Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN

$
0
0

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN

ESAI-ESAI KEBUDAYAAN (1)

 

Oleh Aprianus Salam

 

DAFTAR ISI

  • KEBUDAYAAN SEBAGAI PERSPEKTIF
  • KEKBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN
  • MEMELIHARA BUDAYA EMPATIK
  • KEBUDAYAAN SEBAGAI TERSANGKA
  • KEBUDAYAAN ITU TERGANTUNG
  • HIBRIDITAS KEBUDAYAAN
  • MATINYA MESIN PEMIKIRAN

 

 

(1)KEBUDAYAAN SEBAGAI PERSPEKTIF

Ada dua kecenderungan dalam studi kebudayaan. Pertama, kajian yang menempatkan sesuatu yang dianggap sebagai kebudayaan sebagai objek kajian. Kedua, kajian yang menempatkan tradisi-budaya agar ditempatkan kembali atau menjadi bagian dari kebudayaan masa kini.

Hal pertama berimplikasi pada kajian kebudayaan sebagai “proyek studi” dan “proyek” itu sendiri. Dalam praktiknya kajian seperti itu kadang sebagai bagian dari agenda-agenda akademis yang tidak diletakkan dalam satu paradigma praksis-bertujuan. Ia menjadi ajang petualang akademis dan ajang pencanggihan penafsiran. Kajian seperti ini membuatnya terisolasi dari arena sosial ekonomi masyarakat.

Menariknya, studi menempatkan kebudayaan sebagai objek studi memang cukup laku. Hal ini disebabkan lebih sebagai politik riset untuk menjaga keseimbangan akademis. Kadang juga diposisikan sebagai strategi bahwa satu masyarakat tertentu dianggap “berbudaya” karena memberi perhatian terhadap masalah budaya. Dalam praktiknya, kajian seperti ini tidak lebih sebagai asesoris, sebagai pelengkap agar “terlihat indah” bangunan riset kita secara keseluruhan.

Sementara itu, hal kedua dilakukan karena kebudayaan masa kini dianggap tidak sesuai dengan “budaya asli” suatu masyarakat tertentu. Hal tersebut berimplikasi pada upaya-upaya rekonstruksi jati diri dan politik identitas ketika sebagian besar masyarakat merindukan kembali, suatu nostalgis, dengan mengandaikan ada sebuah masa yang penuh dengan kedamaian, harmonis, sejahtera, adil-makmur, dan sebagainya. Karena frustrasi dengan kondisi masa kini yang carut marut, kondisi masa lalu yang diandaikan pernah ada itu menjadi sangat penting untuk diupayakan bisa hadir di masa kini.

Dampak dari dua kecenderungan di atas adalah seperti selama ini banyak kita lakukan. Masalah kebudayaan menjadi sesesuatu yang identik dengan tradisi dan kesenian. Begitu banyak kajian kebudayaan yang “terjebak” sebagai kajian tradisi dan seni, dan terpisah dengan persoalan makro kebudayaan masa kini. Padahal kebudayaan bukan masalah tradisi atau seni, tetapi bagaimana kita mempraktikan, bagaimana kita menjalani, bagaimana kita bersiasat atau berstrategi dalam kehidupan sehari-hari, untuk hari ini, dan yang lebih penting untuk masa depan.

 

Persaingan Budaya

Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah adanya kenyataan bahwa saat ini terjadi banyak persaingan budaya. Paling tidak ada lima budaya yang saling bersaing memperebutkan hegemoninya; yakni budaya nasional (Pancasila), budaya lokal-lokal, budaya populer (kapitalisme-sekuler), budaya agama, dan budaya akademis-rasional.

Dalam praktiknya, persaingan budaya tersebut berjalan saling bersinggungan, dan tidak jarang menimbulkan masalah, untuk tidak menyebutkan adanya perseteruan dan konflik. Setiap budaya memiliki pendukungnya masing-masing, ada yang sedikit fanatik, tetapi ada pula yang tidak peduli.

Di sini hanya disinggung lima arena persaingan. Pertama, arena rumah atau dalam keluarga. Di arena ini, jelas terjadi persaingan antara budaya orang tua dan budaya anak (yang didukung dan dikondisikan oleh media modern seperti televisi atau internet). Tampaknya budaya yang dikembangkan televisi berpihak pada budaya pasar/kapitalisme). Kedua, arena mall/pasar, tidak disangsikan lagi bahwa dalam arena ini budaya kapitalisme memegang kekuasaan penuh.

Ketiga, arena jalanan. Arena ini termasuk yang paling rawan karena semua orang dengan budayanya masing-masih bisa langsung bersentuhan. Banyak konflik yang berbahaya dan memakan korban terjadi di arena ini. Keempat arena lembaga-lembaga swasta. Berdasarkan keberadaannya kita tahu bahwa banyak lembaga swasta yang profit-oriented untuk menghidupkan lembaganya. Budaya kapitalisme merupakan pilar utama dalam arena lembaga swasta.

Kelima, arena di lembaga-lembaga pemerintah. Dalam arena ini budaya nasional selalu dipompakan. Akan tetapi, kita juga tahu bahwa persaingan berjalan sangat tajam sehingga tidak jarang berbagai konflik muncul dalam arena ini.

