NABI NUSANTARA…???
SALAM RAHAYU…KADANG KINASIHKU..
@ Bersama Muhammad Babul Ulum
(Wahyu Purnama Sidi)
nusakini.com – Ada yang salah persepsi saat saya sebut Arab dan Eropa telah merampas dan menjajah ajaran leluhur kita. Lantas menuduh saya sebagai akademisi yang tersesat di jalan (yang benar). Terjebak over generalisasi. Lalu menyodorkan bukti tentang produk eropa yang kita pakai. Atau istilah Arab yang melekat pada diri saya sebagai seorang Ustadz. Sambil berhipotesa bahwa agama Islam berasal dari Arab dan dibawa oleh pendakwah Arab. Untuk yang menyebut saya ustadz, saya memang ustadz menurut standar akademik maupun sosial. Bukan Ustadz dadakan standar selebritis yang mabuk agama. Narsis dikit.
Saya sadar sepenuhnya akan terjadinya cultural exchange. Persilangan budaya. Saling adopsi antara satu dengan yang lain dalam setiap lini kehidupan. Wajar. Karena kita adalah makhluk sosial. Dalam ranah bahasa, misalnya. Betapa banyak bahasa indonesia sekarang hasil serapan dari bahasa asing; Arab maupun bule. Proses saling-pinjam seperti ini justru yang membuat kehidupan dunia ini asyik-mengasyikkan. Penuh warna-warni. Dengan syarat semua dalam posisi sejajar. Diperlakukan sama. Dan tidak ada pemaksaan oleh satu pihak kepada pihak lain. Terjadi sirkulasi peradaban yang saling mewarnai. Thats natural thing, brother.
Demikian itu pula yang terjadi pada peradaban leluhur kita dari jaman old hingga jaman now. Kerajaan demi kerajaan telah mewarnai lembar sejarah nusantara kita. Dari mulai kerajaan Hindu, Budha, dan terakhir Islam. Peralihan dari satu kerajaan beragama tertentu ke kerajaan lain yang berbeda agama tidak diiringi dengan pemaksaan agama yang menang. Bahkan terjadi akulturasi budaya antara agama lama dengan agama baru dan menjadi ciri khas ajaran leluhur nusantara apapun agamanya, yang tercermin dengan sangat baik dalam peradaban material maupun immaterial.
Agama apapun yang datang di nusantara diterima oleh para leluhur kita dengan baik. Karena pada intinya semua agama mengajarkan kebaikan budi berdasarkan prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Entah itu Hindu, Budha, Kristen semua percaya kepada Tuhan pencipta alam semesta dengan beragam nama. Itulah inti kepercayaan leluhur Nusantara. Kepercayaan kepada-Nya ini dimanifestasikan dalam ragam bentuk ibadah sesuai agama masing-masing yang dibumbui dengan tradisi leluhur kita. Oleh karena itu, corak dan watak beragama leluhur nusantara berbeda dengan warna asal agama tersebut. Baik Hindu, Budha, Kristen, bahkan Islam sekalipun.
Ada filosofi hidup dari para leluhur kita yang menyatukan semua agama-agama tersebut dalam bingkai spiritualitas. Hal itulah yang membuat semua agama diterima dan dapat tumbuh subur berdampingan satu sama lain dengan damai di tanah nusantara. Terjadi akulturasi budaya antara apa yang dipahami sebagai ajaran agama dengan tradisi leluhur yang diwarisi secara turun temurun.
Akan tetapi oleh agamawan institusional akulturasi budaya seperti itu dianggap sebagai bentuk sinkritisme yang harus dilawan. Dianggap takhayul, bid’,ah, khurafat (tbc) yang harus diberantas. Padahal mereka sendiri sebenarnya juga tidak paham apa yang dimaksud tbc dalam agama khususnya Islam. Hanya sok-sokan saja. Sok islami. Padahal tidak paham soal islam yang sesungguhnya.
Itulah yang saya maksud dengan kita dijajah oleh bangsa Arab. Penolakan terhadap tradisi leluhur nusantara dilakukan oleh sekte dari Arab sana. Ziarah kubur dianggap syirik. Puasa weton dianggap bid’ah. Melarung sesaji dianggap murtad. Membersihkan keris dianggap syirik tapi membersihkan sendok makan di masjid dianggap ibadah, padahal sama sama benda yang harus dicuci.
