Perbincangan Kedua
SEMANGAT DAN KECENDERUNGAN FALSAFAH DI INDIA
Prof.Dr. Abdul Hadi WM
Pemikiran falsafah di India berkembang mengikuti arah perkembangan agama, dengan demikian wataknya menjadi berbeda dari falsafah Yunani yang berkembang mengikuti arah yang lain, yaitu kegiatan pemikiran yang hampir sepenuhnya rasional, khususnya semenjak Aristoteles. Selain dari itu perkembangannya menempuh rentang waktu yang panjang dan selama itu pula hampir sepenuhnya tidak tersentuh oleh pengaruh dari luar, kecuali pada abad-abad setelah berkembangnya agama Islam dan munculnya penjajahan Inggeris.
Falsafah Yunani berkembang sekitar tujuh abad sejak munculnya tokoh-tokoh seperti Democritos, Heraclitus dan Parmenedes hingga Plotinus pada abad ke-3 M, tetapi falsafah India muncul pada abad ke-6 SM dan terus berkembang hingga abad ke-20. Ia hidup berdampingan bukan hanya dengan kebudayaan India, tetapi juga agama-agama yang tumbuh beserta mazab-mazab dan aliran-aliran sempalannya.
Di India memang pernah muncul aliran-aliran seperti naturalisme dan metrialisme (Carvaka), tetapi secara umum pemikiran yang berkembang terpusat falsafah pada masalah ruhaniah atau spiritual. Ini terutama disebabkan karena sumber falsafah India adalah kitab suci seperti Veda yang dipandang serangkaian teks yang ditulis oleh para maharesi dan resi berdasarkan wahyu atau ilham yang mereka meroleh melalui perenungan dan meditasi. Jadi tidak seperti falsafah Yunani yang berkembang disebabkan pemikiran rasional dan adu argumentasi yang sengit, para filosof India mengembangkan tradisi falsafahnya dengan menafsirkan kitab suci. Tentu saja mereka mengenal bentuk-bentuk pemikiran rasional dan kegiatan adu argumentasi, sebagaimana diperlihatkan oleh falsafah Nyaya dan Vaishesika. Tetapi intuisi memainkan peranan penting dalam pencarian kebenaran.
Di India falsafah disebut darsana, artinya lebih kurang sama dengan sophia dalam bahasa Yunani atau al-hikmah dalam bahasa Islam, yang artinya lebih kurang adalah kearifan hidup. Dilandasi kearifan bahwa kebenaran merupakan pancaran dari alam ketuhanan yang bersifat transendental, upaya akal budi dipandang tidak cukup untuk membangun sistem kearifan. Walaupun cenderung memusatkan perhatian pada kehidupan spiritual, tidak berarti bahwa falsafah merupakan sesuatu yang asing dari kehidupan praktis. Sebaliknya orang India yakin bahwa terdapat hubungan yang erat antara falsafah dan kehidupan praktis. Menurut filosof-filosof India India, orang yang mengenal kebenaran dan mencapai kearifan akan membuat seseorang bahagia, tidak merasa asing dalam kehidupan, memiliki kebebasan dalam arti yang sebenarnya dan tidak mengalami kesukaran dalam menghadapi persoalan-persoalan. Jelas di sini bahwa falsafah dipandang bukan semata-mata sebagai kegiatan akademis, tetapi lebih sebagai kegiatan sehari-hari yang melibatkan semua kalangan dalam masyarakat.
Ciri lain yang membedakan falsafah India dari Yunani ialah metodenya. Dalam upayanya mencapai kebenaran para filosof India juga mengggunakan metode penyelidikan diri (instrospektif). Dengan cara pemeriksaan diri mereka berusaha menjawab persoalan apa hakikat kehidupan, apa hakikat ilmu pengetahuan dan apa arti keberadaan manusia dalam hidupnya yang singkat di dunia. Falsafah India mencoba dengan metode introspeksi merumuskan sistem kearifaan menyangkut Tuhan, hubungan Tuhan dengan dunia, dan juga hubungan manusia dengan Tuhan serta sesamanya.
