Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Lanjutan BIDAYAH AL-HIKMAH (pasal 4-7)

$
0
0

Pasal 4 : Asalah Wujud dan I’tibariyyah Mahiyyah

               (The Principality of Existence and 

               Quididities Being Mentally – Posited)

               (Prinsipilitas Eksistensi dan Persepsi Mental Mahiyah)

 

Kita dalam konteks ini tidak ragu bahwa terdapat perkara-perkara riil dan mempunyai efek-efek riil, serta bukan hanya imajinasi kosong. Kemudian kita abstraksikan dari setiap hal yang disaksikan – dalam kenyataan ia satu di luar – dalam bentuk dua mafhum (comprehension), yakni wujud dan mahiyah, di mana keduanya berbeda satu sama lain secara pengertian, meskipun secara misdak (extension) adalah satu. Seperti manusia yang ada di alam luar, kita abstraksikan dalam bentuk dua mafhum, yaitu mafhum manusia dan maujud.

 

Dalam konteks ini filosof berbeda tentang ke-asalah-an (keprinsipilan/principality) dari kedua mafhum tersebut. Para filosof peripatetik berpendapat bahwa wujud yang asalah, sedangkan para filosof iluminasi – sebagaimana yang dinukil – mereka berpandangan mahiyah yang asalah. Tetapi yang pasti tidak seorangpun dari filosof yang berpendapat bahwa keduanya asalah, sebab jika keduanya asalah maka melazimkan sesuatu yang  satu adalah dua, dan ini menyalahi (hukum akal) secara daruri. Dan yang benar menurut keyakinan kami pandangan filosof peripatetik, yakni asalah adalah wujud.

  • Makna Asalah Wujud dan I’tibariyyah Mahiyah: Makna dari asalah wujud  yakni wujudlah yang membentuk teks nyata di luar dan secara hakikat mempunyai keberadaan di luar, serta merupakan sumber efek di alam luar akal. Dan makna dari i’tibariyyah mahiyah adalah mahiyah hanyalah batasan dari wujud dan  suatu model dzihni, di mana hal yang rill di luar tergambar di dalam dzihni. Oleh sebab itu keberadaan mahiyah hanyalah keberadaan majazi, dan dengan mengikut pada wujud ia mendapat realitas.

 

Dalil pertama: Mahiyah sebagaimana ia, bukan ia kecuali ia (yakni mahiyah ditinjau dari dzatnya bukan sesuatu yang lain kecuali ia –dirinya- sendiri), dan nisbahnya terhadap wujud dan adam adalah sama. Maka sekiranya mahiyah keluar dari kondisi terebut dan mendapatkan posisi wujud – dimana dalam hal ini muncul efek-efek dari mahiyah – tidak dengan perantaraan wujud, maka terjadi “inqilab” (revolusi = yakni    sesuatu menjadi sesuatu lain tanpa ada perubahan penambahan atau pengurangan yang terjadi) pada dzat mahiyah, sedangkan  revolusi dalam dzat adalah suatu hal mustahil secara daruri. Oleh sebab itu wujudlah yang mengeluarkan mahiyah dari posisi relasi sama terhadap wujud dan adam, karena itu wujudlah yang asalah. Dan adapun pandangan bahwa mahiyah (esensi-quiditas) dengan mendapatkan relasi dan hubungan pada “khaliq”, ia keluar dari batas kesamaan dan mencapai tataran asalah, serta berdampak efek-efek darinya, pandangan tersebut tidakdapat diterima. Sebab jika keadaan mahiyah sesudah berelasi dengan “khaliq” mendapatkan perubahan (dan mahiyah mendapatkan suatu hal yang sebelumnya ia tak miliki), dalam bentuk ini penyebab perbedaan kondisi mahiyah pada dasarnya adalah wujud asil (asalah), meskipun dinamakan dengan berelasi pada “khaliq”. Dan jika tidak tedapat perbedaan (keadaan mahiyah)  dan dengan sendirinya mahiyah disipatkan (dipredikatkan) dengan wujud dan sumber efek, maka ini adalah revolusi dalam dzat yang sebagaimana telah disebutkan kemustahilannya adalah daruri.

