Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

M. DAWAM RAHARDJO, ULUMUL QUR’AN DAN ENSIKLOPEDI AL-QUR’AN

$
0
0
Foto Budhy Munawar Rachman.

Budhy Munawar Rachman 

M. DAWAM RAHARDJO, ULUMUL QUR’AN DAN ENSIKLOPEDI AL-QUR’AN

Masih berduka dengan wafatnya Dawam Rahardjo. Saya ingin berbagi cerita mengenai bagaimana mas Dawam meminati studi al-Qur’an.

Sebagai seorang ekonom, apalagi sangat kuat menggunakan pendekatan ekonomi-politik, yang historis-struktural, dan termasuk orang pertama di Indonesia yang menggunakan pendekatan ini, ketertarikan Dawam pada studi al-Qur’an memang mengherankan, dan tidak lazim. Tidak ada satu pun, intelektual Muslim Indonesia yang ahli ekonomi politik, yang memasuki studi al-Qur’an. Hanya Dawam Rahardjo. Utamanya ini terjadi bersamaan dengan ia menjadi Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), setelah berakhirnya jabatannya sebagai Direktur LP3ES.

Cerita awalnya, sewaktu menjadi Direktur LSAF, pada 1989, Dawam memunyai ide membuat sebuah jurnal peradaban. Awalnya ide jurnal ini, ia tawarkan ke Paramadina, ketika sebentar Dawam menjadi Direktur Pelaksana Paramadina, dengan nama Jurnal Paramadina. Tapi rupanya ide ini tidak berhasil menjadi kenyataan. Walaupun simulasi jurnalnya sudah dibuat. Maka ide ini, ia lanjutkan di LSAF.

Pengambilan nama “Ulumul Qur’an” yang arti literalnya adalah “ilmu-ilmu al-Qur’an” pun agak aneh, Karena lazimnya ini adalah bidang studi yang mengkhususkan diri pada al-Qur’an, yang secara tradisional sudah mapan. Tapi Dawam dengan ide “modernisnya” menganggap bahwa harusnya semua studi peradaban masuk ke dalam “Ulumul Qur’an”. Alasannya sederhana, karena untuk seorang Muslim, sumber nilai dan ide-ide perabadan ada dalam al-Qur’an.

Foto Budhy Munawar Rachman.

Maka jadilah sebuah jurnal peradaban, yang didalamnya berisi berbagai isu kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Apa pun pemikiran, dalam kategori kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bisa masuk dalam jurnal ini.

Minat mas Dawam pada studi al-Qur’an memang sudah berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Ia misalnya mulai mengusahakan adanya “komputerisasi al-Qur’an” (bayangkan ketika era digitalisasi belum seperti sekarang). Kedua ia juga membuat, bersama kawan-kawan dekatnya, sebuah Kongres al-Qur’an. Kongres al-Qur’an itu dilaksanakan bersama seminar-seminar mengenai al-Qur’an, pada menjelang akhir 1980-an, di mana Dawam pada waktu ini mulai menulis artikel-artikel tentang metode menafsirkan al-Qur’annya, yang nanti akan menjadi hal yang rutin diimplementasikan secar tematis setiap tiga bulan, yaitu ketika menulis dalam rubrik “ensiklopedi al-Qur’an” (1989 – 1998).

Selanjutnya pada 1989 itu, Dawam pun bersama kawan-kawan dekatnya menerbitkan jurnal, yang dijiwai oleh semangat al-Qur’an yang sudah didalaminya, yang tidak sempit, dogmatis. Saya masih ingat, sewaktu mas Dawam memberi nama jurnalnya “Ulumul Qur’an” ini, muncul banyak kritikan. Dalam kata-kata Dawam waktu itu, “Namanya Ulumul Qur’an, tapi kok tidak banyak mengulas mengenai pengertian al-Qur’an yang tradisional, lantas apa relevansinya? Jurnal inikan tidak ada kaitannya sama sekali dengan ilmu-ilmu al-Qur’an!”

Bagi mas Dawam, penamaan Ulumul Qur’an memang hanya simbolis saja, dan kalau dipikirkan secara tradisional, memang tidak lazim. Dawam membayangkan sebuah jurnal yang diberi nama Ulum al-Qur’an itu harusnya isinya sangat luas, dengan memfokuskan pada ilmu dan kebudayaan, lewat spirit mengembangkan budaya Al-Qur’an.

Memang ide memberi nama jurnal “Ulumul Qur’an” itu sendiri muncul dari mas Dawam. Dan ketika muncul “kontroversi” penamaan dan visi jurnal ini, Dawam berkonsultasi pada Quraish Shihab, dan KH. Ali Yafie, yang keduanya juga akan menjadi Dewan Editor. Mereka pun menyetujui penamaan itu.

Akhirnya diterbitkanlah nomor perdana, di mana Dawam membagi rubrik jurnal ini dalam lima bidang yang sebenarnya masuk dalam istilah sekarang “studi Islam”, yaitu pertama mengenai tafsir al-Qur’an itu sendiri. Kedua, kajian mengenai tradisi Islam. Ketiga, isu-isu kontemporer, misalnya, isu-isu kebudayaan, keilmuan, dan kesusastraan, dan yang terakhir futurologi, yaitu studi mengenai masa depan. Dalam pandangan mas Dawam, “Ulumul Qur’an”, isinya mencakup lima bidang ini.

