MENGURAI KONFLIK DAN MEMBANGUN HARMONI
DALAM KEBERAGAMAN 1)
Oleh:
Juraid Abdul Latief 2)
Dalam dua dekade terakhir realitas harmoni Indonesia kerap terkoyak oleh serangkaian konflik berbau kekerasan (violence conflicts) yang marak merebak di berbagai daerah. Selain menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang tak sedikit, konflik juga mengakibatkan dampak sosial yang luar biasa. Berbagai konflik komunal bukan hanya sangat mengganggu stabilitas nasional tetapi juga mengancam integrasi bangsa. Komunitas kebangsaan yang diangankan sebagai sebuah bangunan yang solid, sontak berubah menjadi sebuah komunitas semu yang menurut Benedict Anderson (2002) tak lebih hanya sebatas komunitas imajiner. Inilah sebetulnya tantangan terberat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tersusun secara multikultur, multietnik, dan multiagama yang rapuh dan rentan jatuh dalam perpecahan, jika bangsa ini gagal mengelolanya secara baik. Menyikapi serangkaian konflik yang muncul diperlukan perhatian dari semua pihak.
Berbagai upaya penanganan konflik yang selama ini dilakukan elit masyarakat maupun pemerintah terkesan hanya menyelesaikan atau mengakhiri konflik, belum mengarah pada upaya transformasi konflik (conflict transformation) secara berkesinambungan. Akibatnya, meskipun konflik terlihat berhenti tetapi potensi konflik yang sama bisa saja muncul di lain waktu. Keberadaanya biasanya mengiringi dinamika sebuah masyarakat. Eksistensi konflik dengan demikian merupakan sesuatu yang alamiah dan wajar. Akan tetapi ketika konflik telah mengarah pada tindak kekerasan dan anarkhi maka dampak positif konflik sebagai sarana kohesivitas dan soliditas sebuah grup, kemudian berubah menjadi sesuatu yang desktruktif. Untuk itu diperlukan upaya alternatif yang berbeda dari cara-cara penyelesaian konflik yang selama ini ada.
Konflik: Konsepsi dan Resolusi
Konflik merupakan kenyataan hidup yang tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan atau karena ketidakseimbangan atau kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumberdaya serta sudut pandang terhadap suatu permasalahan. Konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omnipresence) dalam suatu komunitas. Pada tingkatan ini, konflik sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang menyertai pola interaksi manusia sepanjang masa. Persoalannya adalah ketika konflik berubah menjadi kekerasan atau anarkhi apalagi dengan melibatkan massa dalam jumlah yang sangat banyak. Harmoni sosial yang telah terbangun biasanya akan berubah menjadi kekacauan. Ada banyak teori yang menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya konflik.
Salah satu di antaranya adalah yang dikemukakan oleh Simon Fisher dkk (2002) yang menyebutkan beberapa teori tentang terjadinya konflik:
- Teori hubungan masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh polariasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
- Teori negosiasi konflik. Menganggap bahwa konflik terjadi oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
- Teori kebutuhan manusia. Teori ini menganggap bahwa konflik disebakan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan sosial-yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaran.
- Teori identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
- Teori kesalahpahaman antar budaya. Teori berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
- Teori transformasi konflik. Bahwa konflik disebabkan oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Konflik kekerasan juga bisa dilihat dari perspektif konflik elit. Seperti diketahui pasca reformasi, selain beberapa kerusuhan, kondisi sosial politik di Indonesia ditandai dua gejala yang mencolok yakni konflik politik (political conflict) dan kekerasan politik (political violence). Tarik menarik kepentingan politik elit di satu sisi dapat menyumbang proses demokratisasi, tetapi dampak buruknya dapat memunculkan pengkotak-kotakan masyarakat yang akibatnya cenderung menimbulkan kekerasan kolektif.
Sementara itu untuk menyelesaikan suatu konflik, ada beragam versi atau model resolusi konflik, salah satunya seperti ditawarkan oleh Johan Galtung (2003). Galtung menawarkan tiga model yang saling terkait, yaitu; peace keeping, peace building, peace making. Peace keeping dilakukan ketika konflik benar-benar tak bisa dihentikan secara halus. Pelibatan aparat keamanan atau militer terpaksa ditempuh guna menghentikan konflik. Peace building merupakan strategi yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat konflik dengan jalan membangun jembatan komunikasi antara pihak yang terlibat. Sedangkan peace making, adalah upaya negoisasi antara kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dan kepentingan. Teori lain menyebutkan bahwa untuk menangani konflik diperlukan upaya yang disebut resolusi konflik.
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai sebuah proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik melalui beberapa tahap sesuai status konflik. Ada empat tahapan dalam resolusi konflik yaitu:
- Tahap de-eskalasi konflik yang menekankan pada proses penghentian kekerasan. Militer atau aparat keamanan biasanya akan melakukan pekerjaan ini.
