-
Re: [Senyum-ITB] Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara utuh ?? [1 Attachment]
Candi Batujaya di Karawang Kang, di pantura daerah pesawahan dan pesisir. Mamang sempet ngobrol banyak Kang Dr. Hasan Djafar yg pernah meneliti disana waktu kita melakukan Heritage Trails ke Situs/ Prasasti Koleangkak di Bogor.
Memang kalau urusan sejarah dan budaya mah pemerintah & masyarakat kita kurang begitu peduli hehehe. Mungkin karena terkesan kuno/ “baduy”/ tertinggal, dll. Kalo sejarahnya bule seneng… Walopun piksi setiap series Harry Potter pasti baca/ nonton. Permainan saja lebih suka Play Station yg static dibandingkan egrang yg aktif & dinamis. Tidak lagi mengenal babancakan, bandring, dalu, bedil bletok, dlsb.
Bangsa kita bangsa yg besar punya budaya yg luhur sangat tidak setuju budaya korupsi dibilang dari budaya leluhur!!! Urang Kanekes mana aya anu korupsi Kang?
Nah menarik mengenai 1000 years of prosperity n’ glory, Mang Herwig menyebutnya Sunda Kingdoms, sebenernya semua konflik yg terjadi di kerajaan-kerajaan Sunda adalah hanya dikalangan elit kerajaan biasa sesama sodara parebut kekuasaan. Di tataran bawah perebutan kekuasaan itu tidak mengganggu kehidupan sosial kemasyarakatan. Pan di Sunda mah dibagi tea Kang, Tri Tangtu tea geuning. Raja, Rama, Resi nya? Kalo Raja ribut, Rama & Resi tidak terpengaruh.
Nah jaman dulu mah semua raja pun sangat menghormati kabuyutan (pusat pendidikan dan kebudayaan) sehingga tatanan sosial kemasyarakatan tidak terganggu. Malahan raja lalim pun bisa dicopot. Seperti hal-nya Ratu Sakti jaman Pajajaran karena berperilaku tidak baik mengawini istri larangan (yg sudah bertunangan), suka mabuk-2an, dan menghukum yg tidak bersalah akhirnya diturunkan. Jadi tidak betul juga yg dibilang misalnya kekuasaan mutlak ada di Raja, karena buktinya Raja Lalim bisa diturunkan!!
Jadi menurut Mamang 1000 years of prosperity itu benar adanya karena Mang Herwig melihatnya secara makro, masyarakat subur makmur waktu itu.
Dan seperti dibilang Mang Jakob Sumarjo bahwa Raja itu hanya simbol saja, raja-2 di daerah lah yg berperan memajukan daerahnya masing-2. Jadi ketika konflik ditataran Raja diraja/ Maharaja tidak banyak dampaknya ke masyarakat. Menarik lagi perebutan kekuasaan pun umumnya dilakukan secara duel. Contohnya Ciung Wanara melalui Adu Ayam, Lutung Kasarung duel juga, dlsb. Jadi dulu mah leluhur kita teh Pejantaaaaan tangguh ngak kayak anak-2 sekarang Generasi XtraJoss yg pengecut hobi tawuran tapi cemen cuman lempar-2an batu ngak jelas, kejar-2an ngak jelas memalukaaaan!! Kalo mau brantem sok duel pakai tangan kosong di lapangan bola, 10 lawan 10 misalnya. Lihat mana yg paling kuat. Bukannya lempar batu bom molotop yg kebakar kampus malah :((.
Nah kadang-2 konflik pun bisa diselesaikan dengan cara dibagi wilayah. Misal dibagi dua, Galuh dan Pakuan. Kadang suatu waktu disatukan lagi hehehe. Benci tapi rindu mungkin ya hehehe. Menarik menurut Mamang mah.
