Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Lanjutan BIDAYAH AL-HIKMAH (pasal 8-12)

$
0
0

Pasal 8 : Makna Nafsul Amr (Fact-Itself)

 

Dari pembahasan yang lewat, beberapa permasalahan sudah menjadi jelas:

Pertama : Hakikat wujud (ditinjau dzatnya) memilki ketetapan dan realitas dengan sendirinya, bahkan ia ketetapan dan realitas itu sendiri.

Kedua : Bagi mahiyah-mahiyah   *yang merupakan “sesuatu” jawaban dari pertanyaan kalimat “Apa dia”, kadang ia maujud dengan wujud luar (dan besertanya), dalam hal ini ia (mahiyah) mendapatkan efek-efek luar dan kadang ia maujud dengan wujud dzihni (dan dalam wadah dzihni), dalam hal ini efek-efek luar tidak berdampak darinya (dan hanya mempunyai efek-efek dzihni)*  ketetapan dan realitas mereka  adalah hanya dengan wujud (dengan perantara wujud) dan mahiyah-mahiyah ini secara dzatnya sendiri (ditinjau pada dzat mereka sendiri) tidak mempunyai realitas dan ketetapan, meskipun pada hakikatnya wujud dan mahiyah satu sama lain bersatu di luar (dan tidak lebih dari satu wujud).

Ketiga : Komprehensi-komprehensi (Pemahaman-pemahaman) persefsi mental akal, seperti; komprehensi “wujud”, “wahdah” (unity), “illiyyat” (kausalitas) dan semacamnya, yakni komprehensi-komprehensi yang tidak diperoleh dari luar (yakni sumber perolehan pemahaman-pemahaman tersebut tidak di luar), tetapi akal melakukan semacam aktivitas-aktivitas “dzihni” (mind) (dengan melihat keserupaan-keserupaan dan kemisalan-kemisalan serta membandingkan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan dan kedarurian-kedarurian dzihni lainnya) kemudian akal memperhitungkan pemahaman-pemahaman tersebut bahwa bagi mereka ada satu bentuk ketetapan dan kenyataan dengan perantara misdak-misdak mereka, dimana pemahaman-pemahaman ini menceritakan misdak-misdak itu meskipun pemahaman-pemahan ini pada dasarnya tidak diambil dari misdak-misdak mereka (di luar akal) sebagaimana mahiyah diambil dari individu-individunya sendiri  dan dari batasan misdak-misdaknya sendiri (di luar akal) (yakni pemahaman-pemahaman seperti eksistensi, wahdat dan kausalitas dan semacamnya tidak seperti mahiyah-mahiyah yang di luar merealitas bersama wujud secara implicit dalam individu-individunya dan diambil dari mereka (diambil dari individu-individunya). Bentuk ketetapan universal ini yang meliputi ketetapan eksistensi dan quiditas serta ketetapan pemahaman-pemahaman persefsi mental akal (dalam filsafat)  disebut dengan “nafsul amr”. Yakni “nafsul amr” adalah wadah dimana kesahihan dan kebenaran proposisi-proposisi mendapatkan kei’tibaran (perhitungan) sesuai dengannya dan dalam natijah dikatakan : mafhum ini, begini, begitu dalam “nafsul amr”.

 

Penjelasan tentang tema ini

Proposisi-proposisi dikonsepsi dalam dua jenis model :

Model pertama : Proposisi-proposisi yang subyeknya maujud pada wadah luar, dan hukumnya juga mempunyai hukum luar, contoh model proposisi ini: “al-wajib maujud” (Tuhan ada) dan proposisi : “semua orang di kota sudah keluar” dan proposisi : “manusia tertawa secara potensi” serta proposisi-proposisi semacam ini.

Sahih dan benarnya hukum pada proposisi-proposisi ini ditinjau dari segi kesesuaiannya dengan wujud nyata dan luar (yakni jika kandungan proposisi-proposisi ini mempunyai realitas dalam wadah luar dan sesuai dengan kenyataan dan realitas luar maka proposisi-proposisi tersebut adalah sahih dan benar).

Model kedua : Proposisi-proposisi yang subyeknya ataukah ia hanya dalam pikiran, yakni adalah dzihni dan secara pasti hukumnya juga adalah dzihni, dan ataukah subyeknya adalah di luar akan tetapi digolongkan dengan hukum dzihni.

