Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Buku terbaru yg penting buat bangsa: “ISIS dan Illuminati”

$
0
0
HargaRp 69,000
save 15%
BeliRp58,650,-
( Stok Tersedia )
ISIS dan Illuminati
oleh Ahmad Yanuana SamanthoBENARKAH AL-BAGHDADY KETURUNAN RASULULLAH? BENARKAH GENOCIDA YANG DILAKUKAN ISIS ADALAH CARA UNTUK MENAMBAH KEKUATAN HITAM? APA SAJA TANDA-TANDA ILLUMINATI DI TIMUR TENGAH?

DETAIL

Judul ISIS dan Illuminati
ISBN/EAN 9786027689800 / 9786027689800
Pengarang Ahmad Yanuana Samantho
Penerbit Phoenix Publishers
Terbit 27 Agustus 2014
Pages 372
Berat 420 gram
Dimensi(mm) 150 x 230
Tags
Kategori Filsafat
http://img.ads.kompas.com/ads3/67be6e5fee0c23ef1c1869c4b12c7c2a.jpg

buku terbaru yg penting buat bangsa

http://www.grazera.com/book/detail/9786027689800/ISIS-dan-Illuminati



Skenario Nekolim, Presiden Sipil Harus Digusur

$
0
0

Post Hegemony XLI:

Skenario Nekolim, Presiden Sipil Harus Digusur

Indonesia Terjarah Asing

Di tengah hiruk santri yang gaduh saat mengomentari tayangan televisi seputar aksi demonstrasi yang dilakukan para aktivis dan masyarakat di ibukota dan berbagai kota besar untuk menolak UU Pilkada, Azumi, Marholi, Daitya, Roben, dan Johnson terlihat mendatangi Sufi tua yang sedang berbincang dengan Sufi Kenthir dan Sufi Sudrun di teras mushola. Setelah duduk beberapa jenak, Johnson dengan suara tegang bertanya kepada Sufi tua,”Mohon maaf mbah, bagaimana menurut sampeyan soal undang-undang baru Pilkada yang tidak langsung? Apakah itu kemunduran demokrasi seperti komentar teman-teman aktivis dan pengamat politik? Bagaimana kami, anak-anak muda harus bersikap?”
“Kemunduran demokrasi?” sahut Sufi tua dingin,”Kemunduran bagaimana?”

“Bukankah pasca reformasi rakyat diberi hak untuk memilih langsung calon pemimpinnya? Bukankah dengan undang-undang baru di mana pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD adalah sama dengan kembali kepada sistem pilkada model Orde Baru yang sarat kecurangan dengan citra politik ‘dagang sapi’ yang sudah dirubah pasca reformasi?” tanya Johnson ingin tahu.
“Lha memangnya Pilkada langsung maupun Pilkada melalui DPRD itu kalian pikir murni proses demokrasi?” tukas Sufi tua dingin,”Apakah pemilihan pemimpin nasional juga murni proses demokrasi?”
“Ah eh, apa pilkada selama ini bukan praktek demokrasi mbah?” tanya Johnson heran.
“Orang boleh menganggap apa saja pilkada selama ini,” sahut Sufi tua menarik nafas berat,”Tapi bagiku dan bagi siapa pun di antara manusia yang terkait dengan pesantren ini, semua hingar-bingar pemilihan pemimpin di negeri ini pada dasarnya adalah sekedar pelaksanaan skenario Nekolim yang dirancang sedemikian rupa untuk memperkuat akar mereka di negeri ini. Ibarat pemilik rumah besar kos-kosan yang memberikan kewenangan kepada Kepala Rumah Tangga yang dipercaya sebagai ibu kos, begitulah proses pemilihan sudah diatur sedemikianrupa agar semua anak yang kos di situ memilih calon Kepala Rumah Tangga yang dikehendaki pemilik rumah.”
“Kita ini bangsa merdeka mbah,” sahut Johnson tidak senang dengan penjelasan Sufi tua,”Jangan disamakan dengan anak kos-kosan. Mohon dicari analogi yang tepat mbah.”
“Son,” kata Sufi tua merendah,”Kau tidak ikut diskusi berjudul Telikungan Kapitalisme Global terhadap Negara Bangsa Indonesia kan?”
“Ah, aku sudah lama tidak ikut diskusi mbah. Sibuk nyelesaikan skripsi,” kata Johnson jengah.
“Iya Son,” sahut Marholi menyela,”Dalam diskusi berjudul Telikungan Kapitalisme Global terhadap Negara Bangsa Indonesia itu, sudah terungkap fakta bagaimana sejak Pakto 88 (Paket Oktober 1988), pembentukan PKLN (Panitia kredit Luar Negeri 1992), Penandatanganan Jadual Globalisasi dari AFTA – CAFTA – NAFTA dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994, Rupiah diperdagangkan di bursa internasional agar diborong George Soros dengan akibat Krisis Moneter 1997, Bobolnya uang Negara oleh kebijakan BLBI yang dicaplok bankir-bankir kafir bermoral bejat, penanda-tanganan LoI (Letter of Intens) antara Michael Camdessus dari IMF dengan Soeharto, pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang diawasi Standard Chartered bank dan Citibank, BPPN mengambil-alih semua BUMN dan Perusahaan Swasta Nasional yang tidak bisa membayar utang luar negeri dan kemudian mengobral dengan menggunakan istilah ‘privatisasi’, yang berakhir dengan habisnya BUMN dan Perusahaan Swasta Nasional oleh pemilik kapital asing. “
“Waduh, rugi aku tidak ikut diskusi,” sahut Johnson garuk-garuk kepala,”Terus bagaimana cerita lanjutan nasib Negara kita?”
“Negara kita ya jadi republik kere, Son,” kata Marholi dengan gigi gemeletuk menahan geram, ”Maksudnya, sudah utangnya segunung Himalaya tidak akan terbayar, aset-aset Negara vital pun ternyata habis terjual. Yang paling tragis, wakil-wakil rakyat tercatat dalam sejarah sebagai kawanan pengkhianat yang dengan brutal dan sangat kasar menjalankan skenario Nekolim untuk ‘menghabisi’ Negara Bangsa Indonesia untuk dijelmakan menjadi sekedar Pasar Raya, bagian dari Pasar Global.”
Kemenangan-di-Solo-2014“Maksudmu wakil-wakil rakyat yang berkhianat itu siapa dan bagaimana bentuk pengkhianatan yang mereka lakukan?” tanya sangat penasaran.
“Mereka beramai-ramai mengamandemen UUD 1945 dengan tujuan, Undang-undang 1945 hasil amandemen itu dijadikan landasan yuridis untuk melahirkan undang-undang PMA, UU Migas, UU PSDA, UU Sisdiknas, UU PA, dan berbagai undang-undang yang menguntungkan Nekolim,” kata Marholi tegas.
“Bagaimana kau bisa menganggap UUD 1945 hasil Amandemen sebagai pengkhianatan?” Tanya Johnson meraba-raba.
“Kau hafal pasal 33 UUD 1945?” tukas Marholi dengan nada tanya.
“Ya hafal dong,” sahut Johnson mengeja,”Pasal 33 ayat 1 : perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Pasal 33 ayat 2 : cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Pasal 33 ayat 3: Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .”
“Bagaimana menurutmu dengan tambang minyak, gas, emas, nikel, timah, tembaga, alumunium, uranium, mangaan, besi, permata dan kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah dan air? Apakah pertambangan-pertambangan yang mengeksplorasi kekayaan alam itu boleh dimiliki dan dijalankan swasta perorangan atau perusahaan swasta, termasuk perusahaan swasta asing?” tanya Marholi menguji.
“Tentu tidak boleh bro,” sahut Johnson.
“Faktanya,” tukas Marholi mengangkat botol plastik air minum Aqua,”Perusahaan air minum ini milik Negara atau milik swasta asing?”
“Kalau tidak salah Danone itu milik Amrik-Perancis,’ kata Johnson tak bersemangat.
“Kau sudah tahu kan, milik siapa kilang minyak di berbagai tempat yang dulunya milik Pertamina?” tanya Marholi.
“Exxon Mobil, Caltex, Chevron, Shell, British Petroleum, Amerada Hess, Santos, Petro China itu adalah pemilik kilang minyak-kilang minyak yang dulu dimiliki Pertamina,” kata Johnson dengan dada naik turun menahan sesuatu,”Pertambangan emas, alumunium, nikel, gas, batubara, aneka tambang, dan perusahaan semen, kertas, besi, baja, mesin, otomotif, pembangkit listrik yang dulu milik BUMN telah pindah tangan ke perusahaan asing Trans-Nasional dan Multi-Nasional, perbankan nasional pun sudah terjual kepada perusahaan-perusahaan asing, bahkan satelit komunikasi pun sudah dijual kepada perusahaan asing. Ya, aku tahu itu. Sudah melarat benar Negara ini.”
“Celakanya, dengan Undang-undang baru pasca reformasi yang berpijak pada UUD 1945 hasil Amandemen, kepemilikan swasta asing itu menjadi sah. Semua menjadi legal secara hukum. Indonesia yang dulu Negara anggota OPEC pun berubah jadi Negara pengimpor minyak,” kata Marholi.
“O iya mbah,” sahut Azumi menyela,”Bagaimana sampeyan menduga semua pemilihan pemimpin dari tingkat daerah sampai tingkat nasional itu sebagai skenario Nekolim?”
Sufi tua diam. Sejurus kemudian ia berkata,”Negara-negara dunia pertama yang berkedudukan sebagai Negara Core dalam teori Wallerstein – yaitu Negara-negara Neo-Kolonialis-Imperialisme (Nekolim) menurut Soekarno – yang sudah melimpah modalnya di negeri ini, tidak membutuhkan lagi demokrasi. Negara-negara Nekolim itu hanya butuh keamanan dan keselamatan dari industri-industri strategisnya yang sudah tidak terhitung jumlahnya itu. Lantaran itu, yang mereka butuhkan adalah pemimpin berlatar militer yang bisa menjaga stabilitas keamanan dan bukannya sipil.”
pemilu2014“Walah kok bisa sampeyan berpikir seperti itu?” sergah Azumi heran,”Apa itu bukan prasangka yang berlebihan mbah?”
“Kalau kamu berpikir dengan akal sehat berdasar fakta, maka kamu akan membenarkan apa yang telah aku ucapkan, terutama kalau kamu berpijak pada sejarah kekuasaan di negeri yang sudah jatuh ke dalam kolonialisasi baru ini” kata Sufi tua tenang.
“Maksudnya bagaimana mbah?” tanya Azumi kurang faham,”Kenapa Negara dunia pertama yang kapitalistik itu lebih suka memilih pemimpin militer daripada pemimpin sipil? Bukankah Barat Kapitalis selalu mengusung demokrasi, civil society, HAM, liberalisasi segala peraturan dan tatanan negara? Benarkah kita ini sudah jatuh ke dalam kolonialisasi baru?”
“Pengalaman pahit Negara-negara Nekolim justru dirasakan sewaktu presiden negeri ini sipil. Tahu tidak kamu, bagaimana Soekarno suka sekali memaki-maki Amerika, Inggris, Belanda sebagai Nekolim penjajah yang harus dilawan. Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Soekarno, orang sipil itu, memperkuat militer Indonesia sampai menjadi yang termodern dan terkuat di Asia. Soekarno membangkitkan kekuatan bangsa Asia dan Afrika untuk merdeka dari kolonialisme. Soekarno menggalang gerakan Non Blok untuk tidak menjadi bagian dari begundal Barat maupun Timur. Soekarno menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil dan demokratis yang tidak ditandai kecurangan. Soekarno sangat memusuhi Yahudi yang dianggapnya penjajah bagi bangsa Palestina, sehingga organisasi Yahudi internasional Freemason beserta underbownya seperti Rothary, Lions dilarang. Penguasa sipil itu sangat merepotkan Negara-negara Nekolim,” kata Sufi tua menjelaskan.
“Tapi mbah,” sela Daity menyela,”Bukankah selama ini pemilihan presiden kan sudah sesuai prosedur demokrasi?”
“Kamu itu anak kecil yang tidak mengalami bagaimana penyelenggaraan Pemilu selama Orde Baru, termasuk Pemilu pasca Reformasi. Kalau kamu cermat mengamati proses Pemilu, kamu akan tahu kenapa aku menyimpulkan bahwa semua Pemilu itu dilatari skenario Nekolim,” kata Sufi tua.
“Apakah sampeyan bisa menunjukkan bukti yang meyakinkan soal dugaan skenario itu?” tanya Daitya memburu.
“Kamu tidak perlu bertele-tele membincang bukti-bukti dan data,” kata Sufi tua memaparkan,”Cukup kau lihat fakta dari sejarah pemimpin tertinggi negeri ini.”
“Maksudnya bagaimana mbah?” Daitya minta penjelasan.
“Setelah Soekarno terguling, siapa yang menggantikan?” tanya Sufi tua.
“Jenderal Soeharto,” sahut Daitya.
“Berapa tahun Bapak Jenderal Soeharto berkuasa?”
“32 tahun mbah,” sahut Daitya,”Memangnya kenapa?”
“Bapak Jenderal Soeharto lengser, siapa yang menggantikan?”
“Prof Dr B.J. Habibie.”
“Sipil atau militer?” sergah Sufi tua.
“Sipil mbah.”
“Berapa lama berkuasa?”
“Enam bulan mbah.”
“Terus diganti Presiden Abdurrahman Wahid, orang sipil,” kata Sufi tua.
“Itu benar mbah,” tukas Daitya belum faham,”Memangnya kenapa?”
“Berapa tahun beliau berkuasa?”
“Satu tahun lima bulan, mbah.”
“Penggantinya Ibu Megawati Soekarnoputeri, orang sipil juga.”
“Itu benar mbah,” sahut Daitya mulai menangkap arah pertanyaan Sufi tua.
“Berapa lama beliau berkuasa?”
“Tiga tahun tujuh bulan mbah.”
“Terus Pilpres langsung dengan pemenang Jenderal SBY.”
“Iya mbah, itu pilpres paling demokratis karena langsung dipilih rakyat.”
“Berapa lama beliau berkuasa?” tanya Sufi tua.
“Dua periode mbah. Sepuluh tahun.”
“Nah menurut hematmu, siapakah presiden sipil yang mampu bertahan satu periode saja dari kekuasaannya?” tanya Sufi tua.
“Alamaaak,” sahut Daitya, Azumi, Marholi, dan Johnson bersamaan,”Alamat Jokowi-JK tidak akan lama berkuasa.”
“Jadi menurut kalian, apa kira-kira latar di balik undang-undang Pilkada baru itu?”
“Yaa politisi-politisi yang selalu bicara soal civil society, masyarakat madani, good government, clean government itu ternyata tidak lebih dari begundal-begundal, centeng-centeng, kacung-kacung, jongos-jongos, babu-babu, kuli-kuli Kapitalisme Global. Mereka membalut faham Dajjalisme dengan dalil-dalil kitab suci. Hmm, munafik,” geram Johnson dengan dada sesak.
“Jadi semua adegan perdebatan seru di DPR/MPR tentang UU Pilkada, walkout, keliru all out menjadi walkout, voting, dan ancaman akan menggugat UU Pilkada ke MK, tidak lebih dari permainan sandiwara yang tidak lucu ya mbah?” seru Daitya memutar lagu Panggung Sandiwara-nya Ahmad Albar keras-keras dari HP-nya.
“Maaf mbah,” sergah Marholi menukas,”Apakah itu berarti setelah Jokowi-JK lengser akan muncul calon dari militer?”
“Itu sudah pasti,” Sufi tua mengangguk.
“Siapa kira-kira calon itu mbah?” tanya Marholi memburu.
“Huss, jangan sebut nama!” sahut Sufi tua menutup mulut dengan telunjuknya,”Kayaknya, capres militer masa depan itu sekarang ini sedang ditempah di kawah candradimuka di negeri Amrik sana.”
“Ooo gitu ya mbah,” Marholi manggut-manggut dengan pikiran melayang nun jauh di bentangan negeri Amrik, membayangkan sosok tentara muda segagah Rambo yang bakal menjadi presiden negerinya pada Pemilihan 2019 mendatang.

Posted by Agus Sunyoto

- See more at: http://pesantrenglobalonline.com/post-hegemony-xli-skenario-nekolim-presiden-sipil-harus-digusur/#sthash.M2m8nVnO.ZEkPVP10.dpuf


OPERASI PENGHANCURAN GERINDRA OLEH PKS

$
0
0

Son GokuJuly 29th, 2014, koalisi pks gerindra kawin paksa

ISLAMTOLERAN.COM-Gerindra bagaimanapun juga adalah salah satu partai yang termasuk cepat di dalam pertumbuhannya. Dibandingkan dengan Golkar dan PDIP, Gerindra diyakini akan bisa menjadi nomor 1 di pilpres 5-10 tahun lagi.

Dengan icon penyatunya Prabowo Subianto, Gerindra menjadi partai tersolid hampir tanpa celah korupsi di kadernya. Memang ada kasus menimpa kredibilitas Pius dan Desmond.

Baru Ikut di pemilu 2009 , sekarang tahun 2014 sudah berhasil mendapatkan dukungan kurang lebih 10%. Gerindra menjadi sasaran penghancuran dari partai-partai yang sudah berdiri lama tetapi hilang kredibilitasnya.

Sebut saja PKS dan PPP ataupun PAN, ketiga pertai ini sudah bertarung cukup lama di pemilu legislatif. Tetapi tahun 2014 ini, 3 partai ini bahkan kalah suara hampir 3-4 persen. Apalagi Hanura yang waktu berdirinya hampir bersamaan dengan Gerindra.

Gerindra yang ditunjang dengan kekuatan kader solid dari berbagai golongan, suku, rasa dan agama, disertai kader ataupun kepala daerah yg didukungnya sangat bersinar, sebut saja Ahok dan Ridwan Kamil, mengangkat elektabilitas partai berlambang Garuda tersebut.

Dengan dana dari Hasyim yang juga salah satu konglomerat besar Indonesia, Gerindra bahkan tidak pernah wani piro utk kepala daerah yang didukungnya di pilkada.Tidak seperti PKS yang sudah terkenal mata duitan, Gerindra terkenal bersih.

Kebesaran Gerindra menjadi salah satu ketakutan dari partai-partai yang melempem. Akhirnya sekarang di tahun 2014 dilakukanlah target penghancuran. PKS adalah partai yang paling oportunis dan masyarakat sudah tau.

Jangankah Demokrat dan SBY, Tuhan pun mereka jual . Menggunakan ayat-ayat dan kemunafikan isi dakwah yang enak didengar, serta pencitraan Anis Matta, PKS berhasil menipu grassroot yang tidak ngerti agama.

Tetapi kebusukan dan kemunafikan tidak bisa menipu kalangan berpendidikan tinggi. Akhirnya tahun ini, target 3% hanya menjadi angan-angan.

Begitu melihat Gerindra mencalonkan Prabowo Subianto, PKS harus punya kendaraan untuk melakukan operasi penghancuran.

Dua partai sekaligus disasar menjadi sasaran penghancuran. PDIP dan Gerindra. Dengan isu-isu PKI yg difitnahkan kepada PDIP , publik dicitrakan bahwa kubu Prabowo-Hatta secara overall-lah yang melakukannya.

Padahal akun-akun anonim serta website-website berafiliasi dengan PKS lah yang menjadi dalang penyebaran fitnah PKI kepada PDIP.

masih ingat tidak waktu pilkada 2012 ? Jokowi-Ahok bahkan Prabowo sudah dituduh sebagai antek konglomerat Cina.

Jadi saya yakinkan bahwa bukan Gerindra sebagai dalang utama penyebaran black campaign terhadap Jokowi-JK, tapi cyber2 army PKS seperti ratu adil, triomacan2000 (klan PKS keadilan), voa-islam, dakwatuna.

Akhirnya yang dikecam adalah Prabowo Subianto dan Gerindra. Akhirnya simpati kepada Prabowo menjadi berkurang. Di dalam tim koalisi pun PKS penuh ulah. Lihat saja komentar Fahri Hamzah kader PKS.

Seandainya Fahri tidak berkicau “Sinting” kepada “Jokowi dalam usulan hari santri”, Prabowo diyakini masih bisa meraih suara dari swing voters, terutama di daerah Jawa Timur. Berkat Fahri Hamzahlah, Prabowo akhirnya kena getah.

Pasca pilpres, ulah PKS makin bertambah. Dengan rilis REAL COUNT palsu yang diambil dari 5 Juli 2014, PKS mencoba menipu media dan massa. Yang tertipu bukanlah media dan publik, tapi kader dan grassroot PKS sendiri.

Sekali lagi Prabowo kena getah hasil dusta operasi PKS ! PKS yang mempunyai cyber army memiliki tugas mencuci tangan hasil perbuatan kotor para majikannya.

Lagi-lagi PKS berbohong soal bukti kecurangan yg isinya 10 truk, ternyata setelah sampai di MK, bukti hanya 4 bundle. Lagi-lagi Prabowo dan Gerindra kena getah.

Mahfud MD yg harusnya mempunyai kewenangan besar tim koalisi merah putih pun dikadalin berkali-kali oleh PKS. Tagihan Mahfud MD soal data-data bukti kecurangan KPU tidak bisa disediakan PKS, ujung-ujungnya Mahfud MD disingkirkan.

Kini PKS meninggalkan luka mendalam bagi publik , dan akhirnya netizen menjadi gerah.Gerakan tolak PKS di pemerintahan dibunyikan. Kini sasaran penghancuran mereka hampir berhasil. Nama baik Prabowo Subianto dan Gerindra makin tergerus populalitasnya.

Secara platform saja, PKS dan Gerindra ibarat bumi dan langit. Tetapi Prabowo terlalu lemah terhadap PKS dengan mengajaknya berkoalisi.

PKS sudah jelas terbukti mempunyai agenda wahabisme internasional walaupun tidak pernah diakui mereka sendiri, tapi secara doktrin, PKS ibarat saudara dekat wahabi.

Agenda jangka pendek PKS adalah singkarkan dulu partai-partai yang berplatform nasionalis. Dengan memberikan label LIBERALIS, SEKULER, ATHEIS , PKI

Propaganda PKS sedikit banyak membohongi umat Islam di Jawa Barat untuk tidak memilih Jokowi dan PDIP (karena PDIP pemenang pemilu 2014) , tapi untuk Jateng dan Jatim serangan tersebut dibendung oleh NU terutama afiliasinya di PKB.

Untuk serangan ke Gerindra tidak keliatan kasat mata karena mereka memang sedang gerogoti Gerindra dari dalam. Tuh liat aja kampanye pilpres Prabowo. Motor utama mereka PKS.. mana kader-kader Gerindra ? Sepertinya tenggelam oleh superioritas elit-elit PKS..
Bagi PKS, tidak ada kawan di Indonesia, bahkan PKB, PPP dan PAN yang mengusung asas Islam moderat pun adalah musuh. SBY dan Demokrat setidaknya sudah merasakan manuver PKS.

SBY bahkan mau ditarik ke pusaran kasus daging import sapi oleh PKS. Untung saja SBY secara cepat menetralisir di depan publik. Tapi imbasnya, keraguan publik terhdp SBY masih tinggi. Itu juga karena SBY diindikasikan mengetahui kasus Century dan Hambalang.

PKS tidak menjadi beban jika kali ini capres yang disupportnya kalah, yang penting senjata- senjata mereka sudah dimuntahkan ke PDIP dan Jokowi.

PDIP adalah satu- satunya partai kader yang solid yang tentunya menjadi saingan utama PKS yg juga terkenal dengan kader militan. Isu PKI yang ditembakkan PKS ke PDIP secara tidak langsung berdampak jangka panjang dengan menanamkan kecurigaan terhadap PDIP dan Jokowi , terutama sasaran kampanye hitamnya adalah warga- warga NU yang orang tua mereka menjadi korban kebiadaban PKI di Jawa Timur.

Tapi kalau menang, ya syukur bisa masuk ke pemerintahan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro dengan agenda partai dan golongan mereka sendiri seperti yg sudah dijalankan saat ini.

Masih banyak lagi muslihat-muslihat partai berkedok dakwah ini. Yang pasti, sasaran utama mereka secara politis adalah PDIP dan Gerindra, sasaran dakwah mereka adalah mengPKS-kan orang NU dan Muhammadiyah.

Setelah pemilu 2014 ini, partai mana yang akan menjadi sasaran operasi penghancuran PKS? Kita liat saja.

Untuk Prabowo Subianto, recovery dari keterpurukan citra yang sudah dibangun bertahun-tahun semakin sukar pasca pilpres ini. Semoga Gerindra kembali bangkit dan pintar2 mencari teman koalisi.

PENULIS: politikanal.blogspot.com

http://www.islamtoleran.com/operasi-penghancuran-gerindra-oleh-pks/


Lebih Hebat dari Columbus, ini Enrique Maluku Pengeliling Bumi dari Indonesia

$
0
0

Rabu, 08/10/2014 09:41 WIB
Lebih Hebat dari Columbus, ini Enrique Maluku Pengeliling Bumi dari Indonesia
Fajar Pratama – detikNews
Halaman 1 dari 2

Enrique Maluku Sang Penjelajah

Jakarta – Sejarah hanya mencatat Christopher Columbus, Vasco da Gama, atau Ferdinand Magellan sebagai penjelajah samudera penemu benua baru. Tapi sebenarnya, ada orang dari nusantara atau Indonesia yang juga berlayar mengeliling bumi.

Namanya mungkin nyaris tak pernah didengar di buku-buku sejarah. Padahal, dalam catatan pengelana dari Spanyol, Antonio Pigafeta, yang tersimpan di musium di Spanyol tertulis nama Enrique Maluku.

Soal Enrique Maluku ini dikupas dalam buku karya Helmy Yahya dan Reinhard Tawas, yang diterbitkan Ufuk Publishing House seperti dikutip detikcom, Rabu (8/10/2014). Di buku ini sosok Enrique Maluku dan sepak terjangnya selama pelayaran dengan bersama Magellan mengelilingi bumi.

Dalam buku yang terdiri 11 bab dan 229 halaman termasuk catatan kaki ini, Enrique Maluku disebutkan sebagai asisten dari Magellan. Namun Magellan tak bisa menuntaskan perjalanannya dan tewas dibunuh suku di kepulauan Filipina. Sedang Enrique meneruskan perjalanannya hingga paripurna mengelilingi bumi.

