ASMA’ DAN SIFAT ALLAH
Sekolah Hikmah Muta’aliyah Seri Irfan Sesi II
Dr. Husein Shahab, MA
Sebetulnya, tema Al-Asma Wa As-Sifat bisa kita lihat dari dua disiplin ilmu. Bisa dibahas dan didiskusikan dari sisi Filsafat dan juga bisa dibahas dari sisi ilmu Irfan (Tasawuf). Walaupun menurut Mulla Sadrapembahasan ini termasuk dari tema yang sangat rumit dan bahkan beliau mensyarahkan tentang sifat-sifat Allah dalam kitab Syarah Ushul Al-Kafi yang berisikan syarah yang rinci mengenai sifat-sifat Allah. Tema ini menjadi sangat manis (mudah) jika dibahas dari sisi irfan, namun menjadi sangat rumit jika dibahas dari sisi filsafat.
Para filosof ketika menyebut sifat-sifat Allah selalu saja sifat-sifat tersebut menjadi sangat tinggi dan sulit untuk dipahami karena lebih mengutamakan Tanzih yang menekankan bahwa Allah sangat luhur dan tidak dapat dipahami oleh siapapun. Sehingga pembahasan-pembahasan ke-Tuhanan dalam filsafat menjadi sangat melangit dan berat untuk diikuti oleh kebanyakan orang karena titik tekannya kepada konsistensi logis dan demonstrasi premis-premis filosofis. Namun jika kita membahas asma dan sifat Allah dari sisi irfan, Allah dapat dirasakan keberadaanya oleh rasa atau dengan kata lain Allah menjadi lebih membumi. Dalam hal ini kalangan urafa lebih cendrung kepada aspek tasybih (penyerupaan). Jika Filosof melihat Allah ada dilangit, namun sufi melihat Allah ada dibumi, menyatu dengan ciptaannya. Dalam Sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab yang berjudul Tauhid Musnad an al-harwi, dikatakan bahwa Ali ibn Abi Thalib ra berkata bahwa Rosululloh saw bersabda
ان لله تسعة وتسعين اسما اوما ئة الا واحدا من احصاهاد خل الجنة
Yang artinya,
“Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama yang jika seseorang berdoa dengannya maka akan dikabulkan, dan barang siapa yang memahaminya akan masuk kedalam surga”
Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. ra yang berbunyi :
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا ، مِائَةً إِلا وَاحِدَةً ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Yang artinya,
“sesungguhnya Rosululloh saw bersabda bahwa allah memiliki 99 nama 100 kurang satu, siapa menghafalnya maka akan masuk kedalam surga”.
Sedemikian pentingnya asma Allah sehingga disebutkan barangsiapa yang berdoa dengan nama-nama tersebut maka akan dikabulkan dan merincinya (memahaminya) maka akan masuk kedalam surga. Dari hadits ini kita mendapati bahwa isu mengenai asma’ wa sifah tampak begitu penting dalam khazanah islam. Seperti misalnya dalam kisah tentang Adam, bahwa hal pertama yang diajarkan kepadanya adalah keseluruhan Asma’ dan karena pemahaman terhadap asma’ inilah Adam dibanggakan dihadapan para malaikat. Menurut Mulla Sadra, Asma’ atau nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama Allah.
Banyak sekali riwayat yang berbicara tentang Asma’, misalnya riwayat tentang Ismul a’dzom. Riwayat ini menceritakan kisah Nabi Sulaiman as yang mendapat berita dari burung hud-hud yang memberitakan bahwa ada sebuah kerajaan yang menyembah matahari yakni kerajaan ratu balqis. Suatu hari Ratu Balqis hendak mengunjungi kerajaan Sulaiman as, maka Nabi Sulaiman as meminta kepada siapapun yang dapat memindahkan singgasana ratu Balqis. Seorang hamba Allah yang memiliki Ilmu kitab menyanggupinya dengan durasi kurang dari satu kedipan mata. Imam Jakfar.ra menjelaskan bahwa orang itu adalah Asif ibn Barkhiyah.ra dan yang dimaksud Ilmu al-Kitab tersebut dalam banyak riwayat adalah Ilsmul Allah al-adzom. Asif memiliki satu dari seluruh Ilmu a’dzom, yang dengannya Asif memiliki kemampuan menggerakan alam semesta. Ismul A’zam dalam pandangan para urafa nama-nama Allah yang berjumlah 99 atau bahkan lebih (dalam al-Quran tercatat 120 lebih, bahkan Allamah Thaba’thabai menyatakan jika seluruh asma’ Allah yang dijumlahkan dapat mencapai 200-an asma’).
