MENUJU SUBJEK OPORTUNIS
Kontradiksi dalam Tatanan Simbolik Kapitalisme
Oleh Aprinus Salam
Pengajar di Pascasarjana FIB UGM
Pengantar
Tema yang seharusnya dibicarakan adalah “Peran Budaya dalam Memperkokoh Karakter Bangsa”. Tema ini sangat penting dan selalu akan menjadi masalah. Tulisan ini membicarakan masalah tersebut dalam sisinya yang berbeda. Terdapat kenyataan lain bahwa kebudayaan yang sedang menguasai kita, perlu diperhitungkn sebagai masalah terganggunya kekokohan karakter bangsa. Hal itu disebabkan bahwa dalam kebudayaan terdapat kekuatan besar yang mengatur banyak hal, termasuk hal-hal yang terjadi di Indonesia. Untuk itu saya akan memulai dengan pertanyaan berikut.
Bagaimana menjelaskan kontradiksi subjek (diri/seseorang) dan/atau identitas yang tampak bertentangan? Di satu sisi terdapat subjek yang mencitrakan dirinya sebagai seorang muslim yang saleh (identitas), tetapi di sisi lain subjek yang bersangkutan juga melakukan korupsi. Di satu sisi sang subjek mencitrakan dirinya sebagai seorang yang demokratis, tetapi di sisi lain subjek tersebut tampil penuh kuasa dan sering bertindak sewenang-wenang. Di satu sisi terdapat subjek yang memperlihatkan dirinya sebagai seseorang yang dermawan dan baik hati, tetapi banyak yang tahu bahwa subjek bersangkutan sangat keras mengeksploitasi bawahannya. Konteks apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
Tulisan ini mencoba menjawab persoalan tersebut. Ada empat hal yang ingin dijelaskan. Pertama, wacana-wacana apa yang membentuk subjek. Kedua, struktur dominan apa yang sedang terjadi. Ketiga, bagaimana situasi kontradiktif tersebut dimungkinkan. Keempat, ke mana arah pola subjek dan identitas yang terjadi.
Seperti diketahui, wacana-wacana membentuk dan memposisikan subjek dalam satu struktur kewacanaan (Foucault, 1973; 1976, lihat juga Laclau dan Mouffe, 2001). Dalam wacana ada kuasa, dan subjek terikat dalam satu tatanan relasi kuasa. Dengan demikan, subjek terbentuk dalam kuasa tertentu, dalam satu struktur dominan tertentu. Hal yang dimaksud subjek adalah bagaimana wacana dipersepsi, atau dibatinkan, oleh seseorang, dan kemudian bagaimana wacana tersebut memposisikan subjek dalam melihat dunia (world view). Berdasarkan pemahaman ini, wacana menjadi ideologi dan/atau simbol.
Subjek bersisi-sebelahan dengan identitas (Hall, 1992). Identitas dapat bersifat individual, dapat pula bersifat kolektif. Identitas terjadi dalam seperangkat atribut kultural yang membedakan pemaknaan antara yang satu dengan yang lain (Castells, 2001). Misal kasus di atas, subjek dikenal sebagai muslim, maka kemusliman adalah satu kategori penilaian dan klasifikasi. Dalam konteks penilaian dan klasifikasi itulah terdapat identitas (Bourdieu, 1984). Dalam situasi itu, subjek dapat dipetakan kedudukannya dalam tatanan kehidupan.
Kontestasi Wacana
Terdapat banyak wacana yang mengkonstruksi/mengkonstitusi subjek (diri-pribadi) dalam kehidupan sehari-hari. Dari kecil kita sudah mendengar berbagai nasihat dan cerita dari orang tua dan keluarga. Kisah-kisah nabi dan kehidupan para sahabat (misalnya untuk keluarga muslim). Di sekolah hingga perguruan tinggi kita membaca dan mendengar cerita guru atau dosen. Berbagai mitos, folklore, cerita rakyat, prosa, puisi, dan pribahasa-pribahasa adalah memiliki kandungan wacana. Di ruang-ruang lain kita mendengar ceramah, pengajian, pernyataan-pernyataan para ahli, membaca berita dan berbagai informasi. Sebagai wacana, dalam wacana tersebut terdapat kuasa yang mengaturnya.
Demikian pula halnya, ketika kita membuka gejet, maka bertebaranlah berbagai wacana dari mana saja. Berbagai berita, dalam banyak hal masuk dalam kategori wacana, karena berita ditulis atau dilaporkan dalam frame tertentu. Berita tentang orang miskin yang sukses menjadi kaya, berita perang dan pembunuhan, kisah-kisah filantropis, dsb., ikut berpengaruh terhadap subjek. Frame ditentukan oleh kuasa tatanan dominan.
Negara berkepentingan mengokohkan kuasanya. Pada masa kolonial, orang Indonesia dikonstruksi untuk menjadi subjek inlander. Pada masa revolusi, untuk melawan subjek inlander, Soekarno mewacanakan rakyat, untuk menjadi subjek rakyat, konsep yang menggabungkan pengertian massa, buruh, kaum marhaen, petani, orang melarat, dan sebagainya (Soekarno, 2002). Pada masa Orde Baru, pemerintah, atas nama negara, memobilisasi wacana manusia/subjek seutuhnya (Subjek Pancasila) (TAP No. II/MPR/1983 (hlm. 380-382). Wacana subjek seutuhnya ini, secara teoretik tidak mempertimbangkan wacana ideologis yang saling bertentangan sehingga proyek ini menyisakan bangunan subjek yang carut marut. Hal ini kelak akan dirasakan di kemudian hari, yakni pada periode “kuasa reformasi”. Masalah tersebut berkelindan dengan pemerintah daerah yang berkepentingan dengan nilai-nilai budaya lokal. Banyak kebijakan di tingkat daerah untuk menggali ulang nilai-nilai budaya lokal. Kearifan lokal bergema di daerah-daerah.