Di abad ke 14 dan 15, para penjelajah Eropa memang tengah berburu rempah-rempah langsung ke negara penghasilnya. Maluku dikenal sebagai kawasan penghasil rempah-rempah. Portugal dan Spanyol, dua negara yang di masa keemasannya membagi bumi menjadi dua bagian untuk mereka ini mengirim penjelajah terbaik mencari rute rempah.

Hingga kemudian muncul Columbus, Vasco da Gama, hingga Magellan. Dan bersama Magellan tersebutlah nama Enrique Maluku.

“Tidak ada data tentang bagaimana dan kapan tepatnya Enrique Maluku sampai di Malaka. Akan tetapi jika menghitung mundur usianya, pada usia 26 tahun ia menghadap Raja Charles I penguasa Spanyol bersama Ferdinand Magellan,” demikian tertulis dalam buku Enrique Maluku Melihat catatan lain soal sosok Enrique Maluku ini memang mengundang perdebatan. Ada sejumlah kalangan yang menyebut dia berasal dari Malaka atau disebut Enrique de Malacca yang juga dikenal dengan Datuk Laut Hitam. Sosok Enrique ini juga diklaim dalam sejarah Filipina hingga Malaysia.

Namun, bersumber dari catatan sejarah, penulis buku meyakini kalau Enrique berasal dari Maluku. Dengan melihat ciri dia seperti masyarakat Indonesia Timur. Enrique juga menguasai bahasa Ambon, Melayu, Portugal, dan Spanyol, serta sejumlah bahasa daerah seperti Bugis dan Jawa.

“Enrique Maluku boleh jadi berlayar meninggalkan Amboina pada usia sekitar 10 tahun, di tahun 1503. Dia kemungkinan bekerja di kapal yang mengangkut biji pala dari Banda Neira dan cengkeh dari Amboina ke Malaka dan berbagai tempat,” tulis di buku itu.

Magellan sang kepala ekspedisi penjelajah, kerap menyebut dia dari Zamatra atau Sumatera, sekalipun kulitnya hitam legam. Karena itu, Enrique atau disebut juga Henry el negro.

Dalam buku itu juga diuraikan bagaimana Enrique kerap disebut sebagai orang Palembang dan juga Malaka, karena kemungkinan dia kerap singgah di Palembang yang pernah menjadi bandar utama nusantara di masa Sriwijaya. Juga, Enrique pernah bekerja di Malaka mengabdi pada Sultan Mahmud Syah.

“Setelah Malaka ditaklukan Portugal pada 1511, Enrique diambil Magellan salah satu kapten armada Alfonso D’Albuquerque pada saat dimulainya pengepungan Malaka pada 13 Juli 1511 yang merupakan hari raya St Henry. Itu pula sebabnya dia diberi nama Henrique (Portugal) atau Enrique (Spanyol), yang dalam bahasa Inggris disebut Henry. Lengkapnya Enrique el Negro, karena kulitnya yang hitam,” tulis di buku itu.

Lalu bagaimana kisah perjalanan Enrique selanjutnya? Ikuti tulisan selanjutnya.

http://news.detik.com/read/2014/10/08/094156/2712749/10/1/lebih-hebat-dari-columbus-ini-enrique-maluku-pengeliling-bumi-dari-indonesia


BOROBUDUR WRITERS & CULTURAL FESTIVAL 2014 Ratu Adil Kuasa & Pemberontakan di Nusantara

$
0
0
Jakarta, 19 September 2014
 
Nomor             : 1/BWF/SK/2014
Lampiran        : -
Perihal             : Permohonan Menjadi Tim ’ Borobudur Writers and Cultural Festival 2014’
Kepada Yang Terhormat
 …..
Di tempat
 
Bersama ini kami telah mempersiapkan pelaksanaan Borobudur Writers and Cultural Festival 2014, yang akan dilaksanakan pada  12-15 November 2014 di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
 
Borobudur Writers and Cultural Festival 2014 adalah sebuah festival literasi dan seni budaya dengan kegiatan utama, antara lain seminar, panggung seni, baca puisi, pesta buku, dan pemberian penghargaan. Adapun dalam Borobudur Writers and Cultural Festival 2014 mengusung tema ”Ratu Adil,  Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara”.
 
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, kami mengajukan permohonan  kesediaan Bapak/ibu, dengan informasi sebagai berikut:
 
Nama           :    ……………
Sebagai tim :   Peserta   
 
Demikian, kami mengucapkan terima kasih atas  kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut memberikan dukungan demi suksesnya Borobudur Writers and Cultural Festival 2014.
 
Hormat kami,
Yoke Darmawan
Ketua Pelaksana
 
Kontak: Imam Muhtarom—0815 5323 6001 dan 0812 1643 4913
Terlampir: TOR dan jadwal acara
==========
Silakan kunjungi:
http://www.imamuhtarom.blogspot.com

Term of Reference

BOROBUDUR WRITERS & CULTURAL FESTIVAL 2014

Ratu Adil Kuasa & Pemberontakan di Nusantara

 

Kekuasaan dalam Sejarah Nusantara

Kekuasaan memiliki riwayat yang panjang dalam sejarah Nusantara. Bahkan dapat dikatakan bahwa kekuasaan adalah faktor utama yang menentukan pasang surut Nusantara sejak masa kerajaan-kerajaan konsentris kuno, masa pergulatan dengan kolonialisme, hingga menjadi negara-bangsa yang merdeka di era modern. Dan dalam perjalanan sejarah Nusantara yang panjang itu telah muncul berbagai konsep kekuasaan dengan konteks sosio-kultural yang berbeda-beda. Berbagai konsep kekuasaan itu dijalankan dengan tata politik dan tata sosial yang berbeda-beda pula.

Tapi hampir setiap kekuasaan itu, baik kerajaan hingga bentuk Republik sekarang ini, selalu dibayangi oleh berbagai ketidak stabilan dan risiko separatisme serta berbagai pemberontakan kelompok yang bersifat sporadik atau perlawanan yang lebih terorganisir. Peristiwa Perang Diponegoro misalnya, muncul akibat penindasan oleh kaum kolonial yang berpadu dengan aliansi di antara kaum elite yang dipimpin oleh sang Pangeran. Sementara pada pemberontakan petani di Banten abad ke 19 adalah perlawanan rakyat untuk menentang kekuasaan kolonial Belanda. Berbagai pemberotakan di Nusantara dapat dilatari oleh semangat agama, semangat primordial, hingga keyakinan tradisional seperti konsep tentang Ratu Adil, atau semangat ideologis seperti dalam pemberontakan komunis 1926 dan Sebagian besar pemberontakan itu bertujuan mengganti landasan dan tatanan yang ada dengan tatanan baru agar kehidupan menjadi lebih baik.

Dan jika dicermati, kekuasaan yang berlangsung dalam sejaran Nusantara tidak pernah menjadi mapan dalam jangka waktu yang benar-benar panjang. Pada zaman kuno misalnya, sangat jarang kekuasaan kerajaan yang bertahan lebih dari 3-4 abad. Selebihnya adalah pergumulan berbagai kerajaan dalam masa yang singkat. Selalu berlangsung kontinyuitas dan diskontinyuitas terus-menerus.

Dengan semakin kompleksnya konstelasi sosial, politik dan kultural, kita perlu memahami lebih mendalam apa dan bagaimana konsep dan bentuk-bentuk kekuasaan yang pernah dijalankan di Nusantara selama lebih dari 1000 tahun agar dapat lebih memahami format bernegara saat ini dan di masa depan. Juga mengenai berbagai kemungkinan resistensi yang tak pernah benar-benar tuntas. Dalam sejarah semacam itu, juga muncul harapan tentang sosok penguasa paripurna. Yaitu sosok “Ratu Adil” atau messiah yang yang dibayangkan dapat menuntaskan segala masalah. Semangat milenarisme tidak pernah hilang dalam sejarah Nusantara.

Borobudur Writers & Cultural Festival 2014 mengangkat tema “Ratu Adil, Kuasa & Pemberontakan di Nusantara” dengan tujuan untuk memahami secara lebih mendalam konsep-konsep kekuasaan dalam sejarah Nusantara sehingga kita dapat memperbaiki tata kelola kekuasaan di masa depan.

Yoke Darmawan

Direktur Festival

TENTANG BOROBUDUR WRITERS & CULTURAL FESTIVAL

Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) adalah sebuah festival tahunan yang diselenggarakan oleh Samana Foundation. Festival ini merupakan wahana berupa forum pertemuan bagi para penulis dan pekerja kreatifserta aktivis budaya pada umumnya dalam kerangka dialog lintas batas dan pemahaman interkultural yang berbasis pada pengembangan dan perluasan  pengetahuan atas berbagai khazanah sehingga para kreator budaya maupun masyarakat yang hidup dalam budaya-budaya tersebut dapat memanfaatkan segala khazanah yang ada sesuai dengan kebutuhan aktualnya.

Festival ini diciptakan untuk menjadi perayaan karya-karya budaya yang membuka diri terhadap segala kemungkinan keragaman identitas dan segala menifestasi ekspresif di masa lalu, masa kini dan segenap pilihan inseminasi kreativitas di masa depan. Juga sebagai wahana pertemuan antarkomunitas, antarkelompok, serta ruang dialog antara karya-karya budaya dengan publik sehingga terbangun  pemahaman yang mendalam di antara individu maupun komunitas budaya tersebut dalam cakupan ruang dan waktu yang tak terbatas. Sebuah festival sebagai ruang kemungkinan bagi segala penjelajahan imajinasi dan bentuk-bentuk eskpresifnya.

BWCF yang pertama telah diselengarakan pada tahun 2012, dengan tema “Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawaran Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara”. Pada BWCF 2012 itu hadir 350 penulis cerita silat dan penulis berlatar sejarah Nusantara. Selain sesi seminar juga diadakan pemutaran film, peluncuran buku, pementasan seni, lecture tentang sejarah Nusantara, workshop penulisan cerita anak, dan pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada penulis, sejarawan, peneliti, budayawan, dan tokoh-tokoh yang berjasa bagi pengembangan budaya dan sejarah Nusantara. Pada BWCF 2012 award diberikan kepada SH Mintardja, seorang penulis cerita silat yang sangat produktif.

Sementara BWCF kedua dilakukan tahun 2013, dengan tema “Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara”. Selain dihadiri para penulis berlatar sejarah maritim Nusantara, acara BWCF 2013 juga dihadiri oleh para antropolog, sejarawan, mahasiswa, wartawan, dan masyarakat umum. Sang Hyang Kamahayanikan Award 2013 diberikan kepada AB Lapian, seorang sejarawan maritim yang telah memberikan kontribusi besar di dunia keilmuan dan pemahaman atas sejarah bahari Nusantara.

ISI ACARA BWCF 2014

Lecture dan Seminar

Suatu lecture dan seminar oleh penulis dan para pakar mengenai konsep dan sejarah kekuasaan di Nusantara. Bagaimana terbentuknya kekuasaan sejak zaman kuno hingga masa modern. Sejarah pergantian kekuasaan dan timbulnya berbagai pemberontakan.

Pentas Seni-Budaya

Suatu acara ritual budaya dan pementasan seni sastra, tari, teater dan musik yang mengangkat tema kekuasaan di Nusantara, khususnya tema Ratu Adil.

Penghargaan Sanghyang Kamahayanikan Award

Suatu acara seleksi dan pemberian penghargaan kepada penulis, tokoh ilmu pengetahuan dan budaya yang telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman terhadap konsep kekuasaan di Nusantara.

TEMPAT DAN WAKTU

Kegiatan ini dilakukan di:

Grand Hyatt Hotel, Yogyakarta

Hotel Sheraton, Yogyakarta

Hotel Manohara, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Desa Gejayan, Gunung Merbabu, Magelang.

Desa Tutup Ngisor, Gunung Merapi, Magelang.

Waktu kegiatan : 4 hari, Rabu– Sabtu, 12 – 15 November 2014.

SEMINAR atau MUSYAWARAH

Tempat: Hotel Manohara, Borobudur, Jawa Tengah.

SEMINAR HARI PERTAMA

Sesi Pertama

Kamis, 13 November 2014, pukul 10.00-13.00

Tema I: “Kekuasaan, Ratu Adil dan Milenarisme di Nusantara”

Sesi ini membicarakan konsep-konsep kekuasaan di Nusantara yang berkaitan dengan fenomena Ratu Adil dan milenarisme yang ada ada di Nusantara. Bagaimana konsep-konsep Ratu Adil dan millenarisme dijadikan pegangan dalam suatu gerakan untuk mengganti tatanan lama dan menggantikan dengan tatanan baru demi kehidupan yang lebih baik.

Pembicara:

Dr. Daud Aris Tanudirjo

“Sejarah Ratu Adil Masa Jawa Kuno: Dari Kediri ke Penanggungan”

Dr. Peter B.R. Carey

“Diponegoro, Ratu Adil dan Tata Kuasa dalam Masyarakat Jawa”.

Dr. A. Setyo Wibowo

“Ratu Adil Yunani Kuno dalam Perbandingannya dengan Ratu Adil di Jawa”.

Dr. Sri Margana

“Ratu Adil: Kekuasaan dan Kraton”.

Moderator: Dr. G. Budi Subanar.

SEMINAR HARI KEDUA

Jumat, 14 November 2014, pukul 10.00-13.00

Tema II: “Ratu Adil dan Pergerakan Sosial di Nusantara”

Sesi ini memaparkan konsep ratu adil dan praktik-praktik sosialnya di wilayah-wilayah Nusantara. Bagaimana konsep ratu adil tersebut tersusun berdasarkan suatu pandangan tertentu dan penjabarannya di tingkat praktis dengan konteks sosial dan kultural tertentu.

 

Pembicara:

Dr. Mukhlis PaEni.

“Ratu Adil dan Pergerakan Sosial di Nusantara: Kasus Sulawesi Selatan”

Dr. Otto Syamsuddin Ishak.

”Ratu Adil dan Pergerakan Sosial Nusantara: Kasus Aceh”

Jean Couteau

”Ratu Adil dan pergerakan Sosial: Kasus Bali”.

Dr. Enos H Rumansara

”Ratu Adil dalam Masyarakat Papua: Kasus Suku Siak

Moderator: Taufik Rahzen

SEMINAR HARI KETIGA

Sabtu, 15 November 2014, pukul 10.00-13.00

Tema: “Pemberontakan di Nusantara”

“Pemberontakan di Nusantara”, membahas sejarah pemberontakan yang pernah terjadi di Nusantara dalam kaitannya dengan fenomena milenarisme, kecenderungan ideologis dan agama. Bagaimana berlangsungnya berbagai pergerakan, termasuk gerakan pemberontakan di Nusantara ditinjau dari aspek ideologis-politis dan gerakan keagamaan.

Pembicara:

Prof. Dr. Bambang Purwanto

“Kuasa dalam Nalar Nusantara Modern”.

Dr. Budiawan

“Ideologi dan Sejarah Pemberontakan Kiri di Nusantara”.

Dr. Al Makin

”Fenomena Kemunculan Berbagai Nabi Palsu dan Pergerakan Islam di Nusantara”.

Moderator: Halim HD

 

RITUAL BUDAYA & PANGGUNG RATU ADIL

Tempat:

Hotel Manohara, Borobudur, Magelang.

Balai Seni Desa Gejayan, Gunung Merbabu, Magelang.

Balai Seni Desa Tutup Ngisor, Gunung Merapi, Magelang.

Pentas seni pertunjukan dari Komunitas Lima Gunung pada acara pembukaan seminar di Hotel Manohara, Borobudur, Jawa Tengah. Pentas Musik “Gombloh-Gondrong Solo”, pada acara pembukaan Festival di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta.

Kamis, 13 November 2014, pukul 19.00 sampai selesai

Pukul 16.00 WIB: peserta berangkat ke Gejayan, Gunung Merbabu.

Pukul 18.00 WIB: makan malam (selamatan) di Gejayan, Gunung Merbabu.

Pukul 19.00 – 24.00 WIB: Panggung Ratu Adil di Gejayan, dengan penampil:

  • Trie Utami dan Lamalera Band.
  • 3 Grup kelompok Lima Gunung.
  • 3 Penyair baca puisi Ratu Adil (Ahda Imran, Otto Sukatno CR, Triyanto Triwikromo)

Jumat, 14 November 2014, pukul 19.00 sampai selesai.

Penampil di Desa Tutup Ngisor, Gunung Merapi, Magelang:

Pukul 16.00 WIB: peserta berangka ke desa Tutup Ngisor, Gunung Merapi.

Pukul 18.00 WIB: makan malam (selamatan) di Tutup Ngisor, Gunung Merapi.

Pukul 19.00 – 24.00 WIB: Panggung Ratu Adil di Tutup Ngisor, dengan penampil:

  • Wayang Orang Tutup Ngisor.
  • 3 Grup kelompok Lima Gunung.
  • Monolog karya Putu Fajar Arcana oleh Ine Febriyanti.
  • 3 Penyair baca puisi Ratu Adil (Wayan Sunarta, Iman Budhi Santosa, Binhad Nurrohmat).

SANG HYANG KAMAHAYANIKAN AWARD

Tempat: Sheraton Hotel, Yogyakarta

Sabtu, 15 November 2014, pukul 19.00 sampai selesai.

Pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh yang telah berjasa dan memberikan kontribusi besar dalam pengkajian budaya dan sejarah Nusantara baik sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, penulis buku berlatar sejarah, dramawan, dalang, rohaniawan, filolog dan sebagainya.

Juri untuk penerima penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award 2014 adalah:

Prof. Dr. Mudji Sutrisno SJ. (budayawan, pengajar di STF Driyarkara dan Universitas Indonesia, Jakarta).

Tim Samana Foundation.

Pemberian Award dilakukan pada acara penutupan (Closing Ceremony) Festival.

Pentas seni pada acara penutupan akan tampil Trie Utami dan Lamalera Band.

PESERTA dan AUDIENS

Peserta terdiri dari dua jenis, yaitu peserta undangan yang dibiayai oleh panitia festival, dan peserta bebas yang datang dengan biaya sendiri.

Peserta Undangan:

Penulis sastra yang mengangkat sejarah dan kekuasaan.

Sejawaran, arkeolog, antropolog.

20 wartawan budaya.

Peserta Bebas:

Mahasiswa dari berbagai Universitas di Jawa Tengah dan sekitarnya seperti mahasiswa Pascasarjana dari UGM, Sanata Dharma, Undip, UNY, Satyawacana Salatiga, UIN Yogyakarya, dll.

Anggota Asosiasi Pernaskahan Nusantara.

Anggota Asosiasi Kraton Nusantara.

Para editor buku di berbagai penerbitan.

Para politikus.

Masyarakat umum.

Audiens: 500 orang dari masyarakat umum.

Tentang Sang Hyang Kamahayanikan Award

Sang Hyang Kamahayanikan Award adalah nama penghargaan yang menjadi ciri

khas penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival. Penghargaan diberikan

kepada individu atau kelompok yang telah memberi kontribusi besar dalam pengkajian

budaya dan sejarah Nusantara baik sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, penulis

buku berlatar sejarah, dramawan, dalang, rohaniawan, filolog dan sebagainya.

Nama award ini diambil dari sebuah kitab Buddhis Jawa bernama Sang Hyang Kamahayanikan yang terkait erat dengan agama Buddha mazhab Tantrayana di Indonesia. Kitab ini diperkirakan ditulis antara tahun 929-947 M, oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Jawa Timur, sebagai penerus kerajaan Mataram yang bergeser ke JawaTimur. Naskah tertua dari kitab Sang Hyang Kamahayanikan ditemukan di pulau Lombok pada tahun 1900 M.

Kitab Sang Hyang Kamahayanikan mengandung ajaran peribadatan dan ajaran untuk

mencapai Kebuddhaan, termasuk penjelasan filosofis untuk mengatasi dualisme “ada” dan “tiada”. Dalam kitab itu terdapat uraian yang sangat rinci bagaimana seorang yogi penganut Tantrayana menyiapkan diri di jalan spiritual, mulai fase pembaiatan hingga pelaksanaan peribadatan yang bertingkat-tingkat. Di situ disebutkan bahwa ajaran Tantrayana adalah laku meditasi terhadap Panca Tathagata. Kita ketahui bahwa di setiap arah mata angin candi Borobudur terpasang arca-arca Buddha berpantheon Tathagata: Aksobhya, Amoghasiddhi, Amitabha, Ratnasambhava, dan Vairocana. Sebagai kitab beraliran Mahayana-Tantrayana, Sang Hyang Kamahayanikan menempatkan mantra-mantra dan diagram serta mudra dalam posisi sentral, sebagai bentuk formula rahasia yang bersifat mistis.

Dalam Tantrayana—diperkirakan berkembang sejak abad ke 5 di Indonesia –

terkandung ajaran yang mempertemukan manifestasi jasmaniah dan rohaniah melalui

yoga guna mencapai tahap akhir berupa kesempurnaan batin dan pikiran (tingkat

Prajñaparamita), juga untuk mencapai Tathāgata, yaitu lima ‘Jina’, sebagai sebutan untuk

Yang Menang atau Sang Penakluk, yaitu gelar yang diberikan kepada Sang Buddha.

Kitab Sang Hyang Kamahayanikan juga menyebutkan bahwa pokok ajaran Buddha adalah kebenaran yang digambarkan seperti lingkaran atau roda, yaitu dharmacakra: roda kebenaran dari sebab akibat, sebab yang satu akan muncul dari akibat yang lain. Gambaran tersebut sangat erat dengan wujud dasar candi Borobudur. Maka kitab ini adalah rujukan terpenting untuk memahami Candi Borobudur terutama berkaitan dengan penjelasan mengenai sistem lima Dhyani Buddha yang diterapkan pada Candi Borobudur dalam teras bujur sangkar. Dan perlu dicatat bahwa sebagai candi Mahayana-Tantrayana, candi Borobudur adalah satu-satunya candi di dunia yang berbentuk mandala. Sebutan Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu yang populer di Borobudur juga terdapat dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan.

Kendati sebagai kitab yang sangat penting dalam khazanah sejarah Nusantara, sekaligus rujukan utama untuk memahami candi Boroburur, ternyata kitab ini sangat jarang dikaji. Padahal ide-ide yang ada dalam Sang Hyang Kamahayanikan sesungguhnya sangat penting karena dapat menjelaskan kuil-kuil yang ada di Tibet atau Nepal.

Dengan alasan tersebut, Samana Foundation, sebagai pendiri sekaligus penyelenggarana Borobodur Writers & Cultural Festival mengambil nama Sang Hyang Kamahayanikan sebagai sebuah Award. Selain untuk memberi penghargaan kepada para tokoh peneliti dan penulis budaya serta sejaran Nusantara, hal itu juga sebagai upaya untuk mempopulerkan nama kitab yang sudah lama dilupakan.

Tentang Samana Foundation

Adalah sebuah lembaga nirlaba yang berbasis pada pengembangan budaya dalam segala bentuk menifestasinya yang mungkin, terutama yang berkaitan dengan pengalaman sejarah nusantara yang hidup dalam kisaran dan pertemuan dari berbagai peradaban di kawasan yang sangat beragam. Nusantara sebagai suatu kawasan yang terbangun dari kisaran dan perlintasan peradaban yang memungkinkan setiap entitas tumbuh dalam inter-relasi tanpa batas dengan basis pemahaman dan pembelajaran terus-menerus dalam penjelajahan kekayaan budaya berikut segala implikasi historisnya.

Merujuk pada istilah dalam bahasa Sanskerta, bahwa Samana adalah para pelaku dan pencari kebijaksanaan untuk menemukan makna hidup tertinggi melalui transformasi pikiran dan tindakan secara terus-menerus. Yaitu mereka yang terus mencari kebijaksanaan yang menempuh jalan pencerahan dalam segala manifestasinya, termasuk bentuk-bentuk kreativitas ekspresif dalam proses penciptaan artistik, penumbuhan pengetahuan (knowledge), pendalaman dan pengembangan local wisdom, pembentukan jaringan sosio-kultural, bahkan juga berbagai penguatan tata sosial yang bertumpu pada nilai-nilai terbaik dalam kehidupan kolektif dan tindakan sehari-hari.

Untuk mencapai tujuan-tujuannya, Samana Foundation memusatkan aktivitasnya pada pemahaman atas berbagai kekayaan khazanah budaya, sejarah dan spiritual di Nusantara serta dunia pada umumnya, melalui program-program riset dan kajian, simposium, seminar, dokumentasi, workshop, penyelanggaraan festival, cultural and spiritual summit, serta berbagai upaya stimulasi lahir-tumbuhnya karya-karya artistik dan intelektual berikut serba wahana penopangnya sehingga berbagai karya cipta tersebut dapat menyebar luas sebagai bagian dari pembentukan kebudayaan dan peradaban nusantara masa depan.

www.borobudurwritersfestival.com


REGRESI POLITIK 2014

$
0
0

REGRESI POLITIK 2014
Mochtar Pabottingi
[Dimuat Harian KOMPAS, 29 September 2014]

Peta politik di tiap negara selalu berubah. Ernest Renan menulis: “A nation’sexistence is a daily plebiscite” –kehidupan suatu bangsa laiknya plebisit tiap hari. Tapi yang kita ulas di sini bukanlah truisma seperti itu, bukan sekadar rangkaian perubahan yang niscaya terjadi pada tiap negara-bangsa kapan pun, melainkan sejauh mana rangkaian perubahan itu mengarah pada regresi atau pada progresi politik –pada kemunduran atau pada kemajuan politik. Lebih penting, bagaimana ekuasi atau asimetri antara keduanya. Nasib bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh ekuasi atau asimetri demikian.

Pada “tahun politik” ini, bangsa kita dilanda sekaligus oleh tiga regresi politik yang berkumulasi besar dan berkelindan erat satu sama lain. Pertama adalah merajalelanya kampanye bermuatan fitnah atas dasar sentimen primordial mentah yang sulit dipertanggung-jawabkan sepanjang bulan-bulan menjelang Pilpres 2014.

Kedua adalah menguatnya oportunisme politik, termasuk pada partai-partai Islam. Di sini oportunisme juga terasa sebagai pengkhianatan, yaitu kala dua-tiga partai pengusung awal reformasi bergabung ke kubu pimpinan tokoh yang tampak masih berorientasi pada Orde Baru dengan rekam jejak yang sangat kontroversial.

