Ajaran Luhur Budhi Dharma Nusantara
POSTED ON MEI 5, 2015 UPDATED ON MEI 5, 2015 di https://oediku.wordpress.com/2015/05/05/ajaran-luhur-budhi-dharma-nusantara/
Wahai saudaraku. Bangsa Nusantara adalah masyarakat yang sesungguhnya telah memiliki peradaban yang sangat tinggi. Semua itu sudah ada bahkan sejak milyaran tahun silam. Dan apa yang dibutuhkan oleh setimenolongehidupan manusia di muka Bumi ini telah lengkap dan paripurna. Karena nenek moyang bangsa Nusantara telah hidup dan membangun peradaban bahkan sejak periode awal kehidupan manusia di atas dunia ini – yang sudah berlangsung milyaran tahun.
Lalu mengenai tatanan kehidupan, maka sebenarnya bangsa Nusantara sudah menerapkan ajaran, aturan dan keyakinannya sendiri. Semua itu bahkan jauh sebelum agama-agama besar (Zoroaster, Hindu, Buddha, Khonghucu, Yahudi, Nasrani, dan Islam) menyebar dari wilayah Timur Tengah, China dan India. Bangsa Nusantara tidaklah sama dengan anggapan para ahli sejarah – terutama dari Belanda dan Inggris – yang mengatakan sebelum abad Masehi maka bangsa Nusantara belum mengenal keyakinan agama alias pagan. Padahal sesungguhnya bangsa ini sejak awal sudah meyakini akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan ajaran dan aturannya sendiri.
Jadi, bangsa ini sesungguhnya tidak serta merta menjiplak ajaran yang datangnya dari bangsa lain. Hanya saja, memang ada akulturasi yang terjadi disini. Karena apa yang diyakini oleh bangsa Nusantara secara turun temurun tidak bertentangan dengan ajaran agama yang datang kemudian. Bahkan bisa dikatakan bahwa agama-agama yang datang kemudian itu sesungguhnya berasal dari satu sumber yang sama. Hanya saja karena zamannya sudah berbeda, maka terdapatlah sedikit perbedaan syariatnya tapi tidak menghilangkan yang hakekatnya – sebab intinya tetap sama, yaitu mengagungkan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Untuk itulah, di dalam kehidupan bangsa Nusantara, maka sejak awal mereka sudah mengenal sebuah ajaran yang luhur, yang sekarang bisa disebut dengan Budhi Dharma. Suatu tatanan kehidupan yang membimbing bangsa Nusantara hingga bisa membangun peradaban yang besar dan tertata rapi. Karena dalam hal ini budhi sendiri berarti tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Tujuan dari budhi adalah membina hubungan yang selaras dan harmonis antara seseorang dengan yang lainnya, dirinya dan siapapun yang ada disekitarnya. Juga hubungan kekeluargaan di dalam masyarakat, hubungan bangsa dengan bangsa lainnya, dan hubungan manusia dengan makhluk di sekelilingnya.
Selain itu, budhi membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, anggota masyarakat yang baik, menjadi manusia yang berprilaku mulia, dan membimbing manusia untuk menuju kebahagiaan. Budhi juga menuntun seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan makhluk sesamanya dan akhirnya menuntun mereka untuk mencapai kesatuan jiwa dengan Tuhannya. Dengan begitu ia pun akan mendapatkan kenikmatan yang tak terkira, karena kebahagiaan yang mutlak dan abadi itu hanya dapat dinikmati bilamana hati dan jiwa seseorang dapat mencapai “kesatuan” dengan Tuhannya.
Sehingga dalam hal ini dibutuhkanlah empat macam praktek perbuatan yang luhur untuk bisa mencapai kehidupan yang sempurna. Yaitu:
1. Mitra (kawan, sahabat, saudara atau teman)
Artinya, sifat-sifat yang menghendaki persahabatan terhadap semua makhluk di alam semesta ini. Mitra mengajarkan agar manusia memandang semua orang itu seperti keluarga besar. Dan seseorang wajib saling mengasihi, tolong menolong, gotong royong, dan saling menghormati.
2. Tresna (cinta kasih)
Artinya, perasaan belas kasihan kepada semua makhluk yang ada. Selain itu, suka menolong dan rela berkorban demi kebahagiaan orang lain. Sifat ini akan selalu merasakan penderitaan orang lain layaknya penderitaan dirinya sendiri. Dan orang yang menjalankan sifat ini tentu tidak akan segan-segan menolong orang lain tanpa pandang bulu, dan juga mempunyai sifat suka mengampuni dan memaafkan kesalahan orang lain. Karena ia sadar bahwa pada dasarnya manusia itu tidak luput dari kesalahan.
