Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

DEMOKRASI YANG MERANA: TERABAIKANNYA NILAI-NILAI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

$
0
0

 DEMOKRASI YANG MERANA: TERABAIKANNYA   NILAI-NILAI  LOKAL DALAM

 PENGEMBANGAN  DEMOKRASI DI INDONESIA

Prof Dr. A. Rasyid Asba,MA[1]

Abstrak

             Membicarakan nilai-nilai kelokalan, khususnya  masalah demokrasi/ hidup berkelompok (wanua)  masih   dapat dikatakan belum dibuka secara bebas karena dapat mengancam integrasi nasional,  khusunya kelompok politik yang masih  menganut paham sentralistik pewarisan Orde Baru. Tradisi sejarah kita, khususnya masalah demokrasi dan  kepemimpinan  manusia Bugis Makassar yang menganut paham egalitarian hampir dilupakan, meskipun tradisi itu   telah berabad-abad tumbuh, dan  kaya akan  nilai-nilai  demokrasi, kini hampir dilupakan, khususnya dalam mengembangkan nilai-nilai dimokrasi di era reformasi ini. Demokrasi nilai-nilai lokal   dianggapnya sebagai  barang museum  yang tak berfungsi,  keculai sebagai kenangan saja. Makalah ini  akan merefleksikan kembali  nilai-nilai kepemimpinan dan sistem demokrasi  dari berbagai kerajaan  yang penah eksis di Sulawesi Selatan, yang hingga kini  belum dilirik sebagai akses bangsa dalam menumbuh kembangkan nilai –nilai  kepemimpinan dan demokrasi di Indonesia. Akibatnya adalah ajaran demokrasi yang banyak diakses dari negara-negara Barat, cenderung  menjadi  ideal type yang pada akhirnya melahirkan ”demokrasi yang merana” tumbuh dan tidak sejalan dengan  buadaya politik kita.

Pengantar

Apa yang kita pahami tentang demokrasi, sebagai hasil pelajaran yang diterima dari berbagai literatur Barat, adalah  “pemerintahan dari rakyat” (Demos-Cratein). Keberhasilan  “Demokrasi”   di Barat   adalah suatu proses sejarah yang pangjang, setelah melalui  revolusi sosial [2]. Di  Eropa dan Amerika, sekitar tahun 1760-1800 terjadi penumbangan sistem kekuasaan-pemerintahan seperti monarchie, atau monokrasi, aristokrasi, plutokrasi, oligarchi dan sebagainya, kemudian berubah menjadi sistem kekuasaan yang berasal dari dan  kehendak rakyat. Ia disebut  demokrasi, pemerintahan atas kekuasaan rakyat, atau pemerintahan berasaskan kedaulatan rakyat

Revolusi di Eropa yang melahirkan Liberalisme, Demokrasi, disertai oleh sikap kebanyakan bangsa Eropa yang memandang manusia dari bangsa-bangsa bukan Eropa, sebagai manusia terkebelakang alias kolot, atau disebutnya sebagai orang Barbar, manusia tidak beradab. Bangsa-bangsa terkebelakang ( baca dunia ketiga sekarang) dipandangnya “wajar atau semestinya” untuk dijajah dan ditiupkan roh peradaban. Bangsa Eropa memberikan label dirinya  sebagai mission sacred (missi suci), sebagai panggilan untuk pengabdian.

Demokrasi yang masuk  itulah memberikan pengaruh yang  amat kuat kepada jalan pikiran bangsa-bangsa terjajah, bahwa sistem kekuasaan-pemerintahan demokrasi menjadi sistem terbaik bagi umat manusia untuk penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Demokrasi dengan berbagai  macam atributnya,  seperti Parlemen, Kongres, Dewan Perwakilan yang keanggotaannya  dipilih melalui Pemilihan Umum. Model tersebut dipandang simbol perwakilan  rakyat.  Berbagai macam cara, dan upaya penyelenggaraan pemilihan umum, berbagai macam mekanisme penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan atas nama rakyat, seperti: Monarchi konstitusional, dengan Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada Parlemen/wakil rakyat. [3]

Raja hanya berupa lambang pemersatu yang “tak berbuat salah”. Melalui pemilihan umum dengan aneka sistem mobilisasi atau partisipasi rakyat kepada partai-partai politik. Sasaranya adalah  terbentuknya pemerintahan yang didukung oleh mayoritas pemilih, sehingga disebut Pemerintahan demokrasi. rakyat, lewat pemilihan umum, dengan berbagai sistem seperti sistem distrik atau sistem proporsional, dan sebagainya, semua itu atas nama demokrasi, atas nama rakyat. Ada cara pemilihan umum yang langsung memilih presiden menjadi Kepala Negara.  Ada juga memilih anggota Kongres atau Perwakilan Rakyat secara langsung seperti memilih Presiden, sehingga kedudukan Presiden sama kuatnya dengan Kongres atau Parlemen. Presiden berkuasa penuh selama masa jabatannya yang ditetapkan melalui konstitusi.

Sistem-sistem demokrasi yang aneka macam itulah yang bersumber dari Dunia Barat yang kita pelajari secara mendalam dan kita  mengatakan  bahwa sistem itulah yang terbaik untuk diterapkan  di Indonesia. Kita belum pernah secara amat sungguh-sungguh menengok kepada kehidupan kekuasaan yang (pernah) ada dan berlangsung dalam kalangan bangsa-bangsa Asia umumnya, atau bangsa-bangsa di Asia-Tenggara khususnya, untuk memperoleh perbandingan  yang sewajarnya dan mengatakan bahwa di Asia Tenggara bias juga mengimpor paham demokrasi ke negara-negara Barat.

Satu sistem kekuasaan pemerintahan, yang juga amat mendalam mempengaruhi kehidupan Politik di Asia, khususnya di Indonesia, adalah sistem birokrasi  yang sarat dengan  makna  filosofi. Kekuasaan Hindu, yang memandang kekuasaan itu sebagai sesuatu yang konkret. Barangsiapa memangku kekuasaan itu, dialah “Kekuasaan” itu sendiri. Karena itu “kekuasaan” dalam gagasannya tidak boleh dibagi-bagi, tidak boleh di pecah-pecah,  tidak boleh ada kekuatan lain yang menandinginya. Singkat kata tidak boleh ada opposisi  di dalam selimut kekuasaan. [4]Model tersebut pernah berlangsung  berbagai kerajaan di Jawa,  mulai dari Mataram Hindu sampai Kerajaan Majapahit, kurang lebih sepuluh abad lamanya. Tentu saja sistem itu (Manunggaling kawula gusti), sangat berbeda dari apa yang ditampilkan oleh Demokrasi Liberal dari Dunia Barat.

 

 

  1. BUDAYA POLITIK ORANG BUGIS MAKASSAR

Dalam tatanan kultural birokrasi berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan di masa lampau,  adat menempati posisi dan kekuasaan yang tertinggi,  raja hanyalah pelaksana adat, seperti yang dikutip dari  Leonard D. Andaya 2) :

 

” Di dalam tradisi cerita-cerita rakyat  Sulawesi dan Kalimantan , bukannya si penguasa yang merupkan kekuatan penggerak dunia, melainkan adat dan kebiasaan  yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka dan dikukuhkan oleh waktu…Nilai-nilai masyarakat yang sangat tua ini membentuk dunia orang-orang desa dan di dunia itulah terjadi interaksi antara manusia biasa, ningrat, penguasa, dan para dewa.Di mata orang desa para pelaku boleh berganti, tapi adat tinggal utuh dan pada akhirnya muncul sebagai pemenang dan pengukuh”

 

Konsepsi adat tersebut dikenal dengan istilah Pangngaderreng (Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar). Pangngaderreng terdiri atas lima bagian, yakni: 1) adeq (adat-istiadat), 2) wariq (sistem protokoler kerajaan), 3) bicara (sistem peradilan), 4) rapang (pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain), 5) saraq (syariat Islam).[5] Saraq sebagai bagian yang terakhir merupakan tambahan setelah Islam masuk di Sulawesi Selatan. Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat) yang bertugas untuk memutuskan urusan-urusan kerajaan yang bersifat keduniawian, sedangkan bagian yang kelima dikendalikan oleh Parewa Saraq (perangkat syariat) yang bertugas untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan syariat Islam misalnya perkawinan, pewarisan, dan sebagainya.

