Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

MENGAPA SAYA MENOLAK ABDUL SOMAD (SEBAGAI CAWAPRES)?

$
0
0

MENGAPA SAYA MENOLAK ABDUL SOMAD (SEBAGAI CAWAPRES)?

by Gayatri Muthari

Saya tidak peduli apa agama Abdul Somad.
Beberapa hari lalu saya membaca blog seorang Hindu yang sangat sakit hati dengan Muslim dan mengkritik ajaran Islam berdasarkan tafsiran umat Islam sendiri yang boleh membunuh orang non-Muslim dan menghukum mati orang murtad. Blogger Hindu ini mengatakan bahwa seseorang terlahir kembali sebagai Muslim atau agama tertentu yang membenarkan kekerasan karena karakternya di kehidupan lalu, dan menjadi Muslim yang membolehkan himsa (kekerasan) itu, maka adalah karmanya.
Apakah saya menyetujui blogger Hindu ini?

Tentu saja tidak. Tapi, saya membenarkan dan mengimani ajaran Hindu yang indah mengenai Satu Kemanusiaan dan Satu Kebenaran sebagaimana jelas tergambar dalam Empat Veda dan Upanishad dan apalagi dalam Bhagavad Gita. Nama saya Gayatri Wedotami, jadi dari nama saya saja saya seorang Hindu, yang berarti Mantra Gayatri (Tiga Kekuatan) Veda Sebagai Pengetahuan Utama.

Tapi, saya juga tidak setuju pemahaman dan penafsiran Muslim tentang ajaran dalam Alquran mengenai hal-hal yang bertentangan dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, dan saya menganggap mereka mencatut nama Muhammad untuk membenarkan pemahaman dan penafsiran mereka.

Saya mengimani Muhammad dan Ali dan Fatimah dan 11 penerus mereka ialah imam dan wali (penolong/juruselamat) umat manusia, para pembimbing ilahi untuk umat manusia yang bersifat universal melampaui segala bentuk sekat agama. Saya mengimani Alquran mengandung ajaran “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” sebagaimana saya mengimani Alkitab juga mengandung ajaran “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan.”

Saya mengimani Yesus Kristus beserta seluruh Injlnya, para rasul-nya yang menyampaikan Injilnya, dan bahwa Yesus mati disalib serta dibangkitkan, saya percaya itu sebagaimana orang-orang Kristen mengimaninya.

Karena saya mengimani “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” maka di hati saya, saya harus ikhlas menerima hanya ada Satu Kebenaran dan Satu Kebenaran itu ada dalam semua agama dan kepercayaan, maka saya tidak boleh memberi makan ego sektarian, dan karenanya saya seorang Hindu, sekaligus Muslim, Kristen, Konghuchu, Buddhis, Taois, Kejawen, New Age, Agnostik, Atheis (orang yang tidak mengakui dogma-dogma ketuhanan dari institusi-intitusi agama yang sok tahu tentang Tuhan YME), Dll.

Jadi, meskipun saya mengasihi seluruh guru-guru Katholik saya dan sangat menghormati ajaran-ajaran para teolog dan filsuf Katholik, tetapi jika ada ajaran dalam Gereja Katholik Roma yang saya pandangan secara fundamental bertentangan dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, maka saya akan menentangnya — dan itu bukan soal Trinitas.

Saya benar-benar tak peduli seseorang itu Muslim atau Kristen, saya menilai benar dan salah perbuatan dan pemikriannya berdasarkan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” yang terangkum dalam intisari Dekalog (di mana Alquran pun mengukuhkannya sebagaimana jelas diterangkan dalam Qs 2:53).

Begitu pun dogma itu merupakan bentuk ortodoksi suatu agama entah Sunni, Syiah, Katholik atau Protestan, Hindu, Jain, Sikh, Zen, Tao, atau Theravada, jikalau secara fundamental bermasalah dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, maka saya akan membongkarnya dan mengkritiknya karena bagaimana pun, menurut saya, jikalau terus tertanam dalam iman pengikutnya, akan meneruskan kekerasan dan pelanggaran kepada kemanusiaan, dan akhirnya merusak Bumi beserta segenap seisinya.