Dalam berbagai wacana yang tumpang tindih tersebut, justru yang semakin banyak berkiprah adalah subjek-subjek yang kontradiktif.
Dengan beberapa penyederhanaan tulisan ini masuk ke dalam beberapa kasus. Biasanya orang tua, berdasarkan wacana dominan dalam dirinya, memberikan nasihat kepada anaknya agar sang anak menjadi orang yang berguna dan berbakti bagi agama, negara, dan orang tua. Wacana ini dikategorikan sebagai wacana dalam tatanan simbolik yang mewakili kuasa yang telah mapan. Dalam posisi strukturalnya, sang anak telah ditanam satu pemahaman simbolik untuk kelak mengikuti aturan main dalam berkehidupan. Pribahasa-pribahasa banyak memberikan wacana dalam struktur yang mapan tersebut. Walaupun terdapat sebagian dalam pribahasa bersifat larangan, tetapi secara umum larangan tersebut dimaksudkan untuk mengatur subjek agar tidak melanggar larangan sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai aturan.
Ketika di sekolah, subjek juga mendapatkan pernyataan-pernyataan, rajin pangkal pandai, hemat pangkat kaya, letakkan cita-citamu setinggi langit, bekerja keraslah agar kamu sukses, dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan tidak berdiri sendiri di ruang kosong. Terdapat satu tatanan konteks yang menyebabkan pernyataan-pernyataan tersebut menjadi bermakna dan mendapatkan dorongan konsolidatif dalam kesadaran subjek. Negara, lewat pelajaran Pancasila, Sejarah, Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia dan Sastra, Geografi, menanamkan nilai-nilai kepancasilaan, kecintaan pada tanah air, dan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan dari subjek agar sesuai dengan kaidah kewarganegaraan.
Kita juga mendapat kisah sebagai bangsa yang pernah dijajah. Wacana yang berkaitan dengan ini juga tidak kalah signifikan dibanding yang lain. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pernah kalah dan dijajah oleh Barat. Apalagi Barat penjajah juga meninggalkan konstruksi sosial bahwa bangsa Indonesia itu malas, bodoh, tidak disiplin, tidak berbudaya, dan Barat itu disiplin, pintar, berbudaya, dan sebagainya (Bdk, Alatas, 1988). Karena kuatnya wacana itu dengan bukti keunggulan Barat, maka kita seolah percaya bahwa kita memang perlu belajar ke Barat. Hingga kini masih terasa jejak-jejak pengakuan bahwa Barat itu lebih unggul dari Indonesia.
Sejalan dengan masa penjajahan, Barat juga membawa kapitalisme kolonial dan modernitas (Alatas, 1988). Pada abad ke-20 awal, Indonesia memasuki masa-masa proses modernisasi. Kini modernitas, dengan wacana (dan ideologi) individualisme, rasionalisme, progresivisme, sekularisme, dan pengakuan terhadap adanya kebenaran universal (Bdk. Bauman, 1991; Harvey, 1998) telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hampir semua simbol modernitas, dalam berbagai bentuk gaya hidup, telah hadir di Indonesia. Indonesia menjadi salah satu konsumen terbesar perangkat teknologi modern di dunia. Saat ini, sekitar 60% masyarakat Indonesia menggunakan perangkat gejet dan teknologi internet.
Di balik gegap modernitas, kehidupan beragama di Indonesia tetap terpelihara. Tempat-tempat beribadah masih selalu ramai dan terus dibangun. Jumlah muslim Indonesia adalah yang terbedar di dunia. Dalam beberapa ritus elektoral, wacana keagamaan memainkan peranan penting dalam kontestasi. Banyak kegiatan pengajian bukan saja berlangsung di masjid, tetapi di ruang-ruang publik lainnya, hingga di hotel-hotel bintang lima. Relijiustias menjadi gaya hidup dan layak dipertontonkan.
Berbagai kontradiksi itu terjadi karena keberadaan subjek itu tidak stabil. Wacana bersaing secara terus menerus “menginterupsi” kesadaran subjek. Memang, dalam struktur yang stabil, wacana dominan terkondisi untuk stabil dan tanpa disadari subjek terkondisi dalam wacana dominan tersebut. Akan tetapi, akan selalu muncul resistensi wacana lain yang berebut pengaruh terhadap posisi dominan. Jika terdapat kesejajaran dan kesamaan kode wacana pada subjek-subjek yang terdominasi atau tertindas (dalam bentuk identitas), hal ini akan menjadi kekuatan tersendiri untuk memberikan varian yang berbeda terhadap kesadaran subjek.