Ketiga, adalah terjadinya apa yang sulit untuk tidak disebut “laku begal” demi kepentingan politik picik dalam praktek legislasi menyangkut UU MD3. Dan pada hari-hari ini kita menyaksikan kecendrungan ke arah “laku jegal” yang dilancarkan juga di DPR menyangkut RUU Pilkada. Pada kedua laku ini aroma hawa nafsu kekuasaan model Orde Baru yang miskin keabsahan kembali merebak. Dalam kaitan ini, kita perlu menambahkan bahwa laku penolakan berlebihan dari kubu Prabowo-Hatta untuk menerima kekalahan pada Pilpres y.b.l. juga termasuk preseden buruk. Itu belum pernah terjadi baik di masa Demokrasi Parlementer maupun di sepanjang Era Reformasi.

Gabungan ketiga regresi ini merupakan kemunduran politik besar karena yang sekaligus dilanggar atau dikhianati adalah ideal-ideal sah dari kehidupan kita bernegara serta beragama di satu sisi dan rasionalitas demokrasi di sisi lain. Pelanggaran serempak terhadap ideal-ideal di ranah negara-bangsa, iman, dan rasionalitas demokrasi itu bisa berkomplikasi buruk ke masa depan. Di atas semuanya, itu bisa membuat bangsa kita keluar dari rel-rel yang sudah disepakati sejak masa Kebangkitan Nasional, Revolusi Kemerdekaan, dan pembentukan Republik kita. Itu juga merupakan “setback” serius dari agenda konsolidasi demokrasi di Era Reformasi.

Di ranah negara-bangsa, ketiga regresi itu sama sekali tak mengindahkan ideal-ideal Sumpah Pemuda, Pancasila dan/atau ideal-ideal reformasi itu sendiri. Ketiganya juga tidak mengindahkan simbiosis faktual dan historis yang saling memperkuat antara nasion dan demokrasi. Simbiosis itu berlaku dalam semacam hukum baku politik bahwa manakala demokrasi dijalankan sebagaimana mestinya, ia akan memperkuat serat-serat nasion; dan manakala nasion dijunjung sebagaimana mestinya, ia akan memudahkan tumbuhnya demokrasi secara sehat dan subur. Jika tidak keadaan sebaliknyalah yang akan berlaku.

Di ranah iman, tak sulit menemukan pendukung partai-partai Islam yang melupakan tuntutan agama mereka untuk bukan hanya menghindari, melainkan juga meniadakan laku dan iklim fitnah di sekitar kita. Mereka tak lagi peduli untuk “menegakkan mizan” dan/atau “bersaksi secara adil dan benar”, serta menegakkan “amar ma’ruf, nahi mungkar.” Sudah seyogyanya jika tuntutan etika politik berlaku jauh lebih kuat pada partai-partai agama dibanding pada partai-partai non-agama.

Rasionalitas demokrasi dilanggar jika prinsip “keabsahan prosedural” dan “keabsahan substansial” pada mekanisme pemerintahan dinafikan, termasuk pada penyusunan serta pengesahan undang-undang. Kita ketahui, pengesahan revisi UU MD3 digenjot paksa di tengah kresendo politik Pilpres 2014. Itu bahkan disahkan tepat sehari sebelum hari pemungutan suara Pilpres 2014 itu! Maka sulit bagi kita untuk tidak mengaitkannya dengan “laku begal”.

Sudah merupakan konvensi universal demokrasi bahwa undang-undang tidak boleh disusun, apalagi disahkan, secara “stealthy” –secara mencuri– ketika energi dan perhatian mayoritas warganegara dan terutama mayoritas pelaksana pemerintahan sepenuhnya tersedot pada puncak agenda politik nasional lima tahunan yang ultra penting. Pada laku demikian, juga dilanggar prinsip kesetaraan tanding (level playing field) dan/atau niscayanya kecukupan musyawarah sejati (the sufficiency of true deliberation) di dalam setiap proses legislasi.

Sama halnya, tidaklah mengherankan jika mayoritas masyarakat melihat ofensif untuk mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD sekaligus sebagai upaya untuk merampas kembali kedaulatan rakyat dan mempersulit kiprah pemerintahan baru.Yang dijunjung dan diusung oleh ofensif ini hanyalah kepentingan elitis-sektarian, serta laku gontok-gontokan –sama sekali bukan kepentingan nasional. Yang dilakukan adalah mencampakkan tuntutan akan terselenggaranya prinsip “pergiliran pemerintahan” (turn-taking in government) secara tertib, tujuan utama pemilihan umum –bagian mutlak dari rasionalitas demokrasi itu. Laku jegal seperti ini bisa berujung pada konsekuensi celaka, yaitu berlangsungnya pemerintahan tanpa pemerintahan, sebab niat utamanya bukanlah untuk menciptakan kemaslahatan bersama (public good), melainkan untuk merisikokan suatu kondisi tak menentu di ranah publik (a state of public uncertainty).

Baik laku begal legislasi maupun laku jegal pemerintahan di DPR mau tak mau akan membawa kita kembali ke dua pertanyaan sentral saling berkaitan menyangkut setiap pejabat publik dalam demokrasi. Pertama, apa yang terjadi dengan kedua kriteria utama, yaitu integritas dan kompetensi –atau moralitas dan otoritas– yang mereka harus penuhi kapan pun? Kedua, ini juga langsung membawa kita pada pertanyaan tercerahkan dari Giovanni Sartori, yaitu apakah kita melaksanakan demokrasi sebagai “preskripsi” (sebagai ihwal bertujuan luhur) ataukah semata-mata sebagai “deskripsi” (sebagai ihwal tanpa tujuan luhur)? Dalam bahasa Sartori: “Demokrasilah satu-satunya sistem pemerintahan yang adanya ditentukan oleh ideal-idealnya.”

Kita dapat menyimpulkan bahwa kedua laku buruk di atas pada hakikatnya sama-sama mengingkari prinsip negara hukum –prinsip Rechtsstaat. Sebab negara hukum sejati hanya bisa ditegakkan dengan mengindahkan kedua sisi dari prinsip dwi-keabsahan di atas: keabsahan prosedural dan keabsahan substansial. Di dalam legislasi, kian tinggi penghormatan pada prinsip dwi-keabsahan itu, kian kokoh pulalah bangunan negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat. Jika ini tercipta, kian mengecil pulalah frekuensi kasus yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, makin tinggi frekuensi kasus yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, makin lemah pulalah negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat.

Penjumudan politik in toto demikian di dua ranah sentral maupun dalam rasionalitas demokrasi tak pernah dialami oleh bangsa kita, di masa Demokrasi Parlementer sekalipun. Sejak Kemerdekaan tak terlacak instance atau contoh momentum lain di mana ketiga regresi politik di atas berlaku sekaligus.
Kita sungguh patut bersyukur bahwa terlepas dari gencarnya laku fitnah dan khianat di sepanjang proses Pilpres 2014, yang tampil sebagai pemenang tetap adalah kubu yang hingga saat ini tetap menjunjung kriteria integritas-kompetensi atau moralitas-otoritas –kubu yang sungguh menangkap dan menjunjung ideal-ideal demokrasi. Kemenangan itu jelas menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia telah menolak laku fitnah dan laku khianat dalam bernegara-bangsa.

Joko Widodo mungkin adalah satu-satunya presiden terpilih di dunia yang tak menghendaki para relawan pendukungnya selama Pilpres bubar setelah beliau terpilih. Itu berarti bahwa mengatasi semua presiden yang terpilih lewat Pilpres, beliau menunjukkan tekad terbuka untuk terus tegak pada ideal-ideal kampanyenya. Dan sejak Kabinet Juanda (1957-1959), baru pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang kembali berteguh hati untuk menyusun Kabinet Ahli sembari tetap menjunjung ideal-ideal berbangsa dan berdemokrasi. Juga baru pasangan ini yang, insya Allah, memiliki syarat-syarat dan berpeluang untuk mengukuhkan konsolidasi demokrasi di Tanah Air.

Kapan pun dan di mana pun, hanya kepemimpinan politik yang bisa secara tulus menyentuh kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada bangsanya yang akan sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik: suatu negara-bangsa yang “integer vitae, scelerisque purus”, yang “makmur terpuji di bawah lindungan Tuhan yang Maha Pengasih.”***

[MP: Ini adalah versi naskah asli sebelum mengalami suntingan Redaksi KOMPAS]


MUSANG BERBULU AYAM

$
0
0

MUSANG BERBULU AYAM

oleh Daoed Joesoef (Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne)

SETELAH melihat tayangan televisi tentang detik-detik tingkah laku para politikus cum wakil rakyat ketika membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di DPR lama—dan terkait masalah krusial ini, telekonferensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang serba plin-plan, serta Sidang Paripurna DPR baru yang gegap gempita dalam suasana yang sama sekali tidak bermartabat—bulu tengkuk saya meremang.

Betapa tidak. Saya tersentak baru saja menyaksikan kemungkinan sejenis gerak-lambat barbarisasi dari sejumlah polity, yang menyeringai di antara rezim kepolitikan buruk yang ada dan saat pencapaian tujuan barbariknya. Apa yang sejatinya bisa diraih dengan moral seharusnya tidak dicapai melalui hukum. Namun, berhubung tunamoral, mereka menghabiskan energi dan waktu dengan bermoralisasi (moralizing), asyik mengutak-atik ”moral” dan ”moralizing” yang begitu berbeda bagai siang dan malam tanpa panduan filosofi Pancasila demi kekukuhan kekuasaan politiknya belaka yang diselimuti dalih ”demi rakyat”.

Sabotase politik
Perkembangan proses barbarisasi ini mereka sebut dengan bangga sebagai ”dinamika politik”. Padahal, hati kecil mereka, saya yakin, mengakui bahwa upaya dinamisasi itu hanya merupakan jegal-jegalan belaka. Dengan kata lain, Koalisi Merah Putih (KMP) mencari apriori bertekad mencegah at all costs agar Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak bisa mewujudkan niat baiknya bagi Indonesia melalui kebijakan pemerintahan yang dipimpin pasangan pemenang Pemilu Presiden 2014, yang langsung telah dipilih oleh rakyat itu. Apakah upaya penjegalan apriori ini tidak bisa disebut suatu sabotase politik?

Polity dengan lembaga partai politiknya selama ini kiranya bukan mendidik kadernya menjadi negarawan, melainkan membiarkannya tumbuh dan berkembang menjadi makhluk ”liar” dan ”barbar”. Makhluk liar adalah orang yang secara membabi buta tunduk pada naluri, pada impuls, dan pada nafsunya; dia tidak peduli pada ”baik” dan ”buruk” yang dituntut oleh keadaan. Makhluk barbar, sebaiknya, adalah orang yang berprinsip dan berpengetahuan spesialistis; dia mengabaikan hal-hal yang diniscayakan dan bergerak langsung ke tujuan.

Sejujurnya, di luar komunitas politik, pada setiap era ada juga orang-orang seperti itu, bahkan lebih buruk lagi, di komunitas religius. Di situ orang tidak segan-segan menggunakan ayat ilahiah sebagai pelindung perbuatan yang justru berlawanan dengan perintah Tuhan.

Tunamoral, tunamalu
Politika adalah sebenarnya sebuah profesi yang serius, serba kompleks, berdedikasi tinggi, mengandung risiko serta, karena itu, cukup terpandang dan terhormat. Hal ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa kita yang dahulu berjuang tanpa pamrih pribadi melawan penjajah secara sistematis dari waktu ke waktu, yang kini kita peringati sebagai peristiwa yang merupakan ”tonggak-tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional”.

Patriotisme yang dahulu mereka lakukan untuk Indonesia, tanah airnya, adalah perbuatan yang puluhan tahun kemudian dipujikan oleh John F Kennedy melalui ucapannya, ”Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.”

Di mana pun di muka bumi ini, orang memerlukan persiapan yang relevan untuk bisa diakui sebagai profesional. Untuk berprofesi sebagai kimiawan, misalnya, orang harus mempelajari ilmu kimia. Untuk menjadi pengacara/jaksa/hakim, orang perlu mempelajari ilmu hukum. Untuk menjadi dokter, orang harus belajar ilmu kedokteran lebih dahulu. Di Indonesia, kelihatannya, untuk menjadi politikus orang cukup mempelajari kepentingannya sendiri dan/atau kepentingan partainya dan tunamalu, bahkan tunamoral.

Persiapan profesi politik yang jauh daripada ideal ini kiranya sudah diantisipasi oleh Bung Hatta. Tidak lama setelah kembali ke Tanah Air, dia mendirikan PNI, bukan Partai Nasional Indonesia seperti yang telah dibentuk oleh Bung Karno, melainkan Pendidikan Nasional Indonesia, menggenapi tujuan pendidikan formal yang telah diusahakan Ki Hajar Dewantara. Bersama dengan Bung Sjahrir, dia mengorganisasi klub studi, pendidikan nonformal, yang berfungsi bagai kawah candradimuka penggemblengan para pemimpin politik mendatang.

Sebelum menjadi pemimpin rakyat, mereka harus bisa lebih dulu, menurut visi Bung Hatta, menata cara berpikir mereka sendiri. Melalui pembelajaran klub studi, mereka bukan dilatih untuk bisa lebih maju daripada orang-orang lain (menyombong), melainkan dibiasakan selalu mampu lebih maju daripada dirinya sendiri.

Cara pembinaan kader seperti itulah yang patut ditiru oleh parpol dewasa ini. Artinya, parpol perlu berusaha menerjunkan politikus ke arena politik bukan karena telah berjasa mencari dana bagi kas partai atau memenangkan ketua dalam pilpres/pilkada atau berhubung berada di garis keturunan dari trah person tertentu. Kader yang dijagokan itu seharusnya berdasarkan mutu pendidikan formal, kemampuan berpikir, kematangan bersikap, yang secara obyektif-profesional mengundang respek, bisa diakui kelebihannya, walaupun secara diam-diam, oleh pihak pesaingnya dari parpol lain.

Di Abad Pertengahan, Italia pernah dikuasai keluarga Borgias selama 30 tahun. Periode ini diwarnai oleh pertarungan berdarah, teror, pembunuhan, dan intimidasi. Namun, periode yang sama melahirkan pula Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan gerakan renaissance. Bangsa Swiss mengalami kehidupan demokratis selama kira-kira 500 tahun. Selama itu mereka mengenal brotherly love dan peace. Lalu, apa yang mereka hasilkan? Sistem pendidikan keilmuan yang mantap—Einstein remaja bersekolah di situ—dan jam antik ku-ku clock.

Memperkuat lapisan terdidik
Bangsa Indonesia sudah mengalami periode reformasi selama lebih kurang 20 tahun. Yang direformasi adalah gaya pemerintahan otoriter demi kelancaran pemerintahan demokratis, yaitu yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Apa yang dihasilkan oleh reformasi ini? Suatu barbarisasi, yang memang bergerak lambat tetapi pasti, dimotori oleh kepiawaian bersandiwara seorang presiden yang bakal lengser dan korps politikus yang saling berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai bagaimana menyenangkan rakyat tanpa memberikan apa yang mereka betul-betul perlukan—how to please people without giving what they really want. Mereka mendekati setiap subyek dengan mulut terbuka, bukan dengan pikiran dan hati terbuka.

Pergelaran sandiwara dari panggung politik DPR yang memuakkan itu menantang kesadaran rakyat akan hak-haknya yang dirampas begitu saja. Padahal, rakyat telah membiayai para aktor-politik yang tampil keren dan cantik di panggung itu dan kelihatannya betul-betul menjiwai serta menikmati peran amoral masing-masing. Jadi, mereka bukan sekadar bersandiwara, melainkan telah main sungguhan dalam proses barbarisasi.

Barisan rakyat harus didukung, diperkuat, terutama oleh lapisannya yang terdidik, kaum intelektual. Di mana Anda berada? Sedang menyendiri di laboratorium atau bersemadi di perpustakaan atau berpesiar somewhere? Masih jauh larut malam, sudah berkeliaran musang berbulu ayam.

Kompas 10 Oktober 2014, hal aman 6

Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne


Kementerian Asset & Trustee Indonesia

$
0
0

10 Oct 2014 | 16:23

Pada 22 September lalu, The Wall Street Journal menurun sebuah artikel yang mengejutkan dunia, khususnya Indonesia. Tulisan itu berjudul “Heirs of Indonesian Politician Adam Malik Seek Funds From UBS”. Keluarga Adam Malik menggugat UBS melalui AM Trust pada Pengadilan Distrik Utara California, Amerika Serikat. Mereka menuduh UBS telah memanfaatkan harta mantan Wakil Presiden Indonesia yang telah wafat 1984 berupa simpanan uang dan emas senilai USD 5 juta di Union Bank of Switzerland (UBS) dan di Swiss Bank Corp.
Surat Perjanjian Sukarno dan Kenedy 10Peristiwa ini bagaikan riak kecil yang muncul ke permukaan, terlepas dari soal dari mana Adam Malik bisa memiliki uang sebanyak itu. Sebab, ada sejarah bangsa yang terputus antara generasi sekarang dengan generasi sebelum masa kemerdekaan. Kita hanya diajarkan untuk adanya kerajaan besar seperti Padjadjaran, Majapahit, Sriwijaya, dan sebagainya. Lalu kita diajarkan bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya, dilanjutkan jajahan Jepang, dan akhirnya Indonesia merdeka yang diproklamirkan Ir Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sejak proklamasilah kemudian sejarah bangsa ini terang benderang, sebagai lahirnya bangsa baru yang bernama “Indonesia”. Walaupun kata Indonesia sudah disebut periode sebelumnya, utamanya dalam Sumpah Pemuda yang dibacakan 28 Oktober 1928.
Namun tak banyak yang mencatat bahwa pada tahun 1928 terjadi sesuatu yang menarik perhatian dunia internasional, yang menyangkut hajat hidup manusia di planet bumi ini. Maaf bukan acara sumpah pemudanya, tetapi adalah undangan The Kings of Solo yang sebenarnya merupakan turunan dari The Kings of Solomon, Paku Buwono X yang mengundang 128 raja agung dunia untuk bertemu guna membicarakan apa yang disebut “Plan of The Expert”.
 Garut07 (2)
Raja Jawa itu berharap tujuaN dari Plan of The Expert 1928 itu bisa berjalan. Ialah break down colonialism, free the nation and create equal start, control the new nation through debt, unify the world, as good as possible for many as possible.
Setidaknya itulah yang dicatat pencari fakta kebenaran sejarah perbankan dunia dalam sebuah laporan yang berjudul “The History of Banking, An Asian Perspective” yang mempertanyakan; where did King Solomon’s treasure go?
Memahami makna sejarah ini, kalangan masyarakat Indonesia sibuk dengan analisa dalam konteks dimensi dunia lain, dan terseret dalam dunia magis yang berkepanjangan dengan menafikan akal sehat. Sementara dunia perbankan internasional terus berupaya bagaimana menggunakan aset besar dunia itu bagi kemaslahan umat manusia, Bahkan tak sedikit berupaya untuk mengakali sistem yang telah dibangun dengan nama “Harta Amanah Soekarno” dengan sandi “M1″ singkatan dari “Monetary One” untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Tahun 1928 itu, memang Sokarno dipanggil oleh Paku Buwono X untuk menerima tanggung jawab yang besar, berupa “The Big Recall” aset-aset kerajaan yang telah berada pada 140 negara dan dibukukan pada sedikitnya 100 bank ketika itu. Dalam usia muda belia (27 tahun), Soekarno telah dipercaya untuk mengelola aset besar yang dipercayakan oleh 128 kerajaan besar dunia ketika itu guna membentuk dunia peradaban baru melalui Plan of The Expert 1928 tadi.
green-hilton-memorial-agreement-signatories-1963-11-727754Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955, adalah salah satu upaya Soekarno untuk melaksanakan amanah itu. Masih banyak upaya lain yang dilakukannya seperti Marshall Plan, Colombo Plan, dan sebagainya. Sayangnya jejak hebat Soekarno dihapus dalam sejarah perjalanan masyarakar Eropa dan Amerika kemudian.
Namun demikian, Soekarno tidak habis akal. Ia memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy sejak tahun 1960-an. Beberapa kali mereka bertemu, dan akrab bagaikan adik dan kakak. Sehingga kala John F Kennedy bermasalah dengan Federal Reserve (Fed) ketika itu, maka Soekarno tampil bagaikan pahlawan bagi presiden negara adidaya itu. Mereka meneken apa yang disebut “The Green Hilton Memorial Agreement” pada 14 November 1963.
Walaupun sebagian besar sejarawan Indonesia meragukan adanya pertemuan Soekarno dengan John F. Kennedy pada 14 November 1963 itu, karena di Indonesia sedang acara besar berupakan pekan olahraga Ganefo (Game of New Emerging Force) atau olympiade negara-negara non blok, tetapi harian terkemuka Amerika The New York Times, mencatat dengan baik jadwal kegiatan John F Kennedy sebelum ia tertembak pada 22 November 1963 atau delapan hari setelah penandatangan pengakuan aset Indonesia yang ada di Amerika Serikat. Bahwa hari Kamis 14 November 1963 dalam jadwal kegiatan John F, Kennedy tercatat “Sukarno appoints himself Premier (pg.3)”.
Pada tanggal 13 Oktober 2014, Mr. Kenji Yamazaki selaku Ketua Komisi Pengawas Aset kekaisaran Jepang berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia ditugaskan Kaisar Jepang untuk memberikan hibah bagi program 100 hari kerja Presiden SBY ketika itu.  Bahkan ia telah diperintah Kaisar Jepang untuk program bantuan jangka panjang dengan Indonesia. Sayangnya rencana bantuan ini, tidak terakomodasi dengan baik sehingga tidak cair hingga kini. Semoga saja bisa terlaksana di era kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Hebatnya lagi, Kaisar Jepang pernah melarang warga Jepang tidur dimana kakinya menghadap ke Indonesia, saking Kaisar  Jepang menghormati Indonesia. Mereka merasa ada komitmen sejarah jangka panjang antara Indonesia dan Jepang yang hingga kini mereka akui.
*******
Itu adalah sekelumit fakta sejarah, bahwa ada aset bangsa Indonesia yang begitu besar berada di luar negeri. Bahkan di dalam negeri sendiri tidak kalah pentingnya. Masih banyak masyarakat Indonesia menyimpan batangan emas, batu permata, platinum, tembaga, dan sebagainya. Bahkan sebuah bank besar di Swiss pernah beriklan di salah harian terkemuka di Indonesia. Bank tersebut mencari ahli waris nasabahnya yang sudah meninggal. Iklan bank tersebut menyebut nama anaknya yang konon tinggal di Bandung.
Tak hanya itu, harta karun di darat dan yang tenggelam bersama kapal-kapal niaga di dasar laut Indonesia bertebaran di berbagai titik di Indonesia, tidak dikelola dan diawasi secara baik. Anehnya, jika harta karun berupa keramik mahal, emas, dan sebagainya, masuk ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena dianggap harta purbakala dan peninggalan sejarah.
Bangunan tua, bangunan bersejarah, tempat bersejarah, situs-situs, serta benda-benda asing yang terbuat dari perunggu, emas, dan logam berharga lainnya tidak terawasi dengan baik. Karena memang tidak ada lembaga yang secara spesifik bertanggung jawab atas pengelolan dan penyelamatan aset bangsa.
Yang disebut aset bangsa, bisa milik perseorangan dan bisa milik suatu lembaga. Namun negara perlu menyediakan sebuah kementerian yang secara spesifik pula bertanggungjawab terhadap pengelolaan dan penyelamatan aset-aset bangsa yang tersebar di berbagai belahan dunia. Negara tidak bermaksud untuk menyita dan menguasai, tetapi negara harus melindungi setiap harta benda warga negaranya dimana pun ia berada seperti diamanatkan oleh konstitusi Republik Indonesia. Kecuali harta karun yang memang tidak ada pemiliknya, maka harus dimiliki dan dikuasai oleh negara yang sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Hutan gambut di Kalimantan yang sudah dikukuhkan dunia sebagai paru-paru dunia, maka secara otomatis negara harus memliharanya dengan baik. Pengelolaan hutannya tetap Kementerian Kehutanan, tetapi bagaimana menajerial hutan gambut sebagai aset bangsa Indonesia yang dibutuhkan manusia di planet bumi harus dikelola dengan baik secara ekonomi.
Jika Pemerintahan Jokowi-JK setuju dengan Kementerian Pengelolaan & Penyelamatan Aset Bangsa ini (atau apapun namanya), maka sasaran pertama kementerian ini adalah melakukan inventarisasi aset-aset bangsa Indonesia yang meliputi aset fisik dan non fisik. Kedua, mendorong Bank Indonesia dan perbankan nasional untuk membentuk fasilitas bullion bank di Indonesia, sehingga semua aset berharga milik masyarakat Indonesia dapat dijadikan sesuatu yang bernilai didalam dunia perbankan.
Dengan adanya bullion bank, masyarakat Indonesia bisa mendepositokan emasnya di bank, mendepositokan batu permata/berlian di bank, mendepositokan batangan tembaga, emas, platinum, dan logam berharga lainnya sehingga menjadi sertifikat deposito. Termasuk, masyarakat bisa menjadikan rumah atau bangunan berharga mereka menjadi sebuah bank garansi, SBLC, atau jaminan surity bond, sehingga tidak ada lagi aset berharga yang cecer dan habis percuma di telan usia. Hong Kong cukup sukses melakukan ini semuanya, sehingga rakyat memiliki sebuah kepastian tentang sesuatu yang berharga bagi hidupnya, bukan ditanam di tanah atau disimpan di bawah kasur.
Kementerian Pengelolaan dan Penyelamatan Aset (KPPA)
Berkenaan dengan itu, maka saya mengusulkan agat ada sebuah kementerian yang secara khusus mengelol da menyelamakan aset milik bangsa Indonesia. Adapun tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut.
Pertama, sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam melakukan inventarisasi aset-aset milik perseorangan warga negara dan milik kelembagaan, sehingga Negara dan Pemerintah dapat memetakan unsur nilai dan kepemilikan aset bangsa Indonesia baik yang berada di luar negeri maupun yang berada di dalam negeri.
Kedua, kementeran ini berfungsi dan bertugas menjadi penyuluh bagi masyarakat untuk mengelola aset dengan baik dan bernilai seperti tanah, kebun, sawah, dan sebagainya bekerjasama dengan pihak perbankan nasional, sehingga masyarakat Indonesia tidak dengan serta merta dan mudah menjual aset-aset tersebut kepada pihak lain (apalagi pihak asing) karena akibat ketidak-pahamannya soal nilai aset atau karena akibat tekanan ekonomi.
Ketiga, kementerian ini melakukan riset secara rutin  melalui saluran resmi mau pun tidak resmi untuk melacak aset-aset bangsa Indonesia yang berada di luar agar pemiliknya dapat melakukan investasi atau membawa harta kekayaan ke tanah air untuk membangun Negara Republik Indonesia, dimana negara tidak bermaksud menguasai atau memilikinya, tetapi justru Kementerian ini bermaksud untuk melindungi aset-aset tersebut agar terhindar dari kenakalan atau prilaku hazard lainnya.
Keempat, kementerian ini memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar tidak tertipu dengan perorangan, yayasan, atau lembaga yang mengaku-ngaku memiliki aset besar yang siap dicairkan tanpa alasan yang jelas. Sebab saat ini fenomena ini sudah pada tingkat suasana yang mengkhawatirkan. Kementerian ini berhak untuk mengatakan bahwa tindakan semacam itu adalah illegal dan mengandung unsur pidana. Tidak seperti sekarang, seakan negara tidak peduli dengan modus-modus penipuan semacam ini.
Kelima, kementerian ini akan bekerja dengan perbankan nasional untuk menyiapkan fasilitas bullion bank, sehingga aset-aset mahal milik warga negara seperti logam dan batu mulai berharga, serta aset berharga lainnya dapat dimasukan dalam system perbankan berupa deposito berjangka atau surat berharga bank lainnya. Pihak Kementerian ini akan melakukan pengawasan melekat terhadap penyimpanan aset-aset tersebut pada bank sehingga jelas kepemilikannya, ahli warisnya, dan sebagainya, sehingga terhindar dari moral hazard dunia perbankan.
Keenam, kementerian ini akan membentuk Lembaga Riset dan Penelitian tentang aset bangsa Indonesia, baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar agar jelas jalur benang merah sejarah yang melingkupinya. Termasuk juga untuk melakukan investigasi apabila ada persengkatan kepemilikan aset berupa tanah, rumah, serta aset berharga lainnya milik warga negara Indonesi, sehingga persoalan ini tidak terlalu menggantung yang kemudian merugikan semua pihak termasuk negara, karena aset masih dalam sengketa berkepanjangan yang banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia selama ini.
Ketujuh, kementerian ini akan mempekerjakan para ahli sejarah, ahli keuangan, ahli perbankan, ahli investigasi, ahli hukum (berbagai disiplin ilmu hukum) untuk menopang kinerja. Sebab lembaga ini akan menampung keluhan dan pengaduan masyarakat menyangkut soal status kepemilikan aset yang mereka punyai serta menyalurkan penyelesaian sengketa ke lembaga atau ranah yang tepat sehingga mudah penyelesaiannya.
Kedelapan, secara prinsip kementerian ini akan melarang warga negara menjual asetnya berupa tanah, karena tanah adalah aset menyangkut masa depan anak cucunya. Jika ada usaha yang akan dilaksanakan pada tanah warga yang dimaksudkan, maka Kementerian menyarankan untuk melakukan kerjasama saja dengan pemilik proyek dengan pola profit sharing, kerjasama operasional, dan sebagainya. Apalagi, tanah milik warga negara dilarang dijual ke pihak asing dengan cara atau alasan apapun. Larangan ini akan dituangkan dalam sebuah undang-undang.
Kesembilan, kementerian ini juga berhak menampung aset warga negara Indonesia baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri, apabila pihak ahli waris tidak diketemukan, atau memang tidak ada ahli waris, atau memang harta atau aset tersebut dihibahkan kepada negara. Oleh Kementerian, aset ini akan diserahkan kepada lembaga pengelola yang disebut “Rumah Aset” bekerjasama dengan lembaga perbankan dan lembaga keuangan non bank untuk sepenuhnya bagi kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia.
——ooo—–

