Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

DEMOKRASI AGREGAT ANGKA MATI

$
0
0

DEMOKRASI AGREGAT ANGKA MATI [1]

  1. Kristiadi[2]

Mengelola kerumitan kedaulatan rakyat sebagai basis pengorganisasian kekuasaan untuk mewujudkan kebahagiaan bersama bersama sudah dapat  telusuri mulai  dari gagasan Republicanism, abad ke enam sebelum Tarih Masehi, diteruskan kurun waktu  Renaissance, Revolusi Perancis dan Amerika sampai dengan menemukan bentuk yang disebut demokrasi.  Ia kemudian menjadi ikon tata kelola kekuasaan yang berbasis kedaulatan rakyat, tertib politik yang memuliakan peradamaian kemanusiaan dan manusia. Sebagaimana gagasan republicanism, demokrasi juga mengalami dinamika gelombang pasang surut yang menandai  kompleks dan rumitnya memperjuangkan pengelolaan kekuasaan yang beradab.

Persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mengelola kedaulatan rakyat adalah problem universal sejarah umat manusia membangun kehidupan bersama. Perdebatan filosofis sekitar dua ribu lima ratus tahun lalu, isyu tersebut dijawab oleh  dalil Socrates yang di kutip oleh Plato dalam buku Republic (editor dan penterjemah  Chris Emilyn-Jones dan William Preddy, 2013, halaman xxx). Di Bagian pengantar,  Structure of The State and Soul,  intinya ia mendalilkan bahwa  bentuk tatanan kekuasaan, mulai dari 0ligarki, demokrasi dan tirani pararel dengan tata kelola kalbu manusianya, terutama para elit penguasa. Kualitas pengelolaan kekuasaan negara sejalan dengan mutu pengelolaan moral para penyelenggara negara. Ia masih menambahkan bila tatanan kekuasan di kangkangi oleh para perburu uang (money grubbing),  dapat dipastikan jabatan public menjadi komoditas. Orang kaya dipuja, mereka yang miskin di kutuk ( Plato, Republik, Halaman 233).

Bila aksioma tersebut dijadikan pisau analisa dalam konteks Negara Pancasila, menyiratkan dan menyuratkan, upaya bongkar pasang manajemen kekuasaan negara selama ini, tidak hanya di tuntun  roh serta nilai-nilai luhur Pancasila, melainkan dirasuki oleh hasrat dan gelora nafsu kuasa.  Tata kelola gerak jiwa para pemutus politik yang mengutamakan nikmat kuasa, akan menghasilkan tatanan kekuasaan yang rapuh, korup dan menghancurkan. Modal meraih kekuasaan adalah kapital, bukan cita-cita mulia. Praktek politik uang dan populis menggiring bangsa ini menuju dimensia kolektif yang menggoyahkan eksistensi dan survivalitas Negara Pancasila. Peranan kapital  telah merajah negara melalui transaksi kepentingan antara pemilik modal dan para pemutus politik. Hasrat perburuan kekuasaan yang didorong oleh gelora jiwa yang menggebu dengan gejolak nafsu  menikmati kekuasaaan, semakin menambah kerumunan orang pandir yang korup merusak negara.

Dinamika demokratisasi dalam bayang-bayang pragmatism di Indonesia pacsa reformasi juga ditandai dengan tingkat pendangkalan yang pesat, sehingga  rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan otentik, disetarakan dengan sederet angka mati. Oleh sebab itu, medan politik sesak dengan politisi yang memburu jumlah prolehan suara dengan segala cara. Kedaulatan rakyat di tukar dengan kertas ber-angka (mata uang), bukan karya nyata dari sebuah gagasan atau cita-cita. Mereka, para pemuja angka, mengganggap angka sebagai barang  keramat yang dapat mengubah kehidupan secara tiba-tiba menjadi bergelimang harta dan kuasa. Semakin besar angka yang diperoleh semakin besar kekuasannya. Dalam persaingan yang sengit didorong oleh semangat dan praktek transaksi kepentingan, pertarungan menjadi persaingan merebut perolehan angka dengan saling membinasakan. Lawan politik dianggap sebagai  musuh yang harus dilibas.

