Perbincangan Ketiga
KITAB VEDA
Tradisi pemikiran falsafah di India, sebagaimana telah dikemukakan, berakar lama dalam sejarah bangsa India dan merupakan perpaduan antara pemikiran orang Arya dan Dravidia. Seperti di tempat lain, watak dan kecenderungan umum yang berkembang di dalamnya banyak dipengaruhi oleh sumber-sumber dan upaya menafsirkan sumber-sumber tersebut.. Sumber utama falsafah India ialah kitab Veda, Brahmana, Upanishad dan Saivagama. Ketiga kitab ini mempunyai sejarah dan cirri tersendiri, serta dianggap sebagai kitab suci penganut agama Hindu.
Veda atau Samhita
Kitab Veda merupakan kitab suci orang Hindua dan sering pula disebut Samhita, artinya tembang atau nyanyian, karena isinya sebagian besar adalah sajak-sajak atau pujian kepada dewa-dewa yang dinyanyikan dalam berbagai upacara keagamaan. Veda berasal dari kata vid, mengetahui, maksudnya diturunkan sebagai pengetahuan. Pengetahuan yang dipaparkan ialah rahasia kehidupan dan cara mencapai kebenaran tertinggi. Kitab ini mulai disusun oleh para resi sekitar tahun 1500 SM, lebih seribu tahun setelah orang Arya mendiami negeri-negeri di sekitar lembah Indus atau Hindustan. Secara bertahap kitab Veda disempurnakan susunan dan bahasanya antara tahun 1000 s/d 600 SM.
Kitab ini terdiri dari empat bagian yang masing-masing menjadi kitab tersendiri, walaupun satu dengan yang lain tidak terpisahkan:
- Rig Veda, berisi sajak-saak pujian kepada dewa-dewa Arya yang awal, seperti Varuna, Indra, Agni dan lain-lain.
- Yajur Veda, kumpulan doa-doa.
- Sama Veda, himpunan sajak-sajak yang dinyanyikan dalam berbagai upacara keagamaan.
- Atharva Veda, kumpulan mantra-mantra untuk keperluan umum dan keagamaan.
Yajur Veda disadur dari Rig Veda, berupa kumpulan doa yang dinyanyikan dalam
berbagai upacara kurban. Kitab ini terdiri dari dua bagian: Yajur Veda Hitam dan Yajur Veda Putih. Yang pertama lebih tua dan kurang sistematis, yang kedua lebih sistematis.
Atharva Veda berhubungan dengan keluarga mithis, yaitu Atharva yang mengemban kewajiban melaksanakan upacara pemujaan api suci, dan Angira, yang bertugas sebagai tukang sihir dan ahli jampi-jampi.
Rig Veda terdiri dari 1028 sukta (hymne) dan disusun dalam sepuluh kitab (mandala). Kitab ini ditulis oleh para resi terkemuka, di antaranya Ghosa, seorang resi perempuan. Komentar tambahan diberikan oleh Sayana pada abad ke-14 M. Rig Veda dianggap sebagai asal-usul teologi Veda.
Setiap mandala ditulis oleh maha resi dan resi yang berbeda-beda, sesuai bidangnya.
Mandala I ditulis oleh 16 resi, di dalamnya ada 33 dewa yang menjadi tujuan pemujaan, khususnya Martuta, Agni dan Indra.
Mandala II ditulis oleh 3 resi untuk Agni dan Indra, serta dewa-dewa yang merupakan bawahan kedua mereka itu.
Mandala III ditulis 8 resi, termasuk dua sungai Wipasya dan Syutudni yang membantu Visvamitra dengan memberikan laluan yang mudah ketika hendak menyebrangi sungai tersebut.
Mandala IV terdiri dari 58 hymne, ditulis oleh beberapa resi seperti Vamadeva, Masadutyu, Purumulha dan Ajamilka. Dewa-dewa yang dijadikan tujuan pemujaan selain Agni dan Indra, juga Dewa Langit dan Dewa Bumi, Varuna.
Mandala V berisi pujian untuk dewa-dewa Agni, Indra, Visvadeva, Maruta, Asyvin, Varuna, Parjanya (dewa awan) dan Prathivi (dewi bumi).
Mandala X , dalam bagian ini ada dewa-dewa baru dimunculkan seperti Dewa Surya, Vacha (dewa percakapan), Yama, Mitra dan lain-lain. Varuna pada mulanya merupakan kumpulan dewa-dewa yang berkedudukan sebagai aditya, sejajar dengan Aineshaspentas (tujuh roh halus) dalam agama Zarathustra (Zoroaster).
Sebetulnya kepercayaan Arya di India, yang merupakan akar agama Hindu, berkembang dari tradisi Dua Tuhan seperti agama Arya di Iran atau Persia, yakni Zoroaster. Tetapi kemudian tumbuh menjadi agama Polytheistis, dan kemudian lagi menjadi Monisme Pantheistis.
