Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

MEMULIAKAN AHLUL BAIT DALAM BUDAYA NUSANTARA

$
0
0

MEMULIAKAN AHLUL BAIT DALAM BUDAYA NUSANTARA

Berdasarkan buku Masuknya Islam ke Timur Jauh yang ditulis oleh peneliti sejarah terkenal tahun 1950an, seorang mufti dari Malaysia, bernama al Habib Alwi bin Thahir al Hadad, disebutkan pada tahun 681 M hingga tahun 700an Masehi pasca peristiwa karbala, telah terjadi gelombang hijrah kaum syiah Islam yang cukup besar ke berbagai kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara. Gelombang hijrah ini terjadi karena tekanan dan pembunuhan penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyah kepada keturunan Bani Hasyim dan kaum Syiah ahlul bait.

Tekanan dan pembunuhan ini terjadi karena keturunan keluarga Bani Hasyim dan kaum syiah tidak terima dengan peristiwa tragis yang dialami Imam Husein dan keluarga nabi di Karbala, yang menyebabkan syahidnya keturunan nabi dari jalur Imam Husein kecuali imam Ali Zainal Abidin yang pada saat itu telah berputra Imam Muhammad al Bagir yang masih berusia 3 tahun. Kaum Syiah melakukan protes di berbagai wilayah kekuasaan bani Umayyah, peristiwa ini menyebabkan penguasa wilayah melakukan perburuan dan pembantaian kaum syiah dan keturunan keluarga nabi dimanapun mereka berada tanpa pandang bulu. Semua keturunan nabi dan para pengikutnya baik yang melakukan tindakan protes atau tidak mendapat perlakuannyang sama, mereka dikatakan syiah rafidhoh dan harus dibunuh, kaum wanita dan anak-anak diperbudak.

karena alasan inilah akhirnya kaum syiah hijrah ke negeri2 yang jauh seperti Cina, Indonesia (Hindia) dan India (Bharat). Hijrahnya kaum Syi’ah ini bisa dibuktikan bukan hanya catatan tertulis tapi juga telah meninggalkan berbagai tradisi yang masih bisa dilihat hingga saat ini, diantaranya;

  1. TRADISI MEMBANGUN MAKAM

Tradisi membangun makam/makam berbentuk rumah/pada masa lalu bentuknya persis bangunan candi, bisa diliat di beberapa bangunan makam yg masih ada sampai saat ini.

  1. TRADISI MEMULIAKAN ALI

Tradisi memuliakan Sayyidina Ali bisa dilihat hingga saat ini dalam bentuk benda, do’a, dan berbagai peringatan. cth tradisi memuliakan Ali dlm btk benda: baik jawa barat/tengah cincin disebut dengan ali/ali-ali, penyebutan ini terkait dengan tafsir penunjukkan pemimpin yang bersedekah dengan cincinnya ketika sholat yaitu imam Ali

  1. TRADISI KHAUL/PERINGATAN KEMATIAN.

Tradisi 40harian sd 1000harian, tradisi 40 hari diambil dari kembalinya keluarga nabi ke karbala utk menguburkan jasad para syuhada setelah 40hari, setlh sblmnya menjadi tawanan Yazid.

  1. BARZANJI, MARHABÀ, DIBA’I & KENDURI

Barzanji, Marhabà, Diba’i adalah puji-pujian yang persembahkan kepada Nabi dan keluarganya, biasanya dilakukan pada acara-perayaan Maulid, pernikahan, syukuran dan sebagainya. Khusus kenduri, sangat nyata dipengaruhi oleh tradisi Syiah. Karena dipungut dari bahasa Persia, Kanduri, yang berarti tradisi makan-makan untuk memperingati Fatimah Az-Zahrah, putri Nabi Muhammad Saw.

  1. PENYEBUTAN SURO UNTUK BULAN MUHARRAM

Di Jawa tengah, sebetulnya jawa barat juga sama, awal bulan pada kalender Jawa di sebut SURO, diambil dari kata Asyuro = hari ke 10, kalender Jawa diadaptasi dari kalender hijriyyah, digunakan sejak masa jauh seblm sultan Agung, cuma dlm sejarah disebut sultan agung yang mulai

  1. TRADISI MENGITARI BENTENG KERATON

Tradisi mensucikan diri dan mengitari benteng keraton (Keraton = Ibu kota wilayah yang dikelilingi benteng bukan istana) pada mlm 8-9 Asyuro dengan membawa obor, pada masa lalu tradisi ini bersamaan dengan mematikan lampu2 (obor2) pada rumah2 mereka, yang pertama kali melakukan tradisi ini adalah kaum tawabin (kaum yg bertaubat) sebagai tanda penyesalan mereka telah meninggalkan Imam Husein di padang Karbala

  1. PANJI ATAU BENDERA DENGAN SIMBOL YANG TERKAIT DENGAN SAYYIDINA ALI

Panji2 wilayah, Bendera yang tersebar di berbagai wilayah di nusantara pada masa lalu umumnya bergambar pedang Dzulfiqar, Singa atau harimau. Dzulfiqar adalah pedang bermata 2 milik Rasulullah saw yang dihadiahkan kepada Imam Ali. Singa adalah sebutan atau gelar Imam Ali yang dalam bahasa Arabnya di sebut HAIDAR.

  1. KISAH LISAN DAN TULISAN YANG TERKAIT DENGAN AHLULBAIT

Tradisi kisah2 lisan yang terkait dengan ahlulbait, seperti kisah Imam Ali bertemu tokoh-tokoh pemimpin Nusantara, yang diturunkan dari generasi ke generasi, nama tokoh yang diambil dari nama nabi dan keluarganya seperti; Muhammad, Abdullah, Hasan, Husein, Baqir, Fatimah dan sebagainya

  1. SIMBOL ANGKA 5, 7, 12, 14 YANG TERKAIT DENGAN AHLULBAIT

Warisan bangunan masjid yg masih asli memakai simbol ahlul bait; soko guru 5, atapnya rata2 berundak 5, jendela 12, kalau masjid kuno yg direnov masih mengikuti bentuk aslinya bagian2 bangunan yg sy sebut masih ada, seperti beberapa masjid kuno di jakarta,,

  1. ARAK-ARAKAN HAYOK TABUI

Di Pariaman, Sumatera Barat, misalnya, ada tradisi arak-arakkan yang dinamakan “Hayok Tabui” pada setiap Muharram. Tradisi ini sangat kental dipengaruhi oleh Syiah ketimbang Sunni. Arak-arakan semacam itu dikenal di kalangan muslim Syiah sebagai peringatan terhadap tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi Muhammad Saw, Sayyidina Husain.

  1. TRADISI GREBEG SURO

Dalam tradisi Jawa “Grebeg Suro” juga ditemukan adanya pengaruh Syiah. Kebiasaan orang Jawa yang lebih menganggap Muharram sebagai bulan nahas merupakan pengaruh dari Syiah yang juga menganggap Muharram sebagai bulan nahas dengan meninggalnya Sayyidina Husain. Karenanya, orang-orang Jawa berpantang menggelar perayaan nikah atau membangun rumah pada bulan “Suro” atau Muharram.

  1. BUBUR BEUREUM BODAS (BUBUR MERAH PUTIH) ATAU BUBUR SURO

Di tatar Sunda, pada bulan Muharram dikenal tradisi mengadakan bubur “beureum-bodas” (merah-putih), dan dikenal dengan istilah bubur Suro. Konon, “merah” pada bubur perlambang darah syahid Sayyidina Husain, dan putih perlambang kesucian nurani Sayyidina Husain.

  1. TABUT ATAU TABOT

Di Bengkulu, pengaruh Syiah terlihat melalui tradisi Tabut atau Tabot. Tradisi ini bertujuan untuk memperingati peristiwa di Karbala ketika keluarga Nabi Muhammad SAW dibantai. Setiap tahun, tabot dihelat sejak 1-10 Muharam.
“Mereka merekonstruksi tragedi Karbala dengan rentetan drama kolosal,” ucap cendekiawan Jalaluddin Rakhmat, seperti dilansir Tempo.

  1. YASINAN ORANG MENINGGAL

Jalaluddin Rakhmat mengatakan, penganut Syiah mempunyai kebiasaan menggelar yasinan untuk memperingati hati kematian seseorang. Mereka juga berziarah ke makam untuk mendoakan orang yang telah meninggal. “Kebiasaan itu diikuti pemeluk Islam, meski tak menganut Syiah,” ucap Jalaluddin Rakhmat.

  1. ZIARAH KUBUR KE MAKAM ULAMA UNTUK MENDAPAT KEBERKAHAN

Ziarah ke makam ulama untuk mendapat keberkahan di lakukan karena keyakinan bahwa orang yang meninggal di jalan Allah SWT, baik itu dalam peperangan atau seorang ulama maka sesungguhnya mereka hidup disisi Allah dan mendapat rezeki yang melimpah (Qs Ali Imran 169,170)
Kebiasaan/tradisi ziarah kubur dan bentuk makam muslim berupa bangunan makam di Indonesia juga dipengaruhi tradisi ziarah kaum Syiah, karena tradisi membaca do’a yang cukup panjang di area makam. Tradisi bangunan makam juga merupakan tradisi agama tauhid karena ritual ziarah dan membaca do’a untuk leluhur/ulama/pemimpin yang diagungkan pada masa hidupnya. Tradisi bangunan makam ini juga meneruskan tradisi leluhur nusantara yang beragama tauhid.

  1. REBO WEKASAN

Rabu Wekasan adalah peringatan yang dilakukan pada rabu terakhir bulan Safar. Peringatan ini di lakukan untuk mengenang wafatnya Rasulullah saw pada hari Rabu tanggal 28 Safar 632 M. Tradisi Rabu Wekasan telah dilaksanakan oleh penduduk Indoanesia sejak ratusan tahun lalu, hingga banyak yang tidak lagi mengetahui makna sedih di balik peringatan tradisi Rabu Wekasan.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku teringat tradisi Rebo Wekasan saat berada di masjid Syiah di San Antonio Texas. Menurut Dahlan, saat kecil dia sering melihat warga Tegalarum, Magetan melakukan tradisi Rebo Wekasan setiap tanggal 10 Muharam.
Selalu ada gentong ditaruh di atas kursi. Di halaman masjid, berisi penuh air. Di dalamnya ada kertas. Bertulisan Arab pegon, Arab gundul. Tidak ada tanda bacanya. Orang desa menyebutnya rajah atau jimat. “Setelah tengah hari orang-orang bergilir ke gentong itu. Ambil airnya. Untuk diminum. Bapak saya bercerita: acara itu untuk mengenang meninggalnya Sayidina Hussein,” demikian dikatakan Dahlan Iskan seperti dikutip dari laman http://www.disway.id, Jumat (8/6/2018).
“Tidak ada yang tahu kalau itu tradisi Syiah. Bahkan kami tidak tahu kalau ada aliran yang disebut Syiah. Kami ini tahunya hanya NU, Muhammadiyah, Persis, Syathariyah, Nahsabandiyah, Qadiriyah. Setelah dewasa baru tahu ada Syiah, Wahabi, Khawarij dan seterusnya. Dari buku,” pungkas Dahlan.

  1. TARI SAMAN ACEH (KARBALA)

Tarian ini di ciptakan oleh Syekh/Ulama Aceh Gayo yang bernama Saman pada abad ke-14. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. Tarian saman dimulai dengan tampilnya seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) dengan memberi nasihat-nasihat yang berguna kepada para pemain dan penonton.
Lagu dan syair dibacakan secara bersama dan berkesinambungan, para penari terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Tarian ini di lakukan dengan cara menepuk dada dan menepuk tangan secara bergantian hingga terdengar suara yang khas. Menepuk dada atau kepala adalah tradisi bangsa Arab dan Persia ketika ada peristiwa duka, dan hingga saat ini tradisi menepuk dada masih bisa dilihat ketika memperingati hari2 duka wafatnya Rasul saw dan tragedi di bantainya keluarga nabi di Karbala pada hati ke 10 Muharram atau Asyura. Melihat pesan dakwah yang kuat, pada masa sekarang tarian ini hanya diselenggarakan pada saat peringatan Islam penting seperti Maulid dan peringatan syahidnya Imam Husein pada hari Asyuro, tanggal 10 Muharram

  1. KALIMAT UMPATAN “HARAM JADAH/JA’DAH”

Kalimat ini terkenal di negeri-negeri Melayu hingga ke India dan persia dengan kalimat yang sama. Arti harfiah kalimat ini adalah celakalah Jadah/Ja’dah. Kata Jadah berasal dari nama istri Imam Hasan Ja’dah binti Ash ath bin Qais, yang telah meracuni Imam Hasan atas suruhan Muawiyyah dengan iming2 harta. Kalimat umpatan ini berasal dari tradisi kaum Syiah Ahlulbait melaknat para pembunuh keluarga nabi, diantaranya adalah istri Imam Hasan ini.

  1. TRADISI WARISAN SYIAH IMAMIYAH DI BUTON

Di Buton terdapat beberapa tradisi yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Ahlul bait, tradisi ini terlihat dalam upacara adat, pemilihan kepala desa, nama atau sebutan tradisi ini dalam bahasa Buton di antaranya; Kawarande niburi (kain kafan yang bertuliskan 1000 sifat2 Allah SWT atau Kafan Jausyan Kabir), Sara Ompulu rua kaluluno (Imam 12), Peringatan Kadiri (sebutan untuk peristiw Al Ghadir, yaitu peristiwa penunjukkan Imam Ali sebagai wasi’ atau wakil Rasul saw setelah beliau wafat yang terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah setelah haji Wada’ Rasul saw. Peristiwa ini terjadi di suatu tempat perbatasan antara Mekkah, Madinah bernama Ghadir Khum),
Maata’a (Ma’tal/Ma’tam = runtunan peristiwa/kisah pada masa nabi dan para Imam as yang di baca dengan cara di lagukan), Kunu (Kamis Kelabu = peristiwa ketika nabi saw sakit, dan meminta pena dan kertas untuk menukiskan wasiat, namun di abaikan oleh Umar bin Khatab karena mengira nabi mengigau, hadits ini ma’ruf dan terdapat dalam kitab Buchari dan Muslim), Pialoa (Haul = peringatan kematian), Wuta akopono (Kisah segenggam tanah/Asyuro), Benteng Wolio (Wilayah Hizbullah), Buton (Butun=perut/kandungan: Kandungan ilmu ma’rifat), 3 Ma’rifat; Ma’rifattullah, Ma’rifat Nubuwah, Ma’rifat Imamah) itulah sebabnya di buton mengenal struktur Imam Desa, Imam Kampung dst.). dan semua itu memiliki kitab tersendiri dengan bahasan panjang.
Istilah siolimbona ( rahasia 9 dari sulbi Husain, 9 keturunan Imam Husein yang menjadi Imam penerus), Marabat 7 (Rahasia 7 nama agung), Mia ngkaila-ila (Al Ghaibah/Al Mahdi), Batata melalui arwah (do’a tawasul atau wasilah Rasullullah).

  1. TRADISI NYANGKU DI PANJALU, CIAMIS

Nyangku adalah upacara adat yang dilaksanakan di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Upacara Nyangku diadakan setiap bulan Rabi’ul Awal/bulan Maulid untuk merayakan kelahiran nabi Muhammad saw dan mengucap syukur kepada Prabu Sanghyang Borosngora yang telah mengajarkan Islam kepada rakyat Panjalu dengan cara membersihkan benda pusaka dengan ritual yang sarat dengan nuansa Islami. Benda-benda pusaka yang dimandikan, antara lain, pedang zulfikar, keris pancaworo, bangreng, goong kecil, cis, keris komando, dan trisula.

Secara etimologi, kata nyangku merujuk kata ينق yang terdiri dari huruf (ي ن ق). Kata ini kemudian dibaca (yanku) yang berarti memurnikan. Pelafalan atau pengucapan ini kemudian berubah menjadi nyangku. Di dalam Bahasa Sunda, kata serapan ini kemudian diartikan sebagai nyaangan laku atau diartikan sebagai menerangi perilaku.

Upacara adat Nyangku dimulai dengan mengeluarkan benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora, para pemimpin, dan bupati Panjalu yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Benda-benda pusaka ini kemudian di arak untuk di sucikan dengan cara di bersihkan dengan air yang yang diambil dari 7 mata air dari sungai yang diyakini sebahai petilasan Prabu Sanghyang Borosngora. Air ini disebut sebagai tirta Kahuripan. Lokasi ketujuh mata air tersebut tersebar di sekitaran wilayah Panjalu. Diantaranya, dari mata air Situ Lengkong, Karantenan, Kapunduhan, Cipanjalu, Kubang Kelong, Pasanggrahan, Kulah Bongbang Rarang dan Bombang Kancana. Tirta kahuripan yang diambil dari tujuh mata air tersebut sebelumnya disimpan dalam tempat khusus dan di bacakan do’a tawassul yang oleh para santri setempat selama 40 hari.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

SUMBER2

• Al Husaini al hamid H. M. H, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw, Cet. XI 2006, Pustaka Hidayah.

• Iqbal. Muhammad Zafar. Dr, Kafilah Budaya Pengaruh Persia Terhadap Kebudayaan Indonesia, Cet. 1, Citra, 2006

• Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.

• Sunyoto. Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.

• C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.

• Al Mahsyur. Alwi. Idrus, Sejarah Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW Di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India, Dan Afrika, Cet.4, 2013, Sara Publishing.

• Aceh. Aboebakar.H.Dr.Prof, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Cet.4,1985, Ramdhani.

• Atjeh. Aboebakar.Dr.Prof, Sji’ah Rasionalisme Dalam Islam, Yayasan Penyelidikan Lembaga Islam.

• Saefullah. DR. H. SA. MA, Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Cet. 1, 2010, PustakaPelajar

• Sy, Syiafril. A, Tabut Karbala Bencoolen Dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban, PT Walaw Bengkulen

• Dahri. Harapandi. DR, tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi Di Bengkulu, Cet. 1, 2009, Citra

• Abror, Rachman. ABD, pantun Melayu Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tari_Saman#

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Ja’da_bint_al-Ash’at

•https://www.harapanrakyat.com/2019/11/sejarah-tradisi-ritual-upacara-adat-nyangku-di-panjalu-ciamis/


Bangsa Jepang turunan Nusantara Sundaland

Launching MDHW TV

$
0
0

Indopos.co.id – Untuk mengenang jasa besar para kiai dan pahlawan yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan 1945, Pengurus Besar (PB) Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) mengadakan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2020, di kantor PB MDHW Jalan Tegal 2A Menteng Jakarta Pusat, Senin (16/11/2020). Acara MDHW ini mengikuti protokol kesehatan yang ketat.

Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon Mempersembahkan Peringatan Hari Pahlawan dan Launching MDHW TV, 16.11.2020. Lahirnya Momentum Transformasi Digital Sebagai Instrumen Dakwah & Kebangsaan

Selain diisi rangkaian kegiatan peringatan mengenang jasa para pahlawan, juga diadakan do’a bersama, selanjutnya MDHW juga akan melaunching saluran MDHW TV.

Menurut Kyai Haji (KH) Musthofa Aqil Siroj launching MDHW TV adalah sebagai gerakan sosial dan dakwah keagamaan untuk terus menguatkan kiprah dan eksistensi perjuangan ke depan, khususnya di era digital 4.0 saat ini.

“MDHW dituntut untuk mampu beradaptasi, sebagai jawaban atas tantangan zaman dan menjangkau lebih luas segenap lapisan dan segmen masyarakat,” ujarnya.

KH Musthofa menambahkan, MDHW TV berorientasi menjadi jembatan dan alat untuk terus mendengungkan prinsip-prinsip tersebut hingga menjadi visi kebangsaan bagi semua elemen bangsa. Melalui program-program MDHW TV diharapkan tercipta pemahaman yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salam), toleransi (tasamuh).

Dengan slogan Dakwah dan Kebangsaan, MDHW TV akan menjadi media untuk membawa misi kebersamaan dalam membangun dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nilai ke-Islam-an yang akan menjadi rahmat bagi semua. Dengan landasan cinta tanah air sebagai bagian dari keimanan Hubbul Wathon Minal Iman.

“Melalui momentum peringatan Hari Pahlawan 10 November 2020 Majelis Dzikir Hubbul Wathon kembali membulatkan tekad untuk terus mengobarkan semangat juang dalam penguatan ideologi negara, dan membangun harmoni dalam keberagaman,” tambah KH. Musthofa.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Boy Rafli Amar menyampaikan harapan MDHW TV dapat menyajikan informasi yang penuh semangat Islam moderat dan menggelorakan warisan para leluhur kita yaitu hubbul wathon minal Iman.

“Sekarang banyak kelompok yang mengedepankan kepentingan pribadinya dan menyingkirkan kepentingan bangsa dan negara. Semoga MDHW TV menjadi media terdepan untuk mengingatkan adanya paham radikal intoleran di negara yang kita cintai ini. Yang menyebarkan islam yang jauh dari warisan leluhur para ulama terdahulu dan cita-cita pendiri bangsa,” ungkap Boy Rafli, dalam sambutannya pada acara itu.

Sedangkan, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN Wawan H Purwanto dalam sambutannya menyampaikan munculnya MDHW TV ini bisa menjadi sarana pembinaan umat. Karena media online jangkauannya luas sampai luar negeri. Dia berharap MDHW TV menjadi televisi rujukan islam moderat dan modern.(mdo)

Sumber Primer:

Majelis Dzikir Hubbul Wathon Launching MDHW TV

Ahmad Y. Samantho (Waka Barikade Gus Dur Bogor Raya)

Geopolitik Mutakhir

$
0
0

Buat kawan-kawan Nasionalis yang masih belum bosan membela Jokowi, silahkan simak benang merah konspirasi politik di bawah ini.

Apa yang nampak di permukaan hanya sebagian hal saja, namun kepingan “puzzle” yang disatukan dari berbagai sumber, bisa menjadi bahan perenungan untuk perjalanan ke depan bangsa ini.

Sengkarut Politik semenjak hadirnya Jokowi hingga hari ini bukan tiba-tiba datang dari langit. Namun dari “langitlah” Jokowi dilindungi dan dijaga hingga hari ini dan kelak.

Silahkan disimak, dibaca pelan2 sampai akhir, meski panjang tetapi inilah kenyataan di bawah permukaan yang tidak sebagian kita mengetahuinya. Logis, lugas dan akurat.

