Multikulturalisme, Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan Harmoni:
Studi Kasus Kaharingan di Kalimantan Tengah[1]
Oleh: Dr. Marko Mahin, MA[2]
Pendahuluan
Kaharingan adalah nama agama masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Menurut masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah (yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya) terdapat 223.349 orang penganut agama Kaharingan (Kalimantan Tengah Dalam Angka 2008). Kata Kaharingan berasal dari bahasa Dayak Ngaju, yang muncul dan dipakai dalam upacara ritual keagamaan. Dalam basa sangiang yaitu bahasa ritual para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci, kata Kaharingan berarti “hidup atau kehidupan” (Baier, Hardeland dan Schärer, 1987: 48).
Perkembangan agama Kaharingan tidak hanya terbatas di kalangan orang Dayak Ngaju saja. Weinstock (1983), menginformasikan bahwa Kaharingan sebagai agama meluas ke suku Dayak Luangan. Informasi yang senada juga kita dapati dalam tulisan Hudson (1967, 1972) bahwa suku Dayak Ma’anyan di wilayah sungai Barito menyebut sistem agama mereka juga sebagai Kaharingan. Berdasarkan Komposisi Etnis berdasarkan Agama di Kalimantan Tengah Tahun 2000 tampak bahwa hampir semua suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah, misalnya Dayak Tumon di daerah wilayah Barat, dan Dayak Siang di wilayah Timur, menyebut agama yang mereka anut sebagai Kaharingan.
Kaharingan juga meluas ke luar wilayah Kalimantan Tengah. Anna Tsing melaporkan bahwa Dayak Meratus di Kalimantan Selatan menyebut agama mereka sebagai Kaharingan (Tsing, 1998: 400), begitu juga dengan orang Dayak Tunjung dan Benuaq di Kalimantan Timur Baier (2007a, 2007b), serta masyarakat Dayak Uud Danum (Ot Danum) yang berada di Kecamatan Embalau dan Serawai Kalimantan Barat. (Bajik Simpei wawancara pribadi, Januari 2009, bdk. Musfeptial & Purwiati, 2004).
- Kaharingan dan Konflik Kebudayaan
Berdasarkan penelitian pada yang dilakukan tahun 2006-2009 (Mahin 2009), diketahui bahwa konflik yang dihadapi oleh para penganut Kaharingan terkait erat dengan identitas etnis (Dayak) dan dan identitas agama (Kaharingan). Sejak zaman prakolonial, kolonial dan bahkan hingga zaman kemerdekaan, masyarakat Dayak melekat-erat (atau dilekat-eratkan) dengan imajinasi sebagai manusia liar, primitif, dan tanpa peradaban. Kebersahajaan dan keterisolasian mereka dilihat identik dengan ketidakberadaban dan tanpa agama (heiden/kafir). Kalaupun dilihat atau dibicarakan “beragama” atau “memiliki religi” agama yang mereka anut disebut sebagai agama nenek moyang, agama adat, agama bumi atau agama kebudayaan. Agama yang mereka anut dilihat sebagai agama yang belum atau tidak sempurna, karena mereka menyembah banyak dewa (politeisme) tidak mempunyai Kitab Suci, tidak mempunyai Nabi, tidak mempunyai sistem hukum yang jelas bagi para penganutnya, dan tidak berskala internasional atau hanya dianut oleh satu kelompok suku saja di wilayah yang terbatas.
Imajinasi liar namun populer ini melahirkan pandangan tentang perlunya meng-adab-kan dan meng-agama-kan orang-orang Dayak. Dari imaji ini muncullah pandangan bahwa bahwa agama Dayak itu tidak hanya agama kegelapan dan tidak mendatangkan keselamatan, tetapi juga tidak bisa diandalkan. Ia adalah kayu lapuk yang tidak bisa dijadikan sebagai tempat berpijak (Witschi, 1942: 85). Sebagai agama suku, ia akan tumpas dengan sendirinya karena tidak bisa berkembang (Kraemer 1947: 231).
