Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all 1300 articles
Browse latest View live

AOM: The Missing Link—Evidence of a Lost Civilization?

$
0
0
The Missing Link, Richard Cassaro
Graham Hancock menulis dalam situs mayanya, “Saya gembira   dapat memperkenalkan Penulis kita untuk di bulan Juni ini, Richard Cassaro, dan ebook baru-nya yang menarik , The Missing Link, di mana ia menyajikan link ikonografi (ilmu tentang simbol) penting dalam pencarian kita untuk memajukan  budaya induk global dari”zaman prasejarah kuno””.

inilah Buku karya Richard Cassaro:
Mata Rantai yang Hilang: Bukti kuat dari Budaya Maju “Golden Age” di Zaman Prasejarah Kuno (The Missing Link Powerful Evidence of an Advanced “Golden Age” Culture in Prehistoric Antiquity)

The Missing Link, Richard Cassaro

It is with much excitement that we introduce our Author of the Month for June, Richard Cassaro, and his fascinating new ebook, The Missing Link, in which he presents a crucial iconographic link in our search for an advanced, global mother culture in “prehistoric” antiquity.

Books by Richard Cassaro
The Missing Link, Richard Cassaro

Richard Cassaro menulis: “Sebuah penemuan besar yang ditetapkan dalam buku baru saya, The Missing Link, memiliki potensi untuk akhirnya mengangkat segala sesuatu yang kita pelajari di sekolah tentang peradaban kuno dan agama-agama kuno.(A major discovery set forth in my new book, The Missing Link, has the potential to upend everything we learned in school about ancient civilizations and ancient religions.”

Selanjutnya ia menjelaskan: Selama penelitian saya dan perjalanan mengunjungi reruntuhan dan artefak dari Kekunoan (Antiquity), saya berulang kali menemukan variasi yang sama misterius dari “icon” (simbol/lambang) di seluruh dunia. The “GodSelf Icon” – istilah yang saya gunakan untuk mengekspresikan saya penemuan ini – adalah fitur yang menonjol di sebagian besar budaya kuno, seperti kolase bawah ini tunjukkan: (During the course of my research and travels to visit the ruins and artifacts of Antiquity, I repeatedly found variations of the same mysterious “icon” worldwide. The “GodSelf Icon”—the term I use to express my discovery—is a prominent feature in most ancient cultures, as the collage below shows:)

“GodSelf Icons,” a prominent feature of most ancient cultures, cast serious doubts about conventional theories of human spiritual evolution and the emergence of civilization.

Ikon GodSelf “, adalah fitur yang menonjol dari kebanyakan budaya kuno, yang melemparkan keraguan serius tentang teori konvensional evolusi spiritual manusia dan munculnya peradaban (“GodSelf Icons,” a prominent feature of most ancient cultures, cast serious doubts about conventional theories of human spiritual evolution and the emergence of civilization.)

Saya pertama kali menetapkan penemuan awal saya tentang  GodSelf Icon (Simbol Diri Ketuhanan) dalam buku saya 2011, Writen in Stone. Sejak itu, saya telah menemukan bahkan alasan yang lebih kuat untuk memusatkan perhatian pada pola yang luar biasa ini. Buku e-book, Saya yang baru  The Missing Link: Bukti Baru yang Sangat Kuat Tentang Peradaban  Budaya Ibu/Induk “Golden Age” di zamanPrasejarah yang Jauh, menyediakan lebih mendalam analisis saya tentang penemuan GodSelf Icon. ( I first set forth my initial discovery of the GodSelf Icon in my 2011 book, Written in Stone. Since then, I have found even more powerful reasons to focus attention on this remarkable pattern. My new e-book, The Missing Link: Powerful New Evidence of an Advanced “Golden Age” Mother Culture in Remote Prehistory, provides a more in-depth analysis of my GodSelf Icon discovery.)

The GodSelf Icon adalah penggambaran tokoh sentral, seorang pria menghadap ke depan atau wanita yang memegang di kedua tangannya yang keluar dari tubuh,  sepasang hewan atau sepasang benda yang simetris. Obyek kembar berdiri di tengah untuk prinsip-prinsip yang bertentangan, dan tokoh sentral merupakan pahlawan atau tokoh bijak yang menggabungkan dua prinsip yang berlawanan untuk menciptakan keseimbangan spiritual yang membuka pintu baru persepsi dan menciptakan keterpusatan keberadaan (makhluk). (The GodSelf Icon is a depiction of a central figure, a forward-facing man or woman who holds in his/her hands outward from the body either a pair of animals or a pair of staffs symmetrically. These twin objects stand for opposing principles, and the central figure represents the hero or sage who combines those two opposing principles to create a spiritual balance that opens new doors of perception and creates centeredness of being.)

Para murid/siswa /pelajar ilmu gaib (Okultisme) akan segera mengenali deskripsi ini dalam konsep yang berusia-tua tentang coincidentia oppositorum ( “kebetulan yang berlawanan”) . Ini adalah salah satu arti sentral dari GodSelf Icon (Lambang Diri Ketuhanan) seperti yang akan kita lihat di bawah. (Students of the occult will immediately recognize in this description the age-old coincidentia oppositorum (“coincidence of opposites”) concept. This is one of the central meanings of the GodSelf Icon, as we’ll see below.)

The GodSelf Icon adalah ciri utama dari karya seni dan artefak yang ditemukan di peradaban Mesir kuno, Assyria, Babylon, Peru, Meksiko, Kolombia, Kosta Rika, Afrika, China, Kamboja, Mesopotamia, India, Crete, Indonesia dan banyak tempat lainnya. Di hampir setiap setiap peradaban ini, GodSelf Icon dapat ditelusuri kembali ke era yang sangat kuno dan formatif. Semakin jauh melihat kembali waktu masa lalu kita , semakin kita melihat GodSelf Icon. (The GodSelf Icon is a central feature of art and artifacts found in ancient Egypt, Assyria, Babylon, Peru, Mexico, Columbia, Costa Rica, Africa, China, Cambodia, Mesopotamia, India, Crete and many other places. In almost every one of these civilizations, the GodSelf Icon can be traced back to a very ancient and formative era. The further back in time we look, the more we see the GodSelf Icon.)

Sebuah contoh yang jelas dari hal ini adalah di Peru, di mana suku Inca hanyalah budaya terbaru dan terakhir yang menggunakan GodSelf Icon. Jika kita melihat ke zaman kuno yang jauh lebih dalam, kita melihat beberapa versi dari GodSelf Icon, dari satu sisi negara ke yang lain: (A clear example of this is in Peru, where the Incas were merely the latest and final culture to use the GodSelf Icon. If we look to a much deeper antiquity, we see multiple versions of the GodSelf Icon, from one side of the country to the other:)

cassaror3-2

Semua peradaban pra-Inca yang pernah berkembang di Peru tidak hanya menggunakan GodSelf Icon, tapi telah menganggap simbol ini sebagai puncak dari budaya mereka. Budaya ini termasuk Chachapoyas, Chancay, Chavin, Chimu, Moche, Nazca, Paracas, Sican-Lambayeque, Tiahanaco (Bolivia) dan Wari. Para ilmuwan dari Dunia Baru telah mencatat pentingnya simbol ini dan mereka menyebutnya simbol ini yang Kami temukan penjelasan berikut untuk “Staf dewa” di Wikipedia “Staf Tuhan.” (Malaikat Allah): (All of the pre-Inca civilizations that once flourished in Peru not only used the GodSelf Icon, but regarded this symbol as the pinnacle of their culture. These cultures include the Chachapoyas, Chancay, Chavin, Chimu, Moche, Nazca, Paracas, Sican-Lambayeque, Tiahanaco (Bolivia) and the Wari. Scholars of the New World have noted the importance of this symbol and they call this symbol the “staff god.” We find the following explanation for the “staff god” in Wikipedia:)

“Staf Tuhan Allah  adalah dewa/malaikat utama dalam budaya Andes. Biasanya digambarkan memegang staf di masing-masing tangan … karakteristik yang lain tidak diketahui, meskipun ia sering digambarkan dengan ular di hiasan kepala atau pakaian. Penggambaran tertua dari Staf Tuhan Allah  ditemukan pada beberapa fragmen labu yang rusak di situs pemakaman di Lembah Pativilca Sungai … dan  penanggalan karbon 2250 SM. Hal ini membuat citra dewa tertua  dapat ditemukan di Amerika. ”
-Wikipedia  (“The Staff God is a major deity in Andean cultures. Usually pictured holding a staff in each hand…his other characteristics are unknown, although he is often pictured with snakes in his headdress or clothes. The oldest known depiction of the Staff God was found on some broken gourd fragments in a burial site in the Pativilca River Valley…and carbon dated to 2250 BC. This makes it the oldest image of a god to be found in the Americas.”
—Wikipedia)

Icon yang sama ini,  dengan “pose yang” yang sama, tersebar luas di antara budaya Old World (dunia lama) dari Belahan Timur Dunia. Para ilmuwan dari Dunia Lama memanggil GodSelf Icon Berikut adalah entri Wikipedia untuk “Master of Animals” “Master of Animals.”: (This very same Icon, with the very same “pose”, was widespread among the Old World cultures of the Eastern Hemisphere. Scholars of the Old World call the GodSelf Icon “the Master of Animals.” Here is the Wikipedia entry for “Master of Animals”:)

“The Master of (yang) Hewan atau Lord of the Animals adalah motif dalam seni kuno menunjukkan manusia antara dan menggenggam dua hewan dihadapkan. Hal ini sangat luas dalam seni Timur Dekat Kuno dan Mesir … Mereka kadang-kadang juga memiliki setara perempuan, yang disebut Nyonya Hewan … Mereka semua mungkin memiliki prekursor Zaman Batu … ”
-Wikipedia

“The Master of (the) Animals or Lord of the Animals is a motif in ancient art showing a human between and grasping two confronted animals. It is very widespread in the art of the Ancient Near East and Egypt…They sometimes also have female equivalents, the so-called Mistress of the Animals…They may all have a Stone Age precursor…”
—Wikipedia

Berikut adalah beberapa representasi dari apa yang disebut Icon-GodSelf Master Hewan di Dunia Lama-dari peradaban Old World of Jiroft, yang tanggal ke Persia (akhir milenium ke-3 SM): (Here are several representations of the GodSelf Icon—called Master of Animals in the Old World—from the Old World civilization of Jiroft, which is dated to Persia (late 3rd millennium BC):)

GodSelf Icons from Jiroft, 3rd millennium BCE.

GodSelf Ikon dari Jiroft, milenium abad ke-3 SM. (GodSelf Icons from Jiroft, 3rd millennium BCE.)

Meskipun mengakui ikon dalam disiplin masing-masing, para sarjana budaya Old World dan sarjana budaya New World memiliki:

(A) kegagalan untuk mengenali kehadiran ikon ini di seluruh dunia

(B) gagal untuk memahami ikon memahami arti yang sama di seluruh dunia

(C) gagal untuk menghubungkan (a) dan (b), dan dengan demikian tetap tidak menyadari bahwa THE “GODSELF ICON” ADALAH SIMBOL DARI AGAMA KUNO UNIVERSAL YANG HILANG. yang dulu dikenal di seluruh dunia.

Buku saya menyajikan analisis komparatif beberapa dari GodSelf Ikon yang berasal dari budaya yang telah lama dianggap asing dari satu sama lain dengan warisan atau melalui kurangnya kemungkinan dalam perdagangan.

Berikut adalah contoh:

Despite recognizing the icon in their respective disciplines, scholars of Old World cultures and scholars of New World cultures have:

(a) failed to recognize the icon’s presence worldwide

(b) failed to understand the icon holds the same meaning worldwide

(c) failed to connect (a) and (b), and thus remain unaware that THE “GODSELF ICON” IS THE LOST SYMBOL OF AN ANCIENT UNIVERSAL RELIGION once known worldwide.

My book presents multiple comparative analyses of GodSelf Icons that stem from cultures that have long been considered alien from each other by heritage or through lack of trade possibilities.

Here is an example:

cassaror3-4

Kesamaan di antara gambar di atas benar-benar mencolok. Tidak hanya bentuk keseluruhan memiliki kecocokan yang sempurna, tapi bahkan detail kecil adalah kecocokan yang sempurna tangan sejajar, siku, tubuh jongkok, dan  “staf” memanjang di masing-masing tangan secara simetris.

The similarity between the images above is truly striking. Not only is the overall shape a perfect match, but even the small details are a perfect match—the parallel hands, elbows, squat body, and elongated “staffs” in each hand symmetrically.

Berikut ini adalah melihat lebih dekat: Here is a closer look:

This rock-cut image of the Egyptian god Bes bears a strong resemblance to the stone engraving of Viracocha on the Gate of the Sun in Tiahuanaco, Bolivia.

gambar potongan batu ini dari Bes dewa Mesir memiliki kemiripan yang kuat dengan ukiran batu Viracocha di Gerbang Matahari di Tiahuanaco, Bolivia.

This rock-cut image of the Egyptian god Bes bears a strong resemblance to the stone engraving of Viracocha on the Gate of the Sun in Tiahuanaco, Bolivia.

Perbedaan gaya samping, master tukang batu kuno Mesir (di Afrika Utara) yang menciptakan ini GodSelf Icon, bernama Bes, dan tukang batu induk Tiahuanacan kuno (di Amerika Selatan) yang menciptakan citra GodSelf di Bolivia, bernama Viracocha, tampaknya telah bekerja off cetak biru dasar yang sama. Setiap akan diakui ikon lain GodSelf seperti itu.

Stylistic differences aside, the ancient Egyptian master masons (in North Africa) who created this GodSelf Icon, named Bes, and the ancient Tiahuanacan master masons (in South America) who created the GodSelf image in Bolivia, named Viracocha, seem to have been working off the same basic blueprint. Each would have recognized the other’s GodSelf icon as such.

Kesamaan visual GodSelf Ikon ini hanyalah puncak gunung es. Para ilmuwan mengatakan bahwa orang Mesir dan budaya Andes kuno telah mengikuti “keseimbangan dari kemenduaan”, untuk menemukan pusat agama yang sama,  – ajaran yang justru disampaikan oleh, dan yang dikodekan dalam pose GodSelf Icon:

The visual similarity of these GodSelf Icons is only the tip of the iceberg. Scholars tell us that the Egyptians and the ancient Andean cultures followed the same “balance-of-duality-to-find-the-center” religion—which is precisely the teaching conveyed by, and encoded in the pose of, the GodSelf Icon:

cassaror3-6

Dengan memperluas kedua lengan dan tangan keluar dari tubuh, GodSelf Icon menyampaikan konsep dualitas – ide yang diungkapkan oleh benda kembar digambarkan “simetris” di masing-masing tangan (ular kembar, staf kembar, hewan kembar, dll). Berdiri di antara representasi dari dualitas, sosok pahlawan yang menandai “pusat” atau titik “keseimbangan”  sehingga memberikan kita pesan sentral dari GodSelf Icon-untuk , menemukan pusat antara yang berlawanan.

By extending both arms and hands outward from the body, the GodSelf Icon conveys the concept of duality—an idea expressed by the twin objects depicted “symmetrically” in each hand (twin serpents, twin staffs, twin animals, etc.). Standing between the representations of duality, the hero figure marks the “center” or “balance” point, thus giving us the central message of the GodSelf Icon—to find the center between the opposites.

The GodSelf Icon telah diawetkan selama berabad-abad dalam tradisi okultisme, yang juga  berarti menjaga”keseimbangan dari dualitas/kemenduaan untuk menemukan Yang pusat”  Saya menemukan bahwa ada “memori” modern terhadap ikon global kuno ini, yang disebut Rebis, yang telah dikaitkan dengan simbolisme Freemasonry:

The GodSelf Icon has been preserved through the ages in the occult tradition, which has also retained its “balance-of-duality-to-find-the-center” meaning. I found that there exists a modern “memory” of this ancient global icon, called the Rebis, which has been linked symbolically to Freemasonry:

Rebis from Theoria Philosophiae Hermetica (1617) by Heinrich Nollius. Sun (and Masonic compass) in the right hand, Moon (and Masonic square) in the left hand. The icon has two heads. Male right, female left.

Rebis dari Theoria Philosophiae Hermetica (1617) oleh Heinrich Nollius. Matahari (dan kompas Masonik ) di tangan kanan, Bulan (dan Masonik persegi) di tangan kiri. Ikon memiliki dua kepala. Laki-laki yang di Kanan, yang kiri perempuan.

Rebis from Theoria Philosophiae Hermetica (1617) by Heinrich Nollius. Sun (and Masonic compass) in the right hand, Moon (and Masonic square) in the left hand. The icon has two heads. Male right, female left.

 Dalam sebuah subtitle artikel  Kerahasiaan dan Kekuasaan Simbolik di Freemasonry Amerika , yang muncul dalam Journal of Religion & Masyarakat (Volume 3, 2001), sarjanaperbandingan agama  Hugh B. Perkotaan dari Ohio State University menjelaskan figur ini:

In an article subtitled Secrecy and Symbolic Power in American Freemasonry, which appeared in the Journal of Religion & Society (Volume 3, 2001), comparative religion scholar Hugh B. Urban of Ohio State University describes this figure:

 ” Misteri dari Kesimbangan “atau kebetulan yang berlawanan … ini adalah … rahasia keseimbangan universal antara baik dan jahat, terang dan gelap … pria dan wanita, matahari dan bulan, terang dan gelap – disimbolkan dengan kompas Masonik dan persegi … semua berasal dari sumber yang sama … “

“…the “Mystery of Balance” or coincidence of opposites…This is…the secret of universal equilibrium between good and evil, light and darkness…Male and female, sun and moon, light and dark—symbolized by the Masonic compass and square…all come from the same source…”

 Dalam buku saya 2011, Writen in Stone, saya mengusulkan sejarah alternatif agama-agama, yang memandang spiritualitas kuno sebagai proses mengatasi kekuatan berlawanan dalam (tubuh) diri fisik untuk menemukan keseimbangan spiritual dan kekuatan batin. Untuk mendukung ide ini, saya menunjukkan bagaimana budaya kuno di seluruh dunia-dan terutama budaya-semua piramida dibangun “Triptych Temples” ( Kuil dengan Tiga Pintu/Tiga Wajah, istilah yang saya diciptakan) untuk mengungkapkan kebijaksanaan ini “keseimbangandari yang hal yang berlawanuntukmenemukanpusatNYA”  :

In my 2011 book, Written in Stone, I proposed an alternative history of religion, one that views ancient spirituality as a process of overcoming opposite forces within the physical (bodily) self to discover spiritual balance and inner strength. To support this idea, I pointed out how ancient cultures worldwide—and especially the pyramid cultures—all built “Triptych Temples” (a term I coined) to express this “balance-of-opposites-to-find-the-center” wisdom:

cassaror3-8

Rahasia sejati tentang Tuhan adalah bahwa tidak pernah ada Allah yang di luar, dalam arti Alkitab. Satu-satunya tuhan Anda, batin Anda (spiritual “jiwa” Anda ) sebagai lawan dari fisik luar Anda (materi”tubuh” Anda ); tetapi Anda memiliki amnesia  tentang siapa Anda sebenarnya. Tercatat Amerika Theosophist Alvin Boyd Kuhn pernah menulis, “Manusia adalah Tuhan yang terperangkap dalam tubuh hewan sesuai dengan pernyataan dari filsafat kuno …” Kebenaran pernyataan yang dikenal di zaman kuno dan telah diawetkan sampai saat ini, yang menyimpang ortodoksi agama dan takhayul, dalam ukuran besar berkat pengamanan hati dari kebenaran spiritual kuno oleh Freemason dan anggota lain dari Rahasia Societies, yang disampaikan ide ini menggunakan GodSelf Ikon yang sama.

The true secret about God is that there never was an outward God in the biblical sense. The only god is you, the inner you (your spiritual “soul”) as opposed to the outer physical you (your material “body”); but you have amnesia of who you really are. Noted American Theosophist Alvin Boyd Kuhn once wrote, “Man is a god in the body of an animal according to the pronouncement of ancient philosophy…” The truth of that statement was known in ancient times and has been preserved up to the present, in defiance of religious orthodoxy and superstition, in large measure thanks to the careful safeguarding of ancient spiritual truths by Freemasons and other members of Secret Societies, which conveyed this idea using the same GodSelf Icons.

Berikut GodSelf Ikon dari naskah esoteris yang modern berbagi postur yang sama. Dalam setiap kasus dewa berpusat, meniru pose dari Rebis atas, memegang staf surya di / tangan kanannya dan staf lunar di / tangan kirinya nya:

The following GodSelf Icons from modern esoteric manuscripts share the same posture. In each case the centered deity, mimicking the pose of the Rebis above, holds a solar staff in his/her right hand and a lunar staff in his/her left hand:

Left: The alchemical Mercury, from Tripus aureus (The Golden Tripod) by Michael Maier, c. 1618. Middle: From a mysterious alchemical treatise titled “The Hermetic and Alchemical Figures of Claudius de Dominico Celentano Vallis Novi From A Manuscript Written And Illuminated At Naples A.D. 1606” Right: From a 16th-century alchemical treatise called “The Rosary of the Philosophers.”

Kiri: The alkemis Mercury, dari Tripus aureus (The Golden Tripod) oleh Michael Maier, c. 1618. Tengah: Dari sebuah risalah alkemis misterius berjudul “The Hermetic dan Angka alkimia Klaudius de Dominico Celentano Vallis Novi Dari A Naskah Tertulis Dan Illuminated Pada Naples AD 1606” Kanan: Dari sebuah risalah alkemis abad ke-16 yang disebut “The Rosary dari filsuf . ”
Left: The alchemical Mercury, from Tripus aureus (The Golden Tripod) by Michael Maier, c. 1618. Middle: From a mysterious alchemical treatise titled “The Hermetic and Alchemical Figures of Claudius de Dominico Celentano Vallis Novi From A Manuscript Written And Illuminated At Naples A.D. 1606” Right: From a 16th-century alchemical treatise called “The Rosary of the Philosophers.”

Menemukan Rebis adalah momen penting bagi saya karena itu adalah jelas bahwa Rebis adalah versi modern dari motif Icon kuno GodSelf. Saya mulai belajar tentang pentingnya Rebis’ dalam manuskrip esoteris, yang menggambarkan matahari dan bulan di tangan Rebis’ sebagai lambang menandakan dualitas. Ketika saya diterapkan tombol ini untuk budaya kuno, mereka GodSelf Ikon mulai datang untuk hidup.

Discovering the Rebis was an important moment for me because it was clear that the Rebis is a modern version of the ancient GodSelf Icon motif. I began learning about the Rebis´ significance in esoteric manuscripts, which described the sun and moon in the Rebis´ hands as emblems signifying duality. When I applied this key to ancient cultures, their GodSelf Icons began to come to life.

cassaror3-10

Kesamaan Ikon GodSelf  mereka, membuatnya tampak bahwa kebudayaan kuno di benua yang berbeda, entah bagaimana saling terkait, meskipun daerah ini secara geografis jauh, begitu jauh bahwa setiap hubungan langsung tampaknya mustahil. Sarjana yang mempelajari bidang ini percaya bahwa peradaban ini dikembangkan secara independen, tapi side-by-side perbandingan artefak dan monumen dari pusat budaya di seluruh dunia tampaknya mendukung gagasan bahwa kita melihat dua kacang dari pod yang sama. Saya percaya bahwa keberadaan piramida, arsitektur kubah corbeled dan mumifikasi di benua yang berbeda adalah di luar kebetulan:

The similarity of their GodSelf Icons makes it appear that ancient cultures across different continents were somehow related, even though these areas are geographically distant, so distant that any direct relationship seems impossible. Scholars who study these areas believe that these civilizations developed independently, but side-by-side comparison of artefacts and monuments from cultural centers throughout the world seem to support the idea that we are looking at two peas from the same pod. I believe that the existence of pyramids, corbeled vault architecture and mummification on different continents is beyond coincidence:

cassaror3-11

Dalam Ditulis di Batu, saya mempresentasikan bukti yang mendukung gagasan bahwa sebelumnya “Golden Age” budaya ibu sekarang hilang ke “peradaban yang hilang” saat-Graham Hancock -mungkin telah menjadi benang merah yang menyatukan budaya ini.

In Written in Stone, I presented evidence supporting the idea that an earlier “Golden Age” mother culture now lost to time—Graham Hancock’s “lost civilization”—may have been the common thread that united these cultures.

Kisah  “Budaya Ibu” yang maju dalam prasejarah terpencil pertama kali ditetapkan oleh Yunani Filsuf Plato, yang menyebutnya “Atlantis.” Menurut catatan Plato, orang-orang Peradaban Ibu ini tidak berteknologi maju tapi maju secara rohani. Seperti Plato menjelaskan, Atlantis tumbuh lemah karena kecenderungan terwujudnya mereka, cukup lemah sehingga mereka mulai kehilangan kontak dengan keilahian batin yang diberikan mereka kekuatan mereka:

The story of an advanced “Mother Culture” in remote prehistory was first set forth by the Greek Philosopher Plato, who called it “Atlantis.” According to Plato’s account, the peoples of this Mother Civilization were not technologically advanced but spiritually advanced. As Plato explains, the Atlanteans grew weak due to their materializing tendencies, weak enough that they began to lose touch with the inner divinity that granted them their power:

Seperti Plato melihatnya, Atlantis yang canggih karena identifikasi mereka dengan alam mereka sendiri “ilahi”, daripada mereka “manusia” sifat. (As Plato saw it, the Atlanteans were sophisticated because of their identification with their own “divine” nature, rather than their “human” traits.)

Dalam The Missing Link, saya mengajukan gagasan bahwa GodSelf Icon adalah memori dari sifat ilahi ini dalam manusia-cara untuk mengingat keilahian dalam tubuh.

In The Missing Link, I put forth the idea that the GodSelf Icon is a memory of this divine nature in man—a way to remember the divinity within the body.

Di Yunani kuno, kisah Demeter dan Persephone, salah satu mitos dasar dari Yunani, berkaitan erat dengan ide ini. Dewa-dewa Yunani turun di sebagian besar dari Demeter, dewi panen, yang didahului sebagian besar Olympians, dan yang gambar tertua yang diwakili oleh ikon GodSelf.

In ancient Greece, the story of Demeter and Persephone, one of the foundational myths of Greece, is closely related to this idea. The Greek gods descended in large part from Demeter, goddess of the harvest, who preceded most of the Olympians, and whose oldest images are represented by GodSelf icons.

Demeter, Goddess of Harvest, depicted as a GodSelf Icon, Roman, Augustan period.

Demeter, Dewi Harvest, digambarkan sebagai periode GodSelf Icon, Roman, Augustan. (Demeter, Goddess of Harvest, depicted as a GodSelf Icon, Roman, Augustan period.)

 

“For many generations…they obeyed the laws and loved the divine to which they were akin. …they reckoned that qualities of character were far more important than their present prosperity. So they bore the burden of their wealth and possessions lightly, and did not let their high standard of living intoxicate them or make them lose their self-control… But when the divine element in them became weakened…and their human traits became predominant, they ceased to be able to carry their prosperity with moderation.”

—Plato, Timaeus

Anak perempuan muda Demeter ini, Persefone yang menyimpang satu hari dari rumahnya di Arcadia (surga) sambil memetik bunga di ladang hijau. Tiba-tiba, Persephone “jatuh” ke Bawah; Hades di bawah telah membuat tanah terbuka untuk menelannya. Untuk mengatasi dengan kesedihan, Demeter mencari putrinya tak henti-hentinya, sibuk dengan kerugian dan kesedihannya. Musim dihentikan; makhluk hidup menghentikan pertumbuhan mereka, kemudian mulai mati. Seorang Demeter putus asa memohon dengan  Maha Dewa Zeus, untuk membebaskan dirinya. Zeus menyimpulkan bahwa jika Persephone belum makan dari buah dunia yang lebih rendah, ia bisa kembali ke Arcadia. Tapi jika dia punya, dia harus menjalani bagian dari setiap tahun di Underworld dengan Hades. Persephone memang makan buah delima sementara di Underworld, mengutuk dia untuk kembali di bawah untuk sebagian kecil dari setiap tahun. waktu Persephone dihabiskan di bawah ini sehingga terkait dengan Jatuh dan musim dingin, dan dia kembali ke dunia atas dengan Spring dan Summer. ( Demeter’s young daughter Persphone strayed one day from her home in Arcadia (heaven) while picking flowers in the green fields. Suddenly, Persephone “fell” into the Underworld; Hades below had made the ground open to swallow her. Overcome with sorrow, Demeter searched for her daughter ceaselessly, preoccupied with her loss and her grief. The seasons halted; living things ceased their growth, then began to die. A desperate Demeter pleaded with the Supreme God, Zeus, to free her. Zeus concluded that if Persephone had not eaten of the fruit of the lower world, she could return to Arcadia. But if she had, she would have to live a part of each year in the Underworld with Hades. Persephone had indeed eaten a pomegranate while in the Underworld, condemning her to return below for a fraction of each year. Persephone’s time spent in the underworld is thus linked to Fall and Winter, and her return to the upper world with Spring and Summer.)

Untuk menafsirkan mitos ini benar, itu perlu pertama dan terutama untuk memahami bahwa mitos tidak menggambarkan siapa pun atau apa pun eksternal untuk Anda. mitos adalah semua tentang Anda. Ini sekaligus menjelaskan dikotomi kondisi spiritual yang abadi dan kondisi manusia fana. Demeter melambangkan jiwa Anda (unsur ilahi di dalam kamu, seperti Plato akan mengatakan) sementara Persephone melambangkan tubuh Anda (sifat manusia, menurut Plato). Demeter, jiwa Anda, adalah kekal, kuat, bijaksana dan ilahi. Persephone, tubuh Anda (yang adalah keturunan atau “anak” dari Demeter seperti halnya tubuh Anda adalah keturunan atau “anak” dari jiwa Anda), adalah naif, tidak bijaksana, menyenangkan dan bahagia bodoh; seperti, Persephone dikenakan, dan memang menjadi korban, tarikan dan nafsu keberadaan duniawi material. (To interpret this myth correctly, it’s necessary first and foremost to understand that the myth does not describe anyone or anything external to you. The myth is all about you. It simultaneously describes the dichotomy of your immortal spiritual condition and your mortal human condition. Demeter symbolizes your soul (the divine element in you, as Plato would say) while Persephone symbolizes your body (the human trait, according to Plato). Demeter, your soul, is eternal, powerful, wise and divine. Persephone, your body (who is the offspring or “child” of Demeter just as much as your body is the offspring or “child” of your soul), is naïve, unwise, playful and blissfully ignorant; as such, Persephone is subjected to, and indeed becomes a victim of, the pull and passions of material earthly existence.)

Sebagai bukti ini Demeter / Soul vs interpretasi Persephone / Badan, mitos jelas membandingkan dan kontras dunia lebih tinggi dari surga di mana Demeter tinggal dengan “dunia bawah” atau dunia bawah bumi, di mana Persephone akhirnya berada. ( As evidence of this Demeter/Soul vs. Persephone/Body interpretation, the myth clearly compares and contrasts the higher world of heaven where Demeter resides with the “underworld” or lower world of earth, where Persephone eventually resides.)

Mitos mengajarkan bahwa kita telah jatuh dari Surga ke Dunia Bawah (bumi), seperti Persephone. Kita makan – dan kami terus makan – buah dunia yang lebih rendah ini, dengan biji segudang. Ketika kita mati, kita meninggalkan tempat ini dan naik kembali ke sumber. Tapi, memiliki makan buah, jiwa akan selalu tertarik kembali turun lagi karena, dalam kata-kata Socrates, “itu selalu penuh tubuh ketika berangkat, sehingga segera jatuh kembali ke dalam tubuh lain dan tumbuh dengan itu seakan itu telah dijahit ke dalamnya. “ini adalah siklus reinkarnasi, ajaran sentral Misteri. Ini adalah siklus hampir tak terbatas yang akan berlanjut sampai, setelah belajar “pelajaran material / kehidupan duniawi” kita berhenti untuk mengidentifikasi dengan tubuh material yang kami dapatkan selama inkarnasi dan mulai menemukan jati diri kita kita – jiwa. (The myth teaches that we’ve fallen from Heaven down to the Underworld (earth), just like Persephone. We have eaten – and we continue to eat – the fruit of this lower world, with its myriad seeds. When we die, we leave this place and ascend back to the source. But, having eaten of the fruit, the soul will necessarily gravitate back down again because, in the words of Socrates, “it is always full of body when it departs, so that it soon falls back into another body and grows with it as if it had been sewn into it.” This is the cycle of reincarnation, a central teaching of the Mysteries. It is an almost endless cycle that will continue until, after learning “the lessons of material/earthly life” we cease to identify with the material bodies we acquire during incarnation and begin to find our true inner Self – the soul.)

 

Menurut Plato, Socrates mengatakan bahwa kunci “pelajaran material / kehidupan duniawi” adalah untuk mengakui bahwa keberadaan duniawi terdiri dari “pasang berlawanan,” yang memenjarakan jiwa dalam tubuh dengan mencegah dari mengetahui sendiri. Untuk menjelaskan ide ini, Socrates menggunakan “pasangan” tertentu berlawanan, yaitu, “kesenangan” dan “sakit”: (According to Plato, Socrates said that the key “lesson of material/earthly life” is to recognize that earthly existence is made up of “pairs of opposites,” which imprison the soul in the body by preventing it from knowing itself. To elucidate this idea, Socrates uses a certain “pair” of opposites, namely, “pleasure” and “pain”:)

“… Setiap kesenangan dan setiap rasa sakit menyediakan, karena itu, kuku lain untuk memusatkan jiwa untuk tubuh dan untuk mengelas mereka bersama-sama. Itu membuat jiwa ragawi, sehingga percaya bahwa kebenaran adalah apa yang tubuh mengatakan itu. Seperti saham keyakinan dan kesenangan tubuh, saya pikir itu pasti datang untuk berbagi cara dan cara hidup dan tidak dapat mencapai … keadaan murni; itu selalu penuh tubuh ketika berangkat, sehingga segera jatuh kembali ke tubuh lain dan tumbuh dengan itu seolah-olah itu telah dijahit ke dalamnya. Karena ini, dapat memiliki bagian di perusahaan yang ilahi, murni dan seragam. ” (…every pleasure and every pain provides, as it were, another nail to rivet the soul to the body and to weld them together. It makes the soul corporeal, so that it believes that truth is what the body says it is. As it shares the beliefs and delights of the body, I think it inevitably comes to share its ways and manner of life and is unable to reach…a pure state; it is always full of body when it departs, so that it soon falls back to another body and grows with it as if it had been sewn into it. Because of this, it can have no part in the company of the divine, the pure and uniform.”)

Ada sejajar dengan ini dalam agama Zoroaster kuno, yang didirikan oleh Nabi Zarathustra (Zoroaster), yang melihat dunia sebagai arena perjuangan dua dasar-dasar makhluk, Light / Baik dan Darkness / jahat, diwakili dalam dua antagonis tokoh ilahi: Ahura Mazda di sisi yang baik terhadap Ahriman di sisi jahat. (There is a parallel to this in the ancient Zoroastrian religion, founded by the prophet Zarathustra (Zoroaster), which sees the world as an arena for the struggle of the two fundamentals of being, Light/Good and Darkness/Evil, represented in two antagonistic divine figures: Ahura Mazda on the side of good against Ahriman on the side of evil.)

“… Dunia fenomenal ada sepasang bertentangan berlawanan: terang / gelap, kebenaran / kepalsuan, kesehatan / penyakit, hujan / kemarau … hidup / mati, surga / neraka.

-Karigoudar Ishwaran, Pertapa Budaya: Penolakan dan duniawi Engagementedited

“… the phenomenal world exists of a pair of conflicting opposites: light/dark, truth/falsehood, health/sickness, rain/drought…life/death, heaven/hell.

—Karigoudar Ishwaran, Ascetic Culture: Renunciation and Worldly Engagementedited

Dualitas ini dipersonifikasikan dalam purba “Pencipta” dewa dari agama Persia, sebuah “berkelamin” tokoh bernama “Zurvan,” digambarkan di tengah bawah: (This duality was personified in the primeval “Creator” deity of the Persian religion, an “androgynous” figure named “Zurvan,” depicted in the center below:)

The androgynous figure of Zurvan, Luristan, Persia, c. 7th BC

Sosok androgini Zurvan, Luristan, Persia, c. 7 SM

Yang disebut “dewa waktu dan kekekalan,” Zurvan, digambarkan oleh para ahli sebagai “bapak netral” dari “baik” dewa Ahura Mazda dan “jahat” Tuhan Ahriman. kembar ini lahir dan berasal dari kedua sisi dari dirinya, seperti yang ditunjukkan pada gambar ini dari plak perak kuno. Dengan anak-anaknya yang mewakili kedua lawan, Zurvan adalah “berpusat” di antara mereka, menghadap ke depan. (The so-called “god of time and eternity,” Zurvan, is described by scholars as the “neutral father” of the “good” god Ahura Mazda and the “evil” god Ahriman. These twins are born and emanate from either side of him, as shown in this image from an ancient silver plaque. With his children representing the two opposites, Zurvan is “centered” between them, facing forward.)

Netralitas Zurvan antara lawan dipersonifikasikan di sini oleh nya mencolok GodSelf berpose. Dia muncul untuk berbagi lengan dengan kedua Ahura Mazda (baik) dan Ahriman (jahat), dan dia dikatakan melewati sepanjang satu api di tangannya “baik” dan satu di tangan “jahat” nya. (Zurvan’s neutrality between opposites is personified here by his striking the GodSelf pose. He appears to share an arm with both Ahura Mazda (good) and Ahriman (evil), and he is said to be passing along one flame in his “good” hand and one in his “evil” hand.)

Tapi Zurvan ini tidak baik atau jahat; ia adalah makhluk abadi antara kedua lawan sementara ini. Dia adalah netral. Zurvan adalah untuk alasan ini disebut sebagai dewa terang dan gelap, baik dan jahat, benar dan salah, dan sebagainya. Bahkan, mereka tidak lengannya, meskipun mereka tampak. Mereka adalah pelukan dua nya bagian-nya lebih rendah sisi kiri dan kanan, baik (Ahura Mazda) dan kejahatan (Ahriman), yang tampaknya berasal dari dia, seperti laki-laki kembar dan wajah perempuan yang berasal dari Buddha.(But Zurvan is neither good nor evil; he is the eternal being between these two temporal opposites. He is neutral. Zurvan is for this reason referred to as the god of light and darkness, good and evil, right and wrong, and so on. In fact, those aren’t his arms, though they appear to be. They are the arms of his two lower halves—his left and right sides, good (Ahura Mazda) and evil (Ahriman), that appear to be emanating from him, like the twin male and female faces that emanate from the Buddha.)

Zoroastrianisme menekankan standar moral yang tinggi, dengan keselamatan dicapai oleh orang yang menyerang keseimbangan dan menyadari bahwa ia adalah baik atau jahat; bukan, dia adalah makhluk yang kekal sementara mengalami ini penampakan terestrial di sini di ranah materi. Ahura Mazda bukanlah dewa pribadi seperti Tuhan dalam Alkitab, tetapi lebih dari template yang mengkodekan kebijaksanaan yang berkaitan dengan konstitusi fisik dan spiritual dari setiap pria dan wanita. Zurvan juga model yang massa harus berusaha untuk mengikuti. Ibadah berpusat pada ide ini, bukan pada hubungan pribadi dengan Tuhan. (Zoroastrianism emphasizes high moral standards, with salvation achieved by he who strikes the balance and realizes that he is neither good nor evil; rather, he is the eternal being temporarily experiencing these terrestrial apparitions here in the material realm. Ahura Mazda is not a personal god like the God of the Bible, but more of a template that encodes wisdom pertaining to the physical and spiritual constitutions of every man and woman. Zurvan is also a model that the masses should strive to follow. Worship is centered on this idea, not on a personal relationship with God.)

Ikon GodSelf adalah bagian penting dari kosakata ekspresi keagamaan dan politik di zaman kuno. Artis yang digambarkan Alexander menggunakan GodSelf Icon berpose, mungkin sebagai pesan untuk anak cucu, mengatakan kepada kita persis bagaimana ia menjadi begitu kuat: (The GodSelf icon was an important part of the vocabulary of religious and political expression in ancient times. Artists who depicted Alexander used the GodSelf Icon pose, perhaps as a message for posterity, telling us exactly how he became so powerful:)

Images of Alexander the Great striking the GodSelf Icon pose.Gambar Alexander Agung mencolok GodSelf Icon berpose. (Images of Alexander the Great striking the GodSelf Icon pose.)

Agama untuk orang dahulu itu bukan kekuatan homogenisasi karena bagi sebagian orang percaya hari ini. Tujuan Anda sebagai makhluk spiritual bukan untuk mematuhi perintah set kuno aturan, atau berdoa dalam kalimat yang ditentukan pada waktu tertentu dalam sehari, atau duduk dengan sekelompok besar lainnya orang yang berpikiran menganggukkan kepala di omong kosong waktu dipakai seorang imam. Sebaliknya, GodSelf Icon menyerukan kepada kita untuk mengembangkan bakat-bakat kita sepenuhnya, untuk bermeditasi tentang dan bertindak berdasarkan tujuan pribadi kita (kami Will), dan menjadi teladan terbesar dari tujuan tertinggi kami. Kita bukan kambing akan digiring oleh para imam; bukan, kita adalah makhluk spiritual independen mandiri yang memiliki tujuan yang melampaui fungsi tubuh kita dan kebutuhan sosial. (Religion for the ancients was not a homogenizing force as it is for most believers today. Your purpose as a spiritual being is not to obey the dictates of an age-old set of rules, nor to pray in prescribed sentences at certain times of the day, nor to sit with a massive group of other like-minded people nodding heads at the time-worn platitudes of a priest. Instead, the GodSelf Icon calls upon us to develop our talents to the fullest, to meditate about and act upon our individual purposes (our Will), and to become the greatest exemplars of our highest purposes. We are not sheep to be herded by priests; rather, we are independent self-sufficient spiritual beings who have a purpose that transcends our bodily functions and social needs.)

The Missing Link dibangun di atas kasus yang saya buat pada Ditulis di Stone, untuk menunjukkan bahwa salah satu simbol yang paling penting dalam sejarah manusia telah diabaikan dan disalahpahami. Terlebih lagi, simbol, benar dihargai, adalah sebagai kuat bagi orang-orang saat ini seperti itu bagi leluhur Zaman Batu kami. Bahkan, salah satu taji untuk minat saya dalam peradaban kuno adalah kenalan kesempatan saya dengan gerakan Freemason. Freemason sadar ditiru simbol masa lalu dengan cara yang menekankan konsep spiritual. Saya merasa sangat bersyukur bahwa mereka melakukannya dengan cara yang diawetkan sesuatu dari masa lalu yang akan dinyatakan telah benar-benar lupa. (The Missing Link builds on the case I made in Written in Stone, to show that one of the most important symbols in human history has been overlooked and misunderstood. What’s more, that symbol, properly appreciated, is as powerful for people today as it was for our Stone Age ancestors. In fact, one of the spurs to my interest in ancient civilizations was my chance acquaintance with the Freemason movement. Freemasons consciously imitated past symbols in a way that stressed spiritual concepts. I feel immensely grateful that they did so in a manner that preserved something of the past that would otherwise have been completely forgotten.)

 

Tulasi Dass mengatakan:
Seperti biasa Anda orang berbicara tentang peradaban punah. Tapi bukan tentang peradaban hidup seperti India. Yang telah diproduksi atau memproduksi banyak makhluk spiritual sampai sekarang. Anda orang Barat tampaknya buta untuk memahami bahwa India adalah peradaban ibu yang lebih tua daripada peradaban yang ada

 

Balas 4 Juni 2016 at 05:40
Bethany mengatakan:
Anda benar, Tulasi Dass: Barat tampaknya tidak menyadari kontribusi yang luar biasa dari India. Kami sudah begitu “terjebak” dalam tradisi Ibrahim yang kita ADALAH buta ke semua orang lain! Tapi jangan putus asa: yang berubah dan kita, pada akhirnya, mulai menangkap sekilas pertama dari pandangan yang jauh lebih besar – berkat penyebaran luas informasi oleh (ta-dah!) Internet, dan ketekunan sarjana dan peneliti seperti Richard Cassaro dan Graham Hancock.

Balas 4 Juni 2016 at 17:16
Kaya Cassaro mengatakan:
Saya sepenuhnya setuju, Bethany, ketika Anda mengatakan: “Kami sudah begitu” terjebak “dalam tradisi Ibrahim yang kita ADALAH buta ke semua orang lain! Tapi jangan putus asa: yang berubah … “Dalam buku saya sebelumnya, Ditulis Dalam Batu, saya membahas hal ini tepat. Saya juga menjelaskan dan menunjukkan perbedaan antara agama-agama monoteistik Barat yang melihat satu Tuhan di atas kita (Yahudi, Kristen, Islam) dan tradisi Timur yang melihat keilahian sebagai sesuatu dalam diri kita, bukan di atas kita (Hindu, Buddha, Taoisme) . Terima kasih juga untuk kata-kata baik Anda tentang penelitian saya. Saya sangat menghargai itu.

 

Balas 8 Juni 2016 di 05:16
Kaya Cassaro mengatakan:
I’m youve takut membuat pernyataan selimut yang mengasumsikan (ass-u-me) yang aku kan tidak akrab dengan informasi dasar tentang sejarah India. Dalam buku pertama saya, tertulis di batu, aku menutupi gagasan bahwa India mungkin telah menjadi ibu Civilization untuk Europe’s budaya. Misalnya, saya menghabiskan banyak halaman Chapter One menjelaskan bagaimana bahasa Sansekerta adalah bahasa dikatakan Lidah Bunda bahasa Eropa. Saya juga menjelaskan kontroversial “Arya Invasi India” teori, dan saya bahkan menawarkan penjelasan alternatif untuk itu. Dalam Ditulis di Batu, saya menghabiskan satu bab yang meliputi filsafat Hindu, dan saya menjelaskan bagaimana berbagai canggih konsep agama dan filsafat Hindu seperti Karma, Third Eye, Atman, Brahman, Reinkarnasi, dll, sangat langsung terhubung ke doktrin esoteris yang kita di Barat menyebutnya “doktrin okultisme” dan “Secret Doctrine.” Untuk membuat titik Anda, saya percaya India adalah lokasi peradaban kuno canggih. Namun, Kebijaksanaan Tinggi yang sama yang membuat budaya India begitu luar biasa juga hadir di Peru, Meksiko, Mesir, China dan tempat-tempat lain di dunia pada sekitar waktu kuno yang sama. -Siapa sangat jelas, meskipun, adalah bahwa India telah diawetkan memori Kebijaksanaan Tinggi ini lebih baik daripada orang di tempat lain. Seperti yang Anda katakan, IT’S “masih hidup” di India, sedangkan di tempat lain (seperti Peru dan Meksiko) IT’S menjadi agama yang mati (berkat sebagian besar untuk barbar seperti conquistador).

 

Balas 8 Juni 2016 di 05:11
Tulasi Dass mengatakan:
Konsep reinkarnasi sudah sangat baik rinci dalam agama-agama India dan binatang kepada Allah juga telah dijelaskan secara rinci dalam agama-agama India seperti kisah Hanuman mana ia maju untuk menjadi dewa dari monyet. jika Anda memiliki pengetahuan yang Anda akan tahu itu. tidak ada ini baru yang Anda sarjana Barat dibutakan untuk melihat.

 

Balas 4 Juni 2016 at 16:03
S. Kaiser mengatakan:
Tulasi Dass,
Karena kami terus melihat lebih jauh ke masa lalu nenek moyang kita kita akan melihat bahwa tidak berasal di India seperti yang Anda kira, setiap hari kita menemukan link baru dan tidak dikenal yang masuk lebih jauh ke belakang dalam waktu dan akan terus melihat peradaban yang dimulai di Afrika dan Timur Tengah daripada klaim “ulama lokal” yang ingin mendasarkan di wilayah mereka sendiri untuk beberapa alasan. Juga di mana dalam artikel di atas yang dia mengatakan apa-apa tentang asal-usul manusia. Reinkarnasi bukan hanya sebuah gagasan atau kebajikan Hindu itu adalah konsep di seluruh dunia dari banyak agama-agama kuno dan saat ini dan keyakinan etnis. Tampaknya Anda jauh dari apa yang disebut sarjana Barat dan keyakinan mereka yang sempit.

 

Balas 5 Juni 2016 di 04:02
Kaya Cassaro mengatakan:
Saya setuju dengan semua yang Anda katakan, S. Kaiser, terima kasih. Tujuan saya bukan untuk meminimalkan peran setiap satu culture’s kontribusi untuk sejarah peradaban, tetapi, lebih tepatnya, untuk menunjukkan bahwa di zaman kuno nenek moyang kita dari seluruh dunia semua berbagi Kebijaksanaan Tradisi yang sama atau Universal Agama atau Perennial Philosophy atau apa pun yang ingin menyebutnya. Alasan saya ingin menunjukkan ini adalah karena saya merasa tradisi hikmat ini sama pentingnya untuk “kita” manusia saat ini seperti itu untuk nenek moyang kita jalan kembali ketika. Terima kasih untuk kata-kata yang besar Anda.

 

Balas 10 Juni 2016 di 02:49
Kirstin Strand mengatakan:
Sekarang tampaknya menunjuk ke sebuah kesadaran baru; di mana-mana Aku berbalik kita menemukan awan kebohongan dari sejarah yang terpesona oleh berani dan ingin tahu, baik itu kuno sejarah, arkeologi dan semakin fana: industri medis, industri makanan, industri minyak, industri luar angkasa … .

 

The New Era Pencerahan?