Jadi, pangngaderreng fungsinya sama dengan undang-undang dasar, pampawa adeq dan parewa saraq adalah pendamping dan pembantu-pembantu raja yang bertugas untuk melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan oleh perwakilan rakyat. Perwakilan rakyat ini terdiri atas beberapa orang, bergantung dari daerah mana asalnya; di  Soppeng misalnya, ia dikenal dengan nama Matoa Ennengnge Pulona (60 orang), di  Wajo dikenal dengan Arung Patang Puloe (40 orang), di Gowa disebut Bateq Salapanga (9 orang)., di Luwu di Kenal dengan Ade Aserae  (9 0rang) dan di Bone dikenal dengan Ade Pitue (7 orang)  Model permusyarawatan  untuk meyelengaraan kekauasaan yang berdasar  kerakyatan itu  telah ikut memperkaya  khasanah demokrasi di daerah Minangkabau   seperti lembaga  Minik mamak  yang merupakan  wadah di mana mereka yang dituakan oleh kaumnya bermusyawarah mufakat  buat menyelesaikan masalah-masalah bersama[6]

Struktur pemerintahan yang fungsional ini berjalan dengan kontrol budaya siriq yang begitu ketat, sehingga tidak mudah terjadi penyelewengan kekuasaan. Siriq merupakan sistem pranata sosial dan kultural masyarakat Bugis/Makassar yang menempatkan rasa malu dan pembelaan harga diri di atas segala-galanya.

Sayangnya, sistem pemerintahan kerajaan yang telah berjalan selama berabad-abad dan telah teruji oleh waktu ini telah porak poranda sejak kedatangan Belanda sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Para penguasa dalam kurun waktu itu selalu memperatasnamakan demokrasi namun dengan interpretasi sepihak yang pada dasarnya adalah praktek-praktek kekuasaan yang dilaksanakannya absolut dan diktator. Sedangkan pada masa reformasi ada kecenderunagan  elite /partai politik menganut  oligarki dengan mendahulukan kepentingan partai dari pada kepentingan rakyat.

Mula-mula pada tahun 1906, ketika kolonial Belanda menghapuskan semua dewan perwakilan rakyat di seluruh Sulawesi Selatan. Ia lalu mengganti dewan perwakilan rakyat itu dengan sistem pemerintahan Swapraja serta kepala-kepala adatgemeenschap. Ia juga menciptakan Korte Verklaring ( perjanjian pendek) yang dibacakan pada pelantikan raja yang salah satu isinya adalah pernyataan dan pengakuan tentang keabsahan kekuasaan Belanda.

Pada zaman Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno demokrasi yang  diperkenalkannya adalah demokrasi integralistik, yang pada hakikatnya memberi kekuasaan penuh di tangan satu orang, yakni presiden. Sistem kekuasaan ini menurut Zainal Abidin 3  merupakan konsep kekuasaan Hindu Jawa yang pernah dipraktekkan oleh Kerajaan Majapahit dan Mataram. Menurut konsep ini, kekuasaan itu harus dipegang oleh satu orang, yaitu maharaja atau dewaraja, tidak boleh dipecah atau dibagi ke bawah, karena kalau dipecah maka kekuasaan itu akan hancur dan rusak.

Hal yang sama juga telah dipraktekkan oleh pemerintah Orde Baru, meskipun dengan istilah yang berbeda, yakni Demokrasi Pancasila. Sebuah demokrasi yang legitimasi pembenarannya hanyalah berdasarkan sepihak yakni interpretasi dari pemerintah pusat, yang ujung-ujungnya melahirkan sistem pemerintahan sentralisitk. Dengan dalih kebudayaan nasional, yang berobsesi untuk mengakumulasi semua puncak-puncak kebudayaan daerah, maka hancurlah semua sistem pranata sosial teradisionil dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Padahal kebudayaan daerah itu bagaikan rumah-rumah kecil setiap suku bangsa itu, dan di sanalah mereka dilahirkan dan dibesarkan lewat nilai-nilai tradisionil yang ditanamkan kepadanya, sejak matahari terbit sampai tenggelamnya ke ufuk barat.

Sebelum abad XIV, masyarakat Bugis-Makassar  hidup dalam kelompok-kelompok kaum berdasarkan hubungan darah (genealogis) kelompok-kelompok kaum itu mendiami “wilayah kaum” yang tepencil letaknya dari wilayah kaum lainnya. Di Sulawesi Selatan, kaum-kaum itu dalam arti ikatan kekerabatan, atau persekutuan genealogis, disebut dengan berbagai istilah, seperti Anang; Bori’; Lembang; Lita’ dan lain-lain, masing- masing dipimpin oleh ketua kaum, juga dengan berbagai bentuk  sebutan, seperti: Matoa ; Amru,.Sullewatang,  Arung; Tumakaka dan sebagainya. Sifat dan model kepemimpinan yang disebut Ketua Kaum itu diangkat dari hasil pilihan di antara calon-calon dalam persekutuan  sendiri. Yang akan tepilih biasanya adalah dari keturunan tertua yang memiliki prestasi ketuaan atau keutamaan dalam hidupnya, sehingga meyakinkan warga kaumnya  memiliki kemampuan untuk mengayomi segenap warganya.

Persekutuan kaum itu, tersebar dalam wilayah yang luas, di pesisir laut, di lembah-lembah dan di dataran tinggi, masing-masing mempertahankan isolasinya, tetapi tidak pernah sepenuhnya dapat terbebas dari hubungan kelompok kaum lainnya. Serangan-serangan atau gangguan-gangguan dari persekutuan kaum yang menjadi tetangganya, selalu menjadi alasan untuk memperkuat pertahanan diri, juga dengan alasan yang sama untuk saling menyerang. Persaingan dan saling menyerang yang selalu dalam kemungkinan, menumbuhkan tata tertib kehidupan dalam kelompok menjadi disiplin. hidup yang terpelihara dengan cermat dan kuat. Berbagai usaha para Ketua Kaum untuk memelihara hubungan perdamaian antar kelompok kaum yang berdekatan dengan cara dan kondisi yang sesuai keperluannya masing-masing.

Di Kerajaan Gowa umpamanya, sembilan persekutuan kaum yang disebut bate-salapang (sembilan panji), bersepakat mengangkat seorang tokoh dari kalangan mereka, untuk menjadi tokoh pendamai yang dapat memberi keputusan yang adil, apabila terjadi sengketa di antara mereka. Tokoh itu disebut Paccallaya (Yang mencela). Tokoh ini semacam hakim arbitrase. Dengan demikian dapat dipelihara hubungan perdamaian antara kesembilan bori’ (kelompok kaum) itu.

Di Tanah Toraja, dibentuk persekutuan arruang atau ampu patangpulo lembang (persekutuan 40 kaum) melalui permusyawaratan  kaum yang disebut Basse-sallolo (sumpah setia antara saudara), untuk memelihara perdamaian di antara mereka.

Di Kerajaan  Wajo, tiga persekutuan kaum bersepakat memilih di antara mereka pemimpin yang disebut Arung Matoa Wajo, dan tokoh itulah yang menjadi pemimpin yang ditaati oleh semua. Pilihan secara berkala sesuai dengan masa jabatan yang disepakati dari calon-calon yang ada, memperkuat persatuan di antara persekutuan kaum itu.

Di Kerajaan Luwu dan Bone, selama beberapa waktu lamanya tak dapat diperoleh kesepakatan di antara ulu-anang (ketua kaum) untuk menghentikan saling serang menyerang di antara kaum. Kehidupan masyarakat anang, bagaikan ikan “saling terkam-menerkam, saling memangsa” (masa sianre  balena taue). Kekuatiran dan ketakutan mereka mewarnai kelakuan mempertajam saling curiga-mencurigai antara satu sama lainnya. Kelompok-kelompok kaum itu, kemudian didorong oleh rasa kuatir dan takut akan kepunahan, mengalami perobahan dengan ditemukannya konsepsi kekuasaan pemerintahan To-Manurung.

Sejak awal abad XIV Sulawesi Selatan menerima dan menyelenggarakan konsepsi kekuasaan pemerintahan To-Manurung, sebagai model kekuasaan yang diikuti pada dasarnya oleh gabungan negeri-negeri kaum dengan keunikannya masing-masing. Semua persekutuan kaum pada akhirnya menerima adanya satu persekutuan kaum yang menjadi modal pembentukan negeri (Bugis: wanua) yang lebih besar dan lebih kuat untuk dapat mengayomi orang banyak dari kelompok kaum yang telah bersekutu itu.

Rekayasa kekuasaan pemerintahan berdasar konsepsi To Manurung itu, lahir dari wawasan (cara pandang) orang Bugis Makassar abad XIV, yang bersumber dari mitologi (sastra suci) I La Galigo, tentang Dunia yang terdiri atas langit (dunia atas) yang disebut Botillangi’Bumi atau dunia tengah, yang disebutnya lino, dan Dunia di bawah bumi, yaitu pertiwi yang disebutnya Toddang -Tojang atau Urilliu’.            Ketiga aspek dunia itu , merupakan satu kesatuan yang membentuk Dunia. Hal itu berarti, bahwa, Dunia itu memiliki aspek atas yang disebut langit; aspek tengah yang disebut bumi, didiami oleh manusia; dan aspek bawah yang disebut Pertiwi, yang memiliki makna kebulatan dengan kedua aspek lainnya. Cara pandang cosmogonis seperti itu dinyatakan juga dalam segala macam kenyataan di dunia ini, seperti; struktur bangunan rumah tempat tinggal. Rumah itu memiliki tiga aspek, yaitu, aspek atas, disebut rakkeang (loteng), tempat menyimpan segala sesuatu yang dimuliakan, seperti padi, Kalompoang, Arajang dan barang-barang pusaka keluarga lainnya. Aspek tengah disebut ale-bola, tempat kediaman manusia. Aspek bawah, disebut awasao, tempat menyimpan peralatan untuk mata pencaharian hidup, seperti lukuh, cangkul, jaring penangkap ikan, malahan juga hewan ternak kecil, seperti ayam atau kambing.