Karena menggunakan pendekatan yang berbeda, falsafah India mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap idealisme. Ini nampak terutama pada faham advaita (monisme idealistis) seperti diajarkan Sankara. Di samping itu ada kecenderungan umum di kalangan filosof India, yaitu memadukan penalaran akliah dan intuitif. Tetapi di atas segala-galanya karena berpegang pada kitab yang diwahyukan (sruti) mencakup Veda, Kama-kanda, yaitu Samhita dan Bahmana (Tafsir atas Veda), dan Jnana-kanda yaitu Upanishad, maka falsafah selalu berkaitan erat dengan agama seperti halnya di Eropa pada Abad Pertengahan dan dalam tradisi Islam sejak abad ke-8 M hingga sekarang.
Dengan perkataan lain malahan dapat dikatakan bahwa falsafah berkembang sebagai tafsir yang beranekara ragam terhada Veda-sruti, Upanishad dan kitab suci lainnya. Dalam upaya menafsirkan kitab sruti dengan metode, pendekatan dan penekanan yang berbeda-beda itu, maka muncullah kecenderungan pemikiran yang berbeda-beda pula.
Tujuan Falsafah
Ciri falsafah India seperti yang telah dikemukakan berkaitan erat dengan tujuan falsafah yang hendak dikembangkan oleh para filosof India. Para filosof di India secara umum selalu menbicarakan masalah yang berhubungan erat dengan alam kerohanian. Bagi mereka baik dalam kehidupan maupun dalam pemikiran falsafah, spiritualitas merupakan motif dan tujuan utama. Terkecuali tentu saja dalam falsafah materialisme atau Carvaka. Alam dan manusia dilihat pertama-tama dari segi kerohaniannya, bukan dari segi jasmani atau keperluan materialnya. Kesejahteraan material dan kesehatan jasmani memang penting, tetapi tujuan kehidupan bersifat kerohanian.Kalau demikian tujuan falsafah juga adalah demikian, yaitu meningkatkan kemampuan dan kecerdasan rohani sehingga memungkinkan manusia dapat mencapai kebenaran dan kebahagian dalam arti yang sebenarnya, sebab kebenaran dan kebahagiaan merupakan bagian dari alam kerohanian.
Dikatakan pula bahwa falsafah berkaitan langsung dengan kehidupan secara umum, bukan sekadar kegiatan intelektual yang terpencil dari kehidupan praktis. Sikap yang demikian itu tampak dalam semua aliran falsafah India. Memang rahasia kehidupan alam material dan segi jasmani kehidupan ini sangat menarik untuk direnungi dan dipikirkan, dan dalam kenyataan merangsang pemikiran falsafah di India sebagaimana di Yunani dan Cina. Tetapi bagaimana pun juga falsafah harus mampu mencari kebenaran yang lebih tinggi dari sekadar hasil pemikiran rasional dan kegiatan intelektual. Falsafah tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan motif ’pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri’. Dalam kenyataan semua sistem falsafah India sendiri selalu dimulai dengan mengemukakan persoalan berkenaan dengan segi-segi praktis dan tragis dari kehidupan manusia. Pemecahan problem diutamakan, sehingga falsafah dapat dijadikan pedoman untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan. Lagi pula tidaklah cukup mengetahui kebenaran apabila tidak bisa dihayati dan tidak dihidupkan.
Berdasarkan anggapan dan sikap ini, pemurnian moral merupakan tujuan utama falsafah India. Pemurnian moral dapat dicapai antara lain melalui pengendalian diri, renunsiasi, kedamaian jiwa, peningkatan iman dan moksa, yaitu pembebasan jiwa dari kungkungan kehidupan serba jasmani dan kebendaan.