Selamat membaca

  1. Mengapa Prabowo ingin jadi Presiden? Tanya saya kepada teman kemarin waktu bertemu di Restaurant Metropolis Hong Kong. Teman ini saya kenal baik karena bisnisnya ada hubungan dengan Prabowo. Bukan hanya ingin tapi berambisi. Tahu kan, apa itu ambisi? Sesuatu yang sangat diharapkan dan untuk itu akan diperjuangkan dengan at all cost, katanya.
  2. Tapi apa motivasinya? Apakah benar karena ingin berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara? tanya saya. Teman itu dengan tersenyum mengatakan kepada saya bahwa motivasi utamanya adalah karena dendam masa lalu.
  3. Yang harus diketahui bahwa Prabowo lahir dari keluarga elite dan intelek. Ayahnya Soemitro Djojohadikusumo, dikenal sebagai Begawan Ekonomi dan kakeknya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, anggota BPUPKI, pendiri Bank Negara Indonesia dan Ketua DPA pertama. Jadi baik kakeknya maupun ayahnya adalah bangsawan dan cendekiawan.
  4. Walau masa remajanya banyak diluar negeri karena harus mengikuti ayahnya yang buronan politik Orla rezim Soekarno namun ketika berangkat dewasa Prabowo berada di Ring-1 kekuasaan Soeharto. Karena ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo sebagai arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru, tentu sangat dipercaya oleh Soeharto.
  5. Alasan rasa hormat Soeharto kepada Soemitro lah yang meminta agar putranya, Prabowo menjadi menantunya. Sejak itu Prabowo menjadi menantu dari orang nomor 1 di negeri ini dan berkuasa dengan sangat otoriter. Karier Prabowo di militer sudah dapat ditebak. Ia menjadi raising star. Pangkatnya naik cepat dan mendapat kedudukan terhormat di Militer.
  6. Sebagai anak bangsawan dan cendekiawan, dan tumbuh berkembang sebagai menantu Presiden, secara psikologis telah membuat Prabowo menjadi orang yang sangat tinggi pride nya. Rasa bangga dirinya sangat tinggi. Dia tidak pernah siap untuk dilecehkan atau dikecilkan oleh orang lain.
  7. Chaos Mei 1998 yang membuat Soeharto harus lengser dan sampai kini masih menjadi awan gelap siapa dibalik chaos itu. Siapa yang paling bertanggung jawab atas chaos Mei 1998?
  8. Yang pasti setelah itu Prabowo diberhentikan oleh Panglima ABRI. Mungkin seumur negeri ini hanya Prabowo satu satunya Perwira Tinggi TNI yang diberhentikan oleh TNI. Namun kebijakan TNI tetap berlaku umum bahwa masalah internal TNI hanya TNI yang tahu. TNI tidak pernah membocorkan alasan pemberhentian Prabowo. Ini sudah menjadi tradisi militer, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain.
  9. Namun yang pasti pemberhentian itu berkaitan dengan doktrin TNI patuh kepada pemimpin Nasional yang juga menjadi kehormatan bagi seluruh prajurit TNI. Justru karena pemberhentian sebagai Pati TNI itu membuat Prabowo sakit hati dengan atasannya. Namun dia tidak berdaya untuk melawan karena memang tidak punya nyali seperti Qaddafi sang Kolonel yang mengkudeta Raja Idris di Libya.
  10. Prabowo memilih untuk menerima dan menjauh dari hiruk pikuk politik. Dia pergi ke Yordania membantu usaha adiknya (Hashim Djojohadikusumo). Kebetulan Raja Yordania, Abdullah II adalah sahabat Prabowo dulu waktu ikut training di Fort Banning yang dikenal sebagai lembaga pendidikan militer paling bergengsi di Amerika Serikat yang khusus mencetak pasukan ahli teror kota dan perang kota.
  11. Menurut teman saya bahwa Hashim lah yang memotivasi Prabowo untuk mendirikan partai dan mencalonkan diri sebagai Presiden. Ini diajukan oleh Hashim setelah dia dijebak Sandiaga Uno dan Edwin Suryajaya (adik dari Edward Suryajaya, Bendahara Golkar) lewat skema Hostile Takeover dan akhirnya kalah dengan terpaksa melepas bisnis Tambang Batu Baranya di PT Adaro. Kasus ini sempat digelar di Pengadilan Singapore dan akhirnya Hashim kalah. Hashim dendam dengan kekalahan ini. Prabowo juga dendam dengan dia tersingkir sebagai Pati TNI, dan karenanya setuju dengan ide Hashim. Mungkin faktor dendam lebih dominan. Demikian teman saya menyimpulkan.
  12. Sejak partai Gerindra didirikan, Hashim bertindak sebagai financial resource bagi Prabowo. Tahun 2009 pasangan Mega-Prabowo tidak berdaya menghadapi SBY yang didukung oleh ARB. Hashim tahu bahwa kekalahan Mega-Prabowo sama dengan kekalahannya atas Adaro. Semua karena ada harimau besar dibalik ARB yaitu Nathaniel Philip Rothschild (Nat).
  13. Nat adalah anggota dari keluarga terkaya Yahudi. Buyutnya bernama Mayer Amschel Bauer Rothschild merupakan penggerak utama Zionist dan pendana terjadinya migrasi besar besaran bangsa Yahudi dari seluruh dunia kembali ke Tanah Palestina, dan akhirnya terbentuklah Negara Israel.
  14. Nat sendiri dikenal sebagai konglomerat tambang terbesar didunia. Buyutnya juga adalah pendiri bursa emas di London dan pendiri the Fed (Bank Central Amerika). Nat didukung oleh sumber pendanaan Yahudi dari hasil menguras SDA di seluruh dunia, seperti Abu Dhabi Investment Council, Schroders Investment Management Limited, Standard Life Investments, Taube Hodson Stonex LLP, Artemis Investment Management LLP, dan Robert Friedland. Menurut cerita kalangan Fund Manager dunia, sumber pendanaan Nat itu assetnya lebih besar dari GNP Amerika. Jadi benar-benar the real power.
  15. Pada September 2012 Hashim kali pertama bertemu dengan Nat di Restaurant Belvedere yang berada di Holland Park, London. Pertemuan keduanya ‘dicomblangi’ oleh teman Hashim yaitu Robert Friedland seorang konglomerat tambang AS dan pemegang saham terbesar di beberapa lembaga keuangan di Eropa dan Amerika. Setelah itu Hashim bergabung dengan Nat. Penyebabnya karena Nat bertikai dengan sohibnya ARB di Bumi Resource PLC yang listed di Bursa London.
  16. Nat menguasai saham Bumi Resource PLC melalui anak perusahaannya bernama Vallar. Awalnya ARB dimanfaatkan oleh Nat untuk menguasai tambang batu bara di Indonesia dan karenanya Nat mendukung SBY sebagai Capres tahun 2004, dimana ARB di belakang SBY. Kelihatannya awal pertikaian antara ARB dan Nat terjadi ketika ARB telah menjadi Ketua Umum Golkar dan bermitra dengan China Investment Corporation (CIC). ARB tidak lagi sebagai loyalis Nat karena sudah di back up oleh CIC. Dia ingin bersama CIC menguasai tambang batu bara di Indonesia dan mendepak Nat di Bumi Resouce PLC, dan tentu ingin menguasai Freeport karena PT Bumi Resource juga adalah pemegang saham Freeport. Itu sebabnya ARB menggunakan Golkar sebagai kendaraan untuk menjadi Presiden RI.
  17. Nat tidak bisa menerima sikap ARB tersebut. Maka perang tidak bisa dielakkan. Awalnya ARB tersingkir dari Bumi Resource PLC namun ARB melawan. Setelah 13 bulan peperangan berlangsung, berakhir dengan ARB berhak menguasai kembali PT Bumi Resource namun harus membayar sebesar U$ 501 juta. Mungkin karena inilah ARB harus rela mendukung Prabowo sebagai Capres.
  18. The Actual Winner is Rothschild Family. Ya bagi ARB dan Hashim, kekuasaan formal tidaklah penting, yang penting adalah UANG. Dengan uang maka kekuasaan bisa diperalat. Ingat apa kata Mayer Amschel Bauer Rothschild “Give me control of a nation’s money and I care not who makes it’s laws”.
  19. Kini Hashim dan ARB akan menjadi settlor dari Rothschild untuk mendukung Prabowo jadi RI-1. Bersamanya juga ada barisan Partai berbendera Islam yang ikut bergabung untuk menjadi icon melawan kekuatan ideologi kaum Marhaen (sosialis nasionalis). Rothschild membeli jiwa mereka semua dengan uang dan mereka loyal karena itu … tentu untuk kepentingan Rothschild, bukan kepentingan nasional apalagi kepentingan agama.
  20. Teman saya dengan sinis berkata kepada saya “Yeah, I do know about the Rothschild’s. So what? What the hell is your point? You don’t think that having control of the money is more power than making laws? If you control all the money do you not have the maker of laws at your disposal? The only thing you would fear is a socialist in power”.
  21. Makanya PDIP harus tidak boleh berkuasa, kemenangan Jokowi adalah nightmare bagi capitalism …
    Tambahan kuliah malam tahun ini. Mungkin nyambung ya.
    Mohon Serius Doakan NKRI Khususnya Jokowi
    Perlawanan Kapitalis Kroni pada Jokowi
    Skandal Melengserkan Jokowi
    [Kultweet @Joxzin_Jogja]
  22. Semua analisis terkait aksi 411 dan Pilkada DKI hanya menekankan soal revivalis gerakan Islam radikal. https://t.co/DQMeJF3Stf
  23. Sangat sedikit analisis yg mengarah pada penjelasan modus ekonomi politik dibalik berbagai aksi yg menyerang legitimasi Jokowi.
  24. Semuanya dimulai dari keseimbangan baru dari kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014.
  25. Siapapun tak menyangka Jokowi akan sanggup menandingi Prabowo yg didukung kekuatan oligarki bisnis besar di Indonesi.
  26. Dukungan oligarki bisnis ke Prabowo tidak bisa terlepas dari patron2 politik mereka yg merapat ke kubu Prabowo.
  27. Ini signal bahwa oligarki bisnis yg berpatron 10 tahun ke SBY akan berada di kubu Prabowo. https://t.co/BpELPgeq1P
  28. Selain itu ada Aburizal Bakrie, ada Hasyim Djojohadikusumo, Harry Tanoe, dan dinasti Cendana. https://t.co/0G0epmF9m4
  29. Jaringan bisnis yg berpatron pada para Jenderal juga banyak berada di kubu. Prabowo https://t.co/87yA4T2qt3
  30. Praktis, sebagian besar konglomerat kelas kakap merapat ke Prabowo. Prabowo jadi jagoan oligarki bisnis besar.
  31. Dengan kekuatan modal yg besar, Prabowo yg disokong oleh sebagian besar konglomerat kelas kakap berada di atas angin.
  32. Dana kampanye Prabowo tidak terbatas ditambah dengan sokongan diam-diam dari Cikeas. https://t.co/ck3T9Zkmd4
  33. Kekalahan Prabowo dalam Pilpres membuyarkan harapan mereka.
    Mereka mulai bermanuever.
  34. Segala cara dilakukan untuk merapat ke Jokowi. Pintu utk masuk dicari, tapi Jokowi tetap lempeng.
  35. Kepentingan kroni-kroni lama dibabat habis oleh Jokowi, mulai dari Mafia Migas sampai Mafia impor. https://t.co/S1bQZWC5i3
  36. Selain itu kaki-kaki para patron juga dipotong, sehingga patron politik juga kelimpungan.
  37. Bakrie kelimpungan dengan bisnisnya Lapindo-Brantas harus bayar dana talangan. TV One jadi lebih banyak siaran sinetron
    Pasang Surut Kuasa Politik & Bisnis Bakrie: 2003-05 vs 2014-15. https://t.co/i6Jd7cpBoz
  38. Hasyim sudah tidak mau lagi membiayai kegiatan politik kakaknya, mas Prabowo.
  39. Sehingga jaringan kroni Prabowo juga berupaya mengais dari jatah impor daging dan gula. https://t.co/cHJokhiMUA
  40. Artinya aktivitas bisnis kroni sangat tergantung pada patron politiknya Ketika patron tersungkur, bisnispun ikut tersungkur.
  41. Dalam kondisi seperti itu, strategi yg digunakan adalah mundur selangkah untuk terus mencari cara jungkalkan Jokowi.
  42. Ical Bakrie akhirnya nyerah sebagai veto player di Golkar.
  43. Konstelasi di Golkar akhirnya diserahkan ke elite Golkar di rezim Jokowi: JK dan Luhut B. Panjaitan. https://t.co/00BN9xBBoM
  44. Prabowo pun lebih dekat dengan LBP. Sehingga berapa kepentingan Prabowo bisa tetap diakomodasi.
  45. Dengan cara merapat ke pilar-pilar kekuasaan, mereka berharap tetap mendapatkan sumber ekonomi untuk biayai aktivitas politiknya. https://t.co/SB0kIHHphN
  46. Inilah yg menghidupkan mereka untuk selanjutnya mulai bermanuever untuk goyang-goyang rezim Jokowi.
  47. Banyak orang SBY dan Prabowo diantaranya masih bersembunyi jadi komisaris-komisaris di BUMN sampai sekarang Kemen BUMN.
  48. Dan dengan tantiem (pembagian bonus ke manajemen) Komisaris2 itu digunakan untuk membiayai aksi2 oposisi. https://t.co/93m8HATwJq
  49. Artinya berbagai aksi itu dibiayai dengan rente ekonomi dari para elite. Dan mereka menunggu durian runtuh apabila aksi mereka itu berhasil.
  50. Jadi aksi-aksi itu punya basis material di elite yg tidak puas pada kepemimpinan Jokowi.
  51. Elite politik yg tidak puas pada kepemimpinan Jokowi menggalang pengusaha kroni mereka untuk biayai aktivitas politiknya.
  52. Mereka pernah merancang rapat diatas sebuah kapal pesiar, merancang turunnya Jokowi paling lambat 2 tahun stlh dilantik Presiden.
  53. Transisi kekuasaan diatur Jokowi akan dilengserkan diganti dengan Pak_JK
    Rancangan awalnya melalui jalur konstitusional lewat Parlemen (DPR).
  54. Setelah 2 tahun, Jokowi tidak jatuh juga. Dicari cara baru untuk jatuhkan Jokowi.
  55. Momentumnya tersedia menjelang pilkada DKI. Politisasi agama dilakukan secara masing.
    Aksi massa digerakan untuk menekan Jokowi.
  56. Pada saat yg bersamaan tentara didorong dorong mengambil alih kekuasaan.
    https://t.co/igKDLHwvux
  57. Jokowi bergerak cepat, garis batas ditarik dengan tegas sehingga momentum pengambilalihan kekuasaan bisa menyurut.
  58. Gagal dengan skenario pengambil-alihan kekuasaan dengan gunakan massa dengan disokong tentara, skenario bergeser lagi.
  59. Jokowi praktis punya waktu 1,5 tahun sebelum proses pemilu 2019 mulai digelar.
    Pengambilalihan kekuasaan tidak akan berhasil.
  60. Mereka mulai merancang skenario baru utk mengalahkan Jokowi, yg mengulang skenario mengalahkan Ahok.
  61. Dalam hal prestasi Ahok sangat populer dan disukai. Sebagian besar warga puas dengan kinerja Ahok. https://t.co/Kx8IjNvV9g
  62. Walaupun tingkat kepuasannya tinggi tapi Ahok bisa ditumbangkan dengan gunakan politisasi agama. https://t.co/IHQ379e2GD
  63. Skenario Jakarta inilah yg akan digunakan utk melawan Jokowi mulai dari sekarang.
  64. Politisasi agama mulai digulirkan di masjid-masjid untuk menyerang Jokowi.
    https://t.co/HwmTBygnwT
  65. Jokowi disebut sebagai antek China dan keturunan PKI Ini akan gencar dilakukan sampai 2024. https://t.co/4eGKFxp4L
  66. Konglomerat hitam dan oligarki bisnis itu menunggu waktu untuk kembali berkuasa.
    https://t.co/3MA5Jucv1y
  67. Konglomerat hitam dan oligarki bisnis itu masih tetap ingin berkuasa dengan memanfaatkan patron2 politik yg masih suka berburu rente.
  68. Dan yg perlu diperhatikan sederek sedoyo…..
    Hati-hati dibalik serigala berjenggot ada kekuatan hitam yg tetap ingin berkuasa
  69. Mereka tidak peduli dengan jualan NKRI ber-syariah atau apalah itu, karena yg penting bagi mereka pundi-pundi uang mereka tetap terisi.

Matur nuwun sederek sedoyo masyarakat twitterland.
Ada 9 Naga, membayar 9 Onta utk membodohi 9 juta Keledai
Jika kita diam, Indonesia habis!!

Balkanisasi NKRI oleh CIA Mossad dan M16

Amanat Prabu Wastu Kancana

$
0
0

AMANAT WASTU KENCANA

Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Palagan Bubat pada tahun 1357. Wastu Kancana adalah satu-satunya ahli waris Linggabuana yang masih hidup,karena ketiga saudaranya telah wafat.

Menurut Kropak 630, tingkatan batin manusia dalam keagamaan adalah acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ketujuh (nirawerah) padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal – Tuhan Yang Maha Esa. (Yosef Iskandar : 2005).

Peranan Sang Bunisora tersebut membentuk pribadi Wastu Kancana menjadi orang yang bijak dan religius. Penulis Carita Parahyangan menguraiakan bahwa :
• “Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas.” (Sekalipun umurnya masih muda namun perilakunya seperti yang sudah banyak pengalaman, sebab ratu taat kepada Satmata, mentaati pengasuh nya, Hyang Bunisora, yang mendiang di Gegeromas).


Ketika terjadi Pasunda Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia satu-satunya ahli waris Prabu Maharaja yang masih hidup. Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya (Sang Bunisora), Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja Sunda di Kawali pada tahun 1371 dalam usia 23 tahun…
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing dan diajarkan masalah kenegaraan dan keagaamaan,oleh Sang Bunisora. Ajaran tentang kesejatian hidup yang kemudian dikenal masyarakat sebagai Wasiat (wangsit) Kancana tentunya tidak terlepas dari pengaruh bimbingan Sang Bunisora, yang memang dikenal sebagai rajaresi. Di dalam Carita Parahyangan ia diberi gelar Satmata. Salah satu Wali yang diberi gelar Satmata dalam Babad Tanah Jawi adalah Sunan Giri.

Penulis Carita Parahyangan mengisahkan Kehidupan Wastu Kancana, dan bagaimana rakyat mencintainya. Uraian tersebut seolah-olah memuji-muji perilakunya, bahkan dapat dijadikan contoh generasi penerusnya. Tulisan dalam Carita Parahyangan tersebut, sebagai berikut :

Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. – Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. — Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu. — Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh. — Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu. — Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat. — Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna. — Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.

Pada masa Wastu Kancana ada peristiwa yang cukup penting, yakni peristiwa Perang Paregreg ; masuknya pengaruh islam ke Tatar Sunda yang di bawa oleh Bratalegawa atau Haji Purwa Galuh, putra Sang Bunisora, dan tibanya Laksmana Ceng Ho di Pelabuhan Cirebon. Didalam rombongan tersebut terdapat Syekh Hasanudian yang kemudian turun di Karawang serta mendirikan Pesatren Quro.

Wasiat Wastu Kancana.
Keberadaan Wastu Kancana di Kawali ditegaskan dalam dua buah prasasti. Hal ini sekaligus juga menunjukan adanya eksistensi kerajaan Sunda di Kawali. Prasasti di Astana Gede dimaksud memuat, sebagai berikut :

Prasasti Kawali 1 :
nihan tanpa kawa-
Li nu siya mulia tanpa bha-
Gya parebu raja wastu
Mangadeg di kuta kawa-
Li nu mahayu na kadatuan
Surawisesa nu margi sa-
Kuliling bdayeuh nu najur sagala
Desa aya ma nu pa(n) deuri pakena
Gawe rahhay pakeun heubeul ja-
Ya dina buana

(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit [pertahanan] sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan [memajukan pertanian] seluruh negeri. Semoga ada [mereka] yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).

Prasasti Kawali 1 tentu tidak bisa dipisahkan dari Prasasti Kawali Ke 2. Intinya menjelaskan sebagai berikut :

Prasasti Kawali 2 :
Aya ma
nu ngeusi bha-
gya kawali ba-
ri pakena kere-
ta bener
pakeun na(n)jeur
na juritan.

[semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang].

Isi dari prasasti kedua ditafsirkan para ahli sejarah Sunda sebagai Wangsit (Wasiat) Wastu Kencana, ditujukan kepada generasi sesudahnya. Wasiat ini berisi tentang wasiat agar selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener), konon perbuatan ini jika dilaksanakan dapat menjadikan sumber kejayaan dan kesentausaan segenap manusia. Wasiat di dalam prasasti yang kedua memiliki makna yang universal. Mungkin jika diterapkan dalam teori kepemimpinan dapat memberikan arah yang jelas bagi perilaku pemimpin dalam melaksanakan amanah sehingga dapat dicintai rakyatnya.

Pokok – pokok ajaran kesejahteraan sejati diuraikan didalam kropak 632 dan 630, dikenal dengan sebutan naskah Siksa Kanda Ng Karesyan. Naskah tersebut sama dengan ajaran tentang tetekon hirup yang dikenal dalam yang dianut Batari Hyang – pembuat parit Galunggung, bahkan masih dijadikan ajarannya resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran.

Menurut RPMSJB, salah satu kunci ke arah kesejahteraan sejati itu dalam kropak 630 lembar 26 dan 27 diuraikan sebagai berikut :

Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu,
pepet byakta warta manah,
mana kreta na bwana,
mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.
Kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta ;
sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta ;
sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta ;
sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta ;
sang wong tani pageuh di katanianna, kreta ;
sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta ;
sang gusti pageuh di kagustianna, kreta ;
sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta ;
sang masang pageuh di kamasanganna, kreta ;
sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta ;
sang disi pageuh di kadisianna, kreta ;
sang rama pageuh di karamaanna, kreta ;
sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.
Ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.
(Teguhkan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi kenyataan niat baik dalam jiwa,maka sejahteralah dunia, maka sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan…
Demikianlah hendaknya.Bila pendeta teguh dalam tugas nya sebagai pendeta,akan sejahtera ; Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku akan sejahtera ; Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejahtera ; Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera ; Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejahtera ; Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera ; Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejahtera ; Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejahtera ; Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera ; Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera ; Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejahtera ; Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera ; Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera ; Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera ; Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahtera ; Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejaktera ; Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera ; Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera ; Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera ; Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat,akan sejahtera ; Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja,akan sejahtera.)
Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia). [Jilid Ketiga, hal 39]
Inti ajaran Siksa Kanda Ng Karesyian sebagaimana yang dimuat di dalam kropak 630 memberikan arti bahwa Jika setiap manusia berpegang teguh kepada kebenaran dan menjalankan kewajiban sesuai dengan tugasnya masing-masing maka akan mencapai kesejahteraan sejati. Kesejahteraan sejati dimaksud meliputi kejehteraan batin dan kesejahteraan lahir. Kesejahteraan batin jika manusia tidak mengingkari kebenaran, sedangkan kesejahteraan lahir dapat diperoleh jika dalam menjalankan tugasnya dilakukan dengan cara yang jujur dan bersungguh-sungguh. Itulah yang di wasiatkan Wastu Kancana kepada generasi sesudahnya…
Wasiat tentang kesejahteraan lahir mengandung pula konsep tentang bagaimana manusia harus teguh dan memiliki dedikasi dibidang keahliannya. Konsep dan visi Wastu Kancana menurut hemat saya lebih maju dari praktek kenegaraan sekarang. Saat ini banyak orang yang bukan negarawan mengurusi masalah negara, para ahli agama banyak yang terjun menjadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan negara. Semuanya menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan…
Mungkin perlu direnungkan kembali tentang nilai-nilai luhur yang dinasehatkan Wastu Kancana. Nilai-nilai tersebut pernah menjadi jati diri urang Sunda. Hal nya sama dengan Naskah Darma Pitutur yang dimuat dalam korpak 630. Intinya mengajarkan, bahwa bertanyalah kepada ahlinya, serta serahkanlah suatu persoalan kepada ahlinya masing-masing. Tentang masalah keagamaan maka tanyakanlah kepada ahli agama – masalah perniagaan bertanyalah kepada ahli niaga – masalah kenegaraan bertanyaan kepada negarawan. Janganlah ahli agama turut campur memaksakan kehendak untuk mengurus negara – tukang dagang ikut-ikutan menentukan kebijakan politik, karena semua itu bukan bidangnya..
Demikian seharusnya ahli agama dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara – barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia..
Terakhir marilah kita renungkan Wasiat tersebut sebagai kearifan masa lalu. Karena : ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang.Bila ada tunggulnya tentu ada catangnya….
Hana nguni hana mangke –
Tan hana nguni tan hana mangke –
Aya ma baheula hanteu teu ayeuna –
Henteu ma baheula henteu teu ayeuna –
Hana tunggak hana watang –
Hana ma tunggulna aya tu catangna.

Admin Blog Info

Article 0

$
0
0

Get startedOpen in appIbnu PrakosoFollowAboutGet startedOpen in app

Responses

To respond to this story,
get the free Medium app.

Open in app

There are currently no responses for this story.

Be the first to respond.

Ibnu Prakoso

Ibnu PrakosoJun 21·5 min read

Image for post

INDONESIA MERCUSUAR DUNIA

Pancasila setelah mengalami tekanan, pengamalan dan pelaksanaan yang keluar dari nilainya, khususnya masalah Keadilan Sosial, dan ada juga sebagian dari saudara kita yang berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi “Khilafah”.

Maka dengan sungguh-sungguh saya tegaskan disini, bahwa sebagai dasar, falsafah dan ideologi,

Pancasila merupakan solusi, titik temu, bagi bangsa Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika”.

Pancasila pernah diperkenalkan dan ditawarkan oleh Sukarno, sebagai ideologi dunia, yang terkenal dengan pidato “To Build The World Anew”, Membangun Dunia Baru, pada tanggal 30 September 1960, didepan Majelis Umum PBB di New York, USA. Pancasila merupakan “Hogere Optrekking”, Satu pengangkatan yang lebih tinggipenarikan ke atas atau “Sublimasi” dari “Declaration of Independence United States of Amerika” dan “Manifesto Komunis”. Pancasila lebih memenuhi kebutuhan manusia dan menyelamatkan manusia. “Declaration of Independence” tidak mengandung Keadialan Sosial, dan “Manifesto Komunis” masih harus dipertinggi jiwanya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. (hal. 475, DBR, Jilid ke-II)

Karena itulah kita bangsa Indonesia merasa bangga mempunyai Pancasila, dan menganjurkan Pancasila itu pada semua bangsa. Pancasila adalah satu dasar yang universal, satu dasar yang dapat dipakai oleh semua bangsa, satu dasar yang dapat menjamin kesejahteraan dunia, perdamaian dunia dan persaudaraan dunia.