 

Dalil kedua : Mahiyah adalah sumber kejamakan dan perbedaan, jadi jika mahiyah yang asalah dan wujud yang i’tibari, maka selamanya tidak akan terjadi “wahdat hakiki” (kesatuan hakiki) dan tidak akan pernah terjadi penyatuan antara dua mahiyah, dan hasilnya tidak terjadi “haml” (predication, attribution) sebagai penyatu dalam wujud (penyatu antara wujud subyek dan wujud predikat), padahal terjadinya “haml”adalah suatu perkara daruri dan tak mungkin diingkari. Oleh sebab itu wujudlah yang asalah dan maujud secara dzat, sedangkan mahiyah maujud (disipatkan dengan wujud) dengan perantara wujud.

Dalil ketiga : Mahiyah mendapatkan wujud luar maka muncullah darinya efek-efek, dan  mahiyah itu juga  mendapatkan wujud dzihni –dimana dalam bentuk ini- tidak berdampak darinya efek-efek. Maka sekiranya bukan wujud yang asalah, dan mahiyah yang asalah, dan   mahiyah terjaga dalam dua wujud, yakni ia (mahiyah) tidak berbeda antara ia ada di luar dan ada di dzihni, sebab “taali”(consequent) dari “qadiyyah syartiyyah” (hypothetical proposition) adalah batil, maka “muqaddam”nya (antecedent) juga batil.

Dalil keempat : Jika dzat mahiyah kita tinjau, maka nisbahnya terhadap “taqaddum”(anteriority) dan “taakhhur”(posteriority), intensitas kuat dan lemah, potensi dan aktual adalah sama; akan tetapi perkara-perkara maujud di luar dalam sipat-sipat ini  adalah berbeda, yakni sebagian dari mereka “mutaqaddim”  atau mempunyai instensitas kuat seperti “illat” (sebab) dan sebagiannya lagi kebalikan dari itu seperti “ma’lul” (akibat), dan sebagian lagi dari mereka adalah potensi dan sebagiannya lagi adalah aktual. Maka sekiranya bukan wujud yang asalah, maka perbedaan sipat-sipat ini mustanad (disandarkan) pada mahiyah, padahal ia mahiyah nisbahnya pada semua sipat tersebut adalah sama, dan ini menyalahi logika akal.

Disamping dalil-dalil tersebut di atas juga terdapat dalil-dalil lain yang  disebutkan secara panjang lebar di kitab lain.

 

Dalil dan argumen pengikut asalah mahiyah

Disebutkan: Jika wujud yang asalah, maka sesuai dengan keniscayaan ke-asalahan-nya, ia harus maujud di luar, maka maujud tersebut baginya wujud (memiliki wujud), dan wujud kedua ini juga sebab ia asalah maka ia maujud dan baginya lagi wujud (wujud ketiga), dan hal ini berlanjut serta tasalsul, sedangkan tasalsul adalah suatu perkara mustahil.

Dalam menjawab argumen tesebut di atas dikatakan: Wujud, adalah maujud, tetapi dengan dzatnya sendiri, tidak dengan perantara wujud lain, sebab itu tidak terjadi tasalsul.

Dari penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah juga lemahnya pandangan lain dalam masalah ini, yang dinisbahkan pada muhakkik Dawwani, yakni asalah wujud pada wajib (Tuhan) dan asalah mahiyah pada mumkin (makhluk). Berdasarkan pandangan tersebut, pemutlakan maujud pada wajib mempunyai makna bahwa Ia (wajib) adalah wujud itu sendiri, tetapi pemutlakan maujud pada mahiyah mempunyai makna bahwa terelasikannya mereka (mahiyah-mahiyah) pada wujud, seperti “laabin” yang mempunyai makna terelasikan pada “laban”(susu) dan “taamir” yng memiliki makna terelasikan pada “tamr” (kurma).

Tetapi dengan berdasarkan asalah wujud yang merupakan pandangan pilihan kami, maka wujud adalah maujud secara dzat dan mahiyah adalah maujud secara “aradh” (aksiden).

 

Dalil dan argumen pengikut asalah mahiyah

Disebutkan: Jika wujud yang asalah, maka sesuai dengan keniscayaan ke-asalahan-nya, ia harus maujud di luar, maka maujud tersebut baginya wujud (memiliki wujud), dan wujud kedua ini juga sebab ia asalah maka ia maujud dan baginya lagi wujud (wujud ketiga), dan hal ini berlanjut serta tasalsul, sedangkan tasalsul adalah suatu perkara mustahil.