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Allah menyandang nama sedangkan Allah adalah eksistensi murni yang tidak dapat diatribusi dengan sifat apapun. Namun ternyata Allah menyatakan dirinya dialam al Quran dengan nama-nama (asma’). Maka dari sini muncullah pembahasan yang begitu rumit sehingga muncullah banyak sekali mazahab, madrasah dan pandangan dalam kasus ini. sebetulnya sifat dan asma’ memiliki konsekwensi dan inti yang sama. Sufi lebih suka dengan istilah asma’ dan filosof lebih menyukai istilah sifat. Allah memiliki nama ar-rahman, al- aziz dan sebagaimnya.
Kata-kata ini adalah asma’ dan juga sifat. Karena itu dalam irfan ketika menyebut asma’ Allah ada dua kategori, yakni asma’ jamaliah dan asma’ jalaliah atau dengan istilah lain sifat Jamaliah dan sifat Jalaliah. Dalam istilah kalam sifat tsubutiah dan sifat salbiyah. Para urafa mengatakan bahwa Asma’ Jamaliah adalah keindahan yang merefleksikan keindahan tak terbatas Allah swt. Asma’ Jalaliah adalah asma’ yang merefleksikan keagungan, kegagahan dan kekokohan. Sifat Jamaliah memunculkan harapan dan kerinduan. Sifat Jalaliah memunculkan kegentaran dalam diri manusia. Namun para urafa’ menyatakan bahwa dalam sifat-sifat allah yang jamal ada sisi jalaliah. Dari sisi JalaliahnNya ada jamaliahnyaNya. Hadis-hadis qudsi lebih banyak bercerita tentang sifat Allah yang jamal. Misalnya dalam hadis yang berbunyi “Wahai hambaku, sepanjang hidupmu kau telah lari dariku, dan dipenghujung hidupmu kau ingin kembali padaku. Ketahuilah bahwa aku lebih gembira kepada seorang hambaku yang kembali kepadaku melebihi dari perasaan seorang ibu yang menemukan anaknya yang telah hilang”.
Jika kita membaca sifat-sifat Jamal ini maka hati kita akan tergugah. Misalnya dalam sebuah doa yang berbunyi, “Ya Allah sesungguhnya magfirohMu lebih aku harapkan ketimbang amalku dan rahmatMu lebih luas daripada dosaku. Ya Allah, sekiranya dosaku banyak, maka ampunanMu lebih luas dan lebih banyak daripada dosaku”. Namun disisi lain kita menemukan perkataan Urafa’ yang mengakatan bahwa dalam sifat-sifat Allah yang lembut ini ada sifat keagungannya yang menggentarkan hati. Itulah kenapa para urafa mengingatkan kita bahwa jangan terlena dengan sifat-sifat jamal Allah karena sikap terlena itu mengundang setan untuk mengambil kesempatan. Sifat-sifat Rahman Allah seharusnya membuat seseorang bergegas kedalam ampunannya dan merasa takut dengan kemurkaannya. Para urafa’ berkata ketika membahas asma’ ini bahwa dalam asma’ ini ada yang disebut Dzatiah (esensi) dan Fi’liyat (perbuatan). Sifat-sifat dzatiah ini dipahami dari esensi Allah itu sendiri seperti sifat al-ahad atau al-wujud sedangkan sifat-sifat fi’liyat ini dipahami dari perbuatan Allah seperti al-Khaliq atau ar-Razaq. Sifat-sifat perbuatan ini diasumsikan karena adanya relasi antara Allah itu sendiri dengan aspek tindakannya. Para urafa tidak mempertanyakan sifat-sifat Fi’liyat ini karena sifat-sifat fi’liyat ini tidak dapat dipisahkan dari sifat-sifat dzatiah. Bagian yang paling sulit difahami adalah Asma’ Dzat nya. Mayoritas ulama mengatakan sulitnya untuk memahami hal ini, dan sebagian lagi mengatakannya hampir tidak mungkin. Namun para urafa’ menaruh perhatian lebih pada asma’ dzatiah ini. itulah kenapa banyak sekali dizikir-dzikir sufi yang berisikan asma’ dzatiyah. Contohnya pada dzikir Allahu lailaha illahuwa yang menjadi dzikir puncak para sufi. Kalimat dzikir ini adalah kalimah yang berisikan Isyaroh kepada Dzat.