Pertanyaan refleksi yang harus kita pikirkan dalam-dalam, renungkan dan amalkan dalam pelaksanaannya adalah bagaimana supaya dengan Pancasila, bangsa Indonesia menjadi Mercusuar Dunia ?

Kuncinya adalah kita rakyat Indonesia tanpa terkecuali harus bergotongroyong, bekerjasama bahwa kita satu saudara dan kita satu keluarga besar NKRI untuk mewujudkan Tujuan Negara Indonesia didirikan, seperti yang tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945,

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Kondisi Saat Ini (Das Sein)

Isu Global (Dunia)

Ditengah pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, perkembangan ekonomi dunia yang tidak menggembirakan, yang dibayang-bayangi oleh kerusuhan rasial di Amerika, dan mendapat respon di kota-kota besar diseluruh dunia. Perang dagang antara China dan Amerika. Masalah kemanusiaan kaum imigran dari Timur Tengah di benua Eropa, perang atau ketegangan di Timur Tengah, dan ketegangan di perbatasan antara China dan India.

Isu Regional (Kawasan)

Isu Laut China Selatan (Indo Pasifik), hubungan Korea Utara dan Korea Selatan, hubungan antara China dan Taiwan, demontrasi di Hongkong, ISIS dan turunannya yang mulai menyebar ke Asia Tenggara (Filipina, Malaysia, Thailand dan Indonesia)

Isu Nasional (Domestik)

Menguatnya intoleransi, radikalisme atas nama agama, “Khilafahisme” yangdiajarkan dan disebarkan oleh HTI, isu keadilan sosial khususnya masalah SDA (Sumber Daya Alam), korupsi dan narkoba.

Kondisi yang Diharapkan (Das Sollen)

Isu Global (Dunia)

Dunia harus bekerjasama dalam memerangi Covid-19. Negara-negara di dunia melakukan perdagangan untuk saling mengisi dan menguntungkan. Rasialisme di USA harus diakhiri. Diakhirinya ketegangan hubungan antara China dan USA dengan jalur diplomasi politik maupun ekonomi. Demikian juga antara China dengan India. Penghargaan yang tinggi manusia sebagai ciptaan Tuhan untuk saling menghormati dan mengasihi dalam menyelesaikan masalah imigran di Eropa. Negara yang bertikai di Timur Tengah harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan negara lain yang justru akan memperkeruh stabiltas kawasan.

Peran PBB harus lebih menonjol, yang ujungnya adalah pembaharuan organisasi PBB dengan dikoreksinya hak veto permanen yang dimiliki oleh 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB ( China, Perancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat), dengan semangat bahwa semua bangsa adalah sama kedudukannya dan sederajat. Membangun Dunia Baru !

Isu Regional (Kawasan)

Diplomasi politik dan diplomasi ekonomi antara Korea Utara dan Korea Selatan. Diplomasi ekonomi oleh negara-negara yang berdampak langsung lebih dianjurkan dalam menyelesaikan masalah di Laut China Selatan. Diplomasi politik maupun ekonomi antara China dengan India, China dengan Taiwan dan masalah Hongkong

Isu Nasional (Domestik)

Keputusan pemerintah untuk membubarkan dan melarang HTI adalah keputusan yang benar, juga tidak memperpanjang Ormas yang sepak terjangnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, seperti FPI. Keputusan ini harus dilanjutkan dengan tindakan nyata yang diimplementasikan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan pemberian sanksi yang tegas jika didapatkan warga negara yang terbukti menyebarkan, mengajarkan dan menjalankan ajaran ‘Khilafah”. Disamping itu aparat penegak hukum harus tegas dalam menindak Ormas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jangan biarkan mereka merusak tatanan, stabilitas dan keamanan yang dibutuhkan pemerintah dalam membangun bangsa dan negaranya, untuk mencapai tujuan Republik ini didirikan. Para orang tua, pendidik dan tokoh agama harus berperan dalam mengajarkan ajaran agama yang baik, saling menghormati, sehingga dapat mencetak manusia Indonesia yang berkarakter, bertanggungjawab, berbudi luhur dan yang mencintai bangsa dan negaranya.

Masalah keadilan sosial dalam hubungannnya dengan SDA mengalami kemajuan, dengan diberlakukannya UU Minerba yang baru, bahwa kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham sebesar 51% kepada pemerintah, dan ini sudah dimulai dari PT. Freeport.

Kemudian untuk masalah korupsi dan narkoba, Penegakan Hukum “Law Enforcement” harus benar-benar dijalankan dan dilaksanan. Persamaan di Hadapan Hukum Equality Before The Law” harus benar-benar ditaati tanpa pandang bulu. Sehingga jangan ada kesan bahwa hukum tumpul ke atas, tumpul ke samping tetapi tajam ke bawah.

Adalah Ahmed Al Thayeb, Imam Besar Al Azhar yang mengatakan bahwa Pancasila bukan hanya sejalan dengan ajaran Islam, melainkan justru dipandang sebagai esensi nilai-nilai ajaran Islam. (Republika.co.id, Jumat, 27 April 2018).

Bicara Ahmed Al Thayeb tentunya juga harus bicara dan tahu dengan “Dokumen Persaudaran Manusia Untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”. Sebuah dokumen yang ditandangani dengan Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik, pada tanggal 4 Februari 2019 di Abudabi, Uni Emirat Arab.

Inti dari dokumen tersebut tidak lain adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Jadi tidak heran jika 3 Paus yang ada di Vatikan memberikan 3 medali emas kepada Sukarno, yaitu pada tahun 1956, 1959, 1964 dan bahkan disertai pembuatan seri perangko khusus oleh Vatikan.

Demikian juga PBNU memberikan gelar kepada Sukarno adalah “Waliyyul Amri Ad Dharuri bi As-Syaukah” yang artinya Pemimpin Pemerintahan di Masa Darurat, yang disahkan dalam Muktamar NU tahun 1954 di Surabaya (Kompas.com, 21 Juni 2018).

Dan juga dengan Muhammadiyah dipertemukan dengan visi keislaman yang sama, yaitu ”Islam Berkemajuan”. (Republika.co, 15 Februari 2019).

Dengan melihat kondisi saat ini (das sein) dan kondisi yang diharapkan (das sollen), sesuai dengan cita-cita Negara Indonesia didirikan, maka ini merupakan “Momentum” kita bersama, seluruh Rakyat Indonesia dan terutama para tokoh agama, untuk menyambut, mensosialisasikan dan melaksanakan “Dokumen Persaudaraan Manusia Untuk Perdamaian Dunia Dan Hidup Bersama”, yang tidak lain adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sehingga tujuan negara Indonesia didirikan bisa terwujud. Dengan demikian bangsa Indonesia akan dipandang, dihargai dan disegani bangsa-bangsa lain diseluruh dunia, dan Indonesia akan menjadi Mercusuar Dunia.

Ir. Ibnu Prakoso

Alumni PPRA LVIII Lemhannas RI-2018

More from Ibnu Prakoso

FollowJun 14

APA ITU EMPAT PILAR

Image for post

Dari media sosial detiknews hari ini Selasa, 09 Juni 2020 memuat berita dengan judul, Ketua MPR : Almarhum Taufik Kiemas layak jadi Bapak Empat Pilar MPR. Ketua MPR-RI Bambang Soesetyo menilai sosok almarhum Taufik Kiemas pantas mendapatkan penghargaan sebagai Bapak Empat Pilar MPR-RI.

Adapun ide dan gagasan Empat Pilar dicetuskan oleh ketua MPR-RI periode 2009–2014, Taufik Kiemas sebagai tindak lanjut dari kepemimpinan Hidayat Nur Wahid sebagai ketua MPR-RI periode 2004–2009.

Empat Pilar MPR-RI sendiri terdiri dari Pancasila sebagai dasar negara, landasan ideologi, falsafah, etika moral serta alat pemersatu bangsa. UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai konsensus yang harus dijunjung tinggi, serta Bhineka Tunggal Ika sebagai semangat pemersatu dalam untaian kemajukan bangsa. …Read more · 3 min read


Jun 13

TRISILA

Image for post

Bicara Trisila (3 Sila) tidak bisa lepas dari Ekasila (1 Sila), maupun Pancasila (5 Sila), sebab ketiganya adalah utuh sebagai satu kesatuan.

Sekarang ini kita bersyukur di jaman yang penuh keterbukaan, kita bebas dan tentunya juga bertanggungjawab dalam berpendapat, mengemukakan pokok-pokok pikiran, dimana semua demi kemajuan, kemakmuran dan keadilan Bangsa Indonesia, sesuai dengan tujuan Negara Indonesia didirikan.

Situasi dan kondisi ini berbeda dengan masa pemerintahan dan kekuasaan Pak Harto, jaman Orde Baru dulu. Ada pertanyaan yang menarik untuk kita cari tahu,

Mengapa dulu “Kata” atau apa yang dimaksud dengan Trisila maupun Ekasila ini dilarang? …

Read more · 6 min read

1


Jun 13

QUO VADIS PANCASILA

Image for post

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni, kita bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila yang ke-75. Peringatan ini didasarkan pada sejarah dimana pada tanggal 1 Juni 1945, kata “Pancasila” diucapkan pertama kali oleh Bung Karno di dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang diketuai DR. (KRT) Radjiman Wedyodiningrat.

Pertanyaannya sekarang adalah:

(1) Apakah Pancasila masih relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini?

(2) Apakah Pancasila bisa memberikan solusi dalam menghadapi Pandemi Covid-19?

(3) Dan yang terakhir apakah Pancasila bisa digunakan oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai alternatif ideologi untuk kesejahteraan dan keadilan umat manusia?

Untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua, maka kita sebagai bangsa bisa sejenak merenung dan tentunya membaca dan melihat sejarah, baik dari sumber pertama maupun sumber yang lain. Sebagai dasar, falsafah dan ideologi, Pancasila sampai hari ini bisa tegak dan mayoritas rakyat Indonesia mengakui dan merasakan bahwa Pancasila adalah solusi, titik temu untuk bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. …Read more · 4 min read


More From Medium

Life of a Netflix Partner Engineer — The case of extra 40 ms

Netflix Technology Blog in Netflix TechBlog

6 Clear Signs It’s Not Attraction, It’s “Paperclipping” — and Affirmations

Ashley Broadwater in Hello, Love

How I Approach the Toughest Decisions

Barack Obama

7 Things Men Mistakenly Believe Attracts Women

Ayodeji Awosika in P.S. I Love You

3 Things You Should Quit in the Next 3 Months

Sinem Günel in The Ascent

I Asked 1.7 Million People About Remote Work. Here’s What They Said

Ryan Holmes in The Helm

Understanding ProRAW

Ben Sandofsky in Halide

Why Jill Biden’s Doctoral Degree Angers People

Sarah Olson Michel

AboutHelpLegal

Get the Medium app

A button that says 'Download on the App Store', and if clicked it will lead you to the iOS App store
A button that says 'Get it on, Google Play', and if clicked it will lead you to the Google Play store

Waspada Balkanisasi NKR

$
0
0

AWAS! BALKANISASI NUSANTARA MELALUI PINTU SENTIMEN AGAMA

Sesi Belajar Geopolitik

Balkanisasi itu istilah geopolitik. Menurut wikipedia, ia merupakan proses fragmentasi atau pembagian sebuah negara menjadi beberapa negara kecil yang kerap tidak kooperatif antara satu dan lainnya. Balkanisasi dianggap peyoratif (pemburukan makna) dari proses perpecahan negara besar menjadi negara kecil-kecil.

Populernya istilah tersebut, erat-kaitannya dengan terpecahnya Semenanjung Balkan, Eropa Timur, khususnya Yugoslavia pada awal 1990-an. Menurut Azyumardi Azra, balkanisasi muncul dari arus demokratisasi yang tidak hanya mengakhiri rezim komunisme, tetapi sekaligus mengobarkan semangat nasionalisme yang tumpang tindih antara etnisitas dan agama. Balkanisasi kemudian menjadi istilah guna menyebut kebangkitan etno-nasionalisme yang mencabik negara yang terdiri atas kelompok etnis dan agama.

Pakar lainnya menyebut, balkanisasi sebagai etno-tribalisme yaitu perpaduan antara etnisitas dengan sektarianisme antaragama yang menyala-nyala serta membakar konflik dengan cepat.

Balkanisasi di Yugoslavia membidani tujuh negara kecil antara lain yaitu Serbia, Kroasia, Bosnia Hercegovina, Slovenia, Macedonia, Montenegro dan Kosovo. Itulah sekilas narasi soal balkanisasi.

Pertanyaan selidik muncul, bagaimana rumor “balkanisasi nusantara” yang konon telah menjadi isu geopolitik di Indonesia?

Ya. Ada beberapa tahapan atau fase sehingga ia menjadi isu geopolitik, antara lain:

Fase Pertama: balkanisasi nusantara sebagai rumor, sayup terdengar pada awal reformasi 1998 – 1999. Kenapa? Selain faktor kebhinekaan yang relatif lestari di Indonesia, juga usai Orde Baru lengser, rakyat cenderung euphoria menikmati kebebasan setelah 30-an tahun hidup dalam cengkeraman orde otoritarianisme. Sudah barang tentu, euphoria kondisi dan masa transisi ini mengandung bahkan dapat mengundang arus balkanisasi seperti halnya di Eropa Timur dulu. Namun syukurlah, Indonesia tak hanya selamat dari gelombang balkanisasi, tetapi juga mampu melewati masa kritis dan transisi menuju alam demokrasi dengan kondisi tetap utuh (NKRI).

Fase Kedua: balkanisasi mulai menjadi bahan pembicaraan di ruang tertutup dan bersifat elitis. Tak kurang pada dekade 2000-an di UGM, Jogjakarta, beberapa tokoh dan sesepuh (tak perlu disebut orangnya siapa) membahas pandangan Wolfowitz ke Habibie tentang Indonesia pecah menjadi 7 – 8 negara. Memang tidak ada solusi dalam diskusi di UGM tadi melainkan hanya pointers kecil sebagai catatan. Antara lain poinnya sebagai berikut:

1) bahwa senjata jarak jauh negeri tetangga telah ada pembagian dan mengarah kepada kota-kota besar di Indonesia, selain belasan pangkalan militer asing telah mengepung Indonesia;

2) seandainya pecah pun, tidak usah sampai menjadi 7 – 8 negara, terbelah jadi tiga negara saja pasti berantakan. Mengapa? Selain ALKI dan ZEE bakal kacau, Indonesia juga berubah menjadi perairan bebas dimana kapal-kapal asing hilir mudik sesuka hati;

Fase Ketiga: isu balkanisasi nusantara semakin menguat di ranah akademis karena selaras dengan alur pikir dan/atau isu di era globalisasi bahwa negara bangsa (nation state) seperti Indonesia, contohnya, sudah tidak cocok lagi dan harus diganti dengan bentuk lain berupa negara suku (ethnic state), atau negara kepentingan (corporate state) dan bahkan negara agama (religius state). Jika merujuk alur (pikir) di atas, lepasnya Timor Timur dinilai wajar dan sah-sah saja, tidak dianggap sebagai bencana geopolitik/kedaulatan. Gendeng. Demikian pula bila nanti terjadi pemisahan lagi atau lepasnya beberapa wilayah lain. Pertanyaan selidik muncul: “Apakah alur pikir dan isu di atas sekedar konsekuensi globalisasi, atau ia merupakan subversi senyap yang disahkan kepentingan asing di Bumi Pertiwi?”

Hingga hari ini, balkanisasi nusantara tetap sebagai isu elitis —konsumsi elit politik— karenanya kurang membumi di akar rumput meskipun sebenarnya telah berkali-kali dicoba di pinggiran nusantara tetapi selalu gagal dan gagal. Trial and error. Peristiwa Ambon, misalnya, atau konflik Dayak – Madura, ataupun isu Tolikara ialah try out balkanisasi berbekal isu sektarian guna mengeksploitasi kebencian atas keragaman SARA dan perbedaan afiliasi politik. Termasuk isu OPM di Papua sejatinya merupakan protokol balkanisasi;

Fase Keempat: tampaknya si peremot balkanisasi menyadari, bahwa konflik bermenu (isu) sektarian yang selama ini mereka jalankan, tak mampu membesarkan kerusuhan dan tak bisa meluaskan konflik hingga berskala nasional. Konflik yang di-endorse tetap berskala lokal, kedaerahan dan sporadis;

Fase Kelima: memasuki abad ke-21, si peremot balkanisasi nusantara mulai membaca fenomena, bahwa konflik bermenu (isu) sektarian yang mengeksploitasi kebencian atas keanekaan SARA dan perbedaan afiliasi politik memang mudah dibakar di satu sisi, tetapi skalanya lokal pada sisi lain. Hanya sporadis dan bersifat kedaerahan. Konflik sektarian sulit meluas dan tidak mampu berkembang hingga skala nasional. Kenapa? Mungkin karena faktor kemajemukan, heterogenitas serta kebhinekaan, tergembosi secara alamiah.

Tatkala 2016 terjadi Aksi 212 di Monas, Jakarta, bergema hingga ke berbagai belahan dunia akibat besarnya jumlah massa namun tertib dan berjalan damai. Hampir tidak ada sampah dan rumput terinjak. Di sini, si peremot mulai menyadari bahwa isu sentimen (agama) lebih efektif untuk mengobarkan emosi warga serta menggerakkan massa dalam jumlah signifikan ketimbang isu-isu sebelumnya termasuk sektarian.

Dalam sejarah konflik, sektarian dianggap menu (isu) terlezat guna memantik konflik – konflik terutama di Timur Tengah sebab warganya cenderung satu ras, satu bangsa. Homogen. Konflik antara syi’ah – sunni, contohnya, atau benturan antarfaksi dalam negara dan lain-lain.

Kembali ke isu sentimen. Sungguh unik, pengobaran massa bermenu sentimen sepertinya tanpa perlu biaya besar bagi para penggeraknya, cukup ditabur narasi kebencian oleh masing-masing buzzer (piaraan), publik pun gemuruh. Gaduh. Bahkan uniknya, pihak massa justru membiayai sendiri hampir di semua pergerakannya. Dan Aksi 212 adalah bukti faktual pembiayaan mandiri oleh massa aksi.

Ya. Penistaan agama sebagai isu yang diusung dalam Aksi 212, ibarat ruh gerakan serta epicentrum yang menyatukan semangat massa dari berbagai aliran agama, sehingga menggelegar dahsyat di awal abad ke-21. Inilah yang tengah berlangsung. Isu sektarian dan isu-isu lainnya telah tergantikan dan/atau diganti dengan isu sentimen (agama) yang hampir menggejala dalam setiap aksi massa dan konflik – konflik di daerah.

Balik lagi ke balkanisasi. Ia adalah konflik horizontal. Konflik antara (sesama) warga dan kelompok/golongan dalam negara berbasis etnisitas dan agama. Sekali lagi, Azyumardi menyebut etno-nasionalis, semangat nasionalisme tumpang tindih antara etnis dan agama. Pakar lainnya menyebut etno-tribalisme. Perpaduan antara etnisitas dan sektarianisme antaragama yang cepat menyala dalam kobaran konflik.

Dan hari ini, agaknya isu sentimen mendominasi pada setiap aksi massa di daerah yang dipicu oleh kejadian di Tol Cikampek.

Pertanyaan menarik menyeruak, “Jika si peremot mengadopsi Yugoslavia, lazimnya balkanisasi nusantara itu bersifat (konflik) horizontal, kenapa embrionya cenderung vertikal?”

Jangan terpancing Ibu Pertiwi. Kendati ghost fleet (armada hantu) kian mendekat, waspadai false flag operation sebagai pintu amuk massa yang dipicu oleh si peremot. Yakinlah armada hantu akan kembali menjauh jika di republik ini masih kental rasa persatuan dan kesatuan. Dan silahkan saudara – saudara memilih mana.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam ..

Islam dan Jalur Rempah Nusantara

$
0
0

ISLAM DAN JALUR REMPAH PANTAI BARAT SUMATERA UTARA : DEKONSTRUKSI SEJARAH MASUKNYA PERADABAN ISLAM PERTAMA DI INDONESIA ABAD KE 7
(FGD, Kampus UINSU, 22 Desember 2020)

Diskusi tentang kota kuno yang berabad abad hilang, kota misterius yang baru saja ditemukan. Di kota kuno ini sejak setahun belakangan sudah ratusan koin Dinasti Umayyah dan Abassiah ditemukan, temuan yang tidak pernah ditemukan di situs berkaitan Islam dimanapun, tidak di Barus, tidak di bagian manapun di Aceh.

Di situs desa Jago jago, Kecamatan Badiri, Tapteng yang berjarak sekitar 70 KM dari Barus ini, ditemukan juga lembar papan kuno berukir yang sudah di tes carbon laboratorium Amerika oleh Balar Sumut bertarikh tahun 600, ditemukan banyak pecahan kapal, nisan nisan tanpa inskripsi (seperti di zaman Nabi dulu), kaca korosan Persia kuno, cincin salib era Bizantium, peralatan medis dan wadah farmasi Islam kuno seperti yang disimpan di museum Islam Istambul, Turki.

Tapi desa kuno ini tak tercatat dalam peta kuno manapun sebagai tempat persinggahan pelayaran dunia yang penting. Kota yang tidak hanya menyimpan jejak Islam dan Kristen kuno, tapi juga Cina kuno dinasti Tang, koin India Pandyas, bahkan koin-arca-lembar logam beraksara era Sriwijaya. Sungguh sebuah kota paling ramai di dunia pada zamannya, kota yang didatangi karena kekayaan rempah dan deposit emas di sekitarnya.

Sumber sumber Cina dan India kuno apalagi sumber Barat, bungkam tentang kota yang hilang ini. Kini beberapa peneliti muda (otodidak, hebatnya bukan sejarahwan kampus), sedang mencari dan mencoba menelusuri sumber sumber berbahasa Arab, tentang kota kuno yang hilang itu. Sumber Arab kuno yang sejauh ini sangat jarang digunakan, antara lain karena sejarahwan dan peneliti masa kini banyak yang tidak bisa membaca sumber ini. Eskavasi arkeologis oleh Balar, sedang dirancang dalam waktu dekat, pihak BPCB juga sudah berkali kali datang, merancang upaya penyelamatan kota yang ditemukan secara kebetulan ini.

Kota yang hilang itu didiskusikan dalam FGD di UINSU, selasa 22 Desember 2020 jam 14.00 dengan tajuk Islam dan Jalur Rempah.
(Ichwan Azhari)

My Late RIP FB account

Titik Nol Digital Edutainment AYS

$
0
0

Titik Nol Digital Edutainment AYS

Kampung Adat Urug

$
0
0

Skip to content

Friday, January 1, 2021

Latest: Tatap Tahun Baru 2021, Portal Berita Serambi Nusantara DiluncurkanAkhiri 2020, BoyGreen Tanam Ratusan Pohon Buah di Embung Gilirejo BoyolaliWarga Kota Bogor Gelar Haul ke-11 Sang Guru Bangsa, KH Abdurrahman WahidMenelusuri Kampung Adat Sisa Peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran di Desa UrugPondok Sufi Gentala ‘Arsy, Membumikan Tarekat di “Tanah Wiralodra”

Serambi Nusantara

Jelajah Budaya & Wisata

Budaya 

Menelusuri Kampung Adat Sisa Peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran di Desa Urug

 1 January 2021  Fahir  0 Comments

Warga Kampung Adat Urug Mengklaim sebagai Keturunan Langsung Prabu Siliwangi

Sejumlah “leuit” (lumbung padi), artsitektur khas Kerajaan Pakuan Pajajaran, masih tersisa di Kampung Adat Urug, Sukajaya, Kabupaten Bogor. Foto: bersumber dari web jabarprov.go.id

Kerajaan yang eksis dan pernah jaya di Tanah Pasundan tidak terhitung jumlahnya. Bila merujuk masa sejarah dari tahun 120 Masehi tatkala Aki Tirem Luhur Mulia mendirikan perkampungan (kerajaan) Salaka Negara, ada puluhan kerajaan yang tersebar di Tanah Sunda. Namun dari sekian banyak kerajaan yang ada, yang datang silih berganti, yang paling menyita perhatian besar publik adalah Pakuan Pajajaran, yang berpusat di kawasan Batutulis dan sekitarnya, Kota Bogor.

