Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

MENUNTASKAN REFORMASI KONSTITUSI

$
0
0

MENUNTASKAN REFORMASI KONSTITUSI

 

Relfy Harun[1]

 

Dalam kurun waktu 1999-2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan empat kali perubahan UUD 1945 yang dikenal dengan Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002). Perubahan Pertama UUD 1945 dicapai dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 (SU MPR 1999). Dalam SU MPR itu MPR telah mengubah sembilan pasal UUD 1945. Perubahan yang terpenting adalah pergeseran kekuasaan legislatif dari presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pergeseran ini telah membuat UUD 1945 menganut paradigma baru dalam hal pengaturan kekuasaan negara, yaitu dari paradigma pembagian kekuasaan (division of power/distribution of power) menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power).[2]

Perubahan Kedua UUD 1945 dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 (ST MPR 2000). Dalam ST MPR 2000 MPR telah mengubah/menambah 25 pasal dan lima bab. Yang terpenting dari perubahan kedua adalah penegasan prinsip otonomi daerah, penegasan mengenai hak-hak DPR dan anggota DPR, serta penerimaan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.

Perubahan Ketiga UUD 1945 dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 (ST MPR 2001) yang berlangsung pada tanggal 3-9 November 2001. Dalam ST MPR 2001 MPR telah mengubah/menambah 23 pasal dan tiga bab. Materi yang terpenting adalah penerimaan pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung pada putaran pertama (first round), penerimaan pasal tentang pemberhentian presiden (impeachment), pengaturan tentang pemilihan umum, dan disetujuinya pasal-pasal tentang pembentukan lembaga-lembaga konstitusional baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).

Perubahan Keempat UUD 1945, yang merupakan perubahan terakhir selama periode reformasi konstitusi 1999-2002, dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyaratan Rakyat 2002 (ST MPR 2002). Dalam ST MPR 2002 MPR telah menyepakati setidaknya tiga hal krusial, yaitu pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung untuk putaran kedua (second round), penghapusan utusan golongan dan utusan daerah di MPR sehingga MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat saja, dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga negara.

Dalam catatan penulis, selama periode 1999-2002, UUD 1945 setidaknya sudah mengalami 147 kali perubahan, terdiri atas perubahan dan/atau penambahan pasal, ayat, dan bab. Sungguhpun demikian, masih banyak kalangan yang merasa tidak puas dengan perubahan UUD 1945 yang telah dihasilkan MPR. Suara-suara untuk diadakannya perubahan lanjutan terus disuarakan. Ada problem-problem objektif ketatanegaraan yang menuntut penyelesaian melalui perubahan konstitusi, tidak cukup dengan perubahan undang-undang, apalagi peraturan di bawahnya lagi. Problem objektif yang menonjol adalah betapa ’amburadul’-nya performa konstitusi kita setelah mengalami empat kali perubahan. Naskah lampiran hasil perubahan jauh lebih tebal ketimbang naskah aslinya. Dari 71 ayat dalam naskah UUD 1945, hanya 23 ayat (16,33%) yang dipertahankan, selebihnya berubah, baik perubahan karena penghapusan ketentuan lama maupun penambahan ketentuan baru.[3]

Jumlah bab yang sebelumnya 16 berubah menjadi 21 bab, tetapi nomor angka bab tersebut tetap sama, yaitu 16. Penambahan dilakukan dengan cara menambah huruf (A dan B) setelah nomor angka. Jumlah pasal juga tetap dipertahankan sebanyak 37 pasal. Penambahan pasal juga dengan menambahkan huruf A, B, C, dan seterusnya, sehingga ada Pasal 28A, Pasal 28B, hingga Pasal 28J. Orang awam pastilah sulit membaca dan memahami konstitusi hasil perubahan ini.

 

Substansi Perubahan      

Banyak substansi yang dapat dijadikan agenda lanjutan perubahan UUD 1945. Salah satunya menyangkut kewenangan lembaga-lembaga konstitusional yang ada. Perubahan UUD 1945 memunculkan tiga lembaga yang aneh, sia-sia, dan kurang optimal.

