Kata ayahku, kakek buyutnya adalah pengikut tarekat Sufi aliran Abdul Qadir Jaelani, sedangkan kakeknya sendiri adalah salah satu pendiri cabang Muhammadiyah di Sumenep. Itulah sebabnya ayahku sangat tertarik kepada sufisme atau tassawuf; dan kemudian mendalaminya. Ayahnya sendiri selain saudagar atau pedagang, juga adalah seorang guru bahasa Jerman. Konon, kakeknya yang Muhammadiyah sering mendapat “wangsit”; di antaranya pernah disuruh berjalan kaki jauh sampai di suatu tempat lalu berhenti disuruh membangun mesjid di situ. Soal “wangsit” ini juga menurun pada ayahku, konon begitu, ayahku sering bermimpi dan menjadi kenyataan. Pernah juga ayahku menderita sakit aneh yang menghilangkan suaranya sebagai penyair. Dia kemudian bermimpi dan diajarkan membuat ramuan aneh untuk diminum. Dia mengikuti mimpi itu dan suaranya pun kembali.
Pada waktu aku masih SD, dan ayahku menjadi ketua di Dewan Kesenian Jakarta, aku ingat rumahku selalu ramai dikunjungi tamu pada malam hari. Seniman, sastrawan, kyai, mahasiswa dari berbagai aliran dan ideologi datang ke rumahnya. Gus Dur di antaranya. Setiap lebaran ayahku akan mengajak kami bertandang ke rumah tiga sastrawan sahabatnya: Mottinggo Busye, sahabatnya yang seorang Syiah taat, Slamet Sukirnanto sahabatnya yang Muhammadiyah, dan Taufiq Ismail yang semua orang tahu kepenyairannya yang kuat Islam-nya. Mottinggo dan ayahku saling mengatakan kalau mereka adalah sahabat dunia dan akhirat.
Salah satu adik ayahku adalah seorang pencari kebenaran yang serius, mereka konon sering bertengkar, tetapi ayahku sebenarnya sangat mencintai dia. Almarhum adik ayahku ini bahkan pernah menjadi anggota Ahmadiyah; tetapi apakah ayahku pernah mengatakan bahwa dia menjadi orang yang sesat dan kafir? Tentu saja tidak! Bahkan, walaupun adik ayahku kemudian bercerai dengan istrinya yang juga seorang Ahmadiyah, ayahku terus mencari keberadaan mantan adik iparnya ini untuk mengetahui keadaan keponakannya. Setelah bertahun-tahun akhirnya bertemu, dan ayahku sayang sekali kepada sepupuku dan anak-anaknya, tak peduli mazhab mereka apa.
Ayahku juga tidak terlalu suka ketika aku bertengkar dengan sepupuku seorang manhaj salafi. Katanya, biarkan saja. Sepupuku ini adalah anak dari adiknya ibuku. Setiap orang bebas memeluk mazhab apa pun katanya. Jadi, seingatku, ayahku ini tidak pernah sekalipun mengkafirkan atau menyesatkan Muslim dari aliran apapun. Prinsipnya inilah yang juga jadi peganganku.
Waktu aku dikirim ke Roma, Italia, tentu ayahku senang sekali. Tetapi, dia juga lebih bangga waktu adikku mendapat beasiswa di Perancis untuk kuliah “bidang yang sekuler”, dan adik bungsuku bisa bolak-balik dikirim ke China karena fasih berbahasa Mandarin. Pada waktu kami kecil, dia bersikeras adikku harus bisa bahasa Mandarin, dan aku diharapkan bisa berbahasa Arab. Tetapi, sayang aku ini orang yang tidak serius belajar.
Beberapa waktu lalu, ketika penerimaan Habibie Award, ayahku bertemu dengan Romo Magnis, dan walau baru sekali itu mereka bertemu, ayahku langsung memeluknya. Aku ingat ayahku dari dulu selalu datang ke rumah saudara kami yang merayakan Natal. Tidak pernah ada ribut-ribut soal mengucapkan selamat Natal. Aku ingat ayahku bercerita tentang kenangan masa kecilnya melihat pesta Imlek. Malah waktu SD, salah satu buku pemberian ayahku berisi Hari Raya dari berbagai agama dari berbagai negara; buku itu sangat membuatku penasaran untuk mengetahui hari raya berbagai agama di dunia. Sikap ayahku sangat inklusif tentu saja, walaupun dia sendiri tidak mau ada anak atau anggota keluarganya yang memeluk agama lain. Tetapi, kepada saudara yang berbeda agama, dia tidak pernah sekali pun mengajarkan kepada kami untuk menjelek-jelekkan apalagi menjauhi mereka.