Berbanding lurus dengan pembahasan sejarah kerajaan Sunda yang banyak menyinggung Pakuan Pajajaran, berbicara mengenai raja atau pemimpin Tatar Sunda pada masa silam juga didominasi oleh sosok pemimpin Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi, yang bertahta pada 1482-1521 M. Nama Sang Pamanah Rasa begitu menyatu dalam benak masyarakat Sunda.

Prabu Siliwangi memimpin Kerajaan Sunda selama 41 tahun, dari 1482 hingga 1521. Ada beberapa raja lain yang memipin jauh lebih lama. Sebut misalnya, Prabu Niskala Wastu Kancana. Ia adalah kakek kandung dari sang tokoh bergelar Jaya Dewata, yang berkuaasa selama 104 tahun, yaitu dari tahun 1371 hingga 1475 M. Pemimpin lain yang memiliki masa kekuasaan panjang, yaitu Prabu Darmasiksa. Kakek Raden Wijaya, pendiri Majapahit ini, bertahta selama 122 tahun, yakni dari 1175 hingga 1297 M.

Kebesaran dan keharuman nama Prabu Siliwangi tak pupus oleh waktu dan tak lekang oleh zaman. Tak heran bila nama Pajajaran atau Prabu Siliwangi dapat ditemukan di hampir seluruh seantero Tatar Sunda. Ratusan tempat yang pernah disinggahi atau dijadikan sebagai lokasi meditasi sang prabu dengan mudah ditemukan di tanah Sunda. Uniknya tidak sedikit daerah yang mengklaim sebagai lokasi “moksa” atau pusara sang raja, yang membuat kisahnya menjadi eksotis dan diselimuti misteri.

Saat ini banyak sekali komunitas masyarakat yang selalu mengkaitkannya dan mengklaim sebagai turunan langsung dari Prabu Siliwangi (seuweu siwi Siliwangi). Dari berbagai komunitas masyarakat maupun perorangan yang menyebut dirinya sebagai turunan langsung Prabu Siliwangi adalah masyarakat Kampung Adat Urug, Desa Urug, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Kampung Urug adalah satu dari segelintir kampung adat Sunda, jika tidak dikatakan satu-satunya, yang tersisa di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor.

Kampung Adat Urug terletak di sebuah lembah yang subur di wilayah perkebunan sawit Desa Urug. Kampung adat ini masih melaksanakan tradisi turun temurun yang diwariskan para leluhur Sunda Pakuan Pajajaran. “Seren Taun”, yaitu upacara adat syukuran panen padi. Tak ayal di kampung ada ini masih terapat “leuit” alias lumbung padi kuno. Kampung Adat Urug dipimpin oleh kasepuhan adat atau kokolot Abah Ukat Raja Aya.

Bersama Kokolot Kampung Adat Urug, Abah Ukat Raja Aya

Menurut Kokolot Kampung Adat Urug, Abah Ukat Raja Aya, sejarah Kampung Urug memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Abah Ukat mengklaim dirinya sebagai generasi ke-11 turunan Prabu Siliwangi.

Kampung Adat Urug merupakan guru dan sesepuh adat bagi banyak kampung adat tersisa di sekitar wilayah Bogor dan Banten Kidul. Urug adalah ejaan dari kata/istilah guru yang dibaca terbali dari belakang. “Namanya sengaja dibalik dari Guru jadi Urug untuk menyamarkan jejak,” klaim Abah Ukat.

Bagi Abah Ukat Raja Aya, sejarah yang ia pahami berasal dari buyut dan leluhurnya, yang diceritakan turun temurun secara lisan. Cerita itulah yang ia pegang. Termasuk kaitannya dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, ia menyimak sejarahnya secara lisan dari orang tuanya.

Meskipun Kampung Adat Urug sebagai warisan peninggalan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang tersisa, Abah Ukat Raja Aya tidak mengetahui secara percis tahun berdiri situs bersejarah ini. Tidak ada catatan berupa dokumen tertulis yang dipegang atau diwariskan turun temurun. Abah Ukat Raja Aya mengatakan, sejarah yang ia pahami selain berasal dari transmisi lisan secara turun temurun juga diperolehnya melalui “wangsit” atau petunjuk.

Salah satu sudut Kampung Adat Urug

Dari catatan yang saya himpun dari berbagai sumber, Kampung Adat Urug diperkirakan sebagai warisan peninggalan Prabu Nilakendra, raja Sunda Pakuan Pajajaran yang bertahta pada 1561-1567. Prabu Nilakendra dikenal sebagai sosok raja yang gemar berkelna dan jalan-jalan. Ia mempin Kerajaan Pakuan Pajajaran pada era akhir, dua tahun sebelum “runtag”.

Bukti dari klaim relasi historis dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, ditemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Kampung Adat Urug merupakan aset berharga warisan leluhur Sunda Pakuan Pajajaran yang masih melestarikan adat “karuhun”. Kampung adat yang masih tersisa di Bogor. Keberadaan “leuit”, “rumah bilik panggung” hingga “seren taun” patut terus dipertahankan sebagai warisan tersisa dari era panjang perjalanan bangsa Sunda, bukan hanya sebagai cermin warisn Pakuan Pajajaran, namun juga warisan Sunda secara keseluruhan. ***

Ahmad Fahir

← Pondok Sufi Gentala ‘Arsy, Membumikan Tarekat di “Tanah Wiralodra”Warga Kota Bogor Gelar Haul ke-11 Sang Guru Bangsa, KH Abdurrahman Wahid →

You May Also Like

Perkokoh Budaya Sunda di Tengah Masyarakat

 15 December 2020

Bogor, Akar Sejarah dan Cikal Bakal Peradaban Nusantara (Bagian 1)

 28 December 2020 0

Pondok Sufi Gentala ‘Arsy, Membumikan Tarekat di “Tanah Wiralodra”

 31 December 2020 0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment

Name *

Email *

Website

 Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

WISATA

Wisata 

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak

 16 December 2020  admin

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak Kabupaten Bogor adalah surganya cagar budaya. Ungkapan tersebut ada

Situs Badigul, Warisan Penting Sejarah Bangsa yang Masih Terkubur

 15 December 2020

TG: 125×125 Ads

About Us

Serambi Nusantara love Indonesia sejarah dan kebudayaan nusantara

Useful Links

Perbaikan Data

Contact

Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor 16310

Tlp/WA : 085693430009 (Rusmana)

Email: info@serambinusantara.com

Sejarah Singkat Wali Songo Penyebar Islam di Pulau Jawa (Bagian ke-1 dari 9 Tulisan)

$
0
0

Sejarah Singkat Wali Songo Penyebar Islam di Pulau Jawa (Bagian ke-1 dari 9 Tulisan)

Serambi Nusantara

Prabu Siliwangi dan Kosmologi Sunda: Telaah Tasawuf Ketuhanan Leluhur Nusantara

Oleh Ki Eka ”Sengara”

Dalam telaah almarhum Edi S. Ekadjati, kosmologi Sunda kuno terbagi dalam tiga hal, yaitu   bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati).

Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me­miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.

Sedangkan buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat naha pencipta yang disebut Ijunajati Nistemen.

Kalau kita membuka literasi tradisi Sunda, akan banyak kita temukan kearifan perenial yang menekankan kita agar memiliki tiga bentuk kesadaran, yakni kesadaran ketuhanan (transendensi), kesadaran  kemanusiaan (humanisasi) dan kesadaran lingkungan (ekologi).

Pertauatan tiga bentuk kesadaran inilah yang akan mendorong terwujudnya semesta yang adil berkeadaban (sangkala) sekaligus pintu masuk untuk meraih kebahagiaan di alam niskala dan puncaknya  merengkuh keheningan bersama Sang Kuasa (jatiniskala).

Sumber-sumber sejarah menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang berlangsung lama dalam kehidupan masyarakat Sunda, baik sesudah maupun sebelum masa Pajajaran terbentuk. Naskah “Carita Parahiyangan” mendeskripsikan adanya kaum resi Sunda (Kaum Spiritual) yang menganut ageman asli Sunda (Nu ngawakan Jati Sunda).

Mereka mempunyai tempat kegiatan, atau semacam tempat suci yang bernama “Kabuyutan Parahyangan”, yaitu suatu hal yang tidak dikenal dalam agama lain, bahkan dibedakan dengan “Kabuyutan Lemah Dewasasana, yang dianggap sebagai pusat kegiatan keagamaan Budha. Naskah Carita Parahyangan menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah Sewabakti Ring Batara Upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.

Sejak masa megalitikum dan neolitikum masyarakat di tanah Sunda sudah memiliki pemahaman tentang ghaib sebagai jiwa yang lepas dari raga manusia yang meninggal, namun tidak pergi jauh, berada di sekitar tempat tinggal sewaktu masih hidup, hanya sebagai roh yang gaib. Arwah leluhur diyakini dapat memancarkan kekuatan gaib yang berdampak baik maupun buruk, sangat tergantung kepada cara perlakuan manusia yang masih hidup terhadap arwahnya.

Agar arwah memancarkan kebaikan dan dapat mencegah kekuatan gaib yang bersifat buruk maka dilakukan acara acara ritual penghormatan. Penghormatan demikian sangat tergantung kepada masing-masing kelompok atau individu, karena sampai sekarang tidak diketahui, cara-cara ritual yang dilakukan pada masa lalu, kecuali dari upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Baduy.

Pada periode selanjutnya di tanah Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Budha. Periode ini secara resmi dapat diketahui dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Pasundan awal, seperti Salakanagara, Taruma Negara, dan Kendan. Sekalipun demikian, masyarakat asli masih banyak yang tetap menganut keyakinan yang dianut leluhurnya.

Keterangan tentang kukuhnya masyarakat pribumi terhadap keyakinan leluhurnya antara lain berdasarkan sejumlah keterangan. Pertama, berita Fashien, seorang pendeta Budha dari Cina yang terdampar di Tarumanagara pada tahun 413 M, selama lima bulan menetap di Yavadi (pulau Jawa). Fashien lebih banyak melihat Brahmana dari pada pendeta-pendeta Budha, bahkan menyebut masih banyaknya penduduk yang menganut agama nenek moyangnya. Kisahnya ditulis dalam buku yang berjudul Fa Kao Chi.

Kedua, pada masa pemerintahan Rajaresi, Raja Tarumanagara kedua (382 M), berupaya merubah cara keberagamaan masyarakat, dari agama nenek moyangnya menjadi agama yang dianut Rajaresi, namun tidak membuahkan hasil. Padahal Rajaresi mengajarkannya kepada para penghulu desa, dan mendatang kan para brahmana dari India, namun rakyat masih banyak yang tetap setia kepada ajaran leluhurnya.

Ketiga, naskah-naskah yang menempatkan hirarki Hiyang diatas panteon agama lainnya, seperti “Dasa Perbakti”, di dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, Jatiraga dan Kawih Paningkes.

Jika saja ageman Sunda Wiwitan sebagaimana yang nampak dari anutan warga Baduy dikaitkan dengan peradaban megalitik, maka akan diketahui, bahwa prinsip warga Baduy percaya kepada satu yang kuasa, Batara Tunggal, pemilik karakteristik satu kekuasaan dan kekuatan yang tak tampak (Maha Gaib), tetapi berada di mana-mana, dan sangat bijaksana dan suci.

Istilah Batara di mungkinkan sebagai bentuk adaptasi dari bahasa keyakinan sesudahnya, tanpa merubah substansi atau maksud. Istilah Batara kemudian ditambahkan kepada Tunggal, sehingga menjadi BATARA TUNGGAL(Judistira K. Garna : 2006).

Penggunaan bahasa, seperti dalam menyebutkan nama BATA RA CIKAL digantikan dengan sebutan ADAM TUNGGAL, atau me nyisipkan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah islam wiwitan untuk sebutan agama Sunda Wiwitan (lihat Asep Kurnia dkk : 21010), hal ini dimungkinkan karena adaptifnya bahasa keyakinan urang Sunda Buhun terhadap isti lah-istilah yang digunakan pada jamannya, namun memiliki maksud dan substansi yang sama dengan paradigmanya, untuk menyebut pemilik adikodrati.

Begitupun jika kita berbicara mengenai salah satu kebesaran dan warisan budaya Sunda khususnya dari Tanah Pajajaran yang erat kaitannya dengan Sribaduga Maharaja Prabu  Siliwangi dimana beliau begitu banyak memberikan pengaruh pada tatanan berbudaya,beragama,dan bernegara bagi pewaris bangsa khususnya ditanah Sunda.

Prabu Siliwangi bergelar Sri Baduga Maharaja. Dia memerintah Pajajaran sekitar tahun 1482-1521. Siliwangi dikenal sebagai raja yang mencintai rakyatnya. Dia meminta agar pajak hasil bumi tidak memberatkan rakyat. Dia juga mengatur pemerintahan dengan cukup baik sehingga Pajajaran disegani. Kekuasan Siliwangi dan Pajajaran meredup seiring dengan masuknya Islam ke Nusantara. Bahkan keluarga dan anaknya pun masuk Islam.

Tetapi di sini ada sebuah pesan dari Sribaduga Maharaja Prabu siliwangi menjelang kemangkatan dan misteri makam dan pusara beliau, dengan berkata: “Kembali ke Jatiniskala adalah cita-cita orang dahulu yang saleh, sehingga kematianpun disebut ngahyang, dari ada menjadi ghaib, atma menuju tempat bersemayamnya Hyang. Peristiwa ngahiyang ada dua cara.

Pertama, atma manusia menuju alam kelanggengan namun jasadnya masih tetap didunia. Kedua, jiwa dan raganya lenyap, ngahiyang atau tilem. Karena manusia meminjam jasad dari yang berhak (atau yg memiliki). Seperti jika manusia meminjam barang maka harus dikembalikan seluruhnya kepada pemiliknya, termasuk raganya. dan ngahiyang dapat terjadi jika manusia semasa hidupnya dapat menghindarkan semua perbuatan buruk.”

Di sini dapat ditemukan bahwa makna dari Innalillahi wa inna illaihi Rojiun, Segala sesuatu yg berasal dari Allah (Yang Berhak) akan kembali kepada Allah (Yang Berhak) telah dipahami oleh Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Ada kaitan pelajaran tasawuf bahwa dalam ajaran tanah Sunda sudah mengenal ketuhanan dan memaknai akan keberadaan Yang Maha Esa atau tunggal dan juga Yang Maha berhak atau memiliki kehidupan.Atma disini dapat berarti Ruh yang berasal dari keabadian.

Dengan kata lain, kebahagiaan niskala dan jatiniskala hanya dapat dilakukan ketika seseorang mampu merasukan rasaning eling dalam kehidupan sangkala. Semacam ingatan abadi terhadap asal usul, dalam spiritualisme Jawa eling sangkan paraning dumadi. Sebentuk eling yang akan menjadi haluan pembebasan/liberasi dari segala bentuk potensi yang dapat menistakan harkat kemanusiaan.

Ingatan seperti ini akan membuat seseorang (suatu bangsa) menjalani hidup dengan penuh pertimbangan, memiliki skala prioritas, tidak terjebak dalam ungkapan cul dog dog tinggal igel, moro juang ngalepaskeun peusing. Eling yang dijangkarkan kepada akar spiritual: Dzat Yang Maha Eling. Apakah Mungkin Sang Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi adalah seorang Muslim dan sudah menjadi Muslim sebelum wafat? Wallahu a’lam bish showab.

← Situs Cibalay sebagai Warisan Peradaban Megalitikum Tertua di DuniaBudayawan Bogor Bumikan “Pabaru” Sunda →

You May Also Like

Lebih Dekat dengan Suku Dayak Bumi Segandu, Losarang, Indramayu (Bagian 2-Habis)

27 December 2020 0

Bulan Haul Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani Ditutup Pembagian Ratusan Paket Sembako

27 December 2020 0

Karya Langka Ulama Besar Bogor Mengguncang Dunia

4 January 2021 0

WISATA

Wisata

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak

16 December 2020  admin

Wisata Budaya? Yuk, Sambangi Situs Kuno Calobak di Punggungan Gunung Salak Kabupaten Bogor adalah surganya cagar budaya. Ungkapan tersebut ada

Berkunjung ke Bogor? Yuk, Nikmati Sensasi Lezatnya Laksa Pak Inin

16 December 2020

TG: 125×125 Ads

About Us

Serambi Nusantara love Indonesia sejarah dan kebudayaan nusantara

Useful Links

Perbaikan Data

Contact

Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor 16310

Tlp/WA : 085693430009 (Rusmana)

Email: info@serambinusantara.com

. FPI, HTI DAN KHILAFAH HANYALAH ALASAN UNTUK MELEGALKAN FASISME & MEMPERTAHANKAN DOMINASI KAUM TAMAK DINEGRI INI

$
0
0

oleh
Tito Gtsu
.
FPI, HTI DAN KHILAFAH HANYALAH ALASAN UNTUK MELEGALKAN FASISME & MEMPERTAHANKAN DOMINASI KAUM TAMAK DINEGRI INI

Zaman Orde Baru, muslim Indonesia terpolarisasi menjadi tiga kelompok, NU, Muhammadiyah, dan selain keduanya . Tapi peta gerakan Islam, pasca runtuhnya rezim militer Orba Tahun 1998, berubah drastis. Golongan islam tumbuh bak jamur di musim hujan. Menarik diamati.

Sekarang ini, kita banyak menyaksikan muncul golongan muslim baru. Anehnya, meski baru hadir di bumi pertiwi, gerakan baru ini mempertanyakan dasar negara Indonesia: kenapa Indonesia memilih Pancasila padahal muslim menjadi pemeluk mayoritas di negeri ini? Itulah retorikanya, “mayoritas”. Mereka lalu berkampanye “mimpi-mimpi”: Khilafah Islamiyah atau NKRI bersyari’ah. Narasinya mulai dari ide penyatuan politik hingga obsesi kehidupan pribadi yang islami: parfume halal, pengobatan dan cara berpakaian Nabi, dan lain sebagainya. Bagi anak-anak yang terlahir tahun 1990an, baru menginjak remaja sekitar awal tahun 2000an, ide-ide tersebut cukup mendapat sambutan. Bahkan, mereka memang menarget anak-anak yang baru lahir kemarin sore, dengan mengajari anak-anak balita teriak “kami muslim, mereka kafir”.

Bagi orang yang sudah dewasa, terlebih mengikuti dinamika keislaman dan perpolitikan negeri ini, ide negara Islam bukanlah hal baru. Ide negara Islam sudah selesai “dihentikan” dengan Pancasila. Kita bisa melihat dalam sejarah bahwa tokoh-tokoh bangsa yang tergabung dalam BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang undang dasar negara, kemudian dilanjutkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Tim 9 piagam Jakarta (tokoh Islam diwakili oleh KH Wahid Hasyim (NU), KH Agus Salim (Muhammadiyah) dan Kahar Muzakkar (DI) berdiskusi alot tentang penerimaan pancasila dan redaksi sila pertama yang semula berbunyi:

“Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bukan Allah yang Maha Esa.

Sayangnya Amerika Serikat ikut membantu munculnya Darul Islam (DI) dengan Tentara Islam Indonesia (TII) berawal dari ketidakpuasan S.M. Kartosuwiryo dan Kahar Muzakkar atas dasar negara Indonesia Pancasila dan penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta sehingga pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya Jawa Barat mendeklarasikan Darul Islam (DI) bersama Tentara Islam Indonesia (TII) dengan cita-cita menerapkan syariat Islam, DI/TII mendapatkan pengaruh dan melakukan pembrontakan di berbagai daerah di Indonesia seperti Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, pada akhirnya setelah 13 tahun membrontak tahun 1962 Darul Islam dapat dipadamkan.

Pendiri bangsa bukan dengan cara sembarangan telah menetapkan Pancasila, Pancasila sudah melewati perjalanan dan perenungan panjang, Pancasila merupakan kesepakatan bersama (kalimatun sawa) dan jalan tengah yang menyatukan perbedaan suku, ras, agama dan golongan, pemilihan Pancasila sebagai dasar Negara sudah final dan bersifat frozen, kenapa memilih Pancasila? karena Pancasila tidak bertentangan dengan 5 hal yakni Al-Qur’an, Alhadist, Piagam Madinah masa Rasulullah, Piagam najran era Khalifah Syaidina Abu Bakar As-Siddiq dan Piagam Aeliya pada zaman Khalifah Umar bin khatab.

Menurut Gus Dur Pancasila adalah sebagai perekat bangsa, secara teoritis tata negara yang dianut Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni Imam Al-mawardi, Ibnu Khaldun, Imam Syafii dsb. Beliau berpendapat bahwa agama saja tidak cukup untuk membentuk Negara.

Pembentukan Negara disamping mazhab atau paham, keagamaan juga diperlukan rasa ashabiyah (rasa keterikatan). Tujuannya untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Karena alasan berdirinya Negara adalah adanya perasaan kebangsaan.

Walaupun demikian NU selalu mendapatkan tuduhan keji dari para lawan politik yang Ingin menjatuhkan pemerintahan.

Pada Tahun 1962 NU yang diwakili K.H. Idham Khalid pada saat itu menjabat Wakil Perdana Mentri Bidang Keamanan sukses menumpas DI / TII bahkan komandan Operasi Mayjen Ibrahim Adjie berhasil menangkap Pemimpin DI /TII Karto Suwirjo (dihukum mati) dan memenjarakan para petingginya.

Tetapi pada Tahun 1965 para pengikut Karto Suwiryo dibebaskan oleh Angkatan Darat yang dipimpin Jendral Soeharto

Setelah peristiwa G30S, kelompok-kelompok antikomunis melakukan konsolidasi kekuatan. Angkatan Darat bergerak cepat. Selain terlibat langsung menumpas orang-orang PKI, mereka pun bekerja sama dan memfasilitasi kekuatan-kekuatan anti-PKI, salah satunya DI/TII. dengan perjanjian transaksional.(Jaman Orba Soeharto adalah Hukum)

Dalam The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy menyebut pendekatan terhadap eks anggota DI/TII langsung dilakukan oleh bos Opsus, Ali Moertopo.

Ali meyakinkan para mantan gerilyawan DI/TII untuk berdiri di kubunya dalam menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Lewat beberapa orang kepercayaannya, di antaranya Aloysius Sugiyanto dan Pitut Soeharto, Ali menjanjikan fasilitas dan pengampunan jika eks pemberontak itu mau bekerja sama dengan tentara.

Gayung bersambut. Ajakan Opsus diamini para pemimpin DI/TII. Bahkan, menurut Conboy, mereka sangat antusias. Begitu sepakat mereka segera bergerak. “Danu dan kelompok kecil pendukungnya menjelajah Jakarta guna membongkar persembunyian para pejabat rezim Sukarno,” tulis Conboy

Penumpasan PKI juga mengikutsertakan lebih dari 10.000 orang eks DI/TII. Menurut peneliti sejarah DI/TII Solahudin, saat menjalankan penumpasan, mereka didukung penuh Kodam Siliwangi dan agen BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

“Saat menghabisi orang-orang PKI, eks anggota DI/TII mendapatkan bantuan pinjaman senjata.” Mereka dikenal sangat kejam.membantai siapa saja yang diindIkasikan PKI. Pembantaian dilakukan dengan sangat kejam meliputi wilayah Jakarta dan seluruh jawa, Sumatera Kalimantan dan Sulawesi Selatan terutama kepada rakyat sipil dan keturunan etnis Tionghoa.

Operasi bersama yang dilakukan tentara dengan eks anggota DI/TII berlangsung sukses. Rezim Orde Baru menepati janjinya untuk memberikan ganjaran yang setimpal. Selain pembebasan dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962, Orde Baru lewat tangan tentara juga memberikan kemudahan usaha kepada para eks anggota DI/TII.

Ateng Djaelani, salah satu dedengkot DI/TII yang ikut dalam penumpasan orang-orang PKI, diangkat sebagai ketua Gapermigas (Gabungan Perusahaan Minyak dan Gas) Kotamadya Bandung. Sementara Danu Muhammad Hasan direkrut Ali Moertopo untuk bekerja di BAKIN dengan imbalan yang memadai: rumah dinas, mobil dinas dan gaji bulanan.

Menurut Solahudin, situasi mapan itu menjadikan eks anggota DI/TII sejenak melupakan cita-cita mereka untuk mendirikan Negara Islam. “Saat itu kami tak berpikir sama sekali untuk menghidupkan kembali gerakan DI/TII,” ujar Adah Djaelani seperti dikutip dalam buku karya Solahudin

Tidak hanya memberikan fasilitas secara perorangan, pada 21 April 1971 pemerintah Orde Baru juga (lewat BAKIN) memfasilitasi pertemuan reuni akbar eks anggota DI/TII di Situaksan, Bandung. Sekitar 3.000 eks anggota DI/TII hadir dalam pertemuan itu. Para pejabat BAKIN mengajak mereka bergabung dengan Golkar.
“Merespons ajakan itu, para ex tokoh DI/TII Sebagian besar menyetujui.