Sejatinya semua ajaran leluhur mengandung filosofi hidup yang sangat dalam. Itu hanya salah satu contoh akulturasi budaya dan peradaban immaterial leluhur kita yang hendak diberangus oleh lembaga agama Islam institusional. Masih segar dalam ingatan persekusi yang dialami oleh Komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan. Mereka sedang mempersiapkan tempat makam sesepuh – orang tua sebagai ketua adat mereka. Oleh penganut islam institusional dianggap hendak membangun tempat ibadah. Lalu dilarang. Dan anehnya, negara yang harusnya membela kebebasan berkeyakinan warganya malah ikut mendukung tindakan tak beradab atas nama lembaga Islam tersebut. Aragonsi mayoritas terhadap minoritas bukanlah watak asli leluhur kita yang saling memahami, depe-depe, handap asor, jembar manah, tidak jumawa, tidak merasa paling bener sendiri.
Contoh lain dari akulturasi budaya leluhur kita adalah Candi borobudur. Candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra yang beragama Budha. Oleh masyarakat internasional Borobudur diakui sebagai tujuh keajaiban dunia. Akan tetapi oleh umat Budha dunia Borobudur tidak diakui sebagai pusat peradaban Budha. Mengapa? Karena Borobudur dibangun dengan memakai sistem punden berundak yang adalah ciri khas peradaban Nusantara.
Sistem pepunden adalah simbolisasi dari bentuk penghambaan seseorang pada Tuhannya. Apapun agama formalnya. Hindu, Budha, bahkan Islam sekalipun. Dalam ajaran Islam Tasyawuf-sufi peribadatan seseorang bertingkat menjadi tiga. Tingkat paling rendah adalah Ibadah seorang budak yang menyembah Tuhan karena takut siksa. Tingkat kedua, ibadah seorang pedagang yang menyembah Tuhan karena mengharap untung pahala. Dan terakhir tingkat paling tinggi, yaitu ibadah seorang yang merdeka yang menyembah Tuhan bukan karena takut neraka dan berharap surga tapi karena cinta. Inilah puncak tertinggi dari penghambaan seseorang kepada Tuhannya.
Bahkan sekiranya tidak ada surga-neraka pun ia tetap menghamba kepada Tuhan semesta alam. Ia menghamba karena cinta. Dalam tradisi Sufi-Arab Tempo Doeloe adalah Rabiah Adawiyah seorang wanita sufi yang dikenal dengan konsep al-hub ini. Dan untuk jaman now kita di Nusantara pun memiliki sufi-wanita sekelas Rabiah. Yang ajaran dan kaweruhnya tidak kalah canggih bahkan dari seluruh kaum sufi Arab sekalipun. Karena itu saya sebut sebagai Rabiah Adawiyah Nusantara. Silahkan baca tulisan saya tentang ini di sini.
Rabiah Adawiyah Nusantara https://m.nusakini.com/news/rabiah-adawiyah-nusantara
Sekarang ini apa yang kita lihat marak sebagai praktik ajaran Islam sejatinya bukan inti ajaran nabi muhammad yang berasal dari tradisi Nabi Ibrahim as yaitu spiritualitas-agama, tetapi sekedar institusi atau lembaga agama yang bernama Islam. Keduanya jelas berbeda. Jangan disamakan. Yang pertama adalah ajaran Nabi Muhammad sebagai lanjutan dari ajaran Nabi Ibrahim. Dan yang terakhir adalah lembaga yang dibangun oleh para pengikut Nabi Muhammad dari bangsa arab yang dipaksa edar sampai ke nusantara yang banyak dibenturkan dengan ajaran leluhur kita.
Padahal watak asli ajaran Nabi Muhammad Saw tidak demikian. Sangat adaptif bahkan senafas dengan ajaran leluhur Nusantara yang juga sebagai leluhur Nabi Muhammad Saw.
Tentang Nabi Muhammad siapapun boleh berhipotesa termasuk saat menyebut leluluhur Nabi Muhammad berasal dari tanah Jawa. Dengan metode abduktif akan saya buktikan hipotesis ini. Abduktif adalah metode yang lazim dipakai untuk menemukan penjelasan terbaik tentang sebuah teori. Semua teori yang ada kita terima untuk diuji dengan fakta. Yang sesuai kita terima. Yang tidak sesuai kita tolak.