http://m.kompasiana.com/post/read/679618/3/kementerian-asset-trustee-indonesia.html

Dibaca : 68 kali



Bongkar Kemunafikan Amerika di PBB, Pidato Cristina Fernández Diputus!

$
0
0

JIKA SAJA ADA MUSLIMAH YANG SEPERTI INI
====================================
MUDAH MUDAHAN BELIAU DIBERI HIDAYAH OLEH ALLAH SWT
===================================================

Bongkar Kemunafikan Amerika di PBB, Pidato Cristina Fernández Diputus!

Andai saja Cristina Fernández de Kirchner adalah pemimpin Dunia Arab dan Dunia Islam tentu mantap sekali. Disaat para pemimpin dan para menlu negara-negara arab sibuk mencium tangan Tzipi Livni si mentri keadilan israel yang tidak lain adalah penjahat perang I dan II di Gaza, dan mengusap-mengusap tangannya untuk mencari berkah, dan banyak pula yang cari muka dan menampilkan diri agar terlihat konservatif, cinta perdamaian dan normalisasi, dan ada pula yang mengirimkan ucapan selamat untuknya dan militernya karena sukses memenangkan pembunuhan massal di Gaza; tapi tidak demikian halnya dengan Presiden Argentina Cristina Fernández de Kirchner. Wanita tangguh ini berdiri tegap di forum PBB membongkar kontradiksi politik Amerika dan berbagai kebohongannya, membuka topeng dan menelanjang wajah jahat dan kesumatnya, taring-taringnya yang tajam dan haus darah, darah bangsa arab dan bangsa muslim secara khusus.

Cristina Fernández mengecam politik Amerika yang penuh dengan kebencian namun ditutupi dengan topeng perang melawan teroris. Hal itu disampaikan Cristina dengan lantang dan tegas: “anda pernah mengeluarkan keputusan untuk memerangi Al-Qaeda setelah 11/09, anda jajah banyak negara dan anda membunuh ratusan ribu penduduknya atas nama perang melawan teroris di Irak dan Afganistan yang sampai saat ini masih saja menjadi negara yang paling bermasalah dengan teroris”.

Cristina melanjutkan: “Setahun lalu kita pernah bersidang dimana anda semua melabel rezim Asad sebagai teroris dan anda semua mendukung oposisi yang dulu kami anggap sebagai pembangkang, namun sekarang kita bersidang lagi untuk membungkam para pembangkang itu yang ternyata memang teroris dan mayoritas sudah masuk list organisasi-organisasi teroris ekstrimis yang sekarang sudah berubah menjadi super ekstrim.

Cristina menambahkan, “Dulu, Hizbullah juga pernah anda masukkan dalam list teroris, terakhir diketahui bahwa hizbullah adalah partai besar dan dikenal di Lebanon”.

“Anda-anda pernah menuduh Iran dibalik ledakan Kedutaan Israel di Buenos Aires tahun 1994, dan sampai hasil inverstigasi sampai saat ini tidak dapat membuktikan bahwa Iran terlibat pada peledakan itu”, lanjutnya.

Lebih jauh lagi, Cristina berkomentar mendukung korban teror israel di Jalur Gaza, sebuah komentar yang tidak akan pernah keluar dari bibir penguasa arab: “anda semua memejamkan mata di depan musibah yang maha dahsyat yang dilakukan israel yang memakan ribuan korban warga Palestina, bukannya anda-anda fokus pada ribuan korban itu, malah anda fokus pada roket-roket yang jatuh ke Israel yang tidak merugikan apa-apa bagi israel”.

“hari ini kita bersidang kembali untuk mengeluarkan keputusan internasional untuk mengkriminalian ISIS dan memberangusnya. Negara-negara tempat beradanya ISIS (Suriah&Irak) adalah 2 rezim yang didukung oleh negara-negara yang menjadi konco-konco anda. Negara-negara (arab) itu adalah aliansi tetap negara-negara besar anggota Dewan Keamanan PBB”, tambahnya.

Mendapatkan pidato pedas ini, terjemahan pidatonya diputus distop, agar pesan-pesanya tidak dapat sampai seluruh penjuru dunia, dan stasiun-stasiun televisi yang melakukan siaran langsung juga memutuskan siarannya. Mereka beralasan bahwa terputusnya siaran-yang seumur-umur tidak pernah terjadi dalam sejarah Dewan Keamanan PBB-adalah karena kesalahan tehnis. Amerika tidak senang dengan pidatonya Christina, maka Amerikapun menggunakan metode teror tehnis untuk menghalangi tersampaikannya kebenaran-kebenaran yang ingin didengarkan khalayak ramai.

Penguasa arab yang sempat berbicra di sidang PBB senantiasa menyampaikan pidato suram, membosankan, penuh dengan kemunafikan dan senantiasa menjilat Amerika, sangat antusias dalam menampilkan bahaya ISIS dan ekstrimis muslim, tapi tidak ada yang berani menampilkan kebejatan teroris israel kecuali sedikit saja itupun dengan malu-malu.

Amerika tidak mampu membully Presiden Argentina, karena sang presiden membela para korban nyawa, warga terluka, dan para anak-anak yatim di Gaza, karena Christina adalah presiden yang berkuasa atas kehendak rakyat, memerintah sebuah negara yang senantiasa menjaga kedaulatan rakyat dan martabat rakyat, dan selain itu semua, keberpihakannya senantiasa kepada nilai-nilai keadilan, HAM, dan martabat manusia di seluruh jagat raya, tidak perlu takut dengan Amerika, karena takut tidak punya tempat pada peradaban dan budaya mereka.

Christina benar. Aliansi yang dikomandoi Amerika menggalang lebih dari 40 negara untuk memborbardir teroris muslim, bukan untuk memborbardir teroris Israel. Bahkan beberapa pilot arab dengan bangganya melakukan serangan udara tersebut untuk membungihanguskan tumpah darah mereka sendiri, dan pada saat yang sama para penguasanya duduk satu meja, makan malam bersama Tzipi Livni sembari
membicarakan prosesi pengganyangan Gaza berikutnya.
……
Kita sebagai rakyat tidak kuat menahan emosi, karena kita merasa begitu diinjak dan dihinakan ketika melihat tindak-tanduk memalukan dari para pemimpin kita, ketika kekayaan bumi dijarah di depan mata kita, ketika ribuan nyawa rakyat kita direnggut oleh pesawat-pesawat tempur yang dikemudikan oleh arab sendiri, sementara gempuran yang sama tidak pernah mereka lakukan terhadap bumi teroris israel. Dan pastinya kita tidak akan pernah melihat arab yang beraliansi dengan Inggris dan Amerika untuk memborbardir teroris Israel.

Perbudakan dan nihilnya rasa nasionalisme ini berakibat kepada berhamburannya para pemuda muslim menerobos Suriah dan Irak untuk bergabung ke dalam barisan kelompok-kelompok Islam Politik garis keras, dan pastinya gelombang jihadis ini akan terus meningkat seiring dengan gempuran-gempuran baru yang diluncurkan oleh pesawat-pesawat tempur arab dan Amerika di Irak dan Suriah.

Terima kasih sebesar-sebesarnya kita sampaikan kepada Chistina, terimakasih atas keberaniannya, terimakasih karena kefemininnya sebagai wanita mengungguli semua pria yang mengklaim diri jantan, terimakasih karena sudah menyampaikan kebenaran tanpa takut kepada Amerika dan pesawat-pesawat tempur dan roket serta balatentaranya. Dan selamat kepada penguasa-penguasa arab yang sudah dapat berkah dan anugerah dari betina Tzipi Livni, jika pun rakyat-rakyat tidak mengadili mereka, dan sidang PBB hanya mainan belaka, maka sejarah tidak akan memberi mereka ampun.

Dari Benua seberang, dari bangsa-bangsa besar yang sudah melahirka Castro, Chavez, Evo Morales, Che Guevara, tidak aneh kalau juga melahirkan singa betina Christna, sementara bangsa-bangsa pengecut akan selamanya menghamba


Salah tafsir thd Revolusi Mental Jokowi,

$
0
0

Oleh: Radhar Panca Dahana

Sejujurnya sangat menjenuhkan—bahkan menggelikan—untuk berpikir atau menulis mengenai hal yang hari-hari ini menjadi tren atau semacam trending topic dalam media sosial.

Sebuah kecenderungan yang menyuburkan tumbuhnya fashioned atau fad intellectual. Semacam pemikir atau pengamat yang menggunakan kelincahan literer dan pelisanan, bukan pikirannya, sekadar sebagai gincu untuk mengikuti isu publik seperti kita tergiur oleh busana dan gadget terbaru hanya karena renda-renda atau fitur tambahan yang lucu.

Namun, itulah yang harus saya lakukan, sekali lagi, membahas sebuah frasa pendek “revolusi mental”, produk politik yang bagi saya lebih menghebohkan, lebih besar, bahkan berpeluang lebih mampu menciptakan perubahan fundamental, ketimbang kursi kekuasaan (kepresidenan) yang akhirnya dimenangi seseorang lewat proses yang melodramatik dan sarat preseden. Kedua hal itu berhulu kepada seorang pengusaha mebel yang tidak punya latar elitis atau kelas penguasa dalam dimensi apa pun, seorang dengan kesederhanaan begawan: Joko Widodo (Jokowi).

Peluang menciptakan perubahan fundamental, satu bentuk perubahan yang secara instingtif diharapkan masyarakat banyak, itulah yang menurut saya perlu dikawal, jika dapat dibantu secara maksimal, sekurangnya menghindarinya dari pendangkalan makna, reduksi dari tujuan-tujuan idealnya, bahkan penyelewengan dari intensi dasarnya. Hal ini menjadi urgen ketika ternyata banyak salah tafsir terjadi pada ide itu, berangkat dari salah tafsir tentang empunya ide itu sendiri, Jokowi. Impresi, harapan palsu, hingga ilusi terhadap sosok Jokowilah harus dicegah karena tidak saja merugikan Jokowi sendiri, pada gilirannya ia akan merugikan signifikansi hingga implementasi dari “revolusi mental” yang menjadi tag line kekuasaan yang kini digenggamnya.

Kecerdasan tradisional

Hal pertama dan utama adalah pencitraan stigmatik yang menganggap Jokowi memiliki kecerdasan—katakanlah—sebagaimana yang kita bayangkan ada pada Obama atau tokoh dunia lain. Bahkan juga apabila dibandingkan dengan seorang direktur atau eksekutif sebuah organisasi/perusahaan pun, performa Jokowi sesungguhnya di bawah standar atau kategori-kategori canggih manajemen-performatif modern. Karena itu, Anda akan merugi jika mengharapkan, misalnya, Jokowi dapat mempresentasi konsep atau ide-ide (kenegaraan atau pemerintahannya) laiknya seorang eksekutif andal.

Pelisanan atau retorikanya sungguh tak cakap, diksinya miskin, bahasa tubuh kaku, paralingual tak mampu dimainkan untuk memperkuat pernyataannya sendiri, bahasa Inggris tak fasih, bicara simbol atau visual display tidak mahir, dan seterusnya. Kualitas mediokratik presentasinya mungkin ada pada tingkatan middle-manager. Jokowi tentu saja tidak sama sekali tak cerdas. Dalam standar atau paham kecerdasan yang, misalnya, kita dapatkan dari seorang Habibie, Gus Dur, apalagi Soekarno, bahkan ahli-ahli retorika yang silih ganti tampil di layar datar televisi. Namun, mengapa ia begitu hebat? Mengapa ia bisa menaklukkan lebih dari separuh rakyat negeri ini, dan menjadi seorang pemimpin tertinggi, menumbangkan begitu banyak tokoh cerdas, berpengalaman, bermodal besar, berjaringan luas, dan sebagainya?

Jawabannya cuma satu: Jokowi “cerdas”. Bukan cerdas dalam pengertian modern yang akademik, saintifikal, atau berbasis pada rasionalisme-materialistik atau logosentrisme oksidental, sebagaimana tokoh-tokoh kita sejak masa pergerakan awal dulu. Jokowi “hanyalah” sarjana strata satu kehutanan, tidak lebih. Apa yang dimiliki Jokowi adalah semacam ”kecerdasan” tradisional, bisa juga primordial, yang dia dapatkan semata dari penghayatannya yang tulen pada sumber pengetahuan yang ada di dalam nature atau alam bawah sadarnya sebagai bagian organik dari suku Jawa. Inilah satu bentuk kecerdasan yang tak pernah dan mungkin tak bisa dipetakan, disistematisasi, difalsifikasi atau diteorisasikan oleh pelbagai bentuk epistemologi yang ada saat ini.

Kecerdasan ini memang tidak “disadari” (“sadar” dalam pengertian akal yang sistematikanya dikelola oleh rasionalisme positif), tetapi ia eksis atau mengendap begitu saja dalam diri kita. Kita umumnya, tidak hanya tidak “menyadari”, tetapi juga tidak “mengetahui” karena kecerdasan itu sejak kanak kita tutupi (cover) dengan satu bentuk kultur/adab dengan kecerdasan yang sangat lain/berbeda. Kultur/adab kontinental yang kita internalisasi sejak PAUD hingga posdoktoral.

Kapasitas dan kapabilitas dari kecerdasan tradisional ini, jika tidak seimbang, saya kira, lebih ampuh ketimbang kecerdasan rasional modern. Kapabilitasnya dalam mengidentifikasi masalah, menemukan substansi, mengkreasi solusinya yang inovatif, dan mengimplementasikannya dalam praksis (kebijakan) hidup sehari-hari. Kecerdasan ini tidak bermain di atas meja, dalam angka-angka, eksposisi ilmiah atau simpulan-simpulan spekulatif yang reduksionistik, sebagaimana hasil riset-riset sejumlah laboratorium sosial.

Kapasitas mental

Kecerdasan tradisional Jokowi membutuhkan telinga, mata, hidung, peraba, hingga bulu tengkuk yang meremang, darah yang menggejolak, atau jiwa yang empatik untuk melahirkan gereget bagi sebuah finding tentang—katakanlah—substansi dari sebuah masalah. Karena itu, menurut saya, tanpa blusukan, Jokowi tak bisa berbuat banyak, bahkan akan menjadi “bukan apa-apa”, selain seorang penguasa dan takhta belaka. Kecerdasan semacam ini mengintegrasikan beberapa bagian fundamen manusia yang selama ini dilupakan bahkan dinafikan oleh adagium klasik cogito ergo sum, yakni badan dan perasaan (jiwa, nurani, dan lain-lain). Kecerdasan ini membuktikan bahwa bukan hanya “aku berpikir”, tetapi juga “aku merasa” dan “aku bermetabolisme” adalah penanda dasar atau argumen fundamental dari esksitensi, dari adanya: “aku”.

Kecerdasan holistik atau komprehensif, yang didaur dari kultur/adab tradisional/primordial inilah yang saya kira dimaksud oleh Jokowi dalam term kontroversial itu: mental. Pandirnya, dalam seruan ini, bukan kapasitas akali yang perlu diubah dan dikembangbiakkan, tetapi justru kapasitas itu harus dikendalikan, dan sebaliknya kapasitas “mental” (dalam signifikansi valuatif seperti terjelas di atas) yang dibutuhkan, tidak hanya sebagai penyeimbang dari kemajuan rasionalisme positif, tetapi juga untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan (fallacies) dari produk budaya oksidental itu.

Dengan cara berpikir ini, cara berpikir yang tidak dikerangkeng atau dikurung dalam boks logosentrisme european—yang celakanya sudah dianggap given oleh umumnya kaum terpelajar Indonesia—inilah kita akan dapat memafhumi bahwa “revolusi mental” yang dimaksud tak lain adalah sebuah abstraksi atau—boleh jadi—transendensi dari figur Jokowi sendiri. Dari abstraksi ini, sebaiknya kita tidak berharap berlebihan kepada Jokowi untuk mengkreasi istilah atau term-term ilmiah-populer yang bisa mengangkut semua pemahamannya tentang dunia kawruh, tentang ngelmu dadi kalaku, tentang hakikat dan eksistensi dari bagian fundamental–bahkan ilahiah—manusia yang selama ini ditelantarkan pemikiran modern: rasa (batin/spirit) dan tubuh.

Karena itu, saya menulis ini untuk mendahului perkiraan saya akan munculnya serangan cukup mematikan (yang syukurnya belum dilakukan) dari lawan atau pesaing Jokowi terkait dengan “revolusi mental” ini. Serangan yang hanya berisi dua pertanyaan: “Apa dan siapa yang dimaksud, atau contoh dari revolusi mental itu?” dan “Apa Anda sendiri (Jokowi) sudah melakukan revolusi itu sehingga Anda punya posisi untuk mengimbau atau memerintah orang lain melakukan hal yang sama?” Saya perhitungkan, penyerang dengan dua pertanyaan di atas akan mendapatkan kemenangan, setidaknya secara retorik. Namun, kemenangan retorika bukankah hasil tertinggi dari kerja/upaya politik? Karena di situlah sesungguhnya suara juga kekuasaan diperoleh. Karena itu, sangat tak fair jika kita menuntut Jokowi menjelaskan satu hal yang memang dalam bahasa ilmiah tak pernah dan tidak bisa dijelaskan, bahkan bagi kecerdasan tradisional itu sendiri mungkin tidak perlu dijelaskan, tetapi dibuktikan.

Lahir Jokowi lain

Di titik inilah, urgensi dari pemikiran trendi ini memiliki posisi argumen fundamentalnya. Revolusi mental, sekali lagi, tidak akan dapat diselenggarakan hingga ke tingkat praktis atau kebijakan politis jika hanya mengacu pada perhitungan-perhitungan akali yang diproduksi sekumpulan ahli ilmu sosial (sosiologi, psikologi, statistik, manajemen, politik, dan sebagainya). Ia juga harus menyertakan yang kita sebut—dan salah tafsirkan—dengan kearifan lokal, bukan sekadar “kearifan” melainkan juga gugusan pengetahuan yang luas, kaya, dan dalam dari tradisi/adab lokal yang dibangun dan dikembangkan oleh etnik dan ratusan subetnik di seluruh persada negeri, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan tahun selama ini.

Kita harus melahirkan Jokowi-Jokowi lain sebanyaknya. Karena Jokowi yang bukan mantan pengusaha mebel itu banyak sekali, mungkin 230 juta lebih jumlahnya. Jokowi yang presiden terpilih sebenarnya tidaklah terlalu istimewa karena banyak potensi “Jokowi” sejenis yang bisa jadi lebih genial dari presiden terpilih. Keutamaan dari presiden baru ini cuma satu: ia mengetahui kecerdasan itu dan mampu mengaktualisasikannya. Inilah kemampuan “mental” yang sangat langka.

Bayangkan jika, tak usah 230 juta, tetapi 230.000 saja, satu per mil saja, yang mampu berevolusi mental menjadi “Jokowi”? Saya tak bermimpi, tetapi saya “yakin” (ini bukan term ilmiah) tak ada bangsa mana pun mampu menaklukkan, bahkan menyaingi bangsa ini. Bagaimana menyaingi apalagi menaklukkan sebuah bangsa yang dalam sejarahnya mampu melahirkan lebih dari 350 etnik/sukubangsa, lebih dari 400 bahasa—setengahnya diakui PBB/UNESCO—yang hingga kini tak satu pun orientalis atau indonesianis mampu memahami secara penuh dan komprehensif?

Bagaimana semua itu bisa dilaksanakan, direncanakan? Tentu saja itu rahasia kecil karena itu porsi tim Jokowi dan pokja-pokjanya untuk merumuskan. Dan satu imperasi dalam perumusan ini: semestinya ia dilakukan oleh mereka yang sudah lebih dulu (mampu dan mau) melakukan revolusi mental itu pada dirinya sendiri, menjadi manusia yang hidup tidak hanya mengandalkan rasionalisme-positif-materialistiknya. Yang selalu terjerat dalam perhitungan-perhitungan praktis, pragmatis, dan cenderung oportunistis, sebagaimana para teknokrat pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Bagaimana mungkin sebuah revolusi dalam jenis ini, dirancang, diatur, dan dioperasikan oleh mereka yang justru belum terevolusi mentalnya? Apakah kita hendak memainkan dusta atau dunia yang virtual-artifisial? Jokowi, tuan dan puan, saya kita tidak berdusta, dan bukan makhluk artifisial.

(Radhar Panca Dahana, Budayawan)

Artikel ini sudah tayang di Harian Kompas edisi 17 Oktober 2014.


Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Editor : Tri Wahono
Sumber : KOMPAS CETAK

kajian kontroversial borodudur warisan nabi sulaiman

Hubungan Kekerabatan Keluarga Prabu Siliwangi-Pakuan Pajajaran, dengan Raden Wijaya-Majapahit dan Keturunannya yang ada sekarang: Ahmad Yanuana Samantho

$
0
0

Prabu Siliwangi . Prabu Siliwangi . is your 8th cousin 16 times removed. 