Balas 5 Juni 2016 di 04:19
Kaya Cassaro mengatakan:
Saya setuju, Kirstin. Ada tampaknya kebangkitan terjadi. Berkat Internet, banyak orang mulai mengenali sistem kontrol yang telah dimasukkan ke dalam tempat. I’m berharap bahwa langkah berikutnya akan menjadi pemberontakan terbuka terhadap sistem-sistem kontrol, karena semakin banyak orang terbangun.

 

Balas 10 Juni 2016 di 02:46
Bob mengatakan:
Richard adalah Genius untuk sedikitnya. Ini akan mengambil idiot tolol tidak mengerti peneliti besar ini temuan. Saya membaca bukunya ditulis di batu beberapa tahun yang lalu. Itu adalah kebangkitan besar bagi saya. Karya Agung Richard! Tidak sabar untuk men-download buku E baru!

 

Balas 9 Juni 2016 di 08:26
Darren Walker mengatakan:
Halo Richard!
Di serikat alkimia yang bertentangan dalam sistem 7 chakra kita diatur oleh
7 benda langit (mulai dari bawah kiri melihat gambar):
Venus, Mars, Matahari, Merkurius, Bulan, Jupiter, Saturnus.
Karakter berkelamin berdiri di root chakra merah diatur oleh Saturnus,
segel 7. 4-3 nomor referensi struktur 3D ke tetrahedron dan kubus.
3 adalah bergaya mengacu pada 3-7 hypersphere, bola 4D atau torus.
Semua bintang di gambar Rebis yang 6 sisi seperti pada Femi-sembilan, berotak kanan sistem nomor
yang saat ini disebut sebagai VBM atau Vortex Berdasarkan Math pengupas angka satu digit berjalan seperti ini:
1: 7 2: 5 3: 8 dan 4: 9 6 adalah kebalikan dari dirinya sebagai dalam zodiak untuk hari ini 9 Juni
Gemini si kembar, di bulan ke-6.
6 adalah 1/2 jumlah sisi dalam yang paling fraktal semua Padat Platonis dodecahedron tersebut.
Ada 12 lingkaran luar di Flower of Life untuk alasan ini. Jain mengungkapkan semua tentang
Phi Kode tersembunyi di hari 24 jam kami, lingkaran datar waktu.

Harap menjaga pekerjaan yang mengagumkan yang Anda lakukan Richard! Terima kasih!

 

Balas 9 Juni 2016 di 08:33
Darren Walker mengatakan:
Richard, hanya komentar lebih lanjut tentang telur biru besar individu diambil dalam.
Richard Hoaglund mengungkapkan banyak tentang geometri hyperdimensional tetrahedral dari “Tholus” di sini:
http://www.maxtheknife.com/truth&light2/truth&light2.htm
Telur muncul dari makhluk dengan ujung besar pertama sehingga karakter dalam gambar Rebis menaik.
The Tholus bentuknya dekat dengan almond yang juga merupakan bentuk amigdala otak limbik kita
yang digunakan untuk menciptakan realitas kita diproyeksikan dalam hubungannya dengan pineal.
Amydalae adalah pengapian “titik” yang dapat ditujukan untuk flash dan mengaktifkan frontal kami
‘Burung’ lobus otak atau mundur ke batang otak reptil kita. Neil Slade adalah seluruh petualangan otak besar dan mengklik amygdalae kita ke depan. Mengapa ini begitu penting?
Silahkan mengambil satu menit dan menonton video singkat difilmkan di sekolah otak kanan ini untuk anak-anak:

Balas 9 Juni 2016 di 09:11
Linden mengatakan:
Setelah membaca artikel dan kemudian komentar saya seperti biasa dipukul oleh fakta bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tampaknya luar biasa untuk menjadi benar. Apakah itu benar-benar peduli di mana semuanya dimulai? Apakah itu benar-benar peduli apakah negara Anda menelepon ke rumah dalam hidup ini adalah suci atau paling kuno atau apa yang paling?

Setelah semua divisi agama, ras, jenis kelamin, warna, kasta, persuasi politik – dan terus mereka pergi, kita adalah anggota pertama dan utama dari umat manusia, keluarga manusia.

Menarik!
tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *

nama *

email *

Kirim Komentar
Google Terjemahan untuk Bisnis:Perangkat PenerjemahPenerjemah Situs WebPeluang Pasar Global

The androgynous figure of Zurvan, Luristan, Persia, c. 7th BC

  1. Tulasi Dass says:

    As usual you people talk about extinct civilization. But not about living civilization like India. Which had produced or producing many spiritual beings till now. You Western people seem to be blind to understand that India is the mother civilization which is older than any existing civilization

    1. Bethany says:

      You are right, Tulasi Dass: the West seems oblivious to the incredible contributions of India. We’ve been so “stuck” in the Abrahamic traditions that we ARE blind to all others! But don’t despair: that is changing and we are, at long last, beginning to catch the first glimpses of a much larger view — thanks to the wide dissemination of information by (ta-dah!) The Internet, and the diligence of scholars and researchers like Richard Cassaro and Graham Hancock.

      1. I completely agree, Bethany, when you say: “We’ve been so “stuck” in the Abrahamic traditions that we ARE blind to all others! But don’t despair: that is changing…” In my previous book, Written In Stone, I discuss this point precisely. I also explain and show the difference between the Western monotheistic religions that see a single God up above us (Judaism, Christianity, Islam) and the Eastern traditions that see divinity as something within us, rather than above us (Hinduism, Buddhism, Taoism). Thanks also for your kind words about my research. I appreciate it very much.

    2. I´m afraid you´ve made a blanket statement that assumes (ass-u-me) that I´m not familiar with basic information about the history of India. In my first book, Written In Stone, I covered the idea that India may have been a Mother Civilization to Europe´s cultures. For instance, I spent many pages of Chapter One explaining how Sanskrit is linguistically said to be the Mother Tongue of European languages. I also explained the controversial “Aryan Invasion of India” theory, and I even offered an alternative explanation to it. In Written In Stone, I spent an entire chapter covering Hindu philosophy, and I explained how various advanced Hindu religious and philosophical concepts like Karma, Third Eye, Atman, Brahman, Reincarnation, etc., are very directly connected to the esoteric doctrine that we in the West call the “occult doctrine” and “Secret Doctrine.” To make your point, I believe India was the location of an advanced ancient civilization. However, the same High Wisdom that makes Indian culture so magnificent was also present in Peru, Mexico, Egypt, China and other places in the world at about the same ancient time. What´s abundantly clear, though, is that India has preserved a memory of this High Wisdom better than anyone anywhere else. As you say, it´s “still living” in India, whereas in other places (like Peru and Mexico) it´s become a dead religion (thanks mostly to barbarians like the Conquistadors).

  2. Tulasi Dass says:

    The concept of reincarnation is already very well detailed in Indian religions and the animal to God also been described in detail in Indian religions like the story of Hanuman where he progress’s to become a god from a monkey. if you had the knowledge you would know it. This nothing new which you Western scholars are blinded to see.

    1. S. Kaiser says:

      Tulasi Dass,
      As we continue to look further into the past of our ancestors we will see that did not originate in India as you presume, everyday we find new and unknown links that go further back in time and will continue to see that civilization began in Africa and the Middle East rather than the claims of “local scholars” who want to base it in their own region for some reason. Also where in the above article does he say anything about the origins of mankind. Reincarnation is not just an Hindu idea or virtue it is a worldwide concept from many of the ancient and current religions and ethnic beliefs. Seems you are far removed from your so called western scholars and their narrow beliefs.

      1. I agree with everything you said, S. Kaiser, thank you. My goal is not to minimize the role of any one culture´s contributions to the history of civilization, but, rather, to show that in ancient times our ancestors from around the world all shared the same Wisdom Tradition or Universal Religion or Perennial Philosophy or whatever one wants to call it. The reason I want to show this is because I feel this wisdom tradition is just as important to “us” human beings today as it was to our ancient ancestors way back when. Thanks for your great words.

  3. Kirstin Strand says:

    The Now seems to be pointing to a new consciousness; everywhere I turn we are discovering the clouds of lies from recent history being blown away by the courageous and the curious, be it ancient history, archaeology and the more corruptible: the medical industry, the food industry, the oil industry, the space industry….

    The New Age of Enlightenment?

    1. I agree, Kirstin. There seems to be an awakening occurring. Thanks to the Internet, many people are starting to recognize the control systems that have been put in place. I´m hopeful that the next step is going to be open rebellion against those control systems, as more and more people awaken.

  4. Bob says:

    Richard is a Genius to say the least. It would take a moronic idiot not to understand this great researchers findings. I read his book written in stone a few years back. It was a great awakening for me. Great Work Richard! Can’t wait to download the new E book!

  5. Darren Walker says:

    Halo Richard!
    In the alchemical union of opposites within the 7 chakra system we are governed by the
    7 celestial bodies ( starting from the bottom left looking at the image ):
    Venus, Mars, Sun, Mercury, Moon, Jupiter, Saturn.
    The androgynous character is standing on the red root chakra governed by Saturn,
    the 7th seal. The 4-3 numbers are 3D structure references to the tetrahedron and the cube.
    3 is stylized in reference to the 3-7 hypersphere, a 4D sphere or torus.
    All the stars in the REBIS image are 6 sided as in the FEMI-nine, right brained numbers system
    which today is referred to as VBM or Vortex Based Math the paring of single digit numbers goes like this:
    1:7 2:5 3:8 and 4:9 6 is an inverse of itself as in the astrological sign for today June 9th
    Gemini the twins, in the 6th month.
    6 is 1/2 the number of sides in the most fractal of all Platonic Solids the dodecahedron.
    There are 12 outer circles in the Flower of Life for this reason. Jain reveals all about the
    Phi Code hidden in our 24 hour day, flat circle of time.

    Please keep up the awesome work you are doing Richard! Thank You!

  6. Darren Walker says:

    Richard, just a further comment about the large blue egg the individual is drawn within.
    Richard Hoaglund reveals a lot about the tetrahedral hyperdimensional geometry of the “Tholus” here:
    http://www.maxtheknife.com/truth&light2/truth&light2.htm
    Eggs emerge from creatures with the large end first so the character in the REBIS drawing is ascending.
    The Tholus shape is close to an almond which is also the form of our limbic brain’s amygdala
    which are used to create our projected reality in conjunction with the pineal.
    Amydalae are the ignition “points” which can be aimed to flash and activate our frontal
    ‘bird’ brain lobes or backward to our reptilian brain stem. Neil Slade is all over our great brain adventure and clicking our amygdalae forward. Why is this so critical?
    Please take a minute and watch the short video filmed at this right brain school for children:
    http://www.icuacademy.co.uk/

  7. Linden says:

    After reading the article and then the comments I am as usual struck by the fact that humans have a seemingly overwhelming need to be right. Does it really matter where it all began? Does it really matter whether the country you call home in this lifetime is the holiest or most ancient or most anything?

    After all the divisions of religion, race, sex, colour, caste, political persuasion – on and on they go, we are first and foremost members of the human race, the human family. All the other labels are self-derived and only serve to stop us from uniting and finding our personal power and peace on earth.

  8. Stephanie Ellison says:

    Richard, thank you for considering the evidence I had pointed you to some time ago. It’s good to see that you have seen the evidence and how it adds up to debunk the Aryan Invasion Theory (AIT). This whole thing was worldwide at one point. I know it sounds 1980s “I was alive thousands of years ago,” but I think there is something when I read the name Jiroft (A name that might have been something entirely different) and hear/see a very choppy-sounding helicopter. It could be wishful association or just a strange sound/visual synesthesia, another of which is chocolate pudding when I hear the word “occupancy” – don’t know why it happens. I can’t get that helicopter out of my mind when I see “Jiroft.”

  9. Shari says:

    Fascinating! Written in Stone was a mind mending book. I can’t wait to download “The Missing Link”. Thank you so much for your hard work to bring this powerful information to us.

  10. A. Peabodysays:

    The article could have included three other examples. The Gebel el-Araq knife found in Egypt and now in the Louvre has a carving of a Mesopotamian holding two lions in a Master of Animals pose and dates circa 3200 B.C. Tomb 100 of a prince of Heirakonpolis has a similar wall painting and dates to 3500 to 3300 B.C. The Long Man of Wilmington is a 70m. high carving in a hillside in Sussex, U.K. depicting a man holding a staff in each hand.

  11. Richard Cassaro via aweber.com 

    Jun 10 (1 day ago)

    to me
  12. Source:

     

    Hi Ahmad
    I´m super-excited to announce that my new e-Book, THE MISSING LINK, is now available!
    You can get it on Amazon.com here:
    I discovered years ago that the Old World symbol known as “Master of Animals,” is the very same symbol that scholars of New World cultures call the “Staff God.” This symbol is the central icon of an ancient wisdom tradition shared by the pyramid cultures across the world. Encoded in this image, which I call the “GodSelf Icon,” is a complete metaphysical doctrine that reveals a complex set of instructions for inner awakening.
    If you´d like to learn more, please have a look at this article on Graham Hancock´s website, where I´m author of the month for June:
    Thanks very much for your interest in my work.
    Warm regards,
    Rich
    PS – You´re receiving this email because you signed up to receive my “Written In Stone” Newsletter. You can unsubscribe (below) on every email I send. Thank you.


“Mata Ketiga (Third Eye)” Mesir Kuno

$
0
0

Oleh Richard Cassaro | 11 Maret 2016 | Kategori: Feature Artikel | Komentar

Ada sepotong rahasia Simbol Mesir Kuno yang “hilang ” , bukankah kita mengakui ketika agama datang ke Mesir kuno, dan memainkan peran sentral dalam karya seni, budaya dan sejarah Mesir selama ribuan tahun. Bagian yang hilang ini terlihat dan hadir dalam tradisi agama dunia tertua hidup bersama Hindu dari India, yang sezaman dengan Mesir kuno. Simbol ini disebut “Mata Ketiga,” dan ini menjadi topik utama dalam artikel kuliah saya, dan video selama lebih dari lima belas tahun.

xxxkkkñññooop

artikel terbaru saya, Third Eye Di Mesir Kuno, sekarang tinggal di Penulis situs Graham Hancock’s. Anda dapat membaca artikel lengkap di sini:

vvv

Meskipun tinggal di Kairo, Mesir, pada musim semi tahun 1996, saya menghabiskan banyak waktu di Museum Kairo, di mana saya belajar berbagai aspek budaya Mesir kuno, termasuk konsep sedikit yang diketahui dari “Mata Ketiga” Mesir , salah satu dari banyak simbol yang paralel di Mesir / India.

Saya baru saja lulus dari Pace University di New York City dengan gelar dalam Jurnalisme dan Filsafat, dan saya telah menabung cukup uang dengan pekerjaan di perguruan tinggi selama empat tahun saya bekerja sebagai asisten pribadi kepada Presiden Jägermeister untuk melakukan perjalanan melalui Mesir, serta lainnya belahan dunia.

Saya sudah membaca tentang Mata Ketiga di Mesir dalam buku-buku oleh HP Blavatsky, CW Leadbeater, Edgar Cayce, WL Wilmshurst, Alvin Boyd Kuhn, Manly Hall, John Anthony West, dan Schwaller de Lubicz.

Sementara di museum Kairo, saya dengan mudah menegaskan bahwa segala sesuatu yang mereka bicarakan adalah benar. Sebagai contoh, saya melihat bahwa beberapa sarkofagus Mesir seperti ini memiliki satu “Eye” simbol di tempat Mata Ketiga:

1a

Itu juga mudah untuk melihat bahwa orang Mesir juga menggunakan yang sama persis “dahi dot” sebagai Hindu untuk melambangkan Third Eye. Di India dahi dot disebut “Bindi.” Di Mesir, dahi dot disebut “Aten,” simbol berjemur. Aten itu kadang-kadang digambarkan dalam simbol Shen keabadian:

eeeeeyyyeee

The “Aten” singkatan Mata Ketiga yang terbangun bahwa melihat “jiwa dalam” atau “matahari dalam,” yang “jiwa” atau “matahari” adalah benar-benar “lebih tinggi Diri” – “percikan ilahi” dalam diri kita.

Aten demikian merupakan simbol baik “Mata Ketiga” dan “Soul Dalam” bahwa Mata Ketiga yang terbangun melihat:

4a

Sebuah gairah seumur hidup untuk semua hal Mesir, dan wawasan yang mendalam simbolisme agama Mesir, mendorong saya untuk melakukan perjalanan ke Kairo sendiri pada usia 24, meskipun peringatan dari teman dan keluarga setelah 18 turis Yunani dibunuh awal tahun itu di depan hotel mereka, kurang dari satu mil dari piramida Giza.

Untungnya bagi saya, malam pertama saya di Kairo saya bertemu sebuah kelompok dari penduduk setempat di sebuah restoran. Mereka berbicara bahasa Inggris cukup baik, dan kami cocok. Ketika mereka menemukan saya bepergian sendirian dan didnt berbahasa Arab, salah satu dari mereka bersikeras saya tinggal bersamanya. Saya lakukan- untuk seluruh waktu saya di Mesir.

How’s bahwa untuk perhotelan?

Seluruh hidup saya sampai saat itu saya diberitahu oleh berita Amerika dan koran bahwa orang Arab pembajak, teroris, pembunuh, jihadis, dll, dan bahwa mereka membenci Amerika. Tapi sekarang di sini aku berada di wilayah musuh, menemukan bahwa musuh sebenarnya media Amerika, yang tampaknya untuk melukis monster dari seluruh bangsa dari orang-orang ketika, pada kenyataannya, hanya beberapa apel buruk pantas disalahkan.

Saya akan segera belajar bahwa pria Mesir saya tinggal dengan tidak ada orang biasa. Teman-temannya bilang dia adalah “salah satu penyanyi paling terkenal di seluruh Mesir,” dan saya pikir mereka bercanda-sampai hari berikutnya ketika kami dikerumuni di jalan oleh ratusan penggemarnya memujanya dan harus membuat liburan cepat !

Bagian yang terbaik adalah bahwa apartemen saya dekat dengan piramida Giza, sehingga salah satu hobi favorit saya menjadi naik kuda dari satu piramida ke yang berikutnya. Di sini saya di depan salah satu piramida Abusir, dengan piramida Giza terlihat samar-samar di belakang saya:

1

A jauh lebih muda saya di depan salah satu piramida Abusir luar Kairo, Mesir, 1996.

Sorot lain dari petualangan Mesir saya adalah bahwa saya mulai melihat pengulangan dari sebuah kuil tertentu “tiga pintu” yang saya kemudian mulai menyebut “Triptych Temples.” Itu segera jelas bahwa Egypt’s Triptych Temples yang khusus, dan dalam beberapa cara langsung terhubung ke simbol Aten, tapi itu tahun lagi sebelum aku menyadari bahwa Egypt’s Triptych Temples adalah pusat terbangun Third Eye.

Tahu Diri “ditulis di halaman depan Kuil Apollo di Delphi. Menggambarkan Aten atas pintu pusat Triptych’s adalah cara Mesir kuno mengatakan “Tahu Diri”:

triptych mata ketiga Mesir

The “Third Eye” adalah subjek yang menarik minat saya sejak awal kehidupan. Its penting dalam hampir setiap genre okultisme membuat saya percaya pada usia yang sangat muda bahwa Mata Ketiga memiliki akar yang kuat di Antiquity. Dengan kata lain, saya merasa bahwa Mata Ketiga diwariskan dan dilestarikan oleh kekuatan gaib dari Antiquity karena there’s sesuatu tentang Mata Ketiga yang “intrinsik” untuk kondisi manusia.

studi saya dari kebudayaan kuno di seluruh dunia telah menunjukkan bahwa hampir semua dari mereka berlatih Mata Ketiga; dengan kata lain, Mata Ketiga telah “selamat” dalam agama Hindu, tetapi “ada” di hampir setiap peradaban kuno di dunia pada satu waktu.

Dalam perjalanan saya di Amerika (tidak lama setelah saya tinggal di Mesir) saya melihat bahwa agama Third Eye sangat kuno kebohongan tertanam di lapisan paling awal dari Maya, Olmec, Toltec, dan budaya Pra-Inca.

Aku menulis tentang ini di Ditulis di Stone , dan saya baru saja diperbarui website saya dengan sebuah artikel baru yang menjelaskan beberapa penelitian dari buku saya:

akhir empat

Aku pernah telah posting gambar Mata Ketiga kuno di Amerika dan di Mesir dan di tempat-tempat lain di seluruh dunia di website saya dan memberikan informasi esoteris di Mesir kuno dan peradaban pra-Columbus di Amerika secara online dan dalam buku-buku selama lebih dari 15 tahun . Anda dapat membaca ringkasan penuh penelitian saya di Ditulis Dalam Batu (2011).

Apa benar-benar pulang ke rumah pentingnya Mata Ketiga bagi saya adalah persahabatan saya telah memukul dengan dua guru saya terbesar pada esoteris kebijaksanaan-Wakil Presiden Pace University New York City dan Profesor saya Filsafat di Pace University, almamater saya .

Saya berteman dengan mereka tak lama setelah lulus karena keduanya tidak hanya berteman baik dengan satu sama lain, mereka master esoteris. Salah satu hal yang mereka menekankan kepada saya adalah bahwa Mata Ketiga adalah luas Antiquity. Sebagian besar dorongan untuk penelitian saya awalnya dipandu oleh antusiasme dan dukungan mereka.

Beberapa tahun kemudian, ketika tinggal di New York City dan bekerja sebagai editor di Manhattan, aku duduk di atas kelas Egyptology di salah satu universitas elit New York City’s. Profesor itu memungkinkan saya untuk melakukan hal ini ketika dia tahu tentang perjalanan saya ke Mesir, pengetahuan saya tentang Mesir Kuno, kurangnya kemampuan keuangan atau bantuan keuangan untuk membayar untuk pendidikan pasca-sarjana, dan pemahaman saya kuat okultisme.

Saya won’t mengatakan nama profesor atau universitas, tapi saya akan mengatakan bahwa tindakannya kebaikan diberkahi saya dengan rasa yang kuat dari tugas terhadap sesama manusia. Kita harus saling membantu, bahkan ketika kita jangan berdiri untuk mendapatkan keuntungan. Aku pernah selalu percaya itu, dan sekarang ini tindakan kebaikan oleh profesor tua ini menunjukkan bahwa keyakinan saya baik-didirikan. Pada perintahnya, saya membeli, membaca, dan mempelajari semua Egyptology buku yang saya bisa menemukan. Saya kenal dengan sebagian besar teks utama, termasuk Kitab Orang Mati, yang Teks Piramida dan Teks Coffin. Aku pernah belajar mereka selama bertahun-tahun, dan saya terus belajar mereka hari ini:

xxx

Sekarang bahwa saya telah mempelajari buku-buku ini, memperdalam pemahaman latar belakang saya dari okultisme, menerima pelatihan lanjutan formal di tingkat universitas, melakukan perjalanan ke banyak tempat-tempat saya menulis tentang, dan mengasah wawasan pribadi saya jauh ke dalam budaya dan simbol kuno, saya bangga untuk menyajikan Ringkasan penelitian ini seumur hidup saya ke Mata Ketiga di Mesir Kuno:

vvv

Jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang pekerjaan saya, Anda dapat membeli salinan Ditulis di Stone sini:

MEMBELI-THE-BOOK-TERTULIS-IN-BATU-by-Richard-Cassaro-SEKARANG

http://www.richardcassaro.com/the-ancient-egyptian-third-eye


Paradise in Sundaland is rapidly being discovered.

$
0
0
Foto Profil Antonio RobertoAntonio Roberto (sons of the latre Prof.Dr. Arisyo Nunes des Santos, Author of the book: Atlantis has Finnaly Found)

Why every serious researcher on Ancient History should CATCH UP and follow the events in Indonesia!

Paradise in Sundaland is rapidly being discovered.
Even authors like Graham Hancock are following a light for many years now and are way on top. This is in terms of both information and updated research. Some part from structured paradigms, or models, and so , it is easier to see the truth. Many scholars now point interest to matter of Atlantis. They forgot but it used to be a concern of science… Until subject was rendered dumb. And we owe a bunch to these disruptive authors.

We are happy to make part of Hancock’s webring since the early atlan.orgForums that we ran for years. And we are happy he mentioned us in his book. Hope he sells another twenty million…

All these actions we do mean one thing: We are all finding the true paradise. On earth. In Indonesia.

So, if we know where is Atlantis… we need to know What is Atlantis?. What is Lemuria. – What is Paradise?

Lemuria is referred to and earlier civilization .. the real Mother / or the real Eden . / Paradise.

LEMURIA IS ONE EARLIER VERSION OF ATLANTIS

Although it refers to the same continent – Sundaland, it is one earlier civilization, as is extensively explained by Professor Arysio Santos in his first book (The Treatise of the Philosopher’s Stone – 1995) a book on Lemuria and the Indies, in which he points Indonesia as Atlantis location for the first time.

Lemuria = up to 75000 years ago – In Sundaland
Atlantis = up to 11600 years ago, in Sundaland

Lemuria – Civilization that ended in Volcanic conflagration (Toba event)
and was reconstructed into Atlantis….. a new “version”..

Atlantis – Civilization that had a diaspora – 12000 years ago – at the end of Pleistocene due to an Immense war and a universal Flood that followed …

Atlantis – or Sundaland originated the Indians , Hindus, Amerindians, Aboriginal peoples, Austronesians, Europeans, Asiatics, Chinese, Egyptians,, and it is the ONE COMMON ORIGIN TO MANKIND>

That is the real “secret”truth about Atlantis /Eden / Paradise / Lemuria. Land of Fire. or true Paradise..the true Avalon .. and true Punt. or true abode of the gods. .Those places are truly SUNDALAND and Kumari Kandam / Punt = They are one and the same thing!!!

LEMURIA AND ATLANTIS ARE THE SAME REGION

Sunda – or Sundaland – present day’s Indonesia,. always the most fertile and perfect Paradise on this earth. It is obvious, after it was found. never before has anyone connected the end of the ice age to the demise of Atlantis – exactly as stated bu Plato..|
And .. Plato corroborates with plenty of details from Atlantis’ geography!!

Some confound Lemuria, Mu and Atlantis..

these earthly paradises are all one and the same…
IN A DIFFERENT VERSION

Lemuria is the virgin mother of Atlantis. The real EDEN. This is precisely the place civilization was born.

In this book Professor Santos shows the meanings of one of the most famous Alchemy treatises and also relates the Vedas to Lemurian Atlantis as to decipher the true Origin/Paradise, That ultimately gave birth to the following book (second book – Atlantis – The Lost Continent Finally Found – 2005) and gave birth to Sundaland / Atlantis theory .

This book on Atlantis from 2005 was published in Indonesia and sold above 50000 copies in more than ten editions in the first year alone.. .
So it could widely spread the theory and make grounds for other studies.

Due to great repercussion of this book and also of contemporaneous book from Professor Oppenheimer’s – Eden in the East, published in Indonesia and from the same publishing house, a gathering of interests was created. We have had plenty of support ever since. ( and plenty of opposition too.)

and the repercussion that it had caused a certain commotion and authorities awareness and now it is more common place that Atlantis can and should be studied seriously by the academics..

promoted and provided for conventions and seminars that woke up certain attention in the academics and even the official spheres. The project reached a great deal of support, even from authorities and midia.

ARS

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan

Komentari

9 komentar
Komentar
Suncana Diana Purbasari
Suncana Diana Purbasari Indeed Antonio Roberto THANK YOU for this beautiful overview!! DURING THIS NEXT WAVE OF AWAKENING.. WE ARE UNEARTHING — THE MANY LAYERS OF OUR TRUE GLOBAL HERITAGE …INDEED WE ARE WELL UNDERWAY TO CREATE A 21ST CENTURY SCIENTIFIC/HISTORICAL RESEARCH HUB.. THE ‘ATLANTIS FOUNDATION’ — A SCIENTIFIC/HISTORICAL RESEARCH COLLECTIVE TO COALESCE/COLLABORATE WITH SCIENTISTS/ACADEMIA/RESEARCHERS/INDIGENOUS FAMILY/LEADERS. WEAVING TOGETHER A UNITED GLOBAL HERITAGE COMMUNITY FOR HUMANITY. #ATLANTISFOUNDATION #RESEARCHHUBFORHUMANITY#21STCENTURYWISDOMPORTAL
Antonio Roberto
Antonio Roberto yes love.
thanks… the motive of my try and insistence is you..

All for the tradition..> AND IT PAYS WELL
truly.. tradition requires from us but sincerity and purity in heart..

those who seek.. .may them find..
the water is enough to quench all thirst in the world..
the mainstream will not resist ..
they also work for us.. for we work for the gods.. and for the divine.. no one is to hold us..
like Christ says .. “If not against us.. surely part of our cause”

Alfredo Lacasa membalas · 6 Balasan
Alfredo Lacasa
Alfredo Lacasa Antonio Roberto: Lemuria is America, and Atlantis was the center of Lemuria.
Antonio Roberto
Antonio Roberto dear..

We go by other line:
Both LEmuria and Atlantis were located in Sundaland . .or Indonesia.

Lemuria is one ancestral civilization that ended 75000 years ago (with Toba Volcano Explosion)
Atlantis was then created in the same plain od Sundaland .. and later found its demise.. .at Krakatoa Vocano Explosion…

So,.. both Lemuria and Atlantis were in Sundaland.

as well.. all Mythical Islands, Paradises, earthly heavens .. Golden Islands,,.magical Kingdoms,, Forgotten and missing lands.. Eldorados.. Even paradgmatic Paradises .. such as Eden..the Bbiblical PAradise.. or . Ophir ,. .Taprobane.. Mu,
even Kumari Kandam ,, the Hindu PAradise.. .or Saka Dvipa . .The mythical Hindu ISland,… or even Punt the real and orginal Egypt…
All refer to Sunda.

(unless they were REPLICAS that were made the world over…. in order to commemorate Atlantis . .the Mother of Mankind.)

Alfredo Lacasa membalas · 9 Balasan
Bob Newton
Bob Newton Maybe serious researches are very skeptical of your claimsAntonio. What I don’t understand is you have so much information linking Sundaland to Mu, but you choose to call it Atlantis. I’m not stating your work is invalid whatsoever. But it is quite evident you have twisted the historical record for your convenience and agenda? Serious researchers “Without” an agenda do not follow your work… And if they do it isn’t for very long…
Bob Newton membalas · 18 Balasan
Bob Newton
Bob Newton Maybe you should “Catch Up”….
Antonio Roberto membalas · 2 Balasan
Budi San
Budi San I also happy that Graham Hancock came to Gunung Padang after recommend it to TTRM team Antonio Roberto. I believed Atlantis Foundation, Indonesia & Graham Hancock team will collaborate in a good way. @Santha Hancock : please send our regard & many thanks to your husband.
Antonio Roberto membalas · 1 balasan
Antonio Roberto
Antonio Roberto ye! all disruptive authors and rogue explorers are romantic approach .. so necessary .. as to have a diverse and complete research…

Graham Hancock is one fantastic person for telling stories and has a nice public.

he worked all right over a nice coherent Paradigm he

are interesting for the COMMON CAUSE we have after all. finding the truth,
only truth matters.

I am in this quest because my father was .. and I inherited the Karma.. My father produced the most coherent theory in Atlantis. That is where many people work on .. and all works that make sense,,. nowadays ,, in the field of Plato’s Atlantis Quest. and all Lost Civlizations Quest.. at least partially has to consider our paradigm,.. that puts Atlantis / Eden .. in SUNDALAND>
.. Graham Hancock too is constructing over this most correct paradigm and cites my father book in his new publication.. “Magicians of the Gods.”.. A real pearl that everyone MUST READ!

Built over this correct FRAMEWORK that point Atlantis location in Sundaland.. this new book is by far the most important work in the reunion of science to religion and tradition,. .. for their seek is common .(the Lost Paradise…)
According to the theory of A. Santos. . .which we touch everywhere in the groups discussion .Atlantis / Eden was pretty much real.. and professor Arysio Santos pointed out all necessary details.. that is where people in Indonesia are working over to find many interesting evidences and clear this for once.. Soon to happen…

those who bug him and do not comprehend his work simply are either in envy or don’t get the point …”History has no owner”.. and
But, what happens is .. .scientists gave up long ago the search for lost civlizations, in special Atlantis>
scientists do not produce anything or validate any work in the fiel of ATLANTOLOGY.
so, it is vacant. to people like GH.. to work at will .. and profit . and get recognition>>I know a lot of people get bitten.. but the field of Lost Civilizations is vacant.

So .. it is ours to play as we wish.

Amateurs.. novelists , journalists.. the crazy ,, the poets.. the bards.. the natives.. the esoteric.. the mystic,.. the experimenting .. the believer..>
science does not want to follow the subject.. its ours.

NAmastée


Oppenheimer: Peradaban Dunia dari Indonesia

$
0
0

Nenek moyang induk peradaban manusia modern berasal dari Indonesia

VIVAnews – Teori ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, Stephen Oppenheimer, seperti memutarbalikkan sejarah yang sudah ada. Lewat bukunya yang merupakan catatan perjalanan penelitian genetis populasi di dunia, ia mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara.

Hal itu disampaikan Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis 28 Oktober 2010.

Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan sundaland atau Indonesia.


Apa buktinya? “Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi yang juga dihadiri Jimly Asshiddiqie.

Lulusan fakultas kedokteran Oxford University melalui bukunya mengubah paradigma yang ada selama ini, bahwa peradaban paling awal adalah berasal dari daerah Barat. Perjalanan yang dilakukannya dimulai dengan komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini.

Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia.

Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.

Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam.

“Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya,” ujar dia. Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara. Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.

Eden In The East juga mengungkapkan bahwa berbagai suku di Indonesia Timur adalah pemegang kunci siklus-siklus bagi agama-agama Barat yang tertua. Buku ini ‘membalikkan’ sejumlah fakta-fakta yang selama ini diketahui dan dipercaya masyarakat dunia tentang sejarah peradaban manusia.

“Buku ini memang juga ada biasnya. Karena penulis istrinya orang Malaysia sehingga ada perspektif Malaysia,” kata Jimly yang hadir dalam acara itu.

Laporan: Fina Dwi Yurhami

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/185507-oppenheimer-peradaban-dunia-dari-indonesia

LINK TERKAIT:

http://www.bradshawfoundation.com/stephenoppenheimer/stephen_oppenheimer.php

 


Ustadz Kapitalisme dan Kejahatan Agama

$
0
0

Oleh: Iwansyah S.Kep.,Ns

Ustadz Kapitalisme dan Kejahatan Agama

Ilustrasi

Satu Islam – Agak menggelikan juga ketika melihat seorang ustadz di televisi jadi bintang iklan. Gelisah juga ketika kita melihat training agama yang marak dengan biaya tinggi, belum lagi berbagai salon, supermarket klinik kesehatan, acara televisi yang menggunakan islam sebagai label. Menjadikan umat sebagai objek riset. Islam menjadi agama yang diperjual belikan peran agama sebagai penegak keadilan dan kekuatan yang melawan kewenang-wenangan jadi lenyap.

Kini agama berada dalam komplotan yang memyembunyikan firman sesuai dengan kehendak pasar. Agama dijadikan sebagai produk untuk meraut laba semata.  Sekali tampil para ustadz paling sedikit dibayar Rp 5 juta.  Dakwah riang, konyol  dan tak segan-segan membawa bahasa gaul seperti anak muda jaman sekarang siapa lagi kalau bukan ustadz selebritis. Mereka adalah lapisan kelas sosial yang dibesarkan dan tumbuh dalam asuhan media. (Baca: Gubernur Maluku: Kekerasan Atas Nama Agama Adalah Kejahatan Terburuk)

Di televisi para ustadz ini seolah ingin memberikan tentang bagaimana agama itu diperankan dan bahkan mereka membawa agama keruang politik pragmatis dengan mendukung salah satu bakal calon yang membayarnya dengan mahal, agama diperjual belikan dalam ajang politik pragmatis tanpa harus memikirkan dampak buruk yang ditimbulkan terhadap peradaban umat yang mendengarnya.  Kita kehilangan para ustadz yang  cerdas tajam dan revolusioner sejak itu agama dihidupkan dengan api, tapi asap kemegahan yang sesungguhnya palsu dan menjebak.

Bandingkan dengan sejumlah ustadz yang kini hilir mudik di televisi. Mereka selalu saja kurang nyaman jika tidak memiliki mobil dengan harga miliaran, rumah yang besar dan pakaian dengan harga jutaan dan bahkan puluha juta. Tampilan yang seperti itu supaya pasar tidak melihatnya ketinggalan jaman. Dan bahkan ada suatu hari  di Makassar saya melihat teman saya mempromosikan  bisnis seorang ustadz dengan membuka klinik kesehatan dan membawa-bawa nama islam. Bisnis ini dikelolah dengan cara umum namun hanya saja ada islam dilabel obat, dan alat kesehatan lainnya. Harga produk maupun pemasarannya sama dengan bisnis yang lain. Namun karena memakai nama islam maka ummat berusaha untuk meyakinkan kalau ini beda.

Menggunakan islam dengan untuk jadi produk dengan mengobral simbol adalah praktek umum dalam kapitalisme pasar, sokongan atas itu semua dimudahkan melalui iklan yang dijajakan hampir setiap hari penuh melalui televisi maupun Koran dan majalah-majalah. Memang kita tentu tak mau ustadz kita terkena wabah busung lapar, tetapi itu bukan berarti kita memperkenangkan mereka hidup bermewah-mewahan. (Baca: Agama, Alam dan Alat)

Ulama kita terjerembab dalam budaya kapitalisme yang bersandar pada bagaimana nilai citra lebih ditonjolkan ketimbang nilai guna. Komodifikasi menjadi iklim yang marak belakangan dan karenanya petuah-petuah kesederhanaan hidup seolah-olah kosong tanpa makna. Karena petuah kosong itu dibunyikan oleh ulama dzalim yang suka memupuk-mupuk kekayaan.

Ketika kesederhanaan telah tenggelam maka, persis sebagaimana yang menjadi sinyal agama, tanggung jawab sosial dan solidaritas menjadi lemah. Efek dari itu semua adalah telah menelurkan kelompok ummat yang punya tabiat: pertama, melihat agama sekedar sebagai model simbolik yang diamalkan  melalui kegiatan dan penghayatan individual. Kedua, penghayatan atas islam terpusat pada apa yang di omongkan dan diceramahkan oleh alim ulama televisi ketimbal praktek  sosial keseharian. Ketiga, mulai melakukan klasifikasi atas ummat dalam berbagai golonga dan ketegori sebagaimana pasar menempatkan dan memperlakukan produk. Saluran kesadaran keagamaan semacam ini diperoleh tidak melalui pergulatan yang dalam dan susah payah melainkan kesempatan maupun peluang yang diberikan oleh pasar sekaligus kekuasaan.

Bagi para ustadz dengan wajah kapitalisme menganggap bahwa agama menjadi saranan untuk memuluskan dan mempercepat proses akumulasi modal. Bukan lagi seperti yang dikatakan marx bahwa agama itu candu. Disini agama kemudian jadi alat produksi yang tidak hanya dimanfaatkan untuk meraup laba, melainkan juga digunakan dalam proses ekspansi kapital. Karena, memikat pasar. Imam ali pernah berkata dengan nada lembutnya:

Para ahli agama yang paling bijak ialah mereka yang tidak membuat orang berputus asa akan rahmat atau kehilangan harapan akan santunan dan kasih sayingNya tetapi juga tidak membuat orang terus menerus merasa aman dari pembalasan-Nya.

Itu yang membuat kita kemudian mendefinisikan melakukan dakwah dengan ajaran agama islam yang sebenarnya tanpa meraup laba semata. kenikmatan akan kita dapatkan balasannya atas apa yang pernah kita lakukan, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan. Dan jangan jadikan islam sebagai produk untuk mendapatkan keuntungan semata tapi jadikan islam sabagai agama yang mampu mebuat peradaban manusia menjadi lebih bijak dan baik.

Dengan melihat islam di Indonesia yang berangsut-angsur kehilangan naluri sebagai gerakan sosial artinya gerakan yang mempertautkan proses evlolusi masyarakat dan tertikam oleh ambisi politik yang dalam prakteknya banyak mengalami kegagalan akibat hegemoni kapitalisme. Andai keadaan terus seperti sekarang ini, adalah benar apa yang dikatakan Marx: Agama itu hanya candu, betul sekali ucapan Rasulullah SAW: kelak islam hanya seperti buih, banyak pengikutnya tapi tidak ada mutu. (Baca: Timur Tengah Diambang Perang Meluas dengan Jargon Agama)

Penulis: Iwansyah (Pemerhati Agama)

Sumber: Tempo

 


Akhirnya Pemerintah Bubarkan Ormas Anti Pancasila (HTI/FPI)

$
0
0

BY ON MAY 10, 2016POLITIK

Screenshot_2016-05-10-17-46-38-1

Jujur saya sudah bosan ditanya “mengapa pemerintah membiarkan gerakan khilafah menentang pancasila?” Tak terhitung sudah berapa kali, tak paham juga kenapa mereka menanyakan ke saya hanya karena saya pernah foto dengan Presiden Jokowi.

Sementara saya sendiri juga sempat bertanya-tanya mengapa gerakan ekstrimis penentang sistem demokrasi seperti difasilitasi?

Pengajian-pengajian HTI sudah tidak bisa dimaklumi dengan alasan demokrasi. Orator mereka jelas selalu melakukan upaya makar terhadap NKRI. Mereka menganggap hormat pada bendera merah putih adalah dosa atau syirik. Melarang menyanyikan lagu kebangsaan dan sebagainya. Mereka dengan terbuka menolak demokrasi dan pancasila.

Pada banyak kesempatan, ceramah pimpinan HTI juga sudah sangat mengkhawatirkan. Ada banyak seruan “jihad” dengan suara menggelegar. Pada intinya mereka ingin mengubah sistem demokrasi menjadi khilafah, apapun caranya.

Satu-satunya alasan mengapa mereka sampai saat ini belum berontak atau perang terbuka, karena mereka tahu jumlah anggotanya masih sedikit. Tak sampai 1% dari WNI yang ada.

Inilah yang kemudian membuat mereka gencar lakukan perekrutan kader-kader baru dengan beragam modus. Bukan sekali dua kali saya mendengar cerita ziarah jebakan ala HTI. Warga, umumnya ibu-ibu, diajak ziarah ke suatu tempat sekaligus wisata gratis. Bus dan makan disediakan. Namun setelah sampai di lokasi, ternyata acaranya ceramah atau pengajian HTI.

Setelah itu mereka diberi buletin atau majalah tentang negara khilafah dan menjelek-jelekkan pemerintah yang ada. Namun dari beberapa tulisan yang saya baca, semuanya materi mentah yang sangat mudah dibantah, bahkan cenderung gagal paham. Tapi semua hal tersebut dikemas sedemikian rupa untuk membentuk persepsi bahwa negara demokrasi itu salah total, harus dirubah ke sistem khilafah.

Kegiatan mereka selama ini sudah cukup mengkhawatirkan. Cerita di atas adalah modus standar yang saya yakin sudah diketahui oleh para pembaca sewordcom.

Namun satu-satunya tindakan kongkrit pemerintah hanya mempersulit ijin keramaian. Meski sudah sering kita serukan pembubaran HTI, atas nama demokrasi mereka tetap eksis hingga hari ini.

Belakangan ada kabar dari pemerintah melalui Mendagri Tjahjo Kumolo, beliau sudah memproses pembubaran ormas yang anti pancasila.

“Saya tidak usah sebut (nama ormas). Yang pasti sudah terang-terangan anti Pancasila. Pokoknya ini ormas cukup besar,” jelas Tjahjo.

Di Indonesia ini, ormas yang anti pancasila dan cukup besar hanya HTI dan FPI. Keduanya seperti duren dibelah dua, tak sama sisi tapi bentuk dan isinya persis. Buat saya, apakah FPI atau HTI yang akan dibubarkan, sama saja. Kalau bisa dua-duanya sekaligus. Tapi kalau hanya satu, semoga selanjutnya sudah bubar semua.

Efek Rusuh

Kita tau dua ormas ini memiliki anggota yang cukup titik-titik dan kerap rusuh. Terutama FPI. Jadi kalau nanti ormas mereka dibubarkan, hampir bisa dipastikan akan ada demo dan rusuh kecil-kecilan.

Untuk itu, meski Mendagri mengklaim sudah membubarkan ormas tersebut, namun beliau belum bisa menyebutkannya secara terbuka. Saat ini Tjahjo Kumolo masih berkomunikasi dengan Kejagung, Polri dan TNI sebelum mengumumkan pembubarannya. Ini dimaksudkan agar semua elemen siap menghadapi respon ormas anti pancasila yang dibubarkan.

Keberanian Jokowi

Sebelum ini kita sudah berkali-kali melihat penenggelaman kapal secara terbuka. Seolah tak ada takut-takutnya dengan negara tetangga. Kemudian pembubaran Petral, pembekuan PSSI, hingga tembak mati pengedar narkoba.

Tak main-main, soal tembak mati ini Presiden Jokowi mendapat banyak respon dari pimpinan dunia. Australia dan Brazil sempat menarik duta besarnya. Bahkan baru-baru ini, Jerman meminta agar Indonesia menghapus hukuman mati.

Namun dengan santainya Jokowi menjawab “itu hukum yang berlaku di Indonesia dan masih akan kita lanjutkan untuk memerangi narkoba.”

Lalu kini ormas anti pancasila (HTI/FPI) yang siap diumumkan pembubarannya. Hal ini bukan hal luar biasa, sebab sejak awal Presiden Jokowi sudah menunjukkan banyak gebrakan perbaikan. Tapi apapun itu pembubaran HTI atau FPI akan menjadi catatan tambahan tentang keberanian seorang Jokowi yang sangat luar biasa. Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan SBY. Jauh. Jauh pake banget, kayak langit dan sumur.

Kebijakan ini sekaligus memberi tahu kita semua bahwa perhitungan pemerintah dalam membuat kebijakan sangat hati-hati. Tidak grusa grusu. Dan semoga setelah ini tidak ada lagi pertanyaan kapan HTI atau FPI dibubarkan?

Bersiap Merespon

Buat yang selama ini sering bertanya dan mengharap ormas anti pancasila dibubarkan, sebaiknya segera menyiapkan perencanaan dalam melawan opini publik.

Sebab begini, pembubaran ormas anti pancasila ini dipastikan akan mendapat dukungan dari tetangga sebelah, Koalisi Mabuk Permanen. Mereka akan berdiri bersama kelompok ormas anti pancasila demi bisa menyerang pemerintahan Jokowi JK.

Buruknya, serangan kali ini bisa dari banyak pihak. Dari kalangan politisi, intelektual hingga penjual sprei. Mereka akan teriak-teriak seperti anjing kelaparan atas nama demokrasi.

Sebagai awalan, sebelum nanti kita mendengar suara berisik mereka, mungkin sebaiknya saya mulai dengan sedikit tantangan buat semua pembela ormas anti pancasila dan demokrasi.

Jika benar kalian menentang pancasila dan sistem demokrasi, tidak mau hormat bendera merah putih dan mengakui pemerintah Indonesia, maka sebaiknya potong dan buang KTP kalian, tak perlu pakai rupiah karena semuanya bagian dari Indonesia. Enyahlah ke manapun kalian mau. Mungkin Israel adalah negara paling cocok agar kalian bisa berjihad dan berperang, tidak hanya koar-koar dengan daster putih.

Tapi jika kalian mau menerima dengan damai dan bertaubat, menerima pancasila dan sistem demokrasi, berjanji tidak makar lagi, pemerintah Indonesia juga akan menerima dengan damai. Tapi tetap kalian harus dibubarkan agar tidak ada lagi kegiatan-kegiatan makar anti pancasila.

Begitulah kura-kura.

@Pakar_Mantan

 


Siliwangi dalam catatan uga

$
0
0

POSTED BY DEDI OGIE S KIDS 

PENDAHULUAN
Hampir semua pegunungan di Tatar Sunda ini menjadi tempat hunian para leluhur Pajajaran antara lain, Gunung Munara, Gunung Galuh, Gunung Kapur Ciampea, Gunung Gede, Gunung Ceremai, Gunung Slamet serta Gunung Padang. Selain itu pegunungan lainnya di luar Pulau Sunda, juga banyak mencatat riwayat tentang Siliwangi yang menjadi tokoh Pajajaran. Rupanya pegunungan menjadi suatu tempat yang mengesankan dengan alasan tertentu.
Dilain pihak Siliwangi juga menyukai gua, atau lembah yang mendekati aliran sungai maupun laut. Oleh karena itu, Siliwangi telah mengukir sejarah diantaranya seperti ; Batutulis, Kutamaneh/Kutawesi, Pasir Angin, Cengkuk, Cangkuang, yang merupakan tempat awal penyebaran keturunannya sebelum ke seantero Jagat Nusantara.
Tentunya kondisi tempat-tempat tersebut di atas, jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Dahulu kala keadaan alam masih hutan lebat, mungkin juga bagai savanna tanpa pepohonan !. Tetapi yang akan diuraikan disini tentang kehadiran manusia yang berhubungan dengan tabir adanya Siliwangi. Walaupun bersifat legenda, kiranya nama tempat maupun nama tokoh menjadi alasan kuat adanya untaian riwayat yang perlu dikenali oleh keturunannya.
Selain itu pula, masih banyak lokasi yang belum terungkap di belahan jagat raya ini yang pernah di jelajahi Siliwangi. Tetapi banyak kendala, karena nara sumber yang sulit mengungkap, juga sejarah Siliwangi tidak sembarang orang dapat menuturkan secara batiniah maupun artifak. Sehingga diakui, memakan waktu lama untuk membuktikan minimal mendekati kejelasan riwayat Siliwangi.
Walaupun demikian, sebagai penghormatan kepada leluhur yang menjadi nenek moyang, marilah coba mengungkap secercah kisah Siliwangi. Sebab bagaimanapun juga nama Siliwangi bagi rakyat tatar Sunda sangat erat kaitannya dengan nama kebesaran daerah, maupun dengan kharisma Siliwangi. Oleh karena itu, apabila hendak menuturkan kisah Siliwangi, maka harus dari sumber yang berkompeten sebab tidak mustahil akan menjadi polemik dan cerita yang usang dikalangan rakyat serta anak keturunan Siliwangi. Bahkan mungkin tidak diridoi oleh obyeknya. Dalam pengungkapanpun harus orang yang tepat dan memiliki warisan sejarah, serta mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf lingga sangkala, kawi, sanksekerta, maupun bahasa “karuhun”.

