Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Analisa Prof Dr. Jacob Sumardjo Tentang Gunung Padang

$
0
0
Beranda‎ > ‎Artikel‎ > ‎Artefak Budaya Indonesia‎ > ‎

Tentang Gunung Padang

posted Sep 29, 2014, 4:36 PM by Jakob Sumardjo   [ updated Jul 21, 2015, 9:15 PM ]

fb4ba-gunung2bpadang2bmegalithic2bpyramid2bin2bindonesiaSitus Gunung Padang ada di Jawa Barat yang berbentuk struktur bangunan dari berbagai bentuk batu yang alamiah. Batu-batu tersebut hampir seluruhnya berbentuk balok dengan penampang segi lima, meskipun ada yang segi enam atau segi empat. Batu-batu ini hampir tak dibentuk atau diubah oleh manusia pada zamannya. Gejala demikian umum terdapat di Jawa Barat pada situs-situs lain yang jumlahnya belum terdata dengan baik, namun diduga ada seratusan, termasuk situs-situs kecil yang bahkan banyak ditemukan di sekitar kota Bandung.

meditasii di gunung padangGejala ini menunjukkan bahwa gejala megalitik di Jawa Barat tersimpan dengan baik dan dijaga oleh masyarakat kampong perdesaan. Inilah yang disebut tempat buyut atau kabuyutan yang berarti tempat terlarang untuk dikunjungi sembarang orang. Di kampong-kampung adat Sunda, situs bebatuan semacam itu hanya boleh dikunjungi oleh ketua adat dan stafnya atau orang-orang yang dipilihnya untuk ikut. Biasanya mereka berangkat dari kampong adat menuju situs megalitik dengan berbagai persyaratan adat. Di tempat yang buyut tadi diadakan semacam ritual juga dengan pokok membersihkan situs tersebut.

Dengan sisa sisa adat yang masih dilakukan di kampong-kampong adat ini, maka dapat ditafsirkan bahwa situs-situs demikian memiliki makna religious local dalam memilih materi batu-batu dengan berbagai bentuknya dan struktur penempatannya, mirip dengan tempat ritual agama-agama sekarang seperti masjid, gereja, kuil, candi dan lain-lain. Dengan demikian situs Gunung Padang dan puluhan lain di Jawa Barat dan seluruh Indonesia dapat dibaca arti arsitekturalnya yang menggambarkan cara berpikir masyarakat pembangunnya dahulu. Situs-situs purbakala Indonesia ini merupakan manifestasi dan aktulisasi dari dunia makna masyarakat pembangunnya dahulu. Maka agak aneh kalau dunia makna bangsa-bangsa lain atau bahkan cara berpikir mahluk-mahluk alien ikut bicara di dalamnya.

Untuk memahami arti Gunung Padang perlu ada studi banding dengan puluhan situs-situs lain yang serupa di Jawa Barat, misalnya Astana Gede di Kawali, Susuru di Kertabumi Bojong, Karang Kamulyan, Gunung Salak, Ciburuy di Bayongbong dan banyak lagi. Menafsirkan Gunung Padang tanpa meletakkannya dalam konteks ruang dan waktu budayanya adalah absurd.

Konteks budayanya jelas Sunda karena dibangun oleh nenek moyang Sunda zaman dulu. Untuk itu perlu dipelajari sejarah budaya Sunda terutama mitologi-mitologi mereka yang dapat memberi penjelasan cara berpikir religious lokalnya yang pra modern. Akan dapat diketahui bahwa pemilihan bentuk batu tegak atau batu bulat atau batu datar, batu bujur sangkar, batu bujur sangkar belah, batu datar berlubang, batu berdiri yang tertanam tegak atau miring, jumlah batu yang mirip, dan lain-lain gejala, semua itu punya makna khusus bagi masyarakatnya dahulu sebelum agama Hindu dan Budha serta Islam tersebar di Jawa Barat.

11193225_804034253014425_6071830999252876083_nDi Gunung Padang bentuk-bentuk batu balok itu amat khas di wilayah itu. Batu-batu balok itu dipakai untuk membangun tangga masuk yang begitu spektakuler yang membuat situs ini mengesankan bentuk gigantiknya. Tapi harus diingat bahwa di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri memiliki struktur tangga panjang yang serupa yang menuju ke situs makam yang biasa saja dan bukan bentuk pyramidal yang banyak kita baca tentang Mesir purba atau Aztec dan Maya.