Dalam menjawab argumen tesebut di atas dikatakan: Wujud, adalah maujud, tetapi dengan dzatnya sendiri, tidak dengan perantara wujud lain, sebab itu tidak terjadi tasalsul.

Dari penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah juga lemahnya pandangan lain dalam masalah ini, yang dinisbahkan pada muhakkik Dawwani, yakni asalah wujud pada wajib (Tuhan) dan asalah mahiyah pada mumkin (makhluk). Berdasarkan pandangan tersebut, pemutlakan maujud pada wajib mempunyai makna bahwa Ia (wajib) adalah wujud itu sendiri, tetapi pemutlakan maujud pada mahiyah mempunyai makna bahwa terelasikannya mereka (mahiyah-mahiyah) pada wujud, seperti “laabin” yang mempunyai makna terelasikan pada “laban”(susu) dan “taamir” yang memiliki makna terelasikan pada “tamr” (kurma).

Tetapi dengan berdasarkan asalah wujud yang merupakan pandangan pilihan kami, maka wujud adalah maujud secara dzat dan mahiyah adalah maujud secara “aradh” (aksiden).

 

Pasal 5 : Hakikat Wujud adalah Satu dan Bergradasi

 

Diantara pengikut asalah wujud terdapat perbedaan pandangan; sebagian diantara mereka berpandangan bahwa hakikat wujud adalah satu dan bergradasi –pandangan ini dinisbahkan pada Fahlawiyyun, filosof bangsa Persia-. Maka wujud menurut mereka; sebagaimana ia (wujud) “zahir” (manifest) dengan dzatnya, ia juga “muzhir” (penerang) pada lainnya dari mahiyah. Dan ini seperti halnya cahaya hissi, dimana ia (cahaya hissi) zahir dengan dzatnya dan muzhir pada lainnya dari jisim-jisim “katsifah”  bagi indra penglihatan. Oleh sebab itu sebagaimana cahaya hissi jenisnya hanya satu, yakni hakikatnya adalah zahir dengan dzatnya dan muzhir pada lainnya –dan makna ini terjadi pada semua tingkatan-tingkatan pancaran cahaya dan bayangan, yang terdiri atas banyak tingkatan serta mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, maka cahaya kuat, kuat dalam kecahayaannya dimana cahaya lemah berserikat dengannya dalam kecahayaan, dan cahaya lemah, lemah dalam kecahayaannya dimana cahaya kuat berserikat juga dalam kecahayaan, sebab itu kuatnya cahaya dalam cahaya kuat bukan pembentuk (pendiri) pada kecahayaan sehingga cahaya lemah keluar dari cahaya (hakikat cahaya), dan bukan juga (kuatnya cahaya dalam cahaya kuat) semacam aradh (aksiden) berada di luar dari hakikat cahaya, dan juga lemahnya cahaya pada cahaya lemah bukan suatu penghalang kebenaran kecahayaan (pada cahaya lemah), serta tidak juga cahaya lemah tersusun dari cahaya dan gelap, sebab gelap adalah suatu perkara “adamiy” (ketiadaan), oleh sebab itu kuatnya cahaya berada pada asli kecahayaan dan demikian juga lemahnya cahaya berada pada asli kecahayaan-.

Maka cahaya mempunyai medan yang luas ditinjau dari tingkatan yang berbeda-beda secara intensitas kuat dan intensitas lemah, serta masing-masing tingkatan juga mempunyai medan yang luas ditinjau dari daya terima yang berbeda-beda dari jisim-jisim “katsiifah”. Demikian juga wujud, hakikatnya satu dan memiliki tingkatan yang bermacam-macam dan berbeda-beda secara intensitas kuat dan intensitas lemah, “taqaddum” (anteriority) dan “ta akhhur” (posteriority), dan selain dari itu, maka apa yang dengannya berbeda kembali pada apa yang dengannya berserikat, dan apa yang dengannya beragam kembali pada apa yang dengannya bersatu; sebab itu kekhususan sesuatu dari tingkatan-tingkatan bukanlah bagian   penegak (pendiri)  wujud -karena kesederhanaan wujud– sebagaimana akan dibahas berikutnya- dan bukan pula perkara diluar dari wujud, sebab asalah wujud membatilkan apa selainnya diluar dirinya; bahkan kekhususan pada setiap tingkatan adalah pendiri  tingkatan itu sendiri –yakni kekhususan setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan wujud, tidak keluar dari tingkatan itu sendiri-