Maka sejak nomor perdana, terbit UQ, begitu singkatan nama jurnal ini, sejak 1989 sampai akhir hayatnya 1998. Pada era 1990-an ini tidak ada satupun jurnal
Islam yang mumpuni. Jurnal ini pun menjadi sebuah oase pemikiran Islam yag unik. Dawam mengulang lagi prestasi membangun sebuah jurnal prestisius setelah “Prisma” di LP3ES sebagai jurnal ilmu-ilmu sosial, dan sekarang ke sebuah jurnal studi Islam.

Saya merasa bersyukur, terlibat sejak awal sebagai editor, bersama Hadimulyo, Ahmad Rifa’i Hasan editor rubrik khususnya mas Dawam, yaitu “Ensiklopedi Al-Qur’an”, Abdul Hadi WM, M. Syafii Anwar, Ihsan Ali-Fauzi, Saeful Munjani, Nurul AgustinaSimon Syaefudin, Asep Usman Ismail, Edy A Effendi dan beberapa kawan lagi yang lebih muda menyusul. Maka jadilah UQ sebagai jurnal pemikiran Islam yang prestisius pada waktu itu. Mereka yang menulis di Jurnal UQ ini, akan merasakan kebanggaan, karena tulisannya dibaca oleh peminat studi Islam di seluruh Indonesia.

Hal lain yang membahagiakan saya selanjutnya terkait dengan UQ ini adalah izin mas Dawam pada saya yang sempat sebelumnya menjadi wakil pemimpin redaksi UQ, untuk mendisain artikel-artikel tematisnya dalam rubrik “Ensiklopedi al-Qur’an” itu menjadi sebuah buku tebal, yang kemudian didisain sungguh-sungguh sebagai ensiklopedi, dan diberi judul sama seperti rubrik itu, “Ensiklopedi al-Qur’an” – Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Di era itu memang sedang berkembang model penafsiran tematis atau “Tafsir Maudlu’i” akibat pengaruh seorang ahlu tafsir al-Qur’an terkemuka, Quraish Shihab. Maka melalui kerja editorial yang sangat menantang pada tahun 1997, saya memberanikan diri menyunting berdasarkan suatu konsep sebuah ensiklopedi, artikel-artikel tematis al-Qur’an Dawam, sehingga menjadi buku “utuh” Ensiklopedi al-Qur’an. Buku ini kemudian diterbitkan di Paramadina, tempat saya bekerja untuk Nurcholish Madjid, setelah 5 tahun sebelumnya bekerja untuk mas Dawam (1990 – 1995). Dan dengan Ensiklopedi Al-Qur’an ini, Dawam pun menjadi salah satu mufasir al-Qur’an Indonesia terkenal, yang lahir tidak dari tradisi pesantren, IAIN, atau perguruan tinggi Islam lannya. Tafsirnya sangat unik, bergenre sosial. Tidak ada yang melakukan cara ini pada waktu itu.

Yang mengherankan dari mas Dawam ini, sebagai mufasir, ia tidak menerapkan keilmuannya yang melekat kuat pada dirinya ketika ia di LP3ES dan Prismanya, yaitu ekonomi-politik yang “kekiri-kirian”. Sampai sekarang, saya masih terus bertanya mengapa Ensiklopedi al-Qur’annya Dawam ini tidak didisain sebagai manifesto sebuah Teologi Pembebasan di Indonesia, yang itu seharusnya merupakan kelanjutan logis saja dari Dawam yang “kiri” – “Islam Semangka” istilah yang terkenal pada waktu itu. Kulit luarnya hijau, yaitu Islam. Tapi dalamnya merah, yaitu Marxis.

Setelah mempelajari Ensiklopedi al-Qur’annya Dawam, sampai kata-perkata, saya berani menyimpulkan, bahwa pikiran-pikiran mas Dawam dalam Ensklopedi al-Qur’an ini, “Tidak lebih dari catatan kaki atas pikiran-pikiran Quranik Nurcholish Madjid”. Ini aneh untuk seorang Dawam Rahardjo yang telah menempa dirinya menjadi inspirator “Islam Kiri” di Indonesia, yang disebutnya sendiri sebagai “Islam Transformatif”. Melalui Ensiklopedinya ini, ia melanjutkan dengan penuh semangat “Islam Peradaban”-nya Cak Nur.

Memang tidak mudah menghancurkan pemikiran Nurcholish, bahkan seorang Dawam yang memunyai kesadaran paradigmatik Teologi Pembebasan, akhirnya terserap juga pada ide-ide peradaban “Neo-Modernis” Cak Nur yang mulai menghegemoni pemikiran Islam di Indonesia pada era 1990-an.

Di akhir hayatnya, mas Dawam melanjutkan ide-ide Cak Nur, sampai pada tingkat yang tak terbayangkan oleh Cak Nur sendiri. Bahwa Islam di Indonesia hanya akan maju, kalau bisa menerima yang ia sebut “Trilogi Pembaruan Islam” yaitu Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Sesuatu yang pada pembaruan Islam Cak Nur, dikatakannya dengan sangat hati-hati, bahkan ditolaknya karena begitu kontroversial, dan bercitra buruk. Ketiga terma pemikiran tersebut adalah “kata kotor” dalam pemikiran Islam kontemporer. Uniknya Dawam memberi argumen yang mendalam dan mencerahkan untuk meyakinkan kita bahwa ide-ide tersebut sangat penting, dan akan menentuk masa depan Islam Indonesia, berhadapan dengan ide-ide khilafah 😊😊😊

Lahu al-Fatihah, untuk mas Dawam Rahardjo.

Uraian tentang pikiran keislaman mas Dawam, menurut mas Dawam sendiri, lihat:

http://sejuk.org/…/empang-tiga-dan-komunitas-epistemik-isl…/

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300