Gambar 1 - Balok Batu dan Tangga

Bentuk lain adalah semacam “pagar batu” dan diduga ada bentuk punden berundak yang dibangun oleh balok-balok batu serupa. Bentuk balok yang disusun begitu rupa dalam pola struktur tertentu ini dapat dicocokkan dengan situs-situs lain yang begitu banyak di Jawa Barat. Jadi tidak usah meminjam struktur bangunan di luar Indonesia yang diberitakan jauh lebih purba. Untuk membaca situs ini tak bisa lain harus meletakkannya dalam perspektif bangunan megalitik serupa yang ada di seluruh Jawa Barat, baru kemudian dibandingkan dengan daerah megalitik lain di seluruh Indonesia, Pasifik dan Asia Tenggara, baru lari ke Mesir purba dan Amerika Latin.

Apa arti batu tegak, batu miring, batu datar, batu datar bulat, batu datar segi tiga, batu datar berlubang, batu kebulatan, batu bergaris dan lain-lain yang banyak dijumpai di Jawa Barat?

Situs ini merupakan pusat atau pancer yang berada di tengah-tengah 6 gunung. Masing-masing 3 gunung berada di arah barat , utara, dan barat laut, sedangkan 3 gunung yang lain berada di arah timur, selatan, dan tenggara. Dengan demikian Gunung Padang dipilih untuk dijadikan semacam kabuyutan kuno atau kemudian dapat disebut sebagai mandala, atau tempat dan ruang transenden sekaligus imanen, tempat sacral atau buyut atau terlarang, yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu saja. Jumlah 3 gunung amat esensial bagi filosofi masyarakat yang nenek moyangnya hidup dari pertanian padi ladang. Dalam pertanian ini semesta yang diperlukan hanya langit yang mendatangkan hujan dan bumi dimana padi tumbuh. Sedang manusia yang hidup diantara kedua alam tersebut memanfaatkan “perkawinan” antara langit dan bumi. Terdapat 3 jenis keberadaan yang membuat manusia dapat lestari hidup dengan pertanian ladang padinya. Bumi dan tanah sebagai Dunia Bawah, Langit sebagai Dunia Atas, dan dunia manusia disebut Dunia Tengah. Ketiganya merupakan kesatuan hidup yang saling melengkapi dan menghidupi. Kalau dihubungkan dengan mitos Baduy tentang Batara Tunggal, maka makna kesatuan yang tiga itu semakin jelas.

6 Gunung

Dalam mitos tersebut diceritakan bahwa pada awalnya hanya ada kekosongan yang disebut awing-awang uwung-uwungan. Lalu muncul dari kekosongan itu 3 batara, yakni Batara Kersa, Batara Kawasa, dan Batara Bima Mahakarana. Kemudian tiga batara tersebut melebur menjadi satu dalam bentuk Batara Tunggal. Dari Batara Tunggal inilah segala sesuatu ini ada seperti dikenal manusia. Dari nama-nama 3 batara tersebut dapat ditafsirkan maksudnya, yakni Batara Kersa sebagai Kehendak atau Keinginan atau Maksud, Batara Kuasa sebagai Tindakan atau Perbuatan yang mengandung arti gerak, kekuatan, tenaga, daya-daya, energy, dan Batara Bima Mahakarana adalah Pikiran, seperti asal kata “karana” yang berarti “sebab” atau hukum kausalitas sebab akibat dalam logika. Dalam masyarakat Sunda masa kini dikenal sebagai ungkapan Tekad (Kersa ), Ucap (Mahakarana), Lampah (Kawasa ).