Jadi, saya bukan menentang Abdul Somad karena dia seorang Muslim, ustadz, atau karena wajahnya, atau karena dia laki-laki. Di dalam diri Abdul Somad terdapat ruh Allah dan karenanya saya mesti memuliakannya, sebagaimana ruh Allah juga terdapat dalam Donald Trump, Benyamin Netanyahu, Kim Jong-Un, dan para pembunuh berdarah dingin.
Apa yang dilakukan Israel kepada Palestina ialah pelanggaran kemanusiaan, tetapi tidak semua orang Israel melanggar “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”, dan seseorang harus benar-benar bersikap adil, tidak memberi makan ego sektarian jika mencintai kemanusiaan.

Apa yang saya tentang ialah segala hal yang menentang, merusak, dan memecah-belah “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan” maupun yang berpotensi ke arah destruksi
“Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”. Baik itu dalam bentuk perbuatan, perkataan, maupun pemikiran.

Ceramah-ceramah Abdus Somad yang telah saya simak sangat jelas sering sekali secara fundamental bertentangan dengan “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”.
Sementara itu, bangsa Indonesia telah memiliki salah satu ideologi terbaik di dunia karena mengandung “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan.”
Mungkin tidak semua isi ceramahnya begitu. Tetapi, jika isi ceramahnya begitu, bagi saya itu tetap salah.

Orang yang buta dan orang bisa melihat tidaklah sama, begitu juga terang dan kegelapan tidaklah sama – Ini ada dalam cover profile facebook saya – dari salah satu ayat dalam Surah Fathir.
Ibrahim sang pengembara telah melihat banyak suku bangsa di berbagai tempat yang ia singgahi, dan menemukan hanya Satu Kebenaran. Tetapi, ini bukan agama Islam, agama Yahudi, agama Kristen, atau agama apapun.

Ibrahim melihat setiap suku menyembah suatu dewa atau kesatuan dewa-dewa, memiliki mitos dan mitologi serta cerita rakyatnya sendiri, lalu memiliki norma dan nilai-nilainya serta adat serta cara berpakaiannya masing-masing. Walau begitu divergennya, atau beragamnya, semuanya mempunyai benang merah, dan karenanya mengandung Satu Kebenaran.

Semua agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, Majusi, dll melakukan konvergensi karena selama ribuan tahun manusia selalu bermigrasi, sebab adanya pertembungan budaya dan pengetahuan karena saling bertukar cerita dan saling menyesuaikan satu sama lain saat bertemu. Ritual Haji umat Islam mengandung ritual kuno mencium Yoni dan melempari Lingga yang mana Linggayoni dikenal dan disakralkan dalam Hinduisme, begitu juga ritual misa ekaristi ditemukan dalam ritual Dionysian dalam agama Orphic (Yunani Kuno).

Semua agama besar sekarang ialah agama New Age di masa lalu, dan karenanya juga jangan merendahkan para penganut agama New Age seperti Eckankar dan Ravidassia.

Yang terutama, dan terpenting, dari seluruh divergensi dan kebhinekaan, serta dari seluruh realitas konvergensi dalam seluruh agama di dunia, hanya ada Satu Kebenaran, sebagaimana ditemukan Zarathustra, Saptarishi (Tujuh Reshi), Ibrahim, Khrisna, Siddharta Gautama, Musa, Laozi, Yesus, Paulus, Mani, Muhammad, Ali, Baba Nanak, Bahaullah, dll.

Satu Kebenaran itu bukan hanya secara esoterik sebagaimana pandangan kaum Perennialis, tetapi juga secara eksoterik. Jadi, posisi saya bukan juga seorang Perennialis kecuali dalam menerima konsep Satu Kebenaran mereka dalam hal esoterik. Saya Perennialis, Teosofis, Humanis, Transendentalis, sekaligus Skolastik, Materialistis (Hehehehe), Stoik, Neoplatonis, Aristotelian, Phytagorean, dll. Hehehe.

Satu Kebenaran itu ialah “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan.” Sesuatu yang harus selalu kita upayakan, pelihara, perjuangkan dan letakkan di atas agama, suku, nasionalisme, dan lain-lainnya sebagai wujud atau bukti kita menerima Satu Kebenaran, yang kita biasa sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dan, sebagai orang Indonesia, kita harus bersyukur mewarisi ideologi Pancasila dari para leluhur kita, ideologi keren yang menganut “Tauhid Ialah Satu Kemanusiaan”. Cara mensyukurinya, ya dengan mengamalkan dan memeliharanya dalam segala yang mampu kita lakukan.

Rahayu,
#Tauhid adalah Satu Kemanusiaan.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300