Predikat aneh pantas dilayangkan kepada MPR. Menurut UUD 1945 hasil perubahan, lembaga ini memiliki kewenangan sebagai berikut. Pertama, mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.[4] Kedua, melantik presiden dan/atau wakil presiden.[5] Ketiga, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.[6] Keempat, memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil presiden.[7] Kelima, memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusulkan parpol atau gabungan parpol yang pasangan calon presiden dan calon wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya dalam hal terjadi kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden secara bersamaan.[8]

Dari lima kewenangan tersebut, satu-satunya kewenangan yang pasti dijalankan hanyalah melantik presiden dan/atau wakil presiden. Itu pun hanya sekali dalam lima tahun (kecuali bila ada presiden dan/atau wakil presiden yang berhenti di tengah jalan). Empat kewenangan lainnya hanya dilakukan sewaktu-waktu, dalam keadaan tertentu bahkan luar biasa saja. Ironi yang muncul adalah, kelembagaan MPR bersifat permanen, lengkap dengan pimpinan dan kesekretariatan. Keberadaan MPR yang seperti ini jelas memboroskan anggaran negara. Fakta yang muncul saat ini, MPR terkesan mencari-cari pekerjaan, antara lain melakukan pekerjaan sosialisasi empat pilar dan putusan MPR lainnya yang sebenarnya tugas eksekutif. Tugas MPR sesungguhnya cukup sampai membuat keputusan saja, termasuk keputusan mengenai perubahan UUD 1945.

Itulah sebabnya muncul keinginan untuk menjadikan MPR sekadar joint session saja seperi halnya Kongres AS. Dalam konsep ini MPR tidak lagi sebagai sebuah badan, melainkan sekadar forum. MPR ada bila DPR dan DPD bersidang. Pimpinan MPR ada ketika ada sidang MPR. Pimpinan tersebut dapat dijabat secara ex officio oleh Ketua DPR dan Ketua DPD.

Contoh lembaga yang “sia-sia” adalah DPD. Menurut UUD 1945 hasil perubahan, DPD  memiliki kewenangan sebagai berikut.[9]

  1. Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  2. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  3. Memberikan pertimbangan  kepada DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
  4. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Selain empat macam kewenangan tersebut di atas, yaitu mengajukan, membahas, dan memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang serta melakukan pengawasan terhadap undang-undang tertentu, DPD juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR terhadap pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).[10]

Kewenangan DPD dalam UUD 1945 sesungguhnya sangat terbatas. Kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang) berada di tangan DPR.[11] DPD tidak ikut memegang kekuasaan, melainkan hanya berhak mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang tertentu, serta mengawasi pelaksanaan undang-undang tertentu pula. Dalam aras pelaksanaan fungsi legislasi, peran DPD bahkan bisa dibilang lebih kecil dibandingkan peran pemerintah (presiden). Pemerintah diberikan kewenangan konstitusional untuk membahas dan menyetujui setiap rancangan undang-undang,[12] sedangkan DPD tidak. Hal ini bisa terjadi karena perubahan UUD 1945 dikerjakan secara bertahap serta disertai semangat untuk memperkuat kekuasaan DPR di satu sisi dan membatasi kewenangan presiden di sisi lain. Kekusaan legislatif (legislative power) diberikan kepada DPR para Perubahan Pertama (1999),[13] sedangkan pasal-pasal tentang DPD baru diadopsi pada Perubahan Ketiga (2001).[14]

Kewenangan DPD untuk membahas rancangan undang-undang tertentu dilakukan hanya pada awal pembicaraan tingkat satu yang agendanya berupa pemandangan umum DPD, DPR, dan pemerintah terhadap sebuah rancangan undang-undang.[15]  Pembahasan rancangan undang-undang selanjutnya sampai tahap persetujuan tidak lagi mengikutkan DPD, semua bergantung kepada DPR dan pemerintah.

Kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang tertentu hanya dilakukan secara tertulis sebelum rancangan undang-undang dimaksud memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah.[16] Kesimpulanya, DPD tidak memiliki kekuasaan yang menentukan baik ketika mengusulkan, membahas, maupun memberikan pertimbangan terhadap suatu rancangan undang-undang.

Semua kewenangan DPD, termasuk memberikan pertimbangan terhadap pemilihan anggota BPK, terpulang kepada DPR untuk menindaklanjutinya atau tidak. Selama ini, seperti yang kerap dikeluhkan DPD dan diakui beberapa anggota DPR, masukan DPD kepada DPR entah dalam bentuk rancangan undang-undang, hasil pembahasan, pertimbangan, dan hasil pengawasan sering tidak digubris, hanya masuk dalam keranjang sampah. Seandainya DPD tidak melaksanakan fungsinya, DPR agaknya tidak pula berkeberatan dan roda kenegaraan tetap dapat berjalan utuh tanpa keikutsertakan lembaga DPD. Hal ini jelas merupakan sebuah ironi. Sebuah lembaga konstitusi (constitutional organ) diletakkan di undang-undang dasar ternyata tidak memiliki kekuasaan yang signifikan.

Lembaga yang tidak memiliki kewenangan menentukan (determinan) seperti DPD tentulah hanya sebuah kesia-siaan dan memboroskan anggaran negara. Terhadap lembaga seperti ini pilihannya hanya dua: diperkuat atau dibubarkan. Kedua jalan, baik diperkuat maupun dibubarkan, memerlukan jalan amendemen atau perubahan UUD 1945. Itulah sebabnya kemudian DPD mendengungkan dan mengonsolidasikan dukungan akan perubahan UUD 1945 dengan misi atau pilihan memperkuat lembaga DPD.

Bila DPD tidak memiliki kekuasaan yang menentukan, tidak demikian halnya dengan MK. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK juga diberikan kewenangan dalam proses impeachment (pemakzulan), yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945. Kekuasaan-kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945 sangat menentukan, bahkan terbilang luar biasa. MK misalnya dapat membatalkan suatu undang-undang hanya dengan keputusan lima dari sembilan hakim, mengalahkan keputusan atau kesepakatan 560 orang anggota DPR, ditambah pemerintah. Tidak heran misalnya ada suara-suara dari kalangan DPR yang menginginkan pembatasan kekuasaan MK, terutama ketika MK baru saja membatalkan sebuah undang-undang yang telah dibuat dengan susah payah oleh DPR.

Kendati demikian, yang perlu dilakukan sebenarnya bukanlah mengurangi kewenangan MK, melainkan lebih mengoptimalkan kewenangan yang sudah ada, bahkan bila perlu menambahkannya. Alasannya, pekerjaan MK saat ini ’terlalu ringan’ dibandingkan dengan anggaran dan fasilitas kerja yang mereka miliki. Oleh karena itu, ada kebutuhan akan perluasan kewenangan lembaga ini. Dua hal yang perlu dipertimbangkan adalah memberi kewenangan kepada MK untuk menangani pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dan menangani semua permohonan pengujian peraturan perundang-undangan.

Bila ada seorang warga negara yang hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh negara atau aparat negara, ia dapat mengadukan tindakan tersebut ke MK dan sekaligus meminta restorasi hak. Sebagai the guardian of the constitution sudah sepatutnya MK diberikan kewenangan ini. Bila tidak, lebel sebagai penjaga konstitusi hanya akan menjadi kata-kata manis di atas kertas. Kehadiran MK sebagai penjaga konstitusi tidak akan dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga negara.[17]

Berikutnya adalah mengenai pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu atap. Perubahan Ketiga UUD 1945 menentukan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sedangkan MK diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang.[18] Di masa depan akan lebih baik bila pengujian undang-undang disatuatapkan ke dalam kewenangan MK sehingga MA bisa berkonsentrasi pada pemberian keadilan bagi pencari keadilan (mahkamah keadilan) dan MK berkonsentrasi untuk menjaga tatahukum di negeri ini (mahkamah sistem hukum).[19]