3. Gumbira (bahagia, senang, puas atau simpati)
Artinya, telah melepaskan sifat iri hati, dengki, dan benci. Orang yang memiliki sifat ini akan merasa menderita bila melihat orang lain mengalami penderitaan dan akan berusaha membantunya. Begitu pula sebaliknya, ia akan merasa bahagia saat melihat orang lain bahagia.
4. Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
Artinya, sifat ini mengajarkan kepada manusia untuk selalu waspada dan bijaksana dalam meneliti segala keadaan atau suatu masalah. Apakah suatu masalah itu benar atau salah. Sifat ini tidak suka menceritakan kesalahan dan kejelekan orang lain, tidak suka menyinggung perasaan orang lain, atau dalam artian selalu menjaga perasaan orang lain.
Selanjutnya, setelah budhi, maka ada pula ajaran tentang dharma. Dimana dharma sendiri mempunyai pengertian yang sangat luas, seperti segala perilaku yang luhur. Perilaku yang luhur ialah perilaku manusia yang sesuai dengan ajaran Tuhan. Ajaran Tuhan dalam bentuk aturan yang jelas bisa menuntun, membina dan mengatur hidup manusia sehingga mencapai kesejahteraan hidup lahir dan batin. Kewajiban untuk berbuat kebaikan adalah dharma. Sehinggadharma juga bisa berarti kebajikan.
Makanya, di dalam dharma, ada dua kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang, yaitu:
1. Swa dharma, yaitu kewajiban diri sendiri, karena setiap orang itu punya kewajibannya sendiri, baik kepada Tuhan ataupun kepada sesama makhluk.
2. Para Dharma, yaitu kewajiban untuk menghormati dan menghargai tugas dan kewajiban orang lain. Tidak memandang rendah kewajiban orang lain.
Ya. Memperhatikan uraian di atas, maka ajaran Budhi Dharma adalah alat untuk mencapai kesempurnaan dan kebebasan diri. Ia menghilangkan segala macam penderitaan, sumber datangnya kebaikan bagi yang melaksanakannya, dan dapat melebur dosa-dosa. Budhi Dharma adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh orang shalih yang tidak bisa dicuri atau dirampas. Budhi Dharma adalah landasan untuk mendapatkan arta (kepemilikan) dan mengontrol kama (nafsu) dengan baik.
Sungguh, manusia adalah makhluk multidimensional yang kompleks. Termasuk di dalamnya, di dalam diri manusia terdapat berbagai macam elemen materi, kehidupan, kesadaran, kecerdasan dan percikan Cahaya Ilahi. Manusia akan bebas jika ia bertindak dari tingkatan yang paling tinggi dan menggunakan elemen-elemen yang lain untuk mewujudkan tujuan hidupnya. Tapi, jika ia berada pada level alam objektif, ketika ia tidak menyadari perbedaan dirinya dari non-diri, ia hanya akan menjadi budak dari mekanisme alam.
Untuk itulah, setiap tingkatan kehidupan mempunyai kesadaran, pikiran yang bersifat permukaan, pola perasaan, pikiran dan tindakannya sendiri-sendiri. Ego tak boleh memaksakan kesadarannya yang kabur dan terbatas. Pemaksaan ini sama saja dengan penyimpangan dari sifatnya yang sebenarnya. Ketika kita mengalahkan dan mengendalikan panca indera, nyala api ruh akan terang dan menyala, seperti terang pelita di tengah ruang yang berangin tenang. Cahaya kesadaran akan bersinar terang, memperlihatkan sifat dasarnya, dan diri empiris dengan gelombang pengalaman yang selalu berubah-ubah akan di kendalikan oleh budhi dharma. Melalui budhi dharmainilah terpancar cahaya kesadaran. Jika demikian, kita akan melampaui belenggu dunawi dan melihat diri sejati, dan merasakan sumber kekuatan-kekuatan kreatif. Kita tak lagi menjadi alat permainan alam yang tanpa daya. Karena kita akan menjadi bagian dari dunia bebas yang mengatasi dunia bawah.
Sungguh, bangsa Nusantara dulu sangat menyadari bahwa hanya atas rahmat Tuhan saja yang bisa membawa diri seseorang pada keluhuran budi. Karena ketika jiwa tunduk, memasrahkan diri ke hadapan Tuhan, Dia akan memberikan berbagai pengetahuan, mengangkat kesalahan dan membuang jauh semua kekurangan serta mengubahnya masuk ke dalam cahaya terang-Nya yang tak terbatas dengan kemurnian kebaikan universal. Sehingga di dalam ajaran Budhi Dharma, maka setiap pribadi harus mampu mempersatukan lima sifat-sifat utama yang luhur ke dalam dirinya sendiri. Di antaranya yaitu:
1. Ngesti Aji (mencari ilmu pengetahuan suci)
Artinya, seseorang harus bijaksana dan mahir dalam segala ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan suci (agama).