Kondisi tersebut dimungkinkan karena subjek secara dinamis memiliki kemampuan dalam mengonsolidasikan dirinya sesuai dengan hasrat-hasrat yang terkandung sebagai subjek itu sendiri. Meminjam pemikiran Bourdieu (1990) di sinilah letak hubungan dinamis antara keberadaan subjek dengan realitas struktural yang dihadapi subjek. Artinya, bukan tatanan struktur saja yang berkuasa dan dominan atas diri subjek, tetapi subjek juga ikut berpengaruh dan bisa bernegosiasi dengan struktur.
Namun, melihat struktur dan kondisi masyarakat Indonesia, strukur masih memainkan peranan dominan. Apalagi, sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa, inisiatif-inisiatif pribadi ditekan atas nama harmoni. Banyak pendapat dan inisiatif peribadi/subjek tidak bisa dinegosiasikan. Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan. Kita mementingkan kuasa kolektif dari pada pribadi. Persoalannya, kolektif itu siapa? Kolektif itu adalah kuasa tatanan tertentu tempat kekuatan dominan telah mengatur hierarkinya sehingga segala hal atas nama subjek nyaris diabaikan.
Wacana dominan mendapat dukungan sepenuhnya dari para penguasa ekonomi, atau kekuasaan negara didukung oleh struktur kekuatan ekonomi, demikian sebaliknya. Proses modernisasi telah berkembang pada bentuk kapitalisme akhir, atau bahkan neoliberalisme, yang mana individu mendapat hak seluas-luasnya untuk bersaing dan mengambil keutungan sebesar-besarnya di pasar, peran pasar semakin membesar, dan peran negara semakin mengecil. Negara tidak lebih berfungsi sebagai “administrator” kegiatan ekonomi yang secara inheren adalah pula kegiatan politik. Di Indonesia, hal ini akan berimplikasi sangat luas. Kontestasi wacana akan semakin berjalan tidak imbang.
Tatanan dan Kekerasan Simbolik
Dalam sebuah karyanya, Eagleton (1998/1976, 1990) menjelaskan bahwa pada tataran corak produksi umum, yang memproduksi suatu aktivitas kemanusiaan, termasuk di dalamnya berbagai karya, berkat kemampuan dan mekanisme satu tatanan struktur bernegara. Jika kita menilik Indonesia, struktur apa yang sedang berlangsung. Melihat sirkulasi ekonomi yang terjadi, yakni ketika keuntungan hasil kerja masyarakat kebanyakan justru mengalir pada segelintir pemilik alat-alat produksi, segelintir pengusaha dan penguasa, maka dapat dipastikan bahwa tatanan struktur kita adalah tatanan kapitalisme. Dalam tatanan seperti itulah aktivitas dan identitas bermunculan, berbagai karya diproduksi. Artinya, termasuk aktifitas pendidikan, kesusastraan, merupakan bagian dari mekanisme produksi umum struktur tatanan kapitalisme.
Sebagai ideologi yang berkuasa, maka kapitalisme, lewat para subjek-subjeknya juga, akan secara konstan, sistematis, dan terus menerus mempertahankan posisi dominannya. Subjek-subjek kapitalis yang memiliki kuasa, akan terus mengontrol wacana-wacana yang beredar dan berkontestasi. Tatatan kapitalis juga akan mengontrol peraturan-peraturan, berbagai kebijakan, hingga wacana-wacana resistensi. Sejauh berbagai kontetasi tersebut tidak membahayakan posisi dominan, maka dunia akan berjalan sebagaimana biasanya. Namun, jika dipandang terdapat wacana yang berkekuatan interuptif, maka kapitalisme akan melakukan penanggulangan.
Bentuk penanggulangan yang dilakukan kapitalisme berupa “kesalehan sosial” dengan cara melakukan berbagai “sedekah”. Perusahaan-perusahaan multi-internasional, sebagai ujung tombak, akan mensubsidi berbagai aktivitas ataupun karya-karya resistensif, yang dianggap memberikan tandingan. Artinya, misal, banyak karya seni dan sastra justru menjadi komoditas penting dalam rangkaian sistem kapitalisme. Bila Anda minum kopi di sturbucks, maka sebagian keuntungan yang diperoleh akan diberikan kepada petani-petani kopi miskin sehingga Anda pun yang minum kopi di sturbucks merasa ikut bersedekah. Jika Anda melakukan pengajian di hotel berbintang lima, maka relijiusitas Anda akan tampil modern dan sebagian dari kegiatan pengajian tersebut disumbangkan ke yayasan yatim piatu. Tidak lupa bahwa kita akan ber-selfie ria dalam kegiatan pengajian tersebut bahwa kita adalah umat yang relijius.
Dari berbagai kejadian tersebut, kita menjadi tahu bahwa kesadaran subjek bukan saja tidak stabil, namun pada tataran identitas memperlihatkan wajah ganda bahkan majemuk. Masalah-masalah tersebut akan menjadi lebih kompleks jika masuk ke wilayah perbedaan-perbedaan kelas, gender, ras, agama, dalam struktur mikro dalam aras lokal yang berbeda-beda. Pada tataran kelas, banyak kejadian bahwa subjek kelas terdominasi berupaya mempelihatkan identitas dan simbol-simbol kelas atas. Subjek kelas bawah berpenampilan seolah mahal padahal dana sangat terbatas. Sambil bergurau Bourdieu (1984) pernah membahasakan kasus ini dengan memaksimalkan gaya, tetapi dengan meminimalkan biaya. Dengan sadar atau tidak, subjek menjadi dan merepresentasikan dirinya sebagaian bagian dari, atau terkooptasi, kelas dominan.
