Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

Sultan Abdurahman Pakunataningrat


Kebijaksanaan yang Terpimpin Hikmah para Walisongo dalam Berdakwah

$
0
0
PARA SEJARAWAN DUNIA ANGKAT TANGAN SA’AT DISURUH Menerangkan Bagaimana Bisa Wali Songo Melakukan ‘Mission imposible’ Membalikkan Keadaan Dlm Waktu Kurang Dari 50 Tahun, Padahal Sudah Terbukti 800 tahun Bangsa Nusantara Selalu menolak Agama Islam
Foto Sang Putra Fajar.

Sang Putra FajarSukai Halaman

13 jam ·

Sejarah Islam (tantangan dakwah “Walisongo” luar biasa berat)
Dari Kacamata Candi Prambanan dan Candi Borobudur

Jika memakai ilmu perbandingan, bisa dibilang Candi Prambanan dan Candi Borobudursebanding dengan Masjidil Haram. Hal itulah yang membuat saya makin kagum pada Walisongo.

Maksudnya begini, kalau ada “Masjidil Haram” berarti logikanya ada puluhan ‘Masjid Agung’ kan? Kalau ada tempat ibadah Hindu-Budha selevel ‘Masjidil Haram’, berarti bukan tidak mungkin Indonesia zaman dahulu sudah dipenuhi ribuan ‘Mushola’ umat Hindu-Budha.

Orang tidak mungkin membuat sesuatu berskala besar tanpa bisa membuat sesuatu yg berskala kecil-kecil dulu.

Tentu kita jadi bisa membayangkan kalau umat Hindu dan Budha zaman dahulu adalah golongan Mayoritas. Kalau umat beragama Hindu dan Budha zaman dahulu sangat mendominasi, bagaimana Walisongo bisa membalik kondisi tersebut..?

Kalau Anda Belajar Sejarah, Anda pasti makin heran dgn Walisongo. Silahkan Anda baca dgn teliti isi buku Atlas Walisongo. karya sejarawan Agus Sunyoto.

Menurut catatan, dinasti China Tang, pada waktu itu (abad ke 6 M), Jumlah orang Islam di Nusantara (Indonesia) hanya kisaran ribuan orang. Dengan klasifikasi yg beragama Islam hanya orang Arab, Persia dan China.

“Para Penduduk Pribumi Tidak Ada Yang Mau Memeluk Agama Islam”

BUKTI sejarah kedua, catatan Marcopolo singgah ke Indonesia Th.1200an M. Dalam catatannya, komposisi umat beragama di Nusantara masih sama persis dgn catatan Dinasti Tang; penduduk lokal Nusantara tetap tidak ada yg memluk agama Islam.
Bukti sejarah ketiga, dlm catatan Laksamana 何凱成 Cheng Ho Th.1433 M, tetap tercatat hanya orang asing yg memeluk agama Islam. Jadi kalau kita kalkulasi ketiga catatan tsb, sudah lebih dari 8 abad, agama islam tdk diterima oleh penduduk pribumi. Agama Islam hanya dipeluk oleh orang asing

Selang beberapa tahun setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel, datang dari daerah Champa (Vietnam)

Beberapa dekade sejak hari kedatangan Sunan Ampel, terutamanya stlah dua anaknya tumbuh dewasa (Sunan Bonang dan Sunan Drajat) dan beberapa muridnya tlah tumbuh dewasa (Sunan Giri), maka dibentuklah suatu dewan yg bernama Wali songo. Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi.

Anehnya, sekali lagi Anehnya pd dua catatan para penjelajah dari Benua Eropa yg ditulis th.1515 M dan 1522 M, disebut bhwa bgsa Nusantara adalah sebuah bgsa yg mayoritas memeluk agama Islam. Para sejarawan dunia hingga kini masih bingung, kenapa dlm tempo tak sampe 50 tahun, Walisongo berhasil mengislam-kan banyak sekali manusia Nusantara.

Harap diingat zaman dahulu belum ada pesawat terbang dan telpon genggam. Jalanan kala itu pun tdk ada yg diaspal, apalagi ada motor atau mobil. Dari segi ruang maupun segi waktu, derajat kesukarannya luar biasa berat. Tantangan ‘dakwah’ Walisongo luar biasa berat.

Para sejarawan dunia angkat tangan sa’at disuruh menerangkan bagaimana Wali songomelakukan “mission imposible”: Membalikkan keadaan dlm waktu kurang dari 50 tahun. Padahal sudah terbukti 800 tahun bgsa Nusantara selalu menolak agama Islam.

Para sejarawan dunia akhirnya bersepakat bahwa cara pendekatan dakwah melalui kebudayaanlah yg membuat Walisongo sukses besar.

Menurut saya pribadi, jawaban para sejarawan dunia memang betul, tapi msih kurang lengkap. Pendekatan dakwah dgn kebudayaan itu cuma “bungkusnya”, yg benar2 bikin beda adalah ‘isi’ dakwah Walisongo

Walisongo menyebarkan agama Islam meniru persis ‘bungkus’ dan ‘isi’ yg dahulu dilakukan oleh Rasulullah SAW. Benar2 menjiplak mutlak metode dakwahnya kanjeng nabi. Pasalnya, kondisinya hampir serupa, Walisongo kala itu ibaratnya “satu-satunya”.

Dahulu Nabi Muhammad SAW adlah satu2nya orang yg berada dijalan yg benar. Istrinya sendiri, sahabat Abu Bakar r.a, sahabat Umar r.a, sahabat Utsman r.a, calon mantunya Ali r.a dan semua orang dimuka bumi waktu itu tersesat semua. Kanjeng nabi benar2 ‘the only one’ yg tidak sesat.

Tetapi berkat ruh dakwah yg penuh kasih sayang, banyak orang akhirnya mau mengikuti agama baru yg dibawa kanjeng nabi. Dengan dilandasi perasaan yg tulus, Nabi Muhammad SAW amat sngat sabar menerangi orang2 yg tersesat.

Meski kepala beliau dilumuri kotoran, meski wajah beliau diludahi, bhkan berkali-kali hendak dibunuh, kanjeng nabi selalu tersenyum memaafkan. Walisongo pun mencontoh akhlak kanjeng nabi sama persis. Walisongo berdakwah dgn kasih sayang.

Pernah pd suatu hari ada penduduk desa bertanya hukumnya menaruh sesajen di suatu sudut rumah. Tanpa terkesan menggurui dan menunjukan kesalahan, sunan tsb. berkata, “Boleh, malah sebaiknya berjumlah 20 piring, tapi dimakan bersama tetangga terdekat ya..”

Pernah ada salah satu murid anggota Walisongo yg ragu pada konsep tauhid bertanya, “Tuhan koq jumlahnya satu? apa nanti tdk kerepotan dan ada yg terlewatkan tdk diurus?” Sunan yg ditanya tsb. hanya tersenyum sejuk mendengarnya. Justru beliau minta ditemani murid tsb. menonton pagelaran wayang kulit.

Singkat cerita, sunan tsb berkata pada muridnya, “Bagus ya cerita wayangnya…” si muridpun menjawab penuh semangat tentang serunya lakon wayang malam itu. “Oya, bagaimana menurutmu kalau dalangnya ada dua atau empat orang” tanya sunan tsb.

Si murid langsung menjawab, “Justru lakon wayangnya bisa bubar, dalang satu ambil wayang ini, dalang lain ambil wayang yg lain, bisa2 tabrakan.”

Sang guru hanya tersenyum dan meng-angguk2 mendengar jawaban polos tsb. Seketika itu pula si murid beristighfar dan mengaku sudah paham konsep Tauhid.. Begitulah ‘isi’ dakwah Walisongo; menjaga perasaan orang lain.

Pernah pada suatu hari ada salah satu anggota lain dari Walisongo mengumpulkan masyarakat. Sunan tsb.dengan sangat bijaksana menghimbau para muridnya utk tdk menyembelih hewan sapi sa’t Idul Adha, walaupun syari’at islam menghalalkan, menjaga perasa’an orang lain lebih diutamakan.

Diatas ilmu fiqih, masih ada ilmu ushul fiqih, dan diatasnya lagi masih ilmu tasawuf. Maksudnya menghargai perasaan orang lain lebih diutamakan, daripada sekedar ‘halal-haram’.

KEBAIKAN LEBIH UTAMA DARI PADA KEBENARAN.
Dengan bercanda, beliau berkomentar bhwa daging kerbau dan sapi sama saja, makan daging kerbau saja juga enak. Tdk perlu cari gara2 dan cari benarnya sendiri, JIKA ADA BARANG HALAL LAIN.tapi lebih kecil mudharatnya.
Kemudian ketika berbicara di depan khalayak umum, beliau menyampaikan bahwa agama Islam juga memuliakan hewan sapi.
Sunan tsb. kemudian memberikan bukti bhwa kitab suci umat islam ada yg namanya Surat Al-baqarah (sapi betina). Dengan nuansa kekeluargaan, sunan tsb. memetikkan beberapa beberapa ilmu hikmah dan surat tsb, utk dijadikan pegangan hdup siapapun yg mndengarnya.

Perlu diketahui, perilaku Walisongo seperti Nabi Muhammad SAW zaman dahulu. Walisongo tidak hanya mnjadi guru org2 yg beragama Islam. Walisongo berakhlak baik pada siapa saja dan apapun agamanya.
Justru karena kelembutan dakwah sunan tsb. mayarakat yg sa’t itu blm msuk agama islam, justru gotong royong membantu para murid beliau melaksanakan ibadah qurban.

MasyaAllah betapa mengagumkan para wali, dalam menerapkan ajaran Rasulullah SAW ..
https://www.facebook.com/groups/sangputrafajarDkm

 


Impian Indonesia 2015-2085

GENDING TEMBANG SUNDA DAMAS

$
0
0

GENDING TEMBANG SUNDA DAMAS
Bentang Ngiceupan di Langit Kamelang (Bag-2)
: Karya Kang Ibing
Juru Kawih : Neneng Dinar, Herry Suheryanto, Neneng Fitri, Rika.

 


Mobilisasi Militer AS di Asia : Kami Tahu !!

$
0
0

INDOSEJATI.com – Ambisi pemerintah Amerika Serikat untuk mengamankan kepentingannya di kawasan Asia makin terkuak. Dalam sebuah unggahan di akun Facebook pribadinya, Carter menyebut Asia sebagai wilayah paling konsekuensial untuk masa depan Amerika. Ia mengatakan, kehadiran militer AS di wilayah itu memiliki kepentingan fundamental yang strategis untuk negaranya.

Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), Ash Carter, mengatakan AS akan memperluas mobilisasi militernya di Asia. Hal itu dilakukan dalam menghadapi ekspansi teritorial yang dilakukan Cina dan ancaman regional lainnya. “Perluasan militer ke kawasan Asia Pasifik menegaskan bahwa AS tetap menjadi negara dengan militer terkuat dan mitra pilihan dalam menjaga keamanan,” ujar Carter, dalam pidatonya di hadapan anggota Angkatan Laut AS, di atas kapal induk USS Carl Vinson, San Diego.


Amerika paham bahwa China bukan negara besar secara global dan China tidak berusaha mendongkel Amerika dari posisinya sebagai negara adidaya di dunia.  Meski demikian, akan tetapi China merupakan negara besar secara regional, yaitu di kawasan Asia/Pasifik yang dianggap oleh China sebagai kawasannya dan menjadi kawasan yang penting bagi China secara ekonomi dan strategis.  China berusaha menjadi pemilik kedaulatan di laut China Timur.

Amerika memiliki eksistensi secara militer dan tetap di pangkalan militer di Jepang dan Korea Selatan yang berada di pantai laut China Timur.  Demikian pula Amerika juga memiliki hal serupa di Philipina yang berada di pantai laut China Selatan.  Amerika di kawasan tersebut memiliki sekitar setengah juta tentara.  Amerika memiliki eksistensi militer tetap di kawasan ini sejak tahun 50-an abad lalu.

Jika China mengontrol kawasan ini atau menancapkan pengaruhnya atau menjadikan kawasan ini berada di bawah kontrolnya maka China bisa mempengaruhi kawasan samudera Hindia dan mengancam pengaruh Amerika di kawasan tersebut secara serius.  Ini merupakan masalah vital bagi Amerika.  Amerika tidak akan mentolerir hal itu terjadi selamanya berapapun biaya yang harus dibayarkan.

AS memastikan politik luar negerinya pada capaian hegemoni total di kawasan Asia, serta membonsai pengaruh RRC di Asia Tenggara khususnya dalam persoalan Laut Cina Selatan. Wilayah ini amat strategis bagi AS maupun RRC, baik sebagai jalur perdagangan maupun sumberdaya alamnya yang berlimpah. Oleh karena itu AS terus menjalin hubungan dengan sekutu-sekutunya, termasuk Indonesia, untuk mengeliminir pengaruh Cina.

Awas Indonesia!

Keberadaan kapal perang AS di Singapura dan pangkalan militer AS di Darwin, membuat Indonesia diapit oleh kekuatan AS di timur dan barat. Sama seperti saat Irak akan digempur melalui persiapan Operation of Enduring Freedom, dimana saat ini Indonesia sama juga “sudah terkurung” seperti Irak, oleh  pangkalan-pangkalan AS yang berada di Christmas Island, Cocos Island, Darwin, Guam, Philippina, Malaysia, Singapore, Vietnam hingga kepulauan Andaman dan Nicobar beserta sejumlah tempat lainnya.” , seperti dijelaskan Connie Rahakundini Bakrie, pengamat Pertahanan dan Militer dari Universitas Indonesia.

Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60 persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020 mendatang, terutama Darwin dan Subik di Filipina. Hal ini jelas membawa implikasi besar bagi kawasan ini, termasuk Indonesia. Aneh, bila seorang kepala negara merasa tidak terancam dan terusik dengan aktifitas politik dan militer negara asing di dekat rumahnya sendiri.

Tahun 2020 itu tidak lama. Dalam 4 tahun ke depan, Indonesia sudah terkurung oleh pangkalan-pangkalan militer AS. Apakah kita sudah sepakat sebagai bangsa untuk menyadari dan memahami persepsi ancaman yang sebenarnya sedang dihadapi?

Dengan kondisi ini, jelas sekali, tidak tersedia waktu banyak bagi elite Indonesia untuk segera mereposisi arah kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia yang lebih tegas, strategis dalam menyikapi perubahan konstalasi politik di kawasan.

Salah satu celah yang bisa digunakan Amerika adalah melalui kerjasama pertahanan yang ditandatangani baru-baru ini dalam satu paket dengan perjanjian esktradisi. Melalui kesepakatan bertajuk Defense Coperation Agreement (DCA) dan Military Training Area(MTA), kedua negara menyepakati untuk menyediakan wilayahnya untuk latihan militer. Berarti, secara teknis Singapore diperbolehkan mengadakan latihan militer maupun menyimpan persenjataannya di wilayah RI.

Perjanjian pertahanan Amerika melalui DCA maupun MTA ini, sebenarnya rawan terhadap adanya infiltrasi dan penetrasi intelijen pihak Amerika maupun kepentingan negara-negara besar lainnya. Karena dengan adanya program pelatihan bersama, baik para pihak yang ikut dalam pelatihan militer maupun pihak ketiga yang diundang ikut serta, praktis akan memiliki akses informasi mengenai kondisi kemiliteran kita baik dari segi kekuatan personil, kemampuan peralatan militer dan juga lokasi geografis. Disamping fakta bahwa melalui kesepkatan DCA dan MTA ini Singapore telah menyediakan dirinya untuk menjadi  satelit Amerika dalam melayani kepentingan negara Paman Sam.

Jika kita cermati, program-program pelatihan bersama atau kerjasama militer yang sejenis, memang bisa dimanfaatkan sebagai ajang operasi intelijen Amerika dalam memetakan kekuatan angkatan laut Indonesia baik kekuatan dan kapasitas personil maupun peralatan, serta gambaran mengenai lokasi geografis.

AS juga berkepentingan untuk menjaga kepentingan mereka di kawasan Papua. Keberadaan pertambangan Freeport sebagai perusahaan tambang besar di dunia adalah nilai strategis bagi AS. Hal ini tampak dari pendekatan yang dilakukan AS kepada dua pihak; kepada kelompok separatis-teroris OPM dan juga kepada aparat pemerintah daerah Papua.

Sumber: HT

http://www.indosejati.com/2016/11/mobilisasi-militer-as-di-asia-kami-tahu.html

 


Ancaman Proxy War terhadap Indonesia

$
0
0

Sangat disayangkan, ceramah ilmiah startegis tentang ancaman terhadap keamanan geopolitik negara kita dari Pangima TNI Gatot Nurmantyo di UI Depok saat ini,terpotong dan teralihkan perhatiannya dari liputan TV hanya oleh peristiwa Press Conference atas penetapan Ahok sebagai “Tersangka Penista Agama Islam”, setelah ribut-ribut sebagian ormas “Islam” mazhab tertentu yang anti Ahok dan ditumpangi berbagai kepentingan poitik dalam maupun luar negeri. Padahal Pidato dan ceramah Panglima TNI tersebut sangatlah penting dan membuka wawasan terhadap Kriris Ancaman Geolopolitik-Geoekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh militer Amerika di Darwin, Militer China di laut China Selatan/Natuna dan Militer negara-negara Persemakmuran Inggris (sekutu Inggris Malaysia, Singapore, Brunei, Filipina, Australia, New Zealand) yang berpotesi mengancam kedaulatan dan kemerdekaan bangsa dan negara kita. Ya Allah, sadarkan rakyat kami dan umat kami dan para pemimpinnya.

Dalam konteks inilah sebenarnya kita harus memahami Safari Bapak Presiden Jokowi ke Markas Pasukan-pasukan TNI dan Polri.

http://nasional.sindonews.com/read/1127861/14/di-hadapan-mahasiswa-ui-panglima-tni-ungkap-ancaman-perang-gaya-baru-1470037739

http://news.detik.com/berita/3265677/panglima-tni-ingatkan-tren-perang-masa-depan-di-depan-mahasiswa-baru-ui

http://www.tribunnews.com/regional/2015/12/12/panglima-tni-politikus-busuk-rusak-tatanan-negara

http://www.ui.ac.id/berita/beri-kuliah-umum-panglima-jenderal-tni-gatot-nurmantyo-bahas-tentang-proxy-war-di-ui.html

http://nasional.kompas.com/read/2016/05/19/14103921/panglima.tni.proxy.war.mengancam.indonesia


Al-Hikam Mutiara Pemikiran Sufistik Ibnu Atha‟illah as-Sakandari

$
0
0

Al-Hikam Mutiara Pemikiran Sufistik Ibnu Atha‟illah as-Sakandari

Oleh: Zaenal Muttaqin1 muttaqinaff@gmail.com

Abstrak :

Cinta terhadap Allah mengharuskan seseorang menempuh medan perjalanan spiritual yang panjang dan terjal. Ditulis dalam gaya bahasa aporisma yang indah tanpa menggusur kedalaman pesan yang ingin disampaikan, Al-Hikam yang ditulis Ibnu Atha‟illah as-Sakandari mendeskripsikan jalan-jalan spiritual yang harus ditempuh para penempuh jalan tersebut.

Diantaranya, keharusan menjangkau setiap stasiun spiritual (maqam) seperti taubat, zuhd, shabr, tawakkal), dan ridha. Selanjutnya, para penempuh juga akan mencapai sejumlah kondisi (ahwal) seperti khauf, raja‟, tawadhu, ikhlas, dan syukr yang harus diterima sebagai karunia Yang Dituju (Allah), bukan hasil usahanya.

Kata Kunci: Aporisma, Syarh, Maqam, Ahwal, Makrifat

Pengantar:

Al-Hikam dan Tasawuf Nusantara

Pengajaran tasawuf melalui pembacaan terhadap berbagai literatur (baca, kitab) yang ditulis para tokoh tasawuf sangat populer di kalangan masyarakat Muslim Nusantara. Popularitas ini merujuk pada kegiatan pengajian yang tidak hanya berlangsung di kalangan santri pondok pesantren, melainkan juga masyarakat Islam pada umumnya. Bila di pesantren para santri mengkaji tasawuf sebagai salah satu kurikulum pesantren yang wajib dipelajari, pengajian tasawuf di kalangan masyarakat biasanya ditempuh melalui majelis-majelis taklim pada waktu-waktu tertentu dengan dipimpin seorang kyai atau ulama yang memiliki pemahaman cukup tentang ajaran tasawuf melalui pembacaan literatur tasawuf atau bahkan terlibat dalam organisasi persaudaraan spiritual Islam, tarekat.

Salah satu kitab tasawuf yang sangat populer dipelajari oleh masyarakat Muslim Indonesia, santri pesantren dan masyarakat umum, adalah Kitab Al-Hikam karya Ibn Atha‟illah al-Sakandari. Mengutip keterangan peneliti Islam Indonesia Martin Van Bruinessen, kitab ini pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Muslim Nusantara oleh ‘Abd Al-Shamad bin ‘Abd Allah Al Jawi Al-Palimbani (l. 1116 H/1704 M – w. 1203 H/1789 M). Sejak itu, posisi Al-Hikam semakin populer sebagai „bacaan wajib‟ kalangan santri pondok pesantren maupun masyarakat di majelis-majelis pengajian.2

Hampir seluruh pesantren di Jawa dan Madura, terutama yang berbasis organisasi sosial keislaman Nahdlatul Ulama, menjadikan kitab al-Hikam sebagai salah satu bacaan wajib para santrinya masing-masing. Biasanya pada bulan ramadhan, para kyai membacakan kitab ini dengan metode bandungan atau bandongan. Saking populer dan wajibnya pembacaan kitab ini, hampir seluruh santri pondok pesantren mengenal kitab yang ditulis dalam bentuk teks aporisma ini.3

Pada beberapa pondok pesantren, pembacaan Kitab AlHikam hanya diperuntukkan pada santri tingkat atas yang sudah menyelesaikan materi nahwu-sharaf, mengkaji banyak kitab fiqih, dan mempelajari kitab-kitab akhlak. KH. Shihab Ahmad Syakir dari Pesantren Lasem Rembang misalnya, memberikan pengajian Al-Hikam pada santri demikian. Mbah Khozin di pesantren Rinungagung, Kediri, Jawa Timur, membuka pengajian al-Hikam untuk para santri yang sudah mencapai maqom kiai, nyai, dan guru-guru. 4

Tidak hanya masyarakat pesantren, pembacaan atas AlHikam juga dilakukan oleh masyarakat muslim umumnya (bukan pesantren). Pembacaannya dilakukan pada forum-forum pengajian Majelis Taklim, Masjid, atau Musholla. Belakangan, pembacaan kitab ini juga makin populer di kalangan eksekutif muslim dan sosialita di kota-kota besar seperti Jakarta. Kitab ini menjadi tuntunan praktis mereka sebagai seorang muslim di tengah-tengah kesibukan dan gelombang materalisme yang kuat.5

KH Lukman Hakim misalnya, secara rutin memberikan pengajian Al-Hikam di beberapa Kota Besar seperti Bandung, Jabodetabek, Surabaya, dan Malang. Di Jakarta, KH Lukman memberikan pengajian di Mesjid Baitul Ihsan Bank Indonesia yang diikuti banyak eksekutif muda Muslim di sekitar pusat Jakarta.6

Tingginya popularitas dan besarnya pengaruh Al-Hikam dan Ibnu Atha‟illah dalam pengkajian dan pengamalan tasawuf Nusantara sendiri sepertinya bukan perkara baru. Martin van Bruinessen mencatat, popularitas Al-Hikam dan penulisnya menempati urutan kedua setelah Ihya Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali. Indikasinya, keduanya merupakan kitab rujukan pengajaran tasawuf yang diajarkan di banyak pesantren di Indonesia.7

Catatan Bruinessen tidak berlebihan. Penelitian sarjana belakangan mencatat bahwa karya ini mendorong seorang ulama Nusantara yang cukup berpengaruh untuk menuliskan komentar dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa, yakni Kiai Haji Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani (1820-1903).8

Penulis yang lebih dikenal sebagai Kiai Saleh Darat ini menulis Hażā al-Kitāb Matn al-Hikam sebagai kitab tasawuf terjemahan sekaligus ringkasan atas kitab al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn Atha’illah al-Sakandari ke dalam bahasa Jawa. Diperkirakan penerjemahan ini dilakukan pada tahun 1289 H/1872 M. Sasarannya adalah masyarakat Muslim Jawa yang kurang atau bahkan sama sekali tidak menguasai bahasa Arab.9

Terbitan lengkap karya terjemahan Kiai Saleh Darat Matn al-Ḥikam ini adalah Hadhā al-Kitāb Matn al-Hikam li Sayyidī al-Shaikh Ahmad ibn „Aṭā‟illāh al-Sakandarī, Tarjamah bi Lisān al-Jāwī al-Mrīkī.