Juga masyarakat tersusun dalam tiga lapisan, yaitu : (1) Lapisan_Atas, ialah  orang-orang yang berasal dari keturunan To-Manurung, (2) Lapisan menengah , yaitu para pemimpin adat/negeri atau anang dan keluarganya, dan (3) Lapisan bawah, ialah rakyat, to-maradeka, yang disebut juga to-tebbe’.[7]

Kedatangan To-Manurung , kalau mengikuti cara pandang ini adalah untuk menunjukkan adanya tempat di dunia ini yang dipandang atau dipercaya sebagai langit, tempat yang tinggi (atas) tempat yang mulia, yaitu aspek atas dari dunia. Siapapun yang (dipercaya) datang dari tempat yang tingg itu akan disebut to-manurung , yaitu orang yang turun dari tempat yang tinggi (mulia) itu.[8]

Untuk mendapatkan kedudukan istimewa maka ketiga aspek itu harus dipunyai, sehingga makna aspek dunia-bawah, mutlak dijadikan pasangan yang menyatukan dunia sebagai satu keutuhan. Orang dari lapisan atas juga dapat ditafsirkan sebagai orang yang memiliki keistimewaan yang dapat dipergunakan untuk keperluan manusia di bumi, bilamana ketiga aspek itu menyatu dalam dirinya. Kalau wawasan itu menjadi pandangan yang mendasari pengetahuan dan kepercayaan umum, maka niscaya ada sekelompok orang menjadi penggagas atau pelopor rekaya itu. Mereka tentu adalah orang-orang cendekia pada zamannya. Mereka adalah pemuka-pemuka kaum, matoa-ulu Anang, atau Arruang, Karaeng dan lain-lain, yang mempergunakan wawasan itu untuk menciptakan ketertiban atau tatanan baru, bagi terbentuknya masyarakat baru. Ia juga dapat dikatakan satu cara pada zaman purbakala untuk memberikan keyakinan kepada orang banyak tentang kebenaran (ketepatan) sesuatu konsepsi kepemimpinan yang akan ditaati oleh rakyat (orang banyak).[9]

Antara To-Manurung dengan Matoa Ulu-Anang atas nama warga kaum melakukan “Perjanjian Pemerintahan”[10] (Governmental contract) sebagai hukum dasar yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak (raja dengan rakyat) dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Dari sinilah berawal praktek-praktek demokrasi[11]  dalam lapangan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.

Penyelenggaraan pemerintahan kerakyatan atau demokrasi pada orang Bugis-Makassar dapat dikaji dari pengalaman tiga tana h(Negara) yang memiliki. mekanisme sendiri-sendiri, berdasarkan kondisi perkembangannya, yaitu : (1). Butta Gowa, (2). Tanah Bone, dan (3) Tanah Wajo. Konsepsi Pemerintahan Kerakyatan itu disebut Mangele’pasang-Massolompawo. Arti harfiahnya: Dorongan kekuatan (air) pasang, mengalirnya kemball (air) dari atas, ialah membawa makna tentang “Kedaulatan dari bawah (Rakyat), dan pengayoman kekuasaan dari atas”,. seperti konsep pemahaman demokrasi di Barat

Berbagai model permusyarawatan  untuk meyelengaraan kekauasaan yang berdasar  kerakyatan itu  telah ikit memperkaya  khasanah demokrasi kerajaan lokal Nusantara, seperti lembaga  Minik mamak  di Minangkabau merupakan wadah di mana mereka yang dituakan oleh kaumnya bermusyawarah mufakat  buat menyelesaikan masalah-masalah bersama

 

 B  DEMOKRASI “MANNGELE’ PASANG, MASSOLOMPAWO”

 

Sekitar abad ke XIV konsepsi To-Manurung berhasil menyatukan sejumlah kaum membentuk wanua (negeri), dan menggabungkan beberapa wanua negeri, menjadi tanah atau negara dalam konsep kerajaan lokal[12], dengan wilayah territorial yang luas dan meliputi sejumlah kaum, dan bersama-sama membangun tatanan kehidupan negara, yaitu Tanah (Bugis.)  Butta (Makassar), Lembang (Toraja), Lita’ (Mandar.)

Berbagi  kerajaan        di Sulawesi Selatan diawali dengan adanya  To-Manrung dengan mekanisme kekuasaan yang disesuaikan dengan  perkembangan keadaan setempat. Kedatangan To-Manurung, menjadi pangkal kegiatan penataan kehidunan ketata-negaraan, dalam wujud “kerajaan-kerajaan” . Sejak kedatangan To-Manurung            sebagai konsepsi kekuasaan pemerintahan yang membangun negeri-negeri kaum, menjadi kerajaan-kerajaan yang lebih luas wilayah territorialnya, dan semakin banyak pula petugas penyelenggara kekuasaannya atas rakyat yang semakin banyak pula jumlahnya, memerlukan penataan masyarakat yang lebih baik pula.

Pangngaderreng (Bugis.), Pangngadakkan (Makassar) yang menjadi rujukan penataan berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Acapkali orang memahami Panngadereng itu, sama saja dengan aturan-aturan adat, dan sistem norma. Panngadereng meliputi selain aspek-aspek norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai, norma-norma, juga meliputi hal-hal yang menyangkut perilaku seseorang dalam kegiatan nyata dalam masyarakat, bukan saja merasakannya sebagai “kewajiban” untuk melakukannya, melainkan lebih daripada itu, ialah adanya semacam kesadaran vang amat mendalam, bahwa seseorang itu, adalah bahagian integral dari Panngadereng. Panngaderreng, adalah bahagian dari diri dan hayatnya sendiri dalam interaksi secara total dalam kehidupannya, berpikir, merasa dan berkehendak yang terjelma dalam kelakuan dan hasil kelakuannya. Itulah mungkin yang dapat disebut “penghayatan dan pengamalan panngaderreng secara utuh”.

Pangadereng dengan demikian adalah aktualisasi seseorang (individu) memanusiakan diri dan merealisasi perwujudan masyarakat, membangun interaksi sosial . Panngadereng           itulah wujud kebudayaan orang Bugis-Makassar. Manusia sebagai individu adalah bahagian dari panngadereng-ny itu, pendukung kebudayaannya, ia terjelma menjadi pribadi “siri”  iapun bermartabat dan berharkat memikul tanggungjawab dan memiliki hak untuk mempertahankannya, dengan segala apa yang ada padanya. Dengan siri itu, seseorang mebawa diri berinteraksi dengan sesamanya. Dalam interaksi sosial terjelma konsep pesse adalah sikap  yang setara dengan SIR1, yang ditujukan terhadap upaya memelihara kebersamaan atau solidaritas, kesetiakawanan antar pribadi siri. pesse, menyatakan diri dalam kesadaran sikap kolegial. siri dan passe, menyatu dalam kesadaran makna. Itulah hakekat dari kualitas dari apa yang disebut “tau” (Manusia) yang hanya mungkin dapat mengaktualisasi dirinya, karena adanya tau yang lain. Kesadaran dengan kualitas itu, disebut “sipakatau”. Itulah makna sesungguhnya dari apa yang kita fahami dengan istilah Peradaban, yang disimpulkan dalam kalimat : “To-makkiade’, matanre ritu siri’na, na marilaleng ressena” (Orang yang beradab itu, tinggi siriI’-nya, dan mendalam pesse-nya”. Dalam masyarakat To-makkiade’ (beradab), seseorang itu beperilaku dengan kesopanan, berbudi pekerti, dan berakhlak mulia. Dengan kualitas individu seperti itulah dibangun hubungan-hubungan yang saling menghargai. sipakatau dalam kehidupan masyarakat dengan segala fungsi-fungsinya. Itulah yang menjadi pangkalan berkehidupan kerakyatan. Bagi masyarakat Bugis-Makassar “Demokrasi” seperti itulah yang memerlukan kualitas manusia sipakatau. Bagi orang Bugis-Makassar, demokrasi seperti itu bersumber dari kualitas manusia, yang memiliki siriI’ (martabat dan harga diri), dan memelihara pesse (kesetiakawanan), yang harus diamalkan dalam kehidupan politik,  Ekonomi dan kemasyarakatan lainnya, sebagai pernyataan diri dalam kesertaannya berinteraksi, berkehidupan bersama.