Kasus subjek rasis juga bukan persoalan baru di Indonesia. Di samping masih mengagumi si Barat yang putih, subjek rasis berusaha keras memutihkan kulitnya. Hal ini menyebabkan teknologi dan perangkat kecantikan kulit merupakan bisnis yang besar di Indonesia. Bertahun-tahun kita sudah mulai menyadari ini, tetapi iklan-iklan dengan wajah dan representasi Barat masih sangat dominan. Kadan-kadang, terdapat juga kelompok-kelompok kepentingan yang mulai frustrasi dengan kondisi tersebut sehingga melakukan aksi-aksi kekerasan. Beberapa perusahaan besar yang menjadi simbol Barat, khususnya Amerika, menjadi situs penting untuk dijadikan sasaran kekerasan.
Dalam ranah gender, subjek-subjek juga mengalami tekanan dan kontrol dalam wacana dominan. Kekuatan wacana mengatur laki-laki dan perempuan untuk tetap menjadi kelihatan laki-laki dan perempuan dalam berbagai penampilan simboliknya (Laclau, 2001). Subjek-subjek kehilangan kemerdekaannya untuk menjadi manusia merdeka karena kemerdekaan tersebut lebih sebagai fantasi ideologis dalam tatanannya. Bisa saja kemudian subjek merasa merdeka, tetapi merdeka yang terbatas dalam ruang tatanan simbolik struktur dunia dalam bayang-bayang dominasi kapitalisme global.
Hal yang terjadi adalah subjek telah dikuasai dan hidup dalam konotasi yang secara keseluruhan bersifat simbolik. Kalau kita percaya ada negara yang sedang berkembang dan ada negara maju, maka secara terselubung kita telah hidup dalam tatanan simbolik itu. Kalau kita percaya dengan berbagai pengertian tentang kemajuan, pembangunan, keadilan, kemakmuran, dan sebagainya, kita telah hidup dalam tatanan simboliknya. Implikasinya, subjek memperlihatkan diri, dalam tatanan itu bahwa masyarakat dan negara sedang bersama-sama berjalan ke arah itu. Perjalanan itu tidak akan pernah sampai karena simbol-simbol akan terus berubah sehingga apa yang kemudian disebut kemajuan, pembangunan, keadilan, kemakmuran tetap dalam batas-batas fantasi ideologis yang dimungkin dalam dirinya.
Wacana-wacana akan terus berkontestasi karena wacana yang bersaing merebut subjek akan merupakan sesuatu yang labil. Kelabilan tersebut mengondisikan fantasi-fantasi yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi perubahan-perubahan posisi-posisi subjek. Artinya, berkat perjuangan subjek, sangat mungkin posisi-posisi dalam struktur akan berpindah tempat, tetapi struktur makronya tidak berubah. Akan ada subjek yang mengalami mobilitas vertikal, atau sebaliknya, tetapi hal tersebut bukan indikator adanya perubahan struktur.
Memang, terdapat sejumlah teori yang mengabaikan kekuatan struktur, yakni teori postruktural yang memberi tekanan pada kekuatan wacana itu sendiri. Secara teori hal itu dimungkinkan jika mobilitas subjek tidak terikat dengan struktur yang mengaturnya. Akan tetapi, gejala tersebut hanya terdapat pada subjek-subjek yang memang telah memiliki kemampuan mengatasi struktur. Gejala itu hanya terjadi pada segelintir subjek. Untuk kasus Indonesia, walau gejala posmodernisme (sebagai implikasi posstrukturalisme) telah ada, tetapi sebagian besar subjek masih sangat dikondisikan oleh kekuatan struktur dominan.
Medan Kontradiktif
Seorang pemikir terkenal, Slavoj Zizek (1989), memberikan satu penjelasan lain terkait dengan medan kontradiktif yang menyebabkan subjek seolah berwajah ganda. Dalam praktik kehidupan, terdapat tiga skema yang subjek “terjebak” dalam ketiga skema tersebut, yakni apa yang dimaksud dengan The Real (yang Nyata), The Imaginary (yang Imajiner), dan The Symbolic (yang Simbolik). Untuk memperjelas konsep tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan dalam kasus, yakni upaya-upaya menggairahkan kembali apa yang biasa disebut sebagai kearifan lokal.