Konsep perubahan UUD 1945 versi DPD yang telah diluncurkan pada Maret 2008 telah mengadopsi optimalisasi peran MK tersebut. Selain pengujian satu atap dan pengaduan konstitusional, kewenangan lain yang dioptimalkan atau ditambahkan adalah sengketa kewenangan lembaga negara, yang tidak hanya terbatas pada lembaga konstitusional (constitutional organ), melainkan juga lembaga yang kewenangannya yang diberikan oleh undang-undang. Sementara yang ditambahkan adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Sekadar catatan, UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengadopsi peralihan kewenangan memutuskan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK.

 

Cara Perubahan

Dalam kaitan dengan cara perubahan penulis perlu menggarisbawahi gagasan Jimly Asshiddiqie mengenai konsolidasi materi UUD 1945 dan segala perubahan yang ia sebut dengan “Jalan Tengah Mengatasi Keterlanjuran”.[20] Menurutnya, teknik perubahan dengan jalan amendemen memang memiliki kelebihan, yaitu berkesinambungan dan tidak meninggalkan jejak sejarah. Untuk masa mendatang sebaiknya prosedur inilah yang dipilih dengan menegaskannya dalam ketentuan mengenai perubahan undang-undang dasar. Namun, untuk mengakhiri masa transisi konstitusi, Asshiddiqie berpendapat diperlukan adanya suatu naskah undang-undang dasar baru yang akan ditetapkan pada tahun 2002, atau selambat-lambatnya 2004.[21] Untuk itu, semua naskah yang ada, yaitu naskah asli UUD 1945 beserta penjelasannya, Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), dan Perubahan Ketiga (2001) (serta kemungkinan Perubahan Keempat [2002])[22] disusun kembali menjadi satu kesatuan naskah undang-undang dasar yang baru dengan nama “Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sebelum terbentuknya UUD baru itu, periode sekarang (2001) harus dianggap sebagai masa transisi dan UUD 1945 beserta perubahannya harus dipandang sebagai naskah-naskah yang berisi ‘interim constitution’ (konstitusi sementara).[23]

Pemikiran yang dilontarkan Asshiddiqie pada pertengahan tahun 2001 itu kiranya masih relevan untuk dikemukakan. Secara objektif, UUD 1945 yang sudah mengalami empat kali perubahan itu memang harus disusun kembali, terutama dari segi sistematikanya yang semakin tidak teratur setelah mengalami perubahan. Saat ini, paling tidak terdapat dua naskah UUD 1945, yaitu (1) naskah UUD 1945 berikut lampiran-lampirannya mulai dari Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001) hingga Perubahan Keempat (2002); (2) naskah konsolidasi yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR yang kemudian diikuti pula oleh Sekretariat Jenderal MK. Kedua naskah ini termuat dalam buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR maupun Sekretariat Jenderal MK.

Sejatinya, naskah yang resmi adalah naskah yang pertama. Naskah ini sesuai dengan sistem perubahan yang dianut oleh MPR dengan jalan amendemen, yaitu melampirkan naskah perubahan sebagai bagian tak terpisahkan dari naskah asli seperti dipraktikkan dalam perubahan konstitusi di Amerika Serikat.[24] Namun, tidak mudah ’membaca’ konstitusi dengan performa seperti itu. Hal inilah yang tampaknya mendorong Sekretariat Jenderal MPR dan Sekretariat Jenderal MK menerbitkan naskah yang sudah disatukan. Untuk menandai pasal-pasal perubahan, di dalam naskah tersebut diberi tanda bintang (*), mulai dari bintang satu (*) untuk Perubahan Pertama, bintang dua (**) untuk Perubahan Kedua, bintang tiga (***) untuk Perubahan Ketiga, dan bintang empat (****) untuk Perubahan Keempat. Naskah kreasi Sekretariat Jenderal MPR inilah yang banyak dijadikan acuan untuk membacara UUD 1945. Di masa depan bukan tidak mungkin buku-buku UUD 1945 yang terbit kemudian tidak lagi mencantumkam versi asli UUD 1945, melainkan cukup naskah terkonsolidasi seperti yang dibuat Sekretariat Jenderal MPR. Melihat fakta tersebut, jelas ada kebutuhan untuk melakukan perubahan konstitusi lagi. Penulis sepenuhnya setuju dengan ide Asshiddiqie untuk dilakukan konsolidasi materi.

