Aprinus Salam
Setiap hari kita berdahapan dengan tanda-tanda. Tanda-tanda bertebaran mulai dari rumah, di jalan, di berbagai ruang publik, di mana pun dan dalam bentuk apa pun. Begitu ada proses komunikasi dengan sesuatu , kita telah berurusan dengan tanda. Apakah ada tanda yang tidak mengkomunikasikan sesuatu? Kalau sesuatu itu tidak mengkomunikasikan sesuatu yang lain, apakah hal itu masih dapat disebut sebagai penanda yang melahirkan petanda?
Sebuah tanda bisa berarti sama dalam suatu konteks masyarakat, jelas belum tentu bagi konteks masyarakat yang lain. Tanda mengacungkan jari tengah mungkin tidak begitu berati bagi masyarakat Indonesia, tapi jangan bermain-main dengan tanda itu di Amerika. Begitu pula sebaliknya. Kalau kita menyelipkan jari jempol di antara jari telunjuk dan jari tengah, itu sesuatu yang harus betul-betul diketahui konteks dan situasinya. Kalau tidak, bisa berakibat kurang baik. Sebagai tanda persahabatan sekali dua kita menabok bokong teman. Akan tetapi, dengan teman Arab sebaiknya kita mengelus-elus kepalanya.
Sebaliknya, dapat dipastikan ada penanda yang diartikan lebih kurang sama oleh manusia di mana pun, sejauh orang tersebut memiliki standar yang sama tentang tanda itu sendiri. Gambar timbangan, secara umum bisa dianggap dan merupakan simbol keadilan. Burung merpati mungkin lambang perdamaian. Cuma kita tidak dapat berharap jika sistem tanda itu berarti juga bagi orang tertentu yang tidak memiliki informasi tentang hal tersebut.
Bagaimanapun “universalissi” tanda-tanda pada akhirnya merupakan konvensi yang diterima bersama, sukarela atau tidak, tertipu atau tidak. Orang atau masyarakat yang belum “terkonvensikan”, belum tersosialisasikan, belum mendapat informasi yang sama, bisa tidak mengetahu pesan yang disampaikan oleh tanda-tanda tertentu. Artinya, tidak semua orang tahu bahwa gambar timbangan adalah simbol keadilan. Akan tetapi, bahwa gambar itu menjadi konvensi simboliknya, mungkin tidak ada orang yang mengatakan tidak.
***
Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin membicarakan tanda-tanda, khususnya berkaitan apa yang biasa kita sebut rambu-rambu. Biasanya istilah rambu-rambu mengingatkan kita dengan kata lain yang mengikutinya, rambu-rambu lalu lintas. Akan tetapi, seperti dijelaskan kemudian, istilah rambu-rambu mencakup pengertian lain yang lebih luas. Ia bisa pula berarti informasi yang bermakna “peringatan atau perintah manipulatif” atau bahkan semacam kehendak untuk “mengatur-atur”. Persoalan inheren yang juga ingin dikembangkan adalah sampai seberapa jauh kesadaran masyarakat terhadap sistem tenda perambu-rambuan itu. Apa masalah di dalamnya?
Sebagai penanda, rambu-rambu, paling tidak ada dua bentuk yang selama ini dipakai. Pertama, yang sifatnya penanda visual; dan kedua, penanda verbal. Penanda visual adalah segala penanda yang disampaikan secara tidak verbal, apakah itu berupa gambar-gambar, warna, maupun komposisi-komposisi di antaranya. Itu pun di dalamnya “ada konvensi simbolik” tersendiri, bukan saja berkaitan dengan tanda-tanda warna tertentu, tetapi bahkan gambar itu sendiri. Bagaimana warna kuning diterima oleh masyrakat tertentu, bagaimana dengan warna merah, atau apa yang bisa dipahami antara persegi empat dibanding lingkaran.
Penanda verbal biasanya segala sesuatu yang disampaikan dengan berkata-kata: “Dilarang Buang Sampah di Sini”, “Ngebut Benjut”, “Pemulung Dilarang Masuk”, “Dilarang Kencing di Sini Kecuali Asu Edan” dan sebagainya. Peringatan untuk mempertahankan laju kendaraan memang ada seperti “Max -10 km”, tetapi apakah masih efektif sehingga harus ditulis ngebut benjut, atau ngeyel duel, nekat santet dan sebagainya, bahkan kalau perlu dengan cara membuat “polisi tidur”, walaupun sebetulnya polisi tidur bisa masuk ke jenis penandaan tersendiri.
***
Disebutkan bahwa pada dasarnya rambu-rambu itu mengkomunikasikan sesuatu. Ada tiga kemungkinan yang dikomunikasikan itu (bukan tataran atau kategori). Pertama, sebagai hakikat dasarnya ia ingin memberi informasi akan suatu hal. Ia memberi informasi dalam arti pertamanya seperti petunjuk tempat telepon, WC umum, tempat-tempat publik, arah jalan, dan sebagainya. Cara mengkomunikasikannya pun bisa beragam, bisa visual, bisa verbal.