Ideologi pragmatisme yang berlebihan serta mengagungkan dan memuliakan materi bermuara kepada upacara  merayakan  kedangkalan.   Fenomena yang oleh oleh Frank Furedi (2006) dalam bukunya “Where Have All the Intellectuals Gone?:”Confronting 21st Century Philistinism”,  disebut philistinism. Perilaku, kebiasaan atau watak yang cenderung merendahkan etika dan budaya, anti intelektual, mengabaikan keindahan dan estetika, pongah tetapi berwawasan sempit.  Dalam perspektif  ini angka lebih mulia dari manusia. Kedaulatan rakyat seakan lumpuh oleh kedaulatan uang. (Khrematokrasi, Setya Wibowo, A; Basis, nmr 05-06, 2014). Membiarkan pemuliaan kedangkalan, berarti menyediakan jalan lapang menuju negara toritarian atau anarki sosial. Pada  hal harapan pemilih adalah memperoleh kehidupan yang lebih baik. Harapan dari pemegang tertinggi kedaulatan.

Memberlakukan rakyat setara dengan angka, mempermudah elit politik menggerakkan rakyat bukan dengan penalaran tetapi lebih di stimulir oleh hasrat instingtual dan primordial. Simptom-simptom pembelahan bangsa dirasakan mulai menguat, terutama di picu ujaran kebencian bernuansa sentiment primordial yang diartikulasikan melalui Media Sosial (Medsos). Wacana publik bukan hanya menjadi tidak juntrung, bahkan berpotensi merusak tatatan kehidupan yang beradab. Medsos menjadi ajang festival orgi bigotri (bigotry) yang mengumbar kebencian primordialistik. Hingar bingar kebencian akan membunuh rasa persaudaraan serta akan menggiring   demokrasi tersesat ke rute anarki social.

          Gelombang umpatan kesumat tersebut kalau dibiarkan akan mengaki- batkan praktek berdemokrasi  menggerogoti ke- Indonesia-an. Arena politik bukan lagi menjadi ranah kompetisi yang sehat, melainkan menjadi ajang saling menaklukan. Politik Penaklukan mempunyai potensi sangat besar memporak perandakan upaya meningkatan sensitifitas  “rasa- merasa” dalam membangsa menjadi Indonesia yang Bhineka tetapi Eka. Sensitifitas saling rasa-merasa sebagai bangsa dapat  tenggelam oleh gelora kebencian bernuansa sentimen primordial. Sensitifitas saling merasakan sebagai bangsa Indonesia  semakin menipis.

Gejala tersebut perlu dicermati dinamikanya, karena berdasarkan studi  Jack Snyder, (Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah:  Demokratisasi dan Konflik Etnis, KPG, 2003), nasionalisme  eksklusif dapat menjadi senjata elit politik yang terganggu kenyamannya, mengobark-abrik tananan kekuasaan yang beradab.   Mereka mengatasnamakan rakyat mengobarkan semangat nasionalisme sempit untuk menggalang kekuatan massa dan melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil. Keberhasilan mereka juga didukung oleh kekuatan modal yang dapat mendominasi kepemilikan media. Akibatnya, bursa gagasan sarat  kepentingan elit karena hanya dipasok oleh kepentingan subyektif. Wacana publik yang tidak merawat kewarasan hampir dapat dipastikan  melemahkan kekuatan sipil masyarakt ( Civil Society). Para elit politik dengan mudah dapat menggiring rakyat untuk loyal kepada institusi primordial yang mengakibatkan segregasi sosial, bukan kepada nilai-nilai dan lembaga politik yang inklusif yang dan menjanjikan kemakmuran, kesetaraan serta keadilan bersama. Beberapa negara yang terancam proses demokrasinya karena mobilisasi nasionalisme eksklusif  antara lain di negara-negara Balkan (Yugosavia, Rumania, Bulgaria dan Albania), Kaukasus (Aremenia, Georgia dan Azerbaijan) serta Baltik ( Estonia, Latvia dan Lituania).

Tragedi “de-humanisasi” praktek politik yang  merendahkan manusia Indonesia sama nilai dengan dengan angka mati diungkapkan oleh Gus Mus (Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim), secara harafiah sebagai berikut “Pimpinan, anggota DPR, semua yang di atas harus jadi manusia dulu. Sekarang, orang berebut kekuasaan untuk apa? Setelah berkuasa juga mau apa? Banyak yang mementingkan ngerebut kursinya dulu, baru mikir. Setelah dapat kursinya apa yang mau dilakukan.” Menurut Gus Mus, menjadi manusia adalah mengenali dirinya dengan segala sisi-sisi kemanusiaannya sehingga mampu memanusiakan orang lain dan tidak menganggap dirinya sendiri yang paling benar.(Tempo.com, Jum’at, 28 Agustus, 2015).