Telah pula dikatakan bahwa dalam memahami realitas dan hakikat kehidupan, filosof India menggunakan metode penyelidikan diri. Di sini falsafah digambarkan sebagai atmavidya, pengetahuan tentang diri atau hakikat diri. Pemikiran falsafah memang bisa dimulai dari dunia luar, obyek-obyek di luar diri manusia, tetapi juga bisa dimulai dari dalam diri manusia, dari kehidupan subyektif batinnya. Tetapi ujung-ungnya kebenaran akan dapat disaksikan dalam diri. Karena itu tujuan falsafah bukan untuk mencari kebenaran obyektif semata-mata, tetapi terlebih-lebih kearifan dalam melihat hakikat diri serta pemahaman mendalam tentang kedudukan manusia di alam semesta, hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Walaupun terdapat kecenderungan yang berbeda-beda dalam melihat hakikat kebenaran tertinggi, namun semua aliran falsafah India memiliki kecenderungan yang kuat terhadap monisme idealistik, yaitu faham bahwa hakikat segala sesuatu itu bermuara pada wujud tunggal yang meresapi alam dan kehidupan, namun sekaligus mengatasi segala sesuatu. Doktrin falsafah yang berbeda-beda tidak dipertentengkan karena dianggap sebagai kepelbagaian ungkapan dari kebenaran yang sama, hanya saja penafsiran dan penyampaiannya yang beranekaragam.
Kaa-kata yang digunakan untuk falsafah di India ialah darsana. Kata-kata ini berasal dari akar kata drs, yang artinya melihat atau menyaksikan secara langsung melalui mata kalbu. Penalaran akal dipandang tidak cukup karena pengetahuan yang diperoleh melaluinya bukan merupakan penyaksian langsung, melainkan melalui perantaraan logika yang dapat saja menjadi tirai penghalang bagi penyaksian terhadap kebenaran hakiki dan sejati.. Karena itu falsafah india memeri jalan bagi berkembangnya metode intuitif yang dapat dilakukan dengan meditasi dan samadi.
Kecenderungan
Berdasarkan metode dan penekanan penafsiran yang berbeda-beda terhadap Veda, Upanishad dan kitab Brahmana, muncullah berbagai aliran pemikiran atau faham falsafah dengan kecondongan yang berbeda dalam hal tujuan yang ingin dicapainya. Faham-faham tersebut secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu ritualisme, absolutisme atau monisme, theisme dan heretisme.
Perama, ritualisme. Aliran ini berusaha memperdalam dan mempertajam ajaran Veda tentang upacara keagamaan. Ajaran ritualisme diambil terutama dari Kalpa Sutra dan sangat keras berpegang pada Veda. Tokoh-tokoh aliran falsafah ini banyak membicarakan aturan membaca sendiri kitab Veda (svadhyaaya). Mengaji kitab suci dipandang sebagai bentuk pengurbanan dan wujudnya yang tertinggi ialah tapas (disiplin diri). Untuk keperluan pelaksanaan tapas mereka mendirikan lembaga asramas, yang terdiri dari empat kelas atau jenjang pendidikan. Di lembaga ini kitab Veda dipelajari secara mendalam. Pemikiran ritualis tampak dalam sistem falsafah Purva Mimamsa, yang merupakan salah satu dari enam sistem falsafah ortodoks/klasik tepenting dalam falsafah India. Salah satu ajaran ritualis yang penting ialah ahimsa (anti kekerasan) dan sakalo-dharmah (kebajikan spiritual).
Kedua, absolutisme atau monisme. Perkembangan aliran pemikiran ini didasarkan faham monisme (advaita) Upanishad. Brahman, Dewa Tertnggi, digambarkan sebagai satu-satunya realitas yang ada sebelum penciptaan alam semesta. Brahman tanpa awal, tanpa akhir, tak dilahirkan dan kekal, tak pernah binasa, tak terpikirkan dan mustahil diketahui. Dalam proses penciptaan yang mula-mula muncul ialah mahat (intuisi intelektual, kecerdasan) dan manas (pikiran rasional). Setelah itu muncul unsur-unsur lain, halus dan kasar, tak tampak dan tampak.