Sebagai seorang yang dibesarkan di Muhammadiyah, ayahku bahkan sekarang sangat dekat dengan Iran, dan menjadi ketua perhimpunan persahabatan Indonesia-Iran. Banyak yang mengira ayahku telah memeluk Syiah, sampai kemudian ada yang melihat foto ayahku ketika sholat yang kupotret. Ayahku selalu bilang kalau nenek buyutnya ada yang berdarah Yunnan, jadi ada yang berdarah Persia dan Turki. Pantas jika ayahku sangat senang mendalami kebudayaan Persia, selain juga China.
Jadi, ayahku ini selalu menekankan untuk mengingat leluhur walaupun jaraknya sudah jauh sekali. Dia juga tidak pernah melarang aku bergaul dengan siapapun; tidak pernah melarang aku terpengaruh oleh pemikiran manapun; karena dia sendiri tidak pernah menghina atau mencela berbagai pemikir Islam, baik yang dianggap sebagai Muslim liberal maupun Muslim fundamentalis. Ayahku bersahabat dengan almarhum Cak Nur; tetapi dia tidak pernah meneladankan sikap padaku untuk menghina orang-orang seperti Abu Bakar Ba’asyir. Misalnya, pada kasus Mesir, ayahku tidak mau menyerang pihak Ikhwanul Muslimin; orang yang tidak paham akan kesulitan membaca sikap ayahku sebenarnya dia berada pada pihak yang mana.
Dia punya teman baik para habaib, juga para syaikh dan para pejabat; kalau dia mau dia bisa juga tercatat dalam kekeluargaan sebuah keluarga bangsawan kerajaan. Dia pernah juga pada tahun 1999 mencalonkan diri sebagai caleg PPP di Jawa Timur, tetapi sekarang dia menjauh dari hangar binger politik yang keras. Akan tetapi, dari kecil dia mengajarkan kepadaku bahwa setiap manusia itu sederajat, tidak ada keturunan yang lebih mulia daripada yang lainnya. Sikapnya yang demikian mengajarkan aku untuk tidak mudah taklid buta dan menghormati secara wajar kepada sesama manusia, sekalipun dia seorang keturunan ningrat, ulama, guru besar atau tokoh hebat. Ayahku juga tidak pernah menegur atau marah kepadaku kalau aku mengkritik sahabat, teman, atau tokoh dari afiliasinya, seperti PPP, seperti Suryadharma Ali.
Jadi, ayahku benar-benar memberikan suatu sikap dan keteladanan kepadaku untuk berpikir rasional dan bebas; memberikan ruang bagi kami untuk mempunyai pendapat kami masing-masing; memberikan kebebasan kepada kami untuk memilih Jalan kami masing-masing. Di waktu yang sama, juga mengajarkan untuk menghormati dan bersikap baik penuh kasih-sayang kepada setiap orang apapun keyakinan dan pilihan agamanya. Terutama, kepada sesama Muslim, sesama Muslim itu bersaudara, apapun mazhab mereka. Walau berbeda pendapat dan pandangan, tidak boleh saling mengkafirkan.
— with Abdul Hadi WM.
-
-
Delima De Wilde Sri Wow !
Penuh inspirasi tulisan ini
Sesama Muslim tidak boleh mengkafirkan …See More -
Anung Nur Rachmi Salam takzim utk beliau ya..
-
Rosmadewi Muhammad beliau asset negara . . . yang sangat bernilai terlepas beliau . . . Muhammadiyag atau bukan.
-
Rosmadewi Muhammad beliau asset negara . . . yang sangat bernilai terlepas beliau . . . Muhammadiyah atau bukan.
