Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

SUNDA, SILIWANGI DAN PAJAJARAN

$
0
0

by Rangra Gentra

Mungkin bagi sebagian orang, membahas masalah sejarah apalagi sejarah siliwangi dan pajajaran adalah sebuah hal yang tidak menarik, karena dianggap tidak kekinian. Tetapi di tegah kencangnya arus dinamika perubahan zaman masih ada kelompok kelompok anak muda bangsa yang tetap terpanggil untuk memelihara, menggali dan menyuarakan sejarah karuhunnya.

Siliwangi adalah sebuah nama julukan rakyat sunda pada saat itu kepada sang raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Hal ini tercantum dalam naskah wangsakerta :

Kawalya ta wwang sunda lawan ika wwang carbon mwang sakweh ira wwang jawa kulwan anyebuta prabhu siliwangi raja pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira

Nama Siliwangi juga tercantum dalam kropak 306 fragmen carita parahyangan. Juga tertulis dalam naskah sanghyang siksa kandang karesian yang ditulis pada 1518 (KF.Holle 1867 : 457). Pada saat itu ada rasa enggan dan sungkan untuk menyebut nama sang raja, sehingga nama yang sering disebutkan adalah nama julukan. Adalah Raden Pamanahrasa, Putra Prabu Dewa Niskala yang kelak kemudian hari dikenal sebagai Prabu Siliwangi membawa kerajaan sunda galuh dan sunda pakuan memasuki masa kejayaannya sebagai kerajaan pajajaran. Beliaulah yang menyamai kebesaran kakeknya Prabu Niskala Wastu Kancana dan Kakek buyutnya Maharaja Linggabuana yang menggenggam kekuasaan atas Sunda Galuh Dan Sunda Pakuan dalam satu tangan.

Sebagai putra dari seorang raja, tentu Raden Pamanahrasa dibekali berbagai macam ilmu, mulai ilmu pemerintahan, ilmu perang hingga ilmu keagamaan. Menjelang dewasa ia diberi jabatan oleh kakeknya Prabu Niskala Wastu Kancana yang pada saat itu masih menjadi Sri Baduga Maharaja di kerajaan Sunda Galuh yang berpusat di Kawali. Jabatan yang diberikan adalah sebagai raja daerah dengan nama Jayadewata di daerah Sindangkasih (Majalengka),

Ketika menjabat inilah Jayadewata menikahi Nyai Ambet Kasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih sebagai isteri pertama, lalu tidak berselang lama ia pun menikahi Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa sebagai isteri yang kedua dan kemudian Nyai Aci Putih putri dari Ki Dampu Awang sebagai isteri ketiga. Peristiwa pernikahan tersebut diatas terjadi ketika Jayadewata belum menjadi raja Pajajaran. Sementara itu pada tahun 1475 Prabu Niskala Wastu Kancana turun tahta dan membagi dua kekuasaan kerajaan Sunda kepada anaknya –di Tahun yang sama, di Cirebon, Syarif Hidayatullah datang dari Mesir-. Sunda Galuh diserahkan kepada anaknya dari Permaisuri Dewi Mayangsari, yaitu Prabu Dewa Niskala alias Ningrat Kancana, Sementara Sunda Pakuan diserahkan kepada anaknya dari Permaisuri Dewi Lara Sarkati, yakni Prabu Susuk tunggal alias Sang Haliwungan. Demi mempererat tali kekerabatan dua kerajaan bersaudara, Raden Pamanahrasa alias Jayadewata kemudian dinikahkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri dari Prabu Susuk tunggal penguasa Sunda Pakuan. Sehingga di Galuh diberi gelar Mangkubumi (Putra Mahkota) sedangkan di Pakuan bergelar Prabu Anom.

Menurut Naskah Purwaka Caruban Nagari bagian ke 20, Pada 1422 ,Nyai Subang Larang menikah dengan Jayadewata di Singapura yang letaknya di sebelah utara Gunung Amparan Jati. Dari pernikahan ini dikaruniai 2 orang putra dan 1 orang putri :