Makna lebih jauh dari kesatuan 3 ini ada dalam kitab-kitab dalam bahasa Sunda lama, yang biasa diungkapkan berkali-kali di berbagai kitab kuno tersebut adalah Bayu (Lampah ), Sabda (Ucap ), Hedap (Tekad ). Ketiga kesatuan Bayu-Sabda-Hedap tadi disebut sebagai Sang Hyang Hurip atau Sang Hyang Hidup itu sendiri, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian semakin jelas kesatuan 3 buana atau 3 dunia (Dunia Atas, Dunia Tengah, Dunia Bawah) antara langit, bumi dan manusia sebagai kesatuan esensial yang membuat sesuatu hidup, sesuatu yang Sang Hyang Hidup berkenan padanya. Kesatuan 3 keberadaan yang merupakan manifestasi dan aktualisasi dari Sang Hyang Maha Hidup ini senantiasa mengandung 3 alamat kesatuan Tekad, Ucap, Lampah. Dengan demikian kesatuan 3 gunung barat laut dan 3 gunung tenggara merupakan pasangan tripartite atau tritangtu. Tritangtu tak lain adalah Hidup itu sendiri karena mengandung kesatuan Keinginan, Pemikiran, dan Tindakan. Tritangtu Buana atau semesta orang ladang tak lain adalah Langit sebagai Kehendak, Manusia sebagai Pemikiran (Ucap ) dan Bumi sebagai Lampah. Kesatuan 3 atau tritangtu ini akan mendasari semua pemaknaan dunia Sunda, baik yang metafisik, makrokosmik , mikrokosmik, maupun semua yang mereka wujudkan dalam kebudayaannya. Kesatuan 3 tak lain adalah hadirnya Sang Hyang Hurip dalam Batara Tunggal, dalam alam semesta, alam dunia, diri manusia itu sendiri, dan semua yang dilakukan dan dihasilkan oleh masyarakatnya agar semuanya tetap hidup, lestari, selamat ,bahagia, sehat, dan makmur. Tritangtu adalah dasar filosofi Sunda agar hidup ini tetap hidup, tetap selamat, tetap ada.

Kembali pada bukit Gunung Padang yang berada di tengah-tengah pasangan 3 bukit atau gunung dapat diartikan bangunan di situs tersebut merupakan penyatu dua pasangan yang mengandung Sang Hyang Hurip. Sang Hyang Hurip yang mana? Untuk itu kita harus belajar dari masyarakat kasepuhan Banten Kidul tentang apa yang disebut pancar, atau tepatnya Pancer Pangawinan. Dalam masyarakat adat ini semesta hanya memiliki dua orientasi, yakni barat-timur dan selatan-utara. Arah barat-timur disebut arah Bapak, yang berkualitas Cahaya (mungkin arah terbit dan tenggelamnya matahari ) dan arah utara-selatan sebagai arah Ibu (Indung) yang berkualitas Tenaga ( mungkin mewakili derasnya arus air sungai-sungai yang mengalir ke samodra selatan ). Kedua arah orientasi semesta ini (yang bersifat lelaki dan perempuan, bapak dan ibu) bertemu dalam satu titik yang disebut pancer pangawinan. Pertemuan arah lelaki dan perempuan ini memunculkan entitas ketiga yang mengandung kualitas bapak dan ibu sekaligus, jadi sesuatu yang paradoksal. Dari informasi ini kita dapatkan prinsip kesatuan tiga (tritangtu) yang lain, yaitu bahwa segala yang disebut Ada ini terdiri dari pasangan yang dualistik, yakni sesuatu yang bersifat keperempuanan dan sesuatu yang bersifat kelaki-lakian. Dualitas sifat yang saling berseberangan ini ada di semua keberadaan sehingga kita mengenal sifat-sifat, misalnya baik-buruk, kanan-kiri, terang-gelap, sacral-profan. Kalau tak ada gelap mustahil ada terang, kalau tak ada tinggi tak mungkin ada rendah, Pencipta dan ciptaan. Untuk memahami persoalan dualitas ini, masyarakar Kanekes (Baduy) memiliki mitos yang menarik. Sebelum manusia ada di dunia, manusia (Aing) sudah ada di Dunia Atas (Buana Nyungcung). Sang Hyang Ayah memerintahkan Sunan Ambu agar si Aing diturunkan kedunia. Tapi si Aing menolak perintah ini dengan alasan: di dunia besinya runcing, apinya panas, dan bergerak saja dibatasi. Sunan Ambu memberi jawaban, bahwa yang runcing dapat ditumpulkan, yang panas dapat didinginkan, sedang bergerak bebas dan bergerak yang dibatasi itu keduanya dapat dijadikan dunia.

Mendengarkan nasehat ini si Aing bersedia diturunkan ke dunia menjadi manusia. Mitos ini dengan jelas menggambarkan bahwa si Aing diturunkan kedunia agar mengenal nilai-nilai, sifat-sifat, dengan mengenal hubungan dualitas antara tumpul dan runcing, panas dan dingin, serta bebas dan terikat oleh aturan-aturan. Dualitas panas dan dingin misalnya adalah mengenal hukum kausalitas, bahwa yang panas dapat didinginkan serta sebaliknya yang dingin dapat dipanaskan. Tetapi kalau dualitas itu disatukan atau dikawinkan, maka kualitas Yang Esa tanpa pembedaan akan hadir seperti dialami si Aing di Buana Nyungcung, yakni lepas dari hukum kausalitas dunia manusia. Dengan demikian maka pusat Tritangtu sebenarnya terletak pada pancernya atau sifat keesaannya yang paradoks, yang dalam masyarakat Sunda disebut Sineger Tengah atau Siger Tengah.