Secara historis, konflik kebudayaan yang pertama dihadapi para penganut Kaharingan adalah ketika berjumpa dengan negara awal atau negara pra-kolonial yaitu Kesultanan Islam Banjar yang dengan tegas menjadikan Islam sebagai agama resmi, mensyaratkan bahwa bila orang Dayak mau menjadi bagian dari kekuasaan haruslah memeluk Islam terlebih dahulu dan melakukan re-afiliasi etnis, hal itu mengakibatkan orang Dayak tidak saja kehingan agama leluhurnya tetapi juga kehilangan ke-Dayak-annya dan berhenti menjadi orang Dayak (lihat Ras, 1968: 8, 442-443, 336-337, 374-375, 442-443).
Situasi tidak berdaya dan proses otherizing terus berlanjut hingga ke pemerintahan Negara Kolonial. Walaupun tidak seperti pada masa prakolonial yang harus meninggalkan bahasa dan persekutuan suku, orang Dayak bila ingin menjadi bagian dari kekuasaan Negara Kolonial haruslah meninggalkan kebudayaan dan agama luhur para leluhurnya.
Pada masa kolonial Belanda, diperkenalkan dengan birokrasi negara moderen dengan segala peraturannya antara lain, penghapusan perbudakan, larangan perburuan kepala dan perang antar suku, wajib tinggal di kampung selama tidak ada kegiatan di ladang, pada hari Minggu wajib libur dan tidak boleh mengadakan keramaian adat, wajib sekolah bagi anak-anak yang telah berumur 7 tahun, kalau tidak sekolah orang tuanya kena denda. Para imam tradisional Dayak yang disebut oloh Balian dikenakan pajak profesi sebesar 10 florin per tahun (Schwanner, 1853:134).
Pada zaman Jepang, Kaharingan tampaknya mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat. Penguasa militer Jepang menyatakan bahwa Agama Kaharingan ada kaitan dan kemiripan dengan Agama Shinto (Mihing dan Rampai, 1978: 111). Karena itu, misionaris Bigler (1947) melaporkan bahwa pada zaman Jepang untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam menangani kebudayaan (bdk. Baier 2007a, 2007b).
Setelah berjumpa dengan Negara Pra-kolonial dan Kolonial (Belanda dan Jepang), masyarakat Dayak Ngaju berhadapan dengan Negara Pasca-kolonial yaitu Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 1945. Dalam negara yang baru terbentuk ini, teritorial hidup mereka digabungkan dengan Banjarmasin yang secara tidak langsung adalah sisa-sisa dari Negara Prakolonial. Hal itu semakin terasa ketika meletus pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Hal ini membuat mereka menjalankan politik partisi yaitu memisahkan diri serta membentuk provinsi baru yaitu Kalimantan Tengah.
Setelah terbentuk provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957, agama Kaharingan tidak banyak mengalami perubahan, tetap tidak diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Pemerintah Indonesia melihat Kaharingan hanya sebagai “agama suku”, atau “aliran kepercayaan”, atau salah satu aspek dari “adat” atau “kebudayaan”. Karena itu, Kaharingan ditempatkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan bukan di bawah Departemen Agama. Dengan demikian, para penganut agama Kaharingan secara tidak langsung diklasifikasikan sebagai orang-orang yang “belum beragama”, yang menurut Atkinson (1987: 177) berkonotasi orang yang “tidak berpendidikan” (uneducated), “yang terbelakang” (backward people), dan “agama primitif” (uncivilized religion).
