Menimbang Kembali Konstitusi Indonesia[1]
Moh. Mahfud MD[2]
Situasi Sekarang
Sekarang ini ada ide perubahan terbatas atas UUD 1945 hasil perubahan yang kini sedang berlaku.[3] MPR sudah membentuk Tim yang dipimpin oleh Ahmad Basarah. Materinya, antara lain, mengembalikan fungsi MPR untuk membuat GBHN. Alasannya, dengan tidak ada GBHN sekarang ini pembangunan sudah tidak terkordinasi. Kebijakan Pusat dan Daerah tidak sinkron, setiap berganti pimpinan berganti pula kebijakannya. Problem ini memang sangat terasa dalam perkembangan negara kita Pasca Reformasi.
Pertimbangan komprehensif
Ada yang menanggapi, usaha perubahan terbatas itu harus disikapi secara sangat hati-hati, bahkan ada yang mengatakan hal itu dilakukan. Mengapa? Karena tidak mungkin perubahan hanya terbatas menyangkut Pasal 2 yang memberi tugas dan kewenangan tertentu kepada MPR. Ia menyangkut juga pasal-pasal lain seperti terkait dengan peraturan perundang-undangan dengan adanya Ketetapan MPR, terkait juga dengan DPD dan DPR, impeachment, otonomi daerah, pengujian UU terhadap Tak MPR, dan lain-lain.
Menimbang kembali
Menimbang kembali artinya membahas dan menilai kembali secara mendalam, termasuk melakukan perubahan-perubahan agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dengan latar belakang budayanya, cita-citanya, dan upaya pencapaian tujuannya secara aktual. Perubahan bisa saja kembali ke UUD 1945 yang asli, dalam arti yang berlaku pertama. Mungkinkah, bagaimanakah, dan materi apa sajakah yang harus ditampung di dalam perubahan itu?
Peluang perubahan konstitusi
Konstitusi, di mana pun di dunia ini, sangat mungkin diubah dan diperbarui sesuai dengan kebutuhan domestik terbarunya. Mengutip KC Wheare, konstitusi adalah resultante (kesepakatan) bangsa yang bersangkutan (melalui pembentuknya) sesuai dengan kebutuhan politik, ekonomi, sosial, budaya, pada saat dibuat. Perbedaan tempat dan perjalanan waktu bisa menjadi alasan dilakukannya perubahan konstitusi.
Perubahan tidak terikat teori atau sistem
Oleh karena konstitusi selalu terikat dengan tempat dan waktu maka tidak ada satu pun teori konstitusi yang harus diikuti. Tidak juga ada sistem di negara lain yang harus diikuti. Menurut saya, teori tertinggi dalam pembuatan konstitusi adalah “teori bahwa dalam membuat konstitusi itu tidak harus mengikuti teori”. Pembuatan konstitusi juga tidak harus mengikuti sistem tertentu yang beralku di negara lain. Artinya, konstitusi itu dibuat menurut kebutuhan dan resultante-nya sendiri. Tentu saja teori dan dan sistem yang berlaku di negara lain bisa dijadikan “bahan” pertimbangan, tetapi tidak harus diikuti dan bisa dimodifikasi.
Situasi yang kini bisa dijadikan alasan
Ada beberapa situasi yang kini bisa dijadikan alasan untuk “menimbang” kemabli konstitusi kita atau melakukan perubahan atasnya.
Pertama, Setelah dilakukan amandemen konstitusi (Perubahan UUD 1945) upaya memberantas KKN dapat dikatakan tidak berhasil. Peraturan banyak yang dibuat tetapi KKN terus menggurita. Padahal dulu ada semacam dalil, “Reformasi mutlak diperlukan untuk memeberantas KKN” dan adagium, ”Tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”. Ternyata setelah UUD 1945 diubah, pmberantasan KKN tidak menjadi lebih baik.
Kedua, pasca reformasi 1998 jalannya pemerintahan memang tidak bisa terkordinasi dengan baik. Kalau berganti pimpinan, berganti pula kebijakannya. Kendali yang terpusat tidak bisa berjalan efektif. Perluasan otonomi daerah telah menjadi pintu masuk untuk semakin terdesentralisasinya juga KKN sehingga KKN menjadi lebih parah perkembngannya. Korupsi menggurita dan membesar baik angka absolut maupun gurita dan pola-polanya. Saat reformasi 1998 indeks persepsi korupsi (CPI) kita adalah 20 dan saat ini, setelah 20 tahun reformasi, baru bergerak ke 37, masih jauh dari angka lulus.