Hingga hari ini kita masih menghidupkan secara sistematis apa yang disebut kearifan lokal. Kita menyeminarkannya, menerbitkan buku, menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan dan atas nama kearifan lokal, antara lain kegiatan yang meliputi permainan dan seni tradisional, berbagai karnaval yang mengandung nilai dan filosofi lokal, kandungan sastra dan tradisi lisan, dan sebagainya. Persoalannya, apa yang terjadi di balik revitalisasi kearifan lokal, sementara tatanan kapitalisme dengan banal terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Mengadopsi pemikiran Zizek (1989, 1994), kearifan lokal dari dulu adalah sesuatu tatanan simbolik yang diagungkan, dimuliakan, dan suatu fantasi yang bisa dianggap nyata yang kita bersama-sama ingin menjadi dan ada di dalamnya, sesuai dengan konteks budaya lokalnya masing-masing. Artinya, setiap lokal-lokal, bisa jadi tatanan simboliknya berbeda-beda, tetapi bisa pula pada tingkat yang universal adalah hal kebaikan dan kebenaran yang diakui bersama. Dengan demikian, tatanan simbolik lokal orang Indonesia itu beragam sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Akan tetapi, persoalannya bukan itu. Persoalannya adalah saat ini kita hidup dalam satu tatanan simbolik rezim kapitalisme. Suatu era ketika rezim kapitalisme memiliki kuasa yang kokoh. Rezim tersebut telah berhasil membuat satu tatanan simbolik yang kita hidup di dalamnya, dan kita terperangkap dalam rezim tersebut. Kita hidup ketika hampir seluruh nilai-nilai, filosofi, simbol-simbol, bahkan imajinasi yang bersifat dan mengarahkan diri dalam tatanan kapitalistis. Untuk hidup subjek (kita) harus bekerja, dan mau tidak mau subjek bekerja pada lembaga pemerintah atau non-pemerintah. Jika bekerja secara mandiri pun kita terikat dalam satu sistem pasar dan modalitas. Jika bertani, kita hidup dalam satu sistem sirkulasi jual beli barang dan jasa. Ketika menjadi seniman, kita perlu memperjualbelikan karya. Sirkulasi jual beli barang, jasa, dan modalitas tersebut terikat pula dalam tatanan simbolik kapitalisme.
Agar hidup terkesan “normal”, kita mengikuti aturan main nilai-nilai, simbol-simbol, dan filosofi modern tersebut. Kalau tidak, kita bisa dianggap ketinggalan zaman, orang aneh, tidak mengikuti kaidah kehidupan yang telah menjadi tuntutan zaman. Alhasil, secara keseluruhan hidup kita sungguh telah menjadi modern. Pada situasi itulah, kemudian, kita menjadi tahu bahwa tatanan kapitalisme tidak membawa atau mengantarkan kita pada sesuatu yang sejati, yang The Real.
Kita menjadi sadar bahwa hidup kita terasa palsu dan semu. Kita menjadi sadar bahwa hidup telah membawa kita pada proses-proses dehumanisasi, hilangnya penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan, kemuliaan, dan kedamaian. Dulu, sebelum kesadaran itu muncul, itulah yang disebut Marx sebagai kesadaran palsu. Subjek melakukan tindakan tertentu karena subjek tidak tidak menyadari atau tidak begitu mengetahui. Hegemoni menyelubungi diri subjek sehingga dunia tidak dapat dilihat secara apa adanya (yang real). Akan tetapi, fase tersebut sekarang sudah berlalu. Sekarang subjek melakukan tindakan tertentu, dan subjek tahu itu tidak benar, tetapi kita tetap melakukannya. Keadaan ini yang disebut Slavoj Zizek beroperasinya kesadaran sinis (1989, 1994, 1997).
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, dalam tatanan simbolik kapitalisme tersebut kita menjadi sadar kearifan lokal ternyata telah menjadi ada tapi tiada, menjadi the Other. Dalam situasi itu kita merindukannya, membutuhkannya, maka dibuat berbagai program, acara, aksi-aksi, dan hal-hal yang berkaitan dengan penghidupan kembali nilai-nilai atau praktik kearifan lokal. Dengan asumsi, kearifan lokal dapat membawa kita pada sesuatu yang The Real.
Kita pun menghidupkan tradisi dan ritual-ritual tradisional yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Berbagai kampanye, jargon, dan seremoni-seronomi atau kegiatan yang bernuasa kearifan lokal kita selenggarakan, mungkin per minggu, per bulan, atau per tahun. Kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan negara pun menjadi sibuk dengan berbagai kegiatan dan seremonial yang, diandaikan, sangat berbau tradisi dan kearifan lokal.
Dalam praktiknya, hal yang terjadi adalah paling tidak kita diajak kembali untuk merasakan (dan mungkin membeli) apa yang disebut merasakan pengalaman arif dengan nuasa lokal. Dalam konteks ini, kearifan lokal yang seharusnya bagian integral dalam kehidupan, berposisi sebagai yang asing. Dibuatlah berbagai kegiatan yang disengaja agar the Other menjadi tidak terlalu asing dengan merasakan kembali pengalaman yang arif lokal tersebut.
Sebagai contoh kita mengadakan desa budaya sebagai satu ruang yang mengandung muatan kearifan lokal. Kita menyelenggarakan festival dan ritual seni untuk terlibat dengan pengalaman arif dan lokal. Kegiatan itu dimaksudkan untuk sejenak atau beberapa jam/hari menjadi arif dan lokal tanpa terus menerus bersusah payah menjadi orang yang terasing dalam dunia formal berdasarkan tatanan simbolik kapitalisme.
Dari siatuasi itu dapat diketahui bahwa segala hal atas nama kearifan lokal tersebut tetap tidak dapat keluar dari suatu rangkaian tatatan simbolik kapitalisme. Hal ini terjadi karena, dalam praktiknya, kearifan lokal menjadi komoditas, menjadi bagian dari investasi modalitas, terikat dalam jaringan dan berbagai kepentingan yang dibutuhkan oleh masyarakat modern yang kapitalistis.
Pertanyaannya, apakah kita tidak tahu semua hal yang terjadi. Jawabannya, kita tahu. Akan tetapi, kita dengan sengaja memanipulasi pengetahuan kita itu untuk pura-pura tidak tahu. Rasionalitas kita sengaja dihalangi, karena jika rasionalitas kita dimunculkan, maka akan tahulah kita bahwa tatanan simbolik yang terlanjur kita nikmati terlalu vulgar dan cabul. Mungkin kita tidak akan menikmatinya lagi, walau kita tahu yang kita nikmati ini semu dan palsu.