Konsep manajemen kerajaan sunda itu lebih mirip negara serikat, tidak centralize tapi masing-2 kerajaan kecil punya otonomi sendiri-2 tapi tetap dalam kesatuan Sunda. Jadi kalau kita lihat konsep manajemen kiwari kan ada istilah DELEGATION ya engga one man show, nah Karajaan Sunda mah dulu sudah menerapkan itu, jadi dia delegasikan power itu ke raja-2 di daerah utk manage daerahnya sesuai dengan problematika yg ada dimasing-2 daerah. Yang dibuat oleh Maharaja Diraja adalah hanya “Rule of The Game”, Norms n’ Values yg harus dipatuhi oleh raja-2 daerah tsb termasuk masyarakatnya. Contoh Rule of the game yg masih ada sampai sekarang bukti fisiknya di Musium adalah Amanat Galunggung/ Sanghyang Siksa Kandang Karesian tea. Dipopulerkan oleh Raja Resi Darmasiksa (Abad 12) dan masih dijalankan sampai ke Siliwangi/ Sribaduga Maharaja Jaya Dewata (Abad 15), Raja Pakuan Pajajaran.
Untuk jaman dulu mah lumayan canggih norms n’ values yg dibuat cukup detil dan bener-2 dilaksanakan oleh semua. Ngak kayak sekarang bikin undang-2 pelaksanaannya? Riweuuuh deuh! Dalam organizing juga sudah bagus dengan konsep tri tangtu itu.
Nah sedihnya lagi baca berita di Kompas, agama/ keyakinan Sunda pun tidak diakomodir/diakui oleh pemerintah? Malahan yg improooot Kong Hu Cu masuk didaftar pembuatan KTP? Nah orang Kanekes, dll yg beragama Sunda bagaimana nasibnya? Apakah mereka tidak boleh punya KTP? Kalau tidak punya KTP status kewarganegaraannya bagaimana? Apakah harus dipaksakan memilih Agama yg ada di list hanya karena mereka minoritas mungkin mikroritas kali yaa karena jum’lahnya sudah sangat sedikit dibanding populasi total Indonesia?
Sebagai contoh jaman Sunda dulu agama-2 itu bebas-2 saja berkembang, Islam di Tatar Sunda sudah ada sejak Abad ke-7, sewaktu Para Sahabat Rosululloh masih hidup, berdagang dipesisir, membuat pesantren, dll. Agama lain pun bebas saja ada Hindu, ada Budha. Masyarakatnya sangat pluralis. Berbeda dengan sekarang melalui kompor dari ormas-2 yg konon katanya UDUD, usaha dagang urusan demo kata Doel Soembang. Dibuatlah konflik-2 ituh, jadi rame ajah. Yang saling pukul saling teriak yg di bawah, elitnya mah enjoy-2 aja.
Berbeda jaman konflik dulu, masyarakat ngak ribut-2, yg terjadi konflik ya ditataran raja, dan mereka lah yg berduel. Kan beda kepemimpinan sekarang sama dulu mah. Kalau dulu Follow Me, ikuti saya kita serang misalnya. Dia dulu yg maju di depan. Nah kalo sekarang Serbuuuu, pemimpinnya ngumpet dibelakang. Kalo perlu dibikin skenario-2 yg pakusut, yg diadu malah masyarakat bawah, yg jadi korban ya masyarakat :((.
Begitulah kira-2 wallohualam.
Luar biasa pak, tulisan yang sangat menarik. Hanya bertanya saja, candi
Batujaya dimana tepatnya? Saya belum pernah dengar. Yang saya tahu itu hanya
Cangkuang, tapi informasi yang saya pernah baca sih cangkuang itu pengaruh
jawa-nya besar dan dianggap bukan kebudayaan asli Sunda.
Kalau membaca buku Slamet Mulyana, malahan kerajaan Sunda tertua yang
tercatat dalam sejarah adalah Aruteun yang dilalui sungai Ciaruteun. Dalam
tulisan Cina kerajaan itu disebut Ho-lo-tan. Ada bukti dari tulisan Cina
bahwa Taruma (dilalui sungai Tarum / Citarum), yang ditransliterasi sebagai
To-Lo-Mo, kemudian menguasai Aruteun.