- Tahap negoisasi, langkah penyelesaian yang lebih berorientasi politik dengan melibatkan kelompok-kelompok yang bertikai. Tujuannya adalah untuk memaksa para pihak untuk memasuki meja perundingan.
- Tahap problem solving approach yang lebih bernuansa sosial. Ada empat komponen utama pada tahap problem solving approach. Pertama, masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Kedua, masing-masing pihak memberi informasi yang benar tentang konflik yang sedang terjadi meliputi penyebab, trauma yang timbul, hambatan struktural yang mungkin dihadapi dalam resolusi konflik. Ketiga, kedua belah mulai mencari alternatif solusi setidaknya signal-signal menuju perdamaian. Keempat, problem solving workshop yakni kesediaan pihak-pihak untuk menyediakan suasana kondusif bagi resolusi konflik.
- Tahap peace building, yakni tahap yang bersifat kultural dan struktural. Memerlukan waktu yang panjang dan konsistensi untuk mewujudkan perdamaian yang permanen.
Dari semua konsepsi di atas, satu hal yang sangat diharapkan dalam menangani konflik adalah kesediaan pihak-pihak yang memiliki otoritas agar bertindak secara objektif dan netral. Prinsip ini perlu diambil agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang merasa dirugikan dan merasa puas (satisfaction). Selain langkah-langkah yang bersifat kuratif, tentu saja perlu dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat prefentif agar potensi konflik kekerasan dapat diantisipasi.
Konflik dalam Perspektif Teori dan Historis
- Konflik Secara Umum
Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika kepentingan maupun tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat terjadi namun konflik dapat diselesaikan tanpa adanya kekerasan dan bahkan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Konflik kemungkinan akan selalu ada, apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan dalam kehidupan. Dari tingkat mikro, antar pribadi masyarakat dan negara, semua bentuk hubungan manusia sosial, ekonomi dan kekuasaan mengalami pertumbuhan, perubahan dan konflik. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan tersebut. Perbedaan pandangan dan tujuan sering dipandang sebagai masalah yang hanya dapat diselesaikan jika kita semua pihak memiliki maksud yang sama, atau ketika suatu pandangan lebih kuat dari pada pandangan yang lain. Kemungkinan lainnya, perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat sebagai sumber daya yang menuntun ke arah pemahaman yang lebih luas terhadap suatu masalah dan perbaikan situasi yang sedang dihadapi.
Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia (individu-kelompok-masyarakat) dalam berbagai aspek kehidupan, contohnya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya serta distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Dua elemen kuat seringkali bergabung dalam sebuah konflik yaitu Identitas dan Distribusi. Identitas diartikan sebagai mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang berdasarkan atas RAS, Agama, Kultur, Bahasa dan seterusnya. Ketika distribusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana suatu kelompok agama kekurangan sumber daya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik. Kombinasi antara faktor-faktor yang berbasiskan identitas secara kental dengan persepsi yang lebih luas tentang ketidakadilan ekonomi dan sosial seringkali menghidupkan apa yang kita sebut sebagai “konflik yang mengakar”. Karakteristik yang paling menonjol dari konflik internal adalah tingkat ketahanannya. Hal ini timbul karena seringkali dasarnya terletak pada isu identitas; istilah konflik etnis sering digunakan. Etnisitas adalah konsep yang luas mencakup banyak sekali elemen: RAS, Kultur, Agama, keturunan, sejarah, bahasa dan seterusnya. Tetapi pada dasarnya merupakan isu identitas. Seringkali faktor-faktor yang berhubungan dengan identitas ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja.
- Konflik dalam Perspektif Sosiologis dan Kultural
Secara sosiologis, konflik sesungguhnya dipahami dalam dua wajah yang berbeda yaitu :1) Konflik dapat dianggap sebagai sebuah patologi sosial akibat kegagalan proses integrasi masyarakat atau komunitas. Dalam kerangka ini, konflik biasanya dipahami sebagai sesuatu yang destruktif dan oleh karena itu mungkin harus dihindarkan. Interpretasi semacam ini mengandung nuansa pesimistis dalam melihat konflik sebagai suatu fenomena. 2) Konflik dilihat dari segi fungsionalnya yakni sebagai sebuah mekanisme untuk menyempurnakan proses integrasi sosial. Dalam pemahaman semacam ini, konflik dapat dilihat dari sudut yang lebih optimistis, yakni sebuah cara untuk menghilangkan berbagai elemen disintegrasi dalam rangka untuk membentuk suatu komunitas yang solid. Dalam artian ini, konflik tidak perlu dihindari melainkan sebaliknya harus dikelola dan kemudian dicarikan solusinya.