Singkat kata, karena hegemoni simbolik yang semakin menguat, maka subjek menempuh berbagai cara untuk memenangkan persaingan. Cara-cara mengatasi persaingan tersebut bisa legal ataupun illegal. Di sini berbagai kemungkinan proses radikasisasi menjadi dimungkinkan. Dalam cara-cara itulah kemudian terjadi berbagai penurunan etik, kejujuran, dan nilai-nilai kebenaran. Tidak jarang kemudian berbagai potensi kriminalitas juga meningkat. Hidup dengan rasa aman dan nyaman jauh berkurang. Sekali lagi, bukan kita tidak tahu bahwa hal-hal illegal (seolah di luar tatanan simbolik) telah kita lakukan, tapi kita justru menikmati pengetahuan yang kita pura-pura tidak tahu itu.
Terdapat perspektif lain dalam menjelaskan medan kontradiktif tersebut, kembali meminjam pemikiran Bourdieu (2004). Medan kontadiktif dimungkinkan terjadi ketika subjek masuk dalam satu arena sosial yang hierarkis. Sebafai arena sosial, subjek terkondisi dengan kuasa wacana dominan (kapitalisme misalnya), untuk berkompetisi merebut posisi dominan. Subjek akan mengelola modal sosial, ekonomi, budaya, dan simboliknya untuk mendapatkan posisi dominan dalam hierarki strukturalnya. Dalam setiap arena memang memiliki rule of the game-nya masing-masing. Ruang sosial-ekonomi, sebagai ruang interseksi terbesar akan memaksa subjek mengerahkan modal-modalnya untuk meraih posisi dominan dalam kompetisi tersebut.
Menuju Subjek Oportunis
Hal yang dimaksud dengan subjek oportunis adalah pertemuan kontradiktif dua wacana atau lebih dalam diri subjek. Pertemuan tersebut bersifat tidak stabil. Oportunitas terjadi ketika subjek terkondisikan oleh celah struktur yang membuka peluang pada dirinya untuk mengambil kesempatan dalam celah tersebut. Untuk itu akan dibicarakan lebih rinci apa yang dimaksud dengan adanya celah dan tidak adanya celah dalam struktur tersebut.
Sebagai mana telah dibicarakan sebelumnya, kita hidup dalam dominasi struktur kapitalisme. Ciri-ciri kapitalisme (dan juga neoliberalisme) adalah, pertama, ketika keuntungan hasil produksi yang dikerjakan oleh para pekerja mengalir ke pemilik produksi/alat-alat produksi, ke pemilik perusahan-perusahan besar, atau ke penguasa ekonomi. Hal tersebut meliputi pekerjaan pada perusahaan-perusahan swasta dan pemerintah. Kedua, sebagian besar masyarakat/para pekerja menggantungkan hidupnya dalam mendapatkan imbalan dari tenaga yang dikeluarkannya. Ketiga, dalam relasi pemilik produksi dan tenaga kerja, berbagai aturan berkaitan dengan “aturan main” dibuat oleh pemilik produksi atau penguasa ekonomi. Demikian pula halnya dengan berbagai wacana atau pernyataan-pernyataan terkait dalam mekanisme produksi dan wacana yang menjaga “normalitas” dibuat oleh para penguasa.
Jika melihat ciri-ciri tersebut, maka Indonesia merupakan negara kapitalis, bahkan mulai mengarah ke neoliberalisme ketika peran negara terus menerus mendapat interupsi dari pasar. Kita tahu bahwa saat ini pemilikan produksi dan alat-alat produksi lebih dari 85% dikuasai swasta (besar) dan negara. Sebagian besar masyarakat hanya menjadi pekerja, dan lama mekanisme tersebut, sebagian besar keuntungan mengalir ke penguasa ekonomi. Perkembangan teknologi semakin mengurangi kebutuhan terhadap tenaga kerja manusia. Banyak pekerjaan membutuhkan ketrampilan yang spesifik dan berpendidikan tinggi. Sebagai resikonya, banyak warga yang tidak terserap ke pasar kerja. Jika ingin terserap ke pasar kerja, masyarakat harus memiliki ketrampilan dan pendidikan sesuai kebutuhan pasar.
Kondisi tersebut menimbulkan ekses persaingan yang ketat dalam merebut kesempatan kerja di pasar. Ekses persaingan yang ketat inilah membuka peluang kepada masyarakat, subjek-subjek, untuk menempuh berbagai cara agar diterima di pasar kerja. Sistem yang rasional dalam mekanisme produksi tidak membuka celah-celah untuk dapat ditembus dengan mudah. Akan tetapi, sistem yang rasional tersebut juga berdiri dalam satu konteks budaya yang meliputi nilai-nilai emosional, sistem kekerabatan, bahkan norma-norma sosial yang tidak rasional. Nilai-nilai budaya membwa kekautan wacana tersendiri sehingga terjadilah kontekstasi antara sistem atas nama struktur dan wacana budaya.