Dalam kondisi ini, budaya akademis-rasional, yakni bagaimana membangun budaya yang mampu mempertemukan sisi terbaik dari setiap budaya yang bersaing menjadi sangat penting dan strategis. Kondisi itu bisa dibangun dengan menempatkan berbagai budaya bukan sebagai objek kajian, tetapi lebih penting dari itu adalah membangun budaya sebagai perspektif yang kondusif bagi kehidupan manusia dengan berbagai landasan yang akan dikemukakan berikut,

 

 

Menggeser Paradigma

Walaupun bukan hal baru, yang perlu didorong untuk dilakukan, yakni bagaimana memposisikan kebudayaan sebagai perspektif dalam melihat, menganalisis, menjelaskan, dan mencari solusi berbagai masalah kehidupan. Analisis kebudayaan harus mampu menjawab berbagai pertanyaan yang masih ngganjel. Sebagai misal, mengapa ada korupsi? Apakah kita memiliki budaya berolahraga? Bagaimana budaya ekonomi masyarakat? Bagaimana budaya politik kita? Apa sesungguhnya budaya kemaritiman itu? Begitu banyak masalah yang harus dijawab dalam perspektif budaya.

Ada tujuh landasan dalam menempatkan kebudayaan sebagai perspektif, yakni bagaimana melihat suatu masalah dalam (1) landasan etis dan/atau moral; (2) landasan rasional-filosofis; (3) landasan tindakan-bertujuan; (4) landasan ideologis; (5) landasan kemanfaatan, (6) landasan kebajikan/kearifan, dan (7) landasan estetis. Setiap landasan saling bersinergi dan melengkapi.

Dengan demikian, kajian kebudayaan sebagai perspektif, yakni suatu kajian yang menempatkan berbagai landasan di atas sebagai standar atau sebagai pilar dalam mengkaji, menganalisis, dan sekaligus mencari solusi terhadap berbagai persoalan. Dalam posisi ini, koridor akademis dan ilmiah tentu saja tetap menjadi kaidah utama sesuai dengan aturan yang berlaku di tataran akademis.

Dengan demikian, posisi kajian kebudayaan menjadi lebih fleksibel dan strategis. Ia tidak lagi hanya berkutat dan diidentikkan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kesenian atau artefak masa lalu. Dia juga tidak hanya berhubungan dengan nilai-nilai normatif tentang kehidupan. Ia adalah sebagai satu cara untuk mensinergikan berbagai energi dan potensi positif yang adalah dalam diri kita. Tujuh standar landasan perspektif kebudayaan sangat mungkin bisa dijadikan pedoman. * * *

 

 

 

(2)

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN

 

Kebudayaan tidak perlu dipikirkan karena kebudayan secara otomatis dan inheren merupakan praktik kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana dapat bekerja, berpikir, dan belajar dengan baik, bagaimana dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.

Hal lain  yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengatur agar mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran dan sportivitas berjalan dengan benar, bagaimana mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan mendapatkan tempatnya secara penuh, bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab dapat dikedepankan, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka.

Jika hal itu terjadi, maka kebudayaan kita akan berjalan dengan sendirinya, dan dapat dipastikan akan berkembang sesuai dengan harapan dan cita-cita. Dengan demikian, persoalan yang kita hadapi bukan persoalan ke mana arah perkembangan kebudayaan, bukan soal terjadinya kemorosotan berbudaya, bukan soal terjadinya stagnasi dalam kebudayaan kita

Persoalan arah perkembangan kebudayaan kita menjadi lebih kapitalistis dan dikuasai oleh budaya populer karena kita tidak bergerak untuk berkarya dan bekerja produktif. Kita menjadi penonton dan peniru, dan dalam rangka itu kita seolah telah mengisi hidup dengan produktif. Hal itu didukung ketika berbagai studi dan analisis kebudayan lebih dalam rangka menjelaskan terjadinya budaya konsumtif atau riuh manisnya budaya populer.

Pikiran tentang terjadinya kemerosotan berbudaya terjadi karena kita hanya nguri-nguri kebudayaan, tetapi justru terjebak dengan nostalgia dan “kecanggihan” masa lalu tanpa ada upaya memodifikasi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pun terjadinya stagnasi kebudayaan karena selama ini yang kita lakukan adalah membangun dan memikirkan serta melakukan berbagai kegiatan budaya tanpa ada progresi terhadap substansi, tidak ada upaya pendalaman dan pencapaian dalam sebuah kerja sistematis.

Hal itu terlihat dari berbagai kegiatan kebudayaan, atau seolah-oleh kegiatan kebudayaan. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kegiatan itu ramai atau tidak, gayeng atau tidak. Ukuran kuantitatif keramaian dan keriuhan menjadi ukuran kesuksesan. Tapi apa yang terjadi, substasi kebudayaan yang perlu dipikirkan, seperti disinggung di atas, sama sekali tidak tersentuh. Kita hanya berjalan di tempat.

 

Salah Kaprah

Banyak hal yang selama ini relatif salah-kaprah ketika kita memikirkan kebudayaan seolah kebudayaan merupakan strategi atau cara-cara berbudaya itu sendiri. Sebagai misalnya, konsep pendidikan berbasis budaya, dalam argumen di atas, justru keliru. Hal yang benar seharusnya adalah pendidikan berbasis karya, atau pendidikan berbasis kejujuran dan tanggung jawab, atau pendidikan berbasis kerja. Jauh lebih penting mengondisikan bagaimana mempraktikkan kejujuran dalam pendidikan daripada apakah pendidikan telah sejalan dan berbasis kebudayaan. Jauh lebih utama memikirkan bagaimana agar dapat bekerja dan berkarya daripada apakah kebayaan kita adiluhung atau tidak.