Contoh untuk bagian pertama : “universal  ataukah ia dzaati (essential) ataukah ia aksidental (accidental)” yakni universal ataukah ia esensial seperti hewan dan natiq bagi manusia ataukah ia aksidental seperti tertawa dan berjalan untuk manusia. Proposisi ini adalah proposisi dzihni, sebab subyeknya dalam bentuk universal hanya ada dalam dzihni dan di luar (akal) sesuatu yang universal tidak dapat merealitas, sebab itu hukum proposisi ini secara pasti juga adalah hukum dzihni.

Contoh untuk bagian kedua :   Proposisi-proposisi yang subyeknya di luar, akan tetapi hukumnya adalah dzihni : “manusia adalah species” (dalam proposisi ini subyeknya adalah manusia dimana ia mempunyai realitas di luar, tetapi hukum kespecisan manusia hanya ada dalam wadah dzihni, sebab kespecisan seperti konsepsi universal hanya merealitas dalam dzihni dan tidak merealitas di luar).

Jadi ukuran benarnya hukum pada dua jenis proposisi ini adalah kesesuaian hukum dengan  dzihni (apakah subyeknya juga seperti hukumnya adalah dzihni, sebagaimana dalam proposisi-proposisi bagian pertama ataukah subyeknya adalah di luar sebagaimana dalam proposisi-proposisi bagian kedua) sebab wilayah dan wadah ketetapan jenis proposisi-proposisi ini adalah hanya  dzihni.

Kebenaran semua proposisi-proposisi ini adalah dengan perantara kesesuaian mereka dengan “nafsul amr”. Oleh sebab itu ketetapan nafsul amr secara mutlak adalah lebih umum dari ketetapan dzihni dan ketetapan luar.

Makna lain dari nafsul amr dan kritik terhadapnya

Selain makna yang telah kami sebutkan, terdapat juga makna lain untuk “nafsul amr” dan makna lain dari “nafsul amr”  itu adalah “akal mujarrad” (akal non materi) yang meliputi seluruh gambaran kategori-kategori (categories) dan ukuran kebenaran proposisi-proposisi dzihni dan luar adalah kesesuaian mereka dengan gambaran-gambaran kategori yang ada disisi akal non materi tersebut.

Makna untuk “nafsul amr” tersebut tidak kosong dari kritik, sebab kita nukil (pindahkan) dan tujukan ungkapan tersebut pada gambarn-gambaran ilmu yang ada di sisi akal mujarrad ini, yang mana gambaran-gambaran ilmiah yang ada di sisi akal mujarrad juga adalah “tashdiqaat”  ( jamaknya tashdiq = pembenaran-pembenaran) yang kebenaran dan kesahihan mereka juga mebutuhkan  ketetapan untuk  kandungan-kandungannya di luar dari gambaran-gambaran ilmiah ini, dan gambaran-gambaran ilmiah ini  sesuai dengan ketetapan itu.

Pasal 9 : “Syaiyyah” (Thingness) “Tusaawiq” (Equal) Al-Wujud

(Kesesuatuan sama dengan keeksistensian)

     “Kesesuatuan” dengan “wujud” adalah sama (dan dari segi makna adalah sama, yakni sesuatu adalah wujud dan wujud adalah sesuatu dan di mana saja ada “wujud” maka “sesuatu” juga memiliki ekstensi serta di mana saja tidak ada “wujud” maka “sesuatu” juga tidak akan ada. Kebalikan dari itu juga demikian yakni di mana saja ada “sesuatu” maka “wujud” juga ada dan di mana saja “sesuatu” tidak ada maka “wujud” juga tidak akan ada. (Jadi pada hakikatnya relasi logika antara keduanya dari empat macam relasi logika yang ada adalah relasi kesamaan). Dan bagi “adam” (non-existence) tidak ada “kesesuatuan”, sebab ‘adam adalah kebatilan murni dan untuknya tidak ada sama sekali ketetapan. Oleh sebab itu “afirmasi”  dan “negasi” adalah menyata dalam makna “wujud” dan “adam” (yakni “afirmasi” sama dengan “wujud” dan “negasi” sama dengan “adam”. Oleh karena itu tidak ada “perantara” diantara “afirmasi dan wujud” dengan “negasi dan adam”).