- Konflik Berdasarkan Sumber-Sumber Konflik
Bila diteropong lebih seksama sumber-sumber konflik di tingkat lokal menyangkut beberapa aspek yaitu :
- Tekanan yang makin keras terhadap peran negara sebagai sebuah kekuatan yang berdaulat atas wilayah dan warganya. Walaupun hingga akhir abad ke-20 negara sebagai sebuah institusi yang masih eksis, namun berbagai tekanan oleh kekuatan-kekuatan baik dari dalam maupun dari luar telah meletakkan negara pada posisi yang defensif.
- Posisi negara yang makin terancam oleh mobilisasi kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap situasi dan kondisi tertentu; sebagaimana yang dikemukakan oleh Karl Marx (1980) bahwa ketidak-puasan seringkali menjadi sumber konflik.
- Konflik di tingkat lokal dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para pemimpin kelompok di dalam suatu negara dengan cara mengeksploitasi suasana pluralitas demi kepentingan pribadi/kelompoknya melalui penggalangan dukungan massa. Konflik yang melanda berbagai kawasan di Balkan maupun Afrika tidak lepas dari peran para pemimpin yang mengeksploitasi perbedaan dalam rangka memperoleh dukungan masa guna kepentingan pribadi atau kelompoknya.
- Konflik Primordial
Di luar bentuk eksploitasi pluralitas, konflik juga dapat terbangun dari akibat pola primordial. Ketika masih berlangsung pegelompokan negara menjadi Blok Barat dan Blok Timur atau Kapitalisme-liberal versus Marxisme-Leninisme, eksploitasi pluralitas menjadi tidak relevan. Namun ketika Perang Dingin berakhir, maka benih-benih primordialisme mulai muncul ke permukaan.
Selama era Orde Baru kita merasakan bahwa konflik horisontal berupa bentrokan antar masa yang disertai dengan kekerasan nyaris tidak pernah terjadi. Kehidupan antar umat beragama, antar suku, antar etnis dan antar kelompok dalam masyarakat berlangsung dalam kedamaian. Tetapi pada era reformasi ini, dimana kehidupan dinyatakan oleh para pakar politik lebih demokratis, justru diwarnai oleh konflik horisontal dengan disertai oleh tindakan kekerasan. Pada tahun 2009 tercatat ada 58 kasus dan pada tahun 2010 meningkat dengan 81 kasus. Kemudian pada awal tahun 2011 muncul kasus kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang Provinsi Banten. Tiga orang tewas dalam kasus kekerasan tersebut. Berikutnya di Temanggung masa membakar gereja, sekolah, panti asuhan dan merusak kantor polisi. Beberapa hari kemudian muncul penyerangan terhadap Pondok Pesantren YAPI di Pasuruan.
Kasus-kasus kekerasan diatas tidak hanya antar umat beragama tetapi juga terjadi interen umat beragama. Masalah kesenjangan sosial ekonomi, pengangguran, kemiskinan, perilaku antar etnis dan ketidakmampuan paratur menjadikan masyarakat mudah diprovokasi melakukan tindak kekerasan. Kasus di Temanggung misalnya, pelaku kerusuhan ternyata para petani miskin yang tidak tahu apa-apa, tetapi melibatkan provokator dari luar kota Temanggung. Dalam hal ini sebenarnya para elit atau tokoh agama, sudah bersepakat untuk mencari solusi atau jalan keluar yang terbaik dari konflik yang terjadi.
Pada era Orde baru, konflik yang terjadi lebih bersifat vertikal. Antara pemerintah dengan rakyat. Misalnya konflik antara TNI dengan para pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, kemudian antara TNI dengan pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua dan juga di Timor Leste. Pada waktu itu TNI (pada waktu itu disebut ABRI), memiliki peran sangat menonjol; baik secara teritorial maupun secara politis karena mereka juga mendapat jatah kursi di lembaga legislatif dan berbagai posisi di pemerintahan. Peran yang sangat menonjol dari TNI ini bertolak belakang dengan kebebasan berserikat, berkumpul atau menyatakan pendapat dari masyarakat dalam kerangka kehidupan berdemokrasi. Kontrol sosial politik militer yang sangat kuat memang menghasilkan kehidupan berdemokrasi yang lemah. Tetapi konflik horisontal dapat dikendalikan dengan baik. Kondisi persatuan dan kesatuan masyarakat cukup kokoh dan terkendali.
Ketika era reformasi bergulir, kehidupan menjadi lebih demokratis. Kebebasan berserikat (antara lain mendirikan partai politik), berkumpul dan menyatakan pendapat (misalnya melalui demonstrasi) lebih semarak. Tetapi kebebasan tersebut sering bersifat anarkis, tanpa mempedulikan hukum yang berlaku. Sikap penegak hukum juga sering tidak tegas, misalnya terhadap kelompok sosial keagamaan yang melakukan tindakan anarkis dan penuh kekerasan. Hal ini dapat dimaklumi karena penegak hukum dihadapkan pada situasi dilematis. Mereka tidak mau dituduh melanggar HAM sementara masyarakat yang dirugikan menuntut mereka bertindak tegas.