Dengan demikian, kembali pada situs Gunung Padang, 6 gunung yang merupakan pasangan dualitas memperoleh keesaannya yang paradoksal pada bangunan situs itu sendiri. Pasangan dua pancer bapak dan ibu semesta disatukan lagi oleh Gunung Padang. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Gunung ada disitu karena alam semesta atau Sang Hyang Hidup itu sendiri telah menetapkannya demikian. Gunung Padang bukan pilihan manusia tetapi ketentuan dari Sang Hyang Hurip itu sendiri. Ejala semacam ini akan kita dapatkan di berbagai situs kabuyutan lain di seluruh Jawa Barat. Situs-situs kabuyutan senantiasa mengikuti petunjuk alam itu sendiri. Yang mengherankan adalah bagaimana alam pikiran Sunda lama ini selalu berhasil mendapatkan kondisi alam yang sesuai dengan konsep filosofisnya?

Bahwa alam adalah guru manusia, bahwa alam adalah kebenaran, bahwa alam adalah aktualisasi dari Sang Hyang Hurip itu sendiri, sehingga kondisi alam ikut menentukan nasib baik manusia, dapat disimak juga dengan adanya 2 sungai yang mengapit Gunung Padang. Semua kabuyutan di Jawa Barat senantiasa dibangun di wilayah antara dua aliran sungai, biasanya sungai yang memasuki (patimuan) dengan sungai lainnya. Kalau dilihat dari konsep Tritangtu pertemuan 2 sungai melahirkan entitas ketiga berupa semacam delta atau “pulau”.

Sungai sekitar Gunung Padang

Delta semacam itu merupakan pancer atau sineger tengah yang sudah ditentukan oleh alam atau kebenaran Sang Hyang Hidup itu sendiri. Pada Gunung Padang 2 sungai itu kemudian menyatu dalam sungai lain yang akan membentuk aliran sungai besar arah ke muara di laut selatan Cianjur. Dengan demikian Gunung Padang berada di arah paling hulu dari sungai besar di Cianjur (Sungai Cimandiri?) yang dalam perbandingan dengan situs kabuyutan lain di Jawa Barat merupakan kabuyutan Sang Batara Kersa atau Tekad atau Dunia Atas alias Langit, jadi amat terhormat.

Kabuyutan

Kembali pada filosofi tritangtu, bahwa keselamatan, kebahagiaan, kelestarian , kalau terdapat kesatuan 3 (tekad,ucap, lampah) yang merupakan gejala hadirnya Sang Hyang Hurip itu sendiri padanya. Sesuatu itu akan abadi kalau dipola dalam kesatuan tiga tersebut. Dalam membentuk Negara harus memenuhi Tritangtu, yaitu lembaga Negara yang mengurusi Kehendak Negara berupa pengurus undang-undang Negara, yang dahulu dipegang oleh para resi atau pendeta atau raja yang telah lengser dan menjadi raja-resi. Ada lembaga yang memerintah berdasarkan undang-undang yang disusun para resi, yakni raja itu sendiri (Prabu, Ratu), dan lembaga yang melakukan atau melaksanakan apa yang diperintahkan ( ucap) raja, yakni rakyat yang dikepalai kepala-kepala desa (Rama). Tritangtu kekuasaan Negara dengan demikian adalah Resi (Tekad), Ratu (Ucap) dan Rama (Lampah).

Kabuyutan Ratu, Rama, Resi

Dalam membentuk kabuyutan Negara, disamping memenuhi syarat tritangtu gunung-gunungnya, tritangtu sungai-sungainya, juga tritangtu simbol-simbol semestanya, yakni air (Langit, Resi), batu (Ratu, Manusia ), dan tanah (Rama, bumi ). Pada Gunung Padang dan seluruh kabuyutan senantiasa harus ada 3 simbol semesta tadi, yakni ada mata air (Langit), ada tanah yang berupa hutan (Bumi), dan bangunan dari batu (Manusia, Ratu), sehingga sering dikatakan Resi ngagurat cai, Ratu ngagurat batu, Rama ngagurat taneuh. Gunung Padang jelas memenuhi syarat kabuyutan semacam itu, yakni mata air yang ada di kaki tangga masuk untuk naik ke Gunung Padang, ada bangunan-bangunan terdiri dari batu-batu besar (megalitik) yang unsur-unsurnya berupa balok-balok batu pentagonal, dan tentu saja Gunung Padang itu sendiri lebat ditumbuhi pohon-pohon yang menghutan.