Empat  buah negara / kerajaan  yang menjadi perhatian tulisan  ini, yaitu Gowa, Bone, Wajo dan Luwu. Keempat  model dapat dikatakan sebagai contoh sebagai budaya politik, orang Bugis Makassar, terutama dalam abad-abad XV – XVII. Secara singkat, dapat dijelaskan  sebagai berikut :

  1. Kerajaan Gowa

Ada sembilan buah Negeri yang  disebut Bori atau Bate yang menjadi negeri asli yang membentuk Butta Gowa. Mula-mula kesembilan Bate itu berdiri dalam kemerdekaan dan otonominya masing-masing. Untuk memelihara persaudaraan di antara mereka ditunjuklah seorang bijaksana dari kalangan mereka sendiri menjadi pendamai apabila terjadi sengketa diantara mereka. Pejabat itu disebut Paccallaya, kedudukannya sebagai hakim arbitrasi di kalangan mereka yang ditaati keputusannya yang selalu didasarkan atas kesepakatan dalam permusyawaratan, yang dituntun oleh semangat “sipakatau” (kesamaan dan saling menghargai). Persatuan–persaudaraan yang demikian itu akhirnya dirasakan “terlalu longgar” dan “rapuh”, sehingga timbul gagasan untuk lebih memperkuat ikatan kesembilan negeri itu, menjadi satu negeri besar,  yang disebut Butta (negara). Gagasan itulah yang disebut Konsepsi Tu-Manurung dilaksanakan. seseorang yang disebut Tu-Manurung tidak ada hubungan kekerabatannya dengan kesembilan ketua kaum itu, juga tidak diketahui siapa ibu-bapanya, dan dari mana asal-usulnya. Ia datang dengan cara istimewa untuk dijadikan simbol atau lambang persatuan, dari  sembilan negeri dan menyebutnya Butta Gowa..

To-Manurung di Gowa itu, seorang perempuan. Suami Tu-Manurung itu seorang terkemuka dari Tana Luwu bernama Karaeng Bayo. Ia ditemani oleh Lakipadada dari Tana Toraja. Hubungan itu dimaksudkan untuk mendapatkan makna, legitimasi dan pengakuan dari negeri (yang dipandang) tertua di Sulawesi Selatan. Dengan To-Manurung itu, para Gallarang, Kepala Kaum yang empunya negeri, mengadakan “Perjanjian Ulu-Kana” ”yang menjadi pedoman dasar penataan Butta Gowa.

To-Manurung  dijadikan Tu-Nisomba (Pujaan) dan ditempatkan dengan segala kemuliaan dalam istana yang dibuat oleh rakyat baginya. Kepadanya dan keluarganya dijamin keperluan hidupnya. Tetapi kepadanya tidak diberikan “kekuasaan-pemerintahan” atas negeri-negeri asal Butta-Gowa. Kesembilan Negeri itu tetap dalam kekuasaannya masing-masing Kepala Negeri atau Gallarang yang secara bersama-sama disebut “Bate-Salapng”.

Badan Musyawarah  Butta Gowa dihadiri oleh anggota Dewan Kerajaan yang terdiri atas sembilan orang Bate-Salapang, Sombaya (Raja) ri Gowas, Tu-Mabbicara Butta’ (Mangku Bumi), Tu-Mailalang Towa, (Menteri pendamping Raja);. Tu-Mailalang Lolo (Menteri pendamping Bate-Salapang), dan beberapa orang Pembesar Butta Gowa dalam perkembangannya (seperti Daenta Kalia (Kadhi); Tu-Makkajannangang, Pati Matarang dll. Badan musyawarah itu menetapkan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan “Pedoman Dasar”.

Butta Gowa pada bentuk kenegaraannya mula-mula bersifat konfederasi, tetapi lambat laun menjadi federasi dari kesembilan negeri asal (Bate-Salapang). Karena sifatnya itu,  maka Pimpinan Butta Gowa menjadi lebih dinamis dalam kegiatannya memperluas wilayah ke luar daerah asal. Negeri-negeri yang ditaklukan  atau yang menggabungkan diri secara suka-rela dijadikan negeri-negeri yang dilindungi (Protektorat), negeri-negeri otonom (Palili’) atau negeri-negeri yang dipandang sebagai negeri passiajingeng (negeri yang terbentuk karena kekerabatan). Kepada negeri-negeti itu diberikan pimpinan dari keturunan Tu-Manurung yang disebut Ana’-Karaeng ri Gowa. Mereka itu disebut juga Bate Ana’ Karaeng.

Sebagai negara maritim kerajaana Gowa memelihara hubungan politik, ekonomi dan kebudayaan lainnya dengan banyak negeri atau kerajaan lokal Nusantara, terutama yang terletak di kawasan Timur Nusantara. Bahkan, menjalin hubungan persahabatan diplomatik dengan negara-negara asing. Semua negeri atau kerajaan lokal Nusantara yang mengakui keutamaan, kedaulatan dan menerima perlindungan Butta Gowa sampai pada pertengahan abad XVII, meliputi wilayah yang amat luas, yaitu hampir seluruh kawasan Timur Nusantara, termasuk sebahagian Kalimantan  dan Filipina Selatan. Hubungan dengan negeri-negeri yang meliputi wilayah yang luas itu, berdasar pada “perjanjian” pemberian status “otonomi” atau “Palili”, dengan penerapan prinsip-prinsip “Sipakatau”, dalam hubungan Siri’ dan Pacce di antara semua. Satu kawasan yang disebut “Passitallikanna Butta Gowa”, satu wilayah territorial di mana berlaku kegiatan “persahabatan sehidup-semati” antara negeri-negeri yang mendapat perlindungan Butta Gowa. Bukan suatu kawasan kekuasaan emperium yang berpusat di Butta Gowa dibawah kekuasaan Sombaya ri Gowa. Hubungan yang demikian tidak dikenal dalam sejarah Butta-Gowa.

 

  1. Kerajaan Bone.

         Sebelum terbentuknya “Kawerrang Tanah Bone” (Kerajaan  Bone) tardapatlah tujuh buah negeri yang disebut wanua, tempat bergabungnya beberapa buah persekutuan kaum. Antara satu kaum dengan kaum lainnya dalam satu atau beberapa wanua saling bermusuhan dan saling perang memerangi yang tidak berkeputusan, bagaikan ikan yang saling menerkam. Maka, dalam kalangan para kepala Wanua dan Matoa-Ulu Anang, timbullah kekuatiran dan ketakutan atas ancaman kepunahan anak keturunan mereka bilamana permusuhan-permusuhan itu tidak dihentikan. Maka lahirlah gagasan untuk menemukan pemimpin yang kuat. Pemimpin yang mampu mendatangkan perdamaian dan kemakmuran dalam kalangan mereka. Gagasan itulah  disebut To-manurung.

To-Manurung di Bone disebut Manurunnge ri Matajang,  dinamakan Mata-silompo’e, seorang laki-laki. Untuk pasangannya ditemukan juga To-Manurup perempuan di Toro’. Pasangan To-Manurung ini melahirkan lima orang anak. Seorang Putera, di namakan La Umase dan empat orang perempuan yang tua bernama  We’ Pattanra-Wanua.[13]

La Umase’-lah yang menjadi Arumpone kedua, menggantikan orang tuanya. La Ummase membentuk  ikatan “Perjanjian Pemerintahan” separti terjadi di Butta Gowa. Isi Perjanjian itu berupa Ulu-Ada  atau kontrak social berupa  pedoman umum hubungan  antara raja dengan rakyat  Pemerintahan dilakukan oleh To-Manurung Matasilompo’e dengan ke-tujuh Arung-Kepala Wanua (Ade’pitu), didampingi para Matoa-Ulu Anang atas nama To-Tebbe’. Terbentuklah berdasar Ulu’Ada itu “Kawerrang”  (ikatan kesatuan) Tana Bone. Kawerrang itu berpusat di Watampone yang dipimpin oleh To-Manurung dengan gelar Mangkau’E ri Bone (yang berdaulat di Bone). Sejak awal, sifat pemerintahan kerajaan Bone adalah “Pemusatan” (sentralistik) dengan Arumpone sebagai tokoh sentral, didampingi oleh Ade’-pitu  (sebagai Dewan Pemerintahan Tanah-Bone). Anggota Ade’ Pitu itu sebelum terbentuk Kawerrang masih menjadi Kepala Wanua. Setelah itu semua melepaskan jabatan Kepala Wanua dan menjadi Dewan Pemerintah kerajan-Bone dibawah Arumpone. Semua wanua berada dalam kesatuan kerajaan, dan menjadi daerah yang langsung dibawah kekuasaan pemerintah pusat Kerajaan Bone.