2. Ngesti Giri (mencari kekuatan seperti gunung)
Artinya, seseorang harus kuat iman, teguh pendirian, tangguh dalam menegakkan kebenaran, serta tabah dan tegar dalam menghadapi segala kendala ataupun penderitaan.
3. Ngesti Jaya (mencari kemenangan)
Artinya, seseorang dapat menundukkan musuh-musuhnya dan segala sifat-sifat buruk yang ada di dalam dirinya, serta sempurna lahir dan batin. Disinilah pula seseorang harus memperhatikan kemampuan olah raga (ilmu kanuragan) dan olah batin (ilmu kesaktian) nya demi kebenaran dan keadilan.
4. Ngesti Nangga (mencari ketangguhan dalam rasa dan perasaan)
Artinya, seseorang harus tangguh dan tanggap dalam segala keadaan serta tahu membawa diri, sehingga tidak mudah terjerumus dalam kehancuran dan kehinaan atau hal-hal yang merugikan.
5. Ngesti Priyambada (senang berbagi kebaikan)
Artinya, seseorang selalu memberikan rasa bahagia, ketenteraman dan kedamaian lahir dan batin kepada orang-orang yang ada disekitarnya atau masyarakat.
Ya. Dengan memahami dan mau menerapkan kelima sifat mulia di atas, maka bangsa Nusantara ini dulunya mampu memecahkan segala kebuntuan kehidupan sehari-hari, baik dalam bidang spritual maupun dalam berbangsa dan bernegara. Tapi kini semua itu serasa tiada, karena telah terkikis oleh aturan, budaya dan tradisi kehidupan dari bangsa lain. Yang mengakibatkan bangsa ini kian terpuruk dan terus saja menjadi pengekor dan jonggos dari bangsa lain.
Untuk itu, kesempurnaan pada tingkat manusia merupakan tugas yang harus dicapai dengan upaya sadar. Citra Tuhan yang berkarya di dalam diri kita membuat kita merasa ada yang kurang. Manusia lalu dihantui oleh kesombongan, kesementaraan, dan kerentanan pada kebahagiaan. Mereka yang menjalani kehidupan secara dangkal tak merasakan tekanan ini, atau merasakan jiwa yang terkoyak-koyak dan mungkin tidak merasakan adanya dorongan batin untuk mencari kebaikan yang sejati. Manusia semacam ini adalah binatang dalam rupa manusia (purusapasu) dan seperti binatang yang sekedar lahir, tumbuh dewasa, kawin, beranak cucu dan akhirnya mati. Tapi sebaliknya, mereka yang menyadari martabat luhur manusia – yang diwariskan oleh leluhur bangsa Nusantara – akan menyadari sepenuhnya tentang “rasa ada yang kurang” di atas dan berusaha mencari prinsip keseimbangan dan kedamaian.
Makanya, jika kebenaran Ilahi – yang bisa dijangkau oleh semua manusia – hanya bisa dicapai oleh segelintir manusia, ini jelas menunjukkan bahwa hanya sedikit itu saja yang mau berjuang untuk mencapainya. Perasaan tidak puas atau selalu merasa kurang, kegersangan dan kegelapan batin adalah bagian dari karya Tuhan yang akan membawa kita menuju kesempurnaan. Inilah misteri yang tersembunyi di sudut terdalam hati makhluk ciptaan Tuhan. Sedangkan tugas setiap pribadi adalah mencari hakekat kebenaran yang sejati di balik karya-karya misterius itu. Dan bangsa Nusantara sejak dulu sudah mengetahuinya. Hanya saja kini tidak lagi diperhatikan, terlebih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
*****
O.. Kebijaksanaan adalah pengalaman langsung yang mewujud setelah hambatan-hambatan bagi perwujudannya disingkirkan. Upaya orang yang mencari kebijaksanaan harus diarahkan untuk menyingkirkan hambatan-hambatan, untuk menghilangkan kecenderungan avidya atau kedunguan yang membutakan. Kebijaksanaan ini selalu ada, karena kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang harus diraih dari luar diri kita. Apa yang harus kita lakukan adalah membuka diri pada penyingkapan ruhani dan spiritual. Pemahaman sehari-hari yang didasari oleh keinginan-keinginan dan prasangka, tak akan bisa menyingkapkan realitas yang sebenarnya. Ketenangan pikiran dan kemurnian kehendak, pengingkaran ego akan membawa kita pada pencerahan, kebijaksanaan dan cahaya terang yang akan membawa kita pada kesejatian hidup. Inilah keabadian hidup, kepenuhan purna kemampuan kita untuk mencinta dan mengalami kebijaksanaan.
