Tokoh-tokoh di balik G 30 S PKI….!!! (Bag.1)
Saat Indonesia dijajah Jepang, kelompok ini sempat kocar-kacir karena negeri Matahari Terbit termasuk negara yang memusuhinya.
Namun setelah Jepang pergi dan Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno bergulir, organisasi yang selalu melakukan gerakan secara diam-diam ini kembali eksis.
Meski akhirnya, karena Soekarno membenci Barat dan berpihak kepada Rusia dan China (komunis), pada 1961 keberadaan organisasi ini beserta underbouw-nya, dilarang.
“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA.
Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”.
Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian.
Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Namun, tongkat komando tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur dalam agama Katolik, karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis, bantuan senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?
Dengan kelebihan seperti ini, mendekati para perwira AD dan mencari informasi tentang mereka bukan lah hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu singkat, tiga orang telah terbidik. Salah satunya Soeharto. Siapa yang dua lagi…???
Bersambung ke : Tokoh-tokoh di balik G 30 S PKI….!!! (Bag.2)
Tokoh-tokoh di balik G 30 S PKI….!!! (Bag.2)
Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA).
Karir Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD Jenderal AH Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu disekolahkan di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.
Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.
Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat itulah ia bertemu Soeharto yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta, dan menjalin hubungan yang sangat baik.
Ketika Mabes Angkatan Darat berniat mengangkat Bambang Supeno menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto yang berambisi menduduki jabatan itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng.
Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi.
Nama ini (Beek), tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.
Tokoh-tokoh di balik G 30 S PKI….!!! (Bag.3)
Mereka berkumpul lagi setelah Ali ditarik Soeharto ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai Deputi I KSAD. Ketika Jenderal AH Nasution mengangkat Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) dengan pangkat Brigadir Jenderal, Soeharto mengangkat Ali menjadi Asisten Kepala Staf CADUAD.
Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri. Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawenatau Islam abangan.
Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa. Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib).
Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Soeharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto”.
Maka jelas apa yang membuat Beek merasa cocok merekrut orang ini. Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri.
Berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta.
Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948.
Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).

Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.
Harry Tjan Silalahi yang lahir di Jogjakarta pada 11 Februari 1934 pernah menjabat sebagai sekjen Partai Katolik. Ia aktif berorganisasi sejak masih SMA, dimana kala itu ia menjadi anggota Chung Lien Hui, organisasi keturunan Tionghoa.
Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.
“Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar negeri tersebut.
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Bapak Daoed Joesoef, PPI Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.
Apa yang dikatakan Cosmas ini membenarkan adanya Kasbul, namun membantah menyerang Islam. Namun Richard Tanter mengungkapkan;
“Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar, baik bagi Indonesia maupun Gereja, adalah Komunisme dan Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan; sama-sama memiliki kualitas ancaman”.
Tokoh-tokoh di balik G 30 S PKI….!!! (Bag.4)
Bahwa jika peristiwa itu dikaitkan pula dengan Pater Beek, maka masalahnya menjadi benderang.
Sepak-terjangnyapun banyak yang kontroversial. Ketika Jepang menjajah Indonesia, ia ‘bekerja sama‘ dengan negeri Matahari Terbit itu, sehingga ribuan rakyat Indonesia dikirim ke kamp kerja paksa romusha.
Setelah Indonesia merdeka, ia dan Bung Hatta bekerja sama menyingkirkan Muso, sahabatnya sendiri ketika masih di Surabaya.
Memasuki usia 50-an, ia mulai berseberangan dengan Hatta, sehingga pasangan yang beken disebut Dwi Tunggal itu retak, dan ‘bermesra-mesraan’ dengan Komunis. Ia pun akhirnya terjungkal dari tampuk kekuasaan dengan cara yang amat menyedihkan.
Poros baru ini menentang segala bentuk kolonialisme, namun kemudian banyak yang melihat, terutama Amerika Serikat dan antek-anteknya, bahwa orientasi politik Soekarno cenderung ke kiri alias ke Blok Timur.
Ini tercermin dari program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia, kampanye ganyang Malaysia dan operasi Pembebasan Irian Barat yang dianggap merugikan kepentingan Barat.
Apalagi karena selain merupakan basis utama Kristenisasi, kala itu Barat, khususnya Amerika Serikat, telah tahu kalau di bumi Papua terkandung bahan tambang yang melimpah ruah, termasuk emas. Lebih parah lagi, kala itu pun tanpa tedeng aling-aling Soekarno menjalin hubungan baik dengan pempimpin China, Mao Zedong.
Bagi mereka (Amerika Serikat), Presiden Soekarno merupakan sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif (yang dipermanenkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955).
Hujatan berulang kali terhadap imperialisme Barat, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai bagian integral dalam politik Indonesia, ditafsirkan Washington sebagai bukti kesetiaan Soekarno kepada Moskow dan Beijing.
Einshower dan Dulles bersaudara-Allen sebagai kepala CIA dan John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri-memandang semua pemimpin nasionalis Dunia Ketiga yang ingin netral di tengah-tengah perang dingin, sebagai antek-antek komunis”.
Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah negeri ini, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak.
Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya.
Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu.
Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.
Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi bagian basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung”.
Bersama Front Pancasila, organisasi-organisasi melakukan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi underbouw-nya. Tuntutan mereka dipertegas dalam resolusi Front Pancasila saat menggelar Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta.
Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.
Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), SOMAL (Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia).
‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi ini adalah kader orang itu, yakni Cosmas Batubara.
Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul ‘Bayang-bayang PKI’. Dalam buku itu tertulis begini;
Saat KAMI terpojok beginilah Beek mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan. Dalam buku berjudul ‘Army and Politics in Indonesia’, Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Soekarno justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad dimana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor.
Maka, seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI seperti Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.
Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim.
Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.
Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 30 juta orang itu. Sebagian ditahan, dan sebagian lagi dibunuh.
Namun yang hingga kini juga masih ‘menakjubkan’, meski anggota PKI hanya sebanyak itu, yang terbunuh dalam tragedi paling berdarah di Indonesia itu justru jauh lebih banyak. Bahkan saking banyaknya, hingga kini jumlah orang yang dibunuh masih simpang siur.
Tokoh-tokoh di balik G 30 S PKI….!!! (Bag.5)….!!!
Akhirnya, berkat permintaan MPRS, pada 20 Januari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Penandatangan ini merupakan akhir dari karir Soekarno sebagai presiden RI karena sesuai TAP MPRS No. XV/1966, secara de facto Soeharto menjadi kepala pemerintahan Indonesia menggantikan dirinya.
Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor. Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.
Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’.
Dengan kata lain, Beek menempatkan orang-orangnya untuk ‘cawe-cawe’ di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto. Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul ‘Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru’, disebut sebagai ‘Negara Organik’.
Maka dia membentuk sebuah lembaga think tank yang berfungsi memasok gagasan-gagasan bagi Soeharto. Maka didirikanlah CSIS (the Centre for Strategic and International Studies). Lembaga ini, menurut Daniel Dhakidae, merupakan penggabungan antara politisi, cendekiawan Katolik, dan Angkatan Darat.
Lembaga inilah yang kemudian memasok gagasan dan menjaga agar Orde Baru menerapkan sistem negara organik versi Gereja pra Vatikan II.
Pada awalnya, di masa revolusi, Golkar merupakan kumpulan organisasi anti-Komunis yang bergabung dalam Front Nasional.
Organisasi-organisasi yang bergabung dalam Golkar antara lain organisasi buruh tani, pegawai negeri, perempuan, pemuda, intelektual, artis dan seniman.
Sebagaimana diuraikan Harold Cruch dalam bukunya, organisasi-organisasi sipil tersebut dikendalikan oleh tentara yang peranannya dominan lewat SOKSI, MKGR dan Kosgoro. Begitu Soekarno tumbang, Golkar pun dijadikan mesin politik Orde Baru.
Pada tahun 1970, rupanya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan bahwa Departemennya akan menjadi tulang punggung Golkar. Walaupun menteri selalu mengatakan bahwa para pegawai negeri masih diperbolehkan menjadi anggota partai masing-masing, tetapi ia menyatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan ia juga menyatakan bahwa keanggotaan partai sekurang-kurangnya akan menjadi hambatan bagi kenaikan pangkat”.
Padahal Soeharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri Negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam melawan tentara ini lah yang melicinkan dipraktikkannya doktrin lesser evil Pater Beek tersebut”.
Pada 1965, sebagaimana diungkap Ken Comboy dalam bukunya yang berjudul “Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”, Ali Moertopo berhasil menyelundupkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaran mantan orang-orang DI. Sugiyarto bahkan berhasil membangun hubungan dengan Mohammad Hasan, salah seorang komandan DI di Jawa Barat.
Orang-orang DI pertama kali dimanfaatkan Ali Moertopo untuk mengejar orang-orang Komunis, dan ini dibenarkan Umar Abduh dalam artikel berjudul “Latar Belakang Gerakan Komando Jihad” dengan uraian sebagai berikut;
Dengan tuduhan akan melakukan makar, empat bulan sebelum Pemilu digelar, semua pimpinan Komando Jihad dan anggota-anggotanya yang berjumlah puluhan orang, ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Tentang hal ini, Janet Steele memberikan uraian sebagai berikut dalam bukunya yang berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru”;
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, salah seorang korban Komando Jihad, menuturkan pengalamannya ketika berada dalam pemeriksaan dan penahanan di Latsusda Diponegoro, Semarang; “Pemeriksaan yang dilakukan atas diri saya adalah dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam.
Bahkan sering-sering semalam suntuk. Kalau jawaban-jawaban saya tidak sesuai dengan kehendak pemeriksa, bukan saja ditolak, tetapi juga dicaci-maki yang menyakitkan hati, lalu pemeriksaan ditunda semauya.
Pernah juga saya diperiksa oleh pemeriksa dari Jakarta, yaitu sdr. Bahar (pangkatnya saya lupa), selama empat hari empat malam tanpa memperhatikan kondisi fisik. Permintaan saya untuk istirahat, hanya diperkenankan sekali, sehingga pemeriksaan ini benar-benar di luar kemampuan fisik saya. Namun toh tetap dilanjutkan. Maka TERPAKSALAH jawaban yang saya berikan mengikuti apa maunya, yang penting cepat selesai dan istirahat”.
Tokoh-tokoh di balik G 30 S PKI….!!! (Bag.6 Tamat)….!!!
Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa, sementara Moerdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang yang berkuasa”.
Salah satu peristiwa yang dicurigai melibatkan Moerdani adalah kasus ‘Jamaah Imran’ yang berlanjut pada pembajakan pesawat Garuda bernomor penerbangan GA 206 tujuan Medan pada 28 Maret 1981 yang kemudian dikenal dengan kasus Pembajakan Wolya.
Kecurigaan ini muncul karena seperti kasus meletusnya G-30 S/PKI yang menguntungkan Soeharto, kasus Jamaah Imran dan Pembajakan Woyla juga menguntungkan Moerdani.
Tiga bulan setelah jamaah ini terbentuk, seorang anggota intelijen dari kesatuan TNI Yon Armed Cimahi, yang menurut Umar Abduh bernama Najamuddin, menyusup dan memprovokasi agar kelompok ini melakukan gerakan radikal untuk melawan pemerintahan Soeharto secara terbuka.
Anggota intel ini bahkan menunjukkan senjata jenis apa saja yang cocok untuk dipakai setiap anggota Jamaah Imran, dan meminta setiap anggota Jamaah itu difoto sambil memegang senjata yang ia perlihatkan.
Bodoh, anggota jamaah itu mau saja tanpa menelaah dulu apa maksud dan tujuan si penyusup. Tentang hal ini, diuraikan Umar Abduh sebagai berikut;
Soal penyerangan ini, Umar Abduh menjelaskan sebagai berikut; “Dengan bermodalkan sebuah Garrand tua itulah kelompok ini terjebak dalam skenario premature melalui provokasi penyerangan Polsek Cicendo, Bandung.
Melalui modus operasi penyerangan pos polisi yang dilengkapi dengan seragam militer sebagai akibat, entah sengaja atau kebetulan, telah menahan sebuah kendaraan bermotor roda dua bernomor polisi sementara (profit) milik anggota jamaah.
Momentum ini dimanfaatkan Najamuddin untuk merealisir terjadinya aksi kekerasan bersenjata, antara lain menyiapkan magazine dan amunisi senapan Garrand hasil curian, satu hari menjelang penyerangan pos polisi tersebut.
Penyerangan akhirnya berlangsung brutal, dengan bermodalkan satu pucuk senjata Garrand hasil curian (pemberian Najamuddin), Salman dan kawan-kawan berhasil menembak mati 3 polisi serta melukai satu orang di Polsek tersebut, dan merampas senjata genggam sebanyak 3 buah”.
Pada 28 Maret 1981, Imran cs menuju Bandara Talangbetutu, Palembang. Untuk mengelabui petugas, Imran memerintahkan Ma’ruf yang berseragam Pramuka membawa senjata api dan bahan peledak.
Pada saat Imran cs melewati pintu terakhir bandara, maka Ma’ruf yang sudah siap dengan ransel di tangan, sekonyong-konyong berteriak sambil berlari; “Bang, ransel ketinggalan ..! Ransel ketinggalan …!”
Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, pasca pemecatan, Moerdani ‘bermain’ melalui dua orang kepercayaannya, yakni Try Soetrisno yang menggantikan dirinya sebagai Panglima ABRI, dan Harsudiono Hartas yang menjabat sebagai Kasospol ABRI.
Berkat manuver politik Harsudiono pada pemilihan presiden 1993, BJ Habibie yang sempat digadang-gadang bakal menjadi wakil Soeharto, tersingkir, dan Try Sutrisno naik menjadi wakil presiden.
’Permainan’ Moerdani berhasil, karena selama Try Sutrisno menjadi pendamping Soeharto, sepak terjang Moerdani yang selama bertahun-tahun mendiskreditkan dan membunuhi umat Islam, tak pernah diungkit-ungkit.
Meski dia sempat diadili oleh Mahkamah Militer karena kasus Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menurut Solidaritas Nasional untuk Tragedi Tanjung Priok (SONTAK) menelan korban tewas hingga sekitar 400 umat Islam, namun dia tidak menjadi tersangka dan tetap dapat menghirup udara bebas.
Padahal seperti disebut Janet Steele dalam buku berjudul “Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru”, kasus berdarah di kawasan Jakarta Utara ini jelas merupakan hasil operasi intelijen. Bahkan saat diwawancarai majalah Tempo untuk edisi 19 Januari 1985, Moerdani mengakui kalau ia menyebut Tanjung Priok sebagai “asbak”. Ini lah kutipan kata-kata LB Moerdani ketika itu.
Kasus Tanjung Priok meledak setelah anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, bernama Sersan Satu Hermanu, meminta warga mencopot poster berisi imbauan agar wanita mengenakan jilbab yang dipasang di Mushala As-Saadah.
Ketika permintaan ditolak, anggota Babinsa itu mencopot poster, namun tanpa mencopot sepatu dahulu kala memasuki mushala.
Warga pun marah, dan kasus berkembang menjadi pembataian massal di Jalan Yos Sudarso, jalan utama di Jakarta Utara, yang dilakukan oleh militer. LB Moerdani sendiri kala itu sempat mengklaim bahwa yang tewas hanya 18 orang dan yang luka-luka 53 orang.
Namun banyaknya warga yang hilang setelah kejadian itu membuat klaim ini tak dipercaya. Apalagi setelah SONTAK melakukan pendataan, yang tewas dan hilang ternyata mencapai sekitar 400 orang, sementara yang luka juga mencapai ratusan orang.
Banyaknya warga yang hilang karena setelah pembantaian berlangsung, jasadnya diangkut dengan kendaraan militer dan kemudian dibuang entah kemana, dan hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.
Namun demikian, buku ini juga menyebut peranan besar Beek dalam pengembangan agama Katolik di Indonesia, dan juga merupakan pendiri CSIS serta Kasebul. Bahkan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Indonesia (Kabakin) Letjen Soetopo Yuwono pernah meminta Vatikan agar menarik orang ini, dan dikabulkan. Namun Beek kembali lagi ke Indonesia pada 1974.