La Umase’ Arumpone ke-2 tidak mempunyai anak untuk menggantikannya, maka anak saudara perempuannya We Pattanra-wanua, yang dikawini oleh Kepala Wanua Palakka yang tidak tergabung ke dalam kawerrang Tanah-Bone, bernama La Pattikkeng dikaruniai seorang Putera diberi nama La Saliu’ Kerrampelua. Lasaliu inilah sejak bayi dijadikan Putera Mahkota. La Umase’ yang dipersiapkan untuk menjadi penggantinya menjadi Arumpone ke-3 setelah mendapat persetujuan Majelis Ade’ Tanah Bone atas nama rakyat Tana Bone.

Sejak Arumponeke-3 La Saliu’ Kerrampelua, darah To-Manurung mendapat kekuatan “darah rakyat” yang menjadi sumber kekuatas Tanah Bone, dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Wanua Palakka menggabung ke dalamnya yang berkekuatan ekonomi besar. Maka dengan mempergunakan keturunan To-Manurung yang telah berdarah rakyat, terwujudlah secara meluas sifat “kerakyatan” Pemerintahan Tanah-Bone, “calon-calon” penguasa mulai dari Pusat sampai ke daerah terkecil, terdapatlah hubungan darah yang menjadi kekuatan utama mempertahankan keutuhan “Tanah Bone” sebagai Negara Kesatuan yang besar di Sulawesi Selatan.

Sulawesi-Selatan sebagai Negara Kesatuan yang besar, Tanah Bone memiliki wanua bawahan dengan lahan pertanian yang luas dan subur. Sifat utama Rakyat Bone adalah petani, sehingga kerajaan  Bone sebagai negara agraris lebih banyak memiliki kekuatan bertahan dibandingkan dengan Butta-Gowa yang memiliki sifat lebih agressif. Negeri-negeri yang mengakui supermasi dan menjadi sekutu Kerajaan Bone sepenuhnya mengikut Panngadereng  Kerajaan Bone, sehingga tersebarlah dengan peresapan yang lebih mendalam peradaban To-Bone, yang seolah-olah menjadi rujukan bagi tata-kehidupan orang Bugis di Sulawesi-Selatan. Apa yang disebut kaum bangsawan (Anakarung to-Bone) bersebarlah ke mana-mana sampai ke Sulawesi-Tengah dan Sulawesi-Tenggara., bahkan ke Kalimantan dan semenangjung Melayu menjadi pemuka masyarakat setempat. Karakteristik kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan lainnya pada orang Bone,, cenderung untuk menunggalengi (memonopoli). Musyawarah Tudang-sipulung dalam ikatan kekerabatan menjadi rujukan bagi segenap upaya kesejahteraan yang bersifat “Kerakyatan”, artinya selalu harus memenangkan kepentingan “orang banyak”.

 

                  III Kerajaan Wajo.

Tanah Wajo, terletak di tengah-tengah negeri-negeri orang Bugis. Berbatasan dengan Tanah-Luwu di sebelah Utara; Tanah-Soppeng di sebelah  Selatan; Tanah-Bone di sebelah Timur  dan Sidenreng di sebelah Barat. Letak Tanah Wajo secara geografis menjadi jantung Tana Ugi’ (Bugis) yang menerima dan memberi segala macam anasir kebudayaan  termasuk gagasan dan pemikiran dari negeri-negeri sekitarnya. Ia menjadi tempat lalu-lalang, lintasan antara kepentingan negeri-negeri sekitarnya, baik benda-benda keperluan hidup maupun gagasan-gagasan tentang sesuatu penemuan baru.

Negeri-negeri kaum yang pada mulanya membentuk Tanah-Wajo ada tiga  pertama  adalah   Bettem-pola, kedua  Talo’tenreng dan yang ketiga adalah  Tua’[14]. Nama-nama itu juga menjadi nama Negeri masing-masing. Para Pemimpin kaum dari tiga negeri itu juga, mendapat pengaruh tentang konsepsi kekuasaan To-Manurung. Tetapi ketiga pepimpin kaum itu tidak menerapkannya sebagai jalan satu-satunya untuk mempersatukan ketiganya menjadi negeri yang lebih besar dan terikat dalam satu kesatuan. Ketiga negeri tetap merasakan kemerdekaannya dan bersama-sama memiliki kebebasan untuk berhubungan secara serasi dengan yang lain untuk bekerjasama maupun untuk saling membantu menghadapi kesulitan bersama. Mereka rukun-rukun dalam persaudaraan beretangga.

Tetapi akhirnya mereka rasakan adanya keperluan yang amat mendesak untuk membangun persatuan itu secara lebih teguh dan erat. Karena adanya kegiatan-kegiatan negeri-negeri besar untuk memperluas wilayah kekuasaan masing-masing yang memungkinkan akan datangnya intervesni dari negeri-negeri ltu. Keperluan Tanah Wajo bersatu untuk memelihara dan menjaga serta mempertahankan diri dari intervensi itu. Karena letaknya di tengah-tengah yang dapat menghubungkan wilayah penghasil pertanian dengan wilayah atau negerti penghasil sumberdaya lautan dan hutan, maka negeri-negeri itu memiliki pengalaman yang panjang sebagai penyalur bahan-bahan keperluan hidup dari satu negeri ke negeri lainnya. Keperluan persatuan ketiga negeri kaum itu akhirnya menjadi kesepakatan mereka. Mereka memilih seorang Ketua diantara mereka dan menamakannya Arung Matoa Wajo. Penentuan pilihan terhadap seseorang untuk menjadi ketua itu dilakukan melalui satu pedoman yang menentukan Kriteria atau syarat-syarat umum untuk dapat dipilih dan melakukan tugas-tugas menjadi Arung Matoa. Pedoman itu juga semacam “Perjanjian Pemerintahan” yang isinya pada garis besarnya, sama dengan yang terdapat di Gowa dan di Bone.

Hanya saja, di Kerajaan Wajo’, lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan dan petugas-petugasnya terikat pada satu kesepakatan umum yang ditetapkan dalam Ulu-ada yang menyatakan “Merdeka Orang Wajo, hanya adat (hukum)-nya menjadi Pertuanan Orang Wajo)”. Prinsip Negara Hukum itulah membawa Tana-Wajo kepada kebesarannya dan dikenal sebagai salah satu Negara Pendekar “Demokrasi” di Nusantara. Hal itu secara amat jelas terselenggara dalam struktur kelembagaan Pemerintahannya melaksanakan “Mangele’ pasang, massolompawo”. Kerajaan  Wajo bertumbuh menjadi satu Negara Republik Aristokratik, dalam arti sekumpulan “orang pilihan terbaik” dari ketiga kaum, menjadi Ketua (Pemimpin) untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Arung-Matoa-Wajo, dalam memimpin pemerintahan di dampingi oleh tiga orang pejabat negara yang disebut Paddanreng, yaitu: (1). Paddanreng Bettempola. (2). Paddanreng  Talo’ Tenreng dan (3). Paddanreng Tua”. Ketiga Paddanreng itu tetap merangkap menjadi kepala negeri (Arung) dari negeri asal. Di samping tiga orang Paddanreng itu, terdapat lagi tiga orang pejabat tinggi  kerajaan , yang disebut Pabbate lompo, ialah wakil resmi ketiga negeri atau kaum yang disebut juga pabbate-Lompo dari Talo’ Tenreng, Bettempola dan Tua’, dengan panji masing-masing bergelar Patola (Aneka-warna); Pilla (merah), dan Cakkuridi (kuning). Pada mulanya Pabbate-Lompo itu menjadi Panglima Perang Tana Wajo. Tetapi selanjutnya para pejabat Negara itu, semuanya menjadi Pendamping Arung Matoa Wajo, dengan tugas sebagai Menteri-menteri Negara.

Ketiga orang Paddanreng dan tiga orang Pabbate-Lompo, bersama-sama merupakan Dewan Negara yang disebut Arung Ennennge, atau Petta Ennennge (Pertuanan yang enam). Bilamana Arung-Matoa Wajo’ hadir dalam musyawarah Dewan itu maka ketujuh Pembesar itu disebut Petta Wajo’ (Pertuanan Tana Wajo’). Di samping Petta Wajo itu terdapat sebuah Lembaga yang disebut Arung Mabbicara (Pertuanan yang menetapkan hukum), beranggota tiga puluh orang, masing-masing sepuluh orang dari tiga Negeri asal. Lembaga Arung Mabbicara ini dapat dipandang sebagai Parlemen Tana-Wajo’ yang bertugas: (1). Maddette’bicara (Menetapkan hukum-Undang-undang); (2). Mattetta’ mappano-mappate’ bicara (Mengesahkari aturan penyelenggaraan Undang-Undang untuk dijalankan oleh Petta Wajo’.