Dalam cover kitab ini, tertulis nama penerjemahnya, yaitu: al-‘Alim al-‘Alamah al-Fadlil al-Syaikh al-Wara’ al-Kamil Muhammad Shalih ibn ‘Umar alSamarani.Teknis penulisannya, Kiai Saleh hanya menerjemahkan 134 dari 264 aporisma Al-Hikam dengan ditulis menggunakan tulisan Arab Pegon dan Bahasa Jawa. Ke-134 aporisma ini diulas dengan memilih pembahasan-pembahasan tertentu. Kini, kitab setebal 152 halaman ini dicetak oleh Penerbit Toha Putra dan di-tashih oleh Maktabah al-Munir, Semarang.10

Tidak berhenti sampai di situ, popularitas kitab ini juga mengundang beberapa penerbit buku dan kitab di Indonesia kini masih menerbitkan kitab Al-Hikam, baik dalam format kitab kuning maupun karya terjemahan. Format kitab kuning ditemukan penulis dalam bentuk kitab syarah, Syarh al-Hikam oleh Muhammad bin Ibrahim atau lebih dikenal sebagai Ibn ‘Ibad. Sedang versi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, cukup banyak. Dua di antaranya yaitu Kitab Al-Hikmah: PetuahPetuah Agung Sang Guru karya terjemahan Dr. Ismail Ba’adillah dan disunting Mansyur Alkatiri lalu diterbitkan Khatulistiwa Press Jakarta dan Menyelam ke Samudera Ma’rifat dan Hakikat karya terjemahan Moh. Syamsi Hasan dan Drs Aswadi M.Ag serta diterbitkan Penerbit Amelia Surabaya.11

Searah perkembangan teknologi gadget, aphorisma Ibnu Atho’ilah semakin populer dengan bermunculannya sejumlah aplikasi Al-Hikam dalam telepon pintar (smartphone) android, baik berbahasa Arab, Inggris, maupun bahasa Indonesia.12

Terlepas dari popularitasnya sendiri, dalam tulisan sederhana ini penulis ingin meneliti tentang bentuk, sejarah, posisi, dan gagasan pokok yang terkandung di dalam kitab AlHikam. Agar mendapat gambaran lebih kompleks, penulis juga akan terlebih dahulu mengetengahkan sejarah biografi sosial intelektual-keagamaan penulisnya, Ibn Atha’illah al-Sakandari.

Biografi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari bernama lengkap Taj al-Din Abu’l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn Atha’Allah al-Iskandari al-Judzami al-Maliki al-Shadhili (650 H – 709 H/1252 M – 1309 M.13

Merujuk kepada namanya al-Sakandari atau al-Iskandari, terlihat bahwa ia lahir di kota Iskandariyah (Alexandria), Mesir. Adapun penisbatan al Shadhili merujuk kepada keanggotaannya dalam organisasi sufi (tarekat) Syadziliyah. Bahkan dalam tarekat ini, ia merupakan salah satu figur penting (master, syaikh) terbesar ketiga setelah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi dan Abu Al-Hasan Al-Syadzili.14

Nama terakhir merupakan pendiri tarikat Al-Syadzili, sedang nama kedua terakhir adalah murid alSyadzili sekaligus guru bagi Ibn Atha‟illah sendiri.

Adapun penisbatan al-Judzami menunjukkan bahwa Ibn Atha’illah merupakan keturunan kelompok Arab Judzam, satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton yang lebih dikenal sebagai Arab al-Aa’ribah. Sementara penisbatan al-Maliki merujuk kepada afiliasi praktik fikihnya pada Mazhab Maliki. Masa kecil dan perkembangan hidup Ibnu Atha’illah dihabiskan dalam keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan sekaligus ketat mengamalkan ajaran Islam. Kakek dari jalur ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Ia sendiri banyak menghabiskan masa kecil dan remajanya untuk belajar pada beberapa ulama di kota kelahirannya.

Salah satu gurunya adalah al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Pada masanya, Kota Iskandariah merupakan salah satu kota ilmu di Semenanjung Mesir, sehingga ia mempelajari berbagai bidang keilmuan mulai dari fiqih, tafsir, hadits, dan ushul fiqih. Beberapa guru Ibn Atha‟illah diantaranya, Syeikh Nasir al-Din Ibn Munir di bidang fiqih, Syeikh Shihab al-Din Abu Ma‟ali atau Syeikh al-Abraquhi di bidang ilmu hadis, Syeikh alMuhyi al-Mazuni di bidang nahwu dan tata bahasa Arab. Ia juga belajar kepada al-Syeikh al-Imam al-Syaraf al-Din al-Dimyati (613-705 H).

Selain itu, ia juga belajar ushul fiqih, tauhid, falsafah, dan mantiq (logika) kepada Syeikh Muhammad Ibn Mahmud atau Shamsuddin al-Isbahaniy. Dalam bidang tasawuf, ia banyak belajar –sekaligus penerus dalam kemurshidan tarekat Syadziliyah-kepada Shabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali al-Anshari al-Murshi (w. 686 H), murid langsung Abu al-Hasan as-Syadzhily (pendiri tarekat Syadziliyah).15

Dengan demikian, tidak heran bila Ibnu Atha’illah tumbuh sebagai ulama dengan pengaruh dan kedalaman keilmuan yang luar biasa. Dalam berbagai catatan penulis biografinya, semula Ibnu Atha’illah menjadi tumpuan harapan di dalam keluarganya untuk menjadi seorang faqih. Ia sangat diharapkan menjadi ahli di bidang fiqih oleh kakeknya. Namun harapan ini berubah menjadi kekecewaan ketika Ibn Atha‟illah menunjukkan minat terhadap tasawuf. Disebutkan bahwa kakeknya menunjukkan ketidaksukaannya atas minat yang ditunjukan Ibn Atha‟illah tersebut. Namun kondisi ini tidak menyurutkan Ibn Atha’illah untuk memperdalam dimensi ruhani Islam sekaligus mengamalkannya melalui Tarekat Syadzhiliyah. Bahkan ia menjadi salah satu tokoh penting kelompok tarekat ini. 16 Menganalisa seluruh perjalanan hidupnya, maka masa hidup Ibn Atho’illah bisa diklasifikasikan ke dalam tiga periode penting yang merefleksikan perjalanan hidupnya sebagai seorang pelajar sekaligus ketertarikannya kepada tasawuf: a. Periode Pertama Periode ini dimulai periode di mana ia aktif berguru ke berbagai ulama di Iskandariah yang ahli di bidang tafsir, fiqih, hadits, nahwu, dan ushul.

Dalam periode ini, ia masih sangat dipengaruhi pemikirian kakeknya yang berorientasi fiqih dan sangat tidak menyukai tasawuf dan para ulama sufi. Dalam hal ini, Ibnu Atho’illah pernah mengatakan: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,17 yaitu sebelum aku menjadi murid beliau. Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya.” b. Periode Kedua, Periode ini merupakan periode paling menentukan dalam pengembangan keilmuan dan praktik keislaman Ibn Atha’illah. Sebab pada periode ini, ia menemukan puncak pencariannya dalam sufisme yang ditandai pertemuannya dengan Abu al-Abbas al-Mursitahun 674 H. Ia yang semula sangat meragukan dan menentang tasawuf, namun setelah bertemu al-Mursi ia justru berbalik dan mengambil thariqah langsung darinya. c. Periode Ketiga Periode ini ditandai dengan kepindahannya dari kota kelahirannya Iskandariah ke Kairo hingga wafatnya. Periode ini adalah periode kematangan dan kesempurnaannya dalam pengetahuan sekaligus pengamalan ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Periode ini juga ditandai dengan penggantian peran pengembangan Tarekat Syadzhiliah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahun 686 H, iamenjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini diembannya sambil mengajar di al-Azhar dan Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Periode ini juga ia membedakan antara Uzlah dan Khalwah. Uzlah difahami sebagai pemutusan hubungan maknawi, dimana sang Salik (penempuh uzlah) mengontrol diri dari tipuan dunia. Sedang Kholwah difahami sebagai jalan menuju rahasia Tuhan melalui perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain-Nya. Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari merupakan figur ulama prolifik dengan menuliskan sejumlah karya tulis dengan pengaruh cukup mendalam bagi keilmuan dan praktik keislaman hingga kini.

Menurut catatan penulis biografinya, tak kurang dari 22 karya tulis yang ia hasilkan sepanjang karir keulamaannya. Diantaranya : 1. al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir; 2. Latha‟if al-Minan fi Manaqib al-Syaikh Abi al-Abbas al-Mursi wa Syaikhihi al-Syadzili Abi al-Hasan. Kitab ini berisi tentang doktrin dan biografi kewalian dua gurunya sekaligus syaikh tarekat Syadziliah awal, yaitu Abu alHasan al-Syadzili dan Abu al-Abbas al-Mursi; 3. Taj al-‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus; 4. Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah fi Dzikri Allah alKarim al-Fattah. Karya ini memuat pengertian tentang makna dzikir, ragam, dan manfaatnya. 5. Al-Qawl al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad. Konon, karya ini ditulisnya untuk menghadapi serangan anti tasawuf yang digencarkan oleh Ibn Taymiyah. 6. Al-Hikam al-Atht‟iyyah. Ini merupakan magnum opus Ibn Atha’illah sekaligus merepresentasikan kedalaman pemikiran dan praktik tasawufnya melalui ratusan aporisma yang ditulisnya dengan indah. Kitab Al-Hikam al-Atht’iyyah ditulis dalam gaya bahasa aporisma (kata-kata) mutiara yang indah dengan makna yang sangat dalam. Total jumlah  aporismanya mencapai 264 aporisma yang memuat tema-tema seperti pemahaman tauhid, akhlak, dan ma’rifatullah. Mendalamnya aporisma dalam Al-Hikam sepertinya menjadi alasan banyaknya para ulama sesudahnya yang memberikan komentar penjelasan (syarh).

Mengutip Brockelman, tak kurang dari 17 syarah atas Kitab alHikam dituliskan para ulama. Di antaranya, Al-Hikam al- ‘Atha’iyah karya Abi al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Zarruq (w. 899 H./1394 M.), Syarh al-Hikam tulisan Ibn ‘Ubbad al-Nafari al-Randi (w. 796 H./ 1394 M.) yang cukup populer diajarkan di pesantren-pesantren Indonesia, dan Ib’ad al-Ghumam ‘an Iyqadh al-Himam fi Syarh alHikam karya Ahmad ibn Muhammad ibn Ajibah al-Hasani sebagai syarah terhadap syarah Hikam, Iyqadh al-Hikam. 18

Kedalaman kandungannya juga sepertinya yang mendorong Victor Danner menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of Wisdom (Classics of Western Spirituality) dan diterbitkan oleh Paulist Press tahun 1978.19

Al-Hikam: Untaian Mutiara Pemikiran Sufistik

Seperti disebutkan sebelumnya, Al-Hikam ditulis Ibnu Athoilah dalam bentuk aporisma dengan nada-nada yang indah dan makna yang mendalam.Berbeda dengan karya-karyanya yang lainnya seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj al-‘Arus, karya ini ditulis penulisnya secara ‘hemat’ karena tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat, hadits dan berbagai argumentasi lainnya. Lebih dari itu, kitab ini sepertinya ditulis sebagai refleksi atas pengalaman penghayatan spiritualitas penulisnya. Namun penyajian demikian menjadi keunggulan tersendiri bagi Al-Hikam, karena di satu sisi, kekayaan (kedalaman) makna yang dikandungnya tetap terjaga hingga ratusan tahun kemudian dan baru bisa digali dengan sejumlah karya komentar (syarh) yang mencoba mengelaborasikan kekayaan maknanya.

Lebih dari itu, penyajian demikian memungkinkan kedalaman maknanya tidak menjadi kering dan kaku dengan hadirnya rujukan teks suci, baik ayat al-Qur’an maupun hadits.

Terlepas dari keunggulannya, baik kedalaman maupun keunikan penyajiannya, kelemahan karya Al-Hikam adalah teknis penyajiannya yang tidak sesistematis karya-karya sufistik lain seperti Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.Dalam hal ini, pembacaan atas berbagai komentar (syarh) Al-Hikam dan maupun literatur yang memuat definisi, karakter, tangga dan kondisi perjalanan spiritual tasawuf sangat membantu menangkap kedalaman Al-Hikam seperti yang ingin disampaikan penulisnya. Selain menjelaskan, syarah dan literatur-literatur ini berfungsi mensistematisasi rangkaian aporisma Al-Hikam dalam imaji setiap pembaca kitab ini.

Berdasar itu, maka peninjau akan memanfaatkan beberapa literatur tasawuf sebagai kacamata dalam membaca dan memahami maksud yang akan disampaikan karya agung ini. Dalam tasawuf, perjalanan seorang Salik menuju makrifat kepada Allah dan mencapai derajat ihsan ditempuh melalui berbagai stasiun spiritual (maqam) dan ahwal. Syaikh ‘Abdul Qadir Isa dan Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi telah mensistematisasikan maqam yang ditempuh seorang salik secara berurutan maupun ahwal saat mereka menjalani lelaku spritual. Beberapa maqam spiritual misalnya taubat, zuhud, shabar, tawakkal, dan ridha dan ahwal seperti khauf-raja’, tawadhu’, ikhlas, dan syukr.20

Secara terminologis, maqamat merupakan jama’ dari kata maqam yang berarti stasiun (tahapan atau tingkatan), yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Menurut Imam Al-Ghozali, maqam merupakan beragam mu’amalat (interaksi) dan mujahaddah (perjuangan batin) yang dilakukan seorang hamba di sepanjang waktunya.

Jika seorang hamba tersebut menjalankan salah satu dari maqam itu dengan sempurna maka itulah maqam-nya hingga ia berpindah dari maqam itu menuju maqam yang lebih tinggi. 21

Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya. Hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalananya mendekati Tuhan.22

Di dalam kitabnya, meski tidak disampaikan secara sistematis, Ibnu Atha’illah mengungkapkan sejumlah maqam spiritual yang harus ditempuh oleh setiap penempuh jalan spiritual. Maqam pertama, taubat misalnya, merupakan fase pertama yang harus dilalui oleh seorang salik dengan membersihkan diri dari dosa-dosa dan memohon pengampunan sekaligus komitmen untuk tidak mengulang dosa-dosa tersebut. Ini bisa dilihat dari aporismanya sebagai berikut: “Min ‘alamati mawt al-qalbi ‘adamul huzni ‘ala ma faataka minal muwaafaqaati wa tarkunnadami ‘ala maa fa’altahu min wujuudizzallaat…” (Terj. “Di antara tanda-tanda akan kematian hati ialah tidak adanya rasa sedih atas hilangnya kesempatan untuk taat kepada Allah dan tidak adanya penyesalan atas perbuatan (lalai dan maksiat) yang telah anda lakukan…”). 23

Aporisma ini mengandung celaan atas ketidakmauan seorang manusia untuk bertaubat atas dosa-dosanya yang dilukiskan sebagai bentuk kematian hati (mawt al-qalbi) karena ketiadaan penyesalan atas hilangnya kesempatan bertemu Tuhan dan kelalaian untuk selalu berbuat salah. Namun menyangkut taubat atas dosa besar, Ibnu Atho’illah kembali menyampaikan aporisma bernada penuh pengharapan dan perlunya bersangkabaik terhadap Allah Yang Maha Pengampun pada aporisma selanjutnya: La ya’dhumu adzdzanbu ‘indaka ‘adhomatantashudduka ‘an husnidhonni billahi ta’aala fa inna man ‘arofa robbahu istaghfara fii janbi karamihi dzanbuhu. Laa shoghirata idzaa qaa balaka ‘adluhu wa laa kabiirata idzaa waajahaka fadhluhu..”(Terj. “Jangan dirimu berputus asa akan besarnya dosa-dosa yang telah kamu lakukan sehingga menjadi penghalang bagimu bersangka baik kepada Allah. Sesungguhnya bila kamu mengenal Tuhanmu, tentu Ia akan memandang kecil dosa-dosa (mu) bila dibandingkan dengan sifat-sifat-Nya, Yang Maha Pemurah dan Maha Pengampun). Menurutnya, Laa shoghirata idzaa qaa balaka ‘adluhu wa laa kabiirata idzaa waajahaka fadhluhu Tidak ada dosa kecil jika keadilan-Nya menghadapmu, dan tidak ada dosa besar kemurahan-Nya menemui-Mu.”) 24

Sebagai perbandingan, Al-Qusyairi mendefinisikan taubat sebagai kekembalian dari (sifat atau tindakan) yang dibenci syariat kepada yang disukai syariat. Pengertian ini didasarkan pada pengertian etimologis taubat dari akar kata taaba „kembali‟.25

Definisi yang sama disampaikan Isa, bahwa taubat merupakan kekembalian dari segala sesuatu yang tercela dalam pandangan syariat kepada yang terpuji menurut pandangan tersebut. Taubat dari perbuatan dosa menjadi bagi setiap mukmin, terutama para penempuh jalan spiritual. Tingkatan taubat seorang sufi berbeda dengan kalangan awam, di mana taubat kalangan terakhir semata bertobat dari maksiat sedangkan tobat seorang salik adalah mencakup juga taubat dari segala sesuatu yang menyibukkan hatinya dari Allah.26

Ibnu Atho’illah juga berbicara tentang maqam spiritual lainnya, zuhd.

Pada beberapa ahli tasawuf, secara umum zuhd didefinisikan sebagai mengosongkan hati dari cinta kepada dunia dan keindahannnya, pada saat yang bersamaan hati diisi dengan cinta kepada Allah dan makrifat kepada-Nya. Ibnu Jalla misalnya mendefinisikan zuhd sebagai memandang dunia dengan memicingkan mata sehingga menjadi tampak lebih kecil (tak berharga) atau berpalingnya jiwa dari dunia tanpa beban.27

Pendapat senada disampaikan Al-Qusyairi dengan mengutip pendapat Ahmad bin Hanbal yang membagi zuhd ke dalam tingkatan, yakni zuhd kelompok awam yang meninggalkan hal yang haram, zuhd khawash yaitu sikap dan perilaku meninggalkan yang halal, dan zuhd ma’rifat ini adalah tingkatan zuhd dengan meninggalkan segala hal yang menyibukkan diri sehingga jauh dari Allah.28

Terkait zuhd, Ibnu Atho’illah menyodorkan aporisma seperti berikut: Innamaa ja’alahaa mahallan lil-aghyaar wa ma’dinan lil-akdaari tazhiidan laka fiihaa..” (Terj. “Sesungguhnya Allah telah menjadikan dunia ini sebagai tempat kerusakan dan sumber kerusakan, hanyalah dimaksudkan agar Anda jemu dan membencinya.”).29 (h. 428) Karena dunia bagi Ibnu Atho‟illah : “Wa innahu laa budda libinaa’i haadzaalwujuudi an tahtadima da’aaimahu wa an tuslaba karaa’imahu..” (Terj. “Sesungguhnya bangunan alam (dunia) ini pasti rusak binasa sendi-sendinya. Dan, semua kesenangan dan barang berharganya pasti akan binasa.”).30 (69/478)

Untuk itu,  maka seorang salik saat menempuh jalan spiritual harus :“Farrigh qalbaka min al-aghyar yamla’uhu bi al-ma’arif wa al-asrar.” (Terj. “Kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, maka Allah akan memenuhinya dengan pengetahuan dan rahasia). Zuhd dengan menghindarkan diri dari ikatan duniawiah, jelas Ibnu Athoillah, karena perkara duniawi menyebabkan manusia menjadi budak (‘abdan) dengan menarik seluruh perhatiannya kepada hal-hal tersebut. Ia mengungkapkannya dalam aporisma berikut, : “Ma ahbabta syai‟an illa kunta lahu „abdan, wa huwa la yuhibbu an takuna li ghairihi ‘abdan” 210 (Terj. “Tidaklah engkau mencintai sesuatu kecuali bahwa bahwa engkau akan menjadi budak sesuatu, sementara Dia (Allah) tidak berkenan sekiranya engkau menjadi budak dari selainNya).

Ibnu Athoillah juga mengingatkan bahwa kecintaan berlebihan dalam bentuk kerakusan (thama’) menjadi penyebab munculnya kehinaan seseorang: “Ma basaqat aghshanu dzull illa ‘ala bidzri thama’in.” (Terj. “Tidak tumbuh dahan-dahan kehinaan kecuali dari benih ketamakan).”31

Maqam ketiga, shabr, dengan indah disebutkan Ibnu Atho‟illah dalam aporismanya “Li yukhaffif alam al-bala’ ‘alaika ‘ilmuka bi annahu Subhanahu wa Ta’ala huwa al-mubli laka. Fa alladzi wajahatkan minhu al-aqdar huwa alladzi ‘awwadaka husna al-ikhtiyar.” (Terj. “Pedihnya ujian bisa diringankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah-lah sang pemberi ujian. Yang mendatangkan ujian-takdir kepadamu adalah Dia (Allah) yang juga bisa menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik buatmu.”).32

Di bagian lain, ia juga mengingatkan, : “Laa tastaghrib wuquu’al-akdaari maa dumta fii haadzihidari fa innaha maa abrozat illaa maa huwa mustahiqqun washfihaa wa waajibu na’tiha.” (Terj. Janganlah kamu merasa heran akan adanya rintangan dan cobaan (yang dapat mengeruhkan jiwa), selama kamu masih hidup di dunia. Karena hal itu sudah menjadi sifat dan karakternya).33

Melalui aporismanya, Ibnu Athoillah sepertinya ingin mendefinisikan kesabaran sebagai sikap teguh atau komitmen yang kuat dalam melaksanakan seluruh perintah Allah dan meninggalkan segenap larangannya, termasuk kukuh dalam menghadapi ujian yang diberikan Tuhan kepada dirinya. Bahkan di bagian lain, Ibnu Athoillah mengingatkan kesabaran diperlukan karena bisa saja, suatu musibah diberikan sebagai ujian sekaligus kemungkinan pemberian jalan terbaik.

Maqam Keempat, berpasrah semata Allah atas segala ikhtiar yang sudah dilakukan (tawakkal), menyebutkan kepasrahan terhadap-Nya sejak awal urusan merupakan penanda keberhasilan perjalanan. Ia mensiratkan hal ini dalam aporismanya, “Min ‘alamati al-najahi fi al-nihayat al-ruju’ ila Allah fi al-bidayat. Man asyraqta bidaayatuhu asyraqat nihayatuhu.” (Terj. “Di antara tanda keberhasilan pada ujung perjuangan adalah berserah diri kepada Allah semenjak permulaan. Barang siapa yang tersinari di awalnya, maka akan tersinari pula akhirnya).34

Allah SWT merupakan pusat seorang salik berserah diri, tidak ada tumpuan yang lain selain Allah, “La tata‟adda niyyatu himmatika ila ghairihi fa al-karim la tatakhaththahu al-amalu” (Terj. janganlah cita-cita atau harapanmu ditujukan pada selain Allah, sebab harapan seseorang tak akan dapat melampaui Yang Maha Pemurah). Sebab segala sesuatu, katanya, berjalan berdasar prinsip dan perencanaan-Nya, “Ila al-masyi‟ati yastanidu kullu syai‟in, wa la tastanidu hiya ila syai‟in.” (Terj. Segala sesuatu bertumpu pada kehendak Allah, dan kehendak Allah tak bersandar pada apa pun).

Kelima, ridha (kerelaan), keridhaan merupakan penerimaan dengan puas dan rela atas apa yang sudah diberikan Allah SWT, baik menyenangkan maupun tidak. Bagi sang Salik, penerimaan juga dibarengi dengan upaya mengambil hikmah atas pemberian tersebut. Ini mengingatkan, “La tamudanna yadaka ila-l-akhdzi mina-l-khala’iq illa an tara anna-l-mu’thya fiihim maulaka fa idza kunta kadzalika fakhudz aa waafaqokal’ilm.” (Terj. Jangan anda serta merta mengulurkan tangan menerima suatu pemberian dari makhluk, kecuali bila dirimu berkeyakinan bahwa pemberian itu berasal dari Allah SWT. jika kamu berperasaan seperti itu, terimalah pemberian itu sesuai dengan ilmu yang kamu miliki).35

Menyangkut ahwal, kondisi yang ditempati sang salik dalam menempuh perjalanan spiritual, Ibnu Athoillah menyinggung beberapa ahwal tertentu seperti khauf, raja’, tawadhu, ikhlas, dan syukr.