  1. Raden Walangsungsang (1423)
  2. Nyai Rara Santang (1426)
  3. Raja Sengara (1428).

Pada 1440, Nyai Subang Larang meninggal di keraton Pakuan. Setahun setelah Nyai Subang Larang wafat, pada 1441, Raden Walangsungsang meninggalkan istana untuk memperdalam agama islam, menurut babad tanah Cirebon, Raden Walangsungsang dalam perjalananya mencari seorang guru yang bernama syekh Nurjati, bertemu dan berguru kepada seorang pandita budha yang bernama Ki Danuwarsih di lereng gunung Dihyang. Dia adalah seorang pandita penasehat keraton Galuh ketika masih beribukota di Karang Kamulyan Ciamis. Dapat dibayangkan betapa teguh keimanan  seorang pangeran muslim yang berguru kepada ki Danuwarsih. Menurut naskah Pustaka Negara Kretabumi, diterangkan bahwa tempat Padepokan Ki Danuwarsih adalah Parahiyangan Bang Wetan. Perjalanan Raden Walangsungsan untuk berguru kepada Syekh Nurjati mempertemukan dirinya dengan beberapa orang guru yang lain –akan diceritakan di bagian lain-.

Selesai berguru kepada Ki Danuwarsih dan guru guru yang lain, Raden Walangsungsang tiba di pesisir utara Cirebon –sekarang bernama lemah wungkuk– untuk menemui Ki Danusela. Bersama Ki Danusela, Walangsungsang muda membabat hutan untuk dijadikan perkampungan baru yang bertepatan dengan Candra Sengkala 14 Kresna Paksa Bulan Caitra 1367 Saka, atau   1  Muharam 849/H dan jatuh pada tanggal 8 April 1445. Selanjutnya Raden Walangsungsang di berikan julukan baru yaitu Kuwu Sangkan, sebagai penguasa baru Cirebon di wilayah Galuh, Walangsungsang di beri gelar penobatan Sri Mangana oleh sang ayah. Hingga kelak, pada tahun 1478 Pangeran Cakrabuana, atau Raden Walangsungsang menyerahkan tahta kekuasaan kepada keponakannya, Syarif Hidayatullah. –Kisah perjalanan Raden Walangsungsang akan diceritakan kemudian

Sementara itu di keraton Surawisesa Galuh, Pada Tahun 1482, Prabu Dewa Niskala melanggar Purbastiti Purbajati dengan menikahi seorang perempuan larangan, yakni putri dari keraton Majapahit yang mengungsi akibat kemelut kekuasaan disana. –pada saat itu ada sebuah larangan menikahi perempuan majapahit akibat peristiwa bubat– . Kejadian ini membuat murka Prabu Susuktunggal , kakak seayah sekaligus besan Prabu Dewa Niskala yang berkuasa di kerajaan Sunda Pakuan. Peristiwa ini dilukiskan dalam Naskah Carita Parahyangan :

“………Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka é stri larangan ti kaluaran.

“………Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.”

Hampir saja dua kerajaan bersaudara ini mengobarkan perang, namun berhasil didamaikan oleh para pembesar istana di kedua pihak. Sebagai jalan keluar, di tahun yang sama yakni 1482 maka Prabu Dewa Niskala memberikan tahta kepada putranya, yaitu Jayadewata. Dengan gelar penobatan Ratu Purana Prabu Guru Dewataprana. Demikian pula yang terjadi di keraton Sunda Pakuan, sang Prabu Susuktunggal turun tahta dan menyerahkannya kepada sang menantu, Jayadewata. Dengan gelar penobatan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan penobatan ini maka kembali kekuasaan  sunda pakuan dan sunda galuh dipegang oleh satu tangan, setelah era Prabu Niskala Wastu Kancana, tujuh tahun yang silam. Dua kali penobatan ini dituliskan dalam prasasti batu tulis yang dibuat pada tahun 1533 saat Prabu Surawisesa bertahta menggantikan Sri Baduga Maharaja.

  • Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
  • diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
  • di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
  • Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
  • Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
  • dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Galuh dan Pakuan kemudian disebut dengan satu nama yaitu Kerajaan Pakuan Pajajaran, namun yang unik,  berita dari portugis yang ditulis oleh Tomme Pires dalam bukunya Suma Oriental, untuk keluar , bahwa Sri Baduga Maharaja menyebut Pakuan Pajajaran sebagai Kerajaan Sunda. Selama memerintah, Sri Baduga Maharaja membuat kebijakan kebijakan yang sangat mnenyentuh kepentingan rakyat pada saat itu baik dibidang ekonomi maupun keagamaan seperti yang dilukiskan dalam prasasti Kabantenan dengan meniadakan pajak kepada rakyatnya berupa pare dongdang dan kapas calagra, diganti dengan Panggeureus Reuma. Dibidang keagamaan, Beliau menulis Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518). Mahakarya fenomenal lainnya adalah dengan membangun Talaga Rena Maha Wijaya, Leuweung Samida, pengerasan jalan dengan batu untuk keluar masuk ibukota pakuan. dan gugunungan sebagai tanda peringatan, seperti tertulis di prasasti Batu Tulis  Bogor.  Hingga saat ini para peneliti sejarah sunda, belum menemukan prasati atau naskah yang menyebutkan secara pasti pada tahun berapakah Prabu Siliwangi dilahirkan, namun catatan sejarah kelahiran putra putri  dari Nyai Subang Larang diatas bisa menjadi data pembanding untuk memperkirakan tahun kelahiran beliau.