Mengapa harus menjadi manusia dulu? Boleh jadi karena mereka belum  mampu menyangkal dirinya sendiri (self-denial) mengusir pamrih pribadi, mengendalikan  vorasitas (kerakusan), serta memepergunakan ketajaman nalar serta daya empati untuk mengendalikan nafsu mereguk kenikmatan kekuasaan. Lembaga wakil rakyat memerlukan manusia yang mampu mengontrol dorongan nafsu serakah, mempunyai kearifan serta kompetensi penalaran yang benar, sehingga dalam mengelola negara, mereka lebih mengutamakan kepentingan bersama. Suara kenabian Gus Mus hampir dapat dipastikan bermakna demikian.

Fenomena yang lebih memprihatinkan akibat praktek demokrasi yang mereduksi  nilai-nilai kemanusiaan adalah menggerakan rakyat dengan mengeksploitasi hasrat instingtual dan  sentiment primordial demi ambisi politik.  Berbagai macam teori dicoba untuk menjelaskan gejala kebencian primordialistik, terutama kelompok yang merasa inferior dan termarjinalkan. Salah satunya adalah   permenungan Nietzcshe tentang filosofi dan psikologi asal-usul serta silsilah dendam  kesumat atau biasa disebut ressentiment (Setyo Wibowo, Majalah Basis, nmr 03-04 thn ke 65, 2016). Intinya, mempersepsikan diri mempunyai  kodrat sebagai pecundang, makluk yang  lemah, serba kalah, merasa tersingkirkan, dizolimi, tak berdaya, iri, dengki, hina dan frustrasi. Serta merasa tidak dapat berdsaing dengan mreka yang sudah kodratnya sebagai pemenang. Jalan yang di tempuh adalah menciptakan ideologi tentang kebenaran. Inti filosofi nilai-nilai tersebut adalah kepasrahan, tidak melakukan perlawanan, mengalah dengan harapan serta keyakinan Tuhan yang akan membalas dan menghadiahi surga. Dengan meyakini nilai-nilai tersebut, mereka merasa sudah setara bahkan merasa menang. Oleh karena itu para petinggi Gerombolan Pecundang selalu membakar pengikutnya dengan mengemas kebenaran semu dan janji  masuk surga. Akibatnya, dalam perburuan nilai-nilai kebenaran subyektifnya, mereka justru menghalalkan cara bahkan melakukan revolusi yang meluluh-lantakan tatanan dunia agar masuk surga.   Dalam tataran mondial, contoh kelompok tersebut antara lain kelompok yang menamakan diri kelompok Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS.

Rasa benci bukan lagi  sekedar fenomena Psyche (kejiwaan), melainkan telah menjadi penanda bahaya, rasa tidak aman dan karena itu perlu kontrol yang memadai oleh negara atau komunitas politik tertentu.   Niza Yanay, dalam bukunya The Ideology of Hatred, The Psychic Power of Discourse (2013), menegaskan teori kebencian harus diteorikan kembali menjadi ideologi kekuasaan dan control. Sebab secara empirik   tangan-tangan tidak kelihatan (invisible mechanism) bergerayangan secara kasat mata menggunakan ”kebencian” sebagai strategi pertahanan dan politik. Ilustrasinya, peritiwa 11/9/2001  serangan bunuh diri di New York City dan Washington, D.C, “kebencian” digunakan oleh Presiden Bush, negara-negara demokrasi Barat dan media sebagai  retorika  metaforatikal untuk mendapatkan legitimasi menyatakan negara dalam keadaan darurat, membentuk profil rasial (racial profiling) serta melakuan operasi militer perang dengan Irak.  Hal yang sama adalah permusuhan kebencian antara Keturunan Yahudi Israel dan keturunan Yahudi palestina. Jadi, kebencian adalah konsep politik.

Akibatnya, nilai-nilai mulia sebagai basis ideologi  identitas masyarakat sipil (Civil Identity) yang beradab, pontang-panting menghadapi   ketamakan para pemburu kekuasaan  yang mempersenjatai diri dengan senjata yang mematikan,  SARA ( Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) atau Politik Identitas. Sedemikian kuatnya gelombang Politik Identitas SARA, seakan-akan negara telah di gulung ombak kebencian dan permusuhan.

Harganya amat mahal. Pengalaman di negara-negara Eropa menjelang dan pasca Perang Dunia Pertama serta konflik Politik SARA pasca runtuhnya negara-negara Komunis, menelan korban puluhan juta manusia meninggal dunia dan penderitaan lahir batin bagi yang masih hidup. Diperlukan waktu puluhan bahkan mungkin ratusan tahun untuk memulihkan luka bati rakyat akibat peri laku para Penggelojoh kekuasaan yang memanipulasi Politik SARA.