Menurut Aryanto Sutadi (2008), konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Dalam hal ini dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horisontal dan vertikal, dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.
Konflik horisontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal maksudnya adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat.
Beberapa contoh konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia misalnya: Konflik antar kampung/desa/wilayah karena isu etnis, isu aliran kepercayaan, isu ekonomi (seperti rebutan lahan ekonomi pertanian, perikanan, pertambangan) isu solidaritas (suporter olah raga, kebanggaan group), isu ideologi dan isu sosial lainnya (tawuran antar anak sekolah, antar kelompok geng).
Contoh peristiwa konflik vertikal misalnya: konflik ideologi untuk memisahkan dari wilayah RI, konflik yang dipicu oleh perlakuan tidak adil dari pemerintah berkaitan dengan pembagian hasil pengolahan sumber daya alam, kebijakan ekonomi yang dinilai merugikan kelompok tertentu, dampak pemekaran wilayah, dampak kebijakan yang dinilai diskriminatif.
Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta, melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat, yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.
Dari pengamatan empiris, konflik masal lebih sering terjadi seiring menggeloranya era reformasi yang dampaknya tidak hanya mengganggu ketentraman dan kedamaian, melainkan juga cukup menghawatirkan bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Beberapa contoh konkrit masalah konflik yang cukup serius baik yang bersifat vertical ataupun horisontal yang terjadi pada akhir-akhir ini antara lain:
- Konflik yang bernuansa separatisme: konflik di NAD, Maluku, dan Papua.
- Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Kalbar, Kalteng, dan Ambon.
- Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, faham radikal.
- Konflik yang benuansa politis: konflik akibat isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan.
- Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok pedagang.
- Konflik Sosial lainnya: konflik antar anak sekolah, mahasiswa,
- Konflik bernuansa solidaritas liar: tawuran antar wilayah, antar suporter sepak bola.
- Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan Achmadiyah, isu aliran sesat.
- Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM, BOS, LPG. Dan sebagainya.
Dari kajian terhadap konflik-konflik besar yang telah terjadi di Indonesia beberapa peristiwa yang telah menjadi pemicu konflik sangat bervariasi, contohnya:
- Pemicu konflik di Poso dan di Maluku yang berkepanjangan sampai beberapa tahun, diawali oleh perkelahian antara seorang pemuda dengan seorang pemuda beragama lain walaupun tinggalnya tidak berjauhan.
- Konflik masal antar wilayah di NTB, Jateng dan beberapa Wilayah lainnya diawali oleh peristiwa pemukulan pemuda yang sedang berkunjung rumah pacanya di wilayah tetangga.
- Beberapa konflik masal di Papua diawali dengan peristiwa tindakan keras oknum aparat terhadap warga masyarakatnya.
- Pemicu konflik isu Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah sering berawal dari tindakan petugas lapangan yang kurang profesional.
Resolusi (Negara dan Masyarakat Sipil) Multikultural
Dalam bagian solusi terkait masyarakat multikultural, banyak ahli memberikan saran untuk mengatasi konflik sosial (yang melibatkan massa) baik massa berbasis agama maupun berbasis ideologi non agama. Seperti usulan Jack Rothman, misalnya, mengusulkan dua jalur resolusi konflik. Jika konflik melibatkan massa (agama maupun non agama), harus dilakukan hal-hal:
- Tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengaturan administratif, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi.
- Memberikan insentif seperti memberikan penghargaan kepada komunitas yang mampu menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat.
- Tindakan persuasif, terutama terhadap ketidakpuasan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi realitas sosial, politik dan ekonomi
- tindakan normatif, yakni melakukan proses pembangunan persepsi dan keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan dicapai.
Sementara untuk konflik kekerasan yang lebih bersifat vertical, perlu dilakukan dengan jalan rekonsiliasi atau penyelesaian politik yang menguntungkan masyarakat luas. Telah banyak pekerjaan dilakukan oleh Negara dan masyarakat sipil dalam upaya menyelesaikan konflik sosial agama (SARA) yang terjadi di Indonesia, sepanjang tahun 2000 sampai 2006 yang lalu, tetapi tetap saja konflik sosial (SARA) terus terjadi, bahkan belakangan terus berkembang pada tataran yang lebih ruwet.
Jalur negosiasi, mediasi dilakukan oleh Negara dan masyarakat sipil sebenarnya sebagai upaya penyelesaiaan konflik SARA yang terus merebak, tetapi belum bisa menghilangkan konflik-kekerasan di nusantara. Hal ini, oleh para pengamat, sosiolog, agamawan, teolog, ahli politik dan kebijakan karena terjadinya “hegemonisasi” Negara atas rakyatnya sehingga Negara menganggap apa yang dikerjakan Negara selalu akan “diamini”, padahal tidak, kasus tarnsmigrasi adalah contoh serius disini yang menjadikan bom waktu konflik sosial di Indonesia tahun 1997 di Sanggauledo, Sambas di Palangkaraya, di samping Ambon dan Aceh yang tidak terungkap kepermukaan karena yang dominan adalah konflik GAM-TNI.