Begitupula mengenai tempat dimana beliau dimakamkan masih menjadi misteri, hanya naskah carita parahyangan yang mengatakan “Mwakta ring rancamaya”.  Mwakta alias moksa yang berasal dari kata Muc, menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti adalah tingkatan hidup lepas dari keduniawian,kelepasan atau bebas dari penjelmaan kembali. Sedangkan menurut istilah hindu/budha Moksa adalah tingkat ruhani tertinggi dimana atman kembali menyatu dengan brahman (sang pencipta) tanpa perantara atau jalan apapun untuk dapat merasakan kebahagiaan yang tak pernah terlintas dalam pikiran manusia.

Sementara bila kita menggunakan pendekatan dialektika penulis atau yang memerintahkan menulis prasasti batu tulis (Prabu Surawisesa) , tergambar rasa hormat yang begitu tinggi kepada Kakek dan Kakek Buyutnya yaitu prabu Dewa Niskala dan Prabu Niskala Wastu Kancana dengan menyebutkan nama tempat keduanya dipusarakan. Namun Hal ini tidak dilakukan untuk sang ayah, yaitu Sri Baduga Maharaja,. dengan tidak menyebutkan dimana lokasi pemakamannya, padahal tidaklah mungkin Prabu Surawisesa tidak mempunyai rasa hormat dan kagum yang sama kepada ayahnya seperti dia mengagumi kakek dan kakek buyutnya sehingga para ahli menduga memang sengaja di rahasiakan atau memang tidak diketahui oleh Prabu Surawisesa sendiri karena Sri Baduga Maharaja berhasil mencapai tingkatan tertinggi dari moksa.

Kenyataannya pada hari ini, banyak pendapat tentang kapan Prabu Siliwangi dilahirkan pun juga tentang lokasi pemakamannya. Tanpa bermaksud menggurui, penulis sebagai generasi muda Sunda, mencoba melakukan pendekatan lain dengan merujuk pada kelahiran putra putri beliau dari Nyai Subang Larang yang tertulis dalam naskah Purwaka Caruban Nagari dan Babad Tanah Cirebon, sebagai alat bantu dalam mencari atau memperkirakan kelahiran beliau dari naskah sejarah tertulis., untuk  saling melengkapi pendapat yang sudah ada. Demikian pula tentang lokasi pemakamannya, hiingga hari ini di tanah Sunda ada beberapa titik di beberapa wilayah yang terbentang dari Ciamis hingga Banten, mulai dari Leuweung Sancang di Garut,  Cimareme di Bandung Barat, Karawang, Arga Pura Gunung Ciremai Majalengka hingga Gunung Karang di Mandalawangi Pandeglang, yang diyakini sebagai lokasi makam beliau. Biarlah hal ini tetap menjadi misteri yang akan membuat semua masyarakat Sunda di wilayah manapun merasa memiliki, hormat dan bangga akan kebesaran serta ke “wangi” an Prabu Siliwangi, Sri Baduga Maharaja. Maka tak salah kiranya bila Kodam III/Siliwangi, sebelum pemisahan Jabar dan Banten, mempunyai semboyan “Jawa Barat adalah Siliwangi dan Siliwangi adalah Jawa Barat”, selalu berhasil dan harum memenangkan dan merebut hati rakyat dengan pola “ngadu bako” yang dilandasi semangat silih asah, silih asih dan silih asuh dimanapun bertugas. Hal tersebut diyakini oleh beberapa kalangan tak lepas dari  “teureuh” kebesaran Sang Prabu. Sebagai penutup penulis mengajak terutama kepada generasi muda Sunda untuk terus menggali informasi sejarah tertulis yang belum terungkap seraya terus memelihara, “ngamumule” dan mensosialisasikan budaya, prasasti, naskah, nilai nilai, filosofi maupun tempat tempat bersejarah yang sudah ada, sebagai bagian tak terpisahkan dari kebesaran Sunda, Pajajaran dan Siliwangi.

Siliwangi saeutik ge mahi….



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300