Dijelaskan bahwa Prajapati, sebagai pencipta segala sesuatu, telah menciptakan dua kekuatan besar di alam semesta, yaitu Deva (Persia: daeva) dan Asura (Persia: Ahura). Deva, artinya dia yang bersinar terang, teapi dalam agama Zoroaster menjadi dewa kegelapan. Asura, artinya kekuatan yang muncul dari kegelapan, dalam agama Zoroaster menjelma Dewa Terang, yang disebut Ahura Mazda atau Ormudz.
Cabang-cabang Veda
Di bawah keempat Veda, ada empat kitab disebut Upaveda. Upa artinya bawah. Keempat Upaveda itu ialah: Ayur Veda, menguraikan obat-obatan dan pengobatan, beserta mantra-mantranya; Gandharva Veda, menguraikan musik, nyanyian dan tari-tarian; Dhanur Veda, menguraikan ilmu perang; Sthapatya Veda atau Syilpa Veda, menguraikan seni bangunan atau arsitektur.
Di bawah Upa Veda ada empat Vedangas, masing-masing: Syiksha, menguraikan fonetik atau tata bunyi kata; Chhanda, ilmu persajakan; Vyakarana, menguraikan tata bahasa, puncaknya ialah karya Panini; Nirukta, menguraikan perbendaharaan kata dan etimologi. Contoh terkenal ialah karya Yasha; Yyotisha, menguraikan astronomi, hari dan waktu mengadakan upara kurban; kalpa, menguraikan seluk-beluk penyelenggaraan upacar keagamaan, khususnya upacara kurban.
Kitab-kitab tersebut (Vda, Upa Veda dan Vedangas) disebut syruti (sastra suci), Syru artinya mendengar, artinya didengar melalui proses pewahyuan atau pengilhaman oleh seorang Maharesi atau Resi yang melakukan samadhi atau meditasi. Pasangannya ialah smriti (sastra tradisional), mencakup buku-buku berisi tafsir terhadap Veda. Tafsir Veda atau smriti Veda dibedakan dalam dua kelompok: (1) Brahmana dan (2) Upanishad. Kitab Brahmana berisi uraian atau tafsir tentang upacara keagamaan; Upanishad berisi uraian falsafah ketuhanan dan agama. Jenis yang lain disebut Aranyaka, kitab yang dibaca di hutan sewaktu menyendiri.
Veda sebagai kitab banyak menguraikan masalah upacara kurban, dasar falsafah dan penyelenggaraannya. Dalam upacara kurban ada empat petugas: Brahmana, pendeta yang bertugas membacakan doa-doa; Hotri, orang yang melaksanakan upacara kurban; Richas, pendeta yang bertugas menyanyikan lagu-kagu pujaan kepada dewa yang diambil dari Sama Veda; Adhvaryu, pendeta yang membuat rumusan upacara kurban.
Setiap Veda memiliki Brahmana atau tafsir. Tafsir Rig Veda adalah Aitareya Brahmana dan Kaushitaki; Sama Veda, memiliki 8 tafsir, paling terkenal Chandogya; Yajur Veda, kitab tafsirnya untuk Yajur Veda hitam ialah Taittireya dan Yajur Veda Putih ialah Syatapatha. Atharva Veda memiliki 1 tafsir, yaitu Gopatha.
Kitab Brahmana sebagai tafsir terhadap Veda berisi penjelasan lebih rinci mengenai pokok-pokok ajaran Veda. Contoh terbaik ialah kitab tafsir yang disebut Syatapatha Brahmana (Tafsir Seratus Jalan Agama). Kitab ini menguraikan secara rinci seluk beluk penyelenggaraan atau tatacara kurban. Melalui kitab ini pembaca mengetahui dewa tertinggi yang dipuja dan merupakan tujuan upacara kurban ialah Prajapati, dewa pencipta. Sebagai pencipta Prajapati memiliki energi kreatif, yang ditunjukkan oleh-Nya dalam tindakan penciptaan. Dalam upacara energi kreatifnya ini harus diambil dengan memberikan sebelas kurban. Adapun kurban yang wajib disajikan ialah manusia, kuda, sapi, kelinci dan kambing jantan. Kurban manusia sudah lama ditinggalkan.
Dalam uraian mengenai Prajapati tampak jelas teologi yang dikembangkan bercorak monistis (serba esa). Misalnya diuraikan dalam Syatapatha Brahmana 3, IX:1 – 5.
Kini Prajapati, tuhan pencipta, telah mencipta mahluk hidup, merasa dirinya tercampak keluar. Mahluk-mahluk berpaling bersamanya; mahluk-mahluk tidak tinggal bersamanya untuk mencari kegembiraan dan makanan.