Ada persoalan serius yang seringkali dilupakan, sebenarnya secara sosiologis apa substansi konflik sosial (SARA) yang terus terjadi, karena itu penjelasan pengantar diawal tentang perlunya memetakan apa penyebab konflik sosial (SARA) dan mekanisme apa yang telah dikerjakan dalam proses penyelesaian perlu mendapatkan perhatian para pengambil kebijakan dan para aktivis perdamaian. Masalah radikalisasi gerakan keagamaan memang bukan hanya “milik Islam” tetapi juga agama-agama lain, baik tradisi Abraham (Yahudi, Kristen dan Islam), tetapi juga Hindu dan Buda, serta agama-agama lokal yang ada di Indonesia. Semangat gethoisme Hindu Bali aliran mainstream (Mahayana) yang melarang menggunakan bahasa Pali dan Sanskerta oleh agama Kristen/Katolik dan orang Islam adalah bentuk-bentuk pemaknaan symbol yang berlebihan. Pelarangan sekolah SMU dan Rumah Sakit Kristen di Bali yang diprotes penganut Hindu di Badung dan bukit Kintamani adalah bentuk gehtoisme dalam Hinduisme di Bali.
Sementara Gethoisme agama-agama lokal di Palangkaraya dan Pontianak juga muncul, sehingga mereka menuntut adanya pemberlakuan nama-nama suku tertentu yang menganut agama-agama suku mereka untuk nama-nama tempat yang dipakai publik (seperti Bandara, nama jalan dan tempat-tempat umum lainnya).
Dari penjelasan di atas, ringkasnya dapat dikatakan bahwa masalah SARA di Indonesia merupakan masalah yang demikian pelik, membutuhkan ketelitian dan kejelian untuk mengurainya sehingga bisa memberikan sumbangan yang memadai dalam konteks menjadikan Indonesia sebagai miniatur dunia yang masyarakatnya perlahan-lahan menjadi masyarakat yang beradab, bukan masyarakat yang uncivilized karena terbebani konflik SARA yang terus berkesinambungan dari tahun-ketahun.
Dalam konteks rumitnya konflik kekerasan SARA yang seperti itu, maka Negara sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih memadai untuk terjadinya proses dialektika antar kelompok di masyarakat sehingga antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dapat saling menghargai, memahami dan bekerja sama. Tanpa ruang yang memadai untuk seluruh elemen masyarakat, yang akan terjadi adalah munculnya kekuatan-kekuatan baru yang akan menumbuhkan konflik kekerasan di masa yang akan datang. Negara harus bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan Indonesia menjadi Negara yang damai dan agama menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya kelompoknya sendiri. Dengan demikian, resolusi konflik kekerasan berbasis agama harus dikembangkan dari hal-hal yang paling sederhana, kecil tetapi berkesinambungan, tidak mengesankan hanya karena proyek Negara, yang akan berakhir dengan bentuk-bentuk formalitas belaka. Formalisasi harus kita akhiri menuju kerja yang sistematik dan bermanfaat untuk semua.
Beberapa contoh konflik yang terjadi pada masyarakat yaitu kerusuhan di Poso yang berawal dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah tersebut bertumpu pada sub sistem budaya yang menyangkut masalah suku dan agama serta kurangnya keadilan dimana ada sebagian masyarakat yang merasa didiskriminasikan. Dimana kerusuhan diawali dengan pertikaian antarpemuda yang berbeda agama yang melakukan pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti Bugis, Jawa dan Gorontalo yang terjadi di Poso pada kerusuhan ke III. Kasus lain, adanya masalah pertikaian umat Islam yang berbeda aliran agama Islam. Kasus itu terjadi pada bulan oktober 2012 di Bandung, dimana salah satu Ormas Islam tidak setuju adanya umat Amadiyah di Bandung. Tempat peribadahan umat Ahmadiyah pun tak luput dari perusakan. Menurut walikota Bandung, Dada Rosada” Warga Bandung juga tidak setuju akan datangnya Ahmadiyah, karena selama ini tanpa kehadiran Ahmadiyah daerah Bandung sudah dalam keadaan kondusif”.
Contoh di atas merupakan salah satu dampak negatif dari konflik sosial. Konflik sosial yang negatif akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat yaitu retaknya persatuan kelompok, perubahan kepribadian individu dan banyaknya kerugian baik harta benda, jiwa dan mental bangsa Indonesia.
Permasalahan multikulturalisme membutuhkan strategi untuk memecahkan masalah tersebut. Strategi yang tepat hendaknya dimulai dari kesadaran masyarakat untuk saling menghormati keberagaman di masyarakat. Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI) Retno Listyati mengingatkan, bangsa ini jangan sampai membiarkan eksistensi pancasila diragukan sebagai falsafah hidup. Sebab Dasar Negara ini merupakan cermin impian seluruh bangsa Indonesia tentang pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang diidealkan bersama dalam keberagaman.