Multiplisitas Vertikal dan Multiplisitas Horizontal Wujud     

(Dengan tinjauan pembahasan topik di atas) Hakikat wujud memiliki multiplisitas vertikal, dan multiplisitas ini berdasarkan tinjauan tingkatan yang berbeda-beda,  diambil dari intensitas paling lemah tingkatan, yang padanya tidak ada keaktualan kecuali ketidak aktualan, dan (ia) adalah materi pertama yang realitasnya berada pada horizon adam, kemudian tingkatan-tingkatan beranjak naik sampai berakhir pada tingkatan wajib karena dzatnya, dan (ia) tidak mempunyai batas kecuali ketidak terbatasan.

Dan hakikat wujud juga memiliki multiplisitas horizontal ditinjau dari kekhususannya dengan quiditas yang bermacam-macam, dimana quiditas merupakan sumber dari multiplisitas.

 

Keyakinan Filosof Peripatetik tentang Hakikat Wujud   

Segolongan dari filosof peripatetik berkeyakinan bahwa hakikat-hakikat wujud satu sama lain  bertentangan dengan seluruh dzat-dzatnya; Adapun bahwa wujud-wujud, hakikat-hakikat mereka saling berlawanan disebabkan   perbedaan efek-efek yang terdapat pada mereka (wujud-wujud); Dan adapun bahwa hakikat-hakikat ini berlawanan dengan seluruh dzat diantara wujud-wujud, dikarenakan kesederhanaan  mereka (yakni mereka tidak mempunyai bagian, baik itu di dalam akal mupun di luar akal, baik itu genus maupun different, sebab genus dan different berhubungan dengan quiditas, bukan dengan wujud). Oleh sebab itu mafhum wujud   yang dipredikatkan pada hakikat-hakikat wujud adalah suatu perkara aksidensi  di luar dari hakikat-hakikat wujud, dan  merupakan keniscayaan dari hakikat-hakikat tersebut.

Namun yang benar dalam masalah ini adalah hakikat wujud satu dan bergradasi. Adapun bahwa hakikat wujud adalah satu, dikarenakan jika hakikat wujud tidak satu, maka niscaya hakikatnya adalah berbeda-beda dan berlawanan dengan seluruh dzat-dzat; dan keniscayaan dari ini, yakni mafhum wujud –  yang memiliki mafhum hanya satu (sebagaimana pembahasan terdahulu)- diperoleh dari ekstensi-ekstensi yang berlawanan sebagaimana ia berlawanan; dan ini adalah mustahil, sebab pada dasarnya mafhum dan misdak itu adalah satu secara dzat, dan adapun yang membedakan keduanya adalah keberadaan wujudnya “dzihniyyan” (di dalam akal) atau di luar akal. Oleh sebab itu sekiranya diperoleh satu sebagaimana ia satu dari banyak sebagaimana ia banyak, maka satu sebagaimana ia satu adalah banyak sebagaimana ia banyak; dan ini  adalah mustahil.

Dan juga sekiranya diperoleh mafhum satu sebagaimana ia satu dari misdak banyak sebagaimana ia banyak, maka;

  1. Atau  kebenaran mafhum satu diperhitungkan pada kekhususan misdak ini, dimana dalam bentuk ini  jelas bahwa mafhum tersebut tidak akan benar pada kekhususan misdak-misdak  lain.
  2. Jika kebenarn mafhum atas satu misdak, dan keberadaan kekhususan misdak-misdak lain diperhitungkan,   jelas bahwa mafhum ini dengan kekhususan misdak-misdak  lain  tidak  benar atas misdak ini.
  3. Sekarang jika kita asumsikan dalam kebenaran mafhum wujud atas satu misdak yang mana diperhitungkan masing-masing dua kekhususan (yakni kekhususan misdak ini dan kekhususan misdak lain) secara bersama, dalam model ini adalah tabi’i bahwa mafhum  satu tidak akan benar atas satupun dari dua misdak tersebut.
  4. Dan sekarang apabila tidak ada yang diperhitungkan yang mana dari dua kekhususan ini (yakni kekhususan misdak ini dan kekhususan misdak lain) dalam kebenaran mafhum atas misdak ini, akan tetapi mafhum  satu diperoleh dari kadar yang sama antara dua kekhususan (dalam dua misdak), dalam model ini adalah badihi bahwa mafhum  satu tidak diambil dari banyak sebagaimana ia banyak, tetapi diperoleh dari sebagaimana ia satu, seperti “kulli” (universal)  diperoleh dari sisi kesamaan antara anggota-anggota dan bagi seluruh anggota adalah benar, dan kondisi ini juga menyalahi asumsi.