Hal itu terjadi bukan saja kebudayaan itu abstrak, terlalu luas, dan setiap orang berkepentingan dan merasa penting “memikirkannya”, tetapi dalam praktiknya kebudayaan juga menjadi ajang komoditas tertentu dalam budaya yang dihegemoni oleh konstruksi kapitalisme.

Berangkat dari kenyataan itu, sudut pandang dan paradigma tentang bagaimana mempersoalkan kebudayaan memang sudah waktunya digeser. Kata-kata tentang kebudayaan yang biasanya selalu menjadi subjek atau kata utama dalam sebuah frase selayaknya diminimalkan. Apa pun yang kita dedikasikan tentang dan dalam kehidupan sehari-hari adalah proses berkebudayaan itu sendiri.

Dengan demikian, apakah kementerian pendidikan dan kebudayaan masih relevan? Kementerian atau departemen kebudayaan menjadi tidak relevan jika tidak dalam rangka memfasilitasi bagaimana agar masyarakat dapat bekerja dan belajar dengan maksimal dan mudah (tidak dengan banyak peraturan yang menyulitkan), bagaimana agar masyarakat dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana agar masyarakat dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.

Persoalan kedua, apakah kemudian fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan di universitas menjadi tidak relevan? Mungkin masih relevan jika lembaga-lembaga itu bergerak dalam rangka menjadi lembaga yang  mengembangkan atau meneliti sekaligus memperjuangkan mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran, memperjuangkan mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan, mendapatkan tempatnya secara penuh, memperjuangkan bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab mendapat tempat utama, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka dan transparan.

Jika hal itu tidak terjadi, maka baik kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan, mungkin tidak ada gunanya. Pertanyaannya adalah sejauh ini apa yang dikerjakan oleh kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan?

 

(3)

MEMELIHARA BUDAYA EMPATIK

 

Ada sejumlah indikasi bahwa “tanpa disadari” kita adalah makhluk-makhluk rasis, hierarkis, dan diskriminatif, yang berimplikasi pada sikap-sikap tidak simpatik dan saling bermusuhan. Dalam percakapan sehari-hari, tidak jarang kita mendengar ungkapan seperti; “dasar tukang becak”, “dasar negro”, “dasar pembantu”, “seperti tukang parkir saja kamu”, “dasar orang desa, kampungan”, dll. Belum lagi ungkapan seperti “bodoh, tolol, idiot”, dsb. Atau ungkapan gabungan yang lebih pahit, “dasar tukang becak bodoh”. Itu hanya beberapa contoh.

Menarik menjelaskan mengapa, kasus tukang becak misalnya, menjadi salah satu ungkapan keseharian yang memojokkan. Apa salah tukang becak dalam kehidupan kita? Ungkapan “dasar tukang becak bodoh”, secara ideologis menyimpan stigma bahwa pekerjaan itu hina dan rendahan. Pekerjaan itu hanya cocok untuk orang bodoh. Pekerjaan itu hanya mengandalkan otot. Pekerjaan itu murahan, maka orang becak itu pasti miskin. Dan saya bukan tukang becak, jadi saya tidak hina, tidak rendahan, pandai, dan tidak miskin.

Misal lain, ungkapan “dasar orang desa, kampungan”. Ungkapan itu menyimpan anggapan bahwa orang desa itu bodoh, tidak punya pengetahuan, miskin, tidak punya etika seperti orang kota, ketinggalan zaman. Bahkan mungkin mengandung anggapan lain seperti bau, kotor, dan sebagainya. (Saya menduga ini semacam kekonyolan massal yang kita idap).

Yang berdimensi rasis misalnya, maaf, saya terpaksa mengambil contoh,  “dasar negro”. Di balik ungkapan itu mengandung makna, orang negro itu hitam, bau, tidak pernah mandi, miskin, bodoh, dan tukang buat kriminal. Saya bukan negro, maka saya tidak bau, rajin mandi, tidak miskin dan tidak bodoh, dan tidak pernah berbuat kriminal. Saya berbeda dengan orang negro, saya bukan mereka. (Apa kesalahan “orang negro” terhadap kehidupan kita? Ini jelas konstruksi kolonialis).

Yang tidak kalah berbahayanya adalah pernyataan “Mereka itu pendatang”. Di balik ungkapan itu terkandung makna bahwa pendatang tidak sama dengan penduduk asli/pribumi. Mereka pendatang harus menyesuaikan diri dengan penduduk asli kalau tidak para pendatang boleh dimusuhi, boleh tidak dijadikan teman. Bahkan ini pula yang sebetulnya membuat kita tidak bisa menerima orang lain apa adanya, orang lain berbeda dengan kita, kita bukan mereka. Perbedaan tersebut menyembunyikan bahaya laten konflik.

Agak sulit untuk membantah bahwa hal tersebut masih kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat konstruksi sosial yang rasis, hierarkis, dan diskriminatif yang kita tanggung sebagai akibat peninggalan sejarah kebudayaan kita.