Selain lembaga-lembaga : (1). Petta Wajo’ = 7 orang; (2). Arung Mabbicara = 30 orang; dan (3). Suro-ribateng = 3 orang. Suro-ribateng itupun setiap orang berasal dari tiga negeri asal bertugas: a). Menyampaikan kepada Rakyat hasill-hasil permufakatan dan Perintah-Perintah dari Paddanreng. b). Menyampaikan kepada Rakyat perintah-perintah dari Bate-Lompo dan c). Menyampaikan kepada Rakyat permufakatan dan perintah-perintah dari Petta Wajo’. Seluruh Pejabat Negara Tanah-Wajo itu, Arung Matoa (1) + Paddanreng (3) + Arung Mabbi’cara (30) + Pabbate-Lompo, (3) + Suro-Ribateng (3) orang, maka semuanya berjumlah empat puluh orang, dan disebut juga Arung PatappuloE. Itulah yang menjadi penyelenggara Kedaulatan Rakyat, atau Penjelmaan Seluruh Rakyat  Tana-Wajo. Dalam ungkapan orang Wajo “Paopang, Palengenngi Tanah Wajo” (ialah yang (dapat) menelungkupkan dan menengadahkan Tana-Wajo.)

Pemerintahan daerah bawahan Tanah-Wajo, dilakukan oleh Paddanreng (kepala negeri), yang dibantu oleh Punggawa atau Matoa yang melakukan pimpinan atau pengaturan langsung kepada rakyat. Ialah yang disebut “Inanna To-Tebbe’e” (Ibu-Bapa Rakyat).     Jabatan Arung Matoa WaJo’  tidak diwariskan, turun-temurun dari satu keluarga . Arung Matoa Wajo, dipilih oleh 39 orang anggota Puang ri Wajo’, baik dari dalam maupun dari luar kalangan mereka. Adapun jabatan-jahatan lainnya diwariskan turun temurun  dari Pemangku jabatan asli negeri asal, karena merekalah yang sesungguhnya menjadi Pemilik Asli Ade’ Tana-Wajo, To-Maradeka, Ade’nami napopuang.

 

IV Kerjaan Luwu

Kerajaan Luwu pada awalnya  berpusat di Ware  adalah salah satu kerjaan tertua  di Sulawesi Selatan  dan merupakan cikal bakal kerjaan-kerajaan psisir di Sulawesi Selatan. Kisa mengenai wal mula terbentuknya kerajaan Luwu  masih banyak dibumbuhi dengan mitos. Disebutkan bahwa pendiri Kerajaan ini  adalah batara Guru. Bersemayan di atas tahtanya di Ware, kemudian dilanjutkan oleh putranya bernama batara lattu. Namun Pusat kekuasaan itu terputus dalam waktu yang tidak Jelas.

Raja Luwu umunya bergelar datu  selain itu juga dikenal Payungnnge ri Luwu. Gelar ini dikenakan pada setiap pemegang kendali pemerintahan

Pada dasarnya semua  pemegang kendali pemerintahan disebut Datu, namun tidak semua datu dapat  diberi predikat Payungnge ri Luwu. Sebelum menjadi payung mereka harus menempuh ujian berat  di temapat yang bernama “Tanah Bangkala”. Setelah lulus  barulah datu dinobatkan menjadi Payung. Struktur organisasi pemerintahan Kerajaan Luwu yang berlaku sejak pemerintahan Teri rawe Datu XIV sebagai berikut:

  1. Pajung atau datu sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan
  2. Cenning, Wakil datu  dalam persidangan jika berhalangan hadir dan juga bertugas mengumumkan perang
  3. Pakketenni Ade yang terdiri Patunru, Pabbicara, Torilaleng dan Balirante

 

Dalam mengentrol pemerintahan (semacam DPR) dibentuk dari Ade  Asera  yang terdiri dari

 

  1. Ana Tellue  yang teridiri dari wilayah pemerintahan yaitu Bua ( Maddika), Ponrang ( Maddika dan Baebunta (Makole)
  2. Bandera Tellue: Andi guru Anakkarung (mewakili kaum bangsawan), Andi Guru Antoriolong( mewakili pegawai Kerajaan) dan Andi Guru pappawaepu ( mewakili kaum pekerja)
  3. Bate-bate Tellu yang terdiri Matowa Wage (Mewakili rakyat Wage), Matoa Cenrana  ( mewakili rakyat Cenrana) dan matoa Lal;engtoro (mewakili rakyat Lalengtoro)

Dalam pembentukan  anggota pangngaderreng  terdiri atas dua badan  yaitu Ade Asera serta Ade Seppulo Seddi. Namun pada masa pemerintahan Pati pasaung Datu XVII yang didampingi oleh Mangawang Patunru  Musatafa, diadakan perubahan anggoata perubahan  panggngaderrengAde Seppulu seddi menjadi Ade Seppulu Dua, yaitu dengan menambahkan sebuah jabatan  bernama Qadhi atau yang digelar Datunna Syara dalam susunan pemangku adat. Hal itu disesuaikan dengan keadaan masyarakat setelah masuk Islam.

Di Dalam setiap persidangan  ada dua belas, maka tiap-tiap anggota harus  selalu mendasarkan pikiran dan pertimbangannya  pada hukum dasar kerajaan baru. Hukum dasar itu adalah  pengganti hukum dasar yang lama, berhubung karena Islam Menjadi agama resmi di Kerejaan Luwu.

Agama Islam masuk di Kerajaan Luwu pada masa pemerintahan  Patiarase yang merupakan datu ke VI sekitar abad ke 17. Ketiga wilayah  pemerintahan  dalam kerajaan Luwu  yang bergelar anak Tellue berkahir pada masa pemerintahan Andi Jemma yaitu datu ke 36 di Luwu, akan tetapi kekuasaannya  telah berakhir  pada masa pemerintahan Andi Kambo Opu daeng Risompa datu ke 34 yaitu sejak Belanda menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1906.

 

 

 

 

  1. PANNGADERENG SEBAGAI KEKUATAN HUKUM

Konsepsi kekuasaan kepemimpinan To-Manurung di Gowa, di Bone dan di Wajo yang dijadiken sasaran perhatian, masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri yang memberikan variasi model kerakyatan, yang berpangkalan dari kejadian sejarah perkembangannya masing-masing.  Seperti telah diuraikan  bahwa kelompok-kelompok persekutuan kaum (dalam ikatan genealogis), dengan ditemukannya konsepsi To-Manurung, menyebabkan terbentuknya dua pihak yaitu: (1) Pihak To-Manurung yang didatangkan, untuk diserahi tugas melakukan pemerintahan atas negeri-negeri yang  terbentuk atas kesepakatan beberapaa buah kelompok persekutuan kaum, dan (2) fihak pemimpin kaum (matoa-ulu anang) ates nama Rakyat yang menjadi pemilik asli negeri dan ketertibannya yang disebut Ade’.

Kedua fihak melakukan kesepakatan atau perjanjian pemerintahan. Perjanjian pemerintahan itu, dengan berbagai nama, seperti ulu-Ada,          Ade’-pura-onro, Ade’ Maraja, semua itu berarti ketentuan-ketentuan umum yang mendasar.

Isi perjanjian itu pada dasarnya menyebut tentang hak-hak dasar dan kewajiban utama kedua belah pihak dalam melakukan pemerintahan dan dan melaksanakan kewajiban kenegaraan oleh kedua-belah pihak. perjanjian itu dapat dipandang sebagai Pedoman Dasar atau Konstitusi awal, yaitu ketentuan-ketentuan (tertulis) yang menentukan pokok-pokok atau prinsip-prinsip tentang kekuasaan, tata-kehidupan negara dan hak milik kedua belah pihak. Semua negeri, atau Negara yang juga biasa disebut Kerajaan Lokal di Sulawesi Selatan memiliki apa yang kita sebut pedoman Dasar atau Konstitusi Awal itu. Perjanjian itu diucapkan ulang oleh setiap Raja baru yang dinobatkan. Isi perjanjian itu pada hakekatnya sama saja yang terdapat di seluruh negeri yang kedatangan konsepsi kekuasaan To-Manurung. Maka Pedoman Dasar yang dikemukakan di sini adalah yang menjadi pedoman Dasar atau Ulu-Kana Butta Gowa. yang terdapat dalam Lontara’ Pattrioloanga ri Tu-Gowa-ya.[15] dengan naskah asli bahasa Makassar.

Terjemahan

  1. Bahwa kami menjadikan engkau pertuanan (Raja) kami;

maka…. dipertuanlah Engkau, dan kami …. menjadi abdi (Rakyat).

  1. Sampiran (tempat bergantung)-lah Engkau;

Labu (tempat air)-lah kami (yang) bergantung.

  1. Bila patah sampiran (tempat bergantung),

maka pecah juga labu (tempat air).

dan bila patah sampiran (tempat bergantung),

tetapi, Tidak pecah labU (tempat air),

maka …. kamilah binasa.

  1. Bahwa kami tak terbunuh (oleh) senjatamu;

Engkaupun tak terbuhuh (oleh) senjata kami.

