Soekarno dan Sosiosentrisme Pancasila
Syaiful Arif
KOMPAS, 17/10/2020
Tanggapan putra sulung Soekarno, Guntur Soekarnoputra (Kompas, 15/9) atas tulisan Prof. Ariel Heryanto, Pancasila (Kompas, 8/08) menarik untuk direspon. Tanggapan tulisan bertajuk Pancasila dan Sosialisme Soekarno ini mengritisi tulisan Prof. Ariel yang mempertanyakan keberhasilan sosialisme Soekarno. Sebagai penulis yang menggeluti pemikiran Pancasila, tanggapan Pak Guntur layak direspon.
Dalam tulisannya, Prof. Ariel merefleksikan kembali wacana Pancasila yang menghangat pasca-Reformasi. Prof. Ariel mungkin perlu menulis tema ini sebagai kritik atas diskursus Pancasila kontemporer, terutama gegap-gempita kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Dengan perspektif post-modenis, Prof. Ariel menyangsikan berbagai “kebangkitan Pancasila” yang menurutnya bisa bersifat absurd. “Apakah Pancasila sebuah ideologi? Bergantung konsep orang yang menjawab. Seperti apa jati dirinya? Sosialis, tidak, apalagi komunis. Kapitalis bukan. Islamis pun tidak. Entah”, demikian tanya skeptiknya. Lalu ia menyimpulkan, “Soekarno pernah mencoba dengan sosialisme. Ia gagal”.
Membaca kesangsian Prof. Ariel ini, penulis lalu ingat kesangsian serupa oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Di Sidang Konstituante, ia menyatakan, “Pancasila itu bukan rumusan filsafat yang bulat. Ia mengandung nilai-nilai yang tercerai berai, bahkan saling kontradiktif. Pancasila oleh karenanya sekadar hasil kompromi untuk menyenangkan semua anggota rapat”.
Menanggapi hal itu, Roeslan Abdulgani dari Partai Nasional Indonesia (PNI) menyanggah. Menurutnya, Pancasila adalah kesatuan pandangan (unified view) yang tersusun secara seimbang. Ia bukan kekacauan peristilahan (semantic confusion), melainkan sintesa berbagai anti-tesa gagasan besar. Di dalam Pancasila terjadi sintesa antara ide ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi dan keadilan sosial, yang membentuk pandangan dunia (Weltanschauung) tersendiri. Ketika Prof. Ariel menempatkan Pancasila sebagai konsep “yang bukan-bukan”, maka sesungguhnya Pancasila tersebut memang melampaui kapitalisme, komunisme, dan Islamisme. Lalu seperti apakah itu? Inilah letak penting pemikiran Soekarno sebagai pencetus ide Pancasila.
Keberhasilan Soekarno
Dengan demikian, Ketika Prof. Ariel menyebut Soekarno gagal dalam membumikan Pancasila melalui sosialisme. Maka ia menafikan peran besar Soekarno sebagai pencetus ide Pancasila. Mengapa Soekarno disebut sebagai pencetus Pancasila, bukankah ia sekadar Sang Penggali? Ya, Soekarno mencetuskan ide Pancasila dengan menggali ide-ide dasarnya di dalam pergulatan intelektual selama perjuangan melawan penjajahan.
Lalu apakah keberhasilan Soekarno? Pertama, sebagai pencetus ide, ia berhasil mengawal idenya menjadi kesepakatan bersama pendiri bangsa, sehingga disahkan menjadi dasar negara, setelah mengalami penyempurnaan.
Kalau kita lihat, peran Soekarno meliputi tiga tahap. Pertama, mencetuskan ide Pancasila pada 1 Juni 1945. Kedua, menjadi Ketua Panitia Sembilan yang bertugas menyusun dasar negara berdasarkan pidato 1 Juninya, pada 22 Juni 1945. Panitia Sembilan ini merupakan improvisasi Soekarno untuk menyeimbangkan kubu nasionalis dan Islam. Mengapa? Karena panitia resmi bentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang berjumlah delapan orang, mengalami “kepincangan komposisi”. Golongan Islam hanya diwakili oleh Kiai Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah). Sedangkan golongan nasionalis berjumlah enam orang. Ketiga, menjadi Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mengesahkan rumusan final Pancasila.