Dan jika menyimak Siliwangi, sebaiknya harus identik dengan zaman purba dan bebatuan. Sebab latar belakang pada zamannya selalu meninggalkan jejak batu tapak, gua, dan batu bertulis yang merupakan tanda warisnya. Namun menurut orang tua dulu, semua peninggalan itu di awali dari Rumpin dan Ciampea. Karena, dari sanalah awal Siliwangi digelar ke alam persada ini.

KEBERADAAN NAMA PAJAJARAN
Nama Siliwangi banyak dihubungkan dengan nama Tarumanegara maupun dengan nama Sunda atau nama Pajajaran. Hanya disini akan disinggung nama Pajajaran saja, karena nama Pajajaran mungkin yang paling tepat dan sangat berarti. Namun, bukan nama lainnya di abaikan. Hanya saja, Taruma disebut karena dikawasannya banyak pohon tarum. Kemudian nama Sunda pun, karena alasan masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Jadi nama Taruma maupun Sunda, hanya sebutan (katelah, bahasa Sunda) karena kondisi keadaan zaman itu.
Sedangkan nama Pajajaran, lebih berkesan terhadap hasil upaya Sang Penjelajah. Menurut “orang tua” nama Pajajaran adalah nama jajaran. Sama halnya dengan adanya seorang bapak, ibu dan anak. Itulah sinonim Pajajaran. Atau dengan kata lain jajaran atau jejeran anak-cucu dan keturunannya. Sedang nama Siliwangi sudah sejak awal lahir sudah digunakan dan kemudian menjadi nama gelar, untuk setiap anak-cucu keturunan dari Pajajaran. Namun tidak semua anak-cucunya bisa dikatakan Siliwangi, tentunya hanya kepada anak-cucu tertentu yang pantas dan menjadi pemimpin (Kokolot, bahasa Sunda) di tiap wilayah tertentu.
Tahun berapa adanya kehidupan masyarakat Pajajaran ?. Salah satu patokannya, angka “1081sebagaimana tertera pada batu makam Sangiyang Sungging Prabangsa di Cikembar Sukabumi. Menurut “orang tua” angka tersebut merupakan tahun sebelum masehi. Hal itu menunjukkan, bahwa Siliwangi pada zamannya telah mengukir budaya tulis diantaranya yang ada di Batutulis, di Cicatih maupun di Kawali serta di beberapa daerah sehingga bisa menjadi  ilustrasi bagi generasi berikutnya.
Huruf Sangkala Nirwana yang masih ada dari salah satu cuplikan buku “orang tua” di Cipaku Bogor
Dan konon nenek moyang tersebut, mulai menulis dengan mempergunakan jemari ujung kuku. Kuku yang kita kenal merupakan tanda ”doraka” dan dari sisa jasad kulit manusia ketika diciptakan itu, ternyata ampuh dan tajam terhadap batu sekalipun. Malah menurut informasi orang tua, tentang angka dan bahasa pun banyak dipelajari dari alam.
Tulisan pada batu itu dikenal dengan istilah aksara ”Lingga Sangkala” dalam situasi zaman sengsara atau zaman prihatin itu istilahkan ”Mikrob Kolbu”. Nah ! dari situasi ”Mikrob Kolbu” itulah, orang tua dulu mempelajari dan meniru huruf yang ada di dedaunan maupun buah-buahan. Bahkan sampai sekarang dari daun dan buah itu tetap masih ada, walau hanya berupa garis ikal dan berliku diantaranya dari daun melati air dan buah duku. Tetapi memang jika diamati dengan seksama, terdapat  kemiripan dengan tulisan yang dibuat orang tua dulu. Sedangkan tentang fungsi lain dari kuku, akan dibahas selanjutnya.
KONDISI ALAM
Pada zaman itu, kebudayaan manusia masih serba purba dan primitif. Alat maupun perkakas untuk menunjang kehidupannya sangat sederhana sekali. Adapun yang mereka ciptakan mula-mula, kampak, pisau maupun tombak. Semuanya dipergunakan sebagai alat berburu, tetapi juga dipergunakan sebagai senjata. Kenapa harus senjata dulu yang dibuat dan dimiliki ?. Senjata menjadi penting, karena untuk melindungi dari ancaman binatang buas, maupun sebagai alat berburu untuk kebutuhan makan.
Jika demikian beralasan, karena keadaan alam pada zaman itu masih didominasi hutan belantara, sehingga binatang buas bebas hidup berkeliaran. Maka wajar setiap manusia mempersenjatai diri untuk melindungi dirinya.
Pada zaman itupun, belum ada logam besi. Walaupun sebenarnya bahan besi ada di tanah pegunungan maupun laut, tetapi manusia belum memiliki teknologi untuk memprosesnya menjadi lempengan besi. Jadi, manusia dahulu kala hanya mengandalkan alat seadanya. Mereka membuat senjata dari batu, kayu maupun dari tulang belulang binatang yang dibuat runcing sehingga menyerupai tombak, kampak atau pisau.
Meskipun keadaan alam yang ganas, kodrat sebagai manusia memerlukan makan dan minum. Maka untuk memperoleh kebutuhannya, manusia harus ikhtiar dengan cara apapun. Lagi-lagi dengan belajar terhadap kondisi alam yang ada saat itu. Mereka belajar dari alam. Antara lain, memperhatikan bagaimana harimau dapat menaklukan mangsa dengan kuku dan gigi yang tajam. Sehingga sekalipun mangsanya lebih besar, tetapi harimau dapat menaklukan dan bahkan dapat merobek daging mangsanya untuk disantap.
Dari salah satu kasus itulah, rupanya menjadi pelajaran bagi manusia tempo dulu. Dengan kuku itu pula manusia meniru, sehingga kuku mereka dipelihara dan dibuat setajam mungkin. Dengan kuku pula disamping dipergunakan menulis pada batu, kuku yang tajam itu, mereka pergunakan seolah-olah kekuatan untuk berburu. Mereka dapat memperoleh hasil perburuan untuk kelangsungan hidupnya. Mereka amat menikmati daging mentah, bahkan sekaligus bisa menghirup air darah serta memanfaatkan kulit binatang untuk penutup badan.
Apabila yang mereka peroleh buruan kijang atau domba, maka menjadi keburuntungan berlipat ganda yaitu dapat daging dan kulitnya. Sebab kulit hewan tersebut, mereka gunakan untuk menutupi anggota badan agar terhindar dari udara dingin maupun kondisi panas.
Sejak itulah mereka mulai dapat membedakan keadaan badan yang ditutupi kulit binatang dengan kondisi badan tanpa ditutupi. Sehingga dari pengalaman itulah mereka mulai mencari alternatif selain kulit binatang, yaitu pelepah pohon pinang (Upih, bahasa Sunda). Ternyata upih menjadi keperluan dan pilihan mereka untuk menutupi auratnya. Dengan upih itulah mereka nampak tidak telanjang sama sekali, malah terlihat seperti berbusana ala kadarnya.
Budaya menutupi aurat sejak itu mulai berkembang, walaupun sangat sederhana. Coba bayangkan bagaimana sosok orang tua dulu ! dengan badan tinggi besar, kuku panjang dan tajam, serta rambut panjang gimbal tak terurus, lantas tanpa penutup badan pula. Nampaknya terlihat menyeramkan, bukan ?!.
SIAPA SILIWANGI?
Siliwangi ketika lahir diberi nama panggilan nama kesayangan ”PANCAWALA”, ayahnya bernama ”Sangiyang Dewa MURBA” atau ”Nirwana Sangiyang Domas Siliwangi”. Beliau memiliki ageman ilmu ”CANGKOK WIJAYA KUSUMA”. Jadi nama Siliwangi sudah ada dari nama orang tuanya yaitu : Nirwana Sangiyang Domas Siliwangi, jadi nama Siliwangi bukan nama baru atau telahan. Sehingga kepada keturunannyapun, kemudian digunakan sebab nama itu sama dengan bin atau alias.
Mengenai sosok Siliwangi, ada pendapat mengatakan menyerupai harimau. Hal itu tidak tepat, jika Siliwangi yang dilambangkan ibarat harimau. Sebab harimau malah menjadi hewan ”mainan” dan kesayangannya. Dan harimau itu sendiri dapat dikepit sebelah tangannya. Jadi dapat dibayangkan sebesar apa orang tua dulu kala ?, karena antara Siliwangi dengan harimau seperti sekarang layaknya orang dewasa mengangkat seekor kucing ?. Jadi sebenarnya jika Siliwangi dikatakan harimau hanyalah mitologi. Mungkin juga mengandung arti bahwa, harimau adalah raja hutan yang ditakuti dan disegani oleh binatang hutan lainnya. Dan Siliwangi memang suka menggunakan kulit harimau tetapi harimau yang ditemukan telah mati, bukan harimau hasil buruan.
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa kehidupan Siliwangi ibarat angin, bagai kilat dan penuh petualangan. Walau demikian, tidak mustahil Allah SWT menciptakan Siliwangi tanpa perencanaan, pasti dibalik itu ada kehendak Allah menciptakan umatNya.
Pada zaman itu, makanan umumnya bersumber dari bahan mentah mungkin termasuk daging menyebabkan keringat berbau tak sedap. Namun bagi Siliwangi (Pancawala) tidaklah demikian, beliau tetap harum dan wangi. Karena selalu menikmati daging maupun lauk pauk, terlebih dahulu dibakar atau dijemur matahari. Sedangkan yang menjadi sumber api dari batu megalit maupun sumber panas lahar gunung. Oleh karena itulah, ketika Siliwangi berada di Rumpin selalu memanfaatkan panas belerang gunung kapur Ciseeng. Ketika menetap di Halimun, mempergunakan sumber aliran Cipanas Cisolok. Sewaktu di Gunung Padang senantiasa menggunakan sumber belarang yang ada di lembah Gunung Patuha. Selain itu pula banyak tempat menjadi kesukaannya antara lain ; di Ciater, kawah Tangkuban Perahu, Gunung Pancar maupun kawah Kamojang, merupakan petilasannya juga.
Banyak tempat dan sumber panas gunung lainnya dijadikan tempat mengolah daging dan ikan untuk hidangan makanannya. Oleh karena itu, beliau tidak menyantap daging maupun ikan mentah yang menyebabkan badan bau tak sedap. Dari perbedaan itulah, tubuh Pancawala tetap harum dan wangi.
Panggilan atau sebutan penggunaan nama Siliwangi, adalah atas restu dan perintah leluhurnya. Hal itu menjadi kebiasaan kepada anak keturunannya, jika diberikan gelar. Seperti ketika Aji Saka yang diberi gelar Siliwangi diawali di daerah Tomo – Kadipaten. Tempat itu bernama Marongge berada di kawasan Gunung Congkrang atau Gunung Parang Sumedang. Disana terdapat aliran sungai Cihaliwung dengan Cilutung merupakan tempat bersejarah untuk penentuan menggunakan nama Siliwangi, bahkan Cilutung diberi nama ”Air Ludah Braja”, dan disekitar Marongge ditandai dengan batu yang diberi nama ”Mus Sang Geni”. Tetapi, Haji Kyai Santang sendiri selaku putra keturunan Siliwangi tidak menggunakan nama Siliwangi. Jadi tidak semua menggunakan nama Siliwangi.
SENJATA
Pada uraian diatas telah disinggung bahwa Siliwangi memiliki ageman ilmu “CANGKOK WIJAYA KUSUMA”. Senjatanya berupa senjata alam yang tidak berwujud sehingga tidak nampak oleh kasat mata. Namun banyak orang meyakini bahwa Kujang adalah senjata milik Siliwangi, mungkin seperti Kujang tetapi bukan dari bahan logam karena zaman itu belum ada namanya besi atau logam lainnya. Memang bahan besi sejak dahulu kala banyak terdapat di tanah pegunungan maupun laut, namun proses pengolahan menjadi besi belum ada teknologi. Senjata Kujang Siliwangi itu, sejatinya berupa nur cahaya, sehingga tidak terlihat oleh kasat mata. Rupanya semacam mustika alam dari besi kuning, dan ada keyakinan bersemayam di pulau Baas, pulau sekitar daerah Cilacap.
Senjata lainnya milik Siliwangi yaitu ”Gendeng Kalapitu”. Pusaka itu sewaktu-waktu menjelma berwujud layaknya manusia serta seringkali menampakkan diri di Gunung Padang.
PERJALANAN SILIWANGI
Di atas telah disinggung, bahwa Siliwangi ibarat angin, bagai kilat dan penuh petualangan. Beliau senantiasa menjelajah dari satu tempat ke daerah lainnya dan selalu meninggalkan jejak batu bertulis, atau batu berbentuk lingga, atau berbentuk yoni, dan juga gua. Peninggalan-peninggalan itu selalu berdekatan dengan laut, sungai dan pegunungan, karena dari alam itulah selalu diharapkan dapat mendukung ekosistemnya.
Karena selain daging hasil buruan, ikan juga kesukaannya. Alasan itulah kehidupan mereka senantiasa dekat dan selalu menyatu dengan alam. Selain itu pula, gua dan gunung menjadi tempat pilihannya, karena gua ideal untuk dijadikan tempat tinggal dengan alasan aman dari gangguan binatang buas maupun sebagai tempat berlindung dari kondisi hujan dan panas.
Perjalanan awal Siliwangi bukan hanya terdesak oleh kebutuhan hidup saja, tetapi juga mengemban misi tertentu yang dirahasiakan oleh pencipta-Nya. Namun marilah coba diurai perjalanan Siliwangi dari satu tempat ke tempat lainnya :
a. Gunung Munara – Rumpin
Gunung Munara-Rumpin, merupakan tempat pertama yang mereka huni. Disanalah awal kehidupan masyarakat yang menurunkan keturunan kelak bernama Siliwangi. Walau pegunungan itu tidak terlalu tinggi, namun rupanya tanah tersebut menjanjikan kehidupan bagi mereka. Entah berapa lama menetap di Gunung Munara, namun Munara masih nampak angkuh dan meninggalkan bebatuan besar. Gunung tersebut, sampai kini setia dijaga dan dipelihara oleh Eyang Nata Boga.
Nama Gunung Munara, merupakan telahan masyarakat sunda karena bentuk batu yang menjulang tinggi nampak bagai menara (Munara, bahasa sunda) mesjid. Sehingga sekilas nampak dari kejauhan seperti menara mesjid. Tidak jauh nampak pula Gunung Nyungcung, dahulu dikenal dengan nama Gunung Galuh yang banyak melahirkan keturunan kelak.
Ketika keluarga Siliwangi menghuni Gunung Munara, seorang perempuan melahirkan bayi yang bernama Sri Dewi Ciptarasa, dan kelak menjadi istri Sisik Agung Telaga Bodas Siliwangi Rama Agung Dalem atau Purwa Kalih atau Sangiyang Windu Agung. Perkawinan tersebut melahirkan Sri Nuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawaman Siliwangi.
Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawarman mempunyai garwa yaitu : Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat “nu linggih” di Lemah Duhur Pajajaran Bogor / Saripohaci Bogor. Dari Saripohaci atau Dalem Sunan Ambu mempunyai putra Pusparaja Siliwangi Taruma Suta Pakuwon Pajajaran.
Masih Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat atau Sapujagat jika tengah “calik” di Gunung Halimun, mempunyai putri kembaran yaitu Sangiyang Singa Perbangsa atau Atok Larang dan Bolekak Larang. Atok Larang mempunyai putri Ratu Dayang Sumbi. Ratu Dayang Sumbi atau Sri Dewi Kahyangan mempunyai putra ;
1. Joko Lalangon atau Sangkuriang atau Jaka Lelana
2. Joko Bandung Bandojaya atau Jaka Bandawasa atau Aji Saka atau Raja Boko.
Agar rangkaian keturunan ini lebih jelas, maka perlu diuraikan pula ketika di Gunung Halimun walaupun terkesan penulisan ini melompat-lompat. Tetapi dianggap perlu disinggung terlebih dahulu sewaktu Sapujagat di Gunung Halimun.
Nirwana Sangiyang Domas Siliwangi Wardananingsih mengkisahkan tentang keturunan Siliwangi dan Pajajaran yang memiliki putra yaitu :
1. Lingga Manik
2. Lingga Sana
3. Lingga Lingba
4. Lingga Manik Wulung
5. Sangiyang Bandung
6. Sangiyang Putih Purba Wayang
7. Sangiyang Singa Perbangsa
8. Lingga Dewa Agung Pucuk Manik Maya adalah Sangiyang Siliwangi Wardananingsih
9. Murtapa Di Gunung Cakra Domas atau Mandalawangi Situ Sangiyang Tunggal adalah Pajajaran.
Sangiyang Putih Purba Wayang mempunyai putra Sangiyang Domas Siliwangi atau Hayam Wuruk. Hayam Wuruk mempunyai putra Sangiyang Weda yang menjadi Raja Galuh pertama. Sangiyang Weda mempunyai putra yang menjadi raja di Palimanan. Dari istri lain Hayam Wuruk atau Sangiyang Domas Siliwangi, mempunyai Patih Gajah Mada atau Patih Joyo Merkolo.
b. Gunung Kapur Ciampea
Selanjutnya, saat keluarga kecil itu berada di Gunung Kapur Ciampea mereka membuat peninggalan berupa arca. Arca yang dibuat itu dikenal, patung 5, 4, 3, 2 dan 1. Seiring kebudayaan dan keterampilan orang dulu yang belum maju, maka patung yang dibuatpun tidak sebagus dan sehalus tangan-tangan yang terampil. Patung atau arca yang terdapat di Ciampea masih terkesan asal-asalan dan tidak sebagus yang ada di daerah-daerah lainnya. Konon bentuk patung yang dibuat merupakan wujud peringatan atau pesan bahwa ditempat tersebut pernah ditempati atau dihuni kelompok masyarakat Pajajaran.
Patung adalah lambang atau pertanda untuk menunjukan bahwa disana telah hidup dan ada kehidupan sejak zaman purbakala, atau semacam monumen tentang adanya manusia terdahulu. Adapun yang dapat diketahui dari patung-patung batu atau arca tersebut antara lain memiliki nama sebagai identitasnya, yaitu :
1. Sangiyang Cupu Manik
2. Sangiyang Dewa Braja
3. Sangiyang Mustika Dewa Domas
4. Sangiyang Agung Dewa Suci
Tidak mustahil menamai patung atau arca tersebut yang sebenarnya merupakan anak keturunan dari Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawarman Siliwangi.
Namun sayang, ternyata di daerah yang dianggap cikal bakal pengungkapan sejarah tersebut, kini batu berupa patung atau arca sudah tidak nampak lagi. Konon pada tahun 1974, patung-patung tersebut telah berpindah tempat. Bahkan sekarang sebanyak 3 arca telah berada dalam kotak peti dalam kondisi pecahan batu kapur di Pasir Angin Leuwiliang. Padahal dengan berpindahnya tempat bertengger patung (arca) berarti jejak sejarah telah berubah. Bahkan mungkin untuk generasi mendatang akan lebih sulit melacaknya. Kapan, bagaimana dan dimana titik tolak awal sejarah jati diri Pajajaran maupun nenek moyangnya.
Dari Gunung kapur itulah, mulai adanya perkembangan budaya masyarakat dan jumlah anggota keluarganya bertambah. Selanjutnya gunung itupun ditinggalkan. Namun sebelum beranjak migrasi ke tempat lain, mereka sempat mengabadikan pula dengan suatu monumen. Mereka membuat Padatala yaitu batu jejak kaki gajah dan kaki ayam. Hal ini mengingatkan kita tentang kaki gajah sebagai symbol Gajah Mada dan kaki ayam adalah Hayam Wuruk ?. Namun sayang, khususnya batu jejak kaki ayam tersebut telah lenyap di lokasinya yang kebetulan berada di tepi sungai. Padahal batu itu dapat menjadi rujukan suatu bukti adanya nama Gajah Mada maupun Hayam Wuruk dari Pajajaran yang kelak menguasai Pulau Sunda disebelah timur.
c. Lemah Duhur Batutulis
Sewaktu Pancawala atau Siliwangi berada di Batutulis, Sri Dewi Ciptarasa meninggal dunia. Pada masa itu, kebudayaan yang berkembang masih menganut cara Agama Hindu. Oleh karena itu setiap yang meninggal melalui proses perabuan. Mayat Sangiyang Sri Dewi Ciptarasa pun dibakar. Abu mayatnya dikuburkan disebelah Prasasti Batutulis bersama 8 makam lainnya.
Disebelah makam itu, terdapat pula makam perabuan kerabatnya yang bernama Sangiyang Loro Agung. Sedang tempat pembakaran mayat, tepatnya pada rumah yang pernah menjadi tempat tinggal penduduk yang bernama Haji Aming (Jalan Batutulis). Di sebelah utara Batutulis terdapat batu panjang merupakan tempat kesukaan Sangiyang Lodaya Sakti bersemedi. Disitulah Sangiyang Lodaya Sakti digembleng sebelum melakukan petualangan ke Sancang Pameungpeuk Garut Selatan.
Disebelah selatan Batu Bertulis, terdapat patung/arca Sisik Agung Telaga Bodas Siliwangi Rama Agung Dalem atau Purwa Kalih atau Sangiyang Windu Agung. Di seberangnya, terdapat petilasan kramat Embah Dalem yang memiliki nama Eyang Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat nu linggih di Pajajaran Bogor, Lemah Duhur Saripohaci Bogor.
Leluhur tersebut, mempunyai pembantu Kidang Pananjung (Embah Dalem Kedung Badak). Kidang Pananjung sendiri mempunyai anak cucu keturunan, dan banyak menyebar di sekitar Kedung Badak, Kebon Pedes dan ke arah Sukaraja.
Sedangkan nama Cipaku sebelumnya bernama Blubur yang meliputi daerah Cipaku sampai batas wilayah Ciawi dan Cijeruk. Sedangkan Kebun Raja atau sekarang terkenal bernama Kebun Raya, dahulu merupakan kawasan “Sangiang Domas Cipatahunan”. Lubuk ( Leuwi Sipatahunan ) itu membentang mulai dari Leuwi Campaka Sukasari sampai jembatan Situ Duit sekarang.
Batu Bertulis Lingga Sangkakala dan Padatala
Di Batutulis inipun Siliwangi membangun tata kehidupan, sedang keluarga di Ciampea tetap melanjutkan hidup bermasyarakat. Di Lemah Duhur – Batutulis, atau Pancawala, atau ”Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maharaja Mulawarman Siliwangi”. Beliau terus meningkatkan nalarnya. Ilmu pangaweruhnya dituangkan dalam tulisan pada batu, sehingga terwujud Batu Bertulis huruf Lingga. Hal itu dilakukan, seolah amanat untuk dikenang jejak Siliwangi dan keluarganya, serta yang terpenting menjadi peringatan bahwa beliau telah mendiami daerah itu.
Berpindah-pindah Siliwangi lakukan seperti mudah sekali, karena beliau dalam “perjalanannya” selalu mengandalkan ”mukjizat Saefi Angin”. Konon menurut “orang tua dulu”, tiap daerah yang telah Siliwangi singgahi selalu meninggalkan batu ”pengapungan”. Sebab batu tersebut, sebagai landasan refleksi ilmu saefinya. Di Bogor pun ada, hanya saat penulis menelusuri batu tersebut telah lenyap dari tempatnya. Batu lain yang masih tersisa bekas pertapaan Siliwangi, yaitu Batu Putih yang terletak di Sungai Cisadane dan di Curug Bengkung sekitar Rancamaya. Serta diyakini, Siliwangi ”murca” di Sukawayana sebelum ”ngabubat” ke daerah Tulang Bawang, Padang, Nias dan Banjarmasin – Kalimantan.
Sedangkan bebatuan lainnya yang masih tersisa, terdapat di Cibedug Raden Pasir Angin.  Tempat tersebut diibaratkan dengan sebutan “Robuka Rodiat Robiah Kamamullah”. Disana masih nampak bebatuan besar dan masih kokoh berserakan, serta mempunyai sebutan antara lain: batu Kedok, batu Gedongan, batu Lalay, batu Kasur, batu Karut dan lain-lain. Bebatuannya diistilahkan “Nurjati Pengawasa Gusti”. Khususnya batu Kedok ditandai dengan nama : ”Dewa Prabu Agung Sri Baduga Maharaja”. Malah di sekitar Makam Mbah Guru Mega Mendung, batu lingga setinggi 150 cm telah hilang oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Sangat disayangkan.
Dalam perjalanannya, Siliwangi selalu berpindah tempat dengan dalih untuk memperbanyak anak keturunan, serta dari satu tempat ke tempat lainnya selalu menggunakan nama tokoh yang berbeda. Kenapa demikian ? mungkin jika satu nama saja akan menjadi kultus individu, dan akan selalu dicari keturunannya. Oleh karena itu, ia senantiasa setelah menganggap cukup memberi sesuatu terhadap keturunan, beliau terus menghilang (ngahiyang/murca), pindah tempat atau kadang seperti layaknya orang meninggal dunia. Namun sebelum hijrah dari Bogor, Nyi Sri Dewi Pohaci (Dalem Sunan Ambu) menurunkan pula seorang putra yaitu Sangiyang Pusparaja Siliwangi Taruma Suta Pakuwon Pajajaran.
Itulah jejak Siliwangi di Lemah Duhur – Batutulis, dan Batutulis sendiri memiliki sebutan gelar ”Saiful haq bil goib” yang berarti ”Pedang kebenaran dari yang tidak nampak”, sebagai kiasan yang maksudnya : Ilmu dari leluhur Batutulis setajam pedang. Namun keturunannya hanya dapat mengenang ”Cihaliwung nunjang ka kidul, Cisadane nunjang ka kaler, panggih Cikalimusana”. Siapapun dan pusaka apapun yang melintas Cikalimusana akan ”laas teu metu ” (tidak akan ampuh).
d. Kutamaneuh / Kutawesi, Cikembar dan sekitarnya.
Setelah lama di Batutulis, akhirnya Siliwangi dengan jejak kakinya menelusuri antar gunung ke gunung menetap di Sukabumi. Pertama disinggahi, gua yang diberi nama Kutamaneuh dan Kutawesi yang terletak di kaki Gunung Guruh. Bahkan di Sukabumi ini banyak daerah yang suka digunakan beliau untuk kepentingan berumah-tangga seperti di Sukawayana, Cengkuk, Cikakak Gunung Halimun, Gunung Bentang, Gunung Beser, Gunung Batu/Cupu/Sunda/Kate.
Khususnya Gunung Cupu, di sebutkan dalam bahasa arab “Likuli amrin hidayati” yang berarti setiap perintah pasti ada petunjuk. Dari sinilah bersemayam Siliwangi ; Eyang Surya Kate atau Eyang Surya Kemasan dan atau Eyang Kuncung Putih. Bagi anak keturunannya, apabila hendak “bersilaturahmi khusus” malam hari pada tanggal 14 Syafar.
Menurut informasi orang tua, Eyang Surya Kate adalah petualang sejati. Pengembaraannya sampai ke wilayah Tiongkok, Jepang, Saigon – Vietnam dan Muangthai serta ke Batu Merah – Australia. Mungkin saking terkesannya dengan Saigon, beliau memberi nama “Kota Qolbu” dan bagi Batu Merah Australia “Qud Alam”. Sehingga kemungkinan, Suku Aborigin merupakan keturunannya. Sedangkan petualangan ke luar nusantara lainnya, yaitu ke Malaysia. Disana terdapat petilasan pertapaan Eyang Surya Kate, di sekitar danau kecil.
Tentang pengembaraan Eyang Surya Kate, sekitar tahun 1945-1946 ketika Jepang mengusai daerah Cikembar, serombongan bangsa Jepang mencari nama Gunung Sunda (Kate). Ternyata yang bangsa Jepang maksudkan adalah Gunung Batu/Cupu. Konon menurut bangsa yang menyembah matahari tersebut, mereka  menelusuri asal muasal tempat nenek moyangnya. Mungkin itulah salah satu bukti keteturunan dari Eyang Surya Kate.
Eyang Kuncung Putih atau Gentar Alam/Bumi pun selalu berganti nama baru sesuai dengan tempat tinggalnya yang baru pula. Eyang Kuncung Putih ketika di Sukawayana beliau disebut Begawan Sukawayana, di Gunung Halimun bernama Eyang Gentar Alam / Eyang Gentar Bumi bahkan diyakini pula dengan sebutan Syeh Wali Sakti Haji Qodratullah. Ketika di Gunung Beser dan Gunung Hejo, Siliwangi meneruskan bekas Eyang Suryakencana. Dan namanya di gunung itu Embah Kusumah karena meneruskan jejak bekas Eyang Suryakencana. Dan terakhir dii Cikembar juga terdapat nama Prabu Puspa Raja dan Prabu Sungging Prabangsa serta Ibu Ratu Sri Geuncay.
Ibu Ratu Sri Geuncay adalah saudara kembaran Ibu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul atau Sangiyang Sungsang Tunggal, yang satu di daratan dan yang lainnya penguasa lautan. Ibu Sri Maha Dewi Ratu Kidul memiliki doa ; “Qolbu Adam bil Hawa, bil Baetullah Wal Madinah”. Sejatinya Ibu Ratu itu penguasa seluruh lautan didunia dan nama lengkap Ibu Ratu yaitu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul (Sangiyang Sungsang Tunggal).
Sedangkan Sangiang Sungging Prabangsa di Cikembar juga dikenal Bolekak Larang. Sedangkan kembarannya di Ciamis bernama Atok Larang. Bahkan di Banjar juga terdapat petilasan Singa Perbangsa. Khususnya masyarakat di Cihaurbeuti Ciamis dahulu tidak boleh (pamali, Bahasa Sunda) menyebut batok seolah-olah menyebut leluhurnya tanpa awalan penghormatan.
Sedangkan di Cikembar terdapat kebiasaan aneh yang berhubungan dengan situasi negara, jika negara dalam keadaan kacau tidak menentu, maka penduduk akan menjumpai babi yang berlari-lari ke tengah hunian penduduk tetapi tak lama kemudian babi itu akan hilang dan dinamai “babi hiyang”. Selain itu pula terdapat pohon beringin rengkas (tumbang). Namun walaupun telah rebah, tetapi kemudian berdiri kembali sebagaimana berdiri semula. Dan konon disanalah tempat bersemayam Dewa Angkara salah satu pembantu setia Siliwangi. Namun entah sekarang masih ada atau tidak, karena pohon itu tumbuh di tengah markas TNI sekarang. Sebelum menjadi markas TNI, pada zaman kolonial disana menghampar perkebunan kopi dan untuk mengawasi perkebunan itu, Belanda membuat lapangan terbang.
Lain halnya dengan nama Kutamaneuh maupun Kutawesi, mengingatkan kita dengan nama Kuta Tandingan atau Kuta Kelambu di Karawang. Nama Kuta itupun merupakan tempat yang pernah disinggahi dan menjadi tempat pertapaan Siliwangi. Disamping itu juga yang menjadi lokasi kesukaan Siliwangi yaitu di Gua Rampo, Gua Siluman di Cidolog Jampang Tengah maupun di Gunung Walad.
e. Gunung Halimun Cikakak dan Cengkuk
Di Gunung Halimun ini terdapat batu bersusun undak yang merupakan tapak tilas kebudayaan zaman Siliwangi. Gunung Halimun yang memiliki ketinggian antara 500 – 2000 meter dari permukaan laut ini, terdapat batu-batu punden berundak sebagai tempat untuk menyelenggarakan musyawarah sekaligus lokasi pemujaan terhadap “Sanghiyang Widi”. Suasana Gunung Halimun yang lebat dengan pepohonan serta udara yang dingin, menjadikan nyaman bagi nenek moyang menetap disana.
Pangguyangan Punden Berundak
Kondisi hutan yang mendukung dari segi kondisi, maupun bahan makanan yang cukup, menjadikan garwa Siliwangi, yaitu ; Dewi Sri Ratu Panutup melahirkan 49 keturunan yang menyebar ke berbagai tempat. Perempuan idaman Siliwangi tersebut, masih saudara kandung Ibu Dewi Sri Geuncay maupun Ibu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul atau Sangiyang Sungsang Tunggal.
Menjadi kesan tersendiri, bahwa di Cikakak maupun Cengkuk masih terdapat artifak punden berundak dan tugu. Hanya sayang, gua yang terdapat patung/arca telah lenyap terkubur longsoran tanah subur Gunung Halimun. Padahal merupakan bukti penting untuk penelusuran sejarah. Dan tentang punden berundak pun sama  disusunnya ketika berada di Gunung Lawu.
f. Cangkuang
Di Leles Garut ini, Siliwangi mulai membuat candi pertama dan diberi nama “Nila Warna” atau “Ki Agem Balangantrang”. Sebenarnya candi disini terdapat empat buah, namun entah mengapa pada zaman Belanda kondisinya hancur dan sekarang yang tersisa cuma satu candi. Itupun upaya renovasi dari pihak pemerintah pada tahun 1976 dan sungguh membanggakan.
Adanya batu bersusun ini, menunjukan bahwa kebudayaan Siliwangi beserta keluarganya sudah agak maju. Candi, adalah bebatuan yang disusun rapih dibuat untuk tempat semedi. Dahulu nama Leles, lebih dikenal dengan nama “Kalingga”, dan disini keluarga Siliwangi makin berkembang dan bertambah banyak. Alasan lain, diantara keturunan mereka banyak yang saling mengadakan perkawinan antar saudara.
Perkawinan antara saudara tersebut tidak bersifat monogamy, tetapi malah polygamy serta ditentukan karena kekuatan seseorang. Tapi mungkin juga polyandry. Sebab siapa yang dianggap “jagoan” maka dia berhak mengawini pasangan mana saja dan berapa saja yang disukai. Mungkin begitulah masa lalu karena belum adanya aturan tentang hukum perkawinan. Walaupun ketika itu ajaran atau kepercayaan mereka telah mengarah ke aturan agama Hindu, tetapi keperkasaanlah yang berkuasa menentukan pilihan sesuai seleranya.
Candi Nila Warna / Ki Agem Balangantrang Cangkuang
Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tertib menghasilkan makin bertambahnya anggota masyarakat. Tak terkecuali dari Kalingga pun merambah ke wilayah Galuh. Bagi mereka, Galuh atau Karang Kamulyan maupun Kawali, bukan batasan luar daerah. Karena, zaman itu belum adanya batas wilayah atau struktur daerah. Adanya batasan wilayah setelah adanya Belanda, hal itu Belanda lakukan batas wilayah untuk memudahkan penataan administrasi. Ketiadaan batas wilayah sehingga berlaku hukum alam  siapa yang berkuasa, dialah segala-galanya. Begitulah dahulu kala dengan sebutan zaman kegelapan.
Selain candi, di Kalingga inipun terdapat petilasan makam para tokoh, namun urutan nama ”kekasih” disini seolah hidup setelah kedatangan agama Islam, diantaranya seperti :
1. Mama Kanjeng Sunan Pangadegan
2. Mama Kanjeng Sunan Sembah Arif Muhammad
3. Mama Eyang Prabu Santosa. Sedangkan nama lain beliau yaitu Singa Perbangsa tetapi ketika di Kalingga  (Garut) beliau menggunakan nama Mama Eyang Prabu Sentosa.
Sebenarnya jika dikaji lebih mendalam, budaya batu-batu yang disusun membentuk candi, dibuat sebelum adanya agama Islam sehingga menjadi tanda tanya besar kenapa nama-nama diatas terkesan nama Islam, seperti sebutan Mama Kanjeng Sunan. Mungkin begitulah Siliwangi yang terus menerus mengganti nama menyesuaikan dengan peradaban zaman.
g. Galuh/Karang Kamulyan maupun Kawali
Di Galuh keluarga Siliwangi makin berkembang menempati peloksok Ciamis. Cara bermasyarakatnya lebih dinamis, sehingga bermunculan berbagai permainan atau “kamonesan” maupun kerajinan masyarakatnya. Dari hasil kerajinan keturunannya, muncul kampung yang dinamai Rajapolah. Nama tersebut karena adanya tokoh yang kreatif yaitu Prabu Dalem Sri Menggala yang merupakan salah seorang keturunan Siliwangi dari Kawali.
Di kawasan Kawali khususnya banyak meninggalkan artifak berupa Batu Bertulis, Batu Kaca, dan batu lainnya yang menandakan bahwa disini telah ada kehidupan tempo dulu. Dan di Kawali pula Siliwangi telah mengukir tulisan pada batu yang menunjukan angka 1 dan 7. Kemudian ada pula garis berkotak 4 dan 5 serta terdapat tapak jari tangan. Konon tapak tangan tersebut menunjukan disitulah “Sangiyang Tapak” berada. Mengenai angka, orang tua meyakini bahwa angka-angka tersebut ternyata memiliki makna tertentu sesuai dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Sebab hal itu dihubungkan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka bermakna tanggal 17 Agustus ‘45 dan angka 5 merupakan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Sedangkan di Gunung Sawala Ciamis, menjadi basis leluhur yang dihuni keturunan dari Ciung Wanara maupun dari putra Dewa Resi atau Ki Ajar Padang atau Eyang Kalawangsa atau Atok Larang maupun Batok Larang. Ciung Wanara atau Sangiyang Adi Sakti merupakan generasi kedua dari Siliwangi, namun beliau tidak menggunakan gelar Siliwangi.
Dilain pihak, dahulu terdapat keunikan dengan nama Batok Larang, sebab bagi keturunannya tidak boleh (pamali, Bahasa Sunda) menyebut batok, sekalipun itu batok kelapa sebenarnya. Tetapi konsonan “tok” seolah-olah menyebut leluhurnya tanpa awalan penghormatan. Dan juga sejak dulu yang menjadi larangan penduduk disini, khususnya yang perempuan tidak boleh memelihara rambut panjang. Konon jika terdapat keturunan yang berambut panjang apalagi berparas cantik, maka akan kena sumpah serapah leluhurnya. Begitulah patsun yang berkembang tempo dulu.
Itulah Galuh yang artinya asal mula. Sangiyang Atok Larang disini mempunyai anak yaitu Dayang Sumbi (Sangiang Dewi Kahyangan), Ki Balangantrang dan Diah Pitaloka. Cerita Dayang Sumbi mengingatkan kita pada zaman Sangkuriang, dan Ki Balangantrang pada babad Ciung Wanara. Sedang Diah Pitaloka sebagai cucu Siliwangi, tersirat dalam perang Bubat.
h. Majeti
Disamping Galuh, Siliwangi juga membuka lahan di suatu tempat yang berawa yaitu di Pulo Majeti. Sedangkan masyarakat disekitar memberi nama Rawa Onom (Onom artinya Dedemit, bahasa Sunda). Dinamakan pulau, karena di sekeliling pegunungannya terdapat genangan air payau. Sedangkan nama Onom, karena terkenal banyak dedemit/hantu yang pernah mereka temui. Padahal di lokasi ini terdapat tokoh-tokoh yang kelak bernama Aji Saka, Dewata Cengkar, Ratu Rengganis, Ratu Gandawati, Sri Begel, Sri Budegel, Sawung Galing, Sulaeman Kuning, Eyang Mentereng, Tubagus Tomal.
Petilasan para leluhur Pajajaran di Majeti
Nama-nama tersebut bukan nama pituin, atau nama asli melainkan nama telahan karena tempat atau nama sifat, laku lampah dan tingkah yang unik. Seperti Eyang Mentereng, beliau menyukai hal-hal yang bersifat menonjol dalam berpakaian sehingga terlihat mentereng. Kemudian Tubagus Tomal, ia malah senang berdandan diri.
Khususnya nama Aji Saka, adalah cicit Siliwangi dan beliau bergelar Siliwangi. Aji Saka yang diberi gelar Siliwangi diawali di daerah Tomo – Kadipaten. Tempat itu bernama Marongge berada di kawasan Gunung Congkrang atau Gunung Parang Sumedang. Aji Saka dalam pengembaraannya ke arah timur menjadi kepala suku / Raja yang berkuasa di daerah Boko – Kedu. Namun sayang bekas petilasan Raja Boko yang berupa candi masih berserakan bebatuannya, sehingga terkesan belum selesai di bangun. Dan konon menurut penuturan orang tua dulu, Candi Boko sebenarnya menyambung dengan Candi Prambanan, Candi Sewu maupun Candi Loro Jongrang.
i. Pajajar dan Cipaku
Perkembangan di Ciamis semakin pesat menyebar kearah Cipaku dan Pajajar Majalengka yang berbatasan dengan Cirebon. Disana mereka mendirikan perkampungan yang dijadikan tempat menetap Sang Pemimpin dari keluarga Siliwangi. Di Pajajar maupun di Cipaku ini juga semakin bertambah anak dan keturunan Siliwangi, karena perkawinan antar keluarga dari wilayah lain maupun keluarga yang ada disana. Kehidupan yang telah mulai merebak, bertambah menjadi daerah pendudukan yang ramai.
Tokoh yang terkenal di Cipaku Majalengka terdapat nama-nama seperti ; Ki Buyut Sawala, Ibu Siti Aisah, Ibu Syeh Ambu, Eyang Kencur Putih, Eyang Pangeran Kumis, Eyang Mama Kalijaya dan Ibu Ratu Bungsu. Di Cipaku Majalengka inipun, lagi-lagi terdapat nama yang terkesan sudah zaman Islam seperti ; Ibu Siti Aisah, Ibu Syeh Ambu dan Mama Kalijaya. Mengapa demikian ?.
j. Gunung Padang
Gunung Padang Ciwidey, terdapat Batu Leuit ( batunya besar) dan Batu Lingga ( Batu Totonde) banyak dijadikan tempat pertapaan Siliwangi. Sifatnya yang jujur, arif bijaksana dan senang memberikan ajaran tentang kehidupan. Anak didiknya menyebut Sangiyang Premana atau sebutan Ki Ajar Padang. Sebelum bermukim di Gunung Padang, beliau memilih hidup di Gunung Patuha. Dalam perkawinannya, melahirkan 7 orang putri. Salah satu putrinya, dinikahi Sangiyang Lingga Manik. Putri Ki Ajar Padang bersama menantunya ini, kemudian menempati kawasan ”Purwo Wiwitan” atau Purwokerto sekarang. Lingga Manik alias Batara Dewa memiliki anak yang bernama Putri Tawang Wulan.
Nama Gunung Padang diambil dari nama gunung pertapanya, sebenarnya nama gunung tersebut dahulu bernama Gunung Rangga. Di Gunung Padang Sukabumi, di Kuta Tandingan, Kuta Kelambu Karawang, Gunung Padang Ciwidey, Gunung Padang sekitar Sidareja maupun di Gunung Padang Sumatera, disitulah Ki Ajar Padang melakukan semedi atau tapabrata. Beliau merupakan tokoh yang paling dihormati, namun enggan dijadikan pemimpin atau kepala suku tetapi selalu disertai penjelmaan Gedeng Kalapitu.
k. Gunung Slamet
Ketika pengembaraan Siliwangi berada di Baturaden Gunung Slamet Purwokerto, beliau bernama Siliwarni. Saudara-saudaranya bernama Banyak Cotro, Banyak Ngampar, Banyak Blubur, Batara Dewa (Sangiyang Lingga Manik). Di Purwo Wiwitan atau Purwokerto sekarang, merekapun menata kehidupannya. Tetapi Banyak Cotro mengembara kearah timur Pulau Sunda, Banyak Ngampar ke daerah Ujung Pandang (Makasar), Batara Dewa kearah selatan atau ke Cilacap.
Sedangkan Siliwarni yang menyaru lutung selalu mengikuti gerak langkah kemanapun Putri Tawang Wulan bepergian. Putri Tawang Wulan adalah anak dari perkawinan Kepala Suku yang bernama Lingga Manik (Batara Dewa) dengan salah seorang putri dari Sangiyang Premana atau Ki Ajar Padang. Ketika itu Lingga Manik, tengah menguasai Gunung Alas Larangan atau Gunung Sangkala di sekitar kawasan Sagara Anakan. Bahkan sampai hayatnya, Lingga Manik atau Batara Dewa ngahiyang dan bersemayam di Gunung Sangkala atau “Gunung Alas Larangan”.
Di daerah ini terdapat 2 tempat yang dikeramatkan penduduk yaitu Janur Putih sebagai penjelmaan ”Naga Nyi Sri” dan yang lainnya bernama “Gajah Putih Bulu Landak” serta Angka Wijaya. Naga Sri suka menjelma seperti ular yang sisiknya mengarah berbalik ke depan, sedangkan Gajah Putih nampak berbulu bagai bulu landak.
Kembali ke tokoh Siliwarni, ketika itu menyaru seolah-olah rakyat jelata melamar Putri Tawang Wulan. Tetapi akhirnya lamaran itu diterima. Dan perkawinan tersebut sebenarnya antara paman dengan keponakan. Dari perkawinan mereka, lahir Hariang Banga salah seorang keturunannya. Sedangkan putra Siliwangi dari lain istri, bernama Ciung Wanara atau Sangiyang Adi Sakti. Anak keturunan inilah yang kelak tercatat dalam kisah perang Bubat dan keduanya merupakan keturunan Siliwangi.
l. Daerah Pengembaraan Lainnya
Urutan tempat-tempat dimaksud diatas, bukan berarti secara berurutan jalur pengembaraan Siliwangi, tetapi daerah itulah yang banyak dan sering dijadikan hunian yang paling disukainya. Selain itu pula, daerah yang tidak tersirat disini bukan berarti tidak disenangi, tetapi malah menjadi basis bagi keturunan Siliwangi bermasyarakat pada zaman selanjutnya.
Oleh karena itu, langkah dan petualangan Siliwangi tidak terikat di satu lokasi saja tetapi beliau bergerak merambah dan cepat ke setiap penjuru, bagai angin bertiup dan sesuai dengan julukan lain nama beliau, yaitu Sangiyang Kilat Buana.
Itulah beberapa tempat Pulau Sunda Bagian Barat yang telah dihuni oleh keluarga Siliwangi maupun keturunannya. Disamping itu, perjalanan beliau juga tercatat ke arah timur nusantara seperti ; ke Gunung Lawu, Gunung Kelud, Gunung Tengger, Gunung Sindoro dan sekitar Dieng dan ke Gunung Wukir Kecamatan Salam Magelang dan lain-lain. Malahan ketika di Ponorogo, melahirkan keturunan yang ke 5.
Banteng Lilin dan aksara Lingga
Sewaktu menghuni Sindoro, kebudayaan membuat patung maupun candi sangat digandrungi, sehingga sejak itu sekitar Gunung Dieng banyak berdiri candi untuk pemujaannya. Disamping itu, disana juga terdapat telaga warna. Sebagaimana dimaklumi bahwa Siliwangi juga menyukai Telaga Warna di Puncak Bogor, Telaga Warna di Gunung Jampang Tengah, dan Telaga Warna atau Danau Kelimutu. Masih di sekitar Dieng, terdapat Gua Sumur, Gua Semar dan Gua Dewi Kuan In. Padahal gua atau relung tanah tersebut merupakan tempat Siliwangi bertapa.
Sewaktu Siliwangi di wilayah Gunung Wukir, memiliki generasi keturunan yang ke 7 yaitu Syailendra. Artifak yang ada di Gunung Wukir ini ditandai dengan candi dan arca Banteng Lilin, sama seperti yang terdapat di Kebun Raya Bogor.
Petilasan lain Siliwangi di Gunung Lawu, dahulu terdapat sebuah gua yang menghadap arah matahari, itupun menjadi tempat pertapaan Siliwangi dan disanapun beliau membuat punden berundak sebagai tempat pemujaan kepada Sangiyang Widi sama halnya punden berundak ketika di Gunung Halimun. Kesamaan lainnya yaitu tempat yang paling disukai Siliwangi menikmati sumber air Jalatunda antara lain seperti yang terdapat di Kebun Raya Bogor, di Cirebon dan Tretes Malang.
Perjalanan Siliwangi tidak sekedar di Pulau Sunda bagian barat saja, tetapi merambah ke beberapa pulau lainnya seperti di Padang dengan nama Adityawarman, ke Pulau Nias meninggalkan petilasan Batu Loncat. Di Aceh menetap di daerah Tapak Tuan. Kemudian juga beliau menyeberang ke Kalimantan dengan nama Mulawarman. Masih sekitar Kalimantan juga, beliau menghuni pulau kecil dekat Banjarmasin yang sekarang bernama Kota Baru. Bahkan sebelum menghuni Kota Baru, pernah tinggal di Danau Toba dan menurunkan keturunan yang kelak bermarga Sisingamangaraja. Sisingamangaraja ketika diangkat menjadi pembantu (Pengawal) Siliwangi memiliki tanda merah dipipinya.
Ketika murca di Sukawayana, Siliwangi meneruskan pengembaraannya ke Lampung dan Palembang. Disana meninggalkan petilasan berupa patung Dewi Sri, namun penduduk disana menyebutnya Patung Lidah Pahit. Padahal arti dari lidah pahit yaitu ”Saciduh metuh saucap nyata” (ucapannya yang dikelaurkan benar dan nyata).
Sungguh tidak diduga pengembaraan Siliwangi begitu jauh, namun begitulah Siliwangi tidak berhenti sampai di Kota Baru saja. Beliau yang memiliki nama lain yaitu ”Sangiyang Tapak”, juga pernah menghuni gua Leang di Sulawesi sebelum berada di Danau Merah Irian Jaya. Mungkin agak lama mendiami daerah Gowa, karena ketika disana beliau menurunkan ilmu menulis bagi keturunannya yang berada di Bugis. Setelah Danau Toba, Danau Merah dan pernah juga tinggal di sekitar Danau Kelimutu (Ende-Flores) wilayah Pulau Sunda Kecil.
Siliwangi tidak dan bukan berkuasa dalam Pulau Sunda saja, tetapi jika menulusuri jejaknya melebihi jagat nusantara. Lalu bagaimana dengan perubahan nama Pulau Sunda ?. Entahlah Indonesia merupakan daratan yang terhampar luas. Sedangkan pada masa itu yang disebut Pulau Jawa, adalah yang sekarang Pulau Bali. Dan disanalah menetap Sangiyang Dewa, salah seorang putra pertama keturunan Siliwangi generasi yang ke 8. Sedangkan adiknya yang perempuan, yaitu Sangiyang Rinjani menetap di pegunungan yang kemudian diberi nama Gunung Rinjani. Gunung yang memiliki ketinggian antara 300 – 3700 meter dari permukaan laut ini, terletak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sedangkan kakak perempuan yang paling tua dari Sangiyang Dewa, pergi ke Danau Kelimutu atau ”Danau Pusaka Alam”. Dinamakan pusaka alam karena danau tersebut memiliki air berwarna lambang negara. Namun sebelum Sangiyang Dewa ke Bali, beliau sempat membuat Candi Jabung di kawasan Panarukan. Malahan sampai ujung Pulau Sunda Besar itu, tepatnya di Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi, terdapat gua dan makam panjang itulah suatu tanda peninggalan Siliwangi.
PEREBUTAN KEKUASAAN BOROBUDUR
Pulau Sunda Besar dan Sunda Kecil, pada zaman pemerintahan Belanda dibagi-bagi menjadi beberapa daerah propinsi, dengan strategi pembentukan pemerintahan agar dapat memudahkan pengendaliannya. Namun perubahan dari Pulau Sunda menjadi Pulau Jawa entah gagasan siapa dan kapan ?. Oleh karena itu, kejadian perang Bubat bukan perang antar daerah, atau perang antar suku atau antar agama Hindu dengan Budha, tetapi pertikaian antara keturunan Siliwangi dan terjadi di Pulau Sunda Besar.
Kejadian pertikaian tersebut, hanya memperebutkan pewarisan Candi Borobudur diantara keturunan Siliwangi, antara Hariang Banga dengan Ciung Wanara ?. Warna Biru dan Merah inilah yang bertikai menentukan pengusaan Borobudur. Hariang Banga yang berkuasa di daerah Timur dengan warna hijau dan Ciung Wanara berkuasa di daerah Barat dengan warna merah. Penentuan warna itu terjadi di Gunung Tengger.
Ketika itu Hariang Banga berkuasa daerah timur memiliki patih yang bernama Gajah Mada. Gajah Mada adalah patih yang setia dan salah satu pengawal yang berilmu sakti mandraguna. Gajah Mada, ketika di Pajajaran beliau adalah pengawal ke 3. Namun sewaktu terjadi pertempuran memperebutkan penguasaan Borobudur itu, ia terluka oleh senjata saudaranya dari daerah barat. Dan Gajah Mada menyadari, hanya senjata dari Pajajaran yang dapat melukainya. Dalam kondisi luka dan menghindari perang saudara lebih dasyat lagi dengan Saudaranya, ia lari dan menjauh ke arah Malang. Sampai hayatnya ia bersemayam di salah satu gua di daerah Malang. Tempat peperangan Bubat terjadi di beberapa tempat dan puncaknya terjadi di sekitar Sidoarjo.
Dalam pertempuran sengit itupun, Diah Pitaloka tertusuk pula oleh senjata saudaranya dari timur. Ia berlari kearah Kediri. Dan sampai hayatnya meninggalkan prasasti tulisan Palawa/Sangkakala di daerah Gunung Kawi.
Perebutan kekuasaan itu tentunya banyak meninggalkan korban dari kedua belah pihak, terutama para bala prajurit. Setelah kejadian ini hubungan antara kedua pihak keluarga menjadi tidak harmonis lagi, bahkan pihak dari keluarga Siliwangi dari timur mulai meninggalkan agama Hindu sebagai agama dari keturunannya. Sejak saat itulah mereka mulai menghimpun diri menjadi kekuatan kelompok masyarakat, dan pada akhirnya kelompok kekuatan itu kelak menjadi wilayah kerajaan-kerajaan diantaranya seperti ; Singosari, Majapahit.
Khususnya mengenai Gajah Mada maupun Hayam Wuruk, sebagaimana telah disinggung diatas beliau merupakan keturunan Pajajaran dan diisyaratkan dengan tanda pada batu yang menggambarkan tapak kaki gajah dan telapak kaki ayam yang terdapat di tepi sungai Ciampea telah hilang. Sayang artifak jejak kaki ayam telah lenyap sehingga sulit menjadi pembuktiannya. Gajah Mada sendiri ketika di Pajajaran menjadi Pengawal (patih) yang ke 3 dan beliau meninggalkan berupa tanda batu di Batu Gede – Bojong Gede.
SILIWANGI ZAMAN ISLAM
Siliwangi sendiri dikatakan “Slam Tunggal”, karena sejak lahir telah kulup sehingga nampak seperti telah disunat. Pada zaman Islam beliau telah melakukan sunatan terhadap keluarganya. Hanya sayang pratek khitanan yang dilakukan oleh Siliwangi dengan menggunakan kuku dan batok. Lubang yang nampak di bagian ujung batok kelapa dijadikan lubang penis, kemudian penis yang menjulur ia potong dengan kuku. Namun pertama khitanan yang dilakukan Siliwangi telah merenggut nyawa keluarganya, karena salah memotong. Salah satu korban salah potong khitanan tersebut, dimakamkan di sebelah selatan Batutulis sekarang.
Gunung Bentang – Sukabum
Generasi Siliwangi ke 14 yaitu yang bergelar Haji Kiayi Santang, setelah gagal melakukan khitanan di Lemah Duhur – Batutulis Bogor akhirnya kembali lagi menemui gurunya di Tanah Arab. Sekembalinya dari jazirah Arab, beliau hijrah ke Gunung Mandalawangi Garut. Di Godog Suci itulah di mulai pengislaman melalui khitanan lagi. Haji Kiyai Santang atau Syeh Jafar Sidik atau dikenal pula bernama Sangiyang Sunan Rohman yang kemudian akrab dengan nama Sunan Rohmat, dan sampai akhir hayatnya bersemayam di Gunung Mandalawangi. Suatu saat suka mengunjungi Gunung Batu/Cupu/Sunda dan di Gunung Bentang Sukabumi pula, bernama Eyang Sunan Agung Cakrawala atau Kiyai Santang Ratu Sunda. Tetapi, beliau lebih banyak menempati Lemah Duhur – Batutulis Bogor dengan Eyang Embah Buyut Haji Wali Jaya Sakti Mangkurat Jagat nu linggih di Lemah Duhur Wali Tunggal Pakuwon Pajajaran. Dan selalu didampingi oleh saudaranya Sangiyang Lodaya Sakti.
Oleh karena itu, tidak mustahil banyak diantara keturunannya menjadi tokoh Islam dan menggunakan nama-nama Islam seperti nama Mama Kanjeng Sunan bagi anak laki-laki dan atau nama Siti bagi yang perempuan. Bahkan beliau sendiri disamping menggunakan nama terkesan Hindu atau Budha seperti Sangiyang, Batara atau Prabu juga menggunakan nama lain seperti Haji Sakti Qodratullah, Haji Putih. Bahkan ada nama lain beliau yang bernuansa Sunda kental yaitu Haji Agung Komara Putih.
Ketika di keturunan Siliwangi mengadakan pertemuan di Gunung Tengger – Bromo (meliputi wilayah Probolinggo, Malang, Pasuruan dan Lumajang), pembahasannya menyinggung aliran (ageman) cara beribadah. Keturunan yang masih menganut Sunda (Hindu) tetap beribadah dengan caranya, sedangkan agama baru yaitu Islam beribadah pula dengan aturannya. Namun tetap dari sekian banyak keturunan masih ada yang berselisih yaitu antara Ki Gede Palimanan dengan Prabu Atas Angin.
Ki Gede Palimanan adalah salah seorang keturunan Sancang Lodaya Sakti. Sancang Lodaya Sakti adalah salah satu keturunan Siliwangi dari istrinya yang berada di Gunung Ceremai Kuningan. Sejatinya suka menjelma bagaikan “seekor harimau”. Oleh karena itu, dahulu keturunan Ki Gede Palimanan tak pernah dan tidak mau menyebut nama Ki Gede Palimanan karena setiap mengucap nama itu maka dihadapannya akan hadir tiba-tiba seekor harimau. Penduduk dan keturunannya selalu menyebut dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.
Ki Gede Palimanan, tidak menyukai Prabu Atas Angin karena tetap tidak mau beralih keyakinan beragama. Beberapa kali Prabu Atas Angin ia bunuh, namun setiap anggota badan Prabu Atas Angin menyentuh tanah maka ia hidup kembali dan badannya utuh lagi. Begitulah seterusnya. Tetapi setelah dibunuh badan Prabu Atas Angin digantung tidak menyentuh tanah, barulah benar-benar meninggal. Sejatinya Prabu Atas Angin memiliki ilmu “Batara Bumi”.
Prabu Atas Angin memiliki garwa Ibu Ratu Bungsu dari keturunan Ki Buyut Sawala. Dari perkawinan itu lahirlah Syeh Siti Jenar. Dilain pihak, yaitu Ki Gede Palimanan mulai menyebarkan ajaran Islam di Gunung Murti Jati atau lebih dikenal dengan nama Gunung Jati karena disana banyak terdapat pohon jati – Cirebon. Syeh Siti Jenar memiliki ilmu jiwa raganya dipenuhi “pangaweruh tanpa guru”. Namun perselisihan paham tentang ajaran Islam dengan Dewan Walisanga, menjadikan Syeh Siti Jenar yang tengah berkiprah didaerah Tuban – Demak Bintoro dianggap penganut Islam sesat. Untuk menghindari perseteruannya dengan para Walisanga, akhirnya Syeh Siti Jenar lebih banyak berkhalwat di Cirebon Girang di dusun tanah kelahirannya.
Syeh Siti Jenar, sejatinya bernama Syeh Mubin dan diyakini akhirnya melepas sukmanya, di daerah Gunung Awisan Kanoman atau Plangon Cirebon. Syeh Siti Jenar atau Syeh Mubin atau nama lain yaitu Syeh Lemah Abang, ajarannya lebih menitik-beratkan terhadap tasawuf dan mengandung nilai metafisika, namun dipandang oleh Dewan Walisanga menyimpang dari ajaran Islam. Pada akhirnya keturunan Pajajaran ini murca. Ketika penulis ke Plangon, ternyata disana dinamai Syeh Syarif Abdurahim atau Pengeran Kejaksan. Namun Syeh Siti Jenar sebelum tilar dunya, mempunyai keturunan yang bernama Slingsing yang juga penyebar agama Islam di daerah Kudus.
Syeh Syarif Abdurahim atau Pangeran Kejaksan mempunyai saudara kandung yaitu Syeh Pangjunan. Dari Saudara-saudara Pangeran Kejaksan inilah menurunkan ulama yang menyebarkan agama Islam ke berbagai peloksok daerah melalui salah seorang keturunannya, yaitu Syeh Syarif Hidayatullah. Salah satu wilayah yang di Islamkan termasuk Banten. Di Banten mempunyai garwa Ibu Ratu Kawung Anten dan melahirkan Syeh Sabakinkin dan Ratu Winaon. Ayah Syeh Syarif Hidayatullah adalah Maulana Muhammad Syarif Abdullah bin Nurul Alim, seorang pejabat di jazirah Arab. Dari da’wah Syeh Syarif Hidayatullah inilah penyebaran agama Islam berkembang pesat.
Begitulah Siliwangi. Beliau yang memiliki berbagai nama menyukai hidup berpindah-pindah tempat layaknya kaum nomaden. Memang secara lahiriyah kurang masuk akal sebab begitu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, namun keadaan alam pada zaman itu mendukung petualangan Siliwangi. Kepindahan Siliwangi juga bukan tanpa sebab, beliau mendiami di satu tempat disamping beristri untuk memperbanyak keturunan juga dengan menurunkan ilmu yang berbeda pula. Sehingga dapat disimpulkan membina setiap keturunan dengan sikap dan sifat yang berbeda disatu tempat dengan tempat lainnya. Namun walaupun demikian, tetap tujuan utamanya agar anak keturunannya menyembah kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran yang diwariskan Allah kepada para Rasulullah SAW.
PENUTUP
Kejayaan Siliwangi jauh sebelum adanya besi. Memang fantastis. Oleh karena itu, Siliwangi beserta kisah sejarah, maupun peninggalannya sampai kini masih ditelusuri dan penuh dengan misteri yang belum terungkap. Hanya dimanakah Siliwangi berada ? Siliwangi telah ngahiyang. Mungkin ngancik pada keturunannya, mungkin pula pada setiap atau tokoh Pajajaran yang menyebar di Nusantara. Namun yang pasti Siliwangi telah murca di suatu tempat. Selama itu pula, anak keturunan Siliwangi sampai saat ini masih menulusuri jejak nenek moyangnya. Kata orang Sunda, masih “nyucuk galur mapay galengan sugan aya cukang lantaran”, Iraha, dimana, jeung kumaha ayeuna Siliwangi? Mungkin banyak ragam yang mengartikan, biarlah menurut keyakinan, kepercayaan dan mata hatinya masing-masing. Toh karuhun selalu bersifat, bersikap dan berhati arif bijaksana “lautan hampura”. Apapun dan bagaimanapun alur yang mengkisahkan Siliwangi dengan Pajajarannya, merupakan pertanda masih memiliki sebersit “kadeudeuh / kanyaah” terhadap nenek moyangnya. Begitulah, menurut penduduk Bogor terhadap Siliwangi seperti menghibur diri. Cag !
 