Ketiga, Banyak yang mengatakan bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang lahir dari UUD 1945 hasil amandemen sekarang ini sudah menyimpang dari Pancasila sehingga UUD 1945 hasil perubahan itu harus ditinjau (ditimbang) kembali. Pernyataan ini tentu harus diuji, apakah ada di tataran konseptual ataukah di tataran implementasi. Tetapi dalam rangka “menimbang” kembali itu masalah ini harus dijernihkan. Sepereti apakah sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang sesuai dengan Pancasila? Adakah sistem yang efektif dilaksanakan sesuai dengan Pancasila?
Setiap konstitusi selalu dianggap bermasalah
Seumpama pun kita bersepakat bahwa kita akan melakukan perubahan kembali UUD 1945 maka tidak lantas kita bisa optimis atau berpikir bahwa hasil perubahan itu nantinya bisa diterima oleh semua orang. Berdasar sejarah perjalanan bangsa kita dapat mencatat bahwa tidak pernah ada satu UUD pun yang tidak digugat untuk diubah lagi begitu disahkan. Marilah kita lihat catatan ini.
UUD 1945 periode pertama
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) menetapkan berlakunya UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia. Tetapi baru berlaku beberapa minggu sudah diubah dalam praktik karena oleh sebagian tokoh-tokoh muda UUD tersebut dianggap konstitusi fasis yang mengikuti kemauan Jepang. Itulah sebabnya pada tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Wapres No. X yang mengubah kedudukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat menjadi lembaga legislatif, bukan lagi pembantu Presiden dalam memegang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Maklumat No. X disusul dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem pemerintahan dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer. Pada saat itu UUD 1945 ditinggalkan begitu saja hanya dengan sebuah Maklumat Pemerintah.
Konstitusi RIS 1949
Sistem Parlementer berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 berlaku selama empat tahun untuk kemudian diganti secara resmi dengan Konstitusi Reoublik Indonesia Serikat Tahun 1949 (KRIS 1949). KRIS 1949 yang merupakan hasil Komperensi Meja Bundar KMB) di Den Haag itu bukan hanya memberlakukan secara resmi sistem Parlementer tetapi juga mengubah bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara federal.
Seperti diketahui pada tahun 1946 Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan alasan bahwa sebelum Sekutu kalah dalam awal Perang Dunia II pada tahun 1941 Indonesia (waktu itu bernama Hindia Belanda) adalah negeri jajahan (kolonial) Belanda. Atas masuknya kembali Belanda itu pihak Indonesia melakukan perlawanan melalui dua jalur yaitu perang fisik (termasuk gerilya) dan diplomasi melalui perundingan-perundingan. Perundingan yang terakhir dengan Belanda adalah Konperensi Meja Bundar yang kemudian melahirkan pengakuan kedaulatan atas Indonesia oleh Belanda, pembentukan Uni Indonesia-Belanda, dan perubahan NKRI menjadi Negara Republik Indonesia Serikat. Berdasar itu berlakulah KRIS 1949 sebagai konstitusinya.
UUDS 1950
Belum berjalan enam bulan KRIS 1949 berlaku sudah digugat lagi keberlakuannya. M. Natsir dari Partai Masyumi mengeluarkan “Mosi Integral” yang menyerukan agar Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan mengganti KRIS 1949. Mosi itu mendapat dukungan luas sehingga disepakatilah agar Indonesia segera kembali ke bentuk negara kesatuan dan sebuah UUD pengganti KRIS harus disiapkan. Rancangan UUD itu disiapkan oleh Soepomo yang di dalamnya menetapkan bentuk negara kesatuan dengan pemerintahan bersistem Parlementer.
Namun rancangan UUD tersebut tidak disepakati secara bulat untuk dijadikan UUD permanen sehingga keberlakuannya ditetapkan untuk sementara dan karenanya sejak awal keberlakuannya secara resmi disebut UUDS 1950. Untuk membentuk UUD yang permanen diselenggarakanlah pemilihan umum pada tahun 1955 guna membentuk Konstituante dengan tugas membentuk satu UUD sebagai pengganti UUDS. Tetapi Konstituante yang bersidang sejak Maret tahun 1956 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya sehingga akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang sekaligus memberlakukan kembali UUD 1945.