Berkaitan dengan multikulturalisme dan kekurangsiapan mental bangsa Indonesia, maka di lingkungan pendidikan harus terdapat pengajaran multikulturalisme. Karena paradigma pendidikan sekarang lebih menekankan pada pengembangan intelektual dan mengabaikan pembentukan sikap moral dan penanaman nilai budaya. Saat ditanyakan tentang multikulturalisme, banyak yang hanya memahami secara sempit, yaitu sebatas mengetahui keberagaman budaya dan tidak terlalu memahami bahwa persoalan multikulturalisme tidak bisa hanya disandarkan pada kuantitas semata. Padahal multikulturalisme mencakup arti yang sangat luas, termasuk memahami sudut pandang serta cara berkomunikasi dan mengerti akan keberagaman dan keyakinan yang berbeda, serta sebagai salah satu fondasi dalam upaya membangun jalan resolusi konflik. Fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan terlihat pada kekerasan dan tawuran antarpelajar yang melibatkan antarsekolah dan tidak jarang melakukan pengrusakan serta memakan korban. Berbagai sebab yang menyulut terjadinya tawuran memang beraneka ragam, akan tetapi tujuannya tidak jelas. Persoalan permasalahan yang terjadi karena kurangnya kepahaman masyarakat mengenai pengetahuan multikulturalisme. Padahal, pendidikan multikultural dapat memberikan kebijakan pendidikan berbasis karakter.
Multikulturalisme dalam Konflik
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi yang memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Fondasi Multikultural
Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut:
Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
- Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan sistem dari masing-masing kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.
- Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan sebagai modal terciptanya semangat persatuan dan kesatuan.
Dewasa ini pada era globalisasi, secara teoritis, tidak mungkin ada suatu bangsa yang homogen dan monolitis. Hanya terdiri dari satu etnis atau satu agama. Globalisasi dengan salah satu wujudnya berupa free trade, telah menciptakan ”bordeless world ”. Dunia tanpa batas. Karena barang, modal, jasa dan manusia akan mengalir dari suatu negara ke negara lain tanpa hambatan administrasi. Apalagi pada dasarnya memang tidak ada negara satupun di dunia ini yang mampu hidup tanpa bantuan negara lain. Jepang adalah negara industri yang kaya raya, tetapi tidak mampu mengembangkan pertanian dan perkebunan. Demikian juga dengan negara-negara di Timur Tengah yang kaya karena minyak pasti memerlukan produk pertanian dan bahan makanan dari negara lain.
Hampir semua bangsa di dunia harus menerima kenyataan bahwa negaranya tergantung kepada negara lain. Konsekuensinya mereka terpaksa menerima kehadiran bangsa lain yang berbeda secara etnis, agama maupun tradisi. Setelah ratusan tahun kemudian bangsa yang tadinya homogen menjadi heterogen. Amerika yang mayoritas berpenduduk Eropa dan Kristen harus hidup berdampingan dengan penduduk berasal dari Afrika dan Asia yang beragama Islam. Sebaliknya Malaysia yang mayoritas Melayu beragama Islam harus hidup berdampingan dengan penduduk dari etnis Cina beragama Kristen. Contoh heterogenitas dalam suatu negara ini masih dapat diperpanjang lagi. Dan heterogenitas adalah sumber konflik.
Konflik horisontal dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, separatisme dan mengancam keutuhan NKRI. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005, pengelolaan keragaman budaya di Indonesia dapat dilakukan dengan :
- Pelaksanaan dialog antar budaya yang terbuka dan demokratis.
- Pengembangan multikultural dalam rangka meningkatkan toleransi dalam masyarakat.
- Membangun kesadaran hidup multikultural menuju terciptanya keadaban.
Pendapat Deutch yang dikutip oleh Bernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan beberapa pengelolaan konflik atau bisa disebut manajemen konflik, yaitu:
- Destruktif
Destruktif adalah bentuk penanganan konflik dengan menggunakan acaman, paksaan, atau kekerasan. Adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau bisa dikatakan individu cenderung menyalahkan. Konflik destruktif menimbulkan kerugian bagi individu atau individu-individu yang terlibat di dalamnya. Konflik seperti ini misalnya terjadi pada dua remaja yang tidak dapat bekerja sama karena terjadi sikap permusuhan antar perorangan. Ada banyak keadaan di mana konflik dapat menyebabkan orang yang mengalaminya mengalami goncangan (jiwa). Selain itu juga banyak kerugian yang ditimbulkan karena konflik destruktif, misalnya :
- Perasaan cemas/tegang (stres) yang berlebihan.
- Komunikasi yang kurang.
- Persaingan yang semakin berat.
