalam praxis masyarakat
4 Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan filsafat, Op. Cit., hlm 302-303

5 Hadiwijono Harun, sari sejarah filsafat 2, (Kanisius Yogyakarta, 1980) hlm 119
6 Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan filsafat, Op. Cit., 1984 hlm 297
7 Engels publikasi asli 1888, dalam Giddens, Capitalism and modern social theory, (London Cambridge University
Press 1985) hlm 20-21.

8 Marx, The materials Forces and the relations of production, Contribution to the critique of political economi
(Publikasi asli 1904) dalam Parson dkk., Theories of Society, (New York, The Free Press, 1965) hlm 136-138.
9 Marx dan Engels, German Ideology, publikasi asli 1965 dalam Giddens, Capitalism and modern social theory, Op.
Cit. hlm. 26-27.

10 Ibid. hlm. 27
11 Bottomore dan Rubel, Karl Marx selected Writing in Sociology and Social Philosophy, dalam Giddens, Op. Cit hlm. 29

13 Telaah Al Quran (S 28:5; S 28:75; S 62:2; S 34:34)
14 Lihat karya Nurdin Ali. Quraniq Society.Penerbit Erlangga Jakarta. 2006, hal 57-118. Telaah Al Quran S 2:213; S
2:143; S 5:66; S3 :10; S 34:15).

Daftar Pustaka
Bottomore T. Harris, Kiernan, Miliband,1983. A Dictionary of Marxist Thought. Harvard
University.
Bottomore dan Rubel, 1965. Karl Marx selected Writing in Sociology and Social Philosophy,
dalam Giddens, 1985. Capitalism and modern social theory, London Cambridge University
Press hlm. 29
Giddens, Capitalism and modern social theory, (London Cambridge University Press 1985) hlm
20-21.
Hadiwijono Harun, 1980. Sari sejarah filsafat 2, Kanisius Yogyakarta, hlm 119
Marx dan Engels, German Ideology, publikasi asli 1965 dalam Giddens,1985. Capitalism and
modern social theory, London Cambridge University Press. hlm. 26-27.
Muttahari Murthada. 1985. Masyarakat dan Sejarah. Penerbit Mizan Bandung Society. Kerja
pansus sudag pacis . semoga lancar
Nurdina Ali. 2006. Quranic
Parsons dkk.1965. Theories of Society, New York, The Free Press, hlm 136-138.
Titus, Smith dan Nolan,1984. Persoalan-persoalan filsafat, Penerbit Bintang Bulan. hlm 297
LAMPIRAN : AYAT SUCI AL-QURAN
10. Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak
(siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan Bakar api neraka,
5. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak
menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)[1112],
[1112] Maksudnya: negeri Syam dan Mesir dan negeri-negeri sekitar keduanya yang pernah dikuasai Fir’aun dahulu.
sesudah kerjaan Fir’aun runtuh, negeri-negeri ini diwarisi oleh Bani Israil.
( Al-Quran S 28 : ayat 5)
11
75. Dan Kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi[1136], lalu Kami berkata “Tunjukkanlah bukti
kebenaranmu”, Maka tahulah mereka bahwasanya yang hak itu[1137] kepunyaan Allah dan lenyaplah dari mereka
apa yang dahulunya mereka ada-adakan.
[1136] Yang dimaksud: saksi di sini ialah Rasul yang telah diutus kepada mereka waktu di dunia.
[1137] Maksudnya: di waktu itu yakinlah mereka, bahwa apa yang telah diterangkan Allah dengan perantaraan
Rasul-Nya Itulah yang benar.
(Al-Quran S 28 : ayat 75)
2. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayatayat-
Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan
Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
(Al-Quran S62 :2)
34. Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk
menyampaikannya”.
(Al-Quran 34 : 34)
Telaah Al Quran S 2:213; S 2:143; S 5:66; S3 :10; S 34:15). :
12
Q2 : 213
213. Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Q2 :143
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan
Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata)
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
[95] Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang
menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.
13
Q 5 : 66
66. Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan
kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka[428].
diantara mereka ada golongan yang pertengahan[429]. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka.
[428] Maksudnya: Allah akan melimpahkan rahmat-Nya dari langit dengan menurunkan hujan dan menimbulkan
rahmat-Nya dari bumi dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang buahnya melimpah ruah.
[429] Maksudnya: orang yang Berlaku jujur dan Lurus dan tidak menyimpang dari kebenaran.
Q 3 : 10
10. Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak
(siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan Bakar api neraka,
Q 34 : 15
15. Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun
di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.


Article 0

$
0
0

Bhineka Tunggal Ika adalah kalimat tauhid…….

Posted by on Mei 21st, 2013 with 2 Comments

Begitu tinggi falsafah leluhur nusantara. Boleh saja mereka yang belum memahami falsafah tersebut sebagai tidak benar. Suatu hal yang wajar. Anologinya adalah ketika seorang anak yang berpemahaman masih teka diberitahu bahwa huruf ‘a’ dari apel bisa digunakan untuk kata lain. Bukan hanya untuk kata ‘apel’.