Keluarnya Dekrit itu sendiri pada awalnya menimbulkan kontroversi baik tentang keabsahannya maupun tentang materi UUD yang diberlakukannya. Tetapi itu bisa menjadi diskusi lain sebab faktanya sejak saat itu berlaku UUD 1945 sampai melalui dua rezim, Orde Lama dan Orde Baru.
UUD 1945 era Orde Lama: Demokrasi Terpimpin
Setelah kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 Bung Karno mengimplementasikannya ke dalam kosnepsi Demokrasi Terpimpin dengan konsep tiga pilar penyangga politik yang disebut Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom). Pada masa itu kembali muncul kritik karena banyak yang menganggap demokrasi terpimpin tidak cocok dengan UUD 1945. Secara ketatanegaraan pada waktu itu memang banyak masalah, misalnya, Mahkamah Agung praktis menjadi bawahan Presiden, Presiden membubarkan DPR hasil pemilu, Presiden juga mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Penetapan Presiden (Penpres) yang dibuat oleh Pemerintah bukan bersama dengan DPR melainkan bersama dengan Dewan Nasional.
Pemeraintahan Presiden Soekarno pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian disebut sebagai Orde Lama itu akhirnya jatuh pasca peristiwa 30 September 1965 yang oleh Presiden Soekarno disebut sebagai Gerakan Satu Oktober (Gestok). Pemerintahan berikutnya yang dikendalikan oleh TNI Angkatan Darat disebut Orde Baru.
UUD 1945 era Orde Baru : Demokrasi Pancasila
Pemerintahan Orde Baru yang dimotori oleh TNI Angkatan Darat tidak mempersoalkan konstitusi tetapi mempersoalkan pelaksanannya pada era Orde Lama yang dianggap penuh pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menegaskan sikapnya dengan semboyan “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”.
Pada awal-awal berdirinya Orde Baru sebenarnya sudah ada bibit-bibit keinginan untuk mengganti UUD 1945 seperti yang terlihat dari kerja-kerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dipimpin oleh AH Nasution. Pada saat itu MPRS membentuk dua Panitia Ad Hoc untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan yakni Panitia Ad Hoc tentang Sistem Pemerintahan Negara yang menhasilkan rekomendasi sistem Parlementer dan Panitia Ad Hoc tentang pengujian yudisial (judicial review) UU terhadap UUD.
Namun pihak Pemerintah menolak keputusan kedua Panitia Ad Hoc tersebut dan lebih memilih untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni dan konsekuen”. Demokrasi yang dibangun oleh Orde Baru disebut Demokrasi Pancasila. Tetapi dalam praktiknya pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 oleh Orde Baru telah menyuburkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang kemudian memancing gerakan reformasi di Indonesia sehingga melalui Reformasi 1998 pemerintahan Orde Baru jatuh.
UUD 1945 era Reformasi: UUD Perubahan
Seperti disebutkan di atas, pada awal reformasi ada dalil yang sangat meluas pengaruhnya yakni, “tidak ada pemerintahan bersih tanpa reformasi”, dan adagium, “tidak ada reformasi tanpa reformasi kosntitusi”, tidak ada reformasi tanpa perubahan UUD. Itulah sebabnya MPR hasil pemilu 1999 tidak dapat mengelak dari tuntutan untuk melakukan perubahan atas UUD 1945 yang didahului dengan lima kesepakatan dasar: Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; Kedua, mempertahankan bentuk negara kesatuan; Ketiga, memperkuat sistem Presidensiil; Keempat; isi Penjelasan yang bersifat mengatur dimasukkan ke dalam Pasal-pasal; Kelima, perubahan dilakukan melalui Addendum.
Perubahan UUD 1945 (yang juga disebut sebagai amandemen itu) dilakukan dalam empat kali Sidang Tahunan MPR yang berlangsung sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Tetapi, seperti kita tahu, belum lama UUD hasil perubahan ini berlaku sudah dipersoalkan. Bahkan aktovis prodemokrasi Bambang Widjojanto menyobek-nyobek naskah UUD 1945 hasil perubahan sebelum disahkan karena, seperti dikatakannya, tidak memenuhi syarat sebagai konstitusi yang baik. Jadi sebelum disahkan pun sudah diprotes.