- Konstruktif
Konstruktif merupakan bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan negosiasi sehingga terjadi satu tawar menawar yang menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat pula menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah dapat berpikir secara logis dalam penyelesaian masalah. Setiap konflik yang ada dalam kehidupan apabila dapat dikelola dengan baik, maka akan sangat bermanfaat dalam hal memajukan kreativitas dan inovasi, meskipun konflik memiliki sisi konstruktif dan sisi destruktif (Winardi, 1994).
Konflik ini berkebalikan dengan konflik destruktif karena konflik konstruktif justru menyebabkan timbulnya keuntungan-keuntungan dan bukan kerugiankerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya. Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat (Fisher, 2002). Menurut Johnson setiap orang memiliki Relegiusitas masing-masing dalam mengelola konflik. Relegiusitas-relegiusitas ini merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa kanak-kanak dan berlanjut hingga remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.
Aryanto Sutadi, Naskah Akademik Tentang Penyelenggaraan Kemanan Negara Republik Indonesia, Draft Ke-4, Juli 2008, hal. 20.
Echols, J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: P.TGramedia.
Fisher, dkkk. 2002. Mengelola Konflik, Ketrampilan Dan Strategi Untuk Bertindak. The British Council.
Galtung, Johan. (2003). Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka.
Gramedia, Mardianto, dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau dari Status Keikutsertaan dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam di Universitas Gajah Mada. Jurnal Psikologi, No. 2.
Indati, A. 1996. Konflik Pada Anak; Pengaruh Lingkungan dan Tahap Perkembangannya. Laporan penelitian (tidak diterbitkan). Yogjakarta. Fakultas Psikologi, UGM.
Judith Squires, Culture, Equality and Diversity, 2002, dalam Kelly, Paul, Multiculturalism Reconsidered, UK: Black Well Publisher.
Juraid Abdul Latief, 2014. Under the Shadow of Tolerance, Peace, and Democracy: Tracing Back the Origins of Religious Violence and Radicalism in Indonesia. At the Seminar “Indonesia’s” International Image In the Post-Soeharto Era at J.W. Goethe University of Frankfurt on Thursday, October 9th 2014.
Kymlica, 2002, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES.
Madjid, R. 1997. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka.
Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Bandung: CV. Mandarmaju.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
- Nama Lengkap : Prof. Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum.
- Tempat tanggal lahir : Bima, 30 November 1958
- Pekerjaan : Dosen Tetap Jurusan IPS FKIP Universitas Tadulako
- Pangkat/Golongan : Pembina Utama / IV E
- Alamat : Jalan Banteng Blok C1 No. 4 Palu Selatan
Mobile : 081342777355
e-mail : juraidalatief@yahoo.com
- Riwayat Pendidikan :
SD : SDN Bima, Tahun 1971
SMP : SLTP di Bima, Tahun 1974
SLTA : SMA di Bima, Tahun 1977
S1 : Fakultas Sastra Unhas, Tahun 1983
S2 : Program Pascasarjana UGM, Tahun 1996
S3 : Program Pascasarjana UNHAS, Tahun 2004
- Pekerjaan : Dosen Tetap Jurusan Ilmu Sosial FKIP Universitas Tadulako sejak tahun 1985
- Pangkat/Golongan : Pembina Utama, IV/ E
- Pengalaman Jabatan :
- Ketua Jurusan Ilmu Sosial FKIP Universitas Tadulako (1999-2001).
- Anggota Penjaminan Mutu FKIP (2009-2013)
- Anggota Dewan Pertimbangan Untad (2011-2014)
- Wakil Ketua Dewan Profesor Untad (2012- Sekarang).
- Ketua Prodi S2 Pendidikan IPS PPs Untad
- Riwayat Orang Tua :
Nama Ayah : Haji Abdul Latief (Alm.)
Nama Ibu : Hajjah Siti Djamilah
Alamat : Kelurahan Dodu Kecamatan RasanaE Timur Kota Bima.
- Karya Imiah :
- Buku
- Manusia, Filsafat, dan Sejarah, diterbitkan oleh Bumi Aksara, Jakarta (2001)
- Dunia Militer di Indonesia, diterbitkan oleh Gama Press (2001)
- Pemberontakan Tolitoli, Sarekat Islam dan Perjuangan Kaum Tertindas, diterbitkan oleh UNTAD Press (2002).
- Naskah I Lagaligo sebagai Karya Sastra Dunia, Devisi Sosial Humaniora UNHAS (2003)
- Sejarah Intelektual, diterbitkan oleh Tadulako University Press (2004)
- Pendidikan Pancasila, diterbitkan oleh Yayasan Masyarakat Indonesia Baru (2005)
- Aspek Sosial Budaya dalam Pengembangan Pendidikan Multikultural, diterbitkan oleh World Vision Indonesia (2012).
- Tulisan di Jurnal Ilmiah
- Pemberontakan Petani Tolitoli 1919, Majalah Gagasan Universitas Tadukako (1996).