Kedua, pasti tetap memberi informasi, tetapi memasuki lapis kedua, yakni semacam pengaturan. Pertama, yang bersifat semata-mata peringatan: “Awas ada tikungan tajam”, “Jalan Licin”, dan lain-lain. Namun, ada yang sifatnya larangan: “Dilarang Parkir”, “Dilarang Masuk” dan sebagainya. Perilaku kita diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan rambu-rambu tersebut. Yang bersifat peringatan memang mana suka, tetapi kalau ada kajadian yang merugikan, risiko tanggung sendiri. Walaupun bisa jadi merugikan orang lain juga. Kalau yang bersifat larangan, jika tidak memenuhi pengaturan tersebut ada sanksinya.
Mungkin kita perlu berdiskusi panjang lebar bagaimana masyarakat mengapresiasikan rambu-rambu pengaturan tersebut merupakan fenomena yang signifikan dalam masyarakat kita. Artinya, tidak tertutup kemungkinan bahwa fenomena pelanggaran tersebut menjadi petanda yang memberi penanda sendiri. Taruhlah di balik itu memberikan penanda bahwa masyarakat kita tidak percaya pada peraturan hukum. Bahwa hukum bisa ditawar, bisa dikolusikan, bisa dibeli dan sebagainya. Penandaan itu menjadi petanda tersendiri yang lain bahwa pada dasarnya karakter masyarakat kita demikian cair dan tidak setia terahdap tanda-tanda. Demikianlah, dalam pemahaman semiotik, hubungan petanda dan penunda bisa tak berujung.
***
Yang tidak kalah seriusnya, ketiga, adalah rambu-rambu yang di dalamnya ada unsur “penipuan”. Ini berkaitan dengan rambu-rambu, seperti telah disinggung, tanda-tanda informatif yang bermakna “peringatan atau perintah manipulatif” atau bahkan semacam kehendak untuk “mengatur-atur”. Hampir boleh dikata semua bentuk jenis iklan adalah tanda-tanda yang menipu.
Memang derajat penipuan dan ketertipuan berbeda-beda. Ada yang penipuan teknis. Iklan sabun cuci, misalnya, mungkin sekadar teknis. Paling tidak sabun cuci masih dapat dipercaya sebagai pembersih kain kotor, terlepas sabun itu bisa “mencuci sendiri” atau tidak. Akan tetapi, iklan sabun mandi, odol, parfum dsb, adalah penipuan yang bisa ideologis dan mitis. Bahwa ada jaringan petanda-penanda lain yang perlu dibongkar agar kita tak tertipu dan percaya bahwa dengan mandi sabun tertentu, atau bersikat gigi dengan odol tertentu, dan setelah itu memakai parfum tertentu, kita telah jadi manusia modern dan siap “dikomoditaskan”.
Tidak terkecuali iklan layanan, apakah itu dari swasta atau pemerintah. Selalu ada ideologi dan mitos-mitos tertentu yang disembunyikan di balik semua pernyataan iklan itu. Dapat dipastikan iklan memberi rambu-rambu pada batas-batas tgersebut, jangan salahkan jika orang itu disebut manusia tidak modern, tidak laku, dan semestinya menjadi tidak percaya diri.
***
Barangkali, dalam batas-batas tertentu, kita termasuk masyarakat yang konyol. Untuk rambu-rambu dengan sejumlah tanda-tanda yang sifatnya peringatan dan pengaturan (pendisiplinan), kita tertantang untuk melanggarnya. Namun, untuk tanda-tanda yang sifatnya manipulatif, sayangnya, kita justru sering tertipu untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan yang dibatas-batasi (definisasi) oleh rambu-rambu yang terdapat dalam hampir semua jenis iklan.
Dalam kesempatan ini saya ingin meminjam penjelasan Jack Solomon dalam The Signs of Our Time (1998), bahwa pada dasarnya belajar tentang ilmu tanda bukanlah memperoleh wadah informasi yang tetap, melainkan mengasah kepekaan terhadap perubahan. Kita sering dikondisikan menerima berbagai tanda-tanda secara pasif pada sisi tertentu dan melawan secara membabi buta pada kasus yang lain. Bagaimana pun kita perlu berhitung dan bersiasat tentang kepentingan yang lebih besar. Menemukan makna-makna pada sistem penandaan apa pun adalah mengurai-sandikan tanda-tanda zaman, menemukan degup budaya, yang memungkinkan kita melakukan diagnosis budaya sendiri dan mewawarkan solusi bagi apa yang tampak tidak beres.