Cara berpikir yang menghubungkan kegiatan manusia dengan alam lingkungannya ini sangat mendasar bagi masyarakat pra-modern Indonesia. Untuk membaca alam pikiran masyarakat lama ini sangat penting menghubungkan bentuk bangunan Gunung Padang, cara menyusun atau menstruktur bangunan-bangunan tersebut sesuai dengan arah aneka bentuk alamnya, seperti arah hulu atau arah hilir, menghadap gunung atau memunggunginya, sebelah kanan atau kiri, sebelah depan atau belakang dari unsur-unsur bangunannya, seperti misalnya batu tegak berdiri yang vertikal (simbol dualitas yang bersifat kelaki-lakian ) atau batu pipih atau kebulatan (simbol dualitas yang bersifat perempuan). Pada dasarnya semua bentuk yang dibangun manusia hanya ada 2 bentuk saja, yakni bersifat kelaki-lakian atau keperempuanan. Bentuk-bentuk tegak adalah lelaki dan bentuk kebulatan atau datar adalah lelaki. Begitu pula bentuk bunyi juga hanya 2 yakni bunyi keras yang lelaki dan bunyi lembut yang perempuan, bunyi pendek patah (perkusi) yang bersifat lelaki dan bunyi panjang yang berkesinambungan (vocal ,seruling ) adalah perempuan, nada tinggi yang perempuan dan nada rendah yang lelaki dan seterusnya. Karena bahan batu di Gunung Padang hanya terdiri dari balok-balok batu yang penampangnya segi empat, segi lima atau segi enam, maka ciri keperempuanan dan kelakiannya dapat dilihat dari diletakkan secara vertikal atau horisontal.

Simbol bentuk kelakian dan keperempuanan ini dapat ditempatkan di konteks keberadaan mana saja, misalnya simbol alam semesta (langit-perempuan, bumi –lelaki, bagi kaum peladang; tetapi justru terbalik untuk masyarakat sawah), simbol alam dunia (gunung-lelaki, laut-perempuan, bagi masyarakat tani, tetapi dapat berbeda untuk masyarakat maritime), simbol kekuasaan (pemilik undang-undang yang perempuan; pelaku undang-undang yang lelaki), bentuk lengkung -perempuan, bentuk lurus-lelaki, depan lelaki dan belakang perempuan, dan seterusnya. Kepekaan pembaca terhadap tanda-tanda budaya lama ini amat perlu dilatih dengan melihat berbagai benda budayanya. Tidak ada rumus yang tetap untuk seluruh masyarakat suku, justru sering setiap suku memiliki tanda-tanda yang sama namun terbalik dalam memaknainya. Heterogenitas adalah prinsipnya karena alam lingkungan masyarakat suku juga heterogen.

Kembali ke situs Gunung Padang yang menjadi pokok bahasan disini. Situs itu sendiri adalah pancer (pengawinan) secara makrokosmos (dikitari pasangan 6 gunung), tetapi juga pancer secara metakosmos spiritual. Tanda itu terdapat pada penampang segi lima balok-balok batu yang banyak terdapat di situs tersebut. Segi lima di masa-masa kemudian sering disebut sebagai “bintang Sulaiman” (bendera Cirebon ). Apa makna segi lima yang mendasar itu? Bentuk segi lima sebenarnya merupakan perkawinan 2 segi tiga, jadi tetap merupakan pancer yang Hidup dan sakral, yakni segi tiga yang dasarnya di bawah dan pucuknya keatas, serta segi tiga kedua yang puncaknya justru menghadap ke dasar segi tiga pertama. Kedua segi tiga itu bertemu di tengah-tengah pertemuan kedua segi tiga, disitulah letak situs tersebut, yang berarti bertemunya Dunia Atas atau Buana Nyungcung dengan dunia manusia atau Dunia Panca Tengah.