Beberapa topik penting dalam aliran falsafah ini antara lain ialah : (1) Maya. Dunia benda adalah maya (bersifat khayali) dan tidak punya tempat dalam penciptaan ; (2) Evolusi menempuh dua tahapan : mula-mula mengalir dari Brahman (Jiwa Tertinggi), dan ini melahirkan faktor-faktor alam, unsur-unsur fisik dan kejiwaan yang saling bercampur baur. Kedua, bergerak dari Prajapati, sang Pencipta, melahirkan benda-benda dan makhluq-makkhluq individual yang aneka ragam dan berbeda-beda ; (3) Penciptaan terjadi secara periodik.
Ketiga, theisme. Aliran ini mentransformasikan Brahman yang tanpa pribadi (impersonal) dan mutlak, menjadi Tuhan yang berpribadi, mendekati faham monotheistik. Brahman digambarkan sebagai Parama-devah (Tuhan Tertinggi). Dia mengawasi seluruh peristiwa di dunia penciptaan, pengatur dan pembinasa. Peranan Brahman dalam tradisi keagamaan India yang kemudian dipertukarkan pula dengan Syiwa dan Visynu. Nama Syiva bersama Rudra, petapa di hutan yang menakutkan dan pemburu binatang, muncul mula-mula dalam Rig Veda. Di bagian lain di India diganti dengan pemujaan terhadap Visynu.
Keempat, heretisme. Faham ini menolak kewenangan Veda, Brahmana Purana dan Upanishad sebagai sumber asas dalam mencari kebenaran atau kearifan. Carvaka (materialisme), Jaina dan Buddhisme adalah faham-faham heretik India yang menonjol dan tetap berkembang hingga masa yang akhir ini.
Walau pun terdapat kecenderungan yang berbeda-beda dalam menafsirkan sumber otoritatif pemikiran falsafah, namun secara umum pemikiran falsafah ini menujukan pembahasan pada gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang secara umum dikemukakan dalam kiab Veda, Brahamana dan Aranyaka Upanishad. Di antara persoalan-persoalan asas yang dibahas dalam hampir semua sstem falsafah India ialah:
- Masalah kekekalan jiwa (atman). Dalam beberapa aliran falsafah India,
atman sebagai jiwa individual dibedakan dari paramatman, yaitu Jiwa sejagat. Beberapa aliran lagi menolak kepercayaan terhadap jivatman (jiwa indvidual) dan melihatnya hanya sebagai bagian dari Paramatman.
- Faham materialisme mengemukakan tentang kekekalan materi atau
substansi asali. Aliran-aliran yang menolak faham materialisme juga membahas persoalan ini, masing-masing menggunakan metode dan cara penafsiran yang berbeda-beda. Aliran-aliran ini sepakat bahwa alam semesta dicipta oleh Brahman dari materi yang kacau tak beraturan. Walau pun segala sesuatu yang dibentuk dari materi bisa hancur dan rusak, namun materi itu sendiri sebagai substansi asali tetap kekal. Sekalipun demikian alam materi dianggap maya (khayali).
- Hampir semua sistem falsafah India meyakini bahwa jiwa hanya
mampu mengekspresikan kesadaran melalui pikiran atau sarana rohani lain. Apabila perbuatan atau keinginan atau hasrat itu diwujudkan secara jasmani maka disebut manas. Jadi yang disebut manas ialah pikiran atau kesadaran yang terwujud dalam kehidupan nyata.
- Pada umumnya faham-faham falsafah India berpendapat bahwa
kehidupan merupakan lingkaran samsara. Samsara timpul disebab bergabungnya roh dengan badan. Untuk mencapai kebahagiaan sejati harus dilakukan pembebasan (moksha). Sehingga roh terselamatkan dari cengkraman hasrat jasmani atau hawa nafsu, dan dengan demikian akan memperoleh kebahagian.
- Masalah sorga dan neraka. Penempatan manusia dalam sorga atau
pun neraka ditentukan oleh karma atau amal perbuatannya.
- Di balik sorga dan neraka terdapat tahapan kehidupan yang disebut
Salokya. Salokya merupakan tempat Brahman. Adapun kedudukan seseorang di dalam tahapan Salokya ada beberapa macam: (a) Samipya, berada di dekat Brahman; (b) Surupya, menyerupai Brahman; (c) Sayyujya, persatuan penuh dengan Brahman. Yang terakhir ini kadang disebut nirvana atau nirguna. Orang yang mencapai tahapan ini akan hanyut dalam ketiadaan mutlak.