—bersama abah Apep..rekan se dinas..,
Sumber:  

 


Isu PKI, Kivlan Zein dan Strategi Devide et impera Amerika atas NKRI

$
0
0

Isu kebangkitan komunisme atau PKI kembali menghangat usai diadakan simposium nasional yang membahas tragedi kemanusiaan 1965. Pihak-pihak yang diduga terlibat dalam tragedi kemanusiaan 1965 dan sesudahnya segera melakukan reaksi dengan menggelar simposiun tandingan. Kegiatan simposium tandingan ini diselenggarakan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) dan sejumlah ormas radikal yang mengaku menjunjung tinggi Pancasila.

Pancasila dipersepsikan sebagai ideologi negara yang terancam keberadaannya oleh ideologi komunis atau PKI. Kebangkitan komunisme dan PKI merupakan lagu lama yang senantiasa akan diputar ulang oleh pihak-pihak yang berkepentingan menyembunyikan fakta-fakta kekejaman dan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 1965-1966.

Padahal, pemerintah Jokowi memiliki maksud dan tujuan agar bangsa Indonesia tidak terus dibebani masalah di masa lalu, menyangkut terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pada 1965-1966. Para jenderal-jenderal purnawirawan Angkatan Darat seharusnya membantu memulihkan nama baik Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965-1966 demi kebaikan bangsa dan negara amat penting di mata masyarakat internasional supaya Indonesia tidak dituduh sebagai bangsa tak beradab karena menutup-nutupi pembantaian massal.

Para purnawirawan TNI AD dan ormas-ormas radikal ini seharusnya sadar akan perkembangan globalisasi, ilmu pengetahuan, teknologi informasi serta komunikasi. Di dunia ini sudah tidak ada tempat bersembunyi bahkan untuk menghapus jejak hitam di masa lalu. Kondisi saat ini bukan seperti era Perang Dingin dimana berbagai kejahatan kemanusiaan bisa ditutup-tutupi.

Sebagai contoh, Kekalifahan Turki Ottoman yang melakukan pembantain massal pada rakyat Armenia pada 1915 dimana korban tewas mencapai sekitar 1,5 juta. Jerman, Perancis, Rusia dan Brasil merupakan negara-negara yang mengakui secara resmi terjadinya pembantaian massal Turki kepada rakyat sipil Armenia. Meskipun kejadiannya seabad yang lalu, pemerintah Turki tidak bisa lari kemana-mana atas tuduhan ini.

Demikian juga Amerika Serikat (AS), keterlibatan Badan Intelejen Amerika Serikat CIA dalam pembunuhan massal di Amerika Latin seperti Guatemala pada 1954 menewaskan 200.000 orang dan di Haiti pada 1959 yang menewaskan sekitar 100.000 orang. Pembunuhan massal itu dilakukan CIA dengan cara memperalat dan mendanai kelompok militer yang dipimpin diktaktor yang didukung AS. Operasi rahasia ini bertujuan menumpas orang-orang komunis di Guatemala dan Haiti.

Apa yang terjadi di Guatemala dan Haiti itu mirip yang terjadi di Indonesia dimana TNI AD dijadikan alat AS untuk membunuh orang-orang yang dituding PKI atau pengikut Soekarno. CIA, Kedubes AS dan oknum-oknum militer menyusun skenario kudeta dengan cara mengkambinghitamkan PKI dan para pendukung Soekarno. Lalu setelah PKI dilumpuhkan maka dibentuk rezim militer Orde Baru Soeharto yang kemudian didukung penuh oleh AS.

Skenario Amerika
Isu komunisme atau PKI akan selalu digunakan AS dan militer untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah yang dipilih secara demokratis. Indonesia yang memilih Jokowi sebagai presiden secara demokratis juga tidak luput dari ancaman skenario ini. AS akan menyiapkan skenario penggulingan kekuasaan baik dengan cara memicu kekerasan berdarah dan “kudeta konstitusional”.

Di Indonesia, kedua praktik penggulingan kekuasaan ini sudah pernah dilakukan. Pada masa Soekarno dilakukan kudeta merangkak yang dipimpin Soeharto dengan membunuh 600 ribu hingga 3 juta orang. Sementara pada masa Gus Dur dilakukan kudeta konstitusional dengan cara pemakzulan Gus Dur oleh Amien Rais, Akbar Tanjung dan sejumlah jenderal TNI AD. AS mendalangi dua kudeta di Indonesia karena kedua pemimpin ini tidak mau tunduk dan ingin mewujudkan kemandirian bangsa.

Pemerintah Jokowi juga harus berhati-hati dengan skenario kudeta ataupun tindak kekacauan yang dirancang oleh Amerika Serikat selaku “The Invisible Hand”. Jokowi telah mendekati China dan Rusia agar berinvestasi di Indonesia. Kunjungan Jokowi ke Rusia dan penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi ASEAN-Rusia menunjukkan Indonesia tidak ingin didikte oleh AS selaku superpower.
Selain itu, kesepakatan antara Indonesia-Rusia atas jual beli alutsista seperti pesawat tempur Sukhoi-35 dan kapal perang akan membuat marah AS. Jokowi juga ingin menggandeng perusahaan BUMN Rusia Rosneft dan Rusal agar Indonesia bisa membuka kilang minyak baru dan tidak sekedar mengekspor bahan mentah bouksit. AS berkepentingan Indonesia hanya menjadi eksportir bahan mentah sehingga tetap bisa didikte dan diatur-atur.

Jika Indonesia bisa membangun banyak kilang minyak baru dan mampu mengekspor barang jadi maka perekonomian Indonesia lebih mandiri sehingga Indonesia tidak mudah didikte oleh negara manapun. Indonesia juga mengundang investor China dan Rusia agar tidak hanya tergantung dengan negara-negara Barat saja.

Kekacauan
AS tampaknya akan berupaya memicu konflik SARA ataupun menjadikan komunisme sebagai kambing hitam jika Indonesia ingin mewujudkan kemandirian ekonomi dan enggan didikte. Dari zaman Soekarno hingga era reformasi polanya tidak berubah, yakni memicu ketegangan agama dan rasial. Ekskalasi ketegangan diciptakan untuk mempertajam konflik, setelah memanas dicari momentum yang tepat untuk memicu konflik berdarah.

Momentum hari besar agama atau hari-hari yang dinilai memiliki makna historis bagi bangsa Indonesia akan dijadikan waktu yang teat membuat chaos atau kekacauan di masyarakat. Isu SARA adalah bensin paling ampuh untuk membakar kemarahan dan amuk massa. Ini semua dilakukan agar Indonesia tidak pernah berkembang menjadi negara yang kuat dan bersatu padu.

Sepak terjang mantan Jenderal TNI AD Kivlan Zen yang terus menerus memprovokasi kebencian pada PKI menjadi indikasi bahwa skenario ini mungkin sedang dijalankan. Kivlan adalah seorang jenderal purnawirawan TNI AD ang pernah mengenyam pendidikan/pelatihan di Advance Georgia, AS (1982). Ia bertindak sebagai corong atau melakukan propaganda dengan tujuan mempertajam konflik di masyarakat lewat pernyataan-pernyataan kontroversial tentang PKI.

Ia mengatakan PKI telah berdiri dan beranggotakan 15 juta orang yang dipimpin Wahyu Setiaji. Rumor atau isu seperti ini sengaja ditebarkan untuk mendidihkan kemarahan masyarakat. Tujuan akhirnya adalah memicu konflik dan kekacauan di masyarakat.

Maka bukanlah suatu kebetulan jika Kivlan Zen berpidato menggebu-gebu di pertemuan Umat Islam Solo untuk menentang ancaman bahaya komunisme beberapa hari yang lalu. Pidato di Solo ini bernuansa politis karena ingin menyampaikan pesan bahwa Solo dulunya merupakan markas PKI. Panggung yang digelar untuk rapat akbar ini di depan gereja dan saat ini Solo juga dipimpin seorang walikota non-muslim menunjukkan Kivlan ingin memicu konflik SARA.

Kivlan Zen akan terus berupaya memprovokasi dan mengadu domba kelompok-kelompok masyarakat dengan tujuan akhir ingin menciptakan konflik dan memecah belah masyarakat. Isu SARA dan komunisme merupakan bensin yang siap disulut di tengah-tengah masyarakat. Jika terjadi kerusuhan maka PKI atau komunis akan kembali dijadikan kambing hitam.

Belajar dari pengalaman sejarah, maka kelompok-kelompok ormas agama radikal dan ormas dengan kelakuan preman akan menjadi pelaksana atau pemicu terjadinya kerusuhan SARA atau komunisme. Misalnya dengan melakukan pembakaran dan perusakan rumah tempat ibadah. Oknum-oknum militer fasis ini akan bermain mata dengan ormas-ormas radikal melakukan propaganda dan penghasutan untuk memanaskan suasana.

Hal-hal seperti inilah yang harus segera diantisipasi baik oleh masyarakat itu sendiri ataupun para penegak hukum. Indonesia yang demokratis harus diselamatkan dari para pengacau ini dan begitu pecah konflik bernuansa SARA, kita semua tahu siapa-siapa saja pihak yang sebenarnya sedang bermain. Kewaspadaan masyarakat perlu ditingkatkan agar tidak mudah diprovokasi melakukan kekacauan dan melakukan amuk massa.

Skenario membentuk kelompok-kelompok ormas radikal dan mazab keagamaan dengan penafsiran yang keras, puritan dan literal dipahami dalam persepektif seperti ini. Ini merupakan agenda global untuk menciptakan konflik. Salah satu tujuannya supaya Indonesia tidak stabil dan mudah terpecah belah.

AS telah memainkan skenario seperti ini sejak era Soekarno hingga sekarang. Ormas kegamaan radikal, ormas yang bertindak seperti preman dan oknum-onum militer akan bahu-membahu dalam mensukseskan skenario yang dimainkan AS untuk memecah belah Indonesia. AS berkepentingan Indonesia tetap menjadi negara yang bisa didikte dan diatur-atur sesuai dengan kepentingan nasionalnya, jika berusaha menjadi negara yang mandiri maka pemimpinnya akan digulingkan dengan segala cara.

Skenario ini juga sedang dimainkan pemerintah AS di Amerika Latin yakni memicu kekacauan di Venezuela dan mendukung kudeta konstitusional di Brasil. Baik Presiden Brasil Dilma Rousseff maupun Presiden Venezuela Nicolas Maduro ingin mewujudkan kemandirian bangsa dan tidak ingin negaranya melayani kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional atau korporasi AS.

Source: Netralitas. Com dengan judul “Amerika Siapkan Skenario Kerusuhan di Indonesia?”

 



Allen Dulles, Strateginya di Indonesia dan Pembunuhan Jhon F. Kenedy

$
0
0

Akankah Allen Dulles terpaksa membunuh Presiden Amerika Serikat untuk memastikan pencapaian strateginya di Indonesia ?

Ini adalah pertanyaan sentral yang ditangani oleh Greg Poulgrain dalam bukunya yang luar biasa penting, Intervensi The Incubus: Konflik Strategi Indonesia dari John F. Kennedy dan Allen Dulles.

(Review of Greg Poulgrain’s book “The Incubus of Intervention: Conflicting Indonesian Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles”)

President John F. Kennedy with CIA Director Allen Dulles and Director-designate John McCone on September 27, 1961. Photo credit: Robert Knudsen. White House Photographs. John F. Kennedy Presidential Library and Museum, Boston

Dua hari sebelum pembunuhan Presiden John Kennedy pada 22 November 1963, ia telah menerima undangan dari Presiden Indonesia Soekarno untuk mengunjungi negara itu pada musim semi berikutnya. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk mengakhiri konflik (Konfrontasi) antara Indonesia dan Malaysia dan untuk melanjutkan upaya Kennedy untuk mendukung Indonesia pasca-kolonial dengan bantuan ekonomi dan pembangunan, bukan militer. Itu adalah bagian dari strateginya yang lebih besar untuk mengakhiri konflik di seluruh Asia Tenggara dan membantu pertumbuhan demokrasi di negara-negara pasca-kolonial yang baru merdeka di seluruh dunia.

Dia (JF Kennedy) memperkirakan posisinya dalam pidato dramatis pada tahun 1957 ketika, sebagai Massachusetts Senator, ia mengatakan kepada Senat bahwa ia mendukung gerakan pembebasan Aljazair dan menentang imperialisme kolonial di seluruh dunia. Pidato itu menyebabkan kegemparan internasional dan Kennedy diserang secara kasar oleh Eisenhower, Nixon, John Foster Dulles, dan bahkan kaum liberal seperti Adlai Stevenson. Tapi ia dipuji di seluruh dunia ketiga.

Tentu saja JFK tidak pernah pergi ke Indonesia pada tahun 1964, dan strategi damai untuk membawa Indonesia ke sisi Amerika dan untuk meredakan ketegangan dalam Perang Dingin tidak pernah terwujud, berkat Allen Dulles. Dan penarikan Amerika dari Vietnam yang diusulkan Kennedy, yang didasarkan pada keberhasilan di Indonesia, dengan cepat dibalikkan oleh Lyndon Johnson setelah pembunuhan JFK. Segera kedua negara  mengalami pembantaian massal yang direkayasa oleh lawan-lawan Kennedy di CIA dan Pentagon. Jutaan ortang akan mati. Selanjutnya, mulai Desember 1975, Amerika memasang diktator baru Indonesia, Suharto, yang telah menyembelih ratusan ribu rakyat di Timur-Timor dengan senjata Amerika setelah bertemu dengan Henry Kissinger dan Presiden Ford dan menerima persetujuan mereka.

Rahasia Dulles 

Apakah JFK tidak tahu  bahwa rencananya akan mengancam konspirasi lama rahasia yang direkayasa oleh Allen Dulles untuk efek perubahan rezim di Indonesia melalui cara yang berdarah. Tujuan utama di balik rencana ini adalah untuk mendapatkan akses tanpa hambatan ke sebagian besar sumber daya alam Indonesia, yang Dulles telah rahasiakan dari Kennedy, yang berpikir Indonesia kurang punya banyak sumber daya alam. Tapi Dulles tahu bahwa jika Kennedy, yang sangat populer di Indonesia, mengunjungi Sukarno, itu akan merupakan pukulan berat untuk rencananya untuk menggulingkan Soekarno dan menginstal/memasang pengganti CIA-nya (Suharto), memusnahkan kelompok yang dituduh komunis, dan mengamankan kontrol Rockefeller atas negara kepulauan penuh sumber minyak  dan kepentingan pertambangan, untuk siapa ia telah berhadapan sejak tahun 1920-an.

Dr. Poulgrain, yang mengajar Sejarah Indonesia, Politik dan Masyarakat di University of Sunshine Coast di Australia, mengeksplorasi detail isu-isu sejarah yang sangat besar yang memiliki arti penting untuk hari ini. Berdasarkan wawancara dan penelitian hampir tiga dekade di seluruh dunia, ia telah menghasilkan sebuah buku yang sangat padat argumentasinya yang dapat dibaca seperti novel detektif dengan sub plot  yang menarik.

Pentingnya Indonesia

Kebanyakan orang Amerika memiliki kesadaran yang sedikit terhadap kepentingan strategis dan ekonomi Indonesia. Ini adalah 4 negara yang paling padat penduduknya di dunia, terletak di jalur pelayaran penting yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan, memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki cadangan sumber mineral dan minyak yang sangat banyak, dan merupakan rumah bagi Grasberg, tambang tembaga dan emas terbesar di dunia, yang dimiliki oleh Freeport McMoRan dari Phoenix, Arizona.

Medan pertempuran yang panjang dalam Perang Dingin, tetap sangat penting dalam Perang Dingin Baru yang diluncurkan oleh pemerintahan Obama terhadap Rusia dan Cina, secara antagonis sama dengan Allen Dulles yang berusaha untuk mengalahkan melalui tipu muslihat dan kekerasan. Baru-baru ini pemerintah Indonesia, di bawah tekanan dari tentara yang telah terhalang oleh reformasi demokratis selama 18 tahun, menandatangani perjanjian pertahanan dengan Rusia untuk berbagi informasi intelijen, penjualan peralatan militer Rusia, termasuk jet tempur, dan pembuatan senjata di Indonesia . Meskipun tidak menjadi berita halaman depan di AS, fakta-fakta ini membuat Indonesia sangat penting hari ini dan menambah gravitasi sejarah Poulgrain ini.

Setan Iblis Ii dalam Surga

Dia menggunakan kata “syaitan” (roh jahat yang memiliki hubungan seksual dengan perempuan yang sedang tidur) dalam subjudul ini adalah tepat karena karakter yang menyeramkan seperti ular yang berjalan melalui analisis sejarah  Allen Dulles ini, yang telah menjadi Direktur CIA terlama dan musuh utama Kennedy. Sementara dalam kontekstual berbeda dari penggambaran David Talbot dari Dulles di buku The Devil Chessboard, potret Poulgrain untuk Dulles dalam kerangka sejarah Indonesia sama-sama mengutuk dan mimpi buruk. Keduanya menggambarkan seorang jenius yang jahat siap untuk melakukan apa pun untuk memajukan agendanya.

 

Reading Poulgrain’s masterful analysis, one can clearly see how much of modern history is a struggle for control of the underworld where lies the fuel that runs the megamachine – oil, minerals, gold, etc.  Manifest ideological conflicts, while garnering headlines, often bury the secret of this subterranean devil’s game.

Membaca analisis ahli Poulgrain ini, kita dapat dengan jelas melihat berapa banyak dari sejarah modern adalah perjuangan untuk menguasai dunia  di mana di bawahnya terletak bahan bakar yang berjalan megamesin yang – minyak, mineral, emas, dll Manifest konflik ideologis, sementara mengumpulkan berita utama, sering mengubur rahasia permainan setan bawah tanah ini.

 

Kisahnya dimulai dengan penemuan yang kemudian dirahasiakan selama beberapa dekade: “Di wilayah pegunungan dari Belanda New Guinea (dinamakan demikian di bawah pemerintahan kolonial Belanda – hari, Papua Barat) pada tahun 1936, tiga orang Belanda menemukan singkapan pegunungan bijih dengan tinggi konten tembaga dan konsentrasi yang sangat tinggi dari emas. Ketika kemudian dianalisis di Belanda, emas (dalam gram / ton) terbukti menjadi dua kali lipat dari Witwatersrand di Afrika Selatan, maka tambang emas terkaya di dunia, tetapi informasi ini tidak dibuat publik. ”

 

Ahli geologi di antara trio, Jean Jacques Dozy, bekerja untuk Belanda New Guinea Petroleum Company (NNGPM), seolah-olah perusahaan yang dikendalikan Belanda yang berbasis di Den Haag, tetapi yang pengendalian benar-benar meletakkan di tangan keluarga Rockefeller, seperti yang dilakukan pengacara perusahaan pertambangan, Freeport Indonesia (sekarang Freeport McMoRan, yang salah satu Direksi 1988-95 adalah Henry Kissinger, Dulles dan rekan dekat dengan Rockefeller) yang dimulai pertambangan operasi di sana pada tahun 1966. itu Allen Dulles, Paris berbasis dalam mempekerjakan Rockefeller Standard Oil, yang pada tahun 1935 mengatur hak pengendalian NNGPN untuk Rockefeller. Dan itu Dulles, di antara beberapa orang lain pilih, yang, karena berbagai peristiwa intervensi, termasuk WW II, yang membuat eksploitasi yang tidak mungkin, terus rahasia tambang emas selama hampir tiga dekade, bahkan dari Presiden Kennedy. JFK “tidak pernah diberitahu tentang ‘El Dorado’ ia sengaja dibawa keluar dari tangan Belanda dengan hasil bahwa (sekali rintangan politik yang tersisa di Indonesia diatasi) Freeport akan memiliki akses tanpa hambatan ke konsesi pertambangan.” Mereka “rintangan politik” – yaitu perubahan rezim – akan memerlukan waktu untuk efek.

 

Indonesia-Kuba Connection

Tapi pertama JFK akan dihilangkan, karena ia telah ditengahi kedaulatan Indonesia atas Papua Barat / Irian Barat untuk Sukarno dari Belanda yang memiliki hubungan dengan Freeport Sulphur. Freeport terperanjat karena kehilangan potensi “El Dorado,” terutama karena mereka baru-baru ini telah kilang nikel paling maju mereka dunia diambil alih oleh Fidel Castro, yang bernama Che Guevara manajer baru. kerugian Freeport di Kuba membuat akses ke Indonesia bahkan lebih penting. Kuba dan Indonesia sehingga bergabung dalam permainan mematikan catur antara Dulles dan Kennedy, dan seseorang harus kalah.

 

Sementara banyak yang telah ditulis tentang Kuba, Kennedy, dan Dulles, pihak Indonesia dari cerita telah diremehkan. Poulgrain obat ini dengan eksplorasi lengkap dan mendalam diteliti dari hal ini. Dia merinci deviousness dari operasi rahasia Dulles berlari di Indonesia selama tahun 1950 dan 1960-an. Dia menjelaskan bahwa Kennedy terkejut oleh tindakan Dulles ‘, namun tidak pernah sepenuhnya memahami jenius berbahaya dari semua itu. Dulles selalu “bekerja dua atau tiga tahap menjelang sekarang.” Memiliki bersenjata dan dipromosikan pemberontakan terhadap pemerintah pusat Soekarno pada tahun 1958, Dulles memastikan itu akan gagal (nuansa Teluk Babi datang).

 

Namun hasil akhir dari campur tangan CIA dalam urusan internal Indonesia melalui 1.958 Pemberontakan digambarkan sebagai kegagalan pada saat itu, dan secara konsisten telah digambarkan sebagai kegagalan sejak saat itu. Hal ini berlaku hanya jika tujuan lain dari CIA adalah sama dengan tujuan yang sebenarnya. Bahkan lebih dari lima dekade kemudian, analisis media gawang The Outer Pulau pemberontak masih digambarkan sebagai pemisahan, karena dukungan AS rahasia untuk ‘pemberontak di luar Jawa yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat di Jakarta’. Tujuan sebenarnya dari Allen Dulles telah lebih berkaitan dengan mencapai perintah tentara terpusat dengan cara seperti muncul bahwa dukungan CIA untuk pemberontak gagal.

 

Kebutuhan Pembunuhan

Dulles mengkhianati para pemberontak dia bersenjata dan didorong, seperti yang mengkhianati teman dan musuh sama selama karir yang panjang. Pemberontakan yang ia menghasut dan berencana untuk gagal adalah tahap pertama dari strategi intelijen yang lebih besar yang akan datang ke hasil di 1965-6 dengan penggulingan Soekarno (setelah beberapa upaya pembunuhan yang gagal) dan lembaga pemerintahan teror yang diikuti. Itu juga saat – 1966 – Freeport McMoRan mulai pertambangan besar mereka di Papua Barat di Grasberg di ketinggian 14.000 kaki di wilayah Alpine. Dulles apa-apa jika tidak sabar; ia telah di game ini karena WW I. Bahkan setelah Kennedy memecatnya menyusul Teluk Babi, rencananya dieksekusi, seperti orang-orang yang mendapat di jalan yang. Poulgrain membuat kasus yang kuat bahwa ini termasuk JFK, U.N. Sekretaris Jenderal Dag Hammarskjold (bekerja dengan Kennedy untuk solusi damai di Indonesia dan tempat-tempat lain), dan Presiden Kongo Patrice Lumumba.

 

fokusnya adalah pada mengapa mereka perlu dibunuh (mirip dalam hal ini untuk James Douglass JFK dan Unspeakable), meskipun dengan pengecualian Kennedy (sejak seberapa terkenal dan jelas), ia juga menyajikan bukti kuat mengenai bagaimana. Hammarskjold, dalam banyak cara saudara spiritual Kennedy, adalah hambatan sangat kuat untuk rencana Dulles untuk Indonesia dan negara-negara di seluruh dunia ketiga. Seperti JFK, ia berkomitmen untuk kemerdekaan bagi masyarakat adat dan kolonial di mana-mana, dan mencoba untuk menerapkan “Swedish-gaya ‘jalan ketiga’ mengusulkan bentuk ‘pasifisme otot’.”

 

Memiliki Sekretaris Jenderal PBB berhasil membawa bahkan setengah negara-negara untuk kemerdekaan, ia akan berubah PBB menjadi kekuatan dunia yang signifikan dan menciptakan tubuh negara begitu besar untuk menjadi tandingan mereka terlibat dalam Perang Dingin.

 

Poulgrain mengacu pada dokumen dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan (TRC) dan Ketua Uskup Agung Desmond Tutu untuk menunjukkan hubungan antara “Operasi Celest” Afrika Selatan dan keterlibatan Dulles dalam pembunuhan Hammarskjold pada bulan September 1961. Sementara itu dilaporkan pada saat sebagai disengaja kecelakaan pesawat, dia mengutip mantan Presiden Harry Truman mengatakan, “Dag Hammarskjold adalah pada titik mendapatkan sesuatu dilakukan ketika mereka membunuhnya. Perhatikan bahwa saya mengatakan, ‘Ketika mereka membunuhnya’. ”

 

Dulles dijual strategi yang jelas dari Indonesia sebagai diperlukan untuk menggagalkan pengambilalihan komunis di Indonesia. Perang Dingin retorika, seperti “perang melawan terorisme” hari ini, menjabat sebagai cover-nya. Dalam hal ini ia memiliki Kepala Staf Gabungan di sisinya; mereka dianggap Kennedy lunak terhadap komunisme, di Indonesia dan Kuba dan di tempat lain. agenda rahasia Dulles adalah untuk melayani kepentingan kekuasaan pelanggan elit nya.

 

Dulles dan George de Mohrenschildt

Poulgrain menambahkan secara signifikan terhadap pemahaman kita tentang pembunuhan JFK dan sesudahnya dengan menyajikan informasi baru tentang George de Mohrenschildt, handler Lee Harvey Oswald di Dallas. Dulles memiliki hubungan panjang dengan keluarga de Mohrenschildt, akan kembali ke 1920-1921 ketika di Konstantinopel ia bernegosiasi dengan Baron Sergius Alexander von Mohrenschildt atas nama Rockefeller Standard Oil. saudara dan mitra bisnis Baron adalah ayah George. firma hukum Dulles ini, Sullivan & Cromwell, “hampir meja depan untuk Standard Oil.” Negosiasi ini atas nama kepentingan kapitalis elit, dalam bayangan Revolusi Rusia, menjadi template untuk karir Dulles ini: eksploitasi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari keprihatinan militer , mantan tersembunyi di balik retorika anti-komunis yang terakhir. Thread anti-merah berlari melalui karir Dulles, kecuali ketika merah itu darah semua orang yang dianggapnya dibuang. Dan jumlahnya legiun.

 

“Itu melalui Standard Oil yang link ada antara Dulles [yang menguasai Komisi Warren] dan de Mohrenschildt, dan ini harus telah dibawa ke perhatian dari Komisi Warren tetapi tidak dibuat publik ketika Dulles memiliki begitu menonjol peran.” Poulgrain berpendapat meyakinkan bahwa De Mohrenschildt bekerja di “kecerdasan minyak” sebelum keterlibatan CIA, dan bahwa kecerdasan minyak tidak hanya bekerja Dulles ketika ia pertama kali bertemu ayah George, Sergius, di Baku, tetapi bahwa “minyak intelijen” adalah redundansi a. CIA, setelah semua, adalah ciptaan Wall Street dan kepentingan mereka selalu bergabung. Badan itu tidak dibentuk untuk memberikan intelijen untuk Presiden AS; itu mitos nyaman digunakan untuk menutupi tujuan sebenarnya yang melayani kepentingan bankir investasi dan elite kekuasaan.

 

Ketika bekerja pada tahun 1941 untuk Oil Humble (Prescott Bush adalah pemegang saham utama, Dulles adalah pengacaranya, dan Standard Oil diam-diam telah membeli Humble enam belas Oil tahun sebelumnya), de Mohrenschildt terjebak dalam skandal yang melibatkan Vichy (pro-Nazi) Prancis intelijen dalam menjual minyak ke Jerman. Ini mirip dengan saudara Dulles dan urusan bisnis terkenal Standard Oil dengan Jerman.

Itu adalah jaringan yang rumit dari komplotan tinggi dengan Allen Dulles di pusat.

 

Di tengah skandal, de Mohrenschildt, dicurigai sebagai agen intelijen Prancis Vichy, “menghilang” untuk sementara waktu. Dia kemudian mengatakan kepada Komisi Warren bahwa ia memutuskan untuk mengambil pengeboran minyak, tanpa menyebutkan nama Minyak Humble yang mempekerjakan dia lagi, kali ini sebagai buruh pelabuh a.

 

“Hanya ketika George dibutuhkan untuk ‘menghilang’, Minyak Humble itu menyediakan tim eksplorasi minyak akan disubkontrakkan ke NNGPM -. Perusahaan Allen Dulles telah mendirikan lima tahun sebelumnya untuk bekerja di Belanda New Guinea” Poulgrain membuat kasus bukti kuat ( dokumen-dokumen tertentu masih tersedia) yang de Mohrenschildt, untuk menghindari muncul di pengadilan, pergi communicado di Belanda New Guinea pada pertengahan 1941 di mana ia membuat penemuan minyak merekam dan menerima $ 10.000 bonus dari oil Humble.

 

“Menghindari publisitas buruk tentang perannya dalam menjual minyak ke Vichy Perancis adalah prioritas utama; untuk George, petualangan pengeboran singkat di daerah terpencil Belanda Nugini akan keluar tepat waktu dan strategis “Dan yang terbaik untuk membantu dia dalam pelarian ini daripada Allen Dulles – tidak langsung, tentu saja.; untuk Dulles modus operandi adalah untuk menjaga “jarak” nya dari kontak, sering selama beberapa dekade.

 

Dengan kata lain, Dulles dan de Mohrenschildt yang erat terlibat untuk waktu yang lama sebelum pembunuhan JFK. Poulgrain benar mengklaim bahwa “seluruh fokus penyelidikan Kennedy akan bergeser telah dengan [Warren] Komisi menyadari link 40-tahun antara Allen Dulles dan de Mohrenschildt.” Hubungan mereka terlibat minyak, mata-mata, Indonesia, Nazi Jerman, Rockefeller, Kuba, Haiti, dll itu adalah web internasional intrik yang melibatkan tokoh karakter aneh dari fiksi, komplotan tinggi dari koperasi yang biasa dan tidak biasa.

 

Dua orang biasa yang layak disebut: Michael Fomenko dan Michael Rockefeller. Eksentrik Fomenko – alias “Tarzan” – adalah keponakan Rusia-Australia dari istri de Mohrenschildt, Jean Fomenko. penangkapan dan deportasi dari Belanda New Guinea pada tahun 1959, di mana ia telah melakukan perjalanan dari Australia di sebuah kano, dan kehidupan berikutnya nya, yang menarik dan sedih. Ini hal-hal dari film aneh. Tampaknya ia adalah salah satu korban yang harus ditutup mulutnya, karena ia tahu rahasia tentang George 1.941 penemuan minyak yang bukan miliknya untuk berbagi. “Pada bulan April tahun 1964, pada saat yang sama George de Mohrenschildt menghadapi Komisi Warren – saat publisitas mengenai Sele 40 [George penemuan minyak rekor] bisa mengubah sejarah – diputuskan bahwa terapi elektro-kejang akan digunakan pada Michael Fomenko. “Dia kemudian dipenjara di Rumah Sakit Ipswich khusus Mental.

 

Sama menarik adalah mitos media seputar hilangnya Michael Rockefeller, anak Nelson dan pewaris kekayaan Standard Oil, yang diduga dimakan oleh kanibal di New Guinea pada tahun 1961. Kisah Nya menjadi berita halaman depan, “acara media tertutup untuk penjelasan lain dan implikasi politik menghilang menjadi tragedi yang sedang berlangsung untuk masyarakat Papua. “untuk hari ini, orang-orang Papua Barat, yang tanahnya digambarkan oleh pejabat Standard Oil Richard Archbold pada tahun 1938 sebagai” Shangri-la, “adalah berjuang untuk kemerdekaan mereka.

 

Poulgrain menawarkan paling menarik mengambil dua karakter ini dan menunjukkan bagaimana kisah mereka terhubung ke kisah yang lebih besar dari intrik.

 

Ini adalah buku yang sangat penting dan menarik. Sulit dan padat di kali, lebih luas pada orang lain, itu sangat menambah pemahaman kita tentang mengapa JFK dibunuh. Dengan fokus di Indonesia, hal itu menunjukkan kepada kita bagaimana lingkup menyeramkan Allen Dulles adalah meluas dan lama; bagaimana itu termasuk jauh lebih banyak dari Kuba, Guatemala, Iran, dll .; khusus, betapa pentingnya jauh-jauh Indonesia dalam pemikirannya, dan bagaimana pemikiran bentrok dengan Presiden Kennedy pada masalah krusial. Hal ini memaksa kita untuk mempertimbangkan bagaimana berbagai dunia akan jika JFK hidup.

 

The Incubus Intervensi menyoroti baru pada sejarah Indonesia dan keterlibatan Amerika dalam tragedi. Hal ini penting membaca hari ini ketika Barack Obama mengeksekusi poros ke Asia dan mempromosikan konflik dengan China dan Rusia. Meskipun tidak dieksplorasi dalam buku Poulgrain, itu menarik untuk dicatat bahwa Obama Indonesian langkah-ayah, Lolo Soetero, meninggalkan Obama dan ibunya di Hawaii pada tahun penting dari tahun 1966 ketika pembunuhan massal yang dilakukan untuk kembali ke Indonesia untuk memetakan Western New Guinea (West Papua) bagi pemerintah Indonesia. Setelah perubahan rezim Dulles itu dicapai dan Suharto menggantikan Sukarno, ia bekerja untuk Unocal, perusahaan minyak pertama yang menandatangani perjanjian bagi hasil dengan Suharto. kebetulan yang aneh, berbuah pahit.

 

Apakah Poulgrain benar? Apakah Allen Dulles langsung pembunuhan Presiden Kennedy untuk memastikan nya, bukan, strategi Indonesia Kennedy akan berhasil?

Kita tahu CIA dikoordinasikan pembunuhan Presiden Kennedy. Kita tahu bahwa Allen Dulles terlibat. Kita tahu bahwa Indonesia adalah salah satu alasan mengapa.

Apakah itu “alasan”?

Baca buku ini indah dan memutuskan.

Edward Curtin adalah seorang penulis yang telah dipublikasikan secara luas. Ia mengajar sosiologi di Massachusetts College of Liberal Arts.

Sumber asli dari artikel ini adalah Global Research
Copyright © Edward Curtin, Global Research, 2016

 

 

His story begins with a discovery that is then kept secret for many decades:  “In the alpine region of Netherlands New Guinea (so named under Dutch colonial rule – today, West Papua) in 1936, three Dutchmen discovered a mountainous outcrop of ore with high copper content and very high concentrations of gold.  When later analyzed in the Netherlands, the gold (in gram/ton) proved to be twice that of Witwatersrand in South Africa, then the world’s richest gold mine, but this information was not made public.”

The geologist among the trio, Jean Jacques Dozy, worked for the Netherlands New Guinea Petroleum Company (NNGPM), ostensibly a Dutch-controlled company based in The Hague, but whose controlling interest actually lay in the hands of the Rockefeller family, as did the mining company, Freeport Indonesia (now Freeport McMoRan, one of whose Directors from 1988-95 was Henry Kissinger, Dulles’s and the Rockefeller’s close associate) that began mining operations there in 1966.  It was Allen Dulles, Paris-based lawyer in the employ of Rockefeller’s Standard Oil, who in 1935 arranged the controlling interest in NNGPN for the Rockefellers.  And it was Dulles, among a select few others, who, because of various intervening events, including WW II, that made its exploitation impossible, kept the secret of the gold mine for almost three decades, even from President Kennedy. JFK “was never informed of the ‘El Dorado’ he had unwittingly taken out of Dutch hands with the result that (once the remaining political hurdles in Indonesia were overcome) Freeport would have unimpeded access to its mining concession.” Those “political hurdles” – i.e. regime change – would take a while to effect.