Raja’ dalam tradisi tasawuf merupakan pengharapan akan rahmat dan janji Allah SWT, sedangkan khauf merupakan kondisi takut akan azab dan ancaman yang diberikan Allah SWT. Dalam hal raja’, Ibnu Athaillah mendorong sang Salik untuk senantiasa memperhatikan anugerah, kemuliaan, kemahamurahan, dan kasih sayang Tuhan. Sedangkan kondisi khauf bisa didapatkan sang Salik dengan memperhatikan pelanggaran, kemaksiatan, dan berbagai bentuk perbuatan tidak baik (su’ul adab) kepada Tuhan. Pesan ini disampaikan Ibnu Athoillah dalam aporisma, “Idzaa aradta an yaftaha laka baabarrajaa’i fasyhad maa minhu ilaika, wa idzaa aradta an yaftaha laka baabalkhoufi fasyhad ma minka ilaihi.” (terj. Jika dirimu menginginkan Allah membukakan bagimu pintu pintu raja’, maka saksikan apa yang telah Allah berikan kepadamu. Namun bila dirimu ingin Allah membukakan pintu khauf, perhatikanlah apa yang telah kamu amalkan kepada Allah).36

Menyangkut tawadhu’, Ibnu Athaillah menekankan pentingnya kesederhanaan yang yang didasarkan pada kemurnian niat. Karena itu, dalam kondisi ini Ibnu Athoillah meminta sang Salik mewaspadai bentuk ketawadhu’an yang tidak didasarkan pada kemurnian niat dan semangat pengabdian sebagai hamba Tuhan. Menurutnya, ketawadhu’an sendiri bisa menjadi perusak atas perjalanan spiritual sang Salik bila ia mengklaim dirinya sebagai seorang tawadhu‟'(al-mutawadhi’). Pengakuan demikian merupakan kesombongan (al-mutakabbir). Dalam hal ini, Ibnu Athoilah menyampaikan aporismanya, “Man atsbata linafsihi tawaadu’an fa huwa-lmutakabbiru huqqan, idz laisattawaadhu’u illaa ‘an rif’atin; famataa atsbata linafsika rif’atan fa anta-mutakabbiru huqqon.” (Terj. Barangsiapa yang menyatakan dirinya sebagai orang yang tawadhu’, maka ia benar-benar takabbur. Sebab tidak mungkin ia merasa tawadhu’ melainkan karena sifat ia merasa besar. Dan ketika anda menyatakan diri sebagai orang yang berderajat tinggi, maka Anda benar-benar sebagai orang yang sombong.).37 (53/hal.446) di bagian lain, Ibnu Atho’illah mendefinisikan tawadhu’ sebagai “ketidakpantasan‟ sang salik atas kapasitas dirinya terhadap apa yang didapat/ditempatinya dalam perjalanan spiritual: “Laisa al-mutawadhi’ alladzi idzaa tawaadho’a ra’aa annahu fawqo maa shona’a wa lakinnal mutawaadhi’a idzaa tawaadho’a ra’aa annahu duuna maa shona’a.”38 (Terj. Bukanlah yang dinamakan tawadhu‟ itu orang yang bila tawadhu’, ia merasa bahwa dirinya berada di atas apa yang diperbuat; tetapi orang tawadhu’ itu adalah orang yang bila berbuat sesuatu, ia merasa bahwa dirinya masih berada di bawah apa yang dilakukan).

Menurut Ibnu Atho’illah, kondisi tawadhu’ didapat Sang Salik melalui perenungan akan kebesaran-keagungan Tuhan, “Al-mutawaadhi’u-lhaqiqiyu huwa maa kaana naasyi’an ‘an syuhuudi ‘adhomatihi wa tajalliy shifatihi,” (Terj. Hakikat tawadhu’ muncul karena melihat kebesaran Allah SWT, dan terbukanya sifat-sifat Allah).39 (h.448)

Terkait tawadhu’, Ibnu Athoillah meminta para salik untuk mewaspadai riya’, yakni hasrat untuk mendapat pujian dari pihak lain dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya: “rubbama dakhola ‘alaika-rriyaa’u min haitsu laa yandhuru-lkholqu ilaika.” (Terj. Terkadang pula riya’ itu masuk ke dalam hatimu dari arah, di mana orang lain tidak dapat melihatmu).40(5/h.334).

Dorongan menghilangkan sikap riya’ juga disampaikannya dalam aporisma yang lain: “Ghayyib nadhoro-lkholqi ilaika binadhrillahi ilaika wa ghib „an iqbaalihim „alaika bisyuhudi iqbaalihi „alaika.”41 (Terj. Lenyapkan pandangan manusia atas dirimu, dengan (penutup) penglihatan Allah kepadamu. Alihkan pula perhatian manusia kepadamu dengan persaksian Allah yang dihadapkan kepadamu) (6/h.340) Untuk kondisi ikhlas, Ibnu Athoillah mengungkapkan, ikhlas sebagai ruh amal/inti dari suatu perbuatan. Ini disampaikan dalam aporismanya: “Tanawwa’at ajnaasul’a’maali litanawwu’i waaridaati-lahwaali. Alaa-l’a’maallu shuurotun qaa’imatun wa arwaahuhaa wujuudu sirri-l-ikhlashi fiihaa.” (Terj. Keanekaragaman jenis amal terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi yang masuk ke dalam hati manusia. Kerangka amal adalah perbuatan yang nyata, sedangkan ruhnya adalah ikhlas).42

Dengan demikian, seperti diungkapkan Ibnu Athoillah, ikhlas menempati posisi yang sangat penting dalam sebuah perbuatan yang ditempuh sang Salik. Selanjutnya, Ibnu Atho’illah meminta sang Salik untuk mewaspadai ancaman ikhlas dalam aporisma yang lain, “Idfin wujuudaka fii ardhi-lkhumuuli famaa nabata mimmaa lam yudfan laa yatimmu nataajahu.” (Terj. Tanamlah wujudmu di hutan belukar (di dalam tanah yang tidak dikenal), karena tidak akan tumbuh suatu tanaman pun bilsa tidak ditanam. Kalau pun tumbuh, maka ia tidak akan sempurna).43

Menyangkut Syukr, Ibnu Athoillah menyampaikan aporisma: “Man lam yuqbil ‘ala Allah bi mulaathofaati-l-ihsani quyyada ilaihi bi salaasili-l-imtihaan. Man lam yasykuri-nni’am faqod ta’arrodho li zawaalihaa wa man syakarohaa faqod qoyyadahaa bi ‘qolihaa.” (Terj. Barangsiapa tidak menghadap Allah dengan sebaik-baiknya, atas kehalusan anugerah ihsan, niscaya ia akan dibelenggu rantai-rantai ujian. Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari dirinya. Tetapi barangsiapa yang mensyukuri nikmat Allah, berarti ia mengikat nikmat itu dengan ikatan yang kuat).44

Selain kepada Allah, syukur juga harus disampaikan kepada makhluk yang menjadi perantara pemberian Allah : “In kaanat „ainu-l-qolbi tandhuru annalloha waahidun fii minnatihi, fassyari‟atu taqtadhy annahu laa budda min syukri kholiiqotihi..”(Terj. Jika matahati dapat melihat keesaaan Allah dalam segala pemberian karunia-Nya, maka syariat menyuruh harus berterimakasih pula kepada sesama makhluk Allah -yang menjadi prasyarat sampainya nikmat Allah kepadanya-). 45 (71/h.483).

Dalam aporisma ini, Ibnu Athoillah menekankan syukr (terimakasih) dengan meyakini bahwa suatu pemberian tidak diberikan kecuali dari Allah SWT dan di saat yang sama juga menyampaikan terimakasih kepada tangan yang menjadi perantara atas pemberian Allah. Puncak seluruh perjalanan spiritual dan berbagai kondisi selama perjalanan tersebut ditempuh sang Salik sendiri adalah ma’rifat, yakni kedekatan dengan-Nya sebagaimana disebutkan  dalam aporisma: “Man ‘arofa al-haqq syahidahu fii kulli syai’in. wa man faniya bihi ghaaba ‘an kulli syai’in. wa man ahabbahu lam yu’tsir ‘alaihu syai’an.”46 (7/342) (Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya akan menyaksikan-Nya pada semua ciptaan-Nya. Siapa yang fana dengan Allah, pasti gaib dari segala sesuatu. Dan siapa yang mencintai Allah, tidak akan mengutamakan apa pun selain Allah). Pencapaian puncak ini ditekankannya pada beberapa aporisma lain seperti “Ukhruj min aushofi basyariyatik „an kulli washfin munaaqidhin li „ubudiyatika li takuuna li nidaa‟I al-haqqi muhiibba wa min hadhratihi qariiban.” (Terj. Keluarlah kamu dari sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan sifat ubudiyyah, supaya mudah bagimu untuk menyambut panggilan al-Haq – Allah- dan mendekat ke hadhirat-Nya). 47

Kondisi ini juga disampaikannya dalam: “Syu’a’i albashiroti yusyhiduka qurbahu minka, wa ‘ainu al-bashirti yusyhiduka ‘adamaka li wujudihi, wa haqqu al-bahsirato yusyhiduka wujuudahu laa ‘adamaka wa laa wujuudaka.” (Terj. Syu’a’ul Bashiroh (cahaya akal dan ilmu yakin) memperlihatkanmu akan kedekatan Allah kepadamu; ‘Ainul bashiroh meniadakan ketiadaanmu karena Allah; dan haqqul bashiroh memperlihatkan kepadamu wujud Allah bukan pada ketiadaanmu, dan bukan pula pada adanya dirimu). 48

Makrifat hamba akan Tuhan, bakal membawa hamba pada mahabbah yang didefinisikan Ibnu Athoillah dalam aporismanya yang lain, “Laisa-l-Muhibb alladzi yarjuu min mahbubihi ‘iwadhon au yathlubu minhu gharodon fa inna-l-muhibb man yabdzulu laka laisa-l-muhibb man tabdzulu laka.”(Terj. Bukanlah orang yang mencintai itu, orang yang meminta pengganti atau upah dari yang dicintai. Tetapi sesungguhnya orang yang mencintaimu adalah yang mau berkorban untukmu, bukan yang memintamu berkorban untuknya).49

Khatimah Perjalanan spiritual adalah medan berat yang harus ditempuh siapa pun yang terlanjur cinta untuk mendekati Tuhannya. Dan, para ahli tasawuf telah merangkum peta jalan  mana yang bisa ditempuh para pejalan spiritual tersebut. Satu di antaranya,diatawarkan Ibnu Athoilah dalam sekumpulan aporismanya, Al-Hikam. Menurutnya terdapat sekurangnya lima stasiun spiritual (maqam) yang harus ditempuh seorang pejalan spiritual. Kelimanya, yakni taubat, pengosongan hati terhadap perkara dunia sekaligus mengisinya dengan cinta kepada Allah (zuhd), sabar (shabr), berpasrah atas kehendakNya (tawakkal), dan penerimaan atas apa yang telah diberikan Tuhan (ridha). Dan, dalam perjalanannya, para pejalan spiritual akan menempati sejumlah kondisi (ahwal) seperti khauf, raja’, tawadhu, ikhlas, dan syukr yang harus diterima sebagai karunia, bukan hasil usahanya.

Tulisan ini terlalu sederhana untuk menggali mutiara-mutiara pemikiran sufistik Ibnu Atho’illah dalam Al-Hikam. Selain keterbatasan deskripsi dan metodologi pereviu, kesederhanaan ini tidak terlepas dari kurang sistematisnya penyusunan naskah hikmah yang dilakukan Ibnu Atho’illah sendiri. Namun kesederhanaan ini justru menjadi keunggulan Al-Hikam sendiri.

Selain mendorong terbitnya berbagai karya akademik dalam bentuk komentar (syarh) yang dilakukan para ulama setelahnya, kesederhanaan juga membungkus kedalaman substansi pemikiran sufistik Ibnu Atho‟illah yang kaya. ***

1 Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2 Martin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan, h 372. 3Beberapa rekan penulis asal Jawa Timur dan Madura yang menempuh pendidikan di beberapa pesantren (mayoritas yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama) mengaku telah mempelajari Al-Hikam saat masih belajar di lembaga pendidikan Islam klasik tersebut. Pengakuan serupa disampaikan Dr Abdul Mouqsith Ghazali MA, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama yang sudah mempelajari kitab ini sejak masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, minimal dengan menjadi mustami’ pada kelas santri senior yang diajar ayahandanya.

4 KH Shihab Ahmad Syakir mengatakan kitab Al-Hikam sebagai kitab orang tua, “Istilae wong niku, al-Hikam niku kitabe wong tuo.”Wong tuo sepertinya merujuk pada senioritas pemahaman kitab-kitab gramatika bahasa Arab, Fiqih, Akhlak dan tasawuf.

Lihat Hamzah Sahal, http://www.nu.or.id

5Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha‟illah al-Sakandari : Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-„Atha‟iyah.

Lihat http://islamlib .com/ site=1&aid=1880&cat=content&cid=11&title=tasawuf-ibnathaillah-alsakandari

6Lihat Hamzah Sahal

http://www.nu.or.id

7Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1415/1995), h. 163

8 Kiai Saleh Darat lahir di Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah sekitar tahun 1820 M dan wafat pada 1903. Ia merupakan ulama yang cukup prolifik dengan menulis sekurangnya 14 karya berupa kitab yang mencakup berbagai bidang disiplin ilmu, mulai dari fiqh, tauhid, tasawuf, ulum al-qur’an, tafsir al-Quran, manasik haji dan umrah, kitab Barzanji, dan tentang Isra Mi‟raj Nabi SAW.

Selain Hażā alKitāb Matn al-Ḥikam, di bidang tasawuf ia menulis Hażihi Kitāb Munjiyāt “metik saking kitab” Iḥyā‟„Ulūm al-Dīn al-Ghazālī, Minhāj al-Atqiyā‟ fī Sharḥ Ma„rifat al-Ażkiyā‟ ilā Ṭarīq al-Awliyā‟. Ia juga menulis Hażā Kitāb Majmū„at al-Sharī„ah al-Kāfiyah li ‟l-„Awām tentang kajian fiqh orang awam, disamping juga memuat ajaran tasawuf.

9Ghazali Munir, Tuhan, Manusia, dan Alam, dalam Pemikiran Kalam Muhammad Salih al-Samarani. Semarang: Rasail, 2008, h. 65.  Lihat juga M. In‟amuzzadin, Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih al-Samarani. IAIN Semarang: Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012, h. 323.

10M. In‟amuzzadin, Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih alSamarani, h. 326.

11Dalam analisa penulis, terjemahan Moh. Syamsi Hasan dan Drs Aswadi M.Ag lebih baik dibanding karya terjemahan Dr. Ismail Ba‟adillah. Selain kedekatan bahasa terjemahan dengan bahasa asli, sistematika penyajiannya juga lebih baik. Ini kemungkinan karena karya ini merupakan terjemahan langsung Syarh al-Hikam oleh Muhammad bin Ibrahim atau Ibn Ibad. Lihat Moh. Syamsi Hasan dan Drs Aswadi M.Ag, t.t., Menyelam ke Samudera Ma‟rifat dan Hakekat. Surabaya: Penerbit Amelia, h. 3

12Telusuran penulis menemukan enam aplikasi dengan berbagai format dan sajian bahasa. Beberapa aplikasi terbagus dalam analisa penulis adalah aplikasi Kitab Al-Hikam Atho‟iyyah (bukan Atho‟illah) li-Ibn Atho‟illah As-Sakandari karya Daarul Hijrah Technology, Al-Hikam Terjemahan karya Ahmad M.Nidhom, dan Al-Hikam Arabic Lengkap karya adhiqurdi.

13Bernard Lewis, V.L Menage, Ch.Pellat, dan J. Schacht, 1986. Encyclopaedia of Islam (New Edition). Leiden, Netherlands: Brill.Volume III (H-Iram), h. 722.

14Ibn Abi-Qasim al-Humairi, 2009. Jejak-jejak Wali Allah. Jakarta: Erlangga, h 2-4 Zaenal Muttaqin, Al-Hikam Mutiara Pemikiran Sufistik …….. | 69

15Ibn Atho‟illah, 2005. Zikir Penentram Hati, terj. Fauzan Bahresy dari Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, h. 279-280

16Tarekat ini didirikan oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Kendati pendiri, Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya-karya tertulis yang menjadi rujukan tasawuf. Begitu juga muridnya Abul Abbas al-Mursi. Ia tidak meninggalkan karya kecuali ajaran lisan tentang tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari selanjutnya menjadi orang pertama yang mengkodifikasikan ajaran, pesan, doa, dan biografi kedua mursid Syadziliah sebelumnya, sehingga ajaran tarekat ini tetap terpeligara. Dalam hal ini, Ibn Atha’illah menyusun rumusan tentang aturan tarekat, pokok-pokok ajaran, dan prinsip-prinsipnya.

17al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar AlAnshory Al-Mursi. Lebih dikenal sebagai Abul Abbas al-Mursi, ia lahir pada 1219 M di Murcia, Andalusia (kini, Spanyol) dalam sebuah keluarga pedagang yang kaya namun tetap menjalankan ajaran Islam secara ketat. Namun di tahun 1242 M, ia beserta keluarganya pindah dari Andaluia ke Alexandria menyusul makin meluasnya kontrol kekuasaan Kristen atas Andalusia. Selain berdagang, al-Mursi juga berguru kepada Shaykh Abu‟lHassan ash-Shadhili, pendiri tarekat Syadziliyah, bahkan menikahi anak perempuan gurunya. Di Alexandria, al-Mursi hidup selama 43 tahun hingga wafatnya tahun 1287 M.

18Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha’illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-‘Atha’iyah. Islamlib.com

19Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha‟illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-„Atha‟iyah. Islamlib.com

20Lihat paparan lengkap Syaikh „Abdul Qadir Isa, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, 2011. Hakekat Tasawuf dariHaqa‟iq atTashawwuf. Jakarta: Qisthi Press, h. 194-276 dan lihat juga Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi at-Tashawuf.

21Abdul Fattah, 2005. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah. Jakarta: Khalifa, h.108.

22Asmaran AS, 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:Rajawali Press, h.137

23Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1., h. 42

24Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1., h. 42- 43 ini seperti disampaikan Nabi SAW : “Seorang yang taubat dari berbuat dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang  hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya.” HR Ibnu Majah dari Ibnu Mas‟ud dalam Al-Jami‟ush Shagir. Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi atTashawuf. h. 116.

25Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi at-Tashawuf. h. 115-117

26Syaikh „Abdul Qadir Isa, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, 2011. Hakekat Tasawuf dariHaqa‟iq at-Tashawwuf. Jakarta: Qisthi Press, h. 196-197

27Syaikh „Abdul Qadir Isa, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, 2011. Hakekat Tasawuf dariHaqa‟iq at-Tashawwuf. Jakarta: Qisthi Press, h. 240

28Lihat Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, terj. Umar Faruq, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf dari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi at-Tashawuf. H.153-158.

29Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 2 h. 47

30Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 2 h. 86

31Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h. 46

32Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.77

33Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.24

34Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.25

35 Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 2. h.21

36Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h107

37Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h.

38Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 60

39Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari., Juz 2 h. 62

40Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 5

41Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 7

42Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.11

43Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.11

44Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h.50

45Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 83

46Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari, Juz 2 h. 8

47Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h. 29

48Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1 h. 33

49Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz.2 h. 62

DAFTAR PUSTAKA

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, 2013. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, terj. Umar Faruqdari ar-Risalatul Qusyairiyah fi „Ilmi atTashawuf. Jakarta: Pustaka Amani.

Abdul Fattah, 2005. Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah. Jakarta: Khalifa. Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha‟illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab al-Hikam al-„Atha‟iyah. Islamlib.com Asmaran AS, 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:Rajawali Press.

Bernard Lewis, V.L Menage, Ch.Pellat, dan J. Schacht, 1986. Encyclopaedia of Islam (New Edition). Leiden, Netherlands: Brill.Volume III (H-Iram). Ghazali Munir, 2008. Tuhan, Manusia, dan Alam, dalam Pemikiran Kalam Muhammad Salih al-Samarani. Semarang: Rasail. Ibn Abi-Qasim al-Humairi, 2009. Jejak-jejak Wali Allah. Jakarta: Erlangga. Ibn Atho‟illah, 2005. Zikir Penentram Hati, terj. Fauzan Bahresy dari Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Ibn Atho‟illah, 2013. The Book of Al-Hikam, terj. Iman Firdaus & Yodi Indrayadi Syarah Al-Hikam Ibnu Atho‟illah AlIskandari. Jakarta: Turos.

Martin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung:Mizan. M. In‟amuzzadin, 2012. Pemikiran Sufistik Muhammad Shalih al-Samarani. IAIN Semarang: Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 2. Moh. Syamsi Hasan dan Aswadi M., 2007. Menyelam ke Samudera Ma‟rifat dan Hakekat. Surabaya: Penerbit Amelia.

Syaikh „Abdul Qadir Isa, 2011. Hakekat Tasawufterj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis dari Haqa‟iq atTashawwuf. Jakarta: Qisthi Press. Syarh Muhammad bin Ibrahim Ibn „Ibbad an-Nafazi ar-Rundiy, Syarh al-Hikam li Abi al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin „Abd al-Karim bin Atha‟illah as-Sakandari. Surabaya: Maktabah Imaratullah, Juz 1-2

 


International Conference on Nusantara Studies (ICONS)

$
0
0

14316872_10154058143318892_7683054245132753459_n 14359004_10154058143373892_1696714030906916718_n

Nusantara adalah konsep kesatuan dalam hal wilayah, politik, sosial budaya, ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan, dan kebijakan nasional. Berasal dari bahasa Sansekerta, istilah Nusantara berasal dari kata nusa ‘pulau’ dan ANTARA ‘luar’, yang awalnya mengacu ke pulau-pulau di luar kerajaan Majapahit. Menurut Kitab Pararaton, istilah ini muncul dalam sumpah Amukti Palapa yang terkenal diambil oleh Patih Gajah Mada selama pengangkatannya sebagai Perdana Menteri Kerajaan Majapahit di 1336 AD. “Lamun huwus Kalah Nusantara iSun amukti palapa, cincin Kalah lamun Gurun, cincin Serang, Tanjung Pura, cincin Haru, cincin Pahang, Dompo, cincin Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana iSun amukti palapa” (Ini adalah hanya ketika Nusantara jatuh , aku akan berbuka puasa saya. hanya ketika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik jatuh, aku akan istirahat cepat saya), bersumpah Gajah Mada.


Sebagai istilah Nusantara sering digunakan dan konsep telah dikembangkan menjadi lebih dinamis dan selalu dikaitkan dengan situasi dan kondisi dari berbagai aspek dalam kehidupan rakyatnya, telah menjadi topik yang menarik untuk mengeksplorasi. Geopolitik, dalam konteks sinkronis saat ini, Nusantara mengacu ke daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman ditunjuk 13 Desember sebagai Hari Nusantara, yang diikuti oleh penerbitan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara. Dinamika dalam penggunaan istilah Nusantara selalu menjadi topik menarik diskusi, khususnya terkait dengan peran orang-orang yang tinggal di wilayah dengan wilayah perairan yang lebih luas dari luas lahan dan bersatu di bawah satu sistem politik, sosial budaya, ekonomi, hukum , keamanan dan pertahanan, dan kebijakan nasional. Dalam hal wawasan, adalah menarik untuk mengamati apakah, sebagai warga masyarakat yang sebagian besar multikultural, orang Nusantara memiliki kearifan lokal yang khas yang dapat berkontribusi terhadap peradaban dunia global. Ada juga kecenderungan untuk mempelajari hubungan antara konsep Nusantara dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang saat ini fokus pada penegakan kedaulatan air nasional.