      Akan tetapi telah dinukil dua pandangan batil dan tidak valid dari mazhab Mu’tazilah :

Pandangan pertama : Bahwasanya afirmasi, dihubungkan dengan wujud, nisbahnya adalah “A’am wa Akhash mutlak” (complete inclusion; dua komprehensi universal dimana satunya lebih umum dan mencakupi individu-individu yang satu lainnya, seperti, nisbah hewan dengan manusia) Jadi ( setiap wujud adalah afirmasi, akan tetapi setiap afirmasi, belum pasti adalah wujud); sebab sebagian dari ma’dum-ma’dum (ketiadaan-ketiadaan) di sisi Mu’tazilah adalah tetap dan itu, adalah ma’dum mumkin (ma’dum yang mungkin mewujud). Dan dalam bentuk ini (menurut akidah kaum Mu’tazilah) negasi, adalah lebih khusus dari ‘adam (non-existence) dan tidak meliputi kecuali ma’dum mumtani’ (mustahil wujud), (akan tetapi ‘adam,  meliputi ma’dum mumkin dan ‘adam lebih umum dari negasi).

Pandangan kedua: Telah dinukil dari sebagian mazhab Mu’tazilah bahwasanya terdapat media (perantara) antara wujud dan ‘adam, media ini desebut “hâll”  (yang dimaksud dari hâll adalah sifat maujud); suatu sifat yang tidak maujud dan tidak ma’dum seperti “Aalimiyyah” (keberilmuan), “Qaadiriyyah” (keberkuasaan) dan “waalidiyyah” (kebapakan) semua ini merupakan sifat abstraksi yang tidak memiliki wujud hadapan dan mandiri (sebagaimana mahiyah dapat diambil langsung darinya). Oleh sebab itu terhadap sifat ini, tidak dapat dikatakan bahwa ia adalah maujud dan dzat maujud disifati dengannya serta tidak dapat juga dikatakan bahwa sifat ini adalah ma’dum (jadi sifat ini adalah perantara antara maujud dan ma’dum, yang dinamakan dengan hall). Adapun afirmasi dan negasi adalah dua perkara yang saling kontradiksi, diantara keduanya tidak terdapat perantara.

     Kedua pandangan ini adalah imajinasi-imajinasi kosong        , absurd dan batil dan tentang kebatilannya cukuplah fitrah yang menghukumi bahwasanya ‘adam adalah batil serta tidak mempunyai kesesuatuan.

 

Pasal 10 : Tidak Ada Perbedaan dan Kausalitas dalam ‘Adam

     Adapun ketiadaan perbedaan (diantara ‘adam-’adam), sebab perbedaan (dalam berbagai bentuk) merupakan cabang dari ketetapan dan kesesuatuan (yakni subyek dari pada perbedaan, adalah ketetapan dan kesesuatuan, sehingga jika tidak terdapat kesesuatuan maka tidak terdapat perbedaan diantara obyek-obyek) serta dalam ‘adam tidak ada ketetapan dan tidak ada juga kesesuatuan (oleh karena itu perbedaan yang merupakan cabangnya ketetapan dan kesesuatuan tidak maujud diantara ‘adam-’adam).

     Tapi ada kemungkinan orang memandang bahwa antara suatu ‘adam dengan ‘adam lain terdapat perbedaan, ini pada hakikatnya hanya dikarenakan oleh ilusi manusia, ia menyandarkan ‘adam kepada “malakah-malakah” (posesi-posesi) dan dari cara ini suatu ‘adam berbeda dengan ‘adam lainnya (dan jenis ‘adam ini disebut sebagai ‘adam “mudhaaf”).

     Seperti ketiadaan melihat dan ketiadaan mendengar (Yakni kedua ketiadaan ini, adalah tidak sama dan menurut konsepsi akal, satu sama lain adalah berbeda dari sisi bahwa melihat bukanlah mendengar dan keduanya ini, merupakan malakah dan wujud serta ‘adam (ketiadaan) dinisbahkan kepada dua malakah ini, adalah penyebab berbedanya kedua ‘adam itu satu sama lain)  dan seperti ketiadaan Zaid dan  ketiadaan Amrun (kedua ketiadaan ini juga disebabkan penisbahannya terhadap individu dari malakah dan wujud, yaitu Zaid dan Amrun sehingga keduanya berbeda satu sama lain).