Kegelisahan sosial muncul pada masa awal berdirinya Orde Baru tepatnya ketika diadakan Sensus Penduduk 1971. Sensus Penduduk ini sangat berpengaruh karena diadakan pasca peristiwa 1965. Dalam formulir isian untuk melakukan sensus hanya mencantumkan 5 kolom agama saja yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Akibatnya di Kalimantan Tengah terdaftar lebih dari 2.000 Kepala Keluarga dengan status “tidak beragama”. Hal ini semakin menggelisahkan ketika Jendral Amir Machmud yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada 1978, mengeluarkan Surat Edaran tentang pengisian kolom agama dalam KTP. Bagi yang bukan beragama Islam, Kristen Katolik, Hindu dan Budha di buat tanda strip (-).[3]
Status “tidak beragama”, memposisikan orang-orang Dayak Kaharingan untuk berhadapan dengan dua bahaya besar. Bahaya pertama adalah menjadi target proselitisasi baik oleh Pekabar Injil Kristen maupun oleh Pendakwah Islam (Ramstedt, 1999: 5). Kedua, karena mereka dipandang tanpa agama, maka dalam iklim politik Indonesia yang khas mereka bisa saja dituding komunis, pemberontak dan pengkhianat negara. Dengan demikian umat Kaharingan betul-betul berada pada posisi “terancam” ketika sentimen anti-komunis merebak pada pertengahan tahun 60-an (Kuhnt-Saptodewo, 2000:64).
Berbagai usaha telah dilakukan agar Kaharingan dapat menjadi agama resmi yang diakui oleh negara. Namun usaha itu terhempang oleh persyaratan “unik”, seperti yang dikatakan oleh Kipp & Rodgers (1987: 21) bahwa untuk menjadi agama resmi yang diakui oleh pemerintah haruslah: monotheistik, mempunyai kitab suci, mempunyai nabi dan mempunyai komunitas internasional.
Kendati mengalami banyak hambatan, tokoh-tokoh agama dan intelektual Kaharingan tidak pernah berhenti untuk memperjuangkan keberadaan Agama Kaharingan di Indonesia. Pada 20 Januari 1972, dua orang Dayak Kaharingan yaitu Simal Penyang dan Liber Sigai mengambil inisiatif untuk mendirikan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI). Kemudian pada tahun 1979, mereka mulai mencari kontak dengan Agama Hindu di Bali. Pada tanggal 1 Januari, atas nama MBAUKI, Lewis KDR, salah satu pemimpin Kaharingan, mengajukan surat permohonan resmi untuk mengadakan afiliasi dengan Agama Hindu. Pada tanggal 19 April 1980, melalui SK Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia No. H/37/ SK/1980 Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan dikukuhkan sebagai badan Keagamaan yang bertugas untuk mengelola sebaik-baiknya Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan untuk kepentingan umat Kaharingan. Dengan demikian maka Agama Kaharingan berintegrasi dengan Agama Hindu, sehingga muncullah Agama Hindu Kaharingan.
Setekah terintegrasi dengan Hindu bukan berarti masalah selesai, Kaharingan tetap mengalami pelabelan atau stigmatisasi, misalnya:
- Kaharingan adalah agama orang-orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil yang letaknya jauh di pedalaman, di hulu-hulu sungai yang di kelilingi oleh hutan lebat dan pegunungan yang terjal. Kaharingan adalah agama orang-orang Dayak penghuni hutan hujan tropis seperti yang sering digambarkan media dan aktivis ekologis. Padahal Kaharingan adalah juga fenomena urban. Pada masa kini para penganut agama Kaharingan tersebar di 13 Kota Kabupaten dan 1 Kotamadya
- Kaharingan adalah agama orang Dayak pada masa lampau, agama nenek moyang yang hidup pada masa lalu, dan yang pada masa kini sudah tidak ada penganutnya lagi. Padahal Kaharingan adalah juga agama orang-orang Dayak Ngaju pada masa kini.
- Kaharingan adalah agama lama (agama helu), agama usang yang sedang menuju kepunahan, karena itu tidak mungkin ada perkembangan atau perubahan-perubahan. Padahal Kaharingan adalah agama yang dinamik dan berkembang.