 

Bara Prasangka

Munculnya perbedaan ini terutama dalam konteks ada yang merasa mayoritas, di satu pihak, dan ada yang dianggap minoritas. Kelompok mayoritas akan mendominasi, atau bahkan menghegemoni, minoritas agar si minoritas tidak mengganggu dominasi mayoritas. Hal ini tentu juga berkaitan terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politik, juga sosial dan budaya.

Pemeliharaan stigma tersebut secara terus menerus menimbulkan perbedaan. Adanya perbedaan akan menimbulkan jarak dan menyulitkan komunikasi. Jika komunikasi tidak terjalin, maka tidak akan ada saling pemahaman. Bila tidak ada saling pemahaman, maka perbedaan akan berpotensi menjadi musuh dalam selimut. Perbedaan memelihara bara prasangka. Prasangka akan mengalami berbagai pemelintiran dan membengkak menjadi penyakit sosial dan budaya. Inilah yang terus menerus terjadi. Saya menduga, politisasi agama memainkan peranan penting terhadap bara prasangka ini.

Yang merasa di-liyan-kan juga tak kunjung bisa hidup wajar karena dianggap berbeda dan dijauhi. Dalam situasi itu, akan selalu muncul resistensi karena yang di-liyan-kan akan berusaha hidup layak dan normal. Berbagai konflik selalu membayang. Saya tidak ingin mengatakan bahwa hal rasis, hirarkis, dan diskrimintif ini sebagai semata-mata konstruksi kolonial. Karena hal itu sudah ada jauh sebelum kolonial masuk ke Indonesia.

 

Perlunya Empatik

Masalahnya adalah bahwa kita tidak pernah tahu dilahirkan di mana, kapan, sebagai anak siapa, dan kelak hidup di mana. Kita tidak tahu spakah kita  bodoh atau pintar. Membangun kesadaran ini penting, bukan saja dalam konteks religius, spiritual, atau etik, tapi lebih-lebih dalam konteks sosial. Kesadaran itu juga sangat penting untuk ditumbuhkan dan dipelihara sebagai satu pemahaman bahwa manusia itu kodratnya sama, dalam ketidaktahuan dan ketidakberdayaan.

Siapa orang yang mau lahir bodoh, atau kelak hidup miskin, tidak ada. Siapa yang mau jadi tukang becak, atau bercita-cita jadi pekerja rumah tangga (kita biasa menyebutnya pembantu), tidak ada. Siapa penduduk asli di muka bumi ini yang bisa mengklaim dirinya sebagai tidak pendatang. Semua pendatang, cuma ada yang lebih dulu, ada yang lebih belakangan. Manusia berhak hidup di mana saja di muka bumi ini dengan aman dan nyaman. Menyadari itu, sikap empatik menjadi sangat penting.

Ibu saya pernah memberi resep kepada saya kalau saya mengalami rasa kesal, atau kecewa, atau mungkin sedikit marah karena suatu hal yang tidak sesuai dengan harapan. Ibu mengajarkan bahwa mengumpat itu tidak ada gunanya. Justru kalau bisa membalasnya dengan ungkapan, “Mudahan-mudahan tambah rezekimu”, atau “Aku berharap kamu selalu sehat” atau “Doaku agar engkau diampuni yang Maha Kuasa”, atau “Mudah-mudahan dilapangkan dadamu”, dan sebagainya.

Kayaknya sulit, di tengah rasa kecewa atau marah kok malah “mendoakan” kebaikan kepada orang lain. Tapi ternyata, tidak sulit-sulit juga kok. Coba saja. * * *

 

 

(4)

KEBUDAYAAN SEBAGAI TERSANGKA

 

Pada masa Orde Lama, politik menjadi instrumen utama. Waktu itu, politik gagal menyelamatkan Indonesia dan Indonesia terjerumus menjadi negara miskin. Pada masa Orde Baru, ekonomi menjadi aktor paling penting. Pada awalnya, Indonesia sukses membangun perekonomian, tetapi ternyata ekonomi gagal menjayakan Indonesia. Indonesia kembali terjerembab menjadi negara amburadul.

Pada masa reformasi ini, tampaknya politik kembali diusahakan menjadi pemain penting. Akan tetapi, masyarakat Indonesia seolah masih trauma dan penuh keraguan. Hal itu diperlihatkan dengan gugup dan groginya masyarakat Indonesia memainkan instrumen politiknya. Kekacauan terjadi di mana-mana, sementara ekonomi tidak memperlihatkan tanda perbaikan.

Di masa sulit dan putus asa ini, masyarakat mulai berpikir bagaimana jika kebudayaan mengambil peran untuk menyelamatkan Indonesia. Selama ini, kebudayaan tidak mengambil peran sebagai operator penting, tetapi sekarang diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia. Pertanyaannya, kenapa politik dan ekonomi gagal di Indonesia, dan apakah kebudayaan bisa mengeluarkan Indonesia dari situasi runyam.

 

Tidak Terintegrasi

Politik gagal di Indonesia karena politik tidak terintegrasi atau tidak dintegrasikan dengan kebudayaan. Dalam sejarahnya, Nusantara memang memiliki tradisi panjang bagaimana politik berjalan di setiap lokalnya. Akan tetapi, ketika menjadi Indonesia, masyarakat tidak memiliki satu pemahaman tentang kebudayaan sehingga politik lepas dari kebudayaan. Hal itu terlihat dari kebingungan dalam menentukan strategi dan arah kebudayaan. Politik tidak lebih menjadi ajang merebut, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan dalam berbagai cara.