The Indonesia-Cuba Connection

But first JFK would have to be eliminated, for he had brokered Indonesian sovereignty over West Papua/West Irian for Sukarno from the Dutch who had ties to Freeport Sulphur.  Freeport was aghast at the potential loss of “El Dorado,” especially since they had recently had their world’s most advanced nickel refinery expropriated by Fidel Castro, who had named Che Guevara its new manager.  Freeport’s losses in Cuba made access to Indonesia even more important. Cuba and Indonesia thus were joined in the deadly game of chess between Dulles and Kennedy, and someone would have to lose.

While much has been written about Cuba, Kennedy, and Dulles, the Indonesian side of the story has been slighted. Poulgrain remedies this with an exhaustive and deeply researched exploration of these matters. He details the deviousness of the covert operation Dulles ran in Indonesia during the 1950s and 1960s.  He makes it clear that Kennedy was shocked by Dulles’ actions, yet never fully grasped the treacherous genius of it all. Dulles was always “working two or three stages ahead of the present.”  Having armed and promoted a rebellion against Sukarno’s central government in 1958, Dulles made sure it would fail (shades of the Bay of Pigs to come).

Yet the end result of CIA interference in Indonesian internal affairs via the 1958 Rebellion was depicted as a failure at the time, and has consistently been depicted as a failure since that time.  This holds true only if the stated goal of the CIA was the same as the actual goal.  Even more than five decades later, media analysis of the goal of The Outer Island rebels is still portrayed as a secession, as covert US support for ‘rebels in the Outer Islands that wished to secede from the central government in Jakarta’.  The actual goal of Allen Dulles had more to do with achieving a centralized army command in such a way as to appear that the CIA backing for the rebels failed.

 The Need for Assassinations

Dulles betrayed the rebels he armed and encouraged, just as he betrayed friend and foe alike during his long career.  The rebellion that he instigated and planned to fail was the first stage of a larger intelligence strategy that would come to fruition in 1965-6 with the ouster of Sukarno (after multiple unsuccessful assassination attempts) and the institution of a reign of terror that followed.  It was also when – 1966 – Freeport McMoRan began their massive mining in West Papua at Grasberg at an elevation of 14,000 feet in the Alpine region.  Dulles was nothing if not patient; he had been at this game since WW I.  Even after Kennedy fired him following the Bay of Pigs, his plans were executed, just as those who got in his way were.  Poulgrain makes a powerful case that these included JFK, U.N. Secretary General Dag Hammarskjold (working with Kennedy for a peaceful solution in Indonesia and other places), and Congolese President Patrice Lumumba.

His focus is on why they needed to be assassinated (similar in this regard to James Douglass’s JFK and the Unspeakable), though with the exception of Kennedy (since the how is well-known and obvious), he also presents compelling evidence as to the how.  Hammarskjold, in many ways Kennedy’s spiritual brother, was a particularly powerful obstacle to Dulles’s plans for Indonesia and countries throughout the Third World.  Like JFK, he was committed to independence for indigenous and colonial peoples everywhere, and was trying to implement “his Swedish-style ‘third way’ proposing a form of ‘muscular pacifism’.”

Had the UN Secretary General succeeded in bringing even half these countries to independence, he would have transformed the UN into a significant world power and created a body of nations so large as to be a counter-weight to those embroiled in the Cold War.

Poulgrain draws on documents from the South African Truth and Reconciliation Commission (TRC) and Chairman Archbishop Desmond Tutu to show the connection between South Africa’s “Operation Celest” and Dulles’s involvement in Hammarskjold’s murder in September 1961.  While it was reported at the time as an accidental plane crash, he quotes former President Harry Truman saying, “Dag Hammarskjold was on the point of getting something done when they killed him.  Notice that I said, ‘When they killed him’.”

Dulles sold his overt Indonesian strategy as being necessary to thwart a communist takeover in Indonesian. Cold War rhetoric, like “the war on terrorism” today, served as his cover.  In this he had the Joint Chiefs of Staff on his side; they considered Kennedy soft on communism, in Indonesia and Cuba and everywhere else. Dulles’s covert agenda was to serve the interests of his power elite patrons.

Dulles and George de Mohrenschildt

Poulgrain adds significantly to our understanding of JFK’s assassination and its aftermath by presenting new information about George de Mohrenschildt, Lee Harvey Oswald’s handler in Dallas.  Dulles had a long association with the de Mohrenschildt family, going back to 1920-21 when in Constantinople he negotiated with Baron Sergius Alexander von Mohrenschildt on behalf of Rockefeller’s Standard Oil.  The Baron’s brother and business partner was George’s father.  Dulles’s law firm, Sullivan & Cromwell, “was virtually the front desk for Standard Oil.”  These negotiations on behalf of elite capitalist interests, in the shadow of the Russian Revolution, became the template for Dulles’s career: economic exploitation was inseparable from military concerns, the former concealed behind the anti-communist rhetoric of the latter.  An anti-red thread ran through Dulles’s career, except when the red was the blood of all those whom he considered expendable.  And the numbers are legion.

“It was through Standard Oil that a link existed between Dulles [who controlled the Warren Commission] and de Mohrenschildt, and this should have been brought to the attention of the Warren Commission but was not made public when Dulles had so prominent a role.”  Poulgrain argues convincingly that De Mohrenschildt worked in “oil intelligence” before his CIA involvement, and that oil intelligence was not only Dulles’s work when he first met George’s father, Sergius, in Baku, but that that “oil intelligence” is a redundancy. The CIA, after all, is a creation of Wall Street and their interests have always been joined. The Agency was not formed to provide intelligence to US Presidents; that was a convenient myth used to cover its real purpose which was to serve the interests of investment bankers and the power elite.

While working in 1941 for Humble Oil  (Prescott Bush was a major shareholder, Dulles was his lawyer, and Standard Oil had secretly bought Humble Oil sixteen years before), de Mohrenschildt was caught up in a scandal that involved Vichy (pro-Nazi) French intelligence in selling oil to Germany.  This was similar to the Dulles’s brothers and Standard Oil’s notorious business dealings with Germany.

It was an intricate web of the high cabal with Allen Dulles at the center.

In the midst of the scandal, de Mohrenschildt, suspected of being a Vichy French intelligence agent, “disappeared” for a while.  He later told the Warren Commission that he decided to take up oil drilling, without mentioning the name of Humble Oil that employed him again, this time as a roustabout.

“Just when George needed to ‘disappear’, Humble Oil was providing an oil exploration team to be subcontracted to NNGPM – the company Allen Dulles had set up five years earlier to work in Netherlands New Guinea.”  Poulgrain makes a powerful circumstantial evidence case (certain documents are still unavailable) that de Mohrenschildt, in order to avoid appearing in court, went in communicado in Netherlands New Guinea’s in mid-1941 where he made a record oil discovery and received a $10,000 bonus from Humble Oil.

“Avoiding adverse publicity about his role in selling oil to Vichy France was the main priority; for George, a brief drilling adventure in remote Netherlands New Guinea would have been a timely and strategic exit.”  And who best to help him in this escape than Allen Dulles – indirectly, of course; for Dulles’s modus operandi was to maintain his “distance” from his contacts, often over many decades.

In other words, Dulles and de Mohrenschildt were intimately involved for a long time prior to JFK’s assassination. Poulgrain rightly claims that “the entire focus of the Kennedy investigation would have shifted had the [Warren] Commission become aware of the 40-year link between Allen Dulles and de Mohrenschildt.” Their relationship involved oil, spying, Indonesia, Nazi Germany, the Rockefellers, Cuba, Haiti, etc.  It was an international web of intrigue that involved a cast of characters stranger than fiction, a high cabal of the usual and unusual operatives.

Two unusual ones are worth mentioning: Michael Fomenko and Michael Rockefeller.  The eccentric Fomenko – aka “Tarzan” – is the Russian-Australian nephew of de Mohrenschildt’s wife, Jean Fomenko.  His arrest and deportation from Netherlands New Guinea in 1959, where he had travelled from Australia in a canoe, and his subsequent life, are fascinating and sad. It’s the stuff of a bizarre film. It seems he was one of those victims who had to be silenced because he knew a secret about George’s 1941 oil discovery that was not his to share. “In April 1964, at the same time George de Mohrenschildt was facing the Warren Commission – a time when any publicity regarding Sele 40 [George’s record oil discovery] could have changed history – it was decided that electro-convulsive therapy would be used on Michael Fomenko.” He was then imprisoned at the Ipswich Special Mental Hospital.

Equally interesting is the media myth surrounding the disappearance of Michael Rockefeller, Nelson’s son and heir to the Standard Oil fortune, who was allegedly eaten by cannibals in New Guinea in 1961. His tale became front-page news, “a media event closed off to any other explanation and the political implications of his disappearance became an ongoing tragedy for the Papuan people.”  To this very day, the West Papuan people, whose land was described by Standard Oil official Richard Archbold in 1938 as “Shangri-la,” are fighting for their independence.

Poulgrain offers most interesting takes on these two characters and shows how their stories are connected to the larger tale of intrigue.

This is a very important and compelling book.  Difficult and dense at times, more expansive at others, it greatly adds to our understanding of why JFK was murdered.  With its Indonesian focus, it shows us how Allen Dulles’s sinister purview was wide-spread and long-standing; how it included so much more than Cuba, Guatemala, Iran, etc.; specifically, how important far-distant Indonesia was in his thinking, and how that thinking clashed with President Kennedy’s on a crucial issue.  It forces us to consider how different the world would be if JFK had lived.

The Incubus of Intervention sheds new light on Indonesian history and America’s complicity in its tragedy.  It is essential reading today when Barack Obama is executing his pivot to Asia and promoting conflict with China and Russia.  Although not explored in Poulgrain’s book, it’s interesting to note that Obama’s Indonesian step-father, Lolo Soetero, left Obama and his mother in Hawaii in that crucial year of 1966 when mass killings were underway to return to Indonesia to map Western New Guinea (West Papua) for the Indonesian government.  After Dulles’s regime change was accomplished and Suharto had replaced Sukarno, he went to work for Unocal, the first oil company to sign a production sharing agreement with Suharto.  Strange coincidences, bitter fruit.

Is Poulgrain correct?  Did Allen Dulles direct the assassination of President Kennedy to ensure his, rather the Kennedy’s, Indonesian strategy would succeed?

We know the CIA coordinated the assassination of President Kennedy.  We know that Allen Dulles was involved.  We know that Indonesia was one reason why.

Was it “the reason”?

Read this wonderful book and decide.

Edward Curtin is a writer who has published widely.  He teaches sociology at Massachusetts College of Liberal Arts.

 

 

 

 

 

 


Mengapa Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara utuh ??

$
0
0
  • Re: [Senyum-ITB] Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara utuh ?? [1 Attachment]

[Attachment(s) from Mang Kabayan included below]

Candi Batujaya di Karawang Kang, di pantura daerah pesawahan dan pesisir:). Mamang sempet ngobrol banyak Kang Dr. Hasan Djafar yg pernah meneliti disana waktu kita melakukan Heritage Trails ke Situs/ Prasasti Koleangkak di Bogor.

Memang kalau urusan sejarah dan budaya mah pemerintah & masyarakat kita kurang begitu peduli hehehe. Mungkin karena terkesan kuno/ “baduy”/ tertinggal, dll. Kalo sejarahnya bule seneng… Walopun piksi setiap series Harry Potter pasti baca/ nonton:). Permainan saja lebih suka Play Station yg static dibandingkan egrang yg aktif & dinamis. Tidak lagi mengenal babancakan, bandring, dalu, bedil bletok, dlsb.


Bangsa kita bangsa yg besar punya budaya yg luhur sangat tidak setuju budaya korupsi dibilang dari budaya leluhur!!! Urang Kanekes mana aya anu korupsi Kang?

Nah menarik mengenai 1000 years of prosperity n’ glory, Mang Herwig menyebutnya Sunda Kingdoms, sebenernya semua konflik yg terjadi di kerajaan-kerajaan Sunda adalah hanya dikalangan elit kerajaan biasa sesama sodara parebut kekuasaan. Di tataran bawah perebutan kekuasaan itu tidak mengganggu kehidupan sosial kemasyarakatan. Pan di Sunda mah dibagi tea Kang, Tri Tangtu tea geuning. Raja, Rama, Resi nya? Kalo Raja ribut, Rama & Resi tidak terpengaruh.

Nah jaman dulu mah semua raja pun sangat menghormati kabuyutan (pusat pendidikan dan kebudayaan) sehingga tatanan sosial kemasyarakatan tidak terganggu. Malahan raja lalim pun bisa dicopot. Seperti hal-nya Ratu Sakti jaman Pajajaran karena berperilaku tidak baik mengawini istri larangan (yg sudah bertunangan), suka mabuk-2an, dan menghukum yg tidak bersalah akhirnya diturunkan. Jadi tidak betul juga yg dibilang misalnya kekuasaan mutlak ada di Raja, karena buktinya Raja Lalim bisa diturunkan!!

Jadi menurut Mamang 1000 years of prosperity itu benar adanya karena Mang Herwig melihatnya secara makro, masyarakat subur makmur waktu itu.

Dan seperti dibilang Mang Jakob Sumarjo bahwa Raja itu hanya simbol saja, raja-2 di daerah lah yg berperan memajukan daerahnya masing-2. Jadi ketika konflik ditataran Raja diraja/ Maharaja tidak banyak dampaknya ke masyarakat. Menarik lagi perebutan kekuasaan pun umumnya dilakukan secara duel. Contohnya Ciung Wanara melalui Adu Ayam, Lutung Kasarung duel juga, dlsb. Jadi dulu mah leluhur kita teh Pejantaaaaan tangguh ngak kayak anak-2 sekarang Generasi XtraJoss yg pengecut hobi tawuran tapi cemen cuman lempar-2an batu ngak jelas, kejar-2an ngak jelas memalukaaaan!! Kalo mau brantem sok duel pakai tangan kosong di lapangan bola, 10 lawan 10 misalnya. Lihat mana yg paling kuat. Bukannya lempar batu bom molotop yg kebakar kampus malah :((.

Nah kadang-2 konflik pun bisa diselesaikan dengan cara dibagi wilayah. Misal dibagi dua, Galuh dan Pakuan. Kadang suatu waktu disatukan lagi hehehe. Benci tapi rindu mungkin ya hehehe. Menarik menurut Mamang mah.
Konsep manajemen kerajaan sunda itu lebih mirip negara serikat, tidak centralize tapi masing-2 kerajaan kecil punya otonomi sendiri-2 tapi tetap dalam kesatuan Sunda. Jadi kalau kita lihat konsep manajemen kiwari kan ada istilah DELEGATION ya engga one man show, nah Karajaan Sunda mah dulu sudah menerapkan itu, jadi dia delegasikan power itu ke raja-2 di daerah utk manage daerahnya sesuai dengan problematika yg ada dimasing-2 daerah. Yang dibuat oleh Maharaja Diraja adalah hanya “Rule of The Game”, Norms n’ Values yg harus dipatuhi oleh raja-2 daerah tsb termasuk masyarakatnya. Contoh Rule of the game yg masih ada sampai sekarang bukti fisiknya di Musium adalah Amanat Galunggung/ Sanghyang Siksa Kandang Karesian tea. Dipopulerkan oleh Raja Resi Darmasiksa (Abad 12) dan masih dijalankan sampai ke Siliwangi/ Sribaduga Maharaja Jaya Dewata (Abad 15), Raja Pakuan Pajajaran.

Untuk jaman dulu mah lumayan canggih norms n’ values yg dibuat cukup detil dan bener-2 dilaksanakan oleh semua. Ngak kayak sekarang bikin undang-2 pelaksanaannya? Riweuuuh deuh! Dalam organizing juga sudah bagus dengan konsep tri tangtu itu.

Nah sedihnya lagi baca berita di Kompas, agama/ keyakinan Sunda pun tidak diakomodir/diakui oleh pemerintah? Malahan yg improooot Kong Hu Cu masuk didaftar pembuatan KTP? Nah orang Kanekes, dll yg beragama Sunda bagaimana nasibnya? Apakah mereka tidak boleh punya KTP? Kalau tidak punya KTP status kewarganegaraannya bagaimana? Apakah harus dipaksakan memilih Agama yg ada di list hanya karena mereka minoritas mungkin mikroritas kali yaa karena jum’lahnya sudah sangat sedikit dibanding populasi total Indonesia?

Sebagai contoh jaman Sunda dulu agama-2 itu bebas-2 saja berkembang, Islam di Tatar Sunda sudah ada sejak Abad ke-7, sewaktu Para Sahabat Rosululloh masih hidup, berdagang dipesisir, membuat pesantren, dll. Agama lain pun bebas saja ada Hindu, ada Budha. Masyarakatnya sangat pluralis. Berbeda dengan sekarang melalui kompor dari ormas-2 yg konon katanya UDUD, usaha dagang urusan demo kata Doel Soembang. Dibuatlah konflik-2 ituh, jadi rame ajah. Yang saling pukul saling teriak yg di bawah, elitnya mah enjoy-2 aja.

Berbeda jaman konflik dulu, masyarakat ngak ribut-2, yg terjadi konflik ya ditataran raja, dan mereka lah yg berduel. Kan beda kepemimpinan sekarang sama dulu mah. Kalau dulu Follow Me, ikuti saya kita serang misalnya. Dia dulu yg maju di depan. Nah kalo sekarang Serbuuuu, pemimpinnya ngumpet dibelakang. Kalo perlu dibikin skenario-2 yg pakusut, yg diadu malah masyarakat bawah, yg jadi korban ya masyarakat :((.

Begitulah kira-2 wallohualam:).

Nuhuuuuuns,
Mang Kabayan
http://www.dkabayan.com
ti urang, ku urang, keur balarea
From: “Rayi Groups” <rayi.itb <at> gmail.com>
Sender: Senyum-ITB <at> yahoogroups.com
Date: Fri, 4 Nov 2011 13:04:41 +0700
To: <Senyum-ITB <at> yahoogroups.com>
ReplyTo: Senyum-ITB <at> yahoogroups.com
Subject: RE: [Senyum-ITB] Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara utuh ??

Luar biasa pak, tulisan yang sangat menarik. Hanya bertanya saja, candi
Batujaya dimana tepatnya? Saya belum pernah dengar. Yang saya tahu itu hanya
Cangkuang, tapi informasi yang saya pernah baca sih cangkuang itu pengaruh
jawa-nya besar dan dianggap bukan kebudayaan asli Sunda.

Kalau membaca buku Slamet Mulyana, malahan kerajaan Sunda tertua yang
tercatat dalam sejarah adalah Aruteun yang dilalui sungai Ciaruteun. Dalam
tulisan Cina kerajaan itu disebut Ho-lo-tan. Ada bukti dari tulisan Cina
bahwa Taruma (dilalui sungai Tarum / Citarum), yang ditransliterasi sebagai
To-Lo-Mo, kemudian menguasai Aruteun.

Dari bukunya Atja & Saleh Danasasmita memang disebutkan bahwa system
kepemerintahaan Sunda biasanya merupakan triumvirate, di Kanekes disebutkan
Tritantu. Karena itu desa Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik disebut Tangtu
Telu. Lengkapnya Tangtu Telu, jaro tujuh, baresan salapan, nagara sawidak
lima. Cibeo berfungsi sebagai penjaga, cikeusik sebagai pemimpin adat dan
cikartawana (asal katanya karta wahana = pembawa kesejahteraan) sebagai
penyelenggara pemerintahan.

Btw, 1000 years of prosperity? Menurut saya tidak terlalu tepat, karena
terjadi beberapa kali penggulingan kekuasaan, penyerangan dan pergantian
kerajaan. Kebetulan semuanya bersuku Sunda.

Salam

Rayi – AR84

—–Original Message—–
From: Senyum-ITB <at> yahoogroups.com [mailto:Senyum-ITB <at> yahoogroups.com] On
Behalf Of Mang Kabayan
Sent: Thursday, November 03, 2011 5:42 PM
To: Senyum-ITB; Baraya_Sunda <at> yahoogroups.com; Kisunda; UrangSunda;
kota-bogor <at> yahoogroups.com
Subject: Re: [Senyum-ITB] Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara
utuh ??

Mamang coba bantu tambahkan ya:).

Sejarah sunda yg cukup jelas + ada foto-2 artefaknya ditulis oleh Mang
Herwig Zahorka, seorang Jerman yg tinggal di Bogor, judul bukunya The Sunda
Kingdoms of West Java, from Tarumanagara to Pakuan Pajajaran, over 1000
years of prosperity n’ glory:).

Kerajaan-2 Sunda baik Galuh maupun Pakuan punya istana dan cukup megah namun
hancur/ dihancurkan:). Di Buku Mang Herwig digambarkan peta lokasi dimana
pusat kerajaan Pajajaran berada termasuk bentengnya. Di buku Kang Saleh
Danasasmita (Sejarah Bogor) juga dijelaskan tentang lokasi dan
peninggalannya. Selain Istana juga, taman-2 indah, kolam indah, dll…
Termasuk Mandala dan Kabuyutan juga dihancurkan yg tersisa hanya yg
tersembunyi saja seperti di Kanekes (Baduy), Ciptagelar, Cipaku, dll.

Dalam hal Candi urang Sunda juga membuat Candi terutama di Pesisir, ada
Candi Batujaya, candi budha terbesar dan tertua menggunakan Bata yg dibuat
dari campuran tanah dan selongsong gabah. Hal ini mematahkan bahwa Sunda
tidak punya budaya Sawah. Sunda sudah memiliki budaya sawah dan termasuk
tertua karena buktinya ada di candi batujaya. Masyarakat sunda yg peladang/
huma utk yg tinggal di Gunung, sedang yg di dataran rendah dan pesisir sudah
ada budaya sawah.

Berikut ini ada tulisan menarik dari Kang Jakob Sumarjo tentang Kasundaan
:).

Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada
paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah.
Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan
dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk
dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga
selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai
gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak
berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di
kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan,
defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para
jawara silat Sunda kurang “berani”, justru sudah melampaui keberanian dan
hanya menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau
dibageakeun. Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena,
tetapi demi kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar. Dalam zaman yang
semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin semacam itu memang
dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini ditantang kearifannya
dengan gelombang “kuasa laki-laki” yang agresif. Memang tidak mudah. Namun,
pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup masyarakat Sunda ini perlu
dilakukan, sehingga dapat dikenali “kedalaman sejatinya” yang kokoh namun
lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang
halus itu bisa kuat. Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus,
arif, tinggi.

Paham Kekuasaan Sunda
Oleh JAKOB SUMARDJO

KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan
untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara,
lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi
menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam
kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya
dalam berbagai hasil budaya Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup
kelompok itu berubah terus. Apa yang akan diuraikan di sini berdasarkan
artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti
“telah terjadi”.

Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda,
kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak
(tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda
sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga
kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa
pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa Timur, pada suatu hari
menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di Bandung karena orangnya
ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter halus, bukan
kasar. Kalau harus “kasar”, tetap “halus”. Tidak keras tapi lembut. Tidak
agresif tapi “diam”.

Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni
paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah,
mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga.
Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang. Hidup
berladang itu menetap-pindah, produktif-konsumtif, bebas-tergantung, terbuka
tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter demikian itu.

Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun.
Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu
diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam
pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan “diam dan pasif” tetapi
sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih
banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur
strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang Pananjung sebagai penyelesai
persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang selalu ada paling depan.

Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun
tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang
untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita
wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti Mundinglaya, namun segala
sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga pengiringnya hanya bertugas
menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah pemilik, pelaksana, dan
penjaga dirinya sendiri.

Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda
sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya
agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia
menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan
putri tersebut, banyak raja di sekitarnya yang juga ingin memilikinya.
Terjadi perang antara raja-raja perebut putri dengan abang putri tersebut
(yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja dapat dibunuh
oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan
putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran
Pajajaran.

Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam
namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah
abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya
menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang
sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari
kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru putra-putranya (memperluas
wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran Pajajaran itu juga
bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu pasif di
pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja
setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung
(para anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.

Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki
kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan
tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah
mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan
pemilik dan pelaksana kekuasaan.

Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori “perempuan” bukan “lelaki”.
Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan
itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak
aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan
atau mandat kekuasaan surga adalah Raja Pajajaran dan putra-putranya yang
tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang yang menjalankan kekuasaan bukan Raja
Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi penguasa setempat atas nama
Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik
dan pelaku kekuasaan.

Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan
kampung-kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga
negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di
Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi
menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling tua), pelaksana
kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung.

Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian “dalam” dekat bukit dan hutan
kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga
kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga
kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian
Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas).

Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu
tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun
Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak
(kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda
diletakkan sebagai pihak “dalam”, “pemilik sejati”, dan Islam berada di
“luar” yakni batas wilayah kampung. Pemerintahan nasional ada di tengah.

Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda
di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja
dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku
yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam
mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan
yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana
masjid kampung berada.

Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya.
Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam.
Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan,
di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap
lembaga pemerintahan nasional yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang
menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa pemilik adalah Sunda (buhun,
adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam bersikap “Islam itulah
Sunda”, gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran siapa yang
seharusnya dinilai sebagai “dalam” dan siapa yang dinilai sebagai “luar”.
Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori “luar” itu mengandung
arti “asing” juga.

Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan
sikap “tetap” sekaligus “berubah”. Hal ini tampak dari penyebutan ketiga
lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana
kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan
resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak, ratu
adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang merupakan rakyat (kepala
kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing. Pada zaman
perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupati-bupati
di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.

Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini
masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda
(demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan
adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah
adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para ponggawa dalam
carita pantun).

Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada
paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah.
Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan
dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk
dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga
selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai
gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak
berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di
kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan,
defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para
jawara silat Sunda kurang “berani”, justru sudah melampaui keberanian dan
hanya menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau
dibageakeun. Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena,
tetapi demi kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar.

Dalam zaman yang semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin
semacam itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini
ditantang kearifannya dengan gelombang “kuasa laki-laki” yang agresif.
Memang tidak mudah. Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup
masyarakat Sunda ini perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali “kedalaman
sejatinya” yang kokoh namun lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak
berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu bisa kuat. Suatu kekuatan,
kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi. ***

Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 01 Januari 2007.

——Original Message——
From: Bambang Setijoso
Sender: Senyum-ITB
To: Senyum-ITB
To: itb75-res itb
ReplyTo: Senyum-ITB
Subject: [Senyum-ITB] Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara
utuh ??
Sent: Oct 30, 2011 3:00 AM

Menurut yang saya baca dalam link berikut ini, situs Kerajaan Sunda tidak
pernah ditemukan secara utuh. Apa betul? bagaimana menurut pendapat anda?
Ini cuplikan singkatnya: Para peneliti boleh bersilang pendapat soal di mana
sesungguhnya letak kerajaan Sunda, Padjadjaran, karena memang hingga hari
ini tidak pernah ditemukan situs-situsnya secara utuh. Namun di Cirebon, tak
perlu ada silang pendapat soal di mana letak pusat kekuasaan Cirebon masa
lampau. http://sundaislam.wordpress.com/polemik/jawa-barat-tak-cuma-sunda/
Salam Bb Reply to sender | Reply to group | Reply via web post | Start a
New Topic Messages in this topic (1) Recent Activity: New Members 27 Visit
Your Group *** Ayo, ajak masyarakat dan teman ikut Senyum-ITB. Klik
http://bit.ly/p8cD25 Mudah kok! Manajemen email di milis Senyum-ITB ada di
bawah. Dicoba deh:) Anggota: 7.342                           Diperbarui: 18
Oktober 2011 ============================================================
*** Senyum-ITB ***             – Kerjasama merajut
Prestasi Dunia –           Interaksi akrab Masyarakat dan Alumni ITB
Persahabatan, Ide, Iptek, Desain, Seni, Bisnis, & Kerjasama         Milis:
http://groups.yahoo.com/group/Senyum-ITB              Portal:
http://Senyum-ITB.blogspot.com Managed by: Senyum-ITB & 99Venus
International ( http://yhoo.it/fYDB7B )
http://Facebook.com/pages/Senyum-ITB/100802856927
http://Twitter.com/Senyum_ITB
============================================================ Mengatur mode
terima email dengan ganti-ganti 3 cara terima berikut : 1.
Senyum-ITB-normal <at> yahoogroups.com = email terima normal (individual emails)
2. Senyum-ITB-digest <at> yahoogroups.com = email terima ringkasan (daily digest)
3. Senyum-ITB-nomail <at> yahoogroups.com = cuti sementara / baca di web
Senyum-ITB Ganti email / Cara berlangganan : 1.
Senyum-ITB-subscribe <at> yahoogroups.com = email berlangganan milis Senyum-ITB
Untuk ganti email, silahkan kirim dari alamat email baru Anda 2.
Senyum-ITB-unsubscribe <at> yahoogroups.com
Nuhuuuuuns,
Mang Kabayan
http://www.dkabayan.com
ti urang, ku urang, keur balarea

————————————

***

Ayo, ajak masyarakat dan teman ikut Senyum-ITB. Klik http://bit.ly/p8cD25
Mudah kok! Manajemen email di milis Senyum-ITB ada di bawah. Dicoba deh:)

Anggota: 7.378 Diperbarui: 1 November 2011
============================================================
*** Senyum-ITB ***
– Kerjasama merajut Prestasi Dunia –
Interaksi akrab Masyarakat dan Alumni ITB
Persahabatan, Ide, Iptek, Desain, Seni, Bisnis, & Kerjasama
Milis: http://groups.yahoo.com/group/Senyum-ITB
Portal: http://Senyum-ITB.blogspot.com

Managed by: Senyum-ITB & 99Venus International ( http://yhoo.it/fYDB7B )
http://Facebook.com/pages/Senyum-ITB/100802856927
http://Twitter.com/Senyum_ITB
============================================================

Mengatur mode terima email dengan ganti-ganti 3 cara terima berikut :
1. Senyum-ITB-normal <at> yahoogroups.com = email terima normal (individual
emails)
2. Senyum-ITB-digest <at> yahoogroups.com = email terima ringkasan (daily digest)
3. Senyum-ITB-nomail <at> yahoogroups.com = cuti sementara / baca di web
Senyum-ITB

Ganti email / Cara berlangganan :
1. Senyum-ITB-subscribe <at> yahoogroups.com = email berlangganan milis
Senyum-ITB
Untuk ganti email, silahkan kirim dari alamat email baru Anda
2. Senyum-ITB-unsubscribe <at> yahoogroups.com = email berhenti dari milis
Senyum-ITB
Untuk ganti email, silahkan kirim dari alamat email lama Anda

Manajemen email di milis Senyum-ITB yang lengkap di http://bit.ly/och0xkt

Data :
Isi & lihat 1.276 profil di
http://groups.yahoo.com/group/Senyum-ITB/database

Yahoo! Groups Links

Attachment(s) from Mang Kabayan

1 of 1 Photo(s)

http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea]

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

 


Analisa Prof Dr. Jacob Sumardjo Tentang Gunung Padang

$
0
0
Beranda‎ > ‎Artikel‎ > ‎Artefak Budaya Indonesia‎ > ‎

Tentang Gunung Padang

posted Sep 29, 2014, 4:36 PM by Jakob Sumardjo   [ updated Jul 21, 2015, 9:15 PM ]

fb4ba-gunung2bpadang2bmegalithic2bpyramid2bin2bindonesiaSitus Gunung Padang ada di Jawa Barat yang berbentuk struktur bangunan dari berbagai bentuk batu yang alamiah. Batu-batu tersebut hampir seluruhnya berbentuk balok dengan penampang segi lima, meskipun ada yang segi enam atau segi empat. Batu-batu ini hampir tak dibentuk atau diubah oleh manusia pada zamannya. Gejala demikian umum terdapat di Jawa Barat pada situs-situs lain yang jumlahnya belum terdata dengan baik, namun diduga ada seratusan, termasuk situs-situs kecil yang bahkan banyak ditemukan di sekitar kota Bandung.

meditasii di gunung padangGejala ini menunjukkan bahwa gejala megalitik di Jawa Barat tersimpan dengan baik dan dijaga oleh masyarakat kampong perdesaan. Inilah yang disebut tempat buyut atau kabuyutan yang berarti tempat terlarang untuk dikunjungi sembarang orang. Di kampong-kampung adat Sunda, situs bebatuan semacam itu hanya boleh dikunjungi oleh ketua adat dan stafnya atau orang-orang yang dipilihnya untuk ikut. Biasanya mereka berangkat dari kampong adat menuju situs megalitik dengan berbagai persyaratan adat. Di tempat yang buyut tadi diadakan semacam ritual juga dengan pokok membersihkan situs tersebut.

Dengan sisa sisa adat yang masih dilakukan di kampong-kampong adat ini, maka dapat ditafsirkan bahwa situs-situs demikian memiliki makna religious local dalam memilih materi batu-batu dengan berbagai bentuknya dan struktur penempatannya, mirip dengan tempat ritual agama-agama sekarang seperti masjid, gereja, kuil, candi dan lain-lain. Dengan demikian situs Gunung Padang dan puluhan lain di Jawa Barat dan seluruh Indonesia dapat dibaca arti arsitekturalnya yang menggambarkan cara berpikir masyarakat pembangunnya dahulu. Situs-situs purbakala Indonesia ini merupakan manifestasi dan aktulisasi dari dunia makna masyarakat pembangunnya dahulu. Maka agak aneh kalau dunia makna bangsa-bangsa lain atau bahkan cara berpikir mahluk-mahluk alien ikut bicara di dalamnya.

Untuk memahami arti Gunung Padang perlu ada studi banding dengan puluhan situs-situs lain yang serupa di Jawa Barat, misalnya Astana Gede di Kawali, Susuru di Kertabumi Bojong, Karang Kamulyan, Gunung Salak, Ciburuy di Bayongbong dan banyak lagi. Menafsirkan Gunung Padang tanpa meletakkannya dalam konteks ruang dan waktu budayanya adalah absurd.

Konteks budayanya jelas Sunda karena dibangun oleh nenek moyang Sunda zaman dulu. Untuk itu perlu dipelajari sejarah budaya Sunda terutama mitologi-mitologi mereka yang dapat memberi penjelasan cara berpikir religious lokalnya yang pra modern. Akan dapat diketahui bahwa pemilihan bentuk batu tegak atau batu bulat atau batu datar, batu bujur sangkar, batu bujur sangkar belah, batu datar berlubang, batu berdiri yang tertanam tegak atau miring, jumlah batu yang mirip, dan lain-lain gejala, semua itu punya makna khusus bagi masyarakatnya dahulu sebelum agama Hindu dan Budha serta Islam tersebar di Jawa Barat.

11193225_804034253014425_6071830999252876083_nDi Gunung Padang bentuk-bentuk batu balok itu amat khas di wilayah itu. Batu-batu balok itu dipakai untuk membangun tangga masuk yang begitu spektakuler yang membuat situs ini mengesankan bentuk gigantiknya. Tapi harus diingat bahwa di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri memiliki struktur tangga panjang yang serupa yang menuju ke situs makam yang biasa saja dan bukan bentuk pyramidal yang banyak kita baca tentang Mesir purba atau Aztec dan Maya.

Gambar 1 - Balok Batu dan Tangga

Bentuk lain adalah semacam “pagar batu” dan diduga ada bentuk punden berundak yang dibangun oleh balok-balok batu serupa. Bentuk balok yang disusun begitu rupa dalam pola struktur tertentu ini dapat dicocokkan dengan situs-situs lain yang begitu banyak di Jawa Barat. Jadi tidak usah meminjam struktur bangunan di luar Indonesia yang diberitakan jauh lebih purba. Untuk membaca situs ini tak bisa lain harus meletakkannya dalam perspektif bangunan megalitik serupa yang ada di seluruh Jawa Barat, baru kemudian dibandingkan dengan daerah megalitik lain di seluruh Indonesia, Pasifik dan Asia Tenggara, baru lari ke Mesir purba dan Amerika Latin.

Apa arti batu tegak, batu miring, batu datar, batu datar bulat, batu datar segi tiga, batu datar berlubang, batu kebulatan, batu bergaris dan lain-lain yang banyak dijumpai di Jawa Barat?

Situs ini merupakan pusat atau pancer yang berada di tengah-tengah 6 gunung. Masing-masing 3 gunung berada di arah barat , utara, dan barat laut, sedangkan 3 gunung yang lain berada di arah timur, selatan, dan tenggara. Dengan demikian Gunung Padang dipilih untuk dijadikan semacam kabuyutan kuno atau kemudian dapat disebut sebagai mandala, atau tempat dan ruang transenden sekaligus imanen, tempat sacral atau buyut atau terlarang, yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu saja. Jumlah 3 gunung amat esensial bagi filosofi masyarakat yang nenek moyangnya hidup dari pertanian padi ladang. Dalam pertanian ini semesta yang diperlukan hanya langit yang mendatangkan hujan dan bumi dimana padi tumbuh. Sedang manusia yang hidup diantara kedua alam tersebut memanfaatkan “perkawinan” antara langit dan bumi. Terdapat 3 jenis keberadaan yang membuat manusia dapat lestari hidup dengan pertanian ladang padinya. Bumi dan tanah sebagai Dunia Bawah, Langit sebagai Dunia Atas, dan dunia manusia disebut Dunia Tengah. Ketiganya merupakan kesatuan hidup yang saling melengkapi dan menghidupi. Kalau dihubungkan dengan mitos Baduy tentang Batara Tunggal, maka makna kesatuan yang tiga itu semakin jelas.

6 Gunung

Dalam mitos tersebut diceritakan bahwa pada awalnya hanya ada kekosongan yang disebut awing-awang uwung-uwungan. Lalu muncul dari kekosongan itu 3 batara, yakni Batara Kersa, Batara Kawasa, dan Batara Bima Mahakarana. Kemudian tiga batara tersebut melebur menjadi satu dalam bentuk Batara Tunggal. Dari Batara Tunggal inilah segala sesuatu ini ada seperti dikenal manusia. Dari nama-nama 3 batara tersebut dapat ditafsirkan maksudnya, yakni Batara Kersa sebagai Kehendak atau Keinginan atau Maksud, Batara Kuasa sebagai Tindakan atau Perbuatan yang mengandung arti gerak, kekuatan, tenaga, daya-daya, energy, dan Batara Bima Mahakarana adalah Pikiran, seperti asal kata “karana” yang berarti “sebab” atau hukum kausalitas sebab akibat dalam logika. Dalam masyarakat Sunda masa kini dikenal sebagai ungkapan Tekad (Kersa ), Ucap (Mahakarana), Lampah (Kawasa ).

Makna lebih jauh dari kesatuan 3 ini ada dalam kitab-kitab dalam bahasa Sunda lama, yang biasa diungkapkan berkali-kali di berbagai kitab kuno tersebut adalah Bayu (Lampah ), Sabda (Ucap ), Hedap (Tekad ). Ketiga kesatuan Bayu-Sabda-Hedap tadi disebut sebagai Sang Hyang Hurip atau Sang Hyang Hidup itu sendiri, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian semakin jelas kesatuan 3 buana atau 3 dunia (Dunia Atas, Dunia Tengah, Dunia Bawah) antara langit, bumi dan manusia sebagai kesatuan esensial yang membuat sesuatu hidup, sesuatu yang Sang Hyang Hidup berkenan padanya. Kesatuan 3 keberadaan yang merupakan manifestasi dan aktualisasi dari Sang Hyang Maha Hidup ini senantiasa mengandung 3 alamat kesatuan Tekad, Ucap, Lampah. Dengan demikian kesatuan 3 gunung barat laut dan 3 gunung tenggara merupakan pasangan tripartite atau tritangtu. Tritangtu tak lain adalah Hidup itu sendiri karena mengandung kesatuan Keinginan, Pemikiran, dan Tindakan. Tritangtu Buana atau semesta orang ladang tak lain adalah Langit sebagai Kehendak, Manusia sebagai Pemikiran (Ucap ) dan Bumi sebagai Lampah. Kesatuan 3 atau tritangtu ini akan mendasari semua pemaknaan dunia Sunda, baik yang metafisik, makrokosmik , mikrokosmik, maupun semua yang mereka wujudkan dalam kebudayaannya. Kesatuan 3 tak lain adalah hadirnya Sang Hyang Hurip dalam Batara Tunggal, dalam alam semesta, alam dunia, diri manusia itu sendiri, dan semua yang dilakukan dan dihasilkan oleh masyarakatnya agar semuanya tetap hidup, lestari, selamat ,bahagia, sehat, dan makmur. Tritangtu adalah dasar filosofi Sunda agar hidup ini tetap hidup, tetap selamat, tetap ada.

Kembali pada bukit Gunung Padang yang berada di tengah-tengah pasangan 3 bukit atau gunung dapat diartikan bangunan di situs tersebut merupakan penyatu dua pasangan yang mengandung Sang Hyang Hurip. Sang Hyang Hurip yang mana? Untuk itu kita harus belajar dari masyarakat kasepuhan Banten Kidul tentang apa yang disebut pancar, atau tepatnya Pancer Pangawinan. Dalam masyarakat adat ini semesta hanya memiliki dua orientasi, yakni barat-timur dan selatan-utara. Arah barat-timur disebut arah Bapak, yang berkualitas Cahaya (mungkin arah terbit dan tenggelamnya matahari ) dan arah utara-selatan sebagai arah Ibu (Indung) yang berkualitas Tenaga ( mungkin mewakili derasnya arus air sungai-sungai yang mengalir ke samodra selatan ). Kedua arah orientasi semesta ini (yang bersifat lelaki dan perempuan, bapak dan ibu) bertemu dalam satu titik yang disebut pancer pangawinan. Pertemuan arah lelaki dan perempuan ini memunculkan entitas ketiga yang mengandung kualitas bapak dan ibu sekaligus, jadi sesuatu yang paradoksal. Dari informasi ini kita dapatkan prinsip kesatuan tiga (tritangtu) yang lain, yaitu bahwa segala yang disebut Ada ini terdiri dari pasangan yang dualistik, yakni sesuatu yang bersifat keperempuanan dan sesuatu yang bersifat kelaki-lakian. Dualitas sifat yang saling berseberangan ini ada di semua keberadaan sehingga kita mengenal sifat-sifat, misalnya baik-buruk, kanan-kiri, terang-gelap, sacral-profan. Kalau tak ada gelap mustahil ada terang, kalau tak ada tinggi tak mungkin ada rendah, Pencipta dan ciptaan. Untuk memahami persoalan dualitas ini, masyarakar Kanekes (Baduy) memiliki mitos yang menarik. Sebelum manusia ada di dunia, manusia (Aing) sudah ada di Dunia Atas (Buana Nyungcung). Sang Hyang Ayah memerintahkan Sunan Ambu agar si Aing diturunkan kedunia. Tapi si Aing menolak perintah ini dengan alasan: di dunia besinya runcing, apinya panas, dan bergerak saja dibatasi. Sunan Ambu memberi jawaban, bahwa yang runcing dapat ditumpulkan, yang panas dapat didinginkan, sedang bergerak bebas dan bergerak yang dibatasi itu keduanya dapat dijadikan dunia.

Mendengarkan nasehat ini si Aing bersedia diturunkan ke dunia menjadi manusia. Mitos ini dengan jelas menggambarkan bahwa si Aing diturunkan kedunia agar mengenal nilai-nilai, sifat-sifat, dengan mengenal hubungan dualitas antara tumpul dan runcing, panas dan dingin, serta bebas dan terikat oleh aturan-aturan. Dualitas panas dan dingin misalnya adalah mengenal hukum kausalitas, bahwa yang panas dapat didinginkan serta sebaliknya yang dingin dapat dipanaskan. Tetapi kalau dualitas itu disatukan atau dikawinkan, maka kualitas Yang Esa tanpa pembedaan akan hadir seperti dialami si Aing di Buana Nyungcung, yakni lepas dari hukum kausalitas dunia manusia. Dengan demikian maka pusat Tritangtu sebenarnya terletak pada pancernya atau sifat keesaannya yang paradoks, yang dalam masyarakat Sunda disebut Sineger Tengah atau Siger Tengah.

Dengan demikian, kembali pada situs Gunung Padang, 6 gunung yang merupakan pasangan dualitas memperoleh keesaannya yang paradoksal pada bangunan situs itu sendiri. Pasangan dua pancer bapak dan ibu semesta disatukan lagi oleh Gunung Padang. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Gunung ada disitu karena alam semesta atau Sang Hyang Hidup itu sendiri telah menetapkannya demikian. Gunung Padang bukan pilihan manusia tetapi ketentuan dari Sang Hyang Hurip itu sendiri. Ejala semacam ini akan kita dapatkan di berbagai situs kabuyutan lain di seluruh Jawa Barat. Situs-situs kabuyutan senantiasa mengikuti petunjuk alam itu sendiri. Yang mengherankan adalah bagaimana alam pikiran Sunda lama ini selalu berhasil mendapatkan kondisi alam yang sesuai dengan konsep filosofisnya?

Bahwa alam adalah guru manusia, bahwa alam adalah kebenaran, bahwa alam adalah aktualisasi dari Sang Hyang Hurip itu sendiri, sehingga kondisi alam ikut menentukan nasib baik manusia, dapat disimak juga dengan adanya 2 sungai yang mengapit Gunung Padang. Semua kabuyutan di Jawa Barat senantiasa dibangun di wilayah antara dua aliran sungai, biasanya sungai yang memasuki (patimuan) dengan sungai lainnya. Kalau dilihat dari konsep Tritangtu pertemuan 2 sungai melahirkan entitas ketiga berupa semacam delta atau “pulau”.

Sungai sekitar Gunung Padang

Delta semacam itu merupakan pancer atau sineger tengah yang sudah ditentukan oleh alam atau kebenaran Sang Hyang Hidup itu sendiri. Pada Gunung Padang 2 sungai itu kemudian menyatu dalam sungai lain yang akan membentuk aliran sungai besar arah ke muara di laut selatan Cianjur. Dengan demikian Gunung Padang berada di arah paling hulu dari sungai besar di Cianjur (Sungai Cimandiri?) yang dalam perbandingan dengan situs kabuyutan lain di Jawa Barat merupakan kabuyutan Sang Batara Kersa atau Tekad atau Dunia Atas alias Langit, jadi amat terhormat.

Kabuyutan

Kembali pada filosofi tritangtu, bahwa keselamatan, kebahagiaan, kelestarian , kalau terdapat kesatuan 3 (tekad,ucap, lampah) yang merupakan gejala hadirnya Sang Hyang Hurip itu sendiri padanya. Sesuatu itu akan abadi kalau dipola dalam kesatuan tiga tersebut. Dalam membentuk Negara harus memenuhi Tritangtu, yaitu lembaga Negara yang mengurusi Kehendak Negara berupa pengurus undang-undang Negara, yang dahulu dipegang oleh para resi atau pendeta atau raja yang telah lengser dan menjadi raja-resi. Ada lembaga yang memerintah berdasarkan undang-undang yang disusun para resi, yakni raja itu sendiri (Prabu, Ratu), dan lembaga yang melakukan atau melaksanakan apa yang diperintahkan ( ucap) raja, yakni rakyat yang dikepalai kepala-kepala desa (Rama). Tritangtu kekuasaan Negara dengan demikian adalah Resi (Tekad), Ratu (Ucap) dan Rama (Lampah).

Kabuyutan Ratu, Rama, Resi

Dalam membentuk kabuyutan Negara, disamping memenuhi syarat tritangtu gunung-gunungnya, tritangtu sungai-sungainya, juga tritangtu simbol-simbol semestanya, yakni air (Langit, Resi), batu (Ratu, Manusia ), dan tanah (Rama, bumi ). Pada Gunung Padang dan seluruh kabuyutan senantiasa harus ada 3 simbol semesta tadi, yakni ada mata air (Langit), ada tanah yang berupa hutan (Bumi), dan bangunan dari batu (Manusia, Ratu), sehingga sering dikatakan Resi ngagurat cai, Ratu ngagurat batu, Rama ngagurat taneuh. Gunung Padang jelas memenuhi syarat kabuyutan semacam itu, yakni mata air yang ada di kaki tangga masuk untuk naik ke Gunung Padang, ada bangunan-bangunan terdiri dari batu-batu besar (megalitik) yang unsur-unsurnya berupa balok-balok batu pentagonal, dan tentu saja Gunung Padang itu sendiri lebat ditumbuhi pohon-pohon yang menghutan.

Cara berpikir yang menghubungkan kegiatan manusia dengan alam lingkungannya ini sangat mendasar bagi masyarakat pra-modern Indonesia. Untuk membaca alam pikiran masyarakat lama ini sangat penting menghubungkan bentuk bangunan Gunung Padang, cara menyusun atau menstruktur bangunan-bangunan tersebut sesuai dengan arah aneka bentuk alamnya, seperti arah hulu atau arah hilir, menghadap gunung atau memunggunginya, sebelah kanan atau kiri, sebelah depan atau belakang dari unsur-unsur bangunannya, seperti misalnya batu tegak berdiri yang vertikal (simbol dualitas yang bersifat kelaki-lakian ) atau batu pipih atau kebulatan (simbol dualitas yang bersifat perempuan). Pada dasarnya semua bentuk yang dibangun manusia hanya ada 2 bentuk saja, yakni bersifat kelaki-lakian atau keperempuanan. Bentuk-bentuk tegak adalah lelaki dan bentuk kebulatan atau datar adalah lelaki. Begitu pula bentuk bunyi juga hanya 2 yakni bunyi keras yang lelaki dan bunyi lembut yang perempuan, bunyi pendek patah (perkusi) yang bersifat lelaki dan bunyi panjang yang berkesinambungan (vocal ,seruling ) adalah perempuan, nada tinggi yang perempuan dan nada rendah yang lelaki dan seterusnya. Karena bahan batu di Gunung Padang hanya terdiri dari balok-balok batu yang penampangnya segi empat, segi lima atau segi enam, maka ciri keperempuanan dan kelakiannya dapat dilihat dari diletakkan secara vertikal atau horisontal.