Meskipun begitu naskah Perubahan UUD 1945 ini disahkan melalui perdebatan politik sampai menjelang subuh dengan kompromi membentuk Komisi Konstitusi. Pembentukan Komisi Konstitusi itu jelas merupakan akomodasi atas adanya keinginan untuk mengubah kembali UUD 1945 hasil perubahan. Hasil kerja Komisi Konstitusi yang dipimpin Oleh Sri Soemantri itu tidak ditindaklanjuti oleh MPR tetapi sekarang di MPR sudah ada Panitia Perubahan Terbatas dan kita pun berdiskusi pada hari ini untuk mempertimbangkan materi-materi perubahan itu. Tampak jelas bahwa setiap kita memberlakukan satu konstitusi selalu saja ada yang mengusulkan perubahannya kembali karena dianggap bermasalah.
Simpulan-simpulan
Selalu terbuka kemungkinan jika kita bermaksud mempertimbangkan kembali atau melakukan perubahan atas konstitusi yang berlaku, sebab konstitusi itu merupakan produk tempat dan zamannya yang berarti memang bisa diubah. Tetapi jangan pernah berharap bahwa jika konstitusi yang berlaku diubah kemudian masalah akan selesai dan bisa diterima oleh semua warga negara dan kelompok-kelompoknya. Dalam sejarah kita, tidak satu pun UUD yang diberlakuan tidak dipersoalkan dan tidak diminta untuk diubah lagi.
Isi UUD itu tidak ada yang salah atau benar, tidak ada yang bagus atau jelek. Isi UUD itu hanya kesepakatan yang bisa bulat atau tidak bulat berdasar pendapat-pendapat yang diperdebatkan oleh para pembentuknya. Jika UUD itu dianggap benar atau bagus oleh sekelompok orang selalu saja ada sekelompok orang-orang lain yang menganggapnya kurang benar atau kurang baik dan harus diperbaiki lagi. Jadi, UUD itu wajib ditaati dan dilaksanakan karena ditetapkan keberlakuannya secara resmi oleh lembaga yang berwenang, bukan karena benar atau karena bagus.
Jika kita memang bersepakat untuk melakukan perubahan maka sebaiknya yang dilakukan terlebih dulu adalah mengubah ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang tata cara perubahan. Prosedur dan mekanisme perubahan yang berlaku sekarang berdasar Pasal 37 tersebut agak menyulitkan untuk melakukan perubahan yang komprehensif dalam satu paket sehingga kesan tambal sulam akan terasa selalu ada. Bagus juga kalau MPR diberi wewenang menetapkan UUD tanpa harus membuat sendiri isinya.
Cara yang bisa dipertimbangkan untuk mengutur perubahan itu adalah dilakukannya perubahan oleh sebuah Komisi Negara yang khusus dibentuk untuk itu. Komisi tersebut diberi wewenang penuh untuk menyusun sebuah Rancangan UUD yang bisa melakukan perbaikan-perbaikan atas UUD yang ada sekarang secara satu paket, atau membuat yang baru sama sekali, atau kembali ke UUD 1945 yang pertama (asli). Dalam memutuskan perubahan itu MPR tinggal memberi keputusan dengan menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” tanpa harus menyusun sendiri rancangan dan isi perubahan itu. Bisa juga pemberian persetujuan atau penolakan atas rancangan UUD tersebut dilakukan melalui referendum. Tetapi cara-cara baru itu harus didahului dengan perubahan lebih atas Pasal 37 UUD 1945 yang berlaku sekarang ini.
——————————–
[1] Disampaikan pada Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III 2018 berthema “Menimbang Kembali Konstitusi Indonesia” yang diselenggarakan oleh Mufakat Budaya Indonesia dan Media Indoneia, Selasa, 6 November 2018 di Gedung Metro TV, Lantai 8, Kedoya, Jakarta, Selatan.
[2] Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum UII Yogyakarta; Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP); Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013.
[3] Selanjutnya, untuk keperluan makalah ini, saya mempergunakan dalam pengertian yang sama untuk istilah “konstitusi” dan “UUD” serta untuk istilah “perubahan” dan “amandemen”.