Ekonomi juga gagal karena tidak terintegrasi dengan kebudayaan. Sama halnya dengan politik, tradisi perekonomian yang panjang di Nusantara tidak bisa dijadikan sumber acuan untuk mengelola Indonesia. Setiap lokal memiliki cara-cara ekonomi sendiri. Alhasil, ketika menjadi Indonesia dan ekonomi modern, ekonomi tidak lebih hanya sebagai satu cara mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan, atau menambah keuntungan dan kekayaan.

Dalam dua kondisi tersebut, banyak juga yang kemudian menyalahkan seolah kebudayaan menjadi salah satu faktor penghambat dalam mengembangkan Indonesia menjadi negara berkualitas. Kebudayaan dianggap mengambil peran negatif karena tidak bisa diintegrasikan dengan politik atau ekonomi. Padahal, persoalannya adalah bahwa ekonomi atau politik tidak akan pernah bisa diintegrasikan dengan kebudayaan jika yang menjadi faktor dominannya politik atau ekonomi.

 

Prinsip Etis-Kemanusiaan

Lantas apa seharusnya yang dimaksud dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah bagaimana mempraktikkan, mengelola, memperjuangkan, dan mempertahankan prinsip-prinsip etis-kemanusiaan, yang meliputi nilai-nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Jika kita memenuhi persyaratan tersebut, kita biasa menyebutnya sebagai masyarakat yang berbudaya. Jika tidak, berarti belum berbudaya.

Dengan demikian, jika kebudayaan menjadi payung besar dalam mengelola politik atau ekonomi, maka politik dan ekonomi harus tunduk pada prinsip kebudayaan tersebut. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa politik menjadi aktor, kebudayaan tunduk kepada prinsip-prinsip politik. Itulah sebabnya, kemudian Indonesia tidak akan pernah sukses mengelola politik karena bukan saja tidak terintegrasi dengan kebudayaan, lebih dari itu prinsip-prinsip budaya juga menolak prinsip politik yang diberlakukan.

Hal yang sama terjadi pada masa Orde Baru ketika ekonomi menjadi payung dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip dan paradigma ekonomi tidak akan pernah bisa terintegrasi berkaitan dengan prinsip dan nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Kita tahu, negeri Indonesia terbukti terjerembab menjadi salah satu negeri paling korup di dunia, tidak ada keadilan ekonomi, tidak ada kemandirian, kemerosotan terjadi di mana-mana.

Apakah jika kebudayaan menjadi paradigma utama, kebudayaan bisa mengitegrasikan banyak hal? Mungkin juga tidak jika kebudayaan hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang “berbau kesenian” atau “puncak-puncak kebudayaan daerah”, atau sebagai cara-cara hidup bermasyarakat yang diterima begitu saja yang biasa disebut sebagai tradisi. Kebudayaan hanya menjadi objek pasif yang tidak akan bisa berperan apa-apa. Dalam kondisi itu, kebudayaan tidak layak diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia.

Akan tetapi, jika memposisikan paradigma dan definisi kebudayaan sebagai nilai etis-kemanusiaan seperti disinggung di depan, maka sangat mungkin kebudayaan memiliki kekuatan untuk berintegrasi dengan ekonomi dan politik atau instrumen sosial lainnya. Dengan demikian, berbagai kesalahan kita dalam memahami kebudayaan tidak terus menerus menjadikan kebudayaan sebagai tersangka. * * *

 

(5)

KEBUDAYAAN ITU TERGANTUNG

 

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengevaluasi rancangan Perdais DIY tentang Kebudayaan di DPRD Yogya. Salah satu yang paling bermasalah dalam Perdais itu justru difinisi tentang kebudayaan. Dalam Ketentuan Umum Perdais itu kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat-istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur meliputi benda dan tak benda yang mengakar dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Seperti diketahui, difinisi tentang kebudayaan itu ada ratusan. Hal itu dapat dilihat dalam buku legendaris karya Koentjaraningrat, buku yang hampir menjadi buku putih tentang kebudayaan bagi masyarakat Indonesia. Definisi di atas, dapat dikatakan masih dalam pengaruh tersebut. Dalam definisi itu kebudayaan merupakan suatu hasil, bukan proses, dan didefinisikan lebih dalam pengaruh para orientalisme ketika mendefisikan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di “Timur”.

 

Bilamanakah Kebudayaan

Dalam perjalanannya, konsep kebudayaan terus menerus dikritisi dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan peradaban manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Raymond Williams, dalam bukunya Culture and Society, menyimpulkan bahwa paling tidak ada tiga definisi tentang kebudayaan. Pertama, kebudayaan sebagai proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetik pada umumnya. Kedua, kebudayaan sebagai suatu cara hidup, dalam suatu periode, suatu kelompok/komunitas, dan ketiga, kebudayaan sebagai karya-karya dan praktik intelektual, khususnya estetik, dan sebagai satu proses memproduksi makna.