Padahal pada tahun yang sama berdiri Partai Persatuan Pembangunan sebagai representasi NU , Muhamadiyah, Parmusi Syarikat Islam dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Hal yang sangat lucu ketika Organisasi Islam yang dikenal moderat dan toleran bergabung dengan Partai Islam (Partai Persatuan Pembangunan) sedangkan yang radikal bisa bergabung dengan Golkar Itulah yang jadi pertanyaan saya sampai hari ini, mungkin Itulah hebatnya politik transaksional sambil berpikir jika Dien Samsudin juga mantan orang Golkar tapi Saya no comment lho! 😂

Sejarah kemudian membuktikan, sebagian anggota DI/TII melahirkan golongan Islam yang baru terutama Setelah Masa reformasi dan mereka sekaligus loyalis Orde Baru.

Pada Tahun 1998 TNI membentuk Pam Swakarsa untuk menjaga keadaan genting di Jakarta dan peranan ini diambil oleh FPI dan organisasi ini berkembang dengan pesat mungkin Karena fasilitas yang diberikan TNI dan dukungan dana dari para Pengusaha.
Hebatnya organisasi ini betul-betul eksis dengan keahlian Habib Rizieq melakukan orasi dan mendapatkan sumber financial yang baik sehingga mendapatkan pengikut yang cukup banyak dan militan.

Pada masa pemerintahan SBY Karena sering bersebrangan dengan NU (seperti Kita ketahui hubungan SBY dan Gus Dur agak kurang baik setelah diberhentikan Gus Dur ketika menjadi Presiden).

SBY menghidupkan yayasan pengajian dan majelis zikir Darusalam dikoordinir oleh Bahtiar Nasir, AA Gym , dll yang mengakomodir semua Ormas Islam dan ulama yang diluar NU bahkan konon mereka semua mendapatkan kucuran APBN termasuk HRS Bos FPI walaupun pernah dipenjarakan di Masa SBY (saya tak mau mengatakan ini juga transaksional takut!!dibilang Kafir 😂).

Pada Pemilu 2014 gerakan Islam loyalis Orba (Maaf ini hanya bahasa istilah saya karena menganggap mereka tak punya Platform yang jelas 🙏kadang Aswaja, kadang HTI kadang Wahabi kadang juga Pancasilais😂) tumbuh subur dan selalu ikut dalam orasi politik bahkan mereka (ini menurut mereka🙏) sukses menjatuhkan BTP alias Ahok dalam kasus penistaan Agama , setelah itu banyak orang-orang yang mempunyai akses financial yang kuat bergabung padahal mereka tak pernah punya sejarah kedekatan dengan Islam , seperti Yusuf Martak CEO Bakrie Grup dan Lapindo Grup, Cendana Grup (seperti sering Kita lihat foto-fotonya di medsos 😂) dan Haikal Hassan sepengetahuan saya HH adalah anak seorang Pengusaha kaya raya pada masa Orba yang banyak mendapat previlage dalam usahanya dari Pak Harto kemudian Bahar Bin Smith anak pendiri Persatuan Habib Indonesia (maaf saya tidak Tau legal standing Organisasi ini dan apa visi misinya 🙏).

Dengan kekuatan financial yang ada mereka bisa merangkul ex anggota HTI bahkan PKS (masih mungkin Karena PKS Juga sering berubah-ubah 😂) . mereka menganggap sebagai platform mewakili umat Islam yang saya juga tidak tau arah tujuan organisasi tanpa bentuk ini 🤣 dianggap organisasi tidak ada legalitasnya dianggap tidak ada tapi sering nyinyir dan demo 😂, karena walaupun mereka saya anggap bagian kecil dari umat Islam tapi mereka merasa bahwa merekalah yang berhasil menurunkan dan mengalahkan Ahok atau BTP dalam Pilkada DKI dan mereka selalu menghujat dan menimbulkan kegaduhan di Negara yang Kita cintai ini.

Syukurlah sekarang sudah dibubarkan pemerintah dan masyarakat Indonesia Ternyata Makin cerdas.

Demikian cerita dari saya semoga beemanfaat untuk menganal Jejak Kadrun di Nusantara eh Maaf Jejak Khilafah loyalis Orba eh Jejak kaum Tamak dan Fasis..🙏😂

Apabila ada kesalahan Mohon dimaafkan karena manusia tempatnya salah dan dosa yang Maha benar adalah Allah Yang Maha Esa (berasa jadi ustad nih Gue 🤣🙏)


Wali Sangha

$
0
0

📚 MANAKAH YANG BENAR: “WALI SANGA (WALI SONGO)” ATAUKAH “WALI SANGHA”

Oleh: Syansanata Ra
(Yeddi Aprian Syakh al-Athas)

*Tulisan ini diturunkan sebagai pengantar dari kajian tentang Kutub Selatan (Sarishma / Antartika).

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Wahai Saudaraku, sudah menjadi pengetahuan “mainstream” yg diamini oleh masyarakat umum, khususnya oleh masyarakat Tanah Jawa dimana ketika kita menyebut kata “WALI SANGA” maka tentunya akan langsung dimaknai sebagai sekumpulan waliyullah penyebar Islam di Tanah Jawa yg berjumlah 9 (sembilan) orang.

Namun tahukah Anda bahwa WALI SANGA ini ternyata tidaklah berjumlah 9 (sembilan) orang sebagaimana kita ketahui selama ini.

WALI SANGA sebenarnya merupakan sebuah Majelis Perkumpulan Para Ulama yg menyebarkan Islam di Tanah JAWI, analognya semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini.

Istilah WALI SANGA sendiri merupakan gabungan dari dua kata yg berbeda etimologi (asal usul bahasa), yakni kata WALI yg berasal dari Bahasa Arab WALIY (ولي) yang bentuk jamaknya adalah AULIYA (أَوْلِيَاءَ) yg bermakna WALIJAH (وَلِيجةُ) yang bermakna “orang kepercayaan, khusus dan dekat”, dan kata SANGA yg berasal dari Bahasa Pali (Prakrit) SANGHA yang bermakna “perkumpulan suci”. Sehingga secara etimologi, kata WALI SANGA yg berasal dari gabungan kata WALIY dan SANGHA bermakna “perkumpulan orang-orang yang suci”.

Pemaknaan inilah yang harus diluruskan terlebih dulu dari sebuah terminologi WALI SANGA.

Lantas apakah WALI SANGA itu terdiri dari 9 (sembilan) orang? Tentu hal ini juga keliru.

Mengapa?

Karena ketika kita merujuk kepada berbagai referensi naskah-naskah kuno tentang WALI SANGA, maka kita akan dibuat bingung olehnya.

Misalnya, dalam naskah Serat Suluk Walisana yg berbentuk Tembang Asmaradana, yg ditulis oleh Sunan Giri II, disebutkan bahwa WALISANA (sebutan untuk WALI SANGA) itu berjumlah 8 (delapan) orang, yakni diantaranya:

  1. Sunan Ampel.
  2. Sunan Gunung Jati.
  3. Sunan Ngudung.
  4. Sunan Giri di Giri Gajah.
  5. Sunan Makdum di Bonang.
  6. Sunan Alim di Majagung.
  7. Sunan Mahmud di Drajat.
  8. Sunan Kali.

Sedangkan dalam naskah Babad Tanah Djawi disebutkan bahwa WALI SANGA berjumlah 9 (sembilan) orang, yakni diantaranya:

  1. Sunan Ampel.
  2. Sunan Bonang.
  3. Sunan Giri.
  4. Sunan Gunung Jati.
  5. Sunan Kalijaga.
  6. Sunan Drajat.
  7. Sunan Udung.
  8. Sunan Muria.
  9. Syekh Maulana Maghribi.

Sementara dalam naskah Babad Tjirebon disebutkan bahwa WALI SANGA juga berjumlah 9 (sembilan) orang, namun berbeda dengan sembilan orang WALI SANGA yg disebutkan dalam Babad Tanah Djawi, yakni diantaranya:

  1. Sunan Bonang.
  2. Sunan Giri Gajah.
  3. Sunan Kudus.
  4. Sunan Kalijaga.
  5. Syekh Majagung.
  6. Syekh Maulana Maghribi.
  7. Syekh Bentong.
  8. Syekh Lemah Abang.
  9. Sunan Gunung Jati Purba.

Nah, perbedaan nama-nama anggota WALI SANGA inilah yg kemudian menimbulkan kesulitan untuk mengidentifikasi siapakah sebenarnya para ulama yg termasuk dalam perkumpulan orang suci yg bernama WALI SANGA ini sebagaimana makna aslinya yg berasal dari kata WALIY SANGHA.

KH. Agus Sunyoto dalam bukunya yg berjudul “Atlas Wali Songo” menyebutkan bahwa konsep WALI SANGA, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep kewalian yg secara umum oleh kalangan penganut Sufisme diyakini meliputi 9 (sembilan) tingkat kewalian, yg oleh Syekh Muhyiddin Ibnu Araby dalam kitabnya yg berjudul “Futuhat al-Makkiyyah” dijabarkan sebagai berikut:

  1. Wali Quthub, yakni pemimpin para wali di alam semesta.
  2. Wali Aimmah, yakni pembantu Wali Quthub dan sekaligus menggantikannya jika wafat.
  3. Wali Autad, yakni wali penjaga empat arah penjuru mata angin.
  4. Wali Abdal, yakni wali penjaga tujuh musim.
  5. Wali Nuqaba, yakni wali penjaga hukum syari’at.
  6. Wali Nujaba, yakni wali yg hanya berjumlah tujuh orang pada setiap zaman.
  7. Wali Hawariyyun, yakni wali pembela kebenaran agama.
  8. Wali Rajabiyyun, yakni wali yg karomahnya muncul setiap Bulan Rajab.
  9. Wali Khatam, yakni wali yg mengurus wilayah kekuasaan Umat Islam.

Nah dalam upaya dakwah Islam yg disebarkan oleh WALI SANGA dengan prinsip dakwah “al-muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah” (unsur-unsur budaya lokal yang beragam dan dianggap sesuai dengan sendi-sendi tauhid kemudian diserap ke dalam dakwah Islam) dan prinsip dakwah “maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan” (menyampaikan Islam dengan cara dan tutur bahasa yang baik) inilah kemudian konsep 9 (sembilan) tingkat kewalian yg sufistik dari Syekh Muhyiddin Ibnu Araby diadopsi dan diadaptasi untuk menggantikan konsep DEWATA NAWA SANGHA yg memang telah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.

Konsep DEWATA NAWA SANGHA ini diabadikan dalam Rontal Bhūwanakośa yg ditulis dalam Bahasa Kawi (Bahasa Jawa Kuno) sebagai nama-nama Dewa penjaga delapan arah penjuru mata angin, yakni:

  1. Arah Timur : Dewa Iśwara.
  2. Arah Tenggara : Dewa Maheśwara.
  3. Arah Selatan : Dewa Brahmā.
  4. Arah Barat Daya : Dewa Rudra.
  5. Arah Barat : Dewa Mahādewa.
  6. Arah Barat Laut : Dewa Śangkara.
  7. Arah Utara : Dewa Wishnu.
  8. Arah Timur Laut : Dewa Śambhu.

Ditambah satu orang Dewa penjaga titik pusat, yakni:

  1. Arah Tengah : Dewa Śiwa.

Konsep DEWATA NAWA SANGHA itu sendiri sebenarnya merujuk kepada Tuhan Yang Acintya, yakni Tuhan Yang Tidak Bernama, yg kemudian dinamai dengan nama Dewa-Dewa.

Mari kita simak…

  1. Timur : Dewa Iśwara.
    Makna dari kata Iśwara adalah “Yang Berkuasa”.
  2. Tenggara : Dewa Maheśwara.
    Makna dari kata Maheśwara adalah “Yang Maha Berkuasa dari Segala Yang Berkuasa“.
  3. Selatan : Dewa Brahmā.
    Makna dari kata Brahmā adalah “Yang Menciptakan”.
  4. Barat Daya : Dewa Rudra.
    Makna dari kata Rudra adalah “Yang Menghapus Kesedihan”.
  5. Barat : Dewa Mahādewa.
    Makna dari kata Mahādewa adalah “Cahaya dari Segala Cahaya”.
  6. Barat Laut : Dewa Śangkara.
    Makna dari kata Śangkara adalah “Yang Maha Beruntung“.
  7. Utara : Dewa Wishnu.
    Makna dari kata Wishnu adalah “Yang Maha Meliputi”.
  8. Timur Laut : Dewa Śambhu.
    Makna dari kata Śambhu adalah “Yang Maha Mewujudkan Keberuntungan”.
  9. Tengah : Dewa Śiwa.
    Makna dari kata Śiwa adalah “Yang Maha Suci”.

Konsep DEWATA NAWA SANGHA ini sesuai dengan apa yg dinyatakan dalam Kitab Rêgweda,

“Sungguh Dia Bapa kami yang sesungguhnya, Pembuat kami yang sesungguhnya, Penguasa kami yang sesungguhnya. Siapa yang mengetahui semua tentang Dia? Dia yang Tunggal, Dewa yang digelari dengan NAMA-NAMA DEWA. Dia pula yang dituju oleh semua yang ada dengan penuh tanya.”
( Kitab Rêgweda:10:82 )

Dari Konsep DEWATA NAWA SANGHA inilah kemudian lahir SURYA MAJAPAHIT sebagai lambang kebesaran Kerajaan Majapahit.

Dan Konsep kosmologi DEWATA NAWA SANGHA inilah yang oleh WALI SANGA dalam upaya dakwahnya kemudian diadaptasi menjadi konsep WALI NAWA SANGHA, dimana kedudukan sembilan manusia adikodrati penjaga delapan arah mata angin plus satu titik pusat yg dikenal sebagai DEWA, kemudian digantikan oleh sembilan manusia-manusia yg dicintai Tuhan yg dikenal dengan istilah AULIYA (أَوْلِيَاءَ), bentuk jamak dari kata tunggal WALIY (ولي).

Sampai disini akhirnya kita menjadi paham bahwa ternyata konsep WALI SANGA sebenarnya merupakan adaptasi dari Konsep DEWATA NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Dewa) yg bersifat Hinduistik menjadi Konsep WALI NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Wali) yg bersifat Sufistik.

Dalam catatan sejarah, keberadaan tokoh-tokoh WALI SANGHA ini selain diposisikan sebagai WALIYULLAH yakni orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah, pada kenyataannya ternyata mereka juga diposisikan sebagai WALIYUL ‘AMRI, yakni orang-orang yang memegang kekuasaan atas hukum Umat Islam dan sekaligus sebagai pemimpin masyarakat yg berwenang menentukan dan memutuskan urusan masyarakat, baik dalam bidang keduniawian maupun dalam bidang keagamaan.

Dari sinilah kemudian tokoh-tokoh WALI SANGHA ini dijuluki dengan gelar SUHUNAN yg diambil dari kata SUHUN – KASUHUN – SINUHUN yg dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno) berarti “menjunjung” atau “menghormati” yg lazimnya dipakai sebagai gelar untuk menyebut seorang “Guru Suci” (mursyid thariqah dalam Islam) yg punya kewenangan melakukan upacara penyucian yg disebut DIKSHA dalam Agama Hindhu (sepadan dengan kata BAI’AT dalam Agama Islam). Dalam perjalanan waktu, gelar SUHUNAN ini kemudian mengalami transliterasi bahasa menjadi SUNAN.

Jika Konsep DEWATA NAWA SANGHA diadopsi menjadi SURYA MAJAPAHIT sebagai lambang kebesaran Kerajaan Majapahit yg wilayah kekuasaannya mencakup delapan penjuru mata angin dimana Pulau Jawa menjadi pancer atau titik pusatnya, maka demikian pula halnya dengan Konsep WALI NAWA SANGHA yg mengadopsi SURYA MAJAPAHIT dimana kedudukan WALI SANGHA harus mampu menjadi Pembawa Cahaya Islam yg mampu menerangi delapan penjuru mata angin Bhumi Nusantara dimana Pulau Jawa berkedudukan sebagai pancer atau titik pusat dakwahnya.

Dari awalnya Dakwah Islam hanya dilakukan oleh Syekh Jumadil Kubro (kakek Sunan Ampel), Syekh Maulana Ishaq (ayahanda Sunan Giri), dan Sunan Ampel (ayahanda Sunan Bonang) sebagai generasi pertama WALI SANGA di wilayah Nusantara yg mencakup: Malaka (Malaysia), Pasai (Aceh) dan Ampeldenta (Surabaya), lalu pada generasi WALI SANGA pasca bergabungnya Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri, Dakwah Islam pun kemudian terus meluas ke segenap penjuru wilayah Nusantara yang mencakup: Aceh, Minangkabau, Palembang, Banjar (Kalimantan), Lombok (NTB), Timor (NTT), Makassar (Sulawesi), Ambon (Maluku) hingga sampai ke Fakfak (Papua).

Catatan tambahan:
Dalam Kitab “Kanzul Ulum” yg ditulis oleh Ibnu Bathuthah, yg naskah aslinya masih tersimpan di perpustakaan Istana Kesultanan Ottoman di Istanbul, Turki, disebutkan bahwa pembentukan WALI SANGA ternyata dilakukan oleh Sultan Turki yg bernama Sultan Muhammad I sebagai sebuah tim khusus yg membawa Misi Dakwah Islam di Pulau Jawa yg anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang, yakni diantaranya:

  1. Syekh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki.
  2. Syekh Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand.
  3. Syekh Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir.
  4. Syekh Maulana Muhammad Al-Maghribi, berasal dari Maroko.
  5. Syekh Maulana Malik Isra’il, berasal dari Turki.
  6. Syekh Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Iran.
  7. Syekh Maulana Hasanuddin, berasal dari Palestina.
  8. Syekh Maulana Aliyuddin, berasal dari Palestina.
  9. Syekh Subakir, berasal dari Iran.

Kesembilan Ulama yg tergabung dalam struktur WALI NAWA SANGHA inilah yg menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KESATU, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1404-1435 Masehi.

Ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 Masehi, maka pada tahun 1421 Masehi dikirimlah seorang Ulama pengganti yang bernama Ahmad Ali Rahmatullah, anak dari Syekh Ibrahim Asmarakandi yg menjadi menantu Sultan Campha (sekarang Thailand Selatan), yg juga masih keponakan dari Syekh Maulana Ishaq.

Karena masih kerabat istana, maka Ahmad Ali Rahmatullah yg kerap dipanggil dengan nama Raden Rahmat kemudian diberi daerah perdikan di Ampeldenta (Surabaya) oleh Raja Majapahit yang kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Dari sinilah kemudian Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat dikenal dengan nama Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel).

Dengan masuknya Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel) ke dalam struktur WALI NAWA SANGHA, maka Prabu Kerta Wijaya yg saat itu menjadi Raja Kerajaan Majapahit diharapkan dapat masuk Islam. Dialog antara Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel) yang mengajak Prabu Kerta Wijaya masuk Islam ini tertulis dalam Serat Suluk Walisana, Sinom Pupuh IV, bait 9-11 dan bait 12-14.

Selanjutnya pada tahun 1435 Masehi, ada dua orang anggota Dewan WALI SANGA yang wafat, yaitu Syekh Maulana Malik Isra’il dari Turki dan Syekh Maulana Muhammad Ali Akbar dari Iran. Dengan meninggalnya kedua anggota Dewan WALI SANGA ini, maka kemudian Dewan WALI SANGA mengajukan permohonan kepada Sultan Turki yg saat itu dijabat oleh Sultan Murad II (menggantikan Sultan Muhammad I) untuk dikirimkan dua orang Ulama Pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.

Permohonan tersebut dikabulkan dan pada tahun 1436 Masehi, dikirimlah 2 (dua) orang Ulama, yaitu :

  1. Sayyid Ja’far Shadiq, berasal dari Palestina, yg selanjutnya bermukim di Kudus dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus), bertugas menggantikan Syekh Maulana Malik Isra’il. Dalam Babad Demak disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shadiq adalah satu-satunya anggota WALI SANGA yang paling menguasai Ilmu Fiqih.
  2. Syarif Hidayatullah, yg juga berasal dari Palestina, yg selanjutnya bermukim di Gunung Jati, Cirebon dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), bertugas menggantikan Syekh Maulana Muhammad Ali Akbar. Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran hasil perkawinan Nyi Rara Santang dan Sultan Syarif Abdullah Umdatuddin dari Mesir.

Dengan masuknya Sayyid Ja’far Shadiq atau Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus) dan Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEDUA, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1435-1462 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1462 Masehi, kembali dua orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Syekh Maulana Hasanuddin dan Syekh Maulana Aliyuddin, keduanya berasal dari Palestina. Kemudian, pada tahun 1463 Masehi, kembali dua orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syekh Subakir, yg berasal dari Persia dan Syekh Maulana Ishaq, yg berasal dari Samarqand.

Dalam sidang Dewan WALI SANGA di Ampeldenta (Surabaya) tahun 1463 Masehi, kemudian diputuskan bahwa ada 4 (empat) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Raden Makdum Ibrahim, putra Susuhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel), yg selanjutnya bermukim di desa Bonang, Tuban, dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan ing Bonang (Sunan Bonang), bertugas menggantikan Syekh Maulana Hasanuddin.
  2. Raden Qasim, juga merupakan putra putra Susuhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel), yg selanjutnya bermukim di Lamongan, dan kemudian lebih dikenal dengan nama Susuhunan Drajat (Sunan Drajat), bertugas menggantikan Syekh Maulana Aliyuddin.
  3. Raden Paku, putra Syekh Maulana Ishaq, yg selanjutnya bermukim di Giri Kedaton, Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton), bertugas menggantikan ayahnya, yakni Syekh Maulana Ishaq.
  4. Raden Mas Said, putra Adipati Tuban, yg bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur, yg selanjutnya bermukim di Kadilangu, Demak dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga), bertugas menggantikan Syekh Subakir.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KETIGA, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1463-1465 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1465 Masehi, kembali dua orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Syekh Maulana Ahmad Jumadil Kubra, yg berasal dari Mesir dan Syekh Maulana Muhammad Al-Maghribi, yg berasal dari Maroko, disusul kemudian pada tahun 1481 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel), dan terakhir pada tahun 1505 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton).

Dewan WALI SANGA kemudian kembali mengadakan sidang yang juga diadakan di Ampeldenta (Surabaya) untuk memutuskan memasukkan dua orang anggota baru dan mengganti ketua Dewan WALI SANGA yang sudah berusia lanjut.

Ketua Dewan WALI SANGA yang dipilih dalam sidang tersebut adalah Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton), sedangkan 4 (empat) orang anggota baru yang masuk adalah:

  1. Raden Fatah, putra Raja Majapahit Prabhu Brawijaya V, yang merupakan Adipati Demak, bertugas menggantikan Syekh Maulana Ahmad Jumadil Kubra.
  2. Fathullah Khan, putra Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), bertugas menggantikan Syekh Maulana Muhammad Al-Maghribi.
  3. Sayyid Abdul Jalil, yg kemudian setelah menjadi anggota Dewan WALI SANGA, dikenal dengan julukan Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah; Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar karena beliau tinggal di daerah Jawa bagian barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan. Beliau bertugas menggantikan Ahmad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Suhunan ing Ampeldenta (Sunan Ampel).
  4. Raden Faqih, yg kemudian dikenal dengan nama Susuhunan Ampel II (Sunan Ampel II), bertugas menggantikan kakak iparnya, yakni Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton).

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEEMPAT, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1466-1513 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1513 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Raden Mas Said atau Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga), dan disusul kemudian pada tahun 1517 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sayyid Abdul Jalil atau Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar, dan disusul kemudian pada tahun 1518 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Raden Fatah, dan terakhir pada tahun 1525 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Makdum Ibrahim atau Susuhunan ing Bonang (Sunan Bonang),

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 4 (empat) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Raden Umar Said, putra Raden Mas Said atau Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga), yg selanjutnya bermukim di Gunung Muria dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Muria (Sunan Muria), bertugas menggantikan ayahnya, yakni Raden Mas Said atau Susuhunan Kalijaga (Sunan Kalijaga).
  2. Syekh Abdul Qahhar, yg selanjutnya bermukim di Sedayu dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Sedayu (Sunan Sedayu), bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sayyid Abdul Jalil atau Syekh Lemah Abang atau Syekh Ksiti Jenar.
  3. Sultan Trenggana, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Raden Fatah.
  4. Raden Husamuddin, yg selanjutnya bermukim di Lamongan dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Lamongan (Sunan Lamongan), bertugas menggantikan kakaknya, yakni Raden Makdum Ibrahim atau Susuhunan ing Bonang (Sunan Bonang).