     Tetapi dalam ketiadaan mutlak (berhadapan dengan ketiadaan mudhaaf yang disebutkan di atas) sama sekali tidak ada perbedaan(dengan dalil bahwa perbedaan dua obyek,  hanya dapat terjadi dalam wujud, sedangkan perbedaan yang juga terdapat dalam ketiadaan, terjadi jika ‘adam dinisbahkan kepada suatu keberadaan malakah. Dan sebab dalam ‘adam mutlak tidak terjadi penisbahan sama sekali terhadap wujud dan malakah, maka juga tidak ada perbedaan padanya.)

     Ungkapan di atas tidak saling menafikan dengan ungkapan para filosof yang mengatakan : “Ketiadaan sebab adalah sebab untuk ketiadaan akibat” (yakni mereka seakan-akan menetapkan kausalitas untuk ketiadaan); sebab ungkapan ini dari sisi pengenalan dan pendekatan dzihni (dalam posisi menjelaskan ketiadaan kausalitas dalam ketiadaan) disebutkan, serta pada dasarnya ini adalah semacam ungkapan majazi. Oleh sebab itu ungkapan seperti ini : “Tidak ada awan maka hasilnya tidak ada hujan” pada hakikatnya bermakna bahwa antara keberadaan awan dan keberadaan hujan,  tidak terjadi kausalitas (yakni kausalitas yang terdapat diantara keberadaan awan dan keberadaan hujan, tidak terjadi di sini).

     Serupa dengan misal tersebut, berlakunya hukum-hukum “proposisi affirmative”   (seperti pempredikasian  dan pengkondisian dan…) dalam “proposisi negative”. Pada dasarnya, negative predication dan negative hypothetical dan semacamnya dalam misal-misal ini, adalah negasi predikat dan negasi syarat (kondisi). (Dalam seluruh hukum-hukum ini, berlaku hukum-hukum affirmative atas negative dalam bentuk majazi dan pada hakikatnya proposisi affirmative yang adalah predikasi dan dalam negative, adalah negasi predikat, akan tetapi secara majazi negative predikasi dimutlakkan juga terhadap proposisi-proposisi negative).

 

 

 

 

Pasal 11 : Ketiadaan Mutlak “laa khabara ‘anhu”      

      Dalil dari ungkapan ini, adalah  bahwasanya ketiadaan mutlak adalah kebatilan murni, yakni tidak ada bentuk dan cara sama sekali “kesesuatuan” bisa bereksis padanya (olehnya tidak ada yang dapat diberitakan dari ketiadaan mutlak; sebab subyek dan predikat dalam suatu qadiyyah, kedua-duanya harus berupa “sesuatu”  sehingga penyandaran dan pempredikasian satu dengan lainnya adalah sahih), jadi yang hanya dapat diberitakan adalah dari sesuatu terhadap sesuatu yang lain (yakni dalam setiap qadiyyah  subyek dan obyek harus merupakan sesuatu dan mempunyai sifat kesesuatuan, sehingga pemberitaan darinya baik secara penegasian maupun secara pengafirmasian adalah sahih dan benar).

Isykal dan Tanggapan :

Ungkapan filosof : “Ketiadaan mutlak tidak diberitakan sesuatu darinya”, proposisi ini sendiri adalah kontra dengan dirinya; sebab qadiyyah ini, pada saat yang sama memberitakan tentang ketiadaan mutlak bahwasanya tidak ada –sesuatu yang dapat– diberitakan darinya.

