Quantcast
Channel: Bayt al-Hikmah Institute
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300

Article 1

$
0
0

RINGKASAN MATERI SEKOLAH HIKMAH MUTA’ALIYAH

(Epistemologi. Kuliah Dr. Muhsin Labib )

Filsafat Hikmah Muta’aliyah adalah tampilan yang paling utuh dari semua filsafat. Matangnya Hikmah Muta’aliyah adalah karena kontribusi dari Filsafat-filsafat sebelumnya, bahkan dari filsafat yang paling awal, dari Thales hingga Suhrawardi. Kebesaran Hikmah Muta’aliyah adalah berasal dari sebuah bangunan filsafat yang megah dari berbagai zaman dan peradaban.

Filsafat Hikmah Muta’aliyah menjadi Unik, karena ia mengkomfirmasi seluruh argumen Filsafat masa lalu mengenai realitas. Perdebatan mengenai singularitas dan pluralitas wujud menjadi tuntas dalam argumen Mulla Sadra dalam kaidahnya “al Wahdah fi ainil kastrah, wa kastrah fi ainil wahdah”, singularitas dalam pluralitas, pluralitas dalam singularitas. Atau bahkan teori sadra mengenai pengetahuan yang di asosiasikan dalam filsafat-filsafat awal hanya sebagai bentuk korespondensi antara subjek dan objek. Sadra lebih radikal lagi, pengetahuan bukan hanya sebentuk korespondensi, namun penyatuan itu sendiri, yakni penyatuan antara yang mengetahui (subjek /alim) dan yang diketahui (objek/maklum).

Berbicara mengenai pengetahuan, artinya kita berbicara tentang epistemologi. Epistemologi disebutkan oleh banyak ahli sebagai bagian dari filsafat. Bahkan ada yang mengibaratkan epistemologi ibarat aktifitas wudhu dalam shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan jika kewajiban wudhu belum dipenuhi. Begitu juga filsafat, tidak akan dapat dijejaki sebelum seseorang memahami dulu epistemologi. Tradisi Barat bahkan membagi filsafat menjadi bagian-bagian seperti Epistemologi, Ontologi dan aksiologi, ketiga hal inilah yang disebut filsafat menurut barat. Berbeda dengan Tradisi Filsafat Islam, seperti misalnya alamah Thaba’tabai tidak menganggap penting pembagian seperti ini. Filsafat Islam tradisional langsung membahas bagian inti dalam filsafat itu sendiri yakni al-Wujud (Realitas).

Namun perkembangan selanjutnya, para murid allamah memandang bahwa penting untuk menambahkan sistematisasi dan pemilahan tema-tema seperti yang dilakukan dalam tradisi barat untuk menepis kekhawatiran sulitnya filsafat untuk dipahami atau bahkan disalah-pahami. Taqi Mizbah Yazdi, menaruh perhatian pada hal ini. Beliau seolah melihat adanya kesenjangan antara maqom tsubut (kebenaran itu sendiri) dan Maqom Itsbat (Pembuktian kebenaran itu sendiri). Epistemologi diperlukan untuk mengatasi kesenjangan ini. Inilah hal yang mendasari kenapa Taqi Mizbah Yazdi menulis Manhaj Al-Jadid (diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judlul “Daras Filsafat). Tulisan Taqi Mizbah Yazdi ini mengambarkan kerangka dan sistematika filsafat Hikmah Muta’aliyah, berikut didalamnya hal-hal yang berkenaan dengan Epistemologi.

Epistemologi memperjelas kedudukan antara subjek dan objek (walaupun sebenarnya hal ini terbantahkan oleh kaidah “ittihadu aqil wa ma’qul/penyatuan subjek dan objek). Masalahnya, Objek dari Epistemologi hikmah muta’aliyah ini berbeda dengan objek yang dipahami dalam tradisi barat. Dalam tradisi Hikmah Muta’aliyah, Objek disini adalah realitas itu sendiri, baik konkrit maupun abstrak. Oleh karena itu objek ini sebenarnya telah terlebih dahulu jelas ketimbang ilmu yang digunakan untuk menjelaskannya. Permasalahannya adalah, kejelasan objek ini tidak serta merta membuat subjek dapat memahaminya. Kesiapan (Isti’dad) subjek untuk memahami ini menjadi tolak ukur terpahami kejelasan ini. Kejelasan realitas ini menuntut adanya kesadaran si subjek, kesadaran inilah yang dimaksud dengan kesiapan (Isti’dad). Oleh karena itu epistemologi sadra dimulai bukan dengan interaksi subjek dengan objek, melainkan dimulai dengan tema kesadaran si subjek terhadap dirinya. Karena dirinya itu sendiri adalah juga realitas yang konkrit baik secara material maupun imaterial. Dari kesadaran ini manusia mengetahui adanya kemutlakan, tak keterbatasan. Dari munculnya pengetahuan ini, si subjek mulai menyadari bahwa ia memiliki kemampuan untuk mempersepsi.

Tingkat kesadaran si subjek ini mempengaruhi tingkat kedekatan hasil-hasil persepsi tersebut dengan kemutlakan. Misalnya dalam kasus agama. Agama memiliki dua sisi, yakni kemutlakan dan sisi relatif. Wilayah kemutlakan pemahaman agama adalalah milik orang-orang yang memiliki tingkat kesadaran puncak karena mereka mendaptkan pengetahuan-pengetahuan ilahiah langsung dari wilayah kemutlakan tersebut, sehingga agama tersebut benar-benar sebagai realitas ontologis (a’yanun tsabitah) didalam dirinya. Merekalah para Utusan Tuhan. Berbeda dengan manusia kebanyakan yang memiliki kesiapan dan kesadaran diri yang rendah, maka persepsi-persepsi ini menjadi sangat relatif. Namun perlu diperhatikan bahwa persepsi-persepsi yang relatif ini bergantung kepada yang mutlak. Artinya ketika seseorang meyakini adanya yang bersifat relatif, maka dalam waktu yang sama ia juga meyakini adanya kemutlakan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang memiliki kesadaran rendah, namun meyakini pandangan-pandangannya adalah bersifat mutlak, maka ia sebenarnya telah mengambil peran Tuhan atau peran para nabi. Masalahnya kebanyakan kita tidak pantas mengambil peran-peran tersebut. Epistemologi mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa setiap orang harus memiliki kesadaran bahwa realitas adalah sangat mandiri, mendasar dan Tunggal, namun persepsi-persepsi membuatnya menjadi relatif, bergantung dan beragam. Untuk mengatasi pandangan-pandangan yang beragam ini kita harus berpegang kepada yang mutlak dan disepakati oleh semua kesadaran manusia yang paling mendasar yakni dengan melihatnya dari sudut pandang pengetahuan-pengetahuan aksiomatik. (ed.bznlh)



Viewing all articles
Browse latest Browse all 1300