- Strategi Budaya Kaharingan
Berdasarkan penelitian pada yang dilakukan tahun 2006-2009 (Mahin 2009), diketahui bahwa agar dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis Kaharingan dengan sadar melakukan praktik-praktik sosial kebudayaan tertentu. Mereka menolak disebut “tanpa agama” atau “belum beragama”. Bahkan mereka menolak disebut Aliran Kepercayan (Palangka Post, 12/8/2003, Buletin Isen Mulang Edisi No. 107/Agustus 2003). Mereka mengatakan “Kami bukan Aliran Kepercayaan, secara de facto kami adalah agama”. Mereka dengan aktif membangun diri sebagai umat agama menurut kriteria yang sangat khas Indonesia, yaitu melalui praktik-praktik:
- Merumuskan bahwa agama Kaharingan adalah agama yang percaya kepada Sang Pencipta Ranying Hatalla Langit yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
- Menyusun Kitab Suci yang disebut dengan Panaturan dan buku-buku keagamaan, antara lain:
- Buku Ajar Agama Kaharingan yang berisi kumpulan doa, pengakuan iman (credo) dan tata cara beribadah. Pada tahun 1995 buku ini direvisi dengan judul baru Talatah Basarah.
- Buku Tawur yang berisi petunjuk tata-cara memohon pertolongan Tuhan melalui upacara menabur beras.
- Buku Kandayu yang berisi lagu-lagu rohani Kaharingan, Buku Do’a yang berisi formula-formula doa,
- Buku Pemberkatan Perkawinan yang berisi tata-cara melaksanakan ritual perkawinan
- Buku Petunjuk Mengubur yang berisi tata-cara melaksanakan ritual penguburan
- Buku Manyaki yang berisi formula-formula doa dan tata-cara melaksanakan ritual Manyaki
- Buku Penyumpahan/Pengukuhan yang berisi tata-cara dan formula-formula doa yang harus diucapkan dalam acara Pengambilan Sumpah atau Pengukuhan Jabatan
- Menyelenggarakan ibadah (upacara ritual keagamaan) mingguan secara rutin yang disebut dengan Basarah yaitu setiap hari Kamis atau Jumat malam.
- Membangun rumah atau tempat ibadah yang disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan.
- Menyelenggarakan perayaan hari raya keagamaan tersendiri yaitu:
- Hari Raya Maneneng Pakanan Batu yang secara hurufiah berarti “Hari Raya Mendiamkan Diri Memberi Makan Batu” dirayakan satu kali setahun setelah panen sekitar bulan Mei.
- Hari Raya Turunya Ilmu Pengetahuan yang dikenal dengan Bawi Ayah Muhun Bara Lewu Telu Akan Pantai Danum Kalunen
- Hari Raya Pakanan Sahur Lewu atau Hari Raya Memberi Makan Roh Penjaga Kampung dilakukan satu kali setahun sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatalla Langit, Jatha Balawang Bulau atas perlindunngan dan rahmat-Nya melalui Leluhur Penjaga Kampung yang melindungi dan menjaga penduduk kampung.
- Mendirikan lembaga/organisasi keagamaan untuk melakukan pembinaan kepada umat yang tersebar di desa-desa, kecamatan dan kabupaten.
- Mendidik guru agama dan mencetak buku pelajaran agama dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi.
- Mengadakan acara Festival Tandak yang serupa dengan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi).
- Membangun Kompleks Pekuburan dan Sandung
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penganut Kaharingan telah melakukan politik kultural dan keagamaan ketika berhadapan dengan struktur-struktur objektif yang ada di sekitar mereka. Mereka menjadi individu-individu yang aktif, atau sebagai subjek yang menjalani proses dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen-agen yang lain. Mereka melakukan strategi kebudayaan untuk melawan budaya penyeragaman yaitu dengan melakukan reproduksi kebudayaan dan melancarkan heterodoxa. Mereka menyusun siasat dan strategi, mengorganisasikan dan menata diri sedemikian rupa, dengan tujuan agar memiliki distingsi sosial yaitu kekuasaan untuk mengontrol persepsi, pandangan, visi, juga cara pandang seseorang maupun kelompok sosial.
Beberapa strategi dan siasat dibangun dan terbangun untuk memperoleh relasi dan posisi yang menguntungkan secara sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yaitu:
- Melakukan proses rasionalisasi yaitu dengan melakukan sistematisasi, kanonisasi, dan kodifikasi ajaran dan ritual, serta birokratisasi kelembagaan.