 

Pesan penting dari pembagian definisi tersebut adalah bahwa kebudayaan itu bermacam-macam, mengandung implikasi dan dampak politis tertentu. Definisi pertama, misalnya, tampaknya sesuatu yang dipahami dan “diikuti” Ki Hajar Dewantara, yakni dengan bahwa kebudayaan merupakan puncak dari proses perkembangan intelektual dan spritualitas manusia. Dengan konsep ini, kebudayaan mengeluarkan, atau tidak menganggap bahwa aktivitas manusia yang biasa-biasa saja, yang tidak estetis, tidak dianggap kebudayaan.

 

Sementara itu, definisi kedua menganggap tidak penting/tidak ada suatu dimensi makna dari aktivitas mannusia, dan definisi ketiga justru menganggap penting pemaknaan itu sendiri, yang lain tidak penting. Masalah ini kemudian dicarikan jalan keluarnya oleh Mark Hobart, yang bahkan studinya berangkat dari siaran TV di Bali. Hobart menemukan begitu banyak difenisi kebudayaan, demikian beragam, bahkan membingungkan. Ia menemukan paling tidak 15 definsi kebudayan seperti kebudayaan itu adalah tarian, adalah warisan, adalah sesuatu yang perlu dilestarikan, adalah potensi, adalah modal, dan sebagainya (lihat juga Faruk, 2013).

 

Hobart memberikan saran penting bahwa kita tidak perlu membuat definisi kebudayaan yang berpretensi “mengatasi“ segala definisi. Hobart berkesimpulan bahwa pada akhirnya definisi kebudayaan itu serba bergantung, berdasarkan konteks penggunaannya, luwes, dan mungkin sangat kontestual yang berhubungan langsung dengan sistem kebudayaan yang ada. Pernyataannya yang paling penting adalah bukan apa itu kebudayaan, tetapi kapan atau bilamanakah kebudayaan itu.

 

Tergantung Keperluan

Kembali ke persoalan semula, dalam posisi dan keperluan apa Perdais Kebudayaan DIY dalam mendefinisikan Ketentuan  Kebudayaan. Secara cepat para anggota DPRD menjawab bahwa definisi itu diambil dai peraturan yang lebih tinggi, yakni definisi yang terdapat dalam UU RI No. 13 tahun 2021 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Definisi tersebut jelas bermasalah karena menganggap berbagai aktitivitas manusia sehari-hari, yang dianggap biasa-biasa saja, yang tidak luhur, yang tidak seni, bukanlah kebudayaan. Hal ini terlihat bahwa definsi kebudayaan yang diikuti Perdais DIY itu adalah definsi yang dikembangkan oleh ideologi para elite, oleh para yang berkuasa yang merasa memiliki kebudayaan dan yang paling berhak mendefinisikannya. Konsep itu sekaligus menimbulkan dikotomi ada yang beradab dan ada yang tidak beradab/berbudaya.

 

Kalau kita percaya bahwa struktur sosial itu adalah sebuah konstruksi, maka struktur dikotomis tersebut tentu saja memproduksi struktur sosial yang timpang, melegitimasi ketidakadilan, melegitimasi bahwa kebudayaan itu hanya milik para elite, atau katakanlah bahwa kebudayaan itu milik para kelas atas, yang memiliki otoritas, kelas berkuasa.

 

Penempatan konsep kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa juga memposisikan manusianya sebagai sesuatu yang pasif, kebudayaan bukan sebagai proses yang aktif. Itulah sebabnya, semangat kebudayaan kita di atas adalah semangat pelestarian, semangat pelindungan, melindungi hasil kebudayaan yang elitis. Kita memang perlu meletakkan konsep kebudayaan yang tergantung keperluannya. Persoalannya, kita perlu tahu bahwa saat ini apa yang paling kita perlukan sehingga pengertian kebudayaan menjadi basis bagi perbaikan mutu kehidupan kita. * * *

 

 

(6)

HIBRIDITAS KEBUDAYAAN

 

Kebudayaan itu tidak ada yang orisinal. Kebudayaan merupakan praktik adopsi dari berbagai hal, baik disadari maupun tidak. Kebudayaan bersifat hibrid. Paling tidak terdapat empat hal budaya yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat, yakni budaya lokal, budaya agama, budaya nasional, dan budaya massa/populer. Keempat hal tersebut dipraktikkan secara serempak.

 

Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebudayaan adalah satu sistem pengetahuan, kepercayaan dan keyakinan yang mempengaruhi prilaku, cara hidup, dan aktualisasi diri masyarakat. Dengan demikian, setiap sistem budaya meliputi cara-caranya sendiri yang membedakan satu dengan yang lain. Contoh yang paling sederhana misalnya sistem pengetahuan tentang diri dan alam, sistem berbahasa, sistem sandang dan pangan, sistem papan, dan sebagainya.

 

Ada beberapa cara dalam melihat praktik hibriditas kebudayaan. Pertama, berdasarkaN ruang/lokasi praktik berbudaya, kedua, orang yang berperan atau agen-agen budaya yang terlibat di dalamnya, dan ketiga, historisitas.

 

Ruang Berbudaya

Praktik berbudaya antara desa dan kota, atau antara daerah pegunungan dan daerah pantai pasti berbeda. Kondisi lingkungan dan alam menentukan cara-cara orang melakukan praktik kehidupan sehari-hari. Di sini hanya akan dibicarakan perbandingan ruang desa dan kota.