 

Panitia atau Komisi Ahli

Persoalannya, lembaga mana yang akan melakukan konsolidasi materi sehingga terbentuk undang-undang dasar baru yang berstruktur baik. Apakah hal ini bisa diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)? Apakah diserahkan kepada sebuah komisi konstitusi baik seperti yang pernah dibentuk MPR maupun yang pernah menjadi tuntutan masyarakat?

Pada titik ini penulis tidak sepakat bila konsolidasi materi tersebut diserahkan baik kepada MPR maupun sebuah komisi konstitusi.[25] Tugas seperti ini sebenarnya cukup diserahkan pada panitia ahli[26], terutama yang memiliki keahlian sebagai perancang undang-undang (termasuk konstitusi). Perdebatan mengenai materi konstitusi yang sudah dialami selama era reformasi konstitusi periode 1999-2002 rasanya sudah cukup. Sekarang yang dibutuhkan adalah bagaimana menuangkan segala gagasan itu dalam bentuk naskah yang baik dan tidak tumpang-tindih serta menjamin sistem yang baik.

Dalam hal ini MPR bisa menetapkan guidance bagi panitia ahli dalam melakukan konsolidasi. Misalnya, konsolidasi tidak boleh menghilangkan hal-hal yang telah disepakati oleh MPR selama periode 1999-2002. Hal-hal yang harus dipertahankan misalnya mengenai dasar negara (Alinea IV Pembukaan UUD 1945), sistem pemerintahan presidensial, bentuk negara kesatuan, pemilihan presiden secara langsung dengan sistem dua putaran (two round system), lembaga-lembaga baru seperti MK dan DPD, prinsip perwakilan yang semuanya dipilih, dan lain-lain. Intinya, guidance MPR tersebut adalah nlai-nilai yang sudah tercantum dalam UUD 1945 berserta perubahannya mulai dari Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), hingga Perubahan Keempat (2002).

Saat ini lembaga yang telah menginisiasi perubahan UUD 1945 adalah DPD, yang telah meluncurkan konsep perubahan yang sebelumnya telah disiapkan beberapa ahli hukum tatanegara yang tergabung dalam ’Tim Sembilan’.[27] Usulan DPD ini mempertahankan apa yang telah disebutkan di atas.

Memang tidak mudah mendapatkan dukungan akan perubahan UUD 1945 dari MPR, lembaga formal yang memang memiliki hak untuk mengubah UUD 1945. Sebab, mayoritas anggota MPR adalah anggota DPR.[28] Dalam kaitan ini penting dikemukakan pendapat K.C. Wheare, seorang ahli konstitusi Inggris. Menurutnya, perubahan undang-undang dasar tidak hanya tergantung pada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara perubahan konstitusi, melainkan juga tergantung pada kelompok-kelompok sosial dan politik yang dominan di masyarakat; apakah mereka puas atau setuju dengan pengorganisasian dan distribusi kekuasaan yang terdapat dalam konstitusi tersebut.[29] Pada titik ini DPD jelas tidak puas dengan pengorganisasian dan distribusi kekuasaan yang ada dalam UUD 1945, namun posisi yang berbeda tampaknya dipegang DPR. Bagi DPR, apa yang telah dihasilkan UUD 1945 hasil amendemen telah memberikan kepuasan bagi mereka sehingga bisa jadi tidak ada keinginan untuk mengubah UUD 1945. Menghadapi fenomema ini, pelipatgandaan isu amendemen harus diarahkan ke masyarakat. Amendemen UUD 1945 harus menjadi common platform rakyat. Tanpa itu, agaknya sulit melihat ada penuntasan reformasi konstitusi.***

 

Jakarta, 6 November 2018

 

Refly Harun

 

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Perwakilan Daerah. ”Draft Amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Kesepakatan Kelompok DPD di MPR RI 25 Maret 2008”, Maret 2008.