     Jawaban dari masalah ini dalam pembahasan “wahdah dan katsrah” (kesatuan dan kejamakan) yang segera akan menyusul bahasannya bahwa  terdapat dua model predikat dalam satu qadiyyah :             

  1. “Hamlul awwali as-dzati” yakni suatu qadiyyah yang subyek dan predikatnya dari tinjauan makna dan komprehensi, adalah bersatu, akan tetapi hanya secara i’tibar akal adalah berbeda (sehingga secara i’tibar komprehensi qadiyyah yakni subyek dan predikat serta predikasi antara keduanya memungkinkan dan natijahnya, qadiyyah ini memberikan suatu paedah) seperti qadiyyah ini : “Manusia adalah manusia” (yakni manusia, mempunyai komprehensi dirinya dan dirinya adalah bermakna dirinya serta manusia tidak ada lain kecuali manusia,  sebab itu secara pasti manusia bukanlah sesuatu yang lain).
  2. “Hamlu as- syaayi’ as-shanaai” yakni suatu qadiyyah yang subyek dan predikatnya adalah bersatu dan mempunyai misdak yang satu, akan tetapi memiliki dua komprehensi yang berbeda, seperti ungkapan kita : “Manusia adalah tertawa” (dimana makna dari subyek yakni manusia dan makna dari predikat yakni tertawa menurut konsepsi dzihni adalah berbeda, akan tetapi dalam wadah wujud luar keinsanan dan tertawa adalah keduanya bersatu dan mempunyai misdak yang satu).

(Dengan memperhatikan mukaddimah-mukaddimah ini) maka dalam qadiyyah : “Ketiadaan mutlak adalah ketiadaan mutlak” ditinjau dari sisi hamlul awwali as-dzati, adalah ketiadaan mutlak (yakni ia-nya sendiri mempunyai makna dirinya sendiri dan dari itu tidak dapat diberitakan), akan tetapi ditinjau dari sisi haml as-syaayi’ as-shanaai, ketiadaan mutlak, bukanlah ketiadaan mutlak tetapi ketiadaan mutlak adalah maujud dari maujud-maujud dzihni (mempunyai individu dzihni, yakni terdapat suatu misdak atasnya dalam dzihni) dan dari sisi ini ia dapat diberitakan bahwasanya  “tidak dapat diberitakan darinya” (yakni ketiadaan pemberitaan darinya, dapat diberitakan).

     Oleh karena itu dengan memperhatikan dimensi haml (predikasi) dan perbedaannya, maka tidak terdapat kontradiksi dalam qadiyyah tersebut (dan sanggahan adalah tidak mengena, jadi ketiadaan mutlak dari dimensi ia adalah ketiadaan mutlak dan mempunyai makna dirinya, dari padanya tidak dapat diberitakan dan adapun dari dimensi bahwa dikonsepsi suatu misdak dzihni dari ketiadaan mutlak dalam dzihni, maka dari padanya dapat diberitakan).

     Dengan uraian penjelasan di atas, syubhah dan sanggahan dari beberapa qadiyyah yang secara imajinatif dipandang terdapat kontradiksinya padanya dapat dihilangkan, seperti tiga qadiyyah berikut (dimana terdapat persangkaan kontradiksi padanya) :

  1. “Partikular adalah partikular”, qadiyyah ini, adalah universal; sebab partikular adalah suatu komprehensi yang mempunyai individu-individu banyak di luar. Maka partikular pada hakikatnya adalah universal, bukan partikular (dan secara pasti partikular dengan universal adalah saling kontradiksi).
  2. “Syarikul baari (sekutu Tuhan) adalah mustahil”, qadiyyah ini dari sisi bahwa syarikul baari adalah perkara konsepsi dalam dzihni dan maujud dalam dzihni, serta adalah badihi suatu maujud dalam dzihni merupakan perkara-perkara mumkin, bukan mustahil. Maka syaarikul baari adalah mumkin, bukan mustahil (dan secara pasti mustahil dengan mumkin adalah saling kontradiksi dan tidak dapat saling berkumpul).
  3. “Sesuatu apakah ia tetap dalam dzihni ataukah tidak tetap di dalamnya”, adapun sisi yang dipandang syubhah dan kontradiksi dalam qadiyyah ini, bahwa tidak tetap dalam dzihni, adalah tetap dalam dzihni, sebab ia dikonsepsi dan akal mengkonsepsinya sebagai satu komprehensi dan subyek untuk suatu qadiyyah dalam dzihni. Maka tidak tetap dalam dzihni, adalah tetap dalam dzihni (dan adalah badihi bahwa keduanya ini tidak dapat bergabung dalam satu tempat, sebab itu diantara kedua hal tersebut terjadi kontradiksi).