Monisme dan Theisme
Sebagaimana telah dijelaskan penafsiran yang berbeda terhadap Upanishad melahirkan pemikiran ketuhanan yang berbeda-beda, khususnya monisme dan theisme. Timbulnya penafsiran ke arah itu didasarkan keterangan Upadanishad yang mengatakan bahwa, ”Brahman-Atman tidak hanya keseluruhan yang tidak binasa, tetapi juga sebagai Tuhan dan raja atas segala hal, yang mengawasi segala sesuatu secara batin, bersemayam di dalam alam semesta, namun berbeda dari alam semesta.
Perkembangan ke arah theisme tampak pada munculnya pemakaian istilah ’deva’ sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta dan Yang Maha Kuasa. Kecenderungan tersebut mencapai puncak dalam Svetasvatara Upanishad. Di situ ditampilkan nama-nama tuhan seperti Rudra Siva, akhirnya Siva saja. Sankara, seorang pengasas falsafah monisme (advaita) yang terkemuka, menampilkan nama Isvara, yang kemudian ditukar menjadi Wishnu. Sedangkan nama Brahman dipakai olehnya untuk menyebut Paramatman yang belum turun ke tempat penciptaan.
Sebetulnya nama Siva berasal dari kepercayaan bangsa Dravida, penduduk yang mendahului bangsa Arya mendiami India. Dalam istiadat Dravida mula-mula pemujaan terhadap Siva terkait dengan pemujaan terhadap lingga (lambang phallus). Pemujaan lingga ini berlaku pada zaman Mohenjo Daro dan Harappa, lebih kurang 6000 tahun sebelum Masehi. Kemudian pemujaan serupa mengalami transformasi dan muncul dalam bentuk dongeng Veda. Dewa Siva dilukiskan sebagai seorang pemanah sakti yang menakutkan, tinggal di hutan dan gemar makan orang.
Yang paling akhir tokoh Siva muncul dalam viracarita (epos) orang Dravida, yang menggambarkan bahwa Siva adalah petapa agung, sekaligus dewa yang menyukai pemujaan terhadap phallus. Selamanya Siva tenang, menyendiri dan khusuk dalam tafakkur. Kekuatan lingganya yang luar biasa melahirkan banyak wujud. Dalam dirinya pribadi lelaki dan wanita bersatu padu dalam dirinya. Sebagai wanita ia adalah sakti, maya dan prakrti, yaitu daya cipta yang terdapat dalam alam benda. Sebagai lelaki ia adalahPurusha, jiwa semesta yang kekal dan abadi. Tetapi dalam Mahabharata, tidak jelas apakah Siva atau Wishnu yang dipandang sebagai Tuhan tertinggi. Wishnu atau Isvara dilukiskan menjelma sebagai Krishna. Apabila Siva tampil, maka kedudukan Wishnu merosot. Ketegangan dan persaingan antara dua dwa itu terus terjadi. Tetapi kemudian kedua pribadi dewa itu disatukan dalam figur Hari Hara. Hari adalah nama Wishnu dan Hara adalah nama Siva.
Siva juga dikenal sebagai Raja Penari dengan sebutan Siva Nataraja. Keinginan untuk memadukan dewa bangsa Arya dan Dravida itu memunculkan gagasan Trimurti, yaitu gagasan Satu Tuhan dalam tiga rupa: Brahma, Wishnu dan Siva. Tetapi ternyata dalam perkembangannya tidak berhasil mendamaikan aliran yang berbeda-beda. Karena aliran yang memuja ketiga dewa ini mengembangkan sistem pemujaan yang berbeda-beda. Pada aliran Samkhya Yoga, Siva dilukiskan sebagai Tuhan yang senang memburu cintya dengan kecintaan dan jiwa harus memberi jawaban dengan menyerahkan diri sepenuhnya ke tangan Siva. Caranya ialah dengan melakukan Yoga. Ajaran tentang Yoga mencapai puncak di tangan Patanjali. Siva sebagai Tuhan tertinggi juga ditekankan dalam aliran Bhakti.