- Melakukan proses mimesis yaitu upaya untuk menyesuaikan dan memantaskan diri dengan ide-ide negara. Misalnya pada 1980 dengan cara berintegrasi dengan agama Hindu (yang diakui dan dianggap resmi oleh Negara), sehingga menjadi Hindu Kaharingan.
- Melakukan proses mimikri yaitu respons terhadap kekerasan simbolik yang bersifat lembut dan tidak kasat mata dalam melakukan dominasi. Peniruan bukanlah bentuk ketertundukkan atau kepasrahan, tetapi upaya untuk mencemooh struktur-struktur objektif yang ada. Hal itu terjadi karena peniruan-peniruan itu bertujuan mengaburkan (membuat buram) bahkan melawan apa yang ditirunya. Misalnya dengan membuat Kitab Suci Panaturan.
- Melakukan aprosiasi dan abrogasi atas definisi-definisi yang peyoratif dan diskriminatif, yang dilakukan dengan cara menolak sebutan “agama suku” dan semua sebutan lain yang sejenis (heiden, kafir, penyembah berhala, animisme, dinamisme, politeisme, agama adat, agama budaya dst.), serta kemudian menyatakan sebutan itu sebagai produksi para missionaris yang berhasrat memproselitkan mereka. Sebutan-sebutan itu dilihat sebagai politik para missionaris yang mencari pembenaran agar mereka dapat dengan leluasa mengajak mereka pindah agama. Proses abrogasi dan aprosiasi dilakukan misalnya dengan menyatakan bahwa Kaharingan adalah agama yang diwahyukan, bukan agama budaya, bukan hasil karya-cipta manusia. Kaharingan adalah “agama langit” dan bukan “agama bumi”. Kaharingan bukanlah agama suku atau agama lokal, bukanlah agama budaya yang merupakan hasil buah pikiran manusia, tetapi agama wahyu dan berasal dari langit, berasal dari Tuhan.
- Menolak untuk diprimitifkan apalagi melakukan self- primitivization, menolak dilihat masyarakat tradisional apalagi self-traditionalization. Secara aktif melakukan proses agama-nisasi diri sendiri (self-religionization). Dengan cara ini maka mereka terhindar dari kekuatan sistematis yang telah mengembangkan berbagai cara untuk menjadikan orang-orang yang tidak beragama sebagai sasaran kebencian. Dengan self-religionization mereka dapat menghindari proselitisme bahkan menolaknya dengan alasan mereka sudah beragama dan menurut undang-undang penyebaran agama tidak boleh ditujukan kepada orang yang sudah memiliki agama.
- Menciptakan “ruang hidup dialogis” dimana di dalamnya ia tidak menjadi objek mati, tetapi menjadi subjek yang berjiwa yaitu subyek yang bisa bertanya, mendengar, menjawab, menyetujui dst.. Untuk itu pada tahun 1950-1957 masyarakat Kaharingan aktif dalam politik partisi pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah merupakan bentuk praktik Kaharingan untuk membentuk ruang publik baru dimana di dalamnya mereka dapat berkumpul untuk membicarakan nasib mereka sendiri. Dalam ruang hidup itu mereka dapat terlibat dalam Pemilihan Umum, baik sebagai pemilih dan dipilih, serta berpeluang untuk terpilih menjadi anggota DPRD, dapat berpartisipasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, lebih jauh lagi dapat mengklaim dana APBD.