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KELIMA, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1514-1533 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1533 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA wafat, yaitu Raden Qasim atau Susuhunan Drajat (Sunan Drajat), dan disusul kemudian pada tahun 1540 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Faqih atau Susuhunan Ampel II (Sunan Ampel II), dan teeakhir pada tahun 1546 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sultan Trenggana.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 3 (tiga) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Sunan Pakuan, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Raden Qasim atau Susuhunan Drajat (Sunan Drajat).
  2. Raden Zainal Abidin, yg selanjutnya bermukim di Demak dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Demak (Sunan Demak), bertugas menggantikan kakaknya, yakni Raden Faqih atau Susuhunan Ampel II (Sunan Ampel II).
  3. Sunan Prawoto, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sultan Trenggana.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEENAM, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1534-1546 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1549 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sunan Prawoto, disusul kemudian pada tahun 1550 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sayyid Ja’far Shadiq atau Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus), dan disusul kemudian pada tahun 1551 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Umar Said atau Susuhunan ing Muria (Sunan Muria), dan disusul kemudian pada tahun 1569 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), dan disusul kemudian pada tahun 1570 Masehi, kembali tiga orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Raden Zainal Abidin atau Susuhunan ing Demak (Sunan Demak), dan Raden Husamuddin atau Susuhunan ing Lamongan (Sunan Lamongan), dan Sunan Pakuan, dan disusul kemudian pada tahun 1573 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Fathullah Khan, dan terakhir pada tahun 1582 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet atau Jaka Tingkir.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 9 (sembilan) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet, yg kemudian dikenal dengan nama Jaka Tingkir, bertugas menggantikan Sunan Prawoto.
  2. Sayyid Amir Hasan, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sayyid Ja’far Shadiq atau Susuhunan ing Kudus (Sunan Kudus).
  3. Sayyid Saleh, putera dari Sayyid Amir Hasan, yg kemudian dikenal dengan nama Panembahan Pekaos, bertugas menggantikan kakek dari pihak ibunya, yakni Raden Umar Said atau Susuhunan ing Muria (Sunan Muria).
  4. Maulana Hasanuddin, yg selanjutnya bermukim di Banten dan selanjutnya dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin Banten, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati).
  5. Sunan Giri Prapen, putera dari Raden Paku atau Susuhunan ing Giri Kedaton (Sunan Giri Kedaton), bertugas menggantikan Raden Zainal Abidin atau Susuhunan ing Demak (Sunan Demak).
  6. Sunan Mojo Agung, bertugas menggantikan Raden Husamuddin atau Susuhunan ing Lamongan (Sunan Lamongan).
  7. Sunan Cendana, bertugas menggantikan kakeknya, yakni Sunan Pakuan.
  8. Maulana Yusuf, cucu dari Syarif Hidayatullah atau Susuhunan ing Gunung Jati (Sunan Gunung Jati), yg selanjutnya bermukim di Banten dan selanjutnya dikenal dengan nama Syekh Maulana Yusuf Banten, bertugas menggantikan pamannya, yakni Fathullah Khan.
  9. Raden Pratanu Madura, yg juga dikenal dengan nama Sayyid Yusuf Anggawi, bertugas menggantikan Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet atau Jaka Tingkir

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KETUJUH, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1547-1591 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1599 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syekh Abdul Qahhar atau Susuhunan ing Sedayu (Sunan Sedayu), disusul kemudian pada tahun 1650 Masehi, kembali tiga orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sunan Mojoagung, Sunan Cendana, dan Sunan Giri Prapen.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 4 (empat) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Syekh Abdul Qadir, yg selanjutnya bermukim di Magelang dan selanjutnya dikenal dengan nama Susuhunan ing Magelang (Sunan Magelang), bertugas menggantikan Syekh Abdul Qahhar atau Susuhunan ing Sedayu (Sunan Sedayu).
  2. Syekh Samsuddin Abdullah Al-Sumatrani, bertugas menggantikan Sunan Mojo Agung.
  3. Syekh Abdul Ghaffur bin Abbas Al-Manduri, bertugas menggantikan Sunan Cendana.
  4. Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, bertugas menggantikan gurunya, yakni Sunan Giri Prapen.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KEDELAPAN, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1592-1650 Masehi.

Selanjutnya pada tahun 1740 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Sayyid Amir Hasan, disusul kemudian pada tahun 1749 Masehi, kembali satu orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, dan disusul kemudian pada tahun 1750 Masehi, kembali tiga orang anggota Dewan WALI SANGA lainnya wafat, yaitu Syekh Abdul Qadir atau Susuhunan ing Magelang (Sunan Magelang), Syekh Maulana Hasanuddin atau Sultan Hasanuddin Banten, Syekh Maulana Yusuf Banten dan Sayyid Saleh atau Panembahan Pekaos.

Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 6 (enam) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Syekh Nawawi Al-Bantani, bertugas menggantikan Sayyid Amir Hasan.
  2. Syekh Shihabuddin Al-Jawi, bertugas menggantikan Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi.
  3. Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, bertugas menggantikan Syekh Abdul Qadir atau Susuhunan ing Magelang (Sunan Magelang).
  4. Syekh Abdul Mufahir Muhammad Abdul Kadir, bertugas menggantikan kakek buyutnya, yakni Syekh Maulana Hasanuddin atau Sultan Hasanuddin Banten.
  5. Syekh Abdul Rauf Al-Bantani, bertugas menggantikan Syekh Maulana Yusuf Banten.
  6. Syekh Ahmad Baidhawi Azmatkhan, bertugas menggantikan ayahnya, yakni Sayyid Saleh atau Panembahan Pekaos.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KESEMBILAN, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1651-1750 Masehi.

Selanjutnya pada periode tahun 1751-1830 Masehi, Dewan WALI SANGA kemudian kembali melakukan sidang dan memutuskan bahwa ada 7 (tujuh) orang Ulama Pengganti yang masuk dalam struktur WALI NAWA SANGHA, yaitu:

  1. Pangeran Diponegoro, bertugas menggantikan gurunya, yakni Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.
  2. Sentot Ali Basah Prawirodirjo, bertugas menggantikan Syekh Shihabuddin Al-Jawi.
  3. Kyai Mojo, bertugas menggantikan Raden Pratanu Madura atau Sayyid Yusuf Anggawi.
  4. Kyai Hasan Besari, bertugas menggantikan Syekh Abdul Rauf Al-Bantani.
  5. Abdul Fattah, yg juga dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa Banten, bertugas menggantikan kakeknya, yakni Syekh Abdul Mufahir Muhammad Abdul Kadir.
  6. Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, bertugas menggantikan Syekh Abdul Ghaffur bin Abbas Al-Manduri.
  7. Bhujuk Lek Palek, yg dikenal juga dengan nama Sayyid Abdur Rahman, bertugas menggantikan kakeknya, yakni Syekh Ahmad Baidhawi Azmatkhan.

Dengan perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur WALI NAWA SANGHA ini kemudian menjadi Dewan WALI SANGA Generasi KESEPULUH, yg bertugas dalam penyebaran dakwah Islam pada periode tahun 1751-1830 Masehi. Dan sejak periode tahun 1830-1900 Masehi, Dewan WALI SANGA kemudian dibekukan oleh Kolonial Belanda.

Sampai disini akhirnya kita benar-benar menjadi paham bahwa ternyata konsep WALI SANGA itu adalah adaptasi dari Konsep DEWATA NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Dewa Penjaga Delapan Penjuru Mata Angin dan Satu Titik Pusat) yg bersifat Hinduistik menjadi Konsep WALI NAWA SANGHA (Perkumpulan Sembilan Wali Yang Mencakup Wilayah Dakwah Delapan Penjuru Mata Angin Nusantara dan Satu Titik Pusat Pulau Jawa) yg bersifat Sufistik.

Demikian dan Semoga Bermanfaat.

Wallahu ta’ala ‘alamu bishshawab.

Mohon maaf atas kekhilafan dan kesalahan yang datangnya dari diri saya pribadi.

Sarwa Rahayu,
Jaya Jayanti Nusantaraku,
🙏🙏🙏

Bhumi Ma-Nuuwar al-Jawi
Senin, 9 Maret 2020 Masehi.
Itsnain, 14 Rajab 1441 Hijriah.
Senin Wage, 14 Rejeb Tahun Wawu 1953 Jawa.

Imam Ali bin Abi Thalib RA, Kian Santang & Rakeyan Sancang

$
0
0

Oleh SofiaAbdullah*

Imam Ali bin Abi Thalib RA, Kian Santang & Rakeyan Sancang – Sofia Abdullah (wordpress.com)

Bagi pemerhati sejarah Sunda dan tentunya masyarakat Sunda sendiri yang ingin mengetahui sejarah leluhur, pastinya sudah tidak asing lagi dengan ketiga nama tokoh penting ini. Tiga tokoh yang terkait erat dengan sejarah masuknya Islam ke wilayah jawa bagian barat.

Namun sayangnya sumber tertulis yang asli mengenai kisah masuk Islamnya Kian Santang ini bisa dikatakan hampir tidak ada, hingga terjadilah simpang siur informasi seperti yang terjadi saat ini.

Sejarah Kian Santang pada hakikatnya adalah kisah yang menggambarkan tentang kedatangan Islam di tanah Sunda. Kisah ini dapat kita dengar dan baca dari generasi ke generasi, baik melalui pantun ataupun kisah wayang.

Seperti umumnya kisah tutur lainnya, tentunya dalam perjalanan kisahnya dari waktu ke waktu telah mendapatkan penambahan dan pengurangan di beberapa bagian kisahnya.

Pada era kolonial kisah ini juga banyak disisipi pesanan dari pemerintah kolonial berupa kisah-kisah yang memberikan ‘citra’ buruk pada Islam, diantaranya melalui kisah Kian Santang memaksa ayahnya, sang Prabusilwangi untuk menganut ajaran Islam, hingga terjadi perkelahian dan pengejaran antara Kian Santang dan ayahnya yang diakhiri dengan ‘ngahiang-nya’ sang prabu, berubah wujud menjadi maung (harimau).

Darimanakah kisah-kisah tidak masuk akal ini bersumber? Terlihat jelas ada penambahan data berupa kisah-kisah ajaib dan sikap intoleran seorang muslim, yang bila membaca ini, pembaca pasti akan berasumsi pada ayahnya saja ia melakukan demikian, bagaimana dengan rakyat biasa? Dan sikap ini terjadi setelah Kian Santang masuk Islam. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Kembali lagi pada pertanyaan diatas darimanakah kisah-kisah ini bersumber?

Ternyata setelah dilakukan penelusuran, salah satu sumber utama kekacauan sejarah Islam di Indonesia adalah banyaknya sumber-sumber sejarah tertulis palsu atau salinan yang dibuat pada era kolonial, tepatnya setelah tahun 1860-an hingga 1900-an awal. Dari naskah-naskah aspal atau salinan inilah kemudian kita membaca dan mendengar banyak cerita-cerita aneh dan tidak masuk akal seputar sejarah masuknya Islam di Indonesia.

Mengenai sumber tertulis yang asli bukan salinan, kami yakin pasti ada, hanya saja sebagian besar sumber tertulis ini telah diambil oleh pihak kolonial dan kini tersimpan di univ. Leiden-Belanda. Untuk saat ini pembuktian pertemuan Imam Ali dan Kian Santang dapat dilakukan dengan beberapa metode penelusuran, diantaranya dengan menghubungkan petunjuk-petunjuk yang terkait dengan kisah ini melalui berbagai pendekatan ilmu sejarah dan ilmu bantu sejarah, seperti yang akan kami coba jelaskan secara ringkas pada tulisan ini.

Kekacauan data sejarah yang paling sering ditemukan adalah terjadinya tumpang tindih tahun kehidupan para tokoh, hingga tidak ada titik temu antara tokoh dalam naskah kuno dengan fakta sejarah yang diambil dari sumber lain, misalnya tokoh yang harusnya hidup pada tahun 630 M, seolah olah hidup pada tahun 1400-an, padahal faktanya Islam pada tahun 1400an telah tersebar di Indonesia dari sabang sampai merauke, yang pastinya sulit untuk dicerna dengan akal sehat bila Islam yang baru dikenal tahun 1400 pengaruh dan tradisinya sudah tersebar hampir keseluruh Nusantara.

Salah satu kisah yang mengalami perusakan dan pemalsuan sejarah ini adalah kisah pertemuan Kian Santang dan Imam Ali.

Berdasarkan data-data yang telah kami kumpulkan dan tidak mungkin kami masukkan kedalam tulisan ini, karena banyaknya data-data tersebut, diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak masa Rasul saw masih hidup, baik melalui utusan beliau saw maupun penduduk dari seluruh dunia yang memang sengaja datang untuk mengenal nabi terakhir sekaligus mempelajari Islam.

Diantara mereka yang datang ke jazirah Arab 1441 tahun yang lalu adalah Kian Santang yang diperintahkan ayahandanya, Prabusiliwangi, untuk berguru ke tanah Arab pada seorang sakti bernama Ali.

Diantara pembaca mungkin ada yang bertanya, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Darimana Prabusiliwangi mengetahui keberadaan nabi Muhammad dan sayyidina Ali??

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan berita tentang Islam telah sampai ke nusantara pada saat Rasul saw masih hidup, yaitu : faktor agama dan perdagangan.

Kedua faktor petunjuk ini hilang dan rusak juga karena beberapa sebab,  hingga kisah penting ini terkesan mistis dan diragukan kebenarannya dalam ilmu sejarah yaitu faktor  bahasa dan faktor pemalsuan sumber sejarah.

Sekarang mari kita bahas 2 faktor penting sebagai petunjuk bahwa kisah pertemuan Imam Ali dan Kian Santang adalah fakta sejarah, dengan pembuktian-pembuktian berikut.

Faktor Agama

Penduduk Indonesia 1441 tahun yang lalu jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan luas kepulauan Nusantara. Hal ini bisa diketahui melalui sensus penduduk yang dilakukan pada awal abad ke-18, pulau Jawa dan Madura yang berpenduduk terpadat saja hanya berpenduduk 5 juta  orang..! Bisa di perkirakan jumlah penduduk di pulau Jawa 1000thn yang lalu, tentunya jauh lebih sedikit dibanding jumlah penduduk berdasarkan sensus tahun 1800an.

Semakin sedikit jumlah penduduk, otomatis semakin sedikit perbedaan keyakinan yang dianut. Adanya kesamaan keyakinan pada leluhur nusantara di masa lalu, bisa dilihat dari agama asli suku pedalaman dan agama Hindu Bali yang secara pemahaman dan ritual ibadah cenderung memiliki kesamaan antara satu dan lainnya, yaitu meyakini adanya Tuhan sebagai kekuatan tunggal yang maha segalanya yang tidak terlihat tapi ada.

Keyakinan akan Tuhan yang Maha Esa, kekuatan tunggal yang maha segalanya  ini adalah salah satu ciri bahwa mayoritas leluhur penduduk Indonesia adalah penganut agama tauhid, yang dalam ajaran Islam disebut dengan Millatu Ibrahim, atau dalam sebutan bahasa setempat disebut agama Dharma, Kapitayan, dan sabagainya yang meyakini adanya kekuatan tunggal yang maha segala atau Sang Hyang Widhi atau Dia yang Satu.  Adapun beragamnya ritual ibadah adalah karena pengaruh asimilasi budaya.

Berdasarkan sejarah Islam, Agama tauhid diajarkan oleh para nabi dan rasul yang diutus ke seluruh penjuru dunia. Setiap nabi dan rasul yang berjumlah 124 ribu ini diutus untuk memberikan penjelasan kepada manusia berupa ajaran-ajaran kebaikan, ritual ibadah, tata cara bermasyarakat, dan sebagainya. Ajaran-ajaran ini kemudian dituliskan dalam kitab-kitab. Karena ajarannya tertulis dalam kitab inilah maka penganut agama tauhid disebut juga dengan Ahlul kitab atau pemilik kitab.

Ahlul Kitab adalah para pemeluk agama yang memiliki kitab bukan hanya agama Yahudi dan Kristen tapi juga termasuk Majusi, Hindu, Budha serta agama-agama lain yang tersebar di seluruh dunia, selama mereka masih mengakui adanya kekuatan Tunggal yang Maha segalanya.

Dalam Al Qur’an golongan Ahlul kitab disebutkan dalam beberapa ayat. Dalam sejarah nabi saw, dikisahkan tentang nubuat (ramalan) kedatangan Nabi terakhir yang diketahui oleh pemeluk ahlul kitab jauh sebelum kelahiran nabi Muhammad saw. peristiwa ini diketahui karena setiap kelahiran nabi disebutkan pada kitab-kitab mereka, termasuk kelahiran nabi Muhammad SAW. Dalam ajaran Islam disebutkan pada awalnya agama di dunia ini hanya satu, kemudian terjadi perbedaan pendapat diantara umat manusia, hingga lahirlah berbagai macam agama dan aliran dalam agama (1). Ahlul kitab dan menyembah kepada Tuhan yang satu adalah ciri agama tauhid adapun beragamnya cara beribadah adalah hasil perbedaan pendapat tersebut yang harus dihormati dan di hargai, seperti yang dicontohkan  oleh nabi Muhammad saw.

Setelah masa kenabian Muhammad saw, ahlul kitab terbagi 2 golongan, mereka yang meyakini nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang tertulis dalam kitab-kitab mereka kemudian menjadi muslim, dan yang tidak meyakini tetap pada agamanya.

Sebagai bagian dari ajaran agama tauhid, sebagian penduduk Nusantara saat itu telah mengetahui kedatangan nabi terakhir berikut ciri-cirinya melalui kitab-kitab mereka yang ditulis dengan bahasa daerah mereka masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Ibrahim (14):4 Allah SWT berfirman, bahwa Allah SWT mengutus nabi dan rasul dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.(2)

Kisah tentang nubuat (ramalan) kedatangan nabi Muhammad tergambar jelas pada kisah pertemuan nabi saw ketika masih belia dengan Biarawan Bahira yang mengetahui detail ciri-ciri kenabian pada Muhammad kecil yang kelak akan menjadi rasul terakhir. Beberapa kisah sahabat nabi yang umum diketahui juga berkisah tentang beberapa tokoh sahabat yang awalnya beragama tauhid mencari sang nabi yang cirinya tersebut dalam kitab-kitab mereka.

Para sahabat yang sengaja datang dari negeri yang jauh ke jazirah Arab untuk mencari sosok sang nabi diantaranya sahabat Bilal ra yang beragama tauhid dari Afrika, namun diperjalanan beliau dirampok dan dijual sebagai budak. Kisah Abu Dzar dari bani Ghiffar yang datang ke Mekkah untuk memastikan kedatangan nabi yang baru, demikian pula hal-nya dengan Salman al Farisi yang mengetahui detail kenabian Muhammad saw melalui kitab Injil, atau kisah penduduk Madinah, yang telah mengetahui Nabi Muhammad saw jauh sebelum nabi hijrah dan masih banyak lagi berita tentang kelahiran nabi Muhammad saw yang telah mereka ketahui dari kitab-kitab mereka, hanya saja diantara mereka ada yang menerima ada yang tidak.

Dari penggalan kisah nabi Muhammad saw diatas, pertemuan Kean Santang dan Imam Ali as atau Sayyidina Ali RA menjadi tidak aneh lagi. Sebagai seorang penganut tauhid, baik Kean Santang ataupun ayahnya sang Prabusiliwangi tentunya akan merasa terpanggil untuk melihat sang Nabi terakhir, Muhammad saw, yang namanya telah mereka ketahui dalam kitabnya, hingga kemudian memerintahkan putranya berguru langsung pada beliau saw.

Faktor perdagangan


Route perdagangan kuno dari negara Arab hingga ke China. Route ini digunakan sejak 200 SM hingga 1450an M. Dapat dilihat pada peta diatas, untuk mencapai Cina harus melewati pulau Sumatera terlebih dahulu. Route ini tetap di gunakan para utusan Rasul saw untuk melakukan syi’ar Islam hingga ke negeri-negeri yang jauh. Route ini pula yang digunakan dalam perjalanan hijrah kaum muslim bani Alawiyyin (keturunan nabi saw), kaum Syi’ah Ahlulbait dan dari keturunan para pengikutnya yang terjadi secara bergelombang.

Hubungan perdagangan yang terjadi antara penduduk Nusantara dan Jazirah Arab telah terjalin jauh sebelum kelahiran Rasul saw. penelitian tentang keterlibatan Nusantara dalam jalur perdagangan Internasional pada masa lalu cukup banyak, diantaranya adalah pendapat T.W Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam yang menyatakan hubungan perdagangan antara Nusantara dengan Arab telah terjadi sejak abad ke- 2 SM. Sementara dalam buku Masuknya Islam ke Timur Jauh disebutkan tidak semua suku Arab yang melakukan hubungan dagang dengan Nusantara tapi hanya suku Quraisy dan leluhur Quraisy yaitu Kan’an serta beberapa suku tertentu dari Yaman yang melakukan hubungan dagang dengan para pelaut Nusantara. Seperti diketahui suku Quraisy adalah suku leluhur Rasulullah saw dan rasul saw sendiri pun di kenal sebagai pedagang ulung.  

Dari hubungan perdagangan dan agama ini, semakin wajarlah bila kedua tokoh ini memang pernah bertemu, hanya saja kisahnya mungkin tidak semistis dan segaib seperti yang kebanyakan kita ketahui di berbagai blog internet.

Imam Ali as adalah guru bagi Kian Santang, bukan hanya bertemu Imam Ali dan berguru pada beliau, dalam salah satu sumber yang kami dapatkan, Kean Santang juga belajar dan bertemu langsung dengan Rasul saw, setelah sebelumnya bertemu atau berpapasan dengan Imam Ali as. Peristiwa ini terjadi di Mekkah  sekitar tahun 630 M, setelah penaklukkan Mekkah oleh kaum muslim. (3)

Rasul saw kemudian memerintahkan Kean Santang untuk belajar Islam dengan Sayyidina Ali RA, hal ini pun bukan sesuatu yang aneh karena bisa di baca dalam kisah-kisah sejarah Rasul saw, Rasul saw biasa memerintahkan para sahabat pilihan untuk mengajarkan Islam bagi mereka yang baru mengenal Islam.

Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Dua nama ini muncul setelah ditemukannya data dari seorang ulama Mesir bahwa salah seorang sahabat Imam Ali adalah pangeran dari Timur Jauh (Nusantara). Data ini diambil dari manuskrip kuno yang tersimpan di univ. al azhar Mesir yang diantaranya mengisahkan tentang sahabat Imam Ali, seorang pangeran yang berasal dari Timur Jauh, yang ikut perang Shiffin dan beberapa peperangan lain bersama Imam Ali.

Setelah di teliti oleh Ir H. Dudung Faithurohman, satu-satunya kisah pertemuan pangeran dari Timur jauh dengan Imam Ali adalah kisah Kean Santang yang terjadi di jawa, dan setelah diteliti kembali pangeran jawa yang hidupnya satu masa dengan Imam Ali dan menjadi sahabat Imam Ali, serta ikut dalam perang Shiffin tidak lain adalah Rakeyan Sancang. (4) 

Kesimpulan ini tentunya banyak menimbulkan opini dari berbagai kalangan pemerhati sejarah, karena jelas terjadi perbedaan tokoh utama, kisah yang beredar di masyarakat Sunda selama berabad-abad adalah ‘Kean Santang’ sementara tokoh yang bertemu dengan Imam Ali as, yaitu ‘Rakeyan Sancang’ pangeran jawa yang masa hidupnya satu masa dengan Imam Ali, lalu mana yang benar? Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Berikut adalah beberapa pembuktian yang kami dapatkan dari hasil penelitian kami tentang sejarah Islam di Sunda berdasarkan naskah-naskah kuno, situs purbakala, Mitos, legenda, kisah turun temurun, naskah silsilah, kajian ilmu Anthropologi, Filologi dan arkeologi yang kami dapatkan.

Pembuktian pertama tentu saja melalui penelusuran sumber, baik lisan, tulisan atau mengunjungi situs yang terkait dengan tokoh Kean Santang dan Prabusiliwangi.

Terdapat beberapa sumber tertulis berupa naskah kuno yang menjadi rujukan data tahun, dua diantaranya didapat dari naskah Wangsakerta dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang mengatakan bahwa Kean Santang adalah putra Prabusiliwangi yang hidup sekitar tahun 1400-1500-an Masehi, sementara fakta sejarah membuktikan pada kita Imam Ali hidup pada tahun 600M-663M, yang artinya jarak waktu antara Imam Ali dengan Kean Santang sekitar 900tahun! Dan tentunya mustahil secara ilmu sejarah kedua tokoh ini dapat bertemu.