 

Multikulturalisme merupakan karakteristik khas dari Nusantara. Ini adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara multietnis dan multikultural. Sebanyak 1.128 etnis yang berbeda dengan 742 bahasa daerah hidup dalam harmoni di negara ini. Di mana keanekaragaman berasal dari selalu menjadi topik yang menarik dari studi, dan banyak hipotesis yang berkaitan dengan materi yang telah dibuat. Misalnya, salah satu hipotesis mengusulkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari negara yang berbeda dari suku-suku yang dikenal saat ini atau kelompok etnis di Indonesia, sedangkan hipotesis lain – yang sering dikutip dalam buku pelajaran sejarah nasional mengadopsi “Out of Taiwan” teori-percaya bahwa orang Indonesia berasal dari Yunnan, daerah yang terletak di bagian selatan Cina. Sementara itu, temuan terbaru, yang didukung oleh bukti-bukti genetik dan arkeologi serta hipotesis linguistik, dari penelitian baru-baru ini, seperti yang dilakukan oleh Profesor Stephen James Oppenheimer dari Universitas Oxford bekerjasama dengan tim peneliti multinasional, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di Asia Tenggara, termasuk warga Nusantara masa lalu, terus membuat kontribusi besar kepada peradaban dunia awal jauh sebelum tahun 4000 SM ( “Out of Sundaland”). Eksodus manusia dari kawasan Asia Tenggara, termasuk Nusantara, di masa lalu membawa peradaban mereka di seluruh dunia. Sejumlah besar diaspora rakyat Nusantara pergi ke tempat yang berbeda, membawa peradaban asli mereka dan membuat yang baru. Ini mengedepankan hipotesa bahwa Indonesia telah memainkan peran penting dalam membawa peradaban dunia di seluruh dunia.

 

Nusantara selalu terbuka untuk diskusi dan penelitian. Konferensi Internasional tentang Studi Nusantara (ICONS) diatur untuk melayani sebagai forum untuk publikasi ilmiah internasional tentang hasil penelitian atau gagasan tentang Nusantara dari berbagai bidang dan perspektif. Tema ICONS pertama ini “Reinventing Konsep Nusantara dalam Perannya dan Tempatnya”

13880401_10153982938698495_4195781545016047171_n

  eden-in-the-east_samp (1) (1)

 



Imam Mahdi: Pemimpin Manusia yang Adil

$
0
0

Imam Mahdi: Pemimpin Manusia yang Adil

Dr. Abdulaziz A. Sachedina*

Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang

Hasil gambar untuk imam mahdi menurut Ibrahim Amini    Saya merasa sangat bahagia karena mendapat kepercayaan untuk menerjemahkan buku mengenai Imam Keduabelas yang menjadi keyakinan pribadi saya. Semula tugas ini diserahkan secara pribadi oleh penulis bukunya, yakni Ayatullah Ibrahim Amini selama kunjungan saya di Teheran di musim panas tahun 1993. Namun saya harus menundanya lantaran tugas mengajar dan tugas administratif saya selaku Direktur Studi Timur Tengah di Universitas Virginia dan mencari waktu yang tepat untuk memulai terjemahan yang sangat berharga ini. Permohonan Ayatullah Ibrahim Amini tidak hanya mencerminkan keyakinannya pada kemampuan saya dalam menerjemahkan karya besar menyangkut akidah Syi`ah Duabelas Imam ini secara akurat ke dalam bahasa Inggris, tapi juga menyatakan keyakinannya kepada keimanan pribadi saya terhadap Imam Keduabelas.

Musim panas tahun 1993 juga merupakan saat yang penuh dengan karunia Allah karena beberapa alasan penting. Dalam wawancara dengan editor Kayhan-i Farhangi di Qum, saya mendapat kesempatan menerangkan studi akademis agama berdasarkan perspektif studi saya sendiri ihwal kepemimpinan Islam di masa depan dan perbedaannya dengan metode penelitian yang dilakukan di pusat studi Islam tradisional. Seluruh wawancara tersebut, yang telah ditulis dalam bahasa Inggris dan Prancis, bisa menjadi contoh baik untuk dialog ilmiah antara lembaga pendidikan tinggi tradisional dan modern.

Saya terpacu menerjemahkan buku ini karena ingin merespon orang-orang yang mengaitkan saya dengan kesalahan yang bukan keyakinan saya dan bukan pula bagian dari riset akademi saya. Dalam perampungan karya ilmiah yang senada dengan buku ini, saya merujuk pada referensi Syi`ah Duabelas Imam (Syî`ah Imâmiyyah Itsnâ’ Asyariah). Saya meneliti dokumen yang menjadi acuan riset saya secara cermat dan kritis berasaskan al-Quran dan hadis-hadis Ahlulbait yang autentik. Saya senang sekali karena Dadgustar-i Jihan karya Ayatullah Amini, yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan tajuk Al-Imam Al-Mahdi: The Just Leader of Humanity [yakni buku ini] bisa memerikan Imam Keduabelas secara utuh dan ditata berdasarkan studi sejarah yang diambil dari sumber-sumber rujukan yang telah saya teliti dan pakai dalam Islamic Messianism: The Idea of Mahdi in Twelver Shi`ism. Yang lebih luar biasa lagi adalah meskipun metode riset saya dan Ayatullah Amini amat berbeda namun kami mencapai kesimpulan yang sama mengenai keyakinan terhadap Imam yang akan muncul dari kegaiban untuk memimpin dunia secara adil.

Perbedaan metodologi yang dipakai disebabkan oleh objek pembaca yang berbeda: Yang pertama [yakni, Al-Imam Al-Mahdi—peny.] ditujukan bagi ‘orang-orang dalam’ yang terpelajar (orang-orang yang percaya); sedangkan yang kedua [yakni Islamic Messianism—peny.] ditulis untuk ‘orang-orang dalam’ dan ‘orang-orang luar’ (orang-orang yang tidak percaya). Perlu diketahui, para pembaca sudah dapat menilai objek pembaca yang dituju Ayatullah Amini, yaitu para pembaca yang percaya, sedangkan objek yang saya tuju adalah orang-orang yang tidak percaya namun akan mengapresiasi mazhab Syi`ah Duabelas Imam secara intelektual.

Saya menulis Islamic Messianism untuk mengenalkan mazhab Syi`ah kepada para akademis Barat yang didominasi oleh para sarjana orientalis yang tidak hanya meminggirkan mazhab Syi`ah sebagai bentuk Islam yang menyimpang dan jahat, namun juga menganggapnya dipengaruhi langsung oleh ide mesianisme Kristen dan Yahudi. Saya juga ingin mengoreksi kesimpulan ulama Sunni dan sarjana Barat perihal konsep imam maksum dalam Syi`ah dan menandaskan bahwa kabar akan datangnya Imam Mahdi yang akan menata masyarakat yang adil dan beretika bersumber dari al-Quran. Sebaliknya, usaha Ayatullah Amini dalam buku Al-Imam Al-Mahdi: The Just Leader of Humanity dimaksudkan untuk merespon keraguan yang dibuat orang-orang Syi`ah yang skeptis dan orang Sunni yang gemar berpolemik.

Keputusan menjadikan lapisan pembaca tertentu yang berbahasa Persia sebagai sasaran tulisannya memeragakan metodologi yang dipakainya benar-benar berdasarkan sumber-sumber mengenai hadis. Masing-masing argumen berdasarkan interpretasi ayat al-Quran tertentu dan riwayat hadis yang mendukung interpretasi tersebut. Oleh sebab itu, hadis menjadi sumber hujjah agama yang fundamental dan mesti diperiksa secara kritis sebelumnya. Hadis yang dipakai diteliti supaya valid dan bisa dijadikan dalil bermanfaat bagi agama. Selain itu, Ayatullah Amini juga memperkenalkan argumen rasional guna menyingkirkan beberapa kisah mengenai pertemuan dengan Imam Keduabelas yang diterima begitu saja oleh beberapa ulama hadis. Misalnya, kisah terkenal perihal “Pulau Hijau” (dalam Bab 10 buku ini—peny.) yang menjadi kediaman Imam Keduabelas dibantah olehnya karena dinilai palsu dan berlawanan dengan pernyataan si perawi itu sendiri. Lebih jauh lagi, penelitian mutakhir tentang umur panjang dituliskan secara luas dan berdasarkan sumber-sumber Barat untuk membuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak memustahilkan usia panjang Imam Keduabelas.

Bagian yang paling mencerahkan dan membelalakkan mata dalam buku ini adalah berkenaan dengan pencapaian Imam Keduabelas setelah kemunculannya (Bab 14 buku ini). Pada bagian ini, ditulis informasi mengenai “Kebaruan Penjelasan Al-Mahdi”; juga disertai penilaian kritis tentang latar belakang sikap pengikut Imam Keduabelas yang mengabaikan nilai Islam yang benar dalam kehidupannya dan mengedepankan ritual tanpa mengejawantahkan nilai moral dan etika yang merupakan intisari dari ketaatan beragama.

Dalam hal ini, Ayatullah Amini menulis (hal.setting akhir):

Umat manusia, setelah meninggalkan prinsip-prinsip yang absolut dan ajaran-ajaran Islam yang pokok, hanya mengikuti lapisan luar agama dan menganggap sikapnya  itu sudah mencukupi. Inilah orang-orang yang—selain shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, dan penghindaran diri dari najis—tidak tahu apa-apa tentang Islam. Selain itu, beberapa dari mereka membatasi agama di mesjid saja sehingga amat sedikit pengaruhnya pada sikap dan tindakan mereka. Ketika mereka keluar dari mesjid, yaitu di pasar atau di tempat kerja, tidak ada tanda-tanda keislaman dalam dirinya. Mereka tidak menganggap tingkah laku yang etis dan nilai-nilai moral sebagai bagian dari Islam. Mereka tidak peduli pada tindakan-tindakan amoral dan membuat-buat alasan atas tindakannya, tidak mengikuti bimbingan moral sebab adanya perselisihan ihwal kewajiban dan larangan-larangan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Mereka jauh melangkah sejajar dengan larangan agama—dengan jalan tipu daya—dan menjadikannya sesuatu yang boleh dilakukan. Mereka juga menghindari tanggung jawab untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka oleh syariat. Dengan kata lain, mereka terlibat dalam menafsirkan agama sesuai dengan keinginan mereka belaka.

Ketika berhadapan dengan al-Quran, mereka menganggap cukuplah bagi mereka untuk memperhatikan bacaan formal saja dan menghormati kebiasaan yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu, ketika Imam Keduabelas muncul, dia pasti akan bertanya kepada mereka, yaitu mengapa mereka meninggalkan intisari agama dan menafsirkan al-Quran dan hadis sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Mengapa mereka meninggalkan kebenaran Islam dan puas dengan ketaatan lahiriah belaka? Mengapa mereka tidak menyesuaikan karakter dan perbuatan mereka dengan ruh Islam? Mengapa mereka memutarbalikan makna agama agar sesuai dengan ketamakan mereka pribadi? Sebagaimana mereka begitu memperhatikan bacaan al-Quran yang benar, mereka pun harus mempraktikkannya. Imam Keduabelas berhak bertanya, “Kakekku, Imam Husain, tidak terbunuh demi duka cita. Mengapa kalian mengabaikan tujuan yang dipegang kakekku dan menghancurkannya?”

Imam akan menyuruh mereka mempelajari ajaran sosial dan moral Islami dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka harus menghindari perbuatan-perbuatan tercela dan memperhatikan kewajiban-kewajiban menyangkut keuangan, tanpa membuat alasan-alasan lemah. Mereka juga harus ingat, mengingat jasa-jasa Ahlulbait dan meratapi penderitaan mereka tidak akan dapat menggantikan zakat dan khumus serta melunasi utang-utang seseorang. Perbuatan-perbuatan itu tidak dapat menggantikan perbuatan dosa semisal mengambil bunga (bank—penerj.) dan suap, menipu manusia lain dan memperlakukan mereka dengan tidak jujur. Mereka mesti menyadari bahwa menangisi dan berkeluh kesah demi Imam Husain tidak pernah dapat menggantikan perbuatan buruk kepada orang yatim dan janda-janda. Lebih penting lagi, seyogianya mereka tidak membatasi ketakwaan hanya di mesjid. Namun mereka pun harus berperan serta aktif di masyarakat dan melaksanakan amar makruf nahi munkar serta menumpas bid`ah-bid`ah yang merusak Islam.

Tentu saja, agama semacam ini akan tampak baru dan sulit bagi orang-orang tersebut. Bahkan boleh jadi mereka menganggapnya bukan Islam, karena mereka membayangkan Islam sebagai sesuatu yang lain. Orang-orang semacam ini terbiasa berpikir bahwa kemajuan dan kebesaran Islam terletak pada pendekorasian mesjid-mesjid dan pengkostruksian menara-menaranya. Bila Imam Keduabelas berkata, “Kebesaran Islam bergantung pada tindakan yang benar, kejujuran, kepercayaan, penepatan janji, dan penghindaran diri dari perbuatan yang terlarang”, pernyataan ini akan terasa benar-benar baru bagi mereka! Mereka dulu menganggap bahwa ketika Imam muncul, dia akan membuat perubahan bagi semua perilaku Muslim dan akan mengistirahatkan mereka di pojok-pojok mesjid. Tetapi ketika mereka menyaksikan bahwa darah bercucuran dari pedang Imam, menyeru umat untuk berjihad dan beramar makruf nahi munkar,  membunuh para ahli ibadah yang berbuat zalim, serta mengembalikan barang-barang yang mereka curi kepada pemiliknya, maka tindakan semacam ini sungguh akan terasa baru!

Penilaian umat yang jujur dan terbuka serta tanggung jawab yang para pengikut harus lakukan kepada Imam Keduabelas jarang ditemukan dalam literatur mengenai hal ini. Sekarang saatnya kita berkomitmen pada tujuan Islam dan bekerja secara tulus demi reformasi diri untuk memenuhi kewajiban kita kepada Muslim dan non-Muslim di sekitar kita. Adalah baik sekali bila kita mengingat kandungan doa yang bersumber dari Imam Keduabelas dan yang kita baca pada saat yang berbeda dengan sungguh-sungguh nasihat Imam as kepada para pengikutnya. Doa tersebut berbunyi:

Ya Allah, anugrahi kami taufik (berupa) ketaatan, menjauhi kemaksiatan, ketulusan niat, dan mengetahui kemuliaan.

(Ya Allah) Muliakanlah kami dengan hidayah dan istiqamah, luruskan lidah kami dengan kebenaran dan hikmah, penuhilah hati kami dengan ilmu dan makrifat, bersihkan perut kami dari haram dan syubhat.

(Ya Allah) Tahan tangan kami dari kezaliman dan pencurian, tundukkan pandangan kami dari kemaksiatan dan pengkhianatan, palingkan pendengaran kami dari ucapan yang sia-sia dan umpatan.

(Ya Allah) Karuniakan kepada ulama kami kezuhudan dan nasiha; kepada para pelajar, kesungguhan dan semangat; kepada para pendengar, ketaatan dan peringatan; kepada kaum Muslimin yang sakit, kesembuhan dan ketenangan; kepada kaum Muslimin yang meninggal, kasih sayang dan rahmat; kepada orang tua kami, kehormatan dan ketentraman; kepada para pemuda, kembali (ke jalan Allah) dan taubat; kepada para wanita, rasa malu dan kesucian; kepada orang-orang kaya, rendah hati dan kemurahhatian; kepada orang miskin, kesabaran dan kecukupan; kepada para pejuang, kemenangan dan penaklukan; kepada para tawanan, kebebasan dan ketenangan; kepada para pemimpin, keadilan dan rasa sayang; kepada seluruh rakyat, kejujuran dan kebaikan akhlak.

(Ya Allah) Berkatilah para jamaah haji dan para peziarah dalam bekal nafkah, sempurnakan haji dan umrah yang Engkau tetapkan bagi mereka dengan karunia dan rahmat. Wahai Yang Paling Pengasih dari semua yang mengasihi.

Akhirnya, saya ucapkan terima kasih atas dukungan moral dan motivasi dari Ayatullah Ibrahim Amini dan para koleganya di Majlis-i Khubragan, Hujjatul-Islam Hadawi Tihrani dan para koleganya di Jami’ Mudarrisin Hauzah Ilmiyah Qum, serta para pembaca di seluruh dunia yang menjadi tujuan saya dalam menerjemahkan buku yang berisi ajaran kami (Syi`ah Duabelas Imam) yang amat berharga ini.

London, Inggris

18 Dzulhijjah 1416/6 Mei 1996

*  Beliau adalah Profesor Kajian Keagamaan di Universitas Virginia, AS. Penerjemah buku yang aslinya berbahasa Persia ini lahir di Tanzania, 12 Mei 1942.

Sumber:

http://www.ibrahimamini.com/id/node/2040

Sudi Banding melalui Link Terkait:

http://www.pencarianstandaretikadanakhlak.com/newsdetail.php?idn=147


“Aksi Damai (Demo) 4-11 dan 2-12” untuk kepentingan siapa?

$
0
0

“Aksi damai (Demo) 4-11 dan 2-12” untuk kepentingan siapa?

Bermula dari statement politik Presiden Joko Widodo pada konperensi Asia Afrika di Bandung yang menyatakan Palestina harus Merdeka”, dan berbagai kebijakan Jokowi soal Freeport, dll. telah membuat Amerika dan Isrel berang. Jokowi dianggap telah berani melawan dan membangkang terhadap kepentingan Amerika sehingga dianggap sebagai musuh besar Amerika yang harus segera dilengserkan. Maka dirancanglah berbagai skenario operasi intelejent dengan target maksimal Jokowi jatuh pada tahun ketiga pemerintahannya, atau minimal tidak akan terpilih lagi pada pilpres di masa keduanya.

Amerika yang bersekutu dengan NATO dan negara-negara persemakmuran (bekas negara jajahan Inggris) seperti Australia, Malaysia, Singapura yg bertetangga langsung dgn Indonesia, telah merancang gerakan militer untuk menekan untuk menekan Jokowi. Agen-agen asing, bertebaran melakukan rekrutmen kepada golongan barisan sakit hati dari kalangan bumi putra untuk melakukan perlawanan dari berbagai sektor: buruh tani, nelayan, santri, rakyat daerah sebagai bais wong cilik yang dijadikan alat demo menentang kebijakan Jokowi. Sistem perbankan, hukum, perdagangan, pemerintahan diacak-acak melalui antek mereka yg terdiri dari oknum-oknum bangsa kita sendiri. Boikot, penghadangan, penggagalan, demo, isue-isue, cemoohan, ledekan, cibiran dan fitnah dilakukan secara sistemik, bahkan oleh lembaga DPR RI.

http://www.beritaislam24h.net/2016/11/kivlan-zen-inikah-aktor-makar-yang.html

Kini isue SARA telah diledakkan yg berdampak besar kepada banyak “ulama dan agamawan tertentu” terprovokasi untuk menyatakan “Jihad”, padahal faktanya yg kita dapatkan bahwa pada tanggal 4 November 2016 lalu, armada kapal induk Amerika berikut 26.000 marinirnya telah terkonsentrasi di perairan lepas Australia (Samudra Hindia: Pulau Christmas) dengan moncong senjata dan rudal diarahkan ke istana negara yang hanya berjarak tempuh rudal 1 jam ke Jakarta. Maka secara taktis hari itu Presiden memang harus tidak berada di Istana dgn tetap menjaga oipini tetap tenang-aman-terkendali-kondusif dan biasa saja tidak ada yg istimewa, tidak membuat kepanikan masyarakat.

Langkah brilian Jokowi berikutnya adalah mendatangi markas-markas komando Kopassus, Marinir, Angkatan Udara, Brimob, Kostrad, merupakan untuk kekuatan dan jawaban bagi ancaman Amerika, bahwasanya kita sangat siap menghadapi mereka dengan kekuatan militer yg utuh, kompak, solid dan kuat dgn semangat bela negara yg tinggi. Jadi bukan untuk menjawab aksi damai tersebut.

Dengan indikasi kuat inilah Kapolri telah menyatakan adanya rencana MAKAR-Subversif (gerakan pengkhiatanan) dari dalam negeri terhadap pemerintahan yg sah. Maka Panglima TNI menyatakan kita siap berjihad membela kedaulatan bangsa dan negara. Jadi sangatlah kecil dan dangkal jika ada tuduhan bahwa Jokowi melarikan diri untuk sekedar menghindar dari aksi damai 4-11 tersebut. Akan sangat disanyangkan dan patut disesalkan ketika kedangkalan hati dan pikiran sebagian kecil umat terprovokasi untuk iku melakukan perlawanan bersama Amerika dan Israel terhadap NKRI tercinta.

Mari kita kembali renungkan siapa sebenarnya jati diri bangsa kita? Siapa lawan atau kawan kita yang sebenarnya? Patriot atau pengkhiat NKRI dan Pancasila-Bhineka Tunggal Ika?? MERDEKA !!! (KI Sunda dan Ki Ageng Selo)

http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://idnnkri.com/sisa-harapan-jokowi-atas-ahok-dan-mimpi-makar-kubu-biru-hijau/

https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Farrahmahnews.com%2F2016%2F11%2F26%2Fbom-rpw-majalengka-akan-ledakkan-gedung-dpr-dan-mabes-polri%2F&h=rAQHd4anX

http://www.beritakita.id/22579/news/mengejutkan-panglima-tni-sebut-penyebar-berita-provokasi/

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/11/23/oh2tx2396-panglima-tni-sebut-australia-dan-amerika-sebar-berita-provokasi


Sisa Harapan Jokowi atas Ahok dan Mimpi Makar Kubu Biru-Hijau

$
0
0

Pertahanan Jokowi nyaris ambruk jika saja dia bersikukuh membela Ahok. Tekanan hebat hasil kolaborasi kubu biru-hijau telah membuat Jokowi dan orang-orang di Ring 1 istana mengubah strategi. Ahok terpaksa dikurbankan dan menjadi tumbal dari panasnya suhu politik jegal. Taktiknya jelas. Mundur selangkah, buka sisi pertahanan, lokalisir ancaman sambil mengidentifikasi kekuatan musuh.

Blunder Ahok yang menyerempet Surat Al-Maidah ayat 51, jelas telah membuat kubu hijau mendapat angin. Kubu hijau adalah mereka yang menamakan diri FPI, HTI, HMI, kaum islam konservatif, militan dan fundamentalis. Mereka ini mendapat dukungan dari MUI ketika berhadapan dengan Ahok. Seakan mendapat musuh bersama, kubu hijau bergandeng tangan untuk menyerang bersama.

Jelas situasi itu membuat Jokowi dipaksa melakukan konsolidasi kekuatan. Selama dua minggu, ia bolak-balik ke sana-kemari. Energi yang seharusnya digunakan untuk kerja, terpaksa dihabiskan menghadapi ambisi makar lawan-lawannya. Tidak cukup sampai di situ, Ahok pun dikorbankan menjadi tersangka. Ahok kemudian dibiarkan berjuang sendiri, membebaskan dirinya sendiri dan bertarung sendiri. Jokowi cuci tangan. Ahok tersangka.

Sematan tersangka pada diri Ahok jelas tidak mudah dipulihkan. Butuh perjuangan all-out dari pihak Ahok untuk keluar dari predikat itu. Namun di sinilah Jokowi mempunyai secercah harapan. Sebagai orang yang paling klop dengannya di DKI, Jokowi jelas menaruh sisa harapan pada Ahok. Apa saja sisa harapan Jokowi itu?

Pertama, Jokowi menaruh harapan pada masyarakat DKI Jakarta. Saat demo 4 November, masyarakat Jakarta sama sekali tidak berbondong-bondong turun ke jalan. Demikian juga pada saat ada aksi parade Bhinneka Tunggal Ika, 19 November. Masyarakat Jakarta tak mudah dipancing turun ke jalan. Artinya apa? Masyarakat Jakarta adalah orang-orang yang tidak mudah terprovokasi. Mereka adalah kelas masyakarat terdidik yang sudah mempunyai penilaian dan  pilihan.

Dari hasil satu-dua survei diketahui bahwa elektabilitas Ahok-Djarot anjilok. Apakah itu hanya sementara? Hasil survei lainnya menyebutkan bahwa masyarakat Jakarta puas atas hasil kinerja Ahok. Menariknya, walaupun puas atas kinerja Ahok, namun sebagian menyebutkan bahwa tidak akan memilihnya pada Pilkada mendatang. Jelas ada sisa harapan bagi Ahok untuk menarik kembali para pemilihnya. Masih ada waktu dua bulan bagi Ahok untuk memulihkan kredibilitasnya sekaligus  menuntaskan kasus hukumnya.

Jokowi jelas menaruh harapan pada nalar masyarakat Jakarta. Jika ternyata publik Jakarta masih menginginkan Ahok di DKI, maka mereka akan berbondong-bondong memilihnya pada Pilkada mendatang. Bisa jadi Ahok bisa menang satu putaran. Nah itulah harapannya. Jika Ahok menang satu putaran, maka hal itu akan membungkam lawan-lawan Ahok selama ini. Sinyal untuk itu terlihat di rumah Lembang. Dukungan deras dari berbagai pihak masih terus mengalir kepada Ahok.