Sementara itu prinsip kesetaraan bila dipraktekkan tanpa pandang bulu justru dapat merusak demokrasi karena kesetaraan dianggap semua orang sama derajat, niat dan komptensinya. Tidak peduli mereka yang ingin memuliakan kehidupan bersama atau mereka yang ingin menghancurkan tatanan kehidupan demi mengejar kekuasaan. Referensi pengelolaan kekuasaan dalam konteks manajemen pemerintahan untuk kepentingan umum telah ribuan tahun lalu di diskusikan  mendalam antara Socrates dan Glaucon (sahabatnya). Wacana yang dapat dijadikan pelajaran tersebut  dikumpulkan Plato dalam bukunya Republic (  Editor  Chris Emyliyn-Jones, dan William Freddy: Harvard University Press, London, England, 2013). Dalam bab VIII (hal  107 sd 305), memuat perdebatan tetang kekuasaan. Pelajaran penting, antara lain, manipulasi para elit politik yang mengobarkan propaganda untuk memenuhi hasrat kuasa, hanya menempatkan rakyat sebagai budak. Namun para budak tersebut semakin lama tidak dapat dikendalikan sehingga akan menghasilkan pemerintahan oleh gerombolan yang tidak mempunyai kompetensi memerintah alias mobokrasi. Kemaruk kuasa selalu dapat memporak- perandakan negara.

Mewujudkan cita-cita tatanan demokrasi dalam masyarakat yang plural karena identitas primordial sangat rumit. Jebakan demokasi yang paling mudah menjerat kedauatan rakyat adalah dalil  mulia dari demokrasi itu sendiri: kebebasan dan kesetaraan. Prinsip tersebut baru bermanfaat untuk mewujudkan kesejahteraan umum bila disertai dengan kualitas manusia yang mampu membatasi kebebasannya untuk merawat nilai  dan aturan   guna mewujudkan cita-cita bersama. Praktek di negara-negara yang telah mapan demokrasinya, biasanya sebelum terjadi ledakan partisipasi rakyat, lembaga-lembaga politik telah di bangun sehingga dapat menampung partisipasi publik. Sebab, tanpa manusia yang mempunyai kompetensi serta tingkat pemahaman tentang hidup bersama, kebebasasan menjadi ekspresi kemerdekaan yang liar dan tidak bertanggung jawab, anarki. Kebebasan individual harus di pagari oleh kepentingan umum melalui hukum dan lembaga-lembaga politik mampu mengelola partisipasi publik.  Tanpa batas-batas yang jelas, para pemburu  kekuasaan dengan sigap akan mengobarkan propaganda mengelabuhi rakyat membangun dukungan untuk kepentingan mereka sendiri.

Mengingat akar permasalahan terletak pada tataran pengelolaan jiwa, maka tidak ada resep instant utuk mengobati penyakit tersebut. Solusi harus dilakukan jangka panjang dengan melakukan pendidikan hasrat manusia  Indonesia dalam mengelola gelora dan gerak jiwanya.  Pendidikan hasrat akan menghasilkan manusia yang terasah nurannya, sehingga secara gradual pengelolaan negara pararel dengan pengolaan jiwa yang memuliakan kekuasaan. Hadirnya negara yang bermartabat akan mewujudkan keadilan, dan merupakan senjata yang sangat ampuh untuk melawan idologi apapaun, termasuk ideologi kapitalisme, komunisme serta politik identitas.

Gerakan besar-besaran diharapkan secara pelan-pelan masyarakat mulai merasakan pertama-tama aku adakah bangsa Indonesia yang ditakdirkan lahir sebagai  suku atau ras tertentu serta memeluk agama tertentu pula.  Selain itu kompetisi politik dilakukan dengan semangat saling rasa merasakan sebagai warga negara Indonesia yang bertekad bersatu padu mewujudkan kebahagiaan. Menjadi bangsa Indonesia bukan kebetulan, melainkan upaya keras para pendiri negara yang menyadari Indonesia adalah bangsa yang beragam tetapi harus bersatu dalam mewujudkan cita-cita bersama. Oleh sebab itu seluruh komponen bangsa Indonesia dilarang keras kapok menjadikan  Indonesia  yang beragam tetapi tetap bersatu padu menuju kebahagian bersama.

Jakarta, Akhir Oktober 2018

 

 

[1] Makalah Pengantar sebagai bahan “refleksi” disampaikan kepada para peserta  Seminar tentang “Economics Outlook: Opportunities for Economics Growth in The Year of Politics”yang diselengarakan oleh Pacific Capital Investment tanggal 7 November 2018 di Hotel Sheraton, Surabaya.

 

[2] Peneliti Senior CSIS, Jakarta


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300