Situasi di atas menimbulkan tiga pilihan, pertama, dalam dominasi nilai-nilai rasional, maka subjek pekerja yang rasional akan bersaing untuk siap kalah atau menang dalam merebut kesempatan di pasar kerja. Jika kalah, subjek akan mencari alternatif lain dalam koridor rasional. Kedua, subjek mengelaborasi cara-cara emosional dan hal irasional lainnya dalam merebut pasar. Akan terjadi persaingan, baik di ruang sosial yang tetap rasional atau ruang lain yang tidak rasional. Ketiga, karena tidak mampu bersaing, subjek bekerja serabutan, atau bahkan sebagian yang lain bekerja asal-asalan yang tidak dapat sepenuhnya disebut pekerjaan.
Persaingan yang ketat dan berat tersebut akan menyertai akibat-akibat lain. Pertama, perebutan-perebutan pasar kerja akan menyebabkan banyaknya cara-cara emosional/kultural, seperti kolusi dan nepotisme, untuk menembus sistem atau struktur yang rasional. Kedua, jika subjek tidak memiliki relasi, akan muncul emosi-emosi yang mengarah pada kekerasan. Ketiga, kesamaan-kesamaan posisi dalam struktur persaingan tersebut menyebabkan munculnya berbagai aliansi atau koalisi, bahkan semacam komunitas-komunitas atas nama kepentingan, baik bersifat ekonomi, dan terutama politis.
Rangkaian akibat inilah yang menyebabkan munculnya subjek-subjek oportunis. Subjek akan mengambil kesempatan dan peluang yang tersedia, sekecil apapun, terutama atas nama emosionalitas yang berbasis budaya. Terdapat tiga strategi oportunistik yang dilakukan subjek, dan hal ini sekaligus menjawab pertanyaan awal dalam tulisan ini. Pertama, seperti telah disinggung, subjek merupakan entitas yang tidak stabil, bahkan tidak utuh (Bdk. Marshall, 1994: 108). Ketidakstabilan tersebut karena terjadi persaingan wacana dalam kesadaran subjek. Ketidakstabilan tersebut dimanfaatkan untuk berganti-ganti posisi subjek dalam bentuk identitas yang berbeda sesuai dengan kepentingan. Kedua, karena adanya ketidakjelasan batas-batas wacana, subjek mempermainkan batas ruang privat dan ruang publik dengan menggunakan wacana yang mendukung. Ketiga, karena ketidakjelasan batas-batas identitas, subjek akan mengelaborasi wacana-wacana sesuai dengan kepentingan identitas yang sedang dipertaruhkannya.
Strategi oportunistik tersebut masih dalam kerangka umum, yakni belum membedakan keberadaan subjek dalam pembedaan gender, ras, atau agama. Dalam tatanan struktur yang hierakis patriarkis, perempuaan mendapatkan posisi dirinya dalam tantangan yang lebih berat. Sekali lagi, ketidaksetabilan subjek menyebabkan subjek akan mengelaborasi atas nama hak azazi manusia dan dorongan wacana feminisme atau posfeminisme. Subjek feminis/posfeminsime akan memberikan citra-citra identitas tandingan yang akan mengganggu tatanan, bisa berhasil, bisa pula tidak.
Dalam kasus Indonesia, kontestasi subjek berbasis ras merupakan kontestasi yang tidak seimbang. Terdapat apa yang disebut pribumi dan non-pribumi. Akan tetapi, dalam praktik kontestasinya, kedua subjek tersebut akan mengambil wacana-wacana secara berbeda. Subjek mayoritas akan mengedepankan kemayoritasannya, dengan mengadobsi wacana subjek pribumi/asli, berdarah asli dari daerah tertentu, dan sebagainya. Subjek minoritas akan mendayagunakan aspek kesejarahan, dan mengedepankan The Real-nya manusia, atau meleburkan identitas dengan penyesuaian nama pribumi, atau melakukan berbagai peleburan symbolic dan real sehingga identitasnya tersamarkan. Dalam berbagai cara yang dilakukan, baik subjek mayor ataupun miror, keduanya mengambil celah-celah oportunistik.
Kontestasi wacana berbasis agama merupakan medan wacana yang paling banyak dipakai. Di Indonesia, salah satu kekuatan wacana tandingan yang sangat pantas diperhitungkan berhadapan dengan tatanan kapitalisme adalah agama Islam (sebagai agama mayoritas). Kekuatan agama terletak pada janji ideologisnya yakni keselamatan dunia dan akhirat. Wacana dan ideologi lain (non-agama) memiliki kemampuan untuk “janji” duniawi, tetapi tidak akhirat. Bagi subjek yang mayoritas kalah dalam tatanan struktur kapitalisme, janji biar kalah di dunia tapi menang di akhirat, dengan mudah menelusup dalam kesadaran subjek yang merasa merasa kalah dan tertindas. Itulah sebabnya, kita sering melihat tontotan bagaimana kemudian wacana agama dikerahkan untuk membangun identitas kesamaan nasib.
Kekuatan wacana agama yang memberi janji keselamatan akhirat tersebut dalam praktiknya, justru sering bertentangan dengan “syariah-syariah agama dalam dirinya” ataupun dalam praktik-praktik relijiusitas dan/atau spritualitasnya. Namun, hal yang dirasakan sangat kontradiktif adalah justru ketika subjek-subjek agama mengelaborasi sedemikian rupa simbol-simbol dan instrumen modernitas dan kapitalisme untuk melawan modernitas dan kapitalisme itu sendiri. Elaborasi-elaborasi tersebut menempatkan posisi subjek bukan saja bertentangan dalam simbolisasi dan identitas dirinya, tetapi yang paling utama adalah munculnya subjek-subjek oportunistik.