Dia berpikir di dalam dirinya: Aku telah mengeluarkan diriku, dan obyek-obyek yang telah kucipta tidak menyertaiku; ciptaanku berpaling jauh dariku, mahluk-mahluk tidak tinggal bersamaku demi kegembiraan dan makananku.
Prajapati berpikir di dalam dirinya: Bagaimana aku harus memperkuat diriku lagi; bagaimana mahluk-mahluk bisa kembali kepadaku; bisa tinggal bersamaku demi kegembiraan dan makananku.
Dia berdoa dan berharap, menghasratkan mahluk-mahluk. Dia menyaksikan di depannya sesajian sebelas kurban tersedia. Dengan sesajian itulah Prajapatui memperkuat dirinya; mahluk-mahluk kembali kepadanya, ciptaannya tinggal demi kegembiraan dan makanannya. Dengan sesajian dia menjadi benar-benar lebih baik.
Dalam Syatapatha Brahmana 2, I:3-16 dijelaskan bahwa baik dewa-dewa maupun asura (roh jahat) berasal dari Prajapati. Kedua kekuatan ini bertarung sama dengan lain untuk dapat menguasai langit. Asura membangun altar api yang disebut rauhina, artinya tempat untuk naik. Dengan membangun altar tinggi dia berpikir apat mencapai langit dan menguasai kerajaan langit. Salah seorang dewa, Indra, yang merupakan saingan asura, mengetahui bahwa altar tersebut sangat bagus dan dapat didaki dengan baik meuju langit. Dia berpikir, kalau tidak dihambat pasti para dewa kalah dalam pertarungan dengan para asura. Kemudian Indra mengambil sebuah kepingan batu dari altar tersebut dan memindahkan ke tempat lain. Sesudah itu dia menjelma menjadi seorang Brahman. Ketika para asura hendak mendaki ke langit melalui altar api, Indra mendorong batu besar itu sehingga altar runtuh. Sesudah itu dia merubah batu menjadi petir dan menjerat leher para asura.
Dalam Syatapatha Brahmana 1, II:1-8, dimunculkan Visnu sebagai dewa utama karena beberapa pertimbangan. Pertama, karena dia dianggap sebagai avatara (inkarnasi) dari Prajapati yang paling utama. Kedua, karena dalam lomba lari melawan para asura yang larinya kencang,, dia menjelma menjadi kijang sehingga dapat mengalahkan larinya para asura. Kecepatan Visnu dalam berlari dilukiskan seperti kecepatan api kurban, yang sanggup membesarkan diri dengan cepat. Dengan kecepatannya itu Visnu membuat rombongan dewa menjadi penguasa dunia.
Api kurban dalam kitab ini disamakan dengan ‘jiwa terdalam’; yang memiliki kekuatan mencapai keabadian dalam waktu cepat seperti dewa-dewa. Selanjutnya pemujaan api disamakan dengan tindakan menurunkan obyek-obyek langit ke bumi, sehingga menemukan tempat berdiam di tengah masyarakat manusia.
Spekulasi metafisika dan linguistik Hindu yang awal dapat dijumpai dalam kitab ini. Begitu doktrin samsara, muncul pertama dalam kitab ini. Doktrin ini kemungkinan besar diambil dari budaya local. Namun pengembangannya lebih lanjut dijumpai dalam Upanishad.
Perbincangan Keempat
UPANISHAD
Sumber utama falsafah India kedua setelah kitab Veda ialah Upanishad. Kitab ini mulai disusun sekitar tahun 800 SM dan mungkin selesai pada tahun 400 SM. Tidak kurang 112 naskah kitab ini djumpai dalam bahasa aslinya Samskerta. Beberapa di antaranya digubah pada abad ke-15 M. Sesuai tekanan pembahasannya kitab ini dibagi ke dalam beberapa buku. Di antara upanishad-upanishad yang terkenal ialah Brhadanyaka Upanishad, Chandogya Upanishad, Mundaka Upanishad, Kalpa Upanishad, Prasna Upanishad, Isa Upanishad dan Svetasvatara Upanishad. Uraian paling panjang tentang spekulasi falsafah Veda terdapat dalam Brhadanyaka dan Chandogya.
Apabila kitab Brahmana banyak menguraikan masalah upacara keagamaan, khususnya penyelenggaraan upacara kurban, Upanishad sepenuhnya berbicara masalah-masalah yang termasuk bidang falsafah spekulatif. Kitab Brahmana bersifat legalistis, seperti uraian dalam ilmu fiqih dan syariah; sedangkan Upanishad sebagaimana kitab-kitab tasawuf, bersifat filosofis puitik.