 

G.W. Paton. A Text-Book of Jurisprudence. The Clarendon Press (Second Edition), Oxford, 1951.

 

Jimly Asshiddiqie. “Pergeseran Kekuasaan Legislatif-Eksekutif dan Peningkatan Peran DPR di Masa Depan”, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Peningkatan Peran DPR-RI, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 6 September 2000.

 

_________. Pengantar Pemikiran tentang Rancangan Perubahan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2001.

 

Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Gagasan Amendemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung Sebuah Dokumen Historis, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2005.

 

John Locke, Two Treatises of Government, Everyman (New Edition), London, 1993.

 

K.C. Wheare. Modern Constitution, Oxford University Press, London, 1971.

 

Kompas, “Koalisi Ornop Soal Perubahan UUD – Sebaiknya Dijadikan Konstitusi Transisi”, 24 April 2002.

 

Montesquieu. The Spirit of Laws, di http://www.constitution.org/cm/sol.txt.

 

Refly Harun. ”Reformasi Konstitusi Jilid II”, Makalah Disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli ”Kontroversi Kewenangan DPD RI”, Jakarta, 29 Juni 2006.

 

Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,  Alumni, Bandung, 1984.

 

Taufiqurrohman Syahuri. Hukum Konstitusi Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002 serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia, Ghalia Indonesia (Cetakan Pertama), Jakarta, 2004.

 

 

 

 

 

 

 

 

[1]Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara; Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta; Mengajar di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Universitas Andalas, Padang.

 

[2]Lihat Jimly Asshiddiqie, “Pergeseran Kekuasaan Legislatif-Eksekutif dan Peningkatan Peran DPR di Masa Depan”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Peningkatan Peran DPR-RI yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional di Jakarta, 6 September 2000. Ajaran tentang pemisahan kekuasaan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government (1690). Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Ajaran ini kemudian disempurnakan oleh Montesquieu melalui ajaran trias politikanya, yaitu pembagian kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Lihat John Locke, Two Treatises of Government, new edition (London: Everyman, 1993) hlm. 188-190; Montesquieu, The Spirit of Laws, http://www.constitution.org/cm/sol.txt.

 

Secara prinsip konsep trias politik masih dipakai, namun tidak dalam tafsiran yang tradisional. Zaman modern telah menimbulkan paradoks bahwa lebih banyak undang-undang yang berasal dari inisiatif eksekutif. Austin Raney bahkan mendefinisikan eksekutif sebagai kekuasaan yang meliputi bidang diplomatik, administratif, militer, yudikatif, dan legislatif. Lihat dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 208.

 

G.W. Paton menyatakan, “Although in political theory much has been made of the vital importance of the separation of powers, it is extraordinary difficult to define precisely each particular power…The political usefulness of a separation of powers is clearly recognized today, but the major juristic difficulty is to discover any clear definitions of the legislative, administrative, and judicial process which can be related to the functioning of actual states”. Lihat Paton, A Text-Book of Jurisprudence, second edition (Oxford: The Clarendon Press, 1951), hlm. 262.

 

 

 

[3] Lihat Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002 serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia, cetakan pertama (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004) hlm. 211.

 

[4] Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945.

[5] Pasal 3 ayat (2) Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUD 1945.

[6] Pasal 3 ayat (3) Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUD 1945.

[7] Pasal 8 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945.