You    R.R. Lieke Sri Suryaningsih your mother Rd. Hussein Martoseputro her father Martoseputro his father Ngabehi Martodirjo his father   Njai Ageng Semali in Pabelan his mother    Kjai Sastrodinonggo in Semali  her father    R Arjo GondoKoesoemo in Semali Muntilan  his father Pangeran Poerbojo in Semali Muntilan his father    Kanjeng Panembahan Senopati or Raden Sutawijaya or Sultan Mataram I (1584-1601) d. 1601 .  his father Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram) d. 1584 . his father Ki Ageng Enis Kjai Ageng Selo III his father Ki Ageng Sela his father Kjai Getas Pendowo Rd Depok Kijai Ageng Selo I his father Rd Bondan Kedjawen / Rd Boendan Kedjawen / Rd Bundhan Kajawan / Lembu Peteng / Kiyai Ageng Tarub II . his father Brawijaya V or Kertawijaya or Bhre Kertabhumi or Raden Alit . his father  Brawijaya IV or Pandanalas . his father    Brawijaya III or Purwawisesa . his father   Brawijaya II or Rajasawardhana . his father Brawijaya I Kertawijaya or Bhre Tumapel III . his father Kusumawardhani . his mother Hayam Wuruk . her father   Tribhuwana Tungga Dewi / Dyah Gitarja . his mother Rakean Wijaya or Raden Wijaya / Prabu Kertarajasa Jayawardana her father     RAKEAN JAYADARMA . his father  Prabu Ragasuci Sang Mokténg Taman . his brother    Prabu Citraganda Sang Mokténg Tanjung . his son    Prabu Linggadewata . his son   Ratu Uma Lestari (Putri from Kawali) . his daughter    Prabu Ragamulya . her son    Mangkubumi Bunisora Suradipati his son Mayangsari . his daughter Prabu Dewa Niskala Ningrat Kancana . her son    Prabu Siliwangi . his son   Prabu Siliwangi . Top of Form Bottom of Form

Keluarga Dekat: Son of Prabu Dewa Niskala Ningrat Kancana . danPrameswari Niskala . Husband of Wife 1 of Prabu Siliwangi (NRA Mayang Sunda) .;Nyi Subang Larang .Nyi Kentring Manik Mayang Sunda .;Nyi Ambet Kasih .Dewi Siti Sambodja dan 6 lainnya Widower of Mother of Ratu Buhun . Father of Ratu BuhunPrabu Layakusumah .Prabu Liman Sonjaya .Kiayi Sunan Cipancar .Kiayi Sunan Cipicung .dan 18 lainnya Brother of Kamandaka .Banyakngampar .Ratu Ayu Kirana / Dyah Ayu Ratu Pamekas .Jayaningrat .Rd Kusumalaya Ajar Kutamanggu Panjalu . dan 2 lainnya
Ditambah oleh: Spatikarnawa Warmandewi Dewawarman VIII ., 12 Desember 2007
Dikelola oleh: Joyce Djaelani Gordon dan 7 lainnya

Tentang

  • Bahasa Inggris (aslinya)

riwayat

Born circa 1463. Or Sri Baduga Maharadja, or Sri Paduka or most known as Prabu Siliwangi Ratu Pajajaran (his Sundanese title), or also called with the name Ratu Jayadewata (Hindu Balinese name), Tome Pires commented “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan keadilan; mereka adalah para lelaki sejati). His parents were, Prabu Raja Lingga Wastu and Dewa Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475 AD) http://www.geocities.com/andri_harpan/prabusiliwangi

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya, Bogor.

Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan.

Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”. (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).

Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): “Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”. Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi.

Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah). Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana. Keterangan tetang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut: “Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah.

Akibat perang Bubat ini pula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang”. Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio. Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja): Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu

  1. “dasa” (pajak tenaga perorangan),
  2. “calagra” (pajak tenaga kolektif),
  3. “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan
  4. “pare dondang” (padi 1 gotongan).

Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”. Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. “Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti).

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkannya untuk “rodi”. Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5. Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Gelar “Sripaduka” ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh :

  1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh – menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada “PERANG BUBAT” dalam pertempuran yang tidak “FAIR” atas “REKAYASA” Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!
  2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG
  3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.

Rakeyan Mundinglaya SILIWANGI I Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng Pamanah Rasa / Sunan Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang Kumetir Rakeyan Mundingwangi SILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Dewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo Anabrang ? Rakeyan Mundingsari /Mundingkawati SILIWANGI III Tumenggung Cakrabuana Wangsa Gopa Prana Sang Prabu Walangsungsang Dalem Martasinga Syekh Rachmat Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati I Ki Ageng Pamanahan / Kebo Mundaran ? Perundingan Syarif Hidayatullah Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah. Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya. Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569).

Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi. Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang. Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar. Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan. Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)] Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]. Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut. Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)]. Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu : Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi). Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon. Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d’Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak. Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya — Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara — diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam). Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

PROPHECY OF SILIWANGI KING PRIOR TO ASCENDANCY

Uga Wangsit Siliwangi Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi dari bahasa Sunda. http://nurahmad.wordpress.com/wasiat-nusantara/ Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang : “Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.” Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke Selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke Utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke Timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat! Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi! Kalian yang di sebelah Barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang! Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah! Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara. Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi. Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan. Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah! Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi. Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang. Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran. Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger. Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan. Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan. Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa. Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? Darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang! ——————– (Jayadewata, Manahrasa, Pamanahrasa, Prabu Guru Dewataprana, Prabu Purana, Prabu Sri Baduga Maharadja Pajajaran, Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata). Raja Pakuan Pajajaran 1482-1521. Penyatuan Kerajaan Galuh dan Sunda-Pakuan Pajajaran (Bogor). lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Prabu_Siliwangi Notes on May 18, 2009: His name in Joyce FG: King of Siliwangi Prabu Siliwangi, link to his other profile: http://www.geni.com/people/King-of-Siliwangi-Prabu-Siliwangi/6000000003011286344 ================================ Note on 6 Nov 2010/em: Link to his other profile in Joyce Tree: http://www.geni.com/people/Prabu-Anggalarang/6000000003011114814 Also link to his other profile in Joyce Tree: http://www.geni.com/people/Prabu-Siliwangi-II-Raden-Pamanah-Rasa/6000000003644230472 ——————– Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah “sepi” selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran. Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi. Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja): Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”. Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. “Pare dondang” disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk “rodi”. Bentuk dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini. Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi “lakon gawe” dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5. tampilkan lebih sedikit Lihat Semua Keluarga Dekat

Menampilkan 12 dari 45 orang <pribadi> spouse <pribadi> child Wife for other Cianjur and Galuh… wife Prabu Mundingsari Ageung son Wife for other Wahid ‘s path . wife Prabu Liman Sanjaya(Mengger Limb… son Prabu Brajadilewa . son Prabu Hande Limansenjaya . son Nyi Puteri Inten Dewata (Wahib’s… wife Sunan Gordah son <pribadi> child Wife (Firman’s path) . wife

SUMBER: http://www.geni.com/people/Prabu-Siliwangi/6000000003011286344


MISTERI HUBUNGAN PAKUBUWONO X DAN SOEKARNO (M1)

$
0
0

ditulis oleh Kang Ari Tea, foto: Reyna Andari

MISTERI HUBUNGAN PAKUBUWONO X DAN SOEKARNO (M1), ditulis oleh Kang Ari Tea, foto: Reyna Andari Pakubuwono X lahir dengan nama lengkap Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, pada hari Kamis Legi, 22 Rajab 1795 (tahun Jawa) atau tanggal 29 Nopember 1866, jam 7 pagi. Ia putra KRAy Kustiyah, permaisuri PB IX. Ketika mengandung anaknya itu, KRAy Kustiyah ngidam dahar (ngidam makan) 'gudang pakis raja', yang diambilkan dari rumah Jan Smith di Desa Gumawang. Saat masih berusia 3 tahun, pada tanggal 4 Oktober 1869, PB X ditetapkan sebagai Putra Mahkota dengan gelar ”Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI”. Walau memiliki IQ biasa-biasa saja, ia dikenal mempunyai EQ dan SQ cukup tinggi. Berbeda dengan nenek moyangnya, PB VI, yang konfrontatif terhadap kolonial Belanda, PB X menempuh jalan lain : melawan lewat kebudayaan dan ritual tradisi. Sikapnya yang terlihat kompromistis sebenarnya adalah pengalihan perhatian dari upaya-upaya terselubung yang dilakukannya dalam membantu perjuangan kemerdekaan.  Selama masa kekuasaannya yang panjang, yang diwarnai oleh 13 kali pergantian Gubernur Jenderal Belanda, PB X tetap bertahan. Kewibawaannya di mata rakyat tetap kukuh. Jelas, ini kelihaian membawa diri dan efek dari lobi politik tingkat tinggi. Namun demikian, dari lubuk hati paling dalam, ia sadar jati dirinya sebagai cucu PB VI yang dibuang Belanda ke Ambon tahun 1893. Dendam masa lalu itu disimpannya rapat-rapat. Pada masanya, PB X adalah satu-satunya orang di Indonesia yang memiliki mobil Mercedes Benz tipe Phaeton yang harganya saat itu 10.000 gulden atau Rp 70 juta rupiah pada tahun 1896. Ia memiliki 15 unit Mercedes Benz dari berbagai seri, yang satu diantaranya pernah dipinjam oleh Soekarno sebagai mobil kepresidenan. Selain Mercedes Benz, PB X juga memiliki Fiat tahun 1907 dan Royal Chrysler Limousine tahun 1937. Dengan mobil-mobilnya itu, ia banyak melakukan kunjungan resmi sebagai raja. Misalnya, blusukan ke Semarang, Ambarawa, Salatiga dan Surabaya (1903-1906). Sebelumnya, ia juga berkunjung ke Lampung, Bali dan Lombok. "Don Juan" dari Solo itu memiliki 40 isteri di luar permaisuri (selir), yang berasal dari Tanah Jawa dan luar Jawa. Di Bali, ia juga mengambil ”garwa ampil” (selir). Pada tahun 1900, ia menikahi putri Raja Buleleng yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Ketika mengandung, sang istri terpaksa diungsikan ke Surabaya dengan didampingi abdi dalem kinasih, R. Soekemi. Pada 1901, lahirlah putra Ida Ayu Nyoman Rai. Diberi nama Kusno. Sama persis dengan nama kecil ayahnya, PB X. Selanjutnya, PB X memerintahan R. Soekemi untuk mengawini dan menjaga Ida Ayu Nyoman Rai. Kenapa PB X menempuh langkah demikian ? Sebab, ia mengetahui, bahwa putra yang dilahirkan dari rahim Ida Ayu Nyoman Rai inilah yang dulu dimaksud oleh Eyang Dalem PB VI akan memerdekakan bangsa Indonesia. Saat ditangkap pemerintah Belanda, PB VI mengucapkan sabda, ”Hai penjajah, tunggulah 100 tahun lagi. Tiga generasi dari keturunanku akan mengusir kalian dari Bumi Pertiwi ini”. Atas dasar itu, PB X mengungsikan Ida Ayu Nyoman Rai ke Surabaya, menjadi rakyat biasa yang jauh dari jangkauan sorotan publik. Demi keamanan dan keselamatan jabang bayi Soekarno. Pada bulan Desember 1921, PB X melakukan kunjungan dinas ke Semarang, Pekalongan, Cirebon dan Priangan Timur. Setelah itu, ia tinggal cukup lama di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Untuk apa ? Pada periode tersebut, diduga kuat ia sedang mempersiapkan masa depan Soekarno yang belakangan menimba ilmu di ITB, Bandung. Saat itu, PB X diam-diam menitipkan sebagian hartanya (berupa emas lantakan) kepada orang-orang terpercaya, termasuk ulama pemilik pondok pesantren salaf di Cihaurbeti, Ciamis. Kelak, lewat sosok Inggit Garnasih, secara rahasia harta kekayaan itu dipergunakan untuk mendukung perjuangan Soekarno. Raja yang berkuasa selama 46 tahun (1893-1939) itu memiliki reputasi hebat di dalam dan di luar negeri. Aset raja-raja Nusantara (57.150 ton emas lantakan) yang termaktub dalam ”Green Hilton Memorial Agreement”, 60% diantaranya milik PB X. Konon, pada 1935, PB X memberikan mandat khusus kepada Soekarno untuk mengurus aset itu. Pasca menjadi Presiden RI, Soekarno mengeluarkan Surat Keterangan bernomor 002 tertanggal 1 Maret 1948 perihal aset raja-raja Nusantara tersebut. Sejak itu, segala daya upaya dilakukannya demi mendapatkan pengakuan Gedung Putih atas keberadaan aset itu, yang akhirnya berbuah penandatanganan ”Green Hilton Memorial Agreement” oleh Soekarno dan JFK (14/10/1963). Seperti yang telah kita ketahui bersama, perjanjian yang jatuh tempo 14 Nopember 1965 itu mengakibatkan JFK terbunuh dan Soekarno terjatuh dari kursi kekuasaan. Sesungguhnya, aset raja-raja Nusantara itu dijadikan 80% modal kerja The US Federal Reserve atau disingkat The FED (Bank Sentral Amerika Serikat), yang notabene sekarang dimiliki Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%), dan sebagainya. Ironisnya, bank-bank tersebut milik para renternir Yahudi. Artinya, The Fed identik dengan jaringan Yahudi. Fakta ini mengingatkan kita pada ucapan Meyer Amschel Rothchild (1743-1812) yang termasyhur, ”Give me control over a nations economic, and I don’t care who writes its laws”.Pakubuwono X lahir dengan nama lengkap Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, pada hari Kamis Legi, 22 Rajab 1795 (tahun Jawa) atau tanggal 29 Nopember 1866, jam 7 pagi. Ia putra KRAy Kustiyah, permaisuri PB IX. Ketika mengandung anaknya itu, KRAy Kustiyah ngidam dahar (ngidam makan) ‘gudang pakis raja’, yang diambilkan dari rumah Jan Smith di Desa Gumawang. Saat masih berusia 3 tahun, pada tanggal 4 Oktober 1869, PB X ditetapkan sebagai Putra Mahkota dengan gelar ”Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI”. Walau memiliki IQ biasa-biasa saja, ia dikenal mempunyai EQ dan SQ cukup tinggi. Berbeda dengan nenek moyangnya, PB VI, yang konfrontatif terhadap kolonial Belanda, PB X menempuh jalan lain : melawan lewat kebudayaan dan ritual tradisi. Sikapnya yang terlihat kompromistis sebenarnya adalah pengalihan perhatian dari upaya-upaya terselubung yang dilakukannya dalam membantu perjuangan kemerdekaan.

Selama masa kekuasaannya yang panjang, yang diwarnai oleh 13 kalipergantian Gubernur Jenderal Belanda, PB X tetap bertahan. Kewibawaannya di mata rakyat tetap kukuh. Jelas, ini kelihaian membawa diri dan efek dari lobi politik tingkat tinggi. Namun demikian, dari lubuk hati paling dalam, ia sadar jati dirinya sebagai cucu PB VI yang dibuang Belanda ke Ambon tahun 1893. Dendam masa lalu itu disimpannya rapat-rapat.

Pada masanya, PB X adalah satu-satunya orang di Indonesia yang memiliki mobil Mercedes Benz tipe Phaeton yang harganya saat itu 10.000 gulden atau Rp 70 juta rupiah pada tahun 1896. Ia memiliki 15 unit Mercedes Benz dari berbagai seri, yang satu diantaranya pernah dipinjam oleh Soekarno sebagai mobil kepresidenan. Selain Mercedes Benz, PB X juga memiliki Fiat tahun 1907 dan Royal Chrysler Limousine tahun 1937. Dengan mobil-mobilnya itu, ia banyak melakukan kunjungan resmi sebagai raja. Misalnya, blusukan ke Semarang, Ambarawa, Salatiga dan Surabaya (1903-1906). Sebelumnya, ia juga berkunjung ke Lampung, Bali dan Lombok.

“Don Juan” dari Solo itu memiliki 40 isteri di luar permaisuri (selir), yang berasal dari Tanah Jawa dan luar Jawa. Di Bali, ia juga mengambil ”garwa ampil” (selir). Pada tahun 1900, ia menikahi putri Raja Buleleng yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Ketika mengandung, sang istri terpaksa diungsikan ke Surabaya dengan didampingi abdi dalem kinasih, R. Soekemi. Pada 1901, lahirlah putra Ida Ayu Nyoman Rai. Diberi nama Kusno. Sama persis dengan nama kecil ayahnya, PB X. Selanjutnya, PB X memerintahan R. Soekemi untuk mengawini dan menjaga Ida Ayu Nyoman Rai.

Kenapa PB X menempuh langkah demikian ?

Sebab, ia mengetahui, bahwa putra yang dilahirkan dari rahim Ida Ayu Nyoman Rai inilah yang dulu dimaksud oleh Eyang Dalem PB VI akan memerdekakan bangsa Indonesia. Saat ditangkap pemerintah Belanda, PB VI mengucapkan sabda, ”Hai penjajah, tunggulah 100 tahun lagi. Tiga generasi dari keturunanku akan mengusir kalian dari Bumi Pertiwi ini”.

Atas dasar itu, PB X mengungsikan Ida Ayu Nyoman Rai ke Surabaya, menjadi rakyat biasa yang jauh dari jangkauan sorotan publik. Demi keamanan dan keselamatan jabang bayi Soekarno.

Pada bulan Desember 1921, PB X melakukan kunjungan dinas ke Semarang, Pekalongan, Cirebon dan Priangan Timur. Setelah itu, ia tinggal cukup lama di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Untuk apa ?

Pada periode tersebut, diduga kuat ia sedang mempersiapkan masa depan Soekarno yang belakangan menimba ilmu di ITB, Bandung. Saat itu, PB X diam-diam menitipkan sebagian hartanya (berupa emas lantakan) kepada orang-orang terpercaya, termasuk ulama pemilik pondok pesantren salaf di Cihaurbeti, Ciamis. Kelak, lewat sosok Inggit Garnasih, secara rahasia harta kekayaan itu dipergunakan untuk mendukung perjuangan Soekarno.

Raja yang berkuasa selama 46 tahun (1893-1939) itu memiliki reputasi hebat di dalam dan di luar negeri. Aset raja-raja Nusantara (57.150 ton emas lantakan) yang termaktub dalam ”Green Hilton Memorial Agreement”, 60% diantaranya milik PB X. Konon, pada 1935, PB X memberikan mandat khusus kepada Soekarno untuk mengurus aset itu. Pasca menjadi Presiden RI, Soekarno mengeluarkan Surat Keterangan bernomor 002 tertanggal 1 Maret 1948 perihal aset raja-raja Nusantara tersebut. Sejak itu, segala daya upaya dilakukannya demi mendapatkan pengakuan Gedung Putih atas keberadaan aset itu, yang akhirnya berbuah penandatanganan ”Green Hilton Memorial Agreement” oleh Soekarno dan JFK (14/10/1963). Seperti yang telah kita ketahui bersama, perjanjian yang jatuh tempo 14 Nopember 1965 itu mengakibatkan JFK terbunuh dan Soekarno terjatuh dari kursi kekuasaan.

Sesungguhnya, aset raja-raja Nusantara itu dijadikan 80% modal kerja The US Federal Reserve atau disingkat The FED (Bank Sentral Amerika Serikat), yang notabene sekarang dimiliki Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%), dan sebagainya. Ironisnya, bank-bank tersebut milik para renternir Yahudi. Artinya, The Fed identik dengan jaringan Yahudi. Fakta ini mengingatkan kita pada ucapan Meyer Amschel Rothchild (1743-1812) yang termasyhur, ”Give me control over a nations economic, and I don’t care who writes its laws”.

MISTERI HUBUNGAN PAKUBUWONO X DAN SOEKARNO (M1), ditulis oleh Kang Ari Tea, foto: Reyna Andari Pakubuwono X lahir dengan nama lengkap Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, pada hari Kamis Legi, 22 Rajab 1795 (tahun Jawa) atau tanggal 29 Nopember 1866, jam 7 pagi. Ia putra KRAy Kustiyah, permaisuri PB IX. Ketika mengandung anaknya itu, KRAy Kustiyah ngidam dahar (ngidam makan) 'gudang pakis raja', yang diambilkan dari rumah Jan Smith di Desa Gumawang. Saat masih berusia 3 tahun, pada tanggal 4 Oktober 1869, PB X ditetapkan sebagai Putra Mahkota dengan gelar ”Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI”. Walau memiliki IQ biasa-biasa saja, ia dikenal mempunyai EQ dan SQ cukup tinggi. Berbeda dengan nenek moyangnya, PB VI, yang konfrontatif terhadap kolonial Belanda, PB X menempuh jalan lain : melawan lewat kebudayaan dan ritual tradisi. Sikapnya yang terlihat kompromistis sebenarnya adalah pengalihan perhatian dari upaya-upaya terselubung yang dilakukannya dalam membantu perjuangan kemerdekaan.  Selama masa kekuasaannya yang panjang, yang diwarnai oleh 13 kali pergantian Gubernur Jenderal Belanda, PB X tetap bertahan. Kewibawaannya di mata rakyat tetap kukuh. Jelas, ini kelihaian membawa diri dan efek dari lobi politik tingkat tinggi. Namun demikian, dari lubuk hati paling dalam, ia sadar jati dirinya sebagai cucu PB VI yang dibuang Belanda ke Ambon tahun 1893. Dendam masa lalu itu disimpannya rapat-rapat. Pada masanya, PB X adalah satu-satunya orang di Indonesia yang memiliki mobil Mercedes Benz tipe Phaeton yang harganya saat itu 10.000 gulden atau Rp 70 juta rupiah pada tahun 1896. Ia memiliki 15 unit Mercedes Benz dari berbagai seri, yang satu diantaranya pernah dipinjam oleh Soekarno sebagai mobil kepresidenan. Selain Mercedes Benz, PB X juga memiliki Fiat tahun 1907 dan Royal Chrysler Limousine tahun 1937. Dengan mobil-mobilnya itu, ia banyak melakukan kunjungan resmi sebagai raja. Misalnya, blusukan ke Semarang, Ambarawa, Salatiga dan Surabaya (1903-1906). Sebelumnya, ia juga berkunjung ke Lampung, Bali dan Lombok. "Don Juan" dari Solo itu memiliki 40 isteri di luar permaisuri (selir), yang berasal dari Tanah Jawa dan luar Jawa. Di Bali, ia juga mengambil ”garwa ampil” (selir). Pada tahun 1900, ia menikahi putri Raja Buleleng yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Ketika mengandung, sang istri terpaksa diungsikan ke Surabaya dengan didampingi abdi dalem kinasih, R. Soekemi. Pada 1901, lahirlah putra Ida Ayu Nyoman Rai. Diberi nama Kusno. Sama persis dengan nama kecil ayahnya, PB X. Selanjutnya, PB X memerintahan R. Soekemi untuk mengawini dan menjaga Ida Ayu Nyoman Rai. Kenapa PB X menempuh langkah demikian ? Sebab, ia mengetahui, bahwa putra yang dilahirkan dari rahim Ida Ayu Nyoman Rai inilah yang dulu dimaksud oleh Eyang Dalem PB VI akan memerdekakan bangsa Indonesia. Saat ditangkap pemerintah Belanda, PB VI mengucapkan sabda, ”Hai penjajah, tunggulah 100 tahun lagi. Tiga generasi dari keturunanku akan mengusir kalian dari Bumi Pertiwi ini”. Atas dasar itu, PB X mengungsikan Ida Ayu Nyoman Rai ke Surabaya, menjadi rakyat biasa yang jauh dari jangkauan sorotan publik. Demi keamanan dan keselamatan jabang bayi Soekarno. Pada bulan Desember 1921, PB X melakukan kunjungan dinas ke Semarang, Pekalongan, Cirebon dan Priangan Timur. Setelah itu, ia tinggal cukup lama di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Untuk apa ? Pada periode tersebut, diduga kuat ia sedang mempersiapkan masa depan Soekarno yang belakangan menimba ilmu di ITB, Bandung. Saat itu, PB X diam-diam menitipkan sebagian hartanya (berupa emas lantakan) kepada orang-orang terpercaya, termasuk ulama pemilik pondok pesantren salaf di Cihaurbeti, Ciamis. Kelak, lewat sosok Inggit Garnasih, secara rahasia harta kekayaan itu dipergunakan untuk mendukung perjuangan Soekarno. Raja yang berkuasa selama 46 tahun (1893-1939) itu memiliki reputasi hebat di dalam dan di luar negeri. Aset raja-raja Nusantara (57.150 ton emas lantakan) yang termaktub dalam ”Green Hilton Memorial Agreement”, 60% diantaranya milik PB X. Konon, pada 1935, PB X memberikan mandat khusus kepada Soekarno untuk mengurus aset itu. Pasca menjadi Presiden RI, Soekarno mengeluarkan Surat Keterangan bernomor 002 tertanggal 1 Maret 1948 perihal aset raja-raja Nusantara tersebut. Sejak itu, segala daya upaya dilakukannya demi mendapatkan pengakuan Gedung Putih atas keberadaan aset itu, yang akhirnya berbuah penandatanganan ”Green Hilton Memorial Agreement” oleh Soekarno dan JFK (14/10/1963). Seperti yang telah kita ketahui bersama, perjanjian yang jatuh tempo 14 Nopember 1965 itu mengakibatkan JFK terbunuh dan Soekarno terjatuh dari kursi kekuasaan. Sesungguhnya, aset raja-raja Nusantara itu dijadikan 80% modal kerja The US Federal Reserve atau disingkat The FED (Bank Sentral Amerika Serikat), yang notabene sekarang dimiliki Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%), dan sebagainya. Ironisnya, bank-bank tersebut milik para renternir Yahudi. Artinya, The Fed identik dengan jaringan Yahudi. Fakta ini mengingatkan kita pada ucapan Meyer Amschel Rothchild (1743-1812) yang termasyhur, ”Give me control over a nations economic, and I don’t care who writes its laws”.

Balkanisasi Indonesia Melalui Dua Sisi

$
0
0
 by M Arif Pranoto,  Global Future Institute

Balkanisasi Indonesia? Mungkin topik ini menarik untuk diulas mengingat isue ‘Clinton Program 1998’-nya Amerika (AS) guna memporak-porandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meski sayup-sayup, namun terdengar. Betapa republik ini akan dipecah belah sebagaimana nasib negeri-negeri di Kawasan Balkan dulu. Nusantara akan berubah menjadi negara kecil-kecil, serta statusnya hendak disamakan dengan negara kepulauan(polenesia) di Samudera Pasifik semacam Vanuatu, Solomon Island, Selandia Baru, Hawaii, Fiji, Atol Midway, Samoa, Tuvalu, dll. Entah benar, atau cuma rumor belaka, namun pada dekade terakhir ini, isue tersebut telah menjadi bagian masalah yang mutlak harus dicermati di Bumi Pertiwi.

Tulisan sederhana lagi tak ilmiah ini, tidak lagi menyoal apakah Clinton Program itu ada, nyata atau tidak, “Tak akan ada asap tanpa api”. Mimpi itu ada walau tidak nyata, namuntoh kerap berperan dalam kehidupan seseorang. Kentut pun hampir sama, meski tak terlihat tetapi ada dan nyata, terutama ‘berperan’ (menjadi masalah) bagi orang-orang yang menciumnya.