Apakah terjadi perbedaan substansial antara ide Pancasila 1 Juni dengan rumusan resmi Pancasila 18 Agustus 1945? Tidak. Kelima sila Soekarno diterima tanpa kritik. Yang dilakukan Panitia Sembilan adalah mengatur ulang posisi sila-silanya. Ketuhanan yang awalnya menjadi akar (sila kelima) dijadikan sumber (sila pertama). Kebangsaan yang awalnya menjadi sila pertama, dijadikan sila ketiga. Sedangkan ide Soekarno tentang internasionalisme atau perikemanusiaan (sila kedua ide 1 Juni), dikerucutkan menjadi kemanusiaan. Hal ini tidak masalah, sebab internasionalisme Soekarno sepadan dengan universalisme kemanusiaan. “My nationalism is humanity”, demikian tegas Soekarno mengutip Mahatma Ghandi.
Keberhasilan kedua Soekarno ialah mempersembahkan ide Pancasila yang bersifat sosiosentris. Apakah itu? Yakni ide dasar negara dan ideologi bangsa yang memusatkan diri pada cita pembentukan struktur masyarakat yang adil. Inilah mengapa Soekarno memeras Pancasila menjadi Trisila, berupa sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Kata sosio menurut Soekarno merujuk pada arti masyarakat, yang mengandung konsep keberpihakan pada ketertindasan masyarakat dan kehendak untuk mengemansipasinya menuju keadilan sosial. Ini berarti, nasionalisme harus dipraksiskan ke dalam kesadaran akan ketertindasan masyarakat, demikian pula demokrasi.
Penempatan keadilan sosial atau dalam bahasa Soekarno, kesejahteraan sosial (sociale rechtvaardigheid) sebagai pusat dari nasionalisme dan demokrasi inilah yang membuat ide Pancasilanya bersifat sosiosentris. Tinggallah sosiosentrisme nasionalisme dan demokrasi ini dibangun di atas landasan etis ketuhanan. Maka sila kebangsaan plus kemanusiaan menjelma sosio-nasionalisme. Sila demokrasi plus kesejahteraan sosial menjelma sosio-demokrasi. Disempurnakan oleh landasan etis ketuhanan, jadilah Pancasila.
Lalu dimana letak sintesa dari sosiosentrisme tersebut? Ia terjadi pada keberhasilan Soekarno dalam mensintesakan nasionalisme, demokrasi, sosialisme dan teisme dalam satu pandangan bulat, bernama Pancasila. Apakah sosiosentrisme ini sama dengan sosialisme? Tidak selalu. Sebab sosiosentrisme bisa menjadi kritik atas praktik sosialisme negara, yang misalnya pernah diujicobakan oleh Presiden Soekarno sendiri. Sosiosentrisme oleh karenanya melampaui tafsir sosialistik Manipol-USDEK atas Pancasila. Sosiosentrisme merupakan perspektif khas Pancasila yang menempatkan dasar negara ini sebagai ide anti-negarasentrisme. Mengapa? Karena wilayah etisnya berada di ranah kepublikan (res publica), tempat manusia selalu memperjuangkan keadilan sosial.
Desoekarnoisasi
Dengan demikian, senada dengan semangat tanggapan Pak Guntur, penulis artikel ini juga menyayangkan pandangan generalis dari Prof. Ariel. Memang ujicoba sosialisme era Demokrasi Terpimpin tidak bisa disebut berhasil. Namun spirit sosiosentrisme dari ide Pancasila Soekarno, tidak bisa dinafikan.
Sayangnya visi sosiosentris atas Pancasila ini telah lama terkubur akibat proyek desoekarnoisasi. Melalui proyek ini, pemikiran Pancasila Soekarno terkubur. Tinggal “abu” yang kita warisi, yang dibaca dengan penuh ketidakpahaman. Misalnya, apakah Trisila berbeda dengan Pancasila, sehingga Pasal 7 ayat (2) RUU HIP ingin mengganti Pancasila dengan tiga sila itu? Faktanya, Trisila bukan ide yang berbeda, melainkan “perasan konseptual” dari Pancasila. Apakah Soekarno telah “mempantatkan ketuhanan” karena menaruh nilai ini di sila kelima? Faktanya, Soekarno justru menjadikan ketuhanan sebagai akar, dengan menempatkan nilai tersebut di bawah.
Meskipun telah terbit Keputusan Presiden Joko Widodo No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni, namun desoekarnoisasi ide Pancasila ini belum “diputihkan”. Padahal ketika kita mengakui pidato 1 Juni 1945 sebagai rahim kelahiran Pancasila. Maka, pemikiran yang ada dalam pidato itu seharusnya menjadi pedoman bagi pemahaman kita terhadap Pancasila. Mengapa pemahaman ini tidak berkembang di masyarakat? Semua kembali pada kemauan kita untuk jujur dalam melihat sejarah dan ilmu pengetahuan.