Bentuk Pembelaan dalam masalah ini :

      Dalam qadiyyah partikular adalah partikular, predikasi partikular terhadap partikular adalah dari sisi hamlul awwli as-dzati (yakni komprehensi), partikular ditinjau dari dimensi maknanya (yang dalam ilmu logika adalah sesuatu yang tercegah asumsi benarnya terhadap banyak) adalah identik (persis sama) dengan partikular (yakni partikular dalam hal ini memiliki maknanya sendiri, sebab itu parameter hamlul awwali as-dzati yang adalah bersatunya subyek dan predikat ditinjau secara komprehensi dan ekstensi dalam qadiyyah ini adalah benar). Dan adapun qadiyyah ini ditinjau secara haml as-syaayi’ as-shanaai (yang parameternya adalah bersatunya subyek dan predikat dalam ekstensi dan berbeda dalam komprehensi) adalah universal (yakni partikular, adalah universal ditinjau dari dimensi bahwa partikular dalam wadah luar mempunyai individu-individu, dan mengasumsikannya  terhadap banyak adalah benar. Maka dalam hal ini ia memiliki ukuran dan   parameter  keuniversalan  yaitu  benar terhadap

-individu-individu- yang banyak).

     Dan adapun dalam qadiyyah syarikul baari adalah mustahil, syrikul baari ditinjau dari sisi bahwa adalah syarikul baari, dan bersatunya komprehensi dan ekstensi diantara keduanya, dan hal ini adalah hamlul awwali as-dzati. Dan adapun dari sisi tinjauan bahwa syarikul baari adalah perkara dikonsepsi, maka ia merupakan makhluk dzihni (dan dalam dzihni dikonsepsi suatu misdak darinya) dan merupakan suatu perkara mumkin, bukan mustahil dan dari sudut tinjauan predikasi ini, adalah haml as-syaayi’ as-shanaai.

      Demikian pula dalam qadiyyah sesuatu apakah ia tetap dalam dzihni ataukah ia tidak tetap dalam dzihni, yakni tidak tetap dalam dzihni, adalah tetap dalam dzihni dan dalam dzihni secara hamlul awwali as-dzati (yakni memiliki komprehensi dirinya dan tidak tetap dalam dzihni dimana subyek ditinjau dari segi ekstensi dan komprehensi adalah identik dengan “tidak tetap” dalam dzihni, yang mana ia  merupakan predikat dalam qadiyyah), akan tetapi “tidak tetap” itu juga yang dalam dzihni, ditinjau dari sisi bahwa ia merupakan individu dzihni yang merupakan perkara dikonsepsi serta individu dzihni ini adalah subyek dari qadiyyah tersebut, ditinjau dari dimensi ini, adalah perkara tetap dalam dzihni dan bentuk predikasinya adalah haml as-syaayi’ as-shanaai.     

 

Pasala 12: Kemustahilan  “I’âdah Ma’dum” (Kembalinya sesuatu yang sebelumnya ada kemudian tiada)  secara obyektivitas

      Para filosof bersepakat bahwa I’aadah ma’dum secara obyektivitas adalah mustahil dan dalam hal ini  sebagian dari ahli teologi mengikuti pandangan dari kaum filosof  tersebut. Tetapi kebanyakan dari mereka (ahli kalam) membolehkan I’aadah ma’dum secara obyektivitas.

      Syekh Rais Bu Ali Sina memandang bahwasanya kemustahilan I’aadah ma’dum itu adalah suatu perkara daruri dan swa-bukti serta satu perkara fitri; sebab fitrah (yang jernih) pasti menghukumi bahwa ma’dum (ketiadaan), tidak mempunyai kesesuatuan, dan kesesuatuan ketiadaan adalah batil. Oleh karena itu ketiadaan tidak mungkin tersifati dengan pengembalian. Dan adapun sekelompok lainnya memandang bahwa ketercegahan dan kemustahilan I’aadah ma’dum secara obyektivitas adalah suatu masalah teoritis dan dapat diargumentasikan serta diistidlalkan. Dan terhadap masalah ini mereka mengkonstruksi bentu-bentuk argumentasi sebagai berikut:

