Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Tragedi Menjelang Syahadah Rasulullah Muhammad SAW

$
0
0

“Tragedi menjelang syahadah Rasulullah saw . . . . Tragedi Hari Kamis”

Manuver Umar dan kelompok Quraisy, untuk menggagalkan wasiat “pengangkatan Imam Ali as” di Gadhir Khum, sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi saw.

“TRAGEDI HARI KAMIS”

Penolakan Umar bin Khattab terhadap penulisan wasiat Nabi saw.

Ibnu Abbas berkata: “Hari Kamis, oh hari Kamis. Waktu Rasul merintih kesakitan, beliau berkata, mari kutuliskan untuk kalian suatu pesan agar kalian kelak tidak akan tersesat.

Umar berkata bahwa Nabi sudah terlalu sakit sementara Al Quran ada di sisi kalian. Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Orang yang berada dalam rumah berselisih dan bertengkar. Ada yang mengatakan berikan kepada Nabi kertas agar dituliskannya suatu pesan di mana kalian tidak akan tersesat setelahnya.

Ada sebagian lain berpendapat seperti pendapatnya Umar. Ketika pertengkaran di sisi Nabi semakin hangat dan riuh Rasul pun lalu berkata, ‘Pergilah kalian dari sisiku!’

Ibnu Abbas berkata: ‘Tragedi yang paling menyayat hati Nabi adalah larangan serta pertengkaran mereka di hadapan Rasul yang ingin menuliskan suatu pesan untuk mereka.’

Peristiwa ini benar-benar terjadi. Para ulama, ahli hadis dan ahli sejarah Syi’ah dan Sunnah mencatat riwayat ini dalam buku-buku mereka.

Di sini ada yang merasa sangat mengherankan atas sikap yang ditunjukkan oleh Umar terhadap perintah Nabi SAW.

Wasiat apakah sebenarnya ? Sebuah wasiat atau perintah yang akan menyelamatkan ummat ini dari kesesatan. Tidak syak lagi bahwa wasiat tersebut menyirat sesuatu yang baru bagi kaum muslimin dan akan menghapuskan segala keraguan yang ada dalam diri mereka.

(Shahih Bukhori jil.2 dan 5 Hal. 75; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 1 hal. 355; jil. 5 hal. 116; Tarikh Thabari jil. 3 hal. 193; Tarikh Ibnu Atsir Jil. 2 hal. 320).

Kita tinggalkan pendapat Syi’ah yang berkata bahwa Nabi sebenar nya ingin menuliskan nama Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah nya, lalu Umar lebih cerdik dan segera melarangnya. Karena tafsiran Syiah seperti ini tidak dapat diterima oleh sebagian kaum muslimin sejak awal.

Tetapi apakah kita mempunyai tafsiran lain yang logis dari peristiwa yang menyakitkan hati ini, sampai Nabi marah dan mengusir mereka dari kamarnya. Bahkan menyebabkan Ibnu Abbas sedemikian banyaknya menangis sehingga membasahi tanah.

Beliau menyebut peristiwa ini sebagai tragedi yang paling besar. Tapi Ulama-ulama Ahlu Sunnah berusaha membela mati-matian Umar dengan berkata bahwa Umar melakukan semua itu justru karena dia merasakan penderitaan Nabi dan tidak ingin membebankannya lebih banyak.

Namun pernyataan seperti ini tidak dapat diterima bahkan oleh orang awam sekalipun, apalagi orang-orang yang alim.

Kami berkali-kali berusaha mencari alasan untuk memaafkan Umar, tetapi realitas kejadian enggan menerimanya, sekalipun kalimat “yahjur” atau meracau telah diganti oleh perawi (semoga Allah melindungi kita) dengan kalimat “ghalabahul waja'” (karena terlalu sakit).

Kita juga masih tidak akan dapat menemukan alasan apologis lain atas kata-kata Umar, “‘Indakum Al Quran” (di sisi kalian ada Al Quran) dan “Hasbuna Kitabullah” (cukup bagi kami Kitab Allah).

Apakah beliau lebih arif tentang Al Quran daripada Nabi yang telah menerimanya, atau Nabi tidak sadar apa yang diucapkannya? (Semoga Allah melindungi kita). Atau Nabi ingin meniupkan api perpecahan dan pertengkaran dengan perintahnya ini?