Berbasis analogi di muka, catatan ini coba menguak topik isue di atas melalui beberapa tanda atau indikator. Manakala tanda-tanda orang bermimpi itu bicara sendiri (nglindur), melakukan gerak sewaktu tidur, dsb atau tatkala indikasi orang kentut nampak dari mimik, gerak-gerik tubuh, dll maka dari perspektif inilah kita hendak membuka tabir dimaksud. Sederhana.

Mari cermati perilaku geopolitik asing di NKRI yang indikasinya berujung pada skema “Balkanisasi Indonesia”. Awal diskusi akan dimulai dari kondisi politik global terlebih dulu, baru kemudian meliuk ke tanah air. Sepakat? Agar tak berkepanjangan, kita mulai semenjak berakhir Perang Dunia (PD) II dekade 1939-1945.

Usai PD II, geliat geopolitik Eropa dan Amerika (AS) terkesan stabil kecuali Inggris yang masih digaduhkan oleh separatis Irlandia Utara (IRA). Kelompok kolonial seperti Belanda, Prancis, AS, Portugis, Sanyol, Inggris, dan lain-lain cenderung diam meskipun secara(silent) sistematis tetap melakukan kendali di bekas negara-negara koloni khususnya kontrol terhadap ekonomi dan politik. Indikatornya tercermin dengan aneka ‘penyatuan negara’ dalam bentuk kerjasama baik ekonomi, politik, maupun pakta pertahanan sepertiFive Power Defence Agreement (FPDA), ANZUS, Commonwealth, dan sebagainya.

Melambung sebentar ke depan. Barangkali kegaduhan paling aktual ialah gerakan Occupy Hongkong yang kini terjadi di wilayah ex koloni Inggris tersebut. Momen tersebut dapat diterka (diduga) merupakan implementasi British Geopolitic (BG), dimana pola  perilakunya mencaplok terlebih dulu simpul-simpul transportasi, sebelum akhirnya (menjajah) ke sektor-sektor lain. Ada apa sich di Hongkong (HK)? Dari aspek sumberdaya alam (SDA), HK tidak sedahsyat Xinjiang bahkan tergolong miskin SDA. Namun hebatnya, ia memiliki pelabuhan besar di tepi jalur (perairan) internasional yakni pelabuhan laut (seaport) serta bandara udara (airport) bertaraf internasional. Bahkan seaport HK merupakan 10 pelabuhan tersibuk di dunia, demikian juga airport-nya menjadi pusat transit penting di dunia karena letaknya yang strategis. Itulah sumberdaya HK yang justru menggiurkan bagi negara imperialis seperti Inggris, AS, dan lain-lain.

Kembali ke era pasca PD II (Perang Dingin). Jika jeli menyimak, banyak kasus kudeta (dan konflik) di negara-negara  bekas jajahan Barat sejatinya cuma ulangan peristiwa. History repeat itself.  Terutama konflik internal yang melanda kelompok negara yang berlimpah dan kaya akan SDA semacam Asia Tengah, Timur Tengah — oleh Mackinder, keduanya disebut World Islands atau Heartland (jantung dunia)— dan Afrika (terutama Afrika Utara), dll. Bagaimana dengan Indonesia? Nanti kita ulas.

Tak putusnya konflik-konflik dan/atau kudeta di negara bekas koloni Barat bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri tanpa dalang dan pemilik hajatan meremot dari kejauhan. Di setiap pagelaran niscaya ada wayang, dalang dan pemilik hajatan. Gerakan wayang tergantung dalang, geliat si dalang niscaya merujuk hasrat si penanggap atau pemilik hajatan. “Pak Dalang, saya ingin lakonnya wayang mbeling!”. Itulah pakem nusantara yang telah menjadi pakem (norma) dalam pagelaran politik global.

Sebagaimana diulas pada prolog tulisan ini, meski cenderung silent bahwa kelompok negara kolonial tetap melakukan kontrol terhadap negara-negara bekas jajahannya. Menjadi circumstance evidence (bukti keadaan) bahkan patern evidence (bukti pola) manakala pelaku kudeta ataupun tokoh-tokoh konflik justru para perwira militer, ataupun kaum intelektual lulusan Barat. Hal ini yang menarik dicermati. Pertanyaan hipotesa, “Inikah modus pemilik hajatan atau sang donatur menagih janji serta meminta bukti loyalitas atas “bantuan”-nya selama ini terhadap si wayang atau dalang; atau jangan-jangan malah mereka disuruh menerapkan disertasi (teori)-nya?”

Yang diincar oleh asing (pemilik hajatan) tak lain adalah SDA negeri dimaksud, meski isue yang diusung oleh komprador (wayang/dan dalang) melalui blow up media massa berkisar soal demokrasi, HAM, korupsi, pluralisme, intolerans, kepemimpinan tirani, freedom, dan lain-lain. The way thing are done around here. Itulah perilaku (geopolitik) kolonialisme.

Sedang kelompok negara komunis —masih dalam pasca PD II— seperti Yugoslavia, Jerman Timur, Chekoslovakia, Rumania, Polandia, dll cenderung mengutamakan konsolidasi ke dalam dengan ujud menjaga stabilitas internal, menguatkan sentralisasi, indoktrinasi ideologi, dll kecuali Cina dan Uni Soviet terlihat ekspansif, bahkan Cina kian agresif di panggung politik global hingga kini.

Namun dalam pola intervensif, Paman Sam terlihat licik karena kerapkali mengganggu stabilitas negara yang ditarget berdalih membendung komunisme, atau menyebar intoleransi, isue demokrasi, HAM, dan lainnya dengan menumpang pada sisi pluralitas (keberagaman suku dan agama) sebagai sumbu letus. Tetapi anehnya, justru agenda asing tersebut seperti tak disadari —atau pura-pura tidak disadari— oleh elit dan elemen bangsa-bangsa dimaksud. Entah kecanggihan penerapan skenario, atau karena cantiknya permainan para komprador di internal negeri, dan lainnya.

Sudah tentu, sebagai konsekuensi logis atas perilaku geopolitik tadi, mutlak mereka harus menjalin berbagai proxy (perpanjangan tangan) dalam rangka menerapkan visi dan misi, atau diciptakan “boneka” bagi kepentingannya di negeri target melalui sosok fenomenal, lembaga swadaya (LSM), capacity building, pembiayaan program kegiatan, gelontoran hibah, dll —no free lunch— kepada LSM, individu, organisasi massa bahkan tak ada makan siang gratis bagi pemerintahan di negara-negara target. Sekali lagi, no free lunchatas segala hibah, bantuan (dan utang) di suatu negara.

Diskusi terbatas (3/7/2013) di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit mencatat satu pointers menarik, “Bahwa pola kolonialisme selalu menciptakan tandingan-tandingan”. Misalnya, bila ada organisasi fundamental niscaya akan dilahirkan kelompok lain sebagai counter-nya. Indonesia contohnya, ketika muncul Front Pembela Islam (FPI) yang cenderung radikal, maka dimunculkan Jemaah Islam Liberal (JIL) untuk tandingannya; atau bila eksistensi kaum tradisional menguat, nisaya akan dibentuk entitas modern sebagai tandingan. Sekali lagi, akan selalu muncul tandingan, tandingan dan tandingan dalam perilaku geopolitik kolonialisme.

Konsep, model serta modus semacam ini akan senantiasa bergulir secara sistematis dan masif di lorong-lorong manapun baik lorong ekonomi, politik, security, dan sosial budaya. Tujuan jelas, agar bangsa (atau negara target) senantiasa gaduh di tataran hilir, dibentur-benturkan dengan pola-pola tandingan di internal supaya skema kolonialisme tak terpantau(deception). Ia jalan terus serta semakin kuat tertancap dalam hal penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA di negara target. Conflict is the protection oil flow.

Sebagai tambahan ilustrasi, ketika muncul kelompok kritis menurut perspektif hegemoninya, entah kelompok “kiri”, entah golongan “bersimbol agama”, dan terutama sekali kebangkitan jiwa nasionalis di sebuah bangsa —- maka Paman Sam siap menyediakan logistik, konsepsi, think tank, kalau perlu membikin ‘pasukan tersendiri’ guna menghancurkan aktivitas tersebut baik secara hard power atau simetris (militer), ataupun secara asimetris (non militer/smart power) melalui cyber troops, gerakan massa, bully, dan lain-lain. Patut dicatat, Arab Spring merupakan contoh langkah asimetris Barat di KawasanHeartland dan Afrika Utara —Jalur Sutera— yang relatif sukses oleh karena berhasil menjungkalkan rezim penguasa kala itu.

Meliuk lagi namun dalam koridor topik. Sebelum kegagalan AS dan sekutu di Afghanistan (2001-2013) dan Irak (2003-2012), invasi (keroyokan) militer memang dianggap metode favorit sebab dinilai efektif meskipun high cost dan membutuhkan restu (kongres) internal serta restu (resolusi) PBB. Dalam praktek, restu internasional pun kadang diabaikan berdalih kepentingan nasionalnya terancam. Doktrin preemtive strike diterbitkan hanya untuk tameng manakala ia menyerang negara lain secara ilegal. “Serang dulu sebelum diserang”.

Pola invasi di atas pernah memetik sukses di Afrika, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan lain-lain (Baca: Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai Belahan Dunia by Hendrajit dkk). Tapi agaknya, model invasi militer secara terbuka mulai ditinggalkan oleh AS dan sekutu kecuali mungkin bila keadaan memaksa. Mereka kini, lebih meyukai tata cara asimetris yang soft,senyap dan smart bila dibandingkan hingar-bingar peperangan simetris.

Tak boleh diabaikan dalam cermatan adalah, jika di sebuah negara terdapat benih pluralisme baik secara etnis, agama, atau mazhab dalam agama, kultur, aspek historis, dll maka perilaku geopolitik kolonialisme cenderung menunggangi kondisi tersebut dalam rangka destabilisasi negeri dimaksud. Tibet misalnya, atau Xinjiang di Cina, Turkistan Timur, Kashmir (India-Pakistan), Chechnya (Rusia), Baluchistan di Pakistan, Kurdistan (Irak-Iran) dan Sudan, merupakan contoh-contoh nyata.

Pertanyaannya kini: apakah konflik Syiah-Sunni di Madura, atau ‘bencana sosial’ antara Madura – Dayak di Kalimatan, konflik pribumi versus pendatang di Lampung, tergolong konflik-konflik yang ditungganginya? Entahlah. Mari telusuri berdasar asumsi GFI, Jakarta, “Bahwa mapping konflik dimanapun senantiasa pararel dengan jalur-jalur atau wilayah kaya emas, minyak, gas alam serta tambang lainnya”. Silahkan dicermati, apakah Sumatera, Kalimantan dan Madura —di lokasi konflik— itu cuma penghasil jagung, ketela rambat, tempe bongkrek; atau ia memiliki potensi bidang pertambangan? What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Itulah analisa berbasis circumstance evidence dan patern evidence di lingkungan penggiat geopolitik dan global review.

Kembali ke balkanisasi negeri ini sebagaimana isue Clinton Program 98, bahwa rencana tersebut (kemungkinan) telah berjalan sejak peristiwa Sambas, Sampit, Ambon, Poso, dll. Ibarat memakan bubur panas dimulai dari pinggiran, republik ini seperti disisir via konflik komunal dari tepian. Inikah strategi “desa mengepung kota”-nya Mao Ze Dong? Sekali lagi, “Entahlah”.

Selanjutnya, tatkala membaca separatisme Aceh dan Papua lebih bercorak ke primordialistik, HAM, atau kue pembangunan yang tidak merata, lalu “Bagaimana dengan lepasnya Timor Timur dulu?” Tak boleh dipungkiri, bahwa fakta bergabungnya Timor  Leste ke dalam NKRI berpola integratif ala Tibet melalui restu Barat guna membendung komunisme. Maka sebagai konsekuensi logisnya adalah, ia akan mudah lepas ketika “restu” dicabut. Tak boleh tidak. Adapun isue HAM sebagai pintu pembuka, dan agenda jajak pendapat setelah hadirnya pasukan asing di Indonesia hanyalah pagelaran yang lazim dijalankan. Itulah balkanisasi dari pinggiran atau sisi luar

Sementara balkanisasi dari internal (sisi dalam) tampaknya berjalan ‘senyap’ melalui sistem politik multipartai, otonomi daerah (otoda), pemilu langsung, dll. Hampir tidak terpantau bahkan relatif efektif. Lagi-lagi, selain tidak terendus secara vulgar karena selaras dengan gegap demokrasi, juga segenap elit dan mayoritas bangsa asyik bergaduh-ria di tataran hilir hingga hampir kehabisan energi. Ya, terlihat glamour namun tidak menyentuh kepentingan nasional RI. Pada gilirannya, balkanisasi dari sisi dalam justru lebih signifikan dalam proses pelumpuhan Ketahanan Nasional kita yang memang telah lemah sebab didangkalkan baik dari sisi konsepsi maupun implementasi (baca: Hingga Kapan Pengabaian dan Pendangkalan Geopolitik Terus Berlangsung di Indonesia? diwww.theglobal-review.com).

Bahwa contoh riil penerapan metode belah bambu (devide et impera) di negeri plural dapat dipetik via ilustrasi perang sipil di Balkan. Mereka pun terpecah belah menjadi beberapa negara kecil berdasar etnis dan agama. Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Montenegro, Serbia, Albania, dan Kosovo adalah ‘anak-anak’ yang lahir dari rahim Yugoslavia, induknya. “Itulah fakta dan realitas balkanisasi” di muka bumi. Fenomena tersebut jika diibarat menyantap kue ulang tahun, maka menyendok kue setelah diiris-iris menjadi potongan kecil akan lebih mudah dan gampang melahab (SDA)-nya daripada ia masih utuh (menyatu).

Analog memakan kue ulang tahun di muka, identik penerapan otoda di Indonesia di zaman reformasi sebagai bentuk negara federal kemasan baru, atau modus multipartai dan pilihan langsung (one man one vote) yang tanpa sengaja telah meluaskan tebaran benih konflik berbasis agama, etnis, politik, ideologi kontemporer, kelompok —secara berkala—  antar sesama anak bangsa sendiri. Inilah yang kini tengah berlangsung di Bumi Pertiwi.

Dari uraian tak ilmiah dan sederhana  di atas, setidaknya dapat kita cermati bahwa upaya balkanisasi di negeri ini telah berjalan masif, sistematis, bahkan berjalan senyap karena tanpa disadari oleh mayoritas anak bangsa. Ya. Balkanisasi dari sisi luar melalui konflik komunal menyisir dari pinggiran, sedang balkanisasi dari sisi internal melalui sistem politik yang diterapkan dalam konstitusi negara.

Seandainya pola dan perilaku ini dibiarkan terus berlangsung tanpa (ada transformasi) negara hadir secara langsung untuk melindungi segenap tumpah darahnya dan secepatnya take over, tidak lama lagi —- sekali lagi, tidak perlu menunggu waktu lama niscaya akan ada gelombang balkanisasi di Indonesia. Jangan-jangan, Bumi Pertiwi ini kelak hanya tinggal dongeng bagi anak-anak cucu bahwa konon Indonesia pernah ada, nyata dan berada.

Terimakasih


Nabi Idris (Oziris): Ilmuwan NUSANTARA dan Tokoh Pembaharu MESIR PURBA ?

$
0
0

Di dalam kepercayaan Mesir Purba, dikenal sosok Dewa Agung yang bernama Oziris (Osiris).

Oziris dalam Legenda Mesir Purba adalah seorang Raja (Penguasa) sekaligus Ilmuwan, yang meninggal karena di bunuh oleh saudaranya sendiri, disebabkan dengki akan pengaruhnya yang besar.

Namun setelah dia wafat, rakyat Mesir memuliakan Oziris, dikarenakan jasanya yang besar pada Peradaban Mesir Purba. Dan lama kelamaan, Oziris kemudian dianggap sebagai Dewa Yang Agung.

punt5

Oziris adalah Nabi Idris

Syaikh Thanthawi Jauhari
di dalam Tafsir Jawahir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan IDRIS tidak lain adalahOziris atau Azoris.

Kalimat Idris adalah ucapan nama itu dalam bahasa Arab. Serupa juga dengan Yesoa diucapkan dalambahasa Arab dengan Isa;Yohannes diucapkan dalam bahasa Arab, Yahya.

Menurut Syaikh Thanthawi, Oziris atau Idris ini seorang Nabi yang diutus Allah kepada bangsa Mesir purba kala dan membawa ajaran-ajaran dan perubahan yang besar-besar (Sumber : Misteri HURUF HIEROGLYPH, mengungkap Kisah NABI IDRIS, dalam Peradaban MESIR PURBA?).

Sayid Quthub di dalam “Fi Zhilalil Quran“ sependapat dengan Syaikh Thanthawi Jauhari, bahwa besarkemungkinan bahwa Idris ialah Oziris yang ternama dalam Sejarah Mesir Purbakala itu.

Di dalam tafsir-tafsir yang lama sejak Thabari, ar-Razi, al-Qurthubi, Ibnu Katsir dan yang sezaman tidak bertemu kemungkinan Oziris itu, dan baru bertemu pada Tafsir Syaikh Thanthawi Jauhari pada sekitar tahun 1928, atau pada Tafsir Sayid Quthub selepas tahun 1955.

punt6

Nabi Idris dan Nusantara

Dalam Legenda Mesir Purba, dikenal Tanah Punt sebagai asal muasal Para Dewa.

Di kisahkan seorang Ratu Mesir Purba, yang bernama Ratu Hatshepsut melakukan perjalanan menuju Tanah PuntRatu Hatshepsut  adalah Firaun kelima dari Dinasti ke-18 di Mesir kuno. Ratu Hatshepsut dipercayai pernah memerintah dari sekitar 1479 hingga 1458 SM.

Ada beberapa teori tentang keberadaan Tanah Punt, salah satunya adalah di wilayah Nusantara, yang didasarkan kepada beberapa alasan (Sumber : Punt: Lambang Usia Tamadun Melayu).

1. Dalam sebuah buku yang berjudul The Shipwrecked Sailor, penulisnya mengatakan bahawa lokasi Punt terletak di sebuah kawasan yang berpulau. Kalaulah lokasi Punt itu terletak di pantai laut Afrika, maka secara tidak langsung, teori Afrika sudah batal.

2. Terdapat ukiran di dinding kuil ratu Hatshepsut menunjukkan lokasi Punt terletak di antara persimpangan jalan perdagangan beberapa peradaban besar dunia. Lokasi seperti itu, tidak lain adalah  Nusantara, yang terletak di laluan perdagangan antara bangsa antara China dan India.

3. Jangka masa yang diambil oleh kapal-kapal Hatshepsut sangat lama untuk kembali ke Mesir. Rekod mengatakan bahawa mereka hanya tiba ke Mesir sewaktu tahun ke-5 pemerintahan Hatsheptsut. Bayangkanlah di manakah lokasi tersebut? Kalaulah terletak di Afrika, tidaklah mengambil masa selama itu.

4. Terdapat ukiran di dinding Kuil Hatshesut yang menjelaskan bahawa Raja Punt yang disingahi Hatsheptsut memiliki sebilah ‘pisau pendek’ yang diselitkan pada kain sarungnya. Ketahuilah bahawa budaya Mesir purba tidak pula menyelitkan senjata pada kain atau seluar. Budaya kaum manakah ini?  (Gambar di bawah)

punt1

5. Ukiran di dinding kuil Hatshepsut mengatakan bahawa kaum yang mendiami Negeri Punt ini mempunyai berbagai ragam warna kulit dan puak. Ada diantaranya yang berkulit gelap, ada yang berkulit kemerah-merahan dan ada yang berkulit perang kekuningan. Kalau dilihat di Nusantara misalnya, terdapat Negrito dan orang Asli yang berkulit gelap, yang berkulit merah ialah Melayu pelaut dan pedagang manakala yang berkulit kuning mungkin orang Melayu Banjar, Rejang, Minang dan sebagainya yang berkulit cerah. Ini sangat bertentangan dengan penduduk di Afrika. (Gambar di bawah)

punt2

 6. Seni Arsitektur di Punt juga menjurus ke arah seni arsitektur rumah kayu Melayu. Kajian Antropologi menunjukkan bahawa seni bina rumah Punt yang digambarkan di dinding kuil Hatshepsut tidak langsung mempunyai ciri-ciri rumah di Afrika. (Gambar di bawah)

punt3
7. Potoh, (gelang dipergelangan tangan) merupakan bukti seterusnya. Nehesi yang merupakan ketua armada laut Hatshepsut mengatakan bahawa Raja Punt memakai potoh pada pergelangan lengannya Kawan-kawan yang mengkaji tentang budaya dan adat tradisi raja-raja Melayu sudah pasti dapat menangkap.  Ini budaya raja-raja Melayu.

8. Kalau kita membaca teori Punt, mereka datang ke situ untuk berdagang. Satu daripada barang terpenting yang mendapat permintaan tinggi para pedagang Mesir purba adalah Anti atau kemenyan Punt. Untuk pengetahuan anda ukiran di dinding Kuil Ratu Hatshepsut ada memperincikan tentang kemenyan dan pokoknya sekali. Dan kejutannya ialah… pokok kemeyan di dinding sana menunjukkan bahawa hanya hidup di Nusantara! Yakni di Kepulauan Melayu ini.

9. Lagi ukiran di dinding Kuil Hatshepsut ialah mengenai budaya MELILIT oleh PENDUDUK PUNT. Sekarang beritahu saya, bangsa mana yang menjadikan ini sebagai budaya wahai rakan-rakan? Tak lain tak bukan ialah rumpun melayu kita. Yang Melayu dengan tengkolok dan semutarnya, yang Jawa dengan blangkonnya yang Dayak, iban dan banyak lagi suku-suku lain dengan budaya lilitan di kepala. (Gambar di bawah)

punt4

Dengan alasan-alasan diatas, Tanah Punt yang merupakan asal muasal Para Dewa Mesir, di-sinyalir berada di Nusantara. Tentu kita semua paham, salah satu Dewa yang Paling Agung bagi rakyat Mesir Kuno adalah Oziris, yang menurut Syaikh Thanthawi, Oziris sejatinya tidak lain adalah Nabi Idris.

Apakah ini berarti, Nabi Idris (Oziris), berasal dari Nusantara ?

WaLlahu a’lamu bishshawab

sumber:

http://kanzunqalam.com/2014/10/13/nabi-idris-oziris-ilmuwan-nusantara-dan-tokoh-pembaharu-mesir-purba/



Misteri Pulau Jawa Kuno di Jaman Seta Dwipa part 3—end.

$
0
0

Originally posted on escalico:

waw….brapa hari ga update blog ya?oke,skarang akan saya selesaikantentang asal-usul orang jawa…

Finally, it’s goin’to the end of articel..it’s time to climax!!

Masa Prasejarah

Secara geologi, wilayah Indonesia modern (untuk kemudahan, selanjutnya disebut Nusantara) merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua utama: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik (lihat artikel Geologi Indonesia). Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es, hanya 10.000 tahun yang lalu.

Pada masa Pleistosen (ingat,pleistosen!bukan pleistesen!), ketika masih terhubung dengan Asia Daratan, masuklah pemukim pertama. Bukti pertama yang menunjukkan penghuni pertama adalah fosil-fosil Homo erectus manusia Jawa dari masa 2 juta hingga 500.000 tahun lalu. Penemuan sisa-sisa “manusia Flores” (Homo floresiensis) di Liang Bua, Flores, membuka kemungkinan masih bertahannya H. erectus hingga masa Zaman Es terakhir.

View original 201 more words


Balkanisasi Indonesia Melalui Dua Sisi

$
0
0

Balkanisasi Indonesia Melalui Dua Sisi.

Balkanisasi Indonesia? Mungkin topik ini menarik untuk diulas mengingat isu ‘Clinton Program 1998’-nya Amerika (AS) guna memporak-porandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meski sayup-sayup, namun terdengar. Betapa Republik ini akan dipecah belah sebagaimana nasib negeri-negeri di Kawasan Balkan dulu. Nusantara akan berubah menjadi negara kecil-kecil, serta statusnya hendak disamakan dengan negara kepulauan (polenesia) di Samudera Pasifik semacam Vanuatu, Solomon Island, Selandia Baru, Hawaii, Fiji, Atol Midway, Samoa, Tuvalu, dll. Entah benar, atau cuma rumor belaka, namun pada dekade terakhir ini, isu tersebut telah menjadi bagian masalah yang mutlak harus dicermati di Bumi Pertiwi.

Tulisan sederhana lagi tak ilmiah ini, tidak lagi menyoal apakah Clinton Program itu ada, nyata atau tidak, “Tak akan ada asap tanpa api”. Mimpi itu ada walau tidak nyata, namun toh kerap berperan dalam kehidupan seseorang. Kentut pun hampir sama, meski tak terlihat tetapi ada dan nyata, terutama ‘berperan’ (menjadi masalah) bagi orang-orang yang menciumnya.

Berbasis analogi di muka, catatan ini coba menguak topik isu di atas melalui beberapa tanda atau indikator. Manakala tanda-tanda orang bermimpi itu bicara sendiri (nglindur), melakukan gerak sewaktu tidur, dsb atau tatkala indikasi orang kentut nampak dari mimik, gerak-gerik tubuh, dll maka dari perspektif inilah kita hendak membuka tabir dimaksud. Sederhana.

Mari cermati perilaku geopolitik asing di NKRI yang indikasinya berujung pada skema “Balkanisasi Indonesia”. Awal diskusi akan dimulai dari kondisi politik global terlebih dulu, baru kemudian meliuk ke tanah air. Sepakat? Agar tak berkepanjangan, kita mulai semenjak berakhir Perang Dunia (PD) II dekade 1939-1945.

Usai PD II, geliat geopolitik Eropa dan Amerika (AS) terkesan stabil kecuali Inggris yang masih digaduhkan oleh separatis Irlandia Utara (IRA). Kelompok kolonial seperti Belanda, Prancis, AS, Portugis, Sanyol, Inggris, dan lain-lain cenderung diam meskipun secara (silent) sistematis tetap melakukan kendali di bekas negara-negara koloni khususnya kontrol terhadap ekonomi dan politik. Indikatornya tercermin dengan aneka ‘penyatuan negara’ dalam bentuk kerjasama baik ekonomi, politik, maupun pakta pertahanan seperti Five Power Defence Agreement (FPDA), ANZUS, Commonwealth, dan sebagainya.