[8] Pasal 8 ayat (3) Perubahan Keempat UUD 1945.

[9] Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945.

[10] Pasal 23F ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945.

[11] Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945.

[12] Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945 menyatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

[13] Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945.

[14] Bab VIIA, Pasal 22 C dan Pasal 22D Perubahan Ketiga UUD 1945.

[15] Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal ini sesungguhnya mengebiri kewenangan konstitusional DPD yang terdapat dalam UUD 1945. Namun, hingga tulisan ini dibuat, wacana untuk memintakan pengujian pasal ini di MK hanya tinggal wacana. Belum ada langkah nyata dari DPD untuk memintakan pengujian tersebut.

[16] Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

[17] Pada tahun 2004 MK telah membatalkan UU Nomor 16 Tahun 2003 yang menerapkan ketentuan retroaktif kepada pelaku Bom Bali. Namun, pembatalan tersebut tidak memiliki dampak terhadap terpidana yang telah divonis dengan undang-undang tersebut. Mereka tetap divonis hukuman mati melalui undang-undang yang akhirnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

[18] Lihat Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945.

 

[19] Istilah mahkamah keadilan dan mahkamah sistem hukum penulis adalah istilah yang kerap dikemukakan Prof. Jimly dalam beberapa kesempatan.

[20]Jimly Asshiddiqie, Pengantar Pemikiran tentang Rancangan Perubahan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2001), hlm. 9.

 

[21] Ibidt.

[22] Gagasan ini dikemukakan Jimly Asshiddiqie setelah berakhirnya Perubahan Ketiga (2001) dan sebelum Perubahan Keempat UUD 1945 (2002).

[23] Ide mengenai konstitusi transisi juga pernah diungkapkan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB), sebelumnya dikenal dengan Koalisi Ornop,  menjelang ST MPR 2002. Kompas, “Koalisi Ornop Soal Perubahan UUD – Sebaiknya Dijadikan Konstitusi Transisi”, 24 April 2002, hlm. 1

 

 

[24]Lazimnya dalam mengubah suatu konstitusi dipakai dua sistem. Pertama, sistem amendemen, yaitu dengan menjadikan naskah perubahan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari naskah asli. Kedua, sistem pergantian, yaitu menetapkan teks konstitusi baru untuk menggantikan teks lama. Lihat Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,  (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 71

 

[25]Ketika terjadi arus perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002, penulis termasuk pihak yang mendukung ide pembentukan komisi konstitusi yang independen untuk melahirkan konstitusi baru. Bahkan, penulis tergabung dalam Kolisi untuk Konstitusi Baru (KKB) pada tahun 2002 yang paling gencar menuntut pembentukan komisi konstitusi independen. Namun, penulis berpendapat, meski tuntutan itu ideal, tetapi urgensi sudah sangat berkurang untuk saat ini. Ide-ide tentang materi konstitusi sudah mengkristal dan tinggal dituangkan dalam suatu naskah. Pekerjaan ini cukup dilakukan oleh panitia ahli.

[26]Sekadar perbandingan, Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-undangan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang diketuai Jimly Asshiddiqie dan dibentuk pada era Presiden Habibie pernah mengusulkan pembentukan komisi negara untuk mengkaji perubahan UUD 1945 pada tahun 1999. Lihat Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amendemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung Sebuah Dokumen Historis, (Jakarta: Sekretariat Jendeal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), hlm. x.

[27] Mereka adalah Bivitri Susanti, Denny Indrayana, Fajrul Falaakh, Irmanputra Sidin, Marwan Mas, Refly Harun, Saldi Isra, Yuliandri, dan Zainal Arifin Mochtar.

[28] Untuk periode 2004-2009 MPR terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. Perubahan UUD 1945 harus diajukan oleh 1/3 anggota MPR. DPD harus mendapatkan dukungan dari para anggota DPR bila ingin mengusulkan perubahan UUD 1945.

[29] K.C. Wheare, Modern Constitution, (London: Oxford University Press, 1971) hlm. 17.

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300