  1. Jika untuk ma’dum adalah boleh dalam satu zaman yang secara obyektivitas kembali pada zaman lain serta mengada, maka hal ini meniscayakan menyelanya ‘adam  antara sesuatu dan dirinya, dan  jelas bahwa masuknya ‘adam di antara sesuatu dan dirinya  adalah mustahil; sebab dalam konteks itu, sesuatu maujud secara obyektevitas dalam dua zaman di mana ‘adam (tidak ada) menyela di antara keduanya.
  2. 2.   Jika kembalinya sesuatu secara obyektifitas sesudah ketiadaannya, adalah boleh (bisa), maka ini meniscayakan pengadaan keserupaan sesuatu dari seluruh segi secara permulaan, dan perkara keniscayaan ini (pengadaan keserupaan sesuatu dari seluruh segi secara permulaan) adalah hal yang mustahil. Adapun penjelasn tentang keniscayaannya (antara kembalinya sesuatu secara obyektivitas setelah ketiadaannya dan kebolehan pengadaan keserupaan sesuatu dari segala dimensi secara permulaan): bahwa sesuatu kembali secara obyektivitas (dirinya sendiri) dan keserupaannya dari segala sisi secara permulaan, kedua-duanya ini adalah sejenis “mitslân” (dua hal atau obyek yang serupa) (dan kaidah ini juga di sisi filosof merupakan suatu perkara niscaya, bahwa: hukum “amtsâl” (keserupaan) pada apa yang boleh (bisa) dan apa yang tidak boleh, adalah satu) yakni “amtsâl” (obyek dan benda yang dari seluruh sisi, adalah serupa)
  3. 3.   Sesungguhnya i’âdah ma’dum mengharuskan keberadaan yang dikembalikan adalah maujud yang mubtada (permulaan); dan itu adalah mustahil, karena meniscayakan revolusi esensial dan khulf (self-contradiction) dalm asumsi. Penjelasan kemestiannya: sesungguhnya i’âdah ma’dum itu sendiri memestikan bahwa maujud permulaan itu yang dikembalikan dalam dzat dan seluruh kekhususan-kekhususannya, hatta zaman dn ini bermakna bahwa apa yang dikembalikan itu juga maujud permulaan (bukan yang ia dikembalikan) dan ini adalah suatu revolusi esensial atau khulf dalam asumsi (menyalahi asumsi).
  4. 4.   Sekiranya boleh i’âdah ma’dum maka tidak ada bilangan pengembalian sampai batas tertentu yang berhenti atasnya, karena tidak ada perbedaan antara pengembalian awal, kedua, ketiga dan seterusnya hingga tak terbatas, sebagaimana tidak ada perbedaan yang dikembalikan dengan yang permulaan, dan ketentuan bilangan merupakan kemestian wujud dari sesuatu yang memiliki kekhususan.

Argumen Ahli Teolog Dalam Kebolehan I’âdah Ma’dum dan Penolakan Atasnya

       Orang-orang yang membolehkannya berdalil; bahwasanya jika tercegah i’âdah ma’dum, maka apakah karena mahiyahnya, atau karena kelaziman mahiyahnya, dan kalau karena itu maka ia tidak akan mewujud pada permulaan, dan itu adalah jelas (karena ia maujud), ataukah karena aksiden mufaariq (seperable accident); maka hilanglah yang mencegahnya ketika hilang aksiden ini (aksiden mufariq seperti air dengan panas, ketika panas hilang maka hilanglah sifat panas yang ada pada air).

      Dalil ini tertolak, sebab ketercegahan karena perkara kemestian, akan tetapi karena wujudnya dan huwiyyahnya, bukan karena mahiyahnya, sebagaimana penjelasan dari hujah-hujah yang diutarakan sebelumnya.

      Adapun hal yng melandasi mereka membolehkan i’âdah ma’dum karena persangkaan mereka bahwasanya maad (eskatelogi), berkenaan tentang apa yang diungkapkan oleh syari’at yang hak, adalah sebagaimana i’âdah ma’dum.

     Dan penolakan terhadap anggapan itu dikarenakan bahwasanya kematian itu adalah sejenis penyempurnaan, bukan peniadaan dan penghilangan.

   

                                             



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300