  1. Bahwa kami, Dewata saja membunuh kami;

Engkau-pun. Dewata saja membunuh engkau.

  1. Bersabdalah, (maka) kami (akan) melakukan;

Tetapi, bila kami (telah) menjunjung;

Kami tak akan memikul (lagi);

Bilamana kami (telah) memikul,

kami tak akan menjunjung (lagi).

  1. Anginlah engkau, (maka) karmil daun kayu;

Tetapi (hanya) daun kuning (saja) engkau luruhkan.

  1. Air-lah engkau, (maka) kami batang hanyut;

Tetapi (hanya) banjir bonang (saja) menghanyutkan.

  1. … . walaupun anak kami;

Walaupun isteri kami;

Kalau (mereka) tidak menyukai Negeri;

(Maka) Kami-pun tak menyukainya.

  1. Bahwa kami menjadikan engkau pertuanan (Raja) kami;

Batang-tubuh (pribadi) kami saja mempertuan engkau;

Tidak harta milik kami.

  1. Tidak engkau mengambil ayam (kami) dari tenggerannya;

Tidak engkau mencopet telur (kami) dari keranjangnya;

Tidak engkau mengambil kelapa sebiji-pun.

(dan) pinang setandan (pun) kepunyaan kami.

  1. Bilamana engkau ingini (dari) harta milik kami;

Engkau membelinya. yang layak engkau beli

Engkau tukar yang layak engkau tukar.

Engkau minta yang layak engkau minta

engkau tak mengambil harta milik kami.-

  1. Yang dipertuan (Raja), tidak menetapkan Peraturan dalam Negeri,

tanpa (kehadiran) Gallarang;

Gallarang tidak menetapkan permakluman perang,

tanpa (kehadiran) yang dipertuan (Raja).

 

Pedoman dasar,  seperti inilah menjadi rujukan untuk terbentuknya pola-pola umum panngadereng di, seluruh negeri, mengikuti karakteristik atau keunikan yang terdapat di Luwu, Bone, Goowa dan Wajo, sebagai negeri yang dipandang sebagai kakak oleh Negeri-negeri lainnya.

Panngadereng itu sebelum Islam memiliki empat unsur yaitu: 1).  Ade, ,bicara, rapang, dan  Wari.  Secara garis besar unsur-unsur itu diuraikan sebagai berikut :

l).   Ade’, sistem norma dan aturan-aturan dalam kahidupan masyarakat itulah disebut Ade’.. Ia adalah salah satu unsur Panngadereng, yang mendinamisasi kehidupan masyarakat, karena Ade’ meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam semua kegiatan kehidupan bermasyarakat. Maka pada segi ini ade’ berarti tata tertib yang bersitat normative, memberi pedoman kepada sikap hidup dalam menghadapi, menanggapi dan menciptakan hidup kebudayaan baik ideologis, mental spiritual,  maupun fisik.

Karena ade’ meliputi segala aktivitas kehidupan dalam masyarakat maka untuk memusatkan diri kepada tujuan penulisan makalah ini yaitu tentang pemerintahan dan kekuasaan, yakni yang menyangkut hak dan kewajiban rakyat dan pemimpin dalam kehidupan Negara (kerajaan), maka dikemukakan antara lain; yang disebut ade’ tana.

Ade’ tana, ialah Tata negara atau penataan negara, meliputi kegiatan penyelenggaraan kekuasean pemerintahan. yang berasas pada mangele’-pasang - massolompawo (kekuasaan dari rakyat – pengayoman dari Pemerintah), ialah asas kekuasaan dan pemerintahan yang bersifat Kerakyatan. Untuk mengetahui dari mana asal atau sumber kekuasaan itu, rujukannya adalah pada apa yang disebut  ulu’ada, yaitu Perjanjian Pemerintahan, seperti telah disebut di depan. Rakyat memberikan wewenang kekuasaan Pemerintahan (Mangele’pasang) kepada Pertuanan (Raja) untuk diselenggarakan bagi kepentingan Rakyat (Masolompawo). Kekuasaan itu berasal dari bawah (Rakyat), maka ia disebut Manngel’pasang) (membentangkan air pasang), dan Pemimpin atau Pemerintah menyalurkannya kembali (dengan kejernihan) untuk kemaslahatan Rakyat maka ia disebut Massolompawo: (Mengalirkan kejernihan dari atas). Itulah asas kerakyatan atau demokrasi di Sulawesi Selatan, menurut Panngadereng.

Semua ketetapan yang berasal dari (kesepakatan) Rakyat disebut Ade’ Maraja (aturan besar/pokok), yang dijadikan pedoman penyelenggaraan Pemerintahan yang dilakukan oleh para pelaksana kekuasaan pemerintahan.

Sebuah pedoman umum untuk dapat dipergunakan untuk melacak jenjang-jenjang pelaksana Pemerintahan itu, ialah yang disebut “Taro Ada” (Bugis) atau “Tappu’ kana”  (Makassar) yang berarti ketetapan yang tidak boleh berobah (Pura onro), berbunyi sebagai berikut :[16]

Rusa’taro Arung,                                 (Batal ketetapan Raja,

tenrusa’ taro ade’                                tidak batal ketetapan ade’

Rusa’ taro Ade’                                   Batal ketetapan Ade’ (Adat)

Tenrusa’ taro anang                            tak batal ketetapan kaum.

Rusa’ taro anang                                 Batal ketetapan kaum,

Tenrusa taro to-tebbe’             tak batal ketetapan rakyat.

Dart Taro-ada ini dapat disimak jenjang kekuasaan pemerintahan dan cakupan wilayah kekuasaan setiap pejabat yang terdiri atas:

  • Arung (Raja), sebagai Kepala Negara/Pemerintahan yang meliputi beberapa Negeri bawahan (Tana atau Butta)
  • Gallarang., Karaeng, Arung Palili, sebagai Ketua Adat yang meliputi beberapa wilayah persekutuan kaum atau Anang (wanua dll)
  • Matoa , Ulu Anang, Ampu Lembang, sebagai Pemimpin Kaum (keluarga Besar), yang meliputi wilayah kaum yang tersebar di seluruh negeri, dengan aneka nama (kampong, lembang dll.)

Matoa-Ulu Anang, Ampu, Tomakaka yang menjadi pengemong langsung dari To-tebbe’ (Rakyat) di situlah terletak sumber kekuasaan atau pangele’ pasang (kekuatan dorongah dari bawah.) Disitulah sumber Ade’ Maraja yang memelihara tradisi kehidupan yang amat dihormati dan ditaati, dalam melakukan kehidupan ketertiban masyarakat.

Anasir Panngadereng lainnya  yaitu (2). BICARA, ialah yang bertalian dengan masalah peradilan; (3). RAPANG, ialah yang bertalian erat dengan upaya mempertahankan tradisi dan etika kehidupan berkelanjutan, dan (4). WARI ialah yang memelihara klasifikasi tata urutan ketertiban berkehidupan, kekeluargaan dan hubungan antar Negara, Setelah Islam diterima menjadi agama umum dalam masyarakat Bugis-Makassar maka dijadikanlah SARA’ (Syariat Islam) menjadi unsur Panngadereng yang ke (5), Memberikan isi Panngadereng dengan semangat Iman dan  aqidah Islam.

 

 

 

SIMPULAN

Adalah jelas bahwa  untuk dapat hidup sehat, demokrasi model manapun  yang berkembang  di Indonesia  harus serasi dengan latar belakang kulturil yang melingkunginya. Secara umum dapat disebutkan bahwa  system  demokrasi sebagai salah satu bagian dari system kehidupan masyarakat Nusantara di masa lalu sarat dengan nilai-nilai demokrasi. Karena itu masalah demokrasi pasca reformasi ini   harus ditafsirkan ulang kembali  dalam konteks  Budaya Politik Ketimuran. Yang menjujung tinggi kegotong royonyan dan kolektivitas. demokrasi adalah   suatu yang harus diperjuangkan bukanlah sekedar  dihidangkan. Perjuangan kita adalah memperkaya nilai-nilai demokrasi yang secara historis telah tumbuh dan berakar di setiap kerajaan Nusantara.. Kakayaan nilai-nilai budaya tersebut seyogyanya dapat menjadi  harapan baru dalam memperkaya khasanah demokrasi di Masa depan

Salah satu keunikan  bentuk pemerintahan  di Sulawesi Selatan pada masa lalu  adalah terletak pada sistem pemerintahannya yang berbentuk kerajaan, tapi tidak absolut dan otoriter seperti halnya dengan sistem kerajaan lainnya. Penyelenggaraannya bersifat demokrasi, yakni raja tidak mesti turun-temurun, tapi dipilih dan diberhentikan oleh perwakilan rakyat. Prinsip- prinsip kerakyatan ini  dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah mangelleq pasang, yakni kekuasaan itu diibaratkan dengan air pasang yang naik ke pantai; suatu simbolisasi tentang  kekuasaan yang berasal dari rakyat untuk diserahkan kepada pemerintah agar dilaksanakan. Di sinilah letak keunikannya dibanding dengan sistem pemerintahan  lainnya di Nusantara .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Abidin, Andi Zainal, 1983. The Emergence  of Early  Kindoms in Sulawesi. Prelimanary  Remarks on Govenmental  Contracts  from  the Thirteenth to the Fifteenth  Century.