Dari konstruksi metakosmik ini maka dapat dimengerti mengapa tangga masuk ke situs ini berupa tangga batu yang amat tinggi, panjang, dan nyaris tegak. Itulah jalan menuju ke ruang pertemuan, ruang situs Gunung Padang. Itulah tangga Langit dimana manusia dapat bertemu dengan Sang Hyang Hidup Dunia Atas. Dan kalau kita perhatikan bahwa pada awal tangga masuk ini didirikan 2 batu tegak, yang nanti akan kita ketahui sebagai gerbang pertama atau gerbang terluar menuju tempat paling sakral, situs Gunung Padang itu sendiri. Mendekati wilayah situs sebagai pancer pangawinan metakosmik ini, terdapat bentuk gerbang kedua yang terdiri dari 4 pasang batu tegak, yakni pasangan batu berdiri yang tinggi dengan rendah di sebelah kanan dan kiri tangga masuk. Inilah gerbang yang bermakna “terbuka-tertutup” yakni gerbang paradoks. Di zaman pembangunan candi dan kuil inilah yang disebut gerbang padureksa, sedang gerbang pertama di kaki tangga masuk disebut candi bentar, gerbang yang terbelah dua, yang bermakna terbuka untuk orang luar.

Halaman-halaman Gunung Padang

Sedang di puncak tangga masuk terdapat bentuk gerbang terakhir, yakni gerbang terdalam yang terdiri dari berbagai pasangan batu-batu tegak berbagai ukuran, yang di zaman kemudian disebut sebagai “kori agung”, merupakan gerbang tertutp yang hanya orang-orang tertentu boleh masuk ke wilayah situs. Dengan menilik tanda-tanda dualitas dan pancer pangawinannya yang sineger tengah, maka saya menduga bahwa bangunan ini tidak setua yang diperkirakan banyak orang. Tanda-tanda pintu gerbang yang tiga jenis itu erat hubungannya dengan bangunan-bangunan candi, istana, makam-makam para wali, bahkan masih hidup di Bali. Adanya 3 gerbang ini, candi bentar-padureksa-kori agung, juga ada di situs-situs purbakala lain, yang saya sebut sebagai kabuyutan, di banyak tempat di Jawa Barat.

Kini kita tinggal memasuki wilayah situs itu sendiri. Disini saya mohon maaf karena saya hanya mengunjungi situs ini dua kali saja bersama studi lapangan para mahasiswa dari ITB dan UPI, sehingga belum sempat mengamati secara seksama susunan atau struktur penempatan bentuk-bentuk batunya. Saya hanya sempat membaca halaman pertama dari lima halaman yang terdapat di Gunung Padang. Halaman yang paling luas ini menurut pengamatan saya dapat dibagi 3 pula. Bagian paling kanan dari arah masuk terdapat halaman yang relatif kosong. Di bagian tengah atau sebelah kirinya terdapat tumpukan balok-balok batu tak teratur yang kemungkinan besar ditafsirkan sebagai bentuk punden berundak cukup besar. Sedang bagian paling kiri terdapat sederetan batu-batu tegak mirip pagar rumah manusia modern. Struktur bangunan dari batu-batu tegak ini perlu direkonstruksi agar jelas bagaimana bentuk awalnya.

Berbekal pengamatan halaman pertama ini, dapat saya tafsirkan bahwa ini menggambarkan Dunia Tengah manusia, terutama dalam hal kekuasaan Negara. Bagian halaman yang kosong di sebelah kanan adalah simbol Langit yang perempuan, simbol Resi sebagai kaum intelektual Negara pada zamannya, simbol Tekad atau Sang Hyang Kersa. Jadi ini merupakan unsur pertama Sang Hyang Hidup, khususnya hidup kenegaraan.
Bagian tengah, sebelah kiri Resi kalau dilihat dari pintu masuk, terdapat punden berundak yang merupakan simbol Ratu atau Raja, simbol Ucap, perintah. Sedang paling kiri yang berisi jajaran batu-batu tegak merupakan simbol rakyat yang dipimpin para kepala kampong masing-masing yang disebut Rama. Namun yang mengherankan di bagian ini terdapat sebungkah batu bulat pipih yang berwarna putih. Jelas sekali ini simbol keperempuanan. Tetapi mengapa ada di bagian rama yang lelaki? Saya menduga batu ini justru berada di bagian halaman yang kosong yang simbol Resi, Langit, atau Resi.
Gunung Padang