 

Dalam praktiknya, memang teknologi massa yang bisa menjangkau ke semua ruang, ikut membentuk cara-cara hidup masyarakat. Akan tetapi, kontrol nilai  dan norma di desa sedikit lebih terpelihara daripada di kota. Hal ini menentukan strategi dan praktik sosial masyarakatnya. Di desa, seseorang masih mengalami rasa kikuk jika berbahasa Indonesia atau tidak ikut kerja bakti.

 

Kepekaan dan solidaritas sosial juga membedakan antara orang desa dan kota. Komunalitas sudah sangat longgar di perkotaan. Orang kota sedikit terpaksa menjadi lebih individual dan mengurus urusannya masing-masing. Dengan begitu, bisa jadi nilai-nilai budaya lokal masih lebih kental dipraktikkan di desa, bertumpang tindih dengan budaya beragama. Memang, hal itu tidak menjamin sama sekali bahwa orang desa tidak mempraktikkan bahasa Indonesia sambil mengonsumsi budaya populer.

 

Jarak ruang tertentu dengan ruang lain juga memberikan karakter terhadap hibiritas budaya. Desa dengan kedekatan tertentu dengan kota besar, sangat berbeda dengan desa yang terisolasi atau jauh dari kota. Hal-hal tersebut perlu menjadi perhitungan dalam mengkaji fenomena wajah budaya kita yang demikian majemuk dan sekaligus memberikan perbedaan-perbedaan.

 

Peranan Tokoh

Tokoh atau agen-agen masyarakat tidak dapat dipungkiri memainkan peranan penting dalam hibridisasi kebudayaan. Kita tahu bahwa dalam masyarakat kita tokoh, orang tua, ustad, guru, pemimpin masih menjadi panutan. Hal pentingnya adalah bahwa suara dan prilaku tokoh setempat masih memegang situasi dan kendali bagi praktik-praktik budaya masyarakat tertentu. Jika kebetulan tokoh dalam masyarakat tertentu posisi kiyainya sangat kuat, sangat mungkin masyarakat memperlihatkan wajah relijiusnya.

 

Biasanya banyak tokoh mencoba mengembalikan nilai-nilai budaya lokal, mungkin juga agama, karena hal itu akan memapankan posisinya. Kita tahu bahwa dalam nilai-nilai lokal atau agama senioritas memegang kendali penuh atas tumpuan penghormatan. Asumsinya, bahwa perubahan budaya yang terjadi cenderung merusak moral berbudaya sehingga kebudayaan harus dikembalikan ke nilai-nilai adiluhung. Nilai-nilai adiluhung itu tersimpan dalam budaya lokal atau agama.

 

Mungkin ada tokoh yang memainkan peranannya dalam pengembangan budaya nasional. Kesulitan pengembangan budaya nasional adalah bahwa nasionalitas terjepit di antara budaya lokal, agama, dan terpaan budaya populer. Kemungkinan lain, budaya nasional mengadopsi budaya lokal dan agama dan menjadi bagian dari budaya nasional, seperti selama ini terjadi. Bahasa Indonesia-lah yang mempertemukan kondisi dan situasi tersebut.

 

Namun, kita tahu bahwa sosok tokoh sekarang berprofesi lebih profesional. Dalam perkembangannya, banyak orang menjadi tokoh karena dia populer berkat sinetron, film, atau media massa pada uumnya. Kehadiran tokoh baru ini tampaknya memainkan peranan lebih signifikan sebagai sosok idola yang menjadi acuan identitas seseorang. Hibridisasi budaya ke arah budaya massa semakin memperlihatkan pengaruhnya.

 

 

Historisitas Budaya

Hal penting lain yang juga ikut menentukan hibriditas adalah konteks historis suatu masyarakat. Artinya, pengalaman antara satu masyarakat dan masyarakat lain itu berbeda. Ada masyarakat yang mengalami modernitas tinggi ada yang tidak, ada daerah yang mengalami peristiwa nasional secara langsung ada yang tidak, ada tokoh-tokoh yang mengalami pengalaman berbeda yang ikut menentukan prilaku mereka di tempatnya masing-masing.

 

Dengan demikian, adopsi dari berbagai kekuatan budaya secara serempak menjadi praktik dan gaya hidup sehari-hari. Sangat menyenangkan, misalnya, di sebuah tempat, ada seorang pemuda berpecis dan sarungan, sambil sms dan face book-an, sekaligus mendiskusikan liga internasional dan makan lodeh. Dan mereka berbicara dalam bahasa Indonesia yang compang-camping bercampur bahasa lokal mereka masing-masing.

 

Hal penting yang harus digarisbawahi adalah bahwa kita hidup sekarang dan ke depan. Kehidupan tidak bisa dipaksa sesuai dengan niat-niat keluhuran dan kemuliaan seperti dibayangkan dan diharapkan para orang tua yang mencoba berpegang teguh nilai-nilai budaya yang berbasis budaya dan kearifan lokal. Inilah Indonesia. * * *

 

 

(7)

MATINYA MESIN PEMIKIRAN

 

Mesin yang paling besar generatornya dan paling dominan gemuruh suaranya adalah mesin politik. Karena selalu ada suksesi, dari tingkat lurah hingga presiden, maka mesin politik mau tidak mau harus selalu dinyalakan. Mesin politik juga bekerja untuk pemilihan ketua ormas, orsospol, pemilihan rektor dan dekan, dan sebagainya. Mesin politik hidup dalam keseharian kita. Kemudian, banyak orang hidup sebagai kernet atau penumpang gelap mesin politik.