(Sampai konteks ini penetapan bahwasanya hakikat wujud mempunyai satu hakikat) Adapun penetapan sisi bahwa hakikat wujud mempunyai tingkatan berbeda-beda, yakni memiliki gradasi, sebagaimana yang disaksikan (dalam alam ciptaan) pada hakikat wujud terdapat kesempurnaan-kesempurnaan yang berbeda-beda secara hakiki, yamg mana nisbah (relasi) diantara mereka terdapat sipat-sipat yang saling mengungguli (seperti “taqaddum” (anteriority) dan “ta’akhhur” (posteriority), “nuqshaan” (kekurangan) dan “ziyaadi” (kelebihan), intensitas kuat dan intensitas lemah, potensi dan aktual…), dan kita mengetahui bahwa sipat-sipat saling mengungguli ini tidak keluar dari  hakikat wujud yang satu, sebab jika keluar dari hakikat wujud pasti semuanya adalah batil dan absurd, karena asalah dan realitas hanya terbatas pada wujud, dan di luar dari wujud tidak ada lagi yang asalah. Oleh sebab itu hakikat wujud  hakikat satu yang ditinjau secara dzatnya (dalam dzatnya) adalah multiplisitas, dalam bentuk apa yang dengannya berbeda dalam hakikat maujud-maujud dan misdak-misdak (yakni kekhususan dan batasan setiap maujud) kembali pada apa yang dengannya berserikat (yakni asli wujud), serta sebaliknya, dan kami menyebut ini adalah hakikat dan realitas bergradasi.

 

Pasal 6 : Apa yang Dengannya Wujud mendapatkan partikularisasi

Partikularisasi wujud (yakni  spesifikasi-spesifikasi yang menyertai hakikat wujud , dan hakikat wujud mendapatkan kekhususan dengan perantaraannya menjadi “maujud Khaash” (maujud partikular) serta dengan itu wujud mendapatkan efek-efek khusus) dihasilkan lewat tiga bentuk:

  1. Partikularisasi hakikat satu wujud  asalah adalah lewat dzatnya sendiri dan berdiri dengan dzatnya;
  2. Partikularisasi hakikat wujud lewat kekhususan-kekhususan tingkatannya tidak keluar dari tingkatan-tingkatan maujud itu sendiri;
  3. Partikularisasi wujud  lewat nisbahnya pada quiditas-quiditas yang berbeda-beda  dzat dan “urudh” (occurrence) wujud pada mahiyah (yakni wujud  menjadi predikat bagi mahiyah yang berbeda-beda di dalam akal, seperti; manusia ada, pohon ada, hewan ada dsb.)  , maka wujud menjadi berbeda-beda lewat perbedaan mahiyah-mahiyah secara aksiden.

Dan “urudh”nya wujud pada mahiyah (dalam akal) serta “tsubut”nya (tetap) wujud terhadap mahiyah, tidak seperti urudh katagori ( yang termasuk katagori adalah aksiden-aksiden seperti; kuantitas, kualitas,posisi dsb…), dimana pada urudh katagori (seperti urudhnya kuantity pada jisim dalam katagori kuantitas, dan seperti urudhnya ilmu pada jiwa manusia, yang mana dalam hal ini masuk dalam katagori kuality)  tetapnya “aaridh” (an occuring = accident = aksiden yang terjadi atas sesuatu) bergantung atas tetapnya “ma’rudh”(sesuatu yang atasnya terjadi aksiden) sebelumnya (sebelum aaridh). (Akan tetapi urudhnya wujud pada mahiyah dalam akal tidak seperti ini) Sebab hakikat tetapnya wujud bagi mahiyah adalah tetapnya mahiyah dengan wujud itu sendiri, karena ini adalah keniscayaan dari keasalahan (keprinsipilan) wujud dan kei’tibaran (kepersefsian mental) mahiyah. Dan adapun hal tersebut dapat terjadi (urudhnya wujud atas mahiyah) disebabkan “uns”nya(senang) akal pada mahiyah sehingga akal mengasumsikan mahiyah sebagai subyek, dan akal mempredikatkan wujud pada mahiyah, dimana pada hakikatnya ini adalah kebalikan “haml” (predication).