Melambung sebentar ke depan. Barangkali kegaduhan paling aktual ialah gerakan Occupy Hongkong yang kini terjadi di wilayah ex koloni Inggris tersebut. Momen tersebut dapat diterka (diduga) merupakan implementasiBritish Geopolitic (BG), dimana pola perilakunya mencaplok terlebih dulu simpul-simpul transportasi, sebelum akhirnya (menjajah) ke sektor-sektor lain. Ada apa sih di Hongkong (HK)? Dari aspek sumberdaya alam (SDA), HK tidak sedahsyat Xinjiang bahkan tergolong miskin SDA. Namun hebatnya, ia memiliki pelabuhan besar di tepi jalur (perairan) internasional yakni pelabuhan laut (seaport) serta bandara udara (airport) bertaraf internasional. Bahkan seaport HK merupakan 10 pelabuhan tersibuk di dunia, demikian juga airport-nya menjadi pusat transit penting di dunia karena letaknya yang strategis. Itulah sumberdaya HK yang justru menggiurkan bagi negara imperialis seperti Inggris, AS, dan lain-lain.

Kembali ke era pasca PD II (Perang Dingin). Jika jeli menyimak, banyak kasus kudeta (dan konflik) di negara-negara bekas jajahan Barat sejatinya cuma ulangan peristiwa. History repeat itself. Terutama konflik internal yang melanda kelompok negara yang berlimpah dan kaya akan SDA semacam Asia Tengah, Timur Tengah — oleh Mackinder, keduanya disebut World Islands atauHeartland (jantung dunia)— dan Afrika (terutama Afrika Utara), dll. Bagaimana dengan Indonesia? Nanti kita ulas.

Tak putusnya konflik-konflik dan/atau kudeta di negara bekas koloni Barat bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri tanpa dalang dan pemilik hajatan meremot dari kejauhan. Di setiap pagelaran niscaya ada wayang, dalang dan pemilik hajatan. Gerakan wayang tergantung dalang, geliat si dalang niscaya merujuk hasrat si penanggap atau pemilik hajatan. “Pak Dalang, saya ingin lakonnya wayang mbeling!”. Itulah pakem nusantara yang telah menjadi pakem (norma) dalam pagelaran politik global.

Sebagaimana diulas pada prolog tulisan ini, meski cenderung silent bahwa kelompok negara kolonial tetap melakukan kontrol terhadap negara-negara bekas jajahannya. Menjadi circumstance evidence (bukti keadaan) bahkanpatern evidence (bukti pola) manakala pelaku kudeta ataupun tokoh-tokoh konflik justru para perwira militer, ataupun kaum intelektual lulusan Barat. Hal ini yang menarik dicermati. Pertanyaan hipotesa, “Inikah modus pemilik hajatan atau sang donatur menagih janji serta meminta bukti loyalitas atas “bantuan”-nya selama ini terhadap si wayang atau dalang; atau jangan-jangan malah mereka disuruh menerapkan disertasi (teori)-nya?”

Yang diincar oleh asing (pemilik hajatan) tak lain adalah SDA negeri dimaksud, meski isu yang diusung oleh komprador (wayang/dan dalang) melalui blow up media massa berkisar soal demokrasi, HAM, korupsi, pluralisme, intolerans, kepemimpinan tirani, freedom, dan lain-lain. The way thing are done around here. Itulah perilaku (geopolitik) kolonialisme.

Sedang kelompok negara komunis —masih dalam pasca PD II— seperti Yugoslavia, Jerman Timur, Chekoslovakia, Rumania, Polandia, dll cenderung mengutamakan konsolidasi ke dalam dengan ujud menjaga stabilitas internal, menguatkan sentralisasi, indoktrinasi ideologi, dll kecuali Cina dan Uni Soviet terlihat ekspansif, bahkan Cina kian agresif di panggung politik global hingga kini.

Namun dalam pola intervensif, Paman Sam terlihat licik karena kerapkali mengganggu stabilitas negara yang ditarget berdalih membendung komunisme, atau menyebar intoleransi, isu demokrasi, HAM, dan lainnya dengan menumpang pada sisi pluralitas (keberagaman suku dan agama) sebagai sumbu letus. Tetapi anehnya, justru agenda asing tersebut seperti tak disadari —atau pura-pura tidak disadari— oleh elit dan elemen bangsa-bangsa dimaksud. Entah kecanggihan penerapan skenario, atau karena cantiknya permainan para komprador di internal negeri, dan lainnya.

Sudah tentu, sebagai konsekuensi logis atas perilaku geopolitik tadi, mutlak mereka harus menjalin berbagai proxy (perpanjangan tangan) dalam rangka menerapkan visi dan misi, atau diciptakan “boneka” bagi kepentingannya di negeri target melalui sosok fenomenal, lembaga swadaya (LSM), capacity building, pembiayaan program kegiatan, gelontoran hibah, dll —no free lunch— kepada LSM, individu, organisasi massa bahkan tak ada makan siang gratis bagi pemerintahan di negara-negara target. Sekali lagi, no free lunch atas segala hibah, bantuan (dan utang) di suatu negara.

Diskusi terbatas (3/7/2013) di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit mencatat satu pointers menarik, “Bahwa pola kolonialisme selalu menciptakan tandingan-tandingan”. Misalnya, bila ada organisasi fundamental niscaya akan dilahirkan kelompok lain sebagai counter-nya. Indonesia contohnya, ketika muncul Front Pembela Islam (FPI) yang cenderung radikal, maka dimunculkan Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk tandingannya; atau bila eksistensi kaum tradisional menguat, nisaya akan dibentuk entitas modern sebagai tandingan. Sekali lagi, akan selalu muncul tandingan, tandingan dan tandingan dalam perilaku geopolitik kolonialisme.

Konsep, model serta modus semacam ini akan senantiasa bergulir secara sistematis dan masif di lorong-lorong manapun baik lorong ekonomi, politik,security, dan sosial budaya. Tujuan jelas, agar bangsa (atau negara target) senantiasa gaduh di tataran hilir, dibentur-benturkan dengan pola-pola tandingan di internal supaya skema kolonialisme tak terpantau (deception). Ia jalan terus serta semakin kuat tertancap dalam hal penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA di negara target. Conflict is the protection oil flow.

Sebagai tambahan ilustrasi, ketika muncul kelompok kritis menurut perspektif hegemoninya, entah kelompok “kiri”, entah golongan “bersimbol agama”, dan terutama sekali kebangkitan jiwa nasionalis di sebuah bangsa —- maka Paman Sam siap menyediakan logistik, konsepsi, think tank, kalau perlu membikin ‘pasukan tersendiri’ guna menghancurkan aktivitas tersebut baik secara hard power atau simetris (militer), ataupun secara asimetris (non militer/smart power) melalui cyber troops, gerakan massa, bully, dan lain-lain. Patut dicatat, Arab Spring merupakan contoh langkah asimetris Barat di Kawasan Heartland dan Afrika Utara —Jalur Sutera— yang relatif sukses oleh karena berhasil menjungkalkan rezim penguasa kala itu.

Meliuk lagi namun dalam koridor topik. Sebelum kegagalan AS dan sekutu di Afghanistan (2001-2013) dan Irak (2003-2012), invasi (keroyokan) militer memang dianggap metode favorit sebab dinilai efektif meskipun high cost dan membutuhkan restu (kongres) internal serta restu (resolusi) PBB. Dalam praktek, restu internasional pun kadang diabaikan berdalih kepentingan nasionalnya terancam. Doktrin preemtive strike diterbitkan hanya untuk tameng manakala ia menyerang negara lain secara ilegal. “Serang dulu sebelum diserang”.

Pola invasi di atas pernah memetik sukses di Afrika, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan lain-lain (Baca: Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai Belahan Dunia by Hendrajit dkk). Tapi agaknya, model invasi militer secara terbuka mulai ditinggalkan oleh AS dan sekutu kecuali mungkin bila keadaan memaksa. Mereka kini, lebih meyukai tata cara asimetris yang soft, senyap dan smart bila dibandingkan hingar-bingar peperangan simetris.

Tak boleh diabaikan dalam cermatan adalah, jika di sebuah negara terdapat benih pluralisme baik secara etnis, agama, atau mazhab dalam agama, kultur, aspek historis, dll maka perilaku geopolitik kolonialisme cenderung menunggangi kondisi tersebut dalam rangka destabilisasi negeri dimaksud. Tibet misalnya, atau Xinjiang di Cina, Turkistan Timur, Kashmir (India-Pakistan), Chechnya (Rusia), Baluchistan di Pakistan, Kurdistan (Irak-Iran) dan Sudan, merupakan contoh-contoh nyata.

Pertanyaannya kini: apakah konflik Syiah-Sunni di Madura, atau ‘bencana sosial’ antara Madura – Dayak di Kalimatan, konflik pribumi versus pendatang di Lampung, tergolong konflik-konflik yang ditungganginya? Entahlah. Mari telusuri berdasar asumsi GFI, Jakarta, “Bahwa mapping konflik dimanapun senantiasa pararel dengan jalur-jalur atau wilayah kaya emas, minyak, gas alam serta tambang lainnya”. Silahkan dicermati, apakah Sumatera, Kalimantan dan Madura —di lokasi konflik— itu cuma penghasil jagung, ketela rambat, tempe bongkrek; atau ia memiliki potensi bidang pertambangan?What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Itulah analisa berbasis circumstance evidence dan patern evidence di lingkungan penggiat geopolitik dan global review.

Kembali ke balkanisasi negeri ini sebagaimana isu Clinton Program 98, bahwa rencana tersebut (kemungkinan) telah berjalan sejak peristiwa Sambas, Sampit, Ambon, Poso, dll. Ibarat memakan bubur panas dimulai dari pinggiran, Republik ini seperti disisir via konflik komunal dari tepian. Inikah strategi “desa mengepung kota”-nya Mao Ze Dong? Sekali lagi, “Entahlah”.

Selanjutnya, tatkala membaca separatisme Aceh dan Papua lebih bercorak ke primordialistik, HAM, atau kue pembangunan yang tidak merata, lalu “Bagaimana dengan lepasnya Timor Timur dulu?” Tak boleh dipungkiri, bahwa fakta bergabungnya Timor Leste ke dalam NKRI berpola integratif ala Tibet melalui restu Barat guna membendung komunisme. Maka sebagai konsekuensi logisnya adalah, ia akan mudah lepas ketika “restu” dicabut. Tak boleh tidak. Adapun isu HAM sebagai pintu pembuka, dan agenda jajak pendapat setelah hadirnya pasukan asing di Indonesia hanyalah pagelaran yang lazim dijalankan. Itulah balkanisasi dari pinggiran atau sisi luar.

Sementara balkanisasi dari internal (sisi dalam) tampaknya berjalan ‘senyap’ melalui sistem politik multipartai, otonomi daerah (otoda), pemilu langsung, dll. Hampir tidak terpantau bahkan relatif efektif. Lagi-lagi, selain tidak terendus secara vulgar karena selaras dengan gegap demokrasi, juga segenap elit dan mayoritas bangsa asyik bergaduh-ria di tataran hilir hingga hampir kehabisan energi. Ya, terlihat glamour namun tidak menyentuh kepentingan nasional RI. Pada gilirannya, balkanisasi dari sisi dalam justru lebih signifikan dalam proses pelumpuhan Ketahanan Nasional kita yang memang telah lemah sebab didangkalkan baik dari sisi konsepsi maupun implementasi (baca:Hingga Kapan Pengabaian dan Pendangkalan Geopolitik Terus Berlangsung di Indonesia?).

Bahwa contoh riil penerapan metode belah bambu (devide et impera) di negeri plural dapat dipetik via ilustrasi perang sipil di Balkan. Mereka pun terpecah belah menjadi beberapa negara kecil berdasar etnis dan agama. Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Montenegro, Serbia, Albania, dan Kosovo adalah ‘anak-anak’ yang lahir dari rahim Yugoslavia, induknya. “Itulah fakta dan realitas balkanisasi” di muka bumi. Fenomena tersebut jika diibarat menyantap kue ulang tahun, maka menyendok kue setelah diiris-iris menjadi potongan kecil akan lebih mudah dan gampang melahab (SDA)-nya daripada ia masih utuh (menyatu).

Analog memakan kue ulang tahun di muka, identik penerapan otoda sejak era reformasi sebagai bentuk negara federal kemasan baru, atau modus multipartai dan pilihan langsung (one man one vote) yang tanpa sengaja telah meluaskan tebaran benih konflik berbasis agama, etnis, politik, ideologi kontemporer, kelompok —secara berkala— antara sesama anak bangsa sendiri. Inilah yang kini tengah berlangsung di Bumi Pertiwi.

Dari uraian tak ilmiah dan sederhana di atas, setidaknya dapat kita cermati bahwa upaya balkanisasi di negeri ini telah berjalan masif, sistematis, bahkan senyap karena justru tak disadari oleh mayoritas anak bangsa. Balkanisasi dari sisi luar melalui konflik komunal menyisir dari pinggiran, sedang balkanisasi dari sisi internal melalui sistem politik yang diterapkan dalam konstitusi negara.

Seandainya pola dan perilaku ini dibiarkan terus berlangsung tanpa (ada transformasi) negara hadir secara langsung untuk melindungi segenap tumpah darahnya dan secepatnya take over, tidak lama lagi —- sekali lagi, tidak perlu menunggu waktu lama niscaya akan ada gelombang balkanisasi di Indonesia. Jangan-jangan, Bumi Pertiwi ini kelak hanya tinggal dongeng bagi anak-anak cucu bahwa konon Indonesia pernah ada, nyata dan berada.

Terimakasih
———–
Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)


Doktrin Jokowi di KTT Asia Timur: Indonesia Poros Maritim Dunia

$
0
0

Doktrin Jokowi di KTT Asia Timur

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan poros maritim di Konferensi Tingkat Tinggi(KTT) Asia Timur (East Asia Summit) yang belangsung di Nay Pyi Taw, Myanmar, Kamis (13/11). Jokowi menyebut poros yang dibangunnya sebagai “Doktrin Jokowi atau World Martime Fulcrum”.

Peluncuran dilakukan di depan 10 anggota ASEAN. Peluncuran juga dihadiri para mitra ASEAN seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, India, Korea Selatan, dan Australia. Hadir juga Presiden Rusia Vladimir Putin, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon

Peluncuran dilakukan pada hari kedua pelaksanaan KTT ASEAN pada sesi KTT Asia Timur. Pada sesi ini, semua negara-negara yang masuk dalam kawasan Asia Timur hadir.

Berikut adalah pidato lengkap Jokowi mengenai “Poros Maritim Dunia”
9th East Asia Summit, Plenary Seasons,

Nay Pyi Taw, Myanmar,
13 November 2014, 11.01-11.08 AM
Yang Mulia Presiden U Thein Sein,
Yang Mulia Kepala Negara dan Pemerintahan negara peserta KTT Asia Timur,

Bagi Indonesia, KTT Asia Timur berperan penting bagi keamanan, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi di kawasan. Oleh karena itu, saya memilih forum ini untuk menyampaikan gagasan saya tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dan harapan saya tentang peran KTT Asia Timur kedepan.

Indonesia menyadari, sebuah trasformasi besar sedang terjadi di abad ke-21 ini. Pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia sedang bangkit.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun, dengan total GDP sekitar US$ 40 triliun, kawasan Asia Timur merupakan kawasan paling dinamis secara ekonomi. Sekitar 40 persen perdagangan dunia ada di kawasan ini.

Dalam dinamika itu, laut akan semakin pentingnya artinya bagi masa depan kita. Jalur laut yang menghubungkan dua samudera strategis -Samudera Hindia dan Samudera Pasifik- merupakan jalur penting bagi lalu lintas perdagangan dunia.

Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan “lorong” lalu lintas maritim dunia. Dua samudera strategis itu juga menyimpan kekayaan besar –energi dan sumberdaya laut lainnya—yang akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan.

Indonesia berada tepat ditengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun geo-ekonomi.
Oleh karena itu, sebagai negara maritim, Indonesia harus menegaskan dirinya sebagai Poros Maritim Dunia, sebagai kekuatan yang berada di antara dua samudera: Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Posisi sebagai Poros Maritim Dunia membuka peluang bagi Indonesia untuk membangun kerja sama regional dan internasional bagi kemakmuran rakyat.

Yang Mulia,
Agenda pembangunan untuk mewujudkan Poros Maritim Dunia ini memiliki lima pilar utama.

Pertama, kami akan membangun kembali budaya maritim Indonesia. Sebagai negara yang terdiri dari 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya, sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudera.

Kedua, kami akan menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Kekayaan maritim kami akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat kami.

Ketiga, kami akan memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun Tol Laut, deep seaport, logistik, dan industri perkapalan, dan pariwisata maritim.

Keempat, melalui diplomasi maritim, kami mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua.

Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun kekuatan pertahanan maritim. Hal ini diperlukan bukan saja untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim kami, tetapi juga sebagai bentuk tanggungjawab kami dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Cita-cita dan agenda di atas akan menjadi fokus Indonesia di abad ke-21. Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia, kekuatan yang mengarungi dua samudera, sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa.

Yang Mulia.
Sebagai Poros Maritim Dunia, Indonesia tentu berkepentingan untuk ikut menentukan masa depan kawasan Pasifik dan Samudera Hindia (the Pacific and Indian Ocean Region—PACINDO).

Kami ingin Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tetap damai dan aman bagi perdagangan dunia, bukan dijadikan ajang perebutan sumberdaya alam, pertikaian wilayah, dan supremasi maritim.
Dalam kaitan ini, saya memandang bahwa potensi kemaritiman di forum EAS belum dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia mengusulkan penguatan prioritas area kerjasama maritim di EAS.
Kami mendorong negara-negara mitra ASEAN di EAS untuk mendukung dan terlibat aktif dalam mewujudkan ASEAN Masterplan on Connectivity, khususnya konektivitas dan infrastruktur maritim.
Kami menyerukan kerja sama EAS secara konkrit di bidang energi, ketahanan pangan, manufaktur, dan dalam menjaga kelestarian bahari.

Kami menyerukan kerja sama yang lebih erat dalam menjaga keamanan laut. Khusus mengenai Laut Tiongkok Selatan, Indonesia menyambut baik komitmen untuk mengimplementasikan DOC (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea). Saya juga mendukung penyelesaian COC (code of conduct in the South China) melalui konsultasi secepat mungkin.
Terima Kasih

Sumber: Beritasatu

 

  • Ponny Anggoro Asal ga disalahgunakan teman2nya/TNIAL utk meraih investasi/keuntungan monopolistis/oligopoli besar2an aja. Utk pertahanan TNIALkan selama ini menolak operasi gabungan dg TNI spt dulu dh komando wilayah pertahanan. Atau kalaupun ada pemimpin dan kontrolnya harus TNIAL yg ini termasuk aktifitas perekonomian laut. Ya ditolak. Namun akibatny TNIAL kembali asal, kuasai laut sepenuhnya dan kesalahan dibebankan semua ke polair spt selundupan & korupsi, terlepas dr kesalahannya pula di wilayah tugasnya,yg seharusnya bukan tanggungjawab dan kesalahannya. Tapi kalau balik ke TNIAL ia selalu berdalih ga punya dana utk operasi dan kapal. Pdhal dana off budget yg diterimanya melimpah dan kapal lebih banyak kapal peramg yg tak banyak manfaat/tak bisa jalan & lebih besar biaya korupsi yg bisa diraih, drpd kapal operasi. Dari selundupan brp saja ia dibayar/bulan tuh. Jadi ia selama ini berkuasa tunggal tanpa ada yg tau kecl bbrp jenderal, menteri dN presiden. Ga tau deh Presiden Jokowi dg menteri Susi dll sekarang. TNIAL nya mungkin resah.
  • Epsi R Nurwijayadi Mengapa harus mengumbar visi di luar, pada saat di dalam negri belum dilakukan perbaikan, yang mendasar ? #cumatanya
  • Alijah Diete Bagus nih Jokowi ngomong gini, pertama, dia menegaskan posisi Indonesia; kedua, dia memeperingati oara negara yg suka maling utk jangan maling lagi krn Indonesia punya kebijakan utk para maling kekayaan laut kita; ketiga, Indonesia yg akan menjadi poros krn laut Indonesia luas, dulu Indonesia mmg menjadi lalu lintas perdagangan, batavia dulu jadi bandar … ehhh … skrg justru beralih ke Singapore, nah, Jokowi ngingetin kalo Indonesia lautnya luas bo, jadi yg pantes jadi bandar ya kita ini; keempat, Jokowi juga lagi negasin ke para mafia ikan dan laut didalam negeri bahwa dia serius utk ngurusin laut, jadi bagi para “pemain” dan koruptor harap mulai siap2 kalau mau nakal lagi; kelima, indonesia sdg menyerukan perdamaian terutama kpd negara2 yg suka berantem krn territorial disputes. Indonesia khan selalu brantem ama malaysia soal ini, dan kekisruhan terkait territori laut paling terasa di asia Timur, dimana korea dan jepang sampe hari ini msh ribut soal pulau Dok Do, China ribut ama philippines, vietnam, dan negara lainnya. Lewat seruan ini, Jokowi juga mengingatkan China spy jgn rakus menguasai laut ….. jangan pada ribut mulu …. ini artinya Indonesia menunjukkan kita ini pecinta damai bo …

    Keren lah pokoknya seruannya … Ini baru presiden, Indonesia berani bilang “gue yg harusnya jadi poros maritim dunia, secara laut gue luas dan posisi indonesia sgt strategis, jadi gue yg menentukan, bukan kalian pada” …. gitu dong !!!!! Itu namanya presiden Indonesia, tegas kepada dunia dgn sikap, posisi dan langkah2 yg akan diambilnya ….


Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang Perusaknya

$
0
0

Media Metafisika Add Comment kisah Mediametafisika.com

Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang

Badigul,

Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang - Badigul, begitu orang menyebut bukit kecil di kota Bogor bagian Selatan ini. Selintas tak ada yang nampak istimewa pada segundukan tanah di atas lahan seluas 5000 meter persegi itu. Hanya ruput halus lapangan golf yang mengelilinginya. Di sisi barat berdiri sebuah bangunan sport center milik perumahan elite Rancamaya.

Di sisi lain nampak sebuah gedung megah pusat penelitian dan pengembangan agama Budha. Bukit itu sendiri kini telah menjadi miliki perumahan Rancamaya. Namun 20 tahun lalu, sebelum Badigul digusur pengembang Rancamaya, bukit ini adalah sebuah tempat yang amat dikeramatkan masyarakat Sunda. Betapa tidak, Badigul diyakini sebagai tempat mandapa Prabu Siliwangi. Di bukit ini sang Prabu sering semedi hingga kemudian ngahiyang menghadap Sang Pencipta. Dulu orang berbondong-bondong berziarah pada leluhur mereka di bukit Badigul yang luasnya masih 5 hektar.

Saat itu masih terdapat beberapa alat gamelan sunda yang memiliki kekuatan magis, namun kini menghilang entah ke mana. Buldoser dan 2 becko tak sanggup menggeser batu menhir di bukit Badigul. Malah tiga sopir alat-alat berat itu sekarat tanpa sebab. Korban-korban lain pun berjatuhan….

“Dulu bukit itu masih tinggi. Badigul dikelilingi sebuah telaga yang bernama Renawijaya. Jika orang ingin ke puncak bukit, mereka harus menyeberangi telaga dan mengambil air wudlu di sana,” tutur Ki Cheppy Rancamaya, 53 tahun, saat Kami ditemui di rumahnya. Berkisah tentang Badigul, Ki Cheppy, spiritualis dan budayawan ini, merasa miris mengingat masa lalunya. Ia adalah orang yang mati-matian mempertahankan tempat keramat itu. Namun kekuatan rezim Orde Baru dan pengaruh uang dari pengusaha membuatnya harus mengakui kekalahan. Badigul digusur, ia diculik Kopassus dan dipenjarakan tanpa pengadilan.

Setahun lebih Ki Cheppy harus meringkuk di penjara Paledang, Januari 1992-1993. Tak cukup sampai di situ, setelah keluar Ki Cheppy kembali melakukan perlawanan terhadap penguasa. Tapi akhirnya ia pun harus kembali meringkuk di tahanan untuk ke dua kalinya. Sebuah pengalaman mistik pun dialami Cheppy saat ia menghuni Blok B 8 Rutan Paledang, Bogor. Saat itu ia dipanggil sipir, katanya ada keluarganya yang hendak menjenguknya. Cheppy pun keluar dari ruang tahannya. Namun belum genap 10 langkah ia meninggalkan ruang tahanan itu, tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar dari ruang tahannya. Sebuah petir yang menghebohkan seisi napi Paledang menjebolkan tembok kamar tahanan Cheppy yang tebalnya 75 cm. “Saat itu memang hujan rintik-rintik. Petir itu membuat lubang berdiameter 50 cm pada dinding penjara. Jika saya ada di dalam tentu saya sudah mati. Belakangan saya baru tahu kalau petir itu adalah santet kiriman anak buah Cecep Adireja,” tutur Cheppy.

Keberanian Cheppy untuk mempertahankan Badigul memang bukan tanpa alasan. Ia yakin seyakin-yakinnya, Badigul adalah tempat keramat peninggalan leluhur Pakuan Pajajaran. Keyakinan Cheppy itu juga diperkuat oleh keyakinan banyak masyarakat di sana. Budayawan-budayawan Sunda pun telah menetapkan situs Badigul sebagai Cagar Budaya yang patut dilestarikan. Bahkan Solihin GP, tokoh masyarakat Sunda yang kala itu menjabat Sesdalopbang pun melarang penggusuran keramat Badigul dengan mengeluarkan nota pribadinya kepada Walikota Bogor. “Siapapun yang merusak tempat keramat akan kena supata (karma-Red.),” tutur Cheppy.