Kedua,  Jokowi berharap agar para penegak hukum berlaku seadil-adilnya bagi Ahok. Apakah dapat dibuktikan bahwa Ahok telah menista agama atau hanya tuduhan yang dialamatkan kepadanya? Jokowi jelas mengharapkan agar Ahok dapat bertarung Fair  di pengadilan dan mampu membuktikan dirinya tidak bersalah atas tuduhan penistaan agama itu. Dengan demikian tanpa intervensi Jokowi, Ahok bebas dari segala tuduhan. Itulah sisa harapan Jokowi yang kedua. Ia mengharapkan Ahok mampu membebaskan dirinya lewat pertarungan di pengadilan.

Ketiga, Jokowi mengharapkan agar skenarionya bisa berjalan lancar. Tadinya publik berharap agar Jokowi siap babak belur menyelamatkan Ahok. Tetapi Jokowi punya strategi lain. Dia rupanya menghindari gaduh dengan jalan memutar. Pada kasus kegaduhan yang ditimbulkan oleh Budi Gunawan, Budi Waseso, Rizal Ramli, Ignasius Jonan, Archandra Tahar misalnya, Jokowi memilih mundur selangkah baru menyerang dua langkah. Nah ini strategi jitu nan cantik.

Dalam strateginya, Jokowi lebih memilih mengorbankan Ahok untuk sementara. Bersamaan dengan itu, ia pelan-pelan mematikan lawannya. Tersangkanya Buni Yani adalah langkah awal.  Pemanggilan Amin Rais, Habi Rizieg, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Munarman dan seterusnya adalah langkah lanjutan yang harus dilakukan pelan-pelan. Setelah melihat perkembangan demo 2 Desember yang dipastikan menurun gaungnya, Jokowi mulai membidik Cikeas, membubarkan FPI dan ormas-ormas sangar lainnya.

Ketika lawan-lawannya mulai meredup dan mati pelan-pelan, barulah Jokowi menarik kembali Ahok untuk ikut membantunya mewujudkan revolusi mentalnya. Nah, itulah skenarionya sekaligus sisa harapannya. Apakah itu mustahil? Dengan dukungan Polri dan militer yang masih mencintai NKRI, bukanlah hal yang sulit bagi Jokowi untuk membidik para lawannya. Benar bahwa tidak mudah menakhlukkan lawannya berlatar belakang militer. Namun karena Jokowi berada di garis yang benar, maka selalu saja ada cara untuk menangkisnya dan menyerang balik musuhnya.

Pertanyaannya adalah apakah mimpi makar kubu biru-hijau kali ini terwujud? Publik yang masih punya nalar, mimpi makar dipastikan gagal. Alasannya:

Pertama, dalam sejarah republik ini, makar dengan tujuan menggantikan Pancasila tidak pernah berhasil. Pancasila selalu sakti. Padahal di awal-awal kemerdekaan kekuatan pemerintah yang baru terbentuk tidaklah sekuat sekarang. Namun saat itu pemerintah selalu berhasil menumpas berbagai pemberontakan di berbagai daerah dengan gemilang. Bila dibandikan dengan saat sekarang, maka kekuatan pemerintah jauh lebih kuat menghadapi kelompok-kelompok perongrong Pancasila. NKRI masih pilihan terbaik di republik ini.

Kedua, untuk sementara, dengan safari selama dua minggu, Jokowi berhasil mengarahkan nalar publik bahwa dalang demo 4 November adalah pemilik lebaran kuda. Jokowi telah berhasil melokalisir lawan di seputar lebaran kuda plus pada kubu hijau yang menggandengnya. Artinya publik sekarang amat mudah menyoroti segala gerak-gerik si pemilik lebaran kuda dan kubu hijau yang berencana makar.

Ketiga, dari dua kali pelengseran Presiden baik Soekarno maupun Soeharto, selalu melibatkan mahasiswa. Namun kali ini terlihat para mahasiswa masih terlihat waras dan tak ikut-ikutan demo. Pun ketika Gus Dur dilengserkan Amin Rais, sebagian besar parlemen mampu bersatu menyerang Gus Dur. Sekarang? Justru sebagian besar anggota parlemen masih mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Hanya Fahri Hamzah yang terus mencari panggung dan menunggang kekuatan ormas sangar pasca dia dipecat dari PKS.

Kiranya sudah cukup tiga alasan di atas untuk menyatakan bahwa rencana makar kubu biru-hijau masih mimpi di siang bolong. Rencana demo 2 Desember kubu biru-hijau yang mencoba dengan menggandeng buruh, sudah bisa dibaca dengan sangat baik oleh Ring 1 istana.  Karena itu rakyat pro-NKRI, kubu merah-putih, plus militer dan Polri semakin siap unjuk kekuatan untuk menangkisnya. Sambil menunggu sisa harapan Jokowi mekar, mari kita tertawai dulu aksi Rush Money yang gagal total.

Sumber:


Desertasi Mengungkap Asal-usul dan Pembangun Borobudur

$
0
0

Candi Borobudur merupakan candi Buddha yang terletak di Jawa Tengah. Pada Mei 2004, dalam desertasinya, Hudaya Kandahjaya, mengungkap asal-usul, mengapa bangunan itu dibangun dan siapa pembangunnya. Hudaya meraih gelar PhD (Doctor of Philosopy) di Berkeley, California, Amerika Serikat.

Candi Borobudur
KOMPAS/EDDY HASBYCandi Borobudur

Menurut Hudaya, Candi Borobudur adalah tempat ibadah penganut agama Buddha dan bukannya istana raja. Candi itu dibangun oleh Raja Samaratunga dan putrinya, Pramodawarddhani, anggota kerajaan yang menyokong pembangunan Borobudur, dan selesai pada 26 Mei 824.

Borobudur merupakan sebuah struktur bangunan dari sebuah altar yang ditinggikan (altar panggung). Di atasnya terletak kediaman para Buddha yang menyerupai jari-jari sebuah altar yang dibentuk seperti sebuah roda.

Demikian pendapat Hudaya Kandahjaya, pria kelahiran Bogor, Jawa Barat, pada tahun 1952, dalam disertasi PhD di Graduate Theological Union, Berkeley. Dengan demikian, Hudaya menjawab keraguan tentang asal-usul Borobudur dan mengapa bangunan itu didirikan.

Selama ini, penelitian tentang Candi Borobudur sudah banyak dilakukan oleh para ahli, baik dari Indonesia, seperti Prof Nurhadi Magetsari, Prof Soekmono, dan Prof Satyawati Suleiman, maupun para ahli Belanda, seperti NJ Krom dan Th van Erp, pada kuartal pertama abad ke-20. Namun, penelitian tersebut yang jumlahnya sudah mencapai 500 buah belum bisa menjawab teka-teki candi Buddha terbesar di muka bumi ini secara tuntas.

content
,

Menurut Hudaya, pendapat dalam disertasinya itu banyak didasarkan pada prasasti Kayumwungan yang ditemukan tergeletak di kantor Residen Kedu sebelum akhirnya diboyong ke Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada tahun 1950 oleh Prof Casparis itu sebelumnya ditolak banyak pakar sebagai sumber informasi penting tentang Borobudur karena tidak didukung oleh cara dan bukti yang kuat.

Namun, Hudaya yang pernah jadi dosen agama Buddha di almamaternya, Institut Pertanian Bogor (IPB), membuktikan bahwa prasasti Kayumwungan sesungguhnya berisi informasi penting tentang Borobudur. Selama ini, penelitian para ahli lebih banyak dilakukan melalui relief-relief yang ada di dinding candi tersebut dan belum menyentuh prasasti yang dikenal juga dengan sebutan prasasti Karangtengah itu.

DALAM proses pembangunannya, Borobudur mengalami berbagai hambatan, yang kemudian memicu perubahan penting pada arsitektur Borobudur. Dua di antaranya adalah modifikasi bagian bawah oleh Raja Samaratunga serta perubahan pada bagian puncaknya oleh Pramodawarddhani.

Berdasarkan informasi yang terdapat dari prasasti Kayumwungan, Borobudur adalah sebuah biara yang mengandung berlipat-lipat kebajikan Sugata atau Buddha. Namun, istilah biara ini terasa janggal bila dipahami mengikuti pengertian tentang sebuah biara sebagaimana dikenal umum sekarang.

Menurut Hudaya, istilah biara di sini sebenarnya merujuk ke istilah teknis lainnya yang memungkinkan orang memahami rancangan arsitektur Borobudur. “Istilah yang dimaksud adalah sebuah bentuk biara khusus yang dikenal sebagai sebuah bangunan-atap (kumagara), yang punya sejarah panjang dan mengalami banyak perubahan makna sepanjang sejarah agama Buddha,” katanya. Borobudur, tegasnya, adalah sebuah struktur tempat Buddha Sakyamuni tinggal selama berada di dalam rahim ibunya. Struktur itu terbentuk sebagai hasil dari berlipat-lipat kebajikan Sakyamuni (Buddha).

Selama ini ada anggapan bahwa pembangunan Borobudur dipimpin oleh para arsitek dari India, bukan oleh para arsitek pribumi. Menurut Hudaya, sampai saat ini belum bisa dipastikan bahwa para arsitek India yang memimpin pembangunan Borobudur karena penelitiannya masih belum dilakukan. Begitu juga mengenai jumlah tenaga kerjanya, masih harus diungkapkan lebih lanjut melalui penelitian yang saksama.

Katanya, para pendiri Borobudur melalui Borobudur bermaksud untuk membuat ajaran-ajaran Buddha tersajikan secara visual. Selain itu, para pendiri juga memberi sugesti tentang kehadiran Sakyamuni di Borobudur karena hanya dengan kesaktiannya orang baru mampu melihat bangunan ini.

Prasasti Kayumwungan yang menjadi sumber penelitian Hudaya juga menyebutkan ciri kemahakuasaan Buddha. Karena itu, di benak para pendirinya, “Buddha kosmis” yang memiliki kekuatan tanpa batas hadir di situ.

Wisatawan menikmati senja di antara stupa Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Candi yang diperkirakan berdiri pada abad IX di masa wangsa Syailendra ini merupakan monumen mahakarya peradaban budaya sekaligus ikon wisata Indonesia.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Perayaan Waisak Umat Buddha merayakan Waisak 2557 di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (25/5/13) malam.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

“Dengan dapat memperoleh lebih banyak sumber dan data, kajian selanjutnya tentang Borobudur akan bisa mengukuhkan penerangan atas monumen Buddha yang akbar, tetapi sampai kini masih penuh teka-teki itu,” katanya.

HUDAYA, yang saat berita ini ditulis bekerja di Numata Center for Buddhist Translation and Research di Berkeley, sejak muda punya hobi yang unik, yaitu belajar. Ia mengantongi tak kurang dari enam gelar kesarjanaan. Ia meraih gelar S1 dan S2 untuk Statistika dari IPB (1981), MBA (Master of Business Administration) dan MSIS (Master of Science in Information Systems) dari Hawaii Pasific University di Honolulu, Hawaii (1994). Di Graduate Theological Union, Berkeley, sebelum meraih gelar PhD, lebih dahulu dia menyabet gelar MA (Master of Arts) pada tahun 1998, juga dalam bidang agama Buddha.

(IRWAN GUNAWAN)

Sumber: Kompas, 10 Juni 2004

Umat, para biksu dan pemuka agama Budha mengikuti penyalaan lampion setelah menjalani ritual detik-detik menyambut Waisak di Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (15/5/14) dini hari. Trisuci Waisak yang memperingati peristiwa agung Sang Buddha dari kelahiran, penerangan sempurna hingga wafatnya ini membawa pesan perdamaian bagi umat manusia.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASAUmat, para biksu dan pemuka agama Budha mengikuti penyalaan lampion setelah menjalani ritual detik-detik menyambut Waisak di Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (15/5/14) dini hari. Trisuci Waisak yang memperingati peristiwa agung Sang Buddha dari kelahiran, penerangan sempurna hingga wafatnya ini membawa pesan perdamaian bagi umat manusia.

Puisi untuk Negeri

$
0
0

Ahmad Yanuana Samantho

Ya Allah semoga kau turunkan hujan yang deras hari ini,
agar dapat mendinginkan hati-hati yang panas ini,
mengusir api setan yg merasuki sebagian jiwa saudara kami,
menghanyutkan sampah-sampah batini.
mensucikan akal dan nurani kami,
menghancurkan siasat para politisi basi,
yang suka memprovokasi,
yang bekerja sama dengan asing para penjajah negeri,
yang menjalankan stategi konspirasi illuminati
yang menyajikan makanan keju berbau terasi
dan tai berbentuk nasi,
ih… aku geli … hi hi hi …hi…hi

Hanya kepadamu kami berharap diri,
bertumpu pada nurani yang engkau ridhoi,
agar tegak keadilan sejati,
bagi seluruh rakyat kami,
lindungi para pemimpin kami
yang bekerja setulus hati,
untuk kejayaan dan kemandirian ibu pertiwi,
Ampuni sebagian kami ya ilahi,
yang lemah diri,
tak tau diri
hingga tak tahu kebenaran sejati.

Ya Allah ya Tuhan kami,
Lindungi bangsa dan umat kami,
dari kebodohan bertubi-tubi,
yang menutupi (meng-cover-i/mengkafiri),
hati nurani sebagian besar umat kami,
lindungi ibu pertiwi,
dari bencana dan fitnah keji,
yang ingin memecah-belah NKRI
dan menundukkannya dalam gengaman kaum illuminati  dan wahabi syaitani,
Kabulkan doa kami,
ya Illahi Rabbi,

Kalisuren Jum’at 2 Desember 2016


Dampak 212 “gerakan wiro sableng Reject”

$
0
0
Benarkah isi pesan poster ini ?
Ywdm Wasono

5 Desember pukul 10:31 ·

 Yaa Allah….ampuni dosa” kami semua…

Berikanlah Rahmat serta HidayahMu kpd hamba”Mu ini……Aamiin yaa Rabb…

Foto Ywdm Wasono.
65 Komentar

Komentar

Herman W LennonHerman W Lennon Berkilah apapun si pencibir…semakin terlihat ko bego nya…
Ywdm WasonoYwdm Wasono Alhamdulillah Kang Ahmad Yanuana Samantho sampai sekarang NKRI masih terkendali dan tidak anarkis…. 
Kan demonya “Aksi Super Damai…..”, berarti hrs cinta damai and tentram ….hehe…😍
Ahmad Yanuana Samantho

Ahmad Yanuana Samantho https://ahmadsamantho.wordpress.com/…/puisi-untuk-negeri/

Ahmad Yanuana Samantho Ya Allah semoga kau turunkan hujan yang deras hari ini, agar dapat mendinginkan…
AHMADSAMANTHO.WORDPRESS.COM
Herman W LennonHerman W Lennon 411+212 kepentingan AQIDAH…..yg perlu dipertanyakan adalah mereka yg mencibir…membela kepentingan siapakah?
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho aqidah menurut herman W lennon teh naon sih? belum tentu sama dengan pengertian akjidah saya atau akibahnya kaum muslim yang sudah dewasa akil baligh dan matang dalam beragama, Man ..?
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Herman sekarang jkdi muridnya habib reject ya? 30 tahun masa hidupmu dulu kemana aja?
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho kami membela kepentingan dan kemurnian ajaran tauhid islami, ushuluddin Islam. yang rahmatan lil alamin berdasarkan Ketuhanan YME dan kemanusiaan yg adil dan berADAB.
Herman W LennonHerman W Lennon Bukan habib yg sy dukung….jgn liat siapa….kan bukan cm habib yg turun….rakyat biasa lbh banyak….coba tanya satu satu…..pasti tau jwbnya….
Herman W LennonHerman W Lennon Ulama2 yg ikut lbh faham drpd sy….
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Kebenaran tidak diukur dengan banyaknya jumlah orang yang sekedar mengklalmnya tanpa dasar penguasan ilmu agama yang shahih dan benar-benar teruji kemurnian dan kebenarannya sepanjang zaman, jangan ikuti ulama karbitan wahabi zionis.
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Maklumlah kang .. Klu ilmunya cetek cuman segitu aja ya kebaca lah asal jeplak aja
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho ya maklum sih saya, semoga Allah selalu membimbing kita semua, wallahu Alam bishawab. tawakaltu ala Allah.
Ahmad Yanuana Samantho
Tulis balasan…
Herman W LennonHerman W Lennon Yg jebolan pesantren disebut karbitan….gmn yg cm belajar dari pustaka dan ga bisa jurumiyah?
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho makanya kalau beragama itu harus belajar sendiri yang tekun dari sumbernya yang asli Al Qur’an-hadits Nabi dan kitab karya para ulama sejati di pesantren-pesantren yang sudah teruji zaman, jangan kepada ulama palsu macam habib reject, ahgimnajis, arifin ilham atau Yusuf Mansur dll.
Herman W LennonHerman W Lennon Belajar sendiri? Belajar tanpa guru kan udah ada keteranganya….sama aja berguru ke……..hehehe
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho: “maksudnya jangan belajar sama satu guru Man, tapi banyak guru saja dalam satu mazhhab. , semakin banyak semakin bagus, bisa studi banding. Minimal saya belajar agama sampai setingka M.Ud (Master Ushuluddin) dan MA di Universiotas Islam ternama dan terakreditasi pemerintah, disamping belajar di pesantren kitab-kitab kuning dan ilmu tafsir Qu’ran dan Hadits, tapi nggak level kal;au belajarf cuma sama agym atau habib Reject mah, juga arifin ilham atau yusuf mansyur doang.”
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho maksudnya belajar sendiri iotu lu harus punya kemauan kuat untuk mengkaji sendiri, berinisiatif dan punya niat cari ilmu dengan tekun, bukan ikut-ikutan dan sekedar ngaji apa adanya.
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho banyak baca, banyak nanya , bbanyak diskusi banyak dengerin dan renungkan.
Ahmad Yanuana SamanthoTulis balasan…
Herman W LennonHerman W Lennon Astaghfirulloh…..
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho he he he he belum tau lu Man track record gw dalam perjalanan intelektuan dan ruhani, lu kan lama hidup di cafe-cafe jadi entertainer, sementar gw udah ngaji sama mama KH abdullah bin Nuh dan para ulama -ulama [pesantren serta para cendikiwab-inteklektualk muslim sejak tahun 1981-an ketika masih SMA, ketika temen-tyemen masih suka pesta-pesta dan ngegele…
Sembunyikan 14 Balasan
Yulita NoordianyYulita Noordiany Astagfirullah hal adzim …. koq jd runyem gini sih. Hargai aja pendapat masing2. Gak ush juga merasa diri sendiri sdh mencapai tingkatan tertentu dlm keberagamaan. Itu mah urusan pribadi dgn Khaliknya.
Ywdm WasonoYwdm Wasono Ya Allah ya Rabb…., bukakanlah mata hati sdr/i ku yg se aqidah…., agar jgn saling menyombongkan diri ttg ke ilmuannya…
Sesungguhnya Engkau Maha Berilmu dan Maha Pemaaf bagi hamba”Mu ini…

😍😍😍😍

Yulita NoordianyYulita Noordiany Mantap kang Ywdm Wasono. Di atas langit masih ada langit.
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Tp bener jg kt kang ahmad kok .. Siapa kalian Yg seenaknya meragukan keislaman kita kalau ga sepaham … Kok seenaknya mengatai orang munafik klu ga sepaham.
Yulita NoordianyYulita Noordiany Mbak Rosemaya Ravasia, klo saya tdk salah menyimak gak ada koq yang menuding mbak atau siapapun munafik. Coba dilihat lagi postingan di atas 🙂
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Poster yang di posting mas Yugo wasono yg mengatakannya kalau nggak pro aksi 212 katanya munafik ???
Yulita NoordianyYulita Noordiany Saya sih gak melihat kata2 itu dlm poster tsb
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Ada kata2 … Anda seorang MUNAFIQUN ? Tulisannya tebal apakah tidak terbaca ?
Yulita NoordianyYulita Noordiany Kalimat itu mah saya baca mbak. Tapi tidak ada kata2 yang menuduh kalau yg tidak pro aksi 212 adalah munafik.
Ywdm WasonoYwdm Wasono Makanya baca tulisan saya diatas… Berpikirlah jernih…, kan saya hanya berdoa utk kita semua…
Kok malah tersinggung dgn doa saya sih….?
Ina SuzannaIna Suzanna Hati hati pap punya teman sombong dan berani menghina ulama…jauh2 deh bisa menular.
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho dek Ina Suzana, Para ulama yg bener bener ulama itu misalnya; Prof Dr, KH Muhammad Quraisy Shihab, KH Prof Dr. Nasaruddin Umar, KH Mustofa Bisri, KH Makmun Jubair, KH Ali Maksum, KH Prof.Dr. Said Aqil Siroj, KH Prof. Hamka (Alm), KH Abdullah bin Nuh (alm), dll. Bukan ustdaz Reject, atau AhGyminnas.. gituan mah ulama palsu itu mah. ilmu cetek.dan dangkal.
Ina SuzannaIna Suzanna Itu menurut anda bp Ahmad Yanuana Samantho Tidak menurut saya.
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Menurut saya iya .. Sependapat dgn kang ahmad … Dr pd rejeg .. Jauuuh
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Punten bukan mau sombong, cuma mau ngajak aja, mari kita bercermin diri kita masing-masing di hadapan Allah SWT. Dialah yang lebih tahu kondisi kejiwaan dan spiritualitas kita semua, dan Dialah yang akan membimbing kita ke jalan yang Benar. Kita cuma berusaha dan beriktiyar, mudah-mudahan juga dengan cara yg benar dan masih cukup umur kita utntuk memperbaiki diri.
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho karena kita berteman sejak sma jadi punten aku ngomong begini, karena sayang ama lu man, nggak sudi kalau teman lamanya tersesat dibawa srigala berbulu domba, berfikirlah dan tafakurikan semua ayat-ayatNY A baik yg di kitab-kitab suci maupun di alam semesta melalui ilmu pengetahuan, jangan mau dibodohi setan bersurban.
Herman W LennonHerman W Lennon Hehehe…4 sahabat Rosul….siapa yg paling berani? Beliau pernah jd musyrikin….apa hrs di cap jelek…..
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Gw lebih percaya dan ikut Sahabat sekaligus sepupu dan mantu Nabi, yang berislam sejak ia masih kanak-kanak, pintu Kota Ilmu nabi Muhammad, Syayidina Ali bin Ali Thalib, ini setelah hampir 40 masa pencarianku man.
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Yang paling berani karena benar dan untuk kebenaran ya Syaidina Ali bin Abi Thalib Man, menurut gw dan menurut kebanyakan mukminin.
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho baca dan renungkan maknanya baik baik ayat-ayat di awal QS al Bagoroh tentang karakteristik kaum Munafikin Vs Mukminin, semoga Allah memberi kita Taufik dan Hidayah setelah itu Man, sobatku tersayang.
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Klu kita ga sepaham dgn anda kenapa kita harus dibilang munafik dan diragukan ke islaman kita ? Begitu ya yugo ? Jd begitu ya penilaian km buat gw dan kang ahmad ?
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Mereka yg ngaku bela agama dah bener belum jalanin rukun islam .. Klu br hanya sekedar wajib aja kok bisa2 mencap orang munafik. Emang klu kita jalanin agama islam apalagi yg sunah2 harus pake laporan dan teriak ke kalian yg udah merasa klu udah demo dan tereak2 Allahh Akbar dah jaminan sorga ? Oooh begitu yaaaa … Gagal paham nih gw …
Ywdm WasonoYwdm Wasono Nah loh jgn gagal paham dong, baca dlu kata”ku diatas…. aku gak mencap seseorang atau golongan munafik.., tapi aku berdoa buat kita semua….haha….🙈🙈🙈
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho gara-gara proster yg kata-katanya provokatif itu mas Yugo, mungkin bukan mas yugo yg bikin tapi dengan mas postinigin poster itu terkesan mas yugo setuju dan sepaham dg isi poster itu lho.
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Inilah posting yg bikin panas suasana .. Bikin suasana tambah ga kondusif
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Gw lg ngomong ama temen gw yugo .. Ga usah ikur campur lo.. Gw ga kenal elo .. Ga ada urusan
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho daripada santun tapi culas dan hasud, lebih baik gaya ahok

Bino OetomoBino Oetomonuwun sewu bu Rosemaya Ravasia dan pak Ahmad Yanuana Samantho, mbak Quamitta Nurrachman itu ponakan nya masYwdm Wasono yang berarti juga ponakan saya juga.