- Penutup
Berdasarkan paparan di atas tampak bahwa kebudayaan (agama) dapat menjadi politik kelas, yaitu untuk mempertahankan dan memapankan status superior kelas dan kekuasaan kelas. Pada tataran ini maka simbol-simbol (agama atau kebudayaan) yang melekat pada kelas itu merupakan ungkapan ketidaksamaan atau ketidaksetaraan kelas, status, atau posisi sosial. Lebih jauh lagi, simbol-simbol itu menjadi alat untuk mendominasi Simbol-simbol itu beroperasi sebagai indeks kekuasaan baik bagi yang mendominasi maupun yang didominasi. Paparan di atas memperlihatkan bagaimana “repot”nya umat Kaharingan berhadapan dengan simbol-simbol agama besar yaitu konsep Tuhan, kitab suci, rumah ibadah, dst.. Hal itu terjadi karena simbol-simbol itu tidak hanya dipakai sebagai medium untuk merefleksikan dan mempertahankan ketidaksetaraan kelas dan mereproduksi ketimpangan hubungan kekuasaan antara si dominan dan si terdominasi, serta membangun sistem oposisi biner bermakna hirarkis (dominan/subordinat), tetapi juga sebagai sarana untuk mendominasi, yaitu meligitimasi kedudukan si dominan.
Karena itu ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
- Bahwa kebudayaan dan agama dapat menjadi sumber konflik karena bersifat dikotomi yaitu mengandung unsur hirarkis, bahkan oposisional yang sangat tidak adil dan menindas. Benar apa yang ditemukan oleh Anna Tsing (1998) bahwa ”perbedaan mencolok antara beradab dan tidak beradab mulai dengan apa yang dinamakan agama” (hlm. 261).
- Bahwa kebijakan atau tata-kelola Negara terhadap kebudayaan (agama) dapat menjadi sumber konflik, karena cenderung pada penyeragaman atau monokulturalisme.
- Bahwa pemilik agama dan kebudayan dapat melakukan berbagai macam strategi kebudayaan untuk mengelola konflik. Sehingga kekuasaan tidak lagi bersifat mutlak dan absolute.
Daftar Pustaka
Atkinson, Jane Monnig. 1987. “Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian
Minority Religion”, dalam Kip, Smith Susan dan Rodgers, Susan. Indonesian
Religions in Transition. Tucson: The University of Arizona Press, pp. 171-186.
Baier, Martin. 1977. Das Adatbussrecht der Ngaju-Dayak, Ph.D.Thesis Universitas
Tuebingen/Jerman
_____ . 1998. Die Hindu Kaharingan-Religion als beispielloser Fall eines nachchristlitchen
Nativismus. Tribus: Jahrbuch des Linden Museums nr. 47. Dezember 1998, Stuttgart:
Linden-Museum Stuttgart.
_____ . 2002. “Contribution to Ngaju History, 1690-1942“. BRB Vol. 33. pp 75-79
_____ . 2007a “The Development of A New Religion in Central Kalimantan,”
dalam BRB Vol. 38, January 1, 2007
_____ .2007b “The Development of the Hindu Kaharingan Religion, A New Dayak Religion in Central Kalimantan, ” dalam Anthropos 102, 2007
_____ . 2008. Dari Agama Politeisme Ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa, tp.
Baier, Martin, Hardeland, August, Schaerer, Hans. 1987. Woerterbuch der, Bahasa Sangiang
– Ngaju-Dayakisch – Bahasa Indonesia – Deutsch. VKI 128, Dordrecht: Foris Publication
Hardeland, August. 1858. Dajacksch-Deutsches Wörterbuch, Amsterdam: Muller
Hudson, Alfred Bacon. 1967. Padju Epat: The Ethnography and Social Structure of A Ma’anjan
Dajak Group in Southeastren Borneo, Phd. Thesis di CornellUniversity.
_____. 1972. Padju Epat: The Ma’anyan of Indonesia Borneo, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Kraemer, H. 1947. Christian Message in A Non Christian World.
Kipp, Rita Smith & Susan Rodgers (ed.), 1987 Indonesia Religions in Transision. Tucson: The
University of Arizona Press.
Kuhnt-Saptodewo, Sri Tjahjani. 1992. Zum Seelengeleit bei den Ngaju am Kahayan, Akademischer
Verlag München.
_____. 1999. “A bridge to the Upper World: Sacred Language of the Ngaju”. BRB No Vol. 30, p. 13-
27.