Ya. Jnana (kebijaksanaan) dan ajnana (kedunguan) dilawankan seperti terang cahaya dan kegelapan. Ketika cahaya kebijaksanaan merekah, kedunguan akan lenyap dan akar-akar kejahatan akan punah. Jiwa yang bebas akan mengatasi dunia. Tak ada lagi yang harus diciptakan atau ditaklukkan. Kerja tidak lagi membelenggu. Ketika kita telah mencapai kebijaksanaan ini, kita akan mengalami hidup dalam Diri-Nya Yang Maha Agung.
Selain itu, kebijaksanaan yang murni dan transenden (yang ditinggikan) berbeda dengan pengetahuan ilmiah, meskipun keduanya tidak terpisahkan sama sekali. Setiap ilmu pengetahuan mengungkapkan dengan caranya sendiri, dalam rentang tatanan tertentu, cerminan kebenaran abadi yang luhur dari setiap bagian realitas. Pengetahuan ilmiah atau pengetahuan diskriminatif mempersiapkan kita untuk menerima kebijaksanaan yang lebih tinggi. Kebenaran parsial (mencakup tidak secara keseluruhan) ilmu pengetahuan ilmiah dibutuhkan karena menghalaukan kegelapan yang meliputi pikiran manusia, memperlihatkan ketaksempurnaan dunianya sendiri, dan mempersiapkan pikiran untuk sesuatu yang lebih tinggi. Untuk mencapai kebenaran, maka dibutuhkan pertobatan jiwa dan pemantangan visi spiritual.
Untuk itulah dalam mencapai tingkatan “ada” atau hidup yang lebih tinggi, kita bisa menempuh jalan jijnasa atau pengingkaran nafsu buruk demi pengetahuan. Jijnasa ini akan mengangkat manusia dari keterbatasannya yang serba sempit dan membuatnya melupakan dirinya sendiri dalam kontemplasi prinsip-prinsip eksistensi universal. Pengetahuan yang dicari demi kekuasaan atau kemasyhuran tak akan membawa kita pada tingkatan keluhuran itu. Pengetahuan harus dicari demi pencapaian kebenaran sejati.
“Natyantam gunavat kincin, natyantam dosavat tatha: Tidak ada yang mulia sepenuhnya, dan tidak ada yang jahat sepenuhnya”
Ya. Manusia memang saling berbeda. Ada yang reflektif dan ada yang emosional, ada juga yang aktif. Namun demikian, mereka tidak eksklusif. Dimana pada akhirnya pengetahuan, cinta dan kerja bercampur menjadi satu. Tuhan sendiri adalah sat, cit dan ananda (realitas, kebenaran dan kebahagiaan). Bagi mereka yang mencari pengetahuan, Dia adalah Cahaya Abadi, yang terang benderang seperti matahari pada siang hari, dimana tak ada kegelapan; bagi mereka yang memperjuangkan keluhuran budi, Dia adalah Kebenaran Hakiki, yang teguh dan tak memihak; dan bagi mereka yang cenderung bersifat emosional, Dia adalah Cinta Sejati, Keindahan dan Kesucian.
Wahai saudaraku. Demikianlah apa yang pernah dimiliki dan diterapkan oleh bangsa Nusantara. Dulu mereka pernah membangun berbagai peradaban yang besar lengkap dengan kemajuan dan kesejahteraan lahir batinnya. Semua itu bisa terjadi, karena mereka sangat menyadari bahwa kehidupan yang terbaik itu tentu tidak terlepas dari praktekbudhi dan dharma yang benar. Yang semuanya juga harus diterapkan dalam rasa cinta dan demi kehidupan yang sesuai dengan kemanusiaan. Yaitu sikap yang sadar bahwa kehidupan ini tidak hanya terbatas pada duniawi saja, juga bukan sekedar yang terlihat oleh mata kepala saja, melainkan hingga pada alam keabadian (akherat). Dengan begitu, secara otomatis maka setiap orangnya akan menyadari bahwa dalam kehidupan itu harus mengedepankan sikap welas asih, tolong menolong, gotong royong, rasa kebersamaan dan nilai persaudaraan yang erat. Sehingga pada akhirnya semua kebutuhan hidup di dunia dan akherat akan terpenuhi dengan baik. Dan disanalah letak kebahagiaan yang sesungguhnya, yang bisa di rasakan bagi siapa saja yang mau menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah bangsa ini benar-benar ingin bangkit dan maju sekali lagi? Jawabannya adalah dengan mengikuti jejak yang telah ditinggalkan oleh nenek moyang Nusantara dulu. Itu pun kalau mau, jika tidak, maka bersiaplah untuk selalu jadi penonton atau bahkan menjadi budak dari peradaban dunia global kini.
Yogyakarta, 05 Mei 2015
Mashudi Antoro (Oedi`)