Astaghfirullah! Kalau memang tafsiran Ahlu Sunnah ini benar, maka Rasululllah akan tahu niat baik Umar ini dan akan berterima kasih padanya. Bahkan beliau akan lebih mendekatkannya daripada harus marah dan berkata, “Keluarlah kalian dari kamarku!”

Kami juga ingin bertanya, kenapa mereka ikut perintah Nabi ketika mereka diusir keluar dari kamarnya dan tidak berkata bahwa Nabi tengah meracau ? Sungguh mereka telah berhasil dalam rencana mereka dalam menghalangi Nabi dari menuliskan surat wasiat tersebut.

Itulah kenapa tiada sebab mereka harus terus berada di sana. Bukti bahwa mereka bertengkar di hadapan Nabi dan terbagi kepada dua golongan adalah kalimat riwayat yang tertulis “…Ada yang berkata dekatkan kepada Rasulullah apa yang dimintanya agar dituliskannya untuk kalian pesanan itu, dan ada sebagian lagi yang berkata seperti kata-katanya Umar, yakni Nabi tengah meracau.”

Peristiwa ini tidak sesederhana seperti yang dibayangkan, dimana hanya Umar yang terlibat.

Seandai-nya demikian maka Nabi akan memarahi Umar saja dan akan berkata bahwa dirinya tidak mengucapkan sesuatu mengikut hawa nafsunya; dan beliau tidak meracau di dalam membimbing ummat ini. Namun masalahnya lebih serius dari itu.

Beliau merasakan bahwa Umar bersama sahabat-sahabatnya telah bersepakat sebelum itu.

Lantaran kesepakatan itu kemudian mereka bertengkar dan berselisih di hadapan Nabi sampai mereka lupa atau pura-pura lupa dengan firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak gugur (pahala) amalmu sedangkan kamu tidak menyadari” (QS. Al Hujuraat: 2).

Dalam peristiwa ini mereka juga telah melampaui batas “meninggikan suara” dan “berkata keras”. Mereka bahkan telah mengatakan bahwa Nabi telah meracau (semoga Allah melindungi kita). Lalu bertengkar ramai dan hiruk-pikuk di hadapannya. Hampir memastikan bahwa kebanyakan yang hadir berpihak pada Umar.

Karena itu maka Rasulullah melihat kemaslahatan untuk tidak menulis
kan isi wasiatnya. Nabi juga tahu bahwa mereka sudah tidak menghormatinya dan tidak patuh pada perintah Allah atas haknya sebagai Nabi dimana kaum muslimin dilarang berkata kasar dan keras di hadapannya.

Nah, jika mereka enggan patuh pada perintah Allah apalagi pada perintah Rasul-Nya saw maka kebijaksanaan Rasul untuk tidak menuliskan wasiat itu adalah karena (penolakan seperti itu) merupakan sebuah celaan baginya di masa hidupnya, maka bagaimana pula nantinya setelah wafatnya.

Kelak orang-orang yang mencelanya akan berkata bahwa Nabi saat itu sedang meracau. Mungkin juga mereka akan meragukan sebagian dari hukum yang disyariatkan Nabi pada masa sakitnya itu juga atas keyakinan mereka bahwa Nabi sedang meracau.

Kami mohon ampunan Allah dari ucapan seperti ini terhadap Nabi utusan Allah. Bagaimana kami dapat meyakini bahwa Umar bin Khattab tidak bermaksud sungguh-sungguh ketika mengucapkan itu ?

Padahal sebagian sahabat yang hadir menangis dalam kejadian ini hingga air matanya membasahi tanah dan dikatakan sebagai tragedi Hari Kamis.

Sebagian kaum muslimin mencoba untuk menolak setiap alasan yang diajukan untuk menjustifikasi kejadian itu, dan berusaha juga untuk mengingkarinya secara total agar hati ini dapat tenteram, agar doktrin “kemuliaan sahabat” tetap terjaga.

Tetapi sayangnya semua buku-buku shahih telah meriwayatkannya dan membuktikan kebenarannya. Oooh tragedi hari Kamis . . . Tragedi awal perpecahan umat Islam . . .

(Majlis Kajian Ahlul Bayt / MAKAHBA).


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300