Saya cuman mo ngajak mbak mitha untuk keep away dari diskusi ini. Biarkan om Yugo berdiskusi dengan teman dan sahabatnya. Beliau yang lebih bisa ngerti beliau beliau lainnya.

Wassalamulaikum WrWb.

Suka · Balas · 2 · 18 jam
Ahmad Yanuana Samantho dari Ahmad Yanuana Samantho; “Mas Bino Oetomo betul mas, ini memang diskusinya orang dewasa, bukan untuk konsumsi anak-anak, apalagi untuk mereka yang baru mulai (pemula) dalam belajar beragama dan memandang menilai realitas kehidupan yang kompleks terkait bhineka tunggal ika. Orang yg baru puber beragama dan anak-anak muda cenderung ekstrem, sebagaimana dulu pernah saya alami sendiri 30 tahun yang lalu. Jadi saya banyak belajar dari kebodohan saya sendiri di masa lalu. Sekarang saya ingin berbagi hikmah dengan temen-teman seumur. Itu juga kalau mereka mau, kalau enggak ya terserah. “lakum dinukum wa lii yadien”. Soal tuduh sombong dan takakabur terhadap saya, ya biarlah itu sebagai bahan introspeksi buat saya sendiri, yang jelas Maha Mengetaui isi Hati Orang itu Allah SWT, Tuhan YME  (Wallahu Alami Bishawab), Tuhan Kita semua. Niat saya sekedar untuk mengingatkan teman-teman lama saya.
Muhammad Hery AzharMuhammad Hery Azhar Sesama Muslim pro kontra ya…..?
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Orang boleh punya pendapat beda dong … Kenapa harus memaksakan pendapat orang. Dan kenapa harus men cap munafik sama yg pendapatnya beda
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Para ulama yg bener-bener ulama itu misalnya; Prof Dr, KH Muhammad Quraisy Shihab, KH Prof Dr. Nasaruddin Umar, KH Mustofa Bisri, KH Makmun Jubair, KH Ali Maksum, KH Prof.Dr. Said Aqil Siroj, KH Prof. Hamka (Alm), KH Abdullah bin Nuh (alm), yang jelas-jelas sudah banyak buku yang ditulisnya, dll. Bukan ustdaz Reject, atau AhGyminnas.. gituan mah ulama palsu itu mah. ilmu cetek.dan dangkal.
Ayu KusumaningtyasAyu Kusumaningtyas Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Mulyana DadiMulyana Dadi pokona mah mun teu nyeri hate alqur’an di nistaken,, eta mah jelas mas munafikiin..
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho masalahnya apakah benar Ahok menistakan al Qurtan? kalau menurut para ulama shalihin yang jadi rujukan saya mah enggak tuh? kumaha tah?
Mulyana DadiMulyana Dadi Ulama masuk angin..
Mulyana DadiMulyana Dadi MUI itu kumpulan ulama Indonesia..ada Buya tua ngaku ga kenal2 amat tapi nyatu bareung..
Mulyana DadiMulyana Dadi posternya jelas,,, lu pada ngerasa ga?? ribet
Mulyana DadiMulyana Dadi putih & hitam tdk ada abu2 beres…
Herman W LennonHerman W Lennon Pelajari Al-Qur’an yg msh baru…jgn yg udah pd copot lembarannya….bagian ayat yg membahas UJUB/SOMBONGkan diri udah copot…
Herman W LennonHerman W Lennon Hampuraaa….hehehe
Nur AkmaliahNur Akmaliah Intropeksi diri tdk usah mengolok-olok ulama…astaghfirullah hal adzhim.
Suka · Balas · 1 · 20 jam
Ywdm WasonoYwdm Wasono Hheemmm betul Teh…, apalah kita atuh…hanyalah seorg hamba Allah yg ilmunya sempit skl, banyak kekurangan dan msh mencari ilmu smp ajal datang….😊😍😍😍
Suka · Balas · 1 · 20 jam
Herman W LennonHerman W Lennon Iya…kita mah baca alfatihah aja msh blepotan makhroj dan tajwidnya….do’a iftitah aja ga ngerti….msh belajar….
Herman W LennonHerman W Lennon Jangan lupakan sejarah…Iblis mahluk beriman (yakin dan percaya ) adanya Alloh..krn pernah berdialog langsung…..tp cm krn kesombongannya…dan akibatnya?…na’udzubilah
Ahmad Yanuana Samantho
Tulis balasan…
Bedjo SoeryonoBedjo Soeryono Hhhhhhaaaaaa gelap nasip nasip
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho salah satu fungsi al-Qur’an adalah al-Furqon = pembeda antara yang Haqq dan yang Bathil, antara yang makruf (baik) dan yang Mungkar), maka bacalah al-Quran itu secara lengkap (kaffah), pahamilah semua ayatnya dengan utuh dengan alat bantunya, bahasa Arab (nahwu sorofnya, dll) dan Ulumul Qur’an-nya (Kitab Tafsir al Quran dan Hadists-hadis Sunnah Nabi yang Shahih) dan ilmu alat lainnya (seperti ta’wil isyari dan irfan/tasawuf), jangan cuma dari terjemahan dan tafsiran orang ngaku ulama yang nggak jelas trak record keulamaan dan kesantriannya selama puluhan tahun.

Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho membagikan foto LQ Hendrawan.

Kemarin pukul 1:43 ·

Terbukti dalam sejarah Dunia dan Nusantara, pertarungan politik selalu memakai kosmetika agama jubah para ulama dan pendeta. Makanya leluhurnya saya mah lebih suka meninggalkan keributan duniawi dan kemewahan istana kerajaan untuk hidup menjadi petani biasa yang belajar tentang intisari alam-kemanusiaan-ketuhanan menjadi murid-murid syekh Siti Jenar /Syekh Lemah Abang.
Ekses dan pengaruh negatif dari imperialisme peradaban Kontinental Eropa dan Mongol, dan dendam perang Salib antara Kerajaan-kerajaan Kristen Eropa dan Kesultanan Islam Timur tengah, membawa ekses kepada kedaulatan Peradaban Maritim-Agraris Nusantara, melalui persaingan perebutan sumber Ekonomi-politik antara Demak (plus Cirebon dan Banten) yang Pro Turki dan Mongol “Islam” dan Pakuan Pajajaran yang bersahabat dengan Portugis “Kristen”.

Maka Kebangkitan “Sunda Pajajaran Anyar” daan atau “Jawa Majapahit Baru” harus sudah mampu melampaui sekat-sekat fanatisme keagamaan dan sektrarianisme ini, harus jauh melampaui di atas ecek-ecek formalitas tipuan keagamaan ini dan benar-benar mampu mewujudkan misi dan visi “Budak Angon” / “Satrio Piningit”/ “Ratu Adil”/”Messiah + Imam Mahdi”, sebagaimana dinubuwatkan dalam Uga Wangsit Siliwangi: “Silih Asih, Silih Asuh, Silih Asah, Silih Wawangian. Atau Ramalan Prabu Jaya Baya dan Ronggowarsito; “Hamemayu Hayuning Bawono” (Sunda Sa’ampareun Jagat / Cahaya Pencerahan Universal/Rahmatan Lil Alamin), berdasarkan kesadaran penuh atas Realitas “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa.”

Lawan dan musuh kemanusiaan sejati kita adalah para Mafia Konspirator Bankers Secret Society Illuminati Kabalah-Luciferian, para Penyembah Iblis dan berhala Materialisme-Kapitalisme Sekular-Atheis-Agnostik-Modernisme, yang telah terbukti menjadi dalang atas semua kejahatan dan peperangan antar bangsa dan antar umat beragama dan antar kelompok etnis (melalui strategi politik “devide et impera”). Makanya kita mesti hati-hati dalam melangkah. Nyakseni Abah Uci (LQ Hendrawan).
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Senopati Firdaus
4 Desember pukul 7:18 · Ciloto, Kota Bogor ·
Pancasila adalah Saripati hukum Sang Maha Pencipta,tiada akan bertentangan dengan hukum keyakinan apapun yang pernah di turunkan dimuka bumi ini,untuk itu Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di negri ini.Segala produk hukum apapun di negri ini harus selaras dengan Pancasila,apalagi dalam pelaksanaannya.Memaksakan Al Maidah ayat 51,akan ada konsekwensi lebih besar,dimana di dalam agama Islam sendiri tafsir ayat 51 berbeda2 antara ulama satu dengan yang lain,apalagi dimata non muslim.Pancasila harga mati bagi bangsa Indonesia yang sampai hari ini negara ini tetap tegak berdiri di tengah badai yang dahsyat sekalipun,artinya Alloh meridhoi Pancasila sebagai dasar Negara..mari jaga kerukunan dan persatuan,kita semua manusia bersaudara…Hayu Rahayu..
Akankah kita mau menjadi seperti Rakyat Suriyah, yang baru sadar setelah peluru dan bom menggelegar…? Jika tidak ingin, maka Sadarlah mulai sekarang sebelu…
YOUTUBE.COM
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Waspadai agenda tersebut dibalik isue penistaan agama yang belum jelas apakah benar penistaan agama.https://ahmadsamantho.wordpress.com/…/ancaman-proxy…/
Ahmad Yanuana Samantho Sangat disayangkan, ceramah ilmiah startegis tentang ancaman terhadap keamanan…
AHMADSAMANTHO.WORDPRESS.COM
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Waspadai Srigala berbulu domba/kaum munafikin berjubah agama/teroris berlabel khilafah islamiyah/zionis berkedok HTI, ISIS, JAT,PKS, dkk
Foto Abdullah Musawa.

Abdullah Musawa

QUOTE PAGI INI !

Ekstrimisme, Radikalisme, Terorisme dan Kejahatan yang Berkedok dibalik Agama, Mereka Adalah Perusak Citra Islam

Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Nih apa temean mau ikuti agen asing (CIA perusak NKRI dan Pancasila serta UUD 1945) dan Bhineka Tunggal ika???http://bit.ly/2gUkzeY
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Tuhan Allah SWT yang akan membatalkan rangkaian Makar terhadap NKRI dan Presiden yang Sah via aksi 411, 212, dan ancaman reject dkk ini,http://www.martirnkri.com/…/Makar-Yang-Direncanakan…
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Apa temen ngga sadar sedang dikelabui dan dimanfaatkan para politisi busuk dan aden asing penjajah?
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Yg asal jeplak ngatain orang keliatan bodohnya jg kudu introspeksi tuh. Sekolah aja ga kelar lagaknya kyk dah paling pinter. Mulut ga berpendidikan kyk gitu tuh
Muhammad Hery AzharMuhammad Hery Azhar Seorang muslim yg baik tidk pernah berkata buruk tentang ustad atau ulama , apalagi yg punya pesantren dan punya banyak murid….
Suka · Balas · 3 · 17 jam
Rosemaya RavasiaRosemaya Ravasia Ho oh aja deh

 


Data Mengejutkan : Wahabi adalah pengikut dajjal kelak

$
0
0

Kemunculan Dajjal merupakan puncak dari munculnya fitnah paling besar dan mengerikan di muka bumi ini bagi umat manusia khususnya umat Muslim. Kemunculannya di akhir zaman, di masa imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam, akan banyak mempengaruhi besar bagi umat muslim sehingga banyak yang mengikutinya kecuali orang-orang yang Allah jaga dari fitnahnya.

Dalam hadits disebutkan :

قام رسول الله صلى الله عليه و سلم في الناس فأثنى على الله بما هو أهله، ثم ذكر الدجال فقال: ” إني لأنذركموه، وما من نبي إلا وقد أنذر قومه

“ Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia dan memuji keagungan Allah, kemudian beliau menyebutkan Dajjal lalu mengatakan : “ Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan dajjal, tidak ada satu pun seorang nabi, kecuali telah memperingatkan umatnya akan dajjal “. (HR. Bukhari : 6705)

Dalam hadits lain, Nabi bersabda :

ليس من بلد إلا سيطؤه الدجال

“ Tidak ada satu pun negeri, kecuali akan didatangi oleh dajjal “. (HR. Bukhari : 1782)

Pada kesempatan ini, saya tidak menjelaskan sepak terjang dajjal, namun saya akan sedikit membahas sebagian kaum yang menjadi pengikut dajjal. Dan kali ini, saya tidak mengungkap semua kaum yang mengikuti dajjal, namun saya akan menyinggung satu persoalan yang cukup menarik yang telah diinformasikan oleh nabi bahwa ada kelompok umatnya yang akan menjadi pengikut setia dajjal, padahal sebelumnya mereka ahli ibadah bahkan ibadah mereka melebihi ibadah umat Nabi Muhammad lainnya, mereka rajin membaca al-Quran, sering membawakan hadits Nabi, bahkan mengajak kembali pada al-Quran. Namun pada akhirnya mereka menjadi pengikut dajjal, apa yang menyebabkan mereka terpengaruh oleh dajjal dan menjadi pengikut setianya ? simak uraiannya berikut :

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنَّ مِن بعْدِي مِنْ أُمَّتِي قَوْمًا يَقْرَؤُنَ اْلقُرآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَلاَقِمَهُمْ يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ اْلإسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ اْلأَوْثَانِ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ اْلإسْلاَمِ كمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مَنَ الرَّمِيَّةِ، لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“ Sesungguhnya setelah wafatku kelak akan ada kaum yang pandai membaca al-Quran tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala, mereka lepas dari Islam seperti panah yang lepas dari busurnya seandainya (usiaku panjang dan) menjumpai mereka (kelak), maka aku akan memerangi mereka seperti memerangi (Nabi Hud) kepada kaum ‘Aad “.(HR. Abu Daud, kitab Al-Adab bab Qitaalul Khawaarij : 4738)

Nabi juga bersabda :

سَيَكُونُ فِى أُمَّتِى اخْتِلاَفٌ وَفُرْقَةٌ قَوْمٌ يُحْسِنُونَ الْقِيلَ وَيُسِيئُونَ الْفِعْلَ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يَرْجِعُونَ حَتَّى يَرْتَدَّ عَلَى فُوقِهِ هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ طُوبَى لِمَنْ قَتَلَهُمْ وَقَتَلُوهُ يَدْعُونَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسُوا مِنْهُ فِى شَىْءٍ مَنْ قَاتَلَهُمْ كَانَ أَوْلَى بِاللَّهِ مِنْهُمْ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا سِيمَاهُمْ قَالَ : التَّحْلِيقُ

“ Akan ada perselisihan dan perseteruan pada umatku, suatu kaum yang memperbagus ucapan dan memperjelek perbuatan, mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan, mereka lepas dari Islam sebagaimana anak panah lepas dari busurnya, mereka tidak akan kembali (pada Islam) hingga panah itu kembali pada busurnya. Mereka seburuk-buruknya makhluk. Beruntunglah orang yang membunuh mereka atau dibunuh mereka. Mereka mengajak pada kitab Allah tetapi justru mereka tidak mendapat bagian sedikitpun dari Al-Quran. Barangsiapa yang memerangi mereka, maka orang yang memerangi lebih baik di sisi Allah dari mereka “, para sahabat bertanya “ Wahai Rasul Allah, apa cirri khas mereka? Rasul menjawab “ Bercukur gundul “.(Sunan Abu Daud : 4765)

Nabi juga bersabda :

سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمانِ قَومٌ أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ قَوْلَ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ اْلقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنَ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، فَإذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ ، فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْراً لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ اْلقِيَامَة

“ Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda, berucap dengan ucapan sbeaik-baik manusia (Hadits Nabi), membaca Al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya, maka jika kalian berjumpa dengan mereka, perangilah mereka, karena memerangi mereka menuai pahala di sisi Allah kelak di hari kiamat “.(HR. Imam Bukhari 3342)

Dalam hadits lain Nabi bersabda :

يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ اْلمَشْرِقِ يَقْرَؤُونَ اْلقُرْانَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ كُلَّمَا قَطَعَ قَرْنٌ نَشَأَ قَرْنٌ حَتَّى يَكُوْنَ آخِرُهُمْ مَعَ اْلمَسِيْخِ الدَّجَّالِ

“ Akan muncul sekelompok manusia dari arah Timur, yang membaca al-Quran namun tidak melewati tenggorokan mereka. Tiap kali Qarn (kurun / generasi) mereka putus, maka muncul generasi berikutnya hingga generasi akhir mereka akan bersama dajjal “ (Diriwayatkan imam Thabrani di dalam Al-Kabirnya, imam imam Abu Nu’aim di dalam Hilyahnya dan imam Ahmad di dalam musnadnya)

Ketika sayyidina Ali dan para pengikutnya selesai berperang di Nahrawain, seseorang berkata :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَبَادَهُمْ وَأَرَاحَنَا مِنْهُمْ

“ Alhamdulillah yang telah membinasakan mereka dan mengistirahatkan kita dari mereka “, maka sayyidina Ali menyautinya :

كَلاَّ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّ مِنْهُمْ لَمَنْ هُوَ فِي أَصْلاَبِ الرِّجَالِ لَمْ تَحْمِلْهُ النِّسَاءُ وَلِيَكُوْنَنَّ آخِرَهُمْ مَعَ اْلمَسِيْحِ الدَّجَّال

“ Sungguh tidak demikian, demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya akan ada keturunan dari mereka yang masih berada di sulbi-sulbi ayahnya dan kelak keturunan akhir mereka akan bersama dajjal “.
Penjelasan :

Dalam hadits di atas Nabi menginformasikan pada kita bahwasanya akan ada sekelompok manusia dari umat Nabi yang lepas dari agama Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya dengan sifat dan ciri-ciri yang Nabi sebutkan sebagai berikut dalam hadits-haditsnya di atas :

1. Senantiasa membaca al-Quran, Namun kata Nabi bacaanya tidak sampai melewati tenggorokannya artinya tidak membawa bekas dalam hatinya.
2. Suka memerangi umat Islam.
3. Membiarkan orang-orang kafir.
4. Memperbagus ucapan, namun parkteknya buruk.
5. Selalu mengajak kembali pada al-Quran, namun sejatinya al-Quran berlepas darinya.
6. Bercukur gundul.
7. Berusia muda.
8. Lemahnya akal.
9. Kemunculannya di akhir zaman.
10. Generasi mereka akan terus berlanjut dan eksis hingga menajdi pengikut dajjal.

Jika kita mau mengkaji, meneliti dan merenungi data-data hadits di atas dan melihat realita yang terjadi di tengah-tengah umat akhir zaman ini, maka sungguh sifat dan cirri-ciri yang telah Nabi sebutkan di atas, telah sesuai dengan kelompok yang selalu teriak lantang kembali pada al-Quran dan hadits, kelompok yang senantiasa mempermaslahkan urusan furu’iyyah ke tengah-tengah umat, kelompok yang mengaku mengikut manhaj salaf, kelompok yang senantiasa membawakan hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yaitu tidak ada lain adalah wahhabi yang sekarang bermetomorfosis menjadi salafi.

Membaca al-Quran dan selalu membawakan hadist-hadits Nabi adalah perbuatan baik dan mulia, namun kenapa Nabi menjadikan hal itu sebagai tanda kaum yang telah keluar dari agama tersebut?? Tidak ada lain, agar umat ini tidak tertipu dengan slogan dan perilaku mereka yang seakan-akan membawa maslahat bagi agama Islam. Ciri mereka yang suka memerangi umat Islam, tidak samar dan tidak diragukan lagi, sejarah telah mencatat dan mengakui sejarah berdarah mereka di awal kemuculannnya, ribuan umat Islam dari kalangan awam maupun ulamanya telah menjadi korban berdarah mereka hanya karena melakukan amaliah yang mereka anggap perbuatan syirik dan kufr dan dianggap telah menentang dakwah mereka. Namun dengan musuh Islam yang sesungguhnya, justru mereka biarkan bahkan hingga saat ini mereka akrab dengan kaum kafir, adakah sejarahnya mereka memerangi kaum kafir??

Ciri berikutnya adalah memperbagus ucapan namun prakteknya buruk, mereka jika berbicara dengan lawannya selalu mengutarakan ayat-ayat al-Quran dan hadits, namun ucapanya tersebut tidaklah dinyatakan dalam prakteknya, kadang mereka membaca mushaf al-Quran pun sambil tiduran tanpa ada adabnya sama sekali.

Ciri berikutnya adalah mereka senantiasa berkoar-koar kepada kaum muslimin lainnya agar kembali pada al-Quran. Tanda mereka ini sangat nyata dan kentara kita ketahui pada realita saat ini, kaum wahabi selalu teriak kepada kaum muslimin untuk kembali pada Al-Quran. Ahlus sunnah selalu mengajak pada Al-Quran karena ajaran mereka memang bersumber dari Al-Quran, namun kenapa Allah menjadikan sifat ini sebagai tanda pada kaum neo khawarij (wahabi) ini?? Sebab merekalah satu-satunya kelompok yang dikenali dikalangan awam yang selalu teriak mengajak pada Al-Quran sedangkan Al-Quran sendiri berlepas diri dari mereka. Sehingga hal ini (yad’uuna ilaa kitabillah; mengajak kepada Al-Quran) menjadi tanda atas kelompok ini bukan pada kelompok khawarij lainnya.

Tanda mereka adalah bercukur gundul, Hal ini menambah keyakinan kita bahwa yang dimaksud oleh Nabi dalam tanda ini adalah tidak ada lain kelompok wahabi. Tidak ada satu pun kelompok ahli bid’ah yang melakukan kebiasaan dan melazimkan mencukur gundul selain kelompok wahabi ini, mereka kelompok sesat lainnya hanya bercukur gundul pada saat ibadah haji dan umrah saja sama seperti kaum muslimin Ahlus sunnah. Namun kelompok wahabi ini menjadikan mencukur gundul ini suatu kelaziman bagi pengikut mereka kapan pun dan dimana pun. Bercukur gundul ini pun telah diakui oleh Tokoh mereka; Abdul Aziz bin Hamd (cucu Muhammad bin Abdul Wahhab) dalam kitabnya Majmu’ah Ar-Rasaail wal masaail : 578.

Cirri berikutnya adalah berusia muda dan akalnya lemah, Mereka pada umumnya masih berusia muda tetapi lemah akalnya, atau itu adalah sebuah kalimat majaz yang bermakna orang-orang yang kurang berpengalaman atau kurang berkompetensi dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Subyektivitas dengan daya dukung pemaham yang lemah dalam memahaminya, bahkan menafsiri ayat-ayat Al-Qur`an dengan mengedepankan fanatik dan emosional golongan mereka sendiri.

Kemunculan kaum ini ada di akhir zaman sebagaimana hadits Nabi di atas, kemudian generasi mereka juga akan terus berlanjut hingga generasi akhir mereka akan bersama dajjal menjadi pengikut setianya.
Namun apa yang menyebabkan mereka terpengaruh oleh dajjal dan menjadi pengikut dajjal ?? berikut kajian dan analisa ilmiyyahnya :

Sebab pertama : Wahabi beraqidahkan tajsim dan tsyabih.

Sudah maklum dalam kitab-kitab mereka bahwa mereka meyakini Allah itu memiliki organ-organ tubuh seperti wajah, mata, mulut, hidung, tangan, kaki, jari dan sebagainya, dan mereka mengatakan bahwa organ tubuh Allah tidak seperti organ tubuh makhluk-Nya.

Mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat yaitu di Arsy, mereka juga memaknai istiwa dengan bersemayam dan duduk dan menyatakan semayam dan duduknya Allah tidak seperti makhluk-Nya. Mereka meyakini Allah turun ke langit dunia dari atas ke bawah di sepertiga malam terakhir, dan meyakini bahwa ketika Allah turun maka Arsy kosong dari Allah namun menurut pendapat kuat mereka Arasy tidak kosong dari Allah. Sungguh mereka telah memasukkan Allah dalam permainan pikiran mereka yang sakit itu. Dan lain sebagainya dari pensifatan mereka bahwa Allah berjisim..
Nah, demikian juga dajjal, renungkanlah kisah dajjal yang disebutkan oleh Nabi dalam hadts-hadits sahihnya, bahwasanya dajjal itu berjisim, berorgan tubuh, memiliki batasan, dia berjalan secara hakikatnya, dia turun secara hakikatnya, dia berlari kecil secara hakikatnya, dia memiliki kaki secara hakikat, memiliki tangan secara hakikat, memiliki mata secara hakikat, memiliki wajah secara hakikat dan lain sebagainya..dan tidak ada lain yang menyebabkan mereka mengakui dajjal sebagai tuhannya kecuali karena berlebihannya mereka di dalam menetapkan sifat-sifat Allah tersebut dan memperdalam makna-maknanya hingga sampai pada derajat tajsim.