Namun lain hal-nya dengan Rakeyan Sancang yang masa hidupnya kurang lebih satu masa dengan Imam Ali, hingga di tarik kesimpulan yang bertemu dengan Imam Ali adalah Rakeyan Sancang dan beliau adalah tokoh yang berbeda dengan Kean Santang. Kesimpulan ini diambil hanya berdasarkan perkiraan tahun yang tertera pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Benarkah demikian? Benarkah Rakeyan Sancang dan Kean Santang adalah 2 tokoh yang berbeda?

Bila benar demikian artinya kita telah membuang seluruh sumber lisan, tradisi dan budaya, situs pemakaman kuno yang tersebar merata di seluruh Indonesia, sejarah dan silsilah para tokoh muslim yang telah menjadi pemimpin di Jawa Barat sejak tahun 800-an Masehi. Tentu saja hal tersebut mustahil dilakukan dalam penelitian sejarah yang benar. (tentang pemakaman muslim kuno lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan kami tentang Cangkuang, Situs Hindu atau Islam? https://sofiaabdullah.wordpress.com/2020/02/12/cangkuang-situs-pemakaman-muslim-kuno-yang-terlupakan-1/)

Setelah kami pelajari dari penelitian Prof. Boechari (alm) seorang filolog yang cukup terkenal mengatakan bahwa kedua naskah diatas adalah 2 diantara ratusan naskah salinan yang dibuat atas perintah kolonial, jadi sangat memungkinkan pada kedua naskah ini terjadi penambahan dan pengurangan data sesuai pesanan pemerintah kolonial pada masa itu, masih menurut Prof. Boechari (alm), untuk mengetahui keotentikan isi ke-2 naskah tersebut harus melakukan seleksi dan perbandingan dengan data sejarah yang lain. (5)

Dari penelusuran inilah kami juga menemukan fakta sejarah penting mengenai tokoh Prabusiliwangi. Berdasarkan peninggalan bangunan,  silsilah dan kisah-kisah pada naskah kuno seperti Babad, Cariosan dan sebagainya, diketahui bahwa Prabusiliwangi pun sebenarnya hanya gelar yang digunakan untuk menyebut para penguasa yang adil di Nusantara dari masa ke masa, dari mulai zaman nabi Nuh as hingga Prabusiliwangi terakhir sebelum era kolonial yang mencapai puncak kejayaan pada tahun 1482-1521, dan inilah prabusiliwangi yang umumnya diketahui masyarakat saat ini.

Gelar prabusiliwangi yang lain yang umum diketahui dikalangan sejarawan atau pemerhati sejarah adalah Sang Sribaduga, Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran, Dari gelar Haji dapat dipastikan bahwa Prabusiliwangi adalah seorang muslim atau penganut agama millatu Ibrahim yang juga melaksanakan haji di Mekkah jauh sebelum kelahiran agama Islam di Arab. Gelar ini tercantum dalam prasasti Batu Tulis di Bogor (6).


Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat parit (pertahanan) pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”

Mengenai prabusiliwangi, lebih lengkapnya InsyaAllah akan kami bahas dalam tulisan yang lain.

Rakeyan dari Sancang

Pembuktian kedua bisa dilihat melalui nama. Kian Santang adalah sebutan bukan nama. Kata Kian atau Kean awalnya berasal dari kata ‘Rakryan’ yang diambil dari bahasa sanskrta yang artinya pangeran atau pemimpin. Seiring dengan perubahan zaman, perpindahan kisah dari generasi ke generasi kata Rakryan menjadi kata Rakeyan, dari rakeyan menjadi Keyan, Kean dan Kian.

Dalam ilmu filologi perubahan kata adalah hal yang umum terjadi, kasus kata Rakryan sama seperti yang terjadi pada kata ‘raden’ yang berasal dari kata ‘Rahadyan’ yang berarti pemimpin (agama atau wilayah). Setelah kedatangan kaum muslim yang hijrah dari Arab dan persia sekitar tahun 600-800an Masehi, masuklah unsur arab kedalam kata Rahadyan menjadi Ra’Dien yang artinya kurang lebih sama, pemimpin agama, kata Ra’din kemudian berubah menjadi Raden. (7) Dari perjalanan kata Rakeyan menjadi Kian dan rahadyan menjadi Raden saja membutuhkan waktu ratusan tahun.

Hal yang sama pun terjadi dengan kata ‘Sancang’ seiring dengan perubahan dialek dan pengaruh yang lain dalam kisah turun temurun menjadi kata ‘Santang’. Sancang adalah nama kota kuno di Jawa Barat, yang lokasi-nya saat ini masih dapat kita kunjungi di hutan Sancang, Garut Selatan.

Gambar diatas adalah peta kecamatan di Garut. Makam berada di kecamatan Cisompet (no.40)

Jadi berdasarkan temuan diatas, kami menyimpulkan bahwa Keyan Santang/ Kian Santang dan Rakeyan Sancang adalah tokoh yang sama, yang dikisahkan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun hingga mengalami perubahan bunyi dan makna, yaitu yang pada awalnya hanya gelar menjadi nama.

Rakeyan Sancang sendiri bila dilihat dari arti bahasa, artinya pangeran yang berasal dari Sancang, menegaskan jabatan dan asal kota atau tempat dimakamkannya sang pangeran.

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, Sancang adalah kota kuno yang sekarang lokasinya berada di Garut Selatan dan terkenal dengan hutan/leuweung ‘Sancang-nya’. Kami mengetahui bahwa hutan Sancang adalah lokasi bekas pemukiman kuno, diantaranya ditandai dengan adanya kompleks pemakaman di dalam hutan Sancang.

Lokasi makam berada di puncak bukit. Pemandangan leuweung Sancang dari situs makam.
Makam Prabu Rakeyan Sancang. Berlokasi di situs Gunung Nagara, Sancang Garut. Gambar sekitar lokasi makam.
Lokasi makam berada di Padepokan Gunung Nagara.

Kisah Rakeyan Sancang dan pertemuannya dengan Imam Ali ra  dikisahkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, baik dalam bentuk pantun maupun wayang, dan seperti umumnya tradisi lisan pasti mengalami penambahan, pengurangan isi kisah dan perubahan nama tokoh yang disesuaikan dengan dialek sang penutur.

Sumber tertulis yang ada sekarang umumnya adalah salinan yg dibuat pada era kolonial atau berdasarkan kisah turun temurun yang kemudian ditulis dalam bentuk pantun atau prosa. (tentang pemalsuan sumber sejarah tertulis untuk lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan kami yang berjudul ‘nasib Sumber Sejarah Tertulis di Indonesia; https://sofiaabdullah.wordpress.com/category/sejarah/sumber-sejarah/)

Salah satu sumber tertulis yang kami dapatkan dari salah satu padepokan di Banten, mengenai kisah Kian Santang, yang lebih bisa diterima dalam ilmu sejarah mengatakan bahwa pertemuan antara Kian Santang dengan Imam Ali terjadi di Mekkah setelah peristiwa fathu Makkah/ penaklukkan Makkah (629 M) pertemuan ini memang di sengaja karena perintah dari sang ayah, Prabusiliwangi, agar putranya mencari guru yang ilmunya mumpuni.

Singkat kisah setelah mempelajari Islam langsung dari Rasul saw dan Imam Ali as, Kian Santang diperintahkan Rasul saw untuk mengabarkan ttg Islam atau syi’ar di tanah Jawa (Sunda).

Kisah prabusiliwangi yang berperang melawan anaknya sendiri, atau Prabusiliwangi yang berubah atau ‘ngahiang’ menjadi maung setelah kalah berperang dengan putranya sebenarnya tidak pernah ada, kisah-kisah tersebut hanyalah penambahan-penambahan yang dipaksakan dengan tujuan merusak data sejarah hingga tidak layak lagi di jadikan sumber, karena berdasarkan sumber dari Banten tadi Prabusiliwangi-lah justru yang memerintahkan putranya untuk berguru ke Imam Ali di Mekkah.

Peperangan antara ayah dan anak, ketika sang anak memilih Islam adalah kisah rekayasa buatan era kolonial untuk memperburuk citra Islam, kisah seperti ini terdapat hampir di setiap naskah kuno di Indonesia, karena memang mayoritas naskah-naskah ini buatan era kolonial, baik yang berbentuk buku atau lontar.

Kisah orang tua melawan anaknya setelah sang anak memeluk Islam yang terkenal selain Kian Santang dan Prabusiliwangi antara lain Raden Fatah berperang melawan ayahnya, raja Majapahit, Brawijaya V. Kisah Raden Fatah dan Brawijaya V dari Majapahit memiliki alur cerita yang hampir mirip dengan kisah Kian Santang dan Prabusiliwangi, dan beberapa kisah serupa yang kami temukan pada naskah-naskah kuno salinan dari Sumatera dan Kalimantan.

Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa kisah-kisah yang hampir mirip ini pada dasarnya adalah kisah leluhur yang sama hanya saja dikisahkan pada lokasi yang berbeda dengan bahasa dan dialek yang berbeda, seperti yang di katakan pangeran Wangsakerta dalam naskah Wangsakertanya : “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”. (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya)

Malik al Hind & Rakeyan Sancang

pembuktian ketiga dari sejarah Islam. Berdasarkan hadits yang cukup terkenal dikisahkan tentang kedatangan seorang tokoh dari Hindia, tidak disebutkan nama tapi hanya gelarnya saja, Malik al Hind, yang artinya ‘penguasa dari Hindia’. Hindia adalah sebutan bagi kepulauan Nusantara sebelum dan sesudah era kolonial. Sebutan bagi anak benua India ratusan tahun lalu adalah Bharat, dan nama Bharat ini masih di gunakan hingga saat ini sebagai nama resmi India. Setelah masuk Islam Rasul saw mengganti nama Malik al Hind menjadi Abdullah as Samudri. (8)

Keberadaan sejarah Malik al Hind dalam sejarah Islam, menandakan adanya hubungan bilateral antara Rasul saw sebagai pemimpin kaum muslim dengan para pemimpin dari Nusantara (Hindia). Nama Abdullah, gelar as Samudri yang artinya dari Samudera, sebutan untuk kepulauan Nusantara dalam logat Arab, jelas menandakan adanya kesamaan dengan tokoh Kian Santang pada sejarah lokal yang setelah masuk Islam namanya menjadi Abdullah Iman.

Kisah yang kurang lebih sama dengan Kian Santang dalam tradisi lisan masyarakat Ciamis dikenal dengan nama Sanghyang Borosngora yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Abdul Iman. Tokoh ini dan putranya yang benama mbah Panjalu dimakamkan di Nusa Gede, situ Lengkong Panjalu, Ciamis.

Makam mbah Panjalu pitra dari Sang Hyang Borosngora, Lokasi pemakaman di pulau Nusagede di tengah Situ (danau) Lengkong. Sumber gbr : https://www.cicuit.my.id/2017/01/wisata-ziarah-ke-situ-lengkong-di.html?m=1

Adanya usaha pemalsuan sejarah Islam melalui sistem penyalinan dari naskah-naskah aslinya juga tidak bisa dianggap remeh, karena pemalsuan naskah = pemalsuan sejarah, masih menurut Boechari penyalinan ini tidak terbatas hanya pada naskah, namun juga terdapat pada prasasti dan bangunan atau situs-situs kuno.

Kisah-kisah yang tertulis untuk memperburuk citra Islam ini, jumlahnya sangat banyak dalam naskah-naskah salinan yang tersebar di Indonesia. Namun demikian walaupun naskah-naskah ini bukan naskah asli, bukan berarti naskah-naskah ini 100% palsu. Dari hasil penelusuran kami, masih banyak data-data yang asli yang terkandung dalam naskah, bahkan ada yang murni salinan dengan hanya sedikit penambahan dan pengurangan yang tidak menghilangkan makna aslinya. Beragamnya jenis naskah salinan inilah yang menuntut para pemerhati sejarah untuk berhati-hati dan selalu lakukan croschek info dengan sumber sejarah yang lain yang dapat dirujuk kebenarannya.

Mudah-mudahan sepotong kisah penelitian sejarah Islam yang sedang kami tekuni ini dapat bermanfaat dan memberikan sedikit kejelasan tentang sejarah Islam di tanah Sunda.

*catatan penulis

Tulisan ini adalah versi terbaru dari tulisan kami sebelumnya dengan judul yang sama. Tulisan kami sebelumnya  ditulis oleh penulis (SofiaAbdullah) tahun 2010 dan di bagikan di sosial media tahun 2016. Tulisan ini kami revisi dengan tambahan keterangan, sebagian buku-buku referensi dan adanya temuan-temuan terbaru kami yang belum masuk dalam tulisan sebelumnya. Temuan kami terbaru (2016-2020) diantaranya hadits nabi tentang malik al Hind dan beberapa hadits tentang Hindia, penafsiran Saka yang menurut penelusuran kami jauh lebih tua dari konversi Saka yang ada saat ini dan temuan rute perdagangan jalur laut yang melalui Nusantara.

Bagi para pembaca yang pernah membaca tulisan edisi sebelumnya, mohon di informasikan untuk diganti dengan tulisan terbaru kami ini, terimakasih.

Catatan kaki dan Buku-Buku Referensi

(1) Q.s Al Baqarah : 213

(2) Firman Allah SWT dalam al Qur’an QS. Ibrahim 14: Ayat 4:

وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَا نِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ فَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَآءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

(3) Suhartawijaya, Ma’mur H.A.H, Kisah Prabu Kian Santang, Jakarta 1401 H (1980 M)

(4) menurut IR Haji Dudung Faiturahman, Rakeyan Sancang adalah putra dari  raja Kertawarman, penguasa Tarumanegara VIII dari tahun 561-628 M. tapi berdasarkan penelusuran penulis, Rakeyan Sancang adalah gelar pemimpin atau putra penguasa daerah Sancang. Adapun siapa nama tokoh dibalik gelar Rakeyan Sancang ini ada beberapa kemungkinan yang masih dalam penelusuran kami lebih lanjut. Dari hasil temuan kami ada perbedaan dalam penafsiran tahun saka, itu sebabnya kami belum mendapatkan nama penguasa adil (prabusiliwangi) dan nama asli Rakeyan Sancang sebelum masuk Islam yang dikenal penduduk setempat yang hidup pada masa Rasulullah saw.

(5) Kumpulan Tulisan Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti, penrbit KPG, Jakarta 2012

(6) Berdasarkan teori era kolonial, dan menurut pendapat beberapa sejarawan, gelar Haji yang banyak tercantum setelah gelar jabatan (Ratu, Adipati dsb) seperti dalam gelar Prabusiliwangi; ratu haji di pakwan pajajaran diartikan sebagai gelar raja/kaum bangsawan yang bermakna sama dengan Aji. Tapi Dalam kamus Jawa Kuno Zoetmoulder 2 kata ini adalah 2 kata dengan arti yang berbeda. Haji dalam kamus jawa kuno berarti raja, keluarga raja, pangeran, Seri Baginda, Yang Mulia. Contoh penggunaan kata haji dalam naskah kuno: Ad 8, 17; Udy&RY 12,23; AW&TK 98. Passim : Stri haji, bini haji, kadaņ haji, bapa haji, ibu haji, bhrtya haji, kuti haji, pakis haji, tapa haji, bwat haji. Cara penggunaanya khusus; tidak pernah di dahului ņ, sang, sri dsb (Zoetmulder, 327)
Sementara kata ‘aji’ artinya kitab suci, teks suci, teks yang berwenang,mis. Peraturan2 utk brahman, instruksi ttg administrasi, politik, ptaktek kekuasaan,dll; formula dengan kekuatan  magis atau sangat suci (Zoetmulder, hal. 17). Aji memiliki arti yang sama dengan haji hanya dalam kidung bukan dalam kakawin, karena dalam kidung diperbolehkan adanya pemotongan huruf. Dari hasil pengamatan kami kata haji lebih sesuai untuk kata ‘haji’ yang artinya gelar bagi mereka yang telah melakukan ibadah haji di Mekkah. Ibadah haji adalah salah satu ritual agama Tauhid uang telah ada sejak masa nabi Ibrahjm as. Pembahasan gelar haji akan kami bahas dalam tulisan kami berikutnya yang khusus membahas gelar haji ini, InsyaAllah.

(7) Rakeyan berasal dari kata Rakryan. Kata ini digunakan untuk menunjukkan pangkat atau kt benda kategorik (apatih,tumenggung, dll); dipakai dalam sapaan sopan atau kpd orang yang lebih muda, kakak pd adik, suami pada isteri. (Zoetmulder,hal. 911) Kata raden berasal dari kata ra+hadyan, radyan, rahaden, raden artinya orang yang berstatus tinggi, raja/tuan, orang berpangkat atau tinggi martabatnya, cth : raden mantri, raden Wijaya, raden Galuh, raden Arya (Zoetmulder, hal. 327)

(8) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak (kitab al-‘At’imah Vol. 4, halaman 150), dari sahabat Sa’id al-Khudri r.a, disebutkan bahwa ada seorang raja dari negeri India (al-hind) yang datang membawa hadiah kepada Rasulullah Saw berupa tembikar yang berisi jahe. Hadits tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «أَهْدَى مَلِكُ الْهِنْدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَرَّةً فِيهَا زَنْجَبِيلٌ فَأَطْعَمَ أَصْحَابَهُ قِطْعَةً قِطْعَةً وَأَطْعَمَنِي مِنْهَا قِطْعَةً

Artinya: “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata: ada seorang raja dari Hindia memberikan hadiah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebuah tembikar yang berisi jahe. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi makan kepada sahabat–sahabatnya dari jahe tersebut sepotong demi sepotong, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberikan saya sepotong jahe dari dalam tembikar itu” (HR. Hakim, hadits nomor. 7190)

Buku-Buku Referensi

  1. Al Husaini al hamid H. M. H, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw, Cet. XI 2006, Pustaka Hidayah.
  2. Subhani, Ja’far, Sejarah Nabi Muhammad SAW = Ar Risalah/Ja’far Subhani; penerjemah, Muhammad Hasyim&Meth Kieraha; penyunting, Tim Lentera, cet. 8, Jakarta; Lentera 2009
  3. Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.
  4. Sunyoto. Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.
  5. C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.
  6. Aceh. Aboebakar.H.Dr.Prof, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Cet.4,1985, Ramdhani.
  7. Al Jibouri. Yasin. T,Konsep Tuhan Menurut Islam, Cet. 1, 1997, Ansariyan Publication Qum Iran
  8. Tjandrasasmita,Uka, Arkeologi Islam Nusantara, penerbit KPG, Jakarta 2009
  9. Ekadjati. Edi. S, Pustaja Rajya-rajya i Bhumi Nusantara Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanalogi). Direktorat Jendral Kebudayaan Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 (Naskah Wangsakerta)
  10. Ekadjati. Edi. S, Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. 1, 2005.
  11. Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Cet.1,2012, Kepustakaan Popular Gramedia.
  12. Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Cet 2, Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  13. Raffles. Thomas. Stamford, The History Of Java, Cet. 3, Yogyakarta, Narasi,2014
  14. Suhartawijaya, Ma’mur H.A.H, Kisah Prabu Kian Santang, Jakarta 1401 H (1980 M)
  15. Zoetmulder, P.J, S.O Robson, Kamus Jawa Kuna-Indonesia; penerj.Darusuprapta, Sumarti Suprayitna-Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1995.
  16. Al Kharbuthli Ali Husni Prof Dr, Sejarah Kabah, cet. 3, 2013, Khazanah Pustaka Islam.
  17. Dan berbagai sumber lain baik berupa buku atau situs online terkait, yang jumlahnya terlalu banyak bila kami sebutkan semua di artikel ini.

SUMBER:
Imam Ali bin Abi Thalib RA, Kian Santang & Rakeyan Sancang – Sofia Abdullah (wordpress.com)

Mencari Jejak Ki Sunda

$
0
0

Mencari Jejak Ki Sunda

by: Tauhid Nur Ashar

Sebuah mangkok nan indah dan subur kini terbentang dengan dipenuhi permukiman dan berbagai gedung yang tinggi menjulang. Kita menamainya Megapolis Bandung. Bahkan sejak RAA Wiranatakusumah memindahkan ibukota ke daerah Masjid Agung Dalem Kaum saat ini dari Dayeuh Kolot, kota yang satu ini terus berkembang dan terus menjadi daya tarik kuat bagi para pendatang. Di awal abad ke-20 bangsa Belanda bahkan berniat memindahkan pusat administrasi pemerintahan (Bienensland Bestuur/BB) ke lembah Bandung, yang ditandai antara lain dengan dibangunnya gedung Jambu atau yg kini dikenal sebagai Gedung Sate.

“Sate” di pucuk atap yang mengadopsi bentuk atap dari seni arsitektur Sunda buhun, Julang Ngapak, dan “berisi” 5 jambu yg ditusuk, sebenarnya adalah lambang dari harga pembangunan gedung itu yang nilainya ditaksir sekitar 5 juta gulden. Saat itu pembangunan gedung sate sungguh luar biasa karena sudah menggunakan tenaga ahli bangunan impor yang didatangkan dari tlatah Tiongkok. Mereka sesungguhnya adalah para ahli pembangun bangunan kubur di negara asalnya. Para tukang bangunan migran tersebut diberi permukiman di sekitar lembah Cikapundung yang kini menjadi bagian dari wilayah Banceuy dan sekitarnya. Maka tak heran budaya Cina Peranakan seperti warung kopi Purnama dll dapat dengan mudah kita temukan di sana. Pada 1920 sejarah mencatat bahwa salah satu perguruan tinggi teknik tertua di Hindia Belanda didirikan di Bandung, antara lain berkat inisiatif dari Prof Wolf Schoemaker yang juga merupakan guru Bapak Bangsa kita, Ir. Soekarno.

TH yang kelak dikenal sebagai ITB berdiri di daerah aliran sungai Cikapundung yang kini dikenal sebagai kawasan Taman Sari. Tetapi kira2 apa yang ada di lembah cantik ini sekitar 50 ribu tahun lalu ? Atau bahkan beberapa ribu tahun sebelumnya di era Holosen awal ? Jika kita mengeksplorasi daerah di seputaran Bandung Utara seperti Dago Pakar kita akan menemukan beberapa artefak Obsidian, jenis mineral batuan yang kerap dijadikan perhiasan dan juga alat tukar oleh warga Bandung di tepian Bandung Purba. Ya…Bandung punya sejarah setua itu. Bahkan menurut Prof RP Koesoemadinata, guru besar Geologi ITB, artefak2 tersebut adalah bukti nyata adanya peradaban kuno di tepian lembah Bandung yang telah dimulai dari masa di mana gunung Sunda Purba meletus.

Homo Sapiens yang tergolong masih berusia muda saat itu telah tinggal dan membangun peradaban di Lembah Bandung.
Artefak ini hanya diketemukan pada puncak-puncak bukit dengan ketinggian lebih dari 725 m di atas muka laut, dan fakta ini dianggap sebagai bukti untuk adanya suatu danau purba (Danau Bandung), yang juga disebut-sebut dalam dongeng rakyat Sunda “Sasakala Sangkuriang”.

Kisah legenda tentang ksatria digdaya Sunda yang jatuh cinta dan ingin menikahi Ibunya sendiri, Dayang Sumbi, mengandung banyak pesan tersembunyi yang memiliki makna geologis dari serangkaian sejarah kesaksian atas terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu, Burangrang, dan juga Bukit Tunggul. Sekaligus menyimpan misteri tentang evolusi dan akulturasi, dimana digambarkan bahwa Sangkuriang sebenarnya adalah keturunan manusia setengah dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing hitam yang dikenal sebagai si Tumang. Manusia setengah dewa ini kerap muncul di hampir setiap legenda manusia pertama di berbagai belahan dunia. Bangsa setengah dewa ini dikenal sebagai bangsa Naga di berbagai kebudayaan, termasuk di meso Amerika yang saat itu dihuni oleh suku Inka dan Maya. Mengingat di penghujung era Pleistosen fase glasial dan deglasial datang silih berganti dan muka air laut berdinamika sedemikian rupa, maka perjalanan keliling dunia saat itu mungkin dapat dilakukan dengan metode yang jauh lebih sederhana dari apa yang selama ini kita duga. Perjalanan gelombang migrasi sapien dari Asia ke benua Amerika melalui Siberia dan selat Bering sampai menjadi cikal bakal orang Indian Amerika dan suku Inuit di Kutub Utara, misalnya. Sedangkan Ki Sunda yang mengokupasi tepian danau Bandung Purba di sekitaran 50 ribu tahun lalu, mungkin saja secara genealogis merupakan bagian dari gelombang migrasi awal peradaban manusia yang telah mengenal teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi rupa muka bumi.