 

Abidin, Andi Zainal, 1985. Wajo  Abad XV-XVI. Suatu Penggalian Sejarah  Terpendam Sulawesi Selatan  dari Lontara. Bandung Penerbit Alumni

 

Bellwood, Peter. Man’s  Conkuest of the Facific. The Prehistory of  Southeast Asian and Oceania. New York: Oxford University Press.1979

 

Cadwell, Ian. South Sulawesi A.D. 1300-1600.: Ten  Bugis Texts. Dissertation Faculty  of Asian Studies. Australian  National university, Camberra. 1988.

 

Andaya, Leonard, Y. Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan Perang Makassar 1666-1669 dari buku:  Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, terjemahan Anthony Reid & David Marr, 1983

 

Noorduyn.J.  De Islamisering van Makassar  . BKI. CXII,247-266

H.J. Friedericy, De Standen bij de Boeginizen en Makassaren, 1933. BKI 90

Niemann, G.K. Geschiedenis van Tanete, Leiden: s-Grafenhage, Martinus Nijhoff 1883. hlm. 112-118.

 

Noorduyn, J.  Een Achttiende Eewse Kroniek van Wadjo, s-Gravenhage: H.L. Smits, 1955

 

Noorduyn, J.  “De handelsrelatie van het Makassarsche rijk volgens een notitie van Cornelis Speelman uit 1670”, dalam: Nederlandsche Historische Bronnen (No. 3, 1983) Ligvoet, A., “Transciptie van het Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo met vertaling en Aantekeningen”, dalam: BKI (1880, Bag. IV).

 

Makarausu Amansyah, “Pengaruh Islam dalam Adat Istiadat Bugis-Makassar”, dalam: Bingkisan (Thn II, no. 5)

 

Mallinckrodt, J., 1933. ‘Gegeven over Mandar en andere landschappen van Zuid-Celebes, dalam: Adatrecht Bundel XXXVI,  s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Matthes, B.F. Boegineesche Chrestomathie. Tweedie deel Amsterdam, Spin, 1872

 

Mattulada, H.A., Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press, 1998.

 

Patunru, Abdurrazak Daeng.,  Sejarah Gowa,  Makassar: YKSS, 1983

 

Patunru, Andurrazak Daeng, dkk. 1989. Sejarah Bone, Ujung Pandang: YKSS

 

Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004. Bingkisan Patunru. Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar: Pusat Kajian Indonesia Timur bekerjasana dengan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

  1. Lontarak

Peliheng Dg, Mangatta.  Lontara Bone. Milik  Mahcmud Nuhung,

Lontara Wajo milik Petta Ballasari

Lontara Bone milik Andi Mappayukki, Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi selatan dan Tenggra.

Lontara Gowa Koleksi Museum Makassar

 

[1] Prof Dr.A. Rasyid Asba, MA adalah  Ketua  Program Ilmu Sejarah Pascasarjana  Universitas `Hasanudin. Kini juga menjabat sebagai  Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin .  Makalah ini disampaikan dalam   Temu Akbar  II  2014   Mufakat Budaya Indonesia FGD Sesulawesi dan Kalimantan 3- 5 Desember   2014.

 

[2]  Dari berbagai negara bangsa di dunia  yang mapan demokrasinya sekarang telah melalui revolusi social. melalui proses sejarah yang pangjang dari Tirani  kerajaan – oligarki elite/ partai- baru melahirkan Revolusi sampai terbentuk demokrasi. Penjelasan serupa dapat kita lihat  dalam  David Held, Models of Democracy,  California, Stanford University Press, 1996. hal.296-305

 

[3] Akhir-akhir ini model demokrasi  yang dikembangkan seperti di Indonesia, tidak berjalan sepenuhnya karena munculnya oligarki elit/ partai  yang jauh dari misi suci  system demokrasi  .

[4] Menurut Anderson, Dalam pemikiran Jawa  alam semesta itu tidak berkembang dan tidak  menyusut dan dihunu oleh kekuatan yang tidak bisa diraba, misterius dan suci. Jumlahnya secara menyeluruh tidak berubah  walaupun distribusi kekuatan itu di dalam alam semesta beraneka ragam.. Semua jenis kekuatan itu sumbernya  dari pusat adan alam semesta yaitu sang Hyang Wenang atau Sang Hyang Tunggal. Karena  dalam budaya Jawa  dikenal berbagai kekuatan antara lain pulung, wahyu, andaru, teluh braja dan guntur. Untuk lebih jelasnya lihat Parsudi Suparlan. “ Demokrasi  dalam Masyarakat Pedesaan Jawa” dalam  majalah Prisme No.2 Feb. 1977, hal 66.

2)  Andaya, Leonard, Y. Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan Perang Makassar 1666-1669 dari buku:  Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, terjemahan Anthony Reid & David Marr, 1983

[5] Bandingkan dengan Noorduyn.J.  De Islamisering van Makassar  . BKI. CXII,247-266.

[6] Untuk lebih jelasnya lihat Mattulada “ Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Indonesia” Perisma  no 2 tahun 1977. hal 39

3) Andi Zainal Abidin,   The Emergence of Early Kindoms in  Sulawesi. Preliminary Remarks on Govermental  Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century.  Bandung Penerbit Alumni, 1983. Bandingkan dengan Benedict  Anderson . The Idea Power  in Javanese  Culture.  In Claire Holt and  Others (Ed) Vulture and Politics in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press. 1972.

[7] H.J. Friedericy, De Standen bij de Boeginizen en Makassaren, 1933. BKI 90, membagi lapisan sosial orang Bugis-Makassar, atas tiga strata, yaitu: (1) Arung dan anakarung-kaum bangsawan, (2) . Maradeka atau rakyat kebanyakan, dan (3) . Ata, Tetapi dikatakannya juga bahwa lapisan ata itu adalah sekunder yang datang kemudian.

 

[8] Biasanya tempat yang tinggi yang dijabarkan sebagai langit atau tempat yang tinggi, antara lain gunung. Ada gunung dipandang suci, tempat para dewa, atau begawan yang menuntut  ilmu-ilmu kebatinan dan sejenisnya. Tempat orang-orang luar biasa yang memiliki kesaktian. Gunung Bawakaraeng di Sulawesi Selatan dipercaya sebagai tempat keramat yang disucikan.

 

[9] Sama saja halnya pnda zaman moderen, juga memerlukan cara untuk meyakinkan rakyat tentang kebenaran sesuatu kekuasaan atau kepemimpinan yang diterima sebagai Pemimpin Rakyat atas nama “Demokrasi” atau “Kerakyatan”

 

[10] G.Catlin, dalam bukunya A History of the Political Philosophy menyebut perjanjian seperti itu Governmental-contract (hl.275) ….. a compact or quasicontract the ….the question rises who was to decide upon the details and to proceede against him who broke it. (Riekerk, 1959, hal.13.)

 

[11] Dijabarkan kepada Kerakyatan dalam arti Penguasa dalam melakukan tugas  kekuasaannya, selalu memihak atau memenangkan kepentingan Rakyat. Ia mengayomi kepentingan Rakyat.

 

[12] Sebutan umum “kerajaan lokal” dan “ raja” sebagai pimpinannya, sesungguhnya untuk masyarakat Sulawesi Selatan, kurang tepat, ia disebut “tanah” atau “butta”. Setiap tanah memiliki arajang. Kata arajang, itulah rupanya dijabarkan ke dalam isilah kerajaan dan raja. Arti, arajang, ialah kemuliaan (regalia) atau kebesaran.

 

[13] Lontara Bone Milik Andi Muh. Ali.. Watampone,  Koleksi Pribadi Lihat Pula Lontara Silsila raja Bone Koleksi Paliheng Daeng Mangatta di Sinjai

[14]  Untuk lebih jelasnya lihat Lontara Petta Ballasari. Sengkang ,Koleksi Pribadi

[15] Lontara, Gowa. Milik Andi Mappanyukki, Koleksi Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Bandingkan pula dengan penafsiran Leonard  Andaya  “The Heritage  of Arung Palakka . A. History  of South Sulawesi (Celebes) in the seventeenth century  “The  Hague: M. Nihhoof. 1981  Lihat juga Leonard Andaya “Kingship adapt Rivalry and The Rule  of Islam   in South Sulawesi”. JSAS, XV 1984 hal. 22-42

[16] Lihat Lontara  Bone Milik Andi Mapapnyukki. Koleksi Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300