Dari bukunya Atja & Saleh Danasasmita memang disebutkan bahwa system
kepemerintahaan Sunda biasanya merupakan triumvirate, di Kanekes disebutkan
Tritantu. Karena itu desa Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik disebut Tangtu
Telu. Lengkapnya Tangtu Telu, jaro tujuh, baresan salapan, nagara sawidak
lima. Cibeo berfungsi sebagai penjaga, cikeusik sebagai pemimpin adat dan
cikartawana (asal katanya karta wahana = pembawa kesejahteraan) sebagai
penyelenggara pemerintahan.
Btw, 1000 years of prosperity? Menurut saya tidak terlalu tepat, karena
terjadi beberapa kali penggulingan kekuasaan, penyerangan dan pergantian
kerajaan. Kebetulan semuanya bersuku Sunda.
Salam
Rayi – AR84
—–Original Message—–
From: Senyum-ITB <at> yahoogroups.com [mailto:Senyum-ITB <at> yahoogroups.com] On
Behalf Of Mang Kabayan
Sent: Thursday, November 03, 2011 5:42 PM
To: Senyum-ITB; Baraya_Sunda <at> yahoogroups.com; Kisunda; UrangSunda;
kota-bogor <at> yahoogroups.com
Subject: Re: [Senyum-ITB] Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara
utuh ??
Mamang coba bantu tambahkan ya.
Sejarah sunda yg cukup jelas + ada foto-2 artefaknya ditulis oleh Mang
Herwig Zahorka, seorang Jerman yg tinggal di Bogor, judul bukunya The Sunda
Kingdoms of West Java, from Tarumanagara to Pakuan Pajajaran, over 1000
years of prosperity n’ glory.
Kerajaan-2 Sunda baik Galuh maupun Pakuan punya istana dan cukup megah namun
hancur/ dihancurkan. Di Buku Mang Herwig digambarkan peta lokasi dimana
pusat kerajaan Pajajaran berada termasuk bentengnya. Di buku Kang Saleh
Danasasmita (Sejarah Bogor) juga dijelaskan tentang lokasi dan
peninggalannya. Selain Istana juga, taman-2 indah, kolam indah, dll…
Termasuk Mandala dan Kabuyutan juga dihancurkan yg tersisa hanya yg
tersembunyi saja seperti di Kanekes (Baduy), Ciptagelar, Cipaku, dll.
Dalam hal Candi urang Sunda juga membuat Candi terutama di Pesisir, ada
Candi Batujaya, candi budha terbesar dan tertua menggunakan Bata yg dibuat
dari campuran tanah dan selongsong gabah. Hal ini mematahkan bahwa Sunda
tidak punya budaya Sawah. Sunda sudah memiliki budaya sawah dan termasuk
tertua karena buktinya ada di candi batujaya. Masyarakat sunda yg peladang/
huma utk yg tinggal di Gunung, sedang yg di dataran rendah dan pesisir sudah
ada budaya sawah.
Berikut ini ada tulisan menarik dari Kang Jakob Sumarjo tentang Kasundaan.
Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada
paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah.
Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan
dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk
dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga
selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai
gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak
berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di
kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan,
defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para
jawara silat Sunda kurang “berani”, justru sudah melampaui keberanian dan
hanya menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau
dibageakeun. Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena,
tetapi demi kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar. Dalam zaman yang
semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin semacam itu memang
dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini ditantang kearifannya
dengan gelombang “kuasa laki-laki” yang agresif. Memang tidak mudah. Namun,
pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup masyarakat Sunda ini perlu
dilakukan, sehingga dapat dikenali “kedalaman sejatinya” yang kokoh namun
lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang
halus itu bisa kuat. Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus,
arif, tinggi.
Paham Kekuasaan Sunda
Oleh JAKOB SUMARDJO
KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan
untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara,
lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi
menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam
kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya
dalam berbagai hasil budaya Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup
kelompok itu berubah terus. Apa yang akan diuraikan di sini berdasarkan
artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti
“telah terjadi”.
Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda,
kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak
(tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda
sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga
kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa
pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa Timur, pada suatu hari
menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di Bandung karena orangnya
ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter halus, bukan
kasar. Kalau harus “kasar”, tetap “halus”. Tidak keras tapi lembut. Tidak
agresif tapi “diam”.
Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni
paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah,
mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga.
Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang. Hidup
berladang itu menetap-pindah, produktif-konsumtif, bebas-tergantung, terbuka
tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter demikian itu.
Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun.
Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu
diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam
pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan “diam dan pasif” tetapi
sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih
banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur
strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang Pananjung sebagai penyelesai
persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang selalu ada paling depan.
Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun
tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang
untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita
wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti Mundinglaya, namun segala
sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga pengiringnya hanya bertugas
menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah pemilik, pelaksana, dan
penjaga dirinya sendiri.
Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda
sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya
agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia
menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan
putri tersebut, banyak raja di sekitarnya yang juga ingin memilikinya.
Terjadi perang antara raja-raja perebut putri dengan abang putri tersebut
(yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja dapat dibunuh
oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan
putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran
Pajajaran.
Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam
namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah
abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya
menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang
sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari
kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru putra-putranya (memperluas
wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran Pajajaran itu juga
bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu pasif di
pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja
setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung
(para anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.
Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki
kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan
tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah
mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan
pemilik dan pelaksana kekuasaan.
Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori “perempuan” bukan “lelaki”.
Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan
itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak
aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan
atau mandat kekuasaan surga adalah Raja Pajajaran dan putra-putranya yang
tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang yang menjalankan kekuasaan bukan Raja
Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi penguasa setempat atas nama
Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik
dan pelaku kekuasaan.
Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan
kampung-kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga
negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di
Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi
menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling tua), pelaksana
kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung.
Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian “dalam” dekat bukit dan hutan
kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga
kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga
kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian
Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas).
Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu
tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun
Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak
(kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda
diletakkan sebagai pihak “dalam”, “pemilik sejati”, dan Islam berada di
“luar” yakni batas wilayah kampung. Pemerintahan nasional ada di tengah.
Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda
di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja
dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku
yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam
mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan
yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana
masjid kampung berada.
Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya.
Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam.
Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan,
di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap
lembaga pemerintahan nasional yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang
menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa pemilik adalah Sunda (buhun,
adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam bersikap “Islam itulah
Sunda”, gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran siapa yang
seharusnya dinilai sebagai “dalam” dan siapa yang dinilai sebagai “luar”.
Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori “luar” itu mengandung
arti “asing” juga.
Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan
sikap “tetap” sekaligus “berubah”. Hal ini tampak dari penyebutan ketiga
lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana
kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan
resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak, ratu
adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang merupakan rakyat (kepala
kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing. Pada zaman
perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupati-bupati
di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.
Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini
masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda
(demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan
adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah
adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para ponggawa dalam
carita pantun).
Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada
paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah.
Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan
dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk
dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga
selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai
gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak
berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di
kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan,
defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para
jawara silat Sunda kurang “berani”, justru sudah melampaui keberanian dan
hanya menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau
dibageakeun. Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena,
tetapi demi kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar.
Dalam zaman yang semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin
semacam itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini
ditantang kearifannya dengan gelombang “kuasa laki-laki” yang agresif.
Memang tidak mudah. Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup
masyarakat Sunda ini perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali “kedalaman
sejatinya” yang kokoh namun lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak
berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu bisa kuat. Suatu kekuatan,
kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 01 Januari 2007.
——Original Message——
From: Bambang Setijoso
Sender: Senyum-ITB
To: Senyum-ITB
To: itb75-res itb
ReplyTo: Senyum-ITB
Subject: [Senyum-ITB] Situs Kerajaan Sunda tidak pernah ditemukan secara
utuh ??
Sent: Oct 30, 2011 3:00 AM
Menurut yang saya baca dalam link berikut ini, situs Kerajaan Sunda tidak
pernah ditemukan secara utuh. Apa betul? bagaimana menurut pendapat anda?