Terkait Nabi Muhammad saya punya teori bahwa beliau mewarisi gen leluhur nusantara. Gen welas asih, cinta damai, lemah lembut, handap ashor, jembar manah, asah asih asuh, tolong menolong, sampai ke definisi Muslim yang hakiki (berdasarkan Sunnah Nabi) yaitu tidak menyakiti orang lain dengan lisan maupun tangan, Yang kesemuanya itu adalah watak dasar leluhur nusantara yang diwariskan kepada keturunannya.
Sebuah hadis sahih berkisah. Seorang datang menemui Nabi melaporkan tetangganya yang terkenal ahli ibadah. Banyak shalat, shaum, haji. Tapi lidahnya senang menyakiti tetangganya. Nabi berkata, “Tempatnya di neraka.” Menyakiti tetangga dengan lisan saja bertentangan dengan ajaran luhur Nabi Muhammad. Apalagi menyakiti dengan tangan bahkan membunuh tetangga yang adalah watak dasar bangsa Arab seperti pengakuan leluhur mereka yang diungkap oleh Philip K. Hitti. “Our business is to make raids on the enemy, on our neighbour and on own brother, in case we find none to raid but but a brother.” Pekerjaan kita adalah memangsa musuh, tetangga, dan saudara saat tidak ada yang dimangsa kecuali saudara.
Itulah Prinsip hidup leluhur arab yang disingkat pada dua kata: memangsa musuh atau saudara. Sejak masa Ismail tidak ada damai di tanah Arab sana. Since the days of ishmael Arabian’s hand has been againts every man and every man’s hand againts him. Oleh karena itu Tuhan mengutus orang yang berasal dari gen cintai damai yaitu Nabi Muhammad untuk mendamaikan masyarakat arab yang cinta perang.
Bukti lain yang mendukung hipotesis ini adalah teori asal usul Nabi Muhammad yang berasal dari Arab Musta’ribah. Arab campuran. Ada unsur asing dalam gen beliau. Darimana? Yang jelas bukan dari wilayah timur tengah sana yang hobi perang, karena beliau cinta damai. Hal ini berarti bahwa DNA Nabi Muhammad adalah DNA cinta damai. Dan itu adalah DNA leluhur Nusantara, bukan leluhur Arab yang cinta perang. Kesimpulan seperti ini didasarkan pada konsesus para ahli yang membagi bangsa Arab ke dalam dua strata, yaitu Arab al-baidah (arab yang punah) dan Arab baqiyah (arab yang tersisa).
Arab yang tersisa terdiri dari dua golongan. Pertama, Arab asli yang disebut dengan aribah. Kedua, Arab asimilasi yang disebut dengan musta’ribah, arab indo, yang berasal dari keturunan Ismail bin Ibrahim. Pada mulanya Nabi Ismail yang berasal dari wilayah Arab utara berbahasa Ibrani atau suryani. Dan bahasa ibrani konon menurut tutur tinular berasal dari bahasa kawi kuno. Entahlah. Perlu penelitian lanjut dalam hal ini yang adalah di luar tema kita sekarang.
Agama asli Arab asimilasi yang menetap di Mekkah adalah agama yang dianut oleh Nabi Ibrahim. Menurut Ernest Renan pada dasarnya mereka kaum monoteis. Namun, bagaimana cara peribadatannya dan adakah kitab suci yang menjadi rujukan, tidak ada gambaran yang jelas dari agamawan institusional. Namun demikian, secara umum agama Ibrahim menyeru kepada Tuhan Yang Esa dan kebaikan budi. Bukankah itu inti ajaran leluhur Nusantara?
Saat Nabi bertahanuts di gua hira, apa yang dilakukannya? Membaca wirid ribuan kali? Shalat? Bukan. Tapi meneng, tapabrata, bersemedi, diam tafakur, permenungan dengan mengosongkan pikiran dari segala selain Tuhan hingga sampai pada kondisi suwung gung liwang liwung. Yang tidak lain adalah cara leluhur kita mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan itu adalah praktik amalan leluhur Nusantara dimana gen beliau berasal.
Last but not the least, satu hal yang hingga kini membuat saya penasaran dan belum ada yang bisa menjawabnya adalah fakta bahwa wajah Nabi Muhammad tidak boleh digambar, apakah ini adalah merupakan akal -akalan bangsa Arab agar tidak ketahuan wajah asli Nabi Muhammad yang tidak bertampang Arab?
Ada yang bisa membantu menjawab pertanyaan saya ini…???
Mangga…..
Salam Damai Nusantara
Wahyu Purnama Sidi
NusantaraKitaFoundation
meditasiaheningsambungrasa
10 October 2020 16:14