Simbol bentuk kelakian dan keperempuanan ini dapat ditempatkan di konteks keberadaan mana saja, misalnya simbol alam semesta (langit-perempuan, bumi –lelaki, bagi kaum peladang; tetapi justru terbalik untuk masyarakat sawah), simbol alam dunia (gunung-lelaki, laut-perempuan, bagi masyarakat tani, tetapi dapat berbeda untuk masyarakat maritime), simbol kekuasaan (pemilik undang-undang yang perempuan; pelaku undang-undang yang lelaki), bentuk lengkung -perempuan, bentuk lurus-lelaki, depan lelaki dan belakang perempuan, dan seterusnya. Kepekaan pembaca terhadap tanda-tanda budaya lama ini amat perlu dilatih dengan melihat berbagai benda budayanya. Tidak ada rumus yang tetap untuk seluruh masyarakat suku, justru sering setiap suku memiliki tanda-tanda yang sama namun terbalik dalam memaknainya. Heterogenitas adalah prinsipnya karena alam lingkungan masyarakat suku juga heterogen.

Kembali ke situs Gunung Padang yang menjadi pokok bahasan disini. Situs itu sendiri adalah pancer (pengawinan) secara makrokosmos (dikitari pasangan 6 gunung), tetapi juga pancer secara metakosmos spiritual. Tanda itu terdapat pada penampang segi lima balok-balok batu yang banyak terdapat di situs tersebut. Segi lima di masa-masa kemudian sering disebut sebagai “bintang Sulaiman” (bendera Cirebon ). Apa makna segi lima yang mendasar itu? Bentuk segi lima sebenarnya merupakan perkawinan 2 segi tiga, jadi tetap merupakan pancer yang Hidup dan sakral, yakni segi tiga yang dasarnya di bawah dan pucuknya keatas, serta segi tiga kedua yang puncaknya justru menghadap ke dasar segi tiga pertama. Kedua segi tiga itu bertemu di tengah-tengah pertemuan kedua segi tiga, disitulah letak situs tersebut, yang berarti bertemunya Dunia Atas atau Buana Nyungcung dengan dunia manusia atau Dunia Panca Tengah.

Dari konstruksi metakosmik ini maka dapat dimengerti mengapa tangga masuk ke situs ini berupa tangga batu yang amat tinggi, panjang, dan nyaris tegak. Itulah jalan menuju ke ruang pertemuan, ruang situs Gunung Padang. Itulah tangga Langit dimana manusia dapat bertemu dengan Sang Hyang Hidup Dunia Atas. Dan kalau kita perhatikan bahwa pada awal tangga masuk ini didirikan 2 batu tegak, yang nanti akan kita ketahui sebagai gerbang pertama atau gerbang terluar menuju tempat paling sakral, situs Gunung Padang itu sendiri. Mendekati wilayah situs sebagai pancer pangawinan metakosmik ini, terdapat bentuk gerbang kedua yang terdiri dari 4 pasang batu tegak, yakni pasangan batu berdiri yang tinggi dengan rendah di sebelah kanan dan kiri tangga masuk. Inilah gerbang yang bermakna “terbuka-tertutup” yakni gerbang paradoks. Di zaman pembangunan candi dan kuil inilah yang disebut gerbang padureksa, sedang gerbang pertama di kaki tangga masuk disebut candi bentar, gerbang yang terbelah dua, yang bermakna terbuka untuk orang luar.

Halaman-halaman Gunung Padang

Sedang di puncak tangga masuk terdapat bentuk gerbang terakhir, yakni gerbang terdalam yang terdiri dari berbagai pasangan batu-batu tegak berbagai ukuran, yang di zaman kemudian disebut sebagai “kori agung”, merupakan gerbang tertutp yang hanya orang-orang tertentu boleh masuk ke wilayah situs. Dengan menilik tanda-tanda dualitas dan pancer pangawinannya yang sineger tengah, maka saya menduga bahwa bangunan ini tidak setua yang diperkirakan banyak orang. Tanda-tanda pintu gerbang yang tiga jenis itu erat hubungannya dengan bangunan-bangunan candi, istana, makam-makam para wali, bahkan masih hidup di Bali. Adanya 3 gerbang ini, candi bentar-padureksa-kori agung, juga ada di situs-situs purbakala lain, yang saya sebut sebagai kabuyutan, di banyak tempat di Jawa Barat.

Kini kita tinggal memasuki wilayah situs itu sendiri. Disini saya mohon maaf karena saya hanya mengunjungi situs ini dua kali saja bersama studi lapangan para mahasiswa dari ITB dan UPI, sehingga belum sempat mengamati secara seksama susunan atau struktur penempatan bentuk-bentuk batunya. Saya hanya sempat membaca halaman pertama dari lima halaman yang terdapat di Gunung Padang. Halaman yang paling luas ini menurut pengamatan saya dapat dibagi 3 pula. Bagian paling kanan dari arah masuk terdapat halaman yang relatif kosong. Di bagian tengah atau sebelah kirinya terdapat tumpukan balok-balok batu tak teratur yang kemungkinan besar ditafsirkan sebagai bentuk punden berundak cukup besar. Sedang bagian paling kiri terdapat sederetan batu-batu tegak mirip pagar rumah manusia modern. Struktur bangunan dari batu-batu tegak ini perlu direkonstruksi agar jelas bagaimana bentuk awalnya.

Berbekal pengamatan halaman pertama ini, dapat saya tafsirkan bahwa ini menggambarkan Dunia Tengah manusia, terutama dalam hal kekuasaan Negara. Bagian halaman yang kosong di sebelah kanan adalah simbol Langit yang perempuan, simbol Resi sebagai kaum intelektual Negara pada zamannya, simbol Tekad atau Sang Hyang Kersa. Jadi ini merupakan unsur pertama Sang Hyang Hidup, khususnya hidup kenegaraan.
Bagian tengah, sebelah kiri Resi kalau dilihat dari pintu masuk, terdapat punden berundak yang merupakan simbol Ratu atau Raja, simbol Ucap, perintah. Sedang paling kiri yang berisi jajaran batu-batu tegak merupakan simbol rakyat yang dipimpin para kepala kampong masing-masing yang disebut Rama. Namun yang mengherankan di bagian ini terdapat sebungkah batu bulat pipih yang berwarna putih. Jelas sekali ini simbol keperempuanan. Tetapi mengapa ada di bagian rama yang lelaki? Saya menduga batu ini justru berada di bagian halaman yang kosong yang simbol Resi, Langit, atau Resi.
Gunung Padang

Dengan demikian halaman paling luas di bagian paling depan dari halaman-halaman yang lain, terdiri dari 3 kesatuan symbol Resi –Ratu – Rama atau Tekad-Ucap-Lampah atau Langit- Manusia –Bumi atau apa pun yang Anda tafsirkan sebagai satu kesatuan hidup. Semesta ini hidup karena ada tekad-ucap-lampahnya. Negara itu hidup karena ada tekad-ucap-lampahnya. Manusia juga hidup kalau masih merupakan kesatuan tekad-ucap-lampah. Kesatuan yang tiga ini menunjukkan adanya gejala hidup. Hidup adalah gerak yang mengandung energi, kekuatan, daya-daya, perubahan. Namun gerak atau lampah ini disebabkan adanya tujuan atau kehendak atau keinginan. Agar tujuan dan keinginan itu menjadi kenyataan maka diperlukan adanya pemikiran. Kesatuan tiga dalam wujud Tekad-Ucap-Lampah ini terjadi pada manusia biasa. Tetapi pada manusia sempurna, manusia spiritual, para suci dan para wali, hukum Tekad-Ucap-Lampah dilampaui dengan kesatuan Tekad-Lampah-Ucap. Penjelasannya, pada manusia sempurna terjadi hukum tanpa sebab yang dimiliki oleh dunia spiritual. Manusia sempurna begitu menginginkan sesuatu langsung menjadi kenyataan, yakni menjadi Lampah dengan produk lampahnya. Kalau manusia biasa terluka ,maka ada pemikiran, ada ilmu, ada pengetahuan yang berlaku untuk siapa saja , bagaimana luka tersebut dapat disembuhkan. Teapi bagi manusia sempurna secara spiritual, luka semacam itu dapat disembuhkan hanya dengan merabanya saja. Tekad langsung Lampah. Baru kemudian dapat dimengerti mengapa dapat terjadi demikian. Jadi urutan kesatuannya menjadi Tekad-Lampah-Ucap.

Sedang di alam spiritual sendiri, yaitu alam ketuhanan, kesatuannya menjadi terbalik, yakni Lampah-Ucap-Tekad. Hal ini berulang-ulang disebutkan dalam buku-buku kuno Sunda dengan ungkapan: Bayu-Sabda-Hedap atau Lampah-Ucap-Tekad. Tentu saja demkian karena kita hanya mengenal Yang Maha Esa tanpa pembedaan itu, dengan demikian tanpa sifat, atau sifat-sifatNya hanya ada padaNya tanpa seorang manusia pun mampu memahaminya, hanya melalui apa yang sudah dilakukanNya. Kalau Yang Maha Esa itu menciptakan semua yang ada ini sebagai hasil tindakanNya, maka kita dapat memahami kedalaman berpikirNya dan keinginanNya.

Ringkasnya adalah bahwa tritangtu, atau kesatuan tiga, membedakan adanya 3 pola hubungan antara unsur-unsur penyatunya, yakni:

TEKAD – UCAP – LAMPAH bagi manusia biasa
TEKAD – LAMPAH – UCAP bagi manusia sempurna atau para suci
LAMPAH — UCAP – TEKAD bagi Yang Maha Esa

Mengikuti pegangan ini maka urutan tanda-tanda berupa batu bulat putih di halaman kosong paling kanan dari pintu masuk, punden berundak pada bagian halaman tengah, dan rangkaian batu-batu berdiri di bagian halaman paling kiri, maka dapat dibaca sebagai kesatuan Tekad-Ucap-Lampah yang berarti halaman untuk manusia biasa didunia ini. Disini masih berlaku hukum kausalitas manusia. Kalau demikian halnya maka dapat diduga bahwa halaman-halaman berbentuk persegi empat yang berada di bagian atasnya, yakni halaman kedua dan halaman ketiga (kalau halaman yang kita bicarakan diatas dinamai sebagai halaman pertama) pola hubungan tanda-tanda batunya adalah Tekad-Lampah –Ucap (bagi halaman kedua di atas halaman pertama yang dihubungkan dengan tangga batu bertingkat-tingkat ), dan halaman ketiga diatasnya dengan pola hubungan Lampah-Ucap-Tekad yang sangat spiritual.

Seperti sudah diuraikan dalam tulisan diatas bahwa kualitas Tekad disimbolkan dalam bentuk atau wujud batu perempuan, Lampah dalam wujud batu lelaki, dan Ucap dalam wujud wujud “perkawinan” keduanya, yakni berkualitas campuran yang paradoksal yang merupakan dunia tengah atau sineger tengah. Perkara ini harus dibuktikan dengan membaca secara cermat susunan, bentuk-bentuk dan struktur dari batu-batu di setiap halaman situs yang dua tersebut.

Halaman keempat yang agak atas sedikit ternyata merupakan halaman yang kosong. Kalau benar hanya ada dua bentuk batu di halaman ini, yakni batu datar ( perempuan ) dan batu tegak yang sering diangkat para pengunjung, maka berarti adanya jarak atau pemisahan antara 3 halaman dibawahnya dengan 1 halaman yang berada paling ujung. Atau justru halaman kosong dengan dua batu lelaki-perempuan tersebut melambangkan adanya harmoni antara makna kelima halaman tersebut.

Sampailah kita pada halaman terakhir yang paling ujung yang ternyata penuh dengan symbol-simbol yang kurang lebih (atau seharusnya) terdiri dari 6 situs sesuai dengan peta makro Gunung Padang yang dikelilingi dua pasangan tritangtu gunung-gunung. Kalau dibuat pola dan strukturnya, pancer Gunung Padang sebagai berikut:

Selatan
 
Halaman kelima berisi 6 simbol situs mikro yang sesuai
Dengan 6 gunung yang membentuknya
sebagai pancer
 
Halaman keempat yang “kosong” dengan 2 pasangan batu lelaki-perempuan
 
Halaman ketiga yang berisi symbol-simbol Lampah-Ucap-Tekad
 
Halaman kedua yang berisi symbol-simbol Tekad- Lampah- Ucap
Tangga lebar dari batu dan cukup tinggi
yang menghubungkan halaman pertama
Dengan 4 halaman diatasnya
 
Halaman pertama yang paling luas yang berisi kesatuan 3 bentuk yang
mengandung makna Tekad-Ucap-Lampah.
 
Gerbang masuk
 
Utara

Meskipun demikian ketiga halaman pertama dapat juga dimaknai sebagai halaman Ratu bagi halaman terbawah dan paling luas. Halaman kedua diatasnya sebagai halaman Rama, halaman ketiga sebagai halaman Resi. Dan halaman kosong keempat sebagai mediasi atau penyatu dengan halaman kelima yang terakhir yang merupakan harmoni agung dari segala hal dualitas, baik Negara,manusia, kampong, pribumi dan asing, raja dan rakyat, langit dan bumi, air dan tanah, pemilik dan pemakai, dan segala dualitas lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat pada zamannya.

Maksud bangunan kabuyutan ini sama dimana-mana, yakni mohon dan mengharap kelangsungan hidup segalanya secara damai, sehat, sejahtera, dengan menghadirkan Sang Hyang Hidup (Bayu-Sabda-Hedap ) didunia manusia. Kalau kita sekarang melakukannya di tempat-tempat ibadah. Esensinya tak berubah sejak dahulu kala.

Sebagai penutup ada satu hal yang kiranya perlu ditambahkan tentang konsep tritangtu atau tripartite atau kesatuan tiga. Konsep dasarnya adalah bahwa segala yang ada ini merupakan pasangan-pasangan bertentangan. Pertentangan itu adalah sifat-sifatnya. Tak ada terang kalau tak ada gelap sekaligus, atas dan bawah tak mungkin ada kalau keduanya tak ada. Kodrat dualitas sifat segala sesuatu ini akan mengandung daya-daya hidup kalau disatukan tanpa melenyapkan masing-masing pasangan,sehingga muncul keberdaan ketiga yang disebut sineger tengah. Dengan sineger tengah atau siger tengah ini segala dualitas yang saling berseberangan itu diberi daya hidup yang spiritual. Menurut konsep ini maka segala yang Ada sepanjang diakui manusia atau masyarakatnya, maka Ada itu tersusun dalam 3 unsur yang mementuk pola yang meliputi keberadaan metakosmos, makrokosmos, mikrokosmos, dan benda-benda atau tindakan budaya.

Kosong Harmoni Paradoks

Tripartit metakosmos jelas dengan adanya kesatuan tiga batara, yakni Batara Kersa, Batara Kawasa, dan Batara Bima Mahakarana yang mernyatu mrnjadi Batara Tunggal.

Tripartit makrokosmos terdiri dari Langit sebagai Kersa, Bumi sebagai Kawasa, dan Manusia sebagai Bima Mahakarana.

Tripartit dunia ada gunung, laut, lembah.

Tripartit Negara ada Resi, Ratu, Rakyat yang setara dengan Kersa, Bima Mahakarana, dan Kawasa.

Tripartit kampong juga terdiri dari kampung resi atau buhun, kampung nagara, dan kampung sarak atau Islam.

Nampak jelas bahwa tripartite metakosmos membingkai yang makrokosmos dan tripartit makrokosmos membingkai yang mikrokosmos sampai hal sekecil-kecilnya dalam keperluan hidup sehari-hari dipola dalam sistem hubungan tripartite tersebut.

 


Paham Kekuasaan Sunda

$
0
0

Paham Kekuasaan Sunda

posted Sep 30, 2013, 6:04 PM by Jakob Sumardjo   [ updated Sep 30, 2014, 8:26 AM ]

Kekuasaan kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara, lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa yang akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti “telah terjadi”.

Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda, kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak (tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter halus, bukan kasar. Kalau harus “kasar”, tetap “halus”. Tidak keras tapi lembut. Tidak agresif tapi “diam”.

Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah, mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga. Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang. Hidup berladang itu menetap-pindah, produktif-konsumtif, bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter demikian itu.

Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun. Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan “diam dan pasif” tetapi sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang selalu ada paling depan.

Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri.

Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di sekitarnya yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut putri dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran.

Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.

Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan.

Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori “perempuan” bukan “lelaki”. Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah Raja Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang yang menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan.

Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan kampung-kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung.

Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian “dalam” dekat bukit dan hutan kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas).

Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak (kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak “dalam”, “pemilik sejati”, dan Islam berada di “luar” yakni batas wilayah kampung. Pemerintahan nasional ada di tengah.

Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada.

Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya. Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam. Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam bersikap “Islam itulah Sunda”, gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran siapa yang seharusnya dinilai sebagai “dalam” dan siapa yang dinilai sebagai “luar”. Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori “luar” itu mengandung arti “asing” juga.

Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan sikap “tetap” sekaligus “berubah”. Hal ini tampak dari penyebutan ketiga lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing. Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupati-bupati di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.

Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda (demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para ponggawa dalam carita pantun).

Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah. Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para jawara silat Sunda kurang “berani”, justru sudah melampaui keberanian dan hanya menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau dibageakeun. Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena, tetapi demi kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar.

Dalam zaman yang semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin semacam itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini ditantang kearifannya dengan gelombang “kuasa laki-laki” yang agresif. Memang tidak mudah. Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup masyarakat Sunda ini perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali “kedalaman sejatinya” yang kokoh namun lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu bisa kuat. Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi.

Sumber:

https://sites.google.com/site/jsumardjo/home/artikel/artefak-budaya-indonesia/pahamkekuasaansunda


The Khazarian Mafia penyebab Perang Dunia II: Apakah Hitler dibiayai oleh Federal Reserve dan Bank of England

$
0
0

The Khazarian Mafia penyebab WW2 |  Apakah Hitler dibiayai oleh Federal Reserve dan Bank of England
16 Juni 2016 BY FRAPPY25
Banyak dari sejarah kita akan harus ditulis ulang setelah kejadiannya. Kita telah dikondisikan untuk waktu yang sangat lama dan yang akan mengambil beberapa waktu untuk banyak berkenalan dengan kebenaran. Yang lebih penting adalah kemudian untuk dapat memiliki pemahaman mendasar tentang bagaimana dan mengapa sindikat kejahatan ilegal ini (Khazarian Mafia) beroperasi. Dengan tetap memberitahu kami membantu pembebasan planet bumi dengan menyadari taktik yang digunakan untuk memulai perang-perang yang tidak etis. Memiliki ramalan tentang bagaimana hal itu dilakukan membuat kita lebih dekat dengan efek 100 monyet .

Masing-masing dan setiap  kita memiliki sesuatu yang kita dapat berkontribusi untuk membantu mempercepat transformasi ini kita semua jalani. Dengan menjadi sadar informasi  dan berpikiran terbuka, kami membantu totalitas kemanusiaan mengatasi paradigma kacau tua yang menghancurkan kita dan planet kita.

Saya juga merekomendasikan membaca artikel tentang Hitler menjadi Agen Inggris dan bagaimana keluarga Bush membantu Nazi.

Timothy Frappier

Lebih dari 70 tahun yang lalu adalah awal dari pembantaian terbesar dalam sejarah.

Resolusi baru-baru ini Majelis parlemen dari OSCE sepenuhnya menyetarakan peran Uni Soviet dan Nazi Jerman pada pecahnya Perang Dunia Kedua, kecuali bahwa itu tujuan murni pragmatis memeras uang dari Rusia pada isi dari beberapa ekonomi bangkrut, dimaksudkan untuk menjelekkan Rusia sebagai negara penerus Uni Soviet, dan untuk mempersiapkan dasar hukum untuk perampasan haknya untuk berbicara menentang revisi hasil perang.

Tetapi jika kita mendekati masalah tanggung jawab untuk perang, maka Anda harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan kunci: yang membantu Nazi berkuasa? Yang mengirim mereka dalam perjalanan mereka ke bencana dunia? Seluruh sejarah pra-perang Jerman menunjukkan bahwa penyediaan kebijakan “diperlukan” yang dikelola oleh gejolak keuangan, di mana, dengan cara, dunia jatuh ke dalam.

Struktur kunci yang didefinisikan strategi pembangunan pasca-perang Barat adalah lembaga keuangan Sentral Inggris dan Amerika Serikat – Bank of England dan Federal Reserve System (FRS) – dan organisasi keuangan dan industri terkait menetapkan sebuah Target untuk membangun kontrol mutlak atas sistem keuangan Jerman untuk mengontrol proses politik di Eropa Tengah. Untuk menerapkan strategi ini adalah mungkin untuk mengalokasikan tahapan sebagai berikut:

1: 1919-1924 – untuk mempersiapkan tanah untuk besar investasi keuangan Amerika dalam ekonomi Jerman;
2: 1924-1929 – pembentukan kontrol atas sistem keuangan Jerman dan dukungan keuangan untuk sosialisme nasional;
3: 1929-1933 – memprovokasi dan melepaskan krisis keuangan dan ekonomi yang mendalam dan memastikan Nazi berkuasa;
4: 1933-1939 – kerjasama keuangan dengan pemerintah Nazi dan dukungan untuk kebijakan luar negerinya ekspansionis, yang bertujuan untuk mempersiapkan dan melepaskan Perang Dunia baru.

Pada tahap pertama, tuas utama untuk memastikan penetrasi modal Amerika ke Eropa dimulai dengan utang perang dan masalah terkait erat reparasi Jerman. Setelah masuk formal AS ‘ke dalam Perang Dunia pertama, mereka memberi sekutu (terutama Inggris dan Perancis) pinjaman dengan jumlah $ 8800000000. Jumlah total utang perang, termasuk pinjaman yang diberikan ke Amerika Serikat pada 1919-1921, lebih dari $ 11 miliar.

Untuk mengatasi masalah ini, negara-negara debitur mencoba untuk memaksakan sejumlah besar kondisi yang sangat sulit bagi pembayaran reparasi dengan mengorbankan Jerman. Hal ini disebabkan oleh penerbangan dari ibukota Jerman di luar negeri, dan penolakan untuk membayar pajak menyebabkan defisit anggaran negara yang bisa ditutupi hanya melalui produksi massal Marks tanpa jaminan. Hasilnya adalah runtuhnya mata uang Jerman – yang “besar inflasi” tahun 1923, yang sebesar 578 (512%), ketika dolar bernilai 4,2 triliun Marks. Industrialis Jerman mulai terbuka menyabot semua kegiatan dalam pembayaran kewajiban reparasi, yang akhirnya menyebabkan terkenal “Ruhr krisis” – pendudukan Franco-Belgia dari Ruhr pada Januari 1923.

Lingkaran penguasa Anglo-Amerika, untuk mengambil inisiatif di tangan mereka sendiri, menunggu Prancis untuk terjebak dalam petualangan menjelajah dan untuk membuktikan ketidakmampuannya untuk memecahkan masalah. Menteri Luar Negeri AS Hughes menunjukkan: “Hal ini diperlukan untuk menunggu Eropa untuk dewasa untuk menerima proposal Amerika.”

Proyek baru ini dikembangkan di kedalaman “JP Morgan & Co” di bawah instruksi dari kepala Bank of England, Montagu Norman. Pada inti dari ide-idenya adalah wakil dari “Dresdner Bank” Hjalmar Schacht, yang dirumuskan itu Maret 1922 atas saran dari John Foster Dulles (masa Sekretaris Negara di Kabinet Presiden Eisenhower) dan penasihat hukum Presiden W. Wilson pada konferensi perdamaian Paris. Dulles memberi catatan ini ke kepala Wali Amanat “JP Morgan & Co”, dan kemudian JP Morgan merekomendasikan bahwa H. Schacht, M. Norman, dan yang terakhir dari para penguasa Weimar. Pada bulan Desember 1923, H. Schacht akan menjadi Manager Reichsbank dan berperan penting dalam menyatukan lingkaran keuangan Anglo-Amerika dan Jerman.

Pada musim panas tahun 1924, proyek yang dikenal sebagai “Dawes rencana” (dinamai Ketua Panitia ahli yang menciptakannya – bankir Amerika dan Direktur salah satu bank dari kelompok Morgan), diadopsi pada konferensi London . Dia menyerukan mengurangi separuh reparasi dan memecahkan pertanyaan tentang sumber-sumber cakupan mereka. Namun, tugas utama adalah untuk memastikan kondisi yang menguntungkan untuk investasi AS, yang hanya mungkin dengan stabilisasi Mark Jerman.

Untuk tujuan ini, rencana memberi Jerman pinjaman besar $ 200 juta, setengah dari yang dicatat oleh JP Morgan. Sementara bank Anglo-Amerika menguasai tidak hanya atas transfer pembayaran Jerman, tetapi juga untuk anggaran, sistem sirkulasi moneter dan untuk sebagian besar sistem kredit dari negara. Pada bulan Agustus 1924, Mark Jerman tua digantikan oleh yang baru, stabil situasi keuangan di Jerman, dan, sebagai peneliti GD Preparta menulis, Republik Weimar siap untuk “bantuan ekonomi yang paling indah dalam sejarah, diikuti oleh panen yang paling pahit dalam sejarah dunia “-” banjir tak terbendung darah Amerika dituangkan ke dalam pembuluh darah keuangan Jerman “.

Konsekuensi dari ini tidak lambat untuk muncul.

Hal ini terutama karena fakta bahwa reparasi tahunan adalah untuk menutupi jumlah utang yang dibayar oleh sekutu, yang dibentuk oleh apa yang disebut “tidak masuk akal lingkaran Weimar”. Emas yang Jerman dibayar dalam bentuk pampasan perang, dijual, digadaikan, dan menghilang di Amerika Serikat, di mana ia kembali ke Jerman dalam bentuk “bantuan” rencana, yang memberikannya ke Inggris dan Perancis, dan mereka di gilirannya adalah untuk membayar utang perang Amerika Serikat. Saat itu overlayed dengan bunga, dan lagi dikirim ke Jerman. Pada akhirnya, semua di Jerman hidup dalam utang, dan itu jelas bahwa harus Wall Street menarik pinjaman mereka, negara akan menderita kebangkrutan lengkap.
Kedua, meskipun kredit formal dikeluarkan untuk mengamankan pembayaran, itu benar-benar pemulihan potensi industri militer negara itu. Faktanya adalah bahwa Jerman telah dibayar pada saham perusahaan untuk pinjaman sehingga modal Amerika mulai aktif mengintegrasikan ke dalam ekonomi Jerman.

Jumlah total investasi asing di industri Jerman selama 1924-1929 sebesar hampir 63 miliar Marks emas (30 miliar dicatat oleh pinjaman), dan pembayaran reparasi – 10 miliar Marks. 70% dari pendapatan yang disediakan oleh bankir dari Amerika Serikat, dan sebagian besar bank-bank dari JP Morgan. Akibatnya, pada tahun 1929, industri Jerman berada di tempat kedua di dunia, tapi itu sebagian besar di tangan kelompok keuangan-industri terkemuka Amerika.

“Interessen-Gemeinschaft Farbenindustrie”, pemasok utama mesin perang Jerman, dibiayai 45% dari kampanye pemilihan Hitler pada tahun 1930, dan berada di bawah kendali Rockefeller “minyak Standard”. Morgan, melalui “General Electric”, dikendalikan radio Jerman dan industri listrik melalui AEG dan Siemens (hingga 1933, 30% saham dari AEG dimiliki “General Electric”) melalui ITT Telecom perusahaan – 40% dari jaringan telepon di Jerman.

Selain itu, mereka memiliki saham 30% di pesawat perusahaan manufaktur “Focke-Wulf”. “General Motors”, milik keluarga DuPont, didirikan kontrol atas “Opel”. Henry Ford menguasai 100% saham dari “Volkswagen”. Pada tahun 1926, dengan partisipasi dari Bank Rockefeller “Dillon, Reed & Co” monopoli industri terbesar kedua di Jerman setelah “IG Farben” muncul – keprihatinan metalurgi “Vereinigte Stahlwerke” (Baja kepercayaan) Thyssen, Flick, Wolff, Feglera dll .

kerjasama Amerika dengan kompleks industri militer Jerman itu begitu kuat dan meresap bahwa dengan 1933 sektor-sektor kunci industri Jerman dan bank-bank besar seperti Deutsche Bank, Dresdner Bank, Donat Bank dll berada di bawah kendali modal Amerika.

Kekuatan politik yang dimaksudkan untuk memainkan peran penting dalam rencana Anglo-Amerika sedang bersamaan disiapkan. Kita berbicara tentang pendanaan partai Nazi dan A. Hitler secara pribadi.

Sebagai mantan Kanselir Jerman Bruning menulis dalam memoarnya, sejak tahun 1923, Hitler menerima uang dalam jumlah besar dari luar negeri. Di mana mereka pergi tidak diketahui, tapi mereka diterima melalui bank Swiss dan Swedia. Hal ini juga diketahui bahwa, pada tahun 1922 di Munich, pertemuan berlangsung antara A. Hitler dan atase militer dari AS ke Jerman – Kapten Truman Smith – yang menyusun laporan rinci untuk atasan Washington nya (di kantor intelijen militer) , di mana ia berbicara sangat Hitler.

Itu melalui lingkaran Smith kenalan Hitler pertama kali diperkenalkan ke Ernst Franz Sedgwick Hanfstaengl (Putzie), lulusan Harvard University yang memainkan peran penting dalam pembentukan A. Hitler sebagai seorang politikus, membuat dia dukungan finansial yang signifikan, dan dijamin dia kenalan dan komunikasi dengan tokoh-tokoh senior Inggris.

Hitler disiapkan dalam politik, namun, sedangkan Jerman memerintah di kemakmuran, pihaknya tetap di pinggiran kehidupan publik. Situasi berubah secara dramatis dengan awal krisis.

Sejak musim gugur tahun 1929 setelah runtuhnya bursa saham Amerika dipicu oleh Federal Reserve, tahap ketiga dari strategi lingkaran keuangan Anglo-Amerika mulai.

The Federal Reserve dan JP Morgan memutuskan untuk menghentikan pinjaman ke Jerman, terinspirasi oleh krisis perbankan dan depresi ekonomi di Eropa Tengah. Pada bulan September tahun 1931, Inggris meninggalkan standar emas, sengaja menghancurkan sistem pembayaran internasional dan benar-benar memotong oksigen keuangan untuk Republik Weimar.

Tapi keajaiban keuangan terjadi dengan partai Nazi: pada bulan September 1930, sebagai hasil dari sumbangan besar dari Thyssen, “I.G. Farben “, pihak Kirdorf punya 6,4 juta orang, dan menempati posisi kedua di Reichstag, setelah investasi yang murah hati dari luar negeri yang diaktifkan. Link utama antara industrialis Jerman utama dan pemodal asing menjadi H. Schacht.

Pada 4 Januari 1932, diadakan pertemuan antara pemodal Inggris terbesar M. Norman, A. Hitler, dan von Papen, yang menyimpulkan perjanjian rahasia pada pembiayaan NSDAP. Pertemuan ini juga dihadiri oleh para pembuat kebijakan AS dan Dulles bersaudara, sesuatu yang penulis biografi mereka tidak ingin menyebutkan. Pada tanggal 14 Januari 1933, pertemuan antara Hitler, Schroder, Papen dan Kepler berlangsung, di mana program Hitler sepenuhnya disetujui. Itu di sini bahwa mereka akhirnya menyelesaikan masalah transfer kekuasaan ke Nazi, dan pada tanggal 30 Januari Hitler menjadi Kanselir. Pelaksanaan tahap keempat dari strategi sehingga dimulai.

Sikap lingkaran penguasa Anglo-Amerika ke pemerintah baru sangat simpatik. Ketika Hitler menolak untuk membayar reparasi, yang, secara alami, dipertanyakan pembayaran utang perang, tidak Inggris atau Perancis menunjukkan dia klaim pembayaran. Selain itu, setelah kunjungan di Amerika Serikat pada bulan Mei 1933, H. Schacht ditempatkan lagi sebagai kepala Reichsbank, dan setelah pertemuannya dengan Presiden dan para bankir terbesar di Wall Street, Amerika dialokasikan Jerman pinjaman baru senilai $ 1 miliar.

Pada bulan Juni, selama perjalanan ke London dan pertemuan dengan M. Norman, Schacht juga mencari pinjaman Inggris dari $ 2 miliar, dan pengurangan dan kemudian penghentian pembayaran pinjaman lama. Dengan demikian, Nazi mendapat apa yang mereka tidak bisa mencapai dengan pemerintah sebelumnya.

Pada musim panas 1934, Inggris menandatangani perjanjian pengalihan Anglo-Jerman, yang menjadi salah satu dasar kebijakan Inggris terhadap Reich Ketiga, dan pada akhir 30-an, Jerman menjadi mitra dagang utama Inggris. Schroeder Bank menjadi agen utama Jerman di Inggris, dan pada tahun 1936 kantornya di New York bekerja sama dengan Rockefeller untuk menciptakan “Schroeder, Rockefeller & Co” Bank investasi, yang “Times” majalah yang disebut “poros propaganda ekonomi Berlin-Roma “. Seperti Hitler sendiri mengaku, ia dikandung rencana empat tahun atas dasar pinjaman keuangan asing, sehingga tidak pernah dia terinspirasi dengan alarm sedikit.

Pada bulan Agustus 1934, Amerika “Standard minyak” di Jerman mengakuisisi 730.000 acre tanah dan dibangun kilang minyak besar yang disediakan Nazi dengan minyak. Pada saat yang sama, Jerman diam-diam mengambil pengiriman peralatan yang paling modern untuk pabrik-pabrik pesawat dari Amerika Serikat, yang akan memulai produksi pesawat Jerman.
Jerman menerima sejumlah besar paten militer dari perusahaan-perusahaan Amerika Pratt dan Whitney “,” Douglas “,” Curtis Wright “, dan teknologi Amerika telah membangun” Junkers-87 “. Pada tahun 1941, ketika perang dunia II berkecamuk, investasi Amerika di perekonomian Jerman sebesar $ 475.000.000. “Standard oil” diinvestasikan – 120 juta, “motor General” – $ 35 juta, ITT – $ 30 juta, dan “Ford” – $ 17.500.000.

Kerjasama keuangan dan ekonomi yang erat dari kalangan bisnis Anglo-Amerika dan Nazi adalah latar belakang terhadap yang, dalam 30-an, kebijakan peredaan menyebabkan perang dunia II.

Hari ini, ketika elit keuangan dunia mulai menerapkan “depresi besar – 2” rencana, dengan transisi berikutnya ke “tatanan dunia baru”, mengidentifikasi peran kunci dalam organisasi kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi prioritas.
Yuri Rubtsov adalah dokter ilmu sejarah, akademisi dari Akademi ilmu militer, dan anggota dari Asosiasi Internasional sejarawan perang dunia II

Sumber: Fort Russ

https://gatewaytovictory.wordpress.com/2016/06/16/the-khazarian-mafia-caused-ww2-hitler-was-financed-by-the-federal-reserve-and-the-bank-of-england/

 


MAFIA BERKELEY DAN PEMBUNUHAN MASSAL DI INDONESIA

$
0
0

Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas 
di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia

“Kejadian di Indonesia pada tahun 1965 adalah merupakan kejadian terbaik lagi kepentingan Uncle Sam (Amerika Serikat – Pen) sejak Perang Dunia II” kata seorang pejabat Bank Dunia.

174ba-suharto-ibu-tien-patung-7-jenderal-lubang-buayaSebagaimana dapat diikuti dalam cerita-cerita tentang Indonesia di masa lalu, Indonesia adalah daerah yang paling menggoda bagi para “petualang” dan pencari kekayaan/ kebahagiaan. Mereka menganggap Indonesia sebagai “hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia. Presiden Amerika Serikat Richard Nixon pada tahun 1967, mengatakan bahwa Indonesia adalah “hadiah terbesar (the greatest prize)” di wilayah Asia Tenggara.Pada awal tahun 1960-an, mereka (Amerika Serikat dkk.-Pen) merasa kehilangan yang tak ternilai karena pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan seorang Nasionalis-Progresif yaitu Soekarno, yang dicap sebagai “berorientasi-Peking”, dan didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ± 3.000.000 massa anggotanya siap-siap menunggu kesempatan berkuasa.

Pada bulan Oktober 1965 terjadilah kudeta yang dilakukan oleh seorang kolonel. Pada saat itu beberapa jenderal Indonesia bertindak cepat menggagalkan kudeta tersebut, dan secara bersamaan membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang luar biasa dengan melumpuhkan kekuasaan Kepala Negara pada saat itu (Presiden Soekarno). Para penguasa militer pada saat itu juga membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah modern negeri ini. Kurang lebih 500.000 s/d 1.000.000 orang-orang yang dianggap komunis atau anggota PKI yang tidak bersenjata dan petani-petani yang dianggap simpatisannya dibunuh dengan keji. Usai pertumpahan darah tersebut, lenyaplah semangat nasionalisme yang berkobar-kobar, dan telah dikobar-kobarkan selama 10 tahun terakhir sebelum itu.

4081f-340060_diorama-g30s-pki-di-lubang-buaya_663_382Dengan jatuhnya Sukarno yang memiliki nasionalisme tinggi, pemerintah baru berkesempatan membuka lebar-lebar kekayaan alam Indonesia yang luas itu bagi perusahaan-perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Untuk memuluskan masuknya pihak asing tersebut, dibentuk “Team Istimewa” di pemerintahan Indonesia yang terdiri atas Menteri-Menteri yang menguasai bidang perekonomian, yang oleh “orang dalam” sendiri dikenal sebagai – “The Berkeley

Mafia” (para Mafia dari Universitas Berkeley). Para ahli dan sarjana lulusan Universitas California tersebut berfungsi sebagai kelompok yang duduk dalam dewan penguasa. Orang-orang inilah yang kemudian membentuk “politik nasional baru” dari rejim yang baru tersebut.

(Mengapa hal yang demikian bisa terjadi? Untuk mengerti hal ini secara baik, kita perlu menoleh ke jaman kekuasaan Bung Karno waktu itu dan apa yang berlangsung di dalamnya tetapi tidak tampak dari luar)

Di balik kekuasaan Soekarno yang menonjol waktu itu, di dalamnya berlangsung “suatu permainan intrik intelektuil internasional “, yaitu suatu rencana perebutan kekuasaan terselubung yang melebihi khayalan Cecil Rhodes, bersembunyi di balik proyek-proyek perikemanusiaan dan universitas/ pendidikan tinggi. Mereka ini terdiri dari para jenderal, mahasiswa, dosen, dekan dan politisi.

BAGIAN I
MUNCULNYA SEORANG DEKAN

Begitu Jepang kalah dalam Perang Dunia II, maka terjadilah gerakan-gerakan revolusioner di Asia, dari India di Barat sampai Korea di Timur, dan dari Cina di Utara sampai Filipina di Selatan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan ancaman bagi rencana Amerika Serikat untuk membentuk Pax-Pasifik. Indonesia, meskipun sebelumnya secara gigih bertempur melawan Belanda, tetapi kemerdekaannya tidak diperoleh melalui pertempuran besar seluruh rakyat, melainkan melalui kesepakatan para pemimpinnya.

Saat itu, para pemimpin yang dekat dengan Barat “mengatur kemerdekaan Indonesia” di gedung-gedung mewah di Washington dan New York. Pada tahun 1949, orang-orang Amerika membujuk Belanda agar mengambil keputusan (mengakui kedaulatan Indonesia? -Pen) sebelum revolusi di Indonesia berlangsung lebih lama dengan konsekuensi yang lebih berat, ketika rakyat Indonesia lebih memahami dan mencintai nasionalisme. Tahun itu Indonesia menerima kemerdekaan politiknya, yang rancangan pengakuan kedaulatannya disusun dengan bantuan diplomat Amerika, dengan tetap menerima kehadiran Belanda secara ekonomi, tetapi pintu terbuka lebih lebar untuk Amerika Serikat, baik di bidang ekonomi maupun kebudayaan.

Diantara orang-orang Indonesia yang menjalankan manuver-manuver diplomatik pada saat itu adalah dua orang aristokrat muda:

  1. Sudjatmoko, yang oleh sahabat-sahabatnya orang Amerika dikenal dengan panggilan “Koko” dan
  2. Soemitro Djojohadikusumo; seorang doktor ekonomi dan diplomat.

Dua orang tersebut berasal dari kalangan atas dan adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), yaitu suatu partai kecil yang lebih berorientasi ke Barat, di antara sekian banyak partai-partai lain yang ada di Indonesia.

Di New York, dua orang ini namanya dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan apa yang biasa dikenal sebagai Vietnam Lobby, yang tidak lama kemudian menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang sesuai dengan selera politik Amerika. Golongan itu, yang di dalamnya juga termasuk Norman Thomas, terdiri dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan Liga India. Mereka adalah pelopor-pelopor kaum SOSKA (Sosialis Kanan).

“Kita harus berusaha, agar usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan Amerika Serikat untuk membentuk pemerintah non-komunis di Asia setelah Perang Dunia II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”, demikian dikatakan oleh Robert Delson, salah seorang anggota Liga yang menjadi pengacara di Park Avenue, dan menjadi penasehat hukum untuk Indonesia di Amerika Serikat.

Delson, selalu menemani dan membawa Soemitro Djojohadikusumo dan “Koko” dari kota satu ke kota yang lain, dan memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) – Kumpulan Orang-Orang Amerika Untuk Aksi-Aksi Demokratis, dan pemimpin-pemimpin tinggi buruh yang anti komunis. Mereka juga bergerak di kalangan anggota-anggota dari Lembaga Urusan Hubungan Luar Negeri (suatu badan yang dibiayai yayasan), yaitu suatu badan yang sangat berpengaruh dalam merumuskan politik Amerika Serikat.

Karena tidak suka kepada Soekarno dan kuatnya golongan kiri dari pejuang kemerdekaan Indonesia, para tokoh-tokoh Amerika Serikat melihat nasionalisme yang ditawarkan oleh Soedjatmoko dan Soemitro sebagai alternatif yang paling cocok. Menurut Soedjatmoko dihadapan tokoh-tokoh Amerika di New York, strategi Marshal Plan di Eropa bergantung pada “ketersediaan sumber-sumber daya di Asia”, dan ia menawarkan “kerjasama yang menguntungkan dengan Barat”. Sementara itu, pada awal 1949 bertempat di Sekolah untuk Studi Internasional Terkini (School of Advanced International Studies) yang dibiayai oleh Yayasan Ford, Soemitro mengatakan bahwa sosialisme yang diyakininya termasuk “akses seluas-luasnya” ke berbagai sumber daya alam Indonesia dan “insentif yang cukup” bagi investasi perusahaan asing.

Dalam pembicaraan-pembicaraan di Dewan Urusan Hubungan Luar Negeri, kedua orang Indonesia itu menunjukkan minatnya yang sungguh-sungguh untuk “memodernisasi” Indonesia, dan bukan untuk merevolusionerkannya.

Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, Soemitro Djojohadikusumo kembali ke Jakarta dan diangkat menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam suatu pemerintahan koalisi (dan Menteri Keuangan dalam beberapa kabinet berikutnya serta dekan fakultas ekonomi). Sebagai menteri, Soemitro Djojohadikusumo mempertahankan “stabilisasi ekonomi” yang didukung investasi Belanda, dan karena sangat menghindari radikalisme dia mengangkat seorang arsitek ekonomi dari Jerman Barat Hjalmar Schacht.

Soemitro Djojohadikusumo mendapat dukungan dari PSI dan Masyumi, partai politik yang lebih kuat dari PSI dan sekutu yang “modernis”, yang anggotanya pada umumnya terdiri dari para santri pedagang dan tuan tanah. Jelas, bahwa Soemitro Djojohadikusumo saat itu berenang melawan arus. PNI-nya Soekarno, NU, PKI dan Tentara – hampir semuanya kecuali PSI dan Masyumi, sedang hidup dalam arus gelombang semangat nasionalisme setelah perang.

Dalam Pemilihan Umum 1955 – yang pertama dan terakhir di Indonesia di masa Orde Lama, PSI mendapat suara yang sangat sedikit dan hanya menduduki tempat kelima. Bahkan lebih buruk lagi dalam pemilihan lokal untuk memilih anggota-anggota DPRD, PKI muncul sebagai partai terkuat.

Oleh sebab itu, pada waktu Soekarno mulai menasionalisasi aset-aset milik Belanda pada tahun 1957, Soemitro Djojohadikusumo menentangnya dan bergabung dengan para pemimpin Masyumi serta beberapa Komandan Tentara dalam pemberontakan yang berlangsung di daerah-daerah luar Jawa. Pemberontakan ini sempat didukung oleh CIA, tetapi tidak bisa bertahan lama dan gagal total. Karena kegagalan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi ini (PRRI/PERMESTA – Pen.), Soemitro Djojohadikusumo lari mengasingkan diri ke luar negeri dan menjadi konsultan usaha dan pemerintah di Singapura. PSI dan Masyumi dinyatakan sebagai partai-partai terlarang.

Kelompok-kelompok di Indonesia yang menjadi sekutu Amerika ini telah mengadakan persekongkolan dengan kekuatan imperialis untuk menggulingkan pemerintahan nasional populer hasil pemilihan rakyat, yang dipimpin oleh seorang yang dianggap sebagai George Washington-nya Indonesia, dan mereka kalah. Reputasi mereka hancur sehingga hanya keajaiban saja yang bisa membawa mereka kembali berkuasa.

Keajaiban itu terjadi sepuluh tahun kemudian, bukan dengan manuver diplomatik, peran partai politik atau invasi tentara Amerika. Cara-cara itu sudah terbukti gagal di Indonesia dan di tempat-tempat lain. Keajaiban itu datang melalui dunia pendidikan, dengan bantuan kebaikan para filantropis. Soemitro Djojohadikusumo telah muncul kembali. Dia menjadi Menteri Perdagangan dalam Pemerintahan Indonesia yang baru. Dia bukan lagi orang yang tidak penting. Pada waktu ini dia dikategorikan sebagai orang kedua di Indonesia, dan dia beserta kawan-kawan sefahamnya benar-benar menguasai keadaan.

Soemitro Djojohadikusumo tidak hanya sekedar seorang minoritas – politikus dan Menteri dalam Kabinet, tetapi sejak tahun 1951, dia adalah juga Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia di Jakarta. Disanalah dia mengatur pemuda-pemuda yang diajaknya bekerjasama membuat rencana untuk melaksanakan programnya bagi Indonesia. Di situlah juga Ford Foundation bersama-sama dengan dia mempropagandakan metode-metode yang sama.

Salah satu di antara peninggalan-peninggalan Soekarno yang tidak banyak lagi, adalah diadakannya sistem Universitas (suatu contoh yang jarang terjadi bahwa bantuan luar negeri dimanfaatkan sebaik-baiknya).

(Fortune, 1 Juni 1968)

***

Ford sebenarnya telah sejak tahun 50-an mengarahkan perhatiannya pada bidang pendidikan di Indonesia, tetapi yang mempeloporinya kemudian ternyata adalah Rockefeller Foundation.

Sudah sejak lama pendidikan adalah perpanjangan tangan alat negara. Adalah Dean Rusk yang mengatakan hal itu pada tahun 1952, beberapa bulan sebelum dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Asisten Menteri Dalam Luar Negeri untuk Seksi Timur Jauh untuk kemudian memimpin Rockefeller Foundation. “Agresi Komunis” mengharuskan tidak hanya agar orang-orang Amerika dilatih menghadapinya di sana (di Timur Jauh), “tetapi kita juga harus membuka fasilitas-fasilitas pelatihan untuk menambah jumlah kawan-kawan kita di seberang lautan Pasifik”.

Ford Foundation dibawah kepemimpinan Paul Hoffman (dan erat bekerjasama dengan Rockefeller Foundation) bergerak cepat menerapkan kata-kata Rusk tersebut di Indonesia. Paul Hoffman, yang juga pemimpin Marshall Plan di Eropa, turut membantu mengatur kemerdekaan Indonesia dengan menghentikan bantuan dana yang digunakan Belanda untuk memadamkan pemberontakan dan mengancam akan menghentikan seluruh bantuan. Ketika Amerika Serikat menggantikan Belanda, Hoffman dan Ford akan bekerja melalui universitas-universitas terbaik Amerika — MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard – untuk mencetak pemerintahan Indonesia menjadi para administrator modern yang secara tidak langsung bekerja dibawah perintah Amerika. Dalam istilah Ford, “para elit pembaharu” (modernizing elit).

“Anda tidak akan tidak dapat mempunyai negara modern tanpa elit pembaharu”, demikian kata Frank Sutton, wakil Presiden untuk Bagian Internasional dari Ford Foundation. “Itulah alasan kita memberikan perhatian begitu besar kepada masalah pendidikan di universitas”. Sutton menambahkan, bahwa tidak ada tempat yang lebih baik untuk menemukan “elite” semacam itu, kecuali di antara mereka yang merupakan lapisan atas dari suatu struktur sosial. Karena di situlah soal-soal prestise, kepemimpinan dan kepentingan kelompok (vested-interest) paling dipersoalkan sebagaimana selalu mereka lakukan.