Ini cuplikan singkatnya: Para peneliti boleh bersilang pendapat soal di mana
sesungguhnya letak kerajaan Sunda, Padjadjaran, karena memang hingga hari
ini tidak pernah ditemukan situs-situsnya secara utuh. Namun di Cirebon, tak
perlu ada silang pendapat soal di mana letak pusat kekuasaan Cirebon masa
lampau. http://sundaislam.wordpress.com/polemik/jawa-barat-tak-cuma-sunda/
Salam Bb Reply to sender | Reply to group | Reply via web post | Start a
New Topic Messages in this topic (1) Recent Activity: New Members 27 Visit
Your Group *** Ayo, ajak masyarakat dan teman ikut Senyum-ITB. Klik
http://bit.ly/p8cD25 Mudah kok! Manajemen email di milis Senyum-ITB ada di
bawah. Dicoba deh Anggota: 7.342 Diperbarui: 18
Oktober 2011 ============================================================
*** Senyum-ITB *** – Kerjasama merajut
Prestasi Dunia – Interaksi akrab Masyarakat dan Alumni ITB
Persahabatan, Ide, Iptek, Desain, Seni, Bisnis, & Kerjasama Milis:
http://groups.yahoo.com/group/Senyum-ITB Portal:
http://Senyum-ITB.blogspot.com Managed by: Senyum-ITB & 99Venus
International ( http://yhoo.it/fYDB7B )
http://Facebook.com/pages/Senyum-ITB/100802856927
http://Twitter.com/Senyum_ITB
============================================================ Mengatur mode
terima email dengan ganti-ganti 3 cara terima berikut : 1.
Senyum-ITB-normal <at> yahoogroups.com = email terima normal (individual emails)
2. Senyum-ITB-digest <at> yahoogroups.com = email terima ringkasan (daily digest)
3. Senyum-ITB-nomail <at> yahoogroups.com = cuti sementara / baca di web
Senyum-ITB Ganti email / Cara berlangganan : 1.
Senyum-ITB-subscribe <at> yahoogroups.com = email berlangganan milis Senyum-ITB
Untuk ganti email, silahkan kirim dari alamat email baru Anda 2.
Senyum-ITB-unsubscribe <at> yahoogroups.com
Nuhuuuuuns,
Mang Kabayan
http://www.dkabayan.com
ti urang, ku urang, keur balarea
————————————
***
Ayo, ajak masyarakat dan teman ikut Senyum-ITB. Klik http://bit.ly/p8cD25
Mudah kok! Manajemen email di milis Senyum-ITB ada di bawah. Dicoba deh
Anggota: 7.378 Diperbarui: 1 November 2011
============================================================
*** Senyum-ITB ***
– Kerjasama merajut Prestasi Dunia –
Interaksi akrab Masyarakat dan Alumni ITB
Persahabatan, Ide, Iptek, Desain, Seni, Bisnis, & Kerjasama
Milis: http://groups.yahoo.com/group/Senyum-ITB
Portal: http://Senyum-ITB.blogspot.com
Managed by: Senyum-ITB & 99Venus International ( http://yhoo.it/fYDB7B )
http://Facebook.com/pages/Senyum-ITB/100802856927
http://Twitter.com/Senyum_ITB
============================================================
Mengatur mode terima email dengan ganti-ganti 3 cara terima berikut :
1. Senyum-ITB-normal <at> yahoogroups.com = email terima normal (individual
emails)
2. Senyum-ITB-digest <at> yahoogroups.com = email terima ringkasan (daily digest)
3. Senyum-ITB-nomail <at> yahoogroups.com = cuti sementara / baca di web
Senyum-ITB
Ganti email / Cara berlangganan :
1. Senyum-ITB-subscribe <at> yahoogroups.com = email berlangganan milis
Senyum-ITB
Untuk ganti email, silahkan kirim dari alamat email baru Anda
2. Senyum-ITB-unsubscribe <at> yahoogroups.com = email berhenti dari milis
Senyum-ITB
Untuk ganti email, silahkan kirim dari alamat email lama Anda
Manajemen email di milis Senyum-ITB yang lengkap di http://bit.ly/och0xkt
Data :
Isi & lihat 1.276 profil di
http://groups.yahoo.com/group/Senyum-ITB/database
Yahoo! Groups Links
Attachment(s) from Mang Kabayan
1 of 1 Photo(s)
__._,_.___
http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/
[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea]
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