Oleh sebab itu dari sisi ini, “isykal” (sanggahan) yang terkenal atas predikatnya wujud atas mahiyah menjadi tertolak. Adapun isykal tersebut adalah “kaidah far’iyyah” (the principle of presupposition) yakni tetapnya sesuatu (seperti warna putih) untuk sesuatu (seperti jisim), cabang tetapnya yang ditetapkan baginya   (yakni mahiyah yang berlaku subyek, yang dalam hal ini adalah jisim), mengharuskan ketetapan bagi yang ditetapkan baginya  sebelum tetapnya sesuatu lain (sesuatu yang menjadi penetap) atasnya. Maka berdasar kaidah far’iyyah tersebut; tetapnya wujud untuk mahiyah bergantung atas tetapnya mahiyah sebelumnya; sebab itu jika tetapnya mahiyah adalah tetapnya wujud untuk mahiyah itu sendiri, ini meniscayakan dahulunya sesuatu atas dirinya ( yakni wujud sebelum ia maujud, ia adalah wujud dan ini adalah dahulunya sesuatu atas dirinya, dan ini adalah mustahil untuk akal);  dan jika tetapnya mahiyah adalah bukan tetapnya wujud atas mahiyah, ini meniscayakan tetapnya wujud atas mahiyah bergantung pada tetapnya suatu yang lain untuk mahiyah, dan tetapnya ini juga bergantung atas tetapnya suatu yang lain, dan hal ini berlanjut seterusnya sehingga terjadi tasalsul ( dan tasalsul juga adalah batil, maka tetapnya wujud atas mahiyah tidak bergantung atas tetapnya suatu yang lain atas mahiyah, dan natijahnya tetapnya mahiyah tidak bisa juga selain tetapnya wujud atas mahiyah ).

 

Menolak isykal terkenal  dan munculnya pandangan yang berbeda-beda

Penolakan  isykal; dalam menolak isykal tersebut di atas (kaidah far’iyyah), terpaksa sebagian  filosof mempunyai keyakinan dan pandangan yang berbed-beda dalam hal ini; seperti sebagian dari filosof terpaksa berpandangan bahwa kaidah far’iyyah dalam masalah tetapnya wujud dan predikasinya wujud atas mahiyah mengalami pengkhususan, yakni kaidah far’iyyah dalam masalah tetapnya wujud atas mahiyah tidak mesti diberlakukan (yakni sebelum tetapnya wujud atas mahiyah tidak mesti mahiyah sebelumnya tetap sehingga isykal tersebut mengarah padanya).

Bentuk lain penolakan  isykal tersebut; sebagian  lain dari filosof  berkeyakinan bahwa terpaksa kaidah far’iyyah diganti dengan “istilzaam” (requiring) dan mereka mengatakan, yang benar adalah bahwa tetapnya sesuatu atas sesuatu yang lain memestikan tetapnya yang ditetapkan baginya  (yakni subyek dan mahiyah) sebelum dari itu, meskipun tetapnya yang ditetapkan baginya mengambil model dengan perantara perkara tetap itu sendiri. Dan natijahnya, tetapnya wujud untuk mahiyah, adalah kemestian tetapnya mahiyah dengan wujud itu sendiri dan dengan bentuk ini maka isykal lain kebergantungan dan keterdahuluan (dan selain itu) tidak seharusnya.

Sebagian lain dari filosof; mereka untuk menolak isykal tersebut terpaksa berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini bahwa secara asas untuk wujud, tidak ada ketetapan, tidak dalam akal dan tidak di luar dan untuk maujud hanya makna “basiith” (simpel dan sederhana) yang didalam bahasa Persia disebut dengan “hast” (ada) dan derivasi “maujud” dari “wujud”, adalah suatu perkara bentuk dan zahir. Oleh karena itu, untuk wujud tidak ada ketetapan, sehingga membuat predikasinya atas mahiyah bergantung atas tetapnya mahiyah.