Gejala oportunistik tersebut semakin memperlihatkan adanya kekalutan (kegalauan) massal dalam diri masyarakat Indonesia. Kondisi galau dan kalut berhadapan dengan kekuatan tatanan kapitalisme yang justru semakin kuat. Dalam kondisi itu posisi subjek yang labil, pengambilan identitas yang kontradiktif, dalam aspek psikologis, menyebabkan bertumbuhnya karakter-karater yang tidak pernah terintegrasi, tidak utuh. Itulah sebabnya, dalam berbagai wacana lain tentang karakter, kita sangat merindukan adanya subjek-subjek yang memiliki integritas (integrity). Tuntutan itu menandakan bahwa banyak dari subjek-subjek kita tidak memiliki karakter seperti itu.
Kesimpulan
Pada setiap negara persoalan kontestasi wacana, pembentukan subjek, ataupun identitas, terjadi secara tidak sama karena faktor dan unsur yang terlibat di dalamnya berbeda-beda. Untuk Indonesia, dalam posisi sebagai negara yang terkondisi dalam kekuatan struktur global, sebagai negara hilir dalam proses modernisasi dan kapitalisme, kajian yang membicarakan kekuatan struktur tersebut masih sangat relevan. Wacana-wacana hadir dalam posisi dominasi struktur yang pada tataran tertentu menjadi hegemonik. Namun, subjek yang tidak stabil juga memainkan peranan penting dalam “menyiasati” dominasi struktur tersebut.
Implikasi hegemonik tersebut antara lain ketika dunia seolah berjalan secara natural. Kondisi itu menyebabkan sirkulasi keuntungan produksi yang mengalir deras ke segelintir penguasa ekonomi (dan politik) tidak lagi dilihat sebagai ketidakadilan. Kita tahu bahwa di Indonesia, begitu banyak orang yang hidup dalam keterbatasan dan tidak memiliki banyak pilihan dalam memperjuangkan hidupnya. Kondisi terbatasnya pilihan sembali mencari celah “bocoran” relasi-relasi yang dimungkinkan secara kultural. Itulah sebabnya, dalam praktik kehidupan sehari-hari akan terdapat banyak benturan, kontradiksi, bahkan konflik-konflik.
Kondisi lapis-lapis keberadaan dan pembentukan subjek di Indonesia memberikan variasi yang berbeda dalam mengartikulasikan (atau memperjuangkan) posisi sosial dan identitasnya. Salah satu yang disorot dalam tulisan ini adalah varian subjek yang menjadi subjek oportunis. Hal tersebut terjadi karena siasat-siasat normatif, siasat-siasat rasional berpeluang kecil dalam sistem dan struktur yang menuntut kompetensi tinggi untuk dapat masuk sesuai dengan kompetisi merebut pasar. Dalam situasi galau tersebut subjek melakukan berbagai siasat dengan cara-cara yang emosional, berdasarkan subjek yang tidak pernah stabil. Subjek memanfaatkan nilai-nilai budaya dan agama (atas nama identitas) untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Akan tetapi, hal itu bersifat sirkulatif karena akan terjadi perubahan-perubahan posisi subjek secara terbatas. Sementara itu, keutuhan struktur dominan tidak berubah.
Daftar Pustaka
Alatas, Syed Hussein. 1988. Mitos Pribumi Malas Citra Orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Diterjemahkan oleh Akhmad Rofl’ie. Jakarta: LP3ES
Bauman, Zygmunt. 1991. Modernity and Ambivalence. Cornell/Cornell University Press.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. England: Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction. London: Rouledge.
Bourdieu, Pierre. 1990. In Others Words: Essays Towards a Reflexive Sociology. Cambridge. Polity Press.
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya (terj. Yudi Santosa). Yogyakarta: Jalasutra.
Castells, Manuel. 2001. The Power of Identity. Oxford. Blackwell.
Eagleton, Terry. 1990. The Ideology of Aesthetic. Oxford: Basil Blackwell.
Eagleton, Terry. 1998/1976. Criticism and Ideology A Studi in Marxist Literary Theory. London: Verso
Foucault, Michel. 1973. The Order of Things: An Archaeology of the Human Siciences. New York: Vintage.
Foucault, Michel. 1976. The Archaeology of Knowledge and the Discourse of Language. New York: Harper Colophon.
Hall, S. 1992. “The Question of Cultural Identity”, dalam S. Hall, D. Held dan T. McGrew (eds.). Modernity and Its Future. Cambridge: Polity Press.
Harvey, David. 1998. The Condition of Postmodernity. Oxford: Basil.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics. London: Verso.
Marshall, B.L. 1994. Engendered Modernity-Feminishm, Social Theory and Social Change. Cambridge: Plity Press.
Soekarno. (Ed. Tim LKEP). 2002. Api Perjuangan Rakyat: Kumpulan Tulisan Terplih Bung Karno. Jakarta dan Bogor: LKEP dan Kekal Indonesia.
Zizek, Slavoj (Ed.). 1994. Mapping Ideology. London & New York: Verso.
Zizek, Slavoj. 1989/2009. The Sublime Object of Ideology. London & New York: Verso.
Zizek, Slavoj. 1997/2008. The Plague of Fantasies. London & New York: Verso.