Perhatikan dan renungkan sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

إني حدثتكم عن الدجال، حتى خشيت أن لا تعقلوا ، إن المسيح الدجال قصير أفحج ، جعد أعور ، مطموس العين ، ليست بناتئة ، ولا جحراء ، فإن التبس عليكم ، فاعلموا أن ربكم ليس بأعور

“ Sesungguhnya aku ceritkan pada kalian tentang dajjal, karena aku khawatir kalian tidak bisa mengenalinya, sesungguhnya dajjal itu pendek lagi congkak, ranbutnya keriting (kribo), matanya buta sebelah dan tidak menonjol dan cengkung, jika kalian masih samar, maka ketahuilah sesungguhnya Tuhan kalian tidaklah buta sebelah matanya “. (HR. Abu Dawud)

Nabi benar-benar khawatir umatnya tidak bisa mengenali dajjal, dan Nabi menyebutkan cirri-ciri dajjal yang semuanya itu bermuara pada jisim, dan menyebutkan aib-aib yang disepakati oleh kaum musyabbih dan sunni yang mutanazzih, namun kaum musyabbihah (wahabi-salafi) sangat mendominasi pada pemikiran tajsimnya sehingga bagi mereka Allah Maha melakukan apapun, dan Allah maha Mampu atas segala sesuatu, bahkan menurut mereka kemampuan Allah memungkinkan berkaitan dengan perkara yang mustahil bagi-Nya yang seharusnya kita sucikan, sehingga berkatalah sebagian mereka : Bahwa Allah jika berkehendak untuk bersemayam di punggung nyamuk, maka Allah pun akan bersemayam di atasnya. Naudzu billahi min dzaalik..

Sebab kedua : Tidak adanya pehamahan mereka tentang perkara-perkara di luar kebiasaan (khawariqul ‘aadah) atau disebut karomah.

Realita yang ada saat ini, kaum wahhabi-salafi tidak pernah membicarakan tentang khawariqul ‘aadah atau karomah, bahkan mereka mengingkari karomah-karomah para wali Allah yang disebutkan oleh para ulama hafidz hadits seperti al-Hafidz Abu Nu’aim dalam kitab hilyahnya, imam Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikhnya dan lainnya, bahkan mereka memvonis kafir kepada sebagian para wali Allah yang mayoritas ahli tasawwuf. Mereka tidak bisa mencerna karomah-karomah para wali yang ada sehingga tidak mempercayai imdadaat ruhiyyah (perkara luar biasa yang bersifat ruh) yang Allah berlakukan di tangan para wali-Nya yang bertaqwa sebagai kemuliaan Allah atas mereka.

Sedangkan dajjal akan dating dengan kesaktian-kesaktian yang lebih hebat dan luar biasa sebagai fitnah bagi orang yang Allah kehendaki, menumbuhkan tanah yang kering, menurunkan hujan, memunculkan harta duniawi, emas, permata, menghidupkan orang yang mati dan lain sebagainya, sedangkan kaum wahhabi tidak perneh membicarakan khawariqul ‘aadat semacam itu, sehingg akal mereka tidak mampu membenarkannya, oleh sebab itu ketika dajjal muncul dengan membawa khowariqul ‘aadat semacam itu disertai pengakuan rububiyyahnya, maka bagi wahabi dajjal itu adalah Allah, karena wahabi tidak mengathui sama sekali tentang khowariqul ‘aadat yang Allah jalankan atas seorang dari golongan manusia, mereka pun tidak mampu membedakan antara pelaku secara hakikatnya dan semata-semata sebab / perantaranya, maka bercampurlah pemahaman mereka antara kekhususan sang pencipta dengan makhluk-Nya. Seandainya mereka mengetahui bahwa apa yang terjadi dari khowariqul ‘aadat hanyalah semata-mata dari qudrah Allah, dan manusia hanyalah perantara, maka wahabi tidak akan heran atas apa yang dilakukan dajjal. Dan seandainya kaum wahabi bertafakkur atas khowariqul ‘aadat yang terjadi dari para Nabi dan wali, maka wahabi tidak akan terkena fitnah oleh khowariqul ‘aadat yang terjadi dari dajjal sebagai bentuk istidraajnya.

Yang membedakan khowariqul ‘aadat yang terjadi atas para Nabi dan dajjal adalah bahwa para nabi memperoleh hal itu sebagai penguat kebenaran yang mereka serukan, sedangkan dajjal memperolah hal itu sebagai fitnah atas seseorang yang mengaku rububiyyah, perkara hal itu sama-sama perkara khowariqul ‘aadat (perkara luar biasa).
Sebab ketiga : Bermanhaj khowarij yakni keluar dari jama’ah muslimin dan mengkafirkan kaum muslimin.
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam mensifati pengikut dajjal bahwasanya mereka adalah kaum khowarij, sebagaimana sebagian telah dijelaskan di awal :

يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ اْلمَشْرِقِ يَقْرَؤُونَ اْلقُرْانَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ كُلَّمَا قَطَعَ قَرْنٌ نَشَأَ قَرْنٌ حَتَّى يَكُوْنَ آخِرُهُمْ مَعَ اْلمَسِيْخِ الدَّجَّالِ

“ Akan muncul sekelompok manusia dari arah Timur, yang membaca al-Quran namun tidak melewati tenggorokan mereka. Tiap kali Qarn (kurun / generasi) mereka putus, maka muncul generasi berikutnya hingga generasi akhir mereka akan bersama dajjal “ (Diriwayatkan imam Thabrani di dalam Al-Kabirnya, imam imam Abu Nu’aim di dalam Hilyahnya dan imam Ahmad di dalam musnadnya)

Arah Timur yang Nabi maksud tidak ada lain adalah arah Timur kota Madinah yaitu Najd sebab Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam telah menspesifikasikan letak posisinya yaitu tempat dimana ciri-ciri khas penduduknya orang-orang yang memiliki banyak unta dan baduwi yang berwatak keras dan berhati kasar dan tempat di mana menetapnya suku Mudhar dan Rabi’ah, dan semua itu hanya ada di Najd Saudi Arabia, Nabi bersabda :

مِنْ هَا هُنَا جَاءَتِ اْلفِتَنُ ، نَحْوَ اْلمَشْرِقِ ، وَاْلجَفَاءُ وَغِلَظُ اْلقُلوْبِ فيِ اْلفَدَّادِينَ أَهْلُ اْلوَبَرِ ، عِنْدَ أُصُوْلِ أَذْنَابِ اْلإِبِلِ وَاْلَبقَرِ ،فِي رَبِيْعَةْ وَمُضَرً

“Dari sinilah fitnah-fitnah akan bermunculan, dari arah Timur, dan sifat kasar juga kerasnya hati pada orang-orang yang sibuk mengurus onta dan sapi, kaum Baduwi yaitu pada kaum Rabi’ah dan Mudhar “. (HR. Bukhari)

Maka kaum wahhabi-salafi ini adalah regenerasi dari kaum khowarij pertama di masa Nabi dan sahabat, perbedaaanya kaum khowarij pertama bermanhaj mu’aththilah (membatalkan sifat-sifat Allah), sedangkan kaum neo khowarij (wahhabi) ini bermanhaj tajsim dan taysbiih. Walaupun berbeda, namun sama-sama menyimpang dari aqidah Islam, dan Allah merubah manhaj mereka dari kejelekan menuju manhaj yang lebih jelek lagi sebagai balasan atas kedhaliman dan kesombongan yang memenuhi hati mereka. Atas manhaj tajsim mereka inilah menjadi penyebab wahhabi mudah terpengaruh oleh dajjal, sedangkan khowarij terdahulu jika masih ada yg mengikuti manhaj ta’thilnya tidak mungkin terpengaruh oleh dajjal, sebab sangat anti terhadap sifat-sifat Allah, mereka mensucikan Allah dari sifat gerak, pindah, bersemayam, diam, duduk, turun dan sebagainya bahkan mereka membatalkan sifat-sifat wajib Allah.

Maka dengan jelas wahabi kelak akan menjadi penikut dajjal, naudzu billahi min syarril wahhabiyyah wa imaamihim dajjal..

http://ibnu-alkatibiy.blogspot.co.id/2013/05/data-mengejutkan-wahabi-adalah-pengikut.html?m=1



NGERTAKJEUN NUSANTARA SHANTI

$
0
0

Sampurasun, Om Swatiastu, Namo Budhaya, Eveni Shalom Elaichem, Wei Dong Tien, Assalamu Alaikum Wa Rahmatullahi wa Barakatuh, Mari kita bersama sukseskan Program Event Historis “NGERTAKEUN NUSANTARA SHANTI, 7-1-2017 (7117) ” Di Pure Parahyangan Agung Jagatkarta, Taman Sari Gunung Salak Bogor. Mohon doa dan dukungan spiritual-ruhaniah maupun material-fisikal Demi Nusantara yang Jaya Raya dan Damai Sejahtera Lahir dan Batin.Foto Bangun Charlie.

Foto Bangun Charlie.

Foto Bangun Charlie.

Foto Bangun Charlie.

bapak-panji-putra-soekarnoay-samantho-dan-panji-putra-soekarno-plus-ark-ali-khan

Foto Bangun Charlie.img_0762persaudaraan-bhineka-tunggal-ikagapura-pure-parahyangan-agung-jagatkartaibu-i-made-sadnjaketua-panitia-nns-7117-dan-penyumbang-pertama-dana-puniapanitia-nns-7117-di-gapoura-pure-pajbapak-i-made-sadnjapara-panitia-penggerak-nns-7117-bersama-ibu-i-made-sadnja


Peduli sebagai Moralitas Politik

$
0
0

Peduli sebagai Moralitas Politik

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Dalam sebuah tulisannya, filsuf Frans Magnis Suseno pernah mengidentifikasi bahwa tantangan terbesar etika politik di Indonesia adalah kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial. Semuanya itu sebenarnya berawal dari ketidakadilan sosial.

Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan sosial mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.

Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.

Ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat struktural, bukan semata-mata individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

KEPEDULIAN STRUKTURAL

Dimensi utama identifikasi ketidakadilan adalah kemampuan politisi mencermati dan meningkatkan sensibilitas untuk mewujudkan kepedulian atas ketidakadilan struktural tersebut. Kepedulian bukan diperoleh dari pretensi emosional individual. Karena jika ini yang dilakukan maka yang muncul kemudian adalah etika individual. Etika individual akan muncul dalam rentangan hedonistik, egoistik, atau bahkan altruistik.

Kepedulian altruistik sangatlah utopis, politisi mengorbankan seluruh pencapaian bahkan dirinya sendiri sebagai wujud kepedulian. Bertolak belakang dengan etika hedonistik yang membuang kepedulian ke tong sampah, karena baginya semua praksis harus diarahkan pada pemenuhan kesenangan yang tak berujung.

Van Peursen (1988) membangun sebuah pemahaman perihal etika struktural. Apa itu? Etika yang merujuk pada sistem yang pro pada keadilan sosial. Jadi bukan pengorbanan atau kesenangan politisi, tapi kepedulian politisi untuk menyingkap hal-hal yang membatasi terwujudnya keadilan sosial. Inilah yang dimaksud dengan kepedulian struktural.

PROBLEM KEKINIAN

Prof Lukman Sutrisno, guru besar sosiologi UGM, pernah menyerang sebuah pandangan pada zaman Orba yang rumusannya kira-kira begini: “pemerintah tidak boleh memanjakan masyarakat, jadi jangan beri mereka ikan, tapi berilah kail”. Kritik Sutrisno terutama ditujukan pada penguasaan aset strategis oleh negara dan pemilik modal. Dia berujar: “Bagaimana hidup dengan semata diberi kail, jika tidak ada lagi kolam yang tersisa untuk memancing ikan. Semuanya sudah dikuasai!”.

Narasi diatas menjadi bahan pelajaran bagi kita bahwa memahami ketidakadilan butuh pencermatan yang seksama. Sangat mungkin negara menganggap diri sudah melakukan segala hal untuk masyarakat, namun keadilan justru tak kunjung tergapai karena sumber-sumber ketidakdilan masih berserak dimana-mana.

Kemiskinan, terutama bukan semata melekat pada individu. Pandangan lama mengatakan bahwa orang miskin karena dia malas. Yang terjadi jika kita menganut pandangan ini adalah kita berbuat aniaya. Sudah jadi korban ketidakadilan sosial, malah dituding lagi sebagai si pemalas.

Demokrasi yang telah menjadi pilihan kita, jangan sampai hanya bermakna prosedural, namun haruslah substantif. Demokrasi mesti berlandaskan etika yang jelas.

Etika, atau filsafat moral (Teichman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik, dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak. Standar baik dalam konteks politik bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan yang sangat pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk.

Etika yang baik adalah perwujudan kepentingan masyarakat karena dilandasi kepedulian struktural.

 


Presiden resmi klarifikasi soal isu Tenaga Kerja China di Indonesia

$
0
0
by Otong Rosadi

Presiden resmi klarifikasi soal isu Tenaga Kerja China di Indonesia: dari jumlah, perbandingan gaji dan sweeping terhadap wisatawan China.

Soal 10 Juta Tenaga Kerja Tiongkok, Presiden Jokowi: Logikanya Dimana, Gaji di Sana 2-3 Kali Kita Oleh: Humas ; Diposkan pada: 23 Dec 2016 ; 1037 Views…
15 Komentar
Komentar
Atip LatifulhayatAtip Latifulhayat Hese percaya sayah mah kang Otong ka manehna teh.
Suka · Balas · 1 · 1 jam
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho kaum wahabi termasuk persis selalu memandang Jokowi dengan gaya suudzon wae.
Otong RosadiOtong Rosadi Tos ach, urang jantenkeun ieu Facebook cukang lantaran pageuhna silaturahmi.
Atip Latifulhayat Saya mah pribadi atuh tidak mewakili siapapun, apalagi Wahabi. Biasa saja rakyat mengkritik pemimpinnya. L
Atip LatifulhayatAtip Latifulhayat Terus setiap yg kritik Jokowi jadi Wahabi. Aneh, bahaya ini.
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho beda antara kritik konstruktif berasaskan cinta rahmatan lil alamin dengan hate spech yang penuh kebencian dan permusuhan. jelas banget bedanya dari analisi contentnya.
Atip LatifulhayatAtip Latifulhayat Itu khan pendapat anda yg justru membenci Persis dan Wahabi yg nggak ada kaitan sama sekali. Kalau anda nggak setuju dgn saya silakan bantah dgn data atas apa yg diucapkan Jokowi bukan mengumbar kebencian ke Persis dan Wahabi. Aneh
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Bukan soal kebencian terhadap saudara wahabiyin, tapi hasil pengalaman pribadi, & pengamatan dan kajian sejarah umat Islam dunia selama puluhan tahun terhadap geopolitik internasional dan nasional umat Islam dan musuh-musuh sejatinya, sejak saya berada beberapa tahun di titik pusat PP Persis tahun 1980-an, sampai sekarang. Kang Atip Latifulhayat juga tahu siapa saya. Alhamdulillah saya tak berhenti belajar soal agama kepada banyak guru dari berbagai belahan dunia.
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Khusus untuk isu serbuan tenaga kerja china itu saya lebih percaya kepada info resmi dari Setkab RI, dan saya percaya Presiden sah Joko Widodo, sejak sebelum dia terpilih bahkan, sampai saat ini. “Trust for his integrity” Kang Atip..
Atip LatifulhayatAtip Latifulhayat Justru karena saya tahu siapa kang Anto dan saya lebih tahu ttg Persis dan saya juga tahu apa itu Wahabi saya heran saja mengaitkan celotehan saya ke Jokowi dikaitlan dgn hal itu. Silakan bela Jokowi kang Anto sebagaimana saya akan mengkritiknya karena itu halal, tapi please jangan sedikit2 Wahabi. Salam.
Otong RosadiOtong Rosadi Nuhun diskusina, tong pegat rageut silaturrahmi na
Atip LatifulhayatAtip Latifulhayat Tenang kang Otong, ini diskusi aktivist.
Otong RosadiOtong Rosadi Asyek..menyimak
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho semua peristiwa ada fenomenologinya dan ada sababun nuzulnya Kang Atip, kontekstual sikon psikososial politik religinya. Gaung Sektarianisme terlalu berisik akhir-akhir ini di Indonesia karena ekses geopolitik para Kapitalis Global dan kaum munafikin dari Timur Tengah (Arab saudi pro Amerika dan Israel), telah berekses massif terhadap situasi dalam negeri. Abdi moal waka pegatkeun silaturahmi dengan kang Atip Latifulhayat, karena saya kenal dan tahu beliau adalah salah satu intelektual yang langka di Persis. Mudah-mudahan rasionalistasnya bisa membimbing kita semua ke jalan dan paradigma yang lebih benar dan lebih adil.
 by ANZIL ST (Kompasianer) Ini satu lagi berita liputan saktjiwa.com bikin ngakak. Jakarta-SAKITJIWA.COM.
AHMADSAMANTHO.WORDPRESS.COM

 

 


Perahu jong? Perahu apa pula ini?

$
0
0

Perahu jong? Perahu apa pula ini?

 

Jong (kadang disebut jung) adalah salah satu jenis kapal atau perahu yang pernah berjaya di lautan Nusantara, Asia Tenggara, bahkan Samudra Hindia hingga Madagaskar dan Afrika.

Oleh: Yusandi

AGUSTUS 8, 2016

Replika perahu jong tanpa cadik Perhatikan motif kepala naga pada hulu dan sejumlah dayung di sisi badan perahu, yang sesuai dengan gambaran Bujangga ManikPerahu jong diproduksi oleh orang Jawa, dan selalu memenuhi pelabuhan-pelabuhan besar yang tersebar di Nusantara, bareng kora-kora buatan orang Banda, lancang (lanchara dalam tulisan Portugis) buatan orang Melayu, dan pinisi buatan orang Bugis, dan padekawang buatan orang Makassar. Jong, dan semua jenis kapal ini, berfungsi ganda: perahu perang dan perahu dagang.

Selama ini, kita mengetahui keberadaan perahu jong dari kesaksian dan kronik-kronik Cina, Portugis, dan Belanda. Pada abad ke-15 dan ke-16, orang Eropa menulisnya junco. Namun, ternyata bangsa kita pun pernah menulis perihal jong ini—malah lebih rinci.

Salah seorang saksi yang menulis bentuk fisik jong adalah tokoh utama dalam naskah Bujangga Manik yang ditulis setelah tahun 1475 dan sebelum 1511 M (berdasarkan keterangan implisit si tokoh bahwa Kerajaan Demak telah ada dan Kerajaan Malaka belum didatangi Portugis). Kesaksian tokoh Bujangga Manik bisa melengkapi pengetahuan kita tentang “perahu bercadik” pada relief Candi Borobudur.

Tokoh utama, sebut saja Bujangga Manik, adalah seorang bangsawan Kerajaan Sunda dari Pakuan (sekitar Bogor, Jawa Barat) yang aslinya bernama Pangeran Jaya Pakuan dan berniat menjadi pertapa dan berkelana ke perbagai tempat suci di Jawa dan Bali. Pada perjalanan pertamanya, setelah tiba di Pamalang (Pemalang, Jawa Tengah), bangsawan ini menaiki perahu jong ke Kalapa (Sunda Kelapa di Jakarta) karena rindu pada sang ibu.

Saat perjalanan kedua, setelah menempuh pelbagai gunung, sungai, dan sejumlah wilayah administratif melalui jalur utara Jawa (semacam jalur Pantura kini), ia tiba di Balungbangan (Blambangan, Jawa Timur) dan naik perahu jenis yang sama menyeberang ke Bali. Dari Bali ia naik kapal kembali lalu mendarat di Balungbangan kembali dan melanjutkan perjalanan melalui jalur selatan Pulau Jawa dan akhirnya menetap di Gunung Patuha (di Jawa Barat) hingga akhir hayatnya menjadi pertapa.

 

Replika perahu jong tanpa cadik Perhatikan motif kepala naga pada hulu dan sejumlah dayung di sisi badan perahu, yang sesuai dengan gambaran Bujangga Manik
Replika perahu jong tanpa cadik Perhatikan motif kepala naga pada hulu dan sejumlah dayung di sisi badan perahu, yang sesuai dengan gambaran Bujangga Manik

Nah, sekarang mari kita ikuti perjalanan Rakeyan Ameng Layaran (nama samaran Bujangga Manik saat berlayar) yang saleh ini saat menyeberangi Selat Bali menuju Pulau Dewata, dengan naik jong. Sebagai seorang pertapa (ameng) sekaligus ahli falak (bujangga), ia disambut oleh ki puhawang alias kapten kapal bernama Selabatang dengan ramah.

Maka, naiklah Bujangga Manik melalui pintu palka lalu duduk di dalam kabin. Dari kabin, pertapa ini langsung tertarik kepada penampilan perahu jong yang berbahan kayu jati berukir, hulunya berhiasan kepala naga dan melengkung hingga buritan (seperti layaknya jenis-jenis perahu lain di Nusantara).

Kayu penyangga dari bambu gombong (sejenis bambu dengan batang besar) dan tiangnya dari kayu juwana. Perlu disebutkan, bahwa pada saat itu Juwana merupakan satu dari banyak wilayah di pesisir utara Jawa, terutama Jawa Tengah, yang menghasil kayu jati yang memang digunakan sebagai bahan dasar kapal.

Sang Bujangga asyik menerangkan bahwa penggulung layar perahu terbuat dari aur kuning (sejenis bambu yang sangat kuat), lantainya dari kayu enau tua dan beralaskan aur seah (sejenis bambu juga). Kemudinya kemudi Keling (mungkin diadopsi dari Keling/India).

Tiang layar dari kayu laka dan bercat merah, dihiasi ikatan-pembuka dari rotan hitam yang bercampur rotan kuning. Tali penyangga layar dari kenur Cina. Dayungnya gemerlap mengkilap-kilap bagai cermin. Pendayungnya berjumlah duapuluh lima di setiap sisi perahu. Jika begitu, jumlah keseluruhan para pendayung adalah 50 orang.

Beres menjelaskan fisik jong, Bujangga Manik melirik kepada awak kapal. Ia mencatat bahwa para pendayung adalah orang Marus (Baros di Sumatra Utara?), para pengayuh orang Angke (di Jakarta?), penanggung jawab layar orang Bangka, kepala kelasi orang Lampung, juru kemudi orang Jambi, juru panah orang Cina, juru sumpit orang Melayu, juru tarung orang Salembu (belum teridentifikasi), juru perang orang Makassar, juru sergap orang Pasai.

Rupanya kapal yang ditumpangi Bujangga Manik ini adalah jong dagang yang wajib dikawal oleh “seksi keamanan” yang siap dengan panah, sumpit, dan senjata tajam lainnya juga oleh mereka yang siap menyergap dan bertarung bila kelak dihadang para perompak di tengah samudra yang terkenal ganas itu.

Ameng Layaran dengan jeli memerhatikan mereka yang bertugas menimba air agar beban perahu stabil yang di antaranya adalah wanita, dengan alat timba dari gayung perak. Ia mencatat bahwa dinding kabin terbuat dari daun nipah, dengan tiang pembalut dinding kabin tegak lurus.

Dan saat layar jong dikembangkan, ia menrdengar letusan bedil sebanyak tujuh kali, yang diikuti oleh alunan sarunay (seruling), gong, gamelan, gong kuning, dan gendang yang diiringi nanyian para awak kapal dengan sangat meriah.

Setelah seharian penuh membelah Selat Bali, sampailah Bujangga Manik di “Nusa Bali” dan menyerahkan bingkisan berupa kain kepada nakkoda Selabatang (rupanya sang nakhoda menggratiskan Bujangga Manik atas biaya pelayaran, karena memandang bahwa pertapa haruslah dihormati). Jika kita perhatikan, Bujangga Manik ini layaknya wisatawan domestik kini yang sedang berlibur bertamasya ke Pulau Dewata.

Sayang, Bujangga Manik tak menceritakan panjang dan lebar perahu. Namun, saat naik jong dari Bali ke Balungbungan, ia menerangkan bahwa kapal yang ia tumpangi dan hendak ke Pariaman (di Sumatra Barat), berukuran tak terlalu besar, dengan lebar delapan depa (sekitar 13 m) dan panjang duapuluh lima depa (sekitar 40 m).

Dengan begitu kita bisa menganggap bahwa jong yang ia naiki sebelumnya lebih besar dari jong saat ia kembali ke Balungbangan. Dan karena, Bujangga ini tidak menyebutkan kata “cadik” maka kita bisa menganggap bahwa jongyang ia tumpangi tidak bercadik.