Arti Bhineka Tunggal Ika adalah tampaknya berbeda tetapi sesungguhnya satu adanya. Boleh saja agama bermacam – macam, tetapi siapa yang memberikan pemahaman pada para nabi? Sumber Yang Tunggal adanya. Semua yang disebut agama saat ini sesungguhnya bukan suatu yang dilembagakan sebagaimana kita lihat sekarang. Semua yang disampaikan para nabi adalah berita gembira untuk membebaskan jiwa. Ritual yang dilakukan adalah upaya untuk melembutkan jiwa. Sayangnya, ritual saat ini dijadikan simbol agama yang dilembagakan.

Cara berpikir bahwa Tuhan agama A berbeda dari Tuhan dari agama B adalah pemikiran keliru. Yang lebih parah adalah jika agama A menyatakan menyembah Tuhan yang tunggal tetapi bisa mengatakan bahwa Tuhan dari agamanya berbeda. Bukan kah dengan cara ini sesungguhnya orang tersebut sudah menduakan Tuhan? Inilah bentuk ketidaksadaran dari dirinya. Ia tidak bisa menyelaraskan antara ucapan satunya dengan yang lainnya. Ia hidup bagaikan robot. Tetapi pemahaman ini juga proses seperti seorang anak yang bersekolah. Dari teka kenuju ke mahasiswa. Tidak salah juga… Yang penting ia tahu bahwa ia sedang berproses.

Kebijakan nusantara sudah jauh lebih unggul dari kebijakan dari luar wilayah nusantara. INilah sebabnya di wilayah ini tidak perlu turun lagi nabi. Mau bukti? Sangat mudah. Jika anda berasal dari daerah tertentu, coba lihat kearifan lokal yang selama ini dianggap menyembah berhala. Mungkin yang selama ini dianggap berhala adalah cara menghormati alam. Leluhur nusantara sudah sadar bahwa manusia hidup dari alam. Jadi merupakan kewajiban kita untuk melestarikan alam. Melestarikan pepohonan agar tetap bisa menahan tanah. Agar air tidak hilang begitu saja saat hujan turun.

Mari kita lihat apa yang di balik keanekaragaman. Pohon beraneka ragam adanya. Pelangi beraneka warna. Bukankah sudah diakui bahwa pelangi beraneka warna adalah suatu keindahan? Pohon berjenis – jenis. Bukankah setiap manusia juga mengkonsumsi makanan beraneka ragam? Di Jawa dikenal beras sebagai makanan pokok. Di wilayah timur Indonesia dahulu makan sagu dan jagung sebagai makanan pokok. Adalah kebodohan menyeragamkan makanan. Orang ang dahulu memiliki kebiasaan makan sagu, karena itu yang tumbuh di tanah kelahirannya, mengapa mesti diajak ntuk makan beras? Alhasil, daerah tersebut kekurangan beras sehingga kelaparan. Pola hidup yang tidak lagi selaras dengan alam.

Apa yang mebuat semua benda berubah? Energi yang ada di balik benda tersebut. Pohon kecil tumbuh menjadi besar. Bukankah ada energi yang membuat pohon jadi tumbuh. Energi kehidupan. Apa yang membuat batu lapuk kemudian jadi butiran pasir. Juga energi. Besi yang dianggap kuat dan tidak bakal keropos. Tetapi suatu ketika mengalami korosi juga, dan hancur. Apa penyebabnya? Energi yang sama. Energi perubahan. Setiap sel di tubuh kita juga mati dan tumbuh digantikan sel yang baru. Bukan kah setiap benda berubah? Tiada yang kekal. Semua perubahan memiliki energi yang satu dan sama. Energi yang murni. Jika ada yang tanya, apa itu energi murni. Saya juga tidak tahu. Silakan cari sendiri. Karena saya juga sedang berupaya menemukan.

Energi murni juga yang menghidupi setiap insan. Energi murni juga yang memberikan kita pemahaman bahwa kemuliaan manusia adalah jika jiwanya berkembang. Pikiran yang menyempit bahwa yang terbaik adalah golongan, kelompok dan diri sendiri adalah proses menuju kehancuran. Tidak percaya? Lihat saja alam semesta. Planet baru setiap kali lahir dan mati. Galaksi satu belum selesai diteliti, galaksi lain sudah ditemukan lagi.

Jika alam pun terus berkembang, memgapa kita justru bergerak berlawanan dengan alam? Merasa paling baik adalah cara berpikir menuju kematian. Tidak berkembang. Dalam semua agama juga disebutkan jika menganggap diri lebih tinggi dari lainnya, di hadapan Tuhan akan direndahkan. Sesungguhnya bukan Tuhan yang merendahkan. Kita sendiri yang membunuh diri jika menganggap lebih baik dari orang lain….

Bhineka Tunggal Ika adalah kalimat tauhid. Di balik semua yang tampak berbeda, sesungguhnya satu adanya…..

Sumber:

http://www.marhento.com/ayur-hypnotherapist/hipno-terapi/kesehatan/meditasi/bhineka-tunggal-ika-adalah-kalimat-tauhid.html


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live