 

Selain mesin politik, mesin ekonomi juga bergemuruh di hampir semua lini kehidupan. Tanpa disadari kita terjebak dalam rutinitas suara-suara mesin politik dan ekonomi. Mesin politik dan ekonomi saling bertumpang tindih, saling mendukung dan tergantung, sehingga kekuatan mesin-mesin lain tenggelam tidak bergaung. Kalau mesin seni-budya sekali dua terdengar, itu karena mesin ekonomi atau politik yang membesarkan suaranya, dan menjadikannya komoditas.

 

Sebagai akibatnya, konfigurasi bangunan kehidupan bermasyarakat menjadi sumbang, bising, penuh kasak-kusuk dan intrik, dan sama sekali tidak mencerdaskan. Orang terjebak dalam satu sistem dan mekanisme yang sama dari waktu ke waktu. Hal tersebut dikondisikan oleh satu hal lain bahwa dalam gemuruh mesin politik dan ekonomi itu, orang tidak berpikir untuk mencari satu substansi bagaimana berpikir tentang peningkatan kualitas kehidupan. Kita dikondisikan untuk berpikir, tapi berpikir bagaimana berkuasa dan bertahan hidup. Mesin pemikiran hakiki telah mati.

 

Kita membutuhkan dan perlu menghidupkan mesin pemikiran. Hal yang dimaksud dengan mesin pemikiran adalah terjadinya proses, penghidupan, dan pergerakan ide-ide atau gagasan-gagasan cerdas, bijak, dan mulia, sebagai hasil dari suatu proses penelitian/pemikiran yang serius dan mendalam. Bukti dari tidak jalannya proses penghidupan dan pergerakan mesin pemikiran adalah bahwa begitu banyak masalah yang dihadapi oleh negeri ini, dan secara relatif tidak mendapatkan jalan keluar, atau tidak ada cara yang cukup signifikan untuk mengatasinya.

 

Masalah pengangguran dan kemiskinan, masalah transportasi, korupsi, atau berbagai masalah kekerasan, adalah beberapa masalah besar yang hingga kini tidak pernah teratasi. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa masalah tersebut sudah bisa diatasi di berbagai negara lain. Akan tetapi, paling tidak selalu ada ide atau gagasan segar untuk terus menerus mengatasi persoalan tersebut, atau paling tidak ada upaya yang sangat powerfull untuk meminimalkannya.

 

Dalam hal ini, perguruan tinggi dan pusat-pusat studi seharusnya mampu menjadi tempat atau institusi yang secara konstan menghidupkan mesin pemikiran. Masalahnya, perguruan tinggi pun terus-menerus tergerus oleh terutama mesin ekonomi sehingga pendidikan tinggi tidak lebih menjadi ajang bisnis ijazah dan gelar. Memang sangat mungkin perguruan tinggi melahirkan pemikir, tetapi kelak banyak pula pemikiran mereka yang tenggelam dalam bisingnya mesin politik atau ekonomi.

Pusat-pusat studi juga tidak bisa menjalankan perannya sebagai tempat mesin pemikiran harus berputar. Kita tahu bahwa pusat-pusat studi pun tidak lebih sebagai pusat-pusat menjalankan proyek “penelitian pesanan”. Pusat studi tidak lebih menjadi alat atau institusi untuk mendapatkan legitimasi kebijakan mesin politik atau mesin ekonomi. Banyak proyek penelitian akhirnya terjebak dalam pragmatisme mesin politik dan ekonomi.

 

Kesulitan lain tidak hidupnya mesin pemikiran adalah bahwa di negara kita mesin pemikiran secara relatif tidak memiliki media yang memadai sebagai sarana mensosialisasikan pemikiran. Berbagai media sudah terkooptasi oleh mesin politik dan ekonomi. Jurnal atau buku-buku pemikiran selayaknya menjadi wadah bagi pergerakan mesin pemikiran. Akan tetapi, kesulitan segera menghadang karena akses masyarakat terhadap jurnal dan buku masih sangat rendah. Artinya, terdapat semacam lingkaran setan sehingga mesin pemikiran sulit hidup di Indonesia.

 

Hal lain yang  menghambat hidupnya mesin pemikiran karena kita tidak terbiasa menerima gagasan atau ide-ide baru yang berbeda daripada lumrahnya. Hal ini berkaitan dengan, pertama, kebiasaan kultural kita yang mengatakan “sudah adatnya begitu”. Kedua, kesulitan lain menghidupkan mesin pemikiran adalah bahwa kita memang terlanjur tidak bisa/biasa berpikir. Mungkin saja kita bisa berpikir dan memiliki gagasan yang cerdas, tapi kadang kita tahu bahwa berbagai gagasan itu tidak ada gunanya.

 

Alhasil, kita mengalami kebuntuan dari mana kita bisa memulai menghidupkan mesin pemikiran itu. Karena kebuntuan tersebut, dan ketika mengetahui bahwa tampaknya segala kemungkinan untuk menghidupkan mesin pemikiran tidak dimungkinkan, maka resikonya adalah kita harus siap menerima bahwa tidak akan terjadi perubahan yang signifikan dalam kita menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. * * *

 

 

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300