Dengan demikian halaman paling luas di bagian paling depan dari halaman-halaman yang lain, terdiri dari 3 kesatuan symbol Resi –Ratu – Rama atau Tekad-Ucap-Lampah atau Langit- Manusia –Bumi atau apa pun yang Anda tafsirkan sebagai satu kesatuan hidup. Semesta ini hidup karena ada tekad-ucap-lampahnya. Negara itu hidup karena ada tekad-ucap-lampahnya. Manusia juga hidup kalau masih merupakan kesatuan tekad-ucap-lampah. Kesatuan yang tiga ini menunjukkan adanya gejala hidup. Hidup adalah gerak yang mengandung energi, kekuatan, daya-daya, perubahan. Namun gerak atau lampah ini disebabkan adanya tujuan atau kehendak atau keinginan. Agar tujuan dan keinginan itu menjadi kenyataan maka diperlukan adanya pemikiran. Kesatuan tiga dalam wujud Tekad-Ucap-Lampah ini terjadi pada manusia biasa. Tetapi pada manusia sempurna, manusia spiritual, para suci dan para wali, hukum Tekad-Ucap-Lampah dilampaui dengan kesatuan Tekad-Lampah-Ucap. Penjelasannya, pada manusia sempurna terjadi hukum tanpa sebab yang dimiliki oleh dunia spiritual. Manusia sempurna begitu menginginkan sesuatu langsung menjadi kenyataan, yakni menjadi Lampah dengan produk lampahnya. Kalau manusia biasa terluka ,maka ada pemikiran, ada ilmu, ada pengetahuan yang berlaku untuk siapa saja , bagaimana luka tersebut dapat disembuhkan. Teapi bagi manusia sempurna secara spiritual, luka semacam itu dapat disembuhkan hanya dengan merabanya saja. Tekad langsung Lampah. Baru kemudian dapat dimengerti mengapa dapat terjadi demikian. Jadi urutan kesatuannya menjadi Tekad-Lampah-Ucap.

Sedang di alam spiritual sendiri, yaitu alam ketuhanan, kesatuannya menjadi terbalik, yakni Lampah-Ucap-Tekad. Hal ini berulang-ulang disebutkan dalam buku-buku kuno Sunda dengan ungkapan: Bayu-Sabda-Hedap atau Lampah-Ucap-Tekad. Tentu saja demkian karena kita hanya mengenal Yang Maha Esa tanpa pembedaan itu, dengan demikian tanpa sifat, atau sifat-sifatNya hanya ada padaNya tanpa seorang manusia pun mampu memahaminya, hanya melalui apa yang sudah dilakukanNya. Kalau Yang Maha Esa itu menciptakan semua yang ada ini sebagai hasil tindakanNya, maka kita dapat memahami kedalaman berpikirNya dan keinginanNya.

Ringkasnya adalah bahwa tritangtu, atau kesatuan tiga, membedakan adanya 3 pola hubungan antara unsur-unsur penyatunya, yakni:

TEKAD – UCAP – LAMPAH bagi manusia biasa
TEKAD – LAMPAH – UCAP bagi manusia sempurna atau para suci
LAMPAH — UCAP – TEKAD bagi Yang Maha Esa

Mengikuti pegangan ini maka urutan tanda-tanda berupa batu bulat putih di halaman kosong paling kanan dari pintu masuk, punden berundak pada bagian halaman tengah, dan rangkaian batu-batu berdiri di bagian halaman paling kiri, maka dapat dibaca sebagai kesatuan Tekad-Ucap-Lampah yang berarti halaman untuk manusia biasa didunia ini. Disini masih berlaku hukum kausalitas manusia. Kalau demikian halnya maka dapat diduga bahwa halaman-halaman berbentuk persegi empat yang berada di bagian atasnya, yakni halaman kedua dan halaman ketiga (kalau halaman yang kita bicarakan diatas dinamai sebagai halaman pertama) pola hubungan tanda-tanda batunya adalah Tekad-Lampah –Ucap (bagi halaman kedua di atas halaman pertama yang dihubungkan dengan tangga batu bertingkat-tingkat ), dan halaman ketiga diatasnya dengan pola hubungan Lampah-Ucap-Tekad yang sangat spiritual.

Seperti sudah diuraikan dalam tulisan diatas bahwa kualitas Tekad disimbolkan dalam bentuk atau wujud batu perempuan, Lampah dalam wujud batu lelaki, dan Ucap dalam wujud wujud “perkawinan” keduanya, yakni berkualitas campuran yang paradoksal yang merupakan dunia tengah atau sineger tengah. Perkara ini harus dibuktikan dengan membaca secara cermat susunan, bentuk-bentuk dan struktur dari batu-batu di setiap halaman situs yang dua tersebut.