Dan juga sebagian lagi dari filosof dalam posisi menolak isykal ini; mereka terpaksa mempunyai pemikiran dan keyakinan bahwa untuk wujud dalam maqam tetapnya wujud atas mahiyah, tidak terdapat sesuatu selain makna mutlak yang merupakan makna universal  wujud itu juga dan bagian-bagian yang beragam  makna ini yang muncul dikarenakan pengaruh dari “idhafah dan taqyiid” (penyandaran dan pengkaitan) makna universal wujud terhadap mahiyah-mahiyah yang berbeda-beda, dimana “taqyiid”  di dalam sedangkan “qaid” (kait)  di luar dari itu. Adapun “fard” (individu)  yakni keseluruhan dari “muqayyad” (dikaitkan), “taqyiid” dan”qaid” tidak ada baginya ketetapan.

Dan  jawaban-jawaban tersebut di atas disamping semuanya adalah batil juga tidak berpaedah.

Jawaban yang benar terhadap isykal (sanggahan atau kritik) tersebut adalah apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaidah far’iyyah hanya berlaku bagi tetapnya sesuatu atas sesuatu yang lain, bukan dalam tetapnya sesuatu. Dengan ungkapan lain, tempat berlakunya kaidah far’iyyah adalah “haliyyah murakkabah” (yakni  tetapnya sesuatu atas yang lain), bukan dalam “haliyyah basiithah” (yakni tetapnya sesuatu), dan yang menjadi pembahasan adalah tetapnya sesuatu (yakni tetapnya wujud untuk mahiyah, yakni “haliyyah basiithah” seperti tetapnya wujud untuk manusia, bukan “haliyyah murakkabah” yang merupakan tempat berlakunya kaidah far’iyyah, seperti tetapnya warna putih untuk  jisim salju).

 

Pasal 7 : Hukum-hukum Negasi Wujud

Poin pertama : (Diantara hukum-hukum yang dinegasikan dari wujud dan wujud tidak mempunyai itu) bahwa tidak ada sesuatu  di luar dari orbit wujud (berhadapan dengan wujud), sebab pembatasan asalah pada hakikat wujud memestikan bahwa apa saja yang diasumsikan selain wujud adalah batil dan asing darinya, dan kebatilan ini adalah kebatilan dzat (yakni secara dzat tidak mungkin ada sesuatu seperti itu dan tidak mungkin ada kejadian sesuatu di luar dari orbit wujud, karena itu selain wujud semuanya batil dan absurd).  

Poin kedua : Bahwa  tidak ada kedua bagi wujud, sebab asalah bagi wujud dan kebatilan apa saja yang diasumsikan selain wujud,  menegasikan apa saja yang bercampur dengan wujud dan masuk di dalam wujud atau disambungkan kepadanya. Maka itu hakikat wujud, dengan dzatnya sendiri adalah murni wujud dan kemurnian sesuatu, tidak menerima penduaan dan tidak menerima pengulangan (repetisi). Oleh karena itu apa saja yang diasumsikan kedua untuk hakikat wujud, pada hakikatnya kembali pada wujud awal itu juga dan jika bukan sesuatu yang awal itu juga, maka niscaya terdapat suatu perbedaan  selain dari wujud antara yang kedua dengan yang awal, apakah sesuatu ini (yang membuat berbeda) masuk dalam wujud (dan merupakan perkara dzat) ataukah sesuatu di luar darinya (dan merupakan suatu perkara aksiden), padahal asumsi adalah tidak ada sesuatu selain dari wujud (apakah sesuatu itu  di dalam wujud ataukah di luar darinya). Ini adalah self-contradiction.

Poin ketiga : Wujud, adalah bukan substansi dan bukan aksiden.

Adapun bahwa wujud adalah bukan substansi, sebab substansi adalah quiditas yang ketika ia maujud di luar tidak butuh pada  “maudhu’” (subject; substratum) sedangkan wujud secara prinsip tidak “sinkhiyyat” (sharing the same root; cognation) dengan quiditas (oleh sebab itu wujud adalah bukan substansi, sebab substansi dari sinkhiyyat quiditas).