-
Rusman Haji very valuable experience should be share to others
-
Jonni Roesman Mantap !!!
-
Ang Jasman : ya selayaknya memang kita harus rendah hati. Kita hanyalah para penafsir.. tafsiran seseorang belum tentu lebih tepat dari penafsiran liyan.
-
Iksan R A Arsad Kong siapa ni. ?
-
Jane Ardaneshwari Ya ampun, ChenChen – ternyata dikau putri Pak Abdul Hadi WM to Apakah tahu alamat Tante Laksmi, istri Oom Busje sekarang? Aku kehilangan kontaknya sejak Oom Busje berpulang.
-
ChenChen Gayatri W Mutahari Jane Ardaneshwari iya Bu, kalau ibu Lasmi ada kok akun fesbuknya: Lashmi Bachtiar. anaknya Regina Motinggo Tartila; Rafael Motinggo, dll.
-
Jane Ardaneshwari Terimakasih, ChenChen
-
Rahmat Ali Ya ya, jadi sampeyan putrinya Mas Abdul Hadi penyair itu ya, hahaha, nggak ngira!
-
Deddy Prihambudi saya tidak ‘tertarik’ dengan uraian ini. saya lebih tertarik jika semua putra putri Abdul Hadi WM segera menulis biografi ayahanda yang mulia ini. asal tahu saja, saya harus mencari di banyak lapak toko buku bekas, dan menunggu kiriman buku dari toko buku online, HANYA untuk memperoleh SEMUA karya tulis Abdul Hadi WM. salam takzim dan cium tangan hormat saya pada pujangga ini.
-
Sutardji Calzoum Bachri Abdul Hadi memang sahabat yg baik. Saya masih ingat saat di bandung ketika suaranya tidak bisa normal keluar. Seorang sastrawan iseng –dalam suatu diskusi– bertanya, “Apakah anda sebagai penyair suka baca sajak?”. Tentu saja dijawabnya, “Tidak”. Namun setelah suaranya normal ia sangat aktif baca sajak dimana-mana.
-
Rahmat Ali Untuk menambah khasanah personil sastra, setuju sekali dibuat biografi Mas Abdul Hadi WM!
-
ChenChen Gayatri W Mutahari Deddy PrihambudiTerimakasih atas kritik dan sarannya. Akan segera diwujudkan insyaAllah
-
ChenChen Gayatri W Mutahari Sutardji Calzoum Bachri iya om hehehe
-
Imam WA Rasyid Inilah yang disebut orang beragama, kemanusiaannya jalan rapi, dan mengutamakan kedamaian. Selama berkawan dengan beliau tak pernah saya mendapatkannya marah, pikirannya pun tersusun rapi, meskipun perdebatan batin yang keras, tak diperlihatkan. Kalau berjalan selalu menunduk. Beliau seorang kawan yang baik.
-
Deddy Prihambudi salam hormat kepada Presiden Penyair Indonesia, Pujangga Sutardji Calzoum Bachri. O AMUK KAPAK.
-
Igho Tulisan yang inspiratif, ChenChen. Mohon izin saya mencolek Nana Riskhi Susanti, dan Gendis Rara Danerek.
-
Arif Taufiq boleh nggak di share untuk teman2 di Madura…?
-
Gunawan Harianto Asli keren mbak ChenChen Gayatri W Mutahari
-
Rezha Rochadi Karya karya ayahnya mbak ChenChen Gayatri W Mutahari selalu jadi buku favorit saya. Salam takzim buat bapak dan salam silaturahmi
-
Madiana Havidz Dengan istiqomah, mbak ChenChen Gayatri W Mutahari, insya Alloh juga sampai pada maqom beliau, Semoga. merinding dan mbrebes mili ketika membaca puisi beliau :
“Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze
Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Serta Muhammad Rasulullah
Tapi hanya di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana”. -
ChenChen Gayatri W Mutahari Madiana Havidz Amin. terimakasih ya bu.
-
Masdar Djamaludin Prof Hadi bisa jadi tauladan bagi kita semua..
-
Ahmad Yanuana Samantho ndalem Nyakseni apa yang dituis Mbak Chen-Chen tentang Prof, Dr. Abdul Hadi WM, guru mursyid kami.
