Bidayah al-Hikmah
Pendahuluan
Bimillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah Swt, yang hakikat pujian hanya terbatas pada-Nya. Salawat dan salam atas rasul-Nya Muhammad Saw sebaik-baik makhluk-Nya dan salawat serta salam juga atas keluarga nabi-Nya yang suci dari ahli bait dan itrahnya As.
Defenisi Hikmah Ilahiyyah
Hikmah Ilahiyyah adalah suatu ilmu yang membahas keadaan maujud sebagaimana ia maujud (ahwalul maujud bima huwa maujud).
Subjek Hikmah Ilahiyyah
Yang dibahas dalam disiplin ilmu ini yakni yang termasuk sebagai ’aradh dzatinya, yaitu maujud sebagaimana ia maujud (Eksistensi mutlak).
Penjelasan: Dalam ilmu logika Aristotelian, predikat dibagi atas dua bagian:
1. Predikat dzati (’aradh dzati)
2. Predikat non-dzati (’aradh gharib)
Yang dimaksud dengan predikat dzati adalah suatu predikat yang tidak dapat dipisahkan dari dzat subyek (mustahil dipisahkan dari dzat subyek). Sebab itu setiap kali kita hubungkan suatu predikat dengan dzat suatu subyek, dan kita lihat bahwa mempredikatkan predikat tersebut atas subyek itu adalah dharuri dan mustahil subyek itu diasumsikan tanpa memiliki predikat tersebut, maka predikat tersebut termasuk dzati subyek itu.
Sebaliknya suatu predikat yang dihubungkan dengan suatu subyek tidak menunjukkan hal seperti tersebut di atas, maka predikat ini termasuk predikat non-dzati atau predikat ini disebut sebagai ’aradh gharib. Contoh bagi yang pertama (’aradh dzati) seperti imkan, hewan dan natiq dihubungkan pada manusia, sedangkan contoh bagi yang kedua (’aradh gharib) seperti warna hitam dan ukuran tinggi direlasikan pada manusia.
Tujuan Hikmah Ilahiyah : Memakrifati maujud-maujud dalam bentuk universal (kulli) dan membedakan maujud-maujud hakiki dari non hakiki (i`tibari).
Uraian pembahasan:
Sesungguhnya manusia mendapati dirinya bahwa pada dirinya terdapat hakikat dan realitas, dan sesungguhnya di luar dirinya juga terdapat hakikat dan relitas. Manusia juga mendapati bahwa ia harus membenarkan (mengetahui) hakikat dan realitas tersebut. Oleh sebab itu manusia tidak mencari sesuatu (suatu benda) dan tidak menjadi tujuannya kecuali dari sisi bahwa sesuatu itu (benda itu) memiliki realitas, dan manusia tidak lari dari sesuatu dan tidak menghindari (menolak) sesuatu kecuali karena sesuatu itu memiliki hakikat.
Anak kecil (bayi) yang mencari susu ibu misalnya, sesungguhnya dia mencari sesuatu yang hakikatnya (realitasnya) adalah susu, bukan sesuatu yang hanya merupakan tawahhum (imajinasi) bahwa itu adalah susu. Dan manusia yang lari dari singa, sesungguhnya ia lari dari sesuatu yang hakikatnya adalah singa, bukan sesuatu yang hanya tawahhum dan khurafat (supertisi). Akan tetapi manusia terkadang salah dalam pandangannya, ia memandang sesuatu yang tidak benar (tidak hak) adalah benar (hak) serta memiliki relaitas di luar seperti keberuntungan (lucky) dan raksasa khayalan, atau sebaliknya manusia meyakini sesuatu yang hak dan memiliki realitas di luar sebagai sesuatu yang batil dan khurafat seperti jiwa non-materi dan akal non-materi. Oleh sebab itu setiap kali manusia ingin menghukumi validitas sesuatu dan realitas sesuatu, ia harus dan wajib terlebih dahulu meneliti keadaan maujud sebagaimana ia maujud dan mendapatkan keadaan realitas maujud, sehingga dengan perantaraan keadaan maujud (realitas maujud) ia dapat membedakan sesuatu yang maujud secara realitas dengan sesuatu yang tidak maujud secara realitas. Dan ilmu yang membahas masalah ini adalah hikmah ilahiyah.