Dan adapun bahwa wujud adalah bukan aksiden, sebab wujud aksiden  berdiri (tegak)  pada subyeknya (yakni butuh pada subyek) sedangkan tegaknya wujud pada dzatnya sendiri dan segala sesuatu adalah  tegak dengan wujud.

Poin keempat : Wujud, adalah sama sekali bukan bagian sesuatu, sebab jika wujud adalah bagian sesuatu maka terdapat  yang lain yang diasumsikan selain dari wujud, sedangkan kita telah buktikan sebelumnya bahwa tidak ada yang lain selain wujud.

Dan adapun yang dikatakan bahwa setiap “mumkin” (possible) adalah  terangkap dari quiditas dan eksistensi; yakni setiap “mumkin” mempunyai dua bagian, tersusun dari quiditas dan eksistensi, adalah suatu perkiraan akal untuk menjelaskan keniscayaan antara wujud kontingen dan quiditasnya, tidak untuk menjelaskan bahwa “mumkin” adalah tersusun dari dua bagian asli (dimana yang satunya adalah eksistensi dan yang lainnya adalah quiditas).

Poin kelima : Wujud tidak mempunyai bagian (yakni wujud adalah sederhana ) sebab jika wujud mempunyai bagian maka bagian ini; apakah ia merupakan bagian akli seperti genus dan pembeda dan atau merupakan bagian luar seperti materi dan form dan atau merupakan bagian kuantitas (yakni wujud mempunyai kuantitas) seperti garis, permukaan dan “jismul ta’liimi” (mathematical body). Dan adalah daruri bahwa wujud sama sekali tidak mempunyai jenis-jenis bagian seperti yang disebutkan di atas.

Adapun bahwa wujud tidak mempunyai bagian akli; sebab jika untuk wujud terdapat genus atau pembeda maka tidak keluar dari dua bentuk ini; apakah genusnya adalah sejenis wujud, maka dalam bentuk ini, pembeda sebagai pembagi genus ini (yakni wujud) adalah penegak genus itu, sebab pembeda dinisbahkan kepada genus adalah “muhashshil” (actualizer), yakni menyampaikan keaktualan dzat genus, bukan asli dzat genus, padahal sebagaimana kita ketahui tidak ada sesuatu yang lain sebagai “muhashshil” wujud kecuali dzat wujud  dan ini adalah menyalahi asumsi kita.

Genus  bukanlah wujud dan adalah badihi bahwa kecuali wujud (dan di luar dari orbit wujud) tidak ada sesuatu, adapun bahwa wujud tidak mempunyai bagian luar, yakni materi dan form, sebab materi dan form  adalah genus dan pembeda itu sendiri, tetapi ditinjau dengan

” bi syarthi laa”  (negatively-conditioned) (jadi dalam istilah falsafah, genus adalah materi itu sendiri, tetapi “laa bi syarthi” <non-conditioned> dan materi adalah juga genus itu sendiri, tetapi “bi syarthi laa” dan pembeda adalah form itu sendiri, tetapi “laa bi syarthi” dan form adalah juga pembeda itu sendiri, tetapi “bi syarthi laa”.

Dan sebab kami telah jelaskan bahwa wujud, tidak mempunyai genus dan pembeda maka ini dengan sendirinya meniscayakan bahwa wujud, tidak mempunyai juga materi dan form.

Adapun bahwa wujud tidak mempunyai bagian kuantitas, sebab  kuantitas adalah aksiden-aksiden jisim dan jisim tersusun dari materi dan form, dan dikarenakan bahwa wujud tidak mempunyai meteri dan juga tidak mempunyai form maka wujud bukanlah jisim, dan sebab wujud bukan jisim maka tidak mempunyai kuantitas.

Dari pembahasan tersebut di atas maka menjadi jelas bahwa wujud juga tidak mempunyai species, sebab keaktualan species (merealitasnya species) adalah dengan perantara partikularisasi individu dan adalah badihi bahwa keaktualan wujud, tidak dengan perantara partikularisasi individu, tetapi wujud mendapatkan keaktualan dengan  dzatnya sendiri

(partikularisasi wujud dengan dzatnya sendiri).

 

 

 

 

 

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300