Cerita-cerita mistik dan supata yang dilontarkan Cheppy memang terbukti. Seratus orang buruh bangunan telah mati menjadi tumbal saat bukit Badigul dibuldoser. Namun ambisi pengusaha real estate untuk meratakan bukit Badigul tidak pernah luntur. Bukit itu tetap diratakan untuk perumahan dan lapangan golf hingga ketinggiannya berkurang 6 meteran. Saat puncak badigul telah tercukur 6 meter itu muncul sebuah batu menhir sebesar mobil sedan. Anehnya batu sebesar itu sama sekali tak goyang saat dibuldoser. Penasaran dengan itu, pihak perumahan mendatangkan dua becko untuk menarik batu keramat itu. Tapi dua becko itu pun tak sanggup menggoyangkan batu itu. Bahkan satu becko malah patah saat menariknya. Secara logika batu itu seharusnya dapat digusur oleh buldoser. Saat itulah kesadaran para buruh tentang kekuatan mistik bukit Badigul mulai terbuka. “Tapi mereka terlambat, 3 orang supir alat berat itu pun mati,” tutur Cheppy. Mengingat keanehan-keanehan yang terjadi, akhirnya pihak perumahan sepakat untuk tidak memindahkan batu itu. Batu itu tetap di tempatnya kemudian dibenamkan dan kembali timbun dengan tanah.

Jadilah bukit Badigul kini sebagai lapangan golf dengan sport center dan pusat penelitian agama Budha di sebelahnya. Memang ironis, hanya untuk membuat sebuah lapangan golf dan pusat kebugaran, pihak pengembang harus menghancurkan cagar budaya. Mereka juga harus bertentangan dengan kepercayaan masyarakat sekitar yang meyakini kekeramatkan Badigul. Alhasil mereka harus menumbalkan 114 orang buruh untuk mencukur 6 meter bukit Badigul. “Kita berurusan dengan makhluk di dunia lain. Tapi mereka juga punya tempat dan habitat di bumi ini. Jika mereka diganggu, mereka pun bisa mengganggu kita,” jelas Cheppy.

Tentang kekeramatan bukit Badigul, mungkin hanya Cheppy yang pernah menyibak tabir mistiknya. Ia adalah penduduk asli Rancamaya, Bogor Selatan. Ia adalah orang yang paling rajin bermunajat di sana. Ia sering melakukan kontak batin dengan penguasa gaib bukit Badigul. Bahkan ia juga pernah melakukan meditasi dan puasa selama 100 hari di bukit itu. Dikisahkan Cheppy, suatu malam ia tengah melakukan meditasi di puncak Badigul. Menjelang tengah malam, ia melihat seekor anjing hitam yang diapit dua ekor anjing kecil berbulu putih di kiri kanannya. Dalam hati, Cheppy yakin itu bukan binatang sungguhan. Sebab tak mungkin binatang-binatang itu tiba-tiba muncul di hadapannya tanpa diketahui dari mana datangnya. Tidak mungkin pula anjing itu bisa ke puncak Badigul, sebab harus menyeberangi telaga Renawijaya. Binatang-binatang yang tampak gagah itu memandang heran ke arah Cheppy. Tapi sedikit pun Cheppy tak bergeming dari tempatnya duduk. Cheppy tetap konsentrasi dengan meditasinya.

Sesaat ia melihat ajing berbulu hitam itu menengadahkan kepalanya pada Cheppy. Tapi ia tak mengerti apa maksudnya. Dan dalam ketidak mengertian itu, sekedipan mata saja anjing-anjing aneh itu hilang dari pandangan Cheppy. Malam yang lainnya, Cheppy juga pernah menemukan fenomena mistik yang sulit diterima akal sehatnya. Malam itu, Cheppy sengaja datang ke Badigul untuk melanjutkan meditasinya. Dari rumah, ia membawa segala perlengkapan sajen yang diperlukan di keramat Badigul. Cheppy berharap malam itu ia akan mendapatkan sesuatu yang selama ini ia cita-citakan. Lepas Maghrib Cheppy duduk tepekur menghadap Kiblat. Tepat tengah malam, ketika Cheppy tengah khusuk meditasi sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba ia melihat sepertinya matahari terbit dari balik gunung Salak. Sinarnya terlihat benderang menerangi seantero alam. Gunung Salak terlihat jelas, pohon besar hingga rumput kecil dan perumahan penduduk di kaki gunung itu terlihat jelas. Sesaat Cheppy tak yakin, ia sadar bahwa gunung salak itu berada di sebelah barat. Mana mungkin matahari terbit dari arah barat. Ia lalu mengusap-usap matanya.Dan seketika itu pula bumi kembali gelap gulita. Tak nampak lagi matahari yang benderang di balik gunung salak itu. Yang tertinggal hanya kedipan-kedipan kecil dari lampu yang terpasang di rumah-rumah penduduk. “Itu benar-benar aneh dan saya mengalaminya sendiri. Kekuatan mistik Badigul memang nyata,” jelas Cheppy. Kisah lain yang lebih unik juga diceritakan Cheppy. Malam itu ia tengah wirid di Badigul. Karena penat, ia celentang merebahkan dirinya di tengah padang rumput puncak Badigul. Tapi sesaat kemudian ia tersentak kaget.

Dari atas langit ia melihat seperti seberkas sinar keperakan jatuh menimpa dadanya. Seketika ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Dan mendadak, tangannya menyentuh benda pipih yang dingin. Ia pun langsung menggenggamnya. Kini di tangannya tergenggam sebilah kujang — sebuah pusaka Pajajaran yang keampuhannya tak perlu diragukan lagi. Dan tatkala Kami mencoba, ternyata, kujang itu memiliki daya kekebalan bagi siapa pun yang memegangnya. Masih seputar fenomena mistik Badigul, Cheppy menceritakan suatu hari di tahun 1994 warga Bogor dihebohkan oleh penemuan telapak kaki raksasa di Batutulis dan Rancamaya. Berita yang menghebohkan itu pun diliput oleh media-media cetak dan elektronik di Jabotabek. Di Jalan Batutulis terdapat sebuah telapak kaki kiri sepanjang 1 meter. Jelas sekali telapak kaki itu bukan rekayasa manusia. Sementara di Rancamaya juga terdapat sebuah telapak kaki kanan yang panjangnya sama dengan yang ditemukan di Batutulis. Lalu orang berimajinasi, kalau kaki itu adalah milik gaib Prabu Siliwangi. Sang Prabu sengaja mendatangi Batutulis kemudian loncat ke Rancamaya hanya dengan sekali langkah saja. Tak cuma itu, ternyata di sekitar puncak Badigul terdapat empat telapak kaki yang panjang dan besarnya sama. “Sang Prabu ke Batutulis lalu ke Rancamaya dan mengelilingi puncak Badigul,” begitu jelas Ki Cheppy ketika ditanyai wartawan saat itu. Kekeramatan bukit Badigul memang meyakinkan. Tak seorang warga Rancamaya pun yang dihubungi Kami meragukan keangkerannya.  Sejak batu keramat itu tak sanggup dibuldoser, tak seorang buruh pun yang mau melanjutkan pekerjaan di sana. Mereka takut terkena kutuk atau supata Eyang Prabu Siliwangi. “Kami tidak mau mati jadi tumbal,” tutur Ujang warga Rancamaya yang waktu itu ikut melakukan pembabatan lahan di Badigul. Ketakutan Ujang memang beralasan. Ia menceritakn beberapa orang rekannya yang mati akibat ikut meratakan tanah di bukit Badigul. Waktu itu, Herman dan beberapa teman Ujang diperintahkan untuk mengeruk tanah di puncak Badigul. Lewat tengah hari setelah mereka istirahat pekerjaan itu dilanjutkan. Namun alangkah terkejutnya Herman dan kawan-kawannya. Mereka melihat seekor ular hitam di atas tanah merah bukit Badigul. Tanpa pikir panjang ular itu mereka pukul ramai-ramai dengan batang kayu dan batu. “Esok harinya, Herman dan dua orang temannya itu dikabarkan sakit meriang lalu sore harinya mati semua,” kisah Ujang pada Misteri. Tentang Supata yang didawuhkan Prabu Siliwangi itu ternyata tidak hanya menimpa kuli bangunan atau buruh pekerja perumahan Rancamaya. Tapi juga menimpa seluruh penggede-penggede Perumahan elit itu. Cecep Adireja misalnya, tuan tanah yang menguasai pembebasan lahan untuk perumahan itu akhirnya mati mengenaskan. Tuan tanah yang disebut-sebut pemilik Hotel Salak, Bogor, ini meninggal setelah mengalami sakit berkepanjangan yang tak jelas sebab musababnya. Begitu pun dengan kakak dan adik Cecep, mereka mati setelah mengalami sakit yang tak sanggup diobati dokter. “Tidak hanya keluarga Cecep, supata itu juga diterima Kapolsek Ciawi dan lurah Rancamaya waktu itu. Mereka juga mati setelah mengalami sakit parah yang tak jelas penyakitnya,” jelas Cheppy.

Source: http://www.mediametafisika.com/2013/11/badigul-bukit-keramat-yang-memakan.html
Disalin dari WWW.MEDIAMETAFISIKA.COM | kontent ini memiliki hak cipta.

SEJARAH KERAJAAN PADJAJARAN (PART 5)

Karena Permusuhan Tidak Berlanjut Ke Arah Pertumpahan Darah, Maka Masing Masing Pihak Dapat Mengembangkan Keadaan Dalam Negerinya. Demikianlah Pemerintahan Sri Baduga Dilukiskan Sebagai Jaman Kesejahteraan [ Carita Parahiyangan ]. Tome Pires Ikut Mencatat Kemajuan Jaman Sri Baduga Dengan Komentar “The Kingdom Of Sunda Is Justly Governed; They Are True Men” [ Kerajaan Sunda Diperintah Dengan Adil; Mereka Adalah Orang-Orang Jujur ]. Juga Diberitakan Kegiatan Perdagangan Sunda Dengan Malaka Sampai Ke Kepulauan Maladewa [ Maladiven ]. Jumlah Merica Bisa Mencapai 1000 Bahar [ 1 Bahar = 3 Pikul ] Setahun, Bahkan Hasil Tammarin [ Asem ] Dikatakannya Cukup Untuk Mengisi Muatan 1000 Kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat Dari Sumedang Dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh Dari Ciamis Yang Ditulis Dalam Abad Ke-18 Dalam Bahasa Jawa Dan Huruf Arab-Pegon Masih Menyebut Masa Pemerintahan Sri Baduga Ini Dengan Masa Gemuh Pakuan [ Kemakmuran Pakuan ] Sehingga Tak Mengherankan Bila Hanya Sri Baduga Yang Kemudian Diabadikan Kebesarannya Oleh Raja Penggantinya Dalam Jaman Kerajaan Pajajaran. Sri Baduga Maharaja Alias Prabu Siliwangi Yang Dalam Prasasti Tembaga Kebantenan Disebut Susuhuna Di Pakuan Kerajaan Pajajaran, Memerintah Selama 39 Tahun [ 1482 - 1521 ].

Ia Disebut Secara Anumerta Sang Lumahing [ Sang Mokteng ] Rancamaya Karena Ia Dipusarakan Di Rancamaya. Melihat Itu, Jelas, Bagaimana Rancamaya, Terletak Kira-Kira 7 Km Di Sebelah Tenggara Kota Bogor, Memiliki Nilai Khusus Bagi Orang Sunda. Rancamaya Memiliki Mata Air Yang Sangat Jernih. Tahun 1960-An Di Hulu Cirancamaya Ini Ada Sebuah Situs Makam Kuno Dengan Pelataran Berjari-Jari 7,5 M Tertutup Hamparan Rumput Halus Dan Dikelilingi Rumpun Bambu Setengah Lingkaran. Dekat Makam Itu Terdapat Pohon Hampelas, Patung Badak Setinggi Kira-Kira 25 M Dan Sebuah Pohon Beringin.

Dewasa Ini Seluruh Situs Sudah “Dihancurkan” Orang. Pelatarannya Ditanami Ubi Kayu, Pohon-Pohonannya Ditebang Dan Makam Kuno Itu Diberi Saung. Di Dalamnya Sudah Bertambah Sebuah Kuburan Baru, Lalu Makam Kunonya Diganti Dengan Bata Pelesteran, Ditambah Bak Kecil Untuk Peziarah Dengan Dinding Yang Dihiasi Huruf Arab. Makam Yang Dikenal Sebagai Makam Embah Punjung Ini Mungkin Sudah Dipopulerkan Orang Sebagai Makam Wali. Kejadian Ini Sama Seperti Kuburan Embah Jepra Pendiri Kampung Paledang Yang Terdapat Di Kebun Raya Yang “Dijual” Orang Sebagai “Makam Raja Galuh”.

Telaga Yang Ada Di Rancamaya, Menurut Pantun Bogor, Asalnya Bernama Rena Wijaya Dan Kemudian Berubah Menjadi Rancamaya. Akan Tetapi, Menurut Naskah Kuno, Penamaannya Malah Dibalik, Setelah Menjadi Telaga Kemudian Dinamai Rena Maha Wijaya [ Terungkap Pada Prasasti ]. “Talaga” [ Sangsakerta "Tadaga" ] Mengandung Arti Kolam. Orang Sunda Biasanya Menyebut Telaga Untuk Kolam Bening Di Pegunungan Atau Tempat Yang Sunyi. Kata Lain Yang Sepadan Adalah Situ [ Sangsakerta, Setu ] Yang Berarti Bendungan.

Bila Diteliti Keadaan Sawah Di Rancamaya, Dapat Diperkirakan Bahwa Dulu Telaga Itu Membentang Dari Hulu Cirancamaya Sampai Ke Kaki Bukit Badigul Di Sebelah Utara Jalan Lama Yang Mengitarinya Dan Berseberangan Dengan Kampung Bojong. Pada Sisi Utara Lapang Bola Rancamaya Yang Sekarang, Tepi Telaga Itu Bersambung Dengan Kaki Bukit. Bukit Badigul Memperoleh Namanya Dari Penduduk Karena Penampakannya Yang Unik. Bukit Itu Hampir “Gersang” Dengan Bentuk Parabola Sempurna Dan Tampak Seperti “Katel” [ Wajan ] Terbalik. Bukit-Bukit Di Sekitarnya Tampak Subur. Badigul Hanya Ditumbuhi Jenis Rumput Tertentu. Mudah Diduga Bukit Ini Dulu “Dikerok” Sampai Mencapai Bentuk Parabola. Akibat Pengerokan Itu Tanah Suburnya Habis. Badigul Kemungkinan Waktu Itu Dijadikan “Bukit Punden” [ Bukit Pemujaan ] Yaitu Bukit Tempat Berziarah [ Bahasa Sunda, Nyekar Atau Ngembang = Tabur Bunga ]. Kemungkinan Yang Dimaksud Dalam “Rajah Waruga Pakuan” Dengan Sanghiyang Padungkulan Itu Adalah Bukit Badigul Ini.

Kedekatan Telaga Dengan Bukit Punden Bukanlah Tradisi Baru. Pada Masa Purnawarman, Raja Beserta Para Pembesar Tarumanagara Selalu Melakukan Upacara Mandi Suci Di Gangganadi [ Setu Gangga ] Yang Terletak Dalam Istana Kerajaan Indraprahasta [ Di Cire Irang ]. Setelah Bermandi- Mandi Suci, Raja Melakukan Ziarah Ke Punden-Punden Yang Terletak Dekat Sungai. Spekulasi Lain Mengenai Pengertian Adanya Kombinasi Badigul-Rancamaya Adalah Perpaduan Gunung-Air Yang Berarti Pula Sunda-Galuh.

Sri Baduga Maharaja Adalah Surawisesa [ Puteranya Dari Mayang Sunda Dan Juga Cucu Prabu Susuktunggal ]. Ia Dipuji Oleh Carita Parahiyangan Dengan Sebutan “Kasuran” [ Perwira ], “Kadiran” [ Perkasa ] Dan “Kuwanen” [ Pemberani ]. Selama 14 Tahun Memerintah Ia Melakukan 15 Kali Pertempuran. Pujian Penulis Carita Parahiyangan Memang Berkaitan Dengan Hal Ini. Nagara Kretabhumi I/2 Dan Sumber Portugis Mengisahkan Bahwa Surawisesa Pernah Diutus Ayahnya Menghubungi Alfonso d’Albuquerque [ Laksamana Bungker ] Di Malaka. Ia Pergi Ke Malaka Dua Kali [ 1512 Dan 1521 ]. Hasil Kunjungan Pertama Adalah Kunjungan Penjajakan Pihak Portugis Pada Tahun 1513 Yang Diikuti Oleh Tome Pires, Sedangkan Hasil Kunjungan Yang Kedua Adalah Kedatangan Utusan Portugis Yang Dipimpin Oleh Hendrik De Leme [ Ipar Alfonso ] Ke Ibukota Pakuan. Dalam Kunjungan Itu Disepakati Persetujuan Antara Kerajaan PajajaranDan Portugis Mengenai Perdagangan Dan Keamanan.

Dari Perjanjian Ini Dibuat Tulisan Rangkap Dua, Lalu Masing-Masing Pihak Memegang Satu ] Menurut Soekanto [ 1956 ] Perjanjian Itu Ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam Menganggap Bahwa Perjanjian Itu Hanya Lisan. Namun, Sumber Portugis Yang Kemudian Dikutip Hageman Menyebutkan “Van Deze Overeenkomst Werd Een Geschrift Opgemaakt In Dubbel, Waarvan Elke Partij Een Behield”. Dalam Perjanjian Itu Disepakati Bahwa Portugis Akan Mendirikan Benteng Di Banten Dan Kalapa. Untuk Itu Tiap Kapal Portugis Yang Datang Akan Diberi Muatan Lada Yang Harus Ditukar Dengan Barang-Barang Keperluan Yang Diminta Oleh Pihak Sunda. Kemudian Pada Saat Benteng Mulai Dibangun, Pihak Sunda Akan Menyerahkan 1000 Karung Lada Tiap Tahun Untuk Ditukarkan Dengan Muatan Sebanyak Dua “Costumodos” [ Kurang Lebih 351 Kuintal ].

Perjanjian Kerajaan Pajajaran – Portugis Sangat Mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, Pintu Masuk Perairan Nusantara Sebelah Utara Sudah Dikuasai Portugis Yang Berkedudukan Di Malaka Dan Pasai. Bila Selat Sunda Yang Menjadi Pintu Masuk Perairan Nusantara Di Selatan Juga Dikuasai Portugis, Maka Jalur Perdagangan Laut Yang Menjadi Urat Nadi Kehidupan Ekonomi Demak Terancam Putus. Trenggana Segera Mengirim Armadanya Di Bawah Pimpinan Fadillah Khan Yang Menjadi Senapati Demak.

Fadillah Khan Memperistri Ratu Pembayun, Janda Pangeran Jayakelana. Kemudian Ia Pun Menikah Dengan Ratu Ayu, Janda Sabrang Lor [ Sultan Demak II ]. Dengan Demikian, Fadillah Menjadi Menantu Raden Patah Sekaligus Menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari Segi Kekerabatan, Fadillah Masih Terhitung Keponakan Susuhunan Jati Karena Buyutnya Barkta Zainal Abidin Adalah Adik Nurul Amin, Kakek Susuhunan Jati Dari Pihak Ayah. Selain Itu Fadillah Masih Terhitung Cucu Sunan Ampel [ Ali Rakhmatullah ] Sebab Buyutnya Adalah Kakak Ibrahim Zainal Akbar Ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel Sendiri Adalah Mertua Raden Patah [ Sultan Demak I ].

-Sang-


MISTERI PENEMUAN TEMBOK LURUS DI BAWAH LAUT PAPUA

$
0
0

Misteri Penemuan Tembok Lurus Di Bawah Laut Papua

Misteri, Penemuan, Tembok, Lurus, Di, Bawah, Laut, Papua
Papua adalah sebuah propinsi terluas di Indonesia dengan luas 808.105 Km persegi yang termasuk pulau terbesar kedua di dunia.
Pulau Papua dengan keaneka ragaman alamnya yang masih alami ternyata menyimpan Misteri yang sangat menakjubkan dengan ditemukannya sebuah Tembok Lurus dilepas pantai bagian utara dari pulau besar ini diperkirakan terdapat struktur bagunan mirip “beteng” (awam:benteng) dengan panjang 110 Km dengan ketinggian 1860 meter serta lebar 1700 meter.
Jika dilihat secara seksama struktur ini lebih mirip “dinding” atau “tembok” karena strukturnya yang lurus memanjang secara sempurna sepanjang 110 Km.
Jika ini benar, jelas bangunan seperti ini tidak dibuat oleh peradaban manusia mengingat bangunan di abad modern ini saja seperti Menara Dubai tingginya baru mencapai 800 meter sedangkan dinding yang ditemukan disebelah utara Pulau Papua mencapai tinggi 1860 meter.
Struktur ini berada di Laut Lepas tak jauh dari Ibukota Papua, Jayapura. Untuk sementara penemuan misterius ini dinamakan Jayapura Wall atau Tembok Jayapura.
Dengan menggunakan Google Maps, Koordinat benteng menakjubkan tersebut terlihat pada Samudra Pasifik, Bagian Utara Pulau Papua pada 1°59’46.9”S dan 141°29’24.6239”E
Misteri, Penemuan, Tembok, Lurus, Di, Bawah, Laut, Papua
Video Jayapura Wall – Mysterious Enigmatic Undersea Structures [HD 720p / Re-Upload]

Sekilas Tentang Papua 

Misteri, Penemuan, Tembok, Lurus, Di, Bawah, Laut, Papua
Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia. Pada sekitar Tahun 200 M , ahli Geography bernama Ptolamy menyebutnya dengan nama LABADIOS. Pada akhir tahun 500 M, pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kua memberi nama TUNGKI, dan pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama JANGGI.
Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai PAPA-UA yang sudah berubah dalam sebutan menjadi PAPUA. Pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes memberi nama NUEVA GUINEE dan ada pelaut lain yang memberi nama ISLA DEL ORO yang artinya Pulau Emas. Robin Osborne dalam bukunya, Indonesias Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya (1985), menjuluki provinsi paling timur Indonesia ini sebagai surga yang hilang.
Tidak diketahui apakah pada peradaban kuno sebelum masehi di Papua telah terdapat kerajaan. Bisa jadi zaman dahulu telah terdapat peradaban maju di Papua. Pada sebuah konferensi tentang lampu jalan dan lalulintas tahun 1963 di Pretoria (Afrika Selatan), C.S. Downey mengemukakan tentang sebuah pemukiman terisolir di tengah hutan lebat Pegunungan Wilhelmina (Peg. Trikora) di Bagian Barat New Guinea (Papua) yang memiliki sistem penerangan maju.
Para pedagang yang dengan susah payah berhasil menembus masuk ke pemukiman ini menceritakan kengeriannya pada cahaya penerangan yang sangat terang benderang dari “beberapa bulan” yang ada di atas tiang-tiang di sana. Bola-bola lampu tersebut tampak secara aneh bersinar setelah matahari mulai terbenam dan terus menyala sepanjang malam setiap hari. Kita tidak tahu akan kebenaran kisah ini tapi jika benar itu merupakan hal yang luar biasa dan harus terus diselidiki.
Papua telah dikenal akan kekayaan alamnya sejak dulu. Pada abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua.
Dengan armadanya yang kuat Sriwijaya mengunjungi Maluku dan Papua untuk memperdagangkan rempah – rempah, wangi – wangian, mutiara dan bulu burung Cenderawasih. Pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore.
Tanah Papua sangat kaya. Tembaga dan Emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah.
Papua juga disebut-sebut sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Papua merupakan surga keanekaragaman hayati yang tersisa di bumi saat ini. Pada tahun 2006 diberitakan suatu tim survei yang terdiri dari penjelajah Amerika, Indonesia dan Australia mengadakan peninjauan di sebagian daerah pegunungan Foja Propinsi Papua Indonesia.
Di sana mereka menemukan suatu tempat ajaib yang mereka namakan “dunia yang hilang”, dan “Taman Firdaus di bumi”, dengan menyaksikan puluhan jenis burung, kupu-kupu, katak dan tumbuhan yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Jika dikelola dengan baik, orang Papua pun bisa lebih makmur dengan kekayan alam yang melimpah tersebut.
Beberapa Raja-Raja di Papua

Raja Said Arobi Uswanas dari Kerajaan Fatagar, Papua

 
Kerajaan Fatagar pada tahun 1880-an adalah salah satu kerajaan yang paling penting dari Onin atau daerah Fak Fak.
Pada saat itu orang papua berhak pergi untuk tinggal di pulau Seram, di mana mereka juga mempunyai keluarga disana.
Kemudian nenek moyang dari raja Fatagar kembali dan dinobatkan sebagai raja. Semua raja-raja yang berkuasa Fatagar dikenal sebagai raja yang cukup baik dan bijaksana.
Kini dia adalah politisi penting di kabupaten Fak Fak, yaitu Raja Said Arobi Uswanas dari kerajaan Fatagar.
Sebagian besar kerajaan di sini diperintah oleh dinasti keturunan dari dinasti Rumbati, atau dibuat secara lokal semi-kerajaan (kemudian independen) oleh Rumbati. Fatagar adalah salah satu akar kerajaan dan dinasti turunan dari dinasti Rumbati.
Raja Patipi, Achmad Iba
 
Kerajaan Rumbati. Salah satu raja mantan raja dari kerajaan Rumbati adalah Patipi. Beliau sudah memerintah sejak lama. Beliau dikenal karena keinginannya memperkenalkan dan membawa Islam kepada orang-orang disekitarnya. Keberadaan dinasti raja ini adalah dinasti kedua yang mana pernah memerintah di Patipi.
Raja pertama masih dalam pemerintahan di abad ke-20 bahkan sempat diperintah olehnya selama dua kali periode raja pada wakktu itu, ketika dinasti kedua memerintah. Raja yang memerintah kini adalah sebatas wilayah Raja Bupati, yaitu Raja Patipi ketika Raja Bupati, Ahmad Iba dianggap sebagai penguasa ke 16 kerajaan Patipi.
Ketika saudara kandungnya Raja Usman Iba meninggal, ia menjadi bupati karena anak raja mewariskannya sebagai penerus atau ahli waris (putra raja almarhum) disaat ia masih mempelajari yaitu Raja Muda Atarai Iba. Hal ini tidak diketahui, ketika ahli waris tahta akan dinobatkan sebagai raja baru. Bupati adalah pensiunan pegawai dari departemen perikanan kabupaten Fak Fak.
Sumber: indocropscircle

- See more at: http://mahessa83.blogspot.com/2014/11/misteri-penemuan-tembok-lurus-di-bawah-laut-papua.html#sthash.NO5pgup9.K4Ig84Zz.dpuf


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live