Gambaran tentang Wishnu lebih rumit lagi, apalagi ia digambarkan sebagai dewa yang sering menjelma dalam diri manusia. Tujuannya ialah untuk melindungi orang-orang baik yang berperang melawan kejahatan. Di antara penjelmaannya ialah Krishna, Rama dan Buddha Gautama.
Sad Darsana Samgraha
Kitab Veda terakhir dan khususnya lagi Upanishad memberi ruang luas bagi timbulnya aneka aliran pemikiran. Seorang penulis Buddhis mengatakan bahwa tidak kurang 62 aliran falsafah yang berbeda-beda muncul dari penafsiran terhadap Upanishad. Pertentangan juga telah muncul sejak awal, khususnya antara faham ortodoks dan heterodoks. Tetapi perbedaan dan pertentangan tersebut tidaklah didasarkan atas permasalahan teologis, yaitu tentang keberadaan dan ketakberadaan Tuhan. Beberapa faham ortodoks ada yang monistik, ada yang pantheistik dan ada pula yang dualistik dan non-theistik. Pada awalnya 4 dari faham ortodoks itu non-thetistik, tetapi kemudian tinggal satu saja yang demikian.
Aliran ortodoks dalam falsafah India ada enam, lazim Sad Darsana Samgraha, artinya enam sistem kebijakan falsafah. Kata-kata darsana diartikan sebagai kebijakan atau kearifan jiwa dalam memecahkan masalah atau hakikat segala sesuatu, khususnya berkenaan denganTuhan, manusia dan alam semesta. Keenam sistem itu ialah: Nyaya, Vaishesika, Samkhya, Yoga, Purva Mimamsa dan Uttara Mimamsa. Falsafah Nyaya berpasangan dengan Vasihesika disebut Nyaya-Vaishesika; Samkhya berpasangan dengan Yoga, disebut Samkhya-Yoga; Uttara Mimamsa dan Uttara Mimamsa berpasangan dan disebut Vedanta (ajaran Veda yang terakhir).
Samkhya dikatakan merupakan sistem yang lahir paling awal. Mula faham teologinya dualis, tetapi kemudian dalam perkembangannya menempuh arah lain. Setelah berpasangan dengan aliran Yoga, ia cenderung menjadi monis. Sementara itu faham Nyaya dan Vaishesika bercorak dualis, sedang Vedanta bercorak non-dualis (advaita), alias monisme pantheistik,
Darsana merupakan sistem atau ajaran falsafah spiritual berjenjang. Dalam mencapai kebenaran jenjang-jenjang itu dilukiskan sebagai berikut: (1) Dvaita (dualis); (2) Dvaita-dvaita (dualisme bersyarat); (3) Advaita (monisme idealistis). Ketiga jenjang itu dicapai sejalan dengan kematangan dan pencapaian pencari kebenaran dalam melaksanakan sadhana.
Dvaita memandang Paramatman dan Jivatman sebagai terpisah dan berbeda. Kedudukan jivatman ialah sebagai hamba dan Paramatman sebagai Gustinya. Pembebasan jiwa manusia (moksha) dilakukan melalui jalan bhakti (amal ibadah).
Dvaita-dvaita memandang bahwa antara seorang bhakta (pemuja) berbeda dengan Brahman atau Siva yang dipuja atau disembah. Tetapi apabila sang bhakta telah melaksanakan disiplin keruhanian yang ketat, pandangan hatinya akan berubah dan menyaksikan bahwa dirinya pada hakikatnya adalah Brahman atau Siva.
Advaita menganggap Atman atau Jivatman identik dengan Brahman. Ajaran ini sesuai bagi mereka yang dalam kehidupannya terdahulu mencapai kehidupan spiritual yang tinggi. Jalan pembebasan advaitaialah jnana atau pengetahuan (makrifat).