Halaman keempat yang agak atas sedikit ternyata merupakan halaman yang kosong. Kalau benar hanya ada dua bentuk batu di halaman ini, yakni batu datar ( perempuan ) dan batu tegak yang sering diangkat para pengunjung, maka berarti adanya jarak atau pemisahan antara 3 halaman dibawahnya dengan 1 halaman yang berada paling ujung. Atau justru halaman kosong dengan dua batu lelaki-perempuan tersebut melambangkan adanya harmoni antara makna kelima halaman tersebut.

Sampailah kita pada halaman terakhir yang paling ujung yang ternyata penuh dengan symbol-simbol yang kurang lebih (atau seharusnya) terdiri dari 6 situs sesuai dengan peta makro Gunung Padang yang dikelilingi dua pasangan tritangtu gunung-gunung. Kalau dibuat pola dan strukturnya, pancer Gunung Padang sebagai berikut:

Selatan
 
Halaman kelima berisi 6 simbol situs mikro yang sesuai
Dengan 6 gunung yang membentuknya
sebagai pancer
 
Halaman keempat yang “kosong” dengan 2 pasangan batu lelaki-perempuan
 
Halaman ketiga yang berisi symbol-simbol Lampah-Ucap-Tekad
 
Halaman kedua yang berisi symbol-simbol Tekad- Lampah- Ucap
Tangga lebar dari batu dan cukup tinggi
yang menghubungkan halaman pertama
Dengan 4 halaman diatasnya
 
Halaman pertama yang paling luas yang berisi kesatuan 3 bentuk yang
mengandung makna Tekad-Ucap-Lampah.
 
Gerbang masuk
 
Utara

Meskipun demikian ketiga halaman pertama dapat juga dimaknai sebagai halaman Ratu bagi halaman terbawah dan paling luas. Halaman kedua diatasnya sebagai halaman Rama, halaman ketiga sebagai halaman Resi. Dan halaman kosong keempat sebagai mediasi atau penyatu dengan halaman kelima yang terakhir yang merupakan harmoni agung dari segala hal dualitas, baik Negara,manusia, kampong, pribumi dan asing, raja dan rakyat, langit dan bumi, air dan tanah, pemilik dan pemakai, dan segala dualitas lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat pada zamannya.

Maksud bangunan kabuyutan ini sama dimana-mana, yakni mohon dan mengharap kelangsungan hidup segalanya secara damai, sehat, sejahtera, dengan menghadirkan Sang Hyang Hidup (Bayu-Sabda-Hedap ) didunia manusia. Kalau kita sekarang melakukannya di tempat-tempat ibadah. Esensinya tak berubah sejak dahulu kala.

Sebagai penutup ada satu hal yang kiranya perlu ditambahkan tentang konsep tritangtu atau tripartite atau kesatuan tiga. Konsep dasarnya adalah bahwa segala yang ada ini merupakan pasangan-pasangan bertentangan. Pertentangan itu adalah sifat-sifatnya. Tak ada terang kalau tak ada gelap sekaligus, atas dan bawah tak mungkin ada kalau keduanya tak ada. Kodrat dualitas sifat segala sesuatu ini akan mengandung daya-daya hidup kalau disatukan tanpa melenyapkan masing-masing pasangan,sehingga muncul keberdaan ketiga yang disebut sineger tengah. Dengan sineger tengah atau siger tengah ini segala dualitas yang saling berseberangan itu diberi daya hidup yang spiritual. Menurut konsep ini maka segala yang Ada sepanjang diakui manusia atau masyarakatnya, maka Ada itu tersusun dalam 3 unsur yang mementuk pola yang meliputi keberadaan metakosmos, makrokosmos, mikrokosmos, dan benda-benda atau tindakan budaya.

Kosong Harmoni Paradoks

Tripartit metakosmos jelas dengan adanya kesatuan tiga batara, yakni Batara Kersa, Batara Kawasa, dan Batara Bima Mahakarana yang mernyatu mrnjadi Batara Tunggal.

Tripartit makrokosmos terdiri dari Langit sebagai Kersa, Bumi sebagai Kawasa, dan Manusia sebagai Bima Mahakarana.

Tripartit dunia ada gunung, laut, lembah.

Tripartit Negara ada Resi, Ratu, Rakyat yang setara dengan Kersa, Bima Mahakarana, dan Kawasa.

Tripartit kampong juga terdiri dari kampung resi atau buhun, kampung nagara, dan kampung sarak atau Islam.

Nampak jelas bahwa tripartite metakosmos membingkai yang makrokosmos dan tripartit makrokosmos membingkai yang mikrokosmos sampai hal sekecil-kecilnya dalam keperluan hidup sehari-hari dipola dalam sistem hubungan tripartite tersebut.

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300