Dengan jasa yang dibeli dari universitas-universitas di Amerika, akhirnya Ford berhasil membentuk suatu prasarana yang sulit dipatahkan dan mampu menerobos tiap lembaga kekuasaan yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa yang diseleksi dan digembleng oleh orang-orang Amerika dan dilatih untuk menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki keterampilan pada hakekatnya telah merupakan semacam pemerintahan yang mewakili partai-partai lama PSI-Masyumi, bahkan sebenarnya jauh lebih kuat dari partai-partai tersebut.

Ford mulai usahanya untuk membuat Indonesia menjadi “Negara Modern” pada tahun 1954 dengan proyek-proyek lapangan dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan Cornell University. Para sarjana yang dihasilkan oleh kedua proyek ini, satu di bidang ekonomi dan lainnya dalam pembangunan politik, secara efektif sejak saat itu berhasil mendominasi bidang “studi tentang Indonesia” di Amerika. Sungguh pun demikian, jika dibanding dengan yang terjadi di Indonesia, hasil yang diperoleh tersebut bisa digolongkan sebagai prestasi yang biasa saja. Melalui Pusat Studi Internasional (Center for International Studies) (gagasan Max Millikan dan W. W. Rostow, yang disponsori CIA), Ford bersama MIT membentuk satu tim untuk mempelajari “penyebab stagnasi ekonomi Indonesia”. Satu contoh yang sangat menarik dari upaya tersebut adalah studi dari Guy Pauker tentang “kendala politik” dalam pembangunan ekonomi, misalnya pemberontakan bersenjata. Rupanya, penguasaan sumber-sumber alam dan kebudayaan oleh lembaga-lembaga asing adalah di luar kerangka teori Pauker, yang mendapatkan latihan dari Harvard itu.

Dalam melakukan pekerjaannya itu, Pauker sempat berkenalan cukup baik dengan para perwira tinggi dari Angkatan Darat Indonesia. Pauker berpendapat bahwa “para perwira ini jauh lebih mengesankan” daripada para politikus. “Saya adalah orang pertama yang menaruh perhatian pada peranan militer dalam pembangunan ekonomi”, demikian pernyataan Pauker.

Pauker juga berhasil mengenal tokoh-tokoh sipil yang memegang peranan penting. “Kecuali segolongan yang sangat kecil, hampir semuanya tidak peduli sedikitpun tentang pembangunan modern”, kata Pauker. Tidaklah mengejutkan jika golongan sangat kecil yang dimaksudkannya itu adalah tidak lain aristokrat intelektual PSI, khususnya Soemitro Djojohadikusumo dan para mahasiswanya.

Sebenarnya Soemitro Djojohadikusumo ini memang sudah pernah mengikuti kuliah singkat yang diadakan oleh MIT-Team di Cambridge. Beberapa dari murid Soemitro Djojohadikusumo juga dikenal oleh MIT-Team, dan juga pernah mengikuti seminar tahunan yang dibiayai oleh CIA, yaitu seminar musim panas di Harvard oleh Henry Kissinger, seorang yang ahli strategi politik luar negeri Presiden Nixon.

Salah seorang dari mahasiswa itu adalah Prof. Dr. Moh. Sadli, anak seorang santri pedagang, yang menjadi sahabat Guy Pauker. Di Jakarta Pauker menggalang persahabatan dengan keluarga besar PSI dan membentuk kelompok studi politik, yang di antara anggota-anggotanya terdapat kepala Biro Perencanaan Nasional (BAPENAS), Ali Budiardjo dan istrinya, Miriam, yang juga adik Soedjatmoko.

Pauker adalah seorang kelahiran Rumania yang telah membantu terbentuknya kelompok “Sahabat-sahabat Amerika Serikat” di Bukares tidak lama setelah Perang Dunia II. Kemudian dia pergi ke Universitas Harvard untuk mendapatkan gelar. Banyak orang Indonesia menuduh Guy Pauker ini memiliki hubungan dengan CIA, tetapi ia mengingkarinya sampai tahun 1958, setelah dia bergabung dengan RAND Corporation. Di sini dia saling bertukar informasi dengan CIA, Pentagon dan Kementerian Luar Negeri. Sumber penting di Washington mengatakan bahwa dia “langsung ikut dalam membuat keputusan-keputusan”, sehingga kerahasiaannya sebagai CIA tak bisa diingkari lagi.

Pada tahun 1954 Ford mendanai Proyek Indonesia Modern dari Cornell dengan US $ 224.000. Dengan uang tersebut dan dana-dana Ford berikutnya, Ketua program, George Kahin, dapat membangun bagian ilmu pengetahuan sosial dari Indonesian Studies yang telah didirikan di Amerika Serikat. Bahkan universitas-universitas di Indonesia harus menggunakan studi-studi berorientasi elit (elite-oriented studies) dari Cornell untuk kuliah politik dan sejarah pasca kemerdekaan.

Di antara banyak orang-orang Indonesia yang dibawa ke Cornell dengan biaya dari Ford dan Rockefeller ini, yang mungkin sangat berpengaruh adalah ahli sosiologi-politik, Selo Sumardjan. Selo Sumardjan ini sebagai tangan kanan Sultan Hamengku Buwono IX, adalah salah satu orang kuat dalam rezim Indonesia baru saat itu.

Kelompok ilmu politik Kahin bekerja sama dengan Fakultas Ekonominya Soemitro Djojohadikusumo di Jakarta.

“Sebagian besar dari orang-orang yang masuk Universitas pada dasarnya berasal dari keluarga-keluarga borjuis atau birokrat-birokrat”, demikian Kahin. “Mereka sedikit sekali pengetahuannya tentang keadaan masyarakatnya”. Dengan pendekatan yang menyentuh, akhirnya Kahin berhasil menggerakan mereka untuk memahami masyarakatnya dengan tinggal di desa selam tiga bulan. Banyak yang tinggal di Amerika sampai empat tahun.

Bersama-sama dengan Widjojo Nitisastro, salah satu anak didik Soemitro Djojohadikusumo, Kahin mendirikan institut untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran tentang masalah pedesaan (villages studies). Hasilnya tidak banyak, hanya saja lewat institut itu penasehat-penasehat Amerika dapat membantu Ford memelihara hubungannya, pada masa-masa sulit kekuasaan Soekarno.

Kahin berpendapat, bahwa kerjasama Ford dan Cornell merupakan : kerjasama yang sangat baik”, dan lebih banyak manfaatnya sebagai samaran politik daripada dana yang dikucurkan.

“Dana-dana AID memang mudah didapat”, Kahin menjelaskan, “tetapi barang siapa pada waktu itu bekerja di bidang yang menyangkut masalah politik, di Indonesia ini, dengan bantuan uang Amerika, pasti akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih besar.”

Kahin salah seorang tokoh akademisi yang menghendaki perdamaian dengan Vietnam, kadang-kadang menjengkelkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahkan banyak mahasiswa-mahasiswanya yang jauh lebih radikal darinya.

Sungguhpun demikian; untuk kebanyakan orang Indonesia, peranan Kahin sebenarnya tidak jauh berbeda dengan peranan Pauker. Kahin jalan terus untuk mengajar, sedang Pauker pergi ke RAND dan CIA. Akan tetapi pengaruhnya terhadap pembangunan bangsa Indonesia adalah sama.***

BERKELEY – TIMUR

MIT dan Cornell bertugas untuk membuat hubungan, mengumpulkan data dan mendidik tenaga ahli. Tugas selanjutnya jatuh pada Berkeley, yang harus melatih tokoh-tokoh Indonesia yang akan memegang peranan dan merebut kekuasaan pemerintahan itu, untuk kemudian mempraktekkan ajaran-ajarannya yang pro-Amerika itu. Dekan Fakultas Ekonominya Soemitro Djojohadikusumo menyediakan kampus akademis yang sempurna bagi para laskar ekonomi tersebut.

Untuk mengawasi proyek tersebut, Presiden Ford, Paul Hoffman menugaskan teman-teman lainnya, yaitu Michael Harris. Harris ini adalah orang yang pernah menjadi organisator CIO dan di bawah Hoffman yang mengetuai program Marshall Plan di Perancis, Swedia dan Jerman.

Menurut seorang professor dari Berkeley yang mengenal dia dari dekat, Harris adalah “seorang yang mempunyai tipe seperti Lovestone, seorang pemimpin buruh yang menjadikan kegiatan-kegiatan anti komunisnya bersama-sama dengan pemerintah sebagai suatu jabatan”.

Pada tahun 1951, Harris mengenal Soemitro Djojohadikusumo, ia pernah mengadakan survei Marshall Plan di Indonesia. Sebelum berangkat ke Indonesia, terlebih dulu dia telah mendapatkan briefing seluas-luasnya dari Delson, promotor Soemitro Djojohadikusumo di New York, yang juga menjadi penasehat hukum pemerintah Indonesia sejak 1949. Harris tiba di Jakarta tahun 1955, untuk membuatkan Soemitro Djojohadikusumo program baru untuk sarjana ekonomi dengan biaya Ford.

Dalam kesempatan ini tugas dipercayakan kepada Universitas Berkeley untuk memberikan sentuhan profesional dan kehormatan bidang akademis. Tugas pertama dari Team Berkeley ini adalah untuk mengganti professor-professor Belanda yang dikeluarkan oleh Soekarno, dan untuk membantu rekan-rekan junior Soemitro Djojohadikusumo di fakultasnya sehingga Ford dapat mengirim mereka kembali ke Berkeley untuk mendapatkan diploma yang lebih tinggi. Dalam pada itu di Berkeley sendiri sudah ada Sadli, yang bersama dengan Pauker (orangnya NET) yang memimpin New Center for South and Southeast Asian Studies (Pusat Studi Asia Selatan dan Tenggara). Anak didik Soemitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, memimpin rombongan pertama yang pergi ke Berkeley.

Sementara warga muda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sedang belajar ekonomi Amerika di ruangan-ruangan kuliah di Berkeley, pada saat yang sama para professor-professor dari Berkeley dengan giat merombak Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta menjadi sekolah ekonomi, statistik dan administrasi niaga a la Amerika.

Soekarno keberatan. Dalam suatu kuliah tahunan di fakultas, seorang dari anggota tim, Bruce Glassburner ingat bahwa Soekarno mengeluh. “Yang bisa mereka katakan pada saya hanyalah ‘Schumpeter and Keynes `(teori-teori ekonomi liberal -Pen) sedang waktu saya muda, saya membaca Marx “ kata Soekarno.

Soekarno boleh menggerutu dan mengeluh, tetapi kalau dia memerlukan segala macam bantuan pendidikan, dia harus menerima apa yang ia peroleh.

“Ketika Soekarno mengancam akan menghentikan pelajaran ekonomi Barat” kata John Howard yang lama menjabat direktur dari International Training and Research Program dari Ford, “Ford mengancam akan menghentikan semua program bantuan, dan hal ini berhasil merubah sikap Soekarno”.

Staf Berkeley juga turut serta dalam usahanya untuk meminggirkan garis sosialismenya Sukarno dan politik nasional Indonesia. “Dalam tahun-tahun 1958-1959 kita dapat banyak tekanan-tekanan untuk merombak kurikulum”, demikian Glassburner. “Kita berusaha mengakalinya. Kita pakai kata sosialisme sebanyak mungkin dalam judul-judul kuliah, tetapi yang sebenarnya isinya lain. Kita tetap berusaha untuk memelihara integritas akademis”.

Proyek yang berlangsung 6 tahun dengan biaya US $ 2,500,000. itu, walaupun tidak pernah dinyatakan, sebenarnya mempunyai tujuan yang jelas. Sebagaimana dijelaskan oleh John Howard sendiri, “Menurut Ford ini adalah melatih orang-orang yang akan memimpin negara (Indonesia) apabila Soekarno sudah tidak memerintah lagi”.

Pantainya Soemitro Djojohadikusumo, PSI yang kecil itu, tak bisa diharapkan untuk mengalahkan Soekarno lewat PEMILU. Tetapi Soemitro Djojohadikusumo merasa, bahwa PSI akan dapat mempunyai pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan apa yang mungkin didapat dengan melalui pemungutan suara, yaitu dengan menempatkan orang-orangnya pada jabatan-jabatan yang merupakan kunci dalam pemerintahan”. Demikian diceritakan oleh Len Doyle, seorang profesor bisnis dari Irlandia, orang yang menjabat ketua pertama dari proyek itu.

Waktu Soemitro Djojohadikusumo dalam pengasingan, fakultasnya jalan terus. Para mahasiswanya mengunjungi dia secara diam-diam dalam perjalanannya ke dan dari Amerika Serikat. Orang-orang Amerika yang berkuasa seperti Harry Goldberg, dan seorang pemimpin buruh yang juga merangkap kepala program internasional CIA, yaitu Letnan Joy Loverstone, memelihara hubungan rapat dan mengatur agar semua pesan-pesan Soemitro Djojohadikusumo sampai kepada orang-orangnya di Indonesia. Tidak ada Dekan yang ditunjuk untuk mengganti dia di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo adalah tetap Dekan “in absentia”.

Bermacam intrik yang non-akademis, hampir-hampir menyebabkan kericuhan di kalangan professor-professor yang konservatif. Kecuali professor Doyle, “Saya merasakan sebagian besar kesukaran yang harus saya hadapi mungkin disebabkan karena saya sendiri tidak begitu yakin terhadap posisi Soemitro Djojohadikusumo, sebagaimana halnya dengan wakil dari Ford Foundation dan mungkin CIA“ kata Doyle dalam suatu omongan.

Harris mencoba menyuruh Doyle untuk “menyewa 2-3 orang Amerika yang dekat dengan Soemitro Djojohadikusumo”. Salah seorang dari yang harus disewa itu adalah William Hollinger, kawan Soemitro Djojohadikusumo dari MIT-Team. Doyle menolak.

“Jelas bahwa Soemitro Djojohadikusumo akan melanjutkan memimpin fakultasnya dari Singapura”. Tetapi itu ia tidak bekerja dengan cara seperti itu, Doyle berkata, “saya berpendapat, bahwa universitas seharusnya jangan terlibat dalam apa yang pada hakekatnya merupakan pemberontakan terhadap pemerintah, meskipun kita bersimpati terhadap penyebab dan tujuan pemberontakan itu”.

Kegigihan Doyle yang sendirian mempertahankan integritas akademis melawan tekanan-tekanan politik yang disalurkan lewat Ford tidak mendapat penghargaan. Meskipun dia di kirim untuk 2 tahun, tetapi dia sudah dipanggil kembali oleh Berkeley ketika baru bertugas satu tahun.

Pejabat-pejabat Berkeley dengan hormat mengatakan: “Dia mencoba melaksanakan sesuatu yang lain. Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali memanggilnya pulang”. Sebetulnya Harris lah yang membuatnya demikian. “Menurut saya memang betul-betul ada persoalan antara Doyle dan fakultas” katanya.

Ralph Anspach, seorang anggota team Berkeley yang mendukung Doyle dan sekarang mengajar di San Francisco sangat muak terhadap apa yang disaksikannya di Jakarta sehingga ia tidak mau lagi mengajar ilmu ekonomi terapan.

“Saya merasa bahwa pada akhirnya saya akan merupakan bagian dari politik kekuasaan Amerika”, katanya, “memasukkan ilmu pengetahuan Amerika, dan sikap serta kebudayaan Amerika … menguasai negara-negara lain — dan melakukan ini semua dengan minum-minum dan dibayar dengan mahal. Saya baru saja keluar dari semua ini”.

Doyle dan Anspach adalah merupakan pengecualian. Kebanyakan dari profesor-profesor menganggap proyek — sebagaimana dimaksud oleh Ford— sebagai permulaan dari kariernya. Misalnya Glassburner, dia menyatakan: “Ini kesempatan luar biasa untuk saya. Tiga tahun di sana (Indonesia) telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi seorang ekonom. Menurut saya – saya telah menjadi ekonom pembangunan, dan saya telah mengenal Indonesia. Ini membuat perbedaan yang luar biasa dalam karier saya”.

Berkeley mengeluarkan orang-orangnya dari Jakarta pada tahun 1961-1962. Pertentangan antara perwakilan Ford dan ketua Berkeley seperti perebutan pimpinan atas proyek tersebut, mengakibatkan cepat berakhirnya proyek tersebut. Yang lebih penting adalah memang para professor tersebut sudah tidak diperlukan lagi, dan mungkin mereka secara politis menjadi beban tersendiri. Sementara itu, orang-orang dari kelompok Soemitro Djojohadikusumo dengan gelar-gelarnya yang mentereng telah kembali ke Indonesia dan mengambil alih kembali kendali Universitas.

Team Berkeley telah melaksanakan tugasnya dengan baik. “Jaga semuanya”, kata Glassburner dengan bangga. “Kita sudah memulainya …. dan dengan uang bantuan Ford Foundation, kita berhasil mendidik sekitar 40 ahli ekonomi”. Apa yang didapat Universitas dari itu? “Yaa, uang dan kepuasan telah melaksanakan tugas dengan balik”.

BAGIAN II
SEKOLAH UNTUK TENTARA

“Yang mengagumkan adalah bahwa kaum modernis itu mendapatkan kesempatan yang begitu luas untuk menguasai keadaan. Mereka mudah masuk, karena rejim militer yang berkuasa memilih untuk bersekutu dengan kaum intelektual dan akademisi, berbeda dengan yang lain-lain di dunia”

(Fortune, 1 Juni 1968 )

Pada tahun 1958, Pauker membeberkan pelajaran-pelajaran yang diperoleh sebagai akibat dari terisolasinya PSI dari rakyat pemilih dan kegagalan Soemitro Djojohadikusumo untuk mengadakan pemberontakan-pemberontakan di beberapa pulau, dalam suatu makalah yang dibaca luas yang berjudul “South East Asia as a Trouble Area in the Next Decade” (Asia Tenggara sebagai Daerah Bermasalah dalam Dekade Mendatang).

“Partai-partai semacam PSI tidak akan mampu untuk mengadakan kompetisi yang keras melawan komunisme”, tulisnya. “Komunisme pasti akan menang di Asia Tenggara kecuali kalau bisa didapatkan kekuasaan yang efektif untuk melawannya.” Ditulisnya, “Kekuatan untuk melawan yang ‘paling lengkap peralatannya’ adalah para perwira sebagai individu (oknum) dan Tentara Nasional sebagai struktur keorganisasiannya.”

Dari pengasingannya di Singapura, Soemitro Djojohadikusumo berpendapat, bahwa PSI dan Masyumi (dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA -Pen) yang telah diserang TNI itu sebenarnya adalah justru “sekutu yang sejati” dari Tentara. Tanpa mereka, secara politis Tentara akan terisolasi, katanya.

“Tetapi, untuk melaksanakan persekutuan itu, terlebih dulu rejim Soekarno harus ditumbangkan”. Sebelumnya Soemitro Djojohadikusumo telah memperingatkan agar jenderal-jenderal selalu mengadakan pengawasan yang ketat terhadap organisasi-organisasi tani komunis yang pertumbuhannya makin hari makin kuat. Dalam pada itu para sarjana-Ford, yang berada di bawah bimbingan Soemitro Djojohadikusumo, sudah mulai mengambil langkah-langkah untuk mengadakan pendekatan kembali.

Untung bagi Ford dan citra akademisnya, bahwa masih ada satu sekolah lagi, yaitu SESKOAD, sekolah perwira yang terletak di Bandung, 70 mil sebelah Tenggara Jakarta. SESKOAD ini adalah merupakan “pusat syaraf TNI”. Di sinilah para Jenderal memutuskan soal-soal keorganisasian dan politik; di sini pula para perwira senior secara bergiliran “ditatar” dengan buku-buku petunjuk dan metode-metode yang diambil dari Sekolah Komando di Fort Leavenworth Kansas – Amerika Serikat.

Pada tahun 1962, sewaktu team Berkeley sudah tidak ada lagi, Sadli, Widjojo Nitisastro, dkk dari Fakultas Ekonomi, secara teratur pergi ke Bandung untuk memberikan kuliah di SESKOAD. Frank Miller dari Ford yang menggantikan Harris di Jakarta, menceriterakan bahwa mereka (Sadli -Widjojo dkk.) memberi pelajaran tentang “aspek-aspek ekonomi dalam pertahanan”.

Pauker mempunyai ceritera yang lain lagi. Sejak pertengahan tahun 50an, dia cukup mengenal Staf Jenderal AD. Kesempatan pertama didapatnya dalam suatu tim MIT, dan yang kemudian dalam perjalanan-perjalanannya untuk RAND. Salah seorang sahabat baiknya adalah Kolonel Soewarto, deputy komandan SESKOAD. Kol. Soewarto adalah lulusan dari Fort Leavenworth pada tahun 1959. Pada tahun 1962 Pauker mengajak ke RAND. Sewaktu di RAND, di samping mempelajari “segala sesuatu tentang masalah-masalah Internasional”, Soewarto juga melihat bagaimana RAND “mengatur para ahli di negara tersebut untuk dijadikan konsultan”. Menurut Pauker, Soewarto telah kemasukan “ide-ide baru” pada waktu dia kembali ke Bandung.

“Empat atau lima orang ahli ekonomi dianggap sebagai ilmuwan sosial yang layak ditugaskan untuk memberikan kuliah dan mempelajari “masalah-masalah politik Indonesia di masa-masa yang akan datang” di SESKOAD.

Pada hakekatnya “para ahli” ini merupakan penasehat sipil tingkat tinggi bagi militer. Di SESKOAD mereka digabungkan dengan orang-orang PSI dan Masyumi lainnya yang merupakan lulusan dari program-program universitas seperti Miriam Budiardjo dari kelompok belajar-nya Pauker dari MIT, dan Selo Sumardjan dari program Kahin – Cornell, juga para senior dari ITB, di mana Universitas Kentucky sejak 1957 telah melakukan “institution building” untuk AID.

Dalam waktu yang singkat para ahli ekonomi ini telah masuk ke dalam komplotan anti komunisnya para Jenderal dan didukung oleh Soemitro dari pengasingan. Letjen Jani – Pangad, telah menarik beberapa Jenderal di sekelilingnya untuk menjadi “otak” (brain trust) para jenderal. Adalah sudah merupakan “rahasia umum”, bahwa Yani dan “brain trust”-nya, telah mengadakan diskusi tentang rencana cadangan (contingency-planning) guna “mencegah terjadinya kekacauan apabila Soekarno meninggal dunia secara mendadak”.

Menurut kolonel Willis G. Ethel, yang pada waktu itu menjabat atase pertahanan Amerika Serikat di Jakarta dan sahabat dekat Yani, sumbangan “mini-RAND”-nya Suwarto, adalah bahwa “para professor itu akan memberi kursus dalam contingency planning tersebut”. Kolonel Ethel adalah orang yang dekat dan dipercaya baik oleh Panglima Jani maupun oleh yang lain-lain yang ada dalam komando tertinggi militer, dia bahkan memperkenalkan mereka dengan permainan golf.

Sudah tentu yang mereka mengkhawatirkan tentang “mencegah kekacauan”. Mereka mengkhawatirkan PKI. “Mereka tidak akan membiarkan kaum komunis mengambil alih kekuasaan negara” kata kolonel Ethel. Di samping itu setiap perwira, kecuali yang berkepala batu, ataupun penasehat-penasehat, sudah tahu, bahwa dukungan rakyat terhadap Soekarno dan PKI begitu besar, maka pertumpahan darah akan terjadi, apabila sampai terjadi pertikaian.

Dalam pada itu, lain-lain institut juga bergabung dengan para ekonom dari Ford dalam mempersiapkan kelompok militer.

Perwira-perwira tinggi Indonesia mulai mengikuti program-program latihan Amerika Serikat dalam pertengahan tahun 50 an. Pada tahun 1965 kurang lebih 4.000 orang sudah mendapat pelajaran tentang komando Angkatan Darat dalam skala besar di Leavenworth dan tentang kontra pemberontakan di Fort Bragg. Sejak tahun 1962, ratusan perwira yang mengunjungi Harvard dan Siracuse telah memiliki keterampilan untuk memelihara organisasi ekonomi dan militer yang besar, dengan mendapat segala macam pelatihan mulai dari administrasi niaga dan manajemen kepegawaian sampai kepada pemotretan dari udara serta pelayaran. Selanjutnya “Public Safety Program” dari AID di Pilipina dan Malaya melatih serta melengkapi Brigade Mobile dari kepolisian Indonesia.

Melalui program bantuan Amerika, Angkatan Darat, di samping terus mengembangkan keahlian dan perspektifnya, juga meningkatkan peranan dan pengaruhnya di bidang politik dan ekonomi. Berdasarkan hukum darurat yang dinyatakan oleh Soekarno sehubungan dengan adanya pemberontakan di beberapa pulau, Angkatan Darat menjadi sangat berkuasa di Indonesia. Panglima-panglima Daerah mengambil alih Pemerintahan Propinsi, hal ini tentu merugikan PKI yang mendapat kemenangan dalam pemilihan anggota DPRD tahun 1957.

Karena takut kalau-kalau PKI menang mutlak dalam pemilu tahun 1959, para jenderal membujuk Soekarno agar menunda pemilu selama 6 tahun. Kemudian para jenderal ini dengan cepatnya mengendalikan puncak-puncak kekuasaan “demokrasi terpimpin” di bawah Soekarno, meningkatkan jumlah kementerian yang dikuasai hingga saat menjelang kudeta tahun 1965.

Karena bingung melihat keraguan Angkatan Darat mengambil ambil alih seluruh kekuasaan secara mutlak, para jurnalis menamakannya “kudeta yang merayap (creeping coup d’etat). Sementara Jenderal Nasution menyebutkan itu sebagai “jalan tengah”.

Angkatan Darat juga bergerak di bidang ekonomi. Hal ini dimulai terlebih dahulu dengan menguasai “pengendalian pengawasan”, untuk kemudian menduduki kursi-kursi direksi yang penting dari perusahaan milik Belanda yang dikuasai oleh serikat buruh PKI “untuk rakyat” ketika diadakan konfrontasi pengembalian Irian Barat pada Republik Indonesia pada tahun 1957.

Walhasil, para Jenderal pada menguasai perkebunan-perkebunan; industri kecil; perusahaan-perusahaan negara minyak dan timah, dan perusahaan-perusahaan eksport-import milik negara, yang pada tahun 1965 memonopoli pembelian-pembelian pemerintah dan kemudian meluas hingga penggilingan, pengapalan dan distribusi gula.

Para perwira tinggi yang tidak dilahirkan dalam aristokrasi Indonesia dapat dengan cepat menempatkan dirinya dan di desa-desa mereka membuat persekutuan (sering melalui keluarga) dengan para santri-tuan tanah yang menjadi tulang punggung dari partai Masyumi. Robert Shaplen dari New York Time menulis: “Angkatan Darat dan Polisi jelas menguasai seluruh aparatur negara”. Willard Hanna dari American University menamakannya sebagai “suatu bentuk baru pemerintahan — perusahaan swasta militer”.

Ternyata “aspek ekonomi dari pertahanan” sebagai dimaksud oleh para ahli ekonomi tersebut di atas mencakup soal yang sangat luas di SESKOAD. Bahkan para professor itu membuatnya lebih luas lagi dengan juga mempersiapkan haluan ekonomi Indonesia untuk masa setelah pemerintahan Soekarno.

Walaupun kemenangan-kemenangan yang didapat dalam pemungutan suara di daerah-daerah seakan-akan ditiadakan dan PKI yang tidak mau memutuskan hubungan dengan Soekarno, tetap berusaha untuk sedapat mungkin masih dapat menarik keuntungan dari “demokrasi terpimpin”, dengan mengambil bagian dalam kabinet koalisi bersama-sama dengan tentara. Pauker menganggap strategi PKI itu sebagai “usaha untuk tetap membuka jalan di parlemen”, sambil berdaya upaya untuk mendapatkan kekuasaan melalui jalan “aklamasi”. Itu berarti membangun prestise PKI sebagai “satu-satunya kekuatan politik dalam negara, yang padu, bertujuan, berdisiplin, terorganisasi baik dan mampu”, sebagai tempat orang-orang Indonesia akan berbalik apabila “kemungkinan-kemungkinan penyelesaian yang lain telah gagal”.

Dilihat dari angkanya, komunis terlihat berhasil. Federasi buruh terbesar, organisasi petani, perkumpulan perempuan dan kelompok pemuda adalah anggota PKI. Pada tahun 1965, 3.000.000 orang Indonesia – sebagian besar di pulau Jawa yang padat – adalah anggota PKI, dan kira-kira 17.000.000 orang adalah anggota-anggota dari organisasi massa yang tergabung di dalamnya. Dengan demikian PKI merupakan partai komunis terbesar di luar Rusia dan Tiongkok. Pada awal kemerdekaan, anggota partai tersebut hanya 8.000 orang.

Pada bulan Desember 1963, Ketua PKI DN Aidit membenarkan “aksi sepihak” yang dilakukan oleh kaum tani untuk mendesakkan terlaksananya reformasi agraria (land reform) dan undang-undang bagi hasil yang telah ada, walaupun tuan-tuan tanah tidak memiliki tanah-tanah yang luas. Kurang dari separo dari petani-petani Indonesia, memiliki sendiri tanah garapannya, dan dari ini semua, sebagian besar memiliki kurang dari 1 acre ( 4356 M2 – Pen).

Soekarno yang melihat bahwa gerakan “aksi sepihak” itu akan membahayakan koalisinya, berusaha untuk menghentikannya dengan mendirikan pengadilan-pengadilan land-reform, yang di dalamnya duduk wakil-wakil kaum tani. Akan tetapi di desa-desa, polisi terus-menerus bentrok dengan petani — dan mengadakan penangkapan besar-besaran. Di beberapa daerah golongan pemuda santri mulai mengadakan serangan-serangan untuk membunuh para petani.

Karena Angkatan Darat memegang kekuasaan di sebagian besar daerah, aksi sepihak petani tersebut ditujukan terhadap kekuasaan AD. Pauker menamakan itu “perjuangan kelas di pedesaan”, dan menganggap bahwa PKI dengan demikian telah menempatkan diri di “arah yang berlawanan dengan Angkatan Darat”.

Berbeda dengan komunis Mao sebelum revolusi di Cina, PKI tidak mempunyai Tentara Merah. Sekali menempuh jalan parlementer, PKI tidak bisa ke luar dari itu. Pada tahun 1962, pemimpin-pemimpin PKI menuntut agar pemerintahan Soekarno (di mana mereka juga menjadi menteri-menteri dalam kabinet) membentuk “milisi rakyat” yang terdiri dari 5.000.000 buruh dan 10.000.000 tani bersenjata. Namun kala itu kekuasaan Soekarno sudah keropos. Angkatan Darat sudah merupakan negara dalam negara. Adalah mereka para tentara, dan bukan Soekarno atau PKI, yang memegang senjata.

Adu kekuatan terjadi pada bulan September 1965. Pada tanggal 30 malam, tentara, dibawah komando-komando perwira-perwira menengah yang mempunyai pendapat lain, bersama-sama dengan perwira-perwira dari AURI yang kecil, membunuh Jenderal Yani dan 5 orang anggota dari “brain trust” SESKOAD. Dengan dipimpin oleh Letkol Untung, para pemberontak merebut stasiun radio di Jakarta dan paginya menyiarkan bahwa G/30/S yang mereka lancarkan adalah ditujukan terhadap “Dewan Jenderal” yang mereka nyatakan disponsori CIA, dan merencanakan untuk mengadakan perebutan kekuasaan 4 hari lagi, yaitu pada hari Angkatan Perang.

Kudeta preventif Kolonel Untung digagalkan dalam waktu yang sangat singkat. Gerakan ini jelas tidak mempersiapkan demonstrasi-demonstrasi di jalanan, tidak mengadakan pemogokan-pemogokan, dan tidak ada perlawanan yang terkoordinir di desa-desa. Sungguhpun Soekarno, yang mengharap akan dapat mengembalikan imbangan kekuatan seperti keadaan sebelum kudeta, tidak tegas-tegas menentangnya.

Golongan Untung gagal dalam usahanya untuk membunuh Jenderal Nasution, sedangkan Jenderal Suharto, rupa-rupanya tidak termasuk dalam daftar mereka. Suharto mengerahkan para komando terpilih dan unit-unit dari Divisi Siliwangi Jawa Barat, menyerang pasukan Untung.

Pasukan Untung tidak percaya atas kemampuannya sendiri serta misi yang dibawakannya, sehingga mereka tidak mengadakan perlawanan sama sekali, waktu Suharto menggiring mereka dari posisi-posisi kuat yang telah mereka duduki. Kudeta berhasil digagalkan dalam satu hari.

Pimpinan Angkatan Darat segera menyalahkan terjadinya kudeta tersebut kepada kaum komunis, pernyataan yang sampai saat ini diikuti oleh pers Barat. Namun tidak adanya sama sekali kegiatan di jalan-jalan dan di desa-desa mengindikasikan tidak adanya keterlibatan PKI. Banyak ahli-ahli tentang Indonesia bersama-sama dengan Prof. W.F. Wertheim dari negeri Belanda percaya, bahwa “kudeta Untung sebagaimana dinyatakan oleh pimpinannya – adalah merupakan masalah intern Angkatan Darat yang mencerminkan adanya ketegangan-ketegangan yang serius antara perwira-perwira dari Divisi Diponegoro dengan Komando Tertinggi Angkatan Darat di Jakarta”.

Sebaliknya, kaum kiri, setelah terjadinya pembunuhan massal dan penggulingan Sukarno, berpendapat bahwa CIA sangat terlibat dalam peristiwa itu.

Memang sudah lama, staf Kedutaan Besar Amerika Serikat sering makan minum bersama para mahasiswa yang memimpin demonstrasi-demonstrasi untuk menggulingkan Soekarno. CIA memiliki hubungan yang dekat dengan Angkatan Darat, khususnya dengan Kepala Intel Achmad Sukendro. Setelah tahun 1958, Sukendro melatih kembali agen-agennya dengan bantuan Amerika Serikat. Dan pada tahun enam puluhan dia pergi belajar ke Universitas Pittsburg di Amerika. Di samping itu, baik Sukendro maupun lain-lain anggota Pimpinan Komando Indonesia juga mengadakan hubungan erat dengan atase-atase militer Kedutaan Amerika, yang rupanya menjadi penghubung utama Washington dengan Angkatan Darat, sebelum dan sesudah percobaan kudeta.

Dan melihat keadaan serta sejarah dari para jenderal dengan para sekutu “modernis” serta penasehat-penasehatnya, adalah jelas, bahwa dalam hal ini baik CIA maupun Pentagon tidak perlu memainkan peranan lebih, cukup sekadar peran pembantu.

Para professor dapat membantu membuatkan rencana “cadangan” bagi Angkatan Darat, tetapi tidak da yang meminta mereka melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan membuat “revolusi”. Mereka dapat menyerahkan tugas ini kepada para mahasiswa. Angkatan Darat tidak mempunyai organisasi massa, oleh karenanya Angkatan Darat sangat bergantung pada para pelajar dan mahasiswa itu dalam usahanya untuk menumbuhkan kepercayaan serta dukungan rakyat untuk memelihara kepemimpinan selanjutnya. Para pelajar itulah yang menuntut dan akhirnya mendapatkan “kepala Soekarno”, dan mereka pulalah yang melakukan propaganda dan meneriakkan jihad di desa-desa.

Akhir Oktober, Brigjen Syarif Thajeb – seorang yang digembleng di Harvard dan kemudian menjadi Menteri Perguruan Tinggi (kemudian duta besar untuk AS) mengumpulkan pemimpin-pemimpin mahasiswa di rumahnya untuk membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Banyak di antara pemimpin-pemimpin KAMI adalah mahasiswa-mahasiswa lama yang telah kena bujuk oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat. Sebagian dari mereka telah pergi ke Amerika Serikat dalam rangka American Field Service Exchange Students (pertukaran pelajar), atau mengadakan perjalanan selama satu tahun dalam rangka “Foreign Student Leadership Project “ (Proyek Kepemimpinan untuk Pelajar Asing) yang disponsori oleh National Student Association (Asosiasi Pelajar) Amerika Serikat pada tahun-tahun sewaktu diasuh oleh CIA.

Beberapa bulan sebelum kudeta, Duta Besar Amerika Serikat, Marshall Green tiba di Jakarta. Kedatangannya bersama reputasinya yang gemilang dalam mendalangi mahasiswa-mahasiswa Korea Selatan untuk menggulingkan Presiden Syngman Rhee, membawa desas-desus bahwa kedatangannya ke Jakarta adalah juga bertujuan untuk berbuat seperti di Korea Selatan itu. Setelah coup, buku-buku petunjuk untuk mengorganisir para pelajar segera dibagikan oleh Kedutaan Amerika Serikat kepada para pemimpin KAMI, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Korea.

Kepemimpinan KAMI yang paling militan datang dari Bandung, karena di ITB untuk selama 10 tahun Universitas Kentucky telah melaksanakan program “pembangunan institusi”-nya dan juga telah mengirim hampir 500 mahasiswa untuk mendapatkan pelatihan di Amerika Serikat.

Mahasiswa-mahasiswa dari universitas-universitas utama di Indonesia telah mendapatkan latihan para militer dari Angkatan Darat dalam rangka suatu program yang disarankan oleh seorang kolonel ROTC dari Berkeley yang sedang berlibur. Latihan mahasiswa-mahasiswa itu adalah “dalam rangka menghadapi usaha kaum komunis untuk merebut pemerintahan”, tulis Harsya W. Bachtiar, seorang ahli sosiologi Indonesia lulusan dari Cornell dan Harvard.

Di Bandung tempat markas Divisi Siliwangi yang terkenal berada, pada bulan-bulan sebelum kudeta latihan para militer mahasiswa ditingkatkan. Para pemimpin mahasiswa santri sesumbar menceriterakan pada teman-temannya dari Amerika, bahwa mereka sedang mengembangkan hubungan-hubungan organisatoris dengan golongan-golongan pemuda Islam ekstrimis di desa-desa. Golongan-golongan inilah yang kemudian menjadi ujung tombak pembunuhan massal terhadap pengikut-pengikut PKI dan petani-petani simpatisannya.

Pada pemakaman putri Jenderal Nasution yang menjadi korban salah tembak saat Untung mengadakan kudeta, Panglima Angkatan Laut Martadinata menyatakan kepada pemimpin-pemimpin mahasiswa santri untuk “menyapu bersih”. Pesannya adalah “bahwa mereka (para mahasiswa) boleh pergi membersihkan kaum komunis tanpa halangan sedikit pun dari pihak militer” demikian ditulis John Hughes, koresponden Christian Science Monitor untuk Asia.

“Dengan enaknya mereka (pemimpin-pemimpin pemuda-mahasiswa) itu mengerahkan pengikut-pengikutnya. Dengan membawa golok, pistol di pinggang dan pentungan di pundak, mereka berangkat melakukan tugas yang telah lama mereka harapkan itu”. Sebagai permulaan mereka membakar Kantor Pusat PKI. Ribuan orang PKI dan pendukung Soekarno mereka tahan di Jakarta. Anggota-anggota Kabinet dan Parlemen di “skors” untuk selamanya, dan mulailah pembersihan di Departemen-Departemen.

Pada tanggal 17 Oktrober 1965, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo memindahkan pasukan RPKAD-nya (Pasukan “Baret Merah”) ke daerah yang merupakan benteng PKI di Jawa Tengah, yaitu di sekitar daerah segitiga: Boyolali – Klaten Solo. Kata Hughes, tugasnya adalah “untuk membasmi jantung Partai Komunis di sana dengan cara apa saja yang diperlukan”. Setibanya di sana, Sarwo Edhi merasa kekurangan pasukan. “Kita memutuskan untuk mendorong rakyat sipil anti-komunis agar membantu pekerjaan kita”, katanya kepada Hughes. “Di Solo kita kumpulkan pemuda-pemuda, golongan Nasionalis maupun Islam. Kita latih mereka barang dua-tiga hari, kemudian kita kirim mereka untuk membunuhi orang-orang komunis”.

Dalam pada itu para mahasiswa ITB, yang telah mendapat pelajaran dari Team AID Kentucky, bagaimana membuat dan mengoperasikan pemancar radio, dimanfaatkan oleh pasukan elit yang dipimpin Sarwo Edhi tersebut, untuk menbuat unit-unit kecil pemancar radio (radio-radio amatir) dalam jumlah yang besar dan disebarkan di seluruh pusat-pusat kekuatan PKI di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Beberapa di antaranya mendorong kaum fanatik setempat untuk berjihad melawan kaum komunis. Kedutaan Besar Amerika Serikat membantu menyediakan suku cadang dan peralatan yang diperlukan.

Majalah “ Time “ menggambarkan hebatnya penyembelihan di Jawa pada pertengahan bulan Desember 1965 sebagai berikut :

Mahasiswa-mahasiswa dari Bandung dan Jakarta dibawa oleh Angkatan Darat untuk mengadakan riset tentang jumlah korban yang terbunuh. Laporan mereka tidak pernah dipublikasikan, tetapi bocoran yang didapat dari orang dalam kepada Frank Palmos, menyebutkan diperkirakan telah menelan 1.000.000. korban “Di daerah segi tiga” PKI, yaitu Boyolali, Klaten dan Solo, “hampir sepertiga dari penduduk mati atau hilang” demikian dilaporkan Palmos. Kebanyakan peninjau membuat perkiraan yang tinggi dan menaksir angka kematian sekitar tiga ratus sampai lima ratus ribu.

Para pelajar KAMI memegang peran mematikan kota Jakarta dengan demonstrasi-demonstrasi anti Komunis, dan anti Soekarno dipandang perlu. Pada bulan Desember 1965 untuk pertama kalinya Kolonel Sarwo Edhi berpidato di depan rapat KAMI di Jakarta. Pasukan-pasukan RPKAD membantu KAMI dengan truck, pengeras suara, serta memberikan perlindungannya. Para demonstran KAMI benar-benar menguasai kota Jakarta sekehendak hatinya.

“Ide-ide bahwa komunisme adalah musuh rakyat nomor satu, bahwa Tiongkok Komunis adalah bukan negara sahabat lagi melainkan ancaman bagi keamanan negara, serta korupsi dan inefisiensi di tingkat atas pemerintahan pusat, disebarluaskan di jalan-jalan di Jakarta”, kata Harsja Bachtiar, yang hasil penyelidikannya sebagai sarjana merupakan catatan peristiwa-peristiwa tersebut.

Pemimpin-pemimpin PSI dan Masyumi setelah selesai dididik oleh Ford dan profesor-profesornya akhirnya tiba kembali pulang. Mereka memberikan saran dan uang kepada para mahasiswa, sedangkan profesor-profesor yang berorientasi-PSI menjaga “hubungan erat sebagai penasehat-penasehat” dari para mahasiswa, kemudian membentuk Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI). Emil Salim, salah seorang ahli ekonomi yang baru saja datang dengan gelar doktor dari Berkeley, termasuk dalam pimpinan KASI. Ayah Emil Salim adalah seorang yang telah membersihkan sayap komunis dari dalam organisasi nasionalis terkuat sebelum perang, dan yang kemudian menjabat Menteri dalam Kabinet Masyumi sebelum kedaulatan Indonesia diakui.

Pada bulan Januari 1966, para ahli ekonomi tersebut menjadi berita utama dalam media di Jakarta dengan mengadakan Seminar Ekonomi dan Keuangan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia selama satu minggu. Pada prinsipnya seminar ini merupakan…..suatu demonstrasi (pameran) kerja sama dan solidaritas di antara para anggota KAMI, para intelektual anti Komunis, dan pimpinan Angkatan Darat. Seminar mendengarkan makalah-makalah dari Jenderal Nasution, Adam Malik dan tokoh lain-lain yang melawan dan menentang legitimasi dan kompetensi para elit dibawah pimpinan Presiden Soekarno.

Sebenarnya seminar ini merupakan suatu pengantar dari haluan ekonomi Ford, yang segera dimasukkan setelah terjadinya kudeta di Jakarta.

Pada bulan Maret, Jenderal Soeharto menghapuskan kekuasaan resmi Soekarno, dan mengangkat dirinya sebagai Pejabat Presiden. Dia mengajak pejuang politik Adam Malik dan Sultan Jogya untuk duduk bersama-sama dalam pemerintahan tiga serangkai.

Jenderal-Jenderal yang telah dikenal baik oleh para teknokrat sebagai SESKOAD – Yani dan brain-trust-nya telah terbunuh semua. Namun dengan bantuan Selo Sumardjan, yaitu seorang anak murid Kahin, akhirnya para teknokrat berhasil menjadi pembisik bagi Sultan dan kemudian juga Suharto mempengaruhi bahwa pihak Amerika akan perlu penekanan terhadap inflasi dan secepatnya akan kembali kepada “ekonomi pasar” (market economy). Pada tanggal 12 April 1967, Sultan mengumumkan suatu pernyataan politik yang sangat penting yaitu berupa garis besar program ekonomi rejim baru itu – pada kenyataannya merupakan pengumuman tentang kembalinya Indonesia ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.

Dalam memerinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja digariskan oleh Sultan itu, para teknokrat mendapatkan bantuan dari sumber yang memang telah diduga – Amerika Serikat. Ketika Widjojo kebingungan dalam menyusun rencana stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, seorang ekonom dari Harvard yang baru saja menyelesaikan pembuatan peraturan-peraturan perbankan di Korea Selatan, untuk membantu Widjojo dalam menyusun rancangan rencana tersebut. Juga Sadli, meskipun sudah mendapatkan gelar doctor, tetapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedutaan Besar Amerika Serikat, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.

“Itu adalah usaha team. Pada waktu itu kita semua, para ekonom Indonesia, ekonom Amerika Serikat dan AID bekerjasama “, demikian menurut Calvin Cowles, orang AID yang pertama hadir di sana.

Pada permulaan September 1967, ahli-ahli ekonomi itu telah berhasil menyelesaikan rancangannya. Dan para jenderal diyakinkan akan manfaat rancangan tersebut. Setelah seminar singkat di SESKOAD, Soeharto menunjuk kelima orang paling top dari fakultas ekonomi tersebut sebagai Tim Ahli untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan, untuk gagasan tersebut Frank Miller dari Ford layak mendapat penghargaan.

BAGIAN III
HARVARD: SEMUA DIBAWA PULANG

“Kita tidak dapat lagi menggambarkan suatu skenario yang lebih ideal lagi daripada apa yang telah terjadi. Orang-orang itu (para ekonom) begitu mudah masuk dalam pemerintahan dan mengambil alih pimpinan (management) urusan-urusan ekonomi, dan mereka meminta kita untuk bekerjasama terus dengan mereka”.

Gus Papanek, President Development
Advisory Service di Harvard.

“Kita menyaksikan kembalinya pandangan pragmatis yang menjadi ciri pokok dari koalisi PSI-Masyumi pada permulaan tahun 50-an, yaitu pada waktu Soemitro menguasai permainan”, demikian dijelaskan oleh seorang “insider” yang mendapat posisi sangat baik pada tahun 1966.

Dalam tahun itu juga (1966) Soemitro Djojohadikusumo secara diam-diam masuk kembali ke Jakarta. Dia segera membuka kantor konsultasi dagang, sambil menyiapkan diri untuk menduduki jabatan tinggi. Tidak lama kemudian terjadilah apa yang diharapkan. Begitu mendapatkan kesanggupan bantuan dari “raja-raja uang international”, rejim jenderal di Indonesia segera membentuk “Kabinet Pembangunan”.

Pada bulan Juni 1968, Jenderal Suharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan Ford, yang di Jakarta terkenal sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya).

v  Sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Soemitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari Rotterdam).

v  Sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy dari Berkeley, 1961).

v  Sebagai Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ).

v  Sebagai Direktur Jenderal Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964)

v  Sebagai Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy dari Berkeley, 1962).

v  Sebagai Ketua Team Penanaman Modal Asing (P.NIA) dirunjuk Moh. Sadli ( Master of Science dari MIT, 1956).

v  Sebagai Sekjen. Departemen Perindustrian ditunjuk Barli Halim (Master of Business Administration dari Berkeley, 1959 ).

v  Sedang “Koko” Sudjatmoko, yang sebelumnya menjadi penasehat Adam Malik, diangkat menjadi Duta Besar di Washington.

“Kita merasa, bahwa kita telah cukup melatih diri kita untuk itu, suatu kesempatan bersejarah yang menentukan jalannya kejadian”, demikian Sadli menyatakan pada reporter Fortune. Untuk mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, Ford segera melengkapi “orang Indonesia” (yang telah menduduki jabatan penting tsb.) dengan suatu hadiah “bantuan ahli” yang berupa suatu tim Pembangunan dari Harvard.

Development Advisory Service (DAS) dari Harvard ini adalah suatu kesatuan elite dari kaum modernis internasional yang dibiayai oleh Ford, yang sudah sejak tahun 1954 membawa pengaruh Ford kepada badan-badan perancang nasional di Pakistan, Argentina, Liberia, Columbia, Malaysia dan Ghana.

Secara resmi proyek Harvard – DAS ini di Indonesia baru dimulai pada tanggal 1 Juli 1968. Tetapi jauh sebelumnya, Kepala DAS — Gus Papanek, telah menanamkan orang-orangnya di Indonesia. Orang-orang inilah yang bersama-sama Cal Cowles dari AID pada tahun-tahun 50-an dan 60an mengembalikan “tangan-tangan lama” untuk Indonesia itu. Dengan dibiayai oleh Ford/ Harvard, David Cole kembali bekerja di Indonesia bersama Widjojo Nitisastro. Leon Mears, seorang ahli ekonomi pertanian yang sudah pernah mempelajari pemasaran beras di Indonesia di proyek Berkeley, datang ke Indonesia sebagai staf AID. Dia kemudian menetap sebagai tenaga dari Harvard. Dalam pada itu, Bill Hollinger, yaitu kawan lama Soemitro Djojohakusumo dari MIT, pindah dari proyek DAS di Liberia untuk mendampingi Soemitro Djojohadikusumo di Departemen Perdagangan.