Tiga Jalan Besar
Seluruh darsana itu menggariskan adanya tiga jalan besar yang dapat ditempuh seseorang dalam mencapai kebenaran tertinggi. Tiga jalan tersebut sekaligus menjadi persoalan falsafah dari aliran yang berbeda-beda. Jalan pertama dalam mencapai kebenaran, yaitu pembebasan dan kebahagiaan, ialah jalan karma. Yaitu memperbanyak perbuatan baik dan amal saleh. Jalan kedua ialah jalan yoga, dilakukan melalui amalan sadhana dan samadhi, yaitu meditasi, disiplin diri dan lain-lain berkenaan dengan aliran yoga. Jalan ketiga ialah jalan bhakti, sebagaimana telah diuraikan.
Karma arti harfiahnya ialah upacara kurban dan segala bentuk perbuatan berkenaan dengan hal tersebut. Mula-mula hal ini diuraikan dalam kitab Brahmana dan kemudian dikemukakan secara sistematis alam Kalpa Sutra. Dalam kitab yang terakhir ini karma diangkat menjadi semacam kewajiban dan amalan utama kehidupan. Dalam pengertian ini karma terdiri dari tiga hal: (1) Kawya, perbuatan yang diperbolehkan; (2) Pratisiddha, perbuatan yang dilarang dan apabila dilakukan akan mendatangkan dosa dan berakibat buruk bagi yang melakukan; (3) Nitya, perbuatan yang wajib dilakukan oleh setiap kasta menurut tatacaranya masing-masing. Dari karma-karma tersebut ada yang menghasilkan dharma (kebenaran) dan adharma (ketidakbenaran).
Falsafah dan Intuisi
Berbeda dengan falsafah Yunan yang hanya menggunakan penalaran akliah, falsafah India selain menggunakan penalaran, juga menggunakan kaedah intuitif dan mistikal. Kaedah ini ditekankan mengikuti kitab Veda dan ajaran Saivagama. Dalam lingkupkait falsafah India, intuisi diartikan sebagai ‘Pemancaran isyarat dari kehidupan, alam atau akal ruhani, yang muncul setelah adanya hubungan antara jiwa dengan dunia luar, dan hubungan tersebut memberikan kekuatan kepada jiwa atau pikiran untuk mengungkapkan kebenaran’.
Intuisi sering pula diartikan sebagai penerimaan langsung pengetahuan melalui gerakan perenungan, samadhi dan pengilhaman. Kata-kata untukintuisi ialah prajna dan pratiba. Arti dari kata prajna ialah kemampuan terpendam yang diperoleh seseorang melalui proses pencerahan batin atau kesadaran semesta. Kesadaran tersebut menerangi pikiran, akal, nalar dan inteligensi, sedangkan hasilnya ialah kemampuan melihat obyek-obyek secara mendalam. Ia tidak bertentangan dengan nalar, karena sebelum memperoleh intuisi seseorang biasanya telah banyak mengerahkan pikiran dan nalarnya untuk mencapai kebenaran atau mengetahui hakikat sesuatu. Jadi penyingkapan pengetahuan tentang obyekitu terjadi sebagai hasil akhir pemikiran yang mendalam, tetapi hasilnya diperoleh secara tiba-tiba atau secara langsung tanpa disadari, khususnya ketika seseorang melakukan samadhi dan mendapat pencerahan di tengah-tengah samadhinya.
Oleh karena itu intuisi juga disebut pasyati buddhi atau kesadaran melihat serta kecerdasan memandang kebenaran (rtamibharaha). Rtamibharaha, artinya ialah pengenalan dan pemahaman atas kebenaran yang terlahir secara spontan dan lengkap, tanpa melalui proses penyelidikan. Bisa juga disetarakan dengan pemahaman supra rasional sebagaimana dikemukakan oleh Fritjof Capra, A.K. Comaraswamy, Seyyed Hussein Nasr dan Frithjof Schuon. Yang jelas dalam aliran Yoga Patanjali, pencapaian kebenaran intuitif semacam itu dilakukan melalui sadhana atau amalan disiplin diri melalui jalan Yoga. Puncak sadhana ialah samadhi.