Itulah gambaran yang diberikan Bujangga Manik atas jong yang ia tumpangi. Jelas, uraiannya sejalan dengan kesaksian pelaut Cina dan Eropa, yang menurut mereka jong ini pada abad ke-16 memegang peranan penting dan menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka, dan Makassar.

Tatkala mencapai perairan Asia Tenggara awal abad itu, pelaut Portugis menemukan kawasan tersebut didominasi jong-jong yang menguasai jalur perdagangan rempah- rempah antara Maluku, Jawa, dan Malaka.

Pada abad ke-16, Malaka yang dikuasai Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque dikepung oleh ratusan kapal junco yang diawaki pasukan gabungan Demak-Aceh-Palembang. Portugis menembaki jong-jong itu, namun meriam terbesar Portugis pun hanya mampu menembus dua lapis dindingjunco.

Saat mendekati junco, mereka bahkan tidak mampu mencapai jembatannya karena kapal junco sangat tinggi. Jelas, besar jong melebihi kapal Portugis. Sumber Cina dari periode abad ke-5 hingga ke-7 menyebutkan bahwa kapal-kapal kayu yang dibuat di Nusantara panjangnya sekitar 162 kaki (43 m).

Sementara, hasil rekontruksi terhadap penemuan puing-puing kapal di Palembang menunjukkan bahwa kapal itu memiliki panjang sekitar 65 hingga 70 kaki (20-21 m) dan bahwa itu merupakan bangkai perahu tanpa cadik, yang dianggap cikal bakal perahu jong. Hal ini berkesesuaian dengan model perahu Nusantara yang terpahat pada relief Candi Borobudur, yang dianggap sebagai nenek moyang dari jong.

Jong Jawa berbeda dengan jung Cina, karena jong Jawa disatukan dengan pasak kayu, sedangkan jung Cina disatukan dengan paku besi dan pengapit. Dua penziarah Cina yang sempat menaiki jong dari Sumatera menuju India menceritakan, panjang kapal 160 kaki (sekitar 49 m) dan memiliki beban sekitar 600 ton. Kapal itu dibuat dengan beberapa lapis papan, tidak menggunakan besi sebagai penguat, papan itu diikat dengan menggunakan serat pohon aren (enau), dan dipasangi tiang-tiang dan layar.


MEMANUSIAKAN MANUSIA

$
0
0

Alit Pranakarya ke ki alit Pranakarya (Konsultan Spiritual & Parapsikolog)

MEMANUSIAKAN MANUSIA…

Kasih sayang, cinta, kedamaian, kebajikan, persaudaraan dan sejumlah niai-nilai kemanusiaan secara normative dan ideal dari agama Islam yang mengajarkan dan memproklamirkan hal-hal tersebut.

Bila saja merujuk pada ajaran agama, dalam hal ini Islam sebagai satu model ajaran agama yang memproklamirkan sebagai agama kemanusiaan. Kedatangan Islam pertama kali jika ditinjau dari sejarahnya adalah satu bentuk respon terhadap masyarakat pagan dengan prinsip-prinsip kesetaraan, kemerdekaan serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana waktu itu unsur-unsur kemanusiaan banyak terabaikan oleh masyarakat Arab yang jahiliyah.

Islam dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang melekat pada ajarannya sebagai satu agama yang mencoba mengangkat sisi kemanusiaan yang ternoda tersebut kembali pada tempatnya, sehingga dari situlah secara kukuh Islam bisa dinyatakan sebagai agama kemanusiaan.

Lembaran sejarah dunia Islam juga menyajikan satu cerminan yang cukup penting untuk dilihat pada satu kondisi masyarakat Madinah yang cukup akur antar kelompok satu dengan kelompok yang lain. Waktu itu Madinah adalah suatu kota yang ditinggali oleh masyarakat yang majemuk, secara garis besar ada tiga kelompok besar masyarakat waktu itu, yaitu kaum muslimin (Anshor dan Muhajirin), orang Arab yang belum masuk Islam dan Yahudi.

Waktu itu kaum muslim adalah kelompok yang paling dominan diantara kelompok lainnya, namun Islam waktu itu tidak menampilkan satu kelompok yang angkuh, tapi Islam yang diperagakan oleh Rasulullah waktu itu sebagai Islam yang rahmatan lil’alamin (mengayomi dan menghargai perbedaan). Islam yang ramah tersebut tertuang dalam satu nota kesepahaman yang dikenal dengan Piagam Madinah.

Dalam piagam inilah terlintas kedekatan Islam sebagai agama yang sangat menghargai unsur kemanusiaan, lewat penginsafan adanya perbedaan keyakinan yang harus dihormati.

Begitu cukup indah cerminan sejarah yang terdeskripsikan di atas, itulah wajah Islam yang dicontohkan oleh rasul. Islam adalah agama yang santun, sangat memanusiakan manusia dengan menghargai perbedaan sebagai salah bentuk kenyataan hidup yang tidak bisa disisihkan. Al-Qur’an juga memberikan satu respon toleran pada persoalan keyakinan dan agama, “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.

Cukup banyak contoh-contoh yang lain mengenai sikap toleransi yang diajarkan oleh Al-Qur’an lewat ayat-ayatnya yang Agung, kemudian akhirnya membawa ajaran Islam sebagai satu model ajaran agama yang kental akan penghargaan terhadap unsur-unsur kemanusiaan.

Sejarah serta sedikit kutipan ajaran Al-Qur’an di atas cukup kiranya untuk mengatakan bahwa Islam secara ajaran, mungkin juga pada ajaran-ajaran agama yang lain pada prinsipnya sangat menghargai dan mendambakan kondisi kemanusiaan yang wajar. Tidak ada dalam ajaran-ajaran tersebut ajakan untuk saling memusuhi, dengan demikian agama tetaplah suatu ajaran yang suci, yang menjadikan agama itu sebagai tempat bertikai adalah para pemeluknya yang salah dalam memahami ajaran agamanya. Tetapi, pertikaian antar agama tetap menjadi satu problem yang terus melilit sejarah peradaban manusia sampai detik ini.

Islam dengan seperangkat ajarannya yang sejak dari pertama adalah agama kemanusiaan tentunya mempunyai banyak sisi untuk dijadikan satu titik tolak menuju hubungan antar umat beragama yang harmonis. Jika Nabi sempat mencontohkan lewat Piagam Madinah yang merupakan segmen pada tataran perpolitikan, kiranya juga sangat menarik jika kemudian perdamaian itu bisa dirajut melalui sisi spiritual. Dimensi spiritual dalam kahzanah keislaman yang paling menarik dalam hal ini adalah tasawuf.

Tasawuf dengan bidikan esoterisnya jika ditarik pada kehidupan modern saat ini cukup mumpuni sebagai mediator terciptanya masyarakat multi agama yang rukun. Kehidupan modern yang dipenuhi dengan multi aktifitas yang menggerahkan, nampaknya menggiring manusia pada satu kondisi jiwa yang rapuh. Jiwa yang rapuh inilah yang kemudian bisa saja dimasuki oleh dorongan-dorongan negative yang menghantarkan pada sikap anarkis yang bisa saja terwujud dalam bentuk penghinaan pada kelompok keyakinan yang lain.

Tasawuf dengan olah rohaninya menjadi satu jawaban yang bisa menstabilkan kondisi krisis jiwa umat Islam dengan kondisi tersebut. Ajaran kedamaian, cinta serta kasih sayang dalam dunia tasawuf adalah segmen yang cukup menarik untuk disingkap, sekaligus sebagai upaya membangun hubungan umat beragama yang harmonis.

Ajaran Humanistis dalam Tasawuf:

Tasawuf sampai saat ini masih dicitrakan sebagai disiplin ilmu yang bersifat personal. Capaian-capain kebenaran yang disingkap bersifat subyektif, sehingga dinilai tasawuf tidak cukup peka dengan persoalan sosial. Para ahli tasawuf dianggap orang-orang yang egois, yang selalu beradu mesra dengan Tuhannya. Sementara lingkungan, problem sosial adalah realitas lain seolah-olah tasawuf berada jauh di luar itu. Mungkin memang demikian satu segmen tasawuf yang memperagakan praktek tasawuf yang ekslusif.

Tentu, bukan ini yang dimaksud dari tasawuf itu sendiri, di dalam tasawuf ada ajaran-ajaran yang sangat berkaitan dengan kehidupan konkret yang menata hubungan antar sesama manusia. Esklusifitas dalam dunia tasawuf adalah satu bagian stigma yang harus dipugar menjadi tasawuf yang lebih ramah pada realiatas, sehingga kemudian terciptalah satu tasawuf yang inklusif.

Menggali hubungan tasawuf dengan fenomena sosial yang menyangkut humanistis perlu kiranya suatu tahapan memulangkan hubungan yang dimaksud tersebut terlebih dahulu pada makna dan arti dari tasawuf itu sendiri. Kondisi ini sangat sulit untuk dihindari, karena ajaran dalam tasawuf itu sangat terkait dengan tekanan-tekanan yang terkandung dari arti tasawuf secara definitive. Tasawuf mempunyai arti sebagai bentuk perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog seorang hamba dengan Tuhannya. Adapun kondisi yang tidak boleh lepas dari seorang manusia sebelum benar-benar larut dalam gumulan ajaran tasawuf seorang hamba harus melewati kondisi zuhud yang berarti meninggalkan hidup kematerian. Beranjak dari individu zahid inilah seorang hamba akan menapaki individu sufi.

Tasawuf dalam terminologi epistemologi khazanah keilmuan Islam sebagai bagian dari tiga pilar epistemologi Islam. Pada konteks ini Tasawuf dianggap sangat berdekatan dengan epsitemologi Irfani walaupun beberapa kalangan berpendapat adanya perbedaan mendasar antara tasawuf dan irfani sebagai sebuah epistemologi. Tasawuf lebih ditempatkan sebagai sisi kultur spiritual (spiritual culture) yang tidak dianggap bisa menyelesaikan persoalan kontemporer, karena kebenaran pencapaiannya hanya berupa kebenaran subyektif. Adapun irfani ditempatkan sebagai suatu metodis keilmuan dengan sedikit meminjam istilah-istilah yang ada dalam tasawuf itu sendiri.

Sebenarnya cukup dilema ketika irfani dan tasawuf dipisahkan dengan suatu jurang pemisah yang cukup jauh, karena apa yang ditunjuk oleh irfani secara substansi adalah apa yang juga ditunjuk oleh tasawuf sebagai suatu kebijaksanaan abadi yaitu Tuhan. Terlepas dari problem kontroversial tersebut titik kedekatan tasawuf dan irfani terletak dari olah jiwa (riyadlah) yang merupakan bagian paling prinsip dari tasawuf dan irfani, inilah kemudian dikenal dengan kasyf yang berupa penyingkapan kebenaran Tuhan pada hambanya.

Pada prakteknya tasawuf merupakan satu bentuk potensi universal manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok kemanusiaannya dari sisi spiritual yang berkaitan dengan hatinya. Jika akal memenuhi kebutuhannya lewat realitas maka hati juga perlu pemenuhan kebutuhannya lewat perjumpaannya dengan Tuhan, tasawuf inilah yang menyajikan seperangkat instrument untuk mencapai perjumpaan tersebut. Pada sisi lain ada semacam keterbatasan akal pada suatu sudut tertentu sehingga kemudian menemui titik syak (ragu). Pada titik inilah hati sebagai bagian komponen pada tasawuf bisa memberikan perannya untuk menghantarkan keraguan tersebut pada titik valid menuju titik sumber dari segala pengetahuan yaitu Tuhan.

Sekilas dari uraian di atas mengindikasikan tasawuf berupa ajakan-ajakan pendekatan dan penghayatan ritual keagamaan belaka. Tetapi satu hal yang perlu diketahui bahwa ada kosa kata yang cukup populer dalam dunia tasawuf, tanpa kata tersebut maka tasawuf tidaklah sempurna,kata kunci itu adalah cinta. Lewat catatan sejarah kesufian Rumi yang cukup luas tercermin satu bentuk percintaan yang cukup intim antara seorang hamba pada Tuhannya. Bisa dikatakan peran cinta yang mengolaradalam hati Rumi sebagai bentuk keindahan hubungannya dia bersama Tuhan.

Merujuk pada awal munculnya tasawuf terdapat satu tahap yang mengindikasikan bahwa cinta sebagai spirit dari dari praktek tasawuf. Semula tasawuf adalah bentuk rasa takut seorang hamba terhadap dosa, kemudian pada masa Rumi tasawuf sebagai praktek rasa cinta terhadap Tuhan lalu ada tahap berikutnya adalah masa pembentukan literatur dunia tasawuf yaitu pada masa Al-Sarraj.

Pada priodisasi kemunculan tasawuf kakata kunci cinta menjadi kata kunci yang vital ketika menyebut tasawuf sebagai suatu bentuk kajian.

Cinta digambarkan dalam dunia tasawuf adalah keadaan yang dialami dalam hati seorang hamba yang cukup sulit untuk diungkapkan secara lisan. Keadaan seperti ini kemudian mendorong kondisi seorang hamba pada pensucian Tuhan dan pencarian ridla-Nya yang luas.
Pencarian ridla-Nya yang luas tidak terkungkung pada satu kondisi ritual peribadatan saja tapi juga mempunyai makna yang lebih luas, tentunya juga menyentuh problem-problem sosial kemanusiaa.

Ketika tasawuf selalu berkaitan dengan cinta maka tentunya juga sangat berkaitan dengan keindahan. Kenyataannya cinta memang selalu bertalian dengan keindahan, karena suatu keindahan, cinta itu muncul, namun bisa saja karena cinta lalu kemudian muncul keindahan. Demikian cukup dekat dan bisa dikatakan telah merekat antara keindahan dan cinta itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan seorang sufi adalah individu yang halus yang penuh dengan cinta dan keindahan.

Suatu bentuk keindahan tertinggi dalam terminologi tasawuf adalah pertemuan dengan Tuhan. Pertemuan tersebut setelah terciptanya kesucian hati. Dengan demikian titik keindahan jika sedikit diseret pada ranah kemanusiaan maka keindahan yang tertinggi terdapat pada keindahan hati. Keindahan hati biasa diistilahkan dalam dunia tasawuf dengan ihsan. Ihsan secara terminilogis mempunyai banyak makna yang berupa, indah, baik dan sempurna. Makna yang terkandung secara terminologis tersebut tidak hanya berlaku pada kondisi hubungan internal seorang individu dengan Tuhannya tetapi termanifestasikan dalam bentuk hubungan antar manusia lewat etika dan moral.

Ihsan dalam arti yang lain adalah kedamaian pada jiwa seorang hamba dalam kondisi keseimbangan dan harmonis dengan dunia. Ihsan juga berarti menyelam dalam keindahan pada semua level manifestasinya termasuk membebaskan diri dari batasan-batasan eksistensi keduniawian yang kemudian menggiring suatu kesadaran pada samudera keindahan tanpa batas, yaitu Tuhan itu sendiri.

Keindahan tanpa batas tersebut menandakan keindahan tesebut juga tidak tebatas pada hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga sangat berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. Sebenarnya sangat banyak sekali sisi lain dari ajaran tasawuf yang mencerminkan kehumanisan dan mengedepankan kedamaian, akan tetapi secara garis besar nampaknya cinta dan keindahan inilah satu titik paling signifikan dan nampaknya paling familiar di tengah-tengah halayak umum, paling tidak familiar bagi penulis sendiri.

Sisi lain yang mungkin juga tidak bisa dilewatkan ketika tasawuf ditinjau dari sisi humanistis adalah konsep mengenai wahdat al-Adyan. Konsep wahdat al-Adyan adalah suatu konsep kreatif yang hendak membawa umat manusia pada pentingnya memahami persamaan dan kesatuan agama-agama secara original. Ketika menyebut konsep ini mengingatkan pada seorang tokoh penggagasnya yaitu, Ibn Arabi (1240 M). Sejatinya konsep ini adalah satu rangkaian yang berkaitan dengan teori hulul dari al-Hallaj yang menyatakan bahwa pada dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok yang satu. Pada konsep ini perbedaan yang ada dalam agama-agama sekadar perbedaan dalam bentuk dan namanya, sedangkan hakikatnya yakni mengabdi pada Tuhan yang sama.

Konsep Wahdat al-Adyan jika merujuk pada analoginya Ibn Arabi adalah semacam perbincangan antara konsep yang satu (alwahid) dan yang banyak (katsir). Dalam hal ini Ibn Arabi membawa konsep ini pada tataran filosofis yang menggambarkan hubungan Tuhan (al-wahid) dengan alam, dimana Tuhan hanya bisa dipahami setelah adanya perpaduan antara dua sifat yang berlawanan (wahid-katsir) kemudian dalam tataran epsitemologisnya disebut dengan wahdatul wujud. Bermula dari dasar filosofis ini kemudian bisa ditarik semacam pemahaman bahwa Tuhan memanifestasikan Dirinya pada alam yang banyak dalam bentuk yang tidak terbatas, proses ini dikenal dengan sebutan tajalla.

Konsep ini seakan-akan memeberikan ruang bagi manusia untuk memahami Tuhan dari berbagai sisi lewat menifestasi-manifestasi Tuhan yang begulir dalam bentuk konsep-konsep keagamaan.

Keberadaan Wahdat al-Adyan cukup banyak mengundang kontroversi, kecenderungan memadukan agama-agama memunculkan banyak kerisauan di tengah-tengah umat muslim. Namun bila boleh disimpulkan yang dimaksud dengan Wahdat al-Adyan oleh Ibn Arabi adalah tidak pada level syariat, bentuk, identitas yang berdimensi eksoteris, akan tetapi perjumpaan agama tersebut ada level esoterik atau spiritual yang bermain pada tingkat penghayatan pengalaman personal. Terlepas dari kontroversi yang bergulir, konsep Wahdat al-Adyan adalah satu pencapaian tasawuf yang sangat humanis, dimana ketika konsep ini menjadi satu sikap dan pandangan kebergamaan maka hubungan antar umat beragama tidak akan diliputi saling mencurigai atau tindak cacat moral lainnya.

Implikasi Ajaran Tasawuf dalam Kehidupan Hubungan Antar Agama:
Tahapan ini adalah tahapan yang menghendaki bagaimana ajaran-ajaran tasawuf tersebut yang terdapat pada ulasan sebelumnya bisa ditransfer pada ranah sturktur sosial kemasyarkatan yang mejemuk. Setidaknya ada satu pertanyaan mungkinkah tasawuf juga ada dalam agama-agama yang lain selain Islam? Jika ada maka pintu menuju kedamaian lewat tasawuf adalah satu pintu yang akan mengahantarkan pada kedamaian yang berimbang, karena akan terjalin semacam kesepahaman antaragama.

Jika merujuk pada kemunculan tasawuf dalam Islam maka sangat kentara bahwa tasawuf sebagai tindak mistik adalah bentuk gejala universal yang terdapat di berbagai macam kepercayaan. Persepsi mengenai sumber tasawuf Islam yang menunjuk India dengan komonitas mistik Hindunya lalu memunculkan kelompok sufi Islam dari Khurasan adalah satu bentuk rangkaian dimana terdapat keterpengaruhan para sufi Islam terhadap prilaku mistik pada dunia Hindu. Sumber kedua menunjuk pada dunia Kristen yang juga mempunyai ajaran mistik yang berkaitan dengan oleh jiwa (riyadlah dalam dunia tasawuf). Kemiripan tasawuf Islam pada tindak mistik dunia Kristen menunjukkan kemungkinan adanya persamaan lainnya dengan ajaran yang terdapat dalam tasawuf.

Islam sejak dari awal adalah agama kemanusiaan yang menjunjung kedamaian seperti yang tercermin pada ajaran tasawufnya yaitu sebagai agama rahmatan lil alamin. Mencoba membuka lembaran ajaran Kristen sebagai agama yang paling dekat dengan kehidupan muslim di negeri ini adalah satu pembuka kesadaran pada tahap kesadaran pluralitas. Satu simbol dan ciri khas dari ajaran Kristen adalah ajaran kasih sayangnya. Secara teologis kaum Nasrani meyakini bahwa penyaliban Yesus adalah bentuk cinta kasih pribadi Yesus pada manusia untuk menebus dosa anak cucu Adam. Ajaran moral cinta kasih ini mengubah moral jutaan umat Nasrani untuk saling mengasihi antar sesama manusia.

Ajaran cinta kasih ini konon juga terdapat pada ajaran agama-agama yang lain, sehingga ajaran cinta ini menjadi perekat perekat antar agama di dunia,mengingat titik inilah menjadi kesamaan universal yang dimiliki oleh setiap agama.

Dengan demikian persepsi atau pandangan stereotype yang sering kali dimilki oleh sebagian muslim terhadap agama yang lain tidak perlu terjadi mengingat ada sisi persamaan pada masing agama yang ada tersebut.

Jika kembali pada tasawuf sebaga mediator pembawa kedamaian hubungan antar umat beragama maka secara ekplisist dunia tasawuf menyediakan seperangkat tahapan menuju kesadaran cinta damai yang merupakan inti dari perekat antar hubungan antar agama. Tahapan-tahapan tersebut terbagi menjadi tujuh tahapan yang merupakan maqomat dalam terminology tasawuf.

Pertama taubat, yang berupa peninggalan perbuatan yang kurang baik berupa penginsafan terhadap dosa atas, kealfaan mengingat Allah dengan disertai penyesalan yang mendalam.
Kedua Wara’ menjauhakn diri dari yang subhat (statusnya tidak jelas) baik secara lahir dan batin.
Ketiga Zuhud, tidak mengutamakan kehidupan dunia.
Keempat Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa depan, dan tidak menghendaki sesuatu apapun kecuali Tuhan SWT.
Kelima, Sabar yang berartimenerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.
Keenam Tawakkal yaitu percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan.
Dan yang ketujuh adalah Ridla yakni hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya kegembiraan dan sukacita.

Tujuh tahapan di atas menjadi penting untuk dilewati mengingat cinta yang dimaksud sebagai cinta sejati dalam dunia tasawuf tidak bisa dicapai kecuali seorang individu tersebut melebur pada dunia sufi itu sendiri. Dengan membaur pada dunia sufi maka tasawuf sebagai jalan menuju kedamaian tidak hanya sebagai teori tetapi masuk menjadi pengamalan, tentunya pengetahuan yang dicapai antara peresapan ide lewat akal saja dengan pengetahuan yang dicapai lewat pengamalan mempunyai tensi yang berbeda.

Uraian ini cukup layak untuk mengimplikasikan ajaran humanistis pada tataran realiatas. Secara konkret implikasi pengamalan ajaran humanistis itu dapat direalisasikan dalam hubungan antar agama ketika pemahman publik mengenai ajaran agama-agama yang ada dapat dipahami oleh masing-masing pemeluk yang ada, sehingga dalam bentuk riil bisa memungkinkan pengajaran-pengajaran agama lain pada agama tertentu, misalnya saja mungkin saja terdapat Studi agama Kristen pada Universitas Islam begitu juga sebaliknya. Kemudian pada tahap kedua adalah melaksanakan ajaran tasawuf secara amaliyah untuk menghantarkan pada kesadaran yang utuh mengenai ajaran humanistis yang terdapat dalam tasawuf.

Kesimpulan:

Tasawuf memang separangkat tawaran yang layak untuk dipilih dari sekian banyak alternatif lain sebagai penawar dari adannya konflik yang cukup akut dalam hubungan antar agama. Ajaran yang humanistis dalam dunia tasawuf adalah cerminan ajaran Islam yang damai dan ramah bagi golongan kepercayaan apapun di dunia ini.

Pandangan pluralis lewat ajaran tasawuf tidak hanya bisa mengayomi perbedaan tetapi juga sebagai alternative untuk mengangkat agama yang ada saat ini secara umum (tidak hanya Islam) pada porosnya sebagai pembawa kedamaian.

Memahami ajaran agama-agama lewat Interrelegius studies adalah keharusan di dunia muslim kontemporer untuk menghindari stereotype terhadapa agama-agama yang lain. Selain itu pengamalan tasawuf dalam keseharian adalah jalan kedua untuk mencapai cinta kasih yang dipahami sebagai kebenaran universal oleh agama yang lain. Dengan demikian diharapkan konflik bermotif agama di puncak peradaban ini tidak lagi terjadi.-

****Atas Nama Seluruh Keluarga Besar FSSN (Forum Silaturahmi Spiritual Nusantara Mengucapkan:
“Selamat Natal Bagi Saudaraku Yang Merayakannya”

“Munajat Cinta Anak Negeri, Damailah Indonesia ku”

#kaP (Pendiri / Ketua Umum FSSN)

 


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live