Keberadaan berbagai jenis artefak di perbukitan Bandung Utara dan Selatan menurut kajian Prof Koesoemadinata adalah petunjuk penting tentang penyebaran manusia seiring dengan proses adaptasinya dengan berbagai fenomena geologi yang ada. Dalam tulisannya, Prof Koesoemadinata menyatakan bahwa artefak yang diketemukan sebelah timur laut Bandung terdiri dari serpihan batu obsidian, sering dalam bentuk ujung anak panah, pisau, peraut dan jarum penindis; alat batu terpoles seperti penumbuk, kapak batu bermuka dua terbuat dari batu kalsedon, gelang-tangan dari batu serta serpihannya, juga serpihan tembikar dan juga bentuk-bentuk pengecoran perunggu atau besi. Lebih lanjut situs-situs ini mengungkapkan keberadaan keramik import Hindu/Cina berasal dari abad ke 18. Situs-situs ini diyakini telah dihuni terus-menerus sejak zaman neolitikum, melalui zaman perunggu Dong son sampai kurang dari 300 tahun yang lalu. Leluhur ki Sunda di daerah Bandung telah bekerja dalam industri logam dan perdagangan peralatan (batu). Penelitian geologi oleh Van Bemmelen (1934) mengonfirmasi keberadaan danau purba ini yang terbentuk karena pembendungan sungai Citarum Purba oleh pengaliran debu gunung-api masal dari letusan dasyat G. Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya G. Sunda Purba di sebelah barat laut Bandung dan pembentukan kaldera dimana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Jenis erupsi Plinian ini telah menutupi pemukiman di sebelah utara-barat laut Bandung, mengingat tidak ada artefak yang diketemukan disini. Pemikirannya adalah bahwa leluhur Ki Sunda seharusnya telah menyaksikan kejadian besar ini, hingga lahirlah legenda Sasakala Sangkuriang sebagai ekspresi dari capaian imajinasi kognitif yang berangkat sebagai bagian menegasi fakta ke dalam kapasitas pemahaman yang dikembangkan sesuai dengan tingkat pengetahuan di zaman yang bersangkutan. Karena belum adanya metoda modern pentarikhan radiometrik maka kejadian ini hanya diperkirakan telah terjadi sekitar 6000 tahun SM dengan mendasarkan pada artefak zaman Neolitikum. Penelitian geologi baru-baru ini menunjukkan bahwa endapan danau tertua yang telah ditentukan usianya berdasarkan radiometri adalah berumur 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya masing-masing 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian, walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir pada sekitar 16 ribu tahun yang lalu. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinannya bahwa para pemukim awal ini telah menyaksikan pembendungan danau maupun lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat munculnya manusia modern (Homo sapiens) di Afrika Selatan diperkirakan 120 sampai 100 ribu tahun yang lalu. Lebih masuk akal kalau Ki Sunda Purba ini telah menyaksikan letusan Plinian kedua yang telah melanda pemukiman sebelah barat sungai Cikapundung, (sebelah utara dan barat laut dari Bandung) sewaktu perioda letusan 55-50 ribu tahun yang lalu, mengingat bahwa Homo sapiens tertua yang ditemukan di Australia selatan adalah 62 ribu tahun yang lalu, dan di pulau Jawa sendiri manusia Wajak telah ditentukan berumur sekitar 50 ribu tahun yang lalu. Spekulasi yang lain adalah bahwa Homo erectus-lah yang telah menyaksikan pembendungan Danau Bandung dan lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat kehadiran makhluk ini terkenal di Jawa setua 1,7 juta tahun, dan telah mengalami budaya obsidian (obsidian culture). Maka ada kemungkinan tepian danau Bandung juga merupakan daerah titik temu antar spesies atau varietas homo yang saling berinteraksi dan juga berkompetisi hingga keunggulan fungsi kognitif Sapiens mampu mengeliminir keberadaan homo lainnya. Kasus seperti ini juga terjadi di berbagai wilayah Eropa, termasuk di Bavaria, di mana Neanderthal yang bertubuh besar pada akhirnya punah. Legenda yang kerap menyebut sosok raksasa, Buta, atau Denawa tersebar di seluruh dunia, termasuk dalam kisah klasik Ramayana. Sedangkan dalam budaya tutur lisan Sunda, Ki Sunda sebagai leluhur suku Sunda hari ini dikaitkan dengan kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh As, yang tentu memiliki pola hubungan dengan fase glasial-deglasial di era Pleistosen. Jejak Ki Sunda mulai terlihat, dalam Kitab Waruga Jagat, Mas Ngabehi Purana-Sumedang, 1117 H. Kitab ini mengutip silsilah seorang raja Sunda yang bergelar: Ratu Galuh. Raja ini keturunan generasi ke-7 dari Syam bin Nuh a.s.:
“..Inilah cerita putra Nabi (Nuh As) dari (istrinya) yang muda dinamai Baginda Sam.
Baginda Sam berputra Bakarbuwana, yang berputra Manaputih … Gantungan.
Manaputih … Gantungan berputra Ongkalarang, Ongkalarang berputra Sayar.
Ratu Sayar berputra Ratu Majakane, Ratu Majakane berputra Parmana.
Parmana berputra lima orang: Yang seorang Ratu Galuh..”
Buyut Ratu Galuh–Raja Sunda, adalah Nuh Alaihissalam, seorang nabi Allah SWT. Apakah Ki Sunda adalah bagian dari gelombang migrasi umat manusia area pusar bumi (Afrika, Sub Sahara, Asia Kecil, tepi selatan Eropa) yang tiba di Sundaland yang kelak dikenal sebagai Nusantara ? Penelitian genealogis berbasis teknik genetika modern mungkin akan dapat membuktikannya, sebagaimana hari ini sedikit mulai terkuak setelah penelitian kromosom Y (y-STR/short tandem repeated dan y-SNP/single nucleotide polymorphisme) dan mtDNA dilakukan dibeberapa kepulauan dengan sejarah peradaban manusia Nusantara tertua. Esensinya tentu bukan sekedar kebanggaan kultural soal asal usul, tetapi semestinya lebih pada proses “mengenal” siapa kita, dan mau kemanakah gerangan kita ?

MALIK AL HIND Sahabat NABI Muhammad SAW dari Nusantara

$
0
0

Masih tentang Sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?
Jumat 29 Jan 2021 06:01 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, — Pada awalnya tulisan tentang Sri Baduga Malik al-Hind yang terdahulu adalah sekadar contoh dari penerapan metode abduktif dalam mata kuliah kajian Islam interdisipliner di Pascasarjana STFI Sadra dan kajian ilmu hadis revisionis di LPII Yayasan Muthahhari Bandung.

Tentang kajian islam interdisipliner, insyaallah, nanti akan saya buat tulisan tersendiri. Sekarang, fokus kita pada ilmu hadis revisionis dan Sri Baduga Malik al-Hind.

Selama ini, kajian keislaman kita seperti jalan di tempat. Tidak ada keberanian dari para pemangku Islamic Studies untuk mendobrak paradigma lama yang hanya mengecer travelling theory yang sudah berlangsung selama lebih dari seribu tahun yang lalu.

Padahal, beragam teori tersebut tidak muncul dari ruang kosong. Ada banyak faktor sosial-politik-budaya yang melatarbelakangi kemunculannya. Oleh karena itu, kita yang hidup di zaman sekarang tidak harus menerimanya secara taken for granted. Kita harus membaca ulang untuk menemukan konteks di balik lahirnya teori-teori tersebut sebelum akhirnya menerima, menolak, atau memberi makna dan menyusun teori baru.

Di sinilah urgensi the logic of discovery yang menjadi ruh dari paradigma abduktif yg saya promosikan dalam ilmu hadis revisionis.

Adakah sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?

Ilmu hadis revisionis sendiri adalah produk lanjutan dari penelitian Al-Muawiyat ; hadis-hadis politis keutamaan sahabat . Selama ini, riwayat tentang keutamaan sahabat menjadi dasar teori keadilan sahabat yang menopang bangunan ilmu hadis tradisional.

Padahal, menurut Kamaruddin Amin, Dirjen Agama Islam Kemenag RI, tidak ada hadis Nabi atau ayat suci Alquran yang secara pasti mendukung klaim keadilan sahabat. . Semuanya ditafsirkan secara subjektif. Keadilan sahabat lebih pas disebut dogma daripada teori ilmiah.

Kesimpulan ini sejalan dengan temuan Fuad Jabali yang menyebut bahwa doktrin keadilan sahabat tidak lempang di hadapan analisis ilmiah. Meski terbukti tidak ilmiah, teori ini selalu mewarnai kajian akademik tentang hadis Nabi sejak dari Arab sana hingga sampai ke Nusantara kita sini.

Karena itu, saya sebut sebagai travelling theory yang harus direkonstruksi. Dan dengan dukungan data dan teori yang kuat, ilmu hadis revisionis berhasil melakukannya. Terlalu teknis kalau saya jelaskan bagaimana metode abduktif berhasil meruntuhkan grand theory keadilan sahabat yang diyakini secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia.

Silakan baca saja buku saya Genealogi Hadis Politis yang diterbitkan oleh Marja’. Kalau keberatan untuk membeli buku, bisa unduh gratis versi disertasinya di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Ciputat.

Metode abduktif melihat semua hadis/riwayat, teori sebagai bahan mentah yang harus diolah lagi. Dan bukan barang jadi yang dapat langsung menjadi alat bukti justifikasi.

Hal itu harus diverifikasi dengan prinsip korespondensi, koherensi, dan konsistensi sebelum akhirnya dipakai untuk menolak atau mendukung sebuah teori. Dengan cara kerja seperti itulah muncul teori (sementara) Sahabat Nabi dari Nusantara sini.

Teori tersebut dideduksi dari beberapa riwayat tentang Malik al-Hind yg bertemu Nabi dan termuat dalam publikasi mengenal sahabat Nabi. Kata kuncinya ada pada kata al-Hind yg sekarang diartikan sebagai India. Dan Malik al-Hind umumnya dimaknai dengan Raja dari India yang disematkan pada Cheraman Perumal dari Keralla.

Namun, teori ini dipertanyakan oleh akademisi dari Keralla, Parthasarathi. Menurutnya, tidak ada bukti historis maupun arkeologis yang menunjukkan pernah ada seorang raja dengan nama tersebut di Keralla. Cerita tentang raja Cheraman Perumal yang dikaitkan dengan nama sarbatak (umum dibaca seperti itu) yang bertemu Nabi muncul dari para akademisi Eropa yang tertarik dengan folklor masyarakat Kerala. Sumber pertamanya pun bukan seorang peneliti, melainkan sekadar juru tik, Louis de Camoes .

Menurut Pathasarathi, pengusung teori ini gagal membuktikan hubungan logis antara fakta/data dengan apa yang mereka ucapkan. Selain itu, juga gagal mencapai kesimpulan yang benar. Maka, teori Cheraman Perumal sebagai Malik al-Hind yg bertemu Nabi tertolak karena tidak sesuai dengan prinsip korespondensi empiris dan koherensi logis.

Dengan demikian, kita harus membangun teori baru terkait Malik al-Hind ini. Teori yang saya ajukan bahwa Malikul al-Hind yang bertemu Nabi ini adalah Sri Baduga Maharaja yang berasal dari Nusantara. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa fakta berikut.

  1. Wilayah Nusantara dahulu juga bernama Hindia. Ingat nama Hindia-Belanda untuk menyebut negara kita tercinta. Dahulu, Bilad al-Hind mencakup seluruh wilayah kepulauan Nusantara, Indo-China hingga Sri Langka. Imperialis Eropa yang memecah-mecah Bilad al-Hind dan menciptakan Bilad al-Hind baru beribu kota New Delhi (New de al-Hind).
  2. Tulisan Arab yang dibaca sarbatak terlalu jauh untuk mengidentifikasi Cheraman Perumal. Apalagi, Partharasati menyebutnya sebagai mitos. Tapi, lebih dekat bila dibaca dengan Sri Baduga. Ini karena perbedaan lidah Arab dengan lidah Nusantara.
  3. Keberadaan Sri Baduga Maharaja secara historis dan arkeologis dapat dibuktikan. Sementara, Cheraman tidak.
  4. Perbedaan timeline antara masa hidup Nabi dengan Sri Baduga Maharaja dapat diselesaikan dengan teori common sense saat kisah ini ditulis oleh Ibnu al-Atsir. Karena mungkin nama Sri Baduga adalah nama yg dikenal waktu itu saat menyebut raja dari al-Hind yang memakai aksesori khas Bilad al-Hind.

Sehingga, siapa saja raja yang berasal dari al-Hind dipanggil dengan Sri Baduga. Ilustrasi sederhananya seperti peci yang dikenalkan oleh Presiden Sukarno. Sehingga, orang-orang asing ketika melihat orang Nusantara berpeci memanggilnya dengan Sukarno.

  1. Tambahan argumentasi no 1. Ada kesamaan bahasa (sangsekerta) dan peradaban antara Nusantara dulu dengan India. Bisa jadi, hal itu karena dulu wilayah ini berada dalam satu kerajaan. Atau, salah satu wilayah menjadi kerajaan bagian atau protektorat dari sebuah kerajaan besar.

Kemiripan cerita Ramayana dan Mahabrata di dua wilayah ini menjadi bukti pernah bersatunya dua wilayah ini dalam satu kerajaan lama. Persoalannya, mana yang menjadi pusat pemerintahan dan mana yang menjadi negara bagian. Perlu kajian lanjut.

  1. Sq Fatimi yang adalah orang dari anak benua India sana justru berpendapat bahwa Malik al-Hind yang suratnya terlihat di Istana Arab (Bani Umayyah) adalah Raja Sriwijaya dari Nusantara dan bukan India. Walaupun mungkin dia bukan Malik al-Hind yang pernah bertemu Nabi, setidaknya kesimpulan Fatimi menguatkan teori Malik al-Hind berasal dari Nusantara dan bukan India. Karena itu, Malik al-Hind adalah sahabat Nabi dari Nusantara.

Link : https://www.republika.co.id/berita/qnnh9y385/masih-tentang-sahabat-nabi-muhammad-dari-nusantara

Tauhid: Wahdatul Wujud

$
0
0

WAHDATUL WUJUD,

Keseluruhan ada (wujud atau eksistensi) dan apa saja yang mengada atau teradakan (maujud) — merupakan ketung­gal­an, kesatuan. Be­ragam realitas ”non-Tuhan” itu tak me-wujud sendiri melainkan “se­­­kadar” sebagai pengungkapan dari realitas atau wujud— Realitas atau Wujud—tunggal. Itu  semua, baik yang bersifat indrawi maupun intelek­tual (noninderawi), hanyalah seperti bayangan. Yakni, sebagaimana bayangan yang bermain dalam pi­­kir­an kita sebagai citra-kedua se­buah objek di mata seorang yang juling. Meskipun demikian, tidak dikatakan bahwa realitas-realitas itu semu. Semuanya itu benar-benar ada, hanya saja keber-ada-an mereka bergantung dan meminjam dari Ada atau Wujud-nya Tuhan. Dalam cara pemahaman seperti ini – yakni dalam sifat-gandanya sebagai Tunggal, Yang Melahirkan yang majemuk — Tuhan disebut sebagai Yang Tunggal/Yang Majemuk (Al-Wahid Al-Katsir).

Islam, menurut ‘irfan, bukan hanya menekankan pada kepercayaan kesatuan/ ketunggalan Tuhan, melainkan kesatuan/ ketunggalan semua realitas (semua yang ”ada”, wujud). Dengan kata lain, meski sama sekali tak mengurangi sifat transendensi (tanzih) Tuhan, cara pemahaman teologis ini juga menempatkan Tuhan sebagai tidak terpisah dari ada-ada yang lain. Atau, tepatnya, ada-ada yang lain – yang nota-bene tercipta/bersumber/ terlahir dari-Nya – sesungguhnya adalah bagian atau manifestasi (pengejawantahan, tajalliy) dari wujud Tuhan juga. Jadi, selain bersifat transenden, Tuhan juga bersifat imanen (tasybih, menyatu dengan alam – ’alam, yakni segala sesuatu yang ”selain” Tuhan, ma siwa Allah).

Adalah keterbatasan kemampuan penampakan (persepsi) yang membuatnya gagal untuk melihat ketunggalan wujud ini. Kenyataannya, jika seseorang telah dapat mencapai maqâm (tataran) spiritual tertentu dalam ke­hidupan spiritualnya, maka ia akan bisa melihat be­tapa—meski, dilihat dari satu sisi, Wujud Allah berbeda dari wujud-wujud maujud (selain) Allah, di lain sisi, sesungguhnya keseluruhan wujud adalah bersifat Tunggal.

[1/31, 05:3

Huruf-huruf yang ditulis oleh tinta pada hakikatnya tak pernah wujud sebagai huruf-huruf. Karena huruf pada hakikatnya adalah berbagai bentuk dari (adanya) tinta yang dibentuk berdasarkan ke­sepakatan. Keberadaan huruf-huruf itu pada hakikat­nya tak lain dan tak bukan adalah keberadaan tinta. Cara me­lihat yang benar adalah, pertama, melihat ke­ber­­­­ada­an tinta di semua huruf itu dan, kemudian, me­lihat huruf-huruf itu sebagai berbagai modifikasi (per­ubah­an bentuk) dari tinta yang dipakai.
[1/31, 05:39] Ahmad Yanuana Samantho: Samudra, selama ia adalah sa­mudra, tak pernah dapat memisahkan-diri dari ge­lombang-gelombang. Tak pula gelombang bisa memi­sahkan diri dari samudra. Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah “pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombang-gelombang dan su­ngai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi lain kese­mua­nya itu sesungguhnya satu saja, yakni samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan (bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika ditetap­kan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan, es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak ada sesuatu yang lain kecuali samudra.

Samudra, selama ia adalah sa­mudra, tak pernah dapat memisahkan-diri dari ge­lombang-gelombang. Tak pula gelombang bisa memi­sahkan diri dari samudra. Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah “pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombang-gelombang dan su­ngai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi lain kese­mua­nya itu sesungguhnya satu saja, yakni samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan (bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika ditetap­kan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan, es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak ada sesuatu yang lain kecuali samudra.

[1/31, 05:42] Ahmad Yanuana Samantho: Dasar-dasar Naqli
[1/31, 05:42] Ahmad Yanuana Samantho: Tiada tuhan (wujud) kecuali Tuhan/Allah (Wujud) (Syahadat)
Katakan : “Tuhan itu Ahad (QS. 112 : 1)
Dia yang Pertama dan Terakhir, Dia yang Lahir dan Yang Batin (57 :3)
Tak ada sesuatu yang menyamai-Nya (42:11)
Tuhan adalah Cahaya Langit dan Bumi (24:35)
Dia lebih dekat kepadamu dari urat lehermu (50 : 16)
Dia selalu bersamamu di mana pun kamu berada (5 :4)
[1/31, 05:43] Ahmad Yanuana Samantho: Karier manusia sesungguhnya adalah menempuh dua busur turun naik. Busur turun (al-qaws al-nuzul) adalah busur penciptaan melalui berbagai tingkatan wujud tersebutg di atas. Sementara busur naik adalah tasawuf : yakni perjalanan kembali kepada Allah melalui penanaman akhlak Allah di dalam diri kita.
Inilah, menurut sebagian ‘arif, yang dirujuk al-Qur’an dalam ayat (yang biasa dikaitkan dengan peristiwa mi’raj) berikut ini :
Thumma danā fatadallā fakāna qāba qawsayni aw adnā”
“Dia (Allah) makin dekat kepadanya (Muhammad saw.), dan makin dekat lagi. Dan dia pun mendekat hingga sejarak dua busur (qaba qawsayn), atau lebih dekat lagi.” (QS.
[1/31, 05:44] Ahmad Yanuana Samantho:

BUSUR TURUN DAN BUSUR NAIK:

[1/31, 05:45] Ahmad Yanuana Samantho: TASAWUF Tasawuf berarti “(proses) mengaktualkan potensi akhlak Allah yang ada di dalam diri kita, dan menjadikannya akhlak kita” (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Sebuah definisi yang ringkas dan simple, tapi dibaliknya terkandung pemikiran yang sangat mendalam. Dan ini terkait dengan gagasan tentang manusia – bahkan alam semesta – sebagai tajally (pancaran, manifestasi) Allah Swt. Yakni, manusia sebagai pembawa ruh-Nya, yang dicipta atas fitrah keilahian. Dengan demikian, kepenuhan dan kebahagiaan hidupnya — bukan hanya di akhirat, melainkan juga dunia — tergantung pada keberhasilannya mengaktualkan potensi keilahian-Nya itu.
[1/31, 05:45] Ahmad Yanuana Samantho: Berakhlak dengan akhlak Allah identik dengan menanamkan asma’/sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada akhlak-Nya. Ibn ‘Arabi segera melihat bahwa kesamaan kata dasar khulq (bentuk tunggal akhlaq) dengan kata khalq (ciptaan) menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi akhlak Tuhan sudah tertanam dan menjadi bawaan (fitrah/khalq) manusia – betapa pun masih potensial. Syaikh menyebutnya sebagai kesiapan (jibillah, disposisi). “Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada al-din (cara hidup Islam). Fitrah Allah yang atasnya dia diciptakan (fithrah Allah fathara al-nas ‘alay-ha). Tak ada perubahan dalam ciptaan (khalq) Allah. (QS. : ). (Proses) menuju hidup berakhlak dengan akhlak Allah, itulah tasawuf,
[1/31, 05:46] Ahmad Yanuana Samantho: Jika dikelompokkan, Allah memiliki asma’ yang termasuk dalam kelompok asma’ jalaliyah (nama-nama yang mencerminkan kedahsyatannya yang menggentarkan, tremendum) dan kelompok asma’ jamaliyah (nama-nama yang mencerminkan keindahan dan kelembutannya yang memesonakan, fascinans). Manusia harus mampu menanamkan semuanya itu di dalam dirinya, dalam kombinasi yang lengkap dan utuh. Mengambilnya secara parsial dan tidak seimbang akan justru menjadikan akhlak yang berkembang bersifat madzmumah (akhlak yang buruk), bukan justru al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia) yang dianjurkan. Kombinasi utuh-menyeluruh dan seimbang ini diwakili oleh nama “Allah” sebagai nama-penghimpun (al-ism al-jami’) semua nama Allah yang tak terbatas itu.Dan, sebaliknya. Nah, melanjutkan tamsil warna di atas, berakhlak dengan akhlak Allah sama dengan menanamkan akhlak Allah itu dalam kombinasi yang utuh dan pas sehingga unsur-unsur akhlak itu menghasilkan warna cahaya putih yang seimbang.
[1/31, 05:46] Ahmad Yanuana Samantho: Kombinasi seimbang dari berbagai asma’ Allah itu tidak bersifat netral – yakni gabungan dari yang jamaliyat dan jalaliyat, atau seluruh spektrum-warna sifat-Nya dengan sama kuat – melainkan sebagai didominasi dengan yang jamaliyat. Terkait dengan ini Sang Syaikh merujuk pada berbagai ayat al-Qur’an yang bermakna seperti ini, termasuk : “Kasih-sayangnya meliputi segala sesuatu.” Juga hadis qudsi yang berbunyi “ Kasih-sayang-Ku mendominasi murka-Ku”. Dengan demikian, menanamkan akhlak Allah identik dengan menanamkan sifat cinta di dalam diri kita dan menjadikannya sumber bagi setiap tindakan kita, baik dalam berinteraksi dengan Allah, manusia, maupun alam semesta selebihnya.
[1/31, 05:47] Ahmad Yanuana Samantho: Dengan kata lain, bertasawuf adalah berjalan kembali kepada Allah. Dari Allah, kembali kepada Allah. Innaa lil-Lah wa innaa ilay-Hi raji’un. Kita adalah milik Allah, dan kepadanya kita kembali. Dari awal (mabda’) yang bersifat ruhani-keilahian, kembali kepada akhir/tempat kembali (ma’ad) yang bersifat ruhani-keilahian pula. Tasawuf adalah mendaki busur naik (qaws al-su’ud) kepada Allah, setelah sebelumnya kita memancar dari Allah melalui busur turun (qaws al-nuzul). Pendakian dilakukan dengan menanamkan akhlak Allah secara seimbang, yang secara keseluruhannya tertaklukkan atas sifat kasih-sayang.

 

Viewing all 1300 articles
Browse latest View live