- Konsep Demokrasi dalam Budaya Bugis Makassar, Majalah Kebudayaan Depbikbud di Jakarta (1997)
- Alternatif Baru dalam Pengajaran Sejarah di Era Globalisasi, Jurnal Ilmiah Kreatif Univ. Tadulako (1998)
- Pengaruh Film terhadap pembentukan kepribadian Kaum Muda, Jurnal Ilmiah Kreatif Univ. Tadulako (1999).
- Kondisi dan Kinerja Program Studi Sejarah dan Program Studi PPKn pada Jurusan IPS FKIP Universitas Tadulako, Jurnal Imiah Kreatif Univ. Tadulako (2000).
- Faktor-Faktor yang mempengaruhi tingkat Partisipasi Anak Usia Sekolah di daerah terpencil di Sulawesi Tengah, Jurnal Nasional Vidya Karya, UNLAM Banjarmasin (2005)
- Peran Agama dalam Perubahan Sosial dan Politik di Tolitoli pada`Awal Abad XX, Jurnal Nasional Sosial dan Humaniora UNHAS Makassar (2005)
- Hasil Penelitian :
- Mitologi Sawerigading di Poso (1987)
- Kerajinan Tradisional di Sulawesi Tengah (1988)
- Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Tengah (1990/1991)
- Gerakan Sosial di Napu (1991)
- Pengobatan Tradisional di Sulawesi Tengah (1992)
- Serpihan Perjuangan Rakyat Poso (1992/1993).
- Budaya Disiplin Nasional di Sulawesi Tengah (1996)
- Arti Pentingnya Nilai-nilai Kebudayaan Daerah terhadap Pembangunan Nasional di Sulawesi Tengah (1997)
- Pengaruh Pemberian Mata Kuliah PSPB terhadap Sikap Nasionalisme Mahasiswa Program Studi Sejarah (1997).
- Pengelolaan Kawasan Pesisir Banawa Selatan yang Berbasis Masyarakat (UCE-CEPI CANADA, 1998/2000).
- Faktor-Faktor yang mempengaruhi Tingkat Partisipasi Anak Usia Sekolah di Daerah Terpencil di Sulawesi Tengah (DP2M DIKTI, 2005)
- Pengembangan Model Pembelajaran Solidaritas dan Harmoni Sosial di Lingkungan Bermain Anak-anak Korban Konflik Poso (PSN DIKTI, 2009)
- Pengembangan Model Sekuritas Sosial untuk Pemberdayaan Kaum Perempuan dari Kerawanan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Poso (PSN DIKTI, 2010)
- Instruktur/Pemakalah :
- Pemakalah dalam Seminar Nasional Folktale Sawerigading di Palu, tahun 1987.
- Pemakalah dalam Konprensi Nasional Sejarah di Ujung pandang tahun 1996.
- Pemakalah dalam Seminar Nasional Militer, Birokrasi, dan Demokrasi di Makassar, Palu, dan Manado, tahun 2000.
- Pemakalah dalam Seminar Internasional dan Festival Lagaligo di Arung Pancana Toa Tanete Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, tahun 2002.
- Instruktur dan pemakalah dalam DIKLAT Nasional Peningkatan Profesionalisame Guru di Bima NTB, 6 S/D 7 April 2008.
- Instruktur dan pemakalah dalam DIKLAT NASIONAL Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Profesionalisme Guru di Palu Sul-Teng, 17 S/D 19 Mei 2008.
- Pemakalah dalam Seminar Mencari Nama Museum Sulawesi Tengah, 25 Mei 2008.
- Instruktur dan pemakalah dalam DIKLAT DAERAH Peningkatan Mutu Guru di Parigi Moutong Sul-Teng, 12 Juni 2008.
- Pemakalah pada Seminar Indonesia’s Internasional Image In The Post Soeharto Era at J.W. Goethe University of Frankfurt on Thursday, October 9th , 2014.
- Detasering :
- Anggota Tim Detasering DIKTI DIKNAS Tahun 2005 di Universitas Khairun, Ternate
- Anggota Tim Detasering DIKTI DIKNAS Tahun 2006 di Universitas Khairun, Ternate
- Konsultan :
- Konsultan Manajemen di LPMP Tahun 2008
- Konsultan Monev Pembinaan dan Peningkatan Mutu SMP pada Dinas Pendidikan Daerah Sulawesi Tengah Tahun 2009
- Anggota Tim Asistensi pada PKB PNFI Dinas Pendidikan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2010, 2011, 2012, 2013.
- Jabatan :
- Anggota Dewan Pertimbangan Universitas Tadulako (2011 S/D sekarang
- Anggota Pengurus Penjaminan Mutu FKIP Untad (2010-2014)
- Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Tengah (2010-2015)
- Wakil Ketua Dewan Profesor Untad (2012-2015)
Palu, 01 Desember 2014.
Prof. Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum
NIP. 195811301985031004