Dengan demikian ilmu hikmah ilahiyah adalah ilmu yang membahas keadaan maujud qua (sebagaimana ia) maujud –al ahwalul maujud- dan ilmu ini juga dinamakan sebagai falsafah ula (filsafat pertama) dan ilmu a`ala (ilmu transendental). Subjek ilmu ini adalah maujud qua (sebagaimana ia) maujud –al maujud bima huwa maujud-. Tujuan hikmah ilahiyah adalah untuk membedakan maujud-maujud hakiki dari yang non hakiki, dan ma`rifat (kognisi) sebab-sebab `aliyah (tinggi) bagi Eksintensi (“Ada”) khususnya makrifat (kognisi) sebab pertama yang kepadanya berakhir silsilah seluruh maujud, dan makrifat pada nama-nama-Nya yang baik (al-asmaul husnaa) dan sifat-sifat-Nya yang agung, dan Dia adalah Allah yang mulia nama-Nya.
Pasal 1. Mafhum Eksitensi (Wujud) adalah Badihi ( Daruri dan Jelas dengan sendirinya)
Mafhum (comprehension) Eksistensi (existence/Ada) adalah badihi (daruri dan jelas dengan sendirinya) dikonsepsi lewat zatnya sendiri tanpa membutuhkan perantara sesuatu yang lain.
* Bahkan akan menjadi jelas nantinya bahwa mustahil akal dapat mengkonsepsi Eksistensi lewat perantara yang lain, (dan mustahil Eksistensi dapat didefenisikan), sebab kita tidak mempunyai sesuatu di luar dari Eksistensi, serta selain Eksistensi semuanya adalah batil dan kosong.
Oleh sebab itu tidak ada pendefenisi bagi Eksistensi seperti hadd (definition) atau rasm (description), sebab keharusan pendefinisi lebih jelas dari yang didefinisikan.
* Tidak ada pendefinisi bagi Eksistensi seperti hadd maupun rasm (defenisi maupum deskripsi).
Dalam ilmu logika hadd (defenition) dibagi atas hadd taam dan hadd naaqis, dan rasm (description) dibagi juga atas rasm taam dan rasm naaqis. Hadd taam (defenisi sempurna) tersusun dari jisn qarib (genus dekat) dengan fasl qarib (pembeda dekat), sedangkan hadd naaqis (defenisi kurang sempurna) hanya dengan fasl hakiki sendiri atau fasl hakiki disertai denga jins ba`id (genus jauh). Sebab Eksistensi (Wujud) tidak seperti mumkin, yang kelazimannya adalah mempunyai batasan (mahiyyah = batasan Eksistensi) dan dengan perantara batasan kita dapat mendefinisikan sesuatu dan sampai pada hakikatnya.
Adapun rasm taam (deskripsi sempurna) tersusun dari genus dekat dengan `aradh khaash (proper), sedangkan rasm naaqis (defskripsi kurang sempurna) cukup hanya `aradh khaash atau `aradh khaash disertai dengan genus jauh. Eksistensi juga tidak mempunyai deskripsi, sehingga dengan perantara deskripsi (dengan pendekatan aksiden khusus) Eksistensi dapat dibedakan dengan sesuatu yang lain.
Adapun yang disebutkan sebagai definisi Eksistensi bahwa Eksistensi atau -maujud qua (sebagaimana ia ) maujud- adalah tsabitul a`in (tetap realitas dirinya), atau sesuatu yang memungkinkan diberitakan darinya, ini semua hanyalah merupakan syarhul ism (penjelasan nama atau kata) bukan defenisi hakiki.
Dan akan menyusul penjelasan nantinya bahwa Eksistensi tidak mempunyai jins (genus) dan fasl (difference) serta `aradh khaashah (properium) yang semuanya itu merupakan salah satu dari kulliyatul khams (ler cing voix: bahasa prancis) – (lima pahaman universal yang terdiri dari; genus, difference, species, accident, dan general accident), sedangkan pendefenisi (baik itu defenisi maupun deskripsi) harus tersusun dari kulliyatul khams, maka kesimpulannya tidak ada pendefenisi bagi Eksistensi.
Pasal 2. Mafhum Eksistensi adalah Musytarak (Common) Maknawi
Eksistensi dipredikatkan pada subjek-subjeknya (seperti Tuhan, manusia, pohon, dan batu) dengan makna yang satu (sama) secara musytarak maknawi (yakni makna Eksistensi yang diperedikatkan pada Tuhan, manusia dan benda-benda lainnya adalah sama dan tidak lebih dari satu makna)
* Musytarak maknawi kebalikan dari pada musytarak lafzi (homonymy), dimana musytarak lafzi ini adalah lafaz (kata) hanya satu tetapi mempunyai pengertian yang bermacam-macam, seperti kata “bisa” dengan makna bisa ular dan juga makna sanggup atau mampu (bergantung kata “bisa” ini diperedikatkan pada subyek yang mana).
Adapun dalil-dalilnya :
1. Kita membagi Eksistensi dengan pembagian yang bermacam-macam; seperti pembagian Eksistensi atas Eksistensi wajib dan Eksistensi mumkin, dan pembagian Eksistensi mumkin atas Eksistensi jauhar (substance) dan Eksistensi `aradh (accident), kemudian Eksistensi jauhar dengan pembagiannya serta Eksistensi `aradh dengan pembagiannya, dan telah kita ketahui bahwa kebenaran pembagian bergantung atas kesatuan (unity) pembagi dan keberadaannya pada bahagian-bahagian.
2. Kita kadang menetapkan keberadaan sesuatu, tapi kita ragu pada kekhususan zatnya, sebagaimana kiranya kita menetapkan pencipta bagi alam, tapi kita ragu padanya apakah ia Eksistensi wajib (Wajibul Wujud) atau Eksistensi mungkin (Mumkinul Wujud) dan apakah ia memiliki mahiyyah (quiditas) atau tidak mempunyai mahiyyah, dan sebagaimana juga kita menetapkan nafs ( jiwa ) bagi manusia tapi kita ragu apakah jiwa manusia itu non-materi atau materi, substansi ataukah aksiden, dalam kondisi di mana pengetahuan kita terhadap jiwa tetap ada sebagimana ia ada. Oleh sebab itu sekiranya Eksistensi tidak mempunyai makna yang satu, tetapi ia Eksistensi musytarak lafzi (homonimy), yakni berbilang maknanya (bermacam-macam maknanya) dengan berbilangnya subyek- subyeknya, maka niscaya berubah maknanya (makna Eksistensi) sejalan dengan berubahnya subyek-subyeknya sesuai keyakinan secara dharuri. Tetapi Eksistensi ( Ada ) meskipun dipredikatkan pada subyek yang berbeda-beda seperti Tuhan ada, manusia ada, hewan ada, tetap ia (Eksistensi) mempunyai makna yang satu.
3. Kontra adam (non-existence) adalah Eksistensi (existence) dan adam hanya mempunyai satu makna, sebab tidak ada perbedaan dalam adam (jelas dalam adam tidak ada perbedaan, sebab tidak ada satupun hakikat dan realitas sesuatu dalam adam (ketiadaan), maka tidak ada perbedaan diantara adam-adam, sebab itu Eksistensi yang menjadi kotra adam harus mempunyai satu makna, sebab jika tidak maka terjadi irtifa’a naqidain ( terangkatnya dua hal yang saling kontradiksi pada suatu benda, seperti adanya manusia di bumi dan tidak adanya ia di bumi, kedua kondisi yang saling kontradiksi ini mustahil diangkat (dinegasikan) dari manusia, sebab manusia niscaya ada di bumi ataukah ia tidak ada di bumi), dan irtifa’a naqidain adalah suatu hal yang mustahil.
Dan orang-orang yang berpandangan bahwa “Eksistensi” musytarak lafzi diantara benda-benda, atau antara Eksistensi wajib (Absolute Existence) dan Eksistensi mumkin (Contingent Existence), pada dasarnya mereka bermazhab (berpandangan) demikian disebabkan menghindari kelaziman “sinkhiyyat” (sharing the same root cognition )=(kesesuaian) antara sebab dan akibat secara mutlak, atau sinkhiyyat antara Eksistensi wajib dan Eksistensi mumkin. Dan pandangan ini harus ditolak, sebab melazimkan peliburan akal dari ma’rifat (akal tidak digunakan untuk memperoleh pengetahuan).
Oleh sebab itu pada dasarnya ketika pengertian dari “al-wajib ( Tuhan) maujud (ada)” adalah makna yang dipahami dari “al-mumkin (makhluk) maujud” ( yakni makna Eksistensi atau maujud pada keduanya adalah sama), maka ini adalah kelaziman dari musytarak maknawi ( dan ini merupakan tujuan kita. Sedangkan jika pengertian dari “al-wajib (Tuhan) maujud”, suatu makna yang menjadi lawan dari pengertian “al-mumkin maujud” -dan ini adalah misdaqnya kontra Eksistensi yakni adam-, maka ini jelas adalah bentuk penafian Eksistensi wajib ( maha suci dan maha tinggi Tuhan dari itu), dan jika tidak ada yang dipahami dari kalimat “al-wajib maujud”, maka ini suatu bentuk peliburan akal dari makrifat, dan ini menyalahi apa yang kita temukan pada diri kita sendiri.
Pasal 3. Eksistensi ‘Aaridh pada mahiyyah (existence accident occuring to quiddity)
(Eksistensi menjadi predikat bagi mahiyyah)
Dengan pengertian bahwa makna yang dipahami dari Eksistensi, bukan ( tidak sama ) makna yang dipahami dari mahiyyah ( yakni kita dapat mengkonsepsi di dalam dzihni kata Eksistensi dan mahiyyah secara terpisah, meskipun di alam luar keduanya tidak terpisahkan ). Maka akal dapat mengabstraksikan mahiyyah – dan ia (mahiyyah) apa yang dikatakan dalam menjawab pertanyaan: apa ini ? (keapaan sesuatu ) – dari Eksistensi. Akal memperhitungkan mahiyyah secara sendiri (terpisah) dari Eksistensi, dan mengkonsepsinya, kemudian mensifatkannya dengan Eksistensi -dan ini adalah makna dari ‘urudh -. Maka Eksistensi bukanlah mahiyyah itu sendiri, dan Eksistensi bukan pula bagian dari mahiyyah.
Adapun dalil-dalilnya:
1. Menegasikan Eksistensi dari mahiyyah adalah benar (sahih), sekiranya Eksistensi adalah mahiyyah itu sendiri atau bahagian dari mahiyyah, maka penegasian Eksistensi dari mahiyyah tidak dapat dilakukan ( tidak sahih), sebab mustahil dinegasikan sesuatu dari dirinya dan atau bagian dari dirinya.
2. Mempredikatkan Eksistensi atas mahiyyah butuh kepada dalil, maka itu Eksistensi bukan mahiyyah itu sendiri dan bukan bahagian darinya, sebab dzatnya sesuatu dan dzatiyyahnya sesuatu jelas tsubut (tetap) baginya, yakni tidak butuh kepada dalil.
• Dzat (essence) pada insan adalah jelas tsubutnya (tetapnya) bagi insan, dan dzati
(jamaknya dzatiyyaat) (essential) seperti hewan dan natiq pada insan adalah
juga jelas tsubutnya bagi insan.
3. Mahiyyah dinisbahkan terhadap Eksistensi dan adam adalah sama, sekiranya Eksistensi adalah mahiyyah itu sendiri atau bahagian darinya maka musathil mahiyyah dinisbahkan pada adam yang merupakan kotradiksi dari Eksistensi. (mahiyyah ditinjau dari sisi sebagaimana ia bukanlah sesuatu yang mustahil ada atau tidak ada, sebab itu mahiyyah dinisbahkan pada Eksistensi dan adam memiliki kondisi yang sama).