_____. 2000. “Religion and Identity”. Thomas Engelberth, Andreas Schneider (eds.) Ethnic
Minorities and Nationalism in Southeast Asia. Frankfurt: Peter Lang
Kriele, E.. 1915. Das Evangelium bei den Dajak auf Borneo. Barmen: Verlag des Missionshauses
Mahin, Marko. 2009. Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah. Disertasi S3 di
FISIP, Departemen Antropologi, Universitas Indonesia.
Mihing, Teras, dan Rampai, Kiwok. 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Tengah, Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen P & K (Stensilan)
Miles, Douglas. 1976. Cutlass and Crescent Moon, Sydney: Center for Asian Studies University of
Sydney.
Musfeptial & Purwiati, Heri. 2004. Analisa Struktur dan Nilai Budaya Sastra Lisan Dayak Uud
Danum. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Ramstedt, Martin. 1999. Indonesianisation, Globalisation, and Islamisation Parameters of the Hindu
Discourse in Contemporary Indonesia, Paper in IIAS Seminar Hinduism in Moderen
Indonesia, 16-17 September 1999.
Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff
Schärer, Hans. 1946. Die Gottesidee der Ngadju Dajak in Süd-Borneo, Leiden: E.J. Brill
_____. 1963. Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People, The Hague:
Martinus Nijhoff.
Schiller, Anne. 1987. Dynamic of Death: Ritual, Identity, and Religious Change among The
Kalimantan-Ngaju. Ph.D.Disertation in Cornell University.
_____.1997a. Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity Among The Ngaju of Indonesia. New York-Oxford: Oxford University Press.
_____.1997b. “Religion and Identity in Central Kalimantan: The Case of the Ngaju Dayaks”.
Winzeler, Robert L. Indigenous People and the State: Politics, Land, and Ethnicity in the Malayan Peninsula and Borneo. New Haven, Connecticut: Yale University Southeast Asia Studies.
Schawanner, C.A.L.M. 1853. Borneo (2 vols). Amsterdam: PN van Kampen
Tsing, Anna Lowenhaupt. 1993. In the realm of diamond queen: Marginality in an out-of-the way
place. Princeton, N.J.: Princeton University.
_____. 1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada Masyarakat
Terasing(Terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Witschi, von Hermann. 1942. Christus Siegt: Geschichte der Dajak-Mission auf Borneo, Basel:
Basler Missionsbuchhandlung
Weinstock, Joseph, 1983. Kaharingan and The Luangan Dayaks: Religion and Identity in Central
East Borneo,Ph. D. Dissertation, Cornell University.
Artikel Koran, Bulletin dan Majalah
Buletin Isen Mulang. 2003. “Kaharingan Menolak Disebut Aliran Kepercayaan”.
Edisi No. 107/Agustus 2003
Palangka Post. 2003. “Kaharingan Menolak Disebut Aliran Kepercayaan”. Tanggal 12 Agustus
Laporan/Data Keagamaan:
Departemen Agama RI, Data Keagamaan Tahun 2003, Jakarta: Departemen Agama
Pemerintah Kota Palangka Raya. 2004. Rencana Strategis Kota Palangka Raya Tahun 2004-2008, Palangka Raya: Pemkot Palangka Raya
Dokumen Integrasi Umat Kaharingan dengan Hindu Tahun 1980 dan Lain-Lain, Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kalimantan Tengah, tt.
[1] Dipresentasikan pada Focus Group Discussion se Sulawesi & Kalimantan di Manado, pada tanggal 3– 4 Desember 2014,
[2] Antropolog, Dosen di Universitas Kristen Palangka Raya. Email: kaharingan@gmail.com
[3] Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 berisi tentang Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221a Tahun 1975. isinya adalah sbb.:
Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model A dan B tentang Izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka bagi yang tidak menganut salah satu dari kelima Agama yang resmi diakui oleh Pemerintah seperti antara lain menganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lain-lain maka pada kolom Agama pada formulir yang dimaksud cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-). Kata “kepercayaan” disamping kata “Agama” pada formulir Model 1 sampai dengan Model 7 supaya dicoret saja.