“Orang-orang Harvard adalah penasehat-penasehat”, kata Wakil Direktur DAS, Lister Gordon, “Sekadar penasehat-penasehat asing yang tidak mengurusi pekerjaan administrasi, sehingga dengan demikian mempunyai waktu cukup untuk berpikir dan memikirkan gagasan-gagasan baru.”

“Mereka bekerja seperti pegawai Pemerintah”, tetapi diatur sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa orang-orang asing itulah yang mengerjakan segalanya. Pernah, karena didiskreditkan, mereka harus keluar dari Pakistan. “Kita berada di belakang layar ”, katanya.

Mereka juga berada di belakang layar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pada musim dingin tahun 1967-1968, berkat adanya panen yang baik dan beras dari “Food for Peace” Amerika Serikat yang diberikan pada saat-saat yang kritis, telah berhasil menekan harga dan untuk sementara dapat mendinginkan situasi politik.

Hollinger, orang dari DAS yang pertama muncul, datang pada bulan Maret, dan bekerja sepenuhnya untuk membantu para teknokrat dalam merencanakan strategi dan rencana pembangunannya. Dengan kedatangan teknokrat-teknokrat lainnya dari Amerika Serikat, maka mereka bersama-sama melanjutkan pekerjaan perencanaan tersebut.

“Apakah kita yang menghasilkan ataukah Ford Foundation yang menghasilkan, ataukah orang-orang Indonesia ?” tanya Cal Cowles dari AID, “Saya tidak tahu “.

Tanpa ramai-ramai, rencana tersebut mulai dilaksanakan pada bulan Januari 1969, dengan elemen utama mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Rencana itu merupakan “rencana pembangunan Amerika akhir abad ke 20”, yang kedengarannya sama dengan strategi kolonial Belanda cara pertengahan pada abad ke-19. (Ingat Etische Politieke – Politik Balas Budi penjajah Belanda dengan program 3 si nya: irigasi, edukasi dan transmigrasi, dan Opendeur Politieke-nya Penjajah Belanda yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal asing imperialisme internasional sesudah tahun 1850-an). Pada waktu itu (jaman penjajahan Belanda), buruh Indonesia — sering berfungsi sebagai pekerja rodi— menggantikan modal Belanda dalam pembuatan jalan-jalan dan penggalian saluran irigasi yang sangat diperlukan oleh perkebunan-perkebunan komersial untuk kapitalis Belanda.

Dipergunakannya: teknologi pertanian “modern” berhasil meningkatkan produksi padi di Jawa yang sangat diperlukan untuk mengimbangi meningkatnya jumlah penduduk. Rencana tersebut benar-benar mendatangkan pembaruan industri bagi negeri Belanda, tetapi sebaliknya hanya mengakibatkan makin meluasnya penderitaan di Indonesia. Sebagaimana halnya dengan strategi penjajah Belanda, Repelita, yang merupakan hasil kerja kaum terpelajar dari Ford itu, juga mempergunakan teknologi pertanian “modern” –yang disebut juga “revolusi hijau” dengan menggunakan bibit unggul padi hibrida— untuk mengimbangi kecepatan pertumbuhan penduduk di desa-desa dan untuk mencegah terjadinya perubahan yang “eksplosif” dalam kehidupan sosial, seperti misalnya dalam hubungan antar kelas-kelas sosial.

Walaupun AID pada waktu itu telah membantu proyek Center for South and South East Asian Studies di Berkeley, dengan maksud untuk mengadakan penggemblengan di perguruan tinggi, sebagaimana yang sudah dijalankan waktu itu, namun usaha ini tidak membawa hasil. Setelah diadakan perundingan dengan seorang sosiolog dari Harvard yaitu Harsja Bachtiar, yang sekarang memimpin lembaga riset di Fakultas dengan bantuan biaya Ford, maka kemudian proyek tersebut dimaksudkan untuk melatih sosiolog-sosiolog Indonesia guna “memodernkan” hubungan antara kaum tani dengan kekuasaan Angkatan Darat di seluruh negeri.

Rencana bidang pertanian ini dilaksanakan oleh team pertanian istimewa dari pemerintah pusat, yang orang-orangnya pernah dilatih di Institut Pertanian Bogor, dalam program Universitas Kentucky yang dibiayai AID. Dalam pelaksanaannya dinas-dinas pertanian di daerah-daerah telah ditetapkan sebagai agen-agen tunggal dalam penjualan bibit serta pembelian beras, yang menempatkan mereka dalam persekutuan dengan komandan-komandan tentara di daerah —yang sering mengawasi perusahaan pengangkutan beras dan santri-santri tuan tanah yang peningkatan pendapatannya hanya dipergunakan untuk menambah kekayaan pribadinya. Para petani merasa berada dalam keadaan tidak berdaya, akan tetapi apabila mereka berani menentang, mereka akan dinyatakan menghambat program nasional, antek-antek PKI, dan tentara akan menindaknya.

Menurut observasi professor Belanda, Wertheim, rejim yang berkuasa di Indonesia sekarang ini “terang-terangan melakukan perjuangan rejimnya sendiri” dalam suatu bentuk perjuangan yang harus “dimodernisasikan” oleh kaum teknokrat lulusan Harvard.

Ditinjau dari sudut ekonomi, maka yang menjadi masalah pokok sekarang adalah pengangguran yang semakin meluas di Indonesia, sedangkan dari sudut politik Suharto perlu melegitimasi kekuasaannya melalui PEMILU. “Apabila Suharto dipilih oleh rakyat, maka ini akan lebih baik bagi pemerintah, bukan hanya sekadar menghindari kekacauan” demikian dilaporkan oleh Papanek pada bulan Oktober 1968. Papanek mengatakan bahwa “program pekerjaan yang betul-betul luas, yang dibiayai oleh impor barang-barang PL 480 yang dijual dengan harga murah, dapat dengan cepat memberikan keuntungan-keuntungan politis dan ekonomis di desa-desa”.

Harvard mengusulkan program terbarunya yang disebut “pembangunan pedesaan”, yang akan memperkokoh kekuasaan komandan-komandan militer di daerah-daerah. Kucuran dana-dana yang dimaksudkan untuk mengembangkan proyek padat karya, program ini diharapkan dapat meningkatkan otonomi daerah melalui pemerintah setempat. Uangnya ternyata terutama mengisi kantong-kantong militer atau untuk suap sehingga mereka tetap menguasai penduduk sipil. Direktur DAS, Papanek, mengakui, bahwa programnya sebenarnya untuk masyarakat sipil dalam pengertian yang luas, sebab penguasa-penguasa daerah kebanyakan orang-orang militer. “Lagipula militer menguasai dua macam tenaga buruh yang sangat banyak dan murah, dan nyatanya mereka – mereka ini sudah bekerja untuk `pembangunan desa’”.

Tenaga-tenaga tersebut, yang pertama adalah 300.000 orang tentara itu sendiri. Sedang lainnya adalah 120.000 tahanan politik, yang sampai sekarang masih ditahan dalam rangka pembersihan yang dilakukan oleh militer terhadap orang-orang komunis pada tahun 1965-1966. Beberapa peninjau memperkirakan, bahwa masih ada lagi tahanan yang jumlahnya dua kali lipat tahanan tersebut, yang bukan anggota PKI, tetapi Angkatan Darat khawatir mereka telah menjadi komunis setelah berada di kamp-kamp konsentrasi itu.

Meskipun beras yang berasal dari PL 480 (Food for Peace) melimpah, tetapi tidak ada sedikitpun yang diberikan pada para tahanan. Karena untuk mereka pemerintah telah menyediakan uang makan sedikit diatas satu penny setiap harinya (kurang lebih Rp. 5,-).

Sedikitnya dua wartawan telah memberitakan tentang keadaan para tahanan di Sumatra, yang ditempatkan di tengah-tengah perkebunan karet milik Good Year, di mana mereka sebagai buruh yang tergabung dalam PKI pernah bekerja sebelum adanya pembunuhan massal. Sekarang, demikian koresponden-koresponden tersebut, mereka menyadap pohon-pohon itu dengan upah rendah, yang dibayarkan kepada para penjaga.

Di Jawa Tengah, Angkatan Darat mempekerjakan para tawanan untuk pembuatan dan perbaikan jalan-jalan serta pekerjaan umumya lainnya. Pada tahun 1968 Professor Herbert Feith dari Australia diajak berkeliling satu kota di Jawa, di mana para tawanan telah membangun rumah untuk jaksa, gedung sekolah, Masjid dan yang sedang dibangun waktu itu ialah gereja Katholik. Diterangkan kepadanya bahwa “Sangat mudah untuk membuat mereka bekerja, cuma perlu dipaksa sedikit”.

Para jenderal takut untuk mendemobilisir pasukan-pasukan, sebagaimana mereka juga takut dan tidak mau untuk membebaskan para tawanan. Dalam hubungan ini seorang pegawai Departemen Luar Negeri menerangkan: “Kita tidak dapat menambah jumlah kaum penganggur dengan orang-orang yang tahu bagaimana cara menembakkan senjata”. Sebagai konsekuensinya, maka makin banyak anggota pasukan harus dipekerjakan sebagai tenaga buruh dalam pembangunan jalan-jalan, yang untuk ini, Pentagon (Departemen Pertahanan Amerika Serikat ) menyediakan alat-alat berikut penasehat-penasehatnya.

Dijadikannya Penanaman Modal Asing sebagai dasar dari Pelita, di samping merupakan balas jasa terhadap strategi Ford selama 20 tahun di Indonesia, adalah juga merupakan “periuk emas” yang harus dijaga oleh “kaum modernis” yang dibayar oleh Ford, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari Amerika.

Strategi penjajah Belanda dalam abad 19 mengutamakan pembangunan ekonomi eksport hasil pertanian. Tetapi orang-orang Amerika sekarang memusatkan perhatiannya pada pengolahan kekayaan alam, terutama pertambangan.

v  Freeport Sulphur membuka pertambangan di Irian Barat.

v  International Nickel telah berhasil memperoleh tambang nikel di Sulawesi.

v  Alcoa akan mengadakan perundingan untuk mendapatkan sebagian besar tambang bauxit di Indonesia.

v  Dalam pada itu Weyerhaeuser, International Paper, Boise Cascade dan perusahaan – perusahaan kayu dari Jepang, Korea dan Philipina akan menebangi kayu-kayu di hutan-hutan rimba di Sumatra, Irian Barat dan Kalimantan.

v  Suatu konsorsium dari pengusaha-pengusaha tambang raksasa dari Amerika Serikat dan Eropa, dengan dipimpin oleh US-Steel akan membuka pertambangan nikel di Irian Barat. Dua buah lagi lainnya yaitu US-British dan US-Australian, akan membuka pertambangan timah. Sedang yang ke empat US – New Zealander, berusaha untuk mendapatkan batubara.

v  Di samping itu Jepang akan menguras udang, ikan tuna dan mutiara dari lautan kepulauan Indonesia itu.

Modal Indonesia lainnya yang belum dieksploitasi adalah berupa 120.000.000 orang penduduk Indonesia itu sendiri, yang merupakan separo dari penduduk Asia Tenggara.

Seorang pengusaha elektronik dari California yang sedang melakukan perakitan di Jakarta dengan sombongnya mengatakan: “Indonesia sekarang ini merupakan pusat tenaga buruh perakitan yang terbesar di dunia, yang cakap-cakap dengan upah yang rendah”. Harganya hanya 10 sen sehari ( kira-kira Rp.37,50 ).

Tetapi hadiah yang terbesar yang sesungguhnya adalah minyak. Pada tahun 1969 terdapat 23 buah perusahaan minyak yang telah mengajukan permintaan untuk mendapatkan hasil eksplorasi, eksploitasi dan menjual minyak yang terdapat di dasar Lautan Jawa dan di lain-lain perairan di pantai-pantai Indonesia. Dari jumlah tersebut, 19 di antaranya berasal dari Amerika. Natomas dan Atlantic-Ricfield mendapatkan konsesi minyak seluas 21.000 mil persegi (kira-kira 5.382.400 HA), di sebelah Timur pulau Jawa. Perusahaan-perusahaan lain yang telah menandatangani kontrak, melihat nilai sahamnya membubung tinggi bersamaan dengan meningkatnya persaingan, khususnya setelah adanya penemuan-penemuan baru di Alaska Utara.

Ford, bagaikan seorang ibu yang terlalu sayang pada anaknya, mensponsori suatu proyek baru yang dijalankan oleh Berkeley. Proyek baru tersebut diadakan di Fakultas Hukum Universitas California, dan dimaksudkan untuk “membangun sumberdaya manusia yang diperlukan untuk menangani perundingan-perundingan dengan investor-investor asing di Indonesia”.

Dalam pada itu, “kekacauan-kekacauan “ di Indonesia sebagai suatu hal yang ingin dicegah untuk selama-lamanya oleh Ford dan kaum modernis, berpotensi untuk timbul lagi. Pada akhir 1969, pasukan-pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat mengumpulkan 5.000 orang desa – yang nampak keheran-heranan dan ogah-ogahan – dalam suatu latihan militer yang lebih menunjukkan ketakutan Suharto dibanding “stabilitas politik” di Indonesia. Diumumkan, bahwa latihan itu adalah merupakan latihan “penguasaan daerah”. Para perwira memberitahukan pada wartawan, bahwa latihan tersebut akan menggambarkan suatu invasi imaginer (penyerbuan dalam khayalan) untuk mencegah timbulnya suatu “potensi pilar kelima” di daerah bekas basis PKI. Tetapi… pada waktu tentara lewat di desa-desa (dalam rangkaian latihan tersebut) mereka tidak mendapatkan sambutan yang meriah. Demikian ditulis seorang reporter dari Australia, yang selanjutnya mengatakan: “Bagi orang yang tidak tahu, maka Divisi Siliwangi (yang sedang latihan tersebut) akan terlihat seperti tentara pendudukan”.

Pada waktu ini memang tidak ada lagi pembicaraan tentang land-reform maupun tentang mempersenjatai rakyat. Akan tetapi berdiam diri-nya rakyat itu adalah karena terpaksa.

Di desa-desa bekas basis PKI di Jawa, kini tuan tanah dan para perwira takut keluar malam. Kalau ada yang keluar, maka kadang-kadang paginya ditemukan dalam keadaan lehernya terpenggal. “Para jenderal menggerutu tentang adanya ‘PKI malam’”

Catatan:

  1. WIRA, di dalam tulisannya yang berjudul “Pelacuran Intelektual”, telah menuduh sekelompok “teknokrat” yang mau bekerjasama di bawah kekuasaan Soekarno di jaman Orde Lama, sebagai telah melakukan “pelacuran intelektual”.
  2. Tuduhan itu telah mengancam “kekompakan warga kaum teknokrat”, yang sedang memegang posisi penting di dalam pemerintahan Orde Baru ini, dan salah-salah bisa membongkar segala rahasia permainan masa lalu yang dijalankannya.
  3. Melihat bahaya itu, Professor Soemitro, sebagai pimpinan dan pemegang peran utama di dalam warga kaum teknokrat yang oleh David Ransom di sebut sebagai “The Berkeley Mafia”, telah muncul untuk mengambil seluruh pertanggunganjawaban, dan berhasil memadamkan polemik heboh Pelacuran Intelektual yang sedang berkecamuk kala itu.
  4. Di dalam tulisan itu, pada pokoknya Professor Soemitro menjelaskan :
  1. a) Adanya tiga bentuk perjuangan kaum Sosialis Kanan (SOSKA )/PSI di bawah kekuasaan Soekarno, yaitu:

1)      Mengadakan perlawanan secara keras dan terbuka, yang bagian ini dia pimpin sendiri. Sebagaimana kita ketahui, Professor Soemitro Djojohadikusumo telah memimpin pemberontakan PRRI, yang bersama PERMESTA, dan atas bantuan CIA imperialis Amerika, — ingat senjata-senjata bazooka dan pemboman Allan Pope telah berhasil menguasai 1/6 kekuasaan/ wilayah Republik, meskipun akhirnya bisa dihancurkan oleh seluruh kekuatan rakyat dan ABRI.

2)      Secara terbuka mengadakan penekanan dan perongrongan terhadap pemerintah dengan menelanjangi terus menerus lewat media massa, segala keburukan dan kekurangan pemerintah, yang kelompok ini antara lain ditempuh oleh Muchtar Lubis.

3)      Pura-pura menyetujui darn mau duduk dalam lembaga-lembaga pemerintahan/kekuasaan di bawah Soekarno, dengan tujuan tersembunyi untuk tetap mempertahankan dan membangun basis, sebagai tempat penyusunan kekuatan, yang bagian ini antara lain ditempuh oleh Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Sadli dan teknokrat lain yang bercokol di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

  1. b) Mereka yang dituduh oleh WIRA sebagai telah melakukan Pelacuran Intelektual, sebenarnya adalah kelompok yang menjalankan tugas dengan menempuh bentuk ketiga, dan oleh karena itu tidak benar kalau mereka dituduh sebagai penyeleweng.
  2. c) Dilihat dari segala norma dan langkah yang dijalankan selama itu dan yang telah disetujui bersama, semua warga kaum teknokrat telah menjalankan semua tugasnya dengan baik, dan kini telah berhasil memegang peranan penting di dalam pemerintahan Orba ini.
  3. d) Bentuk-bentuk dan isi hubungan yang mereka adakan selama berada di bawah pemerintahan Soekarno; baik waktu Soemitro Djojohadikusumo masih memimpin PRRI, maupun setelah dia lari dan berpindah-pindah tempat di luar negeri adalah sebagai berikut :

1)      Di Padang dengan Sadli yang baru datang dari belajar di Amerika, dibicarakan masalah pembangunan basis-basis kekuatan di dalam negeri, khususnya di Universitas-Universitas.

2)      Di berbagai tempat di luar negeri, dengan secara terpisah-pisah, dengan para teknokrat anak muridnya yang sedang mampir dalam rangka berangkat belajar ke luar negeri atau sedang pulang dari belajar di luar negeri (Amerika Serikat ).

  1. Meskipun dalam bentuk yang sangat halus dan samar-samar, dan sudah barang tentu juga jauh dari lengkap, namun tulisan yang diutarakan oleh Professor Soemitro Djojohadikusumo tersebut, setidak-tidaknya akan sedikit memperjelas, sejauh mana kebenaran atau ketidakbenaran artikel David Ransom tentang Mafia Berkeley yang dikutip ini.

Diposkan oleh Masdar Pasmar di 08.01

http://hukummasdar.blogspot.co.id/2014/05/mafia-berkeley-dan-pembunuhan-massal-di.html


pendiri kerajaan mataram kuno dan majapahit ternyata 0rang sunda

$
0
0

Pendiri kerajaan mataram kuno dan majapahit ternyata 0rang sunda

Di bawah kekuasaan Purnawarman (395-434M) terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga(sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah.

Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.

Ada dua penerus sah dari tahta KERAJAAN SUNDA yang menjadi raja besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur .

1.Sanjaya/Rakeyan Jamri/Prabu Harisdarma,raja ke 2 Kerajaan Sunda-Galuh
(723 – 732M), menjadi raja di Kerajaan Mataram (Hindu)
(732 – 760M).
Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.

2.Raden Wijaya,
Penerus sah Kerajaan Sunda yang ke–26, yang lahir di Pakuan, dan dikemudian hari menjadi Raja Majapahit pertama (1293 – 1309 M).
Memiliki darah Sunda dari kakeknya Prabu Guru Darmasiksa yang merupakan Raja Galuh..

Silsilah Raja-Raja Sunda

Menurut sumber tsb ,Nenek Moyang Raja-Raja Sunda adalah Maharesi yang mengungsi dari India, negara nya Kang Arvin Gupta juragannya MyWAPBLOG..

Tapi kenapa kulitnya koq beda, agak putih, dan hidungnya tidak semancung dia ya hehe..

Sumber:

http://nokiem.heck.in/pendiri-kerajaan-mataram-kuno-dan-majapa.xhtml



Peneliti Tasawuf: ‘Wali-Nya Selalu Menyertai-Nya’  

$
0
0
Minggu, 19 Juni 2016
KHAS–

Islamindonesia.id — Peneliti Tasawuf: ‘Wali-Nya Selalu Menyertai-Nya’

3Di depan civitas akademika UGM, sang penulis buku kontroversial ‘Majapahit Kerajaan Islam’, Ki Herman,  menjelaskan kandungan kitab ‘Atassadhur Adammakna’ karya Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Dengan penguasaan bahasa Jawa klasik, Ki Herman menerjemahkan lalu mengurai serat yang memuat ajaran Raja Mataram Sri Sultan Hamengku Buwono V itu.

“Inilah kitab yang paling dikafirkan banyak orang,” katanya sebelum membuka lembaran kitab itu yang disambut tawa hadirin.

Dalam kitab itu diuraikan tentang manusia fana karena mendapat limpahan wujud dari Sang Wujud, Dat kang Esa. Bagi Ki Herman, untuk mengakses alam batin manusia yang biasanya disebut Jagad Alit (mikrokosmos), membutuhkan ‘rasa’. Dengan pendekatan semantik ala ‘jawro-dhosok, Ki Herman lalu menjelaskan bahwa ‘rasa’ berasal dari kata ‘ha-ra-sa’ yang dalam aksara Hanacaraka berarti ‘arsyi’, atau singgasana Hyang Maha Sukma.

Olah rasa, lanjut pria penghayat Islam-Jawa ini, adalah keharusan dalam menyerap pengalaman batin. Hal ini juga mengingatkan kita pada satu ungkapan terkenal dalam tasawuf, “hati orang beriman adalah singgasana Allah.”

Menanggapi operasi semantik dalam Islam-Jawa, peneliti tasawuf Dr. Ammar Fauzi mengatakan bahwa hampir 99 persen apa yang dijelaskan Ki Herman juga dia temukan dalam kitab-kitab Ibn Arabi. Ammar mulai menyinggung tudingan ‘kafir’ yang juga tak jarang dialamatkan pada ajaran Islam-Jawa.

“Menyekutukan Allah itu kan tidak terpuji atau tercela. Tapi dalam penafsiran sufistik, itu justru pujian yang paling tinggi,” katanya sambil mengutip ayat “waman yusyrik billah faqad dhalla dhalalan ba’idan” (siapa menyekutukan Allah maka dia teramat sesat).

Jika membaca hadist qudsi yang berbunyi “Wahai manusia, taatlah kepadaKu, maka akan Aku jadikan kau seperti Aku”, maka kedudukan atau konsekuensi taat pada-Nya ialah Tuhan ‘me-musyrik-kan’ orang itu seperti Dia.

“Jadi yang pertama musyrik itu ialah Tuhan,” kata pria yang juga pengajar di Fakultas Filsafat UGM ini.

Bagi Ammar, Ibn Arabi suka menggunakan pola-pola eksoterik (literal) dalam menafsirkan ayat. Jika merujuk kembali pada ayat di atas maka sesat (dhalal) artinya secara literal adalah kehilangan arah. Orang yang sampai pada kemutlakan, –  dalam istilah Islam-Jawa: rasa (roso), – maka ia tidak punya arah lagi.

“Ke setiap sudut, ia sama saja. Ia pusing atau bingung, oleh karena itu tingkatan tertinggi dalam pandangan sufi adalah bingung. Dia tidak punya klaim cinta, tahu, tidak punya klaim apa-apa. Oleh karena itu juga tidak ada subjek, tidak ada objek,” katanya

Hal yang menarik bagi Ammar, justru  ketika ‘rasa’ itu yang dianggap sebagai hal yang musyrik, katanya sambil menjelaskan bahwa sebetulnya kita semua ini “musyrik”.

Mengapa? tanyanya retoris. Karena kita sebagai makhluk berasal dari cahaya, dan cahaya adalah percikan Tuhan. Maka sesungguhnya manusia harus menyerupai Tuhan. Dan menyerupai Tuhan adalah ikatan manusia yang menyempurna.

“Selama ia belum menyerupai Tuhan, ia tak akan pernah sempurna. Dan cinta yang paling sempurna, ketika ia sampai pada Yang Mutlak.”

Dalam ayat ‘syirik’ di atas, lanjut Ammar, juga tidak disebut menyekutukan Allah dengan siapa. Oleh Ibn Arabi ditambahkan, “menyekutukan Allah dengan dirimu sendiri”. Karena dalam sebuah hadist, Allah menciptakan Adam dalam forma Tuhan, yang berarti ‘sesuai’.

Ammar lalu mengajak hadirin kembali meninjau kata ‘rasa’ dalam khazanah Islam-Jawa. Ternyata asal katanya dari ‘Arasy’. “Kalau saya teliti rasa itu juga berasal dari kata rassa (doble ‘s’). Kata ini diambil dari suatu hadist untuk menjelaskan posisi manusia di hadapan Tuhan dalam pandangan Ibn Arabi.”

Ammar melanjutkan, “ketika Allah menciptakan manusia, manusia berada dalam kegelapan. Kemudian Allah mempercikkan cahaya dari diri-Nya, percikan ini dalam bahasa Arab disebut ‘rassa’. Yang dipercikkan ialah cahaya. Percikan cahaya inilah yang disebut dengan cinta.”

Ada banyak lagi istilah-istilah dalam Islam Jawa yang jika dikaji lebih lanjut ditemukan benang merahnya dalam kitab-kitab sufi klasik.

“Lalu apa bedanya Ibn Taymiyah yang mengkafirkan Ibn Arabi, jika keduanya sama-sama menggunakan pola bayani?” tanya salah satu peserta seminar yang diadakan di gedung Pasca-Sarjana UGM Yogyakarta itu (5/7).

Tidak sama, kata Ammar bahkan Ibn Arabi lebih ekstrem dalam literalisme dibanding Ibn Taymiyah. Pria kelahiran Purwakarta ini lalu menjelaskan ajaran bathiniah yang pernah dikafirkan oleh Imam Al Ghazali. “Sebelum Imam Al Ghazali menjadi sufi, ia menulis buku tentang batiniyah untuk dihadiahkan kepada khalifah saat itu. Karena pesanan dari khalifah. Kemudian ia melakukan taubat dan menganulir apa yang ia sampaikan.”

Imam Al Ghazali menulis buku tentang bathiniah, tapi justru ia mengkafirkan bathiniah. Namun buku-buku itu justru menjadi referensi utama bagi Ibn Arabi. “Jadi Ibn Arabi (yang dikatakan) korbannya Ibn Taimiyah (justru) sangat menghormati Imam Al Ghazali,”

Sebetulnya, Ibn Arabi melakukan penelitian dengan sangat literal dalam rangka menjangkau batin. Jadi tidak berhenti di lapisan literal, yang masuk ke dalaman batin. Hal ini disebabkan karena Ibn Arabi percaya setiap ayat memliki kedalaman batin.

“Berbeda dengan Ibn Taimiyah, ia hanya mengandalkan apa yang muncul di permukaan teks. Bagi Ibn Taimiyah yang tidak percaya pada hal yang batin tadi, maka hal itu ‘dhalal’ (sesat).”

Dalam hal ini, kata Ammar,  kita bisa memahami perkataan Ibn Arabi, “orang yang berkata-kata sesungguhnya ia tidak tahu. Dan orang yang tahu, tidak akan berkata-kata.”

“Karena tidak semua hakikat yang dijangkau, bisa diterima oleh kalangan umum tapi terbatas. Yang kita temukan di kalangan ilmuan esoterik Islam, yang syahid  itu ada dua,  satu di tanah Arab, satu lagi di tanah Jawa. Yang pertama, Al Hallaj dan kedua Syekh Siti Jenar. Kalau pun ada yang ketiga, itu dalam ada kalangan filsuf yang sebetulnya identitasnya seorang sufi yaitu, Suhrawardi,” katanya sambil menjelaskan bahwa Al Hallaj dan Siti Jenar sama-sama meyakini konsep ‘meniru Tuhan’.

Lalu apakah pendekatan semantik ini bisa dilakukan sembarangan atau ‘cocokologi’? Apakah legal atau dibenarkan tafsir-tafsir sufistik terhadap ayat Al-Qur’an seperti dijelaskan di atas? Ada dua kriteria yang perlu diamati menurut Ibn Arabi.

“Pertama, adanya ruh makna. Seperti kita menafsirkan rasa dengan ‘rassa’ dalam bahasa Arab, apakah kita dapat menemukan ruh maknanya atau tidak. Kedua, dibantu dengan orang yang diajak langsung berbicara oleh Sang Pemilik teks, yaitu Nabi Muhammad.”

Mengapa ‘musyrik’ atau ‘syirik’ punya makna positif? karena, kata Ammar, ada penjelasan dari orang yang diajak bicara langsung oleh Pemilik Teks. “Bahwa Tuhan menciptakan Adam persis dengan forma-Nya sendiri.

“Berarti (kata) ‘syirik’ di sini dibenarkan untuk ditafsirkan atau disamakan antara diri kita dengan Tuhan,” katanya sambil menyinggung “Becoming Like God” dalam tradisi Platonik.

Kembali ke kitab karya KPH Cakraningrat atau yang dikenal Adipati Danureja VI, Ki Herman mengungkap sejumlah istilah yang juga ditemukan dalam khazanah Ibn Arabi seperti “tajalli” (pengejawantahan Tuhan). Pemahaman selanjutnya menjelaskan bahwa sebab segala yang ada di alam semesta ini adalah pengejawantahan-Nya maka manusia Jawa yang paripurna mestilah menjaga prinsip “hamemayu karyenak tyasing sasama” atau senantiasa menjaga perasaan orang lain dengan kata-kata dan perilaku yang benar. Prinsip ini juga sebagai wujud menjaga keselarasan alam (hamemayu hayuning bawana) yang tak lain merupakan wadak pengejawantahan Tuhan.

 

YS/Islam Indonesia

 


Ilmu Ngahyang Lembu Agung Cakra Buana

$
0
0

Mang Kaby menambahkan 13 foto baru. 19 jam · Sumber:   Ilmu Ngahyang Lembu Agung Cakra Buana Salah satu ritual pra khitanan bagi masyarakat Kabuyutan Cipaku Mandala Wetan Wiwitan Sunda adalah wajib…

Source: Ilmu Ngahyang Lembu Agung Cakra Buana


Indahnya Bulan Puasa di Kerajaan Sunda Pajajaran

$
0
0

IMG_0969Indahnya Bulan Puasa di Kerajaan Sunda Pajajaran

Published first by

PajajaranIslamnusantara.com – Di zaman Pajajaran (1482-1579 Masehi) pemerintah sangat terbuka bagi masuknya agama lain di luar agama Sunda yang sudah mereka anut sejak lama dan jauh sebelum kehadiran agama-agama yang datang dari luar Sunda. Pemerintah dan rakyat Pajajaran, tidak menolak tatkala Hindu dan Budha masuk ke Jawa Barat, dan apalagi ketika Islam masuk, sebab istri Sri Baduga Maharaja dan ketiga orang anaknya sendiri beragama Islam. Seperti yang tertera dalam sejarah, disebutkan bahwa Nyi Subanglarang, istri Sang Prabu, dulunya adalah murid terkasih Syeh Quro pendiri Pesantren Quro di daerah Karawang. Ketiga putra-putrinya yaitu Walangsungsang, Rara Santang dan Raja Sangara, juga tak dilarang ikut agama ibunya. Maka tak mustahil pula, kebijakan Sri Baduga Maharaja dalam memperlihatkan rasa toleransi beragama, juga telah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memeluk agama apapun.

Kaula henteu nyarék somah pindah agama

Nu dicarék mah pundah-pindah agama

Sabab éta sarakah ngaranna

Ucapan Sri Baduga Maharaja seperti ini, konon merupakan isyarat soal kebebasan beragama, namun Sang Prabu juga mengisyaratkan bahwa agama janganlah menjadi mainan sebab itu adalah sebuah keyakinan yang harus dipegang teguh sampai mati.

       18be5-gunung2bpadang2bmegalithic2bpyramid2bin2bindonesiaWalau pun masih dipeluk oleh sebagian kecil penduduk Pajajaran, namun masyarakat yang sudah memeluk Islam, tidak merasa dirinya sebagai masyarakat minoritas, sebab hak-haknya sebagai warga-negara selalu dilindungi negara. Salah satu perlindungan kepada pemeluk Islam kala itu, di antaranya adalah rasa hormat Raja terhadap berbagai kewajiban yang tengah dilakukan para pemeluk agama lain selain ajaran Sunda. Orang Pajajaran yang sudah memeluk Hindu, tidak dilarang melakukan ritual Hindu, termasuk membangun sarana peribadatannya. Begitu pun juga terhadap masyarakat minoritas Islam. Mereka bebas-bebas saja melakukan ritual agamanya, termasuk juga membuat sarana peribadatan.

Bulan Ramadhan di zaman Pajajaran, sudah merupakan sebuah bulan yang lumrah dan banyak diketahui oleh masyarakat Pajajaran non-Islam. Mengapa tidak begitu, sebab tradisi puasa, yaitu tidak makan dan minum di siang hari, juga sudah sejak lama dianut jadi bagian kegiatan agama mana pun. Orang Hindu Pajajaran biasa melakukannya, orang Agama Sunda Pajajaran biasa melakukannya, dan apalagi orang Islam Pajajaran. Puasa sudah tidak dilihat hal aneh di Pajajaran di saat bulan Ramadhan tiba.

          Karena kehidupan beragama kala itu begitu beragam dan dihormati baik oleh Raja,maupun oleh Negara dan seluruh rakyat, maka rasa saling hormat menghormati sesama pemeluk berlainan agama, bisa berlangsung dengan normal, tidak dibuat-buat. Tak ada perilaku saling ejek di kalangan masyarakat berlainan agama. Bahkan sebaliknya, masyarakat berlainan agama kala itu, bisa saling bantu. Semisal bila umat Islam Pajajaran tengah mengadakan kenduri untuk ritual keagamaan, maka masyarakat lainnya ikut membantu. Situasi saling membantu berbagai keperluan di antar-agama, mungkin masih tersisa hingga kini di Masyarakat Adat Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, beragam agama ada di sana, bahkan di satu rumah. Orangtua memeluk agama Sunda, anak-anak bebas memilih, ada yang Kristen ada yang Islam dan mereka saling bantu bila berlangsung acara ritual agama masing-masing. Prikehidupan seperti ini juga terdapat di Kecamatan Pisangan, wilayah utara Karawang. Semua agama ada di sana, namun hidup mereka rukun dan damai. Mayoritas penduduk di sana adalah Cina beragama Konghucu, namun bila ada kenduri natalan, mereka bantu orang Kristen, bila ada mauludan, mereka bantu kendurian dan peringatan mauludan, begitu pun sebaliknya. Ketika di Karawang Kota sempat terjadi hiruk-pikuk pertikaian etnik, maka wilayah utara Karawang menjadi wilayah paling aman. Mungkin mereka terpengaruh oleh adat-istiadat orang Pajajaran, sebab baik di Cigugur maupun di utara Karawang, situs dan sisa ajaran Pajajaran masih melekat.

PajajaranBulan puasa Ramadhan di zaman Pajajaran adalah bulan penuh kesucian. Suasana selalu sepi, jauh dari hiruk-pikuk, sebab masyarakat Islam Pajajaran setiap hari selama satu bulan penuh, kerjanya hanya ngisat jiwa, ngisat raga, waktu juga dihabiskan untuk tolab ilmi, mencari berbagai ilmu untuk kelak digunakan dan direalisasikan selepas ramadhan. Bulan puasa di zaman Pajajaran, waktu hanya dihabiskan melatih raga dan batin agar hidup selanjutnya lebih sempurna. Yang namanya berbuka, bukan melakukan keserakahan makan dan minum semua makanan hingga perut buncit, melainkan hanya sekadar usus tidak mengkerut saja. Begitu pun tatkala Ramadhan berakhir dan menyambut Bulan Syawal, mereka tidak berpesta-pora berlebihan.

       Di waktu berpuasa, orang Pajajaran sama dengan kita yaitu berpatokan pada waktu subuh dan magrib. Hanya saja karena jam belum didapat, maka, di antara mereka ada yang menggunakan patokan waktu dengan sebuah alat yang diisi pasir. Pasir itu diisi di saat matahari mau muncul dan akan habis terbuang di saat matahari tenggelam. Namun kebanyakan hanya dihitung secara naluri saja, yaitu dengan melihat “kingkilaban” di saat subuh dan melihat matahari tenggelam di saat senja. Bila cahaya matahari tidak bisa dilihat, maka mereka melihat keluarnya kelelawar sebagai tanda subuh akan berakhir, atau melihat ribuan kelelawar itu pulang ke sarang sebagai tanda magrib sudah tiba.

           Saling bersalaman di hari raya Idul Fitri memang sudah dilakukan, namun yang ikut menyalami juga masyarakat Pajajaran pemeluk agama lain.

               Begitu damainya toleransi beragama di zaman Pajajaran, kalau saja tidak diakhiri dengan urusan-urusan berbau politik. Di zaman Pajajaran, belasan tahun lamanya terjadi peperangan dengan Cirebon dan disebutkan sebagai pemaksaan Cirebon (dan belakangan juga Kesultanan Banten), agar Pajajaran seluruhnya berganti agama menjadi Islam. Namun Sri Baduga Maharaja sendiri kala itu tidak menyebutnya sebagai perang agama, melainkan perang melawan keserakahan. Sri Baduga Maharaja sempat memerintah para patihnya untuk membereskan Cirebon karena Cirebon memisahkan diri dari Pajajaran. Penyerbuan Pajajaran atas Cirebon (namun di zaman Sri Baduga Maharaja tak sempat terjadi), bukan karena agama, melainkan karena Cirebon bertindak separatis, menolak membayar pajak dan memisahkan diri dari negara karena membuat negara sendiri.

(ISNA/Aan Merdeka Permana)

Sumber:

http://www.islamnusantara.com/indahnya-bulan-puasa-di-kerajaan-sunda-pajajaran/


Pesan Luhur Budaya dan Spiritual Situs Gunung Padang Cianjur Sundaland

$
0
0
Komentar
Nuri NurainaNuri Nuraina gak suka judulnya rasis gender.

 

Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho he he he, beitulah mbak logika pasar para kapitalis media selalu menjual sensasi biologis murahan secara dangkal.

 

Nuri NurainaNuri Nuraina hasil filmny jg ngambang
Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho hostnya cantik tapi tak cerdas dan ngak luas wawasannya.

 

Nuri NurainaNuri Nuraina kapan ya kita yg bikin bareng kang dicky tuh pasti lebih keren

 

Ahmad Yanuana SamanthoAhmad Yanuana Samantho Iya pasti jauh lebih keren kalau kang LQ Hendrawan yang bikin film edu-culturaltainmentnya

 

Nuri NurainaNuri Nuraina hayuuu gak sabar nih ingin tau sedlm mungkin
Ahmad Yanuana Samantho
Tulis balasan…
Ahmad Yanuana Samantho
Tulis komentar…

Spiritualitas Yang Sesungguhnya

$
0
0

Di planet ini, berapa banyak orang yang beragama? Berapa banyak tempat ibadah? Berapa banyak orang yang taat menjalankan ritual agamanya? Kita tahu jumlahnya luar biasa banyak. Tapi mengapa kemiski…

Psikologi Spiritual

~ Kekuatan sejati ada dari dalam diri, kekuatan sejati berasal dari jati diri & kekuatan sejati terletak pada hati nurani.

Psikologi Spiritual

Spiritualitas Yang Sesungguhnya

Di planet ini, berapa banyak orang yang beragama? Berapa banyak tempat ibadah? Berapa banyak orang yang taat menjalankan ritual agamanya? Kita tahu jumlahnya luar biasa banyak. Tapi mengapa kemiskinan, kelaparan, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, peperangan dan bencana alam terus merajalela? Sudah berapa banyak dari kita memohon, berdoa pada Tuhan untuk mengakhiri semua itu? Tapi kegelapan tak kunjung sirna, bahkan manusia semakin individualis, bringas, bencana alam kian mengganas. Lalu apakah yang keliru?

Ini karena mayoritas manusia Bumi terfokus untuk menjadi relijius bukan spiritual. Spiritual berbeda dengan relijius. Spiritual tak ada hubungannya dengan agama. Tuhan menghendaki kita untuk menjadi manusia spiritual bukan relijius. Tiap agama mengklaim bahwa ajaran mereka yang paling benar dan lainnya salah. Apakah sesungguhnya Tuhan lebih menyukai agama tertentu? Jika iya, mengapa setiap terjadi bencana Tuhan tak hanya menyelamatkan umat agama tertentu?

Spiritualitas yang sesungguhnya adalah kemampuan setiap jiwa untuk hidup selaras dengan Sang Pencipta, hidup sesuai kehendakNya. Lalu bagaimanakah hidup yang selaras dengan Sang Sumber itu? Ingatlah, Tuhan kita, Sang Sumber, ada dalam setiap ciptaanNya. Oleh karena itu hidup selaras dengan Sang Pencipta, adalah dengan hidup harmonis dengan seluruh mahlukNya. Ini menyangkut KASIH & KESADARAN. Sekali lagi, KASIH & KESADARAN adalah inti dari spiritualitas. KASIH & KESADARANlah yang menentukan kualitas jiwa seseorang.

Baiklah, pertama-tama kita akan membahas soal KASIH atau CINTA. Semua orang tentu sudah tak asing lagi dengan istilah ini. Tapi apakah kita mengerti apa itu KASIH atau CINTA? CINTA = KASIH, CINTA adalah mengasihi, memberi tanpa mengharapkan imbalan. Tidakah itu sederhana? :-) Ya, tetapi pelaksanaannya yang sulit. Pemahaman CINTA dari kebanyakan manusia Bumi sungguh sempit. Hanya sebatas CINTA kepada lawan jenis. Hubungan percintaan antar lawan jenis seperti yang kita tahu. Apakah ini sungguh-sungguh CINTA? Berapa banyak orang yang mengaku mencintai lawan jenisnya, lalu berkata “Aku mencintaimu, untuk itu jadilah pasanganku”. Kembali ke konsep awal bahwa CINTA memberi tanpa mengharapkan imbalan. Tentu ini bukanlah CINTA. Karena CINTA MEMBERI bukan MEMINTA. Konsep CINTA mayoritas manusia Bumi yang amat sempit, membuat dirinya hanya memikirkan pasangan dan keluarganya. Padahal CINTA yang sesungguhnya adalah kepada semua manusia, hewan, tumbuhan, Bumi, semua mahluk.

KASIH yang lebih dalam dapat dilihat dari kualitas-kualitas berikut: KASIH itu tak ada benci. KASIH tak ada keserakahan. KASIH tak ada kecemburuan. KASIH tak ada iri-dengki. KASIH tak ada kesombongan. KASIH itu tidak agresif. KASIH tak ada kebohongan. KASIH tak ada kompetisi. KASIH tak menyakiti. KASIH selalu melindungi. KASIH itu sabar menanggung segala sesuatu. KASIH tak melakukan hal yang tidak sopan. Nah… dari kualitas-kualitas tersebut sudah berapa banyak yang ada pada diri kita? Sudahkah kita hidup dengan KASIH?

Selanjutnya adalah soal KESADARAN, orang yang sadar pasti mengerti. KESADARAN disini adalah pemahaman bahwa semua mahluk Tuhan adalah SATU, bagian dari Sang Sumber. Seseorang yang sadar bahwa setiap mahluk Tuhan terhubung, bahwa KITA SEMUA SATU, tak akan menyakiti yang lainnya. Ini bisa diibaratkan kita adalah satu tubuh. Jika salah satu bagian tubuh ada yang sakit, tentu seluruh tubuh akan merasakannya. Namun apa yang terjadi saat ini? Manusia menyakiti alam, Bumi tempat tinggalnya, manusia lain, bahkan dirinya sendiri. Polusi di tanah, air, udara, juga di tingkat ether dari pikiran dan emosi negatif manusia. Penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, anarki, kompetisi, penipuan, diskriminasi, ketidakpedulian. Bahkan manusia Bumi bersuka ria atas semua itu. Semua hal negatif ini begitu pekat, terutama di daerah perkotaan, dimana manusianya sangat individualis.

KESADARAN yang selanjutnya adalah mengerti bahwa Tuhan tak hanya menciptakan manusia Bumi di jagat raya yang amat luas ini. Kita tahu Tuhan kita Maha Bijaksana, Dia tak akan memboroskan energi yang besar, untuk menciptakan jagat raya ini hanya untuk satu ras manusia Bumi dan sisanya dibiarkan kosong begitu saja. Apalagi harus menunggu manusia Bumi untuk bisa menjangkau lalu menempatinya.

Umur bumi kita setidaknya sudah 5 milyar tahun, selama itu bahkan untuk menjelajah angkasa raya ini saja manusia Bumi belum mampu. Pemahaman mayoritas manusia Bumi tentang mahluk Tuhan sangatlah sempit, yang mereka tahu hanya tumbuhan, hewan, manusia dan astral (jin). Kenyataan bahwa jagat raya ini amatlah luas, dengan banyaknya planet/bintang yang ukurannya jauh lebih besar dari Bumi, penampakan crop circle, spaceship, pesan via channeling serta peradaban kuno yang berteknologi canggih, itu semua adalah bukti bahwa manusia Bumi tak pernah sendiri. Ditambah dogma-dogma yang mengatakan bahwa manusia Bumi adalah mahluk Tuhan paling sempurna, semakin membuat mereka besar kepala saja. Jika memang manusia Bumi adalah mahluk Tuhan paling sempurna, lalu apa kelebihan manusia Bumi dibanding astral? Melihat mereka saja kita tak mampu. Dari segi kemampuan fisik, jelas astral lebih unggul, astral mampu berubah-ubah bentuk, berumur panjang, mampu telepati, telekinesis, teleportasi. Dari segi spiritualitas astral lebih mengerti dibanding manusia Bumi. Dari ilmu pengetahuan & teknologi astral pun tak kalah dengan manusia. Lalu apa yang ingin kita banggakan?

Selanjutnya adalah SADAR bahwa setiap jiwa akan mengalami proses pembelajaran dalam hidupnya melalui proses reinkarnasi. Perjalanan hidup bagaikan sekolah, tujuannya untuk belajar, supaya paham makna hidup juga esensi Tuhannya. Seperti sekolah, kehidupan juga ada level/tingkatannya, itulah sebabnya mengapa ada perbedaan dimensi kehidupan di alam semesta ini. Jika kita telah lulus di suatu tahap, maka kita akan naik ke tahap selanjutnya, tahap yang lebih tinggi. Tetapi jika tidak lulus, akan mengulang di tahap yang sama, atau bahkan tahap yang lebih rendah. Saat kelulusan kita dari semua tahap adalah saat kita kembali pada Sang Sumber. Keberadaan astral di dimensi yang lebih tinggi dari manusia Bumi sudah jelas membuktikan adanya perbedaan dimensi dalam kehidupan mahluk-mahlukNya.

Konsep inilah yang sejak lama diajarkan oleh para avatar, spiritual master, lightworker seperti Jesus, Budha, Kwan Yin, Shiva dan lainnya… Mereka tak ingin disembah. Mereka ingin manusia Bumi menjadi master seperti mereka. Namun manusia Bumi malah salah menginterpretasikan ajaran mereka hingga kini.

Pada kenyataannya kebanyakan extraterrestrial (et) sudah menguasai apa itu spiritualitas sesunguhnya. Oleh karena itu, mereka sudah dapat hidup di dimensi lebih tinggi. Mereka mengerti bahwa alur yang baik adalah dengan menguasai  spiritualitas terlebih dahulu, barulah teknologi. Sehingga ilmu pengetahuan, teknologi, peradaban mereka maju dengan pesat. Merekapun mampu hidup harmonis dengan sesamanya juga alam. Berkebalikan dengan di Bumi dimana tanpa memperhatikan spiritualitas, teknologi berkembang, namun digunakan untuk perang dan merusak planetnya sendiri. Spiritual et sadar bahwa SEMUA MAHLUK DI ALAM SEMESTA ADALAH SATU. Untuk itu mereka tak henti-hentinya mengingatkan kita untuk meningkatkan spiritualitas seiring dengan masa transisi/transformasi/evolusi Bumi yang sudah di depan mata.

Seseorang yang sudah mengerti spiritualitas yang sesunguhnya akan menyadari bahwa planet ini sungguh-sungguh rusak. Bahwa Ibu Bumi sungguh-sungguh menderita karena ulah manusia dan ada di ambang kehancuran. Mereka akan merasa sangat tidak nyaman hidup di Bumi seperti ini.

Untuk itulah ada campur tangan Tuhan. Sekali lagi Tuhan kita yang sangat welas asih tak akan membiarkan mahlukNya menderita tanpa akhir. Tuhan sudah memutuskan penderitaan Ibu Bumi cukup sampai disini. Bumi harus bertransisi/bertransformasi/berevolusi dengan meningkatkan vibrasinya. Dan semua manusia yang ingin hidup di Bumi yang baru harus bisa menyesuaikan vibrasinya dengan Ibu Bumi. Jika tidak, maka tak akan bisa hidup di atasnya lagi. Untuk itu akan ada seleksi untuk memilih siapa-siapa yang berhak hidup di Bumi yang baru. Ini dilakukan dengan jalan pemurnian, pembersihan total dari semua energi negatif. Akan ada kekacauan dimana-mana, banyak sekali bencana, juga kehilangan. Tapi itu perlu dilakukan, demi terciptanya Bumi sesuai rencana Tuhan semula, demi tercipta kerajaan SurgaNya. Lalu bagaimana caranya untuk bisa menaikan vibrasi kita supaya selaras dengan Ibu Bumi? Jawabannya adalah dengan meningkatkan spiritualitas. Jadi… sudah seberapa siapkah kita untuk menghadapi transisi tersebut, sudah seberapa spiritualkah diri kita…?

 

Source: Spiritualitas Yang Sesungguhnya


Viewing all 1300 articles
Browse latest View live