Kitab Brahmana menguraikan masalah karma kanda, yaitu ajaran agama yang ditafsirkan untuk keperluan dharma, amal ibadah dan muamalah. Upanishad menguraikan jnana kanda (jnana = pengetahuan), yaitu tafsir agama untuk keperluan peningkatan ilmu dan renungan falsafah. Upanishad berisi uraian pengetahuan keagamaan dan ketuhanan secara falsafah. Tujuan uraian-uraian tersebut ialah menunjukkan bagi penempuh jalan kerohanian dalam mencapai moksha, pembebasan rohani. Menurut penulis Upanishad, moksha sebagai tujuan akhir dari semua peribadatan dapat dilakukan melalui jalan pengetahuan (jnana).
Secara etimologis kata Upanishad dibentuk dari kata ’upa’ (di bawah), ’ni’ (dekat) dan ‘shad’ (duduk). Dari bentukan kata-kata ini dapat diartikan sebagai duduk dekat guru untuk mendengarkan ajaran esoteric tentang kebenaran tertinggi. Ini dijelaskan misalnya dalam Prasna Upanishad: Awal mulanya ada enam orang murid menghadap guru mereka untuk menuntut pelajaran kerohanian. Lalu sang guru membeberkan rahasia terdalam ajaran Veda, sedangkan keenam muridnya duduk di dekatnya serta mendengarkan dengan khidmat pelajaran dari gurunya.
Karena lazim dibaca atau direnungi di hutan pada saat seseorang melakukan tapabrata atau menyendiri di hutan (vanaprastha), kitab ini juga disebut Aranyaka, artinya kitab renungan di hutan. Sebagai sumber pemikiran falsafah, kitab ini menunjukkan beberapa perubahan dalam pemikiran falsafah di India, khususnya menyangkut masalah keagamaan dan ketuhanan, serta masalah eksistensi manusia. Sikap baru dalam ajaran ketuhanan tampak misalnya dalam Aitarya Upanishad II: 6. Apabila dalam Rig Veda yang awal digambarkan dewa-dewa yang banyak, maka dalam Aitarya dimunculkan gagasan tentang Hakikat yang tunggal dari alam semesta dan kehidupan. Dalam Aiterya II:6 dinyatakan:
“Siapakah dia yang kita renungi (samadhi) sebagai diri? (Diri) yang dengannya seseorang melihat, yang dengannya seseorang mendengar, yang dengannya seseorang mencium (bebauan), yang dengannya seseorang mencetuskan perkataan, yang dengannya seseorang membedakan manis dan kecut, yang merupakan hati, dan pikiran, pencerapan indera, injuksi, pemahaman, pengetahuan, hikmah, penglihatan batin, pemikiran, penjelasannya, pertolongan, ingatan, ketetapan, keinginan, nafas, cinta dan kehendak yang kuat? Semua ini hanya nama-nama dari pengetahuan. Diri itu adalah Brahman, Indra, Prajapati, semua dewa, lima unsur kasar: bumi, udara angkasa, air, cahaya; semua ini dan itu yang bercampur dengan yang kecil sebagaimana adanya, benih berbagai jenis makhluq, yang lahir melalui indung telur, rahim ibu, yang muncul dari panas, dari germs, kuda, lembu, manusia, gajah dan semua yang bernafas, apa ia berjalan atau terbang dan juga yang kekal.”
Penulis Upanishad tidak diketahui dan mungkin para brahman, yaitu para pemimpin upacara keagamaan dan kurban, pendeta atau ulama yang menguasai ilmu tafsir. Masing-masing kitab dalam Upanishad merupakan tafsir terhadap masalah keagamaan dan ketuhanan yang berbeda-beda, yang muncul pada masa yang berbeda-beda pula. Di antara yang penting ialah:
- Kena dan Chandogya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan kitab Sama Veda.
- Katha, Prasyna, Mundaka dan Manduka Upanishad menguraikan masalah yang berhubungan dengan Atharva Veda.
- Brhad-aryanaka Upanishad menguraikan masalah yang berhubungan dengan
Syatapatha Brahmana.
- Aiterya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan Rig Veda.
- Taittiriya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan Yajur Veda hitam.
- Isya Upanishad menguraikan masalah yang berkaitan dengan Vajasaneyi-
Samhita bab 14.
Yang terakhir ini sangat penting sebaab berisi ajaran monisme pantheistis yang merupakan ciri pemikiran penulis Upanishad. Yang tak kalah penting ialah bagian dari Chandogya Upanishad yang menguraikan upacan magis OM (AUM). Om dijelaskan sebagai inti segala sesuatu, yang kemudian diubahsuai menjadi simbol ’diri tertinggi’. Dikatakan, seseorang yang mengetahui maknanya terdalam, yang tersembunyi, diperbolehkan membacakannya dalam upacara kurban. Dari kata-kata magis, kata Om lebih jauh diubahsuai lagi menjadi inti pengetahuan esoterik.
”Hendaknya seseorang merenungi (makna) kata Om (Aum), yang disebut Udghita, karena Udgitha bagian dari Sama Veda) dinyanyikan dengan diawali bunyi Om. Inti segala sesuatu ialah tanah, inti tanah ialah air, inti air ialah tanaman, inti tanaman ialah manusia, inti manusia ialah perkataan, inti perkataan ialah Rig Veda, inti Rig Veda ialah Sama Veda, inti Sama Veda ialah Udgitha (yakni Om).”
Doktrin monisme pantheistis dalam Upanishad melahirkan pandangan monisme idealistis. Ajaran ini disebut Vedanta (Veda yang terakhir) karena dikembangkan dari Veda yang ditulis pada periode akhir, merupakan bagian terakhir dari Veda. Monisme pantheistis Upanishad mengajarkan bahwa hakikat segala sesuatu itu tunggal dan meliputi segala sesuatu (immanent, tasybih). Sekali pun demikian hakikat yang tunggal ini mengatasi segala sesuatu (transenden, tanzih). Sedangkan monisme idealistik diuraikan dalam Upanishad:
”Hanya Satu yang maujud tanpa yang kedua dan alam benda hanyalah maya (ilusi). Yang Tunggal itu ialah Brahman (Pencipta), sedangkan yang lain tidak nyata (neti-neti). Brahman adalah atman (diri, nafs, jiwa), Diri Tertinggi dan sekaligus ’diri khayali’, diri individual”.
Dalam Upanishad kita jumpai uraian tentang Samsara, yang kelak berkembang menjadi konsep kunci falsafah India, Hindu maupun Buddha. Samsara sering diartikan sebagai mata rantai penderitaan yang dialami makhluq hidup, khususnya manusia, secara terus menerus. Di sini kehidupan dipandang sebagai lingkaran penciptaan, perputaran kehidupan dan kematian yang tak pernah berakhir. Roda samsara akan berakhir apabila seseorang telah mencapai moksha. Ajaran mengenai samsara didasarkan atas kepercayaan, bahwa, ”Jiwa adalah emanasi atau penurunan dari roh ketuhanan, percikan nyala dari api abadi, tetesan air dari lautan ketuhanan, di mana masing-masing jiwa itu menjelma dalam jasad waktu berulang kali. Sekali menjelma dewa, kemudian manusia, kadang khewan atau tumbuhan. Mata rantai emanasi itu berakhir setelah jiwa bebas dari ketentuan lahir dan kemudian kembali ke sumber hakekat ketuhanannya dari mana seseorang datang.
Garis Besar Ajaran Veda dan Upanishad
Garis umum ajaran Vedanta yang dalam Upanishad kurang lebih adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam Veda periode akhir pluralitas dewa semakin kurang mendapat perhatian. Dewa yang satu dengan yang lain tidak begitu dibeda-bedakan, karena hal tersebut dirasakan begitu membingungkan. Perkembangan baru muncul: dicari asas penyatu dan pemersatu alam semesta. Pribadi-pribadi dewa yang begitu banyak itu dianggap sebagai nama-nama untuk menyebut satu hakikat yang sama. Nama-nama diberikan untuk menyebut fungsi-fungsi kreatif yang dijalankan oleh masing-masing dewa.
Misalnya nama dewa Visvakarman, yang artinya Tuhan segala sesuatu; Prajapati, Tuhan segala ciptaan; Brahmanaspati atau Brahaspati, Tuhan Brahman atau Kekuatan Suci; Purusha, pribadi lelaki yang mati melalui upacara kurban untuk melahirkan jagat raya yang aneka ragam.
Kedua, setelah itu muncul persoalan mengenai dualisme Keberadaan dan ketidak-beradaan. Yang disebut ketidakberadaan ialah materi yang penuh kegelapan, serba kacau dan tak berbentuk. Keberadaan adalah sebaliknya, alam rohani yang terang benderang, teratur dan mempunyai bentuk.
Ketiga, dalam Rig Veda yang ditambahkan pada periode kemudian, terdapat tiga nyanyian (samhita) dalam fasal ke-10, yang memberi petunjuk adanya gambaran awal tentang monisme pantheistik, yang kelak dibahas panjang lebar dalam Upanishad.
Penulis fasal ini bertanya, “Siapa Tuhan yang harus kupuja dalam nyanyianku?” Dijawab, ”Pada awal mulanya adalah Benih Emas. Sesudah dilahirkan ia segera menjadi Tuhan yang satu, pencipta segala sesuatu.”
Tuhan dilukiskan lahir dari ketidakberadaan atau kegelapan. “Luapan air dahsyat muncul, mengandung dan melahirkan segala sesuatu sebagai Benih dan Api. Kemudian daripadanya muncul daya kehidupan Yang Satu, Benih Emas.” Benih Emas itu ialah Prajapati, Tuhan segala makhluq.
Prajapati sebagai Tuhan adalah transenden (tanzih). Dia memerintah berdasarkan hukum. Dia adalah roh imanen (tasybih), meliputi segala sesuatu dan merupakan inti kehidupan segala sesuatu. Ini dilukiskan dalam Rig Veda 10:129:
”Ketika itu belum ada Keberadaan atau pun Ketidakberadaan, belum ada langit atau pun cakrawala, atau segala sesuatu di atas keduanya. Apakah yang diliputi? Di mana? Dalam naungan siapa? Apakah air, yang dalam, yang tak terselami itu?
…
Sebermula adalah kegelapan yang terbungkus dalam kegelapan; semuanya ini tidak lain adalah air yang tak kelihatan. Apa pun itu, Yang Esa ini, yang mengada, yang tersembunyi, dalam kekosongan ini, diadakan oleh daya dari panas (tapas).
Sebermula adalah keinginan yang merupakan benih pertama dari budi menyelimutinya. Para bijak, yang mencari-cari dalam hati mereka, mendapatkan pertalian Keberadaan dalam Ketidakberadaan.
Tali mereka direntang kian kemari. Adakah sesuatu di atas atau di bawah?? Para pemberi benih ada di sana, ada juga daya-daya; di bawah ada svadha (energi) dan di atasnya kehendak hati.
Siapa yang benar-benar tahu? Siapa yang dapat menyatakan saat kelahiran ini, ketika penurunan (visrshthi) dimulai. Dengan penurunan ini para dewa kemudian memperoleh wujudnya. Siapa tahu kapan saat itu terjadi?
Kapan penurunan ini muncul, entahlah (apa Tuhan) menciptakannya atau tidak, hanya dia sang pengamat di surga tertinggi, yang tahu. (Hanya dia yang tahu) atau mungkin juga ia tidak tahu.”
Ini dapat dikaitkan dengan yang diuraikan dalam Upanishad. Dalam Upanishad dilukiskan Prajapati melakukan penciptaan setelah melakukan tapabrata dan yoga yang keras. Di sini dikemukakan bahwa yang mendorong penciptaan adalah kekuatan yang disebut Kama (kehendak). Kama merupakan daya hidup yang berada di balik keadaan samsara yang dialami makhluq hidup. Dalam Atharva Veda, kama dinyatakan sebagai anak pertama dari penciptaan.
Keempat, penciptaan dilukiskan sebagai tindakan pengurbanan diri dari Yang Maha Ada dan Yang Maha Awal. Tindakan itu dilakukan agar Yang Satu melahirkan kepelbagaian atau yang aneka ragam. Yang Maha Ada disebut Purusha. Dia adalah Ada yang maha tinggi, pribadi pasif dan inti jiwa manusia (atman). Dalam Purusha Sukta (Nyanyian Untuk Purusha), purusha dilukiskan sebagai raksasa pertama yang merupakan model segala upacara kurban dan tujuan pengurbanan.
Doktrin tentang purusha diduga muncul dari upacara kurban manusia yang pernah dilakukan bangsa Arya, tetapi kemudian dihapuskan. Keterangan mengenai ini dapat dilihat dalam Rig Veda:
”Ketika para dewa melaksanakan upacara kurban dengan mempersembahkan Purusha sebagai kurbannya, musim semi adalah mentega yang meleleh, musim panas adalah bahan bakarnya, musim gugur adalah sesajinya. Sang Kurban, Purusha, yang dilahirkan pada awal mula ini, mereka sirami air di atas jerami, sungguh dialah yang dikurbankan oleh para dewa, para sadhya dan para resi”.
Dari kurban awal inilah konon segala sesuatu diciptakan. Dunia tidak lain adalah tubuh Manusia Pertama yang dipotong-potong,
Sebagai model kurban, Purusha identik dengan alam semesta, sekaligus melampaui alam semesta. Tuhan adalah satu, segala sesuatu dan meliputi segala sesuatu. Melalui keterangan ini tampak kencenderungan monisme pantheistis yang dimaksud.
Kelima, Purusha Sukta memadukan dua unsur ajaran, yang kelak dikembangkan menjadi pemikiran utama dalam kitab Brahmana dan Upanishad. Dua unsur tersebut ialah: (a) Penciptaan merupakan hasil dari pengurbanan diri Purusha; (b) Alam Semesta sebagai jagat besar (macrocosmos) memiliki padanan dalam jagat kecil (microcosmos), yaitu manusia. Artnya, antara dunia dan manusia terdapat persamaan dalam keberadaan.
Keenam, dalam Rig Veda dan terutama dalam Atharva Veda, untuk menunjukkan pentingnya upacara kurban maka proses terciptanya dunia selalu diidentikkan dengan jalannya pengurbanan. Dengan demikian peranan pemimpin upacara kurban, yaitu Brahmana, sangat penting. Upacara kurban dipandang sebagai tindakan suci dan setiap tindakan suci identik dengan keseluruhan yang terdapat di alam raya. Dalam kitab Purusha Sukta diuraikan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta, termasuk jiwa, pikiran dan materi identik dengan bagian dalam diri binatang suci yang dikurbankan. Dari perkembangan ini muncul pemakaian istilah Brahman, yang menjadi konsep kunci dalam falsafah Veda.
Kata brahman, brahma dan brahmana sering diperdebatkan asal usulnya. Ada yang menghubungkan dengan kata brhat (besar, luas), Pendapat ini dianggap tidak sesuai dengan arti utama perkataan tersebut, yaitu ’sabda suci’ atau ’rumusan suci’. Yang lain mengatakan bahwa kata Brahma atau Brahman berasal dari kata brhman (ucapan suci) dan brahmn (dia yang memperoleh kuasa dari ucapan suci).
Brahmn bisa berupa dunia dan bisa juga berupa manusia. Karena itu nama Brahma kemudian dikenakan kepada Dewa Pencipta, karena Dialah pemilik tertinggi ucapan suci dan sekaligus memperoleh kuasa untuk menciptakan segala sesuatu, melalui pengurbanan tentu saja. Kata brahmana juga dikenakan kepada kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu, yaitu para pemimpin yang berwenang atas ucapan suci dan memimpin upacara keagamaan. Kata brahmana juga dikenakan pada teks-teks suci tentang upacara kurban dalam kitab Veda. Brahman juga diartikan sebagai kekuatan suci yang dimiliki Tuhan dan terdapat dalam jiwa manusia.
Ketujuh, sejak masa akhir Veda ini maka istilah Brahman dan Atman menjadi konsep kunci dalam falsafah Veda, melengkapi konsep Purusha. Atman sering diartikan sebai jiwa individual, sedang brahman diartikan sebagai jiwa alam semesta. Kadang kedua kata tersebut saling dipertukarkan. Kadang juga kata Atman dipakai untuk menyebut jiwa segala sesuatu.
Kata Brahman, Atman dan Purusha sering pula digunakan untuk menyebut dua hal yang sama, yaitu ’Hakikat jiwa manusia’. Keberadaan ketiganya di luar waktu, karena itu ia kekal dan merupakan sumber segala perubahan. Ini misalnya dikemukakan dalam Chandogya Upanishad 3:14: ”Kedirianku ini, yang ada dalam hati, adalah Brahman. Kalau aku bertolak dari sini, aku malah memasukinya.”
Munculnya konsep Brahman sebagai Pencipta, dan konsep atman dan Purusha, merupakan hal yang baru dari perkembangan idea-dea ketuhanan. Bahkan dikatakan sebagai penemuan besar yang dijumpai dalam Upanishad. Begitu pula penyamaan Atman dan Brahman, yaitu penyamaan jiwa individual (atman) dengan asas jagat raya (Brahman). Dalam Chandogya Upanishad 3:14 juga dikatakan, ”Orang harus memuja Brahman sebagai Yang Haqq…Orang harus memuja Sang Diri (atman) yang memuat budi (buddhi), yang tubuhnya adalah nafas, yang wujudnya adalah cahaya, yang kediriannya adalah ruang angkasa, yang merubah wujudnya sesuai dengan kehendak, yang pikirannya cepat, yang pemahamannya benar…”
Upanishad lebih jauh menggambarkan Brahman sebagai makanan, dan nafas sebagai alam semesta. Ini kedengaran aneh di telinga orang modern, tetapi bukannya tanpa alasan. Dalam Taittiriya Upanishad misalnya dinyatakan bahwa unsur dasar kehidupan ialah makanan dan makanan merupakan materi hidup. Dalam Kaushitaki Upanishad disebutkan bahwa nafaslah yang merupakan unsur kehidupan. Dari kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi penulis Upanishad materi merupakan unsur asas pertama dari kehidupan dan karenanya identik dengan Brahman; sedangkan roh merupakan unsur asas kedua.
Kalau diringkas demikianlah logikanya: (a) Brahman adalah makanan sebab makhluq-makhluq fana dilahirkan dari makanan. Makanan merupakan materi hidup dan asas kehidupan itu sendiri; (b) Kehidupan menampakkan diri dalam nafas, dan nafas tergantung pada makanan. Karena itu makhluq bernafas tergantung pada makanan; (c) Kehidupan kemudian tergantung pada manas (pemikiran diskursif), vijnana (kesadaran batin) dan buddhi (akal yang dapat membeda-bedakan sesuatu); (d). Pada manas tergantung ananda (kebahagiaan); (e) Kebahagiaan adalah jalan pencerahan rohani.
Ketujuh, hubungan atman dengan dunia kebendaan, bersifat sementara. Seperti atman, hidup manusia tak mengenal awal dan awal, selalu berputar dalam roda samsara atau perputaran tanpa henti yang menimbulkan penderitaan. Karena merupakan perputaran tanpa awal dan tanpa akhir, maka kehidupan merupakan beban yang menakutkan dan inilah yang menjadi sumber derita
Ada konsep lain sebagai pasangan samsara, yaitu karma, yang diartikan sebagai perbuatan atau akibat dari perbuatan. Karma merupakan salah satu sumber utama penderitaan. Karma adalah perbuatan masa lalu yang menentukan kehidupan masa depan.
Beberapa Konsep Kunci
Sebagai tambahan akan dijelaskan beberapa konsep kunci atau istilah-istilah penting dalam falsafah India. Konsep-konsep kunci itu antara lain ialah samsara, moksha, dharma, Purusha, prakrti dan lain-lain.
- Samsara adalah perpanjangan hidup tanpa akhir. Dalam Maitri Upanishad, hidup itu sendiri disebut sebagai kejahatan. Untuk itu yang dicari manusia ialah pembebasan (moksha) dari samsara, melalui karma yang baik. Memang kehidupan itu mesti dicintai dan dipertahankan, walaupun ia merupakan kejahatan. Tetapi ia dicintai dan dipertahankan agar keberadaannya ditundukkan oleh kemampuan dan tujuan yang lebih tinggi. Caranya dengan menggunakan akal budi dan mawas diri.
Akal harus dilebur dan diangkat sehingga mencapai taraf pandangan murni dan dengan demikian menyaksikan Yang Satu – Diri yang nyata dan Ada yang benar. Ini dirumuskan dalam rangkaian kata: SAD-CIT-ANANDA atau ADA, KESADARAN & KEBAHAGIAAN.
Rumus Sad-Cit-Ananda disebut hubungan segi tiga yang mengatasi hubungan segi tiga KAMA, ARTHA & DHARMA (Nafsu/Kenikmatan, Kekayaan dan Upaya Mencari Kebenaran).
Manusia hidup di dunia ini diikat oleh dharma. Moksha dapat membebaskan manusia dari ikatan dengan dharma dan adharma (kebenaran dan ketidakbenaran). Masalah ini dibicarakan dalam kitab Bhagavad Gita.
Tujuan moksha: Arti kata moksha secara harfiah ialah pembebasan, kelepasan, kebebasan dan pelepasan. Tindakan moksha digambarkan seperti ular yang dibebaskan (vimukta) dari kulitnya. Juga dilukiskan sebagai ’anak panah atman yang dilepaskan dari busurnya’. ”Anak panah atman’ ialah kata-kata OM. Ia dilepaskan menuju sasarannya, yaitu Brahman (Mundaka Upanishad II, 2:4).
Tetapi dalam ajaran Advaita (monisme) Vedanta dan Samkhya Yoga, moksha diartikan sebagai pemencilan jiwa secara menyeluruh dari keberadaan, masuk sepenuhnya kedalam dirinya sendiri, kembali ke keabadian sebagai yang mutlak dalam dirinya.
- Doktrin Purusha terdapat terutama dalam Upanishad. Doktrin ini dijadikan sumber pemikiran falsafah ketuhanan dalam beberapa madhab pemikiran India pasca Veda, khususnya dalam aliran Samkhya (Kebijakan akhir). Dalam Samkhya membagi keberadaan dalam 25 kategori. Dari 25 kategori itu 24 di antaranya merupakan perkembangan prakrti (artinya ’alam’, ’yang terkena hukum perubahan dan pergantian’). Kategori ke-25 adalah purusha, pribadi yang tak bisa hansur oleh perubahan, kekal, tak terkenan perubahan dan kesementaraan.
Istilah purusha digunakan dalam falsafah Samkhya, tetapi maknanya agak berbeda dengan istilah yang sama yang digunakan dalam Rig Veda dan Upanishad.
24 kategori itu ialah: (a) Alam; (b) Mahat, yang agung, disebut juga buddhi, yang mengatur informasi yang diterima dari indera. Buddhi (budi) disebut juga sebagai common sense, akal sehat; (c) Lima organ indera – 5 kategori; (d) Lima organ motoris atau penggerak tubuh: alat bicara, tangan, kaki, alat pelepasan dan alat perkembangan tubuh – semuanya 5 kategori; (e) Lima unsur halus sebagai padanan panca indera, yaitu obyek penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pencecapan; (f) Lima unsur halus yang berasal dari lima unsur halus, yaitu ‘ruang’ yang berasal dari penglihatan, ‘api’ dari penglihatan, ‘udara’ dari perabaan, ‘air’ dari pencecapan dan ‘tanah’ dari penciuman – semuanya 5 kategori. Mahat muncul langsung dari alam; (g) Ahamkara, prinsip ego dari mahat.
Garis besar pemikiran falsafah yang digambarkan di atas memunculkan aliran-aliran berbeda, khususnya antara faham materialis dan spiritualis